rangkuman ceramah mingguan bp. achmad chodjim

111
Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim) 1 Bagian ke-1 Di atas tahun 80-an tasawuf atau sufisme menjadi nge-tren di dunia. Bahkan di Indonesia setelah tahun 90- an tasawuf banyak diminati orang. Seminar dan kursus-kursus tentang tasawuf diadakan di hotel-hotel atau di gedung-gedung mewah. Lebih-lebih dalam suasana krisis, tasawuf semakin dicari orang. Jika kita melihat di toko-toko buku, semakin hari semakin banyak buku tasawuf yang dipajang. Buku-buku tasawuf itu meliputi tulisan orang Indonesia, maupun terjemahan dari buku-buku tasawuf yang berbahasa asing, khususnya terjemahan dari bahasa Arab. Dan sekarang bisa kita jumpai buku-buku tasawuf yang ditulis pada masa 700 ? 1000 tahun yang lalu. Mengapa sekarang ini tasawuf semakin diminati orang? Manusia modern sebenarnya manusia yang mengalami alienasi (keterasingan) jiwa. Persaingan dalam berebut benda ternyata melelahkan pikiran. Ketegangan-ketegangan dalam hidup sering dialami. Dalam kehidupan modern, manusia sering terperangkap oleh kebahagian-kebahagian semu. Yaitu, kebahagiaan yang direkayasa, bukan kebahagiaan yang tumbuh dari dalam diri manusia itu sendiri. Dalam kehidupan modern manusia diiming-iming dengan status, posisi, sertifikat, merek, dan berbagai macam simbol. Akhirnya pikiran manusia melekat pada topeng-topeng ini. Jika sudah terjerat oleh topeng kehidupan, manusia merasa terjunjung dan tersanjung. Yang dalam keadaan tertentu menyebabkan lupa diri. Nah, untuk menghadapi problema-problema psikologis ini ada yang lari ke berbagai macam hiburan dari yang ringan hingga yang paling berat yaitu “narkoba”; dan ada pula yang mencari solusi damai dengan mengikuti kegiatan-kegiatan agama. Ternyata, ternyata....., yang dirasakan bersentuhan langsung dengan kesejukan hati adalah “tasawuf”. Itulah sebabnya tasawuf sekarang ini banyak diminati orang, baik oleh orang-orang Islam sendiri, maupun orang-orang non-muslim. Bahkan di Eropa maupun Amerika sekarang ini banyak orang non-muslim yang menjadi anggota jamaah tasawuf. Tentu saja hal ini bisa menimbulkan kecemburuan di kalangan umat Islam formalis, yaitu orang-orang Islam yang lebih berpegang teguh pada aturan lahiriah agama atau syariat. Menghadapi perkembangan yang pesat ini kalangan formalis merasa kehilangan pamor. Karena itu beberapa orang (tidak banyak) di kalangan formalis ini menulis buku yang isinya mengecam ajaran tasawuf, bahkan ada yang tega memfitnah bahwa ajaran tasawuf itu bid’ah dan menyesatkan manusia. Orang yang membid’ahkan tasawuf adalah orang-orang yang tidak memahami ajaran tasawuf, pada pokoknya mereka tidak memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Mereka menganggap tasawuf itu lahir dari kalangan luar Islam. Untuk membuktikan ini mereka cari-cari definisi kata tasawuf, yang katanya tidak ada di dalam Al Quran dan Al Hadis. Jadi, mereka lebih disibukkan mencari kulit daripada mencari isi atau substansi ajaran. Jika saja mereka sadar bahwa apa yang diajarkan oleh tasawuf itu budipekerti atau akhlak yang diajarkan oleh Rasul Allah, maka mereka pasti akan berhenti membid’ahkan para sufi. Mengapa? Karena apa yang dipraktikkan oleh Rasul dalam kesederhanaan hidupnya, apa yang diteladani oleh Abu Bakar dalam menyumbangkan hartanya, apa yang dicontohkan oleh Umar bin Khaththab dalam istana gubuknya, serta apa yang dilakukan oleh Ali bin Thalib dalam menegakkan keadilan, itulah yang disebut tasawuf! Landasan tasawuf adalah kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, melakukan zikir sebanyak- banyaknya, dan akhirnya menjadi hamba manifestasi Ilahi., yang dalam ajaran tasawuf Jawa disebut “manunggaling kawula klawan Gusti”, kesatuan hamba dan Tuhan Marilah kita simak dalil-dalil Qurani dan Al-Hadis di bawah ini. 1. Surat Ali Imran/3:31, Qul in kuntum tuhibbuunallaaha fattabi-‘uunii yuhbibkumullaahu wa yaghfirlakum dzunuubakum wallaahu ghafuurun rahiim. Katakan, “Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan menutupi dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah,” 2. Surat Al Baqarah/2:115,

Upload: ugi-sugiri

Post on 16-Apr-2015

409 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

1

Bagian ke-1

Di atas tahun 80-an tasawuf atau sufisme menjadi nge-tren di dunia. Bahkan di Indonesia

setelah tahun 90- an tasawuf banyak diminati orang. Seminar dan kursus-kursus tentang tasawuf

diadakan di hotel-hotel atau di gedung-gedung mewah. Lebih-lebih dalam suasana krisis, tasawuf

semakin dicari orang.

Jika kita melihat di toko-toko buku, semakin hari semakin banyak buku tasawuf yang

dipajang. Buku-buku tasawuf itu meliputi tulisan orang Indonesia, maupun terjemahan dari buku-buku

tasawuf yang berbahasa asing, khususnya terjemahan dari bahasa Arab. Dan sekarang bisa kita jumpai

buku-buku tasawuf yang ditulis pada masa 700 ? 1000 tahun yang lalu.

Mengapa sekarang ini tasawuf semakin diminati orang? Manusia modern sebenarnya manusia

yang mengalami alienasi (keterasingan) jiwa. Persaingan dalam berebut benda ternyata melelahkan

pikiran. Ketegangan-ketegangan dalam hidup sering dialami. Dalam kehidupan modern, manusia

sering terperangkap oleh kebahagian-kebahagian semu. Yaitu, kebahagiaan yang direkayasa, bukan

kebahagiaan yang tumbuh dari dalam diri manusia itu sendiri. Dalam kehidupan modern manusia

diiming-iming dengan status, posisi, sertifikat, merek, dan berbagai macam simbol. Akhirnya pikiran

manusia melekat pada topeng-topeng ini. Jika sudah terjerat oleh topeng kehidupan, manusia merasa

terjunjung dan tersanjung. Yang dalam keadaan tertentu menyebabkan lupa diri. Nah, untuk

menghadapi problema-problema psikologis ini ada yang lari ke berbagai macam hiburan dari yang

ringan hingga yang paling berat yaitu “narkoba”; dan ada pula yang mencari solusi damai dengan

mengikuti kegiatan-kegiatan agama. Ternyata, ternyata....., yang dirasakan bersentuhan langsung

dengan kesejukan hati adalah “tasawuf”. Itulah sebabnya tasawuf sekarang ini banyak diminati orang,

baik oleh orang-orang Islam sendiri, maupun orang-orang non-muslim. Bahkan di Eropa maupun

Amerika sekarang ini banyak orang non-muslim yang menjadi anggota jamaah tasawuf.

Tentu saja hal ini bisa menimbulkan kecemburuan di kalangan umat Islam formalis, yaitu

orang-orang Islam yang lebih berpegang teguh pada aturan lahiriah agama atau syariat. Menghadapi

perkembangan yang pesat ini kalangan formalis merasa kehilangan pamor. Karena itu beberapa orang

(tidak banyak) di kalangan formalis ini menulis buku yang isinya mengecam ajaran tasawuf, bahkan

ada yang tega memfitnah bahwa ajaran tasawuf itu bid’ah dan menyesatkan manusia.

Orang yang membid’ahkan tasawuf adalah orang-orang yang tidak memahami ajaran tasawuf,

pada pokoknya mereka tidak memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Mereka menganggap tasawuf

itu lahir dari kalangan luar Islam. Untuk membuktikan ini mereka cari-cari definisi kata tasawuf, yang

katanya tidak ada di dalam Al Quran dan Al Hadis. Jadi, mereka lebih disibukkan mencari kulit

daripada mencari isi atau substansi ajaran. Jika saja mereka sadar bahwa apa yang diajarkan oleh

tasawuf itu budipekerti atau akhlak yang diajarkan oleh Rasul Allah, maka mereka pasti akan berhenti

membid’ahkan para sufi. Mengapa? Karena apa yang dipraktikkan oleh Rasul dalam kesederhanaan

hidupnya, apa yang diteladani oleh Abu Bakar dalam menyumbangkan hartanya, apa yang dicontohkan

oleh Umar bin Khaththab dalam istana gubuknya, serta apa yang dilakukan oleh Ali bin Thalib dalam

menegakkan keadilan, itulah yang disebut tasawuf!

Landasan tasawuf adalah kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, melakukan zikir sebanyak-

banyaknya, dan akhirnya menjadi hamba manifestasi Ilahi., yang dalam ajaran tasawuf Jawa disebut

“manunggaling kawula klawan Gusti”, kesatuan hamba dan Tuhan

Marilah kita simak dalil-dalil Qurani dan Al-Hadis di bawah ini.

1. Surat Ali Imran/3:31,

Qul in kuntum tuhibbuunallaaha fattabi-‘uunii yuhbibkumullaahu wa yaghfirlakum dzunuubakum

wallaahu ghafuurun rahiim.

Katakan, “Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan menutupi

dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah,”

2. Surat Al Baqarah/2:115,

Page 2: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

2

Wa lil-laahi l-masyriqu wa l-maghribu fa ainamaa tuwalluu fatsamma wajhullaahi innallaaha waasi-‘un

‘aliim.

“Dan kepunyaan Allah Dunia Timur dan Barat itu. Karena itu, kemana saja kamu menghadap, di

situlah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui.”

3. Surat Al Ahzab/33: 41 ? 43,

Yaa ayyuha l-ladziina aamanu dz-kuru llaaha dzikran katsiira. Wa sabbihuuhu bukratan wa ashiila.

Huwa l-ladzii yushallii ‘alaikum wa malaa-ikatuhuu li yukhrijakum mina zh-zhuluumati ila n-nuuri wa

kaana bi l-mu’miniina rahiima.

“Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah

kepada-Nya pagi dan petang. Dia-lah yang melimpahkan rahmat kepadamu, begitu pula para malaikat-

Nya, dengan maksud mengeluarkan kamu dari kegelapan menuju kehidupan yang bercahaya; dan Dia

menyayangi orang-orang yang beriman.”

4. Surat Qaaf/50:16,

Wa laqad khalaqna l-insaana wa na‘lamu maa tuwaswisu bihi nafsuhu wa nahnu aqrabu ilaihi min habli

l-wariid.

“Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh

jiwanya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”

Untuk bagian pertama ini, kita cukup mengupas dan mengulas enam ayat lebih dulu. Enam

ayat inilah yang dijadikan landasan awal dalam hidup bertasawuf. Jika diumpamakan orang naik

tangga, maka harus melalui tangga dasar yang kokoh. Dengan fondamen yang kokoh inilah para ahli

tasawuf mengembangkan Agama Islam. Dan dari sejarah diketahui bahwa perintis Islam di seantero

jagat adalah para sufi, orang-orang tasawuf. Mereka inilah yang memperkenalkan Islam dengan hikmat

dan pelajaran yang baik.

Baru kemudian diisi oleh kalangan formalis. Umumnya kalangan formalis menjumpai

kegagalan dalam mengembangkan Agama Islam. Mengapa demikian? Karena oleh kalangan formalis,

syariat Islam itu dikonfrontasikan dengan adat-istiadat atau budaya setempat. Sehingga mereka dijauhi

oleh umat. Lihat saja bulan Ramadhan kemarin, demi khusyuknya pelaksanaan ibadah puasa, pihak-

pihak yang merasa sangat formalis ini ribut menutup kafe, restoran, dan intinya meminta orang

menghormati puasa. Lho, beragama itu seharusnya tidak untuk minta dihormati. Orang harus

menjalankan agama dengan santun Sehingga agama itu bisa memikat hati orang yang melihatnya.

Jika kita memahami landasan pada ayat pertama, maka harapan orang bertasawuf adalah

‘mahabbah’ atau jatuh cinta kepada Allah. Tentu saja untuk mencintai Allah Yang Maha Gaib itu,

manusia harus mempunyai pedoman. Dan yang menjadi pedoman itu adalah “ittiba‘” atau mengikuti

Rasul. Ketika Rasul hadir secara fisik di tengah-tengah umat, maka mengikuti Rasul berarti secara

langsung mematuhi perintah dan larangannya secara aktual. Namun, setelah secara fisik beliau tidak

ada di tengah-tengah umat, beberapa sahabat berusaha untuk mengajarkan Islam sebagaimana yang

diteladankan oleh Rasul.

Abu Bakar tampil sebagai seorang khalifah yang sederhana. Harta-bendanya didermakan

untuk kepentingan umat. Dia tidak menyisakan kekayaan materi untuk dirinya. Ketika dia dibaiat

sebagai khalifah, dengan sederhana dia mengucapkan, “Taatilah saya selama saya menaati Allah dan

Rasul-Nya. Dan bila tidak taat, maka tak ada keharusan bagi kalian untuk menaatiku.” Suatu pidato

pengukuhan yang pendek, tetapi tegas. Mungkin setelah itu tak ada keberanian bagi seorang penguasa

mengucapkan demikian. Bahkan kalimat yang pertamanya adalah, “Saya telah diangkat sebagai

pemimpin kalian, tetapi saya bukanlah orang yang terbaik di antara kalian.” Juga suka mengganjal

perutnya jika kelaparan, sebagaimana yang diteladankan Nabi. Dia lebih suka memilih demikian

daripada makan makanan yang tidak tahu halal dan haramnya.

Ijtihad mulai dilakukan oleh Umar. Umar menampilkan diri sebagai seorang khalifah yang

amat sederhana. Administrasi militer dan pemerintahan ditegakkan. Penguasaan Al Quran lebih

didorong, sedangkan catatan-catatan yang disebut Hadis Nabi dimusnahkan. Hal ini dia lakukan agar

Page 3: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

3

umat bersemangat dalam mempelajari Al Quran. Karena akhlak Rasul Allah s.a.w. adalah Al Quran itu

sendiri (Al Hadis, sumber Aisyah). Meskipun sebagai kepala pemerintahan dia berhak mendapatkan

istana gedung dan pengamanan dirinya, tetapi dia meilih tinggal di gubuk beratap rumbai. Meskipun

malam banyak jaga untuk berzikir, siangnya tetap bersemengat dalam mengendalikan pemerintahan.

Utsman diangkat sebagai khalifah yang ke tiga. Di zaman pemerintahannya berkecamuk

berbagai fitnah dan hasudan. Kelembutan jiwanya tak diragukan lagi. Dia tetap tidak mau

menggunakan tindak kekerasan dan kekuatan bersenjata dalam menghadapi fitnah. Seandainya harus

terjadi pertumpahan darah, dia memilih darahnya sendiri yang harus tertumpah, dan bukan darah kaum

muslimin. Ketika pemberontak mengepung rumahnya sambil menghunus pedang, sedangkan baginya

terbuka untuk menumpasnya, dia tetap menolak untuk melakukan pembasmian itu dengan ucapan:

“Saya tak mau menemui Allah sedang di pundak saya ada percikan darah dari seorang Muslim.”

Khalifah Ali mewarisi pemerintahan yang penuh kekacauan. Namun dia hadapi semua itu

dengan penuh ketenangan. Meskipun para pejabatnya menyediakan istana negara yang megah dan

besar, dia menolaknya untuk menghuni di istana itu. Ini tidak berarti sekarang seorang presiden harus

meninggalkan istana negara. Tetapi, hal ini menunjukkan bahwa seorang kepala negara harus

memperhatikan keadaan warganya. Para khalifah adalah orang-orang yang lebih mementingkan

umatnya daripada dirinya. Karena itu Ali pun lebih memilih cara-cara yang layak sesuai kondisi rakyat.

Dia memberi petunjuk orang-orang yang melakukan kesalahan, dan memberi bantuan kepada yang

lemah. Meskipun sebagai khalifah, suatu saat Ali tetap membawakan barang kebutuhan orang-orang

tua yang dia jumpai. Ketika sahabat-sahabat yang tahu hal ini hendak mengambil alih bawaan itu, Ali

menolak sambil menyitir Al Quran: “Negeri Akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak

ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu bagi

orang-orang yang bertakwa.” (Al Qashash/28:83)

Ketika di Syam, Muawiyah menghasut masyarakat untuk mencaci maki dan mengutuk Ali, di

Kufah khalifah mencegah rakyatnya untuk membalas mencaci maki Muawiyah, dan menimnta

rakyatnya untuk berdoa: “Ya Allah, peliharalah darah kami dan darah mereka, persengketaan kami

dengan mereka.”

Nah, demikianlah para sahabat besar itu memberikan keteladanan hidup sebagaimana yang

diajarkan oleh Nabi. Semua bentuk akhlak yang mereka tampilkan itu sebagai wujud kecintaan mereka

kepada Allah dengan cara mengikuti keteladanan Rasul Allah. Harapan mereka adalah ampunan atau

perlindungan dari Allah, Tuhan semesta alam. Keteladanan-keteladanan yang mulia inilah yang

diwarisi oleh mereka yang memilih jalan kesufian. Mereka tak mau bid’ah-membid’ahkan sesama

umat. Mereka memberikan contoh yang bisa menentramkan hati orang yang sedang gundah.

Jalaluddin Rumi mengajar mereka yang non-muslim dengan sepenuh hati, tanpa meminta

mereka pindah agamanya. Mereka, para murid yang terdiri dari orang-orang Muslim dan non-muslim,

diperlakukan sama baiknya. Ajaran “tidak ada paksaan dalam agama” (QS 2:255) dipraktikkan dengan

benar. Betul-betul tidak ada paksaan! Jika ada orang yang tertarik dan pindah ke Islam, ya diterima

dengan baik. Jika tetap teguh dengan agamanya ya tetap dipuji. Dengan cara ini, orang-orang Turki

yang semula hanya 20% penduduknya yang beragama Islam ketika Rumi pindah ke Turki, akhirnya

dengan kesadarannya sendiri rakyat Turki banyak yang pindah ke Agama Islam. Sehingga di akhir

hayatnya, ada 60% penduduk yang beragama Islam.

Sejarah para wali di Jawa sebenarnya juga demikian. Islam diterima di Jawa dengan penetrasi

damai. Walaupun tidak menutup mata bahwa ditingkat kekuasaan negara, para wali itu pun berebut

pengaruh. Dan hal ini maklum, karena yang asli Jawa itu cuma Sunan Kalijaga. Namun, di hadapan

umat mereka berusaha melakukan akulturasi yang menyejukkan rakyat. Mereka tetap mencoba

memberikan langkah-langkah dalam kedamaian hidup di dunia ini.

Kesederhanaan masjid-masjid yang di nusantara sebenarnya menunjukkan bahwa yang

membawa ajaran Islam adalah mereka yang berperilaku hidup tasawuf. Adanya Islam “wetu telu” atau

shalat di tiga waktu yaitu subuh, zuhur dan magrib, di Lombok ke timur dan di Talaud di Sulut

Page 4: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

4

menunjukkan yang memperkenalkan Islam itu para sufi. Para ahli tasawuf ini tak mau unjuk

kesombongan. Jadi, secara gradual mereka menyemai Islam dengan cara damai.

Hidup bertauhid seperti ayat nomor 2 di atas sangat ditekankan. Kemana saja manusia itu

memalingkan dirinya, niscaya ia tetap menghadap Wajah Allah. Sekali lagi, menghadap Wajah Allah!

Hal ini harus dipahami benar, mengapa tidak dinyatakan “menghadap Allah” saja, melainkan

menghadap Wajah Allah. Karena, apa saja yang ada di penjuru mata angin, bukanlah Allah. Islam tidak

mengajarkan pantheisme, bahwa Allah adalah keseluruhan alam ini. Islam mengajarkan bahwa semua

ini ada karena dihadirkan oleh Allah. Dia Maha Meliputi segala sesuatu. Dengan demikian, kemana

saja kita menghadapkan diri kita, di situlah kita melihat kehadiran Allah. Tanpa Dia tak akan ada

wujud alam semesta ini. Wujud alam ini menunjukkan kehadiran-Nya. Karena itu kemana kita

memandang, maka yang kita pandang adalah Wajah Allah.

Dengan fundamen yang kokoh itu, layaklah sebagai hamba kita diseru untuk senantiasa

berzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya, dan bertasbih dari pagi hingga petang. Dengan lain kata,

berzikir kepada Allah yang mengiringi aktivitas kita sepanjang hari. Hal ini dimaksudkan agar nurani

kita semakin tajam dalam hidup ini. Sehingga kita bisa keluar dari kegelapan hidup ini menuju daerah

kehidupan yang terang, yang bercahaya, yang transparan. Jika hidup ini bisa kita jalani dengan Ajaran

yang mulia ini niscaya kita tidak timbul saling curiga dalam kehidupan bersama, bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara. Berzikir untuk selalu ingat Yang dicintai, yaitu Allah. Bertasbih adalah

tindakan untuk menjauhkan diri dari segala sifat yang tidak terpuji. Tindakan untuk menjauhkan diri

dari segala yang tidak patut dilakukan sebagai kekasih Allah. Jadi, bertasbih alias memahasucikan

Tuhan, bukanlah cuma mengucap “subhaanallah”. Tetapi ia merupakan perbuatan yang nyata-nyata

untuk menjauhkan segala sifat yang tidak patut diatributkan kepada Tuhan. “Subhaana rabbika ammaa

yaashifuun,” Mahasuci Tuhan engkau dari apa yang mereka sifatkan.

Semua perbuatan bajik itu ditunaikan oleh orang-orang yang mencintai Tuhan karena mereka

sadar bahwa Kekasih mereka itu selalu mengawasi mereka. Mereka merasa hidup ini dalam

pengawasan Tuhan. Para pencinta itu tak ingin ditinggalkan oleh Sang Kekasih. Mereka sadar bahwa

kehadiran Sang Kekasih itu lebih dekat kepada jiwa-jiwa mereka daripada urat nadi leher mereka.

Bisikan sekecil apa pun kepada jiwa mereka pasti diketahui. Ada prinsip transparansi dalam akuntansi

kehidupan ini.

Page 5: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

5

Bagian ke-2

Pada bagian ke satu, telah dikutipkan surat Aali Imraan/3:31 yang terjemahannya sebagai

berikut, “Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan menutupi

dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah.”

Dalam kehidupan ini banyak orang yang tidak bisa membedakan antara kata “mengikuti” dan

“meniru”. Yang diperintahkan kepada umat manusia adalah “mengikuti” atau “ittiba‘”, bukan meniru.

Hal ini jelas, karena manusia bukanlah hewan. Manusia adalah sebuah kepribadian yang bisa tumbuh

dan berkembang. Manusia adalah kepribadian yang dapat tumbuh dewasa. Mula-mula manusia tumbuh

menjadi “kanak-kanak” yang sifatnya hanya meniru. Ia berusaha meniru perilaku di lingkungannya.

Dalam bahasa agama, ia dikatakan tumbuh secara “taqlid”.

Mengapa peniruan oleh kanak-kanak ini disebut taqlid? Karena tahap pemikiran kanak-kanak

belum berkembang dengan baik. Sedangkan meniru adalah tahap pertama dalam proses pendewasaan

pribadinya. Kanak-kanak ingin melakukan apa saja yang dilihatnya. Ia belum bisa mengerti alasan

mengapa perbuatan tertentu dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya. Seandainya kanak-kanak itu

bisa berjanggut, maka ia akan memelihara janggutnya bila orang-orang di sekitarnya berjanggut.

Contoh yang paling konkret dalam bertaklid adalah “merokok”. Perbuatan merokok yang dilakukan

oleh para remaja adalah produk dari taklid. Akhirnya, perbuatan ini menjadi kebiasaan sampai dewasa

dan tua, mungkin seumur hidupnya.

Banyak sekali perbuatan agamis kita ini juga hasil dari taklid ketika kita masih kecil atau

ketika kita bersentuhan pertama kali dengan ajaran-ajaran agama. Kalau toh sekarang ini kita mengaji

Al-Quran dan Al-Hadis, lebih banyak ayat-ayat itu sebagai pembenaran atau “justifikasi” bagi

kepercayaan atau perbuatan yang telah kita lakukan. Sebaliknya, kita ini jarang sekali yang menelaah

Al Quran dan Al Hadis untuk melahirkan suatu produk yang berupa perbuatan etika (sopan-santun),

estetika (keindahan), dan spiritual (semangat hidup) yang unggul. Semenjak mandegnya kemunculan

tokoh-tokoh besar Islam 1.000 tahun yang lalu, praktis umat Islam hanya bertaklid kepada mereka.

Perbedaan-perbedaan yang muncul dari sikap taklid ini tidak menghasilkan rahmat bagi umat

Islam. Bahkan sering perbedaan ini menjadi bencana atau mala petaka bagi umat. Mengapa demikian?

Karena perbedaan itu tidak tumbuh dari pencarian. Perbedaan yang tumbuh dari peniruan, akan

melahirkan “claim-claim” kebenaran. Banyak orang yang beranggapan bahwa apa yang ditirunya

(bukan diikutinya, sekali lagi bukan diikutinya) sebagai yang paling benar. Akhirnya, orang berebut

benar sendiri. Orang lain yang tidak sepaham atau seperti apa yang ditirunya dianggap berada dalam

jalan yang salah. Ia merasa telah berada di atas dalil yang benar; padahal dalil tadi hanyalah intepretasi

atau paham mursyid, gurunya.

Nah, tasawuf mengajak kita untuk beramal dengan arif. Tasawuf mengajak kita untuk mencari

hikmah Allah. Tak ada kampus atau sekolahan di dunia ini yang memberikan pelajaran hikmah atau

“wisdom”. Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, karena itu marilah kita cari, dan di mana

pun ia berada harus kita temukan, dan kita ambil. Kitasusuri melalui jalur syariat, kita gunakan cara

(tarekat) untuk menemukannya. Lalu kita pahami hakikatnya, dan lahirlah hikmah. Dengan hikmah

yang diberikan kepada kita maka kita memperoleh kebajikan yang banyak. Akhirnya, dada kita terasa

lapang. Dan, lapang dada adalah sarana untuk mendapatkan hikmah.

Surat Al Baqarah/2:269,

“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki. Dan barangsiapa yang menerima hikmah,

sungguh ia telah diberi kebajikan yang banyak. Tak ada yang dapat memahami pelajaran kecuali

kelompok albab.”

Kata “khairan katsiira” pada ayat di atas sebenarnya tidak cukup diterjemahkan dengan

“kebajikan yang banyak”. Makna “khair” yang lain adalah sesuatu yang sangat baik, rahmat,

Page 6: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

6

keistimewaan, keuntungan, dan kesejahteraan. Sehingga proses untuk mencapai status “Hamba-

Tuhan” atau “Manunggaling kawula-Gusti” adalah proses pencarian hikmah. Dan seperti yang telah

saya jelaskan pada pelajaran-pelajaran sebelumnya, kalimat “siapa yang dikehendaki-Nya” tidak berarti

Tuhan berbuat sewenang-wenang. Arti yang sebenarnya kalimat tersebut adalah Dia menghendaki

siapa yang menghendaki-Nya. Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad menjadi nabi, bukan karena

mereka semata-mata dikehendaki menjadi nabi; tetapi mereka adalah orang-orang yang telah berjuang

keras mencari-Nya.

Kedua ayat tersebut, yaitu 3:31 dan 2:269 merupakan ayat yang saling melengkapi untuk

memahami tasawuf. Pada 3:31 yang ditekankan adalah kecintaan atau “mahabbah” dari Allah kepada

hamba-Nya yang sungguh-sungguh mencintai-Nya. Jika Allah mencintai hamba-Nya maka ditutupinya

semua dosa hamba-Nya. Jika Allah menutupi segala dosa hamba-Nya tidak berarti dosa itu dihapus

seperti kita menghapus papan tulis yang kotor, tetapi hamba tersebut menerima hikmah dari ssi-

Nya. Dengan hikmah tersebut hamba dapat bertindak atau beramal yang mendatangkan keuntungan

yang besar. Sehingga dosa atau kerugian yang ada itu tertutupi atau terlunasi.

Jika ujung ayat 3:31 berbunyi “Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”, maka ujung

ayat 2:269 adalah “Tak ada yang dapat memahami pelajaran atau ayat-ayat Tuhan, kecuali kaum albab.

Kaum albab adalah mereka yang mampu menyatukan dada dan kepala, hati dan otak, atau perasaan dan

nalarnya.Karena itu mereka layak menerima hikmah. Sedangkan pengampun dan penyayang adalah

sifat asli Tuhan. Artinya, Tuhan senantiasa merespon hamba-Nya yang betul-betul memohon ampun

dan kasih-sayang-Nya, yang dalam ayat di atas disebutkan sebagai “mencintai Tuhan” yang dibuktikan

dengan cara berittiba‘ atau mengikuti Rasul s.a.w.

Dalam QS 3:32 disebutkan bahwa mengikuti Rasul itu harus diwujudkan dengan tindakan

menaati atau mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Namun, kebanyakan orang memiliki pengertian yang

salah tentang kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah sering disamakan dengan Al Quran,

sedangkan Rasul disamakan dengan Al Hadis. Allah Yang Maha Hidup dan Maha Besar itu dikecilkan

menjadi sekadar sebuah Kitab Suci. Inilah kesalahan yang sangat fatal.

Allah adalah Allah! Allah bukanlah Taurat, Zabur, Injil, atau Al Quran. Semua kitab suci

hanyalah sebagian kecil dari kalam-Nya. Seandainya lautan itu dijadikan tinta dan pohon-pohon di

muka bumi ini dijadikan pena, maka telah keringlah tinta itu sebelum habis kalam Tuhan. Kalam-Nya

yang ditulis dalam kitab-kitab itu hanyalah miniatur dari kebenaran Ilahi. Karena kitab suci itu miniatur

dari kalam-Nya maka diperlukan pemahaman pesan-pesan-Nya. Kalau hanya sekadar membaca

kulitnya, selamanya tak akan pernah mengerti isi kitab suci tersebut.

Surat Al Kahfi/18:109 menyebutkan,

“Qul lau kaana l-bahru midaadal li kalimaati rabbii lanafida l-bahru qabla antanfada kalimaatu rabbii

wa lau ji’naa bi mitslihii madadaa.”

“Katakanlah, seandainya air laut itu sebagai tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya air

laut itu kering sebelum kalimat-kalimat Tuhanku habis dituliskan; bahkan jika ditambahkan sebanyak

itu.”

Jadi, jelaslah bahwa kalam Allah itu tak terhingga. Karena kalam Allah itu seluas ilmu-Nya.

Dan, keluasan Allah di banyak ayat dinyatakan dengan iringan kemahatahuan-Nya, yaitu “Innallaaha

waasi-‘un ‘aliim”, sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui. Nah, belajar tasawuf

sebenarnya mempelajari bagaimana caranya mencintai Allah dan mendekatkan diri ke maqam-Nya

atau ke Hadirat-Nya. Dia adalah Dzat Yang Maha Hidup, sedangkan kitab suci memuat kalam-Nya.

Dia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, sedangkan kitab suci bersifat kontekstual yang ada di dalam

ruang dan waktu. Dan, Al Quran sebagai salah satu kitab suci, ia berkaitan dengan bahasa dan budaya

Arab, lebih tepatnya Arab Qureisy.

Lalu bagaimana dengan Muhammad Rasul Allah? Rasul adalah manusia yang diutus untuk

mengajarkan kalam Allah tersebut. Seperti yang dikatakan dalam firman-Nya dalam surat al

Page 7: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

7

Ghaasyiyah/88:21-22, “Fadzakkir innamaa anta mudzakkir, lasta ‘alaihim bi mushaithir”, Sampaikan

ajaran (Tuhan) karena sesungguhnya engkau orang yang menyampaikan ajaran, dan engkau bukanlah

orang yang ditugasi untuk menguasai mereka. Dan ayat senada ada pada QS 87:9, yaitu Nabi s.a.w.

diperintah untuk menyampaikan ajaran, karena ajaran dari Tuhan itu bermanfaat bagi manusia.

Kemudian, dimana letak Al Hadis dalam pengajaran kalam Ilahi kepada umat manusia? Jadi,

di dalam mengajarkan kalimat-kalimat Tuhan kepada manusia, Nabi memberikan contoh-contoh yang

pas bagi yang beliau ajar. Nabi memberikan contoh sesuai dengan daya tangkap dan tingkat kecerdasan

orang-orang yang beliau ajar. Karena itu hadis-hadis itu sifatnya kasuistis. Al Hadis adalah produk atau

jawaban bagi masalah yang dihadapi oleh umat pada waktu kehidupan Rasul di bumi. Sehingga Al

Hadis harus ditempatkan sebagai referensi dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi.

Masalah dalam kehidupan manusia terus berkembang karena adanya perubahan lingkungan hidup

manusia. Untuk memberikan solusi yang islami, umat Islam harus merujuk kepada Nabi, bukan meniru

Nabi. Beliau telah memberikan “uswatun hasanah” atau contoh-contoh yang baik dalam memberikan

solusi.

Masalah yang paling pokok bagi manusia adalah masalah psikologis, masalah yang terkait

dengan faktor kejiwaan. Dapat dikatakan 95% problem manusia adalah problem yang muncul dari

jiwanya. Dan, agama-agama diturunkan kepada manusia adalah untuk memberikan jawaban bagi jiwa

manusia agar manusia menjadi terarah hidupnya dan dapat menemukan jalan hidupnya. Oleh karena

problema manusia itu problema jiwanya, dan daya tangkap dan kecerdasan manusia itu berbeda-beda,

maka untuk hal-hal yang bersifat sangat abstrak atau batiniah, oleh Nabi, diajarkan pada orang-orang

tertentu saja. Dan sumber ajaran tasawuf kalau dirunut hingga akarnya akan dijumpai pada Abubakar

dan Ali bin Abi thalib, dan penghulunya adalah Muhammad Rasulullah s.a.w.

Dengan demikian mematuhi Allah dan Rasul-Nya tidak sama dengan meniru yang tersurat

dalam Al Quran dan Al Hadis. Meniru yang tersurat akan melahirkan sikap spekulatif. Dan, akhirnya

mengabsolutkan yang relatif. Hal demikian ini disinggung dalam QS 62:5, Tuhan membuat permisalan

bagi orang-orang yang berkewajiban mempelajari isi Taurat, tetapi mereka tidak mau mempelajarinya

untuk menemukan hikmah yang terkandung di dalamnya, maka mereka itu diumpamakan sebagai

keledai yang mengangkut kitab-kitab yang tebal. Tentu saja kitab-kitab itu tidak bisa menjadi petunjuk

bagi keledai. Kitab itu tak akan menjadi solusi bagi mereka. Bahkan kalau cuma dibawa secara fisik,

cuma disentuh kulitnya, akan menjadi beban bagi dirinya. Hasil akhirnya adalah kezaliman. Dan Allah

tidak memberi petunjuk kaum yang lalim, “Wallaahu laa yahdi l-qauma zh-zhaalimiin,” seperti pada

ujung ayat tersebut.

Umat manusia tidak diperintah untuk meniru Rasul atau bertaklid kepada beliau, maka itu

Allah memerintah Rasul untuk menyeru kepada jalan Tuhan itu dengan menggunakan al-hikmah dan

pengajaran yang baik. Jadi, umat diperintah oleh Allah untuk berittiba‘, mengikuti ajaran beliau. Dan

beliau serta orang-orang yang menjadi ahli waris ajaran beliau diperintah untuk menyeru ke jalan

Tuhan dengan menggunakan hikmah dan peng-ajaran yang baik. Ayat selengkapnya pada QS 16:125

sebagai berikut,

“Ud-‘u ilaa sabiili rabbika bi l-hikmati wa l-mau-‘izhati l-hasanati wa jaadilhum bi l-latii hiya ahsanu

inna rabbaka huwa a‘lamu bi man dhalla ‘an sabiilihi wa huwa a‘lamu bi l-muhtadiin.”

“Serulah mereka itu kepada jalan Tuhan engkau dengan menggunakan hikmah dan mauizhah yang

baik. Dan berargumenlah dengan cara yang sebaik-baiknya. Sesungguhnya Tuhan engkau lebih

mengetahui orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya dan orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Marilah kita rinci pengertian ayat tersebut. Kita pahami kandungannya.

Pertama, Nabi?dan orang-orang yang menjadi ahli waris kenabian?diperintah untuk mengajak

manusia ke jalan Tuhan. Coba perhatikan makna kata “ajakan”. Jelas bahwa ajakan tidak sama dengan

Page 8: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

8

paksaan. Jika kita melihat tingkah laku umat sekarang ini tampak sekali adanya paksaan untuk

mempraktikkan agama. Sedangkan Al Quran sendiri menyebut bahwa “tidak ada paksaan dalam

beragama”. Lihat kembali surat ke-88 di atas. Betul-betul kehidupan beragama itu sebagai ajakan. Di

sini harus bisa kita bedakan dengan pelarangan untuk berbuat kriminal. Untuk mencegah timbulnya

kriminalitas atau kezaliman dalam hidup bernegara ini, pemerintah yang berkewajiban menegakkan

hukum dan keadilan. Sedangkan warga berkewajiban mematuhinya. Nah, di sini kita harus memahami

mana ayat-ayat yang menunjukkan Muhammad sebagai Nabi, dan Muhammad sebagai Kepala

Negara/Pemerintahan.

Ke dua, diajak menuju jalan Tuhan. Lho, Tuhan punya jalan? Pengertian ayat itu adalah

Tuhan telah menciptakan “sabiil” atau jalan bagi ciptaan dan ‘amr (kehendak)-Nya. Ciptaan adalah

sesuatu yang menjadi ada melalui sebuah proses, sedangkan kehendak-Nya ada tanpa proses kejadian.

Nah, proses kejadian dan kehendak itu mengikuti suatu jalan yang telah ditetapkan Tuhan berdasarkan

ilmu-Nya. Dan, jalan yang telah ditentukan Tuhan itu banyak. Karena itu, kata “sabiil” mempunyai

kata pluralnya yaitu “subul”. Jalan-jalan ini pada akhirnya menjadi satu di jalan yang besar yang

disebut “shiraath”. Dengan demikian, ada satu shiraath yaitu “shiraath al-mustaqiim”. Dan petunjuk ke

jalan yang lurus inilah yang kita minta dari Tuhan.

Ke tiga, cara mengajak kepada jalan Tuhan itu pun harus menggunakan “hikmah” atau

“wisdom”. Tidak ada sekolahan atau tempat belajar untuk memperoleh hikmah. Karena hikmah bukan

materi atau sesuatu yang tampak. Hikmah sendiri berasal dari kata “hukum”, karena itu hikmah

merupakan esensi kebenaran yang tampak. Diceritakan di dalam Al Quran, surat Al Baqarah/2:251,

bahwa Daud sebelum diangkat menjadi Nabi, memperoleh hikmah dari Tuhan. Sehingga beliau mampu

mengalahkan Jalud, yang jauh lebih kuat, hanya dengan ketapel. Nah, ide menggunakan ketapel untuk

membunuh Jalud itu namanya hikmah. Karena hikmah itu sebuah esensi sebuah kebenaran yang

tampak, maka ia tidak bisa didentifikasi layaknya sebuah produk. Sebab jika sekarang Anda bertempur

dengan orang yang menggunakan bedil, lalu Anda menggunakan ketapel, ya Anda akan kalah dan

kemungkinan besar mati. Ketapel ditangan Anda bukan lagi hikmah namanya. Karena itu hikmah harus

digali dan dicari. Tetapi hikmah tak akan kita dapatkan bila kita berlaku lalim, karena Allah tidak akan

memberi petunjuk kepada orang-orang yang bertindak zalim, aniaya, yang merugikan.

Ke empat, disamping menggunakan hikmah, orang harus kita ajak dengan menggunakan mau-

izhah yang baik. Kata mau-izhah berasal dari “wa- ‘a-zha” yang artinya memberikan nasihat atau

peringatan. Jadi, mau-izhah artinya pelajaran yang mengandung nasihat dan peringatan. Dan itu pun

harus yang baik, yang tidak menyakitkan hati orang yang di ajak melalui jalan Tuhan. Lha, kalau

mengajaknya itu bukan dengan cara yang baik, maka yang diajak akan ketakutan atau malah tidak

percaya. Dengan hikmah ajakan itu akan tepat sasaran, dan dengan mau-izhah yang baik yang diajak

akan masuk dengan puas.

Ke lima, berargumen dengan cara yang sebaik-baiknya. Kadang kala yang diajak itu minta

penjelasan dan bahkan membantah. Dalam keadaan demikian, ajakan itu harus disertai argumen atau

bantahan yang sebaik-baiknya. Bukan hanya cara yang baik, tetapi yang lebih baik. Sehingga yang

diajak tidak tersinggung hatinya.

Ke enam, ajakan itu harus disertai kewaspadaan. Di ujung ayat tersebut dikatakan bahwa

Tuhan lebih mengetahui orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya. Meskipun dalam ayat itu dinyatakan

“Tuhan lebih mengetahui”, namun dalam praktik, orang yang mengajak kepada jalan Tuhan itu yang

harus waspada. Dengan kewaspadaan itu amalan untuk mengajak kepada jalan Tuhan tidak menjadi

sia-sia, yaitu kehilangan waktu dan tenaga. Waspada artinya cermat, siapa yang diajaknya berdebat

atau berargumentasi itu. Dengan demikian tidak timbul debat kusir.

Ke tujuh, kewaspadaan itu harus diikuti dengan persuasi atau kesantunan. Jika sudah di-

cermati bahwa orang yang diajak kepada jalan Tuhan itu sungguh-sunnguh orang yang mau mengikuti,

maka selanjutnya adalah menyantuninya dengan memberikan binaan dan bimbingan. Dengan cara ini

terbentuklah kehidupan umat yang harmonis, yang setara dalam pergaulan hidup, sama-sama berada di

jalan Tuhan.

Page 9: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

9

Nah, belajar tasawuf sebenarnya belajar untuk dapat mencari dan memperoleh hikmah dalam

kehidupan ini. Dengan memperoleh hikmah, kita tidak lagi beribadah untuk mencari surga atau karena

takut neraka. Karena hikmah itu sendiri merupakan kebajikan, rahmat, keuntungan, “advantage” yang

banyak. Sekian pelajaran hari ini, semoga bermanfaat bagi kita semua, dan kita lanjutkan bagian ke-3.

Page 10: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

10

Bagian ke-3

Telah dijelaskan bahwa ajaran tasawuf adalah untuk menggapai hikmah Ilahi, yang pada

akhirnya mampu kembali kepada Allah. Dia adalah asal segala keberadaan, baik yang kasat mata

maupun yang gaib. Alam semesta ini tumbuh dari wujud yang paling sederhana, yang disebut titik

singularitas. Pada suatu masa yang sangat mampat, meledaklah titik singularitas itu. Ilmuwan fisika

menamai ledakan ini dengan “big bang”, atau “ledakan besar”. Segala sesuatu ini memang berasal dari

titik tunggal seperti yang diungkapkan pada QS 21 : 30, “Dan apakah orang-orang yang ingkar itu tidak

mengetahui bahwa sesungguhnya langit dan bumi itu dahulunya satu yang padu. Lalu Kami pisahkan

keduanya. Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari “zat cair”. Maka apakah mereka tetap

tidak beriman?”

Di antara mufasir Al Quran ada yang mengatakan bahwa “samawat” adalah semua ruang, dan

“ardh” adalah materi. Dengan demikian ayat tersebut di atas diterjemahkan menjadi “sesungguhnya

ruang dan materi itu dahulunya sebagai wujud yang satu”. Lalu, apa hubungannya ayat ini dengan

bahasan tasawuf kita? Ya, ayat ini sebenarnya mengi-ngatkan kita bahwa semua keberadaan ini berasal

dari “SATU” wujud. Dari situlah adanya matahari, planet-planet, rembulan, dan semua bintang yang

bermilyar-milyar banyaknya itu. Dan di planetlah tumbuh kehidupan, yang berevolusi dari kehidupan

satu sel hingga menjadi makhluk milyaran sel yang sangat kompleks yang disebut manusia.

Semua makhluk, kecuali manusia, menempuh kehidupannya sesuai dengan komando Tuhan

semesta alam. Manusia dalam perjalanan sejarahnya akhirnya menemukan kebe-basan dirinya.

Manusia tidak lagi tunduk kepada hukum alam, tetapi berusaha mengatasi alam. Karena itu pada

akhirnya manusia dipilih menjadi “khalifatullah fil ardh”, yaitu wakil Tuhan di bumi. Jadi manusia itu

bukan “penguasa bumi”, tetapi wakil-Nya di bumi. Sebagai “wakil” tentu manusia harus bisa bertemu

dengan-Nya untuk mempertanggung-jawabkan amanat yang diembannya. Dan sudah menjadi “janji”

Tuhan bahwa setiap orang pada akhirnya dapat menemui-Nya!!

Perhatikan QS 84:6-9,

“Hai manusia sesungguhnya engkau telah berusaha sungguh-sungguh menuju Tuhan engkau, dan

engkau niscaya menemui-Nya. Dan orang yang menerima rekaman pada tangan kanannya, maka ia

mendapatkan penilaian yang baik. Dan ia akan kembali kepada keluarganya dengan gembira.”

Jadi, kapan seseorang bertemu dengan-Nya? Yaitu, ketika orang itu sudah bisa menyucikan

dirinya, yang pada ayat tersebut dikatakan sebagai ‘menerima rekaman amalannya pada tangan

kanannya’. Tentang ayat 9 yang menyatakan kembali kepada keluarganya dengan gembira, tidak kita

bahas sekarang ini. Bertahap supaya kita tidak bingung! Yang jelas, untuk bisa bertemu dengan-Nya,

kita harus sungguh-sungguh mencari-Nya. Agar kita bisa mempertanggungjawabkan tugas-tugas yang

kita emban, yaitu tugas untuk “hamemayu ayuning bawana”, menciptakan kebaikan dan keindahan di

bumi ini. Sehingga pada QS 21:105 disebutkan oleh Tuhan bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-

hamba-Nya yang saleh, hamba yang berbuat kebajikan, yaitu sebagai lawan dari orang-orang yang

membuat kerusakan di bumi. Hal inilah yang disinggung dalam surat al-Baqarah/2:11, “Dan apabila

dikatakan kepada mereka (orang-orang kafir): ‘Jangan membuat kerusakan di bumi!’ Mereka

menjawab, ‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang saleh.’” Jadi, kesalehan adalah lawan dari

kekafiran.

Mencintai-Nya, tentu diikuti dengan tindakan mencari-Nya. Omong kosong, orang yang

mengatakan ‘mencintai’ Dia tanpa ada keinginan untuk bertemu dengan-Nya! Tapi bagaimana

mencari-Nya, wong Dia itu tak tertangkap oleh indera kita. Dia memang Maha Besar, Allaahu Akbar,

tetapi Dia juga Maha halus, wa huwa lathiif. Dikonfirmasi dalam surat al-An-‘aam/6:103, “Dia tidak

Page 11: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

11

dapat dicapai oleh indera, sedangkan Dia meliputi indera. Dia Maha Halus dan Maha Menyadari.”

Karena Dia tidak tertangkap oleh indera itulah, Allah memerintahkan manusia untuk berittiba’ atau

mengikuti Rasul-Rasul-Nya, yang untuk umat Islam berittiba’ kepada Nabi Muhammad s.a.w.

Rasul adalah juga manusia seperti kita. Ia manusia yang makan, minum, dan bekerja layaknya

manusia biasa. Sebagian besar dari rasul justru memilih kehidupan berkeluarga. Namun mereka itu

manusia yang mempunyai kualitas lebih dari kebanyakan manusia. Yang jelas semua rasul/nabi tahan

menderita. Semangat hidupnya tinggi. Makan, minum, dan tidurnya relatif sedikit. Mereka terpanggil

untuk mewartakan jalan hidup yang benar. Mereka bahkan tidak hanya mewartakannya, tetapi

membawa dan menggembalakan umat manusia. Tentu saja sifat jujur, tepercaya, cerdas, dan

menyampaikan kebenaran itu adalah sifat mereka. Nah, di antara para rasul dan yang menjadi penghulu

para nabi adalah Nabi Muhammad s.a.w.

Muhammad memiliki keteladan yang baik bagi umat manusia yang mendambakan Allah dan

Hari Akhir dan banyak berzikir kepada Allah (QS 33:21). Seperti yang telah dijelaskan di bagian ke-2,

mengikuti keteladanan tidak sama dengan meniru. Meniru adalah proses pendewasaan tahap awal

seorang anak manusia. Sedangkan mengikuti keteladanan, termuat usaha untuk mengerti apa yang

diteladankan. Mengikuti juga tidak sama dengan “sekadar ikut” atau menyertai. Dalam tindakan

mengikuti, terdapat proses menyempurnakan diri. Ada upaya untuk mengadopsi dan mengadaptasi.

Mengapa demikian? Karena keteladanan dari seseorang tak lepas dari budayanya. Pakaian gamis tentu

sangat cocok dengan budaya padang pasir. Namun kata “gamis” tersebut di negara Spanyol ketika

dikuasai oleh Bani Umayyah, berubah menjadi kamisa dan akhirnya kemeja seperti yang kita kenal di

Indonesia.

Untuk mengikuti Nabi, manusia diperintah untuk mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Selama

beliau di Mekah, wahyu yang memuat kalimat perintah “athii-‘uu” hanya ada di surat Thaahaa/20:90.

Dan itu pun mengabarkan perintah Nabi Harun a.s. kepada umatnya. Sedangkan kalimat perintah

“athii-‘uuni”, patuhilah aku, hanya ada di surat asy-Syu-‘araa, yaitu surat ke-26 pada ayat 108, 110,

126, 131, 144, 150, 163, 179; dan surat ke-43 (az-Zukhruf) ayat 63, serta surat Nuh/71:3. Dan semua

perintah “patuhilah aku” pada semua ayat tersebut adalah perintah nabi-nabi, seperti Nuh, Shaleh, Hud,

Syuaib, Luth dan Isa, kepada umat beliau masing-masing. Perintah “patuh kepada Allah dan Rasul”

baru muncul pada periode Nabi s.a.w. di Madinah

Ada 13 ayat Madaniyah yang memerintahkan manusia untuk patuh kepada Allah dan Rasul,

yaitu ayat 3:32,132, 4:59, 5:92, 8:1,20,46, 24:54,56,47:33, 58:13, 64:12,16. Jika ayat-ayat Makiyah

menegaskan bahwa Rasul itu sebagai penyampai Ajaran Tuhan, maka ayat-ayat Madaniyah

memberitahukan bahwa Rasul juga Pemimpin umat yang harus dipatuhi. Apa yang disampaikan di

Mekah adalah Ajaran yang universal dari Islam, sedang yang di Madinah lebih spesifik sebagai solusi

bagi kehidupan masyarakat Arab pada waktu itu. Hal itu jelas sekali bila kita memperhatikan hukum-

hukum yang tertera pada 5:89-91, yang mendahului perintah ketaatan kepada Allah dan Rasul pada

5:92.

Demikian pula jika kita memperhatikan perintah tentang kepatuhan kepada Rasul dalam surat

al-Anfaal (Rampasan Perang). Perintah itu sangat erat kaitannya dengan peperangan, agar pasukan

tentara yang dipimpin Nabi tetap solid (bersatu), teguh dan tetap mengikat tali persaudaraan orang-

orang beriman. Pada intinya semua ayat tersebut, kecuali 64:12-16, menjelaskan kepatuhan umat

kepada Rasul ketika beliau ada di tengah-tengah mereka. Nah, sejak 632 M secara fisik beliau sudah

tidak hadir di tengah-tengah umat. Kehadiran beliau di tengah-tengah umat bersifat ruhaniyah. Dengan

demikian, taat kepada Allah Yang Maha Gaib itu dan taat kepada Rasul dalam keadaan gaib,

merupakan kepatuhan yang bersifat spiritual.

Kepatuhan spiritual, yang di dalam bahasa tasawuf Jawa sebagai “Sembah Jiwa”, adalah jalan

kepatuhan terakhir untuk memasuki tingkat kerohanian tertinggi, yaitu alam nubuwat atau “kenabian”

seperti yang dinyatakan pada surat an-Nisa’/4:69. Yang di dalam ayat itu disebutkan bahwa orang-

orang yang mendapat anugerah kenikmatan dari Tuhan adalah para shalihin, para syuhada’, para

shiddiqin, dan para nabi. Yang dimaksud dengan para nabi, tidak berarti mereka yang menyatakan dan

Page 12: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

12

dinyatakan sebagai “nabi” dalam bahasa Arab, tetapi semua orang yang menjadi “ahli waris kenabian”

yaitu mereka yang disebut ulama, baik dalam Al Quran maupun Al Hadis (al-‘ulamaa-u waratsatu l-

anbiyaa’, ulama itu ahli waris para nabi). Yang saya maksud dengan ulama di sini, bukan sebutan

ulama yang ditempelkan pada orang tertentu. Tetapi orang-orang yang ada di barisan para nabi Allah.

Ulama demikian inilah yang dikabarkan dalam surat ar-Ra’d (guruh)/13 : 7,

“Wa yaquulu l-ladziina kafaruu laulaa unzila ‘alaihi aayatun min rabbihii innamaa anta mundzirun wa

li kulli qaumin haaad.”

Berkatalah orang-orang yang ingkar (kafir) itu, “Mengapa tidak diturunkan suatu mukjizat dari

Tuhannya kepada Muhammad?” Engkau (Muhammad) sesungguhnya salah seorang yang memberi

peringatan! Dan setiap kaum itu ada orang yang memberi petunjuk (Haad).

Jadi, jelas bahwa orang yang senantiasa terpanggil untuk memberi peringatan dan petunjuk

tentang jalan hidup yang benar dalam suatu kaum itu selalu ada. Dan Nabi adalah salah seorang Haad

itu. Dengan demikian, Haad atau orang yang memberi petunjuk untuk berbuat dan bertindak benar

kepada suatu kaum ada di barisan para nabi. Mereka adalah orang-orang yang menerima tongkat estafet

kenabian. Mereka itulah para ahli waris nabi. Sehingga di dalam suatu Al hadis disebutkan bahwa para

ulama di kalangan umat beliau bagaikan para nabi Bani Israel. Mereka tidak memerlukan sebutan nabi

bagi diri mereka. Sebab Penghulu para nabi adalah Muhammad s.a.w.

Lalu, apa hubungannya menjadi ulama dengan belajar tasawuf? Apakah belajar tasawuf itu

untuk menjadi wali atau ulama? Tentu saja tidak! Kodrat dan irodat Tuhan dalam diri setiap manusia

itu tidak sama. Kapasitas manusia untuk mengarungi hidup ini berbeda-beda. Kita lihat saja di

sekolahan, untuk kelas yang sama tak ada orang yang kepandaiannya sama. Masing-masing memiliki

kelebihan dan kekurangan atas yang lain. Meskipun di sekolah suatu nilai itu ada standarnya, tetapi

sepuluh orang yang mendapat nilai matematika yang sama, tetap kepandaiannya tak ada yang sama.

Tuhan Maha Mengetahui! Setiap orang mempunyai kodrat dan iradatnya sendiri. Kapasitas

dan kapabilitas usaha manusia berbeda-beda. Penggolongan pada manusia juga karena adanya

perbedaan-perbedaan itu. Demikian pula penggolongan tentang kesalehan, seperti shalihin, syuhada’,

shiddiqin, dan nabi, adalah karena adanya kapabilitas yang berbeda-beda. Nah, orang-orang yang

memiliki perbedaan kapabilitas yang tidak berarti biasanya dimasukkan dalam satu golongan atau

tingkatan, maqam, posisi, stasiun atau dengan sebutan lainnya. Dan Allah pun memerintahkan manusia

untuk bertakwa sesuai dengan kesanggupan atau kapabilitasnya. Dalam surat at-Taghaabun/64:16

disebutkan, “Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu. Dengarlah dan patuhilah, serta

belanjakan hartamu, itu yang lebih baik bagi jiwamu. Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran

jiwanya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Jika demikian, untuk apa kita belajar tasawuf bila kodrat dan irodat dan kapabilitas manusia

itu berbeda-beda? Di bagian depan telah disampaikan bahwa belajar tasawuf itu untuk menjadi hamba-

hamba yang mencintai dan dicintai Tuhan. Dengan kata lain untuk bisa kembali dan bertemu dengan-

Nya. Dan jalan kembali untuk bertemu dengan Tuhan itu bisa kita peroleh bila kita menjadi manusia

yang arif dalam hidup ini. Dan, orang yang arif itu adalah orang-orang yang memperoleh hikmah atau

kesadaran. Seberapa besar hikmah yang diterima, itulah yang menempatkan orang-orang itu dalam

tingkatan shalihin, syuhada’, shiddiqin, dan para nabi. Tentu saja hikmah yang diterima syuhada’ lebih

besar daripada yang diterima shalihin, shiddiqin lebih besar dari syuhada’ dan hikmah terbesar yang

diterima para nabi dan ahli warisnya.

Shalihin adalah manusia standar yang diharapkan dalam Islam. Jika diterjemahkan secara

sederhana adalah kelompok orang-orang yang saleh, yang berbuat kebajikan. Amal saleh dan iman

merupakan paket yang tak terpisahkan. Amal saleh harus lahir dari iman seseorang, dan iman pun

terbentuk karena kesalehan orang itu. Dalam pengertian yang sederhana, orang saleh adalah orang yang

melakukan hal-hal yang bermanfaat, baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya.

Page 13: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

13

Syuhada’ adalah orang-orang yang menjadi saksi kebenaran.Orang-orang yang rela

mengorbankan dirinya bagi orang lainnya. Karena itu orang yang gugur dalam membela kebenaran

disebut orang yang “mati syahid”. Dengan kata lain, syuhada’ bukan cuma mereka yang mati syahid.

Menurut Hadis yang diriwayatkan oleh Malik, Ahmad, Abu Daud, An Nasaa-i, Ibnu Majah, Ibnu

Hibban, dan Al Hakim, dan yang bersumber dari Sahabat Jabir dan Atik, ada tujuh macam orang yang

mati syahid, yaitu orang yang terbunuh di jalan Allah, meninggal karena kolera, tenggelam, paru-paru,

penyakit perut, reruntuhan, dan melahirkan. Mengapa orang yang meninggal karena berbagai penyakit

atau kecelakaan disebut mati syahid? Hal ini harus dipahami bahwa standar masyarakat Islam adalah

orang-orang saleh. Di tengah masyarakat yang saleh, orang yang dengan tabah menerima penyakit

yang menimpanya dan mencoba berobat, lalu meninggal, maka mereka adalah syahid. Tabah dan

berobat adalah bentuk kebajikan yang lebih tinggi dari sekadar amal saleh. Menurut Hadis, orang yang

terserang penyakit menular yang memati-kan harus bersedia dikarantinakan agar tidak terjadi

penularan. Ketabahan dan upaya ber-obat inilah yang membuat orang yang sakit itu menyelamatkan

banyak orang. Karena itu orang yang terserang jenis-jenis penyakit itu (waktu itu hanya teridentifikasi

kolera, paru-paru dan perut) dan meninggal disebut syahid. Juga masalah reruntuhan, hal ini menunjuk-

kan kepada kita ada orang yang rela untuk melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya untuk

kemaslahatan orang banyak. Kita lihat saja, ada orang yang rela bekerja sebagai “cleaning service”

yang membersihkan dinding bangunan bertingkat tinggi, yang risiko kehilangan nyawanya sangat

besar. Bayangkan jika setiap orang hanya menginginkan pekerjaan-pekerjaan yang aman-aman saja,

apakah kita bisa hidup sejahtera?

Orang yang meninggal karena kecelakaan, mungkin saja ia termasuk orang yang lalai.

Mungkin saja, bukan pasti! Yang jelas ada orang-orang yang sudah berhati-hati dan mengikuti aturan

yang benar, tetap tertimpa kecelakaan hingga meninggal. Terlalu banyak macam kecelakaan, walaupun

dalam hadis disebutkan hanya dua yaitu karena reruntuhan dan tenggelam. Tetapi, intinya berbagai

kecelakaan itu akan mendorong orang untuk memikirkan cara berbuat dan bertindak agar tidak terjadi

kecelakaan. Dengan demikian meninggal karena kecelakaan juga mendorong lahirnya undang-undang

tentang kesela-matan dan cara-cara penyelamatannya. Dan, banyak orang yang selamat dari

kecelakaan. Wajar, orang yang meninggal akibat kecelakaan mendapat status syahid.

Orang yang juga tergolong mati syahid adalah orang yang mati akibat melahirkan. Ya,

melahirkan adalah kesediaan untuk melakukan kodrat dari Tuhan. Yang menciptakan kodrat adalah

Tuhan, dan yang menerima kodrat adalah wanita. Menurut ilmu ekonomi, besarnya keuntungan

tergantung dengan besarnya risiko. Orang yang hanya mau menerima keuntungan kecil, risiko yang

mungkin ditimbulkannya juga kecil. Kalau mau mendapat keuntungan yang besar, maka harus siap

dengan risiko yang besar. Nah, kesyahidan adalah imbalan dari risiko kematian akibat melahirkan.

Syuhada’ tidak hanya bagi mereka yang mati karena gugur di medan perang, terserang

penyakit yang mematikan, kecelakaan maupun akibat melahirkan. Dari ketujuh macam orang yang

mati syahid adalah orang yang meninggal “di jalan Allah”. Meninggal di jalan Allah mempunyai

pengertian yang luas. Siapa saja yang konsisten berbakti kepada Tuhan hingga meninggalnya, adalah

orang tergolong syuhada’. Wartawan yang menyam-paikan kebenaran yang seharusnya disampaikan

kepada khalayak ramai, terus dijahati hingga meninggal, adalah syuhada’. Orang yang berani

menasihati penguasa yang zalim, dan terbunuh, juga syuhada’. Dan banyak lagi yang tidak disebutkan

di sini.

Shiddiqin adalah orang-orang yang berbuat kebenaran, atau orang-orang yang ucapan dan

tindakannya tulus sepenuh hatinya. Untuk memberikan gambaran tentang orang shiddiqin, saya

ambilkan contoh Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. Cuma satu contoh yang bisa dikembangkan sendiri! Dari

awal beliau menunjukkan ketulusan hidupnya. Beliau membebaskan budak ketika masih di awal-awal

perjuangan Islam. Rela tinggal di Gua Tsur bersama Rasul Allah ketika hijrah ke Madinah. Beliau

berani tampil untuk dicaci-maki ketika membela Rasul Allah. Orang-orang yang berkarya besar untuk

kesejahteraan manusia adalah mereka yang ada di kelompok shiddiqin.

Page 14: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

14

Para nabi adalah orang-orang yang menjadi rasul, pemberi petunjuk (Haad), dan siapa saja

yang mengambil jalan para nabi atau ahli waris para nabi. Mereka bukan hanya mencintai dan

menegakkan kebenaran, tetapi juga mengajarkan kemanusiaan dengan ke-teladanan dan ajaran. Di

dalam Al Quran maupun Hadis, tidak ada pembedaan definisi antara nabi, rasul, dan haad. Sebutan-

sebutan itu tergantung peran yang dilakukannya. Seperti ayah dan suami. Ia disebut ayah jika yang

diperankan adalah ayah dari anak-anak hasil perkawinannya. Pada saat yang lain ia disebut sebagai

suami jika peranan yang dimaksud sebagai pasangan sah dalam perkawinan. Begitu juga dengan

kenabian. Dia disebut nabi bila perannya adalah orang yang menerima berita paripurna dari Tuhan.

Dan dia disebut rasul bila dia mengemban misi penyelematan umat manusia.

Nah, dengan bertasawuf orang dididik untuk bisa kembali kepada Tuhan, sesuai dengan

kemampuannya, dan bertemu dengan-Nya di maqam masing-masing. Bila tidak mampu menemukan-

Nya di stasiun shiddiqin, ya cukup bertemu di stasiun shalihin. Yang jelas, manusia harus bisa bertemu

dengan-Nya. Karena itu digambarkan dalam Al Quran bahwa orang yang melihat Tuhan itu dengan

wajah berseri-seri. Sehingga dilukiskan dalam berbagai penjelasan bahwa kenikmatan yang tertinggi

adalah saat manusia menyaksikan Tuhannya. Dalam surat al-Qiyaamah/25:22-23 dinyatakan, “Wajah-

wajah pada hari itu berseri-seri (bercahaya), kepada Tuhan mereka itu memperhatikan.”

Wajar bila kita bertemu Tuhan itu tampil dengan berseri-seri yang alami. Keberserian itu

muncul dari dalam diri yang senantiasa mendambakan-Nya. Tidak dibuat-buat atau direkayasa. Seperti

terpancarnya sinar dari sumber cahaya. Kita tidak perlu membayangkan jauh-jauh, cukup kita lihat

orang yang bertemu dengan orang yang sangat dicintainya. Karena itu bertemu dengan yang dicintai itu

merupakan kenikmatan yang luar biasa. Dan minimal orang harus bisa bertemu di tangga shalihin.

Memang, semakin atas tangga tempat pertemuan hamba dan Tuhan, semakin nyata dan

nikmat. Namun, manusia toh harus berjuang untuk mendaki ke tangga yang tertinggi. Di maqam itulah

tabir antara hamba dan Tuhan sudah lenyap. Hilang segala keraguan dan mantab hati memandangnya!

Page 15: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

15

Bagian ke-4

Di bagian ke-3 diterangkan bahwa kita semua, alam semesta ini, dihadirkan oleh Tuhan dari

“Satu Wujud”. Lalu, dipisahkan-Nya wujud yang satu itu menjadi triliunan entitas atau wujud. Dari

wujud-wujud itu ada yang menjadi “sarana” kehidupan, seperti planet bumi; dan ada pula yang menjadi

“wahana” kehidupan. Yang pertama adalah alat, lingkungan atau perlengkapan untuk mencapai tujuan,

sedangkan yang belakangan adalah kendaraan untuk mencapai tujuan. Jadi, bumi adalah tempat

kehidupan dan badan adalah kendaraan bagi sang hidup untuk kembali kepada Yang Maha Hidup.

Nah, tubuh atau fisik kita sebenarnya hanyalah “kendaraan” atau “alat transpor” bagi “Diri

Sejati” kita, “hidup” kita, atau “sukma” kita. Saya sengaja tidak menggunakan kata “aku” untuk

menghindari kesalahpahaman dengan “ego” atau ananiyah, keakuan. Jadi, untuk selanjutnya diri sejati

yang ada pada masing-masing diri kita, saya singkat dengan “DS”. Ya, dialah penunggang kereta yang

bernama badan jasmani ini. Dialah yang disebut “sang hidup”. Baju yang digunakan DS ini namanya

“nafs” atau jiwa. Dan, DS ini roh adanya. Karena itu, manusia yang hidup ini sebenarnya terdiri dari

komponen yang bersifat fisik (corpus, badan), nafsani (animae, jiwa atau nyawa), dan rohani (spiri-tus,

semangat atau roh).

Fisik, jiwa dan roh adalah kelengkapan bagi DS untuk menjalani hidup ini. Jika jiwa putus

hubungan dengan fisik, maka manusia disebut mati. Dari komponen badan, jiwa dan roh, maka jiwa

adalah tali penghubungnya. Jiwa yang dalam bahasa Arabnya “nafs” berasal dari kata kerja “na-fu-sa”

yang berarti menginginkan, berhasrat, atau bernapas. Artinya, jiwalah yang menyebabkan badan

jasmani ini menjadi hidup. Dan jiwa pula yang membuat manusia bisa merasa duka dan suka. Bila jiwa

ini putus hubungan dengan jasmani karena jasad tersebut tak dapat dioperasikan lagi maka matilah

badan. Dengan kata lain, “jiwa mengalami mati”. Dalam cacah penduduk dikatakan bahwa di

lingkungan itu tinggal sekian jiwa. Bila ada kecelakaan yang menyebabkan kematian dikatakan

“kecelakaan itu menyebabkan terenggutnya sekian jiwa” atau “sekian jiwa melayang”. Jadi, peranan

jiwa bagi DS sangat penting.

Lalu, dimana fungsi roh bagi DS dalam kehidupan? Di dalam Al Quran Surat Al Israa’/17:85

dinyatakan, “Mereka bertanya kepada engkau tentang roh. Katakan, ‘Roh itu amar (kehendak)

Tuhanku. Kamu tidaklah diberi ilmu (tentang roh) kecuali sedikit’.” Banyak orang yang

menerjemahkan ayat tersebut dengan “roh itu urusan Tuhanku”. Dengan terjemahan tersebut, pintu

pemahaman roh telah mereka tutup. Akibatnya, dunia ilmu pengetahuan kita semakin tertinggal. Roh

berasal dari kata dasar Arab “ra-wa-ha”, artinya mengipasi, menyegarkan kembali, menghidupkan hati,

atau membangkitkan semangat. Kata yang seakar kata dengan roh adalah “riyah” atau angin, “raahah”

atau senang, nyaman, atau rekreasi, dan “rauhah” atau perjalanan. Kata “rawaah” berarti pergi atau

keberangkatan. Minuman anggur dalam bahasa Arabnya adalah “raah”. Dan, istirahat dalam bahasa

kita juga berasal dari akar kata yang sama dengan roh.

Kata roh dalam Al Quran selalu dinyatakan dalam bentuk tunggal. Roh merupakan

perlengkapan bagi DS untuk mengembangkan dirinya. Dengan rohnya manusia bisa meningkatkan dan

membedakan dirinya dari dunia hewan. Dengan roh manusia dapat memberdayakan akalnya atau “al-

qalam” yang ada di dalam dirinya. Perlu diketahui bahwa dengan al-qalam Tuhan mengajari manusia

dari apa-apa yang belum diketahuinya. Lihat kembali Surat al-‘Alaq/96: 4 ? 5. Nah, DS yang terampil

mempergunakan al-qalam inilah yang dalam Tasawuf Jawa disebut “Guru Sejati” atau “Sukma Sejati”.

Pada tahap inilah manusia bisa menorehkan keindahan dan kemajuan di bumi ini. Dengan GS-nya

manusia mampu membuahkan “ilmu” yang tidak diajarkan oleh manusia sebelumnya. Dari manakah

ilmu itu? Tentu saja langsung dari Tuhan. Inilah yang difirmankan dalam Surat al-Kahfi/18:65, “Kami

telah memberikan rahmat kepadanya dan mengajarkan suatu ilmu dari sisi Kami.” Juga dinyatakan

dalam Surat al-Baqarah/2: 282, “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah mengajarmu. Dan Allah

itu Maha Mengetahui segala sesuatu.” Dengan demikian, Allah mengajar DS dengan al-qalam sehingga

DS menjadi GS bagi dirinya.

Page 16: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

16

Lho, apa hubungannya pemahaman GS dengan tasawuf? Apa tidak terlalu tinggi jika setiap

orang harus bisa mengangkat derajat DS-nya menjadi GS? Bukankah derajat itu untuk sedikit orang di

dunia ini? Bukankah secara umum manusia ini tergolong orang awam? Apa tidak mubazir belajar

demikian ini?

Mari kita ingat lagi ajaran yang telah diberikan pada bagian sebelumnya. Ajaran tasawuf

membawa manusia untuk bisa mendapatkan hikmah dalam kehidupan ini. Telah dijelaskan bahwa

hikmah itu tak ada kampus atau sekolahannya. Pengajar hikmah adalah Tuhan Yang Mahaesa! Tuhan

mengajar manusia (DS-nya) dengan al-qalam. DS yang mendapat ilmu dari sisi Tuhan, akhirnya

menjadi guru bagi dirinya. Guru yang ada di dalam diri manusia itulah sebenarnya guru yang waskita,

yang betul-betul awas. Sehingga dia disebut sebagai “Guru Sejati”. Jika nurani manusia bekerja maka

sesungguhnya yang bekerja adalah GS-nya. Menurut filsafat, pengetahuan yang sejati pun lahir dari

dalam DS seseorang. Jika DS seseorang tertutup atau tak bekerja, maka orang itu tak akan mampu

menghasilkan ilmu baru. Bila DS seseorang tak bekerja, maka maksimal ilmu yang didapat oleh orang

tersebut adalah sebanyak yang diajarkan oleh gurunya. Iptek yang dihasilkan oleh orang yang terdidik

adalah “inovasi”, bukan penemuan atau “invention”. Tanpa penemuan listrik, dunia ini tetap diterangi

lampu minyak. Orang naik haji dari Indonesia masih tetap membutuhkan waktu 3 bulan perjalanan.

Sedangkan sasaran pokok ajaran tasawuf adalah mengangkat posisi masyarakat ke tingkatan

standar, yaitu masyarakat shalihin. Di dalam masyarakat shalihin, manusia-manusia di dalamnya saling

menolong dalam kebaikan dan bukan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.

Difirmankan dalam surat al Ma-idah/5:2,

“Dan janganlah kebencianmu terhadap seuatu kaum, karena mereka menghalangimu berkunjung ke

Masjid al-Haram, menyebabkan kamu ber-buat melanggar batas (kemanusiaan).Dan tolong-

menolonglah dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permu-

suhan. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya pembalasan dari Allah amat keras.”

Mari kita perhatikan ayat tersebut! Masjid al-Haram adalah pusat peribadatan orang-orang

Islam. Sebelum Mekah ditaklukkan oleh Nabi, orang-orang Islam mendapat halangan dari orang-orang

Qureisy untuk beribadah di Masjid al-Haram. Tentu saja hal ini membuat orang-orang Islam benci

kepada orang-orang Qureisy Mekah. Namun, sikap benci atau kebencian harus dikendalikan.

Kebencian itu tidak boleh menyebabkan perilaku yang melanggar batas kemanusiaan. Dalam istilah

sekarang kebencian seseorang terhadap suatu kaum tidak boleh menyebabkan ia melanggar

HAM. Nah, bagaimana se-seorang bisa mengenal HAM kalau tidak memahami suara nuraninya?

Kita diperintahkan untuk saling menolong dalam kebajikan dan saling memelihara dalam

kedamaian hidup. Kita dilarang untuk saling menolong dalam kejahatan dan per-musuhan.Bantu-

membantu dalam kebajikan, tolong-menolong dalam memelihara per-damaian adalah suara

nurani. Nurani adalah kerja DS. Bila DS kita kerangkeng dan kita tutup rapi, maka suara nurani itu tak

terdengar lagi. Bila nurani telah hilang maka tak ada artinya syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji.

Semua ibadah itu hanyalah kulit yang rapuh bila tidak terpancar dari hati yang tulus.

Memang sekarang ini kita masih jauh dari kehidupan shalihin ini. Kita masih disi-bukkan oleh

kepentingan diri-sendiri. Inilah sebenarnya yang merupakan wujud dari ego manusia! Manusia tidak

mencoba meniti ke dalam dirinya. Tetapi, ia malah memperturut-kan dorongan egonya, hanya mau

memenangkan kepentingannya. Roh yang fungsinya untuk menghidupkan hati, tersekat oleh ego

manusia. Manusia yang mestinya mengetuk pintu hatinya, masuk menemuinya DS-nya, dan bertemu

Allah; malah lari tunggang langgang seperti “dracula” yang takut cahaya matahari. Lari dari jalan yang

benar akan menghadapi risiko yang berat. Inilah sistem kerja semesta! Karena itu dalam ujung ayat

tersebut diperingatkan bahwa “pembalasan dari Allah itu amat keras”.

Kita jangan sampai menganggap bahwa Allah itu pembalas. Allah bukanlah pembalas! Dia

Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Allah yang menetapkan sistem pada ciptaan-Nya dan sekaligus

memberinya petunjuk. Namun, jika ciptaan-Nya itu keluar sistem maka sungguh gawat risikonya.

Page 17: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

17

Bayangkan bila rembulan di atas kita itu lepas dari orbitnya, maka bumi ini bisa meledak. Karena itu

manusia diperingatkan agar tetap men-jaga dirinya di jalan yang benar, jalan yang telah digariskan.

Ada 69 kata perintah “ittaquu” atau lindungi atau jaga dirimu, dalam Al Quran. Cara untuk melindungi

diri itu telah diinformasikan kepada DS. Sedangkan petanya adalah kitab-kitab suci. Jadi, orang yang

membaca kitab suci sebenarnya adalah orang yang membuka peta perjalanan hidup. Sedangkan

kehendak untuk melakukan perjalanan ada pada diri manusia itu sendiri. DS tidak muncul bila pikiran

manusia keruh, hatinya kotor.

Karena kebanyakan DS manusia itu tertutup oleh karat hati, maka manusia diajari untuk

membersihkan diri dari bagian luarnya dulu kemudian semakin ke dalam. Nah, cara membersihkan diri

dari bagian luar inilah yang dinamakan “syariat”. Setiap umat diberikan syariat, seperti dijelaskan pada

5:48, “Setiap umat di antaramu telah Kami beri syariat dan minhaaj.” Syariat adalah jalan yang dilalui

dalam hidup ini. Agar tetap hidup, manusia harus makan. Tetapi makanan yang disyariatkan adalah

yang halal lagi baik. Yang halal dan baik ini yang membedakan kehidupan lahiriah antara agama yang

satu dengan yang lain. Untuk mempertahankan hidupnya, disamping harus makan, manusia juga harus

minum. Minuman yang disyariatkan tentu saja yang halal dan baik. Dalam surat al-Baqarah/2:168

dinyatakan, “Wahai manusia makanlah apa-apa yang halal dan baik yang ada di bumi ini. Dan

janganlah mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya ia musuhmu yang nyata.”

Jika kita bicara tentang setan maka janganlah membayangkan yang aneh-aneh. Kata setan

yang berasal dari kata Arab “syaa-tha” dan “sya-ya-tha” mempunyai arti sesuatu yang membakar,

menghanguskan, atau yang menyebabkan hati menjadi keras atau tak berperasaan. Karena itu setan

tidak bertempat di luar manusia. Rumah setan adalah manusia itu sendiri. Ia bertamasya di seluruh

tubuh manusia melalui peredaran darah. Persinggahannya ada di dalam perasaan dan pikiran. Inilah

yang disebut setan itu berasal dari “al-jinnah” dan “al-naas” yang ada pada QS 114:6.

Perasaan dan pikiran manusia tumbuh seiring dengan pertumbuhan manusia dari bayi hingga

dewasa. Manusia mengalami suka-duka dan kenikmatan melalui indera lahir dan batinnya. Seharusnya,

manusia yang mengendalikan perasaan dan pikirannya. Tetapi, kenyataannya kebanyakan manusia

dikendalikan oleh hati dan pikirannya. Bisikan hati dan pikiran ini bersembunyi di daerah dada

manusia. Ia menjadi setan yang bersembunyi yang disebut khannaas. Nah, manusia yang hanya

memenuhi seruan perasaan dan hatinya adalah manusia yang mengikuti langkah-langkah setan. Dan,

setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. Maka musuh yang sebenarnya dari manusia adalah

bisikan perasaan dan pikirannya sendiri! Manusia harus mampu mengendalikan perasaan dan

pikirannya sendiri. Sehingga dengan demikian ia dapat memilih makanan dan minuman yang halal dan

baik. Dengan kata lain, makanan dan minuman yang sehat bagi badan jasmaninya. Lha, bagaimana

dengan kesehatan jiwanya? Sabar, sebentar.

Syariat memang ditujukan untuk membangun pertumbuhan fisik yang sehat. Sesuai dengan

ungkapan Arab, “Al ‘aqlu s-saliimu fi l-jismi s-saliim” atau “Akal yang sehat terletak di dalam jasmani

yang sehat”. Dalam bahasa Itali dikatakan “Mens sana in corpore sano” atau “Pikiran yang sehat ada di

dalam tubuh yang sehat”. Tentu saja hal ini jangan dipertentangkan dengan adanya kenyataan bahwa

ada orang yang badannya tidak sehat tetapi pikirannya sehat. Kita harus melihat sehat dari segi

kedokteran, yaitu keadaan yang mengintegrasikan antara impuls masukan dan impuls keluaran oleh

saraf pusat. Atau, terintegrasikannya saraf sensorik dan motorik oleh saraf pusat. Nah, agar saraf

sensorik yaitu saraf penerima yang berhubungan dengan indera dan saraf motorik yang berhubungan

dengan aktivitas tanggapan bisa bekerja normal (seimbang) maka badan jasmani ini harus disehatkan

lebih dahulu. Jadi, kalau gula itu rasanya manis maka saraf sensorik itu harus merasakan manis. Dan

kalau ada dua makanan yang manis, maka kemanisannya dapat diperbandingkan. Ini tandanya sehat,

alias normal. Salah satu upaya menjaga kesehatan jasmani adalah memilih makanan yang sehat (halal

dan baik).

Kesehatan jasmani juga dihasilkan melalui kebersihan badan dan lingkungan. Kulit jasmani

ini dapat menjadi tempat berkembangbiaknya penyakit bila tidak dirawat atau dibersihkan. Dalam

perkembangan evolusi jiwanya, manusia pada akhirnya sadar bahwa air adalah sarana untuk

Page 18: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

18

membersihkan badannya. Minimal setiap harinya manusia harus membersihkan bagian-bagian yang

penting dari jasmaninya. Dengan demikian, pori-pori yang ada di seluruh permukaan kulit yang

dibersihkan itu tidak tertutup oleh kotoran. Dalam istilah sekarang semua ventilasi di bagian-bagian

pokok seperti bagian kepala, wajah, tangan dan kaki kita buka. Sehingga udara segar bisa masuk

dengan leluasa, dan badan terasa segar. Dalam badan yang segar, perasaan dan pikiran terasa segar

pula. Nah, konsep pembersihan bagian tertentu badan jasmani ini dalam syariat disebut “wudhu”. Kata

ini dalam bahasa Indonesianya adalah memisahkan. Ya, wudhu adalah tindakan untuk memisahkan

kotoran dari badan.

Kesehatan jasmani dipenuhi dengan makanan dan minuman yang sehat, dan bagian luar

jasmani yang dibersihkan dari berbagai macam kotoran. Disamping itu, badan akan menjadi sehat bila

secara teratur digerak-gerakkan. Dengan gerakan yang teratur, peredaran darah dan hormon akan

berjalan dengan normal. Bukan hanya peredaran darah dan hormon, peredaran udara dan zat-zat

makanan dalam tubuh pun berjalan dengan baik. Bila metabolisme dalam tubuh ini tidak ada yang

terganggu atau terhambat, maka badan jasmani ini akan bekerja dengan normal. Badan menjadi sehat!

Syariat salat mewakili gerakan-gerakan tubuh.

Makanan dan minuman harus dipilih yang sehat. Badan harus bersih dari najis atau kotoran.

Kemudian, makanan pun harus dimakan secara teratur waktu dan banyaknya. Dalam Islam ada syariat

yang mengatur waktu dan banyaknya makanan yang dikonsumsi dalam setiap tahunnya. Inilah yang

dinamakan puasa! Zakat dalam pengertian sedekah, yaitu mengeluarkan sebagian kekayaan untuk

orang lain yang perlu dibantu, juga merupakan syariat untuk membersihkan kehidupan lahiriah

seseorang. Oleh karena itu, dalam tasawuf Jawa, pengamalan ibadah yang ragawi ini disebut “Sembah

Raga”. Suatu pengabdian yang harus ditampilkan secara ragawi.

Sembah raga merupakan tingkatan yang terendah dalam peribadatan. Tetapi, sembah raga

adalah dasar untuk membersihkan dan menyehatkan kehidupan lahiriah seseorang. Karena itu syariat

meliputi semua tindakan lahiriah manusia. Tentu saja yang termasuk dalam syariat adalah adalah

semua tindakan yang bersifat etiket dan etika dalam kehidupan ini. Agar orang-orang yang beli bahan

makanan di suatu toko tidak saling berebut, maka harus dilakukan antre. Ini pun syariat!

Dalam surat 5:48 di atas disebutkan bahwa dijadikan syariat bagi setiap umat, dan juga

minhaaj. Kata minhaaj atau manhaaj, yang bentuk pluralnya manaahij, artinya tata-cara atau prosedur.

Jika akan mendirikan salat disyariatkan ‘berwudhu’ yaitu mengguna-kan air untuk

membersihkan bagian-bagian tertentu, maka dengan minhaaj bagian-bagian yang dibersihkan itu

dijelaskan secara detil termasuk yang membatalkannya. Begitu pula puasa yang disyariatkan artinya

menahan diri dari makan, minum, dan bersanggama di siang hari, maka dengan minhaaj batas-batas itu

diterangkan.

Dalam surat al-Maidah/5 : 6 dijelaskan bahwa tujuan syariat itu, “Allah tidak ber-kehendak

untuk menyulitkan kamu, tetapi Dia berkehendak untuk membersihkan kamu dan menyempurnakan

kenikmatan yang diberikan kepadamu agar kamu menjadi orang yang bersyukur.” Dari ayat ini jelas

sekali bahwa maksud ditetapkannya syariat itu untuk membersihkan kehidupan lahiriah atau ragawi

pelakunya. Bahkan zakat yang dipungut pun dimaksudkan untuk membersihkan dan menyucikan harta-

harta yang mereka peroleh. Dengan berzakat, secara lahiriah mereka digolongkan ke dalam orang-

orang yang harus dilindungi kehidupannya, terlepas dari hatinya tidak rela atau malah menerima

dengan ikhlas. Sama dengan orang yang terkena iuran untuk jaga malam. Yang diutamakan tentu

kesediaan secara lahiriah untuk membayar iuran itu, meskipun yang bersangkutan mungkin saja kesal

hatinya karena dipungut iuran. Namun, dalam hidup bermasyarakat kepentingan bersama jauh lebih

penting daripada kepentingan kelompok atau pribadi. Lebih-lebih ketika agama Islam baru pada tahap

awal perkembangannya. Sehingga solidaritas yang tampak secara lahiriah sangat penting.

Kita lihat bahwa ajaran Islam ketika di Mekah bersifat panduan moral yang universal. Syariat

belum diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Solidaritas umat belum terbentuk. Keperkasaan

badan jasmani umat belum dibina dan dilatih. Tetapi, setelah umat Islam hijrah ke Madinah, dan tetap

Page 19: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

19

dikejar-kejar dan ditekan, maka solidaritas umat perlu digalang, kesatuan perlu dibina, dan keperkasaan

perlu dibentuk.

Karena itu setelah masuk Madinah, perlahan-lahan syariat diterapkan bagi umat Islam. Yang pertama

kali diberlakukan adalah salat wajib, kemudian puasa Ramadhan pada tahun ke-2 Hijrah, salat Jumat

pada tahun ke-5, haji pada tahun ke-8 dan disusul zakat. Jadi, jelas bahwa syariat adalah konsep untuk

membangun kesehatan umat. Sedangkan dari tinjauan pribadi, syariat adalah ajaran yang bersifat

“zikir”. “Fadzakkir, lasta alaihim bi mushaithir”, berilah ajaran mereka itu (Muhammad), dan engkau

bukannya orang yang ditugaskan untuk menguasai mereka.

Dengan syariat itu Islam berkembang dengan pesat. Hal ini disebabkan syariat Islam itu

menunjang keteraturan dan ketertiban hidup. Dilihat dari aspek jasmani, salat adalah suatu bentuk olah

raga yang walaupun sedikit waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakannya, tetapi aktivitasnya

dilakukan cukup sering, minimal 5 kali sehari. Dan, dalam aspek sosialnya, salat mendidik orang untuk

hidup bersama secara disiplin. Tentu saja yang tidak boleh dilupakan dalam salat adalah pelatihan

meditasi atau zikir di dalamnya. Dan sebenarnya makna batin ini yang paling penting dari salat. Karena

itu, salat yang tidak dijalankan dengan khusyuk dipandang tidak ada nilainya. Karena tanpa

kekusyukan tak akan bisa terbentuk jiwa yang tenang. Di dalam surat al-Ankabut/29:45 disebutkan

bahwa tujuan dari salat adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. Dan, nilai zikir dalam salat itu

lebih besar dari bentuk peribadatan lainnya.

Memang tidak mudah mempraktikkan zikir sambil bergerak. Karena gerakan itu sendiri

mempengaruhi pikiran pelaksananya. Tetapi, bila sanggup menjalankan zikir dalam gerakan, maka

efek positifnya akan tampak nyata. Tapi sayang, masyarakat agamis hanya terpaku pada kewajiban

menjalankan salat secara lahiriahnya. Kita mandeg pada kesehatan lahiriah. Kita tidak mau

mempromosikan salat untuk membangun kesehatan batiniah. Buktinya apa? Ya, dapat dikatakan tidak

adanya guru salat yang mampu mengajar orang salat yang khusyuk. Padahal kekhusukan inilah yang

dapat membuat orang mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Mengapa? Karena hatinya sudah

tenang. Pikirannya tidak lagi ngaya. Akhirnya tercipta manusia yang mampu mengenda-likan perasaan

dan pikirannya. Orang demikianlah yang tidak mempan dibisiki oleh khannas yang senantiasa berbisik

di dalam dada.

Tasawuf Jawa mengajarkan bahwa di tingkat syariat, syahadat baru merupakan ucapan

“Asyhadu an laa ilaaha illa llaah wa asyhadu anna muhammadan rasuulu llah.” Ya, baru sampai pada

ucapan “Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu

utusan Allah.” Betul-betul baru sebagai tanda identitas kemusliman seseorang. Jadi, syahadat di tingkat

syariat baru pada pernyataan bahwa seseorang itu masuk kedalam masyarakat atau agama Islam.

Ucapan ini tentu saja terlepas dari apakah ‘syahadat’ itu lahir dari hati yang tulus atau karena

kepentingan lain bagi si pengucap. Lalu, bagaimana dengan salatnya? Tentu saja masih sebatas mengisi

daftar hadir sebagai orang muslim. Dalam istilah sekarang, salat yang dilaksanakan secara syariat itu

masih sebatas untuk membebaskan diri dari kewajiban. Padahal sebenarnya, salat ditegakkan untuk

berzikir!

Puasa pada tingkat syariat juga sebatas mencegah makan-minum dan sanggama pada siang

hari. Ya, masih formalitaslah namanya. Pelaku menunjukkan bahwa dirinya termasuk orang yang

menjalankan ibadah puasa. Dan puasa semacam ini yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Seharusnya umat Islam harus mengajarkan puasa yang lebih tinggi kualitasnya, yaitu puasa yang

efektif untuk mengendalikan makan dan minum selama hidupnya. Saya yakin, jika mutu puasa umat

meningkat setiap tahun, maka tak ada lagi orang Islam yang terserang penyakit akibat makanan.

Ringkasnya, semua bentuk syariat terkait erat dengan peribadatan ragawi. Tujuan pokok

syariat adalah untuk membersihkan dan menyucikan kehidupan lahiriah manusia. Jadi, yang

diharapkan adalah kesehatan individu dan masyarakat secara formal. Aspek formalitasnya lebih

menonjol. Jika kita mandeg atau berhenti di tataran syariat, maka sulit sekali kita mewujudkan

masyarakat adil dan makmur secara lahir dan batin. Masih jauhlah kita dari terwujudnya masyarakat

standar, yaitu masyarakat shalihin. Masyarakat yang orang-orangnya saling memberikan manfaat.

Page 20: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

20

Bagian ke-5

Bumi, rembulan dan planet-planet lain di tatasurya ini beredar dalam keseimbangan dan pada

batas-batas orbit yang tepat. Begitu pula semua bintang di alam raya ini berjalan dalam keseimbangan.

Ini tidak berarti tidak ada penyimpangan. Ada penyimpangan itu! Seperti jatuhnya meteor atau komet

pada planet. Penyimpangan itu tidak menghancurkan tatasurya selama “mizan” atau keseimbangan

alam itu tidak terlampaui.

Kehidupan masyarakat manusia di bumi ini juga mengikuti hukum keseimbangan. Manusia

harus menjaga keseimbangan itu. Itulah sebabnya di dalam Al Quran banyak peringatan untuk tidak

merusak bumi ini. Merusak bumi (termasuk atmosfernya) adalah perbuatan merusak keseimbangan

alam. Akhirnya, proses peretumbuhan dan perkemba-ngan manusia dalam perjalanan menuju

Tuhannya yang mengalami kerusakan. Alam dibuat Tuhan untuk tidak mentolerir perbuatan yang

merusak. Jika manusia telah rusak perilakunya, maka alam dengan segera memberi jawabannya yang

berupa bencana dan mala petaka. Dalam surat al- A‘raf/7:55-56 manusia diperingatkan,

55. Ud-‘u rabbakum tadharru-‘an wa khunyatan innahu la yuhibbu l-mu‘tadin.

56. Wa la tufsidu fi l-ardhi ba‘da islahiha wa d-‘uhu khaufan wa thama-‘an inna rahmata llahi qaribun

mina l-muhsinin.

55. Mohonlah kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan dengan suara yang lembut.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orangyang melanggar batas.

56. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diperbaikinya. Dan mohonlah kepada-Nya

dengan penuh kesadaran dan penuhharapan. Sesungguh-nya rahmat Allah itu dekat dengan orang-

orang yang berbuat ‘ihsan’.

Pada pelajaran sebelumnya telah dijelaskan bahwa “iman dan amal saleh” [imas] itu satu

paket. Sering imas ini dinyatakan sebagai ‘kesalehan’ saja. Kesalehan diartikan dengan segenap

tindakan yang memberikan manfaat bagi kehidupan. Kebalikannya adalah “fasad” atau kebusukan,

kerusakan atau immoralitas. Nah, kebusukan atau kerusakan inilah yang sebenarnya disebut sebagai

kekafiran. Kafir berasal dari kata “ka-fa-ra” yang artinya menutupi, menyembunyikan atau

mengingkari kebenaran. Ketika Nabi Muhammad Saw di Mekah, kafir dalam pengertian menutupi atau

mengingkari kebenaranlah yang menjadi sasaran dakwah beliau. Kaum kafir yang menjadi sasaran

peringatan beliau adalah mereka yang melanggar batas seperti dalam ayat 55 di atas atau mereka yang

melakukan kerusakan di bumi (ayat 56). Dan ayat tersebut memang diturun-kan di Mekah.

Jadi, pada mulanya kekafiran itu tak ada kaitannya dengan agama lain. Ketika beliau masih di

Mekah, beliau mengajarkan agama itu kepada kaum jahil yang hidup di kawasan Mekah dan

sekitarnya. Berdasarkan sejarah, kaum jahil ini tidak mengerti batas-batas tatakrama kehidupan atau

kemanusiaan. Padahal, jika manusia itu tidak mengerti batas kemanusiaannya, manusia akan mudah

terjerumus ke dalam perbuatan nista atau zalim, aniaya. Konsekuensi perbuatan aniaya adalah

perbuatan yang merusak kehidupan di bumi ini. Cobalah kita perhatikan ekploitasi sumber daya alam

di bumi Indonesia ini. Hutan gundul, sampah menggunung, limbah beracun tak tertimbun adalah akibat

adanya pelanggaran batas (keseimbangan). Buahnya adalah kerusakan lingkungan hidup. Dan,

akibatnya bencana dan mala petaka datang silih berganti.

Ketika beliau di Madinah, bangunan umat Islam yang baru berdiri ini mengalami gempuran

dari pihak Kafir Qureisy dari Mekah. Nabi mampu menyatukan orang Arab Madinah dari klan Aus dan

Khajrad yang senantiasa bertikai, yang digambarkan di dalam Al Quran sebagai orang-orang yang

berada di tepi neraka. Di Madinah pada waktu itu hidup orang-orang non-Arab yang berkitab (Yahudi,

dan Nasrani dari salah satu sekte agama Kristen). Bahkan orang Yahudi dapat dikatakan sudah mantap

hidup di sana. Semula ajaran Islam ini disampaikan kepada suku-suku Arab yang tinggal di Madinah

dan sekitarnya. Kemungkinan timbulnya konflik antara mereka dan orang-orang Islam telah dicermati

oleh beliau. Dalam keadaan demikian ini tentu saja Nabi memberi peringatan kepada semua pihak yang

Page 21: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

21

hidup di Madinah, agar masing-masing pihak bisa menjaga hak-haknya dan saling melindungi tanpa

memperhatikan agamanya. Ajaran ini dirangkum dalam “Piagam Madinah”.

Orang-orang Yahudi yang semula dipandang tinggi statusnya oleh orang-orang Arab, dengan

datangnya agama baru ini, mereka merasa kehilangan pengaruhnya. Hasutan-hasutan mulai

dilancarkan. Konflik tak dapat dihindari lagi. Ajaran yang nuansa-nya universal ini harus

diimplementasikan secara riil di Madinah. Kota yang menjadi basis perkembangan agama Islam ini

tentu saja harus dijaga keamanan dan kedamaiannya agar ajaran Al Quran tetap bisa didakwahkan.

Kelompok-kelompok agama lain yang sudah mapan ini diminta untuk tetap teguh memegang

kebenaran kitabnya [dalam bahasa sekarang, tidak boleh plin-plan]. Ajakan untuk memelihara hak,

menjaga batas, tak digubris lagi oleh mereka. Akhirnya, lahir kenyataan baru, yaitu orang-orang yang

berkitab yang tidak bisa menerima kebenaran yang disampaikan oleh Nabi. Inilah yang disebut “orang-

orang kafir dari golongan yang berkitab”.

Jadi, pada mulanya kekafiran itu hanya terbatas bagi mereka yang melakukan kerusakan di

bumi atau mereka yang mengingkari kebenaran. Selanjutnya kekafiran itu juga diatributkan bagi

pemeluk agama lain yang tidak mau mengerti terhadap hak-hak yang dimiliki oleh umat Islam. Hal ini

bisa dibaca pada surat al-Bayyinah/98:1-7. Kesimpulannya, orang kafir adalah orang yang mengingkari

kebenaran dan melakukan kerusakan di bumi. Tak peduli agama apa dia.

Kembali kepada ayat di atas. Manusia diperintah untuk memohon kepada Tuhan dengan cara

merendahkan diri, suara yang lembut, penuh kesadaran dan penuh harapan. Inilah tatakrama dalam

berkomunikasi dengan Tuhan. Merendahkan diri artinya bersikap rendah hati, merasa tak punya apa-

apa. Karena pemilik yang sebenarnya dari semua ini adalah Allah. Kalau diumpamakan “gentong”

maka kita harus merasa sebagai gentong yang kosong, yang siap diisi.Suara yang dibunyikan harus

lembut! Cuma didengar oleh telinganya sendiri. Inilah prinsip zikir! Selanjutnya, permohonan itu harus

dikerjakan dengan penuh kesadaran. Artinya, harus tumbuh dari hati dan pikiran yang jernih. Dan,

terakhir ditopang oleh keyakinan yang kuat akan dikabulkannya permohonan itu.

Ingat, rahmat Tuhan itu akan hinggap pada orang-orang yang berbuat ihsan. Suatu perbuatan

yang tumbuh dari hati yang murni. Suatu perbuatan yang tidak distimulasi oleh keinginan yang

melanggar batas. Perbuatan yang tidak dilandasi oleh dorongan untuk mengeksploitasi bumi. Hanya

sebatas yang diperlukan! Hanya mengambil manfaat untuk kehidupan. Bukan untuk kemubaziran atau

pemborosan dalam hidup ini. Memang hal ini tampak seperti bertentangan terhadap prinsip

“pemasaran”. Tetapi sebenarnya kita ini diingatkan agar menjaga kesejahteraan alam ini demi anak-

cucu dan kemanusiaan kita. Apalah artinya kita sekarang hidup bergelimang harta, tetapi di masa depan

kita menga-lami ketekoran hidup. Karena energi semesta sudah kita hutang sekarang ini, sehingga di

masa depan kita tekor karena harus membayarnya.

Di dalam surat al-Isra’/17:26-29 dinyatakan,

26. Berikan kepada sanak kerabat akan haknya. Juga kepada orang-orang miskin dan ibnu sabil. Dan

janganlah menghambur-hamburkan harta secara boros.

27. Sesungguhnya para pemboros (mubazirin) adalah saudara setan, dan setan itu senantiasa

mengingkari Tuhan.

28. Apabila kamu tidak bersedia untuk memberi mereka karena engkau mengharapkan mendapat

rahmat dari Tuhan, maka katakanlah kepada mereka dengan ucapan yang lemah lembut.

29. Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu, dan jangan pula terlalu mengulurkannya sehingga

kamu menjadi tercela dan menyesal.

Di bab yang lalu telah diterangkan bahwa syariat itu untuk menjaga kesehatan dan

kesejahteraan manusia lahir dan batin. Syariat atau sembah raga ini meliputi pelayanan di antara

sesama dan pelatihan pribadi dalam berhubungan dengan Tuhan. Dengan kata lain, sembah raga itu ada

yang berwujud pelayanan riil di antara sesama manusia, dan ada pula yang berupa pelatihan diri untuk

Page 22: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

22

penyatuan diri dengan Yang Mahaesa. Jangan salah paham lho! Dari segi aspek realitas, kita itu

senantiasa bersama dan berada di dalam Tuhan. “Dan Dia senantiasa bersama kamu di mana saja kamu

berada.” (QS 57:4). Nah, penyatuan diri adalah upaya untuk kembali kepada Tuhan, wa inna ilaihi raji-

‘un.

Dengan terciptanya masyarakat yang anggota-anggotanya saling melayani, maka terwujudlah

azas manfaat. Syariat atau sembah raga untuk menuju masyarakat shalihin. Masyarakat yang di

dalamnya merupakan wujud pluralitas sejati. Perbedaan agama, kepercayaan, dan etnis tidak

menghalangi untuk bisa hidup saling melayani dalam mewujudkan masyarakat yang damai [QS 2:62,

dan 5:69]. Semua pihak dituntut untuk mengutamakan kesalehan dan rendah hati! Karena itu jangan

berisik, kalau bersuara bersuaralah yang lemah lembut. Kesadaran dalam berzikir [sembahyang]

diterapkan dalam kehidupan sosial. Bila dalam berdoa kepada Tuhan harus dilandasi dengan harapan,

begitu pula dalam kehidupan bersama. Kita harus punya keyakinan bahwa pelayanan yang tulus di

antara sesama akan berbuah kesejahteraan dan kedamaian bersama. Duri-duri kecurigaan harus

disingkirkan.

Nah, untuk membentuk masyarakat shalihin, kita harus bisa menghormati hak-hak kerabat kita

sendiri, orang-orang miskin dan ibnu sabil. Ini adalah syariat dasar yang dikumandangkan sejak di

Mekah. Seruan ini di Madinah nantinya diwujudkan dalam bentuk “zakat” dalam pengertian sedekah.

Seperti yang telah dibuktikan oleh sejarah, masalah ekonomi adalah hal yang menentukan sejarah

manusia dan kemanusiaan. Tak ada agama yang tidak menempatkan dana atau sedekah sebagai syariat

dasarnya. Islam yang diklaim sebagai agama terakhir pun menempatkannya sebagai salah satu sendi

syariatnya. Sesuai dengan perkembangan agama, implementasi sedekah atau dana ini tergantung pada

keadaan perekonomian manusia. Mula-mula sedekah itu berupa anjuran untuk memberikan sebagian

harta kepada yang miskin. Kemudian berkembang menjadi kewajiban, dan yang disedekahkan pun ada

takarannya, misalnya 10% dalam agama Kristen, 2,5% dalam agama Islam. Namun demikian,

banyaknya harta yang harus dizakatkan tidak diatur di dalam Al Quran. Pihak penerima zakat yang

dicantumkan di dalam Al Quran.

Pada ayat-ayat di atas ditekankan sekali agar kita mampu memelihara harta benda yang

dikaruniakan oleh Tuhan dengan sebaik-baiknya. Pemboros dan kikir sama-sama harus dijauhi. Karena

keduanya adalah perbuatan setan. Keduanya merupakan produk hati yang gelap dan pikiran yang

keruh. Kegelapan dan kekeruhan senantiasa menjauhkan kita dari Tuhan. Ya, setan itu selalu

mengingkari kebenaran. Manusia harus pandai-pandai untuk mengambil jalan tengah. Boros

hakekatnya menghambur-hamburkan energi yang disediakan Tuhan di alam ini. Kikir berarti

menyembunyikan anugerah Tuhan yang diberi-kan kepada manusia, yang seharusnya dimanfaatkan

untuk kesejahteraan hidupnya. Baik boros maupun kikir, keduanya adalah perbuatan tercela , yang

pada akhirnya menyebabkan manusia hidup menyesal alias menderita.

Apa yang diuraikan ini masih pada tahap sembah raga. Landasan untuk menempuh tingkatan

hidup yang lebih tinggi. Kalau dalam bahasa tasawuf Timur Tengah, ada empat tahapan yang harus

ditempuh manusia untuk bisa kembali kepada Tuhan Yang Mahaesa. Yaitu, dari syariat, tarekat,

hakekat, hingga makrifat. Yang dalam bahasa tasawuf Jawa disebut sebagai sembah raga, sembah

cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa. Yang kesemuanya ini disebut sebagai catur sembah. Baik

makrifat ataupun sembah rasa adalah tahapan manusia untuk dapat mengenal DS-nya. Dengan

mengenal DS-nya manusia akan kenal dengan Tuhannya. Ingat bunyi Hadis, “Man ‘arafa nafsahu

faqad ‘arafa rabbahu,” barangsiapa yang mengenal dirinya niscaya akan kenal dengan Tuhannya.

Di tahap syariat, yang dinamakan orang miskin adalah orang yang kekurangan harta benda.

Orang ini mempunyai pekerjaan tetapi tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Yang lebih

rendah dari orang miskin adalah “fakir”, kaum papa. Orang yang betul-betul tidak mampu memenuhi

keperluan hidupnya. Nah, di banyak ayat sering miskin dan fakir ini disebut “miskin” saja. Orang

Indonesia biasa menyebutnya fakir-miskin. Agar tidak menimbulkan problema kesehatan dan

kesejahteraan masyarakat, mereka yang miskin ini harus ditanggulangi. Ketika struktur ekonomi masih

sederhana, menyantuni mereka dengan zakat sedekah sudah cukup. Namun ketika struktur ekonomi

Page 23: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

23

menjadi semakin kompleks, pemecahannya tidak cukup dengan zakat sedekah. Artinya, kemiskinan tak

akan bisa dipecahkan hanya di tahap syariat.

Lalu harus dipecahkan dengan cara apa? Di sinilah kita dituntut untuk meningkatkan kualitas

sembah atau ibadat kita. Kita tak boleh mandeg atau cuma berhenti di syariat. Kita harus memahami

sumber kemiskinan yang lebih dalam. Kita tidak cukup hanya melihat kemiskinan dari segi tidak

adanya pekerjaan, lemahnya ketrampilan, atau rendahnya pen-didikan. Kemiskinan harus dilihat dari

sumbernya yang lebih dalam, yaitu kemiskinan budi pekerti atau akhlak. Ya, kemiskinan di tingkat

ihsan atau jiwa. Jika di dalam umat ini ter-lalu banyak orang yang miskin jiwanya, maka jangan heran

bila timbul kemiskinan lahiriah yang luar biasa. Jadi, perintah untuk tidak hidup boros atau kikir adalah

untuk menanggu-langi terjadinya kemiskinan.

Lho, apa hubungannya boros dan kikir dengan kemiskinan? Di atas telah dijelaskan bahwa

boros itu menghambur-hamburkan energi. Energi itu dihamburkan untuk memenuhi kepentingan

sendiri, atau buat kesenangan egonya. Akibatnya, di tempat atau kelompok lain akan timbul

kekurangan. Muncul kemewahan pada kelompok tertentu, dan timbul kemiskinan pada banyak

kelompok lain. Begitu pula kekikiran! Kekikiran menyebabkan terakumulasinya energi pada orang atau

kelompok tertentu, tetapi tidak dimanfaatkan. Energi itu tidak didistribusikan, hanya ditimbun saja.

Terjadilah kebuntuan aliran energi di tengah masyarakat. Yang tidak teraliri mengalami kemiskinan.

Nah, ternyata sumber kemiskinan itu keborosan dan kekikiran. Sedangkan boros dan kikir itu timbul

dari kemiskinan budi atau jiwa. Boros dan kikir itu setan, perbuatan yang menjauhkan diri dari

kebenaran atau mengingkari Tuhan. Jadi, pemboros dan orang kikir adalah saudara setan. Orang tidak

bertindak boros atau kikir bila keihsanan telah tumbuh di dalam jiwa orang tersebut.

Ihsan adalah tahap yang lebih tinggi dari Islam dan Iman. Ihsan ada di wilayah sembah jiwa.

Suatu wilayah di tahap akhir sebelum memasuki tahap sembah rasa. Bila di tahap syariat orang harus

bisa menampilkan kesejahteraan ragawi, di tahap tarekat atau sembah cipta manusia harus bisa hidup

dalam kedamaian hati. Kenikmatan yang diperoleh tidak lagi pada banyaknya harta benda. Kemudian

masuk ke tahap sembah jiwa atau dunia ihsan, dunia ketulusan hati. Memasuki alam kesadaran untuk

duduk bersimpuh di hadirat Ilahi. Kenikmatan yang diperoleh berupa kesempurnaan diri.Di tahap ini

manusia mulai mampu menimbang hakikat yang terjadi.

Mengapa sih bicara tentang syariat, keborosan dan kekikiran dihubungkan dengan energi? Di

sinilah kita harus tahu! Bahwa hidup ini berkaitan dengan aliran energi. Badan kita ini sebenarnya

hanyalah ibarat kabel yang dilalui energi. Sedangkan harta-benda, warna, cahaya dan lain-lainnya

adalah bentuk-bentuk energi. Karena itu jangan heran bila secara alami manusia tertarik pada harta

benda. Harta benda adalah bentuk energi yang paling kasar. Pintu masuknya ke dalam diri kita adalah

indera jasmani. Kekurangan energi menimbulkan kelemahan atau penderitaan jasmani, seperti lapar,

haus, sakit, dan derita jasmani lainnya. Bila energi ini kita peroleh, maka kita terpuaskan atau menjadi

sehat.

Bagaimana bila energi kita serap banyak-banyak sehingga melebihi kapasitas jasmani kita?

Jasmani manusia memiliki daya tampung. Jika daya tampungnya terlampaui, maka akan terjadi

penimbunan. Timbunan-timbunan ini akan menghambat atau menghalangi aliran energi di dalam

tubuh. Akibatnya, timbul sakit pada jasmani. Agar tidak tertimbun, maka energi ini kita alirkan keluar.

Misalnya, berupa banyak bergerak [pekerjaan fisik, olah raga, salat, dll], marah-marah, dan aktivitas

seksual. Tentu saja penyaluran energi dengan marah-marah adalah perbuatan negatif. Nah, bila

kelebihan energi ini bisa mengalir keluar dengan mulus, maka manusianya menjadi terpuaskan.

Perlu diperhatikan, kelebihan energi bendawi (selama badan sehat) akan meningkat-kan

aktivitas seksual. Dan ini memang jalur alami pada makhluk hidup. Hanya saja pada manusia bila

kelebihan energi ini tidak dikontrol dengan baik, penyalurannya menjadi tidak seimbang, yaitu lebih

banyak melalui aktivitas seksual. Akibatnya, aktivitas seksual yang secara alaminya suci, menjadi

terkontaminasi sehingga menjadi aktivitas yang negatif. Nah, syariat sebenarnya mengatur masuk-

keluarnya energi bendawi secara sehat. Jadi, bila ada orang yang mudah marah, itu tandanya kelebihan

energi bendawi atau terjadi penyumbatan energi di dalam tubuh.

Page 24: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

24

Secara individual boros berarti menyerap energi harta benda secara berlebih-lebihan, sehingga

banyak pihak yang menderita kekurangan energi. Orang boros menyebabkan ketekoran energi pada

pihak lain, dan membuat ketekoran energi pada dirinya di masa depannya. Karena itu orang yang boros

akan mengalami penderitaan. Orang kikir banyak mengumpulkan energi. Karena tak disalurkan, dan

cuma ditimbun, maka akan menim-bulkan sumbatan energi dalam hidupnya. Penyakit jasmani pun

akan timbul. Akibatnya, orang yang kikir juga mengalami penderitaan. Ia akan menderita karena energi

itu tidak dimanfaatkan dengan benar. Dan dalam masyarakat keborosan dan kekikiran akan menim-

bulkan kemiskinan. Yang pada akhirnya menimbulkan bencana dan malapetaka.

Zakat sedekah adalah sarana untuk mencegah timbulnya keborosan dan keki-kiran harta

benda. Memang ini merupakan langkah pertama untuk mengendalikan kemis-kinan dalam suatu

negara. Hal ini diungkapkan dalam surat at-Taubah/9:103,

Pungutlah zakat sedekah dari sebagian harta benda mereka. Dengan zakat itu engkau

membersihkan dan menyucikan. Dan mohonkan rahmat bagi mereka. Sesungguhnya permohonanmu

itu menentramkan jiwa mereka. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.

Jadi, dengan zakat itu kemungkinan terjadinya penyumbatan energi bendawi di dalam

masyarakat dicegah. Masyarakat dibersihkan dari berbagai macam penyakit. Namun, bila serangan

penyakit terlalu berat dan terlalu kompleks, zakat tak akan sanggup menyehatkannya. Harus ada upaya

tarekatnya, atau sembah ciptanya. Mengenai pihak-pihak yang secara fisikal berhak menerima zakat

sedekah akan dibahas pada materi tasawuf yang akan datang.

Page 25: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

25

Bagian ke-6

Semua ini ternyata diatur dalam keseimbangan. Ada batas-batas yang telah ditetap-kan oleh

Tuhan, baik di alam raya ini maupun di dalam diri manusia. Di dalam surat Ar Rahman/55:7-9

dinyatakan,

7. Dan Dia tinggikan langit, lalu Dia tetapkan neraca.

8. Agar kamu tidak melampaui batas neraca itu.

9. Tegakkan neraca itu dengan adil, dan janganlah menguranginya.

Wujud alam ini memang dualisme karena itu ada mizan, ada neraca alias ada ukuran pada

setiap benda atau wujud ini. Batas-batas itu tetap harus dijaga. Batas-batas itu tidak boleh dilampaui.

Dalam arti, tak boleh dilebihi maupun dikurangi sehingga batasnya ambruk. Kita bisa membayangkan,

bila manusia yang menghuni bumi ini berlebihan pria atau wanitanya. Bukan kedamaian yang kita

rasakan. Tetapi bencana!

Boros maupun kikir [pada bagian ke-5] dilarang, karena keduanya melampaui batas. Energi

yang diserap manusia, baik energi fisik maupun metafisik, haruslah yang sesuai dengan batas-batas

neraca di dalam dirinya. Dihambur-hamburkan akan mendatangkan bencana. Bila cuma dideposit juga

menimbulkan mala petaka. Siapa yang tahu batasnya? Apabila berkaitan dengan energi pada tubuh,

tentu saja yang bersangkutan yang tahu. Tapi, bila berhubungan dengan lingkungan, yang tahu tentu

saja para cerdik-pandai. Karena itu, mereka diharapkan tidak melakukan manipulasi.

Pada tahap awal cara untuk mengenal batas-batas itu dengan syariat. Cara yang mudah yang

bisa dikenali oleh setiap orang. Karena itu kata syariat dapat diartikan sebagai jalan umum, jalan yang

bisa dilewati oleh siapa saja. Jadi, syariat bisa ditempuh tanpa perlu kepandaian secara khusus. Bila

kita makan dan sudah terasa kenyang, ya kita hentikan. Dan bila sudah terasa lapar, kita sebaiknya

makan. Inilah syariat! Karena itu dalam surat Al Maidah/5:6 disebutkan, “Ma yuridu llahu liyaj-‘ala

‘alaikum min harajin walakin yuridu liyuthahhirakum wa liyutimma ni ‘matahu ‘alaikum la-‘allakum

tasykurun.” Allah tidak bermaksud menjadikan kesulitan bagimu, tetapi Dia berkehendak untuk

membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu agar kamu menjadi orang-orang yang

bersyukur.

Ayat di atas memang berkenaan dengan wudhu. Yang bagi orang padang pasir waktu itu,

enggan menggunakan air untuk kebersihan badannya. Jadi, syariat berwudhu jelas dimaksudkan untuk

membuat bagian vital tubuh ini bersih (dan sehat tentunya), dan sebagai penyempurnaan kenikmatan

dari Tuhan. Dengan badan dan pikiran terasa segar, manusia bisa menggunakan akalnya dengan jernih

untuk memberikan nilai tambah dalam kehidupan ini, yang disebut juga bersyukur.

Mengapa air yang digunakan sebagai sarana untuk membersihkan badan jasmani ini? Ya, air

adalah bahan pelarut universal. Anda masih ingatkan dengan pernyataan surat Al Anbiya’/21:30. Pada

ayat tersebut dijelaskan bahwa “segala sesuatu yang hidup ini berasal dari al ma’ atau zat cair”.

Memang kata ma’ itu berarti air. Namun dengan kata sandang “al”, air yang dimaksud bukanlah

semata-mata air yang kita kenal sekarang ini yang berupa “H2O”. Maka al-ma’ bisa berarti zat cair atau

cairan. Bahwa air menjadi wahana bagi berlangsungnya reaksi kimia bagi kehidupan adalah

benar. Metabolisme dalam tubuh ini berlangsung dengan bantuan air. Karena itu air adalah alat untuk

membersihkan dan menyucikan badan.

Bila badan harus dibersihkan dan disucikan dari kotoran, maka pemilikan kita pun harus

dibersihkan dan disucikan, seperti yang diutarakan pada bagian ke-5, yaitu pada surat At Taubah/9:103.

Penyucian harta-benda ini adalah bagian dari upaya untuk menempatkan “yang punya, the have” dalam

neraca kepemilikan. Agar tidak timbul atau terjadi kecemburuan sosial! Dengan kewajiban

bersedekah/zakat bagi yang punya, maka ia telah dibersihkan dari kotoran sosial, dan batinnya

disucikan dari keserakahan terhadap harta-benda. Dan pada zaman Nabi, mereka yang berzakat ini

dengan sendirinya mendapat jaminan keamanan sosial. Kalau zaman sekarang, pembayar pajak di

Page 26: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

26

negara maju berhak mendapatkan perlindungan keamanan hidupnya. Ya, syariat di dalam agama

memang bertujuan untuk memberikan jaminan keamanan dan ketentraman lahiriah.Syariat memang

untuk membangun kehidupan bersama yang teratur dan harmonis.

Jika kita perhatikan aturan sedekah ini, disamping ada pihak yang berkewajiban mengeluarkan

sedekah, ada pula pihak-pihak yang berhak menerima sedekah tersebut. Surat At Taubah:60 yang

diwahyukan pada 9 H, menjelaskan tentang orang-orang yang berhak menerima sedekah. Yaitu, orang

fakir, orang miskin, fungsionaris sedekah, mu-allafah, hamba sahaya, orang yang berhutang, orang

yang ada di jalan Tuhan, dan orang yang ada dalam perjalanan.

Orang fakir adalah orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap, pengangguran, atau orang-

orang lemah. Miskin adalah orang yang mempunyai usaha tetapi hasilnya tidak cukup buat hidupnya.

Termasuk juga dalam kategori miskin adalah orang-orang yang tidak punya kecakapan berusaha,

sehingga tekor terus hidupnya. Kemudian, yang berhak menerima dan menyalurkan sedekah kepada

yang betul-betul membutuhkan adalah para administratur sedekah itu. Menurut tafsiran Yusuf Ali,

sedekah itu memang hanya bagi yang miskin dan betul-betul membutuhkan, dan para administratur

atau orang-orang yang kerjanya mengurus sedekah itu seadil-adilnya. Lha, yang disebut orang fakir-

miskin adalah 5 macam penerima yang disebutkan diatas, yaitu muallafah, hamba sahaya, orang

hutang, para sabilillah, dan ibnu sabil.

Jadi, Yusuf Ali tetap mengacu pada makna sedekah seperti yang diungkapkan pada ayat-ayat

Makiyah, yaitu untuk mereka yang hidup dalam keadaan fakir-miskin. Bila di Mekah belum ada

‘amilin atau fungsionaris sedekah, maka di Madinah sedekah itu harus dipungut dan dimanajemeni

dengan baik. Waktu itu yang tergolong manusia fakir-miskin adalah muallafah [orang yang

membutuhkan bantuan dalam menegakkan kebenaran agama], hamba sahaya (tidak mampu

memerdekakan dirinya bila tidak ditolong), orang yang hidupnya dalam kebangkrutan atau tergantung

pada hutang, fi sabilil-Lah [mereka yang membangun kebajikan seperti pasukan keamanan dan

ketertiban, membangun rumah-rumah ibadah, sekolah, rumah sakit dll], dan ibnu sabil [yaitu mereka

yang menempuh perjalanan untuk kebajikan seperti mencari ilmu, spionase, peneliti dls].

Dengan demikian, sedekah atau zakat memang ditujukan untuk membebaskan manusia dari

beban kehidupan yang berat, ketergantungan, dan kolonial. Inilah jiwa syariat Islam! Yaitu untuk

membersihkan manusia dari beban kehidupannya. Tentu saja praktik operasional zakat pada waktu itu

sesuai dengan keadaan kehidupan waktu itu. Sistem ekonomi waktu itu, ya, cuma pertanian dan

perdagangan. Belum ada sistem kepegawaian, perburuhan, industri, dan jasa seperti sekarang ini. Juga

belum dikenal perekonomian global seperti sekarang ini. Karena itu mereka yang masuk kategori

penerima zakat pun sangat sederhana. Dan di zaman Nabi, pajak tidak diberlakukan!

Sampai bagian ke-6 ini tasawuf kita ini masih membahas tahap syariat. Suatu tahap dini dalam

menjalani kehidupan yang religius, hidup beragama. Suatu tahap awal untuk mengenal batas-batas

perilaku manusia. Kata “syariat” pada mulanya mempunyai arti “jalan menuju sumber air”. Jelas

bahwa syariat bukanlah bagian “yang ada” di dalam diri manusia. Syariat adalah aturan yang datangnya

dari luar diri manusia! Ia adalah jalan ke sumber air. Fungsinya, dengan demikian, untuk menjadi

rambu-rambu agar aktivitas “yang ada” di dalam diri manusia itu tidak melampaui batas-batas, tidak

melanggar neraca atau keseimbangan yang telah ditetapkan Tuhan.

Oleh karena syariat itu datangnya dari luar diri manusia, maka bentuk syariat itu dipengaruhi

oleh kondisi lingkungan dan zamannya. Dengan demikian, wajar bila tiap-tiap agama mempunyai

bentuk syariatnya sendiri. Inilah yang ditegaskan dalam Surat Al-Maidah/5:48, “li kulli [ummatin] ja-

‘alna minkum syir-‘atan wa minhajan.” Bagi setiap umat telah Kami jadikan syariat dan tata-caranya.

Perhatikan bunyi ayat tersebut! Di situ dinyatakan bahwa “Kami telah menjadikan”, bukan Aku telah

menciptakan. Dijadikan artinya dibuat dari sesuatu yang telah ada. Sedangkan “Kami” artinya Tuhan

menyertakan sesuatu untuk menjadikan suatu syariat. Apa sesuatu itu? Semua keadaan yang meliputi

kebangkitan suatu umat pada geografi dan kurun waktu tertentu. Karena itu, secara normatif syariat itu

berkaitan dengan rambu perintah, halal [yang dibolehkan], dan haram [yang terlarang].

Page 27: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

27

Makna syariat perlu diperjelas dalam pelajaran ini, agar kita tidak terjebak atau cuma macet di

jalan. Apalah artinya kita sudah ada di jalan yang benar, tetapi terjebak dalam kemacetan di jalan

tersebut? Sudah di jalan yang benar dalam menuju sumber air, tapi tidak sampai di sumber air, belum

lagi mengambil airnya. Kemacetan akan mendorong orang untuk mengambil jalan pintas. Nah,

begitulah gambaran orang yang menjalani formalitas beragama saat ini. Banyak orang yang terjebak

dalam formalitas keagamaan. Agama tak lebih dari identitas belaka. Makanya, banyak orang yang

tampak sangat agamis, tetapi budipekertinya tidak mencerminkan kehidupan agama yang benar.

Pemahaman terhadap syariat perlu ditingkatkan.

Banyak orang yang salah paham, dikiranya belajar tasawuf itu mendangkalkan syariat.

Padahal jelas bahwa dengan hidup bertasawuf manusia semakin kenal dengan rambu-rambu kehidupan.

Ia mampu memahami ayat-ayat itu dari dalam lubuk hatinya, baik ayat-ayat tentang hubungan manusia

dengan sesamanya maupun lingkungannya. Ia tidak dikendalikan oleh rambu dan marka jalan. Tapi

memang ia tahu batas-batas jalan yang dilaluinya. Syariat harus disertai “minhaj”, upaya untuk

mencapai sumber air, yang dalam makna spiritual adalah cara untuk mencapai sumber air kehidupan,

“al-ma-ul hayat”. Salat harus dibarengi dengan upaya untuk menciptakan kondisi zikir. Puasa harus

dilakukan untuk membentuk manusia yang mampu mengendalikan diri. Zakat harus diwujudkan untuk

membebaskan beban kehidupan manusia. Dan haji harus dijadikan sarana untuk membentuk manusia

yang berwatak humanis dan sosial. Untuk menjadi manusia yang bebas dari kungkungan etnisitas,

golongan, dan keagamaan. Menjadi manusia yang kenal dengan manusia lain, ta-‘arruf.

Semua upaya itu sebenarnya langkah manusia ke dalam dirinya. Langkah menuju ke sumber

kehidupannya yang sejati! Langkah untuk menembus “yang ada” di dalam diri manusia agar bisa

bertemu dengan “Yang Maha Ada”. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “yang ada” pada diri

manusia? “Yang ada” adalah sejumlah karakteristik atau sifat asal universal yang dimiliki manusia

untuk eksistensi dirinya.

Dengan kata lain, “yang ada” adalah semua yang dipandang sebagai realitas yang paling fundamental

dalam diri manusia. Apa itu? Yang paling pokok dari “yang ada” adalah kehendak untuk hidup! Begitu

dilahirkan, manusia berusaha mempertahankan hidupnya. Nah, wujud “yang ada” yang tampak pada

waktu bayi adalah makan dan minum. Selama kesehatannya tidak terganggu manusia perlu makan dan

minum. Dan, bila dibiarkan keinginan makan dan minum ini, tidak pernah dilatih atau dididik, maka ia

akan tumbuh tak terbatas.

Makan dan minum pada manusia berbeda dengan yang ada pada dunia hewan. Sejak lahir

makan-minum pada hewan telah terkontrol oleh dirinya secara otomatis. Hewan tidak perlu dilatih

untuk membatasi makan-minumnya. Tetapi manusia perlu dilatih dan dididik untuk mengenal batas

dalam makan-minum. Kalau tidak, manusia akan terdorong makan-minum tanpa batas. Perilaku

manusia akan lebih buruk daripada hewan. Dan tentu saja, akan merusak kehidupan manusia itu

sendiri. Bukan hanya jumlahnya yang perlu dibatasi, tetapi juga macam makan-minumnya. Nah, dalam

agama yang membatasi ini namanya “syariat”. Tentu saja batas-batas itu dipengaruhi oleh budaya,

geografis dan zamannya. Karena itu di atas disebutkan bahwa “syariat” adalah bukan dari bagian “yang

ada” pada diri manusia. Ia ada di luar diri manusia dan berfungsi untuk membatasi gerak “yang ada”

agar tidak melampaui batas kehidupannya.

Dalam hal makan-minum ini, marilah kita perhatikan beberapa ayat yang terkait.

7:31, “Hai manusia, pakailah perhiasanmu ketika kamu bersujud, makan dan minumlah tetapi jangan

berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

2:168, “Hai manusia, makanlah yang halal dan yang baik (thayyib) apa-apa yang terdapat di bumi.

Dan, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu musuhmu yang

nyata.”

2:172, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah apa-apa yang baik yang telah Kami sediakan

bagimu. Dan bersyukurlah kepada Allah bila hanya kepada-Nya kamu beribadah.”

Page 28: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

28

2:173, “Dia hanya mengharamkan kamu makan bangkai, darah, daging babi, dan daging yang

dipersembahkan kepada selain Allah. Barangsiapa terpaksa bukan karena keinginan, dan tidak

melampaui batas, maka tak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun dan Maha

Penyayang.”

5:87, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah

dihalalkan oleh Allah bagimu. Dan, jangan melampaui (melanggar) batas. Sesungguhnya Allah tidak

mencintai orang-orang yang melampaui batas.”

5:88, “Dan makanlah apa-apa yang halal dan yang baik yang telah diberikan oleh Tuhan kepadamu.

Dan, bertakwalah kepada Allah yang kamu imani.”

Ayat-ayat di atas cukup untuk dijadikan landasan untuk memahami syariat tentang makan-

minum. Ayat pada surat ke-7 diwahyukan di Mekah, sedangkan ayat pada surat ke dua dan lima

diturunkan di Madinah yaitu di awal hijrah dan di pertengahan ke dua masa setelah hijrah.

Pertama-tama manusia dididik untuk makan-minum yang tidak melampaui batas. Tidak

berlebih-lebihan! Jadi, tekanan awalnya adalah mampu mengendalikan diri dalam makan dan minum.

Karena berlebih-lebihan dalam makan dan minum akan menganggu atau bahkan merusak kesehatan

lahir dan batin. Kemudian diseru untuk hanya makan yang halal dan yang baik (thayyib). Yang halal

artinya yang dibenarkan menurut hukum, baik dari jenis makanannya maupun cara mendapatkannya.

Sedangkan yang baik adalah yang tidak merusak kesehatan atau tidak jijik untuk dimakan. Ular, tikus,

cacing, tidak termasuk yang dilarang memakannya. Namun, banyak orang yang jijik, atau muntah bila

makan hewan-hewan tersebut. Bagi orang yang jijik terhadap hewan tersebut, maka daging hewan

tersebut jelas tidak thayyib.

Dalam tafsir Yusuf Ali, makanan yang thayyib adalah makanan yang bersih, sehat, bergizi,

dan lezat. Dengan demikian, makanan yang thayyib adalah makanan yang halal dari segi zatnya.

Sedangkan makanan yang halal, belum tentu baik dari segi substansinya. Karena kehalalan

berkaitan dengan hukum yang berlaku. Minuman kopi pada abad ke-15 termasuk jenis makanan yang

diharamkan [alias tidak halal] di dunia Islam. Namun, akhirnya dihalalkan, sampai hari ini! Tetapi,

kalau seseorang memandang tidak thayyib, maka dia harus meninggalkannya.

Meskipun sudah ada batas-batas, atau larangan, kalau toh terpaksa [bukan karena ingin

menikmati kelezatannya], dan tidak melebihi batas yang diperlukan, boleh-boleh saja makan makanan

yang diharamkan tadi! Inilah prinsip Islam! Suatu syariat ditetapkan bukan untuk mempersulit

manusia, tetapi memberikan kemudahan. Daripada harus “trial and error”, coba-salah-coba lagi, yang

bisa merugikan manusia, karena kasih-sayang-Nya manusia diberitahu mana-mana yang dilarang untuk

memakannya.

Perlu diketahui bahwa kelahiran agama Islam bukanlah terlepas dari sejarah. Sebelum ada

agama Islam, telah ada dua agama besar, yaitu Yahudi dan Nasrani, yang telah mapan di luar Mekah

maupun di Madinah dan sekitarnya. Khususnya agama Yahudi, para pemeluknya menganggap sebagai

anak-anak Tuhan dan hidup beradab. Mereka memandang diri mereka bermartabat tinggi. Sedangkan

orang-orang Arab mereka pandang lebih rendah martabatnya. Orang-orang Yahudi sangat jijik dan

melarang umatnya makan bangkai [Imamat 17:15], darah [Imamat 7:26], dan daging babi [Imamat

11:7]. Dengan demikian, pengharaman terhadap makanan tertentu bukanlah aturan yang sama sekali

baru. Melainkan aturan atau syariat itu sudah ada pada umat Yahudi, dan tetap dipertahankan di dalam

agama Islam. Jadi, wajar bila syariat itu dipengaruhi oleh budaya, agama yang sudah ada, dan

lingkungannya [geografis dan zaman].

Bila kita mau memahami syariat itu dengan pikiran yang jernih, ternyata syariat itu tidak

diberikan oleh Tuhan dengan keharusan dipegangi secara kaku. Seperti yang dinyatakan dengan tegas

pada 2:173, bagi mereka yang terpaksa [idh-thurra] bukan karena ingin menikmati kelezatannya [ghaira

bagh] atau melebihi keperluannya [la-‘ad], maka tak ada dosa baginya. Hal ini diperkuat oleh surat 5:3.

Dengan redaksi: “Barangsiapa terpaksa karena kelaparan, bukan cenderung melakukan dosa

[melanggar hukum], maka sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” Jadi,

Page 29: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

29

bunyi ayat ini begitu pribadi! Mengapa? Karena ayat ini mendidik kejujuran seseorang dalam

mengarungi hidup ini. Yang merasa lapar, yang merasa terpaksa, yang mengetahui jika perbuatannya

itu untuk mempertahankan hidupnya, dan yang mengetahui berapa banyak makanan yang diperlukan

agar ia tidak merasa lapar adalah orang yang bersangkutan. Orang lain tidak boleh menajiskan!

Pada kedua ayat ditutup dengan pernyataan “Allah Yang Maha Pengampun dan Yang Maha

Penyanyang”. Maha Pengampun berarti Maha Menutupi kekurangan atau kesalahan hamba-Nya.

Sedangkan Maha Penyayang berarti Dia niscaya memberikan imbalan terhadap kebaikan hamba-Nya.

Betul-betul suatu pernyataan yang sangat pribadi! Hanya Allah yang tahu betul apakah hamba-Nya

telah berbuat karena kelemahannya atau berbuat demi kebajikan dirinya.

Tasawuf memang mengajak manusia untuk kembali ke dalam dirinya. Kita dituntun untuk

mengenal syariat dengan arif. Kita tempatkan syariat sebagai sarana atau jembatan menuju sumber air

kehidupan yang ada di lubuk batin kita. Syariat dalam tasawuf adalah alat untuk menemukan “yang

ada” di dalam diri manusia. Syariat bukanlah institusi untuk menghakimi dan menghukum manusia.

Tetapi ia adalah sarana untuk menyempurnakan kenikmatan yang diberikan Tuhan kepada manusia,

agar manusia mampu bersyukur. Agar manusia mampu memberikan nilai tambah terhadap anugerah-

Nya.

Dengan syariat diharapkan terwujudnya badan jasmani yang bersih, sehat, dan segar. Dengan

raga yang bersih, sehat, dan segar diharapkan adanya batin manusia yang bersih dan sehat pula, hatinya

tenang, pikirannya jernih, dan dorongan hawa nafsunya terkendali. Sehingga manusia dapat

melanjutkan perjalanannya dalam menemukan air kehidupan, “tirta prawita” atau “al-maul hayat”.

Dengan tasawuf manusia diingatkan agar tidak terpeleset menjadi hamba syariat. Manusia

harus terus berusaha menjadi hamba Allah. Dan, salah satu wujud “yang ada” adalah kecenderungan

untuk menghamba bagi manusia. Entah itu menghamba kepada benda, pikiran, kepercayaan, atau

menghamba kepada Tuhan Pencipta Alam. Salah satu ayat diatas mengingatkan, bahwa dalam masalah

perut, manusia dilarang mengikuti langkah-langkah setan. Masih ingatkan, bahwa setan sejati itu

bersemayam di dalam diri manusia, dengan stasiunnya berupa perasaan dan pikiran [jinnah dan nas].

Jadi, jika manusia memperturutkan perasaan dan pikirannya, maka ia akan melanggar batas. Ia akan

melampaui batas yang telah ditetapkan. Ingat, setiap ciptaan mempunyai batas-batas eksistensinya. Ada

qadar [kadar] dan taqdir [berdasarkan ukuran yang pas bagi realitas itu sendiri]. Ada neraca di dalam

suatu realitas! Bila batas-batas itu dilanggar, manusia tak akan bisa melanjutkan perjalanannya.

Syariat dijadikan oleh Tuhan dalam wujud yang indah. Namun, berkali-kali dalam sejarah,

manusia telah salah dalam menempatkan syariat. Syariat yang seharusnya dipakai sebagai alat atau

wahana ke suatu tujuan, ternyata dijadikan tujuan itu sendiri! Padahal tujuan yang sejati adalah Tuhan.

Bilamana syariat telah menjadi tujuan, maka yang tampak menonjol adalah formalisme keagamaan.

Bukan ilmu yang dicari, tetapi ijazah! Segala sesuatu bila sudah jatuh ke dalam formalisme, maka tak

akan ada lagi “kemerdekaan”. Yang ada hanyalah kolonial atau pemasungan kehidupan. Syariat tidak

lagi sebagai alat, tetapi penjara! Inilah yang menyebabkan penampilan lahiriah umat Islam sekarang ini

tampak sangat religius, tetapi sebenarnya telah kehilangan religiusitasnya.

Nah, dengan memahami syariat secara proporsional, dengan melihatnya sebagaimana adanya,

maka kita bisa melanjutkan perjalanan tasawuf kita. Kita tidak lagi terjebak di tengah kemacetan

syariat, tetapi kita bisa berjalan secara wajar untuk kembali kepada Tuhan. Tasawuf berikutnya, yaitu

yang ke-7, akan dibahas makna kembali kepada Tuhan.Insya Allah minggu depan. Wa billahit taufiq

wal hidayah.

Page 30: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

30

Bagian ke-7

Kembali Kepada Allah

Syariat adalah jalan menuju sumber air kehidupan. Ia adalah jalan umum, jalan yang ditempuh

secara bersama-sama oleh suatu komunitas. Namun, semakin dekat dengan sumber air itu, jalannya

semakin sempit. Jalan yang hanya cukup dilalui oleh dirinya. Jalan inilah yang disebut “tarekat”

[thariqah].

Kalau digambarkan hubungan antara syariat dan tarekat, dapat diumpamakan seseorang yang

mau nonton film di gedung bioskop. Ada syarat umum yang berlaku bagi yang ingin menonton.

Pertama, umur yang akan menonton, yang dalam bahasa agama ia harus sudah akil-balig [sudah cukup

umur dan berakal sehat]. Kedua, orang tersebut harus punya karcis atau undangan menonton. Bila yang

akan menonton itu tidak diatur, maka mereka akan berebut beli karcisnya, atau berebut masuk gedung

pertunjukannya. Nah, antre agar bisa beli karcis dan masuk satu per satu dapat dium-pamakan sebagai

tarekat.

Dari syariat ke tarekat tidaklah terputus begitu saja. Kedua jalan ini bersam-bungan, dari jalan

yang lebar kemudian menuju jalan yang lebih sempit. From the road of life to the path of life. Dari

jalan di luar diri menuju jalan di dalam diri. Dari jalan raya masuk ke gang di mana rumah “DS”

berada. Yaa, sebenarnya kita ini seperti orang-orang yang hendak pulang ke masing-masing rumahnya.

Karena rumah itu ada di dalam RW yang sama, maka mula-mula kita berjalan di atas jalan raya yang

sama, dan selanjutnya berpisah menuju gang-gang yang berbeda, akhirnya masuk ke rumahnya sendiri-

sendiri. Di rumah itulah Allah menyambut manusia secara perorangan. Seperti yang dinyatakan dalam

surat Maryam/19 : 93, 95,

93. In kullu man fi s-samawati wa l-ardhi illa ati r-rahmani ‘abda.

95. Wa kullu hum atihi yauma l-qiyamati farda.

93. Sungguh setiap diri, baik yang ada di langit maupun di bumi, akan datang kepada Yang Maha

Pemurah sebagai seorang hamba.

95. Dan, setiap diri datang kepada-Nya pada hari kebangkitan sendirian.

Jadi, meskipun di dalam syariat kita melakukan peribadatan yang sama, seperti shalat

berjamaah, puasa Ramadhan, dan ibadah Haji, tetapi jalan kepada-Nya betul-betul kita tempuh

sendirian. Syariatnya sama, tetapi tarekatnya berbeda. Karena tarekat itu harus pas dengan orang yang

menempuhnya. Tarekat harus mengarah dengan tepat letak rumah yang dituju. Jika diumpamakan

dengan orang yang akan menonton film, kita ada di antrean yang sama, tetapi uang yang kita gunakan

untuk membayarnya atau nomor tempat duduknya berbeda sesuai dengan kenyamanan diri kita

masing-masing. Yang dituntut dalam syariat adalah keseragaman, sedangkan yang dituntut dalam

tarekat adalah keunikan.

Kembali kepada perumpamaan di atas, setelah orang duduk dan menyaksikan filmnya, maka

penghayatan terhadap film itu pun berbeda-beda tergantung pada latar belakang sang penonton, yaitu

budaya, pengalaman, pengetahuan, dan kedalaman rasa

yang dimilikinya. Begitu pula ketika kita kembali kepada Tuhan, setiap orang akan melihat filmnya

sendiri. Penghayatan terhadap filmnya sendiri itu tergantung pada amaliah, kebersihan dan kesucian

batin yang bersangkutan. Dan, pada saat dia menyadari filmnya, berarti dia sudah ada di tahap hakekat.

Tahap bangkitnya ke-sadaran diri. Tahap “yaum al-qiyamah”! Bila dia sudah hidup di alam “qiyamah”

maka dia sudah hidup di “maqam makrifat”. Dia senantiasa tercerahkan! Dia tidak hidup lagi

tergantung pada orang lain, tidak terkolonisasi, hidup merdeka. Bahkan dia telah menjadi gantungan

bagi orang-orang lainnya.

Dengan demikian, tasawuf sebenarnya mendidik orang untuk hidup mandiri, hidup merdeka,

hidup yang setara dengan orang lain. Hidup menjadi sufi sebenarnya adalah hidup yang sepenuhnya

menggantungkan diri kepada Yang Ilahi. Yang dengan kata lain, disebut “hidup tawakal” atau

Page 31: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

31

“tawakkul”. Sebelum kita bisa hidup hanya dengan menggantungkan diri kepada Tuhan, berarti kita

belum hidup dalam makrifat, meskipun secara teoritis kita sudah mempelajarinya. Tetapi belajar adalah

cara untuk mencapainya! Jadi, tidak perlu pesimis bila hari ini kita masih dalam perjalanan untuk

memperoleh “tirta prawitasari” atau sari dari air suci, esensi kehidupan.

Orang yang mampu melihat hakikat dirinya disebut “insan kamil” alias manusia sempurna.

Manusia yang merupakan wujud dari makrokosmos dan mikrokosmos. Dia adalah miniatur dari Yang

Haq, wujud mini dari Tuhan Yang Mahaesa. Nah, perjalanan kita untuk menjadi miniatur-Nya adalah

perjalanan kembali kepada-Nya. Orang yang sadar bahwa dirinya dalam hidup ini sesungguhnya

kembali kepada Tuhan, adalah orang yang sadar bahwa dirinya menyongsong “yaum al-qiyamah”.

Banyak orang yang mengira bahwa kebangkitan itu terjadi setelah hancur-leburnya bumi atau semesta

alam. Lalu, timbullah ilusi dan khayalan tentang kiamat. Akhirnya, muncullah perilaku yang aneh-

aneh. Terjebak di perjalanan! Formalisme!

Kiamat sebenarnya merupakan bagian dari kesadaran kita. “Wa bi l-akhiratihum yuqinun,”

dan mereka yakin terhadap kehadiran Hari Akhirat. Kapan adanya Hari Akhir atau kiamat itu?

Sekarang ini, saat ini! Tergantung pada yang menyikapinya. Mari kita perhatikan ayat-ayat berikut ini.

42:17, Allah yang menurunkan Kitab dengan benar dan sebagai Neraca. Tahukah engkau bahwa

mungkin saja kiamat itu dekat?

42:18, Orang-orang yang tidak beriman ingin “Saat Kiamat” itu disegerakan, dan orang-orang yang

beriman justru waspada terhadapnya karena mereka mengetahui bahwa kiamat itu benar adanya.

Ketahuilah bahwa orang-orang yang bertikai tentang “Saat Kiamat” adalah dalam kesesatan yang jauh.

16:77, Dan bagi Allah Yang Mahagaib di langit dan di bumi, peristiwa kiamat itu akan datang dalam

sekejap penglihatan atau lebih cepat. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Pertama, kita harus tahu bahwa Tuhan telah menurunkan Kitab-Nya di dunia ini dengan benar.

Artinya, ada Undang-Undang bagi kehidupan manusia. Kedua, dan Kitab itu pun berfungsi sebagai

Neraca, yaitu penimbang moralitas manusia. Dengan neraca itu manusia harus menegakkan keadilan

dalam hidup ini, “fairness”. Hidup yang tidak merugikan diri-sendiri dan orang lain. Cara hidup yang

demikian ini timbul karena orang-orang beriman itu selalu waspada terhadap kehadiran kiamat pada

dirinya. Orang beriman mengetahui bahwa kiamat benar adanya. Jadi yakin terhadap Hari Akhirat

bukanlah percaya adanya Hari Akhirat, tetapi mengetahuinya. Karena tahu itulah dia tidak ingin

melanggar neraca tersebut, tidak ingin mencuranginya. Inilah keadilan! Kecurangan akan menghalangi

manusia dalam bertarekat. Perbuatan curang senantiasa mendatangkan neraka kepada pelakunya.

Datangnya kiamat itu sekejap mata atau lebih cepat. Dan datangnya pun boleh jadi sudah

dekat. Pernyataan surat 42:17 ini bukanlah sekadar kemungkinan, tetapi betul-betul kenyataan bagi

yang mengetahuinya. Tuhan tidaklah membuat puisi, tapi memberikan informasi kepada manusia.

Orang yang tidak beriman meminta kiamat itu disegerakan, karena mereka tidak mengetahuinya.

Bagaimana dapat disegerakan, wong mereka itu tidak mengetahuinya? Bagaimana bisa diperbantahkan

wong mereka itu tidak mengetahuinya. Berbantah atau bertikai masalah datangnya kiamat adalah

mubazir, dan bahkan menyesatkan kita. Hari kiamat harus kita alami untuk bisa menemui-Nya.

Bukankah cepat atau lambat kita pasti menemui-Nya.

Lalu, bagaimana kalau kita tidak mau menemui-Nya?Sungguh malang orang yang tidak mau

bertemu dengan sumber hidupnya. Bukankah kita berasal dari-Nya, dan kembali kepada-Nya? Nah,

kita harus bisa kembali kepada-Nya dengan kesadaran dan bukan dengan terpaksa! Kita harus merdeka

dalam menyongsong kehadiran-Nya. Sungguh rugi orang yang menolak untuk bertemu dengan-

Nya. Karena menolak untuk bertemu dengan Tuhan, berarti dia memilih hidup dalam ilusi atau impian

semata. Hidup di alam kebahagiaan semu! Seperti yang diungkapkan dalam surat 6:31, “Sungguh

merugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah, sehingga apabila kiamat

datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka mengatakan: alangkah besarnya penyesalan kami

karena kelalaian kami kepadanya.”

Page 32: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

32

Coba perhatikan ayat ini, di situ dijelaskan bahwa kiamat datang kepada mereka [yang

mendustakan] dengan tiba-tiba. Begitu mereka tersingkap dengan tiba-tiba kesadarannya tentang hidup

ini, maka yang ada adalah penyesalan. Yang dipikul adalah kesengsaraan. Hanya karena lalai tentang

hadirnya kiamat yang datang tiba-tiba itu. Lain dengan orang beriman, dia selalu waspada. Orang-

orang yang selalu hidup murung, menderita dan merasa terus-menerus dalam kesengsaraan [bahkan ada

yang nekat bunuh diri karena tak kuat menanggung penderitaan hidup ini], adalah contoh orang-orang

yang kedatangan kiamat. Bila kiamat tidak datang selama dia dalam hidup ini, maka kiamat pun akan

datang setelah matinya. Hal ini diungkap dalam surat 50:22, “Sungguh engkau berada dalam kelalaian

tentang [kematian] ini. Maka Kami singkapkan darimu apa yang menutupimu, dan penglihatanmu pada

hari ini sangat tajam.” Dengan demikian, tidak ada gunanya melakukan rekayasa, tipudaya, atau

“tricky” dalam hidup ini.

Tobat.

Langkah awal dalam tarekat adalah “tobat” atau adanya kemauan untuk kembali kepada-Nya.

Bukan hanya mau ramai-ramai di jalan umum, tetapi adanya kemauan untuk menempuh sendirian

kepada-Nya. Bukan hanya menuntut ada teman yang menyertai, tetapi berani melangkah sendirian.

Nah, tahap ini disebut “decondi-tioning” atau “takhalli”. Berhenti mengikuti arus massa. Bukan

melawan arus, tetapi menancapkan pendirian! Jadi, tobat di sini jangan diartikan dengan

“meninggalkan kejahatan atau kecurangan” yang pernah kita lakukan. Kita tidak perlu berbuat curang

untuk bisa bertobat. Tetapi kita sengaja untuk memilih cara yang benar, kepatuhan yang benar. Inilah

makna tobat dalam tarekat!

Tobat dalam tarekat berarti berketetapan untuk tidak mencuri, tidak berzina, tidak menipu,

tidak membohongi orang, tidak menganiaya siapa pun, tidak merugikan orang lain, tidak menyakiti;

atau dengan kata lain, menegasikan segala perbuatan dan tindakan yang buruk atau jahat. Dalam syariat

tobat adalah meninggalkan dan tidak mengulangi perbuatan jahat yang telah diperbuat. Dalam tarekat

tobat berarti memilih untuk tidak berbuat jahat. Memilih untuk berbuat lurus! Tidak

berpedoman “tujuan menghalalkan segala cara”. Tujuan harus dicapai dengan cara yang benar dan

baik [Jawa, bener lan pener].

Memang berat godaan bagi yang mengambil jalan lurus. Lebih-lebih bila kita sudah pernah

menikmati “yang bengkok” itu. Bisikan untuk mencecap dan mencicipi kebengkokan itu datang

bertubi-tubi. Bagaimana jalan keluarnya bila rayuan setan ini berhembus di dalam hati kita? Bila

sugesti setan [bisikan jahat] datang bertubi-tubi ke dalam diri kita, maka kita harus segera berzikir,

bersegera untuk eling [sadar] dan waspada. Kita harus bebaskan pikiran kita dari bisikan itu dan kita

serahkan diri kita kepada-Nya. Kita harus yakin bahwa Allah mendengarkan dan memperhatikan

seruan kita. Kita harus yakin bahwa Allah melindungi kita! Mengapa kita harus yakin? Karena kita

telah memilih jalan yang lurus, dan Allah senantiasa di jalan lurus. Di bawah ini ada beberapa ayat

yang menopang keyakinan untuk berbuat benar.

7:200, Jika setan mengganggu [mensugesti] engkau maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya

Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.

7:201, Sesungguhnya orang-orang yang menjaga diri, apabila mereka tertimpa gangguan setan, mereka

berzikir kepada Allah, dan ketika itu pula mereka melihat gangguan itu.

42:13, Berat bagi orang-orang yang menyekutukan Tuhan untuk menem-puh jalan yang diinformasikan

kepada mereka. Allah menarik orang yang menghendaki jalan-Nya, dan memberi petunjuk kepada

jalan-Nya bagi siapa yang kembali [kepada-Nya].

Dengan berzikir kepada Allah, kita sebut nama-Nya dengan bahasa kita, bahasa yang kita

pahami dan keluar dari hati yang tulus. Misalnya, “Ya Tuhan, Pelindung diriku, singkirkan gangguan

setan itu dariku. Berilah aku kekuatan untuk menempuh jalan-Mu. Sesungguhnya Engkaulah pemilik

Page 33: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

33

kekuatan yang sebenarnya.” Ini hanyalah salah satu contoh saja dalam berdoa. Dalam berdoa tak ada

keharusan dalam ucapan bahasa Arab. Doa yang baik adalah doa yang kita mengerti maksudnya

dengan benar. Doa demikianlah yang ces pleng! Jangan ragu berdoa dalam bahasamu yang keluar dari

dalam lubuk hatimu. Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui!

Namun, bila kita tidak terdidik dalam berdoa dengan menggunakan bahasa kita sendiri, kita

boleh menggunakan contoh-contoh doa dalam Al Quran atau Al Hadis. Bila kita menggunakan doa

dalam bahasa yang bukan bahasa kita sendiri, maka kita harus belajar memahami makna dan

maksudnya. Yang penting untuk diperhatikan, janganlah pikiran kita dibebani dengan doa-doa. Pikiran

kita harus dibebaskan dari berbagai macam hal yang tidak diperlukan. Pikiran harus senantiasa dijaga

tetap segar dan jernih. Dalam kejernihan pikiran kita bisa melihat gangguan setan.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh ayat 42:13, bila pikiran kita tetap mendua maka beratlah

jalan Ilahi yang hendak kita tempuh. Kita harus yakin bahwa jalan lurus [jalan positif] yang kita pilih

dan ikuti itu adalah jalan yang benar dan tepat. Bila kita sungguh-sungguh menempuhnya niscaya

Allah sendiri yang menarik kita ke tengah jalan itu. Allah menghendaki orang yang menghendaki jalan-

Nya. Inilah maksud dari “Allahu yajtabi ilaihi man yasya-u” dalam ayat tersebut. Jadi, kata “man

yasya-u” tidak berarti Allah yang aktif dan manusianya pasif. Tetapi interaktif antara “kawula” dan

“Gusti”, hamba dengan Tuhan.

Wara’.

Kata “wara’” dapat diterjemahkan dengan “hati-hati” atau waspada. Manusia yang tetap

menjaga dirinya di jalan yang benar, atau manusia bertakwa, adalah orang yang senantiasa sadar dan

waspada. Dengan eling dan waspada itu dia bisa melihat gangguan setan. Bila kita bisa melihat bisikan

setan, tentu kita dapat menghindarinya. Sebaliknya, jika cuma meraba-raba dalam kegelapan, ada

kemungkinan terhanyut dalam bisikan itu. Dalam syariat wara’ berarti berhati-hati dalam memilih

makanan, dan berhati-hati dalam berbuat dan bertindak. Sedangkan wara’ dalam tarekat artinya

senantiasa sadar dan waspada.

Baik tobat maupun wara’ adalah tahap “decondioning”, “takhalli”, atau usaha untuk

mengosongkan diri kita dari segala dorongan untuk berbuat jahat. Pada tahap ini kita dituntut untuk

selalu introspeksi maupun berani mengakui kesalahan yang kita perbuat. Memang sulit rasanya bagi

orang dewasa yang sudah terkontaminasi atau tercemar kotoran dalam hidupnya, melakukan

dekondisioning. Tetapi bagi yang telah berketetapan hati, langkah awal ini harus dilalui. Harus ada

tekad yang bulat dan kuat. Dalam ayat 7:200 disebutkan, bila ada bisikan maka segeralah berlindung

kepada-Nya. Lalu dalam 7:201 dijelaskan bahwa begitu terkena gangguan setan, maka harus segera

berzikir, segera eling dan waspada! Dan dalam 42:13 disebutkan bahwa orang yang menghendaki

jalan-Nya niscaya ditarik Allah ke dalamnya. Lihat kembali ayat surat Al-‘Ankabut/29:69, “Dan orang-

orang yang bersungguh-sungguh menempuh jalan Kami, niscaya Kami tunjuki mereka jalan-jalan

Kami.”

Mengamalkan Zikir

Dekondisioning harus dilatih! Bagaimana caranya? Seperti yang dijelaskan dalam ayat 7:201,

dengan berzikir. Ada dua macam zikir, yaitu zikir dengan berbuat dan zikir dengan bertindak. Pertama,

zikir dengan berbuat artinya zikir tanpa tindakan. Tindakannya hanya terjadi dalam diri orang yang

melakukannya. Dalam zikir ini kita dilatih untuk mengawasi ucapan kita sendiri dalam keadaan heneng

atau diam.

Dalam zikir ini kita dilatih untuk mengawasi nafas kita sendiri. Zikir jenis inilah yang

dilakukan ketika seseorang melakukan shalat atau sesudah shalat. Jika di dalam shalat, yang dilakukan

adalah memperhatikan bacaan di dalamnya. Jika di luar shalat zikir ini dilakukan dengan duduk relaks,

Page 34: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

34

atau duduk yang nyaman, dan disertai ucapan kalimat thayyibat seperti subh?nallah [Mahasuci Allah],

alhamdu lil-Lah [segala puji kepunyaan Allah], dan allahu akbar [Allah Mahabesar].

Untuk melatih kesadaran dan kewaspadaan kita terhadap kalimat thayyibat yang diucapkan,

dibuatlah pencacahan terhadap kalimat tersebut. Misalnya dengan meng-ucapkan kalimat subhanallah

dan alhamdulillah masing-masing 33x dan allahu akbar diucapkan 34x sehingga banyaknya

pengucapan kalimat tersebut 100 kali. Dengan zikir ini kita dilatih untuk tetap sadar dan waspada. Pada

tahap dekondisioning ini semua pikiran yang kotor dikuras. Jadi, cara mengurasnya bukan dengan jalan

mengosongkan pikiran, tetapi dengan cara mengisinya dengan ucapan kalimat yang baik. Dan,

pengucapannya pun sekadar didengar telinganya sendiri!

Untuk pelatihan tahap dekondisioning ini para murid [orang yang berkehendak] bisa

melatihnya di pagi hari setelah masuk shalat subuh. Latihannya harus dilakukan dengan teratur, cermat,

berhati-hati, tekun dan rajin. Misalnya, pelaksanaan zikir ini ditetapkan selama empat puluh hari, setiap

pagi. Diusahakan dilatih dalam lingkungan yang hening, sepi. Atau, jika berbakat 10 hari sudah cukup.

Kedua, zikir dengan bertindak. Artinya, ada aksi, ada tindakan! Begitu ada orang yang

mengajak kolusi dalam pekerjaan kita, ketika itu pula kita ingat untuk berusaha menghindarinya. Bila

desakan ke arah itu menguat, kita harus berani mengatakan kepadanya: tidak! Memang berat

mengamalkan zikir dengan bertindak. Karena zikir ini dihadapkan pada kenyataan. Keadaan inilah

yang mendorong guru tarekat mendirikan “jamaah tarekat” atau organisasi tarekat. Dengan organisasi,

kesulitan anggotanya bisa diatasi. Jadi, kita jangan heran jika di dalam komunitas Islam hadir begitu

banyak tarekat. Dalam agama Kristen hadir banyak “gereja” untuk gembalanya. Di Cina ada Zhuan Fa

Lun atau gerakan meditasi “Fa Lun Qung”. Sehingga buruh-buruh pabrik yang tadinya biasa “ngutil”

produksi pabrik tersebut, seperti handuk, sabun, sandal dll, setelah terlatih meditasi Fa Lun mereka

sadar dan mengembalikan hasil ngutilnya. Bahkan manajer pabrik sadar dengan gerakan itu

produktivitas pabrik meningkat. Tapi secara politis, Pemerintah Cina terancam oleh gerakan ini.

Mulai saat ini marilah kita praktikkan tarekat ini, dengan zikir berbuat dan zikir bertindak.

Jangan ada target dulu. Lebih baik kita merasa berlatih dulu.

Page 35: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

35

Bagian ke-8

Antara Syareat dan Tarekat

Telah dijelaskan di bagian sebelumnya bahwa yang dituju dalam syareat adalah kolektivitas

atau kebersamaan. Sedangkan yang dituju dalam tarekat adalah keunikan. Meskipun demikian antara

syareat dan tarekat tidak bertentangan. Justru yang dibangun adalah keseimbangan antara hidup secara

kolektif dengan ekspresi individual. Karena kodrat dan iradat Tuhan terhadap makhluk tidak sama.

Maka kebutuhan bersama dan kebutuhan pribadi harus dirajut bersama.

Syareat berfungsi untuk mengikat suatu komunitas dalam jalan hidup bersama. Syahadat,

shalat, puasa Ramadhan, zakat dan haji adalah jalan umum yang dilalui secara bersama-sama oleh

komunitas yang beragama Islam. Unsur kebersamaan dalam kelompok lebih ditekankan. Formalitas

lebih menonjol daripada tujuannya. Jika dium-pamakan anak sekolah, mengisi daftar hadir dan duduk

di kelas lebih menonjol daripada keinginan untuk menjadi murid yang pandai dan trampil. Dalam

shalat pun begitu, rasa untuk memenuhi kewajiban lebih menonjol daripada mencapai “tujuan” shalat.

Bahkan kalau saya amati, saya katakan dengan jujur bahwa sebagian besar orang yang mela-kukan

shalat tidak ingat [atau bahkan tidak tahu] akan tujuan shalatnya. Mereka hanya merasa “berdosa” bila

tidak melakukannya. Dan, merasa telah bebas dari dosa jikalau telah menunaikannya. Tentu saja hal ini

disebabkan oleh kebiasaan yang membelenggu pikiran. Sama dengan jenis-jenis kebiasaan yang lain.

Dari segi syareat seseorang yang shalat dianggap sah bila ia telah bersih dari hadas [yang kecil

dengan wudhu, dan yang besar dengan mandi], dan mencari tempat yang bersih untuk shalat, lalu

dilakukan sesuai dengan syarat dan tertib rukunnya. Bereess! Upacara telah dikerjakan. Lho, kok

dianggap upacara, itukan perintah Tuhan? Shalat hanyalah sebuah upacara jika yang dipenuhi

formalitas lahiriahnya. Yang di-tuntut dalam kehidupan beragama tentu bukan sekadar upacaranya.

Tetapi, tujuan dari shalat! Apa tujuan shalat? Apa tujuan puasa, zakat dan haji?

Marilah kita periksa satu persatu. Pertama, Surat Thaha:14.

20:14 Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, dan tidak ada Tuhan kecuali Aku. Beribadahlah kepada-Ku

dan dirikanlah shalat untuk berzikir kepada-Ku.

29:45 Telaahlah Al Kitab yang diwahyukan kepada engkau, dan dirikan shalat. Sesungguhnya shalat

itu mencegah perbuatan fahsya’ dan mungkar. Dan sesungguhnya berzikir kepada Allah itu lebih besar.

Dan Allah mengetahui apa yang kamu (semua) kerjakan.

Dari kedua ayat tersebut dapat diketahui dengan pasti tujuan shalat. Tujuan utama shalat

adalah “berzikir” kepada Tuhan. Dan, efek berikutnya adalah terjauhkan dari perbuatan fahsya’ dan

mungkar. Karena efek dari zikir itu menjauhkan pelakunya dari perbuatan fahsya’ dan mungkar, maka

nilai zikir itu lebih besar dari ibadah lainnya. Apalagi zikir tersebut dilakukan dalam shalat. Fahsya’

adalah segala jenis perbuatan yang tidak normal, yang dibenci masyarakat, kekejaman, dan yang

menjijikkan. Sedang perbuatan mungkar adalah perbuatan yang ditolak atau dilarang oleh masyarakat.

Jadi, tujuan akhir shalat adalah mencegah perbuatan fahsya’ dan mungkar bagi penegaknya. Shalat

bukan untuk membebaskan diri dari kewajiban.

Masih ingatkan ayat tentang perintah puasa Ramadhan? Yaitu, Surat Al Baqarah ayat 183. Di

situ jelas, bahwa tujuan puasa bukan untuk melatih diri supaya tahan lapar atau sakti, tetapi untuk

menjadi orang yang bertakwa, yaitu orang yang senantiasa menjaga dirinya di jalan yang benar [life in

the righteous way]. Sedekah atau zakat juga dimaksudkan untuk membersihkan dirinya dari

kedengkian masyarakat di sekitar-nya, dan juga untuk membersihkan batin dari sifat loba dan kikir [QS

9:103, sedekah itu untuk “tuthahhiru” dan “tuzakki”]. Bahkan dengan haji, orang dididik dan dilatih

untuk hidup damai (QS 2:191, 3:97), higienis (22:29), menjauhkan diri dari pertikaian, percabulan dan

kelakuan jahat (2:197), dan hidup sosialis (22:28).

Page 36: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

36

Nah, sekarang marilah kita melihat fakta di sekeliling kita.Bangsa Indonesia dikenal sebagai

bangsa yang religius.Secara lahiriah masjid, gereja dan tempat-tempat peribadatan lainnya dipenuhi

orang. Dari segi lahiriah seolah-olah orang-orang yang memenuhi tempat ibadah ini adalah orang-

orang yang saleh, atau orang-orang yang bertakwa. Kuota untuk jemaah haji pun cepat sekali dipenuhi.

Namun demikian, negeri ini penuh koruptor, tukang kolusi, dan banyak penjahat kelas berdasi.

Kebodohan tak kunjung usai. Kemiskinan malah beraksi sehingga kita merasa tak bisa melepaskan diri

dari hutang internasional. Apa gerangan penyebabnya? Penyebabnya, kita lebih suka formalisme. Kita

lebih senang mengandalkan “kepercayaan” daripada pengetahuan. Kita lebih suka kebenaran “visual”

daripada kebenaran yang bersemi di dalam hati yang suci. Kita lebih mempercayai “dongengan” abad

III Hijrah daripada mengkaji Al Quran dengan hati yang tenang dan pikiran yang jernih.

Sekarang, marilah kita bandingkan dengan etika kehidupan bermasyarakat dari orang-orang

Barat. Mereka dikenal sebagai masyarakat yang hidup individualistik. Hak pribadi betul-betul

dinomorsatukan. Namun, di jalan mereka tidak melakukan saling serobot. Fasilitas-fasilitas

milik umum (fasum) dijaga dan dihormati. Makna hidup itu untuk melayani orang lain mereka coba

tegakkan. Mereka betul-betul berusaha menjaga “fairness” dalam bermasyarakat. Padahal, secara

lahiriah mereka tampak tak bergairah menjalankan agama. Mengapa bisa demikian? Karena mereka

telah melangkah ke tahap kehidupan tarekat. Lho, mereka kan tidak hidup beragama Islam sedangkan

tarekat itu ajaran Islam? Tarekat adalah perjalanan spiritual kehidupan manusia. Ia ada di dalam setiap

agama. Namanya saja yang berbeda!

Sembah Kalbu

Orang tak akan mengerti arti sebuah kekayaan bila ia tak pernah menghayati arti sebuah

kemiskinan. Tidak perlu harus jatuh miskin dulu! Tetapi menghayati dalam batin kita bahwa

sesungguhnya kita ini miskin. Wong ketika kita lahir tak ada yang membawa perhiasan. Orang tak akan

mengerti makna kepandaian bagi kesejahteraan bila ia tak pernah menghayati makna kebodohan.

Seandainya generasi Jepang sekarang tidak menghayati rasanya suatu bangsa yang dibom atom, tentu

mereka akan tetap melakukan penindasan dan penghancuran negara-negara sekelilingnya yang

dipandang lemah. Jika makna-makna yang negatif [seperti jahat, miskin, bodoh, dan lemah] itu telah

hilang dari mereka, maka mereka pun akan mengalami hal yang sama seperti yang melanda negeri kita

ini.

Nah, tarekat adalah cara untuk melihat diri kita sendiri. Karena itu tarekat disebut sebagai

meniti jalan ke dalam diri. Tanpa mengenal diri kita sendiri, niscaya kita tak akan pernah bisa mengerti

orang lain. Malah orang lain kita paksa seperti diri kita! Kita nyinyir bila melihat orang lain tidak

melakukan ibadah seperti yang kita lakukan. Kita memandang orang lain tidak mengikuti sunah Rasul,

bila mereka tidak segolongan dengan kita. Bahkan orang lain yang sudah mendalami Al Quran dan

Hadis, dipandang belum berilmu bila tidak belajar seperguruan dengan kita. Kepicikan timbul karena

tak pernah mau melihat kepada dirinya sendiri.

Pada bagian yang lalu telah dijelaskan bahwa tahap awal dalam tarekat adalah dekondisioning,

atau “takhalli”, yaitu tahap pembersihan batin. Kepercayaan yang telah membelenggu, harus dirantas.

Lho, bagaimana ini, hidup beragama kan harus ditopang dengan kepercayaan? Ha, jangan salah

mengerti! Yang harus dirantas adalah keperca-yaan yang membelenggu. Kepercayaan semacam ini

beretengger di dalam diri kita dari hasil meniru, yaa... meniru seperti anak kecil. Mungkin meniru dari

lingkungannya, atau meniru dari teman yang mengajaknya.Lain halnya dengan pembersihan batin.

Dengan tobat dan wara’ kita telah melangkah pada kehidupan yang bersih lahir dan batin. Dengan

kondisi batin yang bersih, tumbuhlah kepercayaan asli yang tumbuh dari dalam. Bukan kepercayaan

hasil meniru.

Hal ini penting sekali untuk dipahami! Iman (kepercayaan) yang benar adalah yang tumbuh

dari dalam hati. Bukan iman yang tumbuh karena diyakinkan oleh orang lain. Jadi, peran guru-guru

agama, ustadz-ustadz, dan ulama adalah memberikan jalan bagi sang pengembara. Mereka menjadi

Page 37: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

37

pemandu jalan, pembawa obor bagi orang-orang yang ingin kembali kepada Ilahi. Tugas guru dan

ulama bukanlah membuat mereka menjadi robot hidup. Guru dan ulama adalah orang yang

menunjukkan jalan dan memberikan keteladanan. Mereka bukan untuk ditiru [to be imitated] tetapi

untuk diikuti [to be followed]. Dengan pemahaman ini bukan orang lain yang mengantarkan kita ke

tujuan hidup, tetapi kita sendiri yang berusaha ke sana.

Mari kita perhatikan ayat berikut ini.

35:18 Sesungguhnya yang bisa engkau berikan ajaran [peringatan] adalah orang-orang yang awas

kepada Tuhannya meskipun tanpa melihat-Nya, dan mereka mendirikan shalat. Barangsiapa

menyucikan dirinya, sesungguhnya penyucian itu untuk dirinya sendiri. Dan Allah itu tempat kembali.

Jadi, jelas sekali bahwa Rasul saja tugas mulianya adalah untuk menyampaikan ajaran

keselamatan. Apalagi ustadz atau ulama! Fungsi Rasul bukan untuk menyelamat-kan tetapi

memberikan petunjuk ke arah keselamatan. Karena itu yang bisa diberi ajaran adalah mereka yang

awas terhadap kehadiran Tuhannya, tanpa melihat Wujud-Nya. Bila tidak awas, ya sulit untuk dapat

menerima kebenaran ajaran beliau. Itulah sebabnya saya berkali-kali menekankan kata “mengikuti

Rasul” dan “bukan meniru Rasul”. Mengikuti memerlukan keawasan, sedangkan meniru cuma

mencontoh, atau dalam bahasa sekarang mencontek Rasul. Apa unggulnya mencontek? Dan dalam ayat

itu diringi pula dengan kalimat “mendirikan shalat” dan bukan mengerjakan shalat. Memang sekarang

ini jadi kabur antara “mendirikan” dan “mengerjakan”. Karena kepentingan guru-guru agama sebatas

formalitas, yaitu mengerjakan. Mendirikan shalat berarti membangun shalat, suatu bangunan yang di

dalamnya terletak zikir kepada Tuhan. Suatu syareat yang di dalamnya terkandung tarekat!

Kemudian lanjutan ayat menyebutkan bahwa upaya penyucian diri itu sepenuhnya untuk

dirinya sendiri. Jadi, betul-betul melewati lorong yang pas bagi dirinya sendiri. Kita masuk ke dalam

sel hati yang terdalam. Di situlah Tuhan bersemayam. Bukankah di dalam sebuah hadis disebutkan

bahwa “Langit dan bumi tak dapat menampung-Ku, tetapi hati seorang mukmin mampu menjangkau-

Ku.” Jadi, hati terdalam manusia adalah tempat bersemayam-Nya pada tahap tarekat. Sedangkan

Ka’bah di Mekah merupakan Rumah Tuhan di tahap syareat. Dengan meniti ke dalam diri, berarti kita

kembali kepada Allah, seperti penutup ayat tersebut.

Nah, upaya untuk memasuki wilayah hati (kalbu) dalam pemahaman tasawuf Jawa disebut

sebagai “Sembah Kalbu”. Bila dalam langkah tobat dan wara’ ada sam-bungan syareat dan tarekat,

maka langkah berikutnya, sabar, adalah tindakan hati. Makin memasuki wilayah tarekat. Bersucinya

tidak lagi dengan material yang dapat dilihat dengan mata, seperti air dan harta-benda, tetapi mampu

mengendalikan hasrat hati yang selalu menggoda kehidupan ini.

Sabar. Lebih dari lima puluh kata ‘sabar’ dalam berbagai bentuknya terdapat di dalam Al

Quran. Dan kata ini tidak bermakna tunggal seperti kata ‘sabar’ dalam bahasa Indonesia. Jika kita lihat

kamus Indonesia, kata sabar berarti tidak pemarah, tahan menderita, menerima saja, dan tidak

tergopoh-gopoh dalam bekerja. Hal ini lain dengan yang diungkap dalam Al Quran.

Kalau kita cermati QS 6:34, sabar mempunyai arti ‘tetap berjuang meskipun datang berbagai

cobaan dan ancaman’.Jadi, di dalam “sabar” terkandung daya tahan terhadap berbagai macam cobaan,

ancaman dan gangguan. Dalam sabar, juga termuat sikap tidak mudah lupa diri, seperti lekas bangga

bila terlepas dari kesulitan. Sedangkan dalam QS 37:102 disebutkan bahwa Ismail bersedia untuk

disembelih ayahnya. Dia katakan kepada ayahandanya, Ibrahim: hai bapakku kerjakan apa yang

diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu dapati diriku termasuk orang-orang yang sabar. Dan salah

satu fondamen Islam adalah saling berwasiat tentang hidup sabar.

Jadi, kita tak perlu meringkas dan menyimpulkan kata sabar yang banyak di dalam Al Quran

itu. Tetapi, yang jelas sabar merupakan tindakan hati. Dan, tindakan hati ini tidak terlihat oleh orang

lain. Efek dari tidak sabar yang bisa dilihat oleh orang lain, seperti mudah emosional, gampang marah,

mudah ketakutan, panik, tergesa-gesa, dan tak tahan menderita. Untuk bisa hidup sabar, kita harus

Page 38: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

38

senantisa introspeksi, awas, berhati-hati, cermat, tekun dan rajin. Dan, yang sangat penting bagi pijakan

sabar adalah “hati yang tenang”. Mengapa hati yang tenang diperlukan untuk membangun kesabaran?

Karena dengan hati yang tenang manusia bisa mengontrol perbuatan dan tindakannya. Dan, agar hati

bisa menjadi tenang, kita harus berzikir [Jawa, semedi]. Kata semedi sendiri berasal dari kata Sanskerta

“Samadhi” yaitu sam + Adhi yang terjemahannya dengan + Tuhan. Jadi, bersemedi artinya menyatukan

diri dengan Tuhan. Tentu saja bukan persatuan fisik karena fisik alam semesta ini ada di dalam

Tuhan. Tuhan meliputi segala sesuatu [wa kana llahu bi kulli syai-in muh?tha, 4:126]. Dan pada ayat

41:54 disebutkan sebagai berikut.

Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka [orang-orang kafir] berada dalam keraguan tentang

pertemuan mereka dengan Tuhan. Ingatlah bahwa sesung-guhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.

Pertama, Tuhan meliputi segala sesuatu. Dia adalah Cahaya di atas cahaya, seperti dinyatakan

dalam Surat An Nur/24:35. Cahaya-Nya menembus segala sesuatu dari sesuatu yang paling kecil

hingga yang paling besar. Dengan kata lain, Tuhan meliputi alam semesta. Karena itu di pangkal ayat

yang sama Allah dinyatakan sebagai Cahaya [yang meliputi] langit dan bumi. Jadi, secara fisik

makhluk dan Tuhan tidak dapat dipisahkan. Karena Dia juga disebut tidak di dalam atau di luar

sesuatu. Dia meliputi yang lahir dan yang batin [QS 57:3]. Lalu apanya yang dikatakan bersatu dalam

zikir itu? Iradatnya! Orang yang berzikir mempersatukan iradatnya dengan iradat Tuhannya.

Diinformasikan dalam QS 2:152, “Berzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku berzikir kepdamu.

Bersyukurlah kepada-Ku dan jangan mengingkari-Ku.”

Kedua, bila kita menyimak beberapa ayat sebelumnya, yaitu ayat 49 ? 51, di situ disebutkan

bahwa orang-orang kafir itu senantiasa terombang-ambing oleh kegalauan pikirannya. Akibatnya

jiwanya rapuh terhadap berbagai tekanan dalam hidupnya. Dan, sumber utama kegalauan pikiran itu

adalah “ragu-ragu tentang pertemuan dengan Tuhan”. Padahal, zikir adalah landasan bagi pertemuan

dengan Tuhan. Ujung ayat tentang zikir tersebut berbunyi “bersyukurlah kepada-Ku dan jangan

mengingkari-Ku”. Artinya ciptakan nilai tambah dalam hidup ini karena Dia, bukan karena ego kita.

Bila kita berbuat dan bekerja demi ego [mementingkan diri sendiri], kita akan mengalami distorsi

dalam hidup ini. Karena itu ayat di atas ditutup dengan penguatan “jangan mengingkari Aku”.

Seperti pada kesempatan lain, telah saya uraikan makna “zikir”. Namun, untuk mengingatkan

kita semua saya sampaikan lagi pada kesempatan ini. Zikir berasal dari kata dza-ka-ra yang artinya

mengingat atau menuangi. Jadi, orang yang berzikir berarti menuangi ke dalam jiwanya, pikirannya

dan hatinya dengan sesuatu yang di-ingatnya. Berzikir kepada Allah berarti menuangi diri kita [lahir

dan batin] dengan kata-kata yang baik tentang Allah, seperti menyebut nama-Nya, mengucapkan nama-

nama baik-Nya, menyebut subhanallah, alhamdulillah, allahuakbar, la ilaha illallah dan lain-lainnya.

Dengan menyebut kata yang baik kita berusaha melakukan proses dekondisioning dengan cara

menuangi kata “thayyibat”. Islam tidak mengajarkan pengosongan pikiran dengan metode konsentrasi

atau berusaha melenyapkan segala keramaian pikiran. Tetapi, dengan cara mengisi pikiran dan hati

dengan nama-Nya. Dalam perjalanannya sang pezikir akan semakin cerah. Bak gentong yang berisi air

kotor, pezikir tidak menggulingkan gentong itu sehingga airnya tumpah dan gentong ditegakkan

kembali. Cara demikian bisa memecahkan gentongnya jika gentongnya tidak kuat. Tetapi dengan cara

menuangi dengan air yang bersih, lama-lama air yang kotor itu habis dengan sendirinya.

Nah, itulah resp zikir! Dengan cara ini lama-lama hati menjadi tenang. Hati yang kerjanya

berubah-ubah, bergerak kesana-kemari tak tentu tujuan ini, secara perlahan-lahan dimuati dengan

nama-Nya. Pelan-pelan keberingasan hati menjadi reda dan akhirnya berhenti, dan muncullah

ketenangan. Hal inilah yang ditegaskan dalam Surat Ar Ra’ad/13: 27 -29?

27 Orang-orang kafir [yang meningkari kebenaran] berkata: “Mengapa Tuhannya tidak menurunkan

mukjizat kepadanya?” Katakanlah: “ Sesungguhnya Allah menyesatkan orang yang menghendaki

kesesatan dan menunjuki orang-orang yang kembali kepada-Nya.”

28 Yaitu, orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram karena berzikir kepada Allah.

Perhatikanlah, hanya dengan kepada Allah hati menjadi tentram.

Page 39: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

39

29 Orang-orang yang beriman dan beramal saleh layak mendapatkan kebahagiaan dan tempat kembali

yang baik. Pada ayat 27 kata “man yasya-u” biasa diatributkan kepada Tuhan sehingga artinya, “Tuhan

menyesatkan kepada siapa yang Dia kehendaki”.

Namun, terjemahan yang saya gunakan adalah “Tuhan menyesatkan orang yang menghendaki

kesesatan”. Karena ujung ayat itu menegaskan : Tuhan menunjuki orang-orang yang kembali kepada-

Nya. Inilah sifat ‘Ar Rahim’ dari Tuhan.

Siapa yang kembali kepada-Nya itu? Yaitu, orang-orang yang beriman [selalu awas, eling dan

waspada] dan beramal saleh [melakukan tindakan yang berguna, baik bagi orang lain, lingkungan dan

dirinya sendiri]. Jadi, kata kembali kepada Tuhan jangan ditunggu setelah mati. Kita sadari kehadiran

kiamat, dan segera kembali kepada Tuhan Yang Mahaesa.Untuk bisa beriman dan beramal saleh, salah

satu langkah yang harus ditempuh adalah “hidup sabar”. Itulah sebabnya di beberapa ayat disebutkan

bahwa “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.

Sabar yang dimaksud di sini adalah maqam, stasiun, atau tingkatan pencapaian spiritual.

Bukan sabar dalam pengertian “sifat sabar” seperti ‘sabar, dong!’ atau yang sabar ya Pak.., Bu..., dan

lain-lain. Budaya antri, tidak saling menyerobot, menghargai hak orang lain, rela berjuang bersama

dalam membangun bangsa, saling mengerti, hidup gotong royong adalah bukti tercapainya maqam

kesabaran. Nah, untuk mencapai maqam kesabaran ini mari terus kita lakukan zikir lahir yang

diterangkan di bagian yang lalu.

Page 40: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

40

Bagian ke-9

Antara Sabar dan Tahalli

Ketika kita berjuang untuk hidup benar, lalu menetapkan pendirian untuk tetap memilih jalan

yang benar [istiqamah], berarti kita telah melakukan dekondisioning [takhalli], yaitu membersihkan diri

dari semua sifat yang tercela yang ada di dalam diri kita. Sifat tercela meliputi semua sifat yang

mengotori jiwa [nafs] manusia, seperti lalim, bakhil, dusta, ma-lima, mengadu domba, dengki [iri hati],

merusak, berlebih-lebihan dalam hidup, membunuh [diri sendiri maupun orang lain], menipu,

sombong, merendahkan orang lain, mementingkan diri-sendiri, menjilat [cari muka], dan berbagai sifat

negatif lainnya.

Pada tasawuf bagian ke-8 kita telah sampai pada ajaran “sabar”. Kita telah masuk ke dalam

wilayah “kondisioning” atau “tahalli”. Ketercelaan ditinggalkan, keterpujian diraih. Dengan sabar, kita

mengkondisikan diri kita ke dalam perbuatan-perbuatan yang terpuji. Tentu saja perbuatan terpuji lahir

bila kita telah meninggalkan yang tercela. Yang termasuk sifat terpuji adalah semua sifa yang positif

dan memberikan keuntungan baik bagi diri-sendiri maupun orang lain, seperti adil, kasih, sayang,

lemah lembut, berani, tegas, bijak, menolong, membantu kebaikan, dapat dipercaya, memperbanyak

persaudaraan, menyelamatkan jiwa, menutupi aib keluarga, saudara dan teman-temannya, dan lain-lain.

Setelah kita bongkar sifat-sifat tercela kita, kita cuci dengan zikir jahar [lahir], maka kita

kondisikan batin kita dengan perbuatan-perbuatan terpuji. Mengkondisikan perbuatan terpuji harus

dilandasi kesabaran [lihat kembali makna sabar pada bag. ke-8]. Ingat, sabar bukan ‘menerima kalah’.

Tetapi, kita mempunyai daya tahan untuk berbuat atau bertindak. Marilah kita uraikan segala sifat

terpuji tersebut.

Adil. Kalau kita lihat di kamus Arab, kata ‘adil’ berarti memperlakukan setiap orang tanpa

diskriminasi. Dalam ‘adil’ terkandung makna ‘jujur’ dan ‘fair’. Kata fair sendiri berarti “sesuai dengan

aturan”. Terkandung dalam kata ‘adil’ adalah perlakuan yang proporsional. Contohnya begini, jika ada

orangtua yang memperlakukan tiga orang anaknya [yang berumur 7, 5 dan 3 tahun], tentu orangtua

tersebut harus memperlakukan mereka secara proporsional [sesuai dengan kebutuhannya].

Sikap adil ini akan bisa tumbuh pada diri kita bila kita sudah tidak mementingkan diri-sendiri

dan pilih-kasih. Sifat tercela harus dihilangkan dulu. Lalu, dengan berpijak pada kesabaran kita

menegakkan keadilan. Adil adalah sokoguru bagi ketakwaan. Ya, tanpa keadilan kita sukar untuk dapat

menegakkan kebenaran. Untuk itu marilah kita simak QS 5:8 berikut ini.

5:8 Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran

karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum

[golongan], mendorongmu untuk berbuat tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada

takwa. Bertakwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Perhatikan ayat tersebut sekali lagi. Keimanan ternyata menuntut upaya penegakan kebenaran.

Keimanan dalam Islam ternyata bukan hanya sekedar kepercayaan. Iman itu harus didukung

“pengetahuan” sehingga orang yang beriman itu bisa membedakan mana yang benar dan yang salah.

Dengan kesabarannya orang tersebut berani menjadi saksi yang adil. Dalam kondisi yang semrawut di

negara kita ini, banyak orang yang tidak berani menjadi saksi yang adil. Betapa beratnya menopang

keadilan. Karena itu, untuk bisa bersikap adil manusia harus dikondisikan lebih dulu. Bahkan sekarang

ini, di negara Indonesia, banyak orang yang bertindak liar tetapi tak ada yang mengadili. Apa

akibatnya? Banyak manusia yang hidup ketakutan di republik ini.

Adil adalah sikap hidup yang paling dekat kepada ketakwaan. Meskipun kita benci terhadap

suatu kelompok [golongan] masyarakat, tapi kita harus adil. Kita harus ‘fair’, dan tidak main babat

saja. Sekarang ini bisa kita lihat ada kelompok yang melakukan “sweeping” terhadap hak hidup orang

lain tanpa berpijak pada hukum. Bahkan mereka berlindung di balik hukum. Na-‘udzu billahi min

Page 41: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

41

dzalik! Inilah pentingnya kita hidup berbudipekerti yang mulia. Kita wajib menghargai hak orang lain,

dan tidak hanya mementingkan hak hidup kita sendiri. Berlaku adil!

Kasih-sayang. Ar Rahman dan Ar Rahim adalah sifat Tuhan. Orang beriman harus berusaha

menjadi rahmat bagi lingkungan hidupnya. Yang kuat ikut serta meng-angkat yang lemah. Yang kaya

membantu yang miskin. Harus diciptakan hidup tolong-menolong dalam kebaikan. Yang kuat

mengangkat yang lemah, tidak berarti yang lemah merongrong yang kuat. Yang miskin tidak boleh

membebani yang kaya. Jikalau yang lemah dan yang miskin merongrong yang kuat dan yang kaya, ini

berarti tidak terjadi kasih-sayang. Dalam kasih-sayang setiap orang saling memberi. Inilah manusia

yang saling berwasiat kepada hidup sabar [untuk berbuat sabar] dan untuk hidup kasih-sayang. Hal ini

dinyatakan dalam beberapa ayat berikut ini.

90:17 Kemudian mereka itu termasuk orang-orang yang beriman, yang saling berwasiat untuk hidup

sabar dan saling berkasih-sayang.

5:2 Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu golongan, karena mereka pernah

menghalangimu dari Masjid Al Haram, menyebabkan kamu bertindak melampaui batas terhadap

mereka. Saling bertolonganlah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong

dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah amat keras

siksanya.

Kalau kita membaca QS 90:17 (Surat Al Balad), dan kita baca beberapa ayat sebelumnya, kita

mengetahui bahwa hidup beriman yang ditopang perbuatan sabar dan kasih-sayang, termasuk dalam

menapaki jalan yang mendaki. Artinya, berbuat sabar dan bertindak kasih-sayang adalah perbuatan dan

tindakan yang berat. Jika kita masih mau menang sendiri, mau benar sendiri, maka jangan harap kita

bisa menjadi manusia beriman yang sejati. Keimanan tanpa keadilan, kesabaran dan kasih-sayang jelas-

jelas iman gombal alias iman palsu. Yang perlu di-sweeping lebih dulu adalah rasa mau menang

sendiri, egoisme, dan kebodohan yang ada di batin dan yang selalu menghantui pikiran. Batin dan

pikiran harus di- ‘dekondisioning’ dari sifat tercela.

Setelah batin dan pikiran bersih dari sifat tercela, baru bisa dikondisikan untuk menerima sifat

terpuji. Memang hal ini tidak mudah dilakukan bila semata-mata diserahkan kepada masing-masing

orang. Pengkondisian harus dibantu dengan institusi atau penegakan hukum. Manusia tidak boleh

dibiarkan sekadar menjadi kerumunan massa, seperti menonton sepak bola, pertunjukan musik dan

lain-lain. Yang timbul adalah rebutan. Akhirnya jatuh korban! Kekuasaan pun bila dijadikan rebutan,

akhirnya juga timbul korban yang lebih dahsyat. Harus dikondisikan! Harus ada antre. Penonton harus

sesuai dengan banyaknya bangku. Yang haji pun harus ditertibkan. Sehingga tidak terulang peristiwa

Mina dan yang beberapa kali terjadi dalam melempar jumrah. Yang menjadi elite pun harus melalui

proses, mengikuti prosedur, dan menaati aturan main. Pikiran yang mendorong ke arah egoisme, harus

di-sweeping lebih dulu. Sehingga tidak terjadi manipulasi permainan.

Harus sabar, jangan berebut mendahului. Sejak zaman dulu pesan moral ini sudah dihadirkan

Tuhan. Hanya istilahnya saja yang berubah mengikuti perubahan zaman. Politik sudah ada dalam

metafor pergulatan antara Adam, malaikat dan iblis. Yaitu, ketika malaikat protes terhadap Tuhan

tentang kepemimpinan Adam di muka bumi ini [QS 2:30]. Malaikat protes, mengapa bukan dirinya

yang menjadi khalifah di bumi. Mengapa manusia yang punya potensi untuk menumpahkan darah dan

menimbulkan kerusakan, yang menjadi wakil-Nya. Iblis pun tak mau menerima kepemimpinan Adam.

Iblis mau menang sendiri.

Kalau dalam dunia politik, sabar berarti mampu menahan diri untuk tidak berbuat curang atau

manipulasi. Proses, prosedur dan aturan main harus dipenuhi dengan lapang dada. Dalam pergaulan

hidup, sabar berarti saling menahan diri untuk tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Dalam

bekerja, sabar berarti memiliki dayatahan untuk menyelesaikan dengan baik dan benar pekerjaannya.

Dalam diri pribadi, sabar berarti ulet dalam meniti tujuan; ada ketegasan untuk memilih, ada

Page 42: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

42

keberanian untuk melaksanakan, dan ulet dalam menyelesaikannya. Karena itu Tuhan memerintah

manusia untuk saling berpesan untuk hidup sabar.

Kasih-sayang berarti saling memberi. Bukan karena menerima, lalu memberi; yang dalam

bahasa Inggrisnya “take and give”. Kalau ini masih ada curiga. Artinya, kita tidak bersedia memberi

jika belum menerima lebih dulu. Seperti orang yang ingin mendapatkan tebusan sandera. Penyandera

baru melepaskan sanderanya bila ia sudah menerima tebusan yang dituntutnya. Orang beragama

bukanlah penyandera. Masing-masing diminta untuk memberi.

Dari asas saling memberi ini lahirlah sikap saling menolong bagi orang-orang yang beriman.

Lho, apa bisa saling menolong bila ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang kaya dan ada yang

miskin. Tentu saja bisa! Dunia ini memang dicipta “dua warna”. Ada miskin, ada kaya. Ada lemah, ada

kuat. Yang satu memiliki kelebihan dari yang lain. Kalau sama kuatnya, tak akan ada yang mau

diperintah. Jika sama kayanya, tak akan ada yang mau menjadi buruh atau pegawainya. Agar roda

kehidupan berputar, harus ada yang menjadi pasivis dan harus ada yang menjadi aktivis. Jika tak ada

yang mau menjadi perempuan, maka tamatlah kehidupan manusia di bumi ini. Bagaimana jika

perempuan semua [katakan teknik kloning sukses implementasinya]? Apa yang terjadi? Perbuatan

saling menolong dan melindungi akan lenyap. Akhirnya, kehidupan manusia pun hancur!

Ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang pandai dan ada yang bodoh. Hal ini

dimaksudkan untuk saling memanfaatkan atau mempergunakan. Jika tak ada yang lemah [posisinya],

maka tak ada yang mau menjadi buruh atau pegawai. Tak ada yang mau menjadi prajurit. Tak ada yang

mau menjadi murid. Tak ada yang mau menjadi tukang batu, gembala, penjual kaki lima, sopir, dan

tenaga kasar. Dinyatakan dalam QS 43:32sebagai berikut.

43:32 Apakah mereka [orang-orang kafir Qureisy itu] yang membagi-bagi rahmat Tuhan dikau? Kami-

lah yang mendistribusikan kehidupan di antara mereka dalam kehidupan di dunia ini. Kami

meninggikan derajat sebagian orang atas sebagian yang lainnya, supaya yang satu bisa memerintah

yang lain untuk membantunya. Namun demikian, rahmat Tuhan dikau lebih baik daripada apa yang

mereka kumpulkan.

Jadi, jelas bahwa perbedaan derajat itu dimaksudkan supaya manusia bisa bekerja sama dalam

kehidupan di dunia ini. Perbedaan itu tidak dimaksudkan untuk menghisap, atau memperbudak yang

lain. Yang kuat bukan untuk mengalahkan yang lemah. Yang kaya bukan untuk membuat yang miskin

tergantung kepadanya. Semua dimaksudkan untuk dapat saling menolong, saling membantu.

Perhatikan kembali QS 5:2 di atas. Semua manusia yang beriman [iman sejati, bukan hanya

sebagai identitas] diperintah oleh Tuhan untuk saling menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Yang

kaya menolong yang miskin dengan menciptakan lapangan kerja. Mereka meningkatkan

ketrampilannya agar bisa hidup layak. Yang miskin menolong yang kaya dengan membantu mencapai

target usahanya. Yang kuat menolong yang lemah dengan memberikan perlindungan dan kenyamanan

hidup mereka. Sedangkan yang lemah menolong yang kuat dengan memberikan dukungan. Ya,

sebenarnya setiap orang bisa memberikan apa yang ia punya kepada yang lain. Saling memberi.

Akhirnya terciptalah kesejahteraan hidup bersama.

Untuk menyemaikan kasih-sayang, orang-orang beriman diminta untuk tidak berbuat aniaya

[berbuat melampaui batas] terhadap orang-orang yang pernah menyakiti. Islam tidak menanam benih

balas-dendam. Mungkin kita tetap menyimpan kebencian terhadap golongan yang pernah menyakiti

kita. Namun kebencian ini tidak boleh mem-buat kita bertindak aniaya terhadap yang kita benci. Kita

harus tetap bertindak adil, fair, terhadap mereka.

Jika kita mau menelaah hadis-hadis Nabi, maka kita bisa ambil hikmahnya. Hikmah itu

menyatakan: Orang yang kuat di antaramu bukannya yang mampu menaklukkan orang lain, tetapi

orang yang mampu menahan diri untuk tidak melakukan balas dendam, meskipun kesempatan

untuk itu ada. Orang yang kaya bukannya orang yang berlimpah harta benda, tetapi orang yang tidak

merasa kurang bila memberi.

Page 43: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

43

Penutup ayat 5:2 di atas adalah “Allah amat keras siksanya!”. Perlu dipahami bahwa Allah itu

Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia bukanlah penyiksa. Tapi mengapa diperingatkan bahwa

siksa-Nya amat keras? Perlu diketahui bahwa Allah mencipta alam ini dengan segala aturan

mainnya. Dan orang yang menjaga dirinya di atas aturan permainan itu disebut “orang yang bertakwa”.

Dapat diumpamakan dengan orang yang berada di jalan raya. Semua pihak harus mematuhi rambu dan

marka yang ada di jalan itu. Jika keluar dari rambu dan marka akan terjadi kecelakaan. Begitu juga bila

manusia tidak mau mematuhi aturan kehidupan di dunia ini. Ia bisa jatuh ke dalam jurang, atau

tabrakan. Malapetaka di alam ini sangat dahsyat! Inilah yang diperingatkan oleh Tuhan, bahwa siksa-

Nya sangat keras. Karena hakikat semuanya ini adalah milik Tuhan. Jika keluar dari rambu-rambu dan

marka kehidupan, malapetaka yang datang pun sebenarnya berasal [dari aturan main] dari Tuhan.

Gandengan kasih-sayang dan lemah lembut.

Jika kasih-sayang berkaitan dengan sikap saling memberi. Maka lemah lembut lebih terkait

dengan tata-cara penyajiannya atau sikapnya. Dalam memberi pun harus disertai dengan kesantunan.

Bukan dengan cara yang kasar. Sebab pemberian pun jika dilakukan dengan cara yang kasar, tampak

merendahkan yang diberi, akan membuat yang diberi enggan menerima.

Orang yang dalam posisi lemah, tentu saja senang hatinya bila mendapat bantuan,

pertolongan, atau pemberian dari yang kuat. Tetapi tatkala pertolongan itu diberikan dengan cara yang

menyakitkan, dengan cara yang kasar, disertai dengan perkataan yang tidak enak didengar, dengan

membangkit-bangkit, maka orang yang diberi itu bisa bangkit penolakannya, atau kalau toh menerima,

terasa sakit hatinya. Arti pemberian itu menjadi hilang. Dalam QS 2:263 disebutkan, “Perkataan yang

baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang

menyakitkan perasaan si penerima. Sungguh Allah itu Maha Kaya dan Maha Penyantun.” Nah,

kesantunan pun tak lepas dari kesabaran. Dan, kesabaran itu harus dikon-disikan dalam hidup ini. Jika

untuk “dekondisioning” kita lakukan dengan zikir jahar. Maka untuk kondisioning [pengkondisian] kita

lakukan dengan zikir kalbu. Membaca kalimat thayyibah setiap waktu subuh. Ada kedisiplinan bangun

setiap subuh. Zikir cukup diucapkan di dalam hati!

Page 44: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

44

Bagian ke-10

Sabar dan Kecerdasan

Seperti yang dijelaskan semula bahwa “sabar” yang kita tuju dalam tasawuf bukan sifat sabar

tetapi maqam, tingkat atau stasiun sabar. Untuk masuk ke dalam maqam ini, kita sudah mendaki tiga

tangga sebelumnya, yaitu tangga takwa dasar, tobat dan wara’. Tiga tangga sebelumnya untuk

menghilangkan atau “dekondisioning” terhadap segala sifat yang tercela. Sedangkan maqam sabar ini

untuk mengkondisikan kepada segala sifat yang terpuji, seperti keadilan, kasih-sayang dan kelembutan

[diuraikan pada bagian ke-9]. Dan berikutnya untuk membangun kecerdasan.

Sejak tahun 1990-an para pakar psikologi Barat mencoba menggali hubungan antara sabar dan

kecerdasan. Akhirnya, ditemukanlah rumus kecerdasan baru, yang disebut ‘kecerdasan emosi’, yang

dipelopori oleh Daniel Goleman, seorang doktor Psikologi dari Havard University yang bekerja pada

The New York Time. Kecerdasan emosi [Emotional Intelligence] menentukan potensi seseorang untuk

mempelajari ketrampilan-ketrampilan praktis yang didasarkan pada kesadaran diri, motivasi,

pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain. Artinya,

meskipun seseorang telah memiliki IQ yang tinggi, tetapi bila kecerdasan emosinya rendah, dia tetap

akan mengalami hambatan dalam pergaulan hidup [informal maupun formal (dalam bisnis, pekerjaan,

dan politik)].

Kecerdasan otak bekerja pada bagian otak kiri, yang bersifat sadar, rasional dan logis [linear].

Jadi, kerjanya otak kiri ini matematis, berpikir seri. Tentu saja tidaklah keliru berpikir matematis.

Fungsi otak kiri ini untuk mengerjakan segala tugas yang bersifat rasional dan jelas. Seperti komputer,

ia diperintah untuk melakukan pekerjaan yang jelas, yang dikenal programnya. Ia sekadar memproses!

Keunggulan dari penggunaan otak kiri adalah akurat, tepat, dan dapat dipercaya. Karena yang dapat

dikerjakan oleh otak kiri adalah semua objek yang dapat diperbandingkan, dianalisis, dan dikalkulasi

secara matematis. Ia selalu dalam keadaan on atau off.

Kecerdasan emosi bekerja pada otak kanan. Ia membangkitkan potensi dan mengolah

informasi bawah-sadar [subconscious], emosi dan intuisi. Berpikir dengan otak kanan bersifat asosiatif.

Sebuah pemikiran yang mengaitkan antara emosi dan gejala tubuh, emosi dan lingkungannya. Dengan

berpikir asosiatif memungkinkan kita mengenali pola-pola [wajah, suara, aroma, dan ketrampilan

gerak]. Orang yang menyetir kendaraan harus memberdayakan kecerdasan emosinya. Dengan

kecerdasan emosinya seseorang dapat mengubah transmisi, menginjak kopling, menambah gas, dan

menginjak rem tanpa harus menggunakan pikiran rasional.

Para CEO bekerja dengan menggunakan kecerdasan emosi. Para panglima perang bekerja

dengan kecerdasan emosinya. Dan, dari hasil penelitian, sebagian besar orang yang yang IQ-nya tinggi

tidak sukses dalam hidupnya. Kebanyakan mereka yang berhasil mengendalikan perusahaan besar

adalah mereka yang EQ-nya lebih tinggi. Tentu saja mereka yang menjadi CEO perusahaan besar itu

IQ-nya juga tinggi, tetapi EQ-nya yang lebih menonjol. Para pemimpin yang karismatik adalah mereka

yang dikaruniai EQ yang tinggi.

Lalu, apa hubungannya EQ dengan kesabaran? Ya, orang yang EQ-nya tinggi adalah orang

yang mampu mengendalikan emosinya, alias sabar. Juga sebaliknya! Orang yang sabar memiliki

kemampuan untuk mengendalikan emosinya. Jika IQ dan EQ diinteraksikan dan diintegrasikan, akan

lahir kecerdasan yang lebih tinggi dari masing-masing kecerdasan yang ada, IQ saja atau EQ saja.

Dalam Al Quran surat ke-103 [surat yang turun pada tahun pertama kenabian], merupakan

landasan bagi pengintegrasian kecerdasan otak, emosi, dan spiritual [untuk kecerdasan spiritual akan

dibahas pada kajian lebih lanjut]. Marilah kita simak surat yang pendek ini.

1. Demi waktu asar.

2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.

3. Kecuali orang-orang yang beriman dan bertindak saleh, saling ber-wasiat untuk menempuh hidup

yang hak [hidup di jalan yang benar] dan saling berwasiat untuk hidup sabar.

Page 45: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

45

Sejenak kita mengingat kembali kepada pelajaran tafsir surat ini yang telah saya berikan.

Tuhan bersumpah dengan menggunakan waktu asar. Kata ‘ashara mempunyai arti memeras. Pada saat

asar itulah, pada waktu itu, manusia berharap memperoleh nafkah hidupnya atau rezeki yang dikais

sejak pagi. Namun demikian, manusia tetap disebut dalam kondisi berisiko [rugi].

Yang tidak dalam posisi rugi adalah mereka yang beriman dan beramal saleh. Iman dan amal

saleh [imas] pada surat-surat berikutnya, dapat dikatakan, selalu bergandengan. Ini tidak berarti pada

ayat-ayat berikutnya tidak diperlukan hidup yang hak dan hidup sabar. Kedua jenis tindakan ini bersifat

implisit pada imas. Sebagai gantinya, dinyatakan secara eksplisit kata sabar dan Allah beserta orang-

orang yang sabar [Inna l-Laha ma-‘a sh-shabir?n] di empat ayat [2:153, 249, 3:146, 8:46 dan66]. Jadi,

tegas sekali bahwa Allah yang mem-‘back up’ orang-orang yang sabar. Itulah sebabnya sabar disebut

sebagai maqam, posisi, spiritual.

Seperti yang telah dijelaskan di bagian depan pelajaran tasawuf, bahwa iman itu bukan

sekadar percaya. Banyak orang yang salah tafsir bahwa iman itu hanya sekadar percaya. Kalau sekadar

percaya maka imannya orang dewasa sama dengan anak kecil [bahkan imannya anak balita]. Iman

membutuhkan pengetahuan. Dan iman pada tingkat yang lebih tinggi membutuhkan pengalaman [ainul

yaqin] dan selanjutnya meningkat pada iman sebagai realita hidup [haqqul yaqin]. Nah, pengetahuan

harus ditimba dengan menggunakan rasio, menempuh hidup rasional, agar kita tidak melenceng dari

objektivitas kehidupan. Untuk mempertebal keimanan di tingkat ilmu ini, manusia diseru untuk

menggunakan ‘otaknya’ [afala ta‘qilun, la-‘allakum ta‘qilun]. Karena itu keliru berat bila iman tidak

menggunakan logika sama sekali, kemudian dengan mudah disuruh percaya dan rela berbaiat.

Amal saleh tidak cukup hanya dengan menggunakan kesadaran, rasio dan logika. Amal saleh

memerlukan ketrampilan praktis agar bisa hidup produktif. Ketrampilan harus dilatih! Dan pelatihan

memerlukan kedisiplinan dan kesabaran. Dalam berlatih dan bekerja, manusia harus mampu

mengendalikan emosinya. Dengan emosi yang rendah [EQ-nya tinggi] seseorang dapat membangkitkan

potensi dirinya. Kemampuan mengendalikan emosi dengan cantik, akan membuat seseorang mampu

membangun komunikasi yang baik pula.

Agar tidak terjebak kerugian, maka harus ada upaya ‘saling berwasiat’ untuk hidup yang

benar. Pada tindakan ini, sebenarnya sudah melibatkan kecerdasan yang lainnya, yaitu kecerdasan

spiritual [spiritual quotient]. Meskipun harus memberdayakan kecerdasan spiritual, tetapi semua

tindakan tadi harus diikat dengan kesabaran. Dan di balik kesabaran itulah berdiri tegak kekuatan

Allah. Dengan demikian, sabar merupakan landasan bagi peningkatan kecerdasan. Dan, kecerdasan

adalah kemampuan untuk memahami, menalar, dan belajar beradaptasi terhadap situasi yang baru.

Orang yang memiliki EQ tinggi [tingkat kesabarannya tinggi] akan dengan mudah mengatasi problema

dalam kehidupan ini. Perlu diperhatikan kembali, berwasiat tidaklah sama dengan berpesan. Saling ber-

wasiat tidak sama degan saling berpesan. Berwasiat berarti ada tindakan untuk memberikan wasiat.

Dalam saling berwasiat ada rasa saling memiliki! Dalam hidup bersama setiap orang harus saling

menjaga kebenaran dan kesabaran. Artinya jika kita berbuat benar, jujur, adil, maka orang lain pun

harus demikian. Bukan yang satu antre dan yang lain menyerobot, yang satu jujur dan yang lain mereka

yasa. Kalau yang satu jujur dan adil dan yang bohong dan aniaya, maka hal ini akan menyebabkan

yang jujur dan adil tadi kehilangan kesabaran. Akhirnya, kacau-balau lagi. Karena itu kebenaran

[kejujuran dan keadilan] dan kesabaran saling diwasiatkan.

Imas lebih melibatkan kehidupan pribadi. Tetapi kebenaran dan kesabaran terkait dengan

lingkungannya. Karena itu harus dijaga saling berwasiat untuk hidup benar dan hidup sabar. Dalam

menegakkan kebenaran dan kesabaran, perilaku orang-orang lain di sekitar kita sangat mempengaruhi

upaya kita. Karena itu, penegakan kebenaran dan kesabaran dilakukan secara bersama atau berjamaah.

Coba bayangkan, jika kita ini sungguh-sungguh hidup sabar, disiplin dalam menahan emosi, tetapi

orang-orang di sekeliling kita acuh-tak-acuh, tidak mempedulikan kita, bahkan malah menggoda dan

mengganggu kehidupan kita. Apa jadinya?

Page 46: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

46

“Mahaththu l-khubr”

Di bagian ke-9 telah dijelaskan bahwa sabar berarti memenuhi proses, prosedur dan aturan

main yang benar. Namun, orang tidak akan sabar untuk memenuhi proses, prosedur dan aturan

mainnya bila ia tidak memiliki pengetahuan [yang ditopang peng-alaman] tentang sesuatu yang akan

dikerjakannya. Wilayah atau pos dari rencana atau desain tentang sesuatu ini disebut “mahathth al-

khubr”. Seseorang mampu bersabar dalam sesuatu hal bila dia memahami ‘mahathth al-khubr’-nya.

Misalnya, kita mau menonton musik jazz. Katakanlah pertunjukan musik itu dua jam. Kita tak

akan sabar untuk menonton dan mendengarkan musik itu bila kita tak memahami desain musik itu.

Mungkin sepuluh menit saja akan terasa lama, dan kita ingin meninggalkannya. Pertunjukan sepak bola

tak akan menarik seseorang bila orang itu tidak mengerti desain, bangunan rancangan dari sepak bola

tersebut. Dia pasti tak akan sabar jika disuruh menonton sepak bola. Jadi, kalau kita ingin sabar dalam

berbuat atau bertindak [bekerja, bertugas, menonton, mendengar dll], kita harus memahami mahathth

al-khubr-nya. Sehingga kita bisa mengikuti apa yang sedang terjadi, kita mampu meneruskan pekerjaan

yang kita emban. Nah, karena itu, sebelum kita berbuat, bertindak, mengerjakan sesuatu, maka kita

harus mengerti lebih dahulu ‘layout’, desain, rancangan atau “mahathth al-khubr”-nya sesuatu yang

akan kita lakukan.

Di dalam Surat Al Kahfi/18: 68, Khidir mempertanyakan kesanggupan Nabi Musa dalam

menyertai perjalanan spiritual Khidir.

“Wa kaifa tasbiru ‘ala ma lam tukhith bihi khubra”

“Dan bagaimana engkau mampu bersabar terhadap apa yang tidak engkau ketahui [disertai

pengalaman]?”

Jadi, seorang Rasul Allah pun masih dipertanyakan kesabarannya dalam menuntut suatu ilmu

bila dia tidak memahami layout dan rancangan sesuatu yang dituntutnya.Sifat dari manusia bahwa ia

tak akan sabar terhadap sesuatu yang tidak dimengertinya. Karena itu sebelum memunaikan sesuatu,

kita harus memahami rancang-bangunnya, layoutnya, atau mahath al-khubrinya.

Landasan bagi pertolongan

Dalam hidup ini seringkali terjadi keberadaan kita ini pada situasi yang lemah. Kita dalam

posisi sebagai manusia kalahan. Sebagai manusia yang terekploitasi. Bila kita tidak dapat mengatasi

situasi ini maka hal ini bisa menyebabkan kita ‘stres’. Tak perduli dengan jabatan kita. Kalau tekanan

dari luar diri kita ini lebih kuat daripada energi yang kita punyai, maka kita dalam posisi tertekan. Bila

kita tak mampu menahan tekanan itu, ya timbullah stres.

Jadi, stres itu bisa timbul karena tekanan dari pekerjaan, atasan, tetangga, rumah tangga,

hubungan bisnis, kelompok/golongan lain dan sebagainya. Manusia berusaha menjauhi konflik atau

pertikaian, karena konflik bisa membebani kehidupan. Manusia berusaha hidup damai karena ia tidak

ingin menumpuk permasalahan. Oleh karena manusia itu berhubungan dengan manusia lain, maka

sering permasalahan itu tidak dapat dihindarkan. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, manusia

berhubungan dengan sesamanya. Meskipun kita sudah berusaha menahan diri, mungkin saja orang lain

tetap menekan kita. Kalau kita biarkan tekanan itu, boleh jadi semakin besar tekanannya. Lalu, apa

yang harus diperbuat?

Surat Al Baqarah/2: 150-155 memberikan latar belakang kehidupan bersama, satu kelompok

menekan kelompok lainnya. Karena itu, orang-orang beriman diberi landasan untuk menempuh hidup

ini seperti yang dinyatakan dalam 2:153, “Hai, orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan

dengan cara sabar dan shalat [senantiasa berko-munikasi dengan Tuhan]. Sesungguhnya Allah beserta

orang-orang yang sabar.” Jadi, untuk menangkis tekanan dari luar itu, kita harus membangun

kesabaran. Ingat, sabar tidak berarti tidak acuh terhadap tekanan. Tetapi, kita berusaha introspeksi dan

mawas diri. Kita coba memperhatikan kejadian demi kejadian di sekitar kita. Sehingga akhirnya kita

Page 47: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

47

bisa memahami jaringan rancangan yang terjadi di sekeliling kita. Lalu, kita lewati jaringan itu tanpa

harus terperangkap. Kita berkomunikasi dengan Tuhan. Akhirnya Tuhan sendiri yang mengajar kita,

dan Tuhan sendiri yang memberi petunjuk kita [lihat QS 2:282].

Tak ada Mahaguru ahli di dunia ini kecuali Tuhan. Dan, pengajaran yang tepat hanya dari Dia

sendiri datangnya. Lalu, di mana peran guru-guru atau ulama? Mereka adalah orang-orang yang

membantu kita agar kita bisa memahami dasar-dasar praktik kehidupan. Mereka hanyalah memberikan

arah kemana kita harus melangkah. Dengan sabar, akhirnya Tuhan sendiri yang menggandeng tangan

dan menuntun kita. Dia sendiri yang memberikan jalan sehingga kita tahu kemana kita melanjutkan

perjalanan dalam hidup ini. Inna l-Laha ma-‘a sh-shabirin, Tuhan beserta orang-orang yang sabar.

Sabar adalah landasan bagi pertolongan dari Tuhan!

Orang yang sabar tahan godaan

Gebyarnya dunia ini telah menggoda manusia. Berapa banyak akhirnya manusia yang

terperangkap godaan dalam menempuh perjalanan hidup ini. Jangankan individu, manusia secara

kolektif pun sering tidak mampu menahan godaan. Manusia tidak lagi sabar untuk bisa menikmati

gebyarnya dunia ini. Sehingga banyak manusia yang tidak memperhatikan lagi proses, prosedur dan

aturan main dalam meraih kenikmatan dalam kehidupan ini. Jalan pintas yang membahayakan

hidupnya pun dilaluinya.

Marilah kita menengok perjalanan bangsa Indonesia ini. Mula-mula kita ingin bebas dari

penjajahan. Lalu, kita berusaha mengisi kemerdekaan. Yang pertama kita isi dengan persatuan bangsa

dan yang kedua kita isi dengan pembangunan ekonomi. Kita tidak sabar! Kita ingin cepat-cepat

berhasil dalam pembangunan. Kita lupakan proses, prosedur dan aturan main yang benar untuk meraih

kesuksesan. Kita hutang sebanyak-banyaknya tanpa mengindahkan lagi perangkap hutang. Akhirnya,

hutangnya sundul-langit. Bukan tinggal landas yang kita lalui, tapi ‘tinggal bundas’ [Jawa,ungkapan

untuk menyatakan kepala yang tak rata lagi]. Elite bangsa ini tidak tahan menghadapi godaan dari

negara-negara maju. Umpan yang berupa hutang dilahapnya. Kita tidak mau memahami ‘grand

design’, rancangan raksasa sebuah hutang.

Hutang, pinjaman, bantuan dan pemberian dari negara-negara maju adalah godaan bagi

negara-negara berkembang, atau terbelakang. Memang hutang adalah sarana untuk membangun demi

kemajuan. Tetapi hutang bukan syarat pokok, melainkan syarat untuk melancarkan pembangunan. Ya,

hutang adalah syarat pelancar! Ia hanyalah pelumas bagi sebuah roda. Karena itu, kita tidak boleh

menjadikannya bagian yang terpenting bagi pembangunan bangsa atau rumah tangga. Dengan sabar

seseorang dapat menangkis godaan untuk menikmati sebuah umpan. Untuk masalah ini saya cuplikkan

kisah tentara Thalut dalam perjalanannya untuk bertempur melawan tentara Jalut [QS 2:249].

Maka tatkala Thalut dan orang-orang beriman menyeberangi sungai itu, berkatalah orang-

orang yang telah minum banyak air sungai itu: “Pada hari ini tak ada kemampuan kami untuk melawan

Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka bertemu Allah, berkata: “Berapa

banyak golongan yang sedikit dapat menga-lahkan golongan yang lebih besar dengan izin Allah?” Dan

sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Dalam kisah di atas, Thalut memimpin tentaranya untuk melawan tentara Jalut yang telah

mengusir mereka dari negeri mereka. Dalam pasukan itu ikut serta Daud. Dalam strategi melawan

Jalut, Thalut mengajak pasukannya menyeberangi sebuah sungai. Thalut wanti-wanti agar tidak minum

banyak-banyak air sungai itu, kecuali sesaukan tangan saja [ya, sebagai tamba (semacam obat

penenang) dalam perjalanan]. Bahkan Thalut mengancam tentaranya, yaitu tidak mau mengakui

sebagai golongannya bagi yang banyak minur air sungai itu.

Bagaimana kenyataannya? Banyak tentaranya yang tidak sabar, alias tidak tahan ketika

kerongkongan terasa kering. Thalut mengizinkan minum, tetapi hanya sesaukan saja, tak lebih. Tapi,

sebagian besar tentaranya tergoda untuk minum banyak-banyak. Hormon serotonin dan

noradrenalinnya bertambah. Sehingga rasa puas menyelimuti seluruh tubuhnya. Ada rasa nikmat! Nah,

Page 48: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

48

tentara [apalagi orang biasa] yang telah merasa nikmat ini merasa tak sanggup lagi melawan tentara

Jalut. Mereka merasa takut untuk melawan tentara Jalut yang lebih besar itu. Tentara Thalut keder!

Tetapi, sebagian kecil tentara Thalut yang patuh [termasuk Daud] tetap bersemangat dalam

menghadapi Jalut. Produksi hormon androgennya yang meningkat. Sehingga agresivitasnya meningkat.

Karena tidak minum banyak, kecuali sesaukan yang hanya sebagai faktor sugesti, maka hormon

adrenalin dan noradrenalinnya tidak ber-tambah, sehingga detak jantung pun tidak meningkat. Ya,

mereka tenang menghadapi tentara Jalut. Mereka berkeyakinan [mensugesti diri] bahwa sering tentara

yang sedikit mampu mengalahkan tentara yang banyak. Karena tidak merasa tergoda terhadap ke-

nyamanan sementara itu, tentara-tentara Thalut tenang dalam bertaktik melawan Jalut. Bahkan Daud

dengan katapelnya mampu membunuh Jalut. Nah, sikap tenang dan mampu menahan godaan

sementara, adalah wujud sikap sabar.

Page 49: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

49

Bagian ke-11

Kesabaran adalah landasan hidup yang kondusif bagi tumbuhnya sifat adil, kasih-sayang,

lembut. Kesabaran adalah wahana yang baik untuk membangkitkan kecerdasan. Kesabaran juga

merupakan sarana untuk meminta pertolongan, atau cara untuk menolong diri-sendiri [self assistance].

Dan ia juga merupakan benteng yang tangguh untuk menahan berbagai macam godaan yang bisa

merontokkan diri.

Dalam hidup ini kita melihat orang yang lemah semangat. Orang yang lemah semangat adalah

orang yang lemah daya juangnya. Orang itu tak mau lagi melanjutkan usahanya. Dia merasa tak akan

bisa mendapatkan yang diinginkannya. Kadang kita juga mengetahui orang yang berlemah hati, mudah

menyerah dalam menghadapi tantangan dalam hidup ini. Orang yang lemah hati tidak tabah dalam

menghadapi tekanan hidup. Lemah semangat tidak ada hubungannya dengan lemah hati. Tetapi,

keduanya bisa menyatu pada diri seseorang. Nah, sabar adalah oposisi dari kedua sifat tersebut.

Jadi, orang yang memiliki kesabaran yang tinggi, adalah orang yang tidak lemah semangat

dan tidak pula berlemah hati. Dengan kata lain, orang yang sabar adalah orang optimistik. Dia yakin

apa yang sudah direncanakannya dengan matang itu akan diperoleh hasilnya. Orang yang sabar adalah

orang yang telah menyiapkan pekerjaannya dengan baik. Prinsip manajemen, seperti perencanaan,

pengorganisasian, aksi dan pengendalian dilakukan dengan baik. Tak ada alasan untuk lemah hati

maupun lemah semangat. Usaha lahiriah ditopangnya dengan doa: Ya Tuhan, teguhkan hati kami dan

jadikan kami sabar dalam menghadapinya.

Ya, tapi itu kan mudah diomongkan! Lha, kenyataannya kan sulit dilakukan. Mari kita lihat

lagi landasan untuk sampai di stasiun sabar. Bukankah kita telah melewati stasiun takwa dasar

[berupaya meninggalkan perilaku hidup yang tak benar], stasiun tobat [kembali ke hal-hal yang benar],

dan wara’ [sengaja memilih sesuatu yang benar]. Pada stasiun yang pertama itu, kita sudah berusaha

meninggalkan hal-hal yang tak benar. Umumnya kita bisa lulus distasiun ini. Wujudnya, ya, kita

mencari nafkah secara halal ini. Mungkin saja ada kesalahan dan keburukan yang kita lakukan, tapi itu

bukan merupakan ‘cap’ bagi kehidupan kita umumnya! Pada umumnya, manusia itu berusaha menjaga

keselamatan hidupnya. Mereka berada di landasan ketakwaan! Kemudian, sebagian dari manusia di

stasiun pertama ini melanjutkan perjalanannya ke stasiun tobat. Satu langkah lebih jauh.

Pada stasiun tobat, orang-orang berusaha hidup amar ma‘ruf nahi munkar. Hidup untuk

memenuhi apa-apa yang dipandang baik di lingkungan hidupnya. Hidup menahan diri dari segala

perbuatan yang ditolak masyarakat. Pada tahap ini subjektivitas masih ikut berperanan. Artinya,

kemakrufan itu masih dipengaruhi oleh golongan atau kelompoknya. Di tahap ini kita belum mampu

membebaskan diri dari tekanan atau belenggu kelompok. Nurani kita mengatakan bahwa ini sebetulnya

tidak benar, tetapi kita tidak mampu keluar dari jeratnya. Kita mengetahui bahwa kolusi itu mungkar,

tapi kita tidak mampu membebaskannya. Kita memang kembali ke jalan yang benar. Tetapi, kotoran

masih juga tersangkut. Dalam bahasa syariat mereka sudah tidak mau berbuat kesalahan yang sama,

tapi mungkin berbuat kesalahan yang lain. Yang ini sudah mampu dihindari, tapi yang itu masih berat.

Inilah stasiun tobat!

Sebagian orang yang ada distasiun tobat ini melanjutkan perjalanannya ke stasiun wara’. Di

stasiun ini orang-orang betul-betul memilih sesuatu yang benar saja. Mereka melihat mana warna yang

hitam, putih dan yang abu-abu. Mereka lalui yang warnanya putih saja. Yang hitam jelas

ditinggalkan. Bahkan yang abu-abu pun ditinggalkannya. Memang berat perjalanan di tahap ini! Ini

tidak berarti orang yang sudah berada pada maqam wara’ ini tidak punya kesalahan. Ya, kesalahan

mungkin tetap terjadi, tetapi itu bukan karena pilihannya. Ia terpeleset!

Nah, ketika orang sudah bisa memasuki stasiun sabar, maka ia berusaha meraih sifat-sifat

yang terpuji. Di dalam batinnya tumbuh rasa keadilan, senantiasa ingin ‘fair’. Ia tak ingin mendominasi

kehidupan orang lain. Ia berbagi kasih. Ia berusaha lembut dalam pergaulan. Jika dalam tangga

sebelumnya orang bergulat dengan sikap untung-rugi, maka dalam tangga sabar ia harus optimis

untung. Ia yakin dapat keberuntungan bila ia mampu menahan godaan. Ia yakin dapat meraih

Page 50: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

50

keberuntungan [bukan keun-tungan lho!], bila semuanya dipersiapkan dengan matang. Ia jalani proses,

prosedur, dan aturan-aturannya dengan benar. Karena memahami proses, prosedur dan aturan-atauran

yang ada itu ia tak mengalami lemah semangat atau lemah hati. Kalau gagal, tidak berarti tamat

perjuangannya. Sikap optimistik adalah bagian dari hidupnya.

Siapakah mereka yang tidak patah semangat, tidak lemah hati dan tidak berbudi rendah itu?

Kalau zaman dulu, mereka itu adalah orang-orang yang memahami ketuhan-an dan menyertai para nabi

dalam perjuangannya.

3:146 Dan berapa banyak nabi yang bertempur, yang disertai banyak ‘ribbi’. Mereka tak berlemah hati

terhadap apa yang mereka di jalan Allah, dan mereka pun tak lemah semangat mereka, dan tidak pula

rendah budinya. Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.

Jika kita mau membaca satu ayat sebelumnya, di situ kita membaca pernyataan Tuhan. Di situ

dinyatakan, “Dan sesuatu yang berjiwa tak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan

yang telah ditentukan. Dan barangsiapa menghendaki ganjaran dunia, Kami memberikan kepadanya,

dan yang menghendaki ganjaran akhirat niscaya Kami berikan kepadanya. Dan Kami akan mengganjar

mereka yang bersyukur.” Untuk menopang keteguhan hati kita, agar kita dapat bersabar, kita harus

meyakini bahwa semua yang bernyawa pasti mati. Semua yang bernyawa pasti mati! Ini landasan kita.

Kita resapkan dulu ke dalam batin kita.

Ternyata, makhluk yang bernafas itu mati dengan izin Tuhan. Masih ingat kan arti kata “izin

Tuhan”. Kata ini tidak bermakna seperti ‘kita mengizinkan’. Kata izin yang kita pergunakan

sebenarnya mengandung ‘sikap otoriter kita’ kepada yang kita izini. Izin Tuhan tidak bermakna

demikian. Dalam izin Tuhan terkandung “kitaban mu-ajjala” yaitu hukum alam yang telah ditetapkan-

Nya. Suatu hukum yang objektif dan rasional. Jadi, bila ada orang yang ditusuk pisau [dan energi yang

disertakan pada pisau tusuk itu lebih besar daripada orang yang ditusuk] maka tertusuklah orang itu.

Lho, kita kan menyaksikan di tv bahwa ada orang ditusuk pisau tidak mempan! Tidak mempan karena

energi pada pisau itu lebih sedikit daripada yang ditusuk. Dalam aras objektif, semua itu hanya

permainan energi. Tak perlu heran!

Ayat 145 ini perlu diingat-ingat. Yang pertama, Allah menggantikan kata buat diri-Nya

dengan ‘Kami’. Sebagaimana yang telah saya jelaskan, kata ‘Kami’ berarti Allah melibatkan atau

menyertakan ciptaan-Nya untuk terwujudnya suatu kejadian. Karena itu, dalam menempuh kehidupan

ini kita juga harus memperhatikan kehadiran objek-objek di sekitar kita. Karena objek-objek itu bisa

menjadi sarana atau wahana bagi kita dalam merealisasikan tujuan kita. Dan apa gongnya ayat

tersebut? Gongnya adalah “barangsiapa menghendaki ganjaran [dunia atau akhirat], Kami berikan

kepada dia yang menghendaki.” Tegas sekali bahwa Tuhan tidak berbuat sewenang-wenang. Setiap

kali ada ayat “Tuhan menghendaki”, artinya kehendak-Nya itu diberikan kepada orang yang

menghendaki. Karena itu, penutup ayat 145 adalah “Kami mengganjar orang-orang yang bersyukur”,

yaitu orang yang telah memberikan nilai tambah.

Dengan memperhatikan ayat 3:145 tersebut, kita mengetahui bahwa kesabaran itu merupakan

usaha. Kesabaran bukan semata-mata diberikan sebagai takdir, taken for granted. Ada sejumlah energi

yang didepositokan untuk mewujudkan kesabaran. Dan berikutnya orang yang telah mendepositokan

energinya untuk kesabaran itu memperoleh pokok dan interesnya. Kloplah pemahaman “Allah beserta

orang-orang yang sabar”. Inilah hukum Ilahi yang digelar di alam ini.

Pada ayat 146 disebutkan bahwa banyak nabi yang bertempur yang disertai para “ribbi”. Kata

‘ribbi’ ini biasa diterjemahkan dengan ‘orang-orang yang menyembah Tuhan’. Tentu saja terjemahan

demikian ini lemah. Terjemahan ini dapat diartikan, orang-orang yang bertempur melawan para nabi

bukanlah orang yang menyembah Tuhan. Orang-orang yang bersama nabi pasti orang yang

menyembah Tuhan. Nyatanya tidak demikian! Di era Nabi Saw, orang-orang kafir yang mengikat

perjanjian damai bersama Nabi, bertempur bersama Nabi. Dan, sekarang ini pun bisa kita saksikan

bahwa sangat banyak manusia penyembah Tuhan yang lemah hatinya. Jangankan untuk bertempur

Page 51: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

51

melawan musuh fisiknya, untuk menghadapi tekanan hidupnya sendiri saja tidak berdaya, sehingga

hidup terombang-ambing.

Lalu, apa arti kata ribbi? Ribbi adalah mereka yang memahami makna ketuhanan. Atau, ribbi

adalah manusia yang saleh [tindakannya bermanfaat/berguna bagi diri dan lingkungannya]. Orang-

orang demikianlah yang menyertai para nabi dalam pertempuran di zamanya. Karena mereka faham

betul asas manfaat yang mereka lakukan, maka mereka itu tak gentar, tak lemah hati, tak lemah

semangat dalam menghadapi pertem-puran. Para ribbi ini pun tidak berbudi rendah [lari dari

pertempuran].

Para ribbi inilah yang di ayat 3:146 itu dinamakan orang-orang yang sabar. Bukan semua

pengikut nabi yang menyertai dalam pertempuran disebut ribbi. Tetapi para nabi dalam pertempuran

disertai banyak ribbi. Orang-orang ini tak gentar, tidak lemah hati, dan tidak pengecut dalam

pertempuran. Sifat yang dimiliki para ribbi ini adalah sifat orang-orang yang sabar. Dan ayat ini turun

setelah perang Uhud, di mana pada waktu itu pasukan Nabi mengalami kekalahan karena ada

kelompok pasukan yang terpancing harta rampasan perang. Jadi, ayat ini memperkokoh perjuangan

para ribbi pada perang-perang yang terjadi sesudahnya.

Bila kita perhatikan ayat 3:148, maka orang-orang yang sabar ini juga disebut sebagai orang-

orang yang berbuat kebajikan [muhsinin]. Dan di ayat ini dinyatakan bahwa Tuhan mencintai orang-

orang muhsin ini. Dan, muhsin berasal dari kata yang sama dengan ‘ihsan’. Maka orang-orang muhsin

adalah orang-orang yang senantiasa sadar terhadap dirinya, yang dalam bahasa hadis, adalah orang

yang beribadah dan merasa ibadahnya itu senantiasa dalam pengawasan Tuhan. Jika ditarik suatu garis

dari ayat 145 hingga 148, dapat disimpulkan bahwa orang yang sabar adalah orang yang bersyukur, dan

karena itu dia juga disebut orang yang berbuat kebajikan. Jadi, jelas bahwa orang yang sabar bukan

orang yang pasif. Bukan orang yang sekadar menerima suatu tekanan atau ketidakberdayaan.

Seperti yang telah dijelaskan, bersyukur tidak berarti mengucapkan ‘terima kasih’ kepada

Tuhan. Bersyukur merupakan suatu aktivitas kebajikan. Orang yang bersyukur adalah orang yang

menciptakan nilai tambah dalam kehidupan di bumi ini. Apa yang dimaksud dengan nilai tambah

[added value]? Bertambahnya kegunaan atas sesuatu! Bila semula besi hanya digunakan sebagai alat

semacam pisau, linggis, dan cangkul, maka nilainya akan bertambah bila besi itu dijadikan seterika

listrik, kerangka mobil dan sejenisnya. Nah, sebenarnya mereka yang menemukan mesin, motor, mobil,

pesawat udara, komputer adalah orang-orang yang bersyukur. Dan penemuan itu terjadi berkat

kesabaran mereka. Maka, marilah kita ingat QS 14:7, “La-in syakartum la-azidan nakum, wa la-in

kafartum inna ‘adzabi lasyadid”, jika kamu bersyukur pasti Kami tambah kamu tetapi bila kamu kufur

[menutupi kebenaran] maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih.Dengan membuat kipas-angin kita

merasakan kenyamanannya, dan bila kita membuat AC maka lebih nyaman lagi. Tetapi bila kita tidak

kreatif, tidak mau menciptakan kipas-angin atau AC, maka sungguh gerah rasanya. Menciptakan AC

hanyalah salah satu bentuk syukur.

Bersabar = patuh kepada Allah dan Rasul + tidak bertikai

Pada Surat Al Anfal/8:46 ditegaskan bahwa orang yang sabar adalah orang yang patuh kepada

Allah dan Rasul, dan tidak bertikai dengan teman seiring. Patuh kepada Allah dan rasul hendaknya

tidak diturunkan ‘grade’-nya menjadi mematuhi Al Quran dan Hadis. Ingat Allah bukanlah Al Quran,

begitu pula sebaliknya. Allah adalah Tuhan pencipta alam semesta. Sedangkan Al Quran adalah salah

satu Kitab Suci-Nya. Patuh kepada Allah adalah mematuhi Al Haqq, Kebenaran. Kebenaran yang bisa

kita saksikan di ufuk langit, di bumi, di kitab suci, dan pada diri kita sendiri.

Kebenaran di ufuk langit atau di angkasa adalah kejadian awan, angin, hujan, kilat, petir,

cahaya, dan purnama. Kita patuhi hukum-hukum-Nya sehingga kita selalu dalam lindungan-Nya.

Begitu pula hukum-hukum yang ada di bumi dan diri kita. Segala hukum adalah kepunyaan-Nya.

Karena itu mematuhi-Nya berarti mengikuti hukum-hukum-Nya [His Law] yang ditetapkan di alam

raya ini. Allah jangan dijadikan sesembahan yang abstrak. Kalau Allah kita abstrakkan maka itu Allah

Page 52: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

52

produk pikiran kita sendiri. Allah Maha Halus [wa huwa lathif], maka kita dekati dengan kelembutan,

yaitu perilaku yang lembut, penuh kasih. Dan kita latih batin kita dengan zikir kepada-Nya. Sekarang

ini sebagian besar orang-orang Islam mematuhi Allah hanya dengan sekadar mematuhi teks halal dan

haram, dan itu yang didiskripsikan 1000 tahun yang lalu. Sehingga ‘narkoba’ yang sebenarnya lebih

haram dari sekadar kecampuran daging babi atau minuman beralkohol, tumbuh merajalela di banyak

negeri yang penduduknya mayoritas Islam. Hal ini terjadi karena mematuhi Tuhan hanya diwujudkan

dengan ibadah mahdhah [ritual] dan mengikuti teks-teks halal haram.

Dalam mematuhi Rasul pun menjadi abstrak. Secara fisikal Rasul sudah tidak hadir di tengah-

tengah umat manusia sekarang ini [tentu saja semenjak th 632 M]. Mematuhi Rasul tidak berarti

mematuhi Hadis. Kalau mematuhi beliau berarti mematuhi Hadis, lha bagaimana dengan generasi

sebelum Hadis ditulis! Bukhari saja baru dilahirkan pada 196 H, artinya dia baru hadir di bumi ini

setelah 186 tahun [seratus delapan puluh enam tahun] sepeninggal Rasul Saw. Lalu buat apa Hadis?

Tentu saja digunakan sebagai alat atau referensi untuk memahami Al Quran.

Lalu bagaimana caranya mematuhi Rasul itu? Ingat, mematuhi tidak sama dengan ‘meniru’.

Mematuhi beliau tidak sama dengan meniru bentuk lahiriah beliau, seperti anak-anak meniru perilaku

orang dewasa. Peniruan demikian adalah peniruan kuantitatif yaitu berapa banyak bentuk lahiriah yang

kita tiru. Jika demikian, rendah betul kualitas umat. Perilaku anak kecil dan orang dewasa tidak ada

bedanya, asal sudah bersorban, bergamis, berjanggut, rambut dibiarkan sampai bahu, makan selalu

bersama-sama dalam satu tampah dan hanya pakai jari [bagaimana kalau makan bubur ya?] dan lain

sebagainya. Mematuhi atau mengikuti Rasul adalah meneladani beliau. Kita teladani, bagaimana beliau

bisa bersabar menghadapi tekanan lawan, bagaimana beliau mampu menegakkan keadilan, bagaimana

cara beliau memecahkan suatu persoalan, bagaimana beliau bersifat lembut tapi tegas, bagaimana

beliau bisa ramah tapi tak dilecehkan, bagaimana beliau menegakkan hukum dan lain-lain. Bagaimana

bisa meneladani beliau? Tentu saja dengan pendidikan yang baik, dengan meningkatkan kecerdasan

[IQ, EQ dan SQ], dan dengan pematangan diri.

Dalam subtopik ini dinyatakan bahwa sabar merupakan gabungan kepatuhan kepada Allah

dan Rasul, dan tidak bertikai. Tidak bertikai, tidak berebut kewenangan, tidak berebut kekuasaan, tidak

mau menang-menangan adalah cara untuk membangun kesabaran. Pernyataan patuh kepada Allah dan

Rasul belum cukup, bila kita masih bertikai. Pertikaian akan memporak-porandakan keutuhan kita.

Akhirnya kita menjadi gentar dalam menghadapi tekanan hidup, dan lemah posisi kita. Di bawah ini

saya kutipkan sebuah ayat QS 8:46. Ayat ini ada di dalam Surat Al Anfal, surat yang membahas

rampasan perang. Sebagian ayat diturunkan setelah perang Badar, dan yang lain setelah perang Uhud

[terjadi 1 tahun kemudian dari perang Badar].

8:46 Wa athi-‘u l-laha wa rasulahu wa la tanaza-‘u fatafsyalu wa tadz-haba rihukum washbiru inna l-

laha ma-‘a sh-shabirin.

Dan, patuhilah Allah dan Rasul-Nya dan jangan berselisih [bertikai] agar kamu tidak lemah

dan hilang kekuatanmu. Bersabarlah! Sesungguhnya Tuhan menyertai orang-orang yang sabar.

Di dalam Al Quran perintah bersabar itu selalu didahului dengan kalimat berita atau perintah.

Dengan demikian kita bisa memahami apa yang dimaksud dengan sabar. Misalnya, pada QS 3:146

pernyataan sabar didahului kalimat berita ‘mereka tak gentar, tak lemah semangat, tak berbudi rendah.

Sedangkan pada ayat barusan, pernyataan sabar didahului kalimat perintah ‘taat kepada Allah dan

Rasul, dan larangan berselisih’. Jelas, bahwa sabar adalah aksi, bersifat aktif. Sabar bukan pasifis atau

bersifat pasif. Sabar adalah usaha, ada pengerahan tenaga. Sabar bukan diam, membiarkan sesuatu

menimpa pada dirinya. Sabar bukan kalah, tetapi menang!

Page 53: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

53

Allah itu Maha Sabar!

Sebagai penutup bahasan ‘sabar’ [yang akan datang tentang zuhud], saya ambilkan asma-ul

husna yang ke-99, yaitu “ash-shabur”. Ya, Allah itu Maha Sabar! Meskipun Dia itu Maha Kuasa, tetapi

untuk menciptakan bumi yang bisa kita tempati ini perlu waktu 4,5 milyar tahun. Ternyata penciptaan

itu bukan bersifat “sim-salabim”. Tuhan sabar dalam menciptakan. Tuhan penuhi hukum-hukum

ciptaan. Tuhan menciptakan semua ini berlandaskan 5 prinsip [yang Dia tetapkan], yaitu matematika,

fisika, kimia, biologi, dan evolusi.

Dalam bahasa Al Quran dinyatakan “al-ladzi khalaqa fasawwa wa l-ladzi qaddara fahada wa l-

ladzi akhraja l-mar’a faja-‘alahu ghutsa-an ahwa.” Dia yang menciptakan dan menyempurnakan [lahir

sebagai orok dan tumbuh dan berkembang hingga dewasa], Dia menetapkan kadar [potensi, ukuran,

dan hukum-hukum fisika dan kimia] pada ciptaan-Nya. Dia memberi petunjuk kepada ciptaan-Nya

yang biologis [sehingga makhluk biologis bisa mempertahankan kehidupannya]. Lalu, Dia putuskan

ikatan-ikatan kimia yang ada sehingga makhluk hidup menjadi layu [tua renta] dan akhirnya punah

[ghutsa-an ahwa]. Dan dalam proses penciptaan di Surat ke-87, yaitu ayat 2 ?5 itu, tumbuhlah dari

masyarakat primitif menuju masyarakat madani. Berlaku hukum evolusi di situ. Dari manusia yang

politeis menjadi manusia yang monoteis. Demikianlah hukum evolusi bekerja.

Jadi, pada akhirnya, orang yang sabar adalah orang yang bekerja berdasarkan prinsip-prinsip

yang telah ditetapkan Tuhan. Demikian, pembahasan bab sabar yang telah saya uraikan dari bab ke-8

kajian tasawuf ini.

Page 54: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

54

Bagian ke-12

[Zuhud]

Kata zuhud seolah sudah berkonotasi hidup anti-dunia. Hal ini terjadi karena pada masa

penjajahan atau pergolakan, banyak ulama yang mengasingkan diri di daerah terpencil. Ulama-ulama

ini hidup dengan para muridnya atau santrinya di daerah yang terpencil yang tidak terjangkau penjajah

atau terimbas pergolakan. Mereka memang menarik diri dari kehidupan semacam itu.

Zuhud berasal dari kata ‘za-ha-da’, artinya berpantang, meninggalkan, melepas-kan, menarik

diri dari, atau meninggalkan kesenangan duniawi. Karena itu zuhud juga diterjemahkan sebagai

‘asketik’. Kata yang seakar kata dengan ‘zuhud’ ditemukan pada Surat Yusuf/12:20. Pada ayat ini

disebutkan bahwa rombongan kafilah menjual Yusuf [sebagai budak] dengan harga yang murah.

Kafilah itu dikatakan sebagai ‘zahidin’, yaitu orang-orang yang tidak tertarik kepada Yusuf. Karena

tidak tertarik, maka Yusuf dijual murah. Jadi, zuhud adalah sikap tidak tertarik pada kehidupan dunia.

Zuhud adalah sebuah maqam, terminal, stasiun atau posisi dalam tasawuf. Dari uraian di atas,

jelas bahwa zuhud bukan anti dunia. Zuhud juga bukan menarik diri dari kehidupan dunia. Juga tidak

berarti meninggalkan kesenangan duniawi. Seorang zahid, tetap membina rumah tangga. Orang yang

zuhud juga bekerja keras! Hanya saja dunia ini tidak menarik, baginya. Lho, ada apa sampai tidak

tertarik pada dunia? Karena mereka tahu akan hakikat dunia ini. Mereka menyadari apa sih makna

dunia dalam hidup ini. Mereka tetap mengelola dunia ini sebaik-baiknya, karena manusia yang hidup

ini adalah bagian dari dunia. Tetapi orang yang zuhud tidak dikendalikan oleh dunia. Justru dunia ini

dikendalikan oleh orang zuhud.

Kalau kita ingin tahu siapa tokoh zuhud di dunia ini, ya Nabi Muhammad Saw. Beliau bukan

hanya mengajarkan agama tetapi juga menegakkan kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara

dengan gigih. Beliau tegakkan sistem perekonomian yang adil. Sasarannya adalah “baldatun

thayyibatun wa rabbun ghafur”, suatu negara yang penuh kebajikan dan Tuhan melindunginya (QS

34:15). Umumnya ayat tersebut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, “negeri yang baik dan Tuhan

Maha Pengampun”. Sebenarnya suatu terjemahan yang kurang sambung. Karena kalimat yang depan

menunjukkan keadaan negara sedang kalimat sambungannya merupakan sifat Tuhan. Hal ini

disebabkan penterjemah kaku dengan arti kata “ghafur”, yang selama ini diartikan pengampun. Padahal

kalau mau mengembalikan kata tersebut kepada bentuk akarnya ‘gha-fa-ra’, maka salah satu artinya

adalah melindungi.

Ayat tersebut ada di Surat Saba’, yang menceritakan kemakmuran kaum Saba’. Rezeki di

negara tersebut berlimpah. Alam negeri itu dimanajemeni dengan baik, yang disebut negeri penuh

kebajikan. Karena itu Tuhan memberikan perlindungan terhadap negeri yang penuh kebajikan. Namun,

generasi berikutnya tidak melaksanakan manajemen dengan benar, sehingga malapetaka menimpa

Saba’. Kisah ini diwahyukan kepada Nabi, agar beliau mengambil keteladanan kisah tersebut. Artinya.

Jika ingin mempunyai negeri yang penuh kebajikan, maka keamanan dan kedamaian [bukan ‘pen-

dekatan keamanan’, atau ‘security approach’ lho] harus menjadi prioritasnya. Karena itu, peperangan

yang dilakukan oleh Nabi di Madinah, sasarannya adalah mempertahan-kan persatuan dan perdamaian

yang telah digalang pada awal hijrah.

Dengan demikian keterlibatan orang yang zuhud terhadap kehidupan dunia ini sangat tinggi.

Tetapi orang yang zuhud tidak terpengaruh atau tidak tertarik oleh kenikmatan dunia. Dia tidak

dikendalikan oleh dunia, bahkan dunia dikendalikan untuk menjadi pelayannya. Bukan cuma Nabi

yang menjalani hidup zuhud, para sahabat besar juga mencontoh Nabi untuk menjalani kehidupan

zuhud. Abu Bakar ketika di Mekah adalah orang yang sangat kaya. Demi penegakan kehidupan yang

damai, Islam, beliau membebaskan perbudakan [yang terkenal adalah peristiwa pembebasan Bilal].

Ketika hijrah ke Madinah, beliau tinggalkan kekayaan yang berupa harta-benda. Umar pun orang yang

kaya. Bahkan ketika menjadi khalifah pun beliau cukup berteduh di dalam rumah gubuk sebagai

istananya.

Page 55: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

55

Tentu saja kehidupan zuhud tidak hanya dilakukan beberapa sahabat. Sebagian besar sahabat

menjalani kezuhudan. Mereka mendalami makna kehidupan dunia. Dunia bukan untuk dimiliki tetapi

digunakan sebagai sarana untuk melayani. Itulah yang sebenarnya diajarkan Rasul melalui Al

Qurannya. Ada 9 kata ‘sakhkhara lakum’ dalam Al Quran. Kata ini biasa diterjemahkan “Allah

menundukkan bagimu [matahari, bumi, bulan dsb]”. Sepintas terjemahan ini tidak tampak salah. Tetapi

kalau kita memahami penciptaan manusia itu relatif yang terakhir kehadirannya dari semua ciptaan.

Bagaimana mungkin matahari ditundukkan bagi manusia. Lha wong ketika matahari diciptakan itu

makhluk hidup di bumi belum diciptakan, apalagi manusia.

Salah satu arti dari ‘sakhkhara’ memang menundukkan atau menaklukkan. Tetapi, kata

‘sakhkhara’ juga punya arti ‘menjadikan dapat melayani’. Jadi, bumi, langit dan seisinya ini diciptakan

Tuhan untuk dapat melayani/memenuhi keperluan dan keinginan manusia. Dalam bahasa bebasnya,

semua ini diciptakan untuk menjadi prasarana dan sarana bagi kehidupan manusia. Di bawah ini saya

ambilkan ayat di Surat Ibrahim yang mengandung kata ‘sakhkhara’.

14:32 Allahu l-ladzi khalaqa s-samawati wa l-ardha wa anzala mina sama-i ma-an fa akhraja bihi mina

ts-tsamarati rizqan lakum wa sakhkhara lakumu l-fulka li tajriya fi l-bahri bi amrihi wa sakhkhara

lakumu l-anhar.

14:33 Wa sakhkhara lakumu sy-syamsya wa l-qamara da-ibaini wa sakhkhara lakumu l-laila wa n-

nahar.

14:32 Allah yang menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu

ditumbuhkan pohon buah-buahan sebagai rezeki bagi kamu. Dan Dia menjadikan kapal sebagai

wahana bagimu

di laut berdasarkan amar [ketetapan]-Nya. Dia juga menjadikan sungai-sungai itu sebagai pra-sarana

dan sarana bagimu.

14:33 Dan Dia menjadikan matahari dan bulan yang terus-menerus beredar, dan siang dan malam,

untuk menjadi prasarana dan sarana bagimu.

Jadi, sebagian besar sahabat Nabi memahami apa arti dunia seisinya ini. Semua ini adalah

prasarana dan sarana untuk memenuhi keperluan hidup manusia. Semua ini diperlukan manusia untuk

melanjutkan perjalanan hidupnya. Kemana? Kembali kepada Tuhan, wa ilaihi raji-un. Yaitu, kembali

ke orde atau tatanan hidup yang benar yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Hidup seperti apa itu? Ya,

hidup yang saling mengasihi, saling menyayangi, saling menolong, saling melayani dalam situasi

penuh kedamaian. Ya, Allah adalah As-Salam, Allahumma antas-salam, ya.. Allah sejatinya Engkaulah

Kedamaian itu.

Selain dunia ini sebagai prasarana dan sarana bagi manusia untuk melanjutkan perjalanan

hidupnya, sifat dunia ini sementara. Nah, agar kita tidak terbelenggu oleh dunia, maka kita harus betul-

betul menyadari kesementaraan dunia. Orang Barat maju karena tokoh-tokohnya [ilmuwan, politikus,

pengusaha, dan elite bangsa] menghayati kesementaraan dunia ini. Lho, apa tidak terbalik? Tentu saja

tidak! Justru orang-orang yang memperebutkan harta-benda dan kekuasaan itu terbelenggu oleh bawah

sadarnya, bahwa dunia ini kenyataan satu-satunya. Mereka merasa bahwa hanya dunia [tegasnya bumi]

ini realitas itu. Kalau mereka itu ditanya, apakah dunia ini akan berakhir dan ada realitas lain yang

disebut akhirat? Dengan segera mereka menjawab, pasti! Ini bukan karena mereka sadar, tetapi

ungkapan bawah-sadar mereka.

Keadilan dan kejujuran di suatu negara bisa ditegakkan bila para tokohnya amat menyadari

kesementaraan dunia ini. Mengapa cukup para tokohnya saja? Karena umat manusia itu pada umumnya

bersifat “silent majority”, mayoritas diam. Mereka ini hanya berjalan mengikuti tatanan yang ada, tidak

peduli apakah tatanan itu baik atau buruk. Bila dalam tatanan yang ada itu korupsi merajalela, maka

mereka pun menerima kehidupan korupsi. Meskipun mereka tidak terlibat dalam korupsi. Meskipun

mereka mengumpat atau mencela kehidupan korupsi. Tapi mereka secara tak berdaya menerima

Page 56: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

56

kehidupan korupsi. Mereka tak ingin campur tangan terhadap sesuatu yang mungkin malah

memperparah kehidupannya.

Apakah perlu banyak tokoh untuk menggerakkan kehidupan yang adil dan jujur itu? Tidak

perlu! Yang penting muncul orang yang mempunyai kekuatan untuk menggerakkan roda keadilan dan

kejujuran itu. Muncul orang yang mampu menggerak-kan roda kedamaian. Islam pun mula-mula

muncul dari seorang Muhammad. Indonesia merdeka pun mula-mula digerakkan oleh seorang

Soekarno. India pun merdeka dari seorang Gandhi. RRC muncul dari seorang Mao Tse Tung. Memang

nanti dalam perjalanannya harus didukung banyak tokoh.

Di atas disebutkan bahwa Barat maju karena kezuhudan tokoh-tokohnya. Zuhud macam apa

yang mereka lakukan? Pernahkan Anda mendengar bagaimana para ilmuwan itu menghadapi siksaan

para penguasa! Bagaimana Nietzsche memberontak kemapanan dunia korup dan eksploitasi manusia di

Eropa pada abad XIX. Padahal kalau mau hidup enak, Nietzsche tidak perlu melawan kemapanan. Pada

waktu itu, sarjana bisa memperoleh gaji yang besar.

Soekarno pun setelah lulus dari ITB 1926 sebagai seorang insinyur, dengan mudah dapat

mencari pekerjaan yang berpenghasilan sangat besar. Hatta yang lulus dan sebagai sarjana ekonomi

tamatan Belanda [kuliah di Belanda], bisa bekerja di dunia internasional yang memberikan imbalan

berlimpah. Tetapi mereka rela meninggalkan statusnya. Demi Indonesia merdeka, mereka rela

dipenjara Belanda. Memang dalam perjalanannya seorang zahid bisa kandas bila lingkungan tidak

berubah. Dengan kata lain, tidak banyak tokoh yang muncul untuk mendukungnya. Bahkan yang

muncul itu di sekitar tokoh itu adalah orang-orang yang ‘vested interest’, yang meiliki cita-cita untuk

kepentingannya sendiri atau golongannya.

Kita lihat perjalanan Indonesia. Di dalam negeri, sebelum Indonesia merdeka, baik ketika

menjadi mahasiswa maupun ketika sudah lulus, Soekarno konsisten untuk memperjuangkan Indonesia

merdeka. Sebagai proklamator, tentu beliau mempunyai visi bagi Indonesia di masa depan. Wujud dari

visi itu adalah ‘Pancasila’ yang sekaligus digunakan sebagai landasan hidup bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara Indonesia. Tetapi nyatanya, setelah Indonesia dinyatakan merdeka, beberapa tokoh

muncul dan mendekati beliau [dan Hatta]. Bukan untuk mendukung perjuangan beliau berdua, tetapi

untuk membisikkan kepentingan sendiri. Beberapa tokoh Islam, malah menginginkan Indonesia yang

berdasar Islam. Yang komunis ingin negara yang berhaluan komunisme. Yang nasionalis ingin negara

berdasarkan nasionalisme. Jadi, visi negara Indonesia yang adil dan makmur berlandaskan Pancasila

dikaburkan dikuburkan.

Tokoh-tokoh yang muncul di sekeliling Soekarno-Hatta bukanlah para zahidin. Mereka adalah

orang-orang yang mementingkan golongannya sendiri. Mereka yang mengaku Islam bukan orang-

orang yang memahami Islam dengan benar. Tetapi orang-orang yang mementingkan kekuasaan atas

nama Islam. Mereka tidak menginginkan negara Pancasila yang islami. Kekuasaan, dan bukan

kedamaian, yang diutamakan! Keuasaan, dan bukan keadilan dan kejujuran, yang

diprioritaskan. Kekuasaan itu amat sangat duniawi, karena itu bukan ajaran zuhud, bukan ajaran Islam.

Ingat, Nabi mengajarkan agama [nama agama Islam muncul di kemudian hari], untuk

menegakkan moralitas manusia. Innama bu-‘itstu liutammima makarima l-akhlaq, saya dibangkitkan

untuk menegakkan budipekerti yang mulia. Nabi diutus untuk membawa manusia ke dalam kehidupan

yamg damai, jalan Tuhan. Serulah [manusia] ke jalan Tuhan engkau dengan hikmah [bijaksana] dan

ajaran kebaikan, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik [QS 16:125]. Kurang lebih ada

10 kali ajakan ke jalan atau kampung yang penuh kedamaian. Dan, inilah cita-cita Islam.

Untuk bisa sampai di tempat yang penuh kedamaian itu, dibutuhkan sikap zuhud. Suatu sikap

yang bisa mengiringi perjuangan hidup yang berat. Suatu perjuangan yang tidak tergesa-gesa mereguk

kenikmatan. Perjuangan berat untuk bisa sampai di ujung sana. Bukan di sini, sekarang ini! Untuk itu

diperlukan hidup bersama yang adil [fair], jujur, dan saling menolong [bukan saling bertikai/berselisih].

Suatu sikap hidup yang tidak tergiur akan kenikmatan sementara.

Jika kita masih tergiur oleh kenikmatan sementara, kita tak akan mampu menjadi ilmuwan

yang ulung, peneliti yang tangguh, pemerintah yang adil, elite yang memen-tingkan rakyat, dan

Page 57: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

57

pengusaha yang dermawan. Tanpa zuhud, perusahaan hanya menjadi tempat pemerasan terhadap

karyawan yang lemah. Tanpa zuhud, negara adalah wilayah eksploitasi kalangan elite terhadap

masyarakat bawah. Kezaliman merajalela yang dibungkus agama. Kezaliman yang dibungkus agama,

dikemas dengan ayat-ayat Tuhan inilah yang hendak dilenyapkan Islam. Karena itu Islam mengajarkan

konsep ketakwaan, tobat, wara’, sabar, dan zuhud.

Zuhud adalah sebuah maqam yang lebih tinggi dari sabar. Karena tanpa kesabaran seseorang

tak akan mampu menjalani hidup zuhud. Tidak dapat menjadi seorang zahid. Zuhud adalah maqam.

Jadi, sikap zuhud melekat pada berbagai macam profesi. Seorang peneliti yang zuhud, berarti orang

yang sungguh-sungguh melaksanakan pekerjaan penelitian hingga bisa menguak rahasia alam. Hingga

ia mampu membuat teknologi baru yang lebih unggul untuk kehidupan manusia di bumi ini. Seorang

pengajar yang zuhud adalah orang yang sungguh-sungguh mendidik muridnya sehingga lahirlah para

murid yang unggul.

Tapi itu semua harus didukung oleh kalangan pemerintah yang zuhud pula. Mereka harus

menyediakan prasarana dan sarana bagi kegiatan profesinya. Pemerintah yang zuhud harus didukung

oleh pengusaha dan kalangan profesional yang zuhud pula. Yaitu, dengan membayar pajak yang

proporsional menurut kekayaannya. Nah, pada intinya, kemakmuran dan keadilan suatu negara bisa

dicapai bila sebagian besar tokoh di segenap profesi berlaku zuhud.

Gambaran kehidupan dunia

Untuk bisa memahami kehidupan dunia ini, Islam memberikan pelajaran yang berupa

perumpamaan atau gambaran. Perumpamaan diberikan agar manusia tidak sulit dalam memahaminya.

Kalau berupa teori-teori, perlu kecerdasan akal-pikiran untuk bisa mengertinya. Karena itu ada

beberapa gambaran. Untuk bagian mengakhiri pelajaran sekarang ini, saya kutipkan satu ayat di Surat

Yunus.

10:24 Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia itu seperti air yang Kami turunkan dari langit.

Lalu, air itu diserap oleh tumbuh-tumbuhan di bumi. Kemudian tumbuh-tumbuhan [yang mengandung

air tadi] ada yang dimakan oleh manusia, dan ada yang dimakan ternak. Sampai suatu ketika bumi

tertutupi kesuburan tumbuhannya dan terhiasi [ter-dekorasi], dan penduduknya mengira menguasinya,

tibalah ketetapan Kami pada waktu malam atau siang. Maka Kami jadikan itu bagaikan ladang yang

telah dituai hasilnya, seolah-olah pada waktu kemarin tak ada tanaman yang tumbuh di situ. Demikian

Kami jelaskan ayat-ayat kepada kalangan yang berpikir.

Suatu gambaran kehidupan yang bagus sekali. Hidup [urip], live, nafs, dalam kemunculannya

di bumi ini digambarkan bagaikan ‘air’. Perhatikan diri kita, hidup kita merupakan sesekor sperma

[setetes sperma] yang bergabung dengan sel telur di rahim ibu. Tetesan sperma itu ada yang terserap

telur dalam rahim dan akhirnya tumbuh menjadi jabang bayi, dan ada yang tidak. Di ayat itu

digambarkan air yang turun di bumi, dan ada yang diserap oleh tumbuhan.

Dengan proses itu bumi menjadi subur. Diri kita pun tidak sendirian. Kita hidup bersama di

suatu tempat. Dan kita menyangka bisa menguasai tempat itu selamanya. Kita lupa ada ‘ketetapan’ atau

aturan main Tuhan yang telah digelar di alam semesta ini. Kita lupa bahwa tanaman itu bisa mati oleh

berbagai sebab, seperti terkena banjir, angin topan, kekeringan, terserang hama-penyakit atau oleh

sebab-sebab lainnya. Kita pun lupa bahwa ada ‘ketetapan’ bahwa jasmani kita ini bisa mati sewaktu-

waktu oleh berbagai sebab. Kita biasanya merasa akan mati bila sudah tua! Karena itu kita merasa bisa

menguasai kenikmatan hidup di dunia ini selamanya. Padahal, ketika suatu bencana berat datang tiba-

tiba, dan bisa menyebabkan kematian, maka hilanglah kenyataan bahwa kita bisa menguasai

kenikmatan harta-benda dunia itu. Dalam kondisi demikian, kekuasaan yang pernah kita miliki seolah-

olah tidak pernah ada.

Jangankan sudah mati, masih hidup saja ketika manusia sudah tua-renta, sudah tidak bisa lagi

merasakan berbagai kenikmatan duniawi yang pernah dirasakannya. Hanya kenikmatan batin yang

Page 58: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

58

tetap melekat sampai mati. Orang yang bisa merasakan kenikmatan batin tidak pernah merasakan

kekecewaan atau kesesedihan dalam hidup ini. Tidak kecewa atau sedih atas berkurangnya atau

hilangnya kenikmatan lahiriyah. Dia telah zuhud! Tidak keluar air liur atas gebyarnya dunia.

Selama ini banyak orang yang beranggapan bahwa zuhud adalah meninggalkan kehidupan

dunia. Ini salah besar! Meninggalkan kehidupan dunia itu bukan zuhud, tapi kalah. Ia merasa tak

mampu negatasi dunia. Makanya ia menarik diri dari kehidupan dunia ini. Kalau sekarang saja sudah

kalah, bagaimana mungkin dapat mengatasi kehidupan akhirat yang memerlukan modal lebih besar.

Bukan modal harta-benda, tetapi modal batin, modal metafisik. Dengan zuhud energi batin kita tidak

terserap oleh dunia. Energi batin inilah yang menggerakkan pertumbuhan ‘zigot’ menjadi jabang bayi.

Karena rahman dan rahim-Nya, bayi yang hidup di bumi ini bisa tumbuh dan berkembang dengan

energi fisik, yaitu makan dan minum.

Tetapi, energi fisik tidak dapat mendorong orang hidup bersemangat, orang hidup adil dan

jujur, orang hidup damai. Energi fisik hanya membantu fisik untuk tetap hidup. Dan itu pun

terbatas! Yaitu, tidak bisa mencegah ketuaan dan kematian. Bahkan terlalu banyak energi fisik

menyebabkan kita malas. Energi fisik itu bagaikan air yang diturunkan dari langit. Ia bisa

menyebabkan tumbuhnya kehidupan di bumi ini, tetapi tak mampu menahan kematian.

Sebaliknya, orang yang mempunyai energi batin tinggi, hidupnya tetap berse-mangat. Ia tidak

mandek pada dunia tampak. Tapi ia tetap mencari di balik dunia yang tampak ini. Ini bukan berkhayal.

Karena tak ada waktu buat berkhayal. Tapi ia terus berjalan menuju cakrawala ‘dar as-salam’, tempat

yang damai. Nah, semua usaha menapaki maqam-maqam dalam dunia tasawuf adalah upaya untuk

menghimpun energi metafisik, untuk melanjutkan perjalanan hidup ini. Dan, makin tinggi maqam,

makin besarlah bekal yang kita peroleh.

Page 59: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

59

Bagian ke-13

[Lanj. Zuhud]

Di depan telah dijelaskan bahwa mayoritas manusia itu bersikap diam. Hanya jadi pak turut!

Di Barat yang sudah maju pun begitu.

Sampai-sampai mereka punya pepatah “diam itu emas”. Ada ‘tetapinya’ di sina. Di Barat hak

untuk berbicara dan berpendapat telah diberikan. Pendidikan diselenggarakan dengan baik.

Komunikasi politis dibuat. Sehingga ‘diam’ punya makna bebas dari keributan. Diam beginilah

dituntut oleh orang yang berzuhud. Bukan diam karena tak berdaya!

Jika sabar merupakan bentuk ketahanan terhadap sesuatu, maka zuhud merupakan sikap untuk

berani menolak terhadap tekanan. Jadi, zuhud memang merupakan mata-rantai dari sabar. Untuk

menghadapi sesuatu, kita harus mempunyai daya tahan dulu. Artinya, harus sabar! Tetapi tidak boleh

berhenti di titik ini. Kalau kita berhenti, artinya kita tidak berdaya menghadapi tekanan

lingkungan. Kita akhirnya terlindas, dan hanya sebagai permainan penindas. Rasul Saw memberi

contoh kepada umat beliau. Pada awal perjuangan, beliau mengajak umat beliau untuk bersabar. Hal ini

bisa dilihat pada surat-surat yang turun di awal kenabian beliau.

73:10 Dan bersabarlah [Muhammad] terhadap apa yang mereka katakan, dan jauhi [uhjur ] mereka

dengan cara yang baik.

74:07 Dan untuk [memenuhi petunjuk] Tuhan engkau, bersabarlah!

70:05 Maka bersabarlah [Muhammad] dengan kesabaran yang indah!

Mohon diperhatikan ayat-ayat tersebut. Ada indikasi bahwa pada saatnya sabar harus

ditingkatkan ke dalam bentuk ‘hijrah’, yaitu mampu mengatasi atau menjauhi tekanan hidup ini. Hijrah

bukan untuk melarikan diri dari persoalan. Tetapi hijrah untuk menemukan jalan keluar, untuk

mengatasi persoalan. Hijrah sebagai solusi. Hijrah demikian ini yang menjadi landasan berzuhud!

Hijrah sebagai kelanjutan dari sabar, harus dilakukan dengan cara yang baik, dengan dilandasi

kesabaran yang indah. Kesabaran yang tidak menimbulkan kecurigaan musuh. Kesabaran yang

strategis! Dalam bahasa manajemen, di tengah bangunan kesabaran itu ada strategi dan taktik untuk

berzuhud. Dan zuhud ini meliputi tindakan berhijrah, berjihad dan beriman. Dan berhijrah ini pun tidak

bisa dilakukan sekali jadi. Harus ada upaya ‘proaktif’ dan aktif. Rasul pun melakukan tindakan taktis,

dengan memerintahkan umat beliau hijrah [pertama] ke Ethiopia. Kemudian beliau proaktif mencari

daerah baru untuk berhijarah. Misalnya, beliau menjajaki dakwah ke Thaif. Meskipun di Thaif beliau

mendapatkan sambutan yang tidak mengenakkan. Beliau diusir dan dilempari batu hingga beliau luka-

luka.

Dalam kehidupan sekarang ini pun, kita harus membangun kesabaran yang indah. Kita harus

bangun kesabaran yang strategis dan taktis! Dalam memecahkan sesuatu kita tidak bisa terburu-buru.

Mengapa? Karena kita bukan hanya menghadapi orang yang menindas dan memusuhi kita. Kita juga

menghadapi kelompok manusia yang sehaluan dengan kita, tetapi tindakannya merugikan kita. Dua

hari yang lalu saya membaca suatu buletin ‘Dakwah Islam’ yang dikeluarkan oleh sebuah yayasan

Islam. Tulisan dalam buletin itu jelas-jelas sangat merugikan buruh-buruh Islam. Penulis di buletin itu

punya anggapan bahwa ‘kewajiban’ majikan/pengusaha hanya [sekali lagi, hanya] membayar buruh

tepat pada waktunya’. Berbagai bentuk keuntungan, benefit, bonus, dan berbagai bentuk tunjangan

kesejahteraan bukan kewajiban majikan/pengusaha. Penulis rupanya tidak mengerti perubahan “sistem

berusaha, atau berekonomi”, sehingga berbagai bentuk kesejahteraan itu dikatakan sebagai “kewajiban

negara”.

Coba bayangkan saudara-saudara! Di tengah-tengah globalisasi, ketika manusia [sekali lagi,

manusia] berusaha menemukan makna hidupnya. Manusia berusaha hidup sejahtera dalam kesetaraan

martabat. Manusia berusaha mendapatkan hak-haknya dengan cara yang benar [sesuai dengan

bangunan ekonomi masyarakatnya], ada da’i yang menulis bahwa perjuangan buruh salah alamat. Ia

Page 60: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

60

tulis “kewajiban majikan” atau pengusaha hanya sebatas membayar upah [sesuai yang disepakati] tepat

pada waktunya. Penulis samakan kualitas pengusaha sekarang sama dengan pengusaha-pengusaha di

era Nabi Muhammad. Penulis samakan sistem dan bentuk perekonomian sekarang ini sama dengan

sistem perekonomian di era Nabi Saw. Penulis lupa bahwa sistem perekonomian pada zaman Nabi

adalah pertanian dan perdagangan. Dan sistem pertanian pun masih subsisten, lebih banyak untuk

kebutuhan sendiri. Sedangkan perekonomian sekarang ini ada di era industri dan informasi. Celakanya,

penulis itu menggunakan hadis yang hanya sesuai dengan masa itu.

Islam mengajarkan ‘sabar’ dan ‘zuhud’. Kesabaran yang indah! Bukan asal demo atau

melakukan perusakan. Di tengah kesabaran itu harus dibangun strategi dan taktik untuk mendapatkan

kemenangan, yang dalam bahasa sekarang disebut “win-win solution”. Sistem yang menang! Bukan

pihak tertentu yang menang. Karena itu disebut ‘sama-sama menang’. Dan untuk sama-sama menang,

kesabaran harus ditingkatkan ke tahap zuhud. Zuhud yang bersifat ‘jihadiyah’, perjuangan, ‘struggle’

untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Yaitu, hidup yang lebih baik di dalam negara,

masyarakat, dan dalam institusi, ‘baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur’.

Zuhud sebagai suatu tahapan pencapaian rohani, meliputi tindakan yang berlandaskan pada

keimanan yang teguh, berhijrah, dan ber-jihad. Surat Makiyah yang memuat pernyataan tentang hijrah

adalah surat ke-16, yaitu surat An Nahl. Pada ayat ini diinformasikan bahwa mereka yang berhijrah di

jalan Tuhan [fi l-Lah] setelah mereka mengalami tekanan [kezaliman] akan mendapatkan kehidupan

yang baik. Sesungguhnya informasi ini sesuai dengan pernyataan di ayat lain, yaitu “inna ma-‘a l-‘usri

yusra”. Sesungguhnya di balik kesukaran itu terdapat kemudahan! Di balik kesukaran pasti terdapat

kemudahan, bila disertai tindakan yang proaktif dan aktif. Tetapi kesukaran akan semakin sukar jikalau

dibiarkan, atau dihadapi dengan pasif.

Tahap awal dalam zuhud adalah mempunyai iman yang teguh! Ingat, iman tidak sama dengan

percaya. Meskipun dalam keimanan ada unsur kepercayaan. Iman harus dilandasi oleh pengetahuan.

Dan ini merupakan tingkatan keimanan yang paling rendah. Keimanan yang lebih tinggi harus

dilandasi oleh pengalaman. Jadi, bukan iman karena cuma tahu, tetapi karena mengalaminya. Dan,

yang tertinggi adalah iman karena makrifat, karena memahami hakikat sesuatu yang dialaminya itu.

Iman demikian juga dikenal sebagai “haqqu l-yaqin”. Tak ada lagi selaput keraguan. Kebenarannya

sudah tersingkap. Zuhud yang demikian ini tentu saja jauh dari upaya mencari pujian atau kekuasaan,

meskipun mungkin saja keduanya didapat. Makin kokoh keimanan seseorang, makin bersihlah

motivasi hijrahnya.

Di samping kesabaran yang indah, hijrah pun harus dilakukan dengan baik. Sabar ke hijrah

merupakan sambungan. Ada 3 macam hijrah, yaitu hijrah fisik, nafsani, dan rohani [spiritual]. Nah,

orang yang hijrah secara fisik harus rela meninggalkan harta-benda yang dimilikinya. Hijrah fisik

diperlukan bila tidak ada lagi tempat untuk mewujudkan kehidupan yang manusiawi. Hijrah fisik

diperlukan bila usaha untuk mengembangkan martabat kemanusiaan sudah tidak ada lagi di tempat itu.

Berikutnya adalah hijrah nafsani, menjauhkan jiwa dari jeratan hawa nafsu. Fisik tetap tinggal

di suatu tempat, tetapi jiwa tak terpengaruh oleh tarikan-tarikan kehidupan sekelilingnya. Di tengah-

tengah orang ber-KKN, tak ikut terjerat KKN. Dia mampu berdiri tegar di tengah lingkungan yang

busuk tanpa ikut menjadi busuk. Dan jenis hijrah yang lainnya adalah hijrah spiritual. Dia bukan hanya

tak terpengaruh oleh tarikan lingkungannya, tetapi justru mempengaruhi lingkungannya. Dia berjuang

untuk menghilangkan kebusukan yang terjadi di sekitarnya. Dia membangun kehidupan di atas puing-

puing kebobrokan. Semua ini bisa dilakukan bila si zahid sudah tidak lagi tergiur oleh gebyarnya dunia.

Jika memang secara fisik diperlukan, dia lakukan hijrah fisik. Bila ancaman dan gangguan fisik tidak

ada, ia mampu bertahan hidup tanpa terpengaruh lingkungannya. Dan bilamana ia mampu,

dilakukannya perombakan masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik.

Tindakan berikutnya dalam zuhud adalah ‘jihad’. Kata jihad bukan berarti perang! Perang

adalah bagian dari jihad, bila sudah tak ada cara lain untuk mempertahankan kehidupan ini. Dengan

demikian, orang yang berjihad bukanlah orang yang dari semula sengaja memerangi orang lain. Perang

adalah salah satu taktik dalam berjihad! Pertama, dilakukan untuk membela diri. Kedua, perang

Page 61: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

61

diperlukan untuk menjaga keamanan wilayah [teritorial]. Ketiga, perang diperlukan untuk

melenyapkan musuh. Seorang zahid tidak boleh mencari atau menciptakan musuh. Tetapi seorang

zahid harus berani memerangi musuh. Musuh itu apa? Ya apa atau siapa saja yang menyerang,

menganiaya atau menghancurkan kehidupan kita.

Di bawah ini saya kutipkan beberapa ayat yang terkait dengan rangkaian tindakan dalam

zuhud.

16:110 Dan sesungguhnya Tuhan engkau melindungi dan menyayangi orang-orang yang berhijrah

setelah mendapatkan fitnah, kemudian mereka itu berjihad dan bersabar.

02:218 Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan

Allah; mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Melindungi [Pengampun] dan Maha

Penyayang.

08:072 Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad dengan harta dan jiwa

mereka di jalan Allah, dan orang-orang yang memberikan tempat perlindungan dan pertolongan;

mereka itu tolong menolong di antara sesamanya.

08:074 Dan orang-orang yang beriman, berhijrah, berjihad di jalan Allah; dan orang-orang yang

memberikan tempat perlindungan dan pertolongan; maka mereka itulah orang-orang beriman yang

sebenarnya. Mereka memperoleh ‘maghfirah’ dan rezeki yang mulia.

09:020 Orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa

mereka; di sisi Allah derajat mereka itu lebih agung, dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan

keme-nangan dalam hidup ini.

Nah, marilah kita perhatikan ayat-ayat yang terkait dengan hijrah dan jihad di atas. Pertama,

yang perlu dipahami adalah kalimat ‘di jalan Allah’. Suatu tindakan disebut berada di jalan Allah, bila

tidak ada motivasi duniawi atau mendahulukan atau mengutamakan kepentingan diri-sendiri atau

kelompok. Dalam bahasa sekulernya, yang diutamakan adalah kepentingan ‘kemanusiaan’. Jadi,

tindakan di jalan Allah adalah tindakan yang bebas dari ambisi, dan berbagai macam keuntungan

duniawi.

Kedua, beriman harus disertai dengan tindakan, aksi! Beriman tidak cukup hanya dengan kata-

kata. Karena itu zuhud bukanlah tindakan pasif. Tak ada contohnya dalam Al Quran bahwa zuhud itu

merupakan “no action”, tak ada tindakan. Tidak tertarik terhadap kehidupan dunia, tidak berarti putus

asa karena tidak menguasai dunia. Dalam Islam orang yang menolak terhadap kehidupan dunia,

bukanlah orang yang tidak berbuat apa-apa, dan mengasingkan diri dari keramaian. Zuhud dalam Al

Quran adalah aktivitas untuk menegakkan kemanusiaan, membangun dan memperbaiki dunia, dan

tidak terjebak atau terbelenggu dengan hasil usahanya. Untuk itu zuhud harus dilandasi dengan

keimanan yang kokoh.

Ketiga, bila dilihat pembangunan kemanusiaan tidak bisa dilakukan di suatu daerah, dan

bahkan ancaman dan gangguan menyelimutinya, maka daerah itu harus dijauhi [untuk sementara], dan

dicari daerah lain yang memungkinkan untuk mengem-bangkan misi dan visi kemanusian, yang

mencakup martabat dan kesejahteraannya. Jadi, bukan membiarkan kemerosotan dan kebobrokan

terjadi. Jika kerusakan dibiarkan terjadi, dan yang terpenting ia bisa hidup tak diganggu, itu bukan

zuhud namanya. Tetapi orang yang tak berdaya! Hidup harus punya makna. Hidup bukan sekadar bisa

makan, berpakaian, dan bertempat tinggal. Manusia hidup untuk mengekspresikan dan

mengapresiasikan kemanusiaannya. Karena itu, jika keadaan sudah tidak memungkinkan untuk

mewujudkan kemanusiaan, maka kita harus hijrah.

Keempat, hijrah ternyata bukan hanya mencari tempat perlindungan yang baru. Hijrah juga

bukan hanya meminta pertolongan untuk keselamatan jiwa-raganya. Hijrah ternyata merupakan suatu

strategi. Karena itu, hijrah harus dilanjutkan ketahap ‘jihad’. Yaitu, jihad dengan menggunakan harta

dan jiwa. Kalimat ‘harta dan jiwa’ ini konsisten di dalam Al Quran. Tidak ada yang terbalik menjadi

Page 62: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

62

‘jiwa dan harta’. Mengapa? Karena yang diajarkan adalah perjuangan, bukan mencari kematian atau

bunuh diri. Harta benda yang didapat, digunakan untuk perjuangan kemanusiaan.

Tentu saja bentuk dan sistem kehidupan sekarang ini tidak sama dengan di zaman Rasul Saw.

Kita sekarang ini hidup di negara yang ‘berdaulat’. Batas-batas daulat suatu negara di era globalisasi

ini sudah jelas, meskipun di beberapa negara masih ada sengketa perbatasan. Hak-hak asasi manusia

diserukan di mana-mana, walaupun pada beberapa negara HAM masih merupakan pergulatan. Dalam

sistem ‘nation-state’, negara kebangsaan, hijrah secara fisik, meninggalkan tempat tinggal lama menuju

ke tempat tinggal yang baru untuk membangun kemanusiaan sudah kecil kemungkinannya. Di era

informasi ini, hubungan antar negara semakin rumit. Aktivitas kemanusiaan murni bisa dituduh sebagai

kegiatan politik dan subversi. Karena itu strategi jihad harus ditempatkan dalam hijrah pemikiran. Kita

tidak perlu lagi mencari suaka. Yang kita perlukan adalah berpikir benar untuk bisa menegakkan

kemanusiaan.

Jihad dengan harta dan jiwa harus ditumbuhkembangkan dalam pemikiran yang benar. Harta

bukan sekadar untuk dibagi-bagikan, tetapi digunakan untuk membantu meningkatkan pendidikan

[kualitas dan kuantitas]. Jiwa bukan untuk diserahkan kepada pedang atau peluru, tetapi untuk mencari

solusi, untuk mencari alternatif-alternatif dalam menegakkan martabat manusia. Di zaman dulu perang

fisik bisa menyelesaikan masalah. Tetapi di zaman sekarang, perang hanyalah untuk melampiaskan

hawa nafsu [karena buntu dalam mencari jalan keluar] dan menghasilkan tragedi kemanusian, hanya

balas-membalas dalam dendam.

Sekarang ini perang fisik hanya jalan terakhir, bila sudah tidak memungkinkan lagi

menggunakan berbagai cara damai. Dan jangan lupa, cita-cita yang agung adalah menciptakan

perdamaian dan kedamaian dalam hidup ini. Damai adalah salam, selamat, dan sejahtera. Setiap

individu hidup di dalam kesetaraan [hukum, sosial, ekonomi, dan keamanan]. Itulah sebabnya orang

yang zuhud [beriman, berhijrah, dan berjihad] disebut sebagai orang yang mendapat perlindungan,

rezeki, dan kemenangan. Dan tentunya, mereka yang memberikan tempat tinggal dan pertolongan,

adalah juga orang-orang zuhud, orang-orang beriman, yang sebenarnya.

Page 63: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

63

Bagian ke-14

(lanj. Zuhud)

Untuk memulai pelajaran yang ke-14 ini, saya mengajak saudara-saudara untuk mengingat

lagi tahapan yang dilalui oleh sufi dalam perjalanan hidupnya. Ada tiga tahap yang dilaluinya yaitu

takhalli [deconditioning], meninggalkan perilaku yang tidak terpuji, tahalli [conditioning;

reconditioning] yaitu membiasakan diri untuk melakukan tindakan yang terpuji, dan tajalli

[unconditioning; no mind action] yaitu berbuat dan bertindak yang bebas dari kepentingan pribadi

[kelompok].

Pada posisi “sabar” kita mengisi hidup kita dengan perbuatan dan tindakan bajik, kita

kendalikan emosi kita, dan motivasi hidup kita kita arahkan ke jalan yang benar, jalan yang

dibentangkan oleh Tuhan semesta alam. Jika jalan ini yang kita titi, maka kita disebut berjalan menuju

Allah. Dan bila kita sudah hidup dijalan-Nya maka kita disebut berada di jalan Allah, fi sabili l-lah.

Inilah tahap ‘tajalli’!

Zuhud adalah usaha memasuki tahap tajalli. Di dalamnya kita melalui subterminal iman [yang

kokoh], hijrah, dan jihad. Di bagian ke-13 yang lalu, saya utarakan bahwa pada era globalisasi ini kita

harus melakukan hijrah pemikiran kembali. Disamping kita harus melakukan ‘jihad’ pemikiran yang

disebut ‘ijtihad’. Kita tidak boleh terjebak dalam peperangan dan pertempuran fisik. Tetapi kita harus

berani melangkah ke dunia yang penuh ‘trick’ atau jebakan ini. Karena di dunia macam inilah kita

hidup sekarang ini! Lho, bukankah kita ini ingin hidup damai?

Betul, betul sekali! Manusia, pada umumnya, menginginkan kedamaian hidup. Yang terselip

di dalam hati yang paling dalam adalah menuju ‘sorga’ yang penuh kedamaian. Dan Tuhanlah

kedamaian itu! Di dalam salah satu doa [dari sebuah Hadis] yang biasa dibaca setelah sembahyang

adalah “Allahumma anta s-salam” [Ya Tuhan, Engkau-lah kedamaian itu]. Lalu, doa itu dilanjutkan

dengan kalimat “dan kedamaian itu datangnya dari Engkau, dan kepada Engkau kembalinya kedamaian

itu!” Sebagai seorang hamba, kita diajari Nabi untuk melanjutkan doa itu dengan kalimat “Fa hayyina

rabbana bi s-salam”, ya Tuhan hidupkanlah kami penuh dengan kedamaian.”

Yang kita tuju adalah kedamaian. Tetapi, damai yang ada di bumi ini seperti damai yang ada

di dalam hati. Jika di dalam hati damai itu terselip di dalamnya, bahkan di bagian dalam hati; maka di

atas bumi ini ‘damai’ juga terselip di tengah-tengah keributan dan kebusukan dunia. Karena itu,

kedamaian harus dicari! Kedamaian tidak datang dengan sendirinya. Orang-orang Romawi memiliki

semboyan, yang bahasa Indonesianya “Bila kalian ingin hidup damai, bersiap-siaplah untuk perang”.

Tentu saja berperang secara fisik. Pada zaman dulu, berperang secara fisik memang jalan satu-satunya

untuk memperoleh kedamaian. Sebab, menang perang adalah keadaan yang menjamin kesejahteraan

warganya. Pada zaman dulu, orang malu kalau ingin hidup sejahtera dengan cara menyengsarakan

rakyat atau bangsanya sendiri. Ini tidak berarti, untuk memperoleh kedamaian kita harus berperang

untuk menaklukkan negara lain. Pada zaman sekarang ini kita harus hijrah dan jihad di lapangan

pemikiran, ‘ijtihad’. Ijtihad pun tidak hanya terbatas pada dunia fikih atau agama. Kita harus berijtihad

untuk menemukan solusi bagi kedamaian dan kesejahteraan hidup.

Sekarang ini kita sering dihadapkan pada pengertian yang salah tentang ‘damai’. Kata damai

dikaburkan maknanya menjadi ‘aman’. Padahal aman hanyalah salah satu keadaan yang ada di dalam

kata ‘damai’. Keadaan yang aman, artinya tidak ada gangguan atau kekerasan [fisik]. Kalau damai

yang ini, berarti cukup dengan tunduk atau takluk pada kekuatan di luar dirinya. Damai yang sejati

adalah wujud dari keseimbangan, keselarasan dan keserasian, yang disebut hidup harmoni. Di tengah

kedamaian yang sejati inilah terletak kemerdekaan. Damai yang demikian ini yang dilukiskan dalam

kamus “Oxford Advanced Learner’s Dictionary” sebagai keadaan yang bebas dari peperangan dan

kekerasan, suasananya tenang, dan penuh dengan keharmonisan dan persahabatan.

Nah, ternyata damai harus diperjuangkan. Ingin hidup damai tak ubahnya kita ini mencari

intan di tumpukan sampah. Di sinilah harus ada hijrah dan jihad [ijtihad] dalam pemikiran. Ketika Nabi

Muhammad Saw [p.b.u.h, peace be unto him] menyebarkan risalah keislaman, beliau sebenarnya

Page 64: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

64

membangun paradigma berpikir yang baru. Beliau tinggalkan cara-cara berpikir jahiliah dan beliau

bangun cara-cara berpikir yang islami. Ada puluhan, bahkan ratusan, ayat Al Quran yang menyeru

manusia untuk ‘berpikir’. Perintah berpikir ini disampaikan dalam berbagai bentuk, misalnya

tafakkaru, tadzakkaru, nazhara, ta‘qilun, dan lain-lain.

Satu abad setelah tersebarnya agama Islam, kalangan mu‘tazilah melanjutkan pembaharuan

pemikiran. Para ulama mereka tidak mandek pada kata-kata yang ada di dalam Al Quran. Mereka

mempelajari metode-metode berpikir filosof Yunani. Mereka melakukan penalaran dan logika yang

islami. Mereka mulai merintis logika-empiris. Hasilnya, Daulat Abbasiyah di Bagdad dan Daulat

Umayyah di Spanyol mengalami kemakmuran yang berlimpah-limpah. Sayang, masyarakat Islam pada

zaman itu [dan sampai sekarang] tidak kondusif untuk pembaharuan pemikiran. Pada abad XIII (pada

tahun 1258 M) Daulat Abbasiyah diporakporandakan oleh Kerajaan Mongol yang sangat terkenal

dengan pemerintahannya di atas kuda. Di Spanyol pun digilas pada akhir abad XV (1492 M). Dan

sejak abad XIII itu pembaharuan pemikiran di dunia Islam ditutup, yang dikenal dengan “penutupan

pintu ijtihad”.

Sekarang, saya melalui pengajaran tasawuf ini mengajak kembali saudara-saudara untuk

menghidupkan hijrah dan jihad dalam pemikiran. Lho, bagaimana dengan orang-orang yang masih

rendah tingkat pemikirannya, apa dapat diajak untuk melakukan pembaharuan pemikiran? Tentu saja

jangan dibayangkan semua orang bisa berpikir dalam [deep thinking]. Waktu periode Rasul pun tidak

semua orang diperintah untuk melakukan perang fisik. Hal ini dijelaskan pada Surat Taubah/9:122.

Ada yang ditolak untuk ikut bertempur karena orang tersebut menanggung kehidupan ibunya yang

janda. Ada yang ditolak karena dianggap belum cukup umur. Yang perempuan pada waktu itu ditugasi

dalam urusan logistik dan palang-merah. Dalam hal jihad pemikiran pun harus ada yang di barisan

depan [good thinker] sebagai pembuat konsep, pembuat rencana, dan pengatur strategi. Ada

menyebarkan dan memasarkan gagasan. Ada yang menerap-kannya. Dan ada pula yang

mendukungnya.

Ketahanan masyarakat akan kuat bila masyarakat mempunyai keahlian yang heterogen.

Namun semua harus bisa diorganisasi dan dikerahkan untuk membangun jihad pemikiran. Ulama

spiritual, ulama sains, ulama teknologi, ulama birokrat, petani, pedagang, industrialis, dan buruh harus

merapatkan barisan dalam membangun jihad pemikiran. Untuk apa jihad pemikiran ini? Untuk

membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Lho, kok tidak untuk membangun

masyarakat Islam yang adil dan makmur? Sebuah masyarakat itu dapat diibaratkan sebuah rumah-

tangga. Rumah-tangga yang bertanggung jawab adalah rumah-tangga yang berupaya membangun

kesejahteraan para anggotanya, tanpa merugikan rumah-tangga lainnya. Rumah-tangga yang satu

mungkin saja berbeda agama dengan tetangganya. Tetapi mereka hidup dalam komunitas yang sama

yaitu satu RT/RW.

Kita adalah masyarakat Indonesia. Masyarakat yang dari awalnya plural [dalam agama,

kepercayaan, dan etnis]. Masing-masing adalah anak ibu pertiwi! Perbedaan tidaklah memisahkan

persatuan Indonesia. Dan, jika kita mau jujur bertanya siapakah kita bangsa Indonesia ini? Jawabannya

adalah kita dahulu etnis-etnis yang menghuni kepulauan Nusantara dengan agama pribumi masing-

masing. Semenjak abad I masuklah agama dari luar [dalam bahasa rakyatnya, agama impor] yaitu

Hindu, Buddha, Islam, Kristen/Katholik, dan Kong Huchu.

Sebagai sebuah kenyataan, saya sekarang adalah orang Islam. Ajaran Islam saya sampaikan

dengan menggunakan pendekatan ‘tasawuf’. Karena tasawuflah yang bisa menembus lintas agama dan

menjaga pluralitas. Kalau kita hobi membaca Hadis, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa

praktik Rasul dalam menyebarkan agama Islam pun dengan cara tasawuf. Ayat pertama yang saya

gunakan untuk mengisi bagian yang ke-14 ini adalah Surat Al Baqarah/2:208. Mari sama-sama

memperhatikan bunyi ayat tersebut seperti saya kutipkan di bawah ini.

2:208 Ya ayyuha l-ladzina amanu d-khulu fi s-silmi kaffah wa la tattabi-‘u khuthuwati sy-syaithani

innahu lakum ‘aduwwun mubin.

Page 65: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

65

2:208 Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu semua ke dalam kehidupan yang damai, dan

janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuhmu yang nyata.

Cukup satu ayat dulu! Dan, mari kita kupas pelan-pelan ayat ini. Ayat ini turun di Madinah

setelah perjanjian Hudaibiyah [th 6H]. Pada bulan Dzul Qa’dah (bulan ke-11) Nabi mengajak kabilah-

kabilah yang bukan Islam untuk bersama-sama menuju Mekah untuk berziarah dan memuliakannya.

Sejak sebelum kedatangan Islam, orang-orang Arab biasa memuliakan Ka’bah. Mereka biasa lomba

berpidato dan menggantungkan puisi mereka di Ka’bah. Dengan mengajak orang-orang Arab non-

muslim menziarahi dan memuliakan Baitul Haram, maka keragu-raguan orang Arab terhadap orang-

orang muslim hilang. Dan, dari awal jalur perdamaian lebih dipilih ketimbang peperangan. Prinsip

hidup berdampingan dan damai ditekankan sekali dalam Piagam Madinah. Tata-cara damai inilah yang

menyebabkan Islam cepat sekali tersebar di Madinah.

Untuk memelihara keharmonisan hidup masyarakat Madinah, seruan untuk hidup beragama

dinyatakan dengan panggilan yang indah “ayyuhal ladzina amanu”, wahai orang-orang yang beriman.

Dengan panggilan ini orang-orang non-muslim tidaklah tersinggung dalam kehidupan mereka.

Khalifah-khalifah setelah Rasul Saw juga memakai gelar “amirul mu’minin”, amirnya orang-orang

beriman. Sekarang ini tokoh-tokoh agama juga memanggil pengikutnya dengan sebutan “orang-orang

beriman”. Ini memang panggilan yang manis.

Madinah harus berjaga dan mempertahankan diri dari serangan musuh. Persatuan sangat

dibutuhkan! Terhadap orang-orang yang menjunjung tinggi Piagam Madinah ini, mereka dipanggil

dengan panggilan orang-orang yang beriman. Mereka semua diseru untuk masuk dalam perdamaian.

Dalam surat Al-Anfal/8:61 dinyatakan dengan tegas, ”Dan jika mereka condong kepada perdamaian

[salm] maka hendaklah kamu condong pula kepadanya [perdamaian], dan bertawakallah kepada

Allah.”

Berikutnya adalah larangan untuk mengikuti langkah-langkah setan. Masih ingatkan makna

‘mengikuti’ bukan ‘meniru’ lho! Setan tak pernah muncul dihadapan kita. Jadi tak ada perbuatannya

yang bisa ditiru. Setan berarti merenggangkan atau menjauhkan [dari perbuatan bajik]. Semua

perbuatan buruk mendapat julukan perbuatan atau langkah setan. Pertikaian, fitnah, menghasut, adu-

domba, hina-menghina, dan perbuatan sejenisnya disebut langkah-langkah setan. Karena itu harus

ditinggalkan! Semua itu lahir dari pikiran dan emosi kita. Pikiran dan emosi yang lepas kendali. Hal ini

sungguh membahayakan kehidupan, memporak-porandakan kedamaian. Karena itu, setan disebut

sebagai ‘musuh yang nyata’.

Kita harus memberdayakan pikiran dan emosi kita untuk menciptakan perdamaian dalam

kehidupan ini. Bila ada penawaran hidup damai, maka kita harus condong pada perdamaian. Kita tak

boleh berprasangka buruk kepada orang-orang yang mengajak hidup damai. Karena itu kebersediaan

hidup damai harus disertai dengan sikap tawakal kepada Tuhan. Dan menyeru kepada kehidupan damai

harus terus-menerus digiatkan. Ya, mencari kedamaian hidup itu bagaikan mencari intan di tengah

onggokan sampah. Bau sampah itu menyengat sehingga mengganggu kita dalam menemukan intan di

dalamnya. Sama seperti menyeru hidup damai, bau jejak setan ada di mana-mana. Tapi kita tak boleh

putus asa! “Jangan merasa lemah dalam menyeru kepada perdamaian [salm] karena kedudukanmu

[yang menyeru damai] itu lebih tinggi. Allah beserta kamu! Dan Allah tidak menghilangkan

amalanmu.” (QS 47:35)

Jadi, bukan hanya condong kepada perdamaian, tetapi memprakarsai perdamaian! Dan, damai

yang diserukan dalam Al Quran ini bukan ‘damai’ seperti yang dilakukan pelanggar lalu lintas dengan

polisi penangkapnya. Kalau yang ini bukan damai namanya tetapi transaksi untuk membebaskan diri

dari jeratan hukum. Ini masalah penegakan hukum. Dan saya tak hendak berkomentar dalam hal ini.

Damai yang dituju dalam Al Quran adalah keadaan yang aman dan tentram, dan dalam posisi

keseimbangan. Tidak terjadi adu kekuatan dan saling menekan di dalam perdamaian. Damai bukanlah

aman! Tetapi keamanan terjamin dalam perdamaian.

Page 66: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

66

Peserta kajian tasawuf yang terhormat! Dalam tulisan ini kadang kata perdamaian yang saya

gunakan, lain kali saya memakai kata ‘kedamaian’. Yang saya maksud sama, yaitu keadaan damai.

Keduanya merupakan terjemahan dari ‘salm’ atau ‘silm’. Bila yang dimaksud adalah cara-cara atau

proses dalam kegiatan untuk berdamai, maka kata ‘perdamaian’ yang saya pergunakan. Tetapi jika

yang dimaksud suasananya yang damai maka kata ‘kedamaian’ yang ditampilkan. Silm saya

terjemahkan perdamaian dalam ayat di atas. Karena pada ayat itu kita diperintahkan untuk menciptakan

keadaan hidup yang damai. Ada proses, ada aktivitas untuk mencapai hidup damai. Dalam menyerukan

perdamaian kita tidak boleh merasa lemah. Bukankah lemah itu timbul dari pikiran? Lemah adalah

jejak setan, langkah setan. “Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena setan itu

musuhmu yang nyata,” bunyi QS 2:208. Nah, sebagai konsekuensi bagi orang yang ingin hidup

beragama yang benar, kita harus aktif dalam menyerukan perdamaian.

Menyerukan perdamaian tidak sama dengan menebar slogan dan ucapan “mari menempuh

hidup damai” atau “mari berdamai” atau “damai itu indah”. Kalau yang ini sih sekadar ungkapan hati,

atau tipu daya. Menyerukan perdamaian berarti berusaha keras, memprakarsai hidup damai. Karena itu

kita dilarang ‘merasa lemah’ dalam menyerukan perdamaian. Harus ada ijtihad alias jihad pemikiran.

Artinya kita harus memeras otak [bukan memeras keringat karena kita tidak melakukan perang fisik]

untuk mencari langkah-langkah yang bisa mengantarkan umat manusia menuju hidup damai. Inilah

makna perdamaian!

“Orang-orang yang hidup di negara maju [tentu saja ada yang malas] bekerja keras, bekerja

dengan cermat, berusaha memenuhi komitmen dalam masyarakat, membuat perjanjian yang

melindungi dan menguntungkan semua pihak, menegakkan hukum [bukan cuma penegak hukumnya],

dan semua aktivitas untuk menyongsong hari depan yang baik adalah wujud untuk menyerukan

perdamaian.”

Orang yang menyerukan perdamaian tidak boleh merasa lemah. Karena penyeru perdamaian

itu lebih tinggi kualitasnya. Baik kualitas mental, moral, kecerdasan akal, emosional dan spiritualnya.

Yang jelas bukan kualitas fisiknya yang lebih unggul. Kualitas fisik diperlukan, tetapi bukan hal yang

terlalu penting. Kekuatan fisik adalah kekuatan pendukung, bukan kekuatan utama. Orang yang cerdas

dan cerdik tidak merasa lemah dalam perjuangan hidupnya. Dalam jihad fisik jelas lemah, tetapi dalam

jihad pemikiran dia tidak lemah.

Di ayat 47:35 itu disebutkan bahwa Tuhan beserta orang-orang yang menyerukan

perdamaian. Apa maksudnya Tuhan menyertai orang-orang yang menyerukan “hidup damai” atau

“perdamaian” itu? Menyeru itu lahir dari kehendak orang yang menyeru. Tuhan adalah sumber iradah.

Maka iradah atau kehendak Tuhanlah yang menyertai orang-orang yang mnyerukan perdamaian. Dan,

Tuhan pun tidak menghilangkan daya dari amalan orang-orang yang menyerukan perdamaian. Karena

itu, orang yang berniat menyerukan perdamaian tidak boleh merasa lemah.

Suatu hari pada tahun lalu, saya berpolemik tentang arti ajakan perdamaian yang ada pada

ayat 2:208 tersebut. Pada umumnya [sekali lagi umumnya] terjemahan ayat tersebut adalah seruan

menjadi orang Islam yang secara total, sempurna. Inilah “main stream”, arus utama dalam pemikiran

Islam yang ada. Tetapi saya menolaknya! Saya katakan bahwa ayat itu merupakan seruan untuk

memasuki ‘perdamaian’. Kebanyakan ulama, ayat itu hanya diambil sepotong saja. Mereka tidak mau

melihat kaitan ayat itu dengan beberapa ayat sebelum dan sesudahnya. Akibatnya, ayat itu menjadi

hanya ditujukan kepada orang Islam [yang waktu itu tentunya ada di Madinah]. Kata “orang-orang

yang beriman” di situ menjadi sempit artinya. Kata ini disamakan artinya dengan kata “mukmin” yang

ada di dalam Al Quran. Padahal dalam arti luas, kata tersebut bisa bermakna ‘mereka yang menerima

deklarasi Madinah yang terdiri dari berbagai suku dan pemeluk agama’.

Kata “kaffah” disebutkan lima kali dalam Al Quran, dan merujuk pada makna ‘kuantitatif’,

jumlah, bukan merujuk pada makna ‘kualitatif’ seperti dalam kata berislam secara totalitas. Lalu, saya

tanyakan ‘apa yang dimaksud dengan menjalankan Islam secara menyeluruh/sempurna’, berapa persen

Islam yang harus dikerjakan karena perintah itu turun sebelum Islam sendiri selesai sebagai ajaran yang

sempurna [dalam arti kata wahyu belum turun seluruhnya]. Dan kalau kita melihat berbagai ragam

Page 67: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

67

ajaran Islam yang ada sekarang, Islam yang bagaimana yang disebut Islam totalitas itu. Tentu saja

jawaban dalam polemik itu menjadi berputar-putar seperti debat kusir atau main kayu dalam permainan

sepak bola.

Ya jelas, dalam pemikiran Muhammadiyah Islam totalitasnya tidak sama dengan yang ada

pada NU. Meskipun orang NU menjalankan Islam yang paling sempurna pun, bagi orang MD, bagi

orang LDII, bagi orang Wahabi, atau lainnya, tetap dipandang ‘belum menjalankan Islam yang kafah

atau menyeluruh’. Begitu pula sebaliknya, orang-orang lain itu pun belum totalitas menurut NU.

Karena itu saya memilih ‘kafah’ dalam arti kuntitatif, yaitu semua orang. Terjemahannya menjadi

“Wahai orang-orang yang beriman [yang menerima Piagam Madinah] kamu semua (all of you)

masuklah dalam perdamaian atau kehidupan yang damai. Dan memang, 4 kata kafah yang berada di

luar ayat 2:208 ini diterjemahkan ‘semua ?orang- manusia’. Misalnya yang ada di 34:28, “Dan Kami

tidak mengutus engkau kecuali menjadi pemberi kabar gembira dan peringatan bagi semua (kafah)

manusia.”

Dengan demikian jelas sekali bahwa perdamaian atau kedamaian hidup adalah prinsip

dibangkitkannya agama Islam. Kalau bukan ini, apa bedanya agama Islam dengan ajaran jahiliah yang

mengutamakan keunggulan suku dan sikap mau menang sendiri? Rasul Saw dengan tegas mengatakan:

“Sesungguhnya aku ini dibangkitkan untuk mengutamakan budi pekerti yang mulia.”

Demikian penjelasan ‘zuhud’ lanjutan pada kajian kita hari ini. Kita sambung zuhud di bagian

pelajaran yang akan datang. Wa billahi t-taufiq wa l-hidayah. Semoga Tuhan melimpahkan taufik dan

petunjuk-Nya kepada kita. Amin.

Page 68: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

68

Bagian ke-15

[Lanj. Zuhud]

Waktu yang lalu telah dijelaskan bahwa jihad harus ditingkatkan menjadi ‘ijtihad’, jihad

pemikiran. Dan yang menjadi dasar bagi berlangsungnya ijtihad adalah kedamaian dalam hidup ini.

Tanpa kedamaian manusia tidak akan mampu berpikir. Tanpa keadaan damai tak ada kreativitas dalam

diri manusia. Tanpa kreativitas manusia akan mencari kedamaian itu dari luar dirinya. Dan jika

kedamaian itu harus diperoleh dari luar maka sesungguhnya yang bersangkutan sudah seperti

kecanduan narkoba! Yang diperolehnya kedamaian semu! Kekayaan dihabiskan untuk membeli sebuah

kedamaian, tetapi yang didapat hanya sesuatu yang semu.

Jihad pemikiran itu menarik garis yang tegas antara dunia manusia dari dunia binatang.

Manusia harus berpikir untuk menemukan solusi dalam hidupnya. Manusia harus berpikir untuk bisa

hidup bersama secara damai. Binatang hidup damai dengan binatang lainnya dengan mengandalkan

kekuatan [fisik]. Ia taklukkan binatang-binatang lainnya, baru merasa hidup damai. Lalu, jika manusia

tanpa menggunakan pikirannya dalam hidup ini, apa bedanya dengan binatang?

Dengan berpikir manusia bisa mengetahui apakah yang dimakan atau diminum itu

membahayakan tubuhnya atau tidak. Dengan berpikir manusia dapat memahami bahwa judi dan

mabuk-mabukan itu tidak sehat bagi kehidupannya. Dengan berpikir manusia dapat mengerti apakah

langkah yang diambilnya itu membahayakan atau bermanfaat bagi dirinya. Dengan berpikir pula

manusia bisa mengerti manusia lainnya! Apabila manusia sudah dapat mengerti manusia lainnya, maka

di situlah demokrasi dapat ditegakkan. Di situlah keadilan di antara manusia bisa diwujudkan.

Ketika Muhammad Saw dibangkitkan sebagai seorang nabi, beliau pun diperintah oleh Tuhan

untuk menyampaikan berita bahwa dirinya adalah manusia biasa. Mari kita perhatikan ayat berikut.

6: 50 Katakan, “Saya tidak mengatakan kepadamu bahwa saya mempunyai perbendaharaan Allah.

Saya juga tidak mengetahui yang gaib! Dan saya juga tidak mengatakan kepadamu bahwa saya ini

malaikat. Saya tidak mengikuti, kecuali apa yang diwahyukan kepada saya.” Katakan, “Apakah sama

orang yang buta dengan orang yang melihat?” Apakah kamu tidak berpikir (tatafakkarun)?

Ayat ini memberi tahu kita bahwa manusia tidak boleh mengkultuskan manusia lainnya.

Manusia harus diterima dan dihormati sebagai manusia. Manusia tidak boleh dipandang sebagai

malaikat, apalagi Tuhan. Bahwa manusia yang satu punya kelebihan atas yang lainnya adalah benar!

Dan itu tidak perlu diingkari. Suatu kelompok atau masyarakat mengangkat mereka yang memiliki

kelebihan dari kebanyakan anggotanya adalah hal yang wajar, dan perlu. Tetapi, manusia tidak boleh

didewakan, dipertuhan, atau sejenisnya. Rusaknya tatanan pergaulan masyarakat itu karena adanya

pengkultusan terhadap orang-orang tertentu. Demokrasi tidak akan terwujud di suatu masyarakat bila

masih ada manusia di masyarakat yang bersangkutan didewakan. Karena dasar dari demokrasi adalah

egaliter [persamaan] dan kebebasan [liberti]. Keduanya hanya ada dalam perdamaian sejati! Untuk

dapat mencapai perdamaian sejati manusia harus terus berpikir. Dan berpikir itu adalah bagian dari

amalan manusia.

Lalu, apa sih yang disebut ‘berpikir’ itu? Bukankah banyak orang mengatakan bahwa untuk

menjalankan agama tidak perlu menggunakan pikiran? Katanya, banyak hal dalam agama yang tidak

masuk akal. Atau, ada yang mendramatisasi bahwa akal ini tidak masuk ke dalam wilayah agama!

Manusia punya otak. Binatang [bertulang belakang] pun punya! Tetapi binatang tidak dapat

berpikir. Otak pada binatang hanya sebagai markas koordinasi syarafnya. Sedangkan otak pada

manusia juga merupakan alat untuk berpikir. Otak dan pikiran adalah dua hal yang berbeda! Pikiran

lebih besar daripada otak, bahkan lebih besar daripada tubuh manusia itu sendiri. Manusia

menggunakan pikirannya untuk memahami berbagai tanda dan gejala di alam ini. Dan proses

penggunaan pikiran itu ada di otak. Karena itu, jika kita serius berpikir [dan tidak memperhatikan

kondisi kesehatan dan kemampuan otak] kepala kita bisa terasa pening atau pusing. Otak adalah bagian

Page 69: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

69

dari organ dalam fisik kita, seperti jantung, hati, ginjal dan lain-lain. Berapa berat beban yang dapat

dipikul oleh otak, tidaklah sama antara orang yang satu dengan yang lainnya. Tetapi setiap otak punya

batas kekuatan. Ingat, segala sesuatu dicipta oleh Tuhan dengan kadar atau ukuran tertentu.

Perintah berpikir justru untuk mengangkat manusia dari lembah kebinatangannya. Karena itu,

agama tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan alam pikiran manusia. Ketika pikiran

manusia belum berkembang, naluri atau ‘insting’ pada manusia yang berfungsi. Dan, naluri ini masih

berfungsi pada dunia kanak-kanak dan tentu saja pada dunia binatang. Jadi, kalau kita tidak

memberdayakan pikiran kita untuk berpikir, maka tak ubahnya kita ini sebagai kanak-kanak atau

kasarnya tak ada bedanya dengan binatang. Lho, apa bedanya antara pikiran dan berpikir?

Kalau kita mau membuka dan menyimak kamus, kita akan mengerti bahwa salah satu makna

dari ‘pikiran’ adalah akal. Dan seringkali diucapkan secara bergandengan menjadi ‘akal pikiran’. Baik

akal maupun pikiran dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata Arab ‘aql’ dan ‘fikr’. Akal adalah kata

benda Arab yang berasal dari kata kerja aqala yang berarti mengikat. Sedangkan fikr berasal dari kata

fakara yang berarti merenungkan, merefleksikan, mempertimbangkan, memperhatikan, dan menduga.

Jadi, dengan pikirannya manusia dapat memahami makna di balik yang kasat mata. Dengan pikirannya

manusia dapat memahami gejala alam. Tetapi dengan pikirannya pula manusia dapat terjebak sejarah.

Kita tak perlu terjebak dalam definisi ‘apa itu akal [pikiran]’. Tetapi kita tahu bahwa dengan

akalnya manusia dapat mengingat objek-objek diterima panca indra. Dengan akalnya manusia dapat

mengetahui sesuatu yang tidak dapat dimengerti hewan. Dengan akalnya manusia dapat memahami

hubungan antar objek yang diamatinya dan menyimpulkannya. Dan bukan sekedar menyimpulkan

seperti komputer. Kesimpulan manusia bisa menembus dunia yang abstrak. Manusia bisa menghasilkan

pendapat atau ‘ide’, yang tentu saja dibangun dari objek-objek yang diingatnya. Akal pikiran juga bisa

membangkitkan imajinasi. Yang dari sini timbullah seni [tari, pahat, sastra, musik, rupa, olah raga,

perang, kepemimpinan dll], dan penciptaan teknologi. Tetapi dengan pikirannya pula manusia dapat

‘berprasangka’. Dengan berprasangka, sebenarnya manusia telah menipu dirinya. Karena ia telah

memastikan sesuatu yang tidak diketahui-nya. Tentu saja kebanyakan prasangka itu meleset dari

kenyataannya.

Kerja pikiran itu bagaikan sebuah bola. Begitu digelindingkan bola itu ingin terus

menggelinding. Baru berhenti jika menabrak tanjakan atau karena bergesekan dengan bidang yang

dilewatinya. Pikiran juga begitu! Mula-mula bayi dilahirkan tidak dapat berpikir. Lalu, orang-orang di

sekelilingnya mendorongnya, entah sengaja atau tidak, untuk berpikir. Nah, begitu pikiran bekerja sulit

pikiran itu berhenti. Bahkan tatkala kita beristirahat pun pikiran tetap bekerja, yang menghasilkan

‘lamunan’. Ketika tidur pun pikiran bekerja, dan menghasilkan mimpi.

Pikiran yang bekerja tanpa perintah ini bisa menganggu ketenangan manusianya. Sehingga

ada orang yang tidak tenang hidupnya, selalu gelisah, disebut terlalu banyak pikiran. Bila semula

pikiran dipahami sebagai ‘akal’, bila ia menjadi beban manusia pikiran telah menjadi negatif bagi

kehidupan manusia.

Berpikir, bermenung, berefleksi, berimajinasi, mempertimbangkan, menduga, dan

memperhatikan adalah fungsi pikiran. Sedangkan berprasangka dan melamun bukanlah fungsi pikiran.

Orang melamun karena pikirannya bekerja di luar kendali kehendaknya. Orang berprasangka karena

perasaannya bekerja tanpa ditunjang dengan bukti. Bila kita diam atau sembahyang, dan kita tak pernah

mendiamkan pikiran, maka pikiran itu akan berkelana ke mana-mana. Pikiran yang bekerja tanpa arah

ini dapat mendorong orang untuk curiga, buruk sangka, iri, dengki, dendam, fanatisme, dan berbagai

perbuatan negatif lainnya. Baik perasaan maupun pikiran yang bekerja tanpa kendali akan menjadi

“setan”. Karena itu setan tidak pernah ada rupanya! Setan (Inggeris, satan) hanyalah atribut bagi

perbuatan atau tindakan yang menjauhkan diri dari kebenaran. Agar tidak terperangkap setan, manusia

harus berpikir.

Page 70: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

70

Berpikir adalah tindakan untuk menghubungkan berbagai objek untuk menemukan solusi atau

jawaban bagi suatu masalah. Berpikir adalah usaha untuk memahami makna yang terkandung dalam

suatu objek. Dan pada akhirnya, berpikir adalah upaya untuk menemukan kebenaran. Tanpa berpikir

manusia tak akan menemukan jalan hidupnya! Tanpa berpikir agama menjadi tak berarti bagi

kesejahteraan hidup manusia. Tanpa berpikir manusia akan tetap primitif dan tak akan menemukan

kemanusiaannya. Jadi, wajar jika agama [Islam] memerintahkan manusia

berpikir.

Di atas telah dijelaskan bahwa pikiran itu bagaikan bola yang menggelinding. Bila

menggelindingnya tanpa arah, tentu tak akan mengena sasarannya. Karena itu, berpikir harus dilatih.

Harus ada pelatihan untuk kegiatan berpikir. Tanpa ada pelatihan pikiran akan melompat-lompat tak

tentu arah. Imajinasi akan tumbuh menjadi takhyul. Dugaan akan tumbuh menjadi kecurigaan dan

prasangka. Refleksi dan perhatian akan berwujud kecemburuan dan kedengkian.

Manusia memang harus dilatih berpikir sebelum dapat dan terampil dalam berpikir. Dan

ternyata berpikir itu sendiri bertingkat-tingkat. Dari tingkat berpikir yang paling rendah hingga yang

paling tinggi. Yang pertama adalah usaha untuk merekam atau mengingat objek-objek yang

diketahuinya. Dengan kata lain, mengingat atau menghafal asma’ atau nama-nama benda [objek]. Pada

tingkat ini kita baru pada tahap mengetahui nama, ciri dan fungsi dari suatu objek. Pelajaran di sekolah

dari SD hingga SLTA adalah untuk memenuhi fungsi pikiran yang paling dasar tersebut. Karena itu,

tekanannya pada hafalan! Mari kita perhatikan ayat berikut ini.

16: 10 Dia-lah yang menurunkan air dari langit untukmu. Sebagian untuk minumanmu, dan sebagian

lainnya untuk kehidupan tumbuhan. Pada tumbuhan itu kamu gembalakan ternak.

16:11 Dengan air itu Dia tumbuhkan bagimu tanaman zaitun, kurma, anggur, dan berbagai macam

buah-buahan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah ayat bagi orang-orang yang berpikir.

Pada tahap dini ini manusia diajar untuk mengerti bahwa air hujan itu diturunkan oleh Tuhan

semesta alam. Manusia belum dituntut untuk memahami proses hujan itu sendiri. Manusia diberi tahu

bahwa air hujan yang jatuh di bumi ini sebagian dijadikan minuman oleh manusia, sebagian lain

diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Dan dari tanaman yang tumbuh itu, ada yang bisa dipakai

untuk menggembalakan ternak. Ayat berikutnya menjelaskan bahwa dari air hujan tersebut Tuhan

menumbuhkan berbagai buah-buahan. Dengan cara ini pikiran didorong dan dirangsang untuk bekerja

secara sistematik. Otak kiri diaktifkan lebih dulu!

Yang dibangun pada tahap dini ini adalah objektivitas. Manusia diajar untuk dapat melihat

sesuatu apa adanya. Bahasa dasar yang berkembang pada manusia pada tahap ini adalah bahasa notasi.

Sifatnya masih konkret! Yang disebut hanyalah yang dapat ditangkap oleh indra dalam ruang manusia

berada. Cara ini didahulukan agar manusia tidak terjebak dalam alam takhyul. Pelajaran matematika

pada tahap dasar adalah untuk melatih ketrampilan berpikir.

Tahap kedua adalah berzikir! Tahap ini adalah menyalakan fungsi otak kanan yang sangat

berperanan dalam mengendalikan emosi. Dengan didahului oleh pelatihan pikiran, maka manusia tidak

terjebak dalam khayalan yang tanpa arah. Selanjutnya berzikir berfungsi untuk mengendalikan pikiran

dan perasaan. Pikiran tidak berkeliaran lagi. Perasaan menjadi kalem, tenang, tidak agresif. Berzikir

mendorong manusia untuk dapat menerima bahwa di alam ini hanya ada satu realitas puncak, hanya

ada satu kebenaran. Berzikir itu melatih pikiran kita bekerja yang terarah dan terfokus. Sifat menerima

dalam berzikir membuat perasaan tumbuh dengan tenang.

Pengertian berzikir sudah diberikan pada awal pelajaran tasawuf. Agar tidak lupa, saya ulang

di pelajaran ini. Kata zikir berasal dari kata ‘dzakara’ artinya mengingat, menghafal, atau menuangi.

Tadi telah disebutkan bahwa berzikir mendorong untuk bisa menerima satu realitas puncak. Karena itu,

dalam berzikir yang disebut-sebut adalah Sang Realitas Tertinggi itu, yaitu Tuhan. Atau, kalimat-

kalimat yang diyakini berasal dari Tuhan. Dengan berzikir pikiran dan perasaan senantiasa dituangi

atau diisi dengan asma Tuhan atau kata-kata suci. Rekaman-rekaman pikiran yang tidak bermanfaat

Page 71: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

71

secara perlahan-lahan dibuang, dan digantikan dengan kekuatan kata-kata suci. Hasil akhirnya adalah

hati [tempat tumbuh dan berkembangnya perasaan] menjadi tenang, atau terpuaskan. Inilah yang

disebut dalam Surat Al-Ra’d/13: 27 ? 28.

13: 27 Orang-orang kafir (orang yang ingkar) berkata: “Mengapa tidak diturun-kan kepadanya

[Muhammad] mukjizat dari Tuhannya?” Katakan: “Allah niscaya menyesatkan orang yang

menghendaki [kesesatan], dan Dia menunjukkan [jalan] kepada-Nya orang yang kembali,

13: 28 yaitu orang-orang yang beriman. Dan hati mereka menjadi tenang dengan berzikir kepada Allah.

Perhatikan, hanya dengan berzikir Allah hati menjadi tenteram.

Dua ayat di atas menunjukkan adanya dikotomi pada manusia. Yang satu disebut sebagai

‘orang kafir’ dan yang lain dinamakan ‘orang beriman’. Ayat di atas tergolong sebagai ayat yang

diturunkan kepada Nabi di Madinah, dalam masa transisi hijrah ke Madinah. Dikotomi kafir dan iman

menjadi fokus. Karena hijrah merupakan jalan bagi pembentukan komunitas baru, yaitu masyarakat

madani. Pada tahap awal perkembangan Islam di Madinah ini, yang dimaksud ‘orang kafir’ yaitu

orang-orang Qureisy yang mengingkari kenabian Muhammad. Jadi, bukan seperti anggapan kita

sekarang ini, bahwa orang kafir adalah para non-muslim. Orang-orang kafir adalah orang-orang yang

mengetahui siapa sebenarnya Muhammad itu, tetapi mereka mengingkari kebenaran yang dibawa oleh

Nabi Muhammad Saw.

Mereka mengingkari kenabian Muhammad karena mereka beranggapan bahwa seorang nabi

itu harus mampu menunjukkan mukjizat bendawi. Mereka berasumsi bahwa nabi itu tidak sama dengan

manusia umumnya [lihat ayat di halaman depan]. Nabi haruslah manusia super dan penuh magis.

Mereka tidak bisa menerima bahwa nabi itu juga makan, minum, berumah tangga, dan bekerja seperti

manusia lainnya. Inilah pandangan yang tidak berdasar! Mereka tidak memikirkan kebenaran yang

disampaikan kepada mereka. Tapi bagaimana bisa berpikir bila hatinya tidak damai?

Pada tahap awal orang masih bisa berpikir dalam keadaan apa pun. Tentu saja yang bisa

dilakukan adalah berpikir pada tingkat yang paling rendah. Orang yang terus gelisah, resah, gundah,

merasa takut, bingung dan sejenisnya tak mampu berpikir lebih tinggi. Karena itu harus dilandasi

dengan ‘zikir’. Dalam istilah sekarang, ‘berpikir dengan tenang’ atau kepala dingin. Untuk itu gejolak

batin harus diredakan! Dengan hati yang tenteram, jalan ke depan akan terbuka lebar. Jalan menuju ke

kebenaran tampak semakin jelas. Dan, orang yang berjuang untuk kembali kepada kebenaran itulah

sebenarnya yang disebut “orang beriman” dalam ayat tersebut. Jadi, orang beriman bukanlah orang

yang mengaku ‘beragama tertentu’. Jadi, iman bukanlah percaya pada “katanya”. Orang beriman

adalah orang yang dapat menyaksikan kebenaran itu sendiri. Ingatlah kembali penjelasan tentang ‘ilmu

l-yaqin, ‘ainu l-yaqin dan haqqu l-yaqin yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.

Tuhan pasti menunjukkan jalan yang benar bagi orang-orang yang mau kembali kepada-Nya.

Where there is a will there is a way, begitulah pepatah orang Inggeris. Di mana ada kemauan di situ ada

jalan. Kemauan harus ditopang dengan langkah-langkah yang benar untuk mencapainya. Kemauan

harus didukung dengan batin yang tenang. Dengan cara demikian pintu ke kebenaran semakin terbuka.

Tapi sayang, kebanyakan manusia [khususnya orang Islam] mandek sampai pada tahap zikir. Baru

pada kelas dua sudah ‘drop out’, berhenti meningkatkan diri.

Kebanyakan manusia sudah puas dengan berpikir kelas SD dan SLTP. Setelah tercapai hati

yang tenang, tidak tahu lagi kemana akan melangkah. Atau, tidak mau lagi untuk melanjutkan

perjalanan spiritualnya. Ayat 13:28 ini sudah dijadikan pamungkas dalam hidup. Dan ini bisa kita

dengarkan dalam mimbar subuh di radio-radio, dan dapat kita lihat dalam mimbar agama di tv-tv setiap

hari.

Demikianlah uraian zuhud tentang berpikir kali ini. Penjelasan ‘berpikir tahap lanjutan akan

diberikan, insya Allah, pada bagian ke-16. Dan untuk tip pada pelajaran kali ini, mari kita berzikir

dengan cermat dan waspada.

Page 72: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

72

Pertama, duduklah yang relaks dengan punggung tegak lurus. Kedua, pejamkan mata secara

ringan [asal tertutup], dan katupkan mulut. Ketiga, tariklah napas pelan-pelan dengan mengucapkan

[dalam hati] kalimat suci “la ilaha illa l-lah” [tiada tuhan selain Allah]. Tahan sebentar napas Anda,

kemudian hembuskan perlahan-lahan sampai habis dengan disertai pengucapan [dalam hati] kalimat

suci itu lagi. Lakukan selama lima menit saja untuk melatih zikir ini.

Page 73: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

73

Bagian ke-16

[Lanj. Zuhud]

Zuhud adalah tahap tajalli. Manusia dicipta untuk bisa mengekspresikan dan

mengaktualisasikan sebagai manusia yang berkemanusiaan. Tetapi sejarah manusia tidak linear, tidak

berjalan mengikuti garis lurus. Sejarah manusia berjalan melompat-lompat, sehingga ada yang tetap di

tempat dan ada yang maju. Ada pula yang berjalan lambat sekali! Bahkan kebanyakan manusia ini

terseret arus. Namanya saja terseret; jangan dikata bisa ada di depan.

Islam yang dibangun oleh Nabi sebagai kehidupan yang beretika sosial dan individual dengan

semangat demokrasi modern, akhirnya menjadi agama yang penuh kejumudan, kekakuan, kebekuan,

atau kebodohan. Takhyul lama [pra-Islam] dibuang, tetapi didatangkan takhyul baru berlimpah-limpah

masuk ke dalam umat Islam. Takhyul baru ini malah dibungkus dengan hadis-hadis atau ayat-ayat Al

Quran. Dengan takhyul baru ini sebagian besar umat menjadi terbelenggu. Lebih-lebih takhyul ini

diajarkan dan diwariskan dengan bingkai dogmatik. Agama yang penuh pencerahan ini akhirnya

menjadi agama primitif yang penuh momok. Bahkan di dalam tasawuf pun tak lepas dari takhyul-

takhyul baru. Namun, saya tetap menggunakan tasawuf sebagai sarana untuk membangun umat, karena

warna takhyul itu tampak jelas dalam dunia tasawuf daripada dalam dunia komunitas islam lainnya.

Mengapa demikian? Karena tasawuf ada di titik pusat lingkaran agama.

Takhyul perlu dikupas dalam pembahasan zuhud ini. Karena di dalam zuhud ada hijrah dan

jihad pemikiran. Dalam hijrah pemikiran, kita tinggalkan pola-pola pikiran lama yang membelenggu

langkah kemajuan manusia. Jika hijrah pemikiran berarti mematahkan belenggunya, maka dalam jihad

pemikiran kita cari jalan baru ke depan, jalan yang lempang, jalan yang bisa dilalui hingga samai di

maqam Ilahi.

Takhyul adalah keyakinan kosong! Takhyul adalah kepercayaan kepada yang tidak ada [bukan

gaib lho!]. Believe to unreal thing! Pada mulanya semua agama tauhid didirikan di atas landasan yang

nyata, yang riil, on the real thing. Kemudian dalam perjalanannya, komunitas agama itu menjumpai

kejadian dan peristiwa yang ada di luar paradigma agama itu. Maka pengikutnya mulai menerima

takhyul dari luar atau malah mengembangkan takhyul itu sendiri dalam agamanya. Contoh konkret,

“meniti suatu jembatan” seperti rambut dibelah tujuh [tajamnya] adalah kepercayaan yang sudah ada di

persia beberapa abad sebelum masehi. Tak urung, kepercayaan ini merembet ke dalam agama Islam,

dan dibingkai dengan hadis-hadis, dan disahihkan pula. Baru satu contoh! Kalau kita rajin membaca

ajaran-ajaran “mithras, mani, mitologi Yunani, saman dan pengetahuan kuno di wilayah India ribuan

tahun sebelum masehi”, wah banyak yang masuk menjadi bagian-bagian hadis.

Takhyul ini pun menjadi bagian dari pendidikan agama Islam. Bagaimana kita telah dididik

takut sama “momok” sejak kecil. Bagaimana kita dididik untuk dapat mengakui seseorang sebagai

‘wali’ tanpa dididik untuk memahami apa yang dimaksud ‘wali’ dalam Al Quran. Bagaimana ‘jamaah-

jamaah’ tertentu dalam Islam melakukan indoktrinasi atau pembaiatan yang tidak dilakukan oleh Nabi

Muhammad itu sendiri. Orang-orang direkrut masuk jamaah dan diwajibkan meyakini bahwa pimpinan

jamaah-nya orang mursyid, sudah dibaiat dari guru ke guru hingga Nabi Muhammad Saw. Lalu,

anggota jamaahnya disebut ‘telah beriman’, sedangkan yang di luar kelompok [out-group]-nya disebut

‘kafir’. Lhah, ajaran yang seperti ini membuat orang-orang Islam mandek, alias jumud.

Bagaimana tidak jumud? Wong jamaah-jamaah tadi mengajarkan yang tidak benar. Misalnya,

keadaan sekarang ini disebut zaman ‘jahiliah’ sehingga pencarian dana dengan jalan yang haram

dibenarkan. Ada yang menerima ‘rezeki haram’ dihalalkan asal tidak digunakan untuk makan.

Katanya, kalau dimakan harus berasal dari yang betul-betul halal, sedangkan yang untuk kebutuhan

duniawi boleh menggunakan uang haram hasil korupsi, komisi, suap dll. Ini sih, bukan jihad pemikiran

tetapi mundur! Islam tidak membuat dikotomi dunia dan akhirat. Islam mengingatkan, janganlah kita

ini terlalu kuat keduniaannya tetapi lupa akhiratnya. Terjerat kepentingan sesaat tetapi lupa kebutuhan

jangka panjang. Terjebak kehidupan sekarang, tetapi lupa masa depan! Hal-hal semacam inilah yang

Page 74: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

74

diingatkan dalam Al Quran tentang pemahaman dunia dan akhirat. Jadi, bukan dikotomi yang konkret

dengan yang abstrak.

Nah, marilah meniti kembali ke jalan yang benar, ke pemikiran yang benar! Yang pertama,

kita tinggalkan takhyul. Yang kedua, mari berpikir berlandaskan hal-hal yang nyata dulu. Yang ketiga,

kita landasi dengan emosi yang kokoh ?dengan berzikir? agar kita tidak terombang-ambing dalam

kehidupan ini. Agar kita bisa hidup tenang dalam menghadapi badai dalam kehidupan ini. Agar kita

tidak kebablasan sehingga tercipta takhyul yang baru. Nah, dari ketiga tahap jihad pemikiran ini, yang

dua sudah dibabar dalam pelajaran yang lalu. Sedangkan meninggalkan takhyul pada pelajaran yang

lalu tertinggal. Mari kita simak ayat-ayat tentang ketakhayulan ini.

10:36 Dan kebanyakan mereka mengikuti ‘zhan’ [prasangka] saja. Sesungguhnya prasangka itu tidak

dapat mengantarkan kepada kebenaran sedikit pun. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentang

perbuatan mereka.

53:28 Dan mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu [malaikat]. Sesungguhnya mereka itu

hanya mengikuti prasangka. Padahal, prasangka [zhan] itu tidak berguna sedikit pun untuk mencapai

kebenaran.

6:116 Dan jika menuruti sebagian besar orang di bumi, niscaya mereka menyesatkan engkau

[Muhammad] dari jalan Allah. Mereka hanyalah memperturutkan prasangka dan tak lain yang mereka

perbuat adalah kebohongan semata.

6:148 Orang-orang yang menyekutukan Tuhan berkata: “Jika Allah meng-hendaki niscaya kami dan

nenek moyang kami tidak menyekutukan Tuhan, dan kami tidak mengharamkan sesuatu pun.

Demikianlah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan para utusan Tuhan hingga mereka

tertimpa azab Kami. Katakan: “Apakah kamu mempunyai pengetahuan [tentang tauhid] lalu kamu

keluarkan hal itu untuk kami. Kamu hanya mengikuti prasangka dan dusta!”

Nah, mari kita telaah dengan jernih ayat-ayat tersebut! Yang pertama ditegaskan bahwa

sebagian besar manusia itu hanya menuruti prasangka atau ‘zhan’. Kata zhan menunjukkan suatu klaim

tanpa bukti. Ayat 6:148 lebih jelas lagi kata zhan dipasangkan dengan kebohongan atau dusta. Bohong

berarti tidak mengungkapkan yang sebenarnya! Bohong juga berarti menyembunyikan kebenaran.

Ayat pertama menyebutkan bahwa prasangka itu tidak berguna sedikit pun untuk mencapai

kebenaran. Bagaimana bisa sampai kepada kebenaran bila landasannya adalah hal yang tidak benar

atau tidak nyata. Di zaman mitologi kebenaran memang belum menjadi tolok ukur, yang penting

tujuannya benar. Dan, hal ini diwariskan dari nenek-moyang kepada generasi ke generasi berikutnya.

Tetapi setelah pemikiran berkembang, tujuan yang benar harus dilandasi oleh hal-hal yang benar!

Kalau manusia ingin bisa terbang ke angkasa, ya jangan bermimpi punya sayap. Nanti menjadi takhyul.

Manusia harus berpikir bagaimana membuat wahana yang bisa terbang, dengan mempelajari

objektivitas pada burung. Manusia juga tidak perlu membangun energi bagi dirinya untuk bisa terbang

seperti di dalam cerita atau dalam film-film. Apakah hal itu tidak bisa diusahakan? Tentu saja bisa!

Praktik debus, melompati rumah, merayap di dinding, bisa dilatih dengan olah batin yang dalam.

Tetapi energi yang seharusnya digunakan untuk membekali dirinya dalam perjalanan hidup ini

hanyalah dibuang untuk pertunjukan atau ‘show’. Manusia harus belajar pada hal-hal yang nyata yang

telah digelar Tuhan di alam ini. Bukan berpijak pada mitos dan ‘fancy’ atau takhyul. Dulu boleh, ketika

manusia berada di tahap dinamisme, yaitu ketika alam pikiran manusia belum berkembang.

Bumi terus berputar, dan mengelilingi matahari. Populasi manusia telah ratusan kali

banyaknya bila dibandingkan dengan ketika agama-agama besar muncul. Macam dan jenis rangsangan

yang mempengaruhi hidup manusia semakin banyak dan semakin berbeda. Persoalan yang dihadapi

manusia semakin kompleks. Ketika saya di SD belum ada teve di kampung saya, sehingga sehabis

maghrib anak-anak SD bisa belajar dengan nyaman [meskipun pakai lampu minyak, bukan listrik].

Dalam alam yang demikian, momok, hantu, sundel bolong [kuntil anak], jurig, wewe gombel,

gendruwo, takhyul, dan berbagai cerita tentang makhluk jadian berkembang pesat.

Page 75: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

75

Sebenarnya takhyul harus sudah dibuang di tahap takhalli, tahap pengosongan dari berbagai

sifat tercela. Tetapi, membebaskan diri dari belenggu takhyul tidak semudah meninggalkan perilaku

yang tercela. Contoh yang paling konkret, 1400 tahun yang lalu, Nabi membebaskan takhyul

masyarakat Arab yang berupa 360 patung berhala di sekitar Ka’bah. Tetapi sampai hari ini pun tak

terhitung banyaknya orang yang menjadikan Ka’bah sebagai pengganti patung berhala. Mengapa bisa

terjadi demikian? Karena pikiran tauhid belum tumbuh baik di kalangan umat.

Membebaskan takhyul memerlukan peningkatan kesadaran. Sadar itu memahami relasi atau

hubungan antara objek dengan subjeknya. Mampu mengidentifikasi objek-objek yang ada di sekitar

dirinya. Agar tidak terjadi ketakhyulan, kita harus melihat objek secara konkret dulu, sesuatu yang riil

yang diketahui melalui pengalaman secara langsung. Ini adalah tataran terendah dalam berpikir. Dari

pengalaman ini, dapat ditarik suatu kesimpulan, dan lahirlah pengetahuan dan teori. Pengetahuan

dibentuk dari kata “pe+ke+tahu+an” --> pe + ketahuan. Ketahuan adalah hal-hal yang diketahui

[dipersepsi oleh indera]. Karena itu tingkat keimanan atau keyakinan yang paling rendah adalah

keyakinan berdasarkan pengetahuan [ilmu] dan disebut ‘ilmu l-yaqin. Sedangkan bagi yang

mengalaminya sendiri berada di tahap ‘ainu l-yaqin. Lha, kalau kita sudah memahami, mengerti apa

yang kita alami itu, namanya haqqu l-yaqin. Begitulah tahapan keyakinan dalam Islam. Jadi, bukan

keyakinan yang hanya didasarkan pada kepercayaan semata-mata.

Kebanyakan manusia yang hidup di bumi ini hidup berdasarkan prasangka. Ini sangat

berbahaya! Kebanyakan orang hidup berdasarkan prasangka ras, etnis, agama, dan golongan. Ras atau

etnis A merasa lebih unggul daripada ras/etnis lainnya. Orang yang beragama A menganggap dirinya

yang masuk surga, dan orang yang beragama lain disebut masih kafir dan masuk neraka. Semua ini

hasil prasangka, bukan karena telah mengetahui sendiri. Orang yang hidupnya terbelenggu prasangka

mudah disulut atau diprovokasi. Karena itu prasangka dikatakan dalam kitab suci sebagai hal yang tak

berguna sedikit pun untuk mencapai kebenaran. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Indonesia akhir-

akhir ini menunjukkan bahwa banyak manusia Indonesia yang hidupnya di atas altar prasangka. Agar

tidak terjerumus ke dalam prasangka, maka kitab-kitab suci itu harus ditelaah, dipelajari, dan bukan

dibaca untuk mendapatkan pahala. Kerdil betul pikiran kita, bila kita percaya membaca satu huruf

sudah berpahala.

Ayat 6:116 menyebutkan bahwa sebagian besar manusia itu mengikuti prasangka atau zhan.

Lho, ayat ini ngawur atau sesuai fakta? Berdasarkan penemuan-penemuan, hanya 4 ? 5 % otak manusia

digunakan. Dan, orang jenius hanya menggunakan 5 ? 6 persen saja dari kapasitas otaknya.

Hanya sekitar 5% dari populasi manusia yang menggunakan pikirannya dalam kehidupan sehari-hari.

Lha, yang 95% bagaimana? Hidup hanya memenuhi rutinitas pekerjaan. Artinya, tanpa mikir lagi!

Coba kita perhatikan hidup kita sendiri! Dalam sehari kita hidup selama dua-puluh empat jam

atau 1.440 menit. Jika 5% dari hidup ini kita gunakan untuk berpikir, artinya tujuh-puluh dua menit

atau 1,2 jam dalam sehari kita berpikir! Apa iya? Ternyata sebagian besar waktu dalam hidup ini kita

gunakan sebagai pengganti mesin. Kita kerja mengikuti prosedur yang sudah ada, tanpa mikir lagi.

Jadi, wajar bila ada ungkapan ?yang menurut sebagian ulama, bukan ungkapan tetapi hadis?berpikir

satu jam nilainya lebih besar dari sembahyang 1000 rakaat [dalam teks lainnya disebut beribadah

enam-puluh tahun]. Wajar juga, jika kemauan sebagian besar manusia ini dituruti, hidup bisa tersesat.

Bagaimana tidak tersesat, wong kebanyakan pandangan itu hasil prasangka! Hanya warisan dari

generasi ke generasi. Hal ini khususnya terjadi di masa ‘iptek’ belum berkembang, atau di masyarakat

yang sedang berkembang.

Di masyarakat yang sedang berkembang, banyak hal yang direkayasa. Artinya sesuatu dibuat

bukan berdasarkan hal-hal yang konkret. Sesuatu dibuat hanya berdasar akal-akalan pikiran. Partai dan

organisasi dibuat bukan berlandaskan kenyataan dan untuk kesejahteraan anggotanya. Tetapi, untuk

memenuhi kepentingan pribadi pengurus atau panitianya. Demi ambisi jajaran pimpinannya. Lalu

bagaimana mungkin bisa mencapai keberhasilan, wong pendiriannya hasil prasangka dan rekayasa.

Page 76: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

76

Nah, sudah waktunya kita memberdayakan pikiran kita. Kita tingkatkan kapasitas penggunaan

otak kita! Bukan 4-5 % tetapi 5-6%. Jika semula pikiran kita gunakan untuk mengingat asma, atau

nama-nama objek dengan segala ciri dan fungsinya; maka kita tingkatkan penggunaan pikiran ini untuk

memperhatikan relasi-relasi di antara objek-objek yang ada. Kita gunakan pikiran untuk memahami

kaitan objek dengan ruang dan waktu. Di sini kisah dan sejarah manusia menjadi perlu! Kita lakukan

studi perbandingan [komparatif]. Akhirnya kita bisa memperoleh sebuah kesimpulan yang sangat

berguna bagi kesejahteraan manusia. Inilah tahap ‘penalaran’, tahapan berpikir lebih lanjut, setelah kita

terlatih dalam berzikir!

Marilah kita perhatikan 4 ayat dalam Surat Al Ghasyiyah [Kejadian yang dahsyat] yaitu ayat

17 s/d 20 berikut ini.

88:17 Apakah mereka itu tidak menggunakan nalar mereka bagaimana unta itu diciptakan?

88:18 Dan bagaimana langit ditinggikan?

88:19 Dan bagaimana gunung-gunung ditegakkan?

88:20 Dan bagaimana bumi dibentangkan?

Kata ‘nazhara’ tidak cukup diartikan memperhatikan. Ia mengandung makna penyelidikan,

pendataan dan pengamatan terhadap suatu objek. Dalam penalaran ini objek kita kupas dan kita bedah.

Kita bukan cuma melihat. Tetapi kita lakukan langkah-langkah untuk mendapatkan informasi tentang

objek yang kita perhatikan. Kita tidak lagi percaya bahwa hewan diciptakan berdasarkan “sim sala

bim”. Kalau ciptaan itu bersifat “sim sala bim”, perintah tersebut di atas tak pernah ada!

Jika semula ada kepercayaan bahwa bumi itu datar, maka manusia diperintahkan untuk

mempelajarinya, apakah betul kepercayaan itu. Manusia harus mempelajari bagaimana bumi ini kok

bisa dihuni, bagaimana riwayatnya, dan lain-lain. Untuk apa itu semua? Ya, untuk kesejahteraan

manusia itu sendiri! Mengapa tidak Tuhan saja yang membuat kitab ilmu pengetahuan itu lalu

diserahkan kepada manusia? Bukankah Tuhan itu Maha Kuasa? Bukankah dengan adanya kitab suci

‘IPTEK’, manusia tinggal mengikuti instruksi dan proses yang dibabar di dalamnya, dan tidak per lu

berprasangka? Nah, kita mulai menaiki tangga untuk mengenal Tuhan, siapa sesungguhnya Dia. Kita

akhirnya mengerti mengapa perjalanan hidup ini berujung kepada pernyataan “kembali kepada Allah”.

Tetapi untuk dapat kembali ke Dia, kita harus berpikir!

Perhatikan kembali ayat 6:148 di atas. Allah menolak pernyataan orang-orang musyrik “Jika

Allah menghendaki niscaya kami dan nenek-moyang kami tidak menyekutukan Tuhan”. Pernyataan ini

disebut tidak berdasarkan pengetahuan! Ini hanyalah pernyataan yang diwarisi dari nenek-moyang

yang belum berkembang alam pikirannya. Ini adalah pernyataan yang berdiri di atas prasangka, sesuatu

yang tanpa bukti nyata. Sebenarnya pernyataan ini pun ditujukan kepada kita yang tidak musyrik, jika

kita masih bersikap seperti orang musyrik, kita berkutat pada masalah “kehendak-menghendaki”.

Sehingga banyak di kalangan umat ini yang meyakini bahwa “sesat atau mendapat petunjuk” itu atas

kehendak Tuhan. Dan itulah yang dari awal kajian ini saya tegaskan bahwa Allah memberi petunjuk

kepada atau menyesatkan manusia yang menghendakinya [petunjuk atau kesesatan]. Dan, ternyata

petunjuk itu harus diperoleh memalui usaha yang dilandasi pemikiran yang benar, yang berdiri di atas

fakta-fakta dan bukti nyata. Karena itu sejak awal perkembangan agama Islam, Tuhan memerintah

manusia untuk berpikir dengan memperhatikan penciptaan unta, penegakan langit, gunung, dan

pembentangan bumi.

Untuk menutup pelajaran tasawuf hari ini, perlu saya mengingatkan kembali bahwa “Tuhan

bukanlah manusia yang maha pandai atau maha kuasa”. Tuhan adalah Dzat Yang Maha Kuasa dan

Maha Tahu. Penciptaan alam ini merupakan ‘tajalli’ atau manifestasi Tuhan dalam ruang dan waktu.

Jika ‘ruh’-Nya ditiupkan kepada manusia, itu dimaksudkan agar ruh itu bisa kembali kepada-Nya

melalui rentangan waktu yang panjang. Untuk itu manusia dilengkapi dengan ‘al-qalam’, suatu alat

untuk mengetahui sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya.

Page 77: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

77

Tuhan bertajalli dan manusia pun akhirnya harus bertajalli. Di situlah kedua tajalli bertemu,

manusia telah bertemu dengan Tuhannya. Hal inilah yang di dalam ajaran tasawuf disebut “wihdatu l-

wujud” atau dalam khazanah ajaran Jawa disebut “Manung-galing kawula klawan Gusti”, bersatunya

hamba dengan Tuhan. “Inna li l-lahi wa inna ilaihi raji-‘un”, sesungguhnya kita ini berasal dari Tuhan

dan akan kembali kepada-Nya. Nah, dalam bingkai ruang dan waktu ini manusia telah dibekali daya

dan kekuatan untuk kembali kepada-Nya, yaitu dengan kehendak untuk kembali, bukan menunggu

kehendak Tuhan. Kita bukanlah orang musyrik, jadi tak ada ruang untuk “jika Tuhan menghendaki

diriku” [demi kepentinganku].

Page 78: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

78

Bagian ke-17

[Lanj. Zuhud]

“La ilaha illa l-lah”, tidak ada tuhan selain Allah. Inilah konsep pokok yang diajarkan oleh

Muhammad Saw. Yang pertama adalah negasi, yaitu ‘tidak ada tuhan’, tidak ada yang menjadi tujuan

akhir. Negasi ini penting sekali dalam perjalanan hidup ini. Tanpa negasi, manusia akan terbelenggu

oleh berbagai ilah, atau tuhan-tuhan yang sudah menjadi kepercayaan masyarakat. Selanjutnya, harus

dilakukan ‘peneguhan’ atau konfirmasi, bahwa tujuan manusia adalah Allah. Tidak mungkin hidup

tanpa tujuan! Dan satu-satunya tujuan adalah “Yang Maha Benar”, yaitu Allah. Yang Maha Benar

tentunya cuma satu. Dia-lah Allah atau Tuhan [tuhan dengan ‘T’ besar dalam ejaan bahasa Indonesia].

Dalam berpikir pun harus didahului oleh ‘negasi’, agar kita dapat menemukan yang benar.

Yaitu, kita harus berpikir yang bebas dari takhyul. Bila hidup kita masih terbelenggu takhyul maka kita

tak akan dapat menemukan kebenaran. Nah, dari tahapan berpikir, pada pelajaran zuhud yang terakhir,

kita sudah sampai ditangga ‘penalaran’. Dan setiap kali kita menapaki tangga ini harus berpegangan

pada ‘zikir kepada Allah’ atau dzikru l-lah. Jadi, berpikir dan berzikir itu seperti ‘tangga’. Anak

tangganya adalah berpikir, dan ibu tangganya yang menjadi pegangan ketika menaiki anak tangga

adalah berzikir. Ini penting sekali diperhatikan! Sebab, setiap kali kita menggunakan pikiran, bisikan

takhyul itu datang.

Lho, dari mana takhyul itu datang jika kita berpegang teguh pada asas pikiran? Tentu saja dari

dorongan emosi kita, dari batin kita, yang disebut “hawa” dalam bahasa Arab, dan diindonesiakan

menjadi ‘hawa nafsu’. Hawa nafsu adalah dorongan batin yang sangat kuat untuk bertindak tanpa

dilandasi pikiran. Sedangkan ‘nafsu’ adalah dorongan untuk meredakan ketegangan dalam diri. Hal ini

penting untuk diketahui agar kita bisa memahami arti masing-masing. HS [sexual intercourse] adalah

nafsu. Tetapi jika tindakan HS itu tanpa dilandasi kebenaran [just do it], maka tindakan HS tersebut

berarti hanya untuk memenuhi hawa nafsu. Salah satu makna ‘hawa’ adalah jatuh. Maka orang yang

memenuhi hawa nafsunya berarti mendorong jatuh dirinya. Banyak orang yang berbuat dengan

memperturutkan hawa nafsunya. Dan hal ini di dalam Al Quran disebut perbuatan syirik atau musyrik

[orangnya].

Nah, mari kita perhatikan ayat-ayat yang berkaitan dengan hawa nafsu [baik ayat utuh maupun

hanya bagian ayat yang dikutip].

4:135 Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan,

menjadi syuhada’-nya meskipun terhadap dirimu sendiri, ibu-bapakmu, atau kerabatmu; baik ia kaya

atau miskin. Allah lebih [mempunyai hak] atas mereka. Maka janganlah mengikuti hawa nafsu

sehingga kamu berlaku tidak adil.

38:26 “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan engkau khalifah di bumi. Maka berikan keputusan

yang benar di antara manusia, dan jangan engkau mengikuti hawa nafsu; karena hawa nafsu itu

menyesatkan engkau dari jalan Allah. Barangsiapa yang menyimpang dari jalan Allah niscaya akan

tertimpa azab yang keras. Mereka sesungguhnya telah melupakan hari perhitungan.”

7:175 Dan bacakan kepada mereka tentang orang-orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat

Kami. Lalu, mereka menarik diri dari [ayat] itu. Kemudian, setan mengikutinya sehingga ia tersesat.

7:176 Dan bila Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan dia dengan [ayat] itu. Tetapi, dia ingin

menetap di bumi, dan memperturutkan hawa nafsunya. Perumpamaannya bagaikan anjing, engkau

halau atau biar-kan, tetap menjulurkan lidahnya. Inilah perumpamaan orang yang mendustakan ayat-

ayat Kami. Sampaikan kisah ini untuk mendorong mereka mau berpikir.

18:28 ... Dan jangan engkau mengikuti orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari berzikir kepada

Kami, dan dia [cuma] mengikuti hawa nafsunya, dan selalu melampaui batas dalam urusannya.

18:29 Kemudian katakan, “Kebenaran itu dari Tuhanmu! Barangssiapa yang menghendaki keimanan

maka hendaklah dia beriman, dan barangsiapa yang menghendaki kekafiran maka hendaklah dia kafir.

....

Page 79: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

79

28:50 ... Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk

dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak mem-berikan petunjuk kepada orang-orang zalim.

25:43 Tahukah engkau orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Akah engkau

[Muhammad] sebagai pelindungnya?

45:23 Adakah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah

membiarkan sesat berdasarkan ilmu? Dan Dia menutup pendengaran dan hatinya, dan menjadikan

sebuah tutup bagi penglihatan [abshar]-nya. Selain Allah, siapakah yang menunjuki-nya? Mengapa

kamu tidak bertazakur?

Nah, ada sembilan ayat tentang peranan hawa nafsu yang akan dikupas dan diulas dalam pelajaran hari

ini.

Pertama, orang-orang beriman diperintah Tuhan untuk menegakkan keadilan. Adil, baik

terhadap ibu-bapak maupun kerabat! Perhatikan kaitan antara keimanan dan keadilan. Itulah sebabnya

dari awal pelajaran ini ditegaskan bahwa keimanan bukanlah semata-mata ‘kepercayaan’. Orang

beriman harus berusaha hidup adil, termasuk kepada orangtua dan kerabatnya. Adil dalam kehidupan

nyata yang

disebut sebagai syuhada’ Allah. Sengaja kata syuhada’ tidak saya terjemahkan. Karena syuhada’ adalah

orang yang menyaksikan dan disaksikan Allah. Menyaksikan Allah berarti menyaksikan kebenaran itu

sendiri. Disaksikan oleh Allah berarti disaksikan oleh Yang Maha Benar, karena itu adil terhadap siapa

pun [yang kita cintai dan kita benci]. Inilah salah satu unsur pokok orang yang beriman!

Kedua, keadilan dipertentangkan dengan hawa nafsu. Orang yang mengikuti hawa nafsunya

akan bertindak atau berbuat tidak adil. Mengapa demikian? Karena adil itu bersifat ‘fair’, bersikap

seimbang dan proporsional terhadap semua orang. Adil itu tidak berat sebelah! Adil tidak berpihak

kepada seseorang karena hubungan kekerabatan atau kekayaannya. Dan untuk dapat berlaku adil

manusia harus mampu menimbang dengan benar. Untuk itu diperlukan pikiran!

Sering kita mendengarkan kalimat “kita harus menggunakan akal sehat” atau “menurut akal

sehat” dan lain sebagainya. Kalau kita perhatikan kalimat tersebut, ada pengertian bahwa ada ‘akal

yang tidak sehat’. Yang benar adalah akal selalu sehat. Akal adalah representasi Tuhan Yang Maha

Esa. Tuhan adalah Akal Yang Maha Agung! Karena itu Tuhan bersifat Maha Mengetahui. Orang yang

bodoh, orang yang tidak mampu menimbang sesuatu dengan benar, tidak berarti akalnya tidak sehat

atau sakit. Ia adalah orang yang tidak mampu menggunakan akalnya. Karena itu orang harus dilatih

menggunakan akalnya. Ia harus diajari bagaimana mengasah pikirannya. Pikiran yang diasah dengan

benar akan menjadi tajam, mudah tanggap terhadap sesuatu. Lalu, pikiran yang tajam itu harus

digunakan dengan benar, sehingga bisa memberikan solusi yang tepat dalam kehidupan ini.

Ketiga, berdasarkan ayat 38:26 suatu keputusan yang benar adalah keputusan yang tidak

timbul dari hawa nafsu. Artinya, keputusan akan benar bila dilandasi dengan pemikiran yang benar.

Hawa nafsu akan menyesatkan manusia dari jalan yang benar, yaitu jalan Allah. Hawa nafsu adalah

tindakan tanpa pikiran. Yang penting keinginan terpenuhi tanpa peduli cara dan akibatnya. Karena itu

hawa nafsu menyesatkan manusia dari jalan yang benar. Ia membawa manusia ke jalan yang salah!

Nah, setelah memahami ketiga uraian di atas, sampailah kita pada kesimpulan bahwa

prasangka, takhyul, hawa nafsu, dan setan, sesungguhnya adalah wajah-wajah dari ‘thaghut’, yaitu

sikap yang melampaui batas! Semuanya adalah sisi-sisi dari thaghut yang sama. Mengikuti hawa nafsu

juga disebut sebagai ‘mengikuti setan’. Dan pada ayat 38:26 tersebut dikatakan bahwa orang yang

mengikuti hawa nafsu adalah orang yang melupakan hari perhitungan, melupakan konsekuensi

perbuatannya. Orang itu lupa bahwa setiap perbuatan itu ada akibatnya! Dikiranya suatu perbuatan itu

tak ada bekas-nya dalam perjalanan hidup ini.

Kembali kepada langkah-langkah dalam berpikir. Pertama, harus kita tinggalkan prasangka

[syak]. Kedua, harus kita bebaskan dari takhyul. Lalu, kita bingkai dengan sabar dan zikir. Agar proses

melihat, mendengar, dan mengingat itu bekerja dengan jernih. Sebab kegugupan, keraguan, dan ilusi

Page 80: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

80

akan mempengaruhi persepsi kita pada kenyataan yang kita indrawi itu. Ketiga, kita lakukan penalaran,

reasoning. Jangan emosi, atau hanya mengikuti hawa nafsu. Penalaran adalah upaya memahami sebab-

akibat pada objek yang menjadi perhatian kita. Kita perhatikan relasi antara objek-objek yang ada di

sekitar kita ini. Kemudian, penalaran itu kita bingkai dengan tazakur, yaitu perenungan dan penjernihan

pikiran.

Lho, apa bisa orang awam diajak berpikir? Tentu saja bisa! Yang penting setiap orang harus

dirangsang dan didorong untuk menggunakan pikirannya sesuai dengan kapasitas otaknya atau

kapabilitasnya. Seseorang tak perlu dibebani melebihi takaran kemampuannya. Dan, yang paling pokok

adalah umat harus dibebaskan dari belenggu prasangka, takhyul, dan hawa nafsu. Inilah modal dasar

umat untuk berpikir! Dengan bebas dari ‘pth’ umat bisa dituntun untuk melihat kebenaran. Dengan

modal dasar itu umat bisa dibawa maju, tidak jumud [mandek]. Dengan cara berpikir yang benar,

kesadaran bisa ditingkatkan. Perlu diperhatikan kembali bahwa tingginya pengetahuan yang dicapai

seseorang tak ada kaitannya dengan kesadaran. Karena pengetahuan didapat dari luar, sedangkan

kesadaran diperoleh dari dalam diri seseorang itu sendiri. Kesadaran berkaitan dengan keimanan.

Sedangkan pengetahuan adalah tahap awal bagi keimanan. Jadi, setinggi-tingginya pengetahuan

tidaklah sama dengan ‘ain atau telah mengalami sendiri. Tetapi pengetahuan yang tinggi disertai

pengalaman mengantarkan seseorang naik ke tahap ‘haqq al-yaqin’.

Apa artinya “pengetahuan yang tinggi + pengalaman” => keyakinan yang haq? Saya tak perlu

membuat definisinya. Tetapi Anda bisa memahami bagaimana sekiranya anak kecil mengalami sesuatu

tanpa pengetahuan atau orang yang berpengetahuan tanpa pengalaman. Anak kecil tidak mengerti apa

yang dialaminya. Berpengetahuan tanpa pengalaman berarti tak ada penghayatan kebenaran. Kita

memiliki pengetahuan tentang rasa daging, tetapi tanpa mengecapnya, bagaimana kita mengetahui

kebenaran rasa daging itu sendiri? Kita memiliki pengetahuan tentang khusyu’, tetapi kita tidak pernah

mengalami khusyu’, bagaimana kita bisa mengerti kebenaran khusyu’?

Sekarang marilah kita perhatikan ayat 7:175-176. Apa saja yang ada yang bisa kita tangkap

dengan indera adalah ayat-ayat Tuhan. Ayat-ayat yang kasat mata adalah pijakan bagi ayat-ayat

kitabiyah. Tanpa mengerti ayat-ayat kauniyah [kasat mata] sulit untuk dapat mengerti kandungan ayat-

ayat kitabiyah. Jika kita tidak menghayati arti sebuah kemiskinan atau kekalahan, bagaimana kita bisa

menegakkan keadilan? Bila kita tidak mengerti hukum Tuhan yang digelar di alam ini bagaimana kita

bisa memutuskan kebenaran? Jika kita tidak mengerti makna sebuah perjanjian, bagaimana kita dapat

menghormati kerja sama?

Memahami ayat-ayat Tuhan, baik yang kauniyah maupun yang kitabiyah, adalah tangga untuk

dapat kembali kepada Tuhan. Jika seseorang memperturutkan hawa nafsu, tak peduli terhadap

lingkungannya, maka setanlah yang mengikuti tingkah lakunya. Dan selanjutnya, setanlah yang ada di

depan menuntunnya. Jika setan yang menuntun, ya akan keluar dari jalur yang benar. Apabila

seseorang memalingkan diri dari kebenarn, maka setanlah yang mengikutinya. Lalu setannya siapa? Ya

dirinya sendiri yang terjebak ‘pth’ dalam hidup ini. Jadi, jangan cari-cari bentuknya setan!

Lalu, ayat 176 menyebutkan bahwa Tuhan menghendaki derajat yang tinggi bagi hamba-Nya

yang tidak mau melekat [menetap] di bumi! Untuk dapat memahami arti “melekat (menetap) di bumi”

memerlukan penalaran dan perenungan. Apa artinya “tetapi ia ingin menetap di atau cenderung kepada

bumi”, wa lakinnahu akhlada ila l-ardhi? Tanpa menggunakan pikiran, kita tak bisa memahami ayat ini.

Yang jelas, Tuhan tidak meninggikan derajat atau kedudukan orang yang cenderung kepada bumi atau

dunia. Tentu ini pun bukan bermakna harfiah, dalam arti naik pangkat, menjadi kaya materi dan lain-

lain. Tetapi ini bermakna batiniah, seperti jiwanya tercerahkan, dirinya terbebas dari jeratan materi atau

kesementaraan. Kalimat ingin menetap di bumi atau cenderung kepada dunia disambung dengan

mengikuti hawa nafsu, artinya lebih memilih kehidupan sementara, atau kehidupan jangka pendek,

ketimbang kehidupan jangka panjang atau kehidupan di masa depan!

Orang yang lebih mementingkan kehidupan dunia atau jangka pendek ini bagaikan anjing,

dihalau atau dibiarkan lidahnya tetap terjulur. Artinya, diberi pelajaran atau tidak, sama saja. Pelajaran

atau peringatan tak akan mengubah sikap hidupnya. Ayat ini merupakan rangkaian ayat yang

Page 81: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

81

menuturkan kehidupan komunitas Yahudi. Pada zaman Musa ada seorang hamba yang menguasai

pengetahuan keagamaan [lahir-batin]. Ia adalah Baal Am bin Baura, dan paham betul tentang

kebenaran hidup ini. Tetapi ia iri kepada Musa, ia merasa tersingkir dengan datangnya Nabi Musa.

Sehingga ia bersama dengan para pengikutnya berusaha menyingkirkan Musa. Mengapa tindakan itu

dia lakukan? Karena Baal Am [atas desakan pengikutnya] lebih memilih kehidupan jangka pendeknya

daripada jangka panjangnya. Ia tinggalkan kebenaran, dan ia ikuti hawa nafsunya. Sehingga malanglah

nasibnya. Ia tidak lagi menjadi orang yang tercerahkan, tetapi justru konfrontasi dengan Nabi Musa.

Ayat itu ditutup dengan kalimat “ceritakan kisah itu agar mereka berpikir”.

Jelaslah sudah suatu kisah, hikayat, sejarah, disampaikan kepada generasi berikut-nya itu

bukan hanya untuk dipercaya, tapi dipikirkan pesan-pesan dan kandungannya agar manusia bisa

melangkah dengan benar ke masa depannya. Apa mutiara hikmah yang ada di dalam suatu kisah atau

sejarah, atau bahkan legenda, itulah yang harus ditimba. Jadi, dengan berpikir kita tidak hanya terpaku

pada fakta. Tetapi kita lebih melihat makna yang terkandung, sehingga kisah, sejarah, mitos, legenda

itu dapat digunakan sebagai tongkat untuk menyongsong hari depan kehidupan manusia. Dengan

berpikir manusia dapat mencari makna dan realita di balik fakta-fakta dan data. Kita bisa memahami

kebenaran yang terselubung oleh bentuk objek-objek yang tercerap oleh indera.

Jika berpikir itu menjadi fungsi pokok manusia, lalau dimana letaknya intuisi dan wahyu bagi

manusia? Lalu, apa artinya kita harus meningkatkan di ke tingkat kesadaran "zero mind" atau "No-

mind"? Ingat, 'to mind' tidak sama dengan 'to think' apa lagi dengan 'to contemplate' [merenungkan].

Pada pelajaran kali ini tidak dibahas dulu perihal wahyu atau intuisi. Tetapi perlu diberikan gambaran

agar konsep 'berpikir' menjadi jelas. Para nabi bukanlah orang-orang yang bodoh. Bahkan mereka

adalah manusia-manusia yang sungguh-sungguh merenungkan [berpikir mendalam] kebenaran di alam

ini. Mereka merenung agar bisa menemukan solusi dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Dan

solusi itu untuk kesejahteraan manusia, baik sebagai individu maupun komunitas.

Sekarang mari kita lanjutkan ulasan ayat 18:28-29. Kita diperingatkan untuk tidak mengikuti

orang-orang yang melalaikan hatinya untuk berzikir. Dengan kata lain, kita jangan termasuk orang-

orang yang memperturutkan hawa nafsu. Bagaimana kita bisa menjadi tenang dan berpikir jernih jika

yang kita ikuti itu orang-orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai pimpinannya. Orang-orang yang

mengedepankan hawa nafsu mereka itu lebih mementingkan pribadi dan golongan mereka. Bukan

kebenaran yang menjadi perhatian atau kepedulian mereka, tetapi 'kepentingan'. Karena itu orang

demikian disebut 'selalu melampaui batas' dalam urusannya. Orang demikian memang sudah tidak

kenal dan tahu lagi batas-batas yang harus dipatuhi. Nah, kalau hidup tanpa batas, kemana lagi

perginya kalau tidak semakin melenceng.

Kebenaran sudah pasti datangnya dari Tuhan. Wong semua ini diciptakan berdasar-kan

kebenaran, dan bukan kebatilan. Tentu saja yang mengetahui hakikat sesuatu adalah Tuhan, karena

Dia-lah pencipta segala sesuatu. Tetapi, di bumi ini, cuma manusia yang dianugerahi "al-qalam", atau

akal. Dengan al qalam manusia dapat mengetahui sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Dengan

berbagai kelengkapan yang diberikan Tuhan, manusia diberi kebebasan untuk menjadi manusia

beriman atau kafir. Jadi, manusia tidak dicetak untuk menjadi beriman atau kafir. Karena itu manusia

diberi amanat dan dituntut tanggungjawab dan akuntabilitasnya. Tak ada pengertian 'jabariyah' atau

paksaan Tuhan dalam agama. Karena itu, hidup beragama pun tidak dipaksakan.

Dalam ayat 28:50 ditegaskan bahwa orang yang mengikuti hawa nafsunya tidak akan

mendapat petunjuk dari Tuhan. Orang yang menuruti hawa nafsu disebut juga sebagai 'orang zalim',

orang yang menganiaya. Dan, petunjuk Tuhan tak akan datang pada si zalim. Celakanya jika si zalim

ini menjadi 'penggede', pejabat tinggi, elite, atau mala'. Petunjuk Tuhan tak akan sampai pada mereka.

Akibatnya, rakyat bawahan akan menjadi sengsara. Tetapi, percayalah, jika di tengah suatu komunitas

masih ada orang-orang yang 'berzikir dan berpikir' suatu saat pasti ada orang yang menjadi juru ingat!

Di tengah deru kezaliman masyarakat industri di Eropa abad ke-19, muncullah Nietzsche [meskipun

kita dididik keliru dalam melihat dia]. Di tengah kezaliman komunisme Soviet, muncullah Gorbachov

yang mendengungkan 'glasnost' dan 'perestroika'. Tentu saja, tidak cukup hanya munculnya sang juru

Page 82: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

82

ingat. Tetapi perlu ada tindakan! Dan tindakan itu harus bisa diterapkan berdasarkan 'POAC',

perencanaan, pengorganisasian, pengaktualisasian, dan pengawasan yang benar. Penegakan moral dan

keadilan tidak cukup hanya dengan modal niat. Harus disertai kemauan, kehendak, dan kepiawaian.

Karena kebenaran tidaklah berjalan dengan sendirinya.

Puncak dari mengikuti hawa nafsu adalah menjadikannya tuhan. Yaitu, menjadikan hawa

nafsu itu sebagai tuhan yang disembah dan dipatuhi! Inilah syirik yang tidak tampak rupanya, tetapi

lebih dahsyat dari berhala. Kalau berhala berupa patung, hanya orang bodoh yang memuja. Tetapi

berhala 'hawa nafsu', orang yang berpengetahuan 'sundul langit' [setinggi langit] pun bisa menjadi

pengikutnya. Jika orang memperturutkan hawa nafsu, maka Allah membiarkannya tersesat.

Pendengaran dan hatinya dibiarkan tertutup karat. Nasihat, petunjuk, petuah tak mempan lagi. Bahkan

penglihatannya pun ada tutupan. Sehingga jerit derita masyarakat tidak tampak lagi. Semuanya

bagaikan angin lalu. Dianggap seperti kentut, bau sebentar dan hilang. Mau cari petunjuk dari siapa

lagi, kalau tidak kembali kepada Allah? Agar pemikiran kita tidak masuk ke jurang setan, maka kita

harus "berpikir+berzikir". Manakala kita membuang pemikiran, maka kita tinggal tunggu bencananya!

Kajian kita kali ini merupakan bagian terakhir dari zuhud, dan bagian ke-18 adalah "topik

ridha". Semoga kita bisa berzuhud di tengah kehidupan modern dan tanpa batas ini, tanpa harus

mengasingkan diri di gua-gua. Wa billahi t-taufiq wa l-hidayah.

Page 83: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

83

Bagian ke-18

(Ridha)

Hari ini kita masuk ke dalam pembahasan “ridha”. Kata ridha sudah diserap ke dalam bahasa

Indonesia menjadi “rela”. Yang artinya berbuat atau bertindak dengan suka hati tanpa pamrih. Rela

juga berarti dengan kemauan sendiri dan tanpa paksaan. Nah, ‘ridha’ sebenarnya memiliki makna yang

lebih dalam daripada ‘rela’. Dengan kata lain, rela hanyalah bagian dari ‘ridha’. Walaupun dalam

kamus bahasa Indonesia, kata ridha disamakan dengan rela.

Ridha [yang di dalam kamus ditulis juga ‘ridlo’] adalah suatu maqam, posisi, atau tingkatan

dalam perjalanan spiritual (tasawuf). Mengapa oleh pakar atau ahli tasawuf ‘ridha’ tidak ditempatkan

pada tangga pertama? Jika ridha menjadi tangga pertama, maka ia akan berkonotasi ‘tindakan yang

dilakukan karena kekalahan’. Ridha bukan lagi sebagai perjuangan untuk mendaki dalam perjalanan

spiritual, tetapi berserah diri karena suatu paksaan. Karena itu, orang yang ridha bukan orang yang

berserah diri karena kekalahan, tetapi orang yang menang dan berserah diri.

Konteks ridha tidak dapat dipisahkan dengan ‘kecintaan kepada Allah’. Pada awal pelajaran

tasawuf telah saya sampaikan makna dan perwujudan cinta, yang bersandar pada ayat 3:31, “Katakan

[Muhammad] kepada mereka, ‘jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah (beritibaklah)

kepadaku, niscaya Allah mencintai kalian dan menutupi dosa-dosa kalian. Sesungguhnya Allah itu

Maha Pelindung dan Maha Penyayang.’” Sudah saya jelaskan pula bahwa ‘mengikuti’ tidak sama

dengan meniru atau taklid. Mengikuti berarti memperhatikan keteladanan yang ditampilkan oleh Rasul

saw lalu diterapkan dalam kehidupan sehari. Bukan karena Rasul berjenggot dan bergamis, terus kita

pun ikut berjenggot dan bergamis. Kalau itu, anak kecil pun dapat mengikutinya, tak perlu memahami

ayat-ayat Al Quran. Padahal banyak ayat di dalam Al Quran yang memerintahkan kita untuk

memperhatikan dan memahami ayat-ayat-Nya yang ada di dalam kitab-kitab-Nya maupun yang

kauniyah, yang digelar oleh Tuhan di alam raya ini. Jadi, mengikuti Rasul tidak identik dengan meniru

beliau.

Mengikuti keteladannya harus disertai dengan aktif berfikir dan berzikir. Orang Islam harus

pandai menimbang bagaimana mengimplementasikan ajaran Islam dalam situasi dan kondisi yang ada

sekarang berdasarkan teladan dari beliau. Sehingga orang yang mengikuti keteladanan beliau betul-

betul hidup dalam ‘naungan’ Ilahi.

Dalam pandangan ahli makrifat, ridha adalah buah dari mahabbah, cinta, yang paling mulia.

Apa sebabnya? Karena pecinta [orang yang sudah jatuh cinta] harus selalu merelakan apa yang

diperbuat oleh kekasihnya. Dan ketahuilah, yang dicinta itu adalah Dia Yang Maha Agung, yang

melindungi para pecintanya. Saya tidak menggunakan kata “pencinta”, tetapi “pecinta”. Pencinta

adalah orang yang mencintai pada saat tertentu. Sedangkan ‘pecinta’ adalah orang yang betul-betul

mencintai tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Jadi, yang mendapat perlindungan dari Allah adalah para

‘pecinta-Nya’ dan bukan ‘pencinta-Nya’.

Dalam sebuah Hadis Qudsi disebutkan:

“Man lam yardha bi qadha-i wa lam yashbir ‘ala bala-i falyaltamis rabban siwaya.”

[Barangsiapa tidak rela terhadap ketetapan-Ku, niscaya dia tidak akan sabar terhadap ujian dari-Ku.

Jika sudah begitu, biarlah dia mencari Tuhan selain Aku.]

Nah, ridha ternyata terkait dengan kerelaan untuk menerima “qadha” atau ketetapan Tuhan.

Ketetapan yang mana? Bukankah Tuhan itu Maha adil? Tuhan jelas Maha Adil. Tetapi keadilan Tuhan

tidak sewenang-wenang, atau bersifat zalim. Hal ini sudah kita pelajari pada bagian yang lalu. Jadi,

ketetapan yang harus kita terima dengan rela hati adalah ketetapan yang sudah kita setujui sebelum kita

lahir.

Page 84: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

84

Contohnya seperti apa ketetapan yang kita setujui sebelum kelahiran kita? Ya, kita dikandung

oleh ibu yang melahirkan kita. Itu pilihan kita! Meskipun kita tidak mampu mengingatnya. Sehingga

ada orang yang protes, ‘salahnya siapa mau melahirkanku, kan bukan aku yang minta dilahirkan’.

Protes itu benar bagi orang-orang yang hanya mampu memahami kulit sebuah objek. Tetapi protes itu

salah bagi mereka yang mampu memahami makna yang terkandung dalam suatu objek. Bagi anak

kecil, suatu benda hanya dikenal kulitnya atau bentuk luarnya. Dia tidak mengerti bahwa suatu benda

itu mengandung energi potensial dan energi kinetik jika bergerak.

Seperti yang telah saya uraikan, seseorang tidak akan sabar terhadap sesuatu jika dia tidak

mengerti rancangan atau program yang terkandung dalam sesuatu yang sedang dihadapinya itu. Sama

halnya dengan kehidupan kita ini. Bila kita tidak memahami bahwa dahulu sebelum kita lahir ini sudah

teken kontrak dengan Tuhan, kita pun tak akan rela dengan ketetapan yang ada. Dan akhirnya, kita pun

tak akan sabar terhadap berbagai hal yang menimpa kita. Karena itu, disindir oleh Tuhan, “jika begitu

yaa biar-lah dia mencari Tuhan selain Aku”.

Setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini, sebenarnya sudah teken kontrak sebelumnya.

Yaitu, di ‘alam nafs’ atau ‘alam jiwa’. Dalam kalimat Al Quran hal ini dinyatakan cukup sederhana,

hanya dengan kalimat “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Di alam nyata, meskipun berupa alam nafsani,

ya betul-betul suatu kerelaan untuk menempuh kehidupan di dunia ini dengan segenap

pertanggungjawabannya. Namun hal ini tidak bisa saya ceritakan di tulisan ini. Mengapa sulit? Karena

yang diceritakan ini sebuah kenyataan yang hanya bisa dialami.

Untuk memudahkan, saya berikan gambaran tentang keyakinan. Yang kita terapkan pada hal

yang nyata. Telah kita ketahui bahwa ada tiga tingkatan keyakinan, yaitu, ilmu l-yaqin, ‘ainu l-yaqin,

dan haqqu l-yaqin. Banyak orang yang secara teoritis hafal tahapan ini. Tetapi, bila diminta untuk

menunjukkan perbedaannya dalam kehidupan sehari-hari, dia mengalami kesulitan. Hal ini terjadi,

karena dia tidak memahami apa yang dimaksud dengan tahap ilmu, ‘ain, dan haq. Terutama, biasanya

kesulitan membedakan antara yang ‘ain dengan yang haq. Nah, sekarang saya beri contohnya dalam

kehidupan sehari-hari. Berdasarkan pengetahuan yang ada kita tahu adanya minuman kopi. Tetapi,

berdasarkan pengetahuan semata-mata, kita dapat salah dalam memastikan suatu minuman itu kopi

atau bukan. Nah, setelah kita meminumnya, kita bertambah yakin bahwa yang diminumnya itu kopi

atau bukan. Pengalaman minum kopi ini disebut ‘ainul-yaqin. Hanya pernah minum kopi, dan tidak

pernah menghayati dalam meminumnya, kita tidak akan mengetahui jenis kopi apa yang diminum itu.

Kita pun tidak mengetahui kopi tersebut berasal dari daerah mana. Seseorang yang sudah dapat

membedakan ini jenis robusta, atau arabika, dari Indonesia atau dari Afrika, maka dia disebut sudah

ada di tahap haqqul-yaqin.

Hidup juga melalui tahapan demikian. Ketika kita mengetahui ayat-ayat Tuhan hanya karena

diajar oleh orang lain, maka keyakinan kita baru pada tahap ‘ilmul-yaqin. Setelah kita merasakan pahit

getirnya hidup ini, maka kita masuk ke tahap ‘ainul-yaqin. Nah, apabila kita sudah sanggup

mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada diri kita, kita bisa merasakan hal-

hal yang terjadi pada diri kita, maka kita sebenarnya ada di tahap haqqul-yaqin. Masing-masing

mempunyai jangkauan atau kedalaman tertertentu. Misalnya, ada orang yang tahu sedikit ilmu. Tetapi,

ada pula orang yang tahu banyak ilmu. Selama belum merasakan atau mempraktikkan sendiri, kedua

orang itu ada pada tahap yang sama, yaitu ilmul-yaqin.

Al-Quran memberitahu kita bahwa kita telah teken kontrak dengan Tuhan. Hal ini

dikemukakan pada Surat Al-A’raf/7:172 dan Surat Rum/30:30.

7:172 Dan ketika Tuhan dikau menjadikan lahirnya keturunan bani Adam, dari zuhur mereka, dan

membuat persaksian atas diri mereka sendiri: “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Mereka menjawab:

“Ya, kami menyaksikan Engkau.” Kita semua bersaksi. [Persaksian itu dibuat] agar pada Hari Kiamat

kalian tak berkata: “Sesungguhnya kami telah lalai tentang hal ini.”

Page 85: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

85

7:173 Atau, kalian tak berkata: “Sesungguhnya orangtua-orangtua kami dulu juga menyekutukan

Engkau. Sedangkan kami ini hanya mereka. Apakah Engkau membinasakan kami lantaran perbuatan

[orangtua-orangtua kami] yang batil itu?”

30:30 Maka hadapkan wajah engkau kepada landasan yang benar. Allah telah menciptakan manusia

berdasarkan fitrah. Tak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah landasan yang benar! Tetapi

sebagian besar manusia tidak mengetahui.

30:31 [Hakikatnya] manusia kembali kepada-Nya. Karena itu, bertakwalah kepada-Nya, dan tegakkan

salat dan jangan menjadi orang-orang musyrik.

30:40 Allah adalah Yang telah menciptakan kalian. Kemudian memberi kalian rezeki. Kemudian

membuatmu mati. Kemudian membuatmu hidup lagi. Adakah sekutu kalian yang dapat berbuat sesuatu

yang demikian ini? Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka sekutukan.

Ayat pertama memberitahu kita bahwa sebelum manusia lahir, jiwa-jiwa mereka telah

mengadakan persaksian dengan Tuhan. Kapan itu? Ketika jiwa-jiwa itu bangkit dari [jalur tulang]

punggung. Dalam agama-agama India atau Cina, jalur tempat bangkit jiwa ini dikenal sebagai jalur

“qi”, chi. Jalur ini memanjang dari tulang ekor hingga ubun-ubun. Bagi mereka yang menguasai pusat-

pusat energi yang disebut “chakra”, maka tulang punggung [tulang belakang] adalah letak titikpusat-

titikpusat chakra. Dari jalur itulah tumbuhnya kehidupan. Al-Quran hanya memberitahukan globalnya

saja. Dan kitalah yang harus berusaha menyelaminya, sehingga kita mengerti peranan dari tulang

punggung tersebut dalam kehidupan ini.

Tuhan membuat persaksian atas diri mereka, atas nafs-nafs mereka. Dengan kata lain, Tuhan

membuat nafs manusia bersaksi atas dirinya ketika sudah bangkit dari tulang punggung kedua orangtua

mereka, yaitu ketika embrio terbentuk. Nafs-nafs itu bersaksi, mengakui adanya Satu Kekuatan, yaitu

Allah. Nafs-nafs itu bersaksi atas ketetapan yang harus mereka penuhi ketika sudah lahir sebagai

manusia. Dan, kita semua, nafs-nafs dan Tuhan bersaksi atas ikrar tersebut. Untuk apa? Agar manusia

tak melakukan pengingkaran terhadap kesaksian itu pada Hari Kebangkitan. Kalau Anda mencermati

ayat berikutnya, tahulah Anda bahwa yang dimaksudkan dengan kata “Hari Kebangkitan” adalah saat

bangkitnya kita di alam kematian. Ingatlah kembali Hadis Nabi, “Sesungguhnya manusia itu dalam

keadaan tidur, dan ketika mati sesungguhnya dia bangun.” Mari kita simak lagi Surat Qaf/50:22,

“Sesungguhnya engkau telah melalaikan hal [kematian] ini. Kini Kami membuka tabir yang menutupi

engkau, maka pada hari ini penglihatan engkau menjadi tajam.”

Ketika mati pandangan manusia menjadi tajam. Persaksian yang telah dibuat pada saat jiwa

memasuki embrio tampak kembali. Manusia melihat dirinya sebagai pemain sandiwara dalam

kehidupan ini. Jadi, manusia tak bisa mengelak lagi. Manusia tidak bisa menyandarkan perbuatannya

pada orangtuanya. Dan ayat 7:173 menunjukkan dengan jelas bahwa peristiwa kebangkitan itu pada

saat kematian. Perhatikan kalimat akhirnya, “apakah Engkau membinasakan kami lantaran perbuatan

orangtua yang batil?” Kalau peristiwa ini terjadi setelah kiamat semesta, tentu saja ucapan ini menjadi

berantai dari orang berdosa ke orangtua berdosa ke orangtuanya orangtua berdosa dan seterusnya tak

ada akhir. Hal ini memang sulit sekali untuk diterangkan jika kita masih ada di tahap ‘ilmul-yaqin.

Ayat 30:30 mempertegas proses kehidupan manusia. Manusia diperintah untuk melihat

landasan yang benar dalam kehidupan ini. Yaitu, landasan bagi penciptaan dirinya yang disebut

‘fitrah’. Ada kekeliruan dalam mengartikan ‘fitrah’. Seringkali fitrah diartikan “suci”. Fitrah diartikan

sebagai kehidupan tanpa noda. Jika manusia semua lahir suci, tanpa noda, maka hasil yang diperoleh

dari suatu pengaruh kehidupan yang sama, seharusnya sama. Misalnya, kalau ada seratus bayi, dididik

dalam ruang yang sama dan cara yang sama, seharusnya hasilnya pun sama. Ini namanya suci! Jika

hasilnya tidak sama berarti kualitas asalnya tidak sama. Wong perlakuannya sama kok hasilnya

berbeda. Berarti bibitnya tidak sama kualitasnya.

Lalu apa fitrah itu? Fitrah berasal dari kata “fa-tha-ra”, yang artinya membuat sesuatu terjadi.

Contohnya demikian, ada tepung terigu, gula, telor, air, soda, lalu kita campur dan kita lakukan adukan

dan setelah dioven terbentuklah “roti”. Dengan bahan yang sama tetapi dengan komposisi kandungan

Page 86: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

86

yang berbeda, terjadilah roti yang berbeda. Nah, fitrah adalah sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh

komposisi bahan tadi. Dan bahan untuk penciptaan manusia tidak berubah. Yaitu, fisiknya terdiri dari

tanah, air, udara, api dan cahaya. Kemudian dimasukkan nafs dan ruh kedalamnya. Nafs yang tekor

energi metafisiknya [akibat hutang sebelumnya] bersaksi untuk memilih lahir di tengah-tengah

keluarga miskin. Ingat, Tuhan tidak pernah menzalimi hamba-Nya! Dan, hal ini sudah saya jelaskan

pada bagian sebelumnya.

Agar Anda tidak lupa, maka saya tampilkan kembali beberapa ayat yang jelas-jelas

menyatakan bahwa Allah tidak menzalimi manusia. 1) Sesungguhnya Tuhan tidak berbuat zalim

terhadap manusia sedikit pun, tetapi manusialah yang berbuat zalim terhadap dirinya [QS 10:44]. 2)

Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seorang pun meskipun sebesar debu, dan jika ada kebaikan

sebesar debu niscaya Dia melipatganda-kan dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya [QS

4:40]. 3) Dan Tuhan engkau tidak menganiaya seorang juapun [QS 18:49]. Jadi, jelas sekali yang

menyebabkan seseorang itu lahir dalam kehidupan yang penuh kesusahan itu berasal dari dirinya

sendiri. Justru Tuhan dengan kasih-Nya melipatgandakan kebaikan yang dilakukan oleh manusia.

Tuhan tak pernah korup terhadap kebaikan manusia.

Lho, kalau kita pernah berbuat sebelum ini, mengapa kita tidak ingat? Justru manusia tidak

ingat itu Tuhan memberi kabar tentang hal ini di 7:172-173. Dan tentu saja, meyakini kebenaran ayat

tersebut baru pada tahap ‘ilmul-yaqin. Wong baru tahu karena membaca sendiri ayatnya atau diberi

tahu orang lain. Dan, penutup ayat itu pun menyebutkan bahwa “sebagian besar manusia tidak

mengetahui [tentang landasan penciptaan yang benar itu]”. Kalau masih pada tahap ‘ilmul-yaqin’,

manusia sulit untuk bisa memasuki maqam ridha.

Kita sering mendengar orang yang mengatakan “semuanya ini takdir Tuhan”. Kaya atau

miskin, selamat atau tertimpa musibah, semuanya merupakan takdir Tuhan. Manusia lupa bahwa

Tuhan tidak berbuat zalim sedikit pun terhadap manusia. Ucapan tersebut lahir dari kekalahan manusia

dalam menghadapi tantangan hidupnya. Akhirnya, Tuhan menjadi kambing hitam dalam kenestapaan

hidup manusia. Manusia lupa bahwa Tuhan telah membuat semua organnya berfungsi dengan baik

ketika dilahirkan. Manusia lupa bahwa lahir sebagai orang Indonesia, Cina, India, Arab, atau Barat, itu

adalah pilihan hidupnya. Manusia lupa bahwa sambil menjalani peran hidupnya yang sudah

dipersaksikan itu, seharusnya dia menyiapkan masa depannya, akhiratnya. Baik itu untuk dinikmati

dalam kehidupan sekarang ini, maupun kehidupan nanti.!!

Nah, kita jangan mudah mengklaim bahwa apa yang terjadi pada kita adalah takdir Tuhan.

Padahal itu semua adalah our destiny, takdir kita sendiri. Tuhan justru memfasilitasi kehidupan

manusia, supaya ia dapat hidup sejahtera. Itulah sebabnya, disebutkan bahwa “kebaikan sebesar debu

[zarah]” akan dilipatgandakan nilainya, dan mendapat pahala yang besar. Dan, sistem inilah yang

disebut fitrah itu! Jadi, Tuhan tidak merugikan manusia walaupun sebesar debu. Tetapi, bila ada

kebaikan, nilainya dilipatgandakan 10 kali lipat hingga 700 kali, tergantung kualitas perbuatannya.

Perhatikanlah ayat 30:31, dinyatakan dengan tegas bahwa hakikatnya manusia itu kembali

kepada Allah, kembali kepada jalan Allah, jalan yang benar. Inilah jalan yang ditempuh manusia dari

zaman ketika manusia belum bisa disebut manusia hingga jadi manusia Homo sapiens sapiens. Dan

agar dapat kembali kepada-Nya manusia diperintah untuk selalu bertakwa, selalu memelihara dirinya di

jalan yang benar. Manusia harus menegakkan salat, selalu berhubungan dengan Tuhan Yang Mahaesa,

dan tidak menjadi manusia musyrik, manusia yang mementingkan egonya. Ingat, mengabdi kepada

berhala?berupa apapun?adalah akibat manusia mementingkan egonya. Apa yang disebut ‘ibadah’ pun

bisa menjadi berhala bila itu lahir dari dorongan hawa nafsu untuk dirinya sendiri, dan memutuskan

hubungannya dengan lingkungannya [biotik dan abiotik, baik yang hidup maupun lingkungan bukan-

hidup].

Manusia harus ingat siklus hidupnya! Ada kehidupan, ada kematian, dan kembali hidup lagi.

Dengan adanya sistem rezeki yang dibuat Tuhan, manusia terfasilitasi untuk menempuh proses hidup

dan mati hingga menemukan jalan Tuhan. Dengan proses hidup dan mati itu manusia mampu menapaki

keyakinannya dari tingkatan ilmu hingga yang haq, hingga yang hakikat dalam hidup ini.

Page 87: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

87

Jika kita belum bisa menapaki keyakinan hingga puncaknya maka kita masih mungkin

mengalami hidup dalam kejiwaan yang terbelah. Di satu sisi, kita yakin akan adanya kehidupan di

masa depan. Di sisi lain, kita berbuat zalim. Padahal Tuhan tidak akan mau menunjuki orang-orang

yang berbuat kezaliman. Bahkan, jika kita melihat keadaan bangsa kita yang mudah diprovokasi,

mudah terseret ke dalam krisis, gampang ikutan dalam beraksi negatif; menunjukkan kurangnya orang-

orang kuat yang berada di maqam ridha. Padahal adanya elite-elite di maqam ini kita dambakan sekali,

sehingga mereka betul-betul tanpa pamrih membangun negeri ini.

Demikianlah pelajaran awal mengenai ridha. Semoga pelajaran ini memotivasi diri kita untuk

meningkatkan posisi spiritual kita. Bi l-lahi t-taufiq wa l-hidayah.

Page 88: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

88

Bagian ke-19

[lanj. Ridha]

Ridha adalah buah dari pohon mahabbah, pohon cinta. Artinya, ridha tak akan ada bila tidak

didahului oleh rasa cinta. Orang yang mencintai kekasihnya, ia akan rela melakukan dan memenuhi apa

yang diminta oleh sang kekasih. Tetapi, ridha bukanlah hasil dari cinta buta. Ia adalah hasil dari suatu

prestasi spiritual!

Orang yang ridha telah menapaki jalan objektif rasional. Ia tidak berangkat dari tataran

subjektif, semata-mata terhanyut oleh perasaannya. Ya, menapaki kehidupan tasawuf memang harus

sehat pikirannya. Tak ada dualisme dalam menapaki tasawuf. Jangan dibuat dikotomi antara kehidupan

dunia dan tasawuf. Kita sekarang ini memang hidup di dunia. Dengan semua komponen intelegensi

[IQ, EQ dan SQ] kita menapaki kehidupan yang objektif dan rasional. Keyakinan yang kita bangun pun

berasal dari keyakinan yang objektif rasional, yaitu diawali dengan keyakinan berdasarkan ilmu, ilmu l-

yaqin. Lalu, ditingkatkan ke ‘ainu l-yaqin, dan selanjutnya ke haqqu l-yaqin. Jadi, pendekatan yang

dilakukan dalam kehidupan beragama, khususnya tasawuf, harus dimulai dari tahu dulu, dan bukan

yakin dulu!

Memang, sudah menjadi pendapat umum bahwa dalam kehidupan beragama orang harus

yakin dulu. Inilah pendapat yang salah kaprah! Bahkan ada yang menganalogkan dengan naik kapal

atau pesawat terbang; yang penting yakin selamat dulu, dan bukan cari tahu kapal atau pesawat itu akan

selamat atau tidak. Ini adalah analog yang sama sekali tidak benar. Sadar atau tidak, sebenarnya calon

penumpang itu sudah menyimpul-kan bahwa kapal yang akan ditumpanginya itu aman. Darimana

kesimpulan itu datang? Tentu saja dari keberadaan kapal yang akan ditumpanginya itu. Coba Anda

pikirkan, bagamaina sekiranya lebih banyak pesawat yang jatuh daripada yang selamat hingga di

tujuan. Tentu lebih banyak orang yang takut naik pesawat daripada yang berani. Hal ini lain dengan

hidup beragama. Hampir semua orang tidak tahu [dengan pasti] apa yang sesungguhnya terjadi di balik

kematian.

Nah, hidup ini ternyata menyongsong suatu misteri. Orang hidup ini [hampir semuanya] antri

memasuki dunia yang tidak diketahuinya, dunia yang masih gelap! Jika orang beragama itu yakin akan

masuk surga [menurut keyakinan agamanya], terus terang itu hasil dari keyakinan buta. Lho, hidup

beragama kan mengikuti nabi dan rasul [yang membawa agama], bagaimana mungkin dikatakan

mengikuti keyakinan buta? Nah, nah, di sini yang perlu diluruskan! Ketika nabi, rasul atau utusan

Tuhan itu masih hidup, maka benarlah pernyataan “mengikuti nabi”. Tetapi setelah nabi atau rasulnya

tidak lagi di tengah-tengah umatnya, maka pemeluk suatu agama sebenarnya mengikuti “katanya”.

Agar tidak masuk dalam kategori “katanya”, maka kita dituntut untuk mempelajari ajaran yang dibawa

nabi itu secara objektif rasional. Untuk menjadi pengikut seorang nabi, tidak cukup hanya yakin, tetapi

harus menelaah, merenungkan, dan mencoba memahami makna yang terkandung di dalam ayat-ayat

kitab sucinya. Dan, ini baru tahap ilmu l-yaqin, suatu keyakinan berdasarkan pengetahuan.

Pengetahuan agama yang diperolehnya itu digunakan sebagai landasan beramal. Baik amalan

itu untuk dirinya dan keluarganya, maupun untuk orang lain. Tentu saja amalan itu harus bermanfaat

kepada lingkungan hidupnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Amalan yang demikianlah

yang disebut “amal saleh”. Kebiasaan beramal saleh ini akan membawa manusia kepada tahap ‘ainu l-

yaqin. Ditopang dengan sikap sabar dan zuhud, insya Allah kita bisa memasuki dunia yang terang,

bukan dunia yang gelap lagi. Dunia yang dimasuki ini tidak misteri lagi, sudah terbuka selubungnya.

Keyakinan pada tahap ini adalah haqqu l-yaqin.

Ketika seseorang sudah mencapai keyakinan yang haq, maka runtuhlah tembok penyekat diri

dan Tuhannya. Iri dan dengki telah terkelupas dari hatinya. Baku hantam karena berebut kebenaran

tidak ada lagi. Bukan karena dibuat-buat, tetapi memang sudah kasyaf. Hakikat objek-objek di

sekeliling kita telah tersingkap! Pohon cinta, atau sajaratul mahabbah, tumbuh dengan suburnya. Dari

pohon cinta inilah lahir “ridha”! Orang rela untuk memenuhi permintaan Sang Kekasih, karena dia

yakin dengan haq bahwa Kekasihnya itu tidak membawa ke alam derita atau alam neraka.

Page 89: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

89

Sebaliknya, jika kita masih berebut kebenaran, berebut “agamaku” yang benar dan bukan

“agamamu” yang benar, berarti kita masih di tahap keyakinan buta. Wujud dari keyakinan buta adalah

menganggap praktik keagamaannya yang paling benar. Orang semacam ini, paling tinggi masih berada

di tahap keyakinan berdasarkan ilmu atau katanya. Pada tahap ini agama tidak dijadikan pegangan

hidup, tetapi hanya sebagai identitas. Pada tahap ini orang menjalankan salat, puasa, zakat dan haji

hanya untuk membangun identitas diri. Yang dalam bahasa sehari-hari disebut menjalankan kewajiban

agama. Dengan telah memenuhi kewajibannya itu, biasanya dia yakin akan masuk surga. Karena dia

telah merasa menjadi kekasih Tuhan! Dan terus terang, di milis-milis agama sekarang ini, kita masih

berkutat pada klaim-klaim kebenaran agama. Kita tak mempedulikan lagi apakah praktik keagamaan

kita ini sudah bisa mengantarkan ke tingkat haqqu l-yaqin atau belum.

Marilah kita menelaah dua butir ayat di bawah ini, agar kita tidak mudah saling klaim terhadap

kebenaran agama.

2:94 Katakanlah [Muhammad], “Jika tempat tinggal di akhirat, di sisi Allah itu, khusus buat kalian dan

bukan buat orang lain, maka carilah kematian bila kalian orang yang benar.”

62:6 Katakanlah: “Hai orang-orang Yahudi, jika kamu mengira bahwa kamu kekasih Allah, dan bukan

orang lain, maka carilah kematian bila kamu adalah orang-orang yang benar.”

Kedua ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang tinggal di Jazirah Arab, di

Madinah khususnya. Dan, ini tidak berarti hanya buat orang Yahudi. Ayat ini hakikatnya ditujukan

kepada seluruh manusia yang bersikap seperti Yahudi tersebut. Nabi diperintah Tuhan untuk

menyampaikan bantahan kepada mereka. Pada waktu itu, orang-orang Yahudi mengklaim bahwa

merekalah manusia-manusia yang benar, yang menjadi kekasih Allah. Sehingga mereka mengklaim

sebagai manusia yang paling layak menghuni surga. Bagaimana dengan orang lain? Mereka

menganggap orang lain itu berada di jalan yang salah, dan bukan kekasih Tuhan.

Bantahan apa yang perlu disampaikan oleh Nabi Muhammad? Bantahannya: jika memang

hidupnya benar di dunia ini, ya cari saja kematian. Buat apa hidup di dunia yang penuh derita ini jika

sudah pasti masuk surga di akhirat nanti. Kan lebih baik buru-buru ke sana, buat apa menunggu ajal

menjemput? Tapi nyatanya mereka tidak berani mati segera. Mengapa tidak berani mati? Ya, karena

kebenaran yang diakui itu hanya sebatas “katanya”. Coba kalau kita tahu bahwa kalau kita mati pasti

masuk surga, wah kita mungkin tak perlu nunggu hari esok untuk mati. Coba kalau kita tahu dengan

pasti ada juru selamat bagi kita yang menyelamatkan kita di balik kematian, tentu kita lomba cepat-

cepatan untuk dapat mati.

Makanya, dalam kehidupan beragama ini kita dididik dan dilatih untuk dapat meningkatkan

kemampuan spiritual kita. Untuk apa? Agar kita bisa lolos dari kegelapan di dunia yang akan datang.

Ibadah tidak lagi dilakukan untuk membangun identitas. Justru ibadah dilakukan untuk berlatih,

riyadhah, untuk meningkatkan kecerdasan kita [IQ, EQ dan SQ]. Untuk apa kecerdasan perlu

ditingkatkan? Ya, untuk memecahkan persoalan hidup, baik hidup di dunia sekarang ini maupun dalam

kehidupan nanti! Kita tidak boleh spekulasi. Ingat, spekulasi itu ‘gambling’, judi, jauh dari kebenaran.

Tanpa berbekal kecerdasan kita tak akan mampu menjawab teka-teki kehidupan ini.

Dalam kehidupan tasawuf, kita tidak dididik untuk menghafal teori “wajib, sunat, haram,

makruh dan mubah”. Salat dilakukan bukan untuk membebaskan dari kewajiban dan juga bukan untuk

membebaskan diri dari dosa. Salat dilakukan seperti yang dinyata-kan dalam Surat Thaha/20:14,

“Dirikanlah salat untuk berzikir kepada-Ku”. Jadi, jelas sekali bahwa salat itu merupakan pelatihan diri

untuk berzikir kepada Tuhan. Kembali pada pelajaran sebelumnya, berzikir itu untuk

meningkatkan?baik kualitas maupun kuantitas?energi kita. Dan, salah satu bentuk energi adalah

kecerdasan. Juga ditegaskan dalam Surat Al-Ankabut/29:45, “...dan dirikanlah salat, sesungguhnya

salat itu mencegah perbuatan keji dan munkar. Sungguh berzikir kepada Allah itu paling besar nilainya.

Dan Allah mengetahui apa saja yang kamu lakukan.” Jadi, jelaslah bahwa sasaran salat: pertama, untuk

Page 90: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

90

berzikir kepada Tuhan; kedua, untuk mencegah perbuatan keji dan munkar. Artinya apa? Salat kita

efektif bila ada buahnya!

Karena itu, dalam hidup bertasawuf, bukan pencerahan yang kita harapkan, tetapi kemampuan

kita untuk “bertindak yang mencerahkan”. Ya, tindakan yang membuat kita cerah dalam hidup ini, dan

juga orang lain menjadi cerah karena perbuatan dan tindakan kita. Kalau tak ada lagi kekejian dan

kemungkaran yang kita lakukan, tentu saja sisi positifnya yang akan muncul, yaitu amal saleh dan

syukur.

Di atas telah disebutkan bahwa kecerdasan diperlukan dalam hidup sekarang ini dan nanti,

dunia dan akhirat. Dengan kecerdasannya manusia mampu mempelajari dan memahami realita alam

raya ini. Dengan kecerdasannya manusia dapat memahami cara-cara dunia ini bekerja, mekanisme

alam ini bekerja. Jika kita tidak dapat memahami di alam sekarang ini, maka jangan berharap bisa

memahami cara kerjanya alam di hari nanti. Marilah kita simak ayat-ayat berikut ini.

17:72 Wa man kana fi hadzihi a‘ma fa huwa fi l-akhirati a‘ma wa adhallu sabila.

[Barangsiapa buta batinnya di dunia ini, niscaya di akhirat lebih buta lagi, dan bahkan jalan yang

ditempuhnya lebih sesat]

30:07 Mereka itu hanya mengetahui yang lahir dari kehidupan dunia ini, tetapi mereka lalai tentang

kehidupan akhirat.

Manusia terdiri dari unsur lahiri dan batini. Pancaindra adalah komponen lahiri bagi manusia

untuk menangkap kesan-kesan objek di sekitarnya. Tetapi, apa yang dapat ditangkap oleh pancaindra

tak akan mempunyai arti apa-apa bila tidak dipahami oleh komponen batini [hati, pikiran, dan lubuk

hati] manusia. Bagi anak kecil yang umurnya di bawah dua tahun, tak akan mengerti bahayanya

menyeberangi jalan raya, meskipun dia tahu di jalan banyak mobil lalu-lalang. Orang yang tidak

memahami akibat berbuat keji dan munkar, seperti berbuat zalim, menyakiti orang lain, membuat

orang lain hidup menderita, akan seenaknya bertindak dalam kehidupan ini.

Jika sekarang orang itu sudah buta batinnya, maka di alam akhirat akan lebih buta lagi. Jika

sekarang sudah bertindak bodoh dalam kehidupan ini, maka di akhirat akan lebih bodoh lagi jadinya. Ia

tidak tahu lagi jalan mana yang harus ditempuh. Salat, haji, puasa dan zakat tak ada artinya bila

kekejian dan kemunkaran menjadi kebiasaannya. Dunia dan akhirat adalah garis kontinum. Dunia dan

akhirat bukan dua hal yang terpisah. Tak ada dikotomi, yang ini buat kehidupan di dunia dan yang ini

buat yang di akhirat. Dikotomi ini yang membuat orang hidup dengan kepribadian terbelah. Di satu sisi

rajin ke rumah ibadah, tetapi di sisi lain turut berkiprah dalam kemunkaran. Lalu ditimbang sendiri

bahwa ibadahnya lebih banyak daripada kemunkarannya. Ini namanya spekulasi! Bukan tahu, tapi

cuma prasangka.

Coba kita perhatikan kehidupan umat Islam di dunia sekarang ini. Kemiskinan merajalela di

mana-mana, tetapi orang pergi haji semakin tahun menyebabkan Padang Arafah semakin tak mampu

menampung. Jurang antara si kaya dan si miskin di dunia Islam semakin lebar. Kebekuan atau

kejumudan dalam berpikir melanda umat Islam. Anarkisme banyak terjadi di negara-negara yang

mayoritas penduduknya beragama Islam. Negara-negara Islam hanya menjadi objek konsumerisme

negara-negara maju. Mengapa hal ini terjadi? Karena umat Islam lalai tentang kehidupan akhiratnya!

Umat Islam lalai terhadap masa depannya. Umat Islam hanya terpaku pada kehidupan formal lahiriah.

Syariat agama hanya dipahami secara mentah.

Umat telah kehilangan pijakan. Kehidupan akhirat dipisahkan dari kehidupan dunia.

Kehidupan batiniah dipisahkan dari kehidupan lahiriah. Seakan-akan dunia dan akhirat merupakan dua

jalan yang berbeda. Dunia fisik dan dunia spiritual dipandang terpisah. Masing-masing didekati dengan

cara yang berbeda. Akhirnya lahirlah sosok-sosok dengan kepribadian yang terbelah. Dan, runtuhnya

peradaban Islam disebabkan oleh dikotomi-dikotomi. Seolah-olah ada ilmu akhirat yang sifatnya

Page 91: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

91

‘fardhu ain’, dan ada ilmu dunia yang sifatnya ‘fardhu kifayah’. Sehingga jika ada orang yang belajar

ilmu listrik atau pertanian dipandang remeh bila dibandingkan belajar Al Quran dan Hadis. Sungguh

berbahaya cara pandang demikian!

Jika kita masih terjebak dikotomi dunia dan akhirat, maka jangan harap kita bisa meraih

maqam ridha. Bukankah kita ini adalah khalifah di bumi? Bagaimana mungkin kita cuma menghargai

ilmu-ilmu untuk hidup di bumi ini sebagai kewajiban kifayah, atau kewajiban yang bisa ditinggalkan

bila sudah ada seseorang yang mengerjakannya? Lha bagaimana kalau orang yang mengerjakan itu

bodoh? Apa tidak babak-belur kehidupan umat? Sedangkan ilmu-ilmu agama dihargai sebagai fardhu

ain, yaitu yang harus dilakukan oleh setiap orang. Seolah-olah dengan belajar ilmu agama terus kita

bisa masuk surga! Dan dengan gampangnya ilmu-ilmu kealaman dinyatakan bukan ilmu agama. Inilah

dikotomi!

Jika kita mau menyimak Surat At-Taubah/9:122, maka tahulah kita bahwa orang-orang

mukmin diseru untuk memperdalam pengetahuan agama. Tetapi ternyata yang dimaksud dengan

pengetahuan agama pada masa itu berbeda dengan yang dipahami sekarang ini. Pengetahuan agama,

ketika Al Quran masih diturunkan kepada Nabi, dimaksudkan untuk menjaga diri dalam kehidupan ini.

Sekali lagi, untuk menjaga diri! Menjaga diri di mana? Di bumi ini untuk memenuhi peranannya

sebagai khalifah, wakil Tuhan di bumi ini.

Manusia harus memperdalam ilmu sesuai dengan bakatnya. Kemudian diintegrasi-kan dalam

kehidupan agamanya. Sehingga kehidupan masyarakat terjaga! Inilah pesan ayat tersebut. Karena itu

ketika perang berkecamuk hebat, setiap golongan masyarakat [firqah] diperintah untuk mengirimkan

serombongan warganya guna menuntut ilmu agama. Ilmu yang bisa difungsikan untuk menjaga

kehidupan masyarakat.

Memang jenis ilmu pada waktu itu sangat terbatas, cuma berupa ketrampilan menunggang kuda,

memanah, berenang, dan menyulam [bagi perempuan]. Sedangkan ilmu humaniora baru berupa

pemahaman hukum-hukum agama untuk kehidupan bersama. Nah, Al Quran sebenarnya adalah pelita.

Ia pelita bagi orang yang mencari ilmu.

Sejak awal pelajaran tasawuf ini telah saya jelaskan bahwa Al Quran adalah peta bagi

perjalanan hidup. Ia merupakan lampu dalam perjalanan hidup. Peta atau lampu tak ada gunanya jika

kita tidak membacanya dengan seksama. Meskipun petanya jelas, lampunya terang, tetap tidak ada

gunanya jika kita sendiri tidak mau menempuh per-jalanan. Lihatlah kembali dalil “inna li l-lahi wa

inna ilaihi raji-‘un”, sesungguhnya kita ini berasal dari [atau, kepunyaan] Allah, dan sesungguhnya kita

ini kembali kepada-Nya. Lha, kalau kita tidak mau ambil pusing dengan khitah kita dulu, kita tidak

mau melakukan perjalanan, ya apa kita bisa sampai yang dituju?

Lalu, apa hubungannya kita mencari ilmu dengan ridha? Ilmu adalah cahaya bagi kita untuk

berbuat atau bertindak. Ilmu adalah petunjuk pelaksanaan [juklak] bagi kita untuk bekerja yang benar

dalam hidup ini. Supaya kita tidak bekerja secara ngawur atau sembarangan. Jika kita ngawur dalam

menjalankan pekerjaan, tidak akan membuahkan hasil [seperti yang diharapkan]. Atau, kalau toh ada

hasilnya, amat jauh dari memadai. Karena itu kita mencari ilmu! Dan, itu harus terintegrasikan dalam

kehidupan beragama seperti yang dipesankan pada ayat 9:122.

Dengan demikian, ilmu merupakan cahaya bagi kita dalam menjalani kehidupan bertasawuf

yang benar. Dengan ilmu itu kita dapat bersabar, berzuhud yang didalamnya terkandung iman, hijrah

dan jihad. Bila yang kita lakukan itu benar maka kita akan sampai pada puncak keyakinan yaitu haqqu

l-yaqin. Tak ada lagi keraguan! Tidak syak lagi terhadap permintaan Sang Kekasih. Kita rela, ridha.

Pada saat kita ridha itu cahaya kesadaran memancar di dalam diri kita. Ya, kita menjadi sadar bahwa

kita sebenarnya berdiri dan bergerak di hadapan Ilahi.

Untuk itu, marilah kita simak ayat penutup pelajaran hari ini. Yaitu Surat Fathir, ayat 27 ? 28.

Ayat ini biasanya dipenggal ujungnya, sehingga berbunyi “yang paling takut di antara hamba-Nya

adalah ulama”. Kenyataannya sangat banyak ulama yang tidak takut, alias tidak menyadari Tuhannya.

Bagaimana bisa disebut takut, bila mereka tetap berkolaborasi dengan kekuasaan demi kesejahteraan

hidup mereka sendiri?

Page 92: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

92

35:27 Apakah engkau tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menurunkan air hujan

dari langit, lalu dengan air itu Kami tumbuhkan buah-buahan yang beraneka macam warnanya. Dan, di

antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka warna. Dan, ada yang sangat

hitam.

35:28 Demikian pula yang terjadi pada manusia, hewan melata, dan binatang ternak, beraneka macam

warna dan bentuknya. Sesungguhnya yang betul-betul sadar [takut] terhadap Allah di antara hamba-

Nya adalah para orang yang berilmu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha Melindungi.

Perhatikan ayat-ayat tersebut dengan seksama. Manusia dituntut untuk memahami tanda-tanda

dan gejala-gejala di alam. Untuk apa? Agar kita mengetahui dengan pasti bagaimana alam itu bekerja.

Sehingga kita tidak ngawur dalam bertindak. Sehingga kecintaan kita pada Sang Kekasih berbuah

ridha. Nah, ujung ayat itu memberi tahu bagi pencari ilmu, pencari kebenaran, bahwa sesungguhnya

merekalah orang-orang yang sadar terhadap keberadaan Allah. Yang sadar terhadap Allah itu bukan

para “ulama” yang kita kenal sekarang ini. Yang dimaksud ayat ini bukan “ulama” sebagai jabatan,

tetapi orang-orang yang dikaruniai ilmu oleh Tuhan.

Page 93: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

93

Bagian ke-20

[lanj. Ridha]

Sampai pada pelajaran ke-20 ini kita perlu ambil jeda dulu. Kita perlu menyadari bahwa setiap

pelajaran yang telah diberikan tidak boleh dipisah-pisahkan. Pelajaran tasawuf seperti anak tangga,

tangga yang bawah merupakan landasan bagi tangga yang lebih atas. Karena itu pelajaran pertama

harus dibaca lagi dan dicermati, sehingga kita dapat mengamalkan tasawuf dengan arif.

Pada bagian ke-19 ditegaskan bahwa orang-orang beriman harus mencari ilmu, hingga

diperoleh keyakinan yang benar, haqqu l-yaqin. Yang disebut ilmu, bukanlah sebatas apa yang kita

pelajari dari kitab-kitab suci dan hadis. Ingat, kitab suci adalah pelita, bukan obyek yang kita amati. Ia

cuma petunjuk! Yang dengan petunjuk itu kita dapat melangkah untuk memahami semua obyek. Nah,

selanjutnya yang kita pelajari itu adalah gejala-gejala, sifat-sifat dan ciri-ciri alam. Baik alam itu ada di

luar maupun di dalam diri kita! Dengan cara demikian kita bisa berjalan di atas jalan yang benar.

Jika kita sudah berjalan di atas jalan yang benar, maka kita akan sampai pada tujuan yang

benar. Tujuan yang benar, itulah Allah! Inna li l-lahi wa inna ilaihi raji-‘un, “sesungguhnya kita ini

berasal [kepunyaan] Allah dan sesungguhnya kita kembali kepada-Nya”. Jadi, jelas sekali bahwa cepat

atau lambat kita pasti kembali kepada-Nya. Dan kembali kepada-Nya tidak berarti kembali kepada

“sosok” di suatu tempat. Yang membutuhkan tempat itu bukan Allah. Ia cuma makhluk seperti kita,

meskipun mungkin jauh lebih hebat daripada manusia.

Dalam kalangan sufi, kalimat tauhid “la ilaha illa l-lah”, tiada tuhan keculai Allah diuraikan

menjadi 3 ungkapan kalimat thayyibah.

Pertama, “la maujuda illa l-lah”, eksistensi yang sebenarnya adalah Allah. Jadi, kenyataan

yang sebenarnya adalah Allah. Lalu, kita, makhluk hidup lainnya dan benda-benda yang ada ini apa?

Bukankah kita ini sebuah ‘kenyataan’? Semua wujud di alam ini adalah manifestasi dari kenyataan dan

bukan kenyataan itu sendiri. Segala sesuatu ini hanya ‘nyata’ sesaat, kemudian berubah menjadi

‘kenyataan’ yang lain. Meskipun Anda mengenali wajah saya saat ini, tetapi sebenarnya wajah saya

terus berubah. Hanya saja perubahan saya ini tak terdeteksi dalam waktu yang relatif pendek.

Walaupun Anda tidak mampu mendeteksi perubahan wujud saya, tetapi 10 tahun kemudian Anda akan

mengenali adanya gurat-gurat ketuaan di wajah saya.

Jadi, apa yang nyata saat ini sebenarnya sesaat lagi telah berubah, tidak lagi persis sama

dengan sesaat yang lalu. Karena itu, tiada yang maujud, tiada yang betul-betul eksis di alam ini, kecuali

Tuhan. Orang Buddha menggambarkan alam ini seperti pikiran. Ia selalu datang dan pergi! Ia tak

kekal. Artinya, tak punya wujud yang kekal. Nah, menapaki jalan tasawuf sebenarnya melangkah ke

depan untuk menemukan yang Maha Kekal, yang benar-benar Maujud.

Kedua, “la ma’buda illa l-lah”, tak ada yang patut diibadahi [diabdi] kecuali Allah. Jadi, hidup

yang sebenarnya itu cuma untuk mengabdi kepada Tuhan. Karena itu, di Al Fatihah dinyatakan dengan

tegas ‘hanya kepada Engkau kami mengabdi’. Dan, ayat ini dirangkai dengan ‘dan hanya kepada

Engkau kami meminta pertolongan’. Lho, kenyataannya kita ini saling menolong, jadi tidak benar dong

jika hanya kepada Tuhan kita minta pertolongan?

Petunjuk yang kita peroleh dari Al Fatihah adalah “kami” dan bukan “aku”. Jadi, pengabdian

kepada Allah itu ada dalam bentuk komunitas, dan bukan sendirian. Islam mengajarkan bahwa

pengabdian itu bersifat ‘jamaah’ bukan perorangan. Lalu, apa yang dimaksud dengan pengabdian

kepada Allah? Ingat, makna mengabdi adalah melayani. Mengabdi kepada Allah berarti melayani

Allah. Jangan diartikan secara harfiah! Karena hakikatnya Allah tidak membutuhkan apa-apa

[termasuk pelayanan] dari hamba-hamba-Nya. Yang memerlukan pelayanan, ya kita-kita ini! Nah, agar

kita bisa saling melayani, maka kita harus mengerti aturan dan mekanisme yang telah dibangun oleh

Allah. Aturan dan mekanisme itu telah ditetapkan-Nya di alam raya ini. Bukan aturan yang dihasilkan

oleh hawa nafsu atau kepentingan seseorang/sekelompok orang! Untuk itu marilah kita baca ayat-ayat

di bawah ini.

Page 94: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

94

28:88 Dan jangan memohon [menyeru] ilah-ilah selain Allah. Tak ada ilah selain Dia. Segala sesuatu

bersifat binasa [fana] kecuali Wajah-Nya. Hukum itu kepunyaan-Nya, dan kepada-Nya kamu semua

dikembalikan.

55:26 Dan segala sesuatu yang ada di bumi bersifat fana.

27 Dan Yang Kekal adalah Wajah Tuhan engkau. Tuhan yang memiliki keperkasaan dan kemuliaan.

29 Semua yang ada di langit dan di bumi memerlukan-Nya. Setiap saat Dia ada dalam urusan

[kesibukan].

28:83 Itulah negeri akhirat! Kami menyediakan negeri akhirat itu bagi orang-orang yang tidak

berkehendak untuk menyombongkan diri [arogan], dan tidak pula menghendaki kerusakan di

bumi. Dan akibat yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.

10:101 Katakanlah: “Perhatikanlah apa-apa yang ada di langit dan di bumi. Dan ayat-ayat serta

peringatan itu tidak berguna bagi orang-orang yang tidak beriman.”

Perhatikan ayat-ayat tersebut dengan seksama! Pada 28:88 diinformasikan bahwa hukum

[law] itu kepunyaan-Nya. Dia yang menciptakan dan Dia pula yang menetapkan aturan dan kadarnya.

Dan ternyata segala sesuatu itu bersifat fana, tidak tetap [kekal], tetapi terus berubah dan akhirnya

lenyap. Semua sel yang membangun tubuh kita pada waktu bayi, sudah lenyap. Tak satu pun sel kita

pada waktu bayi yang masih hidup sekarang ini. Apa yang kekal di alam ini? Wajah-Nya! Mengapa

tidak dinyatakan saja “yang kekal Diri-Nya”? Karena Wujud Allah itu Maha Abstrak! Tak ada yang

serupa dengan-Nya. Dia tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Semua yang tampak eksis ini sebenarnya manifestasi-Nya. Apa yang eksis ini adalah wujud

dari Cipta-Nya, atau Amar (Kehendak)-Nya [QS 7:54]. Hanya Tuhan yang mempunyai kemampuan

untuk mencipta dan beramar. Semua wujud yang dicipta melalui suatu proses kejadian. Sedangkan

semua eksistensi yang mewujud karena amar-Nya, tanpa melalui proses. Malaikat dan ruh adalah

contoh amar-Nya. Namun, toh, semua itu fana. Semua ada hanya untuk menunjukkan “keberadaan-

Nya”. Karena itu yang kekal adalah Wajah-Nya! Karena itu Eksistensi sejati hanyalah Dia. Dan

pelayanan di antara sesama makhluk seharusnya hanya karena Dia.

Setiap saat Dia sibuk melayani hamba-hamba-Nya. Jantung kita bekerja karena pelayanan-

Nya. Kita merasa mempunyai jantung itu, tetapi kita tak pernah merasa merawatnya. Paru-paru kita

bekerja di luar kontrol kita. Malah Dia yang bekerja untuk kita ini. Karena itu, kita harus berusaha

menjadi hamba yang “ridha”. Dengan kata lain, kita harus ridha menjadi hamba, atau abdi-Nya!

Ungkapan tasawuf ini tentu saja jangan dipertentangkan dengan lagu “padamu negeri kami mengabdi”.

Karena kata-kata dalam lagu itu sifatnya emosional, membangkitkan emosi penyanyinya, bukan hakiki.

Jadi, kita harus dewasa dalam menimbangnya. Jangan karena “hanya kepada Tuhan kita mengabdi”,

lantas kita memandang syirik lagu tersebut.

Nah, ternyata untuk mencapai keridhaan-Nya kita tidak boleh bertingkah laku arogan, dan

tidak boleh pula membuat kerusakan di bumi ini. Kita harus perhatikan dengan seksama gejala-gejala

dan peringatan yang ada di langit dan di bumi. Untuk apa? Untuk memahami rahasia dan hukum-

hukum-Nya. Agar kita bisa berjalan sesuai dengan hukum-Nya. Agar kita bisa kembali kepada-Nya!

Tetapi sekarang lihatlah lingkungan hidup kita. Bagaimana hutan kita bisa menjadi gundul.

Sungai-sungai menjadi dangkal. Asap menebal dan merusak atmosfer. Di Timur Tengah perebutan

tanah melibatkan emosi keagamaan. Kelaparan menyebabkan pertikaian antar suku. Semua ini

menunjukkan bahwa sedikit sekali [dapat diabaikan] orang yang ridha menjadi hamba Tuhan.

Seharusnya kalau kita tahu bahwa kita ini sama-sama hamba Tuhan, sama-sama manusia maka kita

tidak perlu saling menguasai. Akibat saling menguasai adalah kerusakan.

Ketiga, “la maqshuda illa l-lah”, tujuan itu hanyalah Allah.Jadi, tujuan, aim at, intended,

intensional bagi orang-orang mukmin adalah Allah. Yang lain-lain itu adalah jembatan menuju Allah.

Orang berbuat bajik kepada orang lain, tolong-menolong dalam kebajikan, berkasih-sayang sesama

manusia, memberikan perlindungan kepada mereka yang lemah, bertutur kata yang arif, dll, semuanya

Page 95: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

95

itu adalah jalan-jalan menuju Allah. Karena tujuan akhir itu hanya kepada Allah maka kita dilarang

menjadi ilah selain-Nya. Apa artinya ini? Ya, kita jangan menghakimi keimanan seseorang atau kita

jangan memaksakan kehendak dan pendapat kita.

Dalam tasawuf ada kalimat thayyibah yang senantiasa dilakukan oleh orang-orang yang

berzikir. Kalimat ini dibaca ketika memulai zikir. Bunyinya demikian: “Ya ilahi anta maqshudi wa

ridhaka mathlubi”, Wahai Tuhanku, Engkaulah yang menjadi tujuanku, dan keridhaan Engkau yang

aku cari.

Yang dicari adalah Allah. Tetapi Allah bukanlah obyek! Dia adalah subyek yang meliputi

segala sesuatu, omni present. Ya, Dia memang hadir di mana-mana. Tetapi kita tak menyadari

kehadiran-Nya. Karena itu kita harus melatih diri untuk mencari-Nya. Untuk apa? Bukankah berbuat

baik [beramal saleh] sudah cukup? Mari kita tengok lagi landasan hidup ini. Apa itu? Paduan iman dan

amal saleh [imas]! Dengan kata lain, iman dan amal saleh tak dapat dipisahkan. Ia merupakan satu

paket. Perbuatan boleh jadi baik, tetapi motif yang melandasinya buruk. Orang Jawa memberikan

contoh tentang perbuatan bajik tapi motifnya buruk, yaitu “tulung menthung”. Kelihatannya dia

menolong seseorang, tetapi tujuannya untuk menjatuhkan orang yang ditolongnya itu. Seperti orang

yang meminjami uang kepada seseorang, tetapi bunganya membuat orang itu semakin miskin.

Begitu pula iman yang tidak pernah diwujudkan dalam bentuk amal saleh, bukan iman

namanya. Itu cuma kepercayaan! Iman tidak sama dengan kepercayaan. Kata “iman” memiliki unsur

yang sama dengan “aman” dan “amin”.Yang diharapkan dari keimnan adalah rasa aman di dalam diri.

Dan puncak dari keimanan adalah menemukan Allah! Buah dari haqqu l-yaqin adalah ma’rifatullah,

mengenal Allah. Karena itu, pernyataan sufi adalah “Engkau tujuanku, dan keridhaan [kerelaan]-Mu

yang aku cari”. Jadi, tujuan hidup itu sejalan dengan “inna li l-lahi wa inna ilaihi raji-‘un”.

Pada bagian sebelumnya telah diterangkan bahwa kata ‘ridha’ yang biasa juga diterjemahkan

menjadi ‘rela’, juga mempunyai arti pasrah atau berserah-diri. Ridha menjadi hamba Tuhan, berarti rela

untuk melayani-Nya. Yang juga berarti ‘berserah diri’ kepada-Nya. Anda tentunya kenal dengan istilah

“islam, iman, dan ihsan”. Secara mudahnya, ihsan adalah perbuatan yang lahir dari sikap merasa terus-

menerus diawasi oleh Tuhan. Singkatnya, ihsan adalah perbuatan yang lahir dari kewaspadaan. Jika

kita telah mampu melakukan ‘waskat’ [pengawasan melekat], maka kita memilih hidup ridha. Dan jiwa

orang yang bersikap ridha ini disebut juga ‘jiwa muthma-innah’. Nah, di sini kita bertemu dengan ayat

QS 89:27-30.

89:27 Hai jiwa yang damai,

28 kembalilah kepada Tuhan dikau dengan ridha dan diridhai.

29 Masuklah ke dalam hamba-hamba-Ku,

30 Dan masuklah ke dalam taman-Ku.

Inilah panggilan terhadap jiwa yang sudah damai, tenang.Ini bukan panggilan sesudah kiamat

nanti. Tetapi sekarang! Pencarian Tuhan bukan setelah kita mati. Tetapi sekarang ini, ketika hayat

masih dikandung badan. Ingat, Al Quran adalah pelita bagi orang yang hidup di dunia ini. Ia bukan

petunjuk untuk hidup di akhirat nanti. Ia benar-benar petunjuk untuk manusia yang hidup di dunia ini,

dan implikasinya di alam yang akan datang. Karena itu, jangan menunggu di sapa atau dipanggil Tuhan

nanti setelah mati. Kita harus temukan Tuhan sekarang, di dunia ini. Anta maqshudi wa ridhaka

mathlubi! Di awal pelajaran ini telah dijelaskan bahwa “dengan berzikir hati menjadi damai”. Bilamana

hati kita telah damai, maka panggilan Tuhan itu akan terdengar semakin nyaring. Panggilan untuk

kembali kepada-Nya dengan rela, dan akhirnya pun Tuhan merelai. Tuhan rela agar yang dipanggil itu

masuk ke dalam komunitas hamba-hamba-Nya [jamaah pelayan-Nya]. Lalu, jiwa dituntun-Nya

memasuki taman-Nya! Taman yang penuh kedamaian dan kekekalan.

Nabi Isa as datang ke bumi bukan untuk dilayani, tetapi dia datang untuk melayani.

Muhammad saw datang dengan memproklamirkan diri bahwa dia adalah hamba-Nya, ‘abduhu.

Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh, Muhammad hamba dan pesuruh-Nya. Baik Isa maupun

Page 96: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

96

Muhammad tidak segan untuk memproklamirkan dirinya sebagai hamba, abdi, atau pelayan! Sekarang

ini malahan kita tidak mau menjadi abdi. Kita malah

berebut menjadi majikan ‘agama’. Kita ingin agama kita paksakan untuk diterima oleh orang lain. Jadi,

kita bukan datang untuk melayani orang sehingga orang pada tertarik kepada agama kita. Tetapi orang

kita paksa untuk menerima syariat yang kita tawarkan. Kita lupa bahwa “la ik-raha fi d-din”, tidak ada

paksaan dalam agama [QS 2:256]. Agama memang bukan untuk dipaksakan. Agama adalah nasihat,

petuah. Agama adalah jalan yang benar! Sesuatu yang benar itu jelas batasnya dengan yang salah.

Karena itu agama tak perlu dipaksakan.

Sekarang ini banyak orang yang mencoba memaksakan agama. Ayat tersebut diberi footnote

[catatan kaki]: tidak dipaksakan mengikuti agama, tetapi bila sudah menga-nutnya harus dipaksa

melaksanakannya. Aha....., ini dia catatan yang melanggar makna kebebasan yang diberikan Tuhan.

Padahal Nabi sendiri datang untuk menjadi abdi dan pesuruh-Nya. Sebagai abdi Nabi diperintah Tuhan

untuk memberikan teladan yang luhur. Sebagai pesuruh Nabi diperintah untuk menebarkan rahmat,

kasih-sayang. Biarkan orang meneladani beliau dengan sepenuh kesadarannya.

Ayat 2:256 itu sebenarnya mengajak manusia untuk bersikap ridha. Agar kita bisa memahami

secara utuh ayat tersebut, saya cuplikkan ayat tersebut di bawah ini.

Tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan kegelapan.

Barangsiapa yang mengingkari ‘tagut’, dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang

teguh pada tali yang kuat dan tak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.

Mengapa agama tidak boleh dipaksakan? Agama adalah jalan! Jalan yang benar itu jelas

bedanya dari yang salah, jalan kegelapan. Orang yang mengingkari tagut, hal-hal yang melampaui

batas, dengan kata lain orang yang beramal saleh, dan beriman kepada Tuhan, maka dia sebenarnya

telah berpegangan pada tali yang kuat, yang tak akan putus. ‘Tagut’ dari kata ‘thagha’, melampaui.

Jadi, tagut adalah perbuatan atau tindakan yang melampaui batas. Juga biasa diterjemahkan ‘setan’.

Jadi, kalau orang tidak memperturutkan hawa nafsunya, tidak berlebihan, tidak melampaui batas-batas

kemanusiaan, tidak menyelewengkan amanat, tidak sewenang-wenang, tidak mau menang sendiri,

tidak berbuat demi kepentingannya sendiri/kelompoknya; maka orang itu telah mengingkari tagut. Tak

perlu lagi agama dipaksakan kepada-Nya.

Lho, bagaimana kalau dia tidak menjalankan syariat? Bukankah dia harus dipaksa karena telah

menerima Islam? Di sini kita harus hati-hati! Islam bukanlah sesuatu yang harus diterima atau tidak.

Islam adalah jalan, penyerahan diri, submission. Ia diwujud-kan dengan cara mengingkari tagut dan

beriman kepada Tuhan. Atau dengan kata lain, Islam diwujudkan melalaui iman dan amal saleh.

Syariat adalah bentuk riyadhah atau training untuk mewujudkan imas tadi. Karena ia merupakan

program pelatihan, maka syariat tak pernah lepas dari pendapat ulama. Syariat yang dijalankan oleh

warga LDII ya mengikuti pendapat tokoh-tokohnya. Yang NU ya mengikuti ulamanya. Muham-

madiyah, Persis, Syi’ah dll juga begitu. Di dalam masyarakat Islam yang plural, pemaksaan syariat

akan menimbulkan gaduh. Bahkan mungkin malah terjadi pertikaian. Masing-masing pihak akan

mengklaim syariatnya yang benar! Kalau sudah demikian, syariat bukan lagi sebagai program pelatihan

untuk hidup beragama, tetapi menjadi berhala. Tuhan telah disingkirkan, dan diganti dengan paksaan

manusia.

Sekali lagi, mari kita jadikan agama sebagai jalan, din, landasan untuk hidup kita. Agama

bukan Tuhan, dan bukan pula suku atau kerangkeng kehidupan. Bila kita sudah mampu menempatkan

agama sebagai jalan, maka ikatan emosional dengan agama akan hilang. Sehingga suatu peristiwa atau

kejadian tidak dikaitkan dengan agama. Misalnya, kejadian yang menimpa WTC dan Pentagon, jangan

dikaitkan dengan Islam. Itu semua akibat perseteruan antar manusia, karena mereka yang ber-seteru itu

belum ridha menjadi manusia, hamba Tuhan. Kata arif dari Jawa, ‘manungsa iku manunggaling rasa’,

manusia itu bila dapat menyatukan rasa sama-sama sebagai manusia. Sama-sama ridha sebagai

manusia!

Page 97: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

97

Manusia harus banyak berzikir agar hatinya damai, pikirannya tenang. Dengan hati yang

damai manusia akan ridha memenuhi panggilan Tuhannya. Nah, sebagai tips hari ini mari kita

tingkatkan mutu zikir kita.

1. Cari waktu yang sepi, misalnya bangun pagi sebelum masuk subuh.

2. Duduk di tempat yang nyaman, dan lakukan duduk yang relaks.

3. Lakukan istighfar [astaghfirullah] secukupnya, 3 atau 7 kali.

4. Baca tasbih, tahmid, dan takbir.

5. Pejamkan mata yang relaks.

6. Ucapkan ya ilahi anta maqshudi.....

7. Sekarang katupkan kedua bibir dengan ujung bawah lidah menempel ke langit-langit.

8. Pusatkan perhatian pada kedua ujung lubang hidung sambil menarik napas, disertai ucapan dalam

hati “la ilaha illa l-lah”, dan tahan sejenak di dalam perut Anda.

9. Kemudian lepas pelan-pelan napas tersebut dibarengi ucapan tahlil dalam hati, dan kita awasi napas

tersebut sampai ujung lubang hidung.

Lakukan tarik dan hembus napas itu minimal 17 kali.

Page 98: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

98

Bagian ke-21

[akhir ridha]

Pada awalnya, ridha berarti rela menerima “qadha”, ketentuan Tuhan. Kemudian ridha kita ini,

kita tingkatkan menjadi rela sebagai “hamba, abdi Tuhan”. Nah, puncak dari ridha adalah bangkitnya

kesadaran bahwa dunia ini hanyalah “perhiasan”, “sandi wara”, dan “permainan”. Jadi, ada 3 hal yang

perlu kita kupas dan ulas, yaitu dunia sebagai perhiasan, permainan, dan sandiwara.

Pertama, dunia sebagai perhiasan. Kita semua ini adalah perhiasan. Kepunyaan siapa? Ya,

kepunyaan Tuhan! Lho, Tuhan koq perlu perhiasan? Katanya, Tuhan tidak memerlukan apa-apa. Dia

Maha Kaya. Betul, betul sekali... bahwa Tuhan tidak perlu apa-apa. Dia tidak perlu perhiasan, karena

Dia itu indah. Dia itu indah! Karena itu, Dia mencintai keindahan.

Dia ciptakan perhiasan untuk memenuhi kecintaan-Nya terhadap keindahan. Dan, perhiasan

itu berupa dunia, bumi-langit dengan segala isinya. Tetapi, ternyata yang paling indah....adalah

“perempuan yang saleh”! Nah lho, ada diskriminasi. Lha, kalau saya laki-laki kan tidak bisa menjadi

perhiasan yang terindah bagi Tuhan? Lha wong, cuma perempuan yang saleh yang menjadi perhiasan

terindah. Apa nggak diskriminasi namanya?

Dalam bahasa Arab, perempuan juga melambangkan kelembutan, atau bagian yang halus.

Jiwa atau “nafs” juga merupakan kata benda perempuan. Bumi juga diberi status perempuan. Bulan

yang cahayanya terasa teduh bila dipandang, disebut berwatak perempuan. Nah, perhiasan terindah

adalah makhluk Tuhan yang bertabiat perempuan! Kita tak akan sanggup menerima “qadha” bila tidak

tumbuh kelembutan di dalam diri kita ini. Kita belum bisa menjadi “Islam”, berserah diri, bila kita

belum mampu me-nundukkan kepentingan-kepentingan pribadi kita. Ya, tapi kan langka, orang yang

dapat mengesampingkan kepentingan dirinya. Justru pada kelangkaan itu letaknya sebuah nilai!

Perhiasan dalam pengertian yang sesungguhnya, seperti emas, mutiara, permata, dan lain sebagainya

itu mahal karena kelangkaannya.

Dunia ini perhiasan! Kadangkala mempesona. Kadangkala memperdaya. Tinggal bagaimana

kita menyikapinya. Kalau kita menyadari bahwa nilai perhiasan itu bersifat ekstrinsik, cuma nilai yang

dilekatkan dari luar, maka kita tak akan teperdaya. Jika kita melihat suatu perhiasan itu indah,

sebenarnya karena kita ini dipengaruhi oleh orang lain yang mengatakan itu indah. Penilaian terjadi

karena pikiran kita dipengaruhi oleh pikiran orang lain sejak kecil. Sehingga jika kita disuguhi

makanan dengan tempurung kelapa [bathok], sedangkan yang lain dengan piring, maka kita merasa

terhina dan tidak bisa makan. Tapi bagi orang yang minta-minta, dia tetap bisa makan dengan

tempurung atau selembar daun sekalipun. Bagi si peminta, kelaparan tak ada hubungannya dengan

sebuah nilai. Jadi, ridha menerima Allah berarti menyadari sepenuhnya bahwa dunia ini cuma sebuah

perhiasan, bukan hakiki.

Mari kita perhatikan beberapa ayat yang berkaitan dengan nilai dunia ini:

3:185 Setiap jiwa merasakan mati. Dan sesungguhnya imbalan untukmu disempurnakan pada saat

kebangkitan. Barangsiapa yang dijauhkan dari api, dan dimasukkan taman, maka menanglah dia.

Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah perhiasan yang memperdayakan.

186 Sungguh kalian semuanya diberikan cobaan berupa harta dan nafs kalian. Dan, kamu akan

mendengar banyak caci-maki dari ahli kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik. Jika kamu

bersabar dan bertakwa, maka ini adalah perkara yang perlu keteguhan hati.

57:20 Ketahuilah, sebenarnya kehidupan dunia itu permainan, sandiwara, perhiasan, saling

menyombongkan diri di antara kamu, dan berlomba banyak harta dan anak. Itu ibarat hujan yang

menyebabkan lebatnya tanaman sehingga menyenangkan para petaninya. Lalu, tanaman itu layu dan

tampak kuning, dan akhirnya sirna. Dan, di akhirat ada azab yang keras dan ada juga perlindungan dari

Allah, serta keridhaan-Nya. Dan, tiadalah kehidupan dunia itu kecuali perhiasan yang memperda-

yakan.

Page 99: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

99

Ayat yang pertama, 3:185, adalah kaidah umum. Apa itu? Setiap diri merasakan mati. Jika

makna mati diperluas, termasuk juga tidur, maka siapa yang masih memakai raga jasmani dunia ini

pasti mengalami kematian. Dan, suatu imbalan pasti dirasakan bila kesadaran kita ini bangkit. Anak

kecil [kurang dari 2 tahun] tidak terlalu mengerti makna suatu imbalan. Kesadarannya belum bangkit.

Lain dengan manusia dewasa yang sehat lahir dan batin, kesempurnaan imbalan dari Tuhan itu akan

dirasakan. Jika hidup-nya penuh dengan keridhaan, maka jauhlah dia dari neraka. Dekatlah dia dari

surga. Imbalan surga itu dirasakan di dalam dirinya. Ia menang! Ia realistis menempuhnya hidupnya. Ia

ridha, rela!

Untuk menopang dan mengukuhkan sikap ridha itu, Tuhan memberi tahu bahwa kehidupan

dunia itu hanyalah perhiasan, kesenangan, yang sifatnya memperdayakan mereka yang tertarik. Lho,

apa tidak boleh orang bersenang-senang? Tentu saja boleh! Tetapi, jangan sampai lengah, lalai. Jika

kita berekreasi mencari kesenangan, maka kita pun harus tahu batas. Kita harus “rela” meninggalkan

tempat rekreasi itu bila waktunya habis. Kita kembali! Karena itu dunia ini pun dikenal sebagai

kesenangan sementara. Tidak kekal! Segala sesuatu yang terus berubah memang tidak kekal.

Konsekuensi hidup di dunia adalah senantiasa berhadapan dengan berbagai cobaan hidup.

Cobaan itu berupa harta benda dan nafs. Harta benda adalah semua benda yang diberi nilai, diberi “aji”.

Kita belum berebut udara untuk bernapas, karena kita belum memberikan nilai, harga pada udara.

Tetapi jika udara sudah menjadi barang langka, maka kita akan berlomba untuk mendapatkannya, dan

mengumpulkannya. Nah, apa yang disebut “cobaan berupa nafs”. Yang terkandung dalam cobaan nafs

adalah rasa dan keinginan. Dalam menghadapi hidup ini manusia sering mengalami rasa takut, rasa

cemas, rasa khawatir, rasa hampa, dan berbagai rasa yang sifatnya membuat hidup menderita.

Sedangkan berbagai rasa senang mendorong manusia untuk memenuhi semua keinginannya. Seakan-

akan hidup ini hanya untuk memenuhi keinginan. Padahal keinginan yang dituruti terus-menerus akan

menghasilkan dilusi!

Dan, yang harus diingat, bila kita ingin hidup benar, maka datanglah cemoohan justru dari

orang-orang yang telah membaca kitab. Itulah sebabnya mengapa di negara yang mayoritas

penduduknya beragama banyak sekali orang yang tidak berani menem-puh hidup benar. Tidak kuat

menghadapi cobaan harta-benda dan nafs! Korupsi meraja lela, karena tidak tahan menghadapi

cemoohan para pembaca kitab dan orang-orang yang mengalami disorientasi dalam hidup ini. Agar

tidak tergoda dan tahan menghadapi caci maki, maka diperlukan kesabaran dan ketakwaan. Dan, hal ini

perlu keteguhan!

Pada ayat ketiga, ditegaskan bahwa hidup ini pun merupakan kondisi saling me-

nyombongkan, lomba banyak harta dan banyak anak. Memang, setting ayat ini ketika manusia bangga

bila banyak anak. Kalau sekarang justru orang merasa enggan untuk mempunyai banyak anak. Tetapi

lomba banyak harta semakin meraja lela, khususnya di Indonesia. Karena yang dijadikan perlombaan

itu tentang banyaknya harta, maka jangan heran bila korupsi yang berkecamuk.

Berbangga, menyombongkan diri, dan berlomba banyaknya harta, itu diibaratkan

“hujan”. Ketika hujan turun maka tumbuh suburlah tanaman milik petani itu. Tanaman yang tumbuh

lebat ini menyenangkan petaninya. Petaninya merasa senang karena dalam angan-angannya, tanaman

itu pun akan berbuah lebat, akan memberikan hasil besar. Tetapi, tak disangka-sangka datanglah hama

yang menyerang tanaman itu. Tanaman yang tadinya segar bugar, meranalah seketika. Serangan hama

yang hebat, hanya dalam semalam sudah membuat tanaman layu dan mati.

“Lho, di tengah krisis ini kok orang-orang kaya tidak menjadi merana. Bahkan mereka tampak

jaya saja. Malah yang melarat yang tambah menderita!” Tentu..., mereka tidak seperti tanaman. Tetapi,

dalam keadaan krisis yang melanda negeri kita ini mereka tampak “layu”. Coba perhatikan wajah

mereka di tv! Pandanglah wajahnya dengan tenang, tanpa terbuai kekayaan mereka. Sorot matanya,

cahaya yang terpancar dari wajahnya, itu lho yang redup, layu!

Dunia ini hanyalah kesenangan sementara. Kesadaran tentang hal ini harus kita tumbuhkan.

Agar, jika kita menerima anugerah-Nya kita tidak lupa. Kita tidak terlalu berbangga. Kesenangan itu

hanyalah gelombang pikiran. Ia datang, dan pergi! Karena itu jangan terperangkap.

Page 100: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

100

Kedua, dunia sebagai permainan. Tahukah Anda bahwa permainan itu dalam diri-nya sendiri

tidak mempunyai tujuan. Sepak bola, misalnya. Permainannya sendiri tidak meminta pemainnya terdiri

dari dua kesatuan yang bertanding, dan masing-masing 11 orang. Tetapi ada orang yang menciptakan

aturan mainnya, dan diterima oleh mereka yang bertanding.

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari permainan? Yang bisa kita ambil sebagai pelajaran

adalah “aturan main”. Aturan main itu lahir dari kesepakatan, konvensi. Aturan itu berubah sesuai

dengan perubahan pengetahuan manusia-manusianya yang terlibat dalam permainan itu. Aturan

permainan sepak bola sekarang ini sudah pasti sangat jauh berbeda dengan aturan ketika permainan ini

baru diciptakan.

Manusia juga begitu. Aturan manusia zaman berburu berbeda dengan manusia peramu

[pengumpul buah]. Ketika masyarakat manusia berubah menjadi masyarakat pertanian, aturannya

berubah. Tatkala masyarakat manusia berubah menjadi masyarakat pedagang, ada transaksi hutang-

piutang. Pedagang membuat aturan laba-rugi! Lalu, muncullah masyarakat industri. Dan sekarang kita

berada di tengah-tengah masyarakat informasi. Semua ini akan mengubah aturan permainan dalam

kehidupan ini.

Sistem pekerjaan, peribadatan, perkawinan, pergaulan, dan pembernegaraan, itu semua

berubah sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat agraris, peribadatan

ditujukan untuk memuja tuhan kesuburan, tuhan matahari, tuhan sungai, tuhan halilintar dan

sebagainya. Ketika masyarakat pedagang berkembang, maka sistem ketuhanan juga berubah menjadi

tuhan yang menjamin rezeki, keuntungan, kekayaan dan lain sebagainya. Ketika pertanian dan

perdagangan bertemu dan menjadi satu sistem, maka tumbuhlah agama “tauhid”.

Bagi masyarakat pertanian, munculnya masyarakat perdagangan mereka anggap sebagai

datangnya malapetaka. Nasib petani biasa dipelintir pedagang. Masyarakat pedagang dipelintir

masyarakat industri. Dan masyarakat industri dikuasai oleh mereka yang memegang supremasi

informasi! Aturan main dalam agama tauhid yang muncul pada masyarakat petani+pedagang, harus

ditafsirkan kembali, dilakukan re-thinking. Kita bukan hanya rela menjadi abdi, tetapi bersedia

meningkatkan diri untuk mengikuti aturan main di dalam taman-Nya.

Di mana lokasi taman Tuhan itu? Ada di dalam diri Anda yang terdalam. Ada di lubuk hati

Anda yang mukmin. Di situlah Anda menjumpai taman, surga Tuhan itu seluas langit dan bumi.

Bukankah bumi dan langit itu tak mampu menjangkau Tuhan? Tetapi, hati seorang mukmin, hati

seorang yang beriman, hati orang yang aman jiwanya, dapat menjangkaunya. Bumi dan langit, atau

alam semesta tidak mampu me-nampung Tuhan. Tetapi, hati seorang yang aman dapat menjadi

Singgasana-Nya!

Relakah kita mengikuti permainan di taman-Nya? Aha..., rupanya kita belum siap. Kita belum

rela meninggalkan aturan lama yang sudah tidak fit, tidak cocok lagi. Permainan baru telah

digelindingkan Tuhan, misalnya bioteknologi, kultur jaringan, rekayasa genetika, dan kloning. Kita

tidak rela mengikutinya bahkan kita mengutuknya. Kita lupa bahwa semua itu tak akan terjadi tanpa

kodrat dan iradat Tuhan. Kita cuma bisa menuduh bahwa itu ulah dari para orang kafir. Akhirnya, kita

sendiri yang “kufr bi n-ni‘mah”, kafir terhadap kenikmatan dari Tuhan.

Nah, marilah kita sadar bahwa kehidupan dunia ini ternyata hanyalah permainan. Pemilik

permainan itu Tuhan Yang Mahaesa. Karena itu, mari kita ikuti permainan ini dengan sebaik-baiknya.

Jangan dilanggar! Jika demokrasi yang menjadi permainan kita, maka jangan cari-cari dan curi-curi

dalil agama untuk kepentingan golongan, atau kepentingan pribadi dengan stempel agama.

Di bawah ini ada ayat-ayat yang menyebutkan bahwa dunia ini permainan, dan juga sandiwara.

6: 32 Dan tiadalah kehidupan dunia ini kecuali permainan dan sandi wara. Sungguh negeri akhirat itu

lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Apakah kamu tidak menggunakan akalmu untuk

memahami?

Page 101: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

101

29: 64 Dan tiadalah kehidupan dunia ini kecuali sandiwara dan permainan. Dan sungguh negeri akhirat

itulah kehidupan yang sebenarnya kalau mereka menggunakan akal untuk memahami.

Ketiga, disamping sebagai permainan, kehidupan dunia ini ibarat sandiwara. “Lho, kok

demikian? Lha, kalau cuma sandiwara, buat apa kita hadapi dengan serius?” Jangan gusar dulu. Tuhan

memberitahukan yang sebenarnya. Kalau seseorang menjadi presiden sekarang ini, itu hanyalah peran.

Yang sesungguhnya, dia ini cuma seorang hamba. Tapi, peran kepresidenannya itu harus disyukuri.

Peran itu harus dijalani dengan sebaik-baiknya. Sehingga timbul apresiasi terhadap perannya.

Bagaimana orang berperilaku jahat? Itu juga peran! Konsekuensi orang yang berperan

kejahatan adalah menerima hukuman. Lihatlah sandiwara di atas panggung. Agar penonton tidak

kecewa, yang salah, yang berbuat jahat, menerima hukuman atau dibuat kalah. Lho, kok mau menjadi

pemeran kejahatan? Di sini memang ada “blue print” bagi orang yang terlahir di bumi. Pernahkah

Anda mendengar bahwa racun itu harus ditangkal dengan racun? Begitulah, sebenarnya “blue print”

kejahatan pada diri seseorang itu untuk menangkal kejahatan. Namun, tidak semua orang bisa

menjalankan peran yang diterimanya. Akhirnya ia bukan menjadi penangkal kejahatan, tetapi betul-

betul menjadi pelaku kejahatan.

Peran positif mudah dipahami. Sedangkan peran negatif sulit sekali dipahami dengan cara

berpikir normatif. Untuk memahami kejahatan sebagai peran, tidak cukup dikaji secara teoritis. Ia

harus dikaji secara filosofis, bahkan dipahami dengan spiritual yang tinggi seperti yang digambarkan

oleh Khidir di depan Musa. Pada tingkatan objektif rasionalnya Musa, Khidir telah bertindak salah

karena telah membunuh seorang anak yang tidak bersalah. Secara lahiriah Khidir telah bertindak salah.

Ia pembunuh. Tapi pada level yang lebih tinggi, Khidir telah menolak kejahatan yang akan datang.

Tidak perlu bingung dan menjadi beban pikiran. Yang penting kita sekarang ini ambil peran yang

positif, dan kita pentaskan yang sebaik-baiknya.

Anda tak perlu memaksa pikiran Anda untuk mengerti hal-hal yang belum bisa Anda jangkau.

Yang wajar-wajar saja! Laluilah semampu Anda. Jangan berandai-andai melampaui kemampuan Anda.

Nanti malah terjatuh. Yang perlu kita sadari sekarang ini adalah kita ini sedang bermain sandiwara.

Dan kita terpanggil untuk ambil peran yang positif. Maka kepositifan peran kita itu kita tingkatkan.

Hingga timbul apresiasi. Bukan apresiasi dari pemain sandiwara lainnya, tetapi apresiasi dari sang

keberadaan. Dalam bahasa spiritualnya, kita mendapat apresiasi dari Tuhan, Sang Sutradara Agung!

Jika kita bukan penjahat, maka jangan coba-coba berperan sebagai penjahat. Dan bila kita

merasa peran kita sebagai penjahat, maka peran itu kita optimalkan untuk bisa menolak kejahatan yang

lebih besar. Kalau kita ambil contoh secara nalar, memata-matai orang itu sebuah kejahatan. Tetapi bila

peran itu kita optimalkan sebagai intel negara, demi keselamatan orang banyak [seluruh negara], maka

pujian yang datang dan bukan sumpah serapah. Mencuri adalah perbuatan jahat. Tetapi banyak

pemerintah, dan kelompok agama mencuri rahasia negara atau golongan lain. Dan, masih banyak

contoh lainnya yang Anda sendiri bisa mencarinya.

Jika dunia merupakan permainan dan sandiwara. Maka akhirat adalah kehidupan yang

sebenar-benarnya. Hanya saja orang telah mengecilkan dan menyempitkan makna akhirat. Jika dunia

yang sangat terbatas ini punya fungsi perhiasan [kesenangan], sandi- wara dan permainan; maka

akhirat juga harus kita pahami yang seluas-luasnya. Yang melampaui pemahaman kita tentang dunia.

Selama ini akhirat hanya diartikan sebagai alam yang akan datang, yang adanya setelah dunia ini

musnah! Ini sebenarnya hanya salah satu makna bagi akhirat. Padahal dunia dan akhirat itu satu

adanya. Perhatikan kembali “surga” yang seluas langit dan bumi [QS 3: 133, 57:21]. Perhatikan

keberadaan surga dan neraka selama ada semua langit dan bumi [QS 11:107, 108].

Akhirat juga sisi lain dari alam semesta. Bila dunia kita lihat sebagai kenyatan lahiriah, maka

sisi yang tersembunyi, yang batiniah itu juga merupakan akhirat. Bila dunia itu adalah “kenyataan yang

sekarang” maka akhirat adalah keberadaan yang akan datang. Bila dunia mewakili pengalaman hidup

di bumi ini maka akhirat adalah sebuah kehidupan di tempat lain.

Page 102: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

102

Dengan memahaminya dalam pengertian yang luas, maka kita akan bisa mengerti arti bahwa

dunia itu hanyalah perhiasan, permainan, dan sandiwara. Dunia sebagai perhiasan karena nilainya

bukanlah nilai intrinsik. Bukan nilai asli yang terkandung di dalamnya. Emas itu menyenangkan kita

karena ada nilai yang diatributkan kepadanya. Tetapi, bagi salah satu suku di Irian Jaya [Papua], yang

bernilai itu bukan emas, intan dan berlian melainkan tulang dan gigi babi. Bagi kanak-kanak, mainan

lebih berharga daripada satu ton emas!

Sebagai permainan, kehidupan dunia terus berubah. Aturannya pun terus berubah sesuai

dengan perubahan dunia itu sendiri. Dulu dengan alasan pasutri tidak punya anak maka suami harus

diizinkan kawin lagi. Tetapi, sekarang ada bayi tabung, ada kloning. Sehingga alasan itu menjadi usang

nantinya jika bayi tabung dan kloning sudah murah harganya. Sehingga terjangkau oleh mereka yang

biasa-biasa saja kekayaannya. Nah, rela tidak, ridha tidak, kita menyambut perubahan aturan main itu?

Kehidupan juga sandiwara. Sehingga kita ini adalah pemain di dalamnya. Tentu harus kita

optimalkan pentas kita di panggung sandiwara ini. Pentas kita harus mampu melahirkan prestasi dan

apresiasi. Bukan apreasi dari sesama pemain sandiwara. Tetapi apreasiasi dari Sang Sutradara. Sepi ing

pamrih rame ing gawe, sunyi dari pamrih terhadap sesama, tetapi menonjol dalam karya. Sudahkah kita

ridha?

Page 103: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

103

Bagian ke-22

[Tawakal]

Pada akhir pelajaran tentang ridha, disebutkan bahwa dunia ini adalah perhiasan, permainan,

dan sandiwara. Pada tahap ini pelaku sufi sebenarnya sudah tumbuh suatu penghayatan. Dan, bukan

masih berada pada tahap awal, yaitu pada tataran objektif dan normatif. Jika kita masih pada tingkat

normatif, maka kita akan terjebak pada paham jabariah. Suatu paham yang mendefinisikan bahwa

hidup ini “jabbar”, terpaksa. Dalam paham ini manusia tidak mempunyai kuasa apa-apa, ia hanya

berbuat sebagaimana yang ditetapkan di “lauhu l mahfuzh”, kitab induk semesta.

Pemahaman dan penghayatan di maqam ridha, sudah melampaui dualisme. Hidup itu bukan

jabariah dan bukan pula ‘qadariyah’ [paham yang meyakini bahwa Tuhan tidak menentukan apa-apa,

dan manusia berkehendak dan bertindak bebas]. Ridha adalah sikap yang seimbang antara keyakinan

predestinasi [jabbar, takdir] dan kehendak bebas, free will. Praktik birokrasi dan sentralisasi di negara-

negara berkembang dise-babkan oleh masih suburnya keyakinan jabariyah, meskipun mereka tidak

mengerti ‘apa itu jabariyah’.

Pemahaman adanya ‘blue print’, cetak biru pada diri manusia sebenarnya hanya untuk

mengingatkan kembali bahwa manusia telah berjanji untuk memenuhi ‘qadha’nya. Bukankah kita ini

telah melakukan kontrak dengan Tuhan, seperti yang dinyatakan dalam QS 7:172? Dan,

mengoptimalkan penggunaan cetak biru secara positif adalah untuk menunjukkan hadirnya kehendak

bebas yang diberikan pada manusia.

Pemahaman yang benar tentang kodrat dan iradat, ketetapan dan kehendak, akan

mengantarkan manusia hidup seimbang di dunia ini. Bukan materialis dan bukan pula immaterialis.

Menjadi manusia yang harmonis di tengah taman-Nya. Itulah sebabnya, saya selalu mewanti-wanti,

mengingatkan bahwa setiap tahap dalam pelajaran tasawuf ini merupakan lanjutan dari pemahaman

tasawuf sebelumnya. Jadi, pemahaman yang ada dalam setiap pelajaran tidak berdiri sendiri-sendiri.

Semula manusia tasawuf diangkat dari kehidupan subjektifnya menuju ke kehi-dupan yang

objektif dan rasional. Dari ilmu l-yaqin menuju ke kehidupan ainu l-yaqin. Dari takwa pada tangga

dasar hingga menjadi manusia wara’ adalah manusia yang hidup mengikuti keyakinan berdasarkan

ilmu, berdasarkan pengetahuan yang benar. Lalu manusia sufi meningkatkan dirinya ke tahap

penghayatan dan pengalaman hidup, tahap ainu l-yaqin. Tahap sabar dan zuhud. Tahap tahalli. Tahap

kondisioning.

Nah, ridha dan tawakal adalah tahap haqqu l-yaqin. Tahap tajalli. Tahap manusia yang

mewujudkan citra Ilahi. Manusia yang mengasihi tetapi bukan karena meminta dikasihi. Manusia

terhormat bukan karena dihormati. Manusia kaya bukan karena melimpahnya materi. Manusia cinta,

sebagai manifestasi cinta Ilahi. Tajalli! Karena itu, teori tasawuf hendaknya tidak dipahami sebagai

teori semata-mata. Penghayatan dan pengalaman ditingkatkan menjadi pemahaman.

Pada tahap awal orang beramal karena diberi tahu. Ada orang lain yang melang-kah dengan

benar, lalu diteorikan.Teori itu disebarluaskan, untuk dipraktikkan bareng-bareng. Lahirlah manusia

kolektif. Ada aturan buat hidup bersama. Ada sentralisasi dan birokrasi untuk kehidupan bersama.

Penampilan individu amat lemah karena kuatnya hidup kolektif. Sebaliknya, individu yang kuat, akan

merajai banyak manusia. Inilah ciri manusia di tahap takhalli, syariat. Individu tidak kuasa mengatur

dirinya, tetapi diatur oleh kekuatan dari luar dirinya.

Kemudian mereka berusaha meningkatkan diri mereka ke tahap tahalli. Tidak ingin lagi

dibelenggu oleh kekuatan kolektif. Mereka ingin membuat improvisasi. Bukan dikuasai tetapi merasa

andil, share, berperan serta dalam kehidupan ini. Aturan main bukan demi yang kuat, tetapi demi

kehidupan bersama. Orang menyebutnya hidup dalam alam demokrasi. Hidup bukan hanya dituntut

memenuhi kewajiban, tetapi juga mendapatkan haknya. Faktor inilah yang ditempakan dalam maqam

sabar dan zuhud. Jika individu yang bertahalli semakin banyak, maka muncullah kehidupan demokrasi

yang dicita-citakan bersama. Di sinilah peranan tasawuf! Bukan hanya untuk meraih kebahagiaan

pribadi, diri sendiri, tetapi kebahagiaan bersama.

Page 104: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

104

Nah, ridha dan tawakal adalah tahapan puncak kemanusiaan. Masyarakat bukan lagi

merupakan kumpulan individu yang dikuasai oleh kekuatan di luar dirinya. Tetapi masyarakat yang

individu-individunya mampu beraktualisasi. Individu-individu yang mampu berbuat dan bertindak

dengan kekuatan yang tumbuh dari dalam dirinya. Mereka adalah individu-individu yang sudah

memahami peran dirinya dalam kehidupan ini. Kalau individu-individu itu diibaratkan “sel dan

jaringan sel tubuh”, ia tidak akan mengganggu yang lain.Mereka semua tumbuh dalam keharmonisan.

Mereka mengerti akan nilai dan estetika perannya masing-masing. Bagi sel yang hidup di jaringan

organ otak dan sel yang hidup di jaringan organ dubur, sama-sama menerima perannya dengan rela,

ridha. Sudahkah kita mengenal peran kita masing-masing?

Pada tahap tawakal, yang sedang kita bahas ini, manusia tidak memandang dirinya dan

Tuhannya sebagai ‘dualisme’. Manusia tidak lagi memandang dirinya dikuasai oleh faktor luar. Tuhan

pun tidak lagi dipandang ada “di luar sana”. Anda masih ingatkan dengan dalil “Dia bersama kamu di

mana saja kamu berada”. Dalam Hadis dinyatakan, “langit dan bumi tak dapat menjangkau-Ku, tetapi

hati seorang mukmin dapat menjangkau-Ku.” Dia ada di dalam diri sekaligus di luar diri. Bagi yang

belum mukmin, Tuhan tidak ada di dalam diri sekaligus tidak ada di luar diri.

Nah, untuk bisa memahami aspek kesatuan hamba dan Tuhan, manunggalnya kawula dan Gusti,

“tauhidu l-wujud”, marilah kita simak beberapa ayat di bawah ini.

“Tuhanmu adalah Dia yang melayarkan kapal di laut untukmu agar kamu dapat mencari karunia-Nya.

Sesungguhnya Dia Maha Penyayang terhadapmu.”1)

“Dan peliharalah dirimu dari bencana yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara

kamu. Sesungguhnya Allah sangat keras dalam memberikan balasan.”2)

“Padahal Allah menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu kerjakan.”3)

Mari kita simak! Pertama adalah ayat pertama tentang berlayarnya kapal di lautan. Kapal yang

dikemudikan oleh manusia disebut dilayarkan oleh Tuhan. Kapal terbang yang terbang di angkasa

dengan menggunakan mesin, juga disebut dijalankan oleh Tuhan. Jadi, memang tak ada dualisme itu.

Meskipun manusia membuat mesin sehingga pesawat bisa terbang, tetapi bekerjanya mesin itu

mengikuti hukum Tuhan.

Jadi, apa yang kita buat akan terwujud, maujud, bila kita membuatnya berdasar-kan hukum

Tuhan. Cangkok ginjal, cangkok jantung, dan berbagai macam cangkok organ manusia terjadi

mengikuti hukum Tuhan. Nah, pelajaran apa yang bisa kita petik dari ayat pertama tersebut?

Ayat tersebut sebenarnya memberi tahu kita tentang proses tawakal dalam hidup ini. Kata

tawakal atau dalam bahasa Arabnya “tawakkul”, artinya percaya sepenuhnya kepada Tuhan,

mewakilkan kepada Tuhan. Jadi, orang yang bertawakal sebenarnya adalah orang yang

menggantungkan diri 100 % kepada Tuhan. Bukan hanya rela, tetapi pasrah total kepada-Nya.

Persoalannya, apakah pasrah total itu = pasif? Pasif itu sama dengan benda tak hidup, seperti batu,

tanah, dan lain sebagainya.

Lha, tawakal itu di dalam Hadis digambarkan seperti “burung yang pagi-pagi meninggalkan

sarangnya, dan sore hari kembali ke sarangnya dengan tembolok penuh dengan makanan”. Itulah

tawakal! Kalau kita melihat dunia safari di Afrika [melihat di tv], kita mengetahui bagaimana hewan-

hewan itu mempertahankan hidupnya. Singa, misalnya, mencoba menggiring kawanan kijang, atau

banteng hutan. Melihat ada singa yang menggiringnya, kawanan binatang mangsa itu berlari kesana-

kemari. Akhirnya, ada satu ekor yang kepayahan. Nah, yang loyo itulah yang ditangkap!

Jadi, dalam tawakal, perlu juga keseimbangan alam ini dijaga. Coba bayangkan kalau seekor

singa membunuhi banyak hewan mangsa. Maka keseimbangan alam akan terganggu. Nah, tawakal

tidak mengganggu alam, bahkan menjaga keseimbangan alam. Dan, ternyata singa tersebut tidak pasif,

tetapi sangat aktif dan betul-betul mengikuti hukum alam. Menggantungkan diri kepada Tuhan ternyata

sangat aktif, dengan tepat sasaran. Dinamis dan keseimbangan terjaga. Itulah tawakal!

Page 105: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

105

Dulu orang bertawakal kepada Tuhan dengan dilandasi doa yang khusyuk. Doa dan mantra

sebenarnya sisa-sisa alam mitos yang dipertahankan dalam agama. Orang yang berdoa, bukan orang

yang pasif, bila doanya sungguh-sungguh. Dengan doa yang sungguh-sungguh itu kekuatan doa

[mantra] terbentuk. Karena itu, pada waktu itu doa bisa digunakan untuk pengobatan, perlindungan dari

berbagai macam kejahatan dan gangguan orang lain, pencegahan penyakit, tolak bala [mencegah

bencana], dan banyak keperluan lainnya.

Dulu doa bisa digunakan seperti yang disebut di atas, karena waktu itu konsentrasi pikiran

manusia dialirkan ke kalimat-kalimat doa. Bahkan sihir, tenung, santet, dan bebagai macam kekuatan

gelap, kekuatan negatif adalah wujud dari doa. Tentu saja doa yang negatif. Doa untuk kejahatan.

Ada perbedaan antara doa sebagai wahana tawakal dan doa untuk kejahatan. Doa dalam

tawakal berarti mengembalikan semua kekuatan yang ada pada diri ini kepada yang empunya kekuatan,

yaitu Allah. ambil contoh, doa akan bepergian: “Bismillahi tawakaltu ‘ala llahi, la haula wa la quwwata

illa billah.” [Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, yang tiada daya dan kekuatan kecuali

pada-Nya]. Di sini ada kesadaran bahwa pemilik daya dan kekuatan itu hanya Allah. sedangkan kita

manusia ini hanya mendapatkan rahmat-Nya. Dalam wujudnya, tentu saja doa tersebut diiringi dengan

aktivitas yang optimal dan benar.

Waktu terus berjalan! Dalam perjalanan alam ini perubahan-perubahan terus ter-jadi. Jika

semula kekusyukan itu mengalir melalui ucapan yang indah dan lembut yang disebut doa. Maka

manusia memindahkan manfaat konsentrasi itu dari mulut ke otak. Sehingga terjadi perubahan dari

manusia mitos menjadi manusia yang berpikir. Manusia yang memberdayakan akalnya semaksimal

mungkin. Bentuk doa pun berubah dari “ucapan” ke “perenungan”, dari usaha magis ke usaha rasional.

Jika dalam usaha magis kekuatan itu hanya dimiliki oleh sedikit orang, maka dalam usaha

rasional kekuatan magisnya bisa didistribusikan ke banyak orang. Kekuatan rasio bisa diajarkan secara

terbuka dan berkelas. Jika satu orang bertahun-tahun berpuasa dan berdoa mantra untuk bisa terbang,

maka dengan rasio seseorang bisa membuat kapal terbang dan bisa mengangkut ratusan ribu orang

dalam usia ekonomisnya. Jika seseorang berpuasa dan berdoa mantra selama bertahun-tahun untuk

tidak mempan ditembus peluru, maka dengan rasio manusia dapat belajar secara massal untuk

membuat baju anti peluru. Nah, di sini kekuatan doa mantra akhirnya dapat di-kalahkan oleh kekuatan

doa pikiran.

Umat secara umum salah mengerti. Dikiranya doa itu hanya tersusun dari kalimat. Apa

akibatnya? Perintah dalam Al Quran “ud-‘uni astajib lakum” [berdoalah kepada-Ku niscaya Aku

memperkenankanmu,” QS 40:60], akhirnya hanya menjadi retorika belaka. Padahal, orang yang

sungguh-sungguh berpikir untuk membuat atau menjadikan sesuatu itu juga doa. Di tataran konkret

sama! Bila ada doa mantra untuk kebaikan atau untuk kejahatan, maka doa pikiran juga begitu.

Seperti yang telah saya terangkan pada pelajaran ‘ridha’ yang lalu, perubahan yang terjadi di

alam mengakibatkan terjadinya perubahan aturan main. Jika di masyara-rakat yang mengalami

perdagangan barter tidak terjadi hutang-piutang, maka pada sistem perdagangan terbuka timbullah

hutang-piutang. Bila di dalam zaman datangnya agama Islam ada hukum “bayi sepersusuan”, lalu

sekarang bagaimana dengan sistem donor susu ibu? Sekarang ada donor darah, cangkok organ, bayi

tabung, kloning, dan lain sebagainya. Ini semua membawa perubahan pola berpikir manusia. Ahli

hukum Islam pun akhirnya pontang-panting dibuatnya. Dan, makin lama makin pontang-panting

dibuatnya, jika para pemikir Islam tidak mau memberdayakan pikirannya untuk mengantisipasi dan

melakukan peramalan [ilmiah] kemungkinan yang terjadi di masa depan. Hal ini berbeda dengan Nabi

saw. Wahyu yang diturunkan kepada beliau ber-sifat ke depan [futuristik]. Misalnya, pembagian waris

bagi wanita, wanita bisa menjadi saksi, wanita boleh berkiprah dalam kehidupan sosial, penghapusan

perbudakan, pene-gakan keadilan sosial, dan lain sebagainya.

Hanya ulama Islam saja yang tertinggal dalam memahami wahyu Allah. Sehingga terjadi

kebekuan berpikir dalam umat Islam. Bila di zaman dulu kita terampil berdoa, maka sekarang ini kita

harus terampil berpikir. Nah, konsep tawakal pun harus di-rethingking, dilakukan pemikiran ulang.

Konsepnya yang harus diubah, walaupun maknanya tetap tak berubah! Tawakal, ya tetap digambarkan

Page 106: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

106

seperti burung yang pergi meninggalkan sarangnya di pagi hari dengan tembolok kosong, balik sore

hari dengan tembolok penuh makanan.

Dulu, orang bertawakal dilandasi kerja keras disertai doa mantra dan dipasrahkan kepada

Allah. Maka, sekarang orang bertawakal harus dilandasi ketrampilan kerja, disiplin, dan disertai

dengan berpikir jenius. Jika dulu, orang berjamaah dalam salat, puasa, dan haji; maka, sekarang orang

bertawakal dengan pemberdayaan “teamwork”. Dan, teamwork itu pun seperti kapal yang dilayarkan

oleh Tuhan!

Pada ayat kedua, umat Islam diperingatkan. Umat agar menjaga diri dari bencana yang tidak

hanya menimpa kepada orang-orang zalim. Jika dulu orang yang mengikuti Nuh, Luth, Ibrahim, Musa,

Isa, dan Nabi Muhammad langsung bisa lolos dari bencana, jika bencana datang. Tetapi, umat Islam

diperingatkan bahwa terjadinya perubahan di alam, mengakibatkan bencana itu tidak pilih kasih.

Karena itu umat harus pandai-pandai bertawakal. Segala macam jenis kejeniusan harus diberdayakan

untuk mengantisipasi masa depan. Nah, hasilnya, apa yang kita peroleh, itu yang harus kita terima

dengan ridha. Tetapi, tawakal sendiri harus merupakan jihad dan ijtihad yang maksimal. Jihad bukan

perang fisik! Walaupun in a certain extent, sampai pada tingkat tertentu, fisik digunakan dalam

pertempuran.

Ayat kedua itu sebenarnya memberikan antisipasi bagi kenyataan di masa depan. Manusia

tidak lagi hidup dalam sekat-sekat geografi seperti zaman dulu. Orang zalim maupun yang alim hidup

dalam daerah, bahkan kotak yang sama. Sehingga bila terjadi bencana akan terhempas semua. Nah,

kemungkinan bencana ini harus diantisipasi. Baru saja kita menyaksikan berbagai bencana yang

menimpa negeri ini, bahkan berbagai macam gempa yang melanda tempat tinggal, baik di dalam dan di

luar negeri. Lalu, kita saksikan secara langsung bagaimana gedung WTC dihantam hingga hancur.

Siapa yang terkena bencana itu? Manusia dalam segenap kemanusiaannya.

Itulah sebabnya, dari awal kita telah diperintah untuk bertakwa, beramal saleh, dan saling “ta-

arruf”, saling bekerja sama antar bangsa, budaya dan agama. Jadi, dalam re-thinking konsep tawakal,

ta-arruf tidak cukup diartikan saling mengenal [dalam arti sempit, konservatif]. Saling kenal, tidak lagi

dalam pengertian statis, dan tertutup. Tapi, sudah menjadi dinamik dan terbuka. Manusia harus pandai

melakukan kerja sama dan “teamwork” yang handal. Inilah jihad! Kemudian harus ditunjang dengan

ijtihad, jihad pemikiran sehingga kita mampu memberikan solusi bagi masyarakat di masa depan. Maka

lahirhal umat Islam yang ‘rahmatan lil alamin’, rahmat bagi semua.

Pada ayat ketiga disebutkan bahwa Allah dan manusia adalah keberadaan yang tunggal.

Karena itu jangan cari Allah di luar dirimu, tetapi carilah di dalam dirimu. Memang ada simbol-simbol

bagi rumah Tuhan, seperti tempat ibadah dan Ka’bah. Tapi, itu hanya simbol. Awas, jangan keliru

persepsi dalam melihat simbol. Bendera ‘Merah Putih’, adalah simbol bagi kehadiran negara Indonesia.

Tetapi, bukan negara Indonesia itu sendiri. Dengan demikian bendera bisa diperlakukan secara

rasional, dan bukan mitos lagi. Bila kotor, ya dicuci, kemudian diseterika, dan di simpan di almari. Jika

diperlukan, ya diambil dan dikibarkan.

Ka’bah pun hanya merupakan simbol bagi kehadiran Allah. Ia dikunjungi, dan dihormati. Bila

kotor, ya dicuci. Bila sudah aus ya diperbaiki! Karena itu Ka’bah dalam sepanjang sejarahnya telah

direnovasi beberapa kali. Hikmah dari kunjungan yang digali dan dipetik. Kemudian dengan jihad dan

ijtihad haji diwujudkan untuk membangun masyarakat yang berkeadilan sosial. Jadi, haji tidak lagi

merupakan kewajiban tanpa isi. Tapi, ia memberikan inspirasi untuk pembangunan umat.

Kebaikan apapun yang kita lakukan datangnya dari Allah. Dan, apa saja yang kita lakukan tak

akan terjadi, kecuali dengan izin-Nya. Allah memang pencipta diri dan apa yang kita kerjakan. Namun,

inisiatif tetap harus lahir dari kita. Kata orang sufi, “aku dan Dia sebenarnya satu, walaupun aku bukan

Dia dan Dia bukanlah aku.” Ingat, Hadis di atas, langit, bumi dan seisinya tak mampu menjangkau-Ku,

tapi hati orang beriman [yang sudah aman] yang dapat menampung-Ku.

Page 107: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

107

Bagian ke-23

[Tawakal]

Orang yang bertawakal adalah orang yang berpijak pada kebenaran yang nyata. Tawakal

bukanlah teori. Tetapi praktik kehidupan seperti yang dijalani oleh burung yang pagi-pagi

meninggalkan sarangnya untuk mencari makan. Sehingga tawakal juga terkait erat dengan tekad dan

keteguhan hati. Orang yang bertawakal bukanlah orang yang bekerja setengah hati. Ada satu ayat

dalam Al Quran yang bahasa Indonesianya:

“Maafkan mereka, mohonkan perlindungan bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam

urusan [hidupmu].

Apabila engkau telah teguh pendirian, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah

mencintai orang-orang yang bertawakal.”1)

Ayat diatas adalah bagian dari ayat 3:159. Pada ayat tersebut dinyatakan bahwa budi pekerti

Nabi sangat mulia. Dengan kasih-sayang-Nya, Nabi senantiasa berlaku lemah lembut kepada semua

orang yang ada di sekelilingnya. Sikap yang lemah lembut terhadap sesamanya itu wujud dari

ketawakalan Nabi.

Sikap yang lemah lembut itu ditunjukkan dengan sifatnya yang pemaaf. Ingat, seorang pemaaf

bukanlah orang yang tak berdaya. Seorang pemaaf adalah orang yang mampu untuk membalas dendam

terhadap orang yang menimpakan penderitaan, tetapi karena kebesaran jiwanya, dendam itu tidak ia

lakukan. Bahkan memaafkannya. Hal ini telah dibuktikan oleh Nabi ketika beliau menaklukkan kota

Mekah. Ketika rombongan Nabi memasuki kota itu, betapa takutnya penduduk Mekah. Wajah-wajah

mereka pucat pasi, mereka takut terhadap pembalasan yang dilakukan oleh Muhammad beserta

rombongan yang dibawanya. Tetapi, mereka kecelik, salah duga. Ternyata Muhammad memberikan

permaafan dan pembebasan.

Ayat di atas sebenarnya menerangkan sifat pribadi Nabi yang tampak sehabis perang Uhud.

Dari sejarah kita mengetahui bahwa pada perang Uhud tentara Islam mengalami kekalahan yang berat.

Disebabkan sebagian regu penempur itu tidak mema-tuhi Nabi sebagai panglima perangnya. Mereka

[para tentara itu] berbuat kesalahan fatal dalam peperangan. Sehingga pasukan Islam bisa dikalahkan

dan diporak-porandakan. Namun, Nabi selaku panglima perang tidak menghukum mereka yang desersi

itu. Justru Nabi menghadapi mereka yang membangkang itu dengan penuh kelembutan. Sehingga

mereka merasa malu dan menyesal. Mereka bertambah setia dan tidak kabur dari Nabi. Bahkan

kesalahan itu harus segera dimaafkan. Cara-cara demikian ini adalah cara-cara orang yang bertawakal

kepada Tuhan.

Dalam kehidupan berorganisasi, bermasyarakat, bernegara, ataupun bersahabat, dibutuhkan

seorang pemimpin yang lemah lembut. Bukan pemimpin yang lemah! Pemimpin yang dipatuhi, dan

bukan yang ditakuti. Hal ini bisa dipenuhi bila orang itu menerapkan asas kasih sayang terhadap

sesamanya. Bisa membetulkan yang salah. Tetapi bukan mencari-cari kesalahan. Kemudian

memberikan maaf bila bawahan atau rekannya itu ada kemauan untuk tidak mengulangi kesalahan.

Dalam kehidupan tawakal tidak dibenarkan seseorang mau menang sendiri. Justru ia harus

bisa menjadi kampiun demokrasi. Mampu berunding, sehingga tercapai win-win solution, solusi yang

menguntungkan semua pihak. Ingat, manusia tawakal adalah orang yang menang, orang yang tidak

bergantung kepada orang lain. Tetapi ia bersedia menjadi gantungan bagi bawahan atau orang-orang

lainnya. Ia adalah manusia yang kaya, karena itu ia mampu berbagi. Jadi, sangatlah wajar bila

dipenghujung ayat itu dinyatakan bahwa Allah mencintai [sekali lagi, mencintai] orang-orang yang

bertawakal atau bertawakul. Karena sandaran orang tawakal itu hanyalah Tuhan.

Orang yang bertawakal adalah orang yang condong pada perdamaian. Mengapa? Karena

dalam kehidupan yang damai akan lahir keharmonisan dan keindahan hidup. Betapa sulitnya

menegakkan keteraturan dan keamanan dalam kehidupan yang penuh pergolakan. Betapa sukarnya

Page 108: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

108

menegakkan dan memberdayakan hukum dalam nuansa yang centang-perenang. Karena itu dibutuhkan

orang yang bertawakal. Orang yang cinta damai. Bukan orang yang terpaksa mau diajak damai! Orang

yang cinta damai adalah orang yang bersedia memberikan perdamaian, meskipun ia dapat menolak

damai bila ia mau. Karena posisinya menang. Tetapi orang yang bertawakal sepenuhnya sadar bahwa

yang memiliki kekuatan hanyalah Tuhan. Ia tidak mau bersaing dengan Tuhan. Bahkan ia sepenuhnya

bersandar kepada-Nya.

“Jika mereka [yang memusuhimu] condong kepada perdamaian, maka condoglah kepadanya. Dan,

bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”2)

Dalam kehidupan ini banyak orang yang dangkal pemikirannya. Sehingga siapa saja yang di

luar grup atau kelompoknya dianggapnya sebagai musuhnya. Entah itu karena sentimen golongan,

bangsa, ras, etnis, agama, partai, ataupun lainnya. Sehingga kerja sama yang dibangun bagaikan sarang

laba-laba. Kelihatan rapi, tetapi rapuh. Hal itu disebabkan karena semua yang diluar golongannya,

outgroup, dipandangnya sebagai musuh. Jadi, jalinan kerjasamanya semu. Itulah sebabnya

persahabatan antar partai atau negara tidak langgeng. Karena pertimbangannya bukan ketawakalan,

tetapi kepentingan. Tentu saja bukan “WWS” [win-win solution] yang dihasilkan.

Jika bukan karena ketawakalan, rundingan yang terjadi bukan untuk WWS, tetapi untuk adu

kuat. Mereka tawarkan apa yang paling maksimum bagi kelompoknya. Lalu, karena tarik-ulur waktu,

akhirnya mereka bersedia menurunkan targetnya, sampai pihak yang dianggap lemah itu dapat

menerimanya. Inilah tipe musyawarat, rundingan, atau negosiasi yang tidak berasas pada ketawakalan.

Tak ada keinginan untuk hidup damai. Yang diinginkan adalah kemenangan semu. Disebut semu

karena itu sebenarnya wujud dari sebuah penindasan. Golongan yang kuat ingin menunjukkan bahwa

damai itu ada bila kemauannya dituruti.

Dalam suatu organisasi perusahaan pun terjadi kerja sama dalam permusuhan. Dan bukan

kerja sama dalam perdamaian. Bukan asas ketawakalan, partnership, tetapi asas adu kekuatan dan

kekuasaan. Ada kelompok yang merasa kuat [karena etnis, atau agama] yang bekerja sama dengan

kelompok yang lemah. Kerja sama yang dibangun karena adanya kepentingan, bukan ketawakalan.

Sehingga mereka yang memiliki posisi tawar yang kuat mempermainkan yang posisi tawarnya lemah.

Ketika kita dalam posisi yang lemah, kita tak akan bisa melihat kelemahan orang lain. Pijakan

kita sangat lemah, yaitu ketergantungan dan bukan ketawakalan. Karena itu tasawuf mengajarkan

fondasi yang kuat pada kesabaran dan ridha. Selama masih dalam posisi yang lemah, kita harus

memiliki emosi yang tegar dan tahan terhadap tekanan-tekanan yang mereka lakukan. Kita tetap ulet

untuk mencari jalan keluar. Kita harus yakin bahwa keuletan itu adalah sumber untuk mendapatkan

kejayaan. Dan bila telah jaya, jangan balas dendam [ganti menindas]. Justru kita harus menciptakan

nuansa kehidupan yang penuh damai. Inilah asas ketawakalan!

Kemampuan sabar, zuhud, dan ridha akan mendorong seseorang benar-benar meyakini bahwa

Tuhanlah yang menjadi pelindungnya. Bahkan hidupnya pun dirasakan sebagai jatah yang ia terima

dari Tuhannya. Ia pekerja keras, ulet, dan cermat [smart]. Tak ada keluh kesah! Tetapi, dia tetap peduli

terhadap rekan-rekannya yang merasa menderita dalam hidup ini. Semboyannya, “lebih baik aku yang

berpuasa daripada dia yang merasa lapar”. Lho, koq mau? Ya, inilah prinsip deposit. Jadi, ketawakalan

adalah wujud dari kasihnya manusia.

Di bawah ini ada dua ayat yang bersambungan, yaitu yang tertera dalam Surat Ath Thalaq/65:

2-3.3) Sebenarnya jika ayat ini dibaca dari awal kalimatnya, maka kita mengetahui bahwa dalam

kehidupan bersama, bila terjadi perselisihan, mereka yang posisi tawarnya lebih kuat harus

memberikan jalan keluar yang lebih baik. Inilah watak orang yang bertakwa, yang maqamnya pada

tingkat tawakal.

Jelas bahwa orang yang bertawakal itu orang yang tidak mau menang sendiri. Meskipun dia

berada di atas angin, dia dalam kedudukan yang

Page 109: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

109

lebih kuat, dia tidak mau mengambil keuntungan dari kelemahan orang lain. Justru dia menawarkan

jalan keluar yang lebih baik bagi sekutunya atau pihak-pihak yang berkaitan dengannya tetapi posisi-

nya lebih lemah. Dia yakin bahwa kebaikan yang diberikan itu tak akan merugikan dirinya. Bahkan dia

akan mendapatkan anugerah dengan cara memberi. Bukan menda-patkan keuntungan dengan cara

meminta, melainkan dengan cara membari!

Orang-orang yang bertawakal yakin, haqqul yakin, bahwa alam ini bekerja dengan jujur. Yang

dalam bahasa tauhid dinyatakan “Allah melaksanakan urusan-Nya”. Kalau dia menanam benih yang

baik dan merawatnya, niscaya akan memanen hasilnya yang berlimpah. Karena itu dia tak pernah ragu

dengan kebaikan yang diberikannya. Tuhan pasti memenuhinya. Mungkin saja tidak dalam bentuk

materi, tetapi dalam bentuk ke-kayaan batin. Atau, dalam bentuk kekayaan lahir dan batin.

Orang bertawakal tak pernah berdagang dengan Tuhan. Dia tak pernah hitung-hitungan

untung rugi dengan Tuhan. Apa yang diamalkan tak terkait dengan angan-angan surga. Ia berjalan

bukan untuk menemui sosok Tuhan. Justru ia yakin bahwa dalam perjalanan hidupnya ia senantiasa

disertai Tuhan. Bukankah insan kamil adalah manusia yang mampu meneladani budi pekerti Tuhan,

seperti yang diungkapkan dalam Hadis? Bukankah hati orang yang bertawakal itu bait Allah, rumah

Tuhan? Karena itu, barangsiapa yang bertawakal kepada Tuhan, niscaya Dia mencukupinya!

Tawakal adalah landasan pokok dalam kehidupan para nabi. Karena itu seorang nabi siap

menempuh hidupnya, meskipun seorang diri. Seorang nabi membangun umat dengan dimulai dari

dirinya sendiri. Ia tidak menampilkan diri dengan mengikuti status quo, sistem yang ada. Ia justru

bangkit dan membangkitkan sistem yang baru. Tentu saja tidak baru sama sekali. Tetapi memperbarui,

merenovasi sistem yang ada.

Nabi, yang berasal dari kata “naba”, berita, adalah orang yang menerima berita. Ia menerima

berita dari dunia ketuhanan. Pada saat dia mengemban amanat yang diterimanya itu dan

menyampaikannya kepada masyarakat sekelilingnya, dia disebut rasul. Setiap umat ada rasulnya.4)

Dan, setiap rasul hadir di tengah-tengah umat untuk menyeru kehidupan yang hanya berorientasi

kepada Tuhan Yang Maha Esa.5) Hidup yang menjauhi “thaghut”, segala jenis tindakan yang

melampaui batas. Masih ingatkan, bahwa semua yang tercipta di dunia ini, termasuk diri kita, ada

batas-batasnya, ada mizannya, ada ketetapan-ketetapannya, ada kadarnya.

Untuk mempertahankan hidup didunia ini, manusia perlu makan. Ternyata pada sejumlah

tertentu makanan yang masuk perut, akan terasa kenyang. Timbulnya rasa kenyang menandakan apa

yang dimakan itu telah menyentuh batasnya. Kalau perut terus diisi, padahal rasa kenyang sudah

timbul, maka perut akan terasa sakit. Jika diteruskan, rusaklah perut itu. Dalam kehidupan sosial pun

ada batas-batasnya. Jika dilanggar akan rusaklah tatanan sosialnya. Nah, rasul diutus sebenarnya untuk

mengingatkan kembali batas-batas itu. Agar tatanan sosial tidak rusak!

Keberanian yang ditempuh oleh seorang rasul dalam memperingatkan masyarakat, adalah

keberanian yang timbul dari maqam tawakal. Karena dengan tawakal itu sese-orang telah percaya

penuh dan pasrah secara total kepada-Nya. Ya, kata tawakal, atau tawakkul, berasal dari kata “wa-ka-

la”, yang artinya mewakilkan. Orang bertawakal sebenarnya adalah orang yang mewakilkan dirinya

kepada Tuhan.

Ingat kita sudah ada di maqam tawakal! Mewakilkan diri kepada Tuhan tidak berarti kita pasif

total. Kita bukan jabbariyah [lihat bag. ke-22]. Tawakal itu bagaikan burung yang pagi-pagi

meninggalkan sarangnya dengan tembolok kosong, dan kembali pada sore hari ke sarangnya dengan

tembolok penuh. Nah, yang perlu dicermati adalah keberanian untuk meninggalkan sarang dan

keyakinan bahwa dengan cara itu kita akan dapat mempertahankan hidup. Dalam bahasa Siti Jenar, kita

makan dan minum ini bukan untuk mempertahankan hidup. Tak ada gunanya kerja keras untuk

mempertahan-kan hidup, karena hidup manusia di bumi ini tak bisa dipertahankan. Dengan makanan

kita seperti sekarang ini manusia tak akan dapat mempertahankan hidup. Manusia pasti mengalami

kematian.

Menurut Siti Jenar, berbuat bajik di dunia, bertawakal, adalah untuk melakukan deposit

sehingga kita bisa menemukan jalan hidup yang sejati. Karena itu, orang yang beratawakal adalah

Page 110: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

110

orang yang sudah naik tangga puncak dan akhirnya menyerahkan diri secara total kepada Tuhannya. Ia

yang hidup dan terperangkap raga yang dapat mati ini, ternyata tidak mampu menemukan kunci

kekekalan hidup. Ia harus pasrah total seperti seorang bayi. Seorang bayi yang memiliki kharisma,

sehingga orang yang melahirkan dan yang ada di sekelilingnya jatuh cinta untuk merawatnya.

Wah, ternyata tawakal itu gampang diucapkan tetapi sulit dikerjakan. Memang, karena

tasawuf itu bukan teori. Tasawuf adalah cara hidup. Ada tangga-tangga kehi-dupan yang harus

dipraktikkan. Begitu kita berada di tahap ridha, rasanya goyah jiwa kita. Kita mulai mempertanyakan

diri ini, bagaimana kita bisa rela dalam menjalani hidup ini. Bagaimana kita bisa ikhlas dalam

berkehidupan ini? Lha wong orang lain saja sering pamrih dalam berhubungan dengan kita, apa ya bisa

kita hidup tanpa pamrih kepada orang lain? Begitulah pertanyaan yang mencuat di dalam hati.

Lebih-lebih pada tahap tawakal. Bukan saja ikhlas menjalani hidup, tetapi harus pasrah, harus

percaya bahwa Tuhan mengurus diri kita. Secara teoritis memang sulit kita membayangkan kehidupan

tawakal. Tetapi, dalam praktik kita telah menyaksikan. Kita menyaksikan binatang di sekitar kita yang

mencari karunia Tuhan. Kita mendengar para nabi dan rasul berjuang dari dirinya sendiri. Bukan

membangun jaringan lebih dulu seperti orang-orang yang membangun partai untuk merebut kekuasaan.

Tetapi, diemban lebih dulu amanatnya. Diingatkannya masyarakat agar menempuh hidup yang

benar. Diajaknya keluarga, saudara, dan teman-temannya untuk komit menegakkan kebenaran dalam

hidup ini. Bukan untuk keuntungan dirinya, tetapi untuk kesejahteraan bersama. Dengan cara demikian

umat terbentuk.

Seperti telah diterangkan di depan. Kebenaran tidak ada artinya, jika hanya di-tegakkan

seorang diri. Tak ada implikasi sosialnya. Karena itu kebenaran harus dipikul bersama-sama agar

terwujud kehidupan sosial yang harmonis. Agar masyarakat tidak bodoh, maka harus didirikan

sekolahan-sekolahan. Biayanya harus dipikul bersama. Nah, negara sebenarnya adalah alat untuk

mengorganisasikan kehidupan bersama. Pajak atau zakat dipungut untuk kesejahteraan bersama. Bukan

untuk menjalankan kekuasaan. Karena kekuasaan yang sebenarnya adalah kepunyaan Tuhan.

Setiap manusia adalah khalifah-Nya, wakil-Nya untuk mengurus bumi ini. Lalu, orang-orang

yang merasa mengemban perwakilan-Nya ini harus bertawakal kepada-Nya, pasrah total kepada-Nya.

Tak ada manipulasi di antara sesamanya. Yang kuat bersedia memberikan atau berbagi keuntungan

kepada yang lemah. Bagaikan musik, yang bunyinya keras tidak mendominasi semua bunyi. Sehingga

akhirnya timbul alunan bunyi yang selaras dan seimbang.

Dunia pun terwujud karena keseimbangan, bukan karena dominasi oleh sesuatu pihak. Negara

maju pun menyadari hal ini. Karena itu, mereka membangun perusahaan dengan sistem kerjasama

karyawan, majikan, dan manajemen dengan baik. Yang di tingkat manajemen sejahtera, yang di tingkat

buruh dan staf sejahtera, pemilik pun hidup sejahtera. Tak ada pihak-pihak yang terkait dengan

perusahaan [stakeholders] dirugikan. Semua mendapatkan keuntungan dari perusahaan yang

dibangunnya. Itulah sebenarnya konsep tawakal!

Jadi, intinya dalam kehidupan tawakal, semua pihak saling percaya, dan secara total

mempercayakan eksistensinya. Manusia yang bertawakal percaya dan pasrah secara total kepada

Tuhan. Dia pun percaya sepenuhnya kepada manusia yang menjadi khalifah-Nya. Karena itu, Dia

menjamin bahwa manusia yang benar-benar tawakal akan mendapat rezeki dari arah yang tak terduga.

Demikianlah akhir dari pelajaran tawakal. Yang sekaligus mengakhiri pelajaran tasawuf kita.

Tetapi tidak untuk mengakhiri upaya menaiki tangga-tangga tasawuf. Manusia harus terus mencari

jalan-Nya selama hayat di kandung badan. Hingga akhirnya bisa ditemukan ‘subul’, jalan-jalan Tuhan

yang digelar di alam raya ini. Bukan hanya untuk pencerahan dirinya, tetapi turut serta mencerahkan

orang lain. Seorang sufi bukanlah orang yang mencari teman untuk membangun golongan atau

mendirikan sistem kepercayaan bersama.

Seorang sufi sejati adalah orang yang sungguh-sungguh mencari air minum sejati, ma-ul

hayyat, air kehidupan, tirta prawitasari.6) Setelah menemukannya dan meminum-nya, maka ia pun

memberikan air minum itu kepada orang lain. Sehingga orang lain pun bisa hidup, turut tercerahkan.

Itulah sebabnya, dalam beribadah dan memohon pertolongan kepada Tuhan, dinyatakan dalam bentuk

Page 111: Rangkuman Ceramah Mingguan Bp. Achmad Chodjim

Rangkuman Ceramah Mingguan (Bp. Achmad Chodjim)

111

kebersamaam: “Iyya ka na ‘budu wa iyya ka nasta-‘in”, hanya kepada Engkau kami beribadah dan

hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan dalam hidup ini.

Sekian, wa billahit taufiq wal hidayah.

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh.

Disusun oleh : Ugi Sugiri

Email : [email protected]

Sumber : http://www.musyariaulia.blogspot.com

Semoga artikel ini bermanfaat….