rancangan undang - undang tent ang konservasi...
TRANSCRIPT
RANCANGAN UNDANG - UNDANG
TENT ANG
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI
DAN EKOSISTEMNYA
JAKARTA, 1989
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
NOMOR: TAHUN
TENTANG
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
Menimbang
Mengingat
DEN GAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
a. bahwa sumber daya alam hayati Indonesia adalah karunia Tuhan Yang
Maha Esa dan oleh karena itu perlu dimanfaatkan secara lestari, selaras,
serasi, dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada
khususnya dan umat manusia pada umumnya;
b. bahwa sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya sating
tergantung antara satu dengan yang lainnya dan sating mempengaruhi
sehingga kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya eko
sistem;
c. bahwa penibangunan pada hakekatnya adalah usaha pemanfaatan sumber
daya alam termasuk sumber daya alam hayati, dan ditujukan bagi kese
jahteraan umat manusia;
d. bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat
berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-lang
kah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya da
pat selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta
melekat dengan pembangunan itu sendiri;
e. bahwa sehubungan dengan hal-hal di atas., dipandang perlu menetapkan
ketentuan mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem
nya dalam suatu Undang-undang.
I. Pasal 5 ayat (1 ), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 33 Undang-undang Dasar
1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2823);
1
Menetapkan
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
4. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Ne
gara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA:
MEMUTUSKAN:
Dengan mencabut:
1. Dierenbeschermings Ordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nomor 134; 2. Jacht Ordonnantie 1931Staatsblad1931Nomor133;
3. Jacht Ordonnantie Java en Madoera 1940 Staatsblad 1939 Nomor 733.
4. Natuurbeschermings Ordonnantie 1941 Staatsblad 1941 Nomor 167;
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENT ANG KON SER VASI
SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA.
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya
alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa), yang bersama dengan unsur
bukan hayati disekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem;
2. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur da
lam alam baik hayati maupun bukan hayati yang saling tergantung dan pengaruh mem
pengaruhi;
3. Tumbuhan adalah semua jenis sumber daya alam nabati baik yang hidup di darat maupun
di air;
4. Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup baik di darat, di air maupun
di udara;
5. Tumbuhan liar dan satwa liar adalah semua jenis sumber daya alam hayati yang hidup baik
di darat, di air maupun di udara, kecuali ikan dan ternak baik yang masih hidup b~bas
dihabitatnya maupun tidak;
6. Habitat adalah lingkungan dimana tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang se
cara alami.
2
Pasal 2
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya
kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Pasal 3
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewa
jiban Pemerintah serta masyarakat.
Pasal 4
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:
a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa;
c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
BAB II PERLINDUNGAN SISTEM PENYANGGA KEHIDUPAN
Pasal 5
Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan bukan
hayati yang menjamin kelangsungan kehidupan mahluk.
Pasal 6
Kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologi
yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
umat manusia pada umumnya.
Pasal 7
(1) Untuk mewujudkan tujuan sebagaijnana dimaksud dalam pasal 6, Pemerintah:
a. menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidup-
an;
b. menetapkan pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
c. mengatur cara pemanfaatan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan.
(2) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
( 1) Setiap pemegang hak atas tanah di dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib men
jaga kelangsungan fungsi perlindungan dari wilayah tersebut.
3
(2) Dalam rangka pelaksanaan kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pemerintah
melakukan tindakan penertiban terhadap penguasaan dan pengelolaan tanah yang terletak
dalam wilayah perlindungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7.
(3) Tindakan penertiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa penertiban penggunaan
tanah dan pembatalan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang
an yang berlaku.
BAB Ill
PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
Pasal 9
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan konservasi
yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
Pasal 10
(1) Tumbuhan dan satwa digolongkan kedalam jenis:
a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.
(2) Jenis satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat ( l) digolongkan dalam:
a. satwa dalam bahaya kepunahan;
b. satwa yang populasinya jarang.
(3) Penentuan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi serta kriteria golongan satwa sebagai
mana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
( 1) Upaya pengawetan tumbuhan dan satwa dilakukan di dalam dan di luar habitat.
(2) Pengawetan tumbuhan dan satwa di dalam habitat dilakukan dengan menjaga agar populasi
semua jenis tumbuhan dan satwa tetap seim bang di habitatnya.
(3) Pengawetan tumbuhan dan satwa di luar habitat dilakukan dengan menjaga dan mengem
bangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa oleh lembaga-lembaga yang ditentukan dalam
Undang-undang ini.
Pasal 12
( 1) Setiap orang dilarang untuk :
a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memelihara, mengangkut dan mempemiaga
kan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup
atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
4
(2) Setiap orang dilarang untuk: a. menangkap, mefukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup atau mati;
b. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di
dalam atau di luar Indonesia;
c. memperniagakan, menyimpan, atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa
yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian~bagian satwa tersebut atau
mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar
Indonesia;
d. mengambil, merusak, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan· atau sarang
satwa yang dilindungi.
Pasal 13
(1) Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 hanya dapat dilakukan
untuk keperluan ilmu pengetahuan dan atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang -
bersangkutan.
(2) Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemberian
atau penukaran satwa kepada pihak lain di luar negeri yang disetujui Pemerintah.
(3) Pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi dapat
pula dilakukan dalam hal oleh karena sesuatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan ke
hidupan manusia.
(4) Pelaksanaan lebih lanjut m.engenai ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
(1) Apabila terjadi pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, maka
tumbuhan dan satwa tersebut dirampas oleh Negara.
(2) Tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk Negara
dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang
pelestarian tumbuhan dan satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan
sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan.
Pasal 15
(1) Pengawetan tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan dalam bentuk
pemeliharaan atau pengembangbiakkan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk untuk itu. '
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan dan pembentukan lembaga sebagaimana dimak-
sud dalam ayat ( 1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
5
Pasal 16
Pemasukan tumbuhan dan satwa liar dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PEMANF AA TAN SECARA LEST ARI SUMBER DAY A ALAM HAY ATI
DAN EKOSISTEMNY A
Pasal 17
Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilaksanakan dengan mem
perhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, keragaman jenis sumber daya alam yang bersang
kutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 18
(1) Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati yang berupa tumbuhan dan satwa liar
dapat dilaksanakan dalam bentuk:
a. pemeliharaan untuk kesenangan;
b. pengkajian, penelitian dan pengembangan;
c. perburuan;
d. penangkaran;
e. peragaan; dan
f. perdagangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(l) Perburuan satwa liar hanya dapat dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan
populasi satwa yang bersangkutan dengan habitatnya dan hanya dapat dilakukan dengan izin
berburu.
(2) Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai perburuan termasuk alat perlengkapan dan
pungutan yang dikenakan untuk itu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
6
BABY
KAWASAN SU AKA ALAM
Pasal 20
Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di darat maupun di perairan
yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya.
Pasal 21
Kawasan suaka alam terdiri dari:
a. Cagar Alam yaitu kawasan suaka alam yang mempunyai kekhasan tum buhan, satwa dan eko
sistemnya atau ekosistem tertentu yang perkembangannya diserahkan kepada alam.
b. Suaka Margasatwa yaitu kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keragaman
dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pem
binaan terhadap habitatnya.
Pasal 22
Pengelolaan kawasan suaka alam dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai upaya pengawetan sumber
daya alam hayati.
Pasal 23
(1) Dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidik
an, penelitian dan pengembangan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
(2) Dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan ilmu pengetahuan,
pendidikan, penelitian dan pengembangan, wisata terbatas dan kegiatan lainnya yang menun
jang budidaya.
(3) Bentuk kegiatan yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Peme
rintah.
Pasal 24
(I) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan
kawasan suaka alam.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kegiatan pem binaan habitat
untuk kepentingan satwa di dalam suaka marga satwa.
(3) Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam serta menambah
jenis tumbuhan dan jenis satwa lain.
7
Pasal 25
Ketentuan-ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penetapan dan pemanfaatan suatu wilayah
sebagai kawasan suaka alam beserta penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah
penyangga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Dalam rangka kerjasama konservasi internasional khususnya dalam rangka kegiatan sebagai
mana ditnaksud dalam Pasal 23, kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya dapat di
tetapkan sebagai Cagar Biosfer.
(2) Syarat-syarat dan penentuan suatu kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya se
bagai cagar biosfer diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KAWASAN PELESTARIAN ALAM
Pasal 27
Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di darat maupun di
perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan kera
gaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Pasal 28
( 1) Kawasan Pelestarian Alam dapat berupa:
a. Taman Nasional, yaitu kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistim zonasi,
terdiri dari zona inti dan zona atau zona-zona lain yang dimanfaatkan untuk tujuan ilmu
pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan rekreasi;
b. Taman Hutan Raya, yait1:1, kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk
tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa, alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan
asli, ilmu pengetahuan, pendidikan dan latihan, budaya, pariwisata dan rekreasi;
c. Taman Wisata Alam, yaitu kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk
pariwisata dan rekreasi alam.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu wilayah sebagai kawasan pelestarian alam
dan pemanfaatannya beserta penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah
penyangga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8
Pasal 29
(1) Pemanfaatan taman-taman untuk berbagai kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
dilakukan dengan tetap memperhatikan fungsi pokok taman sebagai kawasan pe]estarian
alam.
(2) Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), da]am zona
inti taman nasional hanya dapat dilakukan kegiatan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Pasal 30
( 1) Di dalam zona inti taman nasional setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengaki
batkan atau dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti dalam arti mengu
rangi a tau menghilangkan populasi a tau jenis sumber day a alam hayati yang terdapat di dalam
nya.
(2) Di zona lain taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam setiap orang dilarang
melakukan kegiatan yang bertentangan dengan fungsi taman tersebut.
Pasal 31
(1) Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam diJakukan oleh Pe
merintah.
(2) Di dalam zona pengembangan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, Pe
merintah dapat memberikan izin-izin usaha pemanfaatan dan pengembangan sarana kepari
wisataan dengan mengikutsertakan masyarakat. (3) Pengusahaan kegiatan wisata alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
PasaJ 32
DaJam keadaan tertentu dan sangat diperlukan untuk mempertahankan atau memulihkan keles
tarian sumber daya alam hayati, Pemerintah dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan dan me
nutup taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata a]am sebagian atau seluruhnya untuk
selama waktu tertentu.
BAB VII PENYIDIKAN
Pasal 33
( 1) Selain pejabat penyidik Polisi Negara Republik Indonesia, juga pejabat pegawai negeri sipil
tertentu dilingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi
pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Norn or 8 Tahun 1981 tentang
9
Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang konservasi sum
ber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tin
dak pidana dibidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dibidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
c. memeriksa tanda pengenal orang yang berada dalam kawasan konservasi;
d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
e. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan peristiwa
tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem-nya;
f. membuat dan menandatangani Berita Acara;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pi
dana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
h. meminta petunjuk dan bantuan penyidik kepada penyidik POLRI.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan
dan melaporkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan
Pasal 107 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB VIII
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 34
(I) Dalam rangka pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, Peme
rintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyerahan sebagian urusan di bidang pelaksanaan kon
servasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (I)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BABIX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 35
(I) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam pasal 24 dan
pasal 30 ayat (I) dipidana dengan pidana penjara paling lama I 0 (sepuluh) tahun dan atau
denda paling banyak 100 (seratus) juta rupiah.
IO
(2) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam pasal 12 di
pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 5
(lima) juta rupiah.
(3) Barangsiapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan dalam Pasal 1 2 ini dipidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak 2 (dua) juta rupiah.
Pasal 36
(1) Perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) adalah ke
jahatan.
(2) Perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) adalah pelanggaran.
BABX
KETENTUAN PERALlllAN
Pasal 37
Hutan suaka alam dan hutan wisata yang telah ditunjuk dan ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang ini tetap sebagai kawa
san suaka alam dan kawasan hutan wisata berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 38 Dengan berlakunya Undang-undang ini semua ketentuan peraturan pe1aksanaan di bidang kon
servasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang telah ada tetap berlaku sepanjang belum
ditetapkan atau tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
BABXI
KETENTUANPENUTUP
Pasal 39
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
11
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini de
ngan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Diundangkan di J a k a r t a
pada tanggal
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MOERDIONO
Disahkan di J a k a r t a
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA T AHUN NOMOR:
12
RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG
PENJELASAN UMUM
NOMOR: TAHUN
TENTANG
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI
DAN EKOSISTEMNY A
Bangsa Indonesia dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kekayaan yang berupa sumber daya
alam yang berlimpah baik di darat, di perairan maupun di udara yang merupakan modal dasar bagi
usaha pembangunan nasional disegala bidang.
Modal dasar sumber daya alam tersebut harus dimanfaatkan secara optimal bagi kescjahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan manusia menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan,
dan keseimbangan baik antara manusia dengan Tuhan penciptanya antara manusia dengan masya
rakat maupun antara manusia dengan ekosistemnya.
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya
alam dan terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa batu-batuan dan kcindahan pe
mandangan alam dan lain sebagainya yang masing-masing mempunyai fungsi dan manfaat, sebagai
unsur pembentuk lingkungan hidup yang kehadirannya tidak dapat diganti begitu saja dengan je
nis yang lain. Karena sifatnya yang tak dapat diganti dan peranannya bagi kehidupan manusia,
maka upaya konservasi sumbe.r daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi kcwajiban
mutlak dari tiap generasi dimanapun berada dan pada zaman kapanpun.
Berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya erat kaitannya dengan ter
capainya tiga sasaran pokok konservasi yaitu:
1. Menjamin terpeliharanya proses ekologi yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi
kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga ke
hidupan);
2. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sum ber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya, sehing
ga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan
pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejah
teraan (pengawetan sumber plasma nutfah).
3. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati, sehingga terjamin kelesta
riannya. Akibat sampingan penetrapan ilmu dan teknologi yang kurang bijaksana, belum har
monisnya penggunaan tanah dan belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal telah
mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi dan penurunan potensi sumber daya
alam hayati.
13
Oleh karena sifatnya yang luas dan menyangkut kepentingan masyarakat secara keseluruhan,
maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan kewajiban ber
sama Pemerintah dan seluruh masyarakat, dan untuk menjamin penyelenggaraannya perlu diatur
dengan Undang-undang.
Dalam pada itu, kita menghadapi kenyataan bahwa hingga saat ini peraturan perundang
undangan yang mengatur konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang bersifat
nasional belum ada. Peraturan perundang-undangan warisan jaman penjajahan beranekaragam coraknya, sehingga
tidak sesuai lagi dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan bangsa Indonesia.
Perubahan-perubahan yang menyangkut aspek-aspek pemerintahan, perkembangan kependu
dukan dan ilmu pengetahuan, serta tuntutan keberhasilan pembangunan pada saat ini menghen
daki peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem
nya yang bersifat nasional yang sesuai dengan aspirasi bangsa Indonesia.
Begitu juga pengelolaan kawasan Pelestarian Alam dalam bentuk Taman Nasional, Taman
Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, yang menyatukan fungsi perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan jenis dan ekosistem, dan fungsi pelestarian. Pemanfaatan sumber daya
alam hayati merupakan perkembangan baru dalam upaya konservasi sumber daya alam hayati
belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada.
Sedangkan peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional yang ada kaitannya dengan
sumber daya alam hayati seperti: Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-keten
tuan Pokok Kehutanan, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Lingkungan Hidup dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan belum
mengatur materi konservasi alam secara lengkap dan tidak dapat dipakai sebagai dasar hukum
untuk pengaturan lebih lanjut mengenai bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem
nya.
Undang-undang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang bersifat nasional
dan menyeluruh sangat diperlukan sebagai dasar hukum dalam upaya konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya khususnya yang menyangkut perlindungan, pengawetan plasma nutfah,
keanekaragaman jenis, gejala dan keunikan alam agar dapat menjamin pengembangan ilmu pe
ngetahuan dan teknologi, penangkaran, pemuliaan, wisata alam dan budidaya bagi kescjahteraan
manusia.
Undang-undang ini memberikan ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok dalam penyeleng
garaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sedangkan pelaksanaannya dise
rahkan kepada Peraturan Pemerintah.
14
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Anglea 1. Cukup jelas.
Anglea 2. Cukup jelas.
~gka 3. Cukup jelas. Angka 4. Cukup jelas. Anglea 5 Ikan dan ternak tidak termasuk didalam pengertian satwa liar, namun demikian
termasuk didalam pengertian satwa.
Angka 6. Cukup jelas.
Pasal 2 Ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan
hidup yang saling mempengaruhi. Sumber daya alam hayati merupakan unsur ekosistem yang
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan ma
nusia, namun demikian keseimbangan ekosistem harus tetap terjamin.
Pasal 3
Sumber daya alam dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyara
kat dan mutu kehidupan manusia, oleh karena itu merupakan tanggung jawab dan kewajiban
masyarakat sendiri untuk berperan serta dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Pasal 4
Strategi konservasi mempunyai 3 (tiga) usaha atau kegiatan pokok, yaitu:
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan.
Kehidupan merupakan suatu proses yang berkait satu sama lain dan saling mempengaruhi.
Proses yang terjadi di alam atau ekologi ini bila terputus akan mempengaruhi kehidupan,
karena itu agar manusia tidak dihadapkan pada perubahan yang tidak diduga yang akan mem
pengaruhi kemampuan pemanfaatan sumber daya alam hayati, maka proses ekologi yang mengandung kehidupan itu perlu dijaga dan dilindungi.
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi usaha-usaha dan tindakan-tindakan
yang berkaitan dengan perlindungan mata air, tebing, tepian sungai, danau, dan jurang;
pemeliharaan fungsi hidrologis hutan; perlindungan pantai; pengelolaan daerah aliran sungai;
perlindungan terhadap gejala keunikan dan keindahan alam; dan lain-lain.
2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa.
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari unsur-unsur phisik (hayati dan bu
kan hayati) maupun bukan phisik. Semua unsur ini sating berkait dan pengaruh mempenga-
15
ruhi, dan punahnya salah satu unsur tidak dapat diganti dengan unsur yang lain. Berhubung
dengan itu usaha dan tindakan konservasi juga meliputi penjagaan agar unsur-unsur tersebut
tidak punah dengan tujuan agar masing-masing unsur dapat berfungsi dalam alam dan agar
mereka masing-masing siap untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia.
3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati.
Usaha pemanfaatan secara lestari sumber daya hayati pada hakekatnya merupakan usaha
pembatasan/pengendalian dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga peman
faatan tersebut dapat dilakukan secara terns menerus dimasa mendatang, dengan tetap men
jaga keseimbangan ekosistemnya.
Pasal 5
Unsur hayati adalah mahluk hidup yang terdiri dari manusia, tumbuhan, satwa, dan jasad renik.
Unsur bukan hayati terdiri dari matahari, air, udara, dan zat hara (mineral).
Hubungan antara unsur hayati dan bukan hayati harus berlangsung dalam keadaan seimbang sesuai dengan kebutuhan yang optimal, sehingga sistem penyangga kehidupan perlu dilindungi.
Pasal 6
Cukupjelas
Lihat pula penjelasan Pasal 4.
Pasal 7
Ayat (1)
Cara pelaksanaan perlindungan sistem penyangga kehidupan adalah dengan menetapkan suatu
wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan dan kemudian mengatur pemanfaatan wilayah
tersebut sehingga fungsi perlindungannya tetap terjamin.
Wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi antara lain hutan lindung, daerah
aliran sungai, areal tepi sungai, daerah pantai, terumbu karang, jurang, areal berpolusi berat.
Pemanfaatan areal atau wilayah tersebut tetap ada pada yang berhak atau pemiliknya, tetapi pe
manfaatan itu harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan Pemerintah.
Ayat (2)
Dalam Peraturan Pemerintah ini perlu diperhatikan kepentingan pemilik/pemegang hak yang ber
sangkutan.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
16
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penertiban tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan.
Pasal 9 Yang dimaksud dengan pengawetan disini adalah usaha untuk menjaga agar tidak punah.
Kawasan konservasi yang dimaksud adalah kawasan-kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
alam.
Pengawetan di luar kawasan meliputi pengaturan mengenai pembatasan tindakan-tindakan yang
dapat dilakukan terhadap tumbuhan dan satwa seperti diatur dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal
16 Undang-undang ini.
Kawasan Konservasi yang ditentukan dalam Undang-undang ini maksudnya adalah jenis kawasan
tertentu yang ditunjuk untuk itu.
Pasal 10
Ayat (1)
Dalam rangka mengawetkan jenis, maka ditetapkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilin
dungi menurut Undang-undang ini.
Penetapan ini dapat diubah sewaktu-waktu tergantung dari tingkat keperluannya yang ditentukan oleh tingkat bahaya kepunahan yang mengancam jenis yang bersangkutan.
Ayat (2)
Jenis satwa yang dilindungi perlu digolongkan lebih lanjut dalam jenis satwa yang dilindungi
karena berada dalam keadaan bahaya dan jenis satwa yang dilindungi karena memang populasi
nya jarang.
Ayat (3)
Cukupjelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukupjelas
Ayat (2)
Cukupjelas
Ayat (3)
Cukup jelas
17
Pasal 12
Ayat (1).
Cukupjelas
Ayat (2).
Cukup Jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukupjelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Membahayakan disini berarti tidak hanya mengancam jiwa manusia melainkan juga menim bulkan
gangguan atau keresahan terhadap ketentraman hidup manusia, atau kerugian materi seperti
misalnya rusaknya lahan atau tanaman atau hasil pertanian.
Ayat (4)
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur cara-cara mengatasi bahaya, cara mela
kukan penangkapan hidup-hidup, penggiringan dan pemindahan satwa yang bersangkutan. Se
dangkan pemusnahan hanya dilaksanakan kalau cara lain ternyata tidak memberi hasil efektif.
Pasal 14 Ayat (1)
Cukupjelas
Ayat (2)
Pada dasarnya satwa yang dilindungi harus dipertahankan agar tetap berada dihabitatnya.
Oleh karena itu satwa tersebut yang dirampas untuk Negara pertama-tama diusahakan untuk di
kembalikan kehabitatnya. Kalau hal itu tidak mungkin, maka satwa tersebut diserahkan kepada
lembaga yang bergerak di bidang konservasi satwa. Apabila keadaannya sudah tidak memungkin
kan, maka lebih baik dimusnahkan. Lembaga yang dimaksud ayat ini dapat berupa lembaga
Pemerintah maupun swasta, misalnya Kebun Binatang, Kebun Botani, Musium Biologi, Herbarium, dan sebagainya.
Pasal 15
Ayat (1)
Lembaga dimaksud dalam Pasal ini adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. Ayat (2)
Cukup jelas.
18
Pasal 16
Pemasukan jenis tumbuhan dan satwa liar ke dalam wilayah Republik Indonesia perlu diatur
untuk mencegah terjadinya polusi genetik dan menjaga kemantapan ekosistem yang ada guna
pemanfaatan optimal bagi bangsa Indonesia. Dalam pengaturan ini termasuk tum buhan dan satwa
yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
Pasal 17
Cukupjelas
Pasal 18
Ayat (1)
a. pemeliharaan untuk kesenangan tumbuhan dan satwa liar hanya terbatas pada tumbuhan dan
satwa liar yang tidak dilindungi.
b. pengkajian, penelitian dan pengembangan tumbuhan dan satwa liar adalah untuk mengetahui
kelangsungan potensi, daya dukung, keragaman jenis tumbuhan dan satwa liar tersebut agar
dimanfaatkan secara berkesinambungan.
c. perburuan meliputi semua upaya untuk menguasai satwa liar tertentu, baik untuk tujuan
olah raga, rekreasi dan tujuan komersial.
d. penangkaran tumbuhan dan satwa liar merupakan permulaan bagi usaha budidaya.
e. peragaan tumbuhan dan satwa liar berupa penyajian pertunjukan, koleksi tumbuhan dan
satwa liar, kontes dan lain-lain.
f. perdagangan tumbuhan dan satwa liar dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undang
an yang berlaku.
Ayat (2)
Cukupjelas
Pasal 19
Ayat (1)
Unsur pemeliharaan keseimbangan populasi satwa dan habitatnya harus selalu menjadi pertim
bangan pokok dalam perburuan satwa.
Ayat (2)
Perburuan disini meliputi segala sesuatu yang bersangkut paut dengan kegiatan berburu dan
pengurusannya, antara lain tata cara dan syarat pemberian izin berburu, penetapan satwa yang
diburu, tempat berburu, waktu berburu, cara dan peralatan berburu, jumlah pungutan dan tata
cara pemungutannya dan lain-lain.
19
~ I I I I
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukupjelas
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Fungsi ilmu pengetahuan clan pendidikan dilaksanakan melalui penelitian atau observasi di dalam cagar alam.
Fungsi penunjang budidaya dapat dilaksanakan dalam bentuk penggunaan plasma nutfah yang
terdapat dalam cagar alam yang bersangkutan untuk keperluan budidaya dan penangkaran.
Ayat (2)
Fungsi ilmu pengetahuan dan pendidikan dilaksanakan melalui penelitian atau observasi di dalam
suaka margasatwa.
Fungsi penunjang budidaya dapat dilaksanakan dalam bentuk penggunaan plasma nutfah yang
terdapat dalam suaka margasatwa yang bersangkutan untuk keperluan budidaya dan penangkaran. Yang dimaksud dengan wisata terbatas adalah suatu kegiatan untuk mengunjungi, melihat dan
menikmati keindahan alam di suaka margasatwa dengan persyaratan tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Pembinaan terhadap keutuhan suaka alam dalam arti mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas
areal dan menambah jenis tumbuhan dan bukan asli yang dimasukkan ke dalam kawasan suaka alam.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Jenis tumbuhan dan jenis satwa lain dimaksud adalah jenis tumbuhan dan jenis satwa yang ter
dapat di luar kawasan.
20
Pasal 25
Daerah penyangga ini dapat terdiri dari kawasan hutan dan dapat pula berupa tanah negara bebas
maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan suaka
alam. Pengelolaan atas daerah penyangga tetap berada ditangan yang berhak, sedangkan cara
cara pengelolaan harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerin
tah.
Pasal 26
Ayat (1)
Cagar Biosf er adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan a tau eko
sistem yang telah mengalami degradasi yang seluruh unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan
bagi kepentingan penelitian dan pendidikan.
Adanya Cagar Biosfer dimaksudkan sebagai tempat penelitian dan pendidikan mengamati dan
mengevaluasi perubahan-perubahan yang terjadi pada kawasan yang bersangkutan.
Dengan ditentukannya suatu kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya sebagai cagar
biosfer, maka kawasan yang bersangkutan menjadi bagian dari pada jaringan konservasi interna
sional.
Namun begitu, kewenangan penentuan kegiatan penelitian atau pendidikan di dalam cagar bios
fer sepenuhnya berada ditangan Pemerintah.
Untuk itu syarat-syarat penetapan kawasan suaka alam dan kawasan tertentu Jainnya menjadi
cagar biosfer perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Begitu pula penetapannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Wilayah Taman Nasional, dan Taman Wisata Alam meliputi areal daratan dan perairan.
Ayat (2)
Dalam Peraturan Pemerintah diatur juga syarat-syarat penetapan suatu wilayah menjadi Taman
Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
Daerah penyangga adalah wilayah yang berada diluar kawasan pelestarian alam dapat terdiri
dari kawasan hutan dan dapat pula berupa tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani
hak, yang diperlukan untuk dan mampu menjaga keutuhan kawasan pelestarian alam. Pengelo
laan atas daerah penyangga tetap ada ditangan yang berhak, sedangkan cara-cara pengelolaan
harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25.
21
Pasal 29
Ayat (1)
Cukupjelas
Ayat (2)
Fungsi ilmu pengetahuan dan pendidikan dilaksanakan melalui penelitian atau observasi di dalam
zona inti taman nasional.
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan mengurangi a tau menghilangkan zona inti taman nasional adalah segala
perbuatan yang akan membawa perubahan terhadap keadaan tanahnya, tumbuhan dan satwa
dan dengan demikian akan membahayakan keadaan zona inti taman nasional. Untuk kepenting
an ilmu pengetahuan dan pendidikan dimungkinkan diadakan kegiatan secara terbatas dalam zona
inti taman nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Dalam rangka pengelolaan dapat juga dibangun sarana-sarana kepariwisataan.
Ayat (2)
Pelaksanaan ketentuan ini dilakukan berdasarkan aturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 (2).
Dalam pelaksanaannya Pemerintah dapat pula menetapkan pungutan yang diperlukan untuk
menunjang usaha pelestarian. Pungutan serupa itu juga diatur dalam Peraturan Pemerintah se
bagaimana dimaksud di atas.
Ayat (3)
Cukupjelas
Pasal 32
Penutupan tersebut dilakukan untuk memulihkan keadaan kepada potensi semula, misalnya un
tuk memulihkan keadaan akibat kebakaran, kerusakan yang sangat membahayakan kelestarian,
dan lain-lain.
22
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
T AMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR :
23