referat bedah

Upload: noorgianilestari

Post on 10-Jan-2016

51 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

HJHJHJHJH

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Batu empedu atau gallstones adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis. Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila batu menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu gambaran klinis penderita batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai yang ringan atau samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone). 1Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti, karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang lain. Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsy di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 % pria. Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti, karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang lain. 2,3Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG, maka banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan moralitas. 4Etiologi

etiologi yang paling signifikan dari kolangitis akut adalah stenosis dari saluran empedu yang membuat keadaan statis. Di sisi lain, ada jenis lain dari kolesistitis akut, kolesistitis akut acalculous, di mana batu-batu yang tidak terlibat sebagai faktor penyebab. Faktor risiko untuk kolesistitis akut acalculous termasuk operasi, trauma, terbakar, dan nutrisi parenteral.

2.1 Definisi

Cholelithiasis atau pembentukan batu empedu; batu ini mungkin terdapat dalam kandung empedu (cholecystolithiasis) atau dalam ductus choledochus (choledocholithiasis). Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik. Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones,biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. 1,10

Gambar 2.1 Batu dalam kandung empedu2.2 AnatomiKandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 10 cm. Kapasitasnya sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati. .8Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu. Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.7,8

Gambar 2.2 Anatomi kandung empedu2.3 Fisiologi Saluran EmpeduVesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml. Vesica fellea mempunyai kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli. Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum. .8Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak.8 Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu.7,8:a) Hormonal: Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.b) Neurogen: Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari kandung empedu. Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.Komposisi Cairan EmpeduKomponenDari HatiDari Kandung Empedu

Air97,5gm %95gm %

Garam Empedu1,1gm %6gm %

Bilirubin0,04gm %0,3gm %

Kolesterol0,1gm %0,3 0,9gm %

Asam Lemak0,12gm %0,3 1,2gm %

Lecithin0,04gm %0,3gm %

Elektrolit--

Tabel 2.1 Komposisi Cairan Empedua. Garam EmpeduAsam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.Fungsi garam empedu adalah:

Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut. Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut dalam lemak.

Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu. 7,8b. BilirubinHemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80% oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak. 7,82.4 EpidemiologiInsiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi. 2,32.5 Faktor ResikoKolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain4,5:a. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.b. Usia

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.c. Berat badan (BMI)

Orang denganBody Mass Index(BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.d. Makanan

Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.e. Riwayat keluarga

Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.f. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.g. Penyakit usus halus

Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.h. Nutrisi intravena jangka lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.2.6 Patofisiologi2.6.1 Patogenesis Bentukan Batu EmpeduBerdasarkan komponen yang terbesar yang terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pembagian:

a) Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa berupa sebagai: Batu Kolesterol Murni Batu Kombinasi Batu Campuran (Mixed Stone)b) Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar kolesterolnya paling banyak 25 %. Bisa berupa sebagai: Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calcium Batu pigmen murnic) Batu empedu lain yang jarangSebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi:

Batu Kolesterol Batu Campuran (Mixed Stone) Batu Pigmen. Batu KolesterolPembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase10:

a. Fase SupersaturasiKolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap.Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut: Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan lecithin jauh lebih banyak. Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi supersaturasi. Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).

Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi. Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi enterohepatik). Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.b. Fase Pembentukan inti batuInti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besarUntuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar. Batu bilirubin/Batu pigmenBatu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok10:

a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi).

b. Batu pigmen murni (batu non infeksi).Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:

a. Saturasi bilirubinPada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja glukuronidase.

b. Pembentukan inti batuPembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah dari cacing tambang.

klasifikasi patologis

(1) Edema kolesistitis: tahap 1 (2-4 hari) Kandung empedu memiliki cairan interstitial dengan ies capillar- melebar dan limfatik. Dinding kandung empedu adalah edema- tous. Jaringan kandung empedu secara histologi utuh dengan edema pada lapisan subserosal.

(2) Necrotizing kolesistitis: tahap 2 (3-5 hari) Kandung empedu memiliki perubahan edema dengan daerah perdarahan dan nekrosis. Ketika dinding kandung empedu tunduk pada tekanan internal yang tinggi, aliran darah terhambat dengan bukti histologis trombosis pembuluh darah dan oklusi. Ada daerah nekrosis yang tersebar tetapi mereka dangkal dan tidak melibatkan seluruh ketebalan dinding kandung empedu.

(3) kolesistitis supuratif: tahap 3 (7-10 hari) Dinding kandung empedu memiliki sel-sel darah putih yang daerah kini nekrosis dan nanah. Dalam tahap ini, proses perbaikan aktif peradangan jelas. Kantong empedu diperbesar mulai berkontraksi dan dinding menebal karena proliferasi berserat. Abses intra mural diamati dan tidak melibatkan seluruh ketebalan dinding. Abses Pericholecystic juga hadir.

(4) kolesistitis kronis: kolesistitis kronis terjadi setelah terjadinya berulang serangan kolesistitis ringan, dan ditandai oleh atrofi mukosa dan fibrosis dari dinding kandung empedu. Hal ini juga dapat disebabkan oleh iritasi kronis batu empedu besar dan mungkin sering menyebabkan kolesistitis akut. Akut pada kolesistitis kronis mengacu pada infeksi akut yang terjadi pada kolesistitis kronis. Secara histologi, invasi neutrofil diamati pada dinding kandung empedu dengan kolesistitis kronis menemani- panying infiltrasi sel limfosit / plasma dan fibrosis.2.6.2 Patofisiologi UmumBatu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lainadalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk terbak dalam kandung empedu, kemuadian lama-kelamaan kristal tersubut bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung empedu,biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan batu empedu empedu. 1,8Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata. Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. 1,7,8

2.7 Manifestasi KlinisPenderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena adanya komplikasi. Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai kolik bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai di daerah subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic. 4Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan inflamasi akut. Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara 30 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis. 1Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu, abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal. Sebagian besar (90 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut. Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan penebalan dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti koledo kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis.7Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang nyata. Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis. 5

Gambar 2.3 Manifestasi klinis 2.8 Diagnosis2.8.1 Anamnesis Kolelitiasis dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu: asimptomatik (adanya batu empedu tanpa gejala), simptomatik (kolik bilier), dan kompleks ( menyebabkan kolesistitis, koledokolitiasis, serta kolangitis). Sekitar 60-80 % kolelitiasis adalah asimptomatik. Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimptomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. 6Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam. 6

2.8.2 Pemeriksaan Fisik Batu kandung empeduApabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. 7 Batu saluran empeduBaru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis. 7

Komplikasi

Komplikasi yang paling sering (80%) dari cholelithiasis adalah kolesistitis. Obstruksi dengan infeksi dapat menyebabkan kolesistitis akut, kolangitis (infeksi pada hati atau pohon bilier) atau empiema (nanah di dalam kantong empedu) kandung empedu dan kantong empedu gangren pecah (perforasi) merupakan komplikasi serius dari batu empedu yang tidak diobati atau kolesistitis terkait. Individu dengan diabetes berada pada peningkatan risiko komplikasi dari cholelithiasis. Infeksi sekunder pada saluran empedu atau kandung empedu dapat menyebabkan infeksi umum (sepsis).

Obstruksi saluran pankreas dapat menyebabkan peradangan pada pankreas (pankreatitis). Dalam kasus yang jarang terjadi, sebuah batu empedu yang besar dapat mengikis melalui dinding kantong empedu ke dalam usus dan menyebabkan penyumbatan usus (ileus batu empedu). Komplikasi serius lainnya, cholecystitis tanpa kehadiran batu (kolesistitis acalculous), dapat mengembangkan pada individu yang sebelumnya telah dirawat karena batu empedu. Kanker kandung empedu (cholangiocarcinoma) dapat terjadi pada individu dengan batu empedu kronis dan fibrosis.(1) Perforasi kandung empedu: Perforasi kandung kemih gall- disebabkan oleh kolesistitis akut, cedera, atau tumor, dan paling sering terjadi sebagai akibat dari iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu.

(2) peritonitis bilier: peritonitis bilier terjadi dengan masuknya ke dalam rongga peritoneum kebocoran empedu karena berbagai sebab termasuk kolesistitis diinduksi kandung kemih gall- perforasi, trauma, dan kateter terpisah selama drainase bilier dan jahitan tidak lengkap setelah operasi empedu.

(3) abses Pericholecystic: Sebuah kondisi yang tidak wajar di mana perforasi dinding kandung empedu ditutupi oleh jaringan sekitarnya bersama dengan pembentukan abses di sekitar kantong empedu

(4) fistula bilier: Sebuah fistula empedu dapat terjadi antara kantong empedu dan duodenum berikut sebuah episode dari kolesistitis akut. Hal ini biasanya disebabkan oleh batu empedu yang besar mengikis melalui dinding kantong empedu ke duodenum. Jika batu itu besar dalam ukuran, pasien dapat mengembangkan ileus batu empedu dengan batu menyebabkan obstruksi usus halus mekanik pada katup ileocecal.2.8.3 Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan Penunjang7,8,9a. Pemeriksaan laboratoriumBatu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu.Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiapsetiap kali terjadi serangan akut.b. Pemeriksaan radiologisTeknik ImagingPada foto polos abdomen dapat dilihat gas atau kalsium didalam traktus biliaris. Kira-kira 10-15% batu kantung empedu mengapur (kalsifikasi) dan dapat diidentifikasi sebagai batu kandung empedu pada foto polos. Mungkin pula penimbunan kalsium di dalam kandung empedu yang mirip bahan kontras. Kadang-kadang dinding kandung empedu mengapur (kalsifikasi) yang disebut porcelain gallbladder, yang penting sebab dari hubungan kelainan ini dengan karsinoma kandung empedu.

Gas dapat terlihat dipusat kandung empedu gambaran berbentuk segitiga (mercedez-ben sign), gas didalam duktus biliaris menyatakan secara tidak langsung hubungan abnormal anatara gas kandung empedu atau duktus choledochus. Ini dapat disebabkan oleh penetrasi ulkus duedeni ke dalam traktus biliaris atau erosi batu kedalam lambung, duodenum atau kolon. Gas kadang-kadang terlihat didalam duktus sebagai manifestasi cholangitis disebabkan oleh organisme pembentuk gas. Gas di dalam kandung empedu dan dindingnya (emphysematous cholecystitis) adalah manifestasi dari infeksi serupa dan biasanya timbul pada diabetes, sekunder terhadap kemacetan dari arteri kistik disebabkan diabetic angiopathy. Gas didalam vena porta, tampak perifer di dalam hepar, menyatakan secara tidak langsung usus necrosis tetapi itu dapat terjadi dengan cholecystitis hebat.

Kolesistografi oral ditemukan pertama kali 70 tahun yang lalu dan banyak diadakan perubahan kontras nontoxic iodinated organic compound diberikan oral yang diserap didalam usus kecil, diekskresi oleh hati dan dipekatkan di dalam empedu memberikan kesempatan untuk menemukan batu kandung empedu yang tidak mengapur sebelum operasi. Dapat pula dideteksi kelainan intra abdominal lain dari kandung empedu.

Kolesistografi intra vena dikerjakan sebagai pengganti kolesistografi oral. Bahan kontras di pergunakan adalah iodipamide (biligrafin yang mengandung iodine 50%). Ultrasonografi kandung empedu (GB-US) telah membuat suatu pengaruh yang hebat pada diagnosa traktus biliaris. Ini telah menggantikan kolesistografi oral sebagai cara imaging utama karena ini menawarkan bermacam-macam keuntungan. Tidak mempergunakan sinar x, tidak perlu menelan kontras.

Kemampuan untuk menentukan ukuran duktus biliaris dan untuk mengevaluasi parenkim hepar dan pankreas sangat menguntungkan sekali. Seorang ultrasonografer yang mempunyai skill diperlukan untuk mendapatkan hasil yang optimum. Ultrasonografer memperlihatkan patologi anatomi dari pada patophysiology, kolesistografi oral memperlihatkan kedua-duanya. Sebab banyak orang yang mempunyai batu kandung empedu asimptomatik. Ada suatu derajat tertentu agar batu tampak pada ultrasonografi kandung empedu adalah pasien mengeluh. Ultrasonografi kandung empedu dapat mendeteksi batu kecil dari pada kolesistografioral. Ultrasonografi dapat pula untuk menemukan masa intra luminal selain dari pada batu, seperti adenoma, polip kolestrol dan karsinoma kandung empedu. Kolesistografi telah berkembang sebagai studi dinamik dari patologi fisiologi dari sistem biliaris. Injeksi intravena dari technitium labeled imminodiacetic acid compounds memberikan imaging segera dari kandung empedu dan radioaktivitas dapat diikuti ke dalam duodenum.

KolelitiasisBatu empedu akan terlihat sebagai gambaran hiperekoik yang bebas pada kandung empedu serta khas membentuk bayangan akustik dibawahnya. Batu yang kecil dan tipis kadang-kadang tidak memperlihatkan bayangan akustik. Pada keadaan yang meragukan perubahan posisi penderita, misalnya duduk, sangat membantu.Foto polos AbdomenFoto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.

Gambar 2.4 Foto rongent pada kolelitiasisUltrasonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

Gambar 2.5 Hasil USG pada kolelitiasisKolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.

Gambar 2.6 Hasil kolesistografi pada kolelitiasisCT scan

Menunjukan batu empedu dan dilatasi saluran empedu.

Gambar 2.7 CT-Scan abdomen atas menunjukkan batu empedu ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah diangkat.ERCP ini berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi.

Gambar 2.8 ERCP menunjukkan batu empedu di duktus ekstrahepatik (panah pendek) dan di duktus intrahepatik (panah panjang)Magnetic Resonance Cholangio-pancreatography (MRCP)

Magnetic resonance cholangio-pancreatography atau MRCP adalah modifikasi dari Magnetic Resonance Imaging (MRI), yang memungkinkan untuk mengamati duktus biliaris dan duktus pankreatikus. MRCP dapat mendeteksi batu empedu di duktus biliaris dan juga bila terdapat obstruksi duktus.

Gambar 2.9 Hasil MRCP

Penatalaksanaan

Manajemen awal dari semua pasien dengan cholangitis akut harus mencakup resusitasi cairan intravena dan antibiotik. Langkah-langkah dukungan juga dapat mencakup pemantauan invasif, perawatan intensif, inotropik dan dukungan ventilasi pada pasien dengan cholangitis parah. Karena berbagai kemungkinan organisme menginfeksi dan kemungkinan infeksi campuran, spektrum luas antibiotik diperlukan, yang harus mampu menutupi basil gram negatif. Mezlocillin saja ditemukan lebih efektif dan memiliki efek samping yang lebih sedikit daripada kombinasi ampisilin dan gentamisin. Namun, Mezlocillin tidak efektif terhadap Pseudomonas. Ujian membandingkan berbagai antibiotik belum menunjukkan keunggulan agen apapun. Sebuah pilihan yang wajar untuk pengobatan antibiotik awal kolangitis akut tikarsilin dan clavulanante (Timentin) atau piperasilin dan tazobactam (Tazocin). Sekitar 90% pasien dengan cholangitis akut merespon terhadap antibiotik dan pengobatan suportif lainnya dalam waktu 24 sampai 48 jam. Respon biasanya diukur dengan peningkatan tanda-tanda klinis dan suhu tubuh, menormalkan tes fungsi hati, dan perbaikan subjektif. Pada pasien yang merespon terhadap antibiotik dan pengobatan suportif, pengobatan definitif obstruksi bilier, termasuk endoskopi atau intervensi radiologi dan operasi, dapat ditunda sampai pasien telah pulih dari kolangitis. Namun, pada pasien dengan cholangitis akut berat dan septikemia atau pasien yang gagal manajemen konservatif, darurat dekompresi bilier sangat penting untuk pengobatan.

Bedah drainase

Sebelum munculnya radiologi intervensi dan endoskopi terapeutik, dekompresi bedah pohon bilier adalah satu-satunya pengobatan untuk pasien dengan cholangitis parah. Intervensi bedah untuk drainase meliputi ekstraksi batu, T-tabung penyisipan, intubasi transhepatik dari saluran empedu atau bilio enterik memotong. Operasi terbuka, bagaimanapun, telah dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Angka kematian yang dilaporkan operasi darurat untuk kolangitis akut bervariasi dari 20% menjadi 60%. Usia, komorbiditas, sakit kuning, gagal ginjal, asidosis, trombositopenia dan penyakit ganas merupakan faktor risiko yang terkait dengan peningkatan mortalitas perioperatif.

Percutaneous drainase bilier transhepatik (PTBD)

Secara tradisional, darurat PTC telah dihindari pada pasien dengan cholangitis supuratif akut karena asosiasi tingkat komplikasi yang tinggi sekitar 50%. Namun, dengan perkembangan teknik radiologi intervensi termasuk jarum halus cholangiography, komplikasi prosedur terkait telah jauh berkurang dan PTBD (percutaneus transhepatic gallbladder drainage) adalah alat yang berharga dalam mengobati pasien dengan cholangitis. Perawatan harus diambil, namun, dalam menghindari suntikan kontras ke dalam sistem bilier dengan tekanan selama prosedur dalam pengaturan kolangitis akut karena akan memperburuk septikemia. Tujuan utama dari PTBD darurat adalah untuk membangun drainase daripada cholangiography definitif pada fase akut kolangitis. Dalam seri dilaporkan baru-baru ini, PTBD darurat untuk pasien dengan cholangitis akut bisa mencapai tingkat drainase bilier berhasil mendekati 100% dengan tingkat komplikasi kurang dari 10% dan mortalitas sekitar 5%. Keuntungan utama dari PTBD dibandingkan dengan pembedahan atau perawatan endoskopik adalah bahwa tidak ada kebutuhan untuk sedasi atau anestesi sistemik, yang dapat menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik dan komplikasi pernapasan. Kerugian dari PTBD mencakup kebutuhan untuk menusuk hati yang dapat mengakibatkan komplikasi serius, terutama pada pasien dengan sepsis berat, kekacauan pembekuan dan trombositopenia. Ini termasuk peritonitis empedu, hemoperitoneum dan hemobilia.

percutaneus transhepatic gallbladder aspiration.

drainase endoskopi sphincterotomyENGBD (endoscopi naso gallbladder drainage ) Karena deskripsi sfingterotomi endoskopi dan ekstraksi batu, manajemen endoskopi telah menjadi modus optimal pengobatan untuk banyak pasien dengan berbagai kondisi termasuk kolangitis akut. Sejumlah penelitian telah melaporkan penggunaan pengobatan endoskopik untuk pasien dengan cholangitis akut dan asosiasi dengan morbiditas dan mortalitas yang rendah. pengobatan endoskopik lebih unggul baik manajemen medis dan bedah dalam retrospektif, analisis nonrandomized dari hasil 82 pasien dengan cholangitis akut berhubungan dengan choledocholithiasis. Pasien yang menjalani endoskopi sfingterotomi memiliki angka kematian lebih rendah secara signifikan (4,7%) dibandingkan pasien yang menjalani operasi (21,4%), meskipun fakta bahwa pasien dalam kelompok endoskopik secara signifikan lebih tua dan risiko bedah lebih buruk daripada mereka yang dirawat dengan pembedahan. Dalam penelitian retrospektif lain, menemukan bahwa drainase endoskopi menggunakan kateter nasobiliary setelah melakukan sfingterotomi kecil menyebabkan morbiditas yang lebih rendah (40% vs 65%) dan kematian yang lebih rendah (6,7% versus 20%) dibandingkan dengan operasi. Studi-studi retrospektif menunjukkan bahwa perawatan endoskopik lebih unggul operasi dalam pengelolaan pasien dengan cholangitis akut.

Keuntungan dari perawatan endoskopik lebih operasi pada pasien dengan cholangitis berat pertama kali ditunjukkan dalam uji coba secara acak prospektif dilaporkan Dalam studi ini, 82 pasien sakit kritis dengan kolangitis berat diacak baik drainase endoskopi atau pembedahan darurat setelah choledocholithiasis dikonfirmasi dengan cholangiography endoskopi. Drainase Endoskopi terdiri dari papilotomi kecil dan penempatan 7 P. kateter nasobiliary. Tidak ada upaya untuk mengekstrak batu dalam prosedur endoskopik awal. Setelah resolusi kolangitis, 16 pasien menjalani operasi definitif dan 25 menjalani perawatan endoskopik definitif. Pasien yang diobati dengan pembedahan menjalani laparotomi darurat dan choledochotomy. Ditemukan bahwa pasien yang dirawat pembedahan secara bermakna lebih tinggi dari komplikasi (64% vs 34%) dan kematian di rumah sakit (32% versus 10%) dibandingkan dengan mereka yang menjalani perawatan endoskopik. Oleh karena itu disimpulkan bahwa endoskopi drainase bilier adalah ukuran yang aman dan efektif untuk kontrol awal kolangitis akut parah karena choledocholithiasis dan menurunkan angka kematian yang terkait dengan kondisi tersebut.

Penelitian lebih lanjut juga menegaskan bahwa drainase endoskopi dapat dilakukan dengan angka kematian lebih rendah dan lebih sedikit komplikasi dibandingkan drainase bedah terbuka dan efektif dapat meringankan endotoksemia berhubungan dengan kolangitis akut. Dalam serangkaian besar baru-baru, ERCP telah digunakan untuk mengobati pasien dengan cholangitis 898 karena obstruksi batu empedu dan 49 dengan kolangitis karena stenosis duktus. Semua pasien berhasil diobati endoskopi dengan angka kematian 0,42% dan tingkat komplikasi dari 6%. Hanya dua pasien dalam seri diperlukan operasi terbuka: satu untuk pankreatitis dan satu untuk perforasi. Kedua morbiditas dan mortalitas meningkat dengan meningkatnya keterlambatan dari awal kolangitis dengan waktu drainase bilier; Oleh karena itu pasien dengan cholangitis akut berat atau mereka yang telah menunjukkan respon yang buruk terhadap tindakan konservatif membutuhkan mendesak dekompresi bilier endoskopi.

Manajement bedah pada akut kolesistitis :

kelas 1 (ringan) kolesistitis akut: tahap awal kolesistektomi laparascopic sebagai prosedur pilihan. kelas 2 (moderat) kolesistitis akut: kolesistektomi tahap pertama dan dianjurkan di tempat yang sudah berpengalaman. Namun, jika pasien mengalami peradangan lokal yang parah, pada tahap awal kandung empedu drainase (percutaneous / bedah) diindikasikan. karena kolesistektomi di awal mungkin sulit, perawatan medis dan ditundanya kolesistektomi jika diperlukan. kelas 3 (berat) kolesistitis akut: manajemen mendesak disfungsi organ dan pengelolaan peradangan lokal berat oleh kandung empedu drainase harus dilakukan. tertunda kolesistektomi elektif harus dengan kolesistektomi diindikasikan. Laparaskopi lebih baik digunakan daripada open cholecystectomy, dan dianjurkan untuk melakukan cholecystectomy secepatnnya setelah pasien datang atau kurang dari 72 jam setelah onset symptoms muncul. BAB IIIPENUTUP

3.1 KesimpulanKolelitiasis adalah pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20 - 50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lainadalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium dalam kandung empedu.Ultrasound: Menyatakan kalkuli, dan distensi kandung empedu dan/atau ductus empedu (sering merupakan prosedur diagnostik awal). Kolangeopankreatografi retrograd endeskopik: Memperlihatkan percabangan bilier dengan kanualasi duktus koledukus melalui deudenum. Kolangiografi transhepatik perkutaneus: Pembedaan gambaran dengan flouroskopi anatara penyakit kantung empedu dan kanker pankreas ( bila ekterik ada ). Kolesistogram (untuk kolositisis kronis): Menyatakan batu pada sistem empedu. Kontraindikasi pada kolesititis karena pasien terlalu lemah untuk menelan zat lewat mulut. Skan CT: Dapat menyatakan kista kandung empedu, dilatasi duktus empedu, dan membedakan anatara ikterik obstruksi/non obstruksi. Skan hati (dengan zat radioaktif): Menunjukan obstruksi percabangan bilier. Foto abdomen (multiposisi): Menyatakan gambaran radiologi (kalsifikasi) batu empedu, kalsifikasi dinding atau pembesaran kandung empedu.Prognosis

Kurang dari separuh pasien dengan batu empedu menjadi gejala. Tingkat kematian untuk kolesistektomi elektif adalah 0,5% dengan kurang dari 10% morbiditas. Tingkat kematian untuk kolesistektomi muncul adalah 3-5% dengan 30-50% morbiditas. Setelah kolesistektomi, batu bisa kambuh di saluran empedu. Sekitar 10-15% pasien memiliki choledocholithiasis terkait. Prognosis pada pasien dengan choledocholithiasis tergantung pada keberadaan dan tingkat keparahan komplikasi. Dari semua pasien yang menolak operasi atau tidak layak untuk menjalani operasi, 45% tetap asimtomatik dari choledocholithiasis, sementara pengalaman 55% berbagai tingkat komplikasi.DAFTAR PUSTAKA1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009.479 481.

2. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of

Surgery. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2009.459-64.

3. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 2009. 1028-1029.

4. A.adam,A.k.dixon,R.G Grainger.D.J Alison, Diagnostic radiology, churcill livingstone, London;2013.

5. Sherwood, Lauralee. Human physiology: dari Sel ke Sistem; alih bahasa, Brahma U.Pendit; editor, Beatricia I. Santoso. Ed 7. Jakarta: EGC, 2010. h. 867-991.

6. Gerrad J.Tortora, Bryan H Derrickson. Principle of anatomy and physiology. Wiley,12th edition, United States: 2009. Page.1020-1053.

7. Acute cholangitis, Author Section Editors Nezam H Afdhal, MD, FRCPI Sanjiv Chopra, MD , Anne C Travis, MD, are updated as new evidence becomes available and our peer review process is complete, Literature review current through: Jul 2014. | This topic last updated: Jul 07, 2014.sited: www.uptodate.com . tanggal : 6 agustus 2014

8. Acute cholecystitis: Pathogenesis, clinical features, and diagnosis/. Salam F Zakko, MD, FACP Nezam H Afdhal, MD, as new evidence becomes available and our peer review process is complete. Literature review current through: Jul 2014. | This topic last updated: Sep 11, 2013. Di sited : www.uptodate.com, tanggal 6 agustus 2014.

9. Epidemiology of and risk factors for gallstones. Author Section Editor Nezam H Afdhal, MD, FRCPI Sanjiv Chopra, MD,as new evidence becomes available and our peer review process is complete. Literature review current through: Jul 2014. | This topic last updated: Jul 08, 2014.di sited : 6 agustus 2014 at www.uptodate.com

10. Management of acute pancreatitis. Santhi Swaroop Vege, MD David C Whitcomb, MD, PhD Shilpa Grover, updated as new evidence becomes available and our peer review process is complete. Literature review current through: Jul 2014. | This topic last updated: Apr 08, 2014.di sited tanggal 6 agustus 2014 at www.uptodate.com.

PAGE 2