prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

475
ISBN : 978 979 8510 32 - 8 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MIPA “Pengembangan Pembelajaran MIPA Berorientasi Soft SkillBandar Lampung, 26 November 2011 Penyelenggara: Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung 2011

Upload: fppi-unila

Post on 09-Aug-2015

91 views

Category:

Education


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

ISBN : 978 – 979 – 8510 – 32 - 8

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

PENDIDIKAN MIPA

“Pengembangan Pembelajaran MIPA Berorientasi Soft Skill”

Bandar Lampung, 26 November 2011

Penyelenggara:

Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung

Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Lampung

2011

Page 2: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

ii

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PROSIDING Seminar Nasional

Pendidikan MIPA 2011

November © 2011

Tim Penyunting Artikel Seminar :

Dr. Sri Hastuti Noer, M.Pd.

Dr. Undang Rosydin, M.Pd.

Dr. Noor Fadiawati, M.Si.

Neni Hasnunidah, M.Si.

Prosiding Seminar Nasional

Pendidikan MIPA

November 2011 / penyunting,

FKIP-Unila [et al.]. –

Bandarlampung : Lembaga

Penelitian Universitas

Lampung, 2011.

ISBN : 978 – 979 – 8510 – 32 - 8

http://lemlit.unila.ac.id

Diterbitkan oleh :

LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS LAMPUNG Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro no. 1 Gedungmeneng Bandarlampung 35145

Telp. (0721) 705173, 701609 ext. 138, 136, Fax. 773798,

e-mail : [email protected]

Page 3: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

iii

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PROSIDING SEMINAR NASIONAL

Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

26 November 2011 FKIP Universitas Lampung

Artikel‐artikel dalam prosiding ini telah dipresentasikan dalam

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

pada tanggal 26 November 2011

di Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Lampung

Tim Penyunting Artikel Seminar :

1. Dr. Sri Hastuti Noer, M.Pd.

2. Dr. Undang Rosyidin, M.Pd.

3. Dr. Noor Fadiawati, M.Si.

4. Neni Hasnunidah, S.Pd., M.Si.

Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Lampung

2011

Page 4: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

iv

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

KATA PENGANTAR

Puji Syukur ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala Karunia dan

Rahmat-Nya sehingga prosiding ini dapat diselesaikan. Prosiding ini merupakan

kumpulan makalah dari peneliti, dosen dan guru yang berkecimpung di bidang

Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam yang berasal dari berbagai

daerah di Indonesia. Makalah yang dipresentasikan meliputi 2 makalah utama dan

36 makalah pendamping yang terdiri dari 15 makalah bidang Matematika, 8

makalah bidang Biologi, 8 makalah bidang Fisika, 6 makalah bidang Kimia.

Pada kesempatan ini panitia mengucapkan terima kasih kepada semua

pihak yang telah membantu dan mendukung penyelenggaraan seminar ini. Kepada

seluruh peserta seminar diucapkan terima kasih atas partisipasinya dan selamat

berseminar, semoga bermanfaat.

Page 5: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

v

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

DAFTAR ISI

Cover Prosiding i

Kata Pengantar iv

Daftar isi v

Makalah Utama

Kode Judul Hal

U – 1. Literasi Matematis U-1

U – 2. Pembelajaran Sains: Wahana Potensial Untuk

Membelajarkan Soft Skill Dan Karakter

U-12

1. Makalah Bidang Pendidikan Matematika

Kode Judul Hal

M – 1. Desain Riset : Perkembangan Pemahaman Siswa pada

Konsep Dasar Pengukuran Debit dengan Pembelajaran

Berbasis PMRI (Fitriana Rahmawati)

1 – 1

M – 2. Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Siswa Melalui Pembelajaran Creative Problem Solving

(Ristontowi)

1-15

M – 3. Mengembangkan Softskill Siswa Melalui Pembelajaran

Matematika Berbasis Masalah (Djamilah Bondan

Wijayanti)

1-27

M – 4. Menumbuhkan Karakter Bangsa Melalui Pembelajaran

Matematika yang Berorientasi pada Kemampuan Berpikir

Matematis Tingkat Tinggi (Asep Ikin Sugandi.)

1-36

M – 5. Pembelajaran Connected Mathematics Project (CMP) untuk

Meningkatkan Berpikir Kreatif Matematis Siswa (Adi

Asmara)

1-47

M – 6. Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Indeks Prestasi

(IP) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika

STKIP – MPL (Tri Yuni Hendrowati)

1-56

M – 7. Peranan Habits of Mind dalam Mengembangkan

Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi

(Risnanosanti)

1-65

Page 6: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

vi

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

M – 8. Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Setting

Kooperatif Jigsaw Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis

dan Kreatif (Asep Ikin Sugandi)

1-77

M – 9. Pengembangan Materi Tabung Berdasarkan Pendekatan

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) di

SMP Palembang (Nila Kesumawati)

1-90

M – 10. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Siswa (Sri Hastuti Noer)

1-98

M – 11. Perbandingan Pembelajaran ”SAVI” dan Pembelajaran

Konvensional Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X SMK

Negeri 2 Bandar Lampung (Erimson Siregar, Fajar Riki

Suvictor)

1-108

M – 12. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Siswa SMP Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Open-

Ended (Tia Agnesa, Sri hastuti Noer)

1 –118

M – 13. Upaya Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar

Mahasiswa Melalui Penerapan Pembelajaran Kooperatif

Tipe STAD pada Perkuliahan Teori Bilangan (M.

Coesamin)

1 – 130

M – 14. Pengaruh Pembelajaran Model-Eliciting Activities

Terhadap Kemampuan Representasi Matematis Siswa

(Widyastuti)

1 – 141

M – 15. Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk Meningkatkan

Aktivitas dan Motivasi Belajar Matematika Siswa

(Nurhanurawati)

1 – 153

2. Makalah Bidang Biologi

Kode Judul Hal

B – 1. Science Literacy Capabilities of Jakarta’s Senior High

School Teachers of Biology in Learning Evolution (Gufron

Amirullah, Francisca Sudargo)

2 – 1

B – 2. Design Project Mikrobiologi Pangan dan Industri (Baiq

Fatmawati)

2 – 11

B – 3. Penguasaan Konsep Guru Biologi pada Sistem Reproduksi

Angiospermae (Dani Maulana)

2 – 19

B – 4. Profil Penguasaan Keterampilan Riset Pendidikan Sains

Mahasiswa Calaon Guru Biologi (Suatma, Nuryani Y.

Rustaman, Ari Widodo, Sri Redjeki)

2 – 31

B – 5. Peningkatan Hasil Perkuliahan Fisiologi Tumbuhan dengan

Mengefektifkan Aktifitas Mahasiswa (Tunjung Tripeni H,

Rochmah Agustrina)

2 – 38

B – 6. Penggunaan Strategi Scaffolding dalam Pelatihan 2 – 53

Page 7: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

vii

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Peningkatan Kompetensi Guru IPA SMP dalam

Mengembangkan Tes Hasil Belajar (Tri Jalmo)

B – 7. Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMP pada Penggunaan

Media Maket Melalui Contextual Teaching and Learning

(Neni Hasnunidah)

2 –62

B – 8. Pengaruh LKS Berbasis Masalah Terhadap Hasil

Keterampilan Proses Siswa Kelas VII SMP PGRI 2

Labuhan Ratu Lampung Timur (Rini Rita T. Marpaung)

2 – 79

3. Makalah Bidang Fisika

Kode Judul Hal

F – 1. Pengembangan Model Multimedia Interaktif Adaptif

Pendahuluan Fisika Zat Padat (Mia-Piza) (Ketang Wiyono,

Liliasari)

3 – 1

F – 2. Efektivitas Pembelajaran IPA Kelas Tinggi Berbasis

Multimedia Interaktif Untuk Meningkatkan Keterampilan

Berpikir Kritis Mahasiswa Calon Guru SD (Taufiq,

Mashitoh)

3 – 13

F – 3. Efektivitas Perkuliahan Ilmu Pengetahuan Bumi dan

Antariksa (IPBA) Dalam Meningkatkan Kemampuan

Inkuiri Calon Guru SD (Rosnita)

3 – 26

F – 4. Jenis Asesmen Serta Implementasinya Dalam

Pembelajaran Fisika Tingkat Sekolah Menengah Atas (Eko

Juli Setyawan, Agus Setyawan, Setya Utari)

3 – 58

F – 5. Keefektifan pengetahuan Inkuiri Guru Sekolah Dasar Kota

Bandar Lampung Dalam Pambelajaran Sains (Chandra

Ertikanto, Ari Widodo, Andi Suhandi, Bayong Tjasyono)

3 – 69

F – 6. Analisis Hasil Belajar Fisika Siswa Melalui Model

Pembelajaran Inquiry Role Approach Dilihat Dari Gaya

Belajar Siswa (Viyanti, Undang Rosyidin, Mukhimatul

Laili)

3 – 82

F – 7 Upaya Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil Belajar Siswa

Pada Mata Pelajaran Ipa Melalui Pembelajarn Kooperatif

Tipe STAD Tahun Pelajaran 2010/2011 (I Dewa Putu

Nyeneng, Supriyanto,)

3 – 100

F-8 Pemanfaatan Media Pembelajaran Berbasis Teknologi

Informasi Dan Komunikasi (Tik) Menggunakan

Pendekatan Pembelajaran Konstruktivisme Untuk

Meningkatkan Minat, Aktivitas, dan Hasil Belajar Fisika

Siswa (Risa Hartati, Undang Rosidin, dan Eko Suyanto)

3- 110

Page 8: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

viii

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

4. Makalah Bidang Kimia

Kode Judul Hal

K – 1. Pengembangan Rubrik Asesmen Kinerja (Performance

Assessment) Untuk Mengatur Kompetensi Praktikum

Kimia Analitik Dasar (Ajat Sudrajat, Anna Permanasari)

4 - 1

K – 2. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif dan Tingkat

Perkembangan Intelektual Terhadap Prestasi Belajar Kimia

(Dwi Yulianti)

4 – 13

K – 3. The Problem-Based Learning Model To Increase

Students’s Skill In Communication, Classification, and

Comprehension Of Acid-Base Conseps (Noor Fadiawati,

Chansyanah Diawati)

4 – 28

K – 4. Efektivitas Pembelajaran Learning Cycle 3e Pada Konsep

Reaksi Oksidasi Reduksi Untuk Meningkatkan

Keterampilan Mengkomunikasikan dan Mengkelompokkan

(Chansyanah Diawati)

4 – 40

K – 5. Penerapan Pembelajaran kooperatif Tipe STAD Dengan

Peta Konsep Untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan

Ketuntasan Belajar Siswa Pada Materi Koloid ( Ila

Rosilawati, Wiwit)

4 – 50

K – 6. Upaya Meningkatkan Kompetensi Guru SMK Negeri 1

Natar Dalam Menyusun Silabus Melalui Pembinaan

Individu Tahun 2010 (M. Taufiq)

4 – 62

Page 9: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-1

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

LITERASI MATEMATIS

Yaya S. Kusumah1

1Program Studi Pendidikan Matematika, Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Jl. Dr. Setiabudhi 229, Bandung 40154

e-mail: [email protected]

ABSTRACT

In the past century, literacy was related to written communication skill, which

included an ability to read and write using letters. This means that one is illiterate when

he/she cannot read or write. This is an implication of the need of people to survive in

their culture and civilization. Nowadays, reading, writing and arithmetic skills are not

sufficient to deal with complicated problems in our daily life. People should also know

the relationship between two or more objects, refer to the existing premises and the

principle used, and then a temporary conclusion and a final conclusion are drawn. All

these steps are called mathematical reasoning. Based on this development, where

reasoning is a must for all people, the meaning of mathematical literacy, of course, does

not only cover reading, writing, and arithmetic. By adding reasoning into existing

literacy aspects, we can see that mathematical literacy can be viewed as knowledge and

skills needed to be able to survive financially, socially, economically in global culture

and civilization.

Keywords: Mathematical literacy; mathematical competency.

A. Pengertian Literasi Matematis

Dalam Cambridge Advance Learner’s Dictionary “Literasi” diartikan sebagai:

(1) “able to read and write; and (2) having knowledge of a particular subject, or a

particular type of knowledge.” Ini artinya bahwa seseorang memiliki literasi matematis,

jika dia memiliki kemampuan membaca dan menulis serta memiliki pengetahuan dalam

matematika.

Pada beberapa abad yang lalu, literasi terkait dengan ketrampilan komunikasi

tertulis, yang mencakup kemampuan membaca dan menulis huruf. Dengan demikian,

kita menganggap seseorang termasuk buta huruf (mathematically illiterate) jika dia

tidak mampu membaca dan menulis. Literasi matematis ini merupakan dampak adanya

Page 10: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-2

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

tuntutan yang mendorong masyarakat harus bertahan hidup di bawah budaya dan

peradaban yang dimilikinya.

Pada jaman sekarang, ketrampilan membaca, menulis, dan berhitung

(aritmetika) tidaklah cukup untuk menghadapi masalah yang semakin rumit dan sulit

dalam kehdiupan sehari-hari. Dalam matematika kita harus memahami pula hubungan

atau keterkaitan di antara dua objek atau lebih. Berdasarkan aturan, teorema, atau dalil

yang telah terbukti kebenarannya, kesimpulan sementara diperoleh. Dari premis yang

diketahui serta kesimpulan sementara yang diperoleh, kesimpulan lanjutan dapat

disusun. Begitu seterusnya, sampai kesimpulan akhir dapat dirumuskan. Kemampuan

yang termuat dalam seluruh proses ini dinamakan penalaran matematis.

Adanya tuntutan kehidupan yang mengharuskan semua orang memiliki

kemampuan penalaran, pengertian literasi matematis sudah tidak lagi sekadar

kemampuan membaca, menulis, dan aritmetika. Dengan menambahkan penalaran

matematis ke dalam aspek literasi yang sudah ada, dapatlah dirumuskan bahwa literasi

matematis dapat dipandang sebagai pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan

untuk bisa menempuh kehidupan dalam aspek finansial, sosial, ekonomi, dalam budaya

dan peradaban modern.

Literasi matematis adalah kemampuan individu (individual’s capacity) untuk

mengenal dan memahami peran yang dimainkan matematika dalam kehidupan nyata,

untuk mampu memberikan penilaian dan pertimbangan secara tepat, memanfaatkan

matematika yang dapat memenuhi kebutuhan seseorang menjadi anggota masyarakat

yang konstruktif, peduli, dan mau berfikir (OECD, 2003).

Dalam pengertian ini, literasi matematis digunakan untuk memberi penekanan

pada pengetahuan matematis, yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dunia

nyata. Untuk mendukung ini semua, pengetahuan dasar dan ketrampilan matematis

mutlak diperlukan. Berdasarkan uraian ini, literasi matematis memuat pengetahuan

tentang terminologi, fakta, dan prosedur (termasuk operasi algoritma dan penggunaan

beberapa metode). Permasalahan yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari mungkin

dapat diselesaikan dengan mengkombinasikan semua komponen penting ini dalam

matematika.

Literasi berkaitan dengan kata “dunia nyata”, yang mengandung arti bahwa

literasi matematis sifatnya terkait dengan konteks kehidupan dan ada hubungannya

Page 11: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-3

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

dengan dunia nyata yang dihadapi kita. Dalam beberapa hal, konsep, struktur, dan ide

matematis diciptakan dan digunakan sebagai alat untuk mengorganisir semua gejala

dalam dunia nyata untuk kemudian diubah ke dalam manipulasi simbol.

Berdasarkan pengertian literasi matematis di atas, penggunaan matematika untuk

menyelesaikan permasalahan matematis selalu diperlukan, di saat seseorang berhadapan

dengan matematika. Orang yang memiliki literasi matematis tentu memiliki kemampuan

berkomunikasi, memberikan penilaian, dan menyatakan apresiasi terhadap matematika.

Oleh karena itu, matematika menjadi sedemikian penting untuk mempersiapkan studi

seseorang lebih lanjut, selain untuk tujuan-tujuan hiburan yang disukainya.

Pengertian yang lebih luas dari pernyataan di atas terkait literasi matematis

adalah bahwa literasi matematis mengandung kemampuan menyusun serngkaian

pertanyaan (problem posing), merumuskan, memecahkan, dan menafsirkan

permasalahan yang didasarkan pada konteks yang ada. Agar menjadi orang yang

memiliki literasi matematis, kita perlu memiliki seluruh kompetensi ini meskipun

mungkin dalam derajat yang berbeda-beda. Selain itu kita juga harus percaya diri dalam

menggunakan matematika dengan kemampuan yang dimiliki, sehingga merasa senang

dan yakin saat melakukan perhitungan-perhitungan dan menggunakan ide-ide matematis

(kuantitatif). Kompetensi lainnya yang harus dimiliki adalah kemampuan menghargai

(apresiasi) matematika ditinjau dari aspek historis, filosofis, dan sosial.

Literasi matematis tidaklah mudah difahami dan diajarkan, karena matematika

tidak identik dengan menghafal (memorization/rote learning). Dalam matematika, kita

harus memahami konsep, sehingga menghafal saja tidklah cukup. Dalam matematika

terdapat pula aspek lainnya yang tidak kalah pentingnya, yaitu prinsip (dalil), prosedur,

algoritma, dan insight.

Menurut de Lange (2003), literasi matematis tidak sebatas mencakup

kemampuan melaksanakan sejumlah cara atau prosedur, dan memiliki pengetahuan

dasar matematis yang memungkinkan seorang anggota masyarakat mampu hidup dalam

suatu situasi yang sulit, dan cukup dengan hanya yang mereka perlukan. Literasi

matematis juga mencakup pengetahuan, metode, dan proses matematis, yang

dimanfaatkan dalam berbagai konteks dengan cara yang memberi inspirasi dan

membuka wawasan pemikiran. Karena literasi metematis mempunyai implikasi pada

kemampuan lainnya, literasi ini sangat penting, terutama yang mencakup aspek

Page 12: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-4

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

numerik, kuantitatif, dan ruang. Masing-masing literasi ini akan memberdayakan

seseorang dalam memaknai aspek kehidupan dunia beserta seluruh pengalaman yang

diperolehnya.

Literasi matematis sifatnya kurang formal tapi lebih intuitif, kurang abstrak tapi

lebih kontekstual, kurang banyak simbol tapi lebih konkrit. Literasi matematis terfokus

pada kemampuan penalaran, berfikir, dan interpretasi, di samping kemampuan-

kemampuan matematis lainnya.

Definisi literasi matematis tidak sekadar terfokus pada penegtahuan minimal

dalam matematika. Literasi tersebut juga mencakup “doing mathematics” dan

menggunakan konsep matematis dalam bidang lainnya dan dalam aspek kehidupan

sehari-hari. Dari yang biasa hingga yang tidak biasa, dari yang sederhana hingga yang

kompleks.

Menurut Niss (1999), literasi matematis mencakup (1) penalaran dan berfikir

matematis, (2) argumentasi matematis, (3) komunikasi matematis, (4) pemodelan, (5)

pengajuan dan pemecahan masalah, (6) representasi, (7) simbol, dan (8) media dan

teknologi.

Untuk menjadi seorang ahli matematika, seseorang harus memiliki literasi

matematis, di samping mampu menggunakan matematika sebagai alat dalam

menyelesaiakan berbagai permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu

mengherankan bahwa seorang ahli matematika tidak mampu menggunakan penalaran

yang masuk akal di saat dia menghadapi permasalahan, meskipun mungkin penalaran

tersebut berbeda dari yang ditemuinya saat melakukan pembuktian matematis.

Apakah kompetensi yang dibutuhkan dalam literasi matematis benar-benar sama

dengan kompetensi matematis yang harus diajarkan? Di masa lalu, literasi matematis

dan apa yang dipelajari peserta didik sangat berlainan; irisannya amatlah kecil. Namun,

sekarang keduanya semestinya disajikan secara terintegrasi.

Di Belanda, orang-orang mulai menjauhi cara-cara pembelajaran yang lebih

bertumpu pada algoritma secara ketat. Di negara ini, kemampuan matematis

dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yaitu: (1) reproduksi, algoritma, definisi

dan sebagainya, (2) memberi penekanan pada kemampuan menentukan koneksi di

antara beberpa aspek yang berlainan (de Lange, 2003).

Page 13: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-5

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pembentukan karakter, sebagai salah satu isu yang sedang berkembang di

Indonesia, dapat dipandang sebagai aspek afektif yang penting yang dapat mendorong

peserta didik menggunakan matematika. Semua aspek kemampuan ini dapat memberi

sumbangsih yang pada literasi matematis siswa. Dalam matematika, pembentukan

karakter dalam aspek afektif mencakup rasa ingin tahu, percaya diri, semangat, disposisi

matematis, motivasi, minat, kejujuran, dan ketekenunan.

B. Matematisasi, Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis

Pendidikan matematika diperlukan sebagai alat dasar untuk mengembangkan

pengetahuan dan ketrampilan lebih lanjut dalam matematika dan untuk keberlangsungan

hidup dalam tugas dan pekerjaan kita. Tuntutan ini mengakibatkan munculnya arus

utama pembelajaran matematika di sekolah yang lebih mengutamakana pembelajaran

dalam topik aritmetika penambahan, pengurangan, perkalaian, dan pembagian, secara

numerik.

Hampir semua materi matamatika sekolah dasar berorientasikan pada numerik

(angka). Akibatnya hampir semua penyajian konsep di sekolah dasar, seperti juga

halnya di sekolah menengah pertama, selalu tidak terlepas dari manipulasi angka.

Keadaan ini berakibat pada munculnya persepsi yang keliru, yakni bahwa matematika

identik dengan angka atau bilangan. Dalam pembelajaran tradisional, bilangan

dipandang sebagai objek yang dimanipulasi di bawah syarat tertentu. Kebanyakan siswa

tidak memahami bagaimana memaknai hasil perhitungan yang diperoleh. Banyak siswa

yang merasa kesulitan dalam menyelesaikan soal cerita, yang harus menggunakan

model matematika sebelum sampai pada penyelesaian masalah yang diberikan.

Berdasarkan pada uraian di atas, ide literasi matematis di jaman global dapat

dipandang sebagai entitas pengetahuan, pemahaman, dan ketrampilan yang diperlukan

seseorang, agar dia bisa melaksanakan tugas kehidupannya di tengah-tengah masyarakat

dalam era modern. Kemampuan ini juga mencakup seluruh ketrampilan yang telah

diajarkan di sekolah (yang memuat konsep dasar operasi hitung aritmetik).

Dalam kehidupan modern, ketrampilan aritmetik yang terdiri atas penjumlahan,

pengurangan, perkalian, dan pembagian perlu dikombinasikan dengan penalaran,

komunikasi, koneksi dan pemecahan masalah matematis. Representasi matematis, yang

dianggap banyak kalangan merupakan bagian dari komunikasi matematis, juga amat

Page 14: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-6

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

penting bagi orang yang belajar matematika agar mereka dapat menyajikan sebuah

model yang diturunkan dari permasalahan dalam kehidupan sehari-jari. Dengan upaya

ini, kita dapat menyelesaikan tersebut dengan menggunakan konsep dan prosedur

matematis. Dalam situasi ini, kita melakukan kegiatan matematis (doing mathematics).

Proses yang memuat kompetensi ini dinamakan “matematisasi”. Disebut demikian

karena seseorang memodelkan suatu masalah atau fenomena dalam kehidupannya dan

menyelesaikannya dengan matematika. Langkah tersebut termasuk matematisasi

masalah umum ke dalam masalah yang lebih spesifik dalam notasi matematis. Terdapat

sejumlah masalah yang kita hadapi sehari-hari dan merupakan tugas kita untuk

mengubahnya ke dalam konteks dan konsep matematis.

Kompetensi matematis lainnya yang patut diperhitungkan adalah ketrampilan

mengaitkan ide matematis dengan masalah hidup di abad modern. Para siswa perlu

diyakinkan bahwa matematika benar-benar penting dalam menyelesaikan masalah

kehidupan sehari-hari karena terdapat masalah nyata yang dapat disederhanakan dan

diselesaikan dengan menggunakan ide dan konsep matematis. Ini artinya pembelajaran

matematika harus disajikan pada siswa dengan mengaitkan ide dan penggunaannya

secara nyata, dan siswa harus mampu memahami di mana keterkaitan tersbut muncul.

Dengan cara-cara seperti ini, matematika akan dianggap sebagai pelajaran atau materi

yang berguna, menawan, bermakna, dan menakjubkan (useful, meaningful, beautiful,

and wonderful).

Matematisasi memiliki 5 aspek (OECD, 2003): (1) memulai dengan masalah

yang mencerminkan kehidupan sehari-hari; (2) mengorganisir permasalahan ke dalam

konsep matematika; (3) secara bertahap menyederhanakan masalah, membuat

generalisasi dan memformalkan; (4) memecahkan masalah matematis; dan (5)

menafsirkan makna penyelesaian matematis dalam situasi nyata.

Seluruh aspek ini menguraikan makna “doing mathematics”, yang melibatkan

dan menggunakan konsep, fakta, dan prosedur matematis dalam berbagai tugas, dan

pekerjaan. Orang yang memiliki sejumlah pengalaman dan benar-benar terlibat dalam

pemecahan berbagai masalah nyata tentu melakukan proses matematisasi. Proses ini

harus dicapai oleh semua siswa yang mempelajari matematika.

Matematika bukanlah sebatas untuk matematika. Sekarang ini, semua negara

maju dan negara berkembang, termasuk Indonesia, membutuhkan penduduk yang

Page 15: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-7

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

mampu menghadapi berbagai permasalahan yang semakin kompleks. Matematika tidak

saja digunakan sebatas untuk tujuan hitung-menghitung, tetapi juga untuk memberikan

argumentasi atau menyajikan klaim, yang membutuhkan logika, untuk memastikan

bahwa pola pikir mereka termasuk tepat. Penalaran dalam logika digunakan secara luas,

tidak hanya dalam matematika, tapi juga dalam linguistik. Dalam linguistik, beberapa

dalil dalam logika (misalnya Aturan Penarikan Kesimpulan dan Aturan Penukaran)

digunakan secara ekstensif untuk mendukung pernyataan yang dikemukakan, saat

sebuah argumentasi diketengahkan atau saat terlibat dalam sebuah debat.

Literasi matematis siswa dapat dilihat dari pengetahuan dan ketrampilan yang

mereka perlihatkan di saat menghadapi masalah matematis. Semua masalah matematis

harus terkait dengan pengalaman belajar dan latar belakang pengetahuan mereka

sebelumnya. Ini artinya konteks masalah harus dikenali siswa. Kalau tidak, mereka akan

gagal menafsirkan hasil perhitungan yang diperoleh.

Dalam Program for International Students Assessment (PISA), memecahkan

masalah direpresentasikan dalam materi matematika berikut: kuantitas, ruang, bentuk,

perubahan dan hubungan, dan ketidakpastian. PISA juga mendefinisikan kompetensi

sebagai sebuah proses bahwa siswa menggunakannya saat mereka mencoba

menyelesaikan masalah matematis. Tiga gugus kompetensi didefinisikan: gugus

reproduksi, gugus koneksi, dan gugus refleksi. Dalam ketiga gugus ini aspek-aspek

berikut teramati: (1) Berpikir dan penalaran; (2) Argumentasi; (3) Komunikasi; (4)

Pemodelan; (5) Pengajuan dan Pemecahan Masalah; (6) Representasi; (7) Penggunaan

bahasa dan operasi (teknis maupun formal); dan (8) Penggunaan alat dan media.

C. Ketrampilan Mengingat (Memorization), Representasi, dan Koneksi Matematis

Di masa lalu, pandai dalam matematika artinya hebat dalam hafalan. Di masa-

masa awal sekolah, para siswa dilatih menghafal hasil kali (raraban) antara dua

bilangan. Kegiatan menghafal ini sangat diperlukan untuk mempercepat perhitungan

dan penalaran. Masalahnya adalah, kita harus memahami prosesnya, mengapa kita

sampai pada hasil itu. Tentu tidaklah salah kalau kita mengingat beberapa fakta yang

kita ketahui proses dan penggunaannya dalam konsep matematika lainnya. Sangat sulit

bagi siswa mengingat banyak fakta tanpa pemahaman. Jika seorang siswa selalu

berusaha menghafal semua informasi tanpa pemaknaan, semua fakta itu akan sangat

Page 16: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-8

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

mudah hilang dari memori, karena tanpa kemampuan ini retensi mereka hanya akan

berada dalam memori perode jangka pendek.

Literasi matematis bukanlah ujung sebuah perjalanan, bukan pula tujuan akhir.

Literasi matematis merupakan sebuah proses yang berkembang terus menerus selama

siswa melakukan kegiatan matematis. Semua siswa dalam masa-masa sekolahnya

mengembangkan ketrampilan matematis, yang dari waktu ke waktu akan semain kaya.

Guru perlu meyakinkan siswanya bahwa kemampuan matematis harus dikembangkan

secara berkelanjutan, karena para siswa akan berhadapan dengan berbagai permasalahan

yang kian hari kian kompleks dan rumit. Siswa yang memiliki kompetensi matematis

yang tinggi bisa berbuat lebih baik, lebih trampil, dan lebih berpengalaman. Dalam hal

hakekat matematika, sebagai sebuah susunan, abstraksi, generalisasi, pola, fakta, dan

prosedur, siswa harus menguasi semua materi ini, karena semua ini akan membantu

mereka dalam menghadapi konsep lanjutan.

Berdasarkan Taksonomi Bloom, siswa harus memiliki kompetensi yang

tercermin dalam 3 domain: kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam domain kognitif,

siswa harus mampu mengingat fakta, konsep, dalil, dan prosedur; memahami konsep;

menggunakan konsep, rumus, prosedur dan dalil dalam situasi yang baru; menganalisis

konsep; mensintesis konsep; dan mengevaluasi dan memberi pertimbangan yang

disertai dengan penalaran yang tepat.

Siswa harus mampu pula melakukan representasi matematis, saat mereka

mengungkapkan ideanya dalam bentuk simbol, notasi, atau ungkapan-ungkapan

matematis. Dengan memiliki ketrampilan ini, mereka akan mampu berkomunikasi

dengan siswa lain, guru, dan para ahli matematika dalam berbagai konteks dan konsep

matematika.

Lebih lanjut, siswa sebaiknya mampu melihat keterkaitan antara konsep-konsep

matematika, keterkaitan antara konsep matematika dam konsep dalam bidang lainnya,

dan keterkaitan anatara konsep matematika dan kehidupan sehari-hari. Dengan

demikian, memahami konsep tidaklah cukup, karena ada kemampuan lainnya yang juga

tidak kalah penting: penalaran, aplikasi, dan pemecahan masalah matematis. Saat

mahasiswa melakukan kegiatan matematis mereka perlu menyelesaikan masalah

matematis. Setelah hasil penyelesaian diperoleh dari proses komputasi, mereka harus

mampu menafsirkan apa yang digambarkan dalam besaran angka yang dihasilkan.

Page 17: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-9

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

D. Kemahiran Siswa dalam PISA

Indonesia, untuk pertama kalinya, terlibat dalam PISA di tahun 2000. Pada tahun

2003, Indonesia kembali menghadiri asesmen internasional ini, bersama 48 negara

lainnya.

Pada dasarnya terdapat 3 kelompok kompetensi dalam PISA yang ditanyakan:

kelompok pengetahuan, latar belakang siswa, dan latar belakang sekolah. Dalam

kelompok pengetahuan, yang diujikan mencakup ketrampilan membaca, matematika

dan ilmu pengetahuan alam.

Penilaian pada literasi matematis dimaksudkan untuk mengenali kompetensi

siswa dalam identifikasi, pemahaman, dan penerapan sejumlah fakta dasar dan prosedur

matematika untuk menyelesaikan permasalahan matematis.

Dalam kajian latar belakang siswa, PISA menganalisis demografi, status sosial-

ekonomi, harapan, motivasi, dan disiplin siswa. Semua data ini dipadu dengan

demografi sekolah yang meliputi organisasi sekolah, keadaan staf, model pembelajaran,

dan atmosfir akademik.

Kajian PISA sangat bermanfaat untuk mengenali tingkat literasi matematis siswa

di beberapa negara; untuk merancang rujukan (benchmark) bagi tujuan penyempurnaan;

dan untuk memahami kekuatan dan kelemahan sistem pendidikan di negara-negara yang

terlibat dalam PISA.

PISA mengukur kompetensi siswa dalam 3 aspek utama: (1) isi (struktur) materi

yang diperoleh siswa; (2) proses yang dikerjakan siswa dalam menyajikan argumentasi;

dan (3) reaksi siswa di saat mereka dihadapkan pada permasalahan dalam kehidupan

sehari-hari yang dapat diselesaikan dengan model matematika dan perhitungan

matematis.

Aspek utama yang dinilai dalam PISA terdiri dari definisi, materi (konten),

proses, dan dimensi situasi. Konten matematika mencakup perubahan, hubungan, ruang,

dan bentuk. Selain itu, siswa juga harus trampil dalam berhitung. Di tahun-tahun yang

akan datang, PISA juga akan memasukkan topik probabilitas. PISA memberi waktu

210 menit untuk matematika. Total waktu ujian bersama dengan IPA dan bahasa adalah

390 menit.

Page 18: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-10

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Dalam PISA terdapat 6 tingkat profisiensi yang diuji, yakni: (1) menjawab

pertanyaan dalam konteks umum, mengenali informasi dan menyelesaikan masalah

dengan menggunakan prosedur rutin; (2) menafsirkan dan mengenali situasi dalam

konteks yang membutuhkan penarikan kesimpulan secara langsung; (3) melaksanakan

prosedur secara tepat, menggunakan representasi dari berbagai sumber, menyatakan

alasan yang digunakan, dan mengkomunikasikan interpretasi dan penalaran; (4) bekerja

secara efektif dengan model dan konteks yang konkrit yang dimilikinya, memilih dan

memadukan semua jenis representasi dan mengamati keterkaitannya dengan dunia

nyata; (5) bekerja dengan sebuah model dalam situasi yang kompleks, memahami

semua persyaratan atau faktor pembatas (kendala) yang mungkin ada, memilih,

membedakan dan menilai beberapa strategi untuk menyelesaikan masalah yang rumit

terkait dengan model dengan menggunakan penalaran yang mendalam dan kemampuan

koneksi matematis yang baik, melakukan proses refleksi dan mengkomunikasikan ide

dan pikirannya, menerapkan pemahaman yang dalam dengan menggunakan strategi dan

pendekatan baru secara mendalam, menafsirkan dan menyajikan argumentasinya.

PENUTUP

Dalam hidup di abad modern ini, semua orang perlu memiliki literasi matematis

untuk digunakan saat menghadapi berbagai permasalahan, karena literasi matematis

sangat penting bagi semua orang terkait dengan pekerjaan dan tugasnya dalam

kehidupan sehari-hari. Di jaman modern ini, kita tidak hanya membutuhkan literasi

matematis sebatas pemahaman aritmetik, tapi juga membutuhkan penalaran dan

pemecahan masalah matematis, karena begitu banyak permasalahan yang dihadapi.

Penalaran logika juga harus dikuasai mengingat sangat banyak diperlukan di saat kita

berfikir dan menetapkan keputusan, setelah kesimpulan diambil. Berbagai cara berpikir

dan bernalar, baik yang memuat konsep dalam aturan penarikan kesimpulan ataupun

yang lainnya banyak digunakan, tidak hanya oleh orang yang berkecimpung dalam

dunia matematika, melainkan juga oleh mereka yang bergelut dengan dunia sosial.

Mereka butuh logika di saat menyampaikan ide, meyakinkan orang lain, dan

menyampaikan argumentasi secara logis. Demikian pula, semua permasalahan

matematis, agar bermakna dan bermanfaat, harus benar-benar terkait dengan

Page 19: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-11

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

pengalaman belajar dan latar belakang kehidupan kita, karena kaitan yang diketahui

memberi jalan keluar yang menuntun ke arah penyelesaian.

DAFTAR PUSTAKA

de Lange, Jan, 2003, Mathematics for Literacy, In Quantitative Literacy, Why

Numeracy Matters for Schools and Colleges, Proceeding of the National Forum

on Quantitative Literacy, Washington D.C.: National Academy of Sciences.

Kilpatrick, J, Jane Swafford, Bradford (Eds), 2001, Adding It Up, Helping Children

Learn Mathematics, Mathematics Learning Study Committee, Center for

Education, Washington, DC: National Academy Press.

Niss, Mogens. 2003, Quantitative Literacy and Mathematical Competencies, In

Quantitative Literacy, Why Numeracy Matters for Schools and Colleges,

Proceeding of the National Forum on Quantitative Literacy, Washington D.C.:

National Academy of Sciences.

OECD, 2003, The PISA 2003 Assessment Framework – Mathematics, Reading, Science

and Problem Solving Knowledge and Skills. Paris: OECD.

Page 20: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-12

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PEMBELAJARAN SAINS: WAHANA POTENSIAL UNTUK MEMBELAJARKAN

SOFT SKILL DAN KARAKTER

Anna Permanasari1 1Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI

ABSTRAK

Pembelajaran sains pada dasarnya bertujuan untuk membangun literasi sains siswa. Hal ini sejalan dengan harapan pemerintah dalam PP No. 19 tahun 2005 Standar Nasional Pendidikan Pasal 6 ayat (1), pembelajaran sains memiliki lingkup untuk mengenal, merespon, mengapresiasi dan memahami sains, mengembangkan kebiasaan berpikir ilmiah seperti berpikir kritis dan kreatif, mandiri, dan memiliki sikap pisitif. Pendidikan pada dasarnya dapat digunakan oleh siswa sebagai motor untuk mempelajari dirinya sendiri dan lingkungannya, serta dapat menerapkan pengetahuannya untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran seharusnya difokuskan pada penyediaan pengalaman langsung melalui proses inkuiri ilmiah. Jadi pada hakekatnya, pembelajaran sains yang benar harus dapat membangun soft skills dan hard skills, dimana keduanya harus diberikan secara sinergis. Pembelajaran sains yang memaksimalkan aktifitas siswa melalui inkuiri ilmiah sangat potensial mengembangkan keduanya. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan adalah kontekstual, inkuiri, problem based learning, problem solving, learning cycle, dan pendekatan lain yang berbasis paradigm konstruktivisme. Pada hakekatnya, pembelajaran soft skills bukan dibelajarkan, melainkan dicontohkan. Oleh karena itu, dosen yang mendidik calon guru harus mampu menjadi model, sementara guru harus mampu menjadi model bagi siswa nya. Kata kunci: soft skill, karakter

PENDAHULUAN

Sebelum kita membahas bagaimana pembelajaran sains yang mampu

membelajarkan softskills, lebih baik kita melihat sejenak berbagai berita baik di Koran

maupun di majalah atau sumber berita lainnya, yang mewartakan betapa kita pendidik

ternyata belum mampu mendidik anak-anak kita menjadi manusia-manusia seperti yang

diharapkan oleh tujuan pendidikan nasional kita. Tawuran antar pelajar, perkelahian

antar anggota DPR yang terhormat, kasus-kasus penganiayaan oleh sesama pelajar

(bullying), pergaulan bebas, demonstrasi anarkis, korupsi yang meraja lela, merupakan

contoh produk kesemrawutan pendidikan di Indonesia. Belum lagi masalah lingkungan

Page 21: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-13

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

yang semakin rumit, masalah sampah, masalah eksploitasi kekayaan bumi yang semakin

tidak terkendali. Semua ini merupakan cerminan belum terkelolanya pendidikan secara

serius.

Apa yang harus kita lakukan sebagai pendidik atau calon pendidik? Mari kita

berbuat sesuai dengan tugas kita, mendidik siswa dengan benar. Oleh karena bidang

keahlian kita dalam pendidikan matematika dan sains, maka mari kita refleksikan apa

yang selama ini telah kita lakukan bagi dunia pendidikan. Apakah telah memberikan

kontribusi positif? Ataukah sebaliknya kitalah yang membuat negeri kita menjadi carut-

marut seperti ini?

Dalam makalah ini pembahasan akan dibatasi pada hal-hal yang berhubungan dengan

dunia pendidikan sains saja.

Kurikulum Sains di Indonesia

Kurikulum sains yang berlaku untuk sekolah kita sejak jaman Orba bisa

dikategorikan sebagai kurikulum yang condong pada pengajaran sains sebagai produk,

yaitu berisi transfer pengetahuan berupa fakta-fakta, prinsip-prinsip, teori-teori dan

hukum-hukum sains kepada siswa oleh guru. Model pengajaran sains berbasis buku teks

ini sesuatu yang tidak dihindari karena kita memang melakukan adopsi isi kurikulum

dari negara maju dengan usaha yang minim untuk menjadikannya lebih kontekstual

dengan kondisi dan situasi belajar dimana siswa berada. Sains pada kurikulum baru

yang sekarang sudah disahkan pun yang dinamakan Standar Kompetensi (SK) dan

Kompetensi Dasar (KD), isinya kalau diamati tidak lebih dari perubahan urutan materi

pelajaran saja yang harus diajarkan pada siswa dibanding dari kurikulum sebelumnya

Sebenarnya, apa uraian SK dan KD yang sekarang digunakan tidak mengacu

pada tujuan pendidikan sains sepenuhnya. Permendiknas No.22 tahun 2006 menyatakan

bahwa standar isi mata pelajaran sains harus memberikan ruang bagi siswa untuk

mengembangkan kompetensi yang dibutuhkan oleh kehidupan mereka sekarang dan

masa yang akan datang. Hasil kajian mendalam yang dilakukan oleh Pusat Kurikulum

Sejak dua tahun terakhir menunjukkan bahwa aspek konten sains dalam standar telah

memadai untuk seluruh level, tetapi di beberapa materi terlihat adanya gap diantara

level pendidikan. Disamping itu, kedalaman dan keluasan materi tidak dinyatakan

secara eksplisit, sehingga pada implementasinya sangat tergantung dari keahlian

Page 22: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-14

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

guru/penulis buku yang akibatnya pemahaman siswa terhadap konetn menjadi sangat

beragam.

Pada beberapa aspek, keterampilan berpikir kritis telah mulai dikembangkan,

tetapi umumnya tidak terstruktur, dan disana sini terlihat kurangnya relevansi dengan

tingkat kompetensi. Sebagai contoh, beberapa keterampilan berpikir tinggi muncul di

SMP tetapi tidak terlihat di SMA. Kelemahan lainnya dari standar isi adalah sangat

lemah dalam mengembangkan kompetensi tentang bagaimana menggunakan sains

untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh,

Indonesia sangat potensial mengalami gempa bumi, tetapi belum terantisipasi dalam

standar isi.

Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional bahwa

peran pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan keterampilan dan membangun

karakter serta membangun kebanggaan bangsa dalam konteks kehidupan bernegara,

bertujuan untuk mengembangkan potensi pebelajar untuk menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada tuhan YME, mulia, sehat, berpengetahuan, mampu,

kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan memiliki tanggung

jawab yang baik.

Jadi jelaslah, bahwa di luar lemahnya standar isi pelajaran sains dalam memuat

pembelajaran karakter, sebenarnya pembelajaran karakter sudah merupakan tujuan

utama dalam sistem pendidikan kita. Pembelajaran karakter sangat erat kaitannya

dengan pengembangan soft skills. Jadi sebenarnya yang menjadi permasalahan kita

adalah bagaimana membelajarkan karakter atau soft skills pada anak didik kita?

Apa soft skills itu? Sebelum mengulas bahasan tersebut, saya akan membawa anda semua

berdiskusi tentang takdir. Setujukah anda dengan salah satu pernyataan bahwa: takdir

itu merupakan pemberian tuhan? Dan kita tidak dapat melawan takdir? Banyak orang

malas yang menjadikan takdir sebagai dalih atas kemalasannya. Padahal takdir itu bisa

diubah.

Allah yang menentukan takdir kita, tetapi Allah pula yang berkuasa untuk

mengubah takdir kita, sehingga kita memiliki takdir yang baru. Bagaimana takdir

tersebut berubah? Dengan do’a dan usaha tentu saja.

Page 23: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-15

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Beberapa sumber menyatakan bahwa berubahnya takdir berawal dari pikiran,

yang kemudian diaktualisasikan dalam tulisan atau kata-kata. Tidak cukup kata-kata,

melainkan harus diimplementasikan dalam tindakan. Tindakan yang berulang-ulang

dilakukan akan menjadi kebiasaan yang pada akhirnya akan membangun karakter

seseorang. Karakter inilah yang akan membawanya kepada takdir. Berpikir dapat saja

dimulai dengan bermimpi (kata lebih tinggi dari bercita-cita). Pernahkan anda

menggantungkan cita-cita setinggi langit? Pernahkan anda mempunyai impian sebagai

guru? Apabila ya, maka anda akan berhasil menjadi seorang guru kelak.

Semua langkah-langkah di atas memerlukan keterampilan, diantaranya

keterampilan berpikir, keterampilan berkomunikasi, keterampilan bertindak secara

konsisten, keterampilan mengelola tindakan, dan lainnya. Keterampilan-keterampilan

tersebut pada hakekatnya merupakan wujud soft skill seseorang. Keterampilan

berkomunikasi, keterampilan berpikir kritis dan kreatif dan lainnya akan sangat

berkembang apabila sesorang memiliki pengetahuan. Kemampuan dalam memahami

pengetahuan dikategorikan pada hard skills. Dengan demikian, seseorang dikatakan

unggul apabila memiliki soft skills dan hard skills, dinama keduanya dapat

dikembangkan dan digunakan dengan saling bersinergis.

Jadi, soft skills adalah sifat personal dan interpersonal yang mengembangkan

dan memaksimalkan kinerja seseorang. Kemampuan membimbing, melatih,

membangun tim, membuat inisiatif, dan menyimpulkan adalah contoh soft skills yang

seseorang yang berpotensi sebagai manager. Seorang pemain bola memiliki hard skills

seperti menendang bola, berkelit, melakukan tendangan penalty, menyerang atau

mengocok bola. Namun demikian, tidak akan sempurna bila tidak diiringi dengan

keahlian dalam bekerja sama, gigih dan berani, sportif, mengambil inisiatif, dan

berani mengambil keputusan.

Bagaimana membelajarkan soft skills pada siswa?

Page 24: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-16

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Soft skills seyogyanya tidak diajarkan, melainkan ditularkan. Oleh karena itu,

agar siswa kita mampu membangun soft skills nya, maka kita sebagai guru harus

mengidap terlebih dahulu soft skills tersebut. Bagaimana caranya?

Yang pertama adalah disiplin diri. Disiplin merupakan kunci utama menuju

pengembangan soft skills lainnya. Tanpa disiplin mustahil seseorang mampu menggapai

mimpinya. Selanjutnya meyakini bahwa bersikap baik itu penting. Tidak ada orang

yang bersikap baik itu merugi, meskipun kadang-kadang kita sering melihat orang yang

bersikap baik malah seringkali di zalimi orang. Tetapi sebenarnya dia tidak merugi,

suatu saat pasti orang baik akan memperoleh kebaikan pula. Yakinlah akan hal ini.

Tanggung jawab, jujur dan menghargai orang lain merupakan hal lain yang

dapat membangun soft skills seseorang. Demikian pula membuka komunikasi dengan

orang lain adalah wujud keterampilan interpersonal yang merupakan bagian dari

softskills. Hal yang paling penting untuk membangun soft skills siswa adalah ajaklah

siswa belajar sains atau belajar lainnya dengan menggunakan berbagai teknik dan

strategi pembelajaran yang dapat mengakomodasi pengembangan soft skills.

Teknik/strategi pembelajaran apa yang dapat digunakan?

Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, tujuan utama pembelajaran sains

adalah membangun literasi sains siswa. Organization for Economic Cooperation and

Development (OECD, 2003) mendefinisikan literasi sains sebagai kapasitas seseorang

untuk menggunakan pengetahuan tentang sains untuk mengidentifikasi pertanyaan,

membuat keputusan yang didasarkan atas fakta untuk memahami alam semesta, dan

membuat keputusan terhadap perubahan yang terjadi karena aktivitas manusia. Literasi

sains sangat penting untuk dikuasai oleh siswa dalam hubungannya dengan bagaimana

siswa dapat memahami lingkungan, kesehatan, ekonomi, dan permasalahan lainnya

dalam masyarakat modern ini, yang sangat tergantung dari teknologi dan pengetahuan

sains. Selain itu perlu kita pahami, bahwa literasi sains siswa adalah kunci keberhasilan

pendidikan sains pada siswa berumur 15 tahun-an. Apabila dia berhasil belajar sains

dengan baik, maka dia akan terus belajar sains. Akan tetapi bila tidak berhasil, maka

siswa akan berhenti belajar sains

Berpikir ilmiah diperlukan tidak hanya oleh para saintis, tetapi juga oleh semua

masyarakat. Pemerintah menetapkan literasi sains sebagai keterampilan generic yang

Page 25: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-17

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

merefleksikan pemahaman masyarakat terhadap kejadian di lingkungan dan fenomena

alam, serta hal lainnya yang berhubungan dengan kehidupan. Inilah, mengapa literasi

sains bukan hanya milik siswa di sekolah, tetapi bagi orang di luar sekolah pula.

Dari uraian di atas jelaslah, bahwa apabila kita membelajarkan sains sesuai

dengan prinsip membangun literasi sains siswa, maka berarti kita sedang membangun

soft skills yang disinergiskan dengan hard skills (pengetahuan tentang sains).

Pebelajaran sains untuk membangun literasi sains siswa dapat dilakukan dengan

berbagai pendekata/strategi yang semuanya bertumpu pada “student active learning”.

Pembelajaran yang berpusat pada siswa, sudah pasti berbasis pada proses inkuiri ilmiah

dengan prinsip konstruktivisme. Beberapa pendekatan pembelajaran yang dapat

mengembangkan literasi sains siswa adalah pendekatan kontekstual, sains teknologi

dan masyarakat, problem based learning, learning cycle, dan pendekatan inkuiri. Selain

itu, pembelajaran sains harus berorientasi pada proses berpikir kritis dan pemecahan

masalah atau “critical thinking-oriented and problem solving-oriented model”, juga

memperhatikan pengembangan “local wisdom” dalam pembelajaran. Untuk mengatasi

permasalahan yang muncul seperti pertentangan antar etnis, maka pembelajaran perlu

mengakomodasi pendekatan pembelajaran multicultural, sehingga dapat menciptakan

kebersamaan, empati, serta saling menghargai diantara siswa.

Page 26: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-18

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Gambar 2. Pembelajaran yang mempertimbangkan aspek multikultural, dengan konsep dialogis dan berpikir kritis dapat membangun karakter bangsa

Pembelajaran aktif berhubungan dengan keseimbangan kerja otak kiri dan otak

kanan manusia. Penelitian baru-baru ini menyatakan bahwa hemispher cortex kanan

manusia bekerja 10.000 x lebih cepat dari pada yang kiri. Penggunaan bahasa

(berkomunikasi oral) membuat manusia berpikir secepat kata-kata. Limbik (hemisphere

lebih dalam dari otak) bekerja 10.000 kali lebih cepat dari pada korteks kanan, dan

bagian tersebut mengendalikan dan melaksanakan seluruh proses di korteks kanan. Hal

ini lah yang menyebabkan, kadang-kadang proses mental lebih cepat dibandingkan

dengan bekerja atau berpikir (Win Wenger, 2003:12-13). Strategi yang digunakan

dalam pembelajaran konvensional umumnya menggunakan otak kiri, sementara kerja

otak kanan diabaikan. Dalam pembelajaran aktif, penguatan otak kanan dan kiri berjalan

seimbang. Thorndike (Bimo Wagito, 1997) lebih lanjut menyatakan tiga hukum dalam

belajar, yaitu: (1). law of readiness, the readiness one to do to accelerate the relation

between stimulus and respond (2). law of exercise, tests and examples that should be

done will accelerate the relation between stimulus-respond (3). law of effect, the

relation between stimulus and responds would be better if it can lead fun things, and

this is tend to be repeated.

Page 27: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-19

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Gambar. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk membangun soft skills dan hard skills siswa

Dari hasil kajian lapangan terungkap bahwa umumnya pembelajaran sains masih

berlangsung satu arah. Guru lebih domina karena metode dan pendekatan yang

digunakan tidak merefleksikan siswa aktif. Pada banyak kasus ditemukan pula bahwa

masih sedikit guru yang memahami berbagai model/pendekatan pembelajaran aktif.

Mereka menyatakan dalam RPP bahwa pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

siswa aktif, tetapi tidak terrefleksikan dalam pembelajaran riil di kelas. Hal ini menjadi

salah satu penyebab mengapa pembelajaran sains di Indonesia masih tetap

memprihatinkan. Di banyak tempat, masyarakat mengeluhkan rendahnya literasi sains

siswa, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas.

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh PISA (Programme for International

Student Assesment yang diorganisir oleh OECD, 2009) menunjukkan fenomena di atas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir sebagian besar siswa SMA (41 %) hanya

memiliki pengetahuan yang terbatas terhadap sains, dan hanya dapat

mengaplikasikannya pada situasi yang umum saja. Lebih lanjut terungkap, tidak ada

siswa yang secara konsisten dapat mengidentifikasi, menjelaskan, dan mengaplikasikan

Page 28: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-20

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

pengetahuan sains pada situasi kehidupan yang lebih kompleks. Begitu pula, terungkap

bahwa masih ada siswa indonesia (6.9%) yang tidak memiliki kemampuan literasi sains

Salah satu factor lain rendahnya literasi sains siswa adalah karena teknik

asesmen nya. Di satu sekolah pavorit, rata-rata perolehan siswa dalam sains lebih besar

dari 84 (skala 100). Di beberapa kota besar di Jawa, Bali dan Sumatra, rata-rata nilai

UN lebih besar dari 7 (skala 10). Apakah hal ini merefleksikan yang sesungguhnya

terhadap kemampuan literasi sains siswa? Jawabannya adalah : tidak ….. Mengapa?

Karena kita tahu bahwa criteria asesmen yang digunakan dalam UN tidak

mengakomodasi secara penuh criteria untuk mengases literasi sains.

Menurut Shwartz (2006), literasi sains akan meningkat secara kontinyu selama

hidup seseorang. Inilah sebabnya mengapa asesmen literasi sains siswa harus dilakukan

secara kontunyu selama periode belajar tertentu. Jadi pada dasarnya, penilaian yang

dilakukan oleh PISA dan juga oleh sekolah hanya mengukur "Seeds of literacy" siswa,

bukan mengukur secara absolute. Beberapa ahli menyatakan criteria penilaian literasi

sains. Shen. Dkk (Dalam Scwartz, 2006) menyatakan tiga criteria, yaitu literasi

fungsional, literasi masyarakat, dan literasi budaya. Kriteria ini sangat relevan untuk

menilai literasi sains masyarakat. Bybee dalam shwartz (2006) menyarankan 5 level

untuk penilaian literasi sains siswa, yaitu scientific literacy, Nominal scientific literacy,

functional scientific literacy, conceptual scientific literacy, dan multidimentional

literacy.

PISA, diperkuat oleh Shwartz menetapkan 4 domain dalam mengukur literasi

sains siswa, yaitu konten sains, proses sains, konteks sains, dan nilai/sikap. Jadi jelaslah,

bahwa penilaian PISA, tidak hanya pada pengukuran pemahaman siswa terhadap

konsep sains saja, melainkan juga pada proses dan keterampilan menggunkan

pengetahuan sainsnya dalam kehidupan, dan bagaimana siswa merespon fenomena

sains.

Penutup

Jadi sebenarnya, banyak hal yang harus diperbaiki dalam pembelajaran sains,

apabila kita ingin benar-benar mencapai tujuan ahir pembelajaran sains yang

membangun soft skills dan hard skills secara seimbang. Proses pembelajaran yang

diperbaiki, proses asesmen yang mencakup kedua aspek tersebut, serta niat yang kuat,

Page 29: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-21

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

tulus, dan ikhlas, dari guru untuk membangun bangsa. Penggunaan berbagai pendekatan

dalam pembelajaran yang berorientasi pada siswa aktif menjadi hal yang tidak perlu

ditawar lagi, sudah menjadi suatu keharusan.

Referensi terkait.

Aiken, A. (1969). Attitudes to science: A semantic differential instrument research in science education. Research in Science Education. 7(1), 149-155.

Anderson, L. W., and Krathwohl, D. R. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloo’m Taxonomy of Educational Objectives. New York: Addison Wesley Longman, Inc.

Anom. Intruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.

Anom. Intruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional.

Anom. Peraturan Pemerintanh No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.

Anom. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Anom. Rencana Strategis Kementerian Nasional 2010-2014. Anom. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencara Pembangunan Jangka

Panjang Nasional (RPJPN). Carin, A. A. (1993). Teaching science through discovery (7th.ed.). New York: Maxwell

Macmillan International. Collete A.T. & Chiappetta, E.L.. (1994). Science instruction in the middle and

secondary school. New York: Macmillan Company. Crawford, M.L. , (1999). Teaching science contextually : The cornerstone of tech.

Texas: CORD. Diambil pada tanggal 12 Desember 2007 dari http://www.cord.org/uploadedfiles/TeachingContextuall20(Crawford).pdf.

Glynn, S.M. & Duit, R. (1995). Learning science meaningfully: constructing conceptual models. In S.M. Glynn & R. Duit (Eds.), Learning science in the school. Research Reforming Practice, 12 (2), 3-33.

Holbrook (1998) A source Book for teachers of Science Subjects. UNESCO McCormack, A. J. (1999). Trends & issues in science curriculum. Science Curriculum

Resource H&book: A Practical Guide for K-12 Science Curriculum. New York: Kraus International.

National Research Council (NRC). (1996). The national science education standards. Washington, DC: National Academy Press.

OECD (2009). PISA 2009: Assesment Framework: Key Competencies in Reading, Math., and Science.

Shwartz.Y., Ben-Zevi, R., Hofsein, A.(2006). The Use of Scientific Literacy Taxonomy for asesing The development of Chemical Literacy among High-School Student. The Royal Society of Chemistry

Trowbridge, L.W. & R.W. Bybee. (1990). Becoming a secondary school science teacher. Melbourne: Merill Company

Page 30: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

U-22

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Yager, R. E. (1996). Science/Technology/Society as reform in science education. New York: State University of New York.

Page 31: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-1

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PERKEMBANGAN PEMAHAMAN SISWA PADA KONSEP DASAR PENGUKURAN DEBIT DENGAN PEMBELAJARAN BERBASIS PMRI

Fitriana Rahmawati1

1STKIP PGRI Bandar Lampung

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memunculkan perkembangan pemahaman siswa akan konsep dasar pengukuran debit melalui pembelajaran berbasis Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Penelitian ini merupakan penelitian desain yang dilaksanakan dalam 3 tahap, yakni perencanaan desain, percobaan desain, dan analisis retrospektip. Subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah guru dan siswa kelas V SD 118 Palembang, kelas VC sebanyak 20 orang dan seorang guru yang mengajar di kelas tersebut. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dokumentasi dan catatan lapangan. Bedasarkan hasil yang telah ditemukan menunjukkan bahwa pada pendesainan pembelajaran Pengukuran Debit berbasis PMRI menggunakan aktivitas berbasis pengalaman sehari-hari siswa (dalam hal ini konteks air kran) dapat digunakan siswa sebagai titik awal pembelajaran yang mendukung mereka untuk mendapatkan pengetahuan awal dan konsep dasar pengukuran debit yang diharapkan. Melalui masalah yang dikembagkan dari koteks air kran, perkembangan pemahaman pengukuran debit siswa ditunjukkan dengan beraneka ragam strategi yang tepat dalam menyelesaikan masalah, dan kemampuan berfikir kritis ketika mereka mengkomunikasikan ide dan peryataan dalam diskusi.

Kata kunci : Pemahaman siswa, Pengukuran Debit, Berbasis PMRI

PENDAHULUAN

Kualitas pendidikan matematika disekolah dasar dan menengah di tanah air

masih jauh ketinggalan dibandingkan dengan dunia lain di dunia. Ini dapat dilihat,

misalnya dari hasil TIMSS 2004 maupun dari PISA/OECD 2010 yang menunjukkan

prestasi murid Indonesia berada di peringkat bawah. Dalam kondisi seperti ini tak dapat

diharapkan tercapainya tujuan pendidikan seperti tertera dalam beberapa dokumen

UNESCO, misalnya the Word Declaration for Education for All (UNESCO, 1990) dan

Learning; The Treasure Within (UNESCO, 1996). Pengajaran masih didominasi oleh

cara mekanistik, satu arah, guru menyampaikan bahan dan murid menerima secara pasif

dan kurikulum padat. Akibatnya matematika tidak menarik dan menjadi momok.

Page 32: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-2

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SD ditekankan dalam

setiap kesempatan pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan

masalah yang sesuai dengan situasi (Contextual Problem). Dengan mengajukan masalah

kontekstual, peserta didik dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Melalui

pendidikan matematika ini juga diharapkan menumbuhkan kecakapan hidup, mencakup

kecakapan kepribadian, sosial, dan akademik. Hal ini bertujuan untuk membekali

peserta didik dengan seperangkat kemampuan tertentu yang relevan dengan kehidupan

dunia nyata yang sangat berguna bagi mereka untuk hidup di masyarakat, bekerja dan

melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dalam mewujudkan tujuan

tersebut dibutuhkan strategi pembelajaran yang bermutu, bermakna dan relevan dengan

tingkat perkembangan siswa (Depdiknas, 2006).

Salah satu pendekatan yang sesuai dengan KTSP dalam pembelajaran

matematika adalah pendekatan PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia).

Selain itu menurut R.K. Sembiring (dalam Majalah PMRI, 2008) PMRI yang awalnya

merupakan suatu gerakan untuk mereformasi pendidikan matematika di Indonesia mulai

dari SD ini, sejalan dengan pandangan modern tentang pendidikan matematika, yaitu

bahwa matematika adalah kegiatan manusia, suatu konstruksi budaya manusia. PMRI

yang berasal dari Pendidikan Matematika Realistik (PMR) di negeri Belanda (Institut

Freudenthal) telah disesuaikan dengan keadaan di Indonesia.

Dalam PMRI matematika disajikan sebagai suatu proses, sebagai kegiatan

manusia, bukan sebagai produk jadi. Unsur menemukan kembali amat penting. Bahan

pelajaran disajikan melalui bahan ceritera yang sesuai dengan lingkungan siswa

(kontekstual), jadi realistis bagi siswa. Begitupun alat peraga sebaiknya juga berasal

dari lingkungan siswa. Siswa dituntut lebih aktif dan guru lebih banyak bertindak

sebagai fasilitator. Dalam menyelesaikan soal ceritera, para murid diatur bekerja

kelompok (Sembiring, 2008).

Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah:‘Bagaimana desain pembelajaran pengukuran debit berbasis Pendidikan

Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dalam membangun pemahaman siswa terhadap

konsep pengukuran debit.

Page 33: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-3

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Adapaun tujuan penelitian ini adalah:‘Memunculkan pemahaman siswa akan

konsep dasar pengukuran debit melalui pembelajaran brbasis pendidikan Matematika

Realistik Indonesia (PMRI)’

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian 'Design research',

(Gravemeijer, 2006). Jenis penelitian ini menggunakan seting kelas sebenarnya

(Authentic classroom) untuk mengimplementasikan suatu teori pembelajaran sebagai

upaya meningkatkan kualitas pembelajaran. Menurut Akker (2006:19) Desain

Research terdiri dari: (1) preparing for the experiment, (2) experimenting in the

classroom, and (3) conducting restrospective analyses.

Rencana Lintasan Belajar/Hipotetical Learning Trajecktory(HLT)

Untuk merancang aktivitas pembelajaran, rencana lintasan belajar memuat

dugaan yang dibuat guru dan diharapkan mendapat respon dari siswa untuk setiap tahap

dalam lintasan belajar tersebut. Dugaan tersebut yang diuraikan dengan basis tiap

pertemuan dari suatu perencanaan aktivitas instruksional yang disebut dengan rencana

lintasan belajar (Gravemeijer, 2004). Suatu rencana lintasan belajar meliputi tujuan

pembelajaran untuk siswa, aktivita pembelajaran terencana, dan suatu dugaan proses

pembelajaran dimana guru mengantisipasi kumpulan perkembangan pengetahuan

matematika mereka di kelas dan bagaimana pemahaman siswa berkembang sebagai

mana mereka terlibat dalam aktivitas pembelajaran dikelompoknya (Cobb, 2000; Cobb

& Bowers, 1999; Simon 1995).

Analisis Data

Jenis penelitian desain ini adalah penelitian kualitatif.

1. Validitas: pelaksanaan penelitian desain ini untuk menjawab pertanyaan penelitian

yang diajukan, untuk itu dibuat HLT. Validitas data yang diperoleh mengacu pada: (a)

HLT/Rencana Lintasan Belajar, dan (b) Pengambilan kesimpulan.

2. Reliabilitas: Reliabilitas secara kualitatif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:

(a) Triangulasi data, (b) Interpretasi silang.

Page 34: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-4

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Analisis Data

Data yang telah memenuhi proses validitas dan reabilitas yang dilakukan

kemudian dianalisis lebih lanjut dengan metode berikut: (a) Metode deskriptif, metode

ini digunakan untuk menguraikan informasi yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan

penelitian desain. (b) Metode transkrip, metode ini digunakan untuk mentransfer

informasi rekaman video kedalam bahasa tulisan. (c) Metode Klasifikasi, metode ini

digunakan untuk menginterpretasi hasil observasi yang diperoleh dalam kegiatan

penelitian desain.

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Tahap Persiapan Penelitian (Preparing for The Experiment)

(1) Desain Pendahuluan (PreliminaryDesign)

Pada tahap ini setelah melalui kajian literatur melalui preses pendesainan di

hasilkan learning trajectory sebagai alur pembelajaran yang dilalui oleh siswa dalam

melakukan aktivitas pembelajaran pada topik Pengukuran Debit.

Learning trajectory yang didesain untuk pembelajaran Pengukuran Debit

mempunyai tahapan yang harus dilalui siswa.

Aktivitas pembelajaran untuk topik Pengukuran Debit tercakup pada HLT yang

sebagai berikut:

1. Aktivitas Mengamati dan mendiskusikan macam-macam air kran/slang dalam

kehidupan sehari-hari.

a. Aktivitas 1 mengamati gambar yang berisi banyak air kran.

b. Permasalahan 1 membandingkan banyak air pada waktu dan penampung air

sama tapi deras air dan sumber air berbeda.

2. Aktivitas 2 Pengamatan Debit Air Kran

3. Permasalahan 2 pengukuran debit dengan satuan volume sama tapi satuan waktu

berbeda.

4. Permasalahan 3 pengukuran debit dengan satuan waktu sama tapi satuan volume

berbeda

5. Permasalahan 4 pengukuran debit dengan satuan waktu dan satuan volume berbeda

HLT diatas telah dilengkapi dengan tujuan, aktivitas dan prediksi jawaban siswa.

Page 35: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-5

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Gambar 1. Kerangka pikir aktivitas berbasis pengalaman pada pembelajaran

Pengukuran Debit

Akt

ivita

s be

rba

sis

peng

ala

ma

n A

ktiv

itas

Pe

nghu

bung

Akt

ivita

s F

orm

al

Perbandingan debit

tidak langsung

Gambar macam-macam air kran dan diskusi

Perbandingan debit langsung Pengamatan air kran gallon dan air kran dari tower dan

diskusi

Gambar kran air PDAM dan air slang pemdam kebakaran

Siswa menggunakan strategi

sendiri

Menemukan debit air kran dari permasalah yang diberikan. Baik berbeda satuan wktu, volume atau

Diskusi kelas dari permasalah yang diberikan.

Alur

Pembelajaran

Aktivitas pembelajaran Konsep

Pengukuran Debit

Konsep dasar

pengukuran debit

Konsep satuan waktu

Konsep satuan volume

Pendataan volume air, waktu yang digunakan dan membuat laporan pengamatan

Diskusi kelas mengenai laporan pengamatan masing-masing kelompok dan membuat kesimpulam

Page 36: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-6

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

(2) Percobaan Penelitian (Pilot Experiment)

Pada percobaan penelitian ada beberapa terjadi perubahan aktivitas dan sedikit

perbaikan pada desain yang sudah ada seperti:

� Karena waktu untuk pengamatan khususnya sesi diskusi dan presentasi tidak cukup

dengan 1x70 menit pertemuan. Sehingga akan di buat menjadi 2x70 menit

pertemuan. Untuk pengamatan, diskusi dan presentasi hasil pengamatan

direncanakan di pertemuan ke-2.

Sedangkan pada pertemuan pertama hanya pengenalan pengantar mengenai

penertian debit, dengan menambah 1 aktivitas lengkap dengan lembar LKS-nya

yang berisi macam-macam kran air yang dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-

ihari. Kemudian dilanjutkan dengan mendiskusikan Permasalahan 1.

� Karena letak kamar mandi siswa yang jauh dari ruang kelas, sedangkan jumlah

siswa pada experiment in the classroom jauh lebih banyak, maka pertimbangan

waktu dan ketertiban siswa maka pada experiment in the classroom direncanakan

menampung air dari kamar mandi di ruang UKS yang lebih dekat dengan kelas

siswa.

� Kran dispenser yang awalnya ditawarkan peneliti untuk digunakan sebagai salah

satu perlangkapan aktivitas pengamatan yang akan diamati, maka setelah diskusi

dengan guru dan pembimbing sebelum penelitian dimulai. Kran dispenser yang

sumber airnya adalah gallon diganti dengan kran gallon atau gallon air yang

langsung memiliki kran. Hal ini dilakuakan untuk memudahkan aktivitas

pengamatan, mengingat dispenser sulit untuk dipindah-pindahkan dan juga akan

lebih mudah bila air lang sung dari gallon yang memiliki kran, galonnya lebih

mudah dibawa-bawa dan diisi air bila diperlukan.

� Penambahan waktu pembelajaran yang tadinya 4x70 menit menjadi 5x70 menit. Hal

ini karena ada penambahan aktivitas.

b. Experiment in the classroom (Kegiatan penelitian di kelas)

Pertemuan I

Melalui aktivitas I ini di Guru meminta pendapat siswa tentang apa yang dilihatnya

di lembar aktivitas I tersebut dan dimana biasanya mereka menemuinya.

Page 37: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-7

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Gambar 2. Antusias siswa memberi pendapat pada aktivitas I

Selanjutnya siswa diminta mendiskusikan permasalahan 1 yang berisi

membandingkan banyaknya air yang akan ditampung pada 2 ember yang sama besar

dalam waktu yang sama tapi sumber air berbeda.

Gambar 3. Alasan berbeda dari soal Permasalahan 1

Pertemuan II

Pada pertemuan ini dilakukan Aktivitas 2 secara berkelompok. Aktivitas 2 ini

merupakan aktivitas pengamatan debit air kran yang dilanjutkan dengan diskusi

kelompok dan presentasi serta diskusi kelas.

.

Gambar 4. Aktivitas Pengamatan

Page 38: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

Seminar Nasional Pendidikan MIPA,

Dalam kelompok siswa melakukan aktivitas

pada aliran air kran tower dan air kran gallon mineral. Siwa di minta mendata hasil yang

mereka peroleh yang selanjutnya membuat laporan hasil pengamatan dalam kelompok.

Gambar 5. Laporan Pengamatan kelompok Angrek

Pertemuan III

Pertemuan III siswa diminta mendiskusikan soal Permasalahan 2, yang berisi

permasalahan reaistik pengisian ember dengan air kran. Soalnya sebagai berikut :

Fatih mengisi air pada sebuah ember melalui kran . Satu ember dapat memuat 180 L air.

Dalam waktu 3 menit ember tersebut akan penuh terisi air. Berapakah debit air kran

tersebut dalam L/detiknya?

Soal tersebut merupakan soal pengukuran debit dengan satuan volume tetap

sama tapi satuan waktu berbeda.

Gambar 6. Jawaban siswa dengan

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Dalam kelompok siswa melakukan aktivitas pengamatan. Pengamatan dilakukan

pada aliran air kran tower dan air kran gallon mineral. Siwa di minta mendata hasil yang

mereka peroleh yang selanjutnya membuat laporan hasil pengamatan dalam kelompok.

. Laporan Pengamatan kelompok Angrek

Pertemuan III siswa diminta mendiskusikan soal Permasalahan 2, yang berisi

permasalahan reaistik pengisian ember dengan air kran. Soalnya sebagai berikut :

Fatih mengisi air pada sebuah ember melalui kran . Satu ember dapat memuat 180 L air.

am waktu 3 menit ember tersebut akan penuh terisi air. Berapakah debit air kran

Soal tersebut merupakan soal pengukuran debit dengan satuan volume tetap

sama tapi satuan waktu berbeda.

. Jawaban siswa dengan strategi berbeda

1-8

pengamatan. Pengamatan dilakukan

pada aliran air kran tower dan air kran gallon mineral. Siwa di minta mendata hasil yang

mereka peroleh yang selanjutnya membuat laporan hasil pengamatan dalam kelompok.

Pertemuan III siswa diminta mendiskusikan soal Permasalahan 2, yang berisi

permasalahan reaistik pengisian ember dengan air kran. Soalnya sebagai berikut :

Fatih mengisi air pada sebuah ember melalui kran . Satu ember dapat memuat 180 L air.

am waktu 3 menit ember tersebut akan penuh terisi air. Berapakah debit air kran

Soal tersebut merupakan soal pengukuran debit dengan satuan volume tetap

Page 39: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-9

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pertemuan IV

Pada pertemuan IV ini siswa diminta menyelesaikan permasalahn 3.

Permasalahan 3 ini merupakan permasalahan realistik pengukuran debit dari air yang

mengalir dari kran air waktu mengisi bak mandi. Soalnya sebagai berikut:

Ibu membuka kran bak mandi untuk mengisi bak. Dalam 8 detik air terisi 40L. .Berapa

���/detik debit air yang mengalir ke dalam bak mandi?

Soal permasalah 3 ini merupakan juga soal pengukuran debit dengan satuan

waktu tetap sama tapi satuan volume berbeda.

Gambar 7. Dua jawaban dengan strategi berbeda siswa

Pertemuan V

Pertemuan V ini siswa menyelesaikan permasalahan 4. Permasalahan 4 ini

merupakan permasalahan realisti pengisian botol dari kran dispenser air mineral.

Soalnya sebagai berkut :

Page 40: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-10

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Fara mengisi sebuah botol dari air gallon. Botol tersebut dapat menampung 300 ��� air

dalam waktu 5menit. Berapa ���/detik debit air yang mengalir dari gallon ke botol

tersebut?

Permasalahan 4 ini merupakan permasalahan pengukuran debit dengan satuan

waktu dan volume tidak sama.

Gambar 8. Salah satu jawaban siswa

c. Retrospective Analyses (Analisis Kegiatan)

Secara keseluruhan siswa sudah melalui learning trajectory yang telah di desain

untuk memahami konsep Pengukuran Debit. Setiap langkah pada pada pembelajaran

pengukuran debit ini mempunyai peran penting masing masing, seperti air kran sebagai

starting point, konteks pengantar pembelajaran mengenai pengukuran debit. Dilanjutkan

dengan aktivitas pengamatan debit air kran. Aktivitas ini sebagai model of dari

pembelajaran pengukuran debit. Begitu seterusnya permasalahan realistik yang

diberikan merupakan model for untuk memahami pengukuran debit secara formal.

Namun semua di kemas dalam konteks air kran yang sangat dekat hubungannya dengan

pembelajaran pengukuran debit dan juga sangat dekat dengan keseharian siswa.

Pemahaman (reasoning) siswa mengenai konsep dasar pengukuran debit yang

muncul dalam konteks air kran dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Aktivitas 1 mengamati gambar yang berisi banyak air kran sebagai starting point

yang juga merupakan konteks dalam pembelajaran pegukuran debit.

Page 41: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-11

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

b. Permasalahan 1 membandingkan banyak air pada waktu dan penampung air sama

tapi deras air dan sumber air berbeda.

c. Aktivitas 2 Pengamatan Debit Air Kran

d. Permasalahan 2 pengukuran debit dengan satuan volume sama tapi satuan waktu

berbeda.

e. Permasalahan 3 pengukuran debit dengan satuan waktu sama tapi satuan volume

berbeda.

f. Permasalahan 4 pengukuran debit dengan satuan waktu dan satuan volume berbeda,

Kegiatan dalam penelitian ini yang ditujukan untuk model yang muncul adalah

menghitung/mengukur debit air yang keluar dari kran/slang air melalui aktivitas

“pengamatan debit air kran” dimana tujuan dari pengamatan ini untuk membangkitkan

pengetahuan siswa mengenai pengukuran debit atau bagaimana mengetehui ukuran

debit suatu aliran air yang ada di sekitar siswa (seperti air kran tower dan air kran

gallon) dengan satuan debit sederhana menggunakan alat ukur yang dapat meraka

temukan atau pakai sehari-hari.

SIMPULAN

1. Aktivitas berdasarkan pengalaman dialami oleh siswa membantu siswa memahami

konsep dasar mengenai pegukuran debit hingga tahap yang lebih formal.

2. Deskripsi rute pembelajaran ; pada level informal, siswa memahami bahwa setiap

kran mempunyai kederasan yang berbeda, di level referensial, pengamatan debit air

kran merupakan representasi pengukuran debit ( model of), pendataan dan membuat

laporan pengamatan merupakan model for di level general, dan setelah pencapaian

beberapa konsep dasar pengukuran debit, siswa mampu menyelesaikan persoalan

pada level formal yang menuntut pengetahuan dan pengalaman mereka di level

situasional, referensial, dan general.

Page 42: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-12

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Siswa mengamati macam air kran dan kederasan airnya

Pendataan

SITUATIONAL

REFERENTIAL

Pengamatan Air kran

Siswa mengamati macam air kran dan kederasan airnya

PROSES PEMBELAJARAN UNTUK

PEMAHAMAN KONSEP PENGUKURAN DEBIT

Pendataan

SITUATIONAL

REFERENTIAL

GENERAL

FORMAL

Pengamatan Air kran

Permasalahan pengukuran debit

Page 43: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-13

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

DAFTAR PUSTAKA

Akker, J., van den 2006. Educational Design Research. Roudledge. London and New York.

Aryadi Wijaya, 20008. Desain Research in Mathematics Education Indonesia

Traditional Games as Prelimineries in Learning Measurement of Length. Bird, John, 2002. Matematika Dasar eori dan Aplikasi Praktis. Penerbir Erlangga.

Jakarta. Gravemeijer, K 1994. Developing Realistic Mathematics Education ontwikkelen van

realistisch reken/wiskundeondewijs (met een samenvatting in het Netherlands). Gravemeijer, K., & van Eerde, D. 2009. Design research as a means for building a

knowledge base for teacher and teaching mathematics education. The elementary school Journal, 109 (5), 510-524.

Hadi, Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika Realistik. Banjarmasin. Tulip Pribadi, B A 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Langkah Penting Merancang

Kegiatan Pembelajaran yang Efektif dan Berkwalitas. Penerbit Dian Rakyat. Retnowati, E dab Susanti, M. 2009. Upaya Meningkatkan Interaksi Siswa Melalui

Permasalahan Realistik dan Presentasi Poster. Majalah PMRI. Vol VII No.2. Riyanto Yatim, 2008. Paradigma Pembelajaran . Kencana Prenada Media Group.

Jakarta. Sembiring RK, 2008. Apa dan Mengapa PMRI. Majalah PMRI Pendidikan Matematika

Realistik Indonesia. Vol VI No.4. Sudrajat, 2008. Pengembangan Bahan Ajar. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/

2008/03/04/pengembangan-bahan-ajar-2/ Suharta Putu I Gusti. Matematika apa dan Bagaimana. http://www.depdiknas.go.id/

jurnal/38/Matematika. Sugiman, 2008. Pandangan Matematika Sebagai Aktivitas Insani Beserta Dampak

Pengajarannya. Jurnal Pendidikan Matematika Volum 2 No.2 UNSRI Palembang.

Yasmin, Nyimas, 2007. Pengembangan Prangkat Pembelajaran Berbasis Realistic

Mathematics Education (RME) untuk kelas IV Sekolah Dasar (SD). Tesis Universitas Padang. Zulkardi, 2002. Developing a Learning Environment on Realistic Mathematics Education For Indonesia Student Teachers.Disertasi

Page 44: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-14

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

……..2005. Pendidikan Matematika Indonesia: Beberapa permasalahan dan Upaya Penyelesaiannya. Pidato Pengukuhan Sebagai guru Besar di FKIP Unsri. Palembang

Page 45: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-15

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN

CREATIVE PROBLEM SOLVING

Ristontowi1

1Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UMB

[email protected]

Abstrak

Salah satu komponen penting yang harus dimiliki oleh siswa agar dapat menyelesaikan permasalahan dalam matematika adalah kemampuan berpikir kritis. Cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk membantu siswa mengembangkan hal ini adalah melalui pembelajaran diantaranya pembelajaran creative problem solving (CPS). CPS merupakan pembelajaran yang memberikan suatu situasi masalah kontekstual kepada siswa. Pada situasi masalah yang diberikan terdapat situasi, fakta, keadaan yang mempertentangkan struktur kognisi siswa. Dalam situasi ini terjadi konflik antara pengetahuan yang dimiliki siswa dengan situasi yang sengaja disediakan. Sehingga siswa akan menjadi kreatif mencari jalan penyelesaiannya serta kritis untuk menentukan cara yang paling efektif. Kata kunci: berpikir kritis matematis, creative problem solving PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah membawa perubahan

yang sangat terhadap kehidupan manusia, salah satunya dunia pendidikan. Untuk

mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, dunia pendidikan

merupakan landasan yang membekali manusia untuk berpikir maju dan berorientasi

modern yang mengikuti perkembangan zaman.

Sejalan dengan tuntutan zaman, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,

agar terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas, yang mampu mengahadapi

tantangan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi

komunikasi dan informasi yang kini ada dan juga yang akan terus berkembang semakin

memungkinkan peserta didik untuk mengakses sendiri beragam sumber belajar. Oleh

karena itu, peserta didik diharapkan mampu berkompetensi secara global, sehingga

diperlukan keterampilan tinggi yang melibatkan pemikiran kritis, sistematis, logis,

kreatif, dan kemampuan bekerja sama yang aktif. Salah satu usaha untuk meningkatkan

Page 46: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-16

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

keterampilan melalui proses berpikir tersebut adalah dengan melaksanakan

pembelajaran matematika, karena matematika memiliki struktur dan keterkaitan yang

kuat dan jelas satu dengan yang lainnya, serta berpola pikir yang bersifat deduktif dan

konsisten.

Matematika memiliki peranan yang penting dalam menunjang kemajuan dunia

pendidikan. Hal ini dirasakan bahwa matematika secara langsung dapat membantu

kemajuan IPTEK. Untuk itu pendidikan matematika harus ditingkatkan agar

menghasilkan sumber daya yang bagus pula. Untuk meningkatkan pendidikan

matematika, berbagai usaha telah dilakukan pemerintah. Usaha itu antara lain dengan

meningkatkan kualitas guru, perbaikan kurikulum sesuai dengan perkembangan ilmu

dan teknologi serta melengkapi sarana dan prasarana pendidikan. Usaha itu dilakukan

agar terciptanya sumber daya yang kritis dalam menghadapi kemajuan dunia.

Berpikir kritis adalah kemampuan-kemampuan untuk memahami masalah,

menyeleksi informasi yang penting untuk menyelesaikan masalah, memahami asumsi-

asumsi, merumuskan dan menyeleksi hipotesis yang relevan, serta menarik kesimpulan

yang valid dan menentukan kevalidan dari kesimpulan-kesimpulan. Berpikir kritis

merupakan salah satu tahapan berpikir tingkat tinggi. Untuk memecahkan suatu

permasalahn tentu diperluakan data-data agar dapat dibuat keputusan yang logis, dan

untuk membuat suatu keputusan yang tepat, diperlukan kemampuan berpikir kritis yang

baik. Karena begitu pentingnya, berpikir kritis pada umumnya dianggap sebagai tujuan

utama dari pembelajaran.

Supaya terjalin proses belajar antara guru dan siswa unuk menumbuh

kembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, maka guru harus memiliki dan

menerapkan strategi atau model mengajar yang tepat. Model mengajar harus dapat

disesuaikan dengan keadaan siswa dikelas dan sesuai dengan pokok bahasan yang akan

diajarkan. Namun tidak ada yang pasti tentang cara mendapatkan model mengajar yang

paling tepat karena tidak sesuai dengan hasil hasil belajar yang dicapai.

Dengan masalah ini maka diperlukan serta upaya nyata untuk menggunakan

strategi atau model pembelajaran yang berbasis pada pengembangna kemampuan

berpikir kritis dalam upaya untuk memecahkan masalah matematika. Model yang dapat

digunakan untuk meningkatakan kemampuan berpikir kritis matematis siswa dalam

mempelajari matematika adalah model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)

Page 47: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-17

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

dan model pembelajaran Problem Posing. Model Pembelajaran Creative Problem

Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran yang memusatkan pada pengajaran dan

keterampilan. Untuk dapat memecahkan masalah secara cepat dan tepat diharapkan

siswa dapat berpikir kritis untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Model pembelajaran Problem Posing adalah suatu model pembelajaran yang

memberikan kesempatan kepada siswa membuat soal sendiri atau berkelompok,

kemudian menyelesaikannya menurut konsep atau materi yang telah dipelajari, atau

memcahkan suatu soal menjadi pertanyam-pertanyaan yang lebih sederhana yang

mengacu pada penyelesaian soal tersebut. Kesempatan diberikan kepada siswa dapat

menyelesaikan soal dengan caranya sendiri.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian ekperimental yang menerapkan pembelaran

model CPS. Dalam penelitian ini melibatkan dua kelompok subjek, satu sebagai

kelompok eksperimen dan satu kelompok lagi sebagai kelompok kontrol. Sebelum dan

setelah pemberian pembelajaran, diadakan tes kemampuan berpikir kritis matematis.

Selanjutnya digunakan disain kelompok kontrol pretes-postes seperti berikut:

A : O X O

A : O Y O

Keterangan: A = Pemilihan sampel secara acak kelas

X = Pembelajaran CPS Y = Pembelajaran Biasa

O = Tes Kemampuan berpikir kritis matematis

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Pertama

(SMP) di Kota Bengkulu. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas IX SMPN 1 Ujan

Mas. Selanjutnya diambil dua kelas, satu kelas ditetapkan sebagai kelas eksperimen

yaitu kelas yang memperoleh pembelajaran CPS dan satu kelas lagi sebagai kelompok

kontrol yaitu kelas yang memperoleh pembelajaran biasa (PB). Sampel penelitian

diambil dari kelas IX SMP dengan pertimbangan siswa kelas IX diperkirakan

kemampuan dasarnya relatif sama. Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen,

yaitu tes pengetahuan awal matematika siswa dan tes kemampuan berpikir kritis

matematis.

Page 48: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-18

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Analisis Data

Pengolahan data kuantitatif yang diperoleh melalui tes pengetahuan awal

matematika dan tes kemampuan berpikir kritis matematis dilakukan melalui dua tahapan

utama. Tahap pertama, menguji persyaratan statistik yang diperlukan sebagai dasar

dalam pengujian hipotesis yaitu uji normalitas dan uji homogenitas varians terhadap

bagian-bagiannya maupun keseluruhannya. Tahap kedua, untuk mengetahui ada

tidaknya perbedaan dari masing-masing kelompok digunakan uji-t dengan bantuan

perangkat lunak SPSS-19 for windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebelum memulai proses pembelajaran, guru memberikan tes awal yang sama

kepada kelas eksperimen yaitu IX.1 yang berjumlah 30 orang siswa dan kelas kontrol

yaitu IX.2 yang berjumlah 30 orang siswa mengenai materi yang akan diajarkan yaitu

pada kompetensi dasar kesebangunan bangun datar. Tes ini dilakukan untuk mengetahui

kemampuan awal siswa sebelum mengikuti pembelajaran matematika.

Setelah tes awal selesai dilaksanakan, kedua kelas diberikan pembelajaran

matematika dengan pembelajaran yang berbeda. Kelas eksperimen diberikan proses

pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)

sedangkan kelas kontrol diberikan model pembelajaran Biasa.

Setelah kegiatan pembelajaran selesai dilaksanakan kedua kelas diberikan tes

akhir yang sama. Untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis siswa

terutama pada kompetensi dasar kesebangunan bangun datar dengan melihat skor yang

didapat dari skor tes awal dan tes akhir.

Deskripsi Data Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Data kemampuan berpikir kritis matematis siswa pada penelitian ini dapat dilihat

pada Skor yang diperoleh dari pelaksanaan tes awal dan tes akhir yang diberikan kepada

kedua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Data tersebut digunakan untuk

menentukan perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis siswa antara kelas

eksperimen yang menggunakan model pembelajaran Creative Problem solving (CPS)

dengan kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran Problem Posing. Hasil

dari tes tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Page 49: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-19

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

1. Tes Awal

Perhitungan Kelas

Eksperimen Kontrol Jumlah Nilai 232 239 Nilai Tertinggi 10 10 Nilai Terendah 6 6 Rata-Rata 7,73 7,96 Simpangan Baku 1,11 0,99 Varians 1,23 0,99

2. Tes Akhir

Perhitungan Kelas

Kontrol Eksperimen Jumlah Nilai 402 473 Nilai Tertinggi 17 19 Nilai Terendah 6 6 Rata-Rata 13,4 15,77 Simpangan Baku 1,75 1,50 Varians 3,07 2,25

Uji Kesamaan Dua Rata-Rata

Uji kesamaan dua rata-rata untuk data tes awal digunakan uji t yang bertujuan

untuk menguji hipotesis yang diajukan. Karena data berdistribusi normal dan homogen

maka untuk uji kesamaan dua rata-rata dapat dilihat pada perhitungan SPSS 19 for

windows dapat dilihat nilai signifikansi (sig (2-tailed)) pada t-test for equality of means.

Pada data tes awal diperoleh nilai signifikansi 0,396 atau signifikansi lebih dari 0,05

sehingga terima H0 (tidak ada perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis siswa

antara model pembelajaran Creative Problem solving (CPS) dengan model

pembelajaran Biasa pada kompetensi dasar kesebangunan bangun datar dikelas IX SMP

Negeri 1 Ujan Mas Tahun Ajaran 2011/2012).

Dari data tes akhir pada tabel di atas dilakukan analisis untuk mengetahui

kemampuan berpikir kritis matematis siswa setelah diberikan pembelajaran. Data yang

digunakan adalah data tes akhir aspek kemampuan berpikir kritis matematis siswa pada

materi kesebangunan bangun datar. Adapun perhitungan yang dilakukan adalah sebagai

berikut Uji kesamaan dua rata-rata untuk data tes akhir digunakan uji t yang bertujuan

untuk menguji hipotesis yang diajukan. Karena data berdistribusi normal dan homogen

maka untuk uji kesamaan dua rata-rata dapat dilihat pada perhitungan SPSS 19 for

Page 50: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-20

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

windows dapat dilihat Skor signifikansi (sig (2-tailed)) pada t-test for equality of means.

Pada data tes akhir diperoleh Skor signifikansi 0,000 atau signifikansi kurang dari 0,05

sehingga tolak H0 dan terima Ha (ada perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis

siswa antara model pembelajaran Creative Problem solving (CPS) dengan model

pembelajaran Biasa pada kompetensi dasar kesebangunan bangun datar dikelas IX SMP

Negeri 1 Ujan Mas Tahun Ajaran 2011/2012).

Pembahasan

Pada analisis diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa kelas eksperimen dan

kelas kontrol berdistribusi normal dan mempunyai varians yang sama. Hal ini berarti

kelas eksperimen dan kelas kontrol berasal dari kondisi atau keadaan yang sama yaitu

kemampuan yang sama mengenai aspek kemampuan berpikir kritis matematis sebelum

dilakukan pembelajaran.

Pada kelas eksperimen (IX.1) dilakukan pembelajaran yaitu dengan model

pembelajaran Creative Problem Solving (CPS). Proses pembelajaran dimulai dengan

guru memberikan masalah yang berhubungan dengan indikator pembelajaran yang ingin

dicapai. Masalah tersebut kemudian diselesaikan oleh para siswa dengan cara kerja

kelompok sedangkan guru membantu membimbing siswa untuk menyelesaikan

masalah-masalah yang diberikan dengan cara memberikan informasi-informasi yang

diperlukan. Kemudian guru meminta beberapa siswa menyelesaikan permasalahan

tersebut di papan tulis sedangkan siswa yang lain memberikan komentar.

Pada kelas kontrol (IX.2) pembelajaran yang dilakukan adalah model

pembelajaran Biasa. Pada pembelajaran ini, guru memberikan contoh-contoh soal dari

yang mudah hingga soal yang tersulit dan terdapat dalam LKS. Masalah tersebut

kemudian diselesaikan oleh para siswa dengan cara kerja kelompok sedangkan guru

membantu membimbing siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah yang diberikan

dengan cara memberikan informasi-informasi yang diperlukan. Kemudian guru

meminta beberapa siswa menyelesaikan permasalahan tersebut di papan tulis sedangkan

siswa yang lain memberikan komentar.

Model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) dan model pembelajaran

biasa yang berhubungan dengan kemampuan berpikir kritis matematis yang dimiliki

oleh siswa dapat dilihat pada hasil tes akhir kemampuan berpikir kritis matematis.

Page 51: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-21

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Kemampuan berpikir kritis matematis dapat dimiliki oleh siswa dengan menggunakan

model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) maupun model pembelajaran

biasa, namun pada penelitian ini hasil tes akhir kemampuan berpikir kritis matematis

siswa yang diajar dengan model pembelajaran biasa lebih baik dibandingkan dengan

model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS).

Berdasarkan analisis data, terdapat perbedaan antara kelas eksperimen dan kelas

kontrol untuk kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Perbedaan ini dikarenakan

pada kelas eksperimen diberikan model pembelajaran Creative Problem solving (CPS),

sedangkan pada kelas kontrol diberikan model pembelajaran problem posing . Model

pembelajaran Creative Problem solving (CPS) melatih siswa untuk lebih mengasah

kemampuan berpikir kritisnya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang diberikan.

Hal ini disebabkan oleh dalam model pembelajaran Creative Problem solving (CPS)

diawali dengan memberikan masalah dalam LKS yang harus diselesaikan dengan

menggunakan langkah-langkah dalam model pembelajaran Creative Problem solving

(CPS). Dalam langkah-langkah tersebut siswa dilatih untuk berfikir mennyelesaikan

dengan caranya sendiri. Siswa yang memiliki kemampuan yang rendah tetap dapat

menyelesaikan permasalahan tersebut dengan cara mereka sendiri. Sedangkan pada

kelas kontrol diberikan model pembelajaran problem posing siswa diberikan soal-soal

yang terdapat dalam LKS, yang dapat membantu siswa menyelesaikan soal dengan

cepat, karena di dalam LKS tersebut terdapat tingkatan soal dari yang mudah sampai

yang sulit. Dengan mengerjakan soal-soal tersebut, siswa lebih cepat mengerti dan

memahami. Sehingga siswa yang berkemampuan rendah dapat mengerjakan soal yang

mudah terlebih dahulu, sehingga siswa dapat mengerti dengan cepat.

Proses belajar erat hubungannya dengan proses berpikir. Tugas mengajar yang

terpenting adalah membantu siswa berpikir, yaitu membantu siswa berpikir sendiri dan

bukan hanya mengikuti apa yang dikatakan guru. Menurut Santrock (2008) berpikir

adalah memanipulasi atau mengelola dan mentransformasi informasi dalam memori

yang dilakukan untuk membentuk konsep, bernalar dan berpikir secara kritis, membuat

keputusan,berpikir kreatif, dan memecahkan masalah. Sedangkan menurut Purwanto

(2007:43) berpikir adalah satu keaktifan pribadi manusia yang mengakibatkan

penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Berdasarkan uraian tersebut dapat

disimpulkan bahwa berpikir merupakan suatu keaktifan pada diri manusia yang erat

Page 52: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-22

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

hubungannya dengan daya-daya jiwa seperti tanggapan, ingatan, pengertian, dan

perasaan, menyangkut ide atau gagasan dan tidak terikat dengan kata-kata, yang

bertujuan untuk menemukan pemahaman yang diinginkan dengan mengelola informasi

dalam memori.

Siswa perlu dibantu untuk kritis terhadap bahan pelajaran dan juga masalah yang

dihadapi. Pikiran kritis ini sangat penting. Beberapa ahli memberikan pengertian dan

penjelasan yang bervariasi tentang berpikir kritis, misalnya Suparno (2005) berpikir

kritis adalah seseorang dalam mendalami dan menghadapi sesuatu hal, tidak hanya asal

menerima saja, tetapi selalu bertanya apakah hal itu memang sudah benar atau ada

sesuatu yang tidak benar, atau masih dapat dikembangkan. Menurut Santrock

(2007:359) mengatakan bahwa pemikiran kritis adalah pemikiran reflektif dan

produktif, dan melibatkan evaluasi bukti. Santrock juga menjelaskan beberapa pedoman

bagi guru dalam membantu peserta didik mengembangkan keterampilan berpikir kritis,

yaitu: (1) Guru harus berperan sebagai pemandu siswa dalam menyusun pemikiran

mereka sendiri; (2) Menggunakan pertanyaan yang berbasis pemikiran; (3) Bangkitkan

rasa ingin tahu intelektual siswa. Dorong siswa untuk bertanya, merenungkan,

menyelidiki, dan meneliti; (4) Libatkan siswa dalam perencanaan dan strategi: (5) Beri

siswa model peran pemikir yang positif dan kreatif; (6) Guru harus mampu menjadi

model peran pemikir yang positif bagi siswa.

Jadi berpikir kritis berarti merefleksikan permasalahan secara mendalam,

mempertahankan pikiran agar tetap terbuka bagi berbagai pendekatan dan pandangan

yang berbeda, tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari

berbagai sumber baik yang lisan maupun yang tulisan, serta berpikir secara reflektif

ketimbang hanya menerima ide-ide dari luar tanpa adanya pemahaman dan hasil yang

penting dalam mengambil suatu keputusan yang masuk akal tentang apa yang diyakini.

Berpikir kritis dalam matematika dapat diinterpretasikan dalam berbagai cara.

Glazer (2001), menyatakan berpikir kritis dalam matematika adalah kemampuan dan

disposisi untuk melibatkan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematis, dan strategi

kognitif untuk menggeneralisasi, membuktikan, atau mengevaluasi situasi matematis

yang kurang dikenal dalam cara yang reflektif.

Model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu model

pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan

Page 53: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-23

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

masalah, yang diikuti dengan penguatan keterampilan. Ketika dihadapkan dengan suatu

pertanyaan, siswa dapat melakukan keterampilan pemecahahn masalah untuk memilih

dan mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghapal tanpa dipikir,

keterampilan memecahkan masalah memperluas proses pikir. Dengan menggunakan

model pembelajaran ini diharapkan dapat menimbulkan minat sekaligus minat dan

kretivitas siswa.

Adapun proses dari pembelajarn Creative Problem Solving (CPS), terdiri dari

langkah-langkah sebagai berikut: (1) Klarifikasi Masalah. Klarifikasi masalah meliputi

pemberian penjelasan kepada siswa tentang masalah yang diajukan, agar siswa dapat

memahami tentang penyelesaian seperti apa yang diharapkan; (2) Pengungkapan

pendapat. Pada tahap ini siswa dibebaskan untuk mengungkapkan pendapat tentang

berbagai macam strategi penyelesaian masalah: (3) Evaluasi dan pemilihan. Pada tahap

ini, setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-strategi mana yang

cocok untuk menyelesaikan masalah; (4) Implementasi. Pada tahap ini siswa

menentukan strategi mana yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian

menerapkannya sampai menemukan penyelesaian dari masalah. Pepkin (dalam

Noviyanti, 2008).

Karen menyebutkan bahwa model Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu

model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan

pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan kretivitas. Ketika siswa dihadapkan

dengan suatu pertanyaan, siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah

untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara

menghapal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah untuk memperluas proses

berpikir (Farida, 2010).

Pendekatan Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu

pendekatan pembelajaran yang sistematik dalam menggorganisasikan dan mengolah

keterangan dan gagasan, sehingga masalah dapat dipahami dan dipecahkan secara

imajinatif. Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan, siswa dapat melakukan

keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya.

Tidak hanya dengan cara menghapal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah

memperluas proses pikir. Suatu soal dianggap sebagai masalah adalah soal yang

memerlukan keaslian berpikir tanpa adanya contoh penyelesaian sebelumnya. Masalah

Page 54: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-24

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

berbeda dengan soal latihan, pada soal latihan siswa telah mengetahui cara

penyelesaiannya, karena telah jelas antara hubungan antara yang diketahui dengan yang

ditanyakan, dan biasanya telah ada cotoh soal. Pada masalah ini siswa tidak tahu

bagaimana cara menyelesaikannya, tetapi siswa tertarik dan tertantang untuk

menyelesaikannya. Siswa menggunakan segenap pemikiran, memilih strategi

pemecahannya, dan memproses hingga menemukan penyelesaian dari suatu masalah.(

Suyatno, 2009 : 34).

Pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran Creative Problem Solving

(CPS), peran pendidik lebih banyak menempatkan diri sebagai fasilitator, motivator,

dan dinamisator, setuju secara individual maupun secara berkelompok. Proses

pembelajaran yang memberi kesempatan luas kepada peserta didik merupakan prasyarat

bagi peserta didik untuk berlatih belajar mandiri melalui Creative Problem Solving

(CPS).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dari dua kelas di kelas IX SMP Negeri 1 Ujan Mas,

kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajar melalui model pembelajaran

Creative Problem Solving (CPS) (kelas eksperimen) dan model pembelajaran biasa

(kelas kontrol) yang dilakukan dapat disimpulkan dapat disimpulkan bahwa ada

perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajar melalui model

pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) dengan yang diajar melalui model

pembelajaran biasa pada kompetensi dasar kesebangunan bangun datar di kelas IX SMP

Negeri 1 Ujan Mas tahun ajaran 2011/2012.

Oleh karena itu dalam mengajar hendaknya guru matematika menggunakan

model pembelajaran CPS dalam proses belajar mengajar khususnya pada kompetensi

dasar kesebangunan bangun datar. Dalam proses belajar mengajar, model pembelajaran

CPS tersebut dapat melatih siswa lebih aktif untuk menemukan alternatif-alternatif

penyelesaian dari masalah-masalah yang ada sehingga siswa berpikir secara kritis.

Perlu ada media belajar dan sumber belajar yang dapat menunjang siswa supaya

kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung dengan lancar serta menambah wawasan

yang luas bagi siswa sehingga proses pembelajaran matematika siswa dapat

Page 55: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-25

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

berkembang dengan baik. Melalui hal-hal tersebut maka kemampuan berpikir kritis

matematis dapat dimiliki siswa dengan baik

DAFTAR PUSTAKA

Crayonpedia. 2008. Kesebangunan 9.1. MediaWiki. Diambil pada tanggal 12 Mei 2011 dari: http://www.crayonpedia.org/mw/Kesebangunan 9.1

Critical Thinking Skills. 2010. Berpikir Kritis. Diambil pada tanggal 15 Mei 2011 dari:

http://educate.intel.com/id/ProjectDesign/ThinkingSkills/HigherThinking/Analisys/CriticalThinking.htm

Dimiyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : PT. Rineka Cipta Enis, Robert. 1996. Critical Thinking. University of LLLinois Fahmi, Syariful. Pendekatan Pembelajaran. (online). Tersedia http://syarifulfahm

/i.blogspot.com/2009/09pendekatan-pembelajaran-problam-posing.html Farida. 2010. Penerapan Model CPS Dalam Pembelajaran Matematika Untuk

Meningkatkan Keaktifan Siswa. Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Tidak dipublikasikan

Peni, Febriani. 2010. Perbedaan Hasil Belajar Antara Siswa Yang Pembelajarannya

Dengan Pendekatan Problem Posing Dan Siswa Yang Pembelajarannya Dengan Konvensional Tahun Ajaran 2009/2010. Skripsi Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Tidak dipublikasikan

Hamalik, Oemar. 2009. Proses Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Bumi Aksara Herdian. 2009. Model Pembelajaran Problem Posing. (online). Tersedia: http://herdy07.

wordpress.com/2009/04/19/model-pembelajaran-problem -posing/ Noviyanti, Dwi Astuti. 2008. Peningkatan Kedisiplinan dan Prestasi belajar Matematika

Dengan Pendekatan Creative Problem solving Pada Siswa Kelas VII SMP Muhammadiyah 4 Surakarta. Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diambil tanggal 31 Maret 2011. Dari: http://justanotherWordPresscom.blog

Oci. 2010. Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Melalui Pembelajaran

Creative Problem Solving Di Kelas Viii Smpn 18 Kota Bengkulu. Skripsi Universitas Bengkulu. Tidak dipublikasikan

Santoso, Singgih. 2009. Mastering SPSS Versi 19. Jakarta : PT. Elex Media

Page 56: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-26

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Simbolon, Lina. 2010. Perbedaan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa Yang Diajar Melalui Pendekatan Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) Dengan Pembelajaran Konvensional Pada Pokok Bahasan Persegi Panjang Kelas Vii Smp Negeri 24 Seluma Tahun Ajaran 2009/2010. Skripsi Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Tidak dipublikasikan

Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung : PT. Tarsito Bandung. Suryosubroto, B. 2009. Proses Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Rineka Cipta Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo : Mas Media Buana

Pustaka Tim Revisi. 2010. Pedoman Penulisan Skripsi Program Strata-1 FKIP UMB. Tidak

diterbitkan Whandi (08 Oktober 2009). Pengertian Belajar. Diambil pada tanggal 27 Januari 2010.

Dari: http://whandi.net/2009/10/e-dukasi/pengertian-belajar.html

Page 57: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-27

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

MENGEMBANGKAN SOFTSKILL SISWA MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS MASALAH

Djamilah Bondan Widjajanti1

1Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta [email protected]

ABSTRAK

Softskill adalah istilah sosiologis untuk kecerdasan emosional seseorang, yang antara lain merujuk pada sejumlah sifat kepribadian seseorang (meliputi kejujuran, kesopanan, keramahan, kesabaran, ketangguhan, kepercayaan diri), ketrampilan berinteraksi sosial, ketrampilan berkomunikasi lisan dan tertulis, ketrampilan presentasi (menyampaikan gagasan dan meyakinkan orang lain), ketrampilan bekerja sama dalam tim, ketrampilan berinisiatif, dan ketrampilan beradaptasi. Berbagai sifat kepribadian dan ketrampilan ini sangat perlu dikembangkan pada diri para siswa, terpadu pada setiap pelaksanaan pembelajaran di sekolah, termasuk pada pembelajaran matematika. Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dapat dipilih guru matematika untuk mengembangkan softskill siswa. Pendekatan ini menekankan pada: (1) penggunaan masalah yang menantang untuk memandu pembelajaran; (2) pemberdayaan kelompok kecil sebagai forum siswa untuk saling belajar; dan (3) peran guru sebagai fasilitator. Masalah matematika yang kontekstual, realistik, dan open-ended , dapat menjadi pilihan untuk mengembangkan empati siswa terhadap sesama dan lingkungan, serta melatih kesabaran, ketangguhan, kepercayaan diri, dan kemampuan siswa dalam berkomunikasi. Kelompok belajar yang heterogen berpotensi mengembangakan ketrampilan siswa dalam berinisiatif, beradaptasi, berinteraksi sosial, dan bekerja dalam tim. Peran guru sebagai fasilitator, yang mampu melakukan interfensi kepada siswa atau kelompok siswa tepat waktu dan sasaran, sangat memungkinkan berkembangnya sifat baik siswa, khususnya dalam semangat, common sense, tanggungjawab, rasa humor, integritas, pengelolaan waktu, dan motivasi.

Kata kunci: softskill, matematika, pembelajaran berbasis masalah

PENDAHULUAN

Semakin hari, ragam masalah yang dihadapi seseorang semakin meningkat dan

persaingan untuk memperoleh sesuatu juga semakin ketat. Tuntutan dan tantangan di

dunia kerja juga terus berubah. Akibatnya, untuk dapat eksis menghadapi tantangan

hidup yang semakin kompleks, sedini mungkin anak-anak sudah harus dipersiapkan

untuk menghadapi masa depannya.

Page 58: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-28

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Apa yang pada umumnya dibekalkan orang tua kepada anak-anaknya?

Nampaknya pendidikan yang memadai sudah menjadi pilihan banyak orang tua.

Kesadaran para orang tua akan pentingnya membekali putra-putri mereka dengan

pendidikan yang berkualitas baik sudah semakin meningkat seiring laju perkembangan

teknologi komunikasi dan informasi. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah:

pendidikan seperti apakah yang diperlukan seseorang untuk dapat sukses, khususnya

dalam mengatasi beragam tantangan yang mungkin harus dihadapi, baik di dalam

kehidupan pribadi maupun di dalam kehidupan bermasyarakat?

Beberapa hasil penelitian menyebut pentingnya softskill untung mendukung

kesuksesan karir seseorang di dunia kerja dan di masyarakat. Menurut Giblin (2008)

ketrampilan (skill) seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain menentukan

kualitas bisnis, kualitas kehidupan keluarga, dan kualitas kehidupan sosial orang

tersebut. Puliam (Utama, dkk., 2010) menyebutkan bahwa skill yang paling dicari oleh

pemberi kerja adalah keterampilan berkomunikasi, integritas/kejujuran, keterampilan

interpersonal, motivasi/inisiatif, etika kerja yang kuat, keterampilan bekerja dalam tim,

keterampilan menggunakan komputer, dan ketrampilan beradaptasi. Ini menunjukkan

bahwa ada sejumlah skill yang mempengaruhi kualitas kinerja seseorang. Beberapa dari

skill tersebut termasuk dalam apa yang dinamakan softskill.

Memperhatikan bahwa keberhasilan seseorang, misalnya dalam dunia kerja,

ditentukan tidak hanya oleh hardskill, tetapi juga softskill yang dimilikinya, maka

pendidikan yang besar kemungkinan dapat berkontribusi secara signifikan terhadap

keberhasilan seseorang dalam meniti hidup dan karier adalah pendidikan yang mampu

membekali dan mengembangkan hardskill dan softskill peserta didik. Pada satuan

pendidikan yang demikian, pembekalan hardskill dan softskill diintegrasikan pada setiap

kegiatan belajar mengajar.

Pengintegrasian pembekalan dan pengembangan hardskill dan softskill peserta

didik idealnya harus direncanakan secara sistematis, menyeluruh, dan dilaksanakan

secara terus menerus pada kegiatan belajajar-mengajar setiap mata pelajaran atau mata

kuliah, termasuk pada kegiatan belajar-mengajar mata pelajaran atau mata kuliah

matematika, mulai di Sekolah Dasar hingga di Perguruan Tinggi. Namun, bagaimana

caranya kegiatan belajar-mengajar mata pelajaran atau mata kuliah Matematika dapat

Page 59: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-29

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

digunakan untuk membekali dan mengembangkan hardskill dan softskill

siswa/mahasiswa?

Guru/dosen Matematika dapat mengembangkan hardskill dan softskill

siswa/mahasiswa melalui pemilihan model, strategi, atau pendekatan pembelajaran yang

tepat. Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang direkomendasikan untuk

itu adalah pendekatan pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning;

disingkat PBL). Makalah ini membahas softskill, PBL, dan bagaimana mengembangkan

softskill siswa melalui PBL.

SOFTSKILL

Di dalam Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Soft-skills) disebutkan bahwa

“soft skills is a sociological term for a person’s “EQ” (Emotional Intelligence

Quotient), which refers to the cluster of personality traits, social graces,

communication, ability with language, personal habits, friendliness, and optimism that

mark each of us in varying degrees”. Sedangkan dalam

http://searchcio.techtarget.com/definition/soft-skills disebutkan “Soft skills are personal

attributes that enhance an individual's interactions, job performance and career

prospects”.

Softskill meliputi ketrampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain

(interpersonal skills) dan ketrampilan dalam mengatur diri sendiri (intra personal skills)

yang mampu mengembangkan unjuk kerja secara maksimal. Masih menurut definisi

dalam http://searchcio.techtarget.com/definition/soft-skills, softskill pada umumnya

digolongkan menjadi dua, yaitu atribut/sifat pribadi atau perorangan (personal

attributes) , seperti semangat, common sense, tanggungjawab, rasa humor, integritas,

pengelolaan waktu, dan motivasi; dan kecakapan antar perorangan (interpersonal

abilities), seperti empati, kepemimpinan, komunikasi, good manners, keramahan, dan

kecakapan mengajar. Sedangkan di dalam Wikipedia disebutkan soft skills merupakan

kemampuan bertingkahlaku (behavioral competencies) yang juga dikenal sebagai

interpersonal skills, or people skills, yang meliputi berbagai kecakapan seperti

“communication skills, conflict resolution and negotiation, personal effectiveness,

creative problem solving, strategic thinking, team building, influencing skills and

selling skills”.

Page 60: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-30

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Beberapa contoh interpersonal skill yang merupakan bagian dari softskill yang

sangat penting untuk menunjang karir seseorang, menurut Wikipedia, adalah

ketrampilan: (1) berpartisipasi sebagai anggota tim, (2) mengajari orang lain, (3)

melayani pelanggan, (4) memimpin, (5) bernegosiasi, (6) bekerja dalam keragaman

budaya, (7) memotivasi orang lain, dan (8) bertukar pikiran/gagasan/pandangan dengan

orang lain.

Nussbaum (2009) menyebutkan teamwork, attention to detail, energy/drive,

work composure, initiative, and communication skill, sebagai soft skill yang sangat

penting. Phani (2007) mendaftar 60 jenis soft skill yang paling “top” untuk berbagai

profesi pada umumnya. Diantara temuan dalam penelitiannya menyebutkan bahwa

positive work ethics, good attitude, and desire to learn and be trained, merupakan soft

skill yang pada umumnya diperlukan seorang pekerja. Sedangkan Wiratna (Nugroho,

2009) menyebutkan enam kategori soft skills yang perlu diasah pada institusi formal

yaitu: (a) keterampilan komunikasi lisan dan tulisan (communication skills), (b)

keterampilan berorganisasi (organizational skills), (c) kepemimpinan (leadership), (d)

kemampuan berpikir kreatif dan logis (logic and creative), (e) ketahanan menghadapi

tekanan (effort), (f) kerjasama tim dan interpersonal (group skills) serta etika kerja

(ethics).

Berdasarkan kajian yang masih terbatas untuk pengertian soft skill sebagaimana

di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa soft skill adalah istilah sosiologis untuk

kecerdasan emosional seseorang, yang antara lain merujuk pada sejumlah sifat

kepribadian seseorang (meliputi kejujuran, kesopanan, keramahan, kesabaran,

ketangguhan, kepercayaan diri), ketrampilan berinteraksi sosial, ketrampilan

berkomunikasi lisan dan tertulis, ketrampilan presentasi (menyampaikan gagasan dan

meyakinkan orang lain), ketrampilan bekerja sama dalam tim, ketrampilan berinisiatif,

dan ketrampilan beradaptasi.

PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PBL)

Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-based Learning; disingkat

PBL) adalah pendekatan pembelajaran yang menjadikan masalah sebagai dasar atau

basis bagi siswa untuk belajar. Duch, et.al. (2000) menyatakan prinsip dasar dari PBL

adalah bahwa pembelajaran dimulai (diprakarsai) dengan mengajukan masalah,

Page 61: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-31

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

pertanyaan, atau teka-teki, yang menjadikan siswa yang belajar ingin

menyelesaikannya. Dalam PBL, masalah yang nyata dan kompleks diharapkan dapat

memotivasi siswa untuk mengidentifikasi dan meneliti konsep dan prinsip yang mereka

perlu ketahui untuk berkembang melalui masalah tersebut. Siswa bekerja dalam tim

kecil, dan memperoleh, mengomunikasikan, serta memadukan informasi dalam proses

yang menyerupai atau mirip dengan menemukan (inquiry).

Tan (2004) juga menyebutkan bahwa PBL telah diakui sebagai suatu

pengembangan dari pembelajaran aktif dan pendekatan pembelajaran yang berpusat

pada siswa, yang menggunakan masalah-masalah yang tidak terstruktur (masalah-

masalah dunia nyata atau masalah-masalah simulasi yang kompleks) sebagai titik awal

dan jangkar atau sauh untuk proses pembelajaran. Sedangkan Roh (2003) mengatakan

bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah strategi pembelajaran di kelas yang

mengatur atau mengelola pembelajaran matematika di sekitar kegiatan pemecahan

masalah dan memberikan kepada para siswa kesempatan untuk berfikir secara kritis,

mengajukan ide kreatif mereka sendiri, dan mengomunikasikan dengan temannya secara

matematis.

PBL menggambarkan suatu suasana pembelajaran yang menggunakan masalah

untuk memandu, mengemudikan, menggerakkan, atau mengarahkan pembelajaran.

Pembelajaran dalam PBL dimulai dengan suatu masalah yang harus diselesaikan, dan

masalah tersebut diajukan dengan cara sedemikian hingga para siswa memerlukan

tambahan pengetahuan baru sebelum mereka dapat menyelesaikan masalah tersebut.

Tidak sekedar mencoba atau mencari jawab tunggal yang benar, para siswa akan

menafsirkan masalah tersebut, mengumpulkan informasi yang diperlukan, mengenali

penyelesaian yang mungkin, menilai beberapa pilihan, dan menampilkan kesimpulan

(Roh, 2003).

Dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, maka PBL mempunyai

banyak keunggulan. Keunggulan yang dimaksud antara lain lebih menyiapkan siswa

untuk menghadapi masalah pada situasi dunia nyata, memungkinkan siswa menjadi

produsen pengetahuan, dan dapat membantu siswa mengembangkan komunikasi,

penalaran, dan ketrampilan berfikir kritis. Menurut Smith, Ericson, dan Lubienski, yang

dikutip oleh Roh (2003), kebalikan dengan lingkungan atau suasana kelas yang

konvensional, lingkungan atau suasana kelas PBL memberikan kesempatan kepada

Page 62: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-32

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

siswa untuk mengembangkan kemampuannya untuk menyesuaikan diri dan mengubah

suatu metode atau cara ke dalam situasi baru yang cocok. Siswa-siswa dalam

lingkungan atau suasana kelas PBL secara khusus mempunyai kesempatan yang lebih

besar untuk belajar proses matematika yang berkaitan dengan komunikasi, representasi,

pemodelan, dan penalaran. Tan (2004) menyatakan bahwa dibandingkan pendekatan

pembelajaran tradisional, PBL membantu siswa dalam konstruksi pengetahuan dan

ketrampilan penalaran.

Hmelo-Silver, Chernoblisky, dan DaCosta (2004) juga menyatakan bahwa para

siswa yang belajar pengetahuan dalam konteks pemecahan masalah seperti PBL

kemungkinan besar dapat mengingat kembali dan mentransfer pengetahuan mereka

untuk masalah baru. Mendukung keunggulan PBL, maka sebuah artikel dalam buletin

CIDR (2004) mengemukakan alasan mengapa digunakan PBL, adalah karena: (1) PBL

menyiapkan siswa lebih baik untuk menerapkan pembelajaran (belajar) mereka pada

situasi dunia nyata; (2) PBL memungkinkan siswa menjadi produsen pengetahuan, dari

pada hanya konsumen; dan (3) PBL dapat membantu siswa mengembangkan

komunikasi, penalaran, dan ketrampilan berfikir kritis.

Melalui PBL, siswa dalam kelompok akan berdiskusi secara intensif, sehingga

secara lisan mereka akan saling bertanya, menjawab, mengkritisi, mengoreksi, dan

mengklarifikasi setiap konsep atau argumen matematis yang muncul dalam diskusi.

Dalam diskusi yang demikian akan berkembang juga kemampuan siswa untuk

membuat, memperhalus, dan mengeksplorasi dugaan-dugaan (konjektur), sehingga

memantapkan pemahaman mereka atas konsep matematis yang sedang dipelajari, atau

terhadap masalah matematika yang dipecahkan. Pada akhirnya, para siswa juga harus

mampu mengomunikasikan ide mereka, baik secara lisan maupun tertulis, dalam rangka

menyelesaikan masalah yang diberikan.

Dari beberapa pengertian PBL seperti tersebut di atas dapatlah disimpulkan

bahwa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada: (1)

penggunaan masalah yang menantang untuk memandu pembelajaran; (2) pemberdayaan

kelompok kecil sebagai forum siswa untuk saling belajar; dan (3) peran guru sebagai

fasilitator.

Page 63: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-33

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

MENGEMBANGKAN SOFTSKILL MELALUI PBL

Melalui PBL, beberapa softskill siswa berpotensi untuk dapat dikembangkan

secara optimal. Karena dalam PBL pembelajaran mendasarkan pada masalah, maka

pemilihan masalah menjadi hal yang penting. Khusus untuk pelajaran matematika, guru

dapat memilih soal/masalah matematika yang menantang minat siswa, misalnya

soal/masalah dengan konteks suatu issue yang sedang terjadi di dalam kehidupan nyata

siswa, seperti adanya musibah bencana alam, kemiskinan, wabah penyakit, kecelakaan

transpotasi, pemanasan global, kebakaran hutan, dan sebagainya. Soal/masalah

kontekstual yang realistik demikian berpotensi untuk mengembangkan empati siswa

terhadap sesama dan lingkungan.

Selain masalah yang kontekstual dan realistik, masalah open-ended juga suatu

pilihan yang baik. Masalah yang open-ended adalah masalah yang mempunyai lebih

dari satu cara untuk menyelesaikannya, atau mempunyai lebih dari satu jawaban yang

benar. Foong (2002) menyebutkan ciri-ciri masalah open-ended, antara lain adalah: (1)

Metode penyelesaiannya tidak tertentu; (2) Jawabannya tidak tertentu; (3) Mempunyai

banyak jawaban yang mungkin; (4) Dapat diselesaikan dalam cara yang berbeda; (5)

Memberi siswa ruang untuk membuat keputusan sendiri dan untuk berfikir matematis

secara alamiah; (6) Mengembangkan penalaran dan komunikasi; atau (6) Terbuka untuk

kreativitas dan imaginasi siswa. Dengan memilih soal/masalah open-ended, guru

matematika telah memberi kesempatan kepada para siswa untuk saling belajar melalui

diskusi yang intensif dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut. Diskusi yang

demikian berpotensi mengembangkan beberapa skill siswa, khususnya dalam kesabaran,

ketangguhan, kepercayaan diri, dan kemampuan berkomunikasi.

Dalam PBL, agar forum diskusi dapat menjadi forum saling belajar yang efektif,

maka selain pemilihan soal/masalah, pembentukan tim diskusi juga merupakan kunci

penting. Idealnya pembentukan tim memperhatikan keragaman siswa dalam berbagai

aspek. Tim yang heterogen, misalnya dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, gaya

bicara, kepercayaan diri, dan sebagainya, sangat memungkinkan untuk menjadi forum

saling belajar yang mengembangkan skill siswa, khususnya dalam berinisiatif,

beradaptasi, berinteraksi sosial, dan bekerja dalam tim.

Setelah berdiskusi, pada umumnya beberapa siswa atau kelompok siswa

diharuskan mempresentasikan hasil diskusi mereka, berupa penyelesaian soal/masalah,

Page 64: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-34

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

di depan kelas. Sesi presentasi ini selain berpotensi mengembangkan ketrampilan siswa

dalam menyampaikan gagasan dan meyakinkan orang lain, juga memungkinkan para

siswa mengembangkan kemampuan mereka dalam berkomunikasi baik lisan maupun

tertulis, dan berlatih untuk percaya diri.

Kunci penting yang lain dalam PBL adalah peran guru. Sebagai fasilitator, guru

berperan dalam menyiapkan soal/masalah yang menantang, menyediakan bahan ajar

yang sesuai, mengkondisikan lingkungan belajar yang kondusif, dan menyiapkan diri

untuk menjawab pertanyaan atau memberi petunjuk, jika diperlukan. Interfensi dari

guru yang tepat waktu dan tepat sasaran, berpotensi mengembangkan beberapa skills

siswa, khususnya yang terkait dengan sifat perorangan para siswa, seperti semangat,

common sense, tanggungjawab, rasa humor, integritas, pengelolaan waktu, dan

motivasi.

PENUTUP

Beberapa softskill siswa, seperti ketrampilan berinteraksi sosial, berkomunikasi

baik lisan maupun tertulis, presentasi, bekerja sama, berinisiatif, dan juga berlatih untuk

tangguh dan percaya diri, sangat mungkin dikembangakan melalui pembelajaran

matematika menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (PBL). Tiga

kunci penting agar pelaksanaan PBL pada pembelajaran matematika dapat menjadi

kegiatan belajar-mengajar yang berpotensi mengembangkan beberapa softskill siswa

adalah: (1) Pemilihan masalah; (2) Pembentukan kelompok; dan (3) Peran guru.

Masalah matematika yang kontekstual, realistik, dan open-ended , dapat menjadi

pilihan untuk mengembangkan empati siswa terhadap sesama dan lingkungan, serta

melatih kesabaran, ketangguhan, kepercayaan diri, dan kemampuan siswa dalam

berkomunikasi. Kelompok belajar yang heterogen berpotensi mengembangakan

ketrampilan siswa dalam berinisiatif, beradaptasi, berinteraksi sosial, dan bekerja dalam

tim. Peran guru sebagai fasilitator, yang mampu melakukan interfensi atau memberi

bantuan kepada siswa atau kelompok siswa tepat waktu dan sasaran, sangat

memungkinkan berkembangnya sifat siswa, khususnya dalam semangat, common sense,

tanggungjawab, rasa humor, integritas, pengelolaan waktu, dan motivasi.

Page 65: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-35

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

DAFTAR PUSTAKA

CIDR Teaching and Learning Bulletin. (2004). Problem-Based Learning. [Online]. Vol

7. (3). Tersedia: http://depts.washington.edu/cidrweb/TeachingLearningBulletin. html.[15 Januari 2008].

Duch, Barbara J., Allen, Deborah E., and White, Harold B. (2000). Problem-Based

Learning: Preparing Students to Succeed in the 21st Century.[Online]. Tersedia http://www.hku.hk/caut/homepage/tdg/5/TeachingMatter/Dec.98.pdf [ 15 Januari 2008].

Foong, P. Y. (2002). Using Short Open-Ended Mathematics Questions to Promote

Thinking and Understanding. [Online]. Tersedia: http://www.math.unipa.it/~grim/SiFoong.PDF [15 Januari 2008].

Giblin, L. (2008). Skill with Pople. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Hmelo-Silver, C.E., Chernobilsky, E., and Da Costa, M.C. (2004). Psycological Tools

in Problem-based Learning, in Enhancing Thinking through Problem-based Learning Approaches. Singapore: Thomson Learning.

Nussbaum, Paul. (2009). Which “soft skill” do you think is most important? [Online]

Tersedia: http://it.toolbox.com/blogs/contactcenterview. [ 20 Januari 2009] Nugroho, Djoko Hari. (2009). Integrasi Soft Skills pada Kurikulum Prodi Elektronika

Instrumentasi-STTN untuk Persiapan SDM PLTN. Makalah Seminar SDM Teknologi Nuklir. Yogyakarta.

Phani,Challa S. S. J. R. (2007). The top 60 soft skills at work. [ Online ]. Tersedia:

http://www.rediff.com/getahead/2007/jan/08soft.htm [20 Januari 2009] Roh, Kyeong Ha. (2003). Problem-Based Learning in Mathematics. Dalam ERIC

Digest. ERIC Identifier: EDO-SE-03-07. [Online]. Tersedia: http://www.ericdigest.org/ [4 Desember 2007].

Tan, Oon-Seng. (2004). Cognition, Metacognition, and Problem-Based Learning, in

Enhancing Thinking through Problem-based Learning Approaches. Singapore: Thomson Learning.

Utama, I Made S., dkk. (2010). Konsep Pengembangan Panduan Evaluasi Soft Skills

Mahasiswa. [Online]. Tersedia: http://staff.unud.ac.id/~madeutama/wp-content/. [ 5 September 2011]

Wikipedia. (2009). Soft skills. [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia.org/ wiki/

Soft_skills. [20 Januari 2009]

Page 66: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-36

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

MENUMBUHKAN KARAKTER BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG BERORIENTASI PADA KEMAMPUAN BERPIKIR

MATEMATIS TINGKAT TINGGI

Asep Ikin Sugandi1

1STKIP Siliwangi Bandung [email protected]

ABSTRAK

Karakter bangsa yang menjadi tujuan pendidikan nasional adalah karakter cerdas

yang dilandasi oleh nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. Pembelajaran

matematika yang berorientasi pada potensi pengembangan olah pikir siswa, sangat

strategis berkontribusi pada pencapaian tujuan tersebut. Salah satu alternatif

pembelajaran yang dapat menumbuhkan karakter bangsa adalah pembelajaran

matematika yang berorientasi pada kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi.

Kata kunci: Karakter Bangsa, Berpikir Matematis Tingkat Tinggi

PENDAHULUAN

Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi (KBMTT) merupakan hal yang

penting dalam pendidikan matematika, perlu dilatihkan pada siswa dari mulai jenjang

pendidikan dasar sampai menengah. Siswa perlu dibekali keterampilan seperti itu

supaya siswa mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi secara kritis dan

kreatif. Pentingnya Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi (KBMTT)

dilatihkan kepada siswa, didukung oleh tujuan pendidikan matematika yang mempunyai

dua arah pengembangan yaitu memenuhi kebutuhan masa kini dan masa yang akan

datang (Sumarmo, 2002, 2004, 2005).

Tujuan pertama untuk kebutuhan masa kini, pembelajaran matematika mengarah

pada pemahaman konsep-konsep yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah

matematik dan ilmu pengetahuan lainnya. Tujuan kedua untuk kebutuhan masa yang

akan datang atau mengarah ke masa depan, mempunyai arti lebih luas yaitu

Page 67: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-37

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

pembelajaran matematika memberikan kemampuan nalar yang logis, sistematis, kritis,

dan cermat serta berpikir objektif dan terbuka yang sangat diperlukan dalam kehidupan

sehari-hari serta untuk menghadapi masa depan yang selalu berubah.

Kemudian ditegaskan pula oleh Kurikulum 2004 dan Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP) serta Badan Standar Nasional Pendidikan (2006: 1) bahwa

peserta didik dari mulai sekolah dasar perlu dibekali dengan kemampuan berpikir logis,

analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan kemampuan bekerja sama.

Pengembangan kemampuan berpikir, khususnya yang mengarah pada berpikir

tingkat tinggi, perlu mendapat perhatian serius karena sejumlah hasil studi seperti

Henningsen dan Stein, 1997; Peterson, 1988; Mullis, dkk (Suryadi, 2004 : 17)

menunjukkan bahwa pembelajaran matematika pada umumnya masih berfokus pada

pengembangan kemampuan berpikir tahap rendah yang bersifar prosedural. Lebih lanjut

penelitian ini menjelaskan bahwa sebagian besar pembelajaran matematika belum

berfokus pada pengembangan penalaran matematik siswa. Secara umum pembelajaran

matematik masih terdiri atas rangkaian kegiatan berikut : awal pembelajaran dimulai

dengan sajian masalah oleh guru, selanjutnya dilakukan demonstrasi penyelesaian

masalah tersebut, dan terakhir guru meminta siswa untuk melakukan latihan

penyelesaian soal. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa pembelajaran yang lebih

menekankan pada aktivitas berpikir tingkat tinggi sangat erat kaitannya dengan capaian

prestasi siswa yang tinggi. Sebagai contoh, pembelajaran matematika di Jepang dan

Korea yang lebih menekankan pada aspek kemampuan berpikir matematika tingkat

tinggi telah mampu menghasilkan siswa berprestasi tinggi dalam matematika yang

dilakukan oleh TIMSS.

Disamping itu, akhir-akhir ini makin marak muncul fenomena yang kurang

mendidik, seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa,

kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan

sebagainya. Berbagai alternatif penyelesaian telah diajukan, namun alternatif lain yang

lebih efektif untuk mengatasi pembelajaran matematika yang masih berfokus pada soal-

soal rutin serta memperkecil karakter-karakter yang menyimpang dari norma-norma

hukum adalah pembelajaran matematika yang berorientasi pada kemampuan berpikir

matematik tingkat tinggi

Page 68: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-38

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Konsep Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

Dalam Undang-Undang (UU) nomor 20 tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (Sisdiknas) maka pendidikan nasional bertujuan untuk

berkembanganya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Pengembangan potensi peserta didik tersebut meliputi tataran individu, kolektif maupun

untuk kepentingan ekstensi bangsa.

Pada buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

Budaya (Pusat Kurikulum, 2010) dijelaskan mengenai pendidikan adalah suatu usaha

sadar dan sistematis budaya dan karakter. Budaya adalah nilai, moral, norma dan

keyakinan (belief), pikiran yang dianut oleh suatu masyarakat atau bangsa dan

mendasari perilaku seseorang sebagai dirinya, anggota masyarakat, dan warga negara.

Budaya mengatur perilaku seseorang mengenai sesuatu yang dianggap benar, baik, dan

indah. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak aatau kepribadian yang diyakini dan

digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berfikir, bersikap dan bertindak.

Kebajikan terdiri dari sejumlah nilai, moral, dan norma yang mendasari cara pandang,

berfikir, bersikap, dan cara bertindak seseorang serta yang membedakan dirinya dari

orang lainnya. Karakter bangsa terwujud dari karakter seseorang yang menjadi anggota

masyarakat bangsa tersebut.

Terdapat cukup banyak nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dapat

diintegrasikan dalam pembelajaran atau pendidikan di sekolah. Nilai-nilai itu adalah: 1)

religius, 2) jujur, 3) toleransi, 4) disiplin, 5) kerja keras, 6) kreatif, 7) mandiri, 8)

demokratis, 9) rasa ingin tahu, 10) semangat kebangsaan, 11) cinta tanah air, 12)

menghargai prestasi, 13) bersahabat/komuniktif, 14) cinta damai, 15) gemar membaca,

16) peduli lingkungan, 17) peduli sosial, dan 18) tanggung-jawab.

Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi (KBMTT)

Henningsen dan Stein (Kariadinata, 2006 : 23) mendefinisikan high-level

mathematical thinking sebagai kegiatan berpikir dan bernalar, sedangkan Schoenfeld

(Kariadinata, 2006 : 25) melukiskan kegiatan high-level mathematical thinking and

Page 69: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-39

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Reasoning sebagai kegiatan matematik (doing mathematics) yang aktif, dinamik dan

eksploratif.

Lebih lanjut Henningsen dan Stein (Sumarmo, 2004 : 27) mengatakan bahwa

KBMTT pada hakekatnya, merupakan kemampuan berpikir non-prosedural yang antara

lain mencakup hal-hal sebagai berikut : kemampuan mencari dan mengeksplorasi pola

untuk memahami struktur matematik serta hubungan yang mendasarinya; kemampuan

menggunakan fakta-fakta yang tersedia secara efektif dan tepat untuk memformulasikan

serta menyelesaikan masalah; kemampuan membuat ide-ide matematik secara

bermakna; kemampuan berpikir dan bernalar secara fleksibel melalui penyusunan

konjektur, generalisasi dan jastifikasi; serta kemampuan menginterprestasikan hasil

pemecahan masalah bersifat masuk akal dan logis.

Webb dan Coxford (1993 : 23) menyatakan bahwa kemampuan memahami ide

yang tersirat; menyusun konjektur, analogi, dan generalisasi; menalar secara logic;

menyelesaikan masalah; berkomunikasi secara matematik; dan mengaitkan ide

matematik dengan kegiatan intelektual lainnya, tergolong pada aspek berpikir

matematik tingkat tinggi.

Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Matematika Yang

berorientasi pada Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi

Beberapa hal yang menyebabkan pembelajaran matematika yang berorientasi

pada kemamuan berpikir matematis tingkat tinggi diprediksi dapat membangun karakter

bangsa, diantaranya :

1. Pemecahan Masalah Matematik

Dalam belajar matematika, kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu

hasil belajar yang ingin dicapai, dan merupakan hal yang sangat penting untuk dimiliki

oleh sisiwa. Pentingnya kepemilikan kamampuan pemecahan masalah pada matematika

dikemukakan Branca (Sumarmo, 1994 : 45) sebagai berikut : (1) kemampuan

penyelesaian masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika, bahkan sebagai

jantungnya matematika, (2) penyelesaian masalah meliputi metode, prosedur, strategi

dalam pemecahan masalah merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum

matematika, dan (3) pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar

matematika. Indikator pemecahan masalah sebagai berikut :

Page 70: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-40

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

a) Mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, serta kecukupan unsur yang

diperlukan, merumuskan masalah situasi sehari-hari dan matematik;

b) Memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis

dan masalah baru) dalam atau di luar matematika;

c) Menjelaskan/menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal; menyusun model

matematika dan menyelesaikannya untuk masalah dan menggunakan matematika

secara bermakna

Contoh Soal Pemecahan Masalah

Pada acara Bazaar tersedia stand bernomor 1 sampai dengan 200. Stand bernomor

kelipatan 4 berjualan makanan sedangkan stand bernomor kelipatan 5 berjualan pakaian

Hitunglah peluang seorang pedagang mendapatkan stand yang tidak berjualan makanan

atau pakaian! Sifat apa yang mendasari penyelesaian soal di atas? Berikan penjelasan!

Dengan komponen Pemecahan Masalah seperti ini diharapkan siswa mempunyai

sifat: (1) Mandiri, yaitu sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain

dalam menyelesaikan tugas-tugas; (2) Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan

upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas

dengan sebaik-baiknya; (3) Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk

menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimilikinya; (4) Sikap pantang

menyerah; (5) Berpikir kritis

2. Komunikasi Matematik

Pengertian komunikasi secara implisit menurut Effendy (1993 : 5) adalah proses

penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk membberi tahu atau

mengubah sikap, pendapat, atau perilaku baik langsung secara lisan, maupun tak

langsung melalui media. Menurut Sumarmo (2002 : 15) komunikasi matematik

meliputi kemampuan siswa dalam : (1) Menghubungkan benda nyata, gambar, dan

diagram ke dalam ide matematika; (2) Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik,

secara lisan dan tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar; (3) Menyatakan

peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; (4) Mendengarkan,

berdiskusi, dan menulis tentang matematika; (5) Membaca dengan pemahaman suatu

presentasi matematika tertulis; (6) Membuat konjengtur, menyusun argumen,

Page 71: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-41

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

merumuskan definisi dan generalisasi; (7) Menjelaskan dan membuat pertanyaan

tentang matematika yang dipelajari.

Contoh Soal Komunikasi

Suatu kompleks perumahan mempunyai 43 warga, 35 diantaranya aktif mengikuti

kegiatan oleh raga, sedang sisanya tidak mengikuti kegiatan apapun. Kegiatan bola voli

diikuti 17 orang, kegiatan tennis diikuti oleh 19 orang, dan kegiatan catur diikuti 22

orang. Warga yang mengikuti bola voli dan catur 12 orang, bola voli dan tennis 7 orang,

sedangkan tennis dan catur 9 orang. Gambarkan data tersebut dalam bentuk matematika

yang mudah dimengerti. Kemudian hitunglah peluang terambilnya seorang warga yang

senang ketiga kegiatan olah raga tersebut!

Dengan unsur komunikasi matematik ini diharapkan siswa mempunyai karakter:

(1) Toleransi, yaitu sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku etnis,

pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dengan orang lain; (2)

Demokratis, yaitu cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan

kewajiban dirinya dan orang lain; (3) Semangat Kebangsaan, yaitu cara berpikir,

berindak, berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas

kepentingan diri dan kelompoknya; (4) Bersahabat, yaitu tindakan yang memperlihatkan

rasa senang berbicara, bergaul dan bekerja sama dengan orang lain; (5) Cinta damai,

yaitu sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan

aman atas kehadiran dirinya; (6) Peduli sosial, yaitu sikap dan tindakan yang selalu

ingim memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan

3. Penalaran Matematik

Penalaran sebagai terjemahan dari kata “reasoning”, Shurter dan Pierce (Sumarmo,

1987 : 19) mendefinisikan sebagai proses pencapaian kesimpulan logis berdasarkan

fakta dan sumber yang relevan. Secara garis besar terdapat dua jenis penalaran yaitu

penalaran induktif yang biasa disebut induksi dan penalaran deduktif yang biasa disebut

deduksi. Penalaran merupakan fondasi dalam matematika Ross (Rocmad, 2008 : 2)

menyatakan bahwa salah satu tujuan terpenting dari pembelajaran matematika adalah

mengajarkan kepada siswa penalaran logika (logical reasoning). Bila kemampuan

bernalar tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa matematika hanya akan

Page 72: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-42

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

menjadi materi yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa

mengetahui maknanya.

Menurut Sumarmo (2002 : 15) penalaran matematik meliputi : (1) menarik

kesimpulan logik, (2) memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-

sifat dan hubungan, (3) memperkirakan jawaban dan proses solusi, (4) menggunakan

pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik, (5) Menyusun dan menguji

konjektur, (6) merumuskan lawan contoh (counter examples), (7) mengikuti aturan

inferensi; memeriksa validitas argumen, (8) menyusun argumen yang valid, dan (9)

menyusun pembuktian langsung dan menggunakan induksi matematik.

Contoh Soal Penalaran Matematik

2. Dua buah dadu yang masing-

masing sisinya bermata 1,2, 3,

4, 5 dan 6 dilemparkan satu kali

bersama-sama. Hubungan

kejadian tersebut dengan

bilangan 36.

Berikan penjelasan tentang

keserupaan yang bersangkutan.

Banyaknya siswa

14 12

12

10 9

8 6

6

4 3 3

2

5 6 7 8 9

skor

Hubungan histogram tersebut

dengan bilangan

A. 9 B. 12 C. 29 D. 33

Dengan unsur penalaran diharapkan siswa mempunyai karakter sebagai berikut :

1) Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam

mengatasi belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

2) Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil

baru dari sesuatu yang telah dimilikinya.

3) Menghargai prestasi, yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk

menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta

menghormati keberhasilan orang lain.

Serupa dengan

Page 73: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-43

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

4) Pantang Menyerah

5) Cinta Damai

6) Disiplin

7) Cinta tanah air, yaitu cara berpikir, cara bersikap, dan berbuat yang menunjukkan

kesetian, kepedulian dan penghargaan yang tinggi dalam bahasa, lingkungan fisik,

sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa.

4. Koneksi Matematik

Koneksi matematik merupakan salah satu standar yang dikemukakan oleh NCTM

(1989 : 12) yang bertujuan untuk membantuk pembentukan persepsi siswa dengan cara

melihat matematika sebagai bagian terintegrasi dengan dunia nyata dan mengenal

relevansi serta manfaat matematika baik di dalam maupun di luar sekolah. Begitupun

kurikulum (Depdikbud, 1995 : 21) mengemukakan salah satu tujuan umum

pembelajaran matematika di sekolah adalah untuk mempersiapkan siswa agar dapat

menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan

dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.

Berdasarkan klasifikasi NCTM mengenai koneksi matematik, diharapkan siswa

mampu :

a. Mengenal representasi yang ekuivalen dari konsep yang sama.

b. Mengenal hubungan prosedur satu representasi ke prosedur representasi yang

ekuivalen.

c. Menggunakan dan menilai koneksi beberapa topik-topik matematika.

d. Menggunakan dan menilai koneksi antara matematika dan disiplin ilmu lain.

Contoh Soal Koneksi Matematik

Dibawah ini disajikan data ulangan fisika dari 50 orang siswa kelas XI IPA SMA

sebagai berikut

Nilai 1 2 3 4 5

Frekuensi X 11 Y 8 9

Apabila mean dari nilai fisika tersebut = 2,7. Tentukanlah nilai X dan Y! Sifat apa yang

mendasari penyelesaian persoalan di atas? Berikan penjelasan.

Page 74: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-44

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Dengan unsur koneksi matematik ini diharapkan siswa mempunyai karakter

sebagai berikut :

1) Mandiri, yaitu sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam

menyelesaikan tugas-tugas

2) Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam

mengatasi belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

3) Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil

baru dari sesuatu yang telah dimilikinya.

4) Gemar membaca, yaitu Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai

bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya

5) Rasa ingin tahu, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui

lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka penulis mempunyai

kesimpulan sebagai berikut :

1) Pembelajaran matematika yang berorientasi pada kemampuan berpikir matematik

tingkat tinggi diprediksi dapat membangun karakter bangsa.

2) Jika pembelajaran matematika yang berorientasi pada kemampuan berpikir

matematik tingkat tinggi berhasil diterapkan dengan baik maka diprediksi hasil

belajar siswa dalam matematika akan meningkat dan pengembangan karakter siswa

dalam pembelajaran matematika akan mengarah kepada terbentuknya pribadi-

pribadi masa depan yang berorientasi kepada eksplorasi, penemuan, kemandirian

dan prestasi.

Saran

Selain itu, berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka penulis

memberikan saran sebagai berikut :

1) Keberhasilan peserta didik menyelesaikan pendidikannya di suatu satuan pendidikan

lebih diseimbangkan antara aspek kongnitif/psikomotor dengan aspek afektif.

Page 75: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-45

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

2) Pembelajaran matematika yang ‘kering nilai’ dapat dikembangkan guru matematika

dengan mengintegrasikan dan/atau menekankan pentingnya nilai-nilai positif dari

budaya dan karakter bangsa dalam kegiatan pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Effendy. O. U. (1993). Dinamika Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Kariadinata, R. (2006). Aplikasi Multimedia Interaktif dalam Pembelajaran Matematika

sebagai Upaya Mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Sisw SMA. Disertasi UPI. Bandung : Tidak Dipublikasikan.

Kemendiknas. (2010). Desain Induk Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan

Nasional. Jakarta : Kemendiknas. Puskur. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta :

Puskur Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional. Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA

dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertation at Post Graduate Studies at Indonesia University of Education, Bandung , not published

Sumarmo, U. (1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar terhadap

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa SMA di Kodya Bandung. Indonesia University of Education, Bandung , not published

Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan

Pemecahan Masalah pada Guru dan Siswa SMA di Kodya Bandung. Research Report at Indonesia University of Education, Bandung , not published

Sumarmo, U. (2002). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan

Kurikulum Berbasis Kompetensi. Report of Research Grant at Post Graduate Study. Indonesia University of Education, Bandung , not published

Sumarmo, U. (2003). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi pada Siswa

SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1) melalui berbagai Pendekatan Pembelajaran. Bandung, Report of Research Grant at Post Graduate Study. Indonesia University of Education, Bandung , not published

Sumarmo, U. (2004). Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana

Dikembangkan pada Peserta Didik. Paper presented at National Mathematics Education Seminar at State University of Yogyakarta.

Sumarmo, U. (2005). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu melalui Berbagai Pendekatan

Page 76: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-46

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pembelajaran. Report of Research Grant at Post Graduate Study. Indonesia University of Education, Bandung , not published

Suryadi, D. (2004). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta

Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangkaian Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertation at Post Graduate Studies at Indonesia University of Education, Bandung , Indonesia, not published

Webb, N.L. dan Coxford, A.F. (1993). Assesment in Mathematics Classroom.

Yearbook. NCTM : Reston, Virginia.

Page 77: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 47

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PEMBELAJARAN CONNECTED MATHEMATICS PROJECT (CMP) UNTUK MENINGKATKAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA

Adi Asmara1

Program Studi Pendidikan Matematika1 1FKIP Universitas Muhammadiyah Bengkulu

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Berbagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa, mulai dari penyempurnaan kurikulum, penyesuaian materi pelajaran, dan metode pembelajaran terus dilakukan sehingga benar-benar tercipta sebuah terobosan pembelajaran yang cocok dengan kondisi siswa di sekolah. Perubahan sikap, keterampilan dan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa merupakan sebuah harapan yang diidam-idamkan oleh berbagai pihak terkait dalam dunia pendidikan. Ciri-ciri kognitif berpikir kreatif matematis adalah 1. fluency, 2. fleksibilitas, 3. Kebaharuan, 4. Mengelaborasi, 5. Mengevaluasi. Indikator yang digunakan untuk melihat kemampuan berpikir kreatif matematis siswa adalah : 1. Sensitivity yaitu kemampuan siswa mendeteksi pernyataan atau pertanyaan serta memberikan jawaban dengan benar dan lengkap dalam memecahkan masalah. 2. Kefasihan merupakan kemampuan siswa dalam membuat jawaban yang beragam dan benar. 3. Elaborasi merupakan kemampuan siswa dalam memberikan jawaban benar dan rinci dalam memecahkan masalah. 4. Fleksibilitas merupakan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan berbagai cara yang berbeda dan benar. 5. Kebaharuan merupakan kemampuan siswa dalam membuat berbagai jawaban yang lain dari yang sudah biasa dan jawabannya benar dalam memecahkan masalah. Langkah-langkah pembelajaran connected mathematics project (CMP) menurut Lappan (2001) adalah : (1) Phase Launching, (2) Phase Exploring, dan (3) Phase Summarizing

Kata Kunci: Pembelajaran CMP, Berpikir Kreatif Matematis Siswa

PENDAHULUAN

Dalam dunia pendidikan, matematika mempunyai peranan yang sangat penting

dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia. Matematika sebagai

disiplin ilmu, menjadi pendukung bagi keberadaan ilmu-ilmu yang lain. Oleh karena itu

siswa diharapkan memiliki penguasaan matematika pada tingkat tertentu, sehingga

berguna bagi siswa dalam berkompetensi di masa depan. Ilmu matematika dapat

Page 78: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 48

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

diperoleh dengan menempuh pendidikan formal yang dilaksanakan disekolah-sekolah

yang erat kaitannya dengan kegiatan pembelajaran. Mata pelajaran matematika perlu

diberikan kepada semua peserta didik mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, bahkan oleh

mahasiswa di perguruan tinggi untuk membekali siswa maupun mahasiswa untuk

berkemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, serta kemampuan

bekerja sama.

Hal ini juga dijelaskan dalam kurikulum 2006 yang mengamanatkan pentingnya

mengembangkan kreativitas siswa dan kemampuan berpikir kreatif melalui aktivitas-

aktivitas kreatif dalam pembelajaran matematika. Kreativitas dikatakan juga sebagai

produk berpikir kreatif, sedangkan aktifitas kreatif merupakan kegiatan dalam proses

pembelajaran yang diarahkan untuk mendorong atau memunculkan kreativitas siswa.

Uraian diatas menyatakan pentingnya berpikir kreatif.

Connected Mathematics Project (CMP) adalah suatu pembelajaran yang

berpusat pada masalah yang akan diselesaikan dan didiskusikan oleh siswa, sehingga

siswa akan tampil aktif dalam belajar dan dapat dengan mudah diterapkan oleh guru dan

siswa (Lappan, 2001). Berdasarkan definisi ini dapat disimpulkan bahwa CMP

merupakan suatu pembelajaran yang dapat membantu siswa dan guru dalam

melaksanakan kegiatan belajar mengajar, memberi kesempatan kepada siswa untuk

mengemukakan ide-ide dan menyelesaikan masalah melalui diskusi, sehingga siswa

lebih aktif, memiliki keberanian mengungkapkan pendapat, dapat mengembangkan

strategi pemecahan masalah yang mereka miliki dan dapat meningkatkan kemampuan

berpikir kreatif matematis siswa.

Menurut Lappan (2001) sintaks pembelajaran CMP meliputi tiga fhase yaitu :

Launch, Explore dan Summarize. Dapat dilihat pada tabel 1. berikut:

Tabel 1. Sintaks Pembelajaran CMP

No. Phase Belajar Peran Guru Peran Siswa

1. Launching � Guru untuk mengantarkan ide baru, mengklarifikasikan definisi, mereview konsep lama dan mengaitkan masalah yang akan diluncurkan dengan pengalaman siswa sebelumnya.

� Guru membantu siswa memahami pengaturan masalah.

� Siswa diharapkan dapat berusaha untuk memahami masalah.

Page 79: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 49

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 1. Lanjutan

2. Exploring � Guru membentuk kelompok untuk bekerja dengan mengajukan pertanyaan dan mengkonfirmasikan apa yang dibutuhkan siswa.

� Guru berkeliling mengawasi siswa dan senantiasa memberikan motivasi kepada siswa untuk menemukan pemecahan masalah yang telah diberikan.

� Siswa bekerja untuk memecah-kan masalah secara ber-kelompok, kerja siswa seperti me-ngumpulkan data berbagai ide, membuat pola dan mengem-bangkan strategi pemecahan masalah.

3. Summarizing � Guru membantu siswa meningkatkan pemahaman siswa tentang masalah dan memperbaiki strategi mereka agar teknik pemecahan masalahnya bisa efisien dan efektif.

� Siswa berdiskusi tentang solusi yang mereka dapatkan, juga strategi yang di-gunakan untuk menyelesaikan masalah, meng-organisasi kan data, dan me-nemukan solusi.

Dari sintaks di atas, jadi langkah-langkah pembelajaran connected mathematics

project (CMP) menurut Lappan (2001) adalah sebagai berikut: (a) Pada Phase

Launching. Pada awal kegiatan pembelajaran, guru memberi gambaran kepada siswa

atau menghubungkan hal-hal yang telah dikenal siswa. Guru memberi informasi, konsep

tentang materi dan memberi LKS kepada siswa sehingga siswa diharapkan dapat

menemukan sendiri definisi dari materi yang di ajarkan. Guru membantu siswa

memahami masalah; (b) Phase Exploring. Guru membagi siswa beberapa kelompok.

Siswa memahami LKS, kemudian siswa berdiskusi, mengenai definisi, sifat-sifat yang

terkait dengan materi pelajaran; (c) Phase Summarizing. Pada tahap ini kebanyakan

siswa telah mendapat data-data yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang

diberikan guru. Siswa mempresentasikan hasil kerjanya didepan kelas. Selanjutnya

menguji kembali penyelesaian yang diperoleh. Pada tahap ini guru mengarahkan siswa

untuk menunjukkan kembali penyelesaian yang diperoleh.

Berpikir kreatif dalam matematika lebih menekankan pada kemampuan siswa

berpikir terbuka yang tidak hanya sebatas pada materi yang baru saja disampaikan dan

Page 80: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 50

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

bersifat rutin. Pemaknaan berpikir kreatif dalam matematika yang disesuaikan dengan

karakteristik keilmuwan matematika.

Berpikir kreatif dalam matematika mengacu pada pengertian berpikir secara

umum. Bishop dalam Siswono (2008:20) menjelaskan ”bahwa seseorang memerlukan 2

(dua) model berpikir yang komplementer dalam matematika yaitu berpikir kreatif yang

bersifat intuitif dan berfikir analitik yang bersifat logis”. Berfikir analitik yang bersifat

logis adalah kemampuan berpikir siswa untuk menguraikan, memerinci dan

menganalisis informasi-informasi yang digunakan untuk memahami suatu pengetahuan

dengan menggunakan akal dan pikiran yang logis, bukan berdasar perasaan atau

tebakan. Ketika seseorang menerapkan berpikir kreatif dalam suatu praktik pemecahan

masalah, maka pemikiran divergen yang intuitif menghasilkan banyak ide. Hal ini akan

berguna dalam menemukan penyelesaiannya.

Krutetski mengutip gagasan Shaw dan Simon memberikan indikasi berpikir

kreatif yaitu (1) produk aktivitas mental mempunyai sifat kebaharuan (novelty) dan

bernilai baik secara subjektif maupun objektif; (2) proses berpikir juga baru, yaitu

memerlukan suatu transfomasi ide yang diterima sebelum maupun penolakannya; (3)

proses berpikir dikarakterisasikan oleh adanya motivasi yang kuat dan kestabilan, yang

teramati pada periode waktu yang sama lama atau dengan intensitas yang tinggi

(Siswono, 2008:22).

Kreatifitas merupakan produk dari berpikir kreatif. Munandar (1987:47)

mengemukakan bahwa ”Kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi

baru, berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur yang ada”. Kreativitas atau sering

juga disebut daya cipta diartikan sebagai kemampuan untuk menciptakan hal-hal baru.

Sesungguhnya ciptaan itu tidak perlu seluruhnya hal-hal baru, mungkin saja

gabunganya, kombinasinya, sedangkan unsur-unsurnya sudah ada sebelumnya.

Angelo dalam Padmono (2010) mengemukakan berpikir kreatif merupakan

kemampuan menjalin secara akrab dengan hal yang baru yang tak disangka dan dengan

jalan dirangsang (Creative thinking is the ability to interweave the familiar with the new

in unexpected and stimulating ways). Lebih jauh Fisher dalam Padmono (2010)

mengemukakan berpikir kreatif merupakan cara membangkitkan ide-ide yang dapat

diterapkan ke dunia dalam banyak cara.

Page 81: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 51

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Munandar (1987:48) mengemukakan “Berpikir kreatif adalah kemampuan

berdasarkan data atau informasi yang tersedia menemukan banyak kemungkinan

jawaban terhadap suatu masalah, dimana penekanannya adalah pada kuantitas,

ketepatgunaan, dan keragaman jawaban”. Makin banyak kemungkinan jawaban yang

dapat diberikan seseorang terhadap suatu masalah maka makin kreatiflah seseorang itu.

Tentu saja jawaban-jawaban itu harus sesuai dengan masalahnya. Jadi, tidak hanya

banyaknya jawaban yang dapat diberikan seseorang untuk menentukan kreatif atau

tidaknya seseorang, tetapi juga yang harus diperhatikan kualitas atau mutu dari

jawabannya. Dari pendapat di atas disimpulkan bahwa berpikir kreatif merupakan

kemampuan untuk menghasilkan ide yang dapat digunakan atau diterapkan menjadi

sesuatu yang baru atau kombinasi baru dengan berbagai cara.

Ciri-ciri berpikir kreatif ada 2 (dua) yaitu ciri-ciri Kognitif Kreatif dan ciri-ciri

Afektif. Menurut Williams dalam Munandar (1987:88). Ciri-ciri kognitif berpikir kreatif

adalah:

(1) Keterampilan berpikir lancar (fluency), definisi: mencetuskan banyak

gagasan, jawaban, penyelesaian atau pertanyaan, memberikan banyak cara atau saran

untuk melakukan berbagai hal, selalu memikirkan lebih dari satu jawaban;

(2) Keterampilan berpikir luwes (fleksibilitas), definisi: menghasilkan gagasan,

jawaban atau pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut

pandang yang berbeda-beda, mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda,

mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran;

(3) Keterampilan berpikir orisinal (Kebaharuan), definisi: mampu melahirkan

ungkapan yang baru dan unik, memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan

diri, mampu membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau

unsur-unsur;

(4) Keterampilan Memperinci (Mengelaborasi), definisi: mampu memperkaya

dan mengembangkan suatu gagasan atau produk, menambahkan atau memperinci detil-

detil dari suatu obyek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik;

(5) Keterampilan Menilai (Mengevaluasi), definisi: menentukan patokan

penilaian sendiri dan menentukan apakah suatu pertanyaan benar, suatu rencana sehat

atau suatu tindakan bijaksana, mampu mengambil keputusan terhadap situasi yang

terbuka, tidak hanya mencetuskan gagasan, tetapi juga melaksanakannnya, kelancaran

Page 82: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 52

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

(kefasihan), fleksibilitas, orisinal, elaborasi, dan mengevaluasi merupakan ciri-ciri

kemampuan berpikir kreatif seseorang. Makin kreatif seseorang maka ciri-ciri tersebut

semakin dimiliki.

Menurut Williams dalam munandar (1987:91). Ciri-ciri afektif berpikir kreatif

adalah:

(1) Rasa ingin tahu, definisi: selalu terdorong untuk mengetahui lebih banyak,

mengajukan pertanyaan, selalu memperhatikan orang, objek dan situasi, peka dalam

pengamatan dan ingin mengetahui/ meneliti;

(2) Bersifat imajinatif, definisi: mampu memperagakan atau membayangkan hal-

hal yang tidak atau belum pernah terjadi, menggunakan khayalan, tetapi mengetahui

perbedaan antara khayalan dan kenyataan:

(3) Merasa Tertantang oleh Kemajemukan, definisi: terdorong untuk mengatasi

masalah yang sulit, merasa tertantang oleh situasi-situasi yang rumit, lebih tertarik pada

tugas-tugas yang sulit;

(4) Sifat Berani Mengambil Resiko, definisi: berani memberikan jawaban

meskipun belum tentu benar, tidak takut gagal atau mendapat kritik, tidak menjadi ragu-

ragu karena ketidakjelasan, hal-hal yang tidak konvensional, atau yang kurang

berstruktur;

(5) Sifat Menghargai, definisi: dapat menghargai bimbingan dan pengarahan

dalam hidup, menghargai kemampuan dan bakat-bakat sendiri yang sedang

berkembang. Rasa ingin tahu, bersifat imajinatif, merasa tertantang oleh kemajemukan,

sifat berani mengambil resiko dan sifat menghargai merupakan ciri-ciri afektif (sikap)

seseorang yang kreatif. Semakin kreatif seseorang semakin tampak ciri-ciri tersebut.

Menurut Guilford dalam Suryosubroto (2009:193) kemampuan berpikir kreatif

dicerminkan melalui lima macam perilaku yaitu: (1) Fluency, kelancaran atau

kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan atau ide; (2) Fleksibility, kemampuan

menggunakan bermacam-macam pendekatan dalam mengatasi persoalan; (3)

Originality, kemampuan menyatakan gagasan-gagasan asli; (4) Elaboration,

kemampuan menyatakan gagasan secara terperinci; (5) Sensitivity, kepekaan

menangkap dan menghasilkan gagasan sebagai tanggapan terhadap suatu situasi.

Menurut Haylock dalam Siswono (2008 : 22-23) menunjukkan kriteria berpikir

kreatif matematis, yaitu: (a) Kefasihan artinya banyak respons (tanggapan) yang dapat

Page 83: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 53

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

diterima atau sesuai; (b) Fleksibilitas artinya banyaknya jenis respons yang berbeda; (c)

Keaslian artinya kejarangan tanggapan (respon) dalam kaitan dengan sebuah kelompok

pasangannya.

Tes kreativitas untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif

(Munandar,1987:35). Silver dalam Siswono (2008 : 23) menjelaskan bahwa untuk

menilai kemampuan berpikir kreatif anak-anak dan orang dewasa sering digunakan

”The Torrance Tests of Creative Thinking (TTCT). Tiga komponen kunci yang dinilai

dalam kreativitas TTCT adalah kefasihan (fluency), fleksibilitas dan kebaharuan

(novelty) ”.

Menurut Siswono (2008 : 45-46) indikator kemampuan berpikir kreatif

matematika ditunjukkan dari:

(1) Kefasihan (fluency). Kefasihan (fluency) merupakan kemampuan untuk

menghasilkan banyak gagasan, serta selalu memikirkan lebih dari satu jawaban.

Kefasihan dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan siswa memberi

jawaban masalah yang beragam dan benar. Beberapa jawaban masalah dikatakan

beragam, bila jawaban-jawaban tampak berlainan dan mengikuti pola tertentu, seperti

jenis bangun datarnya sama tetapi ukurannya berbeda;

(2) Fleksibilitas. Keluwesan (flexsibility) merupakan kemampuan menggunakan

bermacam-macam pendekatan dalam mengatasi persoalan. Fleksibilitas dalam

penyelesaian masalah mengacu pada kemampuan siswa memecahkan masalah dengan

berbagai cara yang berbeda;

(3) Kebaruan (originality). Kebaruan (originality) merupakan kemampuan

mencetuskan gagasan-gagasan baru dan unik. Kebaruan dalam penyelesaian masalah

mengacu pada kemampuan siswa menjawab masalah dengan beberapa jawaban yang

berbeda-beda tetapi bernilai benar atau satu jawaban yang “tidak biasa” dilakukan oleh

individu (siswa) pada tingkat pengetahuannya. Beberapa jawaban dikatakan berbeda,

bila jawaban itu tampak berlainan dan tidak mengikuti pola tertentu, seperti bangunan

datar yang merupakan gabungan dari beberapa macam bangun datar.

Menurut Siswono (2009:7) kefasihan dan kebaharuan dapat ditunjukkan dengan

pertanyaan “Tunjukkan paling sedikit dua jawaban lain yang berbeda?” Fleksibilitas

ditunjukkan dengan pertanyaan “Tunjukkan dua cara yang berbeda untuk mendapatkan

jawaban itu ?”. Berkaitan dengan berbagai pendapat di atas dan berdasarkan pengertian

Page 84: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 54

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

berpikir kreatif di simpulkan bahwa indikator yang digunakan untuk melihat

kemampuan berpikir kreatif matematis siswa adalah:

(1) Sensitivity (kepekaan) yaitu kemampuan siswa mendeteksi pernyataan atau

pertanyaan serta memberikan jawaban dengan benar dan lengkap dalam memecahkan

masalah. Kemampuan sensitivity dalam memecahkan masalah terlihat dari siswa dapat

membuat apa yang diketahui, ditanya dari pertanyaan yang diberikan dan siswa dapat

menyelesaikan masalah yang diberikan dengan benar dan lengkap;

(2) Kefasihan merupakan kemampuan siswa dalam membuat jawaban yang

beragam dan benar dalam memecahkan masalah;

(3) Elaborasi (memperinci) merupakan kemampuan siswa dalam memberikan

jawaban benar dan rinci dalam memecahkan masalah. Kemampuan elaborasi dalam

memecahkan masalah terlihat dari siswa dapat memberikan jawaban yang disertai

perincian yang jelas atau terlihat dari siswa dapat mengembangkan (memperkaya)

gagasan jawaban suatu soal; (

4) Fleksibilitas merupakan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah

dengan berbagai cara yang berbeda dan benar;

(5) Kebaharuan merupakan kemampuan siswa dalam membuat berbagai

jawaban yang lain dari yang sudah biasa dan jawabannya benar dalam memecahkan

masalah.

DAFTAR PUSTAKA

Amri, Sofian dan Iif Khoiru Ahmadi. 2010. Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif Dalam Kelas. Jakarta : Erlangga.

Glazer, E. 2006. Using Web Sources to Promote Critical Thinking in High School Matematics. (online). Tersedia : http:/math.It/nsrim/aglazer.79-84.PDF (19 Februari 2009).

Lappan, Glenda, et al.2001. Getting to Know Connected Mathematics : an Implementation Guide. New Jersey : Prentice Hall

Munadar, Utami. 1987. Mengembangakan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah Penuntun Bagi Guru dan Orang Tua. Jakarta : Gramedia.

. 2009. Mengembangkan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta : Gramedia

Page 85: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 55

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Padmono. 2010. Berpikir Kreatif Pengantar Menuju Kreativitas. Di ambil pada tanggal 24 Februari 2011, dari http://ypadmonofkipuns-pdm.blogspot.com/2010/02/ berpikir-kreatif-pengantar-menuju.html.

Semiawan, Conny., Munandar, A.S dan Munadar, Utami. 1990. Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah Petunjuk Bagi Guru dan Orang Tua. Jakarta : Gramedia

Marzano, R. J. et. al. 1989. Demension of Thinking : A frawork for curriculum and Instruction. Alexandria US : Association for Supervision and Curriculum Development.

Santrock, J.W. 2008. Gpsikologi Pendidikan Edisi Kedua. Jakarta: Kencana.

Siswono, Tatag Yuli Eko. 2005. Menilai Kreativitas Siswa dalam Matematika. Proseding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Di Jurusan Matematika FMIPA. UNESA. Diambil pada tanggal 25 Februari 2011, dari http://suaraguru.wordpress.com/2009/02/23/menilai-kreativitas-siswa-dalam-matematika

. 2008. Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif. Unesa University Press.

. 2009. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif siswa Melaui Pemecahan Masalah Tipe WHAT’S ANOTHER WAY’. Diambil pada tanggal 25 Februari 2011, dari http://tatagyes.files.wordpress.com/2009/ 11/paper07jurnalpgriyogya.pdf.

Page 86: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 56

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP INDEKS PRESTASI (IP) MAHASISWA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA STKIP – MPL

Tri Yuni Hendrowati1

1STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung (STKIP MPL) [email protected]

ABSTRAK

Indeks Prestasi (IP) mahasiswa merupakan hasil belajar yg menggambarkan kemampuan seorang mahasiswa, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kecerdasan. Masyarakat umumnya mengenal kecerdasan sebagai istilah yang menggambarkan kepintaran, kemampuan intelektual, kemampuan berpikir seseorang atau kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Kecerdasan banyak jenisnya, namun selama ini masyarakat beranggapan bahwa kecerdasan intelektual adalah faktor yang paling menunjang tercapainya hasil belajar yang optimal. Fakta empiris menunjukkan bahwa mahasiswa pada program studi pendidikan matematika STKIP Muhammadiyah Pringsewu memiliki kualitas pendidikan yang belum memuaskan bila ditinjau dari perolehan IP. Hal ini ditunjukkan oleh masih rendahnya IP yang diperoleh mahasiswa, yaitu 79% dari 192 mahasiswa angkatan 2008 yang memperoleh IP dibawah 2,75. Adanya variasi kecerdasan membuka peluang bahwa tidak hanya IP yang ditengarai sebagai penyebab belum memuaskannya kualitas pendidikan mahasiswa program studi pendidikan matematika STKIP Muhammadiyah Pringsewu, karena pada kenyataannya terdapat mahasiswa dengan kecerdasan intelektual tinggi yang belum berhasil dalam belajarnya. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini mencari penyebab lain selain kecerdasan intelektual yang diduga berpengaruh terhadap keberhasilan belajar mahasiswa, yaitu kecerdasan emosional. Selanjutnya bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kecerdasan emosional terhadap indeks prestasi mahasiswa.

Penelitian ini dilakukan pada seluruh mahasiswa angkatan 2008 semester genap tahun akademik 2010-2011 yang berjumlah 152 orang mahasiswa dengan criteria memiliki IP dibawah 2,75. Selanjutnya melalui teknik sampling simple random sampling terjaring 38 orang mahasiswa. Selanjutnya untuk mengetahui normalitas data hasil penelitian dianalisis dengan Chi kuadrat, kemudian dilakukan uji regresi sederhana untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh kecerdasan emosional terhadap hasil belajar. Besarnya pengaruh dapat dilihat melalui kuadrat koefisien korelasi yang diperoleh.

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh simpulan bahawa kecerdasan emosional berpengaruh terhadap IP mahasiswa ditunjukkan oleh nilai F hitung sebesar 5,63 pada taraf 5%. Selanjutnya besarnya pengaruh kecerdasan emosional terhadap IP mahasiswa adalah sebesar 18,49%. Kata kunci: kecerdasan emosional, indeks prestasi

Page 87: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 57

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PENDAHULUAN

Proses pendidikan sebagai salah satu upaya untuk mencerdaskan kehidupan

bangsa, merupakan penentu kemajuan suatu bangsa. Tinggi rendahnya hasil belajar

peserta didik mencerminkan keberhasilan proses belajar yang dialaminya. Hasil belajar

bagi peserta didik di perguruan tinggi (mahasiswa) digambarkan dalam indeks prestasi

(IP). Tinggi rendahnya IP menggambarkan tingkat kecerdasan mahasiswa tersebut.

Akan tetatpi kecerdasan yang tergambar hendaknya bukan hanya kecerdasan

intelektualnya saja melainkan juga kecerdasan emosionalnya. Hal ini dikarenakan di

dalam otak kita terdapat dua macam kecerdasan yang saling mendukung satu sama

lainnya. Dalam dunia kerja kecerdasan intelektual menjadi prasyarat awal yang

menentukan level kemampuan minimal tertentu yang dibutuhkan. Setelah syarat

minimal tersebut terpenuhi, selanjutnya kecerdasan emosional akan lebih berperan

dalam proses seleksiseperti pada saat psikotest.

Berdasarkan data yang diperoleh di Bagian Administrasi Akademik

Kemahasiswaan (BAAK) STKIP – MPL, pada semester ganjil 2010 – 2011 terdapat

79% dari 192 mahasiswa angkatan 2008 memperoleh IP dibawah 2,75. Rendahnya IP

tersebut diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya rendahnya tingkat

kecerdasan emosional mahasiswa. Ini didukung oleh hasil observasi awal diperoleh

informasi bahwa motivasi belajar mahasiswa masih rendah. Terindikasi oleh sikap

mahasiswa yang tidak terfokus pada materi perkuliahan, hanya mau mengerjakan soal

yang mudah dan cenderung menyerah apabila menemukan kesulitan dalam

mengerjakan soal, dan hanya menunggu bimbingan dosen pada pertemuan berikutnya

serta kurangnya intensitas belajar mahasiswa yang dilakukan di luar perkuliahan. Selain

daripada itu mahasiswa kurang dalam intensitas belajarnya di luar jam-jam perkuliahan,

dan sering meninggalkan perkuliahan dengan alasan yang tidak jelas, serta sebagian

mahasiswa ditengarai tidak memiliki empathi terhadap kewajibannya sebagai

mahasiswa yaitu tidak adanya kepedulian akan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen

dengan tidak mengerjakan atau mengerjakan tetapi dengan cara melihat hasil pekerjaan

teman, serta mengerjakan soal-soal ujian tidak sungguh-sungguh.

Motivasi dan empathi diri merupakan indikator dalam kecerdasan emosional,

rendahnya motivasi dan empathi diri diduga berpengaruh terhadap rendahnya IP

mahasiswa. Sementara masyarakat pada umumnya hanya memandang kecerdasan

Page 88: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 58

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

intelektual merupakan satu-satunya faktor yang membangun IP mahasiswa. Pada

kenyataannya di dalam otak manusia terdapat dua macam kecerdasan, seperti yang

dikatakan oleh Daniel Goleman (2001: 38) yang menyatakan bahwa “Kita mempunyai

dua otak, dua pikiran, dan dua jenis kecerdasan yang berlainan: kecerdasan rasional dan

kecerdasan emosional.

Keberhasilan kita dalam kehidupan ditentukan oleh keduanya tidak hanya IQ

tetapi kecerdasan emosionallah yang memegang peranan”. Hal ini berarti seseorang

tidak cukup hanya memiliki kecerdasan intelektual. Idealnya kecerdasan intelektual

dibarengi dengan kecerdasan emosional secara seimbang. Sejalan dengan pendapat

Goleman tersebut Doug Lenick dalam Hamzah B. Uno (2006: 69) menyatakan “Yang

diperlukan untuk sukses dimulai dengan keterampilan intelektual, tetapi orang juga

memerlukan kecakapan emosi untuk memanfaatkan potensi bakat mereka secara penuh.

Penyebab kita tidak mencapai potensi maksimum adalah ketidaktrampilan emosi”.

Ketrampilan kecerdasan emosional bekerja secara sinergi dengan ketrampilan

kognitif. Ini berarti bahwa kegagalan seseorang untuk dapat memanfaatkan potensi

bakat mereka secara maksimum adalah disebabkan ketidaktrampilan emosi. Peter

Salovey dan John Mayer dalam buku yang sama (2006: 69) juga menyatakan

“Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan

membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya,

dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan

emosi dan intelektual”. Walaupun tingkat kecerdasan intelektualnya tinggi, tidak dapat

dipastukan orang tersebut akan berhasil dalam belajarnya. Ini dikarenakan tidak adanya

keseimbangan dalam kecerdasannya, tidak ada yang mengelola ataupun mengontrol

emosi yang ada dalam dirinya, sehingga kecerdasan emosional menjadi faktor

pendukung keberhasilan seseorang dalam belajar maupun pekerjaan. Berdasarkan

pendapat-pendapat tersebut ditengarai bahwa selain kecerdasan intelektual, kecerdasan

emosional juga dapat berpengaruh terhadap keberhasilan proses belajar mahasiswa, dan

dengan menerapkan emosional secara baik dalam diri mahasiswa diharapkan dapat

berpengaruh positif terhadap IP mahasiswa. Atas dasar tersebutlah maka peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap

Indeks Prestasi (IP) Mahasiswa Program Studi pendidikan Matematika STKIP MPL

Angkatan 2008 tahun Akademik 2010-2011”.

Page 89: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 59

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pendidikan matematika mempunyai potensi besar untuk memainkan peran

strategis dan menyiapkan sumberdaya manusia untuk menghadapi era industrialisasi

dan gobalisasi. Potensi ini dapat terwujud jika pendidikan matematika mampu

melahirkan seseorang yang cakap dalam matematika dan berhasil menumbuhkan

kemampuan berpikir logis, bersifat kritis, kreatif, inisiatif, dan adaptif terhadap

perubahan dan perkembangan. Harapan tersebut dapat terwujud apabila didukung oleh

beberapa faktor, terutama faktor kecerdasan sumberdaya manusianya. Pernyataan ini

sejalan dengan pendapat Feldan dalam Hamzah B. Uno (2006: 59) yang menyatakan

bahwa “kecerdasan sebagai kemampuan memahami dunia, berfikir secara rasional, dan

menggunakan sumber-sumber secara efektif pada saat dihadapkan dengan tantangan”.

Keberhasilan seseorang yang menempuh pendidikan tinggi dapat dilihat dari

hasil belajarnya atau yang sering disebut indeks prestasi (IP) dan banyak faktor yang

mempengaruhinya, salah satu diantaranya adalah faktor kecerdasan. Meskipun

kecerdasan emosional memiliki porsi lebih besar dalam menentukan keberhasilan

seseorang, pada kenyataannya tetaplah bahwa keberhasilan seseorang harus dibangun

oleh kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual. Pada kecerdasan emosional

terdapat motivasi dan emphati yang mempengaruhi hasil belajar mahasiswa. Abu

Ahmadi (2004: 83) menyatakan bahwa “motivasi sebagai faktor inner (batin) berfungsi

menimbulkan, mendasari, mengarahkan perbuatan belajarnya”. Syaiful Sagala (2010:

105) dalam bukunya menyatakan hal yang sama, “dalam proses pembelajaran guru

perlu mendesain motivasi yang tepat terhadap anak didik agar para anak didik itu

belajar atau mengeluarkan potensi belajarnya dengan baik dan memperoleh hasil yang

maksimal”.

Nampak bahwa motivasi mempengaruhi hasil belajar seseorang, sehingga dapat

dikatakan motivasi berpengaruh terhadap indeks prestasi mahasiswa. Faktor lain yang

diduga berpengaruh terhadap terhadap hasil belajar adalah empathi. Empathi atau

kepedulian dapat mempengaruhi hasil belajar, hal ini dapat dilihat dari tingkah laku

yang ditunjukkan seseorang. Tidak adanya kepedulian terhadap tugas-tugas yang

diberikan dosen – tidak mengerjakan – mengerjakan tapi melihat pekerjaan teman –

mengerjakan soal ujian tidak sungguh-sungguh – merupakan sikap mahasiswa yang

tidak memiliki kepedulian pada tugasnya. Perilaku mahasiswa yang demikian tentunya

berakibat terhadap indeks prestasi yang diperoleh, mahasiswa tidak akan memperoleh

Page 90: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 60

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

indeks prestasi yang tinggi tanpa memperdulikan apa yang menjadi tugasnya. Dengan

demikian berdasarkan konsep-konsep yang telah dikemukakan tersebut dapat diketahui

bahwa motivasi dan empathi dapat mempengaruhi hasil belajar mahasiswa. Motivasi

dan empathi merupakan indikator-indikator yang terdapat pada kecerdasan emosional,

sehingga dapat diduga bahwa kecerdasan emosional mempengaruhi indeks prestasi

mahasiswa.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan satu variabel bebas dan

satu variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosional

yang merupakan kemampuan nonkognitif untuk mengenali perasaan orang lain,

kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan

baik pada diri sendiri dan dalam membina hubungan dengan orang lain.

Dalam penelitian ini, kemampuan kecerdasan emosional terbagi dalam lima

wilayah utama, yaitu: a) mengenali diri sendiri: mengenali perasaan sewaktu perasaan

itu terjadi, menyusun kosa kata untuk perasaan itu, kemampuan untuk memantau

perasaan diri dari waktu ke waktu, kepekaan atau perasaan sendiri atas pengambilan-

pengambilan keputusan pribadi; b) mengelola emosi: menangani perasaan agar perasaan

dapat terungkap dengan jelas, kemampuan untuk menghibur diri sendiri, kemampuan

untuk melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan; c) memotivasi diri

sendiri: memusatkan perhatian sepenuhnya pada tugas yang sedang dihadapi, keadaan

konsentrasi tinggi, kemampuan untuk menenangkan pikiran dan berkonsentrasi guna

memulai tugas, menata emosi untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri

dan untuk berkreasi, menahan diri dari kepuasan dan mengendalikan dorongan hati; d)

mengenali emosi orang lain: empathi (mampu menangkap sinyal-sinyal yang

tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan untuk dikehendaki orang

lain); e) membina hubungan: seni menjalani hubungan (mudah masuk dalam lingkup

pergaulan, peka dan sensitive terhadap pikiran dan perasaan yang diungkapkan oleh

orang lain) dan komunikasi (bebas dari kecenderungan untuk menguasai orang lain;

mampu mendengarkan dengan baik; mampu menghargai orang lain; mampu

Page 91: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 61

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

mengungkapkan perasaan serta pikiransecara memadai; bertindak sejati; ikhlas;

mengandung unsur kejujuran atau ketulusan hati dan keterusterangan).

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah indeks prestasi (IP) mahasiswa, yang

merupakan hasil studi yang menggambarkan kemampuan mahasiswa dalam memahami

dan menguasai mata kuliah yang ditempuhnya. IP yang dimaksud adalah IP mahasiswa

semester genap tahun akademik 2010 – 2011, mahasiswa angkatan 2008.

Instrumen penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah

angket dengan lima indikator (mengenali diri sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri

sendiri, mengenali emosi orang lain, membina hubungan) yang akan dijaring sebagai

data. Angket tersebut terdiri atas 42 pertanyaan dengan empat alternatif jawaban yang

terdiri dari item positif dan item negatif. Adapun tentang skor item positif adalah 4,3,

2,1, sebaliknya skor item negatif adalah 1, 2, 3, 4. Sebelum instrumen ini digunakan

untuk pengambilan data terlebih dahulu dilakukan pengembangan instrumen untuk

mengetahui instrumen tersebut layak atau tidak digunakan. Syarat instrument yang

layak digunakan adalah instrumen tersebut layak atau tidak digunakan. Untuk

menyatakan kelayakan instrumen dilakukan uji coba terhadap responden terbatas dalam

populasi di luar sampel teliti. Uji validasi isi dilakukan untuk mengetahui kesesuaian

antara angket dengan indikator-indikator yang ada dalam kisi-kisi instrumen melalui

analisis faktor dengan mengkorelasikan antara skor-skor item instrumen dengan rumus

Pearson Product Moment.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan dengan menggunakan analisis

regresi linier sederhana diperoleh temuan kecerdasan emosional berpengaruh terhadap

IP mahasiswa ditunjukkan oleh nilai F hitung sebesar 5,63 pada taraf 5%. Selanjutnya

diinterpretasikan kecerdasan emosional mempengaruhi IP mahasiswa adalah sebesar

18,49%. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara indikator-indikator yang

tercakup dalam kecerdasan emosional dengan indeks prestasi mahasiswa.

Page 92: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 62

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pembahasan

Berdasarkan analisis normalitas data pada hasil uji angket diperoleh hasil data-

data yang berdistribusi normal, kemudian dari dat-data tersebut untuk mengetahui ada

tidaknya pengaruh kecerdasan emosional mahasiswa terhadap indeks prestasi

mahasiswa dilakukan pengujian dengan uji regresi linier sederhana. Dari persamaan

linier sederhana ditemukan skor kecerdasan akan meningkat satu point maka akan

meningkatkan indeks prestasi mahasiswa matematika angkatan 2008 sebesar 0,001.

Besarnya pengaruh dapat dilihat dari koefisien korelasi nilai r – 0,43. Hal ini

menunjukkan semakin tinggi tingkat kecerdasan emosionalnya maka akan semakin

tinggi pula nilai indeks prestasinya. Hal ini memperlihatkan hubungan antara tinggi

rendahnya tingkat kecerdasan emosional terhadap nilai sesorang. Indikator-indikator

yang terkandung dalam kecerdasan emosional hendaknya dimiliki seluruhnya oleh

mahasiswa, ini dikarenakan terdapat suatu keterkaitan antara indikator yang satu dengan

indikator yang lain yang mempengaruhi indeks prestasi tersebut. Sebagai contoh

indikator ke – 1 dan indikator ke – 3 yaitu mengenali emosi diri dan memotivasi diri

sendiri. Seseorang yang mampu mengenali emosinya akan dapat memotivasi dirinya

sendiri tanpa harus menunggu perintah atau dimotivasi oleh orang lain. Dengan

demikian seorang mahasiswa akan dapat mencapai nilai yang maksimal sesuai dengan

tujuannya.

Kecerdasan emosional merupakan serangkaian kemampuan, kompetensi dan

kecakapan nonkognitif yang mempengaruhi kemampuan sesorang untuk berhasil

mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Ketrampil;an kecerdasan emosional bekerja

secara sinergi dengan ketrampilan kognitif. Semakin kompleks pekerjaan, semakin

penting kecerdasan emosional. Tanpa kecerdasan emosional orang tidak akan mampu

menggunakan kemampuan kognitif mereka sesuai dengan potensi maksimum. Dengan

kemampuan kecerdasan emosional yang dimiliki mahasiswa tersebut akan mampu

membuat mahasiswa berinteraksi dengan mahasiswa lain ataupun dengan dosen secara

baik dan harmonis, selain itu yang lebih penting lagi emosional yang dikelola dengan

baik juga dapat mengembangkan kemampuan intelektual mahasiswa secara maksimal.

Ini membuktikan bahwa kecerdasan emosional merupakan faktor penting yang

mendukung keberhasilan seseorang dalam belajar maupun dalam pekerjaan. Kecerdasan

Page 93: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 63

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

emosional pada dasarnya merupakan landasan lahirnya ketrampilan emosional yang

dapat memperbaiki nilai prestasi akademik dan kinerja sekolah sesorang. Sebagaimana

pernyataan Doug Lennick dalam Hamzah B. Uno (2006: 69) menegaskan, “yang

diperlukan untuk sukses dimulai dengan ketrampilan intelektual, tetapi orang juga

memerlukan kecakapan emosi untuk memanfaatkan potensi bakat mereka secara penuh.

Penyebab kita tidak mencapai potensi maksimum adalah ketidaterampilan emosi”.

Nampak bahwa kecerdasan emosional mempunyai manfaat dalam meningkatkan

prestasi akademik sekaligus kemampuan social termasuk mengembangkan harga diri,

hubungan interpersonal yang positif dengan yang lain, walaupun kontribusi yang

diberikan itu tidak begitu besar, tetapi jika digunakan secara baik akan dapat member

manfaat. Kecerdasan emosional yang diolah dengan baik akan mampu mengembangkan

potensi intelektual secara maksimal, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar

mahasiswa.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan dengan menggunakan analisis regresi

linier sederhana dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh terhadap

IP mahasiswa ditunjukkan oleh nilai F hitung sebesar 5,63 pada taraf 5%. Selanjutnya

diinterpretasikan kecerdasan emosional mempengaruhi IP mahasiswa adalah sebesar

18,49%. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara indikator-indikator yang

tercakup dalam kecerdasan emosional dengan indeks prestasi mahasiswa.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi, Widodo Supriyono. 2004. Psikologi Belajar (Edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta.

Goleman, Daniel. 2001. Emotional Intelligence. Jakarta: PT. Gramedia. Dimyati, Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Asdi Mahastya. Hamzah B. Uno. 2006. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi

Aksara.

Page 94: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 64

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Oemar Hamalik. 2005. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.

Panduan Akademik. 2008. Program Studi Pendidikan Matematika. STKIP

Muhammadiyah Pringsewu Lampung. Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. (Edisi revisi).

Jakarta: Rineka Cipta. Sugiyono. 2010. Statistika Penelitian. (Edisi Terbaru). Bandung: CV. Alfabeta. Suharsimi Arikunto. 2003. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Syaiful Sagala. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: CV. Alfabeta. W. Gulo. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Grasindo. Wina Sanjaya. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.

Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Page 95: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 65

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PERANAN HABITS OF MIND DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIS TINGKAT TINGGI

Risnanosanti1 1Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UMB

email: [email protected]

ABSTRAK

Habits of mind dipandang sebagai suatu cara yang tepat untuk mengetahui dan mengembangkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi dalam diri seseorang. Hal ini dikarenakan konsep dan prinsip yang terdapat pada kebiasaan seseorang berkaitan erat dengan habits of mind dalam dirinya. Habits of mind merupakan suatu gambaran dalam diri seseorang untuk bersikap secara intelektual ketika mereka menghadapi suatu masalah yang tidak dengan segera diketahui jawabannya.Situasi seperti ini menawarkan strategi penalaran, wawasan berpikir yang luas, ketekunan, kreatif, dan keahlian. Kebiasaan yang terdapat dalam diri seseorang ini dapat diaplikasikan secara tepat dalam menyelesaikan berbagai masalah matematika. Oleh karena itu habits of mind merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi.

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu dan tehnologi yang selalu berkembang dengan cepat saat ini

memberikan tantangan yang sangat berat bagi setiap orang untuk bersaing memperoleh

yang terbaik. Oleh karena itu sebagai Indonesia perlu untuk selalu

menumbuhkembangkan kualitas sumber daya manusianya. Sumber daya manusia yang

ada diharapkan mempunyai kemampuan untuk memenuhi tantangan dalam era

informasi dan globalisasi saat ini. Untuk itu sumber daya manusia yang ada harus

mempunyai kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis dan kreatif dalam menghadapi

tantangan tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membekali manusia

Indonesia dengan kemamuan berpikir tingkat tinggi ini dalah dengan mengembangkan

program pendidikan yang berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir.

Pengembangan kemampuan berpikir yang mengarah pada berpikir tingkat tinggi

telah menjadi perhatian serius banyak ahli. Beberapa hasil penelitian (Henningsen dan

Stein, 1997; Peterson, 1988; Mullis, dkk, 2000) menunjukkan bahwa pembelajaran

Page 96: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 66

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

matematika yang ada saat ini lebih berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir

tingkat rendah yang bersifat prosedural. Hal ini menyebabkan tuntutan terhadap institusi

pendidikan khususnya pembelajaran matematika untuk mengembangkan kemampuan

berpikir matematis tingkat tinggi. Melalui pembelajaran matematika, menurut

Depdiknas (2006) diharapkan siswa akan mempunyai kemampuan berpikir logis,

analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta mempunyai kemampuan bekerja sama.

Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh guru-guru matematika untuk

mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah dengan menggunakan

strategi mathematical habits of mind. Strategi ini dipandang tepat karena dengan

menumbuhkan kebiasaan yang berorientasi pada berpikir tingkat tinggi akan membuat

siswa dapat mengembangkan kemampuannya dengan lebih optimal. Hal ini sejalan

dengan pendapat Millman dan Jacobe (2008) bahwa strategi mathematical habits of

mind dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis

melalui pembiasaan berpikir kreatif matematis. Oleh karena itu dengan kebiasaan

berpikir matematis tingkat tinggi yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan

akan berimplikasi pada terbentuknya kemampuan tersebut dalam diri siswa.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian ekperimental yang menerapkan strategi

mathematical habits of mind. Dalam penelitian ini melibatkan dua kelompok subjek,

satu sebagai kelompok eksperimen dan satu kelompok lagi sebagai kelompok kontrol.

Masing-masing kelompok terdiri atas tiga sub kelompok yang diambil . Sebelum dan

setelah pemberian pembelajaran, diadakan tes kemampuan berpikir matematis tingkat

tinggi. Selanjutnya digunakan disain kelompok kontrol pretes-postes seperti berikut:

A : O X O

A : O Y O

Keterangan: A = Pemilihan sampel secara acak kelas X = Pembelajaran dengan strategi mathematical habits of mind

Y = Pembelajaran Biasa O = Tes Kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi

Page 97: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 67

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Atas

(SMA) di Kota Bengkulu. Sedangkan sampelnya ditentukan dengan teknik stratified

sampling. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA yang ada di Kota Bengkulu

diambil dari sekolah yang tergolong peringkat tinggi (T), sedang (S) dan rendah (R).

Selanjutnya diambil dua kelas, satu kelas ditetapkan sebagai kelas eksperimen yaitu

kelas yang memperoleh pembelajaran dengan strategi mathematical habits of mind dan

satu kelas lagi sebagai kelompok kontrol yaitu kelas yang memperoleh pembelajaran

biasa (PB). Sampel penelitian diambil dari kelas XI SMA dengan pertimbangan siswa

kelas XI merupakan siswa kelas menengah pada jenjangnya, dan diperkirakan

kemampuan dasarnya relatif sama. Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen,

yaitu tes pengetahuan awal matematika siswa dan tes kemampuan berpikir matematis

tingkat tinggi.

Pengolahan data kuantitatif yang diperoleh melalui tes pengetahuan awal

matematika dan tes kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi dilakukan melalui dua

tahapan utama. Tahap pertama, menguji persyaratan statistik yang diperlukan sebagai

dasar dalam pengujian hipotesis yaitu uji normalitas dan uji homogenitas varians

terhadap bagian-bagiannya maupun keseluruhannya. Tahap kedua, untuk mengetahui

ada tidaknya perbedaan dari masing-masing kelompok digunakan uji-t dengan bantuan

perangkat lunak SPSS-17 for windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran umum kualitas kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa

berdasarkan masing-masing kelompok disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Perhitungan Jumlah Nilai, Nilai Tertinggi, Nilai Terendah, Rata-Rata,

Simpangan Baku, Varians Tes Akhir

Perhitungan Kelas

Eksperimen Kontrol Jumlah Nilai 755 602 Nilai Tertinggi 30 27 Nilai Terendah 16 12 Rata-Rata 23,59 18,81 Simpangan Baku 3,86 3,81 Varians 14,89 14,48

Page 98: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 68

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Untuk melihat perbedaan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa

berdasarkan model pembelajaran digunakan uji-t. Hasil perhitungan dapat dilihat pada

tabel 2.

Tabel 2. Uji t untuk Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-

tailed)

Mean Differen

ce

Std. Error

Difference

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper Lower Upper Lower Upper Lower Upper Lower nilai postes

Equal variances assumed

.064 .001 4.990 62 .000 4.78125 .95809 2.8660

5 6.69645

Equal variances not assumed

4.990 61.988 .000 4.78125 .95809 2.8660

5 6.69645

Hasil yang diperoleh memperlihatkan nilai t sebesar 4,990 dan sig. yang lebih

kecil dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang siginifkan

kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa antara yang mendapat pembelajaran

dengan strategi mathematical habits of mind dan pembelajaran biasa.

Beberapa hal yang menjadikan pembelajaran dengan strategi mathematical

habits of minds lebih baik dalam mengembangkan kemampuan berpikir matematis

tingkat tinggi siswa dikarenakan komponen-komponen dalam strategi mathematical

habits of mind ini melatih siswa untuk selalu mengekplorasi pengetahuan mereka.

Strategi mathematical habits of mind terdiri atas 6 komponen, yaitu (1) mengeksplorasi

ide-ide matematis, (2) merefleksi kesesuaian solusi atau strategi pemecahan masalah,

(3) mengidentifikasi apakah strategi atau pendekatan masalah yang digunakan dapat

diterapkan pada masalah lain, (4) mengidentifikasi apakah terdapat sesuatu yang lebih

dari aktivitas matematika yang telah dilakukan/generalisasi, (5) memformulasi

pertanyaan, dan (6) mengkonstruksi contoh. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran

dengan strategi habits of minds menekankan pada siswa menjadi penemu dan

memperoleh pola dalam melakukan keterampilan matematika yang diberikan guru.

Siswa membentuk pengetahuannya sendiri melalui interaksi antara pikiran dan

Page 99: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 69

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

kenyataan secara kontinu melalui proses asimilasi dan akomodasi. Pada saat perubahan

dari proses asimilasi menjadi akomodasi siswa dapat mengalami ketidakseimbangan

antara informasi yang datang dengan pengetahuan yang dimilikinya. Keseimbangan

dapat tercapai dengan adaptasi yang baik, sehingga proses akomodasi berlangsung.

Komponen-komponen dalam strategi mathematical habits of mind dapat dipandang

sebagai kebiasaan-kebiasaan berpikir matematis yang dapat memicu tumbuhnya

kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi. Mengembangkan kemampuan berpikir

matematis tingkat tinggi dengan cara menumbuhkan kebiasaan berpikir sejalan dengan

pendapat Sternberg (2006) yang memandang kreativitas sebagai kebiasaan. Hal ini

dapat dipahami karena kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara konsisten dan

berkelanjutan akan berimplikasi pada terbentuknya kemampuan berpikir yang baik.

Berikut diuraikan masing-masing aktivitas dalam strategi mathematical habits of mind

yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi adalah:

1. Mengeksplorasi ide-ide matematis. Eksplorasi ide-ide matematis dapat meliputi

aktivitas mengeksplorasi berbagai data, informasi, atau strategi pemecahan

masalah. Aktivitas demikian dapat mendorong siswa berpikir fleksibel, yakni

mengidentifikasi berbagai cara atau strategi pemecahan masalah. Dengan

aktivitas demikian dimungkinkan diperoleh strategi yang bersifat unik atau baru.

Hal demikian merupakan salah satu aspek kemampuan berpikir kreatif. Guru

dapat menstimulasi siswa untuk mengeksplorasi ide-ide matematis dengan

mengajukan beberapa pertanyaan seperti: data apa saja yang diperlukan untuk

menyelesaikan masalah ini?, apakah data yang diperlukan sudah tersedia?,

strategi atau cara apa saja yang dapat digunakan?, konsep apa saja yang

diperlukan untuk menyelesaikan masalah ini?, konsep-konsep apa saja yang

saling berkaitan?, apakah terdapat cara lain untuk menyelesaikannya, dan

sebagainya.

2. Merefleksi kesesuaian solusi atau strategi pemecahan masalah. Memeriksa atau

merefleksi kesesuaian solusi atau strategi pemecahan masalah merupakan

representasi dari tahap looking back (evaluate solution) pada tahap pemecahan

masalah yang dikemukakan Polya (1973), yakni mengevaluasi atau menelaah

kembali kesesuaian solusi masalah. Terkait dengan kegiatan refleksi, Brownell

(McIntosh, 2000) menyatakan bahwa suatu masalah baru benar-benar dikatakan

Page 100: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 70

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

telah diselesaikan jika individu telah memahami apa yang ia kerjakan, yakni

memahami proses pemecahan masalah dan mengetahui mengapa solusi yang

telah diperoleh sesuai. Hal ini berarti refleksi merupakan tahapan yang sangat

penting dalam kegiatan pemecahan masalah. Guru dapat mendorong siswa

melakukan kegiatan refleksi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti

bagaimana kamu menyelesaikan masalah itu?, bagaimana kamu mengetahui

bahwa jawabanmu telah sesuai?, adakah cara lain untuk menyelesaikan masalah

ini?, dan sebagainya.

3. Generalisasi dan mengidentifikasi strategi penyelesaian masalah yang dapat

diterapkan pada masalah lain. Komponen strategi MHM berikutnya adalah

mengidentifikasi apakah terdapat “sesuatu yang lebih¨ dari aktivitas yang telah

dilakukan dan mengidentifikasi pendekatan masalah yang dapat digunakan atau

diterapkan pada masalah lain dalam skala lebih luas. Aktivitas demikian

mengarah pada generalisasi ide-ide matematis yang telah dieksplorasi dan

mengarah pada konstruksi konsep-konsep matematika. Aktivitas demikian juga

terkait dengan identifikasi dan analisis apakah strategi penyelesaian masalah

yang telah digunakan dapat juga diterapkan pada masalah lain dalam skala yang

lebih luas. Aktivitas demikian merupakan aktivitas kreatif, yakni

mengkonstruksi konsep matematis atau strategi penyelesaian masalah. Dalam

pembelajaran matematika, siswa didorong untuk menggunakan strategi-strategi

informal sebelum mereka mengenal strategi formal. Menurut Lim (2009),

hendaknya guru tidak mengajarkan algoritma atau formula formal terlalu dini.

Siswa perlu diberikan kesempatan untuk menggunakan strategi mereka sendiri

berdasarkan pengetahuan yang mereka ketahui. Selanjutnya siswa didorong

untuk mengidentifikasi apakah strategi yang mereka gunakan berlaku untuk

masalah lain lebih umum. Beberapa pertanyaan yang dapat digunakan

membantu siswa melakukan generalisasi adalah: apa yang terjadi jika ...?,

bagaimana jika tidak?, dapatkah kamu melihat polanya?, dapatkah kamu

mempredisksi pola berikutnya?, apakah strategi itu dapat digunakan pada

masalah lain?, dan sebagainya.

4. Memformulasi pertanyaan. Mengembangkan kebiasaan bertanya mempunyai

peranan penting dalam pembelajaran matematika. Pertanyaan dapat

Page 101: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 71

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

menstimulasi siswa mengembangkan kemampuan berpikir kreatif. Siswa

didorong untuk mengajukan berbagai pertanyaan terkait situasi atau masalah

tertentu. Menurut Einstein (Costa dan Kallick, 2008), memformulasi pertanyaan

kadang lebih esensial daripada solusi masalah itu sendiri. Mengajukan

pertanyaan baru dan melihat kemungkinan baru dari masalah lama memerlukan

imajinasi kreatif. Mengajukan pertanyaan adalah aktivitas yang biasa dilakukan

oleh guru. Di sisi lain, siswa relatif jarang diberikan kesempatan untuk

mengembangkan kemampuan bertanya. Sesuai dengan kecenderungan

pembelajaran matematika saat ini yang mengedepankan aktivitas siswa, guru

perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif membangun

kemampuan bertanya. Salah satu jenis pertanyaan yang perlu dikembangkan

agar menjadi kebiasaan siswa adalah pertanyaan ‘what if not ...?¨ atau ‘what

happen if ...?¨. Mengajukan pertanyaan demikian akan mendorong siswa untuk

menghasilkan ide-ide kreatif (Gillman, 2008). Jenis pertanyaan ini dapat

digunakan untuk memodifikasi situasi atau syarat yang terdapat pada soal yang

telah diselesaikan. Siswa dapat mengubah informasi soal semula dengan tetap

mempertahankan situasi soal atau sebaliknya mengubah situasi soal dengan tetap

mempertahankan informasi soal semula. Kemampuan bertanya merupakan salah

satu indikator kemampuan berpikir kreatif. Haylock (1997) mengemukakan cara

mengukur kemampuan berpikir kreatif dengan memberikan tugas kepada siswa

untuk membuat pertanyaan-pertanyaan berdasarkan informasi yang diberikan.

Dengan demikian dengan mengembangkan kebiasaan siswa untuk mengajukan

pertanyaan merupakan salah satu cara untuk mengembangkan kemampuan

berpikir kreatifnya.

5. Mengkonstruksi contoh. Menurut Liz et al (2006), pemberian contoh berperan

penting dalam pembelajaran matematika. Suatu konsep yang abstrak dan

kompleks menjadi lebih mudah dipahami bila diberikan contoh yang sesuai.

Penggunaan contoh dalam pembelajaran matematika merujuk pada istilah

eksemplifikasi (exemplification). Menurut Liz et al (2005), eksemplifikasi

adalah mendeskripsikan suatu situasi menjadi lebih sepesifik untuk

merepresentasikan suatu situasi yang bersifat umum. Contoh merupakan

deskripsi atau ilustrasi spesifik dari suatu konsep yang menjadikan konsep

Page 102: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 72

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

tersebut lebih dikenal dan dipahami siswa. Memberikan contoh merupakan

aktivitas yang biasa dilakukan guru. Di sisi lain, siswa relatif jarang diberikan

kesempatan untuk mengkonstruksi contoh-contoh mereka sendiri. Terdapat

beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan memberikan kesempatan kepada

siswa untuk mengkonstruksi contoh mereka sendiri. Menurut Liz et al (2005) hal

ini dapat digunakan untuk mendeteksi ketidakpahaman siswa terhadap suatu

konsep. Sedangkan menurut Dahlberg dan Housman (Liz et al, 2005),

mengkonstruksi contoh merupakan tugas yang kompleks yang menuntut

kemampuan siswa untuk mengaitkan beberapa konsep. Jika siswa tidak

diberikan kesempatan untuk mengkonstruksi berbagai jenis contoh, terlebih

contoh penyangkal atau noncontoh, maka siswa dapat membuat generalisasi

yang tidak tepat. Dalam mengkonstruksi contoh, siswa mengeksplorasi dan

mengkombinasikan berbagai konsep yang telah mereka ketahui untuk membuat

contoh yang menarik dan menantang. Aktivitas demikian akan mendorong siswa

untuk membuat sebanyak mungkin contoh yang memenuhi kriteria tertentu yang

bersifat unik dan beragam. Hal ini memenuhi aspek-aspek kemampuan berpikir

kreatif, yakni kelancaran, fleksibilitas, dan keunikan. Strategi mathematical

habits of mind dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran dalam rangka

pembentukan konsep atau dalam aktivitas pemecahan masalah. Komponen-

komponen dalam strategi mathematical habits of mind tidak harus digunakan

secara keseluruhan dan dalam urutan tertentu secara baku. Beberapa komponen

tersebut dapat digunakan secara terpisahsesuai karakteristik masalah yang akan

diselesaikan.

Pada pembelajaran dengan strategi mathematical habits of mind siswa diberi

kesempatan untuk melakukan penyelidikan, penemuan, mendapat pola, membuat

contoh serta mengkombinasikan konsep-konsep yang ada. Siswa diarahkan untuk

menemukan informasi dari bahan ajar yang dipelajarinya. Pembelajaran dengan strategi

ini merupakan pembelajaran yang memberikan kesempatan siswa untuk aktif, sehingga

perkembangan mental yang diharapkan dapat berkembang secara optimal.

Tujuan pendidikan adalah membentuk seseorang agar mampu mengerjakan

sesuatu yang baru, tidak sekedar mengulang tentang apa yang telah dihasilkan orang

Page 103: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 73

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

lain, membentuk seseorang yang kreatif, berdaya cipta dan menjadi penemu.

Berdasarkan pendapat Piaget maka pembelajaran dengan strategi mathematical habits of

mind ini dapat mengembangkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa.

Selain itu pembelajaran dengan strategi mathematical habits of mind dapat membentuk

siswa menjadi pemikir yang kritis, dapat memverifikasi, dan tidak hanya menerima

sesuatu dari luar.

Pembelajaran dengan strategi mathematical habits of mind yang dilakukan dapat

membantu siswa memulai belajar konsep dan prinsip dalam matematika dengan

mengkonstruksi sendiri konsep dan prinsip yang dipelajari itu. Beberapa alasan

menggunakan pendekatan pembelajaran dengan strategi mathematical habits of mind

adalah pembelajaran menjadi berpusat pada siswa, belajar dengan menemukan sesuatu

membentuk konsep diri siswa, tingkat harapan siswa bertambah, belajar dengan

menemukan pola mengembangkan bakat, dan belajar dengan menyelidiki sesuatu

memberikan waktu kepada siswa untuk mengasimilasi secara mental dan

mengakomodasi informasi.

Hal lain yang turut mendukung pembelajaran dengan strategi mathematical

habits of mind untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi

adalah teori Vygotsky. Ada dua konsep yang sangat penting dalam teori Vygotsky yaitu

Zone Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. ZPD merupakan jarak antara

tingkat pengembangan aktual yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan

masalah secara mandiri dengan tingkat pengembangan potensial yang didefinisikan

sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau

melalui kerjasama dengan teman sebaya yang kemampuannya lebih tinggi. Scaffolding

merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal

pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan pada siswa

untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah dia dapat

melakukannya. Fungsi mental yang lebih tinggi akan muncul dalam interaksi atau

keberjasama antara individu sebelum fungsi mental tersebut diserap. Selanjutnya

Suryadi (2005) menyatakan bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja atau belajar

menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun masih berada dalam zona

perkembangan proksimal.

Page 104: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 74

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis, temuan, dan pembahasan yang telah disajikan pada

bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan secara keseluruhan terdapat perbedaan yang

signifikan antara kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa yang mengikuti

pembelajaran dengan strategi mathematical habits of mind dengan kemampuan berpikir

matematis tingkat tinggi siswa yang mengikuti pembelajaran biasa. Perkembangan

kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa yang memperoleh pembelajaran

dengan strategi mathematical habits of mind lebih baik daripada siswa yang

memperoleh pembelajaran biasa, ditinjau secara keseluruhan.

Secara umum kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa yang

memperoleh pembelajaran dengan strategi mathematical habits of mind di sekolah

dengan peringkat tinggi termasuk pada kategori tinggi, sedangkan untuk sekolah sedang

dan rendah termasuk kategori cukup. Kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi

siswa pada pembelajaran biasa untuk sekolah dengan peringkat tinggi, sedang dan

rendah masuk kategori cukup. Dari temuan di lapangan diperoleh hasil bahwa

pembelajaran dengan strategi mathematical habits of mind cocok untuk diterapkan pada

setiap peringkat sekolah dalam mengembangkan kemampuan berpikir matematis tingkat

tinggi siswa.

Agar dapat mengimplementasikan pembelajaran dengan strategi mathematical

habits of mind di kelas, guru perlu mempersiapkan bahan ajar yang cocok serta

membuat antisipasi dari respon yang mungkin muncul dari siswa. Sehingga guru dapat

memberikan scaffolding yang tepat untuk siswa. Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang

disusun hendaknya memuat komponen pembelajaran dengan strategi habits of mind

serta masalah yang menantang dan memunculkan konflik kognitif dalam diri siswa,

sehingga merangsang siswa untuk melakukan ekplorasi dan penyelidikan dalam

memperoleh pengetahuan baru yang lebih bermakna.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas (2006). Kurikulum 2006 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika

Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA). Jakarta: Depdiknas.

Page 105: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 75

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Fisher, R. (1995). Teaching Children to Think. Hong Kong: Stanley Thornes Ltd. Karli, H dan Yuliariatiningsih, M. (2005). Implementasi Kurikulum Berbasis

Kompetensi. Bandung: Bina Media Informasi. Mangun, R. (2008). PSP Yogyakarta. [On Line]. Tersedia: file:///G:/PSP%20

YOGYAKARTA.htm. Munandar, U. (1999). Kreativitas & Keberbakatan. Strategi Mewujudkan potensi

kreatif & Bakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Munandar, U, (2002). Kreativitas dan Keberbakatan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama. Ratnaningsih, N. (2003). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematik Siswa

Sekolah Menengah Umum Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis pada PPs UPI: Tidak diterbitkan.

Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan

Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi PPs UPI: Tidak diterbitkan.

Ruggiero, Vincent R. (1998). The Art of Thinking. A Guide to Critical and Creative

Thought. New York: Longman, An Imprint of Addison Wesley Longman, Inc. Shouksmith, George (1979). Intelligence, Creativity and Cognitive Style.

New York:Wiley-Interscience, A Division of John Wiley & Sons, Inc. Ruseffendi, E.T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya

dalam Pengajaran Matematika. Diktat Kuliah: Tidak diterbitkan. Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan & Bidang Non- Eksakta

Lainnya. Bandung: Tarsito. Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Schunk, D. H. (1987). Peer Models and Children's Behavioral Change. Review of

Educational Research, 57. [Onlie]. Tersedia: http://www.eric.ed.gov/ ERICWebPortal/recordDetail?accno=EJ369709

Simon. M.A. (1995). Developing New Models of Mathematics Teaching: An

Imperative for Research on Mathematics Teacher Development. Dalam E. Fennema & B.S. Nelson (EDs.) Mathematics Teachers in Transition (pp. 55-86). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Page 106: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 76

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Siskandar. (2004). Kurikulum 2004 dan Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah. Makalah Disajikan pada Seminar Nasional Matematika Jurusan Pendidikan Matematika UPI: Tidak Diterbitkan.

Silver, E.A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical

Problem Solving and Thinking in Problem Posing. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz /publications/zdm ZDM Volum 29 (June 1997) Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X.

Sumarmo, U. (2005). Pengembangan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa SLTP

dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Lemlit UPI: Laporan Penelitian.

Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta

Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Bandung: Disertasi SPs UPI. Tidak diterbitkan.

Suryadi, D. (2008). Metapedadidaktik dalam Pembelajaran Matematika: Suatu Strategi Pengembangan Diri Menuju Guru Matematika Profesional. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Matematika pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 22 April 2008.

Page 107: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 77

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN SETTING KOOPERATIF JIGSAW

TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KREATIF

Asep Ikin Sugandi1 1STKIP Siliwangi, [email protected]

ABSTRAK

Artikel ini melaporkan hasil temuan suatu kuasi eksperimen dengan disain tes akhir kelompok kontrol untuk menelaah pengaruh pembelajaran berbasis masalah dengan setting kooperatif JIGSAW terhadap kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Studi ini melibatkan 123 siswa dari tiga kelas dari satu SMP dengan level sedang di kota Karawang. Instrumen penelitian terdiri dari dua set tes yaitu satu set tes berpikir kritis matematis serta satu set tes berpikir kreatif. Penelitian menemukan bahwa pembelajaran berbasis masalah dalam setting belajar kooperatif JIGSAW lebih baik daripada berbasis masalah dan pembelajaran konvensional pada taraf signifikasi 5%. Kata Kunci: pembelajaran berbasis masalah, belajar kooperatif tipe Jigsaw, berpikir

kritis dan berpikir kreatif

PENDAHULUAN

Keterampilan berpikir kritis dan kreatif merupakan hal yang penting dalam

pendidikan matematika, perlu dilatihkan pada siswa dari mulai jenjang pendidikan dasar

sampai menengah. Siswa perlu dibekali keterampilan seperti itu supaya siswa mampu

memecahkan permasalahan yang dihadapi secara kritis dan kreatif. Pentingnya

keterampilan berpikir kritis dan kreatif dilatihkan kepada siswa, didukung oleh visi

pendidikan matematika yang mempunyai dua arah pengembangan yaitu memenuhi

kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang (Sumarmo, 2002, 2004, 2005).

Visi pertama untuk kebutuhan masa kini, pembelajaran matematika mengarah

pada pemahaman konsep-konsep yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah

matematik dan ilmu pengetahuan lainnya. Visi kedua untuk kebutuhan masa yang akan

datang atau mengarah ke masa depan, mempunyai arti lebih luas yaitu pembelajaran

matematika memberikan kemampuan nalar yang logis, sistematis, kritis, dan cermat

serta berpikir objektif dan terbuka yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari

serta untuk menghadapi masa depan yang selalu berubah. Kemudian ditegaskan pula

oleh Kurikulum 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) serta Badan

Page 108: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 78

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Standar Nasional Pendidikan (2006: 1) bahwa peserta didik dari mulai sekolah dasar

perlu dibekali dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan

kemampuan bekerja sama.

NCTM meringkas berpikir kritis matematis sebagai isu mendasar yang

berhubungan dengan penalaran matematik. Menurut NCTM (Rohaeti, 2008 : 12)

keberagaman tingkat penalaran matematik siswa dapat dilihat dari kemampuan menarik

kesimpulan logis tentang matematika, menggunakan model, fakta-fakta, sifat-sifat dan

hubungan-hubungan

Demikian pula laporan TIMSS menunjukkan bahwa pembelajaran yang lebih

menekankan pada aktivitas berpikir kritis dan kreatif seperti di Jepang dan Korea

mampu menghasilkan siswa berprestasi tinggi dalam matematika. Dua studi Sumarmo

(1993, 1994) terhadap siswa dan guru SMP, dan SMU di Bandung menemukan bahwa

pembelajaran matematika kurang melibatkan aktivitas siswa secara optimal sehingga

siswa kurang aktif dalam belajar. Demikian pula Wahyudin (1999) melaporkan bahwa

guru pada umumnya mengajar dengan metode ceramah dan ekspositori, siswa jarang

mengajukan pertanyaan dan guru asyik sendiri menjelaskan apa yang telah

disiapkannya, sebagian besar siswa hanya menerima materi yang disampaikan oleh

guru.

Hasil penelitian Mullis, dkk (Suryadi, 2004) menunjukkan bahwa soal-soal

matematika tidak rutin pada umumnya tidak berhasil dijawab dengan benar oleh siswa

Indonesia. Namun sejumlah penelitian yang menerapkan pembelajaran yang inovatif

dan melibatkan siswa belajar aktif (Ansyari, 2004, Darta, 2003, Hamzah, 2003,

Hendriana, 2002, Herman, 2006, Rahayu, 2001, Ratnaningsih, dan Herman, 2006,

Sugandi, 2001, Wardani, 2002) melaporkan bahwa siswa yang memperoleh beragam

pembelajaran inovatif mencapai kemampuan matematis lebih baik dari siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional. Sugandi (2001) dengan pembelajaran

kooperatif tipe TAI, Hendriana (2002) dengan model pembelajaran berbalik dengan

probing dan scaffolding, dan Wardani (2002) dengan pembelajaran kooperatif tipe

Jigsaw melaporkan siswa SMU berinteraksi lebih aktif, menunjukkan senang belajar,

dan mencapai hasil belajar kemampuan berpikir kritis matematik yang lebih tinggi

Berkenaan dengan kemampuan berpikir kreatif, Rohaeti (2010: 19)

mendefinisikan berpikir kreatif adalah keaslian, kelancaran, kelenturan dan

Page 109: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 79

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

keterperincian respon siswa dalam menggunakan konsep-konsep. Kemampuan tersebut

mencakup kemampuan untuk dapat mengajukan ide-ide baru berdasarkan situasi yang

diberikan, melengkapi data untuk menyusun makalah, menggambar bangun geometri

atau representasi matematis lainnya sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan,

menemukan beberapa cara yang mungking untuk menyelesaikan suatu masalah,

membuat masalah berdasarkan situasi yang diberikan, menuliskan persamaan dan

perbedaan suatu konsep, menyusun kemunginan-kemungkinan, menyelesaikan suatu

masalah, menyusun pola berdasarkan gambar yang diberikan dan menentukan

banyaknya unsure pada pola tertentu.

Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa pembelajaran yang

memperhatikan tugas yang relevan, memberi peluang siswa dan mahasiswa lebih

banyak diskusi dan berkomunikasi dengan sesama temannya, memberikan hasil belajar

matematik lebih baik dari hasil belajar dengan pembelajaran ekspositori biasa. Rasional

ini, mendukung upaya peningkatan kualitas hasil belajar dan proses pembelajaran

matematika untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa.

Memperhatikan karakteristik matematika sebagai ilmu yang terstruktur dan sistimatis,

secara rasional dapat diprediksi bahwa kemampuan awal matematika siswa akan

memberikan pengaruh terhadap pencapaian hasil belajar selanjutnya.

Uraian, rasional, dan temuan penelitian di atas, mendorong peneliti

melaksanakan penelitian mengenai pengaruh pembelajaran berbasis masalah dalam

setting belajar kooperatif JIGSAW, kemampuan awal matematika, terhadap pencapaian

kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik siswa SMA.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan suatu kuasi eksperimen dengan disain tes akhir dan

kelompok kontrol seperti terlukis dalam gambar di bawah ini.

X1 O X2 O O

Keterangan: X1 = Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) dengan setting Koperatif tipe Jigsaw X2 = Pembelajaran Baebasis Masalah (PBM) O = Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematis

Page 110: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Subyek penelitian ini adalah 123 siswa kelas VIII SMP yang berasal dari satu

SMP yang ada di Kabupaten K

bentuk uraian yang meliputi kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Bahan ajar yang

digunakan disajikan dalam bentuk lembar kerja siswa yang disusun berdasarkan rambu

rambu pembelajaran berbasis m

HASIL PENELITIAN

Hasil Penelitian

Kemampuan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa terlukis pada Tabel 1

dan Tabel 2. Dengan menggunakan uji Anova dua jalur untuk

kritis dan berpikir kreatif pendekatan pembelajaran dan TKAS

sebagai berikut.

Tabel 1. Kemampuan Berpikir Kritis

TKAS BMJ

Sd n

Tinggi 36,53 4,48 17

Sedang 31,79 5,85 24

Rendah 24,00 0 1

Total 33,52 5,89 42

Catatan: Skor ideal 50; BMJ (berbasis masalah dengan JIGSAW, BM (berbasis masalah), KV (konvensional)

Ditinjau secara keseluruhan, dan pada level

kritis siswa dengan pembelajaran BMJ lebih baik dari siswa dengan pembelajaran BM

dan keduanya lebih baik dari siswa dengan pembelajaran KV.

TKAS sedang pembelajaran BMJ lebih baik dari pada BM maupun KV.

level TKAS rendah, kemampuan

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Subyek penelitian ini adalah 123 siswa kelas VIII SMP yang berasal dari satu

SMP yang ada di Kabupaten Karawang. Instrumen penelitian ini terdiri dari satu set tes

bentuk uraian yang meliputi kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Bahan ajar yang

digunakan disajikan dalam bentuk lembar kerja siswa yang disusun berdasarkan rambu

rambu pembelajaran berbasis masalah.

PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kemampuan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa terlukis pada Tabel 1

Dengan menggunakan uji Anova dua jalur untuk kemampuan berpikir

kritis dan berpikir kreatif pendekatan pembelajaran dan TKAS diperoleh temuan

Berpikir Kritis Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran

Pendekatan Pembelajaran

BM KV

Sd n Sd n

33,80 3,35 5 30,00 3,60 3 35,20

29,93 3,99 30 27,32 4,08 22 29,76

25,00 1,87 5 22,94 2,82 16 23,45

29,80 4,29 40 25,80 4,27 41 29,74

Catatan: Skor ideal 50; BMJ (berbasis masalah dengan JIGSAW, BM (berbasis KV (konvensional)

Ditinjau secara keseluruhan, dan pada level TKAS tinggi, kemampuan

siswa dengan pembelajaran BMJ lebih baik dari siswa dengan pembelajaran BM

dan keduanya lebih baik dari siswa dengan pembelajaran KV. Demikian juga pada level

TKAS sedang pembelajaran BMJ lebih baik dari pada BM maupun KV. Namun pada

kemampuan kemampuan berpikir kritis siswa dengan pembelajaran

1 - 80

Subyek penelitian ini adalah 123 siswa kelas VIII SMP yang berasal dari satu

arawang. Instrumen penelitian ini terdiri dari satu set tes

bentuk uraian yang meliputi kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Bahan ajar yang

digunakan disajikan dalam bentuk lembar kerja siswa yang disusun berdasarkan rambu-

Kemampuan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa terlukis pada Tabel 1

kemampuan berpikir

diperoleh temuan

dan TKAS

Total

Sd n

4,63 25

4,94 76

2,67 22

5,80 123

Catatan: Skor ideal 50; BMJ (berbasis masalah dengan JIGSAW, BM (berbasis

tinggi, kemampuan berpikir

siswa dengan pembelajaran BMJ lebih baik dari siswa dengan pembelajaran BM

Demikian juga pada level

Namun pada

siswa dengan pembelajaran

Page 111: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

BMJ dan BM tidak berbeda, dan keduanya lebih baik dari kemampuan siswa dengan

pembelajaran KV.

Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan tingkat

kemampuan awal siswa (TKAS

Tabel 2. Kemampuan Berpikir Kreatif

Pembelajaran dan TKAS

TKAS BMJ

Sd n

Tinggi 36,23 5,80 17

Sedang 29,00 5,66 24

Rendah 24,00 0 1

Total 31,81 6,73 42

Catatan: Skor ideal 60; BMJ (berbasis masalah dengan JIGSAW, BM (berbasis masalah), KV (konvensional)

Dengan menggunakan uji Anova dua jalur untuk

faktor kemampuan awal matematis siswa dan pendekatan pembelajaran

temuan sebagai berikut:

1) Ditinjau secara keseluruhan, dan pada level

kreatif siswa dengan pembelajaran BMJ lebih baik dari siswa dengan pembelajaran

BM dan keduanya lebih baik dari siswa dengan pembelajaran KV.

pada level TKAS sedang pembelajaran BMJ lebih baik dari pada BM maupun KV.

Namun pada level TKAS rendah

dengan pembelajaran BMJ dan BM tidak berbeda, dan keduanya lebih baik dari

kemampuan siswa dengan pembelajaran KV.

2) Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan tingkat

kemampuan awal siswa (TKAS

siswa.

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

BMJ dan BM tidak berbeda, dan keduanya lebih baik dari kemampuan siswa dengan

Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan tingkat

kemampuan awal siswa (TKAS) terhadap kemampuan berpikir kritis matematik

Berpikir Kreatif Matematis Berdasarkan Pendekatan dan TKAS

Pendekatan Pembelajaran

BM KV

Sd n Sd n

35,20 5,54 5 30,00 2,83 4 35,07

28,53 3,59 30 25,74 3,67 23 27,84

24,00 1,87 5 23,21 3,14 14 23,45

28,80 4,62 40 25,29 3,88 41 28,66

Catatan: Skor ideal 60; BMJ (berbasis masalah dengan JIGSAW, BM (berbasis KV (konvensional)

Dengan menggunakan uji Anova dua jalur untuk kemampuan Berpikir kreatif

matematis siswa dan pendekatan pembelajaran

Ditinjau secara keseluruhan, dan pada level TKAS tinggi, kemampuan

siswa dengan pembelajaran BMJ lebih baik dari siswa dengan pembelajaran

BM dan keduanya lebih baik dari siswa dengan pembelajaran KV. Demikian juga

pada level TKAS sedang pembelajaran BMJ lebih baik dari pada BM maupun KV.

level TKAS rendah, kemampuan kemampuan berpikir kreatif

dengan pembelajaran BMJ dan BM tidak berbeda, dan keduanya lebih baik dari

kemampuan siswa dengan pembelajaran KV.

Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan tingkat

kemampuan awal siswa (TKAS) terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis

1 - 81

BMJ dan BM tidak berbeda, dan keduanya lebih baik dari kemampuan siswa dengan

Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan tingkat

berpikir kritis matematik siswa.

Matematis Berdasarkan Pendekatan

Total

Sd n

5,69 26

4,52 77

2,76 20

5,85 123

Catatan: Skor ideal 60; BMJ (berbasis masalah dengan JIGSAW, BM (berbasis

kemampuan Berpikir kreatif

matematis siswa dan pendekatan pembelajaran diperoleh

tinggi, kemampuan berpikir

siswa dengan pembelajaran BMJ lebih baik dari siswa dengan pembelajaran

Demikian juga

pada level TKAS sedang pembelajaran BMJ lebih baik dari pada BM maupun KV.

kemampuan berpikir kreatif siswa

dengan pembelajaran BMJ dan BM tidak berbeda, dan keduanya lebih baik dari

Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan tingkat

berpikir kreatif matematis

Page 112: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 82

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pembahasan

Sebelum dilakukan pembahasan hasil penelitian yang berkenaan dengan

pendekatan pembelajaran yang digunakan, terlebih dahulu perlu disajikan beberapa

perbedaan karakteristiknya ditinjau dari model sajian bahan ajar, pendalaman bahan

ajar, intervensi guru, serta interkasi kelas. Gambaran perbedaan karakteristiktersebut

dapat diperoleh melalui Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan Karakteristik Pendekatan Pembelajaran

Pendekatan BMJ Pendekatan BM Pendekatan Konvensional

Bahan ajar dikemas dalam bentuk sajian masalah sehingga konsep, prosedur, dan prinsip dalam matematika siswa melalui aktivitas pembelajaran yang tidak langsung (misalnya melalui penemuan, pemecahan masalah, ekspolarasi pola ).

Bahan ajar dikemas dalam bentuk sajian masalah sehingga konsep, prosedur, dan prinsip dalam matematika siswa melalui aktivitas pembelajaran yang tidak langsung (misalnya melalui penemuan, pemecahan masalah, ekspolarasi pola ).

Bahan ajar disajikan oleh guru di kelas, diberikan dengan model langsung melalui sajian konsep, prosedur dan prinsip dalam matematika. Sajian tersebut biasanya disertai pemberian contoh-contoh, serta diahiri dengan latihan pengejaan soal

berdiskusi pada kelompok ahli berkewajiban untuk menerangkan kepada teman yang ada pada kelompok asal

Pendalaman materi dikembangkan dengan diskusi dengan teman sebangku atau dengan intervensi guru

Pendalam materi dikembangkan oleh siswa dan guru dengan interaksi dua arah

Model intervensi guru yang dikembangkan dalam pendekatan ini lebih bersifat tidak langsung, yakni melalui teknik Scaffolding antara lain berupa pengajuan pertanyaan, pemberian hint, serta pengajuan masalah berbeda. Namun model intervensi guru di sini bersifat terbatas karena

Model intervensi guru yang dikembangkan dalam pendekatan ini lebih bersifat tidak langsung, yakni melalui teknik Scaffolding antara lain berupa pengajuan pertanyaan, pemberian hint, serta pengajuan masalah berbeda

Model intervensi yang dilakukan dalam pendektan ini lebih bersifat langsung yakni dengan cara menjelaskan atau memberikan contoh.

Page 113: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 83

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 3. Lanjutan

siswa jika menghadapi masalah berdiskusi dulu baik dalam kelompok asal maupun kelompok ahli

Model intervensi guru yang dikembangkan dalam pendekatan ini lebih bersifat tidak langsung, yakni melalui teknik Scaffolding antara lain berupa pengajuan pertanyaan, pemberian hint, serta pengajuan masalah berbeda. Namun model intervensi guru di sini bersifat terbatas karena siswa jika menghadapi masalah berdiskusi dulu baik dalam kelompok asal maupun kelompok ahli

Model intervensi guru yang dikembangkan dalam pendekatan ini lebih bersifat tidak langsung, yakni melalui teknik Scaffolding antara lain berupa pengajuan pertanyaan, pemberian hint, serta pengajuan masalah berbeda

Model intervensi yang dilakukan dalam pendektan ini lebih bersifat langsung yakni dengan cara menjelaskan atau memberikan contoh.

Model interaksi yang dikembangkan dalam pendekatan ini bersifat multiarah dalam bentuk diskusi kelompok kecil yang terencana dan kontinu

Model interaksi yang dikembangkan dalam pendekatan ini bersifat multiarah

Model interaksi yang dikembangkan dalam pendekatan ini bersifat satu arah atau dua arah

Dari hasil analisis data hasil penelitian terlihat bahwa kemampuan berpikir kritis

dan kreatif siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan berbasis masalah

dengan setting kooperatif tipe Jigsaw (BMJ) lebih baik dari pada siswa yang

menggunakan pendekatan berbasis masalah (BM) maupun yang konvensional (KV).

Begitu pula , siswa yang pembelajaran menggunakan pendekatan BM lebih baik dari

pada yang menggunakan pendekatan konvensional.

Page 114: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 84

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Beberapa hal yang menyebabkan pembelajaran dengan menggunakan

pendekatan berbasis masalah dengan setting kooperatif tipe Jigsaw (BMJ) lebih baik

dibandingkan dengam pendekatan berbasis masalah (BM) dan pendekatan konvensional

(KV) dalam mengembangkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi,

diantaranya:

a. Dilihat dari sajian bahan ajar: bahan ajar yang disajikan dalam bentuk

permasalahan, memungkinan siswa untuk memperoleh kesempatan untuk

mengembangkan konsep, prosedur, serta prinsip dalam metematika melalui suatu

aktivitas belajar secara bervariasi meliputi kegiatan yang bersifat individual,

kelompok maupun kelas. Setiap kegiatan yang dikembangkan diawali dengan sajian

masalah yang berfungsi sebagai salah satu stimulus dan pemicu siswa untuk

berpikir. Berarti masalah bertindak sebagai kendaraan proses belajar untuk

mencapai tujuan. Konsep pembelajaran seperti itu, dapat memfasilitasi siswa

melakukan eksplorasi, investigasi dan pemecahan masalah. Seperti Sabandar (2005:

2) mengemukakan bahwa situasi pemecahan masalah merupakan suatu tahapan di

mana ketika individu dihadapkan kepada suatu masalah ia tidak serta merta mampu

menemukan solusinya, bahkan dalam proses penyelesaiannya ia masih mengalami

kebuntuan. Pada saat itulah terjadi konflik kognitif yang tidak menutup

kemungkinan memaksa siswa untuk berpikir kritis dan kreatif. Hal-hal ini yang

tidak difasilitasi dalam pembelajaran konvensional sehingga pembelajaran BMJ

maupun BM lebih berhasil dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis

maupun kreatif.

b. Pendalaman materi

Pendalaman materi yang digunakan dalam pendekatan berbasis masalah dengan

setting kooperatif tipe Jigsaw dilaksanakan dalam bentuk diskusi kelompok kecil

yang terencana dengan baik. Hal ini merupakan faktor pendorong terjadinya

aktivitas mental bersifat konstruktif dalam pembentukan obyek-obyek mental baru.

Salah satu landasan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tersebut antara

lain adalah teori Zone of Proximal Development (ZPD) dari Vygotsky. Menurut

Vygotsky belajar dapat membangkitkan berbagai proses mental tersimpan yang

hanya bisa dioperasikan ketika sseorang berinteraksi dengan sesama temannya.

Page 115: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 85

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul

dalam diskusi dan kerjasama antara individu sebelum fungsi mental yang lebih

tinggi terserap ke dalam individu tersebut. Pengembangan kemampuan yang

diperoleh melalui proses belajar sendiri pada saat melakukan pemecahan masalah

disebut sebagai actual development, sedangkan perkembangan yang terjadi sebagai

akibat adanya interaksi dengan temannya yang mempunyai kemampuan lebih tinggi

disebut potensial development. Zone of Proximal Development sebagai jarak

anatara actual development dan potensial development.

Melalui interaksi antara siswa, diharapkan terjadi pertukaran pengalaman belajar

berbeda sehingga aksi mental dapat terus berlanjut sesuai dengan yang diharapkan.

Sementara itu teknik Scaffolding dapat digunakan selain untuk mengarahkan proses

berpikir, juga untuk memberikan tantangan lanjutan sehingga aksi mental yang

diharpkan dapat terjadi dengan baik. Dengan adanya kerjasama yang berkesinambungan

diharpkan dapat memperpendek jarak perbedaan kemampuan aktual siswa.

Dengan adanya diskusi yang terencana dan terpola dalam bentuk kooperatif tipe

Jigsaw yang mewajibkan setiap siswa yang menjadi wakil diskusi pada kelompok ahli

untuk menerangkan kembali kepada anggota kelompok lain, sehingga setiap anggota

kelompok menyiapkan dirinya untuk tampil dengan penguasaan konsep yang mapan.

Hal ini merupakan refleksi atas aksi-aksi mental yang dilakukan selama siswa

melakukan diskusi dan kerjasama dengan temannya. Kegiatan ini antara lain dapat

dilihat dari kemampuan siswa membicarakan dan menjelaskan hasil dari aksi mental

yang telah dilakukan terhadap sejumlah kognitif terkait.

Pada saat diskusi kelompok asal, guru dapat melakukan intervensi secara tidak

langsung dengan meminta siswa untuk menjelaskan kinerja siswa dalam menyelesaikan

suatu persoalan. Melalui intervensi ini, siswa diarahkan agar memiliki kemampuan

untuk melakukan refleksi atas sejumlah proses mental yang telah dilakukan sehingga

mereka mampu merangkumnya menjadi obyek mental yang baru. Hal inilah yang tidak

terdapat dalam pendekatan BM maupun konvensional.

Disamping itu pada pembelajaran yang menggunakan pendekatan berbasis

masalah dengan setting kooperatif tipe Jigsaw pada akhir pembelajaran setiap siswa

diberi tes individu. Pemberian tes ini diharapkan sebagai penguatan terhadap materi

yang telah dipelajari siswa. Hal ini sejalan dengan Vygotsky (Suryadi, 2008 : 8) yang

Page 116: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 86

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

mengatakan bahwa proses belajar terjadi pada dua tahap : tahap pertama terjadi pada

saat berkolaborasi dengan orang lain, dan tahap berikutnya dilakukan secara individual

yang di dalamnya terjadi peoses internalisasi.

Namun demikian, karena matematika merupakan ilmu yang terstruktur yaitu

terdapat keterkaitan konsep yang satu dengan konsep yang lain, maka dalam

pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan berbasis masalah dengan

setting kooperatif tipe Jigsaw diperlukan kemampuan prasyarat yang berkategori tinggi

dan sedang. Kemampuan untuk berpikir mandiri, mengeluarkan pendapat secara benar

dan tepat serta kemampuan bertanya menuntut siswa untuk mempunyai pengetahuan

prasyarat yang tinggi atau sedang. Hal inilah yang menyebabkan kemampuan berpikir

krtis dan kreatif pada siswa yang mempunyai tingkat kemampuan awal siswa (TKAS)

rendah dengan pembelajaran berbasis masalah lebih baik dari pada siswa denga TKAS

rendah dengan yang menggunakan berbasis masalah dengan setting jigsaw.

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan berpikir kritis

dan kreatif siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan berbasis masalah

dengan setting kooperatif tipe Jigsaw lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya

menggunakan pendekatan berbasis masalah dan Konvensional. Hal ini sejalan dengan

dengan pendapat Barraw ( Ibrahim dan Nur, 2004 : 5) bahwa pembelajaran berbasis

masalah dengan setting Kooperatif tipe Jigsaw tidak dirancang untuk memberikan

informasi sebanyak-banyaknya pada siswa. PBL dengan seting kooperatif tipe Jigsaw

dikembangkan untuk mengembangkan kemampuan keterampilan berpikir,

mengembangkan pengetahuan dan keterampilan memecahan masalah dan keterampilan

intelektual, belajar berbagi peran orang dewasa melalui pelibatan mereka pada

pengalaman nyata, mengembangkan keterampilan belajar pengarahan sendiri yang

efektif (effective self directed learning).

Hal ini pun sejalan dengan pendapat Lauren Resnick (Ibrahim dan Nur, 2004 :

31) bahwa Pembelajaran berbasis masalah dengan setting kooperatif tipe Jigsaw

ditujukan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif. Dalam PBL

dengan setting kooperatif tipe Jigsaw siswa belajar dalam kelompok kecil. Penggunaan

kelompok kerja kooperatif membantu perkembangan masyarakat belajar dalam kelas

sains. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa meningkat bila

siswa belajar dalam lingkungan belajar kooperatif. Bekerja dalam kelompok juga

Page 117: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 87

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

membantu mengembangkan karakteristik esensial yang yang dibutuhkan untuk suskes

setelah siswa tamat belajar seperti dalam berkomunikasi secara verbal, berkomunikasi

secara tertulis dan keterampilan membangun team kerja.

Pembelajaran berbasis masalah dengan setting kooperatif tipe Jigsaw berpusat

pada siswa. Siswa harus dapat menentukan sendiri apa yang harus dipelajari, dan dari

mana informasi harus diperoleh, dibawah bimbingan guru dan teman-teman

sekelompoknya (Barrows, dalam Ibrahim dan Nur, 2004 : 32). Dengan bimbingan guru

dan diskusi dengan teman-teman sekelompoknya yang secara berulang-ulang

mendorong dan mengarahkan mereka untuk mengajukan pertanyaan, mencari

penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri, siswa belajar untuk

menyelesaikan tugas-tugas itu secara mandiri dalam kehidupan kelak (Ibrahim dan Nur,

2004).

SIMPULAN

Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan pada Bagian

C, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

Secara keseluruhan faktor level kemampuan awal matematika siswa,

pembelajaran berbasis masalah dengan setting kooperatif tipe Jigsaw (BMJ),

pembelajaran berbasis masalah (BM) dan pembelajaran konvensional memberikan

peranan berarti terhadap pencapaian kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Namun

demikian peranan pembelajaran BMJ paling unggul dibandingkan dengan pernan faktor

lainnya terhadap pencapaian kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa.

Selain itu diperoleh kesimpulan pula bahwa tidak terdapat interaksi antara

pembelajaran dengan levekemampuan awal matematika siswa terhadap kemampuan

berpikir kritis maupun berpikir kreatif

DAFTAR PUSTAKA

Ansyari. B. (2004), Menumbuhkembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematik siswa SMU melalui strategi Think-talk-write. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia . Tidak dipublikasi.

Page 118: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 88

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Darta (2003). “Kesulitan Mahasiswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika”. Metalogika , Vol.6, no. 2. Juli 2003.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995). Kurikulum Sekolah Menengah Umum. GBPP Mata Pelajaran Matematika. Jakarta : Depdikbud.

Depdiknas (2001). Standar Nasional. Silabus Matematika SLTP/MTs. Jakarta : Depdiknas.

Hamzah, (2003). Kemampuan pengajuan masalah dan pemecahan masalah siswa SMU melalui teknik probing. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia . Tidak dipublikasi.

Hendriana, H. (2002) Kemampuan Pengajuan dan Pemecaham Masalah Matematika siswa melalui Pembelajaran Terbalik. Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia . Tidak dipublikasi.

Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa SMP. Disertasi UPI. Bandung : Tidak dipublikasikan.

Ibrahim dan Nur (2004). Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya : University

Press. Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan

Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi. UPI Bandung : Tidak Dipublikasikan.

Rohaeti, E.E. (2010). Pembelajaran dengan Pendekatan Eksplorasi untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi UPI. Bandung : Tidak Dipublikasikan.

Sugandi, A.I. (2001). Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika melalui Model Belajar Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization (TAI) pada Siswa Sekolah Menengah Umum. Tesis UPI. Bandung : Tidak dipublikasikan.

Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi. IKIP Bandung : Tidak Dipublikasikan.

Sumarmo, U. (1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian. IKIP Bandung : Tidak Dipublikasikan.

Page 119: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 89

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah pada Guru dan Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian. IKIP Bandung : Tidak Dipublikasikan.

Sumarmo, U. (1999). Implementasi Kurikulum Matematika 1993 pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Laporan Penelitian. IKIP Bandung : Tidak Dipublikasikan.

Sumarmo, U. dkk. (2002). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah pada Seminar Tingkat Nasional FPMIPA UPI. Bandung : Tidak Dipublikasikan.

Sumarmo, U. (2003). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi pada Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1) melalui berbagai Pendekatan Pembelajaran. Bandung, Laporan Penelitian Pascasarjana UPI. Bandung : Tidak dipublikasikan.

Sumarmo, U. (2004). Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di UNY

Sumarmo, U. (2005). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. LPPM UPI : Laporan Penelitian Hibah Pascasarjana.

Suryadi, D. (2004). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangkaian Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi. UPI Bandung : Tidak dipublikasikan.

Sugandi, A.I. (2001) Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika melalui Model Belajar Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization (TAI) pada Siswa Sekolah Menengah Umum Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia . Tidak dipublikasi.

Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi UPI. Bandung : Tidak dipublikasikan.

Wardani, S. (2002). Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika melalui Model Kooperatif Tipe Jigsaw. Tesis UPI. Bandung : Tidak dipublikasikan.

Page 120: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 90

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PENGEMBANGAN MATERI TABUNG BERDASARKAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI)

DI SMP PALEMBANG

Nila Kesumawati1

1Dosen Program Studi Pendidikan Matematika Universitas PGRI Palembang [email protected]

ABSTRAK

Salah satu reformasi kurikulum pada pelajaran matematika adalah pengembangan materi pembelajaran. Pengembangan materi pembelajaran sangat diperlukan sehingga proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika. Pengembangan materi pembelajaran tersebut disesuaikan dengan karakteristik dan tingkat intelektual siswa. Salah satu pendekatan khusus untuk pembelajaran matematika adalah pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Pendekatan PMRI merupakan suatu pendekatan yang didasari atas pandangan bahwa matematika sebagai aktivitas manusia. Matematika diusahakan dekat dengan kehidupan siswa, harus dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, dan jika mungkin harus real bagi siswa. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan bahan ajar materi tabung yang valid dan praktis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah development research yang terdiri dari dua tahap yaitu preliminary dan formative study. Pengumpulan data melalui analisis dokumen, uji pakar, dan tes. Subjek penelitian adalah 40 siswa kelas IX SMPN 22 Palembang. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa prototip materi tabung berdasarkan pendekatan PMRI dapat dikatakan valid dan praktis untuk digunakan oleh guru matematika dan siswa kelas IX SMP.

Kata-kata kunci: Pendekatan PMRI, masalah kontekstual, tabung

PENDAHULUAN

Selama ini, penekanan pembelajaran matematika adalah pada pemberian rumus,

contoh soal, dan latihan soal rutin. Siswa hanya mengerjakan soal latihan yang langsung

diselesaikan dengan menggunakan rumus dan algoritma yang sudah diberikan sehingga

siswa hanya dilatih mengingat dan seperti mekanik. Konsekuensinya adalah, jika

mereka diberikan soal yang memerlukan penalaran, mereka melakukan banyak

kesalahan (Kesumawati, 2010:3). Soal atau materi yang memerlukan penalaran

Page 121: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 91

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

sebaiknya dikembangkan oleh guru, karena guru lebih mengenal karakteristik peserta

didik yang diasuhnya. Selain itu guru juga dapat lebih kreatif, kita tahu bahwa

kreatifitas guru sangat diperlukan dalam pengembangan kurikulum saat ini.

Berdasarkan kurikulum 2006, prinsip utama pembelajaran matematika adalah

untuk memperbaiki dan menyiapkan aktivitas belajar yang bermanfaat bagi siswa yang

bertujuan untuk beralih dari paradigma mengajar matematika ke belajar matematika,

keterkaitan siswa secara aktif dalam pembelajaran harus ditunjang dengan

disediakannya aktivitas belajar yang khusus sehingga siswa dapat melakukan “doing

math” untuk menemukan dan membangun matematika dengan fasilitas oleh guru.

Salah satu komponen dalam kurikulum 2006 adalah guru harus mampu

membuat bahan ajar atau mengembangkan silabus. Untuk membuat bahan ajar, guru

dituntut untuk menguasai standar kompetensi, kompetensi dasar, dan materi.

Selanjutnya untuk indikator dan tujuan pembelajaran yang dikembangkan setiap

pengembang dapat berbeda.

Dalam pengembangan materi ajar, sebaiknya disesuaikan dengan tingkat

perkembangan berpikir atau karakteristik siswa. Materi ajar merupakan salah satu aspek

yang berpengaruh dalam proses pembelajaran, yang pada akhirnya akan mempengaruhi

kualitas proses dan hasil yang diperoleh.

Selain itu, dalam pengembangan materi guru dituntut juga untuk mengetahui

pendekatan pembelajaran yang bagaimana sehingga sesuai atau cocok dengan materi

yang akan dikembangkan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan

karakteristik siswa, yaitu pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

(PMRI). Pendekatan PMRI adalah pendekatan yang berorientasi pada masalah-masalah

yang real dan menekankan kebermaknaan siswa dalam belajar. Menurut Zulkardi

(dikutip Farah Diba, 2009: 22) Pembelajaran matematika realistik berorientasi pada

prinsip dan karakteristik PMRI sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk

menemukan kembali konsep-konsep matematika dan pengetahuan matematika formal.

Menurut Nieveen (dikutip Khabibah, 2006), suatu model pembelajaran

dikatakan baik jika model tersebut (1) valid, (2) praktis, dan (3) efektif. Aspek validitas

dikaitkan dengan dua hal yaitu (a) apakah model yang dikembangkan didasarkan pada

rasional teoritik yang kuat? Dan (b) apakah terdapat konsistensi internal? Sedangkan

aspek kepraktisan dipenuhi jika (a) para ahli dan praktisi menyatakan bahwa apa yang

Page 122: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 92

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

dikembangkan dapat diterapkan, dan (b) kenyataan menunjukkan bahwa apa yang

dikembangkan tersebut diterapkan.

Selanjutnya, penelitian tentang PMRI pernah dilakukan oleh Arifin (2008). Hasil

penelitiannya dapat disimpulkan kemampuan pemecahan masalah siswa yang mengikuti

pembelajaran matematika realistik dengan strategi kooperatif lebih baik daripada

kemampuan pemecahan masalah siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.

Dan juga penerapan pembelajaran matematika realistik dengan strategi kooperatif dapat

meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa sesuai tujuan

pembelajaran sebagaimana yang ditetapkan dalam kurikulum sekolah.

Kemudian hasil penelitian tentang PMRI yang dilakukan oleh Somakim (2010),

adalah pendekatan PMRI dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis

siswa SMP di Palembang. Hal ini dikarenakan peningkatan kemampuan berpikir kritis

matematis siswa dipacu oleh PMRI yang dalam pelaksanaan pembelajarannya selalu

memperhatikan prinsip dan karakteristik PMRI. Melalui prinsip PMRI, pembelajaran

difokuskan pada kemampuan siswa dalam penemuan kembali (reinvention) konsep-

konsep matematika. Proses penemuan kembali konsep matematika dengan perantara

masalah kontekstual yang dikemas dalam lembar aktivitas siswa. Konteks yang

dikembangkan sesuai dengan karakteristik PMRI yang memuat masalah kehidupan

sehari-hari. Kemudian dari awal konteks dirancang sebagai informal matematika (model

off), diharapkan siswa dapat mengembangkan atau menemukan formal matematika

(model for).

Berbeda dengan dua penelitian di atas, penelitian pengembangan telah

dilaksanakan oleh Misdalina (2009). Adapun judul penelitiannya adalah Pengembangan

Materi Integral untuk SMA Menggunakan Pendekatan PMRI di Palembang.

Kesimpulan yang diperoleh bahwa hasil pengembangan prototip materi Integral untuk

SMA menggunakan pendekatan PMRI di Palembang valid berdasarkan isi, bahasa, dan

kesesuaian konteks yang digunakan dan praktis berdasarkan mudah digunakan siswa.

Berdasarkan hal di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

pengembangan dengan judul Pengembangan Materi Tabung Berdasarkan Pendekatan

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) di SMP Palembang.

Dari uraian di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah proses

dan hasil pengembangan materi ajar tabung berdasarkan pendekatan PMRI yang valid

Page 123: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 93

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

dan praktis. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan materi ajar tabung

berdasarkan pendekatan PMRI yang valid dan praktis.

Manfaat penelitian ini, bagi guru adalah dapat digunakan dalam proses

pembelajaran geometri khususnya materi tabung. Bagi siswa adalah dapat digunakan

sebagai salah satu sumber pegangan untuk belajar geometri khususnya materi tabung.

METODE PENELITIAN

Riset Pengembangan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah development research.

Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu preliminary dan formative study. Pada tahap

preliminary study telah didesain prototip materi pembelajaran, soal evaluasi, serta

langkah-langkah untuk menggunakan materi tersebut di dalam kelas. Tahap formative

study, berdasarkan hasil evaluasi prototip sebelumnya, prototip kedua dibuat dan

dievaluasi, akhirnya diperoleh prototip ketiga.

Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah siswa kelas IX SMPN 22 Palembang berjumlah 40

siswa.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1)

Analisis dokumen, hasil kerjaan siswa pada LKS dianalisis dengan cara

membandingkan variasi strategi yang dipakai siswa; (2) Uji pakar, dilakukan untuk

memvalidasi LKS, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan buku guru

berdasarkan pendekatan PMRI oleh pakar; (3) Tes, hasil jawaban siswa dianalisis dan

kemudian dihitung persentasenya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prototip pertama materi Tabung

Materi tabung dipelajari oleh siswa kelas IX SMP. Berdasarkan kurikulum 2006,

kompetensi dasar (KD) dari pembelajaran materi tabung adalah, siswa dapat: (1)

Page 124: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 94

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Mengidentifikasi unsur-unsur tabung; (2) Menghitung luas permukaan tabung; (3)

Menghitung volum tabung.

Berdasarkan KD di atas, seperangkat pembelajaran berdasarkan pendekatan

PMRI didesain dan hasilnya merupakan prototip pertama.

Evaluasi Prototip Pertama

Evaluasi dilakukan untuk mengetahui perkembangan dan keberhasilan dari

setiap prototip. Semua perhatian terfokus pada kejelasan isi dan kebermaknaan gambar

serta kesesuaian konteks yang dapat membimbing siswa dari informal matematika ke

matematika formal.

Penilaian Pakar

Selanjutnya prototip pertama divalidasi oleh pakar. Dari hasil evaluasi dapat

dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Saran dari pakar terhadap LKS pada Prototip pertama dan keputusan revisi

Komentar Keputusan Revisi

Pada setiap gambar diberi nomor gambar dan nama gambar serta sumbernya jika mengambil dari sumber lain.

Membuat nomor gambar secara berurutan dan memberi nama gambar, sumber gambar tidak ditulis karena setiap gambar adalah hasil pemotretan peneliti.

Pada hal. 5, langkah aktivitas 1 diarahkan agar diperoleh banyak jawaban.

Dibuat perlangkah hingga diperoleh macam-macam gambar yang dibuat siswa.

Pada hal. 10 buat terlebih dahulu ilustrasi untuk siswa agar siswa mengingat kembali definisi tentang prisma.

Dibuat ilustrasi yang diinginkan, agar siswa ingat kembali.

Prototip Kedua

Berikut contoh materi pada prototip kedua, yang merupakan hasil revisi dari

prototip pertama.

Page 125: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 95

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Small Group

Prototip kedua selanjutnya diujicobakan pada smallgroup. Hal ini untuk melihat

kepraktisan prototip materi melalui observasi pelaksanaan. Berikut sebagai contoh hasil

aktivitas 1 yang dilaksanakan oleh siswa.

Page 126: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 96

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Berdasarkan jaring-jaring tabung yang mereka buat tersebut dapat dilihat bahwa,

siswa memiliki kemampuan untuk membuat beragam jaring-jaring tabung, kecuali pada

gambar ke-3. Pada gambar ke-3 ini tampak bahwa siswa paham dengan bentuk jaring-jaring

tabung, tetapi tidak dapat menggambarkannya secara tepat pada lembar jawaban di atas.

Seharusnya, pada gambar ke-3 tersebut, siswa membuat tiga gigi pada sebelah kiri dan tiga

gigi juga pada sebelah kanan. Tetapi ternyata, siswa menggambar tiga gigi pada sebelah kiri

dan empat gigi pada sebelah kanan. Walaupun demikian, dari aktivitas praktek, siswa

tersebut telah membuat guntingan jaring-jaring tabung dengan benar. Jadi, kesalahan terjadi

karena siswa tidak teliti dalam menggambar jaring-jaring tabung yang sudah mereka

peroleh dari aktivitas praktek (aktivitas-1).

Revisi Akhir

Materi pembelajaran direvisi sekali lagi berdasarkan tahapan sebelumnya, hasil

dari tahapan ini menghasilkan prototip ketiga, yang dianggap sebagai hasil akhir yang

valid dan praktis digunakan oleh guru dan siswa kelas IX SMP untuk materi tabung

berdasarkan pendekatan PMRI.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil yang diperoleh dari pengembangan ini adalah Lembar Kerja Siswa (LKS),

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan buku guru materi tabung berdasarkan

pendekatan PMRI untuk siswa SMP di Palembang adalah valid dan praktis. Valid

berdasarkan isi dan bahasa, sedangkan praktis berdasarkan keterpakaian materi dan

mudah untuk digunakan secara individu, dan kelompok.

Saran

Untuk mengembangkan materi beserta perangkat pembelajaran yang berkualitas,

secara teori validasi pakar belumlah cukup. Oleh karena itu perlu ujicoba lanjutan di

lapangan untuk mengetahui kepraktisan dan keefektifannya.

Page 127: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 97

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal. 2009. Meningkatkan Motivasi Berprestasi, Kemampuan Pemecahan Masalah, dan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SD Melalui Pembelajaran Matematika Realistik dengan Strategi Kooperatif (di Kabupaten Lamongan). Disertasi SPs UPI. Tidak dipublikasikan.

Diba, F. dkk. 2009. Pengembangan Materi Pembelajaran Bilangan Berdasarkan Pendidikan Matematika Realistik untuk Siswa Kelas V Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Matematika (JPM). Vol 3, no. 1 Palembang: PPs Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya.

Misdalina, dkk. 2009. Pengembangan Materi Integral untuk SMA Menggunakan Pendekatan PMRI di Palembang. Jurnal Pendidikan Matematika (JPM). Vol 3, no. 1 Palembang: PPs Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya.

Kesumawati, Nila. 2010. Peningkatan Kemampuan Pemahaman, Pemecahan Masalah, dan Disposisi Matematis Siswa SMP Melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Disertasi SPs UPI. Tidak dipublikasikan.

Khabibah, Siti. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika dengan Soal Terbuka Untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Matematika (Mathedu). Vol. 1 No. 2 Surabaya. PPs Pendidikan Matematika UNESA.

Somakim. 2010. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Self Efficacy Matematik Siswa SMP dengan Penggunaan Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi SPs UPI. Tidak dipublikasikan.

Page 128: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 98

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA

Sri Hastuti Noer.

FKIP, Universitas Lampung, Bandar Lampung Email: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa yang pembelajarannya dengan pembelajaran berbasis masalah open-ended bila dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, tanggapan siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah open-ended yang dilaksanakan, serta aktivitas siswa dan guru dalam pembelajaran berbasis masalah open-ended.

Untuk mendapatkan data hasil penelitian digunakan instrumen berupa tes kemampuan berpikir kreatif, skala sikap siswa dan lembar observasi. Populasi penelitian adalah siswa SMP Negeri 12 Bandar Lampung dengan subjek sampel adalah siswa kelas VIII sebanyak dua kelas.

Berdasarkan analisis data yang dilakukan diperoleh kesimpulam bahwa terdapat perbedaan rata-rata kemampuan dan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis antara siswa yang mengikuti pembelajaran pada kedua kelompok sampel. Aktivitas siswa dan guru selama pembelajaran berjalan kondusif dan sikap positif siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah open-ended.

Kata kunci: Pembelajaran Berbasis Masalah Open-ended, Kemampuan Berpikir Kreatif

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Noer (2009) mengatakan bahwa pembelajaran matematika di SMP kota Bandar

Lampung secara umum terbiasa dengan urutan langkah pembelajaran : (1) diajarkan

teori/definisi/teorema; (2) diberikan contoh-contoh; (3) diberikan latihan soal. Selain itu

pada umumnya guru kurang mengakomodasi kemampuan siswanya, karena guru kurang

memberi kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika

yang akan menjadi milik siswa sendiri. Guru cenderung memaksakan cara berpikir

siswa dengan cara berpikir mereka. Dengan kondisi yang demikian, kemampuan kreatif

siswa kurang berkembang.

Dari kenyataan yang di temukan di lapangan, maka harus ada upaya

memperbaiki proses pembelajaran yang terjadi saat ini. Salah satu upaya yang dapat

Page 129: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 99

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

dilakukan oleh tenaga pendidik adalah melakukan inovasi pembelajaran. Ausubel

(dalam Ruseffendi, 1991: 291) menyarankan sebaiknya dalam pembelajaran digunakan

pendekatan yang mengunakan metode pemecahan masalah, inquiri, dan metode belajar

yang dapat menumbuhkan berpikir kreatif dan kritis. Dengan adanya inovasi, terutama

dalam perbaikan metode dan cara menyajikan materi pelajaran, diharapkan kemampuan

berpikir kreatif siswa dapat ditingkatkan.

Sebuah model pembelajaran yang didasari oleh pandangan konstruktivisme

adalah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM). Pembelajaran ini memberikan suatu

lingkungan pembelajaran dengan masalah yang menjadi basisnya, artinya pembelajaran

dimulai dengan masalah kontekstual yang harus dipecahkan. Untuk memecahkan

masalah ini siswa perlu menginterpretasi masalah, mengumpulkan informasi yang

diperlukan, mengevaluasi alternatif solusi, dan mempresentasikan solusinya. Ketika

siswa mengkonstruksi suatu prosedur untuk memecahkan masalah, mereka

mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki. Dengan demikian

mereka menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan, kemudian

menganalisisnya dan akhirnya meneliti hasilnya. Dari uraian tentang karakteristik

masalah pada PBM terlihat bahwa pembelajaran ini dapat meningkatkan kemampuan

berpikir kreatif siswa, karena pembelajaran ini tidak mengharuskan siswa menghapal

fakta-fakta, tetapi mendorong siswa mengkonstruksi pengetahuan di dalam pikiran

mereka sendiri.

Kondisi secara umum tentang kemampuan berpikir kreatif yang masih rendah,

terjadi juga pada siswa-siswa SMP Negeri di Kota Bandar Lampung. Sebagian besar

siswa cenderung menghafal tanpa makna. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk

melakukan studi eksperimen menggunakan pembelajaran berbasis masalah open-ended

(PBMO) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif pada SMPN 12 Bandar

Lampung.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.

Page 130: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 100

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

1. Apakah kemampuan berpikir kreatif siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis

masalah open-ended lebih tinggi daripada siswa mengikuti pembelajaran

konvensional?

2. Seberapa jauh pembelajaran berbasis masalah open-ended dapat meningkatkan

kemampuan berpikir kreatif siswa?

3. Bagaimanakah tanggapan siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah open-

ended yang dilakukan?

4. Bagaimanakah aktivitas siswa dan guru dalam pembelajaran berbasis masalah open-

ended?

Kajian Pustaka

Perolehan pengetahuan siswa diawali dengan diadopsinya hal baru sebagai hasil

interaksi dengan lingkungannya. Kemudian hal baru tersebut dibandingkan dengan

konsep awal yang telah dimiliki. Jika hal baru tersebut tidak sesuai dengan konsepsi

awal siswa, maka akan terjadi konflik kognitif yang mengakibatkan adanya

ketidakseimbangan dalam struktur kognitifnya. Melalui proses akomodasi, siswa dapat

memodifikasi struktur kognitifnya menuju keseimbangan sehingga terjadi asimilasi

(Kusdwiratri-Setiono, 1983; Suparno, 1997; Oakley, 2004; Suryadi, 2005). Pada akhir

proses belajar, pengetahuan akan dibangun sendiri oleh siswa melalui pengalamannya

dari hasil interaksi dengan lingkungannya (Bell, Driver, dan Leach, dalam Karli &

Yuliartiningsih, 2000).

Dengan dasar itu, pembelajaran matematika harus dikemas menjadi proses

mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran matematika

sangat diharapkan siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan

aktif dalam proses belajar dan mengajar (Labinowicz,1985; Confrey,1994). Salah satu

pendekatan pembelajaran yang didasari oleh pandangan konstruktivisme adalah

Problem-based learning (PBM).

Pada pembelajaran berbasis masalah, masalah merupakan alat pembelajaran

yang utama, karena dalam pembelajaran ini siswa dihadapkan dengan masalah-masalah

ill-structured, open-ended, ambigu, dan kontekstual (Fogartty, 1997). Namun pada

penelitian ini masalah yang digunakan bersifat open-ended. Menurut Sawada (1997)

Page 131: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 101

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Ada tiga tipe permasalahan open-ended, yaitu: (1) Mencari hubungan, (2) Klasifikasi,

(3) Pengukuran. Permasalahan seperti ini menuntut siswa mengaplikasikan pengetahuan

matematis dan keterampilan yang mereka miliki untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Ketika siswa memecahkan masalah, mereka mengembangkan beberapa alternatif

solusi. Dengan cara demikian, mereka dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif

Beberapa ahli mengatakan bahwa berpikir kreatif dalam matematika merupakan

kombinasi berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan intuisi tetapi dalam

kesadaran yang memperhatikan fleksibilitas, kefasihan dan kebaruan (Pehkonen, 1999;

Krutetskii, 1976; Haylock, 1997; Silver, 1997).

Berdasarkan analisis faktor, Guilford menemukan bahwa ada 5 ciri yang

menandai munculnya proses kreatif yakni: 1) fluency, 2) flexibility, 3) originality, 4)

elaboration, dan 5) redefinition. Selain itu, Torrance (dalam Tarrow dan Lundsteen,

1978) mengidentifikasi empat kriteria kreativitas yakni 1) fluency, 2) flexibility, 3)

originality, 4) elaboration. Munandar (1977) mengemukakan: “Creativity is process

that manifests itself in fluency, in flexibility as well as in originality of thinking”.

Sedangkan Silver (1997) memberikan indikator untuk menilai berpikir kreatif siswa

(kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan) menggunakan pengajuan masalah dan

pemecahan masalah.Dengan demikian secara umum terdapat 5 macam ciri kreatif untuk

mengukur kemampuan kreatif seseorang.yakni aspek (1) Kelancaran (fluency); (2)

Keluwesan (flexibility); (3) Keterperincian (elaboration); (4) Kepekaan (sensitivity); dan

(5) Keaslian (Originality).

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi eksperimen dengan desain Delayed Counter

balanced Design (Noer, 2007). Adapun langkah-langkah penelitian yang dilakukan

adalah: (1) Menentukan sampel penelitian; (2) Sampel dibagi menjadi 2 kelompok yang

selanjutnya disebut kelompok I dan kelompok II; (3) Mengadakan pretes kepada

masing-masing kelompok; (4) Melaksanakan pembelajaran berbasis masalah open

ended untuk materi Kubus dan Balok pada kelompok I dan dengan pendekatan

konvensional pada kelompok II; (5) Memberikan tes akhir untuk mengetahui hasil

belajar siswa untuk materi Kubus dan Balok; (6) Melakukan delay atau penundaan

Page 132: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 102

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

perlakuan sebagai upaya untuk mengontrol efek pindahan (Carry over effect); (7)

Melaksanakan pembelajaran untuk materi Prisma dan Limas dengan pendekatan

konvensional pada kelompok I dan pembelajaran berbasis masalah open ended pada

kelompok II; (8) Memberikan tes akhir untuk mengetahui hasil belajar siswa untuk

materi Prisma dan Limas; (9) Mengumpulkan data dan mengolahnya; (10) Menganalisis

data.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMPN 12 Bandar

Lampung yang terdiri dari 6 kelas dan sampel penelitian sebanyak 2 kelas yang diambil

secara acak. Dalam penelitian ini, terpilih kelas VIII-A yang berjumlah 33 siswa sebagai

kelompok I dan kelas VIII-B yang berjumlah 36 siswa sebagai kelompok II. Sehingga

seluruh sampel berjumlah 69 orang siswa.

Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini tes digunakan untuk memperoleh nilai kemampuan berpikir

kratif siswa mengenai materi Bangun ruang. Butir tes untuk mengukur kemampuan

berpikir kreatif disusun dalam bentuk tes uraian yang berbentuk soal open-ended dan

skor jawaban siswa diukur berdasarkan 5 indikator kemampuan berpikir kreatif

sebagaimana diuraikan di atas. Angket dalam penelitian ini digunakan untuk

mengungkap respon siswa. yang berkenaan dengan pembelajaran berbasis masalah

open-ended. Angket ini dibuat dengan berpedoman pada bentuk skala Likert dengan

empat option. Tes skala sikap diberikan kepada siswa kelompok eksperimen setelah

semua kegiatan pembelajaran berakhir yaitu setelah postes. Tes skala sikap pada

penelitian ini terdiri atas butir pertanyaan dengan empat pilihan jawaban, yaitu sangat

setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Pemberian skor

disusun dengan menggabungkan skala yang berarah positif dan negatif, hal ini untuk

menghindari kemungkinan jawaban siswa yang tidak seimbang. Lembar observasi

diginakan untuk mengamati aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran berlangsung.

Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis data penelitian maka dilakukan dengan cara: (1) menguji

normalitas data dengan uji chi-kuadrat,(2) menguji homogenitas variansi dengan uji F,

Page 133: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 103

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

(3) menguji perbedaan dua rata-rata menggunakan uji-t, (4) menganalisis angket dan

hasil observasi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Data kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelompok I dan kelompok II

saat mengikuti pembelajaran berbasis masalah open-ended merupakan data kelompok

eksperimen, sedangkan data kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelompok I

dan kelompok II saat mengikuti pembelajaran konvensioanal merupakan data kelompok

kontrol.

Setelah dilakukan pengolahan data hasil tes kemampuan berpikir kreatif

matematis pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diperoleh skor tertinggi,

terendah, rata-rata skor, dan simpangan baku selengkapnya disajikan dalam Tabel 1

berikut ini.

Tabel 1. Skor Tertinggi, Skor Terendah, Rata-rata Skor, dan Simpangan Baku Tes Awal

Kemampuan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Skor maks Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol

xmin xmaks x S xmin xmaks x S 100 14,57 96 71,67 16,95 2,07 86 60,14 16,32

Berdasarkan data pada Tabel 1, nilai tertinggi siswa kelompok eksperimen

dalam kemampuan berpikir kreatif matematis lebih tinggi daripada kelompok kontrol.

Perolehan rata-rata skor kelompok eksperimen juga lebih baik.

Setelah dilakukan pengolahan data hasil tes kemampuan berpikir kreatif pada tes

awal dan tes akhir diperoleh skor tertinggi, terendah, rata-rata skor, dan simpangan

baku. Data selengkapnya disajikan dalam Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Skor Tertinggi, Skor Terendah, Rata-rata Skor, dan Simpangan Baku Tes

Kemampuan Berpikir Kreatif pada Kelompok Eksperimen

Skor maks Tes Akhir Tes Awal

xmin xmaks x s xmin xmaks x S 100 14,57 96 71,67 16,95 1,36 46 24,72 13,91

Page 134: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 104

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Berdasarkan data pada Tabel 2, nilai tertinggi maupun nilai terendah dalam

kemampuan berpikir kreatif, pada tes akhir lebih tinggi daripada tes awal.

Setelah dilakukan pengolahan data hasil tes kemampuan berpikir kreatif pada tes

awal dan tes akhir diperoleh skor gain tertinggi, terendah, rata-rata dan simpangan baku

skor gain. Data selengkapnya disajikan dalam Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Skor Tertinggi, Skor Terendah, Rata-rata Skor, dan Simpangan Baku Gain Tes

Kemampuan Berpikir Kreatif

Skor maks

Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol xmin xmaks x s xmin xmaks x S

1 0 0,93 0,65 0,19 0 0,74 0,49 0,17

Berdasarkan data pada Tabel 3, nilai tertinggi siswa kelompok eksperimen

dalam kemampuan berpikir kreatif matematis lebih tinggi daripada kelompok kontrol.

Perolehan rata-rata gain kelompok eksperimen juga lebih baik.

Selanjutnya untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan rata-rata kedua

kelompok sampel, dilakukan uji perbedaan rata-rata skor berpikir kreatif matematis

menggunakan uji-t. Menggunakan program SPSS versi 17.0 diperoleh nilai t = 0,49

untuk nilai akhir kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dengan nilai probabilitas

(sig.)=0,012; nilai t = 5,83 untuk rata-rata gain kemampuan berpikir kreatif matematis

siswa dengan nilai probabilitas (sig.)=0,01. Ini berarti hipotesis nol ditolak. Sehingga,

dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara skor kemampuan

berpikir kreatif matematis siswa maupun pada skor gainnya antara kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol.

Pemberian skala sikap pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap

siswa terhadap PBMO yang dilakukan. Sikap siswa dianalisis melalui beberapa

indikator diataranya adalah sikap positif terhadap pembelajaran, serta peran guru dalam

pembelajaran. Berdasarkan analisis terhadap angket, hasil memperlihatkan bahwa siswa

secara umum menunjukkan sikap positif terhadap pembelajaran. Hal ini karena dari

analisi terhadap angket diperoleh kesimpulan bahwa mereka mengatakan bahwa PBMO

lebih baik daripada pembelajaran yang biasa mereka terima dan membuat mereka

berpikir kritis dan kreatif. Mereka juga mengatakan bahwa untuk menyelesaikan

masalah open-ended siswa tidak dapat belajar sendiri, karena siswa perlu melakukan

Page 135: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 105

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

diskusi dengan teman sekelasnya. Dalam diskusi ini, perbedaan pendapat bukan

merupakan suatu yang membingungkan. Hal ini karena menurut siswa menyelesaikan

masalah dengan cara mereka sendiri bukan merupakan suatu hal yang sulit. Dengan

memberi sumbangan pemikiran dalam diskusi dapat membuat siswa lebih memahami

pelajaran. Berdasarkan uraian diatas disimpulkam bahwasecara keseluruhan siswa

bersikap positif terhadap PBMO. Hal ini juga dapat dilihat dari skor sikap siswa sebesar

2,03. Skor ini lebih besar dari skor sikap netral yang besarnya 1,59.

Berdasarkan observasi pembelajaran diketahui bahwa aktivitas siswa selama

proses pembelajaran mengikuti urutan kegiatan pembelajaran berbasis masalah yang

terdiri atas 5 tahapan, kegiatan diskusi kelompok dan diskusi kelas sudah berjalan

dengan baik. Siswa telah berani mengemukakan pendapatnya baik bertanya, menjawab

ataupun menanggapi pendapat teman-temannya. Aktivitas siswa selama diskusi mampu

menciptakan kondisi siswa belajar secara aktif. Kebebasan yang diberikan kepada siswa

untuk memilih cara penyelesaian masalah terbuka menurut cara mereka sendiri, telah

mampu memicu pemikiran kreatif mereka. Suasana pembelajaran yang demikian telah

mampu membuat siswa belajar menghargai perbedaan. Dalam diskusi kelas, perbedaan

pendapat itu dibahas, dan pada akhirnya diperoleh kesepakatan apakah yang berbeda

itu benar atau salah. Bila benar, maka setiap kelompok harus menerima kebenaran itu

dan bila salah maka harus diperbaiki.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pembelajaran berbasis

masalah open-ended dan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa diperoleh

kesimpulan bahwa secara umum kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dengan

pembelajaran berbasis masalah open-ended lebih baik daripada siswa yang belajar

dengan pembelajaran konvensional.. Namun, pembelajaran yang berlangsung belum

menunjukkan hasil yang optimal, karena bila dilihat dari perolehan nilai kemampuan

berpikir kreatif matematis siswa baru mencapai 70 peresen dan peningkatannya baru

berkisar 60 persen.

Pembelajaran berbasis masalah open-ended merupakan model pembelajaran

yang baru bagi siswa, belum terbiasanya siswa berpikir untuk memecahkan masalah,

Page 136: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 106

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

belum terbiasanya siswa menyelesaikan soal-soal non-rutin dengan berbagai alternatif

jawaban, menyebabkan kurang optimalnya pembelajaran. Untuk itu saran yang dapat

diajukan adalah guru hendaknya mau melakukan pembelajaran berbasis masalah open-

ended ini secara kontinu sehingga hasil pembelajaran yang optimal dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Confrey, J. (1994). A Theory of Intellectual Development (Part. I). For the Learning of Mathematics, 14 (3), XIV, 2-8.

Fogartty, R. (1997). Problem-Based Learning and Other Curriculum Models for The Multiple Intelligences Classroom. Australia: Hawker Brownlow Education.

Karli, H dan Yuliariatiningsih, M.S. (2002). Implementasi KBK 1. Jakarta: Bina Media Informasi.

Krutetskii, V.A. (1976). The Psychology of Mathematical Abilities in School Children. Chicago: University of Chicago Press.

Kusdwiratri-Setiono (1983). Teori Perkembangan Kognitif. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran.

Labinowicz, E.(1985). Learning from Children: New Beginnings for Teaching Numerical Thinking: A Piagetian Approach. Menlo Park, CA: Addison-Wesley.

Munandar, S.C.U. (2002). Kreativitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: Granada Pustaka Utama.

Noer, S. H. (2007). Pembelajaran Open-ended Untuk meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif.dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa. Tesis SPs UPI

----------------(2009). Model Bahan Ajar Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis, Kreatif dan Reflektif (K2R). Makalah: Seminar Nasional Pendidikan FKIP Universitas Lampung.

Oakley, L. (2004). Cognitive Development. London: Routledge.

Pehkonen, E. (1992). Using Problem-Field as a Method of Change. Mathematics Education 3(1), 3-6.

Ruseffendi, E.T. (1992). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Page 137: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 107

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

---------------------- (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sawada, T. (1997). Developing Lesson Plans. Dalam Shimada, S. dan Becker, J.P (editor) The Open-Ended Approach. A New Proposal for Teaching Mathematics. Virginia: National Council of Teachers of Mathematics.

Silver, E.A. (1997). “Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Problem Posing”. Tersedia: http://www.fizkarlsruhe.de/fiz/publications/zdm/2dm97343.pdf

Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Supriadi, D. (1995). Kreativitas, Kebudayaan dan Perkembangan IPTEK. Bandung: Alfabeta.

Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Bandung: Disertasi SPs UPI. Tidak diterbitkan.

Tarrow, N.B. dan Lundsteen. (1978). Guiding Young Children Learning. New York: McGraw-Hill Book Company.

Page 138: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-108

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PERBANDINGAN PEMBELAJARAN ”SAVI” DAN PEMBELAJARAN KONVENSIONAL TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA

KELAS X SMK NEGERI 2 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2010/2011

Erimson Siregar1, Fajar Riki Suvictor2

1Dosen Jurusan PMIPA FKIP Unila [email protected]

2Alumni Pend. Matematika FKIP Unila

ABSTRAK

Penggunaan metode pembelajaran yang monoton (konvensional), dapat menyebabkan siswa akan mengantuk dan perhatiannya berkurang. Metode pembelajaran harus dapat mengubah gaya belajar siswa dari pasif menjadi aktif. Namun di beberapa sekolah belum sepenuhnya diterapkan pembelajaran tersebut termasuk di SMKN2 Bandar Lampung.

Penerapan pembelajaran konvensional di SMK Negeri 2 Bandar Lampung membuat siswa tidak terlibat secara aktif dalam interaksi belajar. Oleh Sebab itu agar siswa terlibat aktif dalam pembelajaran sehingga mudah dalam menguasai konsep mate-matika maka digunakan Pembelajaran SAVI yaitu pembelajaran yang menggabungkan gerakan fisik, aktivitas intelektual, dan penggunaan semua indra yang dimiliki siswa sehingga dapat berpengaruh besar pada hasil pembelajaran

Penelitian ini adalah penelitian quasi eksperimen yang bertujuan untuk mengeta-hui perbandingan pembelajaran SAVI dan pembelajaran konvensional terhadap hasil belajar siswa pada pokok bahasan dimensi tiga. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMK Negeri 2 Bandar Lampung. Sampel diambil secara acak, dan diperoleh kelas X TBB sebagai kelas eksperimen dan X TP1 sebagai kelas kontrol. Data penelitian diperoleh melalui tes formatif.

Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa nilai rata-rata siswa yang mengikuti pembelajaran SAVI sebesar 65,37. Sedangkan untuk nilai rata-rata siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional sebesar 50,34. Dengan demikian pembel-ajaran SAVI lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Kata Kunci: Pembelajaran SAVI dan hasil belajar matematika

PENDAHULUAN

Dewasa ini usaha untuk meningkatkan mutu pembelajaran telah banyak dila-

kukan, termasuk dalam pembelajaran matematika. Peningkatan mutu pembelajaran

matematika dapat dilakukan dengan menciptakan kegiatan pembelajaran yang ber-

makna. Melalui pembelajaran yang bermakna siswa akan memperoleh pengalaman-

Page 139: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-109

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

pengalaman belajar. Dengan adanya pengalaman belajar tersebut, siswa akan merasa

lebih mudah dalam mengkonstruksi konsep-konsep matematika.

Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan penting

dalam pendidikan. Dilihat dari waktu jam pembelajaran di sekolah, mata pelajaran

matematika mempunyai jam yang lebih banyak dibandingkan dengan pelajaran yang

lain. Selain itu, siswa mulai mengenal mata pelajaran matematika sejak dari TK, SD,

SMP, dan SMA bahkan di perguruan tinggi pada jurusan tertentu pun masih

mendapatkan pelajaran matematika.

Pada saat mengajar, guru seharusnya dapat mengembangkan materi matematika,

sedemikian sehingga materi tersebut menjadi menarik, sebab secara realistis seorang

siswa yang belajar itu pada dasarnya adalah mencari hubungan antara hal yang

dipelajari dengan hal yang dimiliki, dikuasai, atau dialaminya. Guru diharapkan dapat

memberikan pengalaman-pengalaman yang baik dalam proses pembelajaran sehingga

pada anak didik akan tumbuh minat dan termotivasi, jangan sampai anak didik

beranggapan bahwa matematika itu menjemukan.

Penggunaan metode pembelajaran yang monoton (konvensional), dapat

menyebabkan siswa akan mengantuk dan perhatiannya berkurang. Metode

pembelajaran harus dapat mengubah gaya belajar siswa, dari siswa yang belajar pasif

menjadi aktif dalam mengkonstruksikan konsep. Metode pembelajaran yang tepat akan

membuat matematika lebih berarti, masuk akal, menantang, dan menyenangkan.

Namun di beberapa sekolah belum sepenuhnya diterapkan pembelajaran tersebut

termasuk di SMKN2 Bandar Lampung.

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru mata pelajaran matematika kelas X di

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Bandar Lampung diketahui bahwa

metode pembelajaran yang biasa digunakan selama ini adalah metode pembelajaran

konvensional. Informasi lainnya menyebutkan bahwa berdasarkan dokumentasi nilai

rata-rata ulangan harian matematika semester ganjil tahun pelajaran 2010/2011, hanya

sekitar 25 % siswa yang mencapai kriteria ketuntasan minimal yang memperoleh nilai

lebih dari atau sama dengan 60. Selama pembelajaran, siswa tidak terlibat secara aktif

dalam interaksi belajar, baik dengan guru maupun dengan teman, siswa enggan bertanya

bila ada materi matematika yang belum dipahami. Hal ini ditengarai oleh pembelajaran

yang digunakan masih berpusat pada guru.

Page 140: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-110

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Berdasarkan pada visi dan misi SMK yang memprioritaskan lulusannya untuk

siap membuat lapangan kerja baru dan mengharuskan lulusannya untuk dapat secara

langsung berinteraksi dengan kelompok masyarakat, maka dianggap perlu menerapkan

pembelajaran dengan melakukan kegiatan sehingga siswa aktif bergerak serta didukung

oleh pengguanaan indera yang berpengaruh besar dalam pembelajaran. Sementara

dalam kenyataannya, pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran konvensional

yang kurang memperhatikan visi dan misi tersebut. Hal tersebutlah yang

melatarbelakangi dilakukannya eksperimen penerapan pembelajaran dengan pendekatan

SAVI (Somatis, Auditori, Visual, Intelektual).

Pembelajaran dengan metode SAVI merupakan pembelajaran yang

menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua

indera yang berpengaruh besar dalam pembelajaran. Unsur-unsur pendekatan SAVI

yaitu somatis, auditori, visualisasi, dan intelektual. Dengan demikian, hasil belajar

dengan model pembelajaran SAVI diharapkan lebih baik dibandingkan dengan

pembelajaran konvensional. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas

maka penelitian yang akan dilaksanakan adalah untuk membandingkan apakah

pembelajaran SAVI lebih baik dari pembelajaran konvensional.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hasil belajar dengan

penerapan pembelajaran SAVI lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran

konvensional.

Kegunaan Hasil Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi guru

dan pihak sekolah dalam menentukan model pembelajaran yang tepat dalam

pembelajaran matematika.

METODE PENELITIAN

Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMKN 2 Bandar Lampung

semester genap tahun pelajaran 2010/2011 yang terdiri dari 12 kelas. Dari seluruh

populasi yang ada diambil dua kelas sebagai sampel penelitian dengan cara random

sampling. Pada penelitian ini telah dipilih dua kelas secara random yaitu kelas

Page 141: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-111

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

eksperimen dan kelas kontrol. Kelas X TBB sebagai kelas eksperimen, sedangkan

kelas X TP1 sebagai kelas kontrol.

Desain Penelitian

Tabel 1. Desain Pelaksanaan Penelitian

Kelompok Perlakuan Hasil Belajar

E

P

X

C

��

��

Keterangan: E = Kelas Eksperimen P = Kelas pengendali atau kontrol X = Perlakuan pada kelas eksperimen menggunakan pembelajaran SAVI C = Perlakuan pada kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional �� = Nilai rata-rata kelas eksperimen �� = Nilai rata-rata kelas control Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini berupa data kuantitatif yang diperoleh dari nilai tes

pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Tes dilakukan setelah siswa mengikuti

pembelajaran konvensional untuk kelas kontrol dan pembelajaran SAVI untuk kelas

eksperimen dengan pokok bahasan dimensi tiga.

Langkah-Langkah Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan langkah-langkah yang

dilakukan dalam penelitian ini adalah: (1) Melakukan Penelitian Pendahuluan; (2)

Merencanakan Penelitian; (3) Melaksanakan Pembelajaran.

Instrumen Penelitian

1. Uji Validitas Instrumen

Untuk mendapatkan instrumen tes yang valid dilakukan langkah-langkah

Berikut: (a) Membuat kisi-kisi; (b) Membuat soal berdasarkan kisi-kisi; (3) Meminta

pertimbangan kepada dosen pembimbing dan guru mitra yang dipandang ahli mengenai

kesesuaian antara kisi-kisi dengan soal; (4) Memperbaiki soal berdasarkan saran dari

ahli

Page 142: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-112

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

2. Uji Reliabilitas instrumen

Menurut Arikunto (1987: 100) Reliabilitas dihitung dengan menggunakan rumus

K-R. 20 sebagai berikut.

−= ∑

2

2

11 1 S

pqS

n

nr

Keterangan :

11r = Reliabilitas tes secara keseluruhan

p = Proporsi subyek yang menjawab item dengan benar

q = Proporsi subyek yang menjawab item dengan salah ( q = 1-p )

∑�� = Jumlah hasil perkalian antara p dan q n = banyaknya item S = Standar Deviasi dari tes (standar deviasi adalah akar varians) Setelah dilakukan perhitungan, didapat reliabilitas sebesar 0,82

Menurut Azwar (1996: 189), untuk mengetahui ukuran variabilitas eror yang

mungkin terjadi dalam pengukuran, digunakan eror standar dalam pengukuran (se)

dengan rumus sebagai berikut.

�� ��� 1 � ���′�

Keterangan:

sx = standar deviasi skor tes rxx’ = koefisien reliabilitas tes

Untuk memperkirakan skor yang sesungguhnya, digunakan interval kepercayaan skor

murni sebagai berikut.

� � ���� � � � � � ����

Keterangan:

X = skor yang diperoleh pada tes zc = nilai kritis deviasi standar normal pada taraf kepercayaan 90%,

diketahui nilai kritis zc pada table distribusi normal adalah 1,65 se = eror standar

Page 143: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-113

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Setelah dilakukan perhitungan didapat Interpretasi koefisien reliabilitas sebagai

berikut.Berikut.

Tabel 2. Interpretasi Koefisien Reliabilitas

Skor Interval kepercayaan skor murni

40

69,84

95

30,265 ≤ T ≤ 49,735

60,105 ≤ T ≤ 79,575

85,265 ≤ T ≤ 104,735

Eror standar dalam pengukuran cukup besar yaitu 5,90. Interval tersebut dapat

mewakili seluruh skor yang diperoleh oleh masing-masing siswa dalam ujicoba ini.

Pengujian Hipotesis

Statistik yang digunakan dalam pengujian hipotesis adalah Analisis Varians.

Tabel 3. Rumus Persiapan Anava

Sumber

Variasi

Jumlah Kuadrat (JK) db MK F

Kelompok

Dalam (d)

JKk = ∑����

��� ∑���

��

JKd = JKT –JKk

dbk=K-1

dbd=N-K

MK k = ��� !�

MKD = ��" !"

F0 = #��#�$

Total (T) JKT = ∑�%� � ∑����

�� dbT=N-1

Kriteria : F0 dikatakan signifikan jika F0 > Ft (Arikunto, 2009 : 419)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Data hasil belajar matematika siswa SMKN 2 Bandar Lampung pada pokok bahasan

dimensi tiga terangkum dalam Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Deskripsi Data Hasil Belajar Matematika Siswa

Kelompok Perlakuan Hasil Belajar

Eksperimen (X TBB) SAVI n = 23 &' = 65,37

Page 144: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-114

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

sd = 12,85

Kontrol (X TP1) Konvensional n = 23 &' = 50,34 sd = 10,93

Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa data berdistribusi normal dan homogen.

selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan Analisis varians.

Setelah dilakukan perhitungan diperoleh hasil yang disajikan dalam tabel sebagai

berikut.

Tabel 5. Ringkasan Anava

Sumber Variasi

Jumlah Kuadrat

(JK)

db MK F P

Kelompok

Dalam (d)

2587,5

5866,3

2-1 = 1

46-2 = 44

2587,5 133,25

F0= �()*,(�,,,�(

= 19,41

>0,01

Total (T) 8453,8

46-1 = 45

Harga Ftabel dengan db MK pembilang 1, dan db MK penyebut 44 terletak pada

4,06 untuk α = 5% dan 7,24 untuk α = 1%, sehingga 4,06 < 7,24 < 19,41. Maka

kesimpulannya adalah F0 Signifikan dengan P > 0,01. Berdasarkan hasil perhitungan

anlisis varians maka dapat dikatakan pembelajaran SAVI lebih baik dibandingkan

pembelajaran konvensional.

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa ada perbedaan yang signifikan

antara hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran SAVI dan

siswa yang diajar menggunakan pembelajaran konvensional. Dari hasil analisis varians

dan uji kesamaan dua rata-rata ternyata perbedaan tersebut signifikan sehingga dapat

dikatakan pembelajaran SAVI lebih baik dibandingkan pembelajaran konvensional. Hal

ini dapat terlihat juga pada tabel 4 rata-rata hasil belajar siswa yang diajar dengan

menggunakan pembelajaran SAVI lebih tinggi dibandingkan pembelajaran

Page 145: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-115

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

konvensional, untuk nilai rata-rata siswa yang diajar dengan menggunakan

pembelajaran SAVI sebesar 65,37 sedangkan nilai rata-rata siswa yang diajar yang

menggunakan pembelajaran konvensional sebesar 50,34. Artinya, terhadap hipotesis

yang diajukan dalam penelitian ini yaitu hasil belajar matematika siswa dengan

pembelajaran SAVI lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional

terbukti kebenarannya.

Hasil penelitian di atas juga sejalan dengan penelitian Ika Fitrianingsih yang

berjudul ”Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan SAVI Ditinjau Dari Motivasi

Belajar Siswa”. Dia menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan prestasi belajar pada

pokok bahasan lingkaran ditinjau dari perbedaan penggunaan pembelajaran, yang

berarti bahwa pembelajaran SAVI lebih baik dalam meningkatkan hasil belajar siswa.

Perbedaan kedua pembelajaran tersebut didukung pula dari keadaan yang terjadi

di lapangan. Pada pembelajaran konvensional, siswa cenderung lebih pasif, hanya 25%

dari jumlah siswa seluruhnya yang terkadang mau bertanya kepada guru. Siswa kurang

bersemangat saat mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan, Sedangkan Pada

pembelajaran SAVI, sebanyak 75% dari jumlah siswa seluruhnya cenderung lebih aktif

dalam mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan. Siswa juga lebih berani untuk

bertanya kepada guru. Hal ini dikarenakan pada pembelajaran SAVI siswa belajar dari

apa yang mereka kerjakan (S), apa yang mereka lihat (V), dan apa yang mereka dengar

(A), sehingga siswa dapat memahami dan dapat menyelesaikan soal-soal yang

diberikan(I).

Penjelasan di atas sejalan dengan Meier (Nursusilo, 2010) yang menyatakan

bahwa belajar secara aktifitas berarti bergerak secara fisik ketika belajar, dengan

memanfaatkan indera sebanyak mungkin dan membuat seluruh tubuh/pikiran terlibat

dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, dengan Pebelajaran SAVI tujuan

pembelajaran yang diharapkan dapat tercapai

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis dapat disimpulkan

bahwa secara statistik, pembelajaran SAVI lebih baik dibandingkan dengan

pembelajaran konvensional. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata siswa yang diberikan

Page 146: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-116

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

pembelajaran SAVI lebih tinggi yaitu sebesar 65,37 dibandingkan dengan pembelajaran

konvensional sebesar 50,34.

Saran

Berdasarkan simpulan di atas, penulis menyarankan kepada pihak sekolah dan

para guru bahwa pembelajaran SAVI dapat dijadikan alternatif untuk meningkatkan

hasil belajar siswa khususnya pada materi dimensi tiga. Karena pembelajaran SAVI

merupakan pembelajaran yang menggabungkan alat indera dan aktivitas intelektual

sehingga dapat memberikan hasil belajar matematika siswa menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2008. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta

Arikunto, Suharsimi. 2009. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta Azwar, Saifuddin. 1996. Tes Prestasi Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi

Belajar. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Basrowi dan Soenyono. 2007. Metode Analisis Data Sosial. CV. Jenggala Pustaka

Utama. Kediri Depdikbud. 2001. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.

Balai Pustaka. Jakarta Fitrianingsih, Ika. 2009. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan SAVI

Ditinjau Dari Motivasi Belajar Siswa. Tersedia http://etd.eprints.ums.ac.id/- 4675/1/A410050075.pdf. Surakarta. Diakses 20 januari 2011

Furchan, Arief. 1982. Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan. Usaha Nasional.

Bandung Kamus Bahasa Indonesia. Kamus Bahasa Indonesia Online. Tersedia

http://kamusbahasaindonesia.org/. Diakses 22 januari 2011 Nursusilo. 2010. Pendekatan Savi. Tersedia http://mbahnur.wordpress.com/20-

10/02/17/pendekatan-savi/. Diakses 22 januari 2011 Sudjana. 2005. Metode Statistika. Tarsito. Bandung Universitas Lampung. 2010. Format Penulisan Karya Ilmiah. Unila. Bandar

Page 147: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-117

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Lampung

Page 148: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-118

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN

BERBASIS MASALAH OPEN-ENDED

Tia Agnesa, email: [email protected]

ABSTRAK

Kemampuan pemecahan masalah matematis merupakan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi yang harus dimiliki siswa. Melalui penerapan pembelajaran berbasis masalah open-ended, diharapkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dapat ditingkatkan. Desain penelitian yang digunakan adalah Delayed Counter Balanced Design dengan populasi seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Bandar Lampung tahun pelajaran 2010/2011. Secara random diperoleh kelas VIII-A dan VIII-H sebagai sampel penelitian. Berdasarkan analisis data, disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan pembelajaran berbasis masalah open-ended dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan pembelajaran konvensional. Kata Kunci: pemecahan masalah matematis, pembelajaran berbasis masalah open-ended

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Di sekolah dengan siswa yang relatif banyak (30-40 siswa) guru seringkali

merasa kesulitan menerapkan strategi pembelajaran yang membuat siswa aktif dalam

mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas. Hal ini tampak pada interaksi siswa dan guru

di kelas yang cenderung kaku. Fakta yang ada, menunjukkan bahwa seringkali dalam

proses pembelajaran guru bertanya tentang cara memecahkan masalah yang sedang

dibahas tetapi banyak siswa yang diam dan menundukkan kepala, hanya mencoba men-

jawab setelah ditunjuk oleh guru. Kemudian jika siswa diminta untuk menanyakan hal

yang menjadi kesulitannya, siswa tidak menjawab. Terlebih lagi siswa terbiasa

mengerjakan pekerjaan rumah di sela-sela belajar di kelas dan hanya menyalin

pekerjaan temannya dan jarang ditemukan ide-ide baru siswa dalam menyelesaikan

masalah matematika.

Sri Hastuti Noer

Page 149: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-119

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Sampai saat ini, pembelajaran yang diterapkan masih diselimuti oleh pandangan

bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih ter-

fokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan. Masih banyak siswa yang me-

mandang bahwa guru sebagai satu-satunya sumber belajar dan pemegang otoritas

tertinggi di kelas, sehingga siswa sangat tergantung pada guru dan kurang mempunyai

inisiatif untuk mempelajari materi yang akan diajarkan guru di kelas. Kemudian,

ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar sehingga proses pembelajaran yang

menuntut siswa sebagai pelaku belajar yang aktif belum dapat berjalan dengan optimal.

Hal ini diketahui bahwa sebagian besar guru matematika di sekolah menerapkan model

pembelajaran konvensional.

Pembelajaran konvensional dalam hal ini adalah pembelajaran yang masih

bersifat satu arah, yaitu guru menjelaskan dan siswa mendengarkan. Guru memberi

contoh soal kemudian memberikan latihan soal kepada siswa. Hal ini sesuai dengan

pendapat Soedjadi (2001: 1) yang mengemukakan bahwa pembelajaran matematika se-

cara umum terbiasa dengan urutan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut: (1)

diajarkan teori/definisi/teorema; (2) diberikan contoh-contoh; (3) diberikan latihan soal.

Pada umumnya guru mengajar hanya menyampaikan apa yang ada di buku paket dan

kurang mengakomodasi kemampuan siswanya. Dengan kata lain, guru tidak

memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika

yang akan menjadi milik siswa sendiri. Guru cenderung memaksakan cara berpikir

siswa dengan cara berpikir yang dimiliki gurunya.

Paradigma lama dalam dunia pendidikan berkaitan dengan proses belajar meng-

ajar bersumber pada teori tabula rasa John Locke yang mengungkapkan bahwa pikiran

seorang anak bagaikan kertas kosong yang putih bersih yang siap menunggu tulisan-

tulisan dari gurunya (Yulianto, 2009: 2).” Atau dengan kata lain, otak seorang anak itu

bagaikan botol kosong yang siap diisi dengan segala ilmu pengetahuan. Bersumber dari

teori ini, banyak guru yang masih menerapkan pembelajaran konvensional dan tidak

memberikan keleluasaan berpikir kepada siswa.

Hal ini tentunya bertolak belakang dengan prinsip dasar pembelajaran, yaitu

pembelajaran yang dilakukan berpusat pada siswa, mengembangkan kreativitas siswa,

menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam

kemampuan, menyediakan pengalaman belajar yang beragam dan belajar melalui ber-

Page 150: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-120

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

buat. Maka dari itu, dipandang perlu untuk melakukan inovasi dalam pembelajaran.

Ausubel (dalam Ruseffendi, 1991: 291) menyarankan sebaiknya dalam pembelajaran

digunakan pendekatan yang menggunakan metode pemecahan masalah, inquiri, dan

metode belajar yang dapat menumbuhkan kemampuan berpikir matematis tingkat

tinggi.

Aliran konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan itu diperoleh secara

aktif oleh individu dan lebih menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada siswa.

Tujuan pembelajaran berdasarkan pandangan ini adalah membangun pemahaman, se-

hingga belajar dalam pandangan ini tidak ditekankan untuk memperoleh pengetahuan

yang banyak, tetapi yang utama adalah memberikan interpretasi melalui skemata yang

dimiliki siswa. Konstruktivis memandang bahwa pengetahuan dibentuk dan ditemukan

oleh siswa secara aktif, tidak sekedar diterima secara pasif dari lingkungan. Siswa

sendiri yang membuat interpretasi yang dibentuk dari pengalaman dan interaksi sosial.

Sebuah model pembelajaran yang didasari oleh pandangan konstruktivisme ada-

lah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM). Pembelajaran ini memberikan suatu

lingkungan pembelajaran dengan masalah yang menjadi basisnya, artinya pembelajaran

dimulai dengan masalah yang harus dipecahkan. Masalah dimunculkan sedemikian

hingga siswa perlu menginterpretasi masalah, mengumpulkan informasi yang

diperlukan, mengevaluasi alternatif solusi, dan mempresentasikan solusinya. Ketika

siswa mengembangkan suatu metode untuk mengkonstruksi suatu prosedur, mereka

mengintegrasikan pengetahuan konsep dengan keterampilan yang dimilikinya.

Penyajian masalah-masalah terbuka (open-ended) pada pembelajaran memberikan

keleluasaan bagi siswa untuk mengemukakan jawaban. Melalui presentasi dan diskusi

tentang beberapa penyelesaian alternatif, akan membuat siswa menyadari adanya

penyelesaian yang beragam dalam pemecahan masalah.

Dalam pembelajaran matematika, pemecahan masalah merupakan hal yang

sangat penting bahkan sebagai jantungnya matematika. Cooney (dalam Noer, 2010: 26)

mengungkapkan bahwa pemecahan masalah merupakan proses menerima masalah dan

berusaha mencari solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Masalah dalam

matematika diartikan persoalan matematika yang tidak langsung ditemukan solusinya

atau tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui sebelumnya

(Hudojo, 2003: 149). Oleh sebab itu, diperlukan kemampuan siswa dalam berfikir,

Page 151: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-121

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

bernalar, memprediksi, dan mencari solusi dari masalah yang diberikan, kemudian

dibuktikan kebenarannya.

Berdasarkan hasil peninjauan pada penelitian pendahuluan, diketahui bahwa

siswa masih sangat sulit mengemukakan pendapatnya sendiri ketika diminta untuk

menyimpulkan hasil belajar dan atau dalam memecahkan masalah yang berbeda dari

contoh-contoh soal yang telah dipelajari sebelumnya. Sebagian besar siswa cenderung

menghafal tanpa makna. Dipandang perlu untuk menerapkan model pembelajaran yang

lebih memberdayakan siswa, berfokus pada siswa, menyenangkan bagi siswa, mening-

katkan kepekaan sosial, dan mendorong siswa mengkonstruksi di benak mereka sendiri

berdasarkan pengalaman belajar yang mereka alami. Dalam hal ini, akan diterapkan

pembelajaran berbasis masalah open-ended (PBMO) dalam upaya untuk meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

Sangat diharapkan, dengan PBMO kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa akan terus berkembang, siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang

relevan, kemudian menganalisisnya dan akhirnya meneliti hasilnya. Sehingga, kapasitas

matematika siswa untuk menyelesaikan masalah matematik yang lebih fleksibel dapat

meningkat, dan siswa terbiasa memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna

bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Hal ini tentu dapat membantu siswa

melakukan pemecahan masalah matematis dan membuat siswa lebih menghargai

keragaman berpikir selama proses pemecahan masalah, karena pembelajaran ini tidak

mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi mendorong siswa mengkonstruksi

pengetahuan di dalam pikiran mereka sendiri.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat di-

rumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Apakah rata-rata kemampuan

pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah

open-ended lebih baik daripada rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional?

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan pe-

mecahan masalah matematis siswa SMP dengan menggunakan pembelajaran berbasis

masalah open-ended.

Page 152: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-122

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan studi eksperimen yang dilakukan peneliti untuk menge-

tahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan pem-

belajaran berbasis masalah open-ended bila dibandingkan dengan pembelajaran

konvensional. Desain eksperimen yang dilakukan adalah Delayed Counter Balanced

Design, yang merupakan modifikasi dari Counter Balanced Design.

Data pada penelitian ini diperoleh dari tes kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa. Data dianalisis dengan menggunakan uji kesamaan dua rata-rata deng-

an menggunakan taraf signifikansi α = 0,05. Terlebih dahulu dilakukan uji normalitas

dan uji homogenitas.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Hipotesis nol dalam penelitian ini adalah rata-rata kemampuan pemecahan masa-

lah matematis siswa pada kelompok eksperimen dengan model pembelajaran berbasis

masalah open-ended lebih baik daripada rata-rata kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa pada kelompok kontrol dengan pembelajaran konvensional. Untuk

dapat menguji hipotesis tersebut, dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus

uji-t yang tersaji pada Tabel 1 di bawah ini:

Tabel 1. Uji-t untuk Distribusi Data Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa

t-test for Equality of Means

t df Sig. Mean

Difference Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

PM Equal Variances Assumed

2.243 124 .027 9.31905 4.15493 1.09527 17.54282

Berdasarkan hasil analisis data di atas, diperoleh nilai thitung berada di atas nilai

ttabel, thitung = 2,24 dan ttabel = 2,00. Tampak pula bahwa nilai signifikansi yang diperoleh

kurang dari nilai signifikansi α = 0,05 yaitu 0,03. Dengan demikian, Ho ditolak atau

Page 153: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-123

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

dengan kata lain tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata kemampuan

pemecahan masalah matematis siswa dengan pembelajaran berbasis masalah open-

ended dan rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan

pembelajaran konvensional.

Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data, diketahui bahwa rata-rata kemampuan pemecah-

an masalah matematis siswa dengan PBMO lebih baik daripada rata-rata kemampuan

pemecahan masalah matematis siswa dengan pembelajaran konvensional. Hal ini

terlihat dari post-test kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang meng-

hasilkan rata-rata skor 68,61 pada PBMO dan 59,29 pada pembelajaran konvensional

dari skor maksimum 100. Keduanya memiliki perbedaan sebesar 13,58% untuk

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan PBMO. Berdasarkan

simpangan baku, yaitu 21,66 untuk PBMO dan pada pembelajaran dengan model

pembelajaran konvensional diperoleh simpangan baku sebesar 24,87 menunjukkan

bahwa kemampuan pemecahan masalah matetatis siswa dengan pembelajaran berbasis

masalah open-ended lebih homogen.

Rata-rata pencapaian indikator kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa dengan PBMO juga lebih baik dibandingkan dengan rata-rata pencapaian

indikator kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada pembelajaran konven-

sional yaitu 67,58% untuk PBMO dan 57,04% untuk pembelajaran konvensional.

Indikator yang dapat dicapai dengan baik adalah merumuskan masalah atau menyusun

model matematika, yaitu 92,59% untuk PBMO dan 71,96% untuk pembelajaran

konvensional. Namun demikian, hasil pengujian hipotesis menyatakan bahwa rata-rata

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan PBMO dan rata-rata

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan pembelajaran konvensional

tidak berbeda secara signifikan. Hal ini menandakan bahwa pembelajaran yang ber-

langsung pada penelitian ini belum memberikan hasil yang optimal.

Siswa pada pembelajaran berbasis masalah open-ended memperoleh nilai

tertinggi 100,00 dan nilai terendah 15,15. Dengan kriteria ketuntasan minimum (KKM)

mata pelajaran matematika yaitu 70,00 dari 63 orang siswa terdapat 27 siswa atau

42,86% yang memenuhi standar KKM. Sedangkan siswa pada pembelajaran

Page 154: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-124

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

konvensional memperoleh nilai tertinggi 100,00 dan terendah 11,11. Hanya 24 siswa

atau 38,10% yang memiliki nilai di atas KKM pada pembelajaran dengan menggunakan

model pembelajaran konvensional ini. Dengan demikian, tampak bahwa kedua model

pembelajaran yang digunakan belum memberikan hasil optimal untuk meningkatkan ke-

mampuan pemecahan masalah matematis siswa.

Pada penelitian ini, digunakan pembelajaran berbasis masalah open-ended yang me-

rupakan model pembelajaran yang baru bagi guru dan siswa. Kurangnya pengalaman

guru menggunakan model pembelajaran ini, dan tidak terbiasanya siswa terlibat aktif

dalam proses pembelajaran bisa saja menjadi salah satu faktor kurang optimalnya

pembelajaran yang berlangsung di kelas.

Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada pembelajaran berbasis

masalah open-ended ini tergolong rendah. Tidak sampai 50% siswa yang tuntas dalam

pembelajaran, baik siswa dengan PBMO maupun siswa dengan pembelajaran

konvensional. Hal ini mungkin saja karena soal-soal yang disajikan merupakan soal

non-rutin. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh The National Assesment of

Educational Progress (NAEP) dalam Suherman (2001: 84) yang mengemukakan bahwa

tingkat keberhasilan siswa dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah menurun

drastis manakala setting/konteks permasalahannya diganti dengan hal yang tidak

dikenal oleh siswa walaupun permasalahannya tetap sama.

Berdasarkan hasil wawancara penulis kepada siswa, siswa menyatakan bahwa pem-

belajaran berbasis masalah open-ended lebih rumit karena mereka tidak langsung dapat

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Selain itu, mereka juga mengeluhkan

waktu belajar dan waktu mengerjakan soal yang mereka anggap terlalu ketat, sedangkan

mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan soal-soal yang

diberikan. Sehingga mereka tidak optimal dalam menyelesaikan permasalahn-

permasalahan yang ada. Penelitian yang dilakukan di SMP Negeri 4 Bandar Lampung

ini memang cukup singkat, yaitu hanya 2 kali pertemuan untuk tiap-tiap bab, dan hanya

40 menit atau 1 jam pelajaran untuk tiap post-test.

Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu masalah sangatlah relatif. Jika

seseorang dihadapkan pada suatu masalah dengan waktu yang diberikan untuk

menyelesaikannya tidak dibatasi, maka kecenderungan orang tersebut tidak akan

memfokuskan pikirannya secara penuh pada proses penyelesaian masalah yang

Page 155: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-125

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

diberikan. Sebaliknya, jika seseorang dalam menyelesaikan suatu masalah dibatasi oleh

waktu yang sangat ketat, maka seluruh potensi pikirannya mungkin akan

dikonsentrasikan secara penuh pada penyelesaian soal tersebut. Hal ini lah yang menjadi

landasan pikir penulis dalam menentukan waktu yang digunakan selama proses

penelitian berlangsung. Namun faktanya, tidak mudah bagi siswa untuk beradaptasi

secara cepat terhadap perubahan model pembelajaran yang diterapkan di kelas. Hal ini

juga yang disinyalir menjadi salah satu penyebab pembelajaran yang dilakukan kurang

memberikan hasil optimal.

Hal lain yang dikemukakan siswa adalah alternatif jawaban yang banyak justru

membuat mereka menjadi bingung. Tentunya pendapat ini bertolak belakang dari apa

yang diharapkan. Kurangnya kepercayaan diri siswa dalam mengemukakan pen-

dapatnya sendiri disinyalir sebagai penyebab tidak optimalnya siswa dalam menjawab

soal-soal yang diajukan pada post-test. Kebiasaan kurang baik yang sampai saat ini

masih sulit untuk ditanggulangi adalah kebiasaan menyamakan jawaban dengan teman,

mereka berasumsi bahwa jika jawaban mereka sama dengan temannya, maka jawaban

itu benar. Sedangkan pada soal open-ended, tiap-tiap siswa dimungkinkan untuk

memiliki jawaban yang berbeda sesuai dengan pemahaman mereka. Hal ini tentu tidak

mudah bagi siswa yang tidak percaya diri dalam mengemukakan pendapat, sehingga

mereka tidak berhasil dalam ujian.

Ditinjau dari indikator kemampuan pemecahan masalah, tampak bahwa

indikator yang paling rendah dicapai siswa adalah memeriksa kembali jawaban (looking

back). Siswa tidak terbiasa melakukan hal ini sehingga mereka sering sekali melakukan

kesalahan-kesalahan yang sebenarnya tidak perlu, seperti tidak menuliskan satuan,

melakukan operasi penjumlahan menjadi operasi perkalian karena lupa memberikan

tanda (+) diantara dua bilangan, salah menjumlahkan, salah mengalikan, salah

mensubstitusikan nilai, dan beberapa kesalahan lainnya yang sebenarnya bisa dihindari

jika mereka memeriksa kembali jawaban mereka. Hal ini juga menjadi penyebab siswa

kehilangan beberapa point dalam menjawab soal-soal yang diajukan. Tentu sangat

disayangkan.

Gagne (dalam Suherman, 2003: 34) mengemukakan bahwa belajar pemecahan

masalah adalah tingkat tertinggi dari hierarki belajar. Ini berarti diperlukan kemampuan

yang tinggi untuk menyelesaikan permasalah yang ada. Sedangkan, pembelajaran yang

Page 156: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-126

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

dilakukan selama ini tidak melatih mereka berpikir untuk memecahan masalah,

melainkan hanya sekedar menghafal rumus dan menyelesaikan soal dengan rumus-

rumus yang telah mereka hafal. Dengan demikian, tentu tidak mudah untuk meningkat-

kan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa hanya dengan penelitian yang

relatif singkat seperti ini. Mungkin saja, penelitian ini masih berada pada tahap

pengenalan model pembelajaran, belum sampai pada tahap evaluasi untuk

meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

Kelemahan-kelemahan ini lah yang menyebabkan pembelajaran yang

berlangsung belum memberikan hasil yang optimal baik ditinjau dari segi kemampuan

pemecahan masalah matematis siswa maupun ketuntasan belajar siswa, yang keduanya

tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Hal lain yang dapat diungkapkan adalah adanya efek pindah dari model pem-

belajaran yang diterapkan. Pada penelitian ini, data yang diolah adalah gabungan dari

kedua kelompok yang diajarkan dengan model pembelajaran yang sama. Pada materi

prisma dan limas, kelompok I yang belajar dengan model pembelajaran konvensional

telah memiliki pengalaman pembelajaran dengan menggunakan PBMO, sehingga akan

lebih mudah bagi mereka dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang

diajukan pada post-test. Sedangkan pada kelompok II, PBMO merupakan hal yang baru,

sehingga mereka memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan

permasalahan yang ada. Dampaknya, hasil post-test siswa menunjukkan nilai yang tidak

berbeda secara signifikan. Hal ini juga dipandang sebagai salah satu kelemahan

penelitian yang menyebabkan kurang optimalnya hasil penelitian ini dalam upaya

meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Sebenarnya, pada

penelitian ini telah dilakukan delay untuk menghindari adanya efek pindah tersebut.

Waktu yang sangat singkatlah yang menjadi penyebab kurang optimalnya tahap delay

yang dilakukan.

Dilakukan beberapa koreksi pada penelitian ini. Ditinjau dari hasil tes kemampu-

an awal siswa yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda signifikan, mungkin akan

lebih dapat menunjukkan hasil yang optimal jika setting penelitian dilakukan secara seri

atau langsung membedakan model pembelajaran yang diterapkan pada masing-masing

kelompok. Dalam hal ini, hasil post-test tiap-tiap kelompok langsung dapat

menunjukkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Alternatif lain yang

Page 157: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-127

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

dapat dilakukan dengan desain eksperimen Delayed Counter Balanced Design adalah

memberi pengalaman pembelajaran berbasis masalah open-ended sebelum melakukan

penelitian, sehingga siswa memiliki pengalaman pembelajaran yang sama.

Berikut ini adalah koreksi pada bahan ajar yang digunakan pada PBMO yaitu

LKS. LKS yang digunakan memuat aktivitas yang terlalu banyak dengan alokasi waktu

yang cukup singkat. Strategi kelompok kecil seperti ini cukup membebani siswa. Akan

lebih menarik dan lebih menyenangkan bagi siswa jika permasalahan-permasalah yang

diajukan dibagi-bagi atau tiap-tiap kelompok membahas permasalahan yang berbeda,

sehingga tiap-tiap kelompok mendapat porsi permasalahan yang tidak terlalu banyak

dan mereka bisa fokus membahas suatu permasalah tersebut. Dengan demikian, diskusi

yang dilakukan siswa akan lebih mendalam. Demikianlah beberapa kelemahan

penelitian yang dapat dipaparkan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan mengenai pembelajaran berbasis

masalah open-ended dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, dapat di-

simpulkan bahwa penerapan pembelajaran berbasis masalah open-ended belum mem-

berikan hasil yang signifikan dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa.

Saran

Berdasarkan hasil dalam penelitian ini, disarankan bagi peneliti yang akan meng-

gunakan pembelajaran berbasis masalah open-ended untuk meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah matematis siswa, sebaiknya melakukan penelitian dengan alokasi

waktu yang proporsional agar pembelajaran dapat memberikan hasil yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Aan. 2010. Pendekatan Pemecahan Masalah Matematika (online). Tersedia: http://aanchoto.com/2010/10/2-pendekatan-pemecahan-masalah-matematika/. Diakses pada bulan September, tahun 2011.

Page 158: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-128

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Arikunto, Suharsimi. 2005. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif.

Jakarta: PT Rineka Cipta.

Holil, Anwar. 2008. Teori Perkembangan Kognitif (online). Tersedia: http://anwarholil.blogspot.com/2008/04/teori-perkembangan-kognitif.html. Diakses pada bulan Februari, tahun 2011.

Hudojo, H. 2003. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah disajikan pada Seminar Nasional: Upaya-upaya Meningkatkan Peran Pendidikan dalam Era Globalisasi PPS IKIP MALANG. Malang, 4 April.

Laodesyamri. 2010. Pembelajaran dengan Pendekatan Pemecahan Masalah (online). Tersedia:http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2063169- pembelajaran-dengan-pendekatan-pemecahan-masalah/. Diakses pada bulan Maret, tahun 2011.

NN. 2010. Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (online). Tersedia:

http://edukasiana.com. Diakses pada bulan September, tahun 2011. Noer, S. H. 2007. Pembelajaran Open-ended Untuk Meningkatkan Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematik. Makalah: Prosiding Seminar Nasional Matematika Jur. PMIPA FPMIPA UPI Bandung.

_________. 2010. Model Bahan Ajar Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis, Kreatif dan Reflektif (K2R). Makalah: Seminar Nasional Pendidikan FKIP Universitas Lampung.

Orton, A. 1992. Learning Mathematics, issues, theory and classroom practice. Edisi II. London: Fahenbaum Publishing Ltd.

Poppy, R. Yaniawati. 2010. Pembelajaran Dengan Pendekatan Open-Ended dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa (Studi Eksperimen pada Sekolah Menengah Umum (SMU) “X” di Bandung, Jawa Barat)(Online). Tersedia: http://www.jurnal_kopertis4.org/file/1-poppy-2002.pdf. Diakses pada bulan September, tahun 2011.

Ruseffendi, E.T. 1991. Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sawada, T. 1997. Developing Lesson Plans. Dalam Shimada, S. dan Becker, J.P (editor)

The Open-Ended Approach. A New Proposal for Teaching Mathematics. Virginia: National Council of Teachers of Mathematics.

Page 159: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-129

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Soedjadi, R. 2001. Pemanfaatan Realita dan Lingkungan dalam Pembelajaran Matematika. Makalah pada Seminar Nasional Realistik Mathematics Education (RME). FMIPA Unesa Surabaya. Surabaya. 24 Februari.

Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Suherman, E. 2001. Evaluasi Pembelajaran Matematika untuk Calon Guru dan

Mahasiswa Calon Guru Matematika. Bandung: Jurusan pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

Suherman, E dkk. 2003 Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Technical

Cooperation Project for Development of Science and Mathematics Teaching for Primary and Secondary Education in Indonesia. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

Suyitno. 2010. Keefektifan Penerapan Model Pembelajaran (online). Tersedia:

http://pinggiralas.blogspot.com/2010/06/keefektifan-penerapan-model.html. Diakses pada bulan Agustus, tahun 2010.

To, K. 1996. Mengenal Analisis Tes Pengantar ke Program Komputer ANATES. Bandung: FIP IKIP Bandung.

Yulianto, Arifin Dwi. 2009. Pengaruh Pendekatan Pemecahan Masalah Terhadap Prestasi Belajar Matematika Kelas VII SMP Negeri 1 Miri Sragen. Skripsi. Surakarta: FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Page 160: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-130

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

UPAYA PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MAHASISWA MELALUI PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE

STAD PADA PERKULIAHAN TEORI BILANGAN

M. Coesamin1 1Dosen Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung

ABSTRACT

Non regular student at Program Study Mathematic Education, Department of PMIPA FKIP Universitas Lampung on academic years 2007/2008 didn’t comprehend about the theory of number. The student didn’t solve their home works by their self and not good. Almost all students have activity and motivation lower. The research aims to increase the quality the theory of number learning that implying the increase students activity and achievement by applying cooperative learning model type STAD. This research is a class room action research that consists of three cycles. Data was obtained through observation and test. The result is student activities and achievement on the theory of number increase. The indicators of that are increasing students activities from 47,94% to 80,00%, and increasing students achievements from 3,78 to 5,36.

Key words: activity, achievement, STAD.

PENDAHULUAN

Teori bilangan merupakan kajian matematika yang sistematis dan mendasar,

serta berguna bagi seseorang dalam memandang masalah matematika yang selalu ber-

kembang. Senada dengan hal tersebut, Niven (1991: 3) menyatakan: ”Number theory is

not only a systematic mathematical study but also a popular diversion, expecially in its

elementary form. …. A systematic study of the theory is certainly helpful to anyone

looking at problems in recreational mathematics”. Pemahaman terhadap teori bilangan

dapat dilakukan dengan melibatkan mahasiswa secara aktif dalam membahas tugas-

tugas yang diberikan. Kata “memahami” dapat diartikan sebagai suatu proses untuk

menyatukan informasi dengan struktur pengetahuan yang telah ada (Skemp,1987:31).

Penguasan mahasiswa non reguler Program Studi Pendidikan Matematika FKIP

Universitas Lampung terhadap teori bilangan kurang. Hasil ujian akhir mahasiswa non

Page 161: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-131

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

regular dalam mata kuliah Teori Bilangan tahun akademik 2007/2008, skor rata-rata

adalah 5,6 dan hanya 24 orang atau 57,14% dari 42 mahasiswa yang lulus.

Tugas-tugas perkuliahan tidak dikerjakan dengan baik. Mahasiswa kurang aktif

dan motivasinya rendah dalam pembelajaran. Mahasiswa pasif untuk bertanya, dan

hanya sedikit yang antusias menjawab pertanyaan dosen. Salah satu usaha untuk

memotivasi dan mengaktifkan mahasiswa dalam pembelajaran adalah dengan penerapan

belajar secara kooperatif. Menurut Nur & Wikandari (2000:8), mahasiswa lebih mudah

menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling

mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Lonning (1993:108) menyatakan

bahwa dalam diskusi kelompok, peran serta yang melibatkan anggota kelompok jauh

lebih efektif mengubah sikap dan tingkah laku individu daripada ceramah secara

persuasif. Dalam belajar kooperatif, mahasiswa yang tidak paham terhadap suatu

masalah dapat bertanya pada temannya tanpa rasa malu. Hal ini tentu meningkatkan

motivasi mahasiswa dalam belajar sehingga dapat memperoleh pemahaman yang lebih

baik mengenai materi yang dipelajari dengan cara mencari, menemukan dan

mengembangkan konsep tersebut secara kelompok.

Penelitian ini menerapkan model belajar kooperatif tipe Students Team

Achievement Division (STAD). Ide utama yang mendasari model belajar kooperatif tipe

STAD adalah mendorong motivasi siswa untuk ikut serta dan membantu satu sama lain

dalam menuntaskan keahlian yang disajikan oleh pengajar (Slavin,1995:6). Inti dari

model belajar kooperatif tipe STAD menurut Suherman dkk (2001:219) adalah pengajar

menyampaikan suatu materi, kemudian mahasiswa bergabung dalam kelompoknya

yang terdiri dari empat atau lima orang untuk menyelesaikan soal-soal yang diberikan

oleh pengajar, kemudian menyerahkan pekerjaannya secara tunggal untuk setiap

kelompok. Selanjutnya mahasiswa diberi tes secara individual. Skor hasil tes tersebut

disamping untuk menentukan skor individu juga digunakan untuk menentukan skor

kelompoknya. Dengan model belajar kooperatif tipe STAD diharapkan mahasiswa akan

terbiasa untuk bertanya, menanggapi pertanyaan teman, serta dapat bekerja sama

dengan teman untuk kemajuan bersama.

Berkaitan dengan belajar kooperatif, Vigotsky (dalam Slavin, 1995:17)

mengemukakan gagasan tentang zone of proximal development(ZPD) atau daerah

Page 162: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-132

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

perkembangan terdekat dalam belajar. ZPD didefinisikan sebagai jarak antara tingkat

perkembangan aktual yang ditentukan oleh pemecahan masalah sendiri (bebas) dengan

tingkat perkembangan potensial yang ditentukan oleh pemecahan masalah dibawah

bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan teman sebaya yang memiliki

kemampuan lebih. Dengan demikian, jika seorang mahasiswa belajar sendiri, ia akan

memperoleh pemahaman pengetahuan pada batas tertentu. Dengan adanya bantuan

orang dewasa atau teman sebaya yang memiliki kemampuan lebih, maka pemahaman

pengetahuannya akan meningkat. Ada tiga komponen mendasar dari model belajar

kooperatif tipe STAD (Eggen & Kauchak, 1996:279-280) yaitu penghargaan kelompok,

tanggung jawab individual, dan kesempatan yang sama untuk berhasil.

Pembelajaran dalam penelitian ini dimulai dari: penyajian materi, mahasiswa

mengerjakan tugas dalam kelompok, mahasiswa mengerjakan tes (kuis), pemberian

poin peningkatan kelompok, dan akhirnya pemberian penghargaan kelompok.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam tiga

siklus. Pelaksanaan penelitian menggunakan model yang dikembangkan oleh Kemmis

& Taggart (dalam As’ari, 2000:7) yang terdiri dari beberapa tahap, yaitu: (a)

perencanaan, (b) pelaksanaan, (c) pengamatan, dan (d) refleksi. Hasil refleksi digunakan

untuk memperbaiki siklus berikutnya. Data aktivitas diperoleh dengan cara mengamati

aktivitas mahasiswa menggunakan lembar observasi, dan data hasil belajar diperoleh

berdasarkan tes pada akhir setiap siklus. Analisis data aktivitas dilakukan dengan

menghitung persentase aktivitas yang dilakukan mahasiswa dalam pembelajaran.

Sebelum dilakukan tindakan pembelajaran dilakukan tes awal. Skor yang

diperoleh dari tes awal menjadi skor dasar yang digunakan untuk menentukan poin

peningkatan individu. Skor tersebut juga menjadi pedoman pembentukan kelompok

sehingga terjadi kelompok yang heterogen baik dari segi kemampuan akademik maupun

jenis kelamin.

Page 163: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-133

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Skor tertinggi hasil tes awal adalah 8 dan skor terendah adalah 1. Rata-rata hasil

tes tesebut adalah 3,03. Kesalahan yang paling banyak dilakukan oleh mahasiswa

dalam menjawab tes awal adalah tidak dikuasainya pola deduktif dalam pembuktian

suatu pernyataan dalam teori bilangan.

Dalam diskusi mahasiswa lebih banyak kegiatan membaca bahan ajar, sebagian

besar tidak mengerti bagaimana cara membuktikan dalil. Hal ini terjadi karena mereka

tidak terbiasa bekerja dengan pembuktian, yang berpola deduktif, tetapi hanya pada

hitungan yang menghasilkan angka-angka. Dalam perkuliahan ada mahasiswa

mempertanyakan eksistensi faktor negatip dari suatu bilangan positip. Dosen

menjelaskan bahwa sesuai dengan definisi keterbagian, faktor yang merupakan bilangan

negatip juga ada.

Berdasarkan hasil obervasi terhadap aktivitas mahasiswa pada siklus I diperoleh

data mahasiswa aktif. Berikut adalah tabel tentang persentase aktivitas mahasiswa pada

siklus I.

Tabel 1 Persentase Aktrivitas Mahasiswa pada Siklus I

Pertemuan Pertama (%)

Pertemuan Kedua (%)

Pertemuan Ketiga (%)

Rata-rata

(%)

40

57,14

46,67

47,94

Rata-rata persentase aktivitas mahasiswa dari pertemuan I, II, dan III 47,94

menunjukkan bahwa aktivitas mahasiswa pada kegiatan pembelajaran dalam siklus I

berada pada kategori ”cukup”. Berdasarkan pengamatan dalam pembelajaran, hanya

sedikit kerjasama mahasiswa dalam kelompok. Mahasiswa masih banyak yang tidak

mencatat. Aktivitas mereka hanya mendengarkan penjelasan dosen dan membaca

bahan ajar saja. Juga ada mahasiswa yang tidak mencatat dan tidak aktif bertanya.

Page 164: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-134

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Ketika diberi pertanyaanpun tidak menjawab, hanya diam saja. Hal ini menunjukkan

bahwa mahasiswa tidak dapat mengikuti pembelajaran dengan baik.

Nilai rata-rata pada akhir siklus I adalah 3,78. Jika dibandingkan dengan hasil

tes awal (3,03) yang menjadi dasar pengelompokan mahasiswa maka angka 3,78

tersebut menunjukkan adanya peningkatan sebesar 24,75%. Jika ditinjau dari

peningkatan poin kelompok, maka terdapat tiga kelompok yang memperoleh predikat

”Hebat” dan satu kelompok yang mendapat predikat ”Baik”. Penghargaan dinyatakan

dengan cara diumumkan dan dosen mengucapkan kata ”selamat” kepada kelompok

yang memperoleh predikat ”Hebat”, dan memberikan motivasi kepada kelompok yang

masih berpredikat ”Baik” untuk meningkatkan predikat menjadi ”Hebat” atau ”Super”.

Berdasarkan hasil refleksi disimpulkan bahwa mahasiswa perlu diberi tugas untuk

membaca bahan ajar lebih dahulu di rumah sebelum membahas materi perkuliahan yang

akan dilaksanakan pada siklus II.

Berdasarkan hasil pengamatan selama proses pembelajaran dan hasil observasi

terhadap aktivitas mahasiswa pada siklus II disimpulkan bahwa mahasiswa tidak

menguasai konsep dasar, tidak menguasai proses deduksi dalam pembuktian, dan

masalah yang tidak dipahami tidak didiskusikan dalam kelompok. Tugas rumah

membaca bahan ajar yang diberikan pada siklus II mungkin tidak terlaksana dengan

baik, karena ternyata dalam diskusi masih banyak mahasiswa yang membaca bahan

ajar. Sebenarnya tugas ini membantu mahasiswa untuk lebih memahami materi yang

dibahas.

Persentase banyaknya mahasiswa yang aktif pada siklus II secara lengkapdapat

digambarkan seperti pada tabel 2 berikut.

Tabel 2 Persentase Aktivitas Mahasiswa pada Siklus II

Pertemuan Pertama (%)

Pertemuan Kedua (%)

Rata-rata

(%)

57,14

60 58,57

Page 165: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-135

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Rata-rata persentase aktivitas mahasiswa 58,57% menunjukkan bahwa aktivitas

mahasiswa pada kegiatan pembelajaran dalam siklus II berada pada kategori ”cukup”,

namun kadarnya lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata persentase aktivitas

mahasiswa pada siklus I. Aktivitas membaca bahan ajar pada siklus II lebih banyak

dilakukan mahasiswa, aktivitas diskusi dilakukan dengan kadar yang lebih tinggi

dibandingkan pada siklus I.

Setelah dilaksanakan pembelajaran dalam dua pertemuam pada siklus II

selanjutnya diadakan tes akhir. Nilai rata-rata pada akhir siklus II adalah 4,73. Jika

dibandingkan dengan hasil tes akhir siklus I (3,78) maka angka 4,73 tersebut

menunjukkan adanya peningkatan sebesar 25,13%. Banyaknya mahasiswa yang tuntas

dari empat orang (pada siklus I) menjadi delapan orang (pada siklus II) berarti juga

terjadi peningkatan 100%, namun jika dibandingkan dengan banyaknya mahasiswa

pengambil mata kuliah tersebut maka yang tuntas adalah 53,33%. Jika ditinjau dari

peningkatan poin kelompok, maka semua kelompok memperoleh predikat ”Hebat”.

Penghargaan dinyatakan dengan cara mengumumkan predikat ”hebat” dan dosen

mengucapkan kata ”selamat” kepada semua kelompok. Dosen memberikan motivasi

kepada semua kelompok untuk meningkatkan predikatnya menjadi ”Super”.

Hal-hal yang menjadi catatan dari pelaksanaan pembelajaran dalam siklus II

yaitu bahwa dalam pembelajaran, dosen perlu untuk selalu mengingatkan kembali

pengetahuan prasyarat pada setiap awal pembelajaran. Mahasiswa juga perlu diingatkan

untuk membahas lebih dahulu masalah-masalah dalam kelompok sebelum ditanyakan

kepada dosen, sehingga pertanyaan yang diajukan merupakan pertanyaan kelompok.

Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan aktivitas kelompok. Pada akhir pembel-

ajaran mahasiswa perlu diberikan tugas rumah berupa soal-soal tentang pembuktian.

Sampai berakhirnya pembelajaran dalam siklus III ternyata mahasiswa belum

secara baik menguasai cara-cara pembuktian dalil atau pernyataan meskipun dari siklus

ke siklus menunjukkan adanya kemajuan. Mahasiswa dalam menunjukkan kebenaran

suatu pernyataan cenderung menggunakan contoh-contoh penerapan.

Banyaknya mahasiswa yang aktif pada siklus III digambarkan secara lengkap

pada tabel 3 berikut.

Page 166: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-136

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 3 Persentase Aktrivitas Mahasiswa pada Siklus III

Pertemuan Pertama (%)

Pertemuan Kedua (%)

Rata-rata

(%)

73,33 86,67 80,00

Rata-rata persentase aktivitas mahasiswa 80,00% menunjukkan bahwa aktivitas

mahasiswa pada kegiatan pembelajaran dalam siklus III berada pada kategori ”Baik”.

Pada siklus III terjadi peningkatan aktivitas jika dibandingkan dengan aktivitas pada

siklus II. Aktivitas yang dilakukan secara dominan adalah aktivitas mencatat, membaca

bahan ajar, dan berdiskusi.

Setelah dilaksanakan pembelajaran selama dua kali pertemuan maka pada per-

temuan yang ketiga dilaksanakan tes akhir siklus III. Jika dibandingkan rata-rata hasil

tes akhir siklus II sebesar 4,73 maka terjadi peningkatan sebesar 21,78%. Banyaknya

mahasiswa yang tuntas meningkat sebesar 25%. Jika dibandingkan dengan banyaknya

mahasiswa pengambil mata kuliah tersebut maka yang tuntas mencapai 66,67%. Jika

ditinjau dari peningkatan poin kelompok, maka terdapat satu kelompok yang

memperoleh predikat ”Super” dan tiga kelompok yang mendapat predikat ”Hebat”.

Penghargaan dinyatakan dengan cara mengumumkan predikat masing-masing

kelompok, dan memberikan ucapan kata ”selamat” kepada yang memperoleh predikat

”Super”.

Kelemahan yang selalu terjadi pada setiap siklus adalah tidak dikuasainya

prasyarat untuk setiap materi yang dibahas. Ketika tidak mengerti, mahasiswa langsung

bertanya kepada dosen padahal belum membahasnya dalam diskusi kelompok.

Perbaikan-perbaikan yang perlu dipertimbanganm berdasarkan renungan terhadap

pembelajaran pada siklus III adalah: (a) Sebelum membahas suatu materi perkuliahan,

mahasiswa perlu diberi tugas-tugas yang materinya adalah prasyarat untuk materi

tersebut, (b) Mahasiswa perlu dilatih untuk mengerjakan soal-soal sederhana tentang

pembuktian agar terbiasa bekerja secara deduktif, (c) Perlu diingatkan kepada

mahasiswa tentang pentingnya memikirkan kepentingan kelompok dalam melakukan

kegiatan yang berorientasi pada kepentingan bersama, dan (d) Mahasiswa perlu

Page 167: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-137

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

mempelajari lebih dahulu materi perkuliahan yang terdapat pada pada bahan ajar

sebelum materi itu dibahas di kelas.

Pembahasan

Secara umum kesulitan terjadi pada mahasiswa terjadi akibat tidak dikuasainya

pengetahuan prasyarat. Hal ini menunjukkan kuatnya hirarki materi teori bilangan

sebagai bagian dari matematika. Adanya keraguan mahasiswa tentang keberadaan

faktor negatip dari suatu bilangan mengindikasikan bahwa mahasiswa kurang

memahami definisi yang disajikan dalam bahan ajar.

Mahasiswa tidak memahami cara memecahkan soal-soal tentang pembuktian.

Hal ini kemungkinan merupakan akibat dari mahasiswa tidak terbiasa memecahkan

soal-soal tentang pembuktian. Cara mengatasinya adalah memberikan soal-soal seder-

hana secara rutin tentang pemecahan masalah yang berkaitan dengan pembuktian. Di

pihak lain, mahasiswa bertanya langsung kepada dosen tentang hal-hal yang tidak

dimengerti padahal belum didiskusikan dalam kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa

mahasiswa kurang yakin atau tidak percaya terhadap kemampuan anggota

kelompoknya. Kemungkinan lain adalah mahasiswa yang lebih pandai kurang peduli

terhadap kemajuan kelompoknya, atau kurang terjalinnya dengan baik kerjasama dalam

kelompok.

Dalam melakukan operasi aljabar, mahasiswa ternyata tidak teliti. Untuk meng-

atasi hal ini, pada perkuliahan awal mahasiswa perlu sering diberi tugas atau latihan

yang bertujuan untuk melatih ketelitian mereka tentang berbagai operasi dalam aljabar.

Kegiatan mahasiswa yang terlalu banyak membaca bahan ajar dalam kegiatan diskusi

mengindikasikan bahwa penyajian materi dalam bahan ajar tidak mudah dipahami yang

mengakibatkan mahasiswa perlu waktu agak lama untuk memahaminya.

Ketika dosen menjelaskan konsep yang terdapat dalam teori bilangan,

mahasiswa cenderung minta diberi contoh tentang konsep yang dijelaskan itu. Hal ini

berarti mahasiswa lebih mudah mengenali konsep jika penyajiannya dimulai dengan

contoh-contoh. Mahasiswa kurang teliti untuk mengungkapkan pengertian tentang se-

suatu, misalnya dalam menyampaikan pengertian bilangan prima, tidak membedakan

kata ”ada satu” dengan ”ada tepat satu”.

Page 168: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-138

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Aktivitas mahasiswa pada siklus I adalah 47,94%, siklus II adalah 58,57%, dan

pada siklus III adalah 80,00%. Hal ini menyatakan terjadinya peningkatan kategori

aktivitas mahasiswa dari ”cukup” menjadi ”baik”. Rutinitas kegiatan diskusi ternyata

berdampak pada meningkatnya keberanian mahasiswa untuk beraktivitas dalam diskusi.

Mahasiswa lebih aktif mencatat yang dibahas, dan juga lebih aktif membaca bahan ajar,

yang dapat dipandang sebagai peningkatan tanggungjawab untuk menguasai materi

perkuliahan yang sedang dibahas.

Seiring dengan peningkatan aktivitas mahasiswa ternyata hasil belajar juga me-

ningkat dari 3,78 pada pada siklus I menjadi 4,73 pada siklus II (terjadi peningkatan

25,13%). Pada siklus III juga terjadi peningkatan hasil belajar menjadi 5,36 yang

berarti terjadi peningkatan 21,78%. Pada siklus I terdapat satu kelompok yang kriteia

keberhasilan ”Baik” tetapi pada siklus II semua memperoleh kriteria keberhasilan

”Hebat”, bahkan pada siklus III ada kelompok yang memperoleh kriteria keberhasilan

”Super”. Hal ini megindikasikan bahwa pembelajaran teori bilangan menggunakan

model kooperatif tipe STAD yang selalu mengalami perbaikan berdampak pada

peningkatan hasil belajar. Terjadinya peningkatan tersebut kemungkinan besar juga

terjadi karena adanya post test yang pada akhir setiap pertemuan selalu dilaksanakan

sehingga mahasiswa cenderung selalu dalam keadaan siap pada setiap kegiatan

pembelajaran.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan terdahulu diperoleh

kesimpulan sebagai berikut.

a. Pemberian post tes dan penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD pada

mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Lampung tahun

akademik 2008/2009 dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa.

b. Pembelajaran yang meningkatkan aktivitas dan hasil belajar tersebut adalah

pembelajaran yang selalu diperbaiki dengan cara sebagai berikut.

Page 169: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-139

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

1. Pada perkuliahan awal mahasiswa dilatih dan diberi tugas-tugas yang isinya

pengetahuan dasar atau prasyarat untuk memahami materi teori bilangan yang

akan dibahas.

2. Mahasiswa dilatih untuk mengerjakan soal-soal sederhana tentang pembuktian

agar terbiasa bekerja secara deduktif.

3. Mahasiswa diingatkan tentang pentingnya memikirkan kepentingan kelompok

dalam melakukan kegiatan yang berorientasi pada kepentingan bersama.

4. Mahasiswa dilatih untuk mempelajari lebih dahulu di rumah tentang materi

perkuliahan yang terdapat pada pada bahan ajar sebelum materi itu dibahas di

kelas.

Saran

Berdasarkan simpulan di atas, pembelajaran teori bilangan yang menggunakan

model kooperatif tipe STAD perlu memperhatikan sebagai berikut.

a. Pada perkuliahan awal mahasiswa perlu dilatih dan diberi tugas-tugas yang isinya

pengetahuan dasar atau prasyarat untuk memahami materi teori bilangan yang akan

dibahas.

b. Mahasiswa perlu dilatih untuk mengerjakan soal-soal sederhana tentang

pembuktian agar terbiasa bekerja secara deduktif.

c. Mahasiswa hendaknya diingatkan tentang pentingnya memikirkan kepentingan

kelompok dalam melakukan kegiatan yang berorientasi pada kepentingan bersama.

d. Mahasiswa mempelajari lebih dahulu materi perkuliahan yang terdapat pada pada

bahan ajar di rumah sebelum materi itu dibahas di kelas.

e. Setiap akhir pertemuan perlu diadakan post test, agar mahasiswa selalu belajar dan

siap mengikuti tes.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1990. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

As’ari, A.R. 2000. Mengapa Perlu Penelitian Tindakan? Makalah disajikan dalam pelatihan Action Research Tingkat Nasional. Jakarta, 20 Februari -2 Maret 2000.

Page 170: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-140

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Buchori, M. 1983. Teknik-teknik Evaluasi dalam Pendidikan. Bandung: Jemmars.

Eggen, P.D. & Kauchak D.P. 1996. Strategies for Teacher: Teaching Content and Thinking Skill. Boston: Allyn and Bacon.

Lonning, R.A. 1993. “Effect of Cooperative LearningStrategies on Student verbal Interaction and Achievement During Conceptual Change Instruction In 10th Grade General Science.” Journal of Research in Science Teaching. 30(9): 1087-1101.

Niven, Ivan; Zuckerman, Herbert S; dan Montgomery, Hugh L. 1991. An Introduction to The Theory of Numbers. Edisi ke-7. Singapura: John Wiley & Sons, Inc.

Nur, M. & Wikandari, P.R. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis Dalam Pengajaran. Surabaya: Unesa

Sardiman, AM. 1986. Interaksi dan Motivasi belajar Mengajar. Jakarta: Rajawli Press.

Skemp, R.R.. 1987. The Psychology of Learning Mathematics. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.

Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research and Practice. Boston: Allyn and Bacon.

Suherman, E.A., dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Penerbit JICA-UPI.

Page 171: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-141

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PENGARUH PEMBELAJARAN MODEL-ELICITING ACTIVITIES TERHADAP KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA

Widyastuti1 1Jurusan Pendidikan MIPA, Universitas Lampung

Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan mendeskripsikan pengaruh pembelajaran Model-Eliciting Activities terhadap kemampuan representasi matematis dan peningkatannya ditinjau dari kategori kemampuan awal siswa. Selain itu diungkap pula interaksi antara faktor pembelajaran dengan kategori kemampuan siswa. Desain penelitian ini adalah kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol pretes dan postes. Instrumen yang digunakan berupa tes kemampuan representasi matematis. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 25 Bandarlampung dengan sampel siswa kelas VIII sebanyak dua kelas yang dipilih secara purposif. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji perbedaan rerata dan Uji ANOVA Dua Jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran Model-Eliciting Activities secara statistik lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan kemampuan representasi matematis siswa kelompok atas, kelompok tengah dan kelompok bawah pada kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran Model-Eliciting Activities. Terdapat interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor kategori kemampuan siswa menyangkut peningkatan kemampuan representasi matematis.

Kata kunci: Pembelajaran Model-Eliciting Activities dan Kemampuan Representasi Matematis

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Matematika memberikan peluang bagi siswa untuk terampil dalam berpikir secara

kritis dan kreatif. Hal ini karena, Matematika merupakan ilmu yang kaya, menarik,

banyak terkait dengan kehidupan, dan memungkinkan banyak eksplorasi serta interaksi

yang dapat dilakukan siswa. Namun, dalam pembelajaran matematika interaksi yang

sering terjadi adalah pemberitahuan definisi dan aturan oleh guru kemudian dilanjutkan

dengan demonstrasi pemakaian definisi dan aturan tersebut dalam contoh dan latihan

soal. Hal tersebut didasarkan pendapat Kramarski & Slettenhaar (Ansari, 2003) yang

menyatakan bahwa siswa belajar dengan cara mendengar dan menonoton guru

Page 172: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-142

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

melakukan matematik, guru sering mencotohkan kepada siswa bagaimana

menyelesaikan soal dan memberikan soal latihan.

Keterampilan dalam berpikir secara kritis dan kreatif dapat dilihat salah satunya

dari kemampuan siswa merepresentasikan suatu bentuk penyelesaian permasalahan

matematis. Kemampuan representasi matematis masih menjadi permasalahan bagi

siswa. Hal ini didasarkan oleh Hutagaol (2007) yang menyatakan bahwa terdapat

permasalahan dalam penyampaian materi pembelajaran matematika, yaitu kurang

berkembangnya kemampuan representasi siswa, khususnya pada siswa SMP, siswa

tidak pernah diberi kesempatan untuk menghadirkan representasinya sendiri.

Goldin (2002) mengartikan representasi sebagai suatu konfigurasi (bentuk atau

susunan) yang dapat menggambarkan, mewakili, atau melambangkan sesuatu dalam

suatu cara. Menurut Jones dan Knuth (Hudiono, 2005) representasi adalah “a model, or

alternate form, of a problem situation or aspect of a problem situation used in finding a

solution. For example, problem can be represented by objects, pictures, word, or

mathematical symbols”. Representasi matematis yang dimaksudkan dalam penelitian ini

merupakan cara yang digunakan seseorang untuk menyajikan gagasan matematis dalam

melakukan komunikasi matematis yang meliputi penerjemahan masalah atau ide-ide

matematis ke dalam interpretasi berupa gambar; ekspresi atau persamaan matematis;

dan kata-kata.

Salah satu pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan representasi

matematis yang dimiliki siswa adalah pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs).

Pembelajaran MEAs merupakan pembelajaran yang didasarkan pada situasi kehidupan

nyata siswa, bekerja dalam kelompok kecil, dan menyajikan sebuah model matematika

sebagai solusi. Pembelajaran ini didasarkan oleh enam prinsip yaitu: The personal

meaningfulness principle, The model construction principle, The self-evaluation

principle, The model-documentation principle, The simple prototype principle, dan The

model generalisation principle (Lesh dan Diefes-Dux, et al. dalam Cynthia dan Leavitt,

2007).

The personal meaningfulness principle menyatakan bahwa permasalahan yang

disajikan sebaiknya realistis dan dapat terjadi dalam kehidupan siswa karena lebih

memungkinkan solusi kreatif dari siswa. The model construction principle menyatakan

bahwa tuntutan permasalahan adalah penciptaan sebuah model. Sebuah model adalah

Page 173: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-143

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

sebuah sistem yang terdiri atas elemen-elemen, hubungan antar elemen, operasi yang

menggambarkan interaksi antar elemen, dan pola atau aturan yang diterapkan pada

hubungan-hubungan dan operasi-operasi. The self-evaluation principle menyatakan

bahwa siswa harus mampu mengukur kelayakan dan kegunaan solusi tanpa bantuan

guru. Self-assessment terjadi saat kelompok-kelompok mencari jawaban yang tepat

(Chamberlin dan Moon, 2008). The model-documentation principle menyatakan bahwa

siswa harus mampu mengungkapkan proses berpikir mereka dan

mendokumentasikannya dalam solusi. Tuntutan dokumentasi solusi melibatkan teknis

penulisan yang dapat mengembangkan berpikir kreatif. The simple prototype principle,

dan The model generalisation principle menyatakan bahwa model yang dihasilkan harus

dapat ditafsirkan dengan mudah oleh orang lain dan dapat digeneralisasikan. Tugas dan

permasalahan dalam MEAs bersifat open-ended dan merupakan permasalah yang sulit

dipecahkan secara individu. Berbagai respon dari siswa terhadap tugas dimungkinkan

untuk memiliki berbagai tingkat ketepatan.

Chamberlin dan Moon (2005) mengatakan bahwa setiap kegiatan MEAs terdiri

atas empat bagian. Bagian pertama adalah mempersiapkan konteks permasalahan dan

menyajikan masalah. Bagian ke-dua adalah bagian pertanyaan “siap-siaga” yang

bertujuan untuk memastikan bahwa siswa telah memiliki pengetahuan dasar yang

mereka perlukan untuk menyelesaikan permasalahan. Bagian ke-tiga adalah bagian

pengumpulan data dan bagian ke-empat adalah pemecahan masalah. Salah satu

karakteristik unik dari MEAs adalah bahwa siswa menyelesaikan masalah yang

diberikan kepada mereka dan mengeneralisasi model yang mereka buat untuk situasi

serupa.

Penyajian model matematis sebagai solusi dalam pembelajaran MEAs merupakan

salah satu bentuk representasi eksternal yang dapat dilakukan oleh siswa. Bekerja dalam

kelompok juga dapat memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk

mengkomunikasikan ide/gagasan matematika ke dalam bentuk representasi.

Pada penelitian ini selain faktor pembelajaran, kemampuan awal siswa turut

dilibatkan sebagai salah satu variabel (variabel kontrol). Dasar pengklasifikasian siswa

adalah berdasarkan hasil belajar matematika sebelumnya serta pengklasifikasian yang

dilakukan oleh guru kelas.

Page 174: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-144

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Dengan memperhatikan uraian di atas, penulis berupaya mengungkapkan apakah

pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) memberikan kontribusi terhadap

kemampuan representasi matematis siswa. Penelitian ini dirancang untuk melihat

Pengaruh Pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) terhadap Kemampuan

Representasi Matematis Siswa.

Hipotesis Penelitian

Sejalan dengan latar belakang masalah, hipotesis penelitian ini adalah:

1. Kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs

lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa

kelompok atas, kelompok tengah, dan kelompok bawah pada siswa yang

memperoleh pembelajaran MEAs.

3. Terdapat interaksi antara faktor pembelajaran dengan kategori kemampuan siswa

terkait dengan kemampuan representasi matematis siswa.

METODE PENELITIAN

Metode dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi “Kuasi-Eksperimen”. Perlakuan yang diberikan

berupa penerapan pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) untuk dilihat

pengaruhnya terhadap aspek yang diukur yaitu kemampuan representasi matematis

siswa. Variabel bebas pada penelitian ini adalah pembelajaran Model-Eliciting

Activities (MEAs), variabel terikatnya adalah kemampuan representasi matematis siswa

dan variabel kontrolnya adalah kemampuan awal siswa (siswa kelompok atas,

kelompok tengah dan kelompok bawah).

Desain pada penelitian ini berbentuk:

Kelompok eksperimen O X O

Kelompok kontrol O O

Keterangan : X : Pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) O : Tes yang diberikan untuk mengetahui kemampuan representasi matematis siswa

(pretes = postes)

Page 175: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-145

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Subjek Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 25 Bandarlampung tahun

pelajaran 2009/2010. Sampel pada penelitian ini terdiri dari dua kelompok siswa kelas

VIII yang berasal dari dua kelas yang dipilih secara purposive.

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar tes tertulis dan

jurnal siswa. Lembar tes tertulis yang digunakan berupa tes kemampuan representasi

matematis yang dibuat dalam bentuk uraian. Tes tertulis ini terdiri dari 7 butir soal

pretes dan postes. Beberapa butir soal diadaptasi dari instrumen representasi matematis

yang dikembangkan oleh Nursyam (2008). Jurnal yang digunakan dalam penelitian ini

berupa karangan singkat yang dibuat oleh siswa setelah pelaksanaan satu pembelajaran

MEA. Jurnal ini diberikan untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap pembelajaran

MEA yang diberikan.

Teknik Analisis Data

Data-data yang diperoleh dari hasil pretes, postes, dan gain ternormalisasi

kemampuan representasi matematis dianalisis secara statistik. Gain ternormalisasi

dihitung dengan rumus (g) = skor postesskor pretesskor idealskor pretes

. Kategori gain ternormalisasi menurut

Hake (1999) adalah: g < 0,3 (rendah); 0,3 ≤ g < 0,7 (sedang); dan g ≥ 0,7 ( tinggi).

Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program software SPSS 17 dan Microsoft

Excell 2007.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Berdasarkan pengolahan terhadap skor pretes dan postes, diperoleh skor

minimum (xmin), skor maksimum (xmaks), skor rerata (��), persentase (%), dan simpangan

baku (s) seperti pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Hasil Kemampuan Representasi Matematis Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Kelompok Skor Ideal

Pretes Postes xmin xmaks �� % s xmin xmaks �� % s

Eksperimen 48

1 12 5,625 11,72 2,87 10 40 23,25 48,44 8,75 Kontrol 0 13 4,375 9,11 3,27 3 30 16,09 33,52 6,57

Page 176: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-146

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 1 menunjukkan bahwa, rerata pretes kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol memiliki perbedaan. Setelah dilakukan uji perbedaan rerata disimpulkan bahwa

kedua kelompok data memiliki rerata yang tidak berbeda secara signifikan. Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa perlakuan pembelajaran matematika dalam penelitian

ini berangkat dari situasi kelas yang sama.

Selanjutnya dilakukan uji perbedaan rerata terhadap skor postes untuk melihat

kemampuan representasi matematis berdasarkan pembelajaran. Pada taraf signifikansi

5% disimpulkan bahwa kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran MEAs secara statistik lebih baik daripada kemampuan representasi

matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

Untuk melihat peningkatan kemampuan representasi matematis yang dicapai

oleh siswa digunakan data gain ternormalisasi. Rerata gain ternormalisasi dengan

pembelajaran MEAs (PMEAs) maupun dengan pembelajaran konvensional (PK)

terangkum pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Rerata Gain Kemampuan Representasi Matematis

Pembelajaran Kategori Siswa

Rerata (Mean)

Kategori Gain

Simpangan Baku

Jumlah Siswa

PMEAs Atas 0,5967 Sedang 0,2224 9

Tengah 0,3264 Sedang 0,1475 14

Bawah 0,3922 Sedang 0,1133 9

Total 0,4209 Sedang 0,1961 32

PK Atas 0,2911 Rendah 0,1416 9

Tengah 0,3086 Sedang 0,0916 14

Bawah 0,1956 Rendah 0,1441 9

Total 0,2719 Rendah 0,1283 32

Berdasarkan Tabel 2 di atas diketahui bahwa rerata gain kemampuan

representasi matematis siswa PMEAs terlihat lebih baik dibandingkan dengan PK baik

ditinjau secara total maupun berdasarkan kategori kemampuan siswa (atas, tengah, dan

bawah).

Selanjutnya dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji ANOVA dua

jalur. Uji statistik ini dilakukan untuk melihat pengaruh langsung dari dua perlakuan

Page 177: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-147

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

yang berbeda terhadap peningkatan kemampuan representasi matematis serta interaksi

antara pembelajaran yang dilakukan terhadap kategori kemampuan siswa. Pada taraf

signifikansi 5% dapat disimpulkan adanya perbedaan yang signifikan peningkatan

kemampuan representasi matematis siswa kelompok atas, tengah dan bawah.

Disimpulkan juga bahwa terdapat interaksi antara pembelajaran dengan kategori

kemampuan siswa menyangkut peningkatan kemampuan representasi matematis siswa.

Dengan demikian PMEAs dan kategori kemampuan siswa secara bersama-sama

mempengaruhi peningkatan kemampuan representasi matematis siswa.

Pembahasan

Berdasarkan analisis data hasil penelitian, diketahui bahwa pembelajaran Model-

Eliciting Activities (MEAs) mempunyai pengaruh terhadap kemampuan representasi

matematis siswa. Hal ini ditunjukkan dengan hasil analisis yang mendukung hipotesis

bahwa kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran

MEAs lebih baik dari siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Penelitian

ini relevan dengan penelitian Hutagaol (2007) yang mengemukakan bahwa kemampuan

representasi matematis pada kelas yang diberi perlakuan dengan pembelajaran

kontekstual lebih baik dibandingkan dengan kelas konvensional.

Pengaruh pembelajaran MEAs juga dilihat terhadap peningkatan kemampuan

representasi matematis pada siswa kelompok atas, kelompok tengah dan siswa

kelompok bawah. Penolakan H0 mengenai perbedaan peningkatan kemampuan

representasi matematis siswa, antara siswa kelompok atas, tengah, dan bawah

mengindikasikan bahwa kategori kemampuan siswa secara signifikan berpengaruh

terhadap peningkatan kemampuan representasi matematis siswa. Perbedaan

peningkatan ini sejalan dengan pendapat Galton (Lindawati, 2010) yang menyatakan

bahwa dari sekelompok anak terdapat sejumlah anak yang berbakat atau pintar, sedang

dan kurang, yang memiliki perbedaan kemampuan individual. Penolakan H0 mengenai

perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis menurut interaksi faktor

pembelajaran dengan faktor kategori siswa, mengindikasikan bahwa terdapat pengaruh

dari interaksi antara pembelajaran yang diterapkan dengan kategori kemampuan siswa.

Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa peningkatan kemampuan representasi

matematis siswa kelompok atas, kelompok tengah dan rerata gain siswa kelompok

Page 178: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-148

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

bawah yang memperoleh pembelajaran MEAs maupun konvensional paling besar hanya

tergolong ke dalam kategori sedang. Hal ini menandakan bahwa peningkatan

kemampuan representasi matematis terjadi belum pada semua indikator. Jika

memperhatikan rerata hasil tes representasi matematis siswa kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol, diketahui bahwa kemampuan representasi yang terkait dengan aspek

representasi visual dan aspek representasi dengan kata-kata pada siswa yang

memperoleh pembelajaran MEAs menunjukkan peningkatan yang lebih baik daripada

siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Untuk kemampuan representasi

matematis yang terkait dengan aspek persamaan matematis, antara kelompok kontrol

dan kelompok eksperimen peningkatan yang terjadi tidak terlalu berbeda.

Faktor pembelajaran dengan kategori kemampuan awal siswa secara bersama-

sama mempengaruhi peningkatan kemampuan representasi matematis siswa.

Berdasarkan hasil Uji Scheffe, diketahui bahwa nilai signifikansi untuk perbedaan rerata

gain kemampuan representasi siswa kelompok atas dan siswa kelompok tengah adalah

0,20. Nilai ini lebih kecil dari taraf signifikansi α = 0,05 yang berbarti bahwa terdapat

perbedaan peningkatan rerata gain kemampuan representasi siswa kelompok atas dan

siswa kelompok tengah. Nilai signifikansi untuk perbedaan rerata gain kemampuan

representasi siswa kelompok atas dan siswa kelompok bawah adalah 0,12. Nilai ini

lebih kecil dari taraf signifikansi α = 0,05 yang berbarti bahwa terdapat perbedaan

peningkatan rerata gain kemampuan representasi siswa kelompok atas dan siswa

kelompok bawah. Hal tersebut menandakan bahwa siswa kelompok atas merasakan

manfaat yang lebih besar dari pembelajaran MEAs dibandingkan dengan siswa

kelompok tengah dan siswa kelompok bawah. Temuan ini sejalan dengan hasil

penelitian Chamberlin dan Moon (2005) yang menyatakan bahwa pembelajaran MEAs

dapat digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi siswa yang berbakat dalam

matematika. Faktor pembelajaran yang membuat hal tersebut terjadi adalah karena

pembelajaran MEA memungkinkan guru memberikan bantuan scaffolding kepada

siswa. Bantuan ini banyak dimanfaatkan oleh siswa kelompok tinggi dengan banyak

bertanya kepada guru. Selain itu, adanya kegiatan kelompok dalam pembelajaran MEAs

memberikan kesempatan kepada siswa kelompok tinggi untuk menjadi tutor bagi teman

sekelompoknya yang belum memahami materi maupun permasalahan yang diberikan.

Situasi ini sangat bermanfaat bagi siswa kelompok tinggi karena ketika mereka

Page 179: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-149

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

memberikan penjelasan kepada teman sekelompoknya, mereka berkesempatan

melakukan kegiatan representasi baik secara visual, ekspresi matematik, maupun

dengan kata-kata.

Berdasarkan hasil Uji Scheffe peningkatan kemampuan representasi matematis

siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs pada kelompok bawah dan kelompok

tengah, diketahui bahwa nilai signifikansi untuk perbedaan rerata gain kemampuan

representasinya adalah 0,86. Nilai ini lebih besar dari taraf signifikansi α = 0,05 yang

berbarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan rerata gain

kemampuan representasi siswa kelompok atas dan siswa kelompok bawah. Jika

memperhatikan skor pretes kemampuan representasi matematis kedua kelompok siswa

pada Tabel 2 diketahui bahwa rerata pretes kemampuan representasi matematis siswa

kelompok bawah lebih rendah daripada rerata pretes kemampuan representasi

matematis siswa kelompok tengah. Hal ini berarti bahwa siswa kelompok bawah

memiliki peluang yang lebih besar untuk bisa meningkatkan kemampuan representasi

matematis yang dimiliki. Selain itu, adanya kegiatan kelompok memberikan

kesempatan kepada siswa kelompok bawah untuk belajar dari temannya yang lebih

memahami materi atau tugas (Slavin, 1997).

Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa kelompok atas yang

memperoleh pembelajaran MEAs lebih tinggi daripada siswa kelompok atas yang

memperoleh pembelajaran konvensional. Kondisi ini dimungkinkan terjadi, karena

permasalahan yang diberikan dalam pembelajaran MEAs merupakan permasalahan

yang bersifat open-ended. Permasalahan yang bersifat open-ended merupakan

permasalahan yang cocok untuk siswa dengan kemampuan matematika yang tinggi.

Sedangkan siswa kelompok kontrol hanya memperoleh pembelajaran konvensional

yang didominasi penjelasan oleh guru. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hartanto

(2009) yaitu siswa dengan kemampuan matematika tinggi yang memperoleh

pembelajaran dengan pendekatan open-ended memiliki kemampuan aplikasi

matematika yang lebih baik secara signifikan jika dibandingkan dengan pembelajaran

konvensional.

Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa kelompok tengah yang

memperoleh pembelajaran MEAs lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh

pembelajaran konvensional. Namun, berdasarkan hasil uji perbedaan rerata diperoleh

Page 180: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-150

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

kesimpulan bahwa kedua kelompok siswa tidak memiliki perbedaan rerata peningkatan

kemampuan representasi matematis yang signifikan pada taraf signifikansi 5%.

Berdasarkan hasil pengamatan tidak sistematis selama proses pembelajaran MEAs

diterapkan, dalam kegiatan diskusi kelompok siswa kelompok tengah memperlihatkan

suasana belajar yang tidak begitu dominan. Hanya segelintir siswa yang meminta

bantuan guru ketika menghadapi masalah dalam menyelesaikan permasalahan yang

diberikan. Padahal, pembelajaran MEA memungkinkan guru memberikan bantuan

kepada siswa yang banyak bertanya. Bantuan ini tidak banyak dimanfaatkan oleh siswa

kelompok tengah.

Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa kelompok bawah yang

memperoleh pembelajaran MEAs lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh

pembelajaran konvensional. Berdasarkan hasil uji-t diperoleh kesimpulan bahwa pada α

= 5%, peningkatan tersebut signifikan secara statistik. Faktor pembelajaran yang

menyebabkan hal itu terjadi adalah karena adanya kegiatan diskusi kelompok pada

pembelajaran MEA sedangkan pada pembelajaran konvensional hal tersebut tidak ada.

Kegiatan kelompok memungkinkan adanya interaksi antar siswa. Interaksi antar siswa

disekitar tugas-tugas yang sesuai dapat meningkatkan kualitas siswa tentang konsep-

konsep penting. Selain itu, pada kegiatan kelompok siswa yang berkemampuan rendah

mendapat kesempatan untuk belajar dari temannya yang lebih memahami materi

(Slavin, 1997).

Pada penelitian ini, hal-hal yang mendukung bahwa kemampuan representasi

matematis siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs lebih baik daripada siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional, adalah karena siswa pada kelompok

eksperimen terbiasa membuat model matematis yang merupakan salah satu bentuk

representasi matematis. Hal lainnya adalah karena adanya tahapan pembelajaran

pertanyaan siap siaga dan kegiatan yang menuntut siswa untuk mempresentasikan hasil

kerja dan pemikiran mereka sehingga terjadi proses representasi kata-kata. Tugas MEAs

yang menuntut adanya generalisasi dari model yang siswa sajikan sebagai solusi

permasalahan membuat siswa terbiasa membuat prosedur dan menyajikan prosedur

tersebut dalam rangkaian kata-kata sehingga kemampuan siswa kelompok eksperimen

dalam hal representasi kata-kata menjadi lebih baik. Adanya diskusi kelompok

memfasilitasi terjadinya proses transfer ide dan komunikasi antara sesama anggota

Page 181: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-151

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

kelompok, sesama teman dan dengan guru. Proses ini menuntut siswa untuk

memperbaiki kemampuannya dalam merepresentasikan ide-ide matematika yang

mereka miliki agar dapat lebih mudah dipahami orang lain.

Kelebihan lainnya dari siswa kelompok eksperimen adalah terbiasa

menggunakan prosedur matematis yang telah mereka pelajari untuk diterapkan dalam

menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Siswa juga terbiasa mengaitkan

pengalaman nyata dalam kehidupan sehari dengan konsep matematika yang telah

mereka miliki. Mereka juga berpikir lebih kreatif dan lebih kritis dalam menghakimi

ide-ide serta pemikiran mereka. Siswa kelompok eksperimen lebih berani menanyakan

kepada guru kebenaran ide yang mereka pikirkan. Pembelajaran ini juga membuat siswa

kelompok eksperimen mampu berargumen mempertahankan pendapat dan hasil

pemikiran mereka. Pembelajaran ini juga membuat siswa untuk memeriksa kembali

kebenaran konsep dan ide yang mereka miliki.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kemampuan representasi

matematis kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran Model-Eliciting Activities

(MEAs) lebih baik dari kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

Terdapat perbedaan yang signifikan peningkatan kemampuan representasi antara siswa

kelompok atas, kelompok tengah dan kelompok bawah. Terdapat interaksi antara faktor

pembelajaran dengan kategori kemampuan siswa terhadap peningkatan kemampuan

representasi matematisnya.

Saran

Saran atau rekomendasi yang dapat dikemukakan antara lain pembelajaran Model-

Eliciting Activities (MEAs) dapat dijadikan salah satu alternatif pembelajaran di kelas

karena pembelajaran MEAs dapat menghadirkan tugas yang menantang bagi siswa.

Hanya saja perlu diperhatikan bahwa tidak mudah untuk membuat permasalahan MEAs

dalam tiap topik matematika.

Page 182: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1-152

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

DAFTAR PUSTAKA

Ansari, B.I. (2003). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi

Matematis Siswa SMU Melalui Strategi Think-Talk-Write. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.

Chamberlin, S. A., Moon, S. M. (2005). Model-Eliciting Activities as a Tool to Develop

and Identify Creatively Gifted Mathematicians. Journal of Secondary Gifted Education, Vol. XVII, No. I (pp. 37-47).

Chamberlin, S. A., Moon, S. M. (2008). How Does the Problem Based Learning

Approach Compare to the Model-Eliciting Activity Approach in Mathematics? [Online]. Tersedia: November 2009]

Goldin, A.G. (2002). Representation in Mathematical Learning and Problem Solving.

Dalam English, L.D (Ed.). Handbook of International Research in Mathematics Education. Mahwah NJ: Laurence Erlbaum.

Hake, R.R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. [Online]. Tersedia:

http://www.physics.indiana.edu/~sdi/Analyzingchange-Gain.pdf. [Mei 2010] Hartanto. (2009). Perbandingan Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif dan

Aplikasi Matematika Siswa pada Pembelajaran Open-Ended dengan Konvensional di Sekolah Menengah Pertama. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.

Hudiono, B. (2005). Peran Pembelajaran Diskursus Multi Representasi terhadap

Pengembangan Kemampuan Matematik dan Daya Representasi pada Siswa SLTP. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.

Hutagaol, K. (2007). Pembelajaran Matematika Kontekstual untuk Meningkatkan

Kemampuan Representasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis. UPI: Tidak diterbitkan.

Lindawati, S. (2010). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis. UPI: Tidak diterbitkan.

Nursyam, S. Z. (2008). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Geometri dan

Representasi Matematik Siswa Melalui Pembelajaran yang Menekankan Representasi Matematik. Tesis. UPI: Tidak diterbitkan.

Slavin, R. E. 1997. Educational Psycology : Theory, and Practice. Fifth edition.

Massachusetts : Allyn and Bacon Publisher. Sullivan, P. (1992). Open-Ended Questions, Mathematics Investigations and The Role

of The Teacher. In M. Horne, dan M. Supple. (Eds.). Mathematics: Meeting the Challenge. Victoria: The Mathematics Association of Victoria Clivelen.

Page 183: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 153

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA

Nurhanurawati1

1Jurusan Pendidikan MIPA FKIP Universitas Lampung

ABSTRAK

Matematika masih merupakan pelajaran yang sulit bagi siswa. Siswa kelas X5 SMAN 7 Bandar Lampung yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 60 pada ulangan harian I semester ganjil tahun pelajaran 2009/2010 sebesar 41,94%. Saat pembelajaran di kelas siswa kurang aktif, ditandai dengan siswa malas bertanya. Bila ditanya, hanya sedikit dan siswa tertentu saja yang memberikan jawaban. Disamping itu motivasi belajar siswa kurang ditandai dengan siswa kurang ulet dan kurang tekun dalam mengerjakan soal latihan, materi yang dibahas hanya terkait pada simbol dan rumus-rumus, kurangnya penguatan dari guru terhadap siswa yang mengerjakan tugas. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan aktivitas, motivasi, dan hasil belajar matematika siswa.

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada siswa kelas X5 SMAN 7 Bandar Lampung semester ganjil tahun pelajaran 2009/2010. Jumlah siswa adalah 31 orang, 11 orang siswa laki-laki dan 20 orang siswa perempuan. Materi pelajaran pada penelitian ini adalah fungsi, persamaan dan pertidaksaman kuadrat. Faktor yang diteliti dalam penelitian ini adalah aktivitas dan hasil belajar matematika siswa. Data dikumpulkan melalui observasi, angket, tes, dan catatan lapangan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan aktivitas, motivasi,dan hasil belajar siswa X5 SMAN 7 Bandar Lampung.

Kata Kunci: Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD, Hasil Belajar, Aktivitas Belajar

PENDAHULUAN

Matematika disajikan sebagai matematika sekolah untuk membekali siswa agar

memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, sehingga

matematika sangat penting untuk dipahami dengan baik. Namun matematika masih

merupakan pelajaran yang sulit bagi siswa. Rata-rata perolehan nilai ulangan harian I

siswa kelas X5 pada semester ganjil tahun pelajaran 2009/2010 adalah 46,21. Siswa

yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 60 sebanyak 13 orang dari 31 orang

atau sebesar 41,94 persen, dibawah batas kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan

sekolah yaitu 75% siswa memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 60. Pada proses

pembelajaran di kelas siswa kurang aktif dalam belajar. Ini dapat dilihat dari siswa yang

Page 184: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 154

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

malas bertanya, dan bila ditanya sedikit pula yang memberikan jawaban, terbatas pada

siswa tertentu saja. Disamping itu terlihat kurangnya motivasi belajar siswa seperti

siswa kurang ulet dan kurang tekun dalam mengerjakan soal latihan, materi yang

dibahas hanya terkait pada simbol dan rumus-rumus, kurangnya penguatan dari guru

terhadap siswa yang mengerjakan tugas. Padahal agar dapat memahami materi pelajaran

dengan baik, siswa harus memiliki motivasi dan aktif ikut serta dalam proses

pembelajaran.

Untuk lebih meningkatkan aktivitas belajar siswa dapat digunakan pembelajaran

kooperatif. Belajar kooperatif didasarkan pada aliran konstruktivisme (Nur, Wikandari,

Sugiarto, 1999:3) yang menekankan bahwa pengetahuan seseorang merupakan hasil

konstruksi (bentukan) individu itu sendiri setelah melewati berbagai pengalaman

(Pannen dkk, 2001:127). Menurut As’ari (2000:1) di dalam belajar kooperatif, siswa

tidak hanya dituntut untuk secara individual berupaya mencapai sukses atau berusaha

mengalahkan rekan mereka, melainkan dituntut dapat bekerjasama untuk mencapai hasil

bersama, aspek sosial sangat menonjol dan siswa dituntut untuk bertanggung jawab

terhadap keberhasilan kelompoknya. Dengan belajar kooperatif, siswa yang terbentur

pada suatu masalah, dapat bertanya pada temannya tanpa rasa malu, dibandingkan jika

ia harus bertanya secara langsung pada guru. Hal ini akan meningkatkan motivasi siswa

dalam belajar sehingga dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai materi

yang dipelajari dengan cara mencari, menemukan dan mengembangkan konsep tersebut

secara berkelompok.

Ide utama yang mendasari model belajar kooperatif tipe STAD adalah

memotivasi siswa untuk ikut serta dan membantu satu sama lain dalam menuntaskan

keahlian yang disajikan oleh pengajar (Slavin,1995:6). Menurut Slavin (1995:71-73),

melaksanakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD memiliki beberapa tahapan

sebagai berikut. (1) Penyajian Materi; menggunakan pengajaran langsung atau diskusi

pelajaran yang dipimpin oleh guru. Pada penyajian materi siswa harus memperhatikan

secara baik, karena dengan demikian akan membantu mereka dalam melaksanakan tes,

dan skor tes mereka menentukan skor kelompok; (2) Belajar Kelompok; Pada tahap ini

siswa diberi LKS untuk memantapkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran

berupa latihan soal. Siswa harus mengerjakan setiap soal secara bersama. Kelompok

terdiri dari empat atau lima anggota dengan memperhatikan perbedaan kemampuan,

Page 185: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 155

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

jenis kelamin, ras, atau etnisnya. Setiap anggota kelompok harus bertanggung jawab

atas keberhasilan kelompok mereka. Keberhasilan dan kegagalan anggota kelompok

akan sangat mempengaruhi kesuksesan kelompok; (3) Kuis (tes); Setelah melaksanakan

satu atau dua kali penyajian dan satu atau dua kali kegiatan kelompok, siswa diberi tes

secara individual, tidak dibolehkan membantu satu sama lain selama tes; (4) Poin

Peningkatan Individual; memberikan siswa sasaran yang dapat dicapai jika mereka

bekerja lebih giat dan memperlihatkan prestasi yang lebih baik dibandingkan dengan

yang telah dicapai sebelumnya. Setiap siswa dapat menyumbangkan poin maksimum

untuk kelompoknya. Setiap siswa diberi skor dasar yang diperoleh dari rata-rata prestasi

siswa pada tes sebelumnya. Hasil tes setiap siswa diberi poin peningkatan yang

ditentukan berdasarkan selisih perolehan skor tes terdahulu (skor dasar) dengan skor tes

terakhir. Kriteria pemberian poin peningkatan dapat dilihat pada tabel 2.1 yang dapat

dimodifikasi sesuai keadaan di lapangan.

Tabel 1. Penghitungan Poin Peningkatan Individual

Skor Tes Akhir Poin Peningkatan

Lebih dari 10 poin dibawah skor dasar

10 poin hingga 1 poin dibawah skor dasar

skor dasar hingga 10 poin diatas skor dasar

lebih dari 10 poin diatas skor dasar

nilai sempurna (tidak berdasarkan skor dasar)

0

10

20

30

30

(Sumber: Slavin, 1995:80)

(5) Penghargaan Kelompok; Penghargaan kelompok didasarkan pada poin peningkatan

kelompok. Untuk menentukan poin peningkatan kelompok digunakan rumus berikut.

(Slavin, 1995:82).

Nk = kelompok anggota banyaknya

kelompokanggota setiapn peningkata jumlah poin

Nk = poin peningkatan kelompok

Kelompok yang memperoleh poin berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan berhak

memperoleh penghargaan. Berdasarkan poin peningkatan kelompok, terdapat tiga

tingkat penghargaan kelompok yang diberikan seperti pada tabel 2.

Page 186: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 156

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 2. Tingkat Penghargaan Kelompok

Poin Peningkatan Kelompok Penghargaan

0 ≤ X ≤ 10

10 < X ≤ 20

20 < X ≤ 30

Baik

Hebat

Super

(Sumber: Slavin, 1995:81)

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan aktivitas, motivasi, dan hasil belajar

matematika siswa kelas X5 SMAN 7 Bandar Lampung semester ganjil tahun pelajaran

2009/2010. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan bermanfaat: (1) memberikan

sumbangan informasi kepada guru tentang pembelajaran kooperatif yang dapat

diterapkan untuk mengoptimalkan aktivitas, motivasi, dan hasil belajar siswa, (2) dapat

meningkatkan aktivitas, motivasi, dan hasil belajar siswa serta memberikan suasana

baru dalam pembelajaran matematika.

METODE PENELITIAN

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada siswa kelas X5 SMAN 7 Bandar

Lampung semester ganjil tahun pelajaran 2009/2010. Jumlah siswa adalah 31 orang

yang terdiri dari 11 orang siswa laki-laki dan 20 orang siswa perempuan. Materi

pelajaran pada penelitian ini adalah fungsi, persamaan dan pertidaksaman kuadrat.

Tingkat kemampuan belajar subyek penelitian ini bervariasi, ada yang berkemampuan

rendah, sedang, dan tinggi. Faktor yang diteliti dalam penelitian ini adalah aktivitas,

motivasi, dan hasil belajar matematika siswa kelas X5 SMAN 7 Bandar Lampung

semester ganjil tahun pelajaran 2009/2010. Pembelajaran dilaksanakan oleh guru

matematika berdasarkan skenario pembelajaran yang disusun oleh peneliti. Peneliti

bertindak sebagai observer.

Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah melalui observasi, angket, tes,

dan catatan lapangan. Aktivitas yang diobservasi yaitu: (1) Memperhatikan penjelasan

guru, (2) Bertanya atau menjawab pertanyaan dari guru, (3) Mengerjakan LKS, (4)

Berdiskusi antara siswa dalam kelompok, (5) Mempresentasikan hasil diskusi atau

memperhatikan presentasi hasil diskusi kelompok lain. Angket diberikan kepada siswa

Page 187: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 157

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

untuk mendapatkan data motivasi belajar siswa baik intrinsik maupun ekstrinsik.

Angket terdiri dari 30 item dengan indikator (1) keinginan untuk mencapai sukses, (2)

keterkaitan materi dengan keinginan siswa maupun dengan kehidupan sehari-hari, (3)

Keyakinan diri siswa/percaya diri, (4) Pujian ataupun hukuman dari guru, (5) Kepuasan,

ketekunan dan keuletan dalam belajar.

Penelitian ini terdiri dari tiga siklus: (1) Siklus I dilaksanakan dalam 3 kali

pertemuan, membahas materi tentang fungsi kuadrat dan menggambar grafiknya; (2)

Siklus II dilaksanakan dalam 3 kali pertemuan, membahas materi tentang akar-akar

persamaan kuadrat, rumus jumlah dan hasil kali akar-akar persamaan kuadrat; (3) Siklus

III dilaksanakan dalam 3 pertemuan, membahas materi tentang menyusun persamaan

kuadrat yang akar-akarnya diketahui dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan

fungsi kuadrat dan persamaan kuadrat. Adapun tiap siklusnya terdiri dari perencanaan,

pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Indikator keberhasilan yang diharapkan dalam

penelitian ini adalah (1) persentase siswa aktif mencapai 75%, (2) persentase siswa yang

memiliki motivasi tinggi mencapai 75%, dan (3) persentase siswa yang tuntas belajar

mencapai 75%.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Setelah dilakukan observasi selama pembelajaran kooperatif tipe STAD dan dilakukan

perhitungan diperoleh data persentase siswa yang aktif pada tabel 3.

Tabel 3. Data Aktivitas Siswa

Siklus Banyak siswa

aktif

Persentase Siswa Aktif Peningkatan Persentase Siswa

Aktif

I 18 58,06

II 21 67,74 9,68

III 30 83,87 16,13

Angket diberikan kepada siswa setiap akhir siklus. Setelah dihitung, persentase siswa

yang memiliki motivasi tinggi (dengan nilai 76 - 100) disajikan pada tabel 4.

Page 188: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 158

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 4. Data Siswa Yang Memliliki Motivasi Tinggi

Siklus Banyak Siswa Persentase Banyak

Siswa

Peningkatan Persentase

I 15 48,39

II 19 61,29 12,90

III 28 90,32 29,03

Adapun data hasil belajar siswa diperoleh dari hasil tes pada setiap siklus. Setelah

dilakukan perhitungan diperoleh data tentang hasil belajar siswa pada tabel 4.

Tabel 5. Persentase Siswa Tuntas

Siklus Banyak Siswa

Tuntas

Persentase Siswa

Tuntas

Peningkatan Persentase Siswa

Tuntas

I 16 51,61

II 22 70,97 19,36

III 26 83,87 12,90

PEMBAHASAN, SIMPULAN, SARAN

Berdasarkan hasil perhitungan aktivitas siswa selama proses pembelajaran siklus

I, rata-rata persentase siswa aktif adalah 58,06%, Persentase tersebut menggambarkan

bahwa pada pertemuan tersebut hanya sedikit siswa yang aktif dalam proses

pembelajaran. Dari catatan lapangan diketahui bahwa selama pembelajaran siswa masih

terpaku pada mendengarkan penjelasan guru dan mengerjakan LKS. Masih banyak

Page 189: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 159

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

siswa yang tidak bertanya maupun menjawab pertanyaan guru, belum berdiskusi dengan

aktif didalam kelompoknya. Ketuntasan belajar siswa pada siklus I adalah 51,61%

dengan siswa yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 60 sebanyak 16 orang

dari 31 siswa yang mengikuti tes. Motivasi belajar siswapun rendah. Siswa yeng

memiliki motivasi tinggi hanya 48,39%.

Aktivitas siswa selama proses pembelajaran dari siklus I ke siklus II mengalami

peningkatan sebesar 9,68%. Beberapa siswa berani mengajukan pertanyaan kepada guru

dan bekerjasama dengan teman. Dalam pembelajaran terlihat bahwa siswa lebih tertib

dalam menjalankan diskusi kelompok. Siswa pun lebih memperhatikan dan lebih berani

untuk menanggapi dalam kegiatan presentasi. Ketuntasan belajar siswa terlihat

meningkat bila dibandingkan dengan siklus I sebesar 19,36%. Hasil ini didukung oleh

motivasi belajar siswa yang mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II menjadi

61,29%. Penghargaan yang diberikan kepada kelompok pada akhir siklus I membuat

siswa memiliki keinginan untuk meraih keberhasilan seperti yang diperoleh oleh

kelompok lain. Meskipun sudah mengalami peningkatan, penelitian masih dilanjutkan

karena persentase siswa yang tuntas belajar baru mencapai 70,96% belum mencapai

KKM yang ditetapkan sekolah.

Pada siklus III rata-rata persentasi siswa yang aktif adalah sebesar 83,87%.

Pemantauan terhadap kegiatan diskusi kelompok yang lebih intensif membuat diskusi

kelompok yang berjalan lebih baik. Kebiasaan berdiskusi membuat siswa berani

bertanya dan menjawab pertanyaan guru. Persentase siswa yang memiliki motivasi

tinggi meningkat 29,03% menjadi 90,32%. Keinginan siswa untuk memperoleh hasil

yang lebih baik dari sebelumnya begitu kuat. Pujian dari guru membuat siswa lebih

memiliki rasa percaya diri dan ulet dalam belajar. Hal-hal tersebut di atas berdampak

pada tingkat ketuntasan belajar siswa. Tingkat ketuntasan belajar pada siklus III adalah

26 orang siswa dari 31 siswa yang hadir telah memperoleh nilai lebih dari atau sama

dengan 60 atau sebesar 83,87%. Dorongan yang diberikan oleh guru untuk

mempersiapkan diri lebih awal membuat siswa lebih siap dalam menghadapi ujian akhir

siklus III. Namun demikian masih ada beberapa siswa yang belum tuntas belajar (nilai

Page 190: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 160

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

tidak mencapai 60). Menurut siswa ini disebabkan karena mereka kurang

mempersiapkan diri. Ada juga yang sedang mengalami masalah dengan kesehatan.

Dibandingkan dengan keadaan sebelum penelitian, hasil diatas menunjuk-kan

bahwa pembelajaran kooperatif tipe STAD ternyata meningkatkan aktivitas, motivasi,

dan hasil belajar siswa. Adanya belajar kelompok membahas LKS menyebabkan siswa

lebih aktif dan lebih memahami pelajaran. Sesuai pendapat Hudojo (1988:105) yang

menyatakan bahwa agar kegiatan mengajar belajar matematika memungkinkan transfer

belajar secara optimal maka setelah pengertian, peserta didik perlu diberi latihan yang

cukup agar mendapat kesempatan mengorganisasikan kembali atau menstruktur kembali

pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan konsep atau teori itu. Demikian

juga Piaget dalam Suparno (1997:144) menyatakan bahwa pengetahuan baru yang telah

dikonstruksikan perlu dilatih dengan pengulangan agar semakin berarti dan tertanam.

Jadi dengan mengerjakan soal latihan, pengetahuan yang baru diterima akan tertanam

dalam benak peserta didik. Demikian pula adanya penghargaan kelompok mendorong

siswa belajar lebig giat untuk memperoleh penghargaan yang sama. Jadi penghargaan

kelompok meningkatkan motivasi belajar siswa.

Siswa yang berkemampuan rendah pada awalnya cenderung diam, jarang

bertanya, apalagi mengemukakan pendapat. Hal ini dapat terjadi karena ia merasa

bahwa gagasan yang akan diberikan akan diabaikan oleh teman dalam kelompoknya. Ini

bisa jadi merupakan salah satu kelemahan tersembunyi dari belajar kooperatif adalah

adanya efek “free rider”, yaitu beberapa anggota kelompok mengerjakan tugas (dan

belajar) sementara yang lainnya santai saja (Slavin, 1995:19). Efek free rider ini dapat

diatasi dengan mengingatkan siswa tersebut harus memiliki rasa tanggung jawab

individual terhadap kelompoknya.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa

penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan aktivitas, motivasi,

dan hasil belajar siswa kelas X-5 SMAN 7 Bandarlampung,

Page 191: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

1 - 161

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

DAFTAR PUSTAKA

As’ari, A.R. 2000. Mengapa Perlu Penelitian Tindakan?. Makalah disajikan dalam pelatihan Action Research Tingkat Nasional. Jakarta, 20 Februari -2 Maret.

Dees, R.L 1991. The Role of Cooperatif Learning in Increasing Problem Solving Ability in a Collegue Remedial Course. Journal for Research in Mathematics Education.

Eggen, P.D. & Kauchak, P.P. 1996. Strategies for Teacher: Teaching Content and Thinking Skill. Boston : Allyn & Bacon.

Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.

Johnson, D.W. & Johnson, R. 1991. Learning Together and Alone. Cooperative, Competitive, and Individualistic Learning. Boston: Allyn and Bacon.

Lonning, R.A. 1993. “Effect of Cooperative LearningStrategies on Student verbal Interaction and Achievement During Conceptual Change Instruction In 10th Grade General Science.” Journal of Research in Science Teaching. 30(9): 1087-1101.

Nur, M. & Wikandari, P.R. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis Dalam Pengajaran. Surabaya: Unesa.

Pannen,P., dkk. 2001. Konstruktivisme Dalam Pembelajaran. Jakarta: PAU Depdiknas.

Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research and Practice. Boston: Allyn and Bacon.

Skemp, R.R.. 1987. The Psychology of Learning Mathematics. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher

Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius

Page 192: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-1

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

SCIENCE LITERACY CAPABILITIES OF JAKARTA’S SENIOR HIGH SCHOOL TEACHERSS OF BIOLOGY IN LEARNING EVOLUTION

Amirullah, Gufron1, Sudargo, Fransisca2 1Prodi Pendidikan Biologi UHAMKA Jakarta, 2Prodi Pendidikan IPA SPs UPI Bandung

Abstract

Study aimed to determine the literacy of science capabilities of teachers engaged in learning evolution in senior high school in the Jakarta area. Method used here is descriptive qualitative method. The subject of this research is 15 Senior High School teachers from South Jakarta district, (2 teachers from state owned school (public school) with grade A national school accreditation, 12 teachers from private school have grade A, and a teacher from private school with grade B) and 11 teachers from East Jakarta district ( 8 teachers from public school and 3 teachers from private school; all have A grade). Result of the research showed that percentage raised for science literacy of high school biology teachers in evolution instruction is 70%, categorized as good; the percentage of content capabilities is 76% also categorized as good, meanwhile instruction process got 57% percentage with category is quite good, At last for evolution instruction context showed categorized as good. Key words: teacher of biology, science literacy, learning evolution.

PENDAHULUAN

Literasi sains atau scientific literacy didefinisikan Programme for International

Student Assessment (PISA) sebagai kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah,

mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan dan untuk menarik kesimpulan berdasarkan

bukti-bukti agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan tentang dunia

alami dan interaksi manusia dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam

melalui aktivitas manusia (oecd, 2003).

Guru biologi harus dapat memahami literasi sains dalam pembelajaran evolusi

yaitu guru dapat memahami konsep-konsep, hukum-hukum, dan teori-teori serta

penerapannya secara fleksibel, lalu kemampuan dalam dimensi proses mengenai

pertanyaan ilmiah, mengidentifikasi bukti, menarik kesimpulan, mengkomunikasikan

kesimpulan, dan menunjukkan pemahaman konsep ilmiah. Serta konteks literasi sains

ditekankan pada kehidupan sehari-hari sebagaimana bentuk-bentuk literasi lainnya,

konteks melibatkan isu-isu yang penting dalam kehidupan secara umum seperti juga

Page 193: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-2

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

terhadap kepedulian pribadi (Firman, 2007). Pengukuran literasi sains tidak hanya

berorientasi pada penguasaan materi sains, akan tetapi juga pada penguasaan kecakapan

hidup, kemampuan berpikir, dan kemampuan dalam melakukan proses-proses sains

pada kehidupan nyata (Wulan, 2009).

Berdasarkan penelitian Dwi (2010) pada sejumlah guru biologi di kota malang

dan luar kota malang, bahwa penyebab terjadinya kendala-kendala dalam pembelajaran

teori evolusi, juga disebabkan masih banyaknya guru yang kurang menguasai konsep

teori evolusi, miskonsepsi terhadap teori evolusi, standar kompetensi dan kompetensi

dasar yang termuat dalam standar isi dan SKL yang belum dapat mengakomodasi

konsep teori evolusi yang diharapkan, materi yang diajarkan masih belum menggunakan

pendekatan-pendekatan keilmuan yang dapat mendukung pemahaman teori evolusi

yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini.

Menurut Diah et al (2007) evolusi merupakan suatu proses yang panjang dan

tidak dapat langsung dibuktikan di laboratorium. Namun, ada fakta-fakta evolusi yang

dapat menjadi bukti evolusi memang terjadi. Fakta-fakta tersebut meliputi fakta

langsung yakin adanya variasi makhluk hidup, dan adanya fosil. Maupun tidak langsung

yang dapat menjadi bukti-bukti adanya evolusi yakni kajian biogeografi, paleontology,

homologi (perbandingan struktur) anatomi, homologi (perbandingan struktur) molekul,

dan homologi (perbandingan struktur) embriologi. Menurut Ammi (2007) bahwa

evolusi biologi telah meninggalkan tanda-tanda yang dapat teramati, yang merupakan

bukti pengaruhnya pada masa lalu dan sekarang. Bukti-bukti ini dapat dirunut dari bukti

paleontologi, bukti taksonomi, bukti anatomi perbandingan, bukti embriologi

perbandingan, bukti dari biokimia perbandingan dan bukti dari fisiologi perbandingan.

Arikel ini memaparkan tentang Kemampuan Literasi Sains Guru Sekolah

Menengah Atas dalam Pembelajaran Evolusi di Wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta

Timur.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Populasi dalam

penelitian ini mencakup guru biologi yang mengajar di Sekolah Menengah Atas di

wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur yakni 104 sekolah. Guru yang dijadikan

sampel adalah guru bidang studi biologi yang sedang mengikuti kegiatan Pendidikan

Page 194: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-3

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

dan Latihan Profesi Guru (PLGP) Kementerian Pendidikan Nasional RI yang

dilaksanakan oleh Rayon 137 UHAMKA sebanyak 30 peserta. Sampel SMA dari

Jakarta Selatan terdiri dari 2 sekolah negeri terakreditasi A, 12 sekolah swasta

terakreditasi A, dan sekolah swasta terakreditasi B. Sedangkan sampel dari Jakarta

Timur terdiri dari 8 sekolah negeri terakreditasi A dan 3 sekolah swasta terakreditasi A.

Penelitian ini di laksanakan pada bulan Juni sampai dengan bulan Juli 2011.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan pemberian kuesioner

(angket). Instrumen penelitian literasi sains guru biologi Sekolah Menengah Atas dalam

pembelajaran evolusi di wilayah DKI Jakarta Khususnya Jakarta Selatan dan Jakarta

Timur, terdiri dari 20 butir instrumen yakni 10 butir instrumen dimensi konten literasi

sains, 5 butir instrumen dimensi proses literasi sains, dan 5 butir instrumen dimensi

konteks.

Teknik analisis data adalah statistik deskriptif. Skor responden untuk setiap

pernyataan dijumlahkan, kemudian dijumlahkan oleh banyaknya pernyataan yang

diajukan (20 butir). Selanjutnya skor tersebut dikonsultasikan pada skala Guttman.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Literasi Sains

Literasi sains guru biologi dalam pembelajaran evolusi secara umum yang

diperoleh dari 30 responden guru biologi sekolah menengah atas, dengan 20 butir

instrumen yang terdapat pernyatan positif (+) jawaban benar (B) skor 1, jawaban salah

(S) skor 0 dan sebaliknya pernyataan negatif (-) jawaban benar (B) skor 0, jawaban

salah (S) skor 1, dengan demikian didapatkan hasil perhitungan yakni persentasenya

adalah 70%. Jadi berdasarkan data itu maka tingkat kebenaran menjawab butir

instrumen literasi sains dalam pembelajaran evolusi yakni, 70% dari yang diharapkan

100% benar menjawab butir instrumen.

Dimensi Konten Literasi Sains

Dimensi konten literasi sains guru biologi dalam pembelajaran evolusi

berdasarkan data yang di peroleh dari 30 responden guru biologi, jumlah skor yang di

peroleh dari 10 butir instrumen yang terdapat pernyatan positif (+) jawaban benar (B)

skor 1, jawaban salah (S) skor 0 dan sebaliknya pernyataan negatif (-) jawaban benar

Page 195: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-4

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

(B) skor 0, jawaban salah (S) skor 1, yakni nomor instrumen (1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 15

dan 17). Dengan demikian didapatkan hasil perhitungan yakni persentasenya adalah

76%. Jadi berdasarkan data itu maka tingkat kebenaran menjawab butir instrumen

dimensi konten literasi sains dalam pembelajaran evolusi yakni, 76% dari yang

diharapkan 100% benar menjawab butir instrumen.

Dimensi Proses Literasi Sains

Dimensi proses literasi sains guru biologi dalam pembelajaran evolusi

berdasarkan data yang di peroleh dari 30 responden guru biologi, jumlah skor yang di

peroleh dari 5 butir instrumen yang terdapat pernyatan positif (+) jawaban benar (B)

skor 1, jawaban salah (S) skor 0 dan sebaliknya pernyataan negatif (-) jawaban benar

(B) skor 0, jawaban salah (S) skor 1, yakni nomor instrumen (3, 11, 12, 13, dan 14).

Dengan demikian didapatkan hasil perhitungan yakni persentasenya adalah 57%. Jadi

berdasarkan data itu maka tingkat kebenaran menjawab butir instrumen dimensi konten

literasi sains dalam pembelajaran evolusi yakni, 57% dari yang diharapkan 100% benar

menjawab butir instrumen.

Dimensi Konteks Literasi Sains

Dimensi konteks literasi sains guru biologi dalam pembelajaran evolusi

berdasarkan data yang di peroleh dari 30 responden guru biologi, jumlah skor yang di

peroleh dari 5 butir instrumen yang terdapat pernyatan positif (+) jawaban benar (B)

skor 1, jawaban salah (S) skor 0 dan sebaliknya pernyataan negatif (-) jawaban benar

(B) skor 0, jawaban salah (S) skor 1, yakni nomor instrumen (10, 16, 18, 19, dan 20)

Dengan demikian didapatkan hasil perhitungan yakni persentasenya adalah 77%. Jadi

berdasarkan data itu maka tingkat kebenaran menjawab butir instrumen dimensi konten

literasi sains dalam pembelajaran evolusi yakni, 77% dari yang diharapkan 100% benar

menjawab butir instrumen.

Literasi sains berdasarkan wilayah kerja

Literasi sains guru Biologi sekolah menengah atas dalam pembelajaran evolusi

di wilayah Jakarta Selatan, yang diperoleh dari 19 responden guru biologi sekolah

menengah atas dengan 20 butir instrumen. Dengan demikian didapatkan hasil dari

persentasenya yakni secara umum literasi sains 71%, dimensi konten 77%, dimensi

Page 196: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-5

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

proses 57%, dan dimensi konteks 79%. Kemudian literasi sains guru Biologi sekolah

menengah atas dalam pembelajaran evolusi di wilayah Jakarta Timur, yang diperoleh

dari 11 responden guru biologi sekolah menengah atas dengan 20 butir instrumen.

Dengan demikian didapatkan hasil dari persentasenya yakni secara umum literasi sains

69%, dimensi konten 75%, dimensi proses 56%, dan dimensi konteks 75%.

Literasi sains berdasarkan asal sekolah

Literasi sains guru Biologi sekolah menengah atas negeri dalam

pembelajaran evolusi di wilayah Jakarta Selatan, yang diperoleh dari 10 responden guru

biologi sekolah menengah atas negeri dengan 20 butir instrumen. Dengan demikian

didapatkan hasil dari persentasenya yakni secara umum literasi sains 68%, dimensi

konten 75%, dimensi proses 56%, dan dimensi konteks 74%. Kemudian literasi sains

guru Biologi sekolah menengah atas swasta dalam pembelajaran evolusi di wilayah

Jakarta Timur, yang diperoleh dari 20 responden guru biologi sekolah menengah atas

swasta dengan 20 butir instrumen. Dengan demikian didapatkan hasil dari

persentasenya yakni secara umum literasi sains 71%, dimensi konten 77%, dimensi

proses 57%, dan dimensi konteks 79%.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kemampuan literasi sains pada guru biologi sekolah menengah atas dalam

pembelajaran evolusi adalah berupa menilai pemahaman terhadap hakekat sains sebagai

produk (prinsip, teori, hukum – hukum sains) dan proses (penyelidikan ilmiah) serta

penerapannya dalam kehidupan sehari – hari. Salah satu cara kemampuan mengungkap

pengetahuan sains dengan benar, relevan dengan permasalahan, yang dilakukan peneliti

untuk mengetahui penguasaan literasi guru biologi yaitu guru biologi menjawab

pernyataan tentang evolusi dalam instrumen literasi sains guru biologi sekolah

menengah atas dengan pilihan yang tersedia, dengan demikian diharapkan guru biologi

dapat menunjukan penguasaan tentang materi evolusi yang mereka ketahui.

Berdasarkan hasil dapat diketahui bahwa kemampuan guru biologi pada literasi

sains yang diperoleh dari 30 responden maka rata-rata persentase yakni 70% dalam

menjawab butir instrumen 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19,

dan 20 dengan persentase 70% dari yang diharapkan 100% benar menjawab butir

Page 197: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-6

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

instrumen. Dasar dari pengambilan keputusan ini dapat dilihat dari hasil jawaban

kousioner atau angket yang disebar kepada guru-guru biologi. Hasil persentase

perhitungan pada instrumen dimensi konten yang di peroleh dengan persentase 70%

dapat di kategorikan sebagian besar guru biologi dimensi konten literasi sains dalam

pembelajaran evolusi yaitu baik.

Kemampuan literasi sains pada dimensi konten yang menjadi kriteria penilaian

guru biologi dalam pembelajaran evolusi adalah kemampuan mengungkap pengetahuan

sains dengan benar, relevan dengan permasalahan, dan mengungkap secara mendalam.

Salah satu cara kemampuan mengungkap pengetahuan sains dengan benar, relevan

dengan permasalahan, yang dilakukan peneliti untuk mengetahui penguasaan konten

guru biologi yaitu guru biologi menjawab pernyataan tentang evolusi dalam instrumen

literasi sains guru biologi sekolah menengah atas dengan pilihan yang tersedia, dengan

demikian diharapkan guru biologi dapat menunjukan penguasaan tentang materi evolusi

yang mereka ketahui.

Kemampuan guru biologi pada dimensi konten yang diperoleh dari 30 responden

maka rata-rata persentase yakni 76% dalam menjawab butir instrumen 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8,

9, 15, dan 17 dengan persentase 76% dari yang diharapkan 100% benar menjawab butir

instrumen. Dasar dari pengambilan keputusan ini dapat dilihat dari hasil jawaban

kousioner atau angket yang disebar kepada guru-guru biologi. Hasil persentase

perhitungan pada instrumen dimensi konten yang di peroleh dengan persentase 76%

dapat di kategorikan sebagian besar guru biologi dimensi konten literasi sains dalam

pembelajaran evolusi yaitu baik.

Gambar 1. Persentase Hasil Penilaian Guru Biologi pada Dimensi Kontendalam Pembelajaran Evolusi

Page 198: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-7

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Kemampuan literasi sains pada dimensi proses yang menjadi kriteria penilaian

guru biologi dalam pembelajaran evolusi adalah pengetahuan faktual dan prosedural,

pemahaman konseptual, penalaran dan analisis. Salah satu cara yang dilakukan peneliti

untuk mengetahui penguasaan dimensi proses guru biologi yaitu guru biologi menjawab

pernyataan tentang evolusi dalam instrumen literasi sains guru biologi sekolah

menengah atas dengan pilihan yang tersedia, dengan demikian diharapkan guru biologi

dapat menunjukan penguasaan dimensi proses tentang materi evolusi yang mereka

ketahui.

Sedangkan kemampuan guru biologi pada dimensi proses yang diperoleh dari 30

responden maka rata-rata persentase yakni 57% dalam menjawab butir instrumen 3, 11,

12, 13 dan 14 dengan persentase 57% dari yang diharapkan 100% benar menjawab butir

instrumen. Dasar dari pengambilan keputusan ini dapat dilihat dari hasil jawaban

kuesioner atau angket yang disebar kepada guru-guru biologi. Hasil persentase

perhitungan pada instrumen dimensi proses yang di peroleh dengan persentase 57%

dapat di kategorikan sebagian besar guru biologi dimensi konten literasi sains dalam

pembelajaran evolusi yaitu cukup baik.

Gambar 2. Persentase Hasil Penilaian Guru Biologi pada Dimensi Proses

dalam Pembelajaran Evolusi

Kemampuan literasi sains pada dimensi konteks yang menjadi kriteria

penilaian guru biologi dalam pembelajaran evolusi adalah melibatkan isu-isu yang

terpenting dalam kehidupan secara umum seperti juga kepedulian pribadi. Salah satu

cara yang dilakukan peneliti untuk mengetahui penguasaan dimensi konteks guru

biologi yaitu guru biologi menjawab pernyataan tentang evolusi dalam instrumen

Page 199: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-8

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

literasi sains guru biologi sekolah menengah atas dengan pilihan yang tersedia, dengan

demikian diharapkan guru biologi dapat menunjukan penguasaan dimensi konteks

tentang materi evolusi yang mereka ketahui.

Kemampuan guru biologi pada dimensi konteks yang diperoleh dari 30

responden maka rata-rata persentase 77% dalam menjawab butir instrumen 10, 16, 18,

19 dan 20 dengan prensentasi 77% dari yang diharapkan 100% benar menjawab butir

instrumen. Dasar dari pengambilan keputusan ini dapat dilihat dari hasil jawaban

kuesioner atau angket yang disebar kepada guru-guru biologi. Hasil persentase

perhitungan pada instrumen dimensi konteks yang di peroleh dengan persentase 77%

dapat di kategorikan sebagian besar guru biologi dimensi konten literasi sains dalam

pembelajaran evolusi yaitu baik.

.

Gambar 3. Persentase Hasil Penilaian Guru Biologi pada Dimensi Konteks

dalam Pembelajaran Evolusi

Kemampuan literasi sains guru biologi berdasarkan wilayah kerja yang menjadi

perbedaan wilayah yakni Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, dengan demikian apakah

ada perbedaan literasi sains guru biologi sekolah menengah atas berdasarkan wilayah

kerjanya.

Berdasarkan tabel 2. wilayah Jakarta Selatan yakni dimensi konten

persentasenya 77% kategori baik, dimensi proses persentasenya 57% kategori cukup

baik, dimensi konteks persentasenya 79 % kategori baik dan rata-rata dari persentase

tersebut adalah 71%, maka dapat dikategorikan bahwa literasi sains guru biologi dalam

pembelajaran evolusi wilayah Jakarta Selatan yakni ketegori baik. Sedangkan pada

wilayah Jakarta Timur yakni dimensi konten persentasenya 75% kategori baik, dimensi

proses persentasenya 56% kategori cukup baik, dimensi konteks persentasenya 75 %

Page 200: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-9

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

kategori baik dan rata-rata dari persentase tersebut adalah 69%, maka dapat

dikategorikan bahwa literasi sains guru biologi dalam pembelajaran evolusi wilayah

Jakarta Timur yakni ketegori baik. Demikian berdasarkan perbedaan wilayah kerja tidak

terdapat perbedaan penguasaan literasi sains guru biologi sekolah menengah atas dalam

pembelajaran evolusi.

Kemampuan literasi sains guru biologi berdasarkan asal sekolah yang menjadi

perbedaan yakni Negeri dan Swasta. Kemudian apakah ada perbedaan literasi sains guru

biologi Sekolah Menengah Atas berdasarkan asal sekolah. Berdasarkan hasil penelitian,

. Sekolah Menengah Atas Negeri dimensi konten persentasenya 75% kategori baik,

dimensi proses persentasenya 56% kategori cukup baik, dimensi konteks persentasenya

74 % kategori baik dan rata-rata dari persentase tersebut adalah 68%, maka dapat

dikategorikan bahwa literasi sains guru biologi Sekolah Menengah Atas Negeri dalam

pembelajaran evolusi yakni ketegori baik. Sedangkan pada Sekolah Menengah Atas

Swasta yakni dimensi konten persentasenya 77% kategori baik, dimensi proses

persentasenya 57% kategori cukup baik, dimensi konteks persentasenya 79 % kategori

baik dan rata-rata dari persentase tersebut adalah 71%, maka dapat dikategorikan bahwa

literasi sains guru biologi Sekolah Menengah Atas Swasta dalam pembelajaran evolusi

yakni ketegori baik. Demikian berdasarkan asal sekolah tidak terdapat perbedaan

penguasaan literasi sains guru biologi sekolah menengah atas dalam pembelajaran

evolusi.

SIMPULAN

1) Persentase literasi sains guru biologi sekolah menengah atas dalam pembelajaran

evolusi secara umum yakni kategori baik, 2) Persentase dimensi konten guru biologi

sekolah menengah atas dalam pembelajaran evolusi yakni katergori baik, 3) Persentase

dimensi proses guru biologi sekolah menengah atas dalam pembelajaran evolusi yakni

katergori cukup baik, 4) Persentase dimensi konteks guru biologi sekolah menengah

atas dalam pembelajaran evolusi yakni katergori baik, 5) Berdasarkan wilayah kerja

tidak ada perbedaan literasi sains guru biologi sekolah menengah atas yakni Jakarta

Selatan dengan kategori baik dan Jakarta Timur dengan kategori baik, 6) Berdasarkan

asal sekolah tidak ada perbedaan literasi sains guru biologi sekolah menengah atas

negeri kategori baik dan sekolah menengah atas swasta kategori baik.

Page 201: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-10

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

DAFTAR PUSTAKA

Firman, H. (2007). Laporan Analisis Sains Indonesia Berdasarkan Hasil PISA Nasional

Tahun 2006. Jakarta; Pusat Penelitian Pendidikan Balitbang. OECD. (2003). Scientific Literacy. (Online). http://www.oecd.org. Diakses tanggal 19

Mei 2011. Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Pendidikan Pendeketan Kuantitaif, Kualitatif, dan

R&D. Bandung: Alfabeta. Sulistiarini Dwi. (2010). Pengaruh Pengembangan Bahan Ajar Teori Evolusi Berbasis

Molukuler Melalui Pendekatan Pembelajaran KonstruktivIsme Model FC2P terhadap kemampuan Berpikir Kritis, Pemahaman Konsep dan Sikap Siswa SMA Negeri 3 Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.

Syulasmi, Ammi. (2007). Evolusi dan Sistematika Makhluk hidup, Jakarta: Universitas

Terbuka. Wulan, A. R. (2009). Asesmen Literasi Sains. Makalah team Hibah Pasca Sarjana UPI.

Bandung.

Page 202: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-11

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

DESIGN PROJECT MIKROBIOLOGI PANGAN DAN INDUSTRI

Baiq Fatmawati1

1STKIP Hamzanwadi – Selong

([email protected])

ABSTRAK

Studi tentang pembelajaran berbasis proyek pada mata kuliah mikrobiologi

dilakukan dengan mengubah strategi pembelajarandan lingkungan belajar dengan tujuan untuk meransang kreativitas mahasiswa dalam belajar khususnya pada sub mikrobiologi pangan dan industri. Pembelajaran berbasis proyek ini difokuskan pada pembuatan rancangan proyek yaitu merancang sebuah produk fermentasi berdasarkan sumber daya alam (jenis pangan) yang ada disekitar lingkungan mahasiswa.Subyek penelitian adalah mahasiswa pendidikan biologi semester V (n=28). Instrument penelitian yaitu lembar kegiatan merancang proyek mahasiswa (LKMPM sebagai dasar untuk menyusun rancangan produk fermentasi yang akan dibuat.Hasil analisis rancangan menunjukkan bahwa mahasiswa dapat membuat rancangan proyek dengan memunculkan ide-ide mereka dalam mengolah hasil sumber daya alam (jenis pangan) yang ditemukan di sekitar lingkungan mereka. Kata Kunci: design project, mikrobiologi

PENDAHULUAN

Pembelajaran Biologi sebagai salah satu bagian dari Sains memiliki empat

tujuan yaitu mengajarkan fakta-fakta, mengembangkan kemampuan, mengajarkan

keterampilan dan mendorong sikap yang nyata. Oleh karena itu, pengajar dituntut untuk

melakukan reorientasi pembelajaran diantaranya: (1) menggunakan masalah

kontekstual, (2) mengembangkan kemampuan memecahkan masalah serta kemampuan

berargumentasi dan berkomunikasi, (3) memberikan kesempatan yang luas untuk

penemuan kembali, (4) membangun konsep, definisi dan prosedur secara mandiri, (5)

melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui

penyelidikan, eksplorasi, dan eksperimen, (6) meningkatkan kemampuan berpikir yang

melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan melalui pemikiran yang divergen dan

“orisinil”, (7) membuat prediksi, (8) menggunakan model dan (9) memperhatikan/

mengakomodasikan perbedaan-perbedaan karakteristik individu mahasiswa. Dengan

Page 203: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-12

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

memperhatikan reorientasi pembelajaran di atas, seorang pengajar di perguruan tinggi

dapat melibatkan mahasiswanya dalam pembelajaran artinya mahasiswa tidak hanya

menerima materi dari pengajar tetapi bisa mencari dan memecahkan permasalahan

biologi secara mandiri yang dapat menimbulkan kreativitas mahasiswa.

Orientasi pembelajaran mahasiswa kependidikan diarahkan pada terbentuknya

calon pendidik (guru) yang secara afektif mahasiswa belajar menjadi guru, secara

kognitif mahasiswa belajar tentang guru (guru yang cerdas), dan secara psikomotorik

mahasiswa memiliki performa yang patut, layak, dan terampil sebagai guru

(Hidayatullah, 2007). Pada umumnya, pengajar menerapkan metode ceramah, tanya

jawab dan diskusi, jarang sekali menggunakan model dan atau metode pembelajaran

yang bisa membuat mahasiswa aktif dan kreatif. Pada pembelajaran biologi cenderung

digunakan metode ceramah, diskusi dan kadang-kadang dilaksanakan praktikum yang

bersifat verifikatif. Pembelajaran biologi seringkali diberikan sebagai belajar hapalan,

verbal dan kurang terkait dengan masalah kehidupan peserta didik (Depdiknas, 2002).

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Suderajat (2003) yaitu pembelajaran yang

dikembangkan di lembaga pendidikan memiliki kecenderung-an antara lain (1)

pengulangan dan hapalan, (2) kurang mendorong peserta didik untuk berpikir kreatif,

dan (3) jarang melatihkan pemecahan masalah. Akibatnya, peserta didik kurang mampu

menerapkan materi pelajaran yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah kehidupan

sehari-hari. Hal ini juga didukung dari hasil wawancara dengan dosen pengampu mata

kuliah mikrobiologi bahwa metode perkuliahan Mikrobiologi khususnya pada sub

mikrobiologi pangan dan industri masih menggunakan metode ceramah dan diskusi di

dalam kelas sedangkan untuk praktikumnya menggunakan petunjuk model “buku

resep”.

Dunia pendidikan harusberperan aktifmenyiapkan sumberdaya manusia terdidik

yang mampu menghadapi berbagai tantangankehidupan baik lokal, regional, nasional

maupun internasional.Karena di zaman ini, kita selalu dihadapkan dengan

permasalahan-permasalahan hidup seperti keadaan ekonomi yang kurang yang

menyebabkan salah satu terjadinya angka pengangguran yang tinggi di Indonesia.

Padahal, banyak sekali sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasinya,

sumberdaya alam tersebut bisa diolah dan dimanfaatkan dengan baik jika kita mampu

berfikir secara kreatif untuk mengolahnya menjadi sesuatu yang baru. Munandar (1999)

Page 204: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-13

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

mengemukakan bahwa kreativitas sebagai kemampuanuntuk melihat bermacam-macam

kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah merupakan bentukpemikiran yang

sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian, demikian juga dalam proses

pembelajaran.

Mahasiswa dalam proses pembelajarannya tidak cukup hanyamenguasai

teori-teori yang diperoleh di perkuliahan, tetapi juga mau dan mampu

menerapkannyauntuk berperan-serta memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi

dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan sosial. Mahasiswa perlu meningkatkan

keterampilan berpikir mereka agar mampu memecahkanmasalah-masalah yang terjadi

di sekitarnya, salah satunya adalah dengan berpikir kreatif. Berpikir kreatif merupakan

suatu kreativitas yang dapat dikiaskan sebagai alat/ perkakas untuk menggali,

menyelidiki, serta memperdalam pengetahuan (knowledge).

Dengan pertimbangan bahwa mahasiswa kependidikan kelak akan menjadi guru

yang nantinya akan mendidik siswa-siswa mereka untuk berpikir kreatif dan dapat

menerapkan ilmu yang diperoleh dalam kehidupannya, maka mahasiswa perlu diberikan

pengalaman belajar yang bisa melatih daya berpikir kreatif mereka melalui suatu model

pembelajaran yaitu pembelajaran berbasis proyek pada perkuliahan mikrobiologi.

Model pembelajaran berbasis proyek ini tampaknya sesuai untuk diterapkan pada mata

kuliah mikrobiologi karena dapat mengintegrasikan berbagai pengetahuan ketika

merancang dan membuat laporan praktikum. Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki

potensi yang amat besar untuk membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan

bermakna untuk pebelajar usia dewasa, seperti siswa, apakah mereka sedang belajar di

perguruan tinggi maupun pelatihan transisional untuk memasuki lapangan kerja (Gaer,

1998). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Direktorat Akademik Dikti (2008) bahwa

pembelajaran berbasis proyek merupakan metode belajar yang sistematis, yang

melibatkan mahasiswa dalambelajar pengetahuan dan keterampilan melalui proses

pencarian/penggalian (inquiry)yang panjang dan terstruktur terhadap pertanyaan yang

otentik dan kompleks sertatugas dan produk yang dirancang dengan sangat hati-hati.

Adapun pertanyaan penelitian yang dikemukakan yaitu:1) apakah mahasiswa dapat

merancang proyek dalam mengolah SDA menjadi produk fermentasi?, dan 2) produk

fermentasi apa saja yang dihasilkan oleh mahasiswa?.

Page 205: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-14

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

METODE PENELITIAN

Penelitian melibatkan 28orang mahasiswaFKIP UNRAM jurusan Pendidikan

Biologi semester V yangmengikuti mata kuliah Mikrobiologi. Desain penelitian ini

adalah single-group design yaitu One-Group Pretest-Posttest Design (Borg., et al.,

2003).Bentuk instrumen yang digunakan adalah lembar kegiatan merancang proyek

mahasiswa (LKMPM). Sebelum mengisi LKMPM, dilakukan pembagian kelompok

dengan jumlah anggota 4-5 orang per kelompok, setiap kelompok mengisi komponen-

komponen rancangan yang sudah dituliskan dalam lembar kerja tersebut dan dikerjakan

di luar jam perkuliahan. Tiap kelompok mencari solusi dengan melakukan observasi

atau browsing di internet, kemudianberdasarkan solusi yang didapat kemudian

menyusun rancangan proyek yang akan dilakukan.Selanjutnya, dilakukan refleksi

dengan tujuan apakah hasil rancangannya menunjukkan modifikasi atau tidak terhadap

jenis sumber pangan yang akan diolah. Bentuk LKMPM dapat dilihat pada Gambar 1.

LEMBAR KEGIATAN MERANCANG PROYEK MAHASISWA

Mata kuliah

Kelompok

Petunjuk:

1. Bacalah informasi yang diberikan dalam LKMM ini 2. Diskusikan dan bekerjalah dengan anggota kelompok yang telah ditentukan 3. Gunakanlah referensi yang sesuai dengan masalah yang diambil 4. Lembar kerja mahasiswa ini di susun untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif

anda dalam merancang sebuah kegiatan praktikum 5. Rancangan diserahkan sehari sebelum perkuliahan Mikrobiologi

FERMENTASI

Di sekitar kita banyak sekali sumber pangan yang bisa dimanfaatkan untuk diolah

menjadi produk makanan, baik yang berasal dari sumber pangan nabati maupun

hewani. Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam

kehidupan manusia. Pengolahan bahan makanan memiliki interelasi terhadap

pemenuhan gizi masyarakat, maka tidak mengherankan jika semua negara baik yang

sudah maju maupun berkembang berusaha untuk menyediakan suplai pangan yang

Page 206: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-15

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

cukup, aman dan bergizi. Salah satu cara pengolahan pangan adalah fermentasi.

Fermentasi merupakan salah satu cara dalam mengolah bahan pangan dengan tujuan

menghasilkan suatu produk yang dapat meningkatkan kandungan nutrisinya,

mengubah tekstur, dan dapat memperpanjang masa simpan. Beberapa contoh

produk pangan fermentasi yang sering dijumpai di sekitar kita seperti roti, keju,

yoghurt, dan acar.

Dalam mikrobiologi pangan dan industri, pokok bahasan utamanya adalah fermentasi.

Fermentasi adalah proses produksi energi di dalam sel, tanpa membutuhkan udara.

Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Reaksi dalam fermentasi berbeda-

beda tergantung pada jenis gula yang digunakan dan produk yang dihasilkan

(http://wapedia.mobi/id/). Glukosa (C6H12O6) merupakan gula paling sederhana,

melalui fermentasi akan dihasilkan etanol (2C2H5OH). Reaksi fermentasi ini dilakukan

oleh mikroba, dan digunakan pada produksi makanan dan minuman. Berbagai jenis

mikroba berperan dalam fermentasi baik secara alami maupun yang sengaja

ditambahkan ke dalam bahan makanan yang akan difermentasi.

Pertanyaan:

1. Pilih salah satu bahan dari sumber pangan nabati dan hewani di bawah ini, kemudian buatlah rancangan sebuah produk makanan fermentasi.

Beras ketan Kedelai Sayur-sayuran

Kelapa Air kelapa Ikan

2. Isi rancangan meliputi: 2.1. Judul rancangan 2.2. Permasalahan 2.3. Solusi/alternatif pemecahan masalah 2.4. Tujuan 2.5. Alat dan bahan yang digunakan 2.6. Cara kerja/langkah kerja pembuatan produk 2.7. Rincian biaya yang dibutuhkan 2.8. Buatlah jadwal pelaksanaan proyek

Gambar 1: Bentuk Lembar Kegiatan Merancang Proyek Mahasiswa

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mahasiswa bisa merancang proyek sesuai dengan jenis pangan yang diambil

berdasarkan hasil undian, namun rancangan proyek yang dibuat pertama kali oleh setiap

kelompok direfleksi (diberikan umpan balik) oleh dosen untuk melihat apakah

Page 207: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-16

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

rancangan proyek mereka menunjukkan sesuatu yang baru yaitu modifikasi produk atau

membuat sesuatu yang benar-benar asli artinya belum pernah dibuat

sebelumnya.Umumnya, ketujuh kelompok mahasiswa yang sudah terbentuk membuat

rancangan proyek produk fermentasi yang sudah umum.Setelah direfleksi, ketujuh

kelompok mahasiswa memperbaiki rancangannya dan diserahkan ke dosen untuk

direfleksi kembali.Kegiatan refleksi terus dilakukan sampai rancangan proyek

mahasiswa menunjukkan adanya modifikasi atau menunjukkan sesuatu yang baru dari

rancangan produk.Setelah direfleksi, setiap kelompok menghasilkan rancangan produk

fermentasi seperti Tape Ketan Ungu (Ubi jalar ungu digunakan untuk mendapatkan

warna ungu), minuman dari susu kedelai dengan khasiat obat yang dicampurkan dengan

buah mengkudu yang dinamakan Soycredu (Soyghurt Cream Mengkudu), Kimchi

Kangkung, Soyghurt Rasa Pisang Kepok, Susu Skim Kelapa Rasa Jahe, Peda Belut, dan

Nata de Coco Pandan. Hasil rancangan produk fermentasi dapat dilihat pada Tabel 1.

Kerja proyek dapat dilihat sebagai bentuk open-ended contextual

activitybased learningdan merupakan bagian dari proses pembelajaran yang

memberikan penekanan kuat pada pemecahan masalah sebagai suatu usaha kolaboratif

yang dilakukan dalam proses pembelajaran dalam periode tertentu (Hung & Wong,

2000). Menurut Lawson (1995), proses pembelajaran yang digunakan agar menjadi

lebih bermaknadimulai dari pemberianpertanyaan menantang tentang suatu fenomena,

kemudian menugaskan pesertadidik untuk melakukan suatu aktivitas, memusatkan pada

pengumpulan danpenggunaan bukti, bukan sekedar penyampaian informasi secara

langsung dan penekanan pada hafalan.

Proses refleksi dilakukan baik secara individu maupunkelompok. Pada tahap

ini mahasiswa diminta untuk mengungkapkanperasaan dan pengalamannya selama

menyelesaikan proyek. Pengajar danmahasiswa mengembangkan diskusi dalam rangka

memperbaiki kinerjaselama proses pembelajaran, sehingga pada akhirnya ditemukan

suatutemuan baru (new inquiry) untuk menjawab permasalahan yang diajukanpada

tahap pertama pembelajaran.

Doppelt (2005) dalam hasil penelitiannya lebih menekankan pada proses

pendesainan proyek atau yang dikenal dengan istilah Creative Design Process

melalui pembelajaran berbasis proyek mengemukakan enam tahapan dalamCreative

Design Process. Pertama, tujuan desain; langkah pertama dalam proses desain adalah

Page 208: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-17

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 1. Hasil rancangan pembuatan produk fermentasi

Klmpk Bahan Pangan

Produk fermentasi Keterangan

1 Beras ketan Tape ketan ungu Modifikasi 2 Kedelai Soygurt rasa pisang kepok Modifikasi 3 Susu kedelai Soycredu (soyghurt cream mengkudu) Modifikasi 4 Sayuran Kimchi Kangkung khas Lombok Produk baru 5 Air kelapa Nata de coco pandan Modifikasi 6 Ikan Peda belut Produk baru 7 Kelapa Minuman skim kelapa sehat rasa jahe Modifikasi

menentukan masalah desain.Para mahasiswa perlu menetapkantujuan desain, tujuan

tersebut harus sesuai dengan definisi dari permasalahan. Kedua, inkuiri; melakukan

observasi sesuai dengan tujuan. Observasi ini bisa dilakukan dengan mencari sumber

melalui membaca buku, internet, atau melihat langsung ke lapangan. Ketiga, solusi

alternatif; mempertimbangkan solusi alternatif untuk masalah desain. Strategi ini

memungkinkan mahasiswa untuk membuat berbagai macam kemungkinan atau ide

kreatif yang tak pernah dicoba sebelumnya. Keempat, memilih solusi; memilih salah

satu solusi alternatif yang dibuat, pilihan dilakukan dengan mempertimbangkan gagasan

yang didokumentasikan dalam tahap ketiga. Kelima, langkah-langkah pelaksanaan;

merencanakan metode untuk implementasi solusi yang dipilih misalnyajadwal,

ketersediaan bahan, komponen, alat, dan menciptakan prototype. Keenam,

Evaluasi;tahap evaluasi terjadi pada akhir proses kegiatan, tujuannya untuk

refleksikegiatan berikutnya.

Untuk merangsang mahasiswa dalam memunculkan ide-ide tersebut,

pembelajaran dimulai dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan

yang sering dijumpai di sekitar mereka, hal tersebut melatihkan cara berpikir mahasiswa

untuk memecahkan persoalan. Selama proses merancang proyek, mahasiswa diberi

kesempatan satu minggu untuk mencari informasi yang membantu untuk memunculkan

ide-ide mereka sehingga diperoleh sebuah ide yang kreatif. Memunculkan ide-ide

kreatif dan menuangkannya ke dalam sebuah rancangan proyek tentunya membutuhkan

waktu dan proses, mulai dari mencari, memecahkan, dan menggabungkan informasi

yang diperoleh. Hal ini senada dengan pendapat Wallas (Munandar, 2009) yang

menyatakan bahwa proses berpikir kreatif melalui empat tahapan yaitu: 1) Persiapan;

Page 209: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-18

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

mempersiapkan diri untuk memecahkan masalah dengan belajar berpikir, mencari

jawaban, bertanya kepada orang, 2) Inkubasi; kegiatan mencari dan menghimpun

informasi tidak dilanjutkan, tahap ini bisa memunculkan inspirasi, 3) Iluminasi; tahap

timbulnya insightatau lebih dikenal dengan inspirasi, dan 4) Verifikasi atau evaluasi

pengujian ide-ide yang sudah dimunculkan.Pengajar yang mampu melakukan inovasi

strategi pembelajaran dengan cara mendesain model pembelajaran, mengorganisasikan

waktu, materi, dan lingkungan kelas dengan baik akan menciptakan suasana yang

kondusif bagi pencapaian prestasi belajar (Costa, 1985 dan Udovic, 2002).

SIMPULAN

Kerja proyek dapat dilihat sebagai bentuk open-ended contextual activity-based

learning, dan merupakan bagian dari proses pembelajaran yang memberikan penekanan

kuat pada pemecahan masalah sebagai suatu usaha kolaboratif yang dilakukan dalam

proses pembelajaran dalam periode tertentu.Pemecahan masalah selalu berkaitandengan

kemampuan atau berpikir kreatif, dan untukmampu berpikir kreatif.

DAFTAR PUSTAKA

Borg, W.R., et.al. (2003). Educational Research an Introduction; Seventh Edition. New

York: Longman Inc.

Costa, A.L. (1985). Teacher Behaviors that Enable Student Thinking (in) Costa, A.L

(Eds), Developing Mind: A Resource book for teaching thinking. Alexandria

ASDC.

Depdiknas. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang

Depdiknas.

Direktorat Akademik Direktorat Jenderal Pendidikan TinggiJakarta. (2008). Buku PanduanPengembangan Kurikulum Berbasis KompetensiPendidikan Tinggi(Sebuah Alternatif Penyusunan Kurikulum).Sub Direktorat KPS (Kurikulum dan Program Studi).

Doppelt, Y. (2005). Assessment of Project-Based Learning in aMechatronics Context. Journal of Technology Education Volume 16 Number 2. [On Line]. Tersedia:http://scholar.lib.vt.edu/ejournals/JTE. [30 Mei 2009].

Page 210: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-19

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Gaer, S. (1998). What is Project-Based Learning?.[On Line]. Tersedia: http://members.aol.com/CulebraMom/pblprt.html.

Hidayatullah, M. Furqon. (2007). Mengantar Calon Pendidik Berkarakter Dimasa

Depan. Surakarta: UNS Press dan Cakra Books. Hung , D.W. & Wong, A.F.L. (2000). “Activity Theory asaframework for Project Work

I Learning Environment.Educational Technology. 40 (2), 33-37. Lawson,A.E.(1995).Science Teaching and The Development of Thinking.Wadswort:

California. Munandar, S.C.U. (1999). Kreativitas dan Keberbakatan: Strategi Mewujudkan Potensi

Kreatif dan Bakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka. Munandar, S.C.U. (2009). Kreativitas dan keberbakatan: strategi mewujudkan potensi

kreatif dan bakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Page 211: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 19

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PENGUASAAN KONSEP GURU BIOLOGI PADA SISTEM REPRODUKSI ANGIOSPERMAE

Dani Maulana1, Ari Widodo2 1LPMP Lampung, 2UPI Bandung

ABSTRAK

Profesionalisme guru menuntut seorang guru memiliki konsep yang benar dalam kemampuannya, karena kesalahan konsep guru dapat memunculkan miskonsepsi dan misinformasi pada diri siswa. Untuk itu perlu adanya suatu upaya untuk menilai seberapa besar penguasaan konsep guru biologi terhadap materi-materi biologi, seperti hal nya materi Sistem reproduksi Angiosperma, dan melihat upaya untuk memfasilitasi perubahan konsep yang dimiliki guru sehingga menjadi lebih terarah dan terhindar dari keadaan misinformasi dan miskonsepsi. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui kemampuan pemahaman konsep awal guru dan perkembangan kemampuan diri guru dalam penguasaan konsep-konsep Biologi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masih ada guru yang memiliki konsep yang belum benar dalam pembelajaran biologi, banyak guru yang belum memahami dasar dan penjelasan dari konsep biologi yang ada sehingga penguasaan konsep sistem reproduksi Angiospermae hanya pada tataran konsep dasar saja. Pengembangan diri guru diharapkan dapat meningkatkan pemahaman konsep pada guru biologi dan mampu mengembangkan kemampuan penguasaan konsep guru lebih mendalam.

Kata kunci : perubahan konsep, reproduksi tumbuhan, Angiospermae

PENDAHULUAN

Pendidikan bertujuan untuk menyiapkan sumber daya manusia yangberakhlak

mulia, dan mempunyai kemampuan bernalar tinggi yaitu berupa keterampilan

berpikir tingkat tinggi khususnya berupa keterampilan memecahkan masalah. Oleh

karena itu pendidikan diharapkan mampu menghasilkan manusia yang

berkualitas, yang dapat mengatasi berbagai tantangan hidup. Untuk itu

pendidikan bermutu mutlak harus diciptakan guna meningkatkan kualitas sumber

daya manusia.

Terlaksananya system pendidikan sangat bergantung kepada guru. Olehkarenaitu

program persiapan guru dan pengembanganprofesional guru berperan utama agar

fungsi-fungsidalamsistempendidikandapatberjalandenganbaik. Sementaraitu program

persiapan danpengembangan professional guru sangat dipengaruhi oleh institusi

Page 212: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 20

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

pendidikan tinggi, masyarakatprofesional, badanakreditasi, badan-badan pemerintahan

yang mengeluarkan undang-undang, peraturan, dan kebijakan yang berkaitan dengan

pendidikan. Oleh karena itu program persiapan guru IPA harus benar benar dapat

mengembangkan profesionalisne guru IPA sehingga benar-benar siap menjangkau

tujuan pendidikan nasional.

StandarProfesional Guru IPA mencakup : 1) kemampuan merencanakan program

pembelajaran IPA berbasisinkuiri; 2) kemampuan membimbing dan memfasilitasi

pembelajaran IPA; 3) kemampuan menggunakan asesmen berkelanjutan dalam PBM; 4)

kemampuan mendesain dan mengatur lingkungan belajar kondusif yang diperlukan

agar siswabelajar IPA secara optimal; 5) kemampuan mengembangkan masyarakat

belajar bagi siswa; (6) perencanaan dan pengembangan program sekolah.

Kompetensi mengajar yang paling utama adalah mengaitkan kegiatan mengajar dan

dengan visi pendidikan. Kompetensi tersebut diawali dengan memberikan perhatian

pada perencanaan jangka panjang yang dikerjakan guru IPA, memfasilitasi kegiatan

belajar, melaksanakan penilaian dan memelihara lingkungan kelas.

Guru dalam bersikap profesional harus mampu merenungkan praktek pengajaran

secara mendalam, cakap dalam menginterpretasi teori, kritis terhadap kolega dan siswa,

mampu mengamati, mendokumentasikan, menganalisis praktek dan pengalaman,

menggunakan hasil-hasil analisis dan mempertanggungjawabkan hasil kerjanya kepada

masyarakat. Selain itu guru juga harus mampu memberikan keteladanan, menunjung

tinggi tujuan-tujuan sosial yang luhur serta etika, pengayoman dan lebih diarahkan

untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dari pada kebutuhan pribadi. Guru

harus memiliki tujuan pribadi, mengerti akan kelebihan dan kelemahan pribadi,

memiliki keterampilan memecahkan masalah dan juga berperan serta dalam kegiatan-

kegiatan komunitas profesi.

Guru profesional harus secara nyata mampu memberikan konsep-konsep

pembelajaran secara benar, karena konsepsi guru akan langsung berhubungan dengan

konsepsi-konsepsi siswa dan akan mempengaruhi praktik pembelajaran di kelas. Secara

nyata seorang guru tidak memiliki konsep yang salah dalam kemampuannya, karena

kesalahan konsep guru dapat memunculkan miskonsepsi dan misinformasi pada diri

siswa. Untuk itu perlu adanya upaya untuk menilai penguasaan konsep guru

Biologidalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas guru mengajar di sekolah.

Page 213: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 21

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui pemahaman

guru biologi terhadap konsep dasar biologi sistem reproduksi Angisopermae.

Manfaat penelitian ini membuat peta kemampuan pemahaman guru biologi

mengenai konsep-konsep dasar biologi sebagai bahan untuk pengembangan upaya

peningkatan profesionalisme guru biologi sma di Bandarlampung.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan melalui penelitian deskriptif, dimana pada setiap tahapan

penelitian dilakukan analisa secara deskriptif terhadap tahapan penelitian. Adapun alur

penelitian tergambar di bawah ini:

Gambar 1. Alur Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah guru Biologi SMA anggota Musyawarah

Guru Mata Pelajaran Biologi Jenjang Sekolah Menengah Atas (MGMP Bio SMA) di

Kota Bandar Lampung yang mengikuti kegiatan tes pemahaman konsep Biologi pada

topik sistem reproduksi Angiosperma. Jumlah responden yang mengikuti kegiatan ini

50 orang guru.Penelitian dilakukan pada waktu kegiatan pertemuan rutin MGMP

Biologi SMA kota Bandar Lampung. Waktu pelaksanaan berlangsung selama 5 bulan,

mencakup tahap studi pendahuluan, tahap penyusunan instrumen, tahap pelaksanaan uji,

tes dan analisa data hingga pelaporan.

1. Tes Pilihan Ganda 2. Tes Pilihan Ganda

dengan alasan 3. Tingkat keterbacaan

dan pemahaman soal 4. Kuesioner

pengembangan diri

PEMBUATAN DAN UJI

COBA SOAL TEST

KESIMPULAN

STUDI PENDAHULUAN ANALISIS SK, KD,

SISTEM REPRODUKSI

PENYUSUNAN KISI KISI

DAN INSTRUMEN

ANALISIS

PENGETAHUAN DASAR

Page 214: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 22

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Penelitian dilakukan melalui empat tahapan kegiatan penelitian utama yaitu:

(1) mengukur kemampuan konsep awal guru menggunakan soal pilihan ganda biasa; (2)

mengukur kemampuan konsep awal guru menggunakan soal pilihan ganda biasa dengan

alasan; (3) menilai tingkat keterbacaan soal dan keyakinan kemampuan guru menjawab

soal; dan 4) mengukur upaya pengembangan diri guru.

Berdasarkan sifatnya, data penelitian dikelompokkan menjadi 2 (dua)

jenis, yakni data kuantitatif dan data kualitatif.Data kuantitatif terdiri atas data hasil tes.

Data tersebut dianalisis menggunakan persamaan produk momen Pearson,untuk

menghitung validitasdan menggunakan Kuder-Richadson untuk mengukur reliabilitas

tes.Data kualitatif terdiri atas data tingkat keterbacaan soal dan keyakinan

jawaban guru dan data hasil kuesioner pengembangan diri guru. Analisis data

dilakukan dengan menggunakan triangulasi mix-method design (Creswell, 2008) yaitu

dengan menganalisis secara simultan dari data kuantatif dan data kualitaif serta data

gabungan. Selanjutnya menggunakan hasil analisisnya untuk memahami permasalahan

penelitian. Proses analisis triangulasi data dilakukan dengan cara menganalisis kedua

jenis data baik kualitatif maupun data kuantitaif secara terpisah kemudian

membandingkan hasilnya dan selanjutnya dilakukan interpretasi apakah data tersebut

saling mendukung atau saling berlawanan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengembangan Instrumen Tes Penguasaan Konsep Guru Biologi pada Sistem Reproduksi Angiospermae

Instrumen tes penguasaan konsep guru pada sistem reproduksi Angiospermae

dikembangkan melalui tahapan analisis Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi

Dasar (KD) sistem reproduksi Angiospermae pada Kurikulum Tingkat Satuan

Page 215: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 23

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pendidikan (KTSP) jenjang SMA kemudian dilengkapi dengan tambahan konsep yang

dikembangkan pada buku teks di perguruan tinggi.

Tabel 1. Kisi-kisi pengembangan soal tes penguasaan konsep sistem reproduksi Angiospermae

NO P R O P O S I S I NO

SOAL

TINGKAT KOGNITIF YANG

DIHARAPKAN

Jml soal

C1 C2 C3 C4 C5 C6

1 Anthophyta menghasilkan bunga sebagai awal siklus reproduksi seksual

1 – 2 0 1 0 1 0 0 2

2 Bunga organ reproduksi generative pada tumbuhan 3 – 8 0 2 0 3 1 0 6

3 Bunga dikategorikan berdasarkan struktur organ penyusun 9 – 12 0 0 1 2 1 0 4

4 Organ yang melakukan proses gametogenesis benang sari dan putik

13 – 14 0 0 1 0 1 0 2

5 Perkembangan megaspore bisa terjadi dengan tipe Alium, dengan bentuk perkembangan secara monosporik, bisporik dan tetrasporik

15 – 16

6 Penyerbukan/polinasi sebuah proses untuk menyatukan gametofit jantan dan betina

17 – 21 0 1 2 1 1 0 5

7 Fertilisasi ganda menghasilkan zigot dan endosperma Angiospermae

22 0 0 0 1 0 0 1

8 Bakal Biji berkembang menjadi biji yang mengandung embrio dan persediaan makanan

23 – 30 0 0 5 3 2 0 10

9 Buah sebagai hasil perkembangan ovarium dan tempat berkembangnya biji

31 – 33 0 1 0 1 0 0 2

10 Adaptasi evolusioner perkecambahan biji memberikan sumbangan terhadap kelangsungan hidup benih.

34 – 35 0 0 1 1 1 0 3

JUMLAH 0 5 10 13 7 0 35

PROSENTASE 0%

17%

28%

36%

19%

0%

Analisis konsep sistem Reproduksi Angiospermae dikembangkan ke dalam kisi-

kisi soal penguasaan konsep yang mengembangkan tahap kemampuan berfikir antara

C2 sampai C5 pada taksonomi Bloom. Rincian pengembangan soal dengan kemampuan

tahapan berfikir C2 sebanyak 17%, C3 sebanyak 28%, C4 sebanyak 36% dan C5

sebanyak 19%, dengan rincian terlihat pada tabel kisi kisi berikut:

Soal dikembangkan berdasarkan kisi-kisi yang telah ada dan menghasilkan dua

set soal, yaitu soal dengan pilihan ganda biasa dengan empat option dan soal yang sama

Page 216: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 24

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

namun dilengkapi dengan pilihan ganda dan pilihan alasan, masing-masing empat

alasan pada setiap option.

Pemahaman Konsep Guru pada Sistem Reproduksi Angiospermae melalui tes

Pilihan Ganda Biasa

Soal Pilihan ganda dikembangkan untuk mengetahui penguasaan konsep dasar sistem

reproduksi tumbuhan, dimana pada setiap soal diberikan empat option pilihan jawaban.

Hasil tes pilihan ganda biasa memperlihatkan sebagian besar soal dapat dijawab dengan

benar oleh guru, sembilan nomor soal dijawab benar oleh semua guru, 29 soal dapat

dijawab dengan benar oleh sebagian guru dan hanya enam soal yang hanya bisa dijawab

benar oleh beberapa orang saja. Hasil lengkap terlihat pada tabel 2.

Tabel. 2. Analisis Jawaban benar hasil tes pilihan ganda biasa

NO INDIKATOR SOAL Skor 1 Skor 2 Pernyataan

A B C D

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

01 Guru dapat mendeskripsikan fungsi bunga sebagai organ reproduksi seksual Anthophyta

50 15 46 4 0 0

02 Guru dapat menganalisis peranan organ reproduksi pada bunga

50 48 48 2 0 0

03 Guru dapat mengemukakan asal mula terbentuknya bunga pada Anthophyta

27 0 47 3 0 0

04 Dengan melihat susunan daun bunganya, Guru dapat menafsirkan proses pembentukan bunga

16 5 43 5 2 0

05 Guru dapat mengurutkan bagian-bagian penyusun bunga

47 40 49 1 0 0

06 Guru dapat mengidentifikasi organ non-reproduktif dari bunga

48 34 49 1 0 0

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

07 Guru dapat menelaah struktur dan fungsi dari gametofit jantan.

31 4 50 0 0 0

08 Guru dapat menelaah struktur dan fungsi dari gametofit betina

43 26 50 0 0 0

09 Guru dapat mencirikan bunga lengkap atau bunga tidak lengkap

39 38 50 0 0 0

10 Guru dapat menegaskan bunga sempurna atau bunga tidak sempurna

45 43 48 2 0 0

Page 217: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 25

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

11 Guru dapat menentukan bunga jantan atau bunga betina

50 46 46 4 0 0

12 Guru dapat menemukan tanaman yang berumah satu atau tanaman berumah dua

41 0 50 0 0 0

13 Berdasarkan proses terjadinya, guru dapat merincikan tempat berlangsungnya mikrosporogenesis pada Angispermae

48 12 49 1 0 0

14 Guru dapat menentukan tempat terjadinya megasporogenesis

49 24 46 4 0 0

15 Guru dapat membandingkan tipe perkembangan megaspore secara monosporik, bisporik dan tetrasporik

10 2 8 13 27 2

16 Guru dapat mendeskripsikan perkembangan megaspora tipe alium

41 28 8 13 27 2

17 Guru dapat menggambarkan proses terjadinya polinasi/penyerbukan pada Angiopsermae

50 50 50 0 0 0

18 Guru dapat membandingkan beberapa polinator pada tanaman Angiospermae

50 50 50 0 0 0

19 Guru dapat menganalisis polinator yang cocok pada tanaman Angiospermae

50 50 50 0 0 0

20 Guru dapat mengemukakan penghalang terjadinya polinasi/ penyerbukan pada tanaman Angiosperma

27 27 48 2 0 0

21 Guru dapat menelaah terjadinya Self-incompatibility secara genetik

39 8 11 14 23 2

22 Guru dapat menganalisa proses terjadinya fertilisasi ganda pada Angiospermae

50 50 50 0 0 0

23 Guru dapat mendeskripsikan proses terbentuknya endosperma

50 50 50 0 0 0

24 Guru dapat menjelaskan macam tipe endosperma pada Angiospermae

14 4 6 14 28 2

25 Guru dapat mengemukakan fungsi endosperma bagi tumbuhan Angiosperma

50 50 50 0 0 0

26 Guru dapat menganalisa proses perkembangan embrio tahap awal dalam pembentukan embrio

9 5 5 11 32 2

27 Guru dapat membandingkan proses pembentukan sel terminal dan sel basal

7 6 5 11 32 2

28 Guru dapat mengemukakan proses terbentuknya keping biji

10 7 12 28 8 2

29 Guru dapat mengemukakan proses pertumbuhan sumbu akar - tunas

41 37 48 15 6 1

30 Guru dapat mengemukakan penyebab terjadinya proses pertumbuhan pola radial

33 21 32 18 0 0

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

31 Guru dapat mengkategorikan buah berdasarkan asal mula perkembangannya

18 7 46 4 0 0

32 Guru dapat menelaah proses pematangan buah 24 1 48 2 0 0 33 Guru dapat merincikan peristiwa ovovivipar pada

perkecambahan tanaman bakau atau Agave 18 10 33 5 12 0

34 Guru dapat menafsirkan kepentingan peristiwa dormansi bagi perkembangbiakan

48 10 50 0 0 0

35 Guru dapat menggambarkan proses perkecambahan pada beberapa tanaman angiospermae

45 1 48 2 0 0

Page 218: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 26

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Keterangan Skor 1 : jumlah guru yang menjawab benar pada tes pilihan ganda biasa Skor 2 : jumlah guru yang menjawab benar pada tes pilihan ganda beralasan

Pernyataan A Soal dipahami dengan baik sehingga anda dapat menjawab dengan baik dan

merasa yakin jawaban anda benar B Soal dipahami dengan baik sehingga anda dapat menjawab dengan baik

namun merasa kurang yakin jawaban anda benar C Soal dipahami dengan baik namun anda tidak dapat menjawab dengan baik

karena belum memiliki pengetahuan tentang apa yang ditanyakan dalam soal D Soal tidak dapat dipahami dengan baik sehingga anda merasa tidak dapat

menjawab dengan baik dan tidak yakin dengan jawaban anda

Tahap perkembangan embrio merupakan konsep yang belum dikuasai oleh

sebagian besar guru, termasuk juga penguasaan konsep proses pembentukan sel

terminal, pembentukan sel basal, tipe perkembangan megaspore, yang kesemuanya

belum dapat dikuasai secara utuh oleh guru.

Pemahaman Konsep Guru pada Sistem Reproduksi Angiospermae melalui tes

Pilihan Ganda Beralasan

Tes Pilihan Ganda beralasan dikembangkan dengan tujuan menggali

pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep yang dikuasai guru. Tes

dikembangkan melalui soal yang diberikan 4 pililihan jawaban (option) dengan masing-

masing pilihan jawaban diberikan empat alasan yang mendukung kebenaran pilihan

jawaban.

Hasil tes pilihan ganda beralasan memperlihatkan hanya 16 soal yang bisa

dijawab benar oleh sebagian besar guru, dan hanya enam soal yang betul betul dijawab

benar oleh semua guru, sebagian besar soal, sebanyak 19 soal tidak bisa dijawab dengan

benar oleh sebagian besar guru, bahkan konsep asal mula pembentukan bunga dan

konsep tanaman berumah satu/dua tidak berhasil dijawab benar oleh satu orang guru-

pun.

Hal ini memperlihatkan bahwa penguasaan konsep guru terhadap materi sistem

reproduksi angiosperma hanya pada tataran konsep besarnya saja tidak mendalam

sampai pada alasan dan penjelasan dari konsep tersebut.

Analisa Pemahaman Konsep Guru pada Sistem Reproduksi Angiospermae pada

tes Pilihan Ganda biasa dan Pilihan Ganda Beralasan

Page 219: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 27

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Jika diperbandingkan antara hasil tes pilihan ganda biasa dengan pilihan ganda

beralasan terlihat perbedaan yang menyolok. Hanya 7 soal yang memperlihatkan hasil

yang sama antara pilihan ganda biasa dengan pilihan ganda beralasan, dan 16 soal yang

perbedaannya tidak begitu jauh, sedangkan 19 soal memperlihatkan perbedaan yang

cukup jauh antara hasil tes pilihan ganda biasa dengan pilihan ganda beralasan.

Tingginya jumlah jawaban benar pada pilihan ganda biasa yang tidak dibarengi

dengan jawaban benar pada pilihan ganda beralasan menunjukkan bahwa penguasaan

konsep guru dalam memahami sistem reproduksi Angiosperma baru pada tataran

konsep dasar saja, tidak menadalam sampai pada argumentasi ilmiah tentang konsep

tersebut, sehingga terlihat sebagian besar jawaban benar pada pilihan ganda biasa tidak

memberikan hasil yang sama pada pilihan ganda beralasan.

Analisa keterbacaan soal dan Keyakinan jawaban

Instrumen keterbacaan soal dan keyakinan jawaban dikembangkan untuk

melihat apakah butir soal dipahami dengan baik dan jawaban yang diberikan diyakini

kebenarannya oleh guru. Oleh karena itu di akhir tes diberikan instrumen untuk menilai

keterbacaan soal dan keyakinan jawaban.

Instrumen ini membagi jawaban pada empat kelompok yaitu A, B, C dan D.,

dengan penjelasan dan hasil pengembangan instrumen terdapat pada tabel 2.

Hasil pengembangan instrumen memperlihatkan bahwa sebagian besar soal dapat

dipahami dengan baik, dan sebagian besar guru meyakini kebenaran jawabannya.

Namun ternyata keyakinan kebenaran jawaban tersebut memperlihatkan hasil yang

relatif sama dengan jawaban pada pilihan ganda biasa, sedangkan jika diperbandingkan

dengan pilihan gana berasalan terlihat bahwa keyakinan jawaban tersebut tidak

mendasari dengan alasan yang diberikan untuk menjawab setiap soal tes.

Analisa Pengembangan Diri guru

Pengembangan penguasaan konsep guru dalam memperkaya pengetahuan

konsep-konsep biologi sangat tergantung kepada motivasi individu, seperti yang

dikemukakan Piaget (1970) mengemukakan bahwa proses pengembangan struktur

konseptual tergantung kepada aktivitas konstruktif orang yang bersangkutan. Oleh

karena itu guru harus berusaha untuk dapat mengembangkan kemampuan penguasaan

Page 220: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 28

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

konsep dengan lebih luas, lebih mendalam dan lebih beralasan melalui berbegai

kegiatan. Tabel 3 memperlihatkan aktivitas guru dalam memperkaya khasanah

pengetahuan yang dimilikinya .

Tabel 3. Upaya pengembangan diri guru untuk memperkaya wawasan keilmuan

No Upaya yang dilakukan Jml guru (orang)

1 Membaca buku teks/pelajaran/paket Biologi SMA 50 2 Membaca buku umum tentang Biologi 38 3 Membaca buku sumber berbahasa Indonesia 35 4 Membaca buku sumber berbahasa Asing 12 5 Mencari sumber bacaan dari internet 33 6 Melengkapi sumber bacaan dari jurnal umum 2 7 Melengkapi sumber bacaan dari majalah pendidikan 8 8 Melengkapi sumber bacaan dari jurnal Biologi 14 9 sumber lain : video pembelajaran, bertanya kawan 28

Data di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar guru cukup puas menambah

wawasan mengajar hanya dengan membaca buku pelajaran Biologi untuk satu jenjang

sekolah saja. Oleh karena itu sangat wajar kalau penguasaan konsep guru biologi

sangat terbatas karena Proses restrukturisasi pengetahuan merupakan sebuah proses

yang memerlukan reorganisasi signifikan struktur pengetahuan yang ada dan tidak

hanya pengayaan (Carey, 1985). Namun bila guru sendiri tidak berusaha untuk

mendapatkan tambahan pengetahuan baru dari sumber yang berbeda maka makin

sempitlah penguasaan wawasan konsep keilmuannya.

Chi (1992) bahwa perubahan konseptual dalam pembelajaran sains

merupakan proses akumulasi konsep-konsep yang baru ke dalam konsep-konsep

yang telah ada sebelumnya, maka diharapkan guru harus selalu menambah,

memperbaiki dan mengembangkan konsep-konsep keilmuan yang dimilikinya dari

berbagai sumber yang ada. Data di atas memperlihatkan masih sedikit guru yang

menggunakan sumber pengetahuannya dri buku berbahasa asing atau dari jurnal

penelitian.

Hal lain yang membatasi penguasaan konsep yang lebih baik pada seorang guru adalah

perasaan puas dengan apa yang telah dimiliki. Posner et al.(1982), menyatakan ada

empat kondisi fundamental yang harus dipenuhi sebelum perubahan konsep: (1) ada

Page 221: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 29

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

ketidakpuasan terhadap konsep yang ada, (2) ada konsep baru yang dapat dipahami,

(3) konsepsi baru harus masuk akal, dan (4) konsepsi baru menyarankan sesuatu yang

bermanfaat. Guru yang ,erasa cukup puas memiliki pengetahuan yang sudah ada

membuat dirinya tidak mau mengembangkan diri dengan memahami dan memperluas

penguasaan konsep keilmuannya. Padahal proses pembelajaran dapat membantu

perolehan pengetahuan tentang belajar konseptual sehingga menguatkan pandangan

eksplisit selama mempelajari konsep-konsep (Gunstone, 1991). Oleh karena itu

pemahaman konsep yang benar akan semakin kuat jika disertai dengan pengembangan

konsep yang baru dan mendasar sehingga konsep yang dimiliki akan semakin kuat dan

semakin diyakini kebenarannya.

SIMPULAN DAN SARAN

Penguasaan konsep guru terhadap materi Sistem reproduksi Angiosperma masih

kurang memadai dikarenakan penguasaan konsep hanya pada konsep dasar tidak sampai

pengetahuan yang mendalam tentang dasar dan alasan dari berkembangnya konsep

tersebut. Hal ini terjadi karena guru masih terbatas sumber pengembangan diri dalam

menguasai konsep konsep Biologi dengan benar dan lengkap.

Penelitian ini masih berupa penelitian awal, oleh karena itu disarankan untuk

melakukan penelitian lanjutan berupa: (1) Penelitian pemahaman konsep guru pada

materi biologi yang lain.; (2) Penelitian yang mengidentifikasi perubahan konseptual

pada guru, (3) Penelitian dapat memetakan penguasaan konsep yang dimiliki guru

biologi.

Untuk pengelola MGMP sebaiknya menyelenggarakan kegiatan yang

memfasilitasi kesulitan anggota dalam penguasaan konten biologi, mengembangkan

program-program pemberdayaan guru dan meningkatkan profesionalisme guru .

Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) sebaiknya mengadakan

pemetaan pengetahuan dan pemahaman konsep2 pembelajaran serta menyelenggarakan

kegiatan pelatihan yang memperbaiki konsep dan pemahaman keilmuan.

Page 222: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 30

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

DAFTAR PUSTAKA

Carey, S. (1985). Conceptual Change in Childhood. London: The MIT Press. Carin, A.A. (1997). Teaching Modern Science. New Jersey: Prentice-Hall Inc.

Chi, M. T. H. (1992). Conceptual change within and across ontological categories:

examples from learning and discovery in science. In: R. Giere (Ed.) Cognitive Models of Science. Minnesota Studies in the Philosophy of Science. Minneapolis: University of Minnesota Press. 129-186.

Cresswell, J.W., 2008, Education Research, New Jersey: Pearson International Edition.

diSessa, A. (1993). Toward an epistemology of physics. Cognition and Instruction, 10(2-3), 105-225.

Gunstone, R.F. (1991) Constructivism and metacognition: Theoretical issues and

classroom studies. In R. Duit, F. Goldberg, & H. Niedderer (Eds.), Conference on research in physics learning: Theoretical issues and empirical studies (pp. 129-140), University of Brennan, Germany: University of Brennan Press

Piaget, J. (1970). Genetic epistemology.New York: Columbia University Press.

Posner, G.J., Strike, K.A., Hewson, P.N., &Gertzog, W.A. (1982). Accommodation of a

scientific conception: Toward a theory of conceptual change. Science Education 66, 211-227.

Vosniadou, S., & C. Ioannides, (1998). From conceptual change to science education :

a phsycological point of view. International Journal of Science Education, 20, 1213-1230.

Page 223: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 31

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila 2011

PROFIL PENGUASAAN KETERAMPILAN RISET PENDIDIKAN SAINS

MAHASISWA CALON GURU BIOLOGI

Suatma1, Nuryani Y. Rustaman2, Ari Widodo2, Sri Redjeki2 1Universitas Palangkaraya, Palangka Raya, Kalimantan Tengah

2Sekolah PascasarjanaUniversitas Pendidikan Indonesia, Bandung

E-mail :www. [email protected]

ABSTRAK

Keterampilan riset (research skills) pendidikan sains sangat diperlukan oleh mahasiswa calon guru biologi. Selain untuk menyelesaikan tugas akhirnya, keterampilan riset pendidikan ini juga dapat menjadi bekal yang sangat berguna untuk mengembangkan dirinya kelak setelah mereka menjadi guru, sehingga mereka dapat menjadi guru yang profesional. Kenyataan menunjukkan bahwa penguasan keterampilan riset pendidikan khususnya pendidikan sains oleh mahasiswa masih rendah, hal ini terlihat dari lamanya penyelesaian tugas akhir mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penguasaan keterampilan riset pendidikan sains mahasiswa calon guru biologi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan pemberian tes kepada mahasiswa yang telah mengambil matakuliah metodologi penelitian sebanyak 30 orang yang diambil secara acak (random). Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat penguasaan keterampilan-keterampilan riset pendidikan sains mahasiswa calon guru biologi kurang dari 50 % (rata-rata 39,40%). Berdasarkan hasil ini, maka perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan keterampilan riset pendidikan sains bagi mahasiswa colon guru biologi.

Kata Kunci :Keterampilanrisetpendidikan, Tingkat penguasaaN

PENDAHULUAN

Penelitian-penelitian dalam bidang pendidikan secara bertahap telah

mempengaruhi sebagian besar kebijakan-kebijakan mengenai pendidikan. Selain itu,

hasil penelitian dalam pendidikan,juga telah digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan

dalam pendidikan (McMillan, 2001). Pendapat tersebut senada dengan pendapat Duit

(2007) yang menyatakan bahwa riset pendidikan sains telah memainkan peran yang

esensial tidak hanya dalam menganalisis status nyata dari literasi sains dan

pelaksanaannya di sekolah, tetapi juga dalam meningkatkan praktek mengajar dan

pendidikan guru.

Page 224: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 32

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila 2011

Pada tahun 2002 Committee on Scientific Principles of Education Research of

the National Research Council (NRC) melaksanakan peninjauan kembali

terhadappemikiran-pemikiran yang telah ada mengenai hakikat sains, dan kemudian

menempatkannya dalam konteks riset pendidikan modern. Menurut NRC, riset ilmiah

dalam pendidikan bertujuan untukmenyelidiki “dasar ilmiah” riset pendidikan yang

akan digunakan untuk meningkatkan kebijakan dan praktek pelaksanaanpendidikan.

Duit, et al. (2005) telah mengajukan suatu model rekonstruksi pendidikan

(Model of Educational Reconstruction) yang memberikan suatu wawasan yang lebih

mendalam kedalam hakikat riset pendidikan sains interdisipliner. Model tersebut telah

dikembangkan sebagai suatu kerangka kerja toeritik untuk penelitian yang bermanfaat

dan memungkinkan untuk mengajar area-area tertentu dari sains. Ada tiga komponen

yang berkaitan erat dengan model rekonstruksi pendidikan yaitu: (1) analisis struktur

konten, yang meliputi dua proses yang berkaitan,yakni klarifikasi materi subjek dan

analisis kebermaknaan pendidikan; (2) riset dalam mengajar dan belajar; (3)

pengembangan dan evaluasi pengajaran. Ketiga komponen tersebut merupakan domain

umum dari riset pendidikan sains, sedangkandomain riset pendidikan yang lainnya

adalah riset pada isu kurikuler dan isu kebijakan pendidikan sains.

McMilan (2001),berpendapatbahwa pendidikan merupakan area riset

interdisipliner yang memberikan deskripsi, penjelasan, dan evaluasi dari praktek

pendidikan. Praktek pendidikan berpusat pada pengajaran dan pembelajaran serta

termasuk praktek-praktek yang mempengaruhi pengajaran, seperti

inovasipengembangan kurikulum, administrasi, pengembangan staf, dan kebijakan-

kebijakanpendidikan.

Untuk dapat melaksanakan penelitian pendidikan dengan baik, seorang peneliti

harus memiliki keterampilan-keterampilan risetdalambidangpendidikan. Oleh karena

itu, mahasiswa sebagai calon pendidik seyogianya dibekali keterampilan-keterampilan

risetpendidikan, agar mereka dapat mengembangkan pengetahuannya melalui riset

pendidikan yang dilakukannya. Sehingga kelak mereka dapat menjadi seorang guru

yang profesional.

Keterampilan riset meliputi: inovasi, kemandirian, merumuskan dan

memecahkan masalah, menganalisis secara kritis dan kemampuan untuk mengolah

Page 225: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 33

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila 2011

informasi dalam berbagai cara. Kemampuan-kemampuan riset ini memerlukan

pengetahuan dan teknik-teknik yang lebih luas dalam disiplin ilmu, dan keterampilan-

keterampilan kognitif yang lebih tinggi (Roach, et al., 2000). Keterampilan-

keterampilan yang dapat membuat seorang peneliti yang baik, juga diperlukan untuk

mengembangkanpembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered learning),

dan setiap pengajaran yang dapat mendorong siswa untuk mengembangkan

keterampilan-keterampilan ini akan menguntungkan dalampenyelesaianstudi

merekadansekaligus meletakkan suatu landasan untuk belajar sepanjang hidupnya

(Yeoman & Zamorski, 2008).

MenurutTuckman (1978), mahasiswa dianggap telah memiliki keterampilan riset

apabila mereka telah memiliki sejumlah keterampilan dasar. Keterampilan-keterampilan

tersebut antara lain adalah: (1) mengidentifikasi dan merumuskan masalah; (2)

memformulasi hipotesis; (3) mengidentifikasi dan melabel variabel; (4) menyusun

definisi operasional variabel; (5) mengkaji literatur; (6) mengidentifikasi teknik untuk

memanipulasi dan mengontrol variabel; (7) menyusun rancangan penelitian; (8)

mengidentifikasi dan menjelaskan prosedur pengumpulan data; (9) melakukan analisis

statistik; dan (10) menulis laporan penelitian.

Keterampilan riset dibekalkan kepada paramahasiswa melalui perkuliahan

Metodologi Penelitian. Mata kuliah Metodologi Penelitian mempunyai bobot 3 SKS

diberikan di semester V(lima) dengan prasyarat telah menempuh mata kuliah Statistik

Dasar. Perkuliahan Metodologi Penelitian selain memuat materi mengenai rancangan

penelitian secara umum, juga memuat metode-metode penelitian dalam bidang

pendidikan. Selain diajarkan melalui perkuliahan metodologi penelitian, beberapa

keterampilan riset pendidikan ini juga telah diajarkan pada mata kuliah Proses

BelajarMengajar (PBM) (Suatma, 2011).

Hasil observasi dan wawancara dengan beberapa mahasiswa yang telah

mengambil mata kuliah metodologi penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar

mahasiswa masih belum menguasai keterampilan-keterampilan riset pendidikan, hal ini

juga dapat dilihat dari lamanya waktu yang diperlukan oleh mahasiswa untuk

menyelesaikan tugasa khirnya. Data yang adapada Prodi Pendidikan Biologi FKIP

Page 226: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 34

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila 2011

Universitas Palangkaraya menunjukkan rata-rata waktu penyelesaian skripsi mahasiswa

lebih dari dua semester.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian ini dengan tujuan untuk

mengetahui bagaimana profil penguasaan keterampilan riset pendidikan khususnya

pendidikan sains mahasiswa calon guru biologi. Hasil dari penelitian ini diharapkan

dapat digunakan untuk memperbaiki program perkuliahan metodologi penelitian

sehingga dapat meningkatkan keterampilan riset pendidikan sains mahasiswa.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalampenelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif

yaitu untuk menggambarkan tingkat penguasaan keterampilan-keterampilan riset

pendidikan sains mahasiswa calon guru biologi di Program studi Pendidikan Biologi

Jurusan pendidikan MIPA FKIP Universitas Palangkaraya.

Sampel yang diambil untuk penelitian ini sebanyak 30 orang mahasiswa yang

telah mengambil matakuliah metodologi penelitian dan telah dinyatakan lulus. Sampel

diambil secara acak sederhana (simple random sampling), kemudian kepada mereka

diberikan seperangkat soal tes untuk menggali penguasaan mereka terhadap

keterampilan-keterampilan riset pendidikan.

Data hasil tes yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif untuk melihat

persentase tingkat penguasaanya, selanjutnya data hasil perhitungan persentase

dianalisis secara deskriptif untuk melihat keterampilan riset pendidikan yang mana yang

masih belum dikuasai oleh mahasiswa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keterampilan-keterampilan riset yang diukur tingkat penguasaannya adalah

sebagai berikut: merumuskan masalah; merumuskan hipotesis; mengkaji literatur;

mengidentifikasi dan melabel variabel; menyusun definisi operasional variabel;

mengidentifikasi teknik untuk memanipulasi dan melabel variabel; menyusun rancangan

penelitian; menentukan teknik pengumpulan data; menentukan teknik analisis data;

Page 227: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 35

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila 2011

sertam enulis proposal dan laporan penelitian. Hasil pengukuran selengkapnya dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Tingkat Penguasaan Keterampilan Riset Pendidikan Sains Mahasiswa

Calon Guru Biologi

No.

KeterampilanRiset

Tingkat Penguasaan

(%) 1. Merumuskanmasalah 48,50 2. Merumuskanhipotesis 40,75 3. Mengkajiliteratur 36,75 4. Mengidentifikasidanmelabelvariabel 51,75 5. Menyusundefinisioperasionalvariabel 45,67 6. Mengidentifikasiteknikuntukmanipulasidanmengontrolvariabel 33,50 7. Menyusunrancanganpenelitian 36,50 8. Menentukanteknikpengumpulan data 37,13 9. Menentukanteknikanalisa data 22,17

10. Menulis proposal danlaporanpenelitian 41,25 Rata-rata 39,40

Dari tabel terlihat bahwa:keterampilan merumuskan masalah hanya dikuasai

oleh 48,50% mahasiswa; merumuskan hipotesis hanya dikuasai oleh 40,75%

mahasiswa; mengkaji literature hanya dikuasai oleh 36,75% mahasiswa;

mengidentifkasi dan melabel variable dikuasai oleh 51,75% mahasiswa; menyusun

definisi operasional variable hanya dikuasaioleh 45,67% mahasiswa; mengidentifikasi

teknik untuk manipulasi dan mengontrol variable hanya dikuasai oleh 33,50%;

menyusun rancangan penelitian hanya dikuasai oleh 36,50% mahasiswa; menentukan

teknik pengumpulan data hanya dikuasai oleh 37,13% mahasiswa; menentukan teknik

analisis data hanya dikuasaioleh 22,17% mahasiswa; dan menulis proposal dan laporan

penelitian hanya dikuasai oleh 41,25%.

Secara keseluruhan keterampilan rise tpendidikan ini hanya dikuasai oleh

39,40% mahasiswa, hal ini berarti bahwa sebagian besar mahasiswa calon guru biologi

masih belum menguasai keterampilan riset pendidikan. Sehingga dapat dipahami

mengapa mereka mengalami kesulitan dalam penyelesaian tugasakhirnya.

Salah satu penyebab kurangnya penguasaan keterampilan riset ini adalah system

perkuliahan yang dilaksanakan selama ini. Perkuliahan metodologi penelitian

Page 228: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 36

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila 2011

dilaksanakan dengan metode ceramah dan pemberian tugas, mahasiswa tidak dilatih

untuk mengembangkan keterampilan risetnya. Sehingga mahasiswa hanya tahu secara

teoritis namun dalam prakteknya mereka kurang terampil. Alasan tidak diberikannya

latihan ini adalah karena waktu yang disediakan untuk perkuliahan dirasakan masih

kurang. Akibat kekurangan waktu ini, maka ada keterampilan-keterampilan riset yang

penting tidak dilatihkan.

Untuk mengatasi kurangnya waktu perkuliahan ini, salah satu upaya yang dapat

dilakukan adalah dengan mengadakan koordinasi antara dosen pengampu mata kuliah

metodologi penelitian dengan dosen-dosen pengampu mata kuliah (PBM). Karena

banyak keterampilan-keterampilan riset pendidikan yang diajarkan pada mata kuliah

PBM. Banyaknya keterampilan riset yang diajarkan pada mata kuliah PBM akan

menguntungkan mata kuliah metodologi penelitian, karena beban materi yang harus

diajarkan semakin berkurang. Dengan berkurangnya materi yang harus diajarkan, maka

akan ada lebih banyak waktu yang tersedia untuk melatihkan keterampilan-keterampilan

riset pada mahasiswa (Suatma, 2011).

Menurut Carrol dan Feltam (2007), mahasiswa akan menunjukkan kinerja yang

lebih baik jika diberi waktu yang lebih lama untuk berlatih mengenai keterampilan-

keterampilan riset yang merupakan keterampilan-keterampilan kunci. Berdasarkan hasil

penelitian Carrol dan Feltam tersebut, maka dalam perkuliahan Metodologi Penelitian

ini perlu diperbanyak latihan bagi mahasiswa. Dengan banyaknya latihan mengenai

keterampilan riset kependidikan ini, maka mahasiswa mempunyai banyak kesempatan

dan waktu untuk berlatih, sehingga diharapkan setelah menyelesaikan mata kuliah

tersebut mahasiswa sudah memiliki keterampilan riset yang memadai untuk dapat

menyelesaikan tugas akhirnya.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian

besar mahasiswa calon guru biologi masih belum menguasai keterampilan riset

Page 229: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 37

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila 2011

pendidikan sains, sehingga diperlukan adanya upaya untuk meningkatkan keterampilan

riset pendidikan sains tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Carroll, S., and Feltam, M.(2007). Knowledge or Skills – The Way to a Meaningful

Degree? An Investigation into The Importance of Key Skills Within an Undergraduate Degree and The Effect This On Student Success. Bioscience Education e-journal 10: -

Duit, R. (2007). Science Edcation Research Internationally: Conceptions, Research

Methods, Domains of Research. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 2007, 3(1), 3 -15.

Duit, R., Gropengieber, H., & Kattmann, U. (2005). Towards science education research

that relevant for improving practice: The model of educational recontruction.

In H.E. Fisher, Ed 9(2005). Developing standards in research on science

education, London: Taylor & Francis. 1 – 9.

McMillan, JH., &Schumacher, S. (2001).Research in Education: A Conceptual

Introduction. Fifth Ed. New York: Addison Wesley Longman, Inc.

National Research Council. (2002). Scientific Research in Education. Edited by

Shavelson RJ. Towne L. Washington DC: National Academic.

Roach, M., Blackmore, P. and Demster, J. (2000) Supporting high level learning

through research based methods: Interim guidelines for course design.

TELRI Project Centre for Academic Practice, University of Warwick.

Suatma. (2011). Identifikasi Keterampilan Riset Pendidikan Sains Pada Mata kuliah

Proses Belajar Mengajar (PBM) Program Studi Pendidikan Biologi.

Makalah. Diseminarkan Pada Seminar Nasional Jurusan Pendidikan Biologi

FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Tuckman, BW. (1978). Conducting Educational Research. Second Ed. San Diego.

Harcourt Brace Jovanovich Publishers.

Yeoman, KH., and Zamorski, B. (2008). Investigating the Impact on Skill Development

of an Undergraduate Scientific Research Skills Course. Bioscience Education

e-journal. 11: -

Page 230: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 38

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

THE IMPROVEMENT OF LEARNING ACHIEVEMENT IN PLANT

PHYSIOLOGY THROUGH INCREASE THE ACTIVITY OF STUDENT

Tunjung Tripeni H1, Rochmah Agustrina1 1Jurusan Biologi FMIPA Unila

ABSTRACT

As a required course, ingeneral,studentsassumethat Plant Physiology I in the

Department ofBiology Unila is a difficult course. Thisimageis reinforcedby

theprerequisitecourses thatalso considered as quitecourses. As a result, students are

oftenreluctant, forced, andapathetictoattendthe course.Teaching team took an initiativeto

change thelearningstrategytoimproveand make effective ofthe student activitiesin

theclassroom. This strategy isimplementedby designinglearning activitiesin the form

ofstudentworksheetthatcontains a series ofactivitiesthat must beexperienced ann

discussed bystudentsthus indirectlymotivate thestudentsmore activein

learningandunderstanding aconcept orprocessinthiscourse.

Comparedwiththe result of previousyearslecture, It has obtainedthat the

studentachievementsbased on the students who has scored ≥Bwas not significantly

increased (84% versus 82%obtained from the previousyear result), butit was

significantlyincrease thenumber of studentswho scored =A(33%

comparedpreviousyearresult 14%).

Keywords: Student work sheet, student activity, student achievement

PENDAHULUAN

Sebagai mata kuliah (MK) wajib, umumnya mahasiswa menganggap Fisiologi

Tumbuhan(FT) sebagai MK sulit. Anggapan ini diperkuat dengan prasyarat MK yang

juga merupakan MK yang sulit. Akibatnya, mahasiswa bersikap enggan, terpaksa, dan

apatis dalam mengikuti perkuliahannya.Banyaknya rumus makromolekul, reaksi kimia

yang kompleks dan rumit dalam materi MK membuat mahasiswa ‘ketakutan’dan

bersikap pasrah. Sementara itu, metoda pembelajaran konvensional (teacher center

process) yang digunakan selama ini membuat perkuliahan menjadi lebih

tidakmenarikmeskipun sudah mengintensifkan pemanfaatan tayangan (power point)

sebagai media pembelajaran.

Page 231: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 39

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Upaya peningkatan kualitas proses perkuliahan dilakukan tim dosen melalui

peningkatkan frekuensi pemberian tugas dan kuiz dengan harapan dapat memotivasi

mahasiswa untuk lebih sering mempelajari materi MK. Namun karena peningkatan

hasil belajar yang terjadi bukan sebagai hasil peningkatan sikap atau minat untuk belajar

sendiri makahasil yang diperoleh lebih merupakan capaian (achievement) capaian yang

cepat namun cepat pula terlupakan bukanability yang diperoleh secara perlahan dan

tidak mudah hilang atau terlupakan (Rustaman, 2006).

Melalui kegiatan peningkatan hasil perkuliahan, tim pengajar MK

FTmenerapkan strategiperkuliahan yang lebih mengefektifkan aktivitas mahasiswa

(student center process/SCP).Dalam strategi ini mahasiswa dimotivasi untuk dapat

belajar mandiri, sehingga setelah mengikuti perkuliahan diharapkan mahasiswa

memperoleh pengalaman untuk dapat mempelajari/memahami konten MK secara

mandiri (Rustaman, 2006), bukan karena diberi melaluipenjelasan dosen.

Sebagai MK yang menuntut pemahaman dan penguasaan konsep dasar gejala

alam biofisika-kimia yang rumit, FT dianggap sebagai MK sulit sehingga kurang

diminati meskipun merupakan MK wajib. Penyampaian materi secara konvensional,

terutama mengenai prosesbiokimia-biofisika yang kompleks membuat mahasiswa cepat

merasa jenuh, mudah kehilangan konsentrasi, dan frustasi. Indikasi ini terlihat

saattanya jawab, umumnya mahasiswa menunjukkan sikap pasif dan apatis. Akibatnya,

proses perkuliahanmenjadi tidak efektif,materi tidak dapat selesai tepat waktu,sehingga

perlu tambahan waktu di luar jadwal kuliah yang sebenarnyatidak banyak membantu

meningkatkan penguasaan materi. Bagi tim pengajar, kondisi ini menandakan

kurangnya keseriusan dan minat mahasiswa.

Kondisi di atas menunjukkan bahwa strategi perkuliahan konvensional untuk

MK FT kurang tepat. Mahasiswa tidak terlibat sepenuhnya dalam proses perkuliahan,

tapi lebih sebagai objek penerima transfer pengetahuan dari dosen. Strategi

konvensional menuntut dosen lebih aktif dari mulai mapersiapkan, meyusun materi,

sampaipelaksanaan perkuliahan dan kurang dapat memotivasi mahasiswa untuk aktif

belajar mandiri.Strategi ini juga monoton dan membosankan, mahasiswa pun belum

tentu memahami mengapa mereka harus menguasai seluruh paket materi yang disusun

dosen.

Page 232: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 40

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Alternatif yang diajukan untuk memperbaiki pelaksanaan perkuliahan FT adalah

menggunakan strategi perkuliahan yang berorientasi pada aktivitas mahasiswa (SCP)

yang menuntut mahasiswa lebih aktifdalammengeksplorasi dan menguasai materi secara

mandiri memanfaatkan seoptimal mungkin media pembelajaran yang tersedia. Dosen

bertindak lebih sebagai fasilitator, bukan sebagai agen utama pentransfer pengetahuan.

Tujuan penerapan strategi SCPadalah untuk meningkatkan minat, pemahaman,

dan kemandirian mahasiswa dalam mempelajari materi perkuliahan.Setelah mengikuti

perkuliahan, terjadi peningkatan prestasi akademik dankemampuan untuk menyatukan

sikap dan wawasan ilmiahnya yang dapat digunakan dalam kesehariannya.

Tujuan khusus kegiatan ini adalah: (a) meningkatkan kemampuan tim dosen

MKFTmenerapkan strategiSCP dalam perkuliahannya dengan: (1) menyusun materi

perkuliahan yang sesuasi dengan strategi SCA, (2) memotivasi mahasiswa agar lebih

aktif melaksanakan kegiatan belajar: mengamati, menganalisis data/fakta yang

disajikan, berdiskusi, mengajukan hipotesis, dan memperoleh jawaban sendiri saat

perkuliahan berlangsung, (3) meningkatkan rasa percaya diri mahasiswa sehingga

mampu menyatakan pendapat, beragumentasi, memberikan contoh, menerima dan atau

mengkritik (bukan menyerang) pendapat orang mengenai materi yang didiskusikan

berdasarkan fakta/data yang disajikan. (b) meningkatkan minat dan kemampuan

mahasiswa dalam mempelajari materi perkuliahan secara mandiri dengan cara: (1)

merancang kegiatan perkuliahan yang lebih melibatkan aktivitas mahasiswa, (2)

menyusun lembaran kerja mahasiswa yang berisi serangkaian aktivitas yang dapat

memotivasi mahasiswa lebih aktif dalamkegiatan belajarnya. (c) mengoptimalkan

pemakaian media (buku ajar, media perkuliahan, dll.) yang tersedia untuk mencapai

tujuan perkuliahan.

Peningkatkan efisiensi dan mutu proses perkuliahan Fisiologi Tumbuhan

dilakukan dengan menerapkan strategi perkuliahan yang lebih berorientasi pada

aktivitas aktivitas mahasiswa (Nasution, 2004 dan Hilberman, 2002).

Penyelenggaraan perkuliahan FT selama ini dilaksanakan menggunakan

strategikonvensional yaitu: ceramah, pemberian tugas terstruktur, diskusi, dan

praktikum/responsi, yang lebih bertumpu pada aktivitas dosen, dosen berakting

Page 233: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 41

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

(ceramah) di depan kelas dan mahasiswa menonton (mendengarkan). Strategi transfer

ilmu ini sebenarnya tidak lebih dari proses penjejalan konsep melalui ceramah dan atau

pemberian tugas yang harus dicari jawabannya dalam texk book. Sehingga, mahasiswa

hanya mendapat sajian konsepsudah jadi, tinggal pungut, menghafal, dan kemudian

berusaha untuk memahaminya. Orientasi target proses perkuliahan ini adalah

penguasaan materi dan terbukti hanya berhasil dalam meningkatkan capaian mahasiswa

dalam jangka pendek tetapi gagal dalam membekali mahasiswa untuk menerapkannya

dalam menyelesaikan permasalahan yang ditemuianya dalam jangka panjang.

Shull dan Rustaman (2006) menjelaskan bahwa bila menginginkan mahasiswa

mempelajari sesuatu secara efektif, maka tugas dosen yang utama adalah bagaimana

membuat mahasiswa tersebut benar-benar ‘melakukan aktivitas’ belajar untuk mencapai

hasil yang diharapkan. Jadi yang penting adalah apa yang mahasiswa kerjakan ‘bukan’

apa yang dosen kerjakan. Pendapat yang sama dikemukakan Djamarah (2000) yang

menjelaskan bahwa guru yang di dalam interaktif edukatifnya benar-benar menerapkan

aktivitas mahasiswa dia akan menerapkan belajar sambil bekerja (learning by doing).

Melakukan aktivitas adalah bentuk pernyataan mahasiswa bahwa pada hakekatnya

belajar adalah perubahan yang terjadi setelah melakukan aktivitas. Penjelasan ini

menegaskan pentingnya aktivitas mahasiswa dalam proses perkuliahan yang

sebenarnya.

Kegiatan perkuliahan dikatakan aktif bila mahasiswa melakukan sebagian besar

aktivitas belajar, menggunakan otaknya untuk mempelajari bagan-bagan, rumus-rumus,

memecahkan berbagai masalah, dan menerapkan apa yang dipelajarinya (Hilberman,

2002). Pada prinsipnya belajar adalah berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi

melakukan kegiatan. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Jadi, aktivitas

merupakan prinsip atau azas yang penting dalam interaksi belajar mengajar (Tardiman,

1996). Nasution (2004) tegas mendefinisikan belajar adalahserangkaian aktivitas

seperti: berbuat, beraksi, mengalami, dan mengerjakan. Tanpa perbuatan mahasiswa

tidak berpikir. Agar mahasiswa berfikir sendiri, ia harus diberi kesempatan untuk

berbuat sendiri.

Berbagai pendapat mengenai konsep belajar di atas jelaslah menunjukkan bahwa

aktivitas mahasiswa harus menjadi fokus utama dalam kegiatan perkuliahan bila yang

Page 234: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 42

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

diharapkan adalah perubahan pengetahuan, perilaku, dan sikap mahasiswa terhadap

materi yang dipelajarinya. Tugas dosen harus lebih sebagai mediator, fasilitator,

motivator bagi mahasiswa untuk mencapai tujuan kuliahnya. Sesuai tujuan tersebut,

maka perlu dilakukan perubahan dalam menyusun perencanaan dan penyajian materi

perkuliahan, sehingga dalam proses perkuliahan, yang terjadi betul-betul proses belajar

mahasiswa bukan proses mengajar dosen.

Materi perkuliahan yang selama ini disajikan dalam bentuk ceramah harus

diubah ke dalam bentuk yang mampu memotivasi rasa penasaran/ingin tahu mahasiswa.

Dosen harus menyiapkan fasilitas (materi dan media kuliah), bantuan, arahan, atau

petunjuk yang diperlukan mahasiswa untuk memperoleh tujuan belajarnya.

Kemampuan dosen menciptakan kondisi yang kondusif dalam memotivasi mahasiswa

untuk aktif, kreatif dalam kegiatan belajarnya sangat menentukan keberhasilan proses

perkuliahan.

METODE PENELITIAN

MetodE peningkatan hasil perkuliahan Fiologi Tumbuhan sidengan strategi yang

berorientasi pada aktivitas mahasiswa disusun sebagai berikut.

Persiapan. Persiapan pelaksanaan program terdiri dari beberapa tahapan

kegiataan sebagai berikut:

(a) Penyusunan skenario pembelajaran. Karena tidak semua materi perkuliahan dapat

disampaikan menggunakan strategi SCP, maka skenario perkuliahanharus disesuaikan

dengan topik perkuliahanya. Materi yang melibatkan proses misal: pengamatan untuk

membedakan jenis sel (Bab I Buku Ajar Fisiologi Tumbuhan I: Struktur dan Organel

Sel), sangat tepat untuk menggunakan strategi SCP. Namun materi dalam bab tersebut

juga terdapat konsep-konsep yang memerlukan diskusi untuk memahaminya. Maka

untuk materi Bab I, skenario perkuliahan disusun sbb: (1) Mengkondisikan kelas dengan

cara menginformasi bahwa dalam perkuliahan akan dilakukan pengamatan data (gambar

berbagai ultrastruktur sel) dan diskusi hasil pengamatan. Materi yang akan

didiskusikandisusun dalam bentuk lembar kerja mahasiswa (LKM). Supaya kuliah

berjalan sesuai rencana, maka disusun strategi sebagai berikut: materi perkuliahan

Page 235: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 43

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

(dalam buku ajar Fisiologi Tumbuhan I) sudah harus dibaca mahasiswa sebelum kuliah

di mulai; posisi duduk mahasiswa disusun sedemikian rupa sehingga kondusif untuk

berlangsungnya diskusi kelompok dan kelas; membagi kelas dalam kelompok kecil (5

orang per kelompok); dosen harus mengenali setiap mahasiswa dan memposisikan diri

sebagai tutor/fasilitator serta mengupayakan interaksi yanglancar, dinamis, dan tidak

kaku. (2) Pada setiap awal perkuliahan dosen menyampaikan kegiatan yang harus

dilaksanakan oleh mahasiswa. Misal ada berapa konsep yang memerlukan pengamatan

sebelum didiskusikan atau yang langsung didiskusikan. Mahasiswa diberi tahu waktu

yang tersedi untuk mendiskusikan materi tersebut dalam diskusi kelopmpok

maupunkelas. (3) Dosen memfasilitasimahasiswa dalam melakukan diskusi kelasuntuk

menyamakan persepsi berdasarkan hasil diskusi kelompok mengenai konsep/materi

yang dibahas. Sebagai moderator, dosen harus mengarahkan diskusi sesuai tujuan

perkuliahan. (4) Di akhir perkuliahan, kelas harus membuat kesimpulan. Hasil kegiatan

perkuliahan (refleksi) mahasiswa diukur berdasarkan hasil penyelesaian tugas mandiri

(terstruktur) sebagai pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan pada awal pertemuan

berikutnya. (5) Hasil tugas terstruktur dikembalikan kepada mahsiswa seminggu setelah

dikumpulkan. Di awal pertemuan tersebut dosen harus menyediakan waktu untuk

membahas jawaban mahasiswa yang terlalu menyimpang atau yang sangat baik sebagai

bagian dari sharing informasi. Kegiatan ini selain untuk mengetahui hasil refleksi

mahasiswa, juga sebagai cara untuk memberi tahu mahasiswa bahwa setiap kegiatan

dan upaya yang dilakukan diperhatikan dan dihargai. Dengan demikian diharapkan

dapat memotivasidan melatih mahasiswa untuk menerimakritik dan penghargaan/pujian

atas kegiatan ilmiahnya.

(b) Menentukan media pembelajaran. Media yang digunakan disesuaikan dengan

topik materi perkulihan. Misal untuk menjelaskan materi pada Bab I buku ajar Fisiologi

Tumbulan, tim dosen mempersiapkan gambar berbagai bentuk sel, baik yang artifisial

atauhasil pemotretan preparat awetan (bentuk asli). LCD dan atau OHP dimanfaatkan

untuk memperjelas beberapa gambar sehingga mempermudah mahasiswa mengamati

ciri-ciri dan membedakan jenis sel. Konsep yang tidak dapat dijelaskan dengan gambar,

disusun untuk kegiatan diskusi dalam LKM.

Page 236: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 44

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

(c) Penyusunan bahan dan alat pembelajaran. Buku ajar untuk MK Fisiologi

Tumbuhan sudah tersedia. Namun untuk memperkaya wawasan, disediakan beberapa

text books, artikel dari berbagai jurnal terkait dan sumber-sumber lainnya seperti

majalah kontemporer, koran, dan internetsupaya materi perkuliahan selalu up to dateand

link dengan perkembangan di masyarakat.

(d) Mempersiapkaninstrumenobservasi untuk evaluasi pelaksanaan perkuliahan.

Observasi pelaksanaan perkuliahan dilakukan pada mahasiswa maupun dosen saat

perkuliahan berlangsung. Instrumen observasi disusun dalam serangkaian butir

pernyataan mengenai kegiatan mahasiswa dan dosen kemudian diberi nilai sebagai:

sangat kurang, kurang, baik, sangat baik. Observasi dilakukansetiapkalistrategi SCP

diterapkan dalam perkuliahan. Observeradalahanggotatimdosen yang

sedangtidakmenjadifasilitator/moderator.

(e) Merencanakan evaluasi pelaksanaan perkuliahan. Evaluasi pelaksanaan

perkuliahan didasarkan hasil observasi dengan mengasses nilai setiap butir pernyataan

kegiatan perkuliahan oleh mahasiswa maupun dosen. Dalam lembar monitoring

kegiatan mahasiswa (LMKM) terdapat 6 pernyataan yang menunjukkan mahasiswa

aktif (on) dan 5 pernyataan yang menunjukkan mahasiswa tidakaktif (off). Penilaian

diberikan bila mahasiswa menunjukkan aktivivitas positif (on) selama diskusi dengan

memberikan skor sebagai berikut. Bila rerata aktivitas mahasiswa selama perkuliahan:

5,0 – 6 diberiskor 85 (A, sangatbaik); 4,0 – 4,9 diberi skor 80 (B, baik); 3,0 – 3,9 diberi

skor 75 (C, Cukup baik); dan 2,0 – 2,9 diberi skor 70 (D, kurang). Evaluasi

pelaksanaan perkuliahan oleh dosen didasarkan atas hasil monitoring dan evaluasi

(monev) perkuliahan yang dilakukan Tim Jaminan Mutu Jurusan (TJMJ).Hasil analisis

skor yang diperoleh dari LMKM dan instrumen monev perkuliahan menentukan baik

tidaknya pelaksanaan perkuliahan. Assesmen hasil perkuliahan juga dikaitkan dengan

kualitas dan kuantitas fasilitas seperti media yang tersedia atau disediakan tim dosen.

Dengan demikian, hasil evaluasi diharapkan dapat menemukenali akar permasalahan

penyebab kendala-kendala dalam pencapaian tujuan perkuliahan.

(f) Merencanakan refleksi pelaksanaan pembelajaran. Refleksi hasil kegiatan

dilakukan melalui hasil tugas terstruktur untuk setiap bab materi perkuliahan, quiz

minimal 2 kali per semester, dan empat kali ujian termasuk UTA dan UAS.

Page 237: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 45

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pelaksanaan. Pelaksanaan program peningkatan dibagi menjadi tiga tahapan

kegiatan yaitu: tahap awal, pertengahan, dan akhi rpembelajaran.

Tahap

Pembelajaran Dosen Mahasiswa

Awal Mengkondisikan kelas untuk

pelaksanaan perkuliahan

dengan strategi SCP

Mempersiapkan diri untuk pelaksanaan

perkuliahan sesuai arahan dari dosen.

Membuat kelompok kecil (5 orang per klp.)

Pertengahan Memfasilitasi mahasiswa

dalam melakukan observasi

atau diskusi materi yang

diminta dalam LKM. Menjadi

moderator kegiatan diskusi

kelas

Melaksakan observasi, diskusikan hasil

observasi atau kajian yang diminta dalam

LKM.Melaksnakan diskusi kelas untuk

menyamakan persepsi hasil diskusi klp.

Akhir Memfasilitasi mahasiswa

membuat kesimpulan hasil

perkuliahan pada akhir

pertemuan. Memberikan tugas

terstruktur untuk melihat

refleksi mahasiswa terhadap

hasil perkuliahannya

Membuat kesimpulan mengenai hasil

perkuliahan pada pertemuan tersebut.

Menyelesaikan tugas terstruktur (di rumah

secara mandiri)

Observasi

Dilakukan oleh anggota tim

dosen yang sedang tidak

bertugas berdasarkan LMKM

dan instrumen monev

Dilakukan oleh anggota tim dosen yang

tidak sedang bertugas pada setiap individu

mahasiswa berdasarkan dalam LMKM

Evaluasi Dilaksanakan seperti dijelaskan pada pelaksanaan pembelajaran

Refleksi Dilaksanakan seperti dijelaskan pada pelaksanaan pembelajaran

Keberhasilan pelaksanaan program peningkatan hasil perkuliahan diukur melalui

indikator kinerja yang tertera pada tabel dibawah ini

Indikator

Kinerja

Capaian

Kurang (D) Cukup (C) Baik (B) Baik sekali (A)

Kualitas proses pembelajaran

< 50 % mhsw yg aktif

50-75% mhs aktif

75-90% mhsw aktif

>90% mhsw aktif

Efektivitas proses pembelajaran

< 50 % mhsw mdpt nilai B

50-75% mhsw mndpt nilai B

75-90% mhsw mndpt nilai B

>90% mhsw mendpt nilai B

Page 238: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 46

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Peningkatan sikap/minat ilmiah mahasiswa

Rata-rata skor hasil evaluasi keg.mhsw < 2.00

Rata-rata skor hasil evaluasi keg.mhsw 2.00– 2.50

Rata-rata skor hasil evaluasi keg.mhsw 2.51– 3.00

Rata-rata skor hasil evaluasi keg.mhsw > 3.00

Kualitas perkuliahan dosen

Rata-rata skor hasil evaluasi kinerja dosen < 2.00

Rata-rata skor hasil evaluasi kinerja dosen 2.00– 2.50

Rata-rata skor hasil evaluasi kinerja dosen 2.51– 3.00

Rata-rata skor hasil evaluasi kinerja dosen > 3.00

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari enam belas kali pertemuan untuk perkuliahan FTdilaksanakan 11

pertemuan menggunakan strategi SCA dan 5 kali pertemuan dengan strategi

konvensional. Pembagian strategi penyampaian materi perkuliahan diperlukan karena

tidak semua materi perkuliahandapat disampaikan menggunakan strategi SCA.

Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa strategi perkuliahanSCA mendapat respon

yang cukup positif dari mahasiswa. Semua mahasiswa terlibat cukup aktif dalam

kegiatan perkuliahan dengan skore rata-rata 3,59. Keterlibatan mahasiswa dalam

diskusi kelas pun cukup baik, meskipun keberanian untuk menyampaikan pendapat

masih harus ditingkatkan. Baru sekitar 3 – 5 orang mahasiswa yang sudah berani

menyampaikan pendapat atau bertanya tanpa harus diminta oleh dosen (Tabel 1).

Sebagian besar mahasiswa baru mau menyampaikan pendapatnya setelah diminta atau

ditunjuk oleh dosen.

Hasil observasi perilaku mahasiswa menunjukkan baru 40% mahasiswa yang

memiliki perilaku belajar yang baik. Sebagian besar mahasiswa (60%) belum dapat

berkonsentrasi penuh pada saat perkuliahan atau diskusi berlangsung, terlihat dari

sikapnya yang pasif, mengantuk atau melamun (Tabel 2). Di beberapa kelompok kecil,

terdeteksi ada ada kecenderungan untuk mengandalkan anggota kelompok tertentu yang

dianggap dapat mewakili kelompoknya. Mahasiswa yang mewakili kelompok kecil

dalam diskusi kelas selalu mahasiswa yang sama kecuali kalau diminta oleh dosen.

Pada Tabel 1 dan 5 di bawah dapat dilihat bahwa mahasiswa yang menunjukkan

aktivitas belajar ‘Baik dan Sangat Baik’ (A dan B) berhasil memperoleh nilai akhir

minimal ≥ 65.5 atau B (Tabel 6).

Page 239: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 47

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 1. Rekap nilai monitoring terhadap pengamatan aktivitas mahasiswa

X Nilai

on off on off on off on off on off on off on off on1 Adhy Purnomo 05………001 3 3 3 2 2 3 3 1 2,71 702 Andes Mn Mustofa 05………019 3 1 3 2 1 3 2 3 3 2,71 703 Anna Yuliana Insyani 05………002 6 6 6 6 6 6 6 6,00 854 Anggi Aldilla 05………022 3 4 4 3 5 3 3 3,57 75

5 Anita Mayasari 03………023 5 3 3 4 3 3 4 3,57 756 Anjarsyah 05………004 6 4 5 3 5 5 4 4,57 807 Arie Tri N 05………027 4 3 3 2 1 3 1 4 2 1 2,86 708 Ari Wijaya 03………026 6 6 6 2 5 6 5 5,14 859 Ari Astuti 03………025 3 1 1 3 1 2 6 6 3,14 75

10 Asep Trikusuma 05………028 6 6 6 6 6 6 6 6,00 8512 Bagas Dwi GS 05………029 1 1 3 1 3 1 3 3 2,60 703 Cherly Wanda K 03………030 4 2 2 1 1 1 2 1 2 1 2,00 704 Christiana Z Samual 05………031 4 1 4 4 3 4 4 3 1 3,71 755 Danang Wibowo 05………032 4 1 5 4 3 3 4 5 4,00 806 Desti Haryanti 05………034 3 2 3 1 2 1 3 1 3 2,67 70

7 Dewi safitri 05………035 6 6 6 6 4 5 6 5,57 858 Eka Agustina 05………036 5 3 3 2 3 3 3 1 3,14 759 Febri Yanti 05………039 3 3 3 2 4 2 3 2,86 70

20 Fitri F Mandrias 05………008 3 3 3 1 1 1 3 2 1 2,29 701 Githa Widya P 05………040 5 3 3 1 1 4 3 1 3 3,14 75

2 Hairul Badri 05………041 2 2 2 1 3 1 2 3 2 2,29 703 Hotmaida Hutagaol 05………042 4 3 3 2 3 3 3 3,00 754 Ika Pujiyati 05………010 6 3 6 6 6 6 6 5,57 855 Leni Anggi 05………045 3 3 4 2 1 2 1 3 1 3 2,86 706 Luluk May Saroh 05………046 4 1 2 1 2 3 3 2,00 70

7 Mahe Sandra 05………048 3 1 6 1 2 3 3 2 1 2,86 708 Mei Linda M 05………049 6 6 5 5 5 5 5 5,29 859 Melli Anggraini 05………050 5 6 2 2 3 1 4 3 1 3,57 75

30 Mita Yuniar 05………051 5 3 3 4 5 3 3 3,71 751 M Uky Setiawan 05………047 5 3 1 3 3 1 3 3,00 752 Nevi Dini Astuti 05………053 4 5 6 3 1 4 4 4 4,29 80

3 Ni Putu Eka Pratiwi 05………054 5 4 3 1 4 3 3 3,29 754 Noni Vedia 05………056 4 5 6 3 1 3 5 3 4,14 805 Novitasri 05………055 4 3 2 2 3 1 2 2 1 2,57 706 Nurhyati 05………057 3 3 5 3 4 3 3 3,43 757 Retno wulandari 05………059 3 1 3 3 3 3 3 2,57 70

8 Revny Putri 05………060 4 3 4 3 1 3 4 3 1 3,43 759 Robbi S Lesmana 05………061 3 3 3 3 2 1 4 3 3,00 75

40 Sri Suwarni 05………063 6 6 4 5 6 5 6 5,43 851 Sri Winarni 05………064 6 4 5 4 5 4 5 4,71 802 Tira Amalia 05………014 5 1 5 4 2 1 3 5 4 4,00 80

3 Tri Astuti 05………065 4 3 4 1 2 1 3 4 2 1 3,14 754 Yeni 05………016 4 1 4 3 1 3 1 4 3 1 3 3,43 755 Yulita Mikayanti 05………071 5 3 3 3 3 4 3 3,43 756 Yuries Yoga Perdana 05………072 3 4 2 1 2 1 3 3 2,43 707 Widi Asmuri 05………066 4 2 3 1 3 1 2 1 3 3 2,86 708 Widya Pamungkas 05………067 3 2 3 2 2 1 3 2 1 2,43 70

9 Widya Tri Purwani 05………069 6 6 6 6 6 6 6 6,00 8550 Wulan Damayanti 05………070 6 4 4 5 6 4 4 1 4,71 80

3,586 75,6

Rekap Aktivitas Mahasiswa Kegiatan diskusi ke2 3 41

Rata rata

7 8 11No NAMA MAHASISWA NPM

Page 240: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 48

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 2. Hasil rekap monitoring aktivitas belajar mahasiswa mata kuliah Fisiologi

Tumbuhan I yang dilaksanakan dengan metoda berorientasi pada aktivitas

mahasiswa

Aktivitas Skore Nilai Jumlah Persentase Sangat baik (A) (5,0 – 5,9) 85 8 16

Baik (B) (4,0 – 4,9) 80 7 14 Cukup (C) (3,0 – 3,9) 75 17 35 Kurang (D) (2,0 – 2,9) 70 17 35

Kurang sekali (E) (1,0 – 1,9) 65 0 0 Jumlah 49 100

Dibandingkan capaian hasil kuliah mahasiswa tahun sebelumnya, penerapan

strategi ini belum dapat meningkatkan capaian mahasiswabahkan menurun menjadi

71.77 dari 77,06%yang diperoleh kelas pada tahun sebelumnya denganmenggunakan

strategi konvensional (Tabel 3). Meskipun tidak meningkatkan capaian hasil belajar

mahasiswa, namun secara keseluruhan penerapan strategi perkuliahan yang berorientasi

pada aktivitas mahasiswa direspon sangat positif sehingga hampir seluruh mahasiswa

terlibat aktif dalam perkuliahan dan menunjukkan sikap ilmiah yang cukup baik.

Tabel 3. Perbandingan hasil capaian belajar mahasiswa yang dilaksanakan dengan metoda konvensional (2006-2007) dan yang berorientasi pada mahasiswa aktif (2007-2008)

Nilai Metoda perkuliahan

Konvensional Orientasi mhs aktif Jumlah % Jumlah %

Rerata kelas 77.06 71,32 A 7 14 16 33 B 34 68 26 51 C 7 14 8 14 D 0 0 1 2 E 2 4 0 0

Jumlah 50 100 49 100

Tabel 4. Indikator kinerja pelaksanaan hibah pembelajaran

Indikator Kinerja Capaian

Konvensional Orientasi mhs aktif Kualitas proses pembelajaran Tidak ada data >90% mhsw aktif (A) Efektivitas proses pembelajaran B (82%) B (84%) Sikap/minat ilmiah mahasiswa Tidak ada data Nilai 75, 6; skore 3,59 (C) Kualitas perkuliahan dosen 3,2 (B) 2,939 (C)

Page 241: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 49

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 5. Rekap hasil evaluasi kualitas perkuliahan dosen pengasuh mata kuliah Fisiologi Tumbuhan I pada tahun ajaran 2006-2007 dan 2007-2008.

2006-2007 2007-20081 3,058 2,890

2 2,294 2,990 3 3,056 3,191 4 3,389 3,049 5 3,222 2,961 6 3,444 2,899 7 3,333 2,825 8 3,222 2,752 9 3,222 2,847 10 3,111 2,840

11 3,389 3,099 12 3,222 2,917 13 2,833 2,867 14 2,944 2,967

Jumlah 43,739 41,093 X 3,124 2,935

No

pertanyaan

Mutu perkuliahan tahun ajaran

Penurunan capaian hasil belajar mahasiswa dari hasil perkuliahan tahun

sebelumnya denganstrategi konvensional diduga lebih disebabkan oleh faktor berikut.

(1) Kesiapan dosen menrapkan strategi yang berorientasi pada aktivitas siswa. Dosen

masih mengalami kesulitan baik pada saat membuat LKM maupun dalam mebiasakan

diri sebagai fasiltator/mediator saat diskusi. Kemampuan dosen menotivasi atau

menciptakan kondisi yang kondusif masih rendah. Saat diskusi kelas, umumnya dosen

cenderung mendominasi dengan memberikan penjelasan dan kurang memberikan

kesempatan mahasiswa untuk meyampaikan pendapatnya(Tabel 6).

(2).Mahasiswa belum terbiasa dengan strategi perkuliahan SCA yang menuntut

keaktifannya. Strategi SCA secara umum meningkatkan kegairahan belajar mahasiswa

dikelas, namun beberapa mahasiswa masih tergagap-gagap ketika diminta aktif mencari

atau menemukan jawaban sendiri. Kemampuan mahasiswa untuk memahami konsep-

konsep dasar langsung dari teks book, buku ajar, atau sumber referensi lainnya yang

disediakan sangat lemah, terlebih bila sumber referensi berbahasa asing. Minat baca

mahasiswa yang lemah diduga merupakan faktor penentunya sehingga penyerapan

Page 242: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 50

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

materi menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan bila materi disampaikan secara

konvensional.

Tabel 6. Rekap hasil capaian mata kuliah Fisiologi Tumbuhan I yang dilaksanakan

menggunakan strategi yang berorientasi pada aktivitas mahasiswa.

R Z E T Xu 55%Xu R1 R2 Xt R1 R2 Xq NA 30% Xakt 10%Xakt Angka Huruf1 Adhy Purnomo 05………001 61 74 65 80 70,00 38,50 75 75 3,75 9 80 6,25 67,48 20,24 76 70 72,75 7,28 76,02 A2 Andes Mn Mustofa 05………019 56 63 80 65 66,00 36,30 75 75 3,75 80 4,00 66,19 19,86 79,44 70 74,72 7,47 71,38 B

3 Anna Yuliana Insyani 05………002 77 77 45 75 68,50 37,68 75 75 3,75 73,33 3,67 80,49 24,15 75,50 85 80,25 8,03 77,26 A

4 Anggi Aldilla 05………022 46 63 45 45 49,75 27,36 70 75 3,63 86,67 4,33 66,58 19,97 79,50 75 77,25 7,73 63,02 C5 Anita Mayasari 03………023 47 49 40 45 45,25 24,89 65 75 3,50 9 66,67 5,58 70,08 21,02 75,00 75 75,00 7,50 62,49 C

6 Anjarsyah 05………004 73 66 80 60 69,75 38,36 50 1,25 66,67 3,33 72,29 21,69 79,50 80 79,75 7,98 72,61 B

7 Arie Tri N 05………027 60 79 50 75 66,00 36,30 50 73 3,08 9 86,67 6,58 67,74 20,32 79,44 70 74,72 7,47 73,75 B8 Ari Wijaya 03………026 66 50 25 35 44,00 24,20 70 75 3,63 - 69,12 20,74 73,00 85 79,00 7,90 56,46 C

9 Ari Astuti 03………025 44 34 25 65 42,00 23,10 73 1,83 86,67 4,33 70,32 21,10 78,89 75 76,94 7,69 58,05 C

10 Asep Trikusuma 05………028 64 62 30 80 59,00 32,45 75 1,88 86,67 4,33 69,71 20,91 75,00 85 80,00 8,00 67,57 B11 Bagas Dwi GS 05………029 61 74 45 70 62,50 34,38 75 75 3,75 8 86,67 6,33 72,31 21,69 79,50 70 74,75 7,48 73,63 B

2 Cherly Wanda K 03………030 61 55 80 55 62,75 34,51 65 75 3,50 5 53,33 3,92 61,20 18,36 81,67 70 75,83 7,58 67,87 b3 Christiana Z Samual 05………031 69 68 50 65 63,00 34,65 50 75 3,13 9 80 6,25 72,88 21,86 81,67 75 78,33 7,83 73,72 B

4 Danang Wibowo 05………032 77 51 75 70 68,25 37,54 75 75 3,75 73,33 3,67 65,96 19,79 75,00 80 77,50 7,75 72,49 B

5 Desti Haryanti 05………034 66 47 35 70 54,50 29,98 75 1,88 93,33 4,67 73,86 22,16 78,89 70 74,44 7,44 66,12 B6 Dewi safitri 05………035 77 71 50 85 70,75 38,91 75 75 3,75 9 73,33 5,92 74,11 22,23 76,11 85 80,56 8,06 78,87 A

7 Eka Agustina 05………036 63 76 60 70 67,25 36,99 65 75 3,50 9 66,67 5,58 80,53 24,16 76,11 75 75,56 7,56 77,79 A

8 Febri Yanti 05………039 78 62 45 60 61,25 33,69 75 75 3,75 9 80 6,25 75,33 22,60 79,50 70 74,75 7,48 73,76 B9 Fitri F Mandrias 05………008 83 81 65 80 77,25 42,49 75 73 3,70 7 86,67 6,08 73,86 22,16 79,50 70 74,75 7,48 81,90 A

20 Githa Widya P 05………040 83 72 75 80 77,50 42,63 75 75 3,75 100 5,00 73,73 22,12 75,00 75 75,00 7,50 80,99 A

1 Hairul Badri 05………041 71 37 35 55 49,50 27,23 - 60 3,00 69,20 20,76 76,11 70 73,06 7,31 58,29 C2 Hotmaida Hutagaol 05………042 77 78 55 50 65,00 35,75 75 75 3,75 86,67 4,33 78,80 23,64 79,44 75 77,22 7,72 75,20 B

3 Ika Pujiyati 05………010 74 58 70 90 73,00 40,15 75 75 3,75 93,33 4,67 74,04 22,21 75,00 85 80,00 8,00 78,78 A

4 Leni Anggi 05………045 60 73 85 55 68,25 37,54 75 1,88 40 2,00 75,44 22,63 81,67 70 75,83 7,58 71,63 B5 Luluk May Saroh 05………046 53 75 35 40 50,75 27,91 60 75 3,38 8 93,33 6,67 69,32 20,80 73,00 70 71,50 7,15 65,90 B

6 Mahe Sandra 05………048 67 68 40 45 55,00 30,25 65 75 3,50 10 73,33 6,17 73,48 22,04 74,44 70 72,22 7,22 69,18 B

7 Mei Linda M 05………049 64 61 60 55 60,00 33,00 75 75 3,75 9 86,67 6,58 74,30 22,29 77,00 85 81,00 8,10 73,72 B8 Melli Anggraini 05………050 50 71 55 65 60,25 33,14 75 75 3,75 8 86,67 6,33 76,80 23,04 76,11 75 75,56 7,56 73,82 B

9 Mita Yuniar 05………051 59 76 35 75 61,25 33,69 75 75 3,75 9 73,33 5,92 77,64 23,29 79,50 75 77,25 7,73 74,37 B

30 M Uky Setiawan 05………047 74 58 80 95 76,75 42,21 50 75 3,13 8 86,67 6,33 69,20 20,76 78,89 75 76,94 7,69 80,13 A1 Nevi Dini Astuti 05………053 57 71 55 60 60,75 33,41 75 1,88 8 86,67 6,33 73,60 22,08 79,50 80 79,75 7,98 71,68 B

2 Ni Putu Eka Pratiwi 05………054 71 76 55 70 68,00 37,40 75 75 3,75 8 93,33 6,67 70,86 21,26 74,44 75 74,72 7,47 76,55 A

3 Noni Vedia 05………056 71 76 55 60 65,50 36,03 75 75 3,75 10 66,67 5,83 75,82 22,75 77,00 80 78,50 7,85 76,20 A4 Novitasri 05………055 59 65 75 50 62,25 34,24 75 75 3,75 10 93,33 7,17 72,51 21,75 75,63 70 72,81 7,28 74,19 B

5 Nurhyati 05………057 81 58 25 54,67 30,07 50 73 3,08 73,33 3,67 69,28 20,78 75,00 75 75,00 7,50 65,09 C

6 Retno wulandari 05………059 74 63 45 75 64,25 35,34 75 75 3,75 10 80 6,50 71,11 21,33 75,50 70 72,75 7,28 74,20 B7 Revny Putri 05………060 71 89 25 65 62,50 34,38 50 75 3,13 86,67 4,33 70,94 21,28 75,00 75 75,00 7,50 70,62 B

8 Robbi S Lesmana 05………061 59 43 60 70 58,00 31,90 50 75 3,13 86,67 4,33 70,03 21,01 79,44 75 77,22 7,72 68,09 B9 Sri Suwarni 05………063 76 68 45 45 58,50 32,18 75 75 3,75 73,33 3,67 75,03 22,51 75,00 85 80,00 8,00 70,10 B

40 Sri Winarni 05………064 70 64 75 45 63,50 34,93 73 1,83 66,67 3,33 72,32 21,70 81,67 80 80,83 8,08 69,86 B1 Tira Amalia 05………014 61 78 35 60 58,50 32,18 75 1,88 10 80 6,50 77,14 23,14 83,50 80 81,75 8,18 71,87 B

2 Tri Astuti 05………065 69 54 70 55 62,00 34,10 65 75 3,50 8 93,33 6,67 69,86 20,96 77,22 75 76,11 7,61 72,84 B

3 Yeni 05………016 81 75 40 85 70,25 38,64 75 75 3,75 10 93,33 7,17 79,40 23,82 79,50 75 77,25 7,73 81,10 A4 Yulita Mikayanti 05………071 79 69 75 70 73,25 40,29 75 75 3,75 10 2,50 76,18 22,85 75,00 75 75,00 7,50 76,89 A

5 Yuries Yoga Perdana 05………072 47 52 50 25 43,50 23,93 75 1,88 - 69,10 20,73 79,50 70 74,75 7,48 54,01 D

6 Widi Asmuri 05………066 81 83 75 80 79,75 43,86 75 75 3,75 9 80 6,25 80,94 24,28 77,00 70 73,50 7,35 85,49 A7 Widya Pamungkas 05………067 57 83 75 60 68,75 37,81 75 75 3,75 8 66,67 5,33 74,69 22,41 75,00 70 72,50 7,25 76,55 A

8 Widya Tri Purwani 05………069 84 54 50 75 65,75 36,16 75 75 3,75 86,67 4,33 78,88 23,66 75,00 85 80,00 8,00 75,91 A

9 Wulan Damayanti 05………070 57 42 35 55 47,25 25,99 75 75 3,75 73,33 3,67 71,02 21,31 - 80 40,00 4,00 58,71 C62,28 34,26 72,67 71,77

Ujian TGS Mandiri QUIZ Praktikum Aktivitas Mahasiswa Nilai

LKM

Rata-rata

No NAMA MAHASISWA NPM

Page 243: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 51

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Banyaknya materi yang mampu dikuasai mahasiswa tergantung kepada

kemampuan mahasiswa sendiri untuk mendapatkannya, bukan kepada volume materi

yang disampaikan atau disediakan oleh dosen. Capaian hasil belajar yang sama tinggi

(82%) dengan capaian tahun sebelumnya yang menggunakan strategi konvensional dan

rerata hasil belajar kelasnya lebih rendah (Tabel 6) mendukung pendapat di atas.

SIMPULAN

Simpulan dari penelitian ini adalah: (1) Strategi perkuliahan yang berorientasi pada

aktivitas mahasiswa direspon positif oleh mahasiswa peserta perkuliahan ditunjukkan

dengan capaian kualitas perkuliahan (A) yang sangat baik dan capaian hasil belajar yang

baik (B). (2) Tidak adanya peningkatan capaian hasil belajar mahasiswa disebakan oleh:

(a) Kesiapan dosen untuk melaksanakan strategi perkuliahan yang berorientasi pada

aktivitas mahasiswa yang masih perlu ditingkatkan, dan (b) Kurangnya kesiapan

mahasiswa untuk mengikuti perkuliahan dengan strategi yang berorientasi pada

aktivitas mahasiswa. (3) Penerapan strategi perkuliahan yang berorientasi terahadap

aktivitas mahasiswa berhasil untuk meningkatkan (a) kegairahan mahsiswa dalam

mengikuti perkuliahan Fisiologi Ttumbuhan, (b) meningkatkan keberanian mahasiswa

untuk bertanya dan mengemukakan pendapat di dalam kelas.

DAFTAR PUSTAKA

Djamaran. 2000. Guru dan Anak Didik dalam interaksi Edukatif. Rineka Cipta. Jakarta.

Devlin, R.M. dan F.H. Witham. 1983. Plant Physiology. Third Edition.Wardsworth

Publishing Co. Belmont.

Lehninger, Albert A. 1993. Principle of Biochemistry. Second Edition. Wardsworth

Publishing Co. New York.

Hilbermen, Mell. 2002. Active Leraning. Sardjutidkk. (Penerjemah). Yanpendis.

Yogyakarta.

Page 244: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2 - 52

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Hopkins, W.G. 1995. Introduction to Plant Physiology. John Willey and Sons Inc.

New York.

Nasution. 2004. DidaktikAzas-azasMengajar. BumuAksara. Jakarta

Rustaman, Nuryani. 2006. MateriLokakarya.

Salisbury, F.B., dan C.W. Ross. 1992. Plant Physiology. 4th edition. Wardsworth

Publishing Co. USA.

--------------. 2005. Pedoman Penyusunan Usulan dan Laporan Penelitian Tindakan

Kelas. Depdiknas Dirjen Dikti Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga

Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi. Jakarta

Sasmitamihardja, D. dan A. Siregar. 1996. FisiologiTumbuhan.

ProyekPendidikanTenagaKependidikan. DirjenDiktiDepdikbud. Jakarta.

Tardiman. 1996. Interaksi dan MotivasiBelajarMengajar. Radja Graphoc Persada.

Jakarta.

Taiz dan Zeiger. 1992. PlantPhysiology. John Willey and Sons Inc. New York.

Wareing, P.F. dan I.D.J. Phillips. 1981. Growth and Differentiation in Plant. Third

Edition. Perganon Press. USA.

Wolf, Stephen L. 1993. Moleculer and celluler Biology. Wardsworth Publishing Co.

USA.

Page 245: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 53

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PENGGUNAAN STRATEGI SCAFFOLDING DALAM PELATIHAN PENINGKATAN KOMPETENSI GURU IPA SMP DALAM

MENGEMBANGKAN TES HASIL BELAJAR

Tri Jalmo1 1Jurusan PMIPA FKIP Unila

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggunaan strategi scaffoloding dalam meningkatkan kompetensi guru IPA SMP dalam mengembangan tes hasil belajar. Penelitian merupakan eksperimen kuasi, yaitu nonequivalent group pretest-posttest design yang melibatkan 53 guru IPA SMP dengan pemilahan 23 untuk kelompok kontrol dan 30 untuk kelompok eksperimen. Kelompok eksperimen dilatih menggunakan program pelatihan guru dengan strategi scaffolding. Data dikumpulkan dengan tes awal dan tes akhir; evaluasi diri; dan hasil karya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) penggunaan strategi scaffolding meningkatkan kompetensi guru (n-gain), kualitas butir soal yang disusun, (2) meningkatkan motivasi tetapi tidak efisien waktu.

PENDAHULUAN

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

pasal 39 (2) menyatakan bahwa pendidik adalah tenaga profesional. Sebagai tenaga

profesional, guru harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen

pembelajaran (Depdiknas, 2005). Selanjutnya kompetensi sebagai agen pembelajaran

mencakup empat aspek yaitu kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian,

kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Dengan empat kompetensi tersebut

diharapkan mampu menghantarkan semua peserta didik mencapai tujuan pendidikan,

terutama tujuan pendidikan nasional.

Peningkatan profesionalitas guru sebenaranya merupakan tanggung jawab guru

secara individual sejalan dengan perubahan pada tempat kerja (Brown, 2000) dan

perkembangan ilmu pengetahuan, masyarakat, dan peserta didik (NRC, 1988). Guru

secara individual dapat meningkatkan kompetensinya sebagai agen pembelajaran

melalui pengalaman-pengalaman kesehariannya di kelas atau melalui komunikasi

dengan rekan sejawat dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi

pembelajaran bersama (Bradley, et al.,1988). Di Indonesia, peningkatan profesionalitas

Page 246: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 54

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

guru banyak dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai pelatihan. Namun hasilnya

belum optimal, bahkan banyak pelatihan yang dapat dinilai gagal dalam meningkatkan

kinerja guru di kelas. Kenyataan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Tri Jalmo

(2008) bahwa kompetensi pedagogik, khususnya kompetensi melaksanakan penilaian

ternyata kompetensi guru yang pernah mengikuti pelatihan tidak berbeda secara

signifikan dengan guru yang belum pernah mengikuti pelatihan tentang evaluasi

pendidikan. Hasil tersebut menggambarkan bahwa pelatihan evaluasi tidak berdampak

meningkatnya kompetensi guru dalam melaksanakan penilaian. Pelatihan guru yang

selama ini masih bersifat top down, massal, dan seragam. Pelatihan didominasi oleh

aktivitas pelatih dalam menyampaikan materi pelatihan dan diselingi dengan latihan

peserta mengerjakan tugas-tugas sehigga tidak efektif.

Berdasarkan kenyataan-kenyatan di atas maka perlu upaya peningkatan

efektivitas pelatihan dengan menggunakan strategi pelatihan yang diduga dapat

meningkatkan kompetensi guru. dikembangkan program pelatihan yang dapat

memperbaiki kualitas pelatihan sehingga pelatihan berjalan efektif dalam mencapai

tujuan. Strategi pelatihan yang diduga paling sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan

tersebut adalah strategi scaffolding. Strategi scaffolding dilandasi oleh teori

sosiokultural Vygotsky, bahwa interaksi sosial memainkan peran yang mendasar dalam

perkembangan kognisi. Istilah scaffolding dicetuskan oleh Wood, Bruner, dan Ross

(1976), sebagai proses meningkatkan kemampuan siswa atau orang yang baru dalam

memecahkan masalah, menyelesaikan tugas, atau mencapai tujuan di luar

kemampuannya. Strategi scaffolding diduga cocok karena peserta pelatihan dilayani

berdasarkan tingkat kompetensinya dan diberikan bimbingan secara berjenjang oleh

intrukstur/pelatih/nara sumber.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini melatih guru dalam meningkatkan kompetensi guru. Materi

pelatihannya adalah pengembangan tes hasil belajar IPA. Langkah penelitian adalah (1)

Page 247: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 55

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

melaksanakan tes awal untuk menentukan tingkat kompetensi, (2) melaksanakan

pelatihan dengan langkah menurut Ellis & Larkin (1998) yaitu the teacher does it, the

class does it, the group does it, dan the individual does it, dan (3) tes akhir. Sedangkan

strategi “konvensional” diterapkan pada pelatihan kelompok kontrol dengan langkah

informasi materi secara tuntas dan diakhiri dengan tugas latihan. Data-data kualitatif

tersebut dianalisis secara deskriptif interpretatif. Data kuantitatif berupa skor tes,

evaluasi diri, dan skor kualitas kerja. data kauntitatif dianalisis dengan menggunakan

statistik inferensial. Data dianalisis nornalitas dan homogenitasnya dan dilanjutkan

dengan uji t. Semua analisis data kuantitatif di atas dilakukan dengan SPSS versi 16

pada taraf signifikan 5%.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Peningkatan kompetensi peserta dalam mengembangkan tes

Hasil analisis data kompetensi pengembangan tes yang didasarkan pada

n-gain diketahui bahwa peningkatan kompetensi peserta kelompok eksperimen lebih

tinggi dan berbeda nyata (p sig 0,012 < α 0.05) dibandingkan dengan kelompok

kontrol (Tabel 1). Dengan demikian strategi scaffolding lebih efektif meningkatkan

kompetensi peserta dalam mengembangkan tes hasil belajar dibandingkan dengan

program pelatihan “konvensional”.

Tabel 1. Peningkatan kompetensi pengembangan tes

Kel. kontrol Kel. eksperimen Varians

p (Sig) Rerata n-gain Distribusi Rerata n-gain Distribusi

0.29 Normal 0.44 Normal Homogen 0.012 (S)

Keterangan: TS = tidak signifikan; S = signifikan

Efektivitas strategi scaffolding juga dibuktikan dengan kualitas butir soal yang

disusun oleh peserta. Menurut Safari (2004) bahwa butir soal yang baik adalah butir

soal yang menuntut berpikir tingkat tinggi yaitu butir soal yang dilengkapi dengan

stimulus. Skor kualitas soal yang disusun oleh peserta kelompok eksperimen ternyata

Page 248: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 56

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

lebih tinggi dan berbeda nyata (p sig 0,00 < α 0.05) dibandingkan dengan kelompok

kontrol (Tabel 2).

Tabel 2. Kualitas butir soal

Kel. kontrol Kel. Eksperimen

Varians

P (Sig) Rerata skor Distribusi Rerata skor Distribusi

0.65 Tidak Normal 1.66 Tidak Normal Homogen 0.00 (S) Keterangan: TS = tidak signifikan; S = signifikan

Butir soal hasil karya peserta juga dianalisis secara kualitatif untuk mengetahui

apakah butir soal yang dibuat memenuhi kaidah penulisan soal atau tidak. Hasil analisis

data kualitas butir soal yang didasarkan pada skor kualitas soal diketahui bahwa butir

soal pilihan ganda dan esai yang disusun peserta kelompok ekeperimen lebih berkualitas

dan berbeda nyata (p sig 0,00 < α 0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol

(Tabel 3). Hasil tersebut membuktikan bahwa penggunaan strategi scaffolding dapat

meningkatkan kompetensi peserta dalam menyusun butir soal yang lebih berkualitas.

Tabel 3. Kualitas butir soal

Jenis butir soal

Kel. kontrol Kel. eksperimen Varians

P (Sig) Rerata Distribusi Rerata Distribusi

Esai 5.82 Normal 8.53 Normal Tidak

homogen 0.00 (S)

Pilihan ganda

9.99 Normal 11.56 Normal Tidak

homogen 0.00 (S)

Keterangan: TS = tidak signifikan; S = signifikan

Bukti lain yang menunjukkan bahwa strategi scaffolding efektif meningkatkan

kompetensi peserta pelatihan adalah hasil evaluasi diri peserta. Pada awal dan akhir

setiap sesi pelatihan peserta selalu diminta melakukan evaluasi diri terhadap

kompetensinya pada materi pelatihan. Selanjutnya hasil evaluasi diri dihitung selisihnya

(n-gain) sebagai bukti perkembangan kompetensi akibat pelatihan. Berdasarkan hasil

analisis data evaluasi diri menunjukkan bahwa peningkatan kompetensi peserta

kelompok eksperimen pada perencanaan dan penyusunan tes lebih tinggi dan berbeda

nyata dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan peningkatan kompetensi peserta

pada analisis tes pada kedua kelompok tidak berbeda nyata (Tabel 4)

Tabel 4. Evaluasi diri kompetensi peserta

Tahap Kel. kontrol Kel. eksperimen Varians P (Sig)

Page 249: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 57

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

pengembangan tes

Rerata n-gain

Distribusi Rerata n-gain

Distribusi

Perencanaan tes

0.25 Normal 0.39 Normal Homogen 0.01 (S)

Penyusunan tes

0.32 Normal 0.44 Normal Tidak

homogen 0.02 (S)

Analisis tes 0.44 Normal 0.47 Normal Tidak

homogen 0.16 (TS)

Keterangan: TS = tidak signifikan; S = signifikan

Pendapat peserta pelatihan terhadap strategi scaffolding

Pendapat peserta pelatihan yang dijaring melalui angket tertutup menggambarkan

bahwa strategi scaffolding membantu peserta lebih memahami kaidah-kaidah pengembangan

tes hasil belajar, bahkan jika dibandingkan dengan pelatihan jenis lain yang pernah mereka

ikuti (Tabel 5)

Pada umumnya guru menilai bahwa pelatihan model ini memudahkan peserta

memahami materi pelatihan. Kenyataan tersebut dapat disimak pada tanggapan peserta

terhadap pertanyaan-pertanyaan pada angket terbuka. Tanggapan para guru antara lain bahwa

program pelatihan ini (1) memotivasi peserta untuk lebih banyak terlibat, (2) memecahkan

masalah bersama peserta lain, (3) waktu efisien, (4) peserta lebih aktif, (5) terdapat tugas

kelompok dan tugas individual untuk lebih melatih memahami materi, (6) peserta dibimbing

untuk kerja kelompok dan kerja individu, dan (7) pelatihan didominasi oleh aktivitas peserta.

Tabel 5. Tanggapan Peserta terhadap Strategi Scaffolding

NO Pernyataan Pilihan (%)

STS TS S SS

1 Pelatihan ini membantu saya lebih memahami

kaidah-kaidah pengembangan tes hasil belajar 0.0% 0.0% 7.1% 89.3%

2

Dibandingkan dengan pelatihan lain, maka

pelatihan ini lebih memudahkan saya

memahami materi

0.0% 0.0% 42.9% 57.1%

3 Saya kurang terpacu untuk lebih aktif dalam

memecahkan masalah 67.9% 32.1% 0,0% 0.0%

4 Tugas-tugas yang diberikan membantu saya

memahami pengembangan tes setahap demi 0.0% 0.0% 25.0% 75.0%

Page 250: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 58

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

NO Pernyataan Pilihan (%)

STS TS S SS

setahap

5

Pelatihan ini merangsang saya untuk lebih

banyak terlibat dalam membangun pemahaman

saya tentang tes

0.0% 0.0% 35.7% 64.3%

6 Pelatihan ini kurang merangsang anggota

kelompok untuk saling berbagi kemampuan 42.9% 57.1% 0.0% 0.0%

7

Pelatihan ini didominasi oleh kegiatan peserta

dalam meningkatkan kemampuan

mengembangkan tes

0.0% 0,0% 75.0% 25.0%

8 Pelatihan ini lebih menempatkan pelatih

sebagai pendamping bukan sebagai instruktur 0.0% 0.0% 42.9% 57.1%

9 Pelatihan ini kurang cocokuntuk pelatihan guru

karena guru adalah orang dewasa 82.1% 17.9% 0,0% 0.0%

Pembahasan

Guru adalah tenaga profesional yang secara umum bertugas merencanakan,

melaksanakan proses pembelajaran dan menilai hasil pembelajaran (Depdiknas, 2003).

Salah satu prinsip profesinalitas adalah guru wajib mengembangkan keprofesionalan

secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat (Depdiknas, 2005).

Keprofesionalan perlu terus dikembangkan sejalan dengan perubahan pada tempat kerja

(Brown, 2000) dan perkembangan ilmu pengetahuan, masyarakat, dan peserta didik

(NRC & NSTA, 1998).

Pelatihan guru merupakan salah satu wahana pengembangan profesi yang masih

diandalkan di Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Hallinan and Vladimir

(2001) bahwa pelatihan guru merupakan salah satu arena pengembangan profesional

yang bertujuan menyiapkan guru agar berhasil dalam tugasnya. Pelatihan guru (in-

service training) dilaksanakan untuk merangsang peningkatan dan pengembangan

kompetensi guru (Kennedy (1995), mening-katkan praktik mengajar dan/atau

mengimplementasikan inovasi-inovasi pendi-dikan yang dilakukan oleh pemerintah

(Pennington, 1990; Roberts, 1998), dan diperlukan guru secara berkelanjutan sepanjang

karir mengajarnya. (Sprinthall, Reiman, & Thies-Sprinthall, 1996 dalam Atay, 2006).

Hasil penelitian ini ternyata sejalan dengan pendapat para ahli di atas, yaitu

bahwa strategi scaffolding mampu meningkatkan kompetensi guru dalam

mengembangkan tes. Peningkatan kompetensi peserta tidak hanya ditunjukkan oleh

Page 251: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 59

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

hasil kerja setiap peserta secara indivual tetapi juga dirasakan oleh peserta melalui

evaluasi diri dan pendapat yang dijaring melalui angket. Hasil-hasil tersebut

menunjukkan bahwa strategi scaffolding merupakan salah satu program pelatihan yang

dapat dikatagorikan sebagai program pelatihan yang efektif.

Beberapa alasan secara teoritis yang mendukung strategi scaffolding sebagai

program pelatihan yang efektif antara lain: (1) Strategi ini dilaksanakan sesuai dengan

langkah-langkah perancangan program pelatihan seperti yang dikembangkan oleh Pont

(1991) dengan lima fase yaitu analisis kebutuhan pelatihan, perencanaan dan

perancangan pendekatan palatihan, pengembangan materi palatihan, pelaksanaan

pelatihan, dan evaluasi pelatihan, (2) Pelatihan didahului dengan analisis kebutuhan.

Langkah ini sesui dengan yang disarankan oleh Nadler (1982); Pont (1991); Franco, E.A.,

et al. (1991); dan Blanchard and Thacker (2004). Analisis kebutuhan dilakukan untuk

mengetahui kebutuhan perancangan program pelatihan, strategi dan tempat pelatihan,

kompetensi awal peserta standar nasional kompetensi guru sebagai acuan penetapan

tujuan pelatihan, jenis bahan pelatihan, program pelatihan yang biasa dilakukan, dan

jenis alat penilaian efektivitas pelatihan, (3) Dalam pelatihan, peserta dibimbing setahap

demi setahap oleh instruktur sehingga setiap peserta dapat meningkatkan

kompetensinya secara tuntas. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Vygotsky bahwa

peran guru dan lainnya adalah membantu perkembangan pebelajar dan pemberian

dukungan terstruktur untuk mencapai tahap atau tingkat berikutnya (Raymond, 2000

dalam Stuyf, 2002). Pemberian bantuan tersebut bersifat sementara, ketika pebelajar

telah meningkat kemampuannya maka bantuan secara berangsur-angsur ditarik,

akhirnya pebelajar mampu menyelesaikan tugas secara mandiri (Chang, Sung,& Chen,

2002; Ellis, Larkin, Wothington, dalam Stuyf, 2002).

Efektivitas strategi scaffolding dalam meningkatkan kompetensi peserta

dibayangi oleh kekurangan atau kelemahan terutama ketika implementasi, yaitu masalah

waktu. Pelatihan menggunakan strategi ini lebih boros waktu karena tingginya aktivitas

peserta dalam berlatih akan banyak menghabiskan waktu. Kelemahan ini sudah

dinyatakan sebelumnya oleh Pressley, et al. (1966 dalam Larkin, 2002)

SIMPULAN

Page 252: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 60

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Strategi scaffolding efektif meningkatkan kompetensi peserta dalam

mengembangkan tes hasil belajar. Peserta terlibat aktif secara langsung dan bertanggung

jawab terhadap peningkatan kompetensinya secara berjenjang

DAFTAR PUSTAKA

Atay, Derin. (2006). Teachers' Professional Development: Partnerships in Research.

Teaching English as Second or Foreign Language. Septermber 2006. V:10, N.2

Brown, Bettina Lankard. (2000). Vocational Teacher Professional Development.

Practice Aplication, 11

Depdiknas. (2003). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas

Depdiknas. (2005-a).Undang-Undang RI Nonor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan

Dosen. Jakarta: FokusMedia

Galloway, Chad. (2006). Vygotsky’s constructivism. From emerging perspective on

learning, teaching and technology.

Hayes, Cheryl and Wendy D. Puriefoy. Teacher Professionaldevelopment: A Primer for

Parents & Community Members.

Kennedy, J. (1995). Getting to the heart of the matter - the marginal teacher. The

Teacher Trainer, 9(1), 10-14.

NRC. (1996). National Science Education Standards. Washington: National Academic

Press

Pennington, M.C. (1990). A professional development focus for the language teaching

practicum. In J. Richards, & D. Nunan, (Eds.), Second language teacher education

(pp. 132-153). Cambridge: Cambridge University Press.

Puntambekar, S. and Janet L.Kolodner. (2005) Toward Implementing Distributed

Scaffolfing: Helping Students Learn Science from Design. Journal of Research in

Science Teaching. 42,185-217)

Resnick, Lauren B. (eds) (2005). Teaching Teacher: Professional Development to

Improve Student Achievement. Research Point. 3

Page 253: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 61

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Roberts, J. (1998). Language teacher education. London: Arnold.

Trijalmo. (2007). ”Profil Guru-guru IPA SMP Kota Bandar Lampung Dalam

Mengantisipasi era standarisasi. Prosiding Seminar Internasional UPI tahun 2007

Faranco, Ernesto E. (eds). (1991). A How- to-Book for Trainers & Teachers Training.

Philippines: Natinal Book store, Inc

Blanchard, P.Nick and Jamer W.Thacker. (2004). Effective Training. Syatem,

Strategies, dan Pranctices. New Jersey: Pearson Prentice Hall

Nadler, Leonard. (1982). Designing Training Programs. Sydney: Addison-Wesley

Publishing Company.M. (1991). Developing Effective Training Skill. In Roger

Bennet (Ed). Lodon: Mc Graw-Hill Book Company

Hamalik, Oemar. (2001). Pengembangan Sumber Daya manusia. Manajemen Pelatihan

Ketenagakerjaan. Pendekatan terpadu. Jakarta: Bumi Aksara

Page 254: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 62

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMP

PADA PENGGUNAAN MEDIA MAKET MELALUI

CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING

Neni Hasnunidah1

1Jurusan PMIPA FKIP Unila

ABSTRAK

The aim of this research was to analyze the using of mockups on learning biology

towards critical thinking skills at the contextual teaching and learning strategies (Inquiry,

Group Investigation/GI, and Problem Based Learning/PBL) by using descriptive analyses

comparative methods. The result at junior high school showed that mockups at the third

contextual teaching and learning strategies can raise critical thinking skills of “Ecosystem”

level (α=0.05). Based on data analysisshows that the average N-gain critical thinking skills that

students obtained the highes ttype of cooperative learning GI type (0.67), followed by

PBL(0.56) and inkuri with mockups (0, 55). The use of mockups in the inquiry method can

enhance students'skills do inductionon the third than the other skills. While theuse of mockupsin

the cooperative learning GI type and more PBL can enhance the skills of doing evaluation.

Based on the responses of students in mind that in addition tomotivate students and facilitate

understanding of the material, mockups at the contextual teaching and learning can explore

critical thinking skills of students that make it easier for students to solves problem.

Key words: mockups,crtitical thinking skills, contextual teaching and learning.

PENDAHULUAN

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu (inquiry) tentang

alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya sebagai penguasaan kumpulan pengetahuan

saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Trowbridge and Bybe (1990)menyatakan

sains merupakan representasi dari hubungan dinamis yang mencakup tiga faktor utama, yaitu

“the extant body of scientific knowledge, the values of sciences, and the methods and process of

science”. Artinya sains merupakan produk, metode dan proses.

Pendidikan IPA di sekolah menengah diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta

didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitarserta mampu membekali siswa dengan

berbagai keterampilan yang dapat dipergunakan untuk memecahkan permasalahan dalam

Page 255: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 63

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

kehidupannya di masa depan,diantaranya adalah keterampilan berpikir kritis yangtermasuk

kegiatan berpikir kompleks (Cohen 1971 dalam Costa,1985).Keterampilan berpikir kritis perlu

dikembangkan dalam diri siswa karena melalui keterampilan berpikir kritis, siswa dapat lebih

mudah memahami konsep, peka terhadap masalah yang terjadi sehingga dapat memahami dan

menyelesaikan masalah, dan mampu mengaplikasikan konsep dalam situasi yang berbeda

(Scriven dan Paul, 2007).

Beberapa hasil penelitian pendidikan menunjukkan bahwa berpikir kritis ternyata

mampu menyiapkan peserta didik berpikir pada berbagai disiplin ilmu, serta dapat dipakai untuk

pemenuhan kebutuhan intelektual dan pengembangan potensi peserta didik, karena dapat

menyiapkan peserta didik untuk menjalani karir dan kehidupan nyatanya (Liliasari, 1996;

Adams, 2003). Lebih lanjut, Chiras (1992) mengungkapkan bahwa berpikir kritis yang

dipelajari dalam kelas sains juga mempengaruhi hidup siswa jauh setelah mereka meninggalkan

pendidikan formal mereka dengan memberikan alat dimana mereka dapat menganalisa sejumlah

besar isu yang akan mereka hadapi dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Kurikulum yang berlaku saat ini di jenjang pendidikan menengah menghendaki

pembelajaran Biologi dikembangkan melalui keterampilan berpikir analitis, induktif, dan

deduktif untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan peristiwa alam sekitar.Proses

pembelajaran Biologi seharusnya dilakukan melalui pemberdayaan empat pilar dasar

pendidikan, yaitu learning to do, learning to know, learning tobe, dan learning to live together

(Budimasnyah, 2003). Melalui empat pilar ini diharapkan tujuan pembelajaran biologi yaitu

peserta didik dapat mengembangkan keterampilan berpikir analitis, induktif, dan deduktif

dengan menggunakan konsep dan prinsip biologi dapat tercapai (BNSP, 2006).

Pada kenyataannya tujuan tersebut di atas masih jauh dari yang diharapkan.Hal

ini disebabkan salah satunya adalah faktor guru. Berdasarkan hasil wawancara diketahui

bahwa selama ini guru-guru Biologi SMP/MTs di Bandar Lampung menggunakan

gambar dalam membelajarkan siswa. Sementara peranan media gambar dalam

menyampaikan pesan terbatas hanya dapat dicerna melalui penginderaan mata, sehingga

tidak banyak menuntut siswa untuk menggunakan alat indera lainnya. Beberapa hasil

penelitian menunjukkan bahwa siswa dapat menyerap suatu materi sebanyak: 10% dari

membaca (teks), 20 % dari mendengar (sound), 30 % melihat (grafis/foto), 50% dari

melihat dan mendengar (audio-visual), 80% dari berbicara dan melakukan (Kusnandar,

2008). Gambar/chart hanya sebagai ilustrasi penjelas atau menggunakan program

animasi yang hanya bertujuan untuk mempermudahnya menyampaikan materi

sementara ia berperan sebagai satu-satunya sumber informasi dan sumber segala

Page 256: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 64

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

jawaban. Jika ini dilakukan, maka limaketerampilan masyarakat abad 21 yang

dicanangkan PBB tidak akan berhasil. Tantangan pendidikan abad 21, menurut PBB

adalah membangun masyarakat berpengetahuan (knowledge-based society) yang

memiliki: (1) keterampilan melek TIK dan media (ICT and media literacy skills); (2)

keterampilan berpikir kritis (critical thinking skills); (3) keterampilan memecahkan

masalah (problem-solving skills); (4) keterampilan berkomunikasi efektif (effective

communication skills); dan (5) keterampilan bekerjasama secara kolaboratif

(collaborative skills) (Kusnandar, 2008).

Peranan guru untuk mengembangkan berpikir kritis dalam diri siswa adalah sebagai

pendorong, fasilitator, dan motivator. Tidak ada kata terlambat bagi guru untuk melakukannya,

karena menurut Lang (2006) berpikir kritis dapat dipelajari dan ditingkatkan bahkan pada usia

dewasa. Pengembangan keterampilan berpikir kritis dalam proses pembelajaran memerlukan

keahlian guru. Keahlian dalam memilih media dan model pembelajaran yang tepat adalah salah

satu faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan keterampilan berpikir kritis

siswa.Berpikir kritis dapat dikembangkan dalam pembelajaran Biologi dengan memperkaya

pengalaman siswa yang bermakna.Pengalaman tersebut dapat berupa kesempatan berpendapat

secara lisan maupun tulisan layaknya seorang ilmuwan (Curto dan Bayer, 2005).

Untuk mengatasi masalah ini paradigma pembelajaran Biologi khususnya materi pokok

Ekosistem, harus diubah menjadi berfilosofi konstuktivisme, bahwa peserta didik harus terlibat

aktif dalam mengkonstruksi konsep yang diajarkan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan

sehari-hari.Pada jenjang SMP kelas VII, konsep ekosistem merupakan salah satu konsep yang

abstrak, yang tidak semuanya dapat dijelaskan melalui praktikum dan metode konvensional di

kelas. Hal ini menuntut pembelajaran ekosistem yang kontekstual dengan integrasi media yang

menampilkan objek nyata sehingga sangat membantu dalam mengkomunikasikan hakikat dari

berbagai komponen ekosistem.Namun harapan ini tidak mungkin terwujud dengan kondisi

sekolah yang kurang memungkinkan siswa untuk menggunakan lingkungan sekitar sekolah

sebagai sumber belajar.Kebanyakan sekolah di Kota Bandar Lampung tidak memiliki

lingkungan yang representatif mewakili suatu ekosistem. Kondisi pekarangan sekolah yang

didominasi oleh paving block atau lantai semen tidak dapat dijadikan sebagai media yang dapat

menunjang proses pembelajaran ekosistem. Hal ini didukung oleh pendapat Riandi (2008)

bahwa perkembangan fisik kota sebagai salah satu cekaman antrapogenik pada tingkat

komunitas mengakibatkan terjadinya pergeseran bahkan penghilangan habitat organisme,

akibatnya pada daerah perkotaan objek biologi menjadi jauh dari jangkauan.

Page 257: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 65

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, dalam penelitian ini dipilih media maket

untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa.Maket adalah bentuk tiruan tentang

sesuatu dalam ukuran kecil atau model dari suatu benda asli yang karena suatu sebab tidak dapat

ditunjukkan aslinya misalnya karena benda asli terlalu besar, terlalu kecil, rumit, tempatnya

terlalu jauh, dan sebagainya.(Amran, 1997; Rohani, 1997; Sadiman, 2008; Sunaryo

2009).Maket merupakan media tiga dimensi yang dapat dilihat, diraba dan mungkin

dimanipulasi. Menurut Daryanto (2010) media tiga dimensi memiliki kelebihan seperti

memberikan pengalaman langsung, penyajian secara kongkrit dan menghindari verbalisme serta

dapat menunjukkan objek secara utuh baik konstruksi maupun cara kerjanya. Sedangkan

kelemahannya tidak bisa menjangkau sasaran dalam jumlah besar, penyimpanannya

memerlukan ruang yang besar, dan perawatannya rumit.Riandi (2008) berpendapat media yang

bersifat tiga dimensi dalam perannya sebagai penyampai pesan akan lebih akurat dibanding

gambar atau chart, karena memungkinkan para siswa dapat menyentuh, membaui, memegang

atau memanipulasi obyek tersebut. Kalau tentang struktur akan lebih baik menggunakan objek

asli atau maket/model, tetapi kalau tentang suatu proses mungkin media video atau animasi akan

lebih baik digunakan sebagai medianya.

Melalui penggunaan maket/model sebagai media, suatu obyek dapat dibawa ke dalam

kelas dalam bentuk replikanya (Gillespie & Spirt, 1973), sehingga kita menjadi mudah untuk

memahami bentuk keseluruhannya, komponen-komponen pembentuk sistem, susunan

komponen dan hubungan antar komponen (Sofyan, 2010).Daryanto (2010: 31) berpendapat ada

beberapa tujuan belajar dengan menggunakan media tiruan, yaitu: mengatasi kesulitan yang

muncul ketika mempelajari obyek yang terlalu besar, untuk mempelajari obyek yang telah

menyejarah di masa lampau, untuk mempelajari obyek-obyek yang tak terjangkau secara fisik,

untuk mempelajari obyek yang mudah dijangkau tetapi tidak memberikan keterangan yang

memadai (misalnya mata manusia, telinga manusia), untuk mempelajari konstruksi-konstruksi

yang abstrak, untuk memperliatkan proses dari obyek yang luas (misalnya proses peredaran

planet-planet). Keuntungan-keuntungan menggunakan media tiruan adalah belajar dapat

difokuskan pada bagian yang penting-penting saja, dapat mempertunjukkan struktur dalam

suatu obyek, serta siswa memperoleh pengalaman yang konkrit.

Pengembangan media pembelajaran biologi bertujuan untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran.Sejalan dengan jiwa otonomi daerah yang asumsi dasarnya adalah keragaman,

dalam segi keterampilan atau muatan lokal sangat mungkin dan luas untuk mengembangkan

berbagai media pembelajaran, selaras dengan kurikulum yang berlaku (Riandi, 2008).Hasil

penelitian Sunaryo (2009)menunjukkan bahwa penggunaan media maket berpengaruh terhadap

prestasi belajar siswa tunagrahita ringan kelas D5 SLB-C untuk pelajaran IPA materi

Page 258: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 66

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

lingkungan sehat dan tidak sehat.Hasil penelitian ini juga memberi petunjuk bahwa media

maket dapat membantu siswa dalam memahami benda-benda dengan lebih nyata.Dalam

implementasinya, penggunaan media ini juga dipercaya dapat meningkatkan semangat dan

motivasi belajar anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cholifah (2010) diketahui

bahwa penggunaan media maket pada mata pelajaran bahasa Indonesia di kelas IV MI Miftahul

Huda sudah sesuai dengan langkah-langkah pemanfaatan media. Ada peningkatanketerampilan

berbicara dan hasil belajar siswa.

Pembelajaran ekosistem dengan menggunakan media maket dalam penelitian ini

dilaksanakan melalui pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Alasannya

karena ketujuh komponen dalam pembelajaran kontekstual memiliki potensi tidak hanya

mengembangkan ranah pengetahuan dan keterampilan proses siswa, tetapi juga

mengembangkan sikap, nilai, serta kreativitas siswa dalam memecahkan masalah yang terkait

dengan kehidupan mereka sehari-hari. Ada 7 (tujuh) komponen utama pembelajaran kontekstual

yang harus menjadi pedoman siswa yaitu: menemukan (inkuiri), konstruktivisme, bertanya,

masyarakat belajar, refleksi, pemodelan, dan penilaian autentik (Nurhadi dan Senduk,

2004).Konstruktivisme berarti membangun pemahaman siswa dari pengalaman baru berdasar

pada pengetahuan awal. Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan

menerima pengetahuan. Inkuiri merupakan proses perpindahan dari pengamatan menjadi

pemahaman. Melalui inkuiri siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis.Bertanya

merupakan kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai keterampilan berpikir

siswa. Masyarakat belajar akan terbentuk jika sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan

belajar, karena bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri, mereka bisa

saling tukar pengalaman dan berbagi ide. Pemodelan adalah proses penampilan suatu contoh

agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar. Autentik asesmen digunakan dengan cara guru

mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa, menilai produk (kinerja), dan tugas-tugas yang

relevan dan kontekstual. Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang telah kita

pelajari,mencatat apa yang telah dipelajari, membuat jurnal, karya seni, dan diskusi kelompok.

Menurut para pakar di Universitas Washington (2001) pembelajaran kontekstual ini

merupakan integrasi dari banyak “praktik pembelajaran yang baik”.Pembelajaran kontekstual

merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan

dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan

yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan

masyarakat (Nurhadi dan Senduk, 2004).Dengan demikian, kontekstual diartikan sebagai

pembelajaran yang terjadi di dalam hubungan yang dekat dengan pengalaman nyata. Belajar

akan lebih bermakna jika siswa mengalami apa yang dipelajarinya. Melalui pembelajaran

Page 259: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 67

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

kontekstual diharapkan akan diciptakan kondisi belajar yang bermakna (meaningful learning)

bagi siswa untuk memecahkan persoalan, berpikir kritis, dan melaksanakan pengamatan serta

menarik kesimpulan.

Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa minat dan prestasi siswa dalam bidang

sains meningkat secara drastis karena guru menggunakan suatu pendekatan pembelajaran dan

pengajaran kontekstual. Peranan guru untuk mengembangkan berpikir kritis dalam diri siswa

adalah sebagai pendorong, fasilitator, dan motivator. Tidak ada kata terlambat bagi guru untuk

melakukannya karena menurut Lang (2006) berpikir kritis dapat dipelajari dan ditingkatkan

bahkan pada usia dewasa. Menurut Rustana (2002) pendekatan kontekstual dapat merupakan

pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah dari

pengetahuan.Dengan demikian, kontekstual diartikan sebagai pembelajaran yang terjadi di

dalam hubungan yang dekat dengan pengalaman nyata. Belajar akan lebih bermakna jika siswa

mengalami apa yang dipelajarinya. Oleh karena itu, pembelajaran kontekstual cocok diterapkan

dalam semua disiplin ilmu termasuk mata pelajaran biologi, karena didesain sesuai cara kerja

otak dan prinsip-prinsip yang menyokong sistem kehidupan dan keseluruhan alam semesta

(Johnson, 2007).

Dalam penelitian ini Contextual Teaching and Learning diimplementasikan dengan

menggunakan tiga model pembelajaran, yaitu: inkuiri, pembelajaran kooperatif tipe Group

Investigation dan pembelajaran berdasarkan masalah (PBL). Tyler (Karlinah: 1999) berpendapat

bahwa pengalaman atau pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk

memperoleh keterampilan-keterampilan dalam pemecahan masalah akan mewujudkan

pengembangan keterampilan berpikir. Penggunaan kedua model dengan media maket akan

dikaji pengaruhnya terhadap keterampilan berpikir kritis siswa. Masalah yang berhubungan

dengan pengembangan berpikir kritis dalam pembelajaran sering luput dari perhatian

guru.Pengembangan berpikir kritis hanya diharapkan muncul sebagai efek pengiring (nurturan

effect) semata. Mungkin juga guru tidak memahami bagaimana cara mengembangkannya

sehingga guru kurang memberikan perhatian secara khusus dalam pembelajaran (Redhana,

2007). Berpikir kritis dapat dikembangkan dengan memperkaya pengalaman siswa yang

bermakna.Pengalaman tersebut dapat berupa kesempatan berpendapat secara lisan maupun

tulisan layaknya seorang ilmuwan (Curto dan Bayer, 2005). Diskusi yang muncul dari

pertanyaan-pertanyaan divergen atau masalah tidak terstruktur (ill-structured problem), serta

kegiatan praktikum yang menuntut pengamatan terhadap gejala atau fenomena akan menantang

keterampilan berpikir siswa (Broadbear, 2003).

Page 260: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 68

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Keterampilanberpikir kritis yang akan dikaji meliputi: (1) memberikan argumen: argumen

dengan alasan, menunjukan perbedaan dan persamaan, serta argumen yang utuh; (2) melakukan

deduksi: mendeduksikan secara logis, kondisi logis, serta melakukan interpretasi terhadap

pernyataan; (3) melakukan induksi: melakukan pengumpulan data, membuat generalisasi dari

data, membuat tabel dan grafik; dan (4) melakukan evaluasi: evaluasi diberikan berdasarkan

fakta, berdasarkan pedoman atau prinsip serta memberikan alternatif.Indikator keterampilan

berpikir kritis menurut Ennis (1985) dibagi menjadi 5 kelompok yaitu: (1) memberikan

penjelasan sederhana (elementary clarification): memfokuskan pertanyaan, menganalisis

argumen, bertanya dan menjawab tentang suatu penjelasan atau tantangan; (2) membangun

keterampilan dasar (basic support): mempertimbangkan kredibilitas sumber, mengobservasi dan

mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi; (3) membuat inferensi (inferring):

mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi, menginduksi dan mempertimbangkan hasil

induksi, membuat dan menentukan nilai pertimbangan; (4) memberikan penjelasan lebih lanjut

(advanced clarification): mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi dan

mengidentifikasi asumsi; (5) mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics):menentukan

tindakan dan berinteraksi dengan orang lain.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah studi deskriptif komparatif (non eksperimental), yaitu kajian

untuk menyelidiki hubungan antara suatu variabel terhadap variabel lainnya dengan mengkaji

perbedaan peranan variabel bebas terhadap variabel tak bebas pada kelompok yang berbeda

(McMillan dan Schumacher, 2001:287).Dalam hal ini dilakukan analisis terhadap pengaruh

penggunaan media maket dalam tiga macam pembelajaran bebasis kontekstual (inkuiri, GI, dan

PBL) terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.Untuk jelasnya, alur penelitian digambarkan

sebagai berikut:

Page 261: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 69

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Gambar 1. Alur penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis

Berdasarkan perhitungan statistic gain ternormalisasi keterampilan berpikir kritis siswa

SMP antara kelompok inkuiri, GI dan PBL untuk materi Eksosistem, terdapat perbedaan

rerata yaitu: X1 (maket danpembelajaran dengan inkuiri)= 0,55 ± 0,11; X2 (maket

danpembelajaran kooperatif tipe GI)= 0,67 ± 0,11; dan X3 (maket danpembelajaran berdasarkan

masalah)= 0,56 ± 0,13. Hasil uji perbedaan rerata (uji anava) menunjukkan bahwa peningkatan

keterampilan berpikir kritis setelah pembelajaran berbeda signifikan (α<0,05) antara ketiga

kelompok tersebut. Untuk jelasnya ditunjukkan pada Gambar 2 berikut ini:

Analisis komparatif

Hasil

Kesimpulan

Page 262: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 70

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Gambar 2.Rerata N-gain peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa pada ketiga kelompok

perlakuan untuk konsep ekosistem

Berdasarkan uji BNT terhadap N-gainketerampilan berpikir kritis siswa pada ketiga

kelompok menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata yang signifikan antara penggunaan maket

dan inkuiri dengan maket dan GIsedangkan dengan maket dan PBL tidak berbeda. Rerata N-

gainketerampilan berpikir kritis antara pembelajaran menggunakan maket dan GI berbeda

secara signifikan dengan maket dan PBL. Hasil uji BNT tersebut secara lengkap dapat dilihat

pada Tabel 3 berikut:

Tabel1. Perbandingan rerata N-Gain antara ketiga kelompok perlakuan

Perlakuan Selisih rata-rata (I-J) Standar Error Signifikansi

(I) Model (J) Model

inkuiri GI -5,6810 3,0068 0,062*

PBL 1,8011 3,0950 0,562

GI inkuiri 5,6810 3,0068 0,062*

PBL 7,4820 2,9805 0,014*

PBL inkuiri -1,8011 3,0950 0,562

GI -7,4820 2,9805 0,014*

* Perbedaan rerata signifikan pada taraf 5%.

Berdasarkan analisis data pada gambar 1 dan tabel 1 di atas terlihat bahwa rerataN-

gainketerampilan berpikir kritis yang paling tinggi diperoleh siswa pada pembelajaran

kooperatif tipe GI dengan menggunakan media maket (0,67), selanjutnya diikuti oleh PBL

dengan maket (0,56) dan inkuri dengan maket (0,55).Keterampilan berpikir kritis yang diukur

Page 263: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 71

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

setelah pembelajaran pada ketiga kelompok tersebut dibatasi padaketerampilan: (1)

memberikan argumen; (2) melakukan deduksi; (3) melakukan induksi; (4) melakukan evaluasi.

Hasil uji perbedaan (uji anava) menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara ketiga

kelompok untuk setiap indikator keterampilanberpikir kritis dengan rerata hasil yang

ditunjukkan pada gambar 2 di bawah ini:

Gambar 3. Perbandingan N-Gain setiap indikatorketerampilan berpikir kritis antara ketiga

kelompok perlakuan pada konsep ekosistem

Dari gambar 3 diatas terlihat bahwa penggunaan media maket dalam pembelajaran

inkuiri lebih dapat meningkatkan keterampilan melakukan induksi pada siswa dibandingkan

ketiga keterampilan yang lain. Sedangkan penggunaan media maket dalam pembelajaran

kooperatif tipe GI dan pembelajaran berdasarkan masalah lebih dapat meningkatkan

keterampilan melakukan evaluasinya.

Pembelajaran dengan menggunakan media maket dengan model-model berbasis

kontekstual sangat disenangi oleh siswa karena siswa merasa lebih terbantu dalam memahami

konsep.Penyajian konsep melalui media maket juga merangsang siswa berpikir dan memotivasi

siswa untuk mempelajari konsep tersebut.Namun demikian, pembelajaran dengan menggunakan

media maket menuntut kehati-hatian dalam pemakaiannya.Hal ini merupakan salah satu kendala

di lapangan yang perlu segera diatasi. Adapun tanggapan siswa mengenai penggunaan media

maket pada ketiga model pembelajaran yang digunakan disajikan pada tabel berikut:

Page 264: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 72

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Gambar 2.Rerata persentase tanggapan siswa terhadap media maket dan ketiga model yang

digunakan.

Berdasarkan tabel di atas persentase tanggapan siswa ≥ 50% terhadap media maket

dan ketiga model pembelajaran yang digunakan terdapat pada pernyataan setuju untuk item

mudah berinteraksi, melatih kemandirian, penggalian berpikir, mudah mengerjakan soal-

soal, dan mudah menyelesaikan masalah (dengan persentase tertinggi).Dengan demikian

berarti selain memotivasi siswa dan mempermudah memahami materi, media maket dan

model berbasis konstruktivisme dapat menggali keterampilan berpikir kritis siswa sehingga

mempermudahnya dalam menyelesaikan masalah.

Pembahasan

Penggunaan media maket dalam pembelajaran ekosistem berbasis kontekstual ternyata

dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa SMP. Pembelajaran ini telah

membentuk makna yang diciptakan oleh siswa melalui apa yang dilihat, didengar dan

dirasakannya. Hal ini sejalan dengan pandangan kaum konstruktivis yaitu belajar merupakan

proses pengasimilasian dan penghubung pengalaman yaitu antara bahan yang dipelajarinya

dengan pemahaman yang telah dimilikinya sehingga pemahamannya berkembang

(Suparno,1997).

Page 265: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 73

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pembelajaran Eksosistem berbasis kontekstual menggunakan media maket pada

penelitian ini mengandung tujuh komponen.Pertama, kontruktivisme pada saat siswa dapat

menempatkan hewan-hewan dalam media maket pada tempat yang sesuai dan

mempertimbangkan status hewan tersebut (apakah sebagai individu, populasi, atau komunitas)

dengan bantuan pemikiran dari tiap anggota kelompok dalam diskusi.Dengan demikian konsep

mengenai satuan makhluk hidup dalam ekosistem dapat mereka kuasai dengan baik.Kedua,

inkuiri melalui pertanyaan-pertanyaan di Lembar Kerja Kelompok (LKK), misalnya: “Apa yang

akan terjadi pada ekosistem apabila seluruh konsumer II mengalami penurunan secara drastis

?”, siswa menjawab berdasarkan hewan yang mereka amati atau siswa dapat menemukan

sendiri jawaban dari masalah yang mereka diskusikan. Komponen ini sangat penting karena

dapat menguatkan konsep yang telah dimiliki siswa.Ketiga, bertanya diimplementasikan dengan

membiasakan siswa saling mengajukan pertanyaan satu dengan yang lain, misalnya saling

bertanya sudah betulkah rantai makanan yang mereka susun dalam maketnya?.Keempat,

masyarakat belajar diterapkan dengan membentuk kelompok belajar yang memiliki kemampuan

berbeda (tinggi, sedang, dan rendah, sehingga pada saat mempelajari pola interaksi, siswa yang

sudah mengetahui mengapa hubungan antara rusa dan harimau disebut predasi akan

menjelaskan kepada siswa lain dalam kelompok yang belum tahu mengenai hal tersebut.Kelima,

pemodelan diimplementasikan dengan maket/tiruan dari beberapa ekosistem yang dibuat

sedemikian rupa hingga menyerupai keadaan asli dari ekosistem tersebut.Keenam, refleksi

dilakukan pada akhir kegiatan pembelajaran.Guru membimbing siswa membuat kesimpulan

berdasarkan materi yang telah dipelajari. Ketujuh, penilaian yang sebenarnya terlihat dari

penilaian yang tidak hanya menggunakan tes tertulis, tetapi dengan menggunakan lembar

observasi untuk menilai aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung.

Media maket yang digunakan dalam penelitianini memberikan gambaran kepada

siswa mengenai kondisi yang sesungguhnya sehingga memudahkan siswa mengingat

dan menghindari pengertian yang abstrak, misalnya siswa dapat menentukan organisme

mana yang termasuk individu, populasi dan komunitas yang ada dalam ekosistem

sabana tersebut, sehingga sebuah ekosistem sabana dapat tergambarkan dengan jelas

dalam maket tersebut dan tidak menimbulkan pengertian yang abstrak pada siswa.

Moedjiono (1992: 29) menyatakan media tiga dimensi dapat memberikan pengalaman

secara langsung, penyajian secara kongkrit dan menghindari verbalisme, dapat

menunjukkan obyek secara utuh baik konstruksi maupun cara kerjanya, dapat

memperlihatkan struktur organisasi secara jelas, dapat menunjukkan alur suatu proses

secara jelas. Melalui penelitian ini keterampilan berpikir kritis siswa meningkat,

Page 266: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 74

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

sehingga dapat dikatakan bahwa media maket yang dikembangkan memang bermanfaat

dalam meningkatkan daya serap siswa.Dengan menyusun media maket siswa menjadi

lebih aktif dalam berdiskusi, saling mengemukakan pendapat, saling bantu dalam

penyusunan media maket sehingga siswa dapat menentukan bahwa makhluk hidup

penyusun ekosistem terdiri dari individu, populasi, komunitas. Hal ini sesuai pendapat

Van Batavia (2011:1) bahwa tingkat daya serap modus pengalaman belajar 10 % melalui

membaca, 20 % melalui mendengar, 30 % melalui melihat, 50 % melalui melihat dan

mendengar, 70 % melalui perkataan/ucapan, 90 % melalui perkataan/ucapan dan perbuatan.

Penggunaan media maket dalam pembelajaran inkuiri pada siswa SMP tampak bahwa

keterampilan berpikir kritis siswa mengalami peningkatan, terutama untuk indikator

keterampilan melakukan induksi.Keterampilan melakukan induksi,dikembangkan dalam

kegiatan yang menuntut siswa membuat generalisasi dari data secara maksimal melalui

penggunaan media maket.Keterampilan induksiterlatih ketika siswa diharuskan menyusun

piramida makanan dan menentukan organisme yang berada pada tiap tingkatan tropiknya dalam

media maketnya. Siswa dituntut untuk melakukan pengumpulan data melalui penemuan dan

penyelidikan sendiri dengan menggunakan media maket yang menyerupai keadaan yang

sebenarnya, misalnya: pada materi aliran energi dalam ekosistem siswa diperintahkan untuk

menyusun rantai makanan, jaring-jaring makanan, dan piramida makanan.

Meyers dalam Science Education Program (2008) mengungkapkan bahwa seorang

siswa tidak akan dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dengan baik, tanpa

ditantang untuk berlatih menggunakannya dalam pembelajaran. Melalui inkuiri siswa dituntut

untuk melakukan pengumpulan data melalui penemuan dan penyelidikan sendiri dengan

menggunakan media maket yang menyerupai keadaan yang sebenarnya.Menurut Trianto (2010)

pembelajaran inkuiri dirancang untuk mengajak siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah

ke dalam waktu yaag relatif singkat. Siswa dihadapkan langsung dengan benda yang mirip

dengan benda aslinya sehingga memudahkan siswa dalam membuat generalisasi dari

data.Melalui tahap penemuan dan penyelidikan siswa dapat bertukar pendapat, berdiskusi, dan

saling membantu dalam pemecahan masalah sehingga keterampilan berpikir siswa dapat

tergali.Hal ini didukung oleh hasil penelitian Schlenker (dalam Trianto, 2010: 176 bahwa

latihan inkuiri dapat meningkatkan pemahaman sains, produktif dalam berpikir kreatif, dan

siswa menjadi terampil dalam memperoleh dan menganalisis informasi.Johnson

(2007:183)berpendapat bahwa berpikir kritis merupakan proses terarah yang digunakan dalam

kegiatan mental seperti untuk memecahkan masalah.

Page 267: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 75

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pembelajaran kooperatif tipe GI menggunakan media maket menghasilkan perbedaan

peningkatan rerata skor pada setiap indikator keterampilan berpikir kritis siswa. Keterampilan

melakukan evaluasi menghasilkan rerata N-gain yang paling tinggi dibandingkan dengan

keterampilan yang lainnya. Dengan demikian pembelajaran ekosistem menggunakan GI dan

media maket efektif dalam meningkatkan keterampilan melakukan evaluasi.Melakukan evaluasi

ialah kegiatan pemilihan salah satu alternatif yang ada untuk menghasilkan solusi pemecahan

masalah yang paling baik.Dengan menggunakan media maketnya siswa dapat menentukan

pernyataan yang benar.Keterampilan melakukan evaluasi siswa terlatih dengan adanya media

maket, karena menjadi lebih mudah mengevaluasi berdasarkan fakta yang benar.

Untuk mengembangkan keterampilan melakukan evaluasi siswa harus dibiasakan

menganalisis data dan menguji hipotesis data, dengan menggunakan media maket siswa lebih

mudah mengevaluasi berdasarkan fakta.Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Ibrahim

(2005: 37) bahwa tahap penyelidikan ilmiah sangat penting untuk dilakukan, agar siswa

mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri, dalam

rangka memperoleh jawaban pemecahan masalah.Pada tahap ini siswa dapat mengembangkan

berbagai keterampilan yang mereka miliki, tidak hanya meliputi gerakan motorik melainkan

juga fungsi mental yang bersifat kognitif (termasuk keterampilan berpikir).

Dalam pembelajaran berdasarkan masalah, penggunaan media maket juga

menghasilkan perbedaan peningkatan rerata skor pada setiap indikator keterampilan berpikir

kritis siswa.Keterampilan melakukan evaluasi menghasilkan rerata N-gain yang paling tinggi

dibandingkan dengan keterampilan yang lainnya.Selanjutnya Slavin (dalam Ibrahim dan Nur,

2005 : 5) menyatakan bahwa situasi masalah otentik yang disajikan dalam pembelajaran

berdasarkan masalah harus membutuhkan analisis sebab akibat agar dapat memberikan

kesempatan kepada siswa untuk berhipotesis dan berspekulasi oleh karena itu permasalahan

yang disajikan pada penelitian ini meliputi permasalahan atau fenomena yang relevan dengan

kehidupan nyata sehari-hari yang sering ditemui oleh siswa.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pembelajaran dengan media maket melalui pendekatan kontekstual sangat baik untuk

diterapkan dalam rangka meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa.Secara umum

pembelajaran dengan media maket melalui pendekatan kontekstual sangat menarik sehingga

dapat membangkitkan motivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dalam pembelajaran

ekosistem. Keterampilan melakukan evaluasi lebih dapat ditingkatkan melalui pembelajaran

Page 268: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 76

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

kooperatif tipe GI dan pembeelajaran berdasarkan masalah, sedangkan kemampuan melakukan

induksi pada inkuiri.

Saran

Pengembangan media maket dan pembelajaran kontekstual perlu terus disempurnakan

dan dikembangkan terutama untuk konsep-konsep abstrak di berbagai jenjang pendidikan.Untuk

itu para guru harus diberdayakan agar mampu memanfaatkan dan mengembangkannya di

sekolah.Akan tetapi pemanfaatannya juga perlu disikapi secara arif sebab ada konsep yang

mungkin lebih baik dipahami melalui kegiatan hands-on (praktikum) atau kegiatan lainnya

DAFTAR PUSTAKA

Adams, D,S. 2003. TeachingCritical Thinking in a Developmental Biology Course at an

American Liberal Arts College. J.Dev.Biol. 47: 145-151.

BNSP, 2006.Petunjuk Teknis Pengembangan Silabus dan Contoh Model Silabus SMP/MA.

Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Chiras, D. 1992. Teaching Critical Thinking Skills in the Biology and Environmental Science

Classrooms.The American Biology Teacher, 54: 464-468.

Colifah, N. 2010.Pemanfaatan Media Maket Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbicara Siswa

Dalam Memahami Denah Di Kelas IV MI Miftahul Huda Dukuhsari Sukorejo

Pasurua.Skripsi.Jurusan Kependidikan Sekolah Dasar & Prasekolah.Fakultas Ilmu Pendidikan UM. Malang

Costa, A. L. 1985.Developing Minds, A Resource Book for Teaching Thinking. Virginia: ASCD

Curto, K. & T. Bayer. 2005. Writing and Speaking to Learn Bioloy: An Intersection of Critical

Thinking and Communication Skills. Bioscene: Journal of College Biology Teaching,

31(4) 11-19.2005.

Daryanto, 2010.Media Pembelajaran. Gava Media. Yogyakarta.

Departemen Pendidikan Nasional.2003. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan

Penilaian.Depdiknas. Jakarta.

___________________________.2006.Pembelajaran Kontekstual, (Online),

(http://www.dikdasmen.org/files/ktsp/smp/pengem model pembel yg efektif-smp.doc,

diakses 23 Mei 2007).

___________________________.2006.File KTSP, (Online), (http://www.file ktsp-final-

senayan b/20 juni 2006.doc, diakses 23 Mei 2007).

Diestler, S. 1994. Becoming a Critical Thinker: A User-Friendly Manual.Mac.Millan Publisher. New York.

Page 269: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 77

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Dick, W., Carey, L. & Carey, J. O. 2005.The Systematic Design of Instruction. Boston: Harper Collin College Publisher.

Eggen P.D. and D. P. Kauchak. 1996. Strategies For Teachers: Teaching Content And Thinking

Skills. 3rd

edition.Allyn and Bacon. Boston. USA.

Ennis, R.H. (1985). Goals for a Critical Thinking Curriculum. In A.L. Costa (ed.). Developing

Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandra: ASCD.

Gillespie and Spirt. 1973.Creating A School Media Program. RR Bowker Company. New York

& London.

Hasnunidah, N. (2008) Penguasaan Konsep Struktur Dan Fungsi Organ Pada Mahluk Hidup

Siswa Pada Penggunaan Animasi Multimedia Melalui Dua Tipe Pembelajaran Kooperatif.Prosiding Seminar Nasional 2010. Kerjasama Lemlit dan FKIP Unila.

Bandar Lampung.

Johnson, E.B. 2009.Contextual Teaching and Learning. MLC. Bandung.

Kusnandar, A. 2008.TIK Untuk Pembelajaran.Modul.Pustekom. Depdiknas Jakarta.

Liliasari, 2001.Model Pembelajaran IPA untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Tingkat

Tinggi Calon Guru Sebagai Kecenderungan Baru Pada Era Globalisasi.Jurnal Pengajaran MIPA.Vol.2.No.1/Juni 2001.

Macmillan James, Schumacher Sally, (2001), Research in Education, New York: Addison Wesley Longman

Meyers, R. 1992.Debunking the paranorms: We should teach critical thinking as necessity for

living, not just as a tool for science.The American Biology Teacher, 54: 4-9.

Moedjiono, M. D. 1992. Strategi Belajar Mengajar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Nurhadi, B. Yasin, dan A.G. Senduk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan

Penerapannya dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Penerbit Universitas

Negeri Malang. Malang.

Riandi, 2008.Media Pembelajaran Biologi. Bahan Kuliah. http: //file.epi.edu/

direktori/D_PMIPA/Jur.Pend.Biologi. Diunduh pada tanggal 1 Maret 2011.Pkl 10.12

WIB.

Rohani, A. 1997.Media Instruksional Edukatif. Rineka Cipta. Jakarta.

Rustana.C.E. 2002.Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual. Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah.Depdiknas. Jakarta.

Sadiman, A.S. 2008.Media Pendidikan.PT. Grafindo Persada. Jakarta.

Scriven, M. & Paul R. Defining Critical Thinking. The Critical Thinking

Community.Foundation for Critical Thinking. Retrived January, 2. 2008 from http: //www.critical thinking.org/about CT/define_critical_ thinking.ctm.

Page 270: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2- 78

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Sofyan, A. 2010. Pemodelan Lingkungan. http://www.kitada.eco.tut.ac.jp/pub/

member/asep/plo/model.html. Diunduh tanggal 30 Januari 2011.

Sunaryo. 2009. Pengaruh Penggunaan Media Maket terhadapPrestasi Belajar Siswa Tunagrahita

Ringanpada Mata Pelajaran IPA. JAfll Anakku » Volume 8 : Nomor 2 Tahun 2009. UPI.

Bandung.

University of Washington, 2001.Operationally Defining Contextual Teaching and

Learning. College of Education, University of Seattle, Washington, USA.

Van Batavia, F. 2011. Standar Kompetensi

Guru.http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:5kE9znkeEeMJ:fuddinbat

avia.com.(29 Juli 2011; 8:05 WIB).

Page 271: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-79

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PENGARUH LKS BERBASIS MASALAH TERHADAP HASIL KETERAMPILAN PROSES SISWA KELAS VII SMP PGRI 2

LABUHAN RATU LAMPUNG TIMUR

Rini Rita T. Marpaung1 1Jurusan PMIPA FKIP Unila

ABSTRAK

Penerapan pembelajaran LKS berbasis masalah dilakukan dan diteliti terhadap hasil

keterampilan proses siswa kelas VII SMP PGRI 2 Labuhan Ratu Lampung Timurtahun

ajaran 2009/2010 dengan jumlah 40 siswa. Desain Postestkuivalen digunakan dalam

penelitian ini dengan tes akhir diasumsikan sebagai efek dari perlakuan keterampilan

proses. Data keterampilan prosesdiukur melalui tes bentuk uraian, aktivitas indikator

keterampilan proses dengan menggunakan lembar observasi. Peningkatan keterampilan

proses dianalisis berdasarkan perbandingan nilai tes formatif. Teknik analisis data yang

digunakan adalah uji hipotesis tentang perbedaan dua rata-rata dependent (dependent t-

test). Hasil keterampilan proses dengan ketercapaian70 persen menunjukkan bahwa

penggunaan LKS berbasis masalah pada materi ekosistemterhadap keterampilan proeses

siswa.Aktivitas indikator keterampilan proses dengan rerata yakni: observasi (1,85);

klasifikasi (6,60); menafsirkan (16,28); menyimpulkan (8,50); komunikasi (28,13).

Kata kunci: LKS berbasis masalah, keterampilan proses, Ekosistem

PENDAHULUAN

Pembelajaran biologi menekankan pada pengalaman langsung, untuk

mengembangkan kompetensi agar siswa mampu memahami alam sekitar melalui proses

mencari tahu dan berbuat. Keterampilan dalam mencari tahu atau berbuat tersebut

dinamakan keterampilan proses sains (Anonim, 2003:1).

Hasil wawancara yang dilakukan di SMP PGRI 2 Labuhan Ratu Kabupaten

Lampung Timur khususnya kelas VII, menunjukkan metode pembelajaran yang

digunakan adalah diskusi dengan LKS biasa membuat siswa kurang mengasah

Page 272: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-80

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

keterampilan proses sains yang dimiliki, sehingga keterampilan proses sains siswa yang

muncul kemungkinan menyimpulkan saja. Oleh karena itu proses sains pada siswa tidak

optimal, maka akan berdampak kepada perolehan nilai hasil belajar siswa.

Pencapaian hasil belajar sains biologi siswa kelas VII3 dan VII4 SMP PGRI 2

Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur masih rendah. Rata-rata nilai kognitif mata

pelajaran sains biologi semester ganjil TP 2008/2009 sebesar 55, nilai ini belum

mencapai standar.

Keterampilan proses sains ini meliputi: keterampilan mengamati dengan seluruh

indera, mengajukan hipotesis, menggunakan alat dan bahan secara benar dengan selalu

mempertimbangkan keselamatan kerja, mengajukan pertanyaan, menggolongkan,

menafsirkan data dan mengkomunikasikan hasil temuan secara beragam, menggali dan

memilah informasi faktual yang relevan untuk memecahkan masalah sehari-hari

(Depdiknas, 2006:2).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di SMP PGRI 2 Labuhan Ratu Kabupaten Lampung

Timur pada bulan Mei 2009. Populasi target penelitian ini adalah seluruh siswa kelas

VII SMP PGRI 2 Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur semester genap tahun

pelajaran 2008/2009. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII3

sebagai kelas eksperimen dan kelas VII4 sebagai kelas kontrol yang telah dipilih secara

cluster random sampling.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental semu, dimana Pada kelompok

kelas eksperimen (VII3) diberi perlakuan berupa penggunaan LKSBerbasis Masalah,

sedangkan pada kelompok kelas kontrol (VII4) hanya menggunakan LKS biasa. Kedua

kelas mendapatkan soal tes formatif yang sama. Berikut ini adalah gambar desain

penelitian yang digunakan :

Gambar 2. Desain posttest pada kelompok ekuivalen(Riyanto, 2001: 46)

R1 X O1

R2 C O2

Page 273: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-81

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Keterangan : R1 (kelompok eksperimen); R2 (kelompok kontrol); X (perlakuan

eksperimen); C (kontrol); O1 (posttest pada kelompok eksperimen);

O2 (posttest pada kelompok kontrol)

Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu prapenelitian dan pelaksanaan penelitian.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Berikut ini adalah nilai rata-rata masing-masing keterampilan proses sains yang

dicapai oleh siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Tabel 2. Persentase Keterampilan Proses Sains Pada Kelas Eksperimen (VII3) dan

Kelas Kontrol (VII4)

Kategori Keterampilan Proses Sains

Kelas Eksperimen Kontrol F % F %

Rendah 12 30% 15 39,5% Sedang 23 57,5 20 52,7% Tinggi 5 12,5 3 7,8%

Tabel 3. Rata-rata Aktivitas Keterampilan Proses Sains Kelas Eksperimen (VII3)

dan Kelas Kontrol (VII4)

Kelas Keterampilan Proses Sains A B C D E

Eksperimen 1,85 6,60 16,28 8,50 28,13 Kontrol 1,37 5,89 13,97 6,74 24,08

Keterangan:

A( mengobservasi); B ( mengklasifikasi); C (menafsirkan); D (menyimpulkan) E( mengkomunikasikan)

Berdasarkan analisis data tabel 3 di atas diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata

antara rata-rata keterampilan proses sains kelas eskperimen yang pembelajarannya

menggunakan LKSberbasis masalah dengan kelas menggunakan LKS biasa. Terlihat

bahwa rata-rata semua aspek keterampilan proses sains kelas eksperimen lebih tinggi

daripada kelas kontrol..

Page 274: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-82

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Keterampilan Proses Sains Kelas Eksperimen (VII3)

dan Kelas Kontrol (VII4)

Kelas Keterampilan Proses Sains

Nilai Signifikansi Kolmogorov-smimov

A B C D E

Eksperimen Lhit(0,042)<

Ltab(0,139)

Lhit(0,072)<

Ltab(0,139)

Lhit(0,020)<

Ltab(0,139)

Lhit(0,041)<

Ltab(0,139)

Lhit(0,092)<

Ltab(0,139)

Kontrol Lhit(0,055)<

Ltab(0,139)

Lhit(0,037)<

Ltab(0,139)

Lhit(0,025)<

Ltab(0,139)

Lhit(0,097)<

Ltab(0,139)

Lhit(0,066)<

Ltab(0,139)

Dari tabel 4 di atas, diketahui bahwa uji normalitas masing-masing aspek

keterampilan proses sains pada kelas eksperimen yang menggunakan LKS Berbasis

Masalah dan kelas kontrol yang tanpa menggunakan model Pembelajaran Berbasis

Masalah berdistribusi normal dengan criteria uji terima H0 jika Lhitung<Ltabel atau

(p>0,05) dan tolak Ho untuk harga lainnya atau, sehingga Ho diterima artinya data

nilai test formatif siswa pada kelas eksperimen dan kelas control berdistribusi

normal.

Tabel 5. Hasil Uji Kesamaan Dua Varians Keterampilan Proses SainsKelas

Eksperimen (VII3) dan Kelas kontrol (VII4)

Keterampilan Proses Sains

A B C D E

Fhitung 1,104 0,074 0,215 0,245 1,029

Ftabel 3,114

Berdasarkan tabel 5 di atas uji kesamaan dua varians keterampilan proses sains

diperoleh Fhitung< Ftabel sehingga H0 diterima, berarti kedua data keterampilan proses

sains untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol tersebut memiliki varians yang sama

(homogen).

Page 275: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-83

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 6. Hasil Uji Kesamaan Dua Rata-rata Keterampilan Proses SainsKelas Eksperimen (VII3) dan Kelas kontrol (VII4)

Keterampilan

Proses Sains A B C D E

thitung 2,622 1,995 3,215 2,540 3,097

ttabel 1,99

Dari tabel 6 di atas menunjukkan bahwa uji t1 (kesamaan dua rata-rata) diperoleh

thitungpada kelima aspek tersebut diperoleh thitung> ttabel sehingga H0 ditolak, artinya

rata-rata keterampilan proses sains pada kelas eksperimen yang menggunakan LKS

Berbasis Masalah memiliki perbedaan nyata dengan rata-rata keterampilan proses

sains pada kelas kontrol menggunakan LKS biasa.

Tabel 7. Hasil Uji Perbedaan Dua Rata-rata Keterampilan Proses Sains Kelas Eksperimen (VII3) dan Kelas kontrol (VII4)

Keterampilan

Proses Sains A B C D E

thitung 3,400 2,963 4,938 3,520 4,968

ttabel 2,031

Berdasarkan Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa uji t2 (perbedaan dua

rata-rata) diperoleh thitung pada kelima aspek tersebut thitung> ttabel sehingga H0 ditolak,

artinya rata-rata keterampilan proses sains pada kelas eksperimen yang menggunakan

LKS berbasis masalah memiliki perbedaan yang nyata dengan rata-rata keterampilan

proses sains pada kelas kontrol menggunakan LKS biasa.

Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis terhadap data hasil keterampilan proses sains yang

diperoleh dari tes formatif menunjukkan bahwa penggunaan LKSberbasis masalah

berpengaruh nyata terhadap keterampilan proses sains (mengamati, mengklasifikasi,

menafsirkan, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan).

Page 276: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-84

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Hasil pembuktian terhadap hipotesis penelitian, menunjukkan terdapat interaksi

antara LKS Berbasis Masalah terhadap keterampilan proses sains siswa,yaitu proses

belajar yang berkaitan dengan makhluk hidup dan lingkungan dapat mempengaruhi

keterampilan proses sains.

Dalam pembelajaran biologi di SMP, pembelajaran Ekosistem merupakan proses

yang menjelaskan konsep kesatuan antara makhluk hidup dengan lingkungannya,

dimana antara komponen biotic dengan komponen abiotik saling mempengaruhi

(Raharja, 2006:2).

Jika materi pokok Ekosistem diajarkan melalui pembelajaran verbalistik (ceramah)

yang kurang memanfaatkan potensi lingkungan sekitar sebagai sumber belajar yang

paling dekat dengan diri siswa, makasiswa hanya berfungsi sebagai obyek, tanpa

mampu mengembangkan diri,

Dan lingkungan sebagai sumber belajar tidak dimanfaatkan secara optimal.Oleh

karena itu, dibutuhkan suatu sumber belajar yang dapat menghadirkan lingkungan

sekitar kedalam pembelajaran di kelas sehingga siswa memperoleh gambaran yang jelas

tentang materi Ekosistem yang dipelajari.

Sejalan dengan pendapat Djamarah dan Zain (2002:19) penggunaan model

Pembelajaran Berbasis Masalah memiliki 4 langkah .Pertama, orientasi siswa kepada

masalah. Hal ini dapat dibuktikan selama kegiatan pembelajaran tentang komponen-

komponen penyusun ekosistem, siswa mengamati lingkungan sekitar sekolahnya. LKS

berbasis masalah ini menggunakan model pembelajaran berbasis masalah, contohnya:

adanya kasus siswa mengamati benda-benda yang termasuk makhluk hidup (biotik) dan

makhluk tak hidup (abiotik). Aspek keterampilan proses sains yang terlihat pada

kegiatan tersebut termasuk dalam aspek mengamati.

Kedua, mencari data atau informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan

masalahnya. Contohnya: ketika siswa mengerjakan bahan kajian tentang materi

komponen penyusun ekosistem dan saling ketergantungan diantara komponen biotik.

Hal ini dapat dibuktikan selama kegiatan pembelajaran siswa dapat

menggolongkan benda-benda yang termasuk kedalam kelompok makhluk hidup dan

makhluk tak hidup, serta siswa dapat membedakan peran masing-masing makhluk

Page 277: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-85

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

hidup dalam rantai makanan. Aspek keterampilan proses sains yang terlihat pada

kegiatan tersebut termasuk dalam aspek mengklasifikasi.

Ketiga, menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut dan menguji

kebenaran dari jawabannya. Dalam langkah ini siswa harus berusaha memecahkan

masalah sehingga yakin bahwa jawaban tersebut benar-benar cocok. Contohnya: pada

materi satuan makhluk hidup dalam ekosistem, kegiatan ini dilihat ketika siswa

menafsirkan jumlah rumput dan makhluk hidup yang ada pada satu plot yang telah

ditentukan, sehingga siswa dapat mengetahui ada berapa macam populasi yang ada di

plot tersebut. Aspek keterampilan proses sains yang terlihat pada kegiatan tersebut

termasuk dalam aspek menafsirkan.

Keempat, menarik kesimpulan dan mengkomunikasikannya. Keadaan ini terlihat

dari kegiatan siswa mengerjakan bahan kajian dari materi ekosistem. Dalam langkah ini

siswa harus sampai kepada kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tersebut,

kemudian mempresentasikan hasil jawaban diskusi di depan kelas oleh masing-masing

perwakilan kelompok. Aspek keterampilan proses sains yang terlihat pada kegiatan

tersebut termasuk dalam aspek menyimpulkan dan mengkomunikasikan.

Tingginya rata-rata keterampilan proses sains pada kelas eksperimen dengan

memakai model Pembelajaran Berbasis Masalah diduga karena model Pembelajaran

Berbasis Masalah memiliki kelebihan atau keunggulan untuk membuat siswa terlibat

secara aktif dalam pembelajaran. Hal ini diduga karena model Pembelajaran Berbasis

Masalah merupakan model yang menggunakan masalah dunia nyata. Keadaan ini

terlihat ketika siswa mengerjakan bahan kajian pada materi satuan makhluk hidup

dalam ekosistem, komponen penyusun ekosistem, pola interaksi organisme, dan saling

ketergantungan di antara komponen biotik.Sehingga siswa dapat mengembangkan

kemampuan berpikir dan kemampuan memecahkan masalah serta untuk memperoleh

pengetahuan. Adapun kelebihan model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based

Learning), antara lain yaitu: mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis,

analitis, sistematis, dan logis yaitu siswa dapat belajar untuk mengambil keputusan

sendiri dalam menghadapi masalah dan belajar menghargai pendapat orang lain

(Sanjaya, 2007:218).

Page 278: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-86

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Penyebab dari faktor di atas dikarenakan siswa yang berada di kelas eksperimen

lebih aktif dibandingkan siswa yang berada di kelas kontrol. Keadaan ini terlihat ketika

siswa sedang berdiskusi mengerjakan bahan kajian kelompok, mengisi lembar kerja

tentang materi ekosistem.Dalam kemampuan mengisi lembar kerja, siswa pada kelas

eksperimensangat baik dalam menjawab pertanyaan, siswa dapat menjawab semua

pertanyaan dengan tepat, dan dalam mempersentasikan hasil lembar kerja kelompok

siswa di depan kelas, siswa sangat aktif dan dapat menjawab pertanyaan dari kelompok

lain. Dan pada akhir pembelajaran, siswa dapat menarik kesimpulan dengan baik secara

lengkap dan benar, sehingga siswa dapat merangkum sesuai dengan point- point materi

yang telah disampaikan.Faktor aktif atau tidaknya siswa juga disebabkan pada proses

pembelajaran pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Padakelas kontrol (tanpa LKS Berbasis Masalah) pada saat berdiskusi proses

pembelajaran menjadi kurang efektif. Sehingga siswa kurang dapat memahami materi

pelajaran tentang ekosistem yang sedang mereka pelajari. Banyak siswa yang tidak

fokus bahkan ada siswa yang bermalas-malasan dalam proses pembelajaran. Dan pada

saat mengisi lembar kerja hanya sebagian siswa saja yang aktif mengisi lembar kerja

dalam kelompok, mempersentasikan lembar kerja dengan cara yang sistematis namun

jawabannya masih bersifat bias. Dan pada saat menjawab pertanyaan dari kelompok

lain, siswa cenderung tidak dapat menjawab, masih butuh penjelasan atau tuntunan guru

terlebih dahulu. Dari hasil analisis juga diketahui bahwa dalam proses pembelajaran

dengan menggunakan metode diskusi informasi siswa kurang dapat menyelesaikan soal-

soal yang diberikan dengan baik karena seringkali mereka tidak memperhatikan

penjelasan guru. Sehingga siswa tidak bisa menjawab jika guru menanyakan kembali

tentang materi pelajaran yang baru disampaikan. Dalam langkah ini siswa tidak mampu

dalam mengerjakan lembar kerja yang mengukur keterampilan proses sains terutama

pada aspek menyimpulkan dan mengkomunikasikan.

Hal ini sesuai dengan pendapat Roestiyah (2002:95) yang mengemukakan

beberapa kelemahan metode ceramah, yaitu (1) mudah menjadi verbalisme atau hafalan;

(2) bila selalu digunakan dan terlalu lama akan membosankan; (3) guru menyimpulkan

bahwa siswa mengerti dan tertarik pada ceramahnya sangat sulit; (4) membuat siswa

menjadi pasif. Sehingga siswa yang diajar dengan menggunakan model Pembelajaran

Page 279: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-87

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Berbasis Masalah (Problem Based Learning) yang lebih banyak berhasil menjawab

soal-soal yang diberikan oleh guru baik dalam lembar kerja siswa maupun lembar soal

tes formatif daripada LKS biasa. Hal ini disebabkan juga selama proses pembelajaran

berlangsung mereka sendiri yang aktif dan tidak hanya menerima penjelasan dari guru.

Dari hasil penelitian tersebut dapat dinyatakan bahwa model Pembelajaran

Berbasis Masalah lebih berhasil dalam menumbuhkan keterampilan proses sains

daripada yang tidak menggunakan model Pembelajaran Berbasis Masalah serta dapat

memperlihatkan bahwa keterampilan proses sains di kelas eksperimen lebih tinggi

daripada di kelas kontrol

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan dalam

penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Penerapan model

Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) berpengaruh nyata terhadap

keterampilan proses sains pada materi pokok Ekosistem, (2) Rata-rata keterampilan

proses sains yang berada di kelas eksperimen (mendapat perlakuan berupa model

Pembelajaran Berbasis Masalah) lebih tinggi daripada siswa kelas kontrol (mendapat

perlakuan berupa metode diskusi informasi).

Saran

Adanya perbedaan keterampilan proses sains dalam proses pembelajaran dengan

menggunakan model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dan

proses pembelajaran dengan menggunakan metode diskusi informasi, serta adanya

pengaruh yang baik dari penerapan model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem

Based Learning) terhadap keterampilan proses sains dalam pembelajaran biologi pada

materi pokok Ekosistem, maka disarankan: (1) Dalam penggunaan model Pembelajaran

Berbasis Masalah (Problem Based Learning) terhadap keterampilan proses sains,

sebaiknya guru lebih dahulu menjelaskan kepada siswa langkah-langkah metode ilmiah,

agar siswa lebih mampu dalam mengerjakan LKS yang mengukur keterampilan proses

Page 280: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-88

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

sains terutama pada aspek menyimpulkan dan mengkomunikasikan, (2) Pada proses

pembelajaran pada kelas eksperimen (menggunakan model pembelajaran berbasis

masalah), waktu belajar berada pada jam ke 3-4 sehingga waktu belajar terhambat

karena di jeda dengan waktu istirahat. Keadaan ini yang membuat proses belajar

menjadi tidak optimal, karena konsentrasi yang buyar setelah istirahat selesai sehingga

siswa agak kesulitan untuk memusatkan fikiran setelah waktunya terpotong oleh

istirahat. Penulis menyarankan apabila ingin menggunakan model Pembelajaran

Berbasis Masalah, sebaiknya waktu yang digunakan bersifat continue tidak terpotong

waktu istirahat supaya proses pembelajaran menjadi lebih optimal, (3) Pada pelaksanaan

model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning), saat pembagian

kelompok sebaiknya siswa dikondisikan dengan baik dan cepat, sehingga waktu tidak

terbuang percuma, (4) Untuk penelitian lanjut, sebaiknya guru terlebih dahulu

menjelaskan fungsi dan manfaat penggunaan model Pembelajaran Berbasis Masalah

(Problem Based Learning) terhadap keterampilan proses sains agar siswa lebih tertarik

untuk belajar dengan model Pembelajaran Berbasis Masalah.

Page 281: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

2-89

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Keterampilan Proses SainsSiswa SMP danMTS.Depdiknas. 28 Februari

2009.http://www.puskur.net/ins/SMP/Pengetahuan Alam.pdf.Google

Depdiknas. 2006. PetunjukTeknisPengembanganSilabusdanContohatau Model Silabus

Mata PelajaranBiologi.03 Februari 2009. Dalam

http://www.dikmenum.go.id/kurikulum/files/Petunjuk%20Teknis%20dan%20co

ntoh%20silabus/9.%20SILABUS%20BIOLOGI/Petunjuk%20Teknis-

Biologi.doc.

Djamarah, S. dan A. Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta.

Raharja, H. 2006. Pembelajaran Ekosistem Di Taman Sekolah. Dalam

http://re-searchengines.com/0306hidayat2.html - 23k

(15 Juli 2009; 13.00)

.

Sanjaya, W. 2007.StrategiPembelajaran.Kencana.Jakarta.

Page 282: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-1

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PENGEMBANGAN MODEL MULTIMEDIA INTERAKTIF ADAPTIF PENDAHULUAN FISIKA ZAT PADAT (MIA-PIZA)

Ketang Wiyono1, Liliasari2

1Pendidikan Fisika FKIP Universitas Sriwijaya ([email protected])

2Pendidikan IPA Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model multimedia interaktif yang dapat mengadaptasi gaya belajar mahasiswa. Metode penelitian pengembangan dengan desain mixed method design digunakan untuk menggabungkan prosedur penelitian kualitatif dan kuantitatif dalam satu studi untuk menyelesaiakan suatu masalah. Secara umum penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap yaitu : 1) tahap studi pendahuluan dilakukan dengan menerapkan pendekatan deskriptif kualitatif; 2) tahap pengembangan desain model multimedia interaktif adaptif dengan melakukan validasi ahli (expert judgement), revisi dan ujicoba terbatas serta evaluasi akhir; 3) tahap pengujian model. Dalam makalah ini hanya dibahas sampai pada pada validasi 3 orang ahli dan hasil ujicoba terbatas terhadap 7 mahasiswa di LPTK Negeri yang ada di Palembang. Lembar expert judgement digunakan untuk memperoleh informasi dari ahli dan angket tanggapan mahasiswa digunakan untuk memperoleh respon mahasiswa pada saat ujicoba terbatas. Hasil validasi ahli menunjukkan bahwa rata-rata skor dari aspek isi, teknis dan penyajian sebesar 88% dari skor ideal. Tanggapan mahasiswa terhadap multimedia interaktif yang dikembangkan sebesar 87% dari skor ideal. Dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa multimedia interaktif yang kembangkan berbasis gaya belajar layak untuk diimplementasikan pada perkuliahan pendahuluan fisika zat padat.

Kata kunci : multimedia interaktif, adaptif, pendahuluan fisika zat padat

PENDAHULUAN

Selama ini sebagian dosen mengajarkan materi pendahuluan fisika zat padat

hanya dengan metode ceramah dan jarang sekali melakukan kegiatan praktikum di

laboratorium. Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa skor hasil belajar fisika zat

padat pada suatu LPTK dalam lima tahun terakhir masih tergolong rendah yaitu sebesar

58 (2005), 56 (2006), 53 (2007), 56 (2008) 55 (2009) pada skala 1-100. Rendahnya

hasil belajar fisika zat padat tersebut salah satunya disebabkan kesulitan mahasiswa

Page 283: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-2

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

dalam memahami konsep-konsep fisika zat padat yang abstrak dan bersifat mikroskopis.

Agar konsep-konsep pendahuluan fisika zat padat yang abstrak dan mikroskopis mudah

dipahami oleh mahasiswa perlu adanya inovasi dalam perkuliahan fisika lanjut. Salah

satu inovasi dalam perkuliahan yaitu dengan pengintegrasian teknologi informasi dan

komunikasi dalam bentuk multimedia interaktif (Wiyono, 2009).

Penggunan multimedia interaktif dalam perkulihan pendahuluan fisika zat padat

diperlukan untuk membantu mahasiswa dalam memahami konsep-konsep yang bersifat

abstrak. Menurut McKagan (2008) mahasiswa akan lebih mudah memahami konsep

mekanika kuantum yang bersifat abstrak dengan bantuan software interaktif. Namun

demikian penggunaan multimedia interaktif saja belumlah cukup karena multimedia

yang dibuat harus mampu mengadaptasikan berbagai variasi karakteristik pengguna,

sehingga mempunyai efektivitas pembelajaran yang tinggi. Untuk itu digunakan sistem

multimedia interaktif adaptif yang dapat mengadaptasi perbedaan gaya belajar

mahasiswa. Penggunaan multimedia interaktif adaptif dalam pembelajaran dapat: (1)

menampilkan alternatif halaman yang sesuai dengan karakteristik individu, (2)

berorientasi pada kelompok pengguna yang lebih luas, (3) memberikan navigasi untuk

membatasi keleluasaan pengguna dalam mencari informasi (Surjono, 2006). Menurut

Sarantos (2007) dan Kortemeyer (2007) penggunaan model adaptif dapat dapat

meningkatkan kemapuan-kemampuan metakognitif dan dapat menjadi alat bantu belajar

yang efektif.

Sistem multimedia interaktif yang ada sekarang ini umumnya memberikan

presentasi materi pembelajaran yang sama untuk setiap pengguna karena

mengasumsikan bahwa karakteristik semua pengguna adalah homogen. Dalam

kenyataannya, setiap pengguna mempunyai karakteristik yang berbeda-beda baik dalam

hal tingkat kemampuan, gaya belajar, latar belakang atau yang lainnya. Seharusnya

suatu sistem multimedia interaktif dapat memberikan materi pembelajaran yang tingkat

kesulitannya sesuai dengan kemampuan pengguna, dan cara mempresentasikan materi

pembelajarannya sesuai dengan gaya belajar pengguna. Dengan kata lain sistem

multimedia interaktif seharusnya dapat mengadaptasikan tampilannya terhadap berbagai

variasi karakteristik pengguna, sehingga mempunyai efektivitas pembelajaran yang

tinggi. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan sistem multimedia

interaktif adaptif.

Page 284: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-3

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Berdasarkan uraian pada atar belakang masalah, maka tujuan penelitian ini

adalah: (1) mengembangkan karakterisasi model multimedia interaktif berbasis gaya

belajar, (2) medeskripsikan hasil validasi ahli terhadap multimedia interaktif yang

dikembangkan, (3) mendeskripsikan tanggapan mahasiswa pada ujicoba terbatas model.

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian pengembangan menggunakan mixed

method design. Menurut Creswell & Plano Clark (2007) mixed method design

prosedur untuk mengumpulkan, menganalisis dan “menggabungkan” penelitian

kuantitatif dan kualitatif dan metode dalam satu studi untuk memahami masalah.

Secara umum penelitian dilakukan dalam 3 tahapan seperti pada gambar 2 yaitu: 1)

tahap studi pendahuluan dilakukan dengan menerapkan pendekatan deskriptif kualitatif,

2) tahap pengembangan desain model multimedia interaktif adaptif, dilanjutkan dengan

validasi ahli (expert judgement), revisi dan perbaikan, dilanjutkan dengan ujicoba

terbatas.

Lokasi dan Subyek Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada salah satu LPTK Negeri di Sumatera

Selatan yang menyelenggarakan Program Studi Pendidikan Fisika bagi mahasiswa

calon guru fisika. Subyek penelitian adalah mahasiswa calon guru fisika semester V

program S1 Program Studi Pendidikan Fisika yang mengikuti mata kuliah Pendahuluan

Fisika Zat Padat. Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa calon guru fisika di

LPTK Negeri yang ada di Sumatera Selatan. Sampel dipilih dengan teknik purposive

sampling. Sampel untuk ujicoba terbatas berjumlah 7 orang.

Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan instrumen berupa lembar validasi ahli, untuk

memvalidasi draf software yang telah dikembangkan oleh ahli fisika zat padat dan ahli

Page 285: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-4

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

multimedia. Angket tanggapan mahasiswa yang digunakan untuk menjaring respond

dan saran dari mahasiswa tentang model yang dikembangkan.

Gambar 1. Desain Penelitian

Studi

literatur

Studi lapangan tentang pembelajaran

pendahuluan fisika zat padat

Deskripsi

temuan

Draft desain model

multimedia interaktif adaptif

fisika zat padat

Penyusunan perangkat model

perkuliahan multimedia

interaktif adaptif zat padat

Judgement

pakar/ahli

Revisi

Evaluasi dan penyempurnaan

Model multimedia interaktif

adaptif

fisika zat padat

1. Tahap Studi Pendahuluan

2. Tahap Pengembangan Desain

Menganalisis kompetensi,

materi esensial, analisis konsep

dan keterampilan berpikir kritis

Hasil belajar, metode,

media, bahan ajar, teknik

evaluasi, kegiatan

praktikum

Deskripsi hasil,

memetakan hasil

temuan, analisis

kelemahan

Uji coba

terbatas

Page 286: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-5

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

HASIL PENELITIAN

Studi pendahuluan, pada tahap ini diawali dengan studi literatur yang meliputi

analisis kompetensi, materi esensial, analisis konsep dan analisis indikator

keterampilan berpikir kritis yang dapat dikembangkan pada model pembelajaran

multimedia interaktif adaptif pendahuluan fisika zat padat. Tahap selanjutnya adalah

studi lapangan tentang pembelajaran pendahuluan fisika zat padat. Studi lapangan

dilakukan untuk mengetahui proses perkuliahan pendahuluan fisika zat padat yang

selama ini dilakukan di LPTK Negeri Sumatera Selatan. Bagian terakhir dari tahap

pendahuluan adalah deskripsi temuan yang meliputi deskripsi hasil, memetakan hasil

temuan, analisis kelemahan. Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa sebagian

dosen mengajarkan materi pendahuluan fisika zat padat hanya dengan metode ceramah

dan jarang sekali melakukan kegiatan praktikum di laboratorium. Skor hasil belajar

fisika zat padat pada suatu LPTK dalam lima tahun terakhir masih tergolong rendah

yaitu sebesar 58 (2005), 56 (2006), 53 (2007), 56 (2008) 55 (2009) pada skala 1-100.

Rendahnya hasil belajar fisika zat padat tersebut salah satunya disebabkan kesulitan

mahasiswa dalam memahami konsep-konsep fisika zat padat yang abstrak dan bersifat

mikroskopis.

Pengembangan desain, pada tahap ini dilakukan penyusunan perangkat model

multimedia interaktif adaptif pendahuluan fisika zat padat. Penyusunan perangkat model

multimedia interaktif adaptif pendahuluan fisika zat padat berupa pembuatan storyboard

sebagai panduan dalam mengembangkan software. Berikut adalah contoh tampilan

soryboard seperti gambar 2.

Gambar 2. Contoh tampilan storyboard

Page 287: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-6

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Kemudian storyboard tersebut dibuat menjadi draft multimedia interaktif adaptif

pendahuluan fisika zat padat. Draft desain model multimedia interaktif adaptif

pendahuluan fisika zat padat merupakan hasil awal yang belum di validasi oleh ahli.

Berikut adalah beberapa contoh tampilan multimedia interaktif adaptif pendahuluan

fisika zat padat seperti gambar 3.

Gambar 3. Contoh tampilan draft MMI Adaptif Pendahuluan Fisika Zat Padat

Selanjutnya draft multimedia interaktif adaptif pendahuluan fisika zat padat

divalidasi dan diujicoba terbatas.

Hasil Validasi Ahli Terhadap MMI Adaptif Pendahuluan Fisika Zat Padat

Pada tahap ini software yang telah dikembangkan dinilai dan divalidasi oleh

ahli. Penilaian dilakukan oleh 3 orang ahli yaitu: ahli materi subyek pendahuluan fisika

zat padat dari Jurusan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia, ahli multimedia

interaktif dan juga dosen pendidikan fisika dari Universitas Negeri Surabaya) dan ahli

multimedia dari Universitas Pendidikan Indonesia. Hasil penilaian ahli dapat dilihat

pada tabel 1. Dari tabel 1 dapat diperoleh informasi bahwa rata-rata persentase penilaian

ahli untuk draf software multimedia interaktif adaptif pendahuluan fisika zat padat

sebesar 94% untuk rubrik isi, 83% untuk rubrik teknis dan 88% untuk rubrik penyajian.

Hasil ini menunjukkan bahwa penilaian ahli terhadap draft software sudah cukup tinggi

yaitu rata-rata 88% dari skor ideal. Selain memberikan skor, ahli juga memberikan saran

untuk perbaikan software MMI adaptif yang dibuat yaitu sebagai berikut : (1) pada

bagian petunjuk harus dapat link kebagian yang lainnya, (2) tambahkan contoh soal

penyelesaian masalah, (3) tambahkan tes dalam bentuk essay, (4) pada halaman sinar-x

bremstrahlung dan karakteristik jangan hanya kosong tanpa keterangan, (5) perlu

Page 288: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-7

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

ditambahkan rangsangan yang sesuai dengan gaya belajar mahasiswa, (6) perlu

diperiksa ulang simulasi-simulasi ada yang masih kosong, kemungkinan terlalu berat

atau broken link, (7) frame bergoyang setiap berganti halaman perlu dipikirkan kembali,

(8) hasil uji gaya belajar besifat kaku, hanya berlaku untuk satu kali masuk ke dalam

materi. Jika sudah quit dari frame (untuk satu topik) maka untuk melanjutkannya siswa

harus mengikuti lagi uji gaya belajar. Misalnya kalau belajar struktur kristal, karena

terlalu banyak materinya, jika belajarnya dihentikan maka untuk melanjutkannya harus

ikut lagi uji gaya belajar. Selain itu, belajarnya juga harus dimulai dari awal lagi, tidak

bisa melanjutkan dari frame yang diinginkan, (9) musik monoton, hanya satu lagu untuk

semua topik.

Tabel 1. Penilaian ahli terhadap draf software multimedia interaktif adaptif pendahuluan fisika zat padat

No Aspek Kriteria % dari

skor ideal 1 ISI Kebenaran konsep 100

Kedalaman konsep 100 Keluasan konsep 83 Melatihkan cara pemecahan masalah 67 Struktur penyajian 100 Aliran penyajian 100 Kabahasaan Tulis 100 Kebahasaan Narasi 100

2 TEKNIS Tautan (link) menu dan sub-menu 67 Navigasi tautan (link) 67 Bantuan 100 Pilihan jawaban pada soal 100 Elemen-elemen media 83 Keinteraktifan 67 Keadaptifan 100 Kemudahan bagi pengguna 83

3 PENYAJIAN Kejelasan 67 Relevansi 100 Pengorganisasian 100 Kemenarikan 83 Keyakinan 83 Kepuasan 83 Hasil 83 Tindak lanjut 100

Page 289: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-8

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Berdasarkan saran dan masukan dari ahli, draft MMI Adaptif Pendahuluan

Fisika Zat Padat kemudian direvisi baik dari isi maupun dari tampilan software yang

selanjutnya dilakukan ujicoba terbatas.

Hasil Uji Uji Coba Terbatas Model Multimedia Interaktif Adaptif Pendahuluan Fisika Zat Padat

Uji coba terbatas dilakukan untuk memperoleh tanggapan dari pengguna MMI

Adaptif, yaitu mahasiswa calon guru fisika. Uji coba terbatas dilaksanakan mulai

tanggal pada tanggal 7 sampai dengan 11 Agustus 2011 yang diikuti oleh 7 orang

mahasiswa. Instrumen yang digunakan dalam ujicoba ini berupa angket tanggapan

mahasiswa terhadap MMI Adaptif. Hasil ujicoba terbatas MMI Adaptif dapat dilihat

pada tabel 2. Dari table 2 dapat terlihat bahwa persentase tanggapan mahasiswa

terhadap software yang dikembangkan cukup tinggi yaitu rata-rata 87% dari skor ideal.

Hal ini menunjukkan bahwa software tersebut sudah dapat untuk dipergunakan oleh

mahasiswa, walaupun perlu ada revisi dan perbaikan sesuai saran dan masukan dari

mahasiswa. Secara terinci tanggapan mahasiswa terhadap software multimedia

interaktif adaptif pendahuluan fisika zat padat dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Persentase skor tanggapan mahasiswa terhadap software multimedia interaktif adaptif pendahuluan fisika zat padat untuk tiap-tiap aspek

No

Aspek % dari skor untuk sub pokok

bahasan A B C D E

1 Petunjuk mudah dipahami 89 79 86 86 89 2 Tes gaya belajarnya mudah dimengerti 82 86 86 82 86 3 Tampilan MMI Adaptif menarik 86 86 82 89 89 4 Isi MMI Adaptif menarik 89 86 89 86 89 5 Materinya mudah dipahami 86 86 86 79 82 6 Gambar/animasi/video mudah dipahami 82 82 79 79 79 7 MMI Adaptif mudah dioperasikan 86 86 86 96 86 8 Tautan (link) bekerja dengan baik 93 93 89 86 89 9 Audio dapat didengar dengan jelas 93 93 86 93 93 10 Tombol navigasinya berfungsi dengan

baik 93 93 93 96 96

Page 290: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-9

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Keterangan : A : Struktur kristal B : Difraksi sinar-x C : Ikatan dalam kristal D : Elektron bebas E : Teori pita energi

Dari tabel 2 dapat kita ringkas perolehan rata-rata tanggapan mahasiswa pada

ujicoba terbatas tiap pokok bahasan seperti tabel 3.

Tabel 2. Persentase tanggapan mahasiswa terhadap software multimedia interaktif adaptif pendahuluan fisika zat padat

Kode Sub Pokok Bahasan Persentase A Struktur kristal 88 B Difraksi sinar-X 87 C Ikatan dalam kristal 85 D Elektron bebas 87 E Teori pita energi 88

Selain memberikan skor terhadap software, mahasiswa juga memberikan saran

dan masukan untuk perbaikan software yang dikembangkan. Adapaun saran dan

masukan mahasiswa adalah sebagai berikut : (1) silabus dan SAP tidak dapat dibuka, (2)

terdapat video yang tidak tampil pada komputer, (3) tulisan dan gambar pada beberapa

tampilan terlalu kecil, (4) pada materi elektron bebas dalam logam simulasi yang

menggunakan program java tidak bisa dijalankan, (5) terdapat beberapa tulisan yang

salah ketik. Setelah ujicoba terbatas dilakukan revisi dan penyempurnaan akhir software

MMI Adaptif pendahuluan fisika zat padat sesuai dengan saran dan masukan dari

pengguna (mahasiswa) sehingga diperoleh Multimedia Interaktif Adaptif Pendahuluan

Fisika Zat Padat yang selanjutnya disebut MIA-PIZA.

PEMBAHASAN

Pengembangan model pembelajaran multimedia interaktif didahului dengan

melakukan analisis konsep abtrak, dan konsep yang berdasarkan prinsip pada materi

pendahuluan fisika zat padat. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penyusunan alur

pembelajaran bagi pencapaian penguasan konsep pendahuluan fisika zat padat. Dari

hasil penelitian tampak bahwa penilaian ahli dan tanggapan mahasiswa terhadap model

Page 291: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-10

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

yang dikembangkan cukup tinggi, hal ini disebabkan karena model model ini

dilengkapi dengan tes gaya belajar, animasi dan simulasi interaktif sehingga membantu

mahasiswa dalam memahami konsep-konsep pendahuluan fisika zat padat yang bersifat

abstrak dan mikroskopis. Model ini juga memungkinkan mahasiswa untuk belajar

mandiri karena multimedia interaktif adaptif yang dikembangkan dapat dipelajari

sendiri di rumah oleh mahasiswa. Multimedia interaktif ini terdiri dari petunjuk, standar

kompetensi dan kompetensi dasar, tes gaya belajar, materi dan evaluasi.

Penggunaan multimedia interaktif adaptif dalam pembelajaran dapat: (1)

menampilkan alternatif halaman yang sesuai dengan karakteristik individu, (2)

berorientasi pada kelompok pengguna yang lebih luas, (3) memberikan navigasi untuk

membatasi keleluasaan pengguna dalam mencari informasi (Surjono, 2006). Pengunaan

multimedia interaktif yang berbasis gaya belajar jelas memberikan kesempatan kepada

mahasiswa untuk belajar sesuai dengan karakteristik gaya belajar masing-masing. Gaya

belajar seseorang adalah kombinasi dari bagaimana seseorang menyerap dan mengatur

serta mengolah informasi. Beberapa penelitian mengenai gaya belajar menunjukkan

bahwa (1) beberapa pelajar mempunyai kebiasaan belajar yang berbeda dengan yang

lainnya, (2) beberapa pelajar belajar lebih efektif bila diajar dengan metode yang paling

disukai, dan (3) prestasi pelajar berkaitan dengan bagaimana caranya belajar (Riding &

Rayner, 1998). Gaya belajar mempengaruhi efektivitas pelatihan, tidak peduli apakah

pelatihan tersebut dilakukan secara tatap muka atau secara on-line (Surjono, 2006). Hal

ini menunjukkan betapa pentingnya peranan gaya belajar dalam proses belajar

mengajar. Gaya belajar sering diukur dengan menggunakan kuesioner atau tes

psikometrik (McLoughlin, 1999).

Hasil validasi ahli dan tanggapan mahasiswa pada ujocoba terbatas juga akibat

pengaruh dari fungsi multimedia dalam pembelajaran adalah yaitu: (1) membantu

mahasiswa dalam memahami konsep yang abstrak dan mikroskopis, menyederhanakan

perhitungan yang rumit, dan mempercepat keberlangsungan proses belajar mengajar.

Penyajian informasi atau keterampilan secara utuh dan lengkap, serta merancang

lingkup informasi dan keterampilan secara sistematis sesuai dengan tingkat kemampuan

dan alokasi waktu; (2) membantu mahasiswa dalam mengaktifkan fungsi psikologis

dalam dirinya antara lain dalam pemusatan perhatian dan mempertahankan perhatian,

memelihara keseimbangan mental, serta mendorong belajar mandiri (Arifin et al, 2003).

Page 292: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-11

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Fungsi lain dari multimedia interaktif dalam dunia pendidikan adalah sebagai perangkat

lunak (sofware) pembelajaran, yang memberikan fasilitas kepada mahasiswa untuk

mempelajari suatu materi. Multimedia memiliki keistimewaan diantaranya adalah (1)

interaktif dengan memberikan kemudahan umpan balik; (2) kebebasan menentukan

topik pembelajaran; (3) kontrol yang sistematis dalam proses belajar (Munir, 2008).

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang pengembangan model

perkuliahan multimedia interaktif adaptif pendahuluan fisika zat padat dapat

disimpulkan bahwa : (1)model pembelajaran multimedia interaktif adaptif

mempermudah mahasiswa dalam mempelajari konsep-konsep pendahuluan fisika zat

padat yang bersifat abstrak dan mikroskopis, karena model yang dikembangkan dapat

mengadaptasi perbedaan gaya belajar mahasiswa; (2)hasil penilaian ahli terhadap model

yang dikembangkan rata-rata 88%, dengan rekomendasi model dapat diujicobakan;

(3)hasil ujicoba terbatas menunjukkan rata-rata tanggapan mahasiswa sebesar 87% , hal

ini menunjukkan model yang dikembangkan dapat digunakan oleh mahasiswa.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan perlu dilakukan hal-hal sebagai

berikut : (1)melakukan revisi akhir terhadap model yang dikembangkan untuk

memperbaiki kelemahan-kelemahan model yang ada; (2)melakukan implementasi pada

perkuliahan pendahuluan fisika zat padat untuk menguji efektivitas model dalam

peningkatan penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis mahasiswa.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Mulyani.et al.(2003). Strategi Belajar Mengajar Kimia. Bandung : Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI.

Creswell, John W and Vicki L. Plano Clark. (2007). Designing and Conducting Mixed Methods Research. Thousand Oaks, CA : Sage.

McLoughlin, C. (1999). The implications of reserach literature on learning styles for the design of instructional material. Australian Journal of Educational adaptivity in leraning system. Paper presented at the Knowledge Transfer, London, UK.

Page 293: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-12

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

McKagan , S. B., et. al. (2007). Developing and Researching PhET simulations for Teaching Quantum Mechanics. Physics Education Research 1, 0709 : 4503.

Munir. (2008). Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung : ALFABETA.

Psycharis Sarantos and Fotini Paraskeva. (2007). Enhance Learning Based on Psychological Indexes and Individual Preferences for a Physics Course Using An Adaptive Hypermedia Learning Enviro. The International Journal of Learning. 14, (6) : 69-76.

Surjono, H.D. (2006). Development and Evaluation of an adaptive Hypermedia System Based on Multiple Student Characteristics. Unpablised doctoral dissertation, southern Cross University, Lismore NSW Australia.

Wiyono, Ketang. (2009). Penerapan model pembelajaran multimedia interaktif untuk meningkatkan penguasaan konsep, keterampilan generik sains dan berpikir kritis siswa SMA pada topik relativitas khusus. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia : Tidak diterbitkan.

Page 294: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-13

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN IPA KELAS TINGGI BERBASIS MULTIMEDIA INTERAKTIF UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN

BERPIKIR KRITIS MAHASISWA CALON GURU SD

Taufiq, Masitoh1

1Universitas Sriwijaya

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pembelajaran IPA berbasiskan multimedia interaktif bagi mahasiswa calon Guru IPA SD, dan membantu mahasiswa meningkatkan keterampilan berpikir kritisnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen kuasi dan instrumen yang digunakan berupa tes keterampilan berpikir kritis dan lembar observasi. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa S-1 PGSD Semester IV FKIP Universitas Sriwijaya yang berjumlah 45 mahasiswa. Berdasarkan perolehan data skor rata-rata tes awal, tes akhir diketahui bahwa skor rata-rata tes awal mahasiswa sebesar 34,75, sementara skor rata-rata tes akhir mahasiswa sebesar 82,05. Hal ini menunjukkan bahwa perolehan skor rata-rata tes awal keterampilan berpikir kritis mahasiswa meningkat. Perolehan rata-rata N-gain untuk kelas eksperimen sebesar 0,75 termasuk kategori tinggi sehingga dapat dikatakan secara analisis N-gain pembelajaran dengan menggunakan multimedia interaktif efektif untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa pada mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi. Berdasarkan indikator keterampilan berfikir kritis diperoleh N-gain keterampilan berpikir kritis pada kelas eksperimen tertinggi pada indikator Merumuskan alternatif penyelesaian sebesar 0,86 dan terendah pada indikator melaporkan berdasarkan pengamatan sebesar 0,65. Keunggulan dalam penelitian ini antara lain pembalajaran berpusat pada mahasiswa; (2) aktivitas mahasiswa dapat terkontrol dan Kelemahannya beberapa mahasiswa belum terbiasa belajar mandiri dan masih tergantung dengan apa yang diberikan oleh dosen. Kata Kunci: Efektivitas pembelajaran, Multimedia Interaktif, Keterampilan berpikir

kritis.

PENDAHULUAN

Kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari apa yang diharapkan,

kendatipun sistem penyelenggaraan pendidikan nasional telah diformulasi sedemikian

rupa pada setiap jenjang pendidikan yang ada. Hal tersebut tercermin antara lain, dari

hasil studi kemampuan membaca untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) yang dilaksanakan

oleh organisasi International Educational Achievement (IEA) yang menunjukkan bahwa

mahasiswa SD di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi.

Sementara untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), studi untuk

Page 295: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-14

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

kemampuan matematika mahasiswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-39

dari 42 negara, dan untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) hanya berada

pada urutan ke-40 dari 42 negara peserta (www.diknas.html).

Rendahnya kualitas pendidikan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu

diantaranya adalah sumber daya para guru dalam menerapkan pembelajaran yang telah

diformulasi dalam kurikulum-kurikulum yang pernah dan sedang diterapkan serta

kurangnya kemampuan untuk memanfaatkan berbagai media yang tersedia. Sering kali

pola pembelajaran antara satu materi dengan materi lainnya diterapkan sama, tanpa

memperhatikan tingkat kesulitan dari mata pelajaran tersebut. Faktor lainnya adalah

kurangnya budaya berpikir kritis dalam masyarakat kita. Metode-metode pembelajaran

yang dipergunakan oleh para guru tidak dapat mendukung pengembangan Keterampilan

Berpikir Kritis (KBKr) mahasiswanya. Misalnya dalam mengajarkan bidang studi IPA

guru menggunakan metode mengajar dengan mengerjakan soal-soal atau menghapal,

bahkan terkadang evaluasi tidak dirancang untuk mengembangkan kemampuan

berpikir. Selain itu, secara umum pada pembelajaran Matematika dan IPA, penalaran

jarang dikelola secara langsung, terencana atau sengaja.

Selain itu konsep-konsep dalam mata kuliah IPA kelas tinggi mempunyai

keterkaitan satu dengan yang lainnya sehingga bila guru kurang kreatif dalam mengolah

materi subyek ini maka dapat menghambat siswa dalam memahami konsep-konsep

selanjutnya. Oleh karena kesulitan di atas, para calon guru dituntut untuk berusaha lebih

giat dalam meningkatkan kemampuan memahami materi pelajaran serta menggali

kemampuan berpikir kritisnya. Para calon guru harus kreatif dalam menyajikan materi

pelajaran. Kreatifitas di sini dapat dilihat dari kemampuan guru memilih pendekatan

yang sesuai dan mengemas materi subyek yang disajikan sehingga menarik dan

dipahami mahasiswanya. Menurut Liliasari (Devi, 2001), pendidikan kimia dapat

mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi apabila tertata dalam suatu model

pembelajaran yang dapat mengembangkan kerangka konseptual mahasiswa secara

efektif.

Dalam era globalisasi sekarang ini, kemajuan di bidang teknologi informasi

seharusnya dimanfaatkan secara maksimal dalam proses belajar mengajar. Misalnya

pemanfaatan teknologi komputer sebagai salah satu media pembelajaran. Di Indonesia,

penggunaan program aplikasi komputer dalam kegiatan belajar mengajar belum banyak

Page 296: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-15

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

dikembangkan. Padahal tersedia banyak program komputer yang dapat digunakan

sebagai media dalam proses belajar mengajar di sekolah, bahkan untuk anak-anak di

tingkat Taman Kanak-kanak (TK). Tidak dimanfaatkannya teknologi komputer dengan

maksimal dalam proses belajar mengajar disebabkan oleh banyak faktor, antara lain

kesiapan guru dan sekolah, ketersediaan perangkat lunak (software) dan kurangnya

kemampuan guru dalam memproduksi program aplikasi komputer ( Setiadi & Agus,

2001). Hal senada dikemukakan oleh Ena (www.ialf.edu/kipbipa/papers/OudaTeda

Ena.doc) bahwa sampai saat ini media pembelajaran interaktif belum berkembang

dengan optimal di Indonesia, karena kurangnya penguasaan teknologi pengembangan

media interaktif para pengajar di Indonesia. Dari berbagai literatur, terungkap bahwa

penggunaan media pembelajaran interaktif sangat potensial dalam mengembangkan

keterampilan berpikir mahasiswa (Jackson dalam Paramata, 1996; Hernani, 2002;

Kartimi, 2003; dan Suwarna, 2004).

Selama ini perkuliahan IPA di program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

(PGSD) dengan menggunakan media pembelajaran “seadanya” tanpa pertimbangan

kemampuan-kemampuan yang harus di berikan kepada mahasiswa PGSD sebagai bekal

mereka nanti mengajar di sekolah dasar. Keterampilan dasar yang harus di milikinya

berupa keterampilan berpikir kritis. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan inovasi dalam

praktek pembelajaran, antara lain menerapkan media pembelajaran mata kuliah IPA

berbasiskan multimedia interaktif.

Berdasarkan permasalahan dan pertimbangan yang diuraikan, maka

penererapan media pembelajaran berbasiskan multimedia interaktif bagi mahasiswa

calon guru IPA SD sangat tepat, dilakukan karena dapat memberikan bekal bagi

mahasiswa untuk melaksankan pembelajaran nantinya di sekolah tempat mereka

bertugas.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pembelajaran IPA

berbasiskan multimedia interaktif bagi mahasiswa calon guru IPA SD, dan membantu

mahasiswa meningkatkan keterampilan berpikir kritisnya..

Page 297: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-16

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

METODE PENELITIAN

Metode yang di gunakan pada menggunakan metode eksperimen semu dan

deskriptif. Eksperimen digunakan untuk mengetahui efektifitas penerapan multimedia

interaktif dalam meningkatkan keteperampilan berpikir kritis mahasiswa. Desain

penelitian yang digunakan adalah Pre-test and post-test group karena observasi

dilakukan 2 kali yaitu sebelum eksperimen (O1/pre-test) dan sesudah eksperimen (O2/

post-test) (Arikunto, 2006). Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan

tanggapan mahasiswa terhadap penggunaan model pembelajaran multimedia interaktif

pada mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi dan hasil obesrvasi pelaksanaan model

pembelajaran IPA dengan menggunakan multimedia interaktif.

Tabel 1. Desain penelitian

Kelas Tes awal Perlakuan Tes akhir

Eksperimen O1 X1 O2

Subyek pada penelitian ini adalah mahasiswa S-1 PGSD Semester IV FKIP

Universitas Sriwijaya yang berjumlah 45 mahasiswa.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini dideskripsikan hasil-hasil penelitian efektivitas pembelajaran

IPA kelas tinggi berbasis multimedia interaktif untuk meningkatkan keteraampilan

berpikir kritis mahasiswa calon guru SD yang meliputi (1) data hasil tes keterampilan

berpikir kritis mahasiswa pada mata kuliah IPA kelas tinggi, (2) data tanggapan

mahasiswa pembelajaran IPA kelas tinggi berbasiskan multimedia interaktif.

Pembuatan model pembelajaran multimedia interaktif didahului dengan

melakukan analisis konsep pada materi mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi. Hal

ini dilakukan untuk mempermudah penyusunan alur pembelajaran bagi pencapaian

penguasan konsep mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi.

Multimedia interaktif mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi terdiri dari

presentasi dalam bentuk teks, audio, grafik, animasi dan simulasi interaktif yang mampu

mengadaptasi perbedaan cara belajar mahasiswa sehingga mereka belajar dalam

Page 298: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-17

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

lingkungan yang menyenangkan. Visualisasi disajikan memungkinkan mahasiswa

melakukan navigasi, berinteraksi, berkreasi dan berkomunikasi dengan menghubungkan

panca indera mereka dengan antusias sehingga informasi yang masuk ke bank

memorinya lebih tahan lama dan mudah untuk di recall pada saat informasi tersebut

digunakan. Pemrosesan informasi dalam pembentukan konsep akan mudah di recall

apabila tersimpan dalam memori jangka panjang terutama dalam bentuk gambar

(Matlin, 1994).

Dalam dunia pendidikan, aplikasi multimedia berfungsi sebagai perangkat lunak

(sofware) pembelajaran, yang memberikan fasilitas kepada mahasiswa untuk

mempelajari suatu materi. Multimedia memiliki keistimewaan diantaranya adalah: (1)

interaktif dengan memberikan kemudahan umpan balik; (2) kebebasan menentukan

topik pembelajaran; (3) kontrol yang sistematis dalam proses belajar (Munir, 2008)

Keterampilan Berpikir Kritis Mahasiswa Calon Guru SD

Keterampilan berpikir kritis mahasiswa dinilai dari jawaban tes awal dan tes

akhir setelah mengikuti pembelajaran. Indikator keterampilan berpikir kritis yang

diteliti meliputi : Mengidentifikasi alasan yang dikemukakan, Menjawab pertanyaan

mengapa, Melaporkan berdasarkan pengamatan, Menginterpetasikan pertanyaan,

Menggeneralisasikan, Menerapkan prinsip/rumus, merumuskan alternatif penyelesaian,

Menggunakan strategi logis. .Hasil penilian keterampilan berpikir kritis berupa skor

yang kemudian dicari prosentasenya.

Tabel .2. Deskripsi skor keterampilan berpikir kritis pada kelas eksperimen

Kelas Eksperimen

Tes awal Tes akhir N-gain

N (jumlah mahasiswa) 45 45

Rata-rata 34,75 82,05 0, 75 (tinggi)

Simpangan baku 1,85 1,36

Berdasarkan perolehan data skor rata-rata tes awal, tes akhir dan N-gain pada

table 2, diketahui bahwa skor rata-rata tes awal mahasiswa kelas eksperimen sebesar

34,75, sementara skor rata-rata tes akhir mahasiswa sebesar 82,05. Hal ini menunjukkan

Page 299: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-18

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

bahwa perolehan skor rata-rata tes awal keterampilan berpikir kritis mahasiswa

meningkat.

Perolehan rata-rata N-gain untuk kelas eksperimen sebesar 0,75 termasuk

kategori tinggi sehingga dapat dikatakan secara analisis N-gain pembelajaran dengan

menggunakan multimedia interaktif sangat efektif untuk meningkatkan keterampilan

berpikir kritis mahasiswa pada mata kuliah pembelajaran IPA kkelas tinggi..

Uji t Keterampilan Berpikir Kritis

Setelah diperoleh data keterampilan berpikir kritis berdistribusi normal dan

homogen maka selanjutnya dilakukan uji statistik parametrik (uji t dengan α = 0,005).

Dengan menggunakan Independent Samples Test diperoleh hasil bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan antara keterampilan berpikir kritis kelas eksperimen

berdasarkan nilai t = 28,6. Hasil pengolahan secara lengkap dapat dilihat pada lampiran

. Berdasarkan analisis dari uji t dapat Ternyata t-hitung > t-tabel, atau 28.96 > 2,045, maka

terima Ha dan tolak Ho dan menyatakan bahwa

Penerapan Pembelajaran IPA Kelas Tinggi Berbasis Multimedia Interaktif, efektif untuk

meningkatkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa calon guru SD

Keterampilan Berpikir Kritis Mahasiswa pada Setiap Indikator

Keterampilan berpikir kritis mahasiswa dinilai dari jawaban tes awal dan tes

akhir setelah mengikuti pembelajaran. Indikator keterampilan berpikir kritis yang

diteliti meliputi : Mengidentifikasi alasan yang dikemukakan, Menjawab pertanyaan

mengapa, Melaporkan berdasarkan pengamatan, Menginterpetasikan pertanyaan,

Menggeneralisasikan, Menerapkan prinsip/rumus, merumuskan alternatif penyelesaian,

Menggunakan strategi logis. Perbandingan N-gain keterampilan berpikir kritis setiap

indikator dapat dilihat pada gambar 1

Page 300: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-19

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Gambar 1. Perbandingan N-Gain keterampilan berpikir kritis untuk setiap indikator Keterangan : (1) Mengidentifikasi alasan yang dikemukakan; (2) Menjawab pertanyaan

mengapa; (3) Melaporkan berdasarkan pengamatan; (4) Menginterpetasikan pertanyaan; (5) Menggeneralisasikan; (6) Menerapkan prinsip/rumus; (7) Merumuskan alternatif penyelesaian; (8) Menggunakan strategi logis.

Pada proses pembelajaran perlu dikembangkan keterampilan berpikir yang

merupakan suatu aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan. Berdasarkan

prosesnya berpikir dapat dikelompokkan dalam berpikir dasar dan berpikir kompleks.

Proses berpikir kompleks yang disebut proses berpikir tingkat tinggi ada empat macam,

yaitu pemecahan masalah, pengambilan keputusan, berpikir kritis dan berpikir kreatif

(Costa, 1985). Keterampilan berpikir kritis termasuk salah satu keterampilan berpikir

tingkat tinggi. Keterampilan berpikir kritis secara esensial merupakan keterampilan

menyelesaikan masalah (problem solving. Menurut Ennis berpikir kritis adalah

kemampuan bernalar dan berpikir reflektif yang diarahkan untuk memutuskan hal-hal

yang meyakinkan untuk dilakukan (Costa 1985). Norris dan Ennis (dalam Stiggin,

1994) menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan berpikir masuk akal dan reflektif

yang difokuskan pada pengambilan keputusan tentang apa yang dilakukan atau diyakini.

Masuk akal berarti berpikir berdasarkan atas fakta-fakta untuk menghasilkan keputusan

yang terbaik. Reflektif artinya mencari dengan sadar dan tegas kemungkinan solusi

yang terbaik.

0,76

0,720,65

0,79

0,68 0,73

0,860,80

0,00

0,10

0,20

0,30

0,40

0,50

0,60

0,70

0,80

0,90

1,00

1 2 3 4 5 6 7 8

N-G

ain

N-gain Indikator Keterampilan Berpikir Kritis

Page 301: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-20

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Perolehan rata-rata N-gain keterampilan berpikir kritis hasil eksperimen sebesar

0,75. Rata-rata N-gain keterampilan berpikir kritis untuk kelas eksperimen termasuk

kategori tinggi. Dari data penelitian menunjukkan bahwa perolehan N-gain

keterampilan berpikir kritis pada kelas eksperimen tertinggi pada indikator merumuskan

alternative penyelesaian yaitu sebesar 0,86 dengan kategori tinggi serta terendah pada

indikator melaporkan berdasarkan pengamatan sebesar 0,65 (kategori sedang) dan

menggeneralisasikan sebesar 0,68 (kategori sedang) menurut Margendoller, (2006)

Suatu pembelajaran dikatakan lebih efektif jika menghasilkan N-Gain tinggi ,. Hal ini

terjadi karena keterbatasan multimedia interaktif dimana media tersebut belum mampu

untuk memberikan tampilan-tampilan yang lebih interaktif kepada mahasiswa. Tetapi

secra umum dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan multimedia interaktif

efektif untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa pada mata kuliah

pembelajaran IPA kelas tinggi.

Deskripsi Aktivitas Mahasiswa dan Dosen Selama Pembelajaran Multimedia Interaktif Mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi

Aktivitas mahasiswa dan guru selama pembelajaran multimedia interaktif mata

kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi diperoleh dari lembar observasi yang telah

disediakan untuk etiap SAP yang dilaksanakan. Keterlaksanaan SAP dapat dilihat pada

tabel 3.

Tabel 3. Keterlaksanaan SAP pada tiap-tiap pertemuan.

No Aspek yang diobservasi Keterlaksanaan

Rata-Rata SAP1 SAP2 SAP3

1 Kegiatan Awal 100% 100% 100% 100%

2 Kegiatan Inti 89% 78% 100% 91,2%

3 Kegiatan Akhir 100% 100% 100% 100%

Dari tabel 3 dapat kita lihat bahwa prosentase keterlaksanaan kegiatan awal rata-

rata mencapai 100 %, kegiatan inti rata-rata 91,2 % dan kegiatan akhir 100 %.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada kelas eksperimen yang belajar

menggunakan model pembelajaran multimedia interaktif, mahasiswa dan guru terlihat

Page 302: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-21

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

aktif dan bersemangat dalam mengikuti proses pembelajaran. Hal itu dapat dilihat dari

hasil observasi bahwa prosentase keterlaksanaan kegiatan awal rata-rata mencapai

100%, kegiatan inti rata-rata 91,2 % dan kegiatan akhir 100%. Keaktifan mahasiswa

tersebut dipengaruhi oleh peran dan fungsi multimedia dalam pembelajaran. Fungsi

multimedia pembelajaran dapat dikategorikan sebagai berikut : a) suplemen (tambahan);

fungsi multimedia sebagai suplemen artinya peserta didik mempunyai kebebasan

memilih, apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran elektronik atau tidak, b)

komplemen (pelengkap); fungsi multimedia sebagai komplemen materi pembelajaran

elektronik diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang diterima

mahasiswa di dalam kelas, c) substitusi (pengganti); fungsi multimedia sebagai

substitusi, artinya multimedia menggantikan sebagian besar peranan guru ini dapat

menjadi alternatif model kegiatan pembelajaran.

Tanggapan Mahasiswa Terhadap Model Pembelajaran Multimedia Interaktif Mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi

Untuk mengetahui tanggapan mahasiswa terhadap model pembelajaran

multimedia interaktif mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi dilakukan dengan

membagikan angket yang berisi butir-butir pernyataan tentang model pembelajaran

yang dibuat. Data lengkap tentang tanggapan mahasiswa dapat dilihat pada lampiran .

Berdasarkan tanggapan mahasiswa yang diperoleh melalui angket dapat

disimpulkan bahwa mahasiswa memberikan tanggapan positif (baik) terhadap model

pembelajaran multimedia interaktif mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi. Hal ini

dapat dilihat dalam tabel 4

Tabel 4. Rekapitulasi tanggapan mahasiswa terhadap model pembelajaran multimedia

interaktif mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi.

No Indikator No

Angket Rata-Rata

Persentase (%)

Kriteria

(a) (b) (c) (d) (e) (f) 1 Menunjukkan perasaan senang

terhadap IPA dengan multimedia interaktif

1,8,9,10 3,06 76,4 Baik

2 Menunjukkan ketertarikan terhadap tampilan dan fasilitas dalam multimedia interaktif

5,6,7 3,33 83,3 Baik

Page 303: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-22

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 4. Lanjutan

(a) (b) (c) (d) (e) (f) 3 Menunjukkan kesungguhan belajar

mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi dengan multimedia interaktif

2,3,4, 3,17 79,2 Baik

4 Menunjukkan kesungguhan dalam mengerjakan soal yang di berikan melalui multimedia interaktif

11,12 3,11 77,9 Baik

Berdasarkan sebaran angket yang diberikan kepada mahasiswa, diketahui bahwa

indikator yang menunjukkan perasaan senang terhadap mata kuliah pembelajaran IPA

kelas tinggi dengan multimedia interaktif, ketertarikan terhadap tampilan dan fasilitas

dalam multimedia interaktif, kesungguhan dalam belajar topik mata kuliah

pembelajaran IPA kelas tinggi dengan multimedia interaktif dan kesungguhan dalam

mengerjakan soal yang di berikan melalui multimedia interaktif semuanya dengan

kriteria baik. Hal ini karena multimedia interaktif akan memberikan motivasi yang

lebih tinggi karena selalu dikaitkan dengan kesenangan, permainan, dan kreativitas.

Beberapa kelebihan multimedia interaktif (komputer sebagai sarana/media

pembelajaran) menurut Heinich (dalam Karyadinata, 2006) yaitu: (1) mahasiswa dapat

belajar sesuai kemampuan dan kecepatannya masing-masing dalam memahami

pengetahuan dan informasi yang ditampilkan; (2) aktivitas belajar mahasiswa dapat

terkontrol; (3) mahasiswa mendapat fasilitas untuk mengulang jika diperlukan, dalam

pengulangan tersebut mahasiswa bebas mengembangkan kreativitasnya; (4) mahasiswa

dibantu untuk memperoleh umpan balik (feed back) dengan segera; (5) tercipta iklim

belajar yang efektif bagi mahasiswa yang lambat (slow learner), tetapi juga dapat

memacu efektivitas belajar bagi mahasiswa yang lebih cepat (fast learner); (6)

pemberian umpan balik (feed back) dan pengukuhan (reinforcement) terhadap hasil

belajar dapat diprogram; (7) pemeriksaan dan pemberian skor hasil belajar secara

otomatis dapat diprogram; (8) memberikan sarana bagi mahasiswa untuk melakukan

kegiatan tertentu dapat dirancang; (9) informasi dan pengetahuan dengan tingkat

realisme yang tinggi dapat disampaikan karena kemampuannya mengintegrasikan

komponen warna, musik, animasi, dan grafik.

Page 304: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-23

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Keunggulan dan Kelemahan Model pembelajaran Multimedia Interaktif Mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi

Berdasarkan hasil implementasi model pembelajaran multimedia interaktif mata

kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi dapat dikemukakan keunggulan dan kelemahan

model pembelajaran ini. Keunggulannya adalah : (1) pembalajaran berpusat pada

mahasiswa; (2) aktivitas mahasiswa dapat terkontrol; (3) mahasiswa mendapat fasilitas

untuk mengulang jika diperlukan, dalam pengulangan tersebut mahasiswa bebas

mengembangkan kreativitasnya;; (4) tercipta iklim belajar yang efektif bagi mahasiswa

yang lambat (slow learner), tetapi juga dapat memacu efektivitas belajar bagi

mahasiswa yang lebih cepat (fast learner); (6) evalusai interaktif yang dibuat dapat

lebih memotivasi mahasiswa dalam menjawab setiap soal yang diberikan.

Kelemahan dari model pembelajaran multimedia interaktif mata kuliah

pembelajaran IPA kelas tinggi antara lain : beberapa mahasiswa belum terbiasa

bekerja/belajar dengan menggunakan komputer sehingga agak terlambat memahami

materi di bandingkan dengan teman-temannya yang lain.

SIMPULAN

Pembelajaran IPA kelas tinggi berbasis multimedia interaktif efektif efektif

untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa. Untuk setiap indikator

peningkatan keterampilan berpikir kritis mahasiswa jauh meningkat dibandingkan pada

saat tes awal. Rata-rata N-gain untuk setiap indikator keterampilan berpikir kritis berada

pada kategori tinggi. Mahasiswa menyatakan senang terhadap pembelajaran yang

menggunakan multimedia interaktif pada mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi.(2006). Prosedur Penelitian ; suatu pendekatan praktik. Jakarta : Reineka Cipta.

Costa, A.L. (1985). Goal for Critical Thingking Curriculum. In Costa A.L. (ed).

Developing Minds : A. Resource Book for Teaching Thingking. Alexandria : ASCD. 54-57.

Page 305: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-24

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Depdiknas. (2000). Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004 Pembangunan Pendidikan. www.diknas.html [September 2003]

Devi, Poppy K. (2001). Pengembangan Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan

Keterampilan Berpikir Kritis Melalui Kegiatan Eksperimen dan Non Eksperimen. Proceeding National Seminar On Science And Mathematics Education. Bandung : August 21.

Ennis, Robert H. (1985). Goals for a Critical Thinking Curriulum. In a.l. costa (ed).

Developing Minds : a Resource Book for Theaching Thinking. Alexandra : ascd. Finkelstein, Noah et al. (2006). HighTech Tools for Teaching Physics: The Physics

Education Technology Project. MERLOT Journal of Online Learning and Teaching Vol. 2, No. 3, September 2006 Department of Physics University of Colorado at Boulder Boulder, Colorado, USA. Tersedia di http://www.google.co.id/search?hl=id&q=Journal%2BPhET% 2BPdf&start=20&sa=N .(20 April 2010).

Karyadinata, R. (2006). Aplikasi Multimedia Interaktif Dalam Pembelajaran

Matematika Sebagai Upaya Mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Mahasiswa SMA. Disertasi SPs UPI. Bandung : Tidak diterbitkan.

Liliasari. (1997). Pengembangan Model Pembelajaran Materi Subjek untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Konseptual Tingkat Tinggi Mahasiswa Calon Guru IPA. Laporan Penelitian. IKIP Bandung : Tidak diterbitkan.

Liliasari. (2000). Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir

Konseptual Tingkat Tinggi Calon Guru IPA. Proceeding Makalah Seminar Nasional Permasalahan dan Alternatif Pemecahan Masalah Pendidikan MIPA. Malang: UNM.

Liliasari. (2002). Pengembangan Model Pembelajaran Kimia untuk Meningkatkan Strategi Kognitif Mahasiswa Calon Guru dalam Menerapkan Berpikir Konseptual Tingkat Tinggi. Laporan Penelitian Hibah Bersaing IX Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 2001-2002. Bandung : FMIPA UPI.

Liliasari. (2005). Membangun Keterampilan Berpikir Manusia Indonesia Melalui

Pendidikan Sains. Naskah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Pendidikan IPA pada Fakultas PMIPA UPI : Bandung.

Matlin. (1994). Cognitive. New York : Mc Graw Hill. Munir. (2008). Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung :

ALFABETA. Novak, J. D. and D. Bob Growin (1985). Learning How to Learn. Cambridge

University Press. USA

Page 306: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-25

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Paramata, Y. (1996). Computer – Aided Instruction (CAI) Dalam Pembelajaran IPA-Fisika. Tesis pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan

Puskur – Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas. (2001). Materi Diskusi

Kurikulum Berbasis Komputer, Pendidikan Dasar dan Menengah. Tersedia : http://www. Keleuven. ac. be/ ppi. leuven/ pertemuanarenberg

Page 307: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-26

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

EFEKTIVITAS PERKULIAHAN ILMU PENGETAHUAN BUMI DAN ANTARIKSA (IPBA) DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN INKUIRI

CALON GURU SD

Rosnita1

1Universitas Tanjungpura Pontianak Email: [email protected]

ABSTRACT

This study aims to determine the effectiveness of the tuition earth and space science in improving the ability of elementary school teachers' inquiry candidates. S1 students study subjects Primary School Teacher Education at one of the Institute of Education Personnel (LPTK) country in West Kalimantan Province. The research sample of 60 students four semesters, with details of 30 as the experimental group who were given inquiry-based learning and 30 other students as a control group who were taught in the conventional (regular). True Experimental research methods research design with Pre-Test Post-Test Control Group Design. The results include: (1) strategies for developing student inquiry capability, and (2) comparison of an increase in the experimental group student inquiry capabilities with high category (N-Gain of 0.7), whereas in the control group increased with the low category (N-Gain amounting to 0.3). Aspects of inquiry skills that can be developed well in this study is to formulate the problem, making hypotheses, designing research, using the tool, interpret data, communicate the results of the investigation, and using mathematics. Key words: inquiry capabilities, earth and space science, prospective elementary school teachers

PENDAHULUAN

Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA) sangat penting diketahui oleh

setiap manusia karena dapat menjelaskan peristiwa dan gejala alam yang diamati

terutama yang terjadi di bumi seperti longsor, siklon tropis, gempa bumi, tsunami,

perubahan iklim, pemanasan global dan sebagainya (Gautier and Rebich, 2005).

Indonesia dikenal negeri yang kaya akan sumber daya alam yang memerlukan

pengetahuan dalam penggalian, pemanfaatan, dan pengembangannya sehingga

membawa kemaslahatan bagi masyarakat (Tjasyono, 2003). Penanganan sumber daya

Page 308: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-27

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

alam yang kurang bijaksana akan mengakibatkan bencana alam yang akhir-akhir ini

sangat sering melanda Indonesia seperti banjir, kekeringan, longsor dan sebagainya.

Oleh karena itu pengetahuan kebumian dan antariksa sangat penting dibekalkan

kepada setiap orang sejak dini, karena memungkinkan manusia untuk belajar dari masa

lalu dan mempersiapkan masa depan, selain itu kualitas kehidupan di bumi dapat

dikatakan tergantung kepada kualitas dan kedalaman pemahaman saintis dan

masyarakat umumnya terhadap bumi dan antariksa (Tjasyono, 2003). Untuk mencapai

kondisi masyarakat yang diharapkan seperti yang diuraikan di atas, maka diperlukan

guru yang kompeten, menguasai pedagogi dan konten kebumian dan antariksa, sehingga

mampu membelajarkan kebumian dan antariksa dalam menjalankan tugas dan perannya

sebagai guru.

Pengetahuan masyarakat mengenai kebumian dan antariksa secara formal telah

diperoleh melalui bangku sekolah mulai dari pendidikan dasar hingga ke perguruan

tinggi pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Fisika, Geografi, dan Ilmu

Pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA). Hal ini dimaksudkan agar setiap warga

negara Indonesia memiliki pengetahuan yang cukup tentang konsep kebumian dan

antariksa, sehingga dapat menggunakan dan memanfaatkan pengetahuan tersebut untuk

mengelola serta mengantisipasi kerusakan pada alam untuk kelangsungan hidup di

bumi. Perlu pemahaman mendalam tentang IPBA, agar dapat menyadari manfaatnya

bagi kehidupan. Dalam hal ini Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) sebagai

program studi yang mengemban tugas utama memproduksi guru, diharapkan mampu

menghasilkan guru profesional yang kompeten untuk menanamkan IPBA dasar kepada

siswanya (PP No.19 /UU RI No. 14 th 2005). Penelitian Pyle, (2008) menemukan

bahwa untuk mencapai pemahaman mendalam tentang pengetahuan bumi dan antariksa

maka pembelajarannya harus berkualitas yang memungkinkan calon guru SD merasa

tertantang untuk menemukan pengetahuan seperti halnya yang dilakukan oleh para

saintis, melalui penyelidikan ilmiah (scientific inquiry).

Pembelajaran melalui inkuiri ilmiah bertujuan membangun rasa ingin tahu

mahasiswa sehingga dapat membangun sikap ilmiah, mahasiswa dapat menyusun dan

mengajukan pertanyaan-pertanyaan produktif, yang pada akhirnya menemukan sendiri

jawabannya melalui penyelidikan ilmiah (Widodo, et al, 2009). Sebagaimana

direkomendasikan oleh National Science Educational Standards (NSES, 1996) bahwa

Page 309: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-28

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

perlu mempersiapkan guru untuk mengajar berbasis inkuiri dengan memberikan

kesempatan dan memfasilitasi calon guru SD untuk belajar IPBA melalui inkuiri selama

persiapannya di tingkat preservice.

Hal ini didukung National Research Council (NR (1996) menetapkan

penggunaan inkuiri sebagai salah satu standar dalam pembelajaran IPBA di berbagai

tingkat pendidikan, termasuk di perguruan tinggi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa IPBA

adalah proses berpikir manusia dalam mempelajari dan menyikapi fenomena alam

berdasarkan penemuan empiris dan proses ilmiah seperti pengamatan, pengukuran,

eksperimen, penalaran dan seterusnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Windschitl

(2004) menemukan bahwa pembelajaran IPBA melalui penyelidikan ilmiah (scientific

inquiry) dalam memahami fenomena alam bagi calon guru dapat membimbing

siswanya belajar melalui penyelidikan.

Berdasarkan kajian pustaka dan hasil-hasil penelitian yang telah diuraikan di

atas, betapa pentingnya inkuiri ilmiah dalam pembelajaran sains, termasuk pada konsep

IPBA bagi calon guru Sekolah Dasar. Hasil studi pendahuluan Rosnita, et al (2010)

menemukan bahwa pengetahuan inkuiri mahasiswa calon guru SD pada konsep IPBA

belum memadai >50% mahasiswa memperoleh rerata nilai 44,8. Temuan ini relevan

dengan hasil penelitian Hoban, (2007). bahwa perkuliahan IPBA bagi calon guru,

menunjukkan bahwa dosen umumnya mengajar secara ‘passive learning’, mahasiswa

terbiasa menerima pengetahuan dari pada menemukan sehingga sulit dipahami.

Widodo, (2009) mengemukakan bahwa seharusnya pembelajaran sains tidak hanya

diarahkan pada penguasaan pengetahuan tetapi juga mengembangkan proses dan sikap

ilmiah. Oleh karena itu, strategi pembelajaran IPBA bagi calon guru harus dapat

memfasilitasi mahasiswa aktiv melakukan proses ilmiah untuk menemukan

pengetahuan.

Pembelajaran berbasis inkuiri ilmiah merupakan salah satu alternatif strategi

pengembangan kemampuan inkuiri yang memungkinkan calon guru SD melakukan

penelitian dalam menemukan dan memahami IPBA. National Science Education

Standards (2000) mengemukakan komponen kemampuan inkuiri ilmiah untuk calon

guru SD meliputi: 1) mengidentifikasi pertanyaan yang dapat dijawab melalui penelitian

ilmiah; 2) merumuskan hipotesis; 3) merancang dan melakukan penelitian ilmiah; 4)

menggunakan peralatan dan teknik yang tepat untuk mengumpulkan, menganalisis dan

Page 310: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-29

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

menafsirkan data; 5) menginterpretasi data untuk memberikan deskripsi, penjelasan,

prediksi, dan model berdasarkan bukti yang ada; 6) mengkomunikasikan prosedur dan

penjelasan ilmiah; dan 7) menggunakan matematika dalam inkuiri.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada program studi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar

(PGSD) salah satu LPTK negeri Propinsi Kalimantan Barat. Subjek penelitian

mahasiswa S1 PGSD berjumlah 60 dipilih secara acak (random sampling), dengan

rincian 30 sebagai kelompok eksperimen yang diberi pembelajaran berbasis inkuiri, dan

30 lainnya sebagai kelompok konrtrol yang diajar secara konvensional (reguler).

Metode penelitian yang digunakan True Experimental dengan desain penelitian Pre-

Test Post-Test Control Group Design Dick dan Carey,(Gall, et al., 2003). Urutan

kegiatan penelitiannya yaitu pre-test (O), perlakuan (X), dan post-test (T) seperti terlihat

pada Tabel 1.

Tabel 1. Pretest-posttest Control Group Design

Kelompok Pre-test Perlakuan Post-Test

A (Eksperimen) O X1 O

B (Kontrol) O X2 O

Keterangan : O = Tes kemampuan inkuiri X1 = Perkuliahan berbasis inkuiri pada konsep IPBA X2 = Perkuliahan pada konsep IPBA melalui pendekatan yang selama ini digunakan reguler (tidak berbasis inkuiri)

Instrumen penelitian yang digunakan berupa test bentuk pilihan ganda berjumlah

35 item soal. Aspek kemampuan inkuiri yang diukur meliputi merumuskan masalah,

membuat hipotesis, merancang penyelidikan, menggunakan alat, menginterpretasi data,

mengkomunikasikan hasil penyelidikan, dan kemampuan menggunakan matematika

dalam penyelidikan. Topik pembelajaran yang dikembangkan, meliputi: Gerak Semu

Matahari, Efek Rumah Kaca, Rotasi dan Revolusi Bumi, Pelapukan batuan dan erosi.

Page 311: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-30

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa data kuantitatif dari skor pre-

test dan skor post-test kemampuan inkuiri mahasiswa pada konsep IPBA. Data yang

diperoleh dianalisis dengan menggunakan statistik inferensial. Untuk mengetahui

efektivitas pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan inkuiri mahasiswa dilakukan

uji beda. Karena data berdistribusi normal dan tidak homogen, maka uji beda dilakukan

dengan statidtik non-parametrik, yaitu dengan menggunakan Uji T’. Semua analisis

dilakukan dengan menggunakan soffwere SPSS 19 for Windows. Pengambilan

keputusan dalam uji normalitas, homogenitas, dan uji-t didasarkan pada perbandingan

nilai probabilitas (p) signifikansi (Sig) dengan taraf kepercayaan 5% (α = 0,05).

Peningkatan nilai pre-test dan post-test diklasifikasikan berdasarkan nilai presentase

gain ternormalisasi yang dihitung dengan rumus

� � ���� ��� ��������� ������

�� ������� ������ x 100

Kategori perolehan: Tinggi: N-Gain > 70; Sedangkan : N-Gain � 70; dan Rendah : N-

Gain < 30.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian dideskripsikan sesuai dengan tujuan penelitian dan disertai ulasan

pembahasannya. Pertama, mengenai strategi pengembangan kemampuan inkuiri dalam

proses pembelajaran. Kedua, tentang perbandingan hasil belajar secara inkuiri dengan

pembelajaran reguler antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

Strategi Pengembangan Kemampuan Inkuiri

Strategi pengembangan kemampuan inkuiri mahasiswa dalam perkuliahan

seperti terlihat pada Gambar 1.

Page 312: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-31

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Gambar 1. Strategi Pengembangan Kemampuan Inkuiri.

Diadaptasi dari Jacobsen, et al. (2009 : 204).

Pendahuluan

Menurut Suseno (2011 : 83) jika konsep-konsep dasar dan pengetahuan inkuiri

tidak dikuasai mahasiswa dengan baik, maka pelaksanaan pembelajaran secara inkuiri

tidak dapat berjalan dengan baik. Hasil studi pendahuluan Rosnita, et al (2010)

menemukan bahwa pengetahuan inkuiri mahasiswa calon guru SD pada konsep IPBA

belum memadai >50% mahasiswa memperoleh rerata nilai 44,8. Oleh karena itu perlu

Refleksi

Pendahuluan

Pengenalan dan review

Konsep, proses inkuiri

Hasil Belajar:

mengenal proses inkuiri

dasar pada konsep IPBA

Inkuiri Terstruktur

Masalah dan prosedur

kerja diberikan dosen,

mahasiswa mengikuti

semua instruksi dosen

Hasil belajar:

dapat melakukan semua

instruksi dosen dengan

Refleksi

Inkuiri Terbimbing

Kelengkapan pemahaman

tentang inkuiri, tantangan

dan keterampilan

menerapkan pada situasi

Hasil belajar:

dapat mengembangkan

cara kerja untuk menjawab

Refleksi

Inkuiri Terbuka

Hasil Belajar:

dapat mengidentifikasi masalah,

cara kerja, dan melakukan

inkuiri mandiri secara penuh

Refleksi

Mengembangkan cara

kerja tanpa instruksi dosen

sehingga dapat melakukan

inkuiri secara mandiri

Page 313: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-32

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

dilakukan kegiatan pendahuluan untuk mengenalkan konsep-konsep dan pengetahuan

inkuiri ilmiah sehingga mahasiswa siap melakukan kegiatan inkuiri dalam pembelajaran

IPBA. Pembelajaran dimulai dengan menggali pengalaman dan pengetahuan

kontekstual mahasiswa mengenai konsep dan topik-topik yang akan dibahas melalui

kegiatan inkuiri ilmiah. Kepada mahasiswa disampaikan juga tujuan serta manfaat

mempelajari topik–topik tersebut secara inkuiri ilmiah dengan harapan membangkitkan

motivasi dalam proses pembelajaran.

Aktivitas mahasiswa dalam mengembangkan kemampuan inkuiri dan

pemahamannya terhadap topik-topik dibahas dengan gagasan inkuiri ilmiah meliputi

mengamati fenomena IPBA, mengajukan pertanyaan/permasalahan, melengkapi data

untuk menjawab pertanyaan, menyampaikan hasilnya kepada teman-temannya dari

kelompok lain. Selanjutnya secara berkelompok mahasiswa melakukan eksplorasi dan

pengamatan pada fenomena alam yang berkaitan dengan topik yang akan dibahas.

Langkah berikutnya, mahasiswa membangun konsep/prinsip berdasarkan hasil

analisis terhadap data pengamatan. Pada tahap ini mahasiswa didorong untuk

menjelaskan, menghubungkan, menggambarkan, membandingkan, dan membuat

perumusan terhadap variabel-variabel yang diselidiki berdasarkan pada data yang telah

diperoleh. Konsep-konsep dibangun melalui interpretasi data dan diskusi dalam

kelompok dan antar kelompok. Kemampuan inkuiri dibangun melalui kegiatan

pengamatan, merumuskan masalah, menyusun hipotesis, merancang penelitian,

menggunakan alat, menginterpretasi data, mengkomunikasikan hasil, dan menggunakan

matematika dalam inkuiri.

Dalam refleksi oleh dosen dan observer menilai bahwa dalam kegiatan

pendahuluan mahasiswa sudah diperkenalkan pada konsep-konsep IPBA esensial, dan

prosedur kegiatan inkuiri ilmiah misalnya dengan memperagakan (modelling),

menjelaskan (explaining), dan mengajukan pertanyaan (questioning). Mahasiswa dan

dosen mempraktikkan suatu keterampilan dengan tujuan memperkenalkan kegiatan

inkuiri yang berorientasi pada konten/konsep, dosen menggunakan questioning untuk

memastikan bahwa mahasiswa telah memahami konsep dan proses inkuiri dasar.

Dengan demikian memungkinkan mahasiswa melakukan tahap pengembangan

berikutnya melalui latihan dasar kegiatan inkuiri terstruktur.

Page 314: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-33

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Inkuiri Terstruktur (structured inquiry)

Kegiatan inkuiri terstruktur difokuskan pada pengembangan pemahaman inkuiri

mahasiswa yang sudah diperkenalkan pada kegiatan pendahuluan, melalui latihan dasar

inkuiri dengan masalah dan prosedur kerja yang diberikan dosen. Kegiatan

pembelajaran mencakup: menggali pengalaman dan pengetahuan kontekstual

mahasiswa mengenai topik pembelajaran misalnya tentang “pemanasan global” dan

menjelaskan manfaat mempelajari topik tersebut. Pada kegiatan pengamatan mahasiswa

dipaparkan pada suatu fenomena pemanasan global, demonstrasi melalui model

percobaan, kemudian mahasiswa didorong untuk mengajukan pertanyaan/permasalahan

yang dapat dijawab melalui pengamatan/penelitian.

Selanjutnya mahasiswa diberi permasalahan yang akan dijawab melalui

pengamatan/penelitian, mahasiswa diarahkan untuk mengajukan hipotesis yang

ditentukan secara bersama-sama, menentukan variabel yang mempengaruhi pemanasan

global dan menyusun hipotesis, merancang model pemanasan global, dan menyusun

prosedur kerja pengujian hipotesis. Kegiatan berikutnya, mahasiswa merancang model

percobaan untuk menguji hipotesis, melaksanakan penelitian dengan memberikan

perlakukan tertentu pada model yang sudah dirancang tergantung pada hipotesis yang

diajukan. Mahasiswa diarahkan dalam memecahkan masalah berupa langkah penelitian,

kemudian mahasiswa melakukan kegiatan pengambilan data untuk menjawab

permasalahan. Terakhir mahasiswa menyusun dan menyajikan hasil penelitian di depan

kelas melalui perwakilan kelompok, dilanjutkan diskusi sampai ditemukan kesepakatan

berupa penemuan konsep yang diinginkan mengenai upaya mencegah dan mengurangi

dampak pemanasan global terhadap kehidupan. Terakhir dilakukan diskusi mengenai

rencana pembelajaran topik pemanasan global pada siswa SD.

Pada refleksi dan evaluasi terhadap seluruh proses dan hasil belajar yang dicapai

pada dua topik dan dua kali kegiatan inkuiri terstruktur menunjukkan bahwa sebagian

besar (74,2%) mahasiswa sudah menguasai kegiatan inkuiri terstruktur dimana

mahasiswa mampu mengikuti semua instruksi dosen dengan baik. Dengan demikian tim

peneliti memutuskan bahwa mahasiswa telah siap melakukan kegiatan inkuiri

terbimbing dalam pembelajaran berikutnya.

Page 315: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-34

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Inkuiri Terbimbing (Guided inquiry)

Tahapan pembelajaran dalam inkuiri terbimbing sama dengan inkuiri terstruktur,

hanya kedalaman materi dan caranya yang berbeda, kegiatan pembelajaran diarahkan

untuk mengembangan lebih lanjut kemampuan inkuiri mahasiswa dengan memberikan

tantangan dan keterampilan menerapkan inkuiri pada situasi baru. Kegiatan inkuiri

terbimbing dimulai dengan merancang model untuk percobaan misalnya tentang efek

rumah kaca, menentukan variabel yang mempengaruhi efek rumah kaca, mengajukan

pertanyaan, menyusun hipotesis, prosedur kerja untuk menguji hipotesis, dan

melakukan penelitian efek rumah kaca, pada kegiatan akhir dilakukan diskusi mengenai

upaya mengurangi efek rumah kaca. Proses pembelajaran selanjutnya, mahasiswa

bekerja dalam kelompok yang seminggu sebelumnya sudah diberi LKM dan diminta

agar merancang alat peraga Efek Rumah Kaca untuk dibawa ke laboratorium pada hari

pelaksanaan perkuliahan. Kepada mahasiswa diinformasikan tujuan belajar yang ingin

dicapai, menyusun cara kerja, cara pengambilan data, cara pencatatannya, interpretasi

data dan cara menarik kesimpulan.

Sebelum penelitian dilakukan, setiap kelompok mahasiswa menyampaikan hasil

rancangan percobaannya di depan kelas untuk dikritisi dan diberi masukan oleh

temannya dari kelompok lain. Setelah rancangan penelitian diperbaiki, maka dilakukan

kegiatan penelitian secara mandiri oleh masing-masing kelompok. Mahasiswa

difasilitasi dan diajak diskusi untuk menentukan variabel penyebab suhu suatu ruangan

yang ditutup dengan kaca menjadi sangat tinggi dan lembap. Mahasiswa melakukan

penyelidikan pengaruh kerapatan atmosfer dan tutupan lahan terhadap temperatur

permukaan bumi dan kelembapan. Mahasiswa diajak menganalogikan bumi dengan

kotak kaca dan ketebalan kaca penutup kotak dianlogikan sebagai kerapatan atmosfer,

serta menyusun material yang terdapat dibumi seperti: tanah, pasir, kerikil, batu,

tanaman kecil/rumput, dan air. Masing-masing kelompok melakukan penelitian untuk

menyelidiki pengaruh jenis material tutupan lahan terhadap peningkatan suhu

permukaan bumi dan kelembapannya dengan menggunakan berbagai kerapatan

atmosfer.

Mahasiswa merumuskan hipotesis dan menyusun langkah kerja untuk menguji

hipotesis tersebut. Setelah langkah kerja tersebut disetujui oleh dosen mahasiswa

melaksanakan penelitian sesuai langkah kerja yang telah disusunya. Setelah selesai

Page 316: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-35

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

melakukan penyelidikan, mahasiswa bertukar data dengan data dari penyelidikan yang

menggunakan tutupan lahan dari material yang berbeda. Selama mahasiswa bekerja

dosen mengamati dan mengarahkan mahasiswa yang mengalami kesulitan, terutama

dalam melakukan analisis terhadap data hasil penyelidikan. Kemudian mahasiswa

menyajikan hasil penelitiannya dalam diskusi kelas untuk dikritisi dan dikomentari

temannya dari kelompok lain. Setiap kelompok diminta laporan tertulisnya pada

pertemuan berikutnya. Pada akhir perkuliahan dilakukan diskusi mengenai rencana

pembelajaran topik Efek Rumah Kaca pada siswa SD. Diskusi mencakup bentuk

kegiatan pembelajaran secara inkuiri untuk disesuaikan dengan tingkat kemampuan

siswa.

Hasil observervasi terhadap aktivitas inkuiri terbimbing yang telah dilakukan

pada empat topik, dari lima observer menilai bahwa secara keseluruhan rata-rata

(75,7%) mahasiswa cukup mampu menyusun cara kerja tanpa instruksi dosen dalam

menyelesaikan masalah-masalah pada situasi baru secara mandiri. Oleh karena itu tim

peneliti memutuskan bahwa mahasiswa telah siap melakukan kegiatan inkuiri terbuka

dalam pembelajaran berikutnya.

Inkuiri terbuka (Open inquiry)

Mahasiswa diajak melakukan inkuiri otentik secara penuh mulai dari

eksplorasi/mengamati (observasi) fenomena IPBA misalnya peristiwa ekinoks,

penelusuran sumber belajar, merumuskan permasalahan, mengajukan pertanyaan

penelitian, merancang penyelidikan, menyiapkan alat/bahan, merekam data, menyusun

dan menginterpretasi data, menarik kesimpulan, menyajikan dan mempertahankan hasil

penelitiannya. Mahasiswa dibagi dalam kelompok baru secara acak (tiga orang

perkelompok), kemudian diberi rambu-rambu penugasan dan penilaian.

Setelah mahasiswa selesai membuat rancangan penelitian, mereka menyajikan di

depan kelas perkelompok untuk mendapat penilaian dan masukan dari dosen dan teman-

temannya dari kelompok lain. Setelah rancangan penelitian dinilai layak, mahasiswa

awalnya melakukan penelitian bersama-sama serentak di lingkungan kampus, untuk

selanjutnya masing-masing kelompok melanjutkan penelitiannya di luar jam

perkuliahan. Setelah penelitian selesai mahasiswa menyajikan temuannya dalam diskusi

hasil perkelompok untuk dikritisi dan dikomentari oleh temanya dari kelompok lain,

Page 317: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-36

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

selanjut mahasiswa menyusun laporan penelitiannya. Berikut adalah gambaran

keseluruhan hasil belajar dan peningkatan kemampuan inkuiri mahasiswa pada setiap

tahap strategi pengembangan (Tabel 2).

Tabel 2. Peningkatan Kemampuan Mahasiswa dalam Tiga Strategi

Pengembangan Inkuiri

Aspek Inkuiri

Strategi Pengembangan Kemampuan Inkuiri

Inkuiri

Terstruktur

R

Inkuiri Terbimbing

R

Inkuiri

Bebas

Keg-

1

Keg-

2

Keg-

3

Keg-

4

Keg-

5

Keg-

6

Keg-7

Merumus

kan masalah

72,6 72,8 72,7 73,8 74,3 74,2 73,8 74,0 68,9

Merumuskan

hipotesis

74,1 75,5 73,8 73,8 75,3 74,2 73,7 74,3 76,7

Merancang

Penelitian

74,9 76,4 75,7 76,9 76,1 76,4 77,7 76,8 82,3

Mengguna

kan alat

76,0 77,1 76,6 77,6 76,3 77,0 78,1 77,3 77,8

Interpretasi data 76,8 77,6 77,2 77,8 77,1 77,5 78,2 77,7 81,1

Mengkomu

nikasikan

Hasil penelitian

77,5 78,1 77,8 77,9 77,9 78,1 78,9 78,2 77,5

Mengguna 75,2 75,9 75,6 76,2 75,6 75,6 76,2 75,9 87,8

Page 318: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

kan matematika

Nilai Rerata

Sebagaimana terlihat pada Tabel 2,

keseluruhan mengalami peningkatan yaitu dalam kegiatan inkuiri terbuka mencapai

nilai rerata 79,2, hal ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan inkuiri terstruktur

mencapai nilai rerata 75,5, inkuiri terbimbing mencapai

peningkatan kemampuan inkuiri mahasiswa antara ketiga strategi pengembangan

dilukiskan pada Gambar 2.

Gambar 2. Perbandingan Peningkatan Kemampuan dalam Strategi

Pengembanga

Inkuiri Mahasiswa

Gambar 4.2 mengungkapkan

peningkatan dari tahap strategi pengembangan ke tahap strategi pengembangan

berikutnya. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk mengembangkan kemampuan inkuiri

mahasiswa maka harus dilakukan secara bertahap dan berlangsung

diawali dengan aktivitas inkuiri yang paling sedehana terlebih dahulu yaitu inkuiri

terstruktur, terbimbing, dan akhirnya inkuiri terbuka.

Perbandingan Hasil Belajar Secara Inkuiri dengan Pembelajaran Reguler antara

Kelompok Eksperimen dan K

70

72

74

76

78

80

Ke

ma

mp

ua

n I

nk

uir

i (N

ila

i)

Strategi Pengembangan Kemampuan Inkuiri

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

74,2

Sebagaimana terlihat pada Tabel 2, kemampuan inkuiri mahasiswa secara

keseluruhan mengalami peningkatan yaitu dalam kegiatan inkuiri terbuka mencapai

nilai rerata 79,2, hal ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan inkuiri terstruktur

mencapai nilai rerata 75,5, inkuiri terbimbing mencapai nilai rerata 76,3. Perbandingan

peningkatan kemampuan inkuiri mahasiswa antara ketiga strategi pengembangan

Gambar 2. Perbandingan Peningkatan Kemampuan dalam Strategi

Pengembanga

Inkuiri Mahasiswa

Gambar 4.2 mengungkapkan bahwa kemampuan mahasiswa mengalami

peningkatan dari tahap strategi pengembangan ke tahap strategi pengembangan

berikutnya. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk mengembangkan kemampuan inkuiri

mahasiswa maka harus dilakukan secara bertahap dan berlangsung terus menerus

diawali dengan aktivitas inkuiri yang paling sedehana terlebih dahulu yaitu inkuiri

terstruktur, terbimbing, dan akhirnya inkuiri terbuka.

asil Belajar Secara Inkuiri dengan Pembelajaran Reguler antara

Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

74,2

75,7

79,2

Strategi Pengembangan Kemampuan Inkuiri

Terstruktur

Terbimbing

Bebas

3-37

75,7 79,2

kemampuan inkuiri mahasiswa secara

keseluruhan mengalami peningkatan yaitu dalam kegiatan inkuiri terbuka mencapai

nilai rerata 79,2, hal ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan inkuiri terstruktur

nilai rerata 76,3. Perbandingan

peningkatan kemampuan inkuiri mahasiswa antara ketiga strategi pengembangan

Gambar 2. Perbandingan Peningkatan Kemampuan dalam Strategi

bahwa kemampuan mahasiswa mengalami

peningkatan dari tahap strategi pengembangan ke tahap strategi pengembangan

berikutnya. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk mengembangkan kemampuan inkuiri

terus menerus

diawali dengan aktivitas inkuiri yang paling sedehana terlebih dahulu yaitu inkuiri

asil Belajar Secara Inkuiri dengan Pembelajaran Reguler antara

Terstruktur

Terbimbing

Bebas

Page 319: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-38

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Analisis data untuk mengetahui peningkatan hasil belajar mahasiswa diawali

dengan penerapan uji normalitas. Untuk keperluan uji signifikansi peningkatan

kemampuan inkuiri antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol ditempuh

dengan menguji rerata nilai gain yang ternormalisasi diantara kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol. Tabel 3 menyajikan hasil-hasil uji normalitas, homogenitas, dan uji

beda gain test kemampuan inkuiri antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Tabel 3. Uji Normalitas, Homogenitas, dan Uji Beda antara Rerata Gain Test

secara Keseluruhan Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Rerata

Kelompok

Uji

Normalitas2)

Uji

Homogen3)

Kesimpulan Uji Beda

Rata-rata4)

Kesimpulan

�����)

Uji-

Stat Sig Uji-

Stat

Sig. Uji-

Stat

Sig.

Pretest

Eksperimen

0,121 0,200*

5,951

0,018

Normal dan

Tidak

Homo

gen

2,421

0,180

Tidak beda

Signifikan3)

Sig=0,180>0,05 Kontrol 0,158 0,053

Posttest

Eksperimen 0,138 0,151

13,490

0,001

Tidak

Normal 6,970 0,001

Beda

Signifikan4)

Sig=0,001<0,05 Kontrol 0,152 0,075

Gain

Eksperimen

0,097 0,200*

5,581

0,022

Normal dan

tidak

omogen

8,624

0,022

Beda

Signifikan3)

Sig=0,022<0,05

Kontrol 0.105 0,200*

Ket : *) = nilai terkecil dari signifikansi

Page 320: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

2) = Kolmogorof – Smirnov tes (Normal: Sig.> 0,05)

3) = Levene tes (Homogen: Sig. > 0,05

4) = Uji Mann-Whitney Sig.< 0,05

Sebagaimana terlihat pada Tabel

terdapat perbedaan nyata kemampuan inkuiri antara kelompok eksperimen dengan

kelompok kontrol (ρ 0,180 > 0,05). Sedangkan untuk

perbedaan yang signifikan kemampuan inkuiri antara kelompok eksperimen dengan

kelompok Kontrol (ρ 0,001 < 0,05). Karena

digunakan Tes Non-parametrik, yaitu dengan menggunakan Uji

menunjukkan terdapat perbedaan kemampuan inkuiri secara signifikan antara kelompok

eksperimen dengan kelompok kontrol (

nilai posttest dan rerata nilai

kontrol ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Perbandingan dan Selisih

Eksperimen

dan Kelompok Kontrol

Fakta menarik yang dapat dicermati pada Gambar 3 bahwa nilai rerata

mahasiswa kelompok eksperimen lebih rendah dibanding kelompok kontrol. Setelah

penerapan strategi perkuliahan yang dikembangkan pada kelompok eks

program perkuliahan reguler pada kelompok kontrol tampak bahwa perolehan

peningkatan rerata nilai posttest

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Smirnov tes (Normal: Sig.> 0,05)

= Levene tes (Homogen: Sig. > 0,05

Whitney Sig.< 0,05

Sebagaimana terlihat pada Tabel 3 menunjukkan bahwa untuk pretest

terdapat perbedaan nyata kemampuan inkuiri antara kelompok eksperimen dengan

0,180 > 0,05). Sedangkan untuk posttest dan gain

perbedaan yang signifikan kemampuan inkuiri antara kelompok eksperimen dengan

0,001 < 0,05). Karena gain berdistribusi tidak normal, maka

parametrik, yaitu dengan menggunakan Uji Mann-Whitney

menunjukkan terdapat perbedaan kemampuan inkuiri secara signifikan antara kelompok

lompok kontrol (ρ 0,000 < 0,05). Perbandingan dan selisih rerata

dan rerata nilai pretest antara kelompok eksperimen dengan kelompok

kontrol ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Perbandingan dan Selisih Posttest dan Pretest antara Kelompo

Eksperimen

dan Kelompok Kontrol

Fakta menarik yang dapat dicermati pada Gambar 3 bahwa nilai rerata

mahasiswa kelompok eksperimen lebih rendah dibanding kelompok kontrol. Setelah

perkuliahan yang dikembangkan pada kelompok eksperimen dan

program perkuliahan reguler pada kelompok kontrol tampak bahwa perolehan

posttest mahasiswa kelompok eksperimen sebesar 30, hal ini

3-39

pretest tidak

terdapat perbedaan nyata kemampuan inkuiri antara kelompok eksperimen dengan

gain terdapat

perbedaan yang signifikan kemampuan inkuiri antara kelompok eksperimen dengan

berdistribusi tidak normal, maka

Whitney hasilnya

menunjukkan terdapat perbedaan kemampuan inkuiri secara signifikan antara kelompok

0,000 < 0,05). Perbandingan dan selisih rerata

antara kelompok eksperimen dengan kelompok

antara Kelompok

Fakta menarik yang dapat dicermati pada Gambar 3 bahwa nilai rerata pretes

mahasiswa kelompok eksperimen lebih rendah dibanding kelompok kontrol. Setelah

perimen dan

program perkuliahan reguler pada kelompok kontrol tampak bahwa perolehan

mahasiswa kelompok eksperimen sebesar 30, hal ini

Page 321: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-40

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

cukup tinggi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol sebesar 17,7. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa strategi perkuliahan IPBA secara inkuiri lebih baik

dibandingkan dengan program perkuliahan secara reguler pada kelompok kontrol dalam

meningkatkan kemampuan inkuiri. Perkuliahan IPBA secara reguler pada kelompok

kontrol dilaksanakan dengan menggunakan metode ceramah, presentasi mahasiswa, dan

diskusi. Dengan kata lain perkuliahan IPBA secara inkuiri lebih efektif jika

dibandingkan dengan perkuliahan menggunakan metode ceramah, presentasi

mahasiswa, dan diskusi dalam meningkatkan kemampuan inkuiri mahasiswa calon guru

SD.

Jika ditinjau dari rerata persen N-gain test peningkatan kemampuan per aspek

inkuiri antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan menghitung selisih

nilai posttest dengan nilai pretest (gain) ditunjukkan pada Tabel 3 di atas. Untuk

keperluan uji signifikansi peningkatan kemampuan per aspek inkuiri antara kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol ditempuh dengan menguji persen rerata skor gain

yang ternormalisasi (% N-gain) diantara dua kelompok tersebut. Tabel 4 menyajikan

hasil-hasil uji normalitas, homogenitas, dan uji beda rerata % N-gain test kemampuan

inkuiri antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Tabel 4. Uji Normalitas, Uji Homogenitas, dan Uji Beda antara Rerata

N-gain Pretest dan Rerata N-gain Posttest per Aspek Inkuiri

Rerata

Kelompok

Uji Normalitas2)

Uji Homogen3)

Kesimpulan Uji Beda Rata-rata4)

Kesimpulan �����)

Uji-Stat

Sig Uji-

Stat

Sig. Uji-

Stat

Sig.

Pretest

Eksperimen

0,121 0,200*

5,951

0,018

Normal dan Tidak Homo

gen

2,421

0,180

Tidak beda Signifikan3)

Sig=0,180>0,05 Kontrol 0,158 0,053

Posttest

Eksperimen 0,138 0,151

13,490

0,001

Tidak Normal

6,970 0,001

Beda Signifikan4)

Sig=0,001<0,05 Kontrol 0,152 0,075

Page 322: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-41

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Gain

Eksperimen

0,097 0,200*

5,581

0,022

Normal dan tidak omogen

8,624

0,022

Beda Signifikan3)

Sig=0,022<0,05

Kontrol 0.105 0,200*

Ket : *) = nilai terkecil dari signifikansi

2) = Kolmogorof – Smirnov tes (Normal: Sig.> 0,05)

3) = Levene tes (Homogen: Sig. > 0,05

4) = Uji Mann-Whitney Sig.< 0,05

Sebagaimana terlihat pada Tabel 4 hasil uji normalitas, homogenitas, dan uji-t

terhadap % N-gain per aspek inkuiri pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

diperoleh hasil bahwa semua % G-gain pada kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol berdistribusi tidak normal. Karena data berdistribusi tidak normal, maka

digunakan Tes Non-parametrik, yaitu dengan menggunakan Uji Mann-Whitney.

Berdasarkan dari uji Mann Whitney diperoleh bahwa % G-gain kelompok eksperimen

berbeda nyata dengan % G-gain kelompok kontrol ρ < 0,05. Namun jika dilihat dari

<gain> total maka peningkatan kemampuan inkuiri pada kelas eksperimen belum

menunjukkan kemampuan yang optimal, akan tetapi masih pada taraf sedang 0,3

<gain>0,7 dan untuk kelompok kontrol peningkatannya termasuk dalam katagori rendah

≤ 0,3 (Arikunto, 1998 : 75). Hal ini disebabkan kerena untuk merumuskan masalah,

menyusun hipotesis, merancang penelitian menggunakan alat, menginterpretasi data,

mengkomunikasikan hasil, dan kemampuan dalam menggunakan matematika dari sudut

padang yang berbeda membutuhkan pemahaman inkuiri dan konsep yang baik, serta

latihan secara bertahap dan berkelanjutan.

PEMBAHASAN

Memperhatikan seluruh rangkai kegiatan strategi pengembangan kemampuan

inkuiri yang dimulai dengan pendahuluan, inkuiri terstruktur, inkuiri terbimbing, dan

kegiatan inkuiri terbuka, nampak bahwa setiap aspek inkuiri pada tahap pengembangan

dapat dimunculkan secara simultan, namun harus melalui proses revisi berulang dan

Page 323: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-42

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

harus direncanakan atas dasar hasil analisis sejumlah temuan yang diperoleh setiap

tahap pengembangan selama melakukan implementasi program perkuliahan. Setiap

temuan pada tahap pengembangan tertentu mengarahkan dan mengbangkitkan analisis

kebutuhan pengembangan aspek inkuiri baru untuk melengkapi kemampuan inkuiri

pada tahap sebelumnya. Gabungan beberapa temuan menghasilkan sekumpulan analisis

kebutuhan tahap pengembangan kemampuan inkuiri sehingga diperoleh sebuah strategi

pengembangan kemampuan inkuiri yang lengkap dalam program perkuliahan IPBA

yang dikembangan dalam penelitian ini.

Strategi pengembangan kemampuan inkuiri yang telah dilakukan terinspirasi

dari pendapat Joyce, et al, (1992 : 56) dan Jacobsen, et al. (2009 : 204) bahwa strategi

perkuliahan mengkondisikan mahasiswa memperoleh pengetahuan melalui kegiatan

inkuiri secara bertahap. dan berlangsung terus menerus diawali dengan aktivitas yang

paling sedehana terlebih dahulu. Menurut Joyce, et al. (1992 : 56) tahap inkuiri dalam

pembelajaran didasarkan pada tingkat kesederhanaan masalah dan kegiatan mahasiswa

kemudian dikembangkan secara bertahap ke arah permasalahan dan kegiatan yang lebih

kompleks. Diawali dengan pendahulun untuk mengenalkan konsep-konsep, langkah-

langkah inkuiri, dan metoda ilmiah. Dilanjutkan tahap kegiatan inkuiri terstruktur

mengembangkan pemahaman konsep, langkah inkuiri, dan metoda ilmiah melalui

latihan dasar aktivitas inkuiri dengan masalah dan prosedur kerja yang diberikan dosen,

dan mahasiswa mengikuti semua instruksi dosen untuk melakukan kegiatan inkuiri

dengan sempurna. Tahap kegiatan inkuiri terbimbing memberikan kelengkapan

pemahaman mahasiswa tentang proses inkuiri, tantangan dan keterampilan menerapkan

pada situasi baru, serta kesempatan mahasiswa mengembangkan cara kerja untuk

menyelesaikan masalah baru yang dipilih. Tahap inkuiri terbuka mengembangkan cara

kerja tanpa instruksi dosen hingga dapat melakukan inkuiri secara mandiri, mahasiswa

mengidentifikasi masalah, cara kerja hingga melakukan inkuiri mandiri secara penuh.

Tahap menerapkan inkuiri mahasiswa merancang dan melaksanakan proses belajar

mengajar secara inkuiri di SD.

KESIMPULAN

Page 324: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-43

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pertama, strategi perkuliahan IPBA dibangun bertujuan agar mahasiswa dapat

berlatih melakukan kegiatan inkuiri dan menemukan konsep melalui inkuiri terstruktur

dan inkuiri terbimbing. Setelah itu mahasiswa berlatih untuk menggunakan kemampuan

inkuiri dalam kegiatan inkuiri terbuka. Mahasiswa berlatih untuk mengkomunikasikan

hasil penyelidikannya dalam bentuk kegiatan presentasi dan diskusi. Kedua, dalam

proses perkuliahan mahasiswa berlatih mencari , merumuskan, dan pemecahan masalah

dengan menggunakan metode ilmiah. Mahasiswa mengamati fenomena alam,

merumuskan masalah, membuat hipotesis, mengidentifikasi variabel penyelidikan,

mengamati, mengukur, dan mencatat parameter penyelidikan. Mahasiswa

menginterpretasi data, membuat kesimpulan, dan mengkomunikasikan hasil

penyelidikan untuk mengekspresikan kemampuan berpikir logis, dan kritis. Ketiga,

strategi perkuliahan IPBA berbasis inkuiri dapat meningkatkan kemampuan inkuiri

mahasiswa calon guru Sekolah Dasar jika dibandingkan dengan program perkuliahan

IPBA reguler yang menggunakan metode ceramah, presentasi mahasiswa, dan diskusi.

Berdasarkan dari uji Mann Whitney diperoleh bahwa % G-gain kelompok eksperimen

berbeda nyata dengan % G-gain kelompok kontrol (ρ < 0,05). Hal ini dapat dinyatakan

bahwa perkuliahan IPBA berbasis inkuiri cukup efektif untuk membekali kemampuan

inkuiri mahasiswa calon guru Sekolah Dasar.

DAFTAR PUSTAKA

Page 325: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-44

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Arikunto S. (2010). Dasar-dasar Eavaluasi Pendidikan. (Edisi Revisi). Jakarta : P.T

Bumi Aksara.

Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Standar Kompetensi Mata

Pelajaran

Dick, W., and Carey, L. (2001). The Systematic Design of Instruction (5th ed). New

York: Longman.

Gautier, C and Rebich, S. (2005). The Use of a Mock Environment Summit to Support

Learning about Global Climate Change. Journal of Geoscience Education, v.

53, n. 1, February, 2005, p. 5-16.

Hoban, G. F. (2007). “Using Slowmation To Engage Preservice Elementary Teachers In

Understanding Science Content Knowledge”. Contemporary Issues in

Technology and Teacher Education, 7(2), 75-91.

Jacobsen A, David., Eggen, Paul., Kauchak. (2009). Methods for Teaching.: Promoting

Student Learning in K-12 Classrooms. Person Education, Inc, publishing as

Allyn & Bacon, One Lake Street Upper Saddle River, New Jersey, USA.

Joyce, B; Weil; Marsha & Showers, B. (1992). Methods for Teaching. Eight Edition.

Boston: Allyn & Bacon.

Karno To, dan Yudi Wibisono. (2004). ANATES Program Khusus Analisis Tes Pilihan

Ganda Versi 4.0 untuk Window. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

National Science Education Standards (NSES, 1996). Inquiry A Guide for Teaching and

Learning. National Academy Press. Washington, D.C.

National Science Teacher Associstion (NSTA, (1998). Standards For Science Teacher

preparation. NSTA in collaboration with the Association for the Education of

Theachers in Science.

Pyle, E.J (2008). A Model of Inquiry for Teaching Earth Science. Journal of Science

Education. Vol. 12, No. 2. Southwestern University.

Rosnita., Widodo A, Maryani E, & Tjasyono B (2011). Profil Kemampuan Inkuiri

Mahasiswa PGSD pada Konsep IPBA. Prosiding Seminar Nasional di

UNILA. ISBN 978-979-3262-04-8.

Page 326: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-45

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Suseno, N., Setiawan, A & Rustaman, N. Y. (2009). Penggunaan Analogi dan

Klasifikasinya dalam Perkuliahan Konsep Abstrak Listrik-Magnet di LPTK.

Disampaikan pada seminar nasional di P4TK pada tanggal 10 April 2010.

Tjasyono, B. (2003). Ilmu Kebumian dan Antariksa. Penerbit: PT. Remaja Rosdakarya.

Bandung.

Widodo A., Sumiati Y. & Setiawati C. (2006). Peningkatan kemampuan siswa SD

untuk mengajukan pertanyaan produktif. Jurnal Pendidikan dan

Pembelajaran, 4(1), 1-12.

Page 327: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-46

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Kata Kunci: Efektivitas pembelajaran, Multimedia Interaktif, Keterampilan berpikir kritis.

PENDAHULUAN

Kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari apa yang diharapkan,

kendatipun sistem penyelenggaraan pendidikan nasional telah diformulasi sedemikian

rupa pada setiap jenjang pendidikan yang ada. Hal tersebut tercermin antara lain, dari

hasil studi kemampuan membaca untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) yang dilaksanakan

oleh organisasi International Educational Achievement (IEA) yang menunjukkan bahwa

mahasiswa SD di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi.

Sementara untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), studi untuk

kemampuan matematika mahasiswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-39

dari 42 negara, dan untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) hanya berada

pada urutan ke-40 dari 42 negara peserta (www.diknas.html).

Rendahnya kualitas pendidikan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu

diantaranya adalah sumber daya para guru dalam menerapkan pembelajaran yang telah

diformulasi dalam kurikulum-kurikulum yang pernah dan sedang diterapkan serta

kurangnya kemampuan untuk memanfaatkan berbagai media yang tersedia. Sering kali

pola pembelajaran antara satu materi dengan materi lainnya diterapkan sama, tanpa

memperhatikan tingkat kesulitan dari mata pelajaran tersebut. Faktor lainnya adalah

kurangnya budaya berpikir kritis dalam masyarakat kita. Metode-metode pembelajaran

yang dipergunakan oleh para guru tidak dapat mendukung pengembangan Keterampilan

Berpikir Kritis (KBKr) mahasiswanya. Misalnya dalam mengajarkan bidang studi IPA

guru menggunakan metode mengajar dengan mengerjakan soal-soal atau menghapal,

bahkan terkadang evaluasi tidak dirancang untuk mengembangkan kemampuan

berpikir. Selain itu, secara umum pada pembelajaran Matematika dan IPA, penalaran

jarang dikelola secara langsung, terencana atau sengaja.

Selain itu konsep-konsep dalam mata kuliah IPA kelas tinggi mempunyai

keterkaitan satu dengan yang lainnya sehingga bila guru kurang kreatif dalam mengolah

materi subyek ini maka dapat menghambat siswa dalam memahami konsep-konsep

selanjutnya. Oleh karena kesulitan di atas, para calon guru dituntut untuk berusaha lebih

giat dalam meningkatkan kemampuan memahami materi pelajaran serta menggali

Page 328: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-47

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

kemampuan berpikir kritisnya. Para calon guru harus kreatif dalam menyajikan materi

pelajaran. Kreatifitas di sini dapat dilihat dari kemampuan guru memilih pendekatan

yang sesuai dan mengemas materi subyek yang disajikan sehingga menarik dan

dipahami mahasiswanya. Menurut Liliasari (Devi, 2001), pendidikan kimia dapat

mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi apabila tertata dalam suatu model

pembelajaran yang dapat mengembangkan kerangka konseptual mahasiswa secara

efektif.

Dalam era globalisasi sekarang ini, kemajuan di bidang teknologi informasi

seharusnya dimanfaatkan secara maksimal dalam proses belajar mengajar. Misalnya

pemanfaatan teknologi komputer sebagai salah satu media pembelajaran. Di Indonesia,

penggunaan program aplikasi komputer dalam kegiatan belajar mengajar belum banyak

dikembangkan. Padahal tersedia banyak program komputer yang dapat digunakan

sebagai media dalam proses belajar mengajar di sekolah, bahkan untuk anak-anak di

tingkat Taman Kanak-kanak (TK). Tidak dimanfaatkannya teknologi komputer dengan

maksimal dalam proses belajar mengajar disebabkan oleh banyak faktor, antara lain

kesiapan guru dan sekolah, ketersediaan perangkat lunak (software) dan kurangnya

kemampuan guru dalam memproduksi program aplikasi komputer ( Setiadi & Agus,

2001). Hal senada dikemukakan oleh Ena (www.ialf.edu/kipbipa/papers/OudaTeda

Ena.doc) bahwa sampai saat ini media pembelajaran interaktif belum berkembang

dengan optimal di Indonesia, karena kurangnya penguasaan teknologi pengembangan

media interaktif para pengajar di Indonesia. Dari berbagai literatur, terungkap bahwa

penggunaan media pembelajaran interaktif sangat potensial dalam mengembangkan

keterampilan berpikir mahasiswa (Jackson dalam Paramata, 1996; Hernani, 2002;

Kartimi, 2003; dan Suwarna, 2004).

Selama ini perkuliahan IPA di program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

(PGSD) dengan menggunakan media pembelajaran “seadanya” tanpa pertimbangan

kemampuan-kemampuan yang harus di berikan kepada mahasiswa PGSD sebagai bekal

mereka nanti mengajar di sekolah dasar. Keterampilan dasar yang harus di milikinya

berupa keterampilan berpikir kritis. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan inovasi dalam

praktek pembelajaran, antara lain menerapkan media pembelajaran mata kuliah IPA

berbasiskan multimedia interaktif.

Page 329: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-48

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Berdasarkan permasalahan dan pertimbangan yang diuraikan, maka

penererapan media pembelajaran berbasiskan multimedia interaktif bagi mahasiswa

calon guru IPA SD sangat tepat, dilakukan karena dapat memberikan bekal bagi

mahasiswa untuk melaksankan pembelajaran nantinya di sekolah tempat mereka

bertugas.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pembelajaran IPA

berbasiskan multimedia interaktif bagi mahasiswa calon guru IPA SD, dan membantu

mahasiswa meningkatkan keterampilan berpikir kritisnya..

METODE PENELITIAN

Metode yang di gunakan pada menggunakan metode eksperimen semu dan

deskriptif. Eksperimen digunakan untuk mengetahui efektifitas penerapan multimedia

interaktif dalam meningkatkan keteperampilan berpikir kritis mahasiswa. Desain

penelitian yang digunakan adalah Pre-test and post-test group karena observasi

dilakukan 2 kali yaitu sebelum eksperimen (O1/pre-test) dan sesudah eksperimen (O2/

post-test) (Arikunto, 2006). Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan

tanggapan mahasiswa terhadap penggunaan model pembelajaran multimedia interaktif

pada mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi dan hasil obesrvasi pelaksanaan model

pembelajaran IPA dengan menggunakan multimedia interaktif.

Tabel 1. Desain penelitian

Kelas Tes awal Perlakuan Tes akhir

Eksperimen O1 X1 O2

Subyek pada penelitian ini adalah mahasiswa S-1 PGSD Semester IV FKIP

Universitas Sriwijaya yang berjumlah 45 mahasiswa.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Page 330: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-49

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pada bagian ini dideskripsikan hasil-hasil penelitian efektivitas pembelajaran

IPA kelas tinggi berbasis multimedia interaktif untuk meningkatkan keteraampilan

berpikir kritis mahasiswa calon guru SD yang meliputi (1) data hasil tes keterampilan

berpikir kritis mahasiswa pada mata kuliah IPA kelas tinggi, (2) data tanggapan

mahasiswa pembelajaran IPA kelas tinggi berbasiskan multimedia interaktif.

Pembuatan model pembelajaran multimedia interaktif didahului dengan

melakukan analisis konsep pada materi mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi. Hal

ini dilakukan untuk mempermudah penyusunan alur pembelajaran bagi pencapaian

penguasan konsep mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi.

Multimedia interaktif mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi terdiri dari

presentasi dalam bentuk teks, audio, grafik, animasi dan simulasi interaktif yang mampu

mengadaptasi perbedaan cara belajar mahasiswa sehingga mereka belajar dalam

lingkungan yang menyenangkan. Visualisasi disajikan memungkinkan mahasiswa

melakukan navigasi, berinteraksi, berkreasi dan berkomunikasi dengan menghubungkan

panca indera mereka dengan antusias sehingga informasi yang masuk ke bank

memorinya lebih tahan lama dan mudah untuk di recall pada saat informasi tersebut

digunakan. Pemrosesan informasi dalam pembentukan konsep akan mudah di recall

apabila tersimpan dalam memori jangka panjang terutama dalam bentuk gambar

(Matlin, 1994).

Dalam dunia pendidikan, aplikasi multimedia berfungsi sebagai perangkat lunak

(sofware) pembelajaran, yang memberikan fasilitas kepada mahasiswa untuk

mempelajari suatu materi. Multimedia memiliki keistimewaan diantaranya adalah: (1)

interaktif dengan memberikan kemudahan umpan balik; (2) kebebasan menentukan

topik pembelajaran; (3) kontrol yang sistematis dalam proses belajar (Munir, 2008)

Keterampilan Berpikir Kritis Mahasiswa Calon Guru SD

Keterampilan berpikir kritis mahasiswa dinilai dari jawaban tes awal dan tes

akhir setelah mengikuti pembelajaran. Indikator keterampilan berpikir kritis yang

diteliti meliputi : Mengidentifikasi alasan yang dikemukakan, Menjawab pertanyaan

mengapa, Melaporkan berdasarkan pengamatan, Menginterpetasikan pertanyaan,

Menggeneralisasikan, Menerapkan prinsip/rumus, merumuskan alternatif penyelesaian,

Page 331: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-50

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Menggunakan strategi logis. .Hasil penilian keterampilan berpikir kritis berupa skor

yang kemudian dicari prosentasenya.

Tabel .2. Deskripsi skor keterampilan berpikir kritis pada kelas eksperimen

Kelas Eksperimen

Tes awal Tes akhir N-gain

N (jumlah mahasiswa) 45 45

Rata-rata 34,75 82,05 0, 75 (tinggi)

Simpangan baku 1,85 1,36

Berdasarkan perolehan data skor rata-rata tes awal, tes akhir dan N-gain pada

table 2, diketahui bahwa skor rata-rata tes awal mahasiswa kelas eksperimen sebesar

34,75, sementara skor rata-rata tes akhir mahasiswa sebesar 82,05. Hal ini menunjukkan

bahwa perolehan skor rata-rata tes awal keterampilan berpikir kritis mahasiswa

meningkat.

Perolehan rata-rata N-gain untuk kelas eksperimen sebesar 0,75 termasuk

kategori tinggi sehingga dapat dikatakan secara analisis N-gain pembelajaran dengan

menggunakan multimedia interaktif sangat efektif untuk meningkatkan keterampilan

berpikir kritis mahasiswa pada mata kuliah pembelajaran IPA kkelas tinggi..

Uji t Keterampilan Berpikir Kritis

Setelah diperoleh data keterampilan berpikir kritis berdistribusi normal dan

homogen maka selanjutnya dilakukan uji statistik parametrik (uji t dengan α = 0,005).

Dengan menggunakan Independent Samples Test diperoleh hasil bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan antara keterampilan berpikir kritis kelas eksperimen

berdasarkan nilai t = 28,6. Hasil pengolahan secara lengkap dapat dilihat pada lampiran

. Berdasarkan analisis dari uji t dapat Ternyata t-hitung > t-tabel, atau 28.96 > 2,045, maka

terima Ha dan tolak Ho dan menyatakan bahwa

Penerapan Pembelajaran IPA Kelas Tinggi Berbasis Multimedia Interaktif, efektif untuk

meningkatkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa calon guru SD

Keterampilan Berpikir Kritis Mahasiswa pada Setiap Indikator

Page 332: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-51

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Keterampilan berpikir kritis mahasiswa dinilai dari jawaban tes awal dan tes

akhir setelah mengikuti pembelajaran. Indikator keterampilan berpikir kritis yang

diteliti meliputi : Mengidentifikasi alasan yang dikemukakan, Menjawab pertanyaan

mengapa, Melaporkan berdasarkan pengamatan, Menginterpetasikan pertanyaan,

Menggeneralisasikan, Menerapkan prinsip/rumus, merumuskan alternatif penyelesaian,

Menggunakan strategi logis. Perbandingan N-gain keterampilan berpikir kritis setiap

indikator dapat dilihat pada gambar 1

Gambar 1. Perbandingan N-Gain keterampilan berpikir kritis untuk setiap indikator Keterangan : (1) Mengidentifikasi alasan yang dikemukakan; (2) Menjawab pertanyaan

mengapa; (3) Melaporkan berdasarkan pengamatan; (4) Menginterpetasikan pertanyaan; (5) Menggeneralisasikan; (6) Menerapkan prinsip/rumus; (7) Merumuskan alternatif penyelesaian; (8) Menggunakan strategi logis.

Pada proses pembelajaran perlu dikembangkan keterampilan berpikir yang

merupakan suatu aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan. Berdasarkan

prosesnya berpikir dapat dikelompokkan dalam berpikir dasar dan berpikir kompleks.

Proses berpikir kompleks yang disebut proses berpikir tingkat tinggi ada empat macam,

yaitu pemecahan masalah, pengambilan keputusan, berpikir kritis dan berpikir kreatif

(Costa, 1985). Keterampilan berpikir kritis termasuk salah satu keterampilan berpikir

tingkat tinggi. Keterampilan berpikir kritis secara esensial merupakan keterampilan

menyelesaikan masalah (problem solving. Menurut Ennis berpikir kritis adalah

0,760,72

0,65

0,79

0,68 0,73

0,860,80

0,00

0,10

0,20

0,30

0,40

0,50

0,60

0,70

0,80

0,90

1,00

1 2 3 4 5 6 7 8

N-G

ain

N-gain Indikator Keterampilan Berpikir Kritis

Page 333: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-52

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

kemampuan bernalar dan berpikir reflektif yang diarahkan untuk memutuskan hal-hal

yang meyakinkan untuk dilakukan (Costa 1985). Norris dan Ennis (dalam Stiggin,

1994) menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan berpikir masuk akal dan reflektif

yang difokuskan pada pengambilan keputusan tentang apa yang dilakukan atau diyakini.

Masuk akal berarti berpikir berdasarkan atas fakta-fakta untuk menghasilkan keputusan

yang terbaik. Reflektif artinya mencari dengan sadar dan tegas kemungkinan solusi

yang terbaik.

Perolehan rata-rata N-gain keterampilan berpikir kritis hasil eksperimen sebesar

0,75. Rata-rata N-gain keterampilan berpikir kritis untuk kelas eksperimen termasuk

kategori tinggi. Dari data penelitian menunjukkan bahwa perolehan N-gain

keterampilan berpikir kritis pada kelas eksperimen tertinggi pada indikator merumuskan

alternative penyelesaian yaitu sebesar 0,86 dengan kategori tinggi serta terendah pada

indikator melaporkan berdasarkan pengamatan sebesar 0,65 (kategori sedang) dan

menggeneralisasikan sebesar 0,68 (kategori sedang) menurut Margendoller, (2006)

Suatu pembelajaran dikatakan lebih efektif jika menghasilkan N-Gain tinggi ,. Hal ini

terjadi karena keterbatasan multimedia interaktif dimana media tersebut belum mampu

untuk memberikan tampilan-tampilan yang lebih interaktif kepada mahasiswa. Tetapi

secra umum dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan multimedia interaktif

efektif untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa pada mata kuliah

pembelajaran IPA kelas tinggi.

Deskripsi Aktivitas Mahasiswa dan Dosen Selama Pembelajaran Multimedia Interaktif Mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi

Aktivitas mahasiswa dan guru selama pembelajaran multimedia interaktif mata

kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi diperoleh dari lembar observasi yang telah

disediakan untuk etiap SAP yang dilaksanakan. Keterlaksanaan SAP dapat dilihat pada

tabel 3.

Tabel 3. Keterlaksanaan SAP pada tiap-tiap pertemuan.

No Aspek yang diobservasi Keterlaksanaan

Rata-Rata SAP1 SAP2 SAP3

1 Kegiatan Awal 100% 100% 100% 100%

Page 334: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-53

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

2 Kegiatan Inti 89% 78% 100% 91,2%

3 Kegiatan Akhir 100% 100% 100% 100%

Dari tabel 3 dapat kita lihat bahwa prosentase keterlaksanaan kegiatan awal rata-

rata mencapai 100 %, kegiatan inti rata-rata 91,2 % dan kegiatan akhir 100 %.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada kelas eksperimen yang belajar

menggunakan model pembelajaran multimedia interaktif, mahasiswa dan guru terlihat

aktif dan bersemangat dalam mengikuti proses pembelajaran. Hal itu dapat dilihat dari

hasil observasi bahwa prosentase keterlaksanaan kegiatan awal rata-rata mencapai

100%, kegiatan inti rata-rata 91,2 % dan kegiatan akhir 100%. Keaktifan mahasiswa

tersebut dipengaruhi oleh peran dan fungsi multimedia dalam pembelajaran. Fungsi

multimedia pembelajaran dapat dikategorikan sebagai berikut : a) suplemen (tambahan);

fungsi multimedia sebagai suplemen artinya peserta didik mempunyai kebebasan

memilih, apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran elektronik atau tidak, b)

komplemen (pelengkap); fungsi multimedia sebagai komplemen materi pembelajaran

elektronik diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang diterima

mahasiswa di dalam kelas, c) substitusi (pengganti); fungsi multimedia sebagai

substitusi, artinya multimedia menggantikan sebagian besar peranan guru ini dapat

menjadi alternatif model kegiatan pembelajaran.

Tanggapan Mahasiswa Terhadap Model Pembelajaran Multimedia Interaktif Mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi

Untuk mengetahui tanggapan mahasiswa terhadap model pembelajaran

multimedia interaktif mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi dilakukan dengan

membagikan angket yang berisi butir-butir pernyataan tentang model pembelajaran

yang dibuat. Data lengkap tentang tanggapan mahasiswa dapat dilihat pada lampiran .

Berdasarkan tanggapan mahasiswa yang diperoleh melalui angket dapat

disimpulkan bahwa mahasiswa memberikan tanggapan positif (baik) terhadap model

pembelajaran multimedia interaktif mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi. Hal ini

dapat dilihat dalam tabel 4

Tabel 4. Rekapitulasi tanggapan mahasiswa terhadap model pembelajaran multimedia

Page 335: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-54

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

interaktif mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi.

No Indikator No

Angket Rata-Rata

Persentase (%)

Kriteria

(a) (b) (c) (d) (e) (f) 1 Menunjukkan perasaan senang

terhadap IPA dengan multimedia interaktif

1,8,9,10 3,06 76,4 Baik

2 Menunjukkan ketertarikan terhadap tampilan dan fasilitas dalam multimedia interaktif

5,6,7 3,33 83,3 Baik

Tabel 4. Lanjutan

(a) (b) (c) (d) (e) (f) 3 Menunjukkan kesungguhan belajar

mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi dengan multimedia interaktif

2,3,4, 3,17 79,2 Baik

4 Menunjukkan kesungguhan dalam mengerjakan soal yang di berikan melalui multimedia interaktif

11,12 3,11 77,9 Baik

Berdasarkan sebaran angket yang diberikan kepada mahasiswa, diketahui bahwa

indikator yang menunjukkan perasaan senang terhadap mata kuliah pembelajaran IPA

kelas tinggi dengan multimedia interaktif, ketertarikan terhadap tampilan dan fasilitas

dalam multimedia interaktif, kesungguhan dalam belajar topik mata kuliah

pembelajaran IPA kelas tinggi dengan multimedia interaktif dan kesungguhan dalam

mengerjakan soal yang di berikan melalui multimedia interaktif semuanya dengan

kriteria baik. Hal ini karena multimedia interaktif akan memberikan motivasi yang

lebih tinggi karena selalu dikaitkan dengan kesenangan, permainan, dan kreativitas.

Beberapa kelebihan multimedia interaktif (komputer sebagai sarana/media

pembelajaran) menurut Heinich (dalam Karyadinata, 2006) yaitu: (1) mahasiswa dapat

belajar sesuai kemampuan dan kecepatannya masing-masing dalam memahami

pengetahuan dan informasi yang ditampilkan; (2) aktivitas belajar mahasiswa dapat

terkontrol; (3) mahasiswa mendapat fasilitas untuk mengulang jika diperlukan, dalam

pengulangan tersebut mahasiswa bebas mengembangkan kreativitasnya; (4) mahasiswa

dibantu untuk memperoleh umpan balik (feed back) dengan segera; (5) tercipta iklim

belajar yang efektif bagi mahasiswa yang lambat (slow learner), tetapi juga dapat

Page 336: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-55

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

memacu efektivitas belajar bagi mahasiswa yang lebih cepat (fast learner); (6)

pemberian umpan balik (feed back) dan pengukuhan (reinforcement) terhadap hasil

belajar dapat diprogram; (7) pemeriksaan dan pemberian skor hasil belajar secara

otomatis dapat diprogram; (8) memberikan sarana bagi mahasiswa untuk melakukan

kegiatan tertentu dapat dirancang; (9) informasi dan pengetahuan dengan tingkat

realisme yang tinggi dapat disampaikan karena kemampuannya mengintegrasikan

komponen warna, musik, animasi, dan grafik.

Keunggulan dan Kelemahan Model pembelajaran Multimedia Interaktif Mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi

Berdasarkan hasil implementasi model pembelajaran multimedia interaktif mata

kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi dapat dikemukakan keunggulan dan kelemahan

model pembelajaran ini. Keunggulannya adalah : (1) pembalajaran berpusat pada

mahasiswa; (2) aktivitas mahasiswa dapat terkontrol; (3) mahasiswa mendapat fasilitas

untuk mengulang jika diperlukan, dalam pengulangan tersebut mahasiswa bebas

mengembangkan kreativitasnya;; (4) tercipta iklim belajar yang efektif bagi mahasiswa

yang lambat (slow learner), tetapi juga dapat memacu efektivitas belajar bagi

mahasiswa yang lebih cepat (fast learner); (6) evalusai interaktif yang dibuat dapat

lebih memotivasi mahasiswa dalam menjawab setiap soal yang diberikan.

Kelemahan dari model pembelajaran multimedia interaktif mata kuliah

pembelajaran IPA kelas tinggi antara lain : beberapa mahasiswa belum terbiasa

bekerja/belajar dengan menggunakan komputer sehingga agak terlambat memahami

materi di bandingkan dengan teman-temannya yang lain.

SIMPULAN

Pembelajaran IPA kelas tinggi berbasis multimedia interaktif efektif efektif

untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa. Untuk setiap indikator

peningkatan keterampilan berpikir kritis mahasiswa jauh meningkat dibandingkan pada

saat tes awal. Rata-rata N-gain untuk setiap indikator keterampilan berpikir kritis berada

pada kategori tinggi. Mahasiswa menyatakan senang terhadap pembelajaran yang

menggunakan multimedia interaktif pada mata kuliah pembelajaran IPA kelas tinggi.

Page 337: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-56

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi.(2006). Prosedur Penelitian ; suatu pendekatan praktik. Jakarta :

Reineka Cipta. Costa, A.L. (1985). Goal for Critical Thingking Curriculum. In Costa A.L. (ed).

Developing Minds : A. Resource Book for Teaching Thingking. Alexandria : ASCD. 54-57.

Depdiknas. (2000). Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004

Pembangunan Pendidikan. www.diknas.html [September 2003] Devi, Poppy K. (2001). Pengembangan Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan

Keterampilan Berpikir Kritis Melalui Kegiatan Eksperimen dan Non Eksperimen. Proceeding National Seminar On Science And Mathematics Education. Bandung : August 21.

Ennis, Robert H. (1985). Goals for a Critical Thinking Curriulum. In a.l. costa (ed).

Developing Minds : a Resource Book for Theaching Thinking. Alexandra : ascd. Finkelstein, Noah et al. (2006). HighTech Tools for Teaching Physics: The Physics

Education Technology Project. MERLOT Journal of Online Learning and Teaching Vol. 2, No. 3, September 2006 Department of Physics University of Colorado at Boulder Boulder, Colorado, USA. Tersedia di http://www.google.co.id/search?hl=id&q=Journal%2BPhET% 2BPdf&start=20&sa=N .(20 April 2010).

Karyadinata, R. (2006). Aplikasi Multimedia Interaktif Dalam Pembelajaran

Matematika Sebagai Upaya Mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Mahasiswa SMA. Disertasi SPs UPI. Bandung : Tidak diterbitkan.

Liliasari. (1997). Pengembangan Model Pembelajaran Materi Subjek untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Konseptual Tingkat Tinggi Mahasiswa Calon Guru IPA. Laporan Penelitian. IKIP Bandung : Tidak diterbitkan.

Liliasari. (2000). Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir

Konseptual Tingkat Tinggi Calon Guru IPA. Proceeding Makalah Seminar Nasional Permasalahan dan Alternatif Pemecahan Masalah Pendidikan MIPA. Malang: UNM.

Liliasari. (2002). Pengembangan Model Pembelajaran Kimia untuk Meningkatkan Strategi Kognitif Mahasiswa Calon Guru dalam Menerapkan Berpikir Konseptual Tingkat Tinggi. Laporan Penelitian Hibah Bersaing IX Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 2001-2002. Bandung : FMIPA UPI.

Page 338: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-57

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Liliasari. (2005). Membangun Keterampilan Berpikir Manusia Indonesia Melalui Pendidikan Sains. Naskah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Pendidikan IPA pada Fakultas PMIPA UPI : Bandung.

Matlin. (1994). Cognitive. New York : Mc Graw Hill. Munir. (2008). Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung :

ALFABETA. Novak, J. D. and D. Bob Growin (1985). Learning How to Learn. Cambridge

University Press. USA Paramata, Y. (1996). Computer – Aided Instruction (CAI) Dalam Pembelajaran IPA-

Fisika. Tesis pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan Puskur – Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas. (2001). Materi Diskusi

Kurikulum Berbasis Komputer, Pendidikan Dasar dan Menengah. Tersedia : http://www. Keleuven. ac. be/ ppi. leuven/ pertemuanarenberg

Page 339: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-58

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

JENIS ASESMEN SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN FISIKA TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS

(Studi Kasus di Beberapa Sekolah Menengah Atas di Propinsi Lampung)

Eko Juli Setyawan1, Agus Setiawan2. Setiya Utari3 email: [email protected]

Program Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Pendidikan Indonesia

ABSTRAK

Asesmen atau penilaian pembelajaran merupakan salah satu komponen membentuk triangulasi proses belajar mengajar yang saling terkait erat dengan tujuan maupun kegiatan pembelajaran. Penelitian ini merupakan jenis peneltian studi kasus yang dilakukan di 6 SMA Negeri di propinsi Lampung (2 Sekolah di Kabupaten Lampung Tengah, 3 Sekolah di Kabupaten Pringsewu, 1 Sekolah di Kota Bandar Lampung), dengan karakter 2 sekolah RSBI, dan masing-masing 1 Sekolah untuk SSN, RSSN, SKM dan Sekolah Model. Data dikumpulkan dari analisis terhadap dokumen Silabus dan RPP guru, asessmen yang digunakan saat pembelajaran, wawancara dengan guru dan siswa terkait, serta angket terhadap guru dan siswa. Fokus masalah dalam penelitian ini adalah: Jenis asesmen apa serta bagaimana implementasinya dalam pembelajaran fisika di beberapa Sekolah Menengah Atas di Propinsi Lampung?. Dari hasil peneltian didapatkan: (1) Pengetahuan guru terkait tentang asesmen menunjukkan kategori baik sebesar 33% dan cukup 67%, (2) Jenis asesmen yang muncul berupa seleksi respon terpilih 29%, uraian atau esai 43%, kinerja 21% serta wawancara atau komunikasi personal 7%, (3) Hasil Belajar siswa terlihat pada domain pengetahuan 32%, penalaran 32%, keterampilan 21%, hasil karya 5%, dan afektif 10%.

Kata Kunci: Asesmen, Jenis Asesmen dan Hasil Belajar Siswa

PENDAHULUAN

Asesmen atau penilaian pembelajaran merupakan salah satu komponen

pembentuk triangulasi proses belajar mengajar yang saling terkait erat dengan tujuan

maupun kegiatan pembelajaran. PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan Pasal 1 menyatakan bahwa penilaian adalah proses pengumpulan dan

pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil hasil belajar peserta didik.

Page 340: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-59

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Asesmen sebagai bagian penting dari proses belajar mengajar sangat membantu

seorang guru untuk mengetahui hasil belajar yang telah diraih oleh siswa secara

menyeluruh.

Sistem penilaian di lapangan menunjukkan bahwa masih memiliki banyak

kelemahan antara lain: perencanaan penilaian yang kurang baik, pemberian angka

yang kurang terstandar, penilaian portofolio yang belum diterapkan dengan baik

kriterianya dan sebagainya. Stiggins (1994) menyatakan bahwa “banyak guru

memberi nilai esai dengan standar yang kurang jelas, yaitu tanpa menyiapkan

jawaban terlebih dahulu tetapi menunggu jawaban macam apa yang akan diberikan

siswa”.

Arikunto (2003: 25) menyampaikan pendapatnya, yaitu “dalam praktek

sekarang ini ada kecenderungan bahwa evaluasi hasil belajar hanya dilakukan

dengan tes tertulis, menekankan pada aspek pengetahuan saja”. Hal-hal yang berkaitan

dengan aspek-aspek lain misalnya kemampuan lisan, perbuatan dan sikap kurang

mendapat perhatian dalam evaluasi.

Ada kecenderungan guru mengkonstruksi butir soal tipe pilihan ganda dan

hanya menguji atau mengukur aspek ingatan, atau aspek yang paling rendah dalam ranah

kognitif. Sedangkan jika sebagian besar butir soal dibuat hanya untuk mengukur satu

aspek kognitif saja, maka perangkat tes tidak terlalu berarti sebagai alat pengukur

keberhasilan belajar secara menyeluruh (Zainul, 2001: 1.19).

Howard Gardner dalam Zainul (2001: 7,8) menunjukkan ‘adanya kelemahan

pada sekolah yang hanya melakukan asesmen pada dua kemampuan dasar

manusia saja yaitu kemampuan logical-mathematical dan verbal-linguistic,

sedangkan kemampuan-kemampuan lain ditinggalkan’.

Guru beranggapan bahwa Ujian Nasional (UN) yang indikator soal tes yang

digunakan terdapat dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) tingkat satuan

pendidikan Menengah Atas hanya menekankan pada kognitif semata.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melihat sejauh mana jenis

asesmen serta implementasinya dalam pembelajaran fisika di Sekolah Menengah Atas

di Propinsi Lampung.

Page 341: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-60

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Fokus Masalah

Fokus masalah dalam studi kasus ini adalah: Jenis asesmen apa serta bagaimana

implementasinya dalam pembelajaran fisika di beberapa Sekolah Menengah Atas di

Propinsi Lampung?

Rumusan fokus masalah tersebut dapat diuraikan menjadi beberapa pertanyaan

penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimana pengetahuan guru tentang asesmen?, (2) Jenis

asesmen seperti apa yang digunakan guru dalam kegiatan belajar mengajar?, (3) Jenis

target pencapaian hasil belajar apa yang ingin guru ketahui dari jenis asesmen yang

digunakan?

Tujuan

Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui profil jenis asesmen apa serta

bagaimana implementasinya dalam pembelajaran fisika di beberapa Sekolah Menengah

Atas di Propinsi Lampung

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis peneltian studi kasus yang dilakukan di 6 SMA

Negeri di propinsi Lampung (2 Sekolah di Kabupaten Lampung Tengah, 3 Sekolah di

Kabupaten Pringsewu, 1 Sekolah di Kota Bandar Lampung), dengan karakter 2 sekolah

RSBI, dan masing-masing 1 Sekolah untuk SSN, RSSN, SKM dan Sekolah Model.

Studi kasus ini berlangsung dari tanggal 15 Juli 2011 dan berakhir pada tanggal 3

oktober 2011 Penelitian ini menggunakan dua metode yaitu metode survey dan anailis

konten. Data dikumpulkan dari analisis terhadap dokumen Silabus dan RPP guru,

asessmen yang digunakan saat pembelajaran, wawancara dengan guru dan siswa terkait,

serta angket terhadap guru dan siswa. Data yang telah dikumpulkan kemudian

dicodding dan kemudian diinterpretasikan dalam prosentase untuk menjawab

pertanyaan peneltian.

KAJIAN PUSTAKA

Istilah asesmen (assessment) diartikan oleh Stinggins (1994) sebagai penilaian

proses, kemajuan, dan hasil belajar siswa (outcomes). Sementara itu asesmen diartikan

oleh Kumano (2001) sebagai “The process of Collecting data which shows the

Page 342: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-61

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

development of learning”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asesmen

merupakan istilah yang tepat untuk penilaian proses belajar siswa. Namun meskipun

proses belajar siswa merupakan hal penting yang dinilai dalam asesmen, faktor hasil

belajar tetap tidak dikesampingkan.

Gabel (1993: 388-390) mengkategorikan asesmen ke dalam dua kelompok besar

yaitu asesmen tradisional dan asesmen alternative. Asesmen yang tergolong tradisional

adalah tes benar-salah, tes pilihan ganda, tes melengkapi, dan tes jawaban terbatas.

Sementara itu yang tergolong ke dalam asesmen alternatif (non-tes) adalah essay/uraian,

penilaian praktek, penilaian proyek, kuisioner, inventori, daftar cek, penilaian oleh

teman sebaya/sejawat, penilaian diri (self assessment), potofolio, observasi, diskusi dan

wawancara (interview).

Wiggins (1994) menyatakan bahwa asesmen merupakan sarana yang secara

kronologis membantu guru dalam memonitor siswa. Oleh karena itu, maka Popham

(1995) menyatakan bahwa asesmen sudah seharusnya merupakan bagian dari

pembelajaran, bukan merupakan hal yang terpisahkan. Resnick (1985) menyatakan

bahwa pada hakikatnya asesmen menitikberatkan penilaian pada proses belajar siswa.

Berkaitan dengan hal tersebut, Marzano et al. (1994) menyatakan bahwa dalam

mengungkap penguasaan konsep siswa, asesmen tidak hanya mengungkap konsep yang

telah dicapai, akan tetapi juga tentang proses perkembangan bagaimana suatu konsep

tersebut diperoleh. Dalam hal ini asesmen tidak hanya dapat menilai hasil dan proses

belajar siswa, akan tetapi juga kemajuan belajarnya.

Berdasarkan PP No. 19 tahun 2005 Pasal 63 Ayat (1) bahwa penilaian pendidikan

pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: (1) Penilaian hasil belajar oleh

pendidik, (2) Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, (3) Penilaian hasil belajar

oleh Pemerintah.

Rustaman (2007) mengemukakan bahwa penilaian terhadap hasil pembelajaran:

(1) Sasaran yang terarah terutama terhadap: pemikiran, pemaham]aan atas materi IPA

dan penerapannya; kebiasaan berpikir yang produktif (berpikir kritis, berpikir kreatif,

mengatur diri sendiri), (2) Kemampuan berpikir tinggi (higher order thinking skills,

HOTS) . Berpikir tingkat tinggi ini juga termasuk kedalam ranah taksonomi bloom,

dalam taksonomi ini kemampuan menganalisis, evaluasi, dan sintesis (membuat

pengetahuan baru), (3) Karakteristik IPA Karakteristik IPA meliputi : (a) IPA

Page 343: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-62

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

mempunyai nilai ilmiah artinya kebenaran dalam IPA dapat dibuktikan lagi oleh semua

orang dengan menggunakan metode ilmiah dan prosedur seperti yang dilakukan

terdahulu oleh penemunya, (b) IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang

tersusun secara sistematis, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada

gejala-gejala alam, (c) IPA merupakan pengetahuan teoritis, yang diperoleh atau

disusun dengan cara yang khas atau khusus, yaitu dengan melakukan observasi,

eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori, observasi dan demikian seterusnya kait

mengkait antara cara yang satu dengan cara yang lain IPA merupakan suatu rangkaian

konsep yang saling berkaitan, (d) IPA meliputi empat unsur, yaitu produk, proses,

aplikasi dan sikap. Produk dapat berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum.

Berikut ini adalah pengelompokan utama sasaran pencapaian menurut Stiggins

(1994:67): (1) Penguasaan siswa atas pengetahuan materi subjek inti, yaitu: (a)

Kemampuan siswa untuk menggunakan pengetahuannya untuk berpikir dan

menyelesaikan masalah, (b) Kemampuan untuk menunjukkan keterampilan yang terkait

dengan pencapaian tertentu, misalnya melakukan tindakan psikomotor, (c) Kemampuan

untuk membuat produk yang terkait dengan jenis pencapaian tertentu, misalnya produk

IPA, (d) Pencapaian perasaan atau keadaan efektif tertentu, seperti sikap, minat dan

motivasi, (2) Penilaian yang terarah pada proses pembelajaran IPA, yaitu: (a) Penilaian

kinerja dan/atau penilaian otentik, (b) Proses IPA diturunkan dari data, (c) Kooperatif

dan kolaboratif, (d) Hands-on dan minds-on, (e) Keterampilan praktik dan komunikasi,

(f) Sikap ilmiah dan nilai yang terkandung dalam IPA.

Menurut Stiggins (1994) Jenis asesmen dibagi menjadi empat, yaitu: seleksi

respon terpilih (selected response assessment), uraian atau esai (esay assessment),

kinerja (performance assessment), serta wawancara/ komunikasi personal

(communication personal). Jenis target pencapaian hasil belajar menurut Stiggins

(1994) meliputi tentang pengetahuan (knowledge), penalaran (reasoning), keterampilan

(skills), hasil karya (product), dan afektif (affective).

Page 344: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-63

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Sekolah

Karakteristik sekolah yang diamati dalam studi kasus ini adalah tingkat Sekolah

Menengah Atas (SMA) yang berada di Propinsi Lampung seperti terlihat pada tabel 2.1

dibawah ini.

Tabel 2.1. Jenis Sekolah Berdasarkan Kategori

No Kabupaten/ Kota Nama

Sekolah Kategori Sekolah

RSBI SSN RSSN SKM Model 1 Bandar Lampung SMAN A √ 2 Pringsewu SMAN B √

SMAN C √ SMAN D √

3 Lampung Tengah SMAN E √ SMAN F √

Jumlah 2 1 1 1 1

Karakteristik serta latar belakang pendidikan guru pada sekolah yang berhasil

diamati seperti terlihat pada tabel 2.2 dibawah ini.

Tabel 2.2 Karakteristik dan Latar Belakang Pendidikan Guru

No Guru di Sekolah

Latar Belakang Pendidikan

Pengalaman Mengajar (tahun)

S1 > 20 10 - 20 < 10

Non FKIP FKIP 1 SMAN A √ √ 2 SMAN B √ √ 3 SMAN C √ √ 4 SMAN D √ √ 5 SMAN E √ √ 6 SMAN F √ √

Jumlah 1 5 2 3 1

Page 345: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Hasil Penelitian

Pengetahuan guru tentang asesmen dapat digambarkan dengan diagram gambar

2.1 dibawah ini.

Gambar 2.1 Pengetahuan Guru Tentang Asesmen

Hasil yang diperoleh mengenai jenis asesmen yang digunakan oleh guru dapat

digambarkan dengan diagram gambar

Gambar 2.2 Jenis Asesmen yang Digunakan

Pengetahuan Tentang Asesmen

Wawancara

7%

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pengetahuan guru tentang asesmen dapat digambarkan dengan diagram gambar

Gambar 2.1 Pengetahuan Guru Tentang Asesmen

Hasil yang diperoleh mengenai jenis asesmen yang digunakan oleh guru dapat

digambarkan dengan diagram gambar 2.2 dibawah ini.

Gambar 2.2 Jenis Asesmen yang Digunakan

Baik

33%

Cukup

67%

Pengetahuan Tentang Asesmen

Seleksi

Repson

Terpilih

29%

Esai

43%

Kinerja

21%

Wawancara Jenis Asesmen

3-64

Pengetahuan guru tentang asesmen dapat digambarkan dengan diagram gambar

Hasil yang diperoleh mengenai jenis asesmen yang digunakan oleh guru dapat

Page 346: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Bentuk jenis target pencapaian hasil belajar yang hendak diketahui oleh guru

meliputi beberapa hal yang dapat ditujukkan dengan diagram gambar 2.3 dibawah ini.

Gambar 2.3 Jenis Target Pencapai

Pembahasan

Pengetahuan guru terkait tentang asesmen menunjukkan kategori baik sebesar

33% dan cukup 67%. Penilaian terhadap pembelajaran fisika di kelas dapat

dilaksanakan dengan baik, jika guru mampu mengembangkan kemampuan menilai

(assessment literacy). Pengembangan kemampuan profesional dalam hal penilaian yang

berkualitas di kelas, beberapa hal yang harus terlebih dahulu dipahami oleh setiap guru

antara lain: memahami prinsip

dengan tujuan pembelajaran yang dirancang, mengupayakan penggunaan yang

seimbang berbagai alternatif asesmen

Jenis asesmen yang muncul berupa

43%, kinerja 21% serta wawancara atau komunikasi personal 7%. Istil

sering digunakan untuk respon terpilih adalah “

tertulis. Istilah ini dapat menimbulkan

tidak melibatkan subjektivitas, bahwa segala sesuatu yang terkait

“ilmiah“, dan bahwa ada resiko terjadinya kebiasan yang disebabkan oleh pendapat

penilai. Respon terpilih dapat digunakan untuk menilai aspek pengetahuan, pemikiran,

Keterampilan

21%

Hasil Karya

5%

Jenis Target Pencapaian Hasil Belajar

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Bentuk jenis target pencapaian hasil belajar yang hendak diketahui oleh guru

meliputi beberapa hal yang dapat ditujukkan dengan diagram gambar 2.3 dibawah ini.

Gambar 2.3 Jenis Target Pencapaian Hasil Belajar

Pengetahuan guru terkait tentang asesmen menunjukkan kategori baik sebesar

33% dan cukup 67%. Penilaian terhadap pembelajaran fisika di kelas dapat

dilaksanakan dengan baik, jika guru mampu mengembangkan kemampuan menilai

). Pengembangan kemampuan profesional dalam hal penilaian yang

berkualitas di kelas, beberapa hal yang harus terlebih dahulu dipahami oleh setiap guru

antara lain: memahami prinsip-prinsip dasar asesmen yang berkualitas, bertindak sesuai

dengan tujuan pembelajaran yang dirancang, mengupayakan penggunaan yang

seimbang berbagai alternatif asesmen

Jenis asesmen yang muncul berupa seleksi respon terpilih 29%, uraian atau esai

43%, kinerja 21% serta wawancara atau komunikasi personal 7%. Istilah

sering digunakan untuk respon terpilih adalah “objective paper and pencil test

menimbulkan kesalahpahaman bahwa penilaian yang dilakukan

tidak melibatkan subjektivitas, bahwa segala sesuatu yang terkait dengannya bersifat

“ilmiah“, dan bahwa ada resiko terjadinya kebiasan yang disebabkan oleh pendapat

penilai. Respon terpilih dapat digunakan untuk menilai aspek pengetahuan, pemikiran,

Pengetahuan

32%

Penalaran

32%

Keterampilan

21%

Afektif

10%

Jenis Target Pencapaian Hasil Belajar

3-65

Bentuk jenis target pencapaian hasil belajar yang hendak diketahui oleh guru

meliputi beberapa hal yang dapat ditujukkan dengan diagram gambar 2.3 dibawah ini.

Pengetahuan guru terkait tentang asesmen menunjukkan kategori baik sebesar

33% dan cukup 67%. Penilaian terhadap pembelajaran fisika di kelas dapat

dilaksanakan dengan baik, jika guru mampu mengembangkan kemampuan menilai

). Pengembangan kemampuan profesional dalam hal penilaian yang

berkualitas di kelas, beberapa hal yang harus terlebih dahulu dipahami oleh setiap guru

prinsip dasar asesmen yang berkualitas, bertindak sesuai

dengan tujuan pembelajaran yang dirancang, mengupayakan penggunaan yang

seleksi respon terpilih 29%, uraian atau esai

yang lebih

pencil test” atau uji

kesalahpahaman bahwa penilaian yang dilakukan

dengannya bersifat

“ilmiah“, dan bahwa ada resiko terjadinya kebiasan yang disebabkan oleh pendapat

penilai. Respon terpilih dapat digunakan untuk menilai aspek pengetahuan, pemikiran,

Page 347: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-66

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

dan afektif. Jenis respon terpilih dapat berupa: pilihan berganda, benar/ salah,

menjodohkan, dan isian singkat.

Penilaian esai merupakan metodologi yang paling sesuai pada keadaan tertentu.

Esai membuat kita dapat menangkap setidaknya sebagian unsur yang paling berharga.

Lebih jauh lagi, sejak siswa dilibatkan sebagai mitra pada proses penilaian, metode

penilaian seperti esai ini lebih mudah dilaksanakan. Metode esai dapat digunakan untuk

menilai pengetahuan, pemikiran, prosedur, dan afektif.

Metode penilaian kinerja muncul sebagai penemuan baru dengan sejumlah

kelebihan dibandingkan tes tertulis. Dalam banyak hal, penemuan baru ini menarik

perhatian pendidik di setiap tingkatan pendidikan. Aplikasi metode ini antara lain

menggunakan nama penilaian otentik (authentic assessments), penilaian alternatif

(alternative assessments), pameran, demonstrasi, dan contoh kerja siswa (student work

samples). Jenis penilaian ini dipandang sebagai metode yang dapat memberikan

penilaian otentik atau penilaian yang sangat tepat atas pencapaian siswa (Wiggins,

dalam Stiggins, 1994: 161).

Asesmen wawancara atau komunikasi personal digunakan jika kita ingin

mengetahui informasi sedetil-detilnya tentang hasil belajar peserta didik. Komunikasi

personal tidak memungkinkan peserta didik untuk bekerjasama atau menanyakan

sebuah jawaban dari permasalahan yang dimunculkan, tetapi dia berupaya sendiri

berdasarkan kemampuannya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Penilaian IPA (fisika) merupakan penilaian tidak hanya menekankan pada hasil

belajar semata, tetapi juga proses. Penggunaan variasi beberapa asesmen dalam kegiatan

belajar mengajar diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih representative

terhadap kompetensi peserta didik.

Hasil Belajar siswa terlihat pada domain pengetahuan 32%, penalaran 32%,

keterampilan 21%, hasil karya 5%, dan afektif 10%. Guru-guru lebih menekankan pada

domain kognitif semata, meskipun sudah terlihat beberapa guru menggunakan sikap/

afektif serta psikomotorik/ kinerja. Aspek kognitif didominasi oleh Ingatan

(Knowledge), Pemahaman (Comprehension), Aplikasi (Application), Analisis

(Analysis) dan Sintesis (Synthesis).

Sekolah Menengah Atas kategori SSN, RSSN, SKM dan Model hanya sampai

di Analisis (C4). Sekolah Menengah Atas Kategori RSBI hanya sampai Analisis,

Page 348: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-67

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

sebab hanya dituntut untuk satu tingkat lebih tinggi dari Standar Kompetensi (SK),

sedangakan untuk analisis SK tertinggi sampai Analisis. Guru RSBI dihadapkan pada

tantangan untuk mengembangkan keprofesionalannya dalam tiga dimensi, yaitu ilmu

dan teknologi, pelayanan nyata pada masyarakat dan kode etik profesional.

Penilaian proses dan hasil belajar IPA menuntut teknik dan cara-cara penilaian

yang lebih komprehensif (Stiggins, 1994). Di samping aspek hasil belajar yang dinilai

harus menyeluruh yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, teknik penilaian dan

instrumen penilaian seyogyanya lebih bervariasi. Hasil belajar dapat dibedakan menjadi

pengetahuan (knowledge), penalaran (reasoning), keterampilan (skills), hasil karya

(product), dan afektif (affective). Adapun hasil belajar tersebut dapat diungkap atau

dideteksi melalui beberapa cara atau teknik seperti: pilihan atau respons terbatas

(selected response), asesmen esai (essay assessment), asesmen kinerja (performance

assessment), dan komunikasi personal (personal communication).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kesimpulan yang diperoleh antara lain: (1) Pengetahuan guru terkait tentang

asesmen menunjukkan kategori baik sebesar 33% dan cukup 67%., (2) Jenis asesmen

yang muncul berupa seleksi respon terpilih 29%, uraian atau esai 43%, kinerja 21%

serta wawancara atau komunikasi personal 7%., (3) Hasil Belajar siswa terlihat pada

domain pengetahuan 32%, penalaran 32%, keterampilan 21%, hasil karya 5%, dan

afektif 10%.

Saran

(1) Guru hendaknya menggunakan variasi berbagai jenis penilaian yang meliputi

seleksi respon terpilih (selected response assessment), uraian/ esai (esay assessment),

kinerja (performance assessment), serta wawancara/ komunikasi personal

(communication personal) sehingga dapat dengan jelas mengumpulkan informasi terkait

peserta didik dan dapat digunakan untuk membuat keputusan yang sesuai, (2) Guru

hendaknya mengumpulkan informasi peserta didik tentang pengetahuan (knowledge),

Page 349: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-68

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

penalaran (reasoning), keterampilan (skills), hasil karya (product), dan afektif

(affective).

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S., Jabar. (2003). Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Department of Education and Training. (2004). Higher-Order Thinking [Online].

Tersedia: http://education.qld.gov.au/corporate/newbasics/html/pedagogies/ intellect/int1a.html [22 Agustus 2011].

Emiliannur. (2010). Standar Penilaian IPA [Online]. Tersedia:

http://emiliannur.wordpress.com/2010/06/20/standar-penilaian-ipa/ [4 September 2011].

Gabel, D. L. 1993. Handbook of Researc on Science Teaching and Learning. New York: Maccmillan Company.

Kumano, Y. 2001. Authentic Assessment and Portfolio Assessment-Its Theory and

Practice. Japan: Shizuoka University. Marzano, R. J. et al. 1994. Assessing Student Outcomes: Performance Assessment

Using the Dimensions of Learning Model. Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development.

Pardede, T. (2011). Karakteristik IPA [Online]. Tersedia: http://tpardede.wikispaces.

com/Unit+1.1.2+Karakteristik+IPA+ [1September Maret 2011] Poerwanti, Endang, dkk. (2009). Assessmen Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jendral

Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Popham, W. J. 1995. Classroom Assessment, What Teachers Need It Know. Oxford:

Pergamon Press. Resnick, D. P and Resnik, L. B. 1985. Standards, Curriculum, and Performance: A

Historical and Comparative Perspektive Educational Researcher 9, 5-19. Rustman, N.Y. (2007). Trend Penilaian Pembelajaran IPA Masa Depan. [Online].

Tersedia: http://www.p4tkipa.org/jurnal/index.html?poppy_k__devi2.htm [4 September 2011]

Stiggins, J Richard (1994). Student Centered Classroom Assessment. New York : Macmillan College Publishing Company.

Wiggins, G. 1984. A True Test: Toward More Authentic and Equitable Assessment. Phi

Delta Kappan 70, (9) 703-713. Zainul & Nasution. (2001). Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti.

Page 350: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-69

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

KEEFEKTIFAN PENGETAHUAN INKUIRI GURU SEKOLAH DASAR KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM PEMBELAJARAN SAINS

Chandra Ertikanto1, Ari Widodo2, Andi Suhandi2, Bayong Tjasyono HK3

1 Pendidikan MIPA FKIP Universitas Lampung

2 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung 3 Institut Teknologi Bandung

ABSTRACT

This study aims to determine the effectiveness of teachers' knowledge of inquiry in science learning, and to increase knowledge of science concepts through modeling. The model was the instructor, and the teachers as students. The sampling technique used in this study was quota sampling technique, where the researcher took the sample randomly to meet the expected number of the sample. The study was conducted to the forty-eight elementary school teachers in Bandar Lampung from April through June 2011. Teachers who were involved came from elementary schools located in the centre of town, suburb, and remote area. Parameters observed were their prior knowledge of natural science concepts, their achievement, and their science skill process. The quantitative data was obtained through test, and the qualitative data was obtained through questionnaires, and analyzed with statistic. The result shows that there is significant difference between the achievements of the teachers taught through inquiry learning and those taught though a conventional teaching.

Key words: knowledge, competency and inquiry.

PENDAHULUAN

Pembelajaran Sains SD di Kota Bandar Lampung umumnya menggunakan

metode ceramah, guru tidak melibatkan siswa beraktivitas seperti melakukan

eksperimen, kerja kelompok, diskusi, dll. Selain itu sebagian guru SD di Kota Bandar

Lampung kurang menguasai konsep-konsep Sains, dan belum sepenuhnya

membelajarkan konsep Sains dengan metode atau pendekatan pembelajaran yang tepat.

Kenyataan di lapangan sebagaimana hasil penelitian Chandra (2010) bahwa:

pembelajaran sains di SD Bandar Lampung dilakukan tidak sciencetific inquiry

melainkan secara konvensional, banyak informasi, bersifat hafalan, sehingga hasil

belajar sains menjadi rendah bila dibandingkan dengan matapelajaran lainnya.

Page 351: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-70

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Salah satu metode ilmiah untuk memperoleh pengetahuan yang dilakukan di SD

dengan cara penyelidiki ilmiah (Saintific inquiri). Sebagaimanan terdapat dalam Badan

Standar Nasional Pendidikan (BSNP, 2006) bahwa pembelajaran Sains sebaiknya

dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (sciencetific inquiry), ini dimaksudkan untuk

menumbuhkan kemampuan berfikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta

mengkomunikasikannya sebagai aspek penting dalam kecakapan hidup.

Pembelajaran Sains menggunakan cara penyelidikan dikenal dengan nama

inkuiri. Menurut Matson (2006) bahwa hal-hal yang diajarkan, seharusnya menyerupai

apa yang diperbuat oleh seorang ilmuwan sains. Ilmuwan sains mengembangkan teori

atau menemukan produk sains melalui kegiatan-kegiatan observasi, klasifikasi,

melakukan perhitungan, merumuskan hipotesis, melakukan percobaan dan analisis

rasional untuk membuat simpulan. Cara-cara ilmuwan itulah yang disebut inkuiri. Oleh

karena itu, inkuiri dapat dikatakan sebagai cara memperoleh pengetahuan yang didapat

dari hasil usaha sendiri melalui kegiatan penyelidikan ilmiah, jadi pembelajaran Sains

tidak terlepas dari kegiatan inkuiri. Dalam kegiatan penelitian ini, guru SD yang

mengajarkan Sains selanjutnya disebut sebagai pebelajar, kemudian dilatih untuk

mengembangkan keterampilan ilmiah seperti; mengajukan pertanyaan, menyusun

hipotesis, merancang percobaan, mengamati, mengumpulkan data, dan menarik

simpulan (Joyce & Weill, 2001).

Pada pembelajaran Sains SD di kelas, yang disampaikan oleh guru lebih banyak ranah

kognitif saja. Pola pembelajaran menjadi tidak menyenangkan, karena belajar Sains tidak

melibatkan hand-on, kemungkinan ini terjadi karena pengetahuan guru tentang belajar Sains

dengan melibatkan hand-on kurang (Pine, 2006). Demikian juga menurut Ridwan (2005)

dalam penelitiannya, bahwa banyak guru SD menggunakan pembelajaran pola lama,

yaitu proses pembelajaran satu arah yang didominasi oleh guru, sehingga pembelajaran

kurang menyenangkan. Tampak bahwa guru-guru hanya sekedar melaksanakan tugas,

bukan memberikan pengalaman belajar yang bermakna kepada siswanya. Ini terjadi

karena kemampuan mengajar sains secara inkuiri guru kurang.

Temuan Capobianco & Lehman (2006) menyatakan bahwa melalui metode

kursus/pelatihan dalam pembelajaran sains SD bagi guru-guru, ternyata dapat mengatasi

keterbatasan kemampuan guru tentang pembelajaran sains secara inkuiri. Didukung

pula dari penelitian yang dilakukan oleh Budiastra (2008) bahwa: bila kemampuan guru

Page 352: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-71

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

merencanakan pembelajaran Sains secara inkuiri baik, ternyata guru juga dapat

meningkatkan kemampuan mengajar Sains di SD secara nyata (riil) dengan baik pula.

Luera & Moyer serta Everett (2004), dalam penelitian tentang hubungan antara

pengetahuan inkuiri guru terhadap isi materi sains dengan kemampuan untuk membuat

perencanaan pembelajaran secara inkuiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: terdapat

hubungan positif yang signifikan antara pengetahuan inkuiri guru terhadap isi materi

sains dengan kemampuan membuat perencanaan pembelajaran secara inkuiri. Selain

daripada itu, ditemukan juga bahwa kecakapan dalam membuat perencanaan

pembelajaran secara inkuiri berkontribusi signifikan terhadap kemampuan guru

mengajar Sains secara inkuiri. Penelitian Iyamu & Ottote (2005), menghasilkan bahwa

kemampuan mengajar melalui penggunaan inkuiri terhadap guru-guru di Nigeria

Selatan, diperoleh gambaran bahwa kemampuan mengajar semakin baik dengan

menggunakan inkuiri, karena ketika guru mengajar di depan kelas, secara tidak

langsung guru juga belajar.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti memandang perlu untuk mengembangkan

keterampilan inkuiri dan meningkatkan pengetahuan konsep Sains guru SD di Kota

Bandar Lampung khususnya melalui inkuiri. Peneliti memodelkan pembelajaran yang

mengikut sertakan pebelajar (guru), proses inkuiri yang dilaksanakan dalam bentuk

komunikasi, ini juga merupakan suatu proses bertukarnya pengetahuan (Marx, 2004),

jika komunikasi hanya berlangsung satu arah “guru mengajar dan siswa belajar”, dalam pola

belajar seperti ini instruksi belajar dari guru kurang, karena guru cenderung lebih banyak

ceramah, jadi semestinya instruksi dan komunikasi antara guru dan siswa dilakukan dengan

benar (Cuevas, 2005), sedang menurut Ruiz-Primo & Furtak (2007) bahwa komunikasi

dalam proses belajar sains dari waktu ke waktu menunjukkan kemajuan pengetahuan

bila dilakukan dengan cara inkuiri ilmiah (sciencetific inquiry), yang didalamnya

terdapat proses: mengamati, mengumpulkan, mengklasifikasikan dan melakukan

eksperimen untuk menarik simpulan.

Masalah dalam penelitian ini adalah: apakah pengetahuan inkuiri guru dalam

pembelajaran sains secara inkuiri signifikan akan lebih baik dibandingkan dengan

pengetahuan inkuiri guru dalam pembelajaran sains secara konvensional? dan

bagaimana tanggapan guru terhadap Program Pelatihan Kemampuan Inkuiri Guru

mengajar Sains (PPKIGS). Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan

Page 353: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-72

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

dalam rangka meningkatkan pengetahuan inkuiri guru SD. Manfaat lain adalah agar

guru SD dapat meningkatkan penguasaan konsep-konsep Sains, dan mampu

mengajarkan Sains dengan menerapkan pembelajaran secara inkuiri.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan bulan April sampai bulan Juni tahun 2011 pada SD

Kota Bandar Lampung. Teknik sampling yang digunakan adalah Quota Sampling

(Arikunto,2008), yaitu SD Kota Bandar Lampung yang berlokasi di pusat kota, semi-

kota dan pinggiran-kota, masing-masing lokasi diambil enambelas SD, masing-masing

SD diambil satu guru, sehingga jumlah keseluruhan 48 orang guru.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru SD Kota Bandar Lampung yang

mengajar kelas 4, 5 dan 6, sampel dalam penelitian ini berjumlah 48 orang. Sesuai

dengan desainnya ada 2 kelompok, yaitu satu kelompok eksperimen dengan jumlah 24

orang guru, dan satu kelompok kontrol dengan jumlah 24 orang guru, Pola penelitian

adalah Pretes-Posttes Control Group Design (Arikunto, 2008).

Data keefektifan pengetahuan inkuiri guru dalam pembelajaran sains baik secara

inkuiri maupun secara konvensional diperoleh melalui pretes dan postes dengan

menggunakan instrumen tes (24 soal) dalam bentuk objektif pilihan ganda (4 pilihan);

(2) tanggapan guru terhadap PPKIGS diperoleh melalui angket. Seluruh data yang

diperoleh kemudian dianalisis dengan statistik program komputer.

Kualitas instrumen pretes/postes dianalisis terlebih dahulu dengan analisis butir

soal yang meliputi validitas, realibilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran butir soal,

yang tidak memenuhi salah satu kriteria atau kualitasnya rendah perlu direvisi. analisis

peningkatan pengetahuan inkuiri guru meggunakan score gain yang ternomalisasi

dengan menggunakan rumus formula:

Spos - Spre g = ---------------------- Smaks - Spre

Keterangan : Spre = Skor Pretest Spos = Skor Posttest Smaks = Skor Maksimum

Page 354: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-73

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tingkat perolehan skor gain dikategorikan atas tiga katagori, yaitu: tinggi : g > 0,7;

sedang : 0,3 < g < 0,7; rendah : g < 0,3 (Meltzer, 2002). Setelah didapatkan N-gain,

maka tahap selanjutnya menganalisis data hasil penelitian, yaitu melakukan uji

persyaratan analisis, meliputi (1) uji normalitas data, (2) uji homogenitas data, dan (3)

uji perbedaan dua rata-rata.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Hasil analisis perbedaan rata-rata skor Pretes, Postes dan Gain dari pengetahuan

inkuiri guru pada pembelajaran sains secara inkuiri (kelompok eksperimen) dan secara

konvensional (kelompok kontrol) disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Hasil skor Pretes, Postes dan Gain pengetahuan inkuiri guru dalam pembelajaran Sains

Hasil analisis tanggapan guru terhadap Program Pelatihan Kemampuan Inkuiri

Guru mengajar Sains baik secara inkuiri (kelas eksperimen) dan secara konvensional

(kelas kontrol) disajikan pada gambar 2 di bawah ini.

0

20

40

60

80

100

120

Pre-Test

(Kontrol)

Post-Test

(Kontrol)

Pre-Test (Eksp) Post-Test

(Eksp)

Gain (Kontrol) Gain (Eksp)

Skor Ideal

Skor Minimal

Skor Maksimal

Skor Rata-rata

Page 355: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-74

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Gambar 2. Tanggapan guru pada program pelatihan kemampuan inkuiri guru mengajar sains (PPKIMS)

Pembahasan

Setelah dilakukan penelitian, kemudian dilakukan uji normalitas, uji

homogenitas dan uji perbedaan dua rata-rata (dengan uji-t).

Pada tabel 1, dengan menggunakan uji Kolmogrov Smirnov, hasil uji normalitas

yang diperoleh menunjukkan bahwa pengetahuan inkuiri guru memiliki harga yang

lebih besar dari nilai α ( 0,05 ) yaitu sebesar 0.188 dan 0.157

Tabel 1. Hasil perhitungan uji normalitas

0 1 2 3 4 5

Skor Ideal

Skor Rata-rata pada Kelas

Eksperimen

Skor Rata-rata pada Kelas

Kontrol

Materi Pelatihan

Kegiatan Pelatihan

Rencana Pembelajaran

Pelaksanaan Pembelajaran

Kegiatan Percobaan

Skenario Pembelajaran

Tindak Lanjut Pelatihan

Page 356: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-75

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

(Kolmogrov-Smirnov), juga 0.511 dan 0.399 (Shapiro-Wilk), hal ini menunjukkan

bahwa data pengetahuan inkuiri guru berdistribusi normal. Suatu variabel dikatakan

normal jika titik-titik data menyebar disekitar garis diagonal dan penyebaran titik titik

data searah mengikuti arah diagonal (gambar distribusi), ini sesuai dengan data

pengetahuan inkiuri guru yang berdistribusi normal.

Variabel berdistribusi normal yang ditampilkan dalam bentuk tampilan grafik

garis, dapat disajikan seperti pada gambar 3:

Gambar 3. Grafik skor gain pengetahuan inkuiri guru dalam pembelajaran Sains

Pada tabel 2 di bawah, kolom Levene’s Test for Equality of Varians adalah

kolom yang digunakan untuk melakukan uji kesamaan dua varians (homogenitas),

kriteria uji yang digunakan, jika α (Sig.)>0,05, maka Ho diterima. Hasil perhitungan Sig.

sebesar 0,742 dan ternyata lebih besar dari α (= 0,05) ini berarti bahwa Ho diterima,

sehingga disimpulkan bahwa kedua populasi memiliki varians yang sama.

Page 357: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-76

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 2. Hasil Uji Kesamaan Dua Varians dan Uji Perbedaan Dua Rata-rata

Uji selanjutnya yang dilakukan adalah uji perbedaan dua rata-rata atau Uji-t

dengan menggunakan program komputer diperoleh hasil Uji-t (tabel 2) pada kolom t-

test for Equality of Means, Berdasarkan tabel 2 ternyata nilai Sig.(2-tailed)

pengetahuan inkuiri guru sebesar 0,00, ini menunjukkan bahwa nilai Sig.(2-tailed) lebih

kecil dari nilai α (0,05), artinya bahwa H₁ diterima, yaitu rata-rata pengetahuan inkuiri

guru dalam pembelajaran sains secara inkuiri lebih tinggi dari rata-rata pengetahuan

inkuiri guru dalam pembelajaran sains secara konvensional.

Berdasarkan perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan inkuiri

guru dalam pembelajaran sains secara inkuiri memberikan rata-rata skor yang lebih

berarti dibandingkan dengan pengetahuan inkuiri guru dalam pembelajaran sains secara

konvensional, dengan kata lain pembelajaran sains secara inkuiri signifikan lebih efektif

dibandingkan dengan pembelajaran sains secara konvensional dalam meningkatkan

pengetahuan inkuiri guru.

Beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pembelajaran secara inkuiri lebih

efektif dalam meningkatkan pengetahuan inkuiri guru dibandingkan dengan

pembelajaran konvensional, seperti diungkapkan oleh Iyamu & Ottote (2005), bahwa

penggunaan inkuiri oleh guru-guru akan meningkatkan kemampuan mengajar guru

semakin baik, karena di dalam mengajar guru secara tidak langsung juga selalu belajar.

Pembelajaran secara inkuiri memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan

pembelajaran konvensional. Diantaranya adalah pembelajaran secara inkuiri

mengutamakan proses (Ruiz-Primo & Furtak, 2007) antara lain didalamnya terdapat

proses: mengamati, mengumpulkan, mengklasifikasikan dan melakukan eksperimen

untuk menarik simpulan. Dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional,

yaitu banyak informasi bersifat hafalan, mendengarkan guru menerangkan, sehingga

menyebabkan hasil belajar sains menjadi rendah, guru-guru yang mengalami

pembelajaran inkuiri dikelompokkan dengan anggota kelompok yang beragam

Page 358: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-77

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

pengetahuannya, ada guru yang berpengetahuan tinggi, sedang, dan rendah.

Pengelompokan semacam ini akan menyebabkan terjadinya transfer pengetahuan antar

guru yang terlibat pembelajaran, dan guru yang mengalami pembelajaran inkuiri terlibat

aktif dalam pembelajaran, dengan terlibatnya guru secara aktif dalam pembelajaran

menyebabkan konsentrasi guru dalam memahami konsep-konsep yang dipelajari

menjadi lebih tinggi.

Tanggapan guru terhadap PPKIGS

Tanggapan guru terhadap Program Pelatihan Kemampuan Inkuiri Guru

mengajar Sains (PPKIGS) disajikan dalam gambar 2 di atas. Iplementasi pelaksanaan

PPKIGS telah berjalan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, sekalipun terdapat

kendala-kendala kecil pada pelaksanaan PPKIGS. Tanggapan guru terhadap

pelaksanaan PPKIGS dapat diuraikan sbb:

Pertama: Materi pelatihan yang disajikan dalam PPKIGS mendapat tanggapan

yang positip, karena materi pelatihan dalam PPKIGS sesuai dengan kebutuhan guru-

guru (Matson, 2006) untuk meningkatkan pengetahuan inkuiri dalam pembelajaran

sains. Kedua kelompok memberi tanggapan dengan skor yang berbeda, kelas

eksperimen memberikan skor rata-rata sebesar 3,24, sedangkan kelas kontrol sebesar

3,01 (skor rata-rata ideal yang diharapkan sebesar 4,0). Kedua kelompok memberikan

skor rata-rata yang berbeda, karena memang kedua kelompok memperoleh ilmu secara

langsung sesuai harapan masing-masing guru-guru.

Kedua: Kegiatan pelatihan yang dilaksanakan dalam PPKIGS mendapat

tanggapan yang positip, karena kegiatan PPKIGS sesuai dengan yang diharapkan untuk

kebutuhan meningkatkan pengetahuan inkuiri dalam pembelajaran sains (Cuevas,

2005). Kedua kelompok memberi tanggapan dengan skor yang berbeda, kelas

eksperimen memberikan tanggapan dengan skor rata-rata sebesar 3,32, sedang kelas

kontrol sebesar 2,81 (skor rata-rata ideal yang diharapkan sebesar 4,0).

Ketiga: Perencanaan Pembelajaran yang dilaksanakan dalam PPKIGS mendapat

tanggapan yang positip, karena sesuai dengan kebutuhan guru-guru di lapangan

(Budiastra, 2008). Kedua kelompok memberi tanggapan dengan skor yang berbeda,

kelas eksperimen memberikan skor rata-rata sebesar 3,44, sedangkan kelas kontrol

Page 359: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-78

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

memberi tanggapan sebesar 3,04 (dengan skor rata-rata ideal yang diharapkan sebesar

4,0).

Keempat: Pelaksanaan pembelajaran dalam PPKIGS mendapat tanggapan yang

positip, karena kegiatan pelaksanaan pembelajaran dalam PPKIGS sesuai dan

dibutuhkan oleh guru-guru di lapangan (Joyce & Weill, 2001). Kedua kelompok

memberi tanggapan yang berbeda, kelas eksperimen memberi tanggapan dengan skor

rata-rata sebesar 3,31, sedangkan kelas kontrol memberi tanggapan dengan skor rata-

rata sebesar 2,72 (dengan skor rata-rata ideal yang diharapkan sebesar 4,0). Kedua

kelompok memberikan skor rata-rata berbeda, ini dapat dipahami karena dalam

pelaksanaan pelatihan menggunakan pola yang berbeda, pada kelas eksperimen setelah

setiap contoh pembelajaran dilanjutkan dengan sesi diskusi (dengan tiga contoh

pelaksanaan pembelajaran), sedangkan pada kelas kontrol setelah tiga contoh

pelaksanaan pembelajaran diberikan sekaligus, baru dilanjutkan dengan sesi diskusi.

Namun demikian, kedua kelompok tetap memperoleh kegiatan yang diharapkan sesuai

dengan kebutuhan guru-guru.

Kelima: Kegiatan percobaan dalam PPKIGS mendapat tanggapan yang positip,

karena kegiatan percobaan yang diselenggarakan dalam PPKIGS sesuai dengan

kebutuhan guru-guru (Pine, 2006). Kedua kelompok memberi tanggapan berbeda, kelas

eksperimen memberikan tanggapan dengan skor rata-rata sebesar 3,42, sedangkan kelas

kontrol sebesar 3,01 (dengan skor rata-rata ideal yang diharapkan sebesar 4,0). Kedua

kelompok memberikan skor rata-rata berbeda, karena penyajian kegiatan pola pelatihan

yang diterapkan berbeda, pada kelas eksperimen setelah setiap contoh merancang

percobaan dilanjutkan dengan sesi diskusi (ada tiga contoh kegiatan percobaan),

sedangkan pada kelas kontrol setelah tiga contoh merancang kegiatan percobaan

sekaligus diberikan, baru dilanjutkan sesi diskusi. Pola sajian pelatihan yang berbeda

inilah yang kemungkinan menyebabkan tanggapan guru pada kelas eksperimen dan

kelas kontrol menjadi berbeda.

Keenam: Skenario Pembelajaran yang dilaksanakan dalam PPKIGS mendapat

tanggapan yang positip, tampaknya sesuai dengan kebutuhan guru-guru di lapangan

(Joyce & Weill: 2001; Luera, Moyer & Everett: 2004). Kedua kelompok memberi

tanggapan berbeda, kelas eksperimen memberikan skor rata-rata sebesar 3,32,

Page 360: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-79

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

sedangkan kelas kontrol memberi tanggapan dengan skor rata-rata sebesar 2,92 (dengan

skor rata-rata ideal yang diharapkan sebesar 4,0). Kedua kelompok memberi tanggapan

dengan skor rata-rata yang berbeda, karena dalam pelaksanaan pelatihan memang

berbeda, disamping kedua kelompok memperoleh kegiatan yang sesuai dengan harapan,

juga berkontribusi terhadap peningkatan pengetahuan inkuiri guru.

Ketujuh: Tindak lanjut Pelatihan setelah PPKIGS sebagian guru memberi

tanggapan positip (Capobianco & Lehman, 2006). Kedua kelompok memberi tanggapan

yang berbeda, kelas eksperimen memberi tanggapan dengan skor rata-rata sebesar 3,48,

sedangkan kelas kontrol memberi tanggapan dengan skor rata-rata sebesar 3,05 (dengan

skor rata-rata ideal yang diharapkan sebesar 4,0). Hasil analisis angket menyatakan

bahwa kedua kelompok akan menerapkan pembelajaran sains secara inkuiri.

Kegiatan PPKIGS mendapat tanggapan positip dari kelompok guru-guru, baik

kelas eksperimen maupun kelompok kontrol. Kedua kelompok memberi tanggapan

yang positip. Kelas eksperimen memberi tanggapan kegiatan PPKIGS dengan skor rata-

rata sebesar 3,50, sedangkan kelas kontrol memberi tanggapan kegiatan PPKIGS

dengan skor rata-rata sebesar 3,06 (dengan skor rata-rata ideal yang diharapkan sebesar

4,0). Sekalipun kedua kelompok memberikan skor rata-rata berbeda, tetapi secara

akademik menunjukkan akan keperluan kelompok guru dalam meningkatkan

pengetahuan inkuiri pada pembelajaran sains, baik itu kelompok eksperimen maupun

kelompok kontrol, yang terpenting adalah guru-guru berharap supaya kegiatan PPKIGS

atau pelatihan sejenis ini dapat dilaksanakan secara periodik dan berkesinambungan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pengetahuan inkuiri guru sekolah dasar dalam pembelajaran sains secara inkuiri,

secara signifikan lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran sains secara

konvensional.

Sekalipun kedua kelompok memberikan tanggapan positip dengan skor rata-rata

yang berbeda, tetapi secara akademik menunjukkan akan keperluan yang sama, yaitu

supaya kegiatan PPKIGS atau pelatihan sejenis ini dapat dilaksanakan secara periodik

dan berkesinambungan.

Page 361: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-80

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Saran

Pengetahuan inkuiri guru dalam pembelajaran sains secara inkuiri terbukti lebih

baik. Oleh karena itu, disarankan pada guru pengajar kelas 4, 5, dan 6 SD, sebaiknya

mencoba menggunakan pembelajaran sains secara inkuiri dengan benar. Disamping itu,

kegiatan PPKIGS atau Pelatihan sejenis ini supaya dapat dilanjutkan secara periodik

dan berkesinambungan, karena sangat diperlukan oleh guru-guru SD di kota Bandar

Lampung

DAFTAR PUSTAKA

----------------. (2006). Panduan Penyusunan KTSP Jenjang Pendidikan Dasar. Jakarta: BSNP.

Arikunto, S. (2008). Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Budiastara, K. (2008). Core Business Pembelajaran IPA: Meningkatkan Kreativitas

Guru Mengajar IPA dengan Inkuiri di SD dalam Kontek Pendidikan Jarak Jauh. (Jurnal). Disampaikan pada Seminar International II Pendidikan Sain. “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”. Disertasi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan.

Capobianco, Brenda. & Lehman, James. (2006). “Integrating Technology to Foster

Inquiry in an Elementary Science Methods Course: An Action Research Study of One Teacher Educator's Initiatives in a PT3 Project (Preparing Tomorrow's Teachers use Technology)”. Journal of Computers in Mathematics and Science Teaching. 25 (2).

Chandra. (2010). Profil Kemampuan Inkuiri Guru SD Bandar Lampung dalam

Pembelajaran IPA” Seminar Nasional Pendidikan, FKIP Universitas Lampung: Lampung.

Cuevas, P., Lee, O., Hart, J., & Deaktor, R. (2005). “Improving Science Inquiry with

Elementary Students of Diverse Backgrounds”. Journal of Research in Science Teaching, 42 (3).

Iyamu & Ottote. (2005). Focus on Inquiry. A Teacher Guide to Implementing Inquiry-

Based Learning. Canada: Alberta. Joyce, B., Weill, M., & Colhoun, E. (2001). Models of Teaching. 6th edition. Boston:

Allyn an Bacon.

Page 362: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-81

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Luera & Moyer, Everett. (2004). Effectiveness of Professional Development Program on a Teacher’s Learning to Teach Science as Inquiry. University of IOWA Departement of Science Education. Asia Pacipik Forum k Forum on Science Learning and Teaching, vol 8. issue2. article2. (Online). Tersedia dalam: http://Ied.Edu.Hk/ Aptslt/v8.issue/bezir/indik.

Marx, Ronal W. (2004). “ Inquiry-Based Science in the Middle Grades: Assessment of

Learning in Urban Systemic Reform”. Journal of Research in Science Teaching. 41, (10), 1063-1080.

Matson, J.O. (2006). Misconceptions About The Nature of Science, Inquiry Based

Instruction, and Constructivism : Creating Confusion in the Science Classroom. Electronic Journal of Literacy Through Science. Vol. 5 (6).

Meltzer. 2002. The Relationship betwen mathemathics preparation and conceptual

learning gains in physics: A possible hidden variable in diagnosic pretes score. American Journal Physics. 70 (2), 1259 – 1268.

NRC. (2000). Inquiry and The National Science Education Standards. A Guide for

Teaching and Learning. Washington, DC: National Academy Press. Pine, J., Ascbacher, P., Roth, E., Jones, M,. & McPhee. C., (2006). “Fifth Graders’

Science Inquiry Abilities: A Comparative Study of Students in Hands-On and Textbook Curricula”. Journal of Research in Science Teaching, 43 (5).

Pusat Kurikulum. (2003). Standar Kompetensi Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Sains

Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Ridwan. (2005). Peningkatan Keterampilan Berfikir Kritis melalui Pembelajaran

Berbasis Inkuiri. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Ruiz-Primo, Maria Araceli & Furtak, Erin Marie. (2007). "Exploring Teachers' Informal

Formative Assessment Practices and Students' Understanding in the Context of Scientific Inquiry”. Journal of Research in Science Teaching. 44. (1), 57-84.

Page 363: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-82

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

ANALISIS HASIL BELAJAR FISIKA SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY ROLE APPROACH DILIHAT DARI GAYA

BELAJAR SISWA (VISUAL, AUDITORIAL, KINESTETIK)

Viyanti1, Undang Rosidin1, dan Mukhimatul Laili2

1Dosen Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung,

2Alumni Mahasiswa Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung

ABSTRAK

Masih banyaknya guru yang menggunakan model pembelajaran Direct Instructions sebagai alternatif model pembelajaran yang sering digunakan di kelas pada pembelajaran sehari-hari. Sehingga telah dilakukan suatu penelitian yang menggunakan model pembelajaran Direct Instructions sebagai pembanding untuk mengetahui pengaruh penerapan model Inquiry Role Approach serta gaya belajar siswa terhadap hasil belajar siswa. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan, (1) perbedaan hasil belajar ranah afektif antara kelas yang menggunakan model pembelajaran Direct Instruction dan model pembelajaran Inquiry Role Approach; (2) interaksi antara model pembelajaran dan gaya belajar terhadap hasil belajar siswa; (3) perbedaan hasil belajar aspek afektif antara yang menggunakan inquiry role approach dan direct instruction untuk siswa dengan gaya belajar visual; (4) perbedaan hasil belajar aspek afektif antara yang menggunakan inquiry role approach dan direct instruction untuk siswa dengan gaya belajar auditorial; (5) perbedaan hasil belajar aspek afektif antara yang menggunakan inquiry role approach dan direct instruction untuk siswa dengan gaya belajar kinestetik.

Penelitian ini telah dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2011/2012 di SMK YASMIDA Ambarawa Kabupaten Pringsewu. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas X pada semester ganjil sedangkan sampel yang diambil yaitu kelas X1

sebagai kelas eksperimen dan kelas X3 sebagai kelas kontrol. Pemilihan kelas sampel dengan metode purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain factorial 2x3 yang merupakan modifikasi dari quasi experimental design.

Hasil yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan adalah terdapat perbedaan hasil belajar siswa antara kelas yang menerapkan model pembelajaran Inquiry Role Approach dengan kelas yang menerapkan model Direct Instruction. Kelas yang menerapkan model pembelajaran Inquiry Role Approach mempunyai hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas yang menerapkan model Direct Instruction. Untuk sikap nilainya sebesar 84,75; untuk minat 84,75; untuk konsep diri 63,55; dan untuk observasi 83,125. Tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan gaya belajar terhadap hasil belajar siswa. Terdapat perbedaan hasil belajar aspek afektif antara yang menggunakan inquiry role approach dan direct instruction baik untuk siswa dengan gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik. Kata kunci: Inquiry Role Approach, Direct Instructions, Gaya Belajar

Page 364: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-83

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PENDAHULUAN

Latar belakang penelitian ini adalah kemampuan lulusan suatu jenjang

pendidikan sesuai dengan tuntutan penerapan KTSP yang mencakup tiga ranah, yaitu

kognitif, psikomotor, dan afektif. Setiap peserta didik memiliki potensi pada ketiga

ranah tersebut, namun tingkatannya satu sama lain berbeda. Ada peserta didik yang

memiliki kognitif tinggi dan afektif amat baik, namun psikomotornya rendah. Demikian

sebaliknya ada peserta didik yang memiliki kognitif rendah, namun memiliki

psikomotor yang tinggi dan afektif amat baik. Ada pula peserta didik yang memiliki

kognitif dan psikomor sedang/biasa, tapi memiliki afektif baik. Jarang sekali peserta

didik yang kognitifnya rendah, psikomotor rendah, dan afektif kurang baik. Peserta

didik seperti itu akan mengalami kesulitan bersosialisasi dengan masyarakat, karena

tidak memiliki potensi untuk hidup di masyarakat.

Kemampuan afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk

tanggung jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai

pendapat orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri. Masalah afektif dirasakan

penting oleh semua orang, namun implementasinya sampai saat ini masih kurang. Hal

ini disebabkan merancang pencapaian tujuan pembelajaran afektif tidak semudah seperti

pembelajaran kognitif dan psikomotor. Satuan pendidikan harus merancang kegiatan

pembelajaran yang tepat agar tujuan pembelajaran afektif dapat dicapai.

Banyak sekali model pembelajaran yang kita kenal saat ini. Tapi tidak semua

model pembelajaran tersebut cocok digunakan untuk gaya belajar siswa dalam proses

pembelajaran. Dari sekian banyak model pembelajaran, yang paling banyak digunakan

saat ini adalah model pembelajaran yang lebih berpusat pada guru atau direct

instruction. Pembelajaran direct instruction adalah pembelajaran yang berpusat pada

guru. Dalam pembelajaran ini peran guru sangat dominan. Guru dituntut agar dapat

menjelaskan materi ajar dengan baik dan memberi petunjuk mengenai hal-hal yang akan

dilakukan oleh siswa dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut

pembelajaran ini dianggap masih kurang efektif, oleh karena itu digunakanlah model

pembelajaran Inquiry Role Approach.

Inquiry Role Approach adalah pembelajaran inkuiri pendekatan peran. Model

pembelajaran inkuiri pendekatan peran ini melibatkan siswa dalam tim-tim yang

masing-masing terdiri atas empat orang untuk memecahkan masalah yang diberikan.

Page 365: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-84

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Masing-masing anggota memegang peranan yang berbeda, yaitu sebagai koordinator

tim, penasihat teknis, pencatat data, dan evaluator proses. Peran yang dimaksudkan di

sini adalah tugas yang lebih spesifik yang harus dilakukan siswa sesuai dengan peran

siswa tersebut dalam kelompok itu. Jadi diharapkan nantinya melalui proses ini

diperolehnya kesesuaian model pembelajaran dengan gaya belajar siswa tersebut,

sehingga tujuan dari pembelajaran pun dapat dicapai dengan maksimal.

Pembelajaran dengan model Inquiri Role Approach ini dianggap sebagai model

pembelajaran yang paling efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa secara

maksimal. Karena model pembelajaran inilah yang dianggap dapat merangkul seluruh

perbedaan gaya belajar siswa, dan tanpa menghilangkan prinsip ilmiah dalam

pembelajaran yang dilakukan. Model inquiry role approach memberi kebebasan belajar

berdasarkan gaya belajar siswa. Hasil belajar antara kelas yang diterapkan model

inquiry role approach dengan model direct instruction berbeda dan dirasa lebih efektif

menggunakan model inquiry role approach. Model ini memberikan pengalaman

langsung bagi siswa dalam menerima konsep fisika, jadi siswa seolah-olah mengalami

hal tersebut. Dan ini akan membuat siswa menjadi lebih memahami konsep dan

selanjutnya akan berdampak pada hasil belajar siswa menjadi lebih tinggi dibandingkan

dengan kelas yang diterapkan model instruction.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) perbedaan hasil belajar ranah

afektif antara kelas yang menggunakan model pembelajaran Direct Instruction dan

model pembelajaran Inquiry Role Approach; (2) interaksi antara model pembelajaran

dan gaya belajar terhadap hasil belajar siswa; (3) perbedaan hasil belajar aspek afektif

antara yang menggunakan inquiry role approach dan direct instruction untuk siswa

dengan gaya belajar visual; (4) perbedaan hasil belajar aspek afektif antara yang

menggunakan inquiry role approach dan direct instruction untuk siswa dengan gaya

belajar auditorial; (5) perbedaan hasil belajar aspek afektif antara yang menggunakan

inquiry role approach dan direct instruction untuk siswa dengan gaya belajar kinestetik

METODE PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X pada semester ganjil

SMK YASMIDA Ambarawa Kabupaten Pringsewu pada tahun pelajaran 2011/2012.

Page 366: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-85

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Jumlah kelas X pada SMK YASMIDA Ambarawa ada 10 kelas. Pemilihan kelas sampel

dengan metode purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan

pertimbangan tertentu. Pemilihan kelas eksperimen didahului dengan melakukan test

analisis tipe belajar masing-masing siswa dan selanjutnya memilih 1 kelas sebagai kelas

eksperimen yang nantinya akan diberikan perlakuan. Kelas eksperimen yang dipilih

adalah kelas yang memiliki sebaran tipe belajar yang relatif merata untuk masing-

masing tipe belajar. Setelah dilakukan proses pengidentifikasian maka didapatkan

kesimpulan bahwa kelas X1 adalah kelas yang memiliki sebaran tipe belajar paling

merata, sehingga diputuskan untuk memilih kelas tersebut sebagai kelas eksperimen dan

kelas X3 sebagai kelas kontrol. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah desain faktorial 2x3. Desain Faktorial merupakan modifikasi dari quasi

experimental design, yaitu dengan memperhatikan kemungkinan adanya variabel

moderator yang mempengaruhi perlakuan (independen variable) terhadap hasil

(dependen variable). Rancangannya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Interaksi antara model pembelajaran, tipe belajar, dan hasil belajar

Model Pembelajaran

Gaya Belajar

Inquiry Role Approach

Direct Instruction

Gaya Auditorial µ M1 TA µ M2 TA Gaya Visual µ M1 TV µ M2 TV Gaya Kinestetik µ M1 TK µ M2 TK

Keterangan: µ = Hasil Belajar , M1 = Model Pembelajaran Inquiry Role Approach, M2= Model Pembelajaran Direct Instruction, TA = Gaya Belajar Auditorial, TV= Gaya Belajar Visual, dan , TK= Gaya Belajar Kinestetik

Data penelitian berupa data kuantitatif yang diperoleh dari: (1) Data gaya

belajar; (2) Data hasil belajar afektif. Hasil dari penelitian ini adalah data kuantitatif.

Data kuantitatif yang dihasilkan berupa data tipe belajar siswa dan nilai afektif siswa.

Sebelum melakukan pengambilan data maka dilakukan terlebih dahulu proses persiapan

diantaranya adalah: (1) Membuat kisi-kisi; (2) Membuat angket sesuai dengan kisi-kisi

yang telah dibuat; (3) Meminta pertimbangan guru mitra untuk menghindari ketidak

Page 367: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-86

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

sesuaian antara kisi-kisi dan angket yang telah dibuat; (4) Memperbaiki angket yang

telah dibuat.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Data

Kuantitatif menggunakan uji normalitas, pada tahapan ini pengujian dilakukan untuk

menguji normalitas sampel antara ketiga kelompok yang berdistribusi normal atau tidak.

Menurut Sudjana (2005: 466) terdiri atas dua rumusan hipotesis, yaitu: Ho:Populasi

berdistribusi normal dan H1:Populasi berdistribusi tidak normal; (2) uji homogenitas

variansi, homogenitas diuji dengan menggunakan uji Barlett (Sudjana, 2005); (3)

analisis variansi (two way anova)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian pembelajaran ini mulai dilaksanakan pada tanggal 11 Juli sampai 25

Juli 2011 di SMK YASMIDA Ambarawa. Proses pembelajaran berlangsung selama 3

kali tatap muka dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran yang terdiri atas 45 menit

sehingga alokasi waktu belajar yang digunakan adalah 3 x 2 x 45 menit. Dalam

penelitian ini dipilih kelas X1 sebagai kelas eksperimen dan kelas X3 sebagai kelas

kontrol. Pemilihan kedua kelas ini didasarkan kepada hasil penelitian pendahuluan yang

sebelumnya dilakukan dengan meneliti sebaran gaya belajar masing-masing siswa.

Melalui penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa untuk kedua kelas tersebut memiliki

sebaran gaya belajar siswa dengan perbandingan yang cukup merata.

Hasil data penelitian yang diperoleh adalah hasil belajar ranah afektif melalui

angket afektif yang terdiri dari angket sikap, minat, dan konsep diri serta lembar

observasi prilaku berkarakter. Data tersebut diolah dengan menggunakan software

komputer untuk mengetahui normalitas data-data tersebut serta pengujian lainya untuk

menguji hipotesis yang diajukan. Sebelum melakukan penelitian dilakukan pengujian

validitas dan reliabilitas instrumen yang digunakan dalam penelitian. Uji ini

dimaksudkan untuk mengetahui apakah instrumen yang digunakan dalam penelitian

bersifat baik dan tepat dalam pengukurannya sebagaimana fungsinya: Validitas angket

diolah menggunakan program komputer, dan datanya ditampilkan pada tabel berikut ini:

Page 368: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-87

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 2. Hasil uji validitas angket sikap, minat, dan konsep diri

Nomor Soal

Sikap Minat Konsep diri Pearson

Correlation Keterangan Pearson

Correlation Keterangan Pearson

Correlation Keterangan

1 0,390 Valid 0,706 Valid 0,605 Valid 2 0,714 Valid 0,648 Valid 0,643 Valid 3 0,500 Valid 0,544 Valid 0,862 Valid 4 0,657 Valid 0,401 Valid 0,670 Valid 5 0,652 Valid 0,682 Valid 0,466 Valid 6 0,745 Valid 0,858 Valid 0,621 Valid 7 0,438 Valid 0,708 Valid 0,584 Valid 8 0,609 Valid 0,787 Valid 0,710 Valid 9 0,553 Valid 0,740 Valid 0,777 Valid 10 0,676 Valid 0,401 Valid 0,447 Valid

Dengan N = 32 dan α = 0,05 maka hitungr adalah 0,349. Dari Tabel 2 dapat

dilihat bahwa semua butir soal memiliki Pearson Correlation > 0,349 sehingga semua

butir soal valid. Uji reliabilitas yang dilakukan diambil dari 32 koresponden dengan

jumlah angket sebanyak 10 butir. Reliabilitas angket dilakukan dengan menggunakan

program komputer. Hasil reliabilitas angket ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji reliabilitas angket sikap, minat dan konsep diri

No Aspek Cronbach’s Alpha N of Items 1 Sikap 0.775 10 2 Minat 0.839 10 3 Konsep diri 0.839 10

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,775;

0,839; dan 0,839. Ini berarti item-item angket bersifat reliabel dan dapat digunakan

sebab nilai Cronbach’s Alpha > 0,60. Sebelum melakukan pengujian terhadap data-data

yang telah diperoleh, sebelumnya harus dilakukan uji normalitas terlebih dahulu.

Karena uji normalitas akan mendasari asumsi-asumsi yang selanjutnya akan digunakan

dalam melihat hasil uji terhadap data-data yang diperoleh. Dalam uji normalitas ini diuji

2 data hasil eksperimen yang dilakukan, yakni sebagai berikut: Uji normalitas yang

pertama dilakukan adalah uji normalitas ditinjau dari model belajar yang diterapkan ,

karena penelitian yang dilakukan ini adalah penelitian faktorial yang berarti terdapat

beberapa aspek dalam memandang permasalahan. Saat ini hasil belajar dipandang

Page 369: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-88

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

berdasarkan model belajar yang digunakan dengan mengabaikan gaya belajar untuk

mengetahui data tersebut berdistribusi normal atau tidak. Pengujian ini menggunakan

SPSS versi 17 dengan metode Kolmogrov-Smirnov. Hasil uji normalitas tersebut

ditampilkan pada tabel berikut ini:

Tabel 4. Uji normalitas angket sikap, minat , dan pendidikan karakter berdasarkan kelas

No Parameter Kelas Inquiry Role Approach

Kelas Direct Instruction

A B C D A B C D 1 Jumlah Siswa 40 40 40 40 38 38 38 38 2 Rata-rata 84,8 84,8 63,5 83,1 75,7 75,8 57,3 69,9 3 Nilai Tertinggi 95 98 82 90,6 92,5 96 76 84,4 4 Nilai Terendah 72,5 72 48 71,9 65 64 38 56,3 5 Asymp. Sig (2-tailed) 0,3 0,5 0,2 0,2 0,8 0,7 0,7 0,4

Tabel 5. Uji normalitas angket sikap menurut gaya belajar

No Parameter Kelas Inquiry Role Approach

Kelas Direct Instruction

V A K V A K 1 Jumlah Siswa 12 10 18 10 10 18 2 Rata-rata 86 85,2 83,8 82,3 75 72,4 3 Nilai Tertinggi 95 92,5 92,5 92,5 92,5 82,5 4 Nilai Terendah 75 75 72,5 72,5 65 60 5 Asymp. Sig (2-tailed) 0,99 0,69 0,66 0,96 0,82 0,60

Tabel 5. Uji Normalitas Angket Minat Menurut Gaya Belajar

No Parameter Kelas Inquiry Role Approach

Kelas Direct Instruction

V A K V A K 1 Jumlah Siswa 12 10 18 10 10 18 2 Rata-rata 86,2 83,83 84,55 83,4 74,8 72,22 3 Nilai Tertinggi 98 98 98 96 90 90 4 Nilai Terendah 76 72 74 70 62 60 5 Asymp. Sig (2-

tailed) 0,80 0,87 0,91 0,97 0,99 0,99

Page 370: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-89

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 14. Uji Normalitas Angket Konsep Diri Menurut Gaya Belajar

No Parameter Kelas Inquiry Role Approach

Kelas Direct Instruction

V A K V A K 1 Jumlah Siswa 12 10 18 10 10 18 2 Rata-rata 64,2 64,3 62,7 63 57,8 53,8 3 Nilai Tertinggi 78 78 82 76 72 66 4 Nilai Terendah 60 50 48 52 42 38 5 Asymp. Sig (2-

tailed) 0,28 0,80 0,72 0,96 0,98 0,44

Tabel 15 Uji Normalitas Perilaku Berkarakter Menurut Gaya Belajar

Berdasarkan Tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai Asymp.Sig > 0,05,

sehingga dapat disimpulkan bahwa data yang terkumpulkan seperti yang

terkelompokkan diatas adalah normal. Untuk selanjutnya digunakan asumsi uji-uji

untuk data normal. Uji perbedaan yang pertama dilakukan adalah menguji rata-rata

hasil belajar masing-masing kelas yang telah dilakukan penerapan model pembelajaran

yang berbeda. Sehingga nantinya akan diperoleh hasil analisis bahwa sama atau tidak

hasil belajar pada kelas eksperimen dengan kelas kontrol.

Data hasil analisis perbedaan antara hasil belajar kelas yang diterapkan model

Direct Instructions dengan kelas yang diterapkan Inquiry Role Approach disajikan pada

tabel berikut ini:

No Parameter Kelas Inquiry Role Approach

Kelas Direct Instruction

V A K V A K 1 Jumlah Siswa 12 10 18 10 10 18 2 Rata-rata 84,06 84,11 81,94 76,56 68,44 67,19 3 Nilai Tertinggi 90,63 90,63 87,5 84,38 84,38 75 4 Nilai Terendah 71,88 75 75 68,75 56,38 56,25 5 Asymp. Sig (2-tailed) 0,66 0,79 0,72 0,67 0,68 0,71

Page 371: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-90

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 16. Hasil Uji Anova

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig.

Sikap Between Groups

1610,935 1 1610,935 28,350 0,000

Within Groups

4318,553 76 56,823

Total 5929,487 77 Minat Between

Groups 1546,319 1 1546,319 20,544 0,000

Within Groups

5720,553 76 75,270

Total 7266,872 77 Konsep diri Between

Groups 770,219 1 770,219 9,970 0,002

Within Groups

5871,268 76 77,254

Total 6641,487 77 Observasi Between

Groups 3365,390 1 3365,390 78,727 0,000

Within Groups

3248,818 76 42,748

Total 6614,208 77

Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa semua nilai sig lebih kecil dari

0,05 sehingga menurut hasil analisis ini bahwa H0 ditolak dan H1 diterima. Kesimpulan

yang dapat diambil dari uji perbedaan yang dilakukan adalah terdapat perbedaan rata-

rata nilai hasil belajar antara kelas yang diterapkan model pembelajaran Inquiry Role

Approach dengan kelas yang diterapkan model pembelajaran Direct Instructions dengan

nilai rata-rata kelas yang menerapkan model pembelajaran Inquiry Role Approach lebih

tinggi dibandingkan dengan kelas yang menerapkan model pembelajaran Direct

Instructions.

Page 372: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-91

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 17 Hasil Uji Unvariate untuk Sikap

Source Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Intercept Hypothesis

474891.667 1 474891.667 365.47

0 .033

Error 1299.401 1 1299.401a GAYA Hypothesis 473.856 2 236.928 2.406 .294

Error 196.963 2 98.482b MODEL Hypothesis 1299.401 1 1299.401 13.372 .064

Error 200.016 2.058 97.172c GAYA * MODEL

Hypothesis 196.963 2 98.482 1.944 .151 Error 3647.882 72 50.665d

Tabel 18. Hasil Uji Unvariate untuk Minat

Source Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Intercept Hypothesis

475757.753 1 475757.753 402.78

2 .032

Error 1181.180 1 1181.180a GAYA Hypothesis 557.581 2 278.790 1.908 .344

Error 292.172 2 146.086b MODEL Hypothesis 1181.180 1 1181.180 8.206 .100

Error 295.432 2.053 143.937c GAYA * MODEL

Hypothesis 292.172 2 146.086 2.159 .123 Error 4870.822 72 67.650d

Tabel 19 Hasil Uji Unvariate untuk Konsep Diri

Source Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Intercept Hypothesis

270593.358 1 270593.358 484.23

5 .029

Error 558.805 1 558.805a GAYA Hypothesis 385.234 2 192.617 2.021 .331

Error 190.624 2 95.312b MODEL Hypothesis 558.805 1 558.805 5.900 .131

Error 197.752 2.088 94.716c GAYA * MODEL

Hypothesis 190.624 2 95.312 1.296 .280 Error 5294.978 72 73.541d

Page 373: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-92

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 20. Hasil Uji Unvariate untuk Perilaku Berkarakter

Source Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Intercept Hypothesis

432262.188 1 432262.188 148.52

7 .052

Error 2910.318 1 2910.318a GAYA Hypothesis 426.415 2 213.208 1.959 .338

Error 217.686 2 108.843b MODEL Hypothesis 2910.318 1 2910.318 27.237 .033

Error 217.727 2.038 106.853c GAYA * MODEL

Hypothesis 217.686 2 108.843 3.007 .056 Error 2605.740 72 36.191d

Untuk melihat ada atau tidaknya interaksi antara model dan gaya belajar

terhadap hasil belajar siswa dapat dilihat pada nilai sig baris gaya*model > 0,05. Setelah

diketahui bahwa nilai tersebut > 0,05 maka dapat diambil kesimpulan hasil uji bahwa

tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan gaya belajar terhadap hasil

belajar siswa. Dalam analisis ini dibandingkan antara hasil belajar inquiry role

approach dan direct instruction untuk gaya belajar visual. Data hasil uji tersebut

disajikan dalam Tabel 21 untuk uji homogenitas dan untuk uji perbandingan tersaji pada

Tabel 22.

Tabel 21. Uji Homogenitas

Levene Statistic df1 df2 Sig. Sikap 0.233 1 18 0.635 Minat 0.626 1 18 0.439 Konsep diri 3.589 1 18 0.074 Observasi 0.103 1 18 0.751

Berdasarkan uji homogenitas seperti pada Tabel 21 didapatkan data bahwa semua nilai

sig lebih besar dari 0,05 sehingga selanjutnya H1 ditolak dan H0 diterima. Berdasarkan

hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa data yang diperoleh homogen. Hasil uji

perbandingan rata-rata dapat dilihat pada Tabel 21. Diketahui bahwa Fhitung lebih besar

dibandingkan dengan Ftabel. Sehingga H0 ditolak dan H1 diterima, jadi dapat disimpulkan

bahwa ada perbedaan nilai rata-rata hasil belajar dari kedua model pembelajaran

tersebut. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan bahwa ada perbedaan hasil

Page 374: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-93

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

belajar aspek afektif antara yang menggunakan inquiry role approach dan direct

instruction untuk siswa dengan gaya belajar visual.

Tabel 22. Uji Perbedaan Hasil Belajar untuk Visual

Sum of Squares

df Mean Square F Sig.

Sikap Between Groups

70.312 1 70.312 1.519 0.234

Within Groups

833.125 18 46.285

Total 903.438 19 Minat Between

Groups 39.200 1 39.200 0.606 0.446

Within Groups

1164.000 18 64.667

Total 1203.200 19 Konsep diri Between

Groups 7.200 1 7.200 0.141 0.711

Within Groups

917.600 18 50.978

Total 924.800 19 Observasi Between

Groups 281.250 1 281.250 10.494 0.005

Within Groups

482.422 18 26.801

Total 763.672 19

Dalam analisis ini dibandingkan antara hasil belajar inquiry role approach dan

direct instruction untuk gaya belajar auditorial. Pada Tabel 22 untuk uji homogenitas

dan untuk uji perbandingan tersaji pada Tabel 23.

Tabel 23. Hasil Uji Homogenitas

Levene Statistic df1 df2 Sig. Sikap 0.120 1 20 0.732 Minat 0.065 1 20 0.801 Konsep diri 0.044 1 20 0.836 Observasi 10.551 1 20 0.004

Page 375: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-94

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 24 Hasil Uji Perbedaan Hasil Belajar untuk Auditorial

Sum of Squares

Df Mean Square F Sig.

Sikap Between Groups

568.419 1 568.419 11.446 0.003

Within Groups

993.229 20 49.661

Total 1561.648 21 Minat Between

Groups 445.097 1 445.097 5.257 0.033

Within Groups

1693.267 20 84.663

Total 2138.364 21 Konsep diri Between

Groups 232.824 1 232.824 2.768 0.112

Within Groups

1682.267 20 84.113

Total 1915.091 21 Observasi Between

Groups 1340.569 1 1340.569 24.122 0.000

Within Groups

1111.491 20 55.575

Total 2452.060 21

Berdasarkan uji homogenitas seperti pada Tabel 24 didapatkan data bahwa

semua nilai sig lebih besar dari 0,05 kecuali untuk observasi sehingga selanjutnya H1

ditolak dan H0 diterima. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa data

yang diperoleh homogen kecuali data untuk observasi. Setelah dilakukan uji

homogenitas maka dilakukan uji perbedaan nilai rata-rata hasil belajar dengan

menggunakan uji Anova. Berdasarkan uji perbedaan tersebut maka diperoleh data

seperti pada tabel 4.22. Maka berdasarkan data tersebut dapat katakan bahwa Fhitung

lebih besar dibandingkan dengan Ftabel, sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Dapat

diambil kesimpulan bahwa Ada perbedaan hasil belajar aspek afektif antara yang

menggunakan inquiry role approach dan direct instruction untuk siswa dengan gaya

belajar auditorial.

Page 376: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-95

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Dalam analisis ini dibandingkan antara hasil belajar inquiry role approach dan

direct instruction untuk gaya belajar kinestetik. Pada table Tabel 25 untuk uji

homogenitas dan untuk uji perbandingan tersaji pada Tabel 26.

Tabel 25. Hasil Uji Homogenitas

Levene Statistic df1 df2 Sig. Sikap 2.306 1 34 0.138 Minat 0.460 1 34 0.502 Konsep diri 3.530 1 34 0.069 Observasi 3.109 1 34 0.087

Tabel 26. Hasil Uji Perbedaan Hasil Belajar untuk Kinestetik

Sum of Squares

Df Mean Square F Sig.

Sikap Between Groups

1167.361 1 1167.361 21.790 0.000

Within Groups

1821.528 34 53.574

Total 2988.889 35 Minat Between

Groups 1369.000 1 1369.000 23.116 0.000

Within Groups

2013.556 34 59.222

Total 3382.556 35 Konsep diri Between

Groups 3344.694 1 3344.694 65.416 0.000

Within Groups

1738.413 34 51.130

Total 5083.108 35 Observasi Between

Groups 1959.907 1 1959.907 65.858 0.000

Within Groups

1011.827 34 29.760

Total 2971.734 35

Berdasarkan uji homogenitas seperti pada Tabel 26 didapatkan data bahwa

semua nilai sig lebih besar dari 0,05 sehingga selanjutnya H1 ditolak dan H0 diterima.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa data yang diperoleh homogen.

Setelah dilakukan uji homogenitas maka dilakukan uji perbedaan nilai rata-rata hasil

Page 377: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-96

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

belajar dengan menggunakan uji Anova. Berdasarkan uji perbedaan tersebut maka

diperoleh data seperti pada Tabel 25. Maka berdasarkan data tersebut dapat katakan

bahwa Fhitung lebih besar dibandingkan dengan Ftabel, sehingga H0 ditolak dan H1

diterima. Dapat diambil kesimpulan bahwa Ada perbedaan hasil belajar aspek afektif

antara yang menggunakan inquiry role approach dan direct instruction untuk siswa

dengan gaya belajar kinestetik.

Dari uji perbedaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan rata-rata nilai hasil belajar antara kelas yang diterapkan model pembelajaran

Inquiry Role Approach dengan kelas yang diterapkan model pembelajaran Direct

Instructions dengan nilai rata-rata kelas yang diterapkannya model pembelajaran

Inquiry Role Approach lebih tinggi dibandingkan dengan kelas yang diterapkan model

pembelajaran Direct Instructions. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan bahwa

model pembelajaran Inquiry Role Approach lebih mengakomodir modalitas siswa-

siswa dalam belajar. Keunggulan ini karena dalam model pembelajaran Inquiry Role

Approach lebih memperhatikan aspek-aspek yang ada pada ketiga gaya belajar siswa,

visual, auditorial, dan kinestetik. Sehingga tidak ada faktor yang diabaikan dalam

pembelajaran ini. Seluruh kelebihan dan kekurangan dari ketiga gaya belajar tersebut

dimanfaatkan sebagai hal yang mendukung proses penerimaan informasi sehingga

nantinya akan membantu siswa dalam belajar dan akan berefek secara signifikan kepada

hasil belajarnya seperti yang telah dibuktikan diatas. Model pembelajaran ini lebih baik

dan efektif dibandingkan dengan pembelajaran yang biasanya diterapkan oleh guru

secara reguler dalam setiap pembelajarannya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan: (1) terdapat perbedaan

hasil belajar ranah afektif antara kelas yang menggunakan model pembelajaran Direct

Instruction dan model pembelajaran Inquiry Role Approach. Hasil belajar ranah afektif

kelas dengan model pembelajaran Inquiry Role Approach lebih tinggi dibandingkan

dengan kelas dengan model pembelajaran Direct Instruction; (2) Tidak terdapat

interaksi antara model pembelajaran dan gaya belajar terhadap hasil belajar siswa; (3)

Page 378: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-97

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

terdapat perbedaan hasil belajar aspek afektif antara yang menggunakan inquiry role

approach dan direct instruction untuk siswa dengan gaya belajar visual.; (4) Terdapat

perbedaan hasil belajar aspek afektif antara yang menggunakan inquiry role approach

dan direct instruction untuk siswa dengan gaya belajar auditorial; (5) Terdapat

perbedaan hasil belajar aspek afektif antara yang menggunakan inquiry role approach

dan direct instruction untuk siswa dengan gaya belajar kinestetik.

Saran

Berdasarkan teori-teori yang melandasi operasional penelitian dan hasil

pengamatan dan temuan selama proses penelitian dilaksanakan, maka penulis membe-

rikan saran sebagai berikut: (1) Pembelajaran dengan model Inquiry Role Approach

dapat dijadikan salah satu alternatif bagi guru-guru di sekolah sebagai salah satu upaya

untuk meningkatkan hasil belajar siswa. (2) Pada pelaksanaan model Inquiry Role

Approach sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa, guru hendaknya

menganalisis kesesuaian materi dengan aspek yang akan diakomodir sehingga benar-

benar menjadi hal yang menguntungkan bagi siswa dan bukan sebaliknya. (3) Guru

hendaknya benar-benar mengarahkan siswa untuk aktif pada pelaksanaan tiap fase-fase

pembelajaran dalam model Inquiry Role Approach karena jika fase ini berjalan dengan

baik, pemahaman siswa terhadap materi akan bertambah dan pada akhirnya akan

berpengaruh pada peningkatan hasil belajar siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Mohamad. 2009. Discovery Inquiry. Diunduh tanggal 9 Februari 2011 dari http://smpn1banjar-pdg.net.

Arikunto, Suharsimi. 2001. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta. Cahyono, Aris. 2010. Model Pembelajaran Berbasis Inkuiri Untuk Meningkatkan

Penguasaan Konsep Dan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa SMA Pada Konsep Listrik Dinamis. Skripsi. Diunduh tanggal 16 April 2011 dari http://risecahyono.blogspot.com/.

Dahar, Ratna Wilis. 2003. Teori-teori Belajar. Erlangga. Bandung. Dantes, Nyoman. 2002. Teori-Teori Belajar, Teori-Teori Instruksional dan Model-

Model Pembelajaran. STKIP Singaraja. Singaraja.

Page 379: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-98

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

DePorter, Hernacki. 2002. Quantum Learning. Kaifa. Jakarta. _______, B dkk. 2004. Quantum Teaching, Mempraktikkan Quantum Learning di

Ruang-Ruang Kelas. Kaifa. Bandung. Dalyono, M. 2005. Psikologi Pendidikan. RinekaCipta. Jakarta. Dimyati dan Mujiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta. Fikri, Nurul. 2010. Artikel Pendidikan: Inkuiri Terbimbing. Yayasan Pendidikan Nurul

Fikri. Diunduh 12 Maret 2011 dari http://nurulfikri.sch.id/. Gulo, W. 2002. Stategi Belajar Mengajar. Gramedia Widiarsana Indonesia. Jakarta. Gunawan, Adi W. 2007. Genius Learning Strategy. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hamalik, Oemar. 2007. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta. Hebrank, M. 2000. Why Inquiry-Based Teaching and Learning in the Middle School

Science Classroom?. Center for Inquiry-Based Learning Dept.of Biology. Duke University. Diunduh 31 Maret 2011 dari http://www.zoology.duke.edu/cibl/.

Hisyam, Zaini. 2002. Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Center of Teaching

Staf Development IAIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. Ismawati, Henik. 2007. Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil Belajar Sains-Fisika Melalui

Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Untuk Sub Pokok Bahasan Pemantulan Cahaya Pada Siswa Kelas Viii Smp Negeri 13 Semarang Tahun Pelajaran 2006/2007. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Diunduh 28 Maret 2011 dari http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH0138/ d44ab2a9.dir/doc.pdf.

Prambudi, Shoim. 2010. Strategi Pembelajaran Inquiry. Diunduh 28 Maret 2011 dari

http://shoimprambudi.wordpress.com/2010/10/18/strategi-pembelajaran-inkuiri. Rachman, Arief. 2007. Penerapan Pendekatan Savi Untuk Meningkatkan Hasil Belajar

Siswa. Skripsi. Diunduh tanggal 16 April 2011 dari http://blog.tp.ac.id/penerapan-pendekatan-savi-untuk-meningkatkan-hasil-belajar-siswa-pada-mata-pelajaran-faroidh-kelas-viii-di-mts-nurul-amanah-madura.

Sagala, Syaiful. 2007. Konsep dan Makna Pembelajaran. Alfabeta. Jakarta. Santyasa, I Wayan. 2007. Makalah: Model-Model Pembelajaran Inovatif. Universitas

Pendidikan Ganesha. Diunduh 1 April 2011 dari http://www.freewebs.com/ santyasa/pdf2/model_model_pembelajaran.pdf

Sardiman, A.M. 2004. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. PT. Raja

GrafindoPersada. Jakarta.

Page 380: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-99

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Soekamto. 2002. Penerapan Model Pembelajaran Inquiry. Diunduh 16 April dari http://www.slideshare.net/guestf6b63af/penerapan-model-pembelajaran.

Sudjana. 2005. Metode Statistik. Tarsito. Bandung. Sudrajat, Akhmad. 2008. Penilaian Ranah Afektif. Diunduh 16 April 2011 dari

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/. Sukardi, H.M. 2008. Evaluasi Pendidikan Prinsip dan Operasionalnya. Bumi Aksara.

Jakarta. Susanto. 2006. Pengaruh Modalitas belajar Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa

Kelas VIII SMP Negeri 4 Tungkal Ulu Tahun Ajaran 2010/2011. Skripsi. Diunduh tanggal 1 April 2011 dari http://putrabungo.blogspot.com/2011/01/pengaruh-modalitas-belajar-terhadap.html.

Zaif. 2009. Ranah Penilaian Kognitif, Afektif, dan Psikomotor. Diunduh 16 April 2011

dari http://zaifbio.wordpress.com/.

Page 381: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-100

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN IPA MELALUI PEMBELAJARN KOOPERATIF TIPE

STAD TAHUN PELAJARAN 2010/2011

I Dewa Putu Nyeneng1Supriyanto2

1Juruan Pendidikan MIPA FKIP Universitas Lampung 2Alumni Pendidikan Fisika FKIP Universitas Lampung

Aktivitas siswa yang rendah berdampak pada hasil belajar siswa. Hasil belajar fisika siswa pada semester ganjil tahun pelajaran 2010-2011 kurang memuaskan. Rendahnya aktivitas dan hasil belajar fisika pada kelas VII di SMPN 1 Sidomulyo rendah dikarenakan guru menggunakan model pembelajaran yang kurang tepat dalam proses pembelajaran di kelas. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan dalam proses pembelajaran sehingga dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Salah satu model pembelajaran yang diharapkan mampu mengatasi masalah tersebut adalah model pembelajaran kooperatif tipe STAD.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan peningkatan aktivitas belajar siswa melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD Pada materi IPA, dan mendeskripsikan hasil belajar siswa mealui pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi IPA. Penelitian ini adalah Penelitian Tidakan Kelas (PTK). (1) Penerapan model pembelajaran dengan pendekatan Kooperatif tipe STAD yang dilaksanakan di kelas VII SMPN 1 Sidomulyo, dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa pada setiap siklusnya. Persentase rata-rata aktivitas siswa pada setiap siklus mengalami peningkatan yang signifikan. Pada siklus I sebesar 51,27% siklus II persentase meningkat 18,91%% menjadi 71,18% dan pada siklus III persentase meningat 8,97% menjadi 79,97%. (2) Penerapan model pembelajaran langsung dengan pendekatan Kooperatif tipe STAD yang dilaksanakan di kelas VII SMPN 1 Sidomulyo, dapat meningkatkan hasil belajar fisika siswa pada setiap siklusnya. Dilihat dari rata-rata hasil belajar siswa mengalami kenaikan yang dignifikan, pada siklus I rata-rata hasil belajar siswa 59,4, pada siklus II 66,8 dan pada siklus III sebesar 72,08. Kata Kunci : Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD, aktivitas dan hasil belajar

PENDAHULUAN

Perubahan kurikulum menuntut guru untuk melakukan perubahan dan inovasi

dalam pembelajarannya di kelas seperti penggunaan pendekatan, model pembelajaran

dan metode mengajar. Salah satu langkah yang diambil oleh guru dalam menyikapi

perubahan kurikulum adalah memilih model pembelajaran yang tepat. Selama ini di

dalam pembelajaran yang dilakukan cenderung membuat anak-anak kurang fokus

terhadap pembelajaran yang disampaikan, hal ini disebabkan metode mengajar yang

menggunakan model pembelajaran langsung yang terus-menerus dan jarang

Page 382: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-101

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

menggunakan model pembelajaran yang lainnya. Proses pembelajarannya dimulai dari

guru menjelaskan materi pelajaran di depan kelas, memberikan contoh soal, latihan soal,

dan diakhiri dengan pemberian pekerjaan rumah (PR)

Hasil belajar siswa pada tahun 2010-2011 di SMPN 1 Sidomulyo, nilai rata-rata

test formatif siswa kelas VII pada materi pokok gerak pada tahun pelajaran 2010-2011

adalah 60,5, hanya 60% siswa yang memperoleh nilai ≥ 65 dan sisanya < 65. Nilai ini

belum mencapai ketuntasan yang digunakan SMPN 1 Sidomulyo yaitu 75% dari jumlah

siswa telah mencapai ≥ 65 . Dalam pembelajaran, kegiatan pembelajaran di kelas

didominasi oleh guru sehingga siswa kurang berperan aktif dalam proses pembelajaran.

Pada saat guru menyampaikan materi pelajaran, sebagian siswa hanya mendengarkan

saja. Siswa mau bertanya kepada gurunya jika diberi stimulus oleh gurunya. Hal ini

menunjukkan bahwa aktivitas siswa kelas VII masih rendah.

Aktivitas siswa yang rendah berdampak kepada hasil belajar siswa. Hasil belajar

fisika siswa pada semester ganjil tahun pelajaran 2010-2011 kurang memuaskan. Dari

penjelasan di atas, rendahnya aktivitas dan hasil belajar fisika pada kelas VII rendah

dikarenakan guru menggunakan model pembelajaran yang kurang tepat dalam proses

pembelajaran di kelas. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan dalam proses

pembelajaran sehingga dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Salah satu

model pembelajaran yang diharapkan mampu mengatasi masalah tersebut adalah model

pembelajaran kooperatif tipe STAD.

Model pembelajaran kooperatif tipe STAD, diterapkan mula-mula dengan

mengelompokkan siswa yang terdiri dari 4 sampai 5 orang yang didasarkan atas

kemampuan akademiknya. Pembelajaran dimulai dengan penjelasan materi oleh guru

tentang konsep secara garis besarnya. Selanjutnya, siswa diminta untuk belajar dalam

kelompoknya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru dalam rangka

memantapkan pemahaman terhadap konsep yang sudah diberikan oleh guru. Dengan

adanya kerja sama di dalam kelompok, diharapkan siswa dapat lebih aktif dalam proses

pembelajaran sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.

Keberhasilan individu sangat mempengaruhi keberhasilan kelompok, karena

setiap individu akan menyumbangkan nilainya untuk menentukan poin peningkatan

individu dan penghargaan kelompok. Untuk mengukur keberhasilan belajar kelompok,

guru memberikan tes kepada masing-masing siswa. Dalam tes ini, setiap anggota

Page 383: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-102

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

kelompok tidak diperkenankan membantu anggota kelompoknya yang lain. Selanjutnya,

hasil tes ini dibandingkan dengan rata-rata pencapaian sebelumnya.

Poin sumbangan anggota ke kelompoknya ditentukan berdasarkan tingkat

keberhasilan siswa mencapai atau melebihi kinerja sebelumnya. Gabungan poin

sumbangan dari semua anggota kelompok menjadi poin kelompok dan hasilnya

dibandingkan dengan poin kelompok lainnya. Kelompok yang berhasil memperoleh

poin tertinggi berhak mendapat sertifikat atau penghargaan. Dengan adanya pemberian

penghargaan kelompok, siswa akan lebih termotivasi dalam belajar fisika. Berdasarkan

uraian latar belakang masalah, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1)

Bagaimana cara meningkatkan aktivitas belajar siswa melalui pembelajaran kooperatif

tipe STAD pada materi IPA ?(2)Bagaimana cara meningkatkan hasil belajar siswa

melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi IPA? (3) Bagaimana

peningkatan aktivitas belajar siswa melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD pada

materi IPA? (4)Bagaimana peningkatan hasil belajar siswa melalui pembelajaran

kooperatif tipe STAD pada materi IPA?

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan (1)Peningkatan aktivitas

belajar siswa melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi IPA;

(2)Peningkatan hasil belajar siswa melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD pada

materi IPA Hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memberikan manfaat

bagi : Siswa, agar dapat memotivasi siswa dalam pembelajaran fisika, serta menjadikan

pelajaran fisika merupakan pelajaran yang menarik untuk dipelajari. Untuk menghindari

kesalahpahaman terhadap penelitian ini, maka ruang lingkup penelitian dibatasi sebagai

berikut (1) Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD adalah model pembelajaran

kooperatif, dimana siswa bekerja sama dalam satu kelompok kecil (4 sampai 5 orang)

yang heterogen, terutama dari segi kognitifnya untuk menyelesaikan tugas-tugas

pembelajaran di kelas. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD ini terdiri dari 5

komponen utama, yaitu presentasi kelas, kegiatan kelompok, evaluasi, pemberian skor

individu dan penghargaan kelompok.(2)Aktivitas siswa yang dimaksud dalam penelitian

ini adalah kegiatan siswa yang terjadi selama proses pembelajaran berlangsung, visual

activities, oral activities, motor activities, mental activities, writing activities dan

listening activities yang terdiri dari berdiskusi atau bertanya antara siswa dengan guru,

berdiskusi atau bertanya antar siswa, mempresentasikan hasil kelompok.(3)Hasil belajar

Page 384: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-103

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

fisika siswa ditunjukkan oleh nilai yang diperoleh siswa setelah diberi tes setiap akhir

siklus.(4)Materi IPA yang diajarkan pada penilitian ini adalah materi Gerak.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Sidomulyo kelas VII pada pokok bahasan

gerak tahun pelajaran 2010-2011. Dengan jumlah siswa 36 siswa. Siswa dikelompokkan

menjadi 8 kelompok kecil, dengan masing-masing kelompok beranggotakan empat dan

lima orang anggota. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di kelas VII SMPN 1

Sidumulyo semester genap tahun pelajaran 2010-2011. Faktor-faktor yang diteliti pada

penelitian ini adalah: (1) Aktivitas belajar Fisika siswa;(2)Hasil belajar Fisika siswa

Data dalam penelitian tindakan kelas berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Data

kualitatif berupa data aktivitas siswa pada setiap siklus I, II, dan III. Data kuantitatif

berupa nilai-nilai yang diperoleh siswa dari tes setiap akhir siklus I, II, dan III.

Instrumen penelitian yang digunakan adalah perangkat tes, lembar observasi, dan

catatan lapangan. Teknik Analisis Data (1)Data Kualitatif;(2)Data Kuantitatif. Adapun

indikator keberhasilan yang diharapkan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah

(1)Minimal 65 % siswa memperoleh nilai ≥ 60;(2) Minimal 70 % siswa aktif dalam

pembelajaran.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Siklus I (a). Hasil Analisis Aktivitas Belajar Siswa.

Tabel 3. Data Aktivitas Belajar Siswa Tiap Aspek Pada Siklus I

No Aktivitas yang diamati Rata-rata Persentase

Aktivitas Kategori

1. Visual Activities 70,14% Aktif

2. Oral Activities 47,22% Kurang Aktif

3. Motor Activities 50,69% Cukup Aktif

4. Mental Activities 34,72% Kurang Aktif

5. Writing Activities 70,14% Aktif

6. Listening Activities 34,72% Kurang Aktif

Nilai rata-rata 51,27% Cukup Aktif

Page 385: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-104

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

(b). Hasil Belajar Siswa pada Siklus I

Tabel 4. Data Hasil Belajar Siswa Siklus I

Nilai Kategori Jlh Siswa Hasil belajar

≥ 65 Tuntas 11 30,6%

< 65 Belum Tuntas 25 69,4%

(c) Hasil observasi pengelolaan pembelajaran Tabel 5. Data Hasil Observasi Pengelolaan Pembelajaran Siklus I

No Aspek yang diamati Pengamatan Siklus I

KB CB B SB 1 Kegiatan Awal 0% 75% 25% 0% 2 Kegiatan inti 14,28% 57,14% 28,57% 0% 3 Penutup 50% 50% 0% 0% 4 Pengelolaan

kelas/waktu 50% 50% 0% 0%

Jumlah 28,57% 58,03% 13,39% 0%

Siklus II (a). Hasil

Tabel 6. Data Aktivitas Belajar Siswa Tiap Aspek Pada Siklus II

No Aktivitas yang diamati Rata-rata Persentase

Aktivitas Kategori

1. Visual Activities 74,31% Aktif

2. Oral Activities 71,53% Aktif

3. Motor Activities 72,92% Aktif

4. Mental Activities 63,89% Cukup Aktif

5. Writing Activities 71,53% Aktif

6. Listening Activities 72,92% Aktif

Nilai rata-rata 71,18% Aktif

Page 386: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-105

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

(b). Hasil Belajar Siswa pada Siklus II

Tabel 7. Data Hasil Belajar Siswa Siklus II

Nilai Kategori Jlh Siswa Hasil belajar ≥ 65 Tuntas 18 50% < 65 Belum Tuntas 18 50%

(c) Hasil observasi pengelolaan pembelajaran Tabel 8. Data Hasil Observasi Pengelolaan Pembelajaran Siklus II

No Aspek yang diamati Pengamatan Siklus II

KB CB B SB

1 Kegiatan Awal 0% 25% 50% 25%

2 Kegiatan inti 0% 14,28% 71,42% 14,28%

3 Penutup 0% 50% 50% 0%

4 Pengelolaan kelas/waktu 0% 0% 100% 0%

Jumlah 0% 22,32% 67,85% 9,82%

Siklus III (a). Hasil Analisis Aktivitas Belajar Siswa.

Tabel 9. Data Aktivitas Belajar Siswa Tiap Aspek Pada Siklus III

No Aktivitas yang diamati Rata-rata

Persentase Aktifitas

Kategori

1. Visual Activities 81,94% Aktif

2. Oral Activities 79,86% Aktif

3. Motor Activities 77,78% Aktif

4. Mental Activities 80,56% Aktif

5 Writing Activities 81,94% Aktif

6 Listening Activities 77,78% Aktif

Nilai rata-rata 79,97% Aktif

Page 387: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-106

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

(b). Hasil Belajar Siswa pada Siklus III

Tabel 10. Data Hasil Belajar Siswa Siklus III

Nilai Kategori Jlh Siswa Hasil belajar ≥ 65 Tuntas 32 88,9% < 65 Belum Tuntas 4 11,1%

(c). Hasil observasi pengelolaan pembelajaran Tabel 11. Data Hasil Observasi Pengelolaan Pembelajaran Siklus III

No Aspek yang diamati Pengamatan Siklus III

KB CB B SB

1. Kegiatan Awal 0% 0% 50% 50%

2. Kegiatan inti 0% 0% 57,14% 42,85%

3. Penutup 0% 0% 50% 50%

4. Pengelolaan kelas/waktu 0% 0% 50% 50%

Jumlah 0% 0% 51,78% 48,21%

Pembahasan

(1) Deskripsi Aktivitas Belajar Siswa

Jika dilihat dari keseluruhan aspek aktivitas siswa selama pembelajaran

sebagaimana tercantum dalam pendapat Memes tentang aktivitas siswa yang

relevan selama proses pembelajaran antara lain: interaksi anak dalam kelompok,

interaksi ini meliputi kegiatan berdiskusi dan bekerjasama dalam menyelesaikan

masalah, keberanian anak dalam bertanya atau mengemukakan pendapat, partisipasi

anak dalam proses belajar mengajar (PBM), yang meliputi melihat dan ikut aktif

dalam diskusi, motivasi dan kegairahan anak dalam mengikuti PBM, termasuk di

dalamnya menyelesaikan tugas dan aktif memecahkan masalah, hubungan anak

dengan anak serta hubungan anak dengan guru selama PBM. Pada siklus akhir

dalam penelitian ini keempat indikator aktivitas tersebut sudah terlaksana dengan

baik.

Page 388: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-107

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

(2) Deskripsi Hasil Belajar Siswa

Dapat diketahui bahwa pada akhir pembelajaran penelitian ini dapat dikatakan

berhasil. Persentase rata-rata siswa yang aktif sudah mencapai indikator

keberhasilan ≥ 65% (syarat minimal dikatakan berhasil) yaitu sebesar 69,9 %.

Banyaknya siswa yang memperoleh nilai ≥ 65 sudah mencapai ≥ 75 % (syarat

minimal dikatakan berhasil) yaitu sebesar 88,9 % dengan jumlah siswa 32 dari 36

siswa yang ada. Dengan demikian, pembelajaran dengan model pembelajaran

dengan pendekatan kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan aktivitas dan hasil

belajar Fisika siswa di kelas VII SMPN 1 Sidomulyo.

(3) Deskripsi Pengelolaan Pembelajaran

Pada Pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD ini

banyak ditemukan peningkatan aktivitas siswa khususnya pada oral activities,

motor activities, dan mental activities. Pada oral activities diakhir siklus terihat

bahwa siswa mampu untuk bertanya, mengemukakan pendapat, memberikan saran

dan berdiskusi dengan kelompok. Hal ini karena dengan pembelajaran ini siswa

dituntut untuk aktif dalam kelompok. Demikan juga untuk motor activities, pada

saat melakukan percobaan siswa sudah terampil dalam menyiapkan alat, merangkai

alat yang digunakan untuk melakukan percobaan. Dan pada mental activities siswa

sudah berani untuk menanggapi pertanyaan yang diberikan, menganalisis soal dan

bersama-sama kelompok memecahkan masalah. Dan mampu untuk

mempresentsikan hasil kerja kelompok.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa(1)Aktivitas

siswa ditingkatkan dengan cara memberikan materi dan membagi siswa dalam

kelompok, kemudian guru meminta siswa untuk saling berdiskusi dalam kelompoknya .

Pada kegiatan ini Aktivitas siswa ditingkatkan dengan memberikan lembar kerja

kelompok dengan melakukan percobaan sederhana.;(2)Hasil belajar siswa ditingkatkan

dengan cara memberikan memberikan lembar kerja kelompok pada saat melakukan

eksperimen, dan memberikan latihan soal mengenai kegiatan yang sudah

dilakukan;(3)Penerapan model pembelajaran dengan pendekatan Kooperatif tipe STAD

Page 389: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-108

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

yang dilaksanakan di kelas VII SMPN 1 Sidomulyo, dapat meningkatkan aktivitas

belajar siswa pada setiap siklusnya. Persentase rata-rata aktivitas siswa pada setiap

siklus mengalami peningkatan yang signifikan. Pada siklus I sebesar 51,27% siklus II

persentase meningkat 18,91% menjadi 69,9% dan pada siklus III persentase meningat

8,79% menjadi 79,97%; (4)Penerapan model pembelajaran langsung dengan pendekatan

Kooperatif tipe STAD yang dilaksanakan di kelas VII SMPN 1 Sidomulyo, dapat

meningkatkan hasil belajar fisika siswa pada setiap siklusnya. Dilihat dari rata-rata hasil

belajar siswa mengalami kenaikan yang dignifikan, pada siklus I rata-rata hasil belajar

siswa 59,4, pada siklus II 66,8 dan pada siklus III sebesar 72,08.

Berdasarkan hasil refleksi tiap siklus, penerapan pembelajaran dengan

pendekatan konstrutivismel materi gerak pada siswa kelas VII SMPN 1 Sidomulyo,

maka peneliti menyarankan: (1)Model pendekatan Kooperatif tipe STAD, merupakan

salah satu alternatif model pembelajaran yang sebaiknya diterapkan untuk

meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa yang rendah. (2)Guru dapat

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD ini karena dapat

meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Rineka Cipta. Jakarta

Dahlan, M. D. 1984. Model-Model Mengajar. CV. Diponegoro. Bandung. Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Rineka Cipta. Jakarta. Hakim, Thursan. 2005. Belajar Secara Efektif. Puspa Swara. Jakarta. Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta. Sardiman, A. M. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. PT. Raja Grafindo.

Jakarta. Slameto. 1991. Proses Belajar Mengajar Dalam Sistem Kredit Semester (SKS). Bumi Aksara. Jakarta.

Page 390: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-109

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Slavin, RE. 1995. Cooperative Learning: Theory, Reseach and Practice. Boston. Allyn and Bacon. Soemanto. 1998. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta.

Page 391: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-110

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI (TIK) MENGGUNAKAN PENDEKAT AN

PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME UNTUK MENINGKATKAN MIN AT, AKTIVITAS, DAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA

Risa Hartati1, Undang Rosidi dan Eko Suyanto2

Alumni Pendidikan Fisika FKIP Universitas Lampung Jurusan Pendidikan MIPA FKIP Unila

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatan minat, aktivitas, dan

hasil belajar siswa selama pembelajaran dengan menggunakan media TIK pada pokok bahasan fluida statis. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 6 SMA YP Unila yang berjumlah 40 orang, yang terdiri dari 16 siswa laki-laki, dan 24 siswa perempuan. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dan dilaksanakan dalam 3 siklus. Media pembelajaran yang digunakan berperan sebagai pelengkap (komplemen) materi pembelajaran di dalam kelas.

Hasil penelitian menunjukkan ada peningkatan minat, aktivitas, dan hasil belajar siswa secara umum setiap siklusnya. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa nilai rata-rata minat belajar siswa pada siklus I sebesar 2,62; pada siklus II meningkat menjadi 2,70; dan pada siklus III minat siswa kembali meningkat menjadi 2,85. Hasil analisis aktivitas pada siklus I adalah 66,77; pada siklus II meningkat menjadi 71,56; dan siklus III aktivitas siswa kembali meningkat menjadi 76,56. Nilai rata-rata hasil belajar siswa pada siklus I 64,21; pada siklus II rata-rata hasil belajar meningkat menjadi 73,88; dan pada siklus III rata-rata hasil belajar menjadi 70,15; rata-rata hasil belajar siswa pada siklus III ini terkategorikan baik. Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran berbasis TIK dengan menerapkan pendekatan pembelajaran konstruktivisme dapat meningkatkan minat, aktivitas, dan hasil belajar siswa. Kata kunci: media, pendekatan pembelajaran konstruktivisme, minat, aktivitas, hasil

belajar siswa

PENDAHULUAN

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru mata pelajaran fisika di

SMA YP Unila kelas XI IPA 6 diketahui bahwa siswa kurang menyukai pelajaran

fisika. Hal ini disebakan pelajaran fisika dianggap rumit, membosankan, dan sulit untuk

dimengerti oleh siswa. Terkadang guru terbatas hanya menjelaskan materi. Proses

belajar mengajar seperti itu akan membuat peserta didik jenuh dan akan mengakibatkan

Page 392: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-111

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

hasil belajar siswa rendah. Salah satu cara untuk mengurangi kejenuhan siswa adalah

dengan menggunakan media pembelajaran. Tentu saja guru pun harus selektif dalam

menggunakan media pembelajaran yang paling tepat untuk diterapkan di dalam kelas,

memberi contoh soal dan latihan sehingga proses pembelajaran berjalan dengan

optimal.

Pada proses pembelajaran fisika, siswa tampak memiliki minat yang rendah.

Hal ini diketahui dari hasil wawancara dengan guru mata pelajaran fisika dan analisis

penyebaran angket minat pada siswa XI IPA 6. Guru jarang sekali menggunakan media

yang bervariatif dalam pembelajaran fisika. Media yang digunakan tebatas pada buku

paket pelajaran fisika terlebih siswa jarang sekali menggunakan laboratorium sekolah

sebagai media penunjang pembelajaran fisika. Jadi, kurangnya minat siswa terhadap

mata pelajaran fisika diduga karena kurangnya media yang digunakan dalam

pembelajaran.Kemudian dari observasi hasil belajar siswa diperoleh data bahwa nilai

rata-rata siswa kelas XI IPA 6 pada ujian mid semester ganjil, yaitu 61 dengan nilai

tertinggi 85 dan nilai terendah 10. Nilai tersebut belum memenuhi Kriteria Ketuntasan

Minimal (KKM) yang telah ditetapkan pada sekolah ini, yaitu ≥ 66,00. Dengan

demikian, diketahui bahwa nilai rata-rata hasil belajar fisika siswa kelas XI IPA 6 SMA

YP Unila tergolong cukup rendah. Berdasarkan uraian di atas dirasakan perlu dilakukan

penelitian tentang pemanfataan media pembelajaran berbasis TIK untuk dapat

meningkatkan minat, aktivitas dan hasil belajar siswa selama pembelajaran fisika.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah : (1) Bagaimanakah tindakan pembelajaran berbasis TIK dengan

menggunakan pendekatan pembelajaran konstruktivisme sehingga dapat meningkatkan

minat belajar siswa terhadap mata pelajaran fisika?; (2) Bagaimanakah tindakan

pembelajaran berbasis TIK dengan menggunakan pendekatan pembelajaran

konstruktivisme sehingga dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa terhadap mata

pelajaran fisika?; (3) Bagaimanakah tindakan pembelajaran berbasis TIK dengan

menggunakan pendekatan pembelajaran konstruktivisme sehingga dapat meningkatkan

hasil belajar siswa terhadap mata pelajaran fisika? Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan tindakan pembelajaran berbasis TIK dengan menggunakan pendekatan

pembelajaran konstruktivisme untuk meningkatkan : (1) minat belajar siswa terhadap

Page 393: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-112

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

mata pelajaran fisika; (2) aktivitas belajar siswa pada pembelajaran fisika; (3) hasil

belajar fisika siswa.

METODE PENELITIAN

Subyek penelitian ini adalah siswa SMA YP Unila kelas XI IPA 6 semester

genap pada sub pokok bahasan Fluida Statis tahun pelajaran 2010/2011. Jumlah siswa

kelas XI IPA 6 adalah 40 siswa, terdiri dari 16 siswa laki-laki dan 24 siswa perempuan.

Penelitian ini dmenggunakan prosedur penelitian tindakan kelas (Classroom Action

Research) yang memiliki daur proses yang terdiri dari 4 tahap yaitu: perencanaan,

tindakan, evaluasi, dan analisis reflektif. Prosedur tindakan kelas ini terdiri dari tiga

siklus. Tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang ingin dicapai.

Faktor yang diteliti dalam penelitian tindakan kelas ini adalah (1) minat siswa

terhadap pelajaran fisika; (2) aktivitas siswa pada pembelajaran fisika, dan (3) hasil

belajar fisika siswa terhadap materi fluida statis.

Adapun Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) Lembar Kerja

Kelompok (LKK) dan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dikembangkan dengan

menerapkan pendekatan kontrutivisme; (2) Lembar angket minat siswa yang bertujuan

untuk mengukur seberapa besar minat siswa terhadap pembelajaran; (3) Lembar

observasi aktivitas siswa, berupa aspek penilaian terhadap aktivitas siswa selama proses

pembelajaran sains fisika berlangsung yang dilakukan setiap pertemuan oleh guru mitra

(observer); (4) Lembar observasi pengelolaan pembelajaran guru terdiri dari

pendahuluan persiapan guru dalam mengajar, kegiatan inti dan kegiatan akhir mengajar

berdasarkan pendekatan konstruktivisme; dan (5) Lembar soal tes formatif, berupa soal

pilihan jamak dan uraian untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa dari siklus

awal ke siklus selanjutnya.

Data dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu data kualitatif dan kuantitatif.

Data kualitatif terdiri dari : (a) Data angket minat diambil melalui lembar angket minat

yang diisi siswa setelah proses belajar mengajar pada setiap siklus; (b) Data aktivitas

siswa diamati melalui lembar observasi aktivitas siswa selama proses pembelajaran

berlangsung; (c) Data aktivitas pengelolaan guru mengajar dengan menerapkan model

pembelajaran kontruktivisme, menggunakan lembar observasi pengelolaan

pembelajaran. Sedangkan data kuantitatif yaitu data kognitif, berupa data hasil belajar

Page 394: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-113

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

siswa yang diambil dengan memberikan tes kepada siswa setiap akhir siklus

pembelajaran.

Indikator keberhasilan pada penelitian ini adalah adanya peningkatan minat,

aktivitas, dan hasil belajar siswa setelah dilakukan pembelajaran dengan memanfaatkan

media pembelajaran berbasis TIK dengan menggunakan pendekatan pembelajaran

konstruktivisme.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Minat Belajar Siswa

Data minat belajar siswa setelah diterapkannya pembelajaran berbasis TIK dengan

menggunakan pendekatan pembelajaran konstruktivisme pada setiap proses

pembelajaran selama tiga siklus dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi minat belajar siswa setiap siklus

Kategori Silkus I Siklus II Siklus III Jumlah Siswa

% Jml Siswa

Jumlah Siswa

% Jml Siswa

Jumlah Siswa

% Jml Siswa

Sangat Baik 0 0 0 0 0 0 Baik 16 40 16 40 21 52,50 Cukup Baik 22 55 23 57,50 19 47,50 Kurang Baik 2 5 1 2,50 0 0 Jumlah 40 100 40 100 40 100

Adapun rata-rata minat belajar siswa dari siklus ke siklus dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata minat belajar siswa setiap siklus

Siklus Rata-rata Minat (%) Kategori

1 2,62 Cukup Baik 2 2,70 Cukup Baik 3 2,85 Cukup Baik

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa minat belajar siswa secara umum

meningkat dari siklus ke siklus. Nilai rata-rata minat belajar siswa selama pembelajaran

Page 395: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-114

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

pada siklus I adalah 2,62 dengan kategori minat cukup baik, pada siklus II meningkat

menjadi 2,70 dengan kategori minat cukup baik, dan pada siklus III minat siswa

kembali meningkat 2,85 dengan kategori minat cukup baik.

Secara keseluruhan, minat belajar fisika siswa mengalami peningkatan di setiap

aspek selama pembelajaran berlangsung. Deskripsi rata-rata minat belajar fisika siswa

yang diperoleh berdasarkan lembar instrumen minat belajar fisika berupa angket yang

telah diisi oleh siswa.

Antusiasme siswa saat mengikuti kegiatan pembelajaran terlihat saat guru mulai

menggunakan media pembelajaran TIK di dalam kelas. Hal ini disebabkan media yang

digunakan oleh guru berperan sebagai komplemen (pelengkap) materi pembelajaran.

Optimalisasi peran media membantu guru dalam meningkatkan minat belajar siswa

terhadap mata pelajaran fisika. Perasaan senang siswa ditunjukkan dengan

keingintahuan mereka yang mendalam tentang materi yang disampaikan melalui

visualisasi yang ditampilkan di depan kelas. Praktikum yang dilaksanakan di akhir

siklus membuat siswa lebih bergairah saat melakukan pembelajaran. Media TIK yang

digunakan siswa juga membantu mereka saat melakukan presentasi kelompok di depan

kelas.

Keberhasilan dalam proses pembelajaran sangat ditentukan oleh minat belajar

siswa, semakin siswa tersebut berminat maka akan lebih cepat tujuan pembelajaran

tercapai. Keberhasilan belajar terdiri dari tiga aspek salah satunya afektif yang

termasuk didalamnya minat.

Aktivitas Belajar Siswa

Data aktivitas belajar siswa setelah diterapkannya pembelajaran berbasis TIK

dengan menggunakan pendekatan pembelajaran konstruktivisme pada setiap proses

pembelajaran selama tiga siklus dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 396: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-115

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 3. Distribusi aktivitas belajar siswa setiap siklus

Kategori Silkus I Siklus II Siklus III Jumlah Siswa

% Jml Siswa

Jumlah Siswa

% Jml Siswa

Jumlah Siswa

% Jml Siswa

Aktif 7 17,50 8 20,00 19 47,50 Cukup Aktif 23 57,50 30 75,00 20 50,00 Kurang Aktif 10 25,00 2 5,00 1 2,50 Jumlah 40 100 40 100 40 100

Adapun rata-rata aktivitas belajar siswa dari siklus ke siklus dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rata-rata aktivitas belajar siswa setiap siklus

Siklus Rata-rata Aktivitas (%) Kategori

1 66,77 Cukup Aktif 2 71,56 Cukup Aktif 3 76,56 Aktif

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa aktivitas belajar siswa secara umum

meningkat dari siklus ke siklus. Nilai rata-rata aktivitas belajar siswa selama

pembelajaran pada siklus I adalah 66,77 dengan kategori aktivitas siswa cukup aktif,

pada siklus II meningkat menjadi 71,56 dengan kategori aktivitas siswa cukup aktif, dan

pada siklus III motivasi siswa kembali meningkat menjadi 76,56 dengan kategori

aktivitas siswa aktif.

Secara keseluruhan, aktivitas siswa mengalami peningkatan di setiap aspek dari

siklus ke siklus. Hal tersebut disebabkan pendekatan pembelajaran kontruktivisme

dapat membimbing siswa untuk aktif dalam pembelajaran, dimana siswa membangun

sendiri pengetahuannya. Siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, ini

merupakan proses menyesuaikan konsep-konsep dan ide-ide baru dengan kerangka

berfikir yang telah ada dalam pikiran mereka. Dalam hal ini siswa membentuk

pengetahuan mereka sendiri dan guru membantu sebagai mediator dalam proses

pembentukan itu.

Peningkatan aktivitas siswa saat proses pembelajaran berlangsung disebabkan

siswa dituntut untuk melakukan interaksi baik dengan guru, dengan siswa, bahkan

dengan media pembelajaran yang digunakan. Interaksi yang terjalin antara ketiga

Page 397: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-116

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

komponen tersebut dapat mendorong siswa untuk lebih aktif bertanya dan

mengemukakan pendapat. Bagi guru, bertanya merupakan kegiatan untuk mendorong

siswa untuk mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi,

membimbing dan menilai kemampuan siswa. Dengan bertanya, siswa akan lebih

termotivasi untuk menemukan pengetahuan yang baru pada proses pembelajaran. Bagi

siswa yang lain, proses bertanya akan menstimulan otaknya untuk lebih responsif

terhadap permasalahan yang ada. Aktivitas bertanya dilakukan saat siswa berdiskusi,

bekerja kelompok, mengamati, menemukan kesulitan, dan sebagainya. Media

pembelajaran yang berperan sebagai komplemen (pelengkap) digunakan untuk

membantu siswa menjelaskan permasalahan maupun memberikan jawaban terhadap

pertanyaan yang ada.

Keberhasilan dalam proses pembelajaran sangat ditentukan oleh aktivitas siswa,

makin aktif siswa tersebut maka akan lebih cepat tujuan pembelajaran tercapai.

Keberhasilan belajar terdiri dari tiga aspek salah satunya psikomotor yang termasuk

didalamnya aktifitas siswa.

Hasil Analisis Aktivitas Belajar Siswa

Data rata-rata hasil belajar siswa setiap siklus dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Distribusi hasil belajar siswa setiap siklus

Kategori Siklus 1 Siklus 2 Siklus 3 Jumlah Siswa

% Jml Siswa

Jumlah Siswa

% Jml Siswa

Jumlah Siswa

% Jml Siswa

Sangat baik 5 12.50% 8 20.00% 4 10.00% Baik 9 22.50% 22 55.00% 23 57.50% Cukup baik 12 30.00% 9 22.50% 13 32.50% Kurang baik 14 35.00% 1 2.50% 0 0.00% Gagal 0 0.00% 0 0.00% 0 0.00%

Adapun rata-rata hasil belajar siswa dari siklus ke siklus dapat dilihat pada Tabel 6.

Page 398: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-117

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 6. Rata-rata hasil belajar siswa setiap siklus

Siklus Rata-rata Nilai (%) Kategori

1 64,21 Cukup 2 73,88 Baik 3 70,15 Baik

Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa rata-rata hasil belajar siswa mengalami

peningkatan yang cukup baik, walaupun terjadi penurunan di siklus III. Pada siklus I

rata-rata hasil beajar siswa adalah 64,21 yang terkategorikan cukup baik dan tidak

mencapai kriteria ketuntasan minimum (KKM). Kemudian pada siklus II rata-rata hasil

belajar meningkat menjadi 73,88 yang terkategorikan baik dan mencapai KKM, dan

pada siklus III terjadi penurunan rata-rata hasil belajar menjadi 70,15. Meskipun terjadi

penurunan, akan tetapi rata-rata hasil belajar siswa pada siklus III ini terkategorikan

baik.

Data hasil belajar siswa diperoleh dari hasil tes formatif yang dikerjakan secara

individual di setiap pertemuan terakhir setiap siklus. Hasil belajar fisika siswa

ditingkatkan dengan memberikan tindakan berupa guru peneliti memposisikan diri

sebagai fasilitator dalam pembelajaran, membimbing siswa yang mengalami kesulitan

dalam pembelajaran, serta melakukan penilaian terhadap aktivitas yang dilakukan oleh

siswa selama pembelajaran. Selain itu, cukup bervariatifnya media pembelajaran yang

digunakan saat pembelajaran berlangsung juga mempengaruhi terjadinya peningkatan

hasil belajar siswa.

Penerapan pendekatan pembelajaran konstruktivisme pada siswa membuat mereka

aktif terlibat dalam pembelajaran melalui interaksi dengan kelompok dan guru peneliti

saat berinteraksi, juga akan mengembangkan pola pikir mereka dalam mengkonstruksi

suatu konsep. Pendekatan pembelajaran konstruktivisme yang diterapkan, siswa

didorong untuk lebih intens mengkaji materi pokok, termasuk rumus yang terdapat di

dalamnya dengan pembuktian ilmiah, tukar pendapat dan saling berbagi ide dengan

teman satu kelompok.

Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian dapat diketahui bahwa

penerapan pendekatan pembelajaran konstruktivisme menggunakan media pembelajaran

berbasis TIK dapat meningkatkan minat, aktivitas, dan hasil belajar siswa.

Page 399: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-118

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disimpulkan sebagai berikut: (1)

Tindakan pembelajaran yang dilakukan untuk meningkatkan minat belajar fisika siswa

adalah dengan cara melibatkan siswa dalam berbagai macam kegiatan pembelajaran

seperti praktikum, mendiskusikan suatu masalah, kegiatan tanya jawab, dan

menempatkan media pembelajaran TIK sebagai pelengkap (komplemen) saat

pembelajaran; (2) Tindakan pembelajaran yang dilakukan untuk meningkatkan aktivitas

belajar fisika siswa adalah dengan memberikan tindakan berupa presentasi kelompok,

kerjasama siswa dalam kelompok, interaksi siswa selama pembelajaran berlangsung

serta memfasilitasi siswa dengan memanfaatkan media TIK selama pembelajaran

berlangsung; (3) Tindakan pembelajaran yang dilakukan untuk meningkatkan hasil

belajar fisika siswa yaitu dengan memberikan tindakan berupa guru peneliti

memposisikan diri sebagai fasilitator dalam pembelajaran, membimbing siswa yang

mengalami kesulitan dalam pembelajaran, serta melakukan penilaian terhadap aktivitas

yang dilakukan oleh siswa selama pembelajaran. Selain itu, cukup bervariatifnya media

pembelajaran yang digunakan saat pembelajaran berlangsung juga mempengaruhi

terjadinya peningkatan hasil belajar siswa.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan bagi guru atau

guru peneliti yang akan memanfaatkan media pembelajaran berbasis TIK dengan

menggunakan pendekatan pembelajaran konstruktivisme hal-hal sebagai berikut: (1)

Guru atau guru peneliti sebaiknya lebih memahami pola umum pendekatan

pembelajaran dan cara penggunaan media yang digunakan agar proses pembelajaran

berjalan dengan lancer; (2) Guru atau guru peneliti sebaiknya mampu memanajemen

waktu sesuai dengan RPP agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik; (3) Guru atau

guru peneliti sebaiknya memantau kekompakan kelompok siswa agar siswa dapat

bekerjasama dengan baik dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru; (4)

Guru atau guru peneliti sebaiknya lebih memotivasi siswa untuk menyelesaikan tugas

dengan baik sehingga siswa dapat terus terlibat aktif dalam proses pembelajaran; dan (5)

Guru sebaiknya lebih kreatif, interaktif, dan inovatif dalam menyediakan media TIK

yang digunakan sehingga siswa ikut berperan aktif dalam pembelajaran dan siswa tidak

merasa jenuh.

Page 400: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-119

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

DAFTAR PUSTAKA

Adimphrana, Kwarta. 2008. Strategi Pengembangan Media Berbasis TIK. http://www.scribd.com/doc/3590505/Strategi-Pembelajaran-Berbasis-TIK, diakses pada 16 Februari 2010.

Arikuto, Suharsimi. 1993. Manajemen Pengajaran. Jakarta :RinekaCipta _______________. 2007. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi. Bina Aksara.

Jakarta. Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta. Ertikanto, Chandra. 2003. “Pendekatan dan Metode Mengajar”. Bahan Kuliah Strategi

Belajar Mengajar. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Fauzi, Ahmad. 2004. Psikologi Umum. CV Pustaka Setia. Bandung. Febianto, Heri. 2007. ”Pengaruh Minat dan Fasilitas Terhadap Hasil Belajar Mengetik

Manual Dengan Sistem 10 (Sepuluh) Jari Siswa Kelas I Jurusan Administrasi Perkantoran Di SMK Negeri 2 Semarang”. Skripsi Pendidikan Ekonomi. Universitas Negeri Semarang.

Firmana A. S., Alex. 2009. “Pembelajaran Berbasis Produk Untuk Meningkatkan

Aktivitas, Kreativitas, dan Hasil Belajar Fisika Siswa”. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Hakim, Thursan. 2005. Belajar Secara Efektif. Puspa Swara. Anggota IKAPI. Jakarta. Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta. Hamzah. 2008. Teori Belajar Konstruktivisme. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/

2008/08/20 /teori-belajar-konstruktivisme/, diakses pada 1 Mei 2010 Kerta, I Gusti Bagus.1996. Analisis Minat dan Daya Serap Fisika Siswa Kelas I Catur

Wulan III SMU YPS Sidorejo Lampung Tengah Tahun Pelajaran 1995/1996. Skripsi. Bandar Lampung

Marhamah, Binti. 2004. “Pembelajaran penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan

Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa pada pokok Bahasan Kalor dan Getaran di SMP negeri 22 Bandar Lampung TP 2004/2005”. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Memes, Wayan. 2001. Perbaikan Pembelajaran Topik Kalor SLTP. Jurnal. Juli 2001.

Aneka Widya. IKIP Negeri Singaraja . Sadiman, A.S. Raharjo,R., Haryono, Anung & Rahardjito. 2006. Media Pendidikan:

Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatanya. Jakarta: Pustekom dan Raja Grafindo Persada.

Page 401: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

3-120

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Sanjaya, Wina,. 2009. Strategi Pembelajaran yang Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Santyasa, I Wayan.2007. Landasan Konseptual Media Pembelajaran. Banjar Angkan

Klungkung : Universitas Pendidikan Ganesha. Sardiman, A.M. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Raja Grafindo

Persada.Jakarta. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. BumiAksara.

Jakarta. Siahaan, Sudirman. 2002. Penelitian Penjajagan tentang Kemungkinan Pemanfaatan

Internet untuk Pembelajaran di SLTA di Wilayah Jakarta dan Sekitarnya. http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/PRODI._ILMU_ KOMPUTER/196603252001121-MUNIR/PJJ_TIK/PJJ_TIK-Aplikasi_online_Learning_dalam_PJJ.pdf, diakses pada 12 September 2011

Wahidin.2008. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai Media

Pembelajaran.http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2009/03/18/pemanfaatan-teknologi-informasi-dan-komunikasi-sebagai-media-pembelajaran/, diakses pada 11 Januari 2011, pkl 05.58 wib

Wardani, Anton. 2007. “Meningkatkan Aktivitas, Kreativitas, dan Hasil Belajar Fisika

Siswa Menggunakan Pembelajaran Berbasis Produk di SMP YBL Natar lampung Selatan TP 2006/2007”. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Page 402: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4-1

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pengembangan Rubrik Asesmen Kinerja (Performance

Assessment) Untuk Mengukur Kompetensi Praktikum Kimia

Analitik Dasar

Ajat Sudrajat1)

dan Anna Permanasari2)

1)

Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Medan 2)

Prodi IPA Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh rubrik asesmen performan untuk mengukur

kompetensi mahasiswa dalam melaksanakan praktikum kimia analitik, khususnya

analisis volumetri dengan validitas dan reliabilitas yang memadai. Pengembangan

dimulai dari analisis kebutuhan, perumusan draf rubrik, revisi berdasarkan saran dan

pertimbangan pakar dan mahasiswa, validasi dan uji coba lapangan sehingga

diketahui reliabilitasnya. Rubrik yang diperoleh mempunyai validitas dan reliabilitas

yang sangat baik. Kompetensi mahasiswa dalam melakukan praktikum analisis

volumetri di atas 60%.

Kata-kata kunci : rubrik, asesmen, performan

PENDAHULUAN

Dalam kurikulum berbasis kompetensi di perguruan tinggi, mata kuliah

praktikum kimia analitik dasar merupakan mata kuliah yang terpisah dari mata kuliah

kimia analitik dasar. Dosen dapat merumuskan silabus, memilih strategi pembelajaran

dan asesmennya. Kompetensi praktikum yang sudah dirumuskan dapat dikembangkan

indikator-indikatornya menjadi instrumen asesmen (Depdiknas, 2003). Praktikum kimia

analitik dasar merupakan kegiatan praktikum yang mendasari belajar keterampilan yang

harus dimiliki untuk melakukan kegiatan praktikum mata kuliah lain dalam bidang

kimia. Begitu juga seorang yang telah lulus mengikuti praktikum kimia analitik dasar,

selain menguasai aspek kognitif, dianggap telah memiliki keterampilan dasar dalam

melakukan pekerjaan analisis. Hal penting yang lain adalah lulusan praktikum kimia

analitik dasar harus dapat menunjukkan sikap yang benar terhadap berbagai aspek

keamanan dan keselamatan kerja di laboratorium, karena pada praktikum ini paling

banyak digunakan bahan kimia yang berbahaya. Kompetensi asensial tersebut pada

umumnya luput dari asesmen dosen.

Page 403: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4-2

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Kompetensi dalam melakukan praktikum kimia analitik dasar merupakan

wahana untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan kreativias. Pada analisis

volumetri yang mengembangkan kompetensi dalam menimbang, membuat larutan

standar, preparasi larutan sampel, melakukan titrasi, menghitung kadar atau konsentarsi

sampel serta keselamatan kerja merupakan dasar-dasar dalam melakukan praktikum

lebih lanjut dalam kimia atau penelitian.

Dalam pelaksanaan praktikum dosen pengampu melakukan asesmen difokuskan

terhadap hasil laporan praktikum yang dibuat oleh mahasiswa, dan lebih banyak

dilakukan asesmen tengah semester dan akhir semester yang bersifat pengukuran ranah

kognitif saja dan diujikan secara tertulis yang berhubungan dengan materi praktikum

yang telah dilakukannya. Apabila sistem asesmen ini terus dilakukan, maka tidak akan

terukur tingkat kompetensi mahasiswa dalam melakukan praktikum, sehingga akan

mengurangi skill mahasiswa dalam melaksanakan praktikum, khususnya praktikum

kimia analitik dasar.

Efektivitas pelaksanaan asesmen menuntut pihak yang dinilai mahasiswa dan

asesor mempunyai kesamaan persepsi dan perhatian terhadap kriteria asesmen yang

digunakan. Tanpa ketersedian rubrik yang validitas dan reliabilitas yang dapat mengases

kompetensi siswa dalam melaksanakan praktikum kimia, maka bimbingan praktikum

kurang didasarkan pada data yang sesuai dan berkualitas. Belum tersedianya perangkat

asesmen kompetensi praktikum kimia analitik dasar, maka pengembangan perangkat

asesmen yang validitas dan reliabilitas sangat diperlukan. Stiggins (1994) dan Zainul

(2001) merekomendasikan untuk menggunakan asesmen performan untuk mengukur

kompetensi praktikum dengan menggunakan rubrik asesmen dengan kriteria indikator

asesmen yang jelas dan dapat dilakukan oleh siswa.

Dalam pembelajaran sains guru atau calon guru diharapkan dapat melakukan

asesmen proses dan hasil pembelajaran sains secara komprehensif dan benar.

Komprehensif artinya asesmen dilakukan mencakup berbagai aspek kompetensi. Benar

artinya asesmen yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan prinsip-prinsip asesmen yang

objektif, validitas, reliabilitas, demokratis dan berkeadilan. Pola asesmen yang baik

dapat memberikan kontribusi positif terhadap proses belajar mengajar dan hasil belajar

siswa. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Stiggins (1994) yang menyatakan bahwa

Page 404: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4-3

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

tidak perlu diragukan lagi bahwa pembelajaran yang efektif, efesien dan produktif tidak

mungkin ada tanpa asesmen yang baik.

Untuk melaksanakan asesmen performan secara maksimal, perlu diberikan

latihan terhadap siswa, sehingga rubrik asesmen performan dapat diarahkan pada

asesmen yang validitas dan reliabilitas. Dengan adanya latihan tersebut mengarahkan

mahasiswa untuk mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan dipersiapkan oleh

mahasiswa, sesuai dengan kriteria-kriteria yang ada dalam asesmen performan,

sehingga terhindar dari penyimpangan-penyimpangan yang seharusnya diases. Belum

banyak penelitian yang khusus membahas tentang bentuk asesmen untuk mengukur

kompetensi praktikum kimia analitik dasar bagi mahasiswa kimia pada pelaksanaan

praktikum.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan perangkat asesmen yang

validitas dan reliabilitas, yang dapat digunakan untuk mengukur kompetensi praktikum

kimia analitik dasar yang dilakukan oleh mahasiswa kimia pada pelaksanaan praktikum

kimia analitik dasar. Pengembangan perangkat asesmen kompetensi dalam penelitian

ini difokuskan pada kimia analitik dasar khususnya analisis volumetri. Penelitian ini

memberikan masukan dan wawasan terhadap bentuk pengembangan rubrik asesmen

performan yang dapat digunakan pada pelaksanaan praktikum kimia analitik dasar, baik

dari segi pengembangannya maupun implementasinya dalam menggunakan rubrik.

METODE

Subyek penelitian adalah mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia FMIPA

Universitas Negeri Medan, tahun perkuliahan 2011/2012. Untuk meminta tanggapan

kejelasan dan kepahaman isi butir-butir kompetensi/indikator rubrik sebanyak 44

mahasiswa, sedangkan untuk uji coba rubrik sebanyak 34 mahasiswa.

Metode penelitian ini adalah riset dan pengembangan pendidikan (Educational

Research and Development, R & D). Pengembangan yang meliputi tiga langkah utama

yaitu : analisis kebutuhan, perancangan dan pengembangan perangkat asesmen, dan

validasi serta reliabilitas perangkat asesmen yang meliputi uji coba, revisi dan validasi

perangkat asesmen. Tahapan pengembangan perangkat asesmen kompetensi praktikum

kimia analitik dasar melalui rancangan R&D disajikan seperti pada gambar 1.

Page 405: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4-4

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Gambar 1. Desain Penelitian Pengembangan Rubrik

Pada kesempatan ini hanya meliputi pengembangan rubrik asesmen, validitas

serta reliabilitas melalui uji coba di lapangan. Sementara studi pendahuluan mengenai

analisis kebutuhan tidak disampaikan pada kesempatan ini.

Pada tahap pengembangan rubrik asesmen, dilakukan analisis kebutuhan untuk

mengetahui keinginan dan kebutuhan mahasiswa peserta perkuliahan dari pelaksanaan

perkuliahan praktikum kimia analitik dasar, kemudian merumuskan indikator dan

kriteria ketercapaiannya, serta merancang draf perangkat asesmen untuk mengukur

kompetensi praktikum kimia analitik dasar. Pada pengembangan draf, untuk rubrik

asesmen berdasarkan kebutuhan yang telah dianalisis, maka untuk praktikum kimia

analitik dasar pada analisis volumetri difokuskan pada kompetensi melakukan

praktikum analisis volumetri yaitu : menimbang zat standar, membuat larutan standar,

preparasi larutan sampel, melakukan titrasi, menghitung kadar/konsentrasi sampel,

keselamatan kerja. Jumlah kompetensi/indikator dari setiap aspek dalam melakukan

praktikum analisis volumetri diupayakan tidak terlalu banyak dan setiap

kompetensi/indikator bisa mengases secara komprehensif.

Draf Perangkat Asesmen

Analisis :

- konsep-konsep esensial

- kompetensi- kompetensi praktikum.

Survey Lapangan

- pelaksanaan

asesmen,

- bentuk asesmen.

Eksperimen

Perangkat Asesmen

Teruji

Jugmen Pakar dan revisi awal

Uji coba terbatas dan revisi

keterobservasian

Uji coba utama

Studi Pendahuluan Perencanaan dan Pengembangan

Perangkat Asesmen Validasi Perangkat Asesmen

Page 406: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4-5

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Skala penilaian dalam setiap butir rubrik yang merupakan indikator kinerja

yang harus dilakukan oleh mahasiswa sewaktu melakukan suatu tindakan dalam

praktikum analisis volumetri yaitu skor 2, jika kompetensi dilakukan dengan benar dan

sempurna, skor 1, jika kompetensi dilakukan dengan benar tetapi kurang sempurna, dan

skor 0, jika kompetensi tidak muncul sama sekali atau tidak dilakukan.

Pada tahap ini dilakukan juga jugmen pakar dari pakar asesmen dan pakar kimia,

tentang draf perangkat asesmen dan revisi secara terbatas. Selain itu kepada mahasiswa

secara perorangan meminta untuk memberikan pendapatnya tentang kejelasan dan

kepahaman dari isi rubrik. Pada langkah ini disusun tugas (task), kriteria dalam bentuk

kerja dan lembar pengamatan kinerja mahasiswa dalam bentuk daftar cek untuk

mengukur kompetensi kinerja praktikum kimia analitik dasar. Revisi dilakukan atas

masukan dari pakar dan mahasiswa.

Selanjutnya dilakukan uji coba dan revisi, dalam uji coba mahasiswa secara

perorangan melakukan praktikum, dan rubrik yang sudah direvisi merupakan alat untuk

mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data melalui observasi langsung terhadap

kinerja mahasiswa melakukan praktikum dengan menggunakan rubrik asesmen kinerja

(performance assessment). Analisis data hasil masukan dari pakar, masukan dari

mahasiswa, dan hasil uji coba dilakukan secara deskriptif. Analisis validasi muka dan

validasi isi dirata-ratakan dari tiga pakar, sedangkan reliabilitas rubrik menggunakan

rumus Alpha Cronbach dengan rumus sebagai berikut : = 1 -

dengan n adalah banyaknya butir pertanyaan, adalah koefisien reliabilitas instrumen

(Cronbach alpha), adalah jumlah varian butir, adalah varian skor total. Pada uji

reliabilitas rubrik menggunakan SPSS 11,5 for Windows.

Alfa koefisien atau korelasi r11 sebesar 0,7 hingga 0,8 cukup tinggi/baik untuk

penelitian menurut Nunally dan Kaplan (Surapranata, 2010). Reliabilitas instrumen

yang baik sebesar 0,8 sampai 0,9 untuk pengukuran sikap dan kemampuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Revisi Rubrik

Hasil pengembangan rubrik asesmen untuk mengamati kompetensi mahasiswa

dalam melakukan praktikum kimia analitik volumetri menyangkut perbaikan sesuai

Page 407: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4-6

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

saran para pakar, validitas dan reliabilitas yang diujicobakan kepada 34 mahasiswa.

Rubrik kompetensi mahasiswa dalam melakukan praktikum terdiri dari beberapa aspek

yang merupakan kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh mahasiswa dalam

melakukan praktikum volumetri asam basa. Aspek pada rubrik untuk mengamti

kompetensi mahasiswa melakukan praktikum pada penelitian ini ada enam yaitu :

menimbang zat standar, membuat larutan standar, preparasi larutan sampel, melakukan

titrasi, menghitung konsentrasi dan keselamatan kerja. Masing-masing aspek

dikembangkan beberapa kompetensi/indikator sesuai dengan apa yang akan diobservasi.

Aspek dan kompetensi/indikator yang telah dibuat dikonsultasikan pada pakar.

Atas saran dari pakar dan mahasiswa dibuat beberapa revisi. Berikut disajikan pada

tabel 1 beberapa kompetensi/indikator yang direvisi.

Tabel 1

Revisi Kompetensi/Indikator Rubrik Pelaksanaan Praktikum

Semula Revisi

Menimbang zat standar.

Menghitung jumlah standar sesuai dengan yang diperluan

Mengembalikan (menolkan) kembali petunjuk angka

Menghitung jumlah zat standar sesuai dengan yang diperluan

Mengembalikan petunjuk angka pada angka nol

Membuat larutan standar

Meng-add-kan volume larutan

Meng-add-kan volume larutan (volumenya ditepatkan)

Keselamatan kerja

Menggunakan APD standar

Menggunakan alat pelindung diri (APD) standar

Para pakar memandang bahwa kelogisan format dan isi dari aspek serta

kompetensi/indikator pada rubrik sudah memadai dan baik. Revisi dilakukan terutama

pada beberapa kompetensi/indikator yang belum tegas. Pakar memberikan beberapa

perbaikan yang masih bias, misalnya pada menimbang zat standar: semula menghitung

jumlah standar sesuai dengan yang diperlukan, di sini masih bias karena apa yang

standar itu, maka para pakar menyarankan supaya ditambah dengan kata zat. Revisi

yang lain misalnya meng-add-kan volume larutan, meng-add-kan merupakan kata yang

kurang dikenal oleh mahasiswa dan hal ini di dukung oleh saran dari mahasiswa yang

Page 408: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4-7

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

persentasenya lebih rendah (68,18 %) dibandingkan dengan pernyataan yang lain (lihat

tabel 2), maka pakar menyarankan supaya ditambah dengan kata “volumenya

ditepatkan”. Begitu juga pada pernyataan kompetensi/indikator yang disingkat harus

dihindari supaya tidak salah pengertian, misalnya APD, para pakar dan mahasiswa

menyarankan supaya jangan disingkat.

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini mengarah kepada

pengembangan rubrik asesmen untuk mengukur kompetensi mahasiswa dalam

melaksanakan praktikum kimia analitik khususnya analisis volumetri. Berdasarkan

kebutuhan-kebutuhan yang ada pada perkuliahan praktikum kimia analitik dasar,

merupakan dasar dari perumusan draf awal rubrik ini. Rubrik yang dirumuskan

dikonsultasikan kepada pakar dan disosialisasikan kepada mahasiswa melalui

permintaan kepada mahasiswa untuk memberikan saran dari pernyataan

kompetensi/indikator pada rubrik, meminta saran dan pertimbangan para pakar menjadi

dasar untuk mempertimbangkan dan memperbaiki rumusan kompetensi/indikator

sehingga diperoleh rumusan kompetensi/indikator yang tidak bias. Dari hasil saran dan

pertimbangan pakar dan mahasiswa sehingga ada beberapa pernyataan

kompetensi/indikator yang harus diperbaiki.

a. Validitas dan Reliabilitas Rubrik

Uji validitas isi dilakukan dengan meminta pertimbangan kepada para pakar

(expert judgment). Tiga pakar kimia termasuk ahli asesmen diminta untuk memberikan

saran dan pertimbangan terhadap rubrik untuk mengamati kompetensi praktikum

volumetri. Validasi rubrik kompetensi praktikum dilakukan dengan cara seperti yang

dilakukan oleh Maloney et.al (2001) yaitu tiga orang pakar memberikan pertimbangan

tentang reasonabless dan appropriateness pada setiap aspek dan kompetensi/indikator

perencanaan praktikum kimia analitik volumetri. Reasonabless merupakan kelogisan

format substansi setiap butir instrumen dan appropriateness merupakan kesesuaian

setiap butir instrumen dengan tujuan penggunaannya. Reasonabless dan

appropriateness yang selanjutnya disebut validasi muka dan validasi isi (Azwar, 2010).

Hasil penilaian para pakar disajikan pada tabel 3.

Pada tabel 2 berisi rata-rata skor validasi muka dan rata-rata validasi isi dari

setiap aspek dalam praktikum volumetri.

Page 409: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4-8

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 2

Validasi Rubrik Praktikum Volumetri

Aspek Rata-rata

Validasi Muka

Rata-rata

Validasi Isi

A 4,67 5,00

B 5,00 5,00

C 4,67 4,67

D 5,00 5,00

E 5,00 5,00

F 4,67 4,67

Keterangan : A menimbang zat standar, B membuat larutan standar, C

preparasi larutan sampel, D melakukan titrasi, E Menghitung

konsentrasi, F keselamatan kerja.

Data pada tabel 2 menunjukkan bahwa semua aspek dalam rubrik kompetensi

melakukan praktikum volumetri memiliki validasi muka dan validasi isi yang relatif

tinggi dimana rata-rata lebih dari pada 3 (60%), dalam skala 5 artinya rubrik layak

untuk mengukur kompetensi/indikator dalam praktikum volumetri.

Uji kejelasan dari setiap kompetensi/indikator pada rubrik kompetensi

melakukan praktikum volumetri dilakukan dengan cara meminta kepada mahasiswa

untuk memberikan tanggapan apakah pernyataan dalam kompetensi/indikator sudah

dipahami atau tidak. Untuk mengkaji pernyataan kompetensi/indikator pada rubrik

meminta sejumlah (n=44) mahasiswa untuk mengisi lembar penilaian kejelasan dan

keterbacaan. Keempat puluh empat mahasiswa ini diminta untuk membaca satu persatu

pernyataan aspek dan kompetensi/indikator dan sekaligus disediakan mahasiswa untuk

memberikan sarannya, dengan petunjuk sebagai berikut : mahasiswa diminta untuk

memberi tanda cek () pada kata “ya” bila menurut mahasiswa kompetensi/ indikator

masing-masing aspek dapat dimengerti atau dipahami maksud pernyataannya. Memberi

tanda cek () pada kata “tidak” bila menurut mahasiswa kompetensi/ indikator masing-

masing aspek tidak dimengerti atau tidak dipahami maksud pernyataannya

Persentase mahasiswa yang memahami pernyataan dari setiap pernyataan

ditunjukkan pada tabel 3

Page 410: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4-9

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 3

Persentase Mahasiswa Memahami Pernyataan Rubrik

No

Kompetensi/

indikator

Persentase mahasiswa

memahami (%)

No

Kompetensi/

indikator

Persentase mahasiswa

memahami (%)

1 100,00 19 97,73

2 100,00 20 100,00

3 72,73 21 100,00

4 97,73 22 90,91

5 100,00 23 97,73

6 97,73 24 97,73

7 97,73 25 97,73

8 100,00 26 97,73

9 97,73 27 95,45

10 100,00 28 97,73

11 95,45 29 97,73

12 68,18 30 100,00

13 95,45 31 100,00

14 97,73 32 79,55

15 95,45 33 97,73

16 97,73 34 97,73

17 97,73 35 97,73

18 84,09 36 97,73

Persentase mahasiswa yang memahami setiap pernyataan kompetensi/indikator pada

rubrik > 60%. Walaupun ada pernyataan kompetensi/indikator no 12 sebesar 68,18%,

ada pernyataan yang tidak dimengerti oleh mahasiswa yaitu meng-add-kan. Selain itu

kompetensi/indikator pada no 32 sebesar 79,55% ada pernyataan yang tidak dipahami

karena disingkat APD. Mahasiswa menyarankan supaya jangan disingkat.

Page 411: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4-10

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Hasil uji reliabilitas, di mana pada penelitian untuk rubrik kompetensi

melakukan praktikum volumetrik, setiap kompetensi/indikator yang disediakan

mempunyai kriteria skor dari 0 - 2. Pengujian reliabilitas rubrik bentuk ini

menggunakan rumus Alpha Cronbach. Hasil analisis yang dilakukan dengan

menggunakan program SPSS 11,5 for Windows menunjukkan bahwa koefisien

reliabilitas atau alpha untuk rubrik kompetensi mahasiswa melakukan praktikum

volumetri sekitar 0,8935. Hal ini menunjukkan bahwa rubrik asesmen kompetensi

mahasiswa melakukan praktikum volumetri dapat dipercaya termasuk istimewa

(excellent) (Nunally, 1978,. dalam Basuki, A)

Hasil kompetensi praktikum analisis volumetri dapat disajikan pada tabel 4.

Tabel 4

Hasil Penilaian Kompetensi Praktikum

Kompetensi/indikator Rata-rata Kompetensi

Praktikum

Persentase (%)

Menimbang zat standar 1,6838 84,19

Membuat larutan standar 1,5882 79,41

Preparasi larutan sampel 1,9941 99,70

Melakukan titrasi 1,8014 90,07

Menghitung kadar/konsentrasi 1,9019 95,09

Keselamatan kerja 1,7235 86,17

Berdasarkan rubrik asesmen kinerja praktikum volumetri diperoleh profil kemampuan

mahasiswa sebagai berikut :

Gambar 1. Diagram Batang Profil Kompetensi Praktikum

Page 412: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4-11

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Dari rata-rata kinerja praktikum dan profil rata-rata kompetensi praktikum kimia

analitik analisis volumetri, mahasiswa dapat melakukan praktikum dengan baik.

Kompetensi mahasiswa dalam melakukan praktikum kimia analitik pada analisis

volumetri rata-rata sudah kompeten (> 60%)

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan, tahapan penelitian mulai dari

analisis kebutuhan, saran dan pertimbangan dari pakar dan mahasiswa, serta uji coba di

lapangan dapat diperoleh rubrik asesmen kinerja yang validitas dan reliabilitas yang

sangat baik, sehingga layak untuk digunakan. Kompetensi mahasiswa dalam

melakukan praktikum kimia analitik pada analisis volumetri rata-rata sudah kompeten

(> 60%) dengan rincian : menimbang zat standar (84,19 %), membuat larutan standar

(79,41 %), preparasi larutan sampel (99,70 %), melakukan titrasi (90,07 %),

menghitung konsentrasi (95,09 %) dan keselamatan kerja (86,17 %).

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (2010). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta :

Depdiknas

Maloney, D.P. et.al.(2001). “Surveying Students Conceptual Knowledge of Electricity

and Magnetism.” Physics EducationRsearch, American Journal of Physics

Supplement. 69 (7) S12-S23

Stiggins, R.J. (1994). Student-Centered Classroom Assessmen. New York : Macmillan

College Publishing Company

Surapranata, S. (2009). Analisis, Validitas, Reliabilitas dan Interpretasi Hasil Tes.

Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Zainul, A. (2001). Alternative Assessment. Jakarta : PAU-PPAI Departemen Pendidikan

Nasional

Page 413: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4-12

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Page 414: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 13

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PENGARUH PEMBELAJARAN KOOPERATIF DAN TINGKAT

PERKEMBANGAN INTELEKTUAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR

KIMIA PEBELAJAR KELAS X DI SMAN 7 BANDAR LAMPUNG

Dwi Yulianti1

1Jurusan PMIPA FKIP Unila

ABSTRAK

Pembelajaran kimia di SMAN 7 Bandar Lampung umumnya berpusat pada

pembelajar. Pembelajaran yang demikian, merupakan salah satu penyebab perolehan

belajar kimia di SMAN 7 Bandar Lampung belum mencapai KKM. Untuk mengatasi

masalah ini perlu diterapkan pembelajaran kooperatif.Penelitian ini bertujuan untuk, (1)

menguji perbedaan pembelajaran kooperatif TPS dan TGT terhadap hasil belajar kimia,

(2) menguji perbedaan tingkat perkembangan intelektual operasi konkret dan transisi

dari operasi konkret ke formal terhadap hasil belajar kimia, dan (3) menguji pengaruh

interaksi antara pembelajaran kooperatif dan tingkat perkembangan intelektual terhadap

hasil belajar kimia.

Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan penelitian kuasi eksperimen pada

pebelajar kelas X di SMAN 7 Bandar Lampung ttahun pembelajaran 2008/2009.

Eksperimen menggunakan rancangan dua faktor dengan versi disain faktorial non

ekuivalen kontrol group.

Berdasarkan analisis data, ditemukan hasil-hasil penelitian sebagai berikut.

Pertama, terdapat perbedaan signifikan hasil belajar kimia antara kelompok

pembelajaran kooperatif TPS dan TGT. Kedua, terdapat perbedaan signifikan hasil

belajar kimia antara kelompok tingkat perkembangan intelektual operasi konkret dan

transisi. Ketiga, tidak terdapat pengaruh interaksi antara pembelajaran kooperatif

dengan tingkat perkembangaan intelektual terhadap hasil belajar kimia.

Berdasarkan temuan-temuan penelitian ini, diajukan saran-saran sebagai berikut,

1) penerapan pembelajaran kooperatif TPS dan TGT perlu dilengkapi dengan perangkat

pembelajaran yang dapat memfaktualkan pengetahuan kimia, terutama pengetahuan

kimia yang abstrak, 2) penelitian ini memiliki keterbatasan pada lingkup topik kimia

Page 415: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 14

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

yang diteliti. Untuk itu perlu dipikirkan penelitian pembelajaran kooperatif TPS dan

TGT pada lingkup topik kimia yang lain.

Kata kunci: pembelajaran kooperatif, tingkat perkembangan intelektual, hasil belajar

kimia.

PENDAHULUAN

Menurut dokumen hasil belajar kelas X di SMAN 7 Bandar Lampung, tahun

pembelajaran 2008-2009 diketahui bahwa hasil belajar kognitif pebelajar pada

matapelajaran kimia belum sebaik hasil belajar pada matapelajaran bahasa Indonesia,

bahasa Inggris dan ilmu sosial. Menurut Apriyani (2010) rerata hasil belajar pada materi

pokok hidrokarbon sebesar 56,5. Pebelajar yang memperoleh nilai ≥ 65 hanya 35%,

sementara standar ketuntasan belajar yang ditetapkan di SMAN 7 Bandar Lampung

adalah 100% pebelajar mendapat nilai ≥ 65.

Berbagai hasil penelitian baik di dalam maupun di luar negeri mengungkapkan

terjadinya fenomena kesulitan pebelajar memahami konsep-konsep kimia. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Hariun (2003) dan Herunata (2003) mengungkapkan

banyak pebelajar tidak mampu memahami konsep-konsep kimia, hal ini terbukti dengan

ketidakmampuan pebelajar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dinyatakan dengan

cara berbeda, dari pertanyaan-pertanyaan yang biasa diberikan guru selama proses

pembelajaran di kelas atau pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam buku pegangan.

Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Maroto dan Camusso (1996),

banyak pebelajar yang mengalami kekecewaan ketika mereka dihadapkan pada

pertanyaan-pertanyaan yang disajikan dengan cara yang berbeda dari apa yang telah

disampaikan di kelas atau buku teks. Selanjutnya Hariun (2003) menyatakan, pada

umumnya pebelajar hanya mampu mengerjakan soal-soal kimia yang terkait dengan

rumus-rumus, namun mereka tidak memahami konsep-konsep kimianya (Hariun, 2003).

Fenomena-fenomena ini terjadi pula pada pebelajar SMA kelas X di SMAN 7 Bandar

Lampung.

Menurut Callahan (1999), hasil belajar IPA dipengaruhi oleh tingkat

perkembangan intelektual pebelajar. Tingkat perkembangan intelektual dibedakan

antara lain operasi konkret dan formal. .Selanjutnya Callahan menyatakan rendahnya

Page 416: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 15

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

perolehan belajar IPA disebabkan antara lain karena pebelajar belum memiliki

kemampuan berpikir formal. Kemampuan berpikir formal sangat dibutuhkan pebelajar

untuk membangun pengetahuan kimia. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk

mengatasi kondisi ini adalah dengan memilih, merencanakan, menyusun, dan

menerapkan pembelajaran yang dapat melibatkan pebelajar belajar melalui kegiatan

yang tidak hanya meminta mereka mengingat saja. Menurut Pungente dan Bodger

(2003), pembelajaran kimia sebaiknya dapat memfasilitasi pebelajar untuk membangun

pengetahuan kimia secara bermakna.

Ada berbagai pembelajaran yang perlu dipertimbangkan untuk mengatasi

masalah ini, salah satunya adalah pembelajaran yang dapat melibatkan pebelajar untuk

memecahkan masalah-masalah melalui interaksi positif antara teman dalam kelompok-

kelompok belajar kooperatif. Pembelajaran kooperatif ada bermacam-macam antara lain

pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dan Teams Games Tournament

(TGT).

Dasar pemikiran pemilihan pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran kimia,

adalah berdasarkan berbagai hasil penelitian yang dilaporkan oleh Slavin (1991),

Rahayu (1996), dan Yulianti (2002). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa

pembelajaran kooperaif dapat meningkatkan hasil belajar. Selanjutnya Rahayu (1996)

mengungkapkan bahwa hasil belajar yang dicapai pebelajar dengan diterapkannya

pembelajaran kooperatif mampu mencapai tujuan jangka pendek dan tujuan jangka

panjang.

Berdasarkan latar belakang masalah ini, disimpulkan penting untuk melakukan

penelitian mengenai pengaruh pembelajaran dan perkembangan intelektual terhadap

hasil belajar kimia pebelajar kelas X di SMAN 7 Bandar Lampung. Tujuan dilakukan

penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai kemampuan pebelajar

memahami konsep-konsep kimia, dilihat dari penggunaan pembelajaran kooperatif

yang berbeda dan tingkat perkembangan intelektual yang berbeda, serta untuk

mengetahui pengaruh interaksi dari tingkat perkembangan intelektual terhadap

pembelajaran kooperatif yang diterapkan pada hasil belajar kimia.

Page 417: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 16

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

METODE PENELITIAN

Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen kuasi, dengan rancangan

desain pra tes dan pos tes non ekuivalen kontrol kelompok versi faktorial 2 x 2. Secara

prosedural rancangan desain penelitian ini mengikuti pola seperti ditunjukkan dalam

tabel 1.

Tabel. 1 Prosedur Penelitian

Kelompok

Pra Tes Perlakuan Pada

Kelompok

Pos tes

1 O1 X1Y1 O2

2 O1 X1Y2 O2

3 O1 X2Y1 O2

4 O1 X2Y2 O2

Berdasarkan prosedur penelitian, maka rancangan eksperimen faktorial 2 x 2 yang

digunakan, mengikuti pola seperti yang ditunjukkan dalam tabel 2.

Tabel. 2 Rancangan Eksperimen Faktorial (2 x 2)

Tabel 2

menunjukkan bahwa pembelajaran yang digunakan sebagai perlakuan dalam penelitian

memiliki dua dimensi yaitu pembelajaran kooperatif tipe TGT dan TPS. Tingkat

perkembangan intelektual pebelajar dibedakan atas tingkat perkembangan intelektual

transisi dan tingkat perkembangan intelektual konkret.

Pembelajaran Kooperatif

TGT TPS

Tingkat

Perkembangan

intelektual

Transisi Kelompok 1 Kelompok 3

Konkret Kelompok 2 Kelompok 4

Page 418: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 17

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Subyek penelitian ini adalah pebelajar kelas X SMAN 7 Bandar Lampung

semester genap tahun pembelajaran 2010-2011 di SMAN 7 Bandar Lampung.

Penetapan subyek penelitian dilakukan sebanyak dua tahap. Berdasarkan hasil undian,

terpilih kelas X6 dan X7 sebagai kelas penelitian. Selanjutnya berdasarkan hasil undian

tahap kedua terpilih kelas X6 sebagai kelas yang mana seluruh pebelajar di kelas

tersebut akan mendapat pembelajaran kooperatif tipe TPS, dan kelas X7 akan mendapat

pembelajaran kooperatif tipe TGT.

Variabel penelitian ini terdiri dari variabel bebas yaitu metode pembelajaran

kooperatif, dan variabel moderator yaitu tingkat perkembangan intelektual, serta

variabel terikat adalah hasil belajar yang diukur dengan menggunakan tes perolehan

belajar dalam bentuk uraian.

Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen untuk, (a) mengukur pengetahuan awal

(pra tes) dan hasil intervensi (pos tes), dan (b) mengukur tingkat perkembangan

intelektual pebelajar. Sebelum instrumen dipergunakan, instrumen diujicoba terlebih

dahulu untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya. Semua perhitungan untuk analisis

butir dan reliabilitas internal instrumen tes hasil belajar, menggunakan bantuan program

spss versi 13,0 for windows. Dari hasil analisis validitas butir tes hasil diketahui, semua

butir soal memiliki validitas yang memenuhi syarat untuk digunakan mengungkap data.

Rentang validitas butir tes hasil belajar adalah 0,481-0,722. Berdasarkan hasil

perhitungan koefisien reliabilitas menggunakan rumus Koefisien Alpha dari Cronbach,

tes hasil belajar menunjukkan koefisien alpha-Cronbach sebesar 0,782. Artinya

reliabilitas tes dianggap tinggi.

3. Analisis Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan

teknik analisis deskriptif dan analisis varians dua jalur. Analisis deskriptif digunakan

untuk mendeskripsikan nilai rerata dan simpangan baku variabel hasil belajar. Analisis

varians dua jalur digunakan untuk menguji hipotesis penelitian. Pengujian hipotesis nol

dilakukan pada taraf signifikansi 5% (0,05) dengan bantuan program spss versi 13,0 for

windows.

Page 419: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 18

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Sebelum analisis varians dua jalur dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji

asumsi dasar. Uji asumsi tersebut, adalah (1) uji normalitas sebaran data variabel

dependen, (2) uji homogenitas, dan (3) uji kesamaan matrik varians kovarians dari

dependen variabel (Santoso, 2002). Berdasarkan semua hasil pengujian prasyarat,

disimpulkan (1) semua kelompok data berdistribusi normal, (2) varians subyek hasil

belajar pada pembelajaran kooperatif TPS sama atau homogen dengan varians subyek

hasil belajar pada pembelajaran kooperatif TGT dan, varians subyek hasil belajar pada

tingkat perkembangan intelektual transisi sama atau homogen dengan varians subyek

hasil belajar pada operasi konkret, dan (3) semua variabel hasil belajar mempunyai

matrik varians-kovarians yang sama, pada kelompok-kelompok pembelajaran TPS dan

TGT, dan tingkat perkembangan intelektual (transisi dan operasi konkret).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data Deskriptif

Rerata hasil belajar pebelajar kelompok pembelajaran kooperatif TPS, dengan

tingkat perkembangan intelektual transisi, sebesar 81,75 dan simpangan baku sebesar

2,36. Rerata hasil belajar pebelajar kelompok pembelajaran kooperatif TPS, dengan

tingkat perkembangan intelektual operasi konkret, sebesar 70.05 dan simpangan baku

sebesar 5,44. Rerata hasil belajar pebelajar kelompok pembelajaran kooperatif TGT,

dengan tingkat perkembangan intelektual transisi, sebesar 79,00 dan simpangan baku

sebesar 1,00. Rerata hasil belajar pebelajar kelompok pembelajaran kooperatif TGT,

dengan tingkat perkembangan intelektual operasi konkret, sebesar 67,16 dan simpangan

baku sebesar 6,36.

Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan menggunakan penerimaan atau penolakan Ho

Dari analisis varians 2 jalur, diperoleh hasil seperti terlihat pada tabel 4.2.

Page 420: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 19

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel. 3 Hasil Analisis Variansi Dua Jalur

Source

Type III

Sum of

Squares

Df Mean

Square F Sig.

Pemb 49.510 1 49.510 1.504 .024

TPI 863.803 1 863.803 26.238 .000

Pemb * TPI .028 1 .028 .001 .977

Berdasarkan hasil analisis variansi dua jalur, diketahui sebagai berikut: (1) Pengaruh

utama variabel independen yang dimanipulasi, yakni pembelajaran kooperatif dengan

dimensi TPS dan TGT, terhadap hasil belajar kimia, dijelaskan sebagai berikut. Dari

sumber pembelajaran, nilai signifikansi atau nilai p = 0,024, ini berarti nilai p di bawah

0,05. Oleh sebab itu, hipotesis nol yang menyatakan “Hasil belajar kimia antara

kelompok pebelajar yang mengikuti pembelajaran dengan pembelajaran kooperatif TPS

tidak berbeda dengan kelompok pebelajar yang mengikuti pembelajaran kooperatif

TGT”, ditolak. (2) Dari sumber tingkat perkembangan intelektual, nilai signifikansi atau

nilai p = 0,00, ini berarti nilai p di bawah 0,05. Oleh sebab itu, hipotesis yang

menyatakan “Hasil belajar kimia antara kelompok tingkat perkembangan intelektual

transisi, tidak berbeda dengan kelompok tingkat perkembangan intelektual operasi

konkret”, ditolak. (3) Dari sumber pembelajaran kooperatif dan tingkat perkembangan

intelektual, nilai signifikansi atau p = 0,97, ini berarti nilai p di atas 0,05. Dengan

demikian, maka hipotesis yang menyatakan “Tidak ada pengaruh interaksi antara

pembelajaran kooperatif dan tingkat perkembangan intelektual terhadap hasil belajar

kimia”, diterima. Artinya tidak ada pengaruh interaksi antara pembelajaran kooperatif

dan tingkat perkembangan intelektual terhadap hasil belajar kimia.

Page 421: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 20

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

KonkTrans

TPI

80.00

75.00

70.00

Est

imat

ed M

argi

nal M

eans

TGT

TPS

Pemb

Estimated Marginal Means of HSB

Gambar. 1 Pengaruh Interaksi Antara Pembelajaran Kooperatif dan Tingkat

Perkembangan Intelektual

Pembahasan

Dari hasil pra tes terungkap bahwa skor rerata yang diperoleh pebelajar berada

pada kategori kurang yaitu sebesar 1.603. Mengapa skor rerata pra tes yang diperoleh

pebelajar masih kurang?, hal ini disebabkan pengetahuan kimia adalah abstrak, sehingga

untuk dapat memahaminya dibutuhkan proses belajar-membelajarkan yang dapat

membantu pebelajar membangun pengetahuan tersebut.

Fakta ini menunjukkan bahwa pebelajar belum memiliki pengetahuan awal yang

baik untuk mengikuti pembelajaran. Skor rerata prates yang sangat rendah ini

mengindikasikan perlu dilakukan suatu inovasi pembelajaran ilmu kimia di sekolah agar

pebelajar dapat menuntaskan belajar dengan kualitas yang lebih baik.

Setelah pelaksanaan eksperimen, terjadi peningkatan skor rerata total yang

diperoleh pebelajar. Peningkatan hasil belajar yang demikian besar ini terjadi karena

pebelajar mendapat bantuan untuk membangun pengetahuan kimia yang abstrak.

Bantuan diberikan selama proses belajar-pembelajaran, baik yang diberikan teman satu

kelompok maupun yang diberikan guru.

Page 422: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 21

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Diketahui kelompok pebelajar yang mendapat perlakuan pembelajaran

kooperatif TPS menunjukkan skor rerata hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan

dengan kelompok pebelajar yang mendapat perlakuan pembelajaran kooperatif TGT.

Pada kelompok tingkat perkembangan intelektual. Skor rerata hasil belajar kelompok

pebelajar yang memiliki tingkat perkembangan intelektual transisi dari operasi konkret

ke operasi formal lebih tinggi, dibandingkan dengan kelompok pebelajar yang memiliki

tingkat perkembangan intelektual operasi konkret.

Secara khusus penelitian ini mengungkapkan bahwa hasil belajar ilmu kimia

pebelajar kelas X SMAN 7 Bandar Lampung semester genap tahun pembelajaran 2010-

2011, menunjukkan tidak ada pengaruh interaksi antara pembelajaran kooperatif

dengan tingkat perkembangan intelektual terhadap hasil belajar kimia.

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa hasil belajar kimia kelas X

dipengaruhi oleh pembelajaran kooperatif yang berbeda, walaupun diberi bahan

pembelajaran, perangkat pembelajaran, alat-bahan praktikum, alokasi waktu

pembelajaran, waktu proses belajar pembelajaran yang tidak berbeda, soal-soal tes dan

pembelajar yang sama. Hasil pembelajaran yang berbeda ini diduga disebabkan adanya

perbedaan perlakuan terhadap pebelajar, yakni perlakuan berupa perbedaan penerapan

pembelajaran.

Ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab mengapa perolehan hasil

belajar pada pembelajaran kooperatif TPS lebih unggul dibandingkan dengan

pembelajaran kooperatif TGT. Faktor penyebab itu dibedakan atas faktor penyebab

umum dan khusus. Faktor penyebab umum adalah faktor penyebab yang dilihat dari

langkah-langkah pembelajaran secara keseluruhan. Sedangkan faktor penyebab khusus

dilihat dari masing-masing langkah pembelajaran.

Faktor penyebab khusus mengapa pembelajaran kooperatif TPS lebih unggul

dibandingkan dengan pembelajaran kooperatif TGT adalah pertama, bila dikaitkan

dengan pengertian pembelajaran yang berarti cara-cara berbeda untuk mencapai hasil

pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi berbeda (Reigeluth, 1983). Hasil

penelitian ini telah sesuai dengan teori yang ada. Cara yang berbeda dapat dilihat dari

langkah-langkah pembelajaran yang diterapkan pada pebelajar, yang mana langkah-

Page 423: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 22

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

langkah pembelajaran pada pembelajaran kooperatif TPS berbeda dengan langkah-

langkah pembelajaran pada pembelajaran kooperatif TGT. Pada pembelajaran

kooperatif TPS, pebelajar saling membelajarkan antara seorang pebelajar dengan

seorang pebelajar. Kemudian untuk memperluas pemahaman pebelajar dibelajarkan lagi

dengan pebelajar yang lain, sehingga wawasan dan informasi yang diperoleh pebelajar

akan semakin beragam. Berbeda dengan pembelajaran kooperatif TPS, pada

pembelajaran kooperatif TGT, pembelajar diminta untuk turnamen, ternyata turnamen

tidak memperkaya informasi pebelajar. Turnamen bahkan menimbulkan kecemasan,

sebab turnamen akan menunjukan kalah dan menang seorang pebelajar. Keadaan yang

demikian tidak meningkatkan pemahaman pebelajar akan penetahuan yang dibangun.

Waktu pebelajar lebih dipusatkan pada persiapan turnamen.

Hasil belajar kimia jika dilihat dari segi kuantitas, diketahui bahwa skor rerata

hasil belajar yang diperoleh kelompok tingkat perkembangan intelektual transisi dari

operasi konkret ke operasi formal lebih tinggi dibandingkan kelompok tingkat

perkembangan intelektual operasi konkret.

Pemaparan hasil belajar menunjukkan, terdapat perbedaan yang signifikan hasil

belajar, antara kelompok pebelajar yang memiliki tingkat perkembangan intelektual

yang berbeda (pebelajar kelompok operasi transisi dari operasi konkret ke formal dan

pebelajar kelompok operasi konkret), atau tingkat perkembangan intelektual

membedakan hasil belajar yang diperoleh. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang

menyatakan bahwa, tingkat perkembangan intelektual merupakan salah satu

karakteristik pebelajar dan karakteristik pebelajar, akan mempengaruhi pencapaian hasil

belajar.

Hasil penelitian ini mendukung teori pembelajaran yang dinyatakan oleh Slavin

(1997) dan Piaget (1975) yang menyatakan bahwa tingkat perkembangan intelektual

dapat dikategorikan sebagai variabel yang turut mempengaruhi pencapaian hasil belajar,

termasuk perkembangan intelektual. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian

yang dilakukan oleh Scerri (2003), Nurrenbern (2001), MacKinnon (2004), Ardhana

(1983), Rosadi, (2006), Abdurrahman (1999), Puspitasari (2006), Bakar (2006) dan

Winarti (1998), yang menyatakan ada pengaruh tingkat perkembangan intelektual

terhadap perolehan belajar.

Page 424: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 23

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Kemampuan berpikir transisi dari operasi konkret ke operasi formal lebih tinggi

dibandingkan dengan kemampuan berpikir operasi konkret. Dengan demikian pebelajar

yang memiliki kemampuan berpikir intelektual transisi dari operasi konkret ke formal

berpeluang memperoleh hasil belajar ilmu kimia yang lebih baik, dibandingkan dengan

pebelajar yang memiliki kemampuan berpikir operasi konkret. Hal ini disebabkan oleh

beberapa faktor, faktor-faktor tersebut adalah pengetahuan kimia umumnya abstrak dan

untuk dapat memahami pengetahuan kimia yang umumnya abstrak, dibutuhkan

kemampuan berpikir abstrak (kemampuan berpikir abstrak merupakan salah satu bagian

dari kemampuan berpikir formal), dan tidak cukup hanya dengan kemampuan berpikir

konkret atau transisi dari operasi konkret ke formal.

Menurut Reigeluth (1983) hasil belajar sangat ditentukan oleh pembelajaran

yang diterapkan, dan sesuai dengan karakteristik pebelajar. Hal yang sama dinyatakan

pula oleh Carin dan Sund (1985) bahwa produk pembelajaran sangat ditentukan oleh

proses pembelajaran. Proses pembelajaran dipengaruhi oleh subyek pebelajar. Pendapat

Reigeluth (1983), dan Carin dan Sund (1985) ini tidak didukung oleh hasil empirik

penelitian ini. Berdasarkan hasil statistik deskriptif dan pengujian hipotesis,

menggunakan anava dua jalur terungkap sebagai berikut.

Pertama, skor rerata penelitian ini mengungkapkan bahwa: (1) hasil belajar

kelompok pembelajaran kooperatif TPS pada tingkat perkembangan intelektual transisi

berbeda, dengan kelompok pembelajaran kooperatif TPS pada tingkat perkembangan

intelektual operasi konkret, dan (2) kelompok pembelajaran kooperatif TGT pada

tingkat perkembangan intelektual transisi berbeda, dengan kelompok pembelajaran

kooperatif TGT pada tingkat perkembangan intelektual operasi konkret. Hasil penelitian

ini tidak mendukung hasil penelitian Janiuk (1993) dan pernyataan Lyle dan Robinson

(2001) bahwa kondisi mempengaruhi keefektifan dan efisiensi metode pembelajaran.

Artinya keefektifan dan efisiensi penerapan pembelajaran dipengaruhi oleh

karakteristik pebelajar. Salah satu karakteristik pebelajar yang tidak dapat dimanipulasi

adalah tingkat perkembangan intelektual.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa tidak terjadi interaksi antara

pembelajaran kooperatif (TPS dan TGT) dengan tingkat perkembangan intelektual

operasi konkret dan transisi. Pertama, langkah-langkah pembelajaran kooperatif TPS

Page 425: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 24

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

dan TGT sama-sama dimulai dengan pemberian masalah pada kelompok-kelompok

belajar. masalah kemudian didiskusikan untuk dicari jawabannya.

Kedua, selama kegiatan pembelajaran kooperatif TPS dan TGT, sejak tahap

awal kegiatan sampai menyimpulkan, pebelajar mendapat bantuan dari pembelajar.

Bantuan diberikan pembelajar dengan memberi pertanyaan-pertanyaan yang

mengarahkan pebelajar untuk menghubungkan hasil kegiatan fisik dengan kegiatan

mental. Bantuan dengan pola demikian sangat sesuai dengan tingkat perkembangan

intelektual operasi konkret, dan transisi (terutama operasi konkret).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil penelitian, pengujian hipotesis, dan pembahasan, dapat disampaikan

beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) Hasil belajar kimia dipengaruhi secara

signifikan oleh tipe pembelajaran kooperatif. (2) Tingkat perkembangan intelektual

(operasi konkret dan transisi dari operasi konkret ke formal) secara signifikan

berpengaruh terhadap hasil belajar kimia. (3) Interaksi antara pembelajaran kooperatif

(TPS dan TGT) dengan tingkat perkembangan intelektual (operasi konkret dan transisi

dari operasi konkret ke formal), tidak memberi dampak yang berbeda secara signifikan

terhadap hasil belajar kimia.

Saran-saran

Pembelajaran kooperatif TPS dan TGT dilaksanakan dengan alokasi waktu yang

sama, dan waktu proses pembelajaran yang tidak berbeda, sehingga dapat diajukan

saran, dalam melaksanakan pembelajaran untuk mencapai hasil belajar kimia pada

tingkat pemahaman, disarankan kepada para pembelajar untuk menggunakan

pembelajaran kooperatif TPS dan TGT dilengkapi dengan perangkat pembelajaran yang

membimbing belajar dengan langkah-langkah pembelajaran TPS dan TGT.

Page 426: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 25

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1999. Pengaruh Penggunaan Model PAM terhadap hasil Belajar

Pebelajar dalam Menyelesaikan Soal Hitungan Kimia Ditinjau dari

Kemampuan Berfikir Formal. Tesis tidak dipublikasikan. Malang: Program

Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Apriyani, E. 2010. Perbedaan Penggunaan Model Pembelajaran Tipe TPS dan TGT

terhadap Aktivitas Belajar Pebelajar dan Penguasaan Konsep pada Materi

Pokok Hidrokarbon. Skripsi tidak dipublikasikan. Bandar Lampung: PMIPA

FKIP Universitas Lampung.

Ardhana, W. 1983. Kesanggupan Berfikir Formal Ala Piaget dan Kemajuan Belajar di

Sekolah. Disertasi tidak dipublikasikan. Malang: Program Pascasarjana

Universitas Negeri Malang.

Bakar, A. 2006. Pengaruh Remedi menggunakan Problem Solving dan Tingkat

Intelektual terhadap Hasil Belajar dalam Menyelesaikan Soal Konseptual dan

Algoritmik pada Topik Stoikiometri Pebelajar Kelas II SMAN 4 Malang. Tesis

tidak dipublikasikan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri

Malang.

Callahan, J.F., Clark, L.H., and Kellough, R.D. 1999. Teaching in the Middle and

Secondary Schools: Problem Solving, Discovery and Inquiry. New York,

Oxford, Singapore, Sydney: Maxwell Macmillan International.

Carin, A.A., and Sund, R.B. 1985. Teaching Science Through Discovery. Columbus:

Charles E Merril Publishing Company.

Hariun, M. 2003. Analisis Pemahaman Algoritmik dan Konseptual Pebelajar Pada

Konsep Laju Reaksi di Kabupaten Kendari. Tesis tidak dipublikasikan.

Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Herunata. 2003. Analisis Pemahaman Konsep-Konsep Kimia Elektrolit Pasca

Pembelajaran dengan Bahan Ajar Terpadu Berbasis Pendekatan

Makroskopis-Mikroskopis dan Mikroskopis-Makroskopis. Tesis Tidak

Dipublikasikan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang.

Page 427: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 26

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Lyle, K.S., and Robinson, W.R. 2001. Teaching Science Problem Solving: An Overview

of Experiment, (Online), (http://[email protected], diakses 3 September

2007).

MacKinnon, G.R. 2004. Why Models Sometimes Fail: Eight suggestions to improve

science instruction. Journal of Collge Science Teacher. 32 (7): 430-435.

Maroto, Beatriz and Camusso, Celso. 1996. Assessment of Knowledge Acquired in a

Organic Chemistry Course. Journal of Chemical Education. 73(3): 231-235.

Nurrenbern, S.C. 2001. Piaget”s Theory of Intellectual Development Revised. Journal

of Chemical Education. 78 (8): 1107-1111.

Piaget, J. 1975. The Child and Reality. New York: Penguin Books.

Pungente, M.D., and Badger, R.A. 2003. Teaching Introductory Organic Chemistry:

„Blooming‟ beyond a Simple Taxonomy. Journal of Chemical Education. 80

(7): 779-783.

Puspitasari, N. 2006. Pengaruh Model Konkret Tingkat Intelektual terhadap Prestasi

Belajar Kimia tentang Baterai dan Aki pada Pebelajar Kelas III IPA MAN

Tlogo. Tesis tidak dipublikasikan. Malang: Program Pascasarjana Universitas

Negeri Malang.

Rahayu (1996) Pembelajaran Kooperatif Pada Matapelajaran IPA. Jurnal Chimera, 2

(4: 117-122.

Reigeluth, C.M (Ed). 1983. Instructional Design Theories and Models. New Jersey:

Lawrence Erlbaum Associates.

Rosadi, F. (2006). Pengaruh Pembelajaran Ilmu Kimia dengan Pendekatan Inkuiri

Terbimbing terhadap Prestasi Belajar Kimia Pebelajar SMAN 1 Kutorejo

Mojokerto Tahun Pelajaran 2005/2006. Tesis tidak dipublikasikan. Malang:

Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Scerri, E.R. 2003. Philosophical Confusion in Chemical Education Research. Journal

of Chemical Education. 80 (5): 468-473.

Page 428: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 27

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Slavin, R.E. 1991. Educational Psychology Theory and Practice (5rd ed). Needham

Heights: Allyn and Bacon.

Slavin, R.E. 1997. Educational Psychology Theory and Practice (5rd ed). Needham

Heights: Allyn and Bacon.

Winarti, A. 1998. Analisis Pemahaman Konsep Asam Basa melalui Penggambaran

Mikroskopik dan Hubungannya dengan Kemampuan Berfikir Formal

Mahapebelajar PS Pendidikan Kimia FKIP UNLAM Banjarmasin. Tesis tidak

dipublikasikan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Yulianti, Dwi. 2003. Persentase Pemahaman Pada Sub Pokok Bahasan Unsur dan

Senyawa Melalui Pembejaran Koperatif. Jurnal Guruan MIPA, 2 (164-167).

Page 429: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 28

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

THE PROBLEM-BASED LEARNING MODEL TO INCREASE STUDENTS’

SKILLS IN COMMUNICATION, CLASSIFICATION, AND

COMPREHENSION OF ACID-BASE CONCEPTS

Noor Fadiawati1, Chansyanah Diawati

1

1Jurusan PMIPA FKIP Unila

ABSTRACT

The present study is aimed to implement the Problem-Based Learning (PBL) in

acid-base concepts as a way to find out alternative in applying learning model for the

subject of chemistry. The implementation of PBL is expected to increase students’

skills in communication, classification, and comprehension of acid-base concepts. The

model was implemented using pretest-posttest control group design, involving 66

students of an SMAN in South of Lampung, class of XI second semester. Data were

collected by means of comprehension test and observation. Data analysis was

conducted by using t-test and normalized gain scores. The effectiveness model was

referenced from normalized gain scores within control and experiment class. The result

of the study shows an increase students’ skills in communication, classification, and

comprehension of acid-base concepts.

Key Words: Problem-Based Learning, students’ skills in communication, classification,

and comprehension acid-base concepts

PENDAHULUAN

Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan dewasa ini adalah lemahnya

proses pembelajaran. Proses pembelajaran di kelas hanya diorientasikan pada

kemampuan siswa untuk menghafal informasi, tanpa dituntut untuk menghubungkannya

dengan kehidupan sehari-hari (Sanjaya, 2008).

Ilmu kimia adalah bagian dari Ilmu Pengetahuan alam (IPA), yang berkembang

berdasarkan pada pengamatan terhadap fenomena alam. Ada tiga hal yang berkaitan

dengan kimia yaitu kimia sebagai produk yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum,

dan teori; kimia sebagai proses atau kerja ilmiah; dan kimia sebagai sikap (Tim

Penyusun, 2006). Faktanya, pembelajaran kimia siswa di sekolah cenderung hanya

menghadirkan konsep-konsep, hukum-hukum, dan teori-teori saja; tanpa menyuguhkan

Page 430: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 29

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

bagaimana proses ditemukannya konsep, hukum, dan teori tersebut; sehingga tidak tum-

buh sikap ilmiah dalam diri siswa. Akibatnya pembelajaran kimia menjadi kehilangan

daya tariknya dan lepas relevansinya dengan dunia nyata yang seharusnya menjadi

obyek ilmu pengetahuan tersebut (Depdiknas, 2003).

Pembelajaran yang hanya memghadirkan konsep-konsep, hukum-hukum, dan

teori-teori saja menyebabkan siswa tidak merasakan manfaat ilmu kimia dalam

kehidupan; hal ini terindikasi dari tercemarnya sebagian besar sungai di Indonesia pada

umumnya dan Lampung pada khususnya, polusi udara, menumpuknya sampah,

pembakaran hutan, dan kerusakan alam lainnya yang disebabkan oleh manusia.

Rendahnya kualitas pendidikan IPA pada umumya juga terindikasi dari

rendahnya prestasi yang diraih oleh siswa-siswa Indonesia dalam ajang Internasional,

misalnya pada TIMSS (The Third International Mathematics and Science Study) tahun

1999 dalam bidang IPA, Indonesia menduduki peringkat 32 di bawah Iran dan di atas

Turki dari 38 negara yang berpartisipasi. Sementara itu, prestasi literasi sains menurut

PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2003, Indonesia

menempati urutan 38 dari 41 negara, di bawah Argentina dan di atas Albania (Jalal,

2006). Soal-soal pada TIMSS dan PISA ini menuntut siswa mela kukan keterampilan

menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi (keterampilan proses sains).

Sebagian besar materi kimia dapat didekati dari kondisi atau masalah yang ada

dalam kehidupan sehari-hari, yang ternyata masih belum optimal dalam pelaksanaan

pembelajarannya. Konsep-konsep tersebut diantaranya adalah konsep yang terdapat

dalam topik asam-basa. Topik asam-basa lebih dikondisikan untuk dihafal oleh siswa,

hal ini terlihat dari berbagai buku teks pelajaran kimia yang didesain sebagai kumpulan

konsep-konsep yang harus dikuasai siswa, tanpa mengedepankan proses pembelajaran

yang sesuai. Akibatnya siswa mengalami kesulitan untuk menghubungkannya dengan

apa yang terjadi di lingkungan sekitar, dan tidak merasakan manfaat dari pembelajaran

asam-basa.

Banyak sekali masalah dalam kehidupan yang dapat dihubungkan dengan

konsep yang terdapat dalam topik asam-basa, seperti pencemaran air sungai akibat

limbah industri, rasa asam pada buah-buahan, pemanfaatan tumbuhan dengan warna

menyolok sebagai indikator, pembentukan stalaktit dan stalakmit pada gua-gua bukit

kapur, fenomena air laut, darah manusia, dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat

Page 431: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 30

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

menjadi dasar munculnya berbagai metode alternatif dalam pembelajaran kimia di

dalam maupun di luar kelas, yang dapat menjembatani siswa dengan konsep dan

lingkungan sekitarnya, supaya mudah untuk dipahami dan pembelajaran yang dilakukan

menjadi lebih bermakna bagi siswa.

Model Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu model

pembelajaran yang dapat digunakan untuk pembelajaran konsep-konsep kimia dan

penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Siswa dituntut untuk menjelaskan

fenomena yang terjadi dengan berbagai cara. Dalam PBL siswa diperkenalkan pada

konsep melalui masalah yang terjadi di lingkungannya. Pembelajaran seperti ini

memungkinkan siswa untuk mene-mukan konsep yang dapat digunakan untuk

memecahkan masalah dengan berbagai penjelasan yang dapat mengungkap dan

menyelesaikan masalah tersebut. Dengan metode seperti ini maka siswa dapat

meningkatkan penguasaan konsepnya.

Dalam usaha untuk menjelaskan fenomena tersebut, siswa diberi banyak

kesempatan untuk meningkatkan berbagai kemampuannya. Kemampuan mengamati dan

menafsir-kan pengamatan terhadap fenomena alam, mencari, mengumpulkan,

mengidentifikasi dan memilih informasi yang tepat, meramalkan, menggunakan

alat/bahan, menerapkan konsep, merencanakan penelitian, berkomunikasi, dan

mengajukan pertanyaan. Dengan demikian diharapkan keterampilan proses sains siswa

dapat ditingkatkan melalui pembelajaran dengan model PBL.

Menurut Tan (2003), bukti-bukti menyarankan bahwa pembelajaran berbasis

masalah dapat meningkatkan transfer konsep kepada situasi baru, integrasi konsep,

minat belajar intrinsik, dan keterampilan belajar. Mitchell (Tan, 2003) mengungkapkan

bahwa PBL dapat membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilan

penalaran diban-dingkan dengan pendekatan pengajaran tradisional. Kolmos et al.

(2008) menyatakan bahwa beberapa hal yang berkaitan dengan masalah adalah sebagai

berikut: (1) masalah berhubungan dengan dunia nyata, (2) masalah bersifat kompleks

dan ill-structured, (3)masalah bersifat open-ended, (4) masalah memacu kerja tim, (5)

masalah dikembangkan dari pengalaman sebelumnya.

Menurut Adnyana (2003), PBL sangat sesuai dengan empat pilar yang

direkomendasi-kan oleh UNESCO, termasuk dapat digunakan dalam pembelajaran

kimia, yaitu: (1) learning to know, siswa memahami konsep, prinsip, teori, dan hukum

Page 432: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 31

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

melalui proses pemecahan masalah dan penelitian; (2) learning to do, siswa diberi

kesempatan melaku-kan eksperimen atau studi lapangan; (3) learning to be, siswa

memperoleh kesempatan melakukan belajar mandiri (self-directed learning) sehingga

siswa menjadi lebih perca-ya diri; dan (4) learning to live together, melalui kegiatan

diskusi kolaboratif, siswa bekerja sama dalam sebuah tim yang anggotanya bervariasi

berdasarkan kemampuan akademik, agama, etnis, dan jenis kelamin. Siswa memperoleh

kesempatan belajar secara kooperatif atau sosial yang diperlukan untuk kehidupannya di

masyarakat.

Sintaks PBL yang telah dikembangkan cukup bervariasi. Arends (2004)

menguraikan ada lima tahapan utama dalam PBL, yaitu: (1) orientasi siswa pada

masalah, (2) meng-organisasi siswa untuk belajar, (4) membimbing penyelidikan

individu maupun kelom-pok, (4) mengembangkan, menyajikan, dan memamerkan hasil

karya, (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

Menurut Gagne (dalam Dahar 1996) keterampilan proses IPA adalah

kemampuan-kemampuan dasar tertentu yang dibutuhkan untuk menggunakan dan

memahami sains. Setiap keterampilan proses merupakan keterampilan intelektual yang

khas yang digunakan oleh semua ilmuwan, serta dapat digunakan untuk memahami

fenomena apapun juga. Keterampilan proses sains mempunyai cakupan yang sangat

luas sehingga aspek-aspek keterampilan proses sains sering digunakan dalam beberapa

pendekatan dan metode. Demikian halnya dalam model pembelajaran yang

dikembangkan yaitu PBL, keterampilan proses sains menjadi bagian yang tidak

terpisahan dalam kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan.

METODOLOGI

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen Pretest–

postes Control Group design (Creswell, 1997). Eksperimen dilakukan dengan

melakukan pretes dan postes pada kedua kelompok tersebut. Kelompok eksperimen

mendapatkan perlakuan berupa model pembelajaran berbasis masalah dan kelompok

kontrol menggunakan model pembelajaran konvensional. Subyek penelitian ini adalah

siswa kelas XI IPA pada salah satu SMA negeri di Kabupaten Lampung Selatan, dengan

jumlah sample 66 siswa yang terdiri dari 33 siswa sebagai kelompok eksperimen dan 33

siswa sebagai kelompok kontrol. Data dikumpulkan menggunakan instrument tes, yaitu

Page 433: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 32

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

tes penguasaan konsep dan keterampilan proses sains (keterampilan mengelompokkan,

berkomunikasi, dan menginferensi).

Efektivitas penggunaan model PBL dalam meningkatkan penguasan konsep dan

keterampilan proses sains ditinjau berdasarkan selisih nilai gain ternormalisasi (N-gain)

antara kelompok eksperimen dan kelompok control. N-gain dihitung berdasarkan

persamaan:

100% xpretesskormaksimumskor

pretesskorpostesskorg

(Hake, 1999),

dengan g= gain ternormalisasi, Smaks adalah skor maksimum dari tes awal dan tes akhir,

Spost adalah skor tes akhir, sedangkan Spre adalah skor tes awal. Analisis data statistik

dilakukan dengan menggunakan uji t (untuk indepen-dent mean), menggu-nakan SPSS

versi 16 pada taraf signifikansi 5%

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Peningkatan Penguasaan Konsep Asam-Basa

Rata-rata skor tes awal, tes akhir, dan N-gain penguasaan konsep yang terdiri

dari 20 butir soal dengan skor maksimum 100, dapat dilihat pada Gambar 1

0

10

20

30

40

50

60

Kontrol EksperimenKelompok

Sko

r R

ata-

rata

Pretes

Postes

Gambar 1. Rata-rata perolehan skor pretes dan postes penguasaan konsep siswa di kelas

kontrol dan kelas eksperimen

Page 434: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 33

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Gambar 1 menunjukkan bahwa skor rata-rata tes awal siswa kelompok

eksperimen sebesar 54,68 dan kelompok control sebesar 52,27; sedangkan skor rata-rata

tes akhir pada kelompok eksperimen sebesar 48,64 dan kelompok control sebesar 31,74.

Pada awalnya siswa pada kedua kelompok memiliki tingkat penguasaan konsep yang

hamper sama. Setelah mengikuti pembelajaran, baik kelas eksperimen maupun kontrol

mengalami penurunan, akan tetapi kelas ekperimen mengalami penurunan yang lebih

kecil dibandingkan kelas kontrol. Penurunan penguasaan konsep ini disebabkan karena

materi pada postes memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan materi

pada pretes. Untuk mengetahui efektivitas model PBL pada peningkatan penguasaan

konsep, maka perlu dianalisis N-gain ternormalisasi pada kedua kelompok. Berdasarkan

perhitungan diperoleh rata-rata N-gain penguasaan konsep pada kelompok eksperimen

sebesar -0,19, sedangkan pada kelompok kontrol -1,03. Berdasarkan analisis N-gain

penguasaan konsep dengan uji-t satu ekor, diperoleh bahwa siswa pada kelompok

eksperimen memiliki N-gain yang lebih tinggi dibandingkan siswa pada kelompok

kontrol pada taraf signifikansi 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan konsep

asam-basa siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model PBL lebih tinggi

dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

Peningkatan Keterampilan berkomunikasi dan mengelompokkan

Skor rata-rata keterampilan mengelompokkan dan berkomunikasi baik kelas

kontrol maupun eksperimen disajikan pada Gambar 2.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Kom Kel Kom Kel

Kontrol Eksperimen

Kelompok

Sko

r ra

ta-r

ata

Pretes

Postes

Gambar 2. Rata-rata perolehan skor pretes dan postes keterampilan berkomunikasi,

mengelompokkan, dan inferensi siswa pada kelas kontrol dan eksperimen

Page 435: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 34

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pada Gambar 2. terlihat bahwa perolehan skor rata-rata pretes dan postes

keterampilan berkomunikasi dan mengelompokkan di kelas kontrol relatif sama.

Setelah pembelajaran asam-basa, terlihat bahwa keterampilan berkomunikasi dan

mengelompokkan pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Pada

keterampilan berkomunikasi, kelas eksperimen yang semula memiliki skor rata-rata

49,24 meningkat menjadi 59,24. Pada keterampilan mengelompokkan, kelas

eksperimen yang semula memiliki skor rata-rata 62,58 meningkat menjadi 77,42.

N-gain rata-rata keterampilan mengelompokkan, berkomunikasi, dan inferensi

disajikan pada Tabel 1. Pada kelas kontrol, N-gain rata-rata kedua keterampilan bernilai

negatif, sedangkan pada kelompok eksperimen, N-gain rata-rata kedua keterampilan

tersebut bernilai positif.

Tabel 1. Gain rata-rata keterampilan berkomunikasi dan mengelompokkan

N-gain Kelas Kontrol N-gain Kelas Kontrol

Berkomunikasi mengelompokkan Berkomunikasi mengelompokkan

-0,18 -1,05 0,18 0,13

Berdasarkan analisis N-gain keterampilan mengelompokkan dan berkomunikasi

dengan uji-t satu ekor, diperoleh bahwa siswa pada kelompok eksperimen memiliki N-

gain yang lebih tinggi dibandingkan siswa pada kelompok kontrol pada taraf

signifikansi 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan mengelompokkan dan

berkomunikasi siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model PBL lebih tinggi

dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

Pembahasan

Efektivitas PBL dalam meningkatkan keterampilan berkomunikasi,

mengelompokkan, dan penguasaan konsep dan siswa pada materi pokok asam-basa ini

dapat dirunut berdasarkan fase pembelajaran yang dilalui, sebagai berikut:

Tahap 1.Orientasi siswa pada masalah.

Page 436: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 35

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pada tahap ini dimunculkan fakta yang berupa masalah dalam kehidupan sehari-

hari yang berkaitan dengan topik yang akan dipelajari. Tahap ini berpengaruh besar

bagi siswa, karena siswa menjadi lebih antusias mengikuti pelajaran

Tahap 2. Mengorganisasi siswa untuk belajar.

Pada tahap ini guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasi-

kan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang diberikan. Dalam hal ini

guru mengelompokkan siswa ke dalam kelompok-kelompok yang heterogen selama

pembe-lajaran diterapkan. Pengelompokan ini memberi pengaruh besar bagi perkem-

bangan potensi siswa. Siswa menjadi lebih aktif berbicara ketika mereka berada dalam

lingkungan bersama temannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Vygotsky (Arends,

2008) yang mendefinisikan tingkat perkembangan potensial sebagai tingkat yang dapat

difungsikan atau dicapai oleh individu dengan bantuan orang lain, seperti teman sejawat

yang kemampuannya lebih tinggi. Untuk memudahkan dalam penyelidikan masalah,

siswa diberi LKS yang berisikan urutan penyelesaian masalah yang disusun dalam

bentuk pertanyaan dan tugas yang harus diselesaikan siswa. LKS ini menjadikan siswa

mampu menyelesaikan masalah secara sistematis. Ini menunjukkan bahwa media yang

tepat dibutuhkan untuk menuntun siswa agar menjadi penyelidik yang aktif dan mampu

memilih metode yang sesuai untuk menyelesaikan masalah yang diberikan (Ibrahim &

Nur, 2005).

Tahap 3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok.

Pada tahap ini, siswa mulai melakukan pemecahan masalah sesuai dengan lang-

kah penyelesaian pada LKS yang diberikan. Langkah pertama yang harus diselesaikan

siswa sebelum melakukan proses penyelidikan adalah merumuskan hipotesis. Pada

awalnya siswa mengalami kesulitan dalam merumuskannya, hal ini terlihat dari

rumusan hipotesis tiap kelompok yang banyak dipengaruhi teori yang akan mereka

pelajari. Melalui proses pembimbingan dan latihan rutin yang dilakukan, akhirnya

siswa mampu merumuskan hipotesis dengan baik.

Pada tahap berikutnya, siswa melakukan proses penyelidikan. Disini siswa

diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi sebanyak-

banyaknya dan guru bertindak sebagai pembimbing yang menyediakan bantuan

Page 437: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 36

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

(Ibrahim & Nur, 2005). Kegiatan ini mampu meningkatkan aktivitas bertanya siswa.

Kebiasaan siswa berbicara dalam kelompok dan motivasi untuk mendapatkan informasi

sebanyak-banyaknya mampu merangsang siswa untuk aktif bertanya dan mengeluarkan

pendapat di kelas. Pada tahap ini siswa telah dihantarkan menjadi pembelajar yang

mandiri yang dituntut agar mampu membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini sesuai

dengan dike-mukakan Jerome Bruner yang menekankan pentingnya membantu siswa

memahami kebutuhan akan keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar (discovery

learning), dan keyakinan bahwa pembelajaran sejati terjadi melalui personal discovery

(Arends, 2008).

Langkah berikutnya siswa diarahkan untuk menuliskan hasil penyelidikan yang

mereka peroleh dalam bentuk tabel. Dalam tahap ini, siswa bebas mengkomunikasikan

penga-matan mereka ke dalam tabel. Pada awalnya siswa mengalami kesulitan dalam

membuat tabel dan menuliskan hasil pengamatannya ke dalam tabel. Dengan latihan

dan bimbingan yang diberikan guru, akhirnya siswa mampu membuat dan mengisikan

hasil pengamatan kedalam tabel. Pada tahap ini, siswa telah mengalami proses sains

yaitu mengelompokkan dan berkomunikasi. Setelah mendapatkan tabel hasil

pengamatan, siswa diarahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan singkat terkait

informasi dalam tabel tersebut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dimaksudkan agar

siswa memikirkan tentang kelayakan hipotesis dan metode pemecahan masalah serta

kualitas informasi yang telah mereka kumpulkan. (Ibrahim & Nur, 2005).

Pada tahap ini siswa telah berhasil mengkonstruksi pengetahuan mereka secara

bebas berdasarkan penyelidikan yang mereka lakukan. Hal ini terlihat dari jawaban tiap

kelompok yang begitu variatif menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang diberikan.

Keadaan ini mendukung pandangan psikologi kognitif sebagai landasan PBL, dimana

fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa (perilaku

siswa), tetapi kepada apa yang mereka pikirkan (kognisi mereka) pada saat mereka

melakukan kegiatan itu (Ibrahim & Nur, 2005).

Melalui jawaban-jawaban dari pertanyaan yang diberikan tersebut, akhirnya

siswa sampai pada tahap pemecahan masalah. Dalam tahap ini siswa diberi kesempatan

menyimpulkan hasil temuan bersama kelompoknya untuk menyelesaikan masalah yang

diberikan. Melalui kebebasan untuk mengolah semua informasi yang mereka dapatkan

dan mengaitkannya dengan pengetahuan awal yang mereka miliki, proses ini membawa

Page 438: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 37

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Perkembangan siswa terlihat

dengan makin baiknya rumusan penyelesaian masalah yang dibuat. Hal ini sesuai

dengan tujuan penerapan PBL yang dirancang untuk membantu siswa mengembangkan

keterampilan berpikir, keterampilan menyelesaikan masalah, dan menjadi pelajar yang

mandiri dan otonom (Arends, 2008).

Tahap 4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.

Berdasarkan karakteristiknya, PBL menuntut siswa untuk menghasilkan produk

tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau

mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan (Trianto, 2007). Pada

tahap ini siswa diberi tugas menulis laporan baik individu maupun kelompok, dan

meminta siswa menyampaikan hasil penyelidikan kelompoknya secara lisan. Tugas ini

mampu menggali kemampuan berkomunikasi siswa, sehingga keterampilan

berkomunikasinya meningkat.

Tahap 5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

Pada tahap ini guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi ter-

hadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan (Trianto, 2007).

Evaluasi yang diberikan terbukti membuka pikiran siswa untuk melihat kekurangan

mereka dan memotivasi mereka untuk terus mengembangkan kemampuan dalam

menyelesaikan masalah yang diberikan sampai akhirnya kemampuan mereka

berkembang secara utuh.

Berdasarkan kegiatan pada tahap-tahap di atas, terlinat PBL secara utuh

menuntut siswa bertanggung jawab atas perkembangan dirinya. Media yang disiapkan

telah menghantar siswa untuk meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan

berkomunikasinya. Lebih dari itu, kebebasan berpendapat dalam pembelajaran ini juga

berhasil meningkat-kan kemampuan intelektualnya yang ditunjukkan dengan banyaknya

siswa yang semula tingkat penguasaan konsepnya rendah, meningkat setelah

pembelajaran ini diterapkan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh

Vygotsky (Ibrahim & Nur, 2005) yang mengatakan bahwa interaksi sosial dengan

teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual

siswa.

Page 439: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 38

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :

1. Model pembelajaran berbasis masalah lebih efektif dalam meningkatkan

penguasaan konsep siswa pada materi asam basa dibandingkan pembelajaran

konvensional.

2. Model pembelajaran berbasis masalah lebih efektif dalam meningkatkan

keterampilan mengelompokkan dan berkomunikasi siswa pada materi asam

basa dibandingkan pembelajaran konvensional.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, P. B., Citrawati, D. M., Sumardika, I N., & Kariasa, I N. 2003.

Pengembangan Model Pembelajaran Sains (Biologi) pada Pendidikan Dasar dan

Menengah dengan Menerapkan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Mencapai

Kompetensi dan Pembekalan Kecakapan Hidup (Life Skills). Laporan Penelitian

DIKTI. Tidak Diterbitkan.

Arends, R. I. 2004. Learning to Teach. 5th Ed. Boston: McGraw Hill.

Arends, Richard I. A.B. 2008. Learning To Teach. Edisi VII. Pustaka Pelajar.

Yogyakarta.

Creswell, J. W. (1997). Qualitative and Quantitative Research Design. London: Sage

Publications

Depdiknas. (2003). Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Mata Pelajaran Kimia.

Jakarta, Depdiknas.

Dahar, R W. (1996). Teori – Teori Belajar. Jakarta. Erlangga.

Jalal, F. (2006). “Peran PPPG dalam Memfasilitasi Peningkatan Mutu Pendidik dan

Tenaga Kependidikan dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan.” Makalah

Disampaikan pada Rapat Koordinasi 12 PPPG. Jakarta.

Sanjaya, W. 2008. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Tan, O. S. (2003). Problem-based Learning Innovation. Singapore: Thomson Learning.

Page 440: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 39

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran inovatif berorientasi konstruktivistik.

Prestasi Pustaka. Jakarta.

Page 441: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 40

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 3E PADA KONSEP

REAKSI OKSIDASI REDUKSI UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN

MENGKOMUNIKASIKAN DAN MENGELOMPOKKAN

Chansyanah Diawati1

1Jurusan Pendidikan MIPA, FKIP Unila

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pembelajaran Learning

Cycle 3 E pada konsep reaksi oksidasi reduksi untuk meningkatkan keterampilan (1)

mengkomu-nikasikan, dan (2) mengelompokkan. Populasi penelitian ini adalah seluruh

siswa siswi kelas X SMA Budaya Bandar Lampung semester Genap Tahun Pelajaran

2010-2011, dengan kelas XI dan X2 sebagai sampel. Metode penelitian ini adalah kuasi

eksperiemn dengan Pretest-Posttest Control Group Design. Efektivitas model

pembelajaran Learning Cycle 3E diukur berdasarkan selisih skor pretes dan postes

(gain). Hasil penelitian menunjukkan nilai Ngain rata-rata keterampilan

mengkomunikasikan untuk kelas kontrol dan eksperimen masing-masing 0,25 dan

0,44; nilai Ngain rata-rata keterampilan mengelompokkan untuk kelas kontrol dan

eksperimen masing-masing -0,12 dan 0,27. Berdasarkan pengujian hipotesis,

disimpulkan bahwa kelas dengan pembelajaran Learning Cycle 3E memiliki

keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan yang lebih tinggi

dibandingkan kelas dengan pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa

pembelajaran Learning Cycle 3E konsep reaksi oksidasi reduksi pada siswa kelas X

SMA Budaya Bandar Lampung lebih efektif untuk meningkatkan keterampilan

mengkomunikasikan dan mengelompokkan

Kata kunci: pembelajaran Learning Cycle 3E, keterampilan mengkomunikasikan,

mengelompokkan.

PENDAHULUAN

Ilmu kimia merupakan cabang dari IPA yang mempelajari struktur, susunan,

sifat dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi, yang

berkembang berdasarkan pada pengamatan terhadap fakta. Ada tiga hal yang berkaitan

dengan kimia yaitu kimia sebagai produk yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum,

dan teori; kimia sebagai proses atau kerja ilmiah; dan kimia sebagai sikap. Oleh sebab

itu pembelajaran kimia harus memperhatikan karakteristik kimia sebagai proses,

produk, dan sikap. Oleh karena itu, seyogyayany Ilmu kimia dibangun melalui

Page 442: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 41

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

pengembangan keterampilan proses sains seperti observasi, mengelompokkan,

pengukuran, mengkomunikasikan dan inferensi.

Menurut Hartono dalam Diawati (2010): untuk dapat memahami hakikat IPA

secara utuh, yakni IPA sebagai proses, produk dan aplikasi, siswa harus memiliki

kemampuan keterampilan proses sains (KPS). Dalam pembelajaran IPA, aspek proses

perlu ditekankan bukan hanya pada hasil akhir dan berpikir benar lebih penting dari

pada memperoleh jawaban yang benar. KPS adalah semua keterampilan yang terlibat

pada saat berlangsungnya proses sains. KPS terdiri dari beberapa keterampilan yang

satu sama lain berkaitan dan sebagai prasyarat. Namun pada setiap jenis keterampilan

proses ada penekanan khusus pada masing-masing jenjang pendidikan.

Menurut Hariwibowo dalam Diawati (2009): Keterampilan proses adalah

keterampilan yang diperoleh dari latihan kemampuan-kemampuan mental, fisik, dan

sosial yang mendasar sebagai penggerak kemampuan-kemampuan yang lebih tinggi.

Kemampuan-kemampuan mendasar yang telah dikembangkan dan telah terlatih lama-

kelamaan akan menjadi suatu keterampilan, sedangkan pendekatan kete-rampilan proses

adalah cara memandang anak didik sebagai manusia se-utuhnya. Cara memandang ini

dijabarkan dalam kegiatan belajar mengajar memperhatikan pengembangan

pengetahuan, sikap, nilai, serta keterampilan. Ketiga unsur itu menyatu dalam satu

individu dan terampil dalam bentuk kreatifitas.

Kenyataannya, pembelajaran kimia siswa di sekolah cenderung hanya

menghadirkan konsep-konsep, hukum-hukum, dan teori-teori saja; tanpa menyuguhkan

bagaimana proses ditemukannya konsep, hukum, dan teori tersebut; sehingga tidak

tumbuh sikap ilmiah dalam diri siswa. Akibatnya pembelajaran kimia menjadi

kehilangan daya tariknya dan lepas relevansinya dengan dunia nyata yang seharusnya

menjadi obyek ilmu pengetahuan tersebut (Depdiknas, 2003).

Banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan reaksi

oksi-dasi reduksi seperti perkaratan pada besi, pembakaran kertas, reaksi fotosintesis,

pembakaran bahan bakar dalam kendaraan bermotor, penggunaan LPG untuk memasak

dan masih banyak lagi.

Menurut pendapat Tim action Research Buletin Pelangi Pendidikan dalam

Fitriani (2009) keterampilan proses sains dibagi menjadi dua antara lain: (1)

Keterampilan proses dasar (Basic Science Proses Skill), meliputi observasi, menge-

Page 443: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 42

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

lompokkan, pengukuran, mengkomunikasikan dan inferensi, dan (2) Keterampilan

proses terpadu (Intergated Science Proses Skill), meliputi merumuskan hipotesis,

menamai variabel, mengontrol variabel, membuat definisi operasional, melakukan

eksperimen, interpretasi, merancang penyelidikan, dan aplikasi konsep.

KPS tersebut harus ditumbuhkan dalam diri siswa SMA sesuai dengan taraf

perkem-bangannya. KPS pada pembelajaran sains lebih menekankan pembentukan

keteram-pilan untuk memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan hasilnya.

Model pembelajaran Learning Cycle (LC) 3E adalah suatu model pembelajaran

yang berpusat pada siswa (student centered). LC merupakan rangkaian tahap-tahap

kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat menguasai

kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan

berperanan aktif. Learning Cycle 3 Phase (LC 3E) terdiri dari fase-fase eksplorasi

(exploration), penjelasan konsep (concept introduction/explaination), dan penerapan

konsep (elaboration). Karplus dan Their dalam Fajaroh dan Dasna (2007)

Pada fase eksplorasi (exploration), guru memberi kesempatan pada siswa untuk

bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil tanpa pengajaran langsung dari guru

untuk menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan melalui kegiatan-kegiatan

seperti praktikum. Fase penjelasan konsep (explaination), siswa lebih aktif untuk

menentukan atau mengenal suatu konsep berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh

sebelumnya di dalam fase eksplorasi. Fase penerapan konsep (elaboration), siswa

menerapkan konsep pada contoh kejadian yang lain, baik yang sama tingkatannya

ataupun yang lebih tinggi tingkatannya. Pembelajaran seperti ini memungkinkan siswa

untuk mengembangkan keterampilan proses sainsnya untuk menemukan konsep.

LC 3E melalui kegiatan dalam tiap fase mewadahi siswa untuk secara aktif

mem-bangun konsep-konsepnya sendiri dengan cara berinteraksi dengan lingkungan

fisik maupun sosial. Hudojo dalam Fajaroh dan Dasna (2007) mengemukakan bahwa:

Implementasi LC 3E dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan konstruktivis:

1. siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan

bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa,

2. informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi

baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu,

3. orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan

pemecahan masalah.

Page 444: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 43

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan efektivitas model

pembelajaran Learning Cycle 3E pada materi pokok reaksi oksidasi reduksi untuk

meningkatkan keterampilan (1) mengkomunikasikan, (2) mengelompokkan

Lingkup kajian dalam penelitian ini adalah (1) Materi pokok penelitian ini

adalah reaksi oksidasi reduksi, (2) Indikator keterampilan proses sains yang diamati

dalam penelitian ini adalah keterampilan mengkomunikasikan (mendiskusikan hasil

percobaan, mem-berikan data empiris hasil percobaan atau pengamatan dalam bentuk

tabel, menyusun, membaca tabel, menjelaskan hasil percobaan dan menyampaikan

laporan secara sistematis), dan mengelompokkan (menentukan perbedaan,

mengontraskan ciri-ciri, mencari kesamaan, membandingkan dan menentukan dasar

penggolongan terhadap suatu obyek).

METODE PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X SMA Budaya Bandar

Lampung tahun pelajaran 2010-2011 yang berjumlah 115 siswa dan tersebar dalam tiga

kelas yaitu X1, X2, dan X3. Pembagian siswa pada tiap kelas dilakukan secara

heterogen, sehingga proporsi jumlah siswa yang memiliki kemampuan akademik yang

tinggi, sedang maupun kurang dalam tiap kelasnya hampir sama antara salah satu kelas

dengan kelas yang lainnya.

Sampel dalam penelitian ini adalah dua kelas (siswa kelas X SMA Budaya

Bandar Lampung) yang memiliki homogenitas karakteristik siswanya dan kemampuan

mengelompokkan. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposif claster

sampling dikenal juga sebagai sampling pertimbangan yaitu pengambilan sampel

dilakukan berdasarkan pertimbangan (berdasarkan saran dari ahli). Penentuan kelas

sampel dilakukan dengan meminta pertimbangan guru kimia kelas X di SMA tersebut,

karena menurut Sudjana (2005) Purposive claster sampling akan baik hasilnya

ditangan seorang ahli yang mengenal populasi.

Desain penelitian. Penelitian ini menggunakan Pretest-Postest Control Group

Design (Sugiyono dalam Nazir, 1983).

Page 445: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 44

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Tabel 3. desain penelitian

Kelas Pretes Perlakuan Postes

Kelas eksperimen O1 X1 O2

Kelas kontrol O1 X2 O2

O1 adalah pretest yang diberikan sebelum perlakuan, O2 adalah posttest yang diberikan

setelah perlakuan. X1 adalah perlakuan berupa penerapan model pembelajaran

Learning Cycle 3E dan X2 adalah perlakuan berupa penerapan pembelajaran

konvensional.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Data hasil penelitian terdiri dari nilai pretest dan posttest masing-masing untuk

keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan. Selanjutnya dilakukan

perhitungan indeks gain. Data nilai keterampilan mengkomunikasikan yang diperoleh

disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik nilai rata-rata keterampilan mengkomunikasikan

36.10

47.26

55.5

74.93

0

10

20

30

40

50

60

70

80

kontrol Eksperimen

pretes postes

Page 446: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 45

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Selanjutnya data nilai keterampilan mengelompokkan yang diperoleh disajikan

pada Gambar 2 berikut:

Gambar 2. Grafik nilai rata-rata keterampilan mengelompokkan

Selanjutnya, diperoleh indeks gain untuk keterampilan mengkomunikasikan

pada kelas control sebesar 0,25 dan kelas eksperimen 0,45. Indeks gain untuk

keterampilan mengelompokkan pada kelas control sebesar -0,12 dan kelas eksperimen

0,27.

Efektivitas pembelajaran yang diterapkan dapat dilihat melaui indeks gain.

Berdasarkan harga indeks gain dapat dilihat bahwa keterampilan mengkomunikasikan

dan menge-lompokkan pada kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol baik.

Dari perolehan data di atas, menunjukkan bahwa pembelajaran yang diterapkan

pada kelas eksperimen lebih efektif dalam meningkatkan keterampilan

mengkomunikasikan dan mengelompokkan siswa dibandingkan pembelajaran di kelas

kontrol. Hal ini sesuai dengan fakta yang terjadi pada tahap pembelajaran di kedua

kelas selama penelitian berlangsung, sebagai berikut:

Fase Exploration. Pada pertemuan pertama pada kelas eksperimen, guru

menyam-paikan indikator, tujuan pembelajaran dan memberikan pertanyaan untuk

mengetahui pengetahuan awal siswa mengenai konsep reaksi oksidasi reduksi ditinjau

dari penggabungan dan pelepasan oksigen serta reaksi redoks berdasarkan serah terima

elektron ”Pernahkah kalian melihat rumah yang pagarnya terbuat dari besi, setelah

54 61.8433 63.33

77.705

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Kontrol Eksperimen

Pretes Postes

Page 447: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 46

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

beberapa lama pagar besi akan berkarat?” mengapa pagar besi dapat berkarat?. Hal ter-

sebut dilakukan agar keingintahuan siswa tentang jawaban dari pertanyaan awal

semakin tinggi.

Selama pembelajaran guru mengelompokkan siswa kedalam kelompok

heterogen. Siswa dikondisikan duduk berdasarkan kelompoknya untuk melakukan

percobaan yaitu pembakaran pita Mg dan dan pemanasan CuO dengan serbuk karbon.

Percobaan ini bertujuan memberi kesempatan siswa untuk memanfaatkan panca indera

semaksimal mungkin, serta memacu munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah

pada berkembangnya daya nalar tingkat. Fakta yang terjadi pada kelas eksperimen

sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Karplus dan Their dalam Fajaroh dan Dasna

(2007) pada tahap exploration, guru membangkitkan minat dan keingintahuan siswa

tentang topik yang akan diajarkan, siswa diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca

indera-nya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungannya melalui ke-

giatan praktikum. Siswa bekerja sama dengan kelompok kecil tanpa pengajaran

langsung dari guru untuk melakukan pengamatan serta ide-ide melalui kegiatan

praktikum, sehingga muncul pertanyaan yang mengarah pada perkembangan daya nalar

tingkat tinggi yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana.

Munculnya pertanyaan tersebut merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh

fase berikutnya.

Pengelompokan pada kelas eksperimen ternyata memberi pengaruh bagi

perkembangan potensi siswa. Siswa bekerjasama dalam kelompoknya untuk melakukan

percobaan sehingga siswa menjadi lebih aktif berbicara ketika mereka berada di

lingkungan bersama temannya. Seperti siswi dengan nomor urut 6 di kelas eksperimen.

Berbeda dari pembelajaran biasanya siswi ini cenderung pendiam, siswi ini aktif

berbicara ketika berada dalam kelompoknya. Bahkan teramati bahwa kemampuan

berbicaranya menjadi lebih baik dari hari ke hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Vygotsky dalam Arends (2008) mendefinisikan tingkat perkembangan potensial sebagai

tingkat yang dapat difungsikan atau dicapai oleh individu dengan bantuan orang lain,

seperti teman sejawat yang kemampuannya lebih tinggi Arends (2008).

Pada kelas kontrol, awal proses pembelajaran guru menyampaikan indikator,

tujuan pembelajaran dan memberikan pertanyaan untuk mengetahui pengetahuan awal

siswa. Proporsi guru memberikan ceramah pada kegiatan pembelajaran di setiap

Page 448: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 47

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

pertemuan lebih banyak terjadi. Siswa hanya mendengarkan penjelasan dari guru,

sehingga minat dan antusias siswa untuk mengikuti pelajaran kurang.

Fase Explaination. Pelaksanaan pada kelas eksperimen, siswa diarahkan untuk

menuliskan hasil praktikum yang telah mereka peroleh dalam bentuk tabel. Dalam

tahap ini, siswa bebas mengkomunikasikan pengamatan mereka ke dalam tabel. Pada

pertemuan I, sebagian besar siswa tampak bingung melihat halaman kosong yang

diberikan sebagai ruang untuk membuat tabel. Membuat tabel adalah hal baru bagi

siswa, dimana pada pembelajaran sebelumnya, siswa tidak pernah diberi kesempatan

untuk merancang tabel hasil pengamatan sendiri. Ssiwa juga dilatih untuk mengelom-

pokkan reaksi berdasarkan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan. Melalui

latihan rutin dan evaluasi yang diberikan, terlihat bahwa tiap kelompok perlahan-lahan

mampu mengkomunikasikan dan mengelompokkan hasil pengamatan dengan baik.

Tanpa disadari siswa telah diupayakan untuk mengalami proses sains selama

proses pembelajaran. Arahan yang diberikan untuk menyusun tabel dan

mengelompokkan berdasarkan hasil pengamatan merupakan salah satu indikator dalam

keterampilan proses sains. Artinya, secara tidak langsung siswa telah dibimbing untuk

berpikir secara sains dan dilatih agar terampil mengkomunikasikan. Setelah membuat

tabel berdasakan kelompok-kelompok hasil pengamatan, siswa pada kelas eksperimen

diarahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan singkat terkait informasi dalam tabel

tersebut. Pada tahap ini, guru menunjuk kelompok secara acak untuk mempresen-

tasikan hasil diskusi kelompoknya. Awalnya tidak ada kelompok yang mau mempre-

sentasikan hasil dis-kusinya, namun setelah diberi pengertian bahwa hal ini baik untuk

melatih mental dan tanggung jawab, akhirnya ada perwakilan kelompok yang mempre-

sentasikan hasil diskusi mereka.

Tahap ini menghantarkan siswa untuk mengembangkan keterampilan

mengkomu-nikasikan dan mengelompokkan. Pelaksanaan yang terjadi di kelas

eksperimen sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Karplus dan Their dalam

Fajaroh dan Dasna (2007) pada tahap explaination diharapkan terjadi proses menuju

kesetimbangan antara konsep yang telah dimiliki siswa dengan konsep yang baru

dipelajari melalui kegiatan yang membutuhkan daya nalar yaitu berdiskusi. Guru

mengarahkan siswa untuk men-jelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri.

Page 449: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 48

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Fase Elaboration. Pelaksanaan pada kelas eksperimen, guru meminta siswa

untuk mengerjakan soal evaluasi pada LKS dan memberi tugas siswa mengenai materi

yang telah dipelajari serta hubungannya dengan peristiwa yang terjadi di lingkungan

mereka. Fakta yang terjadi pada kelas eksperimen sesuai dengan pendapat Karplus dan

Their dalam Fajaroh dan Dasna (2007) pada tahap elaboration, siswa diharapkan

mampu menerapkan pemahaman konsep dan keterampilan yang telah diperolehnya.

Pada tahap ini juga dilakukan evaluasi terhadap materi yang telah diperoleh. Penerapan

konsep dapat me-ningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar, karena siswa

mengetahui penerapan dari konsep yang mereka pelajari.

Pada kelas kontrol tahap akhir pembelajaran, guru hanya mengajak siswa untuk

bersama-sama menyimpulkan tentang materi yang telah dipelajari, tanpa mengarahkan

siswa untuk menghubungkannya materi pelajaran dengan hal-hal lain yang dapat

ditemui di sekitar mereka. Pada kelas ekperimen media yang disiapkan menghantar

siswa untuk meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan. Hal ini ditunjukkan

dengan banyaknya siswa yang semula tingkat mengelompokkannya rendah, meningkat

setelah diterapkan pembelajaran ini. Menurut Vygotsky dalam Arends (2008) ahli

psikologi Rusia ini percaya bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu

terbentukanya ide baru dan memperkaya per-kembangan intelektual siswa.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan dalam

penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Learning Cycle 3E pada

materi reaksi oksidasi reduksi SMA Budaya Bandar Lampung lebih efektif untuk

meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan.

DAFTAR PUSTAKA

Arends, R.I. 2008. Learning to Teach. Edisi VII. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Depdiknas. 2003. Pedoman khusus pengembangan silabus dan penilaian kurikulum

2004. Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

Page 450: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 49

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Diawati, C. 2010. Pembelajaran berbasis Keterampilan Proses Sains Untuk

Meningkatkan Penguasaan Konsep Pada Materi Pokok Laju Reaksi. Laporan

Penelitian. Unila

Dimyati dan Mudjiono . 2009. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta.

Fajaroh dan Dasna. 2007. Pembelajaran dengan Model Siklus Belajar (learning cycle).

Universitas Negeri malang. Malang.

Fitriani, D. 2009. Penerapan Model Siklus Belajar Empiris-Induktif (SBEI) Berbasis

Keterampilan Proses Sains Untuk Meningkatkan Mengelompokkan Laju Reaksi

(PTK Pada Siswa Kelas XII IPA 2 SMAN 1 Bandar Lampung TP 2009-2010).

Skripsi. FKIP UNILA. Bandar Lampung.

Lawson. 2005. The learning Cycle. www.google.co.id. 2005. 16 Desember 2010.

http://www.sahra.arizona.edui/education/pbl_workshop/TheLearningCycle.

Sudjana. 2005. Metoda Statistika.Tarsito. Bandung.

Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran inovatif berorientasi konstruktivistik.

Prestasi Pustaka. Jakarta.

Trianto. 2010. Model-Model Pembelajaran Terpadu. Bumi Aksara. Jakarta.

Page 451: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 50

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DENGAN PETA

KONSEP UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN KETUNTASAN

BELAJAR SISWA PADA MATERI KOLOID

Ila Rosilawati1, Wiwit

2

1Jurusan PMIPA FKIP Unila,

2Alumni P Kimia FKIP Unila

ABSTRAK

Ketidaktuntasan belajar siswa dipengaruhi oleh peran serta siswa sendiri selama

proses pembelajaran. Seorang siswa hendaknya dapat berperan aktif selama

pembelajaran, dengan demikian seluruh kemampuan siswa dapat dikembangkan.

Supaya terjadi belajar bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan

dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa dapat dilakukan

dengan peta konsep.

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan hasil belajar dan ketuntasan

belajar siswa pada materi koloid dengan model pembelajaaran kooperatif tipe STAD

dengan peta konsep. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 semester

genap SMA Perintis 1 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2009-2010. Penelitian

tindakan kelas terdiri dari 3 siklus. data yang dikumpulkan adalah aktivitas siswa,

keterampilan siswa melakukan percobaan, kemampuan guru mengelola pembelajaran,

penguasaan konsep. Teknik analisis data yang digunakan deskriptif kualitatif.

Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan Pembelajaran koloid melalui

pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan peta konsep dapat meningkatkan aktivitas

belajar, keterampilan praktikum, penguasaan konsep dan ketuntasan belajar siswa pada

materi koloid.

Kata kunci: Kooperatif tipe STAD, Peta Konsep, Koloid

PENDAHULUAN

Sistem koloid merupakan dasar untuk mempelajari organisasi dan sistem dalam

kehidupan sehari-hari mengenai jenis-jenis campuran. Konsep ini memiliki karakteristik

yang cukup kompleks dan berjenjang, misalnya untuk mempelajari larutan, siswa harus

memahami konsep campuran terlebih dahulu. Akibatnya siswa sering mengalami

kesulitan untuk menguasai konsep sistem koloid ini dengan baik.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru kimia SMA Perintis 1

Bandar Lampung menunjukkan tingkat pencapaian hasil belajar siswa masih rendah,

Page 452: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 51

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

khususnya rata-rata tes formatif materi pokok koloid yaitu 6,2 dan hanya 50,43 % yang

mendapat nilai ≥ 7,0. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada materi pokok koloid

yang ditetapkan di sekolah tersebut adalah 7,0 dan suatu kelas dikatakan tuntas belajar

apabila di kelas tersebut terdapat 80% siswa yang telah mencapai nilai ≥7,0.

Rendahnya hasil belajar dapat disebabkan beberapa faktor antara lain: (1)

Perencanaan dan implementasi pembelajaran yang dilakukan lebih didominasi oleh

guru, jarang ada siswa yang bertanya, baik terhadap guru maupun temannya. (2) Siswa

kurang dibimbing untuk menemukan sendiri suatu konsep kimia, sehingga tidak

memacu siswa untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran.(3) Siswa tidak

diberi pengalaman langsung atau contoh kongkrit khususnya dalam mengamati sistem,

sifat-sifat dan pembuatan kolid, sehingga siswa menganggap materi pelajaran ini

abstrak dan sulit dipahami. (4) Siswa tidak dapat melihat hubungan antar materi

pelajaran yang telah dipelajari dengan materi berikutnya. Sikap guru yang tidak pernah

mengingatkan kembali siswa tentang hal tersebut dan terus melanjutkan materi tanpa

memperhatikan apakah siswa pada umumnya telah memahami materi yang diberikan,

sehingga pelajaran kimia menjadi tidak menarik, tidak disenangi, dan dengan sendirinya

pelajaran kimia akan terasa sangat sulit. Dengan demikian sebagai konsekuensinya,

hasil belajar yang dicapai siswa belum sesuai dengan harapan.

Ketidaktuntasan belajar siswa dipengaruhi oleh peran serta siswa sendiri selama

proses pembelajaran. Seorang siswa hendaknya dapat berperan aktif selama

pembelajaran, dengan demikian seluruh kemampuan siswa dapat dikembangkan.

Dengan meningkatnya aktivitas belajar siswa selama pembelajaran akan meningkatkan

penguasaan materi yang dimiliki siswa tersebut, sehingga siswa mencapai KKM yang

telah ditetapkan oleh sekolah.

Menurut Ausubel, ada dua macam proses belajar yakni belajar bermakna dan

belajar menghafal. Belajar bermakna berarti informasi baru diasimilasikan dalam

struktur pengertian lamanya. Belajar menghafal hanya perlu bila pembelajar

mendapatkan fenomena atau informasi yang sama sekali baru dan belum ada

hubungannya dalam struktur pengertian lamanya. Dengan cara demikian, pengetahuan

pembelajar selalu diperbarui dan dikonstruksikan terus-menerus. Jelaslah bahwa teori

belajar bermakna Ausubel bersifat konstruktif karena menekankan proses asimilasi dan

Page 453: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 52

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

asosiasi fenomena, pengalaman, dan fakta baru ke dalam konsep atau pengertian yang

sudah dimiliki siswa sebelumnya (Subiyanto, 2005)

Supaya terjadi belajar bermakna, konsep baru atau informasi baru harus

dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa dapat

dilakukan dengan peta konsep ( Novak dalam Muhaimin,1995 ). Peta konsep adalah

suatu cara menyampaikan materi pelajaran dengan memperlihatkan hubungan antara

dua konsep atau lebih konsep-konsep yang dikaitkan oleh kata hubung secara berurutan

sehingga menghasilkan hubungan bermakna (Dahar, 1989).

Pembelajaran dengan pemetaan konsep dapat mengembangkan kemampuan

siswa untuk dapat menghubungkan pengetahuan baru dengan konsep-konsep relevan

yang telah mereka miliki. Menurut Dahar (1991), pemetaan konsep adalah suatu teknik

untuk menyampaikan materi pada bidang studi yang dapat menolong guru untuk

mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki siswa untuk melaksanakan belajar yang

bermakna.

Dan menurut Budi (Dharma, 1990) metode pemetaan konsep adalah salah satu

metode pembelajaran dimana penekanan utamanya membuat siswa belajar bermakna.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat diartikan dengan menggunakan metode pemetaan

konsep kemampuan siswa untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditentukan dapat

tercapai baik itu dalam aspek kognitif, aspek efektif dan aspek psikomotor. Selain itu,

metode pemetaan konsep memudahkan guru untuk merumuskan tujuan pembelajaran.

Peta konsep dapat dikembangkan secara individual atau dalam kelompok kecil.

Salah satu pendekatan pembelajaran atau model yang dapat digunakan dalam

pengembangan peta konsep adalah pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team

Achviement Division). Dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD, siswa bekerja sama

dalam kelompok-kelompok kecil dengan anggota terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa

dan masing-masing anggota kelompok saling bergantung secara positip dan saling

membelajarkan untuk memahami konsep-konsep yang dipelajari (Slavin,1995).

Penekanan utama pembelajaran kooperatif adalah belajar bersama (Ibrahim,

2000). Inti pembelajaran kooperatif menurut Lundgren (1994) adalah siswa belajar

dalam kelompok-kelompok kecil, antara anggota kelompok saling belajar dan

Page 454: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 53

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

membelajarkan untuk mencapai tujuan bersama, keberhasilan individu merupakan

keberhasilan kelompok. Mencermati hal-hal yang diungkapkan oleh Ibrahim dan

Lundgren ini menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif bukanlah semata-mata siswa

berdiskusi bersama saja. Pembelajaran kooperatif ini siswa dalam berdiskusi bersama

saling belajar dan membelajarkan untuk mencapai tujuan bersama.

Berdasarkan uraian di atas, menganggap perlu untuk mengadakan penelitian

yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan tertentu yang direncanakan. Tujuan

penelitian ini adalah mendeskripsikan hasil belajar dan ketuntasan belajar siswa pada

materi koloid dengan model pembelajaaran kooperatif tipe STAD dengan peta konsep.

METODE PENELITIAN

Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 semester genap SMA

Perintis 1 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2009-2010 dengan jumlah siswa 37 orang

terdiri dari 14 siswa laki-laki dan 23 siswa perempuan.

Penelitian tindakan kelas ini menjadi 3 siklus. Prosedur pelaksanaan tindakan

menggunakan model yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart

(Hopkins,1993). Alat pengumpul data yang digunakan adalah : (1) Lembar observasi

aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran; (2) Lembar observasi keterampilan siswa

melakukan percobaan; (3) Lembar observasi kemampuan guru mengelola pembelajaran;

(4) Tes penguasaan konsep. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis

deskriptif kualitatif (Arikunto, 1999)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan sebanyak 3 siklus. Siklus I dengan

sub materi pokok pengelompokan campuran yang ada di lingkungan ke dalam larutan,

suspensi dan sistem koloid serta pengelompokan sistem koloid. Siklus II dengan sub

materi pokok sifat-sifat koloid (efek Tyndall, gerak Brown, dialisis, elektro-foresis,

emulsi, koagulasi) dan tentang koloid liofil dan liofob. Dan siklus III dengan sub materi

pokok pembuatan sistem koloid dan jenis koloid yang mence-mari lingkungan. Hasil

analisis data tentang setiap jenis aktivitas belajar siswa ditunjukkan pada Gambar 1,

Page 455: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 54

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

keterampilan siswa melakukan percobaan materi sistem koloid ditunjukkan pada Tabel

1, penguasaan konsep pada materi Koloid siswa ditunjukkan pada Tabel 2, persentase

ketuntasan belajar siswa ditunjukkan pada Gambar 2.

Gamba

r 1. Grafik setiap jenis aktivitas on task siswa

Keterangan:

A = diskusi/komunikasi antar anggota kelompok dalam satu kelompok

B = bertanya kepada guru

C = mengisi LKS

D = memberikan pendapat

E = menjawab/menanggapi pertanyaan

Tabel 1. Data keterampilan siswa melakukan percobaan materi sistem koloid

Page 456: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 55

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

No Kriteria

keterampilan

Siklus I Siklus II Siklus III

Jumlah siswa

(%) Jumlah siswa

(%) Jumlah siswa

(%)

1 Sangat terampil 0 0,00 4 10,81 4 10,81

2 Terampil 2 5,40 8 21,62 23 62,16

3 Kurang terampil 10 27,03 14 37,84 10 27,03

4 Sangat tidak terampil

25 67,57 11 29,73 0 0,00

Tabel 2. Data penguasaan konsep sistem koloid siswa

No Subjek Siklus I Siklus II Siklus III

1. Rata-rata penguasaan konsep sistem koloid 72,4 74,7 75,2

2. Jumlah siswa yang mendapat nilai ≥ 70 23 30 33

3. Persentase siswa yang mendapat nilai ≥ 70 62,16% 81,08% 89,19%

Gambar 2. Grafik persentase ketuntasan belajar siswa

Pembahasan

Siklus 1

Per

sen

tase

sis

wa

yang

men

dap

at n

ilai ≥

70

Page 457: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 56

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Aktivitas siswa yang relevan selama proses pembelajaran pada siklus 1 tentang

submateri pengelompokan campuran yang ada di lingkungannya ke dalam suspensi,

sistem koloid, dan larutan dan pengelompokan sistem pada siklus I masih rendah untuk

setiap jenis aktivitas. Hal ini dikarenakan siswa belum terbiasa dengan pembelajaran

kooperatif STAD, dimana siswa-siswa secara berkelompok berdiskusi degan bimbingan

guru untuk mengerjakan LKS yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang tersusun

terstruktur untuk menemukan suatu konsep, dan konsep-konsep tersebut dihubungkan-

hubungkan sehingga didapat suatu peta konsep. Beberapa siswa dalam kelompoknya

kurang bertanggungjawab terhadap tugas yang dibebankan dalam kelompok. Guru

kurang memotivasi dan membimbing siswa dalam kerja kelompok untuk menemukan

suatu konsep dan pembuatan peta konsep, sehingga alokasi waktu pembelajaran pada

siklus I yang tersedia tidak cukup untuk sampai siswa membuat peta konsep. Pembuatan

peta konsep untuk submateri pengelompokan campuran yang ada di lingkungannya ke

dalam suspensi, sistem koloid, dan larutan dan pengelompokan sistem pada siklus I

dikerjakan sebagai tugas di rumah.

Keterampilan siswa dalam praktikum pada siklus I sangat rendah; 67,57% siswa

yang sangat tidak terampil. Permasalahan ini timbul karena beberapa anggota kelompok

dalam satu kelompok tidak melakukan percobaan, hanya satu atau dua orang siswa yang

melakukan percobaan. Untuk siswa yang tidak melakukan percobaan secara langsung

tapi memperhatikan teman yang melakukan pecobaan, dapat dikatakan siswa tersebut

sudah melakukan percobaan, seperti salah satu siswa menyoroti suatu sampel koloid

dengan baterai, siswa yang lain memperhatikan cahaya yang melewati suatu sistem

koloid. Pada saat praktikum, banyak siswa yang melakukan aktivitas diluar kegiatan

praktikum seperti bermain HP, mengobrol dengan temannya, dan melakukan hal yang

tidak mendukung kegiatan belajar. Guru peneliti juga kurang optimal dalam

mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar, membimbing dan

memotivasi siswa dalam praktikum.

Pada siklus I ini, nilai rata-rata penguasaan konsep siswa yang diperoleh adalah

72,4; 62,2% siswa mendapat nilai ≥70. Data ini menunjukkan belum tercapai KKM

yang ditetapkan sekolah (80% siswa mendapat nilai ≥70). Hal ini disebabkan pada saat

pembelajaran berlangsung, masih banyak siswa yang mengerjakan tugas atau LKS

Page 458: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 57

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

secara mandiri tanpa diskusi dalam kelompok mereka, kurangnya kerjasama antar

anggota kelompok dan kurangnya tanggungjawab siswa dalam kelompok sehingga

saling mengandalkan dan hanya siswa tertentu saja yang menyelesaikan LKS dan tugas

kelompok. Selain itu, guru kurang optimal dalam mengkaitkan pembelajaran dengan

pengetahuan awal siswa, kurang memotivasi dan membimbing siswa dalam

pembelajaran untuk menemukan konsep materi yang sedang dipelajari.

Untuk mengatasi kekurangan atau kelemahan pembelajaran pada siklus I akan

dilaksanakan perbaikan-perbaikan pada pelaksanaan siklus II, yaitu guru akan lebih

memotivasi siswa supaya siswa lebih antusias dalam mengikuti pelajaran; menunjuk

siswa yang pasif untuk memberi pendapat supaya menjadi aktif; mengefisienkan

alokasi pembelajaran yang tersedia, lebih membimbing siswa dalam praktikum dan

membuat peta konsep.

Siklus II

Dari Gambar 1 , terlihat bahwa setiap jenis aktivitas yang relevan dengan

pembelajaran dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan. Pada siklus II ini siswa

sudah mulai terbiasa dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan mereka

mulai bisa membuat peta konsep sehingga mereka lebih cepat mengerti tentang materi

yang diberikan. Pada saat pembelajaran berlangsung guru sudah cukup memotivasi

siswa, membimbing siswa berdiskusi untuk menjawab pertanyaan yang ada pada LKS,

sudah terlihat adanya siswa yang mengajarkan temannya dalam kelompoknya yang

kurang mengerti mengenai materi yang sedang dipelajari, tidak hanya mengandalkan

siswa yang pintar saja dalam kelompoknya untuk menyelesaikan LKS. Dalam

menyimpulkan materi pelajaran guru lebih banyak bertanya dan menunjuk siswa yang

kurang aktif dalam diskusi untuk menjawab atau menanggapi pertanyaan. Pengelolaan

alokasi pembelajaran juga sudah cukup baik. Pada saat bel berbunyi, materi yang

dipelajari sudah selesai.

Pada siklus II ini, keterampilan siswa melakukan praktikum meningkat, tetapi

masih ada beberapa siswa yang sangat tidak terampil (29,73%). Beberapa siswa tidak

melakukan semua praktikum, masih ada siswa yang hanya melihat temannya melakukan

praktikum. Permasalahan ini timbul karena di dalam satu kelompok beberapa siswa

Page 459: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 58

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

masih mengandalkan satu atau dua orang siswa untuk melakukan praktikum, masih ada

siswa yang mengobrol dengan temannya. Guru kurang optimal dalam

mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar, memotivasi dan

membimbing siswa dalam praktikum.

Jika dibandingkan di siklus I, di siklus II nilai rata-rata penguasaan konsep

submateri pokok sifat-sifat koloid mengalami peningkatan dari 72,4 menjadi 74,7.

Begitu juga persentase siswa yang mendapat nilai ≥70 meningkat dari 59,5% menjadi

81,1%. Di siklus II ini KKM yang ditetapkan sekolah sudah tercapai. Peningkatan

persentase setiap jenis aktivitas belajar siswa yang relevan dengan pembelajaran dan

berkurangnya persentase siswa yang sangat tidak trampil dalam melakukan praktikum

mempengaruhi nilai penguasaan konsep koloid pada siswa. Hal ini sesuai dengan

pendapat Slameto (2003) bahwa penerimaan pembelajaran jika dengan aktivitas siswa

sendiri kesan itu tidak berlalu begitu saja, tetapi dipikirkan, diolah, kemudian

dikeluarkan lagi dalam bentuk yang berbeda atau siswa akan bertanya, mengajukan

pendapat, menimbulkan diskusi dengan guru, sehingga mereka akan lebih mudah dalam

meyelesaikan suatu tugas atau tes.

Setelah dilakukan refleksi, perbaikan pembelajaran yang akan dilakukan pada

pelaksanaan siklus III, yaitu: (1) Untuk mengurangi persentase siswa yang sangat tidak

terampil dalam praktikum guru akan lebih optimal dalam membimbing praktikum; (2)

Guru lebih optimal dalam membimbing pembuatan peta konsep untuk meningkatkan

ketuntasan belajar siswa.

Siklus III

Gambar 1 menunjukkan setiap jenis aktivitas yang relevan dengan pembelajaran

dari siklus II ke siklus III mengalami peningkatan. Aktivitas belajar siswa yang tidak

relevan dengan pembelajaran lebih berkurang dibandingkan pada siklus II. Siswa lebih

bertanggung jawab atas tugas yang dibebankan dalam kelompoknya, setiap siswa dalam

kelompoknya aktif berdiskusi dan semuanya aktif mengisi LKS dan dengan bimbingan

guru siswa dapat membuat peta konsep koloid. Siswa-siswa yang sebelumnya kelihatan

tidak berani dalam hal bertanya dan memberi pendapat dalam diskusi kelas dengan

guru, sudah mulai aktif bertanya dan memberikan pendapat.

Page 460: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 59

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pada siklus III, keterampilan siswa dalam praktikum meningkat, sudah tidak ada

lagi siswa yang termasuk kriteria sangat tidak terampil. Masih adanya siswa yang

mempunyai kriteria kurang terampil, hal ini disebabkan karena siswa tersebut jarang

melakukan praktikum pada materi pelajaran yang sebelumnya, sehingga mereka kurang

terlatih untuk melakukan praktikum selanjutnya.

Rata-rata penguasaan konsep sistem koloid siswa mengalami peningkatan dari

siklus II ke siklus III yaitu dari 74,7 menjadi 75,2. Persentase siswa yang telah

memenuhi KKM sebesar 89,19%. Hal ini menunjukkan KKM yang ditetapkan sekolah

yaitu 80% siswa mendapat nilai ≥70 juga sudah tercapai. Peningkatan aktivitas belajar

yang relevan dengan pembelajaran dan keterampilan siswa dalam melakukan praktikum

menyebabkan penguasaan konsep koloid siswa juga mengalami peningkatan.

Dari hasil analisis data aktivitas siswa, keterampilan siswa melakukan praktikum

dan penguasaan konsep pada materi koloid diperoleh bahwa terjadinya peningkatan dari

siklus I ke siklus II dan ke siklus III. Keberhasilan kegiatan pembelajaran ditentukan

dari bagaimana kegiatan interaksi dalam pembelajaran tersebut, semakin aktif siswa

tersebut dalam belajar semakin ingat anak akan pembelajaran itu, dan tujuan

pembelajaran akan lebih cepat tercapai. Keberhasilan belajar tidak akan tercapai begitu

saja tanpa diimbangi dengan aktivitas belajar. Hal tersebut sesuai dengan pendapat

Soemanto (1998), model mengajar yang dipakai oleh guru sangat mempengaruhi cara

belajar yang dipakai oleh siswa. Sehingga dengan aktivitas pembelajaran yang baik,

karena didukung oleh model pembelajaran yang tepat dapat memotivasi siswa untuk

lebih aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran.

Pembelajaran kooperatif tipe STAD memberikan kesempatan kepada siswa

untuk saling membagikan ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat.

Dengan kegiatan tersebut siswa berlatih untuk menggali informasi dan mengolah

informasi dari berbagai sumber. Selain itu, teknik ini juga mendorong siswa untuk

meningkatkan kerja sama mereka. Dengan bekerja sama, siswa berlatih untuk

menghargai pandapat orang lain, menumbuhkan kepercayaan diri dan saling membantu,

tidak ada kesempatan bagi siswa untuk hanya mengandalkan teman yang

berkemampuan tinggi dalam menyelesaikan tugas kelompok. Hal ini sesuai dengan

pendapat Lie (2003), pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang

Page 461: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 60

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

mengacu pada strategi pembelajaran yang mana siswa bekerja sama dalam kelompok

kecil untuk menolong satu sama lainnya dalam memahami suatu pelajaran, memeriksa,

memperbaiki jawaban teman, serta kegiatan lainya dengan tujuan mencapai prestasi

belajar yang tinggi.

Pada penelitian ini, pembelajaran kooperatif tipe STAD dipadukan dengan

metode pemetaan konsep yang dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk dapat

menghubungkan pengetahuan baru dengan konsep-konsep relevan yang telah mereka

miliki. Siswa selain belajar bekerja sama dalam kelompok kecil untuk menemukan

suatu konsep juga dapat belajar bermakna mengaitkan konsep baru atau informasi baru

dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa dengan membuat

peta konsep. Hal ini sesuai dengan pendapat Budi (Dharma, 1990), metode pemetaan

konsep adalah salah satu metode pembelajaran dimana penekanan utamanya membuat

siswa belajar bermakna. Dari uraian di atas, pembelajaran koloid melalui pembelajaran

kooperatip tipe STAD dengan metode peta konsep efektif untuk meningkatkan aktivitas

belajar, keterampilan praktikum dan penguasaan konsep koloid.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan: Pembelajaran koloid melalui

pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan peta konsep dapat meningkatkan aktivitas

belajar, keterampilan praktikum, penguasaan konsep dan ketuntasan belajar siswa pada

materi koloid.

DAFTAR PUSTAKA

Dahar, R.W., 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta. Airlangga

Dharma, W., 1990. Peta dan Pemetaan Konsep Serta Peranannya Dalam Kegiatan

Belajar Mengajar Ilmu Pengetahuan Alam. Puslit Sanata Dharma. Yodyakarta.

Ibrahim, M. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universty Press.

Lie, A. 2002. Mempraktikan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas, Gramedia.

Jakarta:

Lufri. 2004. Pembelajaran Berbasis Problem Solving yang di intervensi dengan Peta

Konsep pada Mata Kuliah Perkembangan Hewan. Jurnal Pembelajaran

Page 462: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 61

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Vol 207 No 1 April 2004. Universitas Negeri Padang Press. Padang

Lundgren, L. 1994. Cooperative Learning In The Science Classroom. Glencoe. New

York.

Muhaimin, A.D., 1995. Metodologi Pengajaran Biologi dan Beberapa Model Mengajar.

Bandar Lampung. Universitas lampung.

Oktaviyanto. Peta Konsep Untuk Meningkatkan Ketuntasan Belajar Siswa. 13 Maret

2008. Diakses tanggal 10 April 2008-04-18.

http://pkab.wordpress.com/2008/03/13/ meningkatkan-ketuntasan-belajar-siswa-

kelas-x/

Slavin, Robert E., 1995. Cooperative Learning: Theory and Practice. Second Edition.

Boston: Allyn and Bacon Publishers.

Subiyanto. Meningkatkan Ketuntasan Belajar.8 Mei 2005. Diakses tanggal 10 April

2008. http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/5/8/kel1.html

Page 463: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 62

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

UPAYA MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU SMK NEGERI 1 NATAR

DALAM MENYUSUN SILABUS MELALUI PEMBINAAN INDIVIDU

TAHUN 2010

M. TAUFIQ1

1SMKN I Natar Lampung Selatan

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan kemampuan

guru smk negeri 1 Natar dalam menyusun silabus melalui pembinaan individu.

Penelitian ini tergolong penelitian tindakan pembinaan dengan melibatkan 32

orang guru program produktif, normatif dan adaptif, yang dijadikan sempel

penyusunan silabus, berdasarkan kreteria penyusunan silabus. Dari hasil survai

sebelumnya mereka umumnya belum pernah menyusun silabus. Mereka

menyusun silabus dengan mengadopsi silabus yang dimiliki orang lain. Penelitian

dilakukan dengan 3 siklus. silabus hasil pembinaan individu dianalisis dan dinilai

berdasarkan instrumen penilaian kemampuan guru menyusun silabus. Sementara itu,

untuk mengetahui aktivitas guru didalam bekerja, peneliti melengkapi alat ukur dengan

panduan observasi. Aspek yang diobservasi dalam kegiatan ini, terdiri dari 2 aspek

kegiatan guru yaitu : a), aspek bahan silabus, b), aspek keaktifan. Dalam siklus I setelah

dilakukan pembinaan individu, dari 32 subyek penelitian terbagi menjadi 3 kelompok.

Kelompok 1 (10 orang), kelompok 2 (17 Orang) dan kelompok 3 (5 Orang). Dari hasil

analisis pada siklus I, 5 orang kelompok 1 silabusnya dinyatakan layak digunakan untuk

pembelajaran sehingga tidak diikutkan dalam siklus 2. Sedang kelompok 1 dan 2

silabusnya belum layak digunakan untuk pembelajaran, sehingga kelompok1 dan 2

diikutkan pada siklus 2. Dari hasil analisis siklus 2, 17 Orang kelompok 2 silabusnya

dinyatakan layak untuk digunakan dalam proses pembelajaran dengan nilai > 65. Karna

itu kelompok 2 tidak diikutkan dalam siklus 3. Dan 10 orang kelompok 1 silabusnya

belum layak digunakan dalam proses pembelajaran, karena itu kelompok 1 diikutkan

dalam siklus 3. Dari hasil analisis siklus 3, 10 rang guru kelompok 1, silabusnya

dinyatakan layak untuk digunakan dalam proses pembelajaran dengan nilai >65. Oleh

karena itu penelitian hanya dilakukan dalam 3 sikus. Berdasarkan kreteria tersebut di

atas, dari siklus I. II dan siklus III rata-rata skor menunjukkan peningkatan, dari rata-

rata skor <65 ke skor >65. itu berarti upaya meningkatkan kompetensi guru smk Negeri

1 Natar dalam menyusun silabus dapat dilakukan melalui pembinaan individu.Mudah-

mudahan guru di SMK Negeri 1 Natar dalam melaksanakan proses pembelajaran

menggunakan silabus sendiri.

Key Words: Kompetensi guru, Silabus, Pembinaan Individu

Page 464: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 63

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

PENDAHULUAN

SMK Negeri 1 Natar didirikan pada tahun 2006, terletak di dusun Sumber Sari

Desa Mandah Kecamatan Natar Lampung Selatan. Secara geografis lokasi SMK N 1

Natar relative jauh dari perkotaan dan tidak ada transportasi umum (angkot) untuk

menuju lokasi sekolah yang berjarak 3 Km dari Jalan Raya Natar, 20 Km dari Pasar

Natar. Keadaan ini menyebabkan minimnya akses informasi dan komunikasi dari luar.

Dari hasil survei sebagian besar (65%) siswa berasal dari keluarga tidak mampu

(ekonomi lemah). Keadaan ini menyebabkan daya beli dan minat orang tua untuk

membeli buku cetak (bahan ajar) sangat rendah. Hampir semua siswa tidak memiliki

buku cetak/teks pelajaran dan hanya mengandalkan catatan dari guru. Begitu juga

dukungan orang tua terhadap belajar anak sangat kurang, sehingga motivasi siswa untuk

belajar (mengikuti proses pembelajaran) juga rendah. Pada umumnya kondisi siswa di

dalam kelas sangat pasif, kemampuan berpikir rasional siswa sangat rendah, tingkat

kehadiran siswa rendah (setiap kali pertemuan lebih dari 3 siswa yang tidak hadir),

siswa kurang aktif dan cenderung pasif. Setiap diberi pertanyaan tidak satupun siswa

yang berani menjawab. Begitu juga setiap diberi kesempatan untuk bertanya, tidak ada

siswa yang bertanya. Perhatian siswa cenderung tidak fokus, tidak dapat melihat

hubungan topik yang satu dengan topik yang lain.

Terjadinya fakta tersebut sangat ditentukan oleh bagaimana guru mengajar di

kelas. Sebab guru sangat menentukan situasi dan kondisi proses pembelajaran di kelas.

Kualiatas guru dalam mengajar tentunya ditentukan oleh persiapan guru dalam

mengajar. Jika guru tidak memiliki persiapan dan rencana mengajar yang baik, maka

proses pembelajaran di dalam kelas menjadi tidak baik, maka terjadilan fakta seperti

yang diuraikan di atas.

Apa saja yang harus dilakukan guru dalam proses pembelajaran, harus

berpedoman pada kurikulum yang sudah baku yaitu silabus. Karena itu silabus

merupakan dokumen kurikulum yang sangat penting yang harus dimiliki oleh sekolah

(satuan pendidikan) dan guru yang mengajar. Kurikulum adalah seperangkat rencana

dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan

sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan

pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta

kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah/karakteristik daerah, sosial

Page 465: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 64

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

budaya masyarakat setempat, satuan pendidikan dan peserta didik. Selama ini,

kurikulum yang digunakan di SMK lebih bersifat sentralistik, dan kurang mengadopsi

potensi dan kekhasan daerah. Oleh sebab itu, kurikulum harus disusun oleh satuan

pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan

dan potensi yang ada di daerah. Oleh karena itu, silabus harus dibuat oleh guru mata

pelajaran yang ada di satuan pendidikan tersebut, dan tidak boleh menggunakan silabus

dari sekolah lain. Ini berarti mau tidak mau guru harus mampu menyusun silabus

dengan baik dan benar.

Fakta di lapangan menunjukan sebagian besar guru (90%) di SMK N 1 Natar

belum memiliki silabus yang disusun oleh guru itu sendiri dan masih menggunakan

silabus yang disusun oleh orang lain yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan

kondisi SMK N 1 Natar. Hal ini disebabkan oleh ketidak mampuan guru menyusun

silabus, motivasi guru untuk menyusun silabus sangat rendah dan atau minimnya

sarana pendukung untuk menyusun silabus seperti laptop, komputer dan kurangnya

sumber pustaka yang dibutuhkan untuk menyusun silabus.

Untuk mengatasi masalah tersebut perlu diupayakan meningkatkan kompetensi

guru menyusun silabus melalui kegiatan-kegiatan seperti diklat, IHT, Workshop atau

pembinaan individu.

Atas dasar uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka sangat penting

untuk dilakukan penelitian tindakan sekoalah guna memecahakan masalah yang ada.

Untuk itu saya telah melakukan Penelitian Tindakan Sekolah (PTS) dengan judul

“Upaya Meningkatkan Kompetensi Guru SMK Negeri 1 Natar Dalam Menyusun

Silabus Melalui Pembinaan Individu Tahun 2010”.

Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata

pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar,

indikator, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian, alokasi waktu,

dan sumber/bahan/alat belajar (BSNP, 2006). Silabus merupakan penjabaran standar

kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan

pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.

Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah,

mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan

kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas

Page 466: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 65

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA,

dan SMK, dan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama

untuk MI. MTs, MA, dan MAK (PP NO 19 TAHUN 2005 Pasal 17 Ayat (2)

SILABUS yang dikembangkan harus dapat menjawab pertanyaan: (1) Kompetensi apa

yang harus dikuasai siswa? (2) Bagaimana cara mencapainya? (3) Bagaimana cara

mengetahui tingkat pencapaiannya?

Silabus dikaji dan dikembangkan secara berkelanjutan dengan memperhatikan

masukan hasil evaluasi rencana pembelajaran, evaluasi proses (pelaksa-naan

pembelajaran), dan evaluasi hasil belajar.

Tujuan penelitian ini adalah : (1) Menemukan pemecahan masalah dalam

meningkatkan kompetensi guru menyusun silabus, (2) Untuk menigkatkan kompetensi

guru menyusun silabus, (3) Untuk Meningkatkan motivasi, minat dan gairah guru

menyusun silabus, (4) Untuk memperoleh silabus yang disusun sendiri oleh guru-guru

SMK N 1 Natar sebagi dokumen 2 kuirkulum SMK N 1 Natar.

METODE PENELITIAN

Teknik pengumpulan data dari penelitian tindakan sekolah ini adalah melalui

data kualitatif yang diperoleh dari observasi (pengamatan) maupun wawancara

(pembinaan/bimbingan). Teknik pengumpulanya dilakukan dengan melakukan 3 siklus

penelitian. Setiap Siklus penelitian dilakukan pengumpulan data awal PTS, data selama

pelaksanaan PTS dan data akhir PTS. Data awal PTS pada siklus 2 menggunakan data

Akhir PTS pada siklus 1, dan data awal PTS siklus 3 menggunakan data akhir PTS pada

siklus 2.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tindakan ini ialah pendekatan

kualitatif. Artinya, penelitian ini dilakukan karena ditemukan permasalahan guru belum

memiki silabus yang disusun sendiri, rendahnya kemampuan guru dalam menyusun

silabus dan rendahnya motivasi guru dalam menyusun silabus. Permasalahan ini

ditindaklanjuti dengan memberikan pembinaan/bimbingan individu setiap guru untuk

menyusun silabus. Kegiatan tersebut diamati kemudian dianalisis dan direfleksi. Hasil

revisi kemudian diterapkan kembali pada siklus-siklus berikutnya.

Page 467: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 66

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Penelitian ini adalah penelitian tindakan model Stephen Kemmis dan Mc.

Taggart (1998) yang diadopsi oleh Suranto (2000; 49) yang kemudian diadaptasikan

dalam penelitian ini. Model ini menggunakan sistem spiral refleksi diri yang dimulai

dari rencana, tindakan, pengamatan (penilaian/evaluasi), refleksi, dan perencanaan

kembali yang merupakan dasar untuk suatu ancang-ancang pemecahan masalah. Seperti

yang diungkapkan oleh Mills (200;17) “Stephen Kemmis has created a well known

representation of the action research spiral …”. Peneliti menggunakan model ini

karena dianggap paling praktis dan aktual.

Pelaksanaan penelitian menetapkan setting tiga siklus PTS. Pada masing-masing

siklus dilaksanakan melalui empat tahapan yaitu: (1) perencanaan, (2) tindakan

penelitian, (3) penilaian dan evaluasi, (4) refleksi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Siklus 1

Data nilai Kemampuan Guru Menyusun Silabus

Setelah selesai mengerjakan pretes, setiap guru (subyek penelitian) diminta

mengumpulkan silabus yang sudah dimiliki guru sebelumnya (baik itu disusun sendiri

atau mengkopi silabus orang lain). Silabus yang sudah dikumpul kemudian dinilai

menggunakan instrument penilaian kemampuan guru menyusun silabus.

Proses Pembinaan Individu

Peneltian dilakukan terhadap 32 orang guru dari berbagai mata

pelajaran/program studi keahlian. Ke-32 guru tersebut sudah memiliki silabus.Silabus

yang sudah dimiliki tersebut sebagian kecil disusun oleh guru yang bersangkutan (30%)

dan sebagian besar (70%) hasil penyusunan orang lain dari berbagai sumber.

Berdasarkan jadual yang sudah disusun, setiap guru dilakukan upaya pembinaan

individu, sebagai upaya meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun silabus.

Dalam melakukan pembinan individu ini peniliti berpedoman pada sumber pustaka dari

BSNP tentang pedoman penyusunan silabus dan sumber pustaka lain tentang silabus,

penilaian hasil belajar (Rasyid dan Mansur. 2007), Media Pembelajaran (Susilana dan

Riyana,2007).

Page 468: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 67

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pada tahap awal dalam pembinanaan individu dilakukan dialog dengan guru

untuk menggali latar belakang kepemilikan silabus, motivasi menyusun silabus dan

hambatan-hambatan atau kendala yang dihadapi dalam menyusun silabus. Dari hasil

diaolog tersebut dipoeroleh informasi bahwa dalam usaha yang dilakukan untuk

memiliki silabus antara lain dengan mengikuti pertemuan MGMP, menyusun sendiri

atau mengunduh di internet.

Umumnya guru kurang termotivasi dalam menyusun silabus (belum terbiasa).

Yang dirasakan guru adalah seperti tidak ada waktu untuk menyusun silabus karna

disibukkan dengan urusan keluarga, tugas mengajar, membuat dan mengureksi soal dan

lain-lain.

Hambatan yang dialami guru dalam menyusun silabus adalah tidak memiliki

sarana pendukung menyusun silabus seperti komputer, laptop/note book dan sumber

pustaka. Hambatan lain adalah kurangnya pemahaman tentang silabus dan pentingnya

silabus dalam proses pembelajaran. Faktor ini mendominasi para guru sehingga yang

muncul rasa enggan dan malas untuk menyusun dan memiliki silabus. Guru cukup

berbekal pengetahuan (kompetensi profesional) dalam melaksanakan proses

pembelajaran.

Setelah selesai melakukan dialog, dilanjutkan dengan membahas silabus yang

sudah dimiliki guru. Setiap komponen silabus dibahas satu persatu.Mulai dari standar

komptensi sampai dengan penentuan sumber belajar. Pembahasan dimulai dengan

mendiskusikan apa arti dan maksud standar kompetnsi (SK) dan kompetensi dasar

(KD) yang sudah ditetapkan melalui permendiknsa no. 22, 23 dan 24 tahun2006 berikut

perubahannya No. 6 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Permendiknas nomor 22 dan 23

Tahun 2006.

Dari hasil pembinaan individu yang dilakukan, diperoleh fakta dari ke 32 guru

yang diteliti, terbagi menjadi 3 kelompok. Kelompok 1 = 8 orang, kelompok 2 = 17

orang dan kelompok 3 = 5 orang

Kelompok 1: Guru pada kelompoki 1 berjumlah 10 Orang. Pada kelompok ini

silabus yang dimiliki umumnya masih banyak kekurangannya. Pemahaman tentang

standar isi dan silabus masih sangat rendah. Umumnya belum memahami secara detail

komponen-komponen silabus seperti Standar Kompetensi, kompetensi dasar, indikator,

kegiatan pembelajaran, pendidikan budaya dan karakter bangasa, penilaian, penentuan

Page 469: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 68

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

alokasi waktu dan sumber belajar. Kesulitan yang dialami guru dalam menentukan

alokasi waktu adalah penghitungan alokasi waktu tatap muka, praktik sekolah dan

praktik industri dengan perbandingan 1 : 2 : 4. Hal ini Terbukti dari hasil pretes yang

dilakukan hasilnya < 60. Hasil penillaian silabus yang sudah dimilki juga sangat rendah

(< 5,5).

Pada saat pembinaan individu berlangsung, masing-masing guru diberi

penjelasan tentang standar isi, komponen-komponen silabus berikut contohnya. Selama

proses pembinaan, peneliti harus berulang-ulang dalam memberikan penjelasan dan

contohnya. Dari sisi kinerja dan motivasi sangat bagus dan selalu berusaha untuk

memperbaiki kekurangan/kesalahan dalam silabus. Komponen yang paling sulit

dipahami adalah tentang indikator, kegiatan pembelajaran dan penerapan alokasi waktu

pada kegiatan tatap muka, praktik sekolah dan praktik industri. Guru juga belum

mengetahui perbedaan sumber belajar dan daftar pustaka, dan cara penulisan sumber

belajar.

Pada indikator kesulitannya adalah ketika merumuskan kalimat dalam bentuk

pasif yang menggambarkan secara runtut dari tuntutan kompetensi dasar yang ada, serta

memilih kata kerja operasional yang sesuai dengan tuntutan kompetensi dasar.

Kelompok 2: Kelompok 2 berjumlah 17 orang. Memiliki karakteristik motivasi

tinggi, kinerja sangat bagus, selalu berusaha ingin maju. Umumnya memahami standar

isi, SK dan KD dengan baik. Tetapi belum memahami secara rinci komponen silabus

indikator, kegiatan pembelajaran, Pendidikan budaya dan karakter bangsa, sumber

belajar dan aplikasi alokasi waktu kegiatan tatap muka, praktik sekolah dan praktik

industri. Pada tahap awal pembinaan, sudah memahami standar kompetensi dan

kompetensi dasar dengan baik. Tetapi belum memahami secara benar tentang indikator,

materi pemebelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian, alokasi waktu kegiatan tatap

muka, praktik sekolah dan praktik industri serta sumber belajar.

Yang paling sulit dipahami oleh kelompok ini adalah tentang indikator, kegiatan

pembelajaran dan penerapan alokasi waktu kegiatan tatap muka, praktiuk sekolah dan

praktik industri dengan perbandingan 1 : 2 : 4.

Pada penentuan indikator, kesulitannya adalah merumuskan kalimat pasif dan

memilih kata kerja operasional yang sesuai dengan tuntutan KD secara runtut. Kesulitan

dalam penentuan kegiatan pembelajaran adalah pemilihan metode/model pembelajaran

Page 470: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 69

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

sesuai dengan materi dan tuntutan KD di sinkronkan dengan indikator yang ada.

Umumnya guru memilih metode/model pembelajaran yang monoton dan konvensional

yaitu ceramah dan diskusi. Sehingga rumusan kegiatan pembelajaran kurang bervariasi

dan kurang bisa merangsang/memotivasi siswa dalam pembelajaran.

Kesulitan lain adalah menentukan alokasi waktu pada kegiatan tatap muka,

praktik sekolah dan praktik industri. Guru umumnya bingung dengan angka

perbandingan tatap muka, praktik sekolah, praktik industri 1 : 2 : 4. Peniliiti harus

menjelaskan berulang-ulang dalam penentuan alokasi waktu ini karna memang sulit

dipahami.

Penulisan sumber belajar dipahami hanya pada buku pelajaran saja. Seharusnya

sumber belajar dipahami sebagai segala sesuatu yang bisa menjadi sumber belajar

siswa. Misalnya alat peraga, media belajar, lingkungan dll. Bukan hanya buku pelajaran.

Komponen penilaian juga belum dipahami dengan baik. Karena hanya dibatasi pada

penilaian tes saja. Sedang penilaian non tes tidak dirumuskan karena belum memahami

bahwa penilaian bisa dilkaukan baik secara tes atau non tes.

Selama proses pembinaan, masing-masing guru menunjukkan kinerja yang baik

dan lebih cepat memahami dibanding kelompok 1. Ada beberapa orang dalam

kelompok ini yang malas mengembangkan silabus.

Kelompok 3: Kelompok 3 ini berjumlah 5 orang. Karakteristik kelompok ini

adalah memiliki motivasi yang baik. Kinerjanya baik dan kompetensi, pemahaman

terhadap kurikulum atau standar isi cukup baik. Dari silabus yang ada, perumusan

penilaian, sumber belajar dan alokasi sudah benar. Yang masih lemah/kurang adalah

pada perumusan indikator dan kegiatan pembelajaran. Meskipun tidak banyak salahnya.

Kesulitan pada indikator ketika merumuskan penanda kompetensi menggunakan

kalimat pasif dan memilih kata kerja operasionalnya. Pada kegiatan pembelajaran

kekurangannya pada pemilihan metode/model pembelajaran yang cenderung monoton

dan konvensional seperti pada kelompoki 1 dan 2, yaitu ceramah dan diskusi. Pada

penentuan alokasi waktu kegiatan tatap muka, praktik sekolah dan praktik industri

sudah benar dan dipahami dengan baik.

Penilaian dan Evaluasi

Setelah dilakukan pembinaan individu, guru diberi kesempatan untuk

memperbaiki silabus yang sudah didiskusikan/dinilai. Setelah diperbaiki, guru diminta

Page 471: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 70

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

mengumpulkan kembali silabus yang sudah diperbaiki tersebut untuk kemudian dinilai

dan dievaluasi. Hasilnya adalah sbb:

No

. Nama Guru MAPEL Nilai Silabus

1 Drs. Surono Kewirausahaan 80.0

2 Drs. Darsono PKn 62.8

3 Hendri Kurniawan, S.Pd T.Elektronika 87.1

4 Nur Baihaqi, S.Pd B.Indonesia 82.8

5 Sri Puji Astuti, S.Pd B.Indonesia 62.8

6 Eri Wastiningsih, S.Pd B.Indonesia 59.2

7 Rini Sugiarti, S.Pd Kimia 63.5

8 Komsiyanah, S.Pd IPS 63.5

9 Eli Mardiana,S.Pd Matematika 59.2

10 Setiowati, S.Pd Kewirausahaan 60.0

11 Taufiqurahman, S.T T.Elektronika 62.8

12 Wahyudin, S.Pd Matematika 63.5

13 Yudi Rahmanto, S.T T.Elektronika 59.2

14 Rinelda, S.T T.Elektronika 62.1

15 Slamet Rahardjo, S.Pd Matematika 80.0

16 Ambar Bintoro, S.T T.Otomoti 62.1

17 Tri Wibowo, S.Pd T.Otomotif 59.2

18 Nofriardi, S.Pd Olah Raga 62.1

19 Purnomo, S.Pd B.Inggris 63.5

20 Nelly N, S.Pd PAI 62.8

21 Sutarjo, S.Pd PAI 76.4

22 Agus Rivolta, S.Pd Olah Raga 63.5

23 Efi Sefiyati, S.Pd B.Inggris 59.2

24 Eni Zulina, S.Pd 58.5

25 Yudi B, S.Pd B.Inggris 62.1

26 Rusman, S.Pd PKn 60.0

27 Lena Yanti, S.Pd IPA 59.2

28 Purwadi, S.Pd T.Elektronika 62.8

29 Habiburrahman, ST T.Otomotif 62.8

30 Joni Sulaiman, S.T T.Otomotif 63.5

31 Saryono, ST T.Otomotif 62.1

32 Ramlie, ST T.Otomotif 59.2

Jumlah

2067.50

Rata-Rata

64,61

Dari hasil penilaian silabus ke-2 diperoleh fakta bahwa nilai silabus kelompok 1

dan 2 masih < 65, dan kelompok 3 hasilnya > 65. Ini menggambarkan banyak kemajuan

yang dimiliki oleh kelompok 3, sedangkankelompok 1 dan 2 masih harus diberi

bimbingan/binaan dalam menyusun silabus.

Page 472: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 71

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Refleksi

Dari hasil penilaian dan evalausi silabus yang sudah diperbaiki oleh guru,

hasilnya adalah ada 5 orang yang nilai silabusnya > 65 (kelompok 3), dan 27 orang

nilainya < 65 (kelompok 1 dan 2). Dengan hasil ini maka 5 orang yang nilainya > 65

(kelompok 3) dinyatakan silabusnya layak untuk digunakan dalam proses pembelajaran.

Dan 27 orang silabusnya belum layak digunakan dalam proses pembelajaran. Ke 27

orang ini (kelompok 1 dan 2) kemudian diikutkan dalam siklus 2 untuk mendapatkan

pembinaan individu tahap 2.

Siklus 2

Proses Pembinaan individu. Ke 27 orang yang ikut dalam siklus 2 (kelompok

1 dan 2) sesuai jadual dilakukan pembinaan inidividu seperti pada siklus 1. Keadaan

silabus yang dikonsultasikan setelah pembinaan individu pada siklus 1 memiliki

banyak perubahan ke arah yang lebih baik. Silabus yang sudah diperbaiki hasil

pembinaan individu pada siklus 1 didiskusikan dan dilakukan bimbingan untuk

memperbaiki silabus yang belum benar.

Kelompok 1: Pemahaman SK dan KD sudah cukup baik. Komponen silabus

materi pembelajaran, pendidikan budaya dan karakter bangsa sudah dirumuskan dengan

baik dan benar. Pada komponen penilaian, sebagian besar (60% dari kelompok 1) sudah

dirumuskan dengan benar, dan yang lainnya (40% dari kelompok 1) masih perlu

perbaikan terutama dalam pemilihan metode penilaian non tes.

Pada komponen silabus sumber belajar sebagian besar (70% dari kelompok 1)

sudah benar menuliskannya dan sebagian yang lain (30% dari kelompok 1) belum benar

penulisannya dan belum memahami macam-macam sumber belajar.

Pada komponen silabus indikator, dari setiap silabus yang dikonsultasikan pada

siklus 1 ada yang rumusannya sudah benar dan ada yang harus diperbaiki lagi. Artinya

dari setiap guru pada kelompok 1 belum sepenuhnya memahami indikator dan belum

mampu menuliskan dengan benar, terutama pada pemilihan kata kerja operasioanl dan

perumusan kalimat pasif sebagai penanda tercapainya kompetensi sesuai yang dituntut

KD. Yang paling sulit dilakukan oleh guru adalah merumuskan tingkatan-tingkatan

kompetensi secara runtut sesuai tuntutan dalam Kompetensi Dasar.

Page 473: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 72

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

Pada komponen silabus kegiatan pembelajaran, silabus masing-masing guru juga

ada yang sudah benar dan variatif penggunaan metode/model pembelajaran dan ada

yang harus diperbaiki. Penekanan pada siswa dalam kegiatan pembelajaran belum

dirumuskan secara nyata dalam kegiatan pembelajaran. Artinya rumusan kegiatan

pembelajaran masih terfokus pada kegiatan guru dan bukan pada kegiatan siswa.

Komponen lain yang masih sulit dipahami adalah pada penentuan alokasi waktu

untuk kegiatan tatap muka, praktik sekolah dan praktik industri dengan perbandingan 1 :

2 : 4. Begitu juga antara indikator dengan kegiatan pembelajaran belum ada

singkronisasi (tidak konsisten) satu dengan yang lain.

Kelompok 2: Kelompok 2 yang berjumlah 17 orang pada pembinaan siklus 2

banyak mengalami kemajuan. Komponen materi pembelajaran dan penilaian sudah

dipahami dengan dengan baik dan dirumuskan dengan benar

Pada komponen silabus sumber belajar sebagian besar (80% dari kelompok 2)

sudah benar menuliskannya dan sebagian yang lain (20% dari kelompok 2) belum benar

penulisannya dan belum memahami macam-macam sumber belajar.

Pada komponen silabus indikator, dari setiap silabus yang dikonsultasikan pada

siklus 1 ada yang rumusannya sudah benar dan ada yang harus diperbaiki lagi. Artinya

dari setiap guru pada kelompok 2 belum sepenuhnya memahami indikator dan belum

mampu menuliskan dengan benar, terutama pada pemilihan kata kerja operasioanl dan

perumusan kalimat pasif sebagai penanda tercapainya kompetensi sesuai yang dituntut

KD. Yang paling sulit dilakukan oleh guru kelompok 2 ini adalah merumuskan

tingkatan-tingkatan kompetensi secara runtut sesuai tuntutan dalam Kompetensi Dasar.

Pada komponen silabus kegiatan pembelajaran, silabus masing-masing guru juga

ada yang sudah benar dan variatif penggunaan metode/model pembelajaran dan ada

yang harus diperbaiki. Penekanan pada siswa dalam kegiatan pembelajaran belum

dirumuskan secara nyata dalam kegiatan pembelajaran. Artinya rumusan kegiatan

pembelajaran masih terfokus pada kegiatan guru dan bukan pada kegiatan siswa. Pada

kesempatan ini peniliti menyarankan penggunaan metode/model pembelajaran

konstruktivisme, dimana siswa lebih aktif berperan dalam proses pembelajaran dan guru

lebih berfungsi sebagai fasilitaotor saja. Dalam pembelajaran konstruktivisme, siswa

dibimbing untuk aktif membangun/menemukan konsep sendiri dan diarahkan untuk

Page 474: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 73

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

dapat menyimpulkan sendiri konsep materi yang dipelajari. Dan guru memberikan

ketegasan dari kesimpulan atau konsep yang dibangun/ditemukan oleh siswa tersebut.

Penilaian dan evaluasi

Setelah dilakukan pembinaan individu tahap ke-2, guru diberi kesempatan

kembali untuk memperbaiki silabus yang sudah didiskusikan/dinilai. Setelah diperbaiki,

guru diminta mengumpulkan kembali silabus yang sudah diperbaiki tersebut untuk

kemudian dinilai dan dievaluasi. Dari hasil penilaian silabus ke-3 diperoleh fakta bahwa

nilai silabus kelompok 1 masih < 65, dan kelompok 2 hasilnya > 65. Ini

menggambarkan banyak kemajuan yang dimiliki oleh kelompok 2, sedangkankelompok

1 masih harus diberi bimbingan/binaan dalam menyusun silabus.

Refleksi

Dari hasil penilaian dan evalausi silabus yang sudah diperbaiki oleh guru,

hasilnya adalah 17 orang kelompok 2 nilai silabusnya > 65, dan 10 orang di kelompok 1

nilainya < 65. Dengan hasil ini maka 17 orang yang nilainya > 65 (kelompok 2)

dinyatakan silabusnya layak untuk digunakan dalam proses pembelajaran. Dan 10 orang

dikelompok 1 silabusnya belum layak digunakan dalam proses pembelajaran. Ke 10

orang dalam kelompok 1 ini kemudian diikutkan dalam siklus 3 untuk mendapatkan

pembinaan individu tahap 3.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan. Simpulan dari penelitian ini adalah: (1) Pembinaan individu dapat

meningkatkan guru dalam menyusun silabus, (2) Pembinaan individu dapat

meningkatkan kinerja dan motivasi guru untuk menyusun silabus, (3) Pembinanan

individu dapat meningkatkan kualitas profesional guru dalam tugasnya sebagai agen

pembelajaran, (4) Pembinaan individu dapat meningkan kualitas guru dalam proses

pembelajaran, (5) Pembinaan individu dapat mengkondisikan sehingga guru memiliki

silabus yang disusun sendiri..

Saran. Upaya meningkatkan kompetensi guru dalam menyusun silabus dapat

dilakukan dengan berbagai macam cara. Diantaranya dengan melaksanakan kegiatan In

Page 475: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-mipa-2011

4 - 74

Seminar Nasional Pendidikan MIPA, Unila, 2011

House Training, Work Shop,diklat atau penantaran, Bimbingan Teknis, Pembinaan

Individu. Namun dari hasil penelitian ini peneliti menyarankan bahwa cara yang lebih

efektif dan mengena adalah dengan cara pembinaan individu. Hal ini karena peniliti

(Kepala Sekolah) dapat berinteraksi secara langsung per individu guru. Setiap guru

lebih mendapat perhatian dari peneliti (kepalasekolah), dan informasi tentang hambatan,

keluhan yang dimiliki guru dapat disampaikan secara langsung dan panjang lebar oleh

guru yang bersangkutan. Sehinggu solusi/bimbingan/binaan yang diberikan pada setiap

guru bisa lebih tepat sasaran. Karena setiap individu guru memiliki karakter, hambatan,

keluhan dan kebutuhan yang berbeda-beda.

Upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dalam bidang lain seperti

penyusunan perakat PBM: Analisis Minggu efektif, Program Tahunan, Program

Semester dan RPP tentunya dapat dilakukan dengan cara pembinaan individu. Karena

itu peniliti juga menyarankan kepada Kepala Sekolah untuk melakukan PTS

meningkatkan kompetensi guru menyusun perangkat PBM melalui pembinaan individu

guru.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri. (2006). Peraturan Menteri pendidikan Nasional, Nomor 22 Tahun

2006, Tentang Standar Isi Untuk satuan Pendidikan Dasar dan menengah.

Undang-Undang. (2003). Undang-Undang No. 20 tahun 2003, tentang Sistem

pendidikan Nasional.

Peraturan Pemerintah. (2008). Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru

dan Dosen.

Anonim,2008,Petunjuk Teknis Penelitian Tindakan sekolah(School Action Research)

Peningkatan Kompetensi Supervisi Pengawas Sekolah SMA/SMK, Jakarta :

Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral PMPTS.

BNSP. (2007). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang

Pendidikan Dasar dan Menengah.