pterigium

19
BAB 1 PENDAHULUAN Pterigium adalah satu dari beberapa kondisi mayor yang mengancam penglihatan di negara berkembang (Saerang, 2013). Pterigium merupakan pertumbuhan epitel konjungtiva bulbi dan jaringan ikat subkonjungtiva pada mata dan dapat menganggu penglihatan (Erry dkk, 2011). Kondisi ini menciptakan beberapa masalah, termasuk mata kering (dry eye), astigmatisme irregular, dan masalah kosmetik yang sulit diterima (Saerang, 2013). Pada tingkat lanjut, pterigium berpotensi menimbulkan kebutaan dan membutuhkan operasi kompleks untuk rehabilitasi visual secara penuh (Gazzar, 2002). Distribusi pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering yangmerupakan karakteristik dari daerah di sekitar khatulistiwa (Saerang, 2013). Di populasi, prevalensi pterigium bervariasi, mulai 1,2% di daerah perkotaan pada penduduk berkulit putih, sampai 23,4% pada populasi berkulit hitam di Barbados (Gazzar, 2002). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, prevalensi pterigium di Indonesia pada kedua mata didapatkan 3,2% sedangkan pterigium pada satu mata 1,9% dengan prevalensi yang meningkat dengan bertambahnya umur. Jawa timur menduduki peringkat keenam di Indonesia dengan prevalensi 4,9% pada kedua mata, dan 2,7% pada satu mata (Erry dkk, 2011). Banyak cara dapat dilakukan untuk mencegah pterigium menimbulkan masalah, antara lain dengan menghindari faktor- faktor yang dapat memperburuk kondisi seperti kekeringan, debu, angin, dan sinar Ultraviolet, dan melakukan tindakan bedah eksisi atas indikasi (Erry, 2011) namun tidak semua penderita mengetahui kondisi penyakitnya dan melakukan pengobatan dengan tepat. Pengetahuan mengenai faktor risiko, penyebab, dan distribusi penyakit dapat bemanfaat untuk mencegah bekembangnya penyakit sampai ke tingkat lanjut (Gazzar, 2002) yang diharapkan dapat menurunkan dampak sosial dan ekonomi untuk penyakit ini. Melalui makalah pterigium ini, penulis berharap dokter umum dapat mengenali gejala dan tanda, dapat membuat diagnosis berdasakan pemeriksaan fisik, dan

Upload: rico-siagian

Post on 17-Jan-2016

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

menjelaskan tentang penyakit mata yang terjadi pada masyarakat

TRANSCRIPT

Page 1: pterigium

BAB 1

PENDAHULUAN

 

Pterigium adalah satu dari beberapa kondisi mayor yang mengancam penglihatan di negara berkembang (Saerang, 2013). Pterigium merupakan pertumbuhan epitel konjungtiva bulbi dan jaringan ikat subkonjungtiva pada mata dan dapat menganggu penglihatan (Erry dkk, 2011). Kondisi ini menciptakan beberapa masalah, termasuk mata kering (dry eye), astigmatisme irregular, dan masalah kosmetik yang sulit diterima (Saerang, 2013). Pada tingkat lanjut, pterigium berpotensi menimbulkan kebutaan dan membutuhkan operasi kompleks untuk rehabilitasi visual secara penuh (Gazzar, 2002).

Distribusi pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering yangmerupakan karakteristik dari daerah di sekitar khatulistiwa (Saerang, 2013). Di populasi, prevalensi pterigium bervariasi, mulai 1,2% di daerah perkotaan pada penduduk berkulit putih, sampai 23,4% pada populasi berkulit hitam di Barbados (Gazzar, 2002). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, prevalensi pterigium di Indonesia pada kedua mata didapatkan 3,2% sedangkan pterigium pada satu mata 1,9% dengan prevalensi yang meningkat dengan bertambahnya umur.  Jawa timur menduduki peringkat keenam di Indonesia dengan prevalensi 4,9% pada kedua mata, dan 2,7% pada satu mata (Erry dkk, 2011).

Banyak cara dapat dilakukan untuk mencegah pterigium menimbulkan masalah, antara lain dengan menghindari faktor-faktor yang dapat memperburuk kondisi seperti kekeringan, debu, angin, dan sinar Ultraviolet, dan melakukan tindakan bedah eksisi atas indikasi (Erry, 2011) namun tidak semua penderita mengetahui kondisi penyakitnya dan melakukan pengobatan dengan tepat. Pengetahuan mengenai faktor risiko, penyebab, dan distribusi penyakit dapat bemanfaat untuk mencegah bekembangnya penyakit sampai ke tingkat lanjut (Gazzar, 2002) yang diharapkan dapat menurunkan dampak sosial dan ekonomi untuk penyakit ini. Melalui makalah pterigium ini, penulis berharap dokter umum dapat mengenali gejala dan tanda, dapat membuat diagnosis berdasakan pemeriksaan fisik, dan memberi terapi pendahuluan sesuai kompetensinya sebelum merujuk ke spesialis mata.

 

Page 2: pterigium

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1 KONJUNGTIVA

2.1.1 Anatomi

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus (Vaughan,2009). Pertemuan antara konjungtiva palpebralis dan konjungtiva bulbaris disebut forniks (Ilyas, 2009).

 2.1.2 Histologi

Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Sel- sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat mengandung pigmen (Vaughan,2009).

Pada konjungtiva terdapat kelenjar Bruch, yaitu kelenjar limfe konjungtiva yang terletak pada kelopak bawah, dan kelenjar Krause yang merupakan kelenjar lakrimal aksesori yang terletak dekat forniks konjungtiva (Ilyas, 2009).

 

2.1.3. Perdarahan , Limfatik, dan Persarafan

Arteri yang memperdarahi konjungtiva ada 3 yaitu arteri perifer arcade dari palpebra, marginal arcade dari palpebra, dan arteri siliaris anterior. Konjungtiva palpebra dan forniks mendapatkan perdarahan dari perifer dan marginal arcade dari palpebra, sedangkan konjungtiva bulbi mendapatkan perdarahan dari arteri konjungtival posterior (cabang dari arteri arcade palpebra) dan arteri konjungtival anterior (cabang dari arteri siliaris anterior).

Drainage pada konjungtiva mengalir ke plexus vena pada palpebra dan beberapa melingkari kornea menuju ke vena siliaris anterior.

Sistem limfatik terbagi menjadi 2 bagian yaitu superfisial dan profundus. Limfatik dari lateral mengalir ke lymph node preaurikuler, sedangkan dari medial mengalir ke lymph node submandibular (Khurana, 2007). Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama nervus V dengan serabut nyeri yang relatif sedikit (Tortora, 2009).

2.2 Pterigium

2.2.1 Definisi

Page 3: pterigium

Pterigium berasal dari kata Yunani “pterygos” yang berarti “sayap kecil” (Aminlari dkk, 2010). Pterigium adalah suatu pertumbuhan dari epitel konjungtiva bulbaris dan jaringan ikat subkonjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif yang terdapat dicelah kelopak mata bagian medial atau nasal berbentuk segitiga, dengan puncaknya mengarah kebagian tengah dari kornea. Pterigium ini lebih sering tumbuh di bagian nasal daripada dibagian temporal, namun dapat juga terjadi pertumbuhan nasal dan temporal pada satu mata disebut double pterigium. Pterigium dapat mengenai kedua mata dengan derajat pertumbuhannya yang berbeda (Erry dkk, 2011).

2.2.2. Etiologi

Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu  neoplasama, radang, dan degenerasi (Ilyas, 2009).

 

 

2.2.3 Epidemiologi

Distribusi pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah dengan sinar matahari yang tinggi dan udara yang kering serta tingginya angin dan debu yang merupakan karakteristik dari daerah di sekitar khatulistiwa. Istilah umum yang dipakai untuk menunjukkan daerah dengan peningkatan prevalensi  pterigium adalah “sabuk pterigium”, yang terletak di antara 37 derajat lintang utara dan selatan. (Saerang, 2013). Di populasi, prevalensi pterigium bervariasi, mulai 1,2% di daerah perkotaan pada penduduk berkulit putih, sampai 23,4% pada populasi berkulit hitam di Barbados (Gazzar, 2002). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, prevalensi pterigium di Indonesia pada kedua mata didapatkan 3,2% sedangkan pterigium pada satu mata 1,9% dengan prevalensi yang meningkat dengan bertambahnya umur.  Jawa timur menduduki peringkat keenam di Indonesia dengan prevalensi 4,9% pada kedua mata, dan 2,7% pada satu mata (Erry dkk, 2011).

Suatu penelitian epidemiologi di Adelaide (Australia) menemukan faktor risiko independen terjadinya pterigium berhubungan dengan umur, jenis kelamin (laki-laki), daerah tinggal (desa) dan paparan sinar matahari. Prevalensinya lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, karena laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas di luar ruangan sehingga lebih sering berhubungan dengan faktor risiko terjadi pterigium seperti sinar ultraviolet, debu, angin dan udara yang kering (Erry dkk, 2011).

 

2.2.4 Patofisiologi

Ada beberapa teori penyebab terjadinya pterigium, salah satunya teori penyinaran sinar ultraviolet, terutama UV-B. Hipotesis kerja yang berlaku saat ini adalah radiasi sinar UV menyebabkan mutasi tumor supresor gen p53, yang kemudian memfasilitasi proliferasi abnormal dari epitel limbus (Aminlari dkk, 2010).

Page 4: pterigium

Sinar ultraviolet juga dapat menyebabkan perubahan histologis sel epitel, yaitu jaringan subepitel menunjukkan elastosis senilis (degenerasi basofilik) dari substansia propria dengan jaringan kolagen abnormal. Terjadi disolusi membran Bowman yand diikuti oleh invasi kornea superfisial. Akibatnya fungsi barier limbus tidak ada sehingga konjungtiva yang mengalami inflamasi dan degenerasi dapat dengan mudah menjalar melewati limbus menuju kornea dan membentuk jaringan pterigium di daerah interpalpebra (celah kelopak) (Erry dkk, 2011).

Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior (Soewono dkk, 2006).

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal (Soewono dkk, 2006).

Terdapatnya beberapa kasus dan hasil penelitian case control pterigium pada suatu anggota keluarga menimbulkan dugaan adanya peranan faktor genetik dalam patofisiologinya (Laszuarni, 2010).

 

 

2.2.5 Gejala dan Tanda

Pada awal proses penyakit, pterigium biasanya asimtomatis. Namun pterigium juga dapat memberikan keluhan mata kering (seperti terbakar atau gatal dan berair), iritatif, merah, dan memberikan keluhan gangguan penglihatan. Sejalan dengan progresivitas penyakit, lesi bertambah besar dan kasat mata sehingga secara kosmetik mengganggu pasien. Pertumbuhan lebih lanjut, lesi menyebabkan gejala visual karena terjadinya astigmatisma ireguler (Aminlari dkk, 2010). Keluhan lain yang mungkin didapat dari pasien adalah rasa mengganjal di mata seperti ada benda asing.

Dari pemeriksaan fisik, didapatkan massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sklera) pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan puncak pada permukaan kornea. Sclera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan (Inascrs, 2011).

Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut  Youngson ):

Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

Page 5: pterigium

Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea

Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)

Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan (Inascrs, 2011).

2.2.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Penderita  dapat melaporkan adanya  peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu (MDGuidelines, 2013).

Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi terpengaruh. Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium tersebut (MDGuidelines, 2013).

2.2.7 Diagnosis Banding

1.Pinguekula

Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna kekuningan (Soewono dkk, 2006).

Gambar 2.3 Pinguekula (www.columbia.edu)

2.PseudopterigiumMerupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea (Soewono dkk, 2006).

 

2.2.8 Penyulit

Pterigium dapat menimbulkan komplikasi baik pre maupun post operasi.

1. Komplikasi dari pterigium sebelum dilakukan tindakan bedah meliputi sebagai berikut:

-          Gangguan penglihatan karena astigmatisma ireguler

Gambar 2.3 Psedopterigium (www.columbia.edu)

Page 6: pterigium

-          Mata kemerahan

-          Iritasi

-          Gangguan pergerakan bola mata.

-          Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea

-          Dry Eye sindrom

2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:

-          Infeksi

-          Ulkus kornea

-          Graft konjungtiva yang terbuka

-          Diplopia

-          Adanya jaringan parut di kornea (Fisher, 2009)

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Dalam penelitiannya, Saerang (2013) mengemukakan bahwa lamanya tumbuh ulang hampir 100% terjadi pada enam bulan pertama hingga dua tahun pasca bedah. Di Indonesia, terjadinya tumbuh ulang pascabedah pterigium memiliki angka yang bervariasi dan cukup besar. Penelitian yang dilakukan di RS Dr Soetomo Surabaya menunjukkan angka tumbuh ulang berkisar sekitar 52%, sedangkan di  RSCM Jakarta adalah sekitar 61,1% untuk kelompok umur di bawah 40 tahun dan 12,5% untuk kelompok umur di atas 40 tahun.

2.2.9 Penatalaksanaan

Pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes anti inflamasi golingan steroid dan nonsteroid seperti indomethacin 0,1% dan sodium diclofenac 0,1%. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea (Soewono dkk, 2006).

Selain penatalaksanaan secara konservatif, pterigium dapat pula dilakukan tindakan bedah atas indikasi. Indikasi operasinya adalah:

1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena

astigmatismus4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita (Soewono dkk, 2006).

Terapi supportif yang bisa diberikan adalah artificial tear tetes karena salah satu keluhan dari pterigium adalah kekeringan pada mata (dry eye). Penggunaan kacamata pelindung dan topi terbukti dapat mengurangi keluhan dan mencegah terjadinya pterigium (Erry dkk, 2011).

Page 7: pterigium

 

2.2.9 Prognosis

Pterigium adalah suatu neoplasma jinak. Umumnya prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi sitostatik tetes mata atau Beta radiasi (Soewono dkk, 2006).

Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Pada umumnya setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting dengan konjungtiva/limbal autografts atau transplantasi membran amnion (Fisher, 2009).

Page 8: pterigium

BAB 3

KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama                                : Ny. K

Umur                                : 56 tahun

Jenis kelamin                    : Perempuan

Alamat                             : Menganti, Gresik

Pekerjaan                          : Ibu Rumah Tangga

Agama                              : Islam

Tanggal pemeriksaan        : 9 September 2013

No. Rekam Medik           : 10.32.42.15

3.2 ANAMNESIS

3.2.1 Keluhan Utama

Mata kiri tumbuh selaput seperti daging

 

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh mata kiri tumbuh selaput seperti daging berwarna putih sejak 1 minggu yang lalu. Selaput tidak menimbulkan  rasa mengganjal di mata. Pasien tidak mengeluhkan adanya mata merah, gatal, cekot-cekot, atau pun pedih. Pasien tidak merasakan adanya gangguan pandangan atau pun lebih  silau saat terkena cahaya, namun pasien mengeluh matanya sering terasa kering sejak tumbuhnya selaput tersebut. Tekanan darah tinggi dan kencing manis disangkal.

3.2.3        Riwayat Penyakit Dahulu

Mata kanan dan kiri timbul selaput seperti daging sejak 12 tahun yang lalu. Pada mata kiri pasien, dirasakan selaput tumbuh semakin menjalar ke bagian tengah mata dan menebal sejak 1 tahun terakhir. Enam bulan lalu, pasien mengeluhkan  gangguan pandangan dan rasa mengganjal pada mata sebelah kiri. Sebulan kemudian, pasien menjalani operasi pengangkatan selaput pada mata kiri tersebut di RS Dr. Soetomo. Mata kanan tidak ada keluhan.

Page 9: pterigium

Riwayat alergi disangkal.

Riwayat trauma disangkal.

Tidak menggunakan kacamata sebelumnya.

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini sebelumnya

3.2.5 Riwayat psikososial

Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Sehari-hari bepergian dengan sepeda motor. Pasien tidak menggunakan kaca mata pelindung sinar matahari saat beraktivitas di luar rumah. Pasien tinggal di daerah tambak yang kering,panas, dan terpapar polusi udara.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK (9 September 2013)

3.3.1 Status Generalis

Keadaan umum                : Baik

Tekanan darah                  : 120/80 mmHg, posisi duduk, lengan kanan

Nadi                                 : 84 x/menit, regular, kuat angkat

RR                                    : 16 x/menit regular

Suhu                                 : 36,5o C

3.3.2 Status Lokalis

Oculi Dextra Pemeriksaan Oculi Sinistra6/12 Visus 6/15

SEGMEN ANTERIOR (SLIT LAMP)Edema (-), spasme (-),

skuama (-) pada silia, papil (-), folikel (-)

Palpebra

Edema (-), spasme (-),

skuama (-) pada silia, papil (-), folikel (-)

Hiperemia (-), sekret (-), Pterigium grade I

KonjungtivaHiperemia (-), sekret

(-),Pterigium grade IIIJernih Kornea JernihDalam BMD Dalam

Radier (+) Iris Radier (+)Bulat, ϕ 3mm, RC (+) Pupil Bulat, ϕ 3mm, RC (+)

Page 10: pterigium

Keruh minimal (+) Lensa Keruh minimal (+)

Schirmer Test

OD : 4mm

OS  : 2mm

Kesimpulan: hiposekresi ODS

3.3.3 Temporary Problem List

Mata kiri tumbuh selaput seperti daging berwarna putih sejak 1 minggu yang lalu Kedua mata terasa kering Riwayat operasi eksisi pterigium mata kiri 5 bulan yang lalu OD konjungtiva: pterigium grade I OS konjungtiva: pterigium grade III Schirmer test ODS: hiposekresi

3.3.4 Permanent Problem List

Sindroma mata kering ODS Pterigium grade I OD Pterigium grade III OS

 

3.3.5 Planning

Diagnostik

-

 

Terapi

Artificial tears e.d 8 dd gtt I ODS

Monitoring

Keluhan Segmen anterior:  kornea (erosi), mata kering Pemeriksaan visus ulang

 

 

Page 11: pterigium

Edukasi

Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, rencana pengobatan, serta komplikasi yang dapat terjadi.

Menjelaskan perlunya kontrol. Menyarankan menghindari debu, daerah kering dan berangin, dan paparan sinar

matahari. Menyarankan memakai kacamata hitam atau topi lebar saat beraktivitas di luar rumah

saat siang hari.

 

3.3.6 Prognosis

Visam

Dubois ad bonam

Vitam

Dubois ad bonam

 

Page 12: pterigium

BAB 4

PEMBAHASAN

 

              Pasien yang kami periksa adalah  perempuan, berusia 56 tahun, datang dengan keluhan mata kiri tumbuh selaput seperti daging. Keluhan dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Pasien tidak mengeluhkan rasa mengganjal pada matanya, atau pun adanya mata merah, gatal, cekot-cekot, dan rasa pedih. Pasien tidak merasakan adanya gangguan pandangan atau pun lebih  silau saat terkena cahaya, namun pasien mengeluh matanya sering terasa kering sejak tumbuhnya selaput tersebut. Tekanan darah tinggi dan kencing manis disangkal. Pasien mengalami keluhan tumbuh selaput pada kedua mata sejak 12 tahun yang lalu. Mata kanan tidak mengalami keluhan yang berarti, sedangkan pada mata kiri dirasakan selaput tumbuh semakin menjalar ke bagian tengah mata dan menebal sejak 1 tahun terakhir. Enam bulan lalu, pasien mengeluhkan  gangguan pandangan dan rasa mengganjal pada mata sebelah kiri sehingga sebulan kemudian, pasien menjalani operasi pengangkatan selaput pada mata kiri tersebut di RS Dr. Soetomo. Tetapi sejak 1 minggu yang lalu dirasakan selaput pada mata kiri tumbuh lagi. Keluarga tidak ada yang mengalami sakit yang sama. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari bepergian dengan sepeda motor. Pasien tidak menggunakan kaca mata pelindung sinar matahari saat beraktivitas di luar rumah. Pasien tinggal di daerah tambak yang kering,panas, dan terpapar polusi udara.

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan status generalis dalam batas normal. Sedangkan dari pemeriksaan status lokalis, didapatkan visus naturalis kanan 6/12 dan kiri 6/15. Pada konjungtiva kanan didapatkan pterigium grade I, sedangkan konjungtiva kiri pterigium grade III. Dari pemeriksaan Schirmer test didapatkan hiposekresi kedua mata.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, kami diagnosis pasien ini dengan, Sindroma Mata Kering pada mata kanan dan kiri, Pterigium grade I pada mata kanan dan Pterigium grade III pada mata kiri. Adanya selaput seperti daging yang tumbuh pada konjungtiva mata kanan daerah nasal berbentuk segitiga yang puncaknya mendekati limbus kami diagnosis dengan Pterigium grade I, sedangkan pada mata kiri puncaknya >2mm melewati limbus tetapi belum melewati pupil sehingga tidak mengganggu pandangan, kami limbus kami diagnosis dengan Pterigium grade III.

Indikasi operasi pterigium yaitu pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus, pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil, pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus, dan kosmetik. Pada pasien ini, belum ada indikasi untuk dilakukan operasi sehingga kami tidak menyarankan untuk dilakukan operasi terlebih dahulu.

Terapi yang kami berikan yaitu artificial tears karena pada pasien mengeluhkan adanya mata kering. Yang penting juga adalah memakai kacamata hitam atau topi lebar saat beraktivitas di luar rumah saat siang hari untuk melindungi paparan sinar matahari atau pun debu. Serta pasien diminta untuk kontrol ke poli untuk melihat hasil  dari pengobatan.

Page 13: pterigium

Monitoring yang kami lakukan adalah memperhatikan keluhan pasien, pemeriksaan segmen anterior ulang serta konjungtiva.

Edukasi yang kami lakukan antara lain menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, rencana pengobatan, serta komplikasi yang dapat terjadi, menjelaskan perlunya kontrol, menjelaskan prognosis penyakit yang diderita pasien, serta Menyarankan memakai kacamata hitam atau topi lebar saat beraktivitas di luar rumah saat siang hari.

Prognosis untuk pasien ini adalah dubois ad bonam.

 

Page 14: pterigium

DAFTAR PUSTAKA

 

Aminlari, A., Singh, R., liang, D., 2010. Management of Pterygium 37–38.

Erry, Mulyani, U.A., Susilowati, D., 2011. Distribusi dan Karakterisitik Pterigium di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 14, 84–49.

Fisher, J.P., 2009. Pterygium. Medscape.

Francisco J, Garcia-Ferrer, Ivan R. Schwab, Debra J. Shetlar, 2010. Konjungtiva, in: Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. EGC, Jakarta, p. 119.

G Gazzard, S-M Saw, M Farook, D Koh, D Widjaja, S-E Chia, C-Y Hong, D T H Tan, 2002. Pterygium in Indonesia: prevalence, severity and risk factors. bjophthalmol 86, 1341–1346.

Ilyas, S., 2009. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Inascrs, 2011. Panduan Penatalaksanaan Medis.

Khurana, A.K., 2007. Comprehensive Ophthalmology Fourth Edition. New Age International (P) Limited, New Delhi.

Laszuarni, 2010. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat.

MDGuidelines, n.d. Pterygium [WWW Document]. MDGuidelines. URL http://www.mdguidelines.com/pterygium (accessed 9.8.13).

Mescher, Anthony L, 2007. Junqueira’s Basic Histology: Text and Atlas, 12th ed. Mc Graw Hill, USA.

Saerang, J.S.M., 2013. Vascular Endothelial Growth Factor Air Mata sebagai Faktor Risiko Tumbuh Ulang Pterygium. J Indon Med Assoc Volum: 63, 100–105.

Soewono, W., Oetomo, M.M., Eddyanto, 2006. Pterigium, in: Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata Edisi III 2006. pp. 102–104.

Tortora, Gerard T, Grabowski, Sandra, 2009. Principles of Anatomy and Physiology, 12th ed. John Wiley & Sons, USA.

Page 15: pterigium

Oleh:

 

Dilly Niza Paramita                 010810580

Cyntia Puspa Pitaloka             010810581

Ahmad Faiz Khabibi               010810585

H. Fiqri Amin                          010810630

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

LAB / SMF ILMU KESEHATAN PENYAKIT MATA

RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

2013