refarat psoriasis
DESCRIPTION
penanganan psoriasisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Psoriasis adalah penyakit kulit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan
residif,ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang
kasar, berlapis-lapis dan transparan, disertai fenomena tetesan lilin.
Psoriasis juga disebut psoriasis vulgaris berarti psoriasis Yang biasa, karena ada
psoriasis lain, misalnya psoriasis pustobulosa.
1.2 Tujuan
Penulisan refarat ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca dalam
mempelajari Psoriasis, sehingga dapat menjadi acuan pola pikir dalam mencegah sedini
mungkin penyakit psoriasis sekaligus bisa mendiagnosa dan memberikan terapi yang
tepat pada pasien sehingga memberikan hal terbaik untuk kesembuhan pasien.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit kulit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan
residif,ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang
kasar, berlapis-lapis dan transparan, disertai fenomena tetesan lilin.
2.2 Epidemiologi
Kasus psoriasis makin sering dijumpai. Meskipun penyakit ini tidak menyebabkan
kematian, tetapi menyebabkan gangguan kosmetik, terlebih-lebih mengingat bahwa
perjalanannya menahun dan residif.
Insiden pada orang kulit putih lebih tinggi daripada penduduk kulit berwarna. Di
Eropa dilaporkan sebanyak 3-7%, di Amerika serikat 1-2%, Sedangkan di Jepang 0-6%.
Pada bangsa berkulit hitam, misalnya di Afrika, jarang dilaporkan,demikian pula bangsa
Indian di Amerika.
Insiden pada pria agak lebih banyak dari pada wanita, psoriasis terdapat pada semua
usia, tetapi pada umumnya pada orang dewasa.
2.3 Etiopatogenesis
Faktor genetik berperan. Bila orangtuanya tidak menderita psoriasis risiko mendapat
psoriasis 12%, sedangkan jika salah seorang orangtuanya menderita psoriasiss risikonya
mencapai 34-39%. Berdasarkan awitan penyakit dikenal dua tipe : psoriasis tipe I dengan
awitan dini bersifat familial, psoriasis tipe II dengan awitan lambat bersifat nonfamilial.
Hal lain yang menyokong adanya faktor genetik ialah bahwa psoriasis berkaitan dengan
HLA. Psoriasis tipe I berhubungan dengan HLA-B13, B17, B berkaitan dengan w57, dan
Cw6. Psoriasis tipe II berkaitan dengan HLA- B27, dan Cw2, sedangkan psoriasis
pustulosa berkolerasi dengan HLA-B27.
Faktor Imunologik juga berperan. Defek genetik pada psoriasis dapat di ekspresikan
pada salah satu dari tiga jenis sel, yakni lomfosit T, sel penyaji antigen (dermal), atau
keratinosist. Keratinosit psoriasis membutuhkan stimuli untuk aktivasinya. Lesi psoriais
2
matang umumnya penuh dengan sebukan limfosit T pada dermis yang terutama terdiri atas
limfosit T CD4 dengan sedikit bukan lomfositik dalam epidermis. Sedangkan pada lesi
baru umumnya lebih banyak di dominasi oleh lomfosit T CD8. Pada lesi psoriasis terdapat
sekitar 17 sitokin yang produksinya bertambah. Sel langerhans juga berperan pada
imunopatogenesis psoriasis. Terjadinya proliferasi epidermis diawali dengan adanya
pergerakan antigen, baik eksogen maupun endogenoleh sel langerhans. Pada psoriasis
pembentukan epidermis (turn over time) lebih cepat, hanya 3-4 hari, sedangkan pada kulit
normal lamanya 27 hari. Lebih 90% kasus dapat mengalami remisi setelah diobati dengan
imunosupresif.
Berbagai faktor pencetus pada psoriasis yang disebut dalam kepustakaan , diantaranya
stres psikis, infeksi fokal, trauma, endokrin, gangguan metabolik, obat juga alkohol dan
merokok. Stress psikik merupakan faktor pencetus utama. Infeksi vokal mempunyai
hubungan erat dengan salah satu bentuk psoriasis ialah psoriasis gutata, sedangkan
hubungannya dengan psoriasis vulgaris tidak jelas.
2.4 Gejala klinis
Keadaan umum tidak dipengaruhi, kecuali pada psoriasis yang menjadi eritoderma.
Sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Tempat predileksi pada skalp, perbatasan
daerah tersebut dengan muka, ekstremitas bagian ekstensor terutama siku serta lutut, dan
daerah lumbosakral. Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi
(plak) dengan skuama diatasnya. Eritema sirkumkrip dan merata, tetapi pada stadium
penyembuhan sering eritema yang ditengah menghilang dan hanya terdapat dipinggir.
Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta transparan. Besar
kelainan bervariasi: lentikular, numular atau plakat, dapat berkonfluensi. Jika seluruhnya
atau sebagian besar lentukular disebut psoriasis gutata, biasanya pada anak-anak dan
dewasa muda dan terjadi setelah infeksi akut oleh streptococcus.
Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, auspitz, dan kobner (isomorfik). Kedua
fenimena yang disebut lebih dahulu dianggap khas, sedangkan yang terakhir tak khas,
hanya kira-kira 47% yang positif dan didapati pula pada penyakit lain, misalnya liken
planus dan veruka plana juvenilis.
Fenomena tetesan lilin ialah skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada
goresan, seperti lilin yang digores, disebabkan oleh berubahnya indeks bias. Cara
3
menggires dapat dengan pinggir gelas alas. Pada fenomena auspitz tampak serum atau
darah berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilomatosis. Cara mengerjakannya
demikian : skuama yang berlapis-lapis itu dikerok, misalnya dengan pinggir gelas alas.
Setelah skuamanya habis, maka pengerokan harus dilakukan perlahan-lahan, jika terlalu
dalam tidak akan tampak perdarahan yang berbintik-bintik, melainkan perdarahan yang
merata. Trauma pada kulit penderita psoriasis, misalnya garukan dapat menyebabkan
kelainan yang sama dengan kelainan psoriasis misalnya garukan, dapat menyebabkan
kelainan yang sama dengan kelainan psoriasis dan disebut fenomena kobner yang timbul
kira-kira setelah 3 minggu.
Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku, yakni sebanyak kira-kira 50%, yang
agak khas ialah disebut pitting naill atau naill pit berupa lekukan-lekukan miliar. Kelainan
yang tak khas ialah kuku yang keruh, tebal, bagian distalnya terangkat karena terdapat
lapisan tanduk di bawahnya dan onikolisis.
Disamping menimbulkan kelainan pada kulit dan kuku, penyakit ini dapat pula
menyebabkan kelainan pada sendi (artritis psoriatik) terdapat pada 10-15% pasien psoriais.
Umumnya pada sendi distal interfalang.umunya bersifat poliartikular, tempat
predileksinya pada sendi interfalang pada sendi interfalang distal, terbanyak terdapat pada
usia 30-50 tahun. Sendi membesar, kemudian terjadi ankilosis dan lesi kistik subkorteks.
Kelainan pada mukosa jarang ditemukan dan tidak penting untuk diagnosis sehingga tidak
dibicarakan.
2.5 Bentuk klinis
2.5.1 Psoriasis vulgaris
Bentuk ini ialah yang lazim terdapat karena itu disebut vulgaris, dinamakan pula tipe
plak karena lesi-lesinya umumnya berbentuk plak. Tempat predileksinya seperti yang telah
diterangkan diatas.
2.5.2 Psoriasis gutata
Diameter kelainan biasanya tidak melebihi 1 cm. Timbulnya mendadak dan
diseminata, umumnya setelah infeksi streptococcus disaluraan nafas bagian atas sehabis
influenza atau morbili, terutama pada anak dan dewasa muda. Selain itu juga dapat timbul
setelah infeksi yang lain, baik bakterial maupun viral.
4
2.5.3 Psoriasis inversa (psoriasis fleksural)
Psoriasis tersebut mempunyai tempat predileksi pada daarah fleksor sesuai dengan
namanya.
2.5.4 Psoriasis eksudativa
Bentuk tersebut sangat jarang. Biasanya kelainan psorasis kering, tetapi pada bentuk
ini kelainannya eksudatif seperti dermatitis akut.
2.5.5 Psoriasis seboroik
Gambaran klinis psoriasis seboroik merupakan gabungan antara psoriasis dan
dermatitis seboroik, skuama yang biasanya kering menjadi agak berminyak dan agak linak.
Selain berlokasi pada tempat yang lazim, juga terdapat pada tempat seboroik.
2.5.6 Psoriasis pustulosa
Ada dua pendapat mengenai psoriasis pustulosa, pertama dianggap sebagai penyakit
tersendiri, kedua dianggap sebagai varian psoriasis. Terdapat 2 bentuk psoriasis pustulosa,
bentuk lokalisata, contohnya psoriasis pustulosa palmo-plantar (barber). Sedangkan bentuk
generalisata, contohnya psoriasis pustulosa generalisata akut.
2.5.6 Eritoderma psoriatik
Eritoderma psoriatik dapat disebabkan oleh pengobatan topikal yang terlalu kuat atau
oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Biasanya lesi yang khas untuk psoriasis tidak tampak
lagi karena terdapat seritema dan skuama tebal universal. Adakalanya lesi psoriasis masih
tampak samar-samar, yakni lebih eritematosa dan kulitnya lebih meninggi.
2.6 Diagnosa Banding
Jika gambaran kliniknya khas, tidaklah sukar membuat diagnosis. Kalau
tidak khas, maka harus dibedakan dengan beberapa penyakit lain yang
tergolong dermatosis eririskuamosa.
Pada diagnosis banding hendaknya selalu diingat, bahwa pada psoriasis
terdapat tanda-tanda yang khas, yakni skuama kasar, transparan serta
berlapis-lapis, fenomena tetsan lilin, dan fenomena auspitz.
5
Pada stadium penyembuhan telah dijelaskan, bahwa eritema dapat terjadi
hanya dipinggir, hingga menyerupai dermatofitosis. Perbedaannya ialah
keluhan keluhat pafa dermatofitosis gatal sekali dan pada sediaan langsung
ditemukan jamur.
Sifilis stadium II dapat menyerupai psoriasis dan disebut sifilis
psoriasiformis. Penyakit tersebut sekarang jarang terdapat, perbedaanya pada
sifilis terdapat sanggama tersangka, pembesaran kelenjar getah bening
menyeluruh, dan tetes serologik untuk sifilis.
Dermatitis seboroik berbeda dengan psoriasis karena skuamanya
berminyak dan kekuning-kuningan dan bertempat predileksinya pada tempat
yang seboroik.
2.7 Pengobatan
2.7.1 Pengobatan Sistemik
2.7.1.1 Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat mengontrol psoriasis, menurut pengalaman
penulis dosisnya kira-kira ekuivalun dengan prednison 30 mg per hari.
Setelah membaik, dosis diturunkan perlahan-lahan, kemudian diberi dosis
pemeliharaan. Penghentian obat secara mendadak akan menyebabkan
kekambuhan dan dapat terjadi psoriasis pustulosa generalisata.
2.7.1.2 Obat sitostatik
Obat sitostatik yang biasanya digunakan ialah metotreksat.
Indikasinya ialah untuk psoriasis, psoriasis purtulosa, psoriasis srtritis
dengan lesi kulit, dan eritoderma karena psoriasis, yang sukar terkontrol
dengan obat standar.
Kontraindikasinya ialah kelainan hepar, ginjal, sistem hematopoetik,
kehamilan, penyakit infeksi aktif, ulkus peptikum,kolitis ulserosa dan
psikosis.
6
Dosisnya 3 x 2,5 mg, dengan interval 12 jam dalam seminggu
dengan dosis total 7,5 mg. Jika tidak tampak perbaikan dosis dinaikkan
2,5 mg-
BAB III
KESIMPULAN
Sistem imun adalah Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi
terhadap infeksi
7
Respon imun diklasifikasikan menjadi:
1. Respon imun non spesifik. Respon imun ini mencakup peradangan, interferon (protein
non spesifik untuk mempertahankan diri dari virus), sel natural killer (melisiskan sel
pejamu atau sel kanker), dan sistem komplemen yang diaktifkan antibodi terhadap
organisme tertentu.
2. Respon imun spesifik, dibagi atas:
- Imunitas diperantai antibodi. Limfosit B akan berubah menjadi sel plasma dan
memproduksi imunoglobulin. Terdapat beberapa jenis imunoglobulin yang
digolongkan menurut fungsinya diantaranya : IgM, IgG, IgE, IgA, IgD.
- Imunitas diperantarai sel yang diperankan oleh limfosit T, terdapat 3 jenis sel T:
1. Sel T sitotoksik, menghancurkan sel pejamu yang memiliki antigen asing.
2. Sel T penolong, berfungsi meningkatkan perkembangan sel B aktif menjadi
sel plasma, memperkuat aktifitas sel T sitotoksik, dan sel T penekan, dan
mengaktifkan makrofag.
3. Sel T penekan, yang menekan produksi antobodi sel B dan aktifitas sel T
sitotoksik dan penolong.
Penyakit imun adalah suatu keadaan dimana terjadi abnormalitas fungsi sistem imun yang
dapat menyebabkan timbulnya penyakit melalui dua cara:
1. Defisiensi imun, dimana imunitas berkurang baik didapat maupun kongenital.
2. Serangan imun yang tidak sesuai, seperti respon autoimun, penyakit kompleks imun,
dan alergi.
Daftar Pustaka
1. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2001.
2. Baratawidjaja K, Iris R, Imunologi Dasar. Edisi 8, Jakarta : FKUI; 2009.
8
3. S. RetnoWidowati, Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6, Jakarta : FKUI; 2011.
4. Price S.A, Wilson L.M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6.
Jakarta: EGC; 2006.
5. Guyton. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC; 2008.
9