referat anestesi - terapi cairan pada trauma

Upload: prilly-pricilya-theodorus

Post on 12-Feb-2018

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    1/20

    Referat Kepaniteraan Klinik - Ilmu Anestesi

    Terapi Cairan Pada Trauma

    Prilly Pricilya Theodorus

    11-2013-058

    Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

    Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510

    No. Telp (021) 5694-2061

    E-mail:[email protected]

    PENDAHULUAN

    Dewasa ini trauma melanda dunia bagaikan wabah, karena dalam kehidupan modern

    penggunaan kendaraan automotif dan senjata api semakin luas. Sayangnya, penyakit akibat

    trauma sering ditelantarkan sehingga trauma merupakan penyebab kematian utama pada

    kelompok usia muda dan produktif di seluruh dunia.1 Trauma adalah keadaan yang

    disebabkan oleh luka atau cedera. Trauma juga mempunyai dampak psikis dan sosial. Pada

    kenyataannya, trauma adalah kejadian yang bersifat holistik dan dapat menyebabkan

    hilangnya produktivitas seseorang.1

    Di negeri barat, trauma merupakan pembunuh utama pada usia 40 atau lebih muda,

    hal ini tidak mencakup kanker dan penyakit kardiovaskuler pada rentang usia yang sama.

    Dari data yang diperoleh, penyebab umum kematian tersebut adalah perdarahan masif yang

    berujung syok hemoragik.2Langkah awal dalam mendiagnosis syok pada penderita trauma

    ialah dengan mengetahui tanda-tanda klinisnya dan mencari penyebab syoknya.3Tatalaksana

    yang masih diperdebatkan sampai dengan sekarang ialah pemilihan cairan kristaloid atau

    koloid, seberapa banyak yang harus diberikan, dan kapan waktu pemberian yang tepat.2

    DEFINISI

    Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Definisi ini

    memberikan gambaran superfisial dari respon fisik terhadap cedera. Trauma juga mempunyai

    dampak psikis dan sosial. Pada kenyataannya, trauma adalah kejadian yang bersifat holistik

    dan dapat menyebabkan hilangnya produktivitas seseorang.1 Sedangkan syok adalah ketidak-

    normalan dari sistem peredaran darah yang mengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi

    jaringan yang tidak adekuat.3

    mailto:[email protected]:[email protected]:[email protected]:[email protected]
  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    2/20

    EPIDEMIOLOGI

    Di negeri barat, trauma merupakan pembunuh utama pada usia 40 atau lebih muda, hal

    ini tidak mencakup kanker dan penyakit kardiovaskuler pada rentang usia yang sama. Dari

    data yang diperoleh, penyebab umum kematian tersebut adalah perdarahan masif yang

    berujung syok hemoragik.2

    ETIOLOGI dan MANIFESTASI KLINIS

    Etiologi pada trauma akut dibagi menjadi 2, yaitu syok hemoragik dan syok non-hemoragik.2

    a. Syok Hemoragik

    Perdarahan (hemorrhage) adalah kehilangan akut volume peredaran darah.

    Volume darah orang dewasa normal adalah kira-kira 7% dari berat badan. Dengan

    demikian laki-laki yang beratnya 70kg, mempunyai volume darah yang beredar

    sekitar 5 liter. Bila penderita gemuk maka volume darahnya diperkirakan berdasarkan

    berat badan idealnya, karena bila kalkulasi didasarkan pada berat badan sebenarnya,

    hasilnya mungkin jauh diatas volume yang sesungguhnya. Volume darah anak

    dihitung 8%-9% dari berat badan (80-90 ml/kg).

    Perdarahan adalah penyebab syok yang paling umum setelah trauma, dan

    hampir semua penderita dengan trauma multipel ada komponen hipovolemia. Harus

    diingat bahwa walaupun syok yang terjadi bukan karena perdarahan, namun akan

    memberi respon sedikit atau singkat terhadap resusitasi cairan. Karena itu, bila

    terdapat tanda-tanda syok, maka syok itu dianggap disebabkan oleh hipovolemia.

    Namun dalam melakukan terapi, harus diketahui bahwa sejumlah kecil

    penderita mempunyai etiologi syok yang lain (misalnya : kondisi sekunder seperti

    tamponade jantung, cedera spinal, atau trauma tumpul jantung yang akan merumitkan

    syok hipovolemia tersebut).3 Respon penderita trauma terhadap kehilangan darah

    menjadi lebih rumit karena pergeseran cairan di dalam tubuh antara kompartemen

    cairan di dalam tubuh (khususnya di dalam kompartemen cairan ekstra-seluler).

    Respon klasik terhadap kehilangan darah harus dipertimbangkan dalam

    konteks pergeseran cairan tersebut dalam kaitannya dengan cedera jaringan lunak.

    Sebagai tambahan, perubahan yang berhubungan dengan syok yang berat dan

    berkepanjangan dan hasil patofisiologis dari resusitasi dan reperfusi juga harus

    dipertimbangkan.

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    3/20

    b. Syok Non-Hemoragik:

    (1)Syok Kardiogenik

    Penyebab primer syok kardiogenik adalah kegagalan fungsi jantung sebagai

    pompa sehingga curah jantung menurun.1 sebanyak 80% syok ini disebabkan oleh

    gangguan fungsi ventrikel kiri akibat infark miokard dengan elevasi segmen ST pada

    elektrokardiografi (EKG). Selain karena disfungsi miokard, adanya penurunan

    kontraktilitas jantung, obstruksi aliran ventrikel ke luar jantung, kelainan pengisian

    ventrikel, disaritmia, dan defek septum juga turut menggagalkan fungsi jantung.

    Mortalitas akibat syok karidogenik adalah sebesar 50%.1

    Disfungsi miokardial dapat terjadi dari trauma tumpul jantung, tamponade

    jantung, emboli udara, atau yang agak jarang infark miokard yang berhubungan

    dengan cedera penderita. Bila mekanisme cedera pada toraks merupakan deselerasi,

    harus dicurigai cedera tumpul jantng (blunt). Semua penderita dengan trauma tumpul

    toraks memerlukan EKG terus-menerus utnuk mengetahui pola cedera dan disaritmia.

    Isoenzim-CPK dan pemeriksaan isotop spesifik jarang dipakai dalam menegakan

    diagnosis atau mengelola penderita di bagian gawat-darurat. Ekokardiografi fapat

    dipergunakan dalam menentukan diagnosis dari tamponade atau ruptur katup jantung,

    tetapi tidak praktis dan jarang dapat langsung digunakan di UGD. Adanya darah

    dalam rongga perikardium (tamponade jantung) dapat dikenali dengan pemeriksaan

    FAST (Foccused Assessment Sonography in Trauma), untuk diagnosis penyebab

    syok. Cedera tumpul jantung mungkin merupakan suatu indikasi pemasangan tekanan

    vena sentral (CVP) secara dini agar dapat memandu resusitasi cairan dalam situasi ini.

    Tamponade jantung merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada trauma

    tembus toraks, tetapi dapat terjadi juga pada trauma tumpul toraks. Takikardia, bunyi

    jantung yang teredam, pelebaran dan penonjolan vena-vena dileher dengan hipotensi

    yang tidak dapat diatasi dengan terapi cairan menandakan tamponade jantung. Tidak

    adanya penemuan klasik diatas tidak menyingkirkan diagnosis ini. Tension

    pneumotorax dapat menyerupai tamponade jantung, namun bedanya tidak ada bunyi

    nafas dan pada perkusi hipersonor di bagian hemitoraks yang terkena. Untuk

    sementara kedua kondisi yang mengancam nyawa ini dapat diatasi dengan menusukan

    jarum ke ruang pleura dalam kasus tension pneumothorax atau ke dalam kantong

    perikardial untuk tamponade jantung.3

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    4/20

    (2)Tension Pneumotoraks

    Suatu pneumotoraks yang progresif dan cepat sehingga membahayakan jiwa

    penderita dan dalam waktu yang tidak lama.4 Merupakan keadaan gawat darurat

    bedah yang memerlukan diagnosis dan penanganan segera. Tension pneumothoraks

    terjadi bila ada udara yang masuk ke rongga pleura tetapi karena suatu mekanisme

    bentil (katup-ayun / flap-valve) mencegah aliran keluarnya. Tekanan intraplerural

    meningkat dan menyebabkan paru-paru kolaps total dan terjadi penggeseran dari

    mediastinum ke sisi seberangnya diikuti terganggunya aliran darah balik ke jantung

    (venous return) dan penurunan output jantung.3

    Adanya gangguan pernafasan yang akut, emfisema subkutan, menghilangnya

    suara nafas pada auskultasi, hipersonor pada perkusi dan pergeseran trakea

    mendukung diagnosis dari tension pneumothoraks dan menuntut dilakukannya

    dekompresi toraks dengan segera tanpa menunggu konfirmasi foto ronsen untuk

    diagnosisnya.

    (3)Syok Neurogenik

    Gambaran klasik pada syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau

    vasokonstriksi kulit. Tekanan nadi yang mengecil tidak terlihat, penderita dengan

    cedera spinal seringkali mengalami trauma di daerah tubuh lainnya. Karena itu,

    penderita dengan dugaan syok neurogenik sedari awal harus diterapi seperti pasien

    hipovolemia. Cedera intrakranial yang berdiri sendiri tidak menyebabkan syok.

    Adanya syok pada seorang penderita dengan cedera kepala harus dicari penyebab

    syok yang lain. Cedera spinal mungkin mengakibatkan hipotensi karena hilangnya

    tonus simpatis kapiler, hal ini memperberat efek fisiologis dari hipovolemia.

    Sebaliknya hipovolemia akan memperberat efek-efek fisiologis denervasi simpatis.

    Kegagalan dalam memulihkan perfusi organ dengan resusitasi cairan menandakan

    perdarahan masih berlanjut atau syok neurogenik. Memantau tekanan vena sentral

    mungkin membantu dalam masalah yang kadang-kadang rumit.

    (4)Syok Septik

    Syok karena infeksi yang timbul segera setelah trauma jarang terjadi. Namun,

    jikalau kedatangan penderita di fasilitas gawat-darurat tertunda untuk beberapa jam,

    masalah ini munkin terjadi. Syok septik dapat terjadi pada penderita dengan cedera

    perut yang tembus serta kontaminasi rongga peritoneal dengan isi usus.

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    5/20

    Penderita septik yang hipotensif dan afebril secara klinis sukar dibedakan dengan

    penderita syok hipovolemik, karena kedua kelompok ini dapat menunjukan

    takikardia, vasokonstriksi kulit, produksi urin menurun, tekanan sistolik yang

    menurun, dan tekanan nadi yang mengecil. Penderita dengan syok septik yang dini

    mungkin mempunyai peredaran volume yang normal, takikardia yang sedang, kulit

    berwarna merah jambu hangat, tekanan sistolik mendekati normal dan tekanan nadi

    yang lebar.

    (5)Kontusio Jantung

    Terjadinya kontusio pada jantung yang menyebabkan luka/memar pada otot

    jantung. Umumnya karena kecelakaan mobil, tertabrak oleh mobil, tindakan resusitasi

    jantung-paru (RJP), dan jatuh dari ketinggian (umumnya lebih dari ketinggian 20

    kaki). Kontusio jantung yang berat dapat menunjukan gejala menyerupai serangan

    jantung seperti : rasa nyeri tulang iga atau tulang dada, takikardia, aritmia, kepala

    terasa ringan, hipotensi, mual atau muntah, sesak nafas / nafas pendek, dan lemah.5

    (6)Supine Hypotensive Syndrome (SHS)

    Disebut juga sebagai sindrom kompresi aortakaval (aortacaval compression

    syndrome), juga disebut sebagai Sindrom hipotensi maternal (maternal hypotension

    syndrome). Hal ini terjadi ketika vena kava inferior tertekan oleh berat uterus, janin,

    plasenta, dan cairan amnion pada seorang wanita hamil yang sedang berbaring dalam

    posisi supinasi. Umumnya terjadi pada trimester 2 pada usia gestasi 36-38 minggu.

    Pada wanita hamil dengan usia gestasi ini berbaring degan posisi supinasi (supine),

    beban berat (kenaikan berat badan akibat adanya kehamilan dan berat uterus yang

    membesar) akan mengkompresi vena kava inferior, dimana fungsi dari vena ini adalah

    sebagai jalur darah yang terdeoksigenasi dari separuh tubuh kembali ke jantung

    melalui vena tersebut. Akibat adanya kompresi pada vena kava inferior, aliran darah

    yang akan kembali ke jantung dan juga cardiac output sehingga sebanyak 30%

    efektivitas sirkulasi darah berkurang. Dibutuhkan 3-7 menit sampai menunjukan

    gejala. Gejala SHS dapat menyerupai gejala syok, hal ini karena ketika aliran darah

    dari vena kava inferior terhambat, maka tekanan darah akan menurun dan akan

    berakibat pada kontraksi arteri-arteri uterina dan mengalirkan darah kembali ke organ-organ besar.

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    6/20

    Hal ini dapat menyebabkan distres pada janin, dimana hal ini muncul dalam

    bentuk hipoksia janin, jika sudah parah akan menyebabkan kematian janin. Gejala-

    gejalanya meliputi: pusing, berkeringat, mual, hiptotensi, edema pada ekstremitas

    bawah, adanya tanda fetal distressberkurangnya pulsasi femoral, pucat, tanda-tanda

    syok (kulit lembab, dingin, basah), sinkope atau hampir sinkope, takikardia, dan

    bradikardia pada fase akhir.6

    FISIOLOGI DASAR JANTUNG

    Definisi cardiac outputadalah volume darah per menit yang dipompa oleh jantung,

    dan ditentukan oleh hasil detak jantung dan stroke volume. Stroke volume atau jumlah darah

    yang dipompa dengan setiap kontraksi jantung secara klasik ditentukan dengan (1) preload,

    (2) kontraksi miokard, (3) afterload.

    Preloadberarti volume pengembalian darah ke jantung dan ditentukan oleh pengisian

    vena, keadaan volume darah, dan perbedaan antara tekanan sistemik vena rata-rata dan

    tekanan atrial kanan. Perbedaan tekanan ini menentukan aliran vena. Sistem vena dapat

    dianggap sebagai tempat penampungan atau sistem kapasitans dimana volume darah fapat

    dibagi dalam dua komponen. Komponen pertama yaitu volume darah yang tetap tinggal di

    dalam tempat penampungan (sirkuit kapasitans) bila tekanan dalam sistemnya nol, dan tidak

    menyumbang kepada tekanan vena sistem rata-rata. Komponen kedua yang lebih penting,

    mewakili volume vena yang menyumbang pada tekanan vena sistemik rata-rata.hampir 70%

    dari seluruh volume darah diperkirakan berada di dalam sirkuit vena dan tekanan vena

    penting untuk diperhatikan, karena kenaikan tekanan inilah yang mengakibatkan terjadinya

    arus vena dan karena itu mendorong volume pengembalian darah vena ke jantung.

    Kehilangan darah mengakibatkan komponen kedua ini kehabisan darah vena, mengurangi

    tekanan vena, dan akibatnya adalah mengurangi pengembalian darah vena ke jantung.

    Volume darah vena yang dikembalikan ke jantung menentukan panjang serabut otot

    miokard setelah pengisian ventrikel pada akhir diastol. Panjang serabut otot berhubungan

    dengan sifat-sifat kontraktilitas otot miokard menurut Hukum Starling. Kontraktilitas

    miokard adalah pompa yang menjalankan sistem ini. Afterload (beban sesudahnya) adalah

    tahanan pembuluh darah sistemik (perifer) atau, dengan kata lain, tahanan terhadap arus

    darah ke perifer.

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    7/20

    PATOFISIOLOGI

    a. Respon Metabolik Pada Trauma

    Respons metabolik pada trauma dapat dibagi dalam tiga fase. Fase pertama berlangsung

    selama beberapa jam setelah terjadinya trauma. Dalam fase ini akan terjadi kembalinya

    volume sirkulasi, perfusi jaringan, dan hiperglikemia. Pada fase kedua terjadi katabolisme

    menyeluruh, dengan imbang nitrogen yang negatif, hiperglikemia, dan produksi panas.

    Fase yang terjadi setelah pulihnya perfusi jaringan ini dapat berlangsung dari beberapa

    hari sampai beberapa minggu, tergantung beratnya trauma, keadaan kesehatan sebelum

    terjadi trauma, dan tindakan pertolongan medisnya. Pada fase ketiga terjadi anabolisme, yaitu

    penumpukan kembali protein dan lemak badan yang terjadi setelah kekurangan cairan dan

    infeksi teratasi.

    Rasa nyeri hilang dan oksigenasi jaringan secara keseluruhan sudah teratasi. Fase ini

    merupakan proses yang lama, tetapi progresif dan biasanya lebih lama dari fase katabolisme

    karena sintesis hanya bisa mencapai 35gr/hari. Akibat trauma, aktivitas hipotalamus dipacu

    sehingga terjadi rangsangan neuroendokrin. Sekresi neruohormonal yang meningkat

    menyebabkan lipolisis perifer yang menyebabkan naiknya glukosa, asam amino, dan limbah

    metabolisme berupa asam laktat dalam plasma. Hati bereaksi dengan meningkatkan produksi

    glukosa melalui glikogenesis dan glukoneogenesis yang dirangsang oleh kortisol dan

    glukagon. Produksi glukosa meningkat, sementasa itu pengunaannya oleh jaringan perifer

    menunrun sehingga terjadi intoleransi glukosa akibat trauma.1

    Ginjal bereaksi dengan menahan air dan kalium karena kerja hormon antidiuretik dan

    aldosteron. Eksresi nitrogen naik mejadi 15-20gr/hari pada trauma berat; ini sama dengan

    kehilangan massa tubuh tanpa lemak (lean body mass), terutama otot sebanyak 750gr/hari

    seperti yang terjadi pada keadaan kelaparan. Hilangnya nyeri hasil pemberian analgesik dan

    imobilisasi bagian tubuh yang cedera dapat mengurangi intensitas rangsangan

    neurohormonal, dan dengan demikian menghambat hilangnya jaringan otot. Akan tetapi,

    tanpa bantuan nutrisi, seorang pasien dengan trauma berat hanya akan bertahan sampai

    beberapa minggu, meskipun diberi analgesik secukupnya dan dilakukan imobilisasi.

    Penderita tanpa sepsis atau stress berlebihan memanfaatkan kalori dan protein dengan

    efisien sedangkan pada pasien pasca trauma yang berta disertai dengan sepsis akan terjad

    hipermetabolisme dan hiperkatabolisme dengan penggunaan energi dan nitrogen yang tidak

    efisien. Pada pasien trauma berat harus dilakukan pemantauan kebutuhan air, kalori,

    protein/nitrogen, elektrolit, dan vitamin setiap hari.

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    8/20

    Dalam keadaan pascatrauma berat dibutuhkan kalori sebanyak 2000-3000 kalori dan 1,5

    gr protein/KgBB/24jam. Kalori yang diberikan terdiri atas 60% karbohidrat dan 40% lemak.

    Bila terjadi penyulit sepsis, kebutuhan kalori menjadi sekurang-kurangnya 2500 kalori

    dengan 2 gr protein/KgBB/24 jam. Protein diberikan lebih banyak selama ureum tidak naik.1

    b.

    Patofisiologi Kehilangan Darah

    Respon dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai contoh adalah

    vasokonstriksi progresif dari kulit, otot, dan sirkulasi viseral (dalam rongga perut) utnuk

    menjamin arus darah ke ginjal, jantung dan otak. Karena ada cedera, respon terhadap

    berkurangnya volume darah yang akut adalah peningkatan detak jantung sebagai usaha utnuk

    menjaga output jantung. Hampir selalu takikardia akan merupakan gejala awal dari syok.

    Pelepasan katekolamin-katekolamin endogen meningkatkan tahanan pembuluh darah perifer.

    Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi (pulse

    pressure), tetapi hanya sedikit membantu meningkatkan perfusi organ. Hormon-hormon lain

    yang bersifat vaso-aktif juga dilepaskan ke dalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk

    histamin, bradikinin, beta-endorpin, dan sejumlah prostanoid dan sitokin-sitokin lain.

    Substansi in berdampak besar pada mikrosirkulasi dan permeabilitas pembuluh darah.

    Pada syok perdarahan yang masih dini, mekanisme kompensasi hanya sedikit mengatur

    pengembalian darah (venous return) dengan cara kontraksi volume darah di dalam sistem

    vena, hal mana tidak banyak membantu memperbaiki vena sistemik.3

    Cara yang paling efektif untuk memulihkan cardiac output dan perfusi organ adalah

    dengan memulihkan pengembalian darah (venous return) ke batas normal dengan

    memperbaiki volumenya. Pada tingkat seluler, sel dengan perfusi dan oksigenasi tidak

    adekuat tidak mendapat substrat esensial yang sangat diperlukan untuk metabolisme aerobik

    normal dan produksi energi. Pada keadaan awal terjadi kompensasi dengan berpindah ke

    metabolisme anaerobik, hal mana mengakibatkan pembentukan asam laktat dan

    berkembangnya asidosis metabolik. Bila syoknya berkepanjangan dan penyampaian substrat

    untuk pembentukan ATP (adenosine triphospate) tidak memadai, maka membran sel tidak

    dapat lagi mempertahankan integritasnya dan gradient elektrik normal hilang.

    Pembengkakan retikulum endoplasmik merupakan tanda ultrastruktural pertama dari

    hipoksia seller setelah itu tidak lama lagi akan diikuti cedera mitochondrial. Lisosom pecah

    dan melepaskan enzim yang mencernakan struktur intre-seluler lainnya. Natrium (Na) dan air

    memasuki sel, dan terjadilah pembengkakan sel. Juga terjadi penumpukan kalsium intra-

    seluler.

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    9/20

    Bila proses ini berjalan terus, terjadilah cedera seluler yang progresif, penambahan edema

    jaringan dan kematian sel. Proses ini memperberat dampak kehilangan darah dan hipoperfusi.

    Pemberian larutan elektrolit isotonis dalam jumlah yang cukup akan membantu melawan

    proses tersebut. Pengelolaan diarahkan kepada cara mengembalikan fenomenon ini yaitu

    dengan memberikan oksigenasi yang cukup, ventilasi, dan resusitasi cairan yang tepat.

    Resusitasi dapat diikuti oleh peningkatan edema insterstisial, yang disebabkan oleh cedera

    reperfusi pada membran mungkin diperlukan volume cairan yang lebih besar daripada yang

    diantisipasi semula. Pentalaksanaan awal dari syok diarahkan kepada pemulihan perfusi

    seluler dan organ dengan darah yang dioksigenasi dengan adekuat. Dalam syok hemoragik

    hal ini berarti menambah preload atau memulihkan secara adekuat volume darah yang

    beredar dan bukan hanya mengembalikan tekanan darah dan denyut nadi penderita menjadi

    normal. vasopressor merupakan kontra-indikasi pada terapi syok hemoragik.

    Perlu dilakukan monitoring teratur dari indikator-indikator perfusi penderita, agar dapat

    dilakukan evaluasi respon terhadap terapi dan untuk mengetahui sedini mungkin kalau

    keadaannya memburuk. Kebanyakan penderita trauma dengan syok hipovolemik

    memerlukan intervensi pembedahan untuk mengatasi keadaan syok. Karena itu, adanya syok

    pada penderita trauma menuntut keterlibatan ahli bedah dengan segera.3

    c.

    Kegagalan Fungsi Membran Sel

    Pada penderita trauma berat terjadi dilatasi arteriol dan sfingter prakapiler dengan sfingter

    pascakapiler tetap berkonstriksi sehingga tekanan hidrostatik kapiler meningkat. Air, kalium,

    dan klorida berpindah dari instravaskular ke rongga insterstisial.

    Proses ini terbatas karena meningkatnya tekanan osmotik akibat keluarnya cairan akan

    menghambat kehilangan cairan lebih lanjut. Selain itu jug, terjadi gangguan fungsi membran

    sel. Air, kalium, klorida bergeser dari rongga ekstrasel ke dalam sel meskipun kadar glukosa

    ekstrasel tinggi. Kegagalan membran sel ini mengakibatkan kehilangan sekitar dua liter

    cairan interstisial. Kejadian ini sangat buruk karena akan menurunkan tekanan hidrostatik

    interstisial kembali ke rongga vaskular. Dengan demikian, kegagalan membran sel dapat

    menghilangkan mekanisme yang mengembalikan volume cairan intravaskular. Akibatnya,

    penderita akan mengalami hipovolemia bahkan mungkin sampai syok.1

    d. Gangguan Integritas Endotel Pembuluh Darah

    Trauma dan sepsis mengakibatkan terjadinya koagulasi dan inflamasi yang dapat

    mengganggu keutuhan endotel pembuluh darah.

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    10/20

    Mikroagregasi trombosit dan leukosit di pembuluh jaringan yang luka atau terinfeksi

    dapat menjadi emboli dalam paru dan menyumbat pembuluh darah kapiler. Gumpalan

    agregat tersebut melepaskan bermacam zat toksis yang merusak endotel atau menyebabkan

    vasodilatasi di daerah emboli paru dengan akibat terjadi ekstravasasi air, kalium, dan klorida,

    dan protein ke dalam rongga interstisial. Udem paru ini menimbulkan gangguan pernapasan.

    e. Kelainan Sistem Imunologi

    Menurunnya daya tahan tubuh seirng terjadi pada penderita trauma, sepsis, malnutrisi,

    dan usia lanjut. Pemeriksaan imunologis yang sering dilakukan adalah hitung jumlah limfosit

    dan penentuan imunitas seluler (cell mediated immunity). Jumlah limfosit di bawah

    100x109/L darah menunjukan terdapatnya kehilangan yang nyata. Imunitas seluler dapat

    diukur dengan menilai hipersensitivitas tertunda (delayed hypersensitivity) terhadap antigen

    pada kulit seperti kandida, trikofiton, tuberkulin, dan streptokinase. Anergi, yaitu tiadanya

    reaksi imunologi, didiagnosis bila tidak ada reaksi terhadap antigen tersebut. Sebaliknya bila

    terdapat reaksi positif (terdapat indurasi 5mm atau lebih pada kulit) terhadap salah satu

    antigen, berarti aktivitas limfosit normal. Uji lain ialah uji kemotaksis neutrofil dan jumlah

    populasi limfosit. Pemberian nutrisi yang baik dapat memperbaiki sistem imunologi.1

    f.

    Koagulasi Intravaskular Menyeluruh

    Keadaan Disseminated intravascular coagulation (DIC) sering terjadi pada penderita

    dengan trauma berat dan sepsis. Koagulasi pada DIC ini terjadi difus di tubuh sehingga

    menghabiskan faktor pembekuan yang dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan yang

    difus pula. Terjadinya koagulasi berlebihan juga dapat merusak jaringan di sekitar pembuluh

    tersebut. Secara klinis adanya DIC dapat dilihat dari perdarahan difus pada luka atau bekas

    tusukan jarum. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah trombosit yang menurun,

    waktu trombin dan protrombin memanjang. Jumlah fibrinogen menurun sampai 75mg/gl dan

    terdapat monomer dan degradasi fragmen dari fibrin. Pada DIC dianjurkan untuk

    memberikan vitamin K yang dapat memperbaiki waktu trombin dan waktu protrombin yang

    memanjang. Bila terdapat defisiensi fibrinogen, diberikan kriopresipitat yang mengandung

    250mg fibrinogen. Umumnya harus diberikan heparin untuk mencegah koagulasi dan

    mungkin dibutuhkan trombosit untuk mengatasi trombositopenia dan menghentikan

    pembekuan patologis tersebut.1

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    11/20

    a. Pemeriksaan Fisik

    Adapula pada keadaan trauma, yang perlu diperiksa pada fisik penderita ialah tanda-

    tanda vital yang meliputi; tekanan darah, frekuensi nafas (periksa adakah terdapat ronkhi

    atau mengi atau keadaan patologis lainnya), suhu tubuh, dan denyut nadi (diperhatikan

    adakah aritmia atau mur-mur atau keadaan patologis lainnya). Selain itu perlu juga

    diperiksa keadaan lain seperti adakah udem pada ekstremitas, apakah akralnya dingin atau

    tidak, juga diperiksa apakah jalan nafas dari penderita mengalami obstruksi atau tidak,

    juga perdarahan terutama pada kasus-kasus trauma penetrasi. Pada penderita perlu

    diperiksa status neurologisnya seperti memeriksa status kesadaran dengan Glasgow Scale,

    juga pemeriksaan neurologis singkat lainnya seperti pupil, fungsi motorik, serta sensorik.

    b. Pemeriksaan Penunjang

    Pada kasus truama, ada beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan seperti

    elektrokardiografi (EKG), pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah, roentgen,

    ultrasonografi, dan juga enzim kardiak pada kasus-kasus yang berkaitan dengan kondisi

    jantung. Pada kasus yang umumnya disertai dengan perdarahan, yang perlu diperiksa

    adalah seperti di dalam tabel berikut:

    Tabel 1. Lokasi-lokasi umum pada perdarahan internal dan peralatan diagnostiknya2

    Lokasi Peralatan Diagnostik

    Dada (Hemothorax)

    Abdomen (Hemoperitoneum)

    Pelvis (Retroperitoneum)

    Tulang-tulang panjang (Femur)

    Foto Thorax

    FAST / DPL / CT

    Foto Pelvis

    Gejala Klinis Roentgen

    DIAGNOSIS dan TATALAKSANA

    a. Syok Hemoragik

    Perbedaan antara kelas-kelas syok hemoragik mungkin tidak jelas terlihat pada

    seseorang penderita, dan penggantian volume harus diarahkan pada respon terhadap terapi

    semula dan bukan dengan hanya mengandalkan klasifikasi awal saja. Sistem klasifikasi ini

    berguna untuk memastikan tanda-tanda dini dan patofisiologi keadaan syok. Perdarahan kelas

    1 adalah ibarat seseorang yang menyumbang satu unit darah. Kelas 2 adalah perdarahan tanpa

    komplikasi, namun resusitasi cairan kristaloid diperlukan.

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    12/20

    Kelas 3 adalah keadaan perdarahan dengan komplikasi dimana harus diberikan infus

    kristaloid dan mungkin penggantian darah. Perdarahan kelas 4 harus dianggap sebagai

    kejadian preterminal, dan kalau tidak diambil tindakan yang sangat agresif, penderita akan

    meninggal dalam beberapa menit (tabel 2). Beberapa faktor akan sangat menggangu penilaian

    respon hemodinamis terhadap perdarahan. Faktor-faktor ini meliputi; (1) usia penderita,

    (2)parahnya cedera, dengan perhatian khusus bagi jenis dan lokasi anatomis cederanya, (3)

    rentang waktu antara cedera dan permulaan terapi, (4) terapi cairan pra-rumah sakit dan

    penerapa pakaian antisyok pneumatis (PASG), dan (5) obat-obat yang sebelumnya sudah

    diberikan karena ada penyakit kronis.3

    Tabel 2. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah3

    Berdasarkan presentasi penderita semula

    KELAS I KELAS II KELAS III KELAS IV

    Kehilangan darah (mL) Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000

    Kehilangan darah (%volume

    darah)

    Sampai 15% 15%-30% 30%-40% >40%

    Denyut nadi 100 >120 >140

    Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun

    Tekanan nadi (mmHg) Normal atau

    naik

    Menurun Menurun Menurun

    Frekuensi pernafasan 14-20 20-30 30-40 >35

    Produksi urin (mL/jam) >30 20-30 5-15 Tidak berarti

    CNS / Status mental Sedikit cemas Agak cemas Cemas,

    bingung

    Bingung, lesu (lehtargic)

    Penggantian cairan (hukum 3:1) Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan

    darah

    Kristaloid dan darah

    * Untuk laki-laki yang beratnya 70kg

    ** Pedoman tabel 2 berdasarkan hukum 3 untuk 1. Hukum ini berasal dari pengamatan empiris bahwa kebanyakan penderita

    syok hemoragik memerlukan sebanyak 300 mL larutan elektrolit unutk setuao 100 mL darah yang hilang. Bila diterapkan

    secara membuta, pedoman ini dapat mengakibatkan pemberian cairan yang kurang / berlebihan. Misalnya, seorang penderita

    denga cedera tabrakan (crush injury) sangat hebat mungkin mengalami hipotensi yang tidak seimbang dengan kehilangan

    darahnya sehingga memerlukan cairan lebih dari 3:1. Sebaliknya penderita dengan perdarahan yang masih berlangsung dan

    sedang diganti melalui transfusi darah memerulkan kurang dari 3:1. Penggunaan terapi bolus sambil memantau respon

    penderita dengan teliti, dapat mengurangi keadaan ekstrim tersebut.

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    13/20

    Penatalaksanaan awal dari syok hemoragik

    Diagnosis dan terapi syok harus dilakukan secara simultan. Untuk hampir semua penderita

    trauma, penanganan dilakukan seolah-olah penderita mengalami syok hipovolemi, kecuali bila

    ada bukti jelas bahwa keadaan syok disebabkan oleh suatu etiologi yang bukan hipovolemia.

    Prinsip pengelolaan dasar yang harus dipegang ialah menghentikan perdarahan dan mengganti

    kehilangan volume.3

    Pada penanganan syok akibat trauma diberlakukan Pendekatan SHOTS, yakni:2

    S - Stop

    H - Hemorrhage

    OOptimize intravascular volume

    T - Tranfuse

    S Search for (i) internal bleeding and (ii) non-hemorrahgic causes of shock; surgery for

    hemostasis.

    - Stop the hemorrhage (menghentikan perdarahan) : tindakan menghentikan perdarahan

    dengan menekan lokasi perdarahan eksternal.

    -

    Optimize intavaskular volume (mengoptimalkan volume intravaskular) : dengan cepatmemasukan cairan intavena isotonic (yang hangat) untuk mengkoreksi defisit cairan.

    Protokol ATLS (Advanced Trauma Life Support) merekomendasikan pada dewasa sebesar

    2 L bolus cairan dan sebesar 20mL/kgBB pada anak-anak, dan menggunakan larutan

    Ringer Laktat.

    - Transfuse (tranfusi) : mentrasnfusi darah untuk mengembalikan kapasitas pengangkut

    oksigen (oxygen carrying restoration) jika perlu.

    - Search (cari) : mencari penyebab non-hemoragik lainnya yang dapat menyebabkan syok

    dan juga lokasi perdarahan internal lainnya.

    1. Pemeriksaan Jasmani

    Pemeriksaan ini diarahakan kepada diagnosis cedera yang mengancam nyawa dan

    meliputi penilaian dari ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure).

    Mencatat tanda vital awal (baseline recordings)penting untuk memantau respon penderita

    terhadap terapi.

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    14/20

    Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran.

    Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan menyusul bila keadaan penderita

    memungkinkan.

    2. Akses Pembuluh Darah

    Akses untuk intravena harus segera didapat, tempat yang terbaik bagi orang dewasa ialah

    pembuluh darah bagian lengan bawah, sedangkan pada anak-anak usia

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    15/20

    Perlu diperhatikan penggunaannya pada trauma kapitis (traumatic brain injury

    TBI), karena cairan ini dapat meningkatkan air kadar air dalam otak dan

    meningkatkan tekanan intrakranial (intracranial pressureICP).

    b. Larutan Kristaloid Isotonik

    Contoh : Larutan Ringer (Laktat atau Asetat), Saline 0.9% (lebih umum disebut

    Normal Saline). Ringer Laktat (RL) ataupun Ringer Asetat (RA) merupakan larutan

    yang cukup hipotonik jika dibandingkan dengan plasma, tetapi tetap dikategorikan

    sebagai isotonik. Kapasitas metabolisme Laktat bergantung pada kapasitas fungsional

    dari ginjal dan hati. Sedangkan Asetat dapat dimetabolisme oleh seluruh jaringan sel,

    dimana ini menguntukan untuk pasien hipovolemik atau pada keadaan syok.

    c. Larutan Kristaloid Hipertonis

    Larutan hipertonis (HS) masih dipelajari oleh ilmuwan untuk kegunaan

    sesungguhnya. Pada beberapa studi penggunaan larutan ini dapat digunakan sebagai

    anti-inflamasi selama prosedur bedah sedang berlangsung. Terapi cairan HS sudah

    digunakan di bidang kemiliteran dan sebagai terapi pra-rumah sakit, tetapi sejumlah

    negara lainnya kecuali Amerika Serikat.

    II. Koloid2,8

    Koloid merupakan larutan fisiologis dengan berat molekul lebih besar dari kristaloid.Dibandigkan dengan kritstaloid, koloid bertahan dalam intravaskuler lebih lama sehingga

    jarang menyebabkan udem. Terdapat juga beberapa kekurangan pada koloid, yakni: reaksi

    anafilaktik (contoh: dextran), tidak cocok untuk resusitasi cairan (contoh: albumin), dan

    harganya cukup mahal.

    Larutan RL adalah cairan pilihan pertama dalam resusitasi cairan pada trauma, NaCl

    sebagai pilihan kedua. Walaupun NaCl merupakan cairan pengganti yang baik, namun cairan

    ini memiliki potensi terjadinya asidosis hiperkholeremik. Kemungkinan ini bertambah besar

    bila fungsi ginjalnya kurang baik. Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan

    cepat sebagai bolus. Dosis awal adalah 2 L bolus cairan dan sebesar 20mL/kgBB pada anak-

    anak. Hal ini sering membutuhkan penambahan pemasangan alat pompa infus (mekaniakl

    atau manual). Respon penderita terhadap pemberian cairan ini dipantau, dan keputusan

    pemeriksaan diagnostik atau terapi lebih lanjut akan bergantung dari respon tersebut. Jumlah

    cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada evaluasi awal

    penderita.

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    16/20

    Pada tabel 2, dapat dilihat cara menentukan jumlah cairan dan darah yang mungkin

    diperlukan oleh penderita. Perhitungan kasar untuk jumlah total volume kristaloid yang

    secara akut diperlukan adalah mengganti setial mililiter darah yang hilang dengan 3mL cairan

    kristaloid, sehingga memungkinkan resusitasi volume plasma yang hilang ke dalam ruang

    insterstisial dan intraseluler. Ini dikenal sebagai hukum 3 untuk 1 (3 for 1 rule). Namun

    lebih penting, untuk menilai respon penderita kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan

    oksigenasi end-organ yang memadai, misalnya keluaran urin, tingkat kesadaran dan perfusi

    perifer. Bila sewaktu resusitasi, jumlah cairan yang diperlukan untuk memulihkan atau

    mempertahankan oerfusi organ jauh melebihi perkiraan tersebut, maka diperlukan penilaian

    ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum diketahui atau penyebab lain untuk

    syoknya.

    Tabel 3. Respon Terhadap Pemberian Ciaran Awal3

    RESPON CEPAT RESPON SEMENTARA TANPA RESPON

    Tanda Vital Kembali ke normal Perbaikan sementara tensi

    dan nadi kembali turun

    Tetap abnormal

    Dengan kehilangan darah Minimal (10-20%) Sedang, masih ada (20%-

    40%)

    Berat (>40%)

    Kebutuhan kristaloid Sedikit Banyak Banyak

    Kebutuhan darah Sedikit Sedang-banyak Segera

    Persiapan darah Tipe spesifik dan

    crossmatch

    Tipe spesifik Emergensi

    Operasi Mungkin Sangat mungkin Hampir pasti

    Kehadiran dini ahli bedah Perlu Perlu Perlu

    Respon penderita kepada resusitasi cairan awal merupakan kunci untuk menentukan

    terapi berikutnya.

    A. Respon Cepat

    Untuk kelompok ini tidak ada indikasi bolus cairan tambahan atau pemberian darah lebih

    lanjut. Jenis darahnya dan crossmatchnya harus tetap dikerjakan. Konsultasi dan evaluasi

    pembedahan diperlukan selama penilaian dan terapi awal, karena intervensi opertatif mungkin

    masih diperlukan.

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    17/20

    B. Respon Sementara (Transient)

    Pemberian cairan pada kelompok ini harus diteruskan, demikian pula pemberian darah.

    Respon terhadap pemberian darah yang nantinya menentukan penderita mana yang

    memerlukan operasi segera.

    C.

    Respon Minimal atau Tanpa Respon

    Respon seperti ini menandakan harus segera dilakukan operasi (cito). Walaupun sangat

    jarang, tetapi harus tetap diwaspadai kemungkinan syok non-hemoragik seperti tamponade

    jantung atau kontusio miokard. Kemunginan adanya syok non-hemoragik harus selalu diingat

    pada kelompok ini. Pemasangan CVP atau Ekokardiografi dapat membantu membedakan

    kedua kelompok ini.

    4. Transfusi Darah

    Pemberian darah tergantung respon penderita terhadap pemberian cairan seperti diterangkan

    sebelumnya. Tujuan utama transfusi darah adalah memperbaiki oxygen-carrying-capacity.

    Perbaikan volume dapat dicapai dengan pemberian larutan kristaloid, yang sekaligus akan

    memperbaiki volume interstisial dan intraseluler.2,3

    Terdapat 4 kategori untuk darah:2,3

    (1) Fully Crossmatched Blood

    Yang dimaksud ialah kecocokan dari golongan darah dan rhesusnya. Namun untuk proses

    crossmatching sendiri membutuhkan waktu sekitar 1 jam di bank darah (hampir semuanya).

    Tidak cocok bagi penderita akut yang tidak stabil. Kemungkinan adanya inkompatbilitassebesar 0,05%.

    (2) Type-Spesific,Crossmatched Blood

    Terdapat kecocokan pada golongan darah tetapi tidak pada rhesusnya. Membutuhkan waktu 5

    menit untuk mendapat kantong darah jenis ini di bank darah, walaupun rhesusnya tidak cocok,

    paling tidak kategori ini dapat membantu mengeliminasi kesalahan penggolongan ABO

    dimana dapat menjadi reaksi hemolisis.

    (3) Type-Spesific, Uncrossmatched Blood

    Terdapat kecocokan pada golongan darah saja, hal ini biasanya terjadi pada penderita yangsudah tiba di rumah sakit dan butuh darah secepatnya. Hal ini dikarenakan proses penggologan

    darah hanya membutuhkan waktu kurang lebih 1 menit. Sebesar 99,8% biasanya tipe darah

    kehamilan sebelumnya atau riwayat transfusi darah dapat menimbulkan adverse effect pada

    penderita. Maka dari itu sembari penderita mendat transfusi darah, tindakan crossmatching

    tetap harus dijalankan.

    (4) Type O, Uncrossmatched Blood

    Golongan darah tipe O langsung bisa diambil secepatnya bagi penderita yang kehabisan darah

    dalam jumlah besar atau perdarahan masiv.

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    18/20

    Paling baik diberikan dalam brntuk packed red cell(PRC) untuk mengurangi kadar plasma

    yang mengandung imnoglobulin anti-A dan anti-B, dimana hal ini dapat menyebabkan lisis

    pada sel darah merah resipien. Jika sudah masuk 4 kantong darah tipe O, maka disarankan

    untuk melanjutkan transfusi dengan tipe O untuk seterusnya daripada memberikan kantong

    darah sesuai golongan darah penderita, karena hal ini dapat menyebabkan lisis pada sel darah

    merah (yang sesuai dengan golongan daran penderita). Tipe O dengan Rhesus negatif

    merupakan pilihan terbaik untuk wanita subur (untuk menghindari kemungkinan terjadinya

    penyakit yang beruhungan dengan rhesus pada kehamilan di kemudian hari) dan juga anak-

    anak. Komplikasi pada transfusi darah adalah: koagulopati, hipotermia, gangguan pH darah,

    gangguan Kalium, ARDS (acute respiratory distress syndrome), imunosupresi, dan kelebihan

    darah (volume overload).

    Terdapat juga metode autotransfusi, yakni prosedur mentransfusi darah penderita ke dirinya

    sendiri. Darah yang ditransfusi biasanya sudah disimpan terlebih dahulu. Keuntungan dari

    autotransfusi ini adalah darah yang masuk pasti kompatibel dengan resipien, tetapi jika hal ini

    diaplikasikan pada penderita, maka pemberian darah juga harus disertai antibiotik broad-

    spectrum, karena darah yang ditranfusi tersebut dianggap mengandung kuman, sehingga perlu

    ditambah dengan antibiotik.2,3

    b. Syok Non-Hemoragik

    Akan dibahas singkat mengenai tatalaksana syok non-hemoragik. Karena grup ini cenderung

    sulit diingat, makan dibuatlah singkatan untuk lebih mudah menghafal dan memahaminya.

    Untuk syok non-hemoragik dikenal istilah :

    T(est) C.N.S.S

    T : Tension pneumothorax,

    C : Cardiac tamponade, cardiac contusion, air embolus, acute myocardial infarction, or

    valvular ruptur

    N : Neurogenic shock (spinal cord injuries)

    S : Septick shock (delayed presentation)

    S : Supine hypotension syndrome

    Berikut tabel yang menjelaskan penyebab umum dari syok non-hemoragik, dan managemen

    emergenisnya:

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    19/20

    Tabel 4. Common Nonhemorrhagic Case of Shock, Their Diagnosis and Emergency Management2

    Causes Diagnoses Treatment

    TTension Pneumothorax Respiratory Distress

    Tracheal deviation to contralateral

    side

    Breath sounds (ipsilateral)

    Hypotension

    Distended neck veins

    Immidiate needle thoracocenthesis

    Chest tube insertion

    CCardiac Tamponade Distressed patient

    Hypotension

    Distended neck veins

    Muffled heart sound

    Pulsus paradoxus

    Central venous pressure

    Echo : pericardial fluid

    ECG : electrical alternans

    Pericardiocentesis (if immidiate

    surgery is not available)

    Urgent thoracotomy or sternotomy

    CCardiac Contusion Compatible injury (blunt chest

    trauma)

    Poor response to fluids

    Central venous pressure

    ECG : arrhytmias

    Cardiac enzimes

    Judicious therapy

    Early invasive monitoring

    Inotropic support (e.g :

    Dobutamine)

    NNeurogenic Shock Weakness

    Sensory level

    Relative bradycardia

    Warm extremities

    Judicious therapy

    Early invasive monitoring

    Inotropic support (e.g :

    Ephinephrine)

    SSeptick Shock Delayed clinical presentation

    Warm extremitites (early phase)

    Pyrexia

    Positive blood culture

    Control of infective source

    Appropriate IV antimicrobial

    therapy

    Supportive management (ICU)

    SSuppine Hypotensive

    Syndrome

    Advanced pregnancy

    Supine position

    Poor response to fluid resucitation

    Position patient in 15oleft lateral tilt

  • 7/23/2019 Referat Anestesi - Terapi Cairan Pada Trauma

    20/20

    PROGNOSIS

    Bergantung pada kecepatan penderita diterapi dan ketepatan dalam memilih jenis cairan

    resusitasi, juga ketersediaan fasilitas kesehatan.

    KESIMPULAN

    Pengelolaan syok, berdasarkan prinsip-prinsip fisiologis, biasanya berhasil. Hipovolemia

    adalah penyebab syok pada kebanyakan penderita trauma. Pengelolaan penderita ini

    memerlukan kontrol perdarahan dengan segera dan penggantian cairan atau darah. Kalau

    penderitanya tidak memberi respon kepada tindakan ini, mungkin diperlukan kontrol

    pembedahan terhadap perdarahan yang berkelanjutan. Juga, harus dipertimbangkan penyebab

    syok lain pada penderita dengan respon sementara atau non-respon. Respon penderita

    terhadap terapi cairan awal menentukan prosedur-prosedur terapi dan diagnostik selanjutnya.

    Semua penderita yang memperlihatkan tanda syok hipovolemik merupakan calon utnuk

    tindakan pembedahan eksplorasi. Tujuan terapi adalah pemulihan perfusi organ segera

    dengan penyampaian oksigen dan substrat ke sel untuk metabolisme aerobik. Pada penderita

    tertentu, pengukuran tekanan vena sentral dapat menjadi alat yang penting untuk konfirmasi

    dari status volume dan memantau banyaknya pemberian cairan.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Jong WD, Sjamsuhidayat R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2: Jakarta: EGC, 2004.h. 121-4.

    2. Boffard KD, Joseph C. Perioperative fluid threapy. Dalam : Fluid therapy in trauma. New York:

    Informa Healthcare, 2007. h. 221-32.

    3. American College of Surgeon. Advanced trauma life support for doctors. Dalam : Syok. Indonesia

    : Ikatan Dokter Bedah Indonesia, 2004. h. 73-91.

    4. Rachmat KB. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Dalam : Tension pneumpthorax. Jakarta: Binapura

    Aksara Publisher. h. 200.5. Myocardial Contusio. Chen MA. 13 Mei 2014. Diunduh dari :

    http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000202.htm.25 Mei 2015.

    6. Solanki G. International Journal of Pharmacological Research. A review on supine hypotension

    syndrome. 2012. Diunduh dari: http://www.ssjournals.com/index.php/ijpr/article/view/1216.

    Vol.2 No.2.h.81.

    7. Prough DS, Svensen CH. Perioperative fluid threapy. Dalam : Crystalloid solutions. New York:

    Informa Healthcare, 2007. h. 142-8.

    8.

    Prough DS, Svensen CH. Perioperative fluid threapy. Dalam : Coloid solutions. New York:Informa Healthcare, 2007. h. 153-8.

    http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000202.htmhttp://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000202.htmhttp://www.ssjournals.com/index.php/ijpr/article/view/1216http://www.ssjournals.com/index.php/ijpr/article/view/1216http://www.ssjournals.com/index.php/ijpr/article/view/1216http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000202.htm