referat insomnia dan depresi
DESCRIPTION
ilmu kesehatan jiwaTRANSCRIPT
REFERAT
GANGGUAN INSOMNIA DAN KAITANNYA DENGAN GANGGUAN DEPRESI
1
DISUSUN OLEH:Mohd Fahamy bin Mohd Nor10-2008-300 / 11-2011-269
PEMBIMBING :Dr. Ratna Mardiati, SpKJ
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA
RSKO CIBUBUR JAKARTA
3 JUNI 2013 – 6 JULI 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan bimbingan_Nya
sehingga referat Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RSKO Cibubur mengenai
Gangguan Insomnia dan Kaitannya dengan Gangguan Depresi dapat diselesaikan.
Penulis juga turut mengucapkan terima kasih kepada dr. Ratna Mardiati yang telah banyak
membantu dengan memberikan bimbingan yang berguna dalam proses penyusunan referat ini.
Referat mengenai Gangguan Insomnia dan Kaitannya dengan Gangguan Depresi masih jauh
dari kesempurnaan, oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran dengan lapang dada
dari para pembaca sekalian. Semoga dengan kritik dan saran yang membangun, dapat
tersusun referat yang lebih baik di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam proses penyusunan referat ini. Terima kasih.
Jakarta, Juni 2013
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................. 2
Daftar Isi ......................................................................................................... 3
BAB I: Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 4
BAB II: Tinjauan Pustaka
2.1. Insomnia ............................................................................................. 6
A. Definisi ............................................................................................. 6
B. Klasifikasi ............................................................................................. 6
C. Tanda dan Gejala ................................................................................. 7
D. Etiologi .............................................................................................. 7
E. Faktor Resiko .................................................................................. 8
F. Diagnosis .............................................................................................. 9
2.2. Depresi .......................................................................................................... 10
A. Definisi .............................................................................................. 10
B. Gejala ............................................................................................... 11
C. Kriteria Diagnosis ....................................................................... 11
2.3. Kaitan Gangguan Insomnia dengan Gangguan Depresi ........................ 12
2.4. Penatalaksanaan ................................................................................... 14
BAB III: Penutup
3.1. Kesimpulan ................................................................................. 16
Daftar Pustaka ............................................................................................. 17
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau
mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu.1 Gejala tersebut biasanya diikuti
gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di siang hari. Sekitar sepertiga orang
dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam setahun,
dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup.2 Sebanyak 95% orang
Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup
mereka.1 Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami insomnia.
Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam beberapa
kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai gangguan penyesuaian
tidur karena paling sering terjadi dalam konteks situasional stres akut, seperti pekerjaan baru
atau menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang ketika stressor hilang atau individu telah
beradaptasi dengan stressor. Namun, insomnia sementara sering berulang ketika tegangan
baru atau serupa muncul dalam kehidupan pasien.3
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya berhubungan dengan
faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti kematian atau penyakit) atau
lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis adalah setiap insomnia yang berlangsung
lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi medis dan psikiatri
biasanya pada pasien dengan predisposisi yang mendasari untuk insomnia.3
Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh mengantuk di siang
hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih, dengan konsentrasi yang buruk. Hal
ini mungkin berkaitan dengan keadaan fisiologis hiperarousal. Bahkan, meskipun tidak
mendapatkan tidur cukup, pasien dengan insomnia seringkali mengalami kesulitan tidur
bahkan untuk tidur siang.3,4
Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti berkurangnya kualitas
hidup, sebanding dengan yang dialami oleh pasien dengan kondisi seperti diabetes, arthritis,
dan penyakit jantung. Kualitas hidup meningkat dengan pengobatan tetapi masih tidak
4
mencapai tingkat yang terlihat pada populasi umum. Selain itu, insomnia kronis dikaitkan
dengan terganggunya kinerja pekerjaan dan sosial.4
Insomnisa sering disertai dengan komorbid kondisi psikologis, khususnya gangguan mood,
seperti depresi. Akan tetapi, sampai sejauh mana masalah tidur menjadi faktor risiko
perkembangan depresi, atau timbul menjadi depresi belum jelas. Fakta yang ada menunjukkan
bahwa, dalam depresi, terjadi hubungan timbal balik, misalnya masalah tidur berperan dalam
meningkatkan manifestasi gejala depresi misalnya gangguan mood, dan psikopatologi depresi
berperan dalam memperburuk gangguan tidur.4
1.2. Tujuan
Oleh karena itu, makalah ini akan mengamati bukti bahwa gangguan tidur yaitu insomnia
menjadi faktor risiko dalam perkembangan dan eksaserbasi depresi, mekanisme umum yang
mendasari antara hubungan insomnia dengan depresi dan keterlibatan klinis mengenai
interaksi diantara tidur dan depresi.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. GANGGUAN INSOMNIA
A. DEFINISI
Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk
memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya
satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam fungsi individu.4 The
International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai
atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3 malam seminggu selama minimal satu
bulan.5 Menurut The International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah
kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode
tidur tersebut.2 Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang
untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk melakukannya.
Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala yang memiliki berbagai
penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia
dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja
dan kualitas hidup.6
B. KLASIFIKASI
1. Insomnia Primer
Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. Insomnia atau susah tidur ini
dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia. Pola tidur, kebiasaan
sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi penyebab dari jenis insomnia
primer ini.2,3
2. Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi medis. Masalah
psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat menyebabkan terjadinya
insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu masalah fisik seperti penyakit arthritis,
diabetes dan rasa nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan
biasanya mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia
6
sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk
suatu penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan
alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita insomnia.2,3
Berdasarkan International Classification of Sleep Disorders (ICD - 10), Insomnia
diklasifikasikan menjadi:
1. Insomnia Akut
2. Insomnia Psikofisiologis
3. Insomnia Paradoksikal
4. Insomnia Idiopatik
5. Insomnia disebabkan Gangguan Mental
6. Kurang Kebersihan Tidur
7. Insomnia Perilaku Masa Kanak-kanak
8. Insomnia disebabkan Penggunaan Zat atau Obat
9. Insomnia disebabkan Kondisi Medis
10. Insomnia bukan karena zat atau kondisi fisiologis dikenal, tidak ditentukan
(nonorganik)
11. Insomnia Fisiologis, tidak spesifik (organik) 2
C. TANDA DAN GEJALA
Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari
Sering terbangun pada malam hari
Bangun tidur terlalu awal
Kelelahan atau mengantuk pada siang hari
Iritabilitas, depresi atau kecemasan
Konsentrasi dan perhatian berkurang
Peningkatan kesalahan dan kecelakaan
Ketegangan dan sakit kepala
Gejala gastrointestinal 1,3
D. ETIOLOGI
1. Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat
membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa
kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai,
perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.3,5,6
7
2. Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam
otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.3,5,6
3. Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk
beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti
Ritalin) dan kortikosteroid.3,5,6
4. Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein
adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan
insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh
tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun
di tengah malam.3,5,6
5. Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan
sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar
dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan
insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal
reflux disease (GERD), strok, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.3,5,6
6. Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh atau
pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh,
sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur
siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.3,5,6
7. 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika seseorang khawatir berlebihan tentang
tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur.
Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari
lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti
ketika mereka menonton TV atau membaca.3,5,6
E. FAKTOR RESIKO
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko insomnia
meningkat jika terjadi pada:
1. Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama siklus
menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama menopause, sering
berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu tidur.1,4
2. Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia meningkat
sejalan dengan usia.1,4
8
3. Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan,
gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu tidur.1,4
4. Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti
kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia kronis.1,4
5. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko terjadinya insomnia.1,4
6. Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari sering
meningkatkan resiko insomnia.1,4
F. DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:
1. Pola tidur penderita.
2. Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.
3. Tingkatan stres psikis.
4. Riwayat medis.
5. Aktivitas fisik
6. Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.
Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan pola tidur dan
tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian kuisioner, untuk
mencapai tujuan yang sama klien bisa mencatat waktu tidur klien tersebut selama 2 minggu.
Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu permasalahan yang bisa
menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah juga dilakukan untuk menemukan
masalah pada tyroid atau pada hal lain yang bisa menyebabkan insomnia.
Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan pencatatan
selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi, gerakan mata, dan gerakan
tubuh.5
Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ
Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:
1. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur
yang buruk7
2. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan7
9
3. Adanya preokupasi akan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap akibatnya
pada malam hari dan sepanjang siang hari7
4. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang
cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan7
Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan diagnosis
insomnia diabaikan.7
Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak digunakan untuk menentukan adanya gangguan, oleh
karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria di atas
(seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi
stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2).7
2.2. GANGGUAN DEPRESI
A. DEFINISI
Depresi adalah gangguan mood yang dikarakteristikkan dengan kesedihan yang intens,
berlangsung dalam waktu lama, dan mengganggu kehidupan normal. Depresi dapat terjadi
pada keadaan normal sebagai bagian dalam perjalanan proses kematangan dari emosi.8
Menurut Nasional Insitute of Mental Health, gangguan depresi dipahami sebagai suatu
penyakit tubuh yang menyeluruh (whole-body), yang meliputi tubuh, suasana perasaan dan
pikiran. Ini berpengaruh terhadap cara makan dan tidur, cara seseorang merasa mengenai
dirinya sendiri dan cara orang berpikir mengenai sesuatu. Gangguan depresi tidak sama
dengan suasana murung (blue mood). Ini juga tidak sama dengan kelemahan pribadi atau
suatu kondisi yang dapat dikehendaki atau diharapkan berlaku. Orang dengan penyakit
depresi tidak dapat begitu saja ”memaksa diri mereka sendiri” dan menjadi lebih baik.9
B. GEJALA
Gejala depresi dapat dibagi menjadi beberapa garis besar yaitu:
1. Gangguan emosi
Perasaan sedih atau murung, iritabilitas, ansietas, menarik diri dari hubungan
interpersonal, preokupasi dengan kematian.
2. Gangguan kognitif
Distorsi kognitif seperti mengeritik diri sendiri, rasa bersalah, perasaan tidak berharga,
kepercayaan diri menurun, pesismis, dan putus asa. Penurunan fungsi kognitif seperti
10
bingung, konsentrasi buruk, perhatian kurang, daya ingat menurun dan sering ragu-
ragu.
3. Gangguan somatik
Sakit kepala, keluhan saluran pencernaan, keluhan haid dan lain-lain
4. Gangguan vegetatif
Tidak bisa tidur atau terlalu banyak tidur, tidak ada napsu makan atau makan banyak,
penurunan berat badan atau penambahan berat badan, gangguan fungsi seksual.
C. KRITERIA DIAGNOSIS
Gejala utama :
Baik pada derajat ringan, sedang dan berat adalah : afek depresi, kehilangn minat dan
kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.12
Gejala lainnya:
Konsentrasi dan perhatian kurang, harga diri dan kepercayaan diri kurang, gagasan tentang
rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan
atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, nafsu makan berkurang
atau berlebihan.12
Klasifikasi depresi berdasarkan PPDGJ III
1. Episode depresi ringan
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti tersebut diatas , ditambah
sekurang-kurangnya dua dari gejala lainnya, tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya,
lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar dua minggu, hanya sedikit
kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasanya dilakukannya, dengan atau tanpa
gejala somatik.12
2. Episod depresi sedang
Sekurang-kurangnya harus ada dua atau tiga gejela utama depresi seperti pada episod depresi
ringan, ditambah sekurang-kurangnya tiga (dan sebaiknya empat) dari gejala lainnya, lamanya
seluruh episode berlangsung minimem sekitar dua minggu, menghadapi kesulitan nyata untuk
11
meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga, dengan atau tanpa gejala
somatik.12
3. Episode depresi berat tanpa gejala psikotik
Semua 3 gejala utama depresi harus ada ditambah sekurang kurangnya 4 dari gejala lainnya
dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat, bila ada gejala penting (misalnya agitasi
atau retardasi psiko motor) yang mencolok, maka pasien mungkin tiudak mau atau tidak
mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci.12
Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresi berat masih dapat
dibenarkan.12
- Episode depresi biasanya harus berlangsung sekurang kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika
gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan
diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.12
- Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau
urusan rumah tangga kecuali pada tarap yang sangat terbatas.12
4. Episode depresi berat dengan gejala psikotik
- Episode depresi berat yang memenuhi kriteria depresi berat.12
- Dengan disertai waham, halusinasi atau stupor depresif, waham biasanya melibatkan ide
tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam diri pasien, merasa bertanggung
jawab atas hal tersebut. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara menghina
atau menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat
dapat menuju pada stupor.12
- Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi
dengan afek12
5. Distimia
Adalah suatu keadaan depresi kronis dari suasana perasaan dengan ciri utama adanya depresi
suasana perasaan yang berlangsung sangat lama tetapi tidak pernah atau jarang sekali
mengalami ke tingkat yang parah. Biasanya terjadi dalam masa kehidupan dewasa dini dan
12
berlangsung sekurang-kurangnya beberapa tahun, kadang-kadang untuk jangka waktu yang
tidak terbatas.12
2.3. KAITAN GANGGUAN INSOMNIA DENGAN GANGGUAN DEPRESI
A. EPIDEMIOLOGI
Hubungan antara tidur dan depresi adalah kompleks, dengan insomnia telah diamati untuk
menjadi faktor risiko untuk dan konsekuensi dari depresi. Studi epidemiologi menunjukkan
bahwa sebanyak 70% pasien dengan gangguan kejiwaan juga mengeluhkan insomnia. Dalam
satu survei dari 7954 responden dengan depresi, dibuktikan 40,4% dari mereka mengalami
insomnia, 46,5% dari mereka yang mengalami hipersomnia dan 16,4% dari mereka tidak
memiliki keluhan tidur. Satu studi yang lain menunjukkan bahwa pasien dengan depresi dapat
mengalami salah satu dari pola tidur yang abnormal seperti peningkatan onset waktu tidur,
pengurangan waktu tidur total, peningkatan fragmentasi tidur dengan peningkatan waktu
bangun setelah onset tidur, penurunan tidur gelombang lambat terkait dengan dipersingkat
rapid eye movement (REM), dan peningkatan waktu tidur REM selama bagian awal malam
pada pasien yang mengalami depresi berat.13
B. INSOMNIA PENYEBAB DEPRESI
Sulit untuk membedakan antara terjadinya insomnia primer atau insomnia sebagai gejala
gangguan kejiwaan yang mendasarinya. Insomnia telah dibuktikan menjadi faktor risiko
untuk gangguan depresif mayor, gangguan distimia, dan gangguan bipolar. Satu survei
menemukan bahwa lebih dari 40% pasien melaporkan gejala insomnia timbul sebelum
berkembang ke gangguan mood. Studi lain menemukan bahwa insomnia yang tidak diobati
meningkatkan resiko terjadinya gangguan kejiwaan baru dalam 1 tahun, dengan hasil
penelitian bahwa hanya 1,7% pasien tanpa gangguan tidur mengalami gangguan depresi,
sementara 5,8 % pasien dengan insomnia mengalami gangguan depresi. Beberapa bukti telah
menunjukkan bahwa mengobati gejala yang mendasari insomnia dapat memberikan efek
menguntungkan terhadap mengurangi atau mencegah depresi. Namun, seberapa besar
keberhasilan tatalaksana tersebut masih memerlukan studi tambahan karena data lain telah
menyarankan bahwa penggunaan hipnotik sendiri mungkin berkontribusi terhadap angka
kejadian insomnia.13
C. INSOMNIA DAN DEPRESI TIMBUL BERSAMAAN
13
Meskipun insomnia bukan salah satu kriteria yang diperlukan untuk diagnosis gangguan
depresi mayor, distimia, mania, atau gangguan ansietas umum, insomnia sering digambarkan
sebagai gejala yang terkait dengan kondisi ini. Insomnia dan gangguan depresi yang timbul
bersamaan meningkatkan kompleksitas mendiagnosis dan mengobati pasien. Untuk
membedakan antara insomnia terkait depresi dan insomnia primer adalah dengan
mengidentifikasi gejala khas depresi berat pada siang hari seperti mood depresi yang persisten
dan keinginan bunuh diri yang mana merupakan gejala pada depresi primer.13
Terjadinya gangguan tidur dan depresi secara bersamaan telah diamati menjadi penyebab
kepada penurunan kualitas kesehatan, yang mencakup berbagai aspek fungsi fisik, seperti
keterbatasan karena kesehatan fisik (misalnya, nyeri tubuh, kesehatan umum, kualitas-hidup
miskin yang berhubungan dengan kesehatan vitalitas, dan fungsi sosial) dan keterbatasan
karena masalah emosional dan kesehatan mental. Insomnia juga telah diidentifikasi sebagai
faktor risiko untuk bunuh diri pada pasien depresi. Serotonin dikatakan memainkan peranan
penting dalam kedua gangguan tidur dan bunuh diri karena pada pengamatan yang dilakukan
mendapatkan bahwa rendahnya kadar serotonin sering ditemukan pada pasien yang telah
mencoba atau selesai bunuh diri, dan serotonin memainkan peran penting dalam onset dan
pemeliharaan tidur.13
D. INSOMNIA PERSISTEN SELEPAS PERBAIKAN DEPRESI
Insomnia sering menjadi salah satu gejala terakhir untuk pulih selepas keberhasilan
pengobatan depresi, dan, jika tidak ditangani, dapat menyebabkan kekambuhan gejala depresi.
Insomnia telah ditemukan timbul sebelum kekambuhan gejala depresi pada 56,2% kasus.
Setelah pengobatan dengan antidepresan, sebagian besar pasien akan menunjukkan gejala sisa
depresi, termasuk hampir setengah dengan beberapa ketaatan gangguan tidur. Perawatan
lanjutan dan resolusi akhir dari gangguan tidur yang terkait harus membantu menunda atau
mencegah kekambuhan depresi, namun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk sepenuhnya
mendukung konsep ini.13
2.4. PENATALAKSANAAN
A. Pengelolaan serentak Insomnia Dengan Depresi
14
Insomnia timbul bersamaan dengan depresi merupakan hal yang sulit untuk ditangani. Hal ini
ditunjukkan terutama oleh fakta bahwa tidur bisa terganggu dengan penggunaan banyak
antidepresan yang berbeda, seperti selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), serotonin-
norepinefrin reuptake inhibitor, atau nonselective monoamine oxidase inhibitors. Akibatnya,
strategi manajemen tidur perlu ditambahkan ke rejimen pengobatan. Ketika mengobati
insomnia persisten, perawatan farmakologis harus digunakan jika pasien akan mendapatkan
keuntungan dari obat onset yang cepat, sambil secara bertahap memberi penanganan jangka
panjang dari terapi perilaku-kognitif dan intervensi kebersihan tidur.13
B. Nonfarmakologis
Pengobatan nonfarmakologis insomnia dicadangkan untuk insomnia kronis. Umumnya,
pengobatan nonfarmakologis memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
pengobatan farmakologis. Pengobatan nonfarmakologis untuk insomnia primer termasuk
perubahan diet dan gaya hidup, serta terapi kontrol stimulus, terapi relaksasi, terapi kognitif-
perilaku, terapi pembatasan tidur, dan perbaikan kesehatan tidur. Meskipun pilihan
pengobatan ini telah digunakan secara luas untuk insomnia primer, keberhasilan mereka
dalam konteks depresi sebagian besar belum diselidiki. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
perbaikan dalam tidur akibat pelaksanaan program terapi kognitif-perilaku tidak langsung
dapat menyebabkan efek positif pada pasien dengan gangguan kejiwaan. Penelitian tambahan
diperlukan mengenai kombinasi terapi kognitif-perilaku dan obat antidepresan.13
C. Farmakologis
Telah dibuktikan bahwa penggunaan kombinasi antidepresan dan benzodiazepin (BZD),
agonis reseptor non-benzodiazepin (zolpidem, eszopiclone), atau trazodone secara efektif
dapat mengelola insomnia dan gejala depresi terkait. Menambahkan klonazepam terhadap
fluoxetine untuk pasien dengan depresi yang dalam pengobatan insomnia menunjukkan
perbaikan dalam pengendalian kecemasan dan insomnia, selain pengurangan beberapa gejala
utama depresi, dalam 21 hari pertama pengobatan. Efek samping, termasuk sedasi (biasanya
ringan), mual, diare, sakit kepala, mulut kering, nafsu makan menurun, dan ejakulasi tertunda,
adalah sama untuk terapi kombinasi dan terapi fluoxetine saja. Sebuah penelitian telah
menemukan perbaikan yang serupa dalam insomnia, tetapi perbaikan dalam gejala cemas dan
gejala depresi tidak diamati. Dalam studi lain pasien dengan depresi dan insomnia yang
sedang dalam pengobatan dengan SSRI, diberikan zolpidem sebelum tidur. Hasilnya pasien
mendapat waktu tidur lebih lama, kualitas tidur yang lebih baik, dan mengurangi terbangun,
15
dibandingkan dengan plasebo yang diberikan pada sebelum tidur. Kadar insiden efek samping
adalah sama antara kelompok yang diberi zolpidem dan diobati dengan plasebo, dengan sakit
kepala sebagai efek samping yang paling sering dilaporkan muncul pada kedua kelompok.
Dalam studi lain, pasien dengan insomnia dan depresi mayor yang diterapi dengan fluoxetine
secara acak ditugaskan untuk menerima baik eszopiclone 3 mg atau plasebo pada waktu
sebelum tidur. Penelitian ini menunjukkan penurunan signifikan lebih besar pada latensi tidur
dan waktu bangun setelah onset tidur (WASO) dan peningkatan waktu tidur total, kualitas
tidur, dan kedalaman tidur selama periode penelitian 8 minggu pada pasien yang menerima
eszopiclone. Kelompok eszopiclone lebih berpotensi untuk mengalami efek samping
dibandingkan dengan plasebo, dengan kedua kelompok yang paling sering mengalami rasa
tidak enak, sakit kepala, mual, mulut kering, dan mengantuk. Pada pasien depresi dengan
insomnia, trazodone meningkat secara signifikan total waktu tidur, indeks efisiensi tidur,
indeks efisiensi tidur, dan persentase tidur tahap 3 dan 4. Selain itu, ditemukan juga
penggunaan trazodon menurunkan jumlah terbangun, tahapan pergeseran, dan persentase tidur
tahap 1 dibandingkan dengan pengukuran awal. Dalam studi ini, ditermukan efek samping
yang minim selama masa pengobatan dengan trazodone, dengan 1 subjek mengalami
gangguan pencernaan ringan dan 2 orang lainnya mengalami sedasi ringan siang hari.5,13
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Hubungan antara insomnia dan gangguan depresi merupakan suatu hubungan yang sangat
kompleks dan sulit untuk dimengerti karena kedua-dua gangguan boleh berdiri sendiri atau
saling melengkapi. Penekanan harus diberikan dalam menghadapi masalah ini terutama ketika
mengobati insomnia dalam depresi karena insomnia merupakan faktor risiko depresi.
Insomnia juga memainkan peran penting dalam tingkat keparahan dari episode depresi, dan
insomnia persisten merupakan faktor risiko untuk terjadi kekambuhan depresi. Strategi
pengobatan harus diutamakan untuk mengatasi kedua-dua gejala depresi dan insomnia dan
harus mempertimbangkan penggunaan obat-obatan maupun strategi nonfarmakologi.13
DAFTAR PUSTAKA
16
1. Benjamin James Saddock, Virginia Alcott Saddock. Sleep Disorder. Kaplan &
Saddock’s Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry. 10th ed.;
2007; Lippincott Williams & Wilkins. Page: 753-772
2. American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International Classification of Sleep
Disorders. American Academy of Sleep Medicine Diagnostic and Coding Manual .
Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. ed. Westchester, Ill: American Academy of
Sleep Medicine; 2005:1-32.
3. Zeidler, M.R. 2011. Insomnia. Editor: Selim R Benbadis. Diunduh dari
http://www. emedicina.medscape.com/article/1187829 .com , tanggal 15 Juni 2013
4. World Health Organization, The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural
Disorders. Diunduh dari www.who.int/entity/ classification s/icd/en/bluebook.pdf ,
tanggal 15 Juni 2013
5. Angeliki Statharou, Christina Taka. Insomnia and Depression in Primary Psychiatry
Care. University of Athens, Aignitio Hospital. Diunduh dari
www.hsj.gr/volume6/issue3/632.pdf , tanggal 16 Juni 2013
6. Colin A. Espie. Insomnia; Sleep-Wake Disorders. New Oxford Textbook of
Psychiatry. London: Oxford University Press. 2nd Ed.; 2012; Oxford University Press.
Di unduh dari
http://oxfordmedicine.com/view/10.1093/med/9780199696758.001.0001/med-
9780199696758-book-1 , tanggal 15 Juni 2013
7. Insomnia Nonorganik.Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III. Cetakan Pertama, Jakarta. Departemen Kesehatan; 1993. Halaman 236-
238
8. Marina Marcus, M. Taghi Yasamy, Mark van Ommeren etc. Depression: A Global
Public Health Concern. Diunduh dari
www.who.int/mental_health/management/ depression , tanggal 17 Juni 2013
9. Depression. Barcelona. WHO, 2005. Diunduh dari
http://www.nimh.nih.gov/health/topics/depression/index.shtml, tanggal 17 Juni 2013
10. R. Irawati Ismail, Kristian Siste. Gangguan Depresi. Buku Ajar Psikiatri, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi Pertama, 2010. Halaman 209-222
11. Jerry L Halverson. Depression. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/286759-clinical, tanggal 19 Juni 2013
12. Episode Depresif. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia
III. Cetakan Pertama, Jakarta. Departemen Kesehatan; 1993. Halaman 150-162
17
13. W. Vaughn McCall. Exploring the Relationship Between Insomnia and Depression.
Diunduh dari www.medscape.org/viewarticle/581779, tanggal 19 Juni 2013
18