reaksi kustahhhhanananan

24
1 Tinjauan Pustaka REAKSI KUSTA Oleh : Shinta Dwijayanti, S.Ked 04124705028 Pembimbing : DR. Dr. Rusmawardiana, Sp.KK(K), FINSDV BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Upload: dita-dwi

Post on 21-Apr-2017

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: reaksi kustahhhhanananan

1

Tinjauan Pustaka

REAKSI KUSTA

Oleh :

Shinta Dwijayanti, S.Ked

04124705028

Pembimbing :

DR. Dr. Rusmawardiana, Sp.KK(K), FINSDV

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. MOHAMMAD HOESIN

PALEMBANG

2013

Page 2: reaksi kustahhhhanananan

2

REAKSI KUSTA

Shinta Dwijayanti, S.Ked

Kepaniteraan Klinik Senior Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr. Mohamad Hoesin Palembang

2013

PENDAHULUANPenyakit kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia.1 Penyakit infeksi ini

merupakan penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang

menyerang saraf tepi dan kulit. Kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang keliru

mengenai penyakit kusta dan deformitas yang ditimbulkan menyebabkan ketakutan bagi

masyarakat. Masyarakat awam menganggap kusta sebagai penyakit keturunan dan

menyebabkan kecacatan.2

Gejala klinis dari penyakit kusta meliputi lesi kulit hipopigmentasi atau eritem, rasa

nyeri pada persarafan dan mati rasa pada bagian tubuh atau pada lesi tertentu.3 Gejala tersebut

berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Diagnosis penyakit kusta dibangun dengan

ditemukannya tiga tanda kardinal, yaitu : lesi kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi, dan

terdapat bakteri tahan asam (BTA).3

Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta, yaitu proses inflamasi berkaitan dengan

reaksi imunologis yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan meningkatkan morbiditas

penyakit.2 Reaksi kusta sering terjadi akibat komplikasi pengobatan, tetapi dapat juga terjadi

sebelum atau sesudah pengobatan kusta.4 Reaksi kusta dibagi menjadi tiga yaitu reaksi kusta

tipe I, tipe II dan tipe III (Fenomena Lucio).2 Reaksi kusta meningkatkan morbiditas dari

penyakit kusta dan dapat menimbulkan kecacatan bagi penderitanya.4

Menurut WHO, jumlah penderita kusta baru di dunia pada tahun 2012 adalah sekitar

232.857 orang dan di Indonesia 22.390 orang.1 Prevalensi reaksi kusta di dunia adalah sekitar

1,2% dan di Indonesia sebanyak 5%.1,5 Sedangkan penderita kusta dengan reaksi di poliklinik

Dermatologi Infeksi IKKK RSMH tahun 2013 sebanyak 30 orang.

Menurut Depkes 2006, faktor pencetus reaksi kusta antara lain penderita dalam kondisi

stres fisik, kehamilan, sesudah melahirkan, sesudah mendapat imunisasi, penyakit malaria,

cacingan, karies gigi, penderita stres mental dan efek pemakaian obat untuk kekebalan

tubuh.6 Reaksi kusta yang terjadi pada penderita kusta diharapkan dapat diketahui sedini

Page 3: reaksi kustahhhhanananan

3

mungkin, sehingga penderita secepatnya mendapat penanganan dan kecacatan akibat reaksi

dapat dihindari.6

Banyaknya jumlah penderita kusta di Indonesia serta pentingnya penatalaksanaan saat

reaksi kusta menjadi landasan dalam penyusunan tinjauan pustaka ini. Pengenalan dan

penatalaksanaan reaksi kusta yang adekuat diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas

dan kecacatan yang terjadi.

DEFINISIPenyakit kusta merupakan penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi dan kulit.2 Menurut Ridley dan Jopling

(1962), kusta terbagi menjadi empat tipe yaitu Typical Tuberculoid (TT), Borderline

Tuberkuloid (BT), Borderline-Borderline (BB), Borderline Lepromatous (BT), dan

Lepromatous leprosy (LL).3

Pada keadaan kusta kronik, dapat terjadi suatu episode akut yaitu reaksi kusta. Reaksi

kusta merupakan proses inflamasi berkaitan dengan reaksi imunologis yang mengakibatkan

kerusakan jaringan dan meningkatkan morbiditas penyakit..2 Reaksi kusta dapat terjadi pada

kusta tipe borderline, tuberkuloid dan lepromatous.3

ETIOPATOGENESISMekanisme terjadinya reaksi masih belum jelas. Pada reaksi tipe 1, terjadi reaksi

upgrading (reversal) yaitu perubahan tipe spektrum BT menjadi TT. Reaksi ini terjadi karena

imunitas seluler yang baik terhadap antigen Mikobakterium. Terjadi peningkatan

hipersensitivitas tipe lambat terhadap M. leprae dan antigennya, menghasilkan pelepasan

Tumor Necrosis Factors(TNF), Interferon (IFN) dan Interleukin-2 (IL-2) dalam jumlah besar.

Mekanisme belum sepenuhnya diketahui tetapi ada dua hal yang terjadi yaitu peningkatan

reaksi hipersensitivitas atau peningkatan antigen yang dideteksi oleh imunitas pada beberapa

tempat.3 Reaksi ini dapat terjadi pada masa puerperium, saat imunitas kembali sempurna.

Reaksi downgrading adalah perubahan imunitas seluler yaitu hilangnya imunitas seluler.

Keseimbangan hipersensitivitas/antigen kalah oleh peningkatan jumlah basil.3

Penyebab timbulnya reaksi kusta tipe 2 belum diketahui secara pasti tetapi ada beberapa

faktor pencetus yaitu stres fisik atau psikologis, konsumsi alkohol, perubahan cuaca, stres

operasi, pubertas, laktasi, kehamilan, dan infeksi piogenik3,4

Pada reaksi tipe 2 terjadi reaksi antigen antibodi pada dinding pembuluh darah. Antigen

merupakan antigen M. leprae yang bereaksi dengan antibodi sirkulasi humoral. Kompleks

Page 4: reaksi kustahhhhanananan

4

antigen antibodi yang terbentuk pada dinding pembuluh darah dan glomerulus akan menarik

neutrofil. Terjadi peningkatan Immunoglobulin G (IgG), Immunoglobulin M (IgM),

Complement Component 2 (C2) dan Complement Component 3 (C3). 3

Reaksi imun pasien terhadap basil M. leprae menjadi elemen penting dalam

menentukan hasil dari infeksi. Pada TT, terbentuk granuloma yang berisi sel T helper (Th),

dengan sitokin inflamasi dari imunitas seluler yang baik yaitu IFN-1 dan IL-2. Sementara

pada pasien LL terbentuk granuloma yang didominasi sel T supressor, dengan sitokin

inflamasi dari imunitas seluer yang turun yaitu turunnya IFN-1 dan IL-2 (mengakibatkan

penurunan imunitas seluler) dan peningkatan IL-4, IL-5 dan IL-10 (meningkatkan fungsi

supresor dan produksi antibodi). Pada LL, terjadi presentasi sel Th2 sebagai respon. Lesi LL

mengandung banyak Cyclooxygenase 2 (COX-2) dan prostaglandin. 3

Ketika bakteri mati dan pecah, bakteri melepaskan banyak antigen. Faktor pencetus

menyebabkan terjadinya infiltrasi sel Th2 yang menghasilkan beberapa sitokin contohnya IL-

4 untuk menginduksi sel B menjadi sel plasma, kemudian terbentuk antigen-antibodi.

Selanjutnya membentuk kompleks imun dalam pembuluh darah sehingga mengendap pada

beberapa jaringan atau organ dan mengaktifkan sistem komplemen. Komplemen bergabung

dengan antigen antobodi menghasilkan faktor polimorfonuklear leukotaktik. Komplek ini

difagosit oleh neutrofil dan melepas substansi inflamasi tambahan seperti prostaglandin,

peptida vasodilator, kemotaksis dan lisosom yang mencerna membran basalis, kolagen,

elastin, dan kartilago sehingga menyebabkan inflamasi dan nekrosis. 3

KLASIFIKASIReaksi kusta terbagi menjadi tiga yaitu :

1. Reaksi Kusta Tipe 1

Reaksi ini umumnya terjadi pada kusta borderline dan memiliki karakteristik

neuritis akut dan atau lesi kulit dengan inflamasi. Saraf menjadi keras disertai

hilangnya fungsi sensorik dan motorik. Lesi yang telah ada menjadi eritem atau edema

dan bisa terdeskuamasi atau menjadi ulkus (jarang). Edema wajah, tangan atau kaki

jarang muncul. Reaksi tipe 1 bisa terjadi secara spontan tetapi umumnya terjadi setelah

memulai terapi atau selama masa puerperium.1 Reaksi tipe 1 memiliki dua tipe yaitu :

a. Reaksi upgrading (reversal)

Page 5: reaksi kustahhhhanananan

5

Pada reaksi reversal, terjadi perubahan tipe spektrum BT menjadi spectrum

TT. Reaksi ini terjadi karena imunitas seluler terhadap antigen Mikobakterium

yang baik. Terjadi peningkatan hipersensitivitas tipe lambat terhadap M. leprae

dan antigennya, menghasilkan pelepasan TNF, IFN dan IL-2 dalam jumlah besar.

Mekanisme belum sepenuhnya diketahui tetapi ada dua hal yang terjadi yaitu

peningkatan reaksi hipersensitivitas atau peningkatan antigen yang dideteksi oleh

imunitas pada beberapa tempat.3

b. Reaksi downgrading

Pada reaksi reversal, terjadi perubahan tipe spektrum borderline menjadi

spectrum LL. Reaksi ini dapat terjadi pada pasien yang tidak mendapat

pengobatan. Lesi multipel yang baru muncul dan memiliki karakteristik lesi LL

yaitu lesi kecil, simetris dan tidak berbatas tegas. BTA mungkin tampak pada lesi

baru. Nodus limfe regional mungkin membesar dan basil tampak pada Fine Needle

Aspiration Cytology (FNAC). Pasien risiko tinggi yaitu spektrum borderline

dengan 10 lesi kulit dan penebalan saraf lebih dari tiga.3

Reaksi ini dapat terjadi akibat perubahan imunitas seluler yaitu hilangnya

imunitas seluler. Keseimbangan hipersensitivitas/antigen kalah oleh peningkatan

jumlah basil. Reaksi juga dapat terjadi akibat respon autoimun terhadap heat shock

protein (protein antigen mayor pada M. leprae - 70 kD, 65 kD, 18 kD, 18 kD dan

10 kD).3

2. Reaksi Kusta Tipe 2

Reaksi ini terjadi pada kusta tipe multibasiler (LL dan BL) secara spontan atau

selama pengobatan.2 Reaksi ini dapat terjadi 1 atau 2 tahun setelah selesai

pengobatan.3 Pengobatan monoterapi dengan dapson, 50% penderita LL mengalami

reaksi Erythema Nodosum Leprosum (ENL) tetapi dengan rejimen pengobatan terbaru

yang mengandung klofazimin, menjadi 15%. Awalnya, serangan biasanya akut tetapi

bisa memanjang dan berulang selama beberapa tahun dan bisa tak terlihat, terutama

pada mata. ENL adalah gangguan sistemik yang menyebabkan demam dan malaise,

bisa disertai uveitis, daktilitis, arthritis, neuritis, limfadenitis, miositis dan orkitis.

Neuritis dan uveitis perifer saraf dengan komplikasinya yaitu sinekia, katarak dan

glaukoma adalah komplikasi paling serius pada ENL.2 Reaksi tipe 2 dapat terjadi

secara :7

Page 6: reaksi kustahhhhanananan

6

a. Akut. Terdapat nodul merah yang nyeri (superfisial atau dalam), berbentuk

seperti kubah, batas tidaktegas, mengkilap, dan keras. Dapat terjadi ulserasi,

mengeluarkan pus kuning kental, terjadi di wajah, ekstensor tungkai. Lesi

bertahan beberapa hari dan menghilang dengan warna keunguan dan

sekitarnya mengeras.

b. Kronik. Indurasi yang kuat kebanyakan di ekstensor paha, betis dan lengan

bawah.

Reaksi tipe 2 memiliki dua tipe yaitu :2

a. Intermiten. Terdiri atas :

Mild : serangan berlangsung selama 2 pekan diikuti oleh periode

bebas reaksi selama 1 bulan

Severe : berhubungan dengan temperatur tinggi, malaise, lesi kulit

ulseratif, saraf menebal, hilang fungsi saraf, pembengkakan sendi,

albuminuria persisten, dan edema nonpitting pada tangan, wajah dan

kaki.

b. Kontinu

Lesi kulit terjadi secara cepat, tidak disertai periode bebas reaksi, serangan

parah dan kontinu. Pasien seperti ini membutuhkan steroid selama 2 atau 3

bulan.

No Tipe 1 Tipe 21 Spektrum BT, BB, BL, atau TT dengan

immunologic recovery selama dan setelah terapi

Lepromatous (BL, LL), terutama pasien dalam pengobatan

2 Lesi Kulit Lesi lama menjadi eritem dan edema

Pertumbuhan lesi kulit baru

Nodul baru muncul berkelompok

3 Kerusakan Saraf

Sering terjadi neuritis akut dan kehilangan fungsi

Tidak terlalu parah

4 Sistemik Tidak umum terjadi Demam, mialgia, malaise5 Organ lain Iritis, orkitis, dan

glomerulonefritis tidak terjadiArtralgia, limfadenitis, iridosiklitis, hepatosplenomegali, orkitis, dan glomerulonefritis

6 Pengulangan Pengulangan jarang terjadi Pengulangan biasanya terjadi7 BTA Tidak ditemukan Ditemukan basil rusak8 Pemeriksaan

laboratoriumRutin : normal Urin : albuminuria

9 Patogenesis Peningkatan imunitas seluler dengan pola sitokin Th1

Reaksi antigen antibodi tipe 4 (Gel dan Coombs)

Imunitas humoral dengan pola sitokin Th2 dan formasi kompleks imun, bisa diikuti dengan peningkatan imunitas

Page 7: reaksi kustahhhhanananan

7

seluler Reaksi antigen antibodi tipe 3

(peningkatan IgG, IgM,C2 dan C3)

Vaskulitis pembuluh darah kecil kutaneus dan sistemik

10 Histopatologi Edema dengan pengurangan basil dan peningkatan limfosit. Granuloma tidak teratur.

Edema dengan infiltrat neutrofil dan vaskulitis

Tabel 1. Perbedaan Antara Reaksi Tipe 1 dan Tipe 23,7

3. Reaksi Kusta Tipe 3 (Fenomena Lucio)

Reaksi Lucio terjadi pada pasien yang menderita kusta Lucio atau Latapi

Lepromatosis. Reaksi ini terjadi karena infark akibat vaskulitis kutaneus yang dalam

dan menyebabkan patch eritem ireguler yang menjadi gelap dan sembuh, atau

membentuk bula dan nekrosis, meninggalkan ulkus dalam yang lambat sembuh.2

Reaksi ini terdiri atas infiltrasi kutaneus difus, warna keunguan di tangan dan kaki,

gambaran telangiektasis dan telangiektasis erupsi, perforasi septum nasal, alopesia

total dari alis dan bulu mata. Nodul subkutan dapat diraba tapi tidak terlihat. Lesi

terasa nyeri tetapi tidak keras saat diraba, berkrusta dan sembuh dengan meninggalkan

stellate scar.2

MANIFESTASI KLINISManifestasi klinis penyakit kusta sangat beragam, dapat mengenai kulit, mukosa mulut,

saluran nafas atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, kecuali susunan saraf pusat.

Penyakit kusta memiliki 3 tanda kardinal yaitu lesi anestesi (makula hipopigmentasi, papul

atau nodul), pembesaran saraf, adanya M. leprae pada pemeriksaan Ziehl Nelssen.2

Gejala yang terlihat pada suatu reaksi yaitu :2

1. Reaksi tipe 1

a. Lesi mengkilap, edema dan eritem pada lesi lama, dapat muncul lesi baru. Ulkus

dan deskuamasi pada reaksi parah. Lesi kecil, simetris dan tak berbatas tegas

pada reaksi downgrading (karakteristik lesi LL).

b. Saraf banyak yang menebal, nyeri, disertai hilangnya fungsi sensorik dan

motorik yang akut.

c. Gejala sistemik jarang ada

Page 8: reaksi kustahhhhanananan

8

Gambar 1. Reaksi Tipe 1 pada Penderita BL4

2. Reaksi tipe 2

a. Lesi berupa nodul baru subkutan yang eritem, hangat, bengkak, dan keras

(diameter 0,5-3 cm) dengan predileksi muka, paha, dan kaki.

b. Banyak saraf mengalami anestesia, kelemahan atau paralisis.

c. Gejala sistemik berupa demam, mialgia, malaise, sakit kepala, nyeri sendi, iritis,

limfadenopati, rinitis, epistaksis dan proteinuria.

Gambar 2. Lesi ENL pada Penderita LL4

3. Reaksi tipe 3

a. Lesi berupa patch eritem ireguler, nyeri, tengahnya nekrosis dan ulserasi,

sembuh dengan stellate scar. Bula muncul membentuk ulkus yang dalam,

sembuh lama dengan meninggalkan skar atrofi. Lesi pada paha, tungkai, lengan

bawah dan bokong.

b. Gejala sistemik berupa afebril, vaskulitis

Page 9: reaksi kustahhhhanananan

9

Gambar 3. Lesi pada Reaksi Lucio pada Penderita Latapi

Lepromatosis4

DIAGNOSIS BANDINGDiagnosis banding reaksi kusta tipe 1 (reversal) yaitu kusta yang relaps. Perbedaan

antara reaksi tipe 1 dan tipe 2 dapat dilihat pada tabel berikut.

Reaksi reversal Relaps1 Onset Dalam 4-6 pekan selama atau 6

bulan setelah berhenti terapiSetelah satu tahun berhenti terapi

2 Kecepatan onset Tiba-tiba bisa terjadi saat malam Lambat3 Nyeri Sering, bisa terjadi pada saraf Tidak ada4 Lesi baru Beberapa lesi baru muncul Lesi baru minimal5 Lesi lama Mengkilap, eritem dan bengkak Eritem dan infiltrasi hanya pada tepi6 Saraf Banyak saraf sakit, keras dan

hilang fungsiBisa terjadi pada satu atau beberapa saraf, hilang fungsi saraf lambat

7 Terapi tanpa steroid

Sempurna -

8 Gangguan sistemik

+/- Tidak ada

9 BTA Negatif PositifTabel 2. Perbedaan antara Reaksi Reversal dan Relaps3

Diagnosis banding reaksi tipe 2 yaitu Panniculitis (termasuk eritema nodosum)

merupakan Inflamasi dermatosis  yang mengenai subkutis menghasilkan nodul – nodul

subkutan. ENL muncul berkelompok, menyebar dan sembuh cukup cepat sementara eritema

nodosum lama sembuh.7

PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan penunjang pada reaksi dapat berupa pemeriksaan histopatologi, yaitu :3

Page 10: reaksi kustahhhhanananan

10

1. Reaksi tipe 1

Edema yang meluas di granuloma, peningkatan limfosit secara cepat dan proliferasi

difus dari fibroblas, adanya foreign body giant cell, bercak nekrosis fibrin pada

reaksi upgrading dan hilangnya fokalisasi pada granuloma (reaksi downgrading).

Gambar 4. Reaksi Tipe 1 pada BT3

2. Reaksi tipe 2

Reaksi ENL atau Arthus yaitu adanya granuloma, neutrofil mendominasi infiltrat

inflamasi, basil yang rusak, edema pada lapisan vena, arteriola, dan arteri kecil pada

lesi ENL. Pembengkakan pada endotelium dengan infiltrasi neutrofil disebut

vaskulitis. Pembuluh darah dapat menunjukkan nekrosis yang disebut eritema

nekrotikan.

3. Reaksi tipe 3

Reaksi ini menunjukkan kemiripan pada reaksi Arthus. Epidermis menunjukkan

nekrosis keratinosit yang lebih banyak, vaskulitis parah pada dermis atas dan

tengah. BTA banyak ditemukan pada endotelial pembuluh darah. Vaskulitis pada

pembuluh darah yang lebih besar pada kondisi parah.

PENATALAKSANAANPengobatan berdasarkan tipe reaksi :

1. Reaksi Tipe 1

Terapi untuk reaksi tipe 1 biasanya dengan kortikosteroid.

Page 11: reaksi kustahhhhanananan

11

Prednison (peroral) 40-60 mg/hari atau 0,5-1,0 mg/kg/hari selama lebih dari

6 bulan. Ketika reaksi terkontrol, dilakukan tappering off berdasarkan WHO

yaitu :3,8

o 40 mg sekali sehari untuk 2 minggu

o 30 mg sekali sehari untuk minggu 3 dan 4

o 20 mg sekali sehari untuk minggu 5 dan 6

o 15 mg sekali sehari untuk minggu 7 dan 8

o 10 mg sekali sehari untuk minggu 9 dan 10

o 5 mg sekali sehari untuk minggu 11 dan 12

Klofazimin 300 mg/hari bisa ditambahkan dalam pengobatan.8

Siklosporin bisa digunakan jika terapi steroid gagal, dengan dosis 5-10

mg/kg. Jika selama pengobatan, fungsi saraf gagal berkembang sementara

fungsi lainnya kembali normal, kemungkinan kompresi manual harus

dievaluasi melalui eksplorasi bedah. Transposisi nervus ulnaris tampaknya

tidak lebih efektif dibanding terapi imunosupresi untuk disfungsi nervus

ulnaris.8

2. Reaksi tipe 2 :8

Talidomid merupakan pilihan utama pengobatan reaksi tipe 2 karena

keefektivitasannya. Dosis awal sampai 400 mg/hari pada pasien dengan

berat badan lebih dari 50 kg. Dosis ini sangat sedatif, sehingga memiliki

efek samping pada sistem saraf pusat. Maka, pengobatan dengan dosis

tinggi diberikan pada jangka waktu singkat. Pada kasus sedang, dimulai

dengan dosis awal 100-200 mg/kg. Pada kasus ENL akut, obat dihentikan

setelah beberapa pekan atau bulan. Pada reaksi tipe 2 kronik, usaha

penghentian obat dilakukan setelah 6 bulan.

Jika pada penggunaan Talidomid, keefektivitasannya hanya setengah maka

dapat diberikan prednison 0,5-1 mg/kg, tappering off setiap 6-8 bulan.

Klofazimin dosis tinggi (hingga 300 mg/hari) efektif pada ENL dan bisa

digunakan sendiri atau untuk mengurangi dosis kortikosteroid atau

Talidomid.

Page 12: reaksi kustahhhhanananan

12

Kombinasi Pentoksifillin 400-800 mg 2 kali/hari dan Klofazimin 30 mg/hari

dapat digunakan jika thalidomide tidak dapat diberikan atau untuk

menghindari penggunaan steroid sistemik untuk pengobatan ENL berat.

TNF inhibitor, seperti infliximab, efektif mengobati ENL yang berulang.

3. Reaksi tipe 3

Tidak efektif dengan Talidomid dan klofazimin.9

Kemoterapi antimikrobial yang mengandung rifampisin merupakan terapi

yang dianjurkan, bersama dengan manajemen luka untuk ulkus kaki.8

Steroid dapat diberikan dengan dosis seperti pada reaksi tipe 2.9

KOMPLIKASIKomplikasi pada reaksi tipe 1 yaitu kerusakan saraf yang permanen. Komplikasi reaksi

tipe 2 yaitu dapat terjadi ulserasi lesi kulit, paralisis, kebutaan, dan kerusakan ginjal.2,3

PROGNOSISPada kasus reaksi ringan, dapat sembuh dalam beberapa bulan. Sedangkan pada reaksi

berat, sembuh dalam waktu yang lebih lama lagi atau meninggal jika sudah terjadi reaksi

kusta parah.4

KESIMPULANReaksi kusta merupakan keadaan eksaserbasi yang dapat terjadi pada kusta tipe

borderline, tuberkuloid dan lepromatosa. Reaksi kusta sering terjadi akibat komplikasi

pengobatan, tetapi dapat juga terjadi sebelum atau sesudah pengobatan kusta. Reaksi kusta

dibagi menjadi tiga yaitu reaksi kusta tipe I, tipe II dan tipe III (Fenomena Lucio).

Penyebab timbulnya reaksi kusta belum diketahui secara pasti tetapi ada beberapa faktor

pencetus terjadinya yaitu stres fisik atau psikologis, konsumsi alkohol, perubahan cuaca, stres

operasi, pubertas, laktasi, kehamilan, dan infeksi piogenik.

Reaksi tipe 1 umumnya terjadi pada kusta borderline dan memiliki karakteristik neuritis

akut (saraf keras serta fungsi sensorik dan motorik hilang) dan atau lesi kulit dengan

inflamasi. Reaksi tipe 2 terjadi pada kusta tipe multibasiler (LL dan BL) dan kebanyakan

berupa nodul merah yang nyeri pada wajah dan permukaan ekstensor tungkai disertai

gangguan sistemik yang menyebabkan demam dan malaise, bisa disertai uveitis, daktilitis,

arthritis, neuritis, limfadenitis, miositis dan orkitis. Reaksi Lucio terjadi pada kusta Lucio atau

Page 13: reaksi kustahhhhanananan

13

Latapi Lepromatosis karena infark akibat vaskulitis kutaneus yang dalam dan menyebabkan

patch eritem ireguler yang menjadi gelap dan sembuh, atau membentuk bula dan nekrosis,

meninggalkan ulkus dalam yang lambat sembuh.

Penatalaksanaan reaksi kusta tergantung pada tipe yang diderita oleh penderita.

Penatalaksanaan yang adekuat diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan kecacatan

yang terjadi. Komplikasi pada reaksi tipe 1 yaitu kerusakan saraf yang permanen. Komplikasi

reaksi tipe 2 yaitu dapat terjadi ulserasi lesi kulit, paralisis, kebutaan, dan kerusakan ginjal.

Page 14: reaksi kustahhhhanananan

14

Daftar Pustaka

1. World Health Organization. Weekly Epidemiological Record- Global Leprosy:

Update on the 2012 Situation. No. 35, 30 August 2013. Available from: URL:

http://www.who.int/wer/2013/wer8835.pdf. Accessed December 8, 2013.

2. Lockwood DNJ. Leprosy. In : Burns Tony, Breathnach Stephen, Cox Nail and

Griffiths Christopher (Editor). Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Vol. 2. Wiley-

Blackwell, 2010: 29.1-32.19.

3. Prasad PVS. All About Leprosy. New Delhi: Jaypee Brother Medical Publisher, 2005.

4. Rea Thomas H and Modlin Robert L. Leprosy. In : Wolff Klauss, Goldsmith LA, Katz

SI, dan Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ (Editor). Fitzpatrick’s Dermatology in

General Medicine. 7th Ed., Vol. 1. United States of America: McGraw-Hill, 2012 :

1786-96.

5. Departemen Kesehatan RI. Modul Epidemiologi Penyakit Kusta dan Program

Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Depkes RI, 2001 : 1-10.

6. Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta,

Cetakan XVIII, Jakarta: Depkes RI, 2006 : 4-138.

7. Ramos-e-Silva Maria, and Riberio de Castro MC. Mycobacterial Infection. In :

Bolognia Jena L., Jorizzo Joseph, and Schaffer Julie (editor). Dermatology. 3rd ed.

Vol. 1. China: Elsevier, 2011.

8. James William, Berger Timothy and Elston Dirk. Andrews’s Disease of the Skin;

Clinical Dermatology. Canada: Elsevier, 2009 : 343-51

9. Bryceson Anthony and Pfaltzgraff Roy E. Leprosy. 3rd ed. Singapore: Longman

Singapore Publishers, 1990.

Page 15: reaksi kustahhhhanananan

15

Diskusi Kasus

1. Apakah gambaran khas dari tiap tipe reaksi ?

No Tipe 1 Tipe 2 Tipe 31 Spektrum BT, BB, BL, atau

TT dengan immunologic recovery selama dan setelah terapi

Lepromatous (BL, LL), terutama pasien dalam pengobatan

Latapi Lepromatosis

2 Lesi Kulit Lesi lama menjadi eritem dan edema

Pertumbuhan lesi kulit baru

Nodul baru muncul berkelompok

Patch eritem ireguler, nekrosis dan ulserasi, sembuh dengan stellate scar

Bula membentuk ulkus dalam, sembuh lama meninggalkan skar atrofi.

Lesi pada paha, tungkai, lengan bawah dan bokong.

3 Kerusakan Saraf

Sering terjadi neuritis akut dan kehilangan fungsi

Tidak terlalu parah Tidak parah

4 Sistemik Tidak umum terjadi Demam, mialgia, malaise

Afebril

5 Organ lain Iritis, orkitis, dan glomerulonefritis tidak terjadi

Artralgia, limfadenitis, iridosiklitis, hepatosplenomegali, orkitis, dan glomerulonefritis

Vaskulitis

Tabel 1. Perbedaan antara Reaksi Kusta Tipe 1, 2 dan 3.1,2

2. Apa reaksi yang paling berbahaya ?

Setiap reaksi berbahaya bagi penderita kusta. Namun, reaksi kusta tipe 1 meningkatkan

morbiditas dibanding reaksi kusta lainnya karena terdapat gangguan saraf seperti neuritis

dan gangguan fungsi. Reaksi kusta tipe 1 dapat menyebabkan kecacatan seperti clawing,

drop wrist dan drop feet. Sedangkan, reaksi tipe 3 meningkatkan mortalitas dibanding

reaksi kusta lainnya karena proses infeksi dan inflamasi yang terjadi di jaringan dan

lapisan endotel pembuluh darah dapat menyebabkan gangguan sistemik yang parah dan

fatal.3

3. Berapa lama kortikosteroid diberikan pada reaksi tipe 2 ?

Page 16: reaksi kustahhhhanananan

16

Kortikosteroid diberikan sampai reaksi terkontrol (dengan tes fungsi saraf) pada dosis

maintenance. Berdasarkan WHO, kortikosteroid diberikan dan dilakukan tappering off

sampai dosis 5 mg sehari untuk minggu ke 11 dan 12 pengobatan. Jika setelah itu reaksi

telah terkontrol, maka kortikosteroid tidak diberikan lagi.4

4. Bagaimana pemberian kortikosteroid pada reaksi kusta berulang ?

Pada reaksi kusta berulang, dapat diberikan kortikosteroid dengan dosis yang

ditingkatkan atau dimulai dengan dosis baru (30-60 mg sehari) dan dilakukan tappering

off 10 mg setiap minggu sampai mencapai dosis harian 20 mg, kemudian dikurangi 5 mg

setiap minggu sampai mencapai 10 mg per hari. Pertahankan pada 5-10 mg per hari

selama beberapa minggu sampai reaksi terkontrol.5

Sumber :

1. Prasad PVS. All About Leprosy. New Delhi: Jaypee Brother Medical Publisher, 2005.

2. Ramos-e-Silva Maria, and Riberio de Castro MC. Mycobacterial Infection. In :

Bolognia Jena L., Jorizzo Joseph, and Schaffer Julie (editor). Dermatology. 3rd ed.

Vol. 1. China: Elsevier, 2011.

3. Lockwood DNJ. Leprosy. In : Burns Tony, Breathnach Stephen, Cox Nail and

Griffiths Christopher (Editor). Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Vol. 2. Wiley-

Blackwell, 2010: 29.1-32.19.

4. Bryceson Anthony and Pfaltzgraff Roy E. Leprosy. 3rd ed. Singapore: Longman

Singapore Publishers, 1990.

5. Kahawita IP, Sirimanna GMP, Satgurunathan K, and Athukorala DN. Guidelines On

The Management Of Leprosy Reactions. Sri Lanka College Of Dermatologists

Available from: URL: http://www.ilep.org.uk/fileadmin/uploads/Country

_Pages/Sri_Lanka/Guidelines_Management_Lep_Reactions.pdf Accessed December

8, 2013.