pungutan pajak perdagangan melalui elektronik...pungutan pajak perdagangan melalui elektronik...
TRANSCRIPT
PUNGUTAN PAJAK PERDAGANGAN MELALUI ELEKTRONIK
(E-COMMERCE) ANTAR NEGARA BERDASARKAN HUKUM
PERPAJAKAN DI INDONESIA
Skripsi
Diaajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
FUZZY KARTIKA CANDRA DEWI
NIM : 11150480000097
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
i
PUNGUTAN PAJAK PERDAGANGAN MELALUI ELEKTRONIK
(E-COMMERCE) ANTAR NEGARA BERDASARKAN HUKUM
PERPAJAKAN DI INDONESIA
Skripsi
Diaajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
FUZZY KARTIKA CANDRA DEWI
NIM : 11150480000097
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
v
ABSTRAK
Fuzzy Kartika Candra Dewi, NIM 11150480000097, REGULASI PAJAK
PERDAGANGAN MELALUI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) ANTAR
NEGARA BERDASARKAN HUKUM PERPAJAKAN DI INDONESIA,
Strata Satu (S1), Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis,
Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan perpajakan yang
berlaku di Indonesia terhadap e-commerce atau pelaku usaha e-commerce anatar
negara, secara khusus skripsi ini mencoba mendalami muata aturan hingga
harmonisasi regulasi dengan aturan yang berkaitan dengan e-commerce.
disamping itu skripsi ini juga mengupas secara khusus aturan yang dapat
dikenakan kepada pelaku usaha e-commerce, pengaturan pajaknya, kualifikasi
subjek pajaknya, dan objek pajak yang dapat ditarik dari pelaku usaha e-
commerce antar negara tersebut. Terkahir penulis juga mencoba mencari
urgensitas pemberlakuakn pajak diberbagai negara untuk mengatur pajak bagi
pelaku usaha e-commerce gunna menjadi perbandingan bagi pengaturan
kedepannya
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research)
melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian ini
menggunakan metode pengumpulan data berupa studi pustaka. Melalui studi
pustaka peneliti mengumpulkan dokumen dan data untuk diolah menggunakan
metode analisis isi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Indonesia telah memiliki aturan secara
genera mengenai pajak untuk subjek pajak luar negeri, sehingga bila terdapat
pelaku usaha e-commerce antar negara yang memiliki sumber yang berasal dari
negara Indonesia maka pelaku usaha e-commerce antar negara tersebut dapat
dikatakan sebagai wajib pajak luar negeri dengan kualifikasi pasal 26 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, namum
keberadaan pajak penghasilan tersebut dapat berbenturan dengan pajak berganda
yang mengharuskan terdapatnya bentuk usaha tetap ( BUT) sebagai syarat
terbenttuknya perjanjian penghindaran pajak antar negara, dan pelaku usaha e-
commerce antar negara tidak memiliki BUT yang jelas sehingga pemungutan
pajaknya pun masih mengalami kendala dari regulasinya sendiri.
Kata Kunci : Pajak e-commerce, e-commerce antar negara
Pembimbing : M. Yasir S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1977 s.d Tahun 2019
viii
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ....................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 10
D. Metode Penelitian ............................................................................ 10
E. Sistematika Penulisan ...................................................................... 13
BAB II : TINJUAN PUSTAKA PERPAJAKAN DAN PERDAGANGAN
MELALUI ELEKTRONIK ( E-COMMERCCE)
A. Kerangka Konseptual ...................................................................... 14
1. Pajak ......................................................................................... 15
2. E-Commerce ............................................................................. 23
B. Kerangka Teori ................................................................................ 26
1. Teori Keadilan .......................................................................... 27
2. Teori Kepastian Hukum ........................................................... 28
3. Teori Pungutan Pajak ............................................................... 28
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................... 29
BAB III : REGULASI PAJAK UNTUK E-COMMERCE ANTAR NEGARA
MENURUT HUKUM PERPAJAKAN DI INDONESIA
A. Sejarah hukum perpajakan di Indonesia ....................................... 32
B. Hakikat Dan Fungsi Pajak ............................................................ 35
1. Fungsi Pajak Bagi Pembangunan Perekonomian Negara ..... 36
2. Fungsi Pajak Bagi kemakmuran Rakyat ............................... 38
C. E-commecer Dalam Perspektif Hukum Di Indonesia. ................. 40
ix
1. E-commecer Dalam Perspektif Hukum Perdata ....................... 42
2. E-commecer Dalam Perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun
2008 yang telah dirubah dalam Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ........ 42
3. E-commecer Dalam Perspektif Undang-undang Nomor 7 Tahun
2014 Tentang Perdagangan. ..................................................... 43
4. E-commecer Dalam Perspektif Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE/62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan
Perpajakan Atas Transaksi e-Commerce .................................. 44
BAB VI : KEDUDUKAN PELAKU USAHA E-COMMERCE ANTAR
NEGARA DALAM HUKUM PERPAJAKAN INDONESIA
YAKNI HUKUM PAJAKPENGHASILAN
A. Pungutan pajak untuk Pelaku E-Commerce antar negara
berdasakan Hukum Islam ............................................................ 46
B. Keberlakuan asas hukum perpajakan di indonesia sebagai
landasan penarikan pajak untuk pelaku E -commerce antar
negara .......................................................................................... 49
C. Tax Treaty sebagai Upaya penhindaran pajak bergangan bagi
pelaku E-Commerce antar negara ............................................... 58
D. Bentuk Usaha Tetap Sebagai Syarat Dalam Pungutan Pajak
Untuk Pelaku E-Commerce Antar Negara .................................. 72
E. Sistem Pungutan pajak untuk E-commecer antar negara di negara
yang sudah sukses dalam pengimplementasiannya .................... 76
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 82
B. Rekomendasi ............................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 85
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Globalisasi zaman telah membuka celah bagi negara negara untuk saling
bekerjasama dalam membangun dan memajukan negara, hal inipun seiringan
dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih dengan keberadaan internet yang
dewasa ini merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, yang hal ini pula telah
mengubah pola prilaku para pelaku usaha dalam bertransaksi/ berdagang.
Kecanggihan teknologi ini semakin mengalami kopleksitas dalam kepastian
hukumnya, sehingga adanya kekosongan hukum untuk mengatur jalanya sirkulasi
transaksi dagang dalam E-Commerce ini.
Kehadiran dan kemajuan teknologi internet ini telah membuka celah bagi
para pengembanganya untuk membantu dan menyeselsaikan keluhan masyarakat
sehingga kehadiran internet ini sangat berguna dan tidak dapat ditutup atau dihindari
oleh negara Indonesia, dimana setiap negara pun mengalami hal yang sama,
kemajuan teknologi ini membuat banyak norma hukum yang sebelumya tidak ada
dibentuk agar kemajuan teknologi tersebut diatur oleh peraturan dan mempunyai
kepastian hukum yang dapat menjadi jamina bagi masyarakat dalam transksi
elektronik tersebut.
kehadiran internet ini berawal dari proyek riset yang disponsori oleh militer
Amerika Serikat pada tahun 1960 bernama ARPANET (Advanced Research
Projects Agency Network). Proyek ini dibentuk untuk membangun komunikasi yang
baik antar negara dan terdapatnya komunikasi yang baik dalam lingkup militer itu
sendiri.1 Dengan terdapatnya internet berbagai sektor saat ini, menjadikan dunia
tanpa batas baik dari segi komunikasi, perekonomian dan lainnya, yang paling
marak saat ini adalah dengan adanya internet telah mengubah sektor perekonomian
yang kian besar dan pesat mulai dengan banyaknya dibentuk berbagai kegiatan
dibidang finansial, investasi dan perdagangan secara global yang mampu ditembus
1 Suseno Sigit, Yurisdiksi Tindak Pidana Siber, (Bandung: Refika Aditama, 2012.) h.1
2
oleh berbagai negara, untuk menciptakan persaingan usaha dan menyatukan
kegiatan ekonomi tanpa berlaku lagi batas antar negara.2
Dengan kehadiran internet telah mengubah pula pratik bisnis dengan melaui
internet yang sekaranf sering disebut dengan e-commerce. Kompleksitas yang
berbeda apabila E-commerce ini digunakan sebagai ajang perdagangan, dimana
karakteristik dari E-commerce dalam dunia perdagangan mempunyai sifat yang
bebeda dimana antar E-merchant ( pihak yang menwarkan barang atau jasa di
internet) dengan E-Costemer ( pihak yang memakai atau membeli barang atau jasa
melalui internet). E-commerce pada umumnya berlangsung secara paperless
transacsion ( transaksi tanpa menggunakan kertas), sehingga dalam transaksi
tersebut tidak menggunakan dokumen kertas melainkan menggunakan dokumen
elektronik.3
Indonesia selaku negara yang mengikuti dan tidak tertutup dari berbagai
kemajuan didunia telah disusupi dengan kemajuan dibidang bisnis. Dalam bidang
bisnis di Indonesia sendiri pun telah terpengaruh dengan kemajuan global yakni
penggunanan internet dalam transaksi jual beli. Perdagangan yang disebut sebagai E-
commerce itu sendiri telah merasuki bidang perdagangan yang bukan hanya merubah
pratik perdagangan namum pula telah merubah ekosistem keuangan negara saat ini.
Kalau dicermati bersama nilai transaksi bisnis e-commerce secara global telah
mencapai 1,25 triliun dolar AS pada tahun 2013. Wilayah regional Asia Tenggara
menjadi sebuah gambaran kesuksesan era modern. Telah diramalkan bahwa
kesuksesan dari penggunaan E-commerce pada tahun 2030 dapat mencapai 64% dan
dapat memakmuran kelas menengah yang terdapat di sekitar negara Asia.4
2 Hendra Halwani , EKonomi Internasional & Globalisasi Ekonomi , (Bandung, Widya
Padjajaran, 2009). h. 1
3 Tansah Rahmatullah, Analisis Yuridis Atas Perlakuan Pajak Terhadap Transaksi E-
Commerce, (Agustus, 2018), h. 3
4 Felicia-Moursalien, 10 Trends That Will Shape Southeast Asian E-Commerce In 2015 ,
https://www.techinasia.com/10-trends-shape-southeast-asian-ecommerce-2015, (Diakses 02 Desember
2018, Pukul 23. 15)
3
Kalau dilihat dari perkembanganya, kemajuan teknolgi yang menjarah
sampai ke dalam perdaganagn merupakan kemajuan yang telah memberikan
kepuasaan dan kemudahaan bagi para penggunanya, dimana perusahaan seperti
Amazon dan London-based ASOS telah memperhitungkan Asia Tenggara seperti
Singapura, Thailand, dan Indonesia sebagai pertumbuhan pasar tercepat di Asia
Oleh karenanya hal ini vital untuk kemajuan bisnis agar dapat menyesuaikan
permintaan konsumen dan membuat kegiatan belanja menajdi lebih baik.5
Perlu diwajibkanya pajak terhadap para pelaku usaha dalam transaksi E-
commerce agar dapat membuahkan hasil yang dapat membantu perekonomian
negara, dikarenakan banyaknya transaksi yang dilakukan dalam teknologi tersebut
dan banyaknya E-commerce yang telah menjarah masuk dalam lingkup ruas pabean
negara Indonesia yang selayaknya memang harus dikenakan pajak. Bahkan pada
tahun 2018 ini saja perusahaan Alibaba telah berniat dan mempunyai rencana untuk
mengekspansi perusahaan mereka ke negara Indonesia untuk dijadikan pasar yang
sangat pesat bagi kemajuan dari perusahaan starup ini.6
Di Indonesia sediri pun, mayarakatnya telah menemukan kemudahan dan
kenyamanan konsumen dalam melakukan transaksi jual beli melalui e-commerce
(electronic commerce atau perdagangan elektronik), membuat transaksi
perdagangan konvensional turun secara signifikan. Data Pertumbuhan Nilai
Transaksi e-commerce di Indonesia menunjukkan pada tahun 2011 sebesar Rp13,5
triliun. Nilai tersebut terus merangkak naik menjadi Rp47 triliun pada tahun 2015,
Rp75 triliun pada tahun 2016, dan diproyeksikan pada tahun 2018 menjadi Rp102
triliun. Pun hal ini semakin diperkuat manakala penggunaan internet yang berada di
Indonesia mencapai 132.7 Juta.7 Hal ini tentu memberikan keuntungan bagi negara
5 Bruno Sidler,Asean Positions Itself As, Asia’s “Third Force”,
Http://Www.Acommerce.Asia/Asean-PositionsItself-As-Asias-Third-Force/,(Diakses02 Desember 2018,
Pukul 23. 15)
6 Sheji Ho10 e-commerce trends that will shape Southeast Asia in 2018 (Part 1),
https://technode.com/2018/01/02/10-e-commerce-trends-will-shape-southeast-asia-2018-part-1/, (Diakses
02 Desember 2018, Pukul 23. 15)
7 Jurnal Media Keuangan Transparansi Dan Kebijaka Fiskal, Kesetaraan Pajak Untuk E-
commerce, Volume XIII, 126 (Maret 2018). h 8 - 10
4
manakala negara dapat memjadikan E-commerce menjadi objek serta subjek dari
perpajakan itu sendiri.
Direktorat Jendral Perpajakan telah memetakan empat model transaksi e-
commerce, yaitu Online Marketplace, Classified Ads, Daily Deals dan Online
Retail.8 Dalam keempat model transaksi e-commerce ini, terdapat suatu pembayaran
imbalan atau penghasilan karena jual-beli barang/atau jasa yang merupakan objek
pajak Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan
dikenakan pajak menurut aturan perpajakan yang berlaku. Karena kemajuan dari
teknologi ini tidak dapat dihindari, maka pengaturan yang baik agar kemajuan
tekonolgi ini dapat membantu negara maka diperlukanya pengaturan pajak yang
tepat bagi para pengguna teknologi ini.
Apabila kita telaah lebih lanjut bahwasanya terdapatnya beberapa sumber
penghasilan negara (Public Revenues), antara lain: 1. Kekayaan alam, 2 laba
pengusaha negara, 3. Royalti, 4. Retribusi, 5. Kontribusi, 6. Bea, 7. Cukai, 8. Denda,
9. Pajak.9. maka pantaslah manakala pengaturan lebih lanjut untuk pajak yang
diberlakukan bagi para pelaku usaha E-commerce harus diadakan, karena setiap
orang yang berkegiatan ekonomis yang mencapai pabean negara Indonesia harus
dikenakan pajak sesuai dengan asas sumber yang dianut oleh hukum perpajakan
Internasional.
Penetapan pajak untuk E-commerce merupakan hal yang sangat dibutuhkan
saat ini dikarenakan perkembangan E-commerce yang kian meningkat telah
mengubah pola perdagangan yang konvensional menjadi perdagangan melalui
internet atau media sosial, kalau dilihat secara data saja dalam transaksi E-commerce
melalui salah satu perusahaan E-commerce yakni Tokopedia saja terdapat 1,3 juta
merchant, dan Bukalapak mencapai 2,2 juta merchant10
yang apabila kita tarik
8 Chandra Budi, Menyasar Pajak Transaksi e-Commerce, (April 2014). h. 2
9 Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, (Jakarta, Granit, 2005). h. 4
10
Jurnal Media Keuangan Transparansi Dan Kebijaka Fiskal , Kesetaraan Pajak Untuk E-
commerce, XII , 126 (Maret 2018). h. 10
5
sebagai pemasukan negara berupa pajak baik PPh atau PPN maka hal ini merupakan
hal yang dapat menguntungkan untuk meningkatkan perekonomian negara.
Pajak memegang peranan yang sangat penting sebagai salah satu sumber
pendapatan negara, dan dapat digunakan sebagai alat untuk mengatur kegiatan
ekonomi dan pajak berfungsi sebagai alat atau instrumen yang digunakan untuk
memasukan dana secara optimal ke dalam kas negara . dalam hal ini fungsi pajak
lebih diarahkan sebagai instrumen penarik dana dari masyarakat untuk dimasukan
ke dalam kas negara. Dana yang berasal dari pajak dipergunakan bagi
penyelenggaraan dan aktivitas pemerintahan.11
Menurut Prof. William Fox dan Donald Bruce dari Universitas Tennessee, e-
commerce telah menyebabkan dua kehilangan pajak sekaligus. Pertama, e-
commerce merupakan pengganti dan perluasan dari remote sales yang pajaknya
tidak pernah dikumpulkan. Kedua, e-commerce yang merupakan subtitusi atau
perluasan juga tidak terjangkau oleh peraturan pajak atau retribusi lokal, sekalipun
yang terbaru. Inilah yang ditunding mengapa banyak pemerintah melihat e-
commerce sebagai salah satu penyebab terbesar hilangnya penerimaan negara yang
amat signifikan.12
Keberadaan E-commerce pun dampak negatif dalam e-commerce
(aspek pajak terutama). Dampak paling signifikan adalah pengurangan dalam
pengumpulan pajak di Negara . oleh karenanya transaksi e-commerce harus dikenai
pajak karena pada akhirnya akan mengurangi penerimaan pajak negara13
Apabila pengenaan pajak untuk E-commerce dilakuakan dapat
meninngkatkan pemasukan pajak pada globalisasi zaman saat ini bagi negara,
sehingga diperlukanya pengenaan pajak untuk E-commerce baik lokal maupun antar
negara, karena pada prinsipnya kegiatan usaha atau perdagangan yang dilakukan
melaui E-commerce merupakan kegiatan perdaganan yang harus dikenakan pajak
11
Ali Chidir, Hukum Pajak Elementer, (Bandung , PT Eresco, 2007). h. 17
12
Al Adib Edi Susilo, Pajak Untuk E-Commerce, Edi Artikel, (12 Maret 2010).
13 Andrew, The Final Frontier, Journal of Accountancy, (Agutsus, 1999). h. 33-36
6
sama dengan perdagangan konvensional lainya, pun tak adanya pajak khusus yang
didapatkan oleh para pedagang yang berdangan melalui E-commerce.14
Rochmat Soemitro telah menjelaskan bahwa pengenaan pajak kepada setiap
wajib pajak merupakan suatu bentuk tabungan masyarakat yang diberikan kepada
negara untuk diputar balik lagi kepada masyarakat dalam bentuk infrastruktur,
pelayanan pemerintahan dan lain sebagainya.15
Sehingga tentu pengenaan pajak
dalam bentuk transkasi E-commerece ini akan memberikan kemanfaatan yang
sebesar-besarnya pula bagi masyarakat luas karena, pajak yang kita berikan akan
dikemablikan oleh negara dalam bentuk infratruktur yang dapat memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat.
Pemasukan negara berupa pajak pun mempunyai fungsi yang bukan hanya
untuk pemasukan pemerintahan namun pula dalam mengatur perekonomian negara
(Reguler End).16
Pengaturan perekonomian yang saat ini dibutuhkan oleh negara
akan teratasi manakala kita dapat menjadikan para pelaku usaha yang melakukan
transaksi menggunakan E-commrece menjadi salah satu subjek pajak baik dalam
negeri maupun luar negari yang dapat menjadi pemasukan negara secara masif
melalui kewajiban pajak itu sendiri.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan semakin banyaknya perpindahan
perdagangan dari kovnesional ke perdagangan elektronik berdampak pada
pengurangan pemasukan negara yang berasal dari pajak. Sehingga pengkajian pun
dilakukan baik dari Diktorat Jendral Perpajak sendiri maupun Menteri Keuangan
dalam penetapan pajak seperti apakah yang pantas dikenakan untuk para pelaku E-
commerce terutama untuk para pelaku E-commerce yang tidak mempunyai BUT (
Bentuk Usaha Tetap) di indonesia namum telah berkegiatan ekonomis di Indonesia.
14
Nufransa Wira Sakti, Buku Pintar Pajak E-Commerce, (Jakarta : Visi Media, 2014). h. 72
15
Rochmat Soemitro, Pajak Dan Pembangunan, (Bandung : Eresco, 1988). h. 10
16
Soemarso S.R, Perpajakan Pendekatan Konperhensif, (Jakarta Selatan : Salemba Empat
2007). h. 4
7
Apabila ditelaah secara umum, dimana suatu negara mempunyai hak dalam
pemajakan terhadapat setiap individu atau badan berdasarkan dua hal yakni
Personal Attachment atau keterkaitan suatu negara dengan subjek pajak dan
Terittorial Attachment atau keterkaitan suatu negara dengan teritorial dengan negara
tersebut.17
Maka secara implisit negara pula mempunyai hak kepada para pedagang
yang terdapat dalam E-commerce (E-Merchant) dalam menarik pajak terhadap
mereka maupun terhadap perusahaan E-commerce tersebut yang berkegiatan
ekonomis di Indonesia.
Pasal 26 Undang-Undang Nomor. 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan
Keempat Atas Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
telah memberikan penjelasan mengenai Subjek Pajak luar Negeri yang dapat
dikenakan pajak, Presiden Jokowi pada tanggal 21 Juli 2017 telah mengeluarkan
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem
Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (SPNBE) / Road Map e-commerce
Tahun 2017-2019. Perpres tersebut dikeluarkan dengan menggunakan pertimbangan
bahwa ekonomi berbasis elektronik mempunyai potensi ekonomi yang besar dan
merupakan salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Terkait dengan jenis
pajak untuk e-commerce, Direktur Peraturan Perpajakan II (PP II), Yunirwansyah,
menjelaskan bahwa sebenarnya tidak ada jenis pajak baru. Dalam hal ini, penerapan
pajak e-commerce hanya akan melaksanakan ketentuan dalam peraturan yang telah
ada saat ini, yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (KUP), Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun
2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh wajib pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.18
Dimana dalam Lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-Commerce
17
Wolfgang Schon, Person And Territories on the international Allocation Of Taxing Rights
,(VI , 2010). h. 544
18
Jurnal Media Keuangan Transparansi Dan Kebijaka Fiskal , Kesetaraan Pajak Untuk E-
commerce, XII , 126 (Maret 2018). h. 11
8
ini memperinci dua jenis pajak yang dapat dibebankan kepada pelaku transaksi E-
Commerce, yaitu pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Penetapan pajak
untuk E-commerce pun menemukan polemik apakah memang Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Sebagai negara
yang masih mengkaji akan perpajakan untuk E-commerce perlulah negara Indonesia
berguru pada negara yang telah sukses dalam menentukan Pajak sampai pada tahap
pemungutan Pajak untuk E-commerce antar negara, seperti yang sudah sukses
memberlakukan pajak untuk e-commerce.19
Berdasarkan berbagai irisan pemikiran tersebut, peneliti akan meneliti dan
mengupas secara mendalam terkait bagaimanakah pengaturan pajak untuk E-
commerce antar negara. Dari hasil penelitian tersebut akan penulis paparkan dalam
sebuah skripsi yang berjudul, “PUNGUTAN PAJAK UNTUK E-COMMERCE
ANTAR NEGARA BERDASARKAN HUKUM PERPAJAKAN”
B. Identifikasi Masalah,Pembatasan, Dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasikan masalah
sebagai berikut:
a. Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa telah menetapkan dalam sila ke 5
nya yakni keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, maka pengenaan pajak
untuk setiap wajib pajak harus ditegakan untuk menyetarakan setiap
orang/badan yang terkualifikasi sebagai wajib pajak.
b. Adanya transaksi melalui E-commerce ternyata telah berdampak pada
penurunan penghasilan negara bersumber dari pajak dikarenakan banyaknya
penjual konvensional yang beralih kepada perdagangan melalui elektronik.
c. Pengenaan pajak terhadap E-commerce antar negara menemui kesulitan
manakala dalam Undang-Undang Nomor. 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1983 Tentang
19
Resha Dwiayu Pangesti, Menguak Permasalahan Perpajakan E- Commerce Di Indonesia Dan
Solusi Pemecahannya, Jurnal Riset Akuntansi dan Bisnis Airlangga , 2, 1, (Surabaya 2017). h. 189
9
Pajak Penghasilan mengharusnkan adanya BUT ( bentuk usaha tetap) agar
dapat dikenakan pajak.
d. Tercederainya asas sumber dalam perpajakan, dalam hal E-commerce antar
negara para subjek pajak tidak bertempat tinggal Di Indoensia namun
berkegiatan ekonomis di Indoensia yang dapat disebut sebagia subjek pajak
luar negeri.
e. Tercederainya asas Equality dimana dalam perpajakan perlunya kesetaraan
antara setiap pedagang yang memiliki hasik untuk dikenakan pajak sebagai
pemasukan untuk negara.
f. Adanya Pajak Berganda yang semakin mepersulit untuk memberikan pajak
atas penghasilan yang diperoleh dari subjek pajak luar negeri untuk
membayar pajak atas pengahasilan yang diterima dinegara indonesia.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang serta masalah yang berhasil diidentifikasi peneliti,
maka tampak begitu kompleksnya persoalan yang timbul terkait sistem integrasi
notifikasi merger. Untuk itu peneliti memberi batasan-batasan demi
mempertajam bahasan dalam penelitian ini, dimana skripsi ini berpijak pada
pengaturan pungutan pajak bagi para pelaku e-commerce antar negara yang
tidak memiliki BUT (bentuk usaha tetap) di Indonesia dan e-commerce dengan
model Online Marketplace. Sumber hukum yang digunakan skripsi ini yakni
Pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan.
3. Perumusan Masalah
Masalah utama yang menjadi fokus pembahasan dan penelitian terkait
dengan pengaturan hukum pajak pengahsilan terhadap pelaku usaha yang tidak
berdomisili di Indonesia atau asing. Untuk mempertegas masalah utama maka
akan dijabarkan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana regulasi pungutan pajak penghasilan untuk pelaku E-commerce
antar negara berdasarkan hukum perpajakan di Indonesia?
b. Faktor- faktor apakah yang menghambat atau mempengaruhi pungutan
pajak untuk pelaku E-commerce antar negara di Indonesia?
10
C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dalam penelitian ini peneliti mencoba
menggambarkan tujuan yang dapat dihasilkan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pengaturan hukum pajak penghasilan kepada para pelaku
usaha E-Commerce antar negara.
b. Untuk mengetahui faktor yang menghambat atau mempengaruhi pungutan
pajak untuk pelaku pelaku E-commerce antar negara di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang ingin dicapai, tentunya peneliti berharap hasil penelitian ini
juga dapat memberi manfaat yang nyata untuk penyempurnaan aturan hukum
perpajakan di Indonesia. Adapun manfaat penelitian yang ingin dihadirkan peneliti
sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas khazanah keilmuan
dalam bidang hukum perpajakan, lebih spesifiknya terkait berbagai sistem
penetapan hukum perpajakan di Indonesia.
b. Manfaat Praktis
Dari hasil penelitian ini, besar harapan peneliti perumus undang-undang
ke depannya mendapat masukan yang berarti terkait bagaimana penetapan pajak
yang tepat untuk E-commerce antar negara yang dapat diaplikasikan dan
diundangkan di Indonesia.
D. Metode Penelitian
Jenis dan Pendekatan Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
dengan jenis pendekatan penelitian yakni normatif-empiris dengan jenis penelitian
kualitatif, Objek penelitian yang dikaji peneliti terfokus pada literatur (kepustakaan)
berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, baik
dokumen cetak maupun elektronik serta berbagai hasil penelitian terdahulu yang
membahas persoalan terkait Hukum Perpajakan yakni Pajak Pengahsilan (PPh).
Sedangkan untuk pendekatan yang digunakan meliputi 2 jenis pendekatan, yakni;
11
1. Jenis Pendekatan Penelitian
a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach), mengingat peneliti
berusaha menganalisis beberapa peraturan perundang-undangan sebagai
fokus penelitian, yakni Pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
b. Pendekatan Konseptual (conceptual approach), mengingat peneliti berusaha
menemukan konsep yang sesuai dalam pengaturan terkait Hukum
Perpajakan Di Indoensia.
2. Data, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data
Yang penulis gunakan dalam penelitian ini berupa informasi terkait Penetapan
hukum perpajakan yang digunakan di Indonesia, seperti pengaturan pajak
pengahasilan dalam penetapan pajak untuk E-commerce, kewajiban melakukan
pembayaran pajak ke negara mana apakah negara pembeli atau penjual, kepada
otoritas siapakah yang berhak menarik pajak, bagaimanakah perhitungan dalam
pemotongan pajak, bagaimanakah sistem atau alat yang digunakan dalam
pemotongan pajak.
Penelitian ini menggunakan sumber penelitian yang berdasarkan hukum
perpajakan yang berlaku di Indonesia. Informasi tersebut kemudian
dikelompokkan menjadi 2 (dua) sumber sebagai berikut:
a. Sumber Primer
Sumber primer dari penelitian ini yakni sejumlah undang-undang
yang berlaku di Indonesia, yakni Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 26.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yakni
sejumlah undang-undang, peraturan pelaksana (PP) yang berisi mekanisme
pelaksanaan undang-undang serta berupa dokumen yang berisi pedoman
pelaksana dan pengawasan pengawasan yang dikeluarkan oleh lembaga
resmi negara. Adapun sumber sekunder yang dimaksud dalam penelitian ini
sebagai berikut:
12
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik
2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor. 210/ PMK. 010/
2018 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui
Sistem Elekteonik ( E-Commerce )
3) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh
wajib pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
4) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan
Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (SPNBE) / Road Map
e-commerce Tahun 2017-2019.
Selanjutnya peneliti menggunakan metode pengumpulan data berupa
observasi dan komunikasi. Melalui studi pustaka peneliti mengumpulkan
berbagai referensi terkait, baik dalam bentuk buku-buku, dokumen, media cetak
maupun elektronik yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang sedang
diteliti.
3. Metode Analisis Data
Dari seluruh data yang didapatkan, penulis mengolah data dengan
mengklasifikasikan seluruh data ke dalam beberapa kategori tertentu
berdasarkan permasalahan yang dirumuskan secara induktif. Dari data tersebut
selanjutnya dianalisa secara yuridis untuk kemudian dikomparasikan dengan
data berupa muatan aturan hukum Pajak Penghasilan. Data yang diperoleh dari
Studi Kepustakaan kemudian diolah lebih lanjut menggunakan metode analisis
isi, yakni dengan cara memahami serta mengkonstruksi pemikiran baru untuk
menghasilkan gagasan-gagasan baru yang lebih konkrit.
4. Teknik Penulisan
Sedangkan teknik penyusunan dan penulisan skripsi ini berpedoman ada
buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan pada tahun 2017.
13
E. Sistematika Penulisan
Untuk menjelaskan isi skripsi secara menyeluruh ke dalam penulisan yang
sistematis dan terstruktur maka pada skripsi ini penulis susun dengan sistematika
penulisan yang terdiri dari lima bab yaitu sebagai berikut:
BAB I : Berisi mengenai uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Dalam bab ini akan membahas tinjauan yang berisi teori-teori yang
digunakan untuk menganalisis dan menginterprestasikan data
penelitian. Kajian Pustaka ini diawali dengan pemaparan kerangka
konsep yang kemudian diikuti dengan pemaparan dari kerangka teori.
Kajian Pustaka yang baik akan membantu peneliti dalam merumuskan
hipotesis dari penelitian tersebut. Selain itu, juga terdapat review
(tinjauan ulang) hasil studi terdahulu pada sub bab kedua dari Bab II,
di mana peneliti menelusuri dan mendeskripsikan hasil
penelusurannya terhadap penelitian terdahulu yang serumpun.
BAB III : Dalam bab ini akan lebih mengupas sistem-sistem perpajakan yang
diterapkan di Indonesia baik dari aspek muatan regulasi maupun
keharmonisan aturan. Disamping itu juga membahas perkembangan
pengaturan perpajakan dalam lintasan sejarah.
BAB IV : Dalam bab ini akan memuat analisis dan interpretasi peneliti terkait
sistem perpajakan di Indonesia berikut analisis terhadap aturan
perpajakan di Indonesia dan Internasional. Bab ini juga membahas
persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kekurangan sistem
perpajakan berdasarkan hukum perpajakan di Indonesia.
BAB V : Bab ini berisikan kesimpulan dan rekomendasi atas temuan yang
diperoleh peneliti dari permasalahan yang diangkat pada penelitian
ini.
14
BAB II
TINJUAN PUSTAKA PERPAJAKAN DAN PERDAGANGAN MELALUI
ELEKTRONIK ( E-COMMERCCE)
A. Kerangka Konseptual
Dalam pembahasan ini, akan diuraikan beberapa konsep terkait beberapa
istilah yang akan sering digunakan, sehingga dalam hal ini penulis mencoba
untuk memberikan berbagai kerangka konseptual dalam rangka
menyederhanakan pemahaman terhadap penelitian ini berupa :
1. Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara
untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk
public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public
investment.
2. Pajak penghasilan adalah jenis pajak yang dikenakan atas subjek pajak
dari penghasilan yang dihasilkan atau diperoleh melalui usaha yang
dilakukannya yang diberikan kepada Dirjen pajak pada tiap tahunya.1
3. Subjek pajak adalah orang/pihak yang dituju oleh undang-undang perpajakan
untuk dikenakan pajak.
4. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak
dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
5. Penerimaan Pajak adalah sumber penerimaan yang dapat diperoleh
secara terus-menerus dan dapat dikembangkan secara optimal sesuai
kebutuhan pemerintah serta kondisi masyarakat.2
6. E-Commerce adalah perdagangan elektronik atau e-dagang (Electronic
Commerce) yaitu penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang,
dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www,
atau jaringan komputer lainnya. E-dagang dapat melibatkan transfer
1 Jamaluddin, Pengantar Perpajakan, (Makassar : Alauddin Press, 2011). h. 86
2 John Hutagaol, Perpajakan Isu-isu Kontemporer, (Jakarta: Graha Ilmu, 2007). h. 325
15
dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori
otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis.
7. E-Commerce antar negara adalah perdagangan yang dilakukan melalui
internet yang dilakukan melalui crossborder atau dilintas negara.
8. E-merchant adalah pihak yang melakukan usaha jual beli baik barang
atau jasa dengan menggunakan internet
9. E-costemer adalah pihak yang melakukan pembelian kepada pihak yang
menawarkan barang atau jasa melalui internet.
Secara garis besar pajak telah diatur dan didefinisakn dan dijelaskan
secara rinci baik melalui perundang-udnagan dan menurut beberapa ahli
pajak, begitu pula dengan pengertian E-commerce sudah banyak buku yang
membahas mengenai transaksi E-commerce menurut perundang-undangan
atau menurut para ahli yang akan dijelasskan dibawah ini.
a. Pajak
1) Pengertian pajak Secara Normatif dan Menurut Para Ahli.
Pajak merupakan salah satu dari sekian pemasukan negara yang
dapat membantu pembangunan perekonomian negara, melalui pajak
secara tidak langsung masyarakat telah membantu negara dalam
membangun kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Dengan membayar
pajak maka masyarakat telah menabung agar terfasilitasisanya segala
kebutuhan mereka yang dapat mempermudah aktivitas mereka sendiri
sendiri.3
Wajib pajak mempunyai tertib wajib pajak berupa kepatuhan
wajib pajak yang harus dipatuhi oleh wajib pajak yang sadar bahwa
setiap penghasilan atas royalti yang mereka dapatkan mempunyai nilai
pajak yang harus dibayarkan kepada negara. Menurut Menurut Erard
dan Feinstein pengertian wajib pajak adalah rasa bersalah dan rasa malu
atas pendapatan yang mereka hasilkan guna memberikan keadilan
3 Muhammad Zain, Manajemen Perpajakan, ( Jakarta: Salemba Empat, 2008). h. 48
16
beban pa jak yang mereka tanggung yang berpengaruh terhadap
kepuasaan pribadi atas pelayan publik yang di berikan4. Kepatuhan
wajib pajak yang dibebani kepada wajib pajak sendiri pun terkadang
masih memiliki kendala dan halangan berupa ketidakpatuhan wajib
pajak, yakni seorang wajib pajak yang tidak menjalankan kewajibanyan
untuk membayarkan pajak kepada negara sesuai dengan nominal yang
sudah ditentukan oleh negara yang tercantum didalam Undang-Undang
tentang perpajakan.
Apabila kita melihat dalam konteks yuridis makna ataupun arti
dari pajak itu sendiri sebagaimana yang terdapat dalam pasal 1 ayat
1 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 pajak adalah kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang–Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar–besarnya kemakmuran rakyat. Maka penafsiran
yang kita temukan adalah pajak merupakan kewajiban membayar
royalti atas pendapatan seseorang yang dipaksakan oleh negara kepada
orang tersebut yang wajib dibayarkan dengan jumlah yang sudah
ditentukan oleh Undang-Undang.
Banyak para ahli memberikan pengertian tentang pajak, adapun
pengertian pajak yang dikemukakan oleh Waluyo pengertian pajak
adalah sebagai berikut, Pajak adalah tagihan masyarakat kepada negara
(yang dipaksakan) yang terutang oleh pihak wajib pajak yang
membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk
dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan.5
4 Devano, Sony Dan Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan Konsep, Teori, Dan Isu. ( Jakarta :
Kencana Prenada Media Grup, 2006). h. 111
5 Waluyo. Akuntansi Pajak (Jakarta : Salemba Empat, 2009). h. 2
17
C. F. Bastable menyatakan pajak adalah a complusory
contribution of the wealth of a person or body of persons for the service
of the public powers6. Sedangkan menurut H. C Adams seorang
ekonom dan filsuf bangsa amerika merumuskan makna pajak adalah : a
contribution of the citizen to the support of the state7. Dari kedua
pengertian diatas baik C. F. Bastable ataupun H. C Adams sama-sama
memilki pengertian bahwa pajak merupakan kontribusi masyrakat
kepada negara untuk mendapatkan pelayana yang baik oleh negara.
Adapun menurut guru besar hukum pajak Universitas
Padjajaran, bandung yakni Prof. Dr. Rochmat Soemitro S.H.
mendefinisikan pajak sebagai berikut, pajak merupakan iuran atau
sumbangan kepada kas negara berupa peralihan kekayaan dari sektor
praktikulir ke sektor pemerintah berdasarkan undang-undang yang
dapat dipaksakan dengan tiada jasa timbal.8 Sedangkan menurut Prof
Dr. P.J.A Andiani merumuskan frasa pajak adalah iuran kepada
pemerintah dengan pemaksaan yang berbentuk hutang dengan tidak
mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan
berguna untuk membiyai segala bentuk pengeluaran negara yang
berhubungan dengan tugas negara untuk mensejahterkana rakyatnya9.
Dari kedua pendapat yang dipaparkan diatas terlihat jelas bahwa pajak
merupakan suatu bentuk iuran masyarakat terhadap negara guna
membantu pemerintah menjalankan fungsinya sebagai administrasi
publik yang melayani masyrakat yang dapat memberikan kesejahteraan
bagi rakyatnya.
6 C. F. Bastable, Public Finance, ( London, Macmillan And Co., 1993). h. 263
7 H. C Adams, The Science Of Finance, (New York, 1989). h. 302
8 Safri Nurmatu. Pengantar Perpajakan ( Jakarta : Granit, 2005). h. 12
9 R. Santoso Brotodiharjo S.H, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ( Bandung, Eresco, 1989)
h. 2 .
18
2) Subjek pajak Secara Umum.
a) Subjek Pajak Penghasilan
Dalam Undang-Undang Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, telah
mendefiniskan bahwa subjek pajak adalah ketenuan mengenai siapa
saja yang diperintahkan oleh negara untuk membayar pajak atas
sebagaian pengahasilan yang diperolehnya.
Adapun pihak yang menjadi sasaran sebagi subjek pajak
adalah10
:
(1) Orang pribadi yaitu manusia yang masih hidup, yakni individu
yang dewasa yang sudah atau belum menikah dapat berupa
keluarga yang belum bercerai dan tidak terdapanya perjanjian
antara keduanya dengan perjanjian pisah harta.
(2) Badan yang terdiri dari sekumpulan orang atau modal yang
melakukan usaha, meliputi perseroan terbatas, perseoran
komandeter, yang modalnya terbagi atas saham-saham, perseroan
lainya,baik BUMN atau pun BUMD dan dapat pula dalam bentuk
koprasi, dana pensiun benbentuk PT, bentuk usaha tetap dan badan
lainya termasuk reksadana berbentuk PT, CV atau perseroan
komandeter yang modalnya terbagi atas saham
(3) Bentuk usaha tetap (BUT) Adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
10
Muda Markus, Perpajakan Indonesia Suatu Pengantar, ( Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama, 2005 ). h. 13-14
19
(a) empat kedudukan manajemen;
(b) cabang perusahaan;
(c) kantor perwakilan;
(d) gedung kantor;
(e) pabrik;
(f) bengkel;
(g) gudang;
(h) ruang untuk promosi dan penjualan;
(i) pertambangan dan penggalian sumber alam;
(j) wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
(k) perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau
kehutanan;
(l) proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
(m) pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau
orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
(n) orang atau badan yang bertindak selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas;
(o) agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia; dan
(p) komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang
dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi
elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
(4) Dalam hukum perpajakan terdapatnya 2 subjek pajak yakni :
(a) Subjek pajak dalam negeri adalah:
A. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
20
belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun
pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia;
B. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah
yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan
fungsional negara; dan
C. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak.
(b) Subjek pajak luar negeri adalah:
A. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
B. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
21
tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
b) Subjek Pajak Pertambahan Nilai.
Pajak pertambahan nilai (PPN) merupakan pajak tidak
langsung, artinya pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dialihkan kepada orang lain atau pihak ketiga. pihak-pihak yang
mempunyai kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan PPN
terdiri atas11
:
(a) Pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan penyerahan
barang kena pajak/jasa kena pajak didalam daerah pabean dan
melakukan ekspor barang kena pajak berwujud/barang kena
pajak tidak berwujud/jasa kena pajak.
(b) Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai
pengusa kena pajak (PKP)
3) Objek Pajak Secara Umum.
Objek pajak adalah segala ketentuan yang telah diatur dalam
Undang-Undang sebagai bentuk legalitas dalam pungutan pajak.
Pengenanaan pajak atas suatu objek harus mempertimbangkan
kemaslahatan rakyat agar tidak terjadinya konflik sosial antara
pemerintah dengan masyarakat. Oleh karena itu penetuan objek pajak
dilakukan penelitian secara mendalam agar dapat menciptakan
kemanfaatan bagi megara maupun daerah yang memungut pajak.
a) Objek Pajak Penghasilan
Objek pajak penghasilan adalah pengahasilan, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib
pajak, baik yang berasal dari Indoensia maupun dari luar negeri, yang
dapat digunakan atau dikonsumsi oleh wajib pajak tersebut berbentuk
11
Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus. Edisi 6, Buku 2 ( Jakarta: Salemba Empat,
2011). h. 5
22
fasilitas dari negara.12
dari pengertian diatas dapat ditarik bahwa objek
dari pajak adalah pengasilan atau upah yang diberikan oleh seseorang
kepada baik kepada pekerja maupun pelaku usaha.
Penghasilan sebagai objek pajak dapat diperoleh melalui Indonesia
maupun dari luar Indonesia, berdasarkan asal negara sumber
penghasilan tersebut didapat, maka objek pajak dapat menjadi 2 yakni
objek pajak dalam negeri dan objek pajak luar negeri, adapun objek
pajak dalam negeri adalah penghasilan yang diperoleh oleh pelaku usaha
atau pekerja termasuk BUT maupun subjek pajak luar negeri yang hasil
usahanya berasal dari Indonesia, sedangkan objek pajak luar negeri
yakni penghasilan yang diperoleh adalah penghasilan yang diperoleh
oleh pelaku usaha atau pekerja termasuk BUT yang berasal dari luar
Indonesia, pengahasilan yang sudah atau belum dipotong pajak di
tempat penghasilan tersebut didapat, tetap merupakan objek pajak
penghasilan di Indoensia13
.
b) Objek Pajak Pertambaha Nilai.
Objek pertambahan nilai merupakan satu diantara dua jenis pajak
yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Selain
pajak pertambahan nilai terdapat pula pajak penjualan atas barang
mewah yang merupakan satu kesatuan dari pajak atas konsumsi dalam
negeri. Sekalipun mereka meupakan satu kesatuan namun secara objek
pajak pertambahan nilai dan pajak atas barang mewah mempunyai
objek yang berbeda.
Adapun objek pajak pertambahan nilai yang terdapat dalam Pasal 4
Ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak
pertambahan nilai:
12
Eka An Aqimudin dan Marye Agung Kusuma, Solusi Bila Terjerat Kasus Bisnis,
(Jakarta : Raih Asa Sukses, 2010). h. 267
13
Djoko Muljono, Panduan Brevet Pajak Penghasila, ( Yogyakarta : Cv. Andi Offset,
2010). h. 11
23
(1) Penyerahan barang kena pajak didalam daerah pabean yang
dilakukan oleh pengusaha
(2) Impro barang kena pajak
(3) Penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan
oleh pengusaha
(4) Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah
pabean didalam daerah pabean
(5) Pemnfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean didalam daerah
pabean
(6) Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.
b. E-Commerce.
1) Pengertian E-Commerce Menurut Para Ahli
E-Commerce adalah proses hubungan dagang bisnis ke bisnis, untuk
memudahkan pembelian atau penjualan antar perusahaan-perusahaan, yang
dalam pembayaran terkadang menggunakan Online Processing Credit Card,
Money Transfer, atau Cash On Delivery jika alamat konsumen satu kota dengan
penjual. Sebagian orang berpikir bahwa ECommerce adalah shooping online,
belanja, atau membeli sesuatu di internet.Transaksi online hanyalah sebagian
kecil dari tujuan E-Commerce. Dikarenakan memang sebagain besar fungsi dari
pada E-Commerce itu sendiri adalah sarana untuk berbisnis.
Electronic Commerce (E-Commerce) adalah proses pembelian,
penjualan atau pertukaran produk, jasa dan informasi melalui jaringan
komputer. E-Commerce merupakan bagian dari e-business, di mana
cakupan e-business lebih luas, tidak hanya sekedar perniagaan tetapi
mencakup juga pengkolaborasian mitra bisnis, pelayanan nasabah,
lowongan pekerjaan dll. Selain teknologi jaringan www, E-Commerce
juga memerlukan teknologi basis data atau pangkalan data (database), e-
surat atau surat elektronik (e-mail), dan bentuk teknologi non komputer
24
yang lain seperti halnya sistem pengiriman barang, dan alat pembayaran
untuk E-Commerce ini.14
Menurut para Ahli yakni turban dan kawan-kawan yang memaknai E-
Commerce ialah proses jual beli atau tukar menukar produk,jasa atau informasi
melalui komputer15
. Sedangkan Laudon memberikan definisi E-Commerce
adalah transaksi bisnis yang dilakukan melalui internet atau web atau transaksi
perdagangan yang dilakukan melalui alat digital antar organisasi dengan
organisasi atau dengan individu atau antar individu itu sendiri.16
Dari kedua
definisi diatas dapat kita tarik bahwa E-Commerce merupakan suatu kegiatan
jual beli atau tukar menukan barang yang dilakukan secara tidak langsung atau
tidak bertatap muka, namun digunakan dengan menggunakan internet atau alat
digital lainya.
Menurut Kotler & Amstrong E-Commerce adalah saluran online
yang dapat dijangkau seseorang melalui alat elektronik seperti komputer
atau handphone, yang digunakan oleh penjual dalam melakukan usahanya
dan digunakan konsumen untuk mendapatkan informasi dengan
menggunakan jasa internet yang dalam prosesnya diawali dengan
memberi jasa informasi pada konsumen dalam menentukan pilihan17
.
Sedangkan menurut Jony Wong E-Commerce adalah proses jual beli dan
memasarkan barang serta jasa melalui sistem elektronik, seperti radio,
televisi dan jaringan komputer atau internet18
. Dari kedua pengertian
tersebut maka dapat ditarik kesimpulan kembali bahwa E-Commerce
14
Ripah Karyatiningsih, Penerapan E-Commerce dalam Menunjang Strategi Bisnis
Perusahaan Kasus di PT. Cheil Jedang Superfeed (CJS), Makalah, Program Pasca Sarjana
Manajemen dan Bisnis ITB, Bogor, 2011, hlm. 3
15
Turban, Efrain, Linda Volonino, Information Technology for Management, Asia, 7th
Edition John Willey & Sons, 2010).h. 46
16
Laudon, K, & J.P. Laudon, Management Informtaion System: Managing the Digital
Firm, ( New York : 11th edition. New Jersey: Prentice Hall , 2010). h. 8
17
Kotler, Philip, dan Gary Armstrong, Prinsip-prinsip Pemasaran, (Jakarta : Erlangga
2012).
18
Jony Wong, Internet Marketing for Beginners,(Jakarta : Elex Media Komputindo,
2010).
25
merupakan situs yang digunakan seseorang dalam melakukan transaksi
jual beli yang dilakukan didunia maya, tanpa bertemu secara langsung.
2) Karakteristik E-Commerce.
Berbeda dari perdangan biasa E-Commerce mempunyai beberapa
karakteristik, Adapun karakteristiknya adalah19
:
(a) Transaksi Tanpa Batas.
Yang dimaksudkan oleh transaksi tanpa batas yakni, perdagangan
yang dilakukan melalui E-Commerce tidak terhalangi oleh
perusahaan dan dapat mencakup segala aspek perusahan dari usaha
kecil hingga usaha besar sekali pun, bahkan perdagangan melalui E-
Commerce tidak terhalangi dengan batas negara, setiap orang dengan
bebas berbelanja hanya dengan menggunakan internet sampai ke luar
Indonesia.
(b) Transkasi Anonim.
Maksud dari transaksi anonim adalah transaksi yang dilakukan tanpa
adanya pertemuan antara penjual dan pembeli secara langsung atau
tanpa tatap muka, bahkan pembeli tidak memerlukan identitas asli
selama pembayaran telah diotoritas.
(c) Produk Digital Dan Non Digital
Dengan menggunakan E-Commerce produk yang akan ditawarkan
beragam, mualai dari kebutuhan rpimer hingga kebutuhan sekunder.
(d) Produk Barang Tak Berwujud
Segala bentuk barang seperti data, software atau ide-ide lainya pun
juga dalam dijual secara online atau dalam jaringa.
3) Empat model transaksi E-Commerce20
:
(a) Online Marketplace adalah kegiatan menyediakan tempat kegiatan
usaha berupa toko internet sebagai Online Marketplace Merchant
19
Rintho Rante Renung, E-commerce Menciptakan Daya Saing Melalui Teknologi
Informasi, ( Sleman : CV Budi Utama, 2012). h. 19-20
20
Jurnal Chandra Budi, “Menyasar Pajak Transaksi e-Commerce”, (April 2014). hlm 2
26
untuk menjual barang dan/atau jasa. Dalam model transaksi ini, ada
imbalan, dalam bentuk rent fee atau registration fee, atas jasa
penyediaan tempat dan/atau waktu. Berikut contoh dari transakasi ini
adalah tokopedia, bukalapak, shoope, dll.
(b) E-Commerce Classif ied Ads adalah kegiatan menyediakan tempat
dan/atau waktu untuk memajang iklan barang dan/atau jasa yang
dilakukan oleh pengiklan melalui situs yang disediakan oleh
Penyelenggaran Classified Ads. Berikut contoh dari transakasi ini
adalah Olx, Kaskus dll.
(c) Daily Deals adalah kegiatan menjual barang dan/atau jasa yang
dilakukan secara langsung oleh penyelenggara Daily Deals kepada
pembeli di situs Daily Deals dengan menggunakan vocher pembeli.
Berikut contoh dari transakasi ini adalah allians, adira, alfaonline dll.
(d) Online Retail adalah kegiatan menjual barang dan/atau jasa yang
dilakukan secara langsung oleh penyelenggara Online Retail kepada
pembeli di situs Online Retail. Berikut contoh dari transakasi ini
adalah lakupon dan dealgoing.
B. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
skripsi, mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dapat
dijadikan sebagai bahan perbandingan, pandangan teoritis, yang mungkin ia
setujui atau pun tidak di setujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi
pembaca.21
Di dalam penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk memberikan landasan
yang mantap pada umumnya setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan
pemikiran-pemikiran teoritis.22
Sejalan dengan Kaelan M,S dimana
21
Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), h. 80
22
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia, 1982), h. 37
27
menurutnya landasan teori pada suatu penelitian merupakan dasar-dasar
operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat
strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.23
1. Teori keadilan
Dalam pungutan pajak untuk pelaku E-Commerce antar negara
pelaku usaha tidak berdomisili di Indonesia namun berkegiatan ekonomis
dinegara Indonesia, maka secara hukum setiap orang yang berkegiatan
ekonomis atau berpenghasilan dari suatu negara maka orang tersebut
berhak pengenaan pajak atasnya. Hal ini merupakan wujud dari persamaan
dimata hukum, Hal ini guna memberikan keadilan bagi pelaku usaha
dalam negeri maupun luar negeri.
Penegakan keadilan bagi para pelaku usaha baik dalam negeri
maupun luar negeri sudah selayaknya ditegakan demi terwujudnya Equalty
before the law yang berbasiskan keadilan, hal ini sesuai dengan teroi
keadilan yang diungkapkan oleh Aristoteles ialah perlakuan yang sama
bagi mereka yang sederajat di depan hukum, tetap menjadi urusan tatanan
politik untuk menentukan siapa yang harus diperlakukan sama atau
sebaliknya.24
Pungutan pajak yang dikenakan terhadap pelaku usaha asing melalui
transaksi E-Commerce memang belum diatur secara konperhensif dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan, namun demi menjaga keutuhan bangsa melalui
pemenuhan akan keadilan maka diperlukan pemajakan atas kegiatan
ekomonis yang dilakukan para pelaku usaha asing ini.
23
Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma Bagi
Pengembangan Penelitian Indiplisiner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum,
Dan Seni), (Yogyakarta: Paradigma, 2005), h. 239
24
Lawrence. M. Friedman, American Law an Introduction, Terjemahan Wisma Bhakti,
(Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001), h. 4
28
2. Teori kepastian Hukum
Demi mencapai sebuah keadilan yang dapat dirasakan tentu
diperlukanya sebuah norma hukum yang dapat mengatur jalannya proses
penegakan hukum, aturan hukum yang ada saat ini belum mengatur secara
komperhensif mengenai pungutan pajak untuk pelaku E-Commerce antar
negara, ketiadaan norma hukum ini telah berpengaruh pada berkurangnya
kepastian hukum yang dirasakan bagi pelaku usaha E-Commerce antar
negara dan bagi penegak pajak di Indonesia, dalam teori kepastian hukum
yang diungkapkan oleh Utrecht menurutnya kepastian hukum mengandung
dua pengertian, yaitu pertama, terdapatnya sebuah aturan yang bersifat
umum yang dapat membuat setiap orang mengetahui perbuatan apa yang
boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi
setiap orang dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan
yang bersifat umum itu setiap orang dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap setiap orang.25
3. Teori Pungutan Pajak
teori mengenai pembenaran pemungutan pajak menurut Erly Suandy
terdapat beberapa teori tentang pungutan pajak antara lain26
:
a. Teori Asuransi, Negara dalam melaksanakan tugasnya, mencakup pula
tugas melindungi jiwa raga dan harta benda perseorangan. Oleh sebab
itu, Negara disamakan dengan perusahaan asuransi, untuk mendapat
perlindungan warga Negara membayar pajak sebagai premi. Teori ini
sudah lama ditinggalkan dan sekarang praktis tiada ada pembelanya lagi,
sebab selain perbandingan ini tidak cocok dengan kenyataan, yakni jika
orang misalnya meninggal, kecelakaan atau kehilangan, Negara tidak
akan mengganti rugi seperti halnya dalam asuransi. Di samping itu,
tidak ada hubungan langsung antara pembayaran pajak dengan nilai
perlindungannya terhadap pembayar pajak.
25
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, ( Bandung : Citra Aditya Bakti,
1999 ). h. 23
26
Erly Suandy, Hukum Pajak Edisi 5 , ( Jakarta: Salemba Empat, 2011). h. 26
29
b. Teori Kepentingan Menurut teori ini pembayaran pajak mempunyai
hubungan dengan kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan
Negara. Makin banyak individu mengenyam atau menikmati jasa dari
pekerjaan pemerintah, makin besar juga pajaknya. Teori ni meskipun
masih berlaku pada retribusi sukar pula dipertahankan, sebab seorang
miskin dan penganggur yang memperoleh bantuan dari pemerintah
menikmati banyak sekali jasa dari pekerjaan Negara, tetapi mereka
justru tidak membayar pajak.
c. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti Teori ini didasari paham
organisasi Negara (organische staatsleer) yang mengajarkan bahwa
Negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan
kepentingan umum. Negara harus mengambil tindakan atau keputusan
yang diperlukan termasuk keputusan di bidang pajak. Dengan sifat
seperti itu maka Negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak
dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya. Menurut teori
ini dasar 18 hukum pajak terletak pada hubungan antara rakyat dengan
Negara, dimana Negara berhak memungut pajak dan rakyat
berkewajiban membayar pajak.
d. Teori Daya Beli Teori ini adalah teori modern, teori ini tidak
mempersoalkan asal mulanya Negara memungut pajak melainkan
banyak melihat kepada “efeknya” dan memandang efek yang baik itu
sebagai dasar keadilannya.
C. Tinjauan (Review ) Kajian Terdahulu
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan peneliti, penelitian tentang
penetapan hukum perpajakan untuk E-Commerce sudah pernah dilakukan
oleh sejumlah kalangan, namun penelitian-penelitian tersebut memiliki
perbedaan fokus penelitian dengan skripsi peneliti. Adapun sejumlah
penelitian yang ditemukan peneliti sebagai berikut:
1. Andi Tenri Ajeng dalam skripsinya yang berjudul “Tinjauan Hukum
Perjanjian Jual-Beli Melalui E-Commerce (Fakultas Syari’ah Dan
Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar 2017)” yang
30
membahas tentang apakah dalam jual beli yang dilakukan melalui E-
Commerce sesuai dengan akad perjanjian pada perdagangan kovensional
biasanya yang tertera dalam KUHPerdata pasal 1320. Skripsi ini
terfokus dalam meneliti mengenai Tinjauan Hukum dalam perjanjian
jual-beli melalui E-Commerce. yang memiliki persamaan dimana kami
sama-sama membahas mengenai transaksi yang dilakuakn melaui E-
Commerce, dan yang membedakan dengan penelitian peneliti yang
lebih terfokus pada pengaturan pajak untuk pelaku E-Commerce antar
negara.
2. Mellisa Rahmaini Lubis dalam skripsinya yang berjudul “Kebijakan
Pengaturan Pajak Penghasilan Dan Pajak Pertambahan Nilai Terhadap
Transaksi E-Commerce (Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar
Lampung 2017)” yang membahas tentang kebijakan penetapan pajak
yang dilakukan di Indonesia berupa PPh dan PPn yang diperuntukan
untuk E-Commerce di indonesia. Persamaan penelitian kami yakni, kami
sama-sama membahas tentang pengenaan pajak untuk E-Commerce, dan
yang membedakan dengan skripsi penelitian peneliti yang terfokus pada
tinjauan yuridis Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dapat dijadikan
acuan untuk diberlakukan bagi E-Commerce antar negara
3. Nufransa Wira Sakti dalam bukunya yang berjudul “Buku Pintar Pajak
E-Commerce” Jakarta, Visimedia, 2014, buku ini membahas tentang
kompleksitas E-Commerce dalam aturan pajak yang berlaku. Persamaan
penelitian kami adalah kami sama-sama membahas tentang pajak untuk
E-Commerce dan yang membedakan dengan penelitian peneliti yang
lebih membahas pelaku usaha dalam transaksi E-Commerce yang sesuai
pada pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan tentang subjek pajak luar negeri.
31
4. Resha Dwiayu Pangesti dalam jurnalnya yang berjudul “Menguak
Permasalahan Perpajakan E- Commerce Di Indonesia Dan Solusi
Pemecahannya ( Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2017)” yang
terfokus pada permasalahan hukum perpajakan atas kehadiran E-
Commerce dalam bentuk pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai
secara luas. Persamaan penelitian kami yakni kami sama-sama
membahas mengenai ketentuan hukum pajak yang berlaku bagi E-
Commerce. dan yang membedakan dengan penelitian peneliti yang lebih
terfokus pada pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan tentang subjek pajak
luar negeri dan transaksi yang dilakukan melalui E-Commerce antar
negara.
5. Emma Rosalina Wati dalam Jurnalnya yang berjudul “ Analisis Pajak
Penghasilan Atas Transaksi E-Commerce Di Kabupaten Gersik (
Faktultas Ekonomi Bisnis Universitas Muhammadiyah Gersik)” yang
terfokus pada pembahasan tentang hukum Pajak penghasilan untuk E-
Commerce yang berda digersik. Persamaan penelitian kami yakni, kami
sama-sama membahas tentang pengaturan pajak yang berada dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 Tentang Pajak Penghasilan. berbeda dengan peneliti yang
membahas pajak penghasilan untuk pelaku E-Commerce antar negara
yang terfokus pada pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
32
BAB III
REGULASI PAJAK UNTUK E-COMMERCE ANTAR NEGARA
MENURUT HUKUM PERPAJAKAN DI INDONESIA
A. Sejarah Hukum Perpajakan di Indonesia
Pada masa kerajaan dahulu pemungutan pajak di hasilkan melalui upeti
yaitu pemberian secara cuma-cuma yang dilakukan oleh rakyat kepada
seorang raja selaku penguasa wilayah, namun dalam perkembanganya, upeti
yang hanya bersifat sukarela menjadi suatu kewajiban yang diberikan rakya
kepada penguasa.
Di Indonesia sendiri pajak mulai dikenal sejak abad ke-19 bersamaan
dengan pengenaan pajak yang berada di negeri Belanda berdasarkan asas
kondordasi.1 Begitu pula dengan perkembangan hukumnya berbagai cara dan
upaya dilakukan untuk memodifikasi hukum pajak melalui berbagai peraturan
perundang-undangan, yang berdasarkan sejarah dapat dibagi menjadi : masa
penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, masa kemerdekaan Republik
Indoensia. Yang akan diuraikan sebagai berikut :
1. Masa Penjajahan Belanda.
Pada masa ini, sistem perpajakan berfungsi sebagai pemasukan
keuangan (budgeter) untuk keperluan penjajahan di negeri belanda,
dengan membentuk ordinatie atau ordonansi ( peraturan perundang-
undangan pemerintah atau surat ketetapan pemerintah) ordinatie dibuat
oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda bersama Volkstraad atau dewan
rakyat Hindia-Belanda, sebagai lembaga lesgislatif tertinggi pada zaman
penjajahan di Indoensia kala itu.
Pada zaman tersebut pajak ditarik dari rakyat untuk kepentingan
pembangunan negeara Belanda yang menggunakan sistem pungutan pajak
1Konkordasi adalah asas yang melandasi untuk diberilakukannya hukum Eropa atau Hukum Belanda pada masa itu untuk diberlakukan juga kepada bangsa atau pribumi Indoensia, sehingga Hukum Eropa yang diberlakukan Kepada pihak belanda pada masa penjajahan diberlakukan pula kepada rakyat indoensia. Jonaedi Effendi, Kamus Istilah Hukum Populer , Cet. Ke-I, ( Jakarta, Predana Media Group, 2016). h. 237-238
33
berupa (official assestment system) yang berarti meletakan dasar kekuatan
administrasi pemungutan pajak melalui penetapan secara sepihak yang
dilakukan oleh pemerintah, adapun kelemahan sistem ini adalah wajib
pajak tidak diberikan kepercayaan sama seklai dalam perhitungan utang
pajak, namun sebaliknya aparat penegak hukumlah yang dapat
melakukan perhitungan pajak, sehingga sistem ini dapat merugikan para
wajib pajak.
2. Masa Penjajahan Jepang.
Pada zaman penjajahan jepang yang singkat, pada masa itu tidak
dapat mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan kecuali
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 tentang Undang-Undang
Balatentara Jepang (Osamu Sirai) yang bersisi peraturan perundnag-
undnagan yang tidak melanggar atau bertentangan dengan kekuasaan
militer Jepang2, sebagai dasar masa transisi hukum dibawah pemerintahan
Jepang yang berlaku di wilayah jawa dan madura.
Masa penjajahan yang relatif singkat membuat pada masa tersebut
tidak terjadi perombakan hukum yang sangat signifikan, karena militer
jepang saat itu sangat berorientassi pada kemenangan perang melawan
sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Karena tidak banyak
melakukan perubahan maka lembaga/ instansi yang memungut pajak dan
peraturan hukum dibidangperpajakan seperti, sistem pajak sewa tanah
yang dahulunya berada di tangan belanda diambil alih dan diubah
namnaya menjadi pajak tanah (1942), kemudian ordonansi pajak
pendapatan diganti menjadi “pajak perang”(Oorlogsbelasting) atau pajak
peralihan 1944 (Overgangsbelasting 1944).3
2 C.S.T. Kansil Dan Christine S. T. Kansil, Sejarah Hukum Di Indoensia, Cet. Ke-2, (
Jakarta : PT Suara Harapan Bangsa, 2016). h. 170 3 M. Faruq, Hukum Pajak DI Indoensia Suatu Pengantar Ilmu Hukum Terapan Di Bidang
Perpajakan, ( Jakarta, Kencana, 2018). h. 23-24
34
3. Masa Kemerdekaan Republik Indoensia
Awal kemerdekaan undang-undang perpajakan yang diterapkan di
Negara Indoensia adalah undang-undang pada zaman kolonial belanda
dengan menerapkan asas konkordasi, oleh karenya perpajakan saat itu
menggunakan sistem official assesment , dan ketentuan pajak materiil dan
formil diatur dalam satu undang-undnag, kecuali undang-undang
penagihan pajak dan peradilan pajak.
Pada tahun 1945-1960 mulailah diterapkannya berbagai peraturan
perundnag-undnagan perpajakan berdasarkan ketentuan pajak yang
berada di Republik Indonesia. Pada tahun 1960-1980 setidaknya terdapat
tiga kebijakan perpajakan. Pertama, pemungutan pajak dengan sistem
ofiicial assesment diubah menjadi self assasment system untuk
pemungutan pajak berupa pajak perseroan, pajak pendapatan dan paka
kekayaan yang terkenal dengan MPS-MPO. MPS adalah menghitung
pajak sendiri sedangkan MPO adalah menghitung pajak orang lian.4
Kedua , akhir 1960 dan awal 1970 negara Indonesia mengundang
berbagai investor agar menanamkan modal di Indonesia dengan strategi
berupa peringanan pajak yaitu fasilitas pembebasan pajak dalam jangka
waktu tertentu. Ketiga, priode 1980-an adalah pernyarahan pajak negara
kepada kepala daerah berupa : Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan
Pajak Bangsa Asing dan Pajak Radio.
Adapun pada masa reformasi perpajakan ditandai dengan terbitnya
beberapa undang-undang perpajakan pada akhir tahun 1983 yaitu:
a. Disahkannya Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang ketentuan
umum dan tata cara perpajakan yang berlaku sejak tanggal 1 januari
1984 dan mencabut Undang-Undang sebelumnya.
b. Disahkannya Undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang pajak
penghasilan yangmulai berlaku sejak 1 januari 1984.
4 Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944, ( Bandung
: Eresco, 1977). h. 48
35
c. Disahkannya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang pajak
pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah dan
mencabut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1953 tentang Pajak
Penjualan 1951 dan segala perubahanya. Dan mulai berlaku sejak 1
April 1985.
d. Disahkanya Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 Tentang Pajak
Bumi dan Bagungan.
e. Disahkanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea
Meterai dan mencabut aturan Bea Meterei 1921 dan segala
perubahanya.
f. Disahkanya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 Tentang
Kepabean.
g. Disahkanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai
h. Disahkanya Undang-Undang Nomor 17 tahun 1997 tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak
i. Disahkanya Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 Tentang Pajak
Daerah dan Rettribusi Daerah
j. Disahkanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997Tentang
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa dan Menyatakan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara
dengan surat Paksa tidak Berlaku lagi.
k. Disahkanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Selanjutnya dilakukan berbagai penyempurnaan hukum perpajakan
hingga sampai saat ini.
B. Hakikat Pajak.
Pada dasarnya pajak merupakan pembayaran atas hasil usaha yang
diberikan kepada negara hal ini sesuai dengan hakikat pajak yang merupakan
peralihan sumber daya dari sektor privat ke sektor publik. Pada hakikatnya
pula tujuan utama dari perpajakan adalah untuk memberikan kemakmuram
36
dan kesejahteraan bagi masyarakat Indoensia baik yang berada di pedesaan
maupun diperkotaan. Hal ini terlihat dari berbagai penyediaan baranf dan jasa
publik yang disediakan oleh negara untuk masyarakatnya, kontribusi wajib
pajak inipun semakin diperjelas dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang
menjelaskan:
“kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Dari ketentuan hukum diatas menggambarkan secara jelas bahwa setiap
pemasukan negara yang berasal dari perpajakan akan memiliki timbal balik
secara tidak angsung karena timbal baik yang akan diberikan oleh negara
adalah pemenuhan atas kemakmuran rakyat indonesia.
C. Fungsi Pajak
1. Fungsi Pajak Fungsi Pajak Bagi Pembangunan Perekonomian Negara.
Dalam konteks ini terdapat beberapa fungsi pajak sebagai sumber
pendapatan negara yang berguna dalam membiayai semua pengeluaran
termasuk pengeluaran pembangunan, yaitu fungsi anggaran (budgeter),
bahwa pajak sebagai sumber pendapatan negara berfungsi untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran negara seperti untuk pembiayaan rutin
seperti belanja negara untuk pembiayaan pembangunan, uang yang
dikeluarkan dari tabungan pemerintah tersebut dihitung dengan cara
penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. 5
Pemerintah dapat mengatur pertumbuhan ekonomi melalui
kebijaksanaan pajak. Sebagai contoh dalam rangka meningkatkan minat
penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan
5 Thomas Sumarsan, Tax Review Dan Strategi Perencanaan Pajak,( Jakarta : PT Indeks,
2013). h. 4
37
berbagai macam fasilitas dalam bentuk keringanan pajak. Fungsi pajak di
sini adalah sebagai fungsi mengatur (regulerend). 6
Selain dua fungsi di atas pajak juga mengenal fungsi adanya
stabilitas, di mana pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan
yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat
dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan pemungutan pajak,
penggunaan pajak yang efektif dan efisien. 7
Selanjutnya adalah fungsi redistribusi pendapatan, yaitu pajak yang
sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua
kepentingan umum, sebagai upaya penyediaan layanan negara kepada
masyarakat.8 Dan yang terkahir adalah pajak yang mengenal fungsi
Demokrasi yang merupakan wujud penjelmaan dari adanya pemasukan
pemerintahan melalui pajak yang mengharuskan negara untuk memberikan
pelayanan yang baik bagi masyrakat, sehingga manakala negara tidak dapat
memenuhi kebutuhan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat maka
masyarakat dapat memberikan aduan (Complaint) kepada pemerintahan.
Sistem ini disebut juga sebagai sistem gotong royong dalam membangun
kemaslahatan baik kepada negara maupun kepada masyarakat.9
Fungsi-fungsi diatas sangat berkaitan erat dengan pembanguna
perekonomian bangsa, meskipun perekonomian negara telah berjalan
seiring dengan pertumbuhan pasar bebas namun untuk tetap
mengefektifkan roda pemerintahan dalam pembenahan pasar bebas maka
pemerintah memerlukan pemasukan berupa pajak yang berasal dari
masyarakat. Dalam hal memajukan pasar bebas masyarakat akan menuntut
6 Thomas Sumarsan, Tax Review Dan Strategi Perencanaan Pajak,( Jakarta : PT Indeks,
2013). h. 4 7 Ifti Khori Royhan, Peranan Pajak terhadap Penerimaan Negara. h. 2 8 Muhammad Djafar Saidi, Pembaharuan Hukum Pajak, ( Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2007). h. 33 9 Wirawan B Ilayas dan Richard Burton, Hukum Pajak, ( Jakarta : Salemba Empat, 2007).
h. 11
38
adanya sarana dan prasarana dari pemerintah yang memadai dan
menunjang laju ekonomi bebas yang sedang berjalan dimasyarakat, karena
apabila prasarana dan sarana tersebut tidak memadai maka akan
terhambanya perkembangan ekonomi itu sendiri.
2. Fungsi Pajak Bagi kemakmuran Rakyat
Tidak dapat dipungkiri bahwa pajak merupakan penerimaan negara
yang tidak dapat dihentikan karena pajak selalu dapat memberikan
pertumbuhan perkonomian yang meningkat dikarenakan Keberhasilan
pelaksanaan pembangunan memerlukan dana yang tidak sedikit, kebutuhan
untuk pembangunan yang sifatnya proporsional akan disesuaikan dengan
kebutuhan pembangunan yang sedang dan akan berlangsung. Dari hasil
perokoniam yang meningkat maka negara dapat membangun berbagai
macam fasilitas yang berdaya guna bagi masyarakat seperti alokasi
anggaran pendidikan 20% dari APBN, Jamkesmas, PNPM, pembangunan
infrastruktur, pembangunan kawasan ekonomi khusus dan sebagainya,
yang semuanya merupakan wujud dari pelayanan pemerintahan kepada
masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.10 Untuk dapat
melaksanakan berbagai kewajiban tersebut, negara membutuhkan sumber
penghasilan seperti penghasilan orang pribadi, penghasilan perusahaan
yang didirikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, penghasilan
dari barang-barang milik negara, penghasilan dari denda dan sitaan barang
karena suatu pelanggaran, hibah dan sumbangan dari negara lain atau
organisasi internasional maupun penghasilan dari hak-hak waris dan
penerimaan dari berbagai macam pajak, retribusi, bea dan cukai serta
bentuk-bentuk pungutan lainnya.
Pajak tidak mendapatkan imbalan langsung sebagai mana yang
diungkapkan diatas dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Walaupun tidak dapat dirasakan langsung
10 Bambang S, Pengawasan Intensifikasi Pembayaran PPh pasal 21dalam upaya
Intensifikasi padaKPP Solo , (Surakarta: Skripsi UMS, 2004). h.16
39
namun pajak seperti yang disebutkan dapat digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
Jadi jelas bahwa fungsi pajak selain untuk fungsi budgeter yaitu fungsi paja
k bertujuan untuk memasukan penerimaan uang untuk Kas Negara
sebanyak-banyaknya dalam mengisi RAPBN, sesuai dengan penerimaan
pajak yang telah ditetapkan.11 Sesuai dengan yang diungkapkan oleh
menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH : “Pajak adalah iuran kepada kas
negara berdasarkan Undang-undang (yang dapatdipaksakan) dengan tidak
mendapatkan jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.12
Dari Jumlah penduduk Indonesia per 30 Juni 2016 yang mencapai
257.912.349 jiwa merupakan suatu penduduk yang Tidak hanya besar,
namun penduduk Indonesia juga tergolong konsumtif atau gemar belanja.13
Ini terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh MasterCard pada tahun
2015 mencatat 55,5% penduduk Indonesia hobi menggunakan telepon
pintar (smartphones) untuk belanja online, jauh diatas Singapura dan
Jepang yang hanya 48,5% dan 31,3 %.14 Maka sebagai salah satu
pemasukan APBN yang dananya berasal dari penerimaan pajak maka
negara berkewajiban dalam mengonversikan pajak tersebut kedalam bentuk
fasilitas baik bagi penyelenggaraan negara maupun dalam pembangunan
nasional. Hal tersebut merupak wujud atas pengimplementasian tujuan
negara yang terdapat dalam preamblue Undang-Undang Dasar 1945 yaitu
untuk melindungi segenap bangsa Indoensia, Memajukan Kesejateraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
11 Imam Wahyuni. Pajak, ( Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 1994). h. 7-8 12 Mardiasmo, Pajak Dan Perpajakan, (Yogyakarta : Andi, 2009). h. 1 13 Tribun Jateng. “Jumlah Penduduk Indonesia Lebih Dari 262 Juta Jiwa”,
http://jateng.tribunnews.com/2016/09/01/data-terkini-jumlah-penduduk-indonesia-2579-juta-yangwajib-ktp-1825-juta diakses tanggal 29 Juni 2019, pukul 14.04 WIB
14 Penduduk Indonesia Gemar Belanja
Online.com/read/detail/2278272/mastercardpenduduk-indonesia-gemar-belanjaonline diakses tanggal 29 Juni 2019, pukul 14.04 WIB
40
ketertiban berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.15 Pajak untuk kesejahteraan masih menjadi prioritas utama oleh
karenanya setiap orang yang membayar pajak dapat merasakan fasilitas
akan hasil timbal balik yang dihasilkan atas pajak yang diberikan kepada
negara.
D. E-commecer Dalam Perspektif Hukum Di Indonesia.
1. E-commecer Dalam Perspektif Hukum Perdata
Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum
perjanjian di Indonesia adalah bidang perdagangan, Dalam hubuangannya
tentang suatu perdagangan dalam kitab Undnag-Undang hukum perdata
mengenal adanya asas-asas hukum perjanjian. Ini di jelaskan dalam Buku
III KUH Perdata mengenal tiga asas pokok dalam membuat dan
melaksanakan suatu perjanjian. Ketiga asas tersebut adalah: a) Asas
kebebasan berkontrak atau sistem terbuka, b) Asas konsensualisme, c)
Asas iktikad baik.
Dalam asas kebebasan berkontrak (freedom of contract )
Artinya para pihak bebas membuat suatu perjanjian dan mengatur sendiri
isi perjanjian itu, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a),
memenuhi syarat sebagai perjanjian. b), tidak dilarang oleh undang-
undang; c), sesuai dengan kebiasaan yang berlaku; d), sepanjang perjanjian
tersebut dilaksanakan dengan iktikad baik. Asas kebebasan berkontrak ini
merupakan refleksi dari sistem terbuka (open system) dari hukum
perjanjian.16
Asas kebebasan berkontrak inilah yang menjadikan para pihak
dapat mengatur dan membuat kontraknya sendiri, dalam hubunganya
dengan transaksi E-commerce para pelaku baik penjjal maupun pembeli
15 Preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945 16 Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2001), h. 30
41
akan melakukan kesepatan tanpa adanya pertemuan langsunng atau tatap
muka secara langsung, yang kemudian perjanjian tersebut dituangkan
dalam sebuah kontrak elektronik yang mengikat bagi kedua belah pihak,
sehingga secara otomatis bentuk kontrak tersebut telah sah dan dapat
diberlakukan. 17
Kalau diperhatikan Pasal 1320 KUH Perdata, yang membahas
mengenai sah atau tidak sahnya suatu perjanjian diperlukan syarat-syarat
sebagai berikut:
a) Sepakat mereka yang mengikatkan diri/adanya kesepakatan para pihak
b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
c) Suatu hal tertentu/adanya obj ek tertentu.
d) Suatu sebab yang halal.18
Dua syarat yang pertama adalah syarat subjektif karena
merupakan syarat mengenai pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Sedangkan kedua syarat yang terakhir adalah syarat objektif karena
merupakan syarat mengenai objek perjanjian. Jika syarat subjektif tidak
terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan atas permintaan pihak yang berhak
atas suatu pembatalan. Namun apabila para pihak tidak ada yang
keberatan, maka perjanjian tersebut dianggap sah. Jika syarat obyektif
tidak terpenuhi, perjanjian dapat batal demi hukum yang berarti sejak
semula dianggap tidak pernah diadakan perjanjian. Maka dalam perjanjian
yang dilakukan oleh kedua belah pihak tetap sah selam kedua belah pihak
saling menyadari perbuat hukum yang dilakukan.
Dalam kaitanya dengan tarnsaksi E-commerce, selama para pihak
yang saling bertaransaksi sesuai dengan pasal 1320 Kitab Undang-Undang
17 Margaretha Rosa Anjan dan Budi Santoso, Urgensi Rekonstruksi Hukum E-commerce
Di Indonesia, Jurnal Law Reform, Volume 14, Nomor 1, Tahun 2018. 18 Tim Visi Yustisia , Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan KUHA Perdata Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Perdata ( Reglemen Op De Rechtsvordering), (Jakarta : Visimedia, 2015). h. 346
42
Hukum Perdata tentang sah atau tidaknya suatu perjanjian maka para pihak
dapat disebut juga telah melakukan suatu perjanjian yang sah dan dapat
dikategorikan dalam perdagangan atau transaksi jual beli hanya saja yang
membedakan adalah transaksi tersebut dilakukan melalui internet atau
Online, sehingga transaksi E-commerce dapat pula disebut sebagai suatu
upaya perdagangan yang dilakukan melalui internet.
2. E-commecer Dalam Perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
yang telah dirubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Dewasa ini, teknologi informasi berkenaan dengan cyberspace
(dunia maya) telah digunakan di banyak sektor kehidupan. Menurut
Wiradipradja dan Budhijanto:19
“Sistem informasi dan teknologinya telah digunakan di banyak
sector kehidupan, mulai dari perdagangan/bisnis (electronic
commerce/ecommerce) pendidikan (electronic education), kesehatan (tele-
medicine), telekarya, transportasi, industri, pariwisata, lingkungan sampai
ke sector hiburan, bahkan sekarang timbul pula untuk bidang pemerintahan
(egovernment).”
Maka dalam pemenuhan globalisasi zaman untuk pemenuhan
legalitas kegiatan perdagangan melalui internet dibentuklah Undang-
undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun
2008 yang telah dirubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
merupakan dasar hukum utama bagi e-commerce di Indonesia. UU ITE
berlaku bagi setiap orang yang melakukan perdagangan, baik yang berada
di wilayah Indonesia maupun diluar Indonesia. Sehingga jangkauan UU ini
tidak hanya bersifat lokal saja tetapi juga Internasional (Pasal 2 ITE).
Dengan munculnya undang-undang No 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan dua hal penting
yakni, pertama pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik
19 E.S. Wiradipradja dan D. Budhijanto, Perspektif Hukum Internasional tentang Cyber
Law, dalam Kantaatmadja, et al, Cyberlaw : Suatu Pengantar, ( Jakarta : Elips 11, 2002). h.88.
43
dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga
kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin, dan yang kedua
diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi
pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi)
disertai dengan sanksi pidananya. Dengan adanya pengakuan terhadap
transaksi elektronik dan dokumen elektronik maka setidaknya kegiatan
ecommerce mempunyai basis legalnya.
Hukum pembuktian yang terdapat dalam UU ITE yang bersifat lex
Specialis bertujuan untuk mengatur ranah transaksi elektronik dalam aspek
pidana, perdata dan administrasi negara dan beberapa aspek lainya yang
berkenaan dengan perbuat hukum diranah cyber.
3. E-commecer Dalam Perspektif Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014
Tentang Perdagangan.
Dalam Pasal 1 ayat 1 Undnag-Undang Perdagangan menerangkan
bahwa :
“Perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi
Barang dan/atau Jasa di dalam negeri dan melampaui batas wilayah
negara dengan tujuan pengalihan hak atas Barang dan/atau Jasa untuk
memperoleh imbalan atau kompensasi.”
Dalam Undang-Undang Perdagangan tersebut menjelaskan bahwa
kegiatan yang terkait dengan transaksi barang atau jasa yang mendapatkan
imbalan atau konpensasi baik yang dilakukan dalam negeri maupun di luar
negeri sama-sama dapat dikategorikan dalam bantuk suatu perdagangan.
Maka keberadaan e-commerce tatanan baru dalam bertransaksi yang dapat
dilakukan lintas negara dapat pula dikenakan pajak karena sesuai dengan
kategorri perdagangan yang sah dan mempunyai legalitas yang jelas dalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.
Payung hukum inilah yang memberikan kepastian Hukum baik bagi
pelaku usaha maupun pembeli bahwa transaksi yang dilakukan melaui E-
commerce yang dilakukan antar negara dapat dikualifikasikan dalam
44
bentuk perdagangan yang sah dan patut untuk tunduk terhadap payung
hukum yang diberlakukan dinegara Indoensia.
4. E-commecer Dalam Perspektif Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE/62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas
Transaksi E-commerce.
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE/62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi e-
commerce sebagai kebijakan untuk mengoptimalkan penerimaan negara
atas Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap
transaksi e-commerce.20 Terbitnya Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XIV
oleh pemerintah yang di antaranya memuat kebijakan pajak e-commerce,
membagi transaksi e-commerce ke dalam 4 model transaksi e-commerce,
yaitu Online Marketplace, Classified Ads, Daily Deals, dan Online Retail.
Dengan diaturnya perpajakan dalam transkasi E-commerce telah
menandakan bahwa kegiatan jual beli yang dilakukan dalam jaringan atau
internet mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum pajak sebagai
salah satu subjek dari perpajakan itu sendiri yakni, pajak penghasilan atas
kegiatan ekonomis yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam
marketplace tersebut. Hubungan perpajakan pelaku usaha E-commerce
antar negara pula dapat dilihat dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan
Pasal 2 Ayat (4) yang memberikan legalitas kepada para subjek pajak luar
Negeri untuk turut serta dalam pembayaran pajak atas hasil yang
didapatkan melalui kegiatan jual beli yang dilakukan di Indonesia. Hal ini
susuai dnegan keberlakukan asas-asas pungutan pajak yang diberikan
negara kepada pemerintah untuk melakukan penarikan pajak.
Menkominfo Rudiantara menargetkan, pada tahun 2020 transaksi
bisnis e-commerce bisa menembus nilai US$ 130 miliar. Sementara
menurut e-marketer, penjualan ritel e-commerce di Indonesia diperkirakan
20 Ririn PuspitaSari,Kebijakan perpajakan atas transaksi e-commerce,Samarinda
Kalimantan Timur, 2018 hlm.67
45
mencapai US$ 5,29 miliar pada tahun 2017 ini.21 Pertumbuhan tersebut
tidak lepas dari semakin banyaknya pemain asing yang ikut meramaikan
bisnis e-commerce di Indonesia sebab melihat trend perkembangan yang
positif dari tahun ke tahun.
Jumlah pembeli dan transaksi jual beli online yang terus meningkat
drastis dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa bisnis online akan terus
berkembang, dan diperkirakan trend positif tersebut akan terus berlanjut
setidaknya lima tahun ke depan. Data dan fakta tentang semakin
meningkatnya jumlah transaksi online membuat banyak pebisnis yang
mulai melirik dan bahkan beralih ke 14 bisnis online. Dari data yang dirilis
oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), Indonesia
kini menjadi salah satu raksasa bisnis online atau e-commerce di wilayah
Asia Pasifik. Dalam lima tahun terakhir, terhitung sejak tahun 2011, bisnis
online terus berkembang. Bahkan saat ini dirjen pajak telah memiliki 1000
data pelaku usaha e-commerce yang telah memiliki NPWP.
Penarikan pajak tersebut merupakan bentuk dari pada kesetaraan
pajak yang harus diberlakukan kepada setiap orang yang memiliki sumber
penghasilan baik dari wilayah negaranya sendiri maupun dari negara lain..
Seperti yang telah diatur sebelumnya oleh pemerintah dalam dalam surat
Direktur Jendral Pajak nomor S-702/PJ.332/2006, tentang legalitas tentang
Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-commerce. Isi dari surat
tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan perlakuan perpajakan
antara transasksi e-commerce dan transaksi perdagangan barang dan/atau
jasa lainnya. Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka tidak ada alasan
apapun bagi para pelaku e-commerce untuk menghindari kewajiban
perpajakannya.22
21 Skirpsi Anggia Yustika Sari, Analisis Terhadap Penerapan Pajak Atas Transaksi E-
commerce, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2018, h. 15
22 Anita Aprilia, Endang Siti Astuti, dan Nila Firdausi Nuzula, Penanganan Dan
Pengawasan Perpajakan Dalam Rangka Intensifikasi Di Bidang E-commerce, Universitas Brawijaya, Malang, 2014
46
BAB IV
KEDUDUKAN PELAKU USAHA E-COMMERCE ANTAR NEGARA
DALAM HUKUM PERPAJAKAN INDONESIA YAKNI HUKUM PAJAK
PENGHASILAN
A. Pungutan pajak untuk Pelaku E-Commerce antar negara berdasakan
Hukum Islam.
Saah satu mua’malah dalam bidang ekonomi yakni transkasi jualbeli yang
dapat diakses menggunakan berbagai media elektronik telahmengubah pola
perjanjiannya, yang mana trankasaksi jual beli secara onlie sering disebut
sebagai E-commercce, dan E-Commerce tersebut terbagi atas dua segmen
yaitu business to business e-Commerce (perdagangan antar pelaku usaha) dan
business to consumer e-Commerce. (perdagangan antar pelaku usaha dengan
konsumen).
Orang yang melakukan jual beli, berkewajiban mengetauhi hal-hal
yang dapat mengakibatkan rusaknya atau sahnya suatu perjanjian jual beli
yang sedang dilakukanya, hal ini dimaksudkan agra muamalah yang terjadi
antara penjual dan pembeli mendapatkan hukum atau legalitas yang sah baik
secara hukum islam maupun secara hukum konvensional. Adapun keterkaitan
yang dapat kita lihat adalah terdapatnya bai assalam dalam hukum isaam
yang bisa kita sandingkan dengan Transaksi E-Commerce. Transaksi (akad)
merupakan unsur penting dalam suatu perikatan. Dalam Islam persoalan
transaksi sangat tegas dalam penerapannya, dan ini membuktikan bahwa
keberadaan transaksi tidak boleh dikesampingkan begitu saja dalam setiap
bidang kehidupan manusia (umat Islam), karena begitu pentingnya transaksi
dalam suatu perjanjian.1
Secara umum dapat diperhatikan bahwa perdagangan secraa islam
sangat mendetail menjelaskan tentang adanya transaksi yang bersifat fisik,
dengan menghadirkan benda secara langsung, atau tanpa menghadrikan benda
1 Fathurrahman Djamil, Hukum Perjanjian Shariah, dalam Mariam Darus Badrulzaman
dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), h. 252
47
yang dipesan, namun ketentuan atau perjanjian yang dilakukan haruslah
bersifat konkret.baik diserahkan secara langsung atau ditangguhkan terlebih
dahulu hingga waktu tertentu. Seperti dalam transaksi al-salam dan transaksi
al-istisna’. Transaksi al-salam merupakan bentuk transaksi dengan sistem
pembayaran secara tunai/disegerakan tetapi penyerahan barang ditangguhkan.
Sedang transaksi al-istisna‘ merupakan bentuk transaksi dengan sistem
pembayaran secara disegerakan atau secara ditangguhkan sesuai kesepakatan
dan penyerahan barang ditangguhkan.2
Transaksi al-salam disebut juga al-salaf seperti halnya model
transaksi jual beli lainnya, telah ada bahkan sebelum kedatangan Nabi
Muhammad SAW.3 Hal tersebut merupakan bentuk keringanan
bermua’malah untuk memberikan kemudahan kepada umat manusia dalam
bertransaksi jual beli, dalam transaksi al-salam terlihat terdapatnya asas gtong
royong dan tolong menolong dari kedua belah oihak baik penjual maupun
pembeli. Dalam transaksi as-salam yang disamakan dengan transaksi e-
commerce ini memberikan keuntungan pembeli dapat mebeli barang dengan
harga yang lebih murah, dan penjual mendapatkan keuntungan terlebih
dahulu dari kontrak yang dibuat. Dengan pembayaran itu berarti didapat
tambahan modal yang berguna untuk mengelola dan mengembangkan
usahanya. Transaksi al-salam dibolehkan berdasarkan al-Qur’an dan al-
Sunnah. Ibn ‘Abbas berkata: ”Saya bersaksi bahwa salaf yang dijamin untuk
waktu tertentu, telah dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan diijinkan-
Nya”. Kemudian dia membaca firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 282:
ى سم( أیھا ٱلذین ءامنوا إذا تداینتم بدین إلى أجل م ی
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
2 Muhammad Taufiq Ramadhan Al-Buyu‘al-Shai‘ah, cet. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998),
h. 140 dan166. 3 S. M. Hasanuz Zaman, “Bay al-Salam: Principles and TheirPracticalApplications”,
dalam Sheikh Ghazali Sheikh Abod dkk (Ed.), An Introduction to Islamic Finance, (Kuala Lumpur: Quill Publishers, 1992), h. 225.
48
Dalam implementasi mua’malah yang dilakukan secara online atau e-
commercce hampir sama dengan al-salam yang mana dalam penyerahan
barangnya ditangguhkan dan dalam pembayarannya didahulukan. Untuk
karena itu e-commerce melalui internet tersebut dapat disejajarkan dengan
prinsip-prinsip transaksi yang ada dalam transaksi al-salam. Yang mana
masing-masing pihak dapat mencermati pihak-pihak yang terlibat dalam
transaksi, proses pernyataan kesepakatan transaksi dan melalui obyek
transaksi.Hadis Nabi di antaranya adalah Nabi ditanya tentang mata
pencaharian yang paling baik, beliau menjawab, “seseorang bekerja dengan
tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. (HR. Bajjar, Hakim
menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rail’) Maksud mabrur dalam hadis di atas
adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang
lain. Juga diterangkan dalam hadis lain:
و ا نما ا لبیع عن ترا ض ( روه ا لبیحقى وا بن ما جھ)
“Jual beli harus dipastikan harus saling meridhai”. (HR: Baihaqi dan Ibnu
Majjah).4
Hadis ini memberikan prasyarat bahwa akad jual beli harus dilakukan
dengan adanya kerelaan masing-masing pihak ketika melakukan transaksi.
Segala ketentuan yang terdapat dalam jual beli, harus terdapat persetujuan
dan kerelaan antara baik penjual maupun pembeli dan tidak boleh hanya
kerelaan satu pihak saja, dikarenakan transaksi jual beli harusdilakukan atas
kesepakatakn kedua belah pihak atass transaksi dari pembayaran hingga
perolehan barang yang akan didapatkan hingga selesai, sehingga kesepakatan
yang dibentuk harus sesuai dengan kesepakatan atau kerelaan kedua belah
pihak.
Ijma’; ulama’ telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan
alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya,
4Rachmat Syafe'i, Fiqih Muamalah,(Bandung: Pustaka Setia, 2001 ). h.74-75.
49
tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang
lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang
sesuai.5
Berdasarkan atas dalil-dalil yang diungkapkan, jelas sekali bahwa praktek
akad/kontrak jual beli mendapatkan pengakuan dan legalitas dari syara’, dan
sah untuk dilaksanakan dan bahkan dioperasionalkan dalam kehidupan
manusia.6 Pada dasarnya pernyataan kesepakatan pada transaksi e-Commerce
sama dengan pernyataan kesepakatan sebagaimana transaksi dalam perikatan
Islam, pernyataan kesepakatan dapat dilakukan dengan berbagai cara dan
melalui berbagai media, namun substansinya adalah pernyataan tersebut dapat
dipahami maksudnya oleh kedua pihak yang melakukan transaksi, sehingga
dapat dijadikan manifestasi dari kerelaan kedua pihak.
Ketika kesepakatan dari suatu bentuk perjanjian e-commercce dalam
hukum islam sudah disamakan dengan bai salam, maka perjanjian yang
terdapat dalam jual beli online secara tidak langsung sudah sah. Maka legaitas
kesahan nya pun mengakibatkan suatu praktek jual bei secara online harus
dipajaki, hal ini guna memberikan kesetaran dengan praktek jual beli secara
konvensional yang ditetapkan sebagai subjek pajak.
B. Keberlakuan Asas Hukum Perpajakan Di Indonesia Sebagai Landasan
Pungutan Pajak Untuk Pelaku E -Commerce Antar Negara
Kebayakan negara, penerimaan pajak dijadikan sebagai salah satu sumber
penerimaan negara yang cukup penting, agar negara dapat mengenakan pajak
kepada warga negaranya atau kepada orang pribadi datau badan lain yang
bukan warga negaranya, tetapi mempunyai keterkaitan erat dengan negara
tersebut, tentu saja harus ada pengaturan yang mengatur pemungutan atas
pajak tersebut, karena dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
menerangkan bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan
5Jalaluddin al-Suyuthi, Jami ’ al-Ahadith, Maktabah Shamilah 6 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
h. 73.
50
berdasarkan undang-undang. Dalam pengaturan pajak maka diperlukanya
asas-asasatau dasar yang dijadikan landasan dalam pengaturannya. Terdapat
beberapa asa yang menjadi landasan dasar atau tumpuan dalam
pengimplematasiannya, Asas-asas perpajakan antara lain adalah asas
Rechtsfilosofis, asas pembagian beban pajak, asas pengenaan pajak, dan asas
pelaksanaan pemungutan pajak.
1. Asas Rechtstfilosofis
Asas ini mencari dasar pembenar terhadap pungutan pajak yang
dilakukan negara kepada masyarakatnya. Oleh karena itu yang menjadi
pertanyaan dasarnya adalah, “ mengapa negara memungut pajak terhadap
rakyat?” atau atas dasar apa pemerintah mempunyai kewenangan dalam
pemungutan pajak dari rakyat?’. Pertanyaan mendasar inilah yang
menjadi dasar negara diperboleh kan dalam memungut pajak.7
Dalam menjawab pertanyaan di atas maka dapat dikorelasikan
terhadap beberapa teori, pertama, teroi asuransi, dalam teori tersebut
negara untuk melindunngi setiap warga dan segala kepentinganya, maka
diperlukanya pembayaran premi yang dilakukan oleh masyarakat, dalam
hal ini pajak lah yang dianggap sebagai preminya, yang pada waktu
tertentu harus dibayar oleh masing-masing.
Kedua, teori kepentingan yang leboh menekankan pada pembagian
beban pajak harusdipungut dari rakyat seluruhnya, pembagian beban ini
harus didasarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugas
pemerintahan yang bermanfaat bagi para wajib pajak. Namun teroi ini
masih mengalami pertentangan dikarenakan sering dikacaukan kepada
pajak retribusi. Sehingga masih terdapat kesukaran dalam penerapan
hukum yang tegas untuk pemeberlakukannya.
Ketiga, teori kewajiiban pajak mutlak, teori ini dapat disebut juga
sebagai teori bakti yang menyatakan bahwa negara dan warga negara
merupakan satu kesatuan yang didalamnya negara dalam fungsi
7 Rochmat Soemitro dan Kania Sugiarti ,Asas dan Dasar Perpajakan, (Refika Aditama,
2004). h. 3.
51
perlindungan untuk memberikan penghidupan yang layak bagi
masyarakatnya maka warga negara dibebani beberapa kewajiban yang
salah satunya adalah kewajiban membayar pajak dan kewajiban
mempertahankan hidup masyarakat dan negara dengan wajib militer.
Keempat, teori daya beli, teroi ini menjadikan pajak sebagai alat
penyedot agar masyrakat melakukan pembelian yang kemudian
pemajakannya akan dikembalikan kepada masyarakat dengan bentuk
yang lainya.sehingga pajak ini hanya disebut sebagai pompa, yang
menyedot uang dari rakyat atas hasil yang didapatkan melalui daya beli
yang dilakukan, sehingga pajak yang hakikatnya tidaklah merugikan
rakyat karena setiap pemasukan berupa pajak akan dikembalikan dalam
bentuk seperti infrasutuktur dan lain sebagainya.
Dari teori tersebut dapat digambarkan bahwa bentuk transaksi jual
beli yang dilakukan antara pelaku usaha baik secara konvensional
maupun secara online harus dikenakan pajak dikarenakan teori tersebut
mengambarkan funngsi pajak akan dikembalikan dalam bentuk fasilitas
yang dapat memudahkan penjualan dan meningkatkan daya beli
masyarakat atas kenyamaman fasilitas yang diberikan pemerintah dari
hasil pajak yang diberikan rakyatnya.
Kelima, teroi pembenaran pajak menurut pancasila, dalam teroi ini
mengandung sifat gotong royong bagi sesama manusia dimana setiap
warga yang mempunyai kewajiban dana wajib pajak harus membayar
pajak untuk membantu negara dalam menetas kemiskinan yang berada di
negara Indoensia..
Dalam hal ini pajak yang dijadikan sebagai sumber perekonomian
negara mmepunyai fungsi sebagai penetas tingkat kemiskinan dinegara
Indoensia, sehingga pemasukan pajak merupakan fungsi utama dalam
pembanguan perekonomian dan bagi peningkatan sumber daya masnuaia
yang lebih baik lagi.8
8 Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak ,( Yogyakarta: Andi, 2009). h. 24
52
Asas rechtfilosofis memberikan dasar bahwa negara dalam
menjalankan fungsinya harus dibantu atas pemasukan pajak yang
diberikan oleh warga negara, mengapa setiap warga negara yang
memiliki penghasilan harus membayar pajak, asas ini pula berlaku bagi
setiap wajib pajak luar negeri yang memiliki sumber pengahasilan dari
negara Indonesia atas teroi daya beli, yang menjadikan pajak sebagai alat
pompa untuk memberikan fasilitas yang baik dalam pelayanan
peningkatan daya beli warga kepada pelaku usaha.
Hal ini pula yang dilakukan di Indoenesia, dimana negara Indonesia
memperbolehkan dan mengizinkan setiap perusahaan E-commerce untuk
membangun bentuk usaha tetapnya di Indoensia dan menyiapkan
marketplace yang baik guna dijadikan alat transaksi jual beli secara
online yang dapat dilakukan baik secara lokal maupun lintas negara.
2. Asas Pembagian Beban Pajak.
Berbeda dengan asas sebelumnya yang mencari dasar pembenar
dalam pemungutan pajak oeh negara, asas ini mencari jawaban atas
pertanyaan bagaimana beban pajak dapat diberlakukan secara adil kepada
setiap warga negara.
Adapun permasalahan dari pertanyaan tersebut maka dapat dijawab
melalui, pertama, teori daya pikul, Menurut teori ini setiap orang wajib
membayar pajak sesuai dengan daya pikul masing-masing. Daya pikul
menurut De langen, adalah : “Kekuatan seseorang untuk memikul suatu
beban dari apa yang tersisa, setelah seluruh penghasilan dikurangi dengan
pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri
sendiri beserta keluarga”.
Dari pengertian tersebut dapat dimengerti bahwa yang dimaksud
dengan daya pikul bukan hanya dilihat dari keseluruhan penghasilan
yang diperoleh oleh orang yang bersangkutan, melainkan terlebih dahulu
dikurangi dengan pengeluaranpengeluaran tertentu yang memang secara
mutlak harus dikeluarkan untuk memenuhi kehidupan primernya sendiri
beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, sehingga disini terdapat
53
suatu keadilan yang dapat dirasakan oleh rakyar atas perhitunganpajak
yang dilakukannya sendiri.
Kedua, Prinsip Benefit (benefit principle) Santoso Brotodiharjo
menyebutnya sebagai asas kenikmatan. Menurut asas ini pengenaan
pajak seimbang dengan benefit yang diperoleh wajib pajak dari jasa-jasa
publik yang diberikan oleh pemerintah. Berdasarkan kriteria ini, maka
pajak dikatakan adil bila seseorang yang memperoleh kenikmatan lebih
besar dari jasa-jasa publik yang dihasilkan oleh pemerintah dikarenakan
proporsi beban pajak yang lebih besar.
Berdasarkan atas prinsip benefit ini, pelaku usaha E-commerce antar
negara yang melakukan usaha diluar negaranya akan mendapatkan
benefit berupa fasilitas seperti kemudahan dalam penjualan, dalam
melakukan transaksi keuangan dan lain sebagainya, sehingga para pelaku
usaha diwajibkan mebayar pajak atas hasil usaha yang didapatkan nya
yang kemudaian dari pembayaran pajak tersebut akan dikembalikan
berupa fasilitas-fasilat publik yang dapat dirasakan bagi setiap kalangan.
3. Asas Pungutan Pajak
Dalam penerapannya hukum perpajakan di Indonesia
memnggunakan beberapa asa dalam melakukan pungutan pajak antara
lain:9
a. Asas Domisili
Asas ini memberikan kewenangan kepada negara untuk
melakukan pungutan pajak kepada Wajib Pajak (tax payer) yang
bertempat tinggal di negaranya. Hal tersebut menandakan
pemungutan pajak didasarkan atas tempat tinggal atau domisili Wajib
Pajak. Misalnya, apabila seorang Warga Negara Indonesia (WNI)
memperoleh penghasilan dari Indonesia dan dari luar Indonesia maka
pemerintah Indonesia berwenang memungut pajak kepada WNI yang
9 Suparnyo, Hukum Pajak Suatu Sketsa Asas, (Semarang : Pustaka Magister, 2012). h. 26
54
bersangkutan baik atas penghasilan yang diperoleh dari Indonesia
maupun dari luar tersebut.
Dengan kata lain dalam asas domisili ini dapat memungut pajak
kepada setiap subjek pajak dalam negeri yang memiliki penghasilan
baik bersalah dari Ineonesia maupaun dari negara lain. Yang menjadi
Subjek pajak disini adalah subjek pajak dalam negeri seperti orang
pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang
dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia, atau badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau dapat pula berupa warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Berdassarkan asas domisili, negara dapat mengenakan pajak atas
suatu penghasilan yang diterima oleh orang pribadi atau badan, untuk
kepentingan perpajakan apabila orang tersebut merupakan penduduk
(resident) atau berdomisisli di negara tersebut atau apabila badan
yang bersangkutan berkependudukan di negara itu. Dalam asas
domisili ini tidak dipersoalkan dari mana penghasilan itu berasal, itu
sebabnya bagi negara yang menganut asas ini dalam sistem
perpajakanya, akan menggunakan konsep pengenaan pajak atas
penghasilan baik yang diperoleh di negara sendiri maupun di negara
asing (world-wide income), Adapun pungutan dan penganturan atas
Subjek pajak dalam negeri antara lain10:
1) Dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima dari
Indoensia atau luar negeri
2) Dikenakan pajak atas penghasilan neto
3) Tarif yang digunakan adalah tarif yang terdapat didalam Pasal 17
Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
10 Supramono dan Theresia Woro Damayanti, Perpajakan Indoensia, ( Yogyakarta : CV
Andi, 2010). h. 39
55
4) Wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)
b. Asas Sumber
Asas ini memberikan kewenangan kepada negara asal sumber
pendapatan yang diperoleh oleh Wajib Pajak untuk memungut pajak
atas hasil yang bersumber dari negaranya. Hal tersebut berarti
pemungutan pajak didasarkan atas letak sumber pendapatan yang
diperoleh tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
Misalnya, jika seorang Warga Negara Asing (WNA) memperoleh
penghasilan dari Indonesia, maka berdasar atas asas ini pemerintah
Indonesia berwenang memungut pajak kepada WNA tersebut.
Dengan kata lain bahwa setiap kegiatan ekonomis yang
dilakukan oleh setiap pelaku usaha yang mengambil sumber
penghasilan dari luar negaranya atau telah melewati lintas negara
maka pungutan pajak dapat dikenakan atas penghasilan yang
dipreoleh oleh pelaku usaha asing tersebut. Dengan demikian subjek
pajak yang dapat dikenakan kedalam asas sumber ini adalah ini
subjek pajak luar negeri seperti orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia. Disinilah terdapatnya kepastian
hukum atas tindakan ekonomis yang dilakukan oleh pelaku usaha E-
56
commerce antar negara agar dapat dikenakan pajak atas hasil yang
bersumber dari negara Indoensia.
Negara yang menganut asas sumber ini akan mengenakan pajak
atas suatu penghasilian yang diterima atau diperoleh orang pribadi
atau badan, apabila penghasilan yang dikenakan akan pajak tersebut
berasal dari sumber-sumber negara tersebut. Dalam asas ini tidak
menjadikan persoalan kepada siapa dan apa status dari orang atau
badan yang dienakakan pajak sebab yang dijadiakan landasan dalam
pengenanaan pajaknya adalah objek pajak yang bersumber dari
negara tersebut. Adapun pungutan dan penganturan atas Subjek pajak
dalam negeri antara lain:
1) Dikenakan pajak atas penghasilan atas sumber penghasilan dari
Indonesia
2) Dikenakan pajak atas penghasilan bruto
3) Tarif yang digunakan adalah tarif yang terdapat didalam Pasal 26
Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
4) Tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)
c. Asas Kebangsaan
Asas kebangsaan ini menghubungkan pengenaan pajak dengan
kebangsaan wajib pajak sehingga pengenaan/ pemungutan pajak
didasarkan atas kebangsaan Wajib Pajak . Asas ini mengandung dua
arti yaitu : 1) Dalam arti aktif , artinya negara berwenang memungut
pajak kepada semua warga negaranya dimana pun berada. 2) Dalam
arti pasif ; artinya negara berwenang untuk memungut pajak terhadap
warga negara asing yang tinggal di wilayah negaranya.
Dengan kata lain dalam asas kebangsaan juga merupakan subjek
pajak dalam negeri yang memiliki penghasilan baik berasal dari
Indonesia maupun dari negara lain. yang menjadi Subjek pajak disini
adalah subjek pajak dalam negeri yang didalam seperti orang pribadi
yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
57
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam
suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia, atau badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau dapat pula berupa warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Negara yang menganut asas kebangsaan ini akan mengenakan
pajak atas suatu penghasilan apabila penghasilan tersebut diperoleh
warga negaranya. Dalam asas ini yang menjadi landasan dalam
pengenanaannya adalah status kewarganegaraanya dari orang atau
badan yang memiliki penghasilan tersebut. Atas dasar asas ini tidak
menjadikan persoalan dari mana penghasilan itu didapatkan, asas ini
dapat disamakan dengan asas domisili, sistem pengenaan pajak
berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara
menggabungkan keduanya dengan konsep pengenaan pajak secara
world wide income.
Terdapat beberapa perbedaaan prinsipil antara asas domisili,
asas kebangsaan, dan asas sumber, pada asas domisili dan asas
kebangsaan, kriteria yang dijadikan pijakan kewenagan negara dalam
melakukan pungutan pajak adalah subjek pajak yaitu apakah wajib
pajak tersebut sebagai penduduk atau berdomisili di negara setempat,
disini asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah
begitu penting dan pajak yang dikenakan terhdapanya adalah worl
wide income. Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi pijakan
adalah suatu objek yang akan dikenakan pajak adalah hasil yang
berseumber dari negara tersebut, sedangkan status dari orang atau
badan penghasilan tidak begitu dipentingkan dan penghasilan yang
dinekakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang
diperoleh dari sumber-sumber negara yang bersangkutan.
Berbagai asas di atas tentu menjadi awal legalitas keberlakuan
pemajakan bagi para pelaku usaha e-commerce baik yang berada
58
dalam negeri maupun yang berada di luar negeri, karena jika kita
melihat ketiga asas dari pungutan pajak ini yang secara
implementasiannya ketiga asas tersebut dapat berjalan sendiri-sendiri,
sehingga pemakaian asas tersebut bukanlah bersifat kumulatif. Pun
ketika pemajakan dilakukan kepada semua pelaku usaha e-commerce
tentu hal ini akan menimbulkan suatu kesetaraan bagi para pelaku
usaha itu sendiri. Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab
sebelumnya bahwa fungsi pajak itu sendiri untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat serta membangun perekonomian negara dengan
memperbaiki model pelayanan adaministrasi publik yang lebih baik
lagi.
C. Tax Treaty Sebagai Upaya Penghindaran Pajak Berganda Bagi Pelaku E-
Commerce Antar Negara.
Pajak ganda internasional merupakan suatu hal yang tak bisa dihindarkan,
karena pajak ganda internasional akan terjadi manakala dua negara masing-
masing mengenakan pajak yang sama atau jenisnya sama, diwaktu yang
bersamaan dengan objek yang sama pula, seperti halnya p enarikan pajak
untuk pelaku e-commerce antar negara, seorang pelaku usaha tersebut
mempunyai kegiatan ekonomis di negaranya dan juga di negara orang lain.
Pemajakan berganda akan muncul ketika tidak adanya aturan yang tegas yang
dibuat pemrintah, sehingga terjadinya suatu bentuk tumpang tindih hukum
antara dua negara atau lebih. Berdasarkan pengertian pajak berganda, Jaja
zakaria memberikan kesimpulan atas unsur-unsur dari definisi pajak berganda
itu sendiri,:11
1. Terdapat dua negara atau lebih yang menerapkan pajak
2. Pajak tersebut dikenakan kepada subjek pajak yang sama
3. Objek pajak yang dikenakan adalah sama
4. Adanya kesamaan jenis pajak yang dikenakan
5. Pajak tersebut dikenakan dalam priode atau masa yang identik
11 Muhammad Djafar Saidi, Pembaruan Hukum Pajak, ( Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada, 2007). h. 284
59
Terjadinya pajak ganda Internasional karena tidak ada suatu hukum yang
mengatur secara umum bagi negara dalam memungut pajak, sehingga setiap
negara yang dijadikan sumber penghasilan dan memiliki asas sumber dalam
penerapan hukumnya memiliki hak dalam memungut pajak atas hasil yang
berasal dari negaranya. Maka negara tempat tinggal harus memberikan
prioritas terhadap negara sumber untuk memungut pajak tersebut. Adapun
beberapa konflik terjadinya pengenaan pajak berganda antara lain :
1. Konflik antar asas domisili dengan asas sumber
Penyebab terjadinya pengenaan pajak berganda bisanya karena
bertemunya asas domisili dengan asas sumber, dimana negara yang
memiliki asas domisili memungut secara penuh terhadap penghasilan
yang dihasilkan melalui negaranya sedangkan negara yang menerapkan
asas sumber menerapkan pajak atas sumber penghasilan yang berasal dari
negaranya.
2. Konflik karena perbedaan definisi penduduk
Seorang pribadi atau badan pada saat bersamaan seringkali dapat
didefinisikan sebagai penduduk dari dua negara yang menerapkan asas
kewarganegaran dalam pemungutan pajak di negaranya, hal inilah yang
memperburuk pengenaan pajak berganda sebab penganaan pajak
penduduk tersebut dapat dikenakan dua kali.
3. Perbedaan definisi tentang sumber penghasilan
Sebab ketiga yang menjadi penyebab adanya pengenaan pajak
berganda adalah bila dua negara atau lebih memberlakukan suatu jenis
penghasilan sebagai salah satu sumber pajak dinegaranya, hal ini pula
dapat membuat penghasilan yang sama dikenakan terhadap pajak pada
dua negara atau lebih.
Dari beberapa penyebab konflik di atas maka dapat diperhatikan bahwa
dengan adanya kemajuan dibidang teknologi yakni e-commerce yang dapat
memberikan akses kepada penjual untuk memjual produknya bahkan sampai
lintas negara, dapat ditetapkan sebagai salah satu subjek pajak luar negeri
60
dikarenakan dia telah mendapatkan penghasilan dari negara Indonesia. Menurut
prof. Rochmat Soemitro S.H terjadinya konflik hukum pajak sangat tergantung
atas asas-asas pengenaan pajak yang dianut oleh masing-masing negara. bila
terdapat dua negara yang menganut asas berlaian maka besar kemungkinan pajak
berganda dapat terjadi, disamping itu apabila masing-masinng negara menganut
asas pengenaan pajak yang sama namun definisinya yang diberikan berbeda besar
kemunngkinan juga dapat menimbulkan pajak ganda itu sendiri.12
Penganaan pajak berganda yang dilakukan oleh dua negara tentu akan
memberatkan wajib pajak dan dapat berdampak lebih yakni menimbulkan
kerugian bagi negara-negara penerimma pajak, sehingga dibuatlah berbagai upaya
yang dapat meminimalisir kerugian yang akan dialami negara atau dialami oleh
wajib pajak tersebut dengan menggunakan beberapa cara :
1. Upaya penghindara pajak berganda secara unilateral
Ketika kita melihat pasal 24 Undang-Undang No 36 Tahun 2008 tentang
pajak penghasilan yang berbunyi :
a) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar
negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh
dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undangundang ini
dalam tahun pajak yang sama.
b) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar
pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak
boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-
undang ini.
c) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber
penghasilan ditentukan sebagai berikut:
1) penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari
pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan
12 Soemitro Rochmat, Indonesia Dalam Perkembangan Hukum Pajak Internasional,
(Jakarta:1970)
61
yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan;
2) penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan
penggunaan harta bergerak adalah negara tempat pihak yang membayar
atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan
atau berada;
3) penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak
gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;
4) penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani
imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;
5) penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
6) penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan
atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan
berada;
7) keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta
tetap berada; dan
8) keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu
bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
d) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang
dimaksud pada ayat tersebut.
e) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata
kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang
menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada
tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
f) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari
luar negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
62
Berdasarkan ketentuan dalam pasal diatas Indoensia memberikan kredit
pajak kepada luar negeri terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh
dalam negeri. Pajak tersebut dapat dikreditkan keseluruhanya atas penghasilan
kena pajak yang dikenakan setiap satu tahun sekali. Dengan terdapatnya pasal
24 tersebut maka wajib pajak akan dikenakan pajak berganda atas hasil
usahanya untuk dibayarkan dapatdikurangi atas dasar pasal 24 tersebut.
Adapun keutungan dari perjanjian unilateral adalan pembuatan ketentuan
relatif sudah karena tidak perlu melibatkan atau ketergantungan dengan negara
lain dan penerapanya pun mudah karena sesuai dengan aturan nasional. Namun
kerugian yang akan dimiliki adalah pajak berganda ini tentu tidak dapat
dipercahkan secara sepihak dan pula ketentuan perjanjian pajak secara
unilateral hanya mengatur tentang penghindaran pajak untuk wajib pajak dalam
negeri saja dan tidak mengatur penghirndaran pajak untuk wajib pajak luar
negeri.13
Pemerintah yang melakukan penghindaran pajak dengan menggunakan
cara unilateral atau perjanjian yang dibentuk sepihak oleh pemerintah akan
selalu diisyaratkan dengan adanya reciprocity atau timbal balik yang bermakna
suatu hubunngan timbal balik antar kelompok14, menandakan pula bahwa
negara hanya akan membebasakan suatu pajak yang ditanggung oleh wajib
pajak bilamana negara tersebut memberikan kebebasan pula. Jika negara tidak
memebrikan syarat reciprocity ini kepada wajib pajak luar negeri yang berada
diluar negaranya, maka negera yang memiliki perjanjian unilateral tidak dapat
meakukan pembebasan pula terhadap wajib pajak yang berada dinegaranya.
Namun reciprocity ini lambat laun sudah tidak dapat digunakan kembali atas
keberlakuakn traktat pajak yang dilakukan oleh negara secara sepihak, dimana
negara akan membuat peraturan yang dapat memebatasi diri dalam
13Jaja Zakaria, Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda: Serta Penerapannya di
Indonesia, ( Jakarta : Persada Grafindo, 2005). h. 12
14 Rahel Widiawati Kimbal, Modal Sosial dan Ekonomi Industri Kecil: Sebuah Studi
Kualitatif, ( Yogyakarta : CV Budi Utama, 2015). h. 60
63
menggunakan wewenanganya untuk memungut pajak, seperti membebaskan
pajak yang ditanggung oeh wajib pajak luar negeri atas penghasilan yang
bersumber dari negaranya. Adapun cara tersebut dilakukan untuk menjaga
suatu kedaulatan negara dalam mengatur sendiri masalah pungutan pajak yang
terdapat dalam suatu peraturan yang dimiliki oleh negara tersebut. Tujuan dari
ketentuan atau perngauran yang dilakukan secara sepihak adalah :
a) Melindungi wajib pajak dalam negeri yang melakukan usaha/ mempunyai
kekayaan di negara lain
b) Mengikuti kebiasaan Internasional
c) Mengikuti Internasional courtesy ( sopan santun Internasional)
d) Menarik modal asing
e) Menarik ahli dari luar negeri.15
Adapun metode yang digunakan dalam penghindaran pajak berganda
secara unilateral terdiri dari exemption method dan credit method.
a) Exemption method
Metode ini memberikan kewenangan kepada negara yang
menerapkan asas domisili untuk dengan rela memberikan kebebasan pajak
untuk diberikan kepada negara atas sumber hasil yang diperoleh dari negara
lain yang menganut asas sumber.
b) Credit Method
Metode ini memebrikan keringanan pajak berganda internasional
dengan cara memberikan kredit atau mengurangi pajak luar negeri atas
pajak penghasilan yang diterima secara global atau lintas wilayah. Adapun
tujuan Credit Method ini adalahuntuk memelihara keseimbangan antara
wajib pajak luar negeri dan wajib pajak dalam negeri yang tidak meliki
pendapatan yang bersumber dari luar negeri, hal ini menandakan bahwa
pengurangan pajak ini hanya akan diberikan sepanjuang jumlah pajak yang
dikenakan negara sumber tidak lebih besar dari pada yang dikenakan oleh
negara domisili.
15 Rochmad Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan ( Bandung : PT Eresco,.1986). h. 98
64
2. Upaya Penghindaran pajak Berganda secara Bilateral/ Multilateral
dengan traktat/ tax treaty
Penghinndaran pajak yang dilakukn melalui bilaterla atau mutilateral
dilakukan dengan cara melakukan perudangan antar negara yang
berkepentingan untuk mereguasi penghindaran pajak berganda tersebut.
Perjanjian bilateral dilakukan dnegan perjanjian yang dilakukan oleh dua
negara meleaui suatu perjanjian khusus yang disebut sbegai convention atau
agreement16
. Sedangkan perjanjian secara multilateral adalah perjanjian yang
dilakukan oleh beberapa negara untuk melakukan suatu penghinndaran pajak,
adapun tujan dari perjanjian secara multilaterl ini adalah tidaklah semata-mata
untuk meregulasi penghindaran pajak berganda namun pula dapat
mengalokasikan hak pemajakan antara negara-negara yang bersepakat,
mendorong perdagangan dan penanaman modal antar negara dan pencegahan
penyelundupan pajak internasional atau prevition of fiscal evasion. 17
Perjanjian tersebut merupakan suatu perjanjian yangdapatdisebut pula sebagai
tax treaty, Dengan berlakunya tax treaty maka dalam suatu negara terdapat
dua sumber hukum dalam perpajakan yang pertama adalah ketentuan dalam
tax treaty dan yang kedua adalah ketentuan dalam UU perpajakan domestik .
Sehubungan dengan tax treaty yang perlu diperhatikan adalah:
a) Tax treaty memberikan hak pemajakan kepada salah satu negara
perjanjian, maka ketentuan dalam undang-undang perpajakan
undangundang domestik yang seterusnya akan berlaku.
b) Perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) lebih diutamakan dari
pada undang-undang domestik. Sehingga jika terjadi benturan antara
undang-undang domestik dan perjanjian penghindaran pajak berganda
(P3B) , maka yang superior adalah ketentuan dalam P3B.
16 Safri Nurmantau, Pengantar Perpajakan, (Jakarta : Granit, 2005). h. 171
17 Jaja Zakaria, Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda: Serta Penerapannya di
Indonesia, ( Jakarta : PT Raja Grafindo, 2005). h. 13
65
c) Perjanjian penghindaran pajak berganda tidak menciptakan pajak baru.
Sehingga jika dalam pasal-pasal Perjanjian Penghindaran pajak berganda
tercantum jenis-jenis pajak lain diluar yang telah mempunyai dasar
hukum dalam bentuk undang-undang di Indonesia, maka pajak tersebut
tidak berlaku bagi Indonesia.18
Penghindaran pajak berganda secara bilateral diwujudkan dalam bentuk
penutupan penghindaran pajak berganda Internasional. Sebagai perumusan
penghindran pajak berganda Internasional terdapat beberapa model yaitu:
a) OCED ( Organization for Ekonomic Cooperation and Development )
OCED model memberikan dua alternatif, yaitu exemption method dan
credit method.
b) UN Model ( United Nations )
c) US Model ( United State)
Adapun Perbedaan Model Tax Treaty OECD, United Nations dan
United State dapat dilihat dari sejarah yang melatarbelakangi pembentukan
konvensi pajak internasional. Model OECD dilatarbelakangi oleh
peningkatan jumlah perdagangan antar negara maju yang memberikan
dampak negatif terhadap perpajakan nasional, dengan perjanjian pajak yang
dibentuk oleh anggota OECD penghindarana pajak dilakukan dengan cara
penyesuaian dengan kebutuhan negara yang menjadi anggotanya. Model
United Nation dilatarbelakangi atas derasnya arus penanaman modal yang
berkembangan anatar negara maju ke negara berkembang hal tersebut
menimbulkan permasalah pajak secara internasional, adapun perjanjian yang
dilakuakn oleh UN adalah guna melindungi kepentingan negara berkembang
dalam masalah perpajakan intenasional. Sedangkan model United State
dilatarbelakangi karena kebutuhannegara Amerika sendiri untuk mengatur
hukum pajaknya, penganturan tersebut bertujuan untuk menjaga kepentingan
negaranya sendiri.
18 Safri Nurmantau, Pengantar Perpajakan, (Jakarta : Granit, 2005). h. 171
66
Adapun struktur persetujuan penghindaran pajak berganda pada
umumnya menjelaskan tentang yang dibuat melalui OECD19 :
a) Subjek Pajak, Jenis Pajak, Istilah Umum, Penduduk
b) Jenis-jenis Penghasilan.
1) Laba Bentuk Usaha Tetap
2) Laba Harta Tidak Bergerak
3) Laba Usaha
4) Laba Usaha Perkapalan dan Penerbangan
5) Dividen
6) Bunga
7) Royalti
8) Harta Bergerak
9) Pendapatan Lain-lain
10) Kekayaan
c) Hal-hal yang terkait dengan pekerjaana.
1) Pekerjaan Bebas
2) Pegawai Swasta
3) Direktur
4) Artis dan Atlet
5) Pensiun
6) Pegawai Negeri
d) Hubungan Istimewa
e) Metode Penghindaran Pajaka.
1) Penghapusan Pajak
2) Pengkreditan Pajak
f) Pendidikan dan Pelatihana.
1) Guru / Peneliti
2) Mahasiswa atau Pelatihan Karyawan
g) Ketentuan Lain-laina
19 Syamsul Bahri, Pasal-Pasal Tax Traety Dan Penjelasnya . h. 73
67
1) Non Diskriminasi
2) Tatacara Persetujuan Bersama
3) Pertukaran Informasi
4) Perluasan Wilayah Ketentuan
5) Berlakunya Perjanjian
6) Berakhirnya Perjanjian
Secara garis besar sistematika P3B terdiri dari, (1) bagian
pendahuluan yang berisiruang lingkup P3B dan beberapa definisi, (2) bagian
tentang perpajakan atas jenis penghasilan dan metode penghindaran pajaknya
(3) bagian pengaturan khusus, dan (4) merupakan bagian ketentuan umum
keberakukan dan masa berkahirnya perjanjian tersebut.20
Ketentuan perjanjian pajak berganda tersebut mengharuskan adanya
bentuk usaha tetap dalam pemajakannya hal tersebut guna mmeberikan
kepasstian terhadap suatu negara atas sumber penghasilan yang dihasilakan
oleh wajib pajak luar negeri, jika terdapat BUT maka negara dapat
memberikan pajak atasnya yang atas regulasi yang berada dinegaranya atau
ketentuan yang termuat dalam P3B. Untuk active income biasanya negara
sumber akan memajaki penghasilan dari cabang perusahaan yang berbentuk
BUT dan penghasilan dari aset tak bergerak yang berhasil dari negara sumber
tersebut.21 Adapun ekspor serta import yang dilakukan tanpa BUT seperti
transaksi pelaku usaha dalam e-commerce maka negara sumber saat ini tidak
dapat melakukan pemotongan pajak atas penghasilan yang bersumber dari
negaranya yang telah dihaasilkan oleh wajib pajak luar negeri.
Pasal 26 merupakan pengenaan pajak untuk jenis-jenis penghasilan
tertentu yang dibayarkan dari sumber di Indonesia kepada wajib pajak luar
negeri, meliputi dividen, bunga termasuk premium dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang, royalty, sewa, dan penghasilan lainnya,
20 Gunawan Pribadi, Rekonstruksi Kebijakan P3B Indonesia, Pusat Kebijakan Pendapatan
Negara, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. 21 Nur Diana, Perpajakan Internasional, Jurusan Akutansi, Fakultas Ekonomi,
Universitas Malang, 2016. H. 3
68
sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan sehubungan dengan jasa,
pekerjaan, dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, pensiun dan pembayaran
berkala.
Pemotongan PPh Pasal 26 jika ada pembayaran oleh wajib pajak
dalam negeri kepada wajib pajak luar negeri adalah 20%. Dalam praktek ini
dapat menjadi kekeliruan jika tidak meneliti lebih dahulu status wajib pajak
luar negeri yang menerima potongan 20% ini. Pemotongan pajak sebesar
20% ini benar adanya jika wajib pajak luar negeri tersebut berdomisili di
negara-negara yang tidak mempunyai tax treaty dengan Indonesia. Namun
apabila yang menerima pembayaran tadi adalah wajib pajak yang berdomisili
di negara yang mempunyai tax treaty dengan Indonesia, maka ketentuan di
dalam tax treaty yang berkaitan dengan jenis penghasilan tersebut harus
menjadi rujukan. Suatu treaty pada dasarnya adalah mencegah terjadinya
legal double taxation, yang ditempuh dengan membagi hak pemajakan antara
negara domisili dan sumber. Dalam hubungannya dengan penerapan Pasal 26,
treaty sudah mengelompokannya sesuai dengan masing-masing jenis
penghasilan. Pembagian hak pemajakannya diatur pada pasal di dalam treaty
sesuai dengan jenisnya.
3. Kedudukan P3B
Perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) setalh disahakan akan
memiliki kedudukan yang sama dengan peraturan undang-undang yang ada
dinegara tersebut. Perjanjian yang telah sah dapat dijalankan oleh antar negara
terhadap negaranya masing-masing dan dapat diperkuat oleh negaranya, yang
mana dalam hal ini DPR atau presiden dapat menguatkannya melalui ratifikasi
dengan beberapa cara, yaitu:
a) Ratifikasi semata-mata untuk badan eksekutif,
b) Ratifikasi semata-mata untuk badan legislatif, dan
c) Ratifikasi campuran eksekutif dan legislatif.
Ratifikasi yang lazim untuk saat ini adalah ratifikasi yang dilakukan
bersama-sama oleh badan legislatif dan eksekutif yakni DPR serta presiden itu
69
sendiri. Perjanjian penghindaran pajak berganda (Tax Treaty) pun telah diatur
dalam Pasal 32 A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008
Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 Tentang Pajak Penghasilan berbunyi “pemerintah berwenang untuk
melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakkan pajak”.
Dalam penjelasan Pasal 32 A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa “Dalam rangka
peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain
diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex spesialis) yang
mengatur hak-hak pemajakan dari masing-masing negara guna memberikan
kepastian hukum dan menghindarkan pemajakan berganda serta mencegah
pengelakkan pajak. Maka kedudukan tax treaty dalam pelaksanaannya lebih
diutamakan dari undang-undang PPh, oleh karena itu sepanjang diatur dalam
tax treaty, maka pemajakan atas penduduk asing atau badan asing mengikuti
ketentuan yang diatur dalam tax treaty.
4. Dampak adanya perjanjian pajak berganda.
a) Dampak adanya perjanjian pajak berganda bagi Penanam modal
asing
Terdapat beberapa macam serta bentuk pemajakan yang dapat
dipungut oleh negara secara bersamaan, yaitu mellaui adanya asas sumber
dan asas domisili. Hal ini disebabkan karena setiap negara menerapkan
asas hukum pajak yang sama dan sekaligus sehingga menimbulkan
bentrok antar hukum pajak diberbagai negara. kalau di tinjau secara
hukum pajak, adanya persamaan asas hukum pajak diberbagai negara
menimbulkan tekanan yang berat, yang dapat mempengaruhi keinginan
para investor untuk memperlebar sayap usahanya hingga ke berbagai
negara karena berakibat pada pemajakan berganda.
70
Hal di atas dapat mempengaruhi pergolakan pasa modal disuatu
negara lainya, Indonesia sebagai negara yang cukup terbilang diminati
oleh para penanam modal luar sangat memahami dengann benar keadaan
tersebut, belum lagi jika di ingat bahwa Indoensia adalah negara yang
sedang berkembang dan sedang mengalami pembangunan secara besar-
besaran, tentu hal tersebut sangat membutuhkan penanam modal asing dari
luar negeri, tenag ahli, teknologi sehinggaa tanpa ketergantungan oleh
negara lain, dengan demikian untuk mengatasi hal tersebut tentu Indonesia
telah mengatur secara unilateral telah memberikan setimulus bagi para
penanam modal asing dengan memberikan pembebasan pajak atau
keringan pajak yang sangat menguntungkan guna menarik penanam modal
asing ke Indonesia.
Pergerakan penanaman modal dewasa ini dilakukan dengan
pergerakan satu arah (one way traffic) yaitu dari negara yang sudah maju
berinvestasi ke negara-negara yang sedang berkembang, sehingga jika
ditimbang, maka perjanjian pencegahan pajak berganda lebih memberikan
manfaat kepada penanam modal asing yang bertempat tinggal di luar
negeri dari pada penanam modal yang bertempat tinggal di Indonesia,
karena hampir tidak ada penanam modal di Indonesia yang menanam
modalnya di luar negeri.
b) Dampak adanya perjanjian pajak berganda bagi Kepastian sikap
Indonesia.
Bila dilihat dari segi hubungan internasional atau dalam hubunngan
negara dengan negara-negara lain mengingikan Indonesia mengikuti
berbagai perjanjian perpajakan baik dalam konteks perdagangan
inetrnasional, karena melalui perjanjian yang sudah diatur dalam
perjanjian pajak internasional, negara dunuai sudah sangat mengenal
Indonesia, dengan melakukan perjanjian pajak internasional dengan satu
negara, dapat dipastikan bahwa negara-negara lain pun akan mengikuti
langkah yang dilakukan oleh negara lainya, karena perlu di ingat bahwa
negara Indoensia dengan sumber daya alam yang melimpah dan jumlah
71
penduduk yang banyak, tentu akan memberikan keuntungan bagi para
penanam modal asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dalam perjanjian pajak berganda internasional untuk menghindari
dari politisasi neger-negara internasioanl yang dapat menghambat hukun
nasional harus dapat dihindarkan, seperti masalah teritorial dan masalah
nusantara (archipelago)22, dengan adanya perjanjian pencegahan pajak
berganda inetrnasional, maka segala bentuk kekosongan hukum yang yang
tidak diatur secara unilateral dalam perundang-undangan pajak Indoensia,
akan mengalami kepastian hukum baru yang diperoleh melalui perjanjian
tersebut, seperti permanen establishment, pemecahan laba, pemajakan
business profit, pemajakan hasil dari lalu lintas internasional dan
sebagainya, Dengan demikian maka hukum pajak internasional di
Indonesia mulai menampakkan tanda-tanda kehidupan dan perkembangan
yang sebelumnya merupakan hal yang statis.23
c) Dampak adanya perjanjian pajak berganda bagi pelaku Pengelak
Pajak
Berhubungan dengan hal ini soal yang perlu diperhatikan oleh
negara-negara yang sedang berkembang ialah mengalirnya modal ke luar
negeri. Lazimnya di negara-negara yang sedang berkembang terdapat
pengawasan atas lalu lintas devisa ke luar negeri dan dari luar negeri. Hal
tersebut haruslah dijaga dengan ketat supaya modal nasional yang ada di
dalam negeri tidak mengalir ke luar negeri. Sebaliknya pemasukan modal
asing ke dalam negeri untuk keperluan penanaman dapat mempertinggi
kemakmuran, dan harus benar-benar diawasi supaya modal itu digunakan
untuk maksud yang produktif dan membantu pembangunan negara yang
sedang berkembang. Modal yang telah ditanam supaya tidak
22 Archipelago adalah kesatuan antara lautan dan daratan serta udara yang ada di atasnya, dimana ratio laut adalah lebih besar dari ratio darat, dengan demikian archipelago merupakan bentuk negara kepulauan. Dalam karya Johanis Leatemia, Pengaturan Hukum Daerah Kepulauan ( Sleman : CV Budi Utama, 2019). h. 5
23Dewi Anggraeni Putri, Aspek Hukum Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda Internasional , Jurnal Ilmu Hukum, 2014.
72
direpatriasikan dalam waktu yang singkat tetapi diusahakan dalam waktu
yang cukup lama, dan juga harus diawasi bahwa transfer keuntungan yang
diperoleh dilakukan secara wajar dan tidak berlebih-lebihan.24
Secara ekonomis pajak merupakan pengorbanan hasil sumber daya
yang harus ditanggung oleh pengusaha dan masyarakat. Pajak berganda
sebagai akibat dari pemajakan oleh dua ketentuan pemajakan (dari dua
Negara) memberikan beban terhadap pengusaha sebagai wajib pajak.
Sementara, pergerakan usaha ke mancan negara sudah berdampak resiko
tersendiri dibanding dengan usaha yang dilakukan di dalam negeri,
pemajakan ganda telah memperbesar resiko tersebut. Oleh karena itu,
merupakan kebutuhan Internasional antar negara untuk mengupayakan
agar kebijakan perpajakannya bersifat netral terhadap kompetisi
Internasional.
Tax treaty atau Perjanjian Penghindaran Pajak berganda (P3B)
dapat mempermudah dan mendorong investasi asing di Indonesia dengan
menghilangkan perpajakan berganda (double taxation) dan membagi hak
pemajakan untuk jenis penghasilan tertentu antara dua negara. Namun tax
treaty juga memberi kesempatan bagi investor untuk menggunakan
holding company (perusahaan induk biasa dipakai perusahaan
multinasional dalam berinvestasi untuk memegang saham anak
perusahaan) di negara mitra P3B untuk berinvestasi di Indonesia dan
memperoleh keuntungan pajak. Hal ini merupakan langkah untuk tidak
memberikan beban pajak yang berat kepada para wajib pajak dan
menghindari adaya pengelakan serta penghindaran pajak yang dilakukan
oleh para pengusaha yang merasa terbebani.
D. Bentuk Usaha Tetap Sebagai Syarat Dalam Pungutan Pajak Untuk
Pelaku E-Commerce Antar Negara.
Seiring dengan perkembangan di bidang transaksi Internasional yang
meliputi perdagangan, jasa, dan modal, maka pajak menjadi masalah baru
24 Rochmat Soemitro, Hukum Pajak Internasional Indonesia : Perkembangan dan
Pengaruhnya, Cet. 2, (Bandung : Eresco, 1986). h. 343-348
73
untuk mengatasi ketiadaan reguasi mengenai negara mana yang berhak
memberikan pajak atas penghasilan yang timbul dari transaksi internasional,
transfer pricing, penyelundupan dan penggelapan pajak, dan lain-lain. Untuk
mencegah masalah perpajakan yang timbul dari transaksi internasional itu
diperlukan kerjasama di antara negara-negara dan salah satu bentuk kerjasama
tersebut adalah perjanjian bilateral di bidang perpajakan, yang dikenal dengan
Perjanjian penghindaran pajak berganda (Tax Treaty).
Tax Treaty seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya berisikan ketentuan
yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan dari masing-masing
negara atas penghasilan yang timbul dari transaksi internasional sehingga
pengenaan pajak berganda dapat dihindari. Selain itu, tax treaty dapat pula
mengatur mengenai pertukaran informasi yang dibutuhkan untuk mencegah
timbulnya penyelundupan pajak melalui praktek-praktek transfer pricing.
Berkaitan dengan Tax Treaty kemudian munculah suatu model subjek
pajak baru yang sering kita kenal dengan istilah Bentuk Usaha Tetap. Bentuk
Usaha Tetap sekarang ini sudah menjadi pengertian yang mutlak dalam
ketentuan Pajak Internasional. Adanya Bentuk Usaha Tetap ini mempengaruhi
Hak suatu negara untuk mengenakan pajak terhadap obyek yang telah
disesuaikan. Dalam prakteknya, di negara Indonesia ternyata konsistensi
secara hukum berkaitan dengan status bentuk usaha tetap yang diperlakukan
sebagai subjek pajak luar negeri masih kurang memadai. Yang dalam Undang-
undang No. 8 Tahun 1967 tentang perubahan dan penyempurnaan Pajak
Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932, Pajak Perseroan 1925 menempatkan
BUT sebagai subjek pajak luar negeri, kemudian Undang-undang No. 7 Tahun
1983 dalam pasal 2 ayat 3 (c) menempatkan BUT sebagai subjek pajak dalam
negeri, di dalamnya menyebutkan yang menjadi subjek pajak dalam negeri
adalah sebagai berikut
“Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang dipergunakan untuk
menjalankan kegiatan usaha secara teratur di Indonesia, oleh badan atau
perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, kantor cabang, kantor
perwakilan, agen, gedung kantor, pabrik, bengkel, proyek kontruksi,
74
pertambangan dan penggalian sumber alam, perikanan, tenaga ahli, pemberian
jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai, atau oleh orang lain atau badan yang
berkedudukan tidak bebas yang bertindak atas nama badan tau perusahaan
yang tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia dan perusahaan
asuransi yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia”.
Electronic commerce (e-commerce) yang merupakan salah satu dari
bentuk kemajuan teknologi tersebut, tentu akan mempengaruhi sistem
perdagangan yang ada selama ini. Walaupun kemunculan e-commerce masih
baru, namun potensi yang dijanjikan dalam perdagangan e-commerce ini
cukup menjanjikan. Salah satu penelitian (Forrester Research) memprediksi
bahwa total pembelanjaan dalam e-commerce yang dalam tahun 1996 kurang
dari 500 juta US dolar akan meningkat menjadi 6,5 milyar US Dolar dalam
tahun 2000. Koran Media Indonesia edisi 9 Agustus 2001 melaporkan tentang
hasil penelitian Gartner Dataquest yang memprediksikan pada tahun 2003
jumlah pelanggan internet (yang merupakan pangsa pasar e-commerce) di
wilayah Asia Pasifik akan berjumlah sebesar 183,3 juta, Amerika sebesar
162,8 juta dan 162,2 juta di Eropa Barat. Apabila angka-angka tersebut
dibandingkan dengan saat awal-awal digunakannya internet pada tahun 1988
sampai dengan tahun 1994 yang tumbuh dari nol sampai 3 juta pemakai
internet, maka prediksi jumlah pemakai internet pada tahun 2003 tersebut
sangat fantastik.25
Dengan munculnya dan makin berkembangnya transaksi e-commerce
tersebut, menimbulkan permasalah sebagai berikut: bagaimanakah
administrasi pajak mengantisipasi cara pemajakan (tax treatment) atas
penghasilan dari transaksi e-commerce yang tidak mengenal batas geografis
tersebut? dan apakah ketentuan perpajakan yang ada sekarang ini telah
memadai atau belum cukup memadai untuk mengantisipasi penghasilan dari
transaksi e-commerce?
25 Paulus Aluk Fajar Dwi Santo, Aspek Hukum Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap
Menurut Hukum Positif Di Indonesia, Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis, Universitas Bina Nusantara
75
Iwan Juniardi, Staf Ditjen Departemen Keuangan, mengatakan bahwa
kesulitan penerapan PPh dan PPN bagi bisnis sistem informasi ini dikarenakan
Ditjen Pajak tidak mempunyai akses terhadap data transaksi. Kesulitan ini
semakin meningkat bila dikaitkan dengan transaksi software yang memberi
kemudahan bagi pembeli untuk men-download software langsung dari Internet
dan penentuan suatu web server sebagai bentuk usaha tetap (BUT) atau tidak
juga menimbulkan masalah mengingat batasan yang terjadi belum jelas.
Namun bila web server hanya dapat dugunakan untuk menampilkan iklan
atau informasi lain sehubungan dengan produk yang diperdagangkan maka
tidak akan menimbulkan suatu BUT seperti halnya model e-commerce Clasfi
Ads.
Namun, bila web server tersebut dapat menjalankan fungsi penerimaan
pesanan dan pembayaran serta pengiriman produk digital atau jasa, termasuk
bila konsumen membeli dan sekaligus men-download software maka web
server tersebut merupakan BUT. Sikap Ditjen Pajak menyikapi permasalahan
di atas dengan melakukan analisa yang terus-menerus terhadap e-commerce
yang melibatkan sejumlah pihak terkait sehingga pelaksanaan peraturan
perpajakan berjalan efektif. Peraturan yang akan ditetapkan nanti sebaiknya
merupakan kesepakatan internasional. Karena pengenaan pajak atas pelaku
usaha e-commerce dapat dilakukan secara lintas negara, maka demi
kenyamanan bersama antar negara diperlukanya regulasi Internasional yang
dapat menguntungkan semua pihak negara. Terdapat Lima prinsip perpajakan
e-commerce yang dijadikan pedoman dalam meregulasi transaksi e-commerce
yang dikutip dari OECD dalam laporan yang dibuat oleh Committee of Fiscal
Affairs meliputi26:
1. Kenetralan, ketentuan pajak harus bersifat netral untuk seluruh bentuk
perdagangan, baik elektronik maupun tradisional
26 Diah Vitaloka Adam Dan Intan Puspita Astin, Kebijakan Pengenaan Pajak Atas
Transaksi Perdagangan Online (E-Commerce), Studi Akuntansi Stembi Bandung Business School, Frima, 2019
76
2. Efisiensi, adanya biaya seperti biaya kepatuhan untuk wajib pajak dan
biaya administrasi untuk Direktorat Jenderal Pajak harus benar-benar
diminimalkan
3. Kepastian dan Kesederhanaan, peraturan perpajakan harus jelas dan
mudah di mengerti sehingga wajib pajak mengetahui pengenaan pajak
ketika transaksi di lakukan
4. Efektifitas dan Keadilan, perhitungan pajak harus benar-benar tepat pada
saat yang tepat
5. Fleksibel, sistem perpajakan harus fleksibel dan dinamis untuk
memastikan bahwa sistem dapat mengikuti perkembangan teknologi dan
perdagangan.
Terkait Syarat yang telah ditetapkan oleh Negara-negara OECD yang
menyepakati untuk pemungutan pajak penghasilan atas transaksi e-commerce
yang memiliki Bentuk Usaha Tetap menggunakan asas sumber, apabila tidak
memiliki BUT maka menggunakan asas domisili. Maka kesepakatan tersebut
menjadikan negara yang menjadi sumber penghasilan atas kegiatan usaha
yang dilakukan oleh pelaku usaha e-commerce antar negara tidak dapat
dipajaki karena kesepakatan sementara tersebut belum meregulasi dengan baik
keberadaan serta urgensitas kegiatan pelaku usaha yang dilakuakn secara
lintas negara.
E. Sistem Pungutan Pajak Untuk E-Commecer Antar Negara Di Negara-
Negara Yang Sudah Sukses Dalam Pengimplementasiannya.
1. Uni Eropa
Sejak tahun 2008 sampai 2016 pertumbuhan pendapatan yang
dimiliki e-commerce memberikan pertumbuhan mencapai 32 persen, hal
tersebut berbading terbalik dengan penjual konvensional yang hanya naik
satu persen. Setelah melihat perkembangan pesat perdaganagn melalui e-
commerce , Uni Eropa menganggap perlu adanya pemajakan yang sesuai
dengan perkembangan zaman, dikarenakan asosiasi pelaku bisnis di Uni
Eropa memberikan data bahwa pada tahun 2016 perdagangan online
mencapai 350 miliar euro.
77
Pada 2015, Uni Eropa memperkenalkan skema khusus
bernama mini one stop shop (MOSS). MOSS difungsikan untuk
mempermudah perusahaan dalam mengelola penarikan pajak dari
konsumen. MOSS merupakan layanan online yang memberikan jasa
platform bagi perusahaaan untuk mematuhi regulasi perpajakan baik
pertambahan nilai mupun pajak penghasilan dinegara tempat
diperdagangakan dalam arti di negara sumber atau konsumen berada.27
Uni eropa membuat 2 Skema, pertama, regulai pajak pertambahan
niai yang mengatur bahwa pajak baru bisa dikenakan apabila niali
transaksi sesuai dengan ambang batas yang telah ditentukan dinegara
tempat konsumen berada, perdaganagn ini dilakukan melalui perdagangan
dengan sistem business to cosetemer yang memperdagangkan barang
berwujud. Begitupun ketikan perusahaan tersebut ternyata tidak berada di
Uni Eropa maka apabila nilai barang sesuai ambang batas maka negara
konsumen berhak menarik pajak pertmabhaan nilai sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. kedua, perusahaan yang terintegrasi dengan
sistem pajak pertambahan niai Uni Eropa wajib meminjamkan dana
sebesar 8 euro kemasing-masinng negara tempat mereka menjual barang.
Skema yang kedua ini diterapkan untuk barang tidak berwujud seperti
game, penyedia layanan musik, film dan software. Ketika suatu
perusahaan berasal atau tidak berasal dari negaranya dan berada atau
tidak berada dinegaranya maka hukum yang berlaku adaah hukum pajak
pertambahan nilai yang ada di negara konsumen.28
2. Australia
Australia merupakan salah satu negara yang terbilang cukup baik
dalam bidang perpajakn dalam sistem transaksi jual-beli online. Pada
27 The European mini one-stop shop: A model for future indirect tax compliance?,
https://www.thetaxadviser.com/issues/2017/jun/european-mini-one-stop-shop-indirect-tax-compliance.html, ( Diakses Tanggal 29 Juni 2019, Pukul 17. 35)
28 European Commission Directorate-General Taxation And Customs Union Indirect
Taxation And Tax Administration, Guide To The Vat Mini One Stop Shop, Brussels, 23 October 2013
78
tahun 2017 Menunjukan nilai total perdagangan online yang berada di
Autralia mencapai USD 22,3 miliar, dalam konteks internasional Autralia
termasuk dalam 10 negara besar dengan nilai perdagangan online yang
tinggi. Pun data tersebut semakin diperkuat dengandata yang dipaparkan
oleh ecommerce foundation, setidaknya 65 persen warga Australia gemar
dalam berbelanja online.29
Atas kemajuan perdagangan onlien tahun 2017 parlemen Australia
mengesahkan perluasan penerapan pajak barang dan jasa ke sektor jual-
beli online barang dan jasa impor bernilai rendah. Dalam aturan tersebut
ditetapkan ambang batas bawah nilai transaksi jual beli online yang akan
dikenai pajak, yakni sebesar AUD 10 ribu. Artinya, semua transaksi e-
commerce yang bernilai di atas AUD 10 ribu akan dikenai pajak barang
dan jasa sebesar 10 persen dari total nilai transaksi.
Pemerintah Australia juga mewajibkan kepada perusahaan
perdagangan online dengan nilai pendapatan mencapai AUD 75 ribu per
tahun untuk melakukan registrasi ke kantor pajak Australia dan dapat
menarik pajak kepada para konsumen sesuai dengan pemajakan Australia.
Pemerintah Australia pula memberikan himbauan kepada para perusahaan
online yang berjualn mencapai negaranya untuk menjual produknya
dengan menyertakan keterangan harga yang telah disesuaikan dengan
pajak barang dan jasa, seperti yang dilakukan oleh perusahan online
domestik yang ada dinegaranya, serta berkewajiban membayar pajak ke
kantor pajak Autralia.
3. Korea Selatam
Trankasi jula-beli secara online sedang bertumbuh pesat di negara
Korea selatan pada tahun 2016, dirilis melalui global conncted commerce
report 2016 yang ditulis oleh Neilsen, yang memberikan laporan bahwa
penduduk Korea selatan memiliki kegemaran untuk belanja onlie mulai
dari pakaian mencapai 77%, perlengkapan rumah 52%, makanan kemasan
29 Australia B2C Ecommerce Country Report 2016, https://www.ecommercewiki.org/reports/45/australia-b2c-ecommerce-country-report-2016 (Diakses Tanggal 29 Juni 2019, Pukul 17. 35)
79
51%, alat Make up dan perwatan tubuh 65%, dan sayur mayur mencapai
37%.30 Dari laporan tercatat nilai transaksi perdaganagn online yang
dilakukan di Korea selatan mencapai USD 46,5 Miliar, dan sejak saat
itulah pemerintah korea selatan memperluas cakupan pajak dan
meregulasi dan memasukan perdagangan online sebagai salah satu objek
pajaknya.
Dalam regulasinya Korea Selatan mengharuskan kepada setiap
perusahan baik yang terdapat dinegaranya ataupun tidak berada di
negaranya untuk meregistrasi perusahaanya agar dapat dikenakan pajak
pertambahan nilai, namun berbeda halnya dengan Australia, Korea
Selatan tidak memebrikan ambang batass kepada setiap perusahan agar
dapat meakukan registrasi dan akan dikenakan regulasi pajak
pertambahan nilai sebesar 10 persen, Hal ini juga berlaku apabila barang
yang dijual tidak memiliki wujud fisik. Pajak tersebut harus dibayarkan
setiap tiga bulan ke Woori Bank, bank yang melayani perpajakan Korea
Selatan. Pajak yang dibayarkan juga harus menggunakan mata uang Won.
Sehingga pemajakan yang dilakukan dinegara korea selatan tidak dengan
mudah dilepaskan karena pengaturannya yang ketat
4. Jepang
Sejak tahun 2002 pemerintahaan Jepang membentuk tim dengan
nama Professional Team for e-Commerce Taxation (Protect) sebuah unit
khusu di National Tax Agency yang bertugas medeteksi transaksi e-
commerce , hal tersebut merupakan keseriusan pemerinntahan jepang saat
ini, dikeranakan peredaran transaksi e-commerce di Jepang mencapai
sekita 20 ribu triliun rupiah. 31 pemerintah jepang pula telah berniat
unntuk meningkatkan potensi pajak dalam bidang e-commerce yang
30 Ragam Regulasi Pajak E-commerce di Dunia,
https://kumparan.com/@kumparanbisnis/ragam-regulasi-pajak-e-commerce-di-dunia, (Diakses Tanggal 29 Juni 2019, Pukul 18. 57)
31 Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan, Menelusur Pajak atas Transaksi E-
Commerce, http://www.pajak.go.id/content/article/menelusur-pajak-atas-transaksi-e-commerce diakses tanggal 29 Juli 2019, pukul 19:36 WIB
80
diperkirakan pengenaan pajak konsumsi sebesar 8% sekita 1600 triliun
rupiah, yang mana pada tahun 2015 pemasukan pajak jepang mencapai
5.452 triliun rupiah.
Melalui tim khusu yang dibentuk oleh jepang tersebut yang
berguna menyusuri transaksi online yang berkembang di Jepang
terdapatnya alasan mengenai terbentuknya tim tersebut antara lain, tingkat
kesulitan untuk mengindentifikasi pelaku e-commerce , wajib pajak yang
banyak jumlahnya berfuktuasi karena kemudahan untuk masuk dan keluar
dari server, adanya cross border dan semua transaksi tercatat secara
online yang tidak dapat dilihat secara nyata, sehingga diperlukanya
keahlian dibidang teknoogi informasi utnuk membuka atau mendapatkan
data tersebut.
Selain dibentuknya tim Protect pemerintah jepang juga telah
membentuk peraturan perundnag-undangan e-commerce yang
memudahkan petugas perpajakan dalam mengumpulkan data dari pihak
ketiga. Berbgaai regulasi tersebut dapat berjalan efektif apabila adanya
kerjasama anatar pemerintahan serta swasta. Kesuksesan tim protect
dalam menyususri pajak dapat dilihat dari adanya supplay data dari pihak
ketiga yang dapat dijadikan bank data untuk memonitori setiap wajib
pajak demi kepatuhan pajak. Karena data tersebut sangat memudahkan
dirjen pajak jepang dalam mengindentifikasi jumlah penghasilan setiap
wajib pajak. Selain itu dirjen pajak jepang juga sangat membutuhkan
teknologi informasi yang memadai melalui transaksi keuangan dari para
pelaku wajib pajak yang terdapat dalam e-commerce.
Kesulitan lain yang terdapat dijepang adalah mengenaai transaksi
cross border yakni transaksi lintas negara tersebut dapat dikurangi dan
dipermudah dengan adanya National Payment Gateway ( NGP) yakni
sistem yang terdiri atas standar, switching, dan services yang dibangun
melalui seperangkat aturan dan mekanisme (arrangement) untuk
mengintegrasikan berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara
nasional. Sistem tersebut dapat mendeteksi segala transaksi yang
81
dilakukan secara terorganisir dan diawasi dengan mudah serta
pembayaranya akan terhubung menjadi satu, sehingga melalui NPG maka
potensi pajak dapat terlihat dan terdeteksi.
5. Indonesia
Secara sumber daya alam dan sumber daya manusia yang banyak
indonesia tentu akan ddijadikan target pasar oleh perdagangan
internasional saatini dan dikemudian hari, untuk mengantisipasi segala
kerugian yang dihasilkan dari perdagangan melalui e-commercce yang
justru lebih dapat memberikan keuntungan bagi Indoensia dalam
pemasukan pajak maka saat ini diperlukannya pengaturan pajak mengenai
e-commercce yang dilakukan oleh pelaku usaha antar negara atau intas
negara.
Setelah adanya peraturan yang ditetapkan melalui Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan
Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (e-
commerce) yang mulai berlakuk pada 1 April 2019 yang khusus
mengatur masalah perpajakan untuk e-commercce untuk pelaku usaha
dalam negeri, pemerintah dan jajarannya pun saat ini masih tetap
membuat skema perpajakan e-commerce yang dilakuakn secara lintas
negara, melalui Direktur Perpajakan Arif Yanuar mengatakan bahwa
Indoensia saat ini masih menggarap pemajakan e-commerce yang
dilakuakn secara lintas negara dan akan melakukan pertemuan dengan
negara Autralia untuk membahas pemajakan atas pelaku usaha e-
commerce yang dilakuakn secara lintas negara.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan dan analisis yang telah dipaparkan pada
bab sebelumnya, maka terdapat beberapa kesimpulan yang dapat penulis
rumuskan, yakni sebagai berikut:
1. Pengaturan hukum pajak penghasilan untuk pelaku E-commerce antar
negara di Indonesia.
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak luar
negeri dari Indonesia melalui sistem e-commerce dengan pelaku usaha
yang tidak mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia namum dapat
melakukan kegiatan usaha jual beli hingga lintas negara, pasal
tersebutlah yang menjadi legalitas pengenaan pajak atas pelaku e-
commerce antar negara. Adapun yang menentukan seorang pelaku
usaha e-commerce dikatakan sebagai wajib pajak luar negeri adalah
Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
Namun pada permasalahnya e-commerce yang dapat dikatagorikan
sebagai transaksi perdagangan barang atau jasa lainya yang sama
dengan perdagangan kovensional hanya yang membedakanya adalah
cara atau terdapatnya alat yang digunakan saat bertransaksi melalui e-
commerce, sehingga perlakukan pajak antara keduanya haruslah
disamakan demi terwujudnya sebuah kesetaraan dalam perlakuakn
pajak dalam bidang perdagangan.
83
2. Faktor yang mempengaruhi atau menghambat pungutan pajak
penghasilan bagi pelaku E-commerce antar negara di Indonesia
Adapun terdapat beberapa yang meberatkan kondisi pungutan
pajak untuk e-commerce itu sendiri antara lain tingkat anomitas yang
tinggi, mudahnya terjun dalam dunia bisnis e-commerce, transaksi
dapat dilakukan dengan cara croos border atau lintas negara, data
dalam transkasi elektronik tidak serta merta dapat dipercaya dan masih
belum adanya harmonisasi regulasi serta kerjasama yang baik antara
lembaga negara serta badan usaha yang memiliki platform E-
commerce itu sendiri.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis sampaikan dari bab
I hingga bab IV, maka penulis akan mengemukakan saran-saran sebagai
berikut:
1. Setelah melakukan analisis terkait pungutan pajak untuk pelaku e-
commerce antar negara, penulis berpendapat bahwa legalitas
keberlakukan pajak untuk pelaku usaha e-commerce antar negara
termasuk dalam wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap yang
terdapat dalam pasal 26 Undang-Undang Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan,
sehingga saat ini perlunya penegasan mengenai pelaku usaha yang
tidak mempunyai bentuk usaha tetap dalam Undang-Undang Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan
Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan sehingga jelas legalitas pungutan pajak untuk pelaku e-
commerce antar negara.
2. Adapun pencegahan terjadinya pajak berganda yang dilakukan melalui
perpanjian bilateral/ multilateral atau tax treaty maka yang diperlukan
pemerintah saat ini adalah dengan merevisi definisi dari Bentuk usaha
Tetap dengan mengecualikan pelaku e-commerce antar negara sebagai
84
salah satu yang dapatdijadikan sebagai alasan dibentuknya suatu
perjanjian bilateral/multilateral atau tax treaty.
3. Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk yang
banyak bukan suatu yang mustahil kalau negara ini akan dijadikan
sebagai punggung pasar dunia sehingga berbagai peluang atas
kecanggihan teknologi dan dinamisme perkembangan zaman haruslah
diharmonisasikan dengan peraturan yang ada dan berlaku agar
kedepanya kemajuan zaman tidak menjadi kemunduran bagi negara
Indonesia dalam bidang ekonomi yang tentu dapat membantu untuk
meningkatkan pemasukan negara yang didapat melalaui pajak itu
sendiri, sehingga saat ini diperlukanya pengkajian yang lebih
konperhensif yang dilakukan oleh pemerintah untuk dapat mengambil
peluang yang dapat menguntungkan negara demi mesejahterakan
rakyat Indonesia.
Akhirnya, semoga melalui skripsi ini dapat memberikan manfaat yang
nyata dalam pengembangan hukum dibidang persaingan usaha serta dapat
membuka pintu bagi lahirnya pengetahuan-pengetahuan baru. Amiin.
85
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
An Aqimudin Eka dan Marye Agung Kusuma, Solusi Bila Terjerat Kasus Bisnis,
Jakarta : Raih Asa Sukses, 2010
Brotodiharjo Santoso R , Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, Eresco, 1989.
Chidir Ali, Hukum Pajak Elementer, Bandung , PT Eresco, 2007
Devano, Sony Dan Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan Konsep, Teori, Dan Isu.
Jakarta : Kencana Prenada Media Grup, 2006
Djamil Fathurrahman , Hukum Perjanjian Shariah, dalam Mariam Darus
Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001.
Djuwaini Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008.
Effendi Jonaedi, Kamus Istilah Hukum Populer , Cet. Ke-I, Jakarta, Predana
Media Group, 2016
Faruq M., Hukum Pajak DI Indoensia Suatu Pengantar Ilmu Hukum Terapan Di
Bidang Perpajakan, Jakarta, Kencana, 2018.
Friedman M. Lawrence, American Law an Introduction, Terjemahan Wisma
Bhakti, Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001
Halwani Hendra , EKonomi Internasional & Globalisasi Ekonomi , Bandung :
Widya Padjajaran, 2009.
Hutagaol John , Perpajakan Isu-isu Kontemporer, Jakarta: Graha Ilmu, 2007.
Ilayas B Wirawan dan Richard Burton, Hukum Pajak, Jakarta : Salemba Empat,
2007.
Jamaluddin, Pengantar Perpajakan, Makassar : Alauddin Press, 2011.
Kansil C.S.T. Dan Christine S. T. Kansil, Sejarah Hukum Di Indoensia, Cet. Ke-
2, Jakarta : PT Suara Harapan Bangsa, 2016.
Kotler, Philip, dan Gary Armstrong, Prinsip-prinsip Pemasaran, Jakarta :
Erlangga 2012.
86
Leatemia Johanis, Pengaturan Hukum Daerah Kepulauan, Sleman : CV Budi
Utama, 2019
Lubis Solly , Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994.
M.S Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma Bagi
Pengembangan Penelitian Indiplisiner Bidang Filsafat, Budaya,
Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum, Dan Seni), Yogyakarta: Paradigma,
2005.
Mardiasmo, Pajak Dan Perpajakan, Yogyakarta : Andi, 2009.
Markus Muda, Perpajakan Indonesia Suatu Pengantar, Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama, 2005.
Muljono Djoko, Panduan Brevet Pajak Penghasila, Yogyakarta : Cv. Andi
Offset, 2010.
Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2001.
Nurmatu Safri Nurmatu, Pengantar Perpajakan , Jakarta : Granit, 2005.
Renung Rante Rintho, E-commerce Menciptakan Daya Saing Melalui Teknologi
Informasi, Sleman : CV Budi Utama, 2012.
Resmi Siti, Perpajakan Teori dan Kasus. Edisi 6, Buku 2 , Jakarta: Salemba
Empat, 2011.
S.R Soemarso, Perpajakan Pendekatan Konperhensif, Jakarta Selatan : Salemba
Empat 2007.
Saidi Djafar Muhammad , Pembaharuan Hukum Pajak, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2007.
Sakti Wira Nufransa, Buku Pintar Pajak E-Commerce, Jakarta : Visi Media,
2014.
Sigit Suseno , Yurisdiksi Tindak Pidana Siber, Bandung: Refika Aditama, 2012.
Soemitro Hanitijo Ronny, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia, 1982.
Soemitro Rochmat, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944,
Bandung : Eresco, 1977
Soemitro Rochmat, Pajak Dan Pembangunan, Bandung : Eresco, 1988
87
Suandy Erly , Hukum Pajak Edisi 5 , Jakarta: Salemba Empat, 2011.
Sumarsan Thomas, Tax Review Dan Strategi Perencanaan Pajak, Jakarta : PT
Indeks, 2013.
Syafe'i Rachmat, Fiqih Muamalah,Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Syahrani Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya
Bakti, 1999 .
Taufiq Muhammad Ramadhan , Al-Buyu‘al-Shai‘ah, cet. 1 , Beirut: Dar al-Fikr,
1998
Wahyuni Imam. Pajak, Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 1994.
Waluyo. Akuntansi Pajak , Jakarta : Salemba Empat, 2009.
Wiradipradja E.S. dan D. Budhijanto, Perspektif Hukum Internasional tentang
Cyber Law, dalam Kantaatmadja, et al, Cyberlaw : Suatu Pengantar,
Jakarta : Elips 11, 2002.
Wong Jony, Internet Marketing for Beginners, Jakarta : Elex Media Komputindo,
2010
Zain Muhammad, Manajemen Perpajakan, Jakarta: Salemba Empat, 2008.
Zaman Hasanuz S. M., “Bay al-Salam: Principles and Their Practical
Applications”, dalam Sheikh Ghazali Sheikh Abod dkk (Ed.), An
Introduction to Islamic Finance, Kuala Lumpur: Quill Publishers,
1992.
UNDANG-UNDANG
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/8/Pbi/2017 Tentang Gerbang Pembayaran
Nasional (National Payment Gateway)
Preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE/62/PJ/2013 tentang Penegasan
Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi e-Commerce
Tim Visi Yustisia , Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan KUHA Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata ( Reglemen Op De
Rechtsvordering), Jakarta : Visimedia, 2015.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 yang telah dirubah dalam Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
88
Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan
Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan
INTERNET
Australia B2C Ecommerce Country Report 2016,
https://www.ecommercewiki.org/reports/45/australia-b2c-ecommerce-
country-report-2016 ( Diakses Tanggal 29 Juni 2019, Pukul 17. 35)
Bruno Sidler,Asean Positions Itself As, Asia’s “Third Force”,
Http://Www.Acommerce.Asia/Asean-PositionsItself-As-Asias-Third
Force/, (Diakses 02 Desember 2018, Pukul 23. 15)
Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan, Menelusur Pajak atas Transaksi
E- Commerce, http://www.pajak.go.id/content/article/menelusur-pajak-
atas-transaksi-e-commerce diakses tanggal 29 Juli 2019, pukul 19:36 WIB
Felicia-Moursalien, 10 Trends That Will Shape Southeast Asian E-Commerce In
2015,https://www.techinasia.com/10-trends-shape-southeast-asian
ecommerce 2015 ,(Diakses 02 Desember 2018, Pukul 23. 15)
Penduduk Indonesia Gemar Belanja
Online.com/read/detail/2278272/mastercardpenduduk-indonesia-gemar-
belanjaonline (diakses tanggal 29 Juni 2019, pukul 14.04 WIB)
Ragam Regulasi Pajak E-commerce di Dunia,
https://kumparan.com/@kumparanbisnis/ragam-regulasi-pajak-e-
commerce-di-dunia, ( Diakses Tanggal 29 Juni 2019, Pukul 18. 57)
Sheji Ho10 e-commerce trends that will shape Southeast Asia in 2018 (Part
1),https://technode.com/2018/01/02/10-e-commerce-trends-will-shape
southeast-asia 2018-part-1/, (Diakses 02 Desember 2018, Pukul 23. 15)
The European mini one-stop shop: A model for future indirect tax compliance?,
https://www.thetaxadviser.com/issues/2017/jun/european-mini-one-stop-
shop-indirect-tax-compliance.html, ( Diakses Tanggal 29 Juni 2019, Pukul
17. 35)
89
Tribun Jateng. “Jumlah Penduduk Indonesia Lebih Dari 262 Juta Jiwa”,
http://jateng.tribunnews.com/2016/09/01/data-terkini-jumlah-penduduk-
indonesia-2579-juta-yangwajib-ktp-1825-juta diakses tanggal 29 Juni
2019, pukul 14.04 WIB
KARYA TULIS
Adams H. C, The Science Of Finance, New York, 1989.
Adam Vitaloka Diah Dan Intan Puspita Astin, Kebijakan Pengenaan Pajak Atas
Transaksi Perdagangan Online (E-Commerce), Studi Akuntansi Stembi
Bandung Business School, Frima, 2019
Al Adib Edi Susilo, Pajak Untuk E-Commerce, Edi Artikel, 12 Maret 2010.
al-Suyuthi Jalaluddin, Jami ’ al-Ahadith, Maktabah Shamilah
Andrew, The Final Frontier, Journal of Accountancy, Agutsus, 1999.
Anjan Rosa Margaretha dan Budi Santoso, Urgensi Rekonstruksi Hukum E-
Commerce Di Indonesia, Jurnal Law Reform, Volume 14, Nomor 1,
Tahun 2018.
Aprilia Anita, Endang Siti Astuti, dan Nila Firdausi Nuzula, Penanganan Dan
Pengawasan Perpajakan Dalam Rangka Intensifikasi Di Bidang E-
Commerce, Universitas Brawijaya, Malang, 2014
Bastable C. F., Public Finance, London, Macmillan And Co., 1993
Budi Chandra, Menyasar Pajak Transaksi e-Commerce, April 2014
European Commission Directorate-General Taxation And Customs Union Indirect
Taxation And Tax Administration, Guide To The Vat Mini One Stop
Shop, Brussels, 23 October 2013
Jurnal Media Keuangan Transparansi Dan Kebijaka Fiskal , Kesetaraan Pajak
Untuk E-commerce, XII , 126, Maret 2018
Karyatiningsih Ripah, Penerapan E-Commerce dalam Menunjang Strategi Bisnis
Perusahaan Kasus di PT. Cheil Jedang Superfeed (CJS), Makalah,
Program Pasca Sarjana Manajemen dan Bisnis ITB, Bogor, 2011.
Laudon, K, & J.P. Laudon, Management Informtaion System: Managing the
Digital Firm, New York : 11th edition. New Jersey: Prentice Hall ,
2010
90
Pangesti Dwiayu Resha, Menguak Permasalahan Perpajakan E- Commerce Di
Indonesia Dan Solusi Pemecahannya, Jurnal Riset Akuntansi dan
Bisnis Airlangga , 2, 1, Surabaya 2017.
Rahmatullah Tansah, Analisis Yuridis Atas Perlakuan Pajak Terhadap Transaksi
E-Commerce, Agustus, 2018.
Royhan Khori Ifti, Peranan Pajak terhadap Penerimaan Negara.
S. Bambang, Pengawasan Intensifikasi Pembayaran PPh pasal 21dalam upaya
Intensifikasi padaKPP Solo , Surakarta: Skripsi UMS, 2004
Santo Dwi Fajar Aluk Paulus, Aspek Hukum Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap
Menurut Hukum Positif Di Indonesia, Jurusan Manajemen, Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis, Universitas Bina Nusantara
Sari Puspit Ririn ,Kebijakan perpajakan atas transaksi e-commerce,Samarinda
Kalimantan Timur, 2018 .
Schon Wolfgang, Person And Territories on the international Allocation Of
Taxing Rights ,VI , 2010.
Sari Yustika Anggia , Analisis Terhadap Penerapan Pajak Atas Transaksi E-
Commerce, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta,
2018.
Turban, Efrain, Linda Volonino, Information Technology for Management, Asia,
7th Edition John Willey & Sons, 2010.