referat bedah
DESCRIPTION
BedahTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Trombosis merupakan salah satu masalah kesehatan utama baik di
negara maju maupun negara berkembang. Insiden penyakit terkait
dengan trombosis semakin meningkat setiap tahunnya. Selain
peningkatan angka mortalitas dan morbiditas, menurunnya kualitas hidup
dan produktivitas kerja serta hilangnya hari kerja juga merupakan hal yang
menyebabkan peningkatan pembiayaan kesehatan yang terkait dengan
trombosis ini.1,2
Trombosis merupakan penyebab kematian utama di Amerika Serikat.
Sekitar 2 juta penduduk setiap tahunnya meninggal akibat trombosis
arteri, vena, atau komplikasinya. Insiden tromboemboli vena di Amerika
Serikat sekitar 100 per 100.000 orang per tahun dan meningkat seiring
dengan bertambahnya umur, dua pertiga dari kasus tromboemboli vena
adalah trombosis vena dalam dan sepertiganya adalah emboli paru dan
sekitar 20% dari pasien dengan emboli paru meninggal sebelum
terdiagnosis atau dalam hari pertama rawatan. Sementara data di Eropa,
tromboemboli vena merupakan penyebab tingginya angka mortalitas,
morbiditas, dan perawatan di rumah sakit. Berdasarkan data Eupean
Union di enam negara Eropa di tahun 2004 didapatkan sekitar 317.000
orang meninggal yang dihubungkan dengan kejadian tromboemboli vena
dengan rincian 34 % meninggal tiba-tiba, 59 % meninggal selama proses
diagnosa, dan hanya 7% pasien meninggal yang sudah didiagnosa jelas
dengan emboli paru sebelum pasien meninggal.3,4,5,6
Trombosis adalah pembentukan suatu massa abnormal di dalam
sistem peredaran darah makhluk hidup yang berasal dari komponen-
komponen darah. Massa abnormal itu disebut trombus dan bila terlepas
dari dinding bekuan darah yang terjadi in vitro atau yang terdapat di dalam
rongga tubuh maupun yang terbentuk post mortem bukan merupakan
suatu trombus. Teori mengenai patogenesis trombosis sudah dikenal
sejak abad 19. Pada tahun 1845, Virchow pertama kali mengemukakan
adanya tiga faktor utama yang memegang peranan dalam patogenesis
trombosis yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah
dan perubahan daya beku darah. Ketiga faktor tersebut di atas disebut
“Triad of Virchow“.1,7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Trombosis vena dalam atau deep Vein Thrombosis (DVT)
merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam (deep
vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan
jaringan perivena. DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh
darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena (stasis) yang
dikenal dengan trias virchow.1,2,3
2.2. Epidemiologi
DVT merupakan kelainan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah
penyakit koroner arteri dan stroke.4 DVT terjadi pada kurang lebih 0,1%
orang/tahun. Insidennya meningkat 30 kali lipat dibanding dekade yang
lalu. Insiden tahunan DVT di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih
50/100.000 populasi/tahun.3 Faktor resiko DVT antara lain faktor
demografi/lingkungan (usia tua, immobilitas yang lama), kelainan patologis
(trauma, hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid syndrome, vena
varikosa ekstremitas bawah, obesitas, riwayat tromboemboli vena,
keganasan), kehamilan, tindakan bedah, obat-obatan (kontrasepsi
hormonal, kortikosteroid).1,3,5,6 Meskipun DVT timbul karena adanya faktor
resiko tertentu, DVT juga dapat timbul tanpa etiologi yang jelas ( idiopathic
DVT).2,7 Untuk meminimalkan resiko fatal terjadinya emboli paru
didiagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan. Kematian
dan kecacatan dapat terjadi sebagai akibat kesalahan diagnosa,
kesalahan terapi dan perdarahan karena penggunaan antikoagulan yang
tidak tepat, oleh karena itu penegakan diagnosa dan penatalaksanaan
yang tepat sangat diperlukan.2,7
2.3. Patogenesis
Tiga hal utama yang mempengaruhi terjadinya pembentukkan
trombus disebut dengan Trias Virchow yaitu jejas endotel, turbulensi aliran
darah (stasis) dan hiperkoagulabilitas darah. Jejas endotel akibat injury
eksternal maupun akibat kateter intravena dapat mengikis sel endotel dan
mengakibatkan pajanan kolagen subendotel. Kolagen yang terpajan
merupakan substrat yang digunakan sebagai tempat pengikatan faktor
von Wilderbrand dan platelet yang menginstansi kaskade pembekuan
darah. Endotel yang mengalami disfungsi dapat menghasilkan faktor
prokoagulasi dalam jumlah yang lebih besar dan efektor antikoagulan
dalam jumlah yang lebih kecil (misalnya trombomodulin dan heparin
sulfat).
Statis Vena
Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi
statis terutama pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi
dalam waktu yang cukup lama.
Statis vena merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis
lokal karena dapat menimbulkan gangguan mekanisme pembersih
terhadap aktifitas faktor pembekuan darah sehingga memudahkan
terbentuknya trombin.
Stasis merupakan faktor utama dalam pembentukan trombus
vena. Stasis dan turbulensi akan menyebabkan:
1. Mengganggu aliran laminar dan melekatkan trombosit pada
endotel,
2. Mencegah pengenceran faktor pembekuan yang teraktifasi oleh
darah segar yang terus mengalir,
3. Menunda aliran masuk inhibitor faktor pembekuan dan
memungkinkan pembentukan trombus,
4. Meningkatkan aktifitas sel endotel, mempengaruhi pembentukan
trombosis lokal, perlekatan leukosit serta berbagai efek sel
endotel lain.
Beberapa faktor yang menyebabkan aliran darah vena
melambat dan menginduksi terjadinya stasis darah adalah imobilisasi
(bed rest lama setelah selesai operasi, duduk di dalam mobil atau
pesawat terbang dalam perjalanan yang lama), gagal jantung dan
sindroma hi[perviskositas.
Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan
trombosis vena, melalui :
a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.
b. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai
akibat kerusakan jaringan dan proses peradangan.
Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel
endotel. Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel
endotel menghasilkan beberapa substansi seperti prostaglandin
(PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombo-modulin,
yang dapat mencegah terbentuknya trombin.
Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub
endotel akan terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan sistem
pembekuan darah di aktifkan dan trombosir akan melekat pada
jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan
mikro-fibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin
difosfat dan tromboksan A2 yang akan merangsang trombosit lain
yang masih beredar untuk berubah bentuk dan saling melekat.
Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem
pembekuan darah.
Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem
pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya
trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah meningkat atau
aktifitas fibrinolisis menurun.
Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan
aktifitas pembekuan darah meningkat, seperti pada hiperkoagulasi,
defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S
dan kelainan plasminogen.
2.4. Faktor Resiko
Faktor utama yang berperan terhadap terjadinya trombosis vena
adalah status aliran darah dan meningkatnya aktifitas pembekuan darah.
Faktor kerusakan dinding pembuluh darah adalah relatif berkurang
berperan terhadap timbulnya trombosis vena dibandingkan trombosis
arteri. Sehingga setiap keadaan yang menimbulkan statis aliran darah dan
meningkatkan aktifitas pembekuan darah dapat menimbulkan trombosis
vena.
Faktor resiko timbulnya trombosis vena adalah sebagai berikut :
1. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti
tripsin.
Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif
tidak di netralisir sehinga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat.
2. Tindakan operatif
Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena
adalah operasi dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul
dan tungkai bawah.
Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami
trombosis vena, sedangkan pada operasi di daerah abdomen terjadinya
trombosis vena sekitar 10%-14%.
Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada
tindakan operatif, adalah sebagai berikut :
a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah
karena trauma pada waktu di operasi.
b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode
preperatif, operatif dan post operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama
sesudah operasi.
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena
secara langsung di daerah tersebut.
3. Kehamilan dan persalinan
Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas
fibrinolitik, statis vena karena bendungan dan peningkatan faktor
pembekuan VII, VIII dan IX.
Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang
menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah,
sehingga terjadi peningkatkan koagulasi darah.
4. Infark miokard dan payah jantung
Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu
kerusakan jaringan yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan
proses pembekuan darah dan adanya statis aliran darah karena istirahat
total.
Trombosis vena yang mudah terjadi pada payah jantung adalah
sebagai akibat statis aliran darah yang terjadi karena adanya bendungan
dan proses immobilisasi pada pengobatan payah jantung.
5. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.
Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang
mempermudah timbulnya trombosis vena.
6. Obat-obatan konstrasepsi oral
Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan
dilatasi vena, menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik
dan meningkatnya faktor pembekuan darah. Keadaan ini akan
mempermudah terjadinya trombosis vena.
7. Obesitas dan varices
Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan
penurunan aktifitas fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis
vena.
8. Proses keganasan
Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan “tissue
thrombo plastin-like activity” dan “factor X activiting” yang mengakibatkan
aktifitas koagulasi meningkat. Proses keganasan juga menimbulkan
menurunnya aktifitas fibriolitik dan infiltrasi ke dinding vena. Keadaan ini
memudahkan terjadinya trombosis. Tindakan operasi terhadap penderita
tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali lipat dibandingkan
penderita biasa.
2.5. Klasifikasi
DVT dibagi menjadi 2 tipe sentral (iliac DVT dan femoral DVT) dan
tipe perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan
gejala dan tanda klinis serta derajat keparahan drainase vena, DVT dibagi
menjadi DVT akut dan kronis.2,3
2.6. Gejala Klinis
Diagnosa DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda
yang ditemukan pada pemeriksaan fisik serta ditemukannya faktor resiko.7
Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan warna
kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue
leg).3 Skor dari Wells (tabel 1) dapat digunakan untuk stratifikasi (clinical
probability) menjadi kelompok resiko ringan, sedang atau tinggi.2,3
Tabel-1. Skor Wells (Hirsh, 2002)
Pada pasien dengan dugaan DVT terlebih dahulu ditentukan clinical
probability nya berdasarkan skoring oleh Wells. Jika skor > 3 dianggap
clinical probability nya tinggi, skor 1-3 dianggap clinical probability nya
intermediate, dan jika skor ≤ 0 dianggap memiliki clinical probability
rendah.2,3
2.7. Patofisiologi
2.8. Diagnosis
Pasien dengan DVT dapat memiliki tanda dan gejala yang minimal
dan tidak khas karena pemeriksaan tambahan seringkali diperlukan untuk
menegakkan diagnosa.2 Pemeriksaan D-dimer < 0,5 mg/ml dapat
menyingkirkan diagnosis DVT. Nilai prediktif negatif pemeriksaan D-dimer
pada DVT lebih dari 95%, pemeriksaan ini bersifat sensitif tapi tidak
spesifik, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosa
DVT.8,9 Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan pemeriksaan
baku yang paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non-
invasive ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran angiografi
pada kondisi tertentu. USG Doppler memberikan sensitivitas 95% dan
spesifisitas 96% untuk mendiagnosa DVT yang simptomatis dan terletak
pada bagian proksimal akan tetapi pada isolated calf vein thrombosis
sensitivitasny hanya 60% dan spesifisitasnya kurang lebih 70%.2,3,10,11 Jika
dengan metode pemeriksaan USG Doppler dan D-dimer diagnosa DVT
belum dapat ditegakkan maka Magnetic Resonance Venography (MRV)
harus dilakukan. Algoritme diagnosis DVT dapat dilihat pada gambar-1.
2.9. Terapi
Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan
trombus yang makin luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya
adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya sindrom post trombotik.
Tata laksana DVT bisa berupa non farmakologis maupun farmakologis.
Non farmakologis dilakukan dengan elevasi ekstremitas di atas level
jantung untuk mengurangi edema dan rasa sakit. Sedangkan terapi
farmakologis dilakukan dengan pemberian antikoagulan. Antikoagulan
inisial yang paling sering digunakan dan direkomendasikan adalah Low
Molecular-weight Heparin (LMWH), unfraction iv heparin (UFH) atau
adjusted dose subcuntaneus heparin.2,3
Kombinasi heparin dan antikoagulan oral merupakan terapi inisial
dan drug of choice DVT.7,11,12,13 Antikoagulan inisial yang paling sering
digunakan dan direkomendasikan adalah Low Molecular-weight Heparin
(LMWH), unfraction iv heparin (UFH) atau adjusted dose subcutaneus
heparin. Pemberian antikoagulan inisial ini dilakukan selama 5 hari. Dapat
diberikan sampai 10 hari bila terdapat emboli paru yang masif atau
trombus iliofemoral yang parah dan dilanjutkan (atau diberikan bersamaan
dari awal pengobatan) dengan oral antikoagulan seperti warfarin 5 mg.
Oral antikoagulan diberikan dalam waktu jangka panjang. Umumnya
diberikan 3-6 bulan tergantung dari penyebab yang mendasari terjadinya
DVT.
Unfractioned heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat
tapi harus diberikan secara intravena. UFH berikatan dengan antitrombin
dan meningkatkan kemampuannya untuk menginaktivasi faktor Xa dan
trombin.14,15 Dosis Unfractioned heparin (UFH) berdasarkan berat badan
dan dititrasi sesuai kadar activated partial-thromboplastin time (APTT).
Pemberian UFH memerlukan monitor APTT 6 jam setelah pemberian
bolus. Target APTT yang diinginkan adalah antara 1,5 sampai 2,3 kali
kontrol. Respon antikoagulan dari UFH berbeda tiap-tiap individu karena
obat ini berikatan secara nonspesifik dengan plasma dan protein sel. Efek
samping meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi inisial
resiko terjadinya perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung pada
dosis, usia, penggunaan bersama dengan antitrombotik atau trombolitik.
Trombositopeni transien terjadi pada 10-20 % pasien. Pemberian heparin
dapat dihentikan 4-5 hari setelah penggunaanya bersama warfarin jika
target International Normalized Ratio (INR) dari prothrombin clotting time
lebih dari 2,0.7,11
Low Molecular-weight Heparin (LMWH) bekerja dengan cara
menghambat faktor Xa melalui ikatan dengan antitrombin.14 LMWH
merupakan antikoagulan yang memiliki beberapa keuntungan dibanding
UFH antara lain respon antikoagulan yang lebih dapat diprediksi, waktu
paruh yang lebih panjang, dapat diberikan sub kutan satu sampai dua kali
sehari, dosis yang tetap, tidak memerlukan monitoring laboratorium,
bahkan lebih cost effective dibandingkan dengan pemberian UFH. Selain
itu resiko untuk terjadinya rekurens dan perdarahan pada pemberian
LMWH jauh lebih kecil. LMWH banyak menggantikan peranan UFH
sebagai antikoagulan.2,15
Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang
terjadi dibanding penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan
antara lain kelainan darah, riwayat stroke perdarahan, metastase ke
central nervous system (CNS), kehamilan peripartum, operasi abdomen
atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal.
Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan aman dan efektif terutama
jika pasien edukatif serta ada sarana untuk memonitor. Penggunaan
LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien
dengan trombosis masif, memiliki kecenderungan perdarahan yang tinggi
seperti usia tua, baru saja menjalani pembedahan, riwayat penyakit ginjal
dan liver serta memiliki penyakit penyerta yang berat.2,7,11 LMWH
diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu pada penderita gangguan
fungsi ginjal perannya dapat digantikan oleh UFH.12,14
Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin
selama empat sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah
penggunaannya bersama warfarin mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin
(lovenox) adalah LMWH pertama yang dikeluarkan oleh U.S. Food and
Drug Administration (FDA) untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB,
dua kali sehari.11
Pilihan lain adalah penggunaan fondaparinux (Arixtra). Fondaparinux
adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa dan
trombin.14 Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi pada kondisi
akut dengan dosis 5 mg (BB < 50 kg), 7,5 mg (BB 50 – 100 kg), atau 10
mg (BB > 100 kg) secara subkutan, satu kali perhari.14,16
Setelah terapi inisial dengan UFH atau LMWH, terapi antikoagulan
dilanjutkan dengan pemberian derivat kumarin sebagai profilaksis
sekunder untuk mencegah kekambuhan.7 Warfarin adalah obat yang
paling sering diberikan. Warfarin adalah antagonis vitamin K yang
menghambat vitamin K-dependent clotting factor (faktor II, VII, IX, X)
melalui hambatan terhadap enzim vitamin K epoxide reductase.15 Dosis
awal yang diberikan adalah 5 mg pada hari pertama sampai hari keempat,
dosis dititrasi tiap 3 sampai 7 hari dengan target kadar INR berkisar 2,0
sampai 3,0. Dosis yang lebih kecil (2-4 mg) diberikan pada usia tua, BB
rendah dan kondisi malnutrisi.2,7
Warfarin sebagai terapi jangka panjang DVT memiliki banyak
kelemahan antara lain onset of action yang lambat, dosis yang bervariasi
antar individu, interaksi dengan banyak jenis obat dan makanan,
therapeutic window yang sempit sehingga membutuhkan monitoring ketat.
Oleh karenanya dibutuhkan agen antikoagulan oral yang baru dan lebih
baik untuk menggantikannya. Ada beberapa macam antikoagulan baru
yang telah banyak dipakai sebagai profilaksis DVT seperti rivaroxaban
(inhibitor faktor Xa), apixaban (inhibitor faktor Xa) dan dabigatran etexilate
(inhibitor trombin) tetapi belum ada yang digunakan sebagai terapi pada
DVT akut. Secara teori, obat antikoagulan baru memiliki kelebihan
dibanding warfarin, antara lain onset of action yang cepat dan tidak
membutuhkan terapi inisial dengan antikoagulan parenteral, tapi belum
ada penelitian tentang hal ini. Kekurangan obat antikoagulan baru adalah
tidak adanya antidotum yang spesifik terhadap efek samping perdarahan
sehingga penggunaan obat-obat ini masih memerlukan penelitian lebih
lanjut, selain itu harganya jauh lebih mahal dari warfarin.14,17
BAB 3
KESIMPULAN
Patogenesis tromboemboli vena dapat diterangkan berdasarkan
Triad of Virchow’s. Kelainan perubahan aliran darah dan perubahan daya
beku darah pada trombosis vena memiliki peranan penting, perubahan
aliran darah berupa berupa statis aliran darah dan perubahan daya beku
darah dengan meningkatnya aktifitas pembekuan darah.
Terapi utama pada penatalaksanaan tromboemboli vena adalah
antikoagulan, antikoagulan parenteral direkomendasikan pada fase awal
terjadinya tromboemboli vena, dan kemudian dilanjutkan dengan
antikoagulan oral.
Peranan antikoagulan oral baru sebagai pengobatan terhadap
tromboemboli vena memiliki efikasi yang sama dengan terapi standar dan
bahkan menurunkan efek samping perdarahan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiabudy RD. Patofisiologi trombosis. Dalam : Hemostasis dan
trombosis. Edisi Kelima. Editor Setiabudy RD. Penerbit FKUI. 2012 :
34-47
2. Cushman M. Epidemiology and risk faktor for venous thrombosis.
Semin Hematol. 2007; 44: 62-69
3. Sukrisman L. Trombosis vena dalam dan emboli paru. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keenam. Editor Sudoyo AW,
Setiohadi, Alwi I, Simadibrata, Setiati S. Penerbit Interna Publising.
2014: 2818-2822
4. Wilbur J, Shian B. Diagnosis of deep venous thrombosis and
pulmonary embolism. Journal of American Family Physician. Vol.86,
2012
5. Konstantinides SV, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D,
Gallie N, et all. 2014 ESC Guedlines on the diagnosis and
management of acute pulmonary embolism. European Heart Journal.
2014; 35: 3033-3080
6. Jaff MR, Murtry MS, Archer SL, Cushman M, Goldenberg N,
Goldhaber SZ, et all. Management of massive and submassive
pulmonary embolism, iliofemoral deep vein thrombosis, and chronic
thromboembolic pulmonary hypertension: A Scientific statement from
the american heart association. Circulation. 2011;123:1788-1830
7. Versteeg HH, Heemskerk JWM, Levi M, Reitsma PH. New
fundamentals in hemostasis. Physiol rev. 2013; 93: 327-358
8. Bailey A, Scantlebury D, Smyth S (2009). Thrombosis and
antithrombotic in women. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:284-88
9. Hirsh J. Lee A (2002). How we diagnose and treat deep ven
thrombosis. Blood. 99:3102-3110
10. JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and
prevention of pulmary thromboemboli and deep vein thrombosis
(JCS 2009). Circ J, 75:1258-1281
11. Patterson B, Hinchliffe R, Loftus I (2010). Indication for catheter-
directed thrombolysis in the management of acute proximal deep
vein thrombosis. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 30:669-674
12. Goldhaber S (2010), RIsk factors for venous thromboembolism.
Journal of the American College of Cardiology, 56:1-7
13. Sousou T, Khorana A (2009). New insights into cancer-associated
thrombosis. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:316-29
14. Bates S, Ginsberg G (2004). Treatment of deep vein thrombosis. N
Engl J Med, 351:268-77
15. Adam S, Key N, Greenberg C (2009). D-dimer antigen: current
concepts and future propects. Blood, 113:2878-87
16.
REFERAT
ILMU BEDAH
Pembimbing:
dr. Andi Abdullah, SpOT
Penyusun:
Fajar Setyo Nugroho 2009.04.0.0156
FAKULTAS KEDOKTERAH HANG TUAH SURABAYA
2015
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan ……………………………………………………….. i
Kata Pengantar ………………………………………………………………ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………iii
Bab 1 Pendahuluan ………………………………………………………… 1
Bab 2 Tinjauan Pustaka ……………………………………………………
Bab 3 Kesimpulan …………………………………………………………..
Daftar Pustaka ………………………………………………………………
DAFTAR GAMBAR