rangkuman semantik
TRANSCRIPT
SEMANTIK
Rangkuman Relasi dan Perubahan Makna
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Semantik
Dosen Pengampu: Drs. Hari Bakti Mardikantoro, M.Hum.
Oleh :
Aristia Fatmawati
2101410119
Rombel 4 (Pindahan dari rombel 3)
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
Relasi Makna
Setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia seringkali kita temui adanya hubungan
kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa dengan kata atau satuan
bahasa lainnya. Bab ini membicarakan relasi makna yang meliputi sinonimi, antonimi, polisemi,
homonimi, hiponimi, dan ambiguitas.
1. Sinonimi
Secara etimologi kata Sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang
berarti “nama ” dan syn yang berarti “dengan”. Oleh karena itu, secara harfiah kata sinonimi
berarti “nama lain untuk benda atau hl yang sama”. Secara semantik, Verhaar (1978) dan Chaer
(1990) member pengertian sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frasa, atau kalimat) yang
maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Misalnya antara kata benar dengan
betul.
Relasi Sinoimi ini bersifat dua arah. Maksudnya, kalau suatu ujaran A bersinonim dengan
satuan ujaran B. Maka suatu ujaran B itu bersinonim dengan ujaran A. dua buah ujaran yang
bersinonim maknanya tidak akan persis sama, dikarenakan beberapa faktor, yaitu :
1. Faktor Waktu
2. Faktor Tempat atau Daerah
3. Faktor Sosial
4. Faktor Bidang Kegiatan
5. Faktor Nuansa Makna
2. Antonimi
Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti “nama” dan anti
yang berarti “melawan”. Maka secara harfiah, antonimi berarti “nama lin untuk benda lain pula”.
Secara semantic, Verhaar (1978) dan Chaer (1990)mendefinisikan antonimi sebagai ungkapan
(biasanya berupa kata, tetapi dapat pula frasa atau kalimat)yang dianggap kebalikan dengan
makna ungkapan lain. Definisi lain antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan
ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu
dengan lainnya. Misalnya kata buruk >< baik, hidup >< mati. Antonimi juga bersifat dua arah.
Menurut sifat dan hubungannya, antonimi dibedakan menjadi :
1. Antonim bersifat mutlak
2. Antonim bersifat relative atau bergradasi
3. Antonim bersifat relasional
4. Antonim bersifat hierarkial
5. Antonim bersifat majemuk
3. Polisemi
Diartikal sebagai satuan bahasa (kata atau frasa) yang memiliki makna lebih dari satu.
Kata atau ujaran disebut polisemi kalau kata itu mempunyai makna lebih dari satu. Namun
sebenarnya makna tersebut masih berhubungan. Polisemi kadangkala disamakan saja dengan
homonimi, padahal keduanya berbeda. Misalnya kata kepala memiliki makna (1) bagian tubuh
manusia (2)ketua atau pemimpin (3) sesuatu yang berada diatas, dll.
4. Hominimi
Homonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu onoma yang berarti “nama” dan
homos yang berarti “sama”. Jadi, secara harafiah homonimi dapat diartikan sebagai ‘nama sama
untuk benda lain’. Secara semantis, Verhaar mendefinisikan homonimi sebagai ungkapan (kata,
frase, atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain tetapi berbeda makna. Misalnya
pada kata pacar yang bermakna inai dan yang bermakna kekasih. Kata-kata yang berhomonim
dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu Homonim yang: (a) homograf, (b) homofon, dan (c)
homograf dan homofon.
5. Hiponimi
Kata hiponimi berasal dari Yunani Kuno yang terdiri dari kata onoma ‘nama’ dan
hypo’di bawah’. Secara harfiah hiponimi berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain
(Verhaar, 1993). Secara semantis, hiponimi dapat didefinisikan sebagai ungkapan (kata, frase,
ata kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna ungkapan lain. Dalam
Misalnya kata Merpati dan Burung. Merpati tercakup dalam makna kata burung, namun burung
bukan hanya merpati. Hiponimi bersifat searah.
6. Ambiguitas
Ambiguitas sering diartikan sabagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti (Chaer,
1990:107). Perbedaannya dengan polisemi adalah, jika polisemi letak pada kegandaan kata,
sedangkan kegandaan makna ambiguitas terdapat dari satuan gramatikal yang lebih besar.
Misalnya frasa buku sejarah baru , dapat diartikan : (1) buku sejarah itu baru terbit, (2)buku itu
berisi sejarah zaman baru.
Ambiguitas dapat terjadi pada komunikasi lisan maupun tulisan. Namun, biasanya terjadi
pada komunikasi tulisan. Dalam komunikasi lisan, ambiguitas dapat dihindari dengan
penggunaan intonasi yang tepat. Ambiguitas pada komunikasi tulisan dapat dihindari dengan
penggunaan tanda baca yang tepat. Makna-makna dalam bahasa Indonesia dapat mengalami
perubahan makna, seperti perluasan makna, penyempitan makna, penghalusan makna, dan
pengasaran makna.
Perubahan Makna
A. Perubahan makna dapat terjadi oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Perkembangan bidang ilmu dan teknologi.
Perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi dapat menyebabkan terjadinya
perubahan makna sebuah kata (Chaer 1990:136). Sebuah kata yang awalnya mengandung konsep
makna mengenai sesuatu yang sederhanasederhanaMisalnya kata berlayar dahulu mengandung
makna ‘melakukan perjalanan dengan kapal atau perahu yang digerakkan tenaga layar’, tetapi
untuk sekarang pun masih digunakan untuk menyebut perjalanan di air itu.
2. Perkembangan Sosial dan Budaya
Perkembangan dalam bidang social kemasyarakatan dapat menyebabkan terjadinya
perubahan makna (Chaer 1990:137). Misalnya kata sarjana dulu bermakna ‘orang cerdik pandai’,
tetapi kini kata sarjana itu hanya bermakna ‘orang yang telah lulus dari perguruan
tinggi’. Perkembangan pemakaian kata. Umpamanya, kata jurusan yang berasal dari bidang lalu
lintas kini digunakan juga dalam bidang pendidikan dengan makna bidang studi.
3. Perbedaan Bidang Pemakaian
Setiap bidang tertentu memiliki kosa kata yang hanya dikenal dan digunakan dengan
makna tertentu dalam bidang tersebut. Oleh karena itu, kata-kata tersebut menjadi memiliki
makna baru disamping makna aslinya (yang berlaku dalam bidangnya). Misalnya kata
menggarap yang berasal dari bidang pertanian, kini banyak juga digunakan dalam bidang lain,
yaitu bisa dimaknai ‘mengerjakan’, seperti dalam contoh menggarap skripsi.
4. Adanya Asosiasi
Makna baru yang muncul akibat adanya asosiasi ini berkaitan dengan hal atau peristiwa
lain yang berkenaan dengan kata tersebut (Chaer 1990:140). Maksudnya adalah adanya
hubungan antar sebuah bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain yang berkenaan dengan bentuk
ujaran tersebut. Misalnya, kata amplop. Makna amplop sebenarnya adalah ‘sampul surat’. Tetapi
dalam kalimat supaya urusan cepat beres, beri saja amplop, amplop itu bermakna ‘uang sogok’.
6. Pertukaran Tanggapan Indera
Dalam penggunaan bahasa banyak sekali terjadi kasus pertukaran tanggapan antara
indera yang satu dengan indera yang lain. Misalnya, rasa pedas seharusnya ditanggapi dengan
indra perasa lidah menjadi ditanggapi oleh alat pendengar telinga, seperti dalam ujaran kata-
katanya sangat pedas. Pertukaran alat indera ini disebut dengan istilah sinestesia.
7. Perbedaan Tanggapan
Setiap unsur leksikal atau kata sebenarnya secara sinkronik telah mempunyai makna
leksikal yang tetap. Namun karena pandangan hidup dan ukuran dalam norma kehidupan di
dalam masyarakat, maka banyak kata yang menjadi memiliki nilai rasa yang “rendah” dan
kurang menyenangkan. Dan ada juga yang memiliki rasa “tinggi” atau yang menyenangkan.
Kata yang nilainya merosot disebut peyoratif, sedangkan yang nilainya naik menjadi tinngi
disebut ameliorasi. Kata bini saat ini dianggap peyorasi sedangkan kata istri dianggap ameliorasi.
8. Adanya Penyingkatan
Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau ungkapan yang karena sering digunakan,
maka tanpa dituliskan atau diucapkan secara keseluruhan orang sudah mengerti maksudnya.
Oleh karena itu, orang lebih banyak menggunakan singkatanya saja daripada menggunakan
bentuk utuhnya. Misalnya kalau dikatakan Ayahnya meninggal tentu maksudnya meninggal
dunia. Jadi meninggal adalah bentuk singkatan dari meninggal dunia.
9. Pengembangan Istilah
Salah satu upaya dalam pengembangan atau pembentukan istilah baru adalah dengan
memanfaatkan kosa kata bahasa Indonesia yang ada dengan jalan memberi makna baru baik
dengan menyempitan, meluaskan, member makna baru. Misalnya kata papan yang semula
bermakan lempengan kayu, kini diangkat menjadi istilah untuk makna “perumahan”.
B. Jenis Perubahan
1. Meluas
Yaitu gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hany
memiliki sebuah makna, tetapi kemudian karena berbagai factor menjadi memiliki makna-makna
lain. (Chaer 1990:145). Misalnya kata saudara pada mulanya hanya bermakna “seperut” atau
“sekandung”, kemudian sekarang menjadi “siapa saja yang sepertalian darah”. Lebih jauh lagi
bahkan siapa pun disebut saudara.
2. Menyempit
Kata yang tergolog kedalam perubahan makna ini adalah kata yang pada awal
penggunaannya bisa dipakai untuk berbagai hal umum, tetapi penggunaannya saat ini hanya
terbatas untuk satu keadaan saja. Contohnya: Sastra dulu dipakai untuk pengertian tulisan dalma
arti luas atau umum, sedangkan sekarang hanya dimaknakan dengan tulisan yang berbau seni.
Begitu pula kata sarjana (dulu orang yang pandai, berilmu tinggi, sekarang bermakna “lulusan
perguruan tinggi”).
3. Perubahan Total
Yang dimaksud dengan perubahan total adalah yang berubahnya sama antara makna
suatu kata dari makna kata asalnya. Contoh: pena pada mulanya bermakna bulu, kini maknanya
sudah berubah total karena kata pena maknanya alat tulis yang menggunakan tinta.
4. Penghalusan
Dalam pembicaraan mengenai penghalusan ini maka akan berhadapan dengan gejala
yang ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih
halus atau lebih sopan dari kata atau ujaran sebelumnya. Kecenderungan untuk menghaluskan
makna kata merupakan gejala umum dalam masyarakat bahasa Indonesia. Misalnya pada
kata babu diganti dengan pembantu rumah tangga dan kini diganti lagi menjadi pramuwisma.
5. Pengasaran
Kebalikan dari penghalusan adalah pengasaran (disfemia), yaitu usaha untuk mengganti
kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar (Chaer 1990:
149). Usaha-usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan orang dalam situasi yang tidak
ramah atau untuk menunjukkan kejengkelan. Misalnya kata atau ungkapan masuk kotak dipakai
untuk menggantikan kata kalah seperti pada kalimat Taufik Hidayat sudah masuk kotak.