reaksi kustahhhhanananan
TRANSCRIPT
1
Tinjauan Pustaka
REAKSI KUSTA
Oleh :
Shinta Dwijayanti, S.Ked
04124705028
Pembimbing :
DR. Dr. Rusmawardiana, Sp.KK(K), FINSDV
BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
2013
2
REAKSI KUSTA
Shinta Dwijayanti, S.Ked
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr. Mohamad Hoesin Palembang
2013
PENDAHULUANPenyakit kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia.1 Penyakit infeksi ini
merupakan penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang
menyerang saraf tepi dan kulit. Kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang keliru
mengenai penyakit kusta dan deformitas yang ditimbulkan menyebabkan ketakutan bagi
masyarakat. Masyarakat awam menganggap kusta sebagai penyakit keturunan dan
menyebabkan kecacatan.2
Gejala klinis dari penyakit kusta meliputi lesi kulit hipopigmentasi atau eritem, rasa
nyeri pada persarafan dan mati rasa pada bagian tubuh atau pada lesi tertentu.3 Gejala tersebut
berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Diagnosis penyakit kusta dibangun dengan
ditemukannya tiga tanda kardinal, yaitu : lesi kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi, dan
terdapat bakteri tahan asam (BTA).3
Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta, yaitu proses inflamasi berkaitan dengan
reaksi imunologis yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan meningkatkan morbiditas
penyakit.2 Reaksi kusta sering terjadi akibat komplikasi pengobatan, tetapi dapat juga terjadi
sebelum atau sesudah pengobatan kusta.4 Reaksi kusta dibagi menjadi tiga yaitu reaksi kusta
tipe I, tipe II dan tipe III (Fenomena Lucio).2 Reaksi kusta meningkatkan morbiditas dari
penyakit kusta dan dapat menimbulkan kecacatan bagi penderitanya.4
Menurut WHO, jumlah penderita kusta baru di dunia pada tahun 2012 adalah sekitar
232.857 orang dan di Indonesia 22.390 orang.1 Prevalensi reaksi kusta di dunia adalah sekitar
1,2% dan di Indonesia sebanyak 5%.1,5 Sedangkan penderita kusta dengan reaksi di poliklinik
Dermatologi Infeksi IKKK RSMH tahun 2013 sebanyak 30 orang.
Menurut Depkes 2006, faktor pencetus reaksi kusta antara lain penderita dalam kondisi
stres fisik, kehamilan, sesudah melahirkan, sesudah mendapat imunisasi, penyakit malaria,
cacingan, karies gigi, penderita stres mental dan efek pemakaian obat untuk kekebalan
tubuh.6 Reaksi kusta yang terjadi pada penderita kusta diharapkan dapat diketahui sedini
3
mungkin, sehingga penderita secepatnya mendapat penanganan dan kecacatan akibat reaksi
dapat dihindari.6
Banyaknya jumlah penderita kusta di Indonesia serta pentingnya penatalaksanaan saat
reaksi kusta menjadi landasan dalam penyusunan tinjauan pustaka ini. Pengenalan dan
penatalaksanaan reaksi kusta yang adekuat diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas
dan kecacatan yang terjadi.
DEFINISIPenyakit kusta merupakan penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi dan kulit.2 Menurut Ridley dan Jopling
(1962), kusta terbagi menjadi empat tipe yaitu Typical Tuberculoid (TT), Borderline
Tuberkuloid (BT), Borderline-Borderline (BB), Borderline Lepromatous (BT), dan
Lepromatous leprosy (LL).3
Pada keadaan kusta kronik, dapat terjadi suatu episode akut yaitu reaksi kusta. Reaksi
kusta merupakan proses inflamasi berkaitan dengan reaksi imunologis yang mengakibatkan
kerusakan jaringan dan meningkatkan morbiditas penyakit..2 Reaksi kusta dapat terjadi pada
kusta tipe borderline, tuberkuloid dan lepromatous.3
ETIOPATOGENESISMekanisme terjadinya reaksi masih belum jelas. Pada reaksi tipe 1, terjadi reaksi
upgrading (reversal) yaitu perubahan tipe spektrum BT menjadi TT. Reaksi ini terjadi karena
imunitas seluler yang baik terhadap antigen Mikobakterium. Terjadi peningkatan
hipersensitivitas tipe lambat terhadap M. leprae dan antigennya, menghasilkan pelepasan
Tumor Necrosis Factors(TNF), Interferon (IFN) dan Interleukin-2 (IL-2) dalam jumlah besar.
Mekanisme belum sepenuhnya diketahui tetapi ada dua hal yang terjadi yaitu peningkatan
reaksi hipersensitivitas atau peningkatan antigen yang dideteksi oleh imunitas pada beberapa
tempat.3 Reaksi ini dapat terjadi pada masa puerperium, saat imunitas kembali sempurna.
Reaksi downgrading adalah perubahan imunitas seluler yaitu hilangnya imunitas seluler.
Keseimbangan hipersensitivitas/antigen kalah oleh peningkatan jumlah basil.3
Penyebab timbulnya reaksi kusta tipe 2 belum diketahui secara pasti tetapi ada beberapa
faktor pencetus yaitu stres fisik atau psikologis, konsumsi alkohol, perubahan cuaca, stres
operasi, pubertas, laktasi, kehamilan, dan infeksi piogenik3,4
Pada reaksi tipe 2 terjadi reaksi antigen antibodi pada dinding pembuluh darah. Antigen
merupakan antigen M. leprae yang bereaksi dengan antibodi sirkulasi humoral. Kompleks
4
antigen antibodi yang terbentuk pada dinding pembuluh darah dan glomerulus akan menarik
neutrofil. Terjadi peningkatan Immunoglobulin G (IgG), Immunoglobulin M (IgM),
Complement Component 2 (C2) dan Complement Component 3 (C3). 3
Reaksi imun pasien terhadap basil M. leprae menjadi elemen penting dalam
menentukan hasil dari infeksi. Pada TT, terbentuk granuloma yang berisi sel T helper (Th),
dengan sitokin inflamasi dari imunitas seluler yang baik yaitu IFN-1 dan IL-2. Sementara
pada pasien LL terbentuk granuloma yang didominasi sel T supressor, dengan sitokin
inflamasi dari imunitas seluer yang turun yaitu turunnya IFN-1 dan IL-2 (mengakibatkan
penurunan imunitas seluler) dan peningkatan IL-4, IL-5 dan IL-10 (meningkatkan fungsi
supresor dan produksi antibodi). Pada LL, terjadi presentasi sel Th2 sebagai respon. Lesi LL
mengandung banyak Cyclooxygenase 2 (COX-2) dan prostaglandin. 3
Ketika bakteri mati dan pecah, bakteri melepaskan banyak antigen. Faktor pencetus
menyebabkan terjadinya infiltrasi sel Th2 yang menghasilkan beberapa sitokin contohnya IL-
4 untuk menginduksi sel B menjadi sel plasma, kemudian terbentuk antigen-antibodi.
Selanjutnya membentuk kompleks imun dalam pembuluh darah sehingga mengendap pada
beberapa jaringan atau organ dan mengaktifkan sistem komplemen. Komplemen bergabung
dengan antigen antobodi menghasilkan faktor polimorfonuklear leukotaktik. Komplek ini
difagosit oleh neutrofil dan melepas substansi inflamasi tambahan seperti prostaglandin,
peptida vasodilator, kemotaksis dan lisosom yang mencerna membran basalis, kolagen,
elastin, dan kartilago sehingga menyebabkan inflamasi dan nekrosis. 3
KLASIFIKASIReaksi kusta terbagi menjadi tiga yaitu :
1. Reaksi Kusta Tipe 1
Reaksi ini umumnya terjadi pada kusta borderline dan memiliki karakteristik
neuritis akut dan atau lesi kulit dengan inflamasi. Saraf menjadi keras disertai
hilangnya fungsi sensorik dan motorik. Lesi yang telah ada menjadi eritem atau edema
dan bisa terdeskuamasi atau menjadi ulkus (jarang). Edema wajah, tangan atau kaki
jarang muncul. Reaksi tipe 1 bisa terjadi secara spontan tetapi umumnya terjadi setelah
memulai terapi atau selama masa puerperium.1 Reaksi tipe 1 memiliki dua tipe yaitu :
a. Reaksi upgrading (reversal)
5
Pada reaksi reversal, terjadi perubahan tipe spektrum BT menjadi spectrum
TT. Reaksi ini terjadi karena imunitas seluler terhadap antigen Mikobakterium
yang baik. Terjadi peningkatan hipersensitivitas tipe lambat terhadap M. leprae
dan antigennya, menghasilkan pelepasan TNF, IFN dan IL-2 dalam jumlah besar.
Mekanisme belum sepenuhnya diketahui tetapi ada dua hal yang terjadi yaitu
peningkatan reaksi hipersensitivitas atau peningkatan antigen yang dideteksi oleh
imunitas pada beberapa tempat.3
b. Reaksi downgrading
Pada reaksi reversal, terjadi perubahan tipe spektrum borderline menjadi
spectrum LL. Reaksi ini dapat terjadi pada pasien yang tidak mendapat
pengobatan. Lesi multipel yang baru muncul dan memiliki karakteristik lesi LL
yaitu lesi kecil, simetris dan tidak berbatas tegas. BTA mungkin tampak pada lesi
baru. Nodus limfe regional mungkin membesar dan basil tampak pada Fine Needle
Aspiration Cytology (FNAC). Pasien risiko tinggi yaitu spektrum borderline
dengan 10 lesi kulit dan penebalan saraf lebih dari tiga.3
Reaksi ini dapat terjadi akibat perubahan imunitas seluler yaitu hilangnya
imunitas seluler. Keseimbangan hipersensitivitas/antigen kalah oleh peningkatan
jumlah basil. Reaksi juga dapat terjadi akibat respon autoimun terhadap heat shock
protein (protein antigen mayor pada M. leprae - 70 kD, 65 kD, 18 kD, 18 kD dan
10 kD).3
2. Reaksi Kusta Tipe 2
Reaksi ini terjadi pada kusta tipe multibasiler (LL dan BL) secara spontan atau
selama pengobatan.2 Reaksi ini dapat terjadi 1 atau 2 tahun setelah selesai
pengobatan.3 Pengobatan monoterapi dengan dapson, 50% penderita LL mengalami
reaksi Erythema Nodosum Leprosum (ENL) tetapi dengan rejimen pengobatan terbaru
yang mengandung klofazimin, menjadi 15%. Awalnya, serangan biasanya akut tetapi
bisa memanjang dan berulang selama beberapa tahun dan bisa tak terlihat, terutama
pada mata. ENL adalah gangguan sistemik yang menyebabkan demam dan malaise,
bisa disertai uveitis, daktilitis, arthritis, neuritis, limfadenitis, miositis dan orkitis.
Neuritis dan uveitis perifer saraf dengan komplikasinya yaitu sinekia, katarak dan
glaukoma adalah komplikasi paling serius pada ENL.2 Reaksi tipe 2 dapat terjadi
secara :7
6
a. Akut. Terdapat nodul merah yang nyeri (superfisial atau dalam), berbentuk
seperti kubah, batas tidaktegas, mengkilap, dan keras. Dapat terjadi ulserasi,
mengeluarkan pus kuning kental, terjadi di wajah, ekstensor tungkai. Lesi
bertahan beberapa hari dan menghilang dengan warna keunguan dan
sekitarnya mengeras.
b. Kronik. Indurasi yang kuat kebanyakan di ekstensor paha, betis dan lengan
bawah.
Reaksi tipe 2 memiliki dua tipe yaitu :2
a. Intermiten. Terdiri atas :
Mild : serangan berlangsung selama 2 pekan diikuti oleh periode
bebas reaksi selama 1 bulan
Severe : berhubungan dengan temperatur tinggi, malaise, lesi kulit
ulseratif, saraf menebal, hilang fungsi saraf, pembengkakan sendi,
albuminuria persisten, dan edema nonpitting pada tangan, wajah dan
kaki.
b. Kontinu
Lesi kulit terjadi secara cepat, tidak disertai periode bebas reaksi, serangan
parah dan kontinu. Pasien seperti ini membutuhkan steroid selama 2 atau 3
bulan.
No Tipe 1 Tipe 21 Spektrum BT, BB, BL, atau TT dengan
immunologic recovery selama dan setelah terapi
Lepromatous (BL, LL), terutama pasien dalam pengobatan
2 Lesi Kulit Lesi lama menjadi eritem dan edema
Pertumbuhan lesi kulit baru
Nodul baru muncul berkelompok
3 Kerusakan Saraf
Sering terjadi neuritis akut dan kehilangan fungsi
Tidak terlalu parah
4 Sistemik Tidak umum terjadi Demam, mialgia, malaise5 Organ lain Iritis, orkitis, dan
glomerulonefritis tidak terjadiArtralgia, limfadenitis, iridosiklitis, hepatosplenomegali, orkitis, dan glomerulonefritis
6 Pengulangan Pengulangan jarang terjadi Pengulangan biasanya terjadi7 BTA Tidak ditemukan Ditemukan basil rusak8 Pemeriksaan
laboratoriumRutin : normal Urin : albuminuria
9 Patogenesis Peningkatan imunitas seluler dengan pola sitokin Th1
Reaksi antigen antibodi tipe 4 (Gel dan Coombs)
Imunitas humoral dengan pola sitokin Th2 dan formasi kompleks imun, bisa diikuti dengan peningkatan imunitas
7
seluler Reaksi antigen antibodi tipe 3
(peningkatan IgG, IgM,C2 dan C3)
Vaskulitis pembuluh darah kecil kutaneus dan sistemik
10 Histopatologi Edema dengan pengurangan basil dan peningkatan limfosit. Granuloma tidak teratur.
Edema dengan infiltrat neutrofil dan vaskulitis
Tabel 1. Perbedaan Antara Reaksi Tipe 1 dan Tipe 23,7
3. Reaksi Kusta Tipe 3 (Fenomena Lucio)
Reaksi Lucio terjadi pada pasien yang menderita kusta Lucio atau Latapi
Lepromatosis. Reaksi ini terjadi karena infark akibat vaskulitis kutaneus yang dalam
dan menyebabkan patch eritem ireguler yang menjadi gelap dan sembuh, atau
membentuk bula dan nekrosis, meninggalkan ulkus dalam yang lambat sembuh.2
Reaksi ini terdiri atas infiltrasi kutaneus difus, warna keunguan di tangan dan kaki,
gambaran telangiektasis dan telangiektasis erupsi, perforasi septum nasal, alopesia
total dari alis dan bulu mata. Nodul subkutan dapat diraba tapi tidak terlihat. Lesi
terasa nyeri tetapi tidak keras saat diraba, berkrusta dan sembuh dengan meninggalkan
stellate scar.2
MANIFESTASI KLINISManifestasi klinis penyakit kusta sangat beragam, dapat mengenai kulit, mukosa mulut,
saluran nafas atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, kecuali susunan saraf pusat.
Penyakit kusta memiliki 3 tanda kardinal yaitu lesi anestesi (makula hipopigmentasi, papul
atau nodul), pembesaran saraf, adanya M. leprae pada pemeriksaan Ziehl Nelssen.2
Gejala yang terlihat pada suatu reaksi yaitu :2
1. Reaksi tipe 1
a. Lesi mengkilap, edema dan eritem pada lesi lama, dapat muncul lesi baru. Ulkus
dan deskuamasi pada reaksi parah. Lesi kecil, simetris dan tak berbatas tegas
pada reaksi downgrading (karakteristik lesi LL).
b. Saraf banyak yang menebal, nyeri, disertai hilangnya fungsi sensorik dan
motorik yang akut.
c. Gejala sistemik jarang ada
8
Gambar 1. Reaksi Tipe 1 pada Penderita BL4
2. Reaksi tipe 2
a. Lesi berupa nodul baru subkutan yang eritem, hangat, bengkak, dan keras
(diameter 0,5-3 cm) dengan predileksi muka, paha, dan kaki.
b. Banyak saraf mengalami anestesia, kelemahan atau paralisis.
c. Gejala sistemik berupa demam, mialgia, malaise, sakit kepala, nyeri sendi, iritis,
limfadenopati, rinitis, epistaksis dan proteinuria.
Gambar 2. Lesi ENL pada Penderita LL4
3. Reaksi tipe 3
a. Lesi berupa patch eritem ireguler, nyeri, tengahnya nekrosis dan ulserasi,
sembuh dengan stellate scar. Bula muncul membentuk ulkus yang dalam,
sembuh lama dengan meninggalkan skar atrofi. Lesi pada paha, tungkai, lengan
bawah dan bokong.
b. Gejala sistemik berupa afebril, vaskulitis
9
Gambar 3. Lesi pada Reaksi Lucio pada Penderita Latapi
Lepromatosis4
DIAGNOSIS BANDINGDiagnosis banding reaksi kusta tipe 1 (reversal) yaitu kusta yang relaps. Perbedaan
antara reaksi tipe 1 dan tipe 2 dapat dilihat pada tabel berikut.
Reaksi reversal Relaps1 Onset Dalam 4-6 pekan selama atau 6
bulan setelah berhenti terapiSetelah satu tahun berhenti terapi
2 Kecepatan onset Tiba-tiba bisa terjadi saat malam Lambat3 Nyeri Sering, bisa terjadi pada saraf Tidak ada4 Lesi baru Beberapa lesi baru muncul Lesi baru minimal5 Lesi lama Mengkilap, eritem dan bengkak Eritem dan infiltrasi hanya pada tepi6 Saraf Banyak saraf sakit, keras dan
hilang fungsiBisa terjadi pada satu atau beberapa saraf, hilang fungsi saraf lambat
7 Terapi tanpa steroid
Sempurna -
8 Gangguan sistemik
+/- Tidak ada
9 BTA Negatif PositifTabel 2. Perbedaan antara Reaksi Reversal dan Relaps3
Diagnosis banding reaksi tipe 2 yaitu Panniculitis (termasuk eritema nodosum)
merupakan Inflamasi dermatosis yang mengenai subkutis menghasilkan nodul – nodul
subkutan. ENL muncul berkelompok, menyebar dan sembuh cukup cepat sementara eritema
nodosum lama sembuh.7
PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan penunjang pada reaksi dapat berupa pemeriksaan histopatologi, yaitu :3
10
1. Reaksi tipe 1
Edema yang meluas di granuloma, peningkatan limfosit secara cepat dan proliferasi
difus dari fibroblas, adanya foreign body giant cell, bercak nekrosis fibrin pada
reaksi upgrading dan hilangnya fokalisasi pada granuloma (reaksi downgrading).
Gambar 4. Reaksi Tipe 1 pada BT3
2. Reaksi tipe 2
Reaksi ENL atau Arthus yaitu adanya granuloma, neutrofil mendominasi infiltrat
inflamasi, basil yang rusak, edema pada lapisan vena, arteriola, dan arteri kecil pada
lesi ENL. Pembengkakan pada endotelium dengan infiltrasi neutrofil disebut
vaskulitis. Pembuluh darah dapat menunjukkan nekrosis yang disebut eritema
nekrotikan.
3. Reaksi tipe 3
Reaksi ini menunjukkan kemiripan pada reaksi Arthus. Epidermis menunjukkan
nekrosis keratinosit yang lebih banyak, vaskulitis parah pada dermis atas dan
tengah. BTA banyak ditemukan pada endotelial pembuluh darah. Vaskulitis pada
pembuluh darah yang lebih besar pada kondisi parah.
PENATALAKSANAANPengobatan berdasarkan tipe reaksi :
1. Reaksi Tipe 1
Terapi untuk reaksi tipe 1 biasanya dengan kortikosteroid.
11
Prednison (peroral) 40-60 mg/hari atau 0,5-1,0 mg/kg/hari selama lebih dari
6 bulan. Ketika reaksi terkontrol, dilakukan tappering off berdasarkan WHO
yaitu :3,8
o 40 mg sekali sehari untuk 2 minggu
o 30 mg sekali sehari untuk minggu 3 dan 4
o 20 mg sekali sehari untuk minggu 5 dan 6
o 15 mg sekali sehari untuk minggu 7 dan 8
o 10 mg sekali sehari untuk minggu 9 dan 10
o 5 mg sekali sehari untuk minggu 11 dan 12
Klofazimin 300 mg/hari bisa ditambahkan dalam pengobatan.8
Siklosporin bisa digunakan jika terapi steroid gagal, dengan dosis 5-10
mg/kg. Jika selama pengobatan, fungsi saraf gagal berkembang sementara
fungsi lainnya kembali normal, kemungkinan kompresi manual harus
dievaluasi melalui eksplorasi bedah. Transposisi nervus ulnaris tampaknya
tidak lebih efektif dibanding terapi imunosupresi untuk disfungsi nervus
ulnaris.8
2. Reaksi tipe 2 :8
Talidomid merupakan pilihan utama pengobatan reaksi tipe 2 karena
keefektivitasannya. Dosis awal sampai 400 mg/hari pada pasien dengan
berat badan lebih dari 50 kg. Dosis ini sangat sedatif, sehingga memiliki
efek samping pada sistem saraf pusat. Maka, pengobatan dengan dosis
tinggi diberikan pada jangka waktu singkat. Pada kasus sedang, dimulai
dengan dosis awal 100-200 mg/kg. Pada kasus ENL akut, obat dihentikan
setelah beberapa pekan atau bulan. Pada reaksi tipe 2 kronik, usaha
penghentian obat dilakukan setelah 6 bulan.
Jika pada penggunaan Talidomid, keefektivitasannya hanya setengah maka
dapat diberikan prednison 0,5-1 mg/kg, tappering off setiap 6-8 bulan.
Klofazimin dosis tinggi (hingga 300 mg/hari) efektif pada ENL dan bisa
digunakan sendiri atau untuk mengurangi dosis kortikosteroid atau
Talidomid.
12
Kombinasi Pentoksifillin 400-800 mg 2 kali/hari dan Klofazimin 30 mg/hari
dapat digunakan jika thalidomide tidak dapat diberikan atau untuk
menghindari penggunaan steroid sistemik untuk pengobatan ENL berat.
TNF inhibitor, seperti infliximab, efektif mengobati ENL yang berulang.
3. Reaksi tipe 3
Tidak efektif dengan Talidomid dan klofazimin.9
Kemoterapi antimikrobial yang mengandung rifampisin merupakan terapi
yang dianjurkan, bersama dengan manajemen luka untuk ulkus kaki.8
Steroid dapat diberikan dengan dosis seperti pada reaksi tipe 2.9
KOMPLIKASIKomplikasi pada reaksi tipe 1 yaitu kerusakan saraf yang permanen. Komplikasi reaksi
tipe 2 yaitu dapat terjadi ulserasi lesi kulit, paralisis, kebutaan, dan kerusakan ginjal.2,3
PROGNOSISPada kasus reaksi ringan, dapat sembuh dalam beberapa bulan. Sedangkan pada reaksi
berat, sembuh dalam waktu yang lebih lama lagi atau meninggal jika sudah terjadi reaksi
kusta parah.4
KESIMPULANReaksi kusta merupakan keadaan eksaserbasi yang dapat terjadi pada kusta tipe
borderline, tuberkuloid dan lepromatosa. Reaksi kusta sering terjadi akibat komplikasi
pengobatan, tetapi dapat juga terjadi sebelum atau sesudah pengobatan kusta. Reaksi kusta
dibagi menjadi tiga yaitu reaksi kusta tipe I, tipe II dan tipe III (Fenomena Lucio).
Penyebab timbulnya reaksi kusta belum diketahui secara pasti tetapi ada beberapa faktor
pencetus terjadinya yaitu stres fisik atau psikologis, konsumsi alkohol, perubahan cuaca, stres
operasi, pubertas, laktasi, kehamilan, dan infeksi piogenik.
Reaksi tipe 1 umumnya terjadi pada kusta borderline dan memiliki karakteristik neuritis
akut (saraf keras serta fungsi sensorik dan motorik hilang) dan atau lesi kulit dengan
inflamasi. Reaksi tipe 2 terjadi pada kusta tipe multibasiler (LL dan BL) dan kebanyakan
berupa nodul merah yang nyeri pada wajah dan permukaan ekstensor tungkai disertai
gangguan sistemik yang menyebabkan demam dan malaise, bisa disertai uveitis, daktilitis,
arthritis, neuritis, limfadenitis, miositis dan orkitis. Reaksi Lucio terjadi pada kusta Lucio atau
13
Latapi Lepromatosis karena infark akibat vaskulitis kutaneus yang dalam dan menyebabkan
patch eritem ireguler yang menjadi gelap dan sembuh, atau membentuk bula dan nekrosis,
meninggalkan ulkus dalam yang lambat sembuh.
Penatalaksanaan reaksi kusta tergantung pada tipe yang diderita oleh penderita.
Penatalaksanaan yang adekuat diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan kecacatan
yang terjadi. Komplikasi pada reaksi tipe 1 yaitu kerusakan saraf yang permanen. Komplikasi
reaksi tipe 2 yaitu dapat terjadi ulserasi lesi kulit, paralisis, kebutaan, dan kerusakan ginjal.
14
Daftar Pustaka
1. World Health Organization. Weekly Epidemiological Record- Global Leprosy:
Update on the 2012 Situation. No. 35, 30 August 2013. Available from: URL:
http://www.who.int/wer/2013/wer8835.pdf. Accessed December 8, 2013.
2. Lockwood DNJ. Leprosy. In : Burns Tony, Breathnach Stephen, Cox Nail and
Griffiths Christopher (Editor). Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Vol. 2. Wiley-
Blackwell, 2010: 29.1-32.19.
3. Prasad PVS. All About Leprosy. New Delhi: Jaypee Brother Medical Publisher, 2005.
4. Rea Thomas H and Modlin Robert L. Leprosy. In : Wolff Klauss, Goldsmith LA, Katz
SI, dan Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ (Editor). Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 7th Ed., Vol. 1. United States of America: McGraw-Hill, 2012 :
1786-96.
5. Departemen Kesehatan RI. Modul Epidemiologi Penyakit Kusta dan Program
Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Depkes RI, 2001 : 1-10.
6. Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta,
Cetakan XVIII, Jakarta: Depkes RI, 2006 : 4-138.
7. Ramos-e-Silva Maria, and Riberio de Castro MC. Mycobacterial Infection. In :
Bolognia Jena L., Jorizzo Joseph, and Schaffer Julie (editor). Dermatology. 3rd ed.
Vol. 1. China: Elsevier, 2011.
8. James William, Berger Timothy and Elston Dirk. Andrews’s Disease of the Skin;
Clinical Dermatology. Canada: Elsevier, 2009 : 343-51
9. Bryceson Anthony and Pfaltzgraff Roy E. Leprosy. 3rd ed. Singapore: Longman
Singapore Publishers, 1990.
15
Diskusi Kasus
1. Apakah gambaran khas dari tiap tipe reaksi ?
No Tipe 1 Tipe 2 Tipe 31 Spektrum BT, BB, BL, atau
TT dengan immunologic recovery selama dan setelah terapi
Lepromatous (BL, LL), terutama pasien dalam pengobatan
Latapi Lepromatosis
2 Lesi Kulit Lesi lama menjadi eritem dan edema
Pertumbuhan lesi kulit baru
Nodul baru muncul berkelompok
Patch eritem ireguler, nekrosis dan ulserasi, sembuh dengan stellate scar
Bula membentuk ulkus dalam, sembuh lama meninggalkan skar atrofi.
Lesi pada paha, tungkai, lengan bawah dan bokong.
3 Kerusakan Saraf
Sering terjadi neuritis akut dan kehilangan fungsi
Tidak terlalu parah Tidak parah
4 Sistemik Tidak umum terjadi Demam, mialgia, malaise
Afebril
5 Organ lain Iritis, orkitis, dan glomerulonefritis tidak terjadi
Artralgia, limfadenitis, iridosiklitis, hepatosplenomegali, orkitis, dan glomerulonefritis
Vaskulitis
Tabel 1. Perbedaan antara Reaksi Kusta Tipe 1, 2 dan 3.1,2
2. Apa reaksi yang paling berbahaya ?
Setiap reaksi berbahaya bagi penderita kusta. Namun, reaksi kusta tipe 1 meningkatkan
morbiditas dibanding reaksi kusta lainnya karena terdapat gangguan saraf seperti neuritis
dan gangguan fungsi. Reaksi kusta tipe 1 dapat menyebabkan kecacatan seperti clawing,
drop wrist dan drop feet. Sedangkan, reaksi tipe 3 meningkatkan mortalitas dibanding
reaksi kusta lainnya karena proses infeksi dan inflamasi yang terjadi di jaringan dan
lapisan endotel pembuluh darah dapat menyebabkan gangguan sistemik yang parah dan
fatal.3
3. Berapa lama kortikosteroid diberikan pada reaksi tipe 2 ?
16
Kortikosteroid diberikan sampai reaksi terkontrol (dengan tes fungsi saraf) pada dosis
maintenance. Berdasarkan WHO, kortikosteroid diberikan dan dilakukan tappering off
sampai dosis 5 mg sehari untuk minggu ke 11 dan 12 pengobatan. Jika setelah itu reaksi
telah terkontrol, maka kortikosteroid tidak diberikan lagi.4
4. Bagaimana pemberian kortikosteroid pada reaksi kusta berulang ?
Pada reaksi kusta berulang, dapat diberikan kortikosteroid dengan dosis yang
ditingkatkan atau dimulai dengan dosis baru (30-60 mg sehari) dan dilakukan tappering
off 10 mg setiap minggu sampai mencapai dosis harian 20 mg, kemudian dikurangi 5 mg
setiap minggu sampai mencapai 10 mg per hari. Pertahankan pada 5-10 mg per hari
selama beberapa minggu sampai reaksi terkontrol.5
Sumber :
1. Prasad PVS. All About Leprosy. New Delhi: Jaypee Brother Medical Publisher, 2005.
2. Ramos-e-Silva Maria, and Riberio de Castro MC. Mycobacterial Infection. In :
Bolognia Jena L., Jorizzo Joseph, and Schaffer Julie (editor). Dermatology. 3rd ed.
Vol. 1. China: Elsevier, 2011.
3. Lockwood DNJ. Leprosy. In : Burns Tony, Breathnach Stephen, Cox Nail and
Griffiths Christopher (Editor). Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Vol. 2. Wiley-
Blackwell, 2010: 29.1-32.19.
4. Bryceson Anthony and Pfaltzgraff Roy E. Leprosy. 3rd ed. Singapore: Longman
Singapore Publishers, 1990.
5. Kahawita IP, Sirimanna GMP, Satgurunathan K, and Athukorala DN. Guidelines On
The Management Of Leprosy Reactions. Sri Lanka College Of Dermatologists
Available from: URL: http://www.ilep.org.uk/fileadmin/uploads/Country
_Pages/Sri_Lanka/Guidelines_Management_Lep_Reactions.pdf Accessed December
8, 2013.