prospek penawaran dan permintaan pangan utama

48
1 PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA: Analisis Masalah, Kendala dan Opsi Kebijakan Revitalisasi Produksi Pantjar Simatupang dan M. Maulana Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian PENDAHULUAN Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh Presiden RI tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur, Jawa Barat MERUPAKAN HAL YANG SANGAT STRATEGIS mengingat vita- litas sektor pertanian saat ini sedang menga- lami degradasi yang ditunjukkan oleh terjadinya levelling off (penurunan dan deselerasi) pro- duksi beberapa komoditas pertanian, kususnya komoditas pangan. Penurunan dan deselerasi kapasitas produksi tersebut telah menyebabkan kapa- sitas negara dalam menyediakan pangan menurun yang ditunjukkan masih tingginya impor komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Sebagai gambaran umum, pada tahun 2006, untuk komoditas padi, walapun kita mampu mengurangi impor, namun tingkat produksi masih fluktuatif; Secara kuantitas, impor jagung, kedelai, gula, dan daging sapi masing-masing sebesar 11,23 persen; 64,86 persen; 37,48 persen dan 29,09 persen dari kebutuhan. Apabila hal ini dibiarkan, selain akan memperlemah perekono- mian nasional karena pengurasan devisa, juga akan meningkatkan harga pangan di dalam negeri. Peningkatan harga pangan tersebut akan mengakselerasi inflasi karena sumbangan harga pangan terhadap inflasi cukup besar. Peningkatan inflasi tersebut akan mendorong kenaikan suku bunga yang akan menghambat investasi di sektor ekonomi termasuk sektor pertanian. Memang sangat ironis gejala penurunan dan deselerasi produksi terjadi pada kondisi potensi lahan dan inovasi teknologi untuk perluasan usahatani masih tersedia. Dari luas lahan yang sesuai untuk usaha pertanian sebesar 100,8 juta hektar, telah dimanfaatkan 68,8 juta hektar, sehingga lahan yang belum dimanfaatkan sekitar 32 juta hektar. Selain itu, terdapat potensi lahan untuk usaha pertanian berupa lahan terlantar 11,5 juta hektar serta pekarangan 5,4 juta hektar, dan belum terma- suk lahan gambut dan lebak yang potensinya cukup besar. Para ahli pertanian Indonesia telah menguasai teknologi pertanian mutahir yang diterapkan di negera-negara maju, namun inovasi teknologi tersebut mengalami keman- dekan dalam penyebarannya karena selain faktor sistem delivery-nya yang masih lemah, juga faktor receiving-nya (petaninya). Dengan demikian, masalah utama yang dihadapi sektor pertanian khususnya berkaitan dengan masalah ketahahan pangan saat ini adalah rendahnya kapasitas aktual dibanding potensinya. Sementara teknologi sudah banyak tersedia untuk mengembangkan kapasitas aktual tersebut, namun terkendala oleh rendah- nya pembiayaan untuk penerapan teknologi maju, termasuk di dalamnya juga tidak memadainya infrastruktur sistem delivery dan receiving di sektor pertanian, sehingga aliran teknologi dan inputnya ke dalam sektor perta- nian serta aliran output ke luar sektor pertanian tidak lancar. Pengembangan kapasitas aktual produk- si pangan diperlukan agar ketahanan pangan dapat ditingkatkan, lapangan kerja dapat dicip- takan, insiden kemiskinan dapat dikurangi, pengurasan devisa negara dapat ditekan, dan harga pangan dapat diturunkan. Mengingat sumbangan harga pangan terhadap inflasi cukup tinggi, maka penurunan harga pangan akan menurunkan inflasi. Penurunan inflasi akan menurunkan suku bunga bank yang akan mendorong investasi di semua sektor ekonomi. Dengan demikian peningkatan kapasitas aktual produksi pangan merupakan upaya strategis bagi pembangunan kapasitas perekonomian bangsa ini. Makalah ini membahas mengenai masalah dan kendala, serta opsi kebijakan peningkatan produksi pangan.

Upload: vanthu

Post on 12-Jan-2017

218 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

1

PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA: Analisis Masalah, Kendala dan Opsi Kebijakan Revitalisasi Produksi

Pantjar Simatupang dan M. Maulana

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

PENDAHULUAN

Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh Presiden RI tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur, Jawa Barat MERUPAKAN HAL YANG SANGAT STRATEGIS mengingat vita-litas sektor pertanian saat ini sedang menga-lami degradasi yang ditunjukkan oleh terjadinya levelling off (penurunan dan deselerasi) pro-duksi beberapa komoditas pertanian, kususnya komoditas pangan.

Penurunan dan deselerasi kapasitas produksi tersebut telah menyebabkan kapa-sitas negara dalam menyediakan pangan menurun yang ditunjukkan masih tingginya impor komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Sebagai gambaran umum, pada tahun 2006, untuk komoditas padi, walapun kita mampu mengurangi impor, namun tingkat produksi masih fluktuatif; Secara kuantitas, impor jagung, kedelai, gula, dan daging sapi masing-masing sebesar 11,23 persen; 64,86 persen; 37,48 persen dan 29,09 persen dari kebutuhan. Apabila hal ini dibiarkan, selain akan memperlemah perekono-mian nasional karena pengurasan devisa, juga akan meningkatkan harga pangan di dalam negeri. Peningkatan harga pangan tersebut akan mengakselerasi inflasi karena sumbangan harga pangan terhadap inflasi cukup besar. Peningkatan inflasi tersebut akan mendorong kenaikan suku bunga yang akan menghambat investasi di sektor ekonomi termasuk sektor pertanian.

Memang sangat ironis gejala penurunan dan deselerasi produksi terjadi pada kondisi potensi lahan dan inovasi teknologi untuk perluasan usahatani masih tersedia. Dari luas lahan yang sesuai untuk usaha pertanian sebesar 100,8 juta hektar, telah dimanfaatkan 68,8 juta hektar, sehingga lahan yang belum

dimanfaatkan sekitar 32 juta hektar. Selain itu, terdapat potensi lahan untuk usaha pertanian berupa lahan terlantar 11,5 juta hektar serta pekarangan 5,4 juta hektar, dan belum terma-suk lahan gambut dan lebak yang potensinya cukup besar. Para ahli pertanian Indonesia telah menguasai teknologi pertanian mutahir yang diterapkan di negera-negara maju, namun inovasi teknologi tersebut mengalami keman-dekan dalam penyebarannya karena selain faktor sistem delivery-nya yang masih lemah, juga faktor receiving-nya (petaninya).

Dengan demikian, masalah utama yang dihadapi sektor pertanian khususnya berkaitan dengan masalah ketahahan pangan saat ini adalah rendahnya kapasitas aktual dibanding potensinya. Sementara teknologi sudah banyak tersedia untuk mengembangkan kapasitas aktual tersebut, namun terkendala oleh rendah-nya pembiayaan untuk penerapan teknologi maju, termasuk di dalamnya juga tidak memadainya infrastruktur sistem delivery dan receiving di sektor pertanian, sehingga aliran teknologi dan inputnya ke dalam sektor perta-nian serta aliran output ke luar sektor pertanian tidak lancar.

Pengembangan kapasitas aktual produk-si pangan diperlukan agar ketahanan pangan dapat ditingkatkan, lapangan kerja dapat dicip-takan, insiden kemiskinan dapat dikurangi, pengurasan devisa negara dapat ditekan, dan harga pangan dapat diturunkan. Mengingat sumbangan harga pangan terhadap inflasi cukup tinggi, maka penurunan harga pangan akan menurunkan inflasi. Penurunan inflasi akan menurunkan suku bunga bank yang akan mendorong investasi di semua sektor ekonomi. Dengan demikian peningkatan kapasitas aktual produksi pangan merupakan upaya strategis bagi pembangunan kapasitas perekonomian bangsa ini. Makalah ini membahas mengenai masalah dan kendala, serta opsi kebijakan peningkatan produksi pangan.

Page 2: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

2

DINAMIKA PRODUKSI

Produksi

Analisis dinamika produksi difokuskan pada perkembangan level, pertumbuhan dan variabilitas hasil usahatani. Untuk usahatani tanaman (padi dan jagung), per-kembangan produksi diurai menurut sumber-sumbernya yaitu luas panen dan produktivitas lahan per hektar. Dengan sendirinya, pertumbuhan pro-duksi dapat pula diurai menurut sumbernya, yaitu pertumbuhan luas panen dan pertum-buhan produktivitas. Bila data luas baku lahan tersedia, perubahan luas panen tanaman semusim (padi dan jagung) dapat pula diurai menjadi perubahan luas baku lahan dan perubahan produktivitas. Variabilitas diukur sebagai koefisien variasi dari galat regresi trend.

Tanaman Pangan (Padi dan Jagung)

Setelah mengalami akselerasi pada ta-hun 1980-an, produksi padi terus mengalami perlambatan pertumbuhan sejak awal dekade 1990-an. Laju pertumbuhan produksi padi meningkat dari 1,10 persen/tahun pada periode 1970-1979 menjadi 5,32 persen/tahun pada periode 1980-1989, yang kemudian menurun terus menjadi 1,29 persen/tahun pada periode 1990-1999 dan 1,04 persen/tahun pada periode 2000-2005 (Tabel 1). Kinerja usahatani padi mengalami puncak pada periode 1980-1989. Dengan laju pertumbuhan produksi 5,32 persen/tahun, swasembada beras dapat diraih pada tahun 1984 dan bertahan beberapa tahun kemudian. Dengan laju pertumbuhan penduduk yang masih diatas 1,30 persen/tahun, produksi padi per kapita mengalami pertumbuhan negatif sejak awal dekade 1990-an.

Tabel 1. Kinerja Produksi Padi dan Jagung di Indonesia, 1970 – 2005

No. Uraian 1970 - 1979 1980 - 1989 1990 - 1999 2000 - 2005

1 Padi Luas panen a. Rata-rata (ha) 8.433.180 9.677.411 11.133.183 11.676.525 b. Pertumbuhan (%) 0,94 1,78 1,28 -0,17 c. Koefisien variasi (%) 2,16 2,11 2,28 1,73 Produktivitas a. Rata-rata (ton/ha) 2,87 3,86 4,34 4,47 b. Pertumbuhan (%) 0,16 3,53 0,00 1,22 c. Koefisien variasi (%) 7,96 2,46 1,72 0,60 Produksi a. Rata-rata (ton) 24.199.909 37.468.896 48.325.540 52.251.176 b. Pertumbuhan (%) 1,10 5,32 1,29 1,04 c. Koefisien variasi (%) 7,93 2,45 2,68 1,35 2 Jagung Luas panen a. Rata-rata (ha) 2.654.995 2.839.846 3.365.398 3.375.738 b. Pertumbuhan (%) 0,63 1,27 1,60 0,80 c. Koefisien variasi (%) 15,86 13,46 7,65 5,39 Produktivitas a. Rata-rata (ton/ha) 1,16 1,76 2,36 3,12 b. Pertumbuhan (%) 3,90 4,14 2,36 4,33 c. Koefisien variasi (%) 1,84 1,69 3,94 1,45 Produksi a. Rata-rata (ton) 3.062.109 5.036.011 8.001.172 10.552.296 b. Pertumbuhan (%) 4,53 5,41 3,96 5,13 c. Koefisien variasi (%) 15,65 13,18 9,51 5,01

Sumber: BPS, diolah

Page 3: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

3

Produksi padi per kapita yang mengalami pertumbuhan negatif sejak dekade 1990-an merupakan bukti sederhana bahwa sejak awal 1990-an swasembada beras tidak dapat dipertahankan secara berkelanjutan. Kiranya dicatat, pertumbuhan produksi padi pada tahun 2005 hanya 0,12 persen, yang berarti produksi padi per kapita menurun sekitar 1,2 persen. Sangat tidak mungkin swasembada beras tercapai pada tahun 2005. Oleh karena itulah, keputusan pemerintah melanjutkan kebijakan larangan impor beras telah menyebabkan harga beras domestik melonjak dan menjadi salah satu sumber utama inflasi.

Pertumbuhan produksi padi yang ”luar biasa” pada dekade 1980-an merupakan hasil kinerja prima dari peningkatan luas panen dan produktivitas. Pertumbuhan luas panen melon-jak dari hanya 0,94 persen/tahun pada periode 1970-1979 menjadi 1,78 persen/tahun pada periode 1980-1989, sedangkan pertumbuhan produktivitas melonjak dari hanya 0,16 persen/ tahun pada periode 1970-1979 menjadi 3,53 persen/tahun pada periode 1980-1989. Kinerja yang ”luar biasa” ini merupakan hasil perpa-duan dari: (1) Adanya terobosan teknologi ”Revolusi Hijau”; (2) Potensi intensifikasi dan ekstensifikasi lahan masih tinggi; (3) Dukungan kebijakan komprehensif dan terpadu; (4) Administrasi pemerintahan terpadu sentralistik; dan (5) Dukungan politik.

Teknologi revolusi hijau untuk padi per-tama kali ditemukan oleh International Rice Research Institute (IRRI) pada pertengahan 1960-an. Karakteristik dasar teknologi ini ialah:

1. Benih unggul berumur pendek sehingga dapat meningkatkan luas panen melalui peningkatan intensitas tanam.

2. Responsif terhadap pupuk kimia, utamanya urea, sehingga dapat meningkatkan pro-duktivitas melalui peningkatan penggunaan pupuk,

3. Membutuhkan lingkungan prima, utamanya irigasi terkelola.

Dengan karakteristik demikian, dengan tepat pemerintah menyusun paket kebijakan terpadu berikut.

1. Pembangunan lembaga penelitian dan pe-ngembangan padi dengan tugas utama mengembangkan dan mengadaptasikan teknologi revolusi hijau varian IRRI.

2. Membangun jaringan irigasi, utamanya berbasis bendungan skala besar.

3. Mencetak lahan sawah baru secara besar-besaran.

4. Membangun industri input usahatani: pab-rik pupuk dan pestisida.

5. Membangun lembaga sistem penyaluran (delivery system) maupun sistem peneri-maan (receiving system) sarana dan per-modalan usahatani, sistem pemasaran hasil usahatani, dan organisasi (kelompok) petani.

6. Memberikan insentif usahatani yang cukup merangsang:

a. Benih, pupuk, pestisida dan modal usa-hatani dalam satu paket terpadu dan bersubsidi.

b. Harga dasar gabah yang cukup tinggi.

7. Pembangunan sistem pascapanen, utama-nya penggilingan padi dan mekanisasi prapanen (traktorisasi).

8. Pembangunan sistem penyuluhan yang menyentuh petani secara langsung.

9. Membangun organisasi terpadu Bimbingan Massal (BIMAS) yang dikendalikan lang-sung oleh Presiden. Lembaga ini yang berperan dalam menjamin semua sistem pendukung berjalan lancar di semua lini hingga tingkat petani.

10. Menjadikan kinerja usahatani padi sebagai indikator utama keberhasilan pejabat pe-merintah terkait.

Dukungan kebijakan pemerintah me-mang terkesan ”berlebihan”, membutuhkan dukungan anggaran pemerintah yang amat besar dan kerap menimbulkan akses sosial yang kurang baik. Pengembangan industri perberasan benar-benar didominasi oleh peran pemerintah (government driven) sehingga menghilangkan prakarsa petani dan kelemba-gaan lokal. Terlepas dari ongkos dan akses negatif yang ditimbulkannya, dukungan peme-rintah yang besar itulah yang memungkinkan produksi padi melonjak tajam dengan rata-rata laju pertumbuhan 5.32 persen per tahun pada periode 1980-1989. Diraihnya swasembada beras pada tahun 1984 diakui oleh masyarakat dunia sebagai prestasi luar biasa mengingat pada pertengahan dekade 1970-an Indonesia merupakan importir terbesar dunia. Untuk itulah

Page 4: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

4

Organisasi Pangan Dunia (FAO) memberikan penghargaan kepada Presiden Soeharto pada tahun 1985.

Sayangnya, zaman keemasan usahatani padi tidak berlangsung lama. Kinerja usahatani padi benar-benar anjlok pada dekade 1990-an. Pertumbuhan luas panen menurun dari 1,78 persen per tahun pada periode 1980-1989 menjadi 1,28 persen per tahun pada periode 1990-1999. Sementara pertumbuhan produkti-vitas anjlok dari 3,53 persen per tahun pada periode 1980-1989 menjadi praktis stagnan pada periode 1990-1999. Dengan demikian anjloknya pertumbuhan produksi padi pada periode 1990-1999 terutama adalah akibat dari anjloknya pertumbuhan produktivitas.

Analisis lebih lanjut yang dilakukan oleh Simatupang dkk. (2004) menunjukkan bahwa penurunan kinerja usahatani padi sawah sudah terjadi sejak pertengahan 1980-an. Penyebab-nya ialah penurunan pertumbuhan luas baku dan produktivitas lahan (Tabel 2). Di Jawa, luas baku lahan telah mengalami pertumbuhan negatif (berkurang absolut) sejak awal 1980-an dan terus mengalami percepatan penurunan. Luas baku lahan sawah di luar Jawa menga-lami penurunan pertumbuhan sejak awal tahun 1990-an dan telah menjadi negatif sejak perte-ngahan tahun 1990-an. Produktivitas mengala-mi penurunan sejak pertengahan 1980-an dan terus mengalami percepatan sehingga menjadi negatif pada periode tahun 1996-2000. Penu-

runan luas baku lahan adalah akibat dari peningkatan laju konversi lahan sawah yang akan diulas lebih lanjut pada Bab VI. Sedang-kan penurunan pertumbuhan produktivitas adalah akibat dari telah terjadinya kejenuhan teknologi yang ada, sementara inovasi baru yang mampu meningkatkan produktivitas prak-tis sudah tidak ada sejak awal 1990-an.

Selain itu, paket kebijakan terpadu yang sangat efektif pada dekade 1980-an secara parsial dan bertahap mengalami dekonstruksi. Pembangunan jaringan irigasi baru mengalami perlambatan. Sementara jaringan lama menga-lami penurunan kualitas. Sekitar 25 persen dari jaringan irigasi yang ada saat ini telah menga-lami kerusakan. Program pencetakan sawah baru juga praktis telah terhenti. Lembaga BIMAS telah dibubarkan. Paket kredit benih, pupuk, pestisida dan modal kerja terpadu sudah dihapuskan. Kebijakan subsidi pupuk memang masih ada namun pelaksanaannya penuh masalah sehingga kurang efektif.

Penurunan pertumbuhan padi produksi terus berlanjut hingga lima tahun terakhir. Penyebab utamanya ialah penurunan luas panen yang mengalami pertumbuhan negatif. Hal ini menunjukkan penurunan luas baku lahan sawah berlanjut dan bahkan mengalami percepatan. Untunglah produktivitas kembali mengalami pertumbuhan positif sehingga pertumbuhan produksi padi masih tetap positif. Dengan demikian, kendala utama produksi padi

Tabel 2. Dekomposisi Sumber-sumber Pertumbuhan Produksi Padi Sawah di Indonesia, 1981-2000 (%)

Wilayah/sumber 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 1. Jawa

a. Luas baku lahan b. Intensitas panen C. Hasil

Total

-0.32 1.89 2.80 4.37

-0.15 0.86 2.29 3.30

-0.42 0.88 1.37 1.83

-1.04 2.78 -1.29 0.45

2. Luar Jawa a. Luas baku lahan b. Intensitas panen C. Hasil

Total

0.74 2.23 2.66 5.63

2.56 0.34 1.75 4.65

1.46 1.32 0.38 3.16

-4.04 5.47 -0.27 1.16

3. Indonesia a. Luas baku lahan b. Intensitas panen C. Hasil

Total

0.22 1.94 2.66 4.82

1.40 0.30 1.93 3.63

0.70 0.88 0.79 2.37

-2.83 4.41 -0.83 0.75

Sumber : Simatupang, Rusastra dan Maulana (2004)

Page 5: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

5

saat ini ialah penurunan luas baku lahan sawah akibat alih fungsi lahan dan kejenuhan teknologi. Kedua masalah inilah yang mestinya agenda utama revitalisasi usahatani padi.

Kiranya patut dicatat bahwa setelah sedikit menurun pada periode tahun 1990-1999, stabilitas produksi padi membaik pada periode 2000-2005. Namun demikian, mengi-ngat besarnya total produksi padi (sekitar 54 juta ton), koefisien variasi 1,35 persen masih cukup besar, utamanya bila titik perhatian ialah swasembada beras. Pada kondisi ”hampir tidak swasembada”, penurunan produksi 1,35 per-sen dapat menyebabkan defisit sekitar 500 ribu ton beras yang cukup besar, untuk menimbul-kan tekanan untuk mengimpor beras selanjut-nya dapat menimbulkan polemik politis. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan stabilitas produksi padi masih perlu terus digiatkan. Fokus perhatian ialah stabilisasi luas panen dan faktor risiko utamanya akibat keke-ringan dan kebanjiran. Perbaikan kualitas sistem irigasi merupakan kunci utama pening-katan stabilitas maupun pertumbuhan produksi padi.

Tren kinerja produksi jagung relatif lebih baik daripada beras. Laju pertumbuhan produksi jagung meningkat dari 4,53 persen per tahun pada periode tahun 1970-1979 menjadi 5,41 persen per tahun pada periode tahun 1980-1989, lalu sedikit menurun menjadi 3,96 persen per tahun pada periode tahun 1990-1999 dan meningkat lagi menjadi 5,13 persen per tahun pada periode tahun 2000-2005 (Tabel 1). Pertumbuhan produksi di atas 4-5 persen tergolong baik untuk komoditas pertanian terutama pangan.

Jika dilihat menurut sumbernya, pertumbuhan produksi jagung terutama berasal dari peningkatan produktivitas. Produktivitas usahatani jagung meningkat dari 3,90 persen per tahun pada periode tahun 1970-1979 menjadi 4,14 persen per tahun pada periode tahun 1980-1989, menurun menjadi 2,36 persen pada periode tahun 1990-1999 dan meningkat lagi menjadi 4,33 persen per tahun pada periode tahun 2000 – 2004. Berbeda dengan padi, laju pertumbuhan produktivitas jagung masih cenderung meningkat dalam lima tahun terakhir. Laju pertumbuhan produktivitas jagung melampaui laju pertumbuhan produkti-vitas padi pada masa puncak revolusi hijau

periode tahun 1980-1989, walaupun dukungan pemerintah untuk usahatani jagung relatif lebih kecil daripada untuk usahatani padi.

Berbeda dengan padi yang sumber inovasinya lembaga penelitian publik (nasional maupun internasional), motor penggerak kema-juan inovasi pada usahatani jagung adalah lembaga penelitian swasta multinasional seper-ti Pioneer (kemudian merger menjadi Dupont), Cargill (Monsanto), dan BISI (Charoend Phokpand). Ketiga perusahaan swasta tersebut menguasai 93 persen dari produksi benih jagung di Indonesia. Dengan dukungan infra-struktur penelitian yang kuat, masing-masing perusahaan terus berlomba menghasilkan inovasi baru. Mereka juga memiliki sistem pemasaran benih yang amat baik sehingga inovasi baru dapat didiseminasikan dengan cepat. Secara empirik hal ini terbukti dari pertumbuhan produktivitas jagung yang tumbuh dengan kecepatan tinggi dan berkelanjutan.

Seperti halnya luas panen padi pertumbuhan luas panen jagung pada awalnya meningkat dari 0,63 persen per tahun pada periode tahun 1970-1979 menjadi 1,27 persen per tahun pada periode tahun 1980-1989 lalu menjadi 1,60 persen per tahun pada periode tahun 1990-1999, namun kemudian anjlok menjadi 0,80 persen per tahun pada periode tahun 2000-2005. Oleh karena sebagian besar usahatani jagung berbasis lahan sawah maka kiranya dapat dipastikan bahwa penurunan laju pertumbuhan luas panen jagung tersebut terutama adalah karena penurunan luas baku sawah akibat alih fungsi. Penurunan laju pertumbuhan luas panen jagung lebih lambat daripada luas panen padi karena varietas unggul jagung juga dapat ditanam dengan baik pada lahan kering.

Selain tumbuh dengan kecepatan tinggi, produksi jagung juga semakin saja stabil dari tahun ke tahun. Walaupun trennya membaik signifikan, secara absolut produksi jagung masih tergolong labil. Koefisien variasi produksi jagung masih sedikit di atas 5 persen. Tingginya variabilitas produksi jagung ini adalah akibat dari tingginya variabilitas luas panen jagung. Variabilitas luas panen jagung sangat terkait dengan variabilitas harga jagung di pasar dunia dan harga jagung di tingkat petani relatif terhadap komoditas pesaing seperti padi dan kedelai.

Page 6: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

6

Selain sektor swasta, peranan peme-rintah daerah dalam pengembangan jagung juga relatif lebih besar dibanding komoditas tanaman lainnya. Salah satu provinsi yang telah memberikan perhatian luar biasa dalam pengembangan jagung ialah Gorontalo. Pro-vinsi lain dipulau Sulawesi juga bekerja sama untuk mewujudkan Sulawesi sebagai sentra produksi utama (corn belt) di Indonesia. Pros-pek permintaan jagung juga baik. Permintaan jagung akan terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan terhadap pakan ternak dan ikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa prospek produksi jagung cukup baik. Masalah utamanya ialah stabilitas luas panen yang berarti pula stabilitas harga jagung di tingkat petani.

Peternakan (ayam ras, sapi potong, kambing dan domba)

Ayam ras adalah ternak introduksi yang baru dikembangkan di Indonesia pada awal tahun 1970-an dan datanya baru tersedia dalam dokumen resmi sejak tahun 1984. Bibit ayam ras dipasok oleh perusahaan multi-nasional. Usaha ternak ayam ras adalah usaha intensif. Ternak ayam dipelihara dalam kan-dang, diberi pakan buatan pabrik dan dirawat penuh waktu. Usaha ternak ayam pada umum-nya merupakan usaha komersil, terspesialisasi dan sumber pendapatan utama bagi peternak bersangkutan. Usaha ternak ayam ras didomi-nasi oleh perusahaan besar peternakan. Usaha ternak ayam ras ada dua jenis, ayam ras pedaging dan ayam ras petelur. Uraian berikut hanyalah untuk ayam ras pedaging.

Sejak diintroduksikan pada awal tahun 1970-an, usaha ternak ayam ras pedaging berkembang pesat. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3., populasi ayam ras pedaging meningkat dengan laju pertumbuhan 35,61 persen per tahun pada periode tahun 1980-1989. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1999 memberikan pukulan berat terha-dap usaha ternak ayam ras pedaging sehingga pertumbuhan populasinya anjlok menjadi ha-nya 2,10 persen per tahun pada periode tahun 1990-1999. Seiring dengan pemulihan ekono-mi, populasi ayam ras kembali meningkat dengan laju 16,33 persen per tahun pada periode tahun 2000-2005.

Produksi daging ayam ras berbanding lurus dengan jumlah populasinya. Produksi

daging ayam ras meningkat dengan laju pertumbuhan 20,70 persen per tahun pada periode tahun 1980-1989. Laju pertumbuhan produksi daging ayam ras anjlok menjadi 3,31 persen per tahun pada periode tahun 1990-1999. Sekali lagi, anjloknya pertumbuhan produksi daging ayam ras pada periode ini adalah akibat dari krisis ekonomi 1997-1999. Pada periode tahun 2000-2005, produksi daging ayam ras kembali meningkat pesat dengan laju pertumbuhan 16,33 persen per tahun. Rata-rata produksi daging ayam ras pada periode tahun 2000-2005 telah mencapai 684.220 ton per tahun.

Pesatnya laju pertumbuhan peternakan ayam ras pedaging telah menjadikan daging ayam ras sebagai jenis daging yang paling banyak dihasilkan di Indonesia. Sejak dekade 1990-an, produksi daging ayam ras (rata-rata 412.639 ton per tahun) telah melampaui produksi daging sapi (rata-rata 316.535 ton per tahun). Produksi daging ayam ras juga telah melebihi total produksi daging unggas lainnya. Dengan pertumbuhan yang akseleratif, domi-nasi daging ayam ras terus meningkat, tidak saja pasokannya lebih melimpah, harga daging ayam ras juga lebih murah dari semua jenis daging lainnya sehingga daging ayam menjadi sumber utama protein hewani bagi rakyat Indonesia.

Berbeda dengan usaha ternak ayam ras yang tumbuh dengan pesat dan akseleratif, usaha ternak sapi, kambing dan domba tumbuh lambat dan konstan atau menurun. Untuk sapi potong, misalnya laju pertumbuhan populasi meningkat dari 0,40 persen per tahun pada periode tahun 1970-1979 menjadi 4,62 persen per tahun pada periode tahun 1980-1989, namun kemudian terus menurun menjadi 1,11 persen per tahun pada periode tahun 1990-1999 dan negatif 0,91 persen per tahun pada periode tahun 2000-2005. Jumlah populasi sapi potong, telah menurun secara absolut dari rata-rata 11.276.583 ekor per tahun pada periode tahun 1990-1999 menjadi 10.706.226 ekor per tahun pada periode tahun 2000-2005. Hal ini menunjukkan kapasitas produksi usaha ternak sapi potong menurun secara absolut.

Berbanding lurus dengan perkemba-ngan populasinya, produksi daging sapi tumbuh lambat dan praktis konstan sekitar 2,3 persen per tahun. Produksi daging sapi pada periode 2000-2005 hanya 365.003 ton per

Page 7: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

7

tahun, jauh di bawah produksi daging ayam ras yang mencapai 684.220 ton per tahun. Daging sapi tidak lagi jenis daging yang paling banyak dihasilkan di Indonesia. Kiranya juga dicatat bahwa produksi daging sapi cenderung makin tidak stabil. Seperti yang ditunjukkan pada

Tabel 3, koefisien variasi produksi daging sapi terus meningkat dari 4,78 persen pada periode tahun 1980-1989 menjadi 10,61 persen pada periode tahun 2000-2005.

Setelah meningkat dari 2,11 persen per tahun pada periode tahun 1970-1979 menjadi

Tabel 3. Kinerja Produksi Usaha Peternakan di Indonesia, 1970 – 2005

No. Uraian 1970 - 1979 1980 - 1989 1990 - 1999 2000 - 2005 1 Ayam ras pedaging Populasi a. Rata-rata (ekor) TAD 166.744.286 510.988.500 28.906.600 b. Pertumbuhan (%) TAD 35,61 2,10 16,33 c. Koefisien variasi (%) TAD 11,22 32,72 13,17 Produksi a. Rata-rata (ton) TAD 136.236 412.639 684.220 b. Pertumbuhan (%) TAD 20,70 3,31 18,39 c. Koefisien variasi (%) TAD 4,04 31,12 7,54 2 Sapi potong Populasi a. Rata-rata (ekor) 6.282.500 8.560.321 11.276.583 10.706.226 b. Pertumbuhan (%) 0,40 4,62 1,11 -0,91 c. Koefisien variasi (%) 1,28 7,50 2,91 3,97 Produksi a. Rata-rata (ton) 206.960 232.892 316.535 365.003 b. Pertumbuhan (%) 2,72 1,40 2,28 2,73 c. Koefisien variasi (%) 5,61 4,78 8,72 10,61 3 Kambing Populasi a. Rata-rata (ekor) 6.981.100 9.491.766 12.657.604 12.616.317 b. Pertumbuhan (%) 2,11 3,62 1,44 1,41 c. Koefisien variasi (%) 6,47 8,26 5,23 2,79 Produksi a. Rata-rata (ton) 19.110 53.070 58.350 54.560 b. Pertumbuhan (%) 11,77 5,81 -3,35 4,49 c. Koefisien variasi (%) 16,09 13,56 13,44 9,38 4 Domba Populasi a. Rata-rata (ekor) 3.521.000 4.936.749 6.828.964 7.670.929 b. Pertumbuhan (%) 1,18 3,73 2,01 2,32 c. Koefisien variasi (%) 7,10 4,73 5,25 1,17 Produksi a. Rata-rata (ton) 12.180 26.220 36.710 58.720 b. Pertumbuhan (%) 6,19 6,33 0,03 12,04 c. Koefisien variasi (%) 15,30 9,08 12,67 22,31

Keterangan : Periode untuk ayam ras pedaging dan petelur dimulai 1984 – 1989.

Page 8: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

8

3,62 persen per tahun pada periode tahun 1980-1989, laju pertumbuhan populasi kam-bing praktis konstan pada sekitar 1,4 persen per tahun sejak awal tahun 1990-an. Jumlah populasi kambing konstan sekitar 12,6 juta ekor. Produksi daging kambing meningkat dari rata-rata 19.110 ton per tahun pada periode tahun 1970-1979, menjadi 53.070 ton per tahun pada periode tahun 1980-1989 dan 58.350 ton per tahun pada periode tahun 1990-1999, lalu menurun menjadi 54.560 ton per tahun pada periode tahun 2000-2005. Produksi daging kambing cenderung makin stabil.

Kinerja usaha ternak domba sedikit lebih baik daripada kambing. Walaupun laju pertumbuhan rendah, populasi domba masih menunjukkan tren peningkatan. Populasi ternak domba terus meningkat dari rata-rata 3,5 juta ekor pada periode tahun 1980-1989, lalu menjadi 6,8 juta ekor pada periode tahun 1990-1999 dan 7,7 juta ekor pada periode tahun 2000-2005. Laju pertumbuhan populasi ternak domba tetap rendah sekitar 2,0 – 2,3 persen per tahun dalam 15 tahun terakhir. Produksi daging domba juga terus meningkat dari 12.180 ton per tahun pada periode tahun 1970-1979, menjadi 26.220 ton per tahun pada periode tahun 1980-1989, lalu menjadi 36.710 ton per tahun pada periode tahun 1990-1999 dan 58.720 ton per tahun pada periode tahun 2000-2006. Sayangnya, produksi daging dom-ba amat tidak stabil. Koefisien variasi mencapai 22,31 persen pada periode tahun 2000-2005.

Secara umum dapat dikatakan bahwa daging ayam ras akan menjadi sumber utama pertumbuhan produksi daging di Indonesia. Produksi daging ayam ras diperkirakan akan terus mengalami akselerasi pertumbuhan. Persoalan pokok dalam produksi ayam ras pedaging ialah ancaman penyakit flu burung yang merebak di Indonesia sejak tahun 2004 dan hingga kini masih belum dapat dikendali-kan dan bahkan cenderung meluas di seluruh Indonesia. Ancaman kedua ialah peningkatan harga pakan yang utamanya ditentukan oleh harga jagung dunia. Dalam hal ini, stabilitas nilai tukar rupiah juga turut menentukan stabilitas harga pakan.

Peternakan tradisional seperti sapi potong, kambing dan domba diperkirakan akan terus mengalami pertumbuhan lambat. Kendala utamanya ialah semakin terbatasnya padang penggembalaan dan sifat usaha ternak yang

umumnya usaha sambilan. Pemacuan produksi ternak tradisional ini mungkin dapat dilakukan melalui reformasi usaha ternak. Usaha ternak harus dirubah dari ”land based” yang mengan-dalkan pakan hijauan ke ”non land based” yang mengandalkan pakan buatan. Usaha ternak juga harus diubah dari usaha sambilan menjadi usaha utama keluarga. Dalam konteks ini, peranan perusahaan besar swasta juga perlu didorong. Selama ini, perusahaan besar swasta peternakan masih sedikit dan praktis terbatas pada usaha penggemukan sapi asal impor.

PROSPEK PENAWARAN DAN

PERMINTAAN DOMESTIK 2006-2010

Dalam bab ini diuraikan proyeksi pena-waran dan permintaan domestik tiap komoditas serta neraca penawaran dan permintaan masing-masing komoditas tersebut. Proyeksi dilakukan dengan menggunakan elastisitas dari hasil estimasi sendiri atau penelitian terdahulu. Penawaran di proyeksi secara bertahap, mela-lui proyeksi luas panen dan produksi produk-tivitas, atau secara langsung melalui proyeksi produksi, tanpa menduga luas panen dan produktivitas, tergantung pada cara mana yang lebih tinggi validitasnya dan ketersediaan data dasar untuk proyeksi. Permintaan didefinisikan sebagai total penggunaan domestik atau kon-sumsi bruto domestik (apparent domestic comsumption) yang dihitung sebagai produksi domestik plus impor netto.

Respon penawaran atau permintaan diduga dengan mempergunakan data deret waktu selama periode tahun 1969–2004/2005, kecuali untuk ayam ras pedaging yang mem-pergunakan data periode tahun 1984–2004. Proyeksi dilakukan untuk periode tahun 2006–2010. Hasil proyeksi ini hendaklah dipandang sebagai petunjuk kecenderungan ke depan. Hasil proyeksi pasti mengandung kesalahan yang membuatnya berbeda dari realisasi besaran absolutnya, tergantung pada akurasi asumsi (utamanya elastisitas dan pertumbuhan variabel determinan bersangkutan) yang digunakan.

Komoditas Tanaman Pangan (Gabah/Beras dan Jagung)

Hasil estimasi fungsi respon luas pa-nen padi (Tabel 4) menunjukkan bahwa harga

Page 9: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

9

gabah yang diterima petani tidak berpengaruh nyata secara statistik. Elastisitas luas panen padi terhadap harga gabah cenderung menu-run menurut waktu dan menjadi nihil pada tahun 1986/1987. Respon luas panen terhadap harga urea bertentangan dengan harapan teo-ritis, pada awalnya positif lalu menjadi negatif pada tahun 1988-1989 dan selanjutnya elasti-sitasnya meningkat terus. Mestinya, res-pon luas panen terhadap harga pupuk selalu negatif dan besar elastisitasnya cenderung menurun. Selain itu, respon luas panen padi terhadap harga pupuk urea tersebut hanya nyata secara statistik pada taraf diatas 7 persen. Oleh karena itu, untuk proyeksi tahun 2006-2010, luas panen padi diasumsikan hanya dipengaruhi oleh tren waktu.

Setelah melakukan berbagai uji coba, fungsi tren waktu luas panen aktual padi yang paling cocok ialah polinomial pangkat tiga (Tabel 5) dengan koefisien determinasi atau R2 sekitar 98 persen. Dugaan parameter untuk tahun dan tahun kuadrat bertanda positif se-dangkan tahun pangkat tiga bertanda negatif. Ini berarti, laju pertumbuhan luas panen ber-bentuk kurva parabola terbalik, mula-mula meningkat (mengalami percepatan) hingga mencapai titik maksimum dan selanjutnya terus mengalami penurunan (mengalami perlam-batan) hingga menjadi negatif. Berdasarkan hasil dugaan koefisien, laju pertumbuhan luas

panen padi menjadi negatif pada tahun 2005. Ini berarti pada periode proyeksi tahun 2006-2010, luas panen padi akan cenderung menurun secara absolut. Kiranya perlu dicatat bahwa perkiraan ini didasarkan pada pola kecenderungan masa lalu yang realitasnya dapat berbeda bila pola kecenderungan terse-but mengalami perubahan. Fungsi inilah yang akan digunakan untuk memproyeksikan luas panen padi pada periode tahun 2006-2010.

Hasil dugaan fungsi respon produk-tivitas padi dengan memasukkan harga gabah dan harga pupuk sebagai peubah bebas ditampilkan pada Tabel 6. Baik harga gabah maupun harga pupuk berpengaruh nyata seca-ra statistik. Respon produktivitas padi terhadap harga gabah menurun seiring dengan pertam-bahan waktu. Ini berarti elastisitas produktivitas padi terhadap harga gabah cenderung menu-run menjadi nihil pada tahun 1994, dan selanjutnya berubah tanda menjadi negatif. Elastisitas produktivitas padi terhadap harga gabah mestinya selalu positif atau nihil, tidak mungkin negatif.

Harga pupuk urea juga berpengaruh nyata secara statistik terhadap produktivitas padi. Sesuai dengan harapan teoritis, elasti-sitas harga pupuk urea bertanda negatif dan cenderung menurun. Berdasarkan parameter dugaan pada Tabel 6, elastisitas produktivitas padi terhadap harga pupuk urea adalah nihil

Tabel 4. Fungsi Respon Luas Panen Padi dengan Memasukkan Harga Gabah dan Pupuk sebagai Determinan, Indonesia, 1969-2004/05

Peubah Koefisien dugaan Statistik-t P-Value

Intersep 15,14734 45,64 0,0000 Harga gabah 0,040588 0,7483 0,4607 Harga gabah x tahun -0,001601 -0,6906 0,4957 Harga pupuk urea 0,075908 -1,8805 0,0709 Harga pupuk urea x tahun -0,004348 -1,7760 0,0870 Tahun 0,054927 3,3542 0,0024 Tahun kuadrat -0,000163 -1,2435 0,2435 R2 0,9851 - -

Tabel 5. Fungsi Tren Waktu Luas Panen Padi Aktual, Indonesia, 1969-2004/05

Peubah Koefisien dugaan Statistik-t P-Value Konstanta 8.304.602 43,39 0,0000 Tahun 75.674 1,5530 4,1321 Tahun kuadrat 6.937 1,9770 0,0583 Tahun pangkat tiga -187,41 -2,5977 0,0150 R2 0,98

Page 10: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

10

pada tahun 2005 dan sesudahnya akan bertanda negatif yang berarti menyimpang dari harapan teoritis. Secara teoritis, respon produk-tivitas padi terhadap harga pupuk selalu negatif atau netral, tidak mungkin positif. Sama seperti luas panen padi produktivitas padi dapat di-asumsikan sudah tidak responsif lagi terhadap harga gabah maupun harga pupuk pada periode proyeksi tahun 2006 – 2010.

Oleh karena itu, proyeksi produktivitas padi akan dilakukan dengan mempergunakan fungsi tren waktu. Hasil dugaan fungsi tren waktu tersebut adalah polinomial berpangkat tiga seperti yang ditampilkan pada Tabel 7. Koefisien dugaan adalah positif untuk tahun,

negatif untuk tahun kuadrat dan positif untuk tahun pangkat tiga. Kurva tren laju pertum-buhan produktivitas berbentuk parabola, pada awalnya positif lalu mengalami perlambatan dan menjadi negatif dan setelah melewati titik minimum mengalami percepatan dan selanjut-

nya menjadi positif. Berdasarkan fungsi tren, produktivitas mengalami peningkatan setelah tahun 2000. Dengan demikian, produktivitas padi selama periode proyeksi tahun 2006–2010 juga cenderung meningkat.

Berdasarkan estimasi laju pertumbu-han luas panen dan produktivitas padi yang diperoleh dari fungsi tren waktu pada Tabel 5 dan 7, hasil produksi luas panen dan produktivitas padi pada periode tahun 2006–2010 ditampilkan pada Tabel 8. Luas panen cenderung menurun berkelanjutan, namun pro-duktivitas cenderung meningkat dengan resul-tante harganya menghasilkan produksi yang masih meningkat walau dengan pertumbuhan sangat rendah dan cenderung menaik. Terle-pas dari akurasinya, kecenderungan pertum-buhan yang sangat rendah produksi padi tersebut mestinya dijadikan sebagai peringatan akan pentingnya dan mendesaknya revitalisasi usahatani padi. Kebijakan dukungan harga gabah dan subsidi pupuk tidak efektif untuk

Tabel 6. Fungsi Respon Produktivitas Padi dengan Memasukkan Harga Gabah dan Pupuk Urea sebagai

Determinan, Indonesia, 1969-2004/05

Peubah Koefisien dugaan Statistik - t P-Value Intersep -0,635545 1,2018 0,2403 Harga gabah 0,430550 4,9211 4,13 E-5 Harga gabah x tahun -0,018957 -5,1562 2,23 E-5 Harga pupuk urea -0,222571 -4,2324 0,0003 Harga pupuk urea x tahun 0,006469 1,1993 0,0569 Tahun 0,132872 5,1888 2,0 E-5 Tahun kuadrat -0,000934 -5,1968 2,0 E-5 Tahun invers 0,295303 3,9808 0,0005 R2 0,9887

Tabel 7. Fungsi Tren Waktu Produktivitas Padi Aktual, Indonesia, 1969-2004/05

Peubah Koefisien dugaan Statistik – t P-Value Intersep 2,206077 26,10 0,9999 Tahun 0,249493 11,12 0,0000 Tahun kuadrat - 0,009853 - 6,098 0,0000 Tahun pangkat tiga 0,000136 4,091 0,0001 R2 0,9863 - -

Tabel 8. Proyeksi Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi/Beras, Indonesia, 2006-2010.

Uraian 2006 2007 2008 2009 2010 Luas panen (1000 ha) 11,731 11,732 11,600 11,444 11,264 Produktivitas (kg/ha) 4,667 4,674 4,734 4,801 4,878 Produksi gabah (1000 ton) 54,750 54,839 54,910 54,939 54,942 Produksi beras* (ton) 32,159 32,211 32,253 32,270 32,273

Konversi gabah – beras = 0.632 dan hilang 10%.

Page 11: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

11

mendorong peningkatan produksi padi. Per-luasan luas baku sawah, perbaikan sistem irigasi dan innovasi teknologi adalah kunci untuk peningkatan produksi padi.

Seperti halnya Syafa’at dkk. (2005), berbagai uji coba model dalam penelitian ini gagal menghasilkan estimasi fungsi respon luas produksi maupun produktivitas jagung terhadap harga jagung, harga pupuk dan harga komoditas pesaingnya. Oleh karena itu, proyeksi luas panen, produktivitas dan produksi jagung akan dilakukan dengan menggunakan fungsi tren waktu. Bentuk fungsi yang paling baik untuk menjelaskan variasi data luas panen dan produktivitas adalah polinomial berpangkat tiga seperti yang ditampilkan pada Tabel 9 dan 10.

Tabel 9. Fungsi Tren Waktu Luas Panen Jagung,

Indonesia, 1969-2004/05

Peubah Koefisien dugaan Statistik - t P-Value

Intersep 14,82797 174,99 0,00000 Tahun -0,023051 -1,2097 0,2350 Tahun kuadrat 0,002069 1,7884 0,0829 Tahun pangkat tiga -0,000035 -1,7509 0,0893 R2 0,7276 - -

Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9, walaupun cukup tinggi koefisien determinasi (R2) fungsi tren waktu luas panen jagung yang mencapai 72,76 persen jauh lebih rendah dari fungsi tren waktu luas panen padi yang mencapai 98,90 persen (Tabel 6). Fungsi tren waktu padi relatif lebih pas menjelaskan variasi data dibanding jagung. Koefisien dugaan untuk tahun bertanda negatif, tahun kuadrat bertanda positif sementara untuk tahun pangkat tiga bertanda negatif. Ini berarti kurva laju pertum-buhan luas panen berbentuk parabola terbalik. Laju pertumbuhan luas panen jagung mula–mula meningkat (pertambahan luas panen jagung mengalami percepatan), lalu mengalami perlambatan dan setelah mencapai puncak tertentu mengalami penurunan dan selanjutnya menjadi negatif (luas panen jagung mengalami penurunan). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa laju pertumbuhan luas panen menurun, namun masih tetap positif pada periode pro-yeksi tahun 2006-2010.

Hasil dugaan fungsi tren waktu produk-tivitas jagung sangat cocok untuk menjelaskan data dengan koefisien determinasi (R2) menca-

pai 99,68% (Tabel 10). Fungsi tren waktu produktivitas jagung jauh lebih sesuai daripada fungsi tren waktu luas panen jagung. Koefisien dugaan bertanda positif untuk tahun, negatif untuk tahun kuadrat dan positif untuk tahun pangkat tiga. Kurva laju pertumbuhan produkti-vitas jagung berbentuk parabola. Produktivitas jagung terus mengalami percepatan pertum-buhan selama periode proyeksi tahun 2006 – 2010. Tabel 10. Fungsi Tren Waktu Produktivitas Jagung,

Indonesia, 1969-2004/05

Peubah Koefisien dugaan Statistik - t P-Value

Intersep -0,161346 -6,8262 0,0000 Tahun 0,054815 10,3129 0,0000 Tahun kuadrat -0,000937 -2,9043 0,0065 Tahun pangkat tiga 0,000013 2,2519 0,0311 R2 0,9968 - -

Berdasarkan fungsi tren dugaan luas panen dan produktivitas jagung yang masing – masing ditampilkan pada Tabel 9 dan Tabel 10, proyeksi luas panen produktivitas dan produksi jagung untuk periode tahun 2006-2010 ditam-pilkan pada Tabel 11. Hasil proyeksi menunjuk-kan bahwa walaupun positif laju pertumbuhan luas panen jagung cenderung menurun. Pe-nyebabnya ialah kecenderungan penurunan luas baku lahan sawah. Kecenderungan penu-runan ini mungkin saja berbalik menjadi positif bila ada upaya sungguh-sungguh untuk mem-perbaiki sistem irigasi dan atau memperluas luas baku sawah. Kemungkinan lain yang da-pat mengubah kecenderungan penurunan per-tumbuhan luas panen jagung tersebut ialah alih guna lahan dari usahatani lahan, utamanya padi, ke jagung yang dapat saja terjadi bila keunggulan kompetitif usahatani jagung me-ningkat nyata, khususnya sebagai hasil dari ke-majuan inovasi dan peningkatan harga jagung.

Kalau laju pertumbuhan luas panen cenderung turun, laju pertumbuhan produkti-vitas jagung cenderung meningkat pada pro-yeksi tahun 2006-2010. Hal ini tentu didasarkan pada asumsi kecenderungan kemajuan inovasi yang pesat pada masa lalu dapat dipertahan-kan berkelanjutan. Asumsi ini sangat berdasar karena memang sistem inovasi pada agribisnis jagung tergolong tangguh karena didukung oleh perusahaan swasta multinasional maupun lembaga penelitian pemerintah. Selain itu,

Page 12: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

12

industri perunggasan yang tumbuh pesat meru-pakan lokomotif penarik kemajuan inovasi pada usahatani jagung. Perpaduan antara luas panen yang tumbuh positif dan produktivitas yang tumbuh akseleratif menghasilkan pertum-buhan pesat produksi jagung, selama periode tahun 2006-2010. Walaupun cenderung menu-run, laju pertumbuhan produksi jagung selama periode tahun 2006-2010 diperkirakan masih tetap amat tinggi, yakni sekitar 9–11 persen per tahun.

Permintaan beras diproyeksikan de-ngan asumsi bahwa harga riil beras maupun barang substitusi dan komplemen beras ada-lah tetap selama periode proyeksi sehingga harga-harga tidak menyebabkan perubahan terhadap permintaan beras. Perubahan permin-taan beras selama periode proyeksi hanyalah akibat perubahan pendapatan riil per kapita dan perubahan selera yang direfleksikan oleh perubahan elastisitas terhadap pendapatan. Berdasarkan hasil penelitian Syafa’at dkk. (2005), elastisitas permintaan beras per kapita terhadap pendapatan riil per kapita cenderung menurun yaitu 0,427 pada tahun 1999 dan 0,287 pada tahun 2005. Dengan asumsi kecen-derungan penurunan elastisitas pendapatan tersebut terus berlanjut dengan besaran tetap maka diperoleh elastisitas pada setiap tahun dalam kurun waktu proyeksi seperti pada Ta-bel 12, konsumsi per kapita pada tahun 2005 adalah 30.599 ribu ton. Asumsi dasar lain yang digunakan dalam memproyeksikan permintaan beras juga ditampilkan pada Tabel 12.

Permintaan domestik jagung didefinisi-kan sebagai total penggunaan domestik

(apparent comsumption) yang berdasarkan neraca komoditas dihitung identik dengan pro-duksi domestik plus impor minus ekspor. Setelah melalui berbagai uji coba, fungsi res-pon total penggunaan domestik jagung adalah seperti yang ditampilkan pada Tabel 13. Elastisitas total penggunaan domestik terhadap pendapatan total (GDP) adalah 0,17512. Disamping dipengaruhi oleh GDP, total peng-gunaan domestik juga meningkat secara otonom dengan laju 4,17 persen per tahun. Fungsi respon inilah yang digunakan untuk memproyeksikan permintaan jagung pada pe-riode tahun 2006-2010. seperti yang disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Fungsi Respon Total Penggunaan Domestik

Jagung, Indonesia, 1969-2004/05

Peubah Koefisien dugaan Statisik - t R – Value

Intersep 12,5825 7,1741 0,0000 PDB riil total 0,17512 1,1267 0,2683 Tahun 0,04168 4,8086 0,0000 R2 0,9812 - -

Proyeksi neraca produksi dan kebu-tuhan domestik beras dan jagung pada periode tahun 2006-2010 ditampilkan pada Tabel 14. Hasil produksi menunjukkan bahwa pada tahun 2006 Indonesia diperkirakan defisit beras sebesar 195 ribu ton dan akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya bila Indonesia tidak dapat mencegah kecenderungan stagnasi atau bahkan penurunan produksi beras dimasa mendatang. Berbeda dengan beras, Indonesia diperkirakan akan mampu mencukupi kebu-tuhan (swasembada) jagung pada tahun 2006

Tabel 11. Proyeksi Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung, 2006 – 2010

Uraian 2006 2007 2008 2009 2010 Luas panen (1000 ha) 3.916 4.206 4.498 4.789 5.077 Produktivitas (kg/ha) 3.569 3.692 3.822 3.962 4.112 Produksi (1000 ton) 13.978 15.527 17.194 18.978 20.875

Tabel 12. Asumsi dan Hasil Proyeksi Permintaan Beras, 2006 – 2010

Parameter 2006 2007 2008 2009 2010 1. Elastisitas pendapatan 0,1002 0,00535 0,0068 -0,0399 -0,0866 2. Pertumbuhan PDB (%/thn) 6,1 6,7 7,2 7,6 7,6 3. Pertumbuhan penduduk (%/tahun) 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25 4. Pertumbuhan permintaan (%/thn) 1,7360 1,2792 1,2905 0,9966 0,7001 5. Perkiraan permintaan (1000 ton) 31.130 31.528 31.528 32.254 32.479

Page 13: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

13

dan bila kecenderungan akselerasi produksi jagung berlanjut, Indonesia akan mengalami surplus jagung yang terus makin besar.

Komoditas Peternakan (daging ayam ras pedaging, sapi potong, kambing dan domba)

Analisis statistik menunjukkan bahwa fungsi respon produksi daging ayam ras pedaging mengikuti fungsi tren kubik (poli-nomial tahun pangkat tiga). Koefisien dugaan untuk tahun bertanda positif, tahun kuadrat bertanda negatif dan tahun kubik bertanda positif (Tabel 15). Hal ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan produksi mula-mula menurun (deselerasi) dan kemudian berubah menjadi meningkat (akselerasi), Titik balik laju pertum-buhan tersebut terjadi pada tahun 1997. Ini berarti, pertumbuhan produksi daging ayam ras peda-ging pada periode produksi tahun 2006-2010 berada pada fase akselerasi. Hasil duga-an fungsi produksi daging ayam ras pedaging tersebut sangat baik menjelaskan data dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 96 persen sehingga cocok digunakan sebagai alat pro-yeksi. Tabel 15. Fungsi dan Produksi Ayam Ras Pedaging,

Indonesia, 1984-2004

Peubah Koefisien dugaan

Statisik – t R – Value

Intersep 10,51089 47,35 0,0000 Tahun 0,43704 5,5747 0,0000 Tahun kuadrat -0,02752 -3,6660 0,0016 Tahun kubik 0,00064 3,0896 0,0060 R2 0,9616

Determinan total konsumsi domestik daging ayam ras pedaging adalah interaksi GDP riil dengan tahun dan tahun (Tabel 16). Variabel interaksi GDP riil dengan tahun

menunjukkan bahwa elastisitas total konsumsi domestik ayam ras terhadap GDP (penda-patan) berubah menurut tahun, antara lain akibat dari perubahan preferensi konsumen. Selain itu, perubahan otonom (efek tren) total konsumsi domestik ayam ras pedaging ber-variasi, tergantung pada besar GDP. Jika perubahan otonom dapat dipandang terutama efek perubahan selera maka besaran peru-bahan selera tersebut tergantung pada be-saran GDP. Dengan koefisien interaksi GDP dengan tahun bertanda positif berarti elastisitas total konsumsi domestik ayam ras pedagang cenderung makin besar dan efek pertumbuhan otonom (tren) berhubungan positif dengan GDP. Koefisien dugaan untuk tahun bertanda negatif, berarti efek pertumbuhan otonom murni adalah negatif, fungsi respon total konsumsi tersebut cukup baik menjelaskan data historis dengan R2 81 persen sehingga cukup valid digunakan untuk memproyeksikan total kon-sumsi domestik daging ayam ras pedaging. Tabel 16. Fungsi Respon Total Konsumsi Domestik

Daging Ayam Ras Pedaging, Indonesia, 1984-2004

Peubah Koefisien dugaan

Statisik - t

R – Value

Intersep 10,74809 25,48 0,0000 Log PDB x tahun 0,09257 2,8416 0,0077 Tahun -1,13009 -2,6352 0,0129 R2 0,8143

Berdasarkan parameter dugaan fungsi respon produksi dan total konsumsi domestik daging ayam ras pedaging pada Tabel 15 dan 16, proyeksi produksi, total konsumsi domestik dan neraca keduanya ditampilkan pada Tabel 17. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa pro-duksi ayam ras pedaging meningkat dari 1.079 ribu ton pada tahun 2006 menjadi 3.358 ribu ton pada tahun 2010. Walaupun produksi me-

Tabel 14. Proyeksi Neraca Produksi dan Konsistensi Domestik Beras dan Jagung di Indonesia, 2006-2010 (1000 ton)

. Uraian 2006 2007 2008 2009 2010

1. Beras Produksi Total konsumsi Surplus (defisit)

32.159 31.130

(195)

32.211 31.528

(541)

32.253 31.935

(906)

32.270 32.254

(908)

32.272 32.479 (1.431)

2. Jagung Produksi Total konsumsi Surplus (defisit)

13.978 13.510

468

15.527 14.232 1.295

17.194 15.005 2.189

18.978 15.756 3.222

20.875 16.623 4.252

Page 14: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

14

ningkat akseleratif, akselerasi peningkatan konsumsi daging ayam ras rupanya lebih tinggi lagi. Total konsumsi domestik ayam ras peda-ging meningkat dari 1.150 ribu ton pada tahun 2006 menjadi 4.107 ribu ton pada tahun 2010. Produksi daging ayam ras diperkirakan akan mengalami defisit dengan besaran yang terus meningkat. Hal ini dapat didefinisikan betapa besarnya peluang pasar domestik daging ayam. Perkiraan defisit tersebut mungkin saja tidak terjadi bila para produsen mampu me-ningkatkan laju pertumbuhan produksi daging ayam ras tersebut. Pada intinya kendala usaha ternak ayam ras pedaging adalah pada pena-waran, bukan pada permintaan.

Dari berbagai uji coba jenis model, fungsi respon produksi daging sapi potong yang paling sesuai dengan data historis adalah fungsi tren linier. Koefisien dugaan untuk tahun adalah 0,02143. Ini berarti, produksi daging sapi potong meningkat dengan laju pertum-buhan tetap sebesar 2,143 persen per tahun. Koefisien determinasi (R2) dari regresi dugaan cukup tinggi, yakni 94,2 persen (Tabel 18) yang berarti hasil dugaan tersebut cukup baik untuk menjelaskan data historis. Oleh karena itulah, parameter dugaan tersebut akan digunakan untuk memproyeksikan produksi daging sapi pada periode tahun 2006 – 2010. Tabel 18. Fungsi Tren Produksi Daging Sapi Potong,

Indonesia, 1984-2004

Variabel Koefisien dugaan Statisik – t R – Value

Intersep 12,08545 435,39 0,0000 Tahun 0,021403 16,36 0,0000 R2 0,9420

Sama seperti daging ayam ras peda-ging, fungsi respon total konsumsi domestik daging sapi potong ditentukan oleh variabel interaksi PDB dengan tahun dan tahun sendiri. Koefisien dugaan untuk variabel interaksi PDB dengan tahun bertanda positif (Tabel 19). Ini berarti, elastisitas total konsumsi daging sapi potong cenderung meningkat menurut waktu. Efek tren (waktu) adalah negatif, namun be-

sarannya juga ditentukan oleh PDB. Efek negatif tren dapat dinetralisir oleh pertumbuhan PDB. Peranan positif PDB tersebut adalah refleksi dari daging sapi potong sebagai barang konsumsi mewah bagi sejumlah besar pendu-duk Indonesia. Regresi dugaan cukup baik untuk menjelaskan data historis dengan R2 sebesar 82 persen. Tabel 19. Fungsi Respon Total Konsumsi Domestik

Daging Sapi Potong, Indonesia, 1984-2004

Peubah Koefisien dugaan Statisik – t R – Value

Intersep 11,961050 152,89 0,0000 Log PDB x tahun

0,01868 3,0926 0,0041

Tahun -0,22932 -2,8837 0,0070 R2 0,8201

Produksi dan total konsumsi domestik daging sapi potong untuk periode tahun 2006 – 2010 diproyeksikan dengan mempergunakan parameter dugaan masing-masing seperti yang disajikan pada tabel 18 dan Tabel 19. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa produksi daging sapi potong hanya meningkat sebesar 8 ribu ton per tahun. Total konsumsi domestik me-ningkat lebih cepat daripada produksi sehingga defisit produksi daging sapi potong cenderung meningkat (Tabel 20). Kendala usaha ternak sapi adalah penawaran, bukan permintaan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa fungsi respon produksi daging kambing mengikuti fungsi tren polinomial kubik. Para-meter dugaan positif untuk tahun, negatif untuk tahun kuadrat dan positif untuk tahun kubik (21). Ini berarti, pada awalnya produksi daging kambing menurun dengan laju yang semakin menurun lalu kemudian berbalik dengan per-tumbuhan yang semakin meningkat. Titik balik terjadi pada tahun 2005. Namun demikian, pada periode proyeksi tahun 2006-2010, laju produksi pertumbuhan produksi daging kam-bing masih negatif. Hasil dugaan fungsi tren produksi kambing cukup baik menjelaskan data historis dengan R2 sebesar 96 persen sehingga cukup valid untuk digunakan sebagai alat proyeksi.

Tabel 17. Proyeksi Neraca Produksi dan Total Konsumsi Domestik Ayam Ras Pedaging, di Indonesia, 2006–2010 (1000 ton)

Uraian 2006 2007 2008 2009 2010

Produksi 1.079 1.361 1.774 2.396 3.358 Total konsumsi 1.150 1.535 2.094 2.918 4.107 Surplus (defisit) (71) (174) (320) (522) (649)

Page 15: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

15

Tabel 21. Fungsi Tren Produksi Daging Kambing, Indonesia, 1984-2004

Peubah Koefisien dugaan Statisik - t R – Value

Intersep 8,95531 76,98 0,0000 Tahun 0,20255 7,5417 0,0000 Tahun kuadrat -0,00624 -3,7265 0,0008 Tahun kubik 0,00006 1,9319 0,0623 R2 0,9630

Berdasarkan analisis statistik peubah, yang secara nyata mempengaruhi total kon-sumsi domestik daging kambing adalah PDB riil dan tahun. Koefisien dugaan untuk logaritma PDB riil adalah positif, sedangkan untuk tahun negatif (Tabel 22). Ini berarti, elastisitas per-mintaan daging kambing terhadap pendapatan adalah konstan sebesar 0,76017. Selain dipe-ngaruhi oleh PDB riil, permintaan daging kambing cenderung menurun otonom (efek tren) sebesar 3,69 persen per tahun. Namun demikian, koefisien determinasi regresi terse-but hanya 32 persen. Walaupun tingkat kesa-lahannya mungkin cukup besar, parameter dugaan regresi tersebut akan digunakan seba-gai dasar untuk memproyeksikan permintaan daging kambing pada tahun 2006–2010. Tabel 22. Fungsi Respon Total Konsumsi Domestik

Daging Kambing, Indonesia, 1984-2004

Peubah Koefisien dugaan Statisik – t R – Value

Intersep 1,65587 0,3193 0,7515 Log PDB riil 0,76817 1,6717 0,1043 Tahun -0,03686 -1,4386 0,1599 R2 0,3225

Proyeksi produksi dan total konsumsi domestik daging kambing dilakukan dengan menggunakan hasil dugaan parameter masing-masing seperti yang ditampilkan pada Tabel 21. dan 22. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa produksi daging kambing cenderung menurun sekitar seribu ton per tahun (Tabel 23). Semen-tara konsumsi domestiknya cenderung mening-kat sekitar 1–2 ribu ton per tahun. Akibatnya defisit produksi daging kambing cenderung meningkat sekitar 2–3 ton per tahun. Usaha

ternak kambing juga terkendala pada sisi pena-waran bukan permintaan. Tahun 23. Proyeksi Neraca Produksi dan Total Konsumsi

Daging Kambing, Indonesia, 2006-2010 (1000 ton)

Uraian 2006 2007 2008 2009 2010

Produksi 58 57 56 55 54 Total konsumsi 59 60 61 62 64 Surplus (defisit) (1) (3) (5) (7) (10)

Analisis statistik menunjukkan bahwa perkembangan produksi daging domba mengi-kuti fungsi tren kwadratik. Koefisien dugaan untuk tahun adalah positif, sedangkan koefisien dugaan untuk tahun kuadrat negatif (Tabel 24). Ini berarti, produksi daging domba meningkat dengan laju pertumbuhan yang semakin menu-run. Namun demikian, laju pertumbuhan pro-duksi daging domba masih positif pada tahun 2006-2010. Koefisien determinasi (R2) regresi dugaan cukup tinggi, yaitu sebesar 95,20 persen, sehingga cukup valid digunakan untuk proyeksi produksi daging domba. Tabel 24. Fungsi Tren Produksi Daging Domba,

Indonesia, 1984-2004

Peubah Koefisien dugaan Statisik - t R – Value

Intersep 9,03951 90,26 0,0000 Tahun 0,07499 6,0083 0,0000 Tahun kuadrat -0,00057 -1,7353 0,0920 R2 0,9520

Dari berbagai uji coba, fungsi terbaik secara ekonometrik untuk menjelaskan variasi data historis total konsumsi domestik daging domba adalah logaritma ganda (double log) dengan PDB riil sebagai peubah bebas. Koe-fisien dugaannya adalah 0,50725. Ini berarti, elastisitas permintaan daging domba terhadap pendapatan (PDB) adalah konstan sebesar 0,50725. Walaupun amat sederhana fungsi res-pon permintaan daging domba tersebut cukup baik menjelaskan data historisnya dengan R2 sebesar 76 persen (Tabel 25). Fungsi permin-taan daging domba tersebut cukup valid untuk memproyeksikan permintaan untuk periode tahun 2006-2010.

Tabel 20. Proyeksi Neraca Produksi dan Total Konsumsi Domestik Daging Sapi Potong, Indonesia, 2006–2010 (1000 ton)

Uraian 2006 2007 2008 2009 2010

Produksi 372 380 388 396 405 Total konsumsi 513 547 587 633 684 Surplus (defisit) -(141) (167) (199) (237) (279)

Page 16: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

16

Tabel 25. Fungsi Respon Total Konsumsi Domestik Daging Domba, Indonesia, 1984-2004

Peubah Koefisien dugaan Statisik - t R – Value

Intersep 3,59366 3,8689 0,0005 Log PDB riil 0,50725 6,7641 0,0000 R2 0,7594

Hasil proyeksi produksi dan konsumsi domestik daging domba untuk periode tahun 2006–2010 ditampilkan pada Tabel 26. Pro-duksi daging domba hanya meningkat sekitar dua ribu ton per tahun, sedangkan kebutuhan konsumsinya meningkat sekitar 2-3 ribu ton per tahun. Produksi daging domba defisit dengan besaran yang meningkat dari 9 ribu ton pada tahun 2006 menjadi 11 ribu ton pada tahun 2010. Masalah pokok usaha ternak domba adalah kendala pada sisi penawaran (pro-duksi), bukan permintaan. Tahun 26. Proyeksi Neraca Produksi dan Total Konsumsi

Daging Domba, Indonesia, 2006-2010 (1000 ton)

Uraian 2006 2007 2008 2009 2010

Produksi 61 63 65 67 69

Total konsumsi 70 72 75 78 81

Surplus (defisit) (9) (9) (10) (11) (12)

KENDALA, PELUANG DAN OPSI KEBIJAKAN

Pada bagian ini diulas lebih lanjut deter-minan kinerja produksi bahan pangan domestik yang diuraikan pada bagian terdahulu. Pemba-hasan difokuskan pada kendala utama dan upaya untuk mengatasinya. Peluang yang ma-sih terbuka untuk dimanfaatkan dan kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah juga diuraikan secara generik. Uraian yang dilakukan lebih pada upaya untuk memetakan masalah pokok daripada perumusan kebijakan. Rencana aksi dan kebijakan operasional mestinya dapat di-susun oleh instansi yang berkewajiban untuk itu.

Masalah Produksi Tamanan Pangan

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, produksi tanaman pangan, utamanya padi dan kedele yang cenderung menurun sudah sam-pai pada taraf yang mengkhawatirkan dalam arti akan menyebabkan penyediaan bahan

pangan pokok semakin tergantung pada impor. Perlambatan atau penurunan laju pertumbuhan produksi tanaman pangan merupakan kom-binasi dari gejolak penurunan kapasitas pro-duksi dan kegagalan kebijakan seperti yang diuraikan pada bagian berikut.

Penurunan Luas Baku Lahan Sawah

Kedua tanaman pangan utama yang dikaji (padi, jagung,) sebagian besar diusaha-kan pada lahan sawah. Pada bagian sebelum-nya telah pula ditunjukkan bahwa salah satu akar penyebab penurunan pertumbuhan pro-duksi padi adalah penurunan luas baku lahan sawah. Oleh karena juga berbasis sawah, penurunan luas baku lahan sawah juga ber-dam-pak negative terhadap produksi lahan pangan utama lainnya. Walaupun besarannya bervariasi, semua data resmi konsisten menun-jukkan bahwa luas baku lahan sawah menurut secara absolute (Tabel 27). Berdasarkan data potensi desa 1999–2002, penurunan luas la-han sawah mencapai 35.827 hektar per tahun di Jawa, 91.577 hektar di Luar Jawa sehingga secara keseluruhan mencapai 141.286 hektar per tahun. Sedangkan berdasarkan data Sen-sus Pertanian 1983–2003, laju penurunan luas sawah untuk seluruh Indonesia mencapai 34.700 hektar per tahun. Kalaupun dengan perkiraan terendah 34.700 hektar per tahun, jika lahan tersebut dapat ditanami padi dua kali setahun dengan hasil (4.500 kg GKG) ha, maka penurunan produksi padi akibat berku-rangnya luas baku lahan sawah akan menca-pai 312.300 ton per tahun. Kiranya dicatat bahwa penurunan produksi tersebut bersifat permanen, tidak mungkin pulih, sehingga kumulatif menurut waktu. Selama periode lima tahun, misalnya 2005–2010, penurunan pro-duksi padi akibat berkurangnya luas sawah dapat mencapai 1.561.500 ton GKG. Tabel 27. Laju Pengurangan Luas Baku Sawah Netto

menurut Wilayah di Indonesia, 1999-2002 (hektar/tahun)

Sumber

Data Periode Jawa Luar

Jawa Indonesia

1. Potensi Desa

1999-2002 49.709 91.577 141.286

1983-2003 34.700 1983-2003 22.500 1983-1993 46.900 1973-1983 (87.700)

2. Sensus Pertanian

1963-1973 (76.500) Angka didalam kurung adalah pertambahan

Page 17: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

17

Patut disayangkan masalah kovensi lahan sawah yang ditabelkan diketahui umum lebih sering dijadikan kebutuhan dan daripada melakukan tindakan penanganan konkrit. Pen-cegahan kovensi lahan sawah melalui pene-tapan peraturan juga terbukti kurang efektif. Cara terbaik untuk mengatasi masalah kovensi lahan sawah ialah dengan membuka lahan sawah baru. Data Badan Litbang Pertanian menunjukan masih tersedia hampir 17 juta hektar sawah yang potensial dibangun menjadi sawah (Tabel 28). Pembukaan lahan sawah baru jika tidak diminati perusahaan besar swasta dan sementara usahatani rumah tangga tidak memiliki model yang cukup untuk mela-kukannya. Oleh karena itu, pembukaan lahan sawah baru haruslah dilakukan pemerintah, sebagaimana yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru.

Penurunan Kesuburan Tanah

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa penggunaan lahan sawah secara inten-sif, intensitas tanam tinggi, intensitas peng-gunaan pupuk tinggi, pengolahan tanah sem-purna, irigasi intensif, telah menimbulkan penurunan kesuburan tanah sawah. Hal inilah yang menyebabkan gejala penurunan produkti-vitas padi dalam beberapa tahun terakhir. Penurunan kesuburan tanah telah pula menim-bulkan menurunnya respon tanaman terhadap

pupuk. Secara populer petani menyatakan munculnya sindroma “lahan lapar pupuk”, in-tensitas penggunaan pupuk harus ditingkatkan terus agar hasil tidak menurun. Analisis yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa peng-gunaan pupuk pada usahatani padi sawah telah jauh diatas titik optimalnya (Tabel 29). Penggunaan pupuk urea (270 kg/ha) sekitar 50 persen diatas dosis optimalnya (189 kg/ha) sementara penggunaan pupuk SP-36 (103 kg/ha) lebih dari dua kali dosis optimalnya (48 kg/ha). Penggunaan pupuk secara berlebihan tidak saja meningkatkan biaya pokok produksi dan laba usahatani tetapi juga menurunkan produksi usahatani.

Para ahli pertanian sesungguhnya te-lah menemukan cara mudah untuk mengatasi gejala penurunan kesuburan tanah tersebut yakni dengan pengelolaan tanaman terpadu (integrated crop manajemen). Elemen pokok-nya ialah perbaikan dalam pengelolaan tanah, cara tanam dan pemupukan. Barangkali yang paling mendasar ialah perlunya penggunaan pupuk organik sehingga penggunaan pupuk anorganik dapat dikurangi secara nyata. Inilah inti dari program Perbaikan Mutu Intensifikasi (PMI) usahatani tanaman pangan yang dica-nangkan Departemen Pertanian pada tahun 2003/2004. Barangkali perbaikan mutu intensi-fikasi tanaman pangan dilanjutkan dan diper-luas melalui program aksi nasional terpadu.

Tabel 28. Luas Potensi dan Penggunaan Lahan Sawah (Rawa dan non Rawa) menurut Provinsi di Indonesia

Lahan sesuai 1) Luas lahan sawah 2) Sisa lahan yang sesuai 3) Provinsi

Rawa Non Rawa Rawa/PS Irigasi Rawa/PS Non rawa Total

Sumatera 2.432.616 3.616.830 508.638 1.603.601 1.923.978 2.013.229 3.937.207

Jawa 124.120 4.462.815 2.446 3.341.945 121.674 1.120.870 1.242.544

Bali+NT 0 482.109 962 396.884 -962 85.225 84.263

Kalimantan 1.425.801 1.587.069 412.133 556.294 1.013.668 1.030.775 2.044.443

Sulawesi 310.426 2.075.259 2.977 961.459 307.449 1.113.800 1.421.249

Maluku+Papua 148.974 7.891.364 0 0 148.974 7.891.364 8.040.338

Indonesia 4.441.937 20.115.445 927.156 6.860.183 3.514.781 13.255.262 16.770.043 Keterangan : 1) Lahan yang sesuai untuk lahan sawah (Puslitbangtanak, 2001) 2) Luas lahan sawah tahun 2002, BPS (2003) 3) Di Jawa sudah tidak tersedia lahan untuk perluasan areal. Sebagian lahan sudah digunakan untuk komoditas

lain atau sektor lain di luar pertanian. Diperlukan pemutakhiran data penggunaan lahan sekarang untuk menentukan luas lahan yang tersedia untuk perluasan.

Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2005)

Page 18: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

18

Penurunan Kualitas dan Luas Layanan Sistem Irigasi

Jaringan irigasi teknis adalah kunci untuk meningkatkan hasil per luasan panen, intensitas tanam dan stabilitas produksi. Pem-bangunan jaringan irigasi secara besar-be-saran pada tahun 1970-an hingga 1980-an merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam memacu peningkatan produksi pangan sehingga swasembada beras terwujud pada tahun 1984. Namun sejak pertengahan tahun 1980-an pembangunan dan pemeliharaan jari-ngan irigasi menurun drastis. Tidak meng-herankan, alih-alih bertambah kualitas jaringan irigasi yang ada terus merosot. Tingginya fre-kuensi berita media massa tentang kasus

kekeringan dimusim kemarau normal merupa-kan indikasi kuat tingkat keparahan kerusakan jaringan irigasi tersebut.

Dari 6.771.826 hektar sawah layanan jaringan irigasi, 1.519.875 hektar atau 22,44 persen diantaranya telah mengalami gang-guan, 341.327 hektar atau 5,04 persen menga-lami “gangguan berat” dan 1.178.548 atau 17,40 persen mengalami “gangguan ringan”. Dari 49 bendungan yang ada saat ini, 49 diantaranya mengalami kerusakan ringan. Dari 273 waduk yang ada 19 atau 6,96 persen diantaranya mengalami kerusakan, 14 atau 5,13 persen rusak ringan dan 5 atau 1,83 persen rusak berat (Tabel 30).

Tabel 29. Penggunaan Urea dan SP-36 untuk Hasil Padi Maksimal, Optimal dan Aktual Menurut Pulau di Indonesia (Kg/ha)

No Uraian Sumatera Jawa Sulawesi Indonesia 1

2

3

4

5

Maksimal Urea SP-36 Hasil Optimal1 Urea SP-36 Hasil1

Aktual 1998/1999 Urea1

SP-361

Hasil1

Hasil ARAM 2 2006 Aktual (survei 2005-06) Urea SP-36 Hasil

128 107

4.464

127 108

4.462

123 63

4.036

4.427

2263

1673

262 103

5.564

261 105

5.565

278 112

4.972

5.377

3414

604

135 40

4.925

135 42

4.926

153 28

4.033

4.543

2445

815

188 42

5.007

189 48

5.008

206 82

4.442 4.807

2706

1036

Sumber : 1. Pada harga 2006, 2. struktur ongkos BPS, 3. Sumatera Utara, (PSEKP, 2006) 4. Jawa Timur (PSEKP, 2006), 5. Sulawesi Selatan (PSEKP, 2006), 6. Rata-rata Sumut, Jatim, Sulsel (PSEKP, 2006).

Tabel. 30. Kondisi Jaringan Irigasi di Indonesia, 2006

Kondisi Rusak Prasarana Terbangun Jumlah Unit

Berat Ringan Total 1. Jaringan Irigasi 6.771.826 hektar 341.327

(5,04%) 1.178.548 (17,40%)

1.519.875 (22,44%)

2. Bendungan 11.547 Unit 49 (0,42%)

- 49 (0,42%)

3. Waduk 273 Unit 14 (5,13%)

5 (1,83%)

19 (6,96%)

Sumber : Ditjen Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan Umum, 2006.

Page 19: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

19

Tingkat kerusakan jaringan irigasi yang telah mencapai 22,44 persen jelas sudah dapat dikatakan “amat mengkhawatirkan”. Kalau saja, kerusakan tersebut menyebabkan hilangnya satu kesempatan menanam tanaman pangan tiap tahun maka sekitar 1,5 juta hektar luas panen tanaman pangan tidak dapat diperoleh hanya karena rusaknya jaringan irigasi. Kalau 20 persen saja, atau 300 ribu hektar dari jumlah tersebut adalah panenan padi maka kehilangan kesempatan produksi beras telah mencapai sekitar 770 ribu ton beras. Artinya kalau saja kerusakan jaringan irigasi tidak demikian parah, Indonesia mestinya dapat mempertahankan swasembada beras secara berkelanjutan.

Tidak saja segera berdampak negatif terhadap produksi tanaman pangan dan pen-dapatan petani, kerusakan jaringan irigasi merupakan prakondisi untuk alih fungsi sawah dengan dampak permanen. Oleh karena itu, perbaikan dan perluasan jaringan irigasi mes-tinya menjadi prioritas penanganan pemerintah. Sebagai bagian dari program Revitalisasi Per-tanian. Dalam buku Rencana Strategis Depar-temen Pekerjaan Umum 2005 -2009, telah dicanangkan program rehabilitasi jaringan iri-gasi yang rusak 2.679.450 hektar, pemba-ngunan baru atau peningkatan 700.000 hektar, serta operasional dan pemeliharaan 3.490.500 hektar. Kita hanya berharap rencana ini sung-guh-sungguh dilaksanakan, bukan sekedar dalam dokumen saja.

Teknologi (Penelitian dan Pengembangan)

Inovasi teknologi dan kelembagaan adalah andalan utama sumber pertumbuhan produksi dan daya saing tatkala sumberdaya alam basis produksi pertanian telah semakin langka sehingga pertumbuhan melalui eksten-sifikasi luas baku lahan pertanian semakin mengecil dan bahkan telah menjadi negatif. Inovasi pertanian (teknologi dan kelembagaan) merupakan hasil dari lembaga penelitian dan pengembangan pertanian serta lembaga dise-minasi teknologi. Dengan demikian, isu inovasi pertanian haruslah dipilah menjadi isu kinerja sistem lembaga penelitian dan pengembangan pertanian nasional dan isu sistem diseminasi inovasi pertanian nasional yang panduan ke-duanya merupakan perwujudan dari sistem inovasi pertanian nasional. Lembaga penelitian dan pengembangan bertanggung jawab mene-

mukan inovasi baru, sedangkan lembaga dise-minasi inovasi bertanggung jawab agar inovasi baru tersebut diadopsi secara luas, cepat dan tepat guna oleh para pelaku agribisnis. Lembaga inovasi pertanian mencakup lembaga publik (pemerintah) maupun lembaga privat (swasta).

Mesti diakui, lembaga penelitian dan pengembangan pertanian di Indonesia masih sangat didominasi oleh lembaga pemerintah dan sangat terfokus padi-padi. Teknologi yang dihasilkan adalah teknologi publik, dalam arti dapat digunakan oleh siapa saja tanpa ijin maupun imbalan. Lembaga penelitian swasta memfokuskan diri pada teknologi privat yang hak penggunaannya eksklusif sehingga dapat dikomersilkan. Di Indonesia, perkembangan lembaga penelitian swasta masih relatif baru, namun sudah mendominasi beberapa jenis usahatani seperti jagung hibrida dan ternak ayam ras.

Seperti yang telah dikemukakan sebe-lumnya, pesatnya pertumbuhan produksi pada dekade 1970-an dan 1980-an adalah berkat inovasi teknologi produksi hijau, yakni varietas padi berumur pendek, responsif terhadap pu-puk, membutuhkan lahan dan air prima, dan produktivitasnya amat tinggi. Varietas padi ter-sebut pada awalnya ditemukan oleh Interna-tional Rice Research Institute (IRRI) pada dekade 1960-an. Pada masa itu, potensi hasil varietas padi tradisional hanya sekitar 2 -2,5 ton/ha, sementara varietas baru varian IRRI dapat mencapai sekitar 4,5 ton/ha. Varietas baru yang ditemukan melipat gandakan pro-duktivitas lahan. Masalahnya adalah, sejak pertengahan tahun 1990-an, varietas baru padi sudah tidak memiliki keunggulan nyata dalam potensi hasil (Tabel 31). Dengan lebih tegas, sejak pertengahan tahun 1990-an inovasi padi berbasis teknologi revolusi hijau telah menga-lami saturasi. Litbang Pertanian sudah tidak memberikan kontribusi signifikan dalam inovasi teknologi padi dalam satu dekade terakhir. Inilah barangkali salah satu akar penyebab perlambatan pertumbuhan atau bahkan gejala penurunan absolut produktivitas padi sebagai-mana telah diuraikan sebelumnya.

Indikasi telah mandegnya inovasi budidaya padi juga dapat ditunjukkan dari komposisi varietas padi yang ditanam petani. Hingga saat ini varietas benih padi yang paling banyak digunakan petani masih IR-64 yang

Page 20: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

20

dilepas pada tahun 1986. Ini berarti, walaupun varietas baru yang dilepas sejak tahun 1986 sangat banyak (lebih dari 40 varietas) hanya sedikit diantaranya yang digunakan petani. Varietas-varietas baru tersebut nampaknya tidak berbeda nyata keunggulannya dibanding IR-64 yang telah ditemukan 20 tahun lalu.

Berbeda dengan padi, inovasi budi-daya jagung berkembang pesat secara akse-leratif. Potensi hasil maupun jumlah varietas baru jagung yang dilepas meningkat konsisten sejak pertengahan tahun 1970-an (Tabel 31). Potensi hasil varietas unggul jagung meningkat menjadi dua kali lipat dalam tempo sekitar 25 tahun, dari 4.00 ton/ha pada periode tahun 1976-1980 menjadi 8.10 ton/ha pada periode tahun 2001-2003. Varietas unggul jagung tersebut didominasi oleh varietas hibrida yang dihasilkan sektor swasta.

Jelaslah kiranya, akselerasi pertum-buhan produktivitas yang menjadi sumber utama pertumbuhan jagung merupakan hasil dari inovasi teknologi berbasis benih yang dihasilkan oleh lembaga penelitian swasta. Motor penggerak pertumbuhan produksi jagung sesungguhnya ialah lembaga penelitian swas-ta. Ini merupakan salah satu bukti betapa esensialnya peran lembaga penelitian pertani-an swasta. Oleh karena itu, sektor lembaga penelitian pertanian mestinya perlu dideregu-

lasi sehingga peranan lembaga penelitian swasta dapat berperan maksimal sebagai motor penggerak inovasi pertanian.

Sungguh ironis, inovasi pada usaha peternakan yang merupakan sumber pertum-buhan baru sektor pertanian sungguh amat minim. Dalam realitasnya, teknologi budidaya ayam ras pedaging terus berkembang pesat, terutama dalam DOC yang dihasilkan oleh perusahaan swasta multi-nasional. Pesatnya pertumbuhan produksi jagung dan daging ayam ras adalah berkat inovasi-reinovasi yang dihasilkan oleh sektor swasta. Nampaknya, peran penelitian dan pengembangan sektor swasta esensial untuk memacu pertumbuhan produksi pertanian secara berkelanjutan.

Menurunnya kinerja lembaga penelitian pertanian publik kiranya perlu dikaji mendalam melalui penelitian khusus. Sebagai hipotesis awal, akar masalahnya mungkin tidak pada kendala anggaran infrastruktur dan jumlah personalia melainkan pada manajemen dan budaya penelitian. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa anggaran pembangunan pada Badan Penelitian dan Pengembangan Perta-nian, Departemen Pertanian, sesungguhnya cukup besar dan terus mengalami peningkatan (Tabel 32). Secara umum, revitalisasi sistem penelitian dan pengembangan pertanian nasio-nal merupakan agenda mendesak guna me-

Tabel 31. Potensi Hasil (ton/ha) dan Jumlah Varietas Tanaman yang Dilepas di Indonesia, 1970 -2003.

Uraian 1970-75 1976-80 1981-85 1986-90 1991-95 1996-00 2001-03 1. Padi sawah

- Potensi hasil tertinggi. - Jumlah varietas

5.00

3

4.80

11

4.80

21

5.00

7

5.70

8

6.50

14

6.20

13

2. Jagung - Potensi hasil tertinggi. - Jumlah varietas

- -

4.00

3

5.00

8

5.90

5

5.20

11

8.80

26

8.10

2 Sumber : Badan Perbenihan Nasional Tabel 32. Anggaran Rutin dan Pembangunan Badan Litbang Pertanian, 2001-2005 (Rp.000).

Jenis anggaran No Tahun Rutin Pembangunan Total

1 2 3 4 5

2001 2002 2003 2004 2005

113.630.198 127.565.600 147.604.758 190.816.396 201.471.926

82.167.960 115.690.470 163.416.800 186.763.915 251.391.369

195.798.158 243.256.070 311.021.558 377.580.311 452.863.295

Rata-rata 156.217.776 159.886.103 316.103.878 Trend (%) 15.29 25.61 20.51

Sumber : Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

Page 21: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

21

ngatasi gejala perlambatan peningkatan pro-duksi sejumlah besar produk pertanian.

Selain masalah penurunan produktivi-tas inovasi sistem Litbang Pertanian Nasional, sistem diseminasi teknologi pertanian yang pada masa orde baru (1969-1998) cukup leng-kap dan padu padan, kini mengalami de-kontruksi sehingga dapat dikatakan cerai-berai. Sesuai dengan amanat otonomi daerah penge-lolaan penyuluhan pertanian diserahkan kepa-da Pemerintah Kabupaten. Dalam kenya-taannya, sejumlah besar pemerintah kabupaten kurang memberikan perhatian pada penyu-luhan pertanian. Sejumlah pemerintah kabu-paten bahkan tidak memiliki lembaga penyu-luhan pertanian sama sekali. Diseminasi ino-vasi pertanian kini menjadi masalah serius. Namun demikian, Departemen Pertanian sat ini telah menetapkan revitalisasi penyuluhan per-tanian sebagai salah satu program utamanya. Kita berharap vitalitas sistem inovasi pertanian nasional dapat pulih segera dan menjadi salah satu penggerak peningkatan produksi perta-nian di masa datang.

Masalah Produksi Peternakan

Dari bagian terdahulu telah ditunjukkan bahwa permintaan domestik terhadap bahan pangan asal ternak akan terus meningkat tajam. Disatu sisi kecenderungan ini mesti disambut baik sebagai bagian dari perbaikan kualitas gizi penduduk dan sekaligus bagian kesempatan bagi pengembangan usaha peter-nakan. Pada dasarnya, peningkatan cepat per-mintaan terhadap produk peternakan merupa-kan motor penggerak revitalisasi peternakan yang oleh para ahli manca negara dipandang sebagai harapan baru bagi peningkatan kese-jahteraan petani, ketahanan pangan dan per-tumbuhan sektor pertanian di negara-negara berkembang. Masalah pokoknya adalah ken-dala di sektor produksi yang diuraikan pada bagian berikut.

Wabah Penyakit

Merebaknya penyakit menular merupa-kan masalah utama yang terus menghambat perkembangan sektor peternakan dalam bebe-rapa tahun. Sudah menjadi pengetahuan umum, wabah flu burung masih belum dapat diatasi dan sudah menimbulkan kematian sia-sia terhadap jutaan ekor unggas dan puluhan

nyawa manusia. Selain flu burung yang terus mengancam peternakan unggas, penyakit antraks pada ternak ruminansia kembali mere-bak dalam dua tahun terakhir. Sejujurnya, kami tidak ahli dalam masalah ini sehingga tidak dapat memberikan ulasan rinci mengenai akan penyebab dan upaya efektif untuk mengatasi-nya. Namun, secara komparatif kiranya tidak salah untuk menyimpulkan negara ini kurang mampu dibanding negara lain (Vietnam, Thailand) dalam memberantas flu burung (dan juga penyakit hewan menular lainnya).

Pada kesempatan ini kami hanya dapat menghimbau agar pemberantasan penyakit hewan menular, utamanya flu burung dan antraks, dilakukan lebih sungguh-sungguh dan sistematis. Pengembangan sistem deteksi dini dan penanganan penyakit hewan menular perlu dilakukan secara melembaga. Kemampu-an untuk mencegah merebaknya penyakit he-wan menular merupakan kunci bagi peningkat-an produksi peternakan, termasuk untuk mewu-judkan revitalisasi peternakan di Indonesia.

Kendala Padang Penggembalaan dan Sumber Pakan Hijauan

Usaha ternak sapi dan ternak ruminan-sia pada umumnya didominasi cara pemeliha-raan dengan sistem ”land based” yang me-ngandalkan pengadaan pakan dari padang penggembalaan atau pemberian pakan hijauan asalan (rongkage). Padang penggembalaan dan pasokan hijauan asalan cenderung me-nurun karena lahannya dikonversi menjadi usaha pertanian atau peruntukan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan jumlah populasi sapi cenderung menurun absolut dalam 10 tahun terakhir. Oleh karena itu, revitalisasi usaha peternakan ruminansia, sapi khususnya, se-baiknya dilakukan dengan mengembangkan usaha ”non land based”, yakni cara pemulihan dengan mengandangkan ternak dan pemberian pakan buatan. Pengembangan usaha ternak intensif ini tentu membutuhkan fasilitasi per-modalan dan bantuan teknis dari pemerintah.

Potensi pengembangan yang juga amat prospektif ialah pengembangan sistem integrasi peternakan – tanaman di kawasan perkebunan. Sistem integrasi peternakan – perkebunan. Pola pengembangan ini sudah terbukti cukup berhasil pada beberapa usaha perkebunan sawit. Dengan kawasan perke-bunan yang amat luas, sekitar 15 juta hektar

Page 22: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

22

mestinya Indonesia tidak menghadapi kendala produksi daging ternak ruminansia. Namun demikian, potensi yang demikian besar hanya dapat dimanfaatkan optimal bila ada inisiatif dari pemerintah untuk memfasilitasi kemitraan antara pemilik usaha perkebunan dan calon peternak.

Keterbatasan Kapasitas Usaha Ternak Sampingan

Kendala usaha ternak ayam ras, usaha peternakan di Indonesia sebagian besar masih berupa usaha sampingan bagi rumah tangga. Sebagai usaha sampingan, curahan modal dan perhatian untuk pengembangan usaha ternak tentu amat terbatas sehingga tidak memper-kirakan pertumbuhan usaha peternakan tetap amat lambat. Usaha peternakan rakyat hanya dapat dimobilisir dengan melakukan transfor-masi usaha dan usaha sampingan menjadi usaha utama bagi rumah tangga tani.

Transformasi usaha peternakan rakyat menjadi usaha utama rumah tangga tidak mungkin terjadi tanpa fasilitasi dari pemerintah. Pemerintah perlu memberikan fasilitas permo-dalan dan bimbingan teknis. Barangkali, pe-ngembangan usaha peternakan rakyat merupa-kan pilihan terbaik untuk meningkatkan petani manakala pengembangan usaha tanam sudah sulit dilakukan karena keterbatasan lahan. Pengembangan usaha peternakan di kawasan sentra produksi usaha tanaman pangan juga menciptakan sinergi usahatani. Pada intinya, hal ini termasuk dalam upaya diversifikasi produksi pertanian yang juga potensial untuk mendorong diversifikasi konsumsi pangan.

Konsentrasi Industri dan Praktek Persaingan Tidak Sehat

Usaha peternakan ayam ras adalah usaha peternakan yang paling progresif, motor penggeraknya adalah perusahaan besar pro-dusen bibit ayam sehari (DOC) dan pakan yang merupakan inti dari teknologi tinggi yang membuat industri ini terus berkembang amat pesat. Dapat dikatakan, revolusi peternakan sudah berlangsung pada industri unggas ras. Secara intrinsik cabang-cabang usaha industri ini memiliki ekonomi skala (economies of scale) dari ekonomi cakupan usaha (economies of scope) yang amat besar sehingga perusahaan yang berkembang cenderung berskala besar

dan terintegrasi antarcabang usaha (konglo-merasi). Oleh karena itulah usaha peternakan ayam ras didominasi oleh perusahaan besar. Selain itu, perusahaan berskala besar dan terintegrasi telah menyebabkan struktur industri cenderung terkonsentrasi tinggi sehingga ren-tan terhadap praktek persaingan tidak sehat.

Sehubungan dengan itu, pemerintah perlu terus melakukan pengawasan persaingan pada industri ini. Tumbuhnya perusahaan baru perlu difasilitasi sehingga konsentrasi industri menurun sesuai mekanisme pasar. Tumbuh-kembangnya usaha ternak rakyat difasilitasi melalui sistem kemitraan dan pembatasan ska-la usaha budidaya perusahaan besar peter-nakan. Selain memberi peluang usaha bagi usaha ternak rakyat, pembatasan skala usaha budidaya tersebut juga bermanfaat untuk menciptakan struktur industri yang kompetitif.

Belum Berkembangnya Sistem Inovasi

Pesatnya pertumbuhan industri ayam ras adalah berkat kemajuan inovasi pada perbenihan (DOC) dan pakan yang dimotori oleh perusahaan besar swasta (multinasional). Fenomena ini belum terjadi pada usaha peternakan lainnya. Dapat dikatakan, tiadanya inovasi teknologi merupakan penyebab utama kenapa usaha ternak sapi potong, ayam bukan ras maupun usaha ternak rakyat lainnya cenderung stagna atau bahkan mengalami regresi.

Oleh karena itu, pengembangan sistem inovasi pendukung usaha peternakan rakyat mestinya menjadi prioritas penanganan peme-rintah. Termasuk dalam hal inilah revitalisasi sistem penelitian dan pengembangan, fasilitasi impor teknologi, pengembangan usaha per-benihan dan pembibitan, serta pengembangan pembuatan pakan lokal. Sekali lagi, intervensi dan fasilitasi kreatif dari pemerintah amat dibutuhkan untuk menunjukkan revolusi peter-nakan yang amat prospektif di Indonesia.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KEBIJAKAN

Kesimpulan

Tanaman Pangan

Produksi padi mengalami perlambatan pertumbuhan sejak pertengahan tahun 1980-

Page 23: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

23

an, dan sejak awal tahun 1980-an laju per-tumbuhannya telah di bawah laju pertumbuhan penduduk atau produksi beras per kapita terus menurun hingga saat ini. Penurunan produksi beras per kapita inilah yang menyebabkan swasembada beras yang diraih tahun 1984 tidak dapat dipertahankan secara berkelan-jutan. Tekanan untuk mengimpor beras tetap amat tinggi, atau bahkan tidak terelakkan, sela-ma Indonesia gagal membalik kecenderungan penurunan produksi padi per kapita.

1. Hasil analisis menunjukkan bahwa kecen-derungan penurunan laju pertumbuhan produksi padi adalah akibat dari kombinasi : (a) penurunan luas baku lahan sawah, khususnya di Jawa; (b) stagnasi atau bah-kan penurunan produktivitas lahan. Penu-runan luas baku lahan sawah adalah akibat dan konversi untuk peruntukan lain yang amat sukar dicegah. Cara yang paling mungkin untuk meningkatkan luas baku lahan sawah ialah melalui pembukaan lahan sawah (investasi baru). Stagnasi atau bahkan penurunan produktivitas padi adalah konsekuensi dari stagnasi inovasi baru dan semakin memburuknya kesu-buran lahan.

2. Usahatani padi cukup menguntungkan secara financial serta memiliki keunggulan komparatif. Sistem pemasaran gabah – beras juga cukup efisien, namun dengan marjin pemasaran cenderung meningkat. Hal ini terutama adalah akibat dari pening-katan ongkos transportasi dan refleksi dari struktur rantai pemasaran yang panjang. Isu kebijakan utama dalam hal pemasaran ini ialah menjaga stabilitas harga musiman yang mestinya menjadi pokok perhatian BULOG.

3. Berdasarkan kecenderungan historis, dan bila program revitalisasi industri perbe-rasan nasional tidak efektif, diperkirakan produksi beras akan mengalami pertum-buhan negatif pada periode tahun 2006-2010. Dalam kondisi demikian Indonesia akan terpaksa mengimpor beras dalam jumlah yang semakin besar. Hal ini tentu akan berdampak buruk terhadap keta-hanan pangan nasional, dan akan menim-bulkan tekanan politik yang amat mende-sak bagi pemerintah.

4. Produksi jagung terus mengalami pertum-buhan tinggi dan akseleratif. Pertumbuhan

produksi yang amat tinggi tersebut ter-utama berasal dari pertumbuhan produkti-vitas sebagai refleksi dari pesatnya inovasi teknologi. Berbeda dengan padi yang me-ngandalkan lembaga penelitian pemerin-tah, teknologi jagung terutama ditopang oleh sistem inovasi swasta, tepatnya peru-sahaan multinasional di bidang perbenihan dan agrokimia. Benih jagung hibrida de-ngan potensi produktivitas yang amat tinggi dan terus meningkat merupakan kunci dan akselerasi pertumbuhan produksi jagung.

5. Selain di didorong oleh inovasi teknologi, pertumbuhan produksi jagung yang akse-leratif tersebut juga adalah berkat pesatnya peningkatan permintaan jagung dalam negeri untuk industri pakan ternak. Industri pakan ternak berkembang pesat karena ditarik oleh pertumbuhan pesat usaha peternakan intensif, utamanya peternakan ayam ras. Permintaan jagung untuk pakan akan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan usaha peternakan intensif. Selain itu, usahatani jagung tidak saja layak secara finansial, tetapi juga kompetitif sehingga jagung juga potensial untuk diekspor.

6. Masalah pokok sisi penawaran jagung ialah instabilitas produksi, yang terutama berasal dari instabilitas luas panen. Akar penyebabnya ialah instabilitas harga ja-gung yang diterima petani. Dengan demi-kian, stabilisasi harga jagung di tingkat petani merupakan isu kebijakan pokok yang perlu mendapatkan perhatian peme-rintah.

7. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa untuk periode tahun 2006–2010, produksi jagung akan terus tumbuh pesat dan akseleratif, melampaui laju peningkatan permintaan, sehingga akan terjadi surplus produksi semakin meningkat merupakan isu kebija-kan yang perlu diantisipasi pemerintah.

Peternakan

8. Usaha ternak ayam ras pedaging baru ber-kembang pada pertengahan tahun 1970-an, tumbuh amat cepat dan kini menjadi tulang punggung subsektor peternakan. Setelah terpukul berat pada masa krisis ekonomi 1998–1999, usaha ternak ayam ras pedaging kini telah pulih total dan

Page 24: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

24

tumbuh amat pesat. Usaha ternak ayam ras terutama ditopang oleh sektor swasta baik dari segi inovasi teknologi maupun dari segi modal dan pemasaran. Usahatani dapat berkembang pesat atas kemampuan sendiri dengan fasilitasi terbatas dari pemerintah.

9. Produksi daging sapi potong meningkat relatif lambat, jauh lebih lambat dari pe-ningkatan permintaan, sehingga Indonesia harus mengimpor dalam jumlah yang semakin besar. Masalah pokoknya ialah penurunan laju pertumbuhan populasi yang berkelanjutan sejak dekade 1980-an. Bah-kan pada periode tahun 2000-an, populasi sapi potong menurun secara absolut.

10. Usaha ternak sapi potong didominasi oleh usaha ternak keluarga tradisional dan pada umumnya hanya sebagai usaha sam-pingan. Usaha ternak sapi potong cukup menguntungkan secara finansial, namun membutuhkan modal investasi yang cukup besar, sementara peternak tidak memiliki akses terhadap kredit perbankan. Semakin terbatasnya padang penggembalaan juga merupakan kendala utama bagi usaha ternak sapi potong.

11. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa tanpa ada upaya yang dapat meningkatkan produksi secara signifikan, Indonesia akan terus mengalami defisit daging sapi dalam jumlah yang semakin besar.

12. Setelah merosot pada dekade tahun 1990-an laju pertumbuhan produksi daging kambing dan domba meningkat tajam pada periode tahun 2000-2005. Apakah pemuli-han produksi ini berkelanjutan masih amat meragukan. Masalah usaha ternak kam-bing dan domba mirip dengan usaha ternak sapi potong. Usaha ternak sapi dan domba dilakukan oleh usaha ternak keluarga dan hanya sebagai usaha sampingan saja. Walau cukup menguntungkan secara finan-sial. Namun pengembangan usaha ternak kambing dan domba membutuhkan modal yang cukup besar. Semakin langkanya pa-dang pengembalaan juga menjadi kendala bagi usaha ternak kambing dan domba.

13. Hingga lima tahun mendatang, produksi daging kambing dan domba masih tetap berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Hasil proyeksi menunjukan, produksi daging kambing dan domba ma-

sih di bawah permintaan domestik. Tanpa ada program yang dapat meningkatkan produksi secara nyata mustahil Indonesia dapat menjadi negara pengekspor daging kambing dan domba seperti yang kerap diutarakan oleh sebagian pihak.

Risiko Peningkatan Produksi

14. Faktor resiko pertama adalah berkaitan dengan sumber daya lahan dan air. Dalam jangka pendek dan panjang Indonesia menghadapi empat ancaman serius yang berkaitan dengan sumber daya lahan dan air yaitu peningkatan laju konversi baik di Jawa maupun luar Jawa, rusaknya jaringan irigasi, rusaknya beberapa sistem hidrologi DAS dan penguasaan lahan yang sempit. Oleh karena itu, dalam jangka pendek dan panjang diperlukan upaya-upaya untuk mengurangi tekanan pemanfaatan lahan sekaligus meningkatkan produktivitas lahan di Jawa melalui pengembangan produksi komoditas yang bernilai tinggi dengan muatan teknologi yang tinggi pula, mening-katkan alokasi fiskal untuk pembangunan jaringan irigasi dan pencetakan sawah baru, perbaikan sistem hidrologi DAS yang rusak, sedangkan untuk mencapai skala ekonomi minimum diperlukan upaya reka-yasa kelembagaan kerja sama antar petani.

15. Faktor risiko kedua adalah kemampuan produksi industri pupuk nasional yang makin menurun karena usia pabrik sudah tua dengan tingkat efisiensi yang rendah sekitar 70 persen. Selain itu, masalah lain adalah kelangkaan pasokan gas sebagai bahan baku terbesar produksi pupuk urea juga menjadi faktor risiko yang mengha-dang keberhasilan peningkatan produksi. Oleh karena itu, disarankan agar peme-rintah segera melakukan peremajaan in-dustri pupuk nasional.

16. Faktor risiko ketiga adalah sistem perbe-nihan nasional. Selain mutu benih nasional belum memenuhi standar mutu yang baik, juga kuantitas benih belum seluruh komodi-tas berkembang. Mungkin hanya padi dan jagung yang relatif berkembang dan itupun belum memenuhi standar yang diharapkan. Akibat mutu benih nasional yang kurang baik, petani melakukan penangkaran sen-diri (contoh petani padi). Kondisi yang

Page 25: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

25

demikian dinilai kurang baik dilihat dari aspek kemurnian dan mutu produksi, sehingga akan menghambat peningkatan kapasitas produksi. Oleh karena itu, maka disarankan agar pemerintah membangun sistem perbenihan nasional yang bermutu.

Rekomendasi Kebijakan

17. Selain arah pengembangan peningkatan produksi dilakukan melalui intensifikasi juga diupayakan melalui ekstensifiksi di mana potensi lahan pengembangan terse-bar di Provinsi Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Untuk padi, padi gogo dan jagung masing-masing 12, 5 dan 7 juta hektar; dan untuk padang penggembalaan 3 juta hektar.

18. Berdasarkan masalah dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan kapasitas produksi dan prospek pasar domestik yang masih terbuka lebar serta lahan untuk pengembangan lebih lanjut masih tersedia, maka disusun pokok-pokok matrik kebija-kan sebagai berikut:

1) Peningkatan kapasitas produksi indus-tri perberasan nasional tidak cukup dilakukan dengan memberikan duku-ngan harga gabah, subsidi pupuk, subsidi benih dan subsidi kredit modal kerja. Kebijakan pemerintah harus di-orientasikan dari fokus kebijakan harga ke fokus peningkatan kapasitas pro-duksi, yakni: (a) rehabilitasi dan ekstensifikasi infrastruktur irigasi; (b) pembukaan lahan sawah baru; (c) memacu inovasi teknologi, termasuk revitalisasi sistem penelitian dan pe-ngembangan pertanian serta sistem diseminasi inovasi pertanian dengan deregulasi dan penciptaan iklim yang kondusif bagi investor swasta.

2) Kebijakan yang disarankan untuk dilak-sanakan pemerintah guna terus mema-cu pertumbuhan produksi jagung ialah: (a) Stabilisasi harga di tingkat petani; (b) Menciptakan iklim yang kondusif bagi peningkatan investasi swasta da-lam industri perbenihan dan agrokimia; dan (c) Menjamin praktek persaingan yang sehat dalam bisnis benih, agro-kimia dan pemasaran jagung.

3) Masalah pokok yang dapat mengham-bat perkembangan usaha ternak ayam ras pedaging ialah serangan penyakit menular (flu burung, tetelo) dan praktek persaingan tidak sehat. Kebijakan pemerintah yang disarankan dalam pengembangan usaha ternak ayam ras pedaging ialah: (a) Membangun sistem pencegahan dan pemberantasan pe-nyakit menular (prioritas dan harus segera ialah pementasan pembasmian penyakit flu burung); (b) Pengemba-ngan struktur industri perunggasan yang bersaing dan pencegahan prak-tek persaingan yang tidak sehat; (c) Peningkatan peran usaha peternakan rakyat.

4) Kebijakan yang disarankan untuk me-ningkatkan produksi daging sapi po-tong ialah: (a) Peningkatan populasi sapi potong melalui pengembangan usaha ternak intensif dan usaha pem-bibitan sapi; (b) Pengembangan sistem usaha integrasi sapi dan tanaman; dan (c) Pemetaan sistem pemasaran sapi.

5) Beberapa kebijakan yang disarankan untuk memacu produksi kambing dan domba : (a) Pengembang usaha ternak kambing dan domba skala komersial; (b) Pengembangan sistem integrasi ternak kambing/domba dengan tana-man; (c) Pengembangan sistem perbe-nihan ternak kambing dan domba.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Perta-nian. 2005. Prospek dan Arah Pe-ngembangan Agribisnis: Tujuan Aspek Kesesuaian Lahan. Jakarta.

Badan Penelitian dan Pengembangan Perta-nian. 2005. Prospek dan Arah Pe-ngembangan Agribisnis Padi. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2002. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2005. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Indonesia. Jakarta.

Page 26: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

26

Hill, H. and P. Simatupang. 2006. Marketing and Competition Issues. Paper Submitted to the World Bank Jakarta.

Simatupang, P., I W. Rusastra, and M. Maulana. 2004. How to Solve Supply Bottleneck in Agricultural Sector. Analisis Kebijakan Pertanian. 2(4):369-392.

Simatupang, P. 2006. Efektivitas Subsidi Pu-puk: Implikasinya pada Kebijakan Har-ga Pupuk dan Gabah. Masukan Kebi-jakan untuk Departemen Pertanian (Tidak dipublikasikan).

Syafa’at, N., Adreng P., Chaeul M., dan M. Maulana. 2006. Analisis Besaran Subsidi Pupuk dan Pola Distribusinya. Laporan Tengah Tahun Penelitian. (Tidak dipublikasikan).

Syafa’at, N., Prajogo U.H., Dewa K.S., Erna M.L., Adreng P., Jefferson S. Dan Frans B.M.D. 2005. Proyeksi Permin-taan dan Penawaran Komoditas Utama Pertanian. Laporan Akhir Penelitian. (Tidak dipublikasikan).

Page 27: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

27

Page 28: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

28

Page 29: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

29

Page 30: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

30

Page 31: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

31

Page 32: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

32

Page 33: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

33

Page 34: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

34

Page 35: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

35

Page 36: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

36

Page 37: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

37

Page 38: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

Tabel Lampiran 1. Matrik Kebijakan Revitalisasi Produksi Padi

Masalah/Isu Kebijakan

Penyebab/Tantangan Langsung Penyebab Antara Kebijakan/

Program Tindak Lanjut Penanggung Jawab Utama

1. Konversi lahan sawah untuk tapakan industri, jalan, pemukiman dan sarana sosial

1. Pengendalian konversi lahan sawah

1. Melarang konversi lahan irigasi

BPPN 1. Penurunan pertumbuhan luas panen. a. Penurunan luas baku lahan

sawah di Jawa dan perlambatan pertambahan luas sawah di luar Jawa

2. Kurangnya pembukaan sawah baru.

2. Pembukaan lahan sawah baru

2. Pembuatan peraturan rencana tata ruang dan tata guna lahan

Bappenas/ Bappeda

b. Saturasi intensitas penggunaan sawah

Penurunan kualitas dan stagnasi perluasan sarana irigasi

Intensifikasi pemanfaatan lahan sawah

Perbaikan dan perluasan sarana irigasi

Departemen PU/ Deptan

c. Peningkatan lahan bera (tidur)

1. Investasi spekulatif pada lahan.

2. Kepemilikan absenti lahan pertanian.

3. Ketidakpastian kepemilikan lahan.

Pengendalian lahan bera (tidur)

1. Pajak lahan bera (tidur) 2. Larangan kepemilikan

absenti 3. Sertifikasi kepemilikan

lahan pertanian

Depkeu BPPN

1. Penurunan pertumbuhan produksi padi

d. Alih guna lahan sawah ke usahatani nonpadi.

1. Penurunan kualitas irigasi

2. Penurunan profitabilitas relatif usahatani padi

Retensi usahatani padi 1. Perbaikan sarana irigasi. 2. Penyediaan insentif

harga

Departemen PU Deptan

1. Stagnasi inovasi pertanian

Revitalisasi litbang: mendorong peran swasta dalam bisnis jasa litbang dan input inovatif

1. Deregulasi litbang 2. Deregulasi industri

perbenihan

Deptan

2. Penurunan kesuburan lahan a. Penurunan kualitas

irigasi b. Penurunan kualitas

tanah akibat over intensifikasi

Penetapan praktek pertanian yang baik

1. Sinergi antarlembaga litbang pemerintah

2. Tata kelola baru Badan Litbang Pertanian

Menristek

2. Stagnasi produktivitas lahan.

3. Rendahnya penye-rapan kredit modal kerja

Program revitalisasi penyediaan kredit modal kerja

1. Deregulasi program kredit sektor pertanian

BI/Depkeu

2. Makin tingginya ketidakstabilan produksi padi

1. Ketersediaan air makin rentan terhadap perubahan iklim.

2. Masih tingginya serangan hama

1. Penurunan kualitas sarana irigasi.

2. Memudarnya lembaga pemberantas hama di tingkat petani.

Stabilisasi produksi padi 1. Rehabilitasi sarana irigasi

2. Revitalisasi lembaga pengguna air dan pemberantasan hama di tingkat petani.

Departemen PU Deptan

Page 39: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

Tabel Lampiran 1. (Lanjutan)

Masalah/Isu Kebijakan

Penyebab/Tantangan Langsung

Penyebab Antara Kebijakan/ Program

Tindak Lanjut Penanggung Jawab Utama

1. Membuat peraturan standar penggiling padi menunjang efisiensi kilang padi

Deperin/Derpein 1. Kehilangan pascapanen tinggi

a. Alat pengering mekanis belum berkembang.

b. Industri penggilingan padi di dominasi kalangan kecil dan tua

Rehabilitasi dan restrukturisasi industri penggilingan padi

2. Penyediaan kredit investasi rehabilitasi dan “up grading” kilang padi

BI/Deperin

1. Perbaikan dan pembangunan sarana jalan dan angkutan pedesaan

Dep. PU/Dephub

2. Kaji ulang retribusi dan pungutan terkait pemasaran hasil pertanian

Depdagri/Pemda

3. Pangsa harga gabah yang diterima petani cenderung turun dan tidak stabil

Inefisiensi industri pascapanen

2. Ongkos angkut tinggi a. Prasarana dan sarana

angkutan kurang baik b. Pungutan tak resmi

Peningkatan efisiensi pemasaran dan stabilitasi harga gabah

3. Pemindahan praktek pungutan tak resmi

Kapolri

4. Kebijakan pemerintah kurang efektif

Terlalu fokus pada kebijakan harga dasar gabah (HDG) dan subsidi pupuk a. Produksi padi kurang

responsif terhadap harga gabah dan pupuk

b. Kebijakan subsidi pupuk kerap malah menimbulkan kelangkaan pasok dan lonjak harga pupuk

1. Penggunaan pupuk sudah over dosis dan intensitas penggunaan lahan sudah jenuh

2. Kesalahan rancangan dan implementasi kebijakan subsidi pupuk

a. Dualisme pasar b. Disparitas harga

(kandungan subsidi) terlalu tinggi

Kebijakan revitalisasi industri perberasan terpadu

1. Penyusunan kebijakan/ penguatan revitalisasi industri perberasan terpadu

a. Kaji ulang kebijakan subsidi pupuk dan HDG

b. Paket kebijakan komprehensif terpadu

Menkoekonomi

Page 40: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

Tabel Lampiran 2. Matrik Kebijakan Revitalisasi Produksi Jagung

Masalah/Isu Kebijakan Penyebab/Tantangan Langsung Penyebab Antara Kebijakan/Program Tindak Lanjut Penanggung Jawab

Utama 1. Melarang konversi

lahan beririgasi BPPN 1. Konversi lahan

pertanian ke nonpertanian

1. Pengendalian konversi lahan pertanian

2. Pembuatan peraturan rencana tataruang dan tataguna lahan

Bappenas/Bappeda

1. Pengerahan transmigrasi pertanian

Depnakertrans

1.Penurunan laju pertumbuhan luas panen

a. Penurunan luas baku

lahan di Jawa serta perlambatan pertambahan luas lahan sawah dan ladang di luar Jawa

2. Kurangnya pembukaan lahan pertanian (sawah dan ladang) baru

2. Pembukaan lahan pertanian baru

2. Pemanfaatan lahan tidak produktif

Deptan/Dephut

b. Saturasi intensitas penggunaan lahan

Penurunan kualitas dan stagnasi perluasan sarana irigasi

Intensifikasi pemanfaatan lahan

Perbaikan dan perluasan sarana irigasi

Dep. PU/Deptan

1. Pajak lahan bera Depkeu c. Peningkatan lahan bera (tidur)

1. Investasi spekulasi pada lahan

2. Kepemilikan absenti lahan pertanian

3. Ketidakpastian kepemilikan lahan

Pengendalian lahan bera (tidur)

2. Larangan kepemilikan absenti lahan pertanian

3. Sertifikasi kepemilikan lahan pertanian

BPPN

1. Bias insentif kebijakan ke padi dan tebu

Diversifikasi produksi pertanian

Mengurangi tingkat proteksi harga gabah dan gula

Deptan/Depdag d. Alih guna lahan ke nonjagung (padi, tebu)

2. Penurunan harga

jagung di tingkat petani akibat penurunan dunia

Perlindungan pertanian jagung dari dampak anjlok harga jagung dunia

Penetapan tarif impor berdasarkan mekanisasi “trigger” harga dunia minimum

Depkeu

1. Mempertahankan momentum pertumbuhan tinggi produksi jagung

e. Rendahnya adopsi inovasi tingkat petani

1. Rendahnya modal petani

Program kredit usahatani jagung

Penyediaan kredit untuk usahatani jagung

BI/Depkeu

Page 41: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

Tabel Lampiran 2. (Lanjutan)

Masalah/Isu Kebijakan Penyebab/Tantangan Langsung Penyebab Antara Kebijakan/Program Tindak Lanjut Penanggung Jawab

Utama 1. Deregulasi litbang Revitalisasi litbang

a. Memperluas peran swasta dalam bisnis jasa litbang dan input inovatif

2. Deregulasi industri perbenihan

Deptan

1. Sinergi antarlembaga litbang pemerintah

Menristek

1. Inovasi berkelanjutan

b. Peningkatan efektivitas dan efisiensi litbang pemerintah

2. Tata kelola baru Badan Litbang Pertanian

Deptan

1. Perbaikan jaringan irigasi

Dep. PU

2. Mempertahankan momentum pertumbuhan produktivitas tinggi

2. Penurunan kesuburan lahan

a. Penurunan kualitas irigasi

b. Penurunan kualitas tanah sawah akibat over intensifikasi

Penerapan praktek pertanian yang baik

2. Rasionalisasi penggunaan input kimiawi

3. Tata laksana usahatani yang baik

Deptan

1. Stabilitasi harga jagung

a. Penetapan tarif impor berdasarkan mekanisme “trigger” harga dunia minimum

Depkeu/Deptan

b. Harga dasar jagung Deptan/Pemda

2. Perbaikan sarana irigasi

Dep. PU/Deptan

2. Instabilitas produksi jagung

1. Instabilitas luas tanam/panen jagung a. Alih guna lahan ke

nonjagung b. Kekurangan air c. Substitusi dengan padi

dan tebu.

1. Instabilitas harga jagung

2. Kerentangan pasokan air irigasi terhadap perubahan iklim

Stabilitasi produksi jagung

3. Revitalisasi lembaga pengguna air

Deptan

Page 42: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

Tabel Lampiran 2. (Lanjutan)

Masalah/Isu Kebijakan Penyebab/Tantangan Langsung Penyebab Antara Kebijakan/Program Tindak Lanjut Penanggung Jawab

Utama 1. Pengembangan

lembaga pemasaran bersama petani atau lembaga pemasaran daerah

Pemda

2. Perbaikan dan pembangunan prasarana jalan dan sarana transportasi pedesaan

Dep. PU/ Dephub

3. Kaji ulang retribusi dan pungutan daerah

Depdagri/Pemda

1. Pasar jagung cenderung monopolistik

Pasar jagung dikuasai pabrik pakan atau pedagang besar

1. Peningkatan efisiensi pemasaran dan stabilisasi harga jagung

4. Penindakan pungutan tak resmi

Pemda/POLRI

3. Pangsa harga jagung yang diterima petani menurun

2. Industri pascapanen jagung masih kurang berkembang

Ketersediaan modal investasi terbatas

2. Pengembangan industri pascapanen jagung

Penyediaan kredit investasi

BI/Deptan

1. Kebijakan harga dasar jagung menurut daerah

Pemda 4. Harga jagung tidak stabil

Harga jagung domestik ditentukan harga dunia

Pasar jagung domestik terintegrasi dengan pasar dunia

Stabilisasi harga jagung

2. Penetapan tarif impor “jaring pengaman” (berbasis “trigger” harga dunia minimum)

Depkeu

5. Kebijakan subsidi pupuk kurang efektif

1. Harga pupuk di tingkat petani diatas harga subsidi

2. Pasokan pupuk kerap langka

Kesalahan rancangan kebijakan : 1. Dualisme pasar 2. Disparitas harga

tinggi

Rekonstruksi kebijakan subsidi pupuk

Kaji ulang rancang bangun pada pola distribusi pupuk bersubsidi

Menkoekonomi Deptan/Depdag/Depkeu

Page 43: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

Tabel Lampiran 3. Matrik Kebijakan Revitalisasi Produksi Ayam Ras Pedaging

Masalah/Isu Kebijakan Penyebab/Tantangan Langsung Penyebab Antara Kebijakan/Program Tindak Lanjut Penanggung Jawab

Utama 1. Peluang masuknya

penyakit dari luar negeri tinggi.

1. Kelalaian petugas karantina.

2. Peraturan impor ternak, produk ternak dan pakan ternak kurang ketat.

Pengetatan tindakan karantina ternak, produk ternak dan pakan.

1. Penegakan larangan impor ternak, produk ternak dan pakan ternak dari negara terjangkit penyakit ternak menular.

2. Pengetatan tindakan karantina atas hewan, produk ternak dan pakan ternak.

Deptan

1. Tidak adanya sistem kewaspadaan penyakit ternak.

Pengembangan sistem kewaspadaan penyakit.

Pembangunan kelembagaan sistem kewaspadaan penyakit ternak terpadu.

Deptan

1. Penyusunan protokol bio-security.

2. Pelaksanaan bio – security pada tingkat peternakan masih lemah.

Penegakan bio-security peternakan ayam.

2. Sosialisasi dan pengawasan pelaksanaan bio-security peternakan ayam.

Deptan/ Pemda

1. Risiko serangan penyakit amat tinggi (seperti flu burung, tetelo)

2. Penyebaran penyakit antarwilayah berlangsung cepat.

3. Tidak efektifnya pengawasan lalu lintas ternak antardaerah

Pencegahan penularan ternak antarwilayah.

Pengetatan lalu lintas ternak

Pemda

1. Pengetatan pengawasan dan penyelidikan praktek penetapan harga DOC dan pakan ayam.

KPPU 2. Harga DOC dan pakan fluktuatif

Industri DOC dan pakan rentan terhadap praktek anti persaingan

Industri DOC dan pakan terintegrasi dan amat terkonsentrasi.

Penegakan praktek persaingan yang sehat pada industri DOC dan pakan ayam

2. Mendorong preusan baru “breeding farm” DOC dan pabrik pakan.

Deptan/ Deperin

Page 44: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

Tabel Lampiran 3. (Lanjutan)

Masalah/Isu Kebijakan Penyebab/Tantangan Langsung Penyebab Antara Kebijakan/Program Tindak Lanjut Penanggung Jawab

Utama 1. Peningkatan skala

usaha ternak rakyat melalui penguatan modal.

BI/Depkeu 3. Peranan usaha peternakan rakyat kecil dan cenderung menurun.

Ekonomi skala usaha dan cakupan usaha peternakan.

Kemampuan model usaha peternakan rakyat terbatas.

Peningkatan peranan usaha peternakan ayam rakyat.

2. Pengembangan usaha komitmen peternakan rakyat – perusahaan besar peternakan.

Deptan

1. Penyakit flu burung belum terbasmi tuntas.

1. Sistem pembasmian belum padu dan intensif.

Penuntasan pembasmian flu burung.

Peningkatan koordinasi dan intensitas pembasmian flu burung.

Menkokesra/ Deptan

4. Ekspor ayam belum signifikan

2. Daya saing rendah Rantai pasok belum tumbuh.

Peningkatan ekspor ayam.

Promosi dan pengembangan rantai pasok ekspor ayam.

Depdag/ Kadin

Page 45: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

Tabel Lampiran 4. Matrik Kebijakan Revitalisasi Produksi Daging Sapi

Masalah/Isu Kebijakan Penyebab/Tantangan Langsung Penyebab Antara Kebijakan/Program Tindak Lanjut Penanggung Jawab

Utama 1. Penyediaan kredit

modal investasi

BI 1. Perlambatan investasi baru dalam bakalan atau induk.

1. Kendala modal investasi

2. Kendala ladang penggembalaan

1. Pengembangan usaha ternak sapi intensif skala ekonomis 2. Penyediaan bantuan

ternak bakalan Deptan/Pemda

1. Populasi Menurun

2. Umur ternak potong makin pendek (ternak makin cepat dijual)

1. Usaha ternak sebagai usaha sampingan.

2. Tekanan kebutuhan dana tunai

2. Pengembangan usaha ternak sapi semi intensif di wilayah sentra padang penggembalaan

1. Pengembangan pabrik pakan ternak di wilayah sentra peternakan gembala (NTT)

Deptan/Pemda

1. Fasilitasi lokasi usaha dan perizinan

Deptan/Pemda 3. Bibit/bakalan tidak tersedia di pasar dalam jumlah cukup

Usaha pembibitan sapi masih kurang berkembang

3. Pengembangan usaha pembibitan sapi.

2. Penyediaan kredit modal investasi.

BI

1. Penyediaan jasa bimbingan teknis.

Deptan/Pemda 1. Pengembangan sistem usaha integrasi sapi dengan usahatani tanaman. 2. Penyediaan kredit

modal investasi. Deptan/Pemda BI

1. Penyediaan jasa bimbingan teknis

Deptan/Pemda

2. Penyediaan kredit modal investasi.

BI

2. Pengembangan sistem usaha integrasi sapi dan tanaman

1. Peternak kurang pengetahuan.

2. Kendala modal. 3. Kendala relasi

kelembagaan peternak pemilik usaha tanaman (usaha perkebunan)

1. Kurang penyuluhan. 2. Kendala akses

terhadap lembaga keuangan formal.

3. Tidak ada integrator pelopor. 2. Pengembangan

sistem usaha integrasi sapi dengan perkebunan besar.

3. Fasilitasi kelemba-gaan kemitraan peternak (buruh kebun) dan pengusaha perkebunan

Deptan/ Pemda

Page 46: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

Tabel Lampiran 4. (Lanjutan)

Masalah/Isu Kebijakan Penyebab/Tantangan Langsung Penyebab Antara Kebijakan/Program Tindak Lanjut Penanggung Jawab

Utama 1. Fasilitasi perizinan

impor induk unggul. Deptan

2. Penyediaan kredit modal investasi

BI

1. Pengembangan usaha pembibitan sapi.

3. Fasilitasi perolehan lokasi dan izin usaha

Deptan/Pemda

3. Usaha pembibitan sapi kurang berkembang.

1. Induk unggul tidak tersedia.

2. Kendala lokasi pengembangan.

3. Kendala modal 4. Kendala teknis

inseminasi buatan

1. Keuntungan efektifnya litbang domestik.

2. Lahan yang sesuai untuk lokasi pembibitan terbatas.

3. Kendala akses terhadap lembaga keuangan formal.

4. Lembaga jasa inseminasi buatan belum berkembang luas.

2. Perluasan wilayah pelayanan Balai Inseminasi sapi.

Penumbuhan inseminator, tenaga dan peralatan Balai Inseminasi Ternak.

Deptan/Pemda

1. Pengembangan rantai pasok sapi.

Fasilitasi relasi kemitraan peternak - pedagang

Pemda

1. Perbaikan dan perluasan prasarana transportasi.

Dep PU

2. Penghapusan hambatan pengangkutan ternak antarwilayah.

Pemda/Deptan

4. Pemasaran sapi kurang efisien.

1. Persaingan tidak sempurna. 2. Ongkos transaksi tinggi.

1. Informasi pasar tidak simetris.

2. Rantai pemasaran panjang.

3. Ongkos transportasi tinggi.

4. Adanya pungutan resmi atau tidak resmi.

2. Penurunan ongkos transaksi.

3. Penghapusan pungutan resmi maupun tidak resmi.

Pemda/POLRI

Page 47: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

Tabel Lampiran 5. Matrik Kebijakan Revitalisasi Produksi Daging Kambing dan Domba

Masalah/Isu Kebijakan Penyebab/Tantangan Langsung Penyebab Antara Kebijakan/Program Tindak Lanjut Penanggung Jawab

Utama 1. Keterbatasan modal Akses terhadap kredit

rendah 1. Penyediaan kredit

modal investasi. BI/Depkeu/Deptan 1. Usaha ternak kambing

dan domba berskala kecil, tidak intensif dan berupa usaha sampingan.

2. Keterbatasan ladang penggembalaan.

Alih fungsi padang penggembalaan.

Pengembangan usaha ternak kambing dan domba komersial.

2. Pengembangan peternakan kambing dan domba intensif (non – land based)

Deptan

1. Penyediaan jasa bimbingan teknis.

Deptan/Pemda 1. Pengembangan sistem usaha integrasi kambing/domba dengan usahatani tanaman.

2. Penyediaan kredit modal investasi

BI/Depkeu

1. Penyediaan jasa bimbingan teknis

Deptan/Pemda

2. Penyediaan modal investasi

BI/Depkeu

2. Pengembangan sistem integrasi kambing/domba tanaman

1.Peternak kurang pengetahuan.

2.Kendala modal. 3.Kendala relasi

kelembagaan peternak – pemilik usaha tanaman (usaha perkebunan)

1. Kurang penyuluhan. 2. Kendala akses

terhadap lembaga keuangan formal.

3. Tidak ada integrator pelopor.

2. Pengembangan sistem usaha integrasi kambing/ domba dengan perkebunan besar. 3. Fasilitasi

kelembagaan kemitraan peternak (buruh kebun) dan pengusaha perkebunan.

Deptan/ Pemda

Page 48: PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA

Tabel Lampiran 5. (lanjutan)

Masalah/Isu Kebijakan Penyebab/Tantangan Langsung Penyebab Antara Kebijakan/Program Tindak Lanjut Penanggung Jawab

Utama 1. Induk unggul tidak

tersedia. Litbang domestik kurang efektif

Pengembangan induk unggul kambing dan domba

1.Intensifikasi Litbang kambing dan domba.

2. Pengembangan usaha pembibitan kambing dan domba.

Deptan 1.Bibit unggul kambing/ domba tidak tersedia luas.

2.Peternak tidak memperoleh pelayanan jasa inseminasi buatan

Lembaga inseminasi buatan belum berkembang luas.

Perluasan wilayah pelayanan Balai Inseminasi Kambing dan Domba.

Perluasan dan peningkatan kapasitas Balai Inseminasi Ternak.

Deptan

1. Pengembangan rantai pasok kambing dan domba..

Fasilitasi relasi kemitraan peternak – pedagang.

Pemda

1. Perbaikan dan perluasan prasarana transportasi.

Dep PU

2. Penglepasan hambatan pengangkutan ternak antar wilayah.

Pemda

2.Pemasaran kambing dan domba kurang efisien.

1.Persaingan tidak sempurna

2. Ongkos transaksi tinggi

1. Informasi pasar tidak simetris.

2. Rantai pemasaran panjang.

3. Ongkos transportasi tinggi.

4. Adanya pungutan resmi atau tidak resmi

2. Penurunan ongkos transaksi.

3. Penghapusan pungutan resmi maupun tidak resmi.

Pemda/POLRI