pucuk rebung tabur bintang 143 - perpustakaan digital · pdf filepuncak seni ini terdapat pada...
TRANSCRIPT
143
Pucuk rebung tabur bintang
144
Gambar IV.9 songket tawur “Limar bintang”
145
a. Kain tradisional ini dinamakan limar bintang. Kain ini diproduksi tahun 1985.
b. Kain tradisional berfungsi sebagai selendang. Kain tradisional tersebut
berukuran panjang 87 cm dan lebar 2 m. Kain ini dikenakan oleh wanita
dewasa pada saat upacara adat perkawinan.
c. Jenis kain tradisional merupakan kombinasi tenun songket dengan tenun ikat
limar.
d. Bahan yang digunakan kain tradisional adalah benang pakan dan lungsi terbuat
dari kapas. Sedangkan ragam hiasnya terbuat dari benang pakan tambahan
yaitu benang emas jantung dan benang limar sutera.
e. Warna yang terdapat pada kain tradisional yaitu warna dasar kain
(background) merah anggur. Ragam hiasnya bewarna kuning emas, dan
ditambahkan warna hijau, putih, dan unggu tua.
f. Ragam hias (ornament) yang terdapat pada kain tradisional limar bintang
antara lain:
a. Bagian pinggiran / tepi sisi bawah, atas, kanan, dan sisi kiri kain, oleh
masyarakat Palembang dinamakan motif tretes. Motif tretes terdiri dari
beberapa macam ragam hias yaitu: gandek leter “S”, apit atau tali air
(berbentuk garis lurus), ombak-ombak (berbentuk garis gelombang),
umpak bungo tanjung, serta ornamen kuku siku (berbentuk pucuk rebung
kecil).
b. Bagian badan kain / kembang tengah terdapat ragam hias (ornament)
bintang tabur dan kembang melati.
c. Bagian kepala kain (tumpal) terdapat ragam hias gandek leter ”S”,
ombak-ombak (berbentuk garis gelombang), apit (berbentuk garis lurus),
patah beras (berbentuk segitiga), umpak kayu apui, gunungan, pucuk
rebung kembang kunyit, dan ornamen tawur biji timun.
g. Tekstur yang terdapat pada kain tradisional limar bintang agak kasar. Sebab
menggunakan benang kapas pada dasar kain. Ragam hiasnya menggunakan
benang emas cukit 2.
147
i. Struktur bentuk ragam hias songket limar bintang terdiri dari bagian pinggiran
kain, badan kain (kembang tengah), dan bagian kepala kain (tumpal). Hal ini
dapat dilihat pada bentuk gambar dibawah ini.
- Struktur bentuk pada bagian pinggiran kain (tretes), terdapat ragam hias
gandek leter ”S”, tali air, ombak-ombak, umpak bintang kecil, dan kuku
siku.
Pinggiran kain
Tretes (siku pinggiran)
148
- Struktur bentuk badan kain (kembang tengah), terdapat ragam hias bintang
dan melati.
- Struktur bentuk kepala kain (tumpal), terdapat ragam hias ombak 11
batang, patah beras, umpak mawar, tawur biji timun, gandek leter ”S”,
dan pucuk rebung kembang tebu.
Ombak 11 batang
Patah beras
149
Umpak mawar
Gandek leter ”S”
Pucuk rebung kembang tebu
150
Gambar IV.10 songket lepus “Bungo jatuh”
151
a. Kain tradisional ini dinamakan bungo jatuh. Kain ini diproduksi tahun 1983.
b. Kain tradisional berfungsi sebagai selendang. Kain tradisional tersebut
berukuran panjang 87 cm dan lebar 2 m Kain ini biasanya dikenakan oleh
wanita dewasa pada saat upacara adat perkawinan.
c. Jenis kain tradisional merupakan kain tenun songket lepus.
d. Bahan yang digunakan kain tradisional adalah benang pakan dan lungsi yang
terbuat dari kapas. Sedangkan ragam hiasnya terbuat dari benang emas
jantung.
e. Warna yang terdapat pada kain tradisional yaitu warna dasar kain
(background) merah anggur. Ragam hiasnya bewarna kuning emas.
f. Ragam hias (ornament) yang terdapat pada kain tradisional bungo jatuh antara
lain:
a. Bagian pinggiran / tepi sisi bawah, atas, kanan, dan sisi kiri kain, oleh
masyarakat Palembang dinamakan motif tretes. Motif tretes terdiri dari
beberapa macam ragam hias yaitu: gandek cermin, ombak-ombak
(berbentuk garis gelombang), apit duri nanas, umpak bintang, patah beras
(berbentuk pilin segitiga), dan ornamen kuku siku (berbentuk pucuk
rebung kecil).
b. Bagian badan kain / kembang tengah terdapat ragam hias lepus bungo
jatuh.
c. Bagian kepala (tumpal) terdapat ragam hias gandek cermin, ombak-
ombak (berbentuk garis gelombang), apit (berbentuk garis lurus), patah
beras leter “S”, umpak (berbentuk bunga mawar, sulur-sulur dedaunan),
pucuk rebung bertangkup menara, dan ornamen tawur biji cermin.
g. Tekstur kain tradisional bungo jatuh agak kasar. Sebab dibagian badan kain
dipenuhi benang emas dan dasar kain terbuat dari kapas. Ragam hiasnya
menggunakan benang emas cukit 2.
153
i. Struktur bentuk ragam hias songket bungo jatuh terdiri dari bagian pinggiran
kain, badan kain (kembang tengah), dan bagian kepala kain (tumpal). Hal ini
dapat dilihat pada bentuk gambar dibawah ini.
- Struktur bentuk pada bagian pinggiran kain (tretes), terdapat ragam hias
ombak 9 batang, pengapit duri nanas, tali air, umpak bintang, dan kuku
siku.
- Struktur bentuk badan kain (kembang tengah), terdapat ragam hias lepus
bungo jatuh.
- Struktur bentuk kepala kain (tumpal), terdapat ragam hias gandek cermin,
ombak 9 batang, patah beras leter ”S”, umpak mawar, dan pucuk rebung
kembang jagung.
Gandek cermin
154
Ombak 9 batang
Patah beras leter “S”
Umpak mawar
155
Pucuk rebung kembang jagung
165
Berdasarkan bentuk-bentuk songket Palembang yang telah dianalisa maka dapat
diketahui beberapa hal yaitu pertama, songket Palembang selalu memberikan
nama pada setiap motifya berdasarkan corak ragam hias yang lebih dominan
didalam struktur desain kain tradisinal songket. Pemberian nama pada setiap kain
songket selalu mengikuti motif-motif kembang tengah atau motif yang ada pada
badan kain, sebab motif ragam hias yang lebih menonjol selain pucuk rebung
sebagai tumpal yaitu jenis kembang tengah.
Kedua, pada kebudayaan tertentu warna bisa merupakan simbol yang memiliki
suatu makna atau arti tertentu misalnya putih bisa berarti suci, melambangkan
kebaikan sementara hitam berarti dukacita, melambangkan kematian atau
kejahatan dan sebagainya. Warna yang digunakan oleh tenun songket lama di
daerah Palembang khusus tahun 1900 hingga tahun 1990 sangat mempengaruhi
dengan adat budaya masyarakat Palembang sebab dalam warna dan bentuk desain
songket dapat mencermikan status sosial dari sipemakainya. Songket dengan
warna hijau, merah, dan kuning di pakai oleh janda. Sedangkan kalau
menggunakan warna yang cerah melambangkan bahwa mereka ingin menikah
lagi. Saat ini warna songket tidak selalu terikat pada adat istiadat, semua lapisan
masyarakat dapat memakai songket dengan warna yang bervariasi sesuai dengan
selera sipemakai. Namun kain songket Palembang lebih dominan bewarna merah
anggur untuk latar kain dengan motif ragam hias yang bewarna kuning emas,
perak, ataupun benang emas putih.
Ketiga, visualisasi motif-motif songket Palembang adalah dekoratif yaitu bertujuan menghias benang pakan maupun benang lungsi dengan motif-motif tertentu yang disusun secara beraturan. Penggambaran motif atau ragam hiasnya adalah abstraksi dan stilasi dari bentuk aslinya. Bentuk motif ragam hias songket Palembang yaitu motif kembang tengah ada tiga macam jenis antara lain kembang lepus, kembang tawur, atau kembang limar, motif ombak-ombak yang berupa garis berlengkung-lengkung, motif apit berbentuk garis lurus, motif umpak
166
biasanya stilasi dari bentuk mawar dan ular naga, tawur yang berbentuk kembang
melati, bintang, dan tumpal dengan bentuk pucuk rebung.
Keempat, bentuk komposisi (Pola) dan bentuk motif. Pola adalah penyebaran
garis dan warna dalam suatu bentuk pengulangan tertentu. Pola dalam songket
adalah pengelompokan ragam hias songket dalam satu lembaran atau helaian kain
yang disusun dalam keteraturan motif atau gambar yang mengalami pengulangan
kiri dan kanan serta atas dan bawah.
Pola pada songket Palembang tidak memiliki unsur naratif (bercerita) seperti
misalnya pola pada kain tradisional batik Cirebon yang memungkinkan suatu cara
pembacaan tertentu atas helaian tradisional batiknya baik pembacaan dari atas
kebawah, atau dari samping ke kiri ke kanan dan sebaliknya.
Motif yang dibicarakan dalam bab ini adalah ornamen yang dibentuk untuk
menghias suatu benda, dalam hal ini songket dengan wujud atau bentuk dan
dengan maksud atau tujuan tertentu pula. Motif tersebut bisa berupa stilasi flora
dan fauna, figur, geometris atau lainnya yang juga merupakan simbol bagi suatu
maksud tertentu. Maka motif dalam ragam hias songket Palembang selalu
bersumber dari inspirasi keadaan lingkungan alam dan sosialisasi masyarakat
lokal maupun masyarakat pendatang.
Selama ini produsen songket Palembang di wilayah Ki Gede Ing Suro tetap
membuat atau memproduksi songket untuk kebutuhan sebagai pakaian daerah
tradisional khususnya sewet, kemben, selendang, aesan gandek atau sandang
manteri, tanjak dan sebagainya. selain untuk pakaian daerah, songket Palembang
juga dapat dipesan sebagai cindera mata, namun tetap berupa kain untuk dibuat
sebagai pakaian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa songket Palembang
termasuk ke dalam seni pakai dengan spesifikasi ‘fashion’.
167
Motif ragam hias pada songket Palembang seluruhnya dapat digunakan sebagai
pakaian. Tidak terdapat motif-motif larangan atau motif-motif yang bersifat
sakral, magis, ataupun yang digunakan untuk keperluan spiritual-religius.
Pengrajin tenun songket di wilayah Ki Gede Ing Suro juga membuat songket
untuk keperluan sehari-hari yang sifatnya untuk pelengkap kebutuhan saja, selain
pakaian seperti misalnya hiasan dinding, selop / sandal, tas, dompet, souvenir
berupa gantungan kunci, sepatu, perlengkapan tempat tidur, ataupun yang lainnya.
168
4.3 Analisa Makna
Sebagaimana diketahui songket Palembang bukan sekedar benda pakai belaka
atau sejenis songket niaga yang hanya memetingkan segi komersial dengan nilai
ekonomi saja, namun juga menerapkan nilai-nilai simbolis dan filosofi tertentu
pada penciptaan motif-motif songket. Menurut desainer songket Palembang, nilai-
nilai filosofi yang diterapkan pada songket didasarkan pada landasan budaya dan
pandangan hidup masyarakat Palembang yang diwarisi dari para leluhurnya.
Simbol atau lambang adalah sesuatu seperti tanda (rambu, lukisan perkataan,
lencana, ragam hias / ornamen, dan sebagainya) yang menyatakan sesuatu hal atau
mengandung maksud tertentu. (kamus Poerwadarminta, 1976).
Simbol yaitu seni dimana dipresentasikan murni dalam bentuk materi inderawi.
Yang Absolut / Ilahi hanya diindikasikan atau diungkapkan melalui kesan dengan
cara memanipulasi benda-benda alami. Sebagai contoh adalah seni Asmat dan
arsitektur tradisional. Seni ini melibatkan nilai-nilai sakral, termasuk karya seperti
Sphynx, obelisk, piramid, pagoda, candi, pohon, dan bahkan hewan sering
menyimbolkan suatu konsep ilahiah tertentu, seperti burung Enggang pada
Kahariangan masyarakat Dayak, singa dan lembu pada puisi Yahudi yang
melambangkan keberanian, kekudusan, dan kesuburan. Penggunaan simbol-
simbol menurut Hegel, menggambarkan perjuangan roh untuk melepaskan diri
dari dunia alami ke dunia manusiawi. Puncak seni ini terdapat pada arsitektur
peninggalan Mesir kuno, yang dari sejarah seni dunia disebut sebagai negeri
simbol, simbol dari simbol itu sendiri. (GWF.Hegel,1770-1831, filsuf Jerman)
Simbol merupakan sesuatu tanda yang mengandung arti tertentu yang diketahui
oleh masyarakat. Simbol banyak sekali dipergunakan dalam kesenian untuk
memberi arti yang mendalam kepada apa yang disajikan. Seperti, seni lukis, seni
patung, seni tari, seni kriya songket, dan lain-lain. Simbol dapat juga memperkuat
identitas dari karya seni. Contohnya, kita sudah mengenal palang merah sebagai
lambang pertolongan kepada penderita, lambang kemanusiaan. Warna putih
169
sebagai lambang suci, padi sebagai lambang kemakmuran. Rambu lalu lintas
dapat juga dianggap sebagai simbol. Yang mengandung arti tertentu yang
diketahui masyarakat. (A.A.M.Djelantik, 1999:182)
Bila dalam bidang seni songket, ragam hias (ornament) merupakan bagian dari
simbol / lambang. Ornamen dalam kain songket mengandung makna dan arti
tertentu bagi masyarakat. Berdasarkan data yang diperoleh dari masyarakat
Palembang, bahwa tidak semua ragam hias yang memiliki makna simbolik pada
setiap ragam hias songket. Bentuk ornamen songket yang mengandung makna
tertentu bagi masyarakat, yaitu: ragam hias pucuk rebung, gunungan, nampan
perak, naga besaung, bunga melati, bunga mawar, bunga tanjung, ombak-ombak,
dan ragam hias apit. Keseluruhan ragam hias (ornament) tersebut akan dianalisis
berdasarkan latar belakang sosial budaya masyarakat Palembang, sejarah, dan
kondisi lingkungan alam setempat. Sehingga makna simbol dari ragam hias
songket dapat diketahui secara nyata. Berikut analisa motif ragam hias songket
Palembang.
4.3.1 Motif Pucuk Rebung
Gambar IV.11 Motif Pucuk rebung
Motif pucuk rebung merupakan ragam hias dari motif tumpal yang selalu terletak
pada kepala kain sewet (sarung) dan terletak di kedua ujung kain selendang. Di
zaman kesultanan Palembang yang dipimpin oleh seorang sultan yang bernama
170
Sultan Mahmoed Baddarudin II di wilayah lingkungan daerah kerajaan Palimbang
yang sekarang disebut dengan kota Palembang banyak sekali ditumbuhi oleh
tanaman bambu yang berwarna kuning (bambu kuning) dan warna hijau (bambu
hijau). Setiap tanaman bambu selalu memiliki tunas baru yang letaknya pada
ujung bambu istilah ini dalam daerah Palembang disebut Pucuk Rebung. Tanaman
tersebut sering diolah menjadi sayur mayur melalui proses pertama,
penggerebusan untuk menghilangkan getah kemudian dimasak dengan santan
kelapa, kunyit, dan bumbu rempah-rempah lainnya dan melalui proses kedua,
dengan penumisan sayur rebung yang telah dicampur dengan bumbu rempah-
rempah.
Sayuran pucuk rebung merupakan ciri khas makanan kerajaan kesultanan
Palembang, sebab Sultan Palembang sangat menyukai masakan kerajaan di abad
18. sehingga rakyat jelata yang berada diluar kerajaan, banyak menanam pohon
bambu untuk melengkapi kebutuhan pangan kerajaan dengan menyimpan di
gudang khusus bahan baku pangan.
Setelah berakhirnya masa kerajaan Kesultanan Palembang sayuran rebung tidak
hanya dikonsumsi oleh keturunan golongan priyayi saja atau bangsawan saja.
Tetapi sayur rebung telah dapat dikonsumsi oleh semua masyarakat Palembang.
Sehingga diabad 19 hingga abad 20 tanaman pucuk rebung merupakan masakan
tradisional khas Palembang yang sekarang telah berkembang dalam proses
pengolahannya menjadi lebih beraneka ragam jenisnya dengan bahan baku dasar
sayur rebung. Maka dalam budaya masyarakat Palembang, tumbuhan pucuk
rebung merupakan salah satu bagian dari lambang kota besar yang digunakan
sebagai lambang pemerintahan kota Palembang saat ini.
Dalam ragam hias kain songket Palembang maupun pada arsitektur rumah
tradisional Limas atau pada seni ukir logam dan seni ukir kayu serta lain
sebagainya, bahwa motif pucuk rebung dilambangkan sebagai kesuburan dan
kekayaan. Yang maksud lambang tersebut memberi makna untuk kehidupan
171
untuk masyarakat Palembang agar selalu dapat menjaga serta melestarikan
kekayaan alam sekitarnya yang telah menjadi peninggalan budaya nenek moyang
bangsa Indonesia.
Motif Gunungan
Gambar IV.12 Motif gunungan
Selain motif puncuk rebung terdapat pula motif gunungan yang sering juga
dipakai dalam ragam hias tumpal khususnya pada kepala kain songket. Motif
gunungan melambangkan atau simbol dari bukit Siguntang yang terletak di
sebelah barat kota Palembang. Bukit yang tingginya sekitar 27 meter dari
permukaan laut ini. Pada zaman Sriwijaya merupakan tempat suci bagi penganut
agama Budha, menurut sejarah di bukit itu bermukim sekitar 1000 pendeta Budha.
Hingga kini Bukit Siguntang masih dianggap sebagai tempat yang dikeramatkan.
172
Gambar IV.13 Bukit Siguntang
Pada tahun 1920 di bukit Siguntang ditemukan arca Budha bergaya Amarawati
dengan wajah tipikal srilangka dan diduga berasal dari abad XI Masehi. Arca
tersebut kini diletakkan di halaman museum kota, Sultan Mahmud Badaruddin
samping benteng Kuto Besak.
Di puncak bukit terdapat kuburan kuno yang dikeramatkan penduduk. Salah
satunya adalah kuburan Sigentar alam yang dijadikan tempat bersumpah beberapa
penziarah. Menurut legenda Sigentar alam adalah seorang raja pada masa akhir
Sriwijaya.Bukit Siguntang belum lama ini direstorasi dan diperindah. Berdasarkan
dengan latar belakang sejarah bukit Siguntang maka makna simbol dari tempat
kerajaan Sriwijaya Karang Anyar, yang sekarang menjadi taman purbakala. Disini
tersimpan koleksi-koleksi peninggalan-peninggalan kerajaan Sriwijaya, budaya
dan sejarahnya. Makna yang terkandung dalam simbol Bukit Siguntang yaitu
melambangkan kesucian dan keagungan terhadap sang pencipta sebab bukit
Siguntang merupakan tempat utama untuk menyembah, bersembahyang, ataupun
tempat bertapa serta mensucikan jiwa dan raga terhadap segala bentuk kejahatan
dimuka bumi.
173
4.3.2 Motif Nampan Perak
Gambar IV.14 Nampan perak
Motif ragam hias nampan perak yang terdapat pada songket Palembang
merupakan simbol dari bagian salah satu perlengkapan atau peralatan upacara adat
Palembang yang selalu digunakan untuk memberikan sesuatu berkah, rejeki,
ataupun penghormatan terhadap keluarga yang sedang melaksanakan upacara adat
tradisional, khususnya pada proses adat istiadat perkawinan di Palembang.
Nampan perak selalu digunakan masyarakat Palembang, pertama di saat
meminang atau melamar yang mana orang tua si-bujang atau laki-laki menyuruh
ibu utusan tadi bersama-sama dengan 4 (empat) orang wanita lainnya, hingga
menjadi 5 orang dari keluarganya sendiri atau sahabat lainnya yang pantas pergi
lagi kerumah si-gadis yang akan dijadikannya menantu itu dengan membawa
“gegawan”, yaitu satu kain terbungkus dengan sapu tangan diletakkan diatas
nampan perak dan 5 tenong atau tempayan berisi gula, gandum, pisang tembatu
atau buah-buahan kalau dalam musimnya. Gegawan atau pembawaan ini
dinamakan “sirih hanyut”. Setelah sampai dirumah dan diterima oleh ibu si-gadis,
maka diadakanlah perundingan secara adat antara kedua belah pihak. Oleh utusan
disampaikanlah, bahwa ia datang ini bermaksud untuk meminang anak gadis itu
untuk si-bujang atau calon pengantin lelaki keluarganya.
174
Kedua, nampan perak selalu digunakan pada saat adat- istiadat dalam memutus
kato. Yang mana “memutus kato” yang dimasud adalah para utusan kembali pula
memberi laporan pada ibu si-bujang atau calon pengantin lelaki, bahwa
permintaanya dituruti orang, kemudian ibu si-bujang itu menyuruh satu orang
wanita utusan diiringi oleh 8 orang lainnya sama dengan berjumlah 9 wanita
utusan resmi membawa kembali 9 tenong atau tempayan berisikan alat-alat seperti
gula, gendum, pisang tembatu, kalau ada musimnya yaitu buah-buahan dan lain
sebagainya, diiringin dengan satu kain dibungkus diatas landasan nampan perak,
satu baju dan satu selendang sutera atau santung pergi kerumah ibu si-gadis.
Pekerjaan ini namanya “memutus kato”.
Ketiga, Nampan perak juga digunakan disaat adat istiadat bertunangan. Pada saat
ibu-sibujang menyuruh seorang wanita disertai oleh beberapa banyak wanita
lainnya akan mengantarkan maskawin, diiringi dengan belanja dapur yang pada
masa sekarang ini dinamakan “uang usap”. Apabila permintaan ibu si-gadis itu
diseyujui, maka jumlah uang belanja itu dibungkus dengan ponjen-ponjen kuning
dan ditaruh diatas sebuah nampan perak, dan seterusnya. Bila adat itu telah
ditentukan bersama oleh kedua belah pihak adalah adat tiga turunan, maka ini
berarti, bahwa mempelai laki-laki harus memberi pada pihak mempelai wanita 3
turunan pakaian yang akan digunakannya. Yaitu yang pertama adalah pakaiannya
untuk sehari-hari, kedua yaitu pakaian untuk bepergian biasa, dan ketiga yaitu
pakaian songket kebesaran untuk kondangan atau upacara adat lainnya. Ketiga
macam pakaian ini dinamakan adat angkatan tiga turunan, yang kebanyakan
dilakukan sekarang ini. Adakalanya dipakai adat buntel badut, adat satu turunan,
adat dua turunan dan seterusnya sampai dengan adat angkatan tujuh turunan yang
disertai pula iringan-iringan perabot-perabot rumah tangga, makanan dan
perhiasan sesuai menurut kemampuan keluarga tersebut. Semua ini akan dibawa
juga bersama-sama yaitu sekurang-kurangnya 40 nampan perak diantaranya ada
berisikan uang turunan yang diletakkan dalam kertas yang diberi bermacam rupa
buah-buahan umpamanya dalam bentuk manggis dan lain sebagainya.
175
Keempat, nampan perak juga digunakan pada acara adat “mengarak pacar”
istilahnya adalah keris dan bunga nemukan perkawinan. Acara adat yang pada
malam harinya sesudah pernikahan dilangsungkan, maka disediakanlah sebilah.
Keris Adat Pusaka Puyang berikut bunga-bunga warna-warni dan ditempatkan
diatas nampan perak yang beralaskan kain kuning sutera keemasan. Kemudian
diiringi oleh keluarga berikut utusan-utusan dari pengantin lelaki diarak secara
beramai-ramai kerumah pengantin wanita. Kadang ini dilakukan dengan perahu
yang dihiasi dan diberikan penerangan lampu warna-warni dan diiringi pula
dengan musik dan tabuh-tabuhan lainnya upacara ini dinamakan “ngarak pacar”.
Dari keempat proses upacara adat penikahan yang telah diuraikan secara garis
besar, maka ragam hias nampan perak yang digunakan pada kain songket
Palembang malambangkan sesuatu berkah, rejeki, serta anugerah yang telah
diberikan oleh sang pencipta kepada umatnya untuk dapat hidup rukun, damai dan
sentosa.
4.3.3 Motif Nago Besaung
Gambar IV.15 Ular naga
Motif hewan ular yang terdapat pada seni ragam hias songket Palembang
berbentuk ular naga yang bermahkota. Gaya seni ragam hias menampilkan ular
bermahkota sebenarnya merupakan corak seni ornamen yang mendapat pengaruh
dari kebudayaan Cina Hindu dan Budha. Motif ular dalam seni ornamen diartikan
dalam suatu lambang kekuatan atau kesaktian. Ada dua macam motif ular sebagai
ragam hias yang berbeda dalam gaya, yaitu gaya Hindu dan gaya Cina. Gaya
176
pengaruh Hindu bentuk ular memakai mahkota sebagai hiasan dibagian kepala.
Sedangkan gaya pengaruh China, ular sebagai ragam hias memakai kaki tanpa ada
hiasan kepala.
Pada gambar diatas menunjukkan bahwa, nago besaung merupakan simbol
binatang yang hidup dialam bebas. Dalam ornamen Cina pada mitologi Hindu,
nago besaung sebagai kendaraan para dewa demi keselamatan jiwa. Nago besaung
berasal dari kata ular naga. Corak ini kemudian menjadi ragam hias songket
Palembang. Masuknya corak nago besaung sejak adanya akulturasi budaya Cina
Hindu melalui jalur perdagangan dari pelabuhan musi dengan jembatan Ampera
pada masa kerajaan kesultanan Palimbang.
Gambar IV.16Batu tulis merupakan telapak kaki, dengan puncak berbentuk
kepala ular, yang digali oleh R.H.M. AKIB pada tanggal 21
September 1934. Batu ini sekarang ada dirumah Bari
(Museum) Jakarta.
177
Berdasarkan temuan peninggalan sejarah telah ditemukan batu tulis yeng
merupakan telapak kaki, dihiasi puncaknya dengan kepala ular sendok dan ular
naga. Hal ini salah satu peninggalan dari sejarah budaya Cina dan sebahagian
batu-batu bersurat merupakan peninggalan kerajaan Sriwijaya yang ditemukannya
di sebuah Kedukan Bukit dan Talang Tuwo Palembang dengan memberitahukan
zaman kejayaan dan keemasan dari Sriwijaya. Dari bukti gambar diatas, kuat
kemungkinan bahwa simbol ular naga berasal dari peninggalan kerajaan Tiongkok
atau Cina yang berada di wilayah daerah Palembang.
4.3.4 Motif Flora (bungo Melati, bungo Mawar,dan bungo Tanjung)
Bungo Melati Bungo Mawar Bungo Tanjung
Gambar IV.17 Melati,mawar, dan bunga tanjung
Motif ragam hias yang berbentuk floura dalam ornamen songket Palembang
mempunyai ciri khusus tersendiri yaitu dengan adanya motif bungo melati, bungo
mawar, dan bungo tanjung. Disetiap lembaran kain songket selalu menerapkan
motif melati, mawar, ataupun bunga tanjung, dalam filosofi seni budaya
Palembang motif-motif floura tersebut memiliki arti makna tertentu. Bunga melati
melambangkan kesucian dan sopan santun. Bunga mawar melambangkan
kebahagiaan dan bidang desain ukiran, bunga mawar mempunyai arti
perlambangan sebagai penawar malapetaka. Sedangkan bunga tanjung sebagai
lambang ucapan selamat datang dan juga sebagai lambang keramah-tamahan
selaku tuan rumah dalam budaya Palembang itu sendiri.
178
Ornamen bunga melati tidak hanya terdapat pada motif ragam hias kain songket
saja, tetapi simbol bunga melati terdapat juga pada lambang kota besar Palembang
yang disimbolkan sebagai lambang pemerintahan propinsi Sumatera Selatan. Pada
simbol tersebut kembang melati melambangkan kerukunan, kekeluargaan, dan
kesejahteraan kota besar Palembang disegala zaman. Dan bunga Tanjung
merupakan simbol yang terdapat pada tugu perbatasan daerah kota Palembang
dengan daerah kota Bandar Lampung, maka dengan itu simbol dari motif bunga
tanjung melambangkan ucapan selamat datang.
Gambar di bawah ini merupakan lambang kota besar Palembang sebagai simbol
dari pemerintahan.
Gambar IV.18 Lambang kota besar Palembang
Keterangan mengenai lambang kota besar Palembang menyatakan, Pertama,
bahwa rumah warna aslinya merah tua coklat dengan pinggiran keemasan dengan
ukuran 2x (4+5) = 18 tanduk lembaran daun teratai. Ditengah-tengah atasan
terdapat kembang melati yang belum mekar dengan simbol yang melambangkan
179
kerukunan, kekeluargaan, dan kesejahteraan kota besar Palembang disegala
zaman.
Kedua, puncak rebung warna kuning keemasan yang melambangkan kemuliaan
dan keagungan. Jumlahnya 8 buah, melambangkan bulan Agustus yang
bersejarah, bulan proklamasi yang mengingatkan perjuangan Kemerdekaan
Republik Indonesia.
Segitiga ialah sebuah bukit yang termasyhur di Palembang dengan nama Bukit
Siguntang dengan warna hijau berikut sinar keemasan, melambangkan tanggal 17,
hari proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Bukit Siguntang adalah tempat
Kesucian dizaman purbakala yaitu diabad ke-VII dan abad ke-XIII terdapat
kumpulan candi-candi, kuil-kuil, dan sekolah tinggi oleh pendeta-pendeta dan
pelajar di seluruh Asia. Bukit Siguntang berasal dari kata Dapuntahijang artinya
“dipertuan Dewa” yang akhir-akhir disingkat dengan kata Dapuntang atau
Siguntang. Ia merupakan dizaman abad ke-VII suatu daerah yang suci, penuh
dengan candi-candi dan kuil diantaranya terdapat taman perpustakaan untuk
mendapatkan segala pengetahuan dan ilmu sejati.
Lingkaran-lingkaran memanjang bewarna biru adalah simbol dari sungai 4
(empat) diantaranya sungai besar yang bertemu di kota Palembang yaitu sungai
Komering, Ogan, Lematang, sungai Musi dan 5 (lima) lainnya sungai bertemu
diluar kota Palembang. Kesembilannya berkumpul menjadi satu. Induk dan airnya
mengalir di kota Palembang dengan tenangnya, melambangkan:
a. Kota Palembang adalah pusat perhubungan, pelabuhan, dan perdagangan,
akhir-akhir ini menjadi pula kota perindustrian dengan masyarakatnya yang
tenang bijaksana.
b. Tahun 1945 yaitu tahun proklamasi.
Bunga teratai bewarna putih melambangkan agama yang suci disegala zaman,
dulu kini dan yang akan datang. Lima lembar dari bunga teratai
melambangkan rukun lima agama islam. (R.H.M.Akip, 1956:35
180
4.3.5 Motif Ombak-ombak
Gambar IV.19 ombak-ombak
Motif ombak-ombak merupakan simbol dari perairan sungai musi di tengah kota
Palembang. Berdasarkan dengan keadaan geografis di Sumatera selatan bagian
timur merupakan daratan yang sangat luas, dengan ketinggian antara 0-50 meter
dari muka laut. Daratan tersebut terdiri dari daerah rawa-rawa yang membentang
dari pantai timur ke utara dan ke selatan. Selain dari pada itu rawa-rawa terdapat
juga di sepanjang sungai-sungai seperti sungai Musi, sungai Komering, dan
sungai Ogan. Selainnya adalah merupakan hutan rimba dan pemukiman.
Sungai-sungai yang ada di Sumatera Selatan sebagian besar adalah cabang dari
sungai Musi dan sungai-sungai tersebut bersumber dari mata air di bukit barisan
yang mengalir kearah laut sebelah timur yaitu selat Bangka dan laut Jawa. Sungai-
sungai tersebut yang terpenting adalah: sungai Musi, Komering, Ogan, Lematang,
Kelingi, Lakitan, Rupit, Rawas dan sungai Batanghari Leko. Sungai-sungai ini
lebih dikenal secara keseluruhan dengan sebutan “Batanghari Sembilan”
(Batanghari=sungai).
Sungai musi yang berada di kota Palembang merupakan sungai yang dapat
memberi kehidupan bagi masyarakat Palembang khususnya. Sebahagian persen
penduduk setempat mencari ikan atau hidup nelayan disepanjang aliran sungai
Musi dan sebagian lagi sungai merupakan suatu lintasan satu-satunya yang berada
di kota Palembang, Yang mana masyarakat dapat berlayar dengan tujuan tertentu,
seperti dalam catatan sejarah budaya Palembang. Dari lintasan perairan sungai
Musi orang-orang dapat berakulturasi atau berasimilasi dalam sosial budaya
181
masyarakat yang beraneka ragam jenisnya dan dapat melakukan perdagangan
dalam meningkatan perekonomian masayarakat. Segala aktivitas yang terjadi
dengan masuknya masyarakat luar ke daerah kota Palembang dapat
mempengaruhi segala bidang diantaranya dalam bidang ekonomi, politik, sosial
budaya, ketahanan nasional, hingga sistem pemerintahan daerah. Dengan
demikian masyarakat menggunakan simbol ombak-ombak dalam corak ragam
hias songket Palembang sebagai lambang kehidupan manusia yang sepanjang
zaman harus melewati setiap arus gelombang yang selalu bergerak pasang dan
surut atau meningkat dan menurun, atau maju dan mundur dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
4.3.6 Motif Apit
Gambar IV.20 Apit
Dalam corak ragam hias songket Palembang motif apit ini selalu berbentuk satu
garis lurus yang letaknya selalu diselingi dengan motif kembang yang lain. Motif
apit dalam bentuk garis disebut apit-pengandang. Apit = pengapit, pengandang =
pagar, maka dalam budaya masyarakat suku Palembang motif apit-pengandang
mengungkapkan, bahwa di mana pun manusia itu berada tetap dipagar oleh
norma-norma adat istiadat. Pemakaianya pun selalu di dalam lingkungan pagar
adat istiadat yang kuat dan tidak boleh dilanggar.