rancangan undang-undang · pdf filerancangan undang-undang “bersama naskah...

122
RANCANGAN UNDANG-UNDANG “BERSAMA NASKAH AKADEMIS” TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PENYEMPURNAAN UU NO 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA) DISUSUN OLEH TIM KAJIAN KEBIJAKAN KONSERVASI TAHAP II KERJASAMA KEMENTERIAN KEHUTANAN DENGAN DEWAN KEHUTANAN NASIONAL JAKARTA, DESEMBER 2010

Upload: doduong

Post on 04-Feb-2018

265 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

RANCANGAN UNDANG-UNDANG “BERSAMA NASKAH AKADEMIS”

TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

(PENYEMPURNAAN UU NO 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA)

DISUSUN OLEH TIM KAJIAN KEBIJAKAN KONSERVASI TAHAP II

KERJASAMA KEMENTERIAN KEHUTANAN DENGAN DEWAN KEHUTANAN NASIONAL

JAKARTA, DESEMBER 2010

Page 2: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

1

PENGANTAR   Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati, pengganti UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya, dapat diselesaikan pada waktunya.

Derasnya perubahan lingkungan strategis yang terjadi dalam 20 tahun terakhir telah menyebabkan penyelenggaraan konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya (KSDAHE) di Indonesia yang diselenggarakan berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 berjalan kurang efektif, oleh karena itu perlu segera dilakukan penyempurnaan.

Memperhatikan kondisi di atas, Kementerian Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional (DKN) telah bersepakat untuk melakukan kajian perubahan UU No. 5 Tahun 1990, dengan terlebih dahulu menyusun naskah akademis (NA) dan Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati.

Guna memudahkan pelaksanaan kajian dimaksud, DKN membentuk Tim Ad-hoc Kajian Kebijakan Konservasi Tahap II, beranggotakan perwakilan kamar yang ada di DKN. Mereka adalah para praktisi dan penggiat kegiatan konservasi SDA&E, serta perwakilan dari Kementerian Kehutanan. Tim ad-hoc telah bekerja efektif sejak Januari 2010. Kajian dilakukan melalui pertemuan focus group discussion (FGD), studi pustaka, kunjungan lapangan, maupun konsultasi publik (khusus dalam penyusunan NA) dengan para pihak.

RUU tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati ini, belum sepenuhnya sempurna karena belum merupakan hasil final konsultasi publik, sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian, RUU ini, karena disusun berdasarkan NA yang telah mendapat masukan dari para pihak selama kegiatan konsultasi publik, diharapkan akan mampu menjawab tantangan terkini serta tantangan 20 tahun ke depan di bidang konservasi.

Akhirnya kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Direktorat Jendral PHKA dan Biro Hukum SetJen Kementerian Kehutanan, WWF Indonesia dan Orangutan Conservation Service Program (OCSP) yang telah memberikan dukungan dalam proses pelaksanaan kegiatan. Demikian pula ucapan terima kasih kami sampaikan kepada pihak-pihak lain,khususnya para anggota tim adhoc yang telah berperan aktif dalam mensukseskan penyusunan NA dan Rancangan Undang-Undang perubahan UU No. 5 Tahun 1990. Semoga Tuhan memberkati.

Jakarta, Desember 2010 a/n Dewan Kehutanan Nasional

Ir. I Made Subadia Gelgel, MSc Ketua Tim Ad-hoc Kajian Kebijakan Konservasi Tahap II

Page 3: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

2

Daftar Nama Anggota Tim Kajian Kebijakan Konservasi Tahap II  

 No. Nama Asal Instansi

1. Tim Pengarah (SC)

Hariadi Kartodihardjo DKN/IPB Hadi S Pasaribu Staf Ahli Menteri Kehutanan Darori Dirjen PHKA Kementerian Kehutanan Wahyudi Wardoyo TNC Andi Novianto Kemenko Perekonomian Nana Suparna Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Dian Achmad Kosasih WWF Indonesia Jamartin Sihite RHOI Bambang Suharsono DKN 2. Tim Ad-hoc

I. Made Subadia Gelgel Kementerian Kehutanan Wiratno Kementerian Kehutanan Bambang Eko Prayitno Kementerian Kehutanan Eppy Agusfin Kementerian Kehutanan Samedi KEHATI Fathi Hanif WWF Indonesia Arbi Valentinus OCSP Andiko HUMA Hedar Laudjeng DKN Harry Alexander WCS Harri Purnomo DKN

Page 4: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

3

DAFTAR ISI Halaman

KATA PENGANTAR............................................................................................................ i DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iii BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1 B. Tujuan ......................................................................................................................... 2

BAB II. LANDASAN UMUM .............................................................................................. 3

A. Landasan Filosofis .................................................................................................... 3 B. Landasan Yuridis ...................................................................................................... 3 C. Landasan Sosial ..................................................................................................... 15

BAB III. PERUBAHAN PARADIGMA ........................................................................... 16

A. Kondisi Lingkungan Strategis ............................................................................... 16 B. Masalah Konservasi ............................................................................................... 17

BAB IV. MATERI MUATAN ........................................................................................... 29

I Ketentuan Umum .................................................................................................... 29 II Perlindungan Keanekaragaman Hayati .............................................................. 31 III Pengawetan Keanekaragaman Hayati ................................................................ 39 IV Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati .............................................................. 41 V Pemulihan Ekosistem dan Populasi Spesies ..................................................... 43 VI Kelembagaan .......................................................................................................... 44 VII Partisipasi Pengelolaan Kehati ............................................................................. 47 VIII Pengamanan dan Penyidikan ............................................................................... 50 IX Larangan dan Sanksi ............................................................................................. 51

BAB V. KESIMPULAN ................................................................................................. 54 RANCANGAN UNDANG-UNDANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI ............................................................................................................................. 55

Page 5: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia dianugerahi kekayaan sumberdaya alam hayati (SDAH) yang berlimpah, baik di darat, maupun di perairan. SDAH ini merupakan sumberdaya strategis, dikuasai negara untuk dikelola secara optimal dan berkelanjutan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian, Indonesia memiliki kekayaan alam hayati yang tinggi, dicerminkan oleh keanekaragaman jenis satwa dan flora Indonesia. Dalam tataran global, walau luas daratan Indonesia hanya 1% dari luas daratan dunia, keanekaragaman hayati Indonesia menduduki posisi tiga besar bersama dengan Brazil dan Zaire (Republik Demokrat Kongo). Indonesia tercatat memiliki 515 jenis mamalia (12% dari total jumlah mamalia dunia), 511 reptilia (7,3% dari seluruh reptil dunia), 1.598 jenis burung (17% dari jumlah burung dunia) dan terdapat sekitar 38.000 jenis tumbuhan berbunga.

Sumberdaya alam tersebut jumlahnya tidak tak terbatas, dan walaupun mempunyai sifat yang dapat memperbaharui diri atau dapat diperbaharui (renewable), SDAH mempunyai sifat yang tidak dapat kembali seperti asalnya (irreversible) apabila dimanfaatkan secara berlebihan. Pemanfaatan secara berlebihan akan mengancam keberadaan sumberdaya alam itu sendiri, dan sampai pada tahap tertentu akan dapat memusnahkan keberadaannya.

Guna menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan, perlu diatur bahwa sebagian dari SDAH tersebut harus dilindungi secara ketat, sementara sebagian lainnya dimanfaatkan secara proporsional dan berkelanjutan. Konservasi SDAH merupakan keseimbangan antara perlindungan ketat dan pemanfaatan yang berkelanjutan tersebut sehingga keberadaannya tetap bisa dipertahankan dan dapat dimanfaatkan secara lestari bagi kemakmuran masyarakat baik generasi saat ini maupun generasi yang akan datang.

Pengaturan konservasi SDAH melalui peraturan perundangan diharapkan akan mampu menjamin adanya kepastian hukum hubungan antara masyarakat dengan SDAnya, terjaminnya pemenuhan hak hak dasar masyarakat dalam kaitannya dengan SDA, serta terjaminnya distribusi manfaat SDAH secara adil dan berkelanjutan.

Dewasa ini telah ada UU yang mengatur tentang konservasi yaitu UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini telah berumur hampir 20 tahun, dan selama masa tersebut telah terjadi banyak sekali perubahan lingkungan strategis nasional seperti berubahnya sistem politik dan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi dan demokratisasi, maupun perubahan pada tataran global berupa bergesernya beberapa kebijakan internasional dalam kegiatan konservasi, sebagaimana tertuang dalam hasil-hasil konvensi yang terkait dengan keanekaragaman hayati, atau hasil-hasil kesepakatan baik bilateral, regional maupun multilateral.

Belakangan ini telah terjadi kecendrungan semakin meningkatnya kerusakan lingkungan, dimana sebagian besar sumberdaya alam kita mengalami degradasi,

Page 6: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

5

termasuk di dalamnya kawasan hutan konservasi yang telah ditetapkan oleh negera sebagai wilayah konservasi ekosistem, maupun konservasi jenis dan genetik. Meningkatnya laju degradasi kawasan konservasi serta degradasi populasi jenis tumbuhan dan satwa liar yang terancam punah dan endemik, erat kaitannya dengan kurang efektifnya kebijakan/perundangan di bidang konservasi dan pelaksanaannya.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, tentang konservasi belum mampu menjamin terwujudnya kelestarian ekosistem (kawasan), jenis dan genetik; terbukti dengan terus meningkatnya laju degradasi, serta belum mampu menjamin meningkatnya kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar wilayah konservasi.

Pada saat ini diperkirakan terdapat sekitar 48 juta masyarakat yang hidup di dalam/di sekitar hutan, dan sebagian dari mereka hidup dalam keadaan miskin dan tidak berdaya (CIFOR 2006). Dalam banyak kasus, masyarakat lokal merasa tidak dilibatkan dan tidak menerima manfaat dari pengelolaan kawasan konservasi, sehingga tidak berminat untuk ikut berpartisipasi, atau cenderung menolak kehadiran kawasan konservasi.

Kondisi di atas, serta memperhatikan tantangan ke depan seperti menguatnya tekanan masyarakat terhadap kawasan konservasi, meningkatnya jumlah penduduk -yang memerlukan percepatan pembangunan di segala sektor- memerlukan legislasi nasional mengenai konservasi yang mampu melindungi keanekaragaman hayati secara efektif serta menjamin kemanfaatan bagi masyarakat; sehingga dipandang perlu untuk melakukan perubahan UU 5 Tahun 1990 tentang konservasi.

B. Tujuan

Kajian perubahan UU No. 5 Tahun 1990 diharapkan akan menghasilkan sebuah UU konservasi yang mampu menjamin konservasi pada tingkat genetik, tingkat jenis, dan tingkat ekosistem dapat dilaksanakan secara terintegrasi, komprehensif, transparan, partisipatif dan akuntabel, sehingga tujuan konservasi dapat diwujudkan dengan lebih efektif.

Page 7: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

6

BAB II

LANDASAN UMUM

A. Landasan Filosofis

1. Bahwa sumberdaya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan.

2. Bahwa sumberdaya alam hayati merupakan sumberdaya alam strategis yang dikuasai oleh negara serta merupakan sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati dan kesejahteraan rakyat.

3. Bahwa pembangunan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila.

4. Bahwa unsur-unsur sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem.

5. Bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumberdaya alam hayati dapat berlangsung dengan secara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri.

6. Bahwa peraturan perundang-undangan produk hukum nasional yang ada belum menampung dan mengatur secara menyeluruh mengenai konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sesuai dengan perkembangan sosial, politik, ekonomi dan budaya nasional, serta kerjasama atau hubungan internasional.

B. Landasan Yuridis

Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan sebagian dari undang–undang di sektor kehutanan yang mempunyai materi muatan pengurusan konservasi di Indonesia. Disamping itu tercatat ada beberapa perundangan sektor lain maupun UU ratifikasi konvensi internasional, yang mempunyai materi yang berhubungan dengan pengurusan konservasi. Undang–undang tersebut adalah:

1. Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (3) dan (4)

Sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian pengurusan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya menjadi tugas dan kewajiban pemerintah.

2. Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan “United Nations Convention the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut)”

Bagi Bangsa Indonesia, konvensi ini mempunyai arti yang penting karena untuk pertama kalinya asas Negara Kepulauan (archipelagic state) yang selama dua puluh lima tahun secara terus

Page 8: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

7

menerus diperjuangkan oleh Indonesia, berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat internasional.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut antara lain memuat ketentuan tentang: a. Kebebasan-kebebasan di Laut Lepas dan hak lintas damai di Laut Teritorial. b. Ketentuan mengenai lebar Laut Teritorial menjadi maksimum 12 mil laut dan kriteria Landas

Kontinen. Menurut Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut, kriteria bagi penentuan lebar landas kontinen adalah kedalaman air dua ratus meter atau kriteria kemampuan eksploitasi. Kini dasarnya adalah kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan sesuatu negara hingga pinggiran luar tepian kontinennya (Natural prolongation of its land teritory to the outer edge of the continental margin) atau kriteria jarak 200 mil laut, dihitung dari garis dasar untuk mengukur lebar Laut Teritorial jika pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut.

c. Sebagian melahirkan rezim-rezim hukum baru, seperti asas Negara Kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif dan penambangan di Dasar Laut Internasional.

Dalam penjelasan undang-undang ini juga menyebutkan bahwa konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ini juga mengatur mengenai konservasi kekayaan alam hayati yang terdapat dalam Laut Teritorial, Zona Tambahan dan Zona Ekonomi Eksklusif, mengatur masalah konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di Laut Lepas yang dahulu diatur dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang perikanan dan konservasi sumber kekayaan hayati di Laut Lepas.

Dalam undang-undang ini juga menyebutkan konvensi ini menganjurkan antara lain agar negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup/setengah tertutup mengadakan kerjasama mengenai pengelolaan, konservasi sumber kekayaan alam hayati dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut tersebut, dan juga mengatur mengenai konservasi dan pengelolaan sumber-sumber kekayaan laut dalam rangka pengembangan dan alih teknologi.

3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity)

Undang-undang ini terdiri dari 2 pasal mengenai Konvensi Keanekaragaman Hayati. Konvensi ini telah ditandatangani oleh 157 kepala negara, kepala pemerintahan atau wakil negara di Rio de Janeiro, Brazil.

Dalam penjelasan undang-undang ini menyebutkan mengenai tindakan umum bagi konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan yang terdapat dalam batang tubuh naskah konvensi dan manfaat yang diperoleh oleh Indonesia dengan diratifikasinya konvensi ini yaitu pengembangan kerja sama internasional untuk peningkatan kemampuan dalam konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati.

Pasal 8 mengenai konservasi in-situ dalam huruf j dikatakan bahwa: ”menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya hidup berciri tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan. Inovasi-inovasi dan praktik tersebut semacam itu dan mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik semacam itu”. Pasal 15 butir 4 dikatakan: akses atas sumber daya hayati bila diberikan, harus atas dasar persetujuan bersama (terutama pemilik atas sumberdaya).

Meratifikasi konvensi ini, tidak berarti negera kehilangan kedaulatan atas sumberdaya alam keanekaragaman hayati yang kita miliki karena konvensi ini tetap mengakui bahwa negara-negara,

Page 9: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

8

sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip hukum internasional, mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumberdaya alam keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sejalan dengan keadaan lingkungan serta sesuai dengan kebijakan pembangunan dan tanggung jawab masing-masing sehingga tidak merusak lingkungan.

4. Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 No. 73)

Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 terdiri dari 7 bab dengan 27 pasal antara lain wilayah perairan Indonesia, hak lintas kapal-kapal asing (hal lintas damai, hak lintas alur kepulauan, hak lintas transit dan hak akses dan komunikasi), pemanfaatan pengelolaan perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan, penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia,

Bab IV Pasal 23 Ayat (1) menyebutkan bahwa pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional

5. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2003)

Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 terdiri dari 11 bab dan 39 pasal. Undang-undang ini mengatur mengenai kekuasan negara terhadap pengelolaan keuangan negara yang meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, hak dan kewajiban negara, penerimaan dan pengeluaran negara dan juga daerah, ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.

Pasal 9 antara lain menetapkan: menteri/pimpinan lembaga mempunyai tugas melaksanakan pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan menyetorkannya ke kas negara.

6. Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 2006 No. 92)

Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 terdiri dari 13 bab dan 41 pasal. Undang-undang ini mengatur tentang upaya revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan. Revitalisasi akan berhasil jika didukung antara lain oleh adanya sistem dan lembaga penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan. Sistem penyuluhan selama ini belum didukung oleh peraturan perundang-undangan yang kuat dan lengkap sehingga kurang memberikan jaminan kepastian hukum serta keadilan bagi pelaku utama, pelaku usaha, dan penyuluh.

Undang-undang ini memerintahkan dibentuknya lembaga penyuluhan di tingkat pusat, propinsi maupun daerah, dengan demikian upaya pemberdayaan masyarakat di bidang konservasi dapat diharapkan akan semakin efektif pelaksanaannya, karena dilaksanakan oleh satu kesatuan lembaga yang didukung oleh sistem penyuluhan yang memadai.

7. Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Tahun 2007 No. 84)

Undang-undang ini terdiri dari 19 bab dan 80 pasal, antara lain berisi: proses pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian,

Page 10: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

9

penelitian dan pengembangan, pendidikan pelatihan dan penyuluhan, kewenangan, mitigasi bencana, hak kewajiban dan peran serta masyarakat, pemberdayaan masyarakat, penyelesaian sengketa, gugatan perwakilan, penyidikan, sanksi administratif, ketentuan pidana.

Undang-undang ini diberlakukan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

Dalam ketentuan umum undang-undang ini yang dimaksud dengan kawasan adalah bagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya dan kawasan pemanfaatan umum adalah bagian dari Wilayah Pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan. Selain itu dalam juga disebutkan mengenai rencana zonasi yaitu rencana yang menentukan arah penggunaan sumberdaya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.

Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.

Pasal 7 Ayat (5) menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyusun Rencana Zonasi rinci di setiap zona Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu dalam wilayahnya. Pasal 10 butir a menyebutkan bahwa Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi terdiri atas pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan alur laut. Pasal 22 menyebutkan bahwa hak pengusahaan Perairan Pesisir tidak dapat diberikan pada Kawasan Konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum. Pasal 23 ayat (2) mengenai pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut:

a. Konservasi; b. Pendidikan dan pelatihan; c. Penelitian dan pengembangan; d. Budidaya laut; e. Pariwisata; f. Usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan lestari; g. Pertanian organik; dan/atau Peternakan.

Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib (Pasal 23 Ayat 3):

a. Memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan; b. Memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat; serta c. Menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.

Perencanaan dilakukan melalui pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu (Integrated Coastal Management) yang mengintegrasikan berbagai perencanaan yang

Page 11: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

10

disusun oleh sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya. Perencanaan terpadu itu merupakan suatu upaya bertahap dan terprogram untuk memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara optimal agar dapat menghasilkan keuntungan ekonomi secara berkelanjutan untuk kemakmuran masyarakat.

Rencana bertahap tersebut disertai dengan upaya pengendalian dampak pembangunan sektoral yang mungkin timbul dan mempertahankan kelestarian sumberdayanya. Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dibagi ke dalam empat tahapan: (i) rencana strategis; (ii) rencana zonasi; (iii) rencana pengelolaan; dan (iv) rencana aksi.

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mencakup tahapan kebijakan pengaturan yang terdiri dari:

a. Pemanfaatan dan pengusahaan perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan melalui pemberian izin pemanfaatan dan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3).

b. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan di kawasan perairan budidaya atau zona perairan pemanfaatan umum kecuali yang telah diatur secara tersendiri.

c. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. d. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dalam satu gugus pulau atau kluster dengan

memperhatikan keterkaitan ekologi, keterkaitan ekonomi, dan keterkaitan sosial budaya dalam satu bioekoregion dengan pulau induk atau pulau lain sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.

8. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2007 No. 68).

Undang-undang ini terdiri dari 13 bab dan 80 pasal. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa dalam rangka kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas keterpaduan, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan, perlindungan kepentingan umum, kepastian hukum dan keadilan, dan akuntabilitas.

Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang sedangkan pemanfaatannya berupaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya sehingga menciptakan pengendalian pemanfaatan ruang yang tertib tata ruang.

Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.

Dalam penataan ruang, setiap orang berhak: mengetahui rencana tata ruang; menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang; memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya; mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.

Page 12: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

11

Setiap orang wajib: menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.

Undang–undang juga mengatur bahwa ruang dapat dibedakan menjadi fungsi lindung dan fungsi budidaya. Fungsi lindung meliputi hutan lindung, kawasan suaka alam (KSA), serta kawasan pelestarian alam (KPA). Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditinjau kembali setiap lima tahun sekali, dengan demikian klasifikasi wilayah konservasi masih harus mengacu kepada kriteria KPA dan KSA.

9. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 2009 No. 11)

UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan disahkan pada tanggal 16 Januari 2009 terdiri dari 17 bab dan 70 pasal. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan pengusaha. Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, social dan budaya, pemberdayaan SDA, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.

UU ini memiliki 11 asas, seperti salah satunya partisipatif dan kemandirian dengan berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk kesejahteraan masyarakat. Melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya merupakan salah satu dari 10 tujuan yang terlampir dalam UU ini.

Pembangunan kepariwisataan meliputi: a. industri pariwisata; b. destinasi pariwisata; c. pemasaran, dan; d. kelembagaan kepariwisataan. Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Pembangunan kepariwisataan merupakan bagian integral dari rencana pembangunan jangka panjang nasional. Pemerintah dan Pemda mendorong penanaman modal dalam negeri maupun asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana induk kepariwisataan tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

Penetapan kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek, termasuk (i) sumber daya pariwisata alam dan budaya yang potensial menjadi daya tarik aspek, (ii) potensi pasar, (iii) lokasi strategis dalam menjaga persatuan dan kesatuan, (iv) perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, (v) lokasi strategis dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan aset budaya, (vi) kesiapan dan dukungan masyarakat, dan (vii) kekhususan wilayah.

Usaha Pariwisata terdiri dari daya tarik wisata, kawasan pariwisata, jasa transportasi wisata, penyelenggaran kegiatan hiburan dan rekreasi, wisata tirta dan spa yang merupakan bagian dari usaha pariwisata. Pemerintah dan Pemda wajib mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dalam bidang pariwisata dengan cara membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata dan memfasilitasi kemitraan dengan usaha skala besar.

Page 13: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

12

Terkait kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Pemerintah diantaranya memiliki kewenangan untuk (i) menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, (ii) mengkoordinasikan pembangunan kepariwisataan lintas sektor dan lintas provinsi, (iii) menyelenggaraan kerjasama internasional di bidang kepariwisataan, (iv) menetapkan daya tarik wisata nasional, dan (v) menetapkan destinasi pariwisata nasional. Sementara itu, kewenangan Pemerintah Provinsi meliputi beberapa hal, diantaranya mengkoordinasikan pembangunan kepariwisataan lintas sektor dan kabupaten/kota, menetapkan destinasi pariwisata provinsi dan daya tarik wisata provinsi, melakukan dan memfasilitasi promosi wisata provinsi serta memelihara aset wisata tingkat provinsi. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota meliputi beberapa hal, termasuk menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota, melakukan pendaftaran, pencatatan dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata, mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisataan di wilayahnya dan menyelenggarakan bimbingan masyarakat sadar wisata. Setiap perseorangan /lembaga pemerintah/organisasi pariwisata serta badan usaha yang berprestasi luar biasa dalam partisipasi pembangunan kepariwisataan yang dibuktikan dengan fakta nyata maka diberikan penghargaan dalam bentuk pemberian piagam, uang atau bentuk lainnya yang bermanfaat.

Pendanaan pariwisata menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, Pemerintah Daerah, pengusaha dan masyarakat dengan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik. Pemda mengalokasikan sebagian pendapatan pariwisata untuk kegiatan pelesatarian alam dan budaya.

10. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 2009 No. 140)

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 terdiri dari 17 bab dan 127 pasal. Undang-undang ini mengatur mengenai pentingnya lingkungan hidup dimana lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.

Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa penggunaan sumber daya alam harus serasi, selaras, seimbang dengan fungsi lingkungan hidup, dan upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan.

Dalam undang-undang ini mengatur mengenai bahwa proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya terdapat pada pasal 23. Pasal 43 Ayat (2) undang undang ini juga mengatur mengenai instrumen pendanaan lingkungan hidup dimana terdapat dana amanah/bantuan untuk konservasi. Pemeliharaan lingkungan hidup yang terkait dengan konservasi terdapat pada Pasal 57 Ayat (1), (2), dan (5) yang menyebutkan bahwa pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber daya alam dan/atau pelestarian fungsi atmosfer dimana konservasi sumber daya alam yang dimaksud meliputi kegiatan perlindungan sumber daya alam, pengawetan sumber daya alam dan pemanfaatan sumber daya alam.

Selain itu, undang-undang ini juga mengatur: a. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup.

Page 14: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

13

b. Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah. c. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup. d. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang

meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup.

e. Perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

f. Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian. g. Pendayagunaan pendekatan ekosistem. h. Kepastian dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global. i. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses

keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

j. Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas. k. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif

dan responsif. l. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri

sipil lingkungan hidup.

11. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU No. 32 tahun 2004 terdiri dari 16 bab dan 240 pasal. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Penjelasan UU ini, antara lain menyatakan bahwa: penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintah antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Pembagian tersebut meliputi: urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah, yaitu urusan yang menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan, serta urusan pemerintah yang bersifat concurrent, yaitu urusan yang dilaksanakan bersama antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah atas dasar kriteria externalitas, akuntabilitas dan efesiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintah.

Selain itu penjelasan undang-undang ini juga menyatakan antara lain bahwa: “Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional misalnya: kawasan cagar budaya, taman nasional, pengembangan industri strategis dan seterusnya”.

Lebih lanjut dalam Penjelasan Umum dinyatakan bahwa: "Desa berdasarkan undang-undang ini adalah desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan

Page 15: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

14

masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".

Memperhatikan hal di atas, yang kemudian telah ditetapkan pula dalam Peraturan Pemerintah No. 38, konservasi adalah urusan yang bersifat khusus sehingga pembentukan dan pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah, serta penyelenggaran urusannya dilakukan secara bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

12. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

UU No. 7 Tahun 2004 memberikan pengertian, bahwa air adalah semua air yang terdapat pada, di atas ataupun di bawah permukaan tanah termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut. UU ini juga mengatur pengelolaan sumber daya air, rencana pengelolaan, hak guna usaha air, serta konservasi sumber daya air. Dengan demikian UU konservasi yang akan dibentuk harus sinkron dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU No. 7 tersebut.

13. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tetang Hukum Acara Pidana atau yang sering disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, disingkat dengan KUHAP

Penyelidikan dan penyidikan dalam KUHAP termuat dalam Bab IV Bagian Kesatu dan Ketiga, sedang tata cara implementasi dari kewenangan, termuat dalam Bab V sampai dengan Bab VII, Bab XIV dan Bab XV, mengatur bahwa:

(1) Penyelidik adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

(2) Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.

(3) Penyidik, adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

(4) Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Berdasarkan pengertian penyelidik dan penyelidikan tersebut di atas, berarti bahwa penyelidik merupakan bagian dari upaya para penegak hukum untuk membuat pelaku tindak pidana mempertanggungjawabkan perilakunya menurut hukum yang berlaku di depan hakim.

Agar penyelidik dapat melaksanakan tugas-tugas penyelidikan seperti yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang, maka penyelidik harus benar-benar memahami tentang dasar pemikiran pembentuk undang-undang mengenai pembentukan KUHAP dan undang-undang yang melarang suatu perbuatan.

Larangan perbuatan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, tidak tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), demikian juga ancaman hukumannya. Misal, tindak pidana pencurian (Pasal 362-367 KUHP), dalam undang-undang konservasi pencurian dibatasi hanya untuk jenis tumbuhan atau satwa dan wilayah tertentu yang dilakukan upaya konservasi ekosistem.

Pasal 6 KUHAP menetapkan Penyidik adalah: a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia

Page 16: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

15

b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 (Pasal 2) tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, menetapkan:

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf b diangkat oleh Menteri atas usul dari departemen yang membawahkan pegawai tersebuit. Menteri sebelum melaksanakan pengangkatan terlebih dahulu mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Pasal 7 Ayat (2) KUHAP menetapkan bahwa: (2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf b mempunyai wewenang

sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut Pasal 6 Ayat (1) huruf a.

Koordinasi dan pengawasan sebagaiana dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Pasal 39 (3) mengamanatkan bahwa:

(3) Penyidik POLRI dalam melaksanakan koordinasi dengan dan pengawasan terhadap PPNS, tidak membawahi PPNS, akan tetapi bersifat pembinaan. Penyidik POLRI baik diminta atau tidak diminta wajib memberikan pembinaan kepada PPNS.

Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan: a. Mengingat konservasi adalah ilmu pengetahuan yang terus berkembang, maka dituntut

tersedianya PPNS yang mampu meningkatkan/ mengembangkan pengetahuan, dan pemahanannya di bidang konservasi sesuai dengan kondisi terkini.

b. Posisi PPNS di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik, bukan berarti PPNS adalah bawahan penyidik POLRI, dengan demikian sudah seharusnya dalam perubahan UU mendatang PPNS Kehutanan harus diberi fleksibilitas dalam pelaksanaan tugasnya, tidak harus melapor sebagai bawahan kepada penyidik POLRI tetapi cukup berkoordinasi dalam arti cukup menyampaikan pemberitahuan setiap proses pelaksanaan tugas yang bersangkutan.

C. Landasan Sosial

UUD 1945, Pasal 27 sampai Pasal 34 menjamin bahwa setiap warga negara RI mempunyai hak dan kewajiban yang sama, termasuk dalam hal ini hak untuk memanfaatkan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta kewajiban untuk menjaga, melindungi dan melestarikannya. Hak dan kewajiban ini dilaksanakan secara seimbang bagi kelestarian dan kesejahteraan bangsa.

Tujuan pembangunan adalah mewujudkan suatu masyarakat adil, makmur yang merata materiil spirituil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dalam wadah NKRI. Pasal 33 UUD 1945 menetapkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negera dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Memperhatikan hal di atas, landasan sosial konservasi SDAH, ke depan adalah: 1. Penguasaan sumberdaya alam hayati oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah untuk sebesar-

besarnya kemakmuran masyarakat di masa sekarang maupun masa yang akan datang. 2. Penyelenggaraan konservasi SDAH dilaksanakan dengan tetap menjamin sepenuhnya hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya sehingga menunjang upaya-upaya perwujudan kehidupan masyarakat yang sejahtera secara materil dan spiritual, dengan menghormati keberadaan wilayah desa-desa setempat berikut hak asal usul yang dimilikinya.

Page 17: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

16 3. Pemanfaatan sumberdaya alam hayati dengan tetap menjaga daya dukung lingkungan serta

penetapan wilayah keterwakilan ekosistem di Indonesia, baik di wilayah pegunungan, maupun di wilayah dataran rendah; serta penetapan perlindungan/pengawetan serta pengendalian pemanfaatan terhadap satwa/ tumbuhan liar yang menjadi kekayaan Indonesia.

4. Perkembangan pembangunan wilayah yang menimbulkan wilayah administrasi baru (pemekaran) di kawasan konservasi dan munculnya/meningkatnya berbagai kepentingan non konservasi di kawasan konservasi.

Page 18: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

17

BAB III

PERUBAHAN PARADIGMA

A. Kondisi Lingkungan Strategis

Dewasa ini dunia sedang mengalami perubahan yang mendasar, dimana kepedulian masyarakat akan pentingnya melestarikan sumberdaya alam semakin menguat sejalan meningkatkan upaya untuk mencapai sasaran pembangunan berkelanjutan (sustainable development), tujuan pembangunan milenium (MDGs), serta menguatnya pengaruh isu pemanasan global, perdagangan bebas (free trade), monopoli sumberdaya alam yang tidak terbarukan oleh negara-negara maju, perubahan politik di tingkat nasional (desentralisasi, demokratisasi, isu HAM, pemekaran wilayah dan pemerintahan daerah, isu tata kepemerintahan yang baik dan reformasi birokrasi), konflik antar sektor terkait dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lahan, seperti pengembangan tanaman kelapa sawit, pertambangan dan Hutan Tanaman Industri.

Pembangunan berkelanjutan dengan tiga pilarnya yaitu keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan telah mendorong negara-negara di dunia ini untuk mengharmoniskan ketiga pilar tersebut dalam setiap pembangunan, termasuk di dalam pembangunan sumberdaya alam yang berpegang pada prinsip bahwa pembangunan ekonomi tidak berdampak pada rusaknya tatanan sosial serta memburuknya lingkungan, atau sebaliknya.

Kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya kesehatan anak/ibu serta perbaikan kondisi lingkungan, adalah beberapa target perbaikan yang harus dibangun oleh setiap negara berkembang, karena kondisi tersebut apabila dibiarkan akan dapat mengancam keberlangsungan kehidupan seluruh umat manusia. Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) sangat relevan dengan upaya konservasi sumberdaya alam karena masalah konservasi sering berhimpitan dengan masalah kemiskinan, kependudukan dan lingkungan.

Isu pemanasan global juga telah mendorong negara-negara di dunia untuk segera menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), meningkatkan rosot karbon (carbon stock), dengan berbagai langkah seperti menanam kembali hutan yang gundul, mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan, disamping mengurangi penggunaan energi berbahan dasar hidrokarbon dan menggantinya dengan energi yang ramah lingkungan.

Pada tingkat internasional, melalui konvensi mengenai keanekaragaman hayati, konservasi keanekaragaman hayati pada saat ini telah menjadi salah satu dari 3 pilar pengelolaan keanekaragaman hayati, yaitu: (1) Konservasi, (2) pemanfaatan lestari (berkelanjutan), dan (3) pembagian yang adil dari pemanfaatan genetik dan unsur keanekaragaman hayati lainnya. Hal ini telah membuat fokus baru yang lebih terarah dibanding dengan Strategi Konservasi Dunia yang digalang oleh IUCN pada tahun 1982 yang diadopsi oleh UU No. 5 Tahun 1990, yang mendasarkan konservasi pada 3P (Perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pengawetan plasma nutfah, dan Pemanfaatan berkelanjutan). Di tingkat internasional, 3P tersebut telah dijabarkan lebih lanjut menjadi: (1) Pengelolaan keanekaragaman hayati (yang diatur melalui Konvensi Keanekaragaman Hayati/CBD), (2) Pencegahan penggurunan dan degradasi lahan (yang diatur melalui Konvensi Pencegahan Pengurunan/UNCCD), serta (3) Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (yang diatur melalui UNFCCC).

Berubahnya lingkungan strategis internasional di atas telah mendorong dibangunnya upaya bersama untuk melaksanakan pembangunan dengan prinsip pertumbuhan hijau (green growth) atau dikenal juga dengan green economy yaitu pembangunan ekonomi yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, serta terbangunnya program ramah lingkungan, seperti pengurangan penggunaan /konservasi lahan gambut dan hutan alam, perluasan penanaman, restorasi kawasan, konservasi jenis/genetik, dll.

Page 19: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

18

Secara nasional, perubahan lingkungan strategis yang paling menonjol adalah berubahnya sistem pemerintahan RI dari sentralisasi ke desentralisasi. Dengan perubahan ini sebagain besar penyelenggaraan pembangunan termasuk pembangunan yang berkaitan dengan sumberdaya alam telah ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Dalam penyelenggaraan pembangunan telah ditetapkan prinsip concurency dengan memperhatikan externalitas, dampak serta efisiensinya. Pengelolaan kawasan hutan konservasi seperti taman nasional secara tegas memang masih menjadi kewenangan Pemerintah (pusat); sedang kegiatan lainnya termasuk konservasi diluar kawasan hutan negara seharusnya menjadi kewenangan daerah. Pada tingkat Pemerintah (pusat), pembagian kewenangan antar sektor juga menjadi isu yang strategis, terutama dengan diberlakukannya beberapa undang-undang sektoral baru yang nampaknya justru melemahkan upaya konservasi. Namun demikian pembagian kewenangan dalam urusan konservasi tidak disertai dengan meningkatnya keberlanjutan sumberdaya alam itu sendiri, sehingga perlu pengaturan yang lebih tegas di tingkat undang-undang.

Disamping berubahnya sistem pemerintahan, perubahan yang juga menonjol di tingkat nasional adalah reformasi yang berkaitan dengan perbaikan pelayanan publik, pesatnya pertumbuhan teknologi informasi, serta menguatnya kelembagaan masyarakat adat, menguatnya peran DPR/DPRD dan DPD serta peran NGO dalam mendorong arah pembangunan ke depan.

Perubahan strategis ini mendorong perlunya peningkatan peran para pihak, dan masyarakat serta keberpihakan kepada kesejahteraan masyarakat dalam pengurusan konservasi di Indonesia tanpa mengorbankan konservasi sumberdaya alam itu sendiri.

B. Masalah Konservasi

Selama ini akibat berbagai kondisi dan pelaksanaan upaya konservasi di lapangan, telah menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa peraturan perundangan konservasi yang berlaku saat ini belum mampu mendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Konservasi masih dipandang sebagai pelarangan dan pembatasan hak masyarakat. Kondisi ini menyebabkan partisipasi masyarakat dalam aktivitas konservasi lemah. Kondisi ini menjadi penyebab memburuknya kondisi kawasan konservasi, demikian pula tingkat kelangkaan tumbuhan dan satwa liar semakin meningkat.

Negatifnya persepsi masyarakat dipengaruhi oleh banyak sebab, diantaranya adalah lemahnya kebijakan bidang konservasi serta implementasinya. Beberapa kelemahan peraturan-perundangan yang telah ada, diantaranya meliputi:

1. Kurangnya keberpihakan kebijakan terhadap hak-hak masyarakat, baik itu hak sosial ekonomi masyarakat sekitar, maupun hak masyarakat adat.

a. Hak sosial ekonomi

Perundang-undangan bidang konservasi yang saat ini ada sangat membatasi hak sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan konservasi; hampir tidak ada ruang bagi masyarakat untuk memperoleh manfaat ekonomi dari sebuah kawasan konservasi. Situasi ini kurang sejalan dengan Konvensi HAM yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia, Kovenan Hak Ekososbud (ICESCR/ International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2005.

Hak atas perlindungan bagi keluarga (Pasal 10), hak atas standar hidup yang layak, termasuk hak atas pangan, pakaian dan tempat tinggal (Pasal 11), Konvensi mengatur bahwa, negara tidak boleh melakukan hal-hal yang mengakibatkan tercegahnya akses hak bersangkutan/mencegah melakukan sesuatu yang dapat menghambat warga memanfaatkan sumber-sumber daya alam materil yang tersedia, serta mengharuskan negara untuk melakukan tindak proaktif yang bertujuan memperkuat akses masyarakat atas sumber-sumber daya. Kewajiban ini merupakan kewajiban yang menuntut intervensi negara (positive measures) sehingga terjamin hak setiap orang atas kesempatan memperoleh haknya yang tidak dapat

Page 20: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

19

dipenuhi melalui usaha sendiri. Disamping kewajiban dasar negara di atas, negara diatur untuk menahan diri (negative rights) dan intervensi agar pemenuhan hak tercapai (positive rights). Oleh karena itu, pelanggaran hak ekososbud dapat berupa pelanggaran by ommission (melalui tindakan pembiaran) maupun by commission (dengan sengaja melakukan tindakan itu sendiri). Maastrich Guideline memberi sejumlah tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran by commission, beberapa di antaranya meniadakan aturan yang sangat penting bagi pemenuhan hak ekososbud, adanya perlakuan-perlakuan diskriminatif.

Memperhatikan konvensi di atas, wajib hukumnya bagi negara untuk membangun perundangan bidang konservasi yang menjamin terpenuhinya hak ekonomi dan sosial budaya masyarakat, tidak diskriminatif; perundangan yang mengatur secara jelas keberpihakannya kepada masyarakat di sekitar kawasan konservasi.

b. Hak masyarakat hukum adat

Di Indonesia, paradigma pengakuan terhadap hak masyarakat adat ini sejatinya sudah lama ada. Namun demikian dalam perkembangan pembentukan hukum sektoral, maupun UU konservasi ini, esensi pengakuan hak masyarakat adat ini hampir hilang.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya meletakkan pentingnya konservasi dengan alasan diantaranya: (1) unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem, dan (2) untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri.

Undang-undang ini mengatur tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (KSDAHE) yang diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Titik tekan undang-undang ini adalah kegiatan teknis (KSDAHE) yang bertumpu pada tiga kegiatan utama yaitu:

(1) Perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; (3) Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alami hayati dan ekosistemnya.

Dalam kegiatan-kegiatan konservasi, karena UU hanya mengatur teknis KSDAHE, keberadaan masyarakat-masyarakat atau pemukiman-pemukiman yang ada dalam kawasan konservasi tidak diatur secara baik. Di lapangan ditemui banyak perkampungan-perkampungan, desa-desa yang ditinggali oleh masyarakat berpuluh-puluh tahun, bahkan sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Paling tidak ada tiga pasal yang menyentuh posisi masyarakat dalam kawasan maupun kegiatan konservasi ini, pasal tersebut adalah Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 37.

Pasal 3 menyebutkan: “Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.”; dan Pasal 4 menyebutkan: “Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.”

Page 21: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

20

Pada Bab IX mengatur khusus tentang peran serta rakyat dalam kegiatan konservasi. Pasal 37 menyebutkan:

(1) Peran serta rakyat dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.

(2) Dalam mengembangkan peranserta rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pada tahun 2009, Kementrian Kehutanan melakukan sebuah penelitian mengenai desa-desa yang ada dalam kawasan hutan, termasuk di dalam kawasan konservasi. Penelitian ini menghasilkan laporan resmi, terdapat kurang lebih 1631 desa dalam kawasan konservasi di 17 provinsi yang diteliti (Identifikasi Desa dalam Kawasan Hutan Tahun 2008, Departemen Kehutanan).

Sejumlah masyarakat yang hidup di kawasan konservasi di atas, tunduk kepada ketentuan Bab IX yang mengatur khusus tentang peran serta rakyat dalam kegiatan konservasi, khususnya diatur dalam kegiatan-kegiatan yang dicantumkan pada Pasal 37. Namun sayang, pengaturan ini dalam implementasinya, tidak cukup memberikan perlindungan kepada hak-hak masyarakat yang hidup dalam kawasan konservasi tersebut, apalagi peraturan pemerintah sebagai turunan pasal ini tidak pernah dibuat sampai hari ini.

Pada dasarnya, masyarakat tidaklah anti terhadap kegiatan konservasi. Di tingkat mereka, terutama masyarakat adat, memiliki pengaturan-pengaturan ruang kehidupan yang diantaranya juga diatur mengenai kawasan-kawasan yang berfungsi konservasi yang dijaga secara adat. Model ini terutama hidup dan berkembang pada masyarakat-masyarakat adat. Bahkan lebih jauh, akibat penetapan-penetapan fungsi hutan, seringkali kawasan yang berfungsi konservasi ini, berada pada kawasan produksi, bahkan kawasan produksi konversi. Akibatnya mereka tidak dapat mempertahankan kawasan tersebut dari konversi-konversi untuk kepentingan non konservasi.

Dalam konteks masyarakat yang hidup dalam kawasan konservasi, UU ini tidak memberikan ruang yang cukup bagi mereka untuk meng-implementasikan model konservasi yang sudah lama mereka kenal. Model konservasi yang sah adalah semata model yang ditentukan oleh UU ini. Dalam konteks wilayah konservasi masyarakat yang berada di luar kawasan konservasi yang ditetapkan oleh pemerintah, UU ini tidak memberikan proteksi yang cukup agar kawasan tersebut dapat dijaga fungsi dan kelestariannya.

Masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat dalam konteks konservasi, selama ini didekati dengan pendekatan formal UU No. 41 Tahun 1999 (UU tentang Kehutanan); karena UU No. 5 Tahun 1990 tidak mengatur masalah ini dengan jelas. Untuk memberikan landasan berpikir kepada pembentukan UU konservasi baru yang lebih akomodatif terhadap masyarakat, khususnya masyarakat adat.

Penjelasan mengenai istilah ‘masyarakat hukum adat’ pun tidak cukup memadai. Dalam bagian Penjelasan Pasal 67 UU No. 41 dikatakan bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:

(1) Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeen-schap). (2) Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya. (3) Ada wilayah hukum adat yang jelas. (4) Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati.

Page 22: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

21

(5) Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Ada beberapa persoalan timbul ketika mencermati kelima kriteria tersebut. Pertama, mengenai bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap). Dalam konteks ini yang menjadi penting untuk diperiksa adalah kriteria-kriteria yang digunakan oleh masyarakat tersebut untuk mendefinisikan diri dan sejauh mana syarat-syarat tersebut masih dipenuhi. Sementara di sisi lain perlu juga memeriksa syarat-syarat pengakuan yang hendak didorong oleh Negara. Hal ini penting bahkan sangat penting karena dari perspektif historis, terminologi ‘masyarakat hukum adat’ adalah sebuah istilah yang diciptakan oleh para ahli hukum kolonial untuk memberi identitas sekaligus ruang politik bagi kelompok-kelompok masyarakat pribumi yang memiliki sistem sosial politik dan tradisi hukum yang berbeda sekaligus untuk membedakannya dengan kelompok yang menggunakan sistem dan tradisi hukum Eropa dan Timur lainnya (Rikardo Simarmata dalam makalah berjudul “Menyongsong Berakhirnya Abad Masyarakat Adat: Resistensi Pengakuan Bersyarat”). Pemeriksaan kriteria-kriteria yang digunakan oleh masyarakat maupun syarat pengakuan yang didorong oleh Negara menjadi penting karena dua alasan. Pertama, situasi sosial politik sekarang sudah berubah dengan masa kolonial, dan kedua masyarakat berkembang menurut dinamika tantangan internal dan eksternal yang dihadapinya. Dengan dua alasan ini dapat dibayangkan bahwa sistem sosial politik dan tradisi hukum dalam sebuah masyarakat juga mengalami perkembangan. Hal itu akan tercermin dalam bagaimana mereka mengidentifikasi diri dan menempatkan diri dalam perhadapan dengan Negara.

Kedua, syarat adanya hukum adat, peradilan adat yang masih ditaati dan kelembagaan adat yang berkaitan dengan itu. Logika yang digunakan dalam Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 adalah masyarakat tidak pernah diberi otonomi untuk mengurus dirinya sendiri, dan sementara itu masyarakat diminta untuk membuktikan keberadaan dirinya dengan menunjukkan bahwa mereka otonomi, baik dalam sistem hukum, pengurusan, kelembagaan, dan sistem sosial budayanya. Tidak diakuinya otonomi komunitas masyarakat hukum adat juga dapat dilihat dari kenyataan bahwa UU No. 41 Tahun 1999 tidak memberi ruang bagi prinsip yang disebut dengan self-identification. Pengakuan yang diberikan oleh Negara atas keberadaan sebuah komuntias masyarakat hukum adat ditentukan oleh prosedur dan substansi yang diatur oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah-lah yang mempunyai otoritas membentuk tim identifikasi dan memberikan pengukuhan. Sekali lagi hal ini membuktikan tidak konsistennya penyelenggaraan sistem hukum di Indonesia.

Ketiga, meskipun UU No. 41 Tahun 1999 tidak secara eksplisit menyebutkan kelima kriteria tersebut kumulatif atau tidak, namun berdasarkan interpretasi atas penggunaan kata ‘dan’ maka disimpulkan bahwa kelima kriteria tersebut bersifat kumulatif. Artinya dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan sehingga jika salah satu saja tidak terpenuhi, maka tidak akan mendapatkan pengakuan. Dengan demikian, pertanyaan utama untuk kriteria keberadaan masyarakat adat adalah apakah cukup kriteria tersebut ada secara konseptual ataukah ia juga harus sudah efektif dalam pelaksanaannya.

Kelemahan kriteria dalam penjelasan tentang masyarakat hukum adat adalah: kesimpulan tentang ada atau tidaknya masyarakat (hukum) adat dikonsepsikan untuk ditarik dari sejumlah kesimpulan (yaitu kriteria-kriteria dalam Penjelasan Pasal 67) yang belum dibuktikan kebenarannya.

Pengaturan mengenai hak pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan oleh masyarakat adat dalam UU No. 41 Tahun 1999 dilatari oleh pernyataan bahwa pelaksanaan hak menguasai negara (HMN) tidak akan meniadakan hak-hak masyarakat adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Karena itu penitikberatan dilakukan dengan urut-urutan sebagai

Page 23: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

22

berikut: [1] pengaturan mengenai syarat dan prosedur pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat; [2] hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat yang telah ditetapkan sebagai masyarakat hukum adat. Dengan hanya mencakup kedua hal di atas, UU No. 41 Tahun 1999 memilih untuk melupakan cakupan atau materi lain yang terbilang amat penting. Materi yang dilupakan tersebut adalah syarat dan prosedur pemberian hak atau izin kepada masyarakat hukum adat. Apakah masyarakat hukum adat harus memenuhi syarat dan mengikuti prosedur yang sama dengan subyek hukum yang lain dalam mendapatkan hak atau izin. Pada tingkatan empirik, ketentuan yang mengharuskan masyarakat setempat untuk terlebih dahulu mendapatkan izin pemanfaatan hutan dari pejabat apabila hendak melakukan kegiatan pemanfaatan hutan, telah mendatangkan hambatan.

Perhatian terhadap peran masyarakat seharusnya semakin meningkat terutama setelah Kongres Konservasi Dunia pada sidangnya yang ke-4 di Barcelona, Spanyol, 5-14 Oktober 2008. Kongres telah menghimbau anggota IUCN (Indonesia), agar:

(1) Mengakui sepenuhnya wilayah konservasi masyarakat adat berupa lanskap/lanskap laut dan tempat-tempat suci, yang pengelolaannya diatur dan dikelola oleh masyarakat adat.

(2) Mereformasi perundang-undangan nasional, kebijakan dan praktek sehingga relevan dengan: Durban Accord, CBD Program Kerja pada kawasan lindung, serta Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.

(3) Memastikan bahwa kawasan lindung yang mempengaruhi atau dapat mempengaruhi tanah masyarakat adat, wilayah, sumber daya alam dan budaya, tidak diubah secara bebas, tanpa persetujuan masyarakat adat sebelumnya. Masyarakat berhak mendapatkan informasi untuk memastikan pengakuan terhadap hak-haknya, dalam hal ini termasuk hak-hak kepemilikan sumber daya akses.

(4) Mendorong instansi pemerintah terkait, pelaku swasta, bisnis dan aktor-aktor masyarakat sipil untuk memantau dampak kegiatan konservasi terhadap hak asasi manusia sebagai bagian dari pendekatan berbasis hak;

(5) Mendorong dan membentuk mekanisme untuk memastikan bahwa sektor swasta sepenuhnya menghormati semua hak asasi manusia, termasuk hak-hak masyarakat adat, dan mengambil tanggung jawab karena untuk kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka menimbulkan dalam kegiatan mereka, dan

(6) Meningkatkan pemahaman tentang tanggung jawab dan sinergi antara hak asasi manusia dan konservasi;

Memperhatikan hal di atas ada indikasi keberpihakan kepada masyarakat lokal maupun masyarakat adat dalam memenuhi kesejahteraannya masih sangat terbatas, hal ini apabila tidak dilakukan perubahan dikhawatirkan konflik pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat adat/lokal akan terus terjadi sehingga kegiatan konservasi tidak dapat mencapai tujuan seperti yang diharapkan.

Pengelolaan KSDAHE ke depan harus mampu melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat/lokal yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan konservasi, mampu menumbuh kembangkan partisipasi dalam pengelolaan konservasi, serta menjamin distribusi manfaat secara adil.

2. Lemahnya pengaturan mengenai penegakan hukum

Page 24: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

23

Lemahnya penegakan hukum ada kaitannya dengan lemahnya penyidikan dan penyelidikan, hal ini berkaitan dengan kewenangan PPNS serta wilayah kerjanya serta lemahnya pengaturan tentang sanksi.

a. Penyelidikan dan penyidikan

Penyelidikan dan penyidikan adalah tugas dan kewenangan pejabat tertentu di bidang kehutanan, hal ini sejalan dengan:

(1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara R.I, mengatur bahwa pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara R.I yang dibantu oleh: kepolisian khusus (yang dimaksud dengan ”kepolisian khusus” ialah instansi atau badan pemerintah yang oleh kuasa undang-undang/peraturan perundang-udangan diberi wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian di bidang teknisnya masing-masing) serta penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan/atau serta bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud di atas dapat dipahami sebagai melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mejadi dasar hukumnya masing-masing, untuk melakukan penyelidikan secara langsung maupun tidak langsung terhadap ancaman: kehidupan masyarakat/ keselamatan umum, kelangkaan jenis manfaat jenis bagi kehidupan manusia, kerentanan terhadap perubahan ekosistem dan sebab-sebab lain yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dengan pemahaman di atas, jelas UU No. 2 Tahun 2002 memungkinkan adanya aparatur yang diberi wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian di bidang konservasi, yaitu wewenang penyelidikan kepada Polisi Khusus Kehutanan.

(2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Pasal 6 (1) b., mengatur pegawai negeri sipil tertentu dapat diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Dalam prakteknya pelaksanaan tugas penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana kehutanan, termasuk keanekaragaman hayati (kehati), tidak berjalan seperti yang diharapkan, karena adanya perintah UU yakni penjelasan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mensyaratkan berkoordinasi dengan penyidik POLRI. Hal ini juga sejalan dengan Keputusan Menteri Kehakiman R.I No. M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, BAB I. Huruf A. Angka 4.d. POLRI sebagai penyidik utama wajib mengkoordinasikan penyidik pegawai negeri sipil dengan memberikan pengawasan, petunjuk dan bantuan. Koordinasi di sini dalam praktek lapangan dipahami sebagai bentuk hubungan atasan-bawahan, dimana PPNS/Polhut harus melaporkan setiap kasus yang akan ditangani kepada penyidik utama (POLRI).

Karena sifatnya yang spesifik, sering kali koordinasi dalam rangka mambangun kesepahaman antara PPNS dan POLRI memakan waktu yang cukup lama. PPNS harus menjelaskan hal-hal yang bersifat teknis di bidang konservasi jenis dan ekosistem dengan aparatur kepolisian dan kejaksaan. Di sisi lain barang bukti peristiwa pidana biasanya mudah rusak/mati, dan memerlukan biaya perawatan yang cukup besar apabila tidak segera dikembalikan ke alam atau dititipkan di lembaga konservasi. Disamping itu tindak pidana konservasi merupakan kejahatan yang bersifat transnasinal, maka dimungkinkan wilayah hukum penyelidik dan penyidik tindak pidana konservasi tidak terbatas hanya dalam satu wilayah propinsi. Situasi ini menyebabkan proses penegakan hukum belum berjalan sebagaimana diharapkan.

Page 25: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

24

Kondisi di atas lebih diperburuk lagi oleh adanya kenyataan UU No. 5 Tahun 1990 tidak mengatur secara kongkrit mengenai peran/tupoksi polisi khusus/PPNS dalam penegakan hukum kehati; hal ini sering menimbulkan kendala kewenangan di lapangan.

b. Sanksi

Sanksi pidana bagi setiap tindakan melawan hukum, sesuai dengan Buku Kesatu KUHP, Pasal 10, ada 7 (tujuh) jenis hukuman/sanksi; 4(empat) jenis hukuman utama dan 3 (tiga) jenis hukuman tambahan, yakni: hukuman mati; hukuman penjara; hukuman kurungan; hukuman denda; pencabutan hak tertentu; serta perampasan barang yang tertentu. Dengan demikian agar diperoleh efek jera disamping sanksi hukuman harus mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut. Terhadap kejahatan konservasi dikenakan juga pidana denda, sebagai bagian dari tanggung jawab terhadap lingkungan (konservasi jenis dan kawasan), serta sanksi pembiaran (guilt of omission).

Sanksi bagi tindak pidana konservasi seyogyanya minimal lima tahun, karena tindak pidana tersebut dapat membahayakan keamanan umum. Kondisi ini sejalan dengan UU PPLH yang telah mengatur adanya ancaman pidana minimum, serta Buku Kedua KUHP, Pasal 187-208, menyatakan antara lain, bahwa: “Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, yang menimbulkan bahaya umum bagi barang atau nyawa orang lain, ancaman hukuman paling rendah 5 (lima) tahun atau seumur hidup”.

Tindak pidana konservasi biasanya sangat kompleks karena disamping dampaknya luas, juga karena konservasi pada kenyataannya meliputi pula kegiatan pemanfaatan lestari yang dilakukan oleh pihak ketiga; oleh karena itu perlu ada pemisahan saksi secara jelas yaitu kelompok tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan. Disamping itu perlu juga diatur pengenaan sanksi administrasi. Sanksi administrasi dimaksudkan untuk menegakan hak dan kewajiban bagi para pihak yang diberi izin oleh pemerintah untuk terlibat dalam pelaksanaan perizinan di bidang konservasi.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menggolongkan tindak pidana ada dua, yaitu tindak pidana yang masuk dalam golongan kejahatan atau “misdrijven” (Buku II) serta tindak pidana yang masuk dalam golongan pelanggaran atau “overtredingen” (buku III). Wirjino Projodikoro (19…), dalam Azas-azas Hukum Pidana Indonesia (halaman 35), menyatakan bahwa sesuai dengan kenyataan bahwa terdapat beberapa perbedaan prinsip yang termuat dalam KUHP yang hanya berlaku bagi pelanggaran atau berlaku secara berlainan, misal: (1) Perbuatan percobaan (poging) dan pembantuan (medelplictheid) untuk pelanggaran pada umumnya tidak merupakan tindak pidana; (2) Tenggang waktu daluwarsa untuk kejahatan lebih panjang dari pada pelanggaran; (3) Kemungkinan keharusan adanya pengaduan untuk penuntutan dimuka hakim, hanya ada pada kejahatan, sedang terhadap pelanggaran tidak ada.

Sistem perundang-undangan yang akan dibangun seharusnya akan memperkuat penyidikan dan penyelidikan, dengan meningkatkan kewenangan PPNS termasuk wilayah kerjanya serta lebih merinci norma larangan dan mengefektifkan ancaman sanksi pidana.

c. Pengaturan tentang penanganan barang bukti hasil sitaan dan rampasan

Barang bukti dalam tindak kejahatan ini biasanya terdiri dari benda mati/tidak bergerak dan benda hidup. Selama ini khususnya dalam hal barang bukti spesies satwa yang masih hidup, aparat penegak hukum kesulitan penanganan karena keterbatasan tempat. Hal ini mengakibatkan seringkali satwa sakit atau bahkan mati sebelum kasusnya selesai diputus lembaga peradilan. Barang bukti hasil rampasan/sitaan sering menjadi sumber perdagangan ilegal. Pengaturan tentang barang bukti hasil rampasan, sitaan dan temuan masih bersifat umum dan tidak spesifik sesuai dengan tahapan-tahapan yang berbeda. Pemusnahan barang

Page 26: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

25

bukti yang membahayakan kesehatan masyarakat, tumbuhan dan satwa belum dilakukan pengaturan.

3. Kelemahan dalam penetapan kawasan konservasi.

IUCN mendefinisikan kawasan konservasi sebagai: “Suatu ruang yang dibatasi secara geografis dengan jelas, diakui, diabdikan dan dikelola, menurut aspek hukum maupun aspek lain yang efektif, untuk mencapai tujuan pelestarian alam jangka panjang, lengkap dengan fungsi-fungsi ekosistem dan nilai-nilai budaya yang terkait.”

IUCN membedakan aneka macam kawasan konservasi ke dalam enam kategori, yakni:

• Kategori Ia - Strict Nature Reserve Yakni suatu wilayah daratan atau lautan yang dilindungi karena memiliki keistimewaan atau merupakan perwakilan ekosistem, kondisi geologis atau fisiologis, dan/atau spesies tertentu, yang penting bagi ilmu pengetahuan atau pemantauan lingkungan.

• Kategori Ib - Wilderness Area Wilayah daratan atau lautan yang masih liar atau hanya sedikit diubah, yang masih memiliki

atau mempertahankan karakter dan pengaruh alaminya, tanpa adanya hunian yang permanen atau signifikan dilindungi dan dikelola untuk mempertahankan kondisi alaminya.

• Kategori II - National Park Wilayah daratan dan lautan yang masih alami, yang ditunjuk untuk (i) melindungi integritas

ekologis dari satu atau beberapa ekosistem di dalamnya, untuk kepentingan sekarang dan generasi mendatang; (ii) menghindarkan/mengeluarkan kegiatan-kegiatan eksploitasi atau okupasi yang bertentangan dengan tujuan-tujuan pelestarian kawasan; (iii) menyediakan landasan bagi kepentingan-kepentingan spiritual, ilmiah, pendidikan, wisata dan lain-lain, yang semuanya harus selaras secara lingkungan dan budaya.

• Kategori III - Natural Monument Wilayah yang memiliki satu atau lebih, kekhasan atau keistimewaan alam atau budaya yang

merupakan nilai yang unik atau luar biasa yang disebabkan oleh sifat kelangkaan, keperwakilan, atau kualitas estetika atau nilai penting budaya yang dipunyainya.

• Kategori IV - Habitat/Species Management Area Wilayah daratan atau lautan yang diintervensi atau dikelola secara aktif untuk memelihara

fungsi-fungsi habitat atau untuk memenuhi kebutuhan spesies tertentu.

• Kategori V - Protected Landscape/Seascape Wilayah daratan atau lautan, dengan kawasan pesisir di dalamnya, di mana interaksi

masyarakat dengan lingkungan alaminya selama bertahun-tahun telah membentuk wilayah dengan karakter yang khas, yang memiliki nilai-nilai estetika, ekologis, atau budaya yang signifikan, kerap dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Menjaga integritas hubungan timbal-balik yang tradisional ini bersifat vital bagi perlindungan, pemeliharaan, dan evolusi wilayah termaksud.

• Kategori VI - Protected area with sustainable use of natural resources Kategori VI melestarikan kawasan lindung ekosistem dan habitat, bersama dengan nilai-nilai

budaya terkait dan sistem pengelolaan sumberdaya alam tradisional. Kawasan ini umumnya besar, dengan sebagian besar daerah tersebut dalam kondisi alami, di mana proporsi yang berada di bawah pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan industri yang rendah dalam menggunakan sumberdaya alam, kegiatan produksi yang sejalan dengan konservasi alam dipandang sebagai salah satu tujuan utama dari kawasan ini.

Page 27: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

26

Kategori pengelolaan kawasan untuk konservasi ke depan selain disesuaikan dengan kategorisasi oleh IUCN (6 kategori) di atas, sebaiknya juga mengakomodir kategori berdasar tipe pengelolaan kawasan berdasarkan tata kelola yang disepakati dalam pertemuan IUCN (WCC 2008) di Barcelona yaitu:

a. Governance by government (kawasan konservasi sepenuhnya dikelola oleh pemerintah). b. Shared governance (kawasan konservasi yang dikelola secara bersama-sama oleh

pemerintah dan kelompok non pemerintah). c. Private governance (kawasan konservasi yang dikelola individu, perusahaan, organisasi

non pemerintah/lsm). d. Governance by indigenous peoples and local communities (pengelolaan oleh masyarakat

lokal/masyarakat asli setempat), termasuk dalam kelompok ini adalah Community Conserved Areas (CCAs)

Penyesuaian Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dengan kategorisasi dan tata kelola di atas diharapkan mampu menghilangkan kelemahan perundangan di bidang konservasi yang berkaitan dengan: (a) Kategorisasi kawasan konservasi, (b) Kriteria dan mekanisme penetapan kawasan konservasi, (c) Pengaturan ekosistem esensial termasuk lahan basah, HCVF di luar hutan konservasi, (d) Kerja sama internasional dalam konservasi, dan (e) Efektivitas pengelolaan kawasan dan pengelolaan kolaboratif. Pengelolaan kawasan konservasi tidak dapat dipisahkan dengan kawasan penyangga yang berada diluarnya. Kawasan penyangga dapat berupa kawasan hutan maupun kawasan non hutan. Kawasan penyangga selama ini tidak mendaptatkan pengaturan secara komprehensif, dari sisi hak dan kewajiban penanggung jawab kawasan dan system pengelolaan terintegrasi dengan pengelolaan kawasan konservasi.

4. Kelemahan pengaturan lainnya

Selain ketiga hal yang sudah disampaikan di atas, isu penting lain yang juga merupakan kelemahan dalam pelaksanaan konservasi selama ini yang perlu mendapatkan perhatian dalam penyusunan undang-undang KSDAHE ke depan, meliputi:

a. Pengaturan spesies migrasi yang belum dilindungi.

b. Spesimen dilindungi yang pada saat didapatkan/dimiliki belum dilindungi.

c. Pemanfaatan spesimen jenis seperti pertukaran, peragaan, perdagangan.

d. Pengaturan medis konservasi.

e. Pengaturan tentang konservasi sumberdaya genetik (termasuk akses dan pembagian keuntungan yang adil).

f. Pengaturan pendanaan konservasi/pendapatan negara.

g. Pengaturan dan pembagian peran Pemerintah serta Pemerintah Daerah.

h. Kerjasama pengelolaan serta penggunaan kawasan konservasi untuk pembangunan sarana strategis.

i. Pengelolaan kawasan konservasi oleh pihak ketiga.

j. Pengaturan pemulihan dan perubahan fungsi kawasan.

Page 28: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

27

BAB IV

MATERI MUATAN

I. KETENTUAN UMUM

A. Ruang Lingkup

Ruang lingkup perubahan undang-undang ini meliputi:

1. Konservasi keanekaragaman hayati, dalam hal sumberdaya alam genetik, jenis dan ekosistem termasuk jasa ekosistem.

2. Ruang lingkup konservasi yang dikecualikan dari ruang lingkup butir satu di atas adalah: a. Konservasi energi b. Konservasi sumberdaya alam non hayati c. Konservasi tanah dan air d. Konservasi cagar budaya(situs-situs purbakala)

3. Konservasi keanekaragaman hayati mencakup yurisdiksi NKRI baik berupa daratan dan perairan, termasuk di dalamnya ZEE dan Landas Kontinental.

4. Perlindungan terhadap spesies dan genetik yang diatur oleh konvensi internasional, berasal dari luar negeri dan berada di dalam wilayah yurisdiksi NKRI.

B. Asas

Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan kelestarian, keseimbangan, keserasian, kemanfaatan yang berkelanjutan, keterpaduan, tranparansi dan akuntabilitas.

1. Asas lestari merupakan usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus menerus pada masa mendatang.

2. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

3. Asas manfaat berkelanjutan adalah dimaksudkan agar penyelenggaraan konservasi sumberdaya alam hayati dapat memberikan manfaat bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat, dan pengembangan peri kehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara, secara merata dan adil serta peningkatan kelestarian sumberdaya alam hayati. Pemanfaatan sumber daya tidak melebihi kemampuan regenerasi sumberdaya hayati atau laju inovasi substitusi sumberdaya nonhayati.

4. Asas keterpaduan adalah mengintegrasikan kebijakan dengan perencanaan berbagai sektor pemerintahan secara horizontal dan secara vertikal antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan mengintegrasikan ekosistem darat dengan ekosistem laut berdasarkan masukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu proses pengambilan putusan dalam konservasi sumberdaya alam hayati.

5. Asas keterbukaan dimaksudkan adanya keterbukaan bagi masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang konservasi sumberdaya alam hayati, dari tahap perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, sampai tahap pengawasan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi,

Page 29: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

28

golongan dan rahasia negara. Dengan demikian masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan mempunyai kesempatan untuk berperan serta, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasan dan penegakan hukum.

6. Asas akuntabilitas dimaksudkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi sumberdaya alam hayati dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.

7. Asas kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

8. Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang- undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

C. Prinsip

Konservasi keanekaragaman hayati diselenggarakan dengan prinsip:

1. Keterpaduan, sesuai dengan kemampuan dan fungsinya dengan tujuan terjaminnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya untuk sebesar besarnya kesejahteraan masyarakat.

2. Penguatan fungsi sosial, lingkungan dan ekonomi, yang diwujudkan dan diselenggarakan oleh pemerintah sesuai dengan daya dukungnya.

3. Memperhatikan serta mengakui hak masyarakat hukum adat, hak masyarakat lokal atas sumberdaya alam yang ada dan diatur sampai batas tidak membahayakan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri sejalan dengan prinsip free and prior informed consent (FPIC).

4. Pelaksanaannya oleh pemerintah bersama masyarakat, melalui kegiatan: a. Perlindungan kehati, meliputi usaha-usaha perlindungan terhadap genetik, spesies

dan ekosistem melalui penetapan status perlindungan. b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.

Pengawetan merupakan usaha dan tindakan konservasi untuk menjamin keanekaragaman jenis meliputi penjagaan agar unsur-unsur tersebut tidak punah dengan tujuan agar masing-masing unsur dapat berfungsi dalam alam dan agar senantiasa siap untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia.

c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kegiatan ini pada hakikatnya merupakan usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan.

II. PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

Perlindungan keanekaragaman hayati dilaksanakan oleh pemerintah, dan/atau masyarakat; dilaksanakan melalui penetapan kawasan konservasi, penetapan status perlindungan spesis dan genetik.

Perlindungan keanekaragaman hayati meliputi:

Page 30: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

29

1. Perlindungan genetik. 2. Perlindungan spesies. 3. Perlindungan ekosistem.

A. Perlindungan Genetik

Penetapan jenis target bagi perlindungan genetik ditetapkan oleh pemerintah cq menteri teknis dengan memperhatikan rekomendasi dari lembaga “otoritas keilmuan”. Ruang lingkup perlindungan sumberdaya genetik: Sumberdaya genetik hutan dan yang beasal dari spesies-spesies liar, termasuk jasad renik (micro organism).

a. Kategorisasi jenis target:

(1) Jenis yang terancam punah sehingga unsur-unsur genetiknya perlu dilindungi untuk kepentingan pemulihan populasi spesies itu sendiri maupun untuk kepentingan lainnya, seperti budidaya;

(2) Jenis yang secara langsung mempunyai nilai komersial sehingga keragaman genetiknya perlu dijaga agar tidak mengalami penurunan karena masalah-masalah seperti kepunahan lokal;

(3) Jenis untuk mendukung budidaya pertanian (peternakan, tanaman pangan dan hortikultura) harus dilakukan perlindungan genetik untuk menjaga keanekaragamannya sehingga peluang-peluang untuk menciptakan varitas unggul tetap tinggi.

b. Kriteria jenis target:

(1) Terancam punah a. Jenis yang populasi di alamnya telah terancam punah dan dilindungi mutlak

(KATEGORI I). b. Jenis-jenis yang endemik.

(2) Mempunyai nilai komersial a. Jenis yang secara langsung dieksploitasi dan/atau jenis yang unsur-unsur

genetiknya dimanfaatkan secara tradisional (asosiated traditional knowledge). b. Jenis yang unsur-unsur genetiknya merupakan public domain (publicly

accessible).

(3) Mendukung budidaya a. Jenis yang saat ini diketahui digunakan untuk meningkatkan keunggulan mutu

genetik tanaman pertanian pangan dan hortikultura atau hewan domestik dan budidaya

b. Memiliki nilai strategis bagi kelangsungan hidup manusia, termasuk untuk pengembangan obat-obatan dan mendukung ketahanan pangan (virus flu burung, human patogen, genetik yang penting dibawah konvensi internasional)

c. Tata cara penetapan: diatur lebih lanjut dalam PP.

d. Norma dan larangan: (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau

hilangnya sumber daya genetik. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan kemerosotan, kerusakan dan/atau hilangnya genetik yang hampir punah dan endemik.

Page 31: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

30

(2) Setiap orang dilarang mengambil sumberdaya genetik tanpa ijin, dan melakukan akses terhadap sumberdaya genetik dengan tidak memenuhi syarat-syarat PIC (prior informed consent) dan MAT (mutual agreed terms).

(3) Setiap orang dilarang membawa sumberdaya genetik keluar negeri tanpa adanya MTA (material transfer agreement).

(4) Setiap orang dilarang melepaskan varitas hasil rekayasa genetik ke habitat alam. (5) Setiap orang dilarang mengawin-silangkan satwa KATEGORI I yang berlainan jenis

(spesies) tanpa ijin Menteri.

B. Perlindungan Spesies

Penetapan kategori perlindungan spesies dilakukan oleh pemerintah cq menteri teknis dengan memperhatikan rekomendasi dari lembaga “otoritas keilmuan”.

a. Kategori perlindungan spesies: (1) Kategori I yaitu spesies yang harus dilindungi mutlak. (2) Kategori II meliputi spsesies yang dikontrol pemanfaatannya. (3) Kategori III yang merupakan spesies yang pemanfaatannya wajib dipantau.

b. Kriteria penetapan kategorisasi spesies:

(1) Dilindungi mutlak (CITES Appendix I, dan IUCN Vulnerable, Endangered dan Critically Endangered): a. Spesies yang punah dialam liar (masih ada di lingkungan ex situ). b. Spesies yang terancam punah di wilayah RI. c. Spesies yang endemik.

(2) Dikontrol (CITES Appendix II, III, IUCN): a. Spesies rentan (yang dimanfaatkan melalui perdagangan atau dimanfaatkan

secara tradisional, atau akibat bencana alam). b. Spesies yang saat ini belum terancam punah di wilayah RI tetapi akan dapat

menjadi terancam punah bila tidak dilakukan kontrol pemanfaatan atau perdagangannya.

c. Spesies kategori I hasil perkembangbiakan satwa atau hasil perbanyakan buatan tumbuhan untuk tujuan komersial.

d. Spesies yang di negara lain dilindungi (e.g. CITES Appendix III).

(3) Wajib dipantau Spesies yang populasinya masih melimpah tetapi merupakan public domain (publicly accesible) dan dimanfaatkan atau diperdagangkan.

c. Tata cara penetapan: diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

d. Norma dan larangan:

(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan kemerosotan, kerusakan dan/atau hilangnya sumberdaya spesies.

(2) Terhadap tumbuhan yang dilindungi mutlak (KATEGORI I: spesimen hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunannya), setiap orang dilarang untuk: a. Mengambil, menebang, memindahkan, merusak, atau memusnahkan tumbuhan

yang berasal dari tanah negara. b. Mengangkut atau membawa. c. Menjual, membeli, atau memperdagangkan.

Page 32: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

31

d. Menghadiahkan atau menerima hadiah, menukar atau menerima tukaran, atau menerima titipan.

e. Mengeluarkan spesimen tumbuhan ke luar negeri (ekspor) dan/atau memasukkan spesimen tumbuhan dari luar negeri (impor) ke wilayah Republik Indonesia.

(3) Terhadap satwa yang dilindungi mutlak (KATEGORI I: spesimen hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunannya), setiap orang dilarang untuk: a. Mengambil, menangkap, melukai, membunuh, memiliki, menguasai, memelihara,

memasang jerat, memburu, atau memusnahkan satwa. b. Mengangkut, membawa, atau memindahkan. c. Menjual, membeli, atau memperdagangkan. d. Menghadiahkan atau menerima hadiah, menukar atau menerima tukaran, atau

menerima titipan. e. Mengeluarkan spesimen satwa ke luar negeri (ekspor) dan/atau memasukkan

spesimen satwa dari luar negeri (impor) ke wilayah Republik Indonesia. f. Melakukan tindakan yang dapat merusak sebagian atau seluruh habitat termasuk

mengganggu pola makan, pola berkembang biak, serta pola jelajah.

(4) Terhadap tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi terbatas (KATEGORI II) yang pemanfaatannya dikendalikan secara ketat setiap orang dilarang melakukan aktivitas sebagaimana butir (2) tanpa izin terhadap tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi terbatas (KATEGORI II) yang pemanfaatannya dikendalikan secara ketat. Setiap orang tanpa izin dilarang untuk: a. Mengambil, menebang, memiliki, menguasai, menerima titipan, memusnahkan,

memelihara, mengangkut, menjual atau membeli, memperdagangkan, menghadiahkan atau menerima hadiah, dan/atau menukar atau menerima tukaran spesimen hidup tumbuhan.

b. Menangkap, mengambil, melukai, membunuh, memiliki, menguasai, memelihara, mengangkut, menjual, membeli, memperdagangkan, menghadiahkan, menerima hadiah, dan/atau menukar atau menerima tukaran spesimen hidup satwa liar.

c. Mengeluarkan dari wilayah Indonesia ke luar negeri (ekspor) atau memasukkan dari luar negeri ke wilayah Indonesia (impor) spesimen tumbuhan dan/atau satwa liar.

d. Menyimpan, memiliki, menguasai, mengangkut, menjual, membeli, memperdagangkan, menghadiahkan, menerima hadiah, dan/atau menukar atau menerima tukaran spesimen mati tumbuhan dan/atau satwa liar.

(5) Terhadap tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi terbatas yang pemanfaatannya dipantau (KATEGORI III), setiap orang tanpa izin dilarang untuk memperdagangkan atau mengeluarkan spesimen tumbuhan dan/atau satwa liar ke luar negeri (ekspor) dan memasukkan ke dalam wilayah Indonesia (impor).

(6) Terhadap spesimen tumbuhan dan satwa liar yang telah dan sedang dimanfaatkan sebelum ditetapkannya spesies itu didalam status perlindungan perlu diatur mekanismenya dalam aturan peralihan (spesimen pra perlindungan).

Pengecualian dari larangan KATEGORI I tersebut di atas hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, penyelamatan jenis populasi atau individu suatu jenis tumbuhan dan satwa liar, peminjaman dalam rangka penyelamatan atau pemulihan populasi satwa liar di dalam atau ke luar negeri, pemusnahan untuk menghindari bahaya yang lebih besar terhadap lingkungan maupun manusia, dan/atau pemasukan tumbuhan

Page 33: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

32

dan satwa liar dari luar negeri yang aslinya berasal dari Indonesia untuk kepentingan reintroduksi.

Pengecualian dari larangan menangkap, melukai dan membunuh satwa liar KATEGORI I dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa liar KATEGORI I tersebut membahayakan kehidupan manusia dan kehidupan populasi satwa liar, atau bagi satwa liar yang dikelola sebagai satwa buru untuk kepentingan olahraga berburu.

Pengecualian dari larangan spesies KATEGORI I di atas dapat dilakukan bagi spesimen yang telah dibuktikan merupakan hasil pengembangbiakan satwa liar dan/atau spesimen hasil perbanyakan tumbuhan di dalam kondisi atau lingkungan yang terkontrol, yang dalam hal ini secara otomatis masuk ke dalam spesimen dari spesies KATEGORI II.

Kekecualian sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku bagi beberapa jenis yang prestisius untuk dikomersialkan keluar negeri kecuali hanya dengan peminjaman atau dengan izin presiden.

Pengecualian dari larangan memiliki, memelihara dan menguasai dapat dilakukan bagi spesimen yang dapat dibuktikan diperoleh secara sah sebelum jenis bersangkutan dinyatakan sebagai jenis KATEGORI I (yang dilindungi mutlak).

C. Perlindungan Ekosistem

Perlindungan ekosistem dilakukan melalui penetapan keterwakilan-keterwakilan ekosistem di dalam jaringan kawasan konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintah cq. Menteri teknis dengan memperhatikan rekomendasi dari Pemerintah Daerah dan usulan masyarakat atau lembaga ilmiah, termasuk perguruan tinggi melalui proses konsultasi publik.

Masyarakat dapat mengusulkan suatu wilayah tertentu untuk ditetapkan sebagai ekosistem yang dilindungi.

Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberikan pengakuan terhadap sistem perlindungan ekosistem yang dilakukan oleh masyarakat adat.

a. Kategori kawasan perlindungan ekosistem: (1) Kawasan konservasi meliputi kawasan konservasi yang dilindungi secara maksimal.

Kawasan ini meliputi dan sesuai dengan kriteria penetapan KPA dan KSA yang saat ini ada, yaitu kawasan konservasi dengan kategori I, II, III dan IV IUCN.

(2) Kawasan ekosistem esensial. Kawasan ini meliputi ekosistem-ekosistem yang mempunyai nilai konservasi tinggi, namun masih belum “clear and clean” sehingga belum dapat ditetapkan menjadi kawasan konservasi. Kawasan ini diantaranya adalah: koridor satwa, buffer zones, Kawasan dengan nilai konservasi tinggi (HCVA), ekosistem gambut, sebagian lahan basah, karst, daerah penting bagi burung(DPB), dll.

(3) Kawasan yang dilindungi secara nasional/ daerah. Kawasan ini meliputi hutan lindung, hutan produksi yang dikelola untuk kepentingan konservasi (e.g. restorasi ekosistem hutan produksi), sempadan sungai/laut, mata air, danau, dll.

(4) Kawasan perlindungan ekosistem oleh masyarakat (community conserved areas/ CCA).

b. Kategorisasi kawasan konservasi dan kriterianya: (1) Kawasan konservasi dengan kategori I (Suaka Alam), kategori II (Taman Nasional),

kategori III (Suaka Margasatwa dan Taman Buru), kategori IV (Taman Wisata Alam/bentang alam yang dilindungi); sesuai kriteria I-IV IUCN.

Page 34: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

33

(2) Kawasan ekosistem esensial yaitu kawasan-kawasan dengan nilai konservasi keanekaragaman hayati yang tinggi namun masih ada kegiatan produksi secara terbatas, terutama oleh masyarakat lokal; kawasan konservasi dengan kategori V dan VI IUCN.

(3) Kawasan yang dilindungi secara nasional/daerah (sesuai kriteria penetapan hutan lindung, hutan produksi yang berfungsi juga untuk konservasi seperti restorasi hutan produksi dan kawasan lindung lainnya).

(4) Kawasan perlindungan oleh masyarakat (wilayah kelola konservasi masyarakat adat/lokal).

c. Tata cara penetapan:

Kategorisasi kawasan konservasi dan perlindungan ekosistem dilakukan sesuai dengan tujuan pengelolaannya. Perubahan dari satu kategori ke kategori lainnya dapat dilakukan apabila kriteria tujuan pengelolaannya sudah tidak dapat dipenuhi (downgraded) atau apabila persyaratannya dipenuhi (upgraded). Tata cara penetapan perlindungan ekosistem diatur lebih lanjut dalam PP.

d. Norma dan larangan:

(1) Di dalam Kawasan Konservasi KATEGORI I (Cagar Alam) dan KATEGORI III (Suaka Margasatwa dan Taman Buru), setiap orang dilarang: a. Mengambil atau memindahkan benda apapun baik hidup maupun mati yang

secara alami berada di dalam kawasan. b. Menangkap, membunuh, melukai, mencederai, menganggu satwa liar dengan

cara dan alat apapun, dan/atau merusak sarang-sarang satwa liar, dengan atau tidak membawanya ke luar kawasan.

c. Menebang pohon atau tumbuhan, dengan atau tidak membawanya ke luar kawasan.

d. Memasukkan jenis-jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang bukan merupakan jenis yang secara alami hidup atau pernah hidup di dalam kawasan.

e. Mengubah bentang alam, bentuk lahan atau kontur lahan yang dapat berakibat kerusakan dan/atau hilangnya fungsi ekosistem.

f. Melakukan kegiatan baik di luar maupun di dalam kawasan yang menimbulkan pencemaran di dalam kawasan.

g. Melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan atau perubahan pada unsur-unsur non-hayati.

h. Menduduki, mengerjakan, menguasai, menjual, atau membeli lahan kawasan. i. Memindahkan, merusak, atau menghilangkan tanda batas kawasan.

(2) Di dalam Kawasan Konservasi KATEGORI I dan KATEGORI III, setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat dianggap dan/atau patut diduga sebagai tindakan permulaan melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 di atas, diantaranya: a. Memasuki kawasan tanpa izin yang sah. b. Membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil, menangkap, berburu,

menebang, merusak, memusnahkan atau mengangkut tumbuhan, satwa liar dan/atau benda-benda lainnya dari dan/atau ke dalam kawasan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dan 2 tidak termasuk:

Page 35: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

34

a. Kegiatan pembinaan habitat, pembinaan populasi, dan penyelamatan populasi satwa liar di dalam suaka margasatwa.

b. Pengambilan spesimen untuk kepentingan penelitian dan pengembangan budidaya.

c. Kegiatan dalam rangka penyediaan sarana pengelolaan kawasan.

(4) Kekecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dan 2 dapat dilakukan bagi masyarakat hukum adat, masyarakat lokal yang secara nyata kehidupannya bergantung hanya pada sumberdaya alam.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengambilan spesimen sebagaimana dimaksud dalam butir 3 huruf b diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(6) Di dalam Kawasan Konservasi KATEGORI II (Taman Nasional) dan Kategori IV (Taman Wisata Alam), setiap orang dilarang: a. Mengambil dan/atau memindahkan benda apapun baik hidup maupun mati yang

secara alami berada di dalam kawasan. b. Menangkap, membunuh, melukai, mencederai, menganggu satwa liar dengan

cara apapun, dan/atau merusak sarang-sarang satwa liar, dengan atau tidak membawanya ke luar kawasan.

c. Menebang pohon atau tumbuhan, dengan atau tidak membawanya ke luar kawasan.

d. Memasukkan jenis-jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang bukan asli. e. Mengubah kontur, bentang atau bentuk lahan. f. Melakukan kegiatan baik di luar maupun di dalam kawasan yang menimbulkan

pencemaran di dalam kawasan. g. Melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan atau perubahan pada

unsur-unsur non-hayati. h. Menduduki, menguasai, atau merambah lahan kawasan. i. Memotong, memindahkan, merusak, atau menghilangkan tanda batas kawasan.

(7) Di dalam Kawasan Taman Nasional dan Taman Wisata Alam, setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat dianggap dan/atau patut diduga sebagai tindakan permulaan melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam butir 6, diantaranya: a. Memasuki kawasan tanpa izin yang sah. b. Membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil, menangkap, berburu,

menebang, merusak, memusnahkan, dan/atau mengangkut tumbuhan, satwa liar, dan/atau benda-benda lainnya dari dan/atau ke dalam kawasan.

(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 6 dan 7 tidak termasuk: a. Kegiatan pembinaan habitat, pembinaan populasi, dan penyelamatan populasi di

zona-zona selain zona inti Taman Nasional. b. Pengambilan spesimen untuk kepentingan penelitian dan pengembangan

budidaya. c. Kegiatan dalam rangka penyediaan sarana pengelolaan kawasan.

(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengambilan spesimen sebagaimana dimaksud dalam butir 7 huruf b diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Page 36: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

35 III. PENGAWETAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

Pengawetan keanekaragaman hayati dilaksanakan melalui pengelolaan genetik, jenis dan ekosistem sesuai dengan kategorisasi perlindungannya.

A. Pengawetan Genetik

Ruang lingkup pengawetan genetik adalah bagi jenis-jenis liar dengan kategorisasi sesuai dengan jenis target. Pengawetan genetik dilaksanakan melalui pengelolaan genetik bagi spesies-spesies target yaitu spesies terancam punah, spesies yang bernilai komersial, dan spesies untuk mendukung budidaya, sebagai berikut:

1. Bagi spesies-spesies target wajib dilakukan inventarisasi dan pengembangan basis data genetiknya.

2. Pengelolaan genetik bagi spesies terancam punah dilaksanakan secara insitu dan eksitu untuk tujuan mengembalikan keanekaragaman genetik di tingkat spesies untuk kepentingan pemulihan populasi maupun untuk pemanfaatan.

3. Pengelolaan genetik bagi spesies yang bernilai komersial dilakukan secara insitu maupun eksitu untuk tujuan menjaga keanekaragaman dan kemurnian genetik bagi spesies-spesies yang diperdagangkan.

4. Pengelolaan genetik bagi spesies untuk mendukung budidaya dilakukan secara insitu maupun eksitu dengan tujuan untuk meningkatkan mutu genetik spesies-spesies budidaya dan menciptakan varitas atau baru yang unggul dari segi budidaya.

5. Pengaturan dan kontrol bagi spesies-spesies yang mengalami perlakuan rekayasa genetik atau pemuliaan agar tidak dikembalikan ke habitat alam.

6. Pengaturan dibedakan antara pengembangbiakan atau perbanyakan buatan dengan tetap mempertahankan kemurnian genetik spesies liar dengan kegiatan budidaya yang di dalamnya ada rekayasa genetik karena untuk menciptakan varitas atau kultivar baru sehingga kemurnian genetik bukan menjadi tujuan.

B. Pengawetan Spesies

Pengawetan spesies dilakukan melalui kegiatan pengelolaan sesuai dengan kategorisasi perlindungan spesies yaitu kategori I, kategori II dan kategori III.

Pengawetan spesies kategori I: 1. Spesies kategori I dilarang untuk ditangkap, diburu, dipelihara, diperdagangkan.

Kekecualian hanya dari hasil pengembangbiakan dan/atau perbanyakan tumbuhan buatan. 2. Spesies kategori I dikelola secara insitu maupun eksitu. Pengelolaan insitu ditujukan untuk

memulihkan populasi spesies di habitat alamnya. Pengelolaan eksitu ditujukan untuk mendukung pemulihan populasi insitu di habitat alamnya.

3. Pelanggaran dan kejahatan terhadap ketentuan ini dihukum penjara dan didenda.

Pengawetan spesies kategori II: 1. Spesies kategori II dikelola untuk mendukung pemanfaatan yang berkelanjutan sehingga

pemanfaatan spesies kategori II diatur melalui pembatasan-pembatasan baik insitu maupun eksitu.

2. Pelanggaran dan kejahatan terhadap pengaturan pembatasan-pembatasan tersebut dihukum penjara dan didenda.

3. Pengelolaan spesies kategori II dilakukan untuk menetapkan tingkat pemanfaatan yang tidak merusak populasi di alam.

Page 37: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

36

4. Pengelolaan spesies kategori II dilakukan secara insitu untuk meningkatkan populasi dan mengendalikan pemanfaatan langsung dari habitat alam.

5. Pengelolaan spesies kategori II eksitu dilakukan untuk menurunkan tekanan bagi populasi di alam akibat pemanfaatan.

6. Pelanggaran terhadap ketentuan spesies kategori II dihukum pidana dan denda.

Pengawetan spesies kategori III: 1. Spesies kategori III dikelola dengan pemantauan populasi di habitat alam dan pemantauan

serta pengaturan terhadap pemanfaatannya. 2. Pelanggaran terhadap pengaturan pemanfaatan spesies kategori III dihukum denda.

C. Pengawetan Ekosistem

1. Pengawetan ekosistem bertujuan untuk melindungi dan mengelola keterwakilan ekosistem baik di darat maupun di perairan di dalam jaringan kawasan-kawasan konservasi;

2. Pengawetan ekosistem dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan setiap kategori kawasan konservasi secara efektif;

3. Keefektifan pengelolaan kawasan konservasi diukur melalui perubahan-perubahan 6 unsur pengelolaan kawasan konservasi secara efektif (pedoman IUCN), yaitu: Konteks (kondisi keanekaragaman hayati, tekanan dan ancaman, sistem legislasi); Perencanaan (kondisi yang diinginkan); Input (sumberdaya yang dialokasikan untuk mencapai tujuan di dalam perencanaan); Proses (pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana dan input yang ada); Output (hal-hal yang dicapai dalam pelaksanaan); dan Outcome (dampak yang terjadi).

4. Pelanggaran dan kejahatan terhadap aturan-aturan yang ada (dalam sistem legislasi) dihukum penjara dan didenda.

IV. PEMANFAATAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

Pemanfaatan keanekaragaman hayati tidak melebihi daya dukungnya. Pemanfaatan dilakukan melalui perijinan dan pengembangan sistem kontrol pemanfaatan kecuali untuk spesies yang masuk kategori dipantau. Ijin diterbitkan oleh menteri teknis dan/atau pejabat kepala daerah; khusus untuk pemanfaatan genetik dan spesies serta bagian-bagiannya diberikan dengan memperhatikan rekomendasi “otoritas keilmuan”.

A. Pemanfaatan Genetik

Pemanfaatan sumberdaya genetik dilakukan dengan memperhatikan hak kepemilikan atas sumberdaya genetik, akses terhadap sumberdaya genetik, hak kepemilikan intelektual atas hasil rekayasa genetik, keamanan hayati atas hasil rekayasa genetik, kaidah-kaidah etika dan agama dalam rekayasa genetik.

Pemanfaatan sumberdaya genetik digunakan untuk tujuan penelitian dan pengembangan, mendukung budidaya, koleksi tukar menukar, bioprospeksi, pelestarian dan tujuan lain (pertanian, farmasi/obat-obatan).

Pemanfaatan sumberdaya genetik harus memperhatikan ijin akses dan pembagian keuntungan yang adil (access to genetic resources and equitable benefit sharing).

Pemanfaatan sumberdaya genetik sebagaimana yang dimaksud di atas harus didahului dengan FPIC/PADIATAPA (free and prior informed consent/persetujuan yang harus diinformasikan di awal) dan MAT (Mutual Agreed Terms).

Page 38: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

37

Pemanfaatan sumberdaya genetik yang menghasilkan produk yang dipatenkan: penemuan-penemuan berbasis sumberdaya genetik dapat diajukan untuk mendapatkan perlindungan hak kekayaan intelektual. Pengajuan paten harus mengajukan asal usul sumberdaya genetik.

Tata cara permohonan ijin pemanfaatan sumberdaya genetik diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangan-undangan.

B. Pemanfaatan Spesies

Pemanfaatan sumberdaya spesies digunakan untuk tujuan pengkajian, penelitian dan pengembangan, perdagangan, perburuan terkendali, peragaan (lembaga konservasi), tukar-menukar, pemeliharaan untuk kesenangan, budidaya dan keperluan tradisional.

Pemanfaatan spesimen untuk sumberdaya spesies kategori I ditujukan untuk penelitian, peragaan, mendukung budidaya dan sumber benih serta untuk kepentingan religi. Pemanfaatan dapat bersumber dari populasi yang berada di habitat alam maupun dari hasil pengelolaan eksitu, seperti pengembangbiakan (captive breeding) dan artificial propagation (tumbuhan).

Pemanfaatan spesimen untuk sumberdaya spesies kategori II dan kategori III ditujukan untuk penelitian, pengembangan, pengkajian, peragaan, mendukung budidaya, perburuan, tukar menukar, kesenangan, keperluan tradisional.

Pemanfaatan untuk sumberdaya spesies kategori II dapat bersumber dari pengelolaan eksitu, termasuk pembesaran, pengelolaan populasi di habitat alam.

Pemanfaatan spesimen dari spesies kategori III dapat bersumber dari alam liar.

Pemanfaatan spesimen dari spesies kategori I dilaksanakan melalui perijinan oleh menteri teknis atas rekomendasi “otoritas keilmuan”.

Pemanfaatan spesimen dari spesies kategori II dan III dilaksanakan melalui perijinan oleh menteri teknis.

Pemanfaatan atas sumberdaya alam hayati dikenakan iuran dan pungutan.

Selain iuran dan pungutan, pemanfaatan atas sumberdaya alam hayati tertentu dikenakan pungutan dari breeding loan (terutama untuk spesies kategori I) dan dana konservasi.

Tata cara pengenaan pungutan dari breeding loan dan dana konservasi serta tata cara permohonan ijin pemanfaatan sumberdaya spesies diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

C. Pemanfaatan Ekosistem

Pemanfaatan ekosistem digunakan untuk tujuan pengkajian, penelitian dan pengembangan, perburuan terkendali, pemanfaatan jasa wisata alam, air, karbon, geothermal dan jasa lingkungan lainnya, penunjang budidaya, budidaya tradisional, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat.

Penggunaan kawasan konservasi untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan konservasi seperti sarana telekomunikasi komersial, jalur listrik tegangan tinggi, dll hanya dapat dilakukan secara terbatas melalui keputusan menteri, setelah mendapatkan rekomendasi dari otoritas ilmiah.

Tata cara permohonan ijin pemanfaatan ekosistem diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Page 39: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

38 V. PEMULIHAN EKOSISTEM DAN POPULASI SPESIES

Terhadap ekosistem yang mengalami degradasi maupun spesies yang terancam bahaya kepunahan, maka perlu dilakukan pemulihan. Pemulihan dilakukan baik melalui rehabilitasi maupun restorasi.

A. Rehabilitasi

B. Restorasi

1. Restorasi Spesies

Restorasi spesies ditujukan untuk memulihkan populasi (recovery) spesies-spesies terancam punah agar kembali pada tingkat populasi yang lestari dalam jangka panjang (viable), aman dari bahaya kepunahan.

Restorasi spesies dilakukan melalui usaha-usaha seperti: a. Reintroduksi spesimen dari spesies-spesies terancam punah baik yang bersumber

dari spesimen hasil tangkapan di alam (wild caught) dan telah dipelihara manusia setelah melalui upaya rehabilitasi, maupun dari hasil pengembangbiakan yang dikembalikan ke habitat alam.

b. Penyelamatan populasi atau individu melalui relokasi individu maupun populasi yang tidak viable, terisolasi untuk digabungkan dengan populasi lain di habitat yang aman sehingga populasinya dapat berkembang secara alami

c. Restorasi habitat dengan perbaikan sumber pakan dan tempat-tempat kritis bagi perkembangbiakan, seperti: daerah sarang, daerah perlindungan, daerah breeding dan daerah feeding.

Restorasi spesies dilaksanakan dengan: a. Restorasi spesies dilaksanakan oleh Pemerintah dan dapat bekerja sama dengan

masyarakat. b. Restorasi spesies dilaksanakan di habitat alaminya baik di dalam kawasan

konservasi maupun di luar kawasan konservasi. c. Restorasi spesies wajib dilaksanakan dengan berpedoman pada kaidah-kaidah

ilmiah dan kesehatan hewan untuk menghindari penurunan mutu dan keanekaragaman genetik serta penularan penyakit dari hewan yang dikembalikan ke alam kepada hewan penghuni.

d. Pemerintah menetapkan peraturan perundangan tentang tata cara pelaksanaan restorasi spesies.

2. Restorasi Ekosistem

Restorasi ekosistem dilakukan guna memperbaiki kawasan perlindungan ekosistem yang mengalami degradasi atau rusak untuk dikembalikan seperti aslinya sehingga dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan fungsi kawasan dan daya dukungnya.

Restorasi ekosistem dilakukan melalui: a. Menjaga, memelihara, mengembangbiakan, pengkayaan spesies yang secara alami

telah atau pernah ada, baik tumbuhan maupun hewan (termasuk hewan pakan bagi satwa predator), yang bersumber dari alam maupun hasil pengembangbiakan eksitu.

b. Memanfaatkan secara lestari jasa ekosistem dan hasil lainnya sesuai dengan fungsi kawasan dan daya dukungnya.

Page 40: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

39

c. Kawasan Cagar Alam (kawasan perlindungan ekosistem KATEGORI I) yang mengalami degradasi luar biasa sehingga tidak memenuhi syarat ditetapkan sebagai Cagar Alam tidak dapat dilakukan kegiatan restorasi, tetapi dievaluasi dan ditetapkan menjadi kawasan dengan kategori di luar kategori 1 sesuai dengan hasil penelitian oleh tim terpadu.

d. Pemerintah menetapkan pedoman restorasi ekosistem berdasarkan kajian ilmiah, termasuk kriteria status degradasi luar biasa pada kawasan perlindungan ekosistem KATEGORI I.

VI. KELEMBAGAAN

Konservasi keanekaragaman hayati menjadi tanggung jawab seluruh Warga Negara Indonesia, dan diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

A. Penyelenggaraan Urusan Konservasi

1. Penyelenggaraan konservasi kehati di kawasan hutan negara, baik terestrial maupun perairan, dilaksanakan oleh Pemerintah.

2. Pemerintah menyusun rencana konservasi kehati nasional (Indonesia Biodiversity Strategic and Action Plan) sebagai bagian dari perencanaan pembangunan nasional.

3. Konservasi spesies dan genetik di luar kawasan hutan negara diselenggarakan oleh Pemerintah bersama Pemerintah Daerah sesuai dengan prinsip konkurensi.

4. Pemerintah atau Pemerintah Daerah, bersama para pihak dan masyarakat setempat menetapkan zonasi, koridor spesies, dalam penyelenggaraan konservasi ekosistem dan penyelenggaraan pembinaan habitat/perlindungan spesies di luar kawasan konservasi.

5. Penyelenggaraan konservasi ekosistem di luar hutan negara, baik terestrial maupun perairan, termasuk daerah penyangga kawasan konservasi dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah propinsi dan/atau kabupaten/kota.

6. Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat membentuk lembaga khusus yang menyelenggarakan urusan konservasi kehati.

7. Konservasi kehati dalam wilayah hak milik dilakukan oleh pemegang hak, dalam hal ini Pemerintah/Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitasi.

8. Pemerintah dapat melimpahkan penyelenggaraan konservasi kehati kepada pemerintah propinsi, atau kepada pemerintah kabupaten/kota atau pemerintah desa.

9. Pemerintah propinsi dapat melimpahkan penyelenggaraan konservasi ekosistem di luar hutan negara kepada pemerintah kabupaten/kota atau pemerintah desa.

10. Pemerintah kabupaten/kota dapat melimpahkan penyelenggaraan konservasi ekosistem di luar hutan negara kepada pemerintah desa.

11. Pemerintah atau Pemerintah Daerah mengakui keberadaan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan kawasan konservasi masyarakat (Community Conserved Areas/CCA)

12. Pemerintah mengatur tata cara pelimpahan dan pengakuan penyelenggaraan konservasi.

13. Pemerintah menyelenggarakan penelitian dan pengembangan bidang konservasi.

14. Pemerintah menyelenggarakan pengelolaan informasi konservasi.

15. Penyelenggaraan penyuluhan konservasi.

16. Pengembangan pengelolaan SDM.

Page 41: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

40

B. Kerjasama Pengelolaan Konservasi.

1. Pemerintah melaksanakan kerjasama internasional sesuai dengan prinsip politik bebas aktif dengan negara, orang/kelompok, organisasi internasional, lembaga/organisasi non-pemerintah asing, perusahaan asing, dalam rangka penyelenggaraan konservasi kehati.

2. Kerjasama internasional meliputi kerjasama teknik, maupun kerjasama pengelolaan. 3. Pemerintah membentuk lembaga multipihak dalam rangka kerjasama internasional.

4. Pemerintah/Pemerintah Daerah sebagai pengelola kawasan sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasani, dapat melakukan kerjasama pengelolaan dengan:

a. Organisasi non pemerintah (internasional, lokal) b. Masyarakat c. Sektor swasta (BUMS, BUMN, BUMD) d. Perorangan

5. Kerjasama pengelolaan dapat meliputi kerjasama pengelolaan seluruh wilayah atau sebagian wilayah kawasan konservasi.

6. Kerjasama pengelolaan dilaksanakan dengan prinsip pembagian kewenangan, peran, tanggung jawab dan manfaat/keuntungan.

7. Kerjasama pengelolaan dilaksanakan dengan tujuan peningkatan kapasitas masyarakat dan/atau efektifitas pengelolaan kawasan.

C. Pemulihan Ekosistem

1. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan rehabilitasi kawasan konservasi yang mengalami degradasi.

2. Pemerintah, Pemerintah Daerah serta BUMS/BUMN/BUMD melakukan kegiatan restorasi ekosistem dan/atau spesies di dalam kawasan konservasi maupun kawasan hutan.

3. Restorasi oleh pihak selain Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan melalui pemberian ijin.

4. Restorasi ekosistem wajib dilaksanakan berpedoman pada kaidah-kaidah ilmiah guna menghindari penurunan mutu dan keanekaragaman ekosistem.

5. Pemerintah dapat memberikan hak pengelolaan pada sebagian atau satu kesatuan unit kawasan konservasi yang terdegradasi dan/atau daerah terpencil/aksesibilitas rendah dimana kapasitas pemerintah belum mampu menjangkaunya.

6. Pemerintah menetapkan peraturan perundangan tentang tata cara pelaksanaan restorasi ekosistem.

D. Penegakan Hukum

1. Untuk melaksanakan/ keberhasilan penegakan hukum wilayah Negara RI dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, dengan mempehatikan luas wilayah, jumlah penduduk, potensi sumber daya alam hayati, dan kemampuan Polisi Khusus/PPNS.

2. Organisasi Polisi Kehutanan (POLHUT) disusun berjenjang dan komando, hal ini untuk menghindarkan intervensi kepentingan dalam rangka pengamanan kekayaan negara.

3. Wilayah hukum penyelidik dan penyidik, ditentukan secara fleksibel, karena kejahatan kehutanan sangat dinamis dan terkadang melibatkan jaringan internasional.

4. Wilayah hukum penyelidik dan penyidik konservasi adalah seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

Page 42: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

41

5. Mengingat sifatnya yang spesifik dan tindak pidana merupakan kejahatan yang transnasional, maka dimungkinkan wilayah hukum penyelidik dan penyidik tindak pidana konservasi meliputi wilayah kepabeanan.

6. Guna menyelesaikan konflik akibat “keterlanjuran pemanfaatan ruang untuk kepentingan non konservasi” dimana pemanfaatan tersebut telah ada sebelum kawasan konservasi ditetapkan, maka pemerintah membentuk lembaga khusus penanganan konflik. Lembaga adhoc khusus dapat terdiri dari unsur-unsur lintas sektor dan dibentuk melalui Keputusan Presiden.

Yang termasuk kepentingan non-konservasi adalah: a. Kepentingan komersial: semua yang menghasilkan keuntungan ekonomi (BTS,

sutet, pipa gas/minyak, geotermal, tambang mineral) b. Kepentingan non komersial: sarana ibadah, jalan.

Penyelesaian keterlanjuran dapat berupa: a. Mengembalikan status dan fungsi kawasan konservasi; Kegiatan non-konservasi

dikeluarkan. b. Melepas kawasan. c. Menetapkan sebagai zona “khusus”. d. Restorasi fungsi. e. Penetapan wilayah khusus transmigrasi lokal.

E. Penyelesaian Sengketa

1. Penyelesaian sengketa yang menyangkut konservasi kehati (termasuk keterlanjuran) diselesaikan secara sistematik sesuai dengan karakter sengketa yang bersangkutan.

2. Para pihak yang bersengketa dapat melakukan upaya-upaya pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sepanjang tidak boleh menghilangkan azas konservasi.

4. Para pihak yang bersengketa dapat melakukan gugatan ke pengadilan dengan mekanisme gugatan biasa, gugatan perwakilan (class action), gugatan organisasi (legal standing), hak gugat warga negara (citizen sue).

VII. PARTISIPASI PENGELOLAAN KEHATI

Dewasa ini, sejalan dengan rumusan pertemuan IUCN (WCC 2008) di Barcelona, dikenal beberapa tipe pengelolaan kawasan berdasarkan tata kelola, hal ini mendorong adanya perubahan paradigma penyelenggaraan konservasi ke depan, yaitu konservasi tidak hanya diselenggarakan oleh pemerintah tetapi juga dapat dilaksanakan secara bersama-sama antara pemerintah dengan masyarakat, serta pemerintah dengan swasta.

Memperhatikan perubahan paradigma di atas, ke depan pengaturan mengenai partisipasi masyarakat serta kerjasama pengelolaan konservasi harus diatur secara lebih tegas, dalam berbagai bentuk partisipasi masyarakat, yaitu:

1. Partisipasi pasif dalam pengelolaan konservasi yang tanggung jawab utama berada di tangan pemerintah ( konservasi berbasiskan pemerintah).

2. Partisipasi aktif dimana penyelenggaraan konservasi dilakukan secara bersama antara pemerintah dan masyarakat (konservasi berbasiskan masyarakat, swasta).

Page 43: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

42

1. Partisipasi pada konservasi berbasiskan pemerintah

Konservasi berbasiskan pemerintah yang dimaksudkan pada bagian ini adalah konservasi yang tanggung jawab pengelolaannya sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Konservasi jenis ini adalah satu-satunya konservasi yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990. Dalam perjalanannya, hubungan pemerintah sebagai penyelenggara konservasi ini dengan masyarakat seringkali mengalami ketegangan-ketegangan. Karena itu ke depan, diperlukan perubahan pengaturan hubungan pemerintah dengan masyarakat, terutama masyarakat adat yang hidup di kawasan konservasi tersebut. Hal-hal yang berkenaan dengan peran pemerintah dalam meningkatkan kapasitas masyarakat, serta pengakuan desa atau masyarakat dalam kawasan konservasi perlu diatur secara jelas.

Dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasiskan pemerintah, pemerintah memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat, antara lain meliputi: • Pengakuan • Fasilitasi • Insentif • Kompensasi • Rehabilitasi

Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat diberikan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah sepanjang kenyataannya masih ada. Keberadaan masyarakat hukum adat ditentukan melalui wilayah hukum. Pengakuan terhadap kegiatan dan wilayah konservasi yang dilakukan oleh masyarakat adat diberikan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah.

Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat, Pemerintah/ Pemerintah Daerah wajib melakukan fasilitasi pengembangan kegiatan masyarakat hukum adat serta kegiatan konservasi oleh masyarakat lokal.

Pemerintah wajib memberikan insentif kepada masyarakat yang telah melaksanakan konservasi keanekaragaman hayati, memberikan kompensasi kepada masyarakat yang dirugikan/terkena dampak penetapan kawasan konservasi ekosistem dan konservasi spesies, melakukan rehabilitasi terhadap hak-hak masyarakat hukum adat tertentu yang terlanggar dan/atau tercabut oleh penetapan kawasan konservasi dilakukan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah.

Undang-undang konservasi kehati ke depan perlu dilakukan pelimpahan kewenangan dalam pengaturan konservasi dan pengakuan masyarakat lokal/adat.

Partisipasi masyarakat dalam membangun konservasi pada kondisi ini antara lain dapat berupa : • Pemberian saran dan mengusulkan perlindungan jenis/genetik /ekosistem, kepada

Pemerintah melalui Pemerintah Daerah setempat. • Berkolaborasi dalam pengelolaan ekosistem/jenis. Kolaborasi meliputi pembagian peran,

kewenangan tertentu, tanggung jawab serta pembagian keuntungan dan manfaat (benefit).

• Melaksanakan perlindungan dan pengawetan kehati dan melaporkan kejadian yang berhubungan dengan kehati (melaporkan kejadian, menjaga kelestarian jenis dan genetik, ikut dalam unit pengamanan seperti wildlife crime unit/WCU, RPU, dst).

• Gugatan perwakilan (class action). Masyarakat berhak melakukan gugatan perdata melalui gugatan perwakilan.

• Hak gugat LSM (legal standing). Organisasi non pemerintah/LSM dapat melakukan gugatan perdata mewakili kepentingan ekosistem /spesies/genetik

Page 44: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

43

• Hak gugat warga negara (citizen sue). Warga negara Indonesia dapat melakukan gugatan perdata mewakili kepentingan ekosistem/spesies /genetik.

2. Partisipasi aktif konservasi berbasiskan masyarakat

Konservasi berbasiskan masyarakat dalam konteks pembahasan UU konservasi ke depan adalah menyangkut kawasan-kawasan yang secara adat ataupun pengelolaan sehari-hari telah dilakukan oleh masyarakat, difungsikan sebagai kawasan-kawasan yang dijaga (termasuk Community Conserved Areas).

Berdasarkan kriteria IUCN, setidaknya ada 3 (tiga) indikator yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kawasan-kawasan ini yaitu : • Komunitas erat hubungannya dengan ekosistem (atau untuk suatu spesies dan

habitatnya), budaya dan/atau karena ketergantungan untuk kelangsungan hidup dan mata pencaharian;

• Keputusan-keputusan manajemen masyarakat dan upayanya terhadap ekosistem tersebut mengarah pada konservasi habitat ekosistem itu, spesies, ekologis dan terkait erat dengan nilai-nilai adat dan budaya mereka.

• Masyarakat adalah pemain utama dalam pengambilan keputusan (governance) dan implementasi tentang manajemen situs, menyiratkan bahwa lembaga-lembaga masyarakat memiliki kemampuan untuk menegakkan peraturan. Dalam banyak situasi mungkin ada pemangku kepentingan lain dalam kerjasama atau kemitraan, tapi dasar pembuatan keputusan terletak pada masyarakat yang peduli terhadap konservasi tersebut.

Kawasan ini seringkali tidak berada pada kawasan yang ditetapkan pemerintah sebagai kawasan konservasi sehingga terancam karena kegiatan-kegiatan konversi kehutanan maupun non kehutanan, dan kawasan semacam ini banyak ditemui di Indonesia.

Dalam konteks ini, UU konservasi ke depan mesti mengatur hak-hak masyarakat untuk memiliki, mengatur dan mengelola kawasan-kawasan konservasi mereka sendiri. Sehingga dalam konteks ini pemerintah harus memberikan: • Pengakuan dan perlindungan hukum. • Pemberian fasilitas pembiayaan dan peningkatan sumberdaya manusia. • Memfasilitasi untuk berkerjasama dengan pihak ketiga.

VIII. PENGAMANAN DAN PENYIDIKAN

Pengamanan konservasi keanekaragaman hayati dilaksanakan melalui berbagai upaya, meliputi: pencegahan, penindakan (termasuk penyelidikan, penyuluhan), serta penyidikan.

Pengamanan dilakukan untuk menjaga terjaminnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, dan hak-hak negara, masyarakat dan perorangan terhadap sumberdaya alam dan dalam upaya-upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemmnya. Petugas yang bertindak sebagai ujung tombak pengamanan maka terhadap pejabat tertentu diberi wewenang kepolisian khusus (policing) atau khusus sebagai penyidik.

Polisi Khusus

Tugas kepolisian khusus yang diemban oleh pejabat pemerintah, antara lain pencegahan dan penyelidikan.

Page 45: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

44

Pencegahan yaitu upaya untuk merintangi/mengikhtiarkan agar seseorang tidak melakukan atau melakukan perbuatan yang dilarang ditetapkan oleh undang-undang, antara lain meliputi:

1. Penyuluhan dan sosialisasi peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

2. Melakukan monitoring, patroli/perondaan di dalam areal yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi atau wilayah hukumnya.

3. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan konservasi dan lain-lain.

Kewenangan melakukan tindakan penyelidikan yaitu kewenangan untuk mencegah tindak pidana atau mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan.

Penyelidikan sebagai suatu keseluruhan upaya untuk membuat terang apakah suatu perbuatan merupakan perbuatan pidana sehingga pelaku tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya menurut hukum atau bukan, antara lain :

1. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan tumbuhan atau satwa wilayah hukumnya.

2. Menerima, membuat dan menandatangani laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut konservasi SDAH.

3. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut konservasi SDAH.

4. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang.

5. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut konservasi SDAH.

6. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian. 7. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 8. Melakukan pengamatan secara tertutup terhadap dugaan adanya tindak pidana KSDAH. 9. Atas perintah PPNS Kehutanan dapat melakukan tindakan berupa:

a. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan. b. pemeriksaan dan penyitaan surat. c. membawa dan menghadapkan seseorang kepada PPNS. d. memberi tanda pengamanan dan mengamankan barang bukti.

e. melakukan pengamatan secara tertutup terhadap dugaan adanya tindak pidana

kehutanan.

Kewenangan melakukan tindakan penyelidikan yaitu kewenangan untuk mencegah tindak pidana atau mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Organisasi merupakan alat untuk mencapai tujuan, yang dalam hal ini adalah penangaman di bidang konservasi, dimana organisasi pengamanan meliputi struktur dan wilayah kerja. Organisasi Polisi Kehutanan (POLHUT) disusun berjenjang dan komando, hal ini untuk menghindarkan intervensi kepentingan dalam rangka pengamanan kekayaan negara.

Untuk melaksanakan peran dan fungsinya secara efektif dan efisien, wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenagnya dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, potensi sumber daya alam hayati, dan kemampuan Polisi Khusus.

Page 46: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

45

Penyidik

Wilayah hukum Penyelidik dan Penyidik, perlu diperjelas dan diperluas karena bentuk kejahatan yg dinamis dan terkadang melibatkan jaringan internasional. Wilayah hukum penyelidik dan penyidik konservasi adalah seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Mengingat sifatnya yang spesifik dan tindak pidana merupakan kejahatan yang transnasional, maka dimungkinkan wilayah hukum penyelidik dan penyidik tindak pidana konservasi meliputi wilayah kepabeanan.

Perlu adanya peluang yang memungkinkan PPNS melakukan gelar perkara di hadapan Jaksa Penuntut Umum (JPU), dengan tembusan kepada Penyidik POLRI, dalam rangka koordinasi pengawasan.

IX. LARANGAN DAN SANKSI

Tindakan yang secara sah melanggar ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam Bab III diancam dengan sanksi pidana dan sanksi administrasi.

Sanksi Pidana

Sanksi pidana berupa hukuman penjara, hukuman denda, pencabutan hak perdata tertentu dan perampasan barang.

Besarnya sanksi pidana ditetapkan berupa sanksi minimal dan sanksi maksimal untuk setiap tindak pelanggaran dengan mempertimbangkan :

a. Kategori jenis/ekosistem, semakin tinggi kategorinya maka ancaman sanksi semakin berat, dan/atau;

b. Dampak yang ditimbulkan terhadap manusia dan kelestarian jenis/spesies.

Ancaman pidana terhadap pelaku tindak pidana dapat diperberat dalam hal: 1. Pengurus, direksi, anggota atau pegawai suatu badan hukum yang memperoleh ijin yang

berkaitan dengan keanekaragaman hayati. 2. Penyelenggara negara, pegawai negeri, yang diberi kewenangan untuk melakukan

pengamanan. 3. Anggota, pengurus organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang konservasi

keanekaragaman hayati. 4. Seseorang yang melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan keahliannya.

Ketentuan pidana ini juga menerapkan pertanggungjawaban pidana korporasi (coorporate liability).

Besarnya sanksi pidana penjara dengan sanksi minimal 6 (enam) bulan sampai dengan maksimal seumur hidup/hukuman mati.

Sanksi denda diberikan kepada terpidana yang mengakumulasikan terhadap hukuman penjara. Banyaknya denda paling sedikit Rp. 500.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak 50 milyar rupiah.

Sanksi pencabutan hak perdata adalah satu larangan yang diberikan lembaga peradilan kepada terpidana dalam melakukan aktivitas yang berkaitan dengan konservasi dan kehutanan. Beberapa bentuk pencabutan hak perdata antara lain:

a. Larangan kepada perorangan untuk menjabat dalam badan usaha yang berhubungan dengan kehutanan.

b. Larangan kepada badan usaha untuk melakukan aktivitas pada periode tertentu (“bank beku operasi”).

Page 47: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

46

Sanksi perampasan barang dikenakan berupa penyitaan barang bukti yang dipakai dan/atau dihasilkan dalam suatu tindak pidana, baik berupa spesies dan spesimennya, alat yang dipergunakan maupun barang yang dihasilkan [termasuk uang/rekening].

Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dari satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan.

Sanksi Administrasi

Sanksi administrasi dikenakan terhadap pelanggaran yang dilakukan pemegang ijin terhadap kewajiban administrasi. Pengaturan mengenai sanksi administrasi diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan.

Pengecualian

Sanksi pidana dan sanksi administrasi tidak berlaku atau dikecualikan terhadap perbuatan: a. Untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan

satwa yang bersangkutan. Termasuk kegiatan penyelamatan spesies dapat berupa pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah.

b. Perbuatan guna melindungi kehidupan manusia yang terancam nyawanya oleh satwa yang dilindungi.

Ketentuan tata cara, persyaratan dan lain-lain mengenai pengecualian diatur dengan Peraturan Perundangan.

Page 48: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

47

BAB V

KESIMPULAN

Memperhatikan pesatnya perubahan lingkungan strategis, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 sudah tidak mampu menjawab tantangan dan masalah konservasi terkini, maka dari itu perlu dilakukan percepatan perubahan dengan memperhatikan perubahan paradigma yang terjadi masa kini dan yang akan datang.

Beberapa pengaturan harus dibuat baru atau diperkuat, seperti ruang lingkup konservasi ke depan yang meliputi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, termasuk dalam hal ini pengaturan konservasi genetik.

Mengingat sistim penyangga kehidupan mempunyai materi yang luas dan menyangkut oleh berbagai sektor serta telah tercantum dalam undang-undang sektor tersebut, antara lain sektor kehutanan, pertanian, kelautan, perkebunan, kesehatan dan lingkungan hidup serta perkembangan paradigma konservasi terkini yang fokus pada konservasi keanekaragaman hayati, maka perlindungan sistem penyangga kehidupan tidak menjadi bagian dari pengaturan RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati ke depan.

Tujuan konservasi harus sejalan dengan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat saat ini maupun masa akan datang. Guna mewujudkan tujuan penyelenggaraan konservasi tersebut perlu diatur secara tegas pengaturan mengenai: kelembagaan, partisipasi masyarakat, kerjasama pengelolaan kawasan oleh masyarakat, kerjasama internasional, serta penguatan bidang penegakan hukum.

Page 49: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

48

RANCANGAN UNDANG-UNDANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

BATANG TUBUH PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR......... TAHUN

TENTANG

KEANEKARAGAMAN HAYATI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

7. bahwa sumberdaya alam hayati Indonesia adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan;

8. bahwa sumberdaya alam hayati merupakan sumberdaya alam strategis yang dikuasai oleh negara serta merupakan sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal untk mewjudkan kelestarian sumberdaya alam hayati dan kesejahteraan rakyat;

9. bahwa pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

10. bahwa unsur-unsur sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem;

11. bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumberdaya alam hayati dapat berlangsung dengan secara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri;

12. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya belum menampung dan mengatur secara menyeluruh mengenai konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sesuai dengan perkembangan sosial, politik, ekonomi dan budaya nasional, serta kerjasama atau hubungan

Penjelasan Umum: Bangsa Indonesia dianugerahi kekayaan sumberdaya alam hayati (SDAH) yang berlimpah, baik di darat, maupun di perairan. Sumberdaya alam hayati merupakan sumberdaya yang strategis, dikuasai oleh negara untuk dikelola secara optimal dan berkelanjutan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia yang berkesinambungan. Kekayaan alam hayati yang dimiliki Indonesia sangat berlimpah, hal ini dicerminkan oleh keanekaragaman jenis satwa dan tumbuhan. Dalam tataran global, luas daratan Indonesia yang hanya 1% dari luas daratan dunia, keanekaragaman hayati Indonesia menduduki posisi tiga besar bersama dengan Brazil dan Zaire (Republik Demokrat Kongo). Indonesia tercatat memiliki 515 jenis mamalia (12% dari total jumlah mamalia dunia), 511 reptilia (7,3% dari seluruh reptil dunia), 1.594 jenis burung (17% dari jumlah burung dunia) dan terdapat sekitar 38.000 jenis tumbuhan berbunga. Walaupun keanekaragaman hayati di Indonesia menempati urutan ke tiga besar dunia, dan mempunyai sifat yang dapat memperbaharui diri atau dapat diperbaharui (renewable), namun jumlah sumberdaya alam hayati tersebut tidak tak terbatas. Disamping itu, sumberdaya alam hayati mempunyai sifat yang tidak dapat kembali seperti asalnya (irreversible) apabila dimanfaatkan secara berlebihan. Pemanfaatan secara berlebihan akan mengancam keberadaan sumberdaya alam itu sendiri, dan sampai pada tahap tertentu akan dapat memusnahkan keberadaannya. Guna menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan, perlu dilakukan tindakan konservasi. Tindakan konservasi tersebut berupa pengelolaan sumbrdaya alam hayati dan ekosistemnya, dimana sebagian dari SDAH tersebut harus dilindungi secara ketat, sementara sebagian lainnya dimanfaatkan secara proporsional dan berkelanjutan. Konservasi SDAH merupakan keseimbangan antara pemanfaatan, perlindungan dan pengawetan yang berkelanjutan. Hal ini dimaksudkan agar keberadaan sumberdaya alam hayati tetap dapat dipertahankan dan dipergunakan secara lestari bagi kemakmuran masyarakat baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Pengaturan konservasi keanekaragaman hayati

Page 50: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

49

internasional;

13. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, d, e, dan f perlu membentuk Undang-Undang tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati.

melalui peraturan perundangan diharapkan mampu menjamin kepastian hukum hubungan antara masyarakat dengan sumberdaya alm hayati, kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, pemenuhan hak hak dasar masyarakat dalam kaitannya dengan SDA, serta terjaminnya distribusi manfaat SDAH secara adil dan berkelanjutan. Dewasa ini telah ada UU yang mengatur tentang konservasi yaitu UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini telah berumur hampir 20 tahun, dan selama masa tersebut telah mampu menjadi dasar penyelenggaraan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Namun demikian dalam tenggang waktu tersebut telah terjadi banyak sekali perubahan lingkungan strategis nasional seperti berubahnya sistem politik dan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi dan demokratisasi, maupun perubahan pada tataran global berupa bergesernya beberapa kebijakan internasional dalam kegiatan konservasi, sebagaimana tertuang dalam hasil-hasil konvensi yang terkait dengan keanekaragaman hayati, atau hasil-hasil kesepakatan baik bilateral, regional maupun multilateral. Belakangan ini telah terjadi kecendrungan semakin meningkatnya kerusakan lingkungan, dimana sebagian besar sumberdaya alam kita mengalami degradasi, termasuk di dalamnya kawasan hutan konservasi yang telah ditetapkan oleh negera sebagai wilayah konservasi ekosistem, maupun konservasi jenis dan genetik. Meningkatnya laju degradasi kawasan konservasi serta degradasi populasi jenis tumbuhan dan satwa liar yang terancam punah dan endemik, erat kaitannya dengan kurang efektifnya kebijakan/perundangan di bidang konservasi dan pelaksanaannya. Pada saat ini diperkirakan terdapat sekitar 48 juta masyarakat yang hidup di dalam/di sekitar hutan, dan sebagian dari mereka hidup dalam keadaan miskin dan tidak berdaya (CIFOR 2006). Dalam banyak kasus, masyarakat lokal merasa tidak dilibatkan dan tidak menerima manfaat dari pengelolaan kawasan konservasi, sehingga tidak berminat untuk ikut berpartisipasi, atau cenderung menolak kehadiran kawasan konservasi. Kondisi di atas, serta memperhatikan tantangan ke depan seperti menguatnya tekanan masyarakat terhadap kawasan konservasi, meningkatnya jumlah penduduk -yang memerlukan percepatan pembangunan di segala sektor- memerlukan legislasi nasional mengenai konservasi yang mampu melindungi keanekaragaman hayati secara efektif serta menjamin kemanfaatan bagi masyarakat; sehingga dipandang perlu untuk melakukan perubahan UU 5 Tahun 1990 tentang konservasi. Dewasa ini dunia sedang mengalami perubahan yang mendasar, dimana kepedulian masyarakat akan pentingnya melestarikan sumberdaya alam semakin menguat sejalan meningkatkan upaya untuk mencapai sasaran pembangunan

Page 51: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

50

berkelanjutan (sustainable development), tujuan pembangunan milenium (MDGs), serta menguatnya pengaruh isu pemanasan global, perdagangan bebas (free trade), monopoli sumberdaya alam yang tidak terbarukan oleh negara-negara maju, perubahan politik di tingkat nasional (desentralisasi, demokratisasi, isu HAM, pemekaran wilayah dan pemerintahan daerah, isu tata kepemerintahan yang baik dan reformasi birokrasi), konflik antar sektor terkait dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lahan, seperti pengembangan tanaman kelapa sawit, pertambangan dan Hutan Tanaman Industri. Pembangunan berkelanjutan dengan tiga pilarnya yaitu keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan telah mendorong negara-negara di dunia ini untuk mengharmoniskan ketiga pilar tersebut dalam setiap pembangunan, termasuk di dalam pembangunan sumberdaya alam yang berpegang pada prinsip bahwa pembangunan ekonomi tidak berdampak pada rusaknya tatanan sosial serta memburuknya lingkungan, atau sebaliknya. Kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya kesehatan anak/ibu serta perbaikan kondisi lingkungan, adalah beberapa target perbaikan yang harus dibangun oleh setiap negara berkembang, karena kondisi tersebut apabila dibiarkan akan dapat mengancam keberlangsungan kehidupan seluruh umat manusia. Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) sangat relevan dengan upaya konservasi sumberdaya alam karena masalah konservasi sering berhimpitan dengan masalah kemiskinan, kependudukan dan lingkungan. Isu pemanasan global juga telah mendorong negara-negara di dunia untuk segera menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), meningkatkan rosot karbon (carbon stock), dengan berbagai langkah seperti menanam kembali hutan yang gundul, mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan, disamping mengurangi penggunaan energi berbahan dasar hidrokarbon dan menggantinya dengan energi yang ramah lingkungan. Pada tingkat internasional, melalui konvensi mengenai keanekaragaman hayati, konservasi keanekaragaman hayati pada saat ini telah menjadi salah satu dari 3 pilar pengelolaan keanekaragaman hayati, yaitu: (1) Konservasi, (2) pemanfaatan lestari (berkelanjutan), dan (3) pembagian yang adil dari pemanfaatan genetik dan unsur keanekaragaman hayati lainnya. Hal ini telah membuat fokus baru yang lebih terarah dibanding dengan Strategi Konservasi Dunia yang digalang oleh IUCN pada tahun 1982 yang diadopsi oleh UU No. 5 Tahun 1990, yang mendasarkan konservasi pada 3P (Perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pengawetan plasma nutfah, dan Pemanfaatan berkelanjutan). Di tingkat internasional, 3P tersebut telah dijabarkan lebih lanjut menjadi: (1) Pengelolaan keanekaragaman hayati (yang diatur melalui Konvensi Keanekaragaman Hayati/CBD), (2) Pencegahan penggurunan dan degradasi lahan (yang diatur melalui Konvensi Pencegahan

Page 52: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

51

Pengurunan/UNCCD), serta (3) Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (yang diatur melalui UNFCCC). Berubahnya lingkungan strategis internasional di atas telah mendorong dibangunnya upaya bersama untuk melaksanakan pembangunan dengan prinsip pertumbuhan hijau (green growth) atau dikenal juga dengan green economy yaitu pembangunan ekonomi yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, serta terbangunnya program ramah lingkungan, seperti pengurangan penggunaan /konservasi lahan gambut dan hutan alam, perluasan penanaman, restorasi kawasan, konservasi jenis/genetik, dll. Secara nasional, perubahan lingkungan strategis yang paling menonjol adalah berubahnya sistem pemerintahan RI dari sentralisasi ke desentralisasi. Dengan perubahan ini sebagain besar penyelenggaraan pembangunan termasuk pembangunan yang berkaitan dengan sumberdaya alam telah ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Dalam penyelenggaraan pembangunan telah ditetapkan prinsip concurency dengan memperhatikan externalitas, dampak serta efisiensinya. Pengelolaan kawasan hutan konservasi seperti taman nasional secara tegas memang masih menjadi kewenangan Pemerintah (pusat); sedang kegiatan lainnya termasuk konservasi diluar kawasan hutan negara seharusnya menjadi kewenangan daerah. Pada tingkat Pemerintah (pusat), pembagian kewenangan antar sektor juga menjadi isu yang strategis, terutama dengan diberlakukannya beberapa undang-undang sektoral baru yang nampaknya justru melemahkan upaya konservasi. Namun demikian pembagian kewenangan dalam urusan konservasi tidak disertai dengan meningkatnya keberlanjutan sumberdaya alam itu sendiri, sehingga perlu pengaturan yang lebih tegas di tingkat undang-undang. Disamping berubahnya sistem pemerintahan, perubahan yang juga menonjol di tingkat nasional adalah reformasi yang berkaitan dengan perbaikan pelayanan publik, pesatnya pertumbuhan teknologi informasi, serta menguatnya kelembagaan masyarakat adat, menguatnya peran DPR/DPRD dan DPD serta peran NGO dalam mendorong arah pembangunan ke depan. Perubahan strategis ini mendorong perlunya peningkatan peran para pihak, dan masyarakat serta keberpihakan kepada kesejahteraan masyarakat dalam pengurusan konservasi di Indonesia tanpa mengorbankan konservasi sumberdaya alam itu sendiri. Dari uraian di atas, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya belum cukup memberikan landasan hukum bagi perkembangan lingkungan strategis yang mempengaruhi penyelenggaraan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Oleh karena itu dipandang perlu mengganti undang-undang tersebut sehingga dapat memberikan landasan hukum yang lebih kokoh bagi penyelenggaraan

Page 53: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

52

konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya saat ini dan masa yang akan datang.

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1), pasal 27 dan pasal 33 ayat (3) dan (4) Undang-Undang dasar 1945

2. Ketetapan MPR RI No…./MPR/…. Tentang (Pengelolaan sumberdaya alam, lingkungan)

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

MENETAPKAN : UNDANG-UNDANG TENTANG

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :

1. Konservasi adalah langkah-langkah yang diambil secara bijaksana dalam rangka memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan generasi masa mendatang

2. Keanekaragaman hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati dan sumberdaya alam hewani beserta sumberdaya genetik yang terkandung didalamnya yang bersama dengan unsur lingkungan non hayati secara keseluruhan membentuk ekosistem.

3. Konservasi keanekaragaman hayati adalah pengelolaan keanekaragaman hayati yang dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan keberadaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya

4. Ekosistem adalah hubungan timbal balik yang dinamis antara komunitas tumbuhan, satwa dan jasad renik dengan lingkungan non hayati yang saling bergantung, pengaruh mempengaruhi dan berinteraksi sebagai suatu kesatuan yang secara bersama-sama membentuk fungsi yang khas.

5. Lingkungan non hayati adalah unsur-unsur klimatik (iklim) dan unsur-unsur edafik(tanah dan batuan).

6. Cagar Alam adalah kawasan konservasi yang karena keadaan alamnya mempunyai ke khasan jenis tumbuhan, satwa dan ekosistem yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami yang dikelola dengan tujuan utama untuk menjaga keaslian ekosistem dalm rangka pengembangan ilmu pengetahuan, pengawetan keanekaragaman hayati dan pendidikan.

7. Taman Nasional adalah kawasan konservasi yang mempunyai ekosistem asli yang karena karakteristiknya istimewa serta secara nasional mempunyai nilai estetika dan ilmiah yang tinggi, patut dihargai sebagai warisan nasional, dikelola dengan

Pasal 1 Cukup jelas

Page 54: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

53

sistem zonasi, dengan tujuan utama melindungi keaslian dan jasa lingkungan.

8. Suaka Margasatwa adalah kawasan konservasi yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa liar yang untuk kelangsungan hidupnya dilakukan pembinaan terhadap populasi dan habitatnya, yang dikelola dengan tujuan utama untuk menjamin terpeliharannya habitat dan atau kelestarian jenis satwa liar tertentu.

9. Taman Buru adalah kawasan konservasi yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa liar yang untuk kelangsungan hidupnya dilakukan pembinaan terhadap populasi dan habitatnya, yang dikelola dengan tujuan utama untuk olahraga berburu.

10. Taman Wisata Alam adalah kawasan konservasi yang terdiri dari fenomena alam atau gabungan fenomena alam dan budaya yang khas atau mempunyai nilai yang luar biasa dan unik karena kelangkaannya, atau mempunyai keunggulan budaya yang interaksi antara manusia dan alam telah menghasilkan suatu kawasan yang mempunyai nilai estetis, ekologis, dan atau budaya yang signifikan, secara bersamaan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikelola untuk tujuan utama wisata alam.

11. Taman Hutan Raya adalah kawasan hutan yang sebagian besar berupa hutan alam dan tanaman yang dikelola untuk tujuan melindungi keanekaragaman hayati beserta hubungan timbal balik dengan masyarakat, wisata alam, olah raga alam dan perlindungan jenis-jenis tumbuhan atau satwa tertentu di tingkat daerah, atau merupakansuatu wilayah daratan dan atau perairan dengan kawasan pesisir di dalamnya, di mana interaksi masyarakat dengan lingkungan alaminya selama bertahun-tahun telah membentuk wilayah dengan karakter yang khas, yang memiliki nilai-nilai estetika, ekologis, atau budaya yang signifikan, kerap dengan keanekaragaman hayati yang tinggi.

12. Kawasan perlindungan dan pemanfaatan terpadu adalah suatu wilayah daratan atau perairan untuk perlindungan ekosistem dan habitat, bersama dengan nilai-nilai budaya terkait dan sistem pengelolaan sumber daya alam tradisional.

13. Sumberdaya genetik adalah semua material tumbuhan, satwa, jasad renik atau sumber lain yang mengandung unit-unit yang berfungsi sebagai pembawa sifat keturunan baik yang bernilai aktual maupun potensial.

14. Jenis adalah semua spesies (jenis) tumbuhan atau satwa, sub spesies (anak jenis) tumbuhan atau satwa dan populasi daripadanya yang secara geografis terpisah.

15. Populasi adalah jumlah individu yang dapat diukur dari suatu jenis tumbuhan atau satwa di tempat tertentu.

16. Sub-populasi adalah bagian dari populasi yang merupakan kelompok yang secara geografis terpisah (dipisahkan oleh batas-batas geografis) atau kelompok yang berbeda nyata yang satu sama lain tidak ada atau sedikit interaksi.

17. Praktek terbaik pengelolaan (best management practice) sumberdaya alam adalah implementasi pengelolaan sumberdaya alam berbasis kawasan seperti diantaranya hutan produksi, perkebunan, pertambangan, dan wisata alam dengan menerapkan prinsip-prinsip konservasi keanekaragaman hayati,

Page 55: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

54

kehati-hatian dan berdasarkan pada kaidah-kaidah ilmiah.

18. Tumbuhan liar atau satwa liar adalah tumbuhan atau satwa yang masih mempunyai sifat-sifat liar baik yang hidup di habitat asli berupatan daratan maupun perairan serta yang telah dipelihara oleh manusia.

19. Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami.

20. Spesimen adalah fisik tumbuhan atau satwa baik hidup maupun mati termasuk bagian-bagiannya atau turunan-turunan dari padanya yang masih dapat dikenali secara visual maupun dengan teknologi yang ada.

21. Turunan adalah molekul atau kombinasi atau campuran dari molekul-molekul alam, termasuk ekstrak mentah dari organisme hidup atau yang diperoleh dari hasil metabolism organisme hidup.

22. Spesimen satwa yang termasuk dalam Kategori I, II dan III adalah setiap bagian atau turunan dari padanya yang dapat dikenali.

23. Spesimen tumbuhan yang termasuk Kategori I adalah setiap bagian atau turunan daripadanya yang dapat dikenali, dengan pengecualian anakan atau kultur jaringan anggrek yang diperoleh secara in vitro, di dalam media cair atau padat, ditransport dalam kemasan steril.

24. Spesimen tumbuhan yang termasuk Kategori II dan III adalah setiap bagian atau turunan daripadanya yang dapat dikenali, yang secara spesifik dimaksud (Anotasi) dalam Kategori II dan III, dengan pengecualian biji dan pollen (termasuk pollinia), anakan atau kultur jaringan yang diperoleh secara in vitro, didalam media cair atau padat, ditransport dalam kontainer steril, bunga potong yang diperoleh dari tanaman hasil perbanyakan buatan.

Pasal 2

Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan kelestarian, keseimbangan, keserasian, kemanfaatan yang berkelanjutan, keterpaduan, tranparansi dan akuntabilitas.

Pasal 2

9. Asas lestari merupakan usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus menerus pada masa mendatang.

10. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

11. Asas manfaat berkelanjutan adalah dimaksudkan agar penyelenggaraan konservasi sumberdaya alam hayati dapat memberikan manfaat bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat, dan pengembangan peri kehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara, secara merata dan adil serta peningkatan kelestarian sumberdaya alam hayati. Pemanfaatan sumber daya tidak melebihi

Page 56: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

55

kemampuan regenerasi sumberdaya hayati atau laju inovasi substitusi sumberdaya nonhayati.

12. Asas keterpaduan adalah mengintegrasikan kebijakan dengan perencanaan berbagai sektor pemerintahan secara horizontal dan secara vertikal antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan mengintegrasikan ekosistem darat dengan ekosistem laut berdasarkan masukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu proses pengambilan putusan dalam konservasi sumberdaya alam hayati.

13. Asas keterbukaan dimaksudkan adanya keterbukaan bagi masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang konservasi sumberdaya alam hayati, dari tahap perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, sampai tahap pengawasan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. Dengan demikian masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan mempunyai kesempatan untuk berperan serta, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasan dan penegakan hukum.

14. Asas akuntabilitas dimaksudkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi sumberdaya alam hayati dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.

15. Asas kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

16. Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang- undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

Pasal 3

Konservasi keanekaragaman hayati diselenggarakan dengan prinsip: a. Kerjasama para pihak.(CBDR/ cooperation but differentiated

Pasal 3 Yang dimaksud dengan: a. Kerjasama para pihak sesuai dengan kapasitasnya

masing-masing tetapi berbeda tanggung jawabnya sesuai tugas pokok dan fungsinya agar kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan

Page 57: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

56

responsibility).

b. Penguatan fungsi sosial, lingkungan dan ekonomi.

c. Memperhatikan serta mengakui hak masyarakat hukum adat, hak masyarakat lokal.

d. Kebersamaan dalam pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

ekosistemnya untuk sebesar besarnya kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan.

b. Penguatan fungsi sosial, lingkungan dan ekonomi, yang diwujudkan dan diselenggarakan oleh pemerintah sesuai dengan daya dukungnya.

c. Memperhatikan serta mengakui hak masyarakat hukum adat, hak masyarakat lokal atas sumberdaya alam yang ada dan diatur sampai batas tidak membahayakan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri sejalan dengan prinsip free and prior informed consent (FPIC).

d. Pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya merupakan tanggu jawab pemerintah dan pemerintah daerah yang pelaksanaannya dilakukan bersama masyarakat. Pelaksanaan pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bersama masyarakat melalui kegiatan:

1) Perlindungan kehati, meliputi usaha-usaha perlindungan terhadap genetik, jenis dan ekosistem melalui penetapan status perlindungan.

2) Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Pengawetan merupakan usaha dan tindakan konservasi untuk menjamin keanekaragaman jenis meliputi penjagaan agar unsur-unsur tersebut tidak punah dengan tujuan agar masing-masing unsur dapat berfungsi dalam alam dan agar senantiasa siap untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia.

3) Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kegiatan ini pada hakikatnya merupakan usaha pengendalian/ pembatasan dalam pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan.

Pasal 4 Penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: a. menjamin konservasi pada tingkat genetik, tingkat jenis,

dan tingkat ekosistem dapat dilaksanakan secara terintegrasi, komprehensif, transparan, partisipatif dan akuntabel.

b. efektivitas dan berkelanjutan dalam penyelenggaraan

Pasal 4 Cukup jelas

Page 58: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

57

konservasi sehingga tujuan konservasi dapat diwujudkan dengan lebih efektif.

Pasal 5

Ruang lingkup perubahan undang-undang ini meliputi: 5. Konservasi keanekaragaman hayati, dalam hal

sumberdaya alam genetik, jenis dan ekosistem termasuk jasa ekosistem.

6. Konservasi keanekaragaman hayati diselenggarakan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, berupa daratan dan perairan, termasuk di dalamnya Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinental.

7. Perlindungan terhadap jenis dan genetik yang diatur oleh konvensi internasional, yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 5 Ruang lingkup konservasi yang dikecualikan dari ruang lingkup butir satu di atas adalah: e. Konservasi energi f. Konservasi sumberdaya alam non hayati g. Konservasi tanah dan air h. Konservasi cagar budaya(situs-situs

purbakala) Perlindungan terhadap jenis dan genetik yang diatur oleh konvensi internasional, berasal dari luar negeri dan berada di dalam wilayah yurisdiksi NKRI.

Pasal 6

Konservasi keanekaragaman hayati meliputi: a. Perlindungan keanekaragaman hayati b. Pengawetan keanekaragaman hayati c. Pemanfaatan keanekaragaman hayati

Pasal 6 Cukup jelas

BAB II PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

Bagian Kesatu Umum

Pasal 7

Perlindungan keanekaragaman hayati dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan atau masyarakat.

Pasal 7 Cukup jelas

Pasal 8

Perlindungan keanekaragaman hayati meliputi: a. perlindungan genetik. b. perlindungan jenis. c. perlindungan ekosistem.

Pasal 8 Cukup jelas

Pasal 9

(1) Perlindungan genetik sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dilaksanakan melalui penetapan status perlindungan genetik dari jenis target;

Pasal 9 Ayat (1) Agar pelaksanaan perlindungan genetik dapat efektif maka jenis-jenis yang keanekaragaman genetiknya perlu dilindungi harus ditetapkan sebagai jenis target. Jenis target adalah jenis prioritas yang terdiri dari jenis-jenis yang telah terancam punah, jenis-jenis yang mempunyai nilai komersial tinggi, dan jenis-jenis yang saat ini dibudidayakan atau jenis-jenis yang potensial untuk mendukung budidaya, yang ditetapkan dalam rangka meningkatkan atau mempertahankan kebugaran genetik (genetic fitness) agar populasi atau sub-populasinya

Page 59: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

58

(2) Perlindungan jenis sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf b dilaksanakan melalui penetapan status perlindungan jenis;

(3) Perlindungan ekosistem sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf c dilaksanakan melalui: a. penetapan perwakilan ekosistem di dalam

jaringan kawasan konservasi; dan/atau b. pengelolaan sumberdaya alam dengan praktek

terbaik pada ekosistem penting yang tidak masuk dalam jaringan kawasan konservasi.

tidak rentan terhadap kepunahan. Jenis-jenis yang kebugaran genetiknya rendah karena keanekaragamannya berkurang akan lebih rentan terhadap bahaya kepunahan. Ayat (2) Pada prinsipnya semua jenis harus dilindungi, namun tingkat perlindungannya harus dibedakan dan diklasifikasikan sesuai dengan tingkat ancaman terhadap bahaya kepunahannya Ayat (3) Perwakilan ekosistem yang bernilai penting untuk konservasi harus dilindungi. Idealnya perlindungan ekosistem dilakukan dengan menetapkan perwakilan-perwakilan ekosistem di dalam jaringan kawasan konservasi. Namun demikian dalam hal penetapan kawasan konservasi baru sulit dilakukan, maka praktek pengelolaan terbaik sumberdaya alam pada ekosistem penting tersebut harus dilakukan.

Bagian Kedua Perlindungan Genetik

Pasal 10

Perlindungan sumberdaya genetik meliputi : a. perlindungan sumberdaya genetik hutan; dan b. perlindungan sumberdaya genetik yang berasal dari jenis-

jenis liar, termasuk jasad renik (micro organism).

Pasal 10 Sumberdaya genetik dalam undang-undang ini tidak termasuk sumber daya genetik dari hasil budi daya dan dari manusia.

Pasal 11

Berdasarkan asal jenisnya, sumberdaya genetik digolongkan dalam: a. sumberdaya genetik dari jenis yang dalam bahaya

kepunahan;

b. sumberdaya genetik dari jenis yang secara langsung mempunyai nilai komersial;

c. sumberdaya genetik dari jenis yang mendukung

budidaya pertanian.

Pasal 11 Huruf a jenis yang terancam punah sehingga unsur-unsur genetiknya perlu dilindungi untuk kepentingan pemulihan populasi jenis itu sendiri maupun untuk kepentingan lainnya, seperti budidaya; huruf b jenis yang secara langsung mempunyai nilai komersial sehingga keragaman genetiknya perlu dijaga agar tidak mengalami penurunan kerena masalah-masalah seperti kepunahan lokal; huruf c jenis untuk mendukung budidaya pertanian (peternakan, tanaman pangan dan hortikultura) harus dilakukan perlindungan genetik untuk menjaga keanekaragamannya sehingga peluang-peluang untuk menciptakan varitas unggul tetap tinggi.

Pasal 12

Penggolongan sumberdaya genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan berdasarkan kriteria nilai penting dari jenis yang merupakan sumber genetik pada masing-

Pasal 12 Kriteria Jenis yang terancam punah antara lain: a) jenis yang populasi di alamnya telah terancam

Page 60: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

59 masing golongan. punah dan dilindungi mutlak.

b) jenis-jenis yang endemik Kriteria Jenis yang mempunyai nilai komersial antara lain: a) jenis yang secara langsung dieksploitasi dan

atau jenis yang unsur-unsur genetiknya dimanfaatkan secara tradisional (asosiated traditional knowlegde)

b) jenis yang unsur-unsur genetiknya merupakan public domain (publicly accessable)

Kriteria jenis yang mendukung budidaya antara lain: a) jenis yang saat ini diketahui digunakan untuk

meningkatkan keunggulan mutu genetik tanaman pertanian pangan dan hortikultura atau hewan domestik dan budidaya

b) memiliki nilai strategis bagi kelangsungan hidup manusia, termasuk untuk pengembangan obat-obatan dan mendukung ketahanan pangan (virus flu burung, human patogen, genetik yang penting dibawah konvensi internasional)

Pasal 13

Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

Pasal 13

Pasal 14

(1) Dalam rangka mengefektifkan perlindungan sumber daya genetik dilakukan melalui penetapan jenis-jenis target

(2) Jenis target sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan rekomendasi dari lembaga “otoritas keilmuan”.

Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Lembaga otoritas keilmuan antara lain Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Pasal 15

Setiap orang dilarang: a. melakukan kegiatan yang mengakibatkan

kerusakan dan/atau hilangnya sumber daya genetik;

b. melakukan kegiatan yang mengakibatkan kemerosotan, kerusakan dan/atau hilangnya genetik yang hampir punah atau endemik;

c. mengambil sumberdaya genetik tanpa ijin; d. melakukan akses terhadap sumberdaya genetik

dengan tidak memenuhi syarat-syarat PIC (prior informed consent), dan atau MAT(mutual agreed terms).

e. membawa sumberdaya genetik keluar negeri tanpa adanya MTA (material transfer

Pasal 15 Cukup jelas

Page 61: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

60

agreement). f. melepaskan varitas hasil rekayasa genetik ke

habitat alam. g. mengawin-silangkan satwa Kategori I yang

berlainan jenis tanpa ijin Menteri.

Bagian Ketiga Perlindungan Jenis

Pasal 16

Perlindungan jenis dimaksudkan untuk: a. menjamin agar tidak ada jenis tumbuhan

maupun satwa liar yang mengalami kepunahan maupun terancam bahaya kepunahan;

b. menjaga keanekaragaman genetik dan kemurnian jenis; dan

c. memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem baik di masa sekarang maupun yang akan datang.

Pasal 16 Cukup jelas

Pasal 17

Perlindungan Jenis meliputi perlindungan jenis-jenis tumbuhan maupun satwa liar di darat maupun di perairan

Pasal 17 Penyelengaraan perlindungan dilakukan terhadap semua jenis satwa liar.

Pasal 18 Perlindungan jenis dilakukan melalui penetapan status perlindungan jenis berdasarkan tingkat keterancaman terhadap bahaya kepunahan

Pasal 18 Cukup jelas.

Pasal 19

Status perlindungan jenis berdasarkan tingkat keterancaman terhadap bahaya kepunahan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, terdiri dari: a. Jenis Kategori I b. Jenis Kategori II c. Jenis Kategori III

Pasal 19 Cukup jelas

Pasal 20 (1) Jenis Kategori I sebagaimana Pasal 19 huruf a

merupakan jenis yang dilindungi mutlak;

(2) Jenis Kategori II sebagaimana Pasal 19 huruf b merupakan Jenis yang dilindungi terbatas atau jenis yang pemanfaatannya dikendalikan atau dikontrol;

Pasal 20 Ayat (1) Jenis yang dilindungi mutlak merupakan jenis yang di habitat alamnya terancam bahaya kepunahan (endangered) yang pada dasarnya tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan komersial maupun kepentingan kesenangan perseorangan. Ayat (2) Jenis yang dilindungi terbatas merupakan jenis yang di habitat alamnya belum terancam bahaya kepunahan namun dapat menjadi terancam punah apabila pemanfaatannya tidak dikendalikan. Yang dimaksud dengan pemanfaatannya dikendalikan merupakan pengendalian melalui pengaturan pemanfaatan spesimen suatu jenis, mulai dari pengambilan dan atau penangkapan spesimen dari habitat alam sampai dengan perdagangan baik di dalam maupun luar negeri dan kepemilikan diatur secara ketat, diantaranya melalui penetapan kuota pengambilan atau penangkapan serta penerapan

Page 62: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

61 (3) Jenis Kategori III sebagaimana Pasal 19 huruf C

merupakan jenis yang pemanfaatannya wajib dipantau.

sistem perizinan. Cukup jelas Ayat (3) Yang termasuk jenis yang pemanfaatannya wajib dipantau yaitu jenis yang populasi di alam saat ini dalam keadaan melimpah, namun sesuai dengan prinsip pelestarian dan kehati-hatian, pemanfaatannya harus dipantau sehingga apabila dipandang pemanfaatannya telah melampaui kemampuan populasi untuk memperbaiki diri dapat dilakukan tindakan-tindakan untuk mencegah agar populasi di habitat alam tidak terus mengalami penurunan dan bahkan terancam bahaya kepunahan.

Pasal 21

(1) Jenis Kategori I atau Jenis yang dilindungi mutlak sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (1), merupakan: a. jenis yang populasi di habitat alamnya dalam

keadaan terancam bahaya kepunahan;

Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan jenis yang populasinya di habitat alamnya dalam keadaan terancam bahaya kepunahan adalah jenis tumbuhan dan satwa liar tertentu yang karena faktor-faktor alami seperti keadaan biologis, ekologis dan geografis dari jenis tersebut maupun faktor-faktor yang disebabkan oleh tindakan manusia seperti kerusakan habitat dan pengambilan atau penangkapan yang tidak terkendali telah mengalami keadaan dimana keberlangsungan hidup populasi secara keseluruhan terancam dan dapat punah dalam waktu dekat apabila tidak ada tindakan pengawetan. Jenis yang populasi di habitat alamnya dalam keadaan terancam bahaya kepunahan meliputi jenis-jenis yang populasi di habitat alamnya kecil atau langka dan atau penyebaran populasinya sangat terbatas. Yang dimaksud dengan jenis yang populasi di habitat alamnya kecil atau langka dicirikan oleh paling tidak salah satu dari hal-hal berikut: (i) diketahui atau diduga terjadi penurunan

secara tajam pada jumlah individu di alam serta penurunan luas dan kualitas habitat;

(ii) jumlah sub populasi kecil; (iii) mayoritas individu dalam satu atau lebih

fase sejarah hidupnya pernah terkonsentrasi hanya pada satu atau sedikit sub populasi saja;

(iv) dalam waktu yang pendek pernah mengalami fluktuasi yang tajam pada jumlah individu;

(v) karena sifat biologis dan perilaku jenis tersebut, seperti migrasi, jenis tersebut rentan terhadap bahaya kepunahan;

(vi) analisis kuantitatif memperlihatkan kemungkinan atau peluang terjadinya kepunahan adalah 20 (dua puluh) persen sampai dengan 50 (lima puluh) persen dalam waktu 10 (sepuluh) sampai 20 (dua

Page 63: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

62

b. Jenis yang secara internasional perlindungannya

diatur secara ketat;

(2) Jenis Kategori II atau jenis yang dilindungi terbatas sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (2) merupakan: a. Jenis yang populasinya di alam saat ini belum

terancam bahaya kepunahan namun tekanan untuk pemanfaatan terhadap populasinya tinggi sehingga perlu pengendalian;

b. Jenis lain yang populasinya di alam saat ini masih melimpah namun pemanfaatannya harus dikendalikan agar kegiatan pengendalian

puluh) tahun atau dalam 3 (tiga) sampai 5 (lima) generasi yang akan datang.

Yang dimaksud dengan penyebaran populasinya sangat terbatas atau endemik dicirikan dengan paling sedikit salah satu dari hal-hal berikut yaitu: (i) hanya terdapat di satu atau beberapa lokasi

atau pulau; (ii) populasi terpisah-pisah atau terfragmentasi; (iii) terjadi fluktuasi yang besar pada jumlah

populasi atau luas areal penyebarannya; (iv) adanya dugaan penurunan yang tajam pada

areal penyebarannya, jumlah sub populasi, jumlah individu, luas dan kualitas habitat atau potensi reproduksi.

huruf b Jenis yang secara internasional perlindungannya diatur secara ketat antara lain meliputi jenis-jenis yang termasuk dalam Appendix I Konvensi Internasional yang saat ini dikenal dengan Convention on International Trade in Endangered Jenis of Wild Fauna and Flora (CITES) dan atau Konvensi lain mengenai jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar, baik yang penyebaran aslinya di dalam maupun di luar Indonesia. Jenis-jenis ini perlu diatur dalam perundang-undangan nasional karena sebagai anggota Konvensi, Indonesia wajib mematuhi ketentuan Konvensi dan mengakomodasikannya dalam peraturan perundang-undangan nasional, termasuk di dalamnya jenis yang penyebaran alaminya bukan di Indonesia. Jenis-jenis yang ditetapkan dalam Konferensi Para Pihak dari Konvensi masuk ke dalam Appendix I secara otomatis termasuk ke dalam jenis yang dilindungi mutlak, kecuali apabila Pemerintah menyatakan reservasi, sebagaimana diatur dalam Konvensi. Ayat (2) huruf a. Jenis tumbuhan dan satwa liar yang pemanfaatannya dikendalikan merupakan jenis yang walaupun populasi di habitat alamnya saat ini tidak dalam keadaan terancam bahaya kepunahan, namun dapat menjadi terancam bahaya kepunahan apabila tidak dilakukan pengendalian terhadap faktor yang menekan populasinya. Faktor yang merupakan tekanan terhadap populasi tersebut diantaranya adalah kerusakan habitat dan pemanfaatan terutama dalam bentuk perdagangan. huruf b. Yang termasuk dalam jenis-jenis yang populasinya di alam saat ini masih melimpah namun pemanfaatannya harus dikendalikan agar pengendalian jenis pada huruf a dapat terjamin diantaranya adalah jenis-jenis yang mirip dengan jenis yang dimaksud pada Ayat (2) huruf a sehingga secara visual sulit dibedakan/diidentifikasi (look alike) atau karena

Page 64: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

63

c. Jenis yang secara internasional perlindungannya

diatur secara terbatas dan perdagangannya dikendalikan;

(3) Jenis Kategori III atau jenis yang pemanfaatannya wajib dipantau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c merupakan jenis yang populasi di alamnya saat ini dalam keadaan melimpah, namun pemanfaatannya harus dipantau.

alasan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam pemanfaatan jenis ini maka tingkat pengendaliannya harus seperti jenis-jenis pada Ayat (2) huruf a, sehingga pelaksanaan pengendalian pemanfaatan jenis-jenis pada Ayat (2) huruf a dapat dijamin keefektifannya. huruf c Jenis yang secara internasional perlindungannya diatur secara terbatas dan perdagangannya dikendalikan merupakan jenis yang termasuk termasuk dalam Appendix II Konvensi Internasional yang saat ini dikenal dengan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), baik yang penyebaran aslinya di dalam maupun di luar Indonesia, yang perdagangan internasionalnya dikendalikan agar populasi di alam terhindar dari bahaya kepunahan. Jenis-jenis ini juga wajib diatur dalam perundang-undangan nasional karena sebagai anggota CITES, Indonesia wajib menjatuhkan hukuman atau sanksi terhadap pelanggaran aturan CITES yang melibatkan jenis-jenis yang termasuk di dalam daftar CITES termasuk jenis-jenis yang penyebaran alaminya bukan di Indonesia. Jenis-jenis yang diadopsi di dalam Konferensi Para Pihak dari Konvensi masuk ke dalam Appendix II maka secara otomatis termasuk ke dalam jenis yang dilindungi terbatas yang perdagangannya dikendalikan dengan ketat, kecuali apabila Pemerintah menyatakan reservasi, sebagaimana diatur dalam Konvensi. Ayat (3) Pemanfaatan jenis-jenis ini wajib dipantau agar diketahui bahwa pemanfaatannya tidak melebihi kemampuan populasi untuk memperbaharui diri, diantaranya melalui sistem pencatatan dan pendataan yang teratur sehingga diperoleh informasi yang memadai untuk penetapan kebijakan apabila perdagangannya dianggap dapat mengancam keadaan populasinya di habitat alam.

Pasal 22

A. Transisi Perubahan Status perlindungan jenis dapat dlakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Jenis Kategori II dan Jenis Kategori III ke kategori I :

1) Di dalam negeri atau di luar negeri(LOCUS); 2) Terhadap bagiannya yang masih jelas dibuat

pengaturan; 3) Terhadap bagian yang telah menjadi unsure dari

produk turunan, tidak menjadi bagian dari pengaturan;

4) Ada tenggang waktu untuk melakukan penyesuaian.

b. Dari Jenis Kategori I ke Jenis Kategori II atau Jenis Kategori III: 1) Tidak perlu transisi;

Pasal 22 Transisi adalah masa berlakunya perubahan status yaitu 90 hari setelah tanggal ditetapkannya suatu jenis ke dalam kategori tertentu

Page 65: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

64

2) Melaporkan jenis yang dikuasai/dimiliki telah mengalami perubahan kategori kepada otoritas manajemen.

B. Transisi perubahan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 23

Bagi jenis tumbuhan Kategori II pada saat penetapan ke dalam Kategori II, wajib menyertakan anotasi bagian-bagian spesimen tumbuhan yang dikendalikan pemanfaatannya.

Pasal 23 Yang dimaksud dengan anotasi adalah ketentuan yang memasukan atau mengecualikan bagian-bagian atau turunan tertentu dari spesies tumbuhan di dalam pencatuman jenis tumbuhan ke dalam kategorisasi perlindungan jenis tumbuhan.

Pasal 24 Anotasi bagian-bagian spesimen tumbuhan yang dikendalikan pemanfaatannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 terdidri dari: a. Anotasi 1, yaitu seluruh bagian dan turunan tumbuhan

kecuali: 1) biji, spora, benang sari; 2) anakan atau kultur jaringan yang dihasilkan secara in

vitro, di dalam media padat maupun cair yang dibawa di dalam wadah yang suci hama (steril);

3) bunga potong dari tumbuhan yang diperbanyak secara buatan; dan

4) buah dan bagian-bagian serta turunan-turunannya yang berasal dari tumbuhan yang diperbanyak secara buatan dari genus Vanilla.

B. Anotasi 2, yaitu seluruh bagian dan turunan tumbuhan,

kecuali: 1) biji dan benang sari; 2) barang jadi yang dikemas sedemikian rupa dan siap

untuk diperdagangkan secara eceran.

c. Anotasi 3 yaitu seluruh atau sebagian dari akar atau umbi, kecuali bagian-bagian yang telah diolah atau turunan-turunannya seperti bubuk, pil, ekstrak, obat cair.

d. Anotasi 4, yaitu seluruh bagian dan turunan-turunannya,

kecuali 1) biji (termasuk biji Orchidaceae), spora dan benang

sari. Kekecualian ini tidak berlaku bagi biji dari famili Cactaceae yang diekspor dari Mexico dan bagi biji dari Beccariophoenix madagascariensis dan Neodypsis decaryi yang diekspor dari Madagascar;

2) anakan atau kultur jaringan yang dihasilkan secara in vitro, di dalam media padat maupun cair yang dibawa di dalam wadah yang suci hama (steril);

3) bunga potong dari tumbuhan yang diperbanyak secara buatan;

4) buah dan bagian-bagian serta turunan-turunannya yang berasal dari tumbuhan yang diperbanyak secara buatan dari genus Vanilla (Orchidaceae) dan dari famili Cactaceae;

Pasal 24 Cukup jelas

Page 66: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

65

5) batang, bunga, dan bagian-bagianya serta turunan darinya, baik secara alami maupun buatan dari jenis genera Opuntia subgenus Opuntia dan Selenicereus (Cactaceae); dan

6) produk akhir dari jenis Euphorbia antisyphilitica yang dikemas dan siap untuk dipasarkan secara eceran (retail).

e. Anotasi 5, yaitu Kayu bulat, gergajian atau lembaran vinir f. Anotasi 6, yaitu bagian tumbuhan yang berada di dalam

tanah, seperti akar, rizoma, umbi, baik utuh, bagian maupun dalam bentuk tepung

Pasal 25

Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 24 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

Pasal 25 Cukup jelas

Pasal 26

Terhadap spesimen tumbuhan dari jenis Kategori I, setiap orang dilarang: a. melakukan kegiatan yang mengakibatkan kemerosotan,

kerusakan dan/atau hilangnya sumber daya jenis; b. Mengambil, menebang, memindahhkan, merusak, atau

memusnahkan spesimen hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunanya yang berasal dari tanah negara;

c. Mengangkut, membawa. spesimen hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunanya;

d. Menjual atau membeli, memperdagangkan: spesimen hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunanya;

e. Menghadiahkan atau menerima hadiah, dan atau menukar atau menerima tukaran, menerima titipan spesimen hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunannya;

f. Mengeluarkan spesimen tumbuhan ke luar negeri (ekspor) dan atau memasukkan spesimen tumbuhan dari luar negeri (impor) ke wilayah Republik Indonesia.

Pasal 26 Cukup jelas

Pasal 27

Terhadap spesimen satwa dari jenis Kategori I, setiap orang dilarang : a. Mengambil, menangkap, melukai, membunuh, memiliki,

menguasai, memelihara, memasang jerat, memburu, atau memusnahkan spesimen satwa yang dilindungi mutlak hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunanya

b. Mengangkut, membawa, memindahkan spesimen satwa yang dilindungi mutlak hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunanya

c. Menjual atau membeli, memperdagangkan. spesimen hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunanya

d. Menghadiahkan atau menerima hadiah, dan atau menukar atau menerima tukar, menerima titipan. spesimen satwa hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunanya

e. Mengeluarkan dari dan atau memasukkan ke wilayah Republik Indonesia spesimen satwa hidup maupun mati,

Pasal 27 Cukup jelas

Page 67: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

66

bagian-bagiannya atau turunannya f. Melakukan tindakan yang dapat merusak sebagian atau

seluruh habitat, mengganggu pola makan, pola berkembang biak, serta pola jelajah.

g. Termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f adalah pemegang ijin penggunaan kawasan hutan, ijin pemanfaatan kawasan; dan atau ijin pemenfaatan hasil hutan dengan tujuan membuka lahan (konversi) sebagian atau seluruh habitat menjadi lahan bentuk lain.

h. Pemegang ijin sebagaimana dimaksud pada huruf g dilarang melakukan pembukaan lahan yang mengikabatkan terisolasinya populasi atau sub populasi satwa dilindungi mutlak

Pasal 28 (1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah

Kabupaten/Kota dilarang memberikan ijin penggunaan atau pemanfaatan kawasan yang mengakibatkan pembukaan lahan (konversi) habitat satwa Kategori I.

(2) Kemungkinan dampak dan atau ancaman sebagaimana akibat pembukaan lahan (konversi) habitat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf h wajib diacu pada pelaksanaan analisis mengenai dampak lingkungan

Pasal 29

Terhadap tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi terbatas (Kategori II) yang pemanfaatannya dikendalikan setiap orang tanpa izin dilarang untuk : a. Mengambil, menebang, memiliki, menguasai, menerima

titipan, memusnahkan, memelihara, mengangkut, menjual atau membeli, memperdagangkan, menghadiahkan atau menerima hadiah, dan atau menukar atau menerima tukaran spesimen hidup tumbuhan.

b. Menangkap, mengambil, melukai, membunuh, memiliki, menguasai, memelihara, mengangkut, menjual, membeli, memperdagangkan, menghadiahkan, menerima hadiah, dan atau menukar atau menerima tukaran spesimen hidup satwa liar.

c. Mengeluarkan dari wilayah Indonesia ke luar negeri (ekspor) atau memasukkan dari luar negeri ke wilayah Indonesia (impor) spesimen tumbuhan dan atau satwa liar.

d. Menyimpan, memiliki, menguasai, mengangkut, menjual, membeli, memperdagangkan, menghadiahkan, menerima hadiah, dan atau menukar atau menerima tukaran spesimen mati tumbuhan dan atau satwa liar.

Pasal 29 Cukup jelas

Pasal 30

Setiap orang dilarang untuk memperdagangkan atau mengeluarkan spesimen tumbuhan dan atau satwa liar ke luar negeri (ekspor) dan memasukkan ke dalam wilayah Indonesia (impor); tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi terbatas yang pemanfaatannya dipantau (Kategori III), tanpa izin.

Pasal 30 Cukup jelas

Page 68: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

67

Pasal 31 Pengecualian dari larangan a. kategori I sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 dan

Pasal 27 hanya dapat dilakukan dengan ijin Menteri untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, penyelamatan jenis populasi atau individu suatu jenis tumbuhan dan satwa liar, peminjaman dalam rangka penyelamatan atau pemulihan populasi satwa liar di dalam atau ke luar negeri, pemusnahan untuk menghindari bahaya yang lebih besar terhadap lingkungan maupun manusia, dan atau pemasukan tumbuhan dan satwa liar dari luar negeri yang aslinya berasal dari Indonesia untuk kepentingan reintroduksi.

b. menangkap, melukai dan membunuh satwa liar Kategori I sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa liar Kategori I tersebut membahayakan kehidupan manusia dan kehidupan populasi satwa liar, atau bagi satwa liar yang dikelola sebagai satwa buru untuk kepentingan olah raga berburu.

c. menangkap, melukai dan membunuh satwa liar Kategori I

sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 dapat pula dilakukan dalam rangka pembinaan populasi di dalam kawasan konservasi tertentu yang dikelola sebagai satwa buru untuk kepentingan olah raga berburu

d. KategoriI I dapat dilakukan bagi spesimen yang telah

dibuktikan merupakan hasil pengembangbiakan satwa liar dan atau spesimen hasil perbanyakan tumbuhan di dalam kondisi atau lingkungan yang terkontrol

e. memiliki, memelihara dan menguasai dapat dilakukan

bagi spesimen yang dapat dibuktikan diperoleh secara sah sebelum (pra-perlindungan) jenis bersangkutan dinyatakan sebagai jenis Kategori I (yang dilindungi mutlak)

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

(1) Spesimen dari jenis Kategori I yang dapat dibuktikan merupakan hasil pengembangbiakan satwa liar dan atau spesimen hasil perbanyakan tumbuhan di dalam kondisi atau lingkungan yang terkontrol, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf d, secara otomatis masuk ke dalam spesimen dari jenis Kategori II.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangbiakan satwa dan perbanyakan tumbuhan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 32 Cukup jelas

Pasal 33

(1) Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 tidak berlaku bagi beberapa jenis yang prestisius untuk dikomersialkan keluar negeri kecuali hanya dengan peminjaman atau dengan izin presiden.

Pas 33 Ayat (1) Karena nilainya yang tinggi dari segi konservasi, jenis-jenis dilindungi mutlak yang sangat prestisius bagi bangsa Indonesia tidak dapat dikomersialkan ke luar negeri walaupun merupakan hasil pengembangbiakan di dalam lingkungan atau

Page 69: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

68

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

kondisi terkontrol, kecuali hanya untuk dipinjamkan bagian kegiatan konservasi atau hanya izin Presiden. Jenis-jenis tersebut diantaranya adalah jenis yang sangat endemik, sulit berkembang biak baik di habitat alamnya maupun di luar habitat alamnya dan jenis yang mengundang emosi dan simpati yang mendalam dari manusia apabila sampai mengalami kepunahan. Jenis tersebut diantaranya adalah orang utan, harimau, badak, gajah, komodo. Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 34

Terhadap spesimen tumbuhan dan satwa liar yang telah dan sedang dimanfaatkan sebelum ditetapkannya jenis itu didalam status perlindungan perlu diatur mekanismenya dalam aturan peralihan (spesimen pra perlindungan).

Pasal 34 Yang dimaksud dengan spesimen tumbuhan atau satwa liar diperoleh secara sah sebelum jenis tersebut dinyatakan sebagai jenis yang dilindungi mutlak ditunjukkan dengan adanya dokumen-dokumen yang sah mendukung kepemilikan dan penguasaan spesimen, serta ditunjang dengan bukti-bukti kesesuaian antara dokumen dengan fisik dari spesimen yang bersangkutan, seperti jenis kelamin, perkiraan umur dan ukuran tubuh

Bagian Keempat Perlindungan Ekosistem

Paragraf 1 Penetapan Kawasan Konservasi

Pasal 35

(1) Perlindungan ekosistem dilakukan melalui penetapan keterwakilan ekosistem-ekosistem di dalam kawasan konservasi yang dikelola dalam suatu sistem jaringan kawasan konservasi

(2) Perlindungan ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasar analisis keterwakilan ekologis yang menunjukkan perlunya suatu ekosistem dilindungi didalam sistem kawasan konservasi.

Pasal 35 Ayat (1) Sistem Jaringan kawasan konservasi adalah koordinasi pengelolaan kawasan-kawasan konservasi, kawasan ekosistem esensial, yang dipadukan dengan pengembangan daerah penyangga, dan daerah pengembangan pembangunan (transisi) dalam konsep pengelolaan Cagar Biosfer. Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 36

(1) Penetapan kawasan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan oleh Menteri.

(2) Panetapan kawasan konservasi sebagaimana dimaksud

pada Ayat (1) dilakukan dengan : a. memperhatikan rekomendasi dari pemerintah daerah

; b. Analisis keterwakilan ekologis sebagaimana

dimaksud pada Pasal 35 ayat (2). c. melalui proses konsultasi publik.

Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Proses konsultasi publik. dimaksudkan untuk mendapat pertimbangan dan menampung aspirasi dari masyarakat, lembaga swadaya masyarakat atau lembaga ilmiah, termasuk perguruan tinggi

Page 70: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

69

Pasal 37 (1) Berdasarkan tujuan pengelolaan, kawasan konservasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, tediri dari : a. Kawasan konservasi yang dilindungi secara mutlak b. Kawasan konservasi yang dilindungi secara terbatas

(2) Kawasan Konservasi yang dilindungi secara mutlak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kawasan konservasi dimana tidak ada pemanfaatan yang bersifat ekstraktif;

(3) Kawasan konservasi yang dilindungi secara terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kawasan konservasi dimana pemanfaatan ekstraktif masih dimungkinkan dengan pengendalian yang ketat.

Pasal 37 Cukup jelas

Pasal 38

(1) Kawasan konservasi yang dilindungi secara mutlak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, terdiri dari: a. Cagar Alam b. Taman Nasional c. Suaka Margasatwa d. Taman Buru e. Taman Wisata Alam

(2) Kawasan konservasi yang dilindungi secara terbatas sebagaimana dimaksud Pasal 37 ayat (1) huruf b, terdiri dari : a. Taman Hutan Raya b. Kawasan perlindungan dan pemanfaatan terpadu.

Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Kawasan perlindungan dan pemanfaatan terpadu dapat berupa : koridor, pergerakan satwa, buffer zone, ekosistem penghubung antar habitat dan atau kawasan konservasi, hutan produksi restorasi, HCVF/kawasan ekosistem esensial.

Pasal 39 Berdasarkan Kategori, kawasan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35terdiri dari: a. Kawasan konservasi Ketegori I

b. Kawasan konservasi Ketegori II

Pasal 39 huruf a Kawasan konservasi Kategori I merupakan suatu wilayah daratan dan atau perairan yang dilindungi karena memiliki keistimewaan atau merupakan perwakilan ekosistem, kondisi geologis atau fisiologis, dan atau jenis tertentu, yang penting bagi ilmu pengetahuan atau pemantauan lingkungan. Atau suatu wilayah daratan atau perairan yang masih liar atau hanya sedikit diubah, yang masih memiliki atau mempertahankan karakter dan pengaruh alaminya, tanpa adanya hunian yang permanen atau signifikan; dilindungi dan dikelola untuk mempertahankan kondisi alaminya. huruf b Kawasan konservasi Kategori II merupakan Wilayah daratan dan atau perairan yang masih alami, yang ditunjuk untuk (i) melindungi integritas ekologis dari satu atau beberapa ekosistem di dalamnya, untuk kepentingan sekarang dan generasi mendatang; (ii) menghindarkan/meniadakan kegiatan-kegiatan eksploitasi atau okupasi yang bertentangan dengan tujuan-tujuan pelestarian kawasan; (iii) menyediakan landasan bagi kepentingan-

Page 71: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

70

c. Kawasan konservasi Ketegori III

d. Kawasan konservasi Ketegori IV

e. Kawasan konservasi Ketegori V

f. Kawasan konservasi Ketegori VI

kepentingan spiritual, ilmiah, pendidikan, wisata dan lain-lain, yang semuanya harus selaras dan seimbang dari segi lingkungan dan budaya. huruf c Kawasan konservasi Kategori III adalah suatu wilayah yang memiliki satu atau lebih, kekhasan atau keistimewaan alam atau budaya yang merupakan nilai yang unik atau luar biasa; yang disebabkan oleh sifat kelangkaan, keterwakilan, atau kualitas estetika atau nilai penting budaya yang dipunyainya. huruf d Kawasan konservasi Kategori IV merupakan suatu wilayah daratan atau perairan yang diintervensi atau dikelola secara aktif untuk memelihara fungsi-fungsi habitat atau untuk memenuhi kebutuhan jenis (spesies) satwa tertentu agar mencapai populasi yang seimbang dengan habitatnya. Suaka Margasatwa dikelola dengan tujuan melindungi spesies satwa tertentu yang telah terancam punah, terutama spesies Kategori I (dilindungi mutlak). Dalam keadaan populasi satwa di dalam Suaka Margasatwa telah melebihi daya dukung kawasan, maka perburuan dapat dilakukan. Serupa dengan Suaka Margasatwa,. Taman Buru dikelola untuk meningkatkan populasi satwa, namun tujuan utamanya adalah untuk olah raga berburu dalam suatu kegiatan perburuan terkendali. Huruf e Kawasan konservasi Kategori V merupakan kawasan hutan yang sebagian besar berupa hutan alam dan tanaman yang dikelola untuk tujuan melindungi keanekaragaman hayati beserta hubungan timbal balik dengan masyarakat, wisata alam, olah raga alam dan perlindungan jenis-jenis tumbuhan atau satwa tertentu di tingkat daerah, atau merupakansuatu wilayah daratan dan atau perairan dengan kawasan pesisir di dalamnya, di mana interaksi masyarakat dengan lingkungan alaminya selama bertahun-tahun telah membentuk wilayah dengan karakter yang khas, yang memiliki nilai-nilai estetika, ekologis, atau budaya yang signifikan, kerap dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Menjaga integritas hubungan timbal-balik tradisional ini menjadi penting bagi perlindungan, pemeliharaan, dan evolusi wilayah termaksud. Huruf f Kawasan konservasi Kategori VI merupakan suatu wilayah daratan atau perairan untuk perlindungan ekosistem dan habitat, bersama dengan nilai-nilai budaya terkait dan sistem pengelolaan sumber daya alam tradisional. Pengelolaan kawasan kategori VI bertujuan untuk mengintegrasikan kegiatan produksi yang sejalan dengan konservasi sumberdaya alam. Kawasan ini umumnya cukup besar, dengan sebagian besar daerah tersebut dalam kondisi alami, di mana ada proporsi yang relatif kecil dari wilayah yang digunakan untuk produksi dan industri yang menggunakan

Page 72: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

71

sumberdaya alam rendah, Pasal 40

(1) Kawasan konservasi yang dilindungi secara mutlak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 367 ayat (1) huruf a, menurut kategori dan tujuan pengelolaan diatur sebagai berikut: a. Kawasan konservasi Kategori I berupa Cagar Alam b. Kawasan konservasi Kategori II berupa Taman

Nasional c. Kawasan konservasi Kategori III berupa Suaka

Margasatwa dan Taman Buru d. Kawasan konservasi Kategori IV berupa Taman

Wisata Alam

(2) Kawasan konservasi yang dilindungi secara terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, menurut kategori dan tujuan pengelolaan diatur sebagai berikut : a. Kawasan konservasi Kategori V beupa Taman

Hutan Raya; b. Kawasan konservasi Kategori VI berupa kawasan

perlindungan dan pemanfaatan terpadu.

Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b kawasan perlindungan dan pemanfaatan ekosistem terpadu dapat berupa: koridor pergerakan satwa, zona penyangga kawasan konservasi (buffer zone), ekosistem penghubung antar habitat dan atau antar kawasan konservasi, hutan produksi restorasi, kawasan dengan nilai konservasi tinggi/kawasan ekosistem esensial.

pasal 41

Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

Pasal 41 Cukup jelas

Pasal 42

(1) Perubahan dari satu Kategori ke Kategori lainnya dapat dilakukan apabila kriteria tujuan pengelolaannya sudah tidak dapat dipenuhi (downgraded) atau apabila persyaratannya dipenuhi (upgraded).

(2) Perubahan kawasan konservasi menjadi bukan kawasan konservasi hanya dapat dilakukan untuk kepentingan strategis berdasarkan hasil penelitian terpadu.

(3) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR.

(4) Ketentuan perubahan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Kepentingan strategis adalah kepentingan-kepentingan yang berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat luas. antara lain pendidikan, pertahanan, pembangunan pemukiman suku asli, pengembangan wilayah pemerintahan. Ayat (2) Cukup jelas Peraturan Pemeintah antara lain memat : a. Kriteria tujuan pengelolaan; b.penentuan dampak terhadap ekosistem; tata air,

dan dampak social ekonomi bagi kehidupan saat itu dan yang akan dating;

c. pihak-pihak yang melaksanankan penelitian; dan d. tata-cara perubahan.

Paragraf 2 Kawasan dilindungi masyarakat

Pasal 43

(1) Masyarakat dapat mengusulkan suatu wilayah tertentu

Pasal 43 Ayat (1)

Page 73: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

72

milik masyarakat untuk ditetapkan sebagai ekosistem esensial yang dilindungi atau kawasan dilindungi masyarakat (Community Conserved Area/CCA).

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

Ekosistem esensial yang diusulkan untuk dilindungi adalah ekosistem yang memiliki nilai keragaman hayati tinggi atau keunikan/gejala alam yang belum masuk atau ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Kawasan dilindungi masyarakat (Community Conserved Area/CCA) merupakan Ekosistem esensial yang berada di lahan milik masyarakat baik individu maupun komunal dan telah dikelola/dilindungi oleh masyarakat dengan prinsip-prinsip kelestarian. Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 44

(1) Pemerintah atau pemerintah daerah memberikan pengakuan terhadap sistem perlindungan ekosistem esensial di wilayah hutan adat yang dikelola oleh masyarakat hukum adat.

(2) Hutan adat yang telah ditunjuk/ditetapkan oleh pemerintah sebagai CCA dan berada di wilayah hutan negara dilindungi dari rencana perubahan-perubahan ruang yang tidak sesuai dengan penetapannya sebagai CCA

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

Pasal 44 Ayat (1) Pengakuan terhadap kawasan dilindungi masyarakat bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap inisiatif adat, lokal maupun tradisional terhadap kawasan yang dari sisi konservasi keanekaragaman hayati mempunyai nilai yang tinggi sehingga tidak semena-semena dapat diubah menjadi kawasan dengan peruntukan lain.

Paragraf 3 Zona Penyangga

Pasal 45 A. Dalam rangka melindungi kawasan konservasi diluar

setiap kawasan konservasi yang dilindungi mutlak wajib ditetapkan daerah atau zona penyangga;

B. Zona penyangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. zona penyangga biofisik yang berupa kawasan hutan

atau ekosistem lain, atau b. zona penyangga sosial ekonomi yang berupa

masyarakat yang ditingkatkan taraf hidupnya sehingga memberikan dampak positif bagi perlindungan kawasan konservasi;

C. Zona penyangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola secara terintegrasi dengan pengelolaan kawasan konservasi.

Pasal 45 Cukup jelas

Pasal 46

(1) Zona penyangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, ditetapkan oleh Gubernur.

(2) Bersama dengan areal-areal lain yang memenuhi kriteria kawasan konservasi kategori VI, zona penyangga dapat ditetapkan menjadi kawasan konservasi kategori VI

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) diataur dengan dan atau berdasarkan Pereturan Menteri.

Pasal 46 Cukup jelas

Page 74: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

73

Pasal 47

(1) Di dalam zona penyangga dalam jarak minimal 500 meter dari batas kawasan konservasi dilarang melakukan kegiatan penambangan, pembalakan bagi zona penyangga yang berupa hutan produksi, pendirian dan pengoperasian industri yang berdampak negatif secara langsung terhadap kawasan konservasi;

(2) Pemerintah Provinsi dan atau Pemerintah kabupaten/Kota beserta unit pengelola kawasan konservasi wajib melakukan pembinaan terhadap pengelolaan zona penyangga sesuai dengan Rencana Pengelolaan kawasan konservasi;

(3) Dikecualikan dari larangan melakukan kegiatan penambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber panas bumi.

Pasal 47 Cukup jelas

Pasal 48

(1) Desa-desa yang berada di sekitar kawasan konservasi ditetapkan sebagai desa zona penyangga

(2) Pemerintah, pemerintah provinsi dan atau pemerintah kabupaten/kota wajib melakukan pembinaan sosial ekonomi masayarakat di desa zona penyangga

Pasal 48 Cukup jelas

Paragraf 4 Larangan

Pasal 49 Di dalam Kawasan Konservasi Kategori I dan Kategori III, setiap orang dilarang: a. Mengambil atau memindahkan benda apapun baik hidup

maupun mati yang secara alami berada di dalam kawasan.

b. Menangkap, membunuh, melukai, mencederai, dan atau menganggu satwa liar dengan cara dan alat apapun, dan atau merusak sarang-sarang satwa liar, dengan atau tidak membawanya ke luar kawasan.

c. Menebang pohon atau tumbuhan, dengan atau tidak membawanya ke luar kawasan.

d. Memasukkan jenis-jenis tumbuhan dan atau satwa liar yang bukan merupakan jenis yang secara alami hidup atau pernah hidup di dalam kawasan.

e. Mengubah bentang alam, bentuk lahan atau kontur lahan yang dapat berakibat kerusakan dan/atau hilangnya fungsi ekosistem.

f. Melakukan kegiatan baik di luar maupun di dalam kawasan yang menimbulkan pencemaran di dalam kawasan.

g. Melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan atau perubahan pada unsur-unsur non-hayati.

h. Menduduki, mengerjakan, menggunakan, menjual, membeli lahan kawasan.

i. Memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan.

Pasal 49 Cukup jelas

Pasal 50

Pasal 50

Page 75: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

74 Di dalam Kawasan Konservasi KategoriI II (Taman Nasional) dan Kategori IV (Taman Wisata Alam), setiap orang dilarang: a. Mengambil dan atau memindahkan benda apapun baik

hidup maupun mati yang secara alami berada di dalam kawasan.

b. Menangkap, membunuh, melukai, mencederai, dan atau menganggu satwa liar dengan cara apapun, dan atau merusak sarang-sarang satwa liar, dengan atau tidak membawanya ke luar kawasan.

c. Menebang pohon atau tumbuhan, dengan atau tidak membawanya ke luar kawasan.

d. Memasukkan jenis-jenis tumbuhan dan atau satwa liar yang bukan asli.

e. Mengubah kontur, bentang atau bentuk lahan. f. Melakukan kegiatan baik di luar maupun di dalam

kawasan yang menimbulkan pencemaran di dalam kawasan.

g. Melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan atau perubahan pada unsur-unsur non-hayati.

h. Menduduki, mengerjakan, menggunakan, menjual, membeli lahan kawasan.

i. Memotong, memindahkan, merusak dan atau menghilangkan tanda batas kawasan.

Cukup jelas

Pasal 51

Seseorang dianggap dan atau patut diduga melakukan tindakan atau kegiatan permulaan kegiatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 50, diantaranya: a. Memasuki kawasan tanpa izin yang sah. b. Membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil,

menangkap, berburu, menebang, merusak, memusnahkan dan mengangkut tumbuhan, satwa liar dan atau benda-benda lainnya dari dan atau ke dalam kawasan.

Pasal 51 Cukup jelas

Pasal 52

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51, tidak termasuk: a. Kegiatan pembinaan habitat, pembinaan populasi,

dan penyelamatan populasi di zona-zona selain zona inti Taman Nasional.(dalam hal Badak, pembinaan habitat masih dapat dilakukan di Zona Inti sepanjang secara ilmiah hal tersebut harus dilakukan).

b. Pengambilan spesimen untuk kepentingan penelitian dan pengembangan budidaya.

c. Kegiatan dalam rangka penyediaan sarana pengelolaan kawasan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan habitat, pengambilan spesimen dan penyediaan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 52 Cukup jelas

Pasal 53

(1) Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 50 berlaku bagi masyarakat

Pasal 53 Cukup jelas

Page 76: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

75

hukum adat, masyarakat lokal yang secara nyata kehidupannya bergantung hanya pada sumberdaya alam.

(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

BAB III

PENGAWETAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

Bagian Kesatu Umum

Pasal 54

Pengawetan keanekaragaman hayati dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan atau masyarakat.

Pasal 54 Cukup jelas

Pasal 55

Pengawetan keanekaragaman hayati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, meliputi: a. pengawetan genetik. b. pengawetan jenis. c. pengawetan ekosistem.

Pasal 55 Cukup jelas

Bagian Kedua Pengawetan Genetik

Pasal 56 Pengawetan genetik sebagaimana dimaksud dalam pasal 55, dilakukan terhadap jenis-jenis liar sesuai dengan jenis target.

Pasal 56 Cukup jelas

Pasal 57 Pengawetan genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dilaksanakan melalui pengelolaan genetik bagi jenis-jenis target terancam punah, bernilai komersial dan pendukung budidaya;

Pasal 57 Cukup jelas

Pasal 58

Pengelolaan genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 meliputi satu atau kombinasi dari dua atau lebih kegiatan-kegiatan berikut: a. Inventarisasi jenis-jenis target dan pengembangan basis

data genetik jenis-jenis taget; b. Pengelolaan genetik jenis-jenis target di dalam habitat

aslinya (in situ); c. Pengelolaan genetik jenis-jenis target di luar habitat

aslinya (ex situ); d. Pengendalian pemanfaatan dan akses terhadap

sumberdaya genetik baik bagi jenis-jenis target maupun jenis yang belum diketahui manfaat genetiknya.

Pasal 58 Cukup jelas

Pasal 59

(1) Inventarisasi jenis-jenis target sebagaimana dimaksud pada Pasal 58 huruf a dilakukan untuk mengetahui sebaran geografis, tingkat populasi dan keanekaragaman genetik jenis bersangkutan;

(2) Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri, organisasi non-pemerintah, perguruan tinggi atau lembaga riset.

(3) Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan organisasi non pemerintah adalah organisasi kemasyarakat yang bergerak dibidang keanekaragaman hayati Ayat (3) Cukup jelas

Page 77: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

76

dikoordinasikan oleh Otoritas Ilmiah; (4) Dalam rangka pengawetan sumberdaya genetik,

inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didukung dengan riset ilmiah;

(5) Menteri dan atau Otoritas Ilmiah bertanggung jawab mengembangkan basis data hasil-hasil inventarisasi dan riset.

Pasal 60

(1) Pengelolaan genetik jenis-jenis target di dalam habitat aslinya (secara in situ) sebagaimana dimaksud pada Pasal 58 huruf b ditujukan untuk melindungi keanekaragaman genetik di dalam habitat aslinya

(2) Pengelolaan genetik secara in situ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. melindungi populasi jenis-jenis target melalui

penjagaan di dalam kawasan konservasi; b. melindungi populasi jenis-jenis target bagi spesies

terancam punah melalui penjagaan dan pemulihan populasi dan bagi spesies komersial atau spesies yang mendukung budidaya melalui pengendalian populasi di dalam kawasan produksi;

c. melakukan perbanyakan buatan (penanaman) tumbuhan jenis-jenis target di lokasi yang diketahui merupakan habitat asli spesies target dimaksud.

Pasal 60 Ayat (1) Pengelolaan jenis-jenis target dalam rangka pengawetan genetik di dalam habitat alamnya (in situ) dapat dilakukan di dalam kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan produksi seperti hutan produksi, dan kawasan budidaya seperti kebun dan kawasan pertanian. Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 61

(1) Pengelolaan genetik jenis-jenis target di luar habitat aslinya (secara ex situ) sebagaimana dimaksud pada Pasal 58 huruf c, ditujukan untuk melindungi keanekaragaman genetik yang dilakukan di luar habitat aslinya;

(2) Pengelolaan genetik secara ex situ sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. Pemeliharaan, pengembangbiakan satwa atau

perbanyakan tumbuhan secara buatan di lembaga konservasi ex situ bagi spesimen hidup;

b. Penyimpanan spesimen atau materi genetik speperti semen beku, biji atau materi genetik lainnya di dalam alat penyimpan yang dirancang khusus untuk itu;

Pasal 61 Ayat (1) Pengelolaan jenis-jenis target dalam rangka pengawetan genetik di luar habitat alamnya (ex situ) dapat dilakukan di lembaga-lembaga konservasi ex situ bagi spesimen hidup, atau di dalam penyimpanan buatan seperti bank plasma, bagi spesimen genetik Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 62

Pengendalian pemanfaatan dan akses terhadap sumberdaya genetik baik bagi jenis-jenis target maupun jenis yang belum diketahui manfaat genetiknya sebagaimana dimaksud pada Pasal 58 huruf d ditujukan untuk: a. menjaga keanekaragaman genetik spesies-spesies

target dan spesies lainnya, b. melindungi hak atas kekayaan genetik oleh masyarakat

dan negara.

Pasal 62

Page 78: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

77

Pasal 63

Untuk menjaga keanekaragaman genetik sebagaimana dimaksud pada Pasal 62 huruf a, setiap orang dilarang mengembalikan ke habitat alam: a. organisme yang telah mengalami atau hasil dari rekayasa

genetik (transgenik), b. organisme hasil perkawinan silang baik antar spesies

maupun sub-spesies tumbuhan maupun satwa, c. spesies asing;

Pasal 60 Cukup jelas

Pasal 64 (1) Untuk menjaga kemurnian genetik di dalam kerangka

pengawetan genetik, setiap orang dilarang mengawin silangkan satwa pada tingkat spesies yang berbeda;

(2) Kawin silang antar spesies, sub-spesies, varitas atau kultivar hanya dapat dilakukan untuk mendukung budidaya.

Pasal 64

Ayat (1) Pengembangbiakan atau perbanyakan buatan dengan tetap mempertahankan kemurnian genetik spesies liar dimana tidak ada unsur rekayasa genetik atau persilangan antar spesies atau sub-spesies (varitas) dianggap merupakan atau sejalan dengan konservasi ex situ sehingga pengembalian spesimen hasil kegiatan tersebut di atas ke habitat alam dapat membantu konservasi in situ.

Ayat (2) Kegiatan budidaya yang di dalamnya termasuk kegiatan rekayasa genetik dan atau persilangan antar spesies, sub-spesies atau kultivar untuk menciptakan varitas atau kultivar baru yang dianggap lebih unggul dipandang dari ukuran, bentuk, warna, ketahanan terhadap hama dan penyakit, dan lain-lain sehingga kemurnian genetik bukan menjadi tujuan, maka hasilnya tidak boleh dikembalikan lagi ke habitat alam.

Pasal 65

(1) Pengendalian pemanfaatan genetik dalam rangka perlindungan hak atas kekayaan genetik oleh masyarakat dan Negara, sebagaimana dimaksud pada Pasal 62 huruf b, dilakukan melalui : a. sistem persetujuan dari penyedia sumberdaya genetik;

dan b. perijinan dari Pemerintah;

(2) Ketentuan persetujuan dan perijinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Bab tentang Pemanfaatan Genetik.

Pasal 65 Cukup jelas

Bagian Ketiga Pengawetan Jenis

Paragraf 1 Umum

Pasal 66

Pengawetan Jenis dilakukan melalui : a. pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa liar di habitat

alamnya (pengelolaan jenis in situ); atau b. pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa liar di luar habitat

alamnya (pengelolaan jenis ex situ)

Pasal 66 Cukup jelas

Paragraf 2 Pengelolaan Jenis in situ

Pasal 67

Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa liar secara in situ

Pasal 67

Page 79: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

78 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf a. bagi spesies yang Kategori I (dilindungi mutlak) dilakukan dengan: a. Mengelola populasi dan habitat untuk memulihkan

populasi ke dalam tingkat yang aman dari ancaman bahaya kepunahan;

b. Menyelamatkan populasi atau sub populasi suatu spesies yang terisolasi;

c. Reintroduksi (usaha pengenalan spesies satwa atau tumbuhan yang dilakukan secara sadar oleh manusia dengan tujuan agar suatu jenis dapat berkembang biak kembali dihabitat nya semula).

Huruf a Dalam rangka pengawetan spesies yang dilindungi mutlak, populasi dari jenis tersebut di dalam habitat alamnya harus dipulihkan ke tingkat yang aman dari ancaman bahaya kepunahan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang sehingga tingkat keterancamannya terhadap bahaya kepunahan menurun. Pemulihan populasi harus ditujukan pada eliminasi atau pengurangan faktor-faktor yang menyebabkan populasi tersebut terancam bahaya kepunahan. Huruf b Untuk jenis-jenis yang populasinya di habitat alam sudah sedemikian kecil, sehingga diperkirakan apabila dibiarkan hidup secara alami dalam waktu dekat akan terjadi kepunahan, maka dapat dilakukan reintroduksi dengan melepas-liarkan spesimen satwa liar hasil rehabilitasi maupun hasil pengembangbiakan di luar habitat alamnya. Huruf c Reintroduksi merupakan usaha pengembalian ke habitat alamnya suatu spesies satwa atau tumbuhan dari spesimen yang karena suatu hal berada di luar habitat aslinya, yang dilakukan secara sadar oleh manusia dengan tujuan agar suatu jenis dapat berkembang biak kembali dihabitat nya semula. Dalam hal reintroduksi dianggap perlu dilakukan, maka harus memperhatikan kondisi spesimen satwa liar yang akan dilepas-liarkan, dari sisi keanekaragaman genetik, kesehatan, ketergantungan pada manusia, populasi setempat dari jenis yang sama, predasi, kondisi habitat, termasuk ketersediaan pakan di tempat pelepas-liaran dan keamanan dari perburuan liar.

Pasal 68

Mengelola secara in situ populasi dan habitat sebagaimana dimaksud pada Pasal 66 huruf a dilakukan: a. Di dalam kawasan konservasi b. Di luar kawasan konservasi

Pasal 68 Cukup jelas

Pasal 69

(1) Pengelolaan secara in situ populasi dan habitat di dalam kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 68 huruf a dilakukan oleh pengelola kawasan konservasi dalam rangka mengoptimalkan daya dukung kawasan terhadap spesies yang bersangkutan.

(2) Dalam rangka optimalisasi daya dukung habitat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan kegiatan perburuan terkendali untuk olah raga berburu

(3) Perburuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan keadaan populasi dan atau sub-populasi di seluruh wilayah penyebarannya,

(4) Perburuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilakukan di dalam Kawasan Konservasi Kategori I.

(5) Perburuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dengan ijin Menteri, dan setelah mendapatkan

Pasal 69 Cukup jelas

Page 80: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

79

rekomendasi dari Otoritas Ilmiah Pasal 70

(1) Pengelolaan secara in situ populasi dan habitat di luar

kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 68 huruf b dilakukan oleh pemerintah dibantu pengelola kawasan habitat dalam rangka menjaga populasi atau sub populasi dari ancaman terhadap kepunahan lokal

(2) Pengelolaan populasi secara in situ pada habitat di luar kawasan konservasi tidak dapat dilakukan perburuan terkendali untuk olah raga berburu

Pasal 70 Cukup jelas

Pasal 71

(1) Pemegang ijin penggunaan atau pemanfaatan kawasan wajib menjaga habitat untuk mengurangi dampak atau ancaman bagi populasi satwa Kategori I yang berada di dalam areal konsesinya;

(2) Pemegang ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib melakukan penyelamatan populasi atau sub populasi spesies satwa yang terisolasi bekerjasama dengan dan dikoordinasikan oleh Pemerintah yang berwenang dalam konservasi satwa liar.

Pasal 71 Cukup jelas

Pasal 72

(1) Bagi populasi satwa yang dilindungi mutlak yang karena suatu sebab menjadi terisolasi di habitat yang sempit dan populasinya tidak dapat berkembang dalam jangka panjang, maka harus dilakukan tindakan penyelamatan populasi;

(2) Tindakan penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakuan dengan cara memindahkan dari habitat yang terisolasi ke habitat yang lebih memungkinkan

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelamatan satwa di habitat alamnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 72 Ayat (1) Bagi satwa liar yang karena habitatnya rusak dan terfragmentasi atau yang karena suatu sebab populasi yang jumlah individunya terlalu kecil terisolasi oleh penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan pelestarian satwa liar sehingga satwa liar tidak dapat berpindah atau bergerak secara normal dan memungkinkan terjadinya konflik antara satwa liar dengan kepentingan manusia karena satwa liar keluar dari habitatnya, maka populasi satwa liar tersebut harus diselamatkan, .dengan cara diantaranya memindahkan ke tempat yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya (relokasi/translokasi) Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 73

Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa liar secara in situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 bagi spesies Kategori II (yang dilindungi terbatas) dilakukan dengan: a. Pengaturan pemanenan langsung dari habitat alamnya;

Pasal 73 Huruf a Pengaturan pemanenan terutama ditujukan bagi jenis-jenis yang dilindungi terbatas yang pemanfaatannya dikendalikan secara ketat. Pengaturan pemanenan dimulai dari penetapan kuota pengambilan atau penangkapan, pengenaan perizinan dan pengawasan terhadap pengambilan atau penangkapan, penetapan lokasi-lokasi yang dibolehkan untuk dilakukan pengambilan atau penangkapan, serta penetapan batasan-batasan seperti kelas ukuran, umur dan jenis kelamin yang boleh diambil atau ditangkap dari habitat alam.

Page 81: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

80

b. Pembinaan habitat; c. Pembinaan populasi.

Huruf b Pembinaan habitat dilakukan dalam rangka meningkatkan populasi dengan manipulasi habitat melalui diantaranya penanaman atau pengkayaan tumbuh-tumbuhan pakan atau merangsang berkembangnya populasi satwa liar mangsa (prey) bagi jenis-jenis yang bersifat predator tanpa mengubah kondisi lingkungan atau ekosistem. Huruf c Pembinaan populasi dilakukan dalam rangka meningkatkan populasi dengan memperbanyak individu, diantaranya melalui pengkayaan populasi, transplantasi, pengembangan koloni-koloni baru di daerah atau di pulau kosong, dan pengaturan dinamika populasi disesuaikan dengan daya dukung habitat.

Pasal 74

(1) Pengaturan pemanenan langsung dari habitat alamnya jenis Kategori II sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 huruf a dilakukan melalui pelaksanaan pemanenan yang berkelanjutan (lestari);

(2) Pelaksanaan pemanenan yang berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerapan prinsip-prinsip ilmiah dan pemanenan yang tidak merusak populasi di habitat alam

(3) Penerapan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dilaksanakan melalui rangkaian kegiatan, ketentuan dan regulasi: a. Pertimbangan mengenai status dan sifat-sifat biologis

spesies, seperti kondisi populasi, penyebaran, kemampuan regenerasi;

b. Perlindungan spesies di dalam maupun di luar kawasan konservasi;

c. Pengaturan jumlah tangkapan/ pengambilan; d. Pengaturan ukuran tangkapan/ pengambilan; e. Kontrol penangkapan/pengambilan; f. Kontrol terhadap pengelolaan spesies di luar habitat

alamnya g. Kontrol peredaran dalam negeri; h. Kontrol peredaran luar negeri

(4) Pemerintah membuat Rencana Pengelolaan spesies tumbuhan maupun satwa Kategori II yang diperdagangkan untuk melaksanakan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 74 Ayat (1) Pengaturan pemanenan langsung dari habitat alamnya dimaksudkan karena status populasinya yang belum terancam bahaya kepunahan maka jenis-jenis yang dilindungi terbatas mempunyai peluang yang lebih besar untuk dimanfaatkan secara langsung dari habitat alamnya. Namun demikian, dalam rangka pengawetan jenis agar populasi jenis tersebut terancam dari bahaya kepunahan baik secara lokal, nasional maupun global pemanfaatannya perlu didukung dengan pengelolaan di luar habitat alamnya untuk memperoleh sediaan/stok bagi pemanfaatan. Pengelolaan di luar habitat alamnya tersebut diantaranya melalui pembesaran spesimen hidup jenis satwa liar tertentu (ranching/rearing) dan pengembangbiakan satwa liar atau perbanyakan tumbuhan secara buatan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 75 Pasal 75

Page 82: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

81

(1) Pembinaan habitat dan atau pembinaan populasi

sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 huruf b dan huruf c untuk spesies Kategori II dilakukan bagi spesies-spesies yang mengalami tekanan pemanfaatan, termasuk perdagangan;

(2) Pembinaan habitat dan atau pembinaan populasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di luar kawasan konservasi;

(3) Pemanenan spesimen hasil pembinaan habitat dan atau populasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memenuhi ketentuan pemanenan yang berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74.

Ayat (1) Pembinaan habitat dilakukan dalam rangka meningkatkan populasi dengan manipulasi habitat melalui diantaranya penanaman atau pengkayaan tumbuh-tumbuhan pakan atau merangsang berkembangnya populasi satwa liar mangsa (prey) bagi jenis-jenis yang bersifat predator tanpa mengubah kondisi lingkungan atau ekosistem. Pembinaan populasi dilakukan dalam rangka meningkatkan populasi dengan memperbanyak individu, diantaranya melalui pengkayaan populasi, transplantasi, pengembangan koloni-koloni baru di daerah atau di pulau kosong, dan pengaturan dinamika populasi disesuaikan dengan daya dukung habitat

Paragraf 3 Pengelolaan Jenis ex situ

Pasal 76

(1) Pada prinsipnya, pengawetan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan melalui pengelolaan in situ;

(2) Pengelolaan ex situ dilakukan karena tingkat keterancaman dan kharakteristik suatu jenis yang sulit untuk berkembang biak secara alami;

Pasal 76 Ayat (1) Banyak jenis tumbuhan atau satwa liar yang punah atau menjadi terancam bahaya kepunahan karena mempunyai nilai komersial dan permintaan yang tinggi sehingga banyak terjadi pengambilan atau perburuan liar dan perdagangan gelap. Bagi jenis-jenis tumbuhan atau satwa liar yang dilindungi mutlak seperti ini, propagasi buatan atau pengembangbiakan di luar habitat alamnya di dalam lingkungan yang terkontrol untuk kepentingan komersial dapat membantu mengurangi tekanan pada populasi di habitat alamnya. Dengan memenuhi permintaan pasar dari hasil propagasi buatan atau pengembangbiakan di dalam lingkungan yang terkontrol di luar habitat alamnya maka pengambilan atau perburuan liar dan perdagangan gelap akan jauh berkurang atau dapat dihentikan Ayat (2) Jenis satwa liar tertentu, yang karena sifat biologis dan ekologisnya mampu menghasilkan anakan atau telur atau larva dalam jumlah yang cukup besar dalam satu musim berbiak, namun karena kondisi alam dan lingkungan, seperti predasi, kanibalisme, dan faktor penghambat dari alam yang rutin terjadi seperti banjir atau air pasang, maka daya hidup (survival rate) anakan yang dihasilkan menjadi rendah. Untuk itu salah satu metoda konservasi yang dapat digunakan adalah dengan menangkap atau mengambil telur atau anakan yang baru menetas untuk dipelihara dan dibesarkan di dalam lingkungan yang terkontrol. Jenis-jenis satwa yang dapat dikelola dengan metoda pembesaran harus terlebih dahulu secara

Page 83: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

82

(3) pengawetan ex situ, khususnya bagi jenis-jenis yang dilindungi mutlak (Kategori I) dilakukan untuk mendukung pengelolaan in situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67

ilmiah diketahui bahwa jenis tersebut mempunyai kemampuan menghasilkan anakan yang cukup tinggi namun mempunyai daya hidup di alam rendah. Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 77

(1) Pengelolaan spesies tumbuhan dan satwa liar secara ex situ antara lain dilakukan dengan: a. pengembangbiakan satwa liar di dalam lingkungan

yang terkontrol bagi jenis dilindungi mutlak (kategori I) sehingga dimungkinkan untuk dilepasliarkan kembali ke habitat alamnya;

b. pengembangbiakan satwa liar di dalam lingkungan yang terkontrol untuk utamanya tujuan komersial dalam rangka mengurangi tekanan terhadap populasi di habitat alam;

c. rehabilitasi satwa liar;

d. perbanyakan tumbuhan secara buatan untuk dikembalikan lagi ke habitat alam atau untuk tujuan komersial;

Pasal 77 Ayat (1) Huruf a Pengembangbiakan satwa liar di dalam lingkungan yang terkontrol dengan tujuan untuk dilepasliarkan kembali ke alam dalam rangka memulihkan kondisi populasi agar terhindar dari kepunahan merupakan kegiatan penangkaran dari induk-induk yang diketahui mempunyai kemurnian dan keanekaragaman genetik yang memadai untuk menghasilkan anakan-anakan yang memungkinkan untuk dilepas-liarkan kembali ke habitat alam (conservation breeding). Hal yang sama dapat dilakukan bagi tumbuhan melalui propagasi buatan di dalam kondisi yang terkontrol. Huruf b Penyebab utama terancamnya suatu jenis terhadap bahaya kepunahan adalah pemanfaatan yang tidak terkendali dari habitat alamnya dan kerusakan habitat. Bagi jenis-jenis yang dilindungi terbatas, agar terhindar dari ancaman bahaya kepunahan, maka pengawetan dilaksanakan melalui pengendalian terhadap pemanenan langsung dari habitat alam. Huruf c Untuk itu pengembangbiakan satwa liar atau perbanyakan tumbuhan bagi jenis-jenis yang dilindungi terbatas akan mendukung pemanfaatan yang lestari. Huruf d Yang dimaksud dengan perbanyakan tumbuhan secara buatan (artificial propagation) merupakan kegiatan memperbanyak dan menumbuhkan tumbuhan di dalam kondisi yang terkontrol, dari material untuk memperbanyak tumbuhan seperti benih (biji), potongan bagian tumbuhan, pencaran rumpun, spora dan jaringan. Kondisi terkontrol untuk perbanyakan tumbuhan secara buatan adalah kondisi di luar lingkungan alaminya yang secara intensif dimanipulasi oleh campur tangan manusia dengan tujuan untuk menghasilkan tumbuhan yang terpilih, serta dicirikan dengan antara lain adanya pengolahan lahan, pemupukan, pengendalian hama dan gulma, irigasi, atau perlakuan persemaian seperti penumbuhan dalam pot, pembuatan bedengan atau perlindungan dari keadaan cuaca. Huruf e Pengembangbiakan satwa liar atau perbanyakan

Page 84: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

83

e. penyelamatan satwa secara ex situ di pusat-pusat penyelamatan satwa ex situ

(2) Pengembangbiakan satwa liar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan oleh lembaga konservasi ex situ yang dianggap mampu oleh Pemerintah.

tumbuhan secara buatan disebut juga sebagai penangkaran Karena suatu hal, seperti perburuan liar, satwa liar yang dilindungi mutlak dapat berada di luar habitatnya, atau dipelihara manusia serta hidupnya sangat bergantung kepada manusia. Bagi satwa-satwa liar yang demikian perlu direhabilitasi untuk mengkondisikan dan mengadaptasikan tingkah laku satwa liar dengan habitat alaminya dengan tujuan untuk dilepas-liarkan kembali ke habitat alamnya. Ayat (2) Pengembangbiakan satwa liar bagi jenis-jenis dilindungi terbatas dimaksudkan sebagai penyedia stok untuk kepentingan komersial. Walaupun jenis-jenis tersebut populasinya belum terancam bahaya kepunahan, namun populasi di habitat alamnya mempunyai keterbatasan-keterbatasan sehingga tidak mampu untuk mendukung permintaan yang mungkin tidak terbatas. Untuk itu pengembangbiakan satwa liar bagi jenis-jenis yang dilindungi terbatas akan mendukung pemanfaatan yang lestari. Lembaga konservasi ex situ merupakan lembaga yang bergerak dalam bidang konservasi ex situ seperti kebun raya, kebun botani, arboretum dan taman satwa liar atau kebun binatang yang dianggap mampu melakukan pengembangbiakan tumbuhan atau satwa liar yang terancam bahaya kepunahan. Yang dimaksud dengan dianggap mampu adalah lembaga tersebut merupakan lembaga pemerintah yang diberi wewenang untuk itu atau lembaga non-pemerintah yang telah diakui atau dinilai mampu oleh Pemerintah atau pihak ketiga yang independen. Pihak ketiga yang independen yang dapat berbentuk lembaga atau tim yang dibentuk dengan unsur-unsur yang terdiri dari antara lain, unsur pemerintah, asosiasi taman satwa liar, lembaga swadaya masyarakat/Organisasi Non-Pemerintah dan ahli. Pengakuan atau penilaian tersebut dapat berbentuk akreditasi dan sertifikasi.

Pasal 78

Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa liar secara ex situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) bagi jenis-jenis yang dilindungi terbatas dapat dilakukan dengan : a. Pembesaran spesimen hidup jenis satwa liar tertentu dari

habitat alam di dalam lingkungan terkontrol;

Pasal 78 Huruf a Pembesaran spesimen jenis satwa tertentu, yang karena sifat biologis dan ekologisnya mampu menghasilkan anakan atau telur atau larva dalam jumlah yang cukup besar dalam satu musim berbiak, namun karena kondisi alam dan lingkungan, seperti predasi, kanibalisme, dan faktor penghambat dari alam yang rutin terjadi seperti banjir atau air pasang, maka daya hidup (survival rate) anakan yang dihasilkan menjadi rendah. Untuk itu salah satu metoda konservasi yang dapat digunakan adalah dengan menangkap atau mengambil telur atau anakan yang baru menetas untuk dipelihara dan dibesarkan di dalam

Page 85: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

84

b. Pengembangbiakan satwa liar di dalam lingkungan yang terkontrol atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam kondisi yang terkontrol untuk kepentingan komersial;

c. Penyelamatan satwa secara ex situ di pusat-pusat penyelamatan satwa ex situ

lingkungan yang terkontrol. Jenis-jenis satwa yang dapat dikelola dengan metoda pembesaran harus terlebih dahulu secara ilmiah diketahui bahwa jenis tersebut mempunyai kemampuan menghasilkan anakan yang cukup tinggi namun mempunyai daya hidup di alam rendah. Huruf b Pengembangbiakan satwa liar atau perbanyakan tumbuhan secara buatan bagi jenis-jenis dilindungi terbatas dimaksudkan sebagai penyedia stok untuk kepentingan komersial. Walaupun jenis-jenis tersebut populasinya belum terancam bahaya kepunahan, namun populasi di habitat alamnya mempunyai keterbatasan-keterbatasan sehingga tidak mampu untuk mendukung permintaan yang mungkin tidak terbatas. Untuk itu pengembangbiakan satwa liar atau perbanyakan tumbuhan bagi jenis-jenis yang dilindungi terbatas akan mendukung pemanfaatan yang lestari. Huruf c Penyelamatan satwa secara ex situ di pusat-pusat penyelamatan satwa ex situ dilakukan dengan mengelola spesimen satwa hidup di dalam pusat penyelamatan satwa sehingga dapat dipilah spesimen-spesimen yang tepat untuk dilepasliarkan ke habitat alamnya atau karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk dilepasliarkan, satwa terpilih dipindahkan ke tempat lain secara permanen seperti kebun binatang atau induk pengembangbiakan satwa.

Pasal 79 Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga konservasi ex situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dan jenis-jenis satwa liar tertentu yang dapat dikelola dengan metoda pembesaran serta penyelamatan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 79 Cukup jelas

Pasal 80

(3) Pelepasliaran satwa dari hasil rehabilitasi maupun hasil pengembangbiakan sebagaimana dimaksud pada 77 ke habitat alamnya wajib dilakukan setelah ada kajian ekologi, sosial, veteriner (medis) dan ekonomi di habitat alam tujuan pelepasliaran.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelepasliaran satwa diatur dengan Peraturan Pemerintah

Pasal 80 Cukup jelas

Paragraf 4 Medis Konservasi

Pasal 81

(1) Medis Konservasi merupakan penerapan medik veteriner dalam penyelenggaraan kesehatan hewan di bidang konservasi spesies-spesies satwa liar;

(2) Penyelenggaraan medis konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di habitat alamnya (in situ) atau di luar habitat alamnya (ex situ).

Pasal 81 Cukup jelas

Pasal 82

Pasal 82 Ayat (1)

Page 86: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

85 (1) Medis konservasi secara in situ sebagaimana dimaksud

pada Pasal 81 ayat (2) dilakukan dengan mencegah dan mengendalikan adanya wabah penyakit zoonosis yang diduga disebabkan oleh satwa liar di habitat alam

(2) Medis konservasi secara ex situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) dilakukan pada kegiatan-kegiatan: a. Penerapan tindakan medis veteriner di lembaga

konservasi ex situ, tempat penyelamatan satwa, tempat pengembangbiakan satwa atau tempat pemeliharaan satwa liar lainnya

b. Penerapan ilmu reproduksi dalam pengembangbiakan satwa liar

c. Pencegahan dan pengendalian terjadinya wabah zoonosis di tempat-tempat terjadinya transaksi peredaran satwa liar, termasuk dalam transportasi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Medis Konservasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Penyakit zoonosis adalah penyakit infeksi yang penularannya bersumber dari satwa dan dapat ditularkan kepada manusia yang nantinya akan berkembang menjadi wabah Ayat (2) Cukup jelas

Bagian Ketiga Pengawetan Ekosistem

Paragraf satu

Pasal 83

(1) Pengawetan ekosistem dilakukan melalui pengelolaan kawasan konservasi yang efektif

(2) Pengawetan ekosistem dilakukan terhadap kawasan ekosistem nasional dan kawasan ekosistem nasional yang telah ditetapkan menjadi kawasan situs-situs internasional.

(3) Pengawetan ekosistem nasional kategori I-IV dan kawasan situs internasional

(4) Pengelolaan efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah

(5) Pengelolaan efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi kawasan konservasi kategori V dan VI dilakukan melalui pelaksanaan pengelolaan terintegrasi antara perlindungan ekosistem kawasan dan pemanfaatan berkelanjutan

Pasal 83 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Peraturan pemerintah antara lain memuat aturan pengelolaan efektif pengawetan ekosistem yang memuat unsure-unsur:

a. konteks; b. sistem perencanaan pengelolaan kawasan

konservasi; c. sumberdaya dan dana (input); d. proses pengelolaan e. luaran f. dampak

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 84 (1) Pengelolaan efektif kawasan konservasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 83 Ayat (1) dilakukan dengan basis Resort;

(2) Menteri menetapkan pedoman pengelolaan kawasan

Pasal 84 Ayat (1) Resort merupakan unit pengelolaan kawasan konservasi terkecil dan terdepan, dimana sistem pengelolaan kawasan mulai dari pengembangan basis data, perencanaan, alokasi sumber daya dan dana serta proses pelaksanaan dan pemantauan dan evaluasi kinerja pengelolaan kawasan konservasi dilakukan dengan dasar kawasan ini.

Page 87: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

86

konservasi yang efektif dan pedoman penilaian keefektivan pengelolaan kawasan konservasi baik di tingkat sistem jaringan maupun di tingkat individu kawasan.

BAB IV PEMANFAATAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

Bagian Kesatu Umum

Pasal 85

Pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, bertujuan untuk optimalisasi kelestarian dan menunjang kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan dan berkesinambungan

Pasal 85 Cukup jelas

Pasal 86 Pemanfaatan keanekaagaman hayati meliputi : a. Pemanfaatan genetik b. Pemanfaatan jenis c. Pemanfaatan ekosistem

Pasal 86 Cukup jelas

Pasal 87

Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86, dilaksanakan melalui pemberian izin pemanfaatan.

Pasal 87 Cukup jelas

Bagian Kedua Pemanfaatan Sumberdaya Genetik

Paragraf 1 Umum

Pasal 88

(1) Pemanfaatan terhadap sumber daya genetik meliputi kegiatan pengambilan dan penggunaan sumber daya genetik untuk tujuan: a. Penelitian dan atau pengembangan; b. Konservasi; c. Budi daya; d. Kesehatan; e. Pendidikan; f. Perdagangan; g. Koleksi; h. Tukar menukar; dan/atau i. Bioprospeksi.

(2) Kegiatan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan/atau diatur dengan peraturan perundangan-undangan lain.

Pasal 88 Bioprospeksi adalah kegiatan eksplorasi, ekstraksi, dan penapisan sumberdaya hayati untuk pemanfaatan secara komersial sumberdaya genetik dan biokimia yang bernilai tinggi.

Pasal 89

Pemanfaatan sumberdaya genetik dilakukan dengan memperhatikan hak kepemilikan atas sumberdaya genetik, akses terhadap sumberdaya genetik, hak kepemilikan intelektual atas hasil rekayasa genetik, keamanan hayati atas hasil rekayasa genetik, kaidah-kaidah etika dan agama dalam rekayasa genetik

Pasal 89 Cukup jelas

Pasal 90

Pemanfaatan sumberdaya genetik tidak boleh bertentangan dengan norma agama, etika dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 90 bertentangan dengan norma agama atau etika antara lain kloning, perkawinan antar spesies bagi jenis-jenis terancam punah dengan tujuan hanya untuk kesenangan seperti persilangan antara

Page 88: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

87

spesies harimau dan singa.

Pasal 91

C. Dalam rangka pemanfaatan sumberdaya genetik Pemerintah mengatur akses terhadap sumberdaya genetik;

D. Pemanfaatan terhadap sumberdaya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. upaya pencarian b. pengambilan, c. pengumpulan, d. penggunaan e. pengusahaan, dan f. pembagian keuntungan yang adil atas

komersialisasi sumberdaya genetik;

E. Ketentuan lebih lanjut mengenai akses sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 91 Cukup jelas

Pasal 92

(1) Pemanfaatan sumberdaya genetik wajib dilaksanakan secara berkelanjutan;

(2) Pemanfaatan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan: a. cara-cara yang tidak merusak populasi spesies

di habitat alamnya dalam proses pengambilan materi genetik;

b. Memperhatikan prinsip-prinsip dan ketentuan tentang akses terhadap sumberdaya genetik dan pembagian yang adil atas keuntungan yang didapatkan dari pemanfaatan sumberdaya genetik;

c. memperhatikan praktik pengetahuan tradisional; d. mendukung upaya perbaikan kawasan dimana

sumberdaya genetik berasal

Pasal 92 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) huruf a Tidak merusak populasi spesies di habitat alam merupakan prinsip pemanfaatan spesies dari habitat alam dimana untuk spesies dilindungi mutlak (Kategori I) harus memperhatikan kondisi populasi dan tidak dengan membunuh spesimen hidup satwa atau tumbuhan, sedangkan untuk spesies Kategori II dan III harus memperhatikan kondisi spesies dimaksud. Termasuk dalam materi genetik adalah urin dan feses satwa liar Huruf b. cukup jelas Huruf c cukup jelas Huruf d. cukup jelas

Paragraf 2 Kepemilikan Sumberdaya Genetik

Pasal 93

(1) Sumberdaya genetik pada prinsipnya dikuasai oleh negara dan pemanfaatanya diatur oleh negara berdasar kaidah-kaidah pelestarian dan keadilan;

(2) Sesuai dengan lokasi dan asal-usulnya, kepemilikan atau penyedia sumberdaya genetik diklasifikasikan menjadi:

a. Sumberdaya genetik yang dimiliki atau disediakan oleh

Pasal 93 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) huruf a Sumberdaya genetik yang dimiliki atau disediakan oleh masyarakat yaitu sumberdaya genetik yang

Page 89: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

88

masyarakat;

b. Sumberdaya genetik yang dimiliki atau disediakan oleh Pemerintah

(3) Termasuk di dalam sumberdaya genetik yang dimiliki atau disediakan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah pengetahuan tradisional atau pengetahuan lokal.

berada di hutan hak, lahan milik, hutan adat, atau di wilayah-wilayah yang dibebani hak. Dengan demikian penyedia sumberdaya genetik Kategori ini adalah orang atau lembaga atau entitas yang mempunyai kuasa atas kawasan tersebut. huruf b Sumberdaya genetik yang dimiliki atau disediakan oleh Pemerintah yaitu yang berada di kawasan hutan atau kawasan konservasi yang bukan kawasan hutan Ayat (3) Yang dimaksud dengan Pengetahuan tradisional atau pengetahuan lokal merupakan tradisi dan praktek yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat lokal atau atau masyarakat adat. Pengetahuan tradisional dapat mencakup kebijaksanaan, pengetahuan, dan ajaran-ajaran dari masyarakat. Dalam banyak hal pengetahuan tradisional telah disampaikan secara verbal (dalam bahasa tutur) secara turun temurun dari orang ke orang. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional diekspresikan melalui cerita, legenda, ritual, lagu, dan pranata hukum. Pengetahuan tradisional tersebut dapat menjadi bagian untuk mengembangkan produk dalam skala industri dan komersial, sehingga perlindungan pengetahuan tradisional wajib dilakukan dalam konteks agar masyarakat lokal pemilik pengetahuan tersebut mendapatkan keuntungan yang adil dari komersialisasi produk tersebut. Yang dimaksud dengan pemilik adalah pemerintah, masyarakat adat dan lokal atau perorangan sesuai dengan wilayah penguasaan kawasan dan atau pengetahuan lokal/tradisional.

Paragraf 3 Hak Atas Kekayaan Intelektual

Pasal 94

(1) Hasil pemanfaatan sumberdaya genetik yang berasal dari kawasan konservasi dapat diajukan untuk mendapatkan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual;

(2) Manfaat yang lahir dari pemanfaatan sumberdaya genetik sebagaimana ayat (1) harus dibagi secara adil dan merata kepada penyedia sumberdaya genetik dan kawasan konservasi berdasarkan kesepakatan bersama.

Pasal 94 Cukup jelas

Pasal 95

(1) Invensi berbasis sumber daya genetik dapat diajukan untuk mendapatkan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual;

(2) Hak kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimiliki secara bersama-sama antara pengguna dan pemilik atau penyedia sumberdaya genetik;

(3) Bentuk dan tata cara perlindungan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 95 Cukup jelas

Page 90: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

89

Pasal 96

(1) Dalam pengajuan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1), pengusul wajib mencantumkan pernyataan asal-usul sumber daya genetik (disclosure of origin);

(2) Pernyataan asal-usul sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk juga bentuk pengakuan dan penilaian inovasi, praktik, dan pengetahuan tradisional dalam pemanfaatan sumber daya genetik.

Pasal 96 Cukup jelas

Pasal 97 (1) Setiap orang yang akan melakukan kegiatan

pemanfaatan terhadap sumberdaya genetik di dalam kawasan konservasi dan yang berasal dari jenis yang diatur pada pasal 19 huruf a dan huruf b wajib memiliki izin;

(2) Permohonan izin pemanfaatan terhadap sumber

daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dengan Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal (PADIA);

(3) Izin akses terhadap sumber daya genetik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri.

(4) Pemberian izin sebagaimana ayat (3) setelah mendapat : a. persetujuan yang diberikan oleh penyedia

sumberdaya genetic; b. rekomendasi Lembaga yang berwenang menangani

SDG di tingkat nasional;

Pasal 97 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) PADIA adalah pemberitahuan dari pemohon akses kepada penyedia sumberdaya genetic tentang semua informasi dalam rangka kegiatan akses sumberdaya genetic yang dipergunakan oleh penyedia SDG sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan persetujuan akses terhadap SDG yang dimilikinya. Penyedia sumberdaya genetik adalah pemerintah, masyarakat adat/local dan perorangan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan lembaga berwenang adalah: LIPI untuk rekomendasi dibidang penelitian, Kemenristek untuk rekomendasi penggunaan SDG untuk pengembangan biotekhnologi, KemenLH untuk rekomendasi penggunaan SDG oleh lembaga atau orang asing.

Pasal 98

(1) Berdasarkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 pemegang izin wajib menyusun kesepakatan bersama dengan penyedia SDG

(2) Kesepakatan bersama diatas bertujuan untuk menjamin pembagian keuntungan yang adil dan seimbang antara penyedia dan pengguna SDG

Pasal 98 Cukup jelas

Pasal 99

(1) Izin dapat dicabut oleh menteri jika tidak ada kesepakatan bersama sebagaimana dimaksud

Pasal 99 Cukup jelas

Page 91: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

90

dalam pasal 98 (2) Pemerintah memberikan perlindungan kepada

penyedia SDG Pasal 100

Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam pasal 97, Pasal 98, dan Pasal 99 diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah

Pasal 100 Peraturan Pemerintah memuat antara lain : Rencana kerjasama meliputi informasi : Nama lembaga asing Sumber dana Tujuan dan hasil Bentuk kerjasama Jangka waktu kerjasama

Pasal 101 (1) Pelaksanaan akses oleh perorangan warga negara

asing, badan hukum asing, dan/atau pemerintah asing wajib bekerja sama dengan lembaga di bidang penelitian dan pengembangan sumber daya genetik di dalam negeri;

(2) Dalam hal perorangan atau lembaga penelitian

dalam negeri bekerjasama dan didanai oleh perorangan dan atau lembaga asing wajib menginformasikan rencana kerjasama kepada menteri.

Pasal 101 Cukup jelas

Pasal 102

Setiap orang yang akan membawa atau memindahkan materi genetik genetik ke luar negeri harus mendapat izin pengeluaran dari Menteri yang berwenang dengan disertai dokumen Persetujuan Pemindahan Materi.

Pasal 102 Cukup jelas

Bagian Ketiga Pemanfaatan jenis

Pasal 103

Pemanfaatan jenis harus dilaksanakan dengan: a. mempertimbangkan pelestarian dan keberlanjutan; b. menghindarkan dampak yang merugikan populasi

dan kelestarian jenis di alam; c. memperhatikan praktik budaya tradisional; d. mendukung upaya perbaikan jenis yang terancam

punah.

Pasal 103 Cukup jelas

Pasal 104

(1) Jenis dalam kategori I hanya dapat dimanfaatkan untuk keperluan: a. Penelitian; b. Tukar menukar untuk tujuan konservasi; c. Pendidikan konservasi jenis.

(2) Jenis dalam ketegori II dan III dapat dimanfaatkan untuk keperluan: a. Penelitian atau pengembangan; b. Konservasi; c. Budi daya; d. Kesehatan;

Pasal 104 Cukup jelas

Page 92: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

91

e. Pendidikan; f. Perdagangan; g. Peragaan; h. Peminjaman untuk tujuan konservasi; i. Pemeliharaan untuk kesenangan; j. Koleksi; dan/atau k. Tukar menukar.

Pasal 105

Setiap orang dilarang melakukan pemanfaatan jenis tumbuhan yang termasuk dalam kategori I, berupa: a. mengimpor jenis terancam punah ke, atau mengekspor

spesies tersebut dari wilayah yurisdiksi Republik Indonesia;

b. mengambil jenis yang terancam punah dari wilayah yurisdiksi Indonesia termasuk zona ekonomi ekslusif dan landasan kontinen;

c. mengirim, menyerahkan, menerima, membawa, atau menggunakan alat transportasi dalam kegiatan perdagangan domestik atau luar negeri asing, atau kegiatan komersial lainnya;

d. Mengimpor jenis tumbuhan ke wilayah yuridiksi Indonesia dengan cara melawan hukum Negara asal

e. menjual atau menawarkan untuk dijual dalam perdagangan domestik atau luar negeri; atau

f. melakukan kegiatan lain yang bertentangan dengan prinsip konservasi kehati dan melanggar peraturan perundang-undangan terhadap jenis yang terancam punah

Pasal 105 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d perlindungan terhadap jenis tumbuhan dari Negara di luar Negara Republik Indonesia bertujuan untuk menghindari perdagangan illegal jenis tumbuhan yang dilindungi di Negara asal. Pasal ini, tidak bertujuan untuk melakukan pelarangan terhadap jenis tumbuhan yang sudah terdomestikasi di Indonesia sebelum berlakunya UU No 5 tahun 1990. Contohnya kopi, teh, kelapa sawit). Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas

Pasal 106

Setiap orang dilarang melakukan pemanfaatan satwa liar yang termaksud dalam kategori I dengan: a. mengimpor jenis terancam punah ke, atau mengekspor

spesies tersebut dari wilayah yurisdiksi Republik Indonesia;

b. mengambil jenis yang terancam punah dari wilayah yurisdiksi Indonesia termasuk zona ekonomi ekslusif;

c. mengganggu, merugikan, mengejar, memburu, menembak, melukai, membunuh, menangkap, atau mengumpulkan jenis yang terancam punah tanpa hak dan melanggar hukum;

d. memiliki, menjual, memberikan, membawa, dan membawa dengan alat transportasi spesies yang terancam punah tanpa hak dan secara melawan hukum;

e. mengirim, menyerahkan, menerima, membawa, atau menggunakan alat transportasi dalam kegiatan perdagangan domestik atau luar negeri asing, atau kegiatan komersial lainnya;

f. menjual atau menawarkan untuk dijual dalam

Pasal 106 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas huruf d Cukup jelas huruf e Cukup jelas

Page 93: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

92

perdagangan domestik atau luar negeri; atau g. Melakukan tindakan yang modifikasi habitat yang

signifikan atau degradasi h. Mengimpor jenis satwa ke wilayah yuridiksi Indonesia

dengan cara melawan hukum Negara asal

i. melakukan kegiatan lain yang bertentangan dengan prinsip konservasi kehati dan melanggar peraturan perundang-undangan terhadap jenis yang terancam punah

huruf f Cukup jelas huruf g Cukup jelas huruf h Perlindungan terhadap jenis tumbuhan dari Negara di luar Negara Republik Indonesia bertujuan untuk menghindari perdagangan illegal jenis satwa yang dilindungi di Negara asal. contoh perdagangan tersebut antara lain perdagangan harimau benggali, kura-kura dari brazil huruf i cukup jelas

Pasal 107

Setiap penambahan jenis yang terdaftar sebagai spesies yang termasuk dalam kategori I, Menteri harus mengeluarkan peraturan yang melarang pemanfaatan jenis tersebut.

Pasal 107 Cukup jelas

Pasal 108

Setiap pengurangan jenis yang terdaftar sebagai spesies kategori I dalam rangka tujuan pemanfaatan, Menteri harus mengeluarkan pengumuman kepada publik setiap keputusan tersebut.

Pasal 108 Cukup jelas

Pasal 109

Masyarakat hukum adat dapat memanfaatkan jenis kategori II dan III secara tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan konservasi dan peraturan perundang undangan

Pasal 109 Cukup jelas

Pasal 110 (1) Pembiayaan pemanfaatan jenis ditetapkan berdasarkan

kebutuhan biaya nyata; (2) Pembiayaan pemanfaatan jenis dapat diperoleh dari:

a. biaya yang dibebankan kepada para pihak yang bertanggung jawab dalam pemanfaatan jenis;

b. alokasi tetap dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah;

(3) Ketentuan mengenai tata cara pembiayaan pemanfaatan jenis ditujukan untuk konservasi jenis tersebut dan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan;

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan dan pengelolaan dana sebagaimana dimaksud dalam pasal 104 sampai dengan 110 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 110 Cukup jelas

Bagian Keempat Pemanfaatan Ekosistem

Pasal 111

Pemanfaatan ekosistem dapat berupa: a. Pemanfaatan jasa lingkungan, dan b. Pemanfaatan kawasan.

Pasal 111 Cukup jelas

Pasal 112

Pasal 112 Cukup jelas

Page 94: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

93

a. Pemanfaatan ekosistem, kecuali untuk kepentingan penelitian tidak dapat dilakukan dalam zone inti

b. Pemanfaatan ekosistem dilakukan dengan pemberian ijin menteri

Pasal 113

(1) Pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 111 huruf a meliputi : a. Pemanfaatan jasa pariwisata alam, penyimpanan

dan/atau penyerapan karbon, b. Pemanfaatan energi terbarukan seperti:

pemanfaatan energi /daya air, pemanfaatan panas bumi, dan pemanfaatan energi angin

(2) Pemanfaatan energi terbarukan didasarkan kepada kajian analisa dampak lingkungan.

Pasal 113, Ayat (1) Huruf a, cukup jelas Hurup b yang dimaksud dengan energi terbarukan adalah.................... Pemanfaatan energi terbarukan termasuk didalamnya pembangunan sarana prasarana pendukungnya.

Pasal 114

Pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 111 huruf b, meliputi

a. Pemanfaatan kawasan untuk pembangunan sarana/prasarana strategis

b. Pemanfaatan untuk kepentinganbudidaya pertanian tradisional,

c. Pemanfaatan kawasan untuk penangkaran tumbuhan dan satwa liar,

d. Pemanfaatan untuk kepentingan penelitian.

Pasal 114 Yang dimaksud sarana/prasarana strategis, adalah sarana – prasarana yang dibangun untuk menunjang upaya peningkatan ketahanan nasional, seperti : a. Tower dan bangunan pengendali radio

komunikasi/ telepon, jaringan listrik tegangan tinggi, dan jaringan irigasi utama;

b. Bangunan untuk kepentingan pertahanan negara, antara lain bungker;

c. Sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah pertama yang tidak bertingkat (satu lantai) bagi masyarakat suku asli setempat;

d. Bangunan pencegah/pengendali bencana. Pasal 115

Pemerintah menetapkan peraturan menteri tentang norma,standar dan prosedur pemanfaatan ekosistem.

Pasal 115 Cukup jelas

BAB V PEMULIHAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

Bagian kesatu Pemulihan jenis

Pasal 116

(1) Pemulihan jenis bertujuan untuk memulihkan struktur, fungsi, dinamika populasi, serta habitat dari jenis tertentu yang terancam kelangsungan populasinya.

(2) Pemulihan jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pengamanan populasi dan defragmentasi habitat; b. penyelamatan, rehabilitasi, serta pelepasliaran jenis;

dan c. restorasi habitat.

Pasal 116 Cukup jelas

Pasal 117

Kegiatan pemulihan jenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) huruf a merupakan kegiatan pengamanan atas jenis yang mengalami gangguan dinamika populasi,

Pasal 117 Cukup jelas

Page 95: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

94 termasuk ke dalamnya kegiatan peminjaman jenis dan kegiatan defragmentasi atas habitat alaminya.

Pasal 118

Kegiatan pemulihan jenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) huruf b merupakan kegiatan penyelamatan dan/atau rehabilitasi atas jenis yang sebagian dari populasinya mendapatkan ancaman atas kelangsungan hidupnya, serta pelepasliaran kembali dan/atau reintroduksi ke habitat asalnya atau translokasi ke habitat yang sesuai.

Pasal 118 Cukup jelas

Pasal 119

(1) Kegiatan pemulihan jenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) huruf c ditujukan untuk mengembalikan fungsi habitat alam sehingga memadai untuk mendukung kesehatan populasi jenis tertentu.

(2) Kegiatan pemulihan jenis berupa restorasi habitat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melelui pemberian izin restorasi ekosistem.

(3) Izin restorasi ekosistem dapat diberikan Menteri kepada kepada BUMS atau BUMN.

Pasal 119 Cukup jelas

Pasal 120

Ketentuan lebih lanjut Pasal 117, Pasal 118 dan Pasal 119 diatur dengan dan berdasarkan Peraturan Menteri.

Pasal 120 Peraturan Menteri memuat antara lain : a. tata cara dan pelaksanaan pemulihan jenis b. mengenai tata cara permohonan dan pemberian

izin, c. pelaksanaan restorasi oleh BUMS atau BUMN.

Bagian kedua Pemulihan ekosistem

Pasal 121

(1) Pemulihan ekosistem bertujuan untuk memulihkan struktur, fungsi, dan dinamika sistem keanekaragaman hayati dari suatu ekosistem yang telah rusak atau terdegradasi.

(2) Pemulihan ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. mekanisme alam;

b. rehabilitasi; dan

c. restorasi.

Pasal 121 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pemulihan ekosistem merupakan upaya untuk mengembalikan ekosistem yang rusak atau tergradasi ke tingkat atau agar dapat berfungsi sebagaimana atau mendekati ekosistem aslinya. Ayat (2) Huruf a Kegiatan Pemulihan ekosistem dengan mekanisme alam atau suksesi alami merupakan upaya mengembalikan fungsi ekosistem dengan tanpa campur tangan manusia yang intensif.

Huruf b Kegiatan Pemulihan ekosistem melalui rehabilitasi merupakan upaya perbaikan ekosistem yang rusak atau tergradasi ke tingkat yang lebih baik agar sebagian dari fungsi-fungsi ekosistem dapat dikembalikan dengan introduksi jenis-jenis tumbuhan dan satwa asli setempat. Huruf c Pemulihan ekosistem melalui restorasi ditujukan untuk mengembalikan struktur, fungsi, keanekaragaman dan dinamika ekosistem sehingga tercapai keseimbangan ekosistem sebagaimana atau mendekati keadaan ekosistem aslinya

Page 96: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

95

(3) Kegiatan pemulihan ekosistem berupa rehabilitasi dan restorasi tidak boleh dilakukan di kawasan cagar alam dan/atau zona inti taman nasional.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pelaksanaan pemulihan ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf (b) dan (c), pada KSA dan KPA diatur dengan dan berdasarkan Peraturan Menteri.

Ayat (3) Cagar Alam dan Zona Inti Taman Nasional merupakan kawasan atau bagian dari kawasan konservasi yang dikelola dengan tujuan utama untuk mememelihara keaslian ekosistem sehinggga rehabilitasi atau restorasi di kawasan tersebut akan menghilangkan fungsi kawasan dan menghilangkan capaian tujuan pengelolaan. Apabila kerusakan cagar Alam atau Zona Inti Taman Nasional dipandang sudah tidak dapat dipulihkan melalui mekanisme suksesi alam, maka lebih baik dilakukan perubahan kategori kawasan atau perubahan zona pada taman nasional. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 122

(1) Kegiatan pemulihan ekosistem berupa restorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (2) huruf c dapat dilakukan melalui pemberian izin restorasi oleh Menteri.

(2) Izin restorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) deberkan kepada kepada BUMS atau BUMN.

(3) Izin restorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekaligus merupakan izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam, dan jasa penyerapan/penyimpanan karbon

(4) BUMS atau BUMN yang mendapat izin restorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib : a. pengamanan dan perlindungan b. Menyusun rencana restorasi jangka panjang dan

jangka pendek. c. Menyusun rencana pemanfaatan d. Melibatkan dan memberdayakan masyarakat

setempat e. Membayar pungutan dan f. Melaksanakan restorasi

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan pelaksanaan restorasi oleh BUMS atau BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan dan berdasarkan Peraturan Menteri.

Pasal 122 Cukup jelas

BAB VI KELEMBAGAAN

Bagian Kesatu Kerjasama pengelolaan kawasan konservasi

Pasal 123 Pasal 123

Page 97: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

96

(1) Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi

dalam pengelolaan kawasan konservasi Pemerintah dapat melakukan kolaborasi sebagian atau seluruh tugas pengelolaan kawasan konservasi dengan masyarakat

(2) Kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pembagian tanggung jawab, pembagian peran dan pembagian keuntungan yang adil bagi setiap pemangku kepentingan

(3) Kolaborasi pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan utamanya bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Kolaborasi pengelolaan hanya dapat dilakukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan dan bukan hanya untuk kepentingan keuntungan ekonomi semata. Kawasan konservasi yang sebagian pengelolaannya diberikan kepada pihak ketiga untuk tujuan keuntungan ekonomi harus melalui sistem perijinan.

Bagian kedua Pengelolaan oleh pihak ketiga

Pasal 124 (1) Pengelolaan satu atau sebagian wilayah Taman

Nasional, Taman Buru, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya, sebagaimana diatur dalam pasal 84 dapat dilaksanakan melalui pemberian izin pengelolaan;

(2) iIzin pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri, Gubernur atau Bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagamana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

Pasal 124 Cukup jelas

Pasal 125

(1) Menteri, Gubernur atau Bupati/walikota mencadangkan sebagian atau keseluruhan unit wilayah KPA sebagai areal izin pengelolaan.

(2) Areal yang dicadangkan adalah Kawasan yang terindikasi mengalami degradasi luar biasa, areal taman buru, atau kawasan KPA, KSA diwilayah tertentu dimana pemerintah belum mampu mendistribusikan sumberdaya yang cukup untuk dapat menjamin pengelolaan dapat dilaksnakan secara intensif

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagamana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2), diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

Pasal 125 Cukup jelas

Pasal 126

(1) Izin pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 diberikan kepada a. badan usaha milik swasta Indonesia; b. badan usaha milik negara; c. koperasi; atau

Pasal 126 Ayat (1) Cukup jelas

Page 98: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

97

d. kelompok masyarakat hukum adat

(2) Jangka waktu izin pengelolaan diberikan selama 55 (lima puluh lima) Tahun dan dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi oleh tim teknis.

(3) Pengelolaan KPA oleh pihak ketiga meliputi kegiatan : a. Perencanaan tapak b. Perlindungan c. Pengawetan d. pemanfaatan jasa wisata alam e. kerjasama dengan masyarakat lokal

(4) Kegiatan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak termasuk kewenangan publik,

(5) Izin pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan hak pemerintah untuk menyelamatkan,melindungi, melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya genetik, dan sumberdaya jenis

(6) Ketentuan lebih lanjut sebagamana dimaksud pada ayat

(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) kewenangan publik antara lain kewenangan polisional ayat (5) cukup jelas

Pasal 127

(1) Pemegang ijin wajib menyelesaikan pengukuhan tatabatas wilayah ijin kelolanya

(2) Pemengang izin pengelolaan wajib membayar : a. Iuran izin pengelolaan; b. Pungutan izin pengelolaan; c. Pungutan atas jasa lingkungan

(4) Pemegang ijin wajib bekerjasama dengan kelompok masyarakat lokal dan atau desa

(5) Hak-hak masyarakat lokal yang telah ada dan dilaksanakan secara turun menurun yang dikukuhkan dalam peraturan desa setempat, tetap terjamin pelaksanaannya

(6) Ketentuan lebih lanjut sebagamana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 127 Cukup jelas

Bagian Ketiga Kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah

Pasal 128

(1) Dalam perlindungan dan pengelolaan konservasi, Pemerintah bertugas dan berwenang: a. menetapkan kebijakan nasional; b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan

kriteria; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan

mengenai RPP- Kehati nasional; d. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam

hayati (KEHATI) nasional. mengembangkan standar kerja sama;

Pasal 128 Cukup jelas

Page 99: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

98

e. mengkoordinasikan dan melaksanakan pengawetan dan perlindungan Kehati tingkat Nasional

f. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan nonhayati, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa genetik;

g. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah dibidang Kehati;

h. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan dibidang pemanfaatan Kehati;

i. mengkoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian sengketa;

j. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan kehati;

k. mengelola dan menyelenggarakan transparansi informasi kehati nasional;

l. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan dibidang kehati

m. Melakukan pemberdayaan masyarakat agar dalam setiap kegiatan komersialisasi kehati masyarakat lokal mendapat pembagian keuntungan yang adil.

n. Mengalokasikan dana kehati dalam APBN sesuai dengan kebutuhannya.

(2) Dalam perlindungan dan pengelolaan konservasi,

pemerintah provinsi bertugas dan berwenang: a. menetapkan kebijakan Kehati tingkat provinsi; b. menetapkan dan melaksanakan kebijakan

mengenai RPP-Kehati provinsi; c. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam

hayati (kehati) dan pada tingkat provinsi; d. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama

dan kemitraan; e. mengoordinasikan dan melaksanakan

pengendalian kehati lintas kabupaten/kota; f. melakukan pembinaan dan pengawasan

terhadap pelaksanaan kebijakan, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota;

g. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan Kehati tingkat nasional;

h. melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang

Page 100: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

99

program dan kegiatan; i. mengelola informasi kehati tingkat provinsi; j. melakukan penegakan hukum pada tingkat

provinsi. k. Mengalokasikan dana kehati dalam APBD

sesuai dengan kebutuhannya.

(3) Dalam perlindungan dan pengelolaan konservasi, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang:

a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota; b. menetapkan dan melaksanakan kebijakan

mengenai RPP-Kehati kabupaten/kota; c. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya

alam hayati (kehati) pada tingkat kabupaten/kota; d. melakukan pembinaan dan pengawasan

ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan dan peraturan perundang-undangan;

e. mengelola informasi kehati tingkat kabupaten/kota;

f. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi kehati tingkat kabupaten/kota;

g. melakukan penegakan hukum pada tingkat kabupaten/kota.

h. Mengalokasikan dana kehati dalam APBD sesuai dengan kebutuhannya.

Bagian Keempat Pendanaan untuk konservasi

Pasal 129

(1) Pemerintah berkewajiban menyediakan pendanaan yang berkelanjutan untuk kegiatan konservasi;

(2) Pendanaan berkelanjutan untuk kegiatan konservasi dapat berasal dari: a. anggaran pemerintah, b. bantuan/hibah Negara lain dan c. hibah dari lembaga nasional dan internasional; d. Komitmen internasional yang berasal dari

penghapusan hutang luar negeri (3) Ketentuan lebih lanjut tentang pendanaan

berkelanjutan untuk konservasi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 129 Cukup jelas

BAB VII PEMBERDAYAAN DAN PERAN SERTA

MASYARAKAT

Bagian Kesatu Pemberdayaan

Pasal 130 Pemerintah melaksanakan pemberdayaan masyarakat melalui perluasan akses terhadap keanekaragaman hayati dan peningkatan kapasitas masyarakat

Pasal 130 Cukup jelas

Pasal 131

Perluasan akses terhadap keanekaragaman hayati kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130, dilakukan dalam bentuk:

Pasal 131 Cukup jelas

Page 101: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

100

a. pemberian izin Hak Kemasyarakatan Konservasi b. pengakuan hak perburuan tradisional terhadap satwa

liar yang dipantau pemanfaatannya c. pengakuan terhadap nilai-nilai religi d. pengakuan terhadap mobilitas tradisional (innocent

passage)

Pasal 132 Peningkatan kapasitas masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 130, dilakukan melalui:

a. pengakuan dan pengembangan nilai-nilai tradisional masyarakat

b. pendidikan dan pelatihan kelembagaan c. pendokumentasian dan penyebarluasan

pengetahuan dan kearifan tradisional berbasis keanekaragaman hayati

d. pendampingan e. pengembangan pola kemitraan

Pasal 132 Cukup jelas

Pasal 133

1) Setiap penetapan dan/atau perluasan kawasan konservasi dilakukan dengan mengakui hak-hak masyarakat adat setempat

2) Pengakuan hak masyarakat adat sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dapat berupa a. Perlindungan hak hidup dan hak berbudaya. b. Perlindungan wilayah hidup di dalam kawasan. c. Perlindungan hak perdata dalam kawasan. d. Kompensasi dan/atau ganti rugi atas hilangnya

hak. e. Relokasi atas permintaan masyarakat f. Terlibat dalam setiap perencanaan dan

pengelolaan kawasan konservasi. g. Pemberdayaan dalam rangka menyesuaikan pola

ekonomi yang sesuai dengan tujuan konservasi. 3) Pengakuan hak masyarakat adat sebagaimana tersebut

dalam ayat (1) dilakukan dengan surat keputusan pengakuan dari Menteri.

4) Menteri dapat mendelegasikan pemberian surat keputusan pengakuan hak masyarakat sebagaimana tersebut dalam ayat (3) kepada Kepala Balai Taman Nasional setempat.

5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.Peraturan Pemerintah

Pasal 133 Cukup jelas

Pasal 134

(1) Masyarakat dapat mengelola kawasan konservasi mandiri berbasiskan masyarakat diluar kawasan konservasi yang dikuasai dan/atau dikelola oleh Negara.

(2) Kawasan konservasi mandiri berbasiskan masyarakat ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usulan dan/atau pengajuan penetapan dari masyarakat.

(3) Pemerintah memberikan asistensi teknis, insentif pendanaan dan pengembangan kapasitas kepada masyarakat pemilik dan pengelola kawasan konservasi

Pasal 134 Cukup jelas

Page 102: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

101

berbasiskan masyarakat. (4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dan ayat (3), diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 135

(1) Pemberdayaan masyarakat dalam upaya mendukung kegiatan konservasi sumber daya alam hayati diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.

(2) Dalam pola pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati di masyarakat melalui pendidikan, pelatihan dan kesadartahuan/awarenes.

(3) Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah ditujukan kepada kelompok masyarakat yang terkena dampak langsung dari kegiatan konservasi kehati.

(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 135 Cukup jelas

Bagian Kedua Peran Serta Masyarakat

Pasal 136 (1) Masyarakat berperan aktif dalam kegiatan

konservasi kehati (2) Peran masyarakat dilakukan untuk:

a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kehati;

b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;

c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;

d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan

e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi kehati.

(3) Peran masyarakat dapat berupa: a. pengawasan sosial; b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan,

pengaduan; dan/atau c. penyampaian informasi dan/atau laporan. d. Melakukan kegiatan perlindungan, pengawetan

dan pemanfaatan kehati sesuai dengan

Pasal 136 Cukup jelas

Page 103: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

102

kemampuan yang dimiliki dan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII PENYELESAIAN SENGKETA

Bagian Kesatu Umum

Pasal 137 (1) Penyelesaian sengketa kegiatan Konservasi dapat

ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. (2) Pilihan penyelesaian sengketa kegiatan Konservasi

dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.

(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Pasal 137 Cukup jelas

Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa Konservasi di Luar

Pengadilan

Pasal 138 (1) Penyelesaian sengketa kegiatan Konservasi di luar

pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai: a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau

perusakan; c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan

terulangnya perusakan kawasan konservasi dan kehati; dan/atau

d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap kawasan konservasi dan kehati.

(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana konservasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

(3) Dalam penyelesaian sengketa kegiatan konservasi di luar pengadilan dapat digunakan: a. jasa mediator b. jasa arbiter c. Lembaga Penyedia Jasa Penyelesaian

Sengketa Lingkungan Hidup/SDA yang telah ada.

Pasal 138 Cukup jelas

Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa Konservasi Melalui Pengadilan

Paragraf 1 Ganti Kerugian dan Pemulihan Kawasan Konservasi

Pasal 139

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan kawasan konservasi yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau kawasan konservasi wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.

Pasal 139 Cukup jelas

Page 104: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

103

(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.

(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.

(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2 Tanggung Jawab Mutlak

Pasal 140

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya yang menimbulkan ancaman serius terhadap kawasan konservasi bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Pasal 140 Cukup jelas

Paragraf 3 Hak Gugat Masyarakat

Pasal 141

(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan kawasan konservasi.

(2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.

(3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 141 Cukup jelas

Paragraf 4 Hak Gugat Organisasi Konservasi

Pasal 142

(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan kawasan konservasi, organisasi konservasi berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi kawasan konservasi.

(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.

(3) Organisasi konservasi dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan: a. berbentuk badan hukum; b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya

bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup dan atau pelestarian sumberdaya alam; dan

c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.

Pasal 142 Cukup jelas

Paragraf 5 Gugatan Administratif

Page 105: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

104

Pasal 143

(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin pemanfaatan kehati kepada badan usaha dan/atau perorangan yang tidak dilengkapi dengan dokumen yang diwajibkan;

(2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

Pasal 143 Cukup jelas

BAB IX PENGAMANAN DAN PENYIDIKAN

Paragraf 1 Pencegahan dan penindakan

Pasal 144

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan terhadap tindakan yang dapat mengganggu terselenggaranya konservasi sumberdaya alam hayati.

Pasal 144 Cukup jelas

Pasal 145

Dalam rangka pencegahan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144, Pemerintah membuat kebijakan berupa:

a. perbaikan tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas dibidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekostemnya;

b. penetapan kawasan kawasan konservasi. c. Penghilangan terhadap kesempatan timbulnya

gangguan penyelanggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,

d. pemberdayaan masyarakat, dan penyuluhan.

Pasal 145 Cukup jelas

Pasal 146

Penghilangan kesempatan timbulnya gangguan penyelenggaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 huruf c, dilakukan melalui kegiatan:

a. pemantapan kawasan konservasi; b. menjaga kawasan kawasan konservasi dan

melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan genetik dan spesimen;

c. patroli disekitar kawasan konservasi; d. koordinasi dengan unit kerja terkait; e. meningkatkan kapasitas jejaring informasi; f. menetapkan areal batas kawasan konservasi

secara jelas; g. meningkatkan produktivitas masyarakat di sekitar

kawasan konservasi; h. memfasilitasi terbentuknya kelembagaan

masyarakat; i. mendorong terciptanya alternatif mata pencaharian

masyarakat. j. membentuk lembaga pengelola kawasan

Pasal 146 Cukup jelas

Page 106: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

105

konservasi pada tingkat tapak; dan k. peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya

manusia. Pasal 147

(1) Menjaga kawasan konservasi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 146 huruf b dilakukan melalui: a. penataan batas kawasan konservasi yang

disesuaikan dengan kategoresasi kawasan; b. mencantumkan luas kawasan konservasi; c. membuat peta kerawanan kawasan konservasi;

dan d. melengkapi sarana dan prasarana pengamanan

kawasan konservasi. (2) Kegiatan menjaga kawasan konservasi dan potensi

kawasan konservasi dapat dilakukan oleh masyarakat melalui pengamanan partisipatif masyarakat.

(3) Penjagaan kawasan konservasi dan potensi kawasan konservasi yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat hukum adat menjadi tanggung jawab masyarakat hukum adat.

(4) Penjagaan kawasan konservasi dan potensi kawasan konservasi yang pengelolaannya dilakukan oleh Badan Usaha Milik Swasta. menjadi tanggung jawab Badan Usaha Milik Swasta.

(5) Penjagaan kawasan konservasi dan potensi kawasan konservasi yang pemanfaatannya berada di bawah pemegang izin pemanfaatan dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pemegang izin tersebut.

Pasal 147 Cukup jelas

Pasal 148

(1) Patroli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 huruf c dilakukan di dalam dan di luar kawasan konservasi.

(2) Patroli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Polisi Kehutanan dan/atau PPNS Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. dan masyarakat.

Pasal 148 Cukup jelas

Pasal 149

(1) Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 huruf d ditujukan untuk menjaga kawasan kawasan konservasi, menjaga hasil kawasan konservasi, dan pelaksanaan patroli.

(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

(3) Dalam rangka koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masyarakat dapat memberikan dukungan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan koordinasi diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 149 Cukup jelas

Pasal 150 Pasal 150

Page 107: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

106

Peningkatan kapasitas jejaring informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 huruf e antara lain dilakukan melalui: a. pengembangan kelembagaan yang menangani data

dan informasi termasuk penanganan laporan kejadian atau kasus;

b. pembinaan sumber informasi; c. pengembangan kebijakan pengolahan data dan

informasi; dan c. peningkatan kapasitas aparatur pemerintah yang

menangani data dan informasi.

Cukup jelas

Paragraf 2 Penyuluhan

Pasal 151

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan penyuluhan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

(2) Penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terintegrasi dengan subsistem kekawasan konservasian dan program pada tingkat tiap administrasi pemerintahan.

(3) Pelaksanaan penyuluhan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 151 Cukup jelas

Paragraf 3 Penyidikan

Pasal 152

(1) Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan spesies, genetik dan ekosistem, kepada Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang bertanggung jawab di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekostemnya tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya, diberikan wewenang kepolisian khusus.

(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pengawai Negeri Sipil (PNS) yang diangkat

sebagai pejabat fungsional Polisi Kawasan konservasi;

b. pejabat struktural pusat maupun daerah yang sesuai dengan tugas dan fungsinya mempunyai wewenang dan tanggung jawab di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pasal 152 Cukup jelas

Pasal 153

Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 berwenang untuk:

a. mengadakan penjagaan, patroli/perondaan didalam kawasan kawasan konservasi dan diluar kawasan kawasan konservasi atau di wilayah hukumnya;

b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil kawasan konservasi di dalam kawasan

Pasal 153 Cukup jelas

Page 108: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

107

kawasan konservasi dan diluar kawasan kawasan konservasi atau di wilayah hukumnya;

c. memeriksa seseorang yang berada atau keluar di/dari kawasan kawasan konservasi;

d. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut kawasan konservasi, kawasan kawasan konservasi, dan hasil kawasan konservasi;

e. mencari dan meminta keterangan terkait tindak pidana yang menyangkut kawasan konservasi, kawasan kawasan konservasi, dan hasil kawasan konservasi

f. mencari dan mengamankan barang bukti tindak pidana yang menyangkut kawasan konservasi, kawasan kawasan konservasi, dan hasil kawasan konservasi;

g. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka dan mengamankan barang bukti untuk diserahkan kepada yang berwenang dan;

h. atas perintah penyidik, melakukan tindakan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan

i. membuat dan menandatangani laporan dan berita acara; j. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; dan k. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam

rangka penyidikan Pasal 154

Penyidikan dalam perkara tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Pasal 154 Cukup jelas

Pasal 155

(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, diberi wewenang khusus sebagai penyidik.

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana dimaksud pada Ayat(1), berwenang: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang

tentang adanya tindak pidana dan melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya;

b. Memanggil seorang untuk diperiksa dan dimintai keterangan sebagai saksi atau tersangka;

c. Membawa dan menghadapkan seorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya;

d. menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa surat atau tanda pengenal diri yang bersangkutan

e. Melakukan pemeriksaan terhadap badan, alat angkut dan/atau tempat tertentu yang diduga sebagai tempat tindak pidana dan/atau terdapat alat bukti tindak pidana;

f. Melakukan penangkapan, penahanan,

Pasal 155 Cukup jelas

Page 109: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

108

penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat i; g. Memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen; h. melakukan pemeriksaan atas pembukuan,

catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya;

i. Memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap tersangka, dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati;

j. mengambil sidik jari orang k. meminta bantuan dan/atau keterangan ahli dalam

rangka pelaksanaan penyidikan tindak pidana konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya;

l. memberikan tanda pengaman dan mengamankan tempat dan atau barang yang dapat dijadikan sebagai alat bukti terjadinya tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

m. melarang seseoorang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

n. Melakukan penyitaan terhadap alat dan/atau tempat yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana; .

o. Menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan alat anggkut dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati;

p. Membuat dan menandatangani berita acara pemriksaan;

q. Melakukan penghentian penyidikan; r. membuat dan menandatangani :

1) berita acara pemeriksaan; dan/atau 2) surat-surat lain yang menyangkut

penyidikan tindak pidana konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya

Pasal 156

(1) Untuk kepentingan penyidikan Penyidik dapat menahan tersangka paling lama 20 (dua puluh) hari;

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan untuk kepentingan periksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 10 (sepuluh) hari;

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi;

(4) Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, Penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.

Pasal 156 Cukup jelas

Page 110: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

109

Pasal 157

Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan laporan yang berasal dari masyarakat dan/atau instansi terkait

Pasal 157 Cukup jelas

Pasal 158

(1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157, penyidik berhak meminta kepada lembaga penyelenggara komunikasi untuk : a. membuka, memeriksa, dan menyita surat atau

kiriman melalui pos, serta jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang sedang diperiksa; dan/atau

b. meminta informasi pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan atas izin Ketua Pengadilan Negeri setempat atas permintaan penyidik untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

(3) Ketua Pengadilan Negeri setempat wajib memberikan izin untuk meminta informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permintaan dari penyidik.

(4) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan serta dipertanggung jawabkan kepada pejabat berwenang.

Pasal 158 Cukup jelas

Pasal 159

(1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.

(2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia.

(3) Gubernur Bank Indonesia wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak surat permintaan diterima.

(4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga sebagai hasil konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

(5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, pimpinan bank harus mencabut pemblokiran.

Pasal 159 Cukup jelas

Pasal 160

(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Polisi khusus dan PPNS dapat dilengkapi antara lain:

Pasal 160 Cukup jelas

Page 111: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

110

a. senjata api dan/atau alat pengaman diri lainnya;

b. kendaraan patroli darat, udara dan perairan;

c. sarana komunikasi. (2) Selain kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

polisi kekawasan konservasian wajib dilengkapi dengan pakaian seragam beserta atribut dan kelengkapannya serta sarana kerja lainnya

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) selain senjata api diatur oleh Menteri.

Pasal 161

Alat bukti pemeriksaan perbuatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, meliputi: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana; b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,

dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan/atau

c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, berupa: 1) tulisan, suara atau gambar; 2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan/atau 3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang

memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Pasal 161 Cukup jelas

Pasal 162

Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang : a. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau

terdakwa kepada unit kerja terkait; b. meminta bantuan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis

Transaksi Keuangan untuk melakukan penyelidikan atas data keuangan tersangka;

c. meminta kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian keluar negeri;

d. menetapkan seseorang sebagai tersangka dan dimasukkan dalam daftar pencarian orang; dan/atau

e. meminta kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.

Pasal 162 Cukup jelas

Pasal 163

(1) Penyidik wajib melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga keras berdasarkan bukti permulaan yang cukup melakukan tindak pidana konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya untuk paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam.

(2) Dalam hal waktu untuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, maka atasan langsung penyidik dapat memberi izin untuk memperpanjang penangkapan tersebut untuk paling

Pasal 163 Cukup jelas

Page 112: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

111

lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam. Pasal 164

Untuk mempercepat penyelesaian perkara konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya: a. penyidik wajib menyelesaikan dan menyampaikan berkas

perkara kepada penuntut umum paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak dimulainya penyidikan;

b. penuntut umum wajib melakukan penyidikan lanjutan paling lama 30 (tiga puluh) hari, dalam hal hasil penyidikan belum lengkap; dan

c. penuntut umum wajib melimpahkan perkara ke pengadilan paling lama 25 (dua puluh lima) hari sejak selesai penyidikan lanjutan.

Pasal 164 Cukup jelas

Pasal 165

(1) Penyidik yang melakukan penyitaan kayu hasil tindak pidana konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat: a. nama, jenis, sifat, dan jumlah; b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan

tahun dilakukan penyitaan; c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai

kayu hasil konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya;

d. tanda tangan dan identitas lengkap pejabat penyidik yang melakukan penyitaan; dan/atau

e. untuk daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau transportasi, kayu sitaan batas waktu penyerahannya paling lambat 14 (empat belas) hari.

(2) Penyidik bertanggung jawab atas penyimpanan barang sitaan yang berada di bawah penguasaannya.

(3) Penyitaan yang dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu paling lama 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Pasal 165 Cukup jelas

Paragraf 4 Perlindungan saksi

Pasal 166

(1) Setiap orang yang menjadi saksi, pelapor, dan informan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, wajib diberi perlindungan khusus oleh Pemerintah.

(2) Perlindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menghindari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta, termasuk keluarganya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 166 Cukup jelas

Pasal 167

Pasal 167

Page 113: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

112 Perlindungan keamanan bagi saksi, pelapor, dan informan berupa: a. perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga,

dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan laporan dan informasi yang akan, sedang, atau telah diberikan;

b. pemberian informasi mengenai putusan pengadilan; dan/atau

c. pemberitahuan dalam hal terpidana dibebaskan.

Cukup jelas

Pasal 168

(1) Pelapor dan informan tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas laporan dan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

(2) Perlindungan hukum tidak berlaku terhadap pelapor dan informan yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik

Pasal 168 Cukup jelas

Pasal 169

Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Pasal 169 Cukup jelas

Pasal 170

Mekanisme perlindungan hukum pelapor dan informan: a. pelapor dan informan mendapat perlindungan

hukum dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut: 1. sifat pentingnya keterangan pelapor dan

informan; 2. tingkat ancaman yang membahayakan pelapor

dan informan; 3. hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap

pelapor dan informan; dan 4. rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan

oleh pelapor dan informan. b. tata cara memperoleh perlindungan bagi pelapor

dan informan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 170 Cukup jelas

Pasal 171

Pasal 171

Page 114: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

113

(1) Pejabat yang berwenang wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada pelapor dan informan, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan.

(2) Perlindungan atas keamanan pelapor dan informan dihentikan berdasarkan alasan: a. pelapor dan informan meminta agar

perlindungan terhadapnya dihentikan dalam permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;

b. atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap pelapor dan informan berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan;

c. pelapor dan informan melanggar ketentuan yang tertulis dalam perjanjian; atau

d. instansi yang berwenang berpendapat bahwa pelapor dan informan tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.

(3) Penghentian perlindungan keamanan seorang pelapor dan informan harus dilakukan secara tertulis.

Cukup jelas

Pasal 172

Untuk melakukan pemberian perlindungan saksi, pelapor, dan informan, PPNS. Polisi Khusus dapat bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan/atau instansi terkait yang berwenang.

Pasal 172 Cukup jelas

BAB X KERJA SAMA KONSERVASI INTERNASIONAL

Pasal 173

(1) Dalam rangka kerja sama internasional konservasi di bidang keanekaragaman hayati Pemerintah dapat menjalin perjanjian-perjanjian internasional baik bilateral, regional maupun multilateral

(2) Untuk melaksanakan perjanjian-perjanian internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah wajib mengembangkan peraturan perundang-undangan nasional

Pasal 173 Cukup jelas

Pasal 174 Pemerintah menetapkan lembaga pemerintah terkait untuk menjadi penanggung jawab nasional kerja sama internasional sebagaimana dimaksud dalam pasal 173

Pasal 174 Cukup jelas

Pasal 175

(1) Dalam rangka kerja sama internasional di bidang pengelolaan ekosistem dan jenis Pemerintah mengatur pelaksanaan bagi beberapa Konvensi, atau Program Internasional diantaranya:

i. Konvensi Warisan Alam Dunia

Pasal 175 Cukup jelas

Page 115: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

114

ii. Konvensi Ramsar iii. Cagar Biosfer iv. CITES v. Konvensi Keanekaragaman Hayati

(2) Untuk melaksanakan Konvensi Warisan Alam Dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Pemerintah dapat mengajukan kepada Badan Dunia yang mengurusinya, kawasan konservasi menjadi Situs Warisan Dunia

(3) Untuk melaksanakan Konvensi Ramsar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pemerintah dapat mengajukan kepada Konvensi Ramsar, kawasan konservasi menjadi Situs Ramsar

(4) Untuk melaksanakan Program Cagar Biosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Pemerintah dapat mengajukan kepada Badan Dunia yang mengurusinya, kawasan konservasi menjadi zona inti Situs Cagar Biosfer serta mengelolanya bersama kawasan di sekitarnya di dalam kerangka pengelolaan Cagar Biosfer

(5) Dalam pengajuan usulan kawasan konservasi untuk menjadi situs-situs internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dan pemangku kepentingan yang berkaitan

(6) Situs-situs internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) wajib dikelola sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh Badan Internasional yang mengurusinya.

Pasal 176

(1) Pengelolaan Situs Cagar Biosfer sebagaimana dimaksud pada Pasal 175 ayat (4) dikoordinasikan oleh Pemerintah Provinsi setempat

(2) Apabila diperlukan Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membentuk Badan Pengelola Cagar Biosfer

Pasal 176 Cukup jelas

BAB XI SANKSI

Bagian kesatu Pasal 177

(3) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksid dalam Pasal 300 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2(dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)

(4) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksid dalam Pasal 29 huruf d dipidana dengan

Pasal 177 Cukup jelas

Page 116: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

115

pidana kurungan paling lama 3(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)

(5) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksid dalam Pasal 29 huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4(empat) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)

(6) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksid dalam Pasal 15 huruf d, huruf f, pasal 26 huruf c, pasal 27 huruf b, pasal 29 huruf a, huruf c, Pasal 47 ayat (1), Pasal 50 huruf b, huruf g, Pasal 51 huruf a, atau Pasal 107 huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 5(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 20.000.000,- (duapuluh juta rupiah)

(7) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksid dalam Pasal 15 huruf c, huruf e, huruf g, Pasal 26 huruf d, Pasal 49 huruf f, huruf g, Pasal 50 huruf a, huruf d, huruf f, Pasal 51 huruf b, Pasal 63 huruf a, huruf b, Pasal 71 ayat (1), ayat (2). Pasal 107 huruf d, huruf e, Pasal 108 huruf f, atau huruf h dipidana dengan pidana kurungan paling lama 7(tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 40.000.000,- (empatpuluh juta rupiah)

(8) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksid dalam Pasal 26 huruf e, huruf f, Pasal 27 huruf d, Pasal 63 huruf c, Pasal 108 huruf d, atau huruf e dipidana dengan pidana kurungan paling lama 8(delapan) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)

(9) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksid dalam Pasal 26 huruf b, Pasal 27 huruf a, huruf c, hurf e, Pasal 49 huruf b, huruf c, huruf d, huruf j, Pasal 50 huruf c, huruf e, Pasal 64 ayat (1), Pasal 107 huruf b, huruf f, Pasal 108 huruf c, huruf I, atau huruf g dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)

(10) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksid dalam Pasal 49 huruf i, atau Pasal 50 huruf i, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 12(duabelas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1000.000.000,- (satu milyar juta rupiah)

(11) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksid dalam Pasal 27 huruf h, Pasal 49 huruf h, Pasal 50 huruf h, Pasal 107 huruf a, Pasal 108 huruf , atau Pasal 108 huruf b, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah)

(12) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksid dalam Pasal 27 huruf f dipidana dengan pidana kurungan paling lama 25(duapuluh lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)

(13) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksid dalam Pasal 15 huruf a, huruf b, Pasal 26 huruf a, atau Pasal 49 hurf e dipidana dengan pidana kurungan paling lama seumur hidup dan denda paling

Page 117: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

116

banyak Rp. 50.000.000.000,- (limapuluh milyar rupiah) Bagian Kedua

Sanksi terhadap korporasi

Pasal 178

(1) Dalam hal tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistenya, dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

(2) Perbuatan tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistenya dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang perorangan baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

Pasal 178 Cukup jelas

Pasal 179

(1) Dalam hal korporasi dijatuhi pidana, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

(2) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di sidang pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

(3) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah sepertiga untuk masing-masing pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 179 Cukup jelas

Pasal 180

Selain dapat dijatuhi pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan.

Pasal 180 Cukup jelas

Bagian ketiga Ganti rugi dan sanksi administrasi

Pasal 181 (14) Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur

dalam undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 177 mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.

(15) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 177 dikenakan

Pasal 181 Cukup jelas

Page 118: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

117

sanksi administratif. (16) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima Sitaan dan rampasan

Pasal 182

(1) Apabila terjadi pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27, 29 dan 30 spesimen tumbuhan dan satwa liar tersebut dirampas untuk negara;

(2) Spesimen hidup tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi mutlak yang dirampas untuk negara dititipkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi ex situ tumbuhan dan satwa liar, atau apabila memungkinkan, dikembalikan ke habitatnya atau dimanfaatkan sebagai induk perbanyakan tumbuhan atau pengembangbiakan satwa liar, atau apabila sudah tidak memungkinkan dipertahankan hidupnya maka lebih baik dimusnahkan.

Pasal 182 Ayat (1) Yang dimaksud dengan dirampas untuk negara adalah bahwa disamping dirampas sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, juga memberikan kewenangan kepada pejabat yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk menguasai dan menyelamatkan tumbuhan dan satwa sebelum proses pengadilan dilaksanakan. Termasuk dalam pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah memiliki, menguasai, dan atau memperdagangkan produk atau barang yang dinyatakan dalam kemasan atau diiklankan melalui media massa mengandung spesimen jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi mutlak. Ayat (2) Tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi mutlak sedapat mungkin harus dikembalikan ke habitat aslinya. Namun spesimen hasil kejahatan yang dirampas sering tidak diketahui daerah atau habitat asal spesimen tersebut atau karena telah cukup lama berada di lingkungan manusia maka spesimen tumbuhan atau satwa liar tersebut dinilai tidak dapat beradaptasi dengan atau bertahan hidup di habitatnya. Oleh karena itu maka tumbuhan dan satwa liar tersebut dititipkan kepada lembaga yang bergerak di bidang konservasi ex situ tumbuhan dan satwa liar untuk dikembangbiakkan bagi kepentingan pelestarian jenis tersebut. Selain itu penitipan juga diperlukan apabila spesimen yang dirampas tersebut diperlukan untuk dijadikan barang bukti di pengadilan. Spesimen titipan tersebut masih tetap milik negara, dan apabila ada keuntungan dari komersialisasi spesimen tersebut, maka harus ada pembagian keuntungan yang memadai bagi negara. Hanya apabila diyakini tidak akan menimbulkan masalah penegakan hukum di masa yang akan datang, maka spesimen hasil rampasan dapat juga dijadikan induk perbanyakan tumbuhan secara buatan atau induk pengembangbiakan satwa liar untuk kepentingan komersial dengan status induk milik negara dan pembagian keuntungan yang memadai bagi negara. Pengembalian ke habitat alamnya harus dilaksanakan dengan hati-hati dan dengan memperhatikan habitat asal-usul spesimen, keadaan dan status populasi, kemungkinan hidup dan berkembang biaknya secara alami spesimen yang dikembalikan ke habitatnya, masalah penegakan hukum serta kondisi fisik dan kesehatan spesimen dimaksud.

Page 119: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

118

(3) Spesimen mati tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi mutlak atau bagian-bagiannya atau turunan-turunannya yang dirampas untuk negara diserahkan kepada museum zoologi atau herbarium atau lembaga penelitian atau apabila tidak mempunyai nilai ilmiah yang memadai lagi, maka lebih baik dimusnahkan;

(4) Spesimen hidup tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi terbatas yang dirampas untuk negara dapat dilelang, atau bila memungkinkan dikembalikan ke habitatnya atau apabila sudah tidak memungkinkan, atau dapat menimbulkan persoalan penegakan hukum, maka lebih baik dimusnahkan;

Apabila keadaan sudah tidak memungkinkan untuk mempertahankan spesimen hasil rampasan dalam keadaan hidup karena rusak, cacat, mengidap penyakit berbahaya dan secara medis veteriner dinyatakan tidak dapat disembuhkan atau tidak memungkinkan hidup, maka lebih baik dimusnahkan. Lembaga yang dimaksud dalam ayat ini dapat berupa lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah, misalnya taman satwa, kebun botani, museum zoologi, herbarium, pusat penyelamatan satwa dan sebagainya yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Pemerintah. Ayat (3) Spesimen mati tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi mutlak apabila keadaannya sudah rusak atau secara ilmiah sudah tidak mempunyai nilai misalnya telah dijadikan barang-barang hiasan, atau pakaian, termasuk tas, sepatu, dompet dan ikat pinggang, atau sudah tidak utuh lagi, dan telah banyak mengalami modifikasi maka lebih baik dimusnahkan. Ayat (4) Sebagaimana jenis yang dilindungi mutlak pengembalian spesimen hidup jenis yang dilindungi terbatas ke habitat alamnya harus dengan pertimbangan yang sangat matang karena tanpa pertimbangan tersebut pengembalian ke habitat alam justru menghambat populasi di habitat alamnya untuk berkembang karena misalnya tertular penyakit dari spesimen reintroduksi atau mengalami persaingan pakan dan habitat akibat adanya populasi baru yang menyebabkan terjadinya perkelahian dan dapat menibmulkan kematian. Namun demikian karena penanganan hasil rampasan sulit karena tidak dapat terlalu lama dalam penampungan sementara, terutama apabila terdapat dalam jumlah yang besar, dan apabila pengembalian ke habitat alam sulit, serta apabila mempunyai nilai komersial yang cukup tinggi, maka mengingat kondisi populasinya yang belum terancam bahaya kepunahan, spesimen hidup hasil rampasan lebih baik dilelang. Yang dimaksud dengan menimbulkan persoalan penegakan hukum apabila dilepas kembali ke habitat alamnya adalah antara lain spesimen yang telah dilepaskan kembali ke habitat alam akan mudah diambil atau ditangkap kembali secara tidak sah dan beredar kembali untuk dikomersialkan, sehingga pelepasan kembali ke habitat alam sama sekali tidak membantu konservasi jenis yang bersangkutan. Ayat (5) penjelasan ayat (4). Ayat (6) Sesuai dengan ketentuan konvensi internasional mengenai kontrol perdagangan jenis-jenis flora dan fauna maka hasil rampasan spesimen yang

Page 120: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

119

(5) Spesimen mati tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi terbatas yang dirampas untuk negara dapat dilelang, atau apabila dapat menimbulkan persoalan dalam penegakan hukum, lebih baik dimusnahkan;

(6) Spesimen tumbuhan dan satwa liar yang berasal dari luar wilayah Republik Indonesia yang dirampas untuk negara, apabila diperlukan, dapat dikembalikan ke negara asalnya dengan biaya dari penerima, atau pengirim atau dari Pemerintah Negara yang bersangkutan;

(7) Hasil lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5) dapat dipergunakan untuk membiayai pelaksanaan penegakan undang-undang ini dan sebagai insentif bagi petugas dan pihak-pihak yang berjasa;

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan keputusan penanganan spesimen rampasan, lelang, temuan, pembiayaan penegakan hukum dan insentif bagi penegakan hukum diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

melanggar ketentuan-ketentuan konvensi dapat dikembalikan ke negara asal apabila diperlukan. Biaya pengembalian ke negara asal tersebut dibebankan terutama kepada penerima atau importir di Indonesia. Apabila karena suatu sebab importirnya tidak dapat melaksanakan kewajiban tersebut maka biaya pengembalian dibebankan kepada pengirim atau eksportir di negara asal, atau oleh Pemerintah Negara yang bersangkutan. Dalam hal ketiga kemungkinan pembiayaan pengembalian spesimen rampasan yang berasal luar negeri tidak dapat dilakukan, maka spesimen hidup tumbuhan atau satwa liar dapat dititipkan kepada lembaga yang bergerak dalam bidang konservasi ex situ, atau dimusnahkan, serta bagi spesimen mati harus dimusnahkan. Ayat (7) Tanpa mengurangi arti dari ketentuan perundang-undangan mengenai pendapatan negara baik pajak maupun bukan pajak, maka hasil lelang dari spesimen tumbuhan dan satwa liar hasil rampasan dapat secara langsung dipergunakan untuk membiayai kegiatan penegakan hukum. Sesuai dengan ketentuan konvensi internasional mengenai kontrol perdagangan jenis-jenis flora dan fauna sebagian hasil lelang juga dapat digunakan sebagai insentif bagi para petugas yang berhasil menggagalkan kegiatan tidak sah. Ayat (8) Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur alternatif-alternatif penanganan spesimen hasil rampasan baik hidup maupun mati, termasuk criteria-kriteria dan syarat-syarat bagi spesimen hasil rampasan yang akan dikembalikan ke habitat alamnya. Selain itu diatur tentang lelang spesimen hasil temuan atau hasil rampasan, termasuk pemanfaatan uang hasil lelang bagi pembiayaan penegakan hukum dan insentif bagi penegak hukum yang berjasa.

Pasal 183 (1) Apabila terjadi pelanggaran terhadap larangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 yang pelakunya tertangkap dan atau spesimennya dirampas di luar negeri, maka spesimen tumbuhan dan satwa liar tersebut diminta untuk dikembalikan ke Indonesia dan menjadi milik negara;

Pasal 183 Ayat (1) Tumbuhan dan satwa liar, yang karena terkait dengan pelanggaran ketentuan international mengenai peredaran tumbuhan dan satwa liar, pelakunya tertangkap dan atau spesimennya dirampas di luar negeri, maka spesimen tersebut perlu dikembalikan ke Indonesia untuk kepentingan penyidikan, dan bagi spesimen hidup jenis-jenis

Page 121: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

120

(2) Biaya pengembalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditanggung oleh tersangka pengirim, apabila diketahui, atau apabila peraturan perundang-undangan di negara tempat dirampasnya spesimen memungkinkan, oleh penerima, atau oleh Pemerintah;

(3) Apabila karena suatu hal kemungkinan pengembalian spesimen rampasan di luar negeri tidak dapat dilakukan, maka spesimen hidup tumbuhan atau satwa liar dapat diminta untuk dititipkan kepada lembaga yang bergerak dalam bidang konservasi ex situ, atau apabila tidak memungkinkan lebih baik dimusnahkan, serta bagi spesimen mati harus dimusnahkan.

yang dilindungi mutlak apabila masih memungkinkan, untuk dilepas-liarkan kembali ke habitat alam. Ayat (2) Dalam hal pengirim (eksportir) spesimen tumbuhan dan satwa liar yang diduga melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dapat diketahui keberadaannya maka pengirim wajib menanggung semua biaya pengembalian spesimen tersebut ke Indonesia tanpa harus menunggu proses peradilan. Namun demikian apabila karena suatu sebab pengirim spesimen tidak dapat diketahui keberadaannya, atau melarikan diri, maka biaya pengiriman kembali spesimen hasil rampasan dapat dimintakan untuk ditanggung oleh penerima (importir) dalam hal peraturan perundang-undangan di negara tersebut memungkinkan. Apabila kedua hal tersebut masih tidak mmungkinkan, maka biaya pengembalian dapat ditanggung oleh Pemerintah atau Pemerintah dapat mencari sumber pembiayaan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Ayat (3) Apabila spesimen tumbuhan dan satwa liar yang dirampas di luar negeri tidak dapat dikembalikan ke Indonesia maka Pemerintah meminta kepada lembaga otoritas di negara yang bersangkutan untuk menitipkan spesimen hidup jenis tumbuhan atau satwa liar yang dilindungi mutlak. Bagi spesimen mati jenis tumbuhan atau satwa liar yang dilindungi mutlak, atau spesimen hidup maupun mati jenis tumbuhan atau satwa liar yang dilindungi terbatas, maka Pemerintah meminta kepada lembaga otoritas di negara yang bersangkutan untuk memusnahkan spesimen dimaksud.

Pasal 184

(1) Kekayaan negara berupa spesies, genetik dan barang lainnya baik berupa temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 dilelang untuk Negara.

(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri

Pasal 184 Cukup jelas

Bagian keenam Insentif

Pasal 185 Setiap orang dan penegak hukum yang berjasa dalam upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berhak mendapatkan insentif dari Pemerintah.

Pasal 185 Cukup jelas

BAB XII PERALIHAN

Pasal 186

1) Paling lambat dua tahun sejak undang-undang ini berlaku, pemerintah berkewajiban untuk membentuk badan khusus yang bertugas untuk menyelesaikan konflik-konflik konservasi masa lalu.

2) Penyelesaian konflik masa lalu dilakukan melalui

Pasal 186 Cukup jelas

Page 122: RANCANGAN UNDANG-UNDANG · PDF filerancangan undang-undang “bersama naskah akademis” tentang . konservasi keanekaragaman hayati (penyempurnaan uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi

121

pengakuan hak masyarakat dalam konservasi diantaranya : a. Perlindungan hak hidup dan hak berbudaya dan

perlindungan wilayah hidup di dalam kawasan. b. Perlindungan hak perdata dalam kawasan. c. Kompensasi dan/atau ganti rugi atas hilangnya

hak. d. Relokasi e. Melibatkan masyarakat dalam setiap perencanaan

dan pengelolaan kawasan konservasi. f. Melakukan pemberdayaan dalam rangka

menyesuaikan pola ekonomi yang sesuai dengan tujuan konservasi.

Pasal 187

Pada saat berlaku undang-undang ini maka Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekositemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembara Negara Republik Indonesia Nomor 3419) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku

Pasal 187 Cukup jelas

Paal 188

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang tentang Keanekaragaman Hayati ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Pasal 188 Cukup jelas

Disahkan di Jakarta Pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DR. SUSILO BAMBANG YUDOYONO

Diundangkan di Jakarta Pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR ………