puasa pengertian (1) makalah fiqh ibadah

5
HUKUM-HUKUM YANG TERPENTING DALAM PUASA a. HAL-HAL YANG DIPERBOLEHKAN BAGI ORANG PUASA Pertama, siwak (gosok gigi) sepanjang siang. Ia tidak masalah (la ba’tsabih) bagi orang puasa, merujuk pada peraturan Ammar bin Rabi’ah: “Aku melihat Nabi sering bersiwak hingga tak terhitung jumlahnya (karena saking seringnya) padahal beliau sedang berpuasa.” At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Ziyad bin Hudair menambahkan: “Belum pernah kulihat seseorang pun yang lebih kontinu bersiwak dengan siwak basah selagi berpuasa daripada Umar bin Khaththab.” Namun, Imam Asy-Syafi’i dan Ibnu Hanbal memakruhkan siwak bagi orang puasa setelah tergelincir matahari, berdasarkan sabda Rasulullah: “Sungguh bau mulut orang puasa lenih wangi di sisi Allah daripada aroma minyak misik.” Hal itu dimaksutkan agar orang yang berpuasa tetap menjaga bau mulut yang berubah-ubah tersebut, yang dibahasakan dalam hadis tersebut sebagai “khaluf”. Karena itu, Imam Ahmad mengatakan: “Karena (ingin mempertahankan) bau tersebut aku tidak suka bersiwak di petang hari.” Lepas dari boleh dan makruh, sebaiknya batang siwak yang digunakan untuk bersiwak benar-benar kering. Sebab ada sebagian kalangan yang memakruhkan pengunaan siwak basah karena hal itu dikhawatirkan dapat membatalkan puasanya, mengingat adanya kemungkinan terjadi pelapasan bebrapa bagian dari kandungan basah siwak tersebut ke dalam tenggorokan hingga rentan membatalkan puasa. Namun, ada juga yang menyatakan tidak makruh, berdasarkan sejumlah riwayat yang telah diriwayatkan dari Umar dan sahabat lainnya. Kedua, turun ke air dan membenamkan diri di dalamnya untuk mandi atau untuk mendinginkan badan karena suhu panas yang ekstrem, baik dengan mengguyurkan air ke badannya atau membenamkan diri di

Upload: dian-oktavia

Post on 11-Jan-2017

239 views

Category:

Law


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Puasa pengertian (1) Makalah Fiqh Ibadah

HUKUM-HUKUM YANG TERPENTING DALAM PUASA

a. HAL-HAL YANG DIPERBOLEHKAN BAGI ORANG PUASA

Pertama, siwak (gosok gigi) sepanjang siang. Ia tidak masalah (la ba’tsabih) bagi orang puasa, merujuk pada peraturan Ammar bin Rabi’ah: “Aku melihat Nabi sering bersiwak hingga tak terhitung jumlahnya (karena saking seringnya) padahal beliau sedang berpuasa.” At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Ziyad bin Hudair menambahkan: “Belum pernah kulihat seseorang pun yang lebih kontinu bersiwak dengan siwak basah selagi berpuasa daripada Umar bin Khaththab.” Namun, Imam Asy-Syafi’i dan Ibnu Hanbal memakruhkan siwak bagi orang puasa setelah tergelincir matahari, berdasarkan sabda Rasulullah: “Sungguh bau mulut orang puasa lenih wangi di sisi Allah daripada aroma minyak misik.” Hal itu dimaksutkan agar orang yang berpuasa tetap menjaga bau mulut yang berubah-ubah tersebut, yang dibahasakan dalam hadis tersebut sebagai “khaluf”. Karena itu, Imam Ahmad mengatakan: “Karena (ingin mempertahankan) bau tersebut aku tidak suka bersiwak di petang hari.” Lepas dari boleh dan makruh, sebaiknya batang siwak yang digunakan untuk bersiwak benar-benar kering. Sebab ada sebagian kalangan yang memakruhkan pengunaan siwak basah karena hal itu dikhawatirkan dapat membatalkan puasanya, mengingat adanya kemungkinan terjadi pelapasan bebrapa bagian dari kandungan basah siwak tersebut ke dalam tenggorokan hingga rentan membatalkan puasa. Namun, ada juga yang menyatakan tidak makruh, berdasarkan sejumlah riwayat yang telah diriwayatkan dari Umar dan sahabat lainnya. Kedua, turun ke air dan membenamkan diri di dalamnya untuk mandi atau untuk mendinginkan badan karena suhu panas yang ekstrem, baik dengan mengguyurkan air ke badannya atau membenamkan diri di dalamnya. Hal ini mengacu pada hadis, tuturnya: “Aku pernah melihat Rasulullah mengguyurkan air ke kepalanya ketika sedang berpuasa karena kehausan atau kepanasan.” Jika ada setitik air yang masuk hingga otaknya akibat berlebih-lebihan maupun kesengajaan, maka tidak masalah. Lain halnnya, jika ia menyelam ke dalam air untuk tujuan mendinginkan badan, maka hal itu makruh. Sedangkan Abu Hanifah dan Malik tegas membatalkan puasa orang yang berbuat demikian, karena ia telah mengalirkan air ke dalam kerongkongan dengan penuh kesadaran akan status puasanya, sehingga batal puasanya. Dalam hal ini ia seperti orang yang minum dengan sengaja. Puasa juga dianggap batal oleh mereka jika berlebih-lebihan dalam berkumur dan ber-istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung). Akan, tetapi, Imam Ahma bin Hanbal tidak membatalkan puasa orang yang berlebih-lebihan membuang air.

Ketiga,memakai celak, tetes mata, dan sejenisnya yang bisa masuk ke mata, baik yang dapat dirasakan rasanya ditenggorokan maupun tidak. Sebab mata bukanlah lubang ke dalam kerongkongan sehingga orang yang berpuasa tidak batal puasanya jika ia memakai celak,

Page 2: Puasa pengertian (1) Makalah Fiqh Ibadah

disuntik pada otot atau pembuluh nadi (bukan suntik dari anus yang disebut enema). Meski demikian, bercelak selama puasa menurut kalangan ulama mazhab Syafi’i bertentangan denga yang utama (khilaf al-auld). Keempat, diperbolehkan juga bagi orang melakukan hal-hal yang tidak dapat diwaspadai, misalnya menelan ludah dan kemasukandebu jalanan atau kulit gandum, meski sebanyak apapun, karena sulit dihindari dan demi menepis rasa keberatan (harj dan masyaqqah). Aisyah dan Atha bahkan member keringan untuk mengunyah ‘ilk atau liban (getah), sebab tidak ada sedikit pun yang sampai ke kerongkongan dan ia seperti kerikil yang diletakkan di dalam mulut. Hal ini diperbolehkan jika bagian-bagiannya yang mengalami proses pencairan dan turun ke kerongkongan, maka puasanya batal. Kelima, makan dan minum tanpa sengaja atau lupa. Hanya saja, Imam Malik memandang perlunya mangqadha puasa dalam kondisi ini jika memang puasa dilakoninya adalah puasa fardhu demi kehati-hatian, sedangkan jika puasa sunnah maka tidak perlu diqadha sama sekali.1

b. HAL-HAL YANG DISUNNAHKAN DALAM PUASA

Berikut ini hal-hal yang disunnahkan bagi orang yang berpuasa:

Pertama, menyegerakan berbuka puasa ketika matahari sudah jelas-jelas terbenam dan menjelang shalat, merujuk pada sabda Nabi: “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan diri berbuka puasa.” Anas juga menuturkan: “Nabi tidak pernah shalat maghrib sebelum berbuka puasa, meskipun hanya dengan seteguk air.” Kedua, berbuka dengan kurma matang, lalu kurma kering, kemudian manisan, baru setelah itu air. Dari ketiganya, yang paling afdhal adalah yang pertama. Disunnahkan juga berbuka dengan jumlah yang ganjil: Tiga. Lima, atau tujuh, merujuk pada peraturan Anas bin Malik: “Rasulullah selalu berbuka puasa dengan menu kurma-kurma matang (ruthab) sebelum shalat. Jika tidak ada maka dengan beberapa buah kurma kering (tamar). Dan jika tidak ada juga, beliau berbuka dengan beberapa teguk air.” Semua ini mengandung hikmah tersendiri. Menurut data medis, za gula dan air merupakan asupan pertama yang dibutuhkan tubuh orang puasa setelah berpuasa selama beberapa waktu. Sebab kekurangan gula dalam tubuh dapat menyebabkan kesempitan tenggorokan dan kekacauan fungsi syaraf, sementara kekurangan air dalam tubuh dapat menyebabkan kelemahan tubuh dan penurunan daya tahannya, sehingga tidak mampu menjalankan fungsi-fungsinya secara maksimal. Air yang dicampur dengan pemanis gula juga mengandung banyak manfaat, sebab ia dapat diserap oleh usus dalam tempo kurang dari lima menit, sehingga tubuh pun langsung merasa segara, dan gejala-gejala kekurangan gula maupun air didalamnya juga hilang. Lain halnya dengan orang puasa yang langsung mengisi perutnya dengan makanan dan minuman pada saat berbuka. Ia membutuhkan waktu tiga atau empat jam agar usus-ususnya dapat menyerap gula, sehingga ia seperti orang yang berpuasa wishal (menyambung puasa tanpa berbuka), dan

1 Abdul Aziz Muhammad Azzam&Abdul Wanhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah Thaharah, Zakat, Puasa, dan Haji, hal.471-473, Jakarta, 2013.

Page 3: Puasa pengertian (1) Makalah Fiqh Ibadah

lebih lanjut ia dapat mengalami kesulitan pencernaan. Ketiga, berdoa ketika hendak berbuka puasa dengan mengucapkan doa berikut: “Yaallah, bagi-Mu aku berpuasa dan atas reseki-Mu aku berbuka, maka terimalah puasaku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Ibnu Umar memiliki doa yang lain. Ia berucap: “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu, demi rahmat-Mu yang melingkupi segala sesuatu, ampunilah dosa-dosaku.”Keempat, mengakhiri makan sahur. Waktu sahur dimulai dari awal sepertiga malam terakhir, dan semakin mundur semakin baik (afdhal), selama tidak ragu-ragu akan tibanya fajar. Nabi bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baiknya hal yang membedakan antara puasa kita dan puasa ahlulkitab adalah makan sahur.” Beliau juga bersabda, “Makan sahurlah, sesungguhnya ada keberkahan di balik makan sahur.” Adapun hikmah disyariatkannya makan sahur adalah ia dapat memberikan kekuatan dalam menjalankan ibadah. Makan sahur sendiri dapat dilakukan dengan sedikit makanan dan air. Disebutkan dalam Shahih Ibn Hibban, “Makan sahurlah kalian, meski hanya dengan setuguk air.” Kelima, meninggalkan pembicaraan yang buruk dan tercela. Jika sampai mengakibatkan dosa, maka hukumannya sudah haram dan wajib ditinggalkan, misalnya ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), bohong, dan hal-hal yang diharamkan lainnya. Hal ini didasarkan pada hadist Nabi:”Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya (selama puasa), maka Allah tidak membutuhkan (jerih payahnya berpuasa) meninggalkan makanan dan minuman.”Mengenai hal tersebut, Ahmad mengatakan: Jika ghibah membatalkan puasa, maka tidak ada seorang pun yang sah puasanya. Akan tetapi, Ibnu Taimiyyah mengemukakan versi lain dari Imam Ahmad yang mengatakan bahwa puasa dapat batal karena ghibah, namimah, dan sejenisnya. Karena itu, ada kemungkinan puasa dapat batal dengan segala sesuatu yang diharamkan, sehingga orang yang berpuasa harus menjaga baik-baik puasanya dan melakukan hal-hal yang dilakukan oleh kaum salafussaleh. Sebab jika mereka berpuasa, mereka lebih banyak duduk di dalam masjid dengan alasan: Kami menjaga puasa kami, tidak menggunjing siapa pu, tidak mengerjakan perbuatan yang membatalkan puasa kami, sebab perkataan yang tidak senonoh dapat menggugurkan pahala dan membatalkannya.2

2 Ibid, hal.475-478