rancangan undang-undang politik baru: sebuah …

9
~ RANCANGAN UNDANG-UNDANGPOLITIK BARU: SEBUAH TINJAUAN KRITIS Oleh Comelis Lay. Intisari Artike1 ini menyoroti paket rancangan UU politik ham yang disusun oleh Tim-7 yang dibentuk pemerintah sesaat sebelum kejatuhan Soeharto. Kesimpulan umum yang bisa diberikan adalah, bahwa RUU politik bam ini sangat radikal dalam substansi dan memiliki kapasitas untuk menfasilitasi proses demokratisasi di Indonesia. SekaJipun demikian, ketiga RUU yang ada masih dihantui oleh sejumlah ambivalensi sikap sebagai akibat dan. tekanan kepentingan politik tentara,pengandaian yang ke1iru tent8ng tentara dan analisis yang dihantai trauma masa lalu tentang potensi disintegrasi nasional dan instabilitaspolitik yang diapdaikan secarake1irubersumber pada kehadiran partai keciJ dan partai-partai berbasislokaJ. Prom Anggota Tim D raft rancangan 3 Undang-Undang Politik (ROO tentang Parpol, ROO tentang Susduk DPR/MPRI dan RUU ten tang Pemilu) untuk menggantikan paket 00 politik yang sangat kontroversial di era sebelumnya, telah disiapkan oleh pemerintah. Setelah dipresentasikan oleh tim perancangnyadi hadapan Habibbiedan sejumlah pembantu kuncinya beberapa saat lalu, 3 draft ROO yang ada akan segera dibicarakan oleh Dewan untuk dijadikan 00. Pada awalnya, ada kehendak untuk menyusun ROO yang ada * Star pengajar padajurusan Pemerintahan, Fisipol clan Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada; Kepala Divisi Pelatihan Pusat Antar Universitas Studi Sosia! (PAU-SS) UGM; clan Direktur Eksekutif Center for Local Politics and Ikvdopmt:11t Studies, Yogyakarta. JSp. Vol. 2, No.2, Nopember 1998 1

Upload: others

Post on 29-Nov-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RANCANGAN UNDANG-UNDANG POLITIK BARU: SEBUAH …

~RANCANGAN UNDANG-UNDANGPOLITIK BARU:

SEBUAH TINJAUAN KRITIS

Oleh Comelis Lay.

Intisari

Artike1 ini menyoroti paket rancangan UU politik ham yang disusun olehTim-7 yang dibentuk pemerintah sesaat sebelum kejatuhan Soeharto.Kesimpulan umum yang bisa diberikan adalah, bahwa RUU politik bam inisangat radikal dalam substansi dan memiliki kapasitas untuk menfasilitasiproses demokratisasi di Indonesia. SekaJipun demikian, ketiga RUU yangada masih dihantui oleh sejumlah ambivalensi sikap sebagai akibat dan.tekanan kepentingan politik tentara,pengandaian yang ke1iru tent8ng tentaradan analisis yang dihantai trauma masa lalu tentang potensi disintegrasinasional dan instabilitaspolitik yang diapdaikan secarake1irubersumberpadakehadiran partai keciJ dan partai-partai berbasislokaJ.

Prom Anggota Tim

Draft rancangan 3 Undang-Undang Politik (ROO tentang Parpol, ROOtentang Susduk DPR/MPRI dan RUU ten tang Pemilu) untuk

menggantikan paket 00 politik yang sangat kontroversial di era sebelumnya,telah disiapkan oleh pemerintah. Setelah dipresentasikan oleh timperancangnyadi hadapan Habibbiedan sejumlahpembantu kuncinya beberapasaat lalu, 3 draft ROO yang ada akan segera dibicarakan oleh Dewan untukdijadikan 00. Pada awalnya, ada kehendak untuk menyusun ROO yang ada

* Star pengajar padajurusan Pemerintahan, Fisipol clan Program Pasca Sarjana, Universitas GadjahMada; Kepala Divisi Pelatihan Pusat Antar Universitas Studi Sosia! (PAU-SS) UGM; clan DirekturEksekutif Center for Local Politics and Ikvdopmt:11t Studies, Yogyakarta.

JSp. Vol. 2, No.2, Nopember 1998 1

Page 2: RANCANGAN UNDANG-UNDANG POLITIK BARU: SEBUAH …

Rancangan Undang-Undang PolitikBaru:Sebuoh TmjQUilflKritis Comelis Lay Comelis Lay Rancongan Undang-Undang PolitikBaru:Sebuoh TinjQUilfl Kritis

sebagai rancangan inisiatif dewan, akan tetapi daIam perkembangannya, niatini ditangguhkan karena keburu menjadi pengetahuan publik. Diperkirakan,proses pembahasan RUU ini di tingkat DPR akan dituntaskan pada bulanNovember atau awal Desember tahun inijuga.

Tim yang ditugaskan untuk merancang draft UU - termasuk, nantinyaUU tentang Pemerintahan Daerah dan tentang Lembaga Kepresidenan -berasal dari kalangan akademisi dari beberapa perguruan tinggi. Tim yangterdiri dari 7 orang ini, karenanya sering disebut "Tim Tujuh", terdiri darimasing-masing Dr. Man Gaffar dari UGM, Prof. Dr. Ramlan Surbakti dariUnair, Prof. Dr. Ryaas Rasyid, dari lIP (Rektor lIP yang kini menjadi DirjenPUOD) yang bertindak sebagaiketua tim, Dr. A1fianMalarangeng dari Unhas,Drs. Djohermensyah, MA dari lIP, seorang lainnya lagi (Drs. Lutfi) yang jugaberasal dari lIP, serta Ketua Umum HMI. Secara akademik, khusus yangterakhir ini, lebihberfungsisebagai"perwakilanpolitik" generasimuda kampusyang diandaikan bisa mewakili kekuatan mahasiswa dan bukan sebagai"perwakilan keahlian".

"Tim Tujuh" dibentuk pada akhi1:rejim Soeharto melalui surat keputusanMendagri Hartono pada waktu itu, yang kemudian dilanjutkan danmendapatkan dukungan penuh rejim Habibbie. Karenanya, tim ini bukanmerupakan produk rejim Habibbie, sekalipun kerja tim ini mendapatkansokongan penuh dari Habibbie dan para pembantu utamanya.

Bagian terbesar dari anggota tim memiliki latar-belakang Northern illi-nois University (NIU), DekaIb,beberapa puluh miljaraknya dari kota Chigaco.Prof. Dr. Ramlan Surbakti dan Dr. A1fianMalarangeng menyelesaikan Ph.D.mereka dari Universitas ini. Prof. Dr. Ryaas Rasyid dan Dr. Man Gaffarmendapatkan predikat MA mereka daTi NIU sebelum yang pertamamenuntaskan Ph.D.-nya dari Hawaii dan yang kedua dari Ohio.

Demikian pula, anggota tim ahli adalah mereka-mereka yang dikenaIcukupkritis dan memiliki gagasan-gagasan perubahan politik selama ini dan telahbergabung dengan tim Depdagri yang membantu DPRD di seluruh Indone-sia sejak periode sebelumnya daIam program "Pendalaman Bidang TugasDPRD" , kecuali Dr. Alfian Malarangeng yang baru beberapa bulan terakhirinibergabung karena barn saja menyelesaikan Ph.D.-nya hampir setahun yanglalu, dan Drs. Lutfi serta Ketua HMI yang tidak pernah menjadi anggota timDepdagri.

Keseluruhan anggota "Tim Tujuh", kecuali Ketua HMI yang berasal darilingkungan kultural Jawa (Timur), berasal dari luar lingkungan kultural Jawa.Tiga anggota tim berasal dari lingkungan kultural Bugis-Makasar, satu darilingkungan kultural Bima (NTB), dua berasal dari kawasan Sumatera, masing-masing dari lingkungan kultural Minang, Sumatera Barat dan lingkungankultural Batak, Sumatera Utara.

Settzilgkultura1di atas menjadi krusial untuk diperhatikan karena sekaligusmengungkapkan kontekskulturalyangberbeda dari tim-tim sebelumnya dalampenyiapan berbagai rancangan UU politik yang ada, sekalipun lingkungankultural Jawa tetap menjadi penting, karena bagian terbesar dari anggota timmenghabiskan waktu mereka di Jawa selama proses pendidikan dan berkarier.

Beberapa Asumsi Dasar

Jika kita mencermati berbagai pasal kunci dalam RUU politik yang ada, makatampaknya RUU yang ada dirancang berdasarkan sejumlah pengandaian(asumsi) sebagai berikut.

1. Asumsi demokrasi. Keseluruhan RUU yang ada, dan terutamasangat menonjol dalam RUU tentang Pemilu, diarahkan untukmewujudkan institusi-institusi politik, dan terutama institusi-institusi pemilihan umum yangbekerja menurut spirit demokrasiyang bisa menghindari atau meminimalisasi terjadinyakecurangan.

2. Deraiat keterwakilan. RUU politik yang baru didisain gunamampu menciptakan derajat keterwaki1an politik yang tinggi.Dalam hal RUU tentang Pemilu, misalnya, para pemilihditempatkan sebagai subyek paling prinsipiil dalam menentukanwakil-wakil mereka di lembaga legislatif. Sebaliknya, peran elitparpol, yang sedemikian dominan dalam pemilu-pemilusebelumnya, mengalami kemerosoton secara tajam. Partai danelitparpollebih berfungsisebagaifasilitatorbagipara calon anggotalegislatif,bukan penentu seperti yang berjalan selama ini. Hal diatas terungkapdaripenggunaan sistempemilihandistrikdan bukan

JSP. Vol. 2, No.2, Nopember 1998 32 JSP ·Vol. 2, No.2, Nopember 1998

Page 3: RANCANGAN UNDANG-UNDANG POLITIK BARU: SEBUAH …

Rancongan Undang-Undang Politik Baru:SebUDh Tinjauan Kritis Comelis LayComelis Lay Rancongan Undang-Undang Politik Baru:SebUDh Tinjauan Kritis

proporsionaldalamRUUbarn ini.Kecenderungan~ sekaligusbisadibacasebagaioogkapan"kultural"paraperancangnyayangsepertitergambarpadabagianawaI,berasaldarisettingkulturalluar Jawa.

3. Deralatakuntabilitas.RUUpolitikyangadatampaknyabertumpupada keyakinan bahwa demokrasi menjunjung tinggi spiritakuntabilitas.Karenanya,berbagaipasalkunci dalam RUU inidirancanguntuk memberikantempatyangkuat pada spirit ini.Sebagaimisal,RUU tentangPemilumenempatkansetiapposisiyang didasarkan pada pemi1ihanharuslah bertanggung-jawabpada rakyat. Demik1~npula, preferensi-preferensikebijaksanaanpemerintah haruslah terl>ukapada perdebatan publik, sementaratingkah-Iaku negatif para pejabat juga berada di bawahpengawasan ketat publik.

4. Ketuntatasan. RUU politik yang baru, dirancang untukmenyertakan semua pengaturan. Semua pengaturan yangmenyangkut pemilu yang diperlukan bagi sebuah proses yangdemokratis dan adil, misalnya, diatur secara detail dalam RUUten tang Pemilu. Konsekuensinya, RUU yang ada tidakmenyisakan ruang bagi interpretasi atau pengaturan lebih lanjutoleh pemerintah. Gejala besarnya delegating proviso yangmemberikan kekuasaan yang sangatbesar bagi pemerintah untukmelakukan pengaturan-pengaturan lebih lanjut yang menandaisemua UU di republik ini selama 32 tahoo terakhir, tidak tampaklagi dalam RUU politik yangbarn. Ini mempooyai implikasiyangsangat serius. Kekuasaan pengaturan dan pengendalian politikyang diperoleh pemerintah dari adanya hak pengaturan lebihlanjut atas sebuah produk UU yang diberikan kepada pemerintah,kini praktis tertutup. Gejala Juklak, Juknis, Kepres, Instruksi dariberbagai Menteri, keputusan berbagai departemen dansebagainya, yang se1amasekianlama menjadi penghambat seriusbagi kehidupan politik yang demokratis dan terbuka, tidak lagimenemukan celah dan a1asanuntuk merajalela.

5. Kemudahan. Khusus untuk RUU tentang Pemilu, RUU inimemberikantekananpadakemudahanbagipara pemilihdalammemahamipemiluyangada,terutamadalamprosesperhitungansuara.Tata-caraperhitungansuarabukansajajauh lebihsimpeldan mudah diikuti, tapi juga bersifatloka!dan dapat disudahidalam waktu yang sangat singkat. Hal ini sekaligus sangatfungsionalda1ammenghindariterjadinyamanipulasiyangbanyakmuncul dalam enam pemilu Orde Baru sebagai akibat daripanjangnyamata-rantaiperhitungansuara.

6. Di luar asumsi-asumsiyang sangatkondusifbagi terwujudnyakehidupanpolitikyangdemokratisdi atas,terdapatpulaasumsilainyangyangsangatterbukabagisilangpendapat.Darisejumlahpasal kunci yang dirumuskan,sangatjelas bahwa RUU politikyang ada bukan saja mengandaikan militer sebagai kekuatanpolitik riil yang senantiasa harus diperhitungkan, bahkandisertakandalamprosespolitikIndonesia,tapi lebihlagi,bahwamiliter - seperti selama sekian lama ABRI melihat dirinya -adalah kekuatan integrator, dinamisator dan stabiilisator.

Hal ini terungkap antara lain dari tetap diberikannya kaplingpolitik kepada ABRI di lembagaperwakilan rakyat. Bahkan untukposisi DPRD yangdalam proses-prosesawaIdirencanakan untuk"dihapuskan", dalam perkembangan paling akhir tampaknyatetap "dijatah" dengan 10% kursi. Tampaknya, kesulitan ABRIuntuk mengakomodasi hampir 3.000perwira menengahnya yangselama sekian lama ditugaskan sebagai wakil rakyat, telahmemberikan tekanan kuat pada tim ini ootuk merubah prinsippeniadaan ABRI pada lembaga perwaki1an di tingkat daerah.Bagaimana kesudahan dari persoalan inidi tingkat dewan, sangatsulit ditebak.

Tetapi melihat relasiyang sedemikian dekat antara dewan danABRI, danjuga keterlibatan anggota ABRI dalam pembahasanbisa diduga sejak dini bahwa akomodasi ini akan tetap dilakukanterlepas dari besarnya tekanan publik, terutama mahasiswa.

4 JSP · Vol. 2, No.2, Nopember 1998 JSP · Vol. 2, No.2, Nopember 1998 5

Page 4: RANCANGAN UNDANG-UNDANG POLITIK BARU: SEBUAH …

Ranalngan Undang-Undang Politik Baru:Sebuoh Tmjauan Kritis Comelis Lay Comelis Lay Rancangan Undang-Undang Politik Baru:Sebuoh Tinjauan Kritis

7. RUU yang ada, terutama yangterungkapdaIamROO tentangPemilu,juga mengandaikandisintegrasinasionalsebagaisebuahkemungkinanyangsangatbesartanpaadanyapolitikpengendalianterhadappolitikbeIbasisloka!.Haliniterungkapdalamsedemikianketatnya pembatasan teknis bagi pembentukan partai yangmenutup kemungkinan bagi lahirnya partai berbasis loka!.KecemasanyangsangatbesarbagiteIjadinyakonsolidasipolitikberbasisloka!yangmengancamintegrasibangsadiandaikanakanbisadenganmudah teIjadimengikutimaraknyaperkembanganpartai beIbasisloka!.Karenanya, sejumlahpersyaratanteknisyangketat diberlakukan. Bisa diperkirakan, pengaturan ini akanmendapatkan respons keras dari partai-partai kecil yangbersifat loka!.

8. RUU yang ada juga mengandaikan stabilitas politik danpemerintahan akan sangat ditentukan oleh kemampuan untukmerampingkan jumlah partai dengan menihi1kan keterlibatankekuatan politik kecil dari arena politik resmi. Sekali lagi,penetapan syarat-syarat teknis yang keras bagi partai pesertapemilu, baik sebelum dan setelah berakhirnya pemilu,mengungkapkan kecendrungan ini.

1. Dalam hal pemilu misalnya,RUU ini menetapkan pemilihanumum diselenggarakanoleh sebuah badan independen yangdiberisebutansebagai"komite".Komitepemilihanumumbaikdi tingkat nasional maupun daerah akan dibebaskan dariintervensi birokrasi. Komite Pemilihan Umum (KPI) berikut KPUI, KPU II, dan Komitepemilihandi tingkatdesadan kelurahan(KPS) adalah lembaga-lembagapenyelenggarapemilu yangindependenterhadapbirokrasi.Sekalipundemikian,tanggung-jawab tertinggipenyelenggaraanpemiluberada di tangan Presidensebagai mandatarus MPR. Komite-komite yang ada di tingkatpusat beranggotakan perwakilan pemerintah, partai politik, danwakil masyarakat yang akan ditentukan oleh wakil partai pesertapemilu dan wakil pemerintah. Para pemimpin masing-masinglembaga dipilih oleh anggota masing-masing komite yang ada.Masing-masing komite akan membentuk panitia pemilihan ditingkatan masing-masing.

Prinsip ini sangat menolong prosespemilu yangjujur dan adil,tapi konfigurasikeanggotaan yang ditawarkan tetap mengandungresiko konflik kepentingan. Penyertaan partai-partai pesertapemilu sebagai bagian prinsipiil dari lembaga penyelenggarapemilu menyimpan potensi konflik jangka panjang yang bisamenghalangi proses demokratisasi.

2. Netralisasi birokrasi dari politik kepartaian. Birokrasidikembalikan sebagai institusi yang nerral secara politik yangmenjalankan fungsi-fungsidasarnya sebagaiabdi masyarakat dannegara. Hal ini terungkap, antara lain daIam ketentuan RUUtentang Pemilu dan Parpol yang menegaskan, semua warga PNSatau mereka yang bekerja dengan instansi pemerintah tidakdiijinkan untuk bergabung dengan partai politik. PNS tidakdiijinkan untuk menjadi calon bagi partai peserta pemilumanapun. Tetapi hak memilih bagi PNS tetap dijamin dandibebaskan penggunaanya untuk memilih partai manapun sesuaidengan preferensi setiap PNS. Tetapi sebagai warga negaradengan segala hak dan kewajiban politik, bagi PNS yang inginbergabung dengan salah satu parpol diharuskan untukmenanggalkan status kepegawaiannya sesuai UU kepegawaian

Beberapa Prinsip yang Mengedepan

Guna memenuhi asumsi-asumsi besar di atas, RUU politik yang barumemperkenalkan sejumlah prinsip baru berikut ini. Prinsip-prinsip yang adaberbeda, bahkan bertolak belakang dengan UU politik sebelumnya. Sekalipundemikian, masih terdapat sejumlah prinsipyangtetap, misalnya,tentangprinsippemerataan perwakilan Jawa-luar Jawa yang bisa diperkirakan akan menekantingkat perolehan suara partai-partai beIbasisJawa. Bagian terbesardari prinsipyang diperkenalkan akan saya ambil dari pemahaman saya atas RUU tentangPemilu. Hal ini disebabkan karena RUU inilah yang paling strategis dan pal-ing menentukan arah perubahan politik kita di masa-masa yang akan datang.

6 lSP ·Vol. 2, No.2, Nopember 1998 lSP ·Vol. 2, No.2, Nopember 1998 7

Page 5: RANCANGAN UNDANG-UNDANG POLITIK BARU: SEBUAH …

Rancangan Undllng-Undllng Politilc 1laTu:SebuDh TmjDIIDII Kritis Comelis Lay Comelis Lay Ranamgan Undllng-Undllng Politilc Baru:Sebuah TmjDIIDII Kritis

yang berlaku. Ini berarti, PNS yangbergabungdengan parpolmemilikikemungkinanpilihan(1)pengambilpensiundini atau(2)cutidi luar tanggungannegara.

3. Posisitentara.ABRItaklagisecaraotomatisdiasosiasikandenganGolkar.ABRIyangse1amasekianlamamenjadikekuatanpolitikyangsangatmenentukankeberhasilanGolkar,daJamRUUpolitik"dijauhkan" dari persekutuannyadengan Golkar.Sepertijugapada UU politik, terutama RUU tentang Pemilu sebe1umnya,tentara tak diijinkanuntuk memberikansuara dalam pemilu.Sebagaikonpensasiatasketentuandi atas,kepadatentarasecaraotomatisdialokasikan10%jatah kursidari total 550kursiyangdirencanakandidewan.Persentaseyangsarnajugadiberlakukanbagidewan-dewandi tingkatdaerah.

4. Khusus untuk pemilihan umum, Panitia Pendaftaran Pemiluditiadakan.RUU ini memperkena1kanstelselaktifdimana parapemilih mendaftarkan sendiri ke komite pemilihan selamamemenuhi persyaratan 17 tahun ke atas atau sudah/pernahmenikahdenganmembawabukti-buktidiri.Pendaftaranpemiluyang selama sekian lama menjadi monopoli panitia yangdikendalikan pemerintah, mengalami pergeseran mendasar.Perubahan ini membawaserta konsekuensibagi partai-partai.Tanggung-jawabuntukmemobilisasiparapendukungnyauntukmendaftarsebagaipemilih,semakinbesar diletakandi pundakpartai.

5. Sistem pemilihan yang ditawarkan adalah kombinasi antarasistemdistrik(singlememberdistriCjdanperwakilanberimbang(proportionalrepresentation).Sistemdistriktampaknyadirancangguna mendapatkanlembagaperwakilanrakyatdengan derajatakuntabilitasyang tinggiyang merupakansalah satu kekuatansistemini. Akan tetapi mengingatke1emahanyang melekatdidalam sistemini dimana terdapatselisihantaraproporsipartaiterhadappemilihdenganproporsinyaterhadapperolehankursi,maka sistempemilihanproporsionaldipergunakanjuga dalamRUU ini. Sistemproporsionaldijatahdengan 75kursidi DPR.Suara masing-masing partai di tingkat lokal yang tidak

mendapatkankursiakan disatukandi tingkatnasionaldan bagisetiappartai yang mendapatkansuara 600.000secara otomatisakan mendapatkan alokasi satu kursi di DPR pusat menurutprinsipperwakilanberimbangini.

6. RUUinijugamemperkf"11alhnsejumlahpersyaratanumumbagicalon pesertapemilu.Partai politikharus memilikicabangpal-ing tidak di 14 propinsi dan 154 Dati II dan mendapatkandukungan daTi 1% dari total calon pemilih (dalam RUUditetapkan sejumlah 1juta). Bagi partai yang tak memenuhipersyaratan ini, akan didiskualifikasioleh komite pemilihanumum sehinggatak dapat terlibatsebagaipartaipesertapemilu,sekalipuneksistensinyasebagaipartai tidak terganggu.

7. PengawasanpemilihanumumdilakukanolehMA untuktingkatnasionaldan masing-masingolehpengadilantinggidan negeriuntuk daerahtingkatI dan tingkatII.

8. Guna menghindarikemungkinanterjadinya"money politicS'selama proses pemilu berlangsung, RUU ini membatasimaksimum penggunaan dana dalam pemilu, terutamamenyangkut besarnya kontribusi atau sumbangan baik olehkomunitas bisnis, individu, maupun penggunaan kekayaanpribadi.Maksimumpenge1uaranuntukca10nanggotaDPR pusatada1ah50juta rupiah.SementarauntukDPRD I dan II masing-masing 25 juta dan 10juta rupiah. Sementara menyangkutsumbangankepadaca1on,bagiparpoldiperkenankanmaksimum50juta, pnoadi 1juta rupiahdanperusahaanataubadan hukumsejenisnyaada1ah10juta rupiah. Setiapsumbangandi atas 100nou rupiah harus menyertakannama, alamat, pekerjaan dannama organi~si atau tempatpenyumbangbekerja.

Dana yang diterima harus dilaporkan kepada PanitiaPengawasandanPelahanaan (panwaslak)Pemi1usecaraberkalasatu bulan sekalidan 10hari sebelumhari pemungutan suara,serta30harisete1ahpemungutansuara.Se1uruhpenggunaandanadi atasdiauditolehakuntanpublik.

8 JSP · Vol. 2, No.2, Nopember 1998JSP. Vol. 2, No.2, Nopember 1998 9

Page 6: RANCANGAN UNDANG-UNDANG POLITIK BARU: SEBUAH …

Cornelis Lay Rancangan Undang-Undang Politik Baru:Sebuah Tinjauan Kritis

Rancangan Undang-Undang Politik Baru:Sebuah Tmjauan KriIis Comelis Lay

9. RUU ini menggllnakan mekanisme threshold guna "mensortir"jumlah partai yang berlebihan pasca pemilu. Dalam RUUditentukan 10%darijumlah kursi sebagaibatas threshold Dalamhat partai gaga!untukmendapatkan angka yapgditetapkan sangattinggi ini, maka disediakan dua pilihan bagi kekuatan politik ini:(1) berkoaalisi dengan partai lain atau (2) tidak ikut dalampemilihan berikutnya.

10. RUU ini tetap mengakomodasi militer dengan 10%kursi di DPRdan DPRD. Realitaspolitikbahwa militer adalah kekuatan politikdengan pengaruh yangsangatbesar;dan keyakinanbahwa tentarabisa berfungsi sebagai perekat di antara kekuatan-kekuatan yangada dan sebagai penjamin integritas bangsa, seperti sudahdibicarakan sebelumnya, dipakai sebagai alasan-alasan pokokakomodasi terhadap militer.

11. RUU ini tetap disandarkan pada prinsip keseimbanganperwakilan politik antara Jawa dan luar Jawa. Jumlah totalanggota DPR adalah SSOorang. Akan tetapi SSsecara otomatismenjadi kapling militer, dan 7Slainnya dijatahkan untuk sistemproportional representation (PR). Karenanya hanya 420 yangakan dipilih mengikuti sistem distrik. Dari 420 yang dipilih,proporsi Jawa dan luar Jawa adalah sebanding, yakni 210 : 210,terlepas dari fakta bahwa Jawa memiliki persentase pemilih yangjauh lebih besar.

12. RUU tentang Pemilu juga menggunakan unit adminsitrasikabupaten/ kotamadya Dati II sebagai dasar penentuan distrik.Penentuan distrik pemilihan tidak menggunakan pertama-tamajumlah penduduk, tetapi wilayah administrasi pemerintahan.Setiap wilayah administrasi di atas secara otomatis dikonversimenjadi distrikpemilihan. Akan tetapi padasaatyang bersamaandiberlakukan ukuran besaran penduduk, yakni kelipatan 600nDupenduduksebagai landasan dalam membagi distrikdalam daerah-daerah padat.

Beberapa Catatan

Melihat pada sejumlah asumsi dan prinsip yang dikembangkan di atas,sejumlahcatatan pentingbisadikedepankan.Pertama,RUU ini tampaknyadidorongoleh "ketakutan"yangkuat - ataujuga agakberlebihan- akankemungkinan terjadinya "disintegrasi" bangsa. Kemungkinan terjadinyadisintegrasibangsa ini diandaikan bisa terjadi lewatpenguatan kekuatan politikberbasis loka! yang sangat mungkin terbentuk lewat sistem pemilihan distrik.Karenanya, secara apriori RUU tentang Pemilu memberlakukan persyaratanteknis yang sangat kernsbagi calon partai peserta pemilu dengan menetapkanketentuan pemilikan jumlah cabang separoh dari propinsi dan separohkabupaten sebagai syarat untuk ikut serta dalam pemilu.

Demikian pula, penyertaan militer secara otomatis, juga menemukanpersoalan "integrasibangsa" sebagaialasan yang menjustifikasinya.Kehadiranmiliter diandaikan sebagai kekuatan yang mampu mencegah terjadinyadisintegrasi bangsa. Kecenderungan di atas mengungkapkan masih tetapbertahannya trauma masa laIu yang senantiasa dipakai oleh rejim Soehartodan tentara guna membenarkan sejumlah tindakan politik keras danpengaturan politik yang sangat ketat yang menyebabkan terpuruknyademokrasi.

Kedua, asumsi demokrasi yang diandaikan akan dipenuhi lewat RUU initidak sepenuhnya bisa diwujudkan karena terdapat 10% anggota DPR danDPRD yang kehadirannya tanpa melalui mekanisme pemilihan sebagaimanayangumumnya berlaku dalam sebuah sistempolitikdemo1cratis.Asumsi bahwamiliter merupakan kekuatan stabilisator, dinamisator dan integrator di antarakelompok-kelompok politik dalam dewan yang dijadikan sebagai alasan tetapdialokasikanjatah kursibagiABRI, pada tingkat sekarang ini lebihmerupakanpersoalan ketimbang jawaban. Pengalaman yang dihimpun dari berbagaidaerah dan kasus dalam beberapa bulan terakhir ini, mengungkapkan tentaralebihsebagaisumberpersoalan ketimbangjawaban atas persoalan sosialpolitikyang dihadapi bangsa.

Demikian pula, penjatahan bagi militer melahirkan pertanyaan seriustentang asumsi akontabilitas yang ingin diwujudkan lewat RUU politik yangada. Pertanyaan kepada siapa militerbertanggung-jawab,sayakira akan mudahmuncu!.Menemukanjustifikasi yangbersifatdemo1cratisbagi kehadiran militerdi lembaga "perwakilan rakyat", saya kira sangat sulit untuk tidak berbilangmustahil.

JSP · Vol. 2, No.2, Nopember 1998 1110 JSP · Vol. 2, No.2, Nopember 1998

Page 7: RANCANGAN UNDANG-UNDANG POLITIK BARU: SEBUAH …

Rancangan UndDng-UndDng Poli1ik Baru:Sebuoh Tl1!iauan KritisCornelis Lay Cornelis Lay Rancangan Undang-Undang Politik Baru:Sebuoh Tinjauan Kritis

Ketiga, RUU ini juga mengandung bias terhadap partai-partai besar atauyang memilikipotensi menjadi besar sekaligus"ketakutan" berlebihan terhadappartai-partai kecil. Dengan memberlakukan persyaratan yang sedemikianketatnya, partai-partai kecil memiliki kemungkinan yang sangat kecil untukbisa ikut bertarung dalam arena pemilu. Bias terhadap kekuatan-kekuatanpolitik besar juga berlangsung selepas pemilu dengan diberlakukannya 10%dari total kursi sebagai threshold Angka di atas sangat tinggi untuk ukurannormal yang berlaku di hampir semua negara demokrasi, sekalipun terdapatsejumlah negara kecil di Afrika yang memberlakukan persentase setinggi ini.

Penyertaan persyaratan yang ketat tersebut sangat fungsional sebagaimekanisme untuk menyederhanakan sistem keperataian, dan juga untukmencapai sebuah pemerintahan yanglebihstabil,akan semakin mempersempitaktor bagi "koalisi dalam kabinet". Namun, persyaratan tersebut sekaligusmerupakan langkah diskriminasi formal yang mungkin saja tidakmenguntungkan, terutama dalam kaitannya dengan persoalan keterwakilanpolitik dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-Iembagayang dibentuklewat pemilu. Mengecualikan kekuatan politik kecil dari arena politik resmikarena diandaikan merupakan "sumber" ketidak-stabilanpolitik, memancingkontroversipolitik.Pada tingkatpertama, mengandaian bahwa persoalan se1a1uberhulu pada parpol kecil, lebih mencerminkan trauma politik era demokrasiliberal ketimbang sesuatu yang sungguh-sungguh berlangsung. Jangan-jangansebagian dari persoalan yang kini kita hadapi disebabkan karena adanyakekuatan-kekuatan politik- sekalipunkecil,tapi karena menyebar di beIbagaiarena masyarakat politik kita - yang kehadirannya didiskrimasikan dalamarena politik formal.

Keempat, terlepasdari persoalan-persoalandi atas,diintroduksinya lembagapenyelenggara pemilu yang independen, netralisasi birokrasi, pembebasanmiliter dari politik partisan dan pembatasan penggunaan dana selama pemilu,adalah elemen-elemen baru yang akan menolong proses pemilu Indonesiamencapai derajatnya yang lebih terhormat. Hal-hal di atas merupakan simpul-simpul sengketapolitik di masa laIuyang menyebabkan kepercayaan terhadapproses pemilu kita sangat rendah di kalangan masyarakat. Kepercayaan politikyang rendah pada instrumen pemilu, secara langsung menekan derajatkepercayaan pada lembaga-lembaga hasil pemilu, berikut produk-produkkerjanya. RUU politik kali ini memberikan kemungkinan ke arah sebaliknya.

KeJima, jika pemberlakuan beIbagai persyaratan teknis dan politis yangsuper ketat mengungkapkan adanya bias ke partai besar dan sebaliknyaketakutan berlebihan pada partai kecil,maka langkah netralisasi birokrasi danpembebasan militer dari politik partisan diikuti oleh pengaturan yang ketatdalam hal pengeluaran pemilu, memiliki akibat-akibat yang sangat serius,terutama bagi Golkar.

Pada tingkat pertama, Golkar akan kehilangan mesin pengumpul suaratradisionalnya, yakni birokrasi yang selama ini menjadi fondasi yang bisabanyak menjelaskan kemenangan telak Golkar di setiap pemilu. Golkar jugaakan kehilangan sikap pemihakan dan sekaligus patronase militer dalampemilu, yang merupakan energikedua terpenting setelah birokrasi bagi Golkardalam setiap pemilu yang lalu. Pengaturan pengeluaran semakin menyulitkanGolkar yang selama pemilu-pemilu Orde Baru menggunakan Huang"sebagaiinstrumen guna membeli dukungan politik pemilih.

Karena hal-hal di atas, bisa diduga bahwa dalam pembahasan ROO ini,netralisasi birokrasi dan pengaturan penggunaan uang akan menjadi titiksengketa serius yang tak akan diakuri dengan gampang oleh Golkar. Bentukkompromi yangpalingmungkin adalah pembatasan se1ektifPNS untuk terlibatdalam politik. Hanya mereka-mereka yang berada dalam jabatan strukturalatau menduduki eselon tertentu yang terkena aturan baru. Atau sebaliknya,hanya jabatan-jabatan tertentu dalam parpol yang tertutup bagi PNS. Hanyasajajika ini yang terjadi, maka cita-citabesar untuk mewujudkan pemilu yangdemokratis akan sulit dicapai.

Sekalipun secaraprinsipilpemberlakuan sejumlah prinsip di atas membukakemungkinan yang sangat besar bagi kita untuk memulai sebuah pemilu yangjujur dan adil, kesulitan-kesu1itanpada tingkat teknis masih tetap mengganjal.MisaInya,persoalan "pembuktian""akan menjadikendalaserius dalam proseshukum. Skala dan kedalaman penyimpangan pemilu yang sudah berjalansedemikian luas dan dalamnya, bukan saja akan mengalami kesulitan untukdibenahi secara cepat, tetapi juga melibatkan perubahan kultur politik yangtidak gampang di kalangan birokrasi dan partai-partai lama, terutama Golkar.

12 JSp. Vol. 2, No.2, Nopember 1998 JSP · Vol. 2, No.2, Nopember 1998 13

Page 8: RANCANGAN UNDANG-UNDANG POLITIK BARU: SEBUAH …

Rancangan Undang-Undang Politik Baru:Sebuah Tmjauon Kritis Comelis LayCornelis Lay Rancangan Undang-Undang Politik Baru:Sebuah Tinjauan Kritis

Penutup

Pengaturan kembali politik Indonesia melalui RUU politikyangbarn memilikiimplikasi-implikasi yang membutuhkan penyiapan serius di kalangan pelakupolitik, terutama parpol, tennasuk perubahan orientasi politik yang sangatmendasar. Birokratmisalnya, dituntut untuk melakukan perubahan-perubahantingkah-Iaku politik yang sangat mendasar: dari kekuatan yang memonopolipolitik lewat monopolinya atas prosedur politik menjadi kekuatan tanpakekuasaan politik, bahkan menjadi subyek dari kontrollembaga-Iembagapolitik.

Pengamatan saya di berbagai daerah mengungkapkan hal tersebut belummenjadi norma di kalangan pejabat birokrasi. Bahkan, penyiapan-penyiapanke arah ini, jejaknya belum cukup untuk bisa dilacak. Di tubuh Golkar,misalnya, persiapan-persiapan politik yang dilakukan di berbagai daerah lewatpenyelenggaraan Musda, masih kuat terkesan dalam kerangka untukmemasuki era politikOrde Barn di mana birokrasimenjadi hampir satu-satunyakekuatan yang memonopoli kekuasaan politik. Pusat pergulatan dalam politikGolkar masih berlangsung di an tara sesama birokrat tingkat atas,mengandaikan masih tetap bertumpang-tindihnya posisi Golkar dan birokrasilokal. Siapa yang akan memimpin Golkar masih tetap menjadi persoalan diantara para pejabat birokrasi di daerah-daerah. Hingga kini saya tidak melihatadanya perubahan dan persiapan di kalangan pejabat birokrasi untuk beradadi luar politik kepartaian atau Golkar yang merupakan syarat politik yangmengikuti pemberlakukan RUU yang baru.

Karenanya, perlu digarisbawahi bahwa kehadiran format politik barumerupakan momentum bagi Golkar untuk menentukan sikap politiknyaberhadapan dengan birokrasi; dan juga sebaliknya, menjadi momentum bagibirokrasi untuk menegaskan posisinetralnya terhadap birokrasi. Dengan RUUyang baru, elit birokrasi lokal tidak bisa lagi mempertahankan segalakemewahan politiknyaselama sekianlama: menjadi pejabatdi daerah sekaliguspejabat dalam struktur partai (baca:Golkar), dan kemudian memonopolisaluran ke lembaga perwakilan rakyat.

Persoalannya hal di atas masih sangatjauh dari kesadaran para birokrat diberbagai daerah. Laporan-Iaporan yang dilakukan media massa mengenaiacara pembukaan Musda Golkar di berbagai daerah masih tetap menjadi

ajang politik bagi elitbirokrat lokal. Padahal ketika RUU barn diberlakukan,bisa dipastikan birokrat yangterlibat dalam Golkar diharuskan untuk memilihuntuk melepaskan jabatan birokrasinya atau dilarang oleh UU untuk terlibatdalam politik Golkar.

Kecenderungan-kecenderungan penjumbuhanjabatan birokrasi dan posisipolitik di Golkar ini, akan menyulitkan pada perkembangan berikutnya,terutama pada masa pemilihan. Netralisasi posisibirokrasi yang dituntut olehRUU barn akan berhadapan dengan ketidak-siapan para pejabat birokrasidaerah. Salah satu resiko yang paling mungkin adalah terjadi benturan antaraGolkar dan birokrasi daerah, dan pada saat yang bersamaan terjadinyabenturan antara Golkar-birokrasidaerah dan parpol peserta pemilu non-Golkarlainnya. Ini bisa memicu konflik terbuka dengan resiko-resiko yang sangatsenus.

Demikian pula di kalangan pejabat politik hasil pilihan rakyat, sepertianggota dewan misalnya, belum terlihat adanya penyiapan-penyiapan untukmenyambut masuknya Indonesia ke era politikbarn. Alokasi mayoritas energipolitik anggota dewan masih tetap diarahkan ke organisasi politik yangmemayunginya, dan tidak pada peningkatan inisiatif individual yang justrumenjadi kunci bagi keberhasilan politik dalam sistem distrik yang akandiberlakukan. Isu-isulokal masih sangatJauh dari perhatian para pelaku politikdi banyak daerah di Indonesia.

Sayamelihat politik 'menggantung keatas' tetap mewarnai cara kerjaaktor-aktor politik di semua tingkatan daerah di Indonesia. Sementara politik yang'mengakar ke bawah' masih belum menunjukan tanda-tanda kehadirannya.Padahal dalam sistem pemilu yang akan berlangsung, sentralitas posisi danperan elit pemimpin parpol akan sangat terbatas dalam menentukan kiprahpolitik seseorang. Bahkan hak reca1lingyang me1ekat dalam diri pimpinaninduk organisasi politik secara otomatis akan kehilangan relevansinya.Eksistensiseseorang, termasuk anggota legislatif,akan sepenuhnya ditentukanoleh kemampuan dirinya danjarak yang dibangunnya dengan rakyat di distrikpemilihannya.

Di kalangan parpol-parpol barn, kondisi-kondisi yang dituntut oleh RUUyangbarn juga belum tampak dipersiapkan.Sebagaicontoh, pemenuhan syaratteknis ataupun penyiapan kader yang merata di seluruh distrik pemilihan,hingga kini belum menjadi agenda parpol-parpol barn. Padahal, inilah yang

14 JSp. Vol. 2, No.2, Nopember 1998JSP. Vol. 2, No.2, Nopember 1998 15

Page 9: RANCANGAN UNDANG-UNDANG POLITIK BARU: SEBUAH …

Rancangan Undong-Undong Politik BaTll:SdJuoh Tinjmum Kritis Comelis Lay comelisLay Rancangan Undong-Undong Polilik Baru:Sebuah Tinjauan Krilis

antara lain menjadikunci suksesdalam pemilu nanti. Bahkankebanyakanpartaibarn,hinggakinibelummulaimenyiapkaninfrastrukturpolitikditingkatdaerahyangsangatdiperlukangunamemasukisistempemilubarn. Agenda-agenda politik strategisguna dikonteskandalam arena pemilujuga belumcukuptampak.

Di kalanganABRI,perubahan-perubahanyangakan teIjadijuga belumcukup diantisipasi.K.eterlibatanpolitik tentara yang sangat intens dalambeIbagaiarena, masihterusberlangsungdalamkecepatantinggi.Di tengah-tengahpenegasansikapPangabuntukmerubahcorakketerlibatanABRIdalampolitik dari kekuatan yang "menduduki" menjadi kekuatan yang"mempengaruhi", bahkan "mempengaruhi secara tidak langsung" ,dominannyapreferensitentaradalampenentuangubemurdi banyakdaerahmasihterusberlangsung.

Benturan-benturandi antara berbagaikecenderungandi atas, menurnthernat saya dalah resiko-resikoseriusyang sangatmungkinakan dihadapibangsainidalampemilumendatang.Karenanya,berbagaiRUUpolitikbarnyang ada di satu sisidapat mengakomodasituntutan-tuntutanreformasi-sekalipunmasihtetapmenyisakanbanyakpertanyaanpadatingkatkonseptual- dan bisa menyiapkan sebuah kerangka konstitusionalbagi kita untukmemasukiera demokrasidan keteIbukaan,pada saat yangbersamaan,bisamengundangkemerosotanpolitik- dan by implication,sosialdan ekonomi- yang semakin dalam justru karena tingkat kesiapan yang sangat minim dibeIbagaikemungkinanaktoryangakan terlibatdi dalamformatpengaturanbarn ini.

Sebagaisebuahskenarioyangoptimis,semuakemung1cinandiatasmemangmerupakanresiko-resikodalamsebuaheratransisisepertiyangsudahdiajarkanoleh peneahlman banyak bangsa. Akan tetapi, kitajuga mestinyabisa menekankemungkinanresikoyangada pada tingkatyangmasukakal. Indonesiakinimemasuki era transisi ini. Penr;-1amanbanyak negara dalam me1ewatiperiodetransisi menunjukan adanya dua arab kecenderungan yangbertolak-belakangyang akan mengikuti setiap periode transisi politik, yakni antara demokrasidan otoritarianisme yang lebih kejam. K.eduakemungkinan ini teIbuka sarnabesarnya bagi bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka

. . .,. .. . , Rmcangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, 1998.

., ., . ., .... ., Rmcangan Undang-Undang tentang PartaiPohtik, 1998

. .., .., .,. . .,Rmcangan Undang-Undang tentangSusunan danKedukan MPR/DPR dan DPRD, 1998

Dahl, Robert, On Democracy, New haven & London: YaleUniversity Press,1998.

Linz, Juan and Alfred Stepan, Problems of Democratic Transition and Con-solidation: Southern Europe, South America, and Post-CommunistEurope, Baltimore: John Hopkins University Press, 1996.

Lipjhart, Arend, Democracy in Plural Sodeties: A Comparative Exloration,New Haven and London: Yale University Press, 1977.

Lipset, Seymour Martin, "Introduction" dalam The Encyckopedia of De-mocracy, Washington, D.c.: Congressional Queterly Inc., 1995.

Mosher, Fredick c., Democracy and Pubh"cService, 2d Ed., New York: Ox-ford University Press, 1982.

Rae, Douglas W, The Political Consequences of Eelectorallaws, New Ha-ven: Yale University Press, 1967.

Wilson, James Q., Bureaucracy: What Government Agencies Do and Mythey Do It, New York: Basic Books, 1989.

16 JSP·Vol. 2, No.2, Nopember 1998 JSP · Vol. 2, No.2, Nopember 1998 17