qÂdir al-jailÂnÎ -...

122
TAFSIR ISYÂRÎ TENTANG SURGA MENURUT SYAIKH „ABD AL- QÂDIR AL-JAILÂNÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Oleh: Riswan Sulaeman NIM: 1112034000071 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR‟AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M

Upload: dangliem

Post on 07-Mar-2019

250 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

TAFSIR ISYÂRÎ TENTANG SURGA MENURUT SYAIKH „ABD AL-

QÂDIR AL-JAILÂNÎ

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh:

Riswan Sulaeman

NIM: 1112034000071

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR‟AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/2017 M

Page 2: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat
Page 3: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat
Page 4: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat
Page 5: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

i

ABSTRAK

Riswan Sulaeman: “Tafsir Isyârî Tentang Surga Menurut Syaikh „Abd al-

Qâdir al-Jailânî (470-561 H)”

Surga di dalam al-Qur‟an dan hadis seringkali dideskripsikan sebagai

tempat yang di dalamnya terdapat sungai yang mengalir, pepohonan dan buah-

buahan, kasur-kasur yang tebal lagi empuk, dipan-dipan yang indah, dan lain

sebagainya. Para mufassir bebrbeda pandangan mengenai kenikmatan yang akan

diperoleh di surga kelak. Ada yang meyakini kenikmatan tersebut bersifat jasmani

(material), sebagaimana yang dideskripsikan dalam al-Qur‟an maupun Hadis.

Sebagian yang lain berpendapat bersifat ruhani (immaterial), seperti yang

dilakukan oleh para filusuf dan ahli tasawwuf. Ada pula yang menggabung

keduanya, jasmani (material) dan rohani (immaterial).

Dalam penelitian ini peneliti fokus membahas penafsiran tentang surga

yang dilakukan oleh Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî dalam kitab Tafsîr al-Jailânî.

Penafsiran yang dilakukan oleh beliau menjadi menarik untuk diteleiti karena

menurut al-Jailânî kenikmatan yang diperoleh oleh manusia di dalam surga

bersifat ruhani (immateri). Kenikmatan tersebut berupa makrifat, pengetahuan

ilahi yang hakiki. Makrifat merupakan puncak kenikmatan dan akhir kerinduan

seorang hamba kepada Tuhannya, juga merupakan karunia tertinggi yang

diberikan Allah Swt kepada hambanya, karena adanya kesungguhan, kerajinan,

kepatuhan dan ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah. Makrifat yang

diperoleh sorang hamba di dalam surga terbagi menjadi dua, ma‟rifat al-kulliyyah

dan ma‟rifat al-juziyyah.Ma‟rifat al-kulliyyah merupakan sumber segala

pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat al-kulliyyah itu

mengalirlahma‟rifat al-juziyyah (pengetahuan-pengetahuan parsial), layaknya

sungai-sungai yang mengalir dari lautan menuju daratan. Memperoleh ma‟rifat al-

kulliyyah merupakan sebuah proses yang berlangsung kontinyu atau berulang-

ulang. Semakin banyak keterbukaan qalb, maka semakin banyak hakikat atau

rahasia ketuhanan yang dapat diketahui. Walaupun bisa semakin banyak, ma‟rifat

al-kulliyyah itu tidak bisa menjadi ma‟rifah yang penuh tentang Tuhan karena

Tuhan itu tak terbatas (infinite), sedangkan manusia sebagai makhluk bersifat

terbatas (finite).

Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, penulis menggunakan metode

deskriptif analitis, yakni data yang dikumpulkan pertama-tama disusun, dijelaskan

dan baru kemudian dianaslisa. Dengan rincian bahwa untuk menggali penafsiran

al-Jailânî terhadap surga diperlukan tafsir itu sendiri dan karya-karya al-Jailânî

lainnya seperti Sirr al-Asrâr, al-Gunyah li Tâlib al-Tarîq al-Haqq, al-Mukhtasar

fî „Ulȗm al-Dîn, Futȗhul Ghaibdan lain-lain. Setelah data-data terkumpul, lalu

dijelaskan serta dianalisis secara mendalam, sehingga akan tampak jelas jawaban

atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya. Kajian ini juga

menggunakan pendekatan tematik al-Qur‟an, yakni berusaha mencari jawaban

atas penafsiran surga menurut al-Jailânî dengan jalan menghimpun seluruh

penafsiran al-Jailânî terhadap ayat-ayat surga, lalu menganalisanya lewat ilmu-

ilmu bantu yang relevan, untuk kemudian melahirkan konsep surga yang utuh

dalam perspektif al-Jailânî.

Page 6: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt., yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Yang senantiasa melimpahkan segala nikmat dan pertolongannya kepada penulis.

Berkat izin dari-Nya pemulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta

salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Semoga kita

termasuk umatnya yang istiqamah menjalani perintahnya, dan mendapatkan

syafa‟at pada hari Kiamat kelak.

Penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul “TAFSIR ISYÂRÎ

TENTANG SURGA MENURUT SYAIKH „ABD AL-QÂDIR AL-JAILÂNΔ

ini tidak akan selesai jika hanya mengandalkan daya yang penulis miliki. Ada

banyak sosok, kerabat, dan orang-orang yang secara langsung maupun tidak

langsung telah banyak membantu penulis. Maka dalam pengantar skripsi ini

penulis mengucapkan banyak terimaksih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-

Qur‟an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku

Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Usshuluddin

UIN Syarif Hidyatullah Jakarta.

4. Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, MA., selaku dosen pembimbing

akademik yang telah memberikan banyak nasihat dan kemudahan bagi

penulis dalam mengurus administrasi dan penyelesaian skripsi.

Page 7: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

iii

5. Bapak Moh. Anwar Syarifuddin, M.A., selaku dosen pembimbing

yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing,

mengarahkan, dan mengoreksi dalam penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

yang telah dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmu dan pengalaman

berharga kepada penulis.

7. Kepada kedua orang tua tercinta Bapak Saefudin dan Ibu Rokhayati,

yang selalu mendoakan kebaikan dalam setiap aktifitas penulis, yang

tidak henti-hentinya memberikan motivasi kepada penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini. Yang dengan sabar menunggu dalam

menyelesaikan masa studi penulis. Juga adik-adik tercinta yang berkat

merekalah aku semangat menyelesaikan tugas akhir ini, Ghofur

Rahmat Septian, dan Diah Ayu Restiani.

8. Keluarga Besar Tafsir Hadis angkatan 2012, terkhusus bagi kawan-

kawan TH B, semoga silaturrahim kita tetap selalu terjaga dan takkan

retak walaupun jarak memisahkan kita.

9. Kawan-kawan gerakan PMII, GM-I, SMGI, dan RINGKAS, yang

telah banyak berkontribusi dalam membangun keintelektualan penulis

dengan kajian dan diskusi, serta kesadaran penulis agar selalu peka

dan peduli terhadap lingkungan, baik lokal maupun nasional.

Terkhusus bagi Bung Maslam Danuri yang senantiasa mendidik dan

melatih penulis dalam berorganisasi secara ikhlas, tanpa pamrih dan

mengharap imbalan.

Page 8: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

iv

10. Ada banyak orang lagi, namun tidak bisa saya sebutkan semuanya.

Tapi yang pasti saya sangat berterima kasih atas apa yang telah

mereka lakukan.

Sekali lagi penulis haturkan rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang

telah membantu penulis. Semoga Allah Swt. membalas kebaikan yang berlipat

ganda dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Âmîn yâ Rabb al-Âlamîn.

Ciputat, 15 Juni 2017

Riswan Sulaeman

Page 9: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

v

DAFTAF ISI

ABSTRAK .................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................ v

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1

B. Batasan dan Perumusan Masalah .................................... 9

C. Tujuan dan Manfaat ....................................................... 11

D. Metode Penelitian .......................................................... 12

E. Kajian Pustaka ............................................................... 14

F. Sistematika Penulisan .................................................... 17

BAB II ANTARA ORTODOKSI DAN HETERODOKSI TAFSIR

SURGA

A. Pengertian Ortodoksi dan Heterodoksi Tafsir .............. 19

B. Sejarah Ortodoksi dan Heterodoksi Tafsir .................... 24

C. Legalitas dan Otoritas Tafsir Sufi ................................. 33

D. Perkembangan Ragam Tafsir Surga

1. Periode Klasik ........................................................ 40

2. Periode Modern ...................................................... 45

BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN SYAIKH „ABD AL- QÂDIR

AL-JAILÂNÎ

A. Biografi Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî

1. Konteks Sosial-Politik Masa al-Jailânî ..................... 49

2. Riwayat Hidup al-Jailânî .......................................... 55

3. Konsep Tasawwuf al-Jailânî ..................................... 59

4. Geneologi Tasawuf al-Jailânî ................................... 63

B. Profil Kitab Tafsîr al-Jailânî

1. Latar Belakang Tafsîr al-Jailânî ............................... 64

2. Metode dan Corak Tafsîr al-Jailânî ......................... 68

3. Sistematika Penulisan Tafsîr al-Jailânî .................... 71

BAB IV MAKNAISYÂRÎ SURGA MENURUT SYAIKH „ABD AL-

QÂDIR AL-JAILÂNÎ

A. Taman-Taman Surga .................................................... 72

B. Bidadari-Bidadari Surga ............................................... 85

C. Makanan dan Minuman Ahli Surga ............................. 88

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................. 92

B. Saran ......................................................................... 93

DAFTAR PUSTAKA

Page 10: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman

pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapatdalam buku Pedoman

Akademik Program Strata 1 tahun 2012-2013 UIN SyarifHidayatullah Jakarta.

a. PadananAksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ts te dan es ث

J Je ج

H ha dengan garis di bawah ح

Kh ka dan ha خ

D De د

Dz de dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy es dan ye ش

S es dengan garis di bawah ص

D de dengan garis di bawah ض

T te dengan garis di bawah ط

Z zet dengan garis di bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan ´ ع

Gh ge dan ha غ

F Ef ف

Q Ki ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

Page 11: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

vii

N En ن

W We و

H Ha ه

Apostrof ء

Y Ye ي

b. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri

dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vocal

tunggal, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai berikut:

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

A Fathah

I Kasrah

U Dammah

Ada pun untuk vokal rangkap, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai

berikut:

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

ي Ai a dan i

و Au a dan u

VokalPanjang

Ketentuan alihaksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

â a dengantopi di atas ى ا

î i dengantopi di atas ى ي

Page 12: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

viii

û u dengantopi di atas ىو

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu ا, dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah

maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-diwân bukan ad-

diwân.

Syaddah(Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda ( ), dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi,

halinitidakberlakujikahuruf yang menerimatandasyaddahituterletaksetelah kata

sandang yang diikutiolehhuruf-hurufsyamsiyyah.Misalnya, kata اعشسح

tidakditulisad-darûrahmelainkanal-darûrah, demikianseterusnya.

Ta Marbûtah

Berkaitandenganalihaksaraini, jikahurufta marbûtahterdapatpada kata

yang berdirisendiri, makahuruftersebutdialihaksarakanmenjadihuruf /h/

(lihatcontoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut

diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah

tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menja

dihuruf /t/ (lihat contoh 3).

Contoh:

No TandaVokal Latin Keterangan

Tarîqah طريقة 1

al-Jâmi‟ah al-Islâmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2

Page 13: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

ix

Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3

Huruf Kapital

Meski pun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam

alihaksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan

yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara

lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal, nama tempat, nama bulan,

nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata

sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri

tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî

bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan

dalam alihaksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau

cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring,

maka demikian halnya dalam alihaksaranya. Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal

dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar

katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,

tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânirî.

Page 14: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah, ortodoksi dan heterodoksi merupakan sesuatu yang sangat

relatif, tergantung pada perkembangan ajaran resmi agama Islam dalam sejarah.

Penilaian bahkan penghakiman tentang tafsir yang ortodoks atau yang heterodoks

sangat ditentukan oleh paham Islam dari aktor-aktor yang memiliki otoritas

keagmaan (ulama) dan kekuasaan (sultan) sekaligus. Karena pemahaman Islam

mengalami perkembangan dan perubahan, maka apa yang dituduh sebagai

heterodoks ternyata dikemudian hari diterima sebagai yang ortodoks dan begitu

sebaliknya.1

Secara etimologis ortodoksi berarti ajaran yang benar; heterodoksi berarti

ajaran yang seperti benar padahal tidak.2 Secara terminologis ortodoksi berarti

ketaatan kepada ajaran resmi, sedangkan heterodoksi berarti penyimpangan

kepada ajaran resmi. Dalam Islam dikenal misalnya istilah sunnah dan bid‟ah

dalam bidang teologi dan fiqh, mu‟tabarah dan ghair mu‟tabarah dalam bidang

tasawuf, mu‟tamad dan ghair mu‟tamad dalam bidang fatwa dan lain-lain.3 Dalam

definisi Arkoun ortodoksi adalah ajaran yang menjadi kesadaran kelompok

1Dadang Darmawan, “Ortodoksi dan Heteredoksi Tafsir”, dalam Jurnal Refleksi, V. 13,

No. 2 (April 2012), h. 180. 2Ortodoksi berasal dari bahasa Yinani orth yang berarti benar dan doxa yang berarti

ajaran.Jadi ortodoksi berarti ajaran yang benar. Sedangkan heterodoksi berasal dari kata hetero

yang berarti mirip dan doxa yang berarti ajaran. Jadi heteredoksi berarti ajaran yang mirip namun

tidak benar. William L. Reese, Dictionary of Philoshopy and Religion, Eastern and Western

Thought (New York: Humanity Books, 1996), h. 540. 3 Fazlur Rahman, Islam (London: The University of Chicago Press, 1979), h. 236-237.

Page 15: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

2

mayoritas yang dengannya kelompok itu melihat berbagai kesadaran lain yang

dikembangkan oleh kelompok minoritas sebagai heterodoks.4

Secara normatif, ortodoksi tafsir dapat dilacak akarnya pada hadis-hadis

anti tafsîr bi al-ra‟y. Hadis-hadis itu berisi kecaman Rasulullah terhadap orang-

orang yang menafsirkan al-Qur‟an dengan ra‟y (opini pribadi). Rasulullah

mengancam mereka dengan neraka, sebanding dengan ancamannya terhadap para

pemalsu hadis.5 Hampir satu abad lamanya tafsîr bi al-ra‟y dihindari dan baru

muncul kemudian pada awal era dinasti Abbasiyyah.6

Dalam masa seabad itu, al-Qur‟an lebih banyak ditafsirkan melalui atsar

yang bersumber dari nabi Muhammad melalui para sahabat dan tâbi‟în yang

terkemuka, yang kemudian dikenal dengan tafsîr bi al-ma‟tsûr. Penafsiran al-

Qur‟an dengan opini pribadi (ra‟y) pada masa itu akan dianggap sebagai

perbuatan menyimpang (heresy) yang terkadang mengakibatkan sanksi fisik.7

Tapi seperti halnya hadis palsu, kelahiran tafsir heterodokspun tidak bisa

dibendung. Pada masa sahabat, komentar-komentar tentang al-Qur‟an yang tidak

berasal dari Rasulullah sudah mulai ditambahkan. Pelakunya adalah para sahabat

sendiri, terutama yang dipandang ahli dalam tafsir al-Qur‟an seperti Ibn „Abbas,

4 Muhammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan

Baru (Jakarta: INIS, 1994), h.264. 5 Hadis-hadis anti tafsir bi al-ra‟y ini jumlahnya ada dua puluh lima. Tujuh belas

diriwayatkan dari Ibn „Abbas delapan dari Jundab ibn Abdiilah. Hadis-hadis itu dapat dilihat

dalam Abȗ „Îsâ Muhammad bin „Îsâ al-Tumȗzi al-Silmî, Sunan al-Tumȗzi (Kairo : Dâr al-Hadis,

2010). 6 Muhammad Husain al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Mesir: Maktabah Wahbah,

2000), j. I, h.146. 7Contohnya orang-orang yang enggan membayar zakat kepada Abu Bakr berkata bahwa

perbuatan mereka didasari QS. Al-Taubah/9: 103. Menurut mereka, ayat itu memerintahkan

Muhammad untuk mengambil zakat dari mereka.Sebagai gantinya Muhammad mendoakan

mereka sehingga mereka merasa tenang.Kewajiban membayar zakat hanya kepada Muhammad

karena doanya mujarab. Sedangkan doa Abu Bakr tidak mujarab, karena itu tidak ada kewajiban

membayar zakat kepada Abu Bakr. Karena kelakuan mereka ini Abu Bakr memerangi mereka

dalam perang Riddah. Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, v. VI. h, 311.

Page 16: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

3

Ibn Mas‟ud, dan „Ubayy ibn Ka‟b yang kemudian hari diikuti oleh para tâbi‟în

yang menjadi murid mereka. Pada masa itu batas-batas ortodoksi tafsir mulai

bergeser. Orang yang berhak menafsirkan al-Qur‟an tidak lagi hanya Rasulullah

yang telah wafat, tapi juga mereka yang masih hidup namun memeroleh warisan

dari Rasulullah terutama dalam bidang tafsir, asbâb al-nuzûl, bahasa Arab8, dan

riwayat Isra‟iliyyat9. Penafsiran dari orang-orang seperti ini digolongkan tafsir

yang ortodoks sementara penafsiran dari sumber lain dianggap heterodoks.10

Dengan semakin banyaknya subjek yang diperbolehkan berbicara tentang

tafsir al-Qur‟an selain Rasulullah maka semakin gemuklah tafsîr bi al-ma‟tsûr

terutama oleh unsur-usur non hadis seperti riwayat isra‟iliyyat, mislanya.11

Setelah tafsîr bi al-ra‟y mengukuhkan diri sebagai bagian dari tafsir yang

ortodoks12

, masuklah kemudian ke dalam batas ortodoksi genre tafsîr bi al-isyâri,

8 Ibn Taiymiyyah berkata:

رذثش اال ثذ ك ؼب ال ، زي هب هللا رؼب: ا اضاضب هشاب ػشثب ؼ رؼو

Mennghayati al-Qur‟an tanpa memahami maknanya itu tidak mungkin, sebagaimana

firman Allah Swt: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa

Arab, agar kamu memahaminya” (QS. Yusuf: 2). Lihat. Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fî Usȗl al-

Tafsîr (Kuwait: Dâr al-Qur‟an al-Karîm, t.t), h. 9. 9 Ibn Taiymiyyah berkata:

االعشائخ رزش العزشبد ال الػزوبد، كبب ػ ثالثخ اهغب: ادذب ب ػب صذز ب ثبذب ب شذ االدبدث

ثبصذم كزاى صذخ. اثب ب ػب زث ثب ػذ ب خبل. اثبث ب غد ال زا اوج ال ز اوج، كال

ب روذ.ؤ ال زة رجص دبز،

Riwayat-riwayat Israiliyyat disebutkan sebagai penguat (penyaksian) bukan sebagai

keyakinan, maka sesungguhnya riwayat-riwayat Israiliyyat itu terbagi menjadi tiga macam:

pertama, riwayat yang diketahui kebenarannya dengan dikuatkan oleh riwayat yang sidq (benar)

maka riwayat itu menjadi sahîh(sah/benar). Kedua, riwayat yang diketahui kebohongannya karena

adanya riwayat yang bertentangan dengannya.Ketiga, riwayat yang didiamkan karena tidak adanya

penjamin, maka tidak dipercayai dan tidak pula diingkari, namun kisahnya boleh didahulukan. Ibn

Taimiyyah, Muqaddimah fî Usȗl al-Tafsîr, h. 42. 10

Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fî Usȗl al-Tafsîr, h.61, 65, 102. 11Dadang Darmawan, “Ortodoksi dan Heteredoksi Tafsir”, dalam Jurnal Refleksi, V. 13,

No. 2 (April 2012), h. 190. 12

Tafsir bil rayi ada setelah berakhir masa salaf sekitar abad 3 H dan peradaban islam

semakin maju dan berkambang, sehingga berkembanglah berbagai madzhab dan aliran di kalangan

umat islam.masing – masing golongan berusaha menyakinkan umat islam dalam rangka

mengembangkan paham mereka. Didukung dengan banyaknya para ahli tafsir yang telah

menguasai berbagai disiplin ilmu, maka pada proses penafsiran mereka cenderung memasukkan

hasil pemikiran serta pembahasan tersendiri yang berbeda dengan penafsir lain. Contohnya ada

yang cenderung pada ilmu balagh (imam al Zamakhsyari) , pembahasan aspek hukum syariah

Page 17: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

4

yaitu pentakwilan ayat-ayat al-Qur‟an yang berbeda dengan makna lahirnya untuk

menunjukkan makna yang tersembunyi sesuai dengan petunjuk khusus yang

diterima seorang sufidan dimungkinkan menguatkan makna isyârî dan makna

zahir yang dimaksud ayat.13

Tafsir semacam ini telah ada semenjak abad ke III hijriah, ulama sufi yang

menempuh jalan tasawuf berupaya menafsirkan makna ayat secara sufistik dan

menulis dalam kitab tafsir. Abȗ Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin „Isa

bin Abdullah al-Tustarî telah mengarang kitab tafsir yang berjudul Tafsîr al-

Qur‟an al-AzÎm atau Tafsîr al-Tustarî. Ia lahir pada tahun 200 H di daerah Ahwaz

dan wafat di Basrah tahun 283 H. Ia termasuk orang „ârifîn terkenal dengan sikap

wara‟ dan mendapat anugrah karamah. Dalam hidupnya, Tustarî (w. 283 H)

pernah bertemu dengan sufi besar yaitu Dzunnun al-Misri.14

Sufi lain yang menyusun kitab tafsir adalah al-Sulamî dengan nama

kitabnya Hâqaiq al-Tafsîr. Al-Sulami merupakan seorang tokoh sufi Khurasan

yang lahir pada tahun 330 H dan wafat tahun 412 H, termasuk sufi periode abad

IV H. Menurut al-Dzahabî, kitab tafsir al-Sulamî ini polanya sama dengan tafsir

al-Tustarî yaitu tidak setiap ayat yang diberikan penafsiran. al-Sulamî menyusun

kitab tafsir berdasarkan kumpulan penafsiran dari ahli hakikat/ para sufi kemudian

disusun menurut tertib surat dalam al-Qur‟an. Nama kitabnya Hâqaiq al-Tafsîr

(imam al-Qurtuby) karena individulisme seperti inilah banyak penafsir yang sampai

mengesampingkan tafsir yang sesungguhnya karena sibuk memasukkan ide nya masing- masing.

Lihat. „Ali Hasan Al-„Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom (Jakarta: PT. Raja

Grafindo persada, 1994), h. 42 13

Al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j. II, h. 261. 14

Al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j. II, h. 281. Dzunnun (w. 860 M) dikenal

peletak ajaran ma‟rifah. Pengetahuan sufi tentang tuhan itu Esa, melalui perantaraan hati sanubari.

Inilah pengetahuan hakiki tentang tuhan yang disebut dengan ma‟rifah. Lihat. Harun Nasution,

Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 76.

Page 18: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

5

terbatas pada penggunaan pola isyârî dan tidak berlandaskan makna zahir.15

Tafsir

al-Sulamî ini lebih lengkap ketimbang tafsir sebelumnya yakni Tafsîr al-Tustarî,

karena merangkum penafsiran para sufi sebelumnya yang bercorak isyârî

termasuk Tafsîr al-Tustarî.

Abȗ al-Hasan al-Wâhidî (w. 468 H./1075 M.) ketika mengomnetari

Haqâiq al-Tafsîr mengatakan bahwa siapapun yang meyakini kitab itu adalah

tafsir maka sungguh ia telah kafir. Komentar yang lebih baik terhadap tafsîr bi al-

isyâri baru muncul pada abad ke-7. Ibn al-Salâh (w. 645 H./ 1247 M.) berkata

bahwa berdasarkan prasangka baiknya terhadap orang-orang terpercaya di

kalangan sufi, ia menganggap perkataan para sufi itu sebagai sisi lain dari isi

kandungan al-Qur‟an16

. Hanya saja para sufi tidak boleh mengklaim pendapat

mereka sebagai tafsir, atau berupaya menafsirkan kata-kata al-Qur‟an secara

sewenang-wenang seperti yang dilakukan kaum Bâtiniyyah.17

Al-Qurtubi

menuduh tafsir kaum Bâtiniyyah sebagai tafsir heterodoks, karena kaum

Bâtiniyyah ini terlebih dahulu meyakini suatu ra‟y, baru kemudian mencari

dalilnya dalam al-Qur‟an. Selain itu mereka tidak memedulikan konteks ayat,

sehingga mereka menafsirkan ayat semata-mata berdasarkan keumuman lafaznya,

15

Al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j. II, h. 284. 16

Istilah Arabnya adalah naẓīru mā warada bihi al-qur‟ān. Secara sederhana naẓīr bisa

berarti sesuatu yang sebanding, bandingan, tamsil. Dikatakan sisi lain dari al-Qur‟an karena sisi ini

merujuk seperti pada dua sisi mata uang yang bisa digali dari makna-makna al-Qur‟an. Jadi, jika

umumnya al-Qur‟an digali melalui makna ẓāhirnya, maka naẓīr dari sisi ẓāhir adalah sisi bāṭinnya. 17

Badruddin Abȗ Abdullah Muhammad ibn Abdullah ibn Bahadur ibn Abdullah al-

Mihaji al-Zarkasyi, Al-Burhân fi „Ulȗm al-Qur‟an (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), h. 187.

Page 19: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

6

tanpa memerhatikan berbagai atsar yang mungkin membawa informasi penting

tentang makna ayat yang sesungguhnya.18

Salah satu tema spesifik al-Qur‟an yang sering menjadi perselisihan antara

tafsir yang ortodoks dan heterodoks adalah tentang surga. Bahkan dalam sejarah

kemanusiaan, mulai dari Nabi Adam sampai saat ini, meski berbeda aliran,

budaya dan agama manusia memberikan perhatian besar terhadap kehidupan

setelah kematian dan kebahagiaan yang akan diperoleh dalam kehidupan

tersebut.19

Surga di dalam al-Qur‟an dan hadis seringkali dideskripsikan sebagai

tempat yang di dalamnya terdapat sungai yang mengalir, pepohonan dan buah-

buahan, kasur-kasur yang tebal lagi empuk, dipan-dipan yang indah, dan lain

sebagainya.20

Deskripsi kenikmatan tersebut sangatlah menarik dan benar-benar

memancing hasrat masyarakat Arab pada saat itu yang umumnya hidup di gurun

pasir yang gersang. Terutama masyarakat Badui yang hidup nomaden dan sangat

sulit merasakan kenikmatan sebagaimana yang dideskripsikan oleh al-Qur‟an dan

hadis.

Dalam penelitian ini peneliti akan fokus membahas penafsiran tentang

surga yang dilakukan oleh Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî dalam kitab Tafsîr al-

Jailânî. Penafsiran yang dilakukan oleh beliau menjadi menarik untuk diteleiti

18

Abȗ Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansarî al-Qurtubî,Ta‟liq. Muhammad Ibrahim

al-Hifnawi, Takhrij. Mahmud Hamid Utsman, Tafsîr al-Qurtubî (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008),

v.1, h. 34. 19

Kementrian Agama RI, Tafsir Tematik Keniscayaan Hari Akhir (Jakarta: Lentera

Abadi, 2010), h.381. 20“Mereka Itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga 'Adn, mengalir sungai-sungai di

bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang mas dan mereka memakai pakaian hijau

dari sutera Halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang

indah.Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah.” (QS. al-Kahfi: 31).

Page 20: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

7

karena terkesan menyimpang (heterodoks) dari tafsir otoritatif yang menggunakan

atsar sebagai sumber rujukan tafsirnya (ortodoks).

Salah satu ayat yang mendeskripsikan kenikmatan surga ialah QS. Ali

Imran(2) ayat 15 sebagai berikut:

Artinya: Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih

baik dari yang demikian itu?". untuk orang-orang yang bertakwa (kepada

Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya

sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. dan (mereka dikaruniai) isteri-

isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. dan Allah Maha melihat akan

hamba-hamba-Nya.

Ketika al-Jailânî menafsirkan lafaz al-jannah pada ayat tersebut ia tidak

menafsirkannya sebagai kebun maupun tempat yang terdapat kenikmatan

melainkan menafsirkannya sebagai makrifat dan hakikat yang diperuntukkan

kepada orang-orang yang menjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah dan

bagi orang-orang yang selalu bertawajuh kepada Allah.21

Makrifat bagi al-Jailânî

merupakan anugrah tertinggi yang diberikan Allah kepada hambanya, makrifat

juga merupakan puncak dari kenikmatan dan akhir dari kerinduan. Hal ini bisa

dimengerti karena di alam dunia seorang hamba tidak mampu melihat Tuhannya

namun ia harus selalu menjani segala perinhtah-Nya dan menjauhi segala

larangan-Nya.

SedangkanAl-Sulami mengomentari ayat tersebut dalam karyanya Haqâiq

al-Tafsîr sebagai berikut:

21

Al-Jailânî, Tafsir al-Jailani, j. II, h. 318.

Page 21: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

8

“Barangsiapa yang melakukan amal ibadah karena mengharapkan

surga maka sesungguhnya tujuan ibadahnya dari mulai dewasa hingga

akhir adalah berharap masuk surga. Akan tetapi barangsiapa yang

melakukan ibadah atas dasar keikhlasan maka ia akan mendapatkan

keridhoan Allah Swt.”22

Penafsiran yang dilakukan oleh al-Jailânîtentu tidak lazim dilakukan oleh

para mufassir lainnya, karena menafsirkan makna sebuah kata jauh dari makna

aslinya. Bila dibandingkan penafsiran al-Jailânî tersebut dengan penafsiran

Kemenag RI sebagai tafsir yang otoritatif di Indonesia maka akan terlihat nuansa

yang sangat berbeda, antara tafsir bi al-ra‟y yang tidak meninggalkan atsar

sebagai sumber tafsirnya dan tafsir bi al-isyârî yang menggunakan intuisi untuk

menjelaskan makna yang tersembunyi dari sebuah ayat al-Qur‟an.

Dalam tafsir kemenag RI dijelaskan bahwa kata al-jannah memiliki arti

“tertutup”, atau kebun yang di dalamnya terdapat pepohonan yang rindang dan

ranting pohon yang satu saling berkaitan dengan ranting pohon yang lain,

sehingga permukaan tanah kebun tersebut menjadi tertutup dari pandangan mata.

Bangsa Arab menerjemahkan kata ini sebagai suatu hal yang tidak terjangkau oleh

panca indera manusia yang disebabkan adanya penghalang.23

Dari penafsiran tersebut peneliti tertarik untuk menelusuri lebih dalam

tentang penafsiran al-Jailânî terhadap surgadi dalam al-Qur‟an. adapun

pertimbangan peneliti memilih tafsir al-Jilani sebagai bahan penelitian adalah

sebagai berikut:

22

Abȗ „Abd al-Rahmân Muhammad bin al-Husain bin Mȗsa al-Azadî al-Sulamî, Tahqiq;

Sayyid „Imran. Haqâiq al-Tafsîr (Beirut: Dâr al-Maktabah al-„Alamiyyah, 2001), h.88. 23

Lihat. QS. al-Sajdah: 17. Kementrian Agama RI, Tafsir Tematik Keniscayaan Hari

Akhir (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h.382.

Page 22: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

9

Pertama, tafsir al-Jailânî tergolong Tafsir Isyârî. Meskipun tidak semua

ayat dalam surah- surah al-Qur‟an ditafsirkan secara isyârî, akan tetapi struktur

dalam bangunan pandangan sufi terhadap tauhîd melalui penafsiran beliau kepada

seluruh ayat-ayat Allah, baik yang tersirat dalam alam dan tersurat dalam al-

Qur‟an, sangat sistematis, runtut, teratur, dan sempurna. Sehingga, ini

memperkuat tafsir al-Jailânî sebagai sebuah referensi utama, serta standar

matlamat(tujuan utama) bagi umat Islam, khususnya bagi para penempuh jalan

Allah SWT.24

Kedua, dalam Tafsir al-Jailânî, ayat demi ayat ditafsirkan dengan cara

penuturan dan ungkapan yang mudah, singkat dan sistematis. Jika terdapat ayat

yang dapat ditafsirkan dengan ayat lain maka dijelaskan sambil dibandingkan

antara dua ayat tersebut, sehingga makna dan tujuannya semakin jelas. Dapat

dikatakan bahwa tafsir ini sangat memerhatikan cara penafsiran al-Qur‟an dengan

al-Qur‟an.25

Lalu setelah beliau menuturkan beberapa hadis marfu‟ yang

berkenaan dengan ayat tersebut, sambil menjelaskan argumentasinya dengan

mengiringi perkataan para sahabat, tâbi‟în dan ulama salaf.26

24

ʽAbd al-Qâdir al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî (Istambul: Markaz al-Jîlani li al-Buhûts al-

„Ilmiyyah, 2013), j. I, h. 35-42. 25

Contohnya ketika al-Jailanî menafsirkan QS. Al-Baqarah: 26 berikut:

)از( خشج ػ غشن ازدذ ثبعزذوبس ثؼط اظبش )وع( وص )ػذ هللا( ازي دج اذد

-۷[}ث{, ه : }أغذ ثشث{ثو: أص ازاد إ أثذ األعبء اصلبد عب ) ثؼذ( رذ ثزش )ثو( اثن

ثن ازي عأ أ ال وط لضػا زجا إ ججش ص، ثؼذ ب وعا اؼذ ا ]۲۷۱األػشاف:

Artinya : (Orang-orang yang) keluar dari jalan tauhid yang meremehkan sebagian mazhar

tersebut (melanggar), mengingkari (perjanjian Allah) yang menjadi tali Allah yang terentang dari

keazalian dzat-Nya sampai pada keabadian asma dan dzat-Nya, terlebih (sesudah) perjanjian

tersebut ditegaskan dengan menyebutkan (perjanjian-Nya) yang teguh dengan firman-Nya:

“Bukankah Aku Tuhan kalian? “, lalu mereka menjawab: “Ya, benar” (QS. Al-A‟raf/7: 172).

Mereka melanggar perjanjian teguh yang sebenarnya tidak boleh dilanggar itu dan mereka tidak

segera menambal dan menyambungnya.

Dari penggalan penafsiran al-Jailanî tersebut, terlihat bahwa ia menggunakan ayat al-

Qur‟an sebagai penguat argumentasinya ini menunjukkan bahwa beliau sangat memerhatikan

penafsiran al-Qur‟an dengan al-Quran. Lihat. Al-Jailânî, Tafsir al-Jailani, j. I, h. 59. 26

Al-Jailânî, Tafsir al-Jailani,j. I, h. xxv.

Page 23: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

10

Ketiga, tafsir ini tergolong Tafsir Isyari. Meskipun tidak semua ayat dalam

surah- surah al-Qur‟an ditafsirkan secara Isyari, akan tetapi struktur dalam

bangunan pandangan sufi terhadap Tauhid melalui penafsiran beliau kepada

seluruh ayat-ayat Allah, baik yang tersirat dalam alam dan tersurat dalam al-

Qur‟an, sangat sistematis, runtut, teratur, dan sempurna. Sehingga, ini

memperkuat Tafsîr al-Jailânî sebagai sebuah referensi utama, serta standar

matlamat bagi umat Islam, khususnya bagi para penempuh jalan Allah SWT.27

Keempat, kitab tafsir ini telah terbukti diterima dan tersebar di seluruh

dunia Islam serta diakui oleh para ulama, seperti Syaikh Dr. Ali Jum‟ah (Mufti

Mesir), Mufti Syiria, Mufti Libanon, serta para syaikh sufi seperti murabbi besar

Syaikh Yousse Riq al-Bakhour dan lain-lain.28

Kelima, Syaikh „Abd al-Qâdiral-Jailânî terkenal dengan kedudukannya

sebagai imam di madrasah yang ia dirikan dan ia bina hingga memberi hasil yang

baik. Al-Jailânî adalah salah satu tokoh awal yang menggugah para pemuda yang

alpa di masa itu. Ia mengembuskan semangat untuk kembali kepada Islam yang

bersumber dari kitabullah dan sunnah Rasulullah. Dengan yang dilakukannya itu,

al-Jailânî telah menjadi pembukan jalan bagi kemunculan Shalahuddin al-Ayubi.

Dengan semangat yang ditumbuhkan oleh al-Jailânî pada generasi masa itu, di

tangan Shalahuddin al-Ayubi pasukan Islam berhasil menaklukan bangsa Eropa

serta membebaska Bait al-Maqdis dari cengkraman mereka. Semua prestasi itu

hanya dapat terwujud dengan membebaskan pemikiran dan ruh generasi muda

27

Al-Jailânî, Tafsir al-Jailani,j. I, h. xxv. 28

Al-Jailânî, Tafsir al-Jailani, j. I, h. xxv.

Page 24: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

11

dari segala bentuk kerusakan material, moral dan intelektual, melalui pengaruh

kuat dari semangat yang muncul di masa Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî.29

Dari latar belakang dan alasan-alasan yang sudah diuraikan dalam paparan

di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji penafsiran Syaikh „Abd al-Qâdir terhadap

surgadalam sebuah penelitian skripsi yang berjudul “Tafsir Isyârî tentang Surga

Menurut Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî ”.

B. Batasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditemukan permasalahan mendasar

dalam penelitian ini yaitu:

Pertama, ortodoksi dan heterodoksi tafsir dalam perkembangan Islam

merupakan suatu dialektika sejarah.

Kedua, penggambaran kenikmatan surga merupakan tema spesifik al-

Qur‟an. tema ini banyak diangkat pada surat-surat al-Qur‟an yang pada umumnya

diturunkan di kota Mekkah pada awal karir Nabi Muhammad Saw.30

Karena itu

penggambaran terhadap surga cenderung literal, bahkan ada yang menuduh

penggambaran tersebut sebagai matrealistis.31

Surga digambarkan sebagai taman

yang mengalir sungai di dalamnya.32

Mengingat masyarakat Arab pada masa itu

29

Syaikh Dr. Muhammad Fadhil Jailani al-Hasani dalam „Abd al-Qâdir Al-Jailânî, terj.

Syaikh Rahimuddin Nawawi al-Jahari al-bantani dkk, Tafsir al-Jaelani (Tangerang Selatan:

Salima Publika, 2013), j. I, h.xvi. 30

Dr. Kholid Walid, Perjalanan Jiwa Menuju AKhirat: Filsafat Eskatologi Mulla Sadra

(Jakarta: Sadra Press, 2012), h. 215. 31

Jane Idelman Smith, The Islamic Understanding of Deathan Resurrection (English,

Oxford University, 2002), h. 133. 32

QS. al-Baqarah/2: 25

Page 25: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

12

hidup dengan kehidupan keras dan gersang menjadikan taman dengan air yang

mengalir sebagai sebuah kehidupan yang indah dan ideal.33

Ketiga, bagi para pemikir yang berorientasi pada filsafat atau tasawuf,

penggambaran surga yang disebutkan oleh teks-teks al-Qur‟an hanya bersifat

simbolis, makna sesungguhnya tidak dapat dipahami hanya dari ibarat yang

disampaikan.34

2. Pembatasan Masalah dan Rumusan Maslah

Banyak ditemukan di dalam al-Qur‟an ayat-ayat mengenai surga. Agar

pembahasan dalam penelitian ini jelas dan terarah dengan baik, maka penulis

membatasi pada penafsiran yang dilakukan oleh Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî

terhadap:taman-taman surga, bidadari-bidadari surga, serta makanan dan

minuman ahli surga.

Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka penulis

merumuskan masalah pada:

Bagaimana Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî menafsirkan berbagai

kenikmatan surgadi dalam al-Qur‟an ?

C. Tujuan dan Manfaat

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah maka tujuan penelitian

ini adalah:

33

Smith, The Islamic Understanding of Death an Resurrection, h. 138. 34

Walid, Perjalanan Jiwa Menuju AKhirat, h. 216.

Page 26: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

13

1. Mengtetahui dialektika sejarah perkembangan ortodoksi dan

heterodoksi tafsir dalam khazanah keilmuan Islam.

2. Mengetahui pemahaman utuh mengenai gambaran umum Syaikh ʽAbd

al-Qâdir al-Jailânî dan tafsirnya.

3. Memahami sumber, metode serta corak yang digunakan Syaikh ʽAbd

al-Qâdir al-Jailânî dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an.

4. Mengetahui kenikmatan surgadi dalam Tafsir al-Jailânî.

5. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Theology Islam pada

jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Adapun manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah

1. Menambah khasanah keilmuan, khususnya di bidang tafsir.

2. Ikut andil dalam sumbangsih pemikiran terhadap wacana keislaman,

terutama untuk melengkapi buku-buku dan sumber bacaan lain yang

juga membahas tafsir.

D. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (Library Reserch). Studi

kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi

penelaahan terhadap buku-buku, litertur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-

laporan yang ada sehingga diperoleh data-data yang diperlukan yang berhubungan

dengan masalah yang akan dipecahkan.35

35

M. Nzair, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), h.27.

Page 27: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

14

Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan

menggali informasi atau pesan dari bahan-bahan tertulis yang tersedia berupa

buku-buku. Sumber data primer adalah kitab Tafsîr al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa

al-Mafâtih al-Ghaibiyyah al-Muwaddihah Li al-Kalîm al-Qur‟aniyyah wa al-

Hikâm al-Furqâniyyah atau yang dikenal dengan Tafsîr al-Jailânî karya Syaikh

„Abd al-Qâdir al-Jailânî. Adapun sumber data sekunder berupa kitab-kitab

karangan Abd al-Qâdir seperti Sirr al-Asrâr, al-Gunyah li Tâlib al-Tarîq al-

Haqq, al-Mukhtasar fî „Ulȗm al-Dîn, Futȗhul Ghaib dan kitab-kitab tafsir seperti

Tafsîr al-Tabrî, Tafsîr al-Qurtubî,Tafsîr al-Manâr karya Muhammad Abduh dan

Rasyid Ridâ, Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, serta buku-buku yang

memberikan penjelasan kearah penelitian ini. Karya-karya ini dijadikan bahan

tambahan bagi sumber primer. Dari sumber primer maupun sekunder, diharapkan

data kualitatif sesuai yang diinginkan

Pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode deskriptif analitis,

yakni data yang dikumpulkan pertama-tama disusun, dijelaskan dan baru

kemudian dianaslisa.36

Dengan rincian bahwa untuk menggali penafsiran al-

Jailânî terhadap surga diperlukan tafsir itu sendiri dan karya-karya al-Jailânî

lainnya seperti Sirr al-Asrâr, al-Gunyah li Tâlib al-Tarîq al-Haqq, al-Mukhtasar

fî „Ulȗm al-Dîn, Futȗhul Ghaibdan lain-lain. Setelah data-data terkumpul, lalu

36

Winarmo Surachmad, Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah

(Bandung: Tarsio, 1972), h. 132, Gay (1962) mendefinisikan metode penilitian deskriptif sebagai

kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan

yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penilitian., Consuelo

G. Sevila, dkk., Pengantar Metode Penilitian, terj. Alimuddin Tuwu (Jakarta: UI-PRESS, 1993), h.

71. Menurut Koaruddin, Decriptive Research adalah suatu riset yang tujuannya untuk

mengumpulkan fakta yang disertai penafsiran. Komaruddin, Kamus Riset (Bandung: Angkasa,

1987), h. 69.

Page 28: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

15

dijelaskan serta dianalisis secara mendalam, sehingga akan tampak jelas jawaban

atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya.

Karena kajian ini menggunakan pendekatan tematik al-Qur‟an, maka

diperlukan juga metode tafsir maudȗ‟i yakni suatu metode tafsir yang berusaha

mencari jawaban al-Qur‟an tentang suatu masalah tertentu dengan jalan

menghimpun seluruh ayat-ayat yang dimaksud, lalu menganalisanya lewat ilmu-

ilmu bantu yang relevan dengan masalah yang dibahas, untuk kemudian

melahirkan konsep utuh dari al-Qur‟an tentang masalah tersebut.37

Dalam mencari

ayat-ayat yang berkaitan dengan Surga, peneliti menggunakan kamus al-Mu‟jam

al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm. Peneliti menelusuri lafadz untukج

menemukan ayat-ayat جبد (taman-taman surga) di dalam al-Qur‟an. Adapaun

ayat-ayat tersebut adalah: QS. Al-Baqarah: 25, Ali Imran: 15, 136, 195, 198; al-

Nisa: 13, 57, 122;al-Maidah: 12, 65, 85, 119; al-An‟am: 99, 141; al-Taubah: 21,

72, 73, 89, 100; Yunus: 9; dan al-Ra‟d 438

. Karena banyaknya ayat-ayat yang

membahas tentang surga maka penulis membatasinya dengan ayat-ayat جبد

(taman-taman surga), bentuk jamak dari جخ (taman surga). Lafaz جبد menjadi

fokus penelitian penulis dalam meneliti dikarenakan al-Jailânî menafsirkan lafaz

ini dalam setiap ayat al-Qur‟an secara berbeda-beda. Kemudian setelah ayat-ayat

tersebut ditemukan penulis hanya mencantumkan penafsiran pada QS. Al-

Baqarah: 25, hal ini karena ayat ini merupakan ayat pertama dalam tartib mushaf

yang menginformasikan berbagai macam kenikmatan surga. Selain itu merupakan

kebiasaan para mufassir untuk tidak mengulangi penafsirannya apabila telah

37„Abd al-Hayy al-Farmawi, Al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudȗ‟i(Kairo: al-Hadharah al-

Arabiyah, 1977), Cet.II, h.23. 38

Muhammad Fuad „Abd al-Bâqî, Al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm,

(Kairo: Mathba‟ah Dar al-Kutub, 1364 H), h. 181.

Page 29: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

16

menjabarkan dan menjelaskan masalah dalam suatu ayat. Selain meneliti

penafsiran al-Jailânî terhadap taman-taman surga (جبد), peneliti juga akan

membahas penafsiran al-Jailânî terhadap bidadari-bidadari surga yang terdapat

pada QS. Al-Waqiah: 22, serta makanan dan minuman ahli surga pada QS. Al-

Waqiah: 21 dan al-Insan 17. Berbagai macam kenikmatan surga pada ayat-ayat

tersebut penulis teliti agar dapat memberikan pemahaman yang utuh terhadap

surga menurut al-Jailânî.

Adapun teknik penulisan proposal skripsi ini mengacu pada pedoman

penulisan skripsi dalam buku “Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah

Program Strata 1 2012/2013” yang disusun oleh Tim Penyusun dan diterbitkan

pada tahun 2012.

E. Kajian Pustaka

Telah ada beberapa tulisan, baik berbentuk buku maupun artikel yang

membahas dan berhubungan dengan surga. Akan tetapi peneliti belum

menemukan tulisan yang membahas tentang konsep surga dalam tafsir al-Jailânî.

Diantara penelitian bertema surga yang berhasil penulis temukan adalah:

1. Delapan Pintu Surga oleh Muhammad Monib39

. Buku ini

mendeskripsikan tentang delapam pintu yang harus ditempuh manusia

untuk memasuki surga Allah SWT yakni; syahadat, shalat, puasa, zakat,

haji dan umrah, sedekah, akhlak mulia dan jihad. Penelitian ini

membahas tema yang sama tentang surga, namun lebih difokuskan pada

bagaimana cara manusia untuk masuk surga. Yang menurut penulisnya,

39

Muhammad Monib, 8 Pintu Surga (Jakarta: Kompas Gramedia, 2011).

Page 30: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

17

terdapat delapan cara atau pintu memasukinya. Penulis tidak

menemukan makna surga dalam penelitian ini sebagaimana yang

dideskripsikan oleh al-Jailânî dalam tafsirnya.

2. Kehidupan di Surga Jannatun Na‟im oleh Halimuddin.40

Buku ini

menguraikan tentang pengertian surga, bahan dasar surga, orang yang

diperbolehkan masuk surga, dan yang menyambut di pintu surga, segala

macam kesenangan dan keindahan surga berdasarkan al-Qur‟an dan

hadis-hadis pilihan. Penelitian ini juga membahas tema yang sama

tentang surga, namun hanya menguraikan pengertian tentang surga

berdasarkan pemahaman tekstual yang terdalam di dalam al-Qur‟an

maupun hadis.

3. Mega Rista Octaviani,41

mahasiswa Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, mendeskripsikan

visualisasi surga dan neraka yang terdapat di dalam al-Qur‟an. Ia

memfokuskan penelitiannya terhadap peran dan fungsi visualisasi surga

dan neraka yang terdapat dalam al-Qur‟an. Hal ini berbada dengan

penulis yang memfokuskan penelitian terhadap penafsiran al-Jailânî

terhadap surga di dalam al-Qur‟an.

Adapun karya-karya ilmiah yang sudah membahas Tafsîr al-Jailânî yaitu :

1. Ahmad Gunawan42

, mahasiswa Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, menjelaskan tentang

40

Halimuddin, Kehidupan Di Surga Jannatun Na‟im (Jakarta: Rineka Cipta, 1992). 41Mega Rista Octaviani, “Visualisasi Surga dan Neraka” (Skripsi Tafsir Hadis Fakutas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). 42

Ahmad Gunawan, “Pemaknaan Basmalah Pada Surat-Surat Juz „Amma Dalam Tafsir

al-Jailânî” (Skripsi Tafsir Hadis Fakutas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013).

Page 31: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

18

pemaknan basmalah pada surat-surat juz „amma dalam Tafsîr al-

Jailânî. Penelitian ini lebih difokuskan untuk membahas pemaknaan

basmalah yang dilakukan al-Jailânî, berbeda dengan penulis yang

memfokuskan pembahsan terhadap penafsiran surga yang dilakukan

oleh al-Jailânî.

2. Muhammad Mufti Najmul Umam Assondani43

, mahasiswa Fakutas

Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014, menjelaskan

tentang sifat Allah dalam tafsir sufi (Tafsir al-Jailânî karya Syaikh „Abd

al-Qâdir al-Jailânî Namudzajan). Berbeda dengan penelitian penulis

yang membahas penafsiran al-Jailânî terhadap surga, penelitian ini

fokus membahas tentang sifat Allah yang terdapat dalam tafsir al-

Jailânî.

3. Siti Komariyah44

, mahasiswa Fakultas Ushuluddin Institut Agama

Islam Walisongo Semarang, menjelaskan tentang penafsiran huruf al-

muqatha‟ah menurut Syaikh ʽAbd al-Qâdir al-Jailânî dalam Tafsîr al-

Jailânî.Berberda dengan penulis yang membahas tafsir surga. Penelitian

skripsi ini lebih fokus membahas penafsiran al-Jailânî terhadap ahrȗf

al-Muqâta‟ah.

4. Abdurrahman Azzuhdi45

, mahsiswa Fakultas Ushuluddin, Studi Agama,

dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga

43

Muhammad Mufti Najmul Umam Assondani, “Sifat Allah dalam Tafsir Sufi (Tafsir al-

Jailânî Karya Syaikh Abd al-Qadir al-Jailânî Namudzajan)” (Skripsi Fakultas Dirasat Islamiyah

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014). 44

Siti Komariyah, “Penafsiran Huruf al-Muqatha‟ah Menurut Syaikh Abd al-Qadir al-

Jailânî dalam Tafsir al-Jailânî” (skripsi Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Walisongo

Semarang, 2013). 45

Abdurrohman Azzuhdi, “Tafsir al-Jailânî (Telaah Otentisitas Tafsir Sufistik Abd al-

Qadir al-Jailânî dalam Kitab Tafsir al-Jailânî)” (skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Studi

Agama, dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013).

Page 32: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

19

Yogyakarta, menjelaskan tentang Tafsîr al-Jailânî (telaah otentisitas

tafsir sufistik ʽAbd al-Qâdir al-Jailânî dalam kitab Tafsîr al-Jailânî).

Penelitian ini berusaha untuk menelaah kembali keaslian (otentisitas)

Tafsir al-Jailânî yang diklaim oleh Syaikh Muhammad Fadhil sebagai

buah tangan Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam beberapa bab dan setiap babnya terdiri dari

beberapa subbab yang sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan.

Dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang utuh dan sistematis dengan

perincian sebagai berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan, bab ini menjelaskan seputar latar

belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika yang akan digunakan dalam

penelitian ini.

Bab kedua menjelaskan dan memaparkan pengetian, sejarah ortodoksi dan

heteredoksi, legalitas dan otoritas tafsir sufi, serta menampilkan ragam

perkembangan tafsir surga dari periode klasik, pertengahan, modern, hingga

kontemporer.

Bab ketiga berisi tentang pengenalan terhadap Syaikh ʽAbd al-Qâdir al-

Jailânî yang mencakup konteks sosial-politik, riwayat hidup, konsep sufistik,

geneologi tasawuf. serta profil dari kitab Tafsîr al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa al-

Mafâtih al-Ghaibiyyah al-Muwaddihah Li al-Kalîm al-Qur‟aniyyah wa al-Hikâm

al-Furqâniyyah atau yang dikenal dengan Tafsîr al-Jailânî.

Page 33: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

20

Bab keempat mendeskripsikan serta menganalisa penafsiran isyârî Syaikh

„Abd al-Qâdir al-Jailânî terhadap kenikmatan surga yang mencakup: taman-taman

surga, bidadari-bidadari surga, serta makanan dan minuman ahli surga.

Bab kelima penutup, berisi kesimpulan yang didasari uraian dan bahasan

bab sebelumnya serta saran-saran yang berkaitan dengan tema yang dibahas di

dalam skripsi ini.

Page 34: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

19

BAB II

ANTARA ORTODOKSI DAN HETERODOKSI TAFSIR SURGA

A. Pengertian Ortodoksi dan Heterodoksi

Secara etimologis ortodoksi berarti ajaran yang benar; heterodoksi berarti

ajaran yang seperti benar padahal tidak.1 Secara terminologis ortodoksi berarti

ketaatan kepada ajaran resmi, sedangkan heterodoksi berarti penyimpangan

kepada ajaran resmi. Dalam Islam dikenal misalnya istilah sunnah dan bid‟ah

dalam bidang teologi dan fiqh, mu‟tabarah dan ghair mu‟tabarah dalam bidang

tasawuf, mu‟tamad dan ghair mu‟tamad dalam bidang fatwa dan lain-lain.2 Dalam

definisi Arkoun ortodoksi adalah ajaran yang menjadi kesadaran kelompok

mayoritas yang dengannya kelompok itu melihat berbagai kesadaran lain yang

dikembangkan oleh kelompok minoritas sebagai heterodoks.3 Penggunaan istilah

ortodoksi dalam perkembangan khazanah keilmuan Islam telah dilakukan oleh

Fazlur Rahman dalam karyanya Islam pada tahun 1966.4

Tafsir menurut pengertian bahasa adalah menerangkan (اششح),

menjelaskan (اجب), menyatakan (إظبس).5 Sedangkan tafsir dalam pengertian

istilah sebagaimana disebutkan Abȗ Hayyan dalam pendahuluan tafsirnya yaitu

1Ortodoksi berasal dari bahasa Yunaniorth yang berarti benar dan doxa yang berarti

ajaran.Jadi ortodoksi berarti ajaran yang benar. Sedangkan heterodoksi berasal dari kata hetero

yang berarti mirip dan doxa yang berarti ajaran. Jadi heteredoksi berarti ajaran yang mirip namun

tidak benar. William L. Reese, Dictionary of Philoshopy and Religion, Eastern and Western

Thought (New York: Humanity Books, 1996), h. 540. 2 Fazlur Rahman, Islam (London: The University of Chicago Press, 1979), h. 236-237.

3 Muhammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan

Baru (Jakarta: INIS, 1994), h.264. 4Fazlur Rahman, Islam (London: The University of Chicago Press, 1979).

5 Istilah tafsir inipun sudah populer di telinga masyarakat seperti ditemukan dalam media-

media cetak khususnya, atau dalam berbagai pembicaraan, diskusi dan segalanya. Penggunaan

kata ini biasanya menunjukkan pada penjelasan atas suatu pernyataan atau dengan mengemukakan

makna yang tidak harfiah. Sungguhpun demikian dalam tulisan ini penulis akan menggunakan

makna tafsir menurut istilah dan pengertian dalam „ulȗm al-Qur‟an.

Page 35: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

suatu ilmu yang membahas tentang al-Qur‟an (menyangkut bacaan lafaz dan

maknanya), menjelaskan kaidah struktur kalimatnya, serta aspek lain dalam „ulȗm

al-Qur‟an, seperti naskh, asbâb al-nuzȗl, dan lain-lain.6 Tafsir sebagai proses

berarti menerangkan makna al-Qur‟an dan seluk-beluknya, juga kisah di

dalamnya serta asbâb al-nuzȗl-nya7. Ada juga yang berpendapat bahwa tafsir

adalah ilmu untuk memahami dan menjelaskan makna al-Qur‟an, juga untuk

mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah-hikmahnya.8

Bebricara mengenai tafsîr berarti membicarakan pula mengenai istilah

ta‟wîl9 yang digunakan oleh para ulama untuk menjelaskan makna yang

terkandung dalam al-Qur‟an. Karena dalam hipotesis yang dilakukan oleh Nasr

Hamid Abu Zaid peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks atau ta‟wîl(sisi lain

dari teks).10

Istilah ta‟wîldalam pemikiran agama resmi telah berubah menjadi

istilah yang dibenci demi istilah tafsîr. Di balik perubahan ini ada upaya

memberangus semua orientasi pemikiran agama “oposisi” baik pada tataran

intelektual maupun tataran perdebatan kontemporer dalam kebudayaan. Cap

sebagai pemikiran ta‟wîlîyang ditunjukan oleh pemikiran yang dominan terhadap

6 Abȗ Hayyan, Al-Bahr al-Muhît fî al-Tafsîr (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992 M/1412 H), j. I, h.

14. 7 „Ali bin Muhammad Al-Jurjâni, Al-Ta‟rifât (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), v.I, h. 87.

8 Abȗ al-Faḍl „Abd al-Raḥmân ibn Abî Bakr ibn Muḥammad Jalâl al-Dîn al-Khuḍairî al-

SuyūṭīAl-Suyȗtî, Al-Itqân fî „Ulȗm al-Qur‟an (Beirut: Dâr al-Fikr, 1951), v.II, h. 174. 9Ta‟wîl menurut bahasa berasal dari al-awl. Pengertian dari ungkapan: Mâ ta‟wîlu hâdza

al-kalâm ? maksud dari kalam ini berakibat (bertujuan) ke mana? „ala al-amru ilâ kadzâ, artinya

masalah tersebut menjadi demikian. Kata tersebut berasal dari kata al-ma‟âl, yaitu akibat dari

kondisi akhir. Awwaltuhu fa‟âla, artinya saya mengubahnya maka ia pun berubah, sehingga kata

ta‟wîl berarti mengalihkan ayat ke makna yang dimungkinkannya. Ada yang mengayakan asalnya

dari iyâlah, yaitu mengatur, sehingga seolah-olah orang yang men- ta‟wîl ujaran, mengatur ujaran,

dan meletakan ujaran pada tempatnya. Lihat. Abȗ Abdillah Badr al-Dîn Muhammad ibn Abdillah

ibn Bahâdur al-Zarkasyî, Al-Burhân fî „Ulȗm al-Qur‟an (Beirut: Dar al-Ihya‟ n al-Kutub al-

„Arabiyyah, 1957), j.II, h. 148-149. 10

Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an; Kritik terhadap Ulumul Qur‟an/

Mafhȗm al-Nash; Dirâsah fî „Ulȗm al-Qur‟an, penerjemah. Khiron Nahdiyyin(Yogyakarta: LkiS,

2002), h. 275.

Page 36: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

lawannya, bertujuan mengklasifikasikan para penganjur pemikiran tersebut ke

dalam wilayah mereka yang dalam hatinya terdapat kebimbangan kemudian

mereka mengikuti apa yang tidak jelas untuk membuat fitnah. Klasifikasi semcam

ini pararel dengan wacana politik praktis yang mencap semua gerakan oposisi

atau protes politik menentang kebijakan eksekutif sebagai gerakan yang bertujuan

membangkitkan fitnah (kekacauan). Sebaliknya ta‟wîl-ta‟wîldari pemikiran resmi

disebut sebagai tafsîr, bertujuan menyematkan “objektifitas” dan “kebenaran”

mutlak terhadap ta‟wîl-nya tersebut. Seolah-olah meresahkan sikap ulama-ulama

pemerintah,Abȗ Qâsim Muhammad bin Habîb al-Naisyaburî mengatakan:

ب ازأ ازلغش لشم ث ا عئا ػ ش لغ بب هذ جؾ ك ص

إ ذ ب ػ خ ا سح أ ؼى اغ ال ؼشك ح رال وشآ ا ال ذغ ا إ زذ ال ا

ازشغ ػ لغ ا أ أػل ذطب ا ذ ب ػ ذ اؼا ازثش ػذ اطـب

ي األؿل ر اصددب ػ جب بع ا ازؼت الجز ش ل ا هث ت اط ذ ا ب

ا ل ال ذ ذ ػ لزعذ جب جبغخ ا ػ ال أل ؤا اغ بط

طب صبدسح اغ ابط ذ ازالم صبدس بء ػ ؼ ا ػ ـ ام صائ از جش اغ

اخزطبف اغش ذ ب ػ خزطل بس ثب ذ صلذب ثب ذسع دب

ش ش خ اط خشم ا ب وذخ سأط إرا لشا شثا ا ششدب إرا عئا ؿعجا

ب ش ك زبكغ ظ ك ب ث زذ خصب ؼض ث بخ ػ اص ر

: "ازشجغ ثب ؼػ ع ػ صى هللا هذ هب ض ف ك ج ج ا خى ا

الثظ ثث صس" 11

Pada masa kini mucul para mufassir yang apabila ditanya

perbedaan antara tafsir dan ta‟wil, mereka tidak dapat menjelaskannya

dengan benar. Mereka tidak pandai membaca al-Qur‟an, mereka pun tidak

mengetahui arti surat atau ayat. Yang menjadi sasaran mereka adalah

membuat fitnah dan membual di kalangan awam untuk mendapatkan harta

duniawi. Mereka sama sekali tidak mau bekerja keras. Mereka tidak mau

akalnya bersusah payah berpikir karena mereka dikerumuni orang-orang

yang bodoh. Mereka tidak dapat bersikap bijaksana menanggapi

pertanyaan masyarakat. Mereka tidak segan-segan mengobrol dengan

orang-orang bodoh. Mereka memamerkan diri, namun tidak berani

menemui ulama. Mereka bersikap otoriter seperti penguasa. Mereka

menerkam apa yang ada pada masyarakat bagaikan singa. Mereka

mempelajari semalam satu halaman dan membual panjang lebar di siang

hari. Apabila ditanya mereka marah. Apabila masyarakat menjauhinya,

11

Al-Zarkasyî, Al-Burhân fî „Ulȗm al-Qur‟an, j.II, h. 152.

Page 37: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

mereka mengejarnya. Tidak tahu malu itulah modal mereka. Pandir dan

gegabah merupakan perilaku mereka. Mereka berlomba meraih apa yang

membuat mereka hina. Mereka liar, tidak dapat dijaga, mereka berada

dalam pusat kebodohan dan kekotoran mulut. Nabi Saw pernah bersabda:

“orang-orang yang kenyang dengan apa yang tidak diberikan bagaikan

orang-orang yang mengenakan dua pakaian kepalsuan.”

Berdasarkan definisi-definisi di atas, maksud dari istilah ortodoksi tafsir

sejauh yang dipakai dalam tulisan ini berarti ketaatan karya-karya tafsir terhadap

ajaran resmi agama Islam. Sebaliknya heterodoksi tafsir berarti penyimpangan

suatu karya tafsir dari ajaran resmi agama Islam. beberapa istilah lain telah

digunakan untuk menyebut ortodoksi dan heterodoksi tafsir ini. Muhammad

Husain al-Dzahabi misalnya menggunakan istilah al-tafsîr al-sahîh dan al-tafsîr

al-munharifah untuk menyebut ortodoksi dan heterodoksi tafsir ini.12

Berbicara mengenai ortodoksi dan heterodoksi berarti berbicara mengenai

apa yang disebut episteme oleh Michel Foucault, yaitu aturan-aturan penyisihan

yang diakui dan dipakai oleh suatu masyarakat. Aturan-aturan itu meliputi: (1)

pelarangan, (2) pembagian dan penolakan, (3) oposisi antara benar dan salah.13

Walaupun dapat dibedakan, namun dalam kenyataan ketiga episteme ini saling

berkaitan. Suatu ajaran yang dianggap salah atau sesat misalnya, sudah barang

tentu akan ditolak masyarakat, dan dilarang untuk berkembang. Episteme menurut

Michel Foucault adalah semacam kacamata yang dipakai masyarakat untuk

melihat dan memaknai kenyataan. Bila struktur epistme ini berubah maka berubah

pula kenyataan.14

12

Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Ittijâhat al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm

Dawâfi‟uha wa Dâfihâ (Kaio: Dar al-I‟tisam, 1978), bab I dan II. 13

Michael Foucault, Archeology of Knowlage and The Discaurse on Language (New

York: Pantheon Books, 1971), h. 149-150. 14

F.R. Ankersmit, Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, terj. Dick

Hartoko (Jakarta: PT Gramedia, 1987), h. 310-311.

Page 38: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Dilihat dari pendekatan ini, maka ortodoksi dan heteredoksi tafsir adalah

semacam pembagian, yang diikuti oleh penolakan, bahkan pelarangan terhadap

tafsir yang dianggap heterodoks karena telah menyimpang dari ajaran resmi

agama Islam. Tentu saja apa yang disebut ajaran resmi agama Islam itu

mengalami perubahan dan perkembangan, sehingga batas-batas ortodoksi dan

heterodoksi tafsir pun mengalami perubahan dan perkembangan. Apa yang

dikelompokkan terhadap tafsir yang heterodoks pada suatu masa, dapat berubah

menjadi tafsir yang ortodoks di masa yang lain. Sebaliknknya tafsir yang

diangggap ortodoks pada suatu masa, boleh jadi akan dianggap sebagai tafsir yang

heterodoks di kemudian masa. Misalnya tafsir al-kasysyâf yang membela

pemikiran mu‟tazilah. Ketika Mu‟tazilah menjadi ajaran resmi dinasti

Abbasiyyah, tafsir al-kasysyâf dipandang sebagai bagian dari tafsir yang

ortodoks. Namun ketika ajaran resmi dinasti tersebut berubah, tafsir semacam itu

tiba-tiba digolongkan ke dalam tafsir yang heterodoks.15

Dengan demikian, ortodoksi dan heterodoksi tafsir itu sesuatu yang

relative sifatnya, tergandung pada perkembangan ajaran resmi agama Islam dalam

alur sejarah. Untuk dapat memahami kenapa sebuah tafsir ditolak oleh suatu

masyarakat diperlukan pemahaman yang memadai tentang pandangan dunia

(Welthanschaung) masyarakat tersebut. Harus diselami bagaimana masyarakat itu

melihat kenyataan, dengan ukuran apa mereka memilah kenyataan, lalu

menyisihkan apa yang mereka anggap salah, tabu atau gila dari kenyataan yang

mereka hadapi. Hal ini karena kenyataan bukanlah sekedar apa yang terjadi, tapi

terutama adalah pemaknaan terhadap apa yang terjadi. Foucault menyebut “proses

15Dadang Darmawan, “Ortodoksi dan Heteredoksi Tafsir”, dalam Jurnal Refleksi, V. 13,

No. 2 (April 2012), h. 181-182.

Page 39: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

yang bekerja” itu sebagai wacana, yaitu sebuah area pembicaraan, diskusi,

polemik di mana pihak-pihak yang terlibat bertarung memerebutkan hegemoni

kebenaran. Sekali hegemoni kebenaran berubah, maka berubah pula batas-batas

ortodoksi dan heterodoksi.

B. Sejarah Ortodoksi dan Hetereodoksi Tafsir

Islam adalah agama yang telah berusia 14 abad pernah mengalami

perubahan batas-batas ortodoksi dan heterodoksi. Pembicaraan mengenai mana

Islam yang sebenar-benarnya dan mana Islam yang menyimpang adalah masalah

klasik yang terus berlanjutan hingga saat ini. Karena itu Islam sebagai sebuah

ajaran agama dalam perjalanan sejarahnya niscaya mengalami kontinuitas dan

perubahan.

Telah menjadi consensus bahwa ajaran Islam yang telah diwariskan oleh

Rasulullah sudah sempurna. Ia mewariskan dua hal yang merupakan inti agama

yaitu al-Qur‟an dan Hadis. Perubahan dan perkembangan apapun, akan

kehilangan label Islamnya jika tidak mendasarkan diri pada al-Qur‟an dan Hadis

ini.16

Keduanya adalah unsur yang secara berkesinambungan menjiwai

keseluruhan ajaran Islam.

Setiap ajaran agama yang dipahami dan dipraktikan pasti mengalami

perubahan dan perkembangan.17

Walaupun sumber ajaran agamanya tidak

16

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Ibtellectual Tradition

(Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 23. 17

Telah diketahui besama bahwa masyarakat dari zaman ke zaman mengalami proses

sosial menuju bentuk kehidupan yang lebih sempurna. Proses ini menimbulkan arus perubahan

yang tidak bisa dibendung. Agar dapat mempertahankan fungsinya sebagai institusi sosial, agama

dituntut agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan sosial ini. Agama

yang tidak punya potensi dan energi untuk berubah akan mati. Lihat. Hendropuspito, Sosiologi

Agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990), h. 127-150.

Page 40: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

mengalami perubahan, namun penafsiran dan implementasinya terus berubah dari

zaman ke zaman. Ada yang resmi ada pula yang tidak. Pembagian resmi dan tidak

resmi ini adalah instrument yang digunakan oleh otoritas keagamaan untuk

mengontrol perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu batasan resmi atau

ridak resminya suatu ajaran agama sangat tergantung pada siapa yang memegang

otoritas. Bergantinya pemegang otoritas biasanya diikuti pula dengan bergesernya

batas-batas resmi ajaran itu. Karena itu wacana keagamaan pada awalnya

merupakan pertarungan elit yang kemudian menyebar ke akar rumput lewat

propaganda. Elit yang berhasil membentuk hegemoni kebenaran di kalangan

penguasa dan masyarakat akan memperoleh otoritas untuk melempar ajaran yang

berbeda ke dalam wilayah heterodoksi, sementara ia sendiri dapat dengan leluasa

mengklaim bahwa ajarannya lah yang benar.18

Pemegang otoritas yang pertama dan utama dari suatu agama adalah

pendirinya. Ajaran resmi suatu agama adalah ajaran asli yang disampaikan dan

dibangu oleh pendiri agama itu. Dalam Islam, ajaran resmi agama tersebut

dibangun oleh Nabi Muhammad yang kemudian dikodifikasikan dalam dua buah

korpus: al-Qur‟an dan Hadis. Rasulullah menegaskan sendiri hal ini melalui

sabdanya terkenal bahawa ia akan meninggalkan untuk umatnya dua buah pusaka,

mereka tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya, yakni Kitab

Allah dam sunnah Nabi.19

Walaupun matan hadis tersebut diragukan

18

Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern, h. 265. 19

Mâlik bin Anas, Muwatta‟ Mâlik (Mesir: Dâr al-Ihyâ al-Turâts al-„Arabi, t.t), v.II, h.

899, hadis no.1594; Al-Hâkim, Al-Mustadrak „Ala al-Sâhihain (Beiut: Dâr al-Kutȗb al-„Ilmiyyah,

1441 H/1990 M), v.I, h. 172, hadits no. 319.

Page 41: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

keabsahannya oleh kalangan Syiah,20

namun sudah menjadi keyakinan bersama

seluruh umat bahwa al-Qur‟an dan Hadis adalah ajaran resmi Islam yang

ditinggalkan Rasulullah.

Sepeninggal Rasulullah otoritas untuk menentukan ajaran resmi agama

diwarisi oleh al-Khulafâ‟ al-Râsyidîn. Kata khâlifah sendiri berarti pengganti

yaitu pengganti Rasulullah baik secara politik, sosial, maupun agama. Pada masa

ini batas-batas ortodoksi masih berkutat pada al-Qur‟an dan Hadis. Tidak ada

pergeseran besar kecuali mengenai definisi Islam dan kodifikasi al-Qur‟an.21

Sejak saat itu, yakni pasca mepat khalifah, otoritas untuk menentukan

kebenaran agama tidak lagi terpusan di tangan khalifah, karena para khalifah

terbukti keliru. Otoritas itu mulai diklaim dan menyebar ke tangan para elit

intelektual. Para elit intelektual ini mulai merumuskan Islam yang benar versi

mereka sendiri sebagai oposisi terhadap pemahaman Islam yang dianut para

khalifah, dan mulai mempropagandakannya ke tengah masyarakat. Sejak saat itu

lahirlah berbagai madzhab yang saling berseteru merebutkan batas-batas

ortodoksi.22

Secara normatif, ortodoksi tafsir dapat dilacak akarnya pada hadis-hadis

anti tafsîr bi al-ra‟y. Hadis-hadis itu berisi kecaman Rasulullah terhadap orang-

orang yang menafsirkan al-Qur‟an dengan ra‟y (opini pribadi). Rasulullah

mengancam mereka dengan neraka, sebanding dengan ancamannya terhadap para

20

Menurut kaum Syi‟ah matan hadis ini betentangan dengan matan hadits yang lebih

shahih yaitu hadits tsaqalain yang diriwayatkan oleh Muslim (w. 261H/874 M), Sahîh Muslim

(Beirut: Dâr al-Ihyâ al-Turâts al-„Arabi, t.t), v.IV, h. 1873, hadits no. 2408. 21

Lihat. Hamdani Anwar, “Masa al-Khulafa al-Rasyidin”, dalam Taufiq Abdullah,

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), j.II, h.38-40. 22Dadang Darmawan, “Ortodoksi dan Heteredoksi Tafsir”, dalam Jurnal Refleksi, V. 13,

No. 2 (April 2012), h. 190-191.

Page 42: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

pemalsu hadis.23

Hampir satu abad lamanya tafsîr bi al-ra‟y dihindari dan baru

muncul kemudian pada awal era dinasti Abbasiyyah.24

Dalam masa seabad itu, al-Qur‟an lebih banyak ditafsirkan oleh atsar yang

bersumber dari nabi Muhammad melalui para sahabat dan tâbi‟în yang

terkemuka, yang kemudian dikenal dengan tafsîr bi al-ma‟tsûr. Penafsiran al-

Qur‟an dengan opini pribadi (ra‟y) pada masa itu akan dianggap sebagai

perbuatan menyimpang (heresy) yang terkadang mengakibatkan sanksi fisik.25

Abû Bakr al-Siddîq juga tidak membenarkan penafsiran dengan ra‟y (opini

pribadi), ia berkata:

أي أسض رو أي عبء رظ إرا هذ ك زبة هللا ب ال أػ26

“Bumi manakah yang menampung aku dan langit manakah yang

menaungi aku, apabila aku mengatakan mengenai kitab Allah sesuatu yang

tidak aku ketahui.”

Dari pernyataan Abû Bakr tersebut terlihat bahwa para sahabat sangat

berhati-hati dalam menafsirkan al-Qur‟an, mereka tidak berani menafirkan al-

Qur‟an kecuali dengan pengetahuan yang mereka dapatkan dari Nabi Saw. Namun

23

Contoh hadis larangan menafsirkan al-Qur‟an dengan ra‟y

ثب علب ػجذ األػى، ػ دذ اخ، ػ ثب أث ػ : دذ هب ج ش ا ػ ذ ث ثب ع : دذ غ هب ش، ث جج عؼذ ث

: ، هب ع ػ صى هللا اج ػجبط، ػ اث اروا اذذث ػ»ػ وؼذ أ زج ذا ك زؼ زة ػ ، ك ز ب ػ إال

ابس وؼذ أ زج ك ثشأ ك اوشآ هب « : »ابس، «زا دذث دغ

Hadis-hadis anti tafsir bi al-ra‟y ini jumlahnya ada dua puluh lima. Tujuh belas

diriwayatkan dari Ibn „Abbas delapan dari Jundab ibn Abdiilah.Lihat. Abȗ „Îsâ Muhammad bin

„Îsâ al-Tumȗzi al-Silmî, Sunan al-Turmȗzi (Kairo : Dâr al-Hadîs, 2010). 24

Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Mesir: Maktabah

Wahbah, 2000), j.I, h.146. 25

Contohnya orang-orang yang enggan membayar zakat kepada Abu Bakr berkata bahwa

perbuatan mereka didasari QS. Al-Taubah/9: 103. Menurut mereka, ayat itu memerintahkan

Muhammad untuk mengambil zakat dari mereka.Sebagai gantinya Muhammad mendoakan

mereka sehingga mereka merasa tenang.Kewajiban membayar zakat hanya kepada Muhammad

karena doanya mujarab. Sedangkan doa Abu Bakr tidak mujarab, karena itu tidak ada kewajiban

membayar zakat kepada Abu Bakr. Karena kelakuan mereka ini Abu Bakr memerangi mereka

dalam perang Riddah. Ibn Kats r, al-Bidayâh wa al-Nihâyah, v.6. h, 311. 26

Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fî Usȗl al-Tafsîr (Kuwait: Dâr al-Qur‟an al-Karîm, t.t), h.

47.

Page 43: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

pada masa itu ada beberapa sahabat yang menafsirkan al-Qur‟an dengan ijtihad.

Hal ini berdasarkan hadis riwayat Muadz berikut:

: هب ؼبرا إى ا جؼث ب أساد أ ع صى هللا ػ هللا سع ق »أ روع

: « إرا ػشض ي هعبء؟ ، هب زبة هللا : أهع ث ؟»، هب زبة هللا رجذ ك : كجغخ « كئ ، هب

: ، هب ع صى هللا ػ هللا صى هللا »سع هللا رجذ ك عخ سع ال ك كئ ، ع ػ

؟ : « زبة هللا هب صذس، ع صى هللا ػ هللا ال آ كعشة سع ذ سأ، : أجز هب

هللا » ب شظ سع هللا ، سع كن سع ازي ذ لل ذ «ا27

Bahwasanya Rasulullah Saw ketika mengutus Mu‟adz ke Yaman

bersabda: “Bagaimana engkau berhukum apabila datang kepadamu suatu

perkara? Ia menjawab: Saya akan berhukum dengan kitab Allah. beliau

bersabda: Bagaimana tidak engkau temukan dalam kitab Allah?. Ia

menjawab: Maka saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw. Beliau

bersabda: Bagaiman bila tidak engkau temukan dalam sunnah Rasulullah

Saw dan tidak pula dalam kitab Allah? Ia menjawab: Saya akan berijtihad

dengan pikiran saya dan tidak akan mundur. Maka Rasulullah saw

memukul dadanya dan bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah

memberikan taufiq kepada utusannya, utusan Allah yang diridahi oleh

Rasulullah.

Indikasi penafsiran al-Qur‟an dengan ra‟y memang telah ada pada awal

abad pertama hijriyah seperti yang terdapat dalam hadis di atas, namun tafsîr bi

al-ma‟tsur lebih banyak digandrungi dan merupakan mainstream ulama pada saat

itu. Kecuali hanya beberapa sahabat saja yang menafsirkan al-Quran dengan ra‟y,

seperti „Abdullah bin Mas‟ud dan Ibnu Abbas. Merka berdua dipandang ahli

dalam tafsir, bahkan Ibn Abbas diberi gelar Turjumân al-Qur‟an (Penafsir al-

Qur‟an). Hal ini berdasarkan barokah doa Nabi Saw:

ا كو ك اذ، ػ ازأ

“Semoga Allah menganugrahinya kecerdasan dalam agama, dan

pengetahuan tentang ta‟wîl”.

Ijitihad yang dilakukan oleh para sahabat tersebut telah menyebabkan

perbedaan pendapat dalam menafsirkan lafadz dan ayat.Adab-adab jahîly

27

Sulaiman bin al-Asy‟ats bin Syaddad bin Amrin bin Amir, SunanAbû Daud(Kairo : Dâr

al-Hadîs,2010), j.III, h.303.

Page 44: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

(kesusasteraan Arab), baik sya‟ir maupun natsar, sebab nuzûl dan adat-adat

kebiasaan orang Arab dalam mempergunakan tutur kata, menjadi sumber tafsir

bagi golongan tafsîr bil ra‟y. Selain itu, para sahabat ini menjadikan kisah-kisah

isra‟iliyyat dan penjelasan-penjelasannya sebagai dasar bagi tafsir. Ibn Abbas

banyak bertanya kepada Ka‟ab al-Ahbar (orang Yahudi yang telah masuk

Islam).28

Dengan demikian, masuklah penjelasan-penjelasan kisah yang diterangkan

orang-orang Yahudi ke dalam bidang-bidang tafsir, dengan hal yang tidak

berpautan dengan hukum.

Memang para sahabat banyak yang sengaja bertanya kepadaAhl al-Kitâb

tentang kisah-kisah itu walaupun Nabi Saw tidak membenarkan para sahabat

mempercayai kisah-kisah itu. Maka dengan tidak disadari kisah-kisah itu menjadi

bahan tasfir.

Para sahabat, seperti Ali, Abdullah ibn Abbas, Ibn Mas‟ud, Ubay bin

Ka‟ab menyampaikan dan menerangkan tafsir-tafsir yang mereka terima dari

Rasul dan riwayat-riwayat yang mereka terima dari orang Israil kepada tabi‟in.

Mereka menerangkan tafsir al-Qur‟an, baik dengan jalan dirâyah maupun dengan

jalan riwâyah, serta sebab-sebab nuzûl dan tentang orang yang karena mereka

diturunkan ayat kepada tabi‟in. Para tabi‟in meriwayatkan segala apa yang

diterangkan para sahabat kepada tâbi‟it-tâbi‟în.

Pada masa itu batas-batas ortodoksi tafsir mulai bergeser. Orang yang

berhak menafsirkan al-Qur‟an tidak lagi hanya Rasulullah yang telah wafat, tapi

28

Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,

2011), h. 179.

Page 45: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

juga mereka yang masih hidup namun memeroleh warisan dari Rasulullah

terutama dalam bidang tafsir, asbâb al-nuzûl, bahasa Arab, dan riwayat

Isra‟iliyyat. Penafsiran dari orang-orang seperti ini digolongkan tafsir yang

ortodoks sementara penafsiran dari sumber lain dianggap heterodoks.29

Dengan semakin banyaknya subjek yang diperbolehkan berbicara tentang

tafsir al-Qur‟an selain Rasulullah maka semakin gemuklah tafsîr bi al-ma‟tsûr

terutama oleh unsur-usur non hadis seperti riwayat isra‟iliyyat, mislanya.30

Hal ini

sangatlah disayangkan oleh para ulama hadis. Namun yang paling disayangkan

bagi para ulama hadis adalah dibuangnya sanad dari tafsîr bi al-ma‟tsûr ini,

sehingga silsilah yang menjadi jalur periwayatan tafsir itu tidak bisa dilacak

apalagi dikritisi. Bila terhadap hadis para ulama melakukan usaha yang serius

untuk memilah mana hadis yang palsu mana yang tidak. Terhadap tafsir mereka

patah arang. Salah seorang ulama hadis yang terkenal, Ahmad ibn Hambal

mengatakan bahwa ada tiga hal yang tidak jelas asal usulnya, tafsîr, maghâzî dan

malâhim.31

Namun, meski demikian, setelah tafsir diabaikan oleh para ulama

hadis, ia menjadikan madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‟ah sebagai ukuran tafsir

yang ortodoks.32

Setelah tafsîr bi al-ra‟y mengukuhkan diri sebagai bagian dari tafsir yang

ortodoks pada abad ke-III H, masuklah kemudian ke dalam batas ortodoksi

coraktafsîr bi al-isyârî, yaitu pentakwilan ayat-ayat al-Qur‟an yang berbeda

dengan makna lahirnya untuk menunjukkan makna yang tersembunyi sesuai

29

Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Usȗl al-Tafsîr, h.61, 65, 102. 30Dadang Darmawan, “Ortodoksi dan Heteredoksi Tafsir”, dalam Jurnal Refleksi, v. 13,

No. 2 (April 2012), h. 190. 31

Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Usȗl al-Tafsîr, h. 59. 32

Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Usȗl al-Tafsîr, h. 79-92.

Page 46: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

dengan petunjuk khusus yang diterima seorang sufi.33

Al-Dzahabi menggunakan

kata sufi (اصك) dalam menyebut tafsir sufi. Ia mengungkapkan bahwa tafsir sufi

:adalah (رلغش صك)

رصف ظشي رصف ػ ب اثش ك رلغش اوشا اش ب جؼ

ازلغش اصك34

Dari dua jenis tasawuf yaitu nazâri dan „amali, masing-masing

mempunya pengaruh dalam penafsiran al-Qur‟an sehingga membentuk

penafsiran sufistik.

Tafsir semacam ini telah ada semenjak abad ke III hijriah, ulama sufi yang

menempuh jalan tasawuf berupaya menafsirkan makna ayat secara sufistik dan

menulis dalam kitab tafsir. Abȗ Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin „Isa

bin Abdullah al-Tustarî telah mengarang kitab tafsir yang berjudul Tafsîr al-

Qur‟an al-AzÎm atau Tafsîr al-Tustarî. Ia lahir pada tahun 200 H di daerah Ahwaz

dan wafat di Basrah tahun 283 H. Ia termasuk orang „ârifîn terkenal dengan sikap

wara‟ dan mendapat anugrah karamah. Dalam hidupnya, Tustarî (w. 283 H)

pernah bertemu dengan sufi besar yaitu Dzunnun al-Misri.35

Sufi lain yang menyusun kitab tafsir adalah al-Sulamî dengan nama

kitabnya Hâqaiq al-Tafsîr. Al-Sulami merupakan seorang tokoh sufi Khurasan

yang lahir pada tahun 330 H dan wafat tahun 412 H, termasuk sufi periode abad

IV H. Menurut al-Dzahabi, kitab tafsir al-Sulamî ini polanya sama dengan tafsir

al-Tustarî yaitu tidak setiap ayat yang diberikan penafsiran. al-Sulamî menyusun

kitab tafsir berdasarkan kumpulan penafsiran dari ahli hakikat/ para sufi kemudian

33

Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j. II, h. 261. 34

Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j. II, h. 251. 35

Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j. II, h. 281. Dzunnun (w. 860 M) dikenal

peletak ajaran ma‟rifah. Pengetahuan sufi tentang tuhan itu Esa, melalui perantaraan hati sanubari.

Inilah pengetahuan hakiki tentang tuhan yang disebut dengan ma‟rifah. Lihat. Harun Nasution,

Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 76.

Page 47: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

disusun menurut tertib surat dalam al-Qur‟an. Nama kitabnya Hâqaiq al-Tafsîr

terbatas pada penggunaan pola isyârî dan tidak berlandaskan makna zahir.36

Tafsir

al-Sulamî ini lebih lengkap ketimbang tafsir sebelumnya yakni Tafsîr al-Tustarî,

karena merangkum penafsiran para sufi sebelumnya yang bercorak isyârî

termasuk Tafsîr al-Tustarî.

Kemudian abad abad ke V hijriah, „Abd al-Karîm bin Hawazin al-Qusyairî

(w. 465 H) mengarang kitab tafsir yang berjudul Latâif al-Isyârat. Tafsirnya ini

mencerminkan tafsir sufistik yang menyingkapkan tentang zauq dan

memunculkan perasaan yang diperoleh dalam mujâhadah. Di dalamnya

mengandung makna halus al-Qur‟an dari penjelasan para sufi.37

Disebutkan oleh

Iyazi bahwa al-Qusyairi juga pernah belajar pada al-Sulamî (w. 412 H).38

Tafsir Sufistik yang muncul pada perkembangan berikutnya yaitu pada

abad VI hijriah yang disusun oleh Ibnu „Arabi dengan nama Tafsîr al-Qur‟an al-

„Azîm. Ibnu „Arabi lahir di Murcia, Andalus pada tahun 560 H/ 1165 M dan lama

tinggal di Ishbilly yaitu sekitar 30 tahun. Di sini ia banyak menimba ilmu dari

beberapa guru di antaranya Abȗ Muhammad „Abd al-Haq bin „Abdurrahman al-

Isbillî dan al-Qâdî Abȗ Muhammad Abdullah al-Bazillî sehingga Ibnu „Arabi

dikenal dengan ketinggian ilmunya.39

Dari perjalanan hidupnya di wilayah timur

dan di saat itu pulalah ia memperdalam pengetahuan tasawufnya maka daerah

36

Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j. II, h. 284. 37

Disebutkan juga di belakang namanya denhan Naisyaburi dimana ia memang berasal

dari daerah Naisyabur (376-465 H). Dalam madzhab fiqh, ia pengikut ajaran Syafi‟i dan dalam

madzhab kalam ia masuk aliran Asy‟ari. Lihat. Muhammad „Ali „Iyâzi, Al-Mufassirun Hayatuhum

wa Manhajuhum (Taheran: Wizarah Thaqafah Islamiyah, 1414 H/ 1994 M), h. 603-605. 38

Nama al-Qusyairi sangat terkenal dengan kitab risalahnya yaitu Risalah al-Qusyairi.

Lihat. „Iyâzi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, h. 604. 39

Abdul Warith M. Ali, Pengantar Tafsir Ibnu Arabi (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah,

2006), h. 3- 10.

Page 48: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

terakhir yang menjadi ujung perjalanan hidupnya adalah di Damaskus. Ia wafat

dan dikuburkan di kota itu pada tahun 638 H/1240 M.40

Ibnu „Arabi adalaah

seorang yang menguasai bermacam ilmu pengetahuan di samping tasawuf. Ia juga

dikenal mengarang kitab hukum, sejarah, sastera, dan yang mengesankan

karangan tasawufnya yang bercorak filsafat yaitu al-Futȗhat al-Makkiyyah, Fusȗs

al-Hikâm serta kitab tafsir yang bercorak sufistik. Karena itu ia dikenal dengan

filsuf sufi.41

Pada abad ke V H penafsiran para sufi masih dianggap heterodoks. Abu

al-Hasan al-Wahidi (w. 468 H./1075 M.) ketika mengomnetari Haqâiq al-Tafsîr

mengatakan bahwa siapapun yang meyakini kitab itu adalah tafsir maka sungguh

ia telah kafir. Komentar yang lebih baik terhadap tafsîr bi al-isyâri baru muncul

pada abad ke-7. Ibn al-Salâh (w. 645 H./ 1247 M.) berkata bahwa berdasarkan

prasangka baiknya terhadap orang-orang terpercaya di kalangan sufi, ia

menganggap perkataan para sufi itu sebagai sisi lain dari isi kandungan al-Qur‟an.

Hanya saja para sufi tidak boleh mengklaim pendapat mereka sebagai tafsir, atau

berupaya menafsirkan kata-kata al-Qur‟an secara sewenang-wenang seperti yang

dilakukan kaum Bâtiniyyah.42

Al-Qurtubî (w. 671H) menuduh tafsir kaum

Bâtiniyyah sebagai tafsir heterodoks, karena kaum Bâtiniyyah ini terlebih dahulu

meyakini suatu ra‟y, baru kemudian mencari dalilnya dalam al-Qur‟an. Selain itu

mereka tidak memedulikan konteks ayat, sehingga mereka menafsirkan ayat

semata-mata berdasarkan keumuman lafaznya, tanpa memerhatikan berbagai

40

Mustafa bin Sulaiman, Syarh Fusȗs al-Hikâm (Beirut: Dâr al-Kutub al-„ilmiyyah,

2007), h. 9. Lihat juga. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 92. 41

„Abd al-A‟lâ „Afifî, Ta‟liq Fusȗs al-Hikâm (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Arabi, 1980), h.

9. 42

Badruddin Abȗ Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Bahadur bin Abdullah al-

Mihaji al-Zarkasyi, Al-Burhân fi „Ulȗm al-Qur‟an (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980), h. 187.

Page 49: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

atsar yang mungkin membawa informasi penting tentang makna ayat yang

sesungguhnya.43

Pada abad ke VIII H, tafsir kaum sufi ini telah diakui secara penuh sebagai

bagian dari ortodoksi. Hal ini besar kemungkinan disebabkan usaha al-Ghazali (w.

505 H) dua abad sebelumnya yang membela habis-habisan tafsir kaum sufi ini

dalam karyanya, Ihyâ „Ulȗm al-Dîn.44

Selain itu setelah abad ke VI H, ajaran-

ajaran sufi telah diterima dan dipraktikan secara luas oleh masyarakat muslim.

Akibatnya, resistensi terhadap tafsir kaum sufi ini semakin lama semakin

memudar, sedang dukungan terhadapnya terus bermunculan.

Ibn „Atâ‟ Allah al-Sakandarî (w.709 H./ 1309 M.). seorang sufi masyhur

dari Mesir, menyatakan bahwa al-Qur‟an selain mengandung makna eksoterik

juga mengandung makna esoterik. Disebutkan dalam hadis bahwa setiap ayat itu

memiliki makna zâhir dan bâtin. Karena itu, kita hendaknya tidak mengabaikan

adanya tafsir esoterik hanya karena hasutan orang yang menentangnya. Menurut

al-Sakandarî, tafsir kaum sufi ini tidak bermaksud memutar balikkan isi al-

Qur‟an. Kecuali tafsir tersebut mengklaim bahwa hanya makna esoterik yang

benar sedang makna eksoteriknya keliru. Ia juga berpendapat bahwa tafsir

kaumini sufi ini tidak bermaksud menggantikan tafsir eksoterik,. Pernyataan ini

disebut lebih jauh oleh al-Taftâzanî (w. 791 H./1388 M.). Menurutnya,

menafsirkan al-Qur‟an dengan makasud menghilangkan syariat seperti yang

dilakukan kaum Bâtiniyyah. Apa yang dilakukan para sufi tidak demikian.

43

Abȗ Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansarî al-Qurtubî,Ta‟liq. Muhammad Ibrahim

al-Hifnawi, Takhrij. Mahmud Hamid Utsman, Tafsîr al-Qurtubî (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008),

v.1, h. 34. 44

Al-Ghazali, Ihya „Ulȗm al-Dîn, v. I, h. 290-297.

Page 50: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Mereka meyakini bahwa al-Qur‟an pertama-tama harus ditafsirkan berdasarkan

makna-makna eksoteriknya terlebih dahulu, baru sejalan dengan itu dikemukakan

pula makna-makna esoteriknya. Menurut al-Taftâzanî, yang demikian itu tidak

termasuk tafsir yang heterodoks, justru merupakan ciri kesempurnaan iman dan

kejernihan pengetahuan.45

C. Legalitas dan Otoritas Tafsir Sufi

Salah satu perspektif yang lahir dari usaha untuk memahami al-Qur‟an

adalah tafsir dengan corak sufistik. Sebuah tafsir yang mencoba membedah

noktah-noktah al-Qur‟an berdasarkan sudut pandang mistis.46

Kehadiran tafsir

dengan corak ini tidak terlepas dari perkembangan ajaran tasawuf yang

menekankan seseorang untuk mengolah sisi spritualitas dirinya degan berbagai

latihan ruhani, dalam istilah para sufi biasa disebut dengan mujâhadah dan

riyâdah.47

Selain itu, kegelisahan para sufi melihat adanya segolongan umat Islam

yang merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadah lahiriyah

semata dan mengabaikan esensi batin dari ibadah.48

Seperti shalat misalnya, bagi

para sufi tidak dapat dipandang hanya sebagai aktifitas gerak badan semata

melainkan juga sebagai media perjumpaan hamba dengan Allah (liqâ ila Allah),

dengan khusu‟ dan kesungguhan. Bahkan lebih dari itu, shalat seorang hamba

45

„Abdurrahman ibn Abî Bakr Jajâl al-Dîn al-Suyȗtî, al-Itqân fi „Ulȗm al-Qur‟an

(Mesir: al-Haiah al-„Âmmah li al-Kitâb, 1974 M), j.II, h. 184-185. 46

Moh. Azwar Hairul, Mengkaji Tafsir Sufi Ibn „Ajîbah: Kitâb al-Bahr al-Madîd fî Tafsîr

al-Qur‟an al-Majîd (Tangerang Selatan: Young Progressive Muslim, 2017), h. 27. 47

Sebagaimana disebutkan bahwa tasawuf merupakan representasi dari dimensi

mistisisme Islam. Tujuan utama dari ajarannya adalah agar menjadikan seorang hamba dapat

berhubungan langsung dengan Tuhan. Harun Nasution mengunggkapkan bahwa intisari dari dari

mistisme ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan

dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam

Islam (Jakarta:Bulang Bintang, 2014), h.43 48

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta : UI-Press, 1986), j.II,

h.9.

Page 51: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Allah akan mengantarnya menyaksikan Allah (musyâhadah ila Allah) dengan

penglihatan spritual.49

Ada beberapa istilah yang dipakai ulama untuk menyebut tafsir sufi dan

sejenisnya. Secara umum seluruh istilah ini dipakai untuk penafsiran yang

menekankan dimensi esoterik ayat, termasuk diantaranya penafsiran para filosof

dan mu‟tazilah. Istilah-istilah tersebut adalah Tafsîr al-Bâtinî atau Bâtiniyah,

Tafsîr Isyârî, al- Tafsîr al-Faidî, al- Tafsîr al-Ramzî, al- Tafsîr bi Bâtinial-

Qur‟an, al-Manhâj al-Ramzî, al- Tafsîr al-Sȗfi, dan al-Manhâj al-Tamstîlî, dan

Tafsîr al-Irsyâdî. Perbedaan istilah ini disebabkan masing-masing memiliki

karakteristik yang digunakan dalam menakwilkan al-Qur‟an. Namun secara

teknis, semua jenis tafsir ini memiliki persamaan, yaitu berusaha menggali makna

esoterik yang tersembunyi dibalik makna lahir ayat.50

Muhammad Husain al-Dzahabi membagi corak tafsir sufi berdasarkan

kategori tasawuf yang dikemukakannya menjadi tasawuf „amali dan nazâri.

Kedua aliran tasawuf ini membentuk jenis tafsir sufi isyârîdan tafsir sufi

nazârî.51

Tafsir sufi isyârî merupakan pengungkapan makna isyârî ayat oleh para

sufi. Secara definitif dinyatakan bahwa:

رأ ابد اوشا اش ػ خالف ب ظش ب ثوزع إشبساد خلخ رظش

ألسثبة اغى ازطجن ثب ث اظاش اشادح52

49

Tamrin, Tasawuf Irfâni:Tutup Nasut Buka Lahut (Malang:UIN Maliki Press, 2010), h.

100. 50

Berbagai istilah di atas dikemukakan oleh beberapa ulama dan sarjana: seperti tafsir al-

Batini di populerkan oleh Ali al-Shabuni, Tafsir Isyari yang disebutkan Subhi al-Shalih dan oleh

Manna al-Qattan yang diidentikkannya sebagai tafsir Faidi. Untuk istilah tafsir al-Ramzi dipakai

oleh al-Dzahabi dan al-Shirazi. Adapun al-Alusi menyebut dengan istilah Tafsir al-Irsyadi. Ketiga

istilah terakhir dipopulerkan oleh Ahmad Khalil, Manhaj al-Ramzi, Tafsir al-Sufi, dan al-Manhaj

al-Tamtsili. Lihat. Habibi Al-Amin, Emosi Sufistik Dalam Tafsir Isyari: Melacak Kejiwaan

Mufassir (Ponorogo: sPIP-Press, 2015), h. 23. 51

Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j.II, h. 251. 52

Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, j. II, h. 261.

Page 52: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Menakwilkan ayat al-Qur‟an di luar makna zahirnya melalui

isyarat tersembunyi yang yata bagi suluk (pelaku tasawuf), dan

dimungkinkan menguatkan makna isyârî dan makna zahir yang dimaksud

ayat.

Definisi di atas dapat dipahami bahwa tafsir sufi isyârî adalah

menjelaskan ayat al-Qur‟an dengan jalan menakwilkan ayat di luar makna

zahirnya yang dipahami oleh pelaku tasawuf (sulȗk) melalui isyarat yang

terkandung (terselubung) di dalam susunan ayatnya. Disamping itu selain

mengambil ayat secara isyârî diambil juga makna zahirnya. Proses menafsirkan

ayat baginya berangkat dari hati dengan latihan rohani dan memperoleh

pengetahuan rabbanî, sehingga ia mampu menangkap isyarat suci dari ayat.53

Bila

dicermati penggunaan makna zahir dalam tafsir sufi, tidak sama dalam

implementasinya. Ada yang menggunakan makna zahir serta makna isyârî nya,

ada yang dominan pendekatan makna zahirnya bahkan ada yang mengabaikan

makna zahirnya.54

Sedangkan tafsir sufi nazârî adalah:

اجذ أ ظش ؤالء جبدث ظشخ رؼب كغلخ كب ث رصك ػ

ازصكخ إ اوشا ظشح رزش غ ظبسبر رؼب

Ahli sufi yang membangun ajaran tasawufnya berdasarkan pada

pemahaman teoritis dan ajaran filsafat sehingga mereka para ahli tasawuf

itu memandang ayat al-Qur‟an dengan pandangan yang cenderung larut

dalam teori dan ajaran filsafatnya.

Para sufi nazârîmenjelaskan makna sufistik al-Qur‟an berdasarkan pada

kajian teoritis dan ajaran filsafat. Proses memahami ayat baginya beranjak dari

pikiran dan pengetahuan teoritisnya yang kemudian diwujudkan dalam

menjelaskan ayat.

53

Al-Alȗsi, Rȗh al-Ma‟âni fi Tafsîr al-Qur‟an al-„Azîm wa Sab‟i al-Matsâni (Beirut: Dâr

al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2001), j.I, h. 6. 54

Septiawadi, Tafsir Sufistik Said al-Hawwa dalam al-Asâs fi al-Tafîr (Jakarta: Lectura

Press, 2004), h. 101.

Page 53: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Dalam diskursus ilmu al-Qur‟an, tafsir sufi sering dicurigai secara

berlebihan oleh para penolaknya. Sehingga dalam ketegorisasi dalam memilah

antara tafsir yang dinilai telah memenuhi syarat (Mahmȗd/ ortodoks) dan

penafsiran yang dinilai tercela (mazmȗm/ heterodoks); tasir sufi ada yang

mengatakan termasuk dalam kategori kedua, yaitu tafsir yang tercela dinilai telah

menyimpang dan terkadang disebut sebagai bid‟ah. Hal ini disebabkan penafsiran

sufi berusaha menguak makna batin al-Qur‟an yang terkadang dalam beberapa

kasus tafsir sufi tidak terikat dengan ketentuan makna literal atau lahiriah teks.

Dari sinilah kemudian mengilhami beberapa sarjana seperti Ignaz Goldziher yang

secara simplistik menyamakan tafsir sufi dan tafsir Bâtiniyah.55

Paling tidak penolakan terhadap tafsir sufi berlandaskan beberapa alasan:

pertama, adanya kekhawatiran tafsir jenis sufi hanya berpijak pada makna batin

(esoterik) saja dan mengabaikan makna zahirnya (eksoterik) akibatnya dimensi

syari‟at dilecehkan. Kedua, makna yang diproduksi para mufassir, dalam hal ini

para sufi terkadang mengabaikan kaidah bahasa Arab. Makna denotatif

ditundukkan dengan oleh makna konotatif yang diperoleh oleh sufi berdasarkan

pengalaman spritualnya. Walhasil, makna yang dihasilkan sangat bersifat

subjektif dan irasional dan sangat sulit dipahami. Terlebih lagi para sufi

mengklaim makna tersebut merupakan limpahan langsung dari Tuhan

(given/mauhubah). Ketiga, tafsir jenis ini juga kerap dicurigai bagian dari

tasawuf, sementara tasawuf sendiri masih sering dianggap sebagai ajaran

menyimpang dari al-Qur‟an dan Hadits. Bahkan lebih dari itu, tasawuf dianggap

55

Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari Aliran Klasik Hingga Modern, Terj. M. Alaika

Salamullah dkk (Yogyakarta: elSaq, 2006), h. 306.

Page 54: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

sebagai ajaran kaum musyrikin yang dimasukkan dalam ajaran Islam.56

Keempat,

bagi sebagian kelompok menilai tafsir sufi merupakan produk paham syiah, yang

dalam doktrinnya meyakini para imam mereka memiliki otoritas mutlak dalam

penafsiran al-Quran. Bagi mereka, para imam tidak lain adalah mata rantai

pewaris ilmu batin al-Qur‟an dari Rasulullah. Sedangkan kelompok yang

menolak tafsir sufi ini mengatakan bahwa yang memiliki otoritas menjelaskan

kandungan ayat al-Qur‟an hanyalah Rasulullah dan para sahabatnya.57

Agaknya

untuk alasan yang keempat ini tidak terlepas dari problem sentimen sektarian

dalam Islam, khususnya antara mazhab sunni dan syiah.

Adapun kalangan yang mengakui tafsir sufi menyatakan bahwa upaya

penyingkapan makna batin al-Qur‟an yang dilakukan oleh penafsir sufi sejatinya

berpedoman langsung dari ayat-ayat al-Qur‟an, salah satunya pada QS.

Muhammad: 24.

Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati

mereka terkunci?

Bagi para sufi ayat ini mengisyaratkan bahwa al- Qur‟an memiliki makna

lahir dan batin. Ayat ini dianggap sebagai dorongan untuk menyibak makna

terdalam al-Qur‟an hingga mencapai puncak pemahaman yang tertinggi tentang

Tuhan (ma‟rifatullah). Bagi para sufi membaca (tilâwah al-Qur‟an) saja tidak

cukup, tetapi juga diperlukan tadabbur al-Qur‟an yang dalam pengertiannya;

56

M. Ulinnuha Khusman, “Tafsir Esoterik: Sebuah Metode Penafsiran Elit yang

Terlupakan,” Suhuf : Jurnal Kajian al-Quran dan Kebudayaan, Vol, 3, No. 2, 2012, h.20. 57

Salman Fadlullah, “Tafsir Ishari: Menguak Aspek yang Terabaikan dari al-Qur‟an.

Mulla Shadra,” Jurnal Filsafat Islam dan Mistisisme, Vol. I, No. 4, 2011, h. 175 .

Page 55: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

mengkaji, mempelajari, dan melihat secara mendalam dengan kalbu.58

Hal ini

selaras dengan apa yang diungkapkan oleh al-Qusyairi dalam tafsirnya bahwa

dengan ‚tadabbur al-Qur‟an‛ akan membuka jalan menuju hakikat pengetahuan

tentang Tuhan („irfân).59

Di samping itu, para sufi juga menjustifikasi pemikiran mereka

berlandaskan pada salah satu riwayat yang berbunyi:

ب أض هللا اخ اال ب ظبش ثبغ دشف دذ دذ طغ

Allah tidak menurunkan satu pun, setiap ayat memiliki makna lahir

dan batin. Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap

batasan memiliki tempat untuk melihatnya.60

Dalam riwayat lain juga mengindikasikan adanya contoh penafsiran

dengan pemgambilan makna isyarat yang terkandung di balik kandungan tekstual

al-Quran, berdasarkan Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Abbas; yang dikisahkan

dapat memahami secara langsung makna tersirat dari Qur‟an surah al-Nashr:

[110]: 1-3. Yang menurut Ibnu „Abbas mengisyaratkan tanda-tanda kedatangan

ajal nabi Muhammad. Menurut beberapa ulama‟, riwayat tersebut

mengindikasikan adanya pemahaman yang tersirat di balik zahir ayat. Sekalipun

penafsiran yang dilakukan oleh Ibn Abbas tersebut secara metodologis tidak sama

persis seperti penafsiran yang dilakukan oleh para sufi, namun beberapa ulama

58

Kautsar Azhari Noer, Hermenutik Sufi: Sebuah Kajian atas Pandangan Ibnu „Arabi

tentang Takwil al-Qur‟an, Jurnal Kanzphilosophia: a journal for Islamic philosophy and

Mysticism, Vol 2, No. 2, December, 2012, h. 319. 59

Abȗ Qâsim al-Qusyairî, La‟tâif al-Isyârât (Beirut: Dâr al-Kutȗb al-„Ilmiyyah, 1971),

j.III, h. 204. 60

Dari riwayat ini kemudian menginspirasi seorang mufassir sufi klasik Sahl al-Tustari

untuk membagi makna ayat al-Qur‟an menjadi empat: zâhir, bâtinhadd, dan matla‟ . Makna lahir

zahir berarti makna yang dihasilkan sesuai dengan bacaan. Makna batin lebih mengarah kepada

pemahaman yang dihasilkan dari makna lahir oleh kerenaya Tustari menyebutnya sebagai fahm.

Adapun makna hadd adalah makna yang menunjukkan hukum dari suatu ayat, seperti halal dan

haram dari suatu ayat al-Qur‟an, dan matla‟ adalah makna yang diperoleh dari bimbingan hati

(isyarat al-Qalbi) untuk mencapai makna yang dimaksud oleh Allah swt. Lihat. Husain al-

Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirȗn (al-Qâhirah: Maktabah Wahbah, t.t), j.II, h. 282.

Page 56: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

sepakat riwayat tesebut sebagai bukti adanya peluang untuk menggali makna-

makna al-Qur‟an atau isyarat yang tersembunyi dibalik makna tekstualnya.61

Kendati argumen para sufi dibangun berdasarkan al-Qur‟an dan Hadits,

keberadaan tafsir sufi tetap saja dicurigai, dengan kekhawatiran adanya berbagai

penafsiran yang melenceng. Oleh sebab itu, agar menjaga tidak terjadinya

penyimpangan-penyimpangan dalam tafsir ini, maka para ulama memperketat

persyaratan-persyaratan agar dapat diterima dikalangan umum. Husain al-Dzahabi

misalnya mengemukakan syarat-syarat tersebut antara lain: Pertama, tidak

menafikan makna zahir ayat (kandungan tekstualnya). Kedua, penafsiran itu

diperkuat oleh dalil syara‟. Ketiga, penafsiran itu tidak bertentangan dengan dalil

„aqli atau rasio. Keempat, para sufi yang menafsirkan al-Qur‟an tidak mengklaim

bahwa hanya penafsiran batinlah yang dikehendaki Allah, sementara kandungan

tekstualnya tidak.62

Adapun „Ali al-Sabunî menambahkan tiga persayaratan lagi,

yaitu: (1) makna zahirnya tidak bertentangan dengan makna batinya, (2)

penakwilannya tidak melampaui konteks kata, (3) tidak mengacaukan pemahaman

orang awam.63

Berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan di atas akan memunculkan

kerumitan dalam menilai kebenaran tafsir isyârî, hal ini disebabkan oleh cara

pandang tafsir sufi berbeda dengan yang lainnya. Pasalnya, karakteristik utama

tafsir sufi bersifat wijdanî, sehingga amat sulit diidentifikasi dengan akal semata.

Bahkan jika ditinjau dalam beberapa kasus tafsir sufi sama sekali tidak terikat

61

Lihat. Manna al-Qattân, Mabâhits fî „Ulȗm al-Qur‟an, (al-Qâhirah : Maktabah

Wahbah) h. 347; Muhammad „Ali Al-Sabunî, al-Tibyân fi „Ulȗm al-Qur‟an (Pakistan: Maktabah

al-Busra, 2011), h.121; Nur al-Din „Itr, „Ulȗm al-Quran al-Karîm (Damaskus : Matba‟ah al-Sibl,

1993), h. 97-98. 62

Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirȗn, j.II, h.279. 63

Al-Sabȗnî, al-Tibyân fi „Ulȗm al-Qur‟an, h.121.

Page 57: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

dengan kaidah kebahasaan ataupun kaidah-kaidah lain yang biasa digunakan oleh

mufassir pada umumnya. Namun paling tidak dengan syarat-syarat demikian,

dapat ditarik kesimpulan bahwa tafsir sufi pada hakikatnya adalah tafsir yang

sangat eksklusif. Hanyalah orang-orang tertentu yang telah mencapai kematangan

ilmu hakikat (tasawuf) yang dapat melakukannya. Ini sejalan dengan esensi

tasawuf sebagai hubungan antara Allah dan hambanya. Selain, itu yang tidak

kalah penting dalam tujuan tasawuf adalah kebersihan hati dan kesucian jiwa.

D. Perkembangan Ragam Tafsir Surga

1. Periode Klasik

a. Tafsir Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ayi al-Qur‟an

QS. Al-Baqarah: 25

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman

dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang

mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-

buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah

diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa

dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal

di dalamnya”

Kata اجبدadalah bentuk jamak dari kata tunggal اجخyang berarti taman

atau surga. Menurut al-Tabarî (w. 310 H) adapun yang dimaksud taman adalah

apa yang ada di dalam taman berupa pepohonan, tanaman dan buah-buahan ,

bukan tanahnya karena itu Allah berfirman رجشي رذزب االبس“yang mengalir

Page 58: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

sungai-sungai di dalamnya”. Allah bermaksud menginformasikan tentang air

sungai yang mengalir di bawah pepohonannya, tanamannya dan buah-buahannya,

bukan mengalir di bawah tanahnya, karena jika mengalir di bawah tanah maka

mata tidak dapat melihatnya kecuali dengan membuka penutupnya. Jadi, ciri

sungai-sungai surga yang dimaksud adalah bahwa ia mengalir bukan pada lubang

tanah.64

Para mufassir berbeda pendapat mengenai buah-buahan yang diberikan

kepada ahli surga dikarenakan firman Allah “inilah yang pernah kami berikan

kepada kami dahulu”. Sebagian mereka menakwilkan buah-buahah tersebut

adalah buah-buahan yang pernah dimakan dan dirasakan ketika di dunia.

Sebagian yang lain berpendapat bahwa buah-buahan surga sebagiannya sangat

mirip dengan buah-buahan di dunia dalam warna dan rasa. Pendapat ini beralasan

bahwa buah surga setiap kali dipetik ia langsung digantikan dengan yang lain.65

Menurut al-Tabarî pendapat yang kedua ini tidak sesuai dengan dzahir

ayat. Adapun yang benar adalah pendapat pertama yang menakwilkan: “inilah

yang pernah diberikan kepada kami dahulu ketika di dunia.” Karena Allah

menginformasikan dalam firman-Nya: “setiap mereka diberi rezeki buah-buahan

dalam surga-surga itu, mereka mengatakan inilah yang diberikan kepada kami

dahulu.” Bahwa setiap penduduk surga diberikan makanan mereka berkata:

“inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Tidak mengkhususkan

perkataan mereka atas suatu makanan tanpa yang lain. Jika Allah

64

Abû Ja‟far Muhammad bin Jarîr Al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ayi al-

Qur‟an/Tafsir Al-Thabari, Penerjemah. Anshari Taslim, Muhyidin Mas Rida, Mangala, Athaillah

Manshur (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), j.I, h.471. 65

Al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ayi al-Qur‟an, j.I, h. 473-475.

Page 59: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

menginformasikan bahwa ini adalah perkataan penduduk surga setiap kali

diberikan makanan, maka jelas ini pula perkataan mereka ketika pertama kali

makan makanan surga yang diberikan kepada mereka ketika telah memasuki

surga. Jika jelas bahwa ini perkataan mereka ketika diberikan makanan surga

pertama kalinya, juga kedua kalinya dan seterusnya, maka diketahuilah bahwa

mustahil ketika pertama kali diberikan makanan mereka berkata: inilah makanan

surga seperti yang pernah diberikan kepada kami sebelum ini. Karena bagaimana

mereka bisa mengatakan demikian sementara mereka baru pertama kali

merasakannya. Kecuali jika ada orang sesat yang hendak menisbatkan perkataan

dusta ini kepada mereka, padahal Allah telah mensucikan mereka secara lahir dan

batin.66

Terdapat perbedaan pula mengenai firman Allah: “mereka diberi buah-

buahan yang serupa”. Sebagian mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud

denan زشجب(serupa) yaitu, semuanya baik, tidak ada yang busuk. Sebagian lain

mengatakan bahwa buah-buahan surga dan dunia serupa warnanya meskipun

berbeda rasanya. Al-Tabarî lebih sepakat pada pendapat yang kedua, yakni serupa

dalam warna tapi berbeda dalam rasa.67

Selain diberikan kenikmatan taman rindang yang mengalir sungai-sungai

dibawahnya, dan buah-buahan yang kelezatannya tidak serupa dengan dunia. Di

dalam surga disediakan pula istri-istri yang suci, dari segala kotoran dan keraguan

yang ada pada kaum wanita di dunia seperti haid, nifas, air besar, air kecil, ludah

66

Al-Tabârî, Tafsir Al-Thabari, j.I, h.475-476. 67

Al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ayi al-Qur‟an, j.I, h.476-483.

Page 60: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

ingus, air mani, dan segala sesuatu yang tidak disukai. Para ahli surga pun kekal

dalam kenikmatan abadi yang dianugrahkan Allah kepada mereka.

b. Tafsir Al-Jâmi‟ li Ahkâm al-Qur‟an

Menurut al-Qurtubî (w. 671H) اجخ(surga) adalah اجغبر(kebun). Disebut

.sebab ia melindungi siapa saja yang berada di dalamnya dengan pepohonanجخ

Contoh lain: al-mijan (perisai), al-janîn (janin), dan jannah (surga). Dibawah

surga tersebut terdapat sungai yang mengalir, yakni dibawah pepohonannya.

Tidak pernah pepohonan itu disebutkan karena lafadz جخsudah menunjukkan hal

tersebut. Sungai-sungai tersebut mengalir di permukaan tanah surga yang tidak

ada saluran-salurannya sesuai dengan kehendak Allah, ke arah mana yang

diinginkan oleh penghuninya.68

Al-Qurtubî mencantumkan berbagai pendapat mengenai firman Allah:

“setiap mereka diberi rezeki buah-buahan, mereka berkata inilah yang pernah

diberikan kepada kami dahulu.” Sebagian mufassir mentakwilkan: “ini yang telah

dijanjikan kepada kami dai dalam dunia”. Sebagian yang lain berkata: “ini telah

diberikan kepada kami di dalam dunia.” Sebab, warnanya sama dengan warna

buah-buahan dunia. Namun apabila mereka memakannya, mereka menemukan

rasa yang berbeda. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud هج

(dahulu), takni di dalam surga. Sebab, di sana mereka diberi dan terus diberi.

Apabila disajikan makanan dan buah-buahan kepada mereka di awal siang, lalu

mereka memakannya, kemudian disajikan kembali kepada mereka seperti itu di

akhir siang, mereka berkata: “ini telah diberikan kepada kami

68

Syaikh Imâm Al-Qurtubî, Al-Jami‟ li Ahkâm al-Qur‟an/ Tafsîr al-Qurtubî, Penerjemah.

Fathurrahman, Ahmad Hotib, Nashirul Haq (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), j.I, h. 540-541.

Page 61: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

sebelumnya.”Maksudnya, kami telah memakannya di awal siang, sebab warnanya

sama. Namun ketika mereka memakannya, mereka menemukan rasa yang berbeda

dengan rasa yang sebelumnya.69

Para ahli surga diberi buah-buahan yang serupa (زشجب). Menurut al-

Qurtȗbi maksudnya ialah serupa sebagiannya dengan sebagian lainnya dalam

bentuk, namun berbeda dalam rasa. Ini dikatakan oleh Ibnu „Abbas, Mujahid,

Hasan, dan lainnya. Ikrimah berkata “serupa dengan buah-buahan dunia namun

sebagian besar sifatnya berbeda.” Menurut Ibn Abbas, ini adalah ungkapan

takjub, sebab tidak ada sesuatupun di dalam dunia yang melihat betapa bagus dan

besarnya. Qatadah berkata. “sangat bagus, tidak ada cacat sedikitpun,

sebagaimana firman Allah Swt: زبثب زشجب(yaitu) al-Qur‟an yang serupa (mutu

ayat-ayatnya).70

Tidak seperti buah-buahan dunia yang tidak serupa, sebab ada

yang bagus dan tidak bagus.71

Firman Allah Swt: كب اصاج “dan untuk mereka di dalamnya ada

isteri-isteri”mubtada‟ dan khabar. Kata اصاجadalah bentuk jamak dari صج. Al-

mar‟ah adalah zauj al-rajul (isteri seorang laki-laki), dan al-rajul adalah zauj al-

mar‟ah (suami seorang permpuan). Al-Ashma‟i berkata, “orang Arab hampir

tidak pernah mengucapkan zaujah (untuk arti isteri).” Namun al-Farra‟

menceritakan bahwa orang Arab biasa mengatakan zaujah, „Ammar bin Yasir

pernah berkata tentang Aisyah, Ummul Mu‟minin ra, “Demi Allah, sesungguhnya

aku tahu bahwa dia adalah isteri beliau di dunia dan di akhirat, akan tetapi Allah

69

Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, j.I, h.541. 70

QS. Al-Zumar: 23. 71

Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, j.I, h. 542.

Page 62: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

tengah menguji kalian.” Perkataan ini disebutkan oleh Bukhari dan dipilih oleh al-

Kisa‟i.72

Isteri-isteri yang disediakan Allah untuk para ahli surga tersebut dalam

keadaan suci. Maksudnya ialah suci dari haid, ludah, buang air kecil, buang air

besar, melahirkan dan hal-hal yang menjijikan lainnya yang terdapat pada

manusia. Para ahli surga kekal di dalamnya dengan keabadian yang hakiki.73

2. Periode Modern

a. Tafsir al-Manâr

Muhammad Abduh (w. 1905 M) dalam menafsirkan jannah dalam ayat 25

surat al-Baqarah, lebih cenderung menggambarkan dengan sifat-sifat yang bukan

sebagaimana dilihat di dunia ini. ia lebih menitik beratkan pada segi kejiwaan dari

gambaran menurut lahiriyah ayat. Ia mengatakan: Di banyak tempat, lafaz jannah

selalu berdampingan dengan lafadz nâr. Jannah menurut bahasa adalah kebun,

tetapi yang dimaksud oleh ayat itu bukan maksud menurut bahasa saja, melainkan

keduanya merupakan tempat yang kekal di alam akhirat.74

Jannah adalah tempat bagi orang-orang yang berbuat baik dan bertaqwa.

Sedangkan neraka adalah tempat bagi orang-orang yang durhaka dan orang-orang

yang fasiq. Kita percaya keduanya termasuk alam ghaib dan tidak bisa membatas

hakikat keduanya karena alam ghaib tidak bisa dikiaskan kepada alam Syahadah.

Apakah Dar al-Ni'mah dinamakan jannah hanyalah perumpamaan ? Kernudian

diceritakan tentang sungai-sungai yang mengalir didalamnya, karena di dunia ini

72

Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, j.I, h. 542-543. 73

Al-Qurtubî, Tafsir al-Qurtubî, j.I, h. 543. 74

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟an al-Hakîm/ Tafsîr al-Manâr (Mesir: al-Haiat

al-Misriyyah al-„Âmmah li al-Kitâb, 1990), j. I, h. 194.

Page 63: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

kebun-kebun biasa dialiri sungai, ataukah dinamakan Jannah tersebut karena

mencakup semua kebun ? yaitu nama untuk keseluruhan dengan nama untuk

sebagian. Hanya Allah yang mengctahui maksud firman-Nya.75

Yang mengetahui hakikat jannah hanyalah Allah. Manusia tidak bisa

mengetahuinya secara pasti. Walaupun ayat itu menggambarkan dengan gambaran

dunia, tetapi Jannah bukan dunia, Sudah semestinya kita melupakan dunia ketika

kita akan menerangkan jannah. Kalau tidak, kita akan terjerumus pada

kesalahan.76

Ketika Abduh menafsirkan lafadz "Kullamâ ruziqȗ minhâ min

tsamarâtin", ia mengatakan: tujuan makan di dunia untuk menjaga badan dari

kerusakan, Oleh karena itu makan dan minum di akhirat adalah untuk tujuan lain

atau untuk kelezatan yang tidak kita ketahui, karena di alam ghaib. Kita hanya

percaya kepada Allah dan yakin bahwa kelezatan di akhirat lebih dari kelezatan di

dunia.77

Rizki tersebut adalah wujud janji, sebagai pahala atas perbuatan baiknya.

Ketika mereka di beri rizki, mereka menyebut janji Allah sebagai tanda terima

kasih daripada-Nya karena telah memberi petunjuk untuk beramal yang dijanjikan

dengan pahala itu. Itu menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara yang

dijanjikan dengan yang diberi janji. Seolah-olah amal itulah wujud pahala. Ahli

surga akan makan dan minum rizki sebagai pahala bagi perbuatan baiknya

sewaktu di dunia. Makan dan minum di surga beda dengan di dunia baik cara

ataupun tujuannya, karena di surga tanpa makanpun lidak akan hancur. Abduh

75

Muhammad Râsyid Ridâ, Tafsîr al-Manâr, j. I, h. 194. 76

Muhammad Râsyid Ridâ, Tafsîr al-Manâr, j. I, h. 194. 77

Muhammad Râsyid Ridâ, Tafsîr al-Manâr, j. I, h. 194.

Page 64: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

mengatakan bahwa makanan di surga itu seolah-olah amal baiknya sewaktu di

dunia.78

Selanjutnya ketika menafsirkan lafadz "Wa lahum FîhâAzwâj

Mutahharat", Abduh mengatakan: bergaul dengan isteri-isteri di akhirat

keadaannya sama dengan hal-hal ghaib lainnya. Kita beriman kepada apa yang

diperintahkan Allah, tidak menambah dan tidak menguranginya dan jangan

membahas tentang cara-caranya. Kita tahu secara umum bahwa kehidupan akhirat

lebih berharga dan lebih tinggi daripada kehidupan di dunia. Hikmah mengambil

kenikmatan dengan isteri adalah keturunan, sedangkan di akhirat tidak ada

keturunan.Oleh karena itu kelezatan bergaul dengan isteri di akhirat lebih tinggi.79

Kemudian ketika menafsirkan lafadz "Wa hum FîhâKhâlidȗn", ia

mengatakan al-khulȗd menurut syara‟ adalah kekal abadi, yakni tidak akan keluar

darinya dan juga tidak akan rusak, kemudian merekaturun dari surga karena

surganya rusak. Kehidupan di surga adalah kehidupan yang kekal abadi dan tidak

akan berakhir.80

Penggambaran masalah kehidupan di akhirat digambarkan dengan

gambaran yang sebagaimana dapat dilihat di dunia ini, menurut Abduh adalah

supaya lebih berkesan kepada jiwa yang sederhana umat Islam, juga Yahudi dan

kristen yang sudah berpikiran jauh apokaliptis (pewahyuan) daripada jika

menjelaskan rahasia kerajaan ruhani secara psichologis dan metafisis semata.

Begitulah gambaran Jannah yang digambarkan oleh Abduh tak ubahnya

seperti orang mimpi mendapatkan kenikmatan sewaktu tidurnya. la mimpi makan

buah-buahan atau bersenang-senang dcngan isteri yang cantik disuatu tempat

78

Ridâ, Tafsîr al-Manâr, j. I, h. 195. 79

Ridâ, Tafsîr al-Manâr, j. I, h. 195-196. 80

Ridâ, Tafsîr al-Manâr, j. I, h. 196-197.

Page 65: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

yang belum pernah ia datangi. padahal jasadnya berada di tempat tidur. Bedanya

kalau mimpi bisa berakhir jika kita bangun dari tidur sedangkan di surga bersifat

kekal abadi.81

b. Tafsir al-Misbâh

Dalam awal penafsirannya terhadap QS. al-Baqarah ayat 25 tersebut M.

Quraish Shihab menerangkan bahwa merupakan kebiasaan al-Qur‟an

menyandingkan dua hal bertentangan guna melahirkan keserasian. Sebelum ayat

ini, al-Qur‟an menguraikan keadaan orang-orang kafir dan siksa yang akan

mereka hadapi. Di sini Allah mengemukakan lawannya yakni orang-orang

beriman dan ganjaran yang akan mereka peroleh. Kalau ayat yang lalu merupakan

berita yang mengandung ancaman, maka ayat ini memerintahkan Nabi

Muhammad Saw, untuk menyampaikan berita gembira kepada mereka yang

benar-benar beriman secara tulus terhadap semua unsur keimanan dan

membuktikan kebenaran imannya dengna beranak saleh.82

Quraish berpendapat bahwa surga ada bermacam-macam. Ada yang

dinamai surga al-Firdaus, surga „Adn, surga Mau‟ud, surga „Illiyyîn dan lain-lain,

yang mengalir di sekelilingnya atau di bawah pepohonannya sungai-sugai.83

Mereka (ahli surga) dianugrahi aneka rezeki, antara lain berupa buah-

buahan yang setiap dihidangkan kepada mereka rezeki yang berupa buah-buahan,

mereka menduganya sama dengan buah duniawi atau sama dengan apa yang telah

dihidangkan sebelumnya sehingga mereka berkata: “ini yang pernah

dianugrahkan kepada kita sebelum ini”, yakni sebelum kami masuk surga, ketika

81

Ridâ, Tafsîr al-Manâr, j. I, h. 197. 82

M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an

(Jakarta: Lentera Hati, 2002), v. I, h. 129. 83

Shihab, Tafsîr al-Misbâh, v. I, h. 130.

Page 66: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

kami masih hidup di dunia atau sebelum ini, ketika kami telah berada di surga.

Tetapi sebenarnya tidak demikian, karena mereka dianugrahi yang serupa dalam

bentuk atau warna dan jenisnya dengan apa yang mereka dapatkan di dunia, atau

yang mereka dapatkan sebelumnya, tetapi tidak sama rasa dan nikmatnya.84

Allah menyerupakan buah-buah yang dihidangkan itu dengan apa yang

telah dianugrahkan sebelumnya agar mereka tidak ragu untuk memakannya,

karena sesuatu yang belum pernah dicoba boleh jadi menimbulkan tanda tanya di

dalam benak yang dapat mengakibatkan seseorang enggan menyicipinya.85

Ketika menafsirkan "Wa lahum FîhâAzwâj Mutahharat". Quraish

mengatakan bahwa kata azwâj berarti pasangan-pasangan bukan istri-istri. Bila

azwâj diterjemahkan sebagai isteri-istri maka itu sungguh keliru, karena azwâj

bentuk jamak dari lata zauj yang berarti pasangan. Kareba itu misalnya, istri Nabi

Muhammad Saw., Aisyah ra., dinamai zauj al-Nabi, yakni pasangan (hidup)

Nabi.86

Jadi maksud dari firman Allah tersebut ialah pasangan-pasangan yang

telah berulang kali disucikan dari segala macam kotoran; bukan hanya dari haid,

karena ini hanyalah salah satu bentuk penyucian dan itu pun hanya bagi wanita.

Padahal pasangan-pasangan yang dimaksudkan adalah pria buat wanita dan

wanita buat pria, sehingga penyucian itu mencakup segala yang mengotori

jasmani dan jiwa pria yang antara lain seperti dengki, cemburu, kebohongan,

keculasan, pengkhianatan, dan lain-lain.87

Untuk memberi kebahagian yang lebih mantap dan menghilangkan rasa

cemas yang boleh jadi muncul dalam benak ketika menduga bahwa kenikmatan

84

Shihab, Tafsîr al-Misbâh, v. I, h. 130. 85

Shihab, Tafsîr al-Misbâh, v. I, h. 130. 86

M. Quraish Shihab, Perjalanan Menuju Keabadian; Kematian, Surga, dan Ayat-ayat

Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 177-178. 87

Shihab, Tafsir al-Misbah, v. I,h. 130.

Page 67: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

itu tidak abadi, ayat ini ditutup dengan pernyataan bahwa mereka tinggal di sana

kekal selama-lamanya.88

Dalam akhir penafsirannya, Quraish menerangkan bahwa Surga dan

kenikmatannya adalah sesuatu yang abstrak (immaterial), maka melalui wahyu-

wahyu-Nya Allah bermaksud menjelaskan petunjuk-petunjuk-Nya kepada

menusia dengan perumpamaan yang bersifat konkret (material).89

88

Shihab, Tafsir al-Misbah, v. I,h. 130. 89

Shihab, Tafsir al-Misbah, v. I, h. 131.

Page 68: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

49

BAB III

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN SYAIKH „ABD AL- QÂDIR AL-JAILÂNÎ

A. Biografi Syaikh „Abd al- Qâdir al-Jailânî

1. Konteks Sosial-Politik Masa al-Jailânî

Sebelum memasuki fokus kajian pembahasan hagiografi Syaikh „Abd al-

Qâdir al-Jailânî, penulis terlebih dahulu menengok alur konteks sejarah pada masa

Syaikh „Abd al- Qâdir al-Jailânî yakni kisaran tahun 470-561 H./1077-1168 M.

Hal ini bertujuan untuk mengetahui berbagai macam kejadian yang menyelimuti

perjalanan hidup al-Jailânî dari lahir hingga wafatnya, baik dalam kancah politik,

sosial maupun ilmu pengetahuan. Al-Jailânî hidup pada masa kekhalifahan

Abbasyiyah tepatnya pada periode keempat (477-590H/1084-1197 M). Pada

periode ini pemerintahan dibawah kendali khalifah Abbasyiyah IV yang

dihegemoni oleh kesultanan Bani Saljuk.1 Pada masa ini banyak terjadi kekeruhan

politik dan konflik keagamaan. Mulai dari perebutan daerah kekuasaan, harta

hingga perebutan jabatan tahta kerajaan.

Kesultanan Saljuk merupakan salah satu dinasti kecil yang lahir pada masa

kekhalifahan Abbasyiyah yang ingin melepaskan diri. Dinasti ini didirikan oleh

Rukn al-Din Abû Thâlib Tuqhru Bek bin Mikail bin Saljuk.2

Bani Saljuk mengalami pergolakan yang sangat besar baik dari dalam

(internal) maupun dari luar (eksternal). Dari dalam, misalnya terjadi gerakan yang

1 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), h.

50. 2 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 65.

Page 69: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

dipimpin oleh Hasan bin al-Sabah, gerakan ini dikenal dengan gerakan Batniyyah.

Selain itu, gerakan ini juga terkenal dengan gerakan “Hasyasyin”3. Gerakan

tersebut adalah gerakan teroris yang berupaya memberontak pembesar-pembesar

kerajaan. Gerakan ini bermarkas di benteng maut (Qal‟ah Alamut).4

Di antara para pembesar kerajaan yang menajdi korban kekerasan gerakan

ini adalah seorang muadzin di Isfahan, Nizâm al-Mulk, menteri Maliksyah,

Ubaidillah bin „Ali bin Khutaibi (ketua mahkamah tinggi Isfahan), Abu A„la Said

bin Muhammad al-Bukharî (Mufti Isfahan), Abu al-Mahasin „Abd al-Wâhid bin

Ismâ„îl Rayân.5

Pergolakan dari dalam lainnya yaitu, kerusuhan dari Asia tengah yang

digerakkan oleh Tutusy Alep Arselan karena Tutusy tidak puas diberi kedudukan

di wilayah Syam dan juga sejumlah kelompok yang tidak puas dengan kebijakan

Malikisyah yang memecat 7.000 tentara yang dianggapnya kurang disiplin.

Adapun pergolakan dari luar, mislanya adanya perang salib yang

berlangsung hampirtiga abad lamanya dari tahun 1029 M sampai dengan 1270 M.

Umat Islam sangat sulit menghadapi tentara salib yang sangat terorganisir karena

masih disibukkan oleh masalah internal yang tak kunjung selesai.

Dinasti Abbasiyah IV yang dimulai tahun 447-456 H/1055-1258 M atau

dari masuknya Bani Saljuk ke Baghdad sampai jatuhnya Baghdad ke tangan

3 Gerakan ini disebut dnegan “Hasyasyin” karena mereka penghisap hasyisy (sejenis

ganja) untuk memperoleh tingkatan “asyik”, tingkatan yang dikehendaki oleh sebagian orang-

orang sufi. Orang barat menamkannya “Assasin”, karena mereka adalah teroris-teroris bagi lawan

politiknya.Lihat.Nuruzzaman al-Shiddiqi, Syi‟ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah

(Yogyakarta: PLP2M, 1985), h.28. 4 M. Zainuddin, Karamah Syaikh „Abd al-Qadir al-Jailânî (Yogyakarta: LkiS, 2011)h.16.

5 M. Zainuddin, Karamah Syaikh „Abd al-Qadir al-Jailânî, h.17.

Page 70: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

bangsa Tartar yang dipimpin oleh Hulagu, diwarnai dua corak kepemimpinan.

Yaitu corak kekhalifahan dan corak kesultanan. Kekhalifahan dipegang oleh

turunan Abbasiyah, sedangkan kesultanan dipegang oleh turunan Saljuk.6

Pada tanggal 10 Ramadhan 529 H, keduanya bersengketa dalam hal

perebutan kota Baghdad. Kesultanan yang dipimpin oleh sultan Mas‟ûd mampu

melemahkan kekhalifahan yang dipimpin oleh khalifah al-Murtasyid dan mampu

menguasai Baghdad. Akhirnya, kekhalifahan melemah bahkan kadang-kadang

hanya sebatas lambang saja. Karena kekuasaan yang sebenarnya pada saat itu di

tangan wazir atau panglima atau sultan sehingga kadang-kadang nasib khalifah

tergantung pada selera para penguasa, diangkat, diturunkan, atau bahkan

dibunuh.7 Hal tersebut sampai menghebohkan kaum muslimin dan menyebabkan

terjadinya fitnah dimana-mana. Sebagian kaum muslimin menuntut agar khalifah

dikembalikan dalam kedudukannya.

Masa dinasti Abbasiyah IV yang dikuasai oleh Bani Saljuk selalu diwarnai

oleh bentrokan antar saudara dalam pemerintahan. Bentrokan saudara dalam Bani

Saljuk dimulai dari kepemimpinan Sultan Mahmûd yang diberi gelar sultan atas

usaha ibunya, yaitu Turkhan Khatun ketika Mahmûd berusia empat tahun.

Pengangkatan tersebut menimbulkan kecemburuan terhadap Barkyaruk, anak tiri

dari Turkhan Khatun. Dia menuntut kesultanan Mahmud sehingga terjadi

pertempuran seala dua tahun dan berakhr dengan kemenangan di tangan

Barkyaruk. Mahmud turun dari jabatannya, sedangkan ibunya ditangkap.8

6 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu dan Pengetahuan Islam

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), h.51. 7Sunanto, Sejarah Islam Klasik, h.52.

8 M. Zainuddin, Karamah Syaikh „Abd al-Qadir al-Jailânî, h.38.

Page 71: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Setelah itu bentrokan saudarapun terjadi antara Barkyaruk dengan

pamannya, Tutusy di Azerbajian. Dalam pertempuran itu, pertahanan Barkyaruk

porak poranda dan memakasa Barkyaruk mundur ke Isfahan tempat sultan

Mahmud berkuasa. Sehingga kesempatan inipun tidak disia-siakan oleh Mahmud

untuk membalas dendamnya karena telah menurunkannya dari jabatan sultan.

Mahmud berencana untuk membunuh Barkyaruk, tetapi rencana itu gagal karena

Mahmud terlebih dahulu menemui ajalnya. Bahkan Barkyaruk diangkat oleh

rakyat sebagai penggantinya. Sejak saat itulah Saljuk terancam perpecahan.9

Pemerintahan Bani Saljuk pada masa Wazir Barkyaruk, Negara ditandai

dengan kedzaliman dan kemerosotan moral. Mereka terlena oleh kemgahan

duniawi, berfoya-foya, mabuk-mabukan, menumpuk harta dan budak serta

tindakan-tindakan dzalim lainnya yang mengakibatkan dehumanisasi,10

despiritualisasi,11

dan destrukturalisasi. Bahkan masa itu ditandai dengan masa

kesuraman.

Berdirinya dinasti Bani Saljuk merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan kemunduran kekhalifahan Abbasyiyah.12

Faktor lain yang

meyebabkan kemunduran kekhalifahan Abbasyiyah, yakni kemewahan hidup di

kalangan penguasa yang ditambah dengan tunduknya kekhalifahan pada tentara

bayarannya sendiri yang berasal dari etnik Turki, sehingga tentara bayaran inilah

yang seakan-akan menjadi penguasa.13

9 M. Zainuddin, Karamah Syaikh „Abd al-Qadir al-Jailânî, h. 39.

10Dehumanisasi berarti tidak adanya rasa prikemanusiaan.Lihat. Tim Penyususun Kamus,

Kamus Besar Bahasa Indonesia. h. 533. 11

Despiritualisasi berasal dari kata spiritual yang berarti berhubungan dengan atau sifat

kejiwaan (rohani, batin). Lihat. Tim Penyususun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia. h. 1373. 12

Dedy Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 137-138. 13

Imam Ghazali Said, Pengkafiran Sesama Muslim (Surabaya: Diantama, 2012), h. 3.

Page 72: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Bani Abbasyiyah telah mengalami pergantian periode kekhalifahan

sebanyak 5 kali pada masa hidup al-Jailânî:

a. Al-Mustadhir Billah. Lahir pada tahun 470 H, dibaiat menjadi khalifah

pada tahun 487 H. dan meninggal pada tahun 512 H. Pada masa awal

pemerintahannya banyak terjadi perseteruan antara kelompok Ahlussunnah wal

Jamaah dengan kelompok Rafidhah hingga terjadi kebakaran dibanyak tempat dan

beberapa kejadian yang banyak memakan korban.

b. Al-Mustarsyid. Memimpin dari tahun 512 H. hingga 529 H. Dia mampu

mempertahankan kekhalifahan selama 17 tahun. Namun, nasibnya malang karena

mati secara tragis di tangan kelompok Bathiniyah.

c. Al-Rasyid Billah. Memimpin hanya dalam durasi waktu yang sangat

singkat yakni 11 bulan. Ia mati karena dibunuh. Pada masanya kelompok

Rafidhah mulai sedikit.

d. Al-Muqtafi li Amrillah. Pada masanya perang salib berkobar.

e. Al-Mustanjid Billah.14

Pada periode-periode itulah berdiri dua kubu kekuatan antara kekhalifahan

Abbasyiyah dengan dinasti Saljuk. Di sini Saljuk mempunyai hasrat untuk

merebut kursi kekhalifahan. Mereka ingin menguasai kekhalifahan Abbasyiyah

serta menggeser kedudukannya. Dari sinilah terjadi peperangan besar antara

khalifah dengan Sultan, yang mana kemenangan berada dipihak Sultan. Hal ini

berujung pada naiknya derajat kesultanan dan turunnya derajat kekhalifahan

karena tertawan.15

Kedudukan khalifah menjadi tak lebih dari sekedar boneka para

14

Said bin Musfir al-Qathani, Al-Syaikh Abdul Qadir al-Jailânî wa Arauhu al-I‟tiqadiyah

wa al-Shufiyah/Buku putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailânî (Jakarta: Darul Falah, 2003), h. 5-6. 15

Syekh Abul Hasan al-Nabawi, Syekh Abdul Qadir Jaelani, penerjemah Abu Asma

(Solo: CV. Ramadhani, 1985), h. 9-10

Page 73: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

sultan.16

Kekalahan yang berada di pihak khalifah ini berdampak pada

terampasnya harta kekayaan beserta penghasilan para penduduk Baghdad.

Peristiwa peperangan antara kekhalifahan dengan kesultanan banyak menelan

korban. Derita ini membuat para penduduk Baghdad mengalami kegoncangan

lahir batin.17

Belum lagi peristiwa perang Salib yang membawa dampak

kehancuran, ketidak-amanan, dan ketidak-damaian.18

Kondisi sosial suatu masyarakat tidak lepas dari kondisi politik yang

terjadi pada masa itu. Kondisi politik yang carut-marut ini menghasilkan situasi

sosial yang carut marut pula. Kondisi sosial kekhalifahan Abbasyiyah masa ini

ditandai dengan gaya hidup sangat glamor dan serba-serbi kemewahan dunia. Para

khalifah sangat suka berfoya-foya baik untuk memuaskan kebutuhan lahir

maupun batin. Hal ini bisa dilihat dari kecintaannya pada benda-benda mewah,

fashion yang modis, dan lebih parah lagi rusaknya moral yang menyebabkan

tindakan seksual merajalela.19

Kondisi seperti inilah yang dihadapi oleh al-Jailânî semasa hidupnya.

Situasi ini diantaranya yang mendorong al-Jailânî untuk menjadi petunjuk jalan

kebenaran, berdakwah, mengajar, dan bertekad memperbaharui jiwa-jiwa yang

rusak, memerangi kemunafikan, memadamkan bara api perpecahan.20

Kondisi politik dan sosial pada masa al-Jailânî tidak sama halnya dengan

kondisi keilmuan pada masanya. Bahkan bisa dibilang berbanding terbalik 180 %,

16

Philip K. Hitti, History of the Arab, penerjemah Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT.

Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 605. 17

Syekh Abul Hasan al-Nabawi, Syekh Abdul Qadir Jaelani, h. 11. 18

Syarif, A History of Muslim Philosophy (New Delhi: Low Price Publication, 1961),

h.349. 19

Philip, History of the Arab, h. 416-417. 20

Syekh Abul Hasan al-Nabawi, Syekh Abdul Qadir Jaelani, h.12.

Page 74: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

karena kondisi keilmuan pada waktu itu masuk dalam katagori terbaik.21

Hal ini

terbukti dengan berdirinya akademi Islam pertama yakni Nizâmiyyah.

Nizâmiyyah inilah yang kemudian menjadi nisbat bagi pembangunan akademi-

akademi lainnya. Nizâmiyyah didirikan pada tahun 1065 M. oleh Nizâm al-Mulk,

seorang menteri pada masa Bani Saljuk.22

Di Madrasah Nizâmiyyah inilah al-

Jailânî menimba ilmu dan di sini juga ulama‟ terkemuka yakni al-Ghazali sempat

mengajar selama 4 tahun.23

Dan jika ditengok ke belakang yakni pada masa awal

kekhalifahan Abbasyiyah merupakan awal kemajuan ilmu pengetahuan diberbagai

bidang, antara lain: bidang kedokteran, filsafat Islam, Astronomi dan matematika,

kimia, geografi, historiografi, teologi, hukum dan etika Islam, sastra, dan bidang

kesenian lainnya.24

2. Riwayat Hidup al-Jailânî

Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî dikenal sebagai wali-sufi dibanding

sebagai ahli hukum Islam, walaupun beliau cakap dalam hal itu. Karena itu,

gelarnya yang terkenal adalah Sultân al-Auliyâ (Rajanya para wali), Imâm al-

Asfiyâ‟ (pemimpin para sufi) dan sebagai al-Gauts al-„Azâm (manifestasi sifat

Allah Yang Maha Agung, yang mendengar permohonan dan memberikan

pertolongan).25

Pemaparan riwayat hidup beliau diwarnai dengan kisah-kisah

yang tidak rasional dan erat dengan fenomena yang unik dan ajaib. Seluruh

21

Said, Al-Syaikh Abdul Qadir al-Jailânî wa Arauhu al-I‟tiqadiyah wa al-Shufiyah/Buku

putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailânî, h. 9. 22

Philip, History of Arab, h. 515. 23

Philip, History of Arab, h. 516-518. 24

Philip, History of Arab, h. 454-503. 25„Abd al-Qadir al-Jailânî, Sirr al-Asrar; Secret of The Secret- Hakikat Segala

Kehidupan, Terj. Zaimul Am (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), h.15.

Page 75: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

fenomena kehidupan Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî itu diabadikan dalam satu

karya yang disebut dengan Manâqib26„Abd al-Qâdir al-Jailânî.

Nama lengkapnya adalah Syaikh Abû Muhammad Muhyi al-Dîn „Abd al-

Qâdir al-Jailânî bin Abi Sâlih Mûsa Janki Dausat bin Abdullah al-Jili bin Yahya

al-Zâhid bin Muhammad bin Daud bin Mûsa bin Abdullah bin Mûsa al-Jûn bin

Abdullah al-Mahdi bin Hasan al-Mutsamma bin Abû Muhammad Hasan bin Abû

Tâlib.27

Al-Jailânî dilahirkan di desa Naif, negeri Jailan, yaitu sebuah daerah

terpencil di belakang Tabaristan, Iran. Daerah tersebut juga biasa disebut dengan

Kaila dan Kailani serta dinisbahkan dengan Jailî, Jailanî dan Kailanî.28

Beliau

lahir pada tanggal 1 Ramadhan 470 H/1077 M dan dilahirkan dari seorang ibu

yang bernama Syarifah Fatimâh binti Sayyid Abdullah al-Suma‟I al-Zâhid bin

Jamâluddin Muhammad bin sayyid Tâhir bin sayyid Abi al-Ata„ Abdullah bin

sayyid Mûsa Kâmaluddin „îsa bin Alauddin Muhammad al-Jawâd bin sayyid „Alî

Rida bin sayyid Mûsa al-Khâdim bin sayyid Ja‟far al-Sâdiq bin sayyid

Muhammad al-Bâqir bin sayyid Zainal „Abidîn bin sayyid Husain bin sayyid „Alî

r.a. bin Abi Tâlib r.a.29

Al-Jailânî dididik di lingkungan yang besar lagi mulia, sesuai dengan

nasab dan keturunannya. Ibu dan kakeknya, al-Suma‟î, sangat mencintainya.

26

Manakib adalah kisah kekeramatan para wali, seperti Manakib Syaikh Abd al-Qadir al-

Jailânî.Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990). 27

„Abd al-Qadir al-Jailânî, al-Mukhtashar fi Ulum al-Din (Istambul: Markaz al-Jailânî li

al-Buhuts al-“ilmiyyah, 2010), h. 13. 28

Dr. Ali Muhammad al-Shallabi, Biografi Imam al-Ghazali & Syaikh Abdul Qadir

Jailani.Penerjemah. Imam Mukhtar Ghazali dan Ibnu Abdurrahaman Fatan Al Maydani(Jakarta:

Beirut Publishing, 2015), h. 176. 29

Al-Jailânî, al-Mukhtashar fi Ulum al-Din, h. 13-14.

Page 76: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Sejak kecil beliau sudah ditinggal ayahnya oleh karena itu beliau dididik dan

digmebleng oleh ibu dan kakeknya dengan pendidikan kaum sufi yang hidup

dengan sederhana dan ikhlas. Kealiman dan kekukatan batinnya sudah terlihat

semenjak beliau masih kecil. Beliau tidak mau menyusu pada siang hari bulan

Ramdhan. Kealimannya tersebut belanjut hingga tampak pada perilakunya sehari

hari. 30

Setelah Al-Jailânî mengetahui bahwa menuntut ilmu hukumnya adalah

wajib bagi setiap muslim dan muslimah beliau mulai mengadakan perjalanan

menuntut ilmu dari kota dan negrinya, Jilan, menuju Baghdad pada tahun 408 H.

Usia beliau saat itu sekitar 18 tahun. Ketika Abdul Qadir sampai di Baghdad, ia

mempunyai tujuan untuk belajar di madrasah Nizhamiyah.31

Madrasah

Nizhamiyah merupakan satu-satunya lembaga pendidikan teologi yang diakui

oleh negara. Nizhamiyah didirikan pada tahun 1065 M Oleh seorang menteri

Persia yakni Nizham al-Mulk dan Nizhamiyah ini dijadikan sebagai pusat studi

teologi (madrasah), khususnya dalam mempelajari ajaran mazhab Syafi‟i dan

teologi Asy‟ariyah.32

Beliau belajar dari para ulama besar setelah menguasai

qirâat al-Qur‟an dengan baik. Di Baghdad beliau bertemu dengan banyak ulama

terkenal yang beliau timba kearifan dan keilmuannya sehingga menjadi seorang

alim yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu33

. Al-Dzahabi melukiskan

sosok beliau dalam biografinya:

30

M. Zainuddin, Karamah Syaikh „Abd al-Qadir al-Jailânî, h.40. 31

Al-Jailânî, Al-Fath al-Rabbani/Meraih Cinta Ilahi, penerjemah. Abu Hamas (Jakarta:

Khatulistiwa, 2009), h. xii. 32

Philiph K.Hitti, History of Arabs, h.515-516. 33

Al-Sallabi, Biografi Imam al-Ghazali & Syaikh Abdul Qadir Jailani, h.176.

Page 77: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

“Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî adalah seorang pemuka, Imam,

ulama, seorang yang zuhud, arif, panutan, Syaikh al-Islam, wali Allah, dan

Reformis Islam.”34

Ibn Rajab juga menggambarkan beliau di dalam kitab Dzail Thabaqat

Hanabilah:

“Syaikh „Abd al-Qâdir al-Jailânî adalah seorang tokoh

peradaban, teladan orang-orang arif, pemimpin para ulama, kharismatik

lagi berwibawa, memiliki ilmu yang luas, dan bijaksana.”35

Dalam menuntut ilmu al-Jailânî telah menghabiskan waktu selama 32

tahun. Beliau mempelajari berbagai jenis keilmuan, misalnya, ilmu fiqh, ilmu

tafsîr, ilmu khilâf (ilmu yang berbhubungan tentang perselisihan para ulama),

ilmu usûl (kalam), ilmu nahwu, ilmu saraf, ilmu balâghah, ilmu mantiq dan ilmu

tasawwuf.36

Dalam masa menuntut ilmu, beliau mengalami penderitaan panjang

dalam menanggung kesempitan hidup dan menjalani sakitnya kekurangan.

Namun, hal itu tidak membuat tekad beliau surut dan tidak pula melemahkan

beliau menghadapai rintangan untuk menuntut ilmu. Setelah menguasai berbagai

macam ilmu al-Jailânî mulai membuka madrasah keilmuan dan majelis-majelis

nasihat di tahun 520 H.37

Adapun guru-guru al-Jailânî, diantaranya: Abu al-Wafa‟ „Ali bin „Aqil al-

Hambali, Abu al-Khattab Mahfudz al-Kaludzani al-Hambali, Abu Hasan

Muhammad bin al-Qadi Abu Ya‟la Muhammad bin Husain bin Muhammad al-

Fara‟ al-Hambali, al-Qadi Abu Sa‟id al-Mubarrak bin „Ali al-Mahzumi al-

Hambali. Al-Jailânî belajar sastra dari „Ali Abu Zakariya Yahya bin „Ali al-

34

Syamsyuddin Muhammad Ahmad al-Dzahabi, Siyar A‟lam al-Nubala (t.t: Yayasan al-

Risalah, 1982), j.30, h.439. 35

Abu al-Faraj Abdurrahman bin Syihabuddin Ahmad bin Rajab, Al-Dzail al-Thabaqat

al-Hanabilah (Kairo: al-Sunnah Muhammadiyyah, t.t),J.1, h. 290. 36

M. Zainuddin, Karamah Syaikh „Abd al-Qadir al-Jailânî, h.40. 37

Al-Shallabi, Biografi Imam al-Ghazali & Syaikh Abdul Qadir Jailani, h.177.

Page 78: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Tabrizi dan belajar ilmu hadis dari Abu Ghalib Muhammad bin Hasan al-Baqilani,

Abu Sa‟id Muhammad bin Abd al-Karim bin Khasysisya, Abu al-Ghanim

Muhammad bin Muhammad bin „Ali bin Maimun al-Farisi, dll.38

Dari hasil ketekunannya menuntut ilmu dan sebagai bukti dari

penguasaannya terhadap literatur keilmuannya, al-Jailânî mempunyai banyak

karya, diantaranta: Tafsîr al-Jailânî, al-Fathu al-Rabbanî, al-Salawatu wa al-

Aurad, al-Rasâil, al-Ghunyah Li Tâlib Târiq al-Haqq, al-Diwân, Sir al-Asrâr,

Asrâr al-Asrâr, Jala‟ al-Khâtir, al-Amru al-Muhkâm, Usûl al-Siba‟, al-Mukhtasar

fi Ulûm al-Dîn, Usul al- Dîn.39

Al-Jailânî meninggal pada tanggal 11 Rabiul akhir tahun 561 H/1166 M

dalam usai 91 tahun. Tanggal ini diperingati oleh para pengikutnya hingga saat

ini. al-Jailânî meninggalkan empat orang istri dan empat puluh Sembilan anak.

Dua puluh putera dan selebihnya puteri.40

3. Konsep Taswuf al-Jailânî

Pengertian tasawuf menurut al-Jailânî adalah percaya kepada Yang Haq

(Allah) dan berperilaku baik kepada makhluk. Lebih jelasnya tasawuf menurut

beliau adalah bertaqwa kepada Allah, mentaatiNya, menerapkan syari‟at,

menyelamatkan hati, membaguskan wajah, melakukan dakwah, mencegah

penganiayaan, sabar menerima suratan takdir, menjaga kehormatan para guru,

bersikap baik dengan saudara, meninggalkan permusuhan, bersikap lembut,

38

ʽAbd al-Qâdir al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî (Istambul: Markaz al-Jîlani li al-Buhûts al-

„Ilmiyyah, 2013), j.I, h. 21. 39

Al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî, j.I, h. 21-22 . 40

M. Zainuddin, Karomah Syaikh „Abd al-Qadir al-Jailânî, h.37.

Page 79: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

melaksanakan keutamaan, menghindari dari menyimpan harta, dan tolong

menolong dalam kebaikan baik urusan agama maupun dunia.

Ada 2 hal yang penting berkaitan dengan tasawuf yakni: pertama;

mendidik jiwa, menyucikannya, dan membawanya untuk berakhlak mulia. Kedua;

etis dalam pergaulan dengan memberikan hak kepada guru dan saudara,

memberikan nasihat dan ikhlas dalam segala hal serta meninggalkan

permusuhan.41

Adapun tasawuf al-Jailânî dibangun atas 8 pilar, yakni: dermawan, ridâ,

sabar, isyârah, mengasingkan diri atau uzlah, tasawwuf, bepergian, dan

kefakiran.42

a. Kemurahan hati Nabi Ibrahim. Al-Jailânî menjadikan Nabi Ibrahim

sebagai teladan dalam hal melatih kemurahan hati seseorang. Nabi

Ibrahim dikenal sangat dermawan kepada sesame dan sangat senang

menjamu tamu. Sifat tersebut disebut dengan al-Sakha (dermawan).

Sakha aadalah berbaik kepada sesame dan mau berkorban dengan

hartanya.43

b. Kepasrahan Nabi Ismail. Nabi Ismail sangat pasrah melakukan apa

yang diperintahkan Allah Swt sekalipun dia harus mati. Hal ini

sebagaimana diketahui bahwa Nabi Ismail sangat pasrah ketika dirinya

akan disembelih ayahnya (Nabi Ibrahim) atas perintah Allah yang

ditunjukan kepada ayahnya. Tanpa ada sedikit keraguan dan ketakutan

41

Said, Buku Putih: Syekh Abdul Qadir al-Jailânî, h. 418-420. 42

Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Adab al-Suluk wa al-Tawasul ila Manâzil al-Muluk, terj.

Tatang Wahyuddin. (Bandung: Pustaka Hidayah, 2007), h. 236. 43

Abu Hamid al-Ghazali, Ihya „Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Makrifah, t.t), v. II, h.247.

Page 80: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Ismail-pun rela untuk melakukannya agar dirinya lebih dekat dengan

Allah SWT. Sifat seperti itu disebut dengan al-Ridâ(rela). Ridâadalah

diamnya hati dalam guratan nasib. Seperti yang dikatakan Dzu al-Nun

al-Mishri, ridâadalah sikap senang hati dalam menjalani nasib.

Maksudnya adalah sikap yang senantiasa menerima lapang dada atas

segala karunia yang diberikan atau bala yang ditimpahkan kepadanya.44

c. Kesabaran Nabi Ayub. Al-Jailânî menjadikan sabra sebagai salah satu

tahapan untuk bertasawwuf sehingga menjadi sufi yang sempurna.

Salah satu makna sabra yang dikutip al-Kalabadzi adalah “pengharapan

akan kesenangan atau kegembiraan dari Allah”, dan ini merupakan

pengabdian yang paling mulia dan paling tinggi. Tetapi sabar pada

tingkat yang lebih tinggi adalah “sabra atas kesabaran”. Menurut al-

Aqlami, sabra adalah menahan diri dari sesuatu yang tidak

menyenangkan yang menghampirinya dan dari kesenangan yang

menjauhinya.45

Dalam hal kesabaran, al-Jailânî meneladani sifat Nabi

Ayub a.s. Nabi Ayub dikenal sebagai Nabi yang paling sabra atas apa

yang menimpa dirinya. Nabi Ayub tetap bersabar atas cobaan yang

menimpa tubuhnya, harta, dan anak-anaknya. Namun, hal itu tidak

mengurangi ketaatannya kepada Allah Swt.

d. Doa Nabi Zakariya. Dalam hal ini, al-Jailânî memilih Nabi Zakariya

sebagai panutannya. Nabi Zakariya dikenal cerdas, tanggap dan gigih

dalam berdoa. Siang malam dia selalu berdoa bersama keluarganya. Hal

ini disebut dengan Isyarah (intuisi).

44

Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h.188. 45

Muhammad Nawawi al-Bantani, Kasyifa al-Saja‟ Syarh Safinah al-Naja‟ (Indonesia:

Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah), h.15.

Page 81: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

e. Kemiskinan Nabi Yahya. Maksudnya adalah mengasingkan diri dari

duniawi agar terhindar dari kegilaannya terhadap duniawi. Sifat seperti

itu disebut dengan al-Ghurbah (mengasingkan diri).

f. Berbusana wool seperti Nabi Musa. Maksud lainnya adalah

bertasawuf/menyucikan diri. Karena salah satu asal kata tasawuf adalah

busana yang terbuat dari wool. Namun yang terpenting adalah ketika

orang bertasawuf atau menyucikan diri yaitu mengedepankan

kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia. Apapun yang

dilakukannya semata-mata untuk kehidupan akhirat.46

g. Melanglang buana seperti Nabi Isa al-siyahah (berkelana). Nabi Isa a.s

adalah orang yang banyak dan sering berkelana di muka bumi yang

dimaksud dengan berkelana adalah melawan hawa nafsu dengan

melakukan perjalanan dan jauh dari keluarga yang bertujuan mendidik

jiwa dan melawan nafsu dan agar bertemu orang-orang shaleh.47

h. Kefaqiran Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad adalah Nabi yang

paling memiliki sifat ini, menurut al-Ghazali, kefakiran diartikan

sebagai ketaktersediaan apa yang dibutuhkan oleh seorang akan

sesuatu. Maka dalam arti ini seluruh wujud selain Allah adalah fakir.48

Al-Jailânî memandang akhirat bersifat baik dan kekal, tempat yang penuh

dengan kenikmatan dan kesucian. Sedangkan dunia merupakan tempat bencana

dan pengasingan. Dunia adalah api bagi orang yang bertaubat dan orang yang

hanya mencari kehidupan dunia akan terjerat di dalamnya. Al-Jailânî melandasi

46

Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h.2. 47

Hasyim Muhammad, Dialog Antar Tasawuf dan Psikologi (Yogyakarta: Walisongo

Press, 2003), h.40. 48

Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h.198.

Page 82: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

argunentasinya tersebut terhadap hadis Rasulullah Saw: “Sesungguhnya Allah

tidak menciptakan makhluk yang lebih Ia benci selain dunia dan Allah tidak

melihat kepda dunia semnjak ia diciptkan”. Menurut al-Jailânî seharusnya orang

yang berakal meninggalkan dunia dan mencari akhirat; bersifat qana‟ah dengan

merasa cukup atas apa yang diperolehnya; menjadikan sisa hidupnya amal yang

bermanfaat untuknya pada hari kiamat; menjalani hidupnya dengan usahanya

sendiri dan jangan mengkhawatirkan hari esok, karena Allah memberikan rizki

setiap hari, dan Allah menanggung rizki seluruh makhluk-Nya.49

Al-Jailânî tidak bermaksud menganjurkan manusia untuk meninggalkan

usaha (kasb) agar bisa hidup di dunia, karena ia menyadari bahwa seluruh Nabi

mempunyai profesi dan mereka berusaha. Bahkan Rasulullah menganjurkan

manusia untuk berusha dengan sabdanya; “Orang yang berusaha adalah kekasih

Allah”. Usaha (kasb) tidak menghalangi tawakal karena sesungguhnya dengan

meninggalkan usaha (kasb) itu bertentangan dengan hikmah.50

4. Geneologi Tasawuf al-Jailânî

Dalam mendalami ilmu tasawuf, al-Jailânî berguru kepada tiga orang guru

yakni Syaikh Abu al-Khair Hammad bin Muslim al-Dabbas, Abu Muhammad

Ja‟far bin Ahmad bin al-Hasan bin Ahmad al-Bahgdadi, dan Abu Sa‟id Mubarak

bin „Ali al-Makhzumi al-Hambali.51

Syaikh al-Dabbas banyak mempengaruhi kehidupan sufistik al-Jailânî.

Syaikh al-Dabbas dikenal berkepribadian sangat keras, tegas dalam tutur kata, dan

49

Al-Jailânî, Mukhtasar fi „Ulûm al-Dîn, h. 249-254. 50

Al-Jailânî, Mukhtasar fi „Ulûm al-Dîn, h. 249-254. 51

Al-Jailânî, Mukhtasar fi „Ulûm al-Dîn, h. 36.

Page 83: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

kaku dalam bergaul.52

Metode yang dipakai oleh Syekh al-Dabbas adalah metode

mujahada. Di balik perlakuan yang keras itulah yang menjadi model ujian bagi

para murid-muridnya. Hal ini bisa dilihat dari takaran seberapa jauh tingkat

kesabaran dan ketabahan sang murid. Karena pada dasarnya tasawuf itu menjauhi

kesenangan dan hawa nafsu.53

Al-Jailânî menerima khirqah (jubah kesufian) dari Syaikh Abû Sa‟îd

Mubârak al-Makhzûmî. Khirqah itu secara turun temurun telah berpindah tangan

dari beberapa tokoh sufi yang agung. Khirqah yang mulia itu bersambung sampai

kepada Rasulullah Saw. Syaikh Abû Sa‟îd Mubârak al-Makhzûmî mendapatkan

khirqah itu dari Syaikh Abû al-Hasan „Alî bin Muhammad al-Qursyî, dari Abu al-

Farraj al-Tursûsî, dari Abû al-Fadl „Abd al-Wâhid al-Tamîmî, dari Abû Bakr al-

Syiblî, dari Abû Qâsim Junaid al-Baghdadî, dari Sirri al-Saqatî, dari Syaikh

Ma‟rûf al-Karakhî, dari Daud al-Taî, dari Sa‟îd Habîb al-„Ajamî, dari Abû al-

Hasan al-Bashrî, dari „Alî bin Abî Tâlib, dari Nabi Muhammad Saw.54

B. Profil Kitab Tafsir al-Jilani

1. Latar Belakang Tafsir al-Jailânî

Tafsîr al-Jailânî diterbitkan oleh Markâz al-Jailânî li al-Buhûts al-

„Ilmiyyah tahun 2009. Penyunting naskah ini adalah Syaikh Muhammad Fâdil

Jailânî al-Hasanî al-Huasinî al-Tailanî al-Jamazraqî yang tinggal di Istambul

Turki. Ia menyatakan telah melacak manuskrip di lebih dari 50 perpustakaan di 20

52

Al-Tadafi, Mahkota Para Aulia: Syekh Abdul Qadir al-Jailani, h.30. 53

Said, Buku Putih: Syekh Abdul Qadir al-Jailani, h.22. 54

Al-Jailânî, Mukhtasar fi „Ulûm al-Dîn, h. 36-42.

Page 84: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

negara dan menemukan 17 karya al-Jailânî. Termasuk menemukan manuskrip

tersebut di perpustakaan Vatikan.55

Penisbatan tafsir ini kepada Syaikh Syaikh „Abd al- Qâdir al-Jailânî

menjadi paradoks karena terdapat beberapa perbedaan pandangan. Para penulis

biografi al-Jailânî maupun peminat kajian tafsir tidak menyebutkan adanya kitab

tafsir al-Qur‟an secara utuh karya al-Jailânî. Muhammad Husain al-Zahabi

misalnya, penulis Tafsir wa al-Mufassirûn tidak mencantumkan tafsir ini dalam

karyanya. Pada bab tafsir sufi mengupas Tafsir al-Qur‟an al-Karîm karya al-

Tusturi, Haqâiq al-Tafsir karya al-Sulami, „Arâis al-Bayân fi Haqâiq al-Qur‟an

karya Abu Muhammad al-Syirazi, al-Ta‟wîlât al-Najmiyyah karya Najm al-Din

Dayyat dan „Ala al-Daulah al-Samnânî dan Tafsîr al-Qur‟an yang dianggap

sebagai karya Ibnu Arabi.56

Rupanya Tafsir al-Jailânî luput dari pembahasannya,

padahal al-Jailânî ialah tokoh yang banyak dikenal orang melalui tarekat dan

karangannya.

„Abd al-Qâdir Muhammad Salih yang menulis al-Tafsîr wa al-Mufassirûn

fi „Asri al-Hadîts juga tidak menyinggung tafsir ini sebagai kelengkapan

pembahasan tafsir sufi pada bukunya. Ia hanya menamilkan al-Man‟u al-Fâkhirah

fi Ma„âlim al-Âkhirah karangan Muhammad Syâkir al-Hasimî al-Misrî. Yûsuf

Muhammad Tâha Zaidan, penulis biografi „Abd al-Qâdir al-Jailânî sekaligus

pakar yang cukup otoritatif dalam bidang manuskrip tasawuf menginformasikan

bahwa perpustakaan Rasyid Tripoli dan India mengoleksi Tafsir al-Qur‟an yang

dianggap milik al-Jailânî. Namun menurutnya tafsir tersebut masih diragukan

55

Syaikh Fadil al-Jailânî dalam „Abd al-Qadir al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî, editor.

Muhammad Fadil al-Jailânî (Istambul: Markaz al-Jailânî li al-Buhuts al-„Ilmiyyah, 2013), h.24-25 56

Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirȗn, j. II, h.300-336.

Page 85: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

keasliannya, dikarenakan para penulis manaqib-manaqib al-Jailânî tidak memberi

isyarat bahwa al-Jailânî memiliki karya di bidang tafsir, bahkan al-Jailânî sendiri

tidak pernah menyatakan memiliki karya dalam bidang tafsir.

Kesimpulan Taha Zaidan rupanya telah dikemukakan oleh Khairuddin al-

Zirkili (1893-1976) dalam A‟lam. Dengan tegas ia menyatakan bahwa tafsîr al-

jailânî yang memiliki nama asli Tafsîr al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa al-Mâfatih al-

Gaibiyyah al-Muwaddihah Li al-Kalîm al-Qur‟aniyyah wa al-Hikâm al-

Furqâniyyah adalah karya Ni‟matullah bin Mahmud al-Nakhjawani (w. 920 H).57

di kalangan akademisi klasik lebih dikenal dengan Syaikh Ilwan.58

Keterangan

senada diberikan Haji Khilafah (w. 1067 M) dalam Kasyf al-Zunnun59

dan

Hidayah al-„Arifin karya al-Babani.60

Menurut kedua sumber ini al-Fawâtih al-

Ilâhiyyah wa al-Mâfatih al-Gaibiyyah al-Muwaddihah Li al-Kalîm al-

Qur‟aniyyah wa al-Hikâm al-Furqâniyyah ditulis oleh al-Nakhjawani (w. 920 H)

pada tahun 902 H berdasarkan pancaran-pancaran cahaya sufistik dan tanpa

merujuk pada referensi apapun.

Namun demikian, peneliti kitab ini , Syaikh Dr. Muhammah Fadhil, telah

melampirkan bukti keontetikannya berupa salinan manuskrip (ا) yang di dalamnya

penyalin tafsir menuliskan pada setiap akhir juz 1 hingga juz 3 kalimat berikut,

“telah selesai juz 3 dari tafsir Sultân al-„Ârifîn Sayyid „Abd al- Qâdir al-Jailânî

qaddasallah sirrah.” Dalam salinan manuskrip (ج) telah dituliskan pada juz 1,

57

Nama “al-Nakhjawani” dinisbatkan kepadanya karena berasal dari Nakhvhevan

(Bahasa: Azezi: Naxcivan Muxtar), sebuah kawasan Azerbaijan seluas 5.500 km yang berbatasan

dengan Armenia, Turki dan Iran. Naxcivan terdiri dari 6 rayon, Babak, Julfa, Ordubad, Sadarak,

Shahbuz, dan Shahrur. http://id.wikipedia.org diakses pada 29 Januari 2017. 58

Khairuddin al-Zarkili, al-A‟lam, al-Maktabah al-Syamilah 18 Gb, v. 8, h.39. 59

Haji Khalifah, Kasyf al-Zunnun, al-Maktabah al-Syamilah 18 Gb, v.2, h. 1292. 60

Al-Babani, Hidayah al-„Arifin, al-Maktabah al-Syamilah 18 Gb, v. 2, h. 306.

Page 86: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

“juz pertama dari tafsir al-Qur‟an karya Maulana pemilik cahaya rabbani, organ

shamadani, Imam Para Arif, Mahkota Agama, qutb yang sempurna Sayyid „Abd

al- Qâdir al-Jailânî.”61

Fâdil juga memaparkan data yang terdapat dalam kitab

Maktabah al-Madrasah al-Qâdiriyyah al-„Ammah fi Baghdad karya sekretaris

umum perpustakaan Qâdiriyyah yakni Sayyid Nuri Muhammad Sabri. Pada

halaman 23 kitabnya dia menyatakan bahwa salah satu buah karya al-Jailânî

adalah tafsir al-Qur‟an (Tafsîr al-Jailânî) dengan tulisan tangannya sendiri.62

Selain itu, Mufti Iraq, al-„Âlim al-„Allamah Syaikh „Abd al-Karim

Basyarah al-Mudarris menyebutkan dalam kitabya, Isnad al-„Alam ila Hadrah

Sayyid al-„Alam tentang beberapa karangan al-Jailânî. Ia menyatakan bahwa

Syaikh „Abd al- Qâdir al-Jailânî memiliki beberapa karya, yang di antara karya

besarnya adalah Tafsir al-Qur‟an al-„Azîm dalam 6 jilid yang salah satu

salinannya terdapat di Tharablus, Libya dan belum dicetak hingga sekarang. Para

Nuqaba yakni pimpinan keluarga al-Jailânî yang berada di Baghdad pernah

berencana mencetaknya, namun karena beberapa halangan maka tidak dapat

dicetak.63

Kitab tafsir al-Jailânî disusun karena Syaikh „Abd al-Qadir Al-Jailânî ingin

mewujudkan nilai-nilai Islam yang berasal dari kitabullah (al-Qur‟an) melalui

pembaharuan keimanan, penguatan ketakwaan, dan hubungan dengan Allah Swt.

Kitab ini juga bertujuan untuk membebaskan pemikiran dan ruh generasi muda

61

Syaikh Rahimuddin Nawawi al-Jahari al-Bantani dalam „Abd al-Qadir al-Jailânî, Tafsir

al-Jailânî. Penerjemah Syaikh Rahimuddin Nawawi al-Jahari al-Bantani (Ciputat: PENERBIT

SALIMA PUBLIKA & Markaz al-Jailânî, 2013), h. xxiii. 62

Al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî, h. 24-26. 63

Syaikh Rahimuddin Nawawi al-Jahari al-Bantani dalam „Abd al-Qadir al-Jailânî, Tafsir

al-Jailânî. Penerjemah Syaikh Rahimuddin Nawawi al-Jahari al-Bantani (Ciputat: PENERBIT

SALIMA PUBLIKA & Markaz al-Jailânî, 2013), h. xxiii.

Page 87: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

dari segala bentuk keruskan material, moral dan intelektual. Dalam kitab ini, al-

Jailânî tidak sekedar menafsirkan al-Qur‟an dengan pola tafsir yang lazim terdapat

di pelbagai kitab tafsir lain, tetapi tafsir ini lebih banyak bertumpu pada

pemaparan berbagai sugesti yang dapat menghidupkan ruh serta menumbuhkan

ketakwaan di satu sisi, dan di sisi yang lain dapat mengikat murid dengan

gurunya, sehingga guru dapat terus meningkatkan kualitas murid mencapai derajat

setinggi mungkin.64

Dengan itu, maka al-Jailânî mengajak agar orang-orang Islam melihat teks

berdasarkan moral (ibrah), tidak hanya dengan teori pengetahuan saja, dan

berdasarkan rasa (dzauq), dan suara hati (wujdan), tidak dengan argumentasi

(dalîl) dan demonstrasi (burhân), dan dengan penyingkapan (kasyf) dan

penyaksian (al-„ayyan) bukan dengan spekulasi (takhmin) dan asumsi (hisbân).65

2. Metode dan Corak Tafsîr al-Jailânî

Tafsir karya al-Jailânî tidak seperti kitab-kitab tafsir lainnya yang

berpegang pada ilmu. Akan tetapi kitab tafsir beliau lebih berpegang kepada

isyarat-isyarat yang menghidupkan ruh, meletakkan taqwa di satu sisi, dan di sisi

lain menghubungkan antara murid dan gurunya, agar si murid bisa naik menuju

derajat yang tertinggi. Kitab ini aslinya berjudul al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa al-

Mâfatih al-Gaibiyyah al-Muwaddihah Li al-Kalîm al-Qur‟aniyyah wa al-Hikâm

al-Furqâniyyah. Yakni membicarakan tentang pengaruh isayarat-isyarat al-

Qur‟an terhadap diri beliau sendiri akibat dari kedekatannya dengan Allah swt

64

Syaikh Fadil al-Jailânî dalam „Abd al-Qadir al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî, editor.

Muhammad Fadil al-Jailânî (Istambul: Markaz al-Jailânî li al-Buhuts al-„Ilmiyyah, 2013), j,I, h.28-

29 65

Al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî,j. I, h.30.

Page 88: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

dan wushulnya dengan Nabi saw, yang tentu saja tiap-tiap orang berhak

mengalami pengalaman yang berbeda-beda dengan al-Quran sesuai dengan kadar

mujahadah dan kedekatannya dengan Allah swt.

Sumber penafsiran Tafsir al-Jailânî adalah bi al-isyâri, yaitu mennakwilan

ayat-ayat al-Qur‟an yang berbeda dengan makna dzahirnya karena adanya isyarat

yang tersembunyi yang hanya bisa diketahui oleh ahli suluk dan tasawuf, dan

memungkinkan menggabungkan maksud dari makna tersirat (esoterik) maupun

tersurat (eksoterik).66

Dalam sumber tafsirnya al-Jailânî tidak menukil pendapat

dari orang lain kecuali sedikit saja dari perkataan para ulama seperti Sayyidina Ali

r.a, Ibnu Abbas, dan lain lain.67

Jadi, tafsir ini tergolong tafsir isyari, meskipun

tidak semua ayat dalam surah-surah al-Qur‟an ditafsirkan secara isyari, akan tetapi

struktur dalam bangunan pandangan sufi terhadap tauhid melalui penafsiran al-

Jailânî kepada seluruh ayat-ayat Allah, baik yang tersirat dalam alam dan tersurat

dalam al-Qur‟an, sangat sistematis, runtut, teratur, dan sempurna.68

Dalam masalah ayat hukum, al-Jailânî hanya menjelaskan sedikit saja.

Terkadang beliau juga menjelaskan masalah qira‟at. Beliau tidak terpancang pada

qiraat Imam Hafsh saja, melainkan beliau menafsirkan al-Qur‟an dengan banyak

varian qira‟at tetapi tanpa menyebutkannya.69

66

Al-Syaikh al-Akbar Abu Bakr Muhyi al-Din ibn „Ali ibn Muhammad ibn Ahmad al-

Tami al-Hatimi al-Makruf bi Ibn „Arabi, Tafsir al-Qur‟an al-Karim (Beirut: Dar al-Kutub al-

„Ilmiyyah, t.t), h. 16. 67

Dr. H Muh. In‟amuzzahidin, M. Ag, Menyingkap Makna Sufistik Tafsir Al-Jailânî

Karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jailânî (Semarang: IAIN Walisongo, 2014), h. 56-57. 68

Syaikh Fadil al-Jailânî dalam „Abd al-Qadir al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî, editor.

Muhammad Fadil al-Jailânî (Istambul: Markaz al-Jailânî li al-Buhuts al-„Ilmiyyah, 2013), j. I,

h.xxv. 69

Al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî, j.I, h. 25.

Page 89: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Metode yang digunakan dalam tafsir al-Jailânî adalah tahlili, yaitu

menafsirkan al-qur‟an secara menyeluruh dengan penafsiran yang detail. Metode

tahlili ini merupakan metode yang paling detail guna menafsirkan ayat al-Qur‟an

secara menyeluruh dari awal hingga akhir.

Corak penafsiran yang digunakan oleh al-Jailânî adalah corak sûfi isyâri

(sufi indikatif)yang merupakan perenungan yang mendalam atas ayat al-quran

melalui latihan spiritual, menahan hawa nafsu dan pembersihan diri. Namun corak

penafsiran sûfi isyâri ini tidak diaplikasikan pada semua ayat al-Qur‟an.

Ada beberapa ayat yang mau tidak mau harus ditafsirkan secara lafzî

melihat tidak adanya isyarat dalam ayat tersebut. Tetapi dalam pembukaan dan

penutup semua ayat, al-Jailânî menggunakan syarh isyârisesuai dengan tema dan

tujuan suatu surat.

3. Sistematika Penulisan Tafsîr al-Jailânî

Adapun sistematikan tafsir ini yaitu: Judulnya Tafsir al-Jailânî dengan

judul asli al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa al-Mâfatih al-Gaibiyyah al-Muwaddihah Li

al-Kalîm al-Qur‟aniyyah wa al-Hikâm al-Furqâniyyah. Pengarang kitab ini

adalah al-Sayyid al-Syârif al-Syaikh Muhyi al-Din Abȗ Muhammad „Abd al-

Qâdir al-Jailânî al-Hasanî al-Husainî. Editor, al-Sayyid al-Syârif al-Duktȗr

Muhammad Fâdil al-Jailânî al-Hasanî al-Husainî al-Tailânî al-Jamazraqî. Kitab

ini diterbitkan oleh Markaz al-Jailânî li Buhȗts al-„Ilmiyyah, Istambul pada tahun

2009 menggunakan hard cover bewarna hijau dan memakai kertas warna putih

tulang. Berjumlah 6 jilid. Jilid 1 dari surat al-Fâtihah sampai dengan surat al-

Mâidah, jilid 2 dari surat al-An‟âm sampai dengan surat Ibrâhîm, jilid 3 mulai dari

Page 90: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

surat al-Hijr sampai surat al-Nȗr, jilid 4 dari surat al-Furqân sampai surat Yâsîn,

jilid 5 dari surat al-Sâffat sampai surat al-Wâqi‟ah, dan jilid 6 mulai dari surat al-

Hadîd sampai al-Nâs.

Tafsir ini ditulis dengan urutan mushafi yakni dimulai dari surat al-Fâtihah

dan diakhiri dnegan surat al-Nâs. Pada setiap surat selalu Diwali dengan basmalah

dan prolog (Fâtihah al-Sûrah), dan di akhir penafsiran tiap surat selalu ada epilog

(Khâtimah al- Sûrah). Dalam hal pemaparan, ayat-ayat al-Qur‟an ditempatkan di

atas dan tafsirnya ditempatkan di bawah ayat.

Page 91: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

72

BAB IV

MAKNAISYÂRÎ SURGA MENURUT SYAIKH „ABD AL- QÂDIR AL-

JAILÂNÎ

Dalam skripsi ini peneliti ingin mengetahui kenikmatan surga menurut al-

Jailânî. Untuk mengetahui penafsiran surga dalam tafsir al-Jailânî, penulis akan

mencoba menginventarisir penafsiran surga yang berada di setiap surat yang

membahas tentang surga. Namun, karena banyaknya ayat di dalam al-Qur‟an yang

membahas tentang surga dan agar mempermudah penulisan skripsi ini, maka

penulis membatasinya dengan mencari penafsiran Al-Jailânî terhadap: taman-

taman surga, bidadari-bidadari surga, serta makanan dan minuman ahli surga.

A. Taman-taman Surga (جنات)

1. QS. al-Baqarah: 25

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman

dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang

mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-

buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah

diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa

dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal

di dalamnya.”

Tafsir:

Page 92: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

( ( اؤ اه ادذ ) ثبزبة اض ػ ػجذب )

( ػب ) ( اؤ ك اجزجا ػ البعذح اخ( اي دن ثجذ ) ثؼذ )

سكغ اود ) زضبد اؼ اؼ اذن از اؼبسف اخ اخصخ ػ جغ اود )

ابكخ زدذ ) ابس ابسف اجضئخ ازشرجخ ػ ري اؼبسف اخ )

( ( خطا ب اي ري اؼبسف اخ ) ( دبصخ شجشح او ) )

( ززش اؼد اغبثوخ )دظب بال خص سرجذ االب ) )

االػب اثبثزخ ا ك ػب االعبء اصلبح ا ك اح اذلظ ا ك ػب االساح ا ؿش ري

اؼجبساد ؿبخ اززار بخ شه اززار ثبثشاد اذلظ ثب ) زبثال )

( االثب )( زجذدا ثزجذد ( ك ري اشرجخ اخ ) اػب صبذخ بح خبصخ )

( ( ػ شائت االؿبس ابؼخ ػ اص ا داس اوشاس ) ك ري اشارت )

( دائ ثذا ثبه ثجوبء شزـشه ثشبذح وبء عجذب )1

(Dan sampikanlah kabar gembira) kepada orang-orang mukmin

di dunia yang yakin dan bertauhid, (orang-orang yang beriman) kepada

kitab yang diturunkan kepada hamba kami, (dan berbuat baik) dengan

mengimani kitab tersebut dan menjauhi berbagai bentuk kerusakan yang

dilarang, (bahwa sesungguhnya) sudah dipastikan, yakni (surga-surga)

yang berisi ilmu al-yaqîn, „ain al-yaqîn, dan haqq al-yaqîn yang

merupakan makrifat universal (al-mâ‟arif al-kulliyyah) yang

menyelamatkan manusia dari semua belenggu yang menafikan tauhid,

(mengalir di bawahnya sungai-sungai) makrifat parsial (al-mâ‟arif al-

juz‟iyyah) yang muncul dari makrifat yang universal tadi, (setiap kali

mereka diberi rezeki buah-buahan) yang tumbuh dari pohon keyakinan

(syajârat al-yaqîn ), (sebagai rezeki) atau anugrah sempurna yang akan

menyelamatkan mereka dari derajat al-imkân, (mereka berkata) karena

mereka mengingat berbagai perjanjian terdahulu, (inilah yang pernah

diberikan kepada kami dahulu) yakni saat berada di derajat al‟ayân al-

tsâbitah atau di alam asma dan sifat, atau di alam lauh al-mahfuz, atau di

alam rûh , atau istilah-istilah lainnya yang menjadi puncak kenikmatan dan

akhir dari kerinduan mereka untuk menikmati buah yang akan

dianugrahkan kepada mereka. (Mereka diberi buah-buahan) yang mirip,

yang serupa maksudnya buah itu baru, tetapi serupa dengan yang

sebelumnya, (dan untuk mereka di dalamnya) di dalam martabat universal

(al-martabat al-kulliyyah) itu, (istri-istri) berupa amal sholeh dan niat

1ʽAbd al-Qâdir al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî (Istambul: Markâz al-Jîlani li al-Buhûts al-

„Ilmiyyah, 2013), v.I, h. 56-57.

Page 93: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

yang tulus, (yang suci) dari segala keburukan yang selain Allah, yang

menghalangi manusia untuk mencapai surga, (dan mereka di dalamnya) di

dalam martabat itu, (kekal) mereka kekal dengan kekekalan Allah, baqa‟

bersama baqa‟-Nya, dan mereka tenggelam dalam musyahâdah

perjumpaan dengan Allah Swt.

Analisa Tafsir:

Di dalam al-Qur‟an tempat kenikmatan bagi orang-orang yang beriman

kelak diungkapkan dengan kata al-jannah yang artinya adalah tertutup dan atau

kebun yang di dalamnya tumbuh pohon-pohon yang sangat rindang dan ranting

pohon yang satu saling berkaitan dengan dengan ranting pohon yang lain,

sehingga permukaan tanah kebun tersebut menjadi tertutup dari pandangan mata.

Kata ini dipahami oleh bangsa Arab sebagai suatu hal yang tidak terjangkau oleh

panca indera manusia yang disebabkan adanya penghalang. Namun setelah

turunnya ayat-ayat al-Qur‟an bangsa Arab menerima pemahaman baru tentang

kata ini, yakni sebagai tempat untuk meraih kenikmatan dan pembalasan di

akhirat kelak.2

Al-Qur‟an menggambarkan masalah kehidupan di akhirat dengan

gambaran sebagaimana gambaran yang dapat dilihat di dunia ini. Menurut Abduh

penggambaran tersebut dimaksudkan supaya lebih berkesan kepada jiwa yang

sederhana bagi umat Islam daripada menjelaskan rahasia kerajaan ruhani secara

psichologis dan metafisis semata.3

Di beberapa ayat masalah mengenai surga digambarkan dengan sifat

konkret, seperti pada QS. Al-Baqarah ayat 25 tersebut. Namun di ayat yang lain

2 Kementrian Agama RI, Taf sir Tematik Keniscayaan Hari Akhir, h. 382.

3 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsir al-Manâr (Mesir: Al-Haiat al-Mishriyyah al-„Âmmah li

al-Kitâb, 1990), j.I, h. 232.

Page 94: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

surga digambarkan dengan gambaran yang lain bukan sebagaimana hal yang

dapat dilihat di dunia, seperti firman Allah pada QS. Al-Sajdah ayat 17 berikut:

Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang

indah dipandang sebagai Balasan bagi mereka, atas apa yang mereka

kerjakan.

Bagi Al-Jailânî surga ialah makân al-qurb (tempat yang dekat dengan

Allah) dan neraka adalah makân al-bu‟d (tempat yang jauh dari Allah). Surga

merupakan tempat bagi kenikmatan ruhani di alam akhirat, diperuntukan bagi

manusia yang beriman dan beramal saleh sedangkan neraka adalah tempat bagi

para pengingkar dan fasik yang jauh dari taufîq dan tahqîq (pembenaran) . Di

dalam surga atau makân al-qurb tersebut seorang hamba akan mendapatkan

karunia tertinggi berupa makrifat dengan cara menyaksikan (musyâhadah) al-

Haqq4, sebagaimana firman Allah Swt “Wajah-wajah orang-orang mukmin pada

hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya lah mereka melihat.”5 Sedangkan neraka

atau makân al-bu‟d adalah tempat yang jauh dari keridhaan Allah, tempat

keterasingan, pengusiran dan keterpencilan.6

Al-Jailânî memaknai taman taman surga (جبد) pada surat al-Baqarah ayat

25 sebagai „„ilm al-yaqîn, „ain al-yaqîn dan haqq al-yaqîn, yang merupakan

ma‟rifat al-kulliyyah (Universal) yang menyelamatkan manusia dari semua

belenggu yang menafikan tauhid.

`

4Al-Haqq menurut al-Jailânî ialah:

إرا ب ج شئ ػ اخب، ج ػ اإلدبغخ اثب .رؼبى اذن ػ ػ اشجب، ػ صق ازلشم اصب

“Terlalu luhur untuk dicapai pakar apapun, dan terlalu luhur untuk dideskripsikan dengan

sifat jauh dan dekat. Ketika sesuatu telah melewati batas imajinasi, maka Ia melampaui persepsi

dan perumpamaan”. Lihat. al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, v.I, h. 23. 5 QS. Al-Qiyâmah: 22-23.

6 Al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, v. I, h. 69.

Page 95: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Dalam dunia sufi terdapat tiga tahap keyakinan, yakni: „ilm al-yaqîn (ilmu

keyakinan)7, „ain al-yaqîn (penyaksian keyakinan)

8, dan haqq al-yaqîn

(keyakinan haqiqi).9 Tingkatan-tingkatan keyakinan tersebut merupakan tahap

atau proses seorang salik untuk mencapai ma‟rifah sekaligus juga menunjukkan

derajat dan kedudukan seorang salik. Allah Swt menganugrahkan ketiga tahapan

keyakinan tersebut kepada para penghuni surga secara hissî (rasa), karena ruh

tidak lagi bergnatung pada jasad. Sedangkan di alam dunia manusia dengan susah

payah harus menempuh tahapan keyakinan tersebut secara kasbî (usaha), yakni

dengan ta‟lîm dan riyâdah, karena „aql dan qalb yang masih terikat di dalam jasad

harus diajarkan dan dilatih untuk mengenal Tuhan.

Ma‟rifat Allah/ mengenal Allah adalah puncak kenikmatan dan tujuan

penciptaan. Sebagaimana pandangan al-Jailânî bahwa tujuan manusia diciptakan

7 „Ilmu al-yaqîn adalah suatu ilmu yang menyingkapkan apa yang diketahui (ma‟lûm),

sehingga dengannya tidak ada lagi keraguan serta tidak dibarengi kemungkinan keliru ataupun

ilusi. „Ilm al-yaqîn merupakan sesuatu yang dihasilkan tidak dengan argumentasi rasional , tetapi

dengan pemberian langsung ke dalam hatinya. Taraf makrifat „ilm al-yaqîn adalah fanâ‟ fi al-afâl

atau tajalli fi al-af‟âl maksudnya adalah tidak ada gerakan/fi‟il kecuali dengan fi‟il Allah. Lihat.

Drs. Totok Jumantoro, M.A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Tasawuf

(Wonosobo: Amzah, 2005). h. 92; Dr. Mustafa Zagri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya:

PT. Bina Ilmu, t.t), h. 179-180. 8„ain al-yaqîn adalah penyaksian keyakinan dengan mata hati (bashîrah). Terbukanya

mata ini merupakan suatu keajaiban dan misteri serta hanya muncul karena rahmat dari yang Maha

Pengasih (Al-Rahmah Al-Rahmiyyah). Makrifat „ain al-yaqîn adalah makrifat dalam taraf fanâ‟ fi

al-sifât atau atau tajalli fi al-sifât maksudnya adalah tidak ada yang hidup, yang kuasa, yang

berkehendak, yang mengetahui, dan berkata-kata melainkan Allah. Lihat. Totok dan Samsul,

Kamus Ilmu Tasawuf. h. 17; Zagri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, h.180-181. 9haqq al-yaqîn adalah keyakinan hakiki yang merupakan tahap terakhir dalam kenaikan

menuju Allah Swt. Makrifat haqq al-yaqîn adalah makrifat dalam taraf fanâ‟ fi al-dzât atau tajalli

fi al-dzât maksudnya adalah salik telak mencapai makrifat atas haqq al-yaqîn , dimana tidak ada

wujud yang mutlak melainkan Allah. Salik telah mencapai derajat keyakinan yang sempurna, yang

mampu merasai dan mengenal tuhannya. Lihat. Totok dan Samsul, Kamus Ilmu Tasawuf, h. 181-

182.

Page 96: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

oleh Allah Swt adalah untuk ma‟rifat Allah10

. Ia melandasi argumentasinya

tersebut berdasarkan firman Allah Swt QS. Al-Dzâriyât ayat 56:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya

mereka menyembah kepada-Ku.”

Al-Jailânî menafsirkan kalimatt illâ liya‟budûn/menyembah kepada-Ku

dengan illâ liya‟rifûn/mengenal kepada-Ku. Penafsiran al-Jailânî tersebut senada

dengan penafsiran Ibn „Abbas yang dikutip al-Qusyairi dalam Risâlat al-

Qusyairiyyah-nya11

. Menurut al-Jailânî ma‟rifah dapat dicapai dengan menyibak

penghalang jiwa dari cermin hati dengan cara membersihkan jiwa tersebut,

dengan demikian seorang akan melihat dalam cermin hati tersebut keindahan

harta tersembunyi dalam sirr lubuk hati. Sebagaimana Firman Allah dalam hadis

qudsi yang dikutip Al-Jailânî dalam kitab Sirr al-Asrâr:

ذ ضا خلب، كأدججذ أ أػشف، كخوذ اخن أػشف12

“Aku adalah harta yang tersembunyi, Aku ingin dikenal maka aku

ciptakan makhluk agar Aku dikenal.”

Jadi ketika Allah menjelaskan bahwa penciptaan makhluk itu untuk

mengenal Allah, maka manusia wajib makrifat kepada Allah. Alam makrifat

adalah alam lâhut13

yang di dalamnya rûh qudsi diciptakan dalam bentuk yang

terbaik.14

10

ʽAbd al-Qâdir al-Jailânî, Sirr al-Asrâr wa Mazhar al-Anwâr fîmâ Yahtaju Ilaihi al-

Abrâr; Rahasia Segala Rahasia, penerjemah. Drs. Anding Mujahidin, M.Ag. (Jakarta: PT.

Laksana Utama, 2009), h. 16. 11

Abû al-Qasim al-Qusyairi, Risalat al-Qusyairiyyah fi „Ilmi al-Tasawwuf, penerjemah.

Mohammad Luqman Hakiem (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 8. 12

Al-Jailânî, Sirr al- Asrâr, h. 19. 13

Lâhut berasal dari kata ilâh yang berarti Tuhan. Dengan demikian, lâhut diberi makna

sesuatu yang mengacu pada sifat ke-Tuhan-an. Dalam tasawuf lâhut diartikan sebagai sifat dasar

Page 97: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Dalam proses penciptaan makhluk Al-Jailânî meyakini bahwa Allah

pertama kali menciptakan rûh Muhammad Saw dari cahaya keindahan-Nya,

sebagaimana yang ia terangkan dalam kitab Sirr al-Asrâr:

Allah berfirman dalam hadis qudsi: “Aku pertama kali ciptakan

Muhammad dari cahaya wajah-Ku.” Juga sabda Rasulullah Saw: “Yang

pertama kali Allah ciptakan adalah rûh ku. Yang pertama kali Allah

ciptakan adalah cahayaku. Yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena.

Yang pertama kali Allah ciptakan adalah akal.” Yang dimaksud semuanya

adalah satu, yakni hakikat Muhammadiyyah. Tetapi ia disebut cahaya

karena al-zulmâniyyat al-jalâliyyah. Sebagaimana firman Allah: “Telah

datang kepadamu dari Allah cahaya dan al-kitab.”15

Ia juga disebut akal

karena dapat memahami kulliyyât (segala yang bersifat universal). Juga

disebut pena karena media untuk transfer ilmu sebagaimana pena

merupakan media transfer ilmu dalam alam huruf. Jadi rûh Muhammadî

merupakan intisari alam raya, awal dan pangkal segala makhluk,

sebagaimana sabda Rasulullah: “Aku dari Allah dan orang-orang yang

beriman dariku.”

Dari rûh Muhammadî ini diciptakanlah semua rûh di alam Lâhut

dalam bentuk hakiki yang paling baik, yakni hajâlat al-uns di alam

tersebut, yaitu negri asal. Setelah 4000 tahun berlalu, Allah menciptakan

„arsy dari nûr al-„aini (cahaya jiwa) Muhammad Saw, sedangkan kulliyyât

yang lainnya diciptakan darinya. Rûh -rûh itu diturunkan ke kerak dasar

kainat (alam raya) yakni jasad sebagaimana firman Allah Swt: “kemudian

kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.”16

Allah

menurunkan rûh-rûh dari alam Lâhut ke alam Jabarȗt17

, memberi mereka

pakaian dengancahaya Jabarȗt di antara dua tempat haram, yakni rûh

sultâni, kemudian Allah menurunkan mereka dengan pakaian ini ke alam

Malakȗt, yakni rûh rawâni, kemudian Allah menurunkan mereka ke alam

Mulk dan memberi mereka pakaian dengan Nȗr Mulk, yakni rûh jismâni,

kemudian Allah ciptakan jasad sebagaimana firman-Nya: “Dari bumi

(tanah) itulah kami menjadikan kamu.”18

Kemudian Allah menyurûh rûh

yang ada pada Tuhan. Sifat dasar yang ada pada Tuhan itu seperti ke-Esaan-Nya, kedahuluan-Nya

dan lain sebagainya yang tidak dimiliki makhluk-Nya. Lihat: Tim Penulis UIN Syarif

Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawwuf (Bandung: Angkasa, 2009), J. II, h. 935. 14

Al-Jailânî, Sirr al-Asrâr, h. 18. 15

QS. Al-Maidah: 5 16

QS. Al-Tin: 5 17

Istilah Jabarȗt berarti alam kekuasaan, dan merupakan tingkatan ketiga dari lima

prinsip kehadiran Tuhan (al-Hadrah al-Ilahiyyah al-Khamsh). Yakni, Hahȗt (esensi atau realitas

absolut), Lahȗt (realitas being, tuhan), Malakȗt (alam malaikat), dan Nasȗt (alam manusia).

Jabarȗt juga disebut dengan Ta‟ayyun Awwal (penyingkapan awal), al-Haqîqat al-

Muhammadiyyah (hakikat Muhammad), dan al-Kitâb al-Mastȗr (kitab tertulis). Lihat. Tim Penulis

UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawwuf, J. II, h. 619. 18

QS. Thaha: 55.

Page 98: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

-rûh masuk ke dalam tubuh, sebagaimana firman Allah: “Dan telah

meniupkan ke dalamnya rûh (ciptaan) Ku.”19

Ketika rûh telah bergantung pada jasad, ia telah melupakan janji

kepada Allah yang telah ia ambil pada suatu masa: “Bukankah Aku

Tuhanmu?”20

Sehingga ia tidak kembali kepada negri asli. Hanya sedikit

sekali manusia yang mengingat negri asal mereka , kembali kepadanya dan

merindukannya dan sampai ke alam asal mereka.21

Hadis qudsi yang dikutip al-Jailânî di atas tidak penulis temukan di dalam

kamus takhrij hadis al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Hadîs al-Nabawi22

dan

Mausû‟ah Atrâf al-Hadîs al-Nabawi al-Syarîf23

. Hadis qudsitersebut juga dikutip

oleh Nizâm al-Dîn al-Hasan al-Naisâbûrî (850 H) dalam Gharâib al-Qur‟an wa

Raghâibal-Furqân24dan Ismâ‟îl Haqqî bin Mustafa (1127 H) dalam Rûh al-

Bayân25

. Namun dalam tafsir-tafsir tersebut juga tidak dicantumkan sanad yang

bersambung hingga Rasulullah, sehingga kehujjahan hadis itu diragukan bahkan

ditolak.

Konsep Nûr Muhammadini merupakan sebuah paham di dalam tasawuf,

yang menganggap bahwa dunia dan seisinya itu bermula dari Nûr Muhammad.

Paham Nûr Muhammad dalam tradisi sufi bermula dengan adanya pemujaan dan

penghargaan terhadap manusia agung, Nabi Muhammad Saw yang namanya

selalu disandingkan bersama Allah dalam persaksian (syahadat) seorang muslim.

Bermula dari penafsirn Muqâtil bin Sulaiman(w. 150 H) terhadap QS. Al-Nûr: 35:

19

QS. Al-Hijr: 29 20

Al-A‟raf: 172 21

Al-Jailânî, Sirr al-Asrâr, h. 12. 22

A.J.wensinck, Al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Hadîs al-Nabawi (leiden :

EJ.Brill,1943). 23

Muhammad Said Zaghul, Mausu‟ah Atraf al-Hadîs al-Nabawi al-Syarîf (Beirut : Dâr al-

Fikr,1994 ). j. II, h. 358; j. III, h. 133, 333; j. IV, h. 304, 388; j. V, h. 60, 105, 206. 24

Nizâm al-Dîn al-Hasan al-Naisâbûrî, Gharâib al-Qur‟an wa Raghâib al-Furqân

(Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1416 H), 25

Ismâ‟îl Haqqî bin Mustafa, Rûh al-Bayân, j. III, h.72, 255, 294; j. VI, h. 168; j. VII, h.

157; j. VIII, h. 289; j. IX, h. 10.

Page 99: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan

cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus[1039], yang

di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu

seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan

dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang

tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah

barat(nya)[1040], yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi,

walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah

membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah

memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha

mengetahui segala sesuatu.

Ayat itu oleh Muqâtil dihubungkan dengan Nabi Muhammad saw. Kata

misbâh (lampu) itu dianggap sebagai lambang yang tepat bagi

Muhammad.Melalui Muhammadlah cahaya Ilahi dapat menyinari dunia.Melalui

Muhammad juga umat manusia dituntun menuju sumber cahaya itu. Kata “tidak

dari timur dan dari barat” mengacu kepada tugas kerasulan Nabi Muhammad saw

yang rachmatan lil-„alamin (memberi rahmat/ kasih sayang untuk segenap

alam).26

Ide Muqâtil itu diambil oleh Sahl al-Tustari, tokoh sufi Irak (w. 283 H)

yang mengatakan adanya ”lajur cahaya”, yaitu sejenis timbunan yang terdiri dari

26

Penggalan Tafsir Muqâtil bin Sulaiman:

ث س ث شبح ؼ -صى هللا ػ ع -نور محمد إرا ب غزدػب ك صت أث ػجذ هللا ث ػجذ اطت

صجبح ك صجبجخ اصبكخ ربخ اصلبء ؼ ثبشبح صت ػجذ هللا ثبشبح اح صجبح ؼ اغشاج ا غذ ثببكزح كب

-ؼ ثبغشاج اإلب ك جغذ ذذ -صى هللا ػ ع -ؼ ثبضجبجخ جغذ ذذ -صى هللا ػ ع -أث ذذ

ضجبجخ كب اصجبح اح صبسد اح ظخ كزت سب اح ث ػجذ هللا ث شج ، كب خشجذ ا-صى هللا ػ ع

ال خلبء ك عء اات اذسي اضشح ك -ػ اغال -ك زت األجبء -صى هللا ػ ع -اضجبجخ ثذذ

.اات وب اشزشي اجشجشط ثبغشبخ

Abû al-Hasan Muqâtil bin Sulaiman al-Azdî al-Balkhî, Tafsîr Muqâtil bin Sulaiman

(Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts, 1423 H), j. III, h. 199.

Page 100: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

segenap jiwa-jiwa yang suci. Berdasarkan teori Muqattil di atas, esensi

Muhammad menurut Tustari, disebut „amûd al-nûr‟(tiang cahaya), yakni jasad

halus dari keyakinan yang diemanasi dari Tuhan sendiri yang membungkuk

kepada-Nya selama satu juta tahun sebelum diciptakan-Nya makhluk-makhluk.27

Kemudian ide ini ditangkap oleh Al-Hallaj(w. 621 H) yang kemudian

mengembangkannya di dalam faham Nûr Muhammad. Konsep al-Hallaj tentang

Nûr Muhammad selanjutnya diteruskan oleh Ibnu „Arabi(w. 638 H) dengan

konsep wahdat al-wujûd-nya dan dilanjutkan oleh „Abdul Karîm al-Jilli dalam

Insân al-kâmil (w. 826 H).

Al-Jailânî tidak hanya menafsirkan surga (جبد) sebagai taman yang berisi

„ilm al-yaqîn , „ain al-yaqîn , dan haqq al-yaqîn 28

, akan tetapi beliau juga

menafsirkannya sebagai: makrifat dan hakikat29

; mulâhazah, mukâsyafah dan

musyâhadah30

; taman kebahagian yang berupa kenikmatan rûhani31

. Penafsiran

Al-Jailânî yang berbeda-beda terhadap taman-taman surga (جبد) tersebut seoalah-

olah memberikan kesan keinkonsistenan Al-Jailânî dalam menafsirkan, padahal

bila ditelaah lebih lanjut penafsiran Al-Jailânî yang berbeda-beda tersebut

merupakan suatu betuk konsep yang utuh mengenai surga.

27

Lihat. Abû Muhammad Sahl bin „Abdullah bin Yûnus bin bin Rafî‟ al-Tustarî, Tafsîr

al-Tustarî (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1423 H), j.I, h. 27, 69, 111, 156. 28

Lihat tafsir QS. Al-Baqarah: 25, Al-Nisa: 57, Al-Nisa: 122, Al-Maidah: 12; 65; 85;

119, Al-Taubah: 21; 72; 89, Ibrahim: 23, Al-Hijr: 45, Al-Kahfi: 31, Al-Hajj: 14, Al-Furqan: 10,

Mu‟min: 8, Al-Syura: 22. Al-Dukhan: 52, Al-Fath: 5, Al-Dzariyat: 15, Al-Qamar: 54, AL-

Waqi‟ah: 12, Al-Hadid: 12, Al-Mujadilah: 22, Al-Taghabun: 9, Al-Thalaq: 11, Al-Tahrim: 8, Al-

Buruj: 11. Al-Bayyinah: 8. Al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî (Istambul: Markaz al-Jîlani li al-Buhûts al-

„Ilmiyyah, 2013). 29

Lihat tafsir QS. Ali Imran: 15, Al-Maidah: 119, Yunus: 9, Thaha: 76, Muhammad: 12.

Ibid. 30

Lihat Tafsir QS. Ali Imran: 136, Ali Imran: 195, Al-Fath: 17. Ibid. 31

Lihat tafsir QS. Ali Imran: 198. Ibid.

Page 101: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Dalam QS. Al-Baqarah: 25 Al-Jailânî menafsirkan jannât (taman-taman)

surga sebagai al-mâ‟ârif al-kulliyyah (universal) dan tajrî min tahtihâ al-anhâr

(sungai-sungai yang mengalir) sebagai al-mâ‟ârif al-juziyyah (parsial).Makrifat

kulliyyah dan makrifat juziyyah merupakan dua kata kunci yang menggambarkan

konsep surga menurut Al-Jailânî.

Jadi, surga (جبد) menurut Al-Jailânî adalah taman kebahagiaan yang

berupa kenikmatan rûhani. Kenikmatan tersebut berupa makrifat kulliyyah

(pengetahuan universal), pengetahuan ilahi yang hakiki yang datang melalui:

perhatian (mulâhadzah), penyingkapan (mukâsyafah)32

, dan penyaksian

(musyâhadah)33

; „ilmu al-yaqîn ,‟ain al-yaqîn , dan haqq al-yaqîn . Makrifat

merupakan karunia tertinggi yang diberikan Allah Swt kepada hambanya. Karunia

makrifat diberikan karena adanya kesungguhan, kerajinan, kepatuhan dan dan

ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah.34

Oleh karena itu al-Jailânî

menafsirkan kenikmatan surga dengan makrifat.

Kemudian tentang haqîqah yang sering bersanding dengan makrifah

dalam penafsiran al-Jailânî merupakan kebenaran ilahi yang menunjukkan

kebenaran esoteris, melampaui batas-batas pemahaman eksoteris, karena esensi

32

Secara etimologis, perkataan mukâsyafah merupakan ungkapan atau kosa kata bahasa

Arab dalam bentuk masdar (kata benda) dari karta kerja kasyafa-yaksyifu, yang secara kebahasaan

berarti menunjukkan, menjelaskan, membukakan, atau menampakkan. Dengan demikian

mukasyafah dapat diartikan sebagai penunjukan, penjelasan, keterbukaan atau penampakan.

Sedangkan secara terminologis, dalam ilmu tasawuf yang dimaksud mukasyafah adalah kehadiran

hati yang disertai tersingkapnya tabir yang selama ini menghalangi mata batin seorang sufi dari

Tuhannya. Lihat: Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawwuf, j. II, h.875. 33

Musyahadah berasal dari kata syahada-yusyahidu-musyahadatan yang secara bahasa

berarti “saling menyaksikan”. Menurut istilah para sufimusyahadah adalah pengetahuan langsung

tentang hakikat Tuhan. Hal ini berarti dalam tasawuf, seorang sufi dalam keadaan tertentu dapat

melihat Tuhan dengan mata hatinya. Lihat: Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi

Tasawwuf, j. II, h.906. 34

Zagri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, h.180-181.

Page 102: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

melampaui bentuk-bentuk luaran yang mana ia tidak dapat direduksikan kepada

bentuk luaran yang bersifat eksoterik.35

Dalam dunia sufi haqîqah diartikan sebagai aspek batin dari syariat,

sehingga haqîqah menjadi aspek yang paling penting dalam setiap amal, inti, dan

rahasia dari syariat yang merupakan tujuan perjalanan seorang salik.36

Ibn „Arabi

membagi haqîqah menjadi dua yakni haqîqat al-kulliyah (realitas universal)dan

haqîqat al-juz‟iyyah (realitas partikular). Haqîqat al-kulliyyah merupakan haqîqat

al-Muhammadiyyah yang pada dirinya tercakup segala realitas wujud. Ia

merupakan milik bersama antara Tuhan dan makhluk. Menurut Ibn „Arabi Al-

haqîqat al-Muhammadiyyah tidak dapat disifati dengan wujûd (ada) maupun

adam (tiada), tidak dpat pula disifati dengan baru atau qadîm, karena bila ia

berada pada “ada” atau qadîm ia pun qadîm, tetapi bila ia berada pada “ada” yang

baru ia pun baru. Jadi bentuk haqîqat al-Muhammadiyyah itu merupakan suatu

bentuk wujud tersendiri yang menghubungkan antara Yang Mutlak dan alam yang

terbatas. Ia disebut qadîm bila dipandang sebagai ilmu Tuhan yang qadîm, tapi ia

dikatakan baru karena memanifestasikan diri pada alam yang terbatas dan baru.37

Jadi kenikmatan rûhani yang dialami oleh hamba Allah di taman-taman surga

menurut al-Jailânî melukiskan betapa erat kaitan antara hakikat dan makrifat,

dimana hakikat merupakan kenikamtan awal sedangkan makrifat kenikmatan

puncak.

Adapun ma‟rifat al-juz‟iyyah yang merupakan penafsiran dari tajrî min

tahtihâ al-anhâr (sungai-sungai yang mengalir dibawahnya) maksudnya ialah

35

Totok dan Samsul, Kamus Ilmu Tasawuf, h. 68. 36

Totok dan Samsul, Kamus Ilmu Tasawuf, h. 70. 37

Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawwuf, j.I, h.450.

Page 103: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

makrifat yang terus membaru tanpa henti dengan tajalliyât yang mengalir dari

semua asma dan sifat ilahiyyah. Ma‟rifat al-juz‟iyyah merupakan makrifat yang

terpancar dari ma‟rifat al-kulliyyah. Oleh karena itu proses untuk

mendapatkannya pun sama dengan makrifat al-kulliyyah, yakni melalui mukâsy-

afah dan musyâhadah. Memperoleh ma‟rifat al-kulliyyah merupakan proses yang

berlangsung kontinyu atau berulang-ulang. Semakin banyak keterbukaan qalb38

,

maka semakin banyak hakikat atau rahasia ketuhanan yang dapat diketahui.

Walaupun bisa semakin banyak, ma‟rifat al-kulliyyah itu tidak bisa menjadi

makrifah yang penuh tentang Tuhan karena Tuhan itu tak terbatas (infinite),

sedangkan manusia sebagai makhluk bersifat terbatas (finite).39

Penafsiran al-Jailânî terhadap taman-taman surga tersebut sangat berbeda

dengan mayoritas mufassir. Misalnya al-Tabarî menafsirkan lafadz jannât adalah

bentuk jamak dari kata tunggal jannah yang berart taman (surga). Adapun

penyebutan taman adalah apa yang berada di dalam taman yakni berupa

pepohonan, tanaman, dan buah-buahan, bukan tanahnya. Oleh karena itu, Allah

berfirman tajrî min tahtihâ al-anhâr “yang mengalir sungai-sungai di dalamnya”,

karena telah dimaklumi bahwa Allah bermaksud menginformasikan tentang air

sungainya yang mengalir di bawah pepohonannya, tanamannya dan buah-

buahannya, buka mengalir di bawah tanahnya, sebab jika mengalir di bawah tanah

maka mata tak dapat melihatnya kecuali dengan membuka penutupnya. Jadi, ciri

38

Menurut al-Qusyairi qalb merupakan sarana untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan,

mencintai-Nya, dan melihat-Nya. Qalb mempunyai tiga potensi kapasitas, yaitu: (1) ptensi

kapasitas untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan disebut qalb (hati); (2) potensi kapasitas untuk

mencintai Tuhan disebut ruh; (3) potensi kapasitas untukmelihat Tuhan disebut sir. Lihat: Tim

Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawwuf, j. II, h.796. 39

Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawwuf, j. II, h.799.

Page 104: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

sungai-sungai surga yang dimaksud adalah, dia mengalir bukan pada lubang

tanah.40

Selanjutnya al-Jailânî menafsirkan buah-buahan yang diberikan kepada

ahli surga tersebut sebagai buah yang tumbuh dari pohon keyakinan (syajarat al-

yaqîn). Buah tersebut merupakan rizki atau anugrah yang sempurna yang

menyelamatkan mereka dari derajat al-imkân41

. Mereka yang mengingat

perjanjian terdahulu berkata “inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”,

maksudnya ialah ketika berada di derajat al‟ayân al-tsâbitah atau di alam asma

dan sifat, atau di alam lauh al-mahfuz, atau di alam rûh, atau istilah-istilah lainnya

yang menjadi puncak kenikmatan dan akhir dari kerinduan mereka untuk

menikmati buah yang akan dianugrahkan kepada mereka. Buah tersebut serupa

dengan sebelumnya namun baru.

Berbeda dengan al-Jailânî yang menafsirkan kenikamtan buah surga

tersebut bersifat immateri (ruhani), para mufassir lainnya menganggap bahwa

kenikmatan buah surga itu bersifat materi (jasmani). Mislanya al-Tustarî yang

berpendapat bahwa para ahli surga akan diberikan buah-buahan sebagaimana

buah-buahan yang berada di dunia. Buah-buahan surga tersebut serupa dengan

buah-buahan dunia dalam hal warna dan namanya namun berbeda rasa dan

40

Abû Ja‟far Muhammad bin Jarîr Al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ayi al-

Qur‟an/Tafsîr Al-Tabarî, Penerjemah. Anshari Taslim, Muhyidin Mas Rida, Mangala, Athaillah

Manshur, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), j. I, h. 471. 41

Al-imkânsecara bahasa berarti mumkin, yaitu tidak pasti ada dan tiada, maka selain

Allah dari makhkluk ini adalah selamanya bagi mumkin. Maka, dalam tasawuf, mumkin atau imkan

itu ialah alam kerendahan dan bukan tujuan ibadah, jika seseorang beramal untuk tujuan imkan

maka dia jatuh ke alam kerendahan. Lihat. Al-Jailânî, Tafsir al-Jailânî, j.II, h. 366.

Page 105: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

kelezatannya. Menurut al-Tustarî para malaikat memberi makan para wali wali

dengan apel di waktu sarapan dan makan malam.42

Senada dengan al-Tustarî, Imam al-Tabârî berpandangan bahwa buah-

buahan surga serupa dalam warna tapi berbeda dalam rasa. Setiap kali ahli surga

diberikan buah-buahan mereka berkata “inilah seperti yang pernah diberikan

kepada kami ketika dahulu di dunia”. Maksudnya ialah Allah menginformasikan,

bahwa mereka mengatakan demikian ketika mereka diberikan makanan yang

serupa warnanya dengan apa yang pernah diberikan kepada mereka ketika di

dunia meskipun rasanya berbeda, dimana tidak ada sesuatupun di dunia yang

rasanya menyamai sesuatu di surga.43

Kemudian istri-istri/azwâj ditafsirkan al-Jailânî sebagai amal sholih dan

niat yang tulus, mutahharah/suci dari segala keburukan selain Allah, yang

menghalangi manusia untuk mencapai surga. Kata azwaj merupakan bentuk

jamak dari kata zauj yang berarti pasangan. Karena itu menurut Quraish Shihab,

istri Nabi Muhammad Saw, Aisyah ra dinamai zauj al-Nabi, yakni pasangan

hidup Nabi.44

Namun yang dimaksud al-Jailânî dalam ayat tersebut adalah

pasangan bagi orang-orang beriman ialah amal sholih dan niat yang tulus.

Al-Jailânî menganggap bahwa para penghuni surga itu kekal di dalam

surga. Mereka kekal dengan kekekalan Allah dan tenggelam dalam musyahadah

42

Al-Imam Sahl bin Abdullah Al-Tustarî, Tafsîr Al-Tustarî (Libanon: Dâr al-Kutub Al-

„Ilmiyyah, 2007), h. 27. 43

Al-Tustarî, Tafsîr Al-Tustarî, h. 467-468 44

M. Quraish Shihab, Perjalanan Menuju Keabadian; Kematian, Surga, dan Ayat-Ayat

Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 178.

Page 106: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

perjumpaan dengan Allah. Penafsiran al-Jailânî tersebut mengindikasikan bahwa

al-Jailânî menganut paham yang serupa dengan ittihâd45

atau wahdat al-wujûd46

.

B. Bidadari-bidadari Surga

QS. Al-Waqiah: 22

“Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, laksana mutiara yang

tersimpan baik.”

Tafsir:

)( صسح اػزوبدار اصذذخ اشاعخخ. ( )

.اص ك أصذاف أشجبد47

(Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli) yakni gambaran dari

keyakinan mereka yang benar dan kokoh. (laksana mutiara yang tersimpan

baik) yang tersimpan dalam tiram-tiram ruh mereka.

Analisa Tafsir

Hûr al-„ain bentuk jamaknya adalah Ahwar atauhaurâ sedangkan „ain

jamaknya adalah „aina yang memiliki arti yaitu nampaknya sedikit warna putih

pada mata di sela kehitamannya. Ini melukiskan tentang keindahan mata. Ada

45

Kata ini berasal dari kata wahd atau wahdah yang berarti satu atau tunggal. Jadi Ittihâd

artinya bersatunya manusia denganTuhan. Ketika seorang sufi telah berada dalam keadaan fanâ‟,

maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-

Baqâ‟. Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal

dari Tuhan. Lihat. A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-

Sufisme(Jakarta;RajaGrafindoPersada,1999),h.152. 46

Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu wahdat dan al-

wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan sedang al-wujud artinya ada. Dengan

demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud.

Harun nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan bahwa paham

wahdat al-wujud nasut yang sudah ada dalam hulul diubah maejadi khalq (makhluk) dan lahut

menjadi haqq (tuhan).Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang di sebelah dalam

disebut haqq. Lihat. Mahmud Yunus, kamus arab indo (Jakarta: Hidakarya agung, 1990), h.492

dan 494; Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993),

cet III, h.92. 47

Al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, j. V, h. 497.

Page 107: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

juga yang mengartikannya sipit atau lebar. Menurut Qurasih Shihab apapun

makna ayat di atas bermaksud menjelaskan bahwa Hur al-„Ain adalah pasangan

yang sangat baik dan Indah dalam pandangan pasangannnya.48

Sedangkan Al-Jailânî menafsirkan hûr „în (bidadari-bidadari) sebagai

gambaran mansuia yang memiliki keyakinan yang benar dan kokoh. Dalam

tafsirnya ia mendeskripsikan bahwa bidadari-bidadari surga berkulit jernih putih

dengan sedikit warna kuning seperti perak, mereka dilindungi dan dijaga dari

kecacatan, matanya indah (seluruh bagian mata termasuk pelupuk dan saluran

matanya), mereka selalu menjaga pandangan dan memendekkan penglihatan dan

tidak akan pernah menaruh perhatian selain kepada pasangannya. Bidadari-

bidadari surga tersebut dipersiapkan dan disediakan sesuai dengan tingkatan

keimanan dan kesalehan seorang hamba.49

Penafsiran al-Jailânî tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat-ayat

al-Qur‟an tentang sifat-sifat bidadari-bidadari surga, seperti bermata indah,

membatasi pandangan, seakan-akan mereka telur yang tersimpan dengan baik,50

mata mereka lakasana yaqut dan marjan51

, mereka pun belum disentuh oleh jin

dan manusia.52

48

M.Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, vol. 13,

h. 551. 49

Al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, j. V, h. 49. 50

QS. Al-Saffat: 48-49

“Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya,

seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik.” 51

QS. Al-Rahman: 58

“seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan”. 52

QS. Al-Rahman: 56

Page 108: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Bidadari-bidadari tersebut berada di dalam surga yang diperuntukkan bagi

mereka yang dekat dengan Allah dan sampai kepada tempat kesatuan. Mereka

berbeda-beda dalam mendapatkan anugrah, ketinggian derajat, dan kemuliaan

kedudukan sesuai dengan jalan yang mereka tempuh dan usaha yang mereka

lakukan. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang paling dahulu

beriman, karena mereka adalah orang-orang taat yang mendekatkan diri kepada

Allah dengan jalan tauhid sifât dan af‟âl, dan sebagian kecil adalah orang-orang

yang kemudian beriman yakni sebgaian dari umat Nabi Muhammad Saw karena

mereka sampai kepada Allah melalui jalan tauhid dzât.

C. Makanan dan Minuman Ahli Surga

1.1 Makanan Ahli Surga

Q.S al-Waqi‟ah: 20-21

“Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung

dari apa yang mereka inginkan.”

Tafsir:

( ( ثشح ) أي خزش زخج أللغ أاع اؼبسف )

رززر ثب أساد اثبس األعبء اصلبد اإلخاذوبئن األدا اوببد از

( ( زود ثب أشجبد ) )53

“Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya,

tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga yang menjadi

suami mereka), dan tidak pula oleh jin” 53

Al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, j. V, h. 497.

Page 109: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

(Dan buah-buahan) yang banyak (dari apa yang mereka pilih)

yakni apa yang mereka pilih dan pilah untuk diri mereka dari berbagai

macam makrifat, hakikat, ahwal, dan maqamat yang dinikmati oleh ruh-

ruh mereka dari asma dan sifat Tuhan. (Dan daging burung) yang dimakan

oleh ruh mereka (apapun yang mereka inginkan).

Analisa Tafsir:

Al-Jailânî menafsirkan buah-buahan yang beraneka macam tersebut

sebagai macam-macam makrifat, hakikat, ahwal dan maqamat. Buah surga itu

merupakan anugrah sempurna yang menyelamatkan manusia dari derajat al-imkân

yang tumbuh dari pohon keyakinan (syajârat al-yaqîn), puncak kenikmatan dan

akhir dari kerinduan.54

Para penhuni surga menikmati buah-buahan tersebut dari

asma dan sifat Tuhan sebagaimana pernah mereka menikmatinya ketika berada di

alam asma dan sifat, atau di alam lauh al-mahfûz, atau di alam ruh, atau istilah-

istilah lainnya.55

Penafsiran Al-Jailânî tentang buah-buahan surga tersebut sangat berbeda

dengan beberapa mufassir, misalnya menurut al-Tabarî makna ayat tersebut

adalah, para pemuda yang awet muda, yang melayani para al-sâbiqûn tadi selalu

berkeliling dengan membawa berbagai macam buah dan daging unggas dari

taman surga yang bebas dipilih oleh para al-sâbiqûn, yang dapat memberikan

kepuasan serta kenikmatan bagi mereka.56

Al-Jailânî tidak memberikan penafsiran yang gamblang mengenai lahm

tayr (daging burung), ia hanya menjelaskan bahwa para penghuni surga akan

memakannya.

54

Al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, j.I, h. 56-57. 55

Al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, j.I, h. 56-57. 56

Al-Tabarî, TafsÎr al-Tabarî, j. 24, h. 517.

Page 110: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Dalam sebuah hadis yang dikutip dalam tafsir al-qurtubî, Rasulullah Saw

pernah ditanya, “apakah al-kautsar itu? Beliau menjawab, „Itu adalah sungai

yang diberikan Allah kepadaku, yakni di dalam surga. Airnya lebih putih dari

susu dan rasanya lebih manis dari madu. Di sana ada burung yang lehernya

seperti leher onta.‟ Umar ra berkata, „Sungguh burung itu telah mendapatkan

kenikmatan.‟ Rasulullah Saw bersabda, „Yang memakannya lebih baik

darinya‟.”57

Al-Tsa‟labi meriwayatkan dari Abu Darda, bahwa Rasulullah Saw

bersabda: “Sesungguhnya di dalam surga ada burung sebesar leher unta berbaris

di tangan wali Allah. Salah satu burung berkata, „Hai wali Allah, aku dipelihara

di tempat pemeliharaan di bawah arsy dan aku minum dari mata air tasnim.

Maka makanlah aku. „Burung itu terus membanggakan dirinya di hadapan wali

Allah tersebut hingga tergerak hati wali Allah tersebut untuk memakan salah

satunya. Tiba-tiba burung itu jatuh di hadapan wali Allah tersebut dengan

berbagai warna masakan. Maka wali Allah tersebut pun memakan apa yang

diinginkannya. Apabila wali Allah tersebut sudah kenyang, tulang-belulang

burung itu berkumpul dan terbang bebas seperti sedia kala di dalam surga.”58

Sedangkan menurut Quraisy Syihab penggunaan kata yatakhayyarun/

memilih untuk buah-buahan dan yasytahun/ menginginkan untuk daging burung

karena biasanya keinginan berkaitan dengan makanan. Di sisi lain, buah beraneka

ragam. Karena itu, mereka memilih beberapa jenis terlebih dahulu. Bahwa ayat di

57

Syaikh Imam al-Qurtubî, Al-Jâmi‟ Li Ahkâm Al-Qur‟an, penerjemah. Ahmad Khotib,

Dudi Rasyadi, Faturrahman, Fachrurazi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), v.17, h.629; lihat. HR.

Al-Tirmidzi dalam pembahasan tentang sifat surga, bab: Tentang Sifat Burung Surga (4/680-681,

no. 2542) dan dia mengatakan hadis ini adalah hadis hasan gharib. 58

Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, v.17, h.630; lihat. Al-Suyȗti dalam Al-Dur Al-Mansȗr

(6/155-156).

Page 111: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

atas hanya menyebut satu makanan, bukan berarti bahwa selainnya tidak

dihidangkan. Yang disebut disini adalah yang secara umum dinilai paling mewah

dan lezat sehingga yang kalau demikian telah terhidangkan, maka pasti yang

lainpun demikian.59

1.2 Minuman Ahli Surga

QS. Al-Insan: 17

Di dalam syurga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang

campurannya adalah jahe. (yang didatangkan dari) sebuah mata air surga

yang dinamakan salsabil.”

Tafsir:

( ) ( ؤالء اوشث ( أي ك ري األا األاة ) خشا )

اخس اذجخ ادح ) أي بضجج ك اغبؽ عشػخ االذذاس )

( ( جبسخ ثبء اذبح األصخ األثذخ اغشذخ ) ذازب )

إسشذب إ ششة ازدذ ثذش ادذح ازارخ، أب رو رو ري اؼ ازششذخ ثذش

اذبح األصخ األثذخ ألسثبة اؼبخ ثوب: ع أب اطبت اذبئش ك ثذاء اطت عجال إ

ادذح اذووخ اذوخ.60

(Mereka diberi minuman) mereka yang dekat dengan Allah (di

dalamnya) yakni di dalam bejana-bejana dan piala-piala (segelas) arak dari

arak-arak cinta dan kasih ( yang campurannya adalah jahe) yakni seperti

jahe dalam kesegaran dan cepat ditelan. (Sebuah mata air surga) yang

mengalir dari air kehidupan azali yang kekal dan abadi (yang dinamakan

salsabil) untuk memandu dan membimbingnya kepada pancuran tauhid

dan laut kesatuan dzat, seolah-olah bertemu dan mengajarkan mata air

yang menetes itu dari laut kehidupan azali yang abadi bagi pemilik

„inâyah dengan ucapannya: “tanyalah wahai para pencari yang bingung di

sahara pencarian jalan kepada kesatuan kebenaran hakiki.”

59

Shihab. Tafsir al-Misbah, v. 13, h. 348. 60

Al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, j.VI, h. 248.

Page 112: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Analisa Tafsir:

Bangsa Arab sangat suka dengan minuman yang dicampur dengan jahe,

karena aroma wanginya. Jahe itu sendiri dapat menyegarkan lidah dan

membangkitkan selera makan. Mereka pun tergiur dengan kenikmatan akhirat

yang mereka yakini sangat nikmat dan lezat itu.61

Terdapat perbedaan pendapat tentang makna ayat tersebut. Al-Qurtubi

menukil perkataan dari Mujahid bahwa zanjabil adalah nama sebuah mata air

yang dengannya orang-orang yang didekatkan bisa minum, dan air itulah yang

dicampurkan kepada minuman seluruh penghuni surga dan sifat air itu mudah

ditelan di dalam tenggorokan.62

Sedangkan menurut al-Tabârî firman Allah “yang dinamakan

salsabil” , merupakan sifat mata air dan disifatkan dengan sesuatu yang halus di

dalam tenggorokan serta dalam keadaan mengalir. Ia tunduk kepada penghuni

surga dan dialirkan sesuai dengan keinginan mereka. 63

Adapun penafsiran al-Jailânî tentang ayat tersebut sunggguh berbeda dari

dua mufassir tersebut. Menurutnya, orang-orang yang dekat dengan Allah

(muqarrabun) di dalam surga akan diberikan segelas minuman yang berupa arak

dari arak-arak cinta dan kasih Tuhan. Minuman tersebut bukan campuran jahe

namun seperti jahe dalam kesegaran dan mudah ditelan. Minuman itu berasal dari

mata air surga, yang mengalir dari air kehidupan yang kekal dan abadi. Aliran air

tersebut membimbing dan memandu ahli surga kepada pancuran tauhid dan laut

kesatuandzat.

61

Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, v.29, h. 713. 62

Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, v.29, h. 713. 63

Al-Tabarî, TafsÎr al-Tabarî, j.25, h. 908.

Page 113: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

92

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang dipaparkan dalam penulisan skripsi ini, maka

penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

Dalam perspektif al-Jailânî surga ialah makân al-qurb (tempat yang dekat

dengan Allah) dan neraka adalah makân al-bu‟d (tempat yang jauh dari Allah).

Surga merupakan tempat bagi kenikmatan ruhani di alam akhirat, diperuntukan

bagi manusia yang beriman dan beramal saleh sedangkan neraka adalah tempat

bagi para pengingkar dan fasik yang jauh dari taufîq dan tahqîq (pembenaran) . Di

dalam surga atau makân al-qurb tersebut seorang hamba akan mendapatkan

karunia tertinggi berupa makrifat dengan cara menyaksikan (musyâhadah) al-

Haqq1, sebagaimana firman Allah Swt “Wajah-wajah orang-orang mukmin pada

hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya lah mereka melihat.”2 Sedangkan neraka

atau makân al-bu‟d adalah tempat yang jauh dari keridhaan Allah, tempat

keterasingan, pengusiran dan keterpencilan.

Menurut al-Jailânî kenikmatan yang diperoleh oleh manusia di dalam

surga bersifat ruhani (immateri). Kenikmatan tersebut berupa makrifat,

pengetahuan ilahi yang hakiki. Makrifat merupakan karunia tertinggi yang

diberikan Allah Swt kepada hambanya, karena adanya kesungguhan, kerajinan,

`

1Al-Haqq menurut al-Jailânî ialah:

إرا ب ج شئ ػ اخب، ج ػ اإلدبغخ اثب .رؼبى اذن ػ ػ اشجب، ػ صق ازلشم اصب

“Terlalu luhur untuk dicapai pakar apapun, dan terlalu luhur untuk dideskripsikan dengan

sifat jauh dan dekat. Ketika sesuatu telah melewati batas imajinasi, maka Ia melampaui persepsi

dan perumpamaan”. Lihat. al-Jailânî, Tafsîr al-Jailânî, v.I, h. 23. 2 QS. Al-Qiyâmah: 22-23.

Page 114: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

kepatuhan dan ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah. Oleh karena itu

ketika menafsirkan berbagai macam kenikmatan surga yang dilukiskan al-Qur‟an,

al-Jailânî kerap kali mengaitkannya dengan makrifat. Misalnya ketika

menafsirkan lafaz jannah (taman-taman surga) dalam QS. Al-Baqarah ayat 25, ia

menafsirkannya sebagai ma‟rifat al-kulliyyah (pengetahuan universal). Kemudian

tajrî min tahtihâ al-anhâr (sungai-sungai yang mengalir dibawahnya)

ditafsirkannya sebagai ma‟rifat al-juziyyah (pengetahuan parsial). Ma‟rifat al-

Kulliyyah merupakan sumber segala pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah.

Dari ma‟rifat al-kulliyyah itu mengalirlah pengetahuan-pengetahuan parsial,

layaknya sungai-sungai yang mengalir dari lautan menuju daratan. Memperoleh

ma‟rifat al-kulliyyah merupakan proses yang berlangsung kontinyu atau berulang-

ulang. Semakin banyak keterbukaan qalb, maka semakin banyak hakikat atau

rahasia ketuhanan yang dapat diketahui. Walaupun bisa semakin banyak, ma‟rifat

al-kulliyyah itu tidak bisa menjadi ma‟rifah yang penuh tentang Tuhan karena

Tuhan itu tak terbatas (infinite), sedangkan manusia sebagai makhluk bersifat

terbatas (finite).

Bagi al-Jailânî makrifat merupakan puncak dari kenikmatan dan akhir dari

kerinduan seorang hamba kepada Tuhannya. Selain itu, makrifat merupakan

perintah, karena al-Jailânî memahami khitab Allah “illa liya‟budun sebagai illa

liya‟rifun pada QS. Al-Dzariyat: 56 “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia

melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku”. Perintah untuk ma‟rifat Allah

itu bertujuan agar seorang hamba senantiasa mendekatkan (taqarrub) dirinya

kepada sang pencipta.

Page 115: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Pada akhirnya penulis menyimpulkan bahwa apa yang ditafsirkan oleh al-

Jailânî dari berbagai macam kenikmatan surga di dalam al-Qur‟an bertujuan untuk

menggerakan jasad dan membangkitkan kesadaran qalb agar senantiasa taat

beribadah kepada Allah Swt. Karena kebanyakan manusia lupa terhadap

perjanjian awal dengan tuhan-nya, disebabkan mereka terhalang oleh berbagai

macam kenikmatan dunia. Walaupun penafsiran al-Jailani tersebut secara metode

tidak dibenarkan, namun karena adanya berbagai dalil sârih yang mendukung

penafsirannya, maka selayaknya tafsirnya dapat diterima dan dibenarkan. Lagi

pula tafsirnya tersebut merupakan sebuah kompilasi dan isyarat yang seiring

dengan irama kehidupan, ruh, dan gerak yang muncul dari qalb ahli ibadah yang

selalu berhubungan dengan Allah Swt.

B. Saran-saran

Setelah selesainya penulisan skripsi ini, ada beberapa masalah yang masih

mengganjal dalam hari penulis yang kiranya dapat dikaji lebih lanjut oleh para

pembaca. Dalam skripsi ini penulis hanya membahas kenikmatan surga yang

berupa: taman-taman surga, bidadari-bidadari surga, serta makanan dan minuman

ahli surga. Masih banyak kenikmatan-kenikmatan surga lainnya yang dipaparkan

di dalam al-Qur‟an dan ditafsirkan oleh al-Jailânî, namun tidak penulis cantumkan

dalam skripsi ini. Penafsiran al-Jailânî mengenai kenikmatan surga yang bersifat

ruhani (immateri) ini layak diperkenalkan kepada masyarakat, guna

membangkitkan qalb agar senantiasa taat beribadah kepada Allah Swt.

Demikian apa yang telah penulis paparkan, dan penulis berharap agar

pembahasan ini berkembang, sehingga masyarakat dapat mengenal lebih dekat

Page 116: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

berbagai macam penafsiran kenikmatan surga yang bersifat jasmani (materi)

mupun ruhani (immateri), karena masih banyak sub-sub bab mengenai surga.

Page 117: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad dan Ridha, Rasyid. Tafsir al-Qur‟an al-Hakîm/ Tafsir al-Manâr.

Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

„Abd al-Bâqî, Muhammad Fuad. Al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-

Karîm, (Kairo: Mathba‟ah Dar al-Kutub, 1364 H), h. 181.

Assondani, Muhammad Mufti Najmul Umam. “Sifat Allah dalam Tafsir Sufi (Tafsir

al-Jailânî Karya Syaikh Abd al-Qadir al-Jailânî Namudzajan).”Skripsi

Fakultas Dirasat Islamiyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.

Abdullah, Taufiq. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru van

Hoeve, 2002.

Al-Alȗsi. Rȗh al-Ma‟âni fi Tafsîr al-Qur‟an al-„Azîm wa Sab‟i al-Matsâni. Beirut:

Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2001.

Azzuhdi, Abdurrohman. “Tafsir al-Jailânî (Telaah Otentisitas Tafsir Sufistik Abd al-

Qadir al-Jailânî dalam Kitab Tafsir al-Jailânî).” Skripsi Tafsir Hadis Fakultas

Ushuluddin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2013.

Ankersmit, F.R. Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, terj. Dick

Hartoko. Jakarta: PT Gramedia, 1987.

Arkoun, Muhammed, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan

Jalan Baru. Jakarta: INIS, 1994.

Al-Amin, Habibi. Emosi Sufistik Dalam Tafsir Isyari: Melacak Kejiwaan Mufassir.

Ponorogo: sPIP-Press, 2015.

Ashshiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an/ Ilmu Tafsir. Jakarta:

Bulan Bintang, 1980.

Alba, Cecep,Dr. MA, Cahaya Tasawuf, Bandung: CV. Wahana Karya Grafika, 2011.

Badruddin Abu Abdullah Muhammad Ibn Abdullah Ibn Bahadur Ibn Abdullah al-

Mihaji al-Zarkasyi. Al-Burhan fi „Ulum al-Qur‟an. Beirut: Dar al-Fikr, 1980.

Baihaqi, Muhammad. Perjalanan Roh Manusia Melalui Empat Alam. Malaysia: al-

Hidayah, 1995.

Darmawan, Dadang. “Ortodoksi dan Heteredoksi Tafsir”. Jurnal Refleksi, v. 13, No.

2 (April 2012).

Page 118: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Al-Dzahabî, Muhammad Husain. Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Mesir: Maktabah

Wahbah, 2000.

Al-Farmawi, „Abd al-Hayy. Al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudȗ‟i. Kairo: al-Hadharah al-

Arabiyah, 1977.

Foucault, Michael. Archeology of Knowlage and The Discaurse on Language. New

York: Pantheon Books, 1971.

Fadlullah, Salman. “Tafsir Ishari: Menguak Aspek yang Terabaikan dari al-Qur‟an.

Mulla Shadra,” Jurnal Filsafat Islam dan Mistisisme, Vol. I, No. 4, 2011.

Al-Garnâtî, Abȗ Hayyan. Al-Bahr al-Muhît fî al-Tafsîr. Beirut: Dâr al-Fikr, 1992

M/1412 H.

Ghazali, Muhammad. Terj. Drs. Masykur Hakim, M.A dan Ubaidillah. Kayfa

Nata‟ammal ma‟al-Qur‟an/ Berdialog dengan al-Qur‟an. Bandung: Mizan,

1996.

Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir: Dari Aliran Klasik Hingga Modern. Terj. M.

Alaika Salamullah dkk. Yogyakarta: elSaq, 2006.

Gunawan, Ahmad. “Pemaknaan Basmalah Pada Surat-Surat Juz „Amma Dalam Tafsir

al-Jailânî.” Skripsi Tafsir Hadis Fakutas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2013.

Hairul,Moh. Azwar. Mengkaji Tafsir Sufi Ibn ‘Ajîbah: Kitâb al-Bahr al-Madîd fî Tafsîr al-Qur’an al-Majîd. Tangerang Selatan: Young Progressive Muslim, 2017.

Halimuddin. Kehidupan Di Surga Jannatun Na‟im. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Hitti, Philip K. History of the Arab, penerjemah. Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT.

Serambi Ilmu Semesta, 2010.

Hendropuspito. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990.

Ibnu „Arabi, Muhy al-Din. Tafsir al-Qur‟an al-Karim. Beirut: Dar al-Yaqzah al-

„Arabiyyah. 1980.

Al-Jailânî, ʽAbd al-Qâdir, Tafsir al-Jailânî, Istambul : Markaz al-Jîlani li al-Buhûts

al-„Ilmiyyah, 2013.

----------. Tafsir al-Jailânî, terj.Syaikh Rahimuddin Nawawi al-Jahary al-Bantani.

Tangerang Selatan: Salima Publika, 2013.

----------. Rahsia segala Rahasia, Jakarta: PT. Laksana Utama, 2009.

Page 119: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

----------. Mukhtashar fi Ulum al-Din, Istambul: Markaz AL-JAILÂNÎ, 2010.

----------. Fiqih Tasawuf / al-Gunyah li Thalibi Thariq al-Haqq fi al-Akhlaq wa al-

Tashawwauf wa al-Adab al-Islamiyyah, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.

----------. Al-Fath al-Rabbani/Meraih Cinta Ilahi, penerjemah. Abu Hamas. Jakarta:

Khatulistiwa, 2009.

----------. Adab al-Suluk wa al-Tawasul ila Manâzil al-Muluk, terj. Tatang

Wahyuddin. Bandung: Pustaka Hidayah, 2007.

Jumantoro, Drs. Totok, M.A. dan Amin, Drs. Samsul Munir, M.Ag. Kamus Ilmu

Tasawuf. Wonosobo: Amzah, 2005.

Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir, terj. M. „Abdul Ghafar E.M. Jakarta: Pustaka Imam

Syafi‟I, 2008.

Ibn Sulaiman, Mustafa. Syarh Fusȗs al-Hikâm. Beirut: Dâr al-Kutub al-„ilmiyyah,

2007).

Al-Jurjâni, „Ali bin Muhammad, Al-Ta‟rifât. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.

Kementrian Agama RI, Tafsir Tematik Keniscayaan Hari Akhir. Jakarta: Lentera

Abadi, 2010.

Kartanegara, Mulyadi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006.

Komariyah, Siti.“Penafsiran Huruf al-Muqatha‟ah Menurut Syaikh Abd al-Qadir al-

Jailânî dalam Tafsir al-Jailânî.” Skripsi Fakultas Ushuluddin, Institut Agama

Islam Walisongo Semarang, 2013.

Mahmud, Syihabuddin al-Alusi. Ruh al-Ma‟ani fi Tafsir al-Qur‟an al-„Azim wa al-

Sab‟I al-Masani. Libnan: Dar al-Fikr. 1987.

Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: PP.

al-Munawwir, 1984.

Muhammad, Hasyim. Dialog Antar Tasawuf dan Psikologi. Yogyakarta: Walisongo

Press, 2003.

Monib, Muhammad. 8 Pintu Surga. Jakarta: Kompas Gramedia, 2011.

Nzair, Muhammad. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003.

Noer Iskandar Al Barsyany.Tasawwuf.Tarekat dan Para Sufi. Jakarta: Grafindo,

2001.

Page 120: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

al-Nabawi, Syekh Abul Hasan. Syekh Abdul Qadir Jaelani, penerjemah. Abu Asma.

Solo: CV. Ramadhani, 1985.

Nasution, Harun. Filasafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang,

2008.

----------. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta : UI-Press, 1986.

Octaviani, Mega Rista. “Visualisasi Surga dan Neraka.” Skripsi Tafsir Hadis Fakutas

Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Al-Qattan, Manna‟ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an. terj. Mudzakir AS. Jakarta:

Pustaka Litera Antar Nusa, 2004.

Al-Qusyairî, Abȗ Qâsim. La‟tâif al-Isyârât. Beirut: Dâr al-Kutȗb al-„Ilmiyyah, 1971.

----------. Risalat al-Qusyairiyyah fi „Ilmi al-Tasawwuf, penerjemah. Mohammad

Luqman Hakiem. Surabaya: Risalah Gusti, 1997.

Al-Qurtubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori. Al-Jami li Ahkam al-

Qur‟an/ Tafsir al-Qurtubi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Al-Qathani, Said bin Musfir. Al-Syaikh Abdul Qadir al-Jailânî wa Arauhu al-

I‟tiqadiyah wa al-Shufiyah/Buku putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailânî. Jakarta:

Darul Falah, 2003.

Rahman, Fazlur, Islam. New York: Anchor Books, 1968.

----------. Islam and Modernity: Transformation of an Ibtellectual Tradition. Chicago:

The University of Chicago Press, 1982.

Reese, William L. Dictionary of Philoshopy and Religion, Eastern and Western

Thought. New York: Humanity Books, 1996.

Said, Imam Ghazali. Pengkafiran Sesama Muslim. Surabaya: Diantama, 2012.

Shihab, M.Quraish. Membumikan al-Qur‟an. Bandung: Mizan, 1994.

----------. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an. Jakarta: Lentera

Hati, 2002.

----------, Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah swt, cet. I. Jakarta:

Lentera Hati, 2001.

----------, Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Al-Surga dan Ayat-ayat Tahlil,

cet ke-3. Jakarta: Lentera Hati, 2005.

Page 121: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Septiawadi. Tafsir Sufistik Said al-Hawwa dalam al-Asâs fi al-Tafîr. Jakarta: Lectura

Press, 2004.

Siregar, A. Rivay. Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta;Raja

Grafindo Persada,1999.

Al-Shallabi, Dr. Ali Muhammad. Biografi Imam al-Ghazali & Syaikh Abdul Qadir

Jailani. Penerjemah. Imam Mukhtar Ghazali dan Ibnu Abdurrahaman Fatan

Al Maydani. Jakarta: Beirut Publishing, 2015.

Supriyadi, Dedy. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu dan Pengetahuan

Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003.

Al-Sulamî, Abȗ „Abd al-Rahmân Muhammad bin al-Husain bin Mȗsa al-Azadî.

Haqâiq al-Tafsîr. Beirut: Dâr al-Maktabah al-„Alamiyyah, 2001.

Al-Sabunî, Muhammad „Ali. Al-Tibyân fi „Ulȗm al-Qur‟an. Pakistan: Maktabah al-

Busra, 2011.

Al-Silmî, Abȗ „Îsâ Muhammad bin „Îsâ al-Tumȗzi. Sunan al-Tumȗzi. Kairo : Dâr al-

Hadis, 2010.

Al-Suyȗtî, Abȗ al-Faḍl „Abd al-Raḥmân ibn Abî Bakr ibn Muḥammad Jalâl al-Dîn

al-Khuḍairî. Al-Itqân fî „Ulȗm al-Qur‟an. Beirut: Dâr al-Fikr, 1951.

Smith, Jane Idelman. The Islamic Understanding of Death an Resurrection. English,

Oxford University, 2002.

Surachmad, Winarmo. Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah.

Bandung: Tarsio, 1972.

Tamrin. Tasawuf Irfâni:Tutup Nasut Buka Lahut. Malang:UIN Maliki Press, 2010.

Al-Tabarî, Abȗ Ja‟far Muhammad bin Jarīr . Tafsîr Al-Tabarî. Jakarta: Pustaka

Azzam, 2008.

Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Tasawwuf. Bandung: Angkasa,

2009.

Taimiyyah, Ibn. Muqaddimah fî Usȗl al-Tafsîr. Kuwait: Dâr al-Qur‟an al-Karîm, t.t.

Al-tustarî, Al-Imam Sahl bin Abdullah. Tafsîr Al-Tustarî. Libanon: Dâr al-Kutub Al-

„Ilmiyyah, 2007.

Page 122: QÂDIR AL-JAILÂNÎ - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36891/2/RISWAN... · pengetahuan, lautan asma dan sifat ilahiyyah. Dari ma‟rifat

Walid, Kholid. Perjalanan Jiwa Menuju AKhirat: Filsafat Eskatologi Mulla Sadra.

Jakarta: Sadra Press, 2012.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993.

Zainuddin, Muhammad. Karamah Syaikh „Abd al-Qadir al-Jailânî. Yogyakarta:

LkiS, 2011.

Al-Zarkasyi, Badruddin Abȗ Abdullah Muhammad ibn Abdullah ibn Bahadur ibn

Abdullah al-Mihaji. Al-Burhân fi „Ulȗm al-Qur‟an. Beirut: Dar al-Fikr, 1980.

Zagri, Dr. Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. Bina Ilmu, t.t.