rabu, 21 desember 2011 pupuk hemat yang ramah lingkungan filepenggunaan pupuk penambah unsur hara ke...

1
DINNY MUTIAH B ADAN Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan rekayasa sehingga penggunaan pupuk penambah unsur hara ke tanah bisa lebih ditekan. Melalui penelitian ini, kualitas kesuburan tanah dapat diperbaiki dan produktivitas hasil panen dapat meningkat hingga 10%. Pupuk tersebut dinamai slow release fertilizer (SRF). Ada dua jenis SRF ini, yakni SRF tunggal dan SRF majemuk. Perbedaan- nya terletak pada komposisi material pupuk. SRF tunggal hanya mengan- dung unsur nitrogen yang didapat dari urea. Adapun SRF majemuk memiliki kom- posisi unsur nitrogen, kalium, dan fosfat yang didapat dari pencampuran urea, KCL, dan TSP atau SP 36. Pupuk tersebut kemudian diproses menjadi granula atau butiran berdia- meter 3-5 milimeter. “Dasar penelitian kami ada- lah ingin membuat produk pu- puk yang proses pelepasannya bisa dikendalikan. Misalnya urea, kalau dalam bentuk kon- vensional, pupuk tersebut cepat pelepasannya dan hilang ka- rena pelarutan maupun peng- uapan. Sehingga, penyerapan pupuk paling hanya sampai 12% saja yang bisa dimanfaat- kan,” ujar Kepala Program Pengembangan Pupuk Berim- bang BPPT Dr Abdul Ghofar saat ditemui Media Indonesia di Jakarta, Senin (12/12). Modifikasi pupuk dilaku- kan dengan cara menambah- kan binder dan matriks. Ba- han matriks berfungsi sebagai pengikat elemen-elemen ter- sebut sekaligus meningkatkan daya serap air. Adapun bahan binder berfungsi sebagai pere- kat material yang terkandung dalam pupuk. Untuk matriks, peneliti menggunakan tanah liat (clay) atau zeolit tergantung pada kondisi tanah setempat. Namun, untuk binder, peneliti menggunakan bahan yang mu- dah terurai di tanah sehingga tidak merusak lingkungan, se- perti molase dan tapioka. “Prinsipnya adalah pelepas- annya tidak boleh terlalu lam- bat sehingga tidak bisa diserap tanaman yang hidup di lahan kering, sebaliknya pelepasan- nya tidak boleh terlalu cepat se- hingga tanaman yang hidup di lahan basah tak bisa menyerap pupuk. Untuk lahan basah, binder yang cocok berbahan tapioka, sedangkan lahan ke- ring lebih cocok jika binder yang digunakan berbahan mo- lase,” sambungnya. Pupuk yang telah dimodi- kasi tersebut, sahut Ghofar, bisa menghemat penggunaan pupuk antara 25% dan 30%. Artinya, jika pupuk konven- sional membutuhkan 100 kg/ hektare, kebutuhan pupuk SRF untuk luas lahan serupa hanya mencapai 70-75 kg saja. Keuntungan lainnya bagi petani adalah mereka cukup menyebarkan pupuk ini sekali saja di awal tanam karena pu- puk ini diyakini bisa bertahan hingga musim tanam usai. “Kalau menggunakan pupuk konvensional, petani biasanya harus menyebar pupuk tiga kali, yakni pada waktu mena- nam, 21 hari setelah menanam, dan terakhir 40 hari setelah me- nanam. Kalau cukup sekali, itu berarti bisa menghemat biaya tenaga kerja,” jelasnya. Cara penggunaannya pun mudah. Petani tidak perlu mengubah kebiasaannya dalam menggunakan pupuk. Sering kali, petani enggan bersikap adaptif dengan produk baru ka- rena dianggap menyulitkan. “Bentuknya pun tak ber- beda dengan pupuk biasa tapi formulanya memang berbeda. Soalnya, pernah satu waktu petani diperkenalkan dengan pupuk berbentuk tablet yang harus dibenamkan satu-satu dalam tanah, petani malah eng- gan menggunakannya karena dianggap ribet,” imbuh Mana- jer Program Pengembangan Pupuk Berimbang, Murbantan Tandirerung, yang juga menjadi anggota tim peneliti. Proses pembuatan Setiap pupuk SRF diformu- lasi sesuai dengan kondisi tanah yang dihadapi. Maka itu, mereka menciptakan formula dasar yang bisa dimodikasi se- suai spesikasi tanah dan tana- man yang akan diberi nutrisi. Sejauh ini, peneliti telah meng- gunakan SRF untuk memupuk tanaman padi dan jagung de- ngan hasil yang positif. “Kami telah menguji pu- puk ini di 15 kabupaten yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia, seperti Sulawesi Selatan, Bali, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Situasi setiap daerah itu berbeda dan musim yang dihadapi juga berbeda. Hal itu sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian,” cetus Ghofar. Untuk memproduksinya, material itu harus melewati beberapa tahapan sebelum berbentuk granula. Ghofar men- jelaskan tahap pertama, mate- rial utama harus dihancurkan menggunakan crusher hingga halus, kemudian diayak se- hingga ukurannya menjadi homogen. Setelah melewati pengayak- an, material tersebut dicampur di dalam mixer. Selanjutnya, bahan tersebut dimasukkan ke granulator untuk ditambahkan dengan binder dan matriks menggunakan sprayer. “Dalam granulator, tepung tersebut menjadi bulatan. Dari situ, granula yang masih basah masuk ke dryer. Pengeringan sendiri terjadi dalam dua ta- hap. Hal itu untuk menjaga agar granula tidak kembali mengempis. Terakhir, kami melakukan penyortiran dengan menggunakan rotary screening sehingga bisa didapat granula dengan ukuran yang seragam,” tuturnya. SRF plus Perekayasaan pupuk SRF su- dah dilakukan sejak 2005 lalu. Kini, sudah memasuki tahap pilot project yang direncana- kan akan memproduksi SRF sebanyak 30 ton/hari mulai tahun 2012. Mereka juga mulai mengembangkan pupuk SRF plus, yakni varian terbaru SRF yang menggunakan bahan organik. Penelitian tersebut di- harapkan bisa sekaligus mem- perbaiki kualitas tanah karena mengandung mikroba untuk menggemburkan tanah. “Mikroba yang diguna- kan di antaranya mikoriza dan pseudomonas. Intinya, kita me- masukkan mikroba penambat unsur nitrogen, mikroba pela- rut fosfat, dan mikroba pelarut kalium,” ujar Murbantan. SRF plus tersebut tidak ha- nya terdiri dari mikroba, tetapi juga bahan hayati dan bahan anorganik. Bahan hayati yang digunakan berasal dari jerami yang dikomposkan, sedangkan bahan anorganik menggunakan urea, KCl, dan TSP. Namun, peneliti memisahkan antara elemen organik dan elemen an- organik pada saat proses pem- buatan dan baru dicampurkan saat akan digunakan. “Dulu sih kita satukan, tapi kemudian kami pisahkan karena urea kan sifatnya panas sehingga bisa membunuh spora,” tukasnya. (M-6) [email protected] Pupuk Hemat yang Ramah Lingkungan Peneliti BPPT menemukan cara untuk mengurangi penggunaan pupuk, tapi dapat meningkatkan hasil panen petani. ANTARA/ARI BOWO SUCIPTO 28 RABU, 21 DESEMBER 2011 P OP RISET PEMUPUKAN: Dua petani menaburkan pupuk ke tanaman cabai yang berusia satu minggu untuk memperkuat dan mempercepat pertumbuhannya di Desa Semanding, Dau, Malang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Pupuk yang telah dimodifikasi tersebut bisa menghemat penggunaan pupuk antara 25% dan 30%.”

Upload: vuongxuyen

Post on 20-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RABU, 21 DESEMBER 2011 Pupuk Hemat yang Ramah Lingkungan filepenggunaan pupuk penambah unsur hara ke tanah bisa lebih ditekan. Melalui penelitian ini, kualitas kesuburan tanah dapat

DINNY MUTIAH

BADAN Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan rekayasa sehingga

penggunaan pupuk penambah unsur hara ke tanah bisa lebih ditekan. Melalui penelitian ini, kualitas kesuburan tanah dapat diperbaiki dan produktivitas hasil panen dapat meningkat hingga 10%.

Pupuk tersebut dinamai slow release fertilizer (SRF). Ada dua jenis SRF ini, yakni SRF tunggal dan SRF majemuk. Perbedaan-nya terletak pada komposisi material pupuk.

SRF tunggal hanya mengan-dung unsur nitrogen yang didapat dari urea. Adapun SRF majemuk memiliki kom-posisi unsur nitrogen, kalium, dan fosfat yang didapat dari

pencampuran urea, KCL, dan TSP atau SP 36. Pupuk tersebut kemudian diproses menjadi granula atau butiran berdia-meter 3-5 milimeter.

“Dasar penelitian kami ada-lah ingin membuat produk pu-puk yang proses pelepasannya bisa dikendalikan. Misalnya urea, kalau dalam bentuk kon-vensional, pupuk tersebut cepat pelepasannya dan hilang ka-rena pelarutan maupun peng-uapan. Sehingga, penyerapan pupuk paling hanya sampai 12% saja yang bisa dimanfaat-kan,” ujar Kepala Program Pengembangan Pupuk Berim-bang BPPT Dr Abdul Ghofar saat ditemui Media Indonesia di Jakarta, Senin (12/12).

Modifikasi pupuk dilaku-kan dengan cara menambah-kan binder dan matriks. Ba-han matriks berfungsi sebagai

pengikat elemen-elemen ter-sebut sekaligus meningkatkan daya serap air. Adapun bahan binder berfungsi sebagai pere-kat material yang terkandung dalam pupuk. Untuk matriks, peneliti menggunakan tanah liat (clay) atau zeolit tergantung pada kondisi tanah setempat. Namun, untuk binder, peneliti menggunakan bahan yang mu-dah terurai di tanah sehingga tidak merusak lingkungan, se-perti molase dan tapioka.

“Prinsipnya adalah pelepas-

annya tidak boleh terlalu lam-bat sehingga tidak bisa diserap tanaman yang hidup di lahan kering, sebaliknya pelepasan-nya tidak boleh terlalu cepat se-hingga tanaman yang hidup di lahan basah tak bisa menyerap pupuk. Untuk lahan basah, binder yang cocok berbahan tapioka, sedangkan lahan ke-ring lebih cocok jika binder yang digunakan berbahan mo-lase,” sambungnya.

Pupuk yang telah dimodi-fi kasi tersebut, sahut Ghofar, bisa menghemat penggunaan pupuk antara 25% dan 30%. Artinya, jika pupuk konven-sional membutuhkan 100 kg/hektare, kebutuhan pupuk SRF untuk luas lahan serupa hanya mencapai 70-75 kg saja.

Keuntungan lainnya bagi petani adalah mereka cukup menyebarkan pupuk ini sekali

saja di awal tanam karena pu-puk ini diyakini bisa bertahan hingga musim tanam usai.

“Kalau menggunakan pupuk konvensional, petani biasanya harus menyebar pupuk tiga kali, yakni pada waktu mena-nam, 21 hari setelah menanam, dan terakhir 40 hari setelah me-nanam. Kalau cukup sekali, itu berarti bisa menghemat biaya tenaga kerja,” jelasnya.

Cara penggunaannya pun mudah. Petani tidak perlu mengubah kebiasaannya dalam menggunakan pupuk. Sering kali, petani enggan bersikap adaptif dengan produk baru ka-rena dianggap menyulitkan.

“Bentuknya pun tak ber-beda dengan pupuk biasa tapi formulanya memang berbeda. Soalnya, pernah satu waktu petani diperkenalkan dengan pupuk berbentuk tablet yang harus dibenamkan satu-satu dalam tanah, petani malah eng-gan menggunakannya karena dianggap ribet,” imbuh Mana-jer Program Pengembangan Pupuk Berimbang, Murbantan Tandirerung, yang juga menjadi anggota tim peneliti.

Proses pembuatanSetiap pupuk SRF diformu-

lasi sesuai dengan kondisi tanah yang dihadapi. Maka itu, mereka menciptakan formula dasar yang bisa dimodifi kasi se-suai spesifi kasi tanah dan tana-man yang akan diberi nutrisi. Sejauh ini, peneliti telah meng-gunakan SRF untuk memupuk tanaman padi dan jagung de-ngan hasil yang positif.

“Kami telah menguji pu-puk ini di 15 kabupaten yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia, seperti Sulawesi Selatan, Bali, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Situasi setiap daerah itu berbeda dan musim yang dihadapi juga berbeda. Hal itu sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian,” cetus Ghofar.

Untuk memproduksinya, material itu harus melewati beberapa tahapan sebelum berbentuk granula. Ghofar men-jelaskan tahap pertama, mate-rial utama harus dihancurkan menggunakan crusher hingga halus, kemudian diayak se-

hingga ukurannya menjadi homogen.

Setelah melewati pengayak-an, material tersebut dicampur di dalam mixer. Selanjutnya, bahan tersebut dimasukkan ke granulator untuk ditambahkan dengan binder dan matriks menggunakan sprayer.

“Dalam granulator, tepung tersebut menjadi bulatan. Dari situ, granula yang masih basah masuk ke dryer. Pengeringan sendiri terjadi dalam dua ta-hap. Hal itu untuk menjaga agar granula tidak kembali mengempis. Terakhir, kami melakukan penyortiran dengan menggunakan rotary screening sehingga bisa didapat granula dengan ukuran yang seragam,” tuturnya.

SRF plusPerekayasaan pupuk SRF su-

dah dilakukan sejak 2005 lalu. Kini, sudah memasuki tahap pilot project yang direncana-kan akan memproduksi SRF sebanyak 30 ton/hari mulai tahun 2012. Mereka juga mulai mengembangkan pupuk SRF plus, yakni varian terbaru SRF yang menggunakan bahan organik. Penelitian tersebut di-harapkan bisa sekaligus mem-perbaiki kualitas tanah karena mengandung mikroba untuk menggemburkan tanah.

“Mikroba yang diguna-kan di antaranya mikoriza dan pseudomonas. Intinya, kita me-masukkan mikroba penambat unsur nitrogen, mikroba pela-rut fosfat, dan mikroba pelarut kalium,” ujar Murbantan.

SRF plus tersebut tidak ha-nya terdiri dari mikroba, tetapi juga bahan hayati dan bahan anorganik. Bahan hayati yang digunakan berasal dari jerami yang dikomposkan, sedangkan bahan anorganik menggunakan urea, KCl, dan TSP. Namun, peneliti memisahkan antara elemen organik dan elemen an-organik pada saat proses pem-buatan dan baru dicampurkan saat akan digunakan. “Dulu sih kita satukan, tapi kemudian kami pisahkan karena urea kan sifatnya panas sehingga bisa membunuh spora,” tukasnya. (M-6)

[email protected]

Pupuk Hemat yang Ramah LingkunganPeneliti BPPT menemukan cara untuk mengurangi penggunaan pupuk, tapi dapat meningkatkan hasil panen petani.

ANTARA/ARI BOWO SUCIPTO

28 RABU, 21 DESEMBER 2011POP RISET

PEMUPUKAN: Dua petani menaburkan pupuk ke tanaman cabai yang berusia satu minggu untuk memperkuat dan mempercepat pertumbuhannya di Desa Semanding, Dau, Malang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.

Pupuk yang telah

dimodifikasi tersebut bisa menghemat penggunaan pupuk antara 25% dan 30%.”