pterigium

Upload: dewida-dewet-maulidatu

Post on 03-Mar-2016

18 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

lkjhhh

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangPterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratifdan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal. Temuanpatologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat secarabedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.( Voughan, 2009)Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus pterygium cukup sering didapati. Mereka yang sering bekerja di bawah cahaya matahari atau penghuni di negara tropika. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh papaparan alergen, iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan), karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada pada di lingkungan berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 prevalensi pterigium di indonesia 8,3%, Prevalensi pterygium tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara Barat (17,0%). Provinsi DKI Jakarta mempunyai prevalensi pterygium terendah, yaitu 3,7 persen, diikuti oleh Banten 3,9 persen. (Riskesda, 2013)

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konjungtiva2.1.1 Anatomi KonjungtivaKonjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata. Nama konjungtiva (conjoin: bergabung) diberikan kepada membran mukosa ini karena fakta bahwa ia menhubungkan bola mata dengan kelopak mata. Membentang dari pinggir kelopak mata ke limbus, dan membungkus ruang kompleks yang disebut sakus konjungtiva yang terbuka di depan fisura palpebral. (Khurana, 2007)Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian : Konjungtiva palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni konjungtiva marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva marginal membentang dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan konjungtiva lebuih tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak mengandung vaskular. Bagian ini melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya melekat pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks. (Khurana, 2007) Konjungtiva bulbaris. melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel kornea.2,11 bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral dan kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari konjungtiva bulbaris sekitar kornea disebutkonjungtiva limbal. (Khurana, 2007) Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secaralonggar dengan struktur dibawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi. (Lang, 2006)

Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisan adenoid, dan lapisan fibrosa. 1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva marginal memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan yang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng. (Khurana, 2007)2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat dimana terdapat limfosit. Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak ditemukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler. (Khurana, 2007)3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis. Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar. (Khurana, 2007)

Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mucus yang penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctival forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus inferior). (Khurana, 2007)

Gambar 1. Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva forniks, konjungtiva palpebralis.

Gambar 2. Vaskularisasi Konjungtiva

Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna merah muda dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas lateralnya berbentuk cekung. Korunkula adalah massa kecil, oval, merah muda, terletak di canthus bagian dalam. Pada kenyataannya, massa ini merupakan potongan modifikasi kulit dan ditutupi dengan epitel gepeng bertingkat dan berisi kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut. (Khurana, 2007)Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber yakni arkade arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan arteri ciliaris anterior. Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-cabang dari arkade arteri perifer dan marginal palpebra. Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh dua set pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari arteri kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari arteri ciliaris anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva posterior membentuk anastomosis dengan arteri konjungtiva anterior dan membentuk arkade pericorneal. Vena konjungtiva bermuara ke dalam vena pleksus kelopak mata dan beberapa mengelilingi kornea dan bermuara ke vena ciliaris anterior. Sistem limfatik konjungtiva tersusun dalam dua lapisan, yakni superficial dan profunda. Sistem ini dari sisi lateral bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi medial bermuara ke limfonodus submandibular. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit. (Laszuarni, 2009)

2.2 PTERIGIUM 2.2.1 DefinisiMenurut American Academy of Ophthalmology pterigium adalah kata dari bahasa Yunani, pterygos, "sedikit sayap") adalah berbentuk sayap, pembuluh darah, pertumbuhan berdaging yang berasal dari konjungtiva dan yang dapat menyebar ke limbus kornea dan seterusnya. (Ardalan, 2012)Pterigium (L. Pterygion = sayap) adalah suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan fibrovaskular berbentuk segitiga (sayap) yang muncul pada konjungtiva, tumbuh terarah dan menginfiltrasi permukaan kornea antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman. (Dzunic, 2010) Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. pertembuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi degeneratif, pterigium juga menampilkan ciri-ciri seperti tumor, seperti kecenderungan untuk menginvasi jaringan normal dan tingkat rekurensi yang tinggi setelah reseksi, dan dapat hidup berdampingan dengan lesi premalignan sekunder. Banyak literatur melaporkan faktor-faktor etiologi berikut yang mungkin menjadi penyebab terjadinya pterigium: radiasi ultraviolet (UV), radang mata kronis, efek toksik zat kimia. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi. (Dzunic, 2010)

2.2.2 EpidemiologiPterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagiandunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari yang kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis dalam peri-khatulistiwa garis lintang 370 utara dan selatan khatulistiwa 'sabuk pterigium'. (Saerang, 2013)Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13 utara khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari (1,2%). Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40 tahun di pedesaan Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih tinggi daripada semua ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya, kecuali dengan penduduk kulit hitam dari Barbados. (Gazzar, 2002)Secara umum studi lain pterigium, prevalensi pterigium di Sumatera meningkat seiring bertambahnya usia. Hal yang jarang terjadi untuk seseorang menderita pterigium sebelum usia 20 tahun. Pasien lebih dari dari 40 tahun memiliki prevalensi tertinggi untuk terjadinya pterigium, sementara pasien berusia 20-40 tahun dilaporkan memiliki insiden tertinggi terjadinya pterigium. Hal yang berbeda dengan beberapa studi dimana pterigium ditemukan lebih banyak pada laki-laki. (Fisher, 2015)2.2.3 MORBIDITAS DAN MORTALITASPterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah. (Fisher, 2015)Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :1.Jenis KelaminPterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan wanita. (Fisher, 2015)2.UmurJarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygium yang paling tinggi. (Fisher, 2015)2.2.4 EtiologiAda sejumlah teori mencoba untuk menjelaskan patogenesis pterygium Namun, etiologi belum ditentukan. Kebanyakan penelitian telah menunjukkan variasi geografis dalam insiden, dengan negara-negara yang lebih dekat ke khatulistiwa yang menunjukkan tingkat yang lebih tinggi terjadinya pterigium. (Ardalan,2012). Diperkirakan penyakit ini sering terjadi pada orang yang tinggal di iklim panas. oleh karena itu kontak yang terlalu lama terhadap sinar ultraviolet, panas, angin tinggi dan debu dapat menyebabkan pembentukan pterygia. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki disebut-sebut sebagai faktor etiologi mungkin. (Swastika, 2008)Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis dan proliferasi sel. Radiasi cahaya UV tipeB menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan human papillomavirus dapat juga terlibat dalam patogenesis pterigium. (Dzunic, 2010).

2.2.5 PATOFISIOLOGIPatofisiologi pterygium terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gen P53 yang teradapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF- dan VEGF ( vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenese, migrasi sel, dan angigenesis. Akibat terjadinya perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular dibawah epitel yaitu substansia propia yang akhirnnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan pterigium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi dysplasia. Defisiensi Limbal Stem cell, Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi konjugtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterigium merupakan defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaaan histopatologi daerah kolagen abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan Hematoxylin dan Eosin, pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas, epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukan area hiperplasia dari sel goblet. (Chui, 2011)

Gambar 3. (A)Patogenesis pterigium: kerusakan limbal fokal oleh karena sinar UV memicu migrasi mutasi limbal stem cell ke central kornea.( B) defisiensi limbal stem cell menyebabkan conjungtivalization kornea dari segala arah

2.2.6 Klasifikasi Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu: 1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3: Tipe I: Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas 4mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan. (Kanski, 2006)2. Berdasarkan stadium pterigium dibagai ke dalam 4 stadium yaitu: Stadium 1 : invasi minimum, pertumbuhan lapisan yang transparan dan tipis, pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya terbatas pada limbus kornea. Stadium 2: lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan dan menginvasi kornea tapi belum mencapai pupil. Stadium 3:lapisan tebal seperti daging yang menutupi pupil, vaskularisasi yang jelas Stadium 4: pertumbuhan telah melewati pupil.

Gambar 4. Grade Pterygium

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu: Pterigium progresif: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrate di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium) Pterigium regresif: tipis,atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membrane, tetapi tidak pernah hilang.4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus diperiksa dengan slitlamppterigium dibagi 3 yaitu: T1(atrofi):pembuluh darah episkleral jelas terlihat. T2(intermediet):pembuluh darah episkleral sebagian terlihat. T3(fleshy,opaque):pembuluh darah tidak jelas. (Suharjo, 2011)

2.2.7 Gambaran KlinisGejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali. Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian tengah kornea. Beberaapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing. (Ilyas, 2007). Adanya kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia. (Anton, 2010)

Gambar 5. Pterigium

2.2.8 Diagnosis Anamnesis Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair, gangguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya. (Laszuarni, 2009)Pemeriksaan fisikAdanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada limbus,berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan selaput lendir luarmata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan.

Gambar 6. Pterigiumketerangan: A. Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada korneaB. Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea C. Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung

Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup olehpertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut Youngson ): Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiranpupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm) Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggupenglihatan. (Anton, 2010)

Pemeriksaan penunjangPemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang di sebabkan oleh pterigium. (Fisher, 2015)

2.2.9 Penatalaksanaan1. KonservatifPada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakan konserfatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata buatan atau topical lubricating drops. (Anton,2010)2. BedahPada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baiksecara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat. (Anton, 2010)A. Indikasi Operasi1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.

B. Teknik PembedahanTujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.8 Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan pterigium.1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%. 2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relative kecil.3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.5. Conjungtival graft: menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan. (Skuta, 2008)

Gambar 7. Teknik Pembedahan Pterigium

Rekurensi menjadi masalah setelah dilakukan bedah eksisi yakni sekitar 30-50%. Tapi hal ini dapat di minimalisir dengan cara berikut:1. Penggunaan mitomicin C intra dan post operasi2. Post poerasi beta iradiasi3. Conjungtival autograft4. Limbal and limbalconjunctival transplantation5. Amniotic membrane transplantation6. Cultivated conjunctival transplantation7. Lamellar keratoplasty8. Fibrin glue

2.2.10 Diagnosis Banding1. PinguekulaPinguecula sangat sering terjadi pada orang dewasa. Keadaan ini tampak sebagai nodul kuning pada kedua sisi kornea (lebih banyak di sisi nasal) di daerah apertura palpebra. Nodul terdiri dari jaringan hialin dan jaringan elastik kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang. Pada umumnya tidak diperlukan terapi, tetapi pada kasus pengeculitis tertentu, dapat diberikan steroid topikal lemah (misal prednisolone 0.12%) atau obat anti inflamasi non-steroid topikal). (Voughan, 2009)

Gambar 8. Pinguecula

2. PseudopterigiumPseudopterigium terjadi akibat pembentukan jaringan parut pada konjungtiva yang berbeda dengan pterigium, dimana pada pseudopterigium terdapat adhesi antara konjungtiva yang sikatrik dengan kornea dan sklera. Pseudopterigium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea sedangkan pterigium tidak. Kadang- kadang dapat dibedakan dengan melihat pembuluh darah konjungtiva yang lebih menonjol pada pterigium daripada pseudopterigium. Pada pseudopterigium pembuluh darah konjungtiva sesuai dengan konjungtiva bulbi normal. (Ilyas, 2007)

Gambar 9. Pseudopterigium

2.2.11 Komplikasi

1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut Gangguan penglihatan-Mata kemerahan Iritasi Gangguan pergerakan bola mata. Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea Dry Eye sindrom. 2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut: Infeksi Ulkus kornea Graft konjungtiva yang terbuka Diplopia Adanya jaringan parut di kornea.

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-15% denganpenggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion pada saat eksisi. (Fisher,2015)

2.2.12 PrognosisPenglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakn pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau transpalantasi membrane amnion. (Fisher,2015)

BAB IIIPENUTUP

3.1 Kesimpulan Pterigium merupakan pertumbuhan jaringan berbentuk segitiga yang meluas dari konjungtiva hingga menutupi kornea. salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata, hal ini di sebabkan oleh letak geografis yang berada digaris khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari piterigium. Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena faktor degeneratif.Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara konservatif dengan memberikan obat anti inflamasi jika ada inflamasi dan menggunakan kacamata untuk melindungi dari sinar UV. Pada pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah sangat mengganggu bagi penderita. Pada pembedahan pun hasilnya juga kurang maksimal karena angka kekambuhan yang cukup tinggi mengingat tingginya kuantitas sinar UV di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Anton, dkk. Pterigium. 2010. Availableble from : www. Inascrs.org/pterygium/Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. 2012. Management of Pterygium. http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfmCaldwell, M. Pterygium. 2011. Available from: www.eyewiki.aao.org/PterygiumChui J, Coroneo TM, et al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder with Premalignant Features. The American Journal of Pathology. 2011;178(2):817-27.Dzunic B, Jovanovic P, et al. Analysis of pathohistological characteristics of pterigium . BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL SCIENCE. 2010;10(4):308-13.Fisher PJ. Pterigium. Updated : 2015. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview. Accessed September 29, 2015.Gazzard G, Saw MS, et al. Pterigium in Indonesia: prevalence, severity, and risk factors. Br J Ophthalmol .2002;86:134146.Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007. hal:2-6, 116 117Kanski JJ. 2006. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6. Philadelphia:Butterworth Heinemann Elsevier. p :242-244.Khurana KA.2007. Diseases of the Conjunctiva. In:, Khurana KA, editors. Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Delhi: New Age International. . p. 51 - 82.

Lang KG, Lang EG. 2006. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang EG, Recker D, Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas 2nd ed. New York: Thieme Stuttgart. p. 67 - 72.Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Updated : 2009. Available from: URL: repository.usu.ac.id. Accessed September 29, 2015.Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. 2008. Clinincal Approach To Depositions And Degenerations Of The Conjungtiva, Cornea, Sclera. In: External Disease Nd Cornea. San Fransisco : Americam Academy Of OphtamologySuharjo. 2007. Ilmu Kesehatan Mata edisi I. Yogyakarta : Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gajah MadaVoughan & Asbury. 2009. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P. Whitcher edisi 17. Jakarta. EGC : Hal 119