rabu, 7 desember 2011 pengendalian alzheimer lewat … · penerima x yang terbuat dari ginjal...

1
DINNY MUTIAH A DA berita baik bagi penderita penyakit alzheimer. Melalui sebuah penelitian, ilmuwan dari Fakultas Kedok- teran Case Western Reserve University, Ohio, Amerika Se- rikat, berhasil menemukan cara mengembalikan kemampuan penciuman yang hilang akibat penyakit ini, dengan cara meng- hilangkan protein pembentuk plak pada bagian otak tikus percobaan. Kehilangan kemampuan penciuman bisa disebabkan beberapa penyakit ringan, ter- papar sesuatu, dan luka. Akan tetapi, sejak 1970-an, beberapa penelitian mengidentifikasi- kannya sebagai pertanda awal penyakit alzheimer. Peneli- tian terbaru mengenai hal ini mengonrmasi bahwa protein tersebut, amiloid beta, menjadi penyebab hilangnya kemam- puan penciuman. “Sejumlah bukti meng- indikasikan bahwa kita dapat menggunakan kemampuan penciuman untuk menetapkan seseorang apakah terindikasi menderita penyakit alzheimer dan menggunakan perubahan kemampuan penciuman se- bagai titik awal perawatan. Itu lebih baik daripada kita menunggu hingga seseorang memiliki masalah dalam belajar dan mengingat,” ujar Daniel Wesson, seorang asisten profe- sor dalam bidang ilmu saraf di Case Western Reserve Univer- sity, sebagaimana dikutip dari Sciencedaily.com. Menurut Wesson, temuan tersebut menjadi cara awal untuk mengendalikan penya- kit ini. Pasalnya, belum ada metode penanganan dan pe- nyembuhan yang efektif untuk penyakit yang membuat pasien kehilangan sensor, kemam- puan kognitif, hingga koordi- nasi yang bisa berakhir pada kematian ini. Berdasarkan data Asosiasi Alzheimer Amerika Se- rikat, penyakit ini kini diderita sekitar 5,3 juta orang di Amerika dan jumlahnya diperkirakan meningkat tiga kali lipat hingga 16 juta orang sebelum 2050. Plak tersembunyi Terkait dengan plak terse- but, para peneliti menemukan amiloid beta hanya berjumlah sedikit sehingga sangat kecil untuk dilihat melalui hasil pemindaian otak. Plak amiloid beta tersebut terakumulasi per- tama kali pada bagian otak yang berasosiasi dengan kemampuan penciuman, sebelum kemudian terakumulasi di area lain yang berasosiasi dengan kemampuan kognitif dan koordinasi. Sebelum plak itu menyebar, organ penciuman tempat infor- masi bau yang diterima melalui hidung itu diproses, bersifat sa- ngat aktif. Setelah plak menye- bar ke bagian organ ini, organ tersebut menjadi hipoaktif. Hal itu didasarkan pada ting- kah laku tikus yang berubah. Tikus biasanya rajin mengendus sebelum ia mengerat atau untuk mencegahnya mengerat sesu- atu. Namun, saat bagian pen- ciumannya tertutupi oleh plak, tikus tersebut gagal mengingat bau dan tidak mampu membe- dakan bau yang disodorkan. Pola yang sama juga ditun- jukkan manusia dengan penya- kit ini. Mereka menjadi tidak responsif terhadap bau seiring dengan waktu. Yang menarik ialah saat kerusakan pada sis- tem penciuman terjadi, bagian otak tikus lainnya, termasuk hipokampus yang menjadi pusat memori, tetap berfungsi normal di awal tahap penya- kit ini. “Ini menunjukkan kerentan- an sistem penciuman yang unik terhadap sifat patogen penyakit alzheimer,” cetus Wesson. Tim ilmuwan kemudian men- cari cara untuk membalikkan efek tersebut. Tikus-tikus ter- sebut kemudian diberi agonis penerima x yang terbuat dari ginjal sintetis, yakni obat yang bisa membersihkan amiloid beta dari otak. Setelah dua minggu mengonsumsi obat ter- sebut, tikus-tikus tersebut dapat mencium dengan normal. Namun, pengobatan terse- but harus berlangsung seumur hidup karena peneliti menemu- kan, saat pengobatan tak lagi diberikan, kerusakan kembali terjadi. Maka itu, Wesson dan timnya kini melanjutkan pene- litian untuk menemukan cara bagaimana amiloid menyebar ke seluruh otak sehingga me- tode untuk memperlambat kerusakan penyakit tersebut bisa diketahui. Semakin tua, semakin berisiko Berdasarkan situs www.nlm. nih.gov, penyakit alzheimer me- rupakan bentuk paling umum dari penyakit demensia yang diderita kalangan berusia lanjut. Demensia merupakan kelainan otak yang berefek serius pada kemampuan seseorang untuk menjalani hidup sehari-hari. Penyakit ini berkembang dengan lambat. Pertama kali, penyakit ini menyerang bagian otak yang mengontrol daya pikir, daya ingat, dan bahasa. Orang-orang yang menderita alzheimer bermasalah dalam mengingat sesuatu yang baru saja terjadi atau nama orang yang mereka kenal. Orang- -meski tidak semua--yang menderita kerusakan kognitif ringan biasanya cenderung menjadi penderita alzheimer di kemudian hari. Penderita biasanya berumur lebih dari 60 tahun. Risiko tersebut mening- kat seiring dengan penambah an usia. Risikonya juga semakin tinggi jika Anda memiliki sejarah anggota keluarga yang men- derita penyakit ini. Keberadaan pasien ini juga menyebabkan tekanan hebat kepada keluarga yang bersangkutan karena para penderita biasanya tak bisa mengurus dirinya sendiri. Sifat pasien yang lebih mudah curiga atau agresif menambah kesulit- an penanganan, selain belum adanya pengobatan secara me- dis yang mumpuni. (M-6) [email protected] RABU, 7 DESEMBER 2011 21 P OP RISET Pengendalian Alzheimer lewat Sensor Penciuman Peneliti menemukan cara mengembalikan kemampuan penciuman pasien alzheimer. Namun, teknik pengobatannya masih terus dikembangkan. REUTERS/NACHO DOCE PERAWATAN: Isidora Tomaz, 82, penderita alzheimer asal Portugal, duduk di kursi disekat dengan dua kursi di depannya untuk mencegahnya jatuh ke tanah. Asosiasi Alzheimer Portugal memperkirakan jumlah penderita alzheimer di Eropa tahun ini mencapai tujuh juta jiwa.

Upload: haxuyen

Post on 07-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DINNY MUTIAH

ADA berita baik bagi penderita penyakit alzheimer. Melalui sebuah penelitian,

ilmuwan dari Fakultas Kedok-teran Case Western Reserve University, Ohio, Amerika Se-rikat, berhasil menemukan cara mengembalikan kemampuan penciuman yang hilang akibat penyakit ini, dengan cara meng-hilangkan protein pembentuk plak pada bagian otak tikus percobaan.

Kehilangan kemampuan

penciuman bisa disebabkan beberapa penyakit ringan, ter-papar sesuatu, dan luka. Akan tetapi, sejak 1970-an, beberapa penelitian mengidentifikasi-kannya sebagai pertanda awal penyakit alzheimer. Peneli-tian terbaru mengenai hal ini mengonfi rmasi bahwa protein tersebut, amiloid beta, menjadi penyebab hilangnya kemam-puan penciuman.

“Sejumlah bukti meng-indikasikan bahwa kita dapat menggunakan kemampuan penciuman untuk menetapkan seseorang apakah terindikasi

menderita penyakit alzheimer dan menggunakan perubahan kemampuan penciuman se-bagai titik awal perawatan. Itu lebih baik daripada kita menunggu hingga seseorang memiliki masalah dalam belajar dan mengingat,” ujar Daniel Wesson, seorang asisten profe-sor dalam bidang ilmu saraf di Case Western Reserve Univer-sity, sebagaimana dikutip dari Sciencedaily.com.

Menurut Wesson, temuan tersebut menjadi cara awal untuk mengendalikan penya-kit ini. Pasalnya, belum ada

metode penanganan dan pe-nyembuhan yang efektif untuk penyakit yang membuat pasien kehilangan sensor, kemam-puan kognitif, hingga koordi-nasi yang bisa berakhir pada kematian ini. Berdasarkan data Asosiasi Alzheimer Amerika Se-rikat, penyakit ini kini diderita sekitar 5,3 juta orang di Amerika dan jumlahnya diperkirakan meningkat tiga kali lipat hingga 16 juta orang sebelum 2050.

Plak tersembunyiTerkait dengan plak terse-

but, para peneliti menemukan

amiloid beta hanya berjumlah sedikit sehingga sangat kecil untuk dilihat melalui hasil pemindaian otak. Plak amiloid beta tersebut terakumulasi per-tama kali pada bagian otak yang berasosiasi dengan kemampuan penciuman, sebelum kemudian terakumulasi di area lain yang berasosiasi dengan kemampuan kognitif dan koordinasi.

Sebelum plak itu menyebar, organ penciuman tempat infor-masi bau yang diterima melalui hidung itu diproses, bersifat sa-ngat aktif. Setelah plak menye-bar ke bagian organ ini, organ tersebut menjadi hipoaktif.

Hal itu didasarkan pada ting-kah laku tikus yang berubah. Tikus biasanya rajin mengendus sebelum ia mengerat atau untuk mencegahnya mengerat sesu-atu. Namun, saat bagian pen-ciumannya tertutupi oleh plak, tikus tersebut gagal mengingat bau dan tidak mampu membe-dakan bau yang disodorkan.

Pola yang sama juga ditun-jukkan manusia dengan penya-kit ini. Mereka menjadi tidak responsif terhadap bau seiring dengan waktu. Yang menarik ialah saat kerusakan pada sis-tem penciuman terjadi, bagian otak tikus lainnya, termasuk hipokampus yang menjadi pusat memori, tetap berfungsi normal di awal tahap penya-kit ini.

“Ini menunjukkan kerentan-an sistem penciuman yang unik terhadap sifat patogen penyakit alzheimer,” cetus Wesson.

Tim ilmuwan kemudian men-cari cara untuk membalikkan efek tersebut. Tikus-tikus ter-sebut kemudian diberi agonis penerima x yang terbuat dari ginjal sintetis, yakni obat yang bisa membersihkan amiloid beta dari otak. Setelah dua minggu mengonsumsi obat ter-sebut, tikus-tikus tersebut dapat mencium dengan normal.

Namun, pengobatan terse-but harus berlangsung seumur

hidup karena peneliti menemu-kan, saat pengobatan tak lagi diberikan, kerusakan kembali terjadi. Maka itu, Wesson dan timnya kini melanjutkan pene-litian untuk menemukan cara bagaimana amiloid menyebar ke seluruh otak sehingga me-tode untuk memperlambat kerusakan penyakit tersebut bisa diketahui.

Semakin tua, semakin berisikoBerdasarkan situs www.nlm.

nih.gov, penyakit alzheimer me-rupakan bentuk paling umum dari penyakit demensia yang diderita kalangan berusia lanjut. Demensia merupakan kelainan otak yang berefek serius pada kemampuan seseorang untuk menjalani hidup sehari-hari.

Penyakit ini berkembang dengan lambat. Pertama kali, penyakit ini menyerang bagian otak yang mengontrol daya pikir, daya ingat, dan bahasa. Orang-orang yang menderita alzheimer bermasalah dalam mengingat sesuatu yang baru saja terjadi atau nama orang yang mereka kenal. Orang--meski tidak semua--yang menderita kerusakan kognitif ringan biasanya cenderung menjadi penderita alzheimer di kemudian hari. Penderita biasanya berumur lebih dari 60 tahun. Risiko tersebut mening-kat seiring dengan penambah an usia.

Risikonya juga semakin tinggi jika Anda memiliki sejarah anggota keluarga yang men-derita penyakit ini. Keberadaan pasien ini juga menyebabkan tekanan hebat kepada keluarga yang bersangkutan karena para penderita biasanya tak bisa mengurus dirinya sendiri. Sifat pasien yang lebih mudah curiga atau agresif menambah kesulit-an penanganan, selain belum adanya pengobatan secara me-dis yang mumpuni. (M-6)

[email protected]

RABU, 7 DESEMBER 2011 21POP RISET

Pengendalian Alzheimer lewat Sensor PenciumanPeneliti menemukan cara mengembalikan kemampuan penciuman pasien alzheimer. Namun, teknik pengobatannya masih terus dikembangkan.

REUTERS/NACHO DOCE

PERAWATAN: Isidora Tomaz, 82, penderita alzheimer asal Portugal, duduk di kursi disekat dengan dua kursi di depannya untuk mencegahnya jatuh ke tanah. Asosiasi Alzheimer Portugal memperkirakan jumlah penderita alzheimer di Eropa tahun ini mencapai tujuh juta jiwa.