referat hidung tersumbat

50

Click here to load reader

Upload: elizabethpurba

Post on 28-Aug-2015

63 views

Category:

Documents


31 download

DESCRIPTION

RHT

TRANSCRIPT

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Fakultas Kedokteran

REFERAT

HIDUNG TERSUMBAT

Pembimbing :

dr. Yuswandi Affandi, Sp THT-KL

dr. Tantri Kurniawati,Sp THT-KL, M.Kes.

Disusun Oleh:

Angela Mamporok (112014342)

RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN

KEPALA DAN LEHER

KEPANITERAAN KLINIK

Periode 4 Mei 2015 s/d 6 Juni 2015KATA PENGANTARSalam sejahtera, syukur dan terima kasih saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dari Nya, saya berhasil menyelesaikan tugas referat ini. Semua ini tidak mungkin bisa saya lakukan jika hanya degan kemampuan diri saya sendiri. Ucapan penghargaan dan terima kasih juga saya ucapkan kepada pembimbing saya saat koas ini yaitu dr. Yuswandi Affandi, Sp.THT-KL dan juga dr.Tantri Kurniawati, Sp.THT-KL karena bantuan dan bimbingan dari mereka, saya bisa menentukan isi yang harus dimasukin dalam referat ini. Beliau berdua, selaku pembimbing koas saya, telah membantu saya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang kesehatan telinga, tenggorok dan leher, sehingga saya bisa mengerti lebih dalam lagi tentang ilmu THT ini.

Saya berharap dengan referat yang telah saya siapin ini bisa membantu para pembaca, bukan hanya dari kalangan medis tetapi orang awam juga, bisa mengerti dan memberikan manfaat dalam hidup mereka. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih atas kesediaan anda untuk membaca referat ini. Saya juga memohon maaf jika ada bahasa yang kurang menyenangkan yang tidak sengaja saya tulis dalam referat ini. Sekian dan terima kasih.

30 Mei 2015,

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................

2

BAB IPENDAHULUAN..................................................................

4

BAB IIPEMBAHASAN

2.1

Anatomi hidung................................................................

5-6

2.1.1Perdarahan hidung...........................................................

7

2.1.2Pensarafan hidung...........................................................

7-8

2.2

Fisiologi hidung................................................................

8-10

2.3

Gangguan sumbatan pada hidung.....................................

10

2.3.1Rinitis................................................................................

10

2.3.1.1Rinitis alergi......................................................................

10-18

2.3.1.2Rinitis vasomotor..............................................................

18-21

2.3.1.3Rinitis medikamentosa.....................................................

21-22

2.3.2Polip hidung.....................................................................

22-26

2.3.3Kelainan septum..............................................................

26-28

2.3.4Hematoma septum............................................................

28-29

2.3.5Abses septum....................................................................

29

PENUTUP..............................................................................................

30

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................

31

PENDAHULUAN

Hidung merupakan bagian tubuh yang memberi peran penting dalam kehidupan sehari-hari kita. Hidung berfungsi sebagai deria bau selain dari saluran pernafasan bagian atas tubuh manusia.

Kelainan anatomi hidung akan menyebabkan gangguan fungsi hidung. Kelainan anatomi dapat disebabkan dari faktor kongenital dan bisa juga faktor yang didapat. Contoh kelainan anatomi hidung dengan faktor kongenital adalah palatoschizis dan kelainan septum. Faktor yang didapat lebih banyak seperti infeksi, trauma, dan rinitis yang lama.

Salah satu gejala dari kelainan anatomi hidung adalah hidung tersumbat. Hidung tersumbat sering dikaitkan dengan proses peradangan yang terjadi di mukosa hidung. Peradangan ini akan membesar jika tidak ditangani dan menyumbat saluran hidung. Selain itu, bisa juga disebabkan oleh timbulnya polip dan tumor pada nasal nasi. Kelainaan septum nasi sepeti septum deviasi akan menyebabkan bentuk nasal nasi yang abnormal atau menyempit.

Gangguan fungsi hidung harus ditangani dengan cepat agar tidak menimbulkan komplikasi seperti infeksi jaringan sekitar danm gangguan pernafasan.

PEMBAHASAN

2.1Anatomi hidung1,2Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan.

Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela adalah nares anterior atau nostril(Lubang hidung)kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung.

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.

Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus.

Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla.

Dasar cavum nasi dibentuk oleh os frontale da os palatinus sedangkan atap cavum nasi adalah celah sempit yang dibentuk oleh os frontale dan os sphenoidale. Membrana mukosa olfaktorius, pada bagian atap dan bagian cavum nasi yang berdekatan, mengandung sel saraf khusus yang mendeteksi bau. Dari sel-sel ini serat saraf melewati lamina cribriformis os frontale dan kedalam bulbus olfaktorius nervus cranialis I olfaktorius.

2.1.1Perdarahan hidung1,2Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis anterior, arteri etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika dan arteri sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus kieesselbach (littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus.

2.1.2Pensarafan hidung1Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral.

Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media.

Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidupada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

2.2Fisiologi hidung

Hidung berfungsi sebagai indra penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, sebagian besar akan disaring didalam hidung dengan bantuan transportasi mukosiliar (TMS). Fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu sebagai jalan nafas, alat pengatur kondisi udara, penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, turut membantu proses bicara, dan reflek nasal.2Silia/reseptor berdiri diatas tonjolan mukosa yang dinamakan vesikel olfaktorius dan masuk ke dalam lapisan sel-sel reseptor olfaktoria. Diantara sel-sel reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar Bowman penghasil mukus (mengandung air, mukopolisakarida, antibodi, enzim, garam-garam dan protein pengikat bau (G-protein). Sel-sel reseptor satu-satunya neuron sistem saraf pusat yang dapat berganti secara reguler ( 4-8 mgg) (tempat transduksi). Kecepatan aliran udara pada saat inspirasi sebesar 250 ml/sec. Inspirasi dalam menyebabkan molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius dan sensasi bau tercium. Syarat zat-zat yang dapat menyebabkan perangsangan penghidu :

Harus mudah menguap (mudah masuk ke liang hidung

Sedikit larut dalam air ( mudah melalui mukus

Mudah larut dalam lemak(sel-sel rambut olfaktoria dan ujung luar sel-sel olfaktoria terdiri dari dari zat lemak .

Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang berada pada permukaan membran. Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sam seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melaui nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.

Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebelumnya.

Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC. fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.

. Fungsi mengatur kelembaban udara ini dilakukan oleh palut lendir (mucous blanket). Menyaring udara berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh rambut pada vestibulum nasi, silia, serta palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme.

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

2.3Gangguan sumbatan pada hidung

Gangguan sumbatan pada hidung sering terjadi pada setiap orang. Bisa disebabkan oleh pelbagai macam kelainan seperti rinitis, polip, kelainan pada septum nasi atau tumor pada nasofaring. Namun, yang paling sering menyebabkan keluhan hidung tersumbat adalah rinitis, kelainan septum dan polip.

2.3.1Rinitis

Rinitis dibagi menjadi alergi dan non-alergi. Rinitis alergi bisa disebabkan oleh pelbagai alergen tergantung dengan sistem imun tubuh individu. Rinitis non alergi bisa disebabkan oleh vasomotor atau sebab yang tidak jelas dan rinitis yang disebabkan oleh medikamentosa atau penggunaan obat.22.3.1.1Rinitis alergi2-4Adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (allergic Rhinitis and impact on asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala rhinorea, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE.

Penyebab rinitis alergi berbeda-beda bergantung pada apakah gejalanya musiman, perenial, ataupun sporadik/episodik. Beberapa pasien sensitif pada alergen multipel, dan mungkin mendapat rinitis alergi perenial dengan eksaserbasi musiman.

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) dan kadang pada Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Gejala lain yang tidak khas dapat berupa batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah,post nasal drip.

2.3.1.1.1Patofisiologi2-4Rinitis alergi merupakan suatu penyakit yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi /reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaituImmediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kompleks peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel Limfosit B, sehingga Limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (Ig E). Ig E di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan oleh Newly Formed Mediators antara lain Prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL 3, IL 4, IL 5, IL 6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor), dll). Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengikatan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan GM-CSF dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresposif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulanya seperti Eosinophillic Cationic Protein (ECP), Eosinophillic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophillic Peroxidase (EPO). Pada fase ini selain factor spesifik (allergen), iritasi oleh factor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi.

2.3.1.1.2Cara masuk alergen

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya debu rumah ( D.pteronyssinus, D. farina, B. tropikalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass), serta jamur (Aspergillus, Alternaria).Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.

Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.

Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosametik dan perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga member gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memeberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi.

2.3.1.1.3Diagnosis5

Anamnesis

Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebenarnya bersin merupakan gejala yang normall terutama pada pagi haru atau kontak dengan sejumlah besar debu. Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamine. Gejala lain ialah keluarnya igus (rhinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi)

Pemeriksaan Fisik

Rhinoskopi anterior : tapak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid, disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.

Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung ( gejala allergic shiner)

Allergic salute keadaan dimana anak tampak menggosok gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan.

Allergic crease timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang timbul lama kelamaan setelah menggosog gosok hidung.

Mulut sering terbuka dengan lengkung langit langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granular dan edema. Dingding lateral faring menebal, lidah tampak seperti gambaran peta.

Pemeriksaan Penunjang

Bisa dilakukan pemeriksaan labotarium seperti tes alergi, hitung total serum IgE dan total hitung eosinophil darah. Selain itu, bisa dilakukan pemeriksaan radiologis seperti foto rontgen, CT-Scan dan MRI.

Tes alergi merupakan pengujian untuk reaksi terhadap alergen yang spesifik dapat membantu untuk mengkonfirmasikan diagnosis rhinitis alergi, juga untuk menentukan pemicu terjadinya alergi. Jika pemicu terjadinya alergi diketahui, maka langkah-langkah pencegahan yang tepat dapat direkomendasikan. Penting untuk mengetahui alergen yang tepat untuk dilakukan immunotherapy (desensitisasi perawatan). Pengujian memberikan pengetahuan dari tingkat sensitivitas terhadap alergi tertentu. Yang paling sering digunakan metode untuk menentukan alergi terhadap zat tertentu adalah uji kulit alergi (tes reaksi hipersensitivitas langsung) dan in vitro diagnostik tes, seperti tes radioallergosorbent (RAST), yang secara tidak langsung mengukur jumlah IgE spesifik untuk antigen tertentu.

Antara jenis tes alergi adalah, Skin test allergy (tes hipersensitivitas langsung) yaitu metode dalam menentukan vivo segera (IgE-mediated) hipersensitivitas alergen tertentu. Kepekaan terhadap hampir semua alergen yang menyebabkan rinitis alergi dapat ditentukan dengan tes kulit. Dengan memperkenalkan suatu ekstrak alergen yang dicurigai percutaneously, segera (awal-fase) wheal-dan-suar reaksi dapat dihasilkan. Pengantar perkutan dapat dilakukan dengan menempatkan setetes ekstrak pada kulit dan menggaruk atau menusuk jarum melalui epidermis bawah tetesan ekstrak alergen. Tergantung pada teknik yang tepat digunakan, pengujian ini disebut Skin Prick test. Antigen dalam ekstrak mengikat IgE pada sel mast kulit, menuju ke fase awal (langsung-type) reaksi, yang menyebabkan pelepasan mediator seperti histamine. Hal ini biasanya terjadi dalam waktu 15-20 menit. Histamin yang dilepaskan menyebabkan reaksi ruam atau kemerahan (dihasilkan oleh infiltrasi cairan, dan sekitarnya eritema dihasilkan karena vasodilasi, dengan seiring gatal.). Ukuran reaksi ruam berkorelasi dengan tingkat sensitivitas terhadap alergi. Selain itu, ekstrak juga dapat diberikan secara intradermal (yaitu, disuntikkan ke dalam dermis dengan jarum intradermal). Dengan teknik ini, ekstrak dapat memasuki jaringan dermal, termasuk sel mast kulit. Pengujian intradermal sekitar 1000-kali lipat lebih sensitif daripada pengujian perkutan. Namun hal ini harus dilakukan dengan hati-hati oleh orang yang memang ahli dibidangnya. Namun harus tetap diingat bahwa hasil positif palsu tinggi.

Cara lain adalah in vitro. Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan Ig E total (prist-paper radioimmuno sorbent test) seringkali menunjukan nilai normal kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan Ig E spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukan kemungkinan alergi inhalan. Juka basofil (>5 sel/Lap) mungkin disebabkan oleh alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. Tes ini memungkinkan penentuan IgE spesifik ke sejumlah alergen yang berbeda dari satu sampel darah, tetapi sensitivitas dan spesifisitas tidak selalu sebaik akurat tes kulit (tergantung pada uji laboratorium dan digunakan untuk RAST). Seperti pada pengujian kulit, hampir semua alergen yang menyebabkan alergi rhinitis dapat ditentukan dengan menggunakan RAST, walaupun tes untuk beberapa alergen kurang mapan dibandingkan dengan orang lain.

Selanjutnya adalah, hitung total serum IgE. Ini adalah pengukuran tingkat total IgE dalam darah. Sementara pasien dengan rinitis alergi lebih cenderung memiliki tingkat IgE total tinggi daripada populasi normal, tes ini tidak sensitif maupun spesifik untuk alergi rhinitis. Sebanyak 50% dari pasien dengan rhinitis alergi memiliki tingkat normal dari total IgE, sementara 20% dari nonaffected individu dapat mengalami peningkatan kadar IgE total. Oleh karena itu, tes ini biasanya tidak digunakan sendiri untuk menetapkan diagnosis alergi rhinitis, tetapi hasilnya dapat membantu dalam beberapa kasus ketika digabungkan dengan faktor-faktor lain.

Total hitung eosinophil darah adalah seperti dengan total serum IgE, yang ditinggikan menghitung eosinophil mendukung diagnosis alergi rhinitis, tetapi tidak sensitif maupun spesifik untuk diagnosis. Hasilnya kadang-kadang dapat membantu ketika digabungkan dengan faktor-faktor lain.

Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan radiografi. Meskipun tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis alergi rhinitis, mereka dapat membantu untuk mengevaluasi kemungkinan kelainan struktural atau untuk membantu mendeteksi komplikasi atau kondisi komorbiditas, seperti sinusitis atau adenoide hipertrofi. Anatara foto rotgen yang dilakukan adalah foto sinus 3 posisi (PA, Waters, dan lateral) dapat membantu dalam mengevaluasi untuk sinusitis yang berkenaan dgn sinus maksila, sinus frontal, dan sinus sphenoid. Ethmoid sinus yang sulit untuk memvisualisasikan dengan jelas pada foto polos. Rontgen sinus ini dapat membantu untuk mendiagnosa sinusitis akut, tapi CT scan sinus lebih sensitif dan spesifik. Untuk sinusitis kronis, rontgen sering tidak meyakinkan, dan CT scan jauh lebih disukai. Selain itu, bisa dilakukan rotgen lateral leher dapat membantu ketika mengevaluasi untuk kelainan jaringan lunak pada nasofaring, seperti hipertrofi adenoid.

CT scan koronal dari sinus gambar bisa sangat membantu untuk mengevaluasi sinusitis akut atau kronis. Secara khusus, terhalangnya kompleks ostiomeatal (sebuah pertemuan saluran drainase dari sinus) dapat dilihat dengan cukup jelas. CT scan juga dapat membantu menggambarkan polip, konka yang membesar, kelainan septum (misalnya, deviasi), dan lainnya. Untuk mengevaluasi sinusitis, gambar MRI umumnya kurang membantu daripada CT scan gambar, terutama karena struktur tulang tidak dilihat dengan jelas pada gambar MRI. Namun, jaringan lunak yang divisualisasikan dengan cukup baik, membuat gambar MRI bermanfaat untuk mendiagnosis keganasan saluran udara bagian atas.

Tes lain yang bisa dilakukan adalah sitologi hidung. Sebuah sampel cairan dan sel dikorek dari permukaan mukosa hidung dengan menggunakan probe sampling khusus. Sekresi yang ditiup dari hidung tidak memadai. Hasil yang tidak sensitif maupun spesifik untuk alergi rhinitis dan tidak boleh digunakan secara eksklusif untuk menetapkan diagnosis.2.3.1.1.4Penatalaksanaan

Hindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Keduanya merupakan terapi paling ideal. Eliminasi untuk alergen ingestan (alergi makanan)

Simtomatis. Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan simpatomimetik, kortikosteroid dan sodium kromoglikat.

Operatif. Konkotomi merupakan tindakan memotong konka nasi inferior yang mengalami hipertrofi berat. Lakukan setelah kita gagal mengecilkan konka nasi inferior menggunakan kauterisasi yang memakai AgNO325% atau triklor asetat.

Imunoterapi. Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika pengobatan medikamentosa gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang tidak dapat dikompromi.

2.3.1.2Rinitis vasomotorSuatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, elergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid) dan pajanan obat. Digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/allergen yang tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai.2 Kelainan ini disebut vasomotor catarrh, vasomotor rhinorea atau nasal vasomotor instability.

2.3.1.2.1Etiologi

Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :

1. obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.

2. faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang.

3. faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan hipotiroidisme.

4. faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

2.3.1.2.2Gejala klinik

Gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan tergantung posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa. Keluhan ini jarang disertai dengan gangguan mata.

Gejala sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan non-spesifik seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin, perubahan suhu, stress dan emosi.

Berdasarkan gejala yang menonjol dibedakan dalam 3 golongan yaitu golongan bersin,gejala biasanya memberikan respon yang baik dengan terapi antihistamin dan glukokostiroid topical, golongan rinore, gejala dapat diatasi dengan pemberian antikolinergik topical dan golongan tersumbat, kongesti umumnya member respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topical dan vasokontriktor oral.

2.3.1.2.3Patofisiologi2

Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan kongesti.

Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari selsel seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti pada rinitis alergi.

Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rinitis vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara, perfume, asap rokok, polusi udara dan stress (emosional atau fisikal). Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rinitis vasomotor yaitu meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis, mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis, mengurangi peptide vasoaktif dan mencari dan menghindari zat-zat iritan.

Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh-pembuluh darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf parasimpatis. Tidak dijumpai alergen terhadap antibodi spesifik seperti yang dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini merupakan refleks hipersensitivitas mukosa hidung yang nonspesifik. Serangan dapat muncul akibat pengaruh beberapa faktor pemicu.

Adanya paparan terhadap suatu iritan memicu ketidakseimbangan sistem saraf otonom dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa hidung vasodilatasi dan edema pembuluh darah mukosa hidung hidung tersumbat dan rinore. Disebut juga rinitis non-alergi (nonallergic rhinitis), merupakan respon non spesifik terhadap perubahan perubahan lingkungannya, berbeda dengan rinitis alergi yang mana merupakan respon terhadap protein spesifik pada zat allergen nya. Selain itu, tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang diperantarai oleh IgE ( IgE-mediated hypersensitivity )

Pemicu yang sering pada rinitis vasomotor adalah alkohol, perubahan temperatur / kelembapan, makanan yang panas dan pedas, bau bauan yang menyengat (strong odor), asap rokok atau polusi udara lainnya, faktor faktor psikis seperti stress dan ansietas, penyakit penyakit endokrin dan obat-obatan seperti anti hipertensi dan kontrasepsi oral.2.3.1.2.4 Diagnosis2,5

Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor dan disingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa. Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap atau merah tua (karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak. Pada rinoskopi posterior dapat dijumpai post nasal drip.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta kadar Ig E total dalam batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret. Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.

Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor tergantung dengan riwayat penyakit yaitu tidak berhubungan dengan musim, tidak ada riwayat keluarga, tidak ada riwayat alergi sewaktu anak-anak dan timbul sesudah dewasa. Pada pemeriksaan THT, tidak terlihat adanya struktur abnormal, tanda tanda infeksi, terdapat pembengkakan pada mukosa, dan hipertrofi konka inferior sering dijumpai. Pada hasil radiologi X Ray / CT,tidak dijumpai bukti kuat keterlibatan sinus tapi umumnya dijumpai penebalan mukosa. Pada pemeriksaan bakteriologi, tidak ada tanda-tanda rinitis bakterial, test alergi negatif dengan hasil Ig E total pada kadar normal, prick test negatif atau positif lemah dan RAST negatif atau positif lemah.2.3.1.2.5Penatalaksanaan

Menghindari stimulus/faktor pencetus dan dapat diberikan pengobatan simptomatis, dengan obat-obatan dekongestan oral, cuci hidung dengan larutan garam fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau triklor-asetat pekat.dapat juga diberi kortikostiroid topical 100-2 mikrogramml. Dosis dapat ditingkatkan sampai 400 mirogram sehari. Hasilnya kan terlihat setelah pemakaian paling sedikit selama 2 minggu. Pada kasus rinore berat dapat ditambahkan antikolinergik topical (ipatropium bromida).

Tindakan operatif dapat dilakukan dengan cara bedah-beku, elektrokauter atau konkotomi parsial konka inferior. Neurektomi n. vidianus yaitu dengan melakukan pemotongan pada n. vidianus bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil optimal. Operasi ini dapat menimbulkan komplikasi seperti sinusitis, diplopia, buta, gangguan lakrimasi, neuralgia. Dapat juga dilakukan blocking ganglion sfenopalatina.

2.3.1.3Rinitis medikamentosa Adalah suatu kelainan hidung berupa berupa gangguan respon normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor topical (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat dikaitkan dengan pemakaian obat berlebihan atau drug abuse.22.3.1.3.1Gejala dan TandaPasien mengeluh hidung tersumbat terus menerus dan berair. Pada pemeriksaan tampak edema / hipertrofi konka dengan secret hidung yang berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berulang.

2.3.1.3.2Patofisiologi2

Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan atau iritan. Obat topikal vasokonstriktor dari golongan simptomimetik akan menyebabkan siklus nasi terganggu dan akan berfungsi normal kembali apabila obat ini dihentikan.

Pemakaian obat topikal vasokonstriktor yang berulang dan dalam waktu yang lama akan menyebabkan fase dilatasi berulang atau rebound dilatation setelah vasokonstriksi, sehingga timbul gejala obstruksi. Timbulnya gejala obstruksi akan menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak menggunakan obat ini.

Pada kondisi ini, akan ditemukan kadar agonis alfa-andregenik yang tinggi di mukosa hidung. Hal in akan diikuti dengan penurunan sensitivitas reseptor alfa-andregenik di pembuluh darah sehingga terjadi suatu toleransi. Aktivitas dari tonus simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi yaitu dekongesti mukosa hidung akan menghilang. Akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan mukosa hidung. Kondisi ini dikenal juga sebagai rebound congestion. Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung karena pemakaian obat tetes hidung dalam waktu yang lama adalah, silia di hidung yang berfungsi sebagai proteksi akan rusak, sel goblet yang memproduksi mukosa akan berubah ukurannya, membran basal akan menebal, pembuluh darah mulai melebar, stroma akan terlihat edema, terjadi hipersekresi kalenjar mukus dan perubahan pH sekret hidung, lapsan submukosa akan menebal dan lapisan periostium akan menebal.

2.3.1.3.3Penatalaksanaan

Rinitis medikamentosa dipicu oleh penggunaan obat. Oleh itu, hentikan pemakaian obat tetes atau semprot vasokonstriktor hidung. Untuk mengatasi sumbatan berulang dapat diberikan kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan dosis diturunkan secara bertahap dengan menurunkan dosis sebanyak 5 mg setiap hari. Dapat juga diberi kortikosteroid topical selama minimal 2 minggu untuk mengembalikan proses fisiologik mukosa hidung. Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin). Apabila dengan cara ini tidak ada perbaikan setelah 3 minggu maka rujuk pasien ke dokter spesialis THT karena diagnosis bisa salah atau keluhan ini disertai dengan kelainan hidung yang lain.

2.3.2Polip hidung

Polip hidung merupakan massa lunak yang mengeandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabuan, bisa digerakkan, tidak mudah berdarah, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Bisa timbul pada semua orang tanpa mengira jenis kelamin, usia dan ras.22.3.2.1Etiologi2,6

Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip, yaitu adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus, adanya gangguan keseimbangan vasomotor dan adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung. Terjadinya edema ini dapat dijelaskan oleh fenomena Bernoulli.Fenomena Bernoulli yaitu udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan menimbulkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya sehingga jaringan yang lemah ikatannya akan terisap oleh tekanan negatif tersebut. Akibatnya timbullah edema mukosa. Keadaan ini terus berlangsung hingga terjadilah polip hidung. Ada juga bentuk variasi polip hidung yang disebut polip koana (polip antrum koana).

Polip koana (polip antrum koana) adalah polip yang besar dalam nasofaring dan berasal dari antrum sinus maksila. Polip ini keluar melalui ostium sinus maksila dan ostium asesorisnya lalu masuk ke dalam rongga hidung kemudian lanjut ke koana dan membesar dalamnasofaring. 2.3.2.2Gejala klinis

Timbulnya gejala biasanya pelan dan insidius, dapat juga tiba-tiba dan cepat setelah infeksi akut. Sumbatan di hidung adalah gejala utama.dimana dirasakan semakin hari semakin berat. Sering juga ada keluhan pilek lama yang tidak sembuh-sembuh , sengau, sakit kepala. Pada sumbatan yang hebat didapatkan gejala hiposmia atau anosmia, rasa lendir di tenggorok.

Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak adanya massa lunak, bertangkai, tidak nyeri jika ditekan, tidak mudah berdarah dan pada pemakaian vasokontriktor (kapas efedrin 1%) tidak mengecil.5 Pada pemeriksaan rhinoskopi posterior bila ukurannya besar akan tampak massa berwarna putih keabu-abuan mengkilat yang terlihat mengggantung di nasofaring.2.3.2.3Patofisiologi6Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terbentukpolip. Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi.

Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid. Setelah polip terrus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus medial.

Gambaran histopatologi dari polip nasi bervariasi dari jaringan yang edem dengan sedikit kelenjar sampai peningkatan kelenjar. Eosinofil dapat muncul, menandakan komponen alergi. Hal ini menunjukkan adanya proses dinamis yang nyata pada polip nasal yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti aliran udara, faktor lain yang dapat mempengarui epitel polip dan proses regenerasinya, perbedaan epitel dan ketebalannya, ukuran polip, infeksi dan alergi.

2.3.2.4Pemeriksaan Penunjang

Dapat dilakukan pemeriksaan Endoskopi nasal dan sinus untuk memastikan adanya polip nasal maupun sinus dan untuk menentukan letak polip nasal tersebut.5 Dapat pula dilakukan pemeriksaan CT-scan, tes alergi, kultur tetapi hal ini dilakukan atas indikasi.

2.3.2.5Diagnosis bandingDiagnosis banding dari polip nasi adalah :

a. Angiofibroma Nasofaring Juvenil6

Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan asal tumor ini mempunyai tempat perlekatan spesifik di dinding posterolateral atap rongga hidung. Dari anamnesis diperoleh adanya keluhan sumbatan pada hidung dan epistaksis berulang yang masif. Terjadi obstruksi hidung sehingga timbulrhinor hea kronis yang diikuti gangguan penciuman. Oklusi pada tuba Eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Jika ada keluhan sefalgia menandakan adanya perluasan tumor ke intrakranial.

Pada pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi posterior terlihat adanya massa tumor yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, diliputi oleh selaput lendir keunguan. Mukosa mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulcerasi. Pada pemeriksaan penunjang radiologik konvensional akan terlihat gambaran klasik disebut sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus Pterigoideus ke belakang.

Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak perluasan tumor dan destruksi tulang sekitarnya. Pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna akan memperlihatkan vaskularisasi tumor. Pemeriksaan PA tidak dilakukan karena merupakan kontra indikasi karena bisa terjadi perdarahan. Angiofibroma Nasofaring Juvenil banyak terjadi pada anak atau remaja laki-laki.

b. Keganasan pada hidung6

Etiologi belum diketahui, diduga karena adanya zat-zat kimia seperti nikel, debu kayu, formaldehid, kromium, dan lain-lain. Paling sering terjadi pada laki-laki. Gejala klinis berupa obstruksi hidung, rhinorhea, epistaksis, diplopia, proptosis, gangguan visus, penonjolan pada palatum, nyeri pada pipi, sakit kepala hebat dan dapat disertai likuorhea. Pemeriksaan CT scan memperlihatkan adanya pendesakan dari massa tumor . Pemeriksaan PA didapatkan 85% tumor termasuk sel squamous berkeratin.2.3.2.6Pengelolaan Penderita Polip Nasi6Prinsip pengelolaan polip adalah dengan operatif dan non operatif. Pengelolaan polip nasi seharusnya berdasarkan faktor penyebabnya, tetapi sayangnya penyebab polip nasi belum diketahui secara pasti. Karena penyebab yang mendasari terjadinya polip nasi adalah reaksi alergi, pengelolaanya adalah mengatasi reaksi alergi yang terjadi. Polip yang masih kecil dapat diobati dengan konservatif.

Terapi Konservatif adalah termasuk pemberian kortikosteroid sistemik yang merupakan terapi efektif sebagai terapi jangka pendek pada polip nasal. Pasien yang responsif terhadap pengobatan kortikosteroid sistemik dapat diberikan secara aman sebanyak 3-4 kali setahun, terutama untuk pasien yang tidak dapat dilakukan operasi. Selain itu, bisa diberikan kortikosteroid spray yang bisa membantu untuk mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif untuk polip yang massif. Kortikosteroid topikal, intranasal spray, mengecilkan ukuran polip dan sangat efektif pada pemberian postoperatif untuk mencegah kekambuhan. Terapi medikamentosa dengan Leukotrin inhibitor, membantu untuk menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5-lipoxygenase yang akan menghasilkan leukotrin yang merupakan mediator inflamasi.

Terapi operatif dilakukan pada kasus polip yang berulang atau polip yang sangat besar, sehingga tidak dapat diobati dengan terpi konservatif. Tindakan operasi yang dapat dilakukan meliputi polipektomi intranasal, ethmoidektomi intranasal, ethmoidektomi ekstranasal, Caldwell-Luc (CWL) dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF).2.3.3Kelainan septum

Bentuk septum normal ialah lurus ditengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna digaris tengah.1 Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung dan menyebabkan komplikasi. Kelainan septum yang sering ditemukan adalah deviasi septum, hematoma septum dan abses septum.

Bentuk deformitas septum ialah adalah deviasi, biasanya berbentuk huruf C atau S, dislokasi yaitu bagian bawah kartilago septum ke luar dari Krista maksila dan masuk ke dalam rongga hidung, penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke belakang disebut Krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina dan bila deviasi atau Krista septum bertemu dan melekat dengan konka dihadapannya disebut sinekia. Bentuk ini menambah beratnya obstruksi.22.3.3.1Deviasi septum

Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi septum dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi, yaitu:

Tipe I; benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.

Tipe II; benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.

Tipe III; deviasi pada konka media (area osteomeatal dan turbinasi tengah).

Tipe IV, S septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).

Tipe V; tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih normal.

Tipe VI; tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga menunjukkan rongga yang asimetri.

Tipe VII; kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.

Gambar 1: Tipe deviasi septum5Bentuk-bentuk dari deformitas hidung ialah deviasi, biasanya berbentuk C atau S; dislokasi, bagian bawah kartilago septum ke luar dari krista maksila dan masuk ke dalam rongga hidung; penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina; sinekia, bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka dihadapannya.

2.3.3.2Etiologi2

Penyebab deviasi septum nasi antara lain trauma langsung, Birth Moulding Theory (posisi yang abnormal ketika dalam rahim), kelainan kongenital, trauma sesudah lahir, trauma waktu lahir, dan perbedaan pertumbuhan antara septum dan palatum. Faktor resiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah lahir, resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung (tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman ketika berkendara.

2.3.3.3Diagnosis

Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung pada batang hidungnya. Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan diagnosisnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan, hasil pemeriksaan bisa normal.5 Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian, dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.

Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang unilateral atau juga bilateral. Keluhan lain ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum.22.3.3.4Penatalaksanaan

Dapat diberikan terapi medikamentosa yaitu pemberian obat analgesik untuk mengurangi rasa sakit. Obat dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung. Terapi operatif bisa dilakukan contohnya septoplasti dan Sub-Mucous Resection (SMR).

2.3.3.5KomplikasiDeviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip.2.3.4Hematoma septum

Sebagai akibat dari trauma, pembuluh darah submukosa akan pecah dan darah akan berkumpul diantara perikondriumdan tulang rawan septum dan membentuk hematoma pada septum. Gejala klinis yang menonjol adalah sumbatan hidung dan rasa nyeri hidung. Pada pemeriksan ditemukan pembengkakan unilateral atau bilateral pada septum bagian depan, berbentuk bulat, licin dan berwarna merah dan bias menyebabkan obstruksi total.

Terapi untuk heatoma hidung adalah drenase segera dilakukan dapat mencegah terjadinya nekrosis tulang rawan. Dilakukan pungsi, dan kemudian dilanjutkan dengan insisi pada bagian hematoma yang paling menonjol. Bila tulang rawan masih utuh dilakukan insisi bilateral. Setelah insisi, dipasang tampon untuk menekan perikondrium ke arah tulang rawan di bawahnya. Antibiotika diberikan untuk mencegah infekis sekunder.

Komplikasi hematoma septum yang mungkin terjadi abses septum dan deformitas hidung luar sepertti hidung pelana (saddle nose).

2.3.5Abses septumKebanykan abses septum disebabkan oleh trauma yang kadang-kadang tidak disadari oleh pasien.seringkali didahului oleh hematoma septum yang kemudian terinfeksi kuman dan menjadi abses.Gejala abses septum adalah hidung tersumbat progresif disertai dengan rasa nyeri berat, terutama di puncak hidung juga terdapat keluhan demam dan sakit kepala. Pemeriksan dengan speculum hidung tampak pembengkakan septum yang berbentuk bulat dengan permukaan licin.

Terapi abses adalah termasuk dalam kasus gawat darurat karena komplikasinya dapat berat yaitu dalam waktu yang tidak lama dapat menyebabkan nekrosis tulang rawan septum. Terapinya dilakukan insisi dan drenase nanah serta diberikan antibiotika dosis tinggi. Untuk nyeri dan demamnya diberikan analgetika. Untuk mencegah terjadinya deformitas hidung bila sudah ada destruksi tulang rawan perlu dilakukan rekonstruksi septum.

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah destruksi tulang rawan septum yang dapat menyebabkan perforasi septum atau hidung pelana (melesek). Juga dapat menyebabkan komplikasi intracranial atau septicemia.

PENUTUP

Obstruksi hidung bisa disebabkan oleh pelbagai etiologi. Namun, yang paling sering adalah rhinitis alergi, polip hidung dan kelainan septum nasi. Obstruksi sering terjadi karena peradangan mukosa hidung, yang merupakan hasil dari jaringan kompleks interaksi antara berbagai mediator, sitokin, kemokin, dan molekul adhesi sel, bereaksi terhadap paparan alergen terus menerus.

Gejala klinis umumnya, rasa tersumbat pada hidung dan bisa keluar cairan dari hidung. Pemeriksaan lini pertama adalah inspeksi luar dan juga rinoskopi anterior. Apabila kelainan sukar untuk dideteksi dan terdapat keraguan pada pemeriksaan rinoskopi anterior, bisa dilakukan pemeriksaan lain seperti rinoskopi posterior dan pemeriksaan radiologi.

Hidung yang tersumbat bisa menyebabkan gangguan pernafasan dan jika etiologinya bisa menyebabkan infeksi sekunder, maka komplikasi yang lebih berat seperti infeksi ke jaringan sekitar bahkan ke otak harus ditakuti.

Oleh itu, gejala hidung tersumbat tidak boleh dipandang remeh oleh masyarakat. Harus segera diperiksa, diobservasi dan dilakukan terapi tergantung derajat dan penyebab hidung tersumbat.

DAFTAR PUSTAKA

Netter F.H. Atlas of human anatomy. 5th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.p.26-134.

Soepardi E.A, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R.D. Buku ajar ilmu kesehatab telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI;2009. H.145-53.

Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2006.

Soemasto A.T, Amelz H, Junadi P, Mansyur M, Saleh C.A, Muslim R, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi-4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.h.1054-6.Glynn M, Drake W. Hutchisons clinical methods: Ear, nose and throat. 23th ed. London: Elsevier; 2012.p.432.

Nasal polyps. McClay J.E. 1st May 2014. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/994274-overview (30 Mei 2015)