prosiding seminar nasional ke-3 fkh undana - vetpub.net · rumah potong hewan oeba kota kupang”...
TRANSCRIPT
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
i
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
ii
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KE-3
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG, 01 OKTOBER 2015
“TANTANGAN DAN STRATEGI
PENINGKATAN KESEHATAN HEWAN
DI KAWASAN SEMI RINGKAI
KEPULAUAN”
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2015
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
iii
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL KE-3 “TANTANGAN DAN STRATEGI PENINGKATAN KESEHATAN
HEWAN
DI KAWASAN SEMI RINGKAI KEPULAUAN”
Dewan Redaksi
Tim Penyusun : Fakultas Kedokteran Hewan Undana
Penanggungjawab : Dr. drh. Maxs U.E. Sanam
(Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Undana)
Pengarah : Prof. Ir. Frans Umbu Datta, M.App Sc, Ph.D
Penyunting : Dr. drh. Annytha I.R. Detha, M.Si
drh. Cynthia Dewi Gaina, M.Trop.V.Sc
Alamat Redaksi : Fakultas Kedokteran Hewan, Undana,
Jl. Adisucipto Penfui, Kupang, Kotak Pos 104
Nusa Tenggara Timur 85001
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
iv
Prosiding Seminar Nasional
“TANTANGAN DAN STRATEGI PENINGKATAN KESEHATAN HEWAN DI
KAWASAN SEMI RINGKAI KEPULAUAN”
Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Nusa Cendana
Copyright © 2015
Editor : Tim Penyusun Fakultas Kedokteran Hewan Undana
Desain Sampul : Annytha Detha
PT Penertbit : Lembaga Penelitian Undana
Cetakan Pertama : November 2015
ISBN : 978-979-24-6839-7
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang
Dilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas terselenggaranya Seminar
Nasional ke-3, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana yang bertema
“Tantangan Dan Strategi Peningkatan Kesehatan Hewan di Kawasan Semi Ringkai
Kepulauan” pada tanggal 01 Oktober 2015 di Kupang. Pembicara utama pada seminar ini
berdiri dari Akademisi,Ilmuan, Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi NTT,
Peneliti dan Praktisi. Hasil-hasil kajian dan penelitian terkini yang berkaitan erat dengan
kesehatan hewan di kawasan lahan kering, diharapkan dapat memperkaya pemahaman
tentang strategi meningkatkan kesehatan hewan di kawasansemi ringkai kepulauan
khususnya di wilayah Nusa Tenggara Timur. Isi prosiding ini memuat sejumlah artikel
hasil-hasil kajian dan penelitian yang telah dilakukan oleh Dosen Universitas Nusa
Cendana dan beberapa peneliti dari perguruan tinggi lain yang ada di Kota Kupang. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang turut berpartisipasi dan mengambil bagian dalam pembuatan prosiding Seminar
Nasional ke-3 Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana.
Semoga prosiding ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, untuk kepentingan
pengembangan ilmu kedokteran hewan. Di samping itu, diharapkan juga dapat menjadi
referensi bagi upaya pembangunan bangsa dan negara. Kami mengakui dalam prosiding ini
masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dan
menyempurnakan prosiding ini sangat diharapkan.
Kupang, November 2015
Tim Penyunting
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
vi
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DEWAN REDAKSI
ISBN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
MAKALAH UTAMA
Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, M.Sc.Agr, AIF
(Guru Besar FKH IPB, Ketua Pelaksana SPR LPPM IPB)
“PERAN PERGURUAN TINGGI DALAM PENGEMBANGAN SEKOLAH
PETERNAKAN RAKYAT (SPR) UNTUK PERCEPATAN PENGEMBANGAN
PETERNAKAN DAN KEDAULATAN PETERNAKAN INDONESIA”
Prof. drh. Hj. Romziah Sidik, PhD
(Guru Besar Ilmu Pakan Hewan dan Ternak, FKH-UNAIR)
“TEKNOLOGI PENGELOLAAN PAKAN UNTUK PENYEDIAAN PAKAN TERNAK
BERMUTU PADA MUSIM KERING DI NTT”
Prof. Dr. drh. I Nyoman Sadra Dharmawan, MS
(Guru Besar Parsitologi, FKH UNUD)
“URGENSI PENANGANAN KASUS HELMINTHIASIS PADA TERNAK DI
WILAYAH SEMI- RINGKAI KEPULAUAN”
Richard Chopland, QDA, BVSc, MSc, PhD
(Animal Biosecurity Expert, The University of Queensland, Australia)
“LESSONS LEARN FROM SUCCESSFUL BIOSECURITY PROGRAMS IN AUSTRALIA
THAT MAY BE APPLICABLE TO THE SEMI ARIDS ISLANDS OF NUSA TENGGARA
TIMUR”
MAKALAH PENDUKUNG (PRESENTASI LISAN)
Andrijanto Hauferson Angi, Fadjar Satrija, Denny Widaya Lukman,Mirnawati
Sudarwanto, Etih Sudarnika
“STUDI EPIDEMIOLOGI TRICHINELLOSIS PADA DAGING BABI DI KOTA
KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR”
Thelny Nenabu, Elisabet Tangkonda, Nemay A. Ndaong
“UJI POTENSI MINYAK KELAPA MURNI (VIRGIN COCONUT OIL) SEBAGAI
ANTIBAKTERI TERHADAP Avibacterium paragallinarum”
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
viii
Antin Yeftanti Nugrahening Widi
“PATOGENESIS DAN SIFAT LATEN NEUROPATOGENIK EQUINE
HERPESVIRUS-1 DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENYAKIT SYARAF”
Margaretha Mariani Bota Sogen, Annytha Ina Rohi Detha, Novalino Harold Gerald
Kallau
“ANALISIS TINGKATAN PERLAKUAN MASA SIMPAN TERHADAP CEMARAN
Vibrio sp. PADA IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI PASAR IKAN
TRADISIONAL KOTA KUPANG”
Frans Umbu Datta, Annytha I.R. Detha
“AKTIVITAS ANTIMIKROBA SOPI TERHADAP BAKTERI PATOGEN
Staphylococcus aureus”
Putri Pandarangga
“THE EVOLUTION OF CIRCULATING NEWCASTLE DISEASE VIRUS IN
INDONESIA WITH PATHOLOGICAL DESCRIPTION”
Rupertus G. Oncok, Elisabet Tangkonda, Diana Agustiani Wuri
“TINGKAT KEJADIAN SAPROLEGNIASIS PADA IKAN LELE DUMBO (Clarias
gariepinus) YANG DIPELIHARA DI DESA TUATUKA KABUPATEN KUPANG”
Robynson Yerobkim Dimu, Nemay Anggadewi Ndaong, Annytha Ina Rohi Detha
“IDENTIFIKASI KANDUNGAN TIMBAL DALAM DARAH SAPI YANG MEMAKAN
SAMPAH DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) ALAK KOTA KUPANG”
Cynthia D. Gaina
“PENYAKIT PORCINE REPRODUCTION AND RESPIRATORY SYNDROME (PRRS) PADA
PETERNAKAN BABI DI NUSA TENGGARA TIMUR”
Maria L. F. P. Kale, Diana A. Wuri, Novalino H.G. Kallau
“KAJIAN RESIDU TETRASIKLIN DALAM DAGING BABI YANG DIPOTONG DI
RUMAH POTONG HEWAN OEBA KOTA KUPANG”
Hadrianus K. Nahak, Maxs U.E. Sanam, Diana A. Wuri
“POTENSI EKSTRAK LIDAH BUAYA (ALOEVERA) SEBAGAI
IMUNOMODULATOR PADA AYAM BURAS YANG DIVAKSINASI DENGAN
VAKSIN ND”
Ellen Fanggi, Annytha I.R. Detha, Diana A. Wuri
“DETEKSI SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG
HEWAN OEBA, KOTA KUPANG”
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
ix
Siswatiana Taha
“UJI KUALITATIF CEMARAN BAHAN KIMIA FORMALIN PADA BAKSO YANG
DIJUAL DI KOTA GORONTALO”
Yohanes T.R.M.R. Simarmata, Ida Tjahajati, Hajar Cahya Utami GAMBARAN DARAH PADA DOMBA YANG TERINFEKSI Mycobacterium bovis
Yulfia Nelymalik Selan
DISTRIBUSI SARAF PADA VENTRIKULUS KELELAWAR (Pteropus vampyrus)
ASAL PULAU TIMOR DENGAN PEWARNAAN ANTI-PROTEIN GENE PRODUCT
(PGP) 9.5
MAKALAH PENDUKUNG (PRESENTASI POSTER)
Yeremilo Haryantho Selly, Yulfia N. Selan, Antin Y.N. Widi
“GAMBARAN PATOLOGI ANATOMI DAN HISTOPATOLOGI DUODENUM
KAMBING KACANG (Capra aegagrus hircus) YANG DIGEMBALAKAN DI TEMPAT
PEMBUANGAN AKHIR (TPA) ALAK”
Umbu Ridwan Praimajangga, Antin Y. N. Widi,Yulfia N. Selan
“GAMBARAN PATOLOGI ANATOMI DAN HISTOPATOLOGIRUMEN KAMBING
KACANG (Capra aegagrus hircus) YANG DIPELIHARA DI TEMPAT
PEMBUANGAN AKHIR (TPA) ALAK”
Marche Shintyami Noya , Nemay A. Ndaong, Filphin Adolfin Amalo
“EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SAMBILOTO (Andrographis paniculata
ness) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH MENCIT (Mus musculus) PADA
KONDISI DIABETES MELITUS TIPE 1”
Arthenia D. Manafe, Diana Agustiani Wuri, Annytha I.R. Detha KAJIAN RESIDU
“PENISILIN DALAM DAGING AYAM PEDAGING, AYAM KAMPUNG DAN AYAM
PETELUR AFKIR YANG DIJUAL DI KOTA KUPANG”
Edward Ndappa, Antin Yeftanti Nugrahening Widi , Filphin Adolfin Amalo
“GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL KAMBING KACANG (Capra aegagrus
hircus) YANG DIPELIHARA DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) ALAK,
KOTA KUPANG”
Adonia Ibma Ibu, Filphin Adolfin Amalo, Nemay Anggadewi Ndaong
“EFEKTIVITAS SALEP EKSTRAK ETANOL DAUN SAMBILOTO (Andrographis
paniculata) TERHADAP KESEMBUHAN LUKA INSISI PADA MENCIT (Mus
musculus)”
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
x
Hermina Nuhan, Cynthia Dewi Gaina2, Filphin Adolfin Amalo
“HISTOPATOLOGI OVARIUM, OVIDUK, DAN UTERUS KAMBING KACANG
(Capra aegagrus hircus) YANG DIPELIHARA DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR
(TPA) ALAK KOTA KUPANG”
Nur Aini Ismail Kasim, Diana A Wuri, Nemay A Ndaong
“IDENTIFIKASI KADAR FORMALIN PADA IKAN LAUT SEGAR YANG DIJUAL
DI KOTA KUPANG”
Ricky Myki Laurens Sine, Herlina Umbu Deta, Yulfia N. Selan
“IDENTIFIKASI KADAR KALSIUM, FOSFOR, DAN MAGNESIUM PADA SERUM
DARAH SAPI BALI YANG DIPELIHARA SECARA TRADISIONAL DI DESA
NONOHONIS-TTS”
Putri Pandarangga
“DERAJAT KEPARAHAN PERADANGAN DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI
SISISERKUS PADA BABI DI RPH OEBA, KUPANG”
Wilfridus A.K. Seran, Antin Y. N. Widi , Yulfia N. Selan
“GAMBARAN HISTOPATOLOGI ILEUM KAMBING KACANG (Capra aegagrus
hircus) YANG DIPELIHARA DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH
KECAMATAN ALAK, KOTA KUPANG”
Thomas Emanuel Manggotu Nahak, Nemay Anggadewi Ndaong, Antin Yeftanti
Nugrahening Widi
“PENGARUH PEMBERIAN CAIRAN PROBIOTIK Effective Microorganisms-4 (EM-
4®) DENGAN DOSIS BERTINGKAT TERHADAP GAMBARANHISTOPATOLOGIS
DUODENUM DAN BERAT BADAN AYAM KAMPUNG (Gallus Domesticus)”
Febrina D. Manggas, Cynthia D. Gaina, Antin Yeftanti Nugrahening Widi
“GAMBARAN ANATOMI DAN HIDTOLOGI TESTIS DAN EPIDIDIMIS SAPI BALI
RPH OEBA KUPANG”
Donny R.R. Padji, Novalino H.G. Kallau, Annytha I.R. Detha
“TINGKAT KANDUNGAN NITRIT DAN NILAI GIZI PADA BERBAGAI MEREK
SOSIS YANG DI JULA DI KOTA KUPANG”
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
1
MAKALAH UTAMA
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
2
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
3
PERAN PERGURUAN TINGGI DALAM PENGEMBANGAN SEKOLAH
PETERNAKAN RAKYAT (SPR) UNTUK PERCEPATAN KEMANDIRIAN DAN
KEDAULATAN PETERNAK RAKYAT DI INDONESIA
Agik Suprayogi dan Prastowo
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM)-IPB
Latar Belakang
Kenyataan bahwa peternak di Indonesia pada umumnya memiliki karakter yang
kurang menguntungkan. Karakter tersebut tercipta sejak dulu dan bersifat turun-temurun,
diantaranya adalah memiliki ternak bersifat subsisten dalam sekala kecil (1-3 ekor)
danhanya untuk tabungan, pengetahuan beternak rendah sehingga produktifitas rendah,
tidak memiliki daya saing dalam kompetisi pasar, dankurang profesional sehingga kurang
mampu menarik investor. Karakter peternak ini member gambaran suram peternakan
Indonesia, padahal sebagian besar populasi ternak di Indonesia ada di peternakan rakyat
dan menjadi andalan kebutuhan sapi atau daging nasional.
Peternakan/peternak rakyat belum mampu mandiri apalagi berdaulat. Sebenarnya
komponen utama yang dapat menggerakkan peternakan rakyat cukup banyak, diantaranya,
perguruan tinggi (PT), pemerintah (pusat,propinsi,daerah), pengusaha, konsumen, investor,
dan ternak lokal Indonesia. Namun sampai saat ini belum mampu merubah karakter
peternakan dan peternak Indonesia, walaupun masing-masing komponen utama tersebut
sudah bekerja keras dengan segala upaya yang maksimal. Kemungkinan hanya cara
pandang (paradigm) terhadap peternakan/peternak yang kurang tepat selama ini.
Masing-masing komponen utama di bidang peternakan memiliki paradigm sendiri-
sendiri dan kurang bersinergis untuk menuju solusi peternakan Indonesia. Perguruan tinggi
seharusnya memainkan peranan penting dalam mencarikan solusi tersebut. Melalui
kegiatan Tri-Dharma PT yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat,
PT memiliki peran sentral dalam pengembangan peternakan. Sebagai contoh konsep
sekolah peternakan rakyat (SPR) yang di kembangkan IPB, sudah terimplementasi untuk
menjadi kawasan/sentra peternakan rakyat yang menjadi program Dirjen Peternakan dan
Kesehatan Hewan, KementerianPertanian-RI.
Makalah ini bertujuan untuk berbagi pengalaman IPB dalam mengembangkan
program penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (PPM) yang mengarah pada
pengembangan SPR. Disamping itu juga berbagi peran dalam pengembangan SPR bersama
mitra terkait melalui bentuk kerjasama termasuk dengan PT setempat.
Paradigma Perguruan Tinggi dalam memandang Tri-Dharma PT
Perguruan Tinggi memiliki kemampuan untuk mendorong agar kemandirian
maupun kedaulatan peternakan/peternak rakyat dapat bergulir dengan cepat melalui
pelaksanaan Tri-Dharma PT. Peran PT secara langsung dilapang dalam pengembangan
peternakan rakyat menuju kemandirian dan kedaulatan peternak rakyat harus
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
4
jelasarahdantujuannya. Paradigma pelaksanaan Tri-Dharma PT harus dipandang secara
holistic dan terintegrasi, tidak dipandang secara parsial. Pengelolaan kegiatan PPM,
termasuk didalamnya kegiatan pendidikan dipandang sebagai suatu konser music yang
harmoni menuju pengembangan peternakan rakyat.
Kegiatan penelitian PT merupakan proses panjang yang harus didukung oleh
sumber daya manusia dan fasilitas yang handal, pendanaan yang cukup, dan kebijakan
yang matang. Kegiatan penelitian ini harus didorong untuk menghasilkan inovasi (konsep,
IPTEKS, Kebijakan) dan kemudian segera diputar menuju sasaran pengguna inovasi
tersebut. Sasaran pengguna inovasi dapat berupa masyarakat (petani, peternak, nelayan),
industri, maupun lembaga pemerintah. Didalam upaya perputaran inovasi menuju sasaran
pengguna tersebut sangat diperlukan suatu model kolaborasi tersendiri dalam bentuk
kerjasama profesional (pelatihan dan pendampingan) maupun kemitraan bisnis. Dengan
demikian ketika inovasi tersebut dihantarkan atau hadir di tengah masyarakat melalui suatu
model kolaborasi antara PT dengan sasaran pengguna, maka disanalah bentuk kegiatan
pengabdian kepada masyarakat yang sesungguhnya. Melalui perputaran inovasi ini, maka
akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya perbaikan terus menerus inovasi
itu sendiri. Disamping itu pada segala kegiatan penelitian maupun pengabdian kepada
masyarakat, keterlibatan sumber daya manusia (dosen, peneliti, mahasiswa) dapat
dihadirkan di masyarakat melalui suatu kegiatan pendidikan di kawasan/sentra yang
terbentuk diwilayah tersebut, misalnya sentra peternakan rakyat. Sentra ini dapat
merupakan laboratorium lapang bagi mahasiswa.
Sekolah Peternakan Rakyat Vs Kawasan/Sentra Peternakan Rakyat
Sekolah peternakan rakyat (SPR) merupakan salah satu program LPPM-IPB,
dikembangkan sejak Tahun 2013. Sekolah peternakan rakyat ini didirikan dengan tujuan
memberi ilmu pengetahuan dan teknologi kepada peternak tentang berbagai aspek teknis
peternakan dan nonteknis yang melandasi terwujudnya perusahaan kolektif dalam satu
manajemen yang dikelola oleh satu manajer dalam rangka meningkatkan daya saing
usahanya untuk meningkatkan pendapatan peternak serta kesejahteraannya.SPR
merupakan media (kendaraan) bagi peternak untuk mencapai kedaulatannya yang pada
gilirannya mampu meningkatkan pembangunan peternakan Indonesia. Melalui konsep
SPR, maka peternak dapat belajar terus-menerus bagaimana cara beternak yang baik,
sehingga dikemudian hari mereka menjadi pintar beternak dan mereka mampu menjadi
peternak modern dan optimum. Peran perguruan tinggi adalah memberikan pendampingan
pada peternak, dan mengarahkan hasil penelitian dalam bentuk inovasi-teknologi menuju
pada mereka. Melalui SPR, kedepan populasi ternak sapi local diharapkan dapat
meningkat dan mencukupi kebutuhan daging nasional. Walaupun disadari bahwa untuk
pemenuhan daging nasional sangat diperlukan kondisi makroekonomi-politik bangsa yang
stabil dan harus berpihak pada peternak, dan bukan sebaliknya.
Selaras dengan IPB yang telah mengimplementasikan SPR keberbagai wilayah di
Indonesia (11 SPR IPB), Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Kementerian Pertanian, Republik Indonesia mengembangkan konsep kawasan/sentra
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
5
peternakan rakyat. Kebijakan Ditjen PKH ini sungguh sesuai dengan kondisi
peternakan/peternak rakyat di Indonesia. Sudah sepatutnya PT di Indonesia yang terkait
sector peternakan mengambil peran penting. KebijakanDitjen PKH ini merupakan suatu
bentuk penataan dan perbaikan kondisi peternakan rakyat yang kurang menguntungkan
seperti tersebut diatas. Konsep sentra peternakan rakyat merupakan hal yang tepat
dikembangkan oleh Ditjen PKH sebagai upaya penataan objek ternak dan subyeknya
peternak itu sendiri. Didalam penataan itulah sangat diperlukan SPR yang sifatnya sekolah
atau apapun namanya untuk memberikan kesempatan para peternak untuk bersedia dan
mampu belajar terus menerus tanpa batasan umur, tempat dan waktu. Di SPR inilah peran
(medan tempur) PT untuk dapat mengembangkan Tri-Dharma PT.
Difinisi SPR adalah proses pembelajaran aplikatif, partisipatif, sistematis, dan
terstruktur untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan peternakan rakyat dengan cara
pemberian akses informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta penguatan kendali
produksi dan pasca produksi ternak (Muladno, S.Sjaf, Suprayogi). Melihat difinisi SPR ini
mustinya ini dapat dilakukanoleh PT untuk mendukung danmewujudkan Sentra Peternakan
Rakyat di Indonesia.
Posisi PT dalam konsep Akademisi-Binis-Government (ABG) dalam pengembangan
SPR
Tujuan SPR seperti tersebut diatas akan dapat berhasil bila ada komitmen yang
tinggi dan adanya sinergi yang baik antara PT sebagai akademisi, investor sebagai
pembisnis, dan pemerintah sebagai regulator melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak
pada peternak. Konsep ABG dapat dilakukan melalui suatu bentuk kerjasama untuk saling
berbagi peran. Semua pihak harus mengarahkan potensi aktivitasnya menuju kearah yang
sama yaitu pembentukan, pengembangan, maupun penguatan SPR di suatu wilayah
pemerintah daerah. Posisi PT sangat sentral dalam pengembangan bisnis kolektif dalam
SPR. Pengalaman IPB dalam pengembangan SPR di wilayah Indonesia berupaya
mengedepankan bentuk kolaborasi dengan pemerintah daerah melalui Dinas terkait secara
formal (MOU) termasuk dengan perguruan tinggi wilayah setempat. Kerjasama semacam
ini juga dilakukan pada pihak investor (swasta) dengan prinsip berbagi peran.
Kesimpulan
1. Peran PT dalam pengembangan SPR sangat dinantikan sebagai suatu upaya percepatan
kemandirian dan kedaulatan peternak rakyat menuju peternakan Indonesia yang
modern dan optimal.
2. Melalui kegiatan Tri-Dharma, PT dapat menghadirkan sumberdaya manusia (dosen,
peneliti,mahasiswa) sebagai bentuk pendampingan, maupun menghadirkan
teknologi/inovasi kekawasan/sentra peternakan rakyat. Sentra ini merupakan
laboratorium lapang bagi mahasiswa.
3. Posisi PT sangat sentral dalam pengembangan bisnis kolektif SPR. Konsep ABG harus
disikapi sebagai suatu upaya berbagi peran.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
6
4. Mengingat sejarah SPR, IPB memiliki tanggung jawab moral dalam pengawalan
pengembangan SPR di Indonesia. Dalam pelaksanaannya IPB berupaya untuk
berkolaborasi dengan pemerintah daerah (dinas terkait) maupun perguruan tinggi
setempat.
Daftar Pustaka
1. LPPM-IPB. 2015. Panduan Sekolah Peternakan Rakyat.
2. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, KementerianPertanian-RI.
2015. Draf Pedoman Sentra Peternakan Rakyat
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
7
TEKNOLOGI PENGOLAHAN PAKAN UNTUK PENYEDIAAN PAKAN TERNAK
BERMUTU PADA MUSIM KERING DI NUSA TENGGARA TIMUR
Prof. Romziah Sidik, Drh. Ph.D.
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
Hewan ternak merupakan salah satu sumber protein hewani yang diperlukan oleh
masyarakat, dengan produk utama yang berupa daging, susu maupun telur. Untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani tersebut, diperlukan kemampuan untuk bisa
mengelola usaha peternakan yang disertai dengan upaya mengontrol kesehatan hewan agar
tetap sehat dan produknya aman bagi konsumen. Hal ini berkaitan dengan program Food
Security, dalam arti: menyediakan sumber produk protein hewani yang aman, sehat, utuh
dan halal (ASUH). Dengan demikian hewan ternak yang disiapkan untuk memenuhi
kebutuhan protein hewani harus dipelihara dengan system manajemen peternakan yang
baik dan benar, dimulai dari seleksi bibit ternak, kontrol kesehatan, program pakan, system
perkandangan, biosecurity, program sanitasi dan hygiene, pengembangan sumber daya
manusia yang bekerja di peternakan tersebut, serta analysis ekonomi dan strategi
pemasaran. Dapat dikatakan bahwa untuk melaksanakan suatu usaha atau bisnis
peternakan secara konsisten dengan mengikuti pola atau sistim usaha agribisnis yang
meliputi: input-proses-output-outcomes yang disesuaikan dengan tujuan dan target produk
yang akan dihasilkan.
Ketika akan memproduksi daging sapi, maka factor Input yang harus
dipenuhimeliputi: bibit sapi jantan yang berumur 18-20 bulan untuk digemukkan baik
secara fattening/ kereman; penyediaan pakan sapi yang berupa padang rumput, hijauan
(rumput, legume), sisa hasil pertanian/perkebunan, limbah industry, konsentrat; obat-
obatan (anthelmintic, pemberantas ectoparasit, probiotic), bahan pembersih lantai kandang
seperti antiseptic,; Kandang yang permanen, semi permanen, terbuat dari bangunan beton
dengan atap genteng/asbes/seng,daun enau, kadang kala berupa bangunan yang terbuat dari
kayu atau bamboo.
Proses penggemukkan dilakukan perawatan terhadap sapi bibit yang sudah tersedia,
diberi pakan hijaun atau limbah pertanian yang diberikan secara tersendiri ataupun
dikombinasi dengan pemberian konsentrat. Frekueansi dan cara pemberian pakan hijauan
ataupun konsentrat dapat mempengaruhi proses metabolism pakan didalam rumen sapi,
sehingga berpengaruh dalam proses sintesis jaringan otot yang diexpresikan pada
performance kenaikan berat badan yang bisa diukur dalam unit gram/ekor/hari. Dimensi
lamanya waktu penggemukkan akan menghasilkan target berat badan akhir yang
dikehendaki dan disesuaikan dengan ketetapan yang berlaku, misalnya: dewasa potong
untuk sapi jantan adalah 2 tahun (poel 2) dengan berat badan 250 kg untuk jenis sapi
ringan (sapi Bali, sapi Madura, sapi Rambon, sapi Aceh), sedang sapi yang termasuk
kategori medium dan kategori berat pada umur 2 tahun berat badannya dapat mencapai 700
kg-1,2 ton. Bagaiaman seandanya pada umur 2 tahun, berat badan sapi belum mencapai
250 kg?. Dalam kondisi yang demikian ini, harus ditambah waktu penggemukannya
hingga dicapai berat badan yang ditargetkan. Berat badan sapi merupakan target produk
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
8
ketika hewan masih hidup, untuk dijual hidup. Dilain sisi target output dari sapi potong
adalah dalam bentuk produk karkas, daging, tulang dan lemak. Apakah dikehendaki
produk daging yang memiliki angka marbling yang tinggi? Tergantung pada kepentingan,
kebutuhan dan target pasar.
Outcomes dari produk daging, tulang, dan lemak dikaitkan dengan
pemanfaatannya oleh masyarakat. Apakah hanya untuk pemenuhan protein hewani saja,
ataukah untuk memproduksi daging yang spesifik, misalnya untuk memproduksi daging
yang rendah kandungan lemak dan cholesterolnya, ataukah untuk produksi daging yang
memiliki tingkat marbling yang tinggi terutama dibagian daginglulur/longissimus dorsi
yang disukai bila dimasak untuk steak. Sehingga produk daging sapi daoat didesain sesuai
dengan tujuan, target dan manfaat yang dikehendaki baik untuk kepentingan komersial
maupun pemenuhan kebutuhan protein hewani. Demikian juga untuk produk daging selain
berasal dari hewan ternak sapi. Konsep perancangan target output dan outcomes juga
berlaku untuk produk susu maupun telur. Faktor input pakan hewan ternak berperan
penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas produk ternak yang dihasilkan.
Penyediaan pakan ternak untuk dikonsumsi oleh hewan ternak yang mencukupi
untuk kebutuhan pemeliharaan fungsi tubuh secara normal dan mencukupi untuk produksi
daging, susudan telur sangat tergantung pada factor: pemilihan, ketersediaan, komposisi
nutrisi bahan pakan ternak dengan harga yang relative murah. Namun ketersediaan bahan
pakan ternak ditentukan juga oleh factor lingkungan, diantaranya adalah factor musim
yang secara langsung berpengaruh pada kesuburan tanah tempat tumbuhnya tanaman
hijaun pakan ternak maupun biji-bijian. Terutama pada saat musim kering produksi dan
kualitas hijauan dan biji-bijian bahan pakan ternak menurun. Hal ini berlaku dimana saja,
termasuk di wilayah Nusa Tenggara Timur, persediaan pakan ternak asal tanaman menjadi
berkurang jumlahnya, demikian juga kualitasnya menurun. Umumnya pada musim kering
kandungan protein bahan pakan asal tanaman menurun, sebaliknya kandungan serat kasar
meningkat. Problem pada saat musim kering sangat kompleks dalam hal penyediaan
pakan.
Strategi untuk mengatasi kekurangan pakan saat musim kering dapat dilakukan
dengan melakukan: (1). Penyimpanan rumput gajah, batang dan daun jagung, pucuk tebu,
daun dan ranting pohon turi, jerami padi, hijauan limbah hasil pertanian lainnya ketika
pada musim penghujan hingga saat musim kering tiba. Bahan lain seperti katul beras, litter
ayam yang sudah terpakai, serta tetes atau molasses dari produk sampingan pabrik gula.
(2). Melakukan proses teknologi pengolahan bahan pakan ternak yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas kandungan nutrisi bahan pakan.
Teknologi pengolahan bahan pakan ternak dapat dilakukan dengan beberapa cara,
misalnya: (1). Pemanasan, (2) ammoniasi, (3) hidrolisis basa, (4) fermentasi dengan
menggunakan starter yang berasal dari innokulan non pathogen bakteria,
khamir/yeast/kapang, (5) proses ensilase, (6) pembuatan dodol pakan ternak, serta (7)
pembuatan pakan konsentrat.
Proses pemanasan dengan cara dikukus/steamataupun dioven dapat mempermudah
bahan pakan untuk dicerna. Kalau proses ammoniasi dilakukan dengan merendam bahan
pakan yang berserat kasar tinggi didalam larutan urea 1-3% selama tiga mingggu.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
9
Sebaiknya menggunakan larutan urea 1%, karena lebih aman. Setelah itu dibuka dan
diangin-anginkan semalam sebelum diberikan pada ternak sapi. Umumnya berbau
ammonium, oleh karenanya dalam aplikasinya ditambahkan sedikit molasses untuk
meningkatkan palatabilitas. Hasil analisis kimiawi dari bahan pakan yang berserat dengan
diproses ammoniasi dapat meningkatkan kadar protein didalamnya. Proses hidrolisis basa
dengan merendam cara merendam bahan pakan berserat seperti jerami padi, pucuk tebu,
ampas tebu didalam larutan basa (air kapur 3%) selama tiga minggu. Effek proses
hidrolisis basa dapat menurunkan kadar serat kasar bahan pakan, karena terjadi proses
perenggangan ikatan ligno-cellulose, sehingga akan lebih mudah dicerna, namun kadar
protein bahan pakan tidak terpengaruh. Setelah proses perendaman menggunakan larutan
basa, bahan pakan diangkat dan dicuci dibawah air mengalir, hingga bersih dari endapan
kapur dan jernih. Sebelum diberikan pada ternak sebaiknya dikeringkan dulu. Umumnya
dilakukan kombinasi antara proses hidrolisis basa, kemudian dilanjutkan dengan proses
animasi. Dengan demikian akan didapat penurunan kadar serat kasar dan peningkatan
kadar protein pakan yang berserat. Cara tersebut merupakan teknologi proses pengolahan
bahan pakan yang rendah nilai nutrisinya menjadi meningkat nilainya menjadi lebih baik.
Cara lain untuk meningkatkan nilai nutrisi bahan pakan ternak dengan fermentasi
menggunakan inoculant bakteri non pathogen yang bersifat aerobe (Lactobacillus sp.),
anaerobe atau fakultatif anaerobe (Ruminococcus ruminocola) yang diinkubasi selama 7 -
15 hari. Bisa juga menggunakan yeast/kapang/kamir, seperti:Sacharomyces cerevicae (ragi
tape), ragi tempe. Proses fermentasi dapat meningkatkan kadar protein dan nilai kecernaan
bahan pakan, umumnya menurunkan kadar serat kasar. Cara ini merupakan dasar untuk
membuat silase, yaitu proses pengawetan bahan hijauan pakan ternak dengan bantuan
inoculant selama proses fermentasi. Untuk kesempurnaan proses ensilase ditambahkan
bahan karbohidrat (katul, pollard, tepung jagung, biji coklat, tetes/molases) yang
merupakan sumber energy dalam penambahan jumlah biomass mikroorganisme yang
berperan sebagai inoculant. Proses ensilase dapat mempertahankan kesegaran hijauan
pakan ternak (rumput, pucuk tebu, daun serta batang tanaman jagung, jerami padi). Silase
merupakan sumber pakan yang dapat disimpan serta cocok untuk digunakan pada saat
musim kering. Sebelum silase diberikan pada ternak sapi harus diangin anginkan lebih
dahulu untuk menghindari timbulnya gas methane yang tidak dikehendaki.
Dodol untuk ternak sapi biasa dikenal dengan nama urea molasses block (UMMB)
yang dimanfaatkan sebagai pakan tambahan (feed supplement). Dodol pakan ternak terbuat
dari campuran bahan pakan yang terdiri dari: molasses, urea, mineral mix, sedikit semen
putih, serta katul. Jumlah urea jangan lebih dari 3 % untuk menghindari keracunan ura,
sebaiknya dibuat 1% saja untuk amannya, dan yang penting urea harus dilarutkan dengan
air hingga larut. Baru dicampur dengan bahan bahan yang lain. Jumlah dodol yang
diberikan pada ternak sapi sekitar 100 – 200 gram/ekor/hari tergantung berat badan sapi.
Contoh gambar dodol untuk sapi/UMMB dapat dilihat pada gambar 3.
Pembuatan konsentrat dimulai dengan penyusunan beberapa bahan baku pakan
dengan targer kandungan protein dan enegi yang dibutuhkan serta disesuaikan dengan
phase pertumbuhan dan produksi sapi. Umumnya kandungan protein konsentrat untuk sapi
sekitar 12-15%, kadar bbahan kering sekitar 92-95%. Pada saat menyusun pakan
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
10
konsentrat diklasifikasikan dulu bahan pakan ternak yang berfungsi sebagai sumber
karbohidrat, protein, lemak, mineral. Pemilihan bahan pakan disesuaikan dengan
ketersediaan bahan pada saat itu, daftar komposisi nutrisi bahan pakan disertai harga per
kilo gram pakan. Kemudian disusun komposisi konsentrat dengan menggunakan program
software excel, sehingga dapat ditentukan proporsi setiap bahan pakan yang serasi dengan
target kandungan protein dan energy dengan harga yang paling minimal/murah per kilo
gram. Setelah itu disusun konsentrat sesuai dengan komposisi bahan baku pakan yang
didapat dari hasil hitungan formulasi pakan konsentrat, semyua bahan baku dihaluskan
dengan mesin hamermill dan dicampur hingga homogeny menggunakan mixer, diberi
adonan perekat yang dibuat dari tepung tapioca, diupayakan campuran konsentrat dapat
dibentuk dengan cara mengepalkan telapak tangan, setelah itu dimasukkan mesin cetak
pellet, dan dikeringkan didalam oven (dapat dilihat pada gambar 2).
Untuk mengatasi masalah kesulitan pakan pada musim kering di wilayah Nusa
Tenggara Timur disarankan untuk memproses bahan pakan ternak dengan membuat silase
(gambar 1).
Gambar 1: Proses pembuatan silase yang terbuat dari ubi ketela pohon (singkong) yang
dipotong kecil kecil serta dicampur dengan potongan 5 cm daun + batang tanaman jagung
yang sudah dilayukan, 10 % katul serta tetes sebanyak 1%. Setelah itu dimasukkan
kedalam karung goni dan diinkubasi selama 3 minggu.
CARA PEMBUATAN PAKAN KONSENTRAT (Gambar 2)
1. Bahan baku disiapkanditimbang sesuai proporsinya.
2. Semua bahan baku dicampur menjadi satu.
1 2
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
11
3. Campuran bahan baku disiapkan untuk dimasukkan kedalam mesin pencampur
(mixer).
4. Mesin mixer dinyalakan dan campuran bahan baku dimasukkan kedalamnya dan
ditampung setelah keluar dari mixer.
5. Campur dengan dengan bubur tapioca sebagai perekat.
6. Masukkan kedalam mesin cetak pellet yang sudah dinyalakan mesinnya.
7. Hasil cetakkan pellet dipotong @ 3 cm dan ditampung.
8. Cetakan pellet yang sudah dipotong potong dikeringkan didalam oven dengan suhu
150 derajat celcius hingga kering.
9. Pellet pakan sapi siap diberikan pada sapi sebagai pakan supplemen.
6
3 4
5
7 8
9
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
12
Gambar 3. Pembuatan urea molases block (ummb/dodol untuk sapi)
1. Bahan bahan penyusun UMMB/dodol untuk sapi ditimbang dan dicampur hingga
menjadi homogen menjadi adonan yang pekat. Adonan ditimbang dengan berat @
100 gram dan dicetak dengan menggunakan pipa pralon yang berdiameter sekitar
10 cm, tinggi 5 cm.
2. UMMB/dodol sapi yang tercetak dipanaskan didalam oven dengan suhu 60 derajad
Celcius hingga kering.
3. UMMB/dodol yang sudah kering dikeluarkan dari oven dan siap dikonsumsi oleh
ternak sapi pedaging ataupun sapi perah.
Gambar 4: sapi jantan jenis Rambon dan sapi pejantan perah.
Hasil penelitian Romziah (2015) membuktikan bahwa sapi jantan Rambon yang
diberi pakan silase dikombinasi dengan pakan konsentrat sebanyak 1 kg dan 100 gram
UMMB/dodol sapi dapat meningkatkan rata rata kenaikkan berat badan sapi sebesar 660
g/ekor/hari. Dibandingkan dengan sapi Rambon yang hanya diberi pakan silase saja,
kenaikan berat badannya sekitar 317 g/ekor/hari dan 357 g/ekor/hari untuk dapi Rambon
yang debari pakan silase ditambah 1 kg konsentrat saja. Demikian pula persentase berat
karkass meningkat, yaitu 48 % pada sapi Rambon yang diberi pakan silase + 1 kg kosentrat
+ 100 gram UMMB. Sedangkan sapi yang diberi pakan silase saja hanya 45% berat
karkassnya. Ketika sapi Rambon diberi pakan silase + 1 kg konsentrat/hari, maka
persentase berat karkass meningkat menjadi 47 %. Kenyataan ini benar benar dapat
meningkatkan performance sapi pedaging yang diexpresian pada kenaikan berat badan dan
persentase berat karkass. Dengan demikian modifikasi formula dan proporsi jenis pakan
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
13
yang diberikan pada sapi pedaging dapat dipergunakan sebagai langkah peningkatan
produktivitas sapi pedaging.
Bagaimana aplikasi perbaikan mutu pakan sapi yang dilepas di padang rumput? Langkah
yang dapat dilakukan adalah: 1. Mengelola pada rumput agar tetap subur tanahnya untuk
pertumbuhan rumput yang ditanam dengan memberikan tambahan pupuk organic. 2.
Menempatkan sapi di padang rumput sesuai dengan kapasitas lahan (untuk sapi jenis
ringan 10 ekor/ha). 3. Melakukan system rotasi padang rumput yang digembalakan, agar
pertumbuhan rumput yang optimal serta mempertahan permukaan tanah tidak menjadi
padat akibat injakan sapi (trampling effect) dan rumput dapat tumbuh dengan baik serta
mencukupi kebutuhan ternak.
Bagaimana cara meningkatkan produk ternak yang tinggi manfaatnya untuk
kesehatan masyarakat? Meningkatkan kadar asam lemak rantai panjang omega 6 di dalam
susu sapi perah dengan cara menambahkan minyak nabati yang tinggi kandungan Omega 6
didalamnya, seperti minyak jagung, minyak kedelai dan minyak canola kedalam campuran
pakan konsentrat sebelum dicetak. Menurut Romziah (2008 dan 2009), kandungan Omega
8 pakan konsentrat meningkat setelah ditambah minyak jagung atau minyak kedeleai
ataupun minyak canola, demikian juga kandungan omega 6 didalam susu sapi perah yang
mengkonsumsi pakan konsent5rat yabg ditambah dengan masing masing jenis minyak
nabati tersebut. Lebih lanjut dibuktikan bahwa susu sapi yang tinggi kandungan Omega 6
didalamnya, dapat berfungsi sebagai anti inflamasi serta anti cancer pada tikus puti yang
dipapar dengan peradangan buatan pada bagian carpal maupun pada tikus putih yang
menderita cancer paru buatan. Proses yang terjadi secara immune histokimia terlihat proses
apoptosis berlangsung dengan baik dan dapat menekan pertumbuhan cel radang dan cel
cancer tertekan dengan disertai penurunan radikal bebas dari metabolism enzyme dari cel
cancer paru. Penelitian ini sebagai model untuk membuktikan bahwa factor bahan baku
pakan sangat berperan dalam mempengaruhi produktivitas ternak penghasil susu sapi
maupun kambing.
Kualitas maupun kuantitas pakan yang diberikan pada ternak menentukan kualitas
zat nutrisi yang dihasilkan dari proses metabolism didalam tubuh. Hal ini dapat diukur
dari: (1). Komposisi nutrisi yang terkandung didalam pakan. (2). Jumlah nutrient yang
dikonsumsi hewan ternak. (3). Kecepatan pakan melalui saluran pencernaan / rate of
passage (4). Nilai kecernaan pakan. (4). Nilai metabolic serta (5) Nilai biollogis pakan.
(7). Nilai effisiensi pakan serta (8). Perfoman produktivitas ternak.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
14
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
15
BIOSECURITY IN NUSA TENGGARA TIMOR (NTT)
(LESSONS LEARN FROM SUCCESSFUL BIOSECURITY PROGRAMS IN AUSTRALIA
THAT MAY BE APPLICABLE TO THE SEMI ARID ISLANDS OF NUSA TENGGARA
TIMOR)
Richard Copland QDA, BVSc., MSc., PhD
104 Ellington St Tarragindi Qld 4121 Australia.
Email: [email protected]
ABSTRACT
Diseases eradicated from Australia are listed, including bovine brucellosis and
tuberculosis. Factors critical to successful biosecurity operations in Australia included:
animal identification, control of animal and people movement, a skilled field staff, good
cooperation between farmers and government officials, and adequate funding. These
critical factors are discussed.
INTRODUCTION
The author does not offer specific suggestions or recommendations for biosecurity
in NTT; but he will indicate from his experience some critical factors that have led to
successful biosecurity outcomes in Australia. It is up to readers with local knowledge and
experience to determine if some of these critical factors are relevant to conditions in
Eastern Indonesia or NTT.
Personal experience with Biosecurity by the author
Australia Malaysia United Kingdom
Figure 1: Sites where Dr Copland worked in Australia, Malaysia, and the United
Kingdom.
Dr Copland participated in the first phase of the Australian bovine Brucellosis and
TB eradication campaign (BTEC - see figure 1). This phase consisted of vaccination with
strain 19 brucellosis vaccine. During the process, he became quite ill from Brucellosis, but
recovered with treatment. Dr Copland then worked as the veterinary officer (East Coast)
with the Sabah (Malaysia) department of animal husbandry – controlling Newcastle
disease through vaccination and border control to prevent illegal entry of poultry from the
Philippines. The second phase of the BTEC program consisted of testing hundreds of
2. Sabah. Control of ND
and border security.
1. Strain 19
vaccination for
Brucellosis.
3. Testing for
Brucellosis & TB.
4. Foot and mouth
disease eradication.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
16
thousands of cattle for Brucellis and TB (and removal of all reactors). See figure1. Finally,
Dr Copland worked on eradicating Foot and Mouth disease from the UK.
What is Biosecurity? Essentially, there are three tasks:
1) Don’t have the disease - Prevent exotic diseases entering the country. This is the
best option.
2) The second best option is to rapidly eradicate a disease after it has entered a
country.
3) Finally, if a disease is endemic and eradication is not possible, manage the disease
to minimise damage and loss.
The Australian experience in eradicating diseases: The following diseases have been
eradicated from Australia:
Foot and Mouth Disease (1872)
Rabies (1867)
Bovine brucellosis (1989)
Bovine tuberculosis (1997, 2002)
Contagious bovine pleuropneumonia (1973)
Scrapie (1952)
Contagious equine metritis (1980)
Equine piroplasmosis (1976)
Avian influenza (1997)
Classical Swine fever (1962)
Equine influenza (2008)
Ref: ANIMAL DISEASE STATUS, ANIMAL HEALTH AUSTRALIA 2014
What have been the critical factors in eradicating diseases from Australia?
1. Animal identification
Dr Bruce Christie in his report (2007) made the following recommendation:
The development and piloting of low-cost animal identification systems should be
incorporated into an animal production or animal health project in Nusa Tenggara
Timur.
The following methods of identifying livestock have been used in Australia:
Fire and freeze brands (mainly to prevent theft - not for individual
identification)
3 hole Strain 19 punch
Property Identification Codes (PIC - critical for trace back)
Paint brand (temporary)
Ear tags (may fall out, but small tags (read electronically) properly applied are
permanent.
Rumen boluses (these can also be read electronically and last a lifetime. They
could be reused.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
17
All cattle and sheep in Australia must now be identified as part of the National Livestock
Identification Scheme (NLIS). This scheme is necessary to satisfy export market
requirements, but would be invaluable in tracing an incursion or eradication of an exotic
disease.
Ref: History of livestock identification and traceability
What would be an appropriate system of animal identification and recording for NTT?
2. Animal control, movement control
Good fences; to control introductions of new animals which may be
quarantined, or to prevent entry of stray or wild animals.
Clean musters; must test every animal every time.
Cooperate with neighbours; fix each others fences and return stray animals.
Vendor declaration form / waybill. This process enables the control and
tracking of all animal movements.
3. Good cooperation between farmers and government officials
Common goals; farmers and government officials both support the goal of
eradication of the disease in question. Farmers agree this goal is vital and
beneficial to them.
Mutual respect
Trust built up over time
Most testing was done by private veterinarians working on behalf of the
government.
4. Highly skilled field staff
Sufficient training
Adequate funding
Includes private sector
Supported by well informed farmers (who have been trained and informed)
5. Good tests and access to a diagnostic lab
Cheap, quick, sensitive screening test (eg Rose Bengall Test)
Accurate follow up test (eg CFT)
Good transport system – biosecurity of samples so that samples do not spread
diseases
6. Effective vaccine
Vaccine used to reduce prevalence
Eradication cannot be achieved while vaccine is being used
Vaccine can interfere with diagnostic tests
Vaccination may be used as a protective buffer
7. Adequate funding
Staff training
Informing the community / extension
Laboratory
Running costs (fuel, vehicles etc)
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
18
Compensation – purchase and destruction of infected animals
8. Prearranged plan
1) AUSVETPLAN (see AUSVETPLAN (a) and (b) (2014)
2) Manual for everything! Destruction of animals, Disinfectants, disease strategies etc
3) Role for everyone – Government, Private vets, police, farmers, army, community.
4) INDOVETPLAN (see Helen Scott-Orr. 2007)
BIOSECURITY PLANS
• For farm
• District, or nation
Especially relevant for intensive industries (minimal disease hatcheries, broiler units)
ELEMENTS OF A BIOSECURITY PLAN
1. People movement
2. Animal movement (Including introductions)
3. Water
4. Feed
5. Pests
BIOSECURITY PROBLEMS FOR AUSTRALIA (especially in the North)
• Large herds, limited control
• Many wild animals (buffaloes, pigs, horses, cattle)
• Few people
• Training for aboriginal people
NTT acts as a sentinel herd or barrier for exotic diseases entering Australia.
What advantages do the semi arid islands of NTT have?
• Islands dry climate -barrier to spread of disease
• Populated – volunteer observers?
• Improved communication & government services.
Take home message
• Biosecurity involves everyone – because all would be affected by an outbreak:
• Farmers
• Tourists
• Business people / hotels / banks
• Schools / universities / hospitals
• Government officials
• Transport / airlines / ships / bus companies
• Animals
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
19
REFERENCES
ANIMAL DISEASE STATUS, ANIMAL HEALTH AUSTRALIA. 2014.
http://www.animalhealthaustralia.com.au/wp-content/uploads/2011/01/AHiA-2014.pdf
ACCESSED 23/09/2015
ANON 2013: CATTLE STANDARDS AND GUIDELINES – IDENTIFICATION
DISCUSSION PAPER. Prepared by the Cattle Standards and Guidelines Writing Group,
February 2013. www.animalwelfarestandards.net.au(Accessed 2nd October 2015)
AUSVETPLAN(a)http://www.animalhealthaustralia.com.au/programs/emergency-animal-
disease-preparedness/ausvetplan/Accessed 1st October 2015
AUSVETPLAN (b) - Disease Strategy for Avian influenza Version 3.4, 2011
Dr Helen Scott-Orr. 2007 FINAL REPORT – Future directions for animal health
servicesin Indonesia ACIAR PROJECT AH/2006/164.
A review of animal health research opportunities in Nusa Tenggara Timurand Nusa
Tenggara Barat provinces, eastern IndonesiaACIAR - Bruce M. Christie 2007
History of livestock identification and
traceabilityhttp://www.animalhealthaustralia.com.au/programs/biosecurity/national-
livestock-identification-system/history-of-livestock-identification-and-traceability/Accessed
1st October 2015
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
20
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
21
URGENSI PENANGANAN KASUS HELMINTHIASIS PADA TERNAK
DI WILAYAH SEMI-RINGKAI KEPULAUAN NTT:
DENGAN REFERENSI KHUSUS SISTISERKOSIS-TAENIASIS
Nyoman Sadra Dharmawan
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana Denpasar, Bali
Email: [email protected]
ABSTRAK
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha pengembangan ternak sapi di
NTT adalah faktor kesehatan atau kontrol penyakit. Di antara penyakit pada ternak sapi di
NTT, penyakit parasit helminthiasis kurang mendapat perhatian, walaupun penyakit ini
telah menimbulkan kerugian besar dan dapat menurunkan daya produktivitas ternak.
Sebagian besar peternak di NTT memelihara sapi secara tradisional dengan sistem semi-
intensif, dengan membiarkan ternak mencari makan sendiri, bahkan tidak dikandangkan.
Hal ini merupakan peluang besar bagi parasit untuk berkembang biak. Melihat pentingnya
masalah helminthiasis pada ternak di daerah semi-ringkai kepulauan NTT, maka informasi
tentang urgensi penanggulangan kasus helminthiasis pada ternak sangat diperlukan untuk
meningkatkan produksi dan reproduktivitas ternak. Selain menguraikan helminthiasis
secara umum pada sapi, scara khusus makalah ini menekankan pentingnya sistiserkosis dan
taeniasis sebagai zoonosis parasit yang berbahaya bagi manusia. Penyakit tersebut
merupakan penyakit terabaikan, bersumber ternak dan menjadi ancaman kesehatan
masyarakat.
Kata kunci: helminthiasis, ternak, semi-ringkai, sistiserkosis, taeniais.
PENDAHULUAN
Nusa Tenggra Timur (NTT) merupakan provinsi kepulauan yang didominasi oleh
lahan kering dengan corak geografi, agroklimat semi-ringkai, dan kondisi sosial yang khas.
NTT dipandang cocok untuk pembibitan dan pengembangan sapi di Indonesia(1). Wilayah
kepulauan ini terdiri lebih dari 500 pulau dengan Flores, Sumba, dan Timor sebagai tiga
pulau terbesar. NTT memiliki iklim yang paling kering di Indonesia, berlangsung panjang
8-9 bulan/tahun, dengan curah hujan rendah (1000-1500 mm) selama musim hujan(1,2).
Akibat musim kemarau yang panjang terdapat banyak lahan marjinal yang lebih cocok
untuk usaha ternak, terutama ruminansia(1-3).
Ternak ruminansia seperti sapi, kambing, domba merupakan sumber protein hewani
yang penting di seluruh dunia(4). Ternak tersebut menyumbang kebutuhan akan daging dan
produk susu, baik di desa maupun di kota di berbagai negara(4,5). Selain sebagai sumber
protein utama, limbah ternak juga sangat penting dan bermanfaat bagi pertanian. Di
beberapa negara di Afrika Barat, seperti Nigeria, ternak ini juga digunakan untuk upacara
tradisional tertentu(4). Hal serupa juga ada di NTT, pada umumnya ternak masih sangat
memegang peranan dalam status sosial masyarakat NTT, misalnya untuk kepentingan
perkawinan, pemakaman, maupun pesta adat lainnya(1).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
22
Potensi NTT sebagai provinsi ternak atau sebagai lumbung ternak sapi di Indonesia
telah diakui secara nasional. Hal ini didukung data ketersediaan padang pengembalaan
untuk peternakan sapi, kuda, kerbau, dan kambing seluas 832.228 Ha(4). Selain itu,
dilaporkan adanya lahan pertanian kering seluas 1.528.308 Ha yang baru dimanfaatkan
sekitar 54,62% dan lahan perkebunan seluas 888.931 Ha yang baru dimanfaatkan sekitar
35,45%(4). Namun, diketahui kendala yang dihadapi pembanguann peternakan di NTT
sampai saat ini, diantaranya adalah (1) pakan ternak, (2) air, (3) penyebaran penduduk dan
populasi ternak, (4) penurunan mutu lingkungan hidup, (5) mutu ternak, (6) penyakit dan
kesehatan ternak(1).
Persoalan penyakit dan kesehatan ternak dapat menjadi hambatan pengembangan
peternakan karena berpengaruh langsung terhadap kehidupan ternak. Penyakit pada ternak
dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang besar, karena selain berdampak pada
ternaknya sendiri, juga dapat menular ke manusia(5,6). Salah satu penyakit yang merugikan
pada peternakan sapi adalah infeksi parasit gastrointestinal yang dikenal dengan
kecacingan (helminthiasis). Angka kematian ternak karena helminthiasis memang tidak
tinggi sehingga membuat orang tidak khawatir, namun efek tidak langsung pada
produktivitas peternakan dan dampak zoonosis helminthiasis terhadap kesehatan
masyarakat sangat besar(5).
Menurut beberapa peneliti, kerugian tidak langsung yang dikaitkan dengan infeksi
parasit meliputi terganggunya produksi ternak akibat penurunan tingkat pertumbuhan,
berat badan, diarrhea, anorexia, dan kadang-kadang anemia(4-6). Sementara itu, zoonosis
parasit terus berkembang menjadi salah satu kajian penting yang perlu mendapat perhatian.
Sudah sejak lama Brotowidjoyo menyatakan bahwa zoonosis parasit tidak hanya
membahayakan jiwa manusia, melainkan juga menggangu kesejahteraannya(7). Uraian
berikut menjelaskan tentang pentingnya penangggulangan helminthiasis pada ternak di
wilayah semi-ringkai kepulauan secara umum. Pembahasan sistiserkosis dan taeniasis di
Indonesia dijadikan referensi khusus, karena merupakan contoh zoonosis parasit penting
masa kini.
HELMINTHIASIS PADA TERNAK
Infeksi parasit gastrointestinal adalah problem bagi peternakan di seluruh dunia, baik
pada peternakan skala kecil maupun besar(4). Sejak dulu orang telah mengetahui bahwa
helminth atau cacing adalah parasit utama yang terdapat dalam saluran gastrointestinal.
Berbagai jenis Trematoda, Cestoda, dan Nematoda berparasit dalam lumen atau di bawah
mukosa dinding saluran pencernaan(7). Selain pada saluran pencernaan, infeksi cacing
pada tubuh hewan juga dapat ditemukan pada hati, saluran pernafasan, maupun pada
bagian tubuh lainnya. Pada sapi, umumnya cacing ditemukan pada saluran pencernaan dan
hati(8). Beberapa faktor predisposisi (pemicu) penyakit tersebut adalah umur ternak,
musim atau kondisi lingkungan, keberadaan vektor/inang antara, cara pemeliharaan ternak,
dll.(5,8,9).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
23
Secara umum, dari hasil pemeriksan feses, telur cacing yang sering ditemukan pada
ruminansia adalah: Trichuris sp., Nematodirus sp., Strongyloides sp., Toxocara sp.,
Moniezia sp., Fasciola sp., Paramphistomum sp., dan Strongyle sp.(10). Helminthiasis
yang disebabkan oleh Nematoda yang paling sering ditemukan pada sapi muda (pedet)
adalah dari spesies Toxocara vitulorum(8). Habitat cacing ini pada usus halus sapi,
berukuran relatif lebih besar dibandingkan dengan nematoda lainnya. Telur cacing T.
vitulorum berbentuk bulat, memiliki ciri khas dinding telur yang tebal(8,11). Sementara itu,
jenis Cestoda yang dapat menyerang sapi adalah spesies Taenia sp., Moniezia sp. dan
Echinococcus sp. Hanya Moniezia sp. yang hidup sampai dewasa dalam tubuh sapi(8,12).
Kasus helminthiasis dari Trematoda, khususnya spesies Fasciola sp. cukup banyak
dan sudah umum dijumpai pada ruminansia di lapangan. Penyakitnya disebut fascioliosis
yang disebabkan oleh trematoda hermaprodit yaitu F. hepatica dan F. gigantica(14-16). Di
daerah tropis penyakit ini disebabkan oleh F. gigantica, sedangkan di daerah beriklim
dingin disebabkan oleh F. hepatica(14-16). Penyakit ini bersifat zoonosis, dan manusia
biasanya terinfeksi dengan mengonsumsi tanaman air yang mengandung metasercaria
infektif. Infeksi larva cacing hati pada ternak sapi dan manusia secara umum bersifat
subklinis, namun tanda klinis pada manusia bisa berupa mual dan rasa nyeri pada otot(14,17).
Parasit helminthiasis juga dilaporkan sebagai penyakit yang sangat patogenik untuk
satwa liar. Penyakit ini disebut yang bertanggungjawab terhadap menurunnya tingkat
kesuburan hewan dan bahkan kematian(18). Kepadatan populasi, kelembaban, dan kondisi
sanitasi yang buruk merupakan pemicu berkembangnya infeksi helminthiasis pada satwa
liar(19). Sayangnya, kondisi sanitasi yang buruk lebih sering dijumpai justeru pada
penangkaran satwa liar dibandingkan pada kondisi hidup bebas. Dengan meningkatknya
intensitas kontak antar satwa liar dan hewan ternak, penularan helminthiasis juga semakin
meningkat. Ini mengakibatkan merebaknya infeksi helminthiasis campuran yang
ditemukan baik pada satwa liar maupun pada ternak dan hewan domestik lainnya(19-21).
Sebuah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui berbagai jenis parasit cacing yang
dikaitkan dengan status inang pembawa (helminth reservoir status) ruminansia liar yang
ditangkarkan di wilayah semi-ringkai di timur laut Nigeria, melaporkan hasil yang sangat
menarik. Dari 36 sampel yang diperiksa, infeksi cacing Strongyle dilaporkan cukup tinggi
(66,7%) pada ruminansia liar tersebut, tanpa tanda-tanda klinis. Larva cacing yang umum
ditemukan adalah Haemonchus contortus, Trichostrongylus axei, dan Strongyloides
papillosus. Data demografi seperti umur, jenis kelamin dan spesies ruminansia liar
tersebut juga diamati dan menunjukkan bahwa variasi prevalensi infeksi cacing tersebut
tidak berbeda nyata (P>0,05)(19).
Data tentang kejadian helminthiasis pada ternak di wilayah semi-ringkai di Indonesia
pada umumnya dan di NTT pada khususnya, secara akademis belum tersedia. Ini
merupakan tantangan bagi para akademisi dan pemangku kepentingan lainnya untuk
menyediakannya. Terbuka kesempatan yang sangat luas untuk mengeksplorasi kejadian
helminthiais tersebut, baik pada berbagai ternak dan hewan peliharaan maupun pada satwa
liar lainnya. Ketersediaan data prevalensi kejadian penyakit tersebut menjadi urgen dan
akan sangat bermanfaat bagi pemegang kebijakan di sektor pemerintahan, swasta, maupun
di tingkat petani peternak, terutama untuk digunakan dalam rangka menyusun strategi
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
24
penanggulangan kasus tersebut. Tersedianya informasi tentang berbagai jenis
helminthiasis di NTT, terutama yang bersifat zoonosis, akan dapat dipakai untuk
memahami ekoepidemiologi dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.
Helminthiasis pada ternak di wilayah semi-ringkai dataran Afrika telah dilaporkan
oleh beberapa peneliti(19,22-24). Ayana dan Ifa dari College of Agricultural and Veterinary
Sciences, Ambo University Ethiopia, mencatat dari 120 ruminansia kecil yang diperiksa
lewat prosedur baku parasitologi, menemukan 49,2% terinfeksi cacing. Ternak tersebut
terinfeksi oleh Strongyle sp., Fasciola sp. dan infeksi campuran. Parasit cacing yang
dominan teramati adalah Strongyle sp. (81,4%), Fasciola sp. (10,2%) dan infeksi campuran
(8,3%)(22). Tingkat kejadiannya ternyata bervariasi antar wilayah di Ethiopia,
prevalensinya berkisar 47,67-84,1%(23-24). Lebih lanjut dilaporkan bahwa genus parasit
cacing yang umum ditemukan pada ruminansia kecil adalah Haemonchus,
Trichostrongylus, Oesophagustomum, Bonustonum, Strongyloides, Fasciola dan
Trichuris(22).
Studi epidemiologi yang dilaporkan Owhoely dan kerabat kerjanya(4) tentang
prevalensi cacing gastrointestinal pada ruminansia yang dipotong di beberapa Abatoir di
Port Harcourt Negeria, menemukan beberapa spesies cacing. Spesies cacing yang
ditemukan tersebut berspektrum luas, meliputi: Haemonchus, Strongyloides, Chabertia,
Trichuris, Ostertagia, Bunostunum, Trichostrongyloidea, Ascaris, Taenia, Avitalina,
Fasciola, Eurytrema, Gastrothylax, Schistosoma, dan Dicrocoelum. Secara keseluruhan
prevalensi helminthiasis tersebut dilaporkan tinggi, mencapai 75,5%. Karena tingginya
tingkat prevalensi tersebut, oleh peneliti disarankan agar terus dilakukan pengamatan
secara periodik. Pemeriksaan untuk tindakan kontrol secara reguler menjadi suatu
keharusan, di samping memberikan edukasi kepada peternak tentang penggunaan
antihelminthiasis yang benar(4).
Prevalensi dan insidensi infeksi parasit cacing bervariasi secara luas dari satu wilayah
ke wilayah lain tergantung dari beberapa faktor penting. Faktor-faktor tersebut meliputi
status nutrisi, manajemen pengembalaan, kondisi iklim, imunitas ternak, dan kondisi
inang(22,25). Selanjutnya untuk memperoleh hasil identifikasi jenis parasit yang lebih baik,
sehingga informasi tersebut dapat digunakan untuk menyusun strategi penanggulangan
kejadian helminthiasis pada ruminansia, adalah penting sejak awal melakukan pengamatan
terhadap beban helminthiasis pada setiap ruminansia(22). Di samping itu, berbagai upaya
untuk melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor resiko yang spesifik dan unik di
berbagai wilayah dan sistem peternakan, amat bermanfaat untuk tindakan kontrol
helminthiasis.
Prevalensi helminthiasis pada saluran pencernaan pedet di Provinsi Jawa Tengah
dilaporkan oleh Purwaningsih dan Sumiarto(26). Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan,
ditemukan prevalensinya sebesar 41,3%. Jenis cacing yang ditemukan mulai dari
prevalensi tertinggi ke terendah adalah Strongyle sp. (24,0%), Toxocara sp. (12,5%),
Trichuris sp. (6,8%), Strongyloides sp. (6,3%), Fasciola sp (2,5%), Capillaria sp. (2,1%),
dan Moniezia sp. (1,6%). Dari hasil tersebut tampak infeksi cacing Strongyle lebih tinggi
dibanding infeksi jenis cacing nematoda lainnya. Hal ini diungkapkan karena kelompok
ini mempunyai daur hidup yang lebih sederhana, sehingga dengan mudah menghasilkan
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
25
populasi parasit yang segera dapat menginfeksi inang definitif tanpa memerlukan inang
antara(26).
Pada peternakan sapi potong sering dijumpai penyakit cacing hati (fascioliosis). Organ
hati sapi yang mengalami fascioliosis memperlihatkan penebalan serta pengapuran di
sekeliling permukaan; dan bila hati dibelah akan terlihat liang-liang pada jaringan hati.
Keadaan tersebut mengakibatkan hambatan pertumbuhan, pertambahan berat badan,
kekurusan, dan bila melanjut akan berakibat fatal berupa kematian(6,14). Munadi yang
melakukan penelitian terhadap kejadian fascioliosis di Keresidenan Banyumas, mencatat
rata-rata prevalensi cacing hati pada sapi yang disembelih di Rumah Potong Hewan adalah
47%(6). Sementara, secara keseluruhan di Indonesia dilaporkan prevalensi fascioliosis
antara 60-90%(14,28). Tingkat infeksi cacing hati yang ditemukan ternyata lebih tinggi pada
sapi dewasa. Hal ini sejalan dengan lama waktu terinfeksi dan proses perkembangan
metacercaria cacing hati di dalam saluran pencernaan(6,27).
Kerugian ekonomi pada industri peternakan akibat penyakit fascioliosis di seluruh
dunia lebih dari 3.109 USD per-tahunnya(14,29). Kerugian ekonomi yang sangat besar ini
menyebabkan penyakit helminthiasis tersebut dikenal juga dengan nama penyakit
ekonomi. Beberapa peneliti melaporkan helminthiasis ini secara ekonomi nyata merugikan
para peternak. Penyakit ini menyebabkan peningkatan ternak yang di culling, penurunan
harga jual sapi, menurunnya tingkat produktivitas, penurunan bobot sapih pedet, dan
penurunan laju pertumbuhan(6,14,27,30). Lebih lanjut dilaporkan fascioliosis pada ternak
dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang besar akibat pengapuran organ hati,
terganggunya fertilitas, berkurangnya produksi daging, dan kematian. Ternak juga
mengalami penurunan daya tahan terhadap infeksi bakteri maupun virus(30-32).
Menyangkut kerugian ekonomi yang ditimbulkan, hal yang sama juga diungkapkan
berlaku untuk infeksi helminthiasis secara umum. Kerugian disebabkan karena penurunan
produktivitas ternak, penurunan daya kerja, penurunan berat badan mencapai 6-12
kg/tahun, penurunan kualitas daging dan organ bagian dalam, terhambatnya pertumbuhan
hewan muda, dan bahaya penularan pada manusia/zoonosis(26-33). Sementara itu,
Koesdarto(34) melaporkan bahwa infeksi cacing parasit usus pada sapi dan kerbau akan
mengurangi fungsi kemampuan mukosa usus dalam transport glukosa dan metabolit
lainnya. Apabila ketidakseimbangan ini cukup besar dan berlangsung lama, akan
menyebabkan menurunnya nafsu makan. Kondisi tersebut mengakibatkan keterlambatan
pertumbuhan terutama pada ternak muda. Oleh karena itu, infeksi cacing parasit usus akan
bersifat patogenik, terutama jika bersamaan dengan kondisi pakan ternak yang buruk(34).
SISTISERKOSIS DAN TAENIASIS
Salah satu penyakit yang dapat menurunkan kualitas daging sapi adalah infeksi
Cysticercus bovis, yaitu bentuk larva dari cacing pita Taenia saginata. Penyakit ini
berbahaya bagi manusia karena bersifat zoonosis, dapat menular dari hewan ke
manusia. C. bovis menginfeksi otot sapi, penyakitnya disebut sistiserkosis. Sementara
cacing pita T. saginata berparasit pada usus manusia, penyakitnya disebut taeniasis.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
26
Manusia terinfeksi cacing pita bila mengonsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau di
masak kurang matang yang mengandung C. bovis. Sebaliknya, sapi akan terinfeksi larva
cacing pita bila menelan telur T. saginata yang dikeluarkan manusia lewat feses. Infeksi
C. bovis pada sapi ditemukan hampir di seluruh dunia(34,35).
Dampak ekonomi yang disebabkan oleh penyakit ini merugikan berbagai pihak.
Kerugian terbesar dialami oleh industri daging, karena daging yang terinfeksi harus
dimusnahkan, tidak boleh dikonsumsi. Cacing T. saginata juga ditemukan hampir di
seluruh dunia. Hasil penelitian di Bali pada 2002-2009 menemukan 80 kasus
taeniasis dari 660 orang yang diperiksa(36,37). Tingginya kejadian taeniasis di Bali
terkait kegemaran masyarakat mengonsumsi daging sapi mentah berupa lawar. Lawar
adalah makanan berupa campuran sayur dengan daging yang biasanya tidak dimasak
sempurna. Hal yang sama juga ditemukan di beberapa wilayah Indonesia, misalnya
mengonsumsi sang-sang di Samosir, barapen di Papua(38-40).
Upaya penanggulangan zoonosis tersebut sebenarnya tidak sulit, salah satunya
dengan memutus siklus hidup parasit dengan menekan sumber infeksinya pada sapi.
Namun, permasalahannya sampai sekarang data epidemiologi kejadian infeksi C. bovis
pada sapi di Indonesia tidak ada atau belum pernah dilaporkan. Hal ini akibat sulitnya
melakukan diagnosis sistiserkosis pada hewan hidup. Biasanya diagnosis sistiserkosis
dilakukan setelah hewan disembelih (post mortum) dengan menemukan parasitnya
melalui pemeriksaan kesehatan daging. Sistiserkus kadang-kadang dapat dideteksi pada
lidah sapi dengan melakukan palpasi, teraba adanya benjolan/nodul di bawah jaringan
kulit atau intramuskular. Namun, cara deteksi seperti ini sensitifitasnya rendah,
terutama pada hewan yang terinfeksi ringan(41).
Saat ini telah banyak dikembangkan uji imunodiagnostik untuk deteksi sistiserkosis
pada hewan. Metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dilaporkan
memberi hasil baik(42,43). Agar uji memberi nilai sensitifitas dan spesifisitas baik, metode
diagnostik ini telah dikembangkan dengan menggunakan antigen C. bovis isolat lokal
(Bali). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan antigen C. bovis isolat lokal
(Bali) pada pengenceran 1:160; konjugat 1:4000; dan serum 1:80, mampu mendeteksi
antibodi C. bovis dengan nilai sensitifitas 87,5% dan spesifisitas 88,9%(43). Berdasarkan
hasil tersebut, metode ini perlu diterapkan di lapangan untuk dipakai melakukan
pemetaan penyakit dengan cara mendeteksi kejadian sistiserkosis pada sapi di Indonesia,
khususnya di Bali dan Nusa Tenggara.
Sistiserkosis dan taeniasis selain merupakan masalah kesehatan masyarakat, juga
menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi. Sistiserkosis dapat menurunkan
nilai jual daging karena daging yang terinfeksi harus dimusnahkan(44-46). Seperti telah
dilaporkan, di Indonesia penyakit ini tersebar di beberapa wilayah dengan tingkat
prevalensi bervariasi. Walaupun upaya pengendalian dan pemberantasannya tergolong
mudah, di Indonesia penyakit ini masih terabaikan(35). Sistiserkosis pada sapi ditemukan
hampir di seluruh dunia. Parasit ini kosmopolit di negera-negera dengan penduduknya
yang makan daging sapi. Manusia akan terinfeksi, bila mengonsumsi daging sapi mentah
atau setengah matang yang mengandung sistiserkus. Sementara itu, ternak akan terinfeksi
sistiserkus karena makan rumput yang terkontaminasi oleh feses penderita taeniasis,
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
27
melalui feses sebagai pupuk, atau air yang mengandung feses(35,47).
Sejak lama ditengarai bahwa data epidemiologi tentang kejadian taeniasis T.
saginata pada manusia yang dipublikasikan dinilai belum cukup memadai. Hal ini
disebabkan belum adanya standarisisasi prosedur pemeriksaan laboratorik di antara
peneliti(47,48). Di samping itu, umumnya data yang dilaporkan hanya mewakili beberapa
bagian saja dari suatu populasi yang seharusnya diperiksa, misalnya laporan
prevalensi hanya pada anak-anak atau kelompok umur tertentu saja, atau hanya
berupa laporan kasus dari pasien yang di rawat di rumah sakit. Kesemuanya itu, dinilai
sangat kecil memberikan gambaran objektif terhadap prevalensi sesunguhnya(47).
Sementara itu, data kejadian sistiserkosis karena C. bovis kebanyakan dipetik dari
laporan-laporan pemeriksaan kesehatan daging. Padahal diketahui, tidak seluruh negara
telah melakukan pemeriksaan yang intensif terhadap kesehatan daging. Oleh karena itu,
diperlukan adanya metode yang mudah namun dapat dipercaya untuk menggambarkan
data epidemiologi sistiserkosis dan taeniasis secara akurat.
Pengembangan uji-uji imunodiagnostik untuk mendeteksi adanya agen penyakit telah
dilakukan lebih dari satu dasa warsa yang lalu. Beberapa teknik yang telah
dikembangkan tersebut terutama untuk deteksi sistiserkosis pada hewan ternyata memberi
kemudahan dalam penggunaan reagen dan prosedur pengerjaannya. Uji serologi yang
dilakukan pada kondisi ante mortum – sebelum hewan disembelih, dapat memberi arti
praktis dan spesifik. Beberapa metode serologi yang telah dicobakan untuk mendeteksi
adanya sistiserkus adalah: indirect haemaglutination test (IHA) dan doble diffusion agar;
immunoelectrophoresis (IEP); enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan
radioimmunoassay (RIA). Diantara metode tersebut, ELISA ternyata merupakan uji yang
paling banyak digunakan(49-52). Teknik ini umumnya memberi hasil yang baik.
Bahkan dewasa ini, telah umum diketahui bahwa laporan tentang epidemiologi
kejadian sistiserkosis di beberapa negara, datanya diperoleh dari pemeriksaan serologis(53-
56). Namun demikian, bukan berarti metode serologi ini sudah sempurna.
Sampai sekarang, yang menjadi kendala utama dalam uji serologi adalah adanya
reaksi silang(57). Sebagai ilustrasi dapat disampaikan disini bahwa antara kista hydatida,
Multiceps multiceps, Taenia sp. dan Schistosoma sp. masing-masing menunjukkan reaksi
silang dengan antibodi sistiserkus. Tetapi, dengan cara pemurnian antigen, diketahui
bahwa suatu antigen, yaitu antigen B (Ag B), memperlihatkan reaksi imunologi yang
baik(50). Penggunaan Ag ini 80% mampu mendeteksi sistiserkosis tanpa kelihatan adanya
reaksi silang. Dari hasil penelitian Cheng dan Ko, seperti dilaporkan oleh Dharmawan(47)
diketahui bahwa antigen-antigen yang memberi reaksi silang itu, terdistribusi terutama
pada tegumen Taenia.
Sementara itu beberapa peneliti yang membandingkan ekstrak kista, cairan kista dan
ekstrak cacing pita sebagai antigen untuk uji ELISA terhadap kasus neuro-
sistiserkosis, menyimpulkan bahwa antigen yang berasal dari cairan kista memberi hasil
yang paling baik(47). Uji serologi lain yang merupakan modifikasi ELISA, yang juga
digunakan untuk mendeteksi adanya cacing pita atau sistiserkusnya, terutama pada
manusia adalah uji hambatan ELISA dengan menggunakan monoclonal antibody; Dot
ELISA; “Dipstick” immunoassay; deteksi coproantigen dengan menggunakan poliklonal
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
28
dan Dipstick dot ELISA(47,58).
Penggunaan monoklonal antibodi yang sangat spesifik, akan mampu
menurunkan reaksi silang, sehingga positif palsu dapat dihindarkan. Sementara itu hasil
yang memuaskan dengan teknik Western blot, yaitu enzyme-linked immunoelctrotransfer
blot (EITB), juga dilaporkan oleh beberapa peneliti(54,56). Teknik EITB dan ELISA telah
dibandingkan oleh Pathak dkk. Duapuluh serum babi yang dikonfirmasikan positif
sistiserkus, diperiksa dengan menggunakan kedua metode ini. Ternyata EITB memberi
hasil 90% sensitif dan 100% spesifik, tanpa adanya reaksi silang. Sedangkan dengan
ELISA, 70% sensitif, 73% spesifik, dan disertai dengan reaksi silang(59).
Dari uraian di atas, untuk mengembangkan teknik imunodiagnostik yang paling
cocok, mudah diterapkan dan dapat digunakan dalam jumlah sampel banyak adalah
berbasis ELISA. Selanjutknya agar uji diagnosis tersebut memberi nilai sensitifitas dan
spesifisitas tinggi diperlukan antigen yang spesifik. Suatu studi pengembangan
metode diagnostik ELISA dengan menggunakan antigen spesifik berupa isolat lokal
(Bali) telah dikerjakan(43). Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa cairan kista
C. bovis (isolat Bali) mempunyai sifat antigenik yang dapat digunakan sebagai reagen uji
imunologis untuk mendeteksi antibodi terhadap C. bovis. Metoda ELISA dengan
menggunakan cairan kista C. bovis (isolat Bali) sebagai antigen, terbukti dapat
mendeteksi antibodi pada pengenceran optimal antigen 1:160, konjugat 1:4000 dan
serum 1:80 dengan nilai sensitifitas 87,5% dan spesifisitas 88,9%(43). Hasil penelitian ini
sudah dapat dimanfaatkan untuk uji seroepidemiologi dalam rangka menentukan daerah
endemis taeniasis-sistiserkosis, sehingga langkah-langkah pencegahan penyebaran dari
ternak ke manusia dapat dilakukan.
Berdasarkan uji seroepidemiologi dan metode pemeriksaan parasitologi telah
terpetakan kejadian sistiserkosis dan taeniasis di Indonesia. Lewat proyek kerjasama yang
telah berlangsung lama, telah berhasil dikonfirmasi kejadian taeniasis karena infeksi T.
saginata di Bali; T. solium terutama di Papua dan sporadis di Bali; serta T. asiatica di
Sumatra Utara(60, 61). Tingkat prevalensi kejadian taeniasis dan seroprevalensi sistiserkosis
akibat infeksi T. solium di Papua dalam kurun waktu 1996-2012 diringkas pada Tabel 1.
Tabel 1. Ringkasan Kejadian Taeniasis dan Sistiserkosis T. solium di Papua(60)
Tahun
Kabupaten
Prevalensi T.
solium (%)
Seroprevalensi Sistiserkosis
Manusia Babi Anjing
1997-1998 Merauke 0/90 1/90 (1,1) NS NS
2003-2004 Manokwari NS 8/274 (2,9) NS NS
2004 Paniai NS 1/61 (1,6) NS NS
2009 Paniai (9,6) (29,2) NS NS
2004-2005 Nabire NS 10/105 (9,5) NS NS
2009 Peg Bintang (10,7) (2,6) NS NS
2009 Puncak Jaya (1,7) (2,0) NS NS
1996-2002 Jayawijaya 19/146 (13,0) 203/902 (22,5) NS NS
1998-1999 Jayawijaya NS NS (8,5-70,4) NS
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
29
2000-2002 Jayawijaya NS NS NS (4,9-33,3)
2009 Jayawijaya (7.0) (20,8) NS NS
2011 Jayawijaya NS 28/181 (15,5) NS NS
2012 Jayawijaya NS 9/109 (8,3) 38/200 (19,0) NS
NS: tidak ada sampel (no sample).
Sementara itu, kejadian taeniasis dan seroprevalensi sistiserkosis di Bali dalam
rentang waktu 2002-2014 diringkas pada Tabel 2. Hasil penelitian tersebut merupakan
bentuk kerjasa penelitian yang dilakukan oleh Universitas Udayana, Departemen
Kesehatan, dan Asahikawa Medical University.
Tabel 2. Ringkasan Kejadian Taeniasis dan Sistiserkosis di Bali(61)
Kabupaten (Tahun)
Jumlah
Kasus
Taeniais T .
saginata
Jumlah Kasus
Taeniasis T.
solium
Seroprevalensi
Sistiserkosis pada
Manusia (%)
Seroprevalensi
Sistiserkosis
pada Babi (%)
Gianyar (2002) 32 - 0,8 (1/125) NA
Gianyar (2004) 14 - 0,0 (0/46) NA
Gianyar (2005) 5 - 0,0 (0/13) NA
Gianyar (2006) 2 - 0,0 (0/39) NA
Gianyar (2007) 3 - 4,2 (1/24) NA
Gianyar (2008) 4 - NA NA
Gianyar (2009) 7 - NA NA
Gianyar (2010) 18 - 0,0 (0/24) NA
Gianyar (2011) 9 - 5,4 (8/147) NA
Gianyar (Jan 2013) 6 - 0,1 (1/13) NA
Gianyar (Sept 2013) 9 - 7,1 (1/14) NA
Gianyar (2014) 4 - NA NA
Badung (2014) 1 - 0,0 (0/91) NA
Denpasar (2004) 9 - 0,0 (0/49) NA
Denpasar (2005) 2 - 0,0 (0/16) NA
Denpasar (2010) 3 - 0,0 (0/54) NA
Karangasem (2006) 1 - 2,8 (1/36) NA
Bangli (2007) 0 - 0,0 (0/32) NA
Tabanan (2008) 0 - 0,0 (0/42) NA
Jembrana (2008) 0 - 0,0 (0/84) NA
Klungkung (2009) 0 - 0,0 (0/100) NA
Buleleng (2009) 0 - 0,0 (0/47) NA
Karangasem (2011) - 3 6,3 (11/175) 11,6 (5/64)
Karangasem (Jan 2013) - 6 5,1 (11/214) 18,0 (31/164)
Karangasem (Sept
2013)
- 2* 4,2 (5/118) 6,9 (7/101)
Karangasem (2014) - 2* # #
Total 129 13 2,6 (38/1489) 13,1 (43/329)
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
30
NA: tidak ada data (no data available) # dalam konfirmasi * Swastika et al. unpublished
PENANGGULANGAN HELMINTHIASIS, SISTISERKOSIS, DAN TAENIASIS
Penanggulangan helminthiasis pada ternak sebenarnya dapat dilakukan dengan cara
sederhana yaitu dengan memutus siklus hidup parasit(7,8,21). Beberapa hal secara umum
yang harus diperhatikan terkait upaya pengendalian dan penanganan kasus helminthiasis
pada ternak, di antaranya adalah: 1) program pemberian antelmintika/obat cacing, 2)
sanitasi kandang dan lingkungan, 3) sistem pengembalaan dan pemberian rumput, 4)
populasi inang antara, 5) kualitas pakan, 6) monitoring terhadap telur dan larva cacing.
Pemberian antelmintika sebaiknya tidak hanya dilakukan pada ternak yang telah
dipastikan positif terinfeksi cacing, mengingat hampir sebagian besar ternak terutama
yang dipelihara secara tradisional menderita helminthiasis(8). Namun, sebaiknya lakukan
pemeriksaan feses terlebih dahulu untuk mengetahui jenis telur cacing yang menginfeksi.
Dengan demikian antilmentik yang diberikan sesuai dengan diagnosisnya.
Berdasarkan hasil Workshop bertajuk “Strengthening of Prevention and Control of
Taeniasis/Cysticercosis and Soil Transmitted Helminthiases in Bali, Indonesia” yang
diselenggarakan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar Bali pada 22
September 2014, dapat dicatat beberapa rekomendasi mengenai panggulangan
helminthiasis berbasis lokal kontekstual. Rekomendasi tersebut disusun bersama oleh para
akademisi, praktisi lapangan, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, serta pakar khusus
yang menekuni bidang terkait. Kiranya rekomendasi tersebut relevan dijadikan referensi
untuk kontrol helminthiasis di kawasan semi-ringaki kepulauan NTT. Berikut
rekomendasi pencegahan dan penanggulangan tersebut dikutip sesuai aslinya(61).
a. Combine the prevention and control of taeniasis and NCC with the prevention
and control of STHs. As STHs including Ascaris, Trichuris and hookworms etc. are
more common than Taenia, detection of taeniasis carriers are one part of STH
surveys. All STH carriers have been medicated through all taeniasis projects in
Indonesia.
b. Review and strengthen the ‘legal aspects’ for the prevention and control of
taeniasis and NCC at the provincial, district, and local level. This would include
standardizing policies and methods for the distribution of guidelines for the
prevention and control of taeniasis and NCC. It would also include better law
enforcement to prevent the occurrence of illegal slaughterhouses
c. Strengthen buy-in of policy makers, stake holders, professional organizations,
universities, NGOs, and members of the private sector.
d. Intensify active and passive surveillance, with prompt treatment of identified
tapeworm carriers.
e. Conduct periodic health inspection of lawar sellers and their family members.
f. Conduct health investigations of family members and neighbours of newly
diagnosed NCC patients.
g. Immprove public health education focusing on personal hygiene, environmental
sanitation, and practices related to pig and cattle rearing, with an emphasis on
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
31
primary school-aged children.
h. Develop and distribute IEC media on taeniasis and NCC prevention that has been
translated into local languages/dialects and edited to be socially and culturally
appropriate.
i. Further invest in local health education programmes by training additional health
workers and then having them participate in a train-the-trainer programme.
j. Strengthen the epidemiological surveillance of taeniasis and NCC in Bali by using
validated diagnostic tools.
k. Provide additional funding for the prevention and control of taeniasis and NCC.
l. Improve the meat inspection system and conduct studies to determine the
prevalence and distribution of infected animals.
m. Encourage political commitment and inter-sectoral collaboration at the local,
national, and international levels.
n. Put in place a system to monitor and evaluate the taeniasis and NCC prevention
and control programme in Bali.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari seluruh bahasan di atas dapat dibuat simpulan bahwa helminthiasis pada ternak
merupakan penyakit ekonomi yang dapat menimbulkan kerugian cukup besar pada ternak,
peternak, masyarakat, bangsa, dan negara. Untuk mengatasi kasus helminthiasis pada
ternak yang terus berulang, penanganan yang serius terhadap kasus helminthiasis di
Indonesia pada umumnya dan di kawasan semi-ringkai kepulauan NTT pada khususnya
menjadi urgen. Cara pengendaliannya sangat sederhana dengan memutus siklus hidup
cacing tersebut yang perlu ditunjang kesadaran dan komitmen dari para pemangku
kepentingan. Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis parasit yang
tergolong ke dalam penyakit terabikan (neglected diseases). Penyakit ini amat baerbahaya
bagi manusia dan memerlukan perhatian serius. Beberapa rekomendasi dari Workshop
“Strengthening of Prevention and Control of Taeniasis/Cysticercosis and Soil
Transmitted Helminthiases in Bali, Indonesia” yang diselenggarakan di Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana Denpasar Bali kiranya cukup relevan dipakai referensi.
Mengingat data kejadian penyakit helminthiasis di wilayah semi-ringkai kepualaun NTT
belum ada, upaya pemetaan kasus tersebut mutlak dilakukan. Terbuka peluag lebar bagi
akademisi Universitas Nusa Cendana Kupang untuk berkontribusi menjawab tantangan
tersebut, sehingga strategi dan penanggulangan helminthiasis di NTT dapat diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Henuk YL. 2015. Mengembalikan Kejayaan NTT Sebagai Lumbung Ternak Sapi di
Indonesia. (http://www.kompasiana.com/prof_yusufhenuk/mengembalikan-kejayaan-
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
32
ntt-sebagai-lumbung-ternak-sapi-di-indonesia_54f38692745513992b6c79db). Akses
12-9-2015.
2. Hau DK, Pohan A, Nulik J. 2005. Penyakit-Penyakit Zoonosis di Nusa Tenggara
Timur. Prosiding Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005. Puslitbang
Peternakan.
3. Kebijakan Pembangunan Peternakan di NTT. 2013. Disampaikan oleh Kepala Dinas
Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tanggal 22 Juli 2013 di BBPP
Kupang.
4. Owhoeli O, Elele K, Gboeloh B. 2014. Prevalence of Gastrointestinal in Exotix and
Indigenous Goats Slaughtered in Selected Abattoir in Port Harcourt, South-South,
Nigeria. Chinese Journal Biology. Vol. 2014, Article ID 435913, 8 pages.
5. Adedipe OD, Uwalaka EC, Akinseye VO, Adediran A, Cadmus SIB. 2014.
Gastrointestinal Helminths in Slaughtered Cattle in Ibadan South-Western Nigeria.
Journal of Veterinary Medicine. Vol. 2014. Article ID 923561, 6 pages.
6. Munadi. 2011. Tingkat Infeksi Cacing Hati Kaitannya dengan Kerugian Ekonomi
Sapi Potong yang Disembelih di Rumah Potong Hewan Wilayah Eks-Kresidenan
Banyumas. Agripet. 11 (1): 45-50.
7. Brotowidjoyo MD. 1987. Parasit dan Parasitisme. Media sarana Press. Jakarta.
8. Info Medion. 2013. Cacingan pada Sapi Jangan Dianggap Enteng. Info Medion
Online (http://info.medion.co.id). Akses 12-9-2015.
9. Fox NJ, Marion G, Davidson RS, White PCL, Hutchings. 2012. Livestock Helminth
in a Changing Climate: Approach and Restriction to Meaningful Predictions.
Animals. 2: 93-107; doi: 10.3390/ani2010093.
10. Gibbons LM, Jacobs DE, Fox MT, Hansen J. 2015. The RPV/FAO Guide to
Veterinary Diagnostic Parasitology faecal Examination of Farm animals for Helminth
Parasites. http://www.rvc.ac.uk/review/Parasitology/Index/Index.htm. Akses 25-9-
2015.
11. Thienpont D, Rochette F, Vanpariijs OFJ. 1986. Diagnosing Helminthiasis by
Coprological Examination. Janssen Research Foundation. Beerse, Belgium.
12. Kauffmann J. 1996. Parasitic Infections of Domestic Animals. A Diagnostic Manual.
Birkhauser Verlag. Basel, Boston, Berlin.
13. Arjona R, Riancho JA, Aquoda JM, Salesa R, Gonzales-Marbychias J. 1995.
Fascioliosis in Developed Countries: A Review of Classic and Aberrant Forms of the
Disease. Medicine. 74: 13-23.
14. Winaya IBO, Astawa INM, Damriyasa IM, Dharmawan NS, Berata IK. 2014.
Pelacakan Secara Imunohistokimiawi Antigen Eksretori_Sekretori pada Sapi Bali
yang Terinfeksi Fasciola gigantica. Jurnal Veteriner. 15 (3): 411-416.
15. Mas-Coma MS, Bargues MD, Valero MA. 2005. Fascioliosis and Other Plant-Borne
Trematode Zoonosis. Int J Parasitol. 35:1225-1265.
16. Ai L, Che MX, Alasaad M, Elsheika HM, Li J, Li HL, Lin RQ, Zou FC, Zhu XO,
Chen JX. 2011. Genetic Characterization, Species Differentation and Deetection of
Fasciola spp by Melecular Approaches. Parasite & Vectors 4 (101): 1756-1766.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
33
17. Pilet B, Deckers F, Pouillon M, Parizel B. 2010. Fasciola hepatica Infection in a 65-
Year Old Women. Radiology Case 4 (4): 13-19.
18. Davies JW and Anderson RC. 2004. Parasitic Diseases of Wildlife. Iowa State
University Press, pp 45-47.
19. Ibrahim UI, Mbaya AW, Geidam YA, Gambo HI, Sanda KA, Kelechi OL. 2012.
Helminth Parasites and Reservoir Status or Captive Wild Ruminants in the Semi-Arid
Region of North-Esatern Nigeria. Vet. World. 5 (9): 530-534.
20. Devos V and Lambrechts MC. 2003. Emerging Aspects of Wildlife Diseases in
Southern Africa. In: Proceeedings of Sarcus Symposium on Nature Conservation as a
Form of Land. Gorongosa National Park, Mozambique, pp. 97-99.
21. Soulsby EJL. 1982. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals.
7th Edition. Bailliere Tindall. London, pp763-778.
22. Ayana T and Ifa W. 2015. Major Gastrointestinal Helminth Parasites of Grazing
Small Ruminants In and Around Ambo Town of Central Oromia, Ethuipia. Jurnal of
Veterinary Medicine and Animal Health. doi: 10.5897/JVMAH2014.0327.
http:www.academic journals.org/JVMAH.
23. Dagnachew SD, Asmare A, Wudu T. 2011. Epidemiology of Gastrointestinal
Helminthiasis of Small Ruminants in Selected Sites of North Gonder Zone, Northwest
Ethiopia. Ethiop. Vet. J. 15(2): 57-68.
24. Regassa F, Sori T,Dhuguma R, Kiros Y. 2006. Epidemiology of GIT Parasites of
Ruminants in Western Oromia, Ethuiopia. Intern J Appl Res Vet Med. 4:1.
25. Radositits OM, Gay CC, Hinchcliff KW, Constable PD. 2006. Nematode Diseases of
the Alimentary Tract. In: Veterinary Medicine, A Textbook of the Diseases of Cattle,
Horses, Sheep, Pigs and Goats. 10th Ed. 1541-1553.
26. Purwaningsih dan Sumiarto B. 2012. Prevalensi Helminthiasis pada Saluran
Pencernaan Pedet di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Peternakan. 7 (1): 11-15.
27. Suweta IGP. 1985. Kerugian Ekonomi Oleh cacing Hati pada Sapi. Penerbit Alumni.
Bandung.
28. Suhardono H, Widjajanti S, Partoutomo S. 1988. Freshwater Snail of Medical and
Veterinary Importance in Indonesia. Asian-Planty Technical Meeting on Snail and
Slug of Economic Importance. June 22-24. Bangkok. Thailand.
29. Sobhon P, Anantavara S, Dangprasert T, Viyanant V, Krailas D, Upatham ES,
Wanichanon C, Kusamram T. 1998. Studies of Tegumen as a Basis for the
Development of Immunodiagnosis and Vaccine. Southeast Asian J Trop Med Public
Health 29 (2): 387-400.
30. Kaplan RM. 2001. Fasciola hepatica: A Review of the Economic Impact in Cattle
and Considerations for Control. Vet. Therapeutics. 2 (1):1-11.
31. Gasbarre LC, Leighton EA, Stout WL. 2001. Gastrointestinal Nematodes of Cattle in
the Northeastern US: Results of a Producer Survey. Veterinary Parasitology. 101: 29-
44.
32. Hawkins JA. 1993. Economic Benefits of Parasite Control in Cattle. Veterinary
Parasitology. 46: 159-173.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
34
33. Tisdell CA, Harrison SR, Ramsay GC. 1999. The Economic Impacts of Endemic
Diseases Control Programmes. Rev Sci Tech Off Int Wpiz. 18 (2): 380-398.
34. Taresa G, Melaku A, Bogale B, Chanie M. 2011. Cyst Viability, Body Site
Distribution and Public Health Significance o f Bovine Cysticercosis At Jimma,
South West Ethiopia. Global Veterinaria. 7(2): 164-168.
35. Dharmawan NS. 2012. Roadmap Penelitian: Studi Sistiserkosis dan Taeniasis pada
Hewan dan Manusia. Makalah Disampaikan pada Seminar Ilmiah FKH Unud
Denpasar, Kamis 15 Maret 2012. 8 halaman.
36. Wandra T, Ito A, Swastika K, Dharmawan NS, Sako Y, and Okamoto, M. 2013.
Taeniasis and Cysticercosis in Indonesia: Past and Present Situations. Parasitology.
Parasitology. 140: 1608-1616.
37. Wandra T, Swastika K, Dharmawan NS, Purba IE, Sudarmaja IM, Yoshida T, Sako Y,
Okamoto M, Diarthini NLPE, Laksemi DAAS, Yanagida T, Nakao M, Ito A. 2015.
The Present Situation and Towards the Prevention and Control of Neurocysticercosis
on the Tropical Island, Bali, Indonesia. Parasites & Control. 8:148. DOI
10.1186/s13071-015-0755-z.
38. Margono SS, Wandra T, Swasono MF, Murni S, Craig PS, Ito A. 2006.
Taeniasis /Cysticercosis in Papua (Irian Jaya), Indonesia. Parasitol. Intl. 55: S143-
S148.
39. Suroso T, Margono SS, Wandra T, Ito A. 2006. Challenges for Control of Taeniasis
/ Cysticercosis in Indonesia. Parasitol International. 55: S161-S165.
40. Wandra T, Margono SS, Gafar MS, Saragih JM, Sutisna P, Dharmawan NS, Raka
Sudewi AA., Depary AA., Yulfi H, Darlan DM, Samad I, Okamoto M, Sato MO,
Yamasaki H, Nakaya K, Craig PC, Ito A. 2007. Taeniasis/Cysticercosis in
Indonesia, 1996-2006. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 38 (Supp 1): 140-
143).
41. Gonzalez LM, Villalobos N, Montero E, Morales J, Sanz RA, Muro RA,
Harrison LJ, Parkhouse RM and Garate T. 2006. Differential Molecular Identification
of Taeniid spp. and Sarcocystis spp. Cysts Isolated from Infected Pigs and Cattle.
Vet. Parasitol., 142: 95-101.
42. Pinto PS, Vaz AJ, Germano PM, Nakamura PM. 2000. Performance of the ELISA
Test for Swine Cysticercosis Using Antigens of Taenia solium and Taenia crassiceps
Cysticerci. Vet Parasitol. 88 (1-2): 127-130.
43. Dharmawan NS., Dwinata IM, Damriyasa IM. 2010. Evaluasi Antigen dari
Cairan Kista Taenia saginata Untuk Uji Serologis Taenia saginata Sistiserkosis.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Hibah Strategis Nasional 2009. Lembaga
Penelitian Unud.
44. Flisser A, Rodriguez-Canul R, Willingham AL III. 2006. Control of the
Taeniasis/Cysticercosis Complex: Future Developments. Vet. Parasitol. 139(4): 283-
292.
45. Willingham AL III and Engels D. 2006. Control of Taenia solium Cysticercosis /
Taeniasis. Adv. Parasitol. 61:509-566.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
35
46. Prasad KN, Prasad A, Verma A, Singh AK. 2008. Human Cysticercosis and Indian
Scenario: A Review. J. Biosci. 33 (4): 571-582.
47. Dharmawan NS. 1995. Pelacakan Terhadap Kehadiran Taenia saginata Taiwanensis
di Bali Melalui Kajian Parasitologi dan Serologi. Disertasi S3. Institut Pertanian
Bogor.
48. Pawlowski Z and Schultz. 1972. Taeniasis and Cysticercosis (Taenia saginata).
Adv. Parasitol. 10: 269-343.
49. Husain N, Jyotsna, Bagchi M, Huasain M, Mishra MK, Gupta S. 2001. Evaluation
of Cysticercus fasciolaris Antigen for Immunodiagnosis of Neurocysticercosis.
Neurol India. 49 (4): 375-379.
50. Das S, Mahajan RC, Ganguly NK, Sawhney IM, Dhawan V, Malla N. 2002.
Detection of Antigen B of Cysticercus cellulosae in Cerebrospinal Fluid for the
Diagnosis of Human Neurocysticercosis. Trop Med Int Health. 7 (1): 53-58.
51. Xiao N, Yao JW, Ding W, Giraudoux P, Craig PS, Ito A. 2013. Priorities for
Research and Control of Cestode Zoonoses in Asia. Infectious Disesases of Poverty
2:16. doi: 10.1186/2049-9957-2-16
52. Samie K, Assefa A, Get A. 2015. Review on Bovine Cysticercosis and Its Public
Health Importance’s in Ethiopia. Acta Parasitologica Globalis 6 (1):20-28.
53. Subahar R, Hamid A, Purba W, Wandra T, Karma C, Sako Y, Margono SS, Craig
PS, Ito A. 2001. Taenia solium Infection in Irian Jaya (West Papua), Indonesia: A
Pilot Serological Survey of Human and Porcine Cysticercosis in Jayawijaya District.
Trans R Soc Trop Med Hyg. 95: 388-390.
54. Bragazza LM, Vas AJ, Passos AD, Takayanagui OM, Nakamura PM, Espindola NM,
Pardini A, Bueno EC. 2002. Frequency of Serum Anti-Cysticercus Antibodies in the
Population of Rural Brazilian Community (Cassia Dos Coqueiros, SP) Determined by
ELISA and Immunoblotting Using Taenia crassiceps Antigens. Rev. Inst. Med. Trop.
Sao Paulo. 44 (1): 7-12.
55. Dorney P, Phiri I, Gabriel S, Speybroeck N, Vercruysse J. 2002. A Sero-
Epidemiological Study of Bovine Cysticercosis in Zambia. Vet Parasitol. 104 (3):
211-215.
56. Ito A, Sako Y, Ishikawa Y, Nakao M, Nakaya K, Yamasaki H. 2002.
Differential Serodiagnosis for Alveolar Echinococcosisby Em18-Immunoblot and
Em18-ELISA in Japan and China. 147-155. In P. Craig and Z. Pawlowski (Eds.)
Cestode Zoonoses: Echinococcosis and Cysticercosis - An Emergent and Global
Problem. IOS Press.
57. El-Moghazy FM and Abdel-Rahman H. 2012. Cross-Reaction as A Common
Phenomenon Among Tissue Parasites in Farm Animals. Global Veterinaria 8 (4):
367-373.
58. Sarti E, Schantz PM, Avila G, Ambrosio J, Medina-Santillen R, Flisser A. 2000.
Mass Treatment Against Human Taeniasis for the Control of Cysticercosis: A
Population-Based Intervention Study. Trans R Soc Trop Med Hyg. 94 (1): 85-89.
59. Dharmawan NS. 2009. Fenomena Penyakit Cacing Pita Daging Babi di Bali
dan Peran Laboratorium Klinik dalam Menegakkan Diagnosis. Hal.: 152-164.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
36
Dalam Pemikiran Kritis Guru Besar Universitas Udayana. Bidang Agrokomplek.
Editor: Tim BPMU Unud. Vol 1. Cetakan II. Udayana University Press. Denpasar.
60. Wandra T, Ito A, Swastika K, Dharmawan, NS, Sako Y, Okamoto M. 2013.
Taeniasis and Cysticercosis in Indonesia: Past and Present Situations. Parasitology.
Parasitology. 140: 1608-1616.
61. Wandra T, Swastika K, Dharmawan NS, Purba IE, Sudarmaja IM, Yoshida T, Sako Y,
Okamoto M, Diarthini NLPE, Laksemi DAAS, Yanagida T, Nakao M, Ito A. 2015.
The Present Situation and Towards the Prevention and Control of Neurocysticercosis
on the Tropical Island, Bali, Indonesia. Parasites & Vector. 8:148. DOI
10.1186/s13071-015-0755-z.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
37
MAKALAH PENDUKUNG
(PRESENTASI LISAN)
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
38
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
39
STUDI EPIDEMIOLOGI TRICHINELLOSIS PADA DAGING BABI
DI KOTA KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
(Epidemiology Study of Trichinellosis in Pork Meat at Slaughterhouse in Kupang City,
East Nusa Tenggara Province)
Andrijanto Hauferson Angi1, Fadjar Satrija2, Denny Widaya Lukman2,
Mirnawati Sudarwanto2, Etih Sudarnika2
1Program Studi Kesehatan Hewan, Politeknik Pertanian Negeri Kupang,
Jalan Adi Sucipto Penfui Kupang, Nusa Tenggara Timur, telepon 0380-881601
Email : [email protected] 2Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner,
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
ABSTRACT
Trichinellosis is one of many diseases caused by infestation of nematode worms
Trichinella spp which is zoonotic and occurs worldwide. Trichinellosis prevalence in
Indonesia is rare, even in the area of East Nusa Tenggara, Kupang, it is not particularly
transparently reported. This study was aimed to observe the occurance of Trichinella spp
in pigs in Kupang. The research was conducted using cross sectional study in the pig
slaughterhouse in Kupang. The data was derived from interview 60 farmers in 6
subdistrics using the questionnaires, laboratory examination on Trichinella larvae using
pooled sample digestion method (33 pooled samples of 323 muscle samples) whereas the
positive results were individually subjected to the compression method, and serological
test (200 serum samples) using AB-ELISA. The result showed that there were 5 pooled
muscle samples were positive and by the compression method it was found 3 of 323 muscle
samples (0.9%) containing larvae of Trichinella spiralis. The AB-ELISA test identified
that 3 serum samples were positive with the seroprevalence were 1.5%. The occurance of
Trichinella in pigs slaughtered in Kupang could be a threat of human health.
Keywords: AB–ELISA, compression method, pooled sample digestion, Trichinellosis.
PENDAHULUAN
Trichinellosis adalah zoonosis akibat infeksi cacing nematoda Trichinella spp. dan
terdapat hampir di seluruh dunia. Penyakit ini mengakibatkan kerugian pada manusia serta
menjadi masalah epidemiologi di banyak negara. Dari hasil penemuan ini diarahkan untuk
dilakukan pemeriksaan secara rutin terhadap Trichinella di tempat pemotongan babi
setelah diketahui bahwa kehadiran Trichinella spp. di daging babi merupakan penyebab
trichinellosis klinis pada manusia (Sattmann dan Prosl 2005; Schuppers 2010). Trichinella
spp. tidak hanya ditemukan pada babi, namun juga pada banyak spesies hewan omnivora
dan karnivora, baik hewan domestik maupun satwa liar. Trichinella spp. ditransmisikan
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
40
secara oral melalui asupan daging mentah atau setengah matang (Pasio 2005). Salah satu
perbedaan yang terlihat secara jelas antara infeksi oleh Trichinella spp. pada hewan dan
manusia adalah infeksi pada hewan tidak terlihat gejala klinis, sedangkan infeksi pada
manusia dapat menyebabkan penyakit ringan hingga parah bahkan dapat menyebabkan
kematian (Oivanen et al. 2005).
Laporan tentang penyebaran trichinellosis di kawasan Asia Tenggara khususnya
Indonesia sangat sedikit. Di Indonesia identifikasi Trichinella secara serologis pada
penduduk di Pulau Bali didokumentasikan terinfeksi 19.5% (Chomel et al. 1993). Di
daerah Tapanuli (wilayah utara Pulau Sumatera) kebiasaan masyarakat lokal memasak atau
memanggang daging babi hingga matang cukup efektif menghambat transmisi ke manusia
(Pasio 2001). Agen penyebab trichinellosis pada babi lokal di Pulau Bali dan Sumatera
tidak pernah teridentifikasi, meskipun telah dilaporkan sebagai T. spiralis. Di wilayah
Asia Tenggara lain yaitu di Singapura, wabah trichinellosis terjadi pada 84 siswa dan guru
saat berkunjung ke sebuah pulau di Malaysia tahun 1998 (Kurup et al. 2000). Di Laos,
wabah trichinellosis pada manusia terdata pada 51 orang yang mengonsumsi daging babi
terinfeksi dan telah didokumentasikan pada tahun 1975 (Pasio 2001). Trichinellosis juga
muncul pada babi di Myanmar (Watt et al. 2000), tetapi prevalensi infeksinya tidak
diketahui. Kasus trichinellosis pada manusia juga ditemukan di Bensbach Papua Nugini
bagian barat, yang mana T. papuae terdeteksi pada babi liar. Prevalensi secara serologi
terdeteksi pada orang yang tinggal di 6 desa di daerah tersebut sebesar 28.9% berdasarkan
metode ELISA menggunakan antigen tyvelose sintetis (Pasio 2001). Populasi babi di Nusa
Tenggara Timur sebanyak 1724316 ekor, dengan populasi di wilayah Kota Kupang sendiri
sebanyak 25205 ekor (BPS NTT 2012). Kejadian infeksi trichinellosis sangat mungkin
terjadi di peternakan babi di Kota Kupang dan apabila ditemukan kasus trichinellosis pada
daging babi akan berdampak sangat besar terhadap kelangsungan peternakan babi dan
menjadi ancaman kesehatan masyarakat di Kota Kupang.
Siklus hidup parasit Trichinella spp. relatif sederhana dibandingkan dengan parasit
lain, namun beberapa pola penularan serta tingkat prevalensinya belum sepenuhnya
dipahami. Kajian secara epidemiologi penting dan sangat perlu dilakukan untuk
mengembangkan strategi pengawasan dalam menghindari penularan ke manusia.
Penelitian terkait identifikasi dan prevalensi Trichinella spp. pada ternak babi hingga saat
ini belum pernah dilaporkan di Indonesia, khususnya untuk wilayah Kota Kupang Provinsi
NTT.
Penelitian ini bertujuan (1) mengidentifikasi keberadaan parasit Trichinella spp. pada
ternak babi di wilayah Kota Kupang, (2) identifikasi jenis nematoda Trichinella yang
terdapat pada ternak babi di Kota Kupang sebagai langkah awal untuk pemetaan di wilayah
NTT dan dijadikan acuan untuk studi epidemiologi trichinellosis di wilayah Nusa
Tenggara Timur lainnya, serta (3) identifikasi seroprevalensi trichinellosis pada babi
dengan metode AB-ELISA.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
41
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2013 sampai bulan Februari 2014.
Pengambilan sampel otot dan serum darah dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH)
Oeba yang merupakan lokasi pemotongan babi milik Pemerintah Daerah Kota Kupang.
Pemeriksaan dan identifikasi sampel otot terhadap larva Trichinella spp. dilakukan di
Laboratorium Kesehatan Hewan Politeknik Pertanian Negeri Kupang (POLITANI).
Identifikasi serum dengan kit antigen E/S Trichinella dengan metode AB-ELISA dilakukan
di Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET) Bogor. Wawancara terhadap peternak
babi menggunakan kuisioner dilakukan di 6 kecamatan di Kota Kupang, yaitu Kecamatan
Alak, Kecamatan Maulafa, Kecamatan Oebobo, Kecamatan Kota Raja, Kecamatan Kelapa
Lima, dan Kecamatan Kota Lama.
Desain dan Sampel Penelitian
Penelitian ini merupakan studi cross-sectional. Pengambilan sampel otot masseter
dari babi dilakukan dengan cara pengambilan contoh acak sederhana. Ukuran sampel
ditentukan dengan menggunakan software Win Episcope 2.0, dengan tingkat kepercayaan
95%, sementara prevalensi yang diharapkan 30%, serta tingkat kesalahan 5% sehingga
jumlah sampel otot yang diambil 323 sampel.
Pengujian sampel otot terhadap larva Trichinella spp. dilakukan dengan metode
pooled sample digestion dan jika hasil positif maka dilanjutkan identifikasi sampel
individu dengan metode kompresi. Selain itu dilakukan pula pemeriksaan serum untuk
identifikasi antibodi terhadap T. spiralis dengan metode indirect-enzyme linked
immunosorbent assay atau dikenal dengan non-competitive ELISA (AB-ELISA).
Pengambilan darah dilakukan secara bersamaan saat pengambilan otot di RPH. Darah
diambil (± 10 ml) dari vena jugularis. Sampel otot disimpan dalam kotak pendingin (cool
box), sementara sampel darah pada tabung yang diletakkan dalam standar kayu dan
didiamkan semalam pada refrigerator (kulkas). Setelah semalam, sampel darah disentrifus
dengan kecepatan 3500 rpm selama 5 menit untuk memisahkan serum.
Selain pengujian laboratorium, dilakukan pula wawancara menggunakan kuesioner
terhadap 60 responden peternak babi di 6 kecamatan. Uji validitas dan uji reabilitas
kuesioner dilakukan sebelumnya dengan mewawancarai 10 responden peternak babi.
Pengujian Sampel Otot dan Serum
Pooled Sample Digestion
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
42
Sebanyak 50 g otot masseter dari 10 ekor babi (masing-masing 5 g/ekor) dicincang
dengan blender menggunakan pisau khusus untuk daging yang akan dicerna dengan cairan
pencernaan buatan. The International Commision on Trichinellosis (ITC)
merekomendasikasi sampel otot sebanyak 5 g per ekor babi untuk daerah endemik
(Gamble et al. 2000). Cairan pencernaan buatan terdiri dari air (44 – 46 °C), HCl 37%,
dan pepsin (1:10.000 NF/1:12500 BP/2000 FIP). Pencernaan diaduk selama 30 menit pada
suhu 44-46 °C dalam gelas beaker (volume 2 liter) menggunakan hot plate magnetic stirrer
(pada proses ini diharapkan larva terlepas dari otot). Cairan pencernaan kemudian
dituangkan melalui saringan logam (diameter lubang 0.18 mm) ke dalam corong kaca
yang ditutup selang karet penjepit. Larva dibiarkan tinggal selama 30 menit dan
selanjutnya sebanyak 40 ml cairan sampel dengan cepat dituang ke dalam tabung 50 ml,
kemudian biarkan selama lebih dari 10 menit agar terjadi sedimentasi (suspensi).
Sebanyak 30 ml supernatan diambil dan 10 ml sisa sedimen dituang ke dalam cawan petri
untuk selanjutnya diperiksa minimal selama 8 menit dengan stereomikroskop untuk
visualisasi atau melihat keberadaan larva Trichinella spp.
Metode Kompresi
Sampel otot dipotong setipis mungkin menjadi sejumlah potongan dengan masing-
masing potongan sepanjang serat otot. Selanjutnya sampel otot dikompresi antara dua pelat
kaca (kompresi) sampai terlihat tembus. Otot diperiksa secara individual untuk melihat
bentuk morfologi larva Trichinella apakah termasuk golongan encapsulated atau non-
encapsulated menggunakan stereomikroskop dengan berbagai pembesaran (low range, mid
range, dan high range).
AB-ELISA
The European Commision (EC) 2075/2005 merekomendasikan metode pencernaan
buatan sebagai metode referensi untuk pemeriksaan Trichinella pada pemotongan hewan
(EC 2005), sedangkan pemeriksaan serologis digunakan untuk sertifikasi pengawasan
bebas Trichinella (Gamble et al. 2000), serta pengawasan infeksi dan penyelidikan
epidemiologi pada populasi hewan, khususnya di wilayah dengan prevalensi penyakit
tinggi (Gamble et al. 2004). Metode pemeriksaan ELISA adalah satu-satunya uji
imunologi yang didukung oleh ITC (OIE 2012).
Penelitian ini menggunakan kit diagnostik dari ID-VET Prancis yaitu ID Screen®
Trichinella indirect multi-species ELISA, didasarkan penggunaan antigen ekskresi/sekresi
(E/S) yang memungkinkan untuk mendeteksi antibodi terhadap Trichinella spiralis
(termasuk Trichinella pseudospiralis, Trichinella britovi dan Trichinella nativa) pada
berbagai hewan diantaranya kuda, babi, dan babi liar, serta jus daging.
Sampel yang akan diuji serta kontrol ditambahkan ke sumuran yang telah dilapisi
dengan ekstrak antigen E/S khusus untuk Trichinella. Jika terdapat antibodi anti-
Trichinella, akan terbentuk kompleks antigen-antibodi. Konjugat horseradish peroxidase
(HRP) multispesies ditambahkan ke sumuran. Jika cocok dengan antibodi anti-Trichinella,
terbentuk suatu kompleks antigen antibodi-konjugat-HRP. Setelah pencucian untuk
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
43
menghilangkan kelebihan konjugat, ditambahkan cairan substrat (TMB). Warna yang
dihasilkan tergantung jumlah antibodi spesifik yang terdapat dalam sampel yang diuji:
1. Keberadaan antibodi, larutan biru yang muncul menjadi kuning setelah penambahan
stop solution; jika tidak terdapat antibodi, maka tidak ada warna yang muncul.
2. Dibaca pada ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm dan optical density
(OD) dicatat.
Validasi uji.
Nilai rata-rata dari OD kotrol positif (ODPC) lebih besar dari 0.350. Rasio rata-rata
OD nilai kontrol positif dan negatif (ODPC dan ODNC) lebih lesar dari 3.5.
Interpretasi hasil.
Untuk setiap sampel, rasio S/P (S/P %): [ODSample - ODNC] / [ODPC - ODNC] x 100.
Sampel kemudian diklasifikasikan sebagai positif, negatif atau meragukan tergantung
pada hasil S/P %, seperti yang ditunjukkan Tabel 1.
Tabel 1 Hasil dan status S/P % untuk serum dan plasma terkait identifikasi antibodi
Trichinella spiralis
Hasil Status
S/P % 50% Negatif
50% < S/P < 60% Ragu-ragu
S/P % 60 % Positif
Karakteristik Responden dan Manajemen Kesehatan Babi
Karakteristik responden dan manajemen kesehatan babi dilakukan dengan
wawancara menggunakan kuesioner terhadap 60 pemilik peternakan babi sebagai
responden di 6 kecamatan yang berada di Kota Kupang. Responden yang diwawancarai
dipilih dengan teknik propabilitas secara acak sederhana dengan melihat faktor keterkaitan
mereka dengan penelitian yang dilakukan seperti lokasi dan kondisi kandang, ternak dan
jumlah babi yang dipelihara serta manajemen pemeliharaan yang mempengaruhi pola
penularan trichinellosis (Sunyoto 2011). Data yang dikumpulkan meliputi karekteristik
responden seperti tingkat pendidikan, lama usaha serta orang yang terlibat dalam usaha
peternakan babi, aspek manajemen pemeliharaan dan pencegahan penyakit parasit, aspek
higienis dan sanitasi serta pengolahan limbah, aspek hewan pengerat yang berpotensi
sebagai penular trichinellosis, aspek penyuluhan dan informasi, serta aspek pengetahuan
peternak terhadap penyakit trichinellosis.
Analisis Data
Data pengujian sampel otot terhadap larva Trichinella spp dianalisis secara
deskriptif. Seroprevalensi hasil pemeriksaan serum untuk mendeteksi antibodi terhadap
anti-trichinellosis dengan metode AB-ELISA dihitung dengan metode point prevalence
rate, yaitu proporsi terinfeksi terhadap total sampel serum babi yang diteliti pada saat itu
dikalikan 100% (Azwar 1988). Data hasil wawancara dengan survei kuisioner yang
mendukung kejadian trichinellosis dianalisis secara deskriptif sebagai gambaran umum
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
44
profil peternakan babi di wilayah Kota Kupang terhadap kemungkinan penyebaran
penyakit trichinellosis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pooled Sample Digestion dengan Metode Magnetic Stirrer
Larva Trichinella spp. ditemukan pada 5 pooled samples otot babi (kode sampel E, I,
K, L,dan T). Gambaran secara mikroskopik larva Trichinella spp.yang ditemukan dapat
dilihat pada Gambar 1.
Pooled sample Kode E
Pooled sample Kode I
Pooled sample Kode K
Pooled sample Kode L
Pooled sample Kode T
Gambar 1 Larva Trichinella spp. pada sampel otot babi yang dipotong di RPH Oeba Kota
Kupang yang diuji dengan metode digesti di bawah stereomikroskop
Metode Kompresi
Hasil pemeriksaan dengan metode kompresi terhadap 50 sampel individu (dari 5
pooled samples yang positif pada uji digesti) dengan stereomikroskop terhadap keberadaan
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
45
encapsulated dan non-encapsulated larva Trichinella spp. didapatkan 3 sampel otot
mengandung larva T. spiralis. Prevalensi larva T. spiralis pada otot babi diperoleh 0.9%.
Gambaran morfologi larva T. spiralis pada otot babi yang dipotong di RPH Oeba Kota
Kupang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Larva Trichinella spiralis pada sampel otot babi yang dipotong di RPH Oeba
Kota Kupang yang diidentifikasi dengan metode kompresi di bawah
stereomikroskop
AB-ELISA
Hasil pengujian dengan metode AB-ELISA terhadap 200 sampel ditemukan 3
sampel positif mengandung antibodi terhadap T. spiralis (Tabel 2), sehingga diperoleh
seroprevalensi sebesar 1.5%. Prevalensi infeksi tertinggi Trichinella pada babi domestik
atau lokal di RPH yang dilaporkan pada salah satu negara anggota Uni Eropa (UE) tahun
2006 adalah 0.000127% melalui pemeriksaan serologi (Frey et al. 2009). Uji ELISA
memiliki tingkat kepercayaan dengan sensitivitas hampir 100% serta spesifisitas lebih dari
97% dalam pengujian di rumah potong hewan (Gamble et al. 1988), sehingga hasil uji
ELISA yang dilakukan dapat dinyatakan terdapat kasus trichinellosis di wilayah Kota
Kupang.
Tabel 2 Nilai OD, SP % dan status sampel hasil uji AB- ELISA 3 dari 200 sampel
serum babi yang dipotong di RPH Oeba Kota Kupang
Kode
Sampel
Tanggal
Pengambilan
Status Babi OD
S/P
Ratio S/P % Status
Ras Umur/jenis kelamin
42 16/11/2013 Babi kampung Di atas 1.5 thn/
jantan
1.505 0.94 94 (+)
105 8/12/2013 Eksotik ras Di atas 3 thn /
betina
1.106 0.69 69 (+)
193 18/01/2014 Triplecross Di atas 3 thn /
betina
1.818 1.12 112 (+)
Karakteristik Responden dan Manajemen Kesehatan Babi
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
46
Sebagian besar peternak babi di Kota Kupang adalah laki-laki (71.7%) dengan umur
rata-rata di atas 50 tahun (36.7%). Tingkat pendidikan peternak yang terbanyak lulusan
SMA (38.3%). Ras babi yang dipelihara peternak sangat beragam dan yang terbanyak
merupakan ras campuran (45%) dan diikuti jenis babi lokal sebesar 40%. Sebagian besar
babi yang dipelihara, bibit atau anakannya berasal atau dibeli dari peternakan tradisional.
Pakan yang diberikan pada babi bervariasi baik pakan komersial hasil olahan pabrik, hasil
sisa rumahan atau restoran. Sebagian besar pakan sisa rumahan atau restoran biasanya
langsung diberikan pada babinya atau dicampur dengan pakan lainnya misalnya dedak atau
pakan komersil.
Aspek manajemen kesehatan yang terlihat dari para peternak responden adalah
sebagian besar peternak babi di wilayah Kota Kupang memelihara babinya dalam kandang
(98.3%) dengan bangunan kandang semi permanan berbahan kayu (71.7%). Kebanyakan
peternak responden memelihara hewan lain selain babi (seperti anjing). Hal penting yang
terlihat dari aspek manajemen kesehatan yaitu tidak dilakukan pemeriksaan kesehatan
secara rutin terhadap babi yang dipelihara (90%). Terkait dengan pencegahan terhadap
infeksi penyakit asal parasit seperti penyakit trichinellosis, 88.3% dari responden peternak
yang diwawancara tidak pernah memberikan obat cacing pada babi peliharaannya. Hewan
pengerat merupakan reservoir utama penularan penyakit trichinellosis. Studi epidemiologi
pada manusia akibat infeksi trichinellosis ditemukan bahwa tikus dan babi berperan
penting dalam penularan penyakit trichinellosis (Kaewpitoon et al. 2006). Data hasil
survei kuisioner pada peternak terlihat dari jawaban yang diberikan oleh para peternak
terhadap pertanyaan yang diajukan umumnya para peternak mengatakan sering melihat
keberadaan tikus dikandang atau sekitar kandang (86.7%). Semua responden yang
diwawancarai belum mengetahui atau mendengar tentang penyakit trichinellosis yang
dapat menjadi salah satu sebab terjadinya penyebaran trichinellosis.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil pemeriksaan larva Trichinella spiralis pada otot babi yang diambil dari RPH
Oeba dengan pooled sample digestion dan dilanjutkan dengan metode komperesi
menunjukkan kejadian trichinellosis pada babi di wilayah Kota Kupang dengan prevalensi
sebesar 0.9%. Hasil pemeriksaan dengan AB-ELISA pada 200 sampel yang diuji
ditemukan 3 positif dengan tingkat seroprevalensi sebesar 1.5%. Pengetahuan peternak
yang rendah atau tidak mengetahui sama sekali tentang penyakit trichinellosis menjadi
salah satu faktor penyebab adanya kejadian trichinellosis di Kota Kupang. Keberadaan
larva T. spiralis pada otot babi dapat menjadi ancaman kesehatan masyarakat di Kota
Kupang.
Saran
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
47
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk identifikasi jenis spesies Trichinella yang
ada di Kota Kupang secara molekular seperti menggunakan metode polymerase chain
reaction (PCR) dan perlu dilakukan penilaian faktor-faktor penyabab penularan
trichinellosis di Kota Kupang. Pemerintah daerah Kota Kupang perlu melakukan tindakan
pencegahan dan pengendalian trichinelosis dengan melakukan pembinaan terhadap
peternak babi terkait dan mengembangkan kepedulian masyarakat melalui informasi,
komunikasi, dan edukasi.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar A. 1988. Pengantar Epidemiologi. Jakarta (ID): Bina Aksara.
[BPS NTT] Biro Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur. 2012. Populasi Ternak Kecil
Menurut Jenis Ternak Menurut Kabupaten/Kota. [Internet]. Kupang(ID):BPS
NTT.[diunduh 2014 Mar 25]. Tersedia pada: ntt.bps.go.id /index.php/
pertanian/peternakan.383-populasi-ternak-kecil-menurut-jenis-ternak-menurut-
kabupaten-kota-2012.
Chomel BB, Kasten R, Adams C, Lambillote D, Theis J, Goldsmith R, Koss J, Chioino C,
Widjana DP, Sutisna P. 1993. Serosurvey of some major zoonotic infections in
children and teenagers in Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health.
24:321-6.
[EC] European Commission. 2005. Commission Regulation (EC) No. 2075/2005 of 5
December 2005 laying down specific rules on official controls for Trichinella in
meat. Off. J. European Union, L338, 60–82 (Regulation as last amended by
Commission Regulation (EC) No 1245/2007. Off. J. European
Union.[Internet].[diunduh 2013 Jan 24]; L(281): 19–20.
Frey CF, Patrik Buholzer, Relja Beck, Albert Marinculic´, Alex J. Raeber, Bruno
Gottstein, Manon E. Schuppers. 2009. Evaluation of a new commercial enzyme-
linked immunosorbent assay for the detection of porcine antibodies against
Trichinella spp. J Vet Diagn Invest. 21:692–697.
Gamble HR, Rapic D, Marinculic A, Murrell KD. 1988. Evaluation of excretory–secretory
antigens for the serodiagnosis of swine trichinellosis. Vet Parasitol. 30:131–137.
Gamble HR, Bessonov AS, Cuperlovic K, Gajadhar AA, Van Knapen F, Noeckler K,
Schenone H, Zhu X. 2000. International Commission on Trichinellosis:
Recommendations on methods for the control of Trichinella in domestic and wild
animals intended for human consumption. Vet Parasitol. 93:393–408.
Gamble HR, Pozio E, Bruschi F, Nöckler K, Kapel CMO, Gajadhar AA. 2004.
International Commission on Trichinellosis: Recommendations on the Use of
Serological Tests for the Detection of Trichinella Infection in Animals and Man.
Parasite. 11:3–13.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
48
Kurup A, Yew WS, San LM, Ang B, Lim S, Tai GK. 2000. Outbreak of suspected
trichinosis among travelers returning from a neighboring island. J Travel Med.
7:189-93.
Kaewpitoon N, Kaewpitoon SJ, Philasri C, Leksomboon R, Maneenin C, Sirilaph S,
Pengsaa P. 2006. Trichinosis: Epidemiology in Thailand - Review. World J
Gastroenterol.12(40):6440-6445.
Sattmann H, Prosl H. 2005. Frühe Erforschungsgeschichte der Trichinellen und der
Trichinellose. Wien Tierärztl Mschr. 92:283-287.
Schuppers EM. 2010. Development of a risk-based surveillance program for Trichinella
spp. in domestic swine and wildlife in Switzerland. [disertasi]. Wageningen
(ND):Wagenigen Univ.
Sunyoto D. 2011. Analisis Data untuk Penelitian Kesehatan: Analisis Data Penelitian
dengan SPSS untuk Mahasiswa dan Praktisi Kesehatan. Yogyakarta (ID):Muha
Medika.
Oivanen L, Nareaho A, Jokela S, Rikula U, Gamble R, Sukura A. 2005: The prevalence of
Trichinella infection in domestic dogs in Finland. Vet Parasitol. 132: 125-129.
[OIE] Office International des Epizooties. Terrestrial Manual 2012. Chapter 2.1.16.
Trichinellosis. Rome (IT): OIE.
Pasio E. 2001. Taxonomy of Trichinella and the epidemiology of infection in the Southeast
Asia and Australian regions. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 32 (Suppl
2): 129-131.
Pozio E. 2005: The broad spectrum of Trichinella hosts: from cold-to warm-blooded
animals. Vet Parasitol. 132:3-11.
Watt G, Saisorn S, Jongsakul K, Sakolvaree Y, Chaicumpa W. Blinded. 2000. Placebo-
controlled trial of antiparasitic drugs for trichinosis myositis. J Infect Dis. 182:371-4.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
49
UJI POTENSI MINYAK KELAPA MURNI (VIRGIN COCONUT OIL) SEBAGAI
ANTIBAKTERI TERHADAP Avibacterium paragallinarum
(POTENTIAL TEST OF PURE COCONUT OIL (VIRGIN COCONUT OIL) AS
ANTIBACTERIAL TO Avibacterium paragallinarum)
Thelny Nenabu1, Elisabet Tangkonda2, Nemay A. Ndaong3
1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail
:[email protected] 2Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,
Kupang. 3Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa
Cendana, Kupang
ABSTRACT
Infectious coryza or snot is one of the upper respiratory disease in poultry caused
by Avibacterium paragallinarum. Infectious coryza is difficult to eradicate because the
farm management condition is unfavorable, one of them is giving antibiotics excessively
and repeatedly which causes resistance. The use of herbal antibiotics is one option to
overcome the problems of resistance. Pure coconut oil or Virgin Coconut Oil (VCO)
becomes the favorite one because it is believed to have medicinal properties. Among
others, VCO has 50 % of fatty acids in coconut oil which consists of lauric acid and 7 % of
kaprilat acid. Both acids are medium chain saturated fatty acids which are easily
metabolized and antimicrobial (antiviral, antibacterial, and antifungal), so that the study
was conducted to know the potential of VCO as antibacterial to Avibacterium
paragallinarum. The sample used was 4 Avibacterium paragallinarum isolates consists of
3 isolates of B serotype and 1 isolate of C serotype, tested in the laboratory of
microbiology, faculty of veterinary medicine Nusa Cendana University using the Kirby-
bauer method. Isolates 1 to 3 are B serotype and isolate 4 is C serotype. Results showed
that VCO with a concentration of 2 0% in isolate 1 to 4 form a clear zone= 1,5mm,1mm,
1mm, 0 mm (±1,17 mm), 40 % = 2mm, 2mm, 2mm, 0mm (±2mm), 60 % = 31mm, 30mm,
30 mm, 0mm (±30,3mm), 80 % = 32 mm, 32mm, 31,5mm, 0mm (±31,8mm), 100 % =
33,5mm, 33mm, 34mm, 0 mm (±33,5mm). Oksterasiklin antibiotics in isolate 1 to 4 form a
clear zone 33mm, 26mm, 26mm, 0mm (±28,3mm) and antibiotic amoxicillin-clavulanic
acid combination 44mm, 45mm, 44mm, 29mm (±40,5 mm). Based on results of the VCO
with 100% concentration, it can replace commercially antibiotics (oxytetracycline) for
Avibacterium paragallinarum B serotype while the C serotype can only be inhibited by the
antibiotic amoxicillin-clavulanic acid combination.
Key Words: VCO, Antibacterial, Avibacterium paragallinarum
PENDAHULUAN
Infectious coryza atau yang biasa dikenal dengan istilah snot merupakan salah satu
penyakit saluran pernafasan atas pada ayam yang disebabkan oleh Avibacterium
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
50
paragallinarum yang berlangsung akut sampai kronis. Infectious coryza merupakan
penyakit yang memiliki dampak ekonomi yang merugikan bagi industri perunggasan dan
paling tinggi ditemukan pada pergantian musim (Gordon dan Jordan, 1982).
Infectious coryza sulit diberantas karena kondisi manajemen peternakan yang
kurang baik seperti ventilasi yang kurang memadai, kandang yang sempit, kepadatan ayam
dan kadar amoniak yang tinggi dalam kandang, umur ayam yang bervariasi serta
pemberian antibiotik secara berlebihan dan berulang sehingga menyebabkan terjadi
resistensi dan menimbulkan efek samping yang berimbas pada produksi ayam yang tidak
maksimal (Tabbu, 2000).
Tanaman obat banyak digunakan oleh masyarakat dalam rangka menanggulangi
masalah kesehatan yang dihadapi, untuk pengobatan, maupun untuk menjaga kesehatan
sebagai antibiotik herbal banyak menjadi pilihan di zaman moderen ini. Hal ini karena
penggunaan obat–obatan seperti antibiotik dapat menimbulkan berbagai efek samping,
salah satunya adalah resistensi (Hembing, 2003).
Minyak kelapa murni atau Virgin Coconut Oil (VCO) merupakan salah satu hasil
olahan dari buah kelapa (Cocos nucifera L). Virgin Coconut Oil banyak diminati orang
karena diyakini berkhasiat sebagai obat (Sutarmi dan Rozaline, 2005).
Pada tahun 2006, Darmuyono melakukan penelitian uji aktivitas antibakteri VCO
terhadap Staphylococcus aureus LIPI (Lipo Protein) dan hasilnya diketahui bahwa
minyak kelapa murni mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus
(Gram positif).
Kelebihan VCO antara lain memiliki 50 % asam lemak pada minyak kelapa adalah
asam laurat dan 7 % asam kaprilat. Kedua asam tersebut merupakan asam lemak jenuh
rantai sedang yang mudah dimetabolisme dan bersifat antimikroba (antivirus, antibakteri
dan antijamur). Sifat antimikroba dari minyak kelapa murni terutama tergantung pada
adanya monogliserida dan asam lemak bebas. Monogliserida bersifat aktif sebagai
antimikroba (Sutarmi dan Rozaline, 2005).
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “Uji Potensi Minyak Kelapa Murni (Virgin Coconut Oil) Sebagai Antibakteri
Terhadap Avibacterium paragallinarum”.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan 4 isolat Avibacterium paragallinarum yangterdiri dari
3 isolat Avibacterium paragallinarum serotipe B dan 1 isolat Avibacterium
paragallinarum serotipe C yang diisolasi dari ayam yang terinfeksi Infectious coryza,
denganwaktu penelitian pada bulan Maret 2015.
Alat dan bahan yang digunakan mikroskop cahaya (Olympus®), gelas obyek
(Pyrex®), , penggaris, ose, spuite 1 cc (one med®), botol ukur (Pyrex®), batang pengaduk,
timbangan digital (Ohaus®), autoclave, inkubator dan cawan petri, blood agar, VCO
(VCO Poli®), kertas cakram, kertas label, bunsen, alkohol, aquadest, darah domba, kapas,
standar Mc Farland 5 antibiotik oksitetrasiklin (Medoxy-L®) 1mg/ml dan kombinasi
amoksisilin-asam klavulanat (Clavuneksi®) 1mg/ml.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
51
Serangkaian tahapan dalam penelitian ini adalah pembuatan media agar coklat,
mengkultur Avibacterium paragallinarum pada agar coklat, dan pewarnaan gram untuk
memastikan isolat merupakan isolat murni, selanjutnya dilakukan uji potensi VCO. Uji
Potensi VCO sebagai antibakteri tehadap Avibacterium paragallinarum menggunakan
metode Kirby-Baurer di laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Nusa Cendana. Hasil yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan
diagram serta dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini menggunakan 4 isolat Avibacterium paragallinarum serotipe B
berjumlah 3 isolat dengan kode sampel (Av 1, Av 2, dan Av 3)dan serotipe C berjumlah 1
isolat dengan kode sampel (Av 4). Isolat Avibacterium paragallinarum dikultur pada
media agar coklat, karena dalam agar coklat terdapat nicotamide adenine dinocleotida
(NAD) atau faktor V yang dibutuhkan dalam pertumbuhannya sehingga dapat berkembang
baik (Mouahaid et al., 1992).
Dalam media agar coklat, morfologi koloni Avibacterium paragallinarum
transparan, kecil, berbentuk bulat dan tampak seperti tetesan embun dengan permukaan
dan tepi koloni halus.
Hasil pewarnaan Gram dari empat isolat Avibacterium paragallinarum berbentuk
kokobasil dan bersifat Gram negatif, dengan sel bakteri berbentuk kokobasil (Priya et al.,
2012 dan Tangkonda, 2013).
Uji potensi VCO sebagai antibakteri terhadap Avibacterium paragallinarum
menggunakan metode difusi. Hasil pengujian potensi VCO sebagai antibakteri terhadap
Avibacterium paragallinarum dengan konsentrasi 20 %, 40 %, 60 %, 80 % dan 100 %,
antibiotik oksitetrasiklin yang dijual secara komersial (kontrol negatif) dan antibiotik
kombinasi amoksisilin-asam klavulanat (kontrol positif) yang berdasarkan penelitian
Tangkonda et al. (2013) menyatakan bahwa antibiotik tersebut yang masih sensitif
terhadap Avibacterium paragallinarum (kontrol positif) pada media Nutrien agar beserta
zona hambat.
Gambar 1. Diagram zona hambat VCO serta kontrol positif dan kontrol negatif
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
52
Berdasarkan penelitian ini VCO hanya dapat menghambat pertumbuhan
Avibacterium paragallinarum serotipe B, namun VCO tidak dapat menggantikan
antibiotik kombinasi amoksisilin-asam klavulanat (kontrol positif) yang dapat menghambat
Avibacterium paragallinarum serotipe B dan C.
Komponen penyusun struktur Avibacterium paragallinarum adalah
lipopolisakarida yang komponennya terdiri atas lipid atau lemak yang biasa disebut lipid A
dan merupakan salah satu komponen virulensi dari Avibacterium paragallinarum (Gyles
et al., 2010) dan Remon et al., 2006), sehingga pertumbuhannya dapat dihambat oleh
VCO, denga mekanisme kerja dari VCO yaitu membunuh bakteri, karena asam lemak
bebas dalam bentuk monolaurin mengikat dinding sel bakteri yang tersusun atas lipid dan
melisiskannya kemudian monolaurin menembus dinding sel sehingga cairan yang
beradadidalam sel keluar, dan terjadilah pengerutan sel yang diikuti dengan kematian sel
bakteri.
Serotipe Avibacterium paragallinarum yang dapat dihambat oleh VCO adalah
serotipe B, sedangkan serotipe C hanya bisa dihambat oleh antibiotik kombinasi
amoksisilin-asam klavulanat, hal ini karena antibiotik kombinasi amoksisilin-klavulanat
bekerja secara bakteriosidal, yaitu mengubah tegangan permukaan yang berakibat rusaknya
permeabilitas selektif dari membran sel mikroba. Kerusakan membran sel mengakibatkan
keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba yaitu protein, asam nukleat
dan nukleotida dan merupakan antibiotik yang dapat membunuh Avibacterium
paragallinarum (Tangkonda et al., 2013). Antibiotik oksitetrasiklin merupakan antibiotik
berspektrum luas dan mekanisme kerjanya adalah bakteriostatik yaitu bekerja mengganggu
kemampuan bakteri memproduksi protein penting dengan cara mengikat ribosom 30S
bakteri namun dalam penelitian ini menghasilkan zona hambat yang menurut standar
Kirby-Baurer dengan dosis 1 mg yang membentuk zona hambat resisten dengan zona
hambat 47 mm, intermediet 49 sampai 52 mm dan sensitif 53 mm (Ravel, 1978).
Serotipe A dan C merupakan serotipe Avibacterium paragallinarum yang paling
patogen. Hal ini karena kedua serotipe ini memiliki kapsul, sedangkan serotipe B tidak
memiliki kapsul (Sawata et al., 1974).
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:
1. Virgin Coconut Oil (VCO) memiliki potensi sebagai antibakteri terhadap
Avibacterium paragallinarum.
2. Virgin Coconut Oil (VCO) dengan dosis 60 %, 80 % dan 100 % dapat
mengggantikan antibiotik oksitetrasiklin (Medoxy-L®) yang dijual secara
komersial.
3. Tidak semua isolat Avibacterium paragallinarum dapat dihambat oleh VCO, hanya
serotipe B yang dapat dihambat oleh VCO.
Saran
Dilakukan penelitian lebih lanjut tentang khasiat VCO sebagai antibakteri terhadap
Avibacterium paragallinarumsecara in vivo.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
53
DAFTAR PUSTAKA
Darmoyono. 2006, Gaya Hidup Sehat Dengan Virgin Cocunut Oil. PT Indeks Kelompok
Gramedia, Hal 1-10, 15-20.
Gordon, R. F. and F. T. W. Jordan (ed). 1982, Infectious Coryza (Haemophilus
gallinarum; H. paragallinarum)In: Poultry desease, 2nd Edition, Ballere Tindall,
London 48-50.
Gyles, C.L., J.F.Prescott, G. Songer, and C.O.Thoen. 2010, Pathogenesis of Bacterial
Infections in Animal, Willey Blackwell Publishing.
Hembing. 2003, Penggunaan Obat Tradisional, Puspa Swara, Jakarta.
Juckett. 2004, Daya Tarik Herbal, Penebar Swadaya, Jakarta.
Mouahaid, M., M.Bisgard, A.J.Morley, R.Mutters, and W.Mannheim. 1992, Occurrence of
V-factor (NAD) Independent Strains of Haemophilus paragallinarum. Vet.
Microbial. (31):363-368
Ramon, R.M.O. Gracia-Agonzales, A.Parez-Mandez, J. Ibarra-Caballero, V.M. Perez-
Marquez, S. Vaca , and E. Negrete A. Bascal. 2006, Membrane Vecisles Release By
Avibacterium paragallinarum Contain Putative Virulence Factors, FEMS,
Microbial, Lett, (257):63-68, Published by Blackwell Publishing Ltd, All Right
Reserved.
Ravel, R. 1978. Clinical Laboratory Medical, Clinical Application Laboratory Data, 3rd
Edition, Year Book Medical Publisher, Inc, Chicago.
Rootd, Y. 2009. Towards Unravelling the Genome of Avibacterium paragallinarum.
Faculty of Natural and Agricultural Sciences. Departement of Microbial,
Biochemical and Food Biotechnology. University of the Free State. Bloemfontein.
South Africa.
Sawata, A., Kume,K. and Nakase, Y.. 1974, Antigenic Structure and Relationship serotype
A, B and C Haemophilus Paragallinarum, American Journal Veterinary Research,
.(41):1901-1904
Sutarmi dan Hartin Rozaline. 2005, Taklukkan Penyakit Dengan VCO, Penebar Surabaya,
Jakarta.
Tabbu CR. 2000, Snot Dalam Penyakit Ayam Dan Penanggulangannya. Kanisius,
Yogyakarta, Vol. 1. Hal ;31-51.
Tangkonda, E., Tabbu, C.R., Wahyuni, A.E.T.H. 2013, Uji Kepekaan Avibacterium
paragallinarum Terhadap Antibiotik Yang Berbeda, Jurnal Kajian Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
54
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
55
NEUROPATHOGENIC EQUINE HERPESVIRUS-1,
ITS PATHOGENESIS AND LATENCY RELATED TO NEUROLOGICAL DISEASE
(PATOGENESIS DAN SIFAT LATEN NEUROPATOGENIK EQUINE
HERPESVIRUS-1 DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENYAKIT SYARAF)
Antin Yeftanti Nugrahening Widi
Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Equine herpesvirus-1 (EHV-1) merupakan salah satu jenis virus penting yang
menyerang kuda dan dianggap membawa kerugian yang besar dalam peternakan kuda
karena menyerang kuda pada berbagai umur dan spesies. Kasus-kasus pada kuda yang
disebabkan oleh EHV-1 myeloenchephalopathy biasa ditandai dengan tingkat morbiditas
dan mortalitas yang tinggi, serta gejala syaraf yang pada akhirnya dapat menimbulkan
kematian. Kesulitan memberantas virus ini adalah pada sifatnya yang laten dan resisten
terhadap vaksin. Review ini disusun untuk melihat patogenesis dan sifat laten
neuropatogenik equine herpesvirus-1 dalam hubungannya dengan penyakit syaraf.
Kata kunci: equine herpesvirus-1 (EHV-1), pathogenesis neuropatogenik EHV-1, sifat
laten neuropatogenik EHV-1,
Introduction
Equine herpesvirus 1 (EHV-1) is a member of family herpesvirinae and sub family
α-herpesvirus. As a member of α-herpesvirus, EHV-1 also performs a long period of
latency, especially in neural ganglia and lymphoid tissue (Roismann and Pellet, 2001,
cited in Bell et al. (2006)). EHV-1 is a DNA virus, and in the same group with herpes
simplex virus, varicella zoster virus, Marek’s disease virus, and ILT virus (MacLachlan &
Dubovi, 2011). Cases caused by EHV-1 myeloenchephalopathy show high neurologic
morbidity, high mortality, resistant to vaccination and infects horses at any breeds and
ages (Donaldson and Sweeney, 1997, cited in Allen (2008). Therefore, this virus causing
great loss in horse industry worldwide (Van der Meulen, Favoreel, Pensaert, & Nauwynck,
2006).
1. Pathogenesis of neurological disease caused by neuropathogenic EHV-1
Cymerys et al. (2010) describe neuropathogenicity as “the ability to cause
pathological changes in the nervous tissue and related clinical symptoms”. It has been
known that EHV-1 as a pathogen has the capability to cause respiratory disorder,
neurological disease and abortions (Bartels, Steinbach, Hahn, Ludwig, & Borchers, 1998).
Based on the definition of neuropathogenicity and the ability of EHV-1 to cause
neurological disease, EHV-1 can be classified as neuropathogenic virus.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
56
2.1 Neurological disease and viral replication in endothelial blood cells
Several neurological clinical signs may present on the infection of
neuropathogenic EHV-1. They are ataxia, paresis, and paralysis (Walker, Love, &
Whalley, 1999). These symptoms are mainly as results of the replication of the virus in the
endothelial blood vessel (Cymerys et al., 2010). The pathogenesis will be explained as
follow.
EHV-1 infection spreads through nasal and saliva discharge, feed or water which
has been contaminated, and fomites (Walker et al., 1999). After infect the host, viremia will
present, followed by the transport of the virus through lymphocytes to the neurons’ blood
vessels (Borchers, Thein, & Kock, 2006). The viruses then replicate in the endothelial cells
of the blood vessels, includes brain blood vessels (MacLachlan & Dubovi, 2011), result in
vasculitis and thrombosis (Yamada et al., 2008, cited in Cymerys et al. (2010)).
Thrombosis reduces blood and oxygen supply to brain, cause ischemia and hypoxia. Brain
is susceptible to hypoxia, therefore neurons experience further effect, which is necrosis
(Zachary & McGavin, 2012). Ischemic injury also brings the same consequence as
hypoxia, that is necrosis of the neuron. As necrosis occurs in neuron, neuron’s function
does not work properly, and it is reflected in the neurological disorders which range from
mild ataxia to death.
2.2 Neurological disease and SNP
Another explanation to the lethal neurological disease caused by neuropathogenic
EHV-1 is related to single nucleotide polymorphism (SNP) in the viral DNA polymerase
gene. According to Van de Walle et al. (2009), the mutation on SNP, especially which
results in the presence of D752, will increase the neurovirulence of EHV-1 strain, and
elevates the neuropathogenicity. Furthermore, a study which involved horses infected with
D752 variant showed that the presence of mutation on SNP D752 contributed to the leakage
of peripheral blood mononuclear cells (PBMCs), which contain virus, to the serebrospinal
fluid, and also caused vasculitis (Van de Walle et al., 2009). Further effect of vasculitis is
the alteration of blood circulation in the brain, which results in ischemia and hypoxia, and
leads to imperfect neuron functions which may appear as clinical neuronal disorder. The
most fatal case may result in the death of the infected horse. These findings indicate that
SNP plays an important role on the pathogenesis of the lethal neurologic EHV-1 infection.
2. Latency of neuropathogenic EHV-1
One of the most well-known characteristics of EHV-1 infection is its latency and
reactivation of the shedding virus over time (Burrows and Goodridge, 1984, cited in Baxi
et al. (1996)). Several factors influence the latency and reactivation of EHV-1. Those
factors can be divided into 2 major parts, they are factors which come from the virus and
factor which comes from the host. Each factor will be explained separately.
3.1 Viral factors
Viral factors which may contribute to the latency of EHV-1 are cellular tropism,
and evasion from host immune response.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
57
3.1.1. Cellular tropism
According to Slater, Borchers, Thackray, and Field (1994), EHV-1 latency can be
found in several tissues, such as PBMCs, lymph nodes, respiratory tract and trigeminal
ganglia. However, the reactivation of EHV-1 was limited to EHV-1 located in trigeminal
ganglia. The main reason is that EHV-1 which was found in other latency cites impaired
their ability to reactivate. Therefore, neuron in the trigeminal ganglia becomes important
target cells to the life cycle of Herpesviruses, EHV-1 particularly, and the major
reactivation cite (Slater et al., 1994, Ch’ng et al., 2005, Regge at al., 2006, cited in
Cymerys et al. (2010)).
3.1.2 Transcription during latent phase
Latent phase does not mean without activity. During its latent phase, EHV-1 keep
performing its transcription activity even though its replication is blocked (Cymerys et al.,
2010). Baxi et al. (1995) found that a region in the genome of neuron with latent infection
showed limited transcription and concluded the Latency Associated Transcripts (LATs)
were in neurons. Furthermore, Borchers, Wolfinger, and Ludwig (1999) claim that LATs
represent latency marker. The finding of the transcription part in the viral genome during
latent phase proved the existence of LATs has been the important part of EHV-1
mechanism to survive inside their host, and prepare for the reinfection in the same host by
invading other cells. This LATs is closely related to and supported by the viral factor, that
is evasion from host immune response.
3.1.3. Evasion from host immune response
According to Van der Meulen et al. (2006), there are at least 4 mechanism are
which usually used by EHV-1 to avoid host immune reaction. They are interference Ab
dependent lysis, interference with CTL mediated cell lysis, interference with NK cell-
mediated lysis, and interference with the host cytokine network.
In order to escape from Ab dependent lysis mechanism, EHV-1 restricted the
expression of its envelope protein on cell surface (Van der Meulen et al., 2006), and uses
certain envelope protein to create obstacles for the Ab-dependent arms to work (Huemer et
al., cited in Van der Meulen et al. (2006)). This mechanism acts as a camouflage so that
immune system will not recognize the presence of the antigen.
Another mechanism is to evade from CTL mediated cell lysis by performing MHC-
I down regulation (Van der Meulen et al., 2006). CTL participate in the clearance of the
EHV-1 leucocytes associated viremia (Kydd, Townsend, & Hannant, 2006). EHV-1 has
transporter associated with Ag processing (TAP) inhibitor, called UL49.5 protein
(Koppers-alic et al., 2005 cited in Van der Meulen et al. (2006)), which inhibits the
transport of TAP, thus reduces protein availability in ER, and finally prevent Ag
presentation to the CTL and prevent further lysis of the infected cells (Hewit, 2003,
Petersen et al., 2003, cited in Van der Meulen et al. (2006)).
The third mechanism is interfering NK cell mediated lysis by lowering the
concentration of the MHC-I in the cell surface (Van der Meulen et al., 2006). This
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
58
mechanism prevent NK cell to recognize the infected cells, thus the virus survive in the
host.
The last mechanism is interference in the host cytokine network by using its
envelope protein gG (Bryant et al., 2003 cited in Van der Meulen et al. (2006)). This
method may prevent the interaction between chemokines with cellular receptor, in which
EHV-1 envelope protein bind certain chemokines.
3.2 Host factor
The most important host factor which contributes to EHV-1 latency is immune
status of the host. A research which used corticosteroid, such as dexamethasone, as
immunodepressor, induced the reactivation of EHV-1, which was previously in a latent
phase (Slater et al., 1994). This research proved that the latency of EHV-1 is influenced by
immune status of the host, in which the latency will be prolonged in the good immune
status, on the other hand, EHV-1 will be reactivated when the host immune system is
depressed.
Conclusion
Neuropathogenic EHV-1 with its latency can be considered as a serious threat for
horse industry. The high mortility and morbidity of cases caused by this aetiological agent
in addition to vaccination failure due to its resistance have become challenge in order to
eradicate EHV-1 neurological disease. Better understanding on pathogenesis and latency
factors of neuropathogenic EHV-1 may enlighten the way to solve problems in regards to
neurological disease caused by EHV-1.
References
Allen, G. P. (2008). Risk factors for development of neurologic disease after experimental
exposure to equine herpesvirus-1 in horses. Am J Vet Res, 69 (12), 1595-1600.
Bartels, A., Steinbach, F., Hahn, G., Ludwig, H., & Borchers, K. (1998). In situ study on
the pathogenesis and immune reaction of equine herpesvirus type 1 (EHV-1)
infections in mice. Immunology, 93, 329-334.
Baxi, M. K., Borchers, K., Bartels, A., Schellenbach, A., Baxi, S., & Field, H. J. (1996).
Molecular studies of the acute infection, latency and reactivation of equine
herpesvirus-1 (EHV-1) in the mouse model. Virus Res, 40, 33-45.
Baxi, M. K., Efstathion, S., Lawrence, G., Whalley, J. M., Slater, J. D., & Field, H. J.
(1995). The detection of latency-associated transcripts of equine herpesvirus 1 in
ganglionic neurons. Journal of General Virology, 76, 3113-3118.
Bell, S. A., Balasuriya, U. B., Gardner, I. A., Barry, P. A., Wilson, W. D., Ferraro, G. L., &
MacLachlan, N. J. (2006). Temporal detection of equine herpesvirus infections of a
cohort of mares and their foals. Vet Microbiol, 116(4), 249-257. doi:
10.1016/j.vetmic.2006.05.002
Borchers, K., Thein, P., & Kock, A. S. (2006). Pathogenesis of equine herpesvirus-
associated neurological disease a revised explanation. Equine Vet J, 38 (3), 283-
287.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
59
Borchers, K., Wolfinger, U., & Ludwig, H. (1999). Latency-associated transcrips of equine
herpesvirus type 4 in trigeminal ganglia of naturally infected horse. Journal of
General Virology, 80, 2165-2171.
Cymerys, J., Dzieciątkowski, T., Słońska, A., Bierła, J., Tucholska, A., Chmielewska, A.,
Golke, A., Banburra, M. (2010). Equine herpesvirus type 1 (EHV-1) replication in
primary murine neurons culture. Polish Journal of Veterinary Sciences, 13(4). doi:
10.2478/v10181-010-0022-3
Kydd, J. H., Townsend, H. G., & Hannant, D. (2006). The equine immune response to
equine herpesvirus-1: the virus and its vaccines. Vet Immunol Immunopathol,
111(1-2), 15-30. doi: 10.1016/j.vetimm.2006.01.005
MacLachlan, N. J., & Dubovi, E. J. (2011). Fenner's veterinary virology (4th ed.):
Elsevier.
Slater, J. D., Borchers, K., Thackray, A. M., & Field, H. J. (1994). The trigemial ganglion
is a location for equine herpesvirus 1 latency and reactivation in the horse Journal
of General Virology, 75, 2007-2016.
Van de Walle, G. R., Goupil, R., Wishon, C., Damiani, A., Perkins, G. A., & Osterrieder,
N. (2009). A single-nucleotide polymorphism in a herpesvirus DNA polymerase is
sufficient to cause lethal neurological disease. J Infect Dis, 200(1), 20-25. doi:
10.1086/599316
Van der Meulen, K. M., Favoreel, H. W., Pensaert, M. B., & Nauwynck, H. J. (2006).
Immune escape of equine herpesvirus 1 and other herpesviruses of veterinary
importance. Vet Immunol Immunopathol, 111(1-2), 31-40. doi:
10.1016/j.vetimm.2006.01.006
Walker, C., Love, D. N., & Whalley, J. M. (1999). Comparison of the pathogenesis of acute
equine herpesvirus 1 (EHV-1) infection in the horse and the mouse model: a
review. Vet Microbiol, 68, 3-13.
Zachary, J. F., & McGavin, M. D. (2012). Pathologic basis of veterinary disease (5th ed.):
Elsevier.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
60
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
61
ANALISIS TINGKATAN PERLAKUAN MASA SIMPAN TERHADAP CEMARAN
Vibrio sp. PADA IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI PASAR IKAN
TRADISIONAL KOTA KUPANG
THE ANALYSIS OF TREATMENT LEVEL OF STORAGE PERIOD AGAINSTTHE
CONTAMINATION OFVibriosp. ON THE CAKALANG FISH (Katsuwonus pelamis)
IN THE TRADITIONAL FISH MARKET IN THE CITY OF KUPANG
Margaretha Mariani Bota Sogen1, Annytha Ina Rohi Detha2, Novalino Harold Gerald
Kallau3 1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail :
[email protected] 2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Nusa Cendana, Kupang 3Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,
Kupang
ABSTRACT
The cakalang fishis one of the fishery products oftenconsumed byurban community
in Kupang butareeasily damaged because of the bacterial contaminations. Oneof the
bacteriain the fish whichcause infections in humans isVibriosp. The contamination
ofVibrio sp. in the cakalang fish is caused by the treatment of traders who usually wetting
the fish with the sea water and the ice water contaminated by the Vibrio sp. during the
sales process. This research aims to determine the contamination of Vibrio sp. and the
Vibrio species which caused the contamination as well as to investigate the influence of
storage period against the level contamination ofVibrio sp.on the cakalang fish in the
traditional fish market in the Kupang City. The fish samples were taken based on the
length of the storage period ie at 0 hours, 3 hours, 6 hours and 9 hours from the Pasir
Panjang traditional fish market as many as 40 fish and each time consisted of 10 cakalang
fish. The number of Vibrio sp. were counted by using the plate count method in order to
spread. The contamination level of Vibrio sp. were analyzed by Anova and continued with
the Least Significant Difference test which research indicates that the contamination and
the level of contamination of Vibrio sp. on the cakalang fish are influenced by the storage
period with an average level of contamination at 0 hours is negative, 3 hours is 4,5 x 102
CFU/g, 6 hours was 7,25 x 102 CFU/g and 9 hours was 1,15 x 103 CFU/g. The species
found were Vibriovulnificus, Vibriodamsela, VibrioalginolyticusandVibrioharveyi. The
influence of time on the contamination level was caused by the treatment of the traders
who wetting the fish with the contaminated sea water and ice water, the sanitation and the
hygiene of traders as well as the equipment used in the process of distributing and selling
of fish. Therefore it can be concluded that there is contamination of Vibrio sp. on the
cakalang fish and the contamination level is influenced by the storage period so that the
consumers should pay attention to the purchasing time of the fish and the processing to
make sure that was cooked perfectly to prevent the infections.
Keywords : cakalang fish, Vibrio sp., storage period, Kupang City.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
62
PENDAHULUAN
Menurut Badan Pusat Statistik Kota Kupang (2012), produksi ikan di Kota Kupang
pada tahun 2012 mengalami peningkatan dari tahun 2011 yaitu sebesar4,44%. Salah satu
hasil perikanan di Kota Kupang adalah ikan pelagis besar yaitu ikan cakalang dengan
tingkat produksi pada tahun 2012 mengalami peningkatan dari tahun 2011 sebesar 50,59%.
Tingkat produksi yang meningkat berbanding lurus dengan tingkat konsumsimasyarakat
dikarenakan ikan cakalang mudah diperoleh bernilai ekonomis dan memiliki nilai gizi
yang tinggi yakni mengandung protein dan omega-3 (Sunahwati, 2000).
Selain memiliki nilai gizi yang tinggi, ikan cakalang merupakan hasil perikanan
yang bersifat mudah rusak dan membusuk (perishable) karena adanya aktivitas bakteri
(Guenneugues and Morrissey,2005).Salah satu spesies bakteri patogen yang sering
ditemukan pada ikan dan produk perikanan adalah Vibrio sp. (Feldhusen, 2000).Infeksi
Vibriosp. pada manusia dapat mengakibatkan gastroenteritis dengan gejala umum yaitu
diare encer dan seringkali berdarah, muntah, mual, demam dan nyeri abdomen apabila
mengkonsumsi hasil-hasil laut yang terkontaminasi Vibrio sp. (Feliatra, 1999).
Lokasi penjualan ikan cakalang segar di Kota Kupang adalah di pasar ikan
tradisional Pasir Panjang yang merupakan lokasi penjualan ikan yang sering dikunjungi
oleh masyarakat. Selama masa penjualan, ikan yang dijual pada lokasi tersebut diberi
perlakuan oleh pedagang yaitu membasahi ikan dengan air laut dan air es. Air laut yang
digunakan tersebut telah tercemar oleh limbah yang berasal dari rumah pendududuk sekitar
dan sisa bahan makanan lainnya yang memungkinkan terdapatnya bakteri pathogen Vibrio
sp. yang secara langsung dapat tumbuh, berkembang dan mengalami peningkatan jumlah
bakteri(Shuval, 1986)sehingga dapat meningkatkan kontaminasi Vibrio sp. pada ikan
cakalang karena Vibrio sp. tumbuh optimal pada salinitas air laut yaitu 20 sampai 40 ppt
(Prajitno, 2005). Semakin lama masa simpan, semakin banyak air laut yang digunakan
untuk membasahi ikan maka sangat memungkinkan semakin tinggi cemaran Vibrio sp.
pada ikan cakalang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ananta, dkk. (2013) juga, es yang
digunakan pedagang sebagai bahan pengawet ikan ditemukan adanya kontaminasi Vibrio
cholerae. Kondisi perairan di Kota Kupang sangat memungkinkan tercemar oleh Vibrio sp.
sehingga proses penanganan ikan segar di Kota Kupang perlu mendapat perhatian.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya cemaran Vibrio sp.
dan untuk mengetahui spesies Vibrio apa saja yang menyebabkan cemaran tersebut serta
untuk mengetahui apakah waktu mempengaruhi tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan
cakalang di pasar ikan tradisional Kota Kupang.
MATERI DAN METODE
Ikan cakalang yang diukur tingkat cemarannya adalah ikan cakalang yang diambil
di pasar ikan tradisional Pasir Panjang Kota Kupang. Pengambilan sampel menggunakan
metode purposive sampling dimana pengambilan sampel ditentukan sendiri oleh peneliti.
Sampel yang digunakan sebanyak 40 ekor ikan cakalang yang diambil berdasarkan waktu
yaitu pada 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
63
Metode kerja untuk pengujian dilakukan melalui teknik isolasi dan identifikasi
Vibrio sp. adalah dengan metode cawan hitung (Plate count) agar sebar menggunakan
media Thiosulfate Citrate Bilesalt Sucrose (TCBS) dan dilanjutkan dengan pemurnian
koloni hasil isolasi pada media TSA2 % dan TSIA 2 %. Selanjutnya, dilakukan pengujian
bentuk morfologi Vibrio sp. dan pengujian biokimia yaitu uji garam, uji katalase, uji
oksidase, uji MR/VP, uji indol, uji urea, uji O/F, uji gelatin, uji lisin, uji gula, uji motilitas
serta uji biokimi lanjutan.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan metode One Way Anova
dan apabila terdapat pengaruh yang nyata dari perlakuan waktu terhadap tingkat cemaran
Vibrio sp. maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata terkecil (uji BNt).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi dan Identifikasi Vibrio sp.
Hasil isolasi dari 40 sampel ikan cakalang dengan masing-masing waktu (0 jam, 3
jam, 6 jam, 9 jam ) terdiri dari 10 sampel yang diambil di pasar ikan tradisional Pasir
Panjang Kota Kupang menunjukkan sebanyak 26 sampel ikan positif tercemar Vibrio sp.
yang ditandai dengan adanya pembentukan koloni berwarna kuning dan hijau pada media
TCBS. Hasil isolasi pada 0 jam menunjukkan hasil negatif ditandai dengan tidak adanya
pembentukan koloni pada media TCBS, pada 3 jam dan 6 jam masing-masing sebanyak 8
sampel yang menunjukkan hasil positif, sedangkan pada 9 jam 10 sampel menunjukkan
hasil yang positif. Koloni yang tumbuh pada media Thiosulfate Citrate Bilesalt Sucrose
(TCBS) berwarna hijau (tidak memfermentasi sukrosa) dan berwarna kuning sebagai hasil
fermentasi sukrosa serta memiliki koloni berbentuk bulat (Fardiaz, 1992).
Pemurnian Bakteri
Pemurnian koloni pada media TSA 2 % dan TSIA 2 % dilakukan untuk
memperoleh koloni yang benar-benar murni dan hasil pemurniannya digunakan untuk
beberapa uji biokimia. Hasil pemurnian 26 koloni bakteri yang positif, 23 koloni
menunjukkan kondisi alkali pada bagian slant dan asam pada bagian butt (A/K) sedangkan
3 koloni menunjukkan kondisi asam pada bagian slant dan butt (A/A).
Pengujian Bentuk Morfologi Vibrio sp.
Pengujian bentuk morfologi Vibrio sp. digunakan larutan giemsa agar mudah
diamati pada mikroskop bentuk morfologinya. Bentuk morfologi Vibrio sp. pada pengujian
ini adalah sel tunggal berbentuk batang pendek yang bengkok (koma) dan lurus.
Uji Garam
Hasil pengujian dari 26 sampel yang positif Vibriomenunjukkan reaksi timbulnya
gel seperti lendir yang berarti bakteri tersebut adalah bakteri Gram negatif. Vibrio sp.
merupakan bakteri Gram negatif yang ditunjukkan dengan timbulnya gel seperti lendir
pada bakteri yang diteteskan dengan larutan KOH 3 % (Edwin, 2011).
Uji Katalase
Hasil pengujian katalase dari 26 sampel yang positif Vibrio sp. menunjukkan reaksi
positif yaitu adanya gelembung gas.
Uji Oksidase
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
64
Hasil pengujian oksidase dari 26 sampel yang positif Vibrio sp., menunjukkan
reaksi positif yang ditandai dengan berubahnya warna kertas oksidasemenjadi warna biru
setelah digoreskan dengan isolat bakteri.
Uji MR/VP
Hasil pengujian dari 26 sampel yang positif Vibrio menunjukkan reaksi positif
pada pengujian Methyl Red yang ditandai dengan perubahan warna menjadi merah setelah
ditambahkan indikator methyl red. Hasil uji Voges Proskauer (VP)menunjukkan reaksi
positif pada 18 sampel yang ditunjukkan dengan perubahan warna menjadi merah pada
media setelah penambahan KOH 40 % dan α-naftol sebanyak 5 tetes dan 8 sampel
menunjukkan reaksi negatif.
Uji Indol
Hasil pengujian ini menunjukkan reaksi positif pada 20 sampel yang ditandai
dengan pembentukan cincin merah pada permukaan media karena mampu membentuk
indol yang bereaksi dengan reagen kovac’s sedangkan 6 sampel menunjukkan reaksi
negatif.
Uji Urea
Hasil pengujian 26 sampel Vibrio sp. menunjukkan reaksi negatif yaitu tidak
terbentuk warna merah muda pada media karena bakteri-bakteri tersebut tidak mampu
menghidrolisis urea dan membentuk amonia (Suyati, 2010).
Uji O/F
Hasil pengujian O/F dari 26 sampel yang positif Vibrio sp.menunjukkan sifat
fermentatif karena Vibrio sp. adalah bakteri yang bersifat fermentatif terhadap glukosa
yang ditandai dengan munculnya warna kuning pada media oksidasi fermentasi (Randa,
2012).
Uji Gelatin
Pengujian ini menunjukkan reaksi positif pada 14 sampel yang ditandai dengan
media gelatin bersifat tetap cair. Dua belas sampel menunjukkan reaksi negatif terhadap
uji gelatin.
Uji Lisin
Pengujian ini menunjukkan reaksi positif pada 20 spesies yang ditandai dengan
perubahan warna menjadi ungu sedangkan 6 sampel yang menunjukkan reaksi negatif.
Uji Gula
Hasil pengujian dari 26 sampel yang positif Vibrio, 18 sampel menunjukkan reaksi
positif glukosa, sukrosa, maltosa dan manitol, 6 sampel hanya menunjukkan reaksi positif
glukosa dan maltosa dan 2 sampel menunjukkan reaksi positif glukosa, laktosa, maltosa
dan manitol
Uji Motilitas
Hasil pengujian dari 26 sampel yang positif Vibrio, 100 % bersifat motil karena
Vibrio sp. adalah bakteri yang bersifat motil.
Uji Biokimia Lanjutan
Pengujian biokimia lanjutan ini merupakan uji toleransi terhadap garam karena ikan
cakalang merupakan ikan air laut yang tumbuh pada air yang memiliki kandungan garam
yang tinggi. Semua spesies Vibrio tumbuh optimum pada kadar garam 2 % sampai 6 %
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
65
(Holt et al., 1994). Hasil identifikasi dengan membandingkan dengan Austin and Austin
(2007) dan berdasarkan Bergeys Manual Of Determinative Bacteriologymenunjukan
bahwa spesies Vibrio yang ditemukan adalah Vibrio damsela, Vibrio harveyi, Vibrio
alginolyticus dan Vibrio vulnificus.
Vibrio damsela
Vibrio damsela merupakan patogen pada hasil perikanan air laut dan merupakan
salah satu spesies Vibrio yang menyebabkan vibriosis pada ikan dan invertebrata laut
(Plumb, 1994)
Vibrio harveyi
Vibrio harveyi merupakan bakteri patogen dalam budidaya perikanan laut dan
payau baik jenis ikan maupun crustacea. Menurut Egidius (1987) Vibrio harveyi
menyerang lebih dari 40 spesies ikan di 16 negara. Vibrio harveyi merupakan agen utama
penyebab penyakit vibriosis (Zhang and Austin 2000) dan berdasarkan hasil pemantauan
Stasiun Karantina Perikanan NTT, V. harveyi adalah spesies Vibrio yang sering ditemukan
di perairan NTT.
Vibrio alginolyticus
Berdasarkan hasil pemantauan Stasiun Karantina Perikanan NTT, V. alginolyticus
adalah spesies Vibrio yang paling sering ditemukan di perairan NTT. Vibrio alginolyticus
memproduksi toksin anhydrotetrodotoksin yang bersifat kurang toksik, namun dalam
kondisi pH rendah mudah berubah menjadi tetrodotoksin yang merupakan neurotoksin
yang bersifat sangat letal dan dapat menimbulkan gejala sakit pada manusia yaitu kejang,
paralisis, dan juga mengakibatkan kematian apabila memakan daging ikan atau hasil laut
lainnya yang tidak dimasak sempurna.
Vibrio vulnificus
Vibrio vulnificus dapat menyebabkan infeksi pada manusia yaitu infeksi luka yang
parah, bakterimia, dan gastroenteritis apabila manusia kontak dengan air laut atau
mengkonsumsi ikan, kerang atau seafood yang terkontaminasi Vibrio vulnificus yang tidak
dimasak secara sempurna (Nairet al, 2006)
Tingkat Cemaran Vibrio sp. pada Ikan Cakalang
Tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang bardasarkan waktu pengambilan
sampel yaitu pada 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam memiliki perbedaan tingkat cemaran yang
dapat dilihat pada hasil rata-rata perhitungan pada setiap jam. Hasil isolasi pada 0 jam
adalah negatif yang berarti cemaran Vibrio sp. pada 0 jam adalah negatif. Hasil isolasi
Vibrio sp. pada 3 jam sebanyak 8 sampel yang positif dengan masing–masing tingkat
cemaran dari C13 sebesar 14 x 102 CFU/g, C14 sebesar 2,0 x 102 CFU/g, C15 sebesar 2,0
x 102 CFU/g, C16 sebesar 3,0 x 102 CFU/g, C17 sebesar 2,0 x 102 CFU/g, C18 sebesar 5,0
x 102 CFU/g, C19 sebesar 3,0 x 102 CFU/g dan C20 sebesar 5,0 x 102 CFU/g, hasil isolasi
Vibrio sp. pada 6 jam sebanyak 8 sampel yang positif dengan masing-masing tingkat
cemaran dari C21 sebesar 14 x 102 CFU/g, C24 sebesar 7,0 x 102 CFU/g, C25 sebesar 5,0
x 102 CFU/g, C26 sebesar 7,0 x 102 CFU/g, C27 sebesar 8,0 x 102 CFU/g, C28 sebesar 5,0
x 102 CFU/g, C29 sebesar 5,0 x 102 CFU/g dan C30 sebesar 7,0 x 102 CFU/g, sedangkan
hasil isolasi Vibrio sp. pada 6 jam sebanyak 10 sampel yang positif dengan masing-masing
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
66
tingkat cemaran dari C31 sebesar 1,0 x 103 CFU/g, C32 sebesar 1,1 x 103 CFU/g, C33
sebesar 1,1 x 103 CFU/g , C34 sebesar 1,0 x 103 CFU/g, C35 sebesar 1,0 x 103 CFU/g, C36
sebesar 1,2 x 103 CFU/g, C37 sebesar 1,7 x 103 CFU/g, C38 sebesar 1,2 x 103 CFU/g, C39
sebesar 1,0 x 103 CFU/g dan C40 sebesar 1,2 x 103 CFU/g.
Berdasarkan perhitungan tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang, diperoleh
tingkat cemaran pada 9 jam lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat cemaran pada 6 jam
dan 3 jam dengan nilai rata-rata tingkat cemaran masing-masing secara berturut-turut dari
tinggi ke rendah adalah 1,15 x 103 CFU/g, 7, 25 x 102 CFU/g dan 4,5 x 102 CFU/g.
Analisis Data
Tabel 1. Hasil uji analisis deskriptif tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang
Waktu
(jam) N Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
95% Confidence
Interval for
Mean Minimum Maximum
Lower
Bound
Upper
Bound
0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 8 4,5 4,03556 1,42678 1,1262 7,8738 2 14
6 8 7,25 2,96407 1,04796 4,772 9,728 5 14
9 10 11,5 2,12132 0,67082 9,9825 13,0175 10 17
Total 26 5,8056 5,0924 0,84873 4,0825 7,5286 0 17
Tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang
meningkat dengan berjalannya waktu. Semakin lama waktu maka tingkat cemaran Vibrio
sp. semakin meningkat dan dapat dilihat bahwa pada 0 jam tingkat cemaran Vibrio sp.
belum nampak dimana semua sampel ikan cakalang menunjukkan hasil yang negatif
namunketika waktu terus berjalan, tingkat cemaran mulai nampak dan terus meningkat.
Untuk mengetahuiada atau tidaknya pengaruh waktu atau masa simpan selama
proses penjualan terhadap tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang maka dilakukan
ujiAnova seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil uji Anova tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang
Source of Vaiance Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 691.639 3 230.546 34.155 0.000
Within Groups 216.000 32 6.750
Total 907.639 35
Sumber : Data Primer, 2015
Hasil uji pada Tabel 2 menunjukkan bahwa F hitung = 34,155 > F0,05 = 2,90, hal ini
berarti bahwa waktu atau masa simpan berpengaruh sangat nyata terhadap tingkat cemaran
Vibrio sp. pada ikan cakalang selama proses penjualan. Ada perbedaan tingkat cemaran
Vibrio sp. pada 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam dipengaruhi oleh waktu dan didukung oleh
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
67
perlakuan yang diberikan pedagang selama proses penjualan, higiene dan sanitasi
pedagang.
Pengaruh nyata waktu terhadap tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang
selama proses penjualan secara umum sudah terlihat pada Tabel 2 di atas dan untuk
melihat perbedaan yang nyata pada setiap waktu dilakukan uji Beda Nyata terkecil seperti
terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil uji Beda Nyata terkecil tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang
A B Mean
Difference Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
0
3 -4.50000* 1.23238 0.001 -7.0103 -1.9897
6 -7.25000* 1.23238 0.000 -9.7603 -4.7397
9 -11.50000* 1.16190 0.000 -13.8667 -9.1333
3
0 4.50000* 1.23238 0.001 1.9897 7.0103
6 -2.75000* 1.29904 0.042 -5.3961 -.1039
9 -7.00000* 1.23238 0.000 -9.5103 -4.4897
6
0 7.25000* 1.23238 0.000 4.7397 9.7603
3 2.75000* 1.29904 0.042 .1039 5.3961
9 -4.25000* 1.23238 0.002 -6.7603 -1.7397
9
0 11.50000* 1.16190 0.000 9.1333 13.8667
3 7.00000* 1.23238 0.000 4.4897 9.5103
6 4.25000* 1.23238 0.002 1.7397 6.7603
Ket. Pengaruh nyata apabila nilai signifikan < 0,05
Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa adanya perbedaan yang nyata
waktu terhadap tingkat cemaran yaitu pada 0 jam dan 3 jam dengan nilai signifikan 0,001 <
0,05; 0 jam dan 6 jam dengan nilai signifikan 0,00 < 0,05; 0 jam dan 9 jam dengan nilai
signifikan 0,00 < 0,05; 3 jam dan 6 jam dengan nilai signifikan 0,042 < 0,05; 3 jam dan 9
jam dengan nilai signifikan 0,00 < 0,05 serta 6 jam dan 9 jam dengan nilai signifikan
0,002 < 0,05.
Tingkat cemaran pada 0 jam adalah negatif dikarenakan bakteri masih berada pada
fase lag dimana Vibrio sp. masih beradaptasi dengan lingkungan dan sel belum membelah
diri sehingga pertumbuhannya tidak terlihat nyata (Sariadji dkk., 2015). Pertumbuhan yang
tidak terlihat nyata ditandai dengan tidak adanya pembentukan koloni pada media TCBS.
Selain itu pada 0 jam, tidak ada perlakuan yang diberikan oleh pedagang untuk
mempertahankan mutu dan kesegaran ikan baik itu membasahi ikan cakalang dengan air
laut yang tercemar maupun dengan proses pendinginan menggunakan es batu sehingga
ikan cakalang tersebut belum tercemar oleh Vibrio sp. akibat pencemaran oleh air laut
maupun air es dan es batu yang terkontaminasi oleh Vibrio sp.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
68
Adanya perbedaan tingkat cemaran yang signifikan terlihat dengan adanya
peningkatan pertumbuhan sel bakteri pada setiap jam. Perbedaan tingkat cemaran ini
dikarenakan selama proses penjualan ada perlakuan yang diberikan oleh pedagang untuk
mempertahankan mutu dan kesegaran ikan cakalang. Salah satu perlakuan yang diberikan
oleh pedagang yaitu membasahi ikan dengan air laut. Air laut yang digunakan oleh
pedagang mungkin sudah tercemar oleh Vibrio sp. yang merupakan saprofit di air laut dan
merupakan opportunistic pathogenyang dalam keadaan normal ada dalam lingkungan
hidupnya. Jadi apabila air sudah tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga seperti
feses manusia atau sisa bahan makanan lainnyamaka secara langsung akan tumbuh,
berkembang dan mengalami peningkatan jumlah yang juga dapat mencemari produk
perikanan (Suriawiria, 2003).
Menurut Herawati (1996), Vibrio sp. merupakan bakteri yang bersifat halofilik
yang tumbuh optimal pada air laut bersalinitas 20 sampai 40 ppt. Perlakuan membasahi
ikan cakalang dengan air laut sangat memungkinkan dapat meningkatkan pertumbuhan
Vibrio sp. karena Vibrio sp. tumbuh optimal pada salinitas air laut, sehingga semakin lama
waktu penjualan, semakin banyak air laut yang digunakan untuk membasahi ikan, semakin
optimal pertumbuhan Vibrio sp. maka semakin tinggi tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan
cakalang.
Selain perlakuan membasahi ikan dengan air laut, pedagang juga mempertahankan
mutu dan kesegaran ikan dengan proses pendinginan yaitu dengan menggunakan es batu
dimana suhu pertumbuhan Vibrio sp. menjadi rendah sehingga bakteri mengalami
penurunan pertumbuhan. Prinsip proses pendinginan dengan menggunakan es batu adalah
untuk mempertahankan kesegaran ikan cakalang dan menghambat atau menurunkan
pertumbuhan bakteri bukan untuk mematikan bakteri (Hari, 2007) artinya bahwa bakteri
tetap mengalami pertumbuhan seiring berjalannya waktu.
Adanya pertumbuhan dan peningkatan jumlah bakteri pada perlakuan ini
dikarenakan es batu dan air es yang digunakan oleh pedagang mungkin sudah tercemar
oleh Vibrio sp. karena digunakan untuk mengawetkan banyak jenis ikan dan sudah dipakai
berulang-ulang kali. Hal ini sudah dibuktikan pada penelitian Ananta dkk. (2013) bahwa
pada es batu yang digunakan oleh pedagang di pasar modern dan tradisional untuk proses
pengawetan ikan positif terdapat V. cholerae karena digunakan berulang-ulang sehingga
terjadi kontaminasi V.cholerae.
Perlakuan yang diberikan oleh pedagang untuk mempertahankan kesegaran ikan
cakalang pada proses penjualan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
kontaminasi Vibrio sp. karena fakta di lapangan bahwa tidak jarang para pedagang ikan di
pasar ikan tradisional juga kurang memperhatikan kehigienisan dagangannya (Adawiyah,
2008). Menurut Badan Riset Kelautan dan Perikanan (2012), tingkat cemaran yang terjadi
salah satunya juga disebabkan oleh sistem pengelolaan pada proses penjualan ikan yang
kurang baik karena lingkungan yang kurang bersih, sehingga Vibrio sp. yang berasal dari
laut yang tercemar dapat mencemari tempat penjualan sehingga dapat juga mencemari ikan
yang dijual. Pribadi (2008) juga mengemukakan faktor lokasi penjualan, peralatan yang
kurang higienis mempengaruhi adanya kontaminasi dari Vibrio sp. Selain itu, bila air yang
terkontaminasi ini digunakan oleh pedagang untuk mencuci tangan, maka pedagang
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
69
tersebut dapat membawa bakteri Vibrio sp. ketika melakukan kontak dengan hasil
perikanan yang dijual, maka hasil perikanan yang disentuhnya dapat terkontaminasi bakteri
Vibrio sp. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan dari WHO (2004), menyatakan bahwa
kontaminasi Vibrio sp. dapat ditularkan melalui manusia dalam hal ini pedagang yang
kurang menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
Tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang segar harus menjadi perhatian bagi
nelayan, pedagang dan konsumen agar lebih memperhatikan higiene dan sanitasi dalam
proses pendistribusian ikan dan proses pengolahan ikan untuk dikonsumsi agar dapat
meminimalkan terjadinya kontaminasi silang dari bahan mentah ke makanan matang
ataupun dari lingkungan kerja yang kotor serta peralatan yang kotor ke makanan yang
matang (Jay, 2000).Keadaan dengan tingkat cemaran yang tinggi perlu menjadi perhatian
agar dapat ditangani secara dini untuk mencegah penyebaran dan penularan Vibrio sp.
mengingat pola penularannya adalah melalui pangan dan air yang terkontaminasi.
KESIMPULAN
1. Dari hasil pemeriksaan 40 sampel ikan cakalang yang dijual di pasar ikan tradisional
Kota Kupang, 26 sampel ikan cakalang (65 %) tercemar oleh Vibrio sp.
2. Tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang dipengaruhi oleh waktu atau lamanya
masa simpan selama proses penjualan.
3. Dari hasil identifikasi 26 sampel ikan cakalang yang tercemar oleh Vibrio sp. ditemukan
4 spesies yang bersifat patogen pada ikan dan manusia. Sebanyak 6 sampel (23,07 %)
adalah V. damsela, 12 sampel (46,15 %) adalah V. alginolyticus, 6 sampel (23,07 %)
adalah V. harveyi dan 2 sampel (7,69 %) adalah V. vulnificus yang dapat menyebabkan
infeksi pada manusia berupa infeksi luka yang parah, gastroenteritis dan bakterimia.
DAFTAR PUSTAKA
Ananta, W.S., Wijaya, P., Dhinarananta, P., Yuniadi, A. dan Agus M.H. 2013, Identifikasi
Serotipe Bakteri Vibrio cholerae Terisolasi dari Es Bahan Pengawet Ikan yang
Digunakan Oleh Pedagang Hasil Laut Pasar Modern dan Pasar Tradisional di Kota
Denpasar, E-Jurnal Medika Udayana, 02(6):1-15.
Austin, D.A. and Austin, B. 2007, Bacterial Fish Pathogen 4th Edition, Press Publishing,
United Kingdom, 40-41, pp. 136-137.
Badan Pusat Statistik. 2012,Perikanan, Nusa Tenggara Timur dalam angka, BPS NTT.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2012, Dinas Perikanan dan Kelautan, Jakarta.
(www.brkp.dkp.go.id).
Badan Standardisasi Nasional. 2006, Standar Nasional Indonesia No. 01-2729.1-2006,
Mutu Ikan Segar, Jakarta.
Edwin. 2011. Materi Kuliah Mikrobiologi, Universitas Lambung Mangkurat,Banjarbaru.
Fahri, M. 2009, Bakteri Patogen pada Budidaya Perikanan Vibrio alginolyticus,Diakses
pada tanggal 20 Juli 2015,http://elfahrybima.blogspot.com/209/01/bakteri-pathogen-
pada-budidaya.html.
Fardiaz, S., 1992. Mikrobiologi Pangan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat
Antar Universitas IPB, Bogor.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
70
Feldhusen, F. 2000, The role of seafood in bacterial food borne diseases, Journal Microbes
and Infection, 2:1651-1660.
Feliatra. 1999. Identifikasi bakteri patogen (Vibrio sp.) di perairan Nongsa Batam
propinsi Riau, J Natur Indones, 1I(1):28-33.
Guenneugues, P. and Morrissey, M.T. 2005, Surimi and seafood resources, 2nd Edition.
Boca Ratton Florida: CRC Press, Inc. 375-433pp.
Hari, E.I.dan Indroyono, S. 2007, Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan,
Bogor.
Herawati, E. 1996, Karakterisasi Fisiologi dan Genetik Vibrio Berpendar sebagai
Penyebab Penyakit Udang Windu, Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Holt, J.G., Krieg, N.R., Sneath, P.H.A., Staley, J.T. dan Williams, S.T. 1994, Bergey’s
Manual of Determinative Bacteriology, Ninth Edition, Lippincot Williams &
Wilkins, Philadelphia, USA.
Jay, J.M. 2000, Modern Food Microbiology, Chapman and Hall, New York.
Khastari, D. F. 2011, Isolasi dan Deteksi Gen Virulen Bakteri Vibrio Parahaemolyticus
pada Ikan Tongkol Sisik (Thunnus obesus Lowe) dengan Metode Pholymerase Chain
Reaction (PCR), Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Andalas, Padang.
Mewengkang, H. W. 2010, Identifikasi Vibrio sp. pada Gonad Ikan Cakalang (
Katsuwonus pelamis ), Jurnal Perikanan dan Kelautan, 6(1):18.
Nair, G.B., Faruque, S.M. and Sack, D.A. 2006, Vibrios in ‘‘Emerging foodborne
pathogens.’’ ed. Motarjemi, Y. and Adams, M. Cambridge. Woodhead Publishing
Ltd, 332–372.
Prajitno, A. 2005,Diktat Kuliah Parasit dan Penyakit Ikan, Universitas Brawijaya,
Malang.
Pribadi, A. 2008, Identifikasi Bakteri Vibrio Cholera pada Udang Bakar Yang Dijual di
Sekitar Jalan Pahlawan Semarang, diakses pada tanggal 25 Juli 2015,
<http://digilib.unimus.ac.id>.
Randa, M. S. 2012. Analisis Bakteri Coliform (Fekal dan Nonfekal) pada Air Sumur Di
Komplek Roudi Manokwari, Skripsi, Universitas Negeri Manokwari, Manokwari.
Shuval, H.I. 1986, Thalassogenic disease, Regional seas report and studies No 79.UNEP,
Nairobi. 38p.
Sunahwati, E. 2000, Studi Karakteristik Arabushi Ikan Cakalang (Katsuwonuspelamtis)
Setelah Proses Fermentasi Kapang, IPB (Bogor Agricultural University), Bogor.
Suriawiria, 2003, Mikrobiologi Air, Penerbit PT Alumni, Bandung.
Suyati, 2010. Identifikasi Dan Uji Antibiotik Bakteri Gram-Negatif Pada Sampel
UrinPenderita Infeksi Saluran Kemih (Isk), Skripsi, Jurusan Biologi Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Papua Manokwari.
World Health Organization. 2004, International Statistical Classification of Disease and
Related Health Problems Tenth RevisionVolume 2nd edition, Geneva: World Health
Organization.
Zhang, X.H. and Austin, B. 2000, Pathogenicity of Vibrio harveyi to Salmonella, J.Fish
Dis. 23:93‒102.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
71
AKTIVITAS ANTIMIKROBA SOPI TERHADAP BAKTERI PATOGEN
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Frans Umbu Datta1 dan Annytha Detha2 1Bagian Biokimia, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Jl. Adi
Sucipto, Kampus Baru Undana, Penfui. Kupang-NTT,
E-mail:[email protected] 2Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Jl. Adi Sucipto, Kampus Baru Undana,
Penfui. Kupang-NTT,
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki sumber daya alam dan kearifan
lokal yang berciri khas, khususnya minuman tradisional berfenmentasi (Moke dan Sopi).
Minuman tradisinonal berfermentasi khas NTT memiliki potensi yang besar untuk
dimanfaatkan sebagai bahan antimikroba. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi
aktivitas antimikroba minuman beralkohol tradisional NTT sopi sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan antimikroba khususnya pada bakteri patogen. Salah satu
bakteri patogen yang penting adalah Staphylococcus aureus yang menyebabkan penyakit
pada manusia, ternak, babi, domba, kuda, tikus dan unggas. Penelitian ini dilakukan dalam
dua tahap. Tahap pertama yaitu pengujian kadar alkohol dan menguji derajat keasaman
sopi. Tahap kedua yaitu identifikasi aktivitas antimikroba sopi melalui pengujian bioassay
menggunakan bakteri patogen Staphylococcus aureus. Sebagai kontrol positif digunakan
antibiotika Oksitetrasiklin. Hasil penelitian menunjukkan Sopi memiliki aktivitas
antimikroba terhadap bakteri patogen Staphylococcus aureus. Hasil penelitian ini dapat
menjadi dasar penelitian lanjutan untuk pengembangan Sopi sebagai agen antimikroba.
Kata kunci: sopi, antimikroba, Staphylococcus aureus.
LATAR BELAKANG
Kontaminasi mikroba dari lingkungan ke dapat berkontribusi terhadap kejadian
penyakit pada lingkungan peternakan. Beberapa faktor kejadian penyakit pada ternak
sangat berhubungan dengan sanitasi dan kebersihan lingkungan. Tindakan bioesekuriti
pada lingkungan yang higiene berhubungan dengan segala upaya mengeliminasi
lingkungan peternakan dari agen-agen biologis yang dapat mengganggu kesehatan manusia
dan hewan. Oleh karena itu sebuah lingkungan peternakan selalu menyediakan produk
biosekuriti seperti antiseptik dan desinfektan. Secara umum penggunaan desinfektan di
kandang meliputi sanitasi setiap peralatan yang digunakan seperti tempat makan dan air
minum, bangunan kandang seperti lantai dan dinding, kebersihan personel yang bekerja di
kandang yang meliputi lalu lintas orang serta sanitasi lingkungan sekitar kandang. Segala
tindakan biosekuriti menjadi bagian yang sangat penting karena dapat menjaga
kelangsungan produksi sebuah peternakan dan terutama bila di lingkungan sekitar kandang
pernah terjadi wabah penyakit. Salah satu agen penyakit yang biasa ditemukan pada
lingkungan kandang yaitu Staphylococcus aureus.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
72
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat,
berdiameter 0,7-1,2 μm, bersifat fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, non motil dan
tumbuh pada suhu optimum 37 ºC (Brook 2001, Murray et al. 2009). Sekitar 90% isolat
lapang menghasilkan Staphylococcus aureus yang mempunyai kapsul polisakarida yang
menyebabkan sifat virulensi (Jawetz et al., 1995 ; Novick et al., 2000). Sebagian bakteri
Staphylococcus aureus merupakan flora normal pada kulit, saluran pernafasan, dan saluran
pencernaan makanan pada manusia. Staphylococcus aureus ditandai dengan kerusakan
juga merupakan penyebab utama infeksi nosokomial (Ryan, et al., 1994) karena Bakteri ini
juga ditemukan di udara dan lingkungan sekitar yang patogen (Warsa, 1994).
Penggunaan disinfektan berperan meminimalkan risiko penularan penyakit di
lingkungan peternakan namun terkadang penggunaan desinfektan. Ketersediaan
desinfektan di pasaran yang sulit diperoleh serta pentingnya produk desinfektan bagi
sanitasi kandang masih belum dimaknai secara baik oleh peternak. Hal ini mendorong
perlunya dilakukan kajian alternatif penggunaan bahan antimikroba alami yang dapat
berfungsi sebagai “desinfektan alami” yang dapat diaplikasi oleh peternak di wilayah NTT.
Masyarakat di wilayah NTT sudah sejak lama memanfatkan nira atau sadapan bunga lontar
(Borassus flabellifer L.) sebagai bahan pembuat gula cair, cuka dan minuman fermentasi
beralkohol untuk menghasilkan produk yang bernilai ekonomi diantara adalah Sopi.
Beberapa studi telah menunjukkan kemungkinan bahwa minuman beralkohol seperti
anggur yang mampu membunuh bakteri Helicobacter pylori, dan beberapa bakteri patogen
yang mengkontaminasi makanan seperti Shigella sonnei, dan Escherichia coli (Waite dan
daeschel 2007). Penelitian serupa juga dilakukan Moretro dan Daeschel (2004) yang
menemukan Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, E. coli O157: H7, dan
Salmonella Typhimurium mampu diinaktivasi oleh minuman fermentasi anggur. Beberapa
penelitian tersebut mengindikasikan minuman beralkohol berpotensi digunakan sebagai
bahan antimikroba yang dapat di apikasikan pada berbagai kondisi. Dengan latar belakang
ini maka perlu dilakukan kajian tentang aktivitas antimikroba minuman tradisional NTT
Sopi untuk mengidentifikasi aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri patogen
Staphylococcus aureus.
METODE PENELITIAN
Penelitian aktivitas antimikroba minuman beralkohol tradisional NTT sopi
dilakukan dalam dua tahap. Pertmaa yaitu pengujian kadar alkohol Sopi dan derajat
keasaman Sopi. Pengujian kedua dilakukan dengan mengidentifikasi aktivitas antimikroba
Sopi terhadap bakteri patogen Staphylococcus aureus melalui pengujian bioassay. Tempat
penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia FST Universitas Nusa Cendana, Laboratorium
Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Veteriner Dinas Peternakan dan di Laboratorium
Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana.
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Agustus 2015. Sampel penelitian
berupa Sopi yang diambil dari tempat pembuatan Sopi Sikumana, Kota Kupang, Nusa
Tenggara Timur. berasal dari tiga tempat yang berbeda, yakni Oesapa, Sikumana dan
Camplong dan bakteri patogen yang digunakan yaitu Staphylococcus aureus yang
diperoleh dari Balai Penelitian Veteriner, Bogor.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
73
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas ukur, alkohol meter, pH
meter, gelas beker, labu erlenmyer, cotton bud, timbangan digital, tabung duran, magnetic
stirrer, water bath, autoklaf, oven, cawan petri, laminar air flow, mikropipet, ose ujung
bulat, ose ujung rucing, bunsen, inkubator, objek gelas, mistar, tabung reaksi, rak tabung
reaksi, batang pengaduk, kertas cakram atau kertas saring dan batang gelas bengkok.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah media Nutrient Agar, aquades,
oksitetrasiklin dan Buffer Peptone Water.
Penentuan aktivitas antimikroba dari minuman tradisional beralkohol Sopi melalui
pengujian bioassay. Sebanyak satu loop penuh dari biakan isolat bakteri dari media nutrien
agar miring diambil dan dibuat suspensi ke dalam Heart Infusion Broth, diinkubasi selama
24 jam. Sejumlah 75 µl suspensi Heart Infusion Broth diambil dan disebarkan secara
merata ke dalam media nutrien agar. Setelah suspensi mengering pada permukaan agar,
diletakkan kertas cakram ukuran 8 mm dan dituangkan sampel minuman tradisional
beralkohol Sopi serta kontrol antibiotik. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24
jam (Gambar 1). Isolat bakteri ditentukan suseptibilitasnya dengan mengukur diameter
zona hambat terhadap senyawa antimikroba (NCCLS 2002). Kategori penghambatan
antimikroba berdasarkan diameter zona hambat yaitu diameter 0-3 mm memiliki respon
daya hambat pertumbuhan yang lemah, diameter 3-6 mm memiliki respon daya hambat
pertumbuhan yang sedang, dan diameter >6 mm memiliki respon daya hambat
pertumbuhan yang kuat (Pan et al. 2009; Adila et al. 2013).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Alkohol dan Derajat Keasaman Sopi
Hasil pengukuran kadar alkohol sopi dengan alkohol meter yang berasal dari
Sikumana, adalah berkisar 46%. Pengujian pH sopi murni adalah 4,00. Hal ini dapat terjadi
karena Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada kisaran pH antara 4,0 sampai dengan 9,0
dengan pH optimum 6-7 (....)(Brook 2001). Menurut Myers et al. (2007) Alkohol memiliki
beragam fungsi, salah satunya bersifat sebagai antibakteri. Bila jika kadar alkohol tinggi
maka aktivitas antibakteri juga tinggi. Hal ini disebabkan kemampuan alkohol melisiskan
fosfolipid pada membran bakteri sehingga dapat membunuh bakteri.
Pengujian Daya Hambat Antimikroba Sopi
Pengujian ini bertujuan untuk mengamati daya hambat antimikroba sopi terhadap
bakteri yang telah diidentifikasi dan dibandingkan dengan oksitetrasiklin. Materi pengujian
tahap ini terdiri atas minuman beralkohol sopi, oksitetrasiklin, dan aquades. Berdasarkan
hasil aktivitas antimikroba Sopi terhadap bakteri Staphylococcus aureus, menunjukkan
bahwa Sopi mampu menghambat pertumbuhan mikroba uji tersebut. Hasil pengujian
aktivitas antimikroba sopi terhadap bakteri Staphylococcus aureus dapat diamati pada
Tabel 1.
Tabel 1 Rata-rata diameter zona hambat sopi terhadap bakteri uji dan kategori daya hambat
Bahan uji Staphylococcus aureus
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
74
Diameter zona hambat (mm) Kategori daya hambat
Sopi 15,5 Kuat
Oksitetrasiklin 15 Kuat
Aquades 0 -
Terbentuknya diameter zona hambat hal ini dikarenakan Sopi memiliki memiliki
senyawa aktif yang bersifat sebagai antimikroba. Sopi dikategorikan kuat dalam
menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus (15,5 mm) karena sesuai
standar kategori daya hambat kuat yaitu >6 mm. Respon daya hambat pertumbuhan
mikroba yang dihasilkan dipengaruhi oleh kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam
Sopi. Penelitian yang dilakukan Vas et al. (2012) menemukan bahwa minuman alkohol
seperti anggur memiliki komponen asam organik, etanol dan senyawa fenolik. Asam
organik pada minuman anggur menunjukkan efek inaktivasi kuat terhadap bakteri Bacillus
cereus. Apablia dikombinasikan dengan etanol, terjadi efek sinergis diamati dalam
membunuh bakteri.
Penelitian García-Ruiz et al. (2008) menyebutkan bahwa kandungan fenolik
memiliki kemampuan sebagai agen antimikroba yang baru yang juga dapat diekstrak dari
minuman anggur. Penelitian yang juga dilakukan Carneiro et al. (2008) yang menemukan
bahwa anggur murni dapat secara cepat menonaktifkan Campylobacter jejuni karena
adanya fraksi antimikroba yang diisolasi yaitu etanol dan asam organik tertentu yang
bekerja secara sinergi dalam mempengaruhi kemampuan inaktivasi bakteri. Berdasarkan
hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Sopi dapat juga memiliki
kandungan antimikroba yang sama terdapat pada anggur mengingat anggur dan Sopi
memiliki kesamaan dalam proses pembuatan yaitu melewati proses fermentasi.
KESIMPULAN
Adapun simpulan dari penelitian ini yaitu bahwa minuman tradisional beralkohol
Sopi memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen Staphylococcus aureus
dengan kategori daya hambat kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Adila R, Nurmiati, Agustien A. 2013. Uji Antimikroba Curcuma spp. Terhadap
Pertumbuhan Candida albicans, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Jurnal
Biologi Universitas Andalas 2(1) : 1-7.
Brooks G.F., Butel J.S., Morse S.A. 2001. Medical Microbiology. 22nd ed. USA: Appleton
& Lange. p. 219, 225 – 227.
Carneiro, A. Couto, J.A., Mena, C.dan Queiroz, J. 2008, Activity of wine against
Campylobacter jejuni. Food Control :19: 800-805.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
75
García-Ruiz A, Bartolome B, Martínez-Rodríguez AJ, Pueyo E, Martín-Álvarez PJ,
Moreno-Arribas MV. 2008. Review Potential of phenolic compounds for controlling
lactic acid bacteria growth in wine. Food Control Volume 19(9): 835-841
Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N. Ornston.
1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke-20 (Alih bahasa: Nugroho &
R.F.Maulany). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal. 211,213,215.
Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA (2009). Medical Microbiology (6th ed.).
Philadelphia, PA: Mosby Elsevier. p. 307.
Myers, Richard L.; Myers, Rusty L. (2007). The 100 most important chemical compounds:
a reference guide. Westport, Conn.: Greenwood Press. p. 122. ISBN 0313337586.
Pan, X., Chen, F., Wu, T., Tang, H., and Zhao, Z. 2009. The acid, Bile Tolerance and
Antimicrobial property of Lactobacillus acidophilus.J. Food Control 20: 598-602
Ryan, K.J., J.J. Champoux, S. Falkow, J.J. Plonde, W.L. Drew, F.C. Neidhardt, and C.G.
Roy. 1994. Medical Microbiology An Introduction to Infectious Diseases. 3rd ed.
Connecticut: Appleton&Lange. p.254.
Renato SL.; Shuping Zhang; Renee M. Tsolis; Robert A. Kingsley; L. Gary Adams;
Adreas J. Baumler (2001). "Animal models od Salmonella infections: enteritis versus
typhoid fever". Microbes and Infection3: 1335–1344
Vas M, Hogg T, Couto JA. 2012. The antimicrobial effect of wine on Bacillus cereus in
simulated gastro-intestinal conditions. Food Control Volume 28(2): 230-236
Waite, J.G. and Daeschel, M.A. 2007,Contribution of wine components to inactivation of
food-borne pathogens. J Food Sci.72(7): 286-291.
Warsa, U.C. 1994. Staphylococcus dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi
Revisi. Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara. hal. 103-110
Weisse, M.E., Eberly, B. and Person, D.A. 1995, Wine as a digestive aid: comparative
antimicrobial effects of bismuth salicylate and red and white wines. Br Med
J311:1657-1660.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
76
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
77
REVIEW: THE EVOLUTION OF CIRCULATING NEWCASTLE DISEASE VIRUS
IN INDONESIA WITH PATHOLOGICAL DESCRIPTION
Pandarangga P1, Brown CC2, Susta L3 1Department of Veterinary Pathology, Nusa Cendana University, Kupang, Indonesia
Email: [email protected] 2Department of Veterinary Pathology, College of Veterinary Medicine, University of
Georgia, Athens, GA, USA 3Department of Pathobiology, Ontario Veterinary college, University of Guelph, Guelph,
ON N1G 2W1, Canada
ABSTRACT
Newcastle disease (ND) is a devastating disease of poultry caused by virulent
strains of Newcastle disease virus (NDV). Outbreaks of ND cause significant economic
losses, especially in developing countries with large populations of backyard poultry
flocks, such as Indonesia. Prior to 2010, limited information was available about the
epidemiology of virulent NDV strains present in Indonesia. Based on recent phylogenetic
studies, two genotypes, VII and XIII, and two sub-genotypes, VIIh and VIIi, of NDV have
been reported to be currently co-circulating in this country. All of the NDV strains
included in these genotypes or sub-genotypes are virulent, causing high morbidity,
mortality, and severe lesions in infected chickens. The goal of the present manuscript is to
review the clinico-pathological data, the diagnostic criteria, and the control strategies
concerning ND, with a particular focus on the epidemiology of ND in Indonesia. This
review is aimed to veterinarian and stakeholder of the agricultural sector that may benefit
from this knowledge in controlling ND in the field.
THE VIRUS
Newcastle disease (ND), caused by virulent strains of Newcastle disease virus
(NDV), was reported for the first time in 1926 in Java, Indonesia, and in Newcastle Upon-
Tyne, England. The virus spread quickly across the world, and four main panzootic of ND
have been reported since the initial report (possibly a fifth panzootic is currently on its
way) (7). NDV, synonymous with avian paramyxovirus serotype-1 (APMV-1), belongs to
the order Mononegaviruales, family Paramyxoviridae and Avulavirus genus (27). Virions
are enveloped, pleomorphic, and the viral genome is composed of a single, non-segmented,
negative-sense RNA molecule that encodes for six structural proteins: nucleoprotein (NP),
phosphoprotein (P), matrix (M), fusion (F), haemagglutinin-neuraminidase (HN), and
large (L) RNA-dependent RNA polymerase (25). The RNA genome is tightly encapsidated
by polymerized NP protein, which is also associated with the P and L proteins. The
complex of the NP, P, and L proteins together with the virus nucleic acids is referred to as
ribonucleoprotein (RNP), which is found at the center of the virion. The viral envelope
contains two transmembrane glycoproteins (F and HN), and is associated in the inner
leaflet with the M protein (22, 29). F and HN protein are part of the envelope of virus and
have role to control the virulence of NDV(14, 32, 34). The V protein is translated by post-
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
78
transcriptional editing of the mRNA for the P gene, and it has been shown to contribute to
the virulent of NDV by inhibiting the interferon pathways by increasing the degradation
(ubiquitinilation) of the STAT-1 protein (a common downstram molecular of the IFN
pathway) (28).
NDV has a great genetic variability among the different strains (11, 16). Based on
the phylogenetic topology and the evolutionary distances, NDV was classified into two
classes, class I and class II (16). Class I is predominantly composed of wild bird-origin
low virulence isolates, which are all encompassed in one genotype (Class I, genotype I)
(12). Class II has 18 genotypes, genotype I-XVIII(35), of which genotypes I and II include
both virulent and low virulence NDV strains, genotype X has only low virulence strains,
while all the other genotypes include only virulent strains. Within class II, genotypes X,
XII, XII, XIV, XV, XVI, XVII and XVIII, are the considered evolutionarily more recent.
Genotype II was for vaccine such as Lasota and B1 NDV strains, both belonging to
genotype II, are used all over the world – including Indonesia - as vaccines against ND.
Newcastle disease virusNDV, also known as avian paramyxovirus serotype-1
(APMV-1) belong to family Paramyxoviridae, subfamily Paramyxovirinae, and genus
Avulavirus(26). APMVs has 12 serotypes with APMV-1 being the most important serotype
due to ability to infect and cause disease with high levels of mortality in poultry all over
the world(29). NDV is a non-segmented, pleomorphic and negative sense RNA virus with
a genome described as 3’-NP-P-M-F-HN-L-5’, where can encode Nucleocapsid protein
(NP), Phosphoprotein (P), Matrix protein (M), Fusion protein (F), Haemagglutinin-
neuraminidase (HN), and Large (L) RNA-dependent RNA polymerase(22).
NDV virus has a great genetic variability among the different strains (11, 16).
Based on the phylogenetic topology and the evolutionary distances, NDV was classified
into two classes, class I and class II (16). Class I has only single genotype where isolated
from live bird markets in northeastern US and class II is divided into 18 genotypes: I-XVIII
where genotype X, XII, XII, XIV, XV, XVI, XVII and XVIII, are the newerovel
genotypes(16, 19, 23).
Classification Of Viral Pathogenicity And Virulence Test For NDV
According to the severity of clinical disease in chickens, and virulence, NDV
strains haves been divided into 4 pathotypes: 1) velogenic, highest pathogenicity; 2)
mesogenic, moderate pathogenicity; 3) lentogenic, the low pathogenicity; 4) asymptomatic
enteric, apathogenic (5). Velogenic strains can be divided into the most virulent that is
also divided into two categories; viscerotropic velogenic NDV (VVNDV) and neurotrophic
velogenic NDV (VNNDV). In naïve chicken flocks, VVNDV strains can cause 100%
morbidity and up to 100% mortality, causing severe bilateral conjuncitivits, diarrhea,
severe prostration and death within 4-6 days post infection. Lesions consist of severe
hemorrhage and necrosis of the lymphoid organs (spleen, bursa, thymus) and mucosa-
associated lymphoid tissue scattered through the digestive (such as cecal tonsils) and
respiratory tracts (such as pharyngeal tonsils).(10). VNNDV strains cause 50% morbidity
in affected flocks, with clinical signs consistent with head tremor, opisthotonous, wing
drop, and leg paresis. With these strains, gross lesions are often inconspicuous, and
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
79
microscopic lesions are characterized by non-suppurative encephalitis (perivascular
cuffing) and neuronal degeneration(9, 32). Mesogenic strains can cause moderate
respiratory illness, with lesions consisting of hyperemia/congestion of the pharyngeal area
and mild airsacculitis(8, 32). Lentogenic strains cause mild respiratory signs and lesions
in very young birds, especially when such strains are deployed as live attenuated vaccines
delivered by aerosol (8, 32). It should be noted that mesogenic and lentogenic strains,
albeit not markedly pathogenetic in experimental conditions, can cause severe problems in
chicken flocks where the bacterial challenge (especially E.coli) is elevated and secondary
infections ensue after the initial viral infection.
Recognized standard pathogenicity indices used to classify the virulence of NDV
isolates are the mean death time (MDT) in specific pathogen free (SPF) eggs, and the intra
cerebral pathogenicity index (intracerebral pathogenicity indexICPI) in day-old SPF
chicks. Historically, the MDT was the first method to be used in the classification of NDV
virulence. The test is performed by inoculating the chorioallantoic cavity of 9 to 10
embryonating SPF eggs with serial dilutions of the NDV preparation. The time of death
after infection for each egg is recorded by candling the eggs twice a day: the time
necessary for the minimal lethal dose (highest dilution) to kill all the eggs is the MDT. If
the MDT is less than 60 hours, the isolate is categorized as velogenic, if more than 90
hours, the isolate is considered lentogenic. Strains with MDT between these two time
points are considered mesogenic.(6). More recently, the ICPI and the deduced amino acid
sequence of the F protein cleavage are the standard tests accepted by the World
Organization for Animal Health (OIE) to classify the virulence of NDV (1). The ICPI is
carried out by inoculating intracerebrally Ten of 20 to 40 hour-old SPF chicks were
injected trough intra-cerebrally with the 0.05 ml of 1:10 diluted, filtered NDV preparation
that has an hemagglutination titer > 16. Inoculated birds isolate are then observed every
24 hours for 8 days, and clinical signs scored (0, normal; 1, sick or paralyzed; 2, dead)
(4). The result for the ICPI test is mean score of per bird observation for each day over the
eight-day observation period, and the final score ranges between 0 (non virulent) and 2
(most virulent strain). A strain with ICPI result ≥ 0.7 is considered virulent and therefore
notifiable to the international community.
Current Status of ND In Indonesia
ND is endemic in Indonesia and causes significant economic losses in both
commercial and non-commercial poultry operations. Very few Indonesian scientific
journals provided updated data on ND outbreaks over the last 90 years. In 1961, there
was a report of an ND outbreak with 30%-40% mortality in Indonesia(24) that implicated
the misuse of live ND vaccines as a factor in the outbreak. From1978 to 1979, virulent
NDV strains of moderate virulence (called mesogenic) circulated in duck flocks in Java
and Borneo leading to clinical disease presenting as acute nervous signs (ataxia,
torticollis) and decreased production(20, 21). Initially ND in Indonesia was sporadic, but
found in both the western and eastern parts of Indonesia, including Papua, Bali and Nusa
Tenggara(13).In the latter, also known as Sector 4 in Indonesia, ND causes up to 100 %
mortality in young chicks and significant morbidity and mortality among adult chickens.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
80
The devastating effects of ND in this segment of poultry production could be the
consequence of inadequate or non-existent vaccination programs.(3). Nonetheless,
although commercial farms (sector 1, 2 and 3) have extensive vaccination programs, ND
outbreaks are common in commercial poultry operations, with mortality rates between
70%-80%, as reported in 2009 and 2010(3, 38). The types of vaccines used in Indonesia
are strains LaSota and B1(Class II, genotype I). These strains have a genetic identity with
the challenge NDV strains isolated during the 2009-2010 outbreaks ranging between 87%
to 89%, a very low score (38). Based on OIE data, 15,000 to 18,000 ND outbreaks have
been reported in Bali during 2007(31, 33). In Indonesia, prompt diagnosis and efficient
reporting system for ND outbreaks is often inadequate.
Although many causes are to blame, lacking of knowledge about ND clinical signs
(especially in sector 4), and the similarities with clinical disease caused by avian influenza
virus are two of the most common. In addition, until 2010, researchers in Indonesia have
focused mainly to holist medicine approaches, to use either vitamins or traditional herbs
for the treatment of ND. Only few strains of ND from Indonesia have been recognizing
where most of the viruses are from genotype VII(15, 31, 38). Genotype XIII also
responsible for outbreak in Indonesia in 1979 (18).
Evolution And Epidemiological Description Of ND Virus In Indonesia
Few and scattered data are present in the literature describing the ND status and
the epidemiology of ND in Indonesia. A report from 1961, described an ND outbreak with
30%-40% mortality in Indonesia(24) that implicated the misuse of live ND vaccines as a
culprit. From 1978 to 1979, virulent NDV strains of moderate virulence (identified as
mesogenic) circulated in duck flocks in Java and Borneo leading to clinical disease
presenting as acute nervous signs (ataxia, torticollis) and decreased production IN
WHAT? DUCKS? WHAT AGE?(20, 21). Initially ND in Indonesia was sporadic, but found
in both the western and eastern parts of Indonesia, including Papua, Bali and Nusa
Tenggara(13).
According to a study published in 20154, Indonesian NDV strains from between
1983-1990 were identified as belonging to new sub-genotypes, VIIh and VIIi. They appear
to not be associated with other strains of NDV from genotype VII that are now circulating
other countries, but evolved from strains of NDV isolated from wild birds in Indonesia in
the 1980s (3). These viruses from new sub-genotypes have also been circulating in the
Middle East and South East Asia and are phylogenetically similar to strains that
circulating in China, Malay and Cambodia (3) and are suggested as a new panzootic.
Until 2015, only few NDV Indonesian strains have been genetically or
clinopathologically characterized. One isolate from 1977, Isolate JKT-1977, was found in
the Lombok area of Indonesia from an Arbovirus surveillance project, and was
characterized in 2010 as belonging to genotype XIII, being closely related to the ND V
outbreak strains isolated from Sweden in 1977(2, 18). However, based on genetic
phylogeny, JKT- 1977 is more closely related to Indonesian strains namely chicken/
Sragen014/10 (97.6%); chicken/Makassar 003/09 (96.9%); chicken/Banjarmasin 010/10
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
81
(97.5%); chicken/Bali 020/10 (96%); chicken/Sukorejo 019/10 (96.9%) and
cockatoo/Indonesia 14698/90 (98.2%)(18).
A NDV strain of the highest virulence (called a velogenic) was found in Bali in
2009. It was designated as NDV/Bali-1/07, and belongs to genotype VII(31) and is most
closely associated with sub-genotype VIIh that circulating in Indonesia
(Cockatoo/Indonesia/90), China (Guangxi/03) and Cambodia during 2009 to 2012(3, 31).
Nine strains were isolated in the outbreak of 2009 had been collecting nine
isolates(3). Indo/Bandung/ks0116/2009 was found in 140 days-old backyard chicken in
Bandung. Indo/Subang/bs06310/2009 isolate was taken from 21 days-old broilers at
commercial farm in Subang.Indo/Yogyakarta/ks13335/2009 was isolate from Yogyakarta
and found in a 210 day-old chicken. Chicken/Indo/IndraMayu/ks10331/2009 was taken
from Indramayu area. Duck/Indo/Tangerang/is05a789/2009 isolate infected 70 day-old
duck in Tengerang. All of these strains were virulent strains except isolate that found in
duck.
Five isolates were recognized in 2010(3). Chicken/Indo/Cianjur/Is14381/2010
isolate was found in layer at Poultry Collector Facility.
Chicken/Indo/Sukabumi/ks16812/2010, and chicken/Indo/Sukabumi/bs15811/2010 isolates
were taken from 140 and 21 day-old native chicken at live bird market, respectively.
Chicken/Indo/Bogor/bs18816/2010 isolate was recognized in a 21 day-old broiler at a live
bird market. Chicken/Indo/Sukabumi/ls11759/2010 was taken from a 250 day-old layer at
a farm.
In 2011, there were three isolates. Chicken/Indo/Tangerang/ks22973/2011 and
chicken/Indo/Tangerang/ks231017/2011 were found in 140 and 210 day-old native chicken
in live bird market, respectively. Chicken/Indo/Bogor/ks19964/2011 was isolated in a 140
day-old native backyard chicken. In 2012, chicken/Indo/Tangerang /ks251217/2012 was
found in a 140 day-old native chicken at live bird market. All the isolates were virulent.
In 2012, the complete genome of some NDV strains from Indonesia were
determined, using MEGA 4.0 phylogenetic analysis program, namely
Banjarmasin/010/2010; Kudus/018/2010; Sragen 014/2010; Kudus/017/2010 and
Gianyar/013/2010 become part of sub-genotype VIIf while Bali/020/2010;
Makassar/003/2009 and Sukorejo/019/2010 belong to sub-genotype VIIg(37, 38). All these
2009-2020 outbreak strains were taken from commercial farms in Indonesia with 70% to
80% mortality despite good vaccination programs (38). In 2014, based on the phylogenetic
analysis of the complete F coding region using MEGA 5.0 program, there are evolutionary
distances obtained, pushing Bali/020/2010 and Makassar/003/2009 into sub-genotype VIIh
and Banjarmasin 010/2010, Kudus/018/2010, Sragen 014/2010, Kudus/017/2010,
Gianyar/013/2010, and Sukorejo/019/2010 to sub-genotype VIII (3).
Sub-genotypes VIIh and VIIi were recognized as new sub-genotypes and based on
the distance genetic criteria these sub-genotypes have independently evolved from older
strain in Indonesia, instead of from exist genotype VII found in other parts of the world in
2014. Sub-genotype VIIh circulated in Indonesia in 2009 and 2012, and also in China and
Cambodia. Sub-genotype VIIi were found from outbreaks in Indonesia, Pakistan and Israel
during 2010 to 2012. These new sub-genotypes have similar ancestral viruses,
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
82
Iory/Indonesia/88-08989-523/1988 and Cockatoo/Indonesia/14698/1990, from
Indonesia(3). MBased on data from journals that explained about NDV characteristics in
Indonesia, most of the NDV strains that circulating in Indonesia are virulent and belong to
genotype VII, XIII, sub-genotype VIIh and VIIi where suggest that can cause new
panzootic(3).
Clinicopathological characteristics of strains that are currently circulating in Indonesia
NDV genotypes currently circulating in Indonesia are genotype XIII, VII, and the
new sub-genotypes, VIIh and VIIi. Based on a recent study, all strains representative of
these subgenotypes All of these viruses are virulent and share the similar clinical signs,
pathology and histopathology (9, 17, 31, 36). CAN I CITE MY THESIS OR HAVE TO
WAIT FOR THE JOURNAL??. Generally, velogenic strains have clinical signs such as
depression, emaciation, diarrhea, conjunctivitis, inability to move and ruffled feather.
Gross pathology showed severe edema and petechial hemorrhage of the eyelid;
hemorrhage in pharynx and trachea; atrophy of thymus and bursal with petechial
hemorrhage; splenomegaly with mottle pattern trough the surface of spleen; severe
necrosis and hemorrhage trough the intestine (proventriculus and small intestine) and
cecal tonsil.
Histopathologically, the eyelids were severe hemonecrotic and infiltrated by
heterophil and macrophage with edema and accumulation of fibrin. Loss of demarcation
between cortex and medulla due to depletion and fibrin deposition were showed in thymus
as well as in the bursal. In the spleen, karyorrhetic debris cells were in the white pulp
characterized by fibrin accumulation and heterophil and macrophage infiltration. There
was focal to extensive epithelium ulceration with hemorrhage and necrotic material within
the intestine lumen. Respiratory system showed necrotic and depletion of tonsil laryngeal
and bronchus-associated lymphoid tissue (BALT) and multifocal necrosis tracheal
epithelium. Multifocal necrosis of heart muscle was only showed by chicken were infected
by genotype XIIIb. Bone marrow had multifocal necrosis in the stroma. In the comb, there
were multifocal to coalescing necrosis in the superficial and deep dermis or ballooning
degeneration. The brain was infiltrated by multifocal lymphocyte and plasma cell in
choroid plexus while genotype VII can cause non-suppurative meningoenchephalitis with
perivascular cuffing and sometime was found ischemic neuron cerebellum(31).
CONCLUSION
Strains of NDV that exist in Indonesia consist of two genotype, XIII and VII, and
two new sub-genotypes, VIIh and VIIi. However, these two sub-genotypes did not
originate from recent strains of genotype VII, rather these sub-genotypes evolved from
older strains from between late 1980s and early 1990s. Since most of Indonesian strains
are virulent and have also been found in Israel and Pakistn, suggesting a 5th panzootic,
this information would be valuable for surveillance not only for Indonesian but also for
other countries battling NDV.
REFERENCES
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
83
World Animal Health - 2012. Volume 1. In: World Animal Health - 2012. Volume 1. OIE
(World Organisation for Animal Health), Paris; France. 2013.
A.M. Linde, M. M., S. Zohari, K. Sthal, C. Baule, L. Renstrom, M. Berg. Complete genome
characterisation of a newcastle disease virus isolated during an outbreak in Sweden
in 1997. Virus Genes 41:165-173. 2010.
Afonso, C. L., P. Miller, R. Haddas, and L. Simanov. Emergence of new sub-genotypes of
virulent Newcastle disease virus with panzootic features. Infection, Genetics and
Evolution In Press. 2015.
Aldous, E. W., and D. J. Alexander. Newcastle disease in pheasants (Phasianus colchicus):
a review. Veterinary journal 175:181-185. 2008.
Alexander, D., and D. Senne. Newcastle disease virus and other avian paramyxoviruses, p
135-141. A laboratory manual for the isolation, identification, and characterization
of avian pathogens. 2008.
Alexander, D. J. Newcastle disease and other avian paramyxoviruses. Revue scientifique et
technique 19:443-462. 2000.
Alexander, D. J. Gordon Memorial Lecture. Newcastle disease. British poultry science
42:5-22. 2001.
Briand, F. X., A. Henry, P. Massin, and V. Jestin. Complete genome sequence of a novel
avian paramyxovirus. Journal of virology 86:7710. 2012.
Brown, C., D. J. King, and B. S. Seal. Pathogenesis of Newcastle disease in chickens
experimentally infected with viruses of different virulence. Veterinary pathology
36:125-132. 1999.
Brown, C. C., D. J. King, and B. S. Seal. Comparison of pathology-based techniques for
detection of viscerotropic velogenic Newcastle disease virus in chickens. Journal of
comparative pathology 120:383-389. 1999.
Cattoli, G., L. Susta, C. Terregino, and C. Brown. Newcastle disease: a review of field
recognition and current methods of laboratory detection. Journal of veterinary
diagnostic investigation : official publication of the American Association of
Veterinary Laboratory Diagnosticians, Inc 23:637-656. 2011.
Cornax, I., D. G. Diel, C. A. Rue, C. Estevez, Q. Yu, P. J. Miller, and C. L. Afonso.
Newcastle disease virus fusion and haemagglutinin-neuraminidase proteins
contribute to its macrophage host range. The Journal of general virology 94:1189-
1194. 2013.
Darminto, P. W. Daniels, and P. Ronohardjo. Studies on the epidemiology of Newcastle
disease in eastern Indonesia by serology and characterisation of the viral isolates
using panels of monoclonal antibodies. Penyakit Hewan 25:67-75. 1993.
de Leeuw, O. S., G. Koch, L. Hartog, N. Ravenshorst, and B. P. Peeters. Virulence of
Newcastle disease virus is determined by the cleavage site of the fusion protein and
by both the stem region and globular head of the haemagglutinin–neuraminidase
protein. Journal of General Virology 86:1759-1769. 2005.
Dharmayanti, N. L. P. I., R. Hartawan, D. A. Hewajuli, and R. Indriani. Phylogenetic
analysis of genotype VII of Newcastle disease virus in Indonesia. African Journal of
Microbiology Research 8:1368-1374. 2014.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
84
Diel, D. G., L. H. da Silva, H. Liu, Z. Wang, P. J. Miller, and C. L. Afonso. Genetic
diversity of avian paramyxovirus type 1: proposal for a unified nomenclature and
classification system of Newcastle disease virus genotypes. Infection, genetics and
evolution : journal of molecular epidemiology and evolutionary genetics in infectious
diseases 12:1770-1779. 2012.
Diel, D. G., L. Susta, S. Cardenas Garcia, M. L. Killian, C. C. Brown, P. J. Miller, and C.
L. Afonso. Complete genome and clinicopathological characterization of a virulent
Newcastle disease virus isolate from South America. Journal of clinical microbiology
50:378-387. 2012.
Forrester, N. L., S. G. Widen, T. G. Wood, A. P. Travassos da Rosa, T. G. Ksiazek, N.
Vasilakis, and R. B. Tesh. Identification of a new newcastle disease virus isolate from
Indonesia represents an ancestral lineage of class II genotype XIII. VIRUS GENES
47:168-172.
Kim, L. M., D. J. King, D. L. Suarez, C. W. Wong, and C. L. Afonso. Characterization of
class I Newcastle disease virus isolates from Hong Kong live bird markets and
detection using real-time reverse transcription-PCR. Journal of clinical
microbiology 45:1310-1314. 2007.
Kingston, D. J., and R. Dharsana. Newcastle disease infection in Indonesian ducks.
Philippine Journal of Veterinary Medicine 18:125-130. 1979.
Kingston, D. J., R. Dharsana, and E. R. Chavez. Isolation of a mesogenic Newcastle
diseases virus from an acute disease in Indonesian ducks. Tropical animal health
and production 10:161-164. 1978.
Lamb, A. Paramyxoviridae: the virus and their replication. Fields virology. 1996.Liu, X.,
H. Wan, X. Ni, Y. Wu, and W. Liu. Pathotypical and genotypical characterization of
strains of Newcastle disease virus isolated from outbreaks in chicken and goose
flocks in some regions of China during 1985–2001. Archives of virology 148:1387-
1403. 2003.
Mansjoer, M. Newcastle disease in Indonesia. Part I. Its present situation, epizootiology
and combat. Communicationes Veterinariae 5:1-15. 1961.
Mast, J., and L. Demeestere. Electron tomography of negatively stained complex viruses:
application in their diagnosis. Diagnostic pathology 4:5. 2009.
Mayo, M. A. Names of viruses and virus species - an editorial note. Arch Virol 147:1463-
1464. 2002.
Mayo, M. A. A summary of taxonomic changes recently approved by ICTV. Archives Of
Virology 147:1655-1663. 2002.
Mebatsion, T., S. Verstegen, L. T. C. d. Vaan, A. Römer-Oberdörfer, and C. C. Schrier. A
recombinant newcastle disease virus with low-level V protein expression is
immunogenic and lacks pathogenicity for chicken embryos. Journal of virology
75:420-428. 2001.
Miller, P., G. Koch, and D. L. Suarez. Newcastle Disease, Other Avian Paramyxoviruses,
and Avian Metapneumovirus Infections. In: Diseases of poultry, 13th ed. D. E.
Swayne and J. R. Glisson, eds. Wiley-Blackwell, Ames, Iowa. pp 89-138. 2013.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
85
Miller, P. J., E. L. Decanini, and C. L. Afonso. Newcastle disease: evolution of genotypes
and the related diagnostic challenges. Infection, genetics and evolution : journal of
molecular epidemiology and evolutionary genetics in infectious diseases 10:26-35.
2010.
Mirah Adi, A. A. A., N. M. Astawa, K. S. Adhy Putra, Y. Hayashi, and Y. Matsumoto.
Isolation and Characterization of a Pathogenic Newcastle Disease Virus from a
Natural Case in Indonesia. Journal of Veterinary Medical Science 72:313. 2010.
Morrison, T. G. Structure and function of a paramyxovirus fusion protein. Biochimica et
Biophysica Acta (BBA)-Biomembranes 1614:73-84. 2003.
OIE. NDV in Indonesia In: Detailed country(ies) disease incidence. 2009.Römer-
Oberdörfer, A., O. Werner, J. Veits, T. Mebatsion, and T. C. Mettenleiter.
Contribution of the length of the HN protein and the sequence of the F protein
cleavage site to Newcastle disease virus pathogenicity. Journal of general virology
84:3121-3129. 2003.
Snoeck, C. J., A. A. Owoade, E. Couacy-Hymann, B. R. Alkali, M. P. Okwen, A. T.
Adeyanju, G. F. Komoyo, E. Nakoune, A. Le Faou, and C. P. Muller. High genetic
diversity of Newcastle disease virus in poultry in West and Central Africa:
cocirculation of genotype XIV and newly defined genotypes XVII and XVIII. Journal
of clinical microbiology 51:2250-2260. 2013.
Susta, L., P. J. Miller, C. L. Afonso, and C. C. Brown. Clinicopathological
characterization in poultry of three strains of Newcastle disease virus isolated from
recent outbreaks. Veterinary pathology 48:349-360. 2011.
Xiao, S., B. Nayak, A. Samuel, A. Paldurai, M. Kanabagattebasavarajappa, T. Y. Prajitno,
E. E. Bharoto, P. L. Collins, and S. K. Samal. Generation by reverse genetics of an
effective, stable, live-attenuated Newcastle disease virus vaccine based on a
currently circulating, highly virulent Indonesian strain. PloS one 7:e52751-e52751.
2012.
Xiao, S., A. Paldurai, B. Nayak, A. Samuel, E. E. Bharoto, T. Y. Prajitno, P. L. Collins, and
S. K. Samal. Complete genome sequences of Newcastle disease virus strains
circulating in chicken populations of Indonesia. Journal of virology 86:5969-5970.
2012.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
86
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
87
TINGKAT KEJADIAN SAPROLEGNIASIS PADA IKAN LELE DUMBO (Clarias
gariepinus) YANG DIPELIHARA DI DESA TUATUKA KABUPATEN KUPANG
Rupertus Geofrie Oncok1, Elisabet Tangkonda2, Diana Agustiani Wuri3
1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. Email :
[email protected] 2Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana :
[email protected] 3Laboratorium Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
The catfish is a fresh water fish cultivating commodity that is preferred by the fish
farmers, this is because the catfish have taste delicious, the price is relatively cheap, has a
high nutritional content, rapid growth, easy to breed, and able to be maintained almost
throughout the container cultivation. Container cultivation is commonly used cement pool
and a pool tarpaulin. Problem often encountered farmers giant mud catfish (Clarias
gariepinus) is saprolegniasis.Saprolegniasis caused by fungi Saprolegnia sp.
Saprolegniasis incident could cause economic losses for farmer giant mud catfish in the
fish's death and the failure of eggs to hatch. So the purpose of this study was to isolate and
identify the presence of fungi Saprolegnia sp. the attack on the giant mud catfish pool
maintenance container cement and tarpaulin pool and find out saprolegniasis at an
incidence rate of pool cement and pool tarpaulin. This research was conducted in the
maintenance and cultivation of freshwater fish in the Village Tuatuka District Kupang.
Sample drawn by the mycosis symptoms shown by the giant mud catfish from 2 pools
cement and 2 pool tarpaulin. Isolation of fungi Saprolegnia sp. performed on media
Saboraud Dextrose Agar (SDA) and the identification of fungi Saprolegnia sp. conducted
by macroscopic and microscopic observation. Fourteen samples of giant mud catfish
showed a positive result is infected with fungi Saprolegnia sp. by showing characteristic
greenish white colony growth with a surface that resembles cotton, as well as the circular
on the media prominent SDA and the microscopic observation of visible hyphae and
sporangium, sporangium with sizes larger than the size of the hyphae. Saprolegniasis at an
incidence rate of pool cement is the by 7,5 % and saprolegniasis at an incidence rate of
pool tarpaulin is the by 13,3 %. Based incidence rate saprolegniasis, so that cement pool
as a container giant mud catfish farming is better when compared with a tarpaulin pool.
Keywords : Giant mudcatfish, cement pond, pool tarp, saprolegniasis, Saprolegnia sp.
PENDAHULUAN
Lele merupakan komoditas budidaya ikan air tawar yang cukup diminati oleh
para petambak ikan, hal ini disebabkan karena lele memiliki rasa yang lezat, harga yang
relatif murah, mempunyai kandungan gizi tinggi, pertumbuhan cepat, mudah
berkembangbiak, serta mampu dipelihara hampir diseluruh wadah budidaya (Nasrudin,
2010).
Kolam semen dan kolam terpal merupakan contoh wadah budidaya yang
digunakan untuk pembudidayaan lele dumbo. Sebagai wadah budidaya, kolam semen dan
kolam terpal memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemilihan kolam semen dan kolam
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
88
terpal sebagai wadah budidaya perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan
ekonomi petambak ikan dalam pembudidayaan lele dumbo.
Serangan penyakit merupakan masalah yang paling sering menjadi penghambat
budidaya ikan yang dibudidayakan pada berbagai wadah budidaya tak terkecuali pada
kolam semen dan kolam terpal. Serangan penyakit dapat menyebabkan berbagai dampak
negatif terhadap ikan, seperti menimbulkan kerugian ekonomi dan menyebabkan
kegagalan pada saat panen. Penyakit ikan umumnya disebabkan oleh organisme patogen
seperti bakteri, fungi, virus dan parasit. Petambak ikan umumnya sulit untuk mendeteksi
adanya invasi organisme patogen, hal ini disebabkan karena beberapa gejala klinis
penyakit yang tampak pada ikan menunjukan gejala klinis penyakit yang sama sehingga
petambak ikan sulit untuk menduga dan menanggulangi serangan penyakit (Afrianto dan
Evi, 1992).
Salah satu organisme patogen yang banyak menyerang ikan adalah dari kelompok
fungi. Infeksi oleh fungi dapat menyerang telur ikan, larva ikan, juvenil dan ikan dewasa.
Infeksi yang terjadi dapat disebabkan karena adanya trauma pada tubuh ikan baik secara
mekanik maupun infeksi yang disebabkan oleh organisme patogen (Ratentondok, 1986).
Saprolegniasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh fungi Saprolegnia sp. dan
merupakan salah satu penyakit yang sering menyerang ikan lele (Muklishoh, 2008).
Saprolegnia sp. hidup di lingkungan air tawar dan memerlukan air untuk tumbuh dan
bereproduksi. Fungi ini merupakan jenis utama dari fungi air yang memiliki kaitan erat
dengan kejadian infeksi fungi terhadap ikan maupun telur ikan pada budidaya air tawar
(Noga, 1996).
Berdasarkan uraian di atas dan masalah yang sering dihadapi oleh para petambak
lele dumbo, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan tujuan sebagai
langkah awal dalam mencegah penyebaran penyakit yang disebabkan oleh fungi dengan
mengisolasi dan mengidentifikasi langsung agen penyebabnya dan mengetahui tingkat
kejadian penyakit yang disebabkan oleh fungi tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah mengisolasi dan mengidentifikasi fungi Saprolegnia
sp. pada lele dumbo yang dipelihara di wadah kolam semen dan wadah kolam terpal dan
mengetahui tingkat kejadian saprolegniasis pada lele dumbo yang dipelihara di wadah
kolam semen dan wadah kolam terpal.
MATERI DAN METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian ini dilakukan
untuk memberi gambaran dan informasi mengenai fungi Saprolegnia sp. yang terdapat
pada lele dumbo (Claria gariepinus) dengan kisaran umur 3-4 bulan yang dibudidayakan
pada kolam semen dan pada kolam terpal. Isolasi fungi Saprolegnia sp. dilakukan pada
media Saboraud Dextrose Agar (SDA) dan diidentifikasi melalui pengamatan makroskopis
pada morfologi koloni fungi Saprolegnia sp.dengan menunjukan warna putih kecokelatan
dengan permukaan yang menyerupai kapas, menonjol serta bundar (Nuryati, dkk., 2009),
pada pengamatan mikroskopis diidentifikasi pada karateristik morfologi organ reproduksi
dari Saprolegnia sp (Woo dan Bruno, 1999). Organ reproduksi Saprolegnia sp. adalah
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
89
sporangium yang merupakan diferensiasi dari hifa dengan ukuran sporangium yang
mempunyai ukuran lebih lebar dari hifanya.
Hasil isolasi dan identifikasi serta perhitungan tingkat kejadian saprolegniasis
dianalisis secara deskriptif, data hasil penelitian disajikan dalam bentuk gambar dan tabel
dan data yang terkumpul dianalisis secara dekskriptif (Steel dan Torrie, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mikosis pada Lele Dumbo (Clarias gariepinus) yang dipelihara di Desa Tuatuka
Kabupaten Kupang
Jumlah populasi lele dumbo dengan rentangan umur 3 sampai 4 bulan di tempat
pemeliharaan dan budidaya ikan air tawar di desa Tuatuka Kabupaten Kupang adalah
sebanyak 140 ekor yang dipelihara pada 2 kolam semen dan 2 kolam terpal.
Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan 14 ekor lele dumbo yang
memperlihatkan gejala mikosis seperti yang ditunjukan pada Gambar 6a dan Gambar 6b.
Lele dumbo yang menunjukan gejala mikosis sebanyak 4 ekor yang berasal dari kolam
semen 1, 2 ekor dari kolam semen 2, 4 ekor dari kolam terpal 1 dan 4 ekor dari kolam
terpal 2. Total jumlah sampel lele dumbo dengan gejala mikosis adalah sebanyak 14 ekor
lele dumbo.
Isolasi dan identifikasi fungi Saprolegnia sp. pada lele dumbo
Isolasi dan identifikasi pada 14 sampel lele dumbo yang mengalami gejala
mikosis, melalui pengamatan makroskopis dan pengamatan mikroskopis positif terinfeksi
fungi Saprolegnia sp.
Tingkat kejadian saprolegniasis
Tingkat kejadian saprolegniasis pada kolam semen sebesar 7,5 % sedangkan pada
kolam terpal sebesar 13,3 %. Hal ini menunjukan bahwa tingkat kejadian saprolegniasis
lebih tinggi kejadiannya pada kolam terpal dibandingkan dengan kolam semen.
Tabel 2. Tingkat kejadian saprolegniasis pada kolam semen dan kolam terpal
Jenis Kolam
Kolam semen Kolam terpal
Ks 1 Ks 2 Total Kt 1 Kt 2 Total
Jumlah populasi
Jumlah sampel
yang positif
Tingkat kejadian
saprolegniasis
40
4
10 %
40
2
5 %
80
6
7,5 %
30
4
13,3 %
30
4
13,3 %
60
8
13,3
%
Ks 1 : Kolam semen 1, Ks 2 : Kolam semen 2, Kt 1 : Kolam terpal, Kt 2 :Kolam terpal 2
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
90
Dalam pengelolaan budidaya lele dumbo (Clarias gariepinus) kualitas air
merupakan hal yang sangat perlu diperhatikan. Menurut Menegristek (2000) lele dapat
hidup dan berkembang secara optimum pada suhu 20 sampai 28 °C dengan kisaran pH 6,5
sampai 8,5 (Mahyuddin, 2010).
Tabel 3. Parameter kualitas air
Jenis kolam
Kolam semen Kolam
terpal
Ks 1 Ks 2 Rata-rata Kt 1 Kt 2 Rata-rata
Rata-rata suhu
kolam pada
pagi hari
21 °C 21 °C 21 °C 29,4 °C 29,6 °C 29,5 °C
Rata-rata suhu
kolam pada
siang hari
23,7 °C 23,4
°C
23,5 °C 32,7 °C 32,7 °C 32,7 °C
pH 8 8 8 10 10 10
Ks 1 : Kolam semen 1, Ks 2 : Kolam semen 2, Kt 1 : Kolam terpal, Kt 2 : Kolam terpal 2
Suhu dan pH ideal yang dimiliki kolam semen masih memungkinkan terjadinya
kejadian saprolegniasis. Rata-rata suhu kolam semen pada pagi hari adalah 21 °C dan siang
hari memiliki rata-rata suhu 23,5 °C, kisaran suhu ini merupakan kondisi ideal untuk lele
dapat tumbuh dan berkembang secara optimum namun pada kisaran suhu ini juga
merupakan kisaran suhu yang baik bagi pertumbuhan fungi Saprolegnia sp. sehingga
kejadian saprolegniasis masih bisa terjadi.
Fungi Saprolegnia sp. dapat tumbuh pada suhu 0 sampai 35 °C dengan suhu
pertumbuhan optimum pada kisaran 15 sampai 30 °C (Irianto, 2005). Menurut Carlson
(2007) pada umumnya, fungi Saprolegnia sp. merupakan organisme patogen sekunder
namun dengan kondisi lingkungan budidaya yang optimum sekalipun fungi Saprolegnia
sp. juga dapat bertindak sebagai organisme patogen primer. Hal inilah yang menyebabkan
kejadian saprolegniasis masih bisa terjadi pada kolam semen yang memiliki kualitas air
ideal dengan kondisi suhu dan pH yang optimal untuk pertumbuhan lele dumbo.
Suhu dan pH dengan kondisi yang kurang ideal pada kolam terpal dapat
menyebabkan stres pada ikan. Perubahan dan peningkatan suhu bisa berdampak fatal dan
menyebabkan gangguan terhadap kesehatan ikan untuk jangka waktu yang panjang,
misalnya stres yang ditandai dengan tubuh lemah dan kurus yang dialami oleh ikan
(Irianto, 2005). Suhu yang dimiliki oleh kolam terpal juga masih memungkinkan terjadinya
kejadian saprolegniasis. Kondisi pH yang kurang ideal pada kolam terpal juga dapat
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
91
menyebabkan ikan mengalami stres. Kerentanan terhadap penyakit dan terjadinya
pertumbuhan yang lambat serta penurunan produksi ikan dapat dipicu oleh kondisi stres
pada ikan sehingga menjaga kualitas dan kondisi air dalam pemeliharaan lele dumbo
menjadi hal yang sangat penting (Irianto, 2005). Tingkat kejadian saprolegniasis pada
kolam terpal lebih tinggi jika dibandingkan pada kolam semen hal ini disebabkan karena
suhu dan pH kolam terpal tidak berada dalam kisaran ideal sehingga dapat mengganggu
status kesehatan ikan dan menyebabkan stres pada ikan dan ikan menjadi rentan terhadap
infeksi fungi Saprolegnia sp. Ketidakseimbangan kualitas air dapat menimbulkan masalah
seperti penyakit yang dapat mengakibatkan kematian pada ikan budidaya. Keadaan
kualitas air dengan kondisi yang kurang ideal dapat memicu adanya organisme patogen
seperti fungi (Rizka dkk., 2014).
PENUTUP
Kesimpulan
Dari total populasi 140 ekor lele dumbo (Clarias gariepinus) yang dipelihara pada
2 kolam semen dan 2 kolam terpal di tempat pemeliharaan dan budidaya ikan air tawar di
Desa Tuatuka Kabupaten Kupang ditemukan 14 sampel lele dumbo yang menunjukan
gejala mikosis. Berdasarkan hasil isolasi dan identifikasi pada 14 sampel lele dumbo yang
menunjukan gejala mikosis, semua sampel menunjukan hasil positif terinfeksi fungi
Saprolegnia sp.
Tingkat kejadian saprolegniasis kolam semen lebih rendah jika dibandingkan
dengan kolam terpal. Kolam semen memiliki tingkat kejadian saprolegniasis sebesar 7,5 %
sedangkan pada kolam terpal 13,3 % .
Saran
Berdasarkan tingkat kejadian saprolegniasis pada kolam semen dan kolam terpal di
tempat pemeliharaan dan budidaya ikan air tawar di Desa Tuatuka Kabupaten Kupang,
maka penggunaan kolam semen sebagai wadah budidaya lele dumbo lebih baik jika
dibandingkan dengan kolam terpal, hai ini disebabkan karena pada kolam semen memiliki
tingkat kejadian saprolegniasis yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kolam terpal.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. dan Evi, L. 1992, Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan, Kanisius,
Yogyakarta, 89 hal.
Carlson, N. R. 2007, Physiology of Behavior, 9th Ed., Boston : Pearson Education, Inc. p.
290-319, 420-423
Irianto, A. 2005, Patologi Ikan Teleostei, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Mahyuddin, K. 2010, Panduan Lengkap Agribisnis Lele, Cetakan keempat, Penebar
Swadaya, Jakarta.
Menegristek. 2000, Teknologi Tepat Guna Budidaya Ikan Lele (Clarias sp.), Kantor
Deputi Menegristek Bidang Pendayahgunaan dan Pemasyarakatan IPTEK, Jakarta,
Hal 17.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
92
Musklishoh, S. S. 2008, ‘Karaterisasi Morfologi dan Patogenisitas Jamur Penyebab
Saprolegniasis pada Jaringan Tubuh Ikan Gurami (Osphronemus goramy Lac.) dan
Ikan Lele (Clarias batrachus L.)’, Tesis, M.Sc, Fakultas Biologi, Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta, Hal 1-7.
Naijiyati. 1992, Morfologi Ikan Lele Lokal, Teknologi Budidaya, Bogor.
Nasrudin. 2010, Jurus Sukses Beternak Lele Sangkuriang, Penebar Swadaya, Jakarta.
Noga, E. J. 1996, Fish Disease Diagnosis and Treatment, Mosby-Year Book, Inc. St.
Louis, MO, 367 p.
Nuryati, S., Sari, F.B.P. dan Taukhid. 2009, Identifikasi dan Uji Postulat Koch Cendawan
Penyebab Penyakit pada Ikan Gurame, Jurnal Akuakultur Indonesia,8 (2) : 21-27
Rizka, N. F. F., Suprapto, H. dan Kusdawarti, R. 2014, Pengaruh Ekstrak Rimpang Kencur
(Kaempferia galanga L.) Terhadap Tingkat Kesembuhan Benih Ikan Lele Dumbo
(Clarias gariepinus) Yang Terinfeksi Saprolegnia sp., Jurnal Ilmiah Perikanan dan
Kelautan,6(2) November 2014.
Steel R. G. D. dan Torrie J. H. 1993, Prinsip Prosedur Statistika, diterjemahkan oleh
Bambang Sumantri, Gramedia Pustaka, Jakarta.
Woo, P. T. K. dan Bruno. 1999, Fish Disease and Disorder Volume 3 Viral Bacterial and
Fungal Infection, CABI Publishing, New York, hal 599-643.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
93
IDENTIFIKASI KANDUNGAN TIMBAL DALAM DARAH SAPI YANG
MEMAKAN SAMPAH DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) ALAK KOTA
KUPANG
(Identificationof Lead Contentin Blood of Cattle thatFeedWastein Landfill Site
ofAlakKupang)
Robynson Yerobkim Dimu1, Nemay Anggadewi Ndaong2, Annytha Ina Rohi Detha3 1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail:
[email protected] 2Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,
Kupang. E-mail: [email protected] 3Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Nusa Cendana, Kupang. E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Feed shortages in dry season make the cattle breeder in Alak Kupang looking for
alternative such as garbage to fulfill the feed requirement of their animals. However, the
presence of inorganic waste mixed with organic waste can become a source of hazards due
to degraded toxic chemicals from inorganic waste could contaminate organic waste, such
as lead. Lead regarded as one of the major environmental pollutants and also the most
frequent cause of poisoning in cattle. Lead is accumulated in animal tissues so the long-
term exposure will cause high level of lead in cattle products which harmful if consumed
by humans. A study was conducted to determine the presence of lead in blood of cattle that
fed on waste in the Alak landfill site. A sample of 12 cattle were classified into three age
groups, the groups of 0 to 1.5 years, 1.5 to 3 years and over 3 years. Three mililiters of
cattle’s blood taken for testing its lead content at the laboratory of Quality Testing and
Sertification of Animal Products HallBogor using Atomic Absorption Spectrophotometry
variant AA240FS. The results show that there is lead exceed normal limits within all
samples. Lead content varied from 0.2860 to 0.9652 µg/ml. There are two blood samples
diagnosed as chronic poisoning because of their lead contents above 0.59 µg/ml. One-way
Analysis of variance did not reveals any difference between groups. High lead content in
the blood indicated that the cattle have been exposed to lead with a moderate to high dose
of lead. It is possible that lead can be found in carcasses and internal organs of cattle, so
further studies are required.
Keywords:Lead, cattle, blood, landfill.
PENDAHULUAN
Keadaan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang termasuk dalam daerah lahan
kering dengan iklim semi-arid(Universitas Nusa Cendana, 2011) berdampak langsung pada
terganggunya potensi peternakan karena menurut Reksohadiprodjo (1995), jumlah curah
hujan total di daerah semi-arid adalah rendah. Hal inimengakibatkan kontinuitas
ketersediaan hijauan sebagai pakan sapi tidak dapat terjadi. Keterbatasan hijauan terjadi
pada musim kemarau, sapi kekurangan pakan dan memaksa peternak untuk melakukan
berbagai cara demi memenuhi kebutuhan pakan ternaknya.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
94
Salah satu cara yang dilakukan demi memenuhi kebutuhan pakan sapi oleh
peternak adalah dengan mencari berbagai sumber pakan alternatif. Seperti yang terjadi di
daerah Alak, peternak sapi daerah setempat memilih untuk menjadikan sampah di lokasi
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Alak sebagai pakan bagi jenis sapi bali (Bos sondaicos)
yang dipelihara. Berdasarkan hasil observasi, sampah organik maupun anorganik ditumpuk
secara bersama-sama, tidak ditumpuk terpisah. Sampah organik yang ada di TPA Alak
adalah sayur-sayuran, dedaunan dan rumput-rumputan, kulit jagung, jerami, sisa-sisa
makanan, sedangkan sampah anorganik adalah plastik, kaleng, kaca, besi, kain, kertas,
kardus dan berbagai jenis sampah anorganik lainnya.
Sudiyono (2011) mengatakan bahwa sampah anorganik kemungkinan mengandung
logam berat sehingga pakan sapi berupa sampah organik juga dicurigai terkontaminasi
logam berat sebagai bahan toksik. Bahan toksik berupa logam berat yang mungkin terdapat
di tempat sampah adalah timbal. Soeparno (2011) mengatakan bahwa timbal dianggap
sebagai salah satu polutan lingkungan utama dan juga paling sering menyebabkan
keracunan pada ternak dibanding senyawa lain. Hal ini disebabkan oleh penggunaan timbal
sebagai salah satu komponen di dalam berbagai produk, seperti oli, baterai, cat, linoleum,
pipa, mainan anak-anak, peralatan komputer, plastik, kertas koran, kosmetik dan pestisida
(Plumlee, 2003; Siddiqui dan Rajurkar, 2008 dan Matham, 2009). Timbulnya potensi
paparan timbal diperkuat oleh sering ikut termakannya plastik pembungkus makanan oleh
sapi.
Sapi adalah hewan yang paling banyak dilaporkan mengalami keracunan timbal
(Thompson, 2007). Rute utama masuknya timbal ke dalam tubuh hewan adalah melalui
saluran pencernaan. Sistem gastrointestinal, sistem syaraf pusat dan sistem peredaran darah
adalah sistem tubuh hewan yang paling beresiko terhadap keracunan logam berat ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada/tidaknya kandungan timbal
dalam darah sapi yang memakan sampah di TPA Alak.
MATERI DAN METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan pendekatan cross
sectional atau potong lintang. Pada desain potong lintang, peneliti hanya melakukan
observasi dan pengukuran variabel pada satu saat tertentu saja. Adapun variabel yang
diamati pada penelitian ini adalah kandungan timbal dalam darah sapi yang memakan
sampah di TPA Alak.
Penelitian ini dilakukan di TPA Alak yang berlokasi di Kelurahan Manulai 2,
Kecamatan Alak, Kota Kupang. Pengujian sampel dilakukan di Balai Pengujian Mutu dan
Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH) di Bogor, Jawa Barat.
Populasi penelitian ini adalah semua sapi yang setiap hari memakan sampah di
TPA Alak, Kota Kupang. Jumlah sapi di TPA Alak pada saat observasi adalah sebanyak
100 ekor. Teknik penentuan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Jumlah sapi
yang diambil sebagai sampel sebanyak 12 ekor dengan klasifikasi pemilihan sampel
berdasarkan rentangan umur. Rinciannya, umur 0 sampai 1,5 tahun sebanyak 2 ekor, umur
1,5 sampai 3 tahun sebanyak 5 ekor, dan umur di atas 3 tahun sebanyak 5 ekor.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
95
Serangkaian tahapan dalam penelitian ini meliputi observasi, pengambilan sampel
darah, dan pengujian. Peralatan yang digunakan untuk pengambilan darah adalah multi-
sample needle OneMed®, vacutainer tube Vaculab® dan cool Box. Peralatan yang
digunakan untuk pengujian di laboratorium adalah Atomic Absorption Spectrophotometer
(AAS) varian tipe AA240FS, Microwave Acid Digestion Apparatus Milestone®, tabung
vessel, neraca, labu ukur 50 ml, parafilm, corong kaca, dan pipet mekanik. Bahan yang
digunakan untuk pengujian di laboratorium adalah darah sebanyak 3 ml untuk setiap
sampel larutan asam nitrat (HNO3) 65%, larutan asam hidrogen peroksida (H2O2) 30% dan
air deionisasi. Alur pengujian di laboratorium meliputi preparasi contoh dan pengukuran
deret standar dan contoh uji.
Jenis data pada penelitian ini adalah data primer yaitu data hasil observasi dan
wawancara serta data hasil uji laboratorium. Kedua data dianalisis dan dijabarkan secara
deskriptif. Adapun data berdasarkan kelompok umur dianalisis menggunakan uji statistik
AnalysisofVarianceOne-way atau Anova satu jalur.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji menunjukkan bahwa pada semua sampel darah sapi terdeteksi logam
timbal. Kandungan timbal dalam darah bervariasi dan semua melebihi batas normal
kandungan timbal dalam darah. Menurut Ruhr (1984, cit. Darmono, 2001, p 113), kadar
timbal dalam darah sapi normal adalah 0,05 sampai 0,25 ppm dan pada sapi keracunan
timbal kronis 0,59 sampai 2,0 ppm. Kandungan timbal pada atau di bawah batas normal
mengindikasikan sedikit sekali paparan timbal, dan sebaliknya dengan kandungan timbal
di atas batas normal mengindikasikan sapi telah terpapar timbal dalam dosis berat. Hasil
lengkap uji laboratorium dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil uji kandungan timbal dalam darah sapi
Kode sampel Kelompok umur Kandungan timbal (µg/ml)
A1 1 0,5633
A2 1 0,7611
B1 2 0,4713
B2 2 0,2860
B3 2 0,5239
B4 2 0,4756
B5 2 0,5714
C1 3 0,3447
C2 3 0,4200
C3 3 0,5504
C4 3 0,3491
C5 3 0,9652
Satuan µg/ml setara dengan part per million (ppm)
Keberadaan timbal dalam darah merupakan indikator telah terjadi paparan timbal
(Patrick, 2006). Salah satu faktor yang menyebabkan sapi terpapar timbal pada
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
96
pemeliharaan di tempat sampah adalah kebiasaan makan dari sapi yang suka menjilat-jilat
sehingga dapat menjilati sampah anorganik yang mengandung senyawa timbal (Siddiqui
dan Rajurkar, 2008). Hal ini terjadi terutama ketika sampah organik sebagai pakan utama
sapi habis sehingga sapi mulai menjilati bahan-bahan anorganik yang ada di sekitarnya.
Keadaan diperparah dengan bercampurnya polutan termasuk timbal dari berbagai bahan
sehingga dapat memperbesar resiko pencemaran timbal pada semua sampah di lokasi TPA
termasuk hijauan yang dimakan oleh sapi.
Kandungan timbal dalam darah dari 12 ekor sapi yang diambil sebagai sampel
berkisar antara 0,2860 sampai 0,9652 ppm. Nilai tersebut melampaui batas kandungan
timbal darah sapi normal yaitu 0,25 ppm sehingga memberi makna bahwa sapi telah
terpapar timbal dalam dosis yang cukup tinggi yang berasal dari sampah yang dimakan di
lokasi TPA. Menurut Rogowska et al. (2009), konsentrasi timbal dalam tubuh hewan
sangat bergantung pada konsentrasi di lingkungan.
Berdasarkan uji statistik Anova satu jalur (lampiran 5), nilai rata-rata kandungan
timbaluntuk kelompok umur 1 adalah 0,6622 ppm, kelompok umur 2 adalah 0,4661 ppm
dan kelompok umur 3 adalah 0,52 ppm. Hasil ini menunjukkan bahwa sampel sapi
kelompok umur 1 dengan rentangan umur 0 sampai 1,5 tahun memiliki kandungan timbal
yang paling tinggi dalam darahnya namun tidak ada perbedaan yang nyata antara
kandungan timbal dalam darah dari tiap kelompok umur sapi karena nilai Fhitung (0,74) <
nilai Ftabel (4,26).
Kandungan timbal dalam darah yang melampaui batas normal berbahaya karena
dapat menyebabkan kerusakan tubulus proksimal ginjal berkaitan dengan fungsi ginjal
sebagai organ ekskresi. Keadaan ini terjadi ketika ada paparan timbal secara
berkesinambungan pada hewan (Vyskocil et al., 1989). Bahaya lainnya yaitu adanya
peluang terjadi keracunan kronis, karena kandungan timbal dalam darah tidak hanya akibat
timbal yang terkandung dalam pakan yang dimakan namun juga berasal dari timbal yang
dilepas oleh jaringan (Kang et al., 2010). Asumsinya adalah kandungan timbal dalam
darah dapat berasal dari timbal yang dilepas oleh jaringan sehingga mengindikasikan
timbal sudah terakumulasi cukup banyak di jaringan. Akumulasi timbal dalam jaringan
akan berdampak kepada keracunan kronis pada sapi. Menurut Ruhr (1984, cit. Darmono,
2001, p 113), kandungan timbal antara 0,59 sampai 2,0 ppm dalam darah didiagnosa
sebagai keracunan kronis timbal.
Uji kandungan timbal darah menunjukkan ada 2 sampel darah mengandung timbal
di atas 0,59 ppm, yaitu sampel darah dengan kode sampel A2 dan C5 yang secara berturut-
turut mengandung timbal dalam darah 0,7611 dan 0,9652 ppm. Merujuk pada Ruhr (1984,
cit. Darmono, 2001, p 113), sapi yang darahnya dipakai untuk pengujian dengan kode
sampel A2 dan C5 didiagnosa mengalami keracunan kronis. Sapi yang mengalami
keracunan timbal kronis pada umumnya tidak menunjukkan gejala klinis (subklinis),
namun kadang teramati gejala-gejala yang tidak spesifik (Thompson, 2007). Gejala yang
dapat teramati pada keracunan kronis timbal pada sapi adalah seperti anoreksia, nyeri
perut, diare, konstipasi, dan rebah kemudian mati (Clarke, et al., 1981). Beberapa dari
gejala-gejala tersebut kadang terjadi pada sapi yang dipelihara di TPA Alak, yaitu nyeri
perut, diare dan rebah kemudian mati.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
97
KESIMPULAN
Ada kandungan timbal yang bervariasi dalam darah 12 sampel sapi yang memakan
sampah di lokasi TPA Alak Kota Kupang. Kandungan timbal dalam semua sampel
memiliki nilai di atas batas normal dengan 2 sampel termasuk dalam kategori keracunan
kronis.
DAFTAR PUSTAKA
Clarke, M.L., Harvey, D.G. and Humphreys, D.J. 1981, Veterinary Toxicology, 2nd edition,
ELBS, London.
Darmono. 2001, Lingkungan Hidup dan Pencemaran, UI Press, Jakarta.
Kang, H.G., Bischoff, K., Ebel, J.G., Cha, S.H., McCardle, J. and Choi, C.U. 2010,
Comparison of Blood Lead and Blood and Plasma Delta-Aminolevulinic Acid
Concentrations as Biomarkers for Lead Poisoning in Cattle, J Vet Diagn Invest,
22:903–907.
Matham, V.K. 2009, Veterinary Toxicology, New India Publishing Agency, New Delhi,
India.
Miller, G.D. and Groziak, S.M. 1997, ‘Essential and Nonessential Mineral Interactions’, in
Massaro, E.J. Handbook of Human Toxicology, CRC Press, USA, pp 373-374;
378-379.
Patrick, L. 2006, Lead Toxicity, A Review of the Literature. Part I: Exposure, Evaluation,
and Treatment, Alternative Medicine Review, 11:2-22.
Plumlee, K. 2003, Clinical Veterinary Toxicology, Elsevier Health Sciences, Missouri,
USA.
Reksohadiprodjo, S. 1995, Pengantar Ilmu Peternakan Tropik, Edisi 2, BPFE Yogyakarta,
Yogyakarta.
Rogowska, K.A., Monkiewicz, J. and Grosicki, A., Lead, Cadmium, Arsenic, Copper, and
Zinc Contentsin the Hair of Cattle Living in the AreaContaminated by A Copper
Smelter in 2006 – 2008, Bull Vet Inst Pulawy,53:703-706.
Ruhr, L.P. 1984, Blood Lead, Delta-Aminolevulinic Acid Dehydratase and Free
Erythrocyte Porphyrins in Normal Cattle, Veterinary and Human Toxicology,
26:105-107 cit. Darmono. 2001, Lingkungan Hidup dan Pencemaran, UI Press,
Jakarta.
Siddiqui, M.F.M.F. dan Rajurkar, G.R. 2008, Lead – An Emerging Threat to Livestock,
Veterinary World, 1:213-216.
Soeparno. 2011, Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Sudiyono. 2011, Upaya Eliminasi Residu Logam Berat pada Sapi Potong yang Berasal
DariLokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah dengan Pemeliharaan
SecaraKonvensional, Sains Peternakan,9:1-7.
Thompson, L.J. 2012, ‘Lead’, in Gupta, R.C. Veterinary Toxicology, 2nd edition, Academic
Press, London, pp 522-524.
Universitas Nusa Cendana. 2011, ‘Profil Semi-Arid Agriculture Research Centre’, diakses
pada 27 Oktober 2014,
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
98
<http://www.undana.ac.id/Research_Institutes/index.php?option=com_content&vi
ew=article&id=57&Itemid=63&lang=in>
Vyskocil, A., Pancl, J., Tusl, M., Ettlerova, E., Semecky, V., Kasparova, L., Lauwerys, R.,
and Bernard, A. 1989, Dose Related Proximal Tubuler Dysfunction in Male Rats
Chronically Exposed to Lead, Journal of Applied Toxicology, 9:395-399.
Wardhayani, S. 2006. ‘Analisis Risiko Pencemaran Bahan ToksikTimbal (Pb) pada Sapi
Potong di TempatPembuangan Akhir (TPA) SampahJatibarang Semarang’, Tesis,
MSi, Universitas Diponegoro, Semarang.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
99
REVIEW ARTIKEL:
PENYAKIT PORCINE REPRODUCTIVE AND RESPIRATORY SYNDROME
(PRRS)
PADA PETERNAKAN BABI DI NUSA TENGGARA TIMUR
Cynthia Dewi Gaina
Bidang Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa
Cendana, Email: [email protected]
ABSTRACT
Porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) is a viral swine disease,
which is characterised by reproductive failure of sows and respiratory problems of piglets
and growing pigs. The disease is caused by the PRRS virus which has been spread widely
throughout the pig industry, including local pig farm. The reproductive failure is indicated
by infertility, fetal mummification, abortions, stillbirths, while respiratory problems are
recognised by weak- born piglets and dead piglets after respiratory infection. It has been
suspected that the virus has occurred in Indonesia, including some areas in eastern
Indonesia. The virus is mainly transmitted via aerosol route, infected pigs, defecation,
urine and semen. This paper describes the characteristic of PRRS virus and the evidence of
infection in pig farm industry in Nusa Tenggara Timur (NTT).
Keywords: Swine, PRRS, NTT
PENDAHULUAN
Industri peternakan babi berperan penting bagi peningkatan ekonomi masyarakat,
khususnya dibeberapa wilayah di Indonesia. Ternak babi merupakan salah satu penghasil
protein hewani bagi sebagian masyarakat Indonesia, meski diusahakan secara tradisional.
Sampai saat ini, peternakan babi terpusat di wilayah Sumatra Utara, Jawa Tengah, Bali,
Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Maluku dan Papua. Menurut (BPS 2015), terdapat
puluhan juta ekor jumlah babi yang dipelihara pada peternakan rakyat maupun peternakan
industri.
Babi merupakan salah satu dari banyak hewan produksi yang memiliki berbagai
keunggulan sehingga kuantitas dan kualitasnya perlu ditingkatkan (Girisonta, 1989).
Keunggulan ini ditandai dengan tingginya tingkat produksi dan populasi babi yang
menjadikan ternak babi sebagai penghasil keuntungan yang besar dan relatif lebih cepat.
Keunggulan ternak babi dibanding ternak lain adalah sebagai tabungan hidup yang mudah
diatur untuk memenuhi pendapatan bagi peternak dengan pertumbuhan babi sendiri relatif
cepat antara 0,5 – 0,7 kg per hari, babi merupakan ternak prolifik tinggi karena
menghasilkan banyak anak dan melahirkan dua kali dalam setahun dan adaptasinya
terhadap usaha tani responsif (Aritonang, 1993), sehingga sangat diperlukanmanajemen
peternakan babi yang baik.
Manajemenpemeliharaan ternak babi merupakan faktor penting penentu
keberhasilan suatu usaha peternakan babi. Pada kenyataannya hampir 97 – 98%
kepemilikan babi di Indonesia berada di level peternakan rakyat yang belum di kelola
dengan baik. Pengelolaan yang kurang baik ini dapat berdampak pada tingginya tingkat
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
100
penularan penyakit baik oleh ternak babi, peternak maupun oleh lingkungan. Berbagai
jenis penyakit menular asal babi telah dilaporkan menyebar di seluruh bagian wilayah
Indonesia. Salah satunya adalah penyakit Porcine Respiration and Reproductive Syndrome
(PRRS). Penyakit ini telah dilaporkan menyebar di seluruh dunia dan menyebabkan
kerugian yang cukup signifikan pada peternakan babi (Neumann et al 2005). Keberhasilan
pemeliharaan ternak babi dari aspek reproduksinya dapat dilihat darireproduction
performance atau penampilan reproduksiyang dipelihara. Hal ini secara langsung dapat
dilihat dari angka kebuntingan, angka kelahiran, jarak beranak dan birahi atau estrus
pertama setelah partus. Selain itu penanganan penyakit reproduksi, salah satunya penyakit
Porcine Respiration and Reproductive Syndrome dapat menurunkan penampilan
reproduksi babi.
KARATERISTIK VIRUS PRRS DAN PENYEBARANNYA PADA TERNAK BABI
Ternak babi merupakan salah satu komoditas unggulan peternakan sehingga
kuantitas dan kualitasnya perlu terus ditingkatkan. Salah satu cara untuk menigkatkan
produktivitasnya adalah dengan pencegahan terhadap serangan penyakit, terutama yang
disebabkan oleh bakteri, parasit dan virus (Taylor, 1983). Salah satu penyakit viral pada
babi yang merugikan peternak babi adalah sindroma reproduksi dan penyakit pernapasan
babi atau dikenal dengan nama “Porcine Reproductive and Respiration Syndrome”
(PRRS) (Taylor, 1983). Penyakit ini dikenal sebagai penyakit “Swine infertility and
Respiratory Syndrome”, “Swine reproductive failure syndrome”, “Abortus blauw” dan “
Porcine Epidemic Abortyion and Respiratory syndrome (PEARS)” (Wensvoort et al, 1993;
Meredith, 1992 dan Stevenson, 1993). Virus PRRS diketahui menyebabkan kegagalan
respirasi pada neonatal dan abortus pada induk babi (Blaha, 2000), disertai gangguan pada
organ reproduksi pada masa penggemukan dan masa sapih (Burch, 2008). Morbiditas atau
tingkat kesakitan pada ternak babi dapat mencapai 80% dan tingkat mortalitasnya sebesar
80% (Done dan Paton, 1995).
Penyakit ini ditemukan menyerang babi muda dan babi tua, dengan gejala klinis
.yang lebih parah pada babi muda sehingga menyebabkan kerugian yang besar bagi
peternak (Mengeling et al, 1995). Kerugian ini berupa, kematian babi, still birth (kematian
anak baru lahir) dan mumifikasi (Sendow et al, 1997). Virus PRRS adalah virus ribo-
nuclei acid (RNA) beramplop (Benfield et al 1992, Muelenberg et al 1994). Penyakit
Porcine Reproductive and Respiration Syndrome (PRRS) disebabkan oleh virus PRRS
yang tergolong dalam famili Arteiviridae, ordo Nidovirales (Zimmermann et al., 1997,
Blaha 2000). Virus PRRS mempunyai diameter 45-55 mm dan memiliki sifat kimia yang
sensitif terhadap kloroform dan eter dikarenkan memiliki amplop protein (Benfield et al
1992; Yoon et al 1992a). Penurunan infektivitas juga dapat terjadi pada penyimpanan
selama 20 menit pada suhu 560C, 2 hari pada suhu 370C, 6 hari pada suhu 200C dan 1
bulan pada suhu 40C serta dapat bertahan lama pada suhu -200C sampai -700C. Sifat-sifat
kimia ini dapat menjadi dasar pengiriman sampel lapangan. Sangat dianjurkan pengiriman
sampel paling lama 2 hari dalam keadaan dingin (40C).
Berikut ini adalah klasifikasi lengkap virus PRRS menurut Dietze et al (2011)
Ordo : Nidovirales
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
101
Famili : Arteriviridae
Genus : Arterivirus
Species :Porcine Reproductive and
Respiratory Syndrome Virus
Genotypes :
Tipe 1 : European genotipe
(Subtipe 1,2 dan 3)
Tipe 2 : North American genotipe
Gangguan reproduksi yang dihasilkan dari infeksi virus ini pada ternak babi adalah
kelahiran prematur, keguguran triemester akhir, janin lembek dan kelemahan pada anak
babi baru lahir (Sendow et al, 1997). Adapun tanda-tanda klinis infeksi virus PRRS pada
anak babi adalah diare, kekurusan, batuk, dermatitis dan pembengkakan limfonodus
inguinalis superficialis (Suartha et al, 2013). Selain itu, gejala klinis pada saluran
pernapasan adalah gejala yang khas terlihat pada babi yang beru dilahirkan atau babi muda.
Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu susceptibilitas genetik, lingkungan, galur
virus, infeksi campuran dan status imun ternak. Indikasi lain dari penyakit ini adalah
kegagalan reproduksi dan aborsi berulang pada induk; pertumbuhan pra dan pasca sapih
yang lambat; gangguan pernapasan; kekerdilan dan angka mortilitas yang tinggi (Suartha
et al, 2013). Infeksi sekunder dapat menyerang babi yang terinfeksi virus PRRS. Selain itu,
beberapa gejala klinis yang juga pernah dilaporkan berupa penurunan nafsu makan,
demam, bersin, pilek, bercak merah dan kebiruan pada kuku, vulva dan telinga. Tanda-
tanda klinis ini disertai dengan terhambatnya pertumbuhan badan, konjuntivitis, edema
periorbital, edema pada skrotum, spamus, kekakuan pada kaki dan kelemahan (Collins et
al 1992, Rossow et al 1994a, Done dan Paton 1995).
Penularan virus ini terjadi melalui sekresi saliva, semen babi, muntahan, vektor
perantara, burung, aerosol dan alat transportasi yang tercemar (Suartha et al, 2013). Masa
inkubasi penyakit ini berlangsung 4-7 hari setelah infeksi yang disertai dengan penurunan
nafsu makan, keguguran pada hari ke 107-117, kematian dan autolisis janin menjadi
berwarna coklat kehitaman (Christianson dan Joo, 1994). Selain itu, antibodi maternal
yang diberikan oleh induk kepada anak babi hanya bertahan paling lama 4 minggu,
sehingga anak babi akan kembali terinfeksi dan dapat menjadi sakit setelah 4minggu
(Done dan Paton, 1995).
Keberadaan virus dalam darah (viraemia) dapat terdeteksi sampai dengan 28 hari
dan sero positif antibodi PRRS masih dapat terdeteksi sampai 6 bulan (Sendow, 1997).
Infeksi virus ini diketahui terjadi mulai dari hari ke-1 sampai hari ke-27 yang ditandai
dengan penurunan jumlah alveolar machropage (AM) dan limfosit. Dalam kondisi ini,
sering terjadi infeksi sekunder. Akan tetapi, jumlah AM dan limfosit akan kembali naik
setelah hari ke-27 pasca terinfeksi (Done dan Patton, 1995). Beberapa infeksi sekunder
yang diketahui dapat menyertai penyakit PRRS adalah Pasteurella multocida,Salmonella
spp, Haemophilus parasuis, Streptococcus suis, Bordetellabronchiseptica, Mycoplasma
hyopneumoniae,Actinobacillus pleuropneumoniae dan Actinomyces pyogenes (Stevenson
et al., 1993; Zeman et al., 1993).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
102
KEJADIAN PRRS DI NTT
Beberapa rasa babi yang terdapat di Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara
Timur (NTT) adalah babi lokal, babi impor, babi hasil pencampuran babi lokal dan babi
impor (Sendow, 1997). Jenis babi lokal yang terkenal di NTT adalah babi sumba dan babi
timor. Babi timor yang banyak dijumpai adalah Yorkshire, Hampshire, Chester White,
Tamworth dan Saddleback (Tambubolon dan Suranto, 1978). Akan tetapi, masih belum
banyak diketahui jenis-jenis penyakit pada babi yang disebabkan oleh virus. Demikian
halnya dengan penelitian yang membahas masalah penyakit yang disebabkan oleh virus
PRRS masih sangat terbatas walaupun data telah melaporkan bahwa telah ditemukan
positif adanya antibodi PRRS sebesar 4% dari 40 sampel serum darah dari peternakan
babi di NTT (Sendow, 1997). Hasil seropositif dapat menunjukkan adanya keterpaparan
ternak dengan virus PRRS atau adanya pembelian ternak babi yang sudah divaksinasi atau
pembelian pada lokasi yang pernah terinfeksi wabah PRRS (Martdeliza, dkk, 2014)
Dengan terdeteksinya sejumlah antibodi terhadap virus PRRS di NTT menunjukkan
bahwa virus ini telah menyebar dan menginfeksi peternakan babi di NTT. Oleh karena itu,
pola penyebaran PRRS di NTT perlu diamati dengan seksama untuk membatasi pola
penyebaran penyakit yang mungkin akan merebak.
UJI SEROLOGIS PENYAKIT PRRS
Virus ini dapat diisolasi dari serum 12 jam setelah infeksi dan berkisar 1-14 hari
pada pejantan (Suartha et al, 2013). Diagnosis penyait ini dapat dilakukan dengan melihat
tanda-tanda klinis, uji serologis dan uji virologis (Sendow, 1997). Uji serologis dilakukan
untuk mendeteksi ada tidaknya antibodi dan antigen dari ternak yang diduga. Uji serologis
yang sering dilakukan alah uji serum netralisasi atau uji enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA), sedangkan uji virologis dilakukan dengan mengisolasi virus penyebab
penyakit. Virus dapat diisolasi dari paru-paru, tonsil, limpa, timus, limfoglandula, serum
dan cairan thorax (Sendaw, 1997). Akan tetapi virus ini ditemukan tidak berhasil diisolasi
dari jaringan tiroid, jantung, kelenjar ludah, hati, ginjal, otot daging dan otak (Mengeling et
al, 1995; Rossow et al, 1994a).
Dibeberapa negara maju, kerugian ekonomi yang besar merupakan dampak akibat
infeksi virus PRRS yang teramati dari berbagai gejala klinis yang timbul pada fase akut
maupun pada saat terjadi wabah yang dapat menurukan produksi 5-20% (Christianson dan
Joo, 1994). Akan tetapi,pola penyebaran infeksi virus ini serta dampak ekonomi pada
peternakan di Indonesiamasih jarang dilakukan (Sendow, 1997). Mengingat kasus penyakit
ini adalah penyakit relatif baru yang menyerang babi, maka kasus penyakit ini belum
dilaporkan secara resmi di Indonesia. Dengan demikian, uji serologis dapat menjadi
langkah awal untuk mengetahui sejauh mana infeksi virus PRRS telah menyebar di
Indonesia, khususnya di Kupang, NTT.
KESIMPULAN
Oleh karena itu, penelitian lanjutan tentang kejadian infeksi virus PRRS pada
peternakan babi di NTT, pola penyebaran virus, jenis atau strain virus lokal serta
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
103
epidemiologi penyakit PRRS sehingga dapat dilakukan penanganan dan pencegahan yang
tepat dari infeksi virus ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, D. 1993. Babi “Perencanaan dan Pengelolaan Usaha”. PT. Penebar
Swadaya,Jakarta
Benfield, D.A., Nelson, E., Collins, J.E., Harris,L., Goyal, S.M., Robinson,
D.,Christianson,W.T.,Morrison, R.E., Gorcyca, D.E., and Chladek, D.W. 1992
Characterization of swine infertility and respiratory syndrome (SIRS) virus (isolate
ATCC VR 2332). J. Vet. Diagn. Invest . 4 : 127-133
Biro Pusat Statistik. 2015. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Blaha T. 2000. The “colorful” epidemiology of PRRS. Vet Res. 31:77–83.
Christianson, W.T and Joo, H.S 1994. Porcine reproductive and respiratory syndrome: A
review. Swine Health Prod. Marchand April. pp: 10-30.
Dietze, K. , Pinto J., Wainwright, S. &Hamilton, C.2011. Porcine reproductive and
respiratory syndrome (PRRS):virulence jumps and persistent circulation in
Southeast Asia. In Focus on..., No. 5, p.8.Rome. Food and Agriculture Organization
of theUnited Nations.
Done, S. H and Paton, D.J. 1995. Porcine reproductive and respiratory syndrome :
clinicaldisease, pathology and immunosuppression.
Girisonta, 1989. Pedoman Lengkap Beternak Babi. Kanisius, Yogyakarta
Mengeling, W. L., K. M. Lager, and A. C. Vorwald. 1995. Diagnosis of porcine
reproductiveand respiratory syndrome. J. Vet. Diagn. Invest. 7(1): 3-16.
Meredith, M. J. 1992. Review of porcine reproductive and respiratory syndrome. Pig
Disease Information Centre, University of Cambridge, Cambridge, England.
Meulenberg, J. J. M., Hulst,M.M., Meijer,E.J., Moonen,P.L.J.M., Den Besten,A., Den
Kluyver,E.P., De, G., Wensvoort, R.J.M., Moormann, E.J., De Meijer, A., Den
Besten, De Kluyver. 1994. Lelystad virus belongs to a new virus family,
comprisinglactate dehydrogenase- elevating ., '.(us, equine arteritis virus and simian
hemorrhagic fever virus. Arch . Virol. Suppl. 9 : 441- 448.
Neumann EJ, Kliebensteins JB, Johnson CD, Mabry JW, Bush EJ, Seitzienger AH,
GreenAL, Zimmermann JJ. 2005. Assesment of economic impact of porcine
reproductiveand respiratory syndrome on swine production in United State. JAVMA.
227: 385-392
Rossow, K. D., Bautista,E.M., Goyal,S.M., Molitor, M.P., Murtaugh, R.B ., Morrison,
D.A., Benfield, and Collins, J.E. 1994 . Experimental porcine reproductive and
respiratorysyndrome virus infection in one; four; and 10 week old pigs . J.
Vet.Diagn. Invest. 6 : 3-12 .
Sendow, I. 1997. Sindroma Reproduksi dan Pernapasan Babi. Jurnal Litbang Pertanian,
XVI (3).
Sendow, I., Bahri, S dan Sarosa, A. 1997. Deteksi antibodi terhadap virus Porcine
Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) pada babi di beberapa daerah
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
104
Indonesia bagian Timur. Balai Penelitian Veteriner. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner Vol.2 No.3 Th. 1997.
Stevenson, G. W., W. G. Van Alstine, C. L. Kanitz, and K. K. Keffaber. 1993.
Endemicporcine reproductive and respiratory syndrome virus, infection of nursery
pigs in two swine herds without current reproductive failure. J. Vet. Diagn. Invest.
(5): 432-434.
Suartha I,N., Anthara, I.M.S., Wirata, I.W., Sari., T.K., Dewi, N.M.R.K., Narendra, I.G.N.,
Mahardika, I.G.N. 2013. Survei Penyakit Porcine Reproductive and Respiratory
Syndrome pada Peternakan Babi di Bali. Jurnal Veteriner. ISSN: 1411-8327
Tampubolon, P.T. dan B. Suranto. 1978. Memelihara ternak babi. Direktorat Bina Produksi
Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Taylor, D.J. 1983. Pig Diseases. Third Edition the Burlington Press. Ltd.,
Foxton,Cambridge.
Wensvoort, G., Meulenberg,J.J.M.,Murtaugh,M.P., Benfield,D.A., Nelson,E.A.,
Conzelmann,K., Thiel,H.J., Albina, E and Drew, T.W 1993. The porcinereproductive and
respiratory syndrome. Characteristics and diagnosis of the causative virus. OIE.
Veterinary Biotechnology Newsletter pp. 113-120.
Yoon, I. J., Joo,H.S., Christianson, W.T., Kim, H.S., Collins,J.E.,Carlson, J.H and
Dee,S.A. 1992 . Isolation of a cytopathic virus from weak pigs on farms with a
history ofswine infertility and respiratory syndrome. J. Vet. Diagn. Invest. 4 : 139-
143.
Zeman, D., R. Neiger, M. Yaeger, E. Nelson, D.Benfield, P. Leslie-steen, J. Thomson, D.
Miskimins, R. Daly, and M. Minehart. 1993. Laboratory investigation of PRRS virus
infection in three swine herds. J. Vet. Diagn. Invest. (5): 522-528.
Zimmerman JJ, Yoon KJ, Wills RW, Swenson SL. 1997. General overview of PRRSV:
Aperspective from the United States. Vet Microbiol. 55:187–196.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
105
UJI RESIDU ANTIBIOTIK TETRASIKLIN DAN AMINOGLIKOSIDA PADA
DAGING BABI YANG BEREDAR DI KOTA KUPANG
(TEST OF TETRACYCLINE AND AMINOGLYCOSIDES ANTIBIOTIC RESIDUES ON
PORK SOLD IN KUPANG CITY)
Maria Laurensia Fanny Permata Kale1, Novalino Harold Gerald Kallau2, Diana
Agustiani Wuri3
1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail:
[email protected] 2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Nusa Cendana, Kupang. 3Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Nusa Cendana, Kupang.
ABSTRACT
The presence of antibiotic residues in food products of animal is very harmful to
human health because it may cause allergies, resistance and toxicity. NTT as the province
with the largest population of pigs in Indonesia, traditionally pig does have an important
role in various religious and social activities of NTT’s people. In this province,
particularly in Kupang City, slaughtering pigs apart in slaughterhouse, was also
conducted out of slaughterhouses during custom events, social events and large scale pork
restaurants. The purpose of this study was to determine the presence of tetracycline and
aminoglycoside antibiotic residues in pork sold in Kupang. Testing method used is the
bioassay method for qualitative analysis of antibiotic residues. Samples used were 10
samples of pork meat taken from the slaughterhouse and large scale pork meat restaurants
in the Kupang City. Of the 10 samples tested, one was found positive for residues of
tetracycline antibiotics. The result of this research showed that the pork sold in Kupang
City is not entirely free of antibiotic residues because of 10 samples tested using the
bioassay method, there are 1 sample (10%) were positive for tetracycline antibiotic
residues. Pre-production stage, namely the pig farm sector are the main control point.
There is a need to do further testing to confirm result test (quantitative test) by HPLC
assay to determine the real concentration of antibiotic residues in pork which then can be
compared with BMR set by SNI to be able to know the safety of pork sold in the Kupang
City.
Keywords: residues, antibiotics, pork, Kupang, bioassay
PENDAHULUAN
Keberadaan residu antibiotik pada bahan pangan asal hewan seperti susu, daging
dan telur sangat berbahaya bagi kesehatan manusia karena dapat menyebabkan alergi,
resistensi dan keracunan. Mudiarti (1997) dan Yuningsih (2005) menyatakan bahwa dalam
industri peternakan sekarang ini, antibiotik telah digunakan secara luas untuk pengobatan
penyakit dan sebagai imbuhan pakan (feed additive), dalam penggunaannya, antibiotik
sering disalahgunakan sehingga dapat menyebabkan adanya residu antibiotik pada bahan
pangan asal hewan. Penyalahgunaan tersebut meliputi penggunaan antibiotik secara
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
106
berlebihan, penggunaannya tidak dibawah pengawasan dokter hewan, penggunaannya
tidak sesuai dosis dan diagnosa penyakitnya dan tidak memperhatikan waktu henti obat.
NTT sebagai salah satu propinsi dengan populasi ternak babi terbesar di Indonesia,
secara tradisional ternak babi memang mempunyai peran yang penting dalam berbagai
kegiatan keagamaan dan sosial bagi masyarakat NTT. Di Propinsi ini, khususnya di Kota
Kupang, pemotongan ternak babi selain dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH),
dilakukan juga di luar RPH yaitu di tempat-tempat diadakannya kegiatan adat, kegiatan
sosial dan di rumah makan daging babi skala besar (Johns dkk., 2010; Komunikasi pribadi,
8 Oktober 2014).
Selanjutnya sehubungan dengan penggunaan antibiotik, berdasarkan hasil survei di
lapangan dengan stakeholder terkait didapatkan data bahwa penggunaan antibiotik
tertinggi untuk ternak babi di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang adalah antibiotik dari
golongan tetrasiklin dan aminoglikosida (Komunikasi pribadi, 8 Oktober 2014). Beberapa
penelitian telah membuktikan adanya residu antibiotik tetrasiklin dan aminoglikosida pada
bahan pangan asal hewan seperti Furi (2012) melaporkan adanya residu antibiotik
tetrasiklin dan aminoglikosida pada 45 sampel daging ayam dari 5 pasar tradisional di Kota
Medan, Werdiningsih dkk. (2013) melaporkan adanya residu tetrasiklin pada 5 sampel
paha ayam, hati ayam dan telur ayam yang diambil dari 6 provinsi di Indonesia. Sejauh
inipun belum ada penelitian mengenai keberadaan residu antibiotik pada daging babi yang
beredar di Kota Kupang. Berdasarkan hal di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keberadaan residu antibiotik tetrasiklin dan aminoglikosida pada daging babi
yang beredar di Kota Kupang.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini menggunakan 10 sampel daging babi ras mentah atau segar yang
telah dipisahkan dari tulangnya. Lima sampel berasal dari RPH Oeba dan 5 sampel lainnya
berasal dari rumah makan daging babi skala besar yang ada di Kota Kupang. Pengambilan
sampel ditentukan menggunakan teknik purposive sampling. Jenis data pada penelitian ini
adalah data primer yaitu data hasil observasi dan wawancara serta data hasil uji
laboratorium. Analisis atau uji residu antibotik menggunakan analisis secara kualitatif
dengan metode bioassay. Proses analisis sampel dilakukan di BBVet Denpasar.
Bioassay merupakan suatu pengujian yang menggunakan mikroorganisme untuk
mendeteksi senyawa antibiotik yang masih aktif. Prinsip pengujian ini, yaitu residu
antibiotik akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar.
Penghambatan dapat dilihat dengan terbentuknya daerah hambatan di sekitar kertas
cakram. Besarnya diameter daerah hambatan menunjukan konsentrasi residu antibiotik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil uji residu antibiotik tetrasiklin dan aminoglikosida pada sampel
didapatkan hasil seperti yang tertera pada Tabel 6.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
107
Tabel 6. Hasil uji residu antibiotik menggunakan metode bioassay
No. Kode sampel Asal sampel Residu antibiotik
Tetrasiklin Aminoglikosida
1. B1 RPH Oeba negatif negatif
2. B2 RPH Oeba negatif negatif
3. B3 RPH Oeba negatif negatif
4. B4 RPH Oeba positif negatif
5. B5 RPH Oeba negatif negatif
6. B6 R.M. A negatif negatif
7. B7 R.M. B negatif negatif
8. B8 R.M. C negatif negatif
9. B9 R.M. D negatif negatif
10. B10 R.M. E negatif negatif
Berdasarkan hasil uji residu antibiotik pada Tabel 6, dapat dilihat bahwa 1 sampel
daging babi positif mengandung residu antibiotik tetrasiklin dan negatif residu antibiotik
aminoglikosida untuk seluruh sampel yang diuji. Artinya ada 10% sampel dari seluruh
sampel yang diuji mengandung residu antibotik tetrasiklin.
Pengamatan secara organoleptik tidak menunjukkan adanya perbedaan dengan
daging babi normal. Hal ini menggambarkan bahwa adanya residu antibitiotik pada bahan
pangan tidak dapat terdeteksi melalui pemeriksaan secara makroskopis seperti contohnya
uji organoleptik, pemeriksaan antemortem dan postmortem yang dilakukan di RPH. Cara
untuk menangani masalah residu antibiotik adalah dengan melakukan pengawasan secara
ketat pada tahap pra produksi yaitu pada sektor peternakan. Pengawasan tersebut berupa
pemantauan secara berkelanjutan mengenai penggunaan antibiotik secara wajar dan
bijaksana dengan mengikuti aturan pemakaian yang telah ditetapkan, memperhatikan
waktu henti obat dan penggunaannya harus di bawah pengawasan dokter hewan.
Mengacu pada hasil uji residu antibiotik pada Tabel 6, menggambarkan bahwa ada
faktor resiko atau kemungkinan jika daging babi yang beredar di Kota Kupang belum
sepenuhnya aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat, karena dari 10 sampel yang diuji, 1
sampel positif mengandung residu antibiotik tetrasiklin. Ditemukannya residu antibiotik ini
juga menggambarkan bahwa ada daging babi yang beredar di Kota Kupang yang berasal
dari ternak babi yang disembelih sebelum waktu henti obatnya habis.
Hasil survei di lapangan dengan stakeholder terkait, memberikan data yaitu 100%
antibiotik digunakan untuk pengobatan penyakit pada ternak babi. Kemudian, survei di
toko obat hewan 100% menyatakan paham tentang waktu henti obat dan dianjurkan kepada
pembeli untuk dipatuhi. Dari 7 peternak yang diwawancarai 42,8% menyatakan paham
tentang waktu henti obat tapi diabaikan, 28,6% menyatakan tidak tahu tentang waktu henti
obat dan 28,6% menyatakan bahwa melihat aturan tentang waktu henti obat, tetapi tidak
dipatuhi. Selanjutnya, hasil pada Tabel 6, juga menunjukkan bahwa sampel daging yang
positif mengandung residu antibiotik berasal dari RPH, sedangkan sampel daging babi
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
108
yang berasal dari rumah makan daging babi skala besar negatif dari residu antibiotik. Hal
ini menggambarkan bahwa pengawasan atau pemeriksaan yang dilakukan di RPH atau di
luar RPH tidak dapat digunakan untuk mendeteksi adanya residu antibiotik. Sehingga
pengawasan yang ketat bukanlah pada tempat pemotongan ternak babi namun harus
dilakukan pada peternakan babi.
KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 10 sampel yang diuji menggunakan
metode bioassay terdapat 1 sampel (10%) yang positif mengandung residu antibiotik
tetrasiklin, artinya daging babi yang beredar (dipasarkan) di Kota Kupang belum
sepenuhnya bebas dari residu antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
Afiati, F. 2009, Pilih-pilih Daging Asuh. Biotrends, 4(1): 19-25.
Anonimous. 2012, Aminoglikosida, diakses pada tanggal 23 November 2014,
<http://kepacitan.wordpress.com/farmakologi/aminoglikosida/>.
Agustina, H., Risch, A., Prawito, P. dan Kalinda, J.S. 2000, Monitoring dan
Surveillance Residu Cemaran Mikroba di Kalimantan Selatan, Kalimantan
Timur dan Kalimantan Barat, Dilavet, 9(3): 1-5 cit. Masrianto., Fakhrurrazi. dan
Azhari. 2013, Uji Residu Antibiotik pada Daging Sapi yang Dipasarkan di Pasar
Tradisional Kota Banda Aceh, Jurnal Medika Veterinaria, 7(1) : 13-14.
Badan Standarisasi Nasional. 2000, Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas
Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan, SNI No. 01-6366-2000,
Jakarta, Dewan Standarisasi Nasional.
Badan Standarisasi Nasional. 2008, Metode Uji Tapis (Screening Test) Residu Antibiotika
pada Daging, Telur dan Susu secara Bioassay, SNI No. 7424 : 2008, Jakarta,
Dewan Standarisasi Nasional.
Pusat Statistik. 2014, Data Statistik Pusat Tahun 2014, Jakarta, Badan Pusat Statistik
Republik Indonesia.
Badan Pusat Statistik. 2014, Populasi Ternak Kecil Menurut Jenis Ternak dan Menurut
Kabupaten/Kota, 2012, Kupang, Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara
Timur.
Bahri, S., Sani, Y. dan Indraningsih. 2006, Beberapa Faktor yang Mempengaruhi
Keamanan Pangan Asal Ternak di Indonesia, Wartazoa, 16(1) : 1-13.
Bahri, S., Masbulan, E. dan Kusumaningsih, E. 2005, Proses Praproduksi Sebagai
Faktor Penting dalam Menghasilkan Produk Ternak yang Aman untuk Manusia,
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1) : 27-35.
Bahri, S., Kusumaningsih, A., Murdiati, T.B., Nurhadi, A. dan Masbulan E. 2000, Analisis
Kebijakan Keamanan Pangan Asal Ternak (Terutama Ayam Ras Petelur dan
Broiler), Laporan Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Bogor.
Burch, D. 2005, Problems of Antibiotik Resistance in Pigs in the UK, In Practice, 27.
p.37- 42 cit. Yuningsih. 2005, ‘Keberadaan Residu Antibiotik dalam Produk
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
109
Peternakan (Susu dan Daging)’, Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk
Peternakan, Bogor, hal. 48-55.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013, Produksi Daging Ternak di
Indonesia Tahun 2012-2013, Jakarta, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Furi, M. 2012, ‘Penentuan Residu dan Pengaruh Pemanasan Terhadap Kandungan
Antibiotik yang Terdapat dalam Daging Ayam yang Beredar di Pasar Kota
Medan’, Tesis, M.Sc, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Handayani, N.M.S., Dewi, A.A.S. dan Riti, N. 2003, Survei Cemaran Mikroba, Residu
Antibiotik dan Sulfa pada Produk Asal Hewan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2003, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner
Regional VI Denpasar, Bali.
Harlia, E., Balia, R.L. dan Suryanto, D. 2005, ‘Pengaruh Suhu Pemanasan Air Susu Sapi’,
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, hal.42-
46Infovet. 1994, Kronologi Ketentuan Penggunaan Feed Additive di Indonesia,
lnfovet. 014:12 cit. Mudiarti, T.B. 1997, Pemakaian Antibiotik dalam Usaha
Peternakan, Wartazoa, 6: 18-22.
Johns, C., Cargill, C., Patrick, I., Geong, M. dan Ly, J. 2010, Budidaya Ternak Babi
Komersial oleh Peternak Kecil di NTT – Peluang untuk Integrasi Pasar yang Lebih
Baik, Australian Center for International Agricuture Research, Canberra, Australia.
Kementerian Pertanian. 2009, Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia, No.
20/Permentan/OT.140/4/2009, tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran
Karkas, Daging dan/atau Jeroan Dari Luar Negeri, Jakarta, Kementerian
Pertanian Republik Indonesia.
Kurniawan, W. 2009, ‘Antibiotik Growth Promotor VS Alternatif Growth Promotor’,
Majalah Infovet, diakses pada 8 Desember 2014,
<http://www.majalahinfovet.com/antibiotik-growth-promotor-vs.html>.
Lawa, R. 2012, Manajemen Perkandangan Ternak Babi pada UPT Pembibitan Ternak
Babi dan Produksi Makanan Ternak Instalasi Tarus Dinas Peternakan Tarus
Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Laporan Praktik Kerja
Lapangan, Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Mata, H.C. 2012, Tatalaksana Pemeliharaan Induk Babi pada Usaha Peternakan Mad
Susur di Desa Baumata Kabupaten Kupang, Laporan Praktik Kerja Lapangan,
Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Mbeo, J. 2012, Manajemen Penyediaan dan Pemberian Pakan Ternak Babi di Unit
Pelaksana Teknis Pembibitan Ternak Babi dan Produksi Makanan Ternak Instalasi
Tarus Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Laporan Praktik Kerja
Lapangan, Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Mudiarti, T.B. 1997, Pemakaian Antibiotik dalam Usaha Peternakan, Wartazoa, 6: 18-22.
Murtidjo, B.A. 2007, Pemotongan, Penanganan dan Pengolahan Daging Ayam cit.
Mansari, A. 2014, ‘Perilaku Peternak dalam Pengelolaan Lingkungan Fisik
dan Sanitasi Kandang Terhadap Penggunaan Antibiotik dan Residu bagi
Konsumen’, Tesis, M.Sc, Program Pascasarjana, Universitas Nusa Cendana,
Kupang.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
110
Peraturan Pemerintah. 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang
Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, Jakarta, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia.
Prasetyo, H., Ardana, I.B. dan Budiasa, M.D. 2013, Studi Penampilan Reproduksi (Litter
Size, Jumlah Sapih, Kematian) Induk Babi pada Peternakan Himalaya, Kupang,
Indonesia Medicus Veterinus, 2(3): 261-268.
Satwa Tani. 2014, Daftar Golongan Obat Hewan, diakses pada tanggal 23 November
2014,<http://UD-satwa-tani-daftar-golongan-obat-hewan.htm>.
Shankar, B.P., Manjunatha, P., Chandan, S., Ranjith, D. dan Shivakumar, V. 2010,
Rapid Methode for Detection of Veterinary Drugs Residues in Meat, Veterinary
World, 3(5): 241-246 cit. Furi, M. 2012, ‘Penentuan Residu dan Pengaruh
Pemanasan Terhadap Kandungan Antibiotik yang Terdapat dalam Daging
Ayam yang Beredar di Pasar Kota Medan’, Tesis, M.Sc, Fakultas Farmasi,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Smith, H.W. 1977, Antibiotiks resistance in bacteria and associated problems in farm
animals before and after the 1969 Swann Report.in Antibiotiks and
Antibiosis in Agriculture, Butterworths, London :344-357 cit. Mudiarti, T.B.
1997, Pemakaian Antibiotik dalam Usaha Peternakan, Wartazoa, 6: 18-22.
Subronto dan Tjahajati, 2001, Pedoman Pengobatan pada Hewan Ternak, Bentang
Pustaka, Hal 137, 145-147 cit. Furi, M. 2012, ‘Penentuan Residu dan
Pengaruh Pemanasan Terhadap Kandungan Antibiotik yang Terdapat
dalam Daging Ayam yang Beredar di Pasar Kota Medan’, Tesis, M.Sc,
Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Werdiningsih, S., Patriana, U., Ariyani, N., Ambarwati dan Nugraha, E. 2013, Pengkajian
Residu Tetrasiklin dalam Paha, Hati dan Telur Ayam pada Beberapa Provinsi di
Indonesia, Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Bogor.
Yuningsih. 2005, ‘Keberadaan Residu Antibiotik dalam Produk Peternakan (Susu dan
Daging)’, Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, hal.
48-55.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
111
PENGARUH EKSTRAK LIDAH BUAYA (Aloe vera) SEBAGAI KANDIDAT
IMUNOSTIMULATOR PADA AYAM BURAS YANG DIVAKSINASI DENGAN
VAKSIN Newcastle disease
THE POTENSIAL OF Aloe vera AS AN IMUNOSTIMULANT IN NATIVE CHICKEN
VACCINATED WITH Newcastle disease VACCINE STRAIN
Handrianus Klemensius Nahak1, Maxs Urias Ebenhaizar Sanam2, Diana Agustiani
Wuri3
1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. Email :
2Laboratorium Bakteriologi dan Mikologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa
Cendana, Kupang. Email : [email protected]
ABSTRACT
Aloe Vera constitutes a plant that is included within the family of Liliaceae which
are able to grow in any climate. This plant contains acetylated mannose which is nutritious
as a biofarmaka which has as an imunostimulant effect on animals. Imunostimulant
involves a substance or medicine which modulates the function and activity of the immune
system. The effect of an Imunostimulant quickly raises the cell activities like lymphosites
and macrophages until they produce and release cytokines. The activity of acetylated
mannose which raises the maturation of lymphocyte T-helper CD4+ become Th1 Cells and
also build non-specific immunity by increasing the synthesis of cytokine. Aloe vera also
can be used as a feed additive which is able to decrease the conversion of feed by 3.5%
within broiler chicken feed. The sample used 20 male domestic poultry chickens which
were divided into 2 groups (A and B). The average weight after the treatment was obtained
with reduction final weight with initial weight, while to see the development of titer
antibodies after the vaccination use HI test (Hemaglutination Inhibition). The research
results indicate that throughout the 5 weeks there no significant difference in chicken
weight in the sample. The result of the statistical analysis which used a paired t test
(paired-samples t test) shows significance value, which 0,193 large than 0,05 and t-
count is smaller than t-table (t-test = 1,406 < t-table = 2,26). On average titer antibodies
which were formed from the result of testing after the vaccination possessed titer
antibodies which varied. The results of statistical testing with t-testing paired for
identifying whether there was a difference between every groups behavior showed there
was no difference between the average titer antibodies between the control group and
groups which received additional natural immunomodulator. The result of the analysis
indicates the significant of the titer antibodies in the 2nd , 3rd and 4th week after the
vaccination were above 0,05 (p>05), which means there was no average difference in the
average level of titer antibodies between the control group and groups given the Aloe vera
gel extract as a form of natural imunostimulant.
Key words : Aloe vera, Imunostimulant, feed additive, Hemaglutination Inhibition test.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
112
PENDAHULUAN
Ayam kampung merupakan ayam lokal Indonesia yang dikenal dengan sebutan
ayam buras (ayam bukan ras). Ayam buras memiliki kelebihan pada daya adaptasi tinggi
karena mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kondisi lingkungan dan
perubahan iklim serta cuaca setempat sehingga dalam pemeliharaannya dilakukan secara
tradisional. Cara pemeliharaan ayam buras tidak memerlukan banyak persyaratan, karena
telah beradaptasi dengan lingkungan dan memiliki daya tahan terhadap penyakit sehingga
dapat dipelihara secara ekstensif (Sumekar, 1993).
Kebutuhan masyarakat akan protein hewani sudah semakin meningkat. Hal ini
terdata pada tahun 2008, sebanyak 20,3% produksi daging didominasi dari unggas lokal.
Saat ini produksi daging ayam buras hanya memenuhi sekitar 55% dari kebutuhan pasar
dalam negeri. Populasi ayam buras mencapai 290 juta ekor, tahun 2011 mencapai 264,3
juta ekor dan tahun 2012 mencapai 285,2 juta ekor. Populasi ini hanya mengacu pada
populasi dari peternakan tradisional (Direktorat Jendral Peternakan, 2012).
Ternak ayam mempunyai kelemahan karena sangat peka terhadap beberapa
penyakit menular selain faktor-faktor menguntungkan yang telah disebutkan. Salah satu
penyakit menular yang sering menyerang ternak ayam adalah Newcastle disease (ND).
Penyakit ini disebabkan oleh Avian Paramyxovirus type-1(APMV-1), genus Avulavirus,
famili Paramyxoviridae (Al-Garib et al., 2003).
Penyakit ND bersifat endemik di Indonesia, yang ditandai dengan kejadian
penyakit yang ditemukan sepanjang tahun. Penyakit ND bersifat akut sampai kronis
ditandai dengan angka sakit (morbiditas) maupun angka kematian (mortalitas) yang sangat
tinggi. Kelompok ayam yang peka kejadian penyakit berlangsung cepat ditandai dengan
mortalitas maupun morbiditasnya tinggi, dapat mencapai 100% terutama akibat infeksi ND
strain velogenik dan 30 sampai 50% pada strain mesogenik (Tabbu, 2000).
Usaha penanggulangan penyakit ND dilakukan dengan vaksinasi dan didukung
dengan praktek manajemen yang optimal. Berbagai usaha telah dilakukan dalam rangka
penanggulangan penyakit tersebut, namun kasus ND masih banyak ditemukan di lapangan
(Machdum, 2009). Pada penelitian ini peneliti meneliti tanaman alami yang memiliki
khasiat sebagai imunostimulator untuk bisa menjadi solusi masalah kadar titer antibodi
yang kurang maksimal pasca vaksinasi ND. Salah satu tanaman yang diduga dapat
memodulasi sistem imun adalah lidah buaya (Aloe vera). Lidah buaya mengandung
senyawa aktif acemannan (Acetiylated mannose) yang mampu meningkatkan sistem imun
hewan (Kaufman, 1999). Sebelumnya dilaporkan bahwa pemberian acemannan yang
bersamaan dengan vaksin NDV (Newcastle disease virus) dan IBDV (Infectious bursal
disease virus) pada ayam pedaging (setelah menetas) menyebabkan kenaikan titer antibodi
(Chinnah et al., 1992)
Imunomodulator adalah substansi atau obat yang dapat memodulasi fungsi dan
aktivitas sistem imun. Kebanyakan tanaman obat yang telah diteliti membuktikan adanya
kerja imunostimulator. Banyak tanaman yang memiliki efek sebagai imunostimulator
contohnya daun ketepeng cina (Cassia alata L.) yang memiliki efek imunostimulator
terhadap aktivitas dan kapasitas fagositosis makrofag (Kusmardi et al., 2007). Pemakaian
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
113
tanaman obat sebagai imunostimulator dengan maksud menekan atau mengurangi infeksi
virus dan bakteri intra seluler, untuk mengatasi imunodefisiensi atau sebagai perangsang
pertumbuhan sel-sel pertahanan tubuh dalam sistem imunitas (Block dan Mead, 2003).
Sinurat et al. (2005) menyatakan bahwa lidah buaya juga dapat digunakan sebagai
imbuhan pakan (feed additive) yang mampu menekan konversi pakan 3,5% dalam pakan
ayam pedaging. Bintang et al. (2001) menyatakan pemberian gel kering dalam ransum
ayam pedaging dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan kering ransum hingga
6,8% dan pemberian gel segar bahkan meningkatkan efisiensi hingga 17,8% (Bintang et
al., 2001). Pemanfaatan lidah buaya dalam penelitian ini memiliki beberapa alasan selain
bersifat sebagai imunostimulator untuk memodulasi fungsi dan aktivitas sistem imun juga
dapat digunakan untuk menekan konversi pakan.
Pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh faktor genetik, pakan dan lingkungan. Faktor
yang paling berpengaruh adalah pakan. Hafez dan Dryer (1969) menyatakan bahwa faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan adalah hereditas, pakan dan kondisi lingkungan.
Penurunan bobot badan akan terjadi pada ternak pada fase pertumbuhan bila diberikan
pakan dengan kandungan nutrisi yang rendah. Sutardi (1995) menyatakan bahwa ternak
ayam kampung akan dapat tumbuh secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya bila
mendapat zat zat makanan yang sesuai dengan kebutuhannya. Energi digunakan oleh ayam
untuk kebutuhan hidup pokok dan untuk produksi. Kebutuhan energi untuk hidup pokok
meliputi kebutuhan untuk metabolisme, aktivitas, dan pengaturan temperatur atau panas
tubuh. Kebutuhan energi untuk produksi meliputi untuk pertumbuhan dan produksi telur,
bulu, lemak, dan untuk kerja. Protein merupakan salah satu nutrien yang perlu diperhatikan
baik dalam menyusun ransum maupun dalam penilaian kualitas suatu bahan. Protein
dibutuhkan oleh ayam yang sedang tumbuh untuk hidup pokok, pertumbuhan bulu dan
pertumbuhan jaringan ( Scott et al., 1982 )
MATERI DAN METODE
Penelitian pengaruh ekstrak lidah buaya (Aloe vera) sebagai kandidat
imunomodulator pada ayam buras yang divaksinasi dengan vaksin ND (newcastle
disease) dan pemanfaatan lidah buaya sebagai imbuhan pakan pada ayam buras
dilaksanakan pada bulan Maret 2015 sampai dengan bulan Mei 2015. Jumlah sampel yang
digunakan dalam penelitian berjumlah 30 ekor ayam buras jantan yang terbagi ke dalam 2
kelompok (A dan B). Kelompok A dan B untuk melihat pertambahan berat badan setelah
pemberian perlakuan dan untuk melihat perkembangan titer antibodi setelah vaksinasi.
Hewan percobaan (ayam) berasal dari Desa Umalawain, Kecamatan Weliman, Kabupaten
Malaka. Kegiatan penelitian berupa vaksinasi, pemberian pakan beserta ekstrak gel lidah
buaya serta pengambilan darah dilakukan di Kelurahan Liliba, Kecamatan Oebobo, Kota
Kupang.
Pemeriksaan titer antibodi dengan uji HI (Hemaglutinasi Inhibisi) dilakukan di
UPT Veteriner, Dinas Peternakan Provinsi. Pemeriksaan HI dibagi dalam 4 tahap
pemeriksaan yaitu tahap pertama dimulai dengan pemeriksaan titer antibodi awal sebelum
perlakuan serta penimbangan berat badan awal, minggu kedua setelah vaksinasi dilakukan
pemeriksaan titer antibodi tahap kedua, minggu ketiga dan keempat setelah vaksinasi
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
114
dilakukan pemeriksaan titer antibodi tahap ketiga dan tahap keempat dan minggu kelima
penelitian dilakukan penimbangan berat badan akhir untuk perhitungan pertambahan berat
badan ayam selama perlakuan. Rata-rata petambahan berat badan dianalisis menggunakan
uji statistik Analysis of variance (ANOVA) atau analisis keragaman untuk melihat ada
tidaknya pengaruh perlakuan terhadap variabel yang akan diteliti dan apabila ada
perbedaan yang nyata antara perlakuan maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji
beda nyata terkecil (LSD). Khusus untuk melihat adanya kenaikan titer antibodi dapat
digunakan uji t berpasangan (paired-samples t test) menggunakan software SSPS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertambahan Berat Badan
Data penampilan ternak selama 5 minggu penelitian tidak memiliki perbedaan yang
signifikan. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji t berpasangan (paired-samples t
test) menggunakan software SSPS menunjukkan t-hitung lebih kecil dari t-tabel (t-hitung
= 1,406 < t-tabel = 2,26216) dan nilai signifikansi 0,193 berada diatas 0,05 (p>0,05). Hasil
analisis statistik menunjukkan bahwa PBB dari setiap kelompok perlakuan yang terdiri dari
kelompok B dengan 30% ekstrak gel lidah buaya kering dan kelompok A sebagai
kelompok kontrol tidak berbeda nyata. Hal ini berarti tidak ada pengaruh pemberian
ekstrak gel lidah buaya kering terhadap pertambahan berat badan ayam buras. Hasil PBB
tiap kelompok perlakuan dan rata-rata pertambahan berat badan pada ayam buras/ekor
selama 5 minggu penelitian dan PBB/ekor/hari masing-masing disajikan pada Tabel 5,
Tabel 6 dan Gambar 3.
Tabel 5. Hasil pengukuran berat badan awal dan berat badan akhir kelompok kontrol (A)
Kelompok A
(BB awal)
Kelompok A
(BB akhir)
Rata-rata PBB
kelompok A
A1 = 850 g A1 = 1.250 g A1 = 400 g
A2 = 950 g A2 = 1.300 g A2 = 350 g
A4 = 1.150 g A4 = 1.600 g A4 = 450 g
A5 = 1.100 g A5 = 1.400 g A5 = 300 g
A6 = 1.050 g A6 = 1.350 g A6 = 300 g
A7 = 1.050 g A7 = 1.400 g A7 = 350 g
A8 = 1.050 g A8 = 1.350 g A8 = 300 g
A9 = 950 g A9 = 1.400 g A9 = 450 g
A10 = 1.000 g A10 = 1.450 g A10 = 450 g
A11 = 1.050 g A11 = 1.450 g A11 = 400 g
ƩA = 375 g
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
115
Tabel 6. Hasil pengukuran berat badan awal dan berat badan akhir kelompok uji (B)
Gambar 3. Grafik rata-rata pertambahan berat badan ayam buras (gram/hari)
Pertambahan berat badan ayam buras yang tidak berbeda nyata tersebut
disebabkan level protein pakan dalam kedua kelompok masih mencukupi untuk
mendukung pertumbuhan ayam. Resnawati et al. (1998) melaporkan bahwa imbangan
protein dan energi dalam pakan ayam kampung yang dibutuhkan selama masa
Kelompok B
(BB awal )
Kelompok B
(BB akhir)
Rata-rata PBB
Kelompok B
B1 = 950 g B1 = 1.200 g B1 = 250 g
B2 = 900 g B2 = 1.300 g B2 = 400 g
B4 = 1.050 g B4 = 1.450 g B4 = 400 g
B5 = 1.250 g B5 = 1.600 g B5 = 350 g
B6 = 1.050 g B6 = 1.400 g B6 = 350 g
B7 = 900 g B7 = 1.200 g B7 = 300 g
B8 = 1.150 g B8 = 1.550 g B8 = 400 g
B9 = 900 g B9 = 1.250 g B9 = 350 g
B10 = 950 g B10 = 1.300 g B10 = 350 g
B11 = 1.000 g B11 = 1.300 g B11 = 300 g
ƩB = 345 g
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
116
pertumbuhan adalah 14% protein dan 2600 kkal/kg energi termetabolis sementara itu,
Nawawi dan Norrohmah (2002) juga melaporkan bahwa ayam dengan umur 12 sampai 22
minggu kebutuhan akan proteinya 14%.
Pakan komersial ayam buras yang digunakan dalam penelitian memiliki
kandungan protein/100 gram masih lebih tinggi dari kebutuhan minimal yaitu 19,5%
kandungan protein pakan komersial, sehingga PBB ayam buras pada kelompok B tidak
berbeda nyata dengan PBB ayam buras pada kelompok A (kelompok kontrol). Hal ini
disebabkan karena penurunan protein dari 19,5% pakan komersial dengan penambahan
ekstrak gel lidah buaya dengan konsentrasi 30% sebesar 5,85%.
Lidah buaya juga mempunyai sejumlah zat gizi yang dibutuhkan ayam.
Departemen Kesehatan Repulik Indonesia. (1992) melaporkan kandungan protein lidah
buaya/100 gram = 0,10 garam dan memiliki kandungan energi/100 gram = 4,00 kal. Total
sumbangan protein dengan penambahan ekstrak gel lidah buaya dengan konsentrasi 30%
ekstrak gel lidah buaya adalah 0,03% protein dan total sumbangan energi dengan
penambahan 30% gel lidah buaya kering adalah 1,2 kal. Sehingga total sumbangan protein
pakan dengan penambahan konsentrasi 30% ekstrak gel lidah buaya adalah 13,68%.
Pertambahan berat badan juga tidak telepas dari sumbangan energi dari pakan komersial
akan tetapi jumlah energi pada pakan komersial yang digunakan tidak diketahui
jumlahnya, tetapi berdasarkan standar gizi ransum ayam kampung yang dipakai di
Indonesia didasarkan rekomendasi Scott et al. (1982) dan National Research Council.
(1994) menyatakan kebutuhan energi termetabolisme standar pakan di Indonesia adalah
3100 kal. Hal ini yang mungkin menyebabkan PBB ayam buras tidak berbeda nyata karena
kebutuhan jumlah protein yang dibutuhkan ayam dengan umur 12 sampai 22 minggu
adalah 14% protein. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Bintang et al.
(2001) yang melaporkan bahwa pemberian gel lidah buaya kering dalam ransum ayam
pedaging dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan kering ransum hingga 6,80%
dan pemberian gel segar bahkan meningkatkan efisiensi hingga 17,80%.
Titer Antibodi
Rata-rata titer antibodi yang terbentuk dalam hasil pengujian setelah vaksinasi
memiliki titer antibodi yang bervariasi. Menurut Burgos dan Burgos (2007), vaksinasi pada
unggas dapat memberikan hasil yang bervariasi tergantung pada kondisi imun tiap
individu. Hasil uji statistik dengan pengujian t berpasangan untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan setiap kelompok perlakuan menunjukkan tidak adanya perbedaan rata-rata titer
antibodi kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan (kelompok dengan penambahan
imunostimulator alami). Hasil analisis menunjukkan nilai signifikansi titer antibodi minggu
ke-2, minggu ke-3, dan minggu ke-4 setelah vaksinasi secara berturut-turut adalah 0,507,
0,451, dan 0,361 berada diatas 0,05 (p>0,05) dan hasil t-hitung secara berturut-turut adalah
0,691, 0,788 dan 0,962 lebih kecil dari t-tabel (2,26216) artinya tidak ada perbedaan rata-
rata nilai titer antibodi kelompok kontrol dengan kelompok yang diberi ekstrak gel lidah
buaya sebagai imunostimulator alami. Rata-rata perkembangan titer antibodi setelah
vaksinasi selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 4.
Tabel 7. Rata-rata perkembangan titer antibodi setelah vaksinasi
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
117
Kelompok
Rata-rata perkembangan titer antibodi setelah
vaksinasi
Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4
A 58,8 HI unit 29,6 HI unit 29,6 HI unit
B 21,6 HI unit 9,2 HI unit 5,2 HI unit
Gambar 4. Grafik rata-rata perkembangan titer antibody
Rata-rata perkembangan titer antibodi setelah vaksinasi antara kelompok kontrol
(A) dan kelompok perlakuan (B) menunjukkan ada perbedaan rata-rata titer antibodi.
Minggu ke-2 setelah vaksinasi rata-rata titer antibodi kelompok kontrol adalah 58,8 HI unit
dan kelompok perlakuan adalah 21,6 HI unit berada pada level tidak protektif terhadap ND
yaitu dibawah 26 (64). Rata-rata titer minggu ke-3 dan ke-4 setelah vaksinasi menurun
pada kelompok kontrol yaitu 29,6 HI unit pada minggu ke-3 dan titernya bertahan 29,6 HI
unit pada minggu ke-4 setelah vaksinasi. Kelompok perlakuan juga titer antibodinya
mengalami penurunan menjadi 9,2 HI unit pada minggu ke-3 setelah vaksinasi dan 5,2 HI
unit pada minggu ke-4 setelah vaksinasi. Minggu ke-3 dan minggu ke-4 setelah vaksinasi
pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan tidak mencapai titer yang protektif
terhadap ND. OIE, (2012) menyatakan titer antibodi yang protektif terhadap serangan ND
apabila memiliki inhibisi pada serum yang diencerkan 64 (26) yang menggunakan antigen
4 HAU.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
118
Gambar 5. Grafik pola pembentukan titer antibodi ND hasil vaksinasi dengan Medivac
ND La Sota
Titer antibodi dibawah level protektif tersebut kemungkinan karena merupakan
paparan awal atau pertama dengan virus ND pada ayam yang digunakan dalam. Oleh
karena itu belum ada memori di sistem kekebalan tubuh ayam terhadap virus ND, sehingga
reaksi tubuh terhadap antigen vaksin sangat rendah. Menurut Tizard (1982), sistem
pembentukan antibodi memiliki kemampuan untuk mengingat keterpaparan dengan suatu
antigen sebelumnya. titer antibodi akan mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi karena
tubuh sudah mengenal antigen yang masuk ke dalam tubuhnya sehingga respon kekebalan
tubuh lebih tinggi. Demikian juga menurut Bellanti (1993), sesudah ada rangsangan
antigen (bahan asing), baik limfosit-B atau limfosit T akan mengalami beberapa kali
diferensiasi yang kemudian akan menghasilkan suatu subpopulasi yang disebut sel
memori. Pada pertemuan kembali dengan antigen spesifik (vaksinasi kedua dan
seterusnya), sel-sel tersebut mempunyai kemampuan untuk berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi jalur-jalur sel yang bertanggung jawab baik pada kekebalan
humoral maupun seluler.
Berdasarkan hasil uji statistik pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kenaikan titer yang signifikan antara kelompok
perlakuan yaitu kelompok dengan penambahan konsentrasi 30% ekstrak gel lidah buaya
kering dengan kelompok kontrol. Hal ini sejalan dengan penelitian Sulistiawati (2011),
yang menyatakan konsentrasi ekstrak lidah buaya 25% tidak memberikan efek sebagai
imunostimulator atau tidak mempunyai efek imunosupresif. Semakin besar jumlah
konsentrasi ekstrak lidah buaya yang digunakan maka akan memberikan efek negatif atau
dapat bersifat imunosupresif (Sulistiawati, 2011). Dalam penelitiannya digunakan
sebanyak 32 tikus putih jantan (Rattus novergicus) berumur 3 bulan, berat badan 180
sampai 200 g, dan sehat, yang terbagi menjadi 4 kelompok yang tidak berpasangan, yaitu
satu kelompok kontrol diberikan akuades, satu kelompok perlakuan diberikan ekstrak daun
lidah buaya 25%, satu kelompok perlakuan diberikan ekstrak daun lidah buaya 50%, dan
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
119
satu kelompok perlakuan diberikan ekstrak daun lidah buaya 75% dan hasilnya rata- rata
jumlah makrofag kelompok kontrol (aquadest) adalah 39,131,99, rata-rata kelompok
ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 25% adalah 39,031,12, rata-rata kelompok ekstrak
daun lidah buaya konsentrasi 50% adalah 19,902,21, dan rata- rata kelompok ekstrak
daun lidah buaya konsentrasi 75% adalah 11,551,80. Uji perbandingan antara keempat
kelompok dengan One Way Anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna
jumlah makrofag diantara keempat kelompok, yaitu pada konsentrasi 50%, dan 75%.
Penurunan jumlah makrofag tersebut kemungkinan disebabkan oleh kandungan
saponin. Saponin memiliki kemampuan menghambat mediator inflamasi sehingga
menghambat proliferasi dari proses radang. Hambatan ini disebabkan karena saponin
mampu menghambat dehidrogenase jalur prostaglandin yang akan menghambat
pengaktifan prostaglandin (Robinson, 1995). Saponin dalam jumlah normal berperan
sebagai immunostimulator, sedangkan dalam jumlah yang melebihi batas normal saponin
akan berperan sebagai immunosupresor atau zat yang menekan/menurunkan sistem imun
(Francis et al., 2002). Selain itu Cheeke (1989), menyatakan bahwa senyawa antibakteri
seperti saponin apabila berada dalam tubuh ternak terlalu lama dapat menurunkan daya
tahan tubuh.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa
pemberian ekstrak gel lidah buaya kering yang dicampurkan pada pakan ayam buras
komersial dapat mengurangi konsumsi pakan komersial sebanyak 15% sampai 30 % pada
ayam buras. Dan Pemberian 30% ekstrak gel lidah buaya kering pada ayam buras tidak
bersifat sebagai imunomodulator dan juga tidak bersifat imunosupresif, karena tidak
mampu meningkatkan titer antibodi setelah vaksinasi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Garib, S. O., Gielkens, A. L. J., Gruys, E. And Koch G. 2003, Review of Newcastle
disease virus with particular reference to immunity and vaccination, World’s Poult.
Sci. Jurnal, 59: 185-200.
Bellanti J. A. 1993, Immunologi III. George University School of Medicine.
Washington DC.
Bintang, I. A. K., Sinurat, A. P., Purwadaria, T., Togatorop, M. H., Rosida, J., Hamid, H.
and Saulina. 2001, ‘Pengaruh Pemberian Bioaktif dalam Lidah Buaya (Aloe vera)
terhadap Penampilan Ayam Pedaging’, Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor, pp.574-580.
Block, K. I. And Mead, M. N. 2003, Immune system effects of Echinacea, Ginseng and
Astragalus, Integrative cancer therapies, 2(3): 247-267.
Chinnah, A. D., Baig, M. A., Tizard I. R. and Kemp, M. C. 1992, Antigen dependent
adjuvant activity of a polydispersed β-(1,4)-linked acetylated mannan (acemannan),
Vaccine 10(8): 551 – 557.
Direktorat Jendral Peternakan. 2012, Pengolahan Hasil-Hasil Peternakan. Dirjen
Peternakan. Departemen Peternakan, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
120
Kaufmann, P. B. 1999, Natural Product from plants, CRC Press, New York.
Katzung, B.G. 2004, Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 3 Edisi 8. Penerjemah dan
editor: Bagian Farmakologi FK UNAIR. Penerbit Salemba Medika, Surabaya. Hlm
37-41.
Kleppin, Karin. (1998), Fehler und Fehlerkorrektur, Berlin, Druckhause Langenscheidt
Kusmardi, K. Shirly, Triana E. E. 2007, Efek Imunomodulator Ekstrak Daun Ketepeng
Cina (cassia alata L.) Terhadap Aktivitas dan Kapasitas Fagositosis Makrofag,
Makara, Kesehatan, 11: 50-53.
Machdum, N. 2009, Vaksinasi Mencegah Penyakit yang Disebabkan oleh Virus dalam
Infovet Edisi 174. Jakarta: Gita Pustaka.
Nawawi, T. and Nurromah. 2002, Ransum Ayam Kampung, Penebar Swadaya, Jakarta
Price, S. A. and Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit.
(Edisi 4). Diterjemahkan dari bahasa inggris, Jakarta : EGC. 35-50.
Resnawati, H., Gozali, A., Barchia, I., Sinurat, A. P., Antawidjaja, T. 1998, ‘Penggunaan
berbagai tingkat energi dalam ransum ayam buras yang dipelihara secara intensif’,
Laporan penelitian, Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Robinson, T. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah: K.
Padmawinata, K. Edisi IV. Bandung: ITB Press. Hal. 191, 196, 197
Sinurat, A. P., Purwadaria, T., Togatorop M. H. And Pasaribu, T. 2003, Pemanfaatan
bioaktif tanaman sebagai feed additive pada ternak unggas, Pengaruh pemberian gel
lidah buaya atau ekstraknya dalam ransum terhadap penampilan ayam pedaging,
JITV, 8(3): 139 – 145.
Sulistiawati, N. 2011, ‘Pemberian Ekstrak Daun Lidah Buaya (Aloe Vera) Konsentrasi
75% Lebih Menurunkan Jumlah Makrofag Daripada Konsentrasi 50% Dan 25%
Pada radang Mukosa Mulut Tikus Putih Jantan’, Tesis, M.Si, Universitas Udayana,
Denpasar.
Sumekar, W. 1993, ‘Hubungan Konsumsi Protein Hewani dengan Pendapatan Rumah
Tangga Peternak Ayam Buras pada Tiga Pola Pemeliharaan Berbeda di Kabupaten
Kendal, Jawa Tengah’, Tesis, Magister Sains Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor,
Bogor.
Tabbu, C. R. 2000, Penyakit Ayam dan Penanggulangannya: Penyakit Bakterial, Mikal,
dan Viral, Kanisius, Yogyakarta.
Tizard, I. 1982, Pengantar Imunologi Veteriner. Edisi II. W. B. Saunders Company, New
York.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
121
DETEKSI SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIPOTONG DI RUMAH
POTONG HEWAN (RPH) OEBA KOTA KUPANG
(THE DETECTION OFCYSTICERCOSIS IN PIGCUTIN THE SLAUGHTER HOUSE
OEBAKUPANG CITY)
Ellen Fanggi1, Annytha Ina Rohi Detha2, Diana Agustiani Wuri 3
1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. Email:
[email protected] 2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Nusa Cendana, Kupang. Email: [email protected] 3Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Nusa Cendana, Kupang. Email: [email protected]
ABSTRACT
Cysticercosis is a zoonotic parasitic disease caused by the larvae of Taenia solium
that is a tapeworm in pigs. Yet cysticercosis is still a public health problem in Indonesia.
Humans can be infected by the Taeniasis when eating pork containing cysticercus. Based
on the number of pigs in NTT, the high level of consumption of pork, the socio-cultural
communities which often use pigs in the traditional and religious events, as well as pigs
maintenance system in general which is still done traditionally, could be a great chance
occurrence of cases of taeniasis and cysticercosis. The research of cysticercosis in pigs
slaughtered in the slaughter house Oeba the city of Kupang was carried out for 21 days by
examining the direct inspection of the pork, followed by phases of laboratory
identification. This study aims to detect the incidence of cysticercosis in pigs slaughtered in
Slaughter House Oeba Kupang and the sampling used a purposive sampling method.
There were 355 pigs examined in this research and as many as 28 pigs with the livers
showed show specific symptoms of cysticercus. Based on the results of microscopic
observation of the preparations of cysticercus by seeing the morphology of skoleks, there
were 2 samples detected as positive results of cysticercus and 26 samples were negative.
Both samples were the male race Duroc pigs from the village of Tarus, Kupang regency
with the cause of occurrence was Cysticercus cellulosae or larval form of Taenia solium
worms.
Keywords: Cysticercosis, Cystisercus cellulosae, Kupang City, Pork, Slaughter house,
Taenia solium,
PENDAHULUAN
Sistiserkosis adalah salah satu penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan oleh
larva Taenia solium yaitu cacing pita pada babi. Nama lain dari larva ini adalah
metacestoda, cacing gelembung, kista atau Cysticercus cellulosae (Handojo and Margono,
2002). Penyakit ini menyebar hampir di seluruh dunia dan oleh World Health Organization
(WHO) disebut sebagai salah satu Neglected Tropical Diseases (NTDs) atau Neglected
Zoonotic Diseases (NZDs) karena menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat,
pertanian dan perekonomian tetapi kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah dan
masyarakat (Craig et al., 2007; Flisser et al., 2011 and WHO, 2011).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
122
Sampai saat ini sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk Indonesia.
Tiga propinsi di Indonesia yang merupakan endemis taeniasis dan sistiserkosis adalah Bali
(T. solium dan T. saginata), Sumatera Utara (T. asiatica), dan Papua (T. solium) (Wandra
et al., 2006). Kasus sistiserkosis juga pernah dilaporkan dengan kejadian secara sporadis di
Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tenggara, Lampung, Sulawesi Utara, Jakarta dan
Kalimantan Barat (Margono et al., 2001 and Margono et al., 2004).
Parasit T. solium inimelangsungkan siklus hidupnya di antara manusia dan babi
(Pondja et al., 2010). Babi berperan sebagai hospes perantara, sedangkan manusia berperan
sebagaihospes definitif dan hospes perantara. Babi terinfeksi sistiserkosis setelah menelan
telur atau proglotid cacing pita dari feses manusia. Kejadian Sistiserkosis pada babi ini
merupakan sumber awal infeksi taeniasis pada manusia yang terjadi setelah manusia
mengkonsumsi daging babi yang mengandung larva Cysticercus cellulosaeyangdimasak
kurang sempurna. Sistiserkosis juga dapat terjadi pada manusia jika telur T.solium tertelan
melalui mulut dari jari tangan yang tidak bersih setelah defekasi ataupun akibat
kontaminasinya pada tanah, air atau vegetasi. Dengan demikian penyakit Taeniasis dan
Sistiserkosis ini sangat berkaitan erat dengan faktor sosial-budaya, seperti cara
pemeliharaan ternak yang tidak dikandangkan dan kebiasaan mengkonsumsi daging yang
kurang matang serta masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan
lingkungan (Estungsih, 2009).
Office Internasional des Epizooties (OIE) (2008) telah menetapkan bahwa metode
pemeriksaan standar untuk mendeteksi keberadaan sistiserkus pada babi adalah
pemeriksaan antemortem dan postmortem. Pemeriksaan antemortem dilakukan dengan
cara palpasi lidah, sedangkan pemeriksaan postmortem digunakan untuk mendeteksi
sistiserkus pada daging babi sebelum dipasarkan. Pemeriksaan dapat dilakukan secara
visual pada tempat yang berbeda pada organ-organ predileksi seperti otot antar tulang
rusuk, otot leher, otot bahu, otot paha, lidah, hati, paru-paru, ginjal, jantung, dan otak
(Garcia et al., 2003; Juyal et al., 2008; Allepuz et al., 2009).
Berdasarkan banyaknya jumlah ternak babi di NTT, tingginya tingkat konsumsi
daging babi, sosial-budaya masyarakat yang sering menggunakan ternak babi dalam acara
adat dan keagamaan, serta sistem pemeliharaan ternak babi pada umumnya masih
dilakukan secara tradisional dapat menjadi peluang besar terjadinya kasus taeniasis dan
sistiserkosis. Dengan demikian maka salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
mengendalikan penyebaran kedua penyakit tersebut adalah dengan melakukan
pemberantasan sistiserkus pada dagingdi tempat pemotongan hewan, mengingat adanya
sistiserkus pada daging dapat menjadi faktor resiko dalam penularan penyakit taeniasis
pada manusia.
Salah satu sumber distribusi daging babi bagi masyarakat di wilayah Kota Kupang
dan sekitarnya berasal dari Rumah Potong Hewan (RPH) Oeba. Oleh karena itu,
berdasarkan latar belakang yang ada di atas, maka studi kajian sistiserkosis perlu dilakukan
dengan mempelajari kejadian sistiserkosis pada babi yang di potong di RPH Oeba.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
123
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian survei yang bersifat kualitatif yaitu
untuk mendeteksi sistiserkosis pada daging babi di Rumah Potong Hewan (RPH) Oeba,
Kota Kupang. Pengambilan sampel menggunakan Purposive Sampling. Penelitian ini
menggunakan sampel dari organ hati yang menunjukkan gejala spesifik sistiserkus yang
diperoleh dari hasil pemeriksaan terhadap setiap ekor babi yang dipotong.
Pemeriksaan sampel dilakukan melalui dua tahap, yaitu pemeriksaan secara
postmortem dan pemeriksaan secara laboratoris. Pada pemeriksaan postmortem, setiap ekor
babi yang dipotong diamati perubahan patologi anatomi dariorgan hati terhadap
kemungkinan adanya kista sistiserkus.Selanjutnya kista yang ditemukan diambil 2x1 cm
dan dimasukkan ke dalam pot sampelberisi larutan formalin 10%dan diberi tanda
menggunakan kertas label. Setelah pengambilan sampel selesai dilaksanakan, kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan secara laboratoris.
Tahapan pembuatan preparat sistiserkus dilakukan dengan mengeluarkan skolek dari
metacestoda dengan cara menekan metacestoda menggunakan skalpel. Skolek dipotong,
kemudian ditipiskan dengan mengiris secara berhati-hati di bawah mikroskop untuk
memperoleh sediaan setipis mungkin, selanjutnya dilakukan pewarnaan dengan
menggunakan carmine. Preparat direndam didalam alkohol bertingkat mulai dari alkohol
50 %, 70 %, 80 % dan alkohol absolut. Kemudian dijernihkan menggunakan minyak
cengkeh sampai terlihat transparan. Potongan skolek ditekan dengan menggunakan kaca
penjepit dan diletakan diatas gelas objek lalu direkatkan dan ditutup dengan gelas penutup.
Identifikasi spesies dilakukan dengan pengamatan di bawah mikroskop (Yulianto, 2014).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian sistiserkosis pada babi yang dipotong di Rumah Potong Hewan Oeba
Kota Kupang dilakukan selama 21 hari dengan melakukan pemeriksaan secarapostmortem,
kemudian dilanjutkan dengan tahap pengidentifikasian secara laboratoris.Jumlah babi yang
diperiksa selama penelitian adalah sebanyak 355 ekor yang terdiri dari 128 ekor babi
jantan dan 227 ekor babi betina. Terdapat beberapa jenis babi yang dipotong, antara lain
Duroc 85 ekor, Landrace 198 ekor dan Lokal-Persilangan 22 ekor. Pemeriksaan terhadap
kista dilakukan dengan teliti pada organ hati dari setiap ekor babi yang dipotong.
Pemeriksaan Postmortem pada Babi yang Dipotong
Menurut Dorny et al. (2004), pemeriksaan postmortem terhadap sistiserkus
memiliki sensitivitas sebesar 38,7 % dan spesifisitas sebesar 100 %. Rendahnya
sensitivitas pemeriksaan postmortem memungkinkan tidak ditemukannya sistiserkus pada
jenis infeksi ringan. Berdasarkan hasil pemeriksaan postmortem terhadap kista atau
sistiserkus, diperoleh 28 ekor babi dengan permukaan organ hatinya mengandung kista
yang beberapa diantaranya menunjukkan gejala spesifik sistiserkus dari 355 ekor babi yang
dipotong selama penelitian berlangsung. Dalam penelitian ini, pemeriksaan untuk
mengetahui keberadaan kista sistiserkus tidak dilakukan pada semua organ predileksi
karena terkait kendala yang ditemui di lapangan sehingga pemeriksaan hanya dilakukan
pada organ hati.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
124
Sebagian besar sampel yang menunjukkan gejala spesifik sistiserkus tersebut
merupakan babi yang berasal dari wilayah Kabupaten Kupang dibandingkan Kota Kupang.
Hal ini dapat disebabkan karena pada umumnya di wilayah Kabupaten Kupang, masih
jumpai babi duroc yang dipelihara dengan cara diumbar atau tidak dikandangkan.
Sedangkan pada babi-babi yang berasal dari Kota Kupang, sangat jarang ditemukannya
gejala sistiserkus tersebut karena didukung oleh kondisi sanitasi dan pola peternakan di
wilayah Kota Kupang yang sudah lebih baik, yakni masyarakat tidak lagi melakukan
defekasi diluar jamban dan ternak babi dipelihara dengan sistem pemeliharaan yang
intensif sehingga tidak memungkinkan terjadinya kontak antara ternak babi dengan feses
dari penderita taeniasis yang mengandung telur cacing. Hal ini dibuktikan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Suroso et al. (2006) yang menemukan bahwa peningkatan
sanitasi dan sistem perkandangan akan menyebabkan terjadinya penurunan kejadian
sistiserkosis dan taeniasis secara signifikan.
Gambar 7. Sampel kista yang ditemukan pada permukaan organ hati: Kista dengan ciri
spesifik sistiserkus (a) dan (b); Kista yang mengalami kalsifikasi (c).
Setiap organ hati yang mengandung kista memiliki jumlah bervariasi antara 1
sampai 3 gelembung yang menyebar secara acak di setiap lobus. Beberapa kista yang
ditemukan pada hati tersebut memiliki ciri seperti sistiserkus yang ditandai dengan kista
berbentuk gelembung transparan berwarna keputih-putihan berisi cairan berukuran 1
sampai 2 cm pada permukaan hati dan ada kista yang sudah mengalami kalsifikasi
(pengapuran) yang ditandai dengan kapsulnya tampak mengeras tanpa cairan dan
ditemukan adanya pengapuran. Menurut Flisser et al. (2006), sistiserkus T. solium
berbentuk gelembung keputihan semi transparan dengan ukuran diameter sekitar 1 sampai
2 cm. Demikian pula menurut Soedarto (2008), sistiserkus terdiri atas kantung tipis yang
a b
c
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
125
dindingnya mengandung skoleks dan rongga di tengahnya berisi sedikit cairan jernih
dengan ukuran diameter 1 sampai 2 cm.
Penemuan terkait organ hati yang mengandung sistiserkus sebelumnya juga pernah
ditemukan oleh Marianto (2010) yang menemukan adanya hati babi yang dijual di salah
satu pasar tradisional Kecamatan Medan Kota terkotaminasi oleh sistiserkus. Demikian
pula oleh Maitindom (2008) yang menemukan adanya hati babi mengandung sistiserkus
yang dijual di pasar Jibama Kabupaten Jaya Wijaya, Papua. Hal ini sesuai dengan pendapat
dari Garcia et al. (2003) and Bendryman et al.(2014) bahwa hati merupakan salah satu
organ predileksi dari sistiserkus selain otot intercostae, otot leher, otot bahu, diafragma,
mesenterium, otot paha, lidah, masseter, paru-paru, ginjal, hati, mata dan otak.
Pemeriksaaan Laboratorium Terhadap Sampel Kista
Pemeriksaan secara laboratoris terhadap sampel kista dilakukan dalam dua tahap.
Pada tahap pertama, pemeriksaan dilakukan di Laboratorium BBVet Denpasar dengan
jumlah sampel yang diperiksa sebanyak 20 sampel. Metode identifikasi yang digunakan
yaitu melalui pengamatan terhadap morfologi dari sampel kista secara makroskopis karena
tidak tersedianya pemeriksaan secara mikroskopis. Hasil yang diperoleh dalam
pemeriksaan ini, semua sampel dinyatakan negatif atau kista yang ditemukan tersebut
bukan merupakan kista dari sistiserkus. Hasil pemeriksaan sampel secara makroskopis
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil pemeriksaan sampel secara makroskopis
Kode
sampel Asal ternak
Jenis
kelamin Ras Asal Organ Hasil
A01 Tarus Betina Duroc Hati Negatif
A02 Oesao Betina Landrace Hati Negatif
A03 Penfui Jantan Duroc Hati Negatif
A04 Tarus Jantan Duroc Hati Negatif
A05 Noelbaki Jantan Duroc Hati Negatif
A06 Baumata Jantan Duroc Hati Negatif
A07 Oeleta Betina Duroc Hati Negatif
A08 Osmok Jantan Duroc Hati Negatif
A09 Bolok Jantan Duroc Hati Negatif
A10 Manutapen Betina Landrace Hati Negatif
A11 Labat Betina Duroc Hati Negatif
A12 Lasiana Jantan Landrace Hati Negatif
A13 Tablolong Jantan Duroc Hati Negatif
B14 Oesao Betina Duroc Hati Negatif
B15 Oebufu Betina Duroc Hati Negatif
B16 Oebelo Betina Duroc Hati Negatif
B17 Osmok Jantan Landrace Hati Negatif
B18 Oesao Betina Duroc Hati Negatif
B19 NBS Betina Duroc Hati Negatif
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
126
B20 Oenesu Betina Duroc Hati Negatif
Keterangan: Kode sampel A: sampel yang diambil pada minggu pertama; Kode sampel B:
sampel yang diambil pada minggu kedua.
Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti pada Tabel 4 tersebut, maka peneliti
melakukan pengambilan sampel tahap kedua dan mendapatkan 8 sampel kista.
Pemeriksaan kemudian dilakukan di Laboboratorium Helminth, Ilmu Penyakit Dalam
Hewan dan Masyarakat Veteriner IPB Bogor. Metode pemeriksaan yang digunakan, yaitu
secara mikroskopis melalui pembuatan preparat skoleks dengan tujuan untuk
mengidentifikasi spesies dari sistiserkus berdasarkan morfologi skoleks yang terlihat. Hasil
pemeriksaan sampel secara mikroskpis disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil pemeriksaan sampel secara mikroskopis
Kode
sampel Asal ternak
Jenis
kelamin Ras Asal Organ Hasil
C21 Tarus Jantan Duroc Hati Positif C.cellulosae
C22 Oebobo Betina Landrace Hati Negatif
C23 Namosain Jantan Duroc Hati Negatif
C24 Oesao Jantan Duroc Hati Negatif
C25 Jln. Nangka Betina Landrace Hati Negatif
C26 Pasir Panjang Betina Landrace Hati Negatif
C27 Tarus Jantan Duroc Hati Positif C. cellulosae
C28 Baumata Jantan Duroc Hati Negatif
Keterangan: Kode sampel C:sampel yang diambil pada minggu ketiga.
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan terhadap 8 sampel,
diperoleh 2 sampel terdeteksi positif merupakan sistiserkus yaitu sampel dengan kode C21
dan C27 sedangkan6 sampel lainnya menunjukkan hasil yang negatif. Kedua sampel
positif tersebut merupakan babi jantan dengan ras Duroc yang berasal dari Desa Tarus
wilayah Kabupaten Kupang.
Banyaknya hasil negatif yang diperoleh baik pada pemeriksaan tahap pertama
maupun tahap kedua ini, menandakan bahwa tidak semua kista yang ditemukan pada
permukaan organ hati babi merupakan kista dari sistiserkus. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena beberapa kista yang ditemukan tersebut merupakan bentuk migrasi dari
larva cacing Ascaris suum dan Stephanurus dentatus, serta ada juga beberapa sampel kista
sistiserkus yang ditemukan tersebut sudah mengalami kalsifikasi (pengapuran). Kedua hal
ini masing-masing dibuktikan dengan pendapat dari Sewell and Brocklesby (1990) yang
dikutip dalam Dharmawan (1996), yang mengemukakan bahwa migrasi larva dari cacing
Ascaris suumdan Stephanurus dentatus pada babi menyebabkan terbentuknya kista pada
permukaan organ hati yang dapat dikelirukan dengan bentuk kista dari sistiserkus dan
selanjutnya oleh Irianto (2009), yang menyatakan bahwa satu tahun pasca infeksi
sistiserkosis pada babi dan manusia, sistiserkus akan mengalami kalsifikasi (pengapuran).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
127
Gambaran Mikroskopis Preparat Sistiserkus
Skoleks merupakan anggota tubuh cestode yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi spesies dalam genus Taenia. Berdasarkan hasil pengamatan secara
mikroskopik terhadap morfologi skoleks pada kode sampel C21, teramati bahwa skoleks
tersebut mempunyai 4 buah sucker dengan rostelum yang dikelilingi oleh kait-kait dalam
dua baris, tetapi jumlah kaitnya tidak dapat dihitung secara jelas. Sedangkan pada preparat
dengan kode sampel C27, teramati skoleks dengan rostelum yang dikelilingi 2 baris kait
berjumlah 32 buah. Hal ini sejalan dengan pendapat Handojo dan Margono (2008) yang
menyatakan bahwa skoleks T. solium berbentuk bulat, mempunyai 4 buah batil hisap
(sucker) dengan rostelum yang dilengkapi dengan 2 deret kait yang melingkar dengan
masing-masing sebanyak 25 sampai 30 buah. Adapun menurut Bogisth et al. (2005) yang
menyatakan bahwa morfologi skoleks T. solium terdiri atas sebuah rostelum dan empat
buah batil hisap (sucker). Rostelum dikelilingi oleh sebaris kait panjang dan kait pendek
yang setiap barisnya tersusun atas 22 sampai 32 kait. Oleh karena itu,maka dapat
disimpulkan bahwa pengidentifikasian berdasarkan morfologi dari skoleks pada kode
sampel C21 dan C27 merupakan C. celluosae atau larva dari cacing T. soilum.
Gambar 8. Bentuk morfologi skoleks C. cellulosae dari kode sampel C21
Gambar 9. Bentuk kait C. cellulosae dari kode sampel C27
Penemuan dua ekor babi yang terinfeksi sistiserkosis ini diperkuat dengan hasil penelitian
sebelumnya oleh Detha dan Toha (2010) yang menemukan beberapa ekor babiyang dipotong di
Rostelum
Kait
Sucker
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
128
RPH Oeba Kota Kupang terinfeksi sistiserkosis yang disebabkan oleh C. cellulosae. Hal ini
didukung pula oleh pendapat dari Simanjuntak dan Widarso (2004) yang menyatakan bahwa
kasustaeniasis dan sistiserkosisjuga pernah dilaporkandengan kejadian secara
sporadispadabeberapa Provinsi, salah satunyadiNusaTenggara Timur yaitu pada tahun 1975
prevalensi sistiserkosis di Pulau Flores ialah sebesar 2,8 % yang disebabkan oleh T. solium
dan T. saginata. Penelitian lain mengenai sistiserkosis pada babi di NTT masih sangat
jarang dilakukan sehingga tidak ada banyak laporan yang dapat mendukung hasil
penelitian ini. Namun Hasil yang diperoleh ini menjadi penting karena pada umumnya
kejadian sistiserkosis pada babi ditemukandi wilayah yang masyarakatnya banyak
mengkonsumsi daging babi. Penelitian terdahulu menyebutkan wilayah Papua, Bali, dan
Sumatra utara menjadi daerah dengan tingkat kejadian sistiserkosis yang cukup tinggi.
Menurut Dharmawan et al. (2012), bahwa tingginya tingkat konsumsi daging babi
memungkinkan penyakit ini terus terjadi.
Dengan ditemukannya kejadian sistiserkosis pada babi yang dipotong di RPH, hal
ini mengindikasikan bahwa masih ada ternak babi yang dipelihara dengan tidak
dikandangkan atau diumbar, selain itu juga masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam
memperhatikan sanitasi dan kesehatan lingkungan, yaitu tidak melakukan defekasi pada
tempatnya sehingga ternak babi masih dapat kontak dengan feses yang mengandung telur
cacing taenia yang berasal dari penderita Taeniasis. Bagaimanapun telur T. solium yang
berada di lingkungan berasal dari penderita taeniasis. Oleh karena itu, penderita taeniasis
merupakan kunci terpenting dalam penularan sistiserkosis. Hal ini sesuai dengan pendapat
dari Flisser et al. (2003) yang menyatakan bahwa sistiserkosis dan taeniasis sangat
berkaitan erat dengan sanitasi lingkungan, manajemen peternakan, dan cara manusia
mengkonsumsi daging babi. Penemuan dua ekor babi yang terinfeksi sistiserkosis dalam
penelitian ini, disebabkan karena di Desa Tarus masih dijumpai adanya ternak babi yang
dipelihara dengan tidak dikandangkan. Keadaan ini menyebabkan ternak babi mempunyai
kesempatan berkontak dengan feses atau telur cacing T. solium dari penderita taeniasis.
Kejadian sistiserkosis pada babi yang ditemukan pada penelitian ini dapat menjadi
ancaman kesehatan bagi masyarakat terutama bila daging yang terkontaminasi sistiserkus
tersebut tidak mendapat pengawasan yang ketat dan beredar di pasaran. Oleh karena itu,
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsi positif kepada pihak RPH
yang merupakan pemegang peran penting sebagai sarana yang diperlukan untuk
meningkatkan pelayanan masyarakat sekaligus pemutusan rantai penularan penyakit
zoonosa (dari hewan ke manusia) dalam hal ini terkait infeksi sistiserkosis pada babi,
sehingga karkas, daging dan organ dalamnya sehat, aman dan layak untuk dikonsumsi
masyarakat luas, terutama oleh masyarakat Kota Kupang dan sekitarnya.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Terdeteksi 2 ekor babi yang positif terinfeksi sistiserkosisdari 355 ekor babi yang
dipotong di RPH Oeba Kota Kupang dengan penyebab kejadiannya adalah Cysticercus
cellulosae atau bentuk larva dari cacing Taenia solium.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
129
2. Dua ekor babi yang terinfeksi sistiserkosis adalah babi jantan rasDuroc yang berasal
dari Desa Tarus Kabupaten Kupang.
DAFTAR PUSTAKA
Allepuz, A., Napp, S., Picado, A., Alba, A., Panades, J., Domingo. M., et al. 2009,
Descriptive and spatial epidemiology of bovine cysticercosis in North-Eastern
Spain (Catalonia). Vet Parasitol. 159:43-48.
Bogisth, B. J., Carter, C. E. and Oeltmann, T. N. 2005, Human Parasitology, 3rd edition,
Elsevier, Oxford.
Craig, P.S., Budke, C.M., Schantz, P.M., Li, T., Qiu, J., Yang, Y., et al. 2007, Human
echinococcosis: A neglected disease? Tropical Medicineand Health, 35: 283-292.
Detha, A.I.R. and Toha, L.R.W. 2014, Identifikasi sistiserkus penyebab sistiserkosis pada
daging babi. Media exacta, Lemlit, Undana.
Dharmawan, N.S. 1996, The Detection of Taenia saginata Cysticercus In Pigs and Cattle
In Bali Using Elisa Method. Media Veteriner. 6 (1): 27-30.
Dharmawan, N. S., Swastika, K., Putra, I.M., Wandara, T., Sutisna, P., Okamoto.,et al.
2012, Present situation and problems of cysticercosis in animal in Bali and Papua. J
Vet. 13 (2): 154-162.
Estuningsih, S.E. 2009,Taeniasis dan Sistiserkosis Merupakan Zoonosis Parasiter,
Wartazoa Vol. 19. No.2
Flisser, A., Sarti, E., Lightowlers, M. and Schantz, P. 2003, Neurocysticercosis: regional
status, epidemiology, impact and control measures in the Americas. Acta Trop. 87:
43–51.
Flisser, A., Craig, P.S. and Ito, A. 2011, Cysticercosis and taeniosis: Taeniasolium, Taenia
saginata and Taenia asiatica. In: Oxford Textbook of Zoonoses (Editors, S.R.
Palmer, Lord Soulsby, P.R. Torgerson & D.W.G. Brown) pp. 625-642. Oxford
University Press, Oxford.
Garcia, H.H., Gonzalez, A.E., Evans, C.A.W. and Gilman, R.H. 2003, Taenia solium
cysticercosis. Lancet. 362:547-556.
Handojo, I. and Margono, S.S. 2008, Taenia solium. Dalam Sutanto, I., Ismid, I. S.,
Sjarifuddin, P.K. and Sungkar, S. ed. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran ed 4.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia, 79-82.
Irianto, Kus. 2009, Parasitologi Berbagai Penyakit yang Mempengaruhi Kesehatan
Manusia, Cv.Yrama Widya, Bandung.
Juyal, P.D., Sharma, R., Shing, N.K. and Shing, G. 2008, Epidemiology and control
strategies against cysticercosis (due to Taenia Solium) with speciel reference to
swine and human in Asia. J. Veterinary Animal Science, 1: 1-10.
Margono, S.S., Subahar, R., Hamid, A., Wandra, T., Raka S.A.A., Sutisna, P. and Ito, A.
2001, Cysticercosis in Indonesia: epidemiological aspects. Southeast Asian J. Trop.
Med. Public Health, 32 (Suppl 2): 79-84.
Margono, S.S., Wandra, T., Suroso, T. and Ito, A. 2004, Taeniasis and cysticercosis in
Indonesia. In: Ito, A., Wen. H., Yamasaki, H., editors. Taeniasis/Cysticercosis and
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
130
Echinococcosis in Asia. Asian Parasitology vol. 2, AAA Committee/Federation of
Asian Parasitologists, Chiba, Japan, pp. 115-134.
Office Internasional des Epizooties (OIE). 2008, Cysticercosis,
<http://www.oie.int/eng/normes/manual/2008/pdf/2.09.05_CYCTICERCOSIS.pdf>
. Diakses pada 24 September 2014.
Pondja, A., Neves, L., Mlangwa, J., Afonso, S., Fafetine J., Willingham, A.L., et al. 2010,
Prevalence and risk factors of porcine cysticercosis in Angonia District,
Mozambique. Plos Neglected Trop Dis. 4: e594.
Simanjuntak, G.M. and Widarso, H.S. 2004, The Current Taenia Solium
taeniasis/cysticercosis situation in Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Pub
Health. 35:240-246.
Soedarto. 2008, Parasitologi Klinik, Airlangga University Press, Surabaya, Indonesia.
Suroso, T., Margono, S.S., Wandra, T. and Ito, A. 2006, Challenges for control of
taeniasis/cysticercosis in Indonesia. Parasitol Int 55: S161-S165.
Wandra, T., Deparry, A.A., Sutisna, P., Margono, S.S., Suroso, T., Okamoto, M., et al.
2006, Taeniasis and cysticercosis in Bali and North Sumatera, Indonesia. Parasitol.
Int. 55: S155-S160.
World Health Organization(WHO). 2011, The Control of Neglected Zoonotic Diseases -
Community-based interventions for prevention and control. ISBN 9789241502528.
Yulianto, Heri. 2014, ‘Kajian Sistiserkosis Dan Taeniasis Pada Babi Hutan dan Babi
Peliharaan Serta Peternak Di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung’,
Disertasi, Dr., Program Studi Kesehatan masyarakat Veteriner, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
131
UJI KUALITATIF CEMARAN BAHAN KIMIA FORMALIN PADA BAKSO
YANG DIJUAL DI KOTA GORONTALO
(ANALYSIS OF THE CONTENT OFFORMALDEHYDE ON MEATBALL IN
GORONTALO CITY)
Siswatiana Taha
Fakultas Peternakan, Universitas Negeri Gorontalo
ABSTRACT
This study aims to determine the content of formaldehyde on meatball in Gorontalo
City. Themethod used in this study was to analyze the color change in meatball sample by
using turmeric extract to detect the content of borax and Potassium
permanganate (KMnO4) to detect formaldehyde. The type of this study is descriptive
qualitative. The experimental borax identification results on 40 samples of meatball show
that there are no borax content in the sample. Meanwhile, 37 samples (92,5 %) contain
formaldehyde and 3 samples does not contain formaldehyde. The research has been
concluded that most of meatball sellers in Gorontalo City still use formaldehyde to
preserve meatballs.
Keywords : meatball, formaldehyde, potassium permanganate (kmno4)
PENDAHULUAN
Bakso merupakan salah satu jenis makanan yang terbuat dari produk olahan daging.
Widyaningsih dan Murtini (2006), menyatakan bahwa bakso merupakan produk olahan
daging yang telah dihaluskan terlebih dahulu dan telah dicampur dengan bumbu-bumbu,
tepung dan kemudian dibentuk seperti bola-bola kecil dan direbus dalam air panas. Bakso
sudah lama dikenal dan digemari serta menyebar luas di masyarakat sehingga produk ini
memegang peranan penting dalam penyebaran protein sebagai zat gizi yang dibutuhkan
tubuh.Bakso digemari mulai dari anak-anak sampai orang dewasa karena bakso
dihidangkan selain dalam bentuk mie bakso atau mie ayam, juga dihidangkan sebagai
campuran dalam beberapa jenis makanan.
Masyarakat Kota Gorontalo sering mengkonsumsi makanan di luar rumah, salah
satunya adalah mie bakso karena nilai nutrisinya cukup baik, mudah didapat dan harganya
murah.Meskipun demikian, ternyata pengetahuan masyarakat mengenai bakso yang aman
dan baik untuk dikonsumsi masih kurang. Hal ini perlu diantisipasi karena bakso yang
dijual oleh para pedagang biasanya menggunakan bahan kimia berupa boraks dan formalin.
Boraks dan Formalin merupakan senyawa yang bisa memperbaiki tekstur, kekenyalan dan
memperpanjang masa simpan pada bakso (Syah dkk., 2005).
Boraks adalah senyawa kimia yang mempunyai sifat dapat mengembangkan
adonan, memberi efek kenyal serta membunuh mikroba. Boraks sering digunakan oleh
produsen untuk dijadikan zat tambahan pada makanan bakso, tahu, mie, kerupuk, maupun
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
132
lontong.Svelha (1985) mengemukakan bahwa boraks ataupun asam borat digunakan
sabagai bahan antiseptika, solder, pembersih dan pengawet kayu.
Formalin merupakan bahan kimia yang biasa dipakai untuk membasmi bakteri atau
berfungsi sebagai desinfektan. Zat ini termasuk dalam golongan desinfektan kuat dan
dapat membasmi berbagai jenis bakteri pembusuk, penyakit, cendawan atau kapang.
Disamping itu, juga dapat mengeraskan jaringan tubuh (Winarno, 2004).
Jenis bakso yang mengandung boraks dan formalin, teksturnya sangat kenyal dan
awet,bila dilempar ke lantai akan memantul seperti bola bekel, warna tidak kecoklatan
seperti warna daging dan cenderung keputihan. Sedangkan bakso yang aman berwarna
abu-abu segar dan merata disemua bagian, baik di pinggir maupun tengah (Putra, 2009).
Boraks dan Formalin akan berguna dengan positif bila digunakan sesuai yang
seharusnya. Kedua bahan tersebut tidak boleh dijadikan sebagai bahan pengawet makanan
karena sangat berbahaya bagi kesehatan.Oleh karena itu, perlu menguji bakso yang dijual
oleh para produsen atau pedagang bakso.
Guna mendeteksi formalin pada bakso adalah bahan kimia yang biasa digunakan
untuk mendeteksi formalin pada bakso yaitu larutan Kalium Permanganat (KMnO4).
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui ada tidaknya kandungan formalin pada
bakso yang dijual di Kota Gorontalo.
MATERI DAN METODE
Sampel yang di uji di ambil dari total populasi penjual bakso yang ada di Kota
Gorontalo sebanyak 40 sampel. Sampel diambil secara acak dari Kota Tengah, Kota Barat,
Kota Utara, Kota Timur, dan Kota Selatan. Kategori penjual bakso adalah penjual bakso
gerobak keliling, dan rumah makan.
Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dekskriptif yaitu menentukan ada
atau tidaknya hasil yang didapatkan. Menjelaskan objek yang diteliti sesuai apa adanya,
dengan tujuan menggambarkan secara sistematis, fakta, dan karakteristik objek yang
diteliti secara tepat.
a. Prosedur Kerja Deteksi Formalin yaitu:
1. Sediakan sampel yang akan diuji yaitu bakso
2. Bakso dihaluskan kemudian ditimbang masing-masing sebanyak 5 gr
selanjutnya disimpan dicawan petri yang berbeda
3. Sampel dilarutkan dengan 10 ml aquades selanjutnya disaring
4. Masing-masing filtrat dimasukkan kedalam tabung reaksi yang sudah diberi
label kemudian ditetesi dengan KMnO4 0,1 N
5. Amati dan tunggu sampai bereaksi selama 1 jam
6. Jika warna ungu violet segera memudar/hilang berarti sampel mangandung
formalin yang bersifat mereduksi KMnO4.
Variabel yang diamati adalah kandungan formalin pada bakso. Pengujian formalin
menggunakan larutan kalium permanganat (KMnO4), dengan melihat perubahan warna
yang terjadi pada masing–masing sampel bakso.
1. Petunjuk sampel mengandung atau tidak mengandung boraks dapat dilihat dari
perubahan warna yang terjadi setelah ditetesi ekstrak kunyit sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
133
- Jika sampel bakso tidak mengalami perubahan warna (tetap berwarna kuning),
maka sampel negatif mengandung bahan tambahan boraks.
- Jika sampel bakso mengalami perubahan warna (merah kecoklatan), maka
sampel diduga positif mengandung bahan tambahan boraks.
2. Petunjuk bahwa sampel mengandung atau tidak mengandung formalin dapat dilihat
dari perubahan warna yang terjadi setelah ditetesi larutan kalium permanganat
(KMnO4) sebagai berikut :
- Jika sampel bakso tidak mengalami perubahan warna (tetap ungu violet), maka
sampel negatif mengandung senyawa formalin.
- Jika sampel bakso mengalami perubahan warna coklat sampai memudar
menjadi bening, maka sampel diduga positif mengandung formalin.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kota Gorontalo merupakan salah satu kota yang ada di Propinsi Gorontalo yang
mempunyai banyak warung makanan menetap seperti warung-warung bakso yang selalu
ramai dikunjungi konsumen setiap harinya. Ini karena Kota Gorontalo yang letaknya
berada di pusat kota sehingga sangat mudah untuk dijangkau oleh seluruh
kalangan masyarakat.Untuk mengetahui ada tidaknya pedagang bakso di Kota
Gorontalo yang menggunakan formalin dalam proses produksi bakso yang
dikhawatirkan dapat membahayakan konsumen dari semua kelompok umur dan
golongan masyarakat yang mengunjungi daerah ini maka dilakukan penelitian mulai
tanggal 10 Oktober 2014 sampai 10 November 2014. Penelitian dilakukan dengan
cara pengamatan ciri fisik bakso secara visual dan pengujian di laboratorium yang
terdiri dari analisis kualitatif formalin pada bakso dan sampel bakso yang
dinyatakan positif mengandung formalin pada analisis kualitatif. Sampel bakso
dikumpulkan dengan menggunakan teknik sampling jenuh (sensus) dimana sampel
bakso diambil dari seluruh pedagang bakso yang memiliki warung menetap yang
ada di lima Kecamatan dengan jumlah pedagang bakso sebanyak 40 yaitu 15
pedagang bakso di Kecamatan Kota Tengah, 5 pedagang bakso di Kota Utara, 5
pedagang bakso di Kota Selatan, dan 10 pedagang bakso di Kota Barat, 5 pedagang di
Kota Timur.
Berdasarkan hasil pencatatan dari survey yang dilakukan saat pengambilan sampel
pedagang bakso yang memiliki warung menetap di Kota Gorontalo yaitu
sebanyak 35 pedangang bakso memperoleh persediaan bakso dengan cara dibuat
sendiri dan 5 pedagang bakso memperoleh persedian bakso yang dijual dari produsen
bakso yang lain.
4.1 Pengamatan Ciri Fisik Bakso
Uji ciri fisik bakso secara visual dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat
perubahan dari parameter yang dijadikan acuan peneliti yaitu tekstur, warna dan daya
simpan bakso. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan sampel bakso segar yang
dibuat sendiri tanpa formalin yang kemudian dikonversikan menjadi nilai-nilai mutu
sensoris yang dijadikan acuan perbandingan dalam penilaian uji pengamatan ciri fisik
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
134
sampel bakso yang diteliti secara visual.
Bakso kontrol yang dibuat sendiri didapatkan hasil yaitu memiliki tekstur bulat
agak kasar, tidak lengket dan basah, warna bakso abu-abu muda sebelum penyimpanan
dan mengalami kerusakan seperti berlendir, bertekstur rapuh dan lengket , berwarna
kemerahan yang gelap dan berkapang setelah peyimpanan satu hari. Hasil pengamatan
tersebut sama dengan hasil pengataman dalam literature menurut Winarno dan Rahayu
(1994) bahwa bakso kontrol (bakso bebas formalin) mempunyai ciri-ciri yaitu tekstur
agak kasar, masa simpannya hanya 1 hari dan untuk kriteria warna bakso yang baik
dan tidak mengandung bahan pengawet menurut Andayani (1999) yaitu bakso
mempunyai warna abu-abu pucat atau muda.
Formalin
Berdasarkan hasil pengujian di laboratorium menunjukkan bahwa dari 40 sampel
bakso di Kota Gorontalo yang diuji, sebanyak 37 (92,5 %) sampel bakso mengandung
formalin dan 3 (0,75%) sampel bakso tidak mengandung formalin (Lampiran 2).
Tingginya penggunaan formalin pada bakso yang dijual di Kota Gorontalo disebabkan oleh
kepentingan ekonomi para produsen atau penjual bakso. Alasannya adalah agar pedagang
tidak mengalami kerugian bila barang dagangan mereka tidak habis terjual dalam sehari.
Selain itu, penggunaan formalin oleh produsen dikarenakan daya beli konsumen yang
rendah dibandingkan produksi bakso serta persaingan para penjual yang semakin
meningkat. Kurangnya informasi tentang bahaya formalin, harga formalin yang sangat
murah, tingkat kesadaran masyarakat (khususnya para produsen atau penjual bakso)
terhadap kesehatan yang masih rendah, juga ikut mendorong penggunaan formalin sebagai
bahan pengawet pada bakso.
Tingginya penggunaan formalin pada bakso setidaknya mencerminkan masih
tingginya tingkat penggunaan formalin pada produk pangan. Effendi (2012)
mengemukakan bahwa bahan pengawet (formalin) pada dasarnya memang sangat
dibutuhkan pada makanan produk pangan, khusunya pada bakso dan mie basah karena
memiliki kadar air cukup tinggi. Tujuannya untuk mencegah aktifitas mikroorganisme
sehingga dapat bertahan lama. Namun demikian, harus juga dipertimbangkan
keamanannya serta pengaruhnya terhadap kesehatan setiap orang yang mengkonsumsinya
(Effendi, 2012).
Pengaruh formalin terhadap kesehatan adalah tenggorokan dan perut terasa
terbakar, mual, muntah dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan, sakit perut yang hebat,
sakit kepala, hipotensi, kejang, tidak sadar hingga koma. Selain itu, juga dapat terjadi
kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pancreas, sistem susunan saraf pusat dan ginjal,
menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan, muntah-muntah dan kepala pusing,
penurunan suhu badan dan rasa gatal di dada (Depkes RI, 1988).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa sebanyak
92,5% (37 dari 40 sampel yang diuji) bakso yang dijual di Kota Gorontalo mengandung
formalin.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
135
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 1988. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No.
722/Menkes/IX/1988. Tentang Bahan Tambahan Makanan. Jakarta.
Effendi, S. 2012. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Pangan. Alfabeta. Bandung.
Mointi, S. 2014. Mengidentifikasi Boraks dan Kandungan Eschericia coli Pada Jajanan
Bakso Yang di Jual di LingkunganUniversitas Negeri Gorontalo. Skripsi.
Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo.
Putra, A.K. 2009. Formalin dan Boraks pada Makanan. Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Svehla, G.. 1985. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro,
Terjemahan: Setiono dan A. Hadyana Pudjatmaka. Jakarta: PT. Kalman Media
Pustaka.
Syah, D. dkk. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor: Himpunan
Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Winarno FG . 2004. Keamanan Pangan Jilid 1. M-Brio Press. Bogor.
Widyaningsih, T.W, dan E.S. Murtini, 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada
Produk Pangan. Surabaya: Trubus Agirasana.Pusat definisi,2012.bakso.
http://www.pusat-definisi.com/2012/11/bakso-adalah.html. [Diakses 15 juni 2014].
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
136
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
137
GAMBARAN DARAH PADA DOMBA YANG TERINFEKSI Mycobacterium bovis
Yohanes T.R.M.R. Simarmata1, Ida Tjahajati2, Hajar Cahya Utami2
1Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana 2Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK Tuberkulosis merupakan penyakit zoonosis yang perlu mendapat perhatian di
Indonesia. Tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium bovissering ditemukan pada
sapi tetapi rentan menginfeksi hewan domestik lain termasuk domba. Bovine tuberculosis
dikarakteristikkan dengan pembentukan granuloma (tuberkel) di beberapa organ terutama
paru-paru, hati dan ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahahan
perubahan gambaran darah domba yang terinfeksi M.bovis.Sebanyak 4 ekor domba yang
diduga terinfeksi tuberkulosis, dilakukan PCR untuk isolasi dan identifikasi bakteri. Dua
ekor domba yang dinyatakan terinfeksi M. bovis, selanjutnya dilakukan pengambilan darah
untuk pemeriksaan darah rutin. Empat minggu terakhir dilakukan pengambilan serum
untuk pemeriksaan fungsi hati dan ginjal. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan
peningkatan jumlah total sel darah putih, neutrofil, limfosit, monosit, kadar SGOT, SGPT,
BUN, dan kreatinin serta terjadi penurunan jumlah total sel darah merah, hemoglobin, dan
hematokrit.
Kata kunci : Tuberkulosis, M.bovis, darah, domba
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis kompleks (M.tuberculosis, M.bovis, dan M.africanum) (Quinn, 2002).
Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis dengan prevalensi tinggi yang menyerang
manusia dan hewan di beberapa negara berkembang. Lima sampai delapan persen kasus
pada manusia disebabkan oleh M.bovis. Tuberkulosis yang disebabkan oleh M.bovis
merupakan penyakit penting yang menyerang sapi dan spesies lain di beberapa negara.
Walaupun hospes utama adalah sapi domestik, tetapi M.bovis dapat juga menginfeksi
hewan domestik lain, termasuk rentan pada domba dan hewan liar(Hirsch, 2004; Rocha,
et.al., 2010). Data OIE pada tahun 2010 menyebutkan bahwa di Indonesia secara klinis
tidak pernah dilaporkan adanya kasus penyakit Bovine Tuberculosis (BTB) pada sapi. Data
tahun 1994 hanya menyebutkan adanya 3 kasus BTB di Propinsi Jawa Barat. Namun
penelitian sebelumnya menyebutkan, seroprevalensi BTB di kabupaten Bangli sebesar
2,22% (Putra, et.al., 2013).
Beberapa sumber menyebutkan bahwa kasus M.bovis jarang ditemukan dan relatif
resisten pada domba (Headley, 2002; Carter dan Wise, 2004; Shitaye, et.al., 2007). Namun
pada penelitian sebelumnya, pemeriksaan postmortem dilakukan pada 70 domba yang
bereaksi positif terhadap reaksi tuberkulin. Lesi mirip tuberkulosis yang terdapat pada sapi
ditemukan sebanyak 61% dari kasus. M.bovis juga ditemukan sebanyak 32 dari 43 domba
yang terdapat lesi tuberkulosis pada penyelidikan sebelumya. Pada penyelidikan lain,
OutbreakM.bovis di kandang domba yang kontak dengan tuberkulosis sapi ditemukan lesi
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
138
makroskopik TB sebanyak 4 dari 6 sampel yang positif tes tuberkulin dan dari lesi dapat
diisolasi M.bovis.
Ternak domba menyebar rata di seluruh wilayah nusantara. Hal ini menunjukkan
bahwa domba mempunyai potensi yang cepat untuk menyesuaikan diri baik dengan
lingkungan maupun kultur masyarakat Indonesia. Kelebihan domba dibandingkan dengan
ternak lain adalah lebih tahan terhadap beberapa penyakit (Murtidjo, 1993).
Darah
Gambaran darah normal pada domba dapat terlihat pada tabel 1. Tabel 1 menunjukan
gambaran darah kisaran dan rata-rata, namun ada juga yang tidak memiliki rata-rata (dapat
dikategorikan normal jika hasilnya masih dalam kisaran yang tertera di tabel)
Tabel 1. Nilai darah normal pada domba
Parameter Kisaran Rata-rata
Eritrosit (x106/µL) 9-15 12,0
Hemoglobin 9-15 11,5
PCV (%) 27-45 35
MCV (fL) 28-40 34
MCH (pg) 8-12 10,0
MCHC (%) 31-34 32,5
Diameter RBC (µm) 3,2-6,0 4,5
Plasma protein (g/dL) 6,0-7,5
Fibrinogen (mg/dL) 100-500
Trombosit(x103) 800-1100 500
Masa hidup RBC 140-150
Myeloid: rasio eritroid 0,77-1,7 1,1
Total leukosit (/µL) 4000-8000 12000
Neutrofil (band) jarang -
Neutrofil (segmented) 700-6000 2400
Limfosit 2000-9000 5000
Monosit 0-750 200
Eosinofil 0-1000 400
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
139
Basofil 0-300 50
Persentase distribusi
Neutrofil (band) jarang
Neutrofil (segmented) 10-50 30
Limfosit 40-55 62
Monosit 0-6 2,5
Eosinofil 0-10 5,0
Basofil 0-3 0,5
(Weiss dan Wardrop, 2010)
MATERI DAN METODE
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah darah domba jantan dan betina yang
diambil dari pasar hewan yang diduga menderita tuberkulosis dengan test PCR.
Pemeriksaan darah dilakukan di RSH Soeparwi Yogyakarta dengan alat Hemoanaliser dan
di Laboratorium Pramita Yogyakarta
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeriksaan gejala klinis
Pemeriksaan terhadap gejala klinis dilakukan dengan melihat perubahan yang terjadi pada
domba. Pemeriksaan kondisi fisik secara umum, domba masih tampak normal dan gerakan
tubuh masih cukup aktif. Pemeriksaan selaput mukosa mata, hidung, mulut, dan anus, tidak
menunjukkan keadaan anemik atau hiperemik. Pemeriksaan hidung tidak terlihat adanya
leleran. Cermin hidung terlihat kering. Pada kondisi tubuh, domba tampak kurus, dilihat
dari flank yang cekung. Pemeriksaan limfoglandula tidak menunjukkan kebengkakan.
Secara keseluruhan tidak ditemukan perubahan gejala klinis yang spesifik pada domba.
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah meliputi rata-rata jumlah total sel darah putih, limfosit, monosit,
granulosit, sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit.
Jumlah Total Sel Darah Merah
Hasil pemeriksaan rata-rata sel darah merah total disajikan pada Gambar 1. Pemeriksaan
sel darah merah pada minggu ke-1 menunjukkan hasil 6,495x106/uL kemudian pada
minggu ke-2 menjadi 1,62x106/uL. Pada minggu ke-3 dan ke-4 mengalami kenaikan
menjadi 2,095x106/uL dan 7,275x106/uL. Penurunan terjadi pada minggu ke-5 menjadi
6,95x106/uL dan meningkat pada minggu ke-6 menjadi 8,385x106/uL. Pada minggu ke-7
dan ke-8 terjadi penurunan menjadi 7,09x106/uL dan 6,675x106/uL. Peningkatan terjadi
pada minggu ke-9 menjadi 7,84x106/uL tetapi pada minggu ke-10 turun menjadi
7,77x106/uL.Dari hasil pemeriksaan pada minggu ke-1 sampai ke-10, total sel darah merah
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
140
lebih rendah dibanding normal. Menurut Weiss dan Wardrop (2010), jumlah normal sel
darah merah pada domba berkisar antara 9-15x106/uL (rata-rata 12x106/uL). Menurut
Javed, et.al., (2010) tuberkulosis menyebabkan penurunan eritrosit.
Gambar 1. Grafik rata-rata total sel darah merah (106/uL) selama 10 minggu dibanding
rata-rata normal
Hemoglobin
Hasil pemeriksaan rata-rata hemoglobin disajikan pada Gambar 2. Hasil pemeriksaan
menunjukkan hasil 17,85g/dL pada minggu ke-1 kemudian menurun pada minggu ke-2 dan
ke-3 menjadi 9,2g/dL dan 8,05g/dL. Pada minggu ke-4 terjadi peningkatan menjadi
9,6g/dL tetapi turun kembali pada minggu ke-5 menjadi 8,95g/dL. Peningkatan terjadi
pada minggu ke-6 menjadi 10,6g/dL tetapi turun pada minggu ke-7 dan ke-8 menjadi
8,75g/dL dan 7,5g/dL. Pada minggu ke-9 terjadi peningkatan menjadi 9,8g/dL dan turun
pada minggu ke-10 menjadi 9,7g/dL.
Gambar 2. Grafik rata-rata hemoglobin (/uL) selama 10 minggu dibanding rata-rata
normal
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
141
Pada minggu ke-3,5,7, dan ke-8, hemoglobin lebih rendah dari normal. Menurut
Weiss dan Wardrop (2010), hemoglobin normal pada domba berkisar antara 9-15g/dL
(rata-rata 11,5g/dL). Menurut Javed, et.al., (2010) pada tuberkulosis terjadi penurunan
pada nilai hemoglobin.
Hematokrit
Hasil pemeriksaan rata-rata hematokrit disajikan pada Gambar 3. Pemeriksaan
hematokrit pada minggu ke-1 menunjukkan hasil 29,75% kemudian turun menjadi 7,1%
pada minggu ke-2. Peningkatan terjadi pada minggu ke-3 dan ke-4 menjadi 9,5% dan
34,5%. Pada minggu ke-5 turun menjadi 33,2% dan meningkat menjadi 41,2% pada
minggu ke-6. Penurunan terjadi pada minggu ke-7 dan ke-8 menjadi 34,9% dan 32,7%.
Pada minggu ke-9 terjadi peningkatan menjadi 37,8 tetapi sedikit menurun pada minggu
ke-10 menjadi 36,9%.
Hasil pemeriksaan hematokrit minggu ke-2 dan ke-3 lebih rendah daripada normal.
Pada minggu yang lain, hasil pemeriksaan hematokrit masih dalam kisaran normal tetapi
mengalami penurunan pada minggu ke-10 dibandingkan pengambilan pada minggu
sebelumnya. Menurut Weiss dan Wardrop (2010), hematokrit normal pada domba berkisar
antara 27-45% (rata-rata 35%). Menurut Shettar, et.al., (2011) penurunan nilai hematokrit
dapat disebabkan karena penyakit sudah berada pada fase kronis dan terjadi atrofi pada
sumsum tulang.
Gambar 3. Grafik rata-rata hematokrit (%) selama 10 minggu dibanding rata-rata normal
Jumlah total sel darah putih
Pemeriksaan jumlah total sel darah putih atau leukosit terdapat pada Gambar 4.
Hasil menunjukkan bahwa jumlah total leukosit minggu ke-1 dari 86,85x103/uL menurun
menjadi 15,55x103/uL pada minggu ke-2 dan 11,5x103/uL pada minggu ke-3. Pada minggu
ke-4 mengalami sedikit kenaikan menjadi 14,75 WBC tetapi minggu ke-5 turun menjadi
13,45x103/uL dan kembali menjadi 14,75x103/uL pada minggu ke-6. Pada minggu ke-7,
leukosit menurun menjadi 9,4x103/uL kemudian mengalami kenaikan menjadi
10,75x103/uL, 14,25x103/uL, 15,05x103/uL pada minggu 8, 9, dan ke 10.
Dari hasil pemeriksaan, sel darah putih lebih tinggi dibanding rata-rata normal pada
minggu ke-1,2,4,5,6,8,9,10. Menurut Weiss dan Wardrop (2010), normal sel darah putih
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
142
pada domba berkisar antara 4-8x103/uL (rata-rata 12x103/uL). Peningkatan total sel darah
putih pada minggu ke-1 mungkin disebabkan karena awal infeksi dari M. bovis (infeksi
akut) kemudian menurun setelah infeksi sudah bersifat kronis.Saat bakteri memasuki paru-
paru, makrofag akan menyebabkan respon keradangan dengan memobilisasi leukosit dari
darah. Migrasi leukosit menuju daerah alveolar menunjukkan infeksi aktif dari
Mycobacterium (Andersson, et.al.,2011). Javed, et.al., (2010) menambahkan, pada
pemeriksaan hematologi dapat terjadi leukositosis dan leukopenia tergantung fase dan
perkembangan penyakit.
Gambar 4. Grafik rata-rata jumlah total sel darah putih (103/uL) selama 10 minggu
dibanding rata-rata normal
Jumlah sel neutrofil
Hasil pemeriksaan rata-rata jumlah neutrofil disajikan pada Gambar 5. Pemeriksaan
jumlah neutrofil segmen pada minggu ke-1 menunjukkan hasil 26,05x103/uL kemudian
turun menjadi 2,5x103/uL dan 1,8x103/uL pada minggu ke-2 dan ke-3. Pada minggu ke-4
mengalami sedikit kenaikan menjadi 5,65x103/uL, tetapi turun kembali menjadi
3,9x103/uL pada minggu ke-5. Peningkatan terjadi pada minggu ke-6 menjadi 5,1x103/uL
dan turun pada minggu ke-7 menjadi 2,85x103/uL. Pada minggu ke-8 dan ke-9 terjadi
peningkatan menjadi 4,05x103/uL dan 5x103/uL kemudian turun menjadi 4,45x103/uL
pada minggu ke-10.
Jumlah neutrofil lebih tinggi dibanding normal pada minggu ke-1 sedangkan
minggu ke-2 sampai ke-10 masih berada dalam batas normal. Peningkatan terjadi pada
minggu ke-8 dan 9 dibanding hasil pada minggu sebelumnya. Menurut Weiss dan Wardrop
(2010), jumlah normal neutrofil pada domba berkisar antara 0,7-6x103/uL (rata-rata
2,4x103/uL. Menurut Andersson, , et.al., (2011) sel fagosit pertama yang menuju tempat
infeksi adalah neutrofil yang teraktivasi oleh produk mikrobial. Aktivasi neutrofil akan
meningkatkan imunitas dengan memproduksi antimikrobial peptida, pelepasan granula,
dan memperpanjang masa hidup sel.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
143
Gambar 5. Grafik rata-rata jumlah neutrofil (103/uL) selama 10 minggu dibanding rata-
rata normal
Jumlah sel limfosit
Hasil pemeriksaan nilai rata-rata sel limfosit dapat dilihat pada Gambar 6.
Pemeriksaan jumlah sel limfosit pada minggu 1 adalah 49,65x103/uL kemudian menurun
pada minggu ke-2, 3, 4 menjadi 11,35x103/uL, 8,3x103/uL, dan 8x103/uL. Pada minggu ke-
5 mengalami sedikit kenaikan menjadi 8,55 tetapi turun kembali pada minggu ke-6
menjadi. Pada minggu ke-7 terjadi penurunan mejadi 5,65x103/uL dan 5,55x103/uL pada
minggu ke-8. Peningkatan terjadi pada minggu ke-9 dan 10 menjadi 8x103/uL dan
8,7x103/uL.
Peningkatan jumlah sel leukosit hanya terjadi pada minggu ke-1 dan 2 sedangkan
minggu ke-3 sampai ke-10 masih berada dalam batas normal. Peningkatan terjadi pada dua
minggu terakhir pengambilan sampel dibanding dengan minggu sebelumnya. Menurut
Weiss dan Wardrop (2010), jumlah normal sel limfosit pada domba berkisar antara 2-
9x103/uL (rata-rata 5 x103/uL).
Gambar 6. Grafik rata-rata jumlah sel limfosit (103/uL) selama 10 minggu dibanding
rata-rata normal
Menurut Beechler, et.al., (2009) infeksi akut tuberkulosis menyebabkan kenaikan limfosit.
Limfosit akan mengalami penurunan saat penyakit berada pada fase kronis. Menurut
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
144
Nagata dan Koide (2012) Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri intraseluler
fakultatif yang bertahan di fagosom makrofag alveolar.
Jumlah sel monosit
Hasil pemeriksaan jumlah sel monosit dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil
pemeriksaan monosit pada minggu ke-1 adalah 11,2x103/uL kemudian menurun dari
minggu ke-2 sampai minggu ke-5 berturut-turut menjadi 1,7x103/uL, 1,4x103/uL,
1,1x103/uL, 1x103/uL. Hasil pada minggu ke-6 mengalami sedikit kenaikan menjadi 1,3,
tetapi turun pada minggu ke-7 menjadi 0,9x103/uL. Pada minggu ke-8,9,10 terjadi
peningkatan menjadi 1,15x103/uL, 1,25x103/uL, dan 1,9x103/uL.
Gambar 7. Grafik rata-rata jumlah sel monosit (103/uL) selama 10 minggu dibanding
rata-rata normal
Berdasarkan pemeriksaan, jumlah monosit dari minggu ke-1 sampai minggu ke-10
lebih tinggi dibanding normal. Menurut Weiss dan Wardrop (2010), jumlah normal sel
monosit pada domba berkisar antara 0-0,75x103/uL (rata-rata 0,2x103/uL) dan persentase
distribusi normal monosit berkisar antara 10-50% (rata-rata 30%). Menurut Junior dan
Henriques (1997) akumulasi neutrofil di daerah radang akan menyebabkan aktivasi pada
sel monosit untuk melakukan fagositosis. Monosit akan berubah menjadi makrofag yang
mampu mengeliminasi Mycobacterium. Shettar, et.al., (2011) menambahkan, monosit
memiliki peran penting dalam respon seluler terhadap basilus tuberkel dan bertanggung
jawab untuk melakukan degradasi fosfolipid pada dinding sel bakteri. Monosit kemudian
berubah menjadi sel epithelioid yang merupakan bagian dari granuloma tuberkulosis. Oleh
karena itu, monositosis dapat dianggap sebagai bukti proses aktif yang ekstensif dari
tuberkulosis.
Pemeriksaan fungsi hati
Pemeriksaan fungsi hati meliputi pemeriksaan nilai SGOT dan SGPT. Hasil
pemeriksaan fungsi hati ditampilkan pada Gambar 8 dan Gambar 9. Pada pemeriksaan
SGOT minggu ke-7 menunjukkan hasil 156uL kemudian turun pada minggu ke-8 menjadi
95,586,5uL. Hasil pada minggu ke-9 adalah 95,5uL kemudian menurun pada minggu ke-
10 menjadi 79,5uL. Pada pemeriksaan SGPT minggu ke-7 menunjukkan hasil 10,5uL
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
145
kemudian turun menjadi 10uL pada minggu ke-8. Hasil pada minggu ke-9 adalah 10,5uL.
Hasil pada minggu ke-10 adalah 10,5uL.
Hasil pemeriksaan SGOT menunjukkan nilai lebih tinggi dibanding batas bawah
SGOT normal. Pada pemeriksaan SGPT terjadi peningkatan hasil pada dua minggu
terakhir pengambilan sampel. Menurut Weiss dan Wardrop (2010) jumlah SGOT normal
pada domba berkisar antara 49-123uL sedangkan jumlah SGPT normal pada domba
berkisar antara 15-44uL.
Gambar 8. Grafik rata-rata SGOT (uL) selama 10 minggu dibanding rata-rata normal
Gambar 9. Grafik rata-rata SGPT (uL) selama 10 minggu dibanding rata-rata normal
Menurut Shettar, dkk., (2011) terjadi peningkatan level SGPT dan SGOT pada
infeksi tuberkulosis. Peningkatan nilai SGPT dan SGOT dalam serum merupakan indikasi
gangguan hepatoseluler. Ketika terjadi kelukaan hati, enzim ini akan keluar ke aliran darah
dari jaringan yang rusak dan menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dalam serum
(Shyamjith dan Rao, 2013).
Pemeriksaan fungsi ginjal
Pemeriksaan fungsi ginjal meliputi pemeriksaan nilai Blood Urea Nitrogen (BUN)
dan nilai kreatinin. Hasil pemeriksaan fungsi ginjal ditunjukkan pada Gambar 10 dan
Gambar 11. Pemeriksaan BUN pada minggu ke-7 menunjukkan hasil 15,2mg/dL kemudian
menurun menjadi 13,2mg/dL pada minggu ke-8. Pada minggu ke-9 kembali naik menjadi
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
146
15,9mg/dL dan pada minggu ke-10 menjadi 23,85mg/dL. Pemeriksaan kreatinin pada
minggu ke-7 menunjukkan hasil 0,5mg/dL kemudian sedikit mengalami kenaikan pada
minggu ke-8 menjadi 0,65mg/dL. Pada minggu ke-9 menunjukkan hasil 0,6mg/dL
kemudian mengalami sedikit penurunan pada minggu ke-10 menjadi 0,55mg/dL.
Hasil pemeriksaan menunjukkan BUN masih berada dalam kisaran normal tetapi
cenderung mengalami peningkatan sedangkan kreatinin berada di bawah kisaran normal
tetapi cenderung mengalami peningkatan sampai minggu terakhir. Menurut Weiss dan
Wardrop (2010) nilai BUN normal antara 10-26mg/dL sedangkan kreatinin antara 0,9-
2,0mg/dL.
Gambar 10. Grafik rata-rata BUN (mg/dL) selama 10 minggu dibanding rata-rata normal
Gambar 11. Grafik rata-rata serum kreatinin (mg/dL) selama 10 minggu dibanding rata-
rata normal
Menurut Silva, dkk., (2011) infeksi M.bovis dapat menyebabkan peningkatan level
BUN dan kreatinin. Oevermann, et.al., (2004) menambahkan, peningkatan BUN dan
kreatinin mungkin disebabkan oleh prerenal uremia.
KESIMPULAN
Pemeriksaan darah rutin menunjukkan peningkatan pada total sel darah putih,
neutrofil, limfosit, dan monosit. Penurunan terjadi pada total sel darah merah, hemoglobin,
dan hematokrit. Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan peningkatan SGOT dan SGPT,
fungsi ginjal juga menunjukkan adanya peningkatan BUN dan kreatinin.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
147
DAFTAR PUSTAKA
Andersson, M., Lutay, N., Hallgren, O., Thorsson, G.W., Svensson, M., Godaly, G. 2011.
Mycobacterium bovis bacilli Calmette-Guerin regulates leukocyte Recruitment by
Modulating Alveolar Inflammatory Responses. Journal 18(3) 531-540.
Beechler, B.R., Jolles, A.E. dan Ezenwa, V.O. 2009. Evaluation Of Hematologic Values in
Free-Ranging African Buffalo (Syncerus Caffer). Journal of Wildlife Diseases,
45(1), pp. 57–66.
Carter, G.R. dan Wise, D. J. 2004. Essensial of Veterinary Bacteriology and Mycology.
Edisi ke 6. Iowa : Blackwell Publishing : 207-213.
Headley, S.A. 2002. Systemic Bovine Tuberculosis: A Case Report. v. 23, n. 1, p. 75-79.
Hirsh, D. C., MacLachlan, N. J. dan Walker, R. L. 2004. Veterinary Microbiology. Edisi ke
2. Iowa : Blackwell Publishing: 223-225.
Javed, M.T., Ahmad, L., Irfan, M., Ali, I., Khan, A., Wasiq, M., Farooqi, F.A., Shahid,
A.L. dan M. Cagiola, M. 2010. Haematological and Serum Protein Values in
Tuberculin Reactor and Non-Reactor Water Buffaloes, Cattle, Sheep and Goats. Pak
Vet J, 30(2): 100-104.
Junior, O.M. dan Henriques, M.G. 1997. Mechanisms of Cell Accumulation Induced by
Mycobacterium bovis BCG. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, Vol. 92,
Suppl.II : 227-232, 1997 227.
Murtidjo, B.A. 1993. Memelihara Domba. Jakarta : Penerbit Kanisius.
Nagata, T. dan Koide, Y. 2012. Immune Responses Against Mycobacterium tuberculosis
and the Vaccine Strategies. ISBN: 978-953-307-942-4.
Quinn, P. J., Carter, M.E., Markey, B.K., Carter, G.R. 2004. Clinical Veterinary
Microbiology. London : Mosby : 156-166.
Rocha, V.C.M., Correa, S.H.R., Oliveira, E.M.D., Rodriguez, C.A.R., Fedullo,J.D., Setzer,
A., Ikuta, C.Y., Vejarano, M.P., Figueiredo, S.M. dan Ferreira, J.S. 2010.
Tuberculosis Determined by Mycobacterium bovis in Captive Waterbucks (Kobus
ellipsiprymnus) in Sao Paulo, Brazil. Brazilian Journal of Microbiology 42: 726-728.
Shettar, M., Nalini, T.S., Kumar, K.R.A., Ravikumar, P. Dan Azeemulla, H.R. 2011.
Hematological and Biochemical Studies in Tuberculin TestPositive Reactors.
International Journal of Pharma and Bio Sciences. Vol. 2.Issue 4.
Shitaye, J.E., Tsegaye, W., Pavlik, I. 2007. Bovine Tuberculosis Infection in Animal and
Human Populations in Ethiopia: A Review. Veterinarni Medicina, 52: 317–332.
Shyamjith, M. dan Rao, S.N. 2013. Effect of Ethanolic Extract of Phyllanthus Amarus and
Tylophora Indica on Isoniazid Induced Hepatic Injury in Wistar Albino Rats.
International Journal of Applied Biology and Pharmaceutical Technology. Vol.
4.Issue 2.
Silva, U.V., Viana, L.S., Castro, P.T., Almeida, R.D.S., Silva, R.S.P. 2011. Fatal Sepsis
after Intravesical Instillation of BCG.Rev Bras Ter Intensiva. 23(1):104-107.
Weiss, D.J. dan Wardrop, K.J. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. Edisi ke 6. USA :
Wiley Blackwell: 263,265,281,290,298,837.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
148
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
149
DISTRIBUSI SARAF PADA VENTRIKULUS KELELAWAR (Pteropus vampyrus)
ASAL PULAU TIMOR DENGAN PEWARNAAN ANTI-PROTEIN GENE
PRODUCT (PGP) 9.5
Yulfia Nelymalik Selan
Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana Kupang, email:
ABSTRACT
Pteropus vampyrus is a fruit bat that plays an important role in ecosystem. As one
of main part of digestive system, Ventriculus is key organ that runs enzymatic and
chemistry process. With a help from enteric nervous system (ENS), Ventriculus facilitates
food absorption in intestine. The main purpose of this research is to explore
Ventriculus nerve distribution of Pteropus vampyrus using Anti Protein Gene Product
(PGP) 9.5. 5 bats had anesthetized with ketamine and xylazine, continued with intracardial
perfusion with 0.9% physiological NaCl, then fixated with 10% buffer formalin,
constructed the ventriculus tissue and lastly applied IHC with PGP 9.5 (1:5000;
Ultraclone, UK). The results had been analysed and presented in descriptive manner and
pictures. This research successfully showed curvature minor and curvature major of
ventriculus. Those two curvature then enlarge and forming a sac that consists of cardia,
fundus and pylori without a presence of non-glands area. Sub mucosal plexus are located
at tunica submucosa and plexus mientericus between longitudinal and circular muscles at
tunica muscularis. Nerve distribution of these three areas are similar. There are ganglia
and nerves between longitudinal and circular muscles.
Key word: Pteropus vampyrus, ventriculus, enteric nervous system (ENS)
PENDAHULUAN
Kelelawar merupakan mamalia terbang dan termasuk dalam ordo Chiroptera (Hill
dan Smith, 1984).Kelelawar memiliki peranan penting dalam ekosistem, yaitu sebagai
pengontrol serangga hama, penyerbuk bunga dan penyebar bijian serta berperan penting
dalam komunitas hutan (Nowak, 1995). Ordo Chiroptera terdiri dari dua subordo yaitu
Megachiroptera atau kelalawar yang berukuran besar, umumnya pemakan buah-buahan
dan Microchiroptera atau kelelawar yang berukuran kecil, umumnya pemakan serangga
(Eisentraut, 1975). Subordo Microchiroptera kebanyakan adalah pemakan serangga
(insectivora). Ada juga penghisap darah (sanguivora), misalnya Desmodus vampirus; dan
penghisap madu misalnya (Leptonycteris curasoae). Subordo Megachiroptera adalah
pemakan buah (frugivora), juga memakan serbuk sari (polen) dan nektar. Subordo ini
terdiri atas 1 famili, yaitu Pteropodidae dengan 42 genus dan 166 spesies (Nowak, 1994).
Ciri subordo ini adalah memiliki ukuran relatif besar (berat badan 10-1500 g dengan
bentangan sayap hingga 1700 mm), memiliki mata basar, telinga tidak memiliki tragus,
moncong sederhana dan ekor tidak berkembang, jari kedua dan ketiga terpisah relatif jauh
dan memiliki cakar pada jari kedua, kecuali pada Eonycteris, Dobsonia, dan Neopterix
(Altringham, 1996).
Kelelawar merupakan salah satu fauna yang termasuk troglozene yaitu fauna yang
secara teratur masuk kedalam gua untuk berlindung, beristirahat, berkembang biak, tetapi
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
150
mencari makan di luar gua. Meskipun hanya sebagian hidupnya berada di dalam gua,
hewan yang tergolong troglozene telah beradaptasi dengan kondisi gua yang gelap
(Vermeulen dan Whitten, 1999). Hewan ini juga mengeluarkan suara ultrasonik untuk
melakukan navigasi di tempat gelap, ekolokasi. Suara yang dikeluarkan dipantulkan oleh
benda yang ada di sekelilingnya, sehingga kelelawar dapat mengetahui adanya rintangan,
jalan yang harus dilalui dan dapat mendeteksi mangsa.
Pteropus vampyrus adalah kelelawar yang memiliki berat badan mencapai 1500 g
dan memiliki wajah mirip dengan anjing (Medway, 1969; Suyanto, 2001). Ciri Pteropus
vampyrus yaitu memiliki telinga yang panjang dan runcing, tidak mempunyai ekor, rambut
pada bagian bahu (mantel) berwarna coklat kekuningan, sedangkan daerah dada, perut dan
punggung berwarna hitam, jari kedua memiliki cakar (Lekagul dan McNeely, 1977).
Pteropus vampyrus termasuk dalam appendix II (IUCN, 2012).
Ventrikulus adalah kantung yang dapat dikelompokan menjadi ventrikulus
tunggal dan ventrikulus ganda, pada kuda, anjing dan babi adalah ventrikulus tungal
berkelenjar yang dibedakan menjadi zona esofagea, zona kardia, zona fundus dan zona
pilorika. Fungsi dan aktivitas saluran pencernaan diatur oleh enteric nervous system (ENS)
yang terletak pada dinding saluran pencernaan, dikelompokkan menjadi pleksus
mienterikus (Auerbach) yang terletak diantara otot longitudinal dan sirkular pada tunika
muskularis dan pleksus submukosa (Meissner) terletak di tunika submukosa (Goyal dan
Hirano 1996; Wood 2000).
ProteinGeneProduct(PGP) 9.5merupakan enzim, yaitu ubiquitin karboksil-
terminal hidrolase,yang terdapatpada neuron dan neuroendokrinsel (Wilkinson et al.,
1989). ProteinGeneProduct(PGP) 9.5merupakan anggota keluargaC-terminal
ubiquitinhidroksilasedan kelimpahannya dalam saraf, sehinggadapat digunakan sebagai
petanda pada saraf perifer (Thompson et al., 1983; Karanth et al., 1991). Pada penelitian
sebelumnya, saraf pada esofagus hamster yang ditandai menggunakan PGP 9.5
menunjukkan kepadatan neuron pada pleksus mienterikus bagian thorak lebih sedikit
disbanding bagian servikal esofagus (Izumi et al., 2002). Pada domba, dengan petanda
PGP 9.5 menunjukkan bahwa pleksus submukosa di rumen tidak teratur dan beberapa
kumpulan saraf menembus papilla rumen. Pada retikulum, pleksus submukosa terdapat
dalam dinding retikular dan lipatan retikular, berbeda dengan pleksus submukosa di
omasum yang terbagi dalam segmen pleksus intraluminar dan pleksus subluminar
(Yamamoto et al., 1995).
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Materi yang dipakai adalah ventrikulus kelelawar asal Timor sebanyak 5 ekor yang
diambil dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Larutan
phosphate buffer saline (PBS), Pewarna Hematoksilin, Antibodi primer anti PGP 9.5
(rabbit; 1:5000; Ultraclone, UK), Starr Trek Universal HRP Detection (Biocare Medical,
USA), Formalin buffer 10%, Parafin, Larutan Etanol (70%, 80%,90%, 100%), Xilol
100%, Aquades.
Kelelawar dianestesi, dilakukan proses perfusi jaringan kemudian koleksi jaringan
ventrikulus dengan ketebalan irisan 1 cm dan dimasukan ke dalam tissue casset, biarkan
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
151
dibawah air mengalir selama 30 menit. Proses dehidrasi dilakukan dengan merendam
didalam larutan etanol bertingkat 70%, 80%, 90%, absolute I, II dan III masing-masing
selama 60 menit. Proses selanjutnya yaitu penjernihan (clearing) dengan larutan xilol
absolut sebanyak tiga kali pemindahan. Dilanjutkan proses infiltrasi ke dalam larutan
parafin sebanyak tiga kali pemindahan masing-masing 60 menit pada suhu 60oC. Jaringan
di tanam dalam parafin cair, kemudian didinginkan dalam suhu kamar sehingga menjadi
blok parafin. Sayatan diambil kemudian diletakkan dipermukaan air hangat dengan suhu
45oC dan ditempelkan pada coated slide gelatin,kemudian dikeringkan pada suhu kamar.
Setelah kering preparat diinkubasi pada suhu 37oC dengan posisi horizontal selama satu
malam, selanjutnya dilakukan pewarnaan imunohistokimia dengan metode strepavidin
biotin menggunakan antibodi primer rabbit anti PGP 9.5 (1:5000; Ultraclone, UK). Metode
pewarnaan dimodifikasi dari Kusindarta et al., 2003. Pewarnaan imunohistokimia diawali
dengan proses deparafinisasi dan rehidrasi yaitu: rendam dalam xilol absolut I, II, III
masing-masing selama 5 menit, direndam dalam etanol absolut I, II, III masing-masing
selama 5 menit, rendam dalam etanol 90%, 80%, 70% masng-masing selama 5 menit.
Kemudian jaringan dibilas tiga kali dalam larutan Phosphatase buffered saline (PBS) pada
suhu ruangan masing-masing 5 menit. Bloking endogenous peroksidase pada jaringan
dengan 0,3% H2O2 dalam metanol selama 30 menit, kemudian bilas dengan PBS tiga kali
masing-masing 5 menit. Untuk memblok latar belakang (backgraound) jaringan,
dipergunakan larutan background sniper (Biocare Medical, USA) selama 10 menit pada
suhu ruangan.
Antibodi primer anti PGP 9,5 diteteskan pada jaringan. Jaringan kontrol negatif
tidak diberi antibodi primer. Sediaan diletakkan secara horizontal pada kotak yang lembab
dan ditutupi pada suhu 4oC selama semalam. Hari berikutnya, jaringan dibilas dengan PBS
sebanyak tiga kali masing-masing 5 menit, kemudian ditetesi antibodi sekunder Trakkie
Universal Link (Biocare Medical, USA), dengan inkubasi selama 20 menit, kemudian bilas
dengan PBS sebanyak tiga kali masing-masing 5 menit. Kemudian jaringan ditetesi dengan
larutan kompleks TrakkieAvidin-HRP (Biocare Medical, USA) yang diinkubasi selama 10
menit. Selanjutnya jaringan dibilas dengan menggunakan PBS sebanyak tiga kali masing-
masing 5 menit.
Segera setelah dibilas, sediaan kemudian diinkubasi dengan larutan BetazoidDAB
+ substrat selama 5 menit selanjutnya sediaan dibilas dengan aquades sebanyak 10
celupan. Jaringan diwarnai Hematoxilin sebagai counterstain selama 1 menit, kemudian
cuci dibawah air mengalir selama 5 menit dan bilas dengan aquades sebanyak 30 detik.
Kemudian dilanjutkan dengan proses dehidrasi menggunakan etanol bertingkat 70%, 80%,
90%, absolute I, II, dan III dilanjutkan dengan clearing menggunakan xilol, kemudian
coverslip dengan menggunakan Canada balsam.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ventrikulus Pteropus vampyrus terletak dibagian kiri rongga abdomen yang
terdiri dari curvature mayor mengalami perluasan seperti kantung dan curvature minor
(Gambar 1).Ventrikulus Pteropus vampyrus tersusun atas area kardia, fundus dan pilorus
dan tidak memiliki area non-kelenjar (Gambar 1). Hal ini mirip dengan ventrikulus Myotis
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
152
Sp. yang dilaporkan oleh Ariana dan Budipitojo (2000). Area fundus pada Pteropus
vampyrus lebih luas dibanding kardia dan pilorika, hal ini mirip dengan ventrikulus babi
hutan Vietnam yaitu area fundus lebih luas dibanding dengan area kardia dan pilorika
(Trang et al., 2012). Ventrikulus merupakan tempat penyimpanan sementara bolus yang
kemudian akan diteruskan ke intestinum tenue. Bentuk dan ukuran ventrikulus tergantung
pada ras, umur, ukuran tubuh dan ketersediaan pakan (Kararli, 1995; Hildebrand dan
Goslow, 2001).
Gambar 1. Makroskopik ventrikulus Pteropus vampyrus. A: gambaran makroskopik
ventrikulus; B: Skematis ventrikulus : kardia (k), fundus (f) dan pilorika (p),
curvature minor (↑), curvature mayor (↑↑) yang berbentuk kantung; C:
ventrikulus tampak medial, Seluruhnya merupakan daerah kelenjar yaitu kardia
(k) yaitu bagian awal yang berbatasan dengan esofagus (↑), fundus (f) yang
adalah bagian tengah dan pilorika (p) adalah bagian akhir yang berbatasan
dengan duodenum (↑↑). Scale bar : 5cm.
Secara histologi ventrikulus Pteropus vampyrus tersusun atas tunika mukosa,
tunika submukosa, tunika muskularis dan tunika serosa. Tunika mukosa terdiri dari lamina
epitelialis mukosa yang berbentuk kolumner simpleks. Terdapat sel permukaan yang tidak
memiliki tepi sikat. Distribusi saraf pada ketiga area sama yaitu ditemukan ganglia dan
nervus diantara otot longitudinal dan otot sirkular (Gambar 2). Ganglia dan nervus juga
ditemukan pada tunika submukosa, otot longitudinal maupun otot sirkular (Gambar 2).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
153
Gambar 2. Ventrikulus Pteropus vampyrus dengan IHC anti PGP 9.5. A: pleksus
mienterikus : nervus (↑), ganglia juga ditemukan pada otot longitudinal dan
otot sirkular (kepala panah); insert: ganglia (kepala panah), nervus (↑) B:
pleksus submukosa (↑↑), ganglia ditemukan diantara otot longitudinal dan
sirkular. Scale bar: 20µm.
Keberadaan ganglia dan nervus pada tunika submukosa dan tunika muskularis di
ventrikulus diduga berperan dalam proses penyimpanan pakan, produksi kimus dan mukus
dapat terjadi secara baik, serta menjaga kontraksi otot polos terutama pada daerah kardia
sehingga pakan yang telah sampai ke ventrikulus tidak balik lagi ke esofagus (muntah).
Pada kelinci, sfingter di daerah kardia yang berdinding tipis, non-glandular dan pergerakan
intrinsik untuk mencegah muntah (O’Malley, 2005). Ganglia dan nervus pada ventrikulus
juga diduga berperan dalam reflek otot untuk pengosongan ventrikulus menuju duodenum.
Enterik nervus sistem terdiri dari ribuan ganglia dan neuron yang terletak di dinding
saluran pencernaan. setiap ganglia dihubungkan oleh serabut saraf yang menginervasi otot-
otot dinding saluran pencernaan, epithel mukosa dan perubahan aliran darah lokal serta
mampu mengontrol reflek aktivitas otot-otot pada saluran pencernaan. Ganglia pada
saluran pencernaan termasuk ganglia intramural yaitu ganglia yang berada atau dekat
dengan organ yang diinervasi. Ganglia ini berperan dalam kontrol kontraksi dan relaksasi
peristaltik secara normal (VeeremanWauters, 1996).
DAFTAR PUSTAKA
Altringham, J. D. 1996. Bats. Biology and Behavior. Oxford University press. New York.
Ariana., dan Budipitojo, T. 2009. Morfologi dan Morfometri Struktur Anatomis Lambung
Codot (Rousettus sp.) dan Lawa (Myotis sp.) J. Sain Vet. 27: 76-81.
Eisentraut, M. 1975. The Bats Dalam: Grizimek’s Animals Life Encyclopedia, Mammals
11, Edisi 1., van Nonstrand Reinhold company, New York. 67-148.
Goyal, R. K. dan Hirano, I. 1996. The Enteric Nervous System. N. Engl. J. Med.,
334:1106–1115.
Hildebrand, M dan Goslow, G. E. 2001. Analysis of Vertebrate Structure, dalam John
Wiley and Sons, New York, NY, USA, Ed ke-5.
Hill, J. E. dan Smith, J. D. 1984. Bats A Natural History. Universitas of Texas press.
London.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
154
Izumi, N., Matsuyama, H., Yamamoto, Y., Atoji, Y., Suzuki, Y., Unno, T., dan Takewaki,
T. 2002. Morphological and morphometrical characteristics of the esophageal
intrinsic nervous system in the golden hamster. Eur. J. Morphol. 40:137-44.
IUCN. 2012. Pteropus vampyrus. IUCN Red List of Treatened Species, Version 2012. 2.
www.iucnredlist.org.
Karanth, S. S., Springall, D. R., dan Kuhn, D. M. 1991. An immunocytochemical study of
cutaneous innervation and the distribution of neuropeptide and protein gene product
9.5 in man and commonly employed laboratory animals. Am J Anat; 191: 369 - 383.
Kararli, T. T. 1995. Comparison of the gastrointestinal anatomy, physiology, and
biochemistry of humans and commonly used laboratory animals. Biopharmaceutics
and Drug Disposition. 16 : 351–380.
Kusindarta, D. L., Wijayanto, H., dan Atoji, Y. 2003. Intrinsic Inervation in the Tracheal
Smooth Muscle of the Large Flying Fox (Pteropus vampyrus): An
Immunohistochemical Study. Eurp.J. Morphology. 41: 111-116.
Lekagul, B., dan Mcneely, J. A. 1977. Mammals of Thailand. Association for the
Conservation of Wildlife, Bangkok, Thailand.
Medway, Lord. 1969. Wild mammals of Malaya (Peninsular Malaysia) and Singapore.
Oxford University Press, Kuala Lumpur, Malaysia.
Nowak, R. M. 1994. Walker’s Bat of the World. Baltimore: John Hopkins University Press.
Nowak, R.M. 1995. Walker’s Bat of the World. Baltimore: John Hopkins University Press.
O’Malley B. 2005. Clinical Anatomy and Physiology of Exotic Species: Structure and
Function of Mammals,Birds, Reptiles, and Amphibians. London, UK: Elsevier
Saunders.
Suyanto, A. 2001. Kelelawar di Indonesia, Publitbang Biologi LIPI, Bogor.
Trang, P. H., Ooi, P. T., Zuki,A. B. Z dan Noordin, M. M. 2012. Comparative
GastricMorphometry of Muong Indigenous and VietnameseWild Pigs. The
ScientificWorld Journal. 1- 9.
Thompson, R. J., Doran, J. F., Jackson, P., Dhillon, A. P., dan Rode, J. 1983. PGP 9.5-a
New Marker for Vertebrate Neurons and Neuroendocrine cells. Brain Res 278:224–
228.
VeeremanWauters G, 1996. Neonatal Gut Development and Postnatal Adaptation. Eur J
Pediatri. 155: 627-632.
Vermeulen, J. dan Whitten, T. 1999. Biodiversity and Cultural Property in the
Management of Limestone Resources – Lessons from East Asia. World Bank,
Washington, DC.
Wilkinson, K. D., Lee, K. M., Deshpande, S., Duerksen-Hughes, P., Boss, J. M., dan Pohl,
J. 1989. The Neuron-specific Protein PGP9.5 is a Ubiquitin Carboxylterminal
Hydrolase. Science; 246:670–673. Wood, J.D. 2000. Neuropathy in the Brain-in-Gut.
Eur. J. Gastroenterol Hepatol., 12:597–600.
Wood, J. D. 2000. Neuropathy in the Brain-in-Gut. European Journal of Gastroenterology
and Hepatology., 12: 597–600.
Yamamoto, Y., Atoji, Y., dan Suzuki Y. 1995. Morphological Study of the Submucosal
and Mucosal Plexuses of the Sheep Forestomach. Ann Anat.177:405-412.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
155
MAKALAH PENDUKUNG
(PRESENTASI POSTER)
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
156
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
157
GAMBARAN PATOLOGI ANATOMI DAN HISTOPATOLOGI DUODENUM
KAMBING KACANG (Capra aegagrus hircus) YANG DIGEMBALAKAN DI
TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) ALAK
DESCRIPTION ANATOMIC PATHOLOGY AND HISTOPATHOLOGY DUODENUM OF
KACANG GOATS (Capra aegagrus hircus) MAINTAINED AT ALAK DUMPING SITE
Yeremilo Haryantho Selly1, Yulfia Nelymalik Selan2, Antin Yeftanti Nugrahening
Widi3
1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
E-mail : [email protected] 2Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
E-mail : [email protected] 3Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
E-mail : [email protected]
ABSTRACT
Goats especially kacang goats is one kind goats that has been widely known in
Indonesia. Rearing of goats is closely connected with nutrients obtained. In the goat
rearing in NTT constraints faced is the limited forage which is the staple feed kacang goats
so that the farmers choose the semi-intensive and extensive system maintenance by
allowing goats to feed themselves in paddocks or in places that are not as prevalent as in
dumping site and the only dumping site in the city of Kupang is Alak dumping site. The
Alak dumping site encountered any kind of trash, both organic and inorganic stacked
together or separated. This is exactly what will lead to a high risk for goats if consuming
toxic materials contained in the trash and one is the risk of livestock suffered indigestion.
Thus, the purpose of this study was to describe the anatomical pathology and
histopathology of duodenum in kacang goats reared in Alak dumping site. The sample used
in this study amounted to six kacang goats consisting of four kacang goats maintained on
Alak dumping site and two kacang goats from non dumping site. Organs were observed
duodenum, by observing the anatomic pathology and histopathology. Using paraffin
method and HE staining. The results of the study showed that the duodenum organ kacang
goats reared on Alak dumping site macroscopically changes in the form of nodules,
mucosal thickening and hemorrhage, whereas the microscopic observation discovered the
existence of some kind of change such as inflammatory cell infiltration, damage to the villi
which includes the fusion of villi, necrosis, congestion and hemorrhage. There is no
macroscopic and microscopic changes in the duodenum organs from non dumping site
goats.
Keywords: Kacang goats (Capra aegagrus hircus), pathology anatomy of duodenum,
histopathology of duodenum, Alak Dumping Site.
PENDAHULUAN
Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah dikenal
secara luas dan banyak dipelihara oleh masyarakat di Indonesia. Ternak kambing memiliki
potensi produktivitas yang cukup tinggi. Kambing di Indonesia telah dimanfaatkan sebagai
ternak penghasil daging, susu, maupun keduanya (dwiguna).Kendala pemeliharaan
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
158
kambing di NTT adalah terbatasnya pakan hijauan yang merupakan pakan pokok ternak
kambing. Keterbatasan pakan menyebabkan peternak memilih sistem pemeliharaan semi-
intensif dan ekstensif dengan cara membiarkan ternak mencari pakan sendiri di padang
penggembalaan atau di tempat-tempat yang tidak lazim.
Tempat Pembuangan Akhir merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap
terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan,
pemindahan/pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. Tempat Pembuangan Akhir
diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya.
Karenanya diperlukan penyediaan fasilitas dan perlakuan yang benar agar keamanan
tersebut dapat dicapai dengan baik.Tempat Pembuangan Akhir Alak adalah satu-satunya
TPA yang ada di kota Kupang. Di TPA Alak ditemuisegala jenis sampah, baik organik
maupun anorganik yang ditumpuk secara bersama-sama/tidak dipisah.
Menurut observasi yang dilakukan, tidak sedikit masyarakat di sekitar lokasi TPA
Alak yang menggembalakan ternak kambingnya di lokasi TPA. Kambing yang
digembalakan pada TPA Alak beresiko mengalami gangguan saluran pencernaan akibat
dari mengkonsumsi sampah anorganik. Sampah tersebut akan masuk ke dalam tubuh
ternak kambing dan terdistribusi ke seluruh tubuh. Dengan demikian ternak kambing yang
mengkonsumsi sampah memiliki risiko tinggi terpapar bahan toksik yang terkandung
didalamnya dan salah satu resiko adalah gangguan pencernaan.
Bahan toksik yang terkonsumsi oleh kambing pada konsentrasi yang tinggi akan
menyebabkan kambing mengalami gastroenteritis (Darmono, 2001). Hal ini disebabkan
oleh reaksi rangsangan bahan toksik pada mukosa saluran pencernaan sehingga
menyebabkan pembengkakan dan gerak kontraksi rumen dan usus (duodenum) terhenti.
Akibat peristaltik duodenum menurun sehingga terjadinya konstipasi dan terkadang
mengalami diare (Darmono, 2001).
Duodenum mempunyai peranan utama dalam proses pencernaan terutama untuk
meneruskan sari-sari makanan yang berasal dari ventrikulus masuk ke usus. Duodenum
juga berperan sebagai tempat penyerapan sari-sari makanan (Bloom dan Fawcett, 1986),
sehingga bahan toksik dapat terserap oleh duodenum. Akibat terserapnya bahan toksik
maka akan beresiko mengalami gangguan berupa adanya lesi pada lapisan dinding
duodenum.
MATERI DAN METODE
Bahan utama berupa potongan jaringan 6 buah duodenum (2 ekor kambing jantan
dan 2 ekor kambing betina dari TPA, 1 ekor kambing jantan dan 1 ekor kambing betina
sebagai hewan kontrol), Analisis hasil dilakukan secara deskriptif, yaitu disajikan dalam
bentuk tabel dan gambar.
Sampel yang diambil berupa jaringan organ duodenum dari hewan hidup, sebelum
pengambilan sampel tersebut hewan dieutanasi dengan memutuskan saluran nafas, saluran
pencernaan dan pembuluh darah yang berada di sekitar daerah leher. Setelah dieutansi
hewan dinekropsi yaitu diawali dengan pembedahan post mortem dari linea alba kemudian
membuka bagian abdomen dan menemukan organ duodenum (Soeharmi dkk, 2003).
Selanjutnya diamati secara makroskopis meliputi warna, tekstur dan perubahan bentuk
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
159
yang terjadi pada organ. Pengambilan sampel duodenum dipotong dengan ukuran 1 cm x 1
cm x 1 cm dan difiksasi ke dalam larutan formalin 10 %.
Proses pembuatan sediaan histologi dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu :
Tahap pertama (pemrosesan jaringan), dilakukan melalui beberapa proses :proses fiksasi
kemudian diikuti proses dehidrasi, jaringan dicelupkan kedalam alkohol 70%, 80%, 95%
dan alkohol absolut. Proses selanjutnya adalah clearing dilakukan menggunakan xilol.
Dilanjutkan dengan proses infiltrasi paraffin.
Tahap 2 (embedding), cetakan disiapkan diatas tungku penghangat, selanjutnya
jaringan yang telah selesai diproses dimasukkan kedalam wadah yangsudah diisi dengan
parafin cair,didinginkan sehingga menjadi cetakan blok dan kemudian diberi label.
Tahap 3 (sectioning), blok parafin ditempatkan pada mikrotom yang dilengkapi
pisau dengan kemiringan 30o. Blok parafin dipotong dengan ketebalan 5 μm dan
dimasukkan kedalam waterbath bersuhu 50 oC. Potongan blok selanjutnya dipindahkan
pada permukaan object glass yang telah diberi nomor registrasi blok.
Tahap 4 (incubation), preparat diinkubasi diatas hot plate dengan suhu 50 oC (di
bawah titik cair parafin) selama 15 menit.
Pengecatan dilakukan dengan beberapa tahap, deparafinisasi yaitu dengan cara
dicelupkan pada larutan xilol I, xilol II dan xilol III, masing-masing selama 3 menit,
rehidrasi dengan cara dicelupkan ke alkohol absolut, alkohol 95%, 80%, 70% masing-
masing selama 3 menit. Sediaan lalu direndam dalam Harri’s Hematoxylline selama 10
menit dan dibilas dengan air mengalir selama 10 menit. Dilanjutkan dengan pewarnaan
Eosin selama 10 menit, kemudian dehidrasi menggunakan alkohol 70 %, 80 %, 95 %,
hingga absolut, masing-masing selama 30 detik, clearing dengan xilol I, xilol II dan xilol
III masing-masing selama 30 detik, mounting menggunakan canada balsam dan ditutup
dengan cover glass, dikeringkan dan amati dibawah mikroskop (Ndaong, 2013).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada pengamatan makroskopik organ duodenum kambing kacang (Capra
aegagrus hircus) yang digembalakan TPA Alak, terdapat perubahan-perubahan berupa
adanya nodul (Gambar 1B), penebalan mukosa (Gambar 1C) dan hemoragi (Gambar 1D).
Adapun gambaran terperinci perubahan patologi anatomi dari organ duodenum kambing
dapat dilihatpada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengamatan makroskopik (patologi anatomi) organ duodenum kambing
kacang
No Perubahan JA.I JA.II KJ BA.I BA.II KB
1. Adanya nodul √ √ - √ √ -
2. Penebalan mukosa - √ - √ - -
3. Hemoragi √ - - √ √ -
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
160
Keterangan : (JA.I) : jantan Alak I; (JA.II) : jantan Alak II; (KJ) : non TPA jantan; (BA.I) :
betina Alak I; (BA.II) : betina Alak II; (KB) : non TPA betina; (√) : terdapat
perubahan (adanya nodul, hemoragi, penebalan mukosa dan warna pucat); (-)
: tidak ada perubahan.
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui adanya nodul pada mukosa semua sampel
duodenum kambing yang berasal dari TPA Alak. Diameter nodul-nodul tersebut berkisar
antara 2 mm sampai dengan 4 mm (Gambar 1B). Penebalan sebagian mukosa terjadi pada
sampel jantan Alak I (JA.II) dan betina Alak I (BA.I) (Gambar 1C, Tabel 1). Hemoragi
ditemukan pada sampel jantan Alak I (JA.I), betina Alak I (BA.I) dan betina Alak II
(BA.II) (Gambar 1D, Tabel 1).
Gambar 1. Gambaran makroskopik duodenum kambing kacang non TPA dan yang
digembalakan di TPA Alak;(A) duodenum kambing non TPA; (B) Adanya
nodul (TPA Alak), (C) Penebalan mukosa (TPA Alak), (D) Adanya hemoragi
(TPA Alak).
Perubahan makroskopik yang terjadi pada organ duodenum kambing kacang
(Capra aegagrus hircus) yang digembalakan di TPA Alak diduga diakibatkan oleh
paparan bahan toksik maupun bahan kimia yang dikonsumsi bersama pakan sampah oleh
kambing secara terus menerus. Pada gambar 1B mukosa dudodenum mengalami
penonjolon atau nodul, hal ini disebabakan karena terjadinya hiperplasia sel radang untuk
merespon bahan toksik yang ikut diserap oleh mukosa duodenum. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Holmgren dan Czekinsky (2005) yang mengatakan bahwa sistem pertahanan
D
A B
C
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
161
mukosa usus akan berespon terhadap paparan yang terus menerus oleh mikroba patogen di
dalam lumen usus halus dan usus besar. Menurut Darmono (2001) bahan toksik yang
terkonsumsi oleh kambing akan diserap oleh duodenum sehingga menyebabkan
pembengkakan atau penebalan bagian mukosa seperti pada gambar 1C.
Hemoragi pada mukosa duodenum kambing yang berasal dari TPA Alak, diduga
akibatpaparan bahan toksik dan bahan kimia lain secara terus menurus (Gambar 1D).
Menurut Daft dkk (1989) peningkatan jumlah sel dalam pembuluh darah yang terjadi terus
menerus akan menyebabkan pembuluh darah akan pecah sehingga mengakibatkan
hemoragi.
Pada pengamatan secara mikroskopik terhadap duodenum kambing kacang
(Capra aegagrus hircus) yang digembalakan di TPA Alak ditemukan adanya beberapa
jenis perubahan, yaitu adanya infiltrasi sel radang, kerusakan pada vili yang meliputi fusi
vili, nekrosis, kongesti dan hemoragi (Gambar 2 dan Gambar 3).
Tabel 2. Hasil pengamatan mikroskopik (histopatologi) duodenum kambing kacang
Perubahan JA.I JA.II KJ BA.I BA.II KB
A. Peradangan
1. Lokasi Mu, Sm Mu, Sm - Mu, Sm Mu, Sm -
2. Sel radang M,N,L,Sp M,N,L,Sp - M,N,L,Sp M,N,L,Sp -
3. Dominan M M - M M -
B. Fusi vili √ √ - √ √ -
C. Nekrosis - - - √ -
D. Kongesti √ - - √ √ -
E. Hemoragi √ - - √ √ -
Keterangan : (JA.I) : jantan Alak I; (JA.II) : jantan Alak II; (KJ) : non TPA jantan; (BA.I) :
betina Alak I; (BA.II) : betina Alak II; (KB) : non TPA betina; (Mu) :
mukosa; (Sm) : sub mukosa; (M) : makrofag; (N) : neutrofil; (L) : limfosit;
(Sp) : sel plasma; (√) : ada perubahan; (-) : tidak ada perubahan.
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui adanya infiltrasi sel radang berupa makrofag,
neutrofil, limfosit dan sel plasma pada bagian mukosa dan sub mukosa semua sampel
duodenum kambing yang berasal dari TPA Alak yang didominasi oleh sel makrofag. Fusi
vili juga ditemukan pada semua sampel duodenum kambing dari TPA Alak. Nekrosis
hanya terdapat bagian mukosa dari sampel betina Alak I (BA.I), sedangkan pada sampel
jantan Alak I (JA.I), betina Alak I (BA.I) dan betina Alak II (BA.II) ditemukan adanya
kongesti dan hemoragi.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
162
Gambar 2. Gambaran histopatologi infiltrasi sel radang pada sampel duodenum kambing
kacang yang digembalakan di TPA Alak; (A) sel radang; (a) makrofag; (b)
neutrofil; (c) limfosit; (d) sel plasma (betina Alak II, 40x, H&E); (B) sel
radang pada lapisan mukosa (betina Alak II, 40x, H&E); (C) sel radang pada
lapisan submukosa (betina Alak I, 40x, H&E).
C B
A
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
163
Gambar 3. Gambaran histopatologi sampel duodenum kambing kacang yang di
gembalakan di TPA Alak; (A) fusi vili (betina Alak II, 10x, H&E); (B)
nekrosis (betina Alak II, 40x, H&E); (C) kongesti (jantan Alak I, 40x, H&E);
(D) hemoragi (betina Alak I, 40x, H&E).
Bahan toksik dalam pakan yang ikut terkonsumsi oleh kambing kacang (Capra
aegagrus hircus) yang digembalakan di TPA Alak akan diserap oleh usus. Selanjutnya
akan direspon oleh sistem pertahanan tubuh untuk mengeluarkan antigen yang masuk
melalui mekanisme peradangan, sehingga terdapat infiltrasi sel radang pada bagian mukosa
dan sub mukosa (Gambar 2). Mekanisme peradangan ini dilaksanakan oleh leukosit yang
berfungsi menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap setiap patogen yang
masuk dalam tubuh (Holmgren dan Czekinsky, 2005). Menurut Shackelford dan Elwell
(1999), pada keadaan kronis infiltrasi sel radang yang dapat ditemukan pada usus akan
didominasi limfosit dan sel plasma, hal ini menyebabkan kripta menjadi lebih lebar karena
berisi leukosit.
Pada Gambar 3A sampel duodenum kambing kacang (Capra aegagrus hircus)
yang digembalakan di TPA Alak mengalami fusi vili atau penurunan luas permukaaan vili.
Pernyataan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Balqis (2014) yang
menunjukkan hasilbahwa infestasi yang berat dari agen patogen atau agen kimia lain dapat
menyebabkan terjadinya degenerasi dan nekrosis pada epitel usus halus dan menyebabkan
penurunan luas permukaan vili. Penyerapan logam berat seperti kadmium (Cd) berkisar
antara 1% sampai 5% bergantung pada jumlah kadmium yang masuk kedalam tubuh
A
B
B
B
C
B
D
B
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
164
sehingga dalam keadaan kronis akan mengakibatkan kerusakan pada vili-vili usus dan
keadaan ini dapat mengakibatkan diare (Klasing, 2005).
Nekrosis merupakan salah satu pola dasar kematian sel. Nekrosis terjadi setelah
suplai darah hilang atau setelah terpapar toksin dan ditandai dengan pembengkakan sel
serta kerusakan organel sel. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi berat pada jaringan
(Kumar dkk, 2007). Pada Gambar 3B ditemukan nekrosis yang terjadi pada bagian mukosa
duodenum, diduga akibat paparan bahan toksik secara terus-menerus yang menyebabkan
sel atau jaringan dari mukosa duodenum tidak dapat beradaptasi dengan bahan toksik yang
masuk, sehingga sel mengalami kerusakan dan selanjutnya akan terjadi kematian sel.
Pernyataan ini sesuai dengan pendapat dari Robbins dan Kumar (1995) yang menyatakan
kerusakan sel sampai ke tingkat nekrosis terjadi sebagai bentuk adaptasi sel untuk bertahan
hidup akibat pengaruh dari bahan toksik, seperti bahan kimia dan logam berat. Kumar dkk
(2007) menyatakan bahwa nekrosis merupakan kematian sel akibat cedera (jejas) yang
bersifat irreversible (tidak bisa kembali normal). Ketika sel mengalami gangguan, maka
sel akan berusaha beradaptasi supaya dapat mengembalikan keseimbangan tubuh. Namun,
ketika sel tidak mampu untuk beradaptasi, sel tersebut akan mengalami jejas atau cedera.
Jejas tersebut dapat kembali dalam keadaan normal, apabila penyebab jejas hilang
(reversible). Tetapi ketika jejas tersebut berlangsung secara berulang, maka akan terjadi
jejas yang bersifat irreversible dan selanjutnya akan terjadi kematian sel.
Pada semua sampel duodenum kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang
digembalakan di TPA Alak ditemukan terjadinya kongesti dan hemoragi diduga akibat
bahan toksik maupun bahan kimia yang dikonsumsi bersama pakan sehingga
mempengaruhi fisiologis pembuluh darah dan menginisiasi terjadinya peradangan (Gambar
3C dan Gambar 3D). Kongesti ditandai dengan adanya sel darah yang berlebihan dalam
pembuluh darah sehingga pembuluh darah melebar dan berisi banyak sel darah
(Underwood, 2000). Peradangan didahului oleh peningkatan vaskularisasi yang
mengakibatkan peningkatan jumlah sel dalam pembuluh darah, dan apabila terjadi terus
menerus maka pembuluh darah akan pecah sehingga mengakibatkan hemoragi. (Daft
dkk,1989).
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa gambaran
makroskopik (patologi anatomi) duodenum kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang
digembalakan di TPA Alak yaitu adanya nodul pada mukosa dodenum, penebalan mukosa
dan terdapat hemoragi. Sedangkan berdasarkan gambaran mikroskopik (histopatologi)
duodenum kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang digembalakan di TPA Alak
yaitu adanya infiltrasi sel radang pada lapisan mukosa dan submukosa yang terdiri dari
makrofag, neutrofil, limfosit dan sel plasma yang didominasi oleh sel makrofag, adanya
fusi vili, nekrosis pada bagian mukosa, kongesti dan hemoragi.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
165
DAFTAR PUSTAKA
Balqis, U. 2014, ‘Gambaran Histopatologis Usus Halus Ayam Kampung (Gallus
Domesticus) Yang Terinfeksi Ascaridia Galli Secara Alami’, Jurnal Medika
Veterinaria Vol. 8 ISSN : 0853-1943.
Bloom dan Fawcett. 1986, Buku Ajar Histologi, diterjemahkan dari Bahas Inggris oleh
Tambayong, EGC, Jakarta.
Daft, B.M., Bickford, A.A. dan Hammarlund, M.A. 1989, Experimental and field
sulfaquinoxaline toxicosis in Leghorn chickens, Avian Dis, 33:30-34.
Darmono. 2001, Linkungan Hidup dan Pencemaran, UI Press, Jakarta.
Holmgren, J dan Czerkinsky, C. 2005, Mucosal immunity and vaccines. Nat Med.Supply;
11:S 45 – S 51.
Klasing, K.C. 2005, Cadmium In Mineral Tolerance Of Animal. National Research
Council, The National Academies Press. Cit. Gupta, R.C. 2012, Veterinary
Toxicology, Academic press, New Delhi, India.
Kumar, Vinay., Ramzi S. Cotran. dan Stanley L. Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi
Robbins, Ed.7, Vol.1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ndaong, N.A. 2013, ’Efek Pemaparan Deltamethrin pada Broiler Terhadap Aktivitas
Enzim Alanine Amino Transferase, Aspartat Aminotransferase, Gambaran
Histopatologi Hepar dan Feed Convertion Ratio’, Tesis, MSc, Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Gajah Mada.
Robbins S.L. dan Kumar V. 1995, Buku Ajar patologi 1. Edisi 4. Jakarta. EGC. 290-293.
Shackelford C. C. dan Elwell M. R. 1999. Small and Large Intestine, and Mesentary. Di
dalam: RR Maronpot, GA Boorman, BW Gaul, Editor. Pathology of the Mouse
Reference and Atlas. Vienna: Cache River Press. Hlm 81-115.
Underwood, J.C.E. 2000, Patologi umum dan sistemik, Volume 2. Edisi 2. Editor edisi
bahasa Indonesia: Sarjadi, EGC, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
166
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
167
GAMBARAN PATOLOGI ANATOMI DAN HISTOPATOLOGIRUMEN
KAMBING KACANG (Capra aegagrus hircus) YANG DIPELIHARA DI TEMPAT
PEMBUANGAN AKHIR (TPA) ALAK
ANATOMIC PATHOLOGY AND HISTOPATHOLOGY DESCRIPTION OF KACANG
GOATS RUMEN (Capra aegagrus hircus) ARE MAINTAINED IN THE ALAK DUMPING
SITE
Umbu Ridwan Praimajangga1, Antin Yeftanti Nugrahening Widi2,Yulfia Nelymalik
Selan3
1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail
:[email protected] 2Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
E-mail:[email protected] 3 Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Univertsitas Nusa Cendana,
Kupang E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Goat, particularly kacang goat (Capra aegagrus hircus), is a ruminant which is
commonly raised by Indonesian community. Kacang goat has several benefits, such as
breed rapidly and easy to adapt to different environment. Limited pastures especially in
dry season causes farmers nearby Alak Dumping Site (TPA Alak) rear their animals as
well as goats in this location. It may bring advantages to the farmers, however from
animal health approach it causes problems, including to rumen due to ingestion of waste
which contains anorganic materials such as heavy metals and any other toxicants. This
study is aimed to examine both macroscopic and microscopic figure of rumen of kacang
goat which are raised at TPA Alak. A total of six kacang goats were used in this study.
Those goats consisted of four goats (two males and two females) from TPA Alak, and two
goats (one male and one female) which are not reared in TPA Alak. All goats were
euthanized and necropsied in order to take the rumen, and subsequently examined
macroscopically for their pathologic anatomy figures. Histological methods which covered
fixation in 10% formalin, tissue processing, and routine H&E staining were applied.
Results showed macroscopic changes of the rumen of kacang goats from TPA Alak, such
as papilla enlargement, dark spot at papilla, thick and rough mucosa, and darkened color
of mucosa, whereas the other goats showed normal anatomic features. Histopathological
changes of rumen of kacang goats from TPA Alak revealed hyperkeratinisation, epithelial
hyperplasia, flattened of most keratin cells, hypertrophy of small numbers of keratin cells,
and haemorrhage at submucosa These microscopical changes were not found in rumen of
kacang goats which were not reared at TPA Alak.
Keywords: kacang goats, pathology anatomy rumen, histopathology rumen, Alak dumping
Site.
PENDAHULUAN
Kambing adalah jenis ternak ruminansia yang banyak diternakkan oleh
masyarakatIndonesia. Kambing mempunyai sifat adaptasi yang baik dan memiliki nilai
ekonomi yang cukup tinggi sehingga kambing sangat digemari oleh masyarakat (Sarwono,
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
168
2006). kambing yang umum dikenal di wilayah Indonesia yaitu kambing Peranakan Etawa
(PE) dan kambing Kacang (Capra Aegagrus Hircus). Kambing kacang juga dapat
beradaptasi dalam kondisi dan lingkungan yang berbeda termasuk dalam kondisi
pemeliaharaan yang sangat sederahana (Pamungkas dkk, 2009).Berdasarkan hal ini
beberapa peternak di sekitar tempat pembuangan akhir (TPA) Alak memilih untuk
memelihara ternaknya disana.
Keberadaan tempat pembuangan akhir (TPA) Alak sangat di perlukan sebagai
terminal akhir dari sampah-sampah yang ada di kota Kupang. Keberadaan dari tempat
pembuangan akhir ini juga di maanfaatkan untuk mengembalakan hewan demi memenuhi
asupan pakan bagi hewan salah satunya kambing. Kegiatan pengembalan ini dapat
menguntungkan peternak kambing, tetapi di sisi lain kesehatan dari kambing yang di
gembalakan terancam karena mengkonsumsi pakan yang tidak layak dikonsumsi oleh
hewan.
Menurut hayder et al (2006) sapi yang mengkonsumsi sampah dari TPA mempunyai
resiko tinggi terpapar bahan toksik, mudah terjangkit diare, dan pada pemeriksaan rumen
dapat ditemukan benda asing.Gangguan pencernaan rumen pada kambing yang
disebabkan benda asing seperti sampah akan menyebabkan toksisitas bahkan kematian
(Fouad et al., 1990)Kerusakan rumen kambing yang dipelihara di TPA terjadi karena
benda-benda yang tidak dapat dicerna seperti sampah plastik. Berdasarkan hasil
wawancara yamg dilakukan pada peternak di TPA Alak didapat informasi bahwa didalam
lambung hewan yang di potong sering terdapat sampah serta mengeluarkan bau busuk
yang keluar dari lambung.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuigambaran makroskopik dan
mikroskopik rumen kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang dipelihara di TPA
Alak,Kota Kupang.
MATERI DAN METODE
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 6 ekor kambing kacang
(Capra argagrus hircus) yang terdiri dari2 ekor kambing jantan dan 2 ekorbetina yang
dipelihara di TPA Alak serta masing-masing 1 ekor kambing jantan dan 1 ekor betina yang
dipelihara di luar TPA Alak (non TPA). Analisis hasil dilakukan secara deskriptif dan
disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
Sampel yang diambil dalam pembuatan sediaan histologi yaitu berupa jaringan
organ ginjal dari hewan hidup, sebelum pengambilan sampel tersebut hewan dieuthanasi
dengan memutuskan saluran nafas, saluran pencernaan dan pembuluh darah yang berada di
sekitar daerah leher. Setelah dieutanasi hewan dinekropsi seperti kriteria Soeharmi et al.
(2003) yaitu diawali dengan pembedahan post mortem dari linea alba kemudian membuka
bagian abdomen dan menemukan ke dua organ ginjal. Pengambilan sampel ginjal untuk
pembuatan sediaan histologi dilakukan pada daerah dengan ciri, adanya perubahan warna
organ, ada perubahan bentuk atau adanya pembengkakan daerah ginjal serta adanya
perubahan tekstur organ yang lebih keras ataupun lebih lunak dan rapuh. Jaringan
kemudian dipotong dengan ukuran 1cm x 1cm x 1cmdan difiksasi dengan larutan formalin
10 %.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
169
Proses pembuatan sediaan histologi yang meliputi beberapa tahapan, yaitu; Tahap
pertama (Pemrosesan jaringan), dilakukan melalui beberapa proses: proses fiksasi dengan
menggunakan formalin 10 %. Kemudiandilanjutkan dengan proses dehidrasi, jaringan
dicelupkan kedalam alkohol 70 %, 80 %, 95 % dan alkohol absolut. Proses selanjutnya
yaitu proses clearingdengan menggunakan xilol. Dilanjutkan dengan proses infiltasi
paraffin yaitu jaringan dicelupkan kedalam parafin cair pad suhu60oC sebanyak tiga kali
selama 60 menit.
Tahap kedua (Embedding), cetakan disiapkan untuk proses pengeblokan diatas
tungku penghangat, selanjutnya jaringan yang telah selesai diproses dikeluarkan dan
dimasukkan ke dalam blok yang sebelumnya sudah diisi dengan parafin cair. Permukaan
jaringan yang dipotong menghadap ke bawah pada cetakan blok dan kemudian diberi label.
Tahap ketiga (Sectioning), blokditempatkan pada mikrotom yang dilengkapi pisau
dengan kemiringan 30o. Blok parafin dipotong dengan ketebalan 5 μm dan dimasukkan ke
dalam waterbath bersuhu 50°C. Potongan blok selanjutnya dipindahkan pada permukaan
objek glass yang telah diberi nomor registrasi blok.Tahap keempat (Inkubasi), preparat
diinkubasi diatas hot plate dengan suhu 50°C (di bawah titik cair parafin) selama 15 menit.
(Ndaong dan Selan, 2013).
Tahap pewarnaan HE diawali dengan tahap deparafinisasi yaitu preparat
dicelupkan pada larutan xilol I, xilol II dan xilol III, masing-masing selama tiga menit.
Selanjutnya adalah tahap rehidrasi, jaringan dicelupkan ke alkohol absolut, alkohol 95 %,
80 % dan 70 % masing-masing selama dua menit dan selanjutnya preparat dibilas di bawah
air mengalir selama tiga menit. Sediaan lalu direndam dalam Harri’s Hematoxilline10
menit dan dibilas dengan air mengalir selama 10 menit selanjutnya direndam dalam larutan
Eosin selama 10 menit dan dibilas dengan air mengalir selama 10 menit. Kemudian
dilanjutkan pada tahap dehidrasi yaitu preparat direndam dengan alkohol 70 %, 80 %, 95
% dan alkohol absolut masing-masing tiga kali celupan. Tahap clearing yaitu preparat
direndam dengan xilol I, xilol II dan xilol III masing-masing selama dua menit. Kemudian
dilanjutkan lagi pada tahap mountingyaitu sediaan ditetesi perekat (Canada balsam) dan
ditutup dengan cover glass, dikeringkan dan kemudian diamati di bawah mikroskop
(Ndaong, 2013).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Makroskopis Rumen Kambing Kacang Yang Dipelihara Di Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Alak, Kota Kupang.
Pada pengamatan makroskopik organ rumen yang dipelihara di tempat
pembuangan akhir (TPA) sampah Kecamatan Alak, Kota Kupang dilihat ada perubahan-
perubahan yang terjadi pada rumen seperti kerusakan papilla dan perubahan warna pada
mukosa organ rumen. Adapun Gambaran terperinci patologi anatomi dari masing-masing
kambing yang dipelihara di TPA dapat dilihat pada Tabel1.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
170
Gambar 1. Gambaran makroskopik rumen (Non TPA). (1) papilla ruminis;
(2) papilla cranialis; (3) papilla coronaria; (4) papilla
longitudinal
Tabel 1.Hasil pengamatan makroskopis organ rumen kambing kacang
No Perubahan JA BA JA.I JA.II BA.I BA.II
1. Papilla membesar ‒ ‒ ++ + ++ +
2. Bintik hitam ‒ ‒ √ ‒ √ ‒
3. Kerusakan mukosa ‒ ‒ √ √ √ √
4. Warna ‒ ‒ √ √ √ √
Keterangan :(++) : semua papilla membesar;(+) : sebagian papilla membesar;
(√) : terdapat bintik hitam; (√): keseluruhan mukosa mengalami
penebalan; (√) : terjadi perubahan warna pada mukosa; ‒ : tidak ada
perubahan (normal).
Perubahan-perubahan makroskopik yang pada organ rumen kambing kacang yang
dipelihara di tempat pembuangan akhir (TPA) dapat di sebabkan karena mengkonsumsi
pakan yang telah bercampur dengan bahan-bahan toksik seperti logam berat dan zat-zat
kimia lainnya. Selain itu Widowati dan Jusuf (2008)jugamenyatakan bahwa logam berat
bersifat akumulatif di dalam tubuh dan dapat mempengaruhi sistem gastrointestinal. Hal ini
sesuai dengan Hayder et al (2006) yang menyatakan bahwa hewan yang mengkonsumsi
sampah di TPA mempunyai resiko tinggi terpapar bahan toksik, mudah terjangkit diare,
dan pada pemeriksaan rumen terdapat benda asing.
Pada pemeriksaan patologi anatomi di temukan bahwa semua sampel yang berasal
dari TPAmengalami perubahan seperti papilla membesar (Gambar 2A, Tabel 1), kerusakan
pada mukosa dimana terjadi penebalan pada mukosa dan perubahan warna mukosa
menjadi lebih kehitaman atau kecoklatan (Gambar 2C dan 2D, Tabel 1 ) . Hal ini sejalan
dengan pernyataan Zachary dan Mcgavin (2012) yang menyatakan bahwapakan dengan
serat kasar yang tinggi seperti jagung dan dedak menyebabkan papilla rumen akan menjadi
4
2
1
3
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
171
lebih panjang,pakan juga dapat membuat papilla menjadi berbentuk kerucut dan hewan
yang mengkonsusmsi pakan dengan serat kasar tinggi menunjukkan rumen menjadi keras,
coklat, kadang kaku, dan sedikit lesi tanpa gejala klinis .
Pemberian pakan dengan kandungan serat kasar tinggi dan jumlahnya banyak akan
menyebabkan rumen akan bekerja lebih keras yaitu ditandai dengan peningkatan kontraksi
pada otot – otot rumen yang pada akhirnya akan meyebabkan otot – otot rumen menjadi
kelelahan. Kelelahan ini akan berakibat pada penurunan gerakan rumen (hipotonia) dan
beberapa jam kemudian gerakan rumen akan hilang (atonia). Hilangnya gerakan rumen ini
sangat berbahaya karena ingesta yang ada didalam rumen tidak akan tercerna secara
maksimal. Akibatnya ingesta tersebut akan tertimbun didalam rumen ataupun akan
menyubat saluran pencernaan sehingga ketika ingesta tersebut keluar dalam bentuk feses
akan terlihat bahwa feses tersebut memiliki konsistensi yang keras, warnanya agak gelap
dan terkadang juga terdapat lendir bercampur darah (Subronto, 2003).
Secara umum dapat dikatakan bahwa kerusakan rumen yang nampak secara
makroskopis diakibatkan oleh paparan yang bersifat terus menerus dan akumulasi dari
bahan pencermar yang ada dilokasi TPA yang secara perlahan-lahan akan mempengaruhi
sistem gastrointestinal, urinaria, reproduksi, dan lain-lain (Widowati dan Jusuf,
2008).Untuk memastikan perubahan-perubahan yang ditemukan dalam pengamatan
makroskopis, maka dilakukan pemeriksaan mikroskopis pada organ rumen kambing
kacang TPA Alak.
Gambaran Mikroskopik Rumen
Hasil pengamatan mikroskopik terhadap rumen kambing kacang yang tidak
dipelihara di TPA Alak tidak didapati adanya perubahan (Gambar 6). Gambaran histologi
normal yang tampak pada rumen dari kambing-kambing ini adalah
tersusunatasbeberapalapisanyaitutunikamukosa, tunikasubmukosa,
tunikamuskularisdantunika serosa. Pada mukosa rumen mempunyaicirrikhususyaituadanya
papilla (Hofmann, 1988).
Pada pengamatan secara mikroskopik terhadap rumen kambing kacang (Capra
aegagrus hircus) yang di pelihara di tempat pembuangan akhir (TPA) Alak ditemukan
adanya beberapa jenis perubahan. Perubahan-perubahan mikroskopik yang terjadi tersebut
disajikan pada Gambar 5A, 5B, 5C, 5D, dan 5E, serta tabel 2.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
172
Gambar 3 : Gambaran mikroskopik rumen (Normal) kambing
kacang yang tidak dipelihara di TPA Alak (10x, H&E). (1)
epitel skuamos kompleks, (2) lamina propia(3) submucosa; (4)
papilla.
Tabel 2.Gambaranmikroskopis (Histopatologi) rumen kambingkacang (Capra aegagrus
hircus) yang dipeliharadan tidak dipelihara di TPA KecamatanAlak, Kota
Kupang
Keterangan : (√) : ada perubahan;(‒) : tidak ada perubahan (normal); (KJ) :
Kambing Jantan (Non TPA); (KB) : Kambing Betina (Non TPA);
(JA.I) : Jantan Alak I; (JA.II) : Jantan Alak II; (BA.I) : Betina Alak I;
(BA.II) : Betina Alak II
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa bagian epitel darisemua sampel rumen
yang berasal kambing kacang (Capra aegagrus hircus) dari TPA Alak mengalami
hiperkeratinisasi. Hiperkeratinisasi adalah gangguan yang ditandai dengan penebalan
lapisan stratum corneum secara berlebihan. Hiperkeratosis sering terjadi karena disebabkan
No Perubahan JenisKambing
KB KJ BA I BA II JA I JA II
1 Hiperkeratinisasi - - √ √ √ √
2 Perubahan bentuk sel
keratin
- - √ √ √ √
3 Hyperplasia selepitel - - √ √ √ √
4 Hemoragi - - - - √ -
5 Hipertropi sel keratin - - - - √ -
1 2
3
4 3
4
4
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
173
karena keracunan Arsen kronik, dan keracunan senyawa benzen-klorida, atau minyak
pelumas bekas. Apabila dihubungkan dengan kondisi TPA Alak, kejadianhiperkeratinisasi
ini kemungkinan besar disebabkan oleh proses pencernaan secara mekanis yang terjadi
secara berlebihan pada rumen, akibat pakan anorganik yang ikut termakan bersamaan
dengan pakan organik dan telah tercampur dengan bahan-bahan toksik. Menurut Frants et
al (1991) hiperkeratinisasi terjadi pada daerah stratum korneum dan biasanya diikuti
dengan hiperplasia.
Hiperplasia sel epitel merupakan salah satu perubahan yang terjadi pada semua
organ rumen kambing kacang yang berasal dari TPA Alak (Gambar 4C, Tabel 2). Menurut
Soresen (1991), hiperplasia adalah pembentukan jaringan secara berlebihan karena
bertambhanya jumlah sel dan dapat disebabkan karena kontak dengan logam berat.
Menurut Frants et al (1991) hyperplasia terjadi karena adanya peningkatan proliferasi
epitel. Menurut Kumar et al (2007) paparan bahan kimia serta logam berat memyebabkan
gangguan pada sel selanjutnya sel akan berusaha beradaptasi dengan cara hiperplasia. Hal
ini dapat terjadi pada sel epitel rumen kambing kacang yang mengkonsumsi pakan sampah
yang mengandung logam berat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Bakhiet (2008), bahwa
lesihistopatologi yang berkaitandenganbendaasing yaitu gangguan pada epitel
yangakanmenyebarkebagiansubmukosa. Hyperplasia pada lapisanepithel rumen
mengakibatkanlapisaninimenonjolkebeberapabagianseperti lamina propiadansubmukosa,
bahkanpadabeberapakasussampaikedaerahmuskularis. Namun menurut Hailat (1998)
belum diketahui iritasi pada epitel rumen terjadi karena iritasi mekanis akibat
mengkonsumsi plastik atau akibatbeberapazatkimia yang dilepaskanolehplastik.
Perubahan yang juga terjadi pada semua organ rumen JA I (Jantan Alak I) yang
berasal dari TPA Alak adalah perubahan bentuk sel keratin menjadi pipih. Hal ini dapat
terjadi karena proses pencernaan secara mekanik pada rumen. Pada kasus yang terjadi pada
kambing yang berasal dari TPA, kambing mengkonsumsi bahan anorganik yang memiliki
serat lebih keras dibandingkan dengan bahan organik sehingga menekan permukaan
mukosa rumen yang menyebabkan hiperkeratinisasi dimana ini juga akan menyebabkan
perubahan bentuk sel keratin menjadi lebih pipih.
Pada sampel rumen yang berasal dari TPA, terjadi perubahan histopatologi yaitu
hemorhagi. Menurut Leininger (1992), hemorhagi dapat terjadi secara spontan (idiopatik)
atau karena toxic kimia secara langsung atau tidak langsung. Biasanya hemorhgi diikuti
dengan peradangan. Berdasarkan teori di atas, maka hemorhagi yang terjadi pada organ
rumen kambing kacang yang di pelihara di TPA kemungkinan besar di akibatkan karena
mengkosumsi pakan yang mengandung bahan-bahan kimia atau logam berat. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Bakhiet (2008), bahwa kondisipatologis lain yang di temuipada
rumen yaituhemoragidankongestipada papilla rumen.
Hipertrofi sel keratin juga terjadi pada sampel rumen JA I (Jantan Alak I) dari TPA.
Menurut Hirmawan (1973), Hipertrofi merupakan kelainan progresif berupa bertambahnya
isi atau volume suatu jaringan atau alat tubuh yang terjadi pada sel-sel yang tidak dapat
memperbanyak diri sehingga sel-sel yang menyusun jaringan atau alat tubuh tersebut
membesar. Pada kondisi tersebut membesarnya jaringan atau alat tubuh disebabkan sel-sel
yang menyusunnya membesar, bukan karena bertambahnya jumlah sel.Hipertrofi terjadi
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
174
karena peningkatan aktivitas dari sel sehingga sel tampak membesar. Menurut Harteman
(2011) akumulasi cadmium dan timbal hewan dapat menyebabkan menyebabkan hipertrofi
pada sel. Hal ini akan menyebabkan aktivitas sel semakin meningkat sehingga kosentrasi
cadmium dan timbal di dalam sel akan meningkat dan akan terakumulasi ke dalam sel
dengan cara difusi menembus selaput sel. Berdasarkan teori diatas bahwa hipertrofi yang
terjadi pad sel keratin terjadi karena aktivias sel keratin terhadap bahan anorganik yang
masuk kedalam rumen, sehingga meninggakat metabolisme dari sel keratin untuk
beradaptasi dengan bahan anorganik yang masuk ke dalam organ rumen, yang akan
menjadikan sel keratin nampak membesar.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa gambaran
makroskopis (patologi anatomi) rumen kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang
dipelihara di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Alak, Kota Kupang adalah adanyaadanya
bintik-bintik hitam pada mukosa rumen, papilla membesar, kerusakan pada mukosa dan
terjadi perubhan warna.Sedangkan gambaran Mikroskopis (Histopatologi) rumen kambing
kacang (Capra aegagrus hircus) yang dipelihara di Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Alak, Kota Kupang adalah hiperkeratinisasi, perubahan bentuk sel keratin, hiperplasia sel
epitel, hemoragi, hipertropi sel keratin.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhiet, A. O. 2008. Studies on the rumen pathology of sudanse desert sheep in slaughter
hause. Scientific Research dan Essay vol 3 (7), PP 294-298.
Frantz, J. D., Betton, G. R., Cartwright, M. E., Crissman, J. W, Macklin, A. W, dan
Maronpot, R. R. 1991. Proliferative lesions of the non-gldanular dan glandular
stomach in rats. GI-3. In Guides for Toksikologic Pathology.STP/ARP/AFIP,
Washington, DC, 1-20.
Fouad, K. Muss, B. dan Haggo, B. 1990. Foreign body ruminal indigestion among goats in
Sudan. Egyptian Vet. Med. 1: 27 34-40.
Hailat, N. Al-Darraji, A. Lafi, S. Barakat SAF Al-Ani, F. El-Magrhaby, H. Al-Qudah K.
Gharaibeh, S. Rousan, M. Al-Smadi, M. 1998.Pathology of the rumen in goats
caused by plastic foreign bodies with reference to its prevalence in Jordan. Small
Ruminant Res. 30: 77-83.
Hailat, N. Lafi, S. Al-Rawashdch, O. dan Zorah, K. 1995. Significant changes in some
blood parameters in severely emaciated sheep associated with rumen impaction by
plastic objects. J. Egypt. Vet. Med. Assoc. 55: 353-358.
Harteman, E. 2011. Sebaran Logam Berat Dalam Organ Tubuh Ikan Badukang (Arius
marculatus fis & Bian) Dan Sembilang (Plotosis canius Web &Bia) Serta
Pengaruhnya Terhadap Morfologis Organ. PascasarjanaIPB. Bogor
Hayder, A. M. Amel, O. Bakhiet dan Mohammed, A. A. 2002. Retrospective Study on the
Prevalence of Foreign Body in Goats’ Rumen : Omdurman Province, Khartoum
State, Sudan (1998-2002). Journal of Animal dan Veterinary Advances 5(6) : 449-
451.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
175
Hirmawan. 1973. Patologi Umum (Dasar-Dasar Patologi). UI Press: Jakarta
Hofmann, R. R., 1988. The ruminant stomach. Stomach structure dan feeding habits of
East African game ruminants. East Afr. Lit. Bureau, 2: 1-354.
Leininger, J. R, Jokinen, M. P, Dangler, C. A. dan Whiteley, L. O. 1999. Oral cavity,
esophagus, dan stomach. In: Pathology of the Mouse (Maronpot RR, ed). Cache
River Press, St Louis, MO, 29-48.
Ndaong, N. A. 2013. Efek Pemaparan Deltamethrin Pada Broiler Terhadap Aktivitas
Enzim Alanine Amino Transferase, Asparat Aminotransferase, Gambaran
HistopatologiHepar Dan Feed Convertion Ratio. Tesis. Fakultas Kedokteran
Hewan. UniversitasGadjah Madah.
Pamungkas, F. A. A. Batubara, M. Doloksaribu, dan Sihite, E. 2009. Petunjuk Teknis
Potensi Beberapa Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian danPengembangan
Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta.
Sarwono, B. 2005. Beternak Kambing Unggul. Cetakan Ke – VIII. Penerbit PT Penebar
Swadaya, Jakarta.
Sarwono. 2006. Beternak Kambing Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.
Selan, Y. N. 2013. Morfologi Dan Momfometri Saluran Pencernaan Kalong Kapauk
(Pteropus vampyrus) Beserta Distribusi Sarafnya. Tesis. Fakultas Kedokteran
Hewan. Universitas Gadjah Madah.
Soeharmi, S. Harjanto, H dan Lazuardi, M. 2003, Pemeriksaan histologi organ dalam
kambing pasca kematian akibat infeksi Tripanosomaevansi isolat Bangkalan,
Medika Eksakta 1: 1-6.
Sorensen , E.M.B 1991. Metal Polsoning in Fish Volume II. CRC Press Boca Ann Arbor,
Boston. 376p. Kajian Sistem Resirkulasi Tertutup Menggunakan Biofilter Bivalvia
dan Makroalgae pada Pembesaran Udang Windu (Panaeus monodon). Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak I (Mamalia). Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
Widowati, S. dan Jusuf, R. 2008, Efek Tosik Logam, Dani press, Yogyakarta.
Zachary, F. J dan McGavin, M. D. 2012. Pathology Basis of Veterinary Disease. Elsevier.
St. Louis misouri
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
176
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
177
EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SAMBILOTO (Andrographis
paniculata ness) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH MENCIT (Mus
musculus) PADA KONDISI DIABETES MELITUS TIPE 1
EFFECTIVENESS OF ETHANOL SAMBILOTO LEAF EXTRACT (Andrographis
paniculata ness) ON MICE BLOOD GLUCOSE LEVELS (Mus musculus) IN
CONDITIONS TYPE 1 DIABETES MELLITUS HISTORY
Marche Shintyami Noya1, Nemay A. Ndaong2, Filphin Adolfin Amalo3 1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
2Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,
Kupang. E-mail: [email protected] 3 Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Univertsitas Nusa Cendana,
Kupang
ABSTRACT
Diabetes mellitus is a metabolic disorder characterized by increased levels of
blood glucose due to insulin deficiency. Herbal medicine used to lower blood glucose
levels are bitter (Andrograpis paiculata ness) for allegedly possessing antihyperglycemic
efficacy.Treatment consists 4 groups i.e. negative group (no treatment), positive control
(no treatment alloxan induced), treatment group sambiloto extract 2.2 mg/kg bw and
sambiloto extract treatment group 4.4 mg / kg bw.Analysis of blood glucose levels in the
state of alloxan-induced diabetes mellitus shows the results of P<0.01 with Fhit is 9.31 and
F0,05 is 4.06. In the treatment group sambiloto extract dose of 2.2 mg / kg bw showed the
results of P<0.01 with Fhit is 12.22 and F0,05 is 7.59, The results were significantly different
at a dose of 4.4 mg / kg bw which shows the results of P<0.01 was 45.34 and F0,05 Fhit was
7.59, and significantly different to alloxan group. In sambiloto extract LSD with a dose of
2.2 mg / kg bw dose was not significantly different from the extract of sambiloto with dose
of 4.4 mg / kg bw. From the above explanation can be concluded that the extract of bitter
with a dose of 2.2 mg / kg bw more effectife to compare 4,4 mg/kg bw but and 2.2 mg / kg
bw and 4.4 mg / kg bw can be recommended as a therapeutic dose in Diabetes Mellitus
type 1 state in mice.
Keywords: Diabetes Mellitus, Sambiloto extract, Alloxan, blood glucose.
PENDAHULUAN
Diabetes Melitus merupakan penyakit kelainan metabolisme karbohidrat yang
ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin (Hasdianah,
2013). Penyakit ini terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua –
duanya yang ditandai dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan
beberapa organ tubuh seperti jantung, ginjal, gangguan pada mata dan hati (Homenta, 2012
dan Pho, 2005).
Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi 2 yaitu Diabetes Melitus tipe 1 dan Diabetes
Melitus tipe 2.Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2005) menuliskan bahwa
Diabetes Melitus tipe 1 merupakan penyakit yang jarang atau sedikit populasinya,
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
178
diperkirakan berkisar antara 5 % sampai dengan 10 % dari keseluruhan populasi penderita
Diabetes namun penyakit ini dapat menyebabkan kematian.
Indonesia merupakan negara yang menempati peringkat 5 sedunia dengan jumlah
pasien penderita Diabetes Melitus sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2013, naik 2
tingkat dibanding tahun 1995 dimana jumlah pasien sebanyak 4,5 juta orang (Suyono,
2007). Besarnya insidensi, prevalensi, dan komplikasi Diabetes Melitus menggambarkan
betapa pentingnya pencegahan dan penatalaksanaan dini penyakit tersebut.
Obat herbal merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan dasar
pengobatan karena memiliki efektivitas yang lebih baik dibandingkan dengan obat modern
yang mempunyai kandungan bahan kimia yang akan memberikan efek samping dan dapat
membahayakan (Sembiring, 2009). Obat herbal yang digunakan untuk menurunkan kadar
glukosa darah adalah sambiloto (Andrograpis paiculata ness). Sambiloto (Andrograpis
paiculata ness) diketahui memiliki efek antihiperglikemia dan bersifat antioksidan
(Ratimanjari, 2011). Khasiat lain dari sambiloto (Andrographis paniculata Ness) sebagai
anti bakteri, anti radang, reaksi imunitas, analgesik, anti piretik, menghilangkan panas
dalam dan detoksikasi.
MATERI DAN METODE
Hewan coba
Hewan coba yang digunakan adalah mencit jantan (Mus musculus) berumur 2 minggu
sebanyak 12 ekor dengan berat badan antar 15 g sampai 20 g. Sebelum digunakan dalam
percobaan, semua mencit diaklimasi terlebih dahulu selama 5 hari untuk penyesuaian
lingkungan dan mengontrol kesehatan. Mencit diperoleh dari Laboratorium Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Bahan
Bahan yang digunakan adalah ekstrak daun sambiloto. Bahan kimia yang digunakan adalah
aloksan (Sigma aldrich), etanol 96 %, alkohol 70 %, aquabidest proinjeksi, pakan
konsentrat (Br 2), NaCl 0,9 %, reagen glukosa, sekam, masker, sarung tangan, kertas
perkamen (Unimed (R)), kertas saring (Whatman (R)), pipet hematokrit (Superior (R)) dan
spuit 1 ml.
Alat
Timbangan digital (CHQ (R), fotometer (Zenin 288 (R), oven, Rotari Evaporator (Eyela
Osb 2100), 1 set alat bedah minor (One Med), blender (Panasonic), Blender (Panasonic),
saringan, Pot penampung ekstrak, botol kaca 500 ml, gelas ukur 200 ml, kandang ukuran :
39 X 31 X 12 cm serta tempat makanan dan minum.
Prosedur kerja
Ekstraksi
Sebanyak 550 g serbuk daun Sambiloto ditimbang dan dimaserasi dengan etanol selama 4
hari kemudian dikentalkan dengan rotari evaporator.
Prosedur pemberian aloksan dan pemberian ekstrak sambiloto
Mencit pada kelompok II, III dan IV diinduksi aloksan dosis 125 mg/kg bb sebanyak 2 kali
sehari selama 3 hari pemberian secara intraperitoneal. Sedangkan ekstrak sambiloto
diberikan pada kelompok perlakuan yaitu kelompk III dan IV secara peroral sebanyak 2
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
179
kali sehari. Dosis ekstrak sambiloto yang diberikan pada kelompok III adalah 2,2 mg/kg bb
dan kelompok IV ada 4,4 mg/kg bb.
Cara pemeriksaan glukosa darah
Pemeriksaan kadar glukosa darah dilakukan dengan 2 metode yaitu dengan menggunakan
Gluco Dr dan Metode GOD-PAP. Hasil data yang diperoleh dianalisis dengan One Way
Anova dan Uji Beda Nyata terkecil (BNT).
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Rerata KGD Normal (hari ke -7)
Berdasarkan hasil penelitian, pengukuran kadar glukosa darah mencit pada hari ke-7
yang diinduksi aloksan pada kelompok-2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 1.
Rerata kadar glukosa darah pada masing-masing kelompok perlakuan sebagai berikut:
Kelompok 1 (kontrol negatif) adalah ±126,67 mg/dl, kelompok 2 adalah ±128,67 mg/dl,
kelompok 3 adalah ±123,67 mg/dl dan kelompok 4 adalah ±132,67 mg/dl. Hal ini
didukung oleh Kusumawati (2007) yang menyatakan bahwa mencit (Mus musculus)
memiliki kadar glukosa darah normal berkisar antara 62,8 mg/dl sampai dengan 176 mg/dl
sedangkan menurut Malole dan Pramono (1989) kadar glukosa darah normal pada mencit
adalah 76 mg/dl sampai dengan 178 mg/dl serta menurut Hadiyanti (2012) kadar glukosa
darah normal mencit adalah 67,85 mg/dl sampai dengan 178,87 mg/dl. Malole dan
Pramono (1989) menambahkan apabila kadar glukosa darah diatas 200 mg/dl maka mencit
dalam keadaan hiperglikemik.
Berdasarkan hasil penelitian, pengukuran kadar glukosa darah mencit pada hari ke-
12 yang diinduksi aloksan pada kelompok-2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 2.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
180
Berdasarkan data di atas didapatkan hasil bahwa pada hari ke-12 kadar glukosa darah
pada kelompok-2, 3 dan 4 sudah mengalami peningkatan. Rerata kadar glukosa darah
kelompok-1 pada hari ke-12 adalah ±126 mg/dl, kelompok-2 adalah ±302,33 mg/dl,
kelompok-3 adalah ±448,67 mg/dl serta kelompok-4 adalah ±418 mg/dl. Berdasarkan
rerata kadar glukosa darah pada ketiga kelompok perlakuan yang lebih dari 200 mg/dl
dapat disimpulkan bahwa mencit pada ketiga kelompok perlakuan di hari ke-12 mengalami
hiperglikemik. Hasil pengujian ANOVA kadar glukosa darah pada hari ke-12 dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil uji ANOVA kadar glukosa darah pada mencit yang diinduksi aloksan (Hari
Ke-12)
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
Tengah F P-value F crit
Perlakuan 207232,9 3 69077,64 9,31** 0,005 4,066
Galat/error 59390 8 7423,75
Total 266622,9 11
Sumber : Data Primer, 2014
Ket : ** Sangat nyata (P<0,01)
erdasarkan hasil pengujian ANOVA terhadap kadar glukosa darah pada hari ke-12
dengan Fhit adalah 9,31 dengan signifikansi 0,05, didapatkan hasil bahwa F 0,01 adalah
4,066 lebih kecil dibandingkan dengan Fhit (P<0,01). Perlakuan berbeda nyata maka
dilanjutkan dengan uji BNT. Hasil pengujian Beda Nyata Terkecil (BNT) antar perlakuan
pada hari ke-12 dapat dilihat pada Tabel 2.
Kelompok perlakuan
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
181
Tabel 2. Uji BNT antar perlakuan pada hari ke-12
Perbandingan
antar kelompok
Mean Difference Signifikan
K1 K2 -175.66667* .037
K1 K3 -324.00000* .001
K1 K4 -291.33333* .003
K2 K3 -166.33333* .046
K2 K4 -115.66667tn .139
K3 K4 50.66667tn .492
Sumber: Data Primer, 2014
Ket : tn = tidak nyata (P>0,05)
*Beda nyata
Hasil uji BNT ini jika dibandingkan antara K1 dan K2, K1 dan K3, K1 dan K4
serta K2 dan K3 didapatkan hasil P < 0.05 artinya berbeda nyata antara kadar glukosa
normal dengan kadar glukosa darah setelah diinduksi dengan aloksan, sedangkan jika
dibandingkan antara K2 dan K4 serta K3 dan K4 didapatkan hasil P > 0.05, artinya bahwa
tidak ada perbedaan yang nyata kadar glukosa darah antara K2 dan K4 serta K3 dan K4
setelah diinduksi aloksan.Aloksan merupakan molekul radikal bebas yang merusak sel-sel
β pankreas (Purbowati, 2011). Mekanisme kerja aloksan diawali dengan pembentukan
Reactive oxygen Species (ROS) yang bersifat toksik, yaitu radika superoksida dan hidrogen
peroksida (Lenzen, 2008). Organ target dari ROS ini adalah DNA sel-sel β pankreas.
Menurut Nurdiana dkk. (1998) pankreas dari mencit yang diinduksi dengan aloksan akan
tampak ruang-ruang kosong disebabkan karena nekrosis dari sel β. Penurunan jumlah sel β
pankreas tersebut menunjukkan adannya gangguan metabolisme insulin pada pankreas
menyebabkan penghancuran selektif sel β (apoptosis) dan mengakibatkan penurunan
volume sel β dalam pulau langerhans. Kerusakan dan kematian sel-sel β pankreas ini akan
mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah insulin yang disekresikan (Lenzen, 2008).
Berkurangnya jumlah sekresi insulin mengakibatkan terhambatnya transportasi glukosa ke
dalam sel-sel tubuh sehingga menimbulkan penimbunan glukosa dalam darah (Hadley,
2000). Departemen Kesehatan (2000) menyatakan bahwa aloksan mempunyai
kemampuan untuk menginduksi diabetes secara permanen dalam waktu dua sampai tiga
hari dimana terjadi gejala hiperglikemik.
b. Rerata KDG kelompok perlakuan ekstrak sambiloto hari ke-19 dan 26
Berdasarkan hasil penelitian, pengukuran kadar glukosa darah mencit pada hari ke-
19 yang diinduksi aloksan pada kelompok-2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 3.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
182
Rerata kadar glukosa darah mencit jantan pada K1 pada hari ke-19 adalah ±112
mg/dl dan K2 adalah ±360,67 mg/dl. Ketika diinduksi sambiloto 2,2 mg/kg bb, rerata
kadar glukosa darah mencit pada hari ke-19 untuk K3 adalah ±353,33 mg/dl atau menurun
sebesar 2,03% dibandingkan dengan kontrol positif, sedangkan rerata kadar glukosa darah
hari ke-19 pada K4 yang diinduksi ekstrak sambiloto 4,4 mg/kg bb adalah ±232 mg/dl atau
menurun sebesar 45,01% jika dibandingkan dengan kontrol positif. Hasil uji ANOVA
glukosa darah pada hari ke-19 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil uji ANOVA
kadar glukosa darah pada hari ke-19
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
Tengah Fhit
P-
value F krit
F 0,01
Perlakuan 111419,7 3 37139,89 12,22** 0,0023 7,59
Galat/error 24300 8 3037,5
Total 135719,7 11
Sumber: Data Primer, 2014
** : Sangat nyata
Hasil perhitungan ANOVA menunjukkan bahwa F0,01 < Fhit (P<0,01), dimana nilai Fhit
adalah 12,22 sedangkan nilai F0.01 adalah 7,59. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh nyata
dari pemberian ekstrak sambiloto dengan dosis 22,2, mg/kg bb dan 4,4 mg/kg bb.
Petlakuan berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji BNT. Hasil uji BNT KGD pada hari
ke 19 dapat dilihat pada Tabel 4.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
183
Tabel 4. Uji BNT Kadar glukosa darah pada mencit sesudah pemberian
ekstrak sambiloto hari ke-19
Perbandingan
antar kelompok Mean Difference Signifikan
K2 K3 7.33333 tn .875
K2 K4 128.66667* .021
K3 K4 121.33333* .027
Sumber: Data Primer, 2014
* nyata (P<0,05)
Dari hasil uji BNT dapat dilihat bahwa pada hari ke-19, kadar glukosa darah mencit pada
kelompok 3 yang diberi 2,2 mg/kg bb (K3) berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan K2
(kontrol positif). Kadar glukosa darah pada K3 menunjukan penurunan tetapi penurunan
tersebut tidak nyata secara statistik.
Berdasarkan hasil penelitian, pengukuran kadar glukosa darah mencit pada hari ke-
26 yang diinduksi aloksan pada kelompok-2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 4.
Rerata kadar glukosa darah mencit pada K1 pada hari ke-26 adalah ±132,67 mg/dl
sedangkan rerata kadar glukosa darah pada K2 adalah ±354,67 mg/dl. Ketika diinduksi
sambiloto 2,2 mg/kg bb pada hari ke-26 rerata kadar glukosa darah mencit untuk K3
adalah ±155 mg/dl atau menurun sebesar 57,30% dibandingkan dengan kontrol positif
(K2). Hal ini menunjukkan bahwa adanya penurunan kadar glukosa darah hari ke-26 jika
dibandingkan dengan kadar glukosa darah pada hari ke-19. Rerata kadar glukosa pada hari
ke-26 turun dari ±232 mg/dl menjadi ±173,33mg/dl atau turun sebesar 21,83%. Jika
dibandingkan dengan kadar glukosa pada hari ke-19, di hari ke-26 terjadi penurunan yang
sangat berarti sampai pada keadaan normal yaitu 155 mg/dl atau menurun sebesar 56,13%.
Rerata kadar glukosa darah mencit pada kelompok 4 di hari ke26 adalah ±173,33
mg/dl. Rerata kadar glukosa darah pada hari ke-26 turun dari ±355,67 mg/dl menjadi
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
184
±173,33 mg/dl menurun sebesar 49,87% jika dibandingkan dengan kelompok kontrol
positif atau turun sebesar 18,57% dari keadaan K4 pada hari ke-19. Hasil uji ANOVA
pada hari ke-26 dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Hasil uji ANOVA kadar glukosa darah pada hari ke-26
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
Tengah Fhit P-value F krit
F0,01
Perlakuan 94784,92 3 31594,97 45,34** 0,002341 7,59
Galat/error 5574,5 8 696,8125
Total 100359,4 11
Sumber: Data Primer, 2014
** Sangat nyata (P<0,01)
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa perlakuan pemberian ekstrak sambiloto
sebanyak 2,2 mg/kg bb dan 4,4 mg/kg bb berbeda sangat nyata terhadap kadar glukosa
darah pada mencit dimana F0,01 adalah 7,59 (P<0,01) lebih kecil dari Fhit adalah 45,34.
perlakuan berbeda sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji BNT. Hasil uji BNT pada hari
ke 26 dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Uji BNT kadar glukosa darah pada mencit sesudah pemberian ekstrak
sambiloto hari ke-26
Perbandingan
antar kelompok Mean Difference Signifikan
K2 K3 199.33333** .000
K2 K4 173.00000** .000
K3 K4 -26.33333tn .160
Ket: ** sangat nyata (P<0,01);
tn tidak nyata (P>0,05)
Adanya perbedaan yang sangat nyata antara kadar glukosa darah setelah
diinduksikan aloksan (K2) dengan kadar glukosa darah setelah diberikan ekstrak sambiloto
dosis 2,2 mg/kg bb dan 4,4 mg/kg bb menunjukkan bahwa ekstrak sambiloto secara sangat
nyata mampu untuk menurunkan kadar glukosa darah pada mencit.
Peningkatan kadar glukosa darah yang terjadi pada kelompok 4 diduga akibat
faktor-faktor pendukung antara lain mengkonsumsi pakan yang diberikan dan juga akibat
stres yang dialami oleh mencit pada saat penelitian. Menurut yuriska (2009) pemberian
pakan Br 2 dapat meningkatkan kadar glukosa darah dalam tubuh dikarenakan komposisi
karbohidrat dalam pakan tersebut cukup tinggi yaitu 10% sampai dengan 12% dari total
kandungan gizi pada pakan tersebut. Menurut Hadiyanti (2012) terjadinya stres
dikarenakan adanya kemampuan tubuh dalam menanggapi stres yang diberikan berbeda-
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
185
beda pada mencit. Guyton dan Hall (1997) menambahkan bahwa stress dapat
meningkatkan kandungan glukosa darah karena stress menstimulus organ endokrin untuk
mengeluarkan ephinefrin yang mempunyai efek yang sangat kuat menyebabkan timbulnya
proses glikoneogenesis di dalam hati sehingga melepaskan sejumlah besar glukosa ke
dalam darah dalam beberapa menit. Sherwood (2001), menambahkan bahwa jika
terjadinya stress akan memicu pengeluaran hormon kortisol yang menyebabkan pelepasan
glukosa di hati sebagai respon untuk meningkatkan ketersediaan glukosa, asam amino dan
asam lemak untuk digunakan.
Peningkatan kadar glukosa darah yang terjadi pada kelompok 4 diikuti oleh
penurunan kadar glukosa darah pada hari ke-19 dan 26. Hal ini disebabkan karena interaksi
yang saling mendukung antara senyawa-senyawa bioakif yang ada di dalam daun
sambiloto (Purbowati, 2011). Penelitian-penelitian sebelumnya membuktikan bahwa
senyawa aktif dalam ekstrak sambiloto yang mempunyai aktivitas dalam menurunkan
kadar glukosa darah adalah andrographolide (Rao, 2006). Efek penurunan kadar glukosa
darah yang terlihat pada kelompok 3 dan kelompok 4 pada hari ke-19 dan 26 membuktikan
bahwa ekstrak sambiloto mampu menurunkan kadar glukosa darah pada mencit yang
diinduksi dengan aloksan.
Sambiloto merupakan salah satu tanaman obat unggulan selain temulawak,
mengkudu, daun jinten dan mahkota dewa yang digunakan sebagai bahan terapi berbagai
penyakit (Nugroho, 2001). Kandungan bahan aktif pada tanaman sambiloto ini diantaranya
andrographolide, alkalin, keton, aldehid, damar, minyak atsiri, lakton dan flavonoid yang
memiliki berbagai efek farmakologis (Widhyaningrum, 2011). Sambiloto sudah dikenal
sebagai antidiabetik, namun belum diketahui dosis dan lama terapi untuk penyembuhan
yang maksimal.
Kandungan andrographolide dalam tanaman ini banyak terdapat pada batang dan
daun memberikan rasa pahit (Ratnani dkk, 2012). Menurut Dalimartha (2006), sifat kimia
dan efek farmakologis sambiloto adalah rasa pahit dan dingin sehingga dapat berfungsi
sebagai antipiretik, analgetik, menghilangkan panas dalam, detoksifikan dan
antiradang.Wuragil (2009) menambahkan bahwa efek farmakologis yang ditimbulkan
bahan ini selain sebagai antidiabetik adalah sebagai antiinfeksi, merangsang daya tahan sel,
pengambat reaksi imunitas, penghilang rasa nyeri dan antihistamin.
Selain adanya kandungan Andrograpolide sebagai bahan aktif dalam daun
sambiloto yang berperan dalam menurunkan kadar glukosa darah dan antiinflamasi,
terdapat pula antioksidan yang dapat menekan radikal bebas (Hidayah, 2008).
Kusumowadhani (2005), menyatakan bahwa bahan kimia yang mengandung antioksidan
dapat menurunkan radikal bebas yang berperan dalam melindungi pulau langerhans dan
melawan efek sitotoksik. Kandungan antioksidan dalam tanaman ini menghambat
terbentuknya ROS yang akan meningkatkan apoptosis sel (Hidayah, 2008).
Kandungan lain dari sambiloto selain andrograpolideadalah Flavonoid. kandungan
inimemiliki aktivitas hipoglikemik atau penurunan kadar glukosa darah (Handayani, 2009)
serta memiliki mekanisme kerja dalam melindungi tubuh terhadap efek radikal bebas
berperan dalam memperbaiki keadaan insulitis pada sel β pankreas sehingga dapat
mengurangi kerusakan sel β pankreas dan akibatnya meningkatkan pelepasan insulin
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
186
sehingga kadar gula darah dapat menurun (Winarsi, 2007).Flavonoid banyak terdapat di
dalam daun dan batang dari tanaman sambiloto (Handayani, 2009).
Menurut Hamid dkk. (2010) Senyawa flavonoid memiliki potensi sebagai
antioksidan karena memiliki gugus hidroksil yang terikat pada karbon cincin aromatik
sehingga dapat menangkap radikal bebas yang dihasilkan dari reaksi peroksidasi lemak,
sehingga dapat memperbaiki keadaan insulitis pada pankreas akibat pemberian senyawa
diabetogenik yang menginduksi pembentukan radikal bebas. Dalimarta (2006)
menambahkan bahwa efek farmakologis sambiloto yang paling berperan dalam perbaikan
insulitis adalah sebagai antioksidan. Struktur molekul sambiloto bekerja memecah rantai
oksida sehingga mampu meningkatkan status antioksidan endogenous mencit diabetes,
sehingga keberadaan antioksidan eksogen yang kuat seperti flavonoid dalam daun
sambiloto (Andrographis paniculata) diperlukan untuk menetralisir radikal bebas dengan
cara mengeliminasi reactive oxygen species (ROS) dan detoksifikasi hidrogen peroksida
(H2O2) sehingga menurunkan level lipid peroksida, meningkatkan kadar enzim antioksidan
endogen dalam jaringan luka sehingga menghambat efek berantai radikal bebas. Hal ini
akan menyebabkan terhambatnya reaksi autooksidasi dan dapat menetralisir radikal bebas
atau sitokin yang membinasakan sel β pankreas pada saat terjadinya insulitis (Dalimartha,
2006).
Pemberian ekstrak daun sambiloto ke dalam tubuh mencit yang menderita Diabetes
Melitus tipe 1 mengakibatkan munculnya serangkaian proses sebagai suatu perwujudan
kerjasama yang sinergis diantara komponen-komponen farmakologis yang terkandung
dalam daun sambiloto (Ratnani dkk, 2012). Serangkaian kerjasama yang sinergis ini akan
menghasilkan keadaan insulitis menajadi lebih baik sehingga sel β dapat memproduksi
insulin dan kadar glukosa sebagai energi dalam tubuh tetap dijaga homeostatisnya.
Ketersediaan insulin dalam tubuh sangat diperlukan, terutama untuk individu yang
mengalami hiperglikemik. Hal tersebut berkaitan dengan peran insulin dalam menurunkan
kadar glukosa darah dengan cara memfasilitasi difusi glukosa ke dalam sel-sel tubuh,
terutama hepar, otot dan jaringan adiposa (Djojosoebagio, 1995). Insulin juga merangsang
glikogenesis (pembentukan glikogen) dan menghambat glikogenolisis (penguraian
glikogen) menjadi glukosa sehingga kadar glukosa darah dapat terkendali menuju keadaan
normal (Sherwood, 2001).
KESIMPULAN
1. Ekstrak etanol daun sambiloto (Andrograpis paniculata nees) memiliki kemampuan
untuk menurunkan kadar glukosa darah mencit pada kondisi Diabetes Melitus tipe 1.
2. Ekstrak etanol daun sambiloto (Andrograpis paniculata nees) dosis 2,2 mg/kg bb lebih
efektif menurunkan kadar glukosa darah mencit pada kondisi Diabetes Melitus tipe 1
pada hari ke-26, meskipun pada dosis 4,4 mg/kg bb terjadi penurunan kadar glukosa
darah namun rerata kadar glukosa darahnya tidak lebih rendah dibandingkan dengan
rerata kadar glukosa darah kelompok perlakuan dosis 2,2 mg/kg bb pada hari ke-26.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
187
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lanjut dengan variasi waktu menggunakan dosis yang
sama. Jika menggunakan dosis rendah maka menggunakan waktu terapi yang lebih
panjang sedangkan jika menggunakan dosis tinggi maka diperlukan waktu yang lebih
singkat sehingga dapat diketahui penyembuhan maksimal dari bahan terapi sambiloto yang
digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Dalimartha, S. 2006, Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Diabetes Mellitus, Jakarta.
Penebar Swadaya.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak
Tumbuhan Obat. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakatra. Hal
5,7-12.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Jumlah Penderita Diabetes Indonesia Rangking Ke-4 di
Dunia. http: //www. depkes. go. id/ index. php? option=news dan task. Diakses
tanggal 11 Maret 2007.
Djojosoebagio. 1995, Fisiologi kelenjar endokrin. Penerbit UI-Press, Jakarta: V + 501 Hal.
Guyton A. C dan J. E. Hall, 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. ke 9. Terj. dari :
Text Book Of Medical Physiology, oleh setiawan, I. Penerbit buku kedokteran EGC,
Jakarta: 1428 Hal.
Hadley, M. S. 2000, Endocrinologi. 5thed. Prentice hall. Inc., London : xxii + 585 Hal.
Hadiyanti, S., Harmayetty, Widyawati I, Y. 2012, Kadar Glukosa Darah Mencit (Mus
Musculus) Diabetes Mellitus Paska Pemberian Model Latihan Isometrik. Mahasiswa
Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.
Hidayah, R. 2008, Pengaruh Lama Pemberian Ekstrak Daun Sambiloto (andrographis
paniculata nees) Terhadap glukosa darah dan gambaran histologi pankreas tikus
(Rattus norvegicus) diabetes, Malang. Jurusan biologi Fakultas sains dan teknologi
Universitas Negeri Malang. Skripsi.
Hamid, A.A., Aiyelaagbe, O.O., Usman, L.A., Ameen, O.M., dan Lawal, A. 2010,
Antioxidant : its Medidal and Pharmacological Applications. African Journal of
pure and applied chemistry, vol.4(8),pp. 142- 151.
Hasdianah, R. H. 2012, Mengenal Diabetes Melitus dengan Solusi Herbal, Cetakan
Pertama, Nuha Madika, Yogyakarta.
Homenta, H. 2012, 'Diabetes Mellitus Tipe I', Tesis, MSc, Program Pasca Sarjana Ilmu
Biomedik, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.
Kusumawati, D. 2004, Bersahabat Dengan Hewan Coba, Edisi Pertama, Gajah Madah
University Press (anggota IKAPI), Yogyakarta.
Kusumowardhani, I, Y. 2005. Uji Potensi Labu Siam Sebagai Antidiabetik: Kajian
Terhadap Kadar Gula Darah, Radikal Bebas dan Aktivitas Transaminase Hepar Pada
Tikus Diabet.Skripsi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Malang: Universitas Brawijaya.
Lenzen, S. 2008, The mechanism of alloxan – and streptozotocin – induced diabetes.
Diabetologia 51: 216-226
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
188
Malole, M., dan Pramono, C. S. 1989, Penggunaan Hewan Percobaan di Laboratorium.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi,
Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Nugroho, A. E. 2006, Hewan Percobaan Diabetes Mellitus : Patologi dan Mekanisme Aksi
Diabetogenik, Yogyakarta. Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Bagian
Farmakologi dan Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Vol
7. Hal: 378-382
Nurdiana,.N.P., Setyawati dan M, Ali. 1998, Efek Streptozotocin Sebagai Bahan
Diabetogenik Pada Tikus Wistar dengan Cara Pemberian Intraperitonial dan
Intravena. Majalah Kedokteran Unibraw. Vol. 14. Hal 66-77.
Pho, K. 2005, Diabetes Mellitus. http//www. nlm .nih. gou/ medlineplus / ency / article /
000305 html. Diakses tanggal 7 April 2014.
Purbowati, O. 2011, Pengaruh Campuran Ekstrak Tanaman Binahong (Anrederacordifolia
(Ten.) Steenis) dan Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) Terhadap Kadar
Glukosa Darah Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Jantan. Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Departemen Biologi Depok. Skripsi
Rao, N. K. 2006, Anttihyprglikemic and renal protective activities of Andrograpis
paniculata roots cloroform extract. Iranian Journal Of Pharmacology &
Therapeutics (IJPT) : 47-50.
Ratnani, R. D., Hartati, I., Kurniasari, L. 2012, Potensi Produksi andrographolide dari
sambiloto (andrographispaniculata nees) melalui proses ekstraksi hidrotropi.
Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim
Semarang. Vol. 8, April 2012 : 6‐10
Ratimanjari, D. 2011, Pengaruh Pemberian Infusa Herbal Sambiloto (Andrographis
paniculata ness) Terhadap Glibenklamin Dalam Menurunkan Kadar Glukosa Darah
Tikus Putih Jantan yang Dibuat Diabetes, Depok, Skripsi, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi Farmasi.
Sembiring, B. 2009, Pengaruh Konsentrasi Bahan Pengisi dan Cara Pengeringan Terhadap
Mutu Ekstrak Kering Sambiloto, Bogor.
Sherwood, L. 2001, Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Ed. 2. Terj. dari Human
Psicology from Cell To System, oleh Brahm, U. Pendit. Penerbit buku kedokteran
EGC, jakarta : xvi + 739 Hal.
Suyono, S. 2007, Diabetes mellitus di Indonesia, Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit.
Widyaningrum, H., Tim Solusi Alternatif. 2011, Kitab Tanaman Obat Nusantara Disertai
Indeks Pengobatan, Cetakan Pertama, MedPress (anggota IKAPI) Yogyakarta.
Wuragil, D.K. 2006, Potensi Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata) Terhadap
Kadar Glukosa Darah dan Keberadaan Tumor Nekrosis Faktor Alfa Pada Pankreas
Tikus (Rattus norvegicus) Diabetes Hasil Paparan MLD-STZ. Skripsi Jurusan
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Malang: Universitas Brawijaya.
Yuriska F. A. 2009, Efek Aloksan Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar,
Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Skripsi.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
189
KAJIAN RESIDU PENISILIN DALAM DAGING AYAM PEDAGING, AYAM
KAMPUNG DAN AYAM PETELUR AFKIR YANG DIJUAL DI KOTA KUPANG
(STUDY OF PENICILLIN RESIDUE WITHIN THE MEATS OF BROILER CHICKEN,
RANGE CHICKEN AND CULLED LAYER HENS SOLD IN KUPANG CITY)
Arthenia Degalin Manafe1, Diana Agustiani Wuri2, Annytha Ina Rohi Detha3
1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. Email:
[email protected] 2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Nusa Cendana, Kupang. Email: [email protected] 3Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Nusa Cendana, Kupang. Email: [email protected]
ABSTRACT
The consumption of chicken meat in Indonesian society increased by 10 % per
year. The use of antibiotics to increase chicken production irregularly can lead to residues
within organ and tissue which can cause allergic reaction, resistance and poisoned so that
quite dangerous for human health. Considering the danger of antibiotic residues, then
there is a provision of maximum residue limits (BMR) listed in SNI 01- 6366-2000 which
stipulates that maximum residue limit of penicillin within the meat is 0.1 ppm. The purpose
of this study is to determine the residual content of penicillin in the meats of broiler
chicken, range chicken and culled layer hens sold in Kupang City. Samples were taken
using purposive sampling method. Sampling was conducted in Hypermart and in two
traditional markets in Kota Kupang i.e. Inpres Market and Oeba Market. Examination of
samples were carried out in the Laboratory of Quality Testing and Certification of
Veterinary Products (BPMSPH) in Bogor using Tapis test method (Screening Test) of
antibiotic residues within chicken meat by Bioassay. This study used 15 samples of chicken
breast and thigh from 5 broiler chickens, 5 range chickens, and 5 culled layer hens. The
test results showed that there is no penicillin residue in those 15 samples.
Keywords: chicken meat, residue, penicillin, kupang city.
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia membutuhkan makanan dan minuman untuk
dapat memenuhi kebutuhan gizi maupun kesehatan. Produk peternakan merupakan salah
satu komoditas dasar untuk memenuhi kebutuhan gizi maupun kesehatan manusia. Salah
satu produk peternakan ialah daging ayam.
Peningkatan juga terjadi pada produksi ayam kampung dari tahun ke tahun, yaitu
pada tahun 2001 sampai 2005 terjadi peningkatan sebanyak 4,5% dan pada tahun 2005
sampai 2009 konsumsi ayam kampung dari 1,49 juta ton meningkat menjadi 1,52 juta ton
(Aman, 2011). Ayam kampung merupakan ternak yang banyak dipelihara dan menjadi
bagian penting bagi kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ayam petelur afkir oleh peternak dimanfaatkan sebagai ayam potong untuk
penghasil daging dan mempunyai kualitas daging lebih rendah dibanding ayam broiler,
karena mempunyai bau spesifik dan alot, tetapi merupakan sumber penghasilan baru bagi
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
190
peternak jika harga jual tinggi (Rasyaf, 2010). Seiring dengan meningkatnya permintaan
masyarakat akan daging ayam, maka diusahakan berbagai cara untuk dapat meningkatkan
produksi ayam. Salah satu caranya yaitu dengan penggunaan obat-obatan, khususnya
antibiotika. Penggunaan antibiotik yang tidak memperhatikan masa henti obat (withdrawal
time), akan menimbulkan residu antibiotik pada produk hewan (Donkor et al., 2011).
Pemakaian antibiotika yang tidak beraturan dapat menyebabkan residu dalam
jaringan organ yang dapat menyebabkan reaksi alergi, resistensi dan keracunan sehingga
cukup berbahaya bagi kesehatan manusia (Yuningsih, 2004). Salah satu golongan
antibiotik yang sering ditemukan menjadi residu pada daging ayam yaitu penisilin.
Antibiotik ini dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi pakan dan pertumbuhan pada
hewan ternak (Verdon et al., 2000).Berdasarkan latar belakang yang ada, maka perlu
dilakukan penelitian tentang “Kajian Residu Penisilin dalam Daging Ayam Pedaging,
Ayam Kampung, dan Ayam Petelur Afkir yang Dijual di Kota Kupang”.
METODE PENELITIAN
Metode yang dilakukan adalah metode uji tapis (screening test) residu penisilin
pada daging ayam pedaging, ayam kampung, serta ayam petelur afkir secara bioassay.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengujian residu penisilin dengan metode uji tapis (screening test) pada
daging ayam secara bioassay didapat hasil yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengujian residu penisilin dalam daging ayam pedaging, ayam kampung dan
ayam petelur afkir yang dijual di Kota Kupang
Asal sampel Jenis
ayam
Jenis sampel Jumlah
sampel
Asal
sampel
Hasil
pengujian
residu
penisilin
Metode uji
Pasar Oeba Pedaging Daging ayam 1 Tarus Negatif
Pasar Oeba Pedaging Daging ayam 1 Tarus Negatif
Pasar Inpres Pedaging Daging ayam 1 Alak Negatif
Hypermart Pedaging Daging ayam 1 Oesapa Negatif
Hypermart Pedaging Daging ayam 1 Surabaya Negatif Bioassay
Pasar Oeba Kampung Daging ayam 1 Naibonat Negatif SNI
Pasar Inpres Kampung Daging ayam 1 Oemofa Negatif 7424:2008
Pasar Inpres Kampung Daging ayam 1 Oesao Negatif
Pasar Inpres Kampung Daging ayam 1 Camplong Negatif
Pasar Oeba Kampung Daging ayam 1 Oesao Negatif
Pasar Inpres Petelur Daging ayam 1 Oesao Negatif
Pasar Inpres Petelur Daging ayam 1 Oesao Negatif
Pasar Inpres Petelur Daging ayam 1 Oesao Negatif
Pasar Oeba Petelur Daging ayam 1 Oesao Negatif
Pasar Oeba Petelur Daging ayam 1 Oesao Negatif
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
191
Hasil uji residu penisilin negatif ditunjukkan dengan tidak terbentuknya zona
hambatan di sekitar kertas cakram yang menghambat pertumbuhan bakteri Bacillus
stearothermophilus pada media.
Hasil uji seperti pada Tabel 3 bahwa ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan
tidak ditemukannya residu penisilin, yaitu:
1. Pemahaman peternak
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada 5 peternak ayam pedaging,
100 % para peternak telah memahami penggunaan antibiotik sesuai dengan masa henti
obat (withdrawal time) dan dosis yang tepat. Hasil penelitian sebelumnya oleh Wijaya
(2011), sebanyak 24 sampel daging sapi dan 36 sampel daging ayam diambil secara
purposive sampling di 12 kota/kabupaten Provinsi Jawa Barat menggunakan metode
screening test secara bioassay tidak ditemukan residu antibiotik pada daging ayam,
tetapi ditemukan residu antibiotik golongan makrolida pada 3 sampel daging sapi.
Tidak ditemukan residu penisilin pada daging ayam dan sapi kemungkinan karena
pemahaman peternak dalam penggunaan antibiotik sesuai dengan masa henti obat
(withdrawal time) dan dosis yang tepat (Donkor et al., 2011). Menurut Ditjennak
(1993) yang diacu dalam Murdiati (1997), waktu henti pensilin G yang diaplikasikan
secara injeksi pada ayam adalah 5 hari.
2. Umur pemeliharaan
Berdasarkan hasil observasi pra penelitian dan pada saat penelitian,
pemeliharaan ayam pedaging yang begitu singkat yaitu ayam yang berumur 3 minggu
atau 4 minggu langsung dijual sehingga kemungkinan ayam terserang penyakit dan
dilakukan pengobatan sangat kecil sehingga tidak ditemukan residu penisilin. Menurut
Rasyaf (1992), ayam pedaging adalah ayam jantan dan ayam betina muda yang
berumur dibawah 6 minggu ketika dijual dengan bobot badan tertentu, mempunyai
pertumbuhan yang cepat, serta dada yang lebar dengan timbunan daging yang banyak.
Berdasarkan wawancara pada 5 peternak ayam pedaging, 40 % peternak jarang
melakukan pengobatan menggunakan antibiotik karena ayam yang dipelihara hampir
tidak pernah mengalami sakit karena telah dilakukan vaksinasi teratur.
3. Penggunaan antibiotik
Berdasarkan hasil observasi pra penelitian, ditemukan bahwa penggunaan jenis
antibiotik yang paling sering digunakan antibiotik golongan tetrasiklin kemudian
diikuti antibiotik golongan penisilin, dan lain-lain. Penggunaan penisilin juga jarang
dilakukan disebabkan oleh cara kerja penisilin yang berspektrum sempit, yaitu hanya
dapat mengobati jenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri Gram positif.
4. Jumlah sampel.
Sedikitnya sampel yang diambil dapat pula berpengaruh terhadap penelitian
ini, tidak menutup kemungkinan adanya daging ayam yang positif pasti bisa
ditemukan dari peternakan yang tidak dilakukan pengambilan sampel. Penelitian
yang dilakukan bersifat survey kualitatif sehingga sampel yang diambil sedikit dan
menghasilkan sampel yang diteliti negatif.
Hasil uji pada 5 sampel daging ayam kampung tidak ditemukan residu penisilin. Ada
beberapa kemungkinan yang menyebabkan tidak ditemukannya residu penisilin, yaitu:
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
192
1. Umur pemeliharaan
Berdasarkan hasil observasi peneliti pada beberapa pasar, ayam kampung
dipelihara dalam jangka waktu yang cukup panjang sehingga walaupun telah diberi
antibiotik, kemungkinan saat ayam dijual telah melewati batas waktu henti obat
(withdrawal time) sehingga tidak ditemukan residu penisilin dalam daging ayam
kampung. Berdasarkan hasil wawancara pada 5 peternak ayam kampung, 20 %
peternak menjual ternak ayam ketika ayam tidak dalam masa pengobatan atau sepuluh
hari setelah masa pengobatan.
2. Sistem pemeliharaan
Pemeliharaan ayam kampung umumnya masih bersifat ekstensif. Hasil
wawancara menunjukkan bahwa 80 % peternak ayam kampung memelihara ternak
ayam mereka secara ekstensif. Sistem pemeliharaan ayam kampung secara ekstensif
menyebabkan kontrol terhadap penyakit maupun dilakukan pengobatan sangat rendah.
Menurut Pamungkas dkk (2000) cara pemeliharaan ayam kampung juga bersifat
ekstensif, pakan hanya diberikan 2 kali/hari, yaitu pagi dan sore berupa jagung, dedak
dan putak, kematian cukup tinggi yang dapat mencapai 75%, sebagai akibat dari
jarangnya dilakukan vaksinasi, selain itu Murtidjo (1992), menyatakan bahwa ayam
buras yang juga disebut ayam kampung, umumnya diternakkan masyarakat terutama di
pedesaan secara liar, akibatnya kontrol terhadap produksi, pakan, maupun penyakit
sangat rendah. Ekstensif berarti, pemeliharaan dilakukan dengan cara dilepas, tanpa
ada kontrol pakan dan kesehatan.
3. Pemahaman peternak
Minimnya pemahaman peternak menyebabkan ternak ayam yang sakit tidak
diobati. Enam puluh persen peternak tidak melakukan pengobatan pada ternak ayam
yang sakit. Ternak yang sakit tidak dijual melainkan disembelih lalu dikonsumsi, dan
jika ada ternak yang mati maka akan dibakar atau dikubur.
4. Jumlah sampel
Sedikitnya sampel yang diuji juga mempengaruhi hasil penelitian. Penelitian
bersifat survei kualitatif sehingga sampel yang diambil sedikit.
Sampel daging ayam petelur afkir juga tidak ditemukan residu penisilin.
Kemungkinan yang menyebabkan tidak ditemukan residu penisilin yaitu:
1. Umur pemeliharaan
Pemeliharaan ayam petelur yang cukup lama menghasilkan ayam yang sakit
dan mengalami proses pengobatan hingga sembuh telah melewati masa henti obat
sebelum diujual untuk dikonsumsi sehingga tidak ditemukan residu penisilin.
Berdasarkan hasil observasi peneliti pada salah satu peternakan ayam petelur, ternak
ayam petelur yang dijual berumur 90 minggu. Ayam yang mengalami sakit diobati dan
tidak langsung dijual ketika sedang mengalami proses pengobatan. Menurut Gillespie
dan Flanders (2010)ayam petelur afkir adalah ayam betina petelur dengan produksi
telur rendah sekitar 20 sampai 25% pada usia sekitar 96 minggu dan siap untuk
dikeluarkan dari kandang.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
193
2. Pemahaman peternak
Peternak telah memahami penggunaan antibiotik sesuai dengan masa henti obat
(withdrawal time) dan dosis yang tepat. Peternak tidak memberikan antibiotik lebih
dari 5 hari. Menurut Ditjennak (1993) yang diacu dalam Murdiati (1997), waktu henti
pensilin G yang diaplikasikan secara injeksi pada ayam adalah 5 hari.
3. Jumlah sampel
Ketiadaan residu penisilin pada sampel daging ayam petelur afkir juga
disebabkan oleh sedikitnya sampel yang diuji juga mempengaruhi hasil penelitian.
Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa pada peternakan lain dapat ditemukan
residu penisilin dalam daging ayam petelur afkir karena sedikitnya sampel yang
diambil sehingga menyebabkan semua hasil penelitian negatif terhadap residu
penisilin. Penelitian bersifat survei kualitatif sehingga sampel yang diambil sedikit.
PENUTUP
Simpulan
Penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pada 15 sampel daging ayam yang
diuji menggunakan metode screening test secara bioassay tidak ditemukan residu penisilin.
DAFTAR PUSTAKA
Aman. 2011, Ayam Kampung Unggul, Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2001, Standar Nasional Indonesia, Batas Maksimum
Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal
Hewan, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jendral Bina
Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2008, Standar Nasional Indonesia, Metode Uji Tapis
(Screening Test) Residu Antibiotika pada Daging, Telur, dan Susu Secara
Bioassay, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2008, SNI Nomor 7442: 1995 Tentang Metode Uji Tapis
(Screening Test) Residu Antibiotika pada Daging, Telur, dan Susu Secara
Bioassay, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan. 1993, Indeks Obat Hewan Indonesia, Edisi III, Jakarta.
Donkor, E., Newman, M. J., Tay, S.C.K., Tay, N.T.K.D., Dayie, E., Bannerman, and Olu-
Taiwo, M. 2011, Investigation Into the Risk of Exposure to Antibiotic Residues
Contaminating Meat and Egg in Ghana, Food Cont., 22:869-873.
Gillespie, J.R. and F.B. Flanders. 2010, Modern Livestock and Poultry Production:
Feeding, Manajement, Housing, and Equipment, 8th ed, Delmar, Ltd., New York,
USA. Page: 674-695.
Pamungkas, D.L., Affandhy, Gunawan, Mariyono, U., Umiyasih, dan Ariyanto, H. 2000,
‘Pengkajian Sistem Usaha Pertanian Ayam Buras Berbasis Ekoregional Lahan
Kering’. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian/Pengkajian, Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian, Karang Ploso.
Rasyaf, M. 1992, Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging, Penebar Swadaya, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
194
Rasyaf, M. 1995, Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Pedaging, Gramedia Pustaka
Utama, Bogor.
Verdon E., Fuselier, R., Hurtaud-Pessel, D., Couedor, P., Cadien, N. and Laurentie, M.
2000, Stability of penicillin antibiotic residue in meat duringstorage ampicillin, J.
of Chroma 882:135-143.
Wijaya, R. M.2011, Residu Antibiotik pada Daging Ayam dan Sapi dari Pasar Tradisional
di Provinsi Jawa Barat, Bogor.
Yuningsih. 2004, Keberadaan Residu Antibiotika dalam Produk Peternakan (Susu dan
Daging), Di dalam: Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan,
Balai Penelitian Veteriner, Bogor, hal. 48-55.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
195
GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL KAMBING KACANG (Capra aegagrus
hircus) YANG DIPELIHARA DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) ALAK,
KOTA KUPANG
HISTOPATHOLOGY OF KACANG GOATS (Capra aegagrus hircus) KIDNEY WHICH
ARE REARED AT ALAK DUMPING SITE OF KUPANG
Edward Ndappa1, Antin Yeftanti Nugrahening Widi 2, Filphin Adolfin Amalo 3
1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
E-mail : [email protected] 2Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
E-mail: [email protected] 3Bagian Histologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Rearing goats, especially kacang goats (Capra aegagrus hircus), is one of
businesses that is developed by most people in Kupang due to the high breeding rate of this
breed of goat and their ability to adapt to surrounding environment. The latter factor and
the narrower pasture in Kota Kupang cause some of the farmers who live nearby Alak
dumping site choose to herd their kacang goats at this location. This rearing method may
lead to renal injury due to ingestion of heavy metal or toxic chemical contained waste.
Kidney is an organ that plays important roles in secreting metabolism remnant and toxic
chemical substances. these functions can be impaired by the alteration of both
macroscopic and microscopic structure. This study is aimed to examine pathology anatomy
and histopathology of kacang goats kidney which are reared at Alak dumping site. A total
of six goats were used in this study, and consisted of four goats which were raised Alak
dumping site and the other were not reared at this location. these goats were euthanized,
and necropsy was performed to take kidney samples which subsequently were observed
macroscopically, cut, and fixed for further histotechnique processes, and microscopic
examination. Pathology anatomy examination results showed diffuse red spots on the
surface of the kidney, swelling, and softened consistency of kidneys of kacang goats which
were reared at Alak dumping site, whereas the other showed normal macroscopic figure.
Histopathological changes were found in all kidneys although kidneys of kacang goats
from Alak dumping site showed severer changes. The changes which were depicted by
kidneys of kacang goats of Alak dumping site are glomerular and interstitial congestion,
glomerular atrophy, mesangial cells hyperplasia, tubular epithelial cells necrosis, and
protein deposits in tubular lumen. While kacang goats kidneys which were not raised at the
dumping site merely revealed glomerular congestion and picnotic tubular epithelial cells.
Keywords: kidney anatomy, kidney histology, renal pathology anatomy, renal
histopathology, kacang goat, Alak dumping site, waste
PENDAHULUAN
Beternak kambing khususnya kambing kacang (Capra aegagrus hircus) merupakan
salah satu usaha yang diminati oleh masyarakat Kota Kupang. Hal ini dikarenakan cara
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
196
pemeliharaannya lebih mudah dibandingkan ternak ruminansia besar mengingat
kemampuan adaptasinya terhadap lingkungan cukup besar, selain itu kambing kacang
cepat berkembang biak dan pertumbuhan anaknya juga tergolong cepat (Atmojo, 2007).
Keberadaan beberapa faktor di atas namun tidak diimbangi dengan luasnya lahan
penggembalaan menyebabkan beberapa peternak yang berada di sekitar lingkungan
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Alak, Kota Kupang memilih untuk menggembalakan
ternak kambingnya di TPA tersebut.
Ginjal secara anatomi terletak retroperitoneal, tepat pada posisi ventral terhadap
beberapa vertebra lumbal yang pertama (Frandson, 1992). Setiap ginjal memiliki sisi
medial cekung, yaitu hilus tempat masuknya syaraf, masuk dan keluarnya pembuluh darah
dan pembuluh limfe, serta keluarnya ureter dan memiliki permukaan lateral yang cembung.
Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang langsung dari
aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena renalis yang bermuara ke
dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak
mempunyai anastomosis dengan cabang-cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat
kerusakan salah satu dari cabang arteri ini berakibat timbulnya iskemia atau nekrosis pada
daerah yang diinervasinya (Junquiera dan Carneiro, 2007).
Secara histologi, ginjal terdiri dari tiga lapisan utama mulai dari luar ke dalam yaitu
kapsula, korteks dan medulla. Kapsula merupakan pembungkus ginjal yang tersusun atas
jaringan lemak dan jaringan ikat padat kolagen (Hartono, 1992). Bagian korteks terbagi
atas dua komponen utama, yaitu pars radiata dan pars convoluta. Pars radiata tersusun atas
tubulusdan bagianlurusdarinefron, sedangkan pars konvoluta terdiri dari korpuskulum
renalis, tubulus konvolutus proksimal serta tubulus konvolutus distal (Bacha dan Bacha,
2000).Korpuskulum renalis mengandung kapiler glomerulus yang diselubungi oleh dua
lapis epitel yang disebut kapsula Bowman (Mescher, 2013). Suatu rongga yang terbentuk
diantara glomerulus dan kapsula Bowman disebut rongga urin atau rongga kapsular
(Gartner et al., 2012). Tubulus konvolutus proksimal dibatasi oleh selapis sel-sel epitelial
yang bentuknya tidak beraturan, mempunyai mikrovili membentuk brush border,dan
memiliki lumen lebih panjang dibandingkan lumen tubulus konvolutus distal (Gartner et
al., 2012; Eroschenko, 2008). Tubulus konvolutus distal tidak memiliki brush border
sehingga bagian lumennya nampak lebih halus, selain itu bentuknya lebih kecil
dibandingkan dengan tubulus konvolutus proksimal (Bacha dan Bacha, 2000). Medula
renalis terletak dekat hilus, sering terlihat berupa garis-garis putih oleh karena adanya
saluran-saluran yang terletak dalam piramida renalis (Guyton dan Hall, 1997). Medulla
renalis terutama terdiri atasloop of henle, pembuluh darah dan duktus pengumpul yang
bermuara ke dalam kaliks minor (Gartner et al., 2012).
Beberapa resiko dapat terjadi sebagai akibat sampingan dari fungsi ginjal. Ginjal
dapatmengalami gangguan yang kemudian menyebabkan kerusakan jaringan.Menurut
Alatas et al (2002), beberapa zat yang dapat merusak struktur maupun fungsi ginjal
diantaranya makanan yang tercemar racun, bahan kimia, obat-obatan antibiotik, obat
kemoterapi, logam berat dan zat-zat radiokontras. Widayanti (2004) menyatakan bahwa
ginjal merupakan salah satu organ yang rentan terhadap efek toksik, hal ini disebabkan
karena ginjal menerima 25 % dari cardiac output sehingga sering dan mudah kontak
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
197
dengan zat kimia dalam jumlah besar. Beberapa penanda terjadinya kerusakan ginjal
menurut Cotran et al. (1999) antara lain adanya kongesti, munculnya polymorphonuclear
cell, kariolisis sel parenkim dan sel endotel, penyempitan celah antara kapsula Bowman
dengan glomerulus, atrofi dan hipertrofi glomerulus, serta penyempitan lumen duktus
kontortus.
Sumber pakan ternak yang dipelihara di TPA Alak merupakan campuran sampah
organik dan anorganik yang mengandung berbagai bahan yang kemungkinan dapat bersifat
toksik dan patogen. Bahan toksik dan patogen dari sampah tersebut akan masuk ke dalam
tubuh kambing bersama dengan pakan sampah yang dikonsumsi dan terdistribusi ke bagian
tubuh kambing, khususnya pada organ ginjal yang berperan penting dalam sistem eksresi
dan menjaga keseimbangan kandungan garam, asam dan air dalam tubuh (Soemirat, 2009).
Dengan demikian, kambing yang digembalakan di TPA mengkonsumsi sampah dan
beresiko terpapar bahan toksik ataupun pathogen yang dapat mengakibatkan kerusakan
pada ginjal.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuigambaran makroskopik dan
mikroskopik ginjal kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang dipelihara di TPA Alak
Kota Kupang.
MATERI DAN METODE
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini berupa 6 ekor kambing kacang
(Capra aegagrus hircus) yang terdiri dari 2 ekor kambing jantan dan 2 ekor kambing
betina yang dipelihara di TPA Alak serta masing-masing 1 ekor kambing jantan dan betina
yang tidak dipelihara di TPA Alak (non TPA).
Proses nekropsi dilakukan terhadap seluruh kambing yang diteliti dengan
menggunakan metode sebagaimana tercantum dalam Soeharmi et al. (2003). Pengamatan
patologi anatomi dilakukan setelah ginjal dipisahkan dari organ viscera lainnya dan
dilanjutkan dengan fiksasi dalam larutan formalin 10%. Preparat histopatologi dibuat
dengan mengaplikasikan metode yang sama sebagaimana dipergunakan oleh Ndaong
(2013) dan dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopis terhadap preparat tersebut.
Analisis hasil dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Patologi Anatomi
Hasil pemeriksaan patologi anatomi pada semua sampel dari TPA Alak
menunjukan adanya gambaran yang sama, yaitu bintik-bintik merah yang menyebar
(difuse) pada permukaan ginjal sehingga ginjal terlihat bewarna merah gelap (Gambar 1B),
pembengkakan organ ginjal (Gambar 1C), dan konsistensi yang lunak (Gambar 1D). Ginjal
kambing kacang yang tidak dipelihara di TPA Alak berbentuk seperti kacang merah dan
berwarna coklat kemerahan (Gambar 1A), serta tidak menunjukan perubahan makroskopik
seperti yang dijumpai pada ginjal dari kambing yang dipelihara di TPA Alak. Rincian hasil
pemeriksaan patologi anatomi terhadap semua kambing yang diteliti disajikan dalam Tabel
1.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
198
Gambar 1. Gambaran anatomi ginjal kambing kacang non TPA Alak dan yang dipelihara
di TPA Alak. (A)ginjal normal (kambing non TPA); B,C,D (ginjal kambing
dari TPA Alak), (B)bintik-bintik merah difuse pada korteks ginjal,
(C)pembengkakan ginjal dan konsistensi lunak, (D)batas korteks dan medula
tampak tidak terlalu jelas.
Tabel 1. Patologi anatomi ginjal kambing kacang (Capra aaegagrus hircus) yang
dipelihara
di TPA Alak dan tidak dipelihara di TPA Alak.
No Asal organ Perubahan Warna
(bintik merah)
Perubahan Bentuk
(bengkak)
Perubahan Konsistensi
(lunak)
1 Jantan Alak I
2 Jantan Alak II
3 Betina Alak I
4 Betina Alak II
5 Jantan non Alak - - -
6 Betina non Alak - - -
Anatomi ginjal kambing kacang yang tidak dipelihara di TPA Alak yang
menunjukkan bentuk seperti kacang merah dengan warna coklat kemerahan menandakan
bahwa struktur anatomi ginjal dari kambing kacang ini tergolong normal. Hal ini sesuai
A B
C D
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
199
dengan pendapat Junquiera dan Carneiro (2007) yang menyatakan bahwa ginjal normal
memiliki warna coklat kemerahan dengan bentuk menyerupai kacang merah.
Adanya bintik-bintik merah pada ginjal kambing kacang yang dipelihara di TPA
Alak dapat disebabkan karena adanya kongesti ataupun hemoragi. Kongesti adalah
keadaan apabila darah secara berlebihan terdapat di dalam pembuluh darah pada daerah
tertentu, yang jika dilihat secara makroskopis daerah jaringan atau organ ginjal yang
mengalami kongesti berwarna lebih merah serta batas antara korteks dan medula nampak
tidak jelas (Price dan Wilson, 1994). Kongesti yang terjadi pada pembuluh darah ginjal
dapat disebabkan oleh adanya paparan dari logam berat seperti timbal (Sari, 2010).
Hemoragi merupakan keadaan keluarnya darah dari dalam pembuluh darah, dapat terjadi di
tubuh bagian luar, di dalam rongga tubuh, dan di dalam jaringan (Jones et al., 1997).
Menurut Daft et al. (1989), hemoragi pada korteks ginjal dapat disebabkan oleh adanya
paparan zat kimia toksik, obat-obatan dan logam berat. Price dan Wilson (1994)
menyatakan bahwa keracunan zat toksik menyebabkan pembendungan sehingga tekanan di
dalam pembuluh darah jauh lebih tinggi dibandingkan tekanan di dalam jaringan,
akibatnya darah akan merembes keluar pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya
pembengkakan pada organ ginjal. Hal ini terbukti dengan adanya temuan patologi anatomi
berupa pembengkakan ginjal pada sampel dari TPA Alak. Selain kelebihan cairan darah
dalam ginjal, pembengkakan ginjal juga dapat disebabkan karena hiperplasia jaringan
(Price dan Wilson, 1994; Azizah et al, 2014), serta paparan langsung dari zat toksik yang
dapat menyebabkan hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel sehingga
mengakibatkan terjadinya pembengkakan sel (Cheville, 1999).
Konsistensi ginjal dari kambing yang dipelihara di TPA Alak yang lunak ditandai
dengan adanya permukaan ginjal yang fluctuant (bergelombang). Hal ini kemungkinan
disebabkan karena adanya kelebihan cairan darah didalam ginjal, radang pada glomerulus,
hiperplasia jaringan serta adanya endapan protein (Azizah et al., 2014).
Gambaran Histopatologi Ginjal
Hasil pengamatan histopatologi ginjal kambing kacang yang dipelihara di TPA
Alak dan yang tidak dipelihara di TPA Alak menunjukan adanya perubahan struktur
histologi. Pada sampel dari TPA Alak terlihat perubahan pada glomerulus berupa kongesti,
atropi glomerulus dan hiperplasia sel mesangium (Gambar 2), sedangkan pada tubulus
dijumpai adanya nekrosis epitel tubulus dan endapan protein pada lumen tubulus (Gambar
3), serta pada daerah interstisium terjadi kongesti (Gambar 4). Hasil pemeriksaan
histopatologi secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 2.
Pengamatan histopatologi glomerulus pada`semua sampel dari TPA Alak dan satu
sampel dari non TPA Alak memperlihatkan adanya kongesti yang ditandai dengan adanya
kapiler-kapiler dalam jaringan yang melebar dan penuh berisi darah (Gambar 2B). Hal ini
merupakan konfirmasi temuan patologi anatomi berupa kongesti (bintik-bintik merah
difus) pada permukaan ginjal. Kongesti ini kemungkinan dapat disebabkan karena adanya
paparan dari bahan-bahan kimia bersifat toksik seperti logam berat yang ikut termakan
oleh kambing kacang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Baldatina (2008), Sari (2010),
dan Himawan (1979) bahwa bahan-bahan kimia bersifat toksik seperti logam berat dan
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
200
insektisida dapat menyebabkan kongesti pada glomerulus ginjal. Kongesti pada sampel
dari non TPA Alak kemungkinan disebabkan karena hewan mengalami stres sebelum
dilakukan euthanasi. Virden dan Kidd (2009) menyatakan bahwa stres pada hewan dapat
menyebabkan gangguan pada sirkulasi darah sehingga mengakibatkan meningkatnya aliran
darah pada suatu daerah atau jaringan tubuh.
Tabel 2. Histopatologi ginjal kambing kacang yang dipelihara di TPA Alak dan tidak
dipelihara di TPA Alak.
Sampel
ginjal
Glomerulus Tubulus Interstisial
Kongesti Atropi Hiperplasia
mesangial
Nekrosis
epitel
Endapan
protein
Kongesti
Jantan
Alak 1
Jantan
Alak 2
Betina
Alak 1
Betina
Alak 2
Jantan
non TPA
Betina
non TPA
√
√
√
√
√
−
√
√
√
√
−
−
−
−
−
−
−
−
p,kr,kl
p,kr,kl
p,kr,kl
p,kr,kl
p
p
√
√
√
√
−
−
√
√
√
√
−
−
Keterangan: (√) : ada; (−) : tidak ada; (p) : piknosis; (kr) : karioreksis; (kl) :kariolisis
Pada glomerulus juga didapati adanya atropi (Gambar 2C) yang hanya dijumpai
pada sampel dari TPA Alak. Rumawas (1989) menyatakan bahwa atropi glomerulus dapat
disebabkan oleh akumulasi protein di dalam ruang Bowman dan adanya tekanan intertisial.
Endapan protein di dalam ruang Bowman terjadi karena adanya peningkatan permeabilitas
kapiler glomerulus sehingga kapiler glomerulus menjadi permeabel terhadap plasma
protein (Cunningham, 2002). Peningkatan permeabilitas kapiler ini kemungkinan
disebabkan oleh adanya bahan-bahan kimia toksik yang masuk kedalam tubuh melalui
sampah yang dikonsumsi oleh ternak kambing kacang. Hal ini didukung oleh Beattie et al.
(1984) yang menyatakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kerusakan membran
plasma sehingga protein lolos dan terakumulasi di ruang Bowman, yaitu zat kimia toksik.
Gangguan ini menyebabkan terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus dan produksi urin
(Ganiswara 1995).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
201
Perubahan berupa hiperplasia sel mesangium juga terlihat pada sampel dari TPA
Alak (Gambar 2D). Menurut Kumar et al. (2007), paparan bahan kimia serta logam berat
menyebabkan gangguan pada sel selanjutnya sel akan berusaha beradaptasi dengan cara
hiperplasia. Berdasarkan teori ini, maka kondisi hiperplasia sel mesangium kemungkinan
terjadi karena ternak kambing kacang mengkonsumsi sampah organik yang mengandung
bahan-bahan kimia serta logam berat.
Pada pengamatan histopatologi tubulus terlihat adanya nekrosis sel epitel (Gambar
3B). Nekrosis sel epitel tubulus terjadi pada sampel dari TPA Alak maupun non TPA Alak,
dengan tingkat keparahan yang lebih besar pada sampel dari TPA Alak. Secara
mikroskopik sel epitel tubulus pada sampel dari TPA Alak umumnya menunjukan tiga pola
kerusakan sebagaimana yang biasa dijumpai pada sel yang mengalami nekrosis, yaitu
(1)inti menjadi keriput, inti tampak lebih padat dan warnanya gelap (piknosis), (2)inti
terbagi atas fragmen-fragmen dan robek (karioreksis) dan (3)inti tidak lagi mengambil
warna banyak sehingga terlihat pucat atau tidak nyata (kariolisis) (Lestari dan Agus, 2011),
sedangkan pada sampel dari non TPA Alak hanya menunjukan pola kerusakan berupa inti
mengalami piknosis. Menurut Cheville (2006), salah satu penyebab dari nekrosis pada sel
epitel ginjal adalah asupan bahan atau zat kimia yang bersifat nefrotoksik diantaranya
A B
D
Gambar 2. Gambaran glomerulus kambing kacang non-TPA Alak dan yang dipelihara di
TPA Alak; A) Glomerulus normal(kambing kacang non-TPA, 400x, H&E) B)
kongesti glomerulus (kambing kacang jantan TPA, 400x, H&E),C) atropi
glomerulus (kambing kacang betina TPA, 400x, H&E), D) hiperplasia sel
mesangium (kambing kacang betina TPA, 400x, H&E); a)kongesti glomerulus,
b)atropi glomerulus, c)endapan protein, d)perluasan ruang Bowman
C
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
202
logam berat, antibiotik, insektisida, analgesik, dan hidrokarbon berhalogen tertentu (Alatas
et al., 2002). Berdasarkan teori tersebut maka nekrosis sel epitel tubuli yang ditemukan
pada sampel dari TPA Alak kemungkinan disebabkan karena kambing kacang
mengkonsumi sampah yang mengandung zat kimia toksik. Nekrosis sel epitel yang terjadi
pada sampel dari non TPA Alak kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor seperti
agen fisik, iskemia, agen biologik dan hipersensifitas (Pringgoutomo et al., 2002).
Nekrosis ini juga berhubungan erat dengan kondisi kongesti. Junquiera dan Carneiro(2007)
menyatakan gangguan-gangguan pada pembuluh darah ginjal seperti kongesti dan
hemoragi dapat menyebabkan kerusakan yang menyeluruh pada organ ginjal, hal ini
dikarenakan sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai
anastomosis dengan cabang-cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan pada
salah satu dari cabang arteri ini berakibat timbulnya iskemia atau nekrosis pada daerah
yang divaskularisasiya.
Pada daerah tubulus juga ditemukan adanya endapan protein pada bagian lumen
(Gambar 3C) yang hanya dijumpai pada sampel dari TPA Alak. Endapan protein ini
disebabkan oleh malfungsi glomerulus akibat rusaknya struktur membran kapiler
(Hidayati, 2008). Struktur membran kapiler yang rusak meningkatkan permeabilitas filter,
sehingga protein dengan molekul besar dan plasma albumin dapat menerobos keluar
memasuki filtrat dan terakumulasi di lumen tubulus. Berbagai komponen yang
berkemampuan merusak filter glomerulus diantaranya bahan toksik, molekul bermuatan
atau kompleks imun. Akumulasi bahan yang bersifat toksik pada ginjal dapat
menyebabkan gangguan fungsi enzim lisosom epitel tubuli, yang kemudian mengganggu
absorpsi enzimatik hasil degradasi protein, dan pada akhirnya akan menimbulkan residu
protein yang tersisa baik dalam lumen maupun pada sel epitel (Glainster, 1986). Selain itu,
gangguan reabsorpsi karena melebihi ambang batas kemampuan atau rusaknya epitel
tubulus dapat juga menjadi penyebab hadirnya endapan protein di tubulus (Hidayati,
2008). Kondisi ini sesuai dengan temuan berupa nekrosis sel epitel tubulus. Dengan
demikian, beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab adanya protein dalam lumen
tubulus ginjal kambing kacang yang mengkonsumsi sampah dari TPA Alak yaitu
kemungkinan adanya zat toksik pada pakan sampah yang dimakan dan nekrosis epitel
tubulus.
Perubahan lain yang juga didapati adalah kongesti pada daerah interstisial (Gambar
4). Kongesti merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan meningkatnya volume darah
dalam pembuluh darah yang melebar pada suatu alat atau bagian tubuh (Wiegertjes dan
Flik, 2004).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
203
Gambar 3. Gambaran tubulus ginjal kambing kacang non-TPA Alak dan yang dipelihara di
TPA Alak; A) tubulus normal (kambing kacang non-TPA, 400x, H&E), B)
nekrosis sel epitel tubulus (kambing kacang betina TPA, 400x, H&E), C)
endapan protein pada lumen tubulus (kambing kacang betina TPA, 400x,
H&E), a) sel piknosis, b)sel karioreksis, c) sel kariolisis, d) endapan protein
Gambar 4. Kongesti pembuluh darah pada daerah interstisium (a), (kambing kacang
jantan TPA, 400x, H&E)
A
C
B
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
204
Perubahan yang terjadi secara makroskopik maupun mikroskopik pada organ ginjal
menunjukkan bahwa ginjal merupakan salah satu organ yang mengalami kerusakan
sebagai akibat pemeliharaan hewan di lokasi TPA. Secara umum, dapat disimpulkan
bahwa beberapa jenis kerusakan yang dijumpai pada ginjal kambing kacang yang
digembalakan di TPA mengindikasikan kerusakan akibat bahan toksik. Kerusakan ginjal
pada kambing kacang yang dipelihara di TPA Alak terjadi pada semua bagian nefron
ginjal. Menurut Lu (1995) dan Ressang (1984) semua bagian nefron secara potensial dapat
rusak oleh efek toksikan, dengan tingkat kerusakan yang beragam dari satu atau lebih
perubahan biokimia sampai kematian sel, dan efek mulai dari perubahan kecil pada fungsi
ginjal sampai gagal ginjal total.
KESIMPULAN
Patologi anatomi pada ginjal kambing yang dipelihara di TPA Alak berupa bintik-
bintik merah difuse pada korteks ginjal, terjadi pembengkakan dan konsistensi yang lunak,
sedangkan ginjal kambing yang tidak dipelihara di TPA Alak menunjukkan gambaran
makroskopis yang normal. Perubahan histopatologi yang dijumpai pada ginjal dari TPA
Alak yaitu kongesti glomerulus, atropi glomerulus, hiperplasia sel mesangium, nekrosis sel
epitel tubulus, endapan protein pada lumen tubulus serta kongesti pembuluh darah pada
daerah intertisial. Ginjal dari kambing non TPA Alak secara histopatologi hanya
menunjukan perubahan berupa kongesti glomerulus dan piknotik sel epitel tubulus yang
ringan.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, H., Tambunan, T., Trihono, P.P. dan Pardede, S.O. 2002, Buku Ajar Nefrologi
Anak, Edisi ke-2, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
Atmojo, A.T. 2007,Apa Khasiat Susu dan Daging Kambing, diakses tanggal 25 Januari
2015,<http://triatmojo. wordpress.com/2007/01/15/apa-khasiat-susu-dan-daging-
kambing/>.
Azizah, N., Ramadhan, L., Atika, A.T.T., Audini, I.S. dan Saraswati, P.N. 2014, Buku
Petunjuk Praktikum Patologi Sistemik Veteriner, Departemen Patologi Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya.
Baldatina, A.Z.I. 2008,Pengaruh Pemberian Insektisida (Esbiothrin, Imiprothrin Dan D-
Phenothrin) Pada Tikus Putih (Rattus Rattus): Kajian Histopatologi Hati Dan
Ginjal, , Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Skripsi, Bogor.
Beattie, J.M., Dickson, W.E.C., Drennan, A.M. dan Hememann, W. 1984, A Texbook of
Pathology, Ed ke-5, Vol 1, Medical Books Ltd, London.
Cheville, N.F. 1999, Introduction to Veterinary Pathology, 2nd Edition, Iowa State
University Press, USA.
Cheville, N.F. 2006, Introduction to Veterinary Pathology. 3thEdition, 2121 State Avenue,
IA 50014 , Blackwell Publishing Profesional, USA.
Cooper, J. dan Slauson, D.O. 2002, Mechanism of Disease : A Text Book ofComparative
General Pathology, 3rd Ed, Mosby Incorporation, Amerika.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
205
Cunningham, J.G. 2002, Textbook of Veterinary Physiology, 3rd Edition, WB Saunders
Company, USA.
Daft, B.M., Bickford, A.A. dan Hammarlund, M.A. 1989, Experimental and field
sulfaquinoxaline toxicosis in Leghorn chickens, Avian Dis, 33:30-34.
Erlangga. 2007,’Efek Pencemaran Perairan Sungai Kampar Di Propinsi Riau Terhadap
Ikan Baung (Hemibagrus nemurus)’, Tesis, MSc, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ganiswara, S.G. 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi keempat, Gaya Baru, Jakarta.
Glainster, J.R. 1986, Prinsiple of Toxicological Phatology, Taylor and Francis, London,
England.
Guyton, A.C. dan Hall, J.E. 1997, Ginjal dan Cairan Tubuh, diterjemahkan dari Bahasa
Inggris oleh Setiawan , EGC, Jakarta.
Himawan, S. 1979, Kumpulan Kuliah Patologi, Bagian Patologi Anatomik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Jones, T.C., Ronald, D.H. dan Norval, W.K. 1997, Veterinary Pathology, Sixth Edition,
William and Wilkins, Baltimore, USA.
Junqueira, L.C. dan Carneiro, J. 2007, Histologi Dasar : Teks dan Atlas, diterjemahkan
dari Bahasa Inggris oleh Jan Tambayong, Penerbit Kedokteran EGC, Jakarta.
Kumar, V., Ramzi, S. Cotran. Stanley, L. Robbins. 2007, Buku Ajar Patologi Robbins,
Ed.7, Vol.1, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Lestari, A.S.P. dan Agus, M. 2011, Analisis Citra Ginjal untuk Identifikasi Sel Piknosis
dan Sel Nekrosis, Jurnal Neutrino Vol.4, No.1, p:48-66.
Lu, F.C. 1995, Toksikologi Dasar, UI Press, Jakarta.
Ndaong, N.A. 2013, ‘Efek Pemamaparan Deltamethrin pada Broiler Terhadap Aktivitas
Enzim Alanine Amino Transferase, Aspartat Aminotranferase, Gambaran
Histoptologi Hepar dan Feed Convertion Ratio’, Tesis, MSc, Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Price, S.A. dan Wilson, L.M. 1994, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Buku I. Edisi Keempat, Terjemahan dari Pathophysiology Clinical Concepts of
Disease Processes. Anugerah P, penerjemah Wijaya C, editor, EGC, Jakarta:
Price, S.A. dan Lorraine, M.W. 2006, Pathofisiologi : Konsep Proses-proses Penyakit,
Edisi ke-6 Vol 1. EGC, Jakarta.
Pringgoutomo, S., Himawan, S. dan Tjarta, A. 2002. Buku Ajar Patologi I, Sagung Seto,
Jakarta.
Ressang, A.A. 1984, Buku Ajar Patologi Khusus Veteriner, Fakultas kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rumawas, W. 1989, Patologi Umum, Fakultas kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Sari, D.H. 2010, Pengaruh Timbal (Pb) pada Udara Jalan Tol Terhadap Gambaran
Mikroskopis Ginjal dan Kadar Timbal (pb) dalam Darah Mencit balb/c Jantan,
Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro, Semarang.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
206
Soeharmi, S., Harjanto, H dan Lazuardi, M. 2003, Pemeriksaan histologi organ dalam
kambing pasca kematian akibat infeksi Tripanosomaevansi isolat Bangkalan,
Medika Eksakta 1: 1-6.
Soemirat, J. 2009, Toksikologi Lingkungan, cetakan ke-3, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Virden, W.S. dan Kidd, M.T. 2009, Physiological stress in broilers: ramifications on
nutrient digestibility and responses, J Appl Poult Res. 18:338-347.
Widayanti E, 2004, Struktur Histologik Ginjal Tikus (Rattus norvegicus) Galur Spraque
Dawley setelah Pencekokan Spent Catalyst Lokal dan Impor dari Residual
Catalytic Cracking Unit, Jurnal Kedokteran Yarsi, 12(3) : 33 – 40
Wiegertjes, G.F. dan Flik, G. 2004, Host Parasitic Interactions, BIOS Scientific Publishers.
USA, pp. 8-9.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
207
EFEKTIVITAS SALEP EKSTRAK ETANOL DAUN SAMBILOTO (Andrographis
paniculata) TERHADAP KESEMBUHAN LUKA INSISI PADA MENCIT (Mus
musculus)
Effectiveness of Ethanol Sambiloto(Andrographis paniculata) Leaf Extract on Wound
Healing Incision in Mice (Mus Musculus)
Adonia Ibma Ibu1, Filphin Adolfin Amalo2, Nemay Anggadewi Ndaong3 1Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana
E-mail: [email protected] 2Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Nusa Cendana 3Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
Incision is a cellular and anatomical disruption of a tissue. Improper wound care
resulted in a slowdown in wound healing. Wound healing is essential to restore the
integrity of the skin as soon as possible and is a complex and dynamic process. Sambiloto
(Andrographis paniculata) is the famous medicinal plants in Indonesia. Sambiloto
containing the active compound such as flavonoid, andrographolide, tannins and saponins
which can affect the wound healing process. This study aims to determine the effectiveness
of the ethanol extract of Andrographis paniculata ointment with a concentration of 10%,
15%, 20% against the incision wound healing in mice (Mus musculus). This studies using
12 mice (Mus musculus) ± 2 month old male, were divided into 4 groups randomly, which
is: Group I was given an ointment base, Group II were given ethanol Andrographis
paniculata extract ointment 10%, Group III given ethanol Andrographis paniculata
extract ointment 15%, Group IV was given ointment extract ethanol of
Andrographispaniculata 20%. Lubrication conducted for 14 days, 2 times a day. On day
15, all mice were sacrificed using chloroform and scar tissue taken for histopathological
preparations made with hematoxylin-eosin staining method. Research data with the
parameters is the macrophages and fibroblass, were analyzed with the Kruskal-Wallis test
and significantly different when followed by Mann-Whitney. The results of the Kruskal-
Wallis test showed dose administration of various concentrations of Andrographis
paniculata significantly different (P<0.05) to fibroblass, but not significantly different
(P>0.05) on macrophages. The results of the Mann-Whitney test for fibroblass, compared
between K1 to K4 significant (P<0.05). The conclusion is application the leaf extract of
ethanol (Andrographis paniculata) ointment on concentration of 20% is the most effective
to accelerating wound healing process.
Keywords: Sambiloto (Andrographis paniculata), incision, macrophages, fibroblass,
wound healing
PENDAHULUAN
Kulit merupakan bagian terluas dari bagian tubuh, yang berfungsi sebagai
pelindung tubuh terhadap bahaya fisik dan bahan kimia (Muthalib dkk., 2013). Sebagai
organ tubuh yang letaknya paling luar, kulit mudah mengalami luka. Luka digambarkan
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
208
secara sederhana sebagai gangguan seluler dan anatomis dari suatu jaringan (Dewi dkk.,
2013). Saat timbulnya luka, beberapa efek akan muncul diantaranya hilangnya seluruh atau
sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah,
kontaminasi bakteridan kematian sel (Pongsipulung dkk, 2014).
Penyembuhan luka sangat penting untuk mengembalikan integritas kulit sesegera
mungkin dan merupakan proses yang kompleks dan dinamis (Purnasari, dkk., 2012).
Proses perbaikan jaringan terdiri dari 3 fase yaitu fase inflamasi (0 sampai 3 hari), fase
proliferasi (3 sampai 14 hari) dan fase remodeling (bisa dimulai pada hari ke-8 dan
berlangsung sampai 1 tahun) (Singer dan Clark, 1999). Hasil dari mekanisme
penyembuhan luka tergantung dari perluasan dan kedalaman luka, serta ada tidaknya
komplikasi yang mengganggu perjalanan proses penyembuhan luka yang alami.Saat ini,
banyak penelitian yang dilakukan untuk menemukan bahan-bahan atau formula obat, yang
dapat mempercepat kesembuhan luka. Banyak pengobatan yang dilakukan pada saat ini
mengarah kembali ke alam (back to nature) karena diketahui bahwa penggunaan obat-
obatan modern ternyata menimbulkan efek samping yang tidak dikehendaki. Menurut
catatan sejarah terapi menggunakan tumbuhan (fitoterapi) telah dikenal masyarakat sejak
masa sebelum masehi (Dalimunthe, 2009). Beberapa keuntungan menggunakan tumbuhan
obat tradisional antara lain relatif lebih aman, mudah diperoleh, murah, tidak menimbulkan
resistensi dan relatif tidak berbahaya terhadap lingkungan sekitarnya (Eismaputeri dkk.,
2010). Bahkan dipercaya kalau tumbuhan dapat menetralisir efek samping dari zat aktif
yang berbahaya di dalam tubuh (Dalimunthe, 2009).
Salah satu tanaman obat yang terkenal di Indonesia adalah sambiloto
(Andrographis paniculata) yang mempunyai 2 komponen utama yaitu flavonoid dan lakton
(Widyawati, 2007). Flavonoid diduga dapat memperpendek fase inflamasi dengan cara
mengeliminasi reactive oxygen species (ROS), detoksifikasi hidrogen peroksida (H2O2)
sehingga menurunkan level lipid peroksida (Rasal dkk., 2008), meningkatkan kadar enzim
antioksidan dalam jaringan luka sehingga menghambat efek berantai radikal bebas (Thakur
dkk., 2011), serta mempunyai efek antibakteri. Pada fase proliferasi dan remodelling
jaringan, flavonoid berperan dalam meningkatkan vaskuler, meningkatkan sintesis kolagen
(Patil dkk., 2012), meningkatkan kekuatan serat kolagen (Thakur dkk., 2011), merangsang
platelet derived growth factor (PDGF) yang berperan dalam merangsang dan mengatur
migrasi fibroblas, mitogenik untuk fibroblas, sel otot polos dan sel endotel. Semua proses
ini akan meningkatkan kecepatan epitelisasi jaringan luka (Nayak dkk., 2009). Penelitian
oleh Al-Bayaty dkk. (2012), melaporkan bahwa pemberian ekstrak etanol Andrographis
paniculata dengan konsentrasi 10% dalam bentuk salep pada tikus yang dilukai dapat
mempercepat pembentukan kolagen dan angiogenesis ditandai dengan hilangnya sel-sel
inflamasi, dibandingkan dengan luka yang diberi plasebo kosong.
Berdasarkan uraian dan data di atas maka penulis merasa perlu untuk melakukan
penelitian dengan judul “Efektifitas Salep Ekstrak Etanol Daun Sambiloto (Andrographis
Paniculata) Terhadap Kesembuhan Luka Insisi Pada Mencit (Mus Musculus)”.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
209
MATERI DAN METODE
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 ekor mencit jantan (Mus
musculus) umur ± 2 bulan. Daun sambiloto (Andrographis paniculata) diperoleh dari
daerah Kupang-Nusa Tenggara Timur
Pembuatan salep ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata)
Pembuatan salep ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata) sebagai
berikut: memasukkan vaseline putih yang telah ditimbang kedalam mortar, selanjutnya
ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata) dimasukkan sedikit demi sedikit
kedalam vaseline lalu dihomogenkan.
Salep dibuat dengan cara yang sama untuk masing-masing konsentrasi (10%, 15%
dan 20%). Lalu masing-masing formula yang sudah jadi, disimpan dalam wadah salep.
Metode insisi dan metode pemberian salep
Sebelum perlakuan, mencit tersebut diadaptasikan dikandang percobaan selama 5
hari. Kemudian mencit dibagi secara acak dalam 4 kelompok perlakuan, masing-masing
kelompok terdiri dari 3 ekor, semua kelompokdiberikan makan dan minum secara ad
libitum. Mencit dalam setiap kelompok dilakukan pembiusan dengan menggunakan
lidokain. Setelah terbius, rambut disekitar punggung dicukur bersih sampai licin kemudian
diberi antiseptik. Selanjutnya semua mencit diinsisi linear dari lapisan epidermis sampai
dermis di daerah punggung dengan panjang sayatan 1.5 cm dengan kedalaman ± 0.1 mm
secara aseptis, sejajar os vertebrae, dengan menggunakan skalpel yang steril (Ambiyani,
2013).
Kelompok I diinsisi dan diberi basis salep sebagai kontrol, kelompok II diinsisi dan
diberi salep ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata) dengan konsentrasi
10%, kelompok III diinsisi dan diberi salep ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis
paniculata) dengan konsentrasi 15%, kelompok IV diinsisi dan diberi salep ekstrak etanol
daun sambiloto (Andrographis paniculata) dengan konsentrasi 20%. Semua kelompok
diberi perlakuan 2 kali sehari selama 14 hari.
Pengambilan sampel
A. Pengambilan data
Pengambilan jaringan luka mencit disemua kelompok pada hari ke-20. Mencit
dieutanasi dengan kloroform, kemudian dilakukan pengambilan jaringan luka. Jaringan
luka diambil dari lapisan epidermis sampai subkutis (2,5 cm x 1 cm). Selanjutnya
jaringan luka dikirim ke Laboratorium Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM
Jakarta untuk pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin
(HE).
B. Metode pembuatan sediaan histopatologi
Jaringan luka yang diperoleh kemudian difiksasi dengan larutan formalin 10%.
Sediaan kulit yang telah difiksasi, dilakukan trimming organ menggunakan tissue
processor. Kemudian dilakukan proses dehidrasi alkohol secara bertingkat yaitu
dicelupkan ke dalam akohol 70%, 80%, 95% dan alkohol absolut. Selanjutnya adalah
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
210
proses clearing menggunakan xilol dan dilanjutkan dengan infiltasi parafin, yaitu
jaringan dicelupkan kedalam parafin cair yang suhunya 57 sampai 59 ºC. Kemudian
cetakan disiapkan untuk proses pengeblokan diatas tungku penghangat. Sebelum
dipotong, blok parafin didinginkan terlebih dahulu di dalam refrigerator, setelah itu
blok-blok parafin dipotong setebal 5µm dengan mikrotom. Hasil potongan dimasukan
kedalam waterbath bersuhu 50 ºC. Potongan blok kemudian dipindahkan pada
permukaan gelas obyek yang telah diberi nomor registrasi blok. Kemudian preparat
diinkubasi di atas hot plate dengan suhu 50 ºC (di bawah titik cair parafin) selama 15
menit.
C. Pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE)
Jaringan pada gelas obyek yang telah siap untuk diwarnai kemudian
dideparafinisasi dengan dicelupkan pada larutan xilol I, xilol II dan xilol III, masing-
masing selama 3 menit. Selanjutnya berturut - turut dicelupkan ke dalam alkohol
absolut, alkohol 95%, 80%, 70% masing-masing selama 2 menit. Preparat dibilas di
bawah air mengalir selama 3 menit. Selanjutnya, sediaan dimasukkan ke dalam larutan
hematoxylin yang memberikan warna biru pada inti selama 7 menit. Kemudian
preparat dibilas dibawah air mengalir selama 3 menit. Selanjutnya sediaan direndam
dengan larutan eosin yang memberikan warna merah pada sitoplasma selama 0,5
menit. Selanjutnya adalah tahap dehidrasi untuk melepaskan air yang terbawa oleh
preparat dengan xilol I dan xilol II masing-masing selama 2 menit. Tahap terakhir
adalah mounting yaitu sediaan histologi ditutup dengan cover glass. Dilanjutkan
dengan labelling.
D. Pengamatan hasil pewarnaan
Hasil pewarnaan diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran
1000 kali dalam tiga lapang pandang kemudian difoto. Pengamatan preparat dibawah
mikroskop cahaya akan tampak inti sel berwarna biru sedangkan sitoplasma berwarna
merah muda. Parameter yang digunakan adalah pembentukan fibroblas dan infiltrasi
sel radang.
Analisis data
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan desain
penelitian Post Test Randomized Control Group Design. Analisis yang digunakan adalah
analisis Kruskal Wallis dan Mann Whitney menggunakan program SPSS 18.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan histopatologi jaringan luka insisi pada kulit mencit (Mus musculus)
dengan metode pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE) pada kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan terlihat sel makrofag dan fibroblas dengan kepadatan yang berbeda. Gambaran
histopatologi luka insisi kulit mencit hari ke-14 masig-masing kelompok disajikan pada
Gambar 1a, 1b, 1c, dan 1d.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
211
Gambar 1a. Gambaran histopatologi luka insisi kulit mencit (kontrol) hari ke-14
(1=makrofag dan 2=fibroblas, HE, 400x)
Gambar 1b. Gambaran histopatologi luka insisi kulit mencit (konsentrasi 10%) hari ke-14
(1=makrofag dan 2=fibroblas, HE, 400x)
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
212
Gambar 1c. Gambaran histopatologi luka insisi kulit mencit (konsentrasi 15%) hari ke-14
(1=makrofag dan 2=fibroblas, HE, 400x)
Gambar 1d. Gambaran histopatologi luka insisi kulit mencit (konsentrasi 20%) hari ke-14
(1=makrofag dan 2=fibroblas, HE, 400x)
Berdasarkan pengamatan gambaran histopatologi maka dihitung rerata sel
makrofag dan fibroblas yang dapat dilihat pada gambar 2
Berdasarkan diagram, rerata sel makrofag pada kelompok kontrol yaitu ± 21,83 dan rerata
fibroblas ± 14,5. Kelompok perlakuan konsentrasi 10%, tampak adanya penurunan jumlah
sel makrofag dengan rerata ± 19,78 tetapi pada fibroblas terjadi peningkatan dengan rerata
± 19,89. Selanjutnya pada pengamatan gambaran histopatologi kelompok perlakuan
konsentrasi 15%, menunjukkan adanya penurunan jumlah makrofag dengan rerata ± 17,44
sedangkan jumlah fibroblas terjadi peningkatan dengan rerata ± 18,33. Pada kelompok
perlakuan konsentrasi 20% menunjukan penurunan jumlah sel makrofag dengan rerata ±
16,22 dan terjadi peningkatan jumlah fibroblas dengan rerata ± 21,11.
Andrographis paniculata mengandung komponen senyawa aktif flavonoid,
andrographolid, tanin dan saponin yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka
(Matsuda dkk., 1994; Sudarsono dkk., 2002; Widyawati, 2007). Saponin memiliki fungsi
antiinflamasi, antibakteri, dan antikarsinogenik. Komponen saponin terbukti mampu
menstimulasi sintesis fibroblas oleh fibronektin (Froschle dkk., 2004).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
213
Gambar 2. Rerata sel inflamasi makrofag dan fibroblas masing-masing kelompok pada hari
ke-14 setelah insisi pada mencit (Mus musculus).
Menurut Yuliantin (2012), sambiloto (Andrographis paniculata) mempunyai
aktifitas antimikrobial dan anti-inflamasi, yang dapat mempercepat fase inflamasi dan
mencegah terjadinya infeksi pada luka sehingga kesembuhan luka dapat dipercepat.
Menurut Hamid dkk. (2010) Senyawa flavonoid memiliki potensi sebagai antioksidan
karena memiliki gugus hidroksil yang terikat pada karbon cincin aromatik sehingga dapat
menangkap radikal bebas yang dihasilkan dari reaksi peroksidasi lemak. Senyawa
flavonoid akan menyumbangkan satu atom hidrogen untuk menstabilkan radikal peroksi
lemak. Flavonoid juga bekerja dalam proses membunuh atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pada jaringan yang hidup seperti pada permukaan kulit dan membran
mukosa (Harris, 2011).
Sumartiningsih (2009), menyimpulkan bahwa terjadinya peningkatan jumlah
fibroblas disebabkan oleh senyawa flavonoid. Kandungan flavonoid berfungsi sebagai
antioksidan, antimikroba dan juga antiinflamasi pada luka (Harborne dan Williams, 2000;
Park, 2010). Aktivitas anti-bakteri dan anti-inflamasi dapat mempercepat proses inflamasi
yang diduga dapat menurunkan migrasi sel radang ke daerah infeksi, salah satunya adalah
sel makrofag (Muslihatin, 2011). Selain itu, kandungan flavonoid dapat membantu
penyembuhan luka dengan meningkatkan pembentukan kolagen, menurunkan makrofag
dan edema jaringan serta meningkatkan jumlah fibroblas (Ambiga dkk., 2007).
Rerata fibroblas pada kelompok perlakuan konsentrasi 20% meningkat tajam
dibandingkan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan konsentrasi 10% dan 15%
(gambar 2). Hal ini karena, fase inflamasi berjalan normal (0 sampai dengan 3 hari), tidak
mengalami gangguan dan sel-sel yang berperan pada respon seluler fase inflamasi
berfungsi normal, termasuk perangsangan terbentuknya berbagai growth factor tidak
terhambat, sehingga dapat meneruskan kepada fase selanjutnya (fase proliferasi) dengan
cepat. Fase inflamasi dapat berjalan normal salah satunya adalah bila tidak terdapat infeksi
atau tidak ada kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas.
Seperti diketahui migrasi dan proliferasi sel-sel epidermal dapat dihambat dengan
keberadaan radikal bebas yang berlebih yang tidak dapat dinetralisir oleh antioksidan
endogen yang ada, sehingga keberadaan antioksidan eksogen yang kuat seperti flavonoid
dalam daun sambiloto (Andrographis paniculata) diperlukan untuk menetralisir radikal
bebas dengan cara mengeliminasi reactive oxygen species (ROS) dan detoksifikasi
hidrogen peroksida (H2O2) sehingga menurunkan level lipid peroksida, meningkatkan
kadar enzim antioksidan endogen dalam jaringan luka sehingga menghambat efek berantai
radikal bebas.
Aktivitas antioksidan dan antibakteri sangat penting agar fase inflamasi terlampaui
dan berfungsi optimal. Kandungan antioksidan dan anti bakteri yang kuat pada daun
sambiloto (Andrographis paniculata) menyebabkan fase inflamasi cepat berakhir dan
berlanjut pada fase selanjutnya diantaranya untuk pembentukan fibroblas yang dipicu oleh
makrofag dan growth factor.
Analisis Data
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
214
Data hasil uji Kruskal-Wallis terhadap rerata sel makrofag dan fibroblas disajikan pada
Tabel 1. Hasil uji Kruskal-Wallis
Fibroblas Makrofag
Chi-square 8.667 1.911
Df 3 3
Asymp. Sig. .034 .226
Secara statistik dengan uji Kruskal-Wallis, rerata sel makrofag pada kelompok
perlakuan salep ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata) tidak berbeda
nyata (P>0,05), sebaliknya rerata fibroblas pada kelompok perlakuan salep ekstrak etanol
daun sambiloto (Andrographis paniculata) berbeda nyata (P<0,05), sehingga dilanjutkan
dengan uji Mann-Whitney, hasil uji Mann-Whitney secara ringkas dapat dilihat pada Tabel
2.
Tabel 2. Hasil uji Mann-Whitney
K1 K2 K3 K4
K1 - .086 .124 .004*
K2 .086 - .564 .424
K3 .124 .564 - .076
K4 .004* .424 .076 -
Keterangan : * = beda nyata (P<0,05)
Hasil uji Mann-Whitney jika dibandingkan antara K1 dan K4 didapatkan hasil
(P<0,05) artinya berbeda nyata antara jumlah fibroblas pada kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan konsentrasi 20%, sedangkan jika dibandingkan antara K1 dan K2, K1
dan K3, K2 dan K3, K2 dan K4 serta K3 dan K4 didapatkan hasil (P>0,05) artinya bahwa
tidak berbeda nyata jumlah fibroblas setelah pemberian salep ekstrak etanol daun
sambiloto (Andrographis paniculata)konsentrasi 10% dan 15%.
Rerata jumlah sel makrofag terbanyak pada kelompok kontrol dengan rerata ±
21,83, namun terjadi penurunan seiring dengan peningkatan konsentrasi, tetapi tidak
menunjukan perbedaan yang bermakna (P>0,05). Sedangkan rerata jumlah fibroblas
terbanyak pada kelompok perlakuan 20% dengan rerata ± 21,11 dan menunjukkan
perbedaan yang bermakna (P<0,05).
Hasil uji Mann-Whitney pada kelompok perlakuan konsentrasi 20% berbeda nyata
(P<0,05) terhadap kelompok kontrol, hal ini dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi
sehingga jumlah senyawa aktif yang terdapat pada salep ekstrak etanol daun sambiloto
(Andrographis paniculata) konsentrasi 20% bertambah, yang akan berdampak pada
kecepatan proses kesembuhan luka. Hal ini didukung oleh pernyataan Kalsum dkk, 2014
dan Yuliani, 2012 bahwa meningkatnya jumlah senyawa aktif seiring dengan
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
215
meningkatnya konsentrasi. Senyawa aktif yang terkandung dalam sambiloto seperti lakton
dan flavonoid mempunyai aktivitas antimikroba, antiinflamasi dan antioksidan yang
berfungsi untuk mencegah infeksi bakteri pada lokasi luka, menangkap radikal bebas
sehingga fase inflamasi tidak terhambat dan proses kesembuhan segera tejadi.
Dengan demikian salep ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata)
konsentrasi 20% lebih efektif dalam meningkatkan jumlah fibroblas yang akan berperan
dalam penyembuhan luka insisi secara optimal.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
aplikasi salep ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata) konsentrasi 10%,
15% dan 20% dapat meningkatkan jumlah fibroblas yang berperan dalam proses
kesembuhan luka insisi.Salep ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata)
konsentrasi 20% lebih efektif terhadap penyembuhan luka.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bayaty, F.H., Abdulla, M.A., Hassan, I.A., dan Ali, H.M. 2012, Effect of Andrographis
paniculata Leaf Extract on Wound Healing in Rats, Natural Product Research.
University of Malaya.
Ambiga, Narayanan, Gowri, D., Sukumar, dan Madhavan. 2007, Evaluation of Wound
Healing Activity of Flavonoids from Ipomoea carnea Jacq, Ancient Science of Life,
XXVI: 45-51.
Dalimunthe, E. 2009, Interaksi Sambiloto (Andrographis paniculata), Fakultas Farmasi,
Universitas Sumatra Utara, Medan.
Dewi, I.A.L.P., Damriyasa, I.M., dan Dada, I.K.A. 2013, Bioaktivitas Ekstrak Daun Tapak
Dara (Catharanthus roseus) Terhadap Periode Epitelisasi Dalam Proses
Penyembuhan Luka Pada Tikus Wistar, Indonesia Medicus Veterinus, 2(1) : 58 –
75.
Eismaputeri, M.K., Khotimah, K., Hasyimi, R., dan Hasan, A.F. 2010, Efektifitas Daun
Sambiloto (Andrographis Paniculata Nees) sebagai pengendalian Aeromonas
hydrophila pada ikan patin (Pangasius pangasius), Universitas Airlangga,
Surabaya.
Froschle, M., Pluss, P.A., Etzweiler, E., dan Ruegg, D. 2004, Phytosteroid for Skin Care,
Personal Care, 55-8.
Hamid, A.A., Aiyelaagbe, O.O., Usman, L.A., Ameen, O.M., dan Lawal, A. 2010,
Antioxidant : its Medidal and Pharmacological Applications. African Journal of
pure and applied chemistry, vol.4(8),pp. 142- 151.
Harborne, J.B., dan Williams, C.A. 2000 Advances in Flavonoid Research Since 1992,
Phytocemistry, 481-504.
Haris, M. 2011, Penentuan Kadar Flavanoid Total Dan Aktivitas Antioksidan Dari Getah
Jarak Pagar Dengan spektrofotometer UV-Visibel, Skripsi, Fakultas Farmasi,
Universitas Andalas, Padang.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
216
Kalsum, U., Rini, I.S., dan Kusumawardhani, A.D. 2014. Pengaruh Sediaan Salep Ekstrak
Daun Sirih (Piper betle Linn.) Terhadap Jumlah Fibroblas Luka Bakar Derajat IIA
Pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Galur Wistar.
Matsuda, T., Kuroyanagi, M., Sugiyama, S., Umehara, K., Ueno, A., and Nishi, K. 1994,
Cell differentiation-inducing diterpenes from Andro- graphis paniculata Ness.,
Chem. Pharm. Bull. (Tokyo) 42(6):1216-25.
Muslihatin, A. 2011, Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Pepaya (Carica
papaya) Terhadap Pertumbuhan Salmonella thypi secara In Vitro. Skripsi. Fakultas
Kedokteran. Universitas Jember.
Muthalib, E.M., Fatimawali, dan Edy, H.J. 2013, Formulasi Salep Ekstrak Etanol Daun
Tapak Kuda (Ipomoea pes-caprae) Dan Uji Efektivitasnya Terhadap Luka Terbuka
Pada Punggung Kelinci, Jurnal Ilmiah Farmasi, Vol. 2 No. 3.
Nayak, B.S., Sandiford, S dan Maxwell, A. 2009, Evaluation of the Wound-Healing
Activity of Ethanolic Extract of Morinda citrifolia L. Leaf, Evidence-Based
Complementary and Alternative Medicine, 6(3)351–356.
Park. 2010, Protection of Burn-Induced Skin Injuries by The Flavonoid Kaempferol, BMB
Reports, 43(1): 46-51.
Patil, M.V.K., Kandhare, A.D., dan Bhise, S.D. 2012, Pharmacological evaluation of
ethanolic extract of Daucus carota Linn root formulated cream on wound healing
using excision and incision wound model, Asian Pacific Journal of Tropical
Biomedicine, Vol. 2.
Pongsipulung, G.R., Yamlean, P.V.Y., dan Banne, Y. 2014, Formulasi dan Pengujian
Salep Ekstrak Bonggol Pisang Ambon (Musa paradisiaca var. sapientum (L.))
Terhadap Luka Terbuka Pada Kulit Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus
norvegicus).
Purnasari, P.W., Fatmawati, D., dan Yusuf, I. 2012, Pengaruh Lendir Bekicot (Achatina
fulica) terhadap Jumlah Sel Fibroblas pada Penyembuhan Luka Sayat, Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Vol. 4, No. 2.
Rasal, V.P., Sinnathambi, A., Ashok, P., dan Yeshmaina, S. 2008, Wound Healing and
Antioxidant Activities of Morinda citrifolia Leaf Extract in Rats, Iranian Journal of
Pharmacology & Therapeutics, IJPT 7:49-52.
Singer, A.J., dan Clark, R.A.F. 1999, Cutaneous Wound Healing, The New England
Journal of Medichine, Volume 341: 738-746.
Sudarsono, P.N., Gunawan, D., Wahyuono, S., Donatus, I.A., dan Purnomo. 2002,
Tumbuhan Obat II (Hasil Penelitian, Sifat-Sifat, dan Penggunaan),Yogyakarta:
Pusat Studi Obat Tradisional Universitas Gadjah Mada.
Sumartiningsih, S. 2009, Pengaruh Pemberian Binahong (Anradera Cordifolia) terhadap
Sel Radang dan Sel Fibroblas pada Hematoma Regio Femoris Ventralis Rattus
Norvegicus Strain Wistar Jantan, Karya Ilmiah, Program Pascasarjana Universitas
Airlangga, Surabaya.
Thakur, R., Jain, N., Pathak, R., dan Singh, S. 2011, Practices in Wound Healing Studies
of Plants, Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine. IRJP, 3 (7).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
217
Widyawati, T. 2007, Aspek Farmakologi Sambiloto (Andrographis paniculata Nees),
Majalah Kedokteran Nusantara, Vol. 40.
Yuliani, N.S. 2012, Efek Ekstrak Etanol Daun Chromolaena odorata L. Terhadap
Kesembuhan Luka Insisi Pada Tikus Sprague Dawley, Skripsi, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Yuliatin, I.S. 2012, Khasiat Sambiloto Si Pahit Berkhasiat Selangit, Tibbun Media,
Surabaya.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
218
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
219
HISTOPATOLOGI OVARIUM, OVIDUK, DAN UTERUS KAMBING KACANG
(Capra aegagrus hircus) YANG DIPELIHARA DI TEMPAT PEMBUANGAN
AKHIR (TPA) ALAK KOTA KUPANG
HISTOPATHOLOGYDESCRIPTION OF OVARY, OVIDUCT AND UTERUS OF
KACANG GOAT (Capra aegagrus hircus) FROM MUNICIPAL WASTE LANDFILL,
ALAK-KUPANG
Hermina Nuhan1, Cynthia Dewi Gaina 2, Filphin Adolfin Amalo 3
1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail :
[email protected] 2Laboratorium Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,
Kupang. E-mail: [email protected] 3 Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,
Kupang. E-mail:[email protected]
ABSTRACT
Livestock species play significant roles in supporting socio-economics development
of Indonesian societies. The most common livestock, such as goats, are traditionally raised
among small scale farmers in NTT. However, the restrictions and limitations of forage
production causing local breeders feed theirs goats in municipal waste landfill area in
Alak, Kupang. In fact, this disposed waste area could not be used as an alternative place
for feeding the animals because it may cause negative effects on animals and their health.
Fertility of female goat were mainly affected by nutritional status and environmental
factors. Goats that are raised in landfill environment tend to consume amount of
contaminated materials, such as heavy metals and toxic substances. This study aims to
describe the histological appearance of ovary, oviduct and uterus of Kacang goat (Capra
aegarus hircus) from Alak Landfill area. 3 female Kacang goats were used in this
descriptive research. 2 goats were obtained from Alak and 1 goat was obtained from non-
landfill area. Three goats were euthanized and necropsied. Non-significant gross and
histologic lesions of the ovary, oviduct and uterus were observed. Then, the tissues were
collected and prepared for histology studies. The post-mortem inspection of landfill’s
Kacang goat indicated the growth of ovarian follicle, hydrosalping, thickened uterus wall,
while non-landfill’s Kacang goats showed no remarkable changes. Histologic changes in
oviduct included dilated oviduct lumens without inflammatory infiltration and
desquamation of ciliated cells. Moreover, the results showed the infiltration of
inflammatory cells, such as eosinophil, lymphocytes, neutrophil, macrophages and plasma
cells in uterus of landfill’s Alak goat (TPA1 and TPA2). However, no pathological changes
were found in ovary, oviduct and uterus of non-landfill Kacang goats.
Keywords: Kacang goat, ovary, oviduct, uterus, Alak landfill Area
PENDAHULUAN
Peternakan merupakan salah satu sektor terbesar dalam menunjang kehidupan
perekonomian masyarakat Indonesia. Salah satu peternakan yang cukup berkembang
adalah beternak kambing. Kambing kacang (Capra aegagrus hircus) merupakan kambing
asli Indonesia yang memilki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi alam setempat,
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
220
sifatnya lincah dan memiliki daya reproduksi yang sangat tinggi (Sodiq dan Abidin, 2008;
Senger, 2003 cit. Santoso dkk., 2014).
Masyarakat di Kecamatan Alak Kota Kupang yang tinggal disekitar Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) menjadikan TPA sebagai salah satu alternatif tempat
pemeliharaan ternak, baik itu sapi, babi maupun kambing.
Lingkungan TPA sangat tidak mendukung sebagai tempat alternatif dalam
pemeliharaan ternak, dimana secara tidak langsung lingkungan pada tempat ini sudah
tercemar dengan adanya pembakaran sampah pada lingkungan terbuka sehingga
menurunkan aspek kesehatan lingkungan (Wardhayani, 2006), selain itu polusi lingkungan
yang terdapat di udara, air tanah, dan tanah, juga terpapar pada tanaman. Ternak (terutama
domba dan ruminansia lainnya) dapat terpapar berbagai konsentrasi polutan lingkungan
untuk waktu yang lama dan kemungkinan efek eksposur atau paparan tersebut berdampak
pada fertilitas ternak (Kamarianos et al., 2001).
Kondisi induk sangat berpengaruh terhadap tingkat produktivitas ternak, karena
induk yang sehat diharapkan dapat menghasilkan keturunan (anak), sehingga pada
akhirnya akan dapat meningkatkan populasi, akan tetapi hal ini tidak dapat tercapai jika
induk berada dalam kondisi tidak sehat atau mengalami masalah reproduksi (Nurhayati
dkk., 2008).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuigambaran makroskopik dan
mikroskopik ovarium, oviduk dan uterus kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang
dipelihara di TPA Alak Kota Kupang.
MATERI DAN METODE
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berupa 3 ekor kambing kacang (Capra
argagrus hircus) betina, yang terdiri dari masing-masing 2 ekor kambing yang dipelihara
di TPA Alak serta 1 ekor kambing tidak dipelihara di TPA Alak (non TPA). Analisis hasil
dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
Nekropsi dan fiksasi jaringan
Sediaan histologi berupa jaringan organ ovarium,oviduk dan uterus dari kambing.
Sebelum pengambilan sampel, kambing dieuthanasi kemudian dinekropsi. Setelah
ovarium, oviduk dan uterus dikeluarkan dari ruang inguinal, dilakukan pengamatan
makroskopis terhadap organ tersebut dan difiksasi dalam larutan formalin 10 %
selanjutnya organ ovarium, oviduk dan uterus dipotong menjadi beberapa bagian kecil
berukuran 1 cm3.
Pembuatan sediaan histopatologis
Proses pembuatan sediaan histologi yang meliputi beberapa tahapan, yaitu; Tahap
pertama (Pemrosesan jaringan) yaitu proses fiksasi dengan menggunakan formalin 10 %.
Kemudian dilanjutkan dengan proses dehidrasi, jaringan dicelupkan kedalam alkohol 70
%, 80 %, 95 % dan alkohol absolut. Proses selanjutnya yaitu proses clearingdengan
menggunakan xilol. Dilanjutkan dengan proses infiltasi paraffin. Selanjutnya tahap
(Embedding), dan tahap ketiga (Sectioning) (Ndaong, 2013).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
221
Pewarnaan Hematoxiline Eosin (HE)
Tahap pewarnaan HE meliputi deparafinisasi, rehidrasi, pewarnaan, dehidrasi,
clearing dan mounting.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Makroanatomi Ovarium, Oviduk dan Uterus Kambing kacang (Capra
aegagrus hircus)
Ovarium
Hasil pengamatan menunjukan ovarium kambing K, dan TPA1 tidak mengalami
perubahan bentuk dan ukuran, sedangkan kambing TPA2 mengalami atropi pada
ovariumnya. Ball dan Peters (2004) menyatakan bahwa ovarium kambing berbentuk oval
dan bervariasi dalam ukuran panjang 1,5 sampai 5cm dan lebar 1 sampai 3 cm, tergantung
pada tahap siklus reproduksi.Ukuran berat, panjang dan lebar ovarium masing-masing
kambing dapat dilihat pada Tabel 1. Gambar 1 menunjukan folikel yang sedang
berkembang pada ovarium kambing K, TPA1 dan TPA2
Tabel 1. Morfometri ovarium kambing kacang (Capra aegagrus hircus)
Kambing Umur Berat (g) Panjang (cm) Lebar (cm)
Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan
K 2 Thn 1,0 0,8 2 1,5 1,3 1
TPA1 4 Thn 1,3 0,7 2 1,5 1,3 1,3
TPA2 2 Thn 1,1 0,8 0,8 1 1 1
.
A
B
C
Gambar 1. Gambaran makroanatomi ovarium kambing kacang (Capra aegagrus hircus).
A. Kambing K; B. TPA1; C. TPA2. (a, b, c: ovarium kiri; a’, b’, c’ : ovarium
kanan; Folikel )
a b c
a’ b’ c’
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
222
Kambing TPA2 memiliki ukuran ovarium yang lebih kecil dari normal atau mengalami
atropi. Atropi merupakan pengurangan ukuran yang disebabkan oleh mengecilnya ukuran
sel dalam organ tubuh. Chakurkar dkk. (2008) menyatakan bahwa atropi dapat disebabkan
oleh kekurangan nutrisi yang dapat menyebabkan gagalnya produksi dan pelepasan
hormon gonadotropin, terutama FSH dan LH, akibatnya ovarium tidak aktif. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya hipofungsi ovaria. Jika hal ini terjadi pada periode yang lama
akan berlanjut menjadi atropi ovaria.
Oviduk
Hasil pengamatan pada oviduk kambing TPA1, terlihat adanya penimbunan cairan atau
hidrosalping pada saluran bagian kanan (unilateral) (Gambar 2B), sedangkan oviduk
kambing K dan TPA2 secara anatomi terlihat normal dan tidak terjadi perubahan bentuk
(gambar 2A dan 2C). Menurut Nurhayati dkk. (2008), hidrosalping merupakan salah satu
kelainan tersumbatnya oviduk yang menyebabkan sel telur (ovum) yang telah diovulasikan
dari ovarium gagal mencapai tempat pembuahan di ampula dan sel sperma juga akan
terhalang mencapai tempat pembuahan, sehingga proses pembuahannya gagal. Salah satu
penyebab hidrosalping adalah manajemen yang kurang baik (Zemjanis, 1980).
Gambar 2. Gambaran oviduk kambing kacang (Capra aegagrus hircus). A) Kambing K;
B) Kambing TPA1 yang mengalami hidrosalping unilateral (b); C) Kambing
TPA2. a.Pertumbuhan folikel; b.Oviduk
Menurut Azawi et al., (2008), hidrosalping dapat terjadi karena dilatasi saluran telur
akibat akumulasi cairan yang disebabkan oleh obstruksi pada lumen saluran telur. Adanya
sumbatan pada oviduk terjadi dari tabung rahim dan berada dekat persimpangan utero-tuba
atau diakhir bagian dari isthmus. Mastroianni (1999) mengatakan bahwa hidrosalping
merupakan hasil dari beberapa proses inflamasi disekitar uterus. Ellington dan Schlafer
(1993) juga mengatakan hidrosalping mungkin juga disebabkan oleh penyakit bawaan.
Menurut Ogunbodede et al., (2014), hidrosalping bilateral maupun unilateral dapat
a b
A
B C
a
b
b
a
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
223
disebabkan oleh kondisi di lapangan dimana terjadi perkawinan sedarah (inbreeding) antar
ternak.
Uterus
Secara anatomi bagian uterus kambing K, TPA1 dan TPA2 terdiri darikorpus uteri,
kornua uteri dan serviks uteri. Pada bagian korpus setelah disayat ditemukan tonjolan-
tonjolan sebagai tempat menempelnya fetus yang disebut karunkula (Frandson, 1992).
Pada kambing TPA1, karunkula ini lebih tebal (Gambar 3B) dibandingkan pada kambing K
dan TPA2 (Gambar 3).
Perbedaan ketebalan karunkula ini dapat berkaitan dengan status reproduksi ternak
yang berada pada fase folikular atau pada fase proestrus-estrus, dimana Johnson dan
Everitt (1988); Burkit et al. (1999) mengatakan bahwa perkembangan endometrium uterus
ditunjukan dengan perubahan ukuran tebal endometrium, yang dapat dibedakan menjadi
dua fase utama yaitu fase proliferasi dan fase sekresi, dimana fase proliferasi terjadi fase
diestrus-estrus, ditandai dengan peningkatan ketebalan endometrium.
Gambar 3. Gambaran makroanatomi uterus (bagian karunkula) kambing kacang (Capra
aegagrus hircus) . A. Kambing K ; B. Kambing TPA1 ; C. Kambing TPA2.
Gambaran Histopatologi Ovarium, Oviduk dan Uterus Kambing Kacang (Capra
aegagrus hircus)
Ovarium
Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis terhadap struktur histologi ovarium, tidak
terlihat adanya perubahan, baik itu nekrosis maupun infiltrasi sel radang, yang ditemukan
adalah fase perkembangan folikel. Struktur histologi ovarium kambing K, TPA1 dan TPA2,
bagian permukaan ovariumnya terdapat epitel kubus selapis atau epitel germinativum
sedangkan bagian profundal terdapat tunika albuginea berupa jaringan ikat padat. Ovarium
kambing K, TPA1, dan TPA2 terdapat dua lapisan yaitu korteks pada bagian lateral dan
medula pada bagian medialnya (gambar 4).
A
B C
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
224
Gambar 4 memperlihatkan karakteristik perkembangan folikel, dimana pada kambing
K sedang berada dalam fase folikuler yakni terdapat folikel primordial, folikel primer dan
juga folikel de graaf (gambar 4A dan 4B). Gambaran histologi ovarium kambing TPA1
juga berada dalam fase folikular, yakni terdapat perkembangan folikel primordial, folikel
primer dan folikel sekunder (gambar 4C). Sedangkan gambaran histologi ovarium kambing
TPA2, berada dalam fase luteal, yakni terdapat perkembangan folikel de graaf dan juga
terdapat korpus luteum (gambar 4D).
Gambar 4. Gambaran histologi ovarium kambing kacang (Capra aegagrus hircus). (A)
Kambing K, Folikel primer, (B) Kambing K, Folikel de graaf , (C) TPA1,
(D) TPA2 . Ket : FP.folikel primer; FPr.folikel primordial; Sf.sel folikel;
O.oosit; TA.tunika albuginea; GE.germinal epithelium; FD.folikel de graaf;
CO.cumulus oophorus; SG.stratum granulosum; ST.sel teka; CL.corpus
luteum; A.antrum; K.korteks; M.medula. (A. 400X, B. 100X, C. 100X,
40X; H&E).
Oviduk
Berdasarkan hasil pengamatan, histologi oviduk (ampula) pada kambing K, dari bagian
luar ke bagian dalam secara berurutan adalah lapisan serosa, muskularis dan lapisan
mukosa yang tersusun atas sel epitel kolumnar simplek dan bersilia serta memiliki lipatan-
lipatan mukosa dengan percabangan yang sangat kompleks (gambar 5).
A B
C D
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
225
Gambar 5. Gambaran histologi oviduk kambing K. S.serosa; M.muskularis; Lm.Lipatan
mukosa; s.silia; EKS.epitel kolumnar simpleks; Mb.membran basal; Pc.peg
cell (A. 100X, B.400X; H&E).
Struktur histologi oviduk kambing TPA1 (Gambar 6) dari bagian luar ke bagian
dalam secara berturut-turut adalah lapisan serosa, lapisan muskularis dan lapisan mukosa.
Pada lapisan mukosa tersusun atas epitel kolumnar simplek bersilia dan tidak bersilia (peg
cell) serta memiliki lipatan-lipatan mukosa, namun lipatan yang terbentuk pada lapisan ini
sudah tidak kompleks atau mengalami atropi dan hanya terdapat beberapa lipatan dengan
bagian tengah yang kosong atau berongga akibat dilatasi lumen oviduk (Gambar 6A) serta
tidak ditemukannya infiltrasi sel radang. Hal ini terjadi karena pada kambing TPA1 pada
pengamatan makroskopis terdapat penimbunan cairan pada salah satu bagian oviduknya
(hidrosalping unilateral), sehingga hal ini berpengaruh pada penampang histologisnya yang
nampak sebagai bagian tengah yang kosong atau berongga.
Gambar 6. Gambaran histopatologi oviduk kambing TPA1.(A)Terlihat gambaran
hidrosalping dengan lipatan mukosa yang tidak komples dan pada bagian
tengah terlihat kosong/berongga S.serosa; M.muskularis; s.silia; EKS.epitel
kolumnar simpleks (A. 100X, B.400X; H&E)
Pengamatan terhadap histopatologi oviduk kambing TPA2 terlihat struktur lapisan yang
masih sama dengan kambing K dan TPA1, namun pada lipatan mukosanya terjadi
deskuamasi sel epitel dan silianya (gambar 19).
A B
A B
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
226
Gambar 7. Gambaran histopatologi oviduk kambing TPA2. S.serosa; M.muskularis;
Lm.lipatan mukosa; a.deskuamasi sel epitel kolumnar dan silia; b..silia
(A.100X, B.400X, H&E)
Uterus
Berdasarkan hasil pengamatan pada struktur histologi uterus kambing K, tidak
ditemukan adanya sel radang maupun perubahan struktur histologinya. Struktur histologi
uterus kambing K terdapat kelenjar uterin yang berfungsi menghasilkan cairan uterus pada
proses estrus dalam membantu pematangan spermatozoa. Kelenjar uterin pada uterus
kambing TPA1 terlihat terpisah-pisah dengan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan
dengan kambing K dan TPA2 (gambar 9B). Gambaran histopatologis uterus kambing
TPA1 dan TPA2, terdapat infiltrasi sel radang berupa eosinofil, limfosit, neutrofil, sel
plasma dan makrofag. Sel radang ini didominasi oleh limfosit pada uterus kambing TPA1
menunjukan terjadinya peradangan kronik pada uterus tersebut (endometritis kronik)..
Gambar 8. Gambaran histologi uterus kambing kacang (Capra aegagrus hircus). (A).
Kambing K; (B). TPA1; (C). TPA2. KU.kelenjar uterin; e.eosinofil;
m.makrofag; n.neutrofil; L.limfosit; sp.sel plasma (100X, H&E).
A
B C
A B
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
227
Gambar 9. Gambaran infiltrasi sel radang yang didominasi oleh limfosit pada uterus
kambing TPA1 (400X; H&E)
KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan secara makroskopis ovarium kambing yang dipelihara di
daerah non TPA Alak (K) maupun di TPA Alak (TPA1 dan TPA2) tidak terdapat
perubahan, sedangkan pada oviduk kambing TPA1 menunjukkan adanya hidrosalping dan
penebalan karunkula pada uterus. Berdasarkan pengamatan mikroskopis ovarium kambing
K, dan TPA1 berada pada fase folikuler sedangkan kambing TPA2 berada berada pada fase
luteal. Pada pengamatan oviduk kambing K tidak terdapat perubahan, sedangkan pada
kambing TPA1 mengalami atropi mukosa dan juga dilatasi lumen oviduk selanjutnya pada
TPA2 terjadinya deskuamasi sel epitel dan silia sedangkan pada pengamatan terhadap
uterus kambing K tidak terdapat perubahan, pada kambing TPA1 dan TPA2 terdapat
infiltrasi sel radang. Sel radang yang lebih banyak terdapat pada kambing TPA1 yang
didominasi oleh limfosit.
DAFTAR PUSTAKA
Azawi, O.I., Abidy, H.F., Al and Ali, A.J. 2008, Pathological and Bacteriological Studies
Ofhydrosalpinx In Buffaloes, Reprod Dom Anim 45, 416–420, Department of
Surgery and Obstetrics; Department of Microbiology, College of Veterinary
Medicine, University of Mosul, Mosul, Iraq.
Azawi, O.I., Ali, A.J and Lazim, E.H. 2008, ‘Pathological and Anatomical Abnormalities
Affecting Buffalo Cows Reproductive Tracts In Mosul’, Iraqi Journal of
Veterinary Sciences, 22 (2) : 59-67, Department of Surgery and Obstetrics, College
of Veterinary Medicine, University of Mosul, Mosul, Iraq.
Ball, P. J. H. and Peters, A. R. 2004, Reproduction in Cattle, Ed 3, Blackwell Publishing.
Burkitt, H.G., Young, B. dan Heath, J.W. 1999, Wheaters Functional Histology. A Text
and Colour Atlas. Third Ed. Churchill Livingstone. Edinburg.
Chakurkar, E. B., Barbuddhe, S. B. dan Sundaram, R. N. S. 2008, ‘Infertility In Farm
Animals : Causes and Remedies’, Technical Bulletin, No. 15, Indian Council of
Agricultural Research.
Ellington, J.E., Schlafer, D.H. 1993, ‘Oviduct disease in cattle’, JAVMA202: 450–454.
Jadon RS, Dhaliwal GS, Jand SK, 2005: Prevalence of aerobic and anaerobic
bacteria during peripartum period in normal and dystocia affected buffaloes. Anim
Reprod Sci 88, 215–224
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
228
Frandson, R. D. 1992, Anatomi dan Fisiologi Ternak, Ed 4, diterjemahkan oleh
Srigandono, B. dan Praseno, K. editor, Soedarsono, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Johnson, M.H. dan Everitt, B.J. 1988, Essential Reproduction. Ed.3. Blackwell Sci. Publ,
London.
Kamarianos, A., Karamanlis, X., Goulas, P., Theodosiadou, E. and Smokovitis, A. 2002,
The Presence Of Environmental Pollutants In The Follicular Fluid Of Farm
Animals (Cattle, Sheep, Goats and Pigs), Reproductive Toxicology, 17 (2003) 185-
190.
Mastroianni, J.R. 1999, ‘The Fallopian Tube and Reproductive Health’, J Pediatr
Gynecol12: 121–126.
Ndaong, N. A. 2013, ‘Efek Pemaparan Deltamethrin pada Broiler Terhadap Aktivitas
Enzim Alanin Aminotransferase, Aspartat Aminotransferase, Gambaran
Histopatologi Hepar dan Feed Convertion Ratio’, Thesis, M.Sc, Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Nurhayati, I. S., Saptati, R. A. dan Martindah, E. 2008, ‘Penanganan Gangguan
Reproduksi Guna Mendukung Pengembangan Usaha Sapi Perah’, Semiloka
Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Ogunbodede, M. A., Oladele, G. M., Ode, O. J. and Ubah, S. A. 2014, ‘Survey of Gross
Abnormalities and Microbial Load on the Female Reproductive Tract of Maradi
Goats Slaughtered at Bodija Abattoir’, Advanced Journal of Agricultural Research
2(001), pp. 001-007, Department of Theriogenology, University of Abuja, Abuja,
Nigeria, Department of Veterinary Pharmacology and Toxicology, University of
Abuja, Abuja, Nigeria.
Santoso, Amrozi, Bambang, P. dan Herdis. 2014, ‘Gambaran Ultrasonografi Ovarium
Kambing Kacang Yang Disinkronisasi Dengan Hormon Prostaglandin F2 Alfa
(Pgf2α) Dosis Tunggal’, Jurnal Kedokteran Hewan, 8 (1).
Sodiq, A., dan Abidin, Z. 2008, Meningkatkan Produksi Susu Kambing Peranakan Etawa,
Agromedia Pustaka, Jakarta.
Wardhayani, Sutji. 2006, ‘Analisis Resiko Pencemaran Bahan Toksik Timbal (Pb) pada
Sapi Potong di tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Jatibarang Semarang’,
Thesis, Magister Kesehatan Lingkungan, M.Sc, Universitas Diponegoro, Semarang.
Zemjanis, R. 1980, Repeat Breeding or Conception Failure in cattle; Current Theraphy in
Theorigenology.,Morrow, D.A, W.B Saunders Company Philadelphia, pp: 205.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
229
IDENTIFIKASI KADAR FORMALIN PADA IKAN SEGAR YANG DIJUAL DI
KOTA KUPANG
IDENTIFICATION OF THE CONTENT FORMALDEHYDE FRESH FISH SOLD IN THE
CITY KUPANG
Nur Aini Ismail Kasim1, Diana Agustiani Wuri2, Nemay Anggadewi Ndaong3
1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. Email :
2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Nusa Cendana, Kupang.
3Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,
Kupang.
ABSTRACT
The use of formaldehyde in the food ingredient has been prohibited by the
Regulation of the Minister of Health RI No. 722/Menkes / Per / IX / 88, but in reality there
are many foods that contain formaldehyde, including fresh fish. The purpose of this study
was to identify the addition of formaldehyde on fresh fish sold in the Kupang city and know
the amount of formaldehyde content is added to the fresh fish. The method used in this
study is Purpposive Sampling. Researchers took 192 samples from seven locations selling
fish that are in the Kupang city is the Fish Auction Place (FAP) Oeba 6 samples, Inpres
Market 4 samples, Nun Baun Dela (NBD) 3 samples, Kuanino Market 2 samples, Pasir
Panjang 5 samples, Kelapa Lima 3 samples and the Night Market Kampung Solor 9
samples. Tests were carried out using formaldehyde merck merck with two types of kits are
Aquamerck® and Merckoquant®. Results showed that samples taken from FAP Oeba 100
% undetectable because merck kit used is Aquamerck® has an indicator readings
formaldehyde levels of 0,1 ppm to 1.5 ppm so that if the level ≤ 0,1 ppm it is no longer
detected in the reading using color card and the necessary follow-up tests such as
spectrophotometer. At the location of Inpres Market 50 % of the samples detected
formaldehyde at levels of 0,3 ppm and 50 ppm, at Pasir Panjang 20 % of the samples
detected formaldehyde at levels of 5 ppm, location Kelapa Lima 33.34 % of samples
detected formaldehyde at levels of 5 ppm and at Night Market Kampung Solor 60 %
formalin detected with levels of 5 ppm, 0,2 ppm is also 0,05 ppm. This test result is the
average value akumulaif which has been divided by the number of samples tested. This
indicates that fresh sea fish taken from the second place worthy and safe for consumption.
Keysword: Fresh sea fish, Formaldehyde, Kupang city
PENDAHULUAN
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah wilayah kepulauan yang memiliki
luas wilayah perairan ± 200.000 km2 . Hal inilah yang menyebabkan hasil komoditi
perikanan di daratan NTT yang menjadi unggulan ialah ikan dan rumput laut (Pemrov
NTT, 2009).
Komoditas unggulan yang dimiliki terdiri atas ikan pelagis baik pelagis besar
maupun pelagis kecil seperti tuna, tongkol, cakalang, tenggiri, layang, selar, dan kembung,
sedangkan ikan demersal seperti kerapu, ekor kuning, kakap, bambangan serta komoditi
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
230
non ikan seperti lobster, cumi-cumi, kerang darah dan lain-lain (Kupang Antara News,
2012).
Ikan adalah bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan asam amino
essensial yang diperlukan oleh tubuh manusia, disamping itu nilai biologis dari protein dan
asam amino essensial mencapai 90 % dengan jaringan pengikat sedikit, sehingga mudah
dicerna (Rabiatul, 2007). Dalam melakukan penangkapan dan penjualan ikan, nelayan atau
penjual mengalami beberapa kendala yaitu jumlah tangkapan yang tidak menentu, iklim,
musim ikan dan jumlah ikan yang tidak habis terjual dalam sehari.
Adapun karena faktor banyaknya jumlah ikan yang tersisa atau tidak habis terjual
dalam sehari, sehingga para nelayan atau penjual melakukan beberapa cara untuk
menghambat pembusukan ikan yang terjadi karena beberapa kelemahan dari ikan yaitu
tubuh ikan mengandung kadar air tinggi (80 %) dan pH tubuh mendekati netral dengan
cara membuat kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan pertumbuhan mikroba.
Beberapa cara umum yang dilakukan untuk mencegah pembusukan yaitu dengan metode
pendinginan menggunakan es batu. Namun penggunaan ini membutuhkan es batu dalam
jumlah yang cukup banyak, apabila ikan tidak habis terjual dan harus disimpan lebih dari
sehari dan es batu memiliki sifat yang mudah mencair sehingga kurang praktis. Selain itu,
hal tersebut menyebabkan adanya nelayan atau penjual yang menggunakan zat kimia
berbahaya seperti formalin sebagai pengganti es batu.
Menurut hasil penelitian BPOM dari 287 sampel yang diambil di Kota Kupang, dua
ekor ikan tembang segar mengadung formalin (Pos Kupang, 2014), sedangkan Dinas
Perikanan dan Kelautan Provinsi NTT menyita 12 ton ikan tembang di pasar Oeba yang
mengandung formalin dan Dinas Kesehatan di Kabupaten Sikka menemukan 203 boks
atau lima ton ikan yang berformalin (Pos Kupang, 2015).
Hal inilah yang mendasari peneliti untuk melakukan pengujian pada berbagai jenis
ikan segar di Kota Kupang, sehingga dengan penelitian “Identifikasi Kadar Formalin
Pada Ikan Laut Segar Yang Dijual Di Kota Kupang” merupakan langkah awal untuk
mencegah adanya dampak negatif yang ditimbulkan formalin bagi kesehatan masyarakat.
MATERI DAN METODE
Identifikasi kadar formalin pada ikan segar yang dijual di Kota Kupang ini
dilaksanakan pada tujuh lokasi yaitu Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Oeba, Pasar Inpres,
Nun Baun Dela (NBD), Pasar Kuanino, Pasir Panjang, Kelapa Lima, dan Pasar Malam
Kampung Solor.Pengambilan sampel menggunakan metode purpposive sampling. Peneliti
mengambil 184 sampel dari tujuh lokasi penjualan ikan yang terdapat di Kota Kupang
diantaranya ialah tempat pelelangan ikan (TPI) Oeba sebanyak 6 sampel, Pasar Inpres
sebanyak 4 sampel, Nun Baun Dela (NBD) sebanyak 3 sampel, Pasar Kuanino sebanyak 2
sampel, Pasir Panjang sebanyak 5 sampel, Kelapa Lima sebanyak 3 sampel dan Pasar
Malam KampungSolor sebanyak 8 sampel.Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mutu
Perikanan di Namosain. Pengujian yang dilakukan menggunakan metode formaldehide
merck dengan dua jenis kit merck yaitu aquamerck® yang memiliki indikator pembacaan
kadar formalin dari 0,1 sampai 1,5 ppm dan merckoquant® yang memiliki indikator
pembacaan formaldeh dari 10 sampai 100 ppm.Tujuan penelitian ini adalah untuk
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
231
mengidentifikasi penambahan formaldehid pada ikan segar yang dijual di Kota Kupang
dan mengetahui jumlah kandungan formaldehid yang ditambahkan pada ikan segar. Hasil
pengujian disajikan dalam bentuk tabel dan hasil dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Kadar Formalin di TPI Oeba Kota Kupang
Tempat Pelelangan Ikan Oeba merupakan suatu tempat pendistribusian ikan dari
nelayan ke beberapa penjual ikan di Kota Kupang yang dilakukan dalam waktu ± 7 jam,
dimana setiap hasil tangkapan langsung didistribusikan atau dijual ke pasar tradisional dan
penjual ikan. Hasil pengujian kandungan formalin dari 6 sampel disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengujian kadar formalin pada sampel dari TPI Oeba
No Lokasi Jenis komoditi Jumlah
(ekor)
Hasil
(+/-) Kadar formalin
1. TPI Oeba Ikan Kembung
Ikan Kembung
Ikan Tembang
Ikan Kembung
Ikan Kembung
Ikan Kembung
8 ekor
8 ekor
8 ekor
8 ekor
8 ekor
8 ekor
-
-
-
-
-
-
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
Keterangan : (-) = Negatif ; (+) = Positif dan t.t.d. = tidak terdeteksi dalam pembacaan
colour card.
Berdasarkan data hasil pengujian dengan menggunakan kit merck® pada Tabel 2,
dapat dilihat bahwa semua sampel menunjukkan hasil negatif atau 100 % ikan yang dijual
tidak terdeteksi bahan tambahan formalin. Hasil pengujian ini menunjukan bahwa
pemerintah berhasil mengontrol penyalahgunaan formaldehid di TPI Oeba setelah adanya
penemuan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi NTT pada bulan Januari, tahun
2015 yang menyatakan bahwa 12 ton ikan tembang di TPI Oeba positif mengandung
formalin (Pos Kupang, 2015).
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, proses distribusi ikan di TPI
Oeba dilakukan selama ± 4 jam sehingga dapat mencegah terjadinya prosesnya
pembusukan. Selama proses distribusi dilakukan, ikan akan disimpan pada box yang berisi
es batu. Penggunaan es batu berfungsi untuk menurunkan suhu di dalam box ikan sehingga
dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri pembusuk agar ikan yang
dijual tetap tampak segar (Djoko Tri Ismanto., et al, 2013). Selain itu untuk setiap kapal
nelayan yang akan mendistribusikan ikan dari luar daerah Kota Kupang maka akan
dilakukan pengujian identifikasi formalin sehingga meminimalisir kemungkinan
penggunaan formalin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno (2004), bahwa
penggunaan formalin pada ikan segar biasanya pada penjual atau reseller.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
232
Identifikasi Kadar Formalin pada Penjual Ikan di Kota Kupang
Pengujian identifikasi formaldehid ini dilakukan pada 6 lokasi yang terdiri dari,
pasar Inpres, NBD, pasar Kuanino, Pasir Panjang, Kelapa Lima dan pasar Malam.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti, ke 6 lokasi pengambilan sampel ini
merupakan tempat yang paling sering dikunjungi oleh konsumen untuk memperoleh ikan
segar. Hasil pengujian kadar formaldehid pada ikan segar yang dijual oleh beberapa
pedagang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Pengujian dari Pasar Inpres, NBD, Pasar Kuanino, Pasir Panjang, Kelapa
Lima dan Pasar Malam
Lokasi Jenis komoditi Jumlah
(ekor)
Hasil
(+/-)
Kadar
formalin
1. Pasar Inpres Ikan Tongkol
Ikan Tongkol
Ikan Tongkol
Ikan Tongkol
8 ekor
8 ekor
8 ekor
8 ekor
+
-
-
+
0,3 ppm
ttd
ttd
50 ppm
2. NBD Ikan Tembang
Ikan Gergahing
Ikan Tongkol
8 ekor
8 ekor
8 ekor
-
-
-
ttd
ttd
ttd
3
.
PasarKuanino Ikan Lencam
Ikan Lencam
8 ekor
8 ekor
-
-
ttd
ttd
4
.
Pasir Panjang Ikan Lencam
Ikan Lada
Ikan Tembang
Ikan Kakap Putih
Ikan Ekor Kuning
8 ekor
8 ekor
8 ekor
8 ekor
8 ekor
-
+
-
-
-
ttd
5 ppm
ttd
ttd
ttd
5
.
Kelapa Lima Ikan Kembung Besar
Ikan Belanak
Ikan Lajang
8 ekor
8 ekor
8 ekor
-
-
+
ttd
ttd
5 ppm
6 Pasar Malam Ikan Kakap Merah
Ikan Kerapu
Ikan Kerapu Merah
Ikan Ekor Kuning
Ikan Kerapu Merah
Ikan Kerapu
Ikan Lada
Ikan Gergahing
1 ekor
1 ekor
1 ekor
1 ekor
1 ekor
1 ekor
1 ekor
1 ekor
+
-
+
+
+
-
-
+
0,2 ppm
ttd
5 ppm
0,05
ppm
5 ppm
ttd
ttd
5 ppm
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
233
Keterangan : (-) = Negatif ; (+) = Positif dan t.t.d. = tidak terdeteksi dalam pembacaan
colour card.1 ppm setara dengan 0,001 ml/L
Pengujian ini menggunakan delapan ekor ikan laut segar dalam 1 sampel kecuali
Pasar Malam Kampung Solor, dimana delapan ekor ikan tersebut kemudian dicincang dan
diambil 10 gr untuk diuji kadar formaldehidnya. Berdasarkan uji laboratorium kadar
formaldehid dari 6 lokasi, 2 lokasi yaitu Pasar Kuanino dan NBD 100 % tidak terdeteksi
formaldehid, hal ini disebabkan karena kit merck yang digunakan ialah aquamerck®
memiliki indikator pembacaan kadar formaldehid 0,1 ppm sampai 1,5 ppm sehingga jika
kadarnya ≤ 0,1 ppm maka tidak terdeteksi lagi dalam pembacaan menggunakan colour
card dan perlu dilakukan pengujian lanjutan seperti spektofotometer. Empat lokasi lainnya
sampel ikan terdeteksi mengandung formaldehid dengan kadar yang bervariasi. Pada lokasi
Pasar Inpres 50 % sampel terdeteksi formaldehid dengan kadar 0,3 ppm dan 50 ppm, lokasi
Pasir Panjang 20 % sampel terdeteksi formaldehid dengan kadar 5 ppm, lokasi Kelapa
Lima 33,34 % sampel terdeteksi formaldehid dengan kadar 5 ppm dan lokasi Pasar Malam
Kampung Solor 60 % terdeteksi formaldehid dengan kadar 5 ppm, 0,2 ppm juga 0,05 ppm.
Hasil pengujian ini merupakan nilai akumulaif rata- rata yang telah dibagi dengan jumlah
sampel diuji.
Menurut pengamatan yang dilakukan peneliti, keragaman hasil pengujian kadar
formalin pada ikan segar disebabkan karena biasanya ikan yang diambil dari TPI dalam
jumlah yang banyak dan cara penyimpanan yang dilakukan oleh penjual tanpa media
pendingin yang mampu menghambat proses pembusukan pada ikan.
Gambar 2. Kadar formalin 50 ppm
Gambar 3. Kadar formalin 5 ppm
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
234
Gambar 4. Kadar formalin 5 ppm
Gambar 5. Kadar formalin 0,2 ppm
Gambar 6. Kadar formalin 0,3 ppm
Gambar 7. Kadar formalin 0,05 ppm
Gambar 8. Hasil tidak terdeteksi (t.t.d)
Hasil positif pada pengujian dengan penggunaan kit merck ® yang dilakukan
sesuai dengan hasil pengamatan organoleptik pada beberapa penjual ikan laut segar di Kota
Kupang. Berdasarkan hasil pengamatan organoleptik ikan-ikan yang dijual memilki warna
mata suram, warna insang yang berwarna coklat, dan sisik yang mudah terlepas dari tubuh
ikan..
Hasil positif pada pengujian dengan penggunaan kit merck ® yang dilakukan
sesuai dengan hasil pengamatan organoleptik pada beberapa penjual ikan laut segar di Kota
Kupang. Berdasarkan hasil pengamatan organoleptik ikan-ikan yang dijual memilki
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
235
warnanya putih bersih,warna insang yang berwarna coklat, kenyal, sisik yang mudah
terlepas dari tubuh ikan dan tidak mudah membusuk.
Hasil pengamatan cara penanganan atau penyimpanan ikan segar pada beberapa
lokasi penjualan ikan terdapat 3 lokasi (Pasar Inpres, Kelapa Lima dan Pasir Panjang) yang
cara penyimpanan tanpa menggunakan es batu dan 1 lokasi (Pasar Malam) yang cara
penyimpannya menggunakan es batu, namun pasokan ikan pada lokasi penjualan ini selalu
stabil sesuai permintaan konsumen tanpa adanya pengaruh musim. Hal ini sesuai dengan
pernyataan menurut Adawyah (2007), bahwa beberapa faktor yang menyebabkan penjual
menggunakan formalin sebagai bahan pengawet pada ikan segar diantaranya karena sifat
ikan yang mudah membusuk, ikan yang biasanya tidak habis terjual dalam waktu sehari,
permintaan konsumen terhadap jenis ikan tertentu dan pergantian musim secara berkala.
Oleh karena itu, para pedagang harus melakukan beberapa cara pengawetan agar waktu
penyimpanan ikan menjadi lebih lama sehingga dengan penambahan formalin pada ikan
segar dapat memperpanjang umur penyimpanan ikan (Winarno, 2004).
Berdasarkan hasil pengujian terdapat 2 lokasi (NBD dan Pasar Kuanino) dimana
hasil pengujiannya tidak terdeteksi (ttd), hal ini kemungkinan dikarenakan penjual ikan di
kedua lokasi tersebut mengambil ikan dari TPI Oeba pada pagi hari dengan jumlah ikan
yang sedikit sedangkan ikan yang dijual pada sore hari di NBD merupakan ikan hasil
tangkapannya sendiri sehingga ikan dapat terjual habis dalam waktu yang singkat. Cara
penyimpanan pada 2 lokasi penjual, umumnya tidak menggunakan es batu akan tetapi pada
hasil pengujian kedua lokasi (NBD dan pasar Kuanino) tidak terdeteksi adanya kandungan
formalin.
Berdasarkan hasil pengujian terdapat 4 lokasi yang terdeteksi kandungan formalin
pada sampel ikan yang dijual. Kadar formalin yang tertinggi adalah sampel yang diambil
dari Pasar Inpres dengan kandungan 50 ppm dimana melebihi nilai batas ambang yang
aman bagi tubuh manusia terhadap formalin menurut IPCS (International Programme on
Chemical Safety) yaitu 1 miligram per liter (1 ppm) dalam sekali konsumsi sedangkan
kadar formalin terendah terdapat pada Pasar Malam dengan kandungan 0,05 ppm.
Kandungan formalin dengan kadar 50 ppm pada ikan segar ini jika dikonsumsi dapat
mengakibatkan konvulsi, haematuria dan haematomesis yang berakibat kematian
(Takahashi et al., 1986) sedangkan jika dikonsumsi dengan kadar 0,05 ppm atau kadar
yang rendah (< 1 ppm) dalam jangka panjang maka formalin juga bisa mengakibatkan
banyak gangguan organ tubuh karena sifat formalin yang karsinogenik (Farida, 2010).
Formalin merupakan bahan pengawet yang dilarang menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999. Berdasarkan hasil uji laboratorium dari 192
sampel ada 37 sampel yang positif (19,27%) menunjukkan bahwa masih tingginya tingkat
penggunaan formalin sebagai bahan pengawet pada makanan di pasaran. Dalam hal ini
formalin digunakan oleh penjual ikan sebagai bahan pengawet dari ikan segar. Selain itu,
berdasarkan hasil penelitian ini dapat dilihat juga bahwa formalin masih dengan mudah
didapatkan dan digunakan sebagai pengawet ikan segar oleh penjual sehingga pemerintah
juga perlu memperketat pemberian izin kepada industri usaha makanan berskala besar
maupun kecil dan secara rutin melakukan pengawasan terhadap industri-industri makanan
tersebut (Hustyani, 2006).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
236
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa 19,27 %
dari 192 sampel ikan segar positif mengandung formalin. Jenis-jenis ikan yang
mengandung formalin ialan ikan tongkol, ikan lada, ikan lajang, ikan kakap merah, ikan
kerapu merah dan ikan gergahing. Kandungan formalin yang tertinggi ialah sampel dari
Pasar Inpres dengan kadar formalin 50 ppm, dimana ini melebihi batas ambang menurut
IPCS yaitu 1 ppm sedangkan untuk kandungan formalin yang terendah sampel dari Pasar
Malam Kampung Solor dengan kadar 0,05 ppm.
SARAN
1. Bagi Masyarakat
Diharapkan dengan penelitian ini dapat membantu masyarakat dalam memilih tempat
penjualan ikan segar yang bebas dari penggunaan formaldehid seperti TPI Oeba dan
masyarakat dapat lebih aktif dalam memilih dan menentukan ikan yang layak dan
aman untuk dikonsumsi
2. Pemerintah
Diharapkan dengan hasil yang telah didapatkan dalam penelitian ini Pemerintah lebih
meningkatkan pengawasan secara menyeluruh terhadap keamanan pangan disetiap
pasar-pasar tradisional dan peninjauan kembali serta memperketat terhadap kebijakan
yang menyangkut tata niaga penjualan formalin serta bahan kimia berbahaya lainnya.
3. Penjual
Diharapkan dapat menggunakan bahan pengawet yang lebih aman dan tidak berbahaya
bagi kesehatan konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, R. 2007, Pengolahan dan Pengawetan Ikan, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Afrianto, E. dan Evi, L. 1991, Pengawetan dan Pengolahan Ikan, Kanisius, Yogyakarta.
Astawan, M. 2004, Tetap Sehat dengan Produk Makanan Olahan, Tiga Seragkai, Solo.
Astawan, M. 2006, Mengenal Formalin dan bahayanya, Penebar Swadya, Jakarta.
Astawan, M. 2007, Pengantar Teknologi Perikanan, Gramedia, Jakarta.
Amri. 2008, Dasar-dasar teknologi Hasil Perikanan SMK Negeri 06, Modul, Lampung.
Cahyadi, W. 2006, Bahan Tambahan Pangan, Cetakan Pertama, Penerbit Bumi Aksara,
Jakarta.
Djarijah, 2001, Morfologi Ikan, Gramedia, Jakarta.
Djoko Tri Ismanto, Taufik Fajar Nugroho dan Alam Baheramsyah, 2013, Desain Sistem
Pendingin Ruang Muat Kapal Ikan Tradisional Menggunakan Es Kering Dengan
Penambahan Campuran Silika Gel, J.Teknik Pomits, 2 (2).
Direktur Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV,
Departemen Kesehtan Republik Indonesia, Jakarta, hal : 11-57.
Direktorat Jendral Perikanan, 1990, Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut,
Departemen Pertanian, Jakarta.
Effendi, M. I. 1979, Biologi Perikanan, Yogyakarta : Yayasan Pustaka Tama
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
237
Farida, I. 2010, Bahaya Paparan Formalin terhdap Tubuh. Available at : (http
://cheminterconnected.spaces.live.com , diakses pada tanggal 1 Februari 2015)
Hamdayani, 2006, Bahaya Formalin Pada Makanan, Departemen Komunikasi dan
Informatika, PT. Astra International, Tbk. 2-23.
Hikmayani, Y.et al. 2007. Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian Balai Riset Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Balai Besar Riset Sosial Ekonomi dan
Kelautan dan Perikanan
Hustiany, R. 2006. Modifikasi Asilasi dan Suksinilasi Pati Tapioka sebagai Bahan
Enkaapsulasi Komponen Flavor. [Disertasi], Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Irianto, A. 2005, Patologi Ikan, Gadja Mada University Press, Yogyakarta.
Irianto, H dan Soesilo, I. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan.
Badan riset kelautan dan perikanan
Junianto. 2005, Teknik Penangan Ikan, Penebar Swaday, Jakarta.
Katzung, B. G. 2002, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi II, Salemba Medika,
Jakarta,Hal.671, 677-678.
Kupang Antara News. 2012, Potensi Sumber Daya Perikanan NTT, (Online),
(http://www.kupangantaranews.com, diakses pada tanggal 1 Februari 2015).
Loomis, T. 1979, Formaldehyde Toxicity, Arch Pathol Lab Med, 103: 321-324.
Mahdi,C. dan Mubarrak, S. A. 2008, Bahan Pengawet Makanan, Fakultas Perikanan dan
Kelautan Universitas Airlangga, Surabaya.
Mahardono, 1979, Anatomi Ikan, Jakarta : PT. Intermasa.
Marhaeni. 2008, Kadungan Gizi Pada Ikan, Jakarta.
Moeljanto, 1992, Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan, Penebar Swadaya,
Jakarta.
Murniyati, A. S dan Sunarman. 2000, Pendiginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan,
Yogyakarta: Kanisius
Nasir, M. 1998, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Notoatmodjo, S. 2003, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
Notoatmodjo, S. 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi, Rineka Cipta,
Jakarta.
Pos Kupang. 2014, Balai POM Kupang Tidak Bekerja Sendiri, (online),
(http://www.Poskupang.com, diakses pada tanggal 1 Februari 2015)
Pos Kupang, 2015, Kabupaten Sikka dikepung Ikan Berformalin, (online), (diakses pada
tanggal 1 Februari 2015)
Pos Kupang, 2015, Aparat NTT Sita 12 Ton Ikan Tembang Lamuru Mengandung
Formalin, (online), (diakses pada tanggal 1 Februari 2015)
Saprianto, C. dan Hidayati, D. 2006, Bahan Tambahan Pangan, Kanisius, Yogyakarta.
Smith, J. 1991. Food Additive User’s Handbook, Blackie & Sons Ltd, New York.
Suhartini, S. dan Hidayat, N. 2005, Olahan Ikan Segar, Trubus Agrisarana, Surabaya.
Takahashi, M., R. Hasegawa, F. Furukawa, K. Toyoda, H. Sato and Y. Hayashi. 1986,
Effects of ethanol, potassium metabisulfite, formaldehyde and hydrogen peroxide on
gastric carcinogenesis in rats after initiation with N-methyl- N’nitro-
N’nitrosoguanidine, J.Cancer Res, 77:118-124, Japanese.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
238
Terelak, K. 2003, Pilot Plant Formaldehyde distillation Experiment and Modelling.
Institute of Heavy Organic Synthesis “Blachownia”, Poland.
Uzairu, A. 2009, Formaldehyde Levels In Some Manufactured Reguler Foods In Makurdi
Benue State, Nigeria, Jurnal Of Applied Sciences In Enviromental Sanitation, VOL
211-214.
Widyaningsih, D. dan Erni, S. 2006, Formalin, Trubus Agrisarana, Surabaya.
Winarno, F. G. 1980, Kimia Pangan, PT. Gramedia Utama, Bogor.
Winarno, F.G dan Sulistyo, T. 1994, Bahan Tambahan Pangan Untuk Makanan dan
Kontaminan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Winarno, F. G. 2004, Keamanan Pangan Jilid 1, M-Brio Press, Bogor.
Windarti. 2010, Buku Ajar Fisiologi Hewan Air, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
UR : Pekanbaru
Yuliarti, 2007, Awas Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan, Andi,Yogyakarta.
World Health Organization (WHO), 2000, Formaldehyde Concise International Chemical
Assessment Document 40, Geneva.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
239
IDENTIFIKASI KADAR KALSIUM, FOSFOR, DAN MAGNESIUM PADA
SERUM DARAH SAPI BALI YANG DIPELIHARA SECARA TRADISIONAL DI
DESA NONOHONIS – TTS
(IDENTIFICATIONS OF CALCIUM, PHOSPORUS, AND MAGNESIUM LEVEL ON
BLOOD SERUM ON BIBOS SONDAICUS WHICH IS MAINTAINED TRADISIONALY IN
NONOHONIS VILLAGE – TTS)
Ricky Myki Laurens Sine1, Herlina Umbu Deta2, Yulfia Nelymalik Selan3
1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail:
[email protected] 2Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa
Cendana, Kupang. E-mail:[email protected] 3Laboratorium Anatomi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa
Cendana, Kupang. E-mail: [email protected]
ABSTRACT
The aims of this research namely to identify, to evaluate, and to compare the level of
mineral on blood serum of bibossondaicusin the end of dry season and in the beginning of
wet season and also to identify mineral level of field grass which is consumed by cattle. 4
samples of natural grass and 14 samples of blood are taken from two different season;
from 7 cattles. The analysis result show that hypercalcemia is found in two different
season, while magnesium mineral state under normal limits; In the end of dry season with
slight increase to normal in the beginning of rainy season. Phosphorus mineral describe
normal average on blood serum. Mineral level of grass feet illustrate. The feed shortages
in dry season it increasing in rainy season. The conclution is seasons influence the level of
Ca and P in blood because of the sunlight, while seasons do not influence level of the
magnesium mineral, but it is influenced by the consumption of field grass from the cattle
and the level of Ca in blood.
Keywords: Bibos sondaicus, mineral, blood, feed
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki berbagai breed ternak sapi potong diantaranya sapi ongole, sapi
bali dan sapi madura beserta peranakannya. Sapi bali merupakan domestikasi banteng yang
telah menyebar di berbagai daerah di Indonesia yang mempunyai potensi ekonomis yang
tinggi (Sukariada et al., 2014). Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai provinsi ternak
memiliki populasi ternak sapi bali yang cukup besar yang bermanfaat memenuhi
kebutuhan pokok protein hewani masyarakat NTT. Nusa Tenggara Timur merupakan
daerah tropis dengan curah hujan cukup rendah dengan rata-rata curah hujan selama 4
bulan dan memiliki waktu kering yang cukup panjang yaitu 8 bulan (TTS DALAM
ANGKA, 2013). Hal ini menyebabkan ternak sapi sangat kekurangan pakan dan mineral di
musim kemarau dan keadaan yang sebaliknya hewan mendapatkan pakan yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan mineral di musim hujan.
Tubuh sapi tidak dapat menghasilkan mineral sendiri, walaupun diperlukan dalam
jumlah sedikit, namun sangat penting untuk kesempurnaan makanan yang dikonsumsi.
Batasankekurangan mineral pada ternak dapat dikategorikan sebagai defisiensi dan
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
240
marginal. Kedua batasan ini hanya berbeda dalam menentukan ambang batas kekurangan.
Marginal menunjukkan bahwa kadar suatu mineral berada di bawah normal tetapi masih
cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dasarnya apabila kekurangan tidak
berlanjut. Pada keadaan marginal ini, cadangan mineral sudah sangat sedikit. Sedangkan
pada ternak yang dikategorikan defisiensi, kandungan mineral dalam tubuh ternak sudah
sangat rendah, untuk aktivitas metabolisme dasarnya saja tidak mencukupi dan tidak
memiliki cadangan mineral di dalam tubuhnya(Caple, 1984).
Tabel 1. Klasifikasi Kadar Ca, P dan Mg Dalam Serum Darah Sapi
Sumber: Puls in Kincaid (2008)
Peternak di NTT cenderung memelihara sapi dengan cara semiintensif atau ekstensif,
namun hal ini tidak efisien bagi ternak untuk mendapatkan pakan yang cukup dimusim
kemarau karena ketersediaan pakan di padang sangat sedikit sehingga mineral yang
didapat juga sangat rendah. Berbagai laporan penelitian menunjukkan bahwa kandungan
beberapa jenis unsur mineral dalam rumput lapangan relatif rendah. Rendahnya kandungan
mineral ini berakibat terhadap ketidakcukupan kebutuhan mineral dalam tubuh sapi,
sehingga menyebabkan terjadinya kekurangan (defisiensi) mineral (Little, 1985; Stoltz et
al., 1993; Prabowo et al., 1997). Ibrahim et al. (2008) mengatakan bahwa lama periode
rumput di lapangan dan jumlah bahan kering rumput mempengaruhi kadar mineral Ca, Mg,
Cu, Mn, dan Zn yang terdapat didalam rumput. Semakin banyak bahan kering rumput dan
lama periode maka kadar mineral tersebut diatas akan menghilang, hal ini disebabkan oleh
cuaca, usia, dan unsur rumput yang berbeda.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kadar mineral pada rumput
lapangan yang dikonsumsi, serta mengidentifikasi, mengevaluasi dan membandingkan
kadar mineral dalam serum darah sapi bali di akhir musim kemarau dan awal musim hujan.
MATERI DAN METODE
Metode pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Pengambilan
sampel dilakukan di Desa Nonohonis-Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sampel rumput
dan darah diambil dalam 2 tahap yaitu 2 sampel rumput pada akhir musim kemarau dan 2
sampel rumput pada awal musim hujan. Sampel darah diambil dari 7 ekor sapi (Total 14
sampel), darah yang diambil, disentrifuse di Laboratorium Klinik Bijoba Soe untuk
Status Ca
(mg/dL)
P
(mg/dL)
Mg
(mg/dL)
Defisiensi 1-6 <3.0 <1.1
Marginal 7-9 3-4.1 1.2-1.8
Normal 8-11 4-8 1.8-3.5
High >12 >9 >4.0
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
241
mendapatkan serum darah. Tahap pemeriksaan kadar mineral dalam serum dan pakan
rumput lapangan dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas
Peternakan di Institut Pertanian Bogor.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian diklasifikasi dalam dua (2) tahap. Tahap
persiapan sampel darah sampai mendapatkan serum darah menggunakan gunakan alat:
Venoject, tabung reaksi tanpa antikoagulan, rak penyimpanan, box, pipet, sentrifuge, dan
ependorf.Tahap analisis sampel serum darah dan pakan: Alat yang digunakan adalah
sebagai berikut : Spektrofotometri serapan atom AA7000, Spektrofotometer Uv-200-R5,
Vortex, tabung pereaksi, Finnpipet, pipet otomatis, rak tabung reaksi, labu kjedal, tanur,
cawan porselen, botol penyimpanan sampel, erlenmeyer, timbangan analitik, Gegep besi,
eksikator, pipet Mohr, bulb, corong kaca, kertas saring, labu takar 100 mL/50 mL.Sampel
yang akan dianalisis adalah sebanyak 14 sampel serum darah sapi dan 4 sampel rumput
lapangan. Uji analisis mineral serum darah dan rumput menggunakan bahan; kapas
alkohol, kertas label (marker), lantan khlorida (Cl3La.7H2), H2SO4, tricloroacetic acid
(TCA) 17%, ammonium molibdat tetrahidrat, FeSO4,7H2O, aquadest dan HCL 25%.
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, yaitu hasil penelitian disajikan dalam
bentuk gambar dan tabel. Adapun Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah kadar
kalsium, kadar fosfor dan kadar magnesium dalam serum darah sapi dan pakan rumput
lapangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Mineral Ca, Mg dan P Dalam Serum Darah Sapi Bali yang Diambil pada
Akhir Musim Kemarau dan Awal Musim Hujan
Berdasarkan data kadar mineral kalsium dalam tabel 2, menunjukan bahwa kadar
kalsium dalam seluruh sampel serum darah sapi bali mengalami hiperkalsemia, jika
dibandingkan dengan serum darah sapi bali atau pedaging yang mengandung kalsium rata-
rata 8,00 mg/ 100 ml sampai 11,00 mg/ 100 ml (Nugroho, 2009). Terdapat satu (1) sampel
serum darah yaitu sampel A-1 (Anak menyusui) dengan kadar kalsium normal (11,53
mg/100 ml) di akhir musim kemarau tetapi mengalami peningkatan kadar kalsium di awal
musim hujan.
Tabel 2. Kadar Kalsium Dalam Serum Darah Sapi Bali
No. Sampel
Akhir
musim
kemarau Status
Awal
musim
hujan Status
Ca,
mg/100 ml
Ca,
mg/100
ml
1. J (Jantan) 14.13 Hiper 13.64 Hiper
2. T (Sapi dara) 13.40 Hiper 13.68 Hiper
3. A1 (Pedet
menyusui) 11.53 Normal 13.05 Hiper
4. A2 (Pedet 13.60 Hiper 10.57 Normal
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
242
Kadar normal mineral Ca 8-11 mg/100 ml (Puls dalam Kincaid, 2008)
Sedangkan kadar mineral magnesium dalam serum darah sapi bali yang disajikan
dalam tabel 3, menunjukan bahwa serum darah sampel J, T, A1, A2 dan I3 berada dibawah
angka normal dengan dua (2) sampel T dan A1 disebut defisiensi dan tiga (3) sampel
lainya yaitu sampel J, A2 dan I3 disebut marginal.
Tabel 3. Kadar Magnesium Dalam Serum Darah Sapi Bali
No. Sampel
Akhir
musim
kemarau Status
Awal
musim
hujan Status
Mg,
mg/ 100 ml
Mg,
mg/100
ml
1. J (Jantan) 1.42 Marginal 2.22 Normal
2. T (Sapi dara) 0.86 Defisiensi 1.81 Normal
3. A1 (Pedet
menyusui) 0.20 Defisiensi 2.01 Normal
4. A2 (Pedet
menyusui) 1.68 Marginal 1.57 Marginal
5. I1 (Induk
menyusui) 1.80 Normal 1.62 Marginal
6. I2 (Induk
menyusui) 1.88 Normal 1.74 Marginal
7. I3 (Induk
menyusui) 1.57 Marginal 1.92 Normal
Kadar normal mineral Mg 1,8-3,5 mg/100 ml (Puls dalam Kincaid, 2008)
Terjadinya hiperkalsemia dan kekurangan magnesium dalam serum darah sapi
diduga karena terjadinya gangguan metabolisme pada tubuh ternak sapi. Menurut Cseh et
al (1984), sapi-sapi yang bunting dan menyusui sangat memerlukan Ca dan Mg, sehingga
bila terjadi gangguan metabolisme yang disebabkan oleh penyakit infeksius maupun oleh
penyebab lain, akan dapat menyebabkan penurunan Mg dan diikuti oleh naiknya Ca di
dalam serum.Kalsium yang banyak dimakan akan menurunkan penyerapan magnesium,
besi, iodine, mangan, zink dan tembaga, terutama jika salah satu unsur yang dimakan di
ambang batas kekurangan. Kalsium yang berlebihan akan menurunkan penyerapan dan
menyusui)
5. I1 (Induk
menyusui) 12.26 Hiper 13.51 Hiper
6. I2 (Induk
menyusui) 12.65 Hiper 13.57 Hiper
7. I3 (Induk
menyusui) 14.04 Hiper 13.29 Hiper
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
243
pemanfaatan zink, dan menyebabkan parakeratosis akibat defisiensi zink (Sihombing,
2006).
Berdasarkan data kadar mineral Fosfor dalam serum dara sapi bali yang ditunjukan
pada tabel 4, pada akhir musim kemarau menunjukan bahwa kadar mineral fosfor yang
terkandung dalam darah tidak terdapat sampel yang berada dalam status defisiensi, tetapi
terdapat tiga (3) sampel serum darah yaitu sampel T, I1 dan I2 yang dikategorikan
marginal dan terdapat satu sampel yang memiliki kadar mineral fosfor diatas kadar normal
(Hiper). Sedangkan data kadar mineral P pada awal musim hujan menunjukan status yang
normal pada sampel J, T, A1 A2, I1 dan I2, tetapi sampel I3 mengalami penurunan kadar
mineral dari status normal ke status marginal. Terjadinya penurunan kadar P dalam darah
seperti pada sampel I3 diduga karena kekurangan vitamin D dan P digunakan dalam
jumlah yang banyak untuk air susu (Nugroho, 2009).
Tabel 4. Kadar Fosfor Dalam Serum Darah Sapi Bali
No. Sampel
Akhir musim
kemarau Status
Awal musim
hujan Status
P,
mg/100 ml
P,
mg/100 ml
1. J (Jantan) 4.40 Normal 4.75 Normal
2. T (Sapi dara) 3.68 Marginal 7.76 Normal
3. A1 (Pedet
menyusui) 6.19 Normal 7.06 Normal
4. A2 (Pedet
menyusui) 9.75 Hiper 7.77 Normal
5. I1 (Induk
menyusui) 3.80 Marginal 5.18 Normal
6. I2 (Induk
menyusui) 3.73 Marginal 6.56 Normal
7. I3 (Induk
menyusui) 6.15 Normal 3.11 Marginal
Kadar normal mineral P 4-8 mg/100 ml (Puls dalam Kincaid, 2008)
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
244
Gambar 1. Jumlah Kadar Mineral Ca, Mg dan P Dari Sampel Serum Sapi Bali di Akhir
Musim Kemarau
Berdasarkan Gambar 1, kadar kalsium menunjukan angka 11,53 mg/100 ml sampai
14,3 mg/100 ml pada akhir musim kemarau dengan rerata 13,09 mg/ 100 ml dan
dibandingkan dengan serum darah normal 7,40 sampai 11,08 mg/ 100 ml, maka dapat
dikatakan ternak sapi tersebut mengalami hiperkalsemia. Selanjutnya pada gambaran kadar
magnesium yang menunjukan angka 0,20 mg/100 ml sampai 1,88 mg/ 100 ml dengan
rerata 1,34 mg/100 ml dari sampel yang sama maka kadar magnesium dikategorikan
marginal atau di bawah normal dibandingkan dengan kadar magnesium normal pada serum
darah sapi yang berada diantara 1,7 mg/100 ml sampai 4 mg/ 100 ml. Defisiensi yang
paling menonjol terlihat pada sampel serum darah A-1 (anak menyusui) yaitu kadar
magnesium hanya 0,20 mg/100 ml, hal ini sangat berbahaya karena fungsi mineral
magnesium yang sangat penting dalam proses aktivator dari berbagai enzim, membantu
tahapan metabolisme dan sistem syaraf.
Dari gambaran kadar mineral fosfor pada tabel 3, sebagian besar sampel berada
dalam status normal dan hanya terdapat beberapa sampel yang mengalami kekurangan
mineral P jika dibandingkan dengan kadar fosfor normal dalam serum darah sapi bali dan
pedaging yaitu 4 sampai 8 mg/100 ml. Adapun tiga (3) sampel yang berada dibawah
normal namun dengan rata-rata angka diatas 3,5 mg/100 ml, maka keadaan tersebut dapat
dikatakan ternak sapi mengalami marginal P.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
245
Gambar 2. Jumlah Kadar Mineral Ca, Mg dan P Dari Sampel Serum Sapi Bali di
AwalMusim Hujan
Kadar mineral pada awal musim hujan (Gambar 2) menunjukkan bahwa kadar
mineral kalsium hanya mengalami sedikit perubahan jumlah dari akhir musim kemarau ke
awal musim hujan dan masih dapat dikatakan hiperkalsemia. Gambaran yang berbeda
terlihat pada kadar magnesium dimana sebagian besar sampel mengalami peningkatan
status menuju normal dan hanya terdapat dua (2) sampel yang dikatakan marginal karena
berada dibawah batas normal yaitu 1,57 mg/100 ml (sampel A2) dan 1,62 (sampel I1).
Penurunan kadar Mg dalam serum sampai mencapai defisiensi dapat terjadi pada penyakit-
penyakit yang bersifat kronis dan defisiensi ini dapat juga mengakibatkan timbulnya
gangguan pada jantung (Elin, 1987).
Mineral fosfor pada gambar 2, menunjukan bahwa sebagian besar sampel
dapat berada dalam status yang normal apabila dibandingkan dengan kadar normal 4
sampai 8 mg/100 ml (Nugroho, 2009).Terdapat juga satu (1) sampel yang dikatakan
marginal fosfor karena memiliki kadar 3,11 mg/100 ml. Perbandingan kadar mineral
magnesium di akhir musim kemarau dan awal musim hujan yang sebagian besar sampel
menunjukan adanya peningkatan jumlah kadar di awal musim hujan, maka dapat dikatakan
bahwa tidak ada pengaruh jumlah kadar mineral magnesium berdasarkan musim, tetapi
jumlah kadar magnesium dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi di awal musim hujan
karena pada awal musim hujan, ternak sapi sudah mulai mendapatkan pakan rumput alami
untuk memenuhi kebutuhan mineral tersebut.
Kadar Mineral Ca, Mg dan P dalam Pakan Rumput Alami yang Diambil Pada Akhir
Musim Kemarau dan Awal Musim Hujan
Pada Tabel 8 menunjukan kadar Ca, Mg, dan P yang terkandung dalam pakan
rumput alami. Dua (2) sampel rumput (L1H dan L2H) yang diambil padaawal musim
hujan dari tempat pengembalaan yang berbedamenunjukan kadar mineral sampel rumput
L1H adalah Ca 10,65 mg/gr, Mg 1,99 mg/gr dan P 4,09 mg/gr, sedangkan kadar mineral
sampel rumput L2H adalah Ca 8,18 Mg/gr, Mg 1,89 mg/gr dan P 4,19 mg/gr.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
246
Tabel 5. Kadar Ca, Mg dan P pada Pakan Rumput Alami
No Sampel Kadar Ca
(mg/gr)
Kadar Mg
(mg/gr)
Kadar P
(mg/gr)
1. L1K (Akhir musim
kemarau) 6,77 1,26 0,39
2. L1H ((Awal musim hujan) 10,65 1,99 4,09
3. L2K (Akhir musim
kemarau) 2,73 0,90 0,39
4. L2H (Awal musim hujan) 8,18 1,89 4,15
Sampel rumput alami L1K dan L2K yang diambil saat akhir musim kemarau dari
lahan pengembalaan yang berbeda (Gambar 3a dan Gambar 3b) menunjukan kadar mineral
sampel rumput L1K yaitu kalsium 6,77 mg/gr, magnesium 1,26 mg/gr, dan fosfor 0,39
mg/gr, selanjutnya pada sampel rumput L2K adalah kalsium 2,73 mg/gr, magnesium 0,90
mg/gr, dan fosfor 0,39 mg/gr. Dari hasil pemeriksaan kadar mineral Ca, Mg dan P pada
sampel rumput alami menunjukan perbedaan kadar mineral di akhir musim kemarau dan
awal musim hujan (Tabel 8), terjadinya perbedaan ini diduga umur dari rumput alami yang
tinggi pada akhir musim kemarau dibandingkan dengan umur rumput alami yang baru
hidup pada awal musim hujan. Perbedaan lahan pengembalaan dalam pengambilan sampel
juga menunjukan bahwa adanya perbedaan setiap kadar mineral, hal ini diduga dipengaruhi
oleh tipe lahan yang berbeda-beda, pH tanah setiap lahan pengembalaan dan jumlah kadar
mineral yang terkandung di dalam tanah yang berbeda (Hidayat, 2007). Hal serupa juga
dikatakan Ibrahim et al. (2008), bahwa kualitas rumput alami sangat bervariasi tergantung
dari jenis, umur, musim dan lokasi rumput tersebut tumbuh. Rumput yang masih muda
kualitasnya lebih baik, begitu juga dengan jenis tanah pada tanah yang subur kualitas
rumput lapangan lebih baik dari pada yang tumbuh di daerah tandus. Pernyataan yang
sama dari Nugroho (2009), bahwa gangguan kekurangan fosfor sering dijumpai karena P
dalam tanah terutama pada tanah–tanah asam sangat rendah, apabila pH tanah rendah akan
menyebabkan kadar P dalam hijauan yang tumbuh diatasnya juga rendah. Hal ini akan
menimbulkan gangguan karena ternak yang mendapat hijauan dari tanah tersebut akhirnya
akan menderita kekurangan unsur P.Perbandingan Kadar Mineral Ca, Mg dan P dalam
Serum Darah pada Akhir Musim Kemarau dan Awal Musim Hujan dan Pengaruh Mineral
dalam Pakan Rumput Alami terhadap Jumlah Kadar Mineral Dalam Serum Darah Sapi
Bali
Gambaran mineral dalam serum darah sapi pada Tabel 6 menunjukan bahwa
perbedaan kadar mineral dalam serum darah tidak dipengaruhi oleh musim yang berbeda
yaitu akhir musim kemarau dan awal musim hujan. Sedangkan pada tabel 5 dan 7, musim
berpengaruh terhadap kadar mineral kalsium dan fosfor akibat paparan sinar matahari yang
membantu pengaktifan vitamin D untuk membantu penyerapan kedua jenis mineral
tersebut. Pada mineral kalsium dari dua (2) musim yang berbeda menunjukan terjadinya
hiperkalsemia yang diduga akibat terjadinya kekurangan asupan pakan sebagai sumber
mineral kalsium sehingga tubuh merespon secara berlebihan untuk membongkar cadangan
kalsium didalam tulang, selain itu mineral kalsium juga dipengaruhi oleh parathormon,
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
247
calcitonin dan vitamin D. Berdasarkan daerah pengelambaan (Gambar 3) dan data kadar
mineral kalsium pada sampel rumput yang diambil pada akhir musim kemarau dan awal
musim hujan (Tabel 8), menunjukkan bahwa asupan pakan rumput alami dan kadar
mineral dari pakan sangat rendah dibandingkan dengan kebutuhan mineral kalsium
sebanyak 15 gr / bobot badan / hari. Kadar mineral magnesium dalam serum darah yang
diteliti mengalami kekurangan magnesium pada akhir musim kemarau dan mengalami
peningkatan di awal musim hujan. Hal ini diduga akibat kadar mineral dalam pakan
rumput alami yang rendah (Tabel 8), ketersediaan pakan rumput yang sedikit dan kadar
mineral dalam tanah lahan pengembalaan yang memiliki kadar magnesium rendah,
sehingga pakan yang dikonsumsi belum dapat memenuhi kebutuhan mineral magnesium di
akhir musim kemarau. Defisiensi mineral magnesium yang terjadi secara terus-menerus
akan tampak gangguan berupa kejang-kejang atau disebut Grass Tetany (Ibrahim et al,
2008). Sedangkan pada gambaran kadar mineral fosfor menunjukan keadaan yang
cenderung normal yang diduga karena iklim daerah TTS yang memiliki musim kemarau
cukup panjang sehingga vitamin D teraktifasi dengan baik akibat paparan sinar matahari
untuk penyerapan mineral P. Sedangkan pada awal musim hujan, kadar fosfor dalam pakan
mulai meningkat yang diduga karena ketersediaan air yang cukup untuk penyerapan kadar
fosfor dalam tanah, dengan demikian pakan rumput alami yang dikonsumsi pada awal
musim hujan sudah dapat memenuhi kebutuhan fosfor dalam tubuh ternak. Terdapat juga
beberapa sampel serum darah sapi yang mengalami kekurangan fosfor dibawah batas
normal yang diduga terjadi karena gangguan metabolisme dari tubuh ternak sapi sehingga
penyerapan mineral fosfor terhambat.
KESIMPULAN
Musim dan jumlah pakan rumput alami yang dikonsumsi berpengaruh terhadap
jumlah kadar mineral kalsium dan fosfor di dalam darah ternak sapi bali.Kadar mineral
magnesium dalam darah sapi bali tidak dipengaruhi oleh dua musim yang berbeda yaitu
akhir musim kemarau dan awal musim hujan, tetapi jumlah kadarmineral magnesium
dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi sebagai sumber dari mineral magnesium dan
kadar Ca yang tinggi dalam darah.Sedangkan pakan rumput alami yang dikonsumsi ternak
sapi sebagai pakan basal memiliki kadar mineral yang sangat rendah diakhir musim
kemarau sehingga belum cukup untuk memenuhi kebutuhan mineral ternak sapi.
DAFTAR PUSTAKA
Timor tengah Selatan Dalam Angka. 2013, Badan Pusat Statistik, TTS, Katalog BPS:
1403.5304
Caple, I.W. 1984, ‘Deficiencies, Nutrition and Disease’, Trace Elements, pp 342-366, Beef
Cattle Production, The Univesity of Sidney, Australia.
Cseh, S.B., J.P. Fay, dan A. Casaro. 1984. Changes in blood composition of pregnant cows
during onset of hypomagnesaemia, Vet, Rec, 115: 567-570.
Elin, R.J. 1987, Assesment of magnesium status, Clin, Chem, 33(11): 1965-1970.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
248
Hidayat, S. 2007, Pertumbuhan Rusa Timor (Cervus Timorensis)yang Diberi Pakan
Tambahan Daun Lamtoro dan Dedak Padi Dengan Pakan Dasar Rumput Alam,
Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Indonesia, Kupang.
Ibrahim, G., Suryadi, D., Sasangka, H.H.dan Abidin, Z. 2008, Penentuan Kandungan
Mineral di Dalam rumput Lapangan Sebagai Pakan Ternak Ruminansia di Pasar
jumat. Pusat Penelitian Teknik Nuklir, Batam.
Kincaid, R. 2008, Changes in the Concentration of Minerals in Blood of Peripartum Cows,
Mid-South Ruminant Nutritioan Conference, Washington State University,
Arlington-Texas
Little, D.A. 1985, The Mineral Content of Ruminant Feeds and Potential for Mineral
Supplementations in South-East Asia with Particular Reference to Indonesia, pp
77-85, Dalam Dixon, R.M. Ed., Ruminant Feeding Sistems utilizing Fibrous
Agricul-tural Residues, IDP, Australia.
Nugroho. 2009, Penyakit Kekurangan Mineral pada Sapi, Text Book, hal. 14-38,
Semarang.
Prabowo, A., Djajanegara. dan Diwyanto, K. 1997, Nutrisi Mineral Pada Ternak
Ruminansia, Jurnal Litbang Pertanian, 16(2): 53-64.
Sihombing, M.Sc., Ph.D. 2006, Ilmu Ternak Babi, Gadjah Mada University Press
Yogyakarta.
Stoltz, D.B. 1993, In: Beckage N.E, Thompson S.N, Federici B.A. Parasites and
pathogens of insects, Academic, San Diego.
Sukariada, I.P.J., Suwiti, N.K., Utama I.H., dan Suarsana, I.N. 2014, Profil Makromineral
Natrium (Na) dan MIkro Mineral Seng (Zn) Serum Sapi Bali yang Dipelihara di
Lahan Hutan, Jurnal Ilmiah Kedokteran , Vol 6 No 1.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
249
DERAJAT KEPARAHAN PERADANGAN DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI
SISTISERKUS PADA BABI DI RPH OEBA, KUPANG
(GRADING OF HOST INFLAMMATORY RESPONSE AND HISTOPATHOLOGY OF
CYSTICERCUS IN PORCINE FROM OEBA SLAUGHTERHOUSE)
Putri Pandarangga
Departemen Patologi, Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT, Indonesia. Email:
ABSTRACT
The aims of this study were to determine the severity degree of tissue inflammatory
response and to describe the histopathology of cysticercus in porcine from Oeba
slaughterhouse in Kupang province. Histopathologically, the larva of Taenidae lacks of
intestinal track and has pseudocoelum with subcuticular and parenchymal muscle. The
larva was covered by tegument with microvilli and belongs to Taenia Solium. The degree
of severity of tissue inflammatory response or the grading system in three livers of porcine
from Oeba slaughterhouse is from grade 1 to grade 5.
Key words: Larval stage, Taenidae, Cysticercus, Porcine, Grading system, Oeba, Kupang
PENDAHULUAN
Mayoritas masyarakat Nusa Tenggara Timur khususnya di kota Kupang adalah
non-muslim dimana menggunakan daging babi sebagai salah satu sumber protein yang
utama. Disisi lain, pada babi terkadang terinfeksi beberapa penyakit yang bersifat zoonosis
dan akan menyerang manusia bila tidak ditangani dengan baik. Salah satu contohnya
adalah sistiserkosis. Ini merupakan bentuk larva dari cacing kelas Cestoda. Infestasi cacing
cestoda sangat penting pada hewan domestik, bukan karena bentuk dewasa pada induk
semang definitif tapi karena bentuk larva atau metacestoda pada induk semang antara yang
dapat masuk dalam jaringan dan mengganti posisi sel-sel yang penting seperti otak (Sotelo
2000).
Cacing dewasa ini merupakan hermaprodit yang mempunyai badan panjang antara
1-12 m, beruas-ruas (bersegmen), berbentuk pipih dorsoventral, tanpa rongga badan
maupun saluran pencernaan (Soulsby 1982). Bagian tubuh terdiri atas sebuah kepala yang
disebut skoleks dan badan yang disebut strobila. Skoleks dilengkapi dengan empat batil
hisap dan rostellum dimana dilengkapi dengan beberapa kait yang dapat menancap pada
jaringan sehingga menyebabkan pendarahan. Bentuk kait merupakan indikator untuk
membedakan jenis-jenis cacing cestoda khususnya Taenia sp (Flisser et al. 2005). Strobila
merupakan proliferasi dari leher cacing tersebut dimana semakin ke belakang ukurannya
semakin membesar karena mengandung telur dengan jumlah diantara 50.000-80.000 atau
dikenal dengan proglotida gravid (Andreassen 1998; Harrison & Bogits 1991).
Penegakan diagnosa kecacingan dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan
postmortem baik secara patologi anatomi maupun histopatologi. Secara mikroskopik dapat
ditemukan invaginasi skoleks, kalsifikasi dari kista yang matang dan sistiserkus yang
tertanam di hati (JPC 2012). Perubahan lainnya berupa nekrosis yang disertai dengan
infiltrasi sel radang dimana eosinofil merupakan sel radang yang dominan dan hilangnya
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
250
jaringan hati diganti dengan kista cacing (Berata IK, 2010, Pandarangga 2006). Cestoda
dalam jaringan adalah tertanam dalam matriks organ, tidak mempunyai organ tubuh,
mempunyai batil hisap yang mengitari skoleks, invaginasi skoleks, otot terbagi atas dua
bagian yaitu otot subkutikular dan otot parenkim (korteks dan medulla) (Georgi 1985;
Pandarangga 2006).
Menurut De Aluja & Vargas (1988) tingkat keparahan reaksi peradangan dapat
diukur dengan dengan menggunakan sistem Grading. Grade 0 adalah tidak ditemukan
reaksi peradangan. Grade 1 terlihat adanya infiltrasi sel radang seperti limfosit, sel plasma
dan eosinofil. Selain itu parasitnya masih terlihat jelas. Grade 2 terdapat peningkatan
reaksi radang. Eosinofil dalam jumlah yang besar menyebar dan menempati rongga kista
serta mengelilingi larva cacing. Demikian juga makrofag. Pada grade 3 terjadi reaksi
radang granulomatous dengan berbagai tingkat keparahan yang mengelilingi larva. Selain
itu terdapat kumpulan limfosit pada zona radang. Eosinofil melekat pada tegument parasit
lalu melakukan pelepasan granul atau degranulasi sehingga dinding larva menjadi bengkak
dan terdapat vakuola di dalam larva. Kemudian eosinofil melakukan penetrasi ke dalam
tubuh larva melalui tegument. Pada grade 4, reaksi peradangan yang mengelilingi parasit
semakin utuh. Fibroblast juga terlihat dalam zona peradangan. Pada bagian luar lingkaran
peradangan, terdapat kumpulan limfosit yang sangat banyak dan terkadang terdapat
pembelahan. Adanya peningkatan eosinofil dan sel raksasa menyebar ke dalam rongga
kista kemudian beberapa menjadi nekrosa. Selain itu jumlah eosinofil yang masuk ke
dalam larva melalui kanal semakin meningkat sehingga membuat tegument parasite
menjadi bengkak lalu mengalami degenerasi. Grade 5 adalah fase dimana larva telah
mengalami degenerasi dan tidak dapat didentifikasi. Hanya terlihat calcareous corpuscle
yang merupakan kumpulan kalsium karbonat dimana ini merupakan karakteristik dari larva
cestoda di dalam jaringan. Selain itu terdapat massa asidofilik yang merupakan kumpulan
dari sel debris, parasit yang hancur, exudate dan calcareous corpuscle. Jaringan ikat
pembentuk kista mulai jelas terlihat di sekeliling larva. Terkadang, kalsifikasi dapat terlihat
pada peradangan ini. Pada grade 6, bekas larva mulai diganti dengan jaringan ikat dan sel
radang mulai jarang.
Penelitian ini merupakan studi kasus kejadian cystiserkosis yang ditemukan pada
organ hati tiga ekor babi yang berasal dari rumah potong hewan (RPH), Oeba, Kupang.
Hasil penelitian ini merupakan informasi bahwa di NTT khususnya di Kupang terdapat
kejadian sistiserkosis pada babi dimana merupakan penyakit zoonosis. Oleh karena itu
masyarakat Kupang dimana penduduknya adalah mayoritas non-muslim yang
menggunakan babi sebagai salah satu sumber protein agar berhati-hati dalam pengolahan
daging babi.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Bagian Patologi Departemen Klinik, Reproduksi dan
Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana
Organ hati dari tiga ekor babi di RPH Oeba, Kupang yang diduga mempunyai kista,
dipisahkan guna pengambilan sampel. Dilanjutkan dengan periksaan secara histopatologi.
Sampel hati direndam dalam cairan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10 %, selanjutnya
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
251
dibuat sediaan histopatologi dan diwarnai dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE)
yang diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada pemeriksaan patologi anatomi, terdapat beberapa kista berwarna putih dengan
ukuran diameter 3-4 mm (Gambar 1 dan 2). Kista cacing menekan dan mengganti
parenkim hati. Pada setiap hati babi diinfestasi oleh dua atau tiga kista secara acak. Kista
ini mempunyai konsistensi yang keras dan bahkan terlihat kalsifikasi pada saat dilakukan
sayatan melintang.
Larva cacing tertanam dalam parenkim hati dan mendorong sel hepatosit normal ke
samping (Gambar 3). Larva dengan diameter 2 mm tidak mempunyai rongga tubuh atau
pseudocoelum dan tidak mempunyai saluran pencernaan. Lapisan luar larva mempunyai
ketebalan 10-20 μm dimana dibentuk oleh tegument. Dinding tegument mempunyai alur
dimana dilengkapi dengan mikrovili (Gambar 4). Otot larva terdiri dari longitudinal
subtegumental and lapisan otot parenkim transversa. Pada preparat ini tidak ditemukan
pengait atau rostellum sebagai alat untuk identifikasi jenis cestoda. Akan tetapi
berdasarkan tipe otot, tegument, inang antara dan reaksi peradangan maka kista ini
merupakan larva dari cacing pita, Taenia Solium.
Gambar 1. Hati babi yang terinfestasi kista putih dengan diameter 1-2 mm
Gambar 2. Hati babi yang terinfestasi kista putih dengan diameter 3-24 mm
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
252
Gambar 3. Sistiserkus yang tertanam di parenkim hati babi dengan invaginasi skoleks,
mempunyai otot dan larva dikelilingi oleh radang granulomatous (grade 2-3).
Gambar 4. Sistiserkus pada hati babi: tegument dengan mikrovili
Gambar 5. Sistiserkus di hati babi: otot bervakuola dan tegument dikelilingi sel radang
(grade 3)
Gambar 6. Larva cacing yang telah mengalami degenerasi dan berbatasan dengan radang
granulomatosa grade 4-5.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
253
Respon induk semang akibat adanya infestasi larva cacing adalah dengan
mengerahkan sel-sel radang untuk membunuh larva dan membentuk kista untuk
melokalisir larva. Dari hasil pengamatan histopatologi ditemukan bahwa tingkat keparahan
reaksi radang dihati berada di kisaran grade 1 ke 5. Organ hati yang mempunyai tingkat
keparahan diantara grade 1 dan 2 ditandai dengan bentuk larva masih dikenali dengan
baik, terdapat infiltrasi eosinofil dimana sel ini mulai mendekati larva, limfosit dan juga
makrofag. Sel debris juga terlihat di area peradangan. Reaksi peradangan dengan tingkat
keparahan diantara grade 3 dan 4 mempunyai karakter yaitu jumlah sel radang diantaranya
eosinofil, makrofag dan limfosit meningkat secara signifikan. Eosinofil melekat pada
dinding larva dan sejumlah eosinofil mulai menembus ke dalam dinding cacing. Tegument
menjadi bengkak dan terdapat vakuola di dalamnya (Gambar 5). Pada zona peradangan
juga terdapat banyak sel fibroblast dimana menghasilkan jaringan ikat yang mengelilingi
larva cacing. Jenis peradangan ini adalah granulomatosa. Jumlah limfosit di dalam atau di
luar lingkaran semakin meningkat dan cenderung untuk membelah. Pada grade 4 dan 5,
larva telah mengalami degenerasi dan tidak terlihat bentuk yang jelas lagi (Gambar 6). Sel-
sel radang seperti eosinofil, plasma sel dan makrofag semakin banyak jumlahnya dan
sebagian dari sel-sel tersebut mengalami nekrosis. Selain itu terdapat calcareous corpuscle
merupakan karakteristik dari cacing pita dalam jaringan. Kalsifikasi sering juga bercampur
dengan sel debri.
KESIMPULAN
Walaupun pada preparat ini tidak terlihat rostellum dan pengait larva, larva ini
berasal dari cacing pita yang hidup pada babi yaitu Taenia Solium. Pertahanan utama pada
infestasi larva cacing adalah eosinofil dimana terlihat pada barisan depan untuk
menghancurkan larva. Tingkat keparahan reaksi peradangan pada ketiga hati babi adalah
antara grade 1 sampai grade 5 dimana sel peradangan yang dominan adalah eosinofil, sel
plasma, limfosit dan makrofag. Tipe peradangannya adalah granulomatosa. Dengan
penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi kepada petugas RPH atau
masyarakat tentang karakteristik sistiserkosis pada saat pemeriksaan postmortem sehingga
mereka dapat mencegah penyebaran sistiserkosis pada manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Andreassen J. (1998). Intestinal tapeworms. In: F.E.G. Cox, J.P. Kreier & D. Wakelin.
(Ed) Topley & Wilson’s Microbiology and Microbial Infections. 9th. London. Vol. 5,
Chapter 27, 521-537.
Berata IK, Arjana AAG, Sudira IW, Merdana IM, Budiasa IK, Oka IBM. 2010. Studi
Patologi Kejadian Cysticercosis pada Tikus Putih. Jurnal Veteriner. Volume 11 No 4
: 232-237
Dalton JP. 1999. Fasciolosis. CABI Publishing. Dublin City University. Republic of
Ireland
De Aluja A.S and Vargas G. 1987. The Histopathology of Porcine Cysticercosis.
Veterinary Parasitology 28. Elsevier Science Publisher. Amsterdam. P 65-77
Flisser A. et al. 2005, Chapter 1: Biology of Taenia Solium,Taenia Saginata and Taenia
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
254
Saginata Asiatica in WHO/FAO/OIE Guidelines for the surveillance, prevention and
control of taeniosis/cysticercosis. France. OIE. Pp 1-8
Georgi JR. 1985. Parasitology for Veterinarians. WB Saunders Company. Newyork
Harrison F.W. & Bogitsh B.J. 1991. Microscopic anatomy of invertebrates. Vol 1.
Pletyhleminthes and Nemertinea. Wiley-Liss Inc. New York. Pp 211-283
Pandarangga P. 2006. Identifikasi Larva Cacing yang Terinfestasi pada Hati Tikus Putih
(rattus-rattus) Melalui Gambaran Histopatologi. Skripsi. IPB. Indonesia
Sotelo J. 1999. Brain Cysticercosis. Archives of Medical Research. Ecuador.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7th
Edition. Bailliere Tindal. London.
The Joint Pathology Center (JPC). 2012.
http://www.askjpc.org/vspo/show_page.php?id=107.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
255
GAMBARAN HISTOPATOLOGI ILEUM KAMBING KACANG (Capra aegagrus
hircus) YANG DIPELIHARA DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA)
SAMPAH KECAMATAN ALAK, KOTA KUPANG
HISTOPATHOLOGY OF ILEUM OF KACANG GOATS (Capra aegagrus hircus)
WHICH ARE RAISED AT ALAK DUMPING SITE, KUPANG
Wilfridus Ariesta Kristian Seran1, Antin Yeftanti Nugrahening Widi 2, Yulfia
Nelymalik Selan 3
1 Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
E-mail : [email protected] 2Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
E-mail: [email protected] 3 Bagian Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Univertsitas Nusa Cendana, Kupang.
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Goats are valuable small ruminants to Indonesians due to their advantages and
economic benefits. Narrower pastures causes farmers who live nearby Alak dumping site
choose to herd their goats at this location. Cattle foods that are available at this site are
assortment of organic and inorganic materials which may contain toxic substances such as
heavy metals, toxic chemicals, and other toxicants. One of organs which is greatly at risk
due to expose to toxic materials is ileum. This study is aimed to examine both pathology
anatomy and histopathology of ileum of kacang goats which are raised at Alak dumping
site. Six kacang goats were used in this study, and consisted of two male and two female
goats from Alak dumping site, whereas the others are one female and one male goats
which are not reared at Alak dumping site. Those goats were euthanized and necropsied
for further pathology anatomy observation and histopathology examination using routine
H&E staining. Results showed pathologic anatomical changes of ileum of kacang goats
from Alak dumping site, such as mucosal nodules and hemorrhage, and thickened at
several part of ileal mucosa. Histopathologically, ileum of goats from Alak dumping site
revealed villi damage included epithelial desquamation and villi fusion, inflammation of
mucosa and sub mucosa layers, in which inflammatory cells consisted of lymphocytes,
neutrophils, and plasma cells, with domination of macrophages. However, both pathologic
anatomical and histopathological changes were not found in ileum of goats which were not
raised at Alak dumping site.
Key words: Kacang goats (Capra aegagrus hircus), pathology anatomy of ileum,
histopathology of ileum, Alak Dumping Site
PENDAHULUAN
Ternak kambing merupakan ruminansia kecil yang mempunyai arti besar bagi
masyarakat Indonesia. Ternak kambing sangat potensial bila diusahakan secara komersial,
hal ini dikarenakan ternak kambing memiliki beberapa kelebihan dan potensi ekonomi
antara lain cepat mencapai dewasa kelamin, pemeliharaannya relatif mudah, memiliki sifat
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
256
adaptasi yang baik, tidak membutuhkan lahan yang luas, investasi modal usaha relatif kecil
dan mudah dipasarkan (Sarwono,2006). Berdasarkan kelebihan dan potensi ekonomi
tersebut serta minimnya ladang pengembalaan ternak di Kota Kupang menyebabkan
beberapa peternak yang berada di sekitar lokasi TPA memilih untuk menggembalakan
ternak kambingnya di TPA Alak.
Sumber pakan ternak kambing yang dipelihara di TPA adalah campuran sampah
organik dan anorganik yang kemungkinan bersifat toksik, sehingga ternak kambing yang
mengkonsumsi sampah memiliki risiko tinggi terpapar bahan-bahan toksik yang
terkandung dalam pakan sampah. Menurut Sudiyono (2011), bahan toksik yang berpotensi
menjadi faktor resiko adalah logam-logam berat seperti timbal (Pb), Cadmium (Cd) dan
Ferum (Fe). Logam berat timbal (Pb) yang masuk kedalam tubuh ternak diserap 1 %
sampai 10 % sedangkan cadmium (Cd) diserap 3 % sampai 8 % melalui dinding saluran
pencernaan kemudian terikat pada mukosa usus dan isi usus (Darmono, 1995). Salah satu
organ pencernaan yang beresiko untuk terpapar bahan toksik dan mengalami perubahan
adalah ileum karena ileum berperan dalam proses pencernaan dan penyerapan makanan
dalam tubuh, termasuk bahan makanan yang bersifat toksik (Praseno dan Sudarmoyo,
2003).
Ileum merupakan bagian dari intestinum tenue yang secara anatomi terletak antara
jejunum dan caecum. Ileum berdinding tipis dengan lumen yang lebih sempit, namun
ileum memiliki lebih banyak jaringan limfatik. Ileum menerima suplai darah melalui arteri
mesenterika celiaca dan kranialis yang ada pada dinding usus dan menerima molekul
makanan yang selanjutnya diangkut ke hati melalui vena portal hati (Frandson, 1992;
Gartner et al., 2012).
Secara histologi sebagaimana lapisan intestinum lainnya, ileum tersusun atas
lapisan mukosa, sub mukosa, muskularis dan serosa. Lapisan mukosa dilapisi sel epitel
kolumner selapis, yang terdiri atas sel absortif, sel goblet, sel endokrin dan sel Paneth
(Geneser, 1994). Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat fibroelastis, pembuluh darah,
serat saraf, pleksus Meissner, dan nodulus limfatikus yang membentuk daun peyer (peyer
patches) (Gartner et al., 2012). Lapisan muskularis terdiri atas lapisan luar yang
mempunyai serabut otot longitudinal dan lapisan dalam yang mempunyai serabut otot
halus berbentuk sirkuler (Shackelford dan Elwell, 1999). Lapisan serosa terdiri atas lapisan
mesotel dengan jaringan ikat subserosa di bawahnya (Frappier, 2006).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuigambaran makroskopik dan
mikroskopik ileum kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang dipelihara di TPA
Alak, Kota Kupang.
MATERI DAN METODE
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 6 ekor kambing kacang
(Capra argagrus hircus) yang terdiri dari 2 ekor kambing jantan dan 2 ekor betina yang
dipelihara di TPA Alak serta 1 ekor kambing jantan dan 1 ekor betina yang dipelihara di
luar TPA Alak. Seluruh hewan uji dinekropsi seperti kriteria Soeharmi et al. (2003),
kemudian organ ileum diambil, dilakukan pemeriksaan patologi anatomi, dan dilanjutkan
dengan fiksasi menggunakan larutan formalin 10%. Preparat histopatologi dibuat sesuai
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
257
dengan metode Ndaong (2013), dan dilanjutkan dengan pemerikaan histopatolog. Analisis
hasil dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Patologi Anatomi Ileum
Pada pengamatan makroskopis organ ileum kambing kacang yang dipelihara di
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Kecamatan Alak, kota Kupang ditemukan
perubahan-perubahan patologi anatomi berupa nodul, hemoragi, dan penebalan mukosa
(Gambar 1.). Adapun gambaran terperinci perubahan patologi anatomi dari masing-masing
kambing dapat dilihatpada Tabel 1.
Adanya nodul pada mukosa usus dapat diakibatkan oleh bahan toksik yang
dikonsumsi bersama pakan secara terus-menerus. Bahan toksik yang dikonsumsi akan
menyebabkan sistem pertahanan pada mukosa usus merespon melalui hiperplasia sel
pertahanan atau peradanagan yang nampak sebagai nodul atau tonjolan kecil pada mukosa
usus. Holmgren dan Czekinsky (2005) menyatakan bahwa pertahanan mukosa usus yang
terdiri atas sel-sel limfoid maupun myeloid berespon terhadap adanya paparan yang
bersifat terus menerus oleh bahan toksik maupun agen-agen patogen di dalam lumen usus
halus dan usus besar. Selain itu, pada ileum juga ditemukan sistem pertahanan berupa
agregat nodulus limfatikus (daun peyer atau peyer patches), yang dapat merespon terhadap
adanya benda asing yang masuk kedalam tubuh terutama pada usus (Gartner et al., 2012).
Tabel 1. Hasil pengamatan makroskopis (Patologi Anatomi) organ ileum kambing kacang.
No Perubahan JA. I JA. II JK BA.I BA.II BK
1. Nodul ++ ++ ‒ ++ + ‒
2. Hemoragi √ ‒ ‒ √ ‒ ‒
3. Penebalan mukosa ‒ ‒ ‒ ** ** ‒
Keterangan : JA.I : Jantan Alak 1; JA. II : Jantan Alak 2; JK : Jantan Kontrol; BA.I :
Betina Alak 1; BA.II : Betina Alak 2; BK : Betina Kontrol; (+++) : Terdapat
nodul lebih dari 5; (++) : terdapat nodul berkisar antara 2-4; (+) : hanya
terdapat 1 nodul; (√) : ada hemoragi/ada perubahan warna; (**) : penebalan
pada sebagian mukosa; (‒) : tidak ada perubahan (normal).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
258
Gambar 1. Gambaran patologi anatomi ileum kambing kacang yang diternakkan di TPA
Alak; (A) Nodul pada mukosa ileum, (B) Nodul berwarna kehijauan, (C)
Nodul (a) dan hemoragi (b) pada mukosa ileum, dan (D) Sebagian mukosa
yang mengalami penebalan.
Pada ileum kambing kacang yang dipelihara di TPA Alak juga dijumpai hemoragi
dan penebalan pada sebagian mukosa. Hal ini diduga diakibatkan oleh pola konsumsi
pakan yang telah bercampur dengan bahan-bahan toksik seperti logam berat dan zat-zat
kimia lain yang diserap oleh usus sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan fisiologis
pembuluh darah untuk menginisiasi terjadinya peradangan. Menurut Daft et al. (1989)
peradangan akan diawali peningkatan vaskularisasi dan apabila terjadi secara terus-
menerus akan mengakibatkan pembuluh darah pecah dan terjadi hemoragi. Adanya
infiltrasi sel radang secara terus-menerus mengakibatkan penebalan pada mukosa usus
karena berisi banyak sel radang (Shackelford dan Elwell, 1999; Resang, 1984).
Secara umum dapat dikatakan bahwa kerusakan ileum yang nampak secara
makroskopis diakibatkan oleh paparan yang bersifat terus menerus dari bahan pencemar di
lokasi TPA. Menurut Darmono (1995), logam berat yang masuk kedalam tubuh ternak
akan diserap oleh mukosa usus dan proses penyerapan ini dapat mengakibatkan kerusakan
pada dinding usus halus. Akumulasi dari bahan pencermar dilokasi TPA juga secara
perlahan-lahan akan mempengaruhi sistem gastrointestinal, urinaria dan reproduksi
(Widowati dan Jusuf, 2008). Untuk memastikan perubahan-perubahan yang ditemukan
dalam pengamatan makroskopis, maka dilakukan pemeriksaan mikroskopis pada organ
ileum kambing kacang TPA Alak dan non TPA Alak.
A
B
C D
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
259
Gambaran Histopatologi Ileum
Pada pengamatan mikroskopis terhadap ileum kambing TPA Alak ditemukan
adanya beberapa jenis perubahan, yaitu kerusakan pada vili berupa deskuamasi epitel dan
fusi vili (Gambar 2), peradangan (Gambar 3), dan beberapa gambaran khusus seperti
hemoragi, kongesti, pembentukan jaringan fibrosa, dan lesi granuloma (Gambar 4).
Penilaian gambaran histopatologi ileum dari semua sampel secara detail dapat dilihat pada
Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa semua sampel organ ileum yang
berasal dari TPA Alak mengalami kerusakan pada vili berupa deskuamasi epitel dan fusi
vili. Hal ini diduga diakibatkan oleh penyerapan bahan-bahan toksik atau bahan kimia
seperti logam berat yang dikonsumsi bersama pakan yang tersedia di lokasi TPA. Usus
halus memiliki epitel kolumner selapis yang mempunyai daerah permukaan yang luas dan
struktur vili yang berbentuk seperti ibu jari pada mukosa dapat mengoptimalkan absorbsi
(Underwood, 2000). Darmono (1995) menyatakan bahwa logam berat seperti timbal (Pb)
akan diserap 1% sampai 10% pada mukosa saluran pencernaan sedangkan kadmium (Cd)
akan diserap 3% sampai 8 % pada mukosa sistem pencernaan serta dapat mengakibatkan
kerusakan pada epitel usus. Hal ini juga dikatakan oleh Klasing (2005, cit. Gupta, 2012)
bahwa penyerapan logam berat seperti kadmium (Cd) berkisar antara 1 % sampai 5 %
bergantung pada jumlah kadmium yang masuk kedalam tubuh sehingga dalam keadaan
kronis akan mengakibatkan kerusakan pada vili-vili usus dan hewan akan mengalami diare.
Kerusakan pada epitel usus ini juga dapat mengakibatkan epitel usus terkelupas dan
sebagian logam berat akan keluar bersama feses. Absorbsi zat kimia di usus halus selalu
jauh lebih cepat dibandingkan dengan epitel lambung karena permukaan epitel usus halus
jauh lebih luas dibandingkan dengan epitel lambung (Neal, 2006). Penelitian lain yang
dilakukan oleh Balqis et al., (2014) menunjukkan hasil bahwa infestasi yang berat dari
agen patogen atau agen kimia lain dapat menyebabkan terjadinya degenerasi dan nekrosis
pada epitel usus halus dan menyebabkan penurunan luas permukaan vili. Deskuamasi
epitel ini terjadi agar bahan toksik maupun kimia yang masuk kedalam tubuh tidak diserap
terus menerus oleh mukosa usus dan berikatan dengan darah lalu didistribusi ke seluruh
bagian tubuh. Deskuamasi epitel dan fusi vili juga dapat diakibatkan oleh reaksi radang
yang terjadi pada usus sehingga mengakibatkan epitel mengalami nekrosis dan vili-vili
usus menjadi pendek.
Tabel 2. Hasil pengamatan mikroskopis (Histopatologi) organ ileum kambing kacang
Perubahan JA. I JA. II JK BA. I BA. II BK
A. Kerusakan Vili
1. Deskuamasi
epitel
2. Fusi Vili
√
√ ‒ √ √ ‒
√ √ ‒ √ √ ‒
B. Radang
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
260
1. Lokasi
2. Jenis
3. Dominan
Mu,Sm Mu, Sm ‒ Mu, Sm Mu, Sm ‒
M,N,L,Sp M,N,L,Sp ‒ M,N,L,Sp M,N,L,Sp ‒
M M ‒ M M ‒
C. Gambaran lain
1. Hemoragi
2. Kongesti
3. Pembentukan
Jaringan
Fibrosa
4. Granuloma
√ √ ‒ √ √ ‒
√ √ ‒ √ √ ‒
√
√ ‒ √ √ ‒
√ ‒ ‒ ‒ ‒ ‒
Keterangan : JA.I : Jantan Alak 1; JA. II : Jantan Alak 2; JK : Jantan Kontrol; BA.I :
Betina Alak 1; BA.II : Betina Alak 2; BK : Betina Kontrol ; (√) : Ada; (‒) :
Tidak ada; L : Limfosit; M : Makrofag; N : Neutrofil; Sp : Sel Plasma; Mu :
Mukosa; Sm : Sub Mukosa.
Gambar 2. (A) dan (B) Kerusakan pada vili; a) Deskuamasi epitel (betina alak, 40x, H&E);
b) Fusi Vili (jantan alak, 10x, H&E
A B
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
261
Gambar 3. Peradangan pada ileum; (A) Peradangan pada daerah mukosa (a); Adanya ruang
antar kripta (B) (Jantan alak, 10x, H&E); (B) Peradangan pada daerah sub
mukosa (C) (Jantan alak, 10x, H&E); (C) Berbagai jenis sel radang pada daerah
mukosa; a) Makrofag; b) Limfosit; c) Sel Plasma; d) Neutrofil (jantan alak, 40x,
H&E)
C
A B
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
262
Gambar 4. (A), (B), (C), dan (D) Gambaran khusus lain; a) hemoragi; b) kongesti (jantan
alak, 40x, H&E); c) Pembentukan jaringan fibrosa (betina alak, 40x, H&E); d)
Granuloma (jantan alak, 40x, H&E).
Peradangan pada ileum terjadi pada bagian mukosa maupun submukosa (Gambar
3), yang nampak oleh adanya infiltrasi sel radang yang terdiri dari makrofag, limfosit, sel
plasma, dan neutrofil (Tabel 2). Ressang (1984) menyatakan bahwa radang usus akan
dimulai terlebih dahulu pada bagian mukosa sehingga menyebabkan mukosa menjadi lebih
tebal. Proses peradangan pada sampel ileum dari TPA Alak didominasi oleh makrofag
(Tabel 2). Makrofag merupakan sel mononuklear utama yang berada di jaringan yang
berperan dalam proses fagositosis terhadap mikroorganisme maupun kompleks molekul
asing lainya (Ressang, 1984). Sel makrofag kemudian akan mengolah antigen dalam
persiapan terhadap reaksi tanggap kebal berperantara antibodi maupun seluler (Tizard,
1982). Selain makrofag, ditemukan juga sel radang lain yaitu limfosit dan sel plasma yang
cukup banyak serta sedikit neutrofil. Infiltrasi sel radang ini dapat diakibatkan oleh
penyerapan bahan toksik atau bahan kimia yang dilakukan oleh usus. Masuknya bahan
toksik akan direspon oleh tubuh melalui mekanisme sistem imun yang berusaha
mengeluarkan antigen. Sel leukosit berfungsi menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat
terhadap setiap patogen yang masuk dalam tubuh (Guyton, 1996; Holmgren dan
Czekinsky, 2005). Menurut Shackelford dan Elwell (1999), pada keadaan kronis infiltrasi
sel radang yang dapat ditemukan pada usus akan didominasi limfosit dan sel plasma,
sehingga menyebabkan penyebaran kripta menjadi lebih lebar karena berisi leukosit.
Perubahan lain seperti hemoragi, kongesti, pembentukan jaringan fibrosa, dan lesi
granuloma juga ditemukan pada sampel ileum dari TPA Alak (Gambar 3). Hemoragi dan
C D
A B
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
263
kongesti diduga akibat bahan toksik maupun bahan kimia yang dikonsumsi bersama pakan
berintegrasi dengan jaringan mukosa usus halus sehingga mempengaruhi fisiologis
pembuluh darah dan menginisiasi terjadinya peradangan. Peradangan akan didahului oleh
peningkatan vaskularisasi yang mengakibatkan peningkatan jumlah sel dalam pembuluh
darah, dan apabila terjadi terus menerus maka pembuluh darah akan pecah sehingga
mengakibatkan hemoragi (Daft et al.,1989). Kongesti ditandai dengan adanya sel darah
yang berlebihan dalam pembuluh darah sehingga pembuluh darah melebar dan berisi
banyak sel darah (Resang, 1984; Underwood, 2000). Pembentukan jaringan fibrosa
merupakan reaksi penyembuhan terhadap radang kronis. Jaringan yang telah mengalami
kerusakan akan diganti dengan jaringan fibrosa yang memiliki kemampuan untuk
beregenerasi dan menggantikan jaringan yang rusak (Arimbi et al., 2013). Pada Tabel 2
terlihat bahwa semua sampel organ ileum kambing dari TPA Alak menunjukan adanya
hemoragi, kongesti dan pembentukan jaringan fibrosa meskipun penyebarannya tidak
merata diseluruh lapisan usus.
Lesi granuloma pada daerah mukosa ileum kambing TPA (Tabel 2) disebabkan
oleh adanya radang granulomatosa (Arimbi et al., 2013; Zachary dan McGavin, 2012). Hal
ini diakibatkan oleh konsumsi pakan yang bercampur dengan bahan toksik dan bahan
pencemar lain yang terdapat di lokasi TPA. Menurut Harris dan Barletta (2001) pada
peradangan granulomatosa sel radang akan didominasi oleh makrofag dan giantcell yang
akan berubah menyerupai sel epitel (sel epiteloid)untuk merespon terhadap benda asing
yang masuk. Arimbi et al., (2013) juga mengatakan bahwa lesi granulomatosa ini akan
muncul pada keadaan kronis dan dapat bertahan lama. Pada tahap selanjutnya dapat pula
mengakibatkan terjadinya luka pada payer patches dan menyebar ke seluruh usus sehingga
menyebabkan radang granulomatosa yang parah (Nugroho et al., 2009). Apabila dikaitkan
dengan hasil pengamatan jenis sel radang, diketahui bahwa sel makrofag mendominasi sel-
sel radang yang ditemukan pada semua daerah peradangan dari sampel-sampel kambing
TPA Alak (Tabel 2), sehingga peradangan yang terjadi dapat dikategorikan sebagai radang
granulomatosa, dan hal ini mengindikasikan bahwa kambing-kambing kacang ini telah
terpapar bahan-bahan sampah di TPA Alak dalam jangka waktu cukup lama. Secara
makroskopik, lesi granuloma sering tampak sebagai nodul (Zachary dan McGavin, 2012).
Hal ini dapat menjelaskan hubungan antara temuan patologi anatomi yaitu adanya nodul
pada semua sampel dari TPA Alak (Tabel 1), yang salah satunya telah diambil untuk
diproses dengan metode histoteknik, dan hasil pengamatan histopatologi yang
menunjukkan adanya gambaran lesi granuloma (Tabel 2). Berdasarkan beberapa jenis
temuan ini, kemungkinan bahwa semua nodul yang ditemukan dalam pengamatan patologi
anatomi merupakan lesi granuloma yang mulai terbentuk pada permukaan ileum sebagai
respon terhadap adanya paparan bahan toksik yang cukup lama pada kambing-kambing
yang dipelihara di TPA Alak.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa gambaran
makroskopis (patologi anatomi) ileum kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang
dipelihara di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Alak, Kota Kupang adalah adanya nodul
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
264
pada mukosa ileum, hemoragi, dan penebalan pada sebagian mukosa. Gambaran
mikroskopis (histopatologi) ileum kambing kacang yang dipelihara di Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Alak, Kota Kupang adalah adanya kerusakan pada vili berupa
deskuamasi epitel dan fusi vili, infiltrasi sel radang pada lapisan mukosa dan sub mukosa
yang terdiri dari limfosit, sel plasma, neutrofil dan didominasi oleh makrofag dan juga
beberapa gambaran lain yaitu hemoragi, kongesti, pembentukan jaringan fibrosa, adanya
ruang antar kripta serta lesi granuloma. Hal ini menunjukan bahwa peradangan yang terjadi
pada organ ileum kambing TPA Alak merupakan peradangan kronis.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, B. M. 1992, Kambing Sebagai Ternak Potong dan Perah, Kanisius, Yogyakarta.
Arimbi, A., Azmijah, R., Darsono, H., Plumeriastuti, T. V., Widiyanto dan Legowo, D.
2013, Buku Ajar Patologi Umum Veteriner, Airlangga Press, Jakarta.
Azwar, A. 2000, Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Mutiara Sumber Widya, Jakarta.
Bacha, W. J. dan Bacha, L. M. 2000, Color atlas of veterinary histology, Lippincott
Williams and Wilkins, Baltimore-Maryland United States of America.
Balqis, U., Hambal, M. dan Utami, C. S. 2014, Gambaran Histopatologis Usus Halus
Ayam Kampung (Gallusdomesticus) Yang Terinfeksi AscaridiaGalli Secara Alami,
Jurnal Medika Veterinaria Vol. 8 ISSN : 0853-1943.
Bevelender, G. dan Ramaley, J. A. 1988, Dasar-Dasar Histologi, Ed. ke-8, Erlangga,
Jakarta.
Campbell, N. A., Jane, B. R. dan Lawrence, G. M. 2004, Biologi jilid 3, Erlangga, Jakarta
Cotran, R. S., Kumar, V. and Collins, T. 1999, Diseases of Immunity in Robbins
Pathologic Basis of Disease, 6th ed., WB Saunders Company, A Division of
Harcourt Brace & Company, The Curtis Center Independence Square West
Philadelphia, Pennsylvania.
Daft, B. M., Bickford, A. A. dan Hammarlund, M. A. 1989, Experimental and field
sulfaquinoxaline toxicosis in Leghorn chickens, Avian Dis, 33:30-34.
Darmono. 1995, Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup, UI Press, Jakarta.
Dellmann, H. D. dan Brown E. M. 1992, Buku Teks Histologi Veteriner Jilid 2,
diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Hartono, R., Universitas Indonesia Press,
Jakarta.
Devandra, C. dan McLeroy G. B. 1982, Goat and Sheep Production in the Tropics,
Longman Group Limited, Harlow, Essex, UK.
Frandson, R. D. 1992, Anatomi dan Fisilogi Ternak, Universitas Gadjah Mada Press,
Yogyakarta.
Frappier, B. L. 2006, Digestive System: Textbook of Veterinary Histology, Blackwell
Publishing, Oxford.
Gartner, L. P., Hiatt, L., James. dan Strum, M. J. 2012, Essential Biologi Sel dan Histologi,
Binarupa Aksara publisher, Pamulang-Tanggerang Selatan.
Geneser, F. 1994, Buku Teks Histologi Jilid 2, Binarupa Aksara, Jakarta.
Guyton, A. C. 1996, Buku Fisiologi Kedokteran, edisi ke-7, diterjemahkan dari Bahasa
Inggris oleh Engadi, K.A., EGC, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
265
Harris, N. B. dan Barletta, R. G. 2001, MycobacteriumAviumSubspeciesParatuberculosis
in Veterinary Medicine, Clinic Microbiol Rev, 3: 489-512
Herman, R., Duljaman, M. dan Sugama, N. 1983, Perbaikan Produksi Daging Kambing
Kacang, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Holmgren, J. dan Czerkinsky, C. 2005, Mucosal immunity and vaccines, Nat Med. Supply,
11 : 45– 51.
Jonqueira, L. C. 2007, Persiapan Jaringan Untuk Pemeriksaan Mikroskopik. Histology
Dasar, Teks dan Atlas, EGC, Jakarta.
Jullianus, I. K. dan Hermana, J. 2009, Optimalisasi Pengelolaan TPA Alak Dalam
Mengatasi Permasalahan Persampahan di Kota Kupang, ISBN 978-979-18342-1-6.
Klasing, K. C. 2005, Cadmium In Mineral Tolerance Of Animal, National Research
Council, The National Academies Press. Cit. Gupta, R. C. 2012, Veterinary
Toxicology, Academic press, New Delhi, India.
Kusnoputranto, H. 2000, Toksikologi Lingkungan, Dirjen Dikti, Jakarta.
Levine dan Servin A. L. 2006, The front line of enteric host defense against
unwelcome intrusion of harmful microorganism : mucins, antimcrobial peptide
and microbiota, Clinic Microbiol Rev, 19 : 315–337.
Macfarlane, P. S., Reid, R. dan Callander, R. 2000, Pathology Illustrated, Ed. ke-5,
Edinburgh: Churchill Livingstone, Hlm 62-77.
Maramis, Kristijanto dan Notosoedarmo. 2006, Sebaran Logam Berat dan Hubungannya
dengan Faktor Fisiko-Kimiawi di Sungai Kreo, Dekat Buangan Air Lindi TPA
Jatibarang, Kota Semarang, Jurnal Akta Kimindo, 1(2): 93-97.
Mulyono, S. dan Sarwono, B. 2004, Penggemukan Kambing Potong, Penebar Swadaya,
Depok.
Ndaong, N. A. 2013, ’Efef Pemaparan Deltamethrin pada Broiler terhadap Aktivitas
Enzim Alanin Amino Transferase, Aspartat Amino Transferase, Gambaran
Histopatologi Hepar dan FeedConvertionRatio’, Tesis, M.Sc, Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Neal, M. J. 2006, At a glance farmakologi medis, Edisi ke-5, diterjemahkan dari Bahasa
Inggris oleh Juwalita Surapsari, Erlangga, Jakarta.
Notoatmodjo, S. 2000, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta.
Nugroho, W. S., Sudarwanto M., Lukman D. W., Setiyaningsih S. S. dan Sleber E. U.
2009, Kajian Deteksi MycobacteriumAviumSubspeciesParatuberculosis pada Sapi
Perah di Bogor, JITV, 14 : 307-315
Pamungkas, F. A., Batubara, A., Doloksaribu, M. dan Sihite, E. 2008, Potensi Beberapa
Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia, Petunjuk Teknis, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian, Bogor.
Praseno, K. I. dan Sudarmoyo, B. 2003, Fisiologi Ternak, Proyek Semique, Semarang.
Rahim, L., Rahma, M. I. A. D. dan Kusumandari, I. P. 2012, Keragaman Kelompok Gen
Pertumbuhan (GH, GHR, IGF-1, Leptin dan Pit-1) dan Hubungannya Dengan
Karakteristik Tumbuh Kembang dan Karkas Pada Ternak Kambing Marica dan
Kacang, Laporan Penelitian, Makassar.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
266
Ressang, A. A. 1984, Buku Pelajaran Patologi Khusus Veteriner, Edisi kedua, Team
leader IFAD Proect : Bali Cattle Disease Investigation unit, Denpasar, Bali.
Santi, D. N. 2001, Manajemen Pengendalian Lalat, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, digitized by USU digital library, Sumatera Utara, hal : 1-5.
Sarwono. 2006, Beternak Kambing Unggul, Penebar Swadaya, Jakarta.
Shackelford, C. C. dan Elwell, M. R. 1999, Small and Large Intestine and Mesentary. Cit.
Maronpot, R. R., Boorman, G. A. dan Gaul, B. W. 1999, Pathology of the Mouse
Reference and Atlas, Cache River Press, Vienna.
Simanjuntak, N. C. E. 2001, Potensi Lalat Sebagai Vektor Mekanik Cacing Parasit,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Soeharmi, S., Harjanto, H. dan Lazuardi, M. 2003, Pemeriksaan Histology Organ Dalam
Kambing Pasca Kematian Akibat Infeksi Trypanosoma Evansi Isolat Bangkalan,
Medika Eksakta, 1 :1-6.
Sudiyono. 2011, Upaya Eliminasi Residu Logam Berat pada ternak yang berasal dari
Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah dengan Pemeliharaan secara
Konvensional, Sains Peternakan, 9 (1), 1-7. ISSN 1693-8828.
Suhartini. 2008, Pengaruh Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah
Piyungan terhadap Kualitas Air Sumur Penduduk di Sekitarnya, Fakultas Biologi
Universitas Negeri Yogyakarta, Jurnal Saintek, Yogyakarta.
Supriyati, S., Hidayat dan Sadiran. 2001, Penelitian Ternak Ruminansia Kecil, Balitnak,
Bogor.
Setiadi, B., Priyanto, D. dan Martawijaya, M. 1994, Komparatif Morfologik Kambing,
Laporan Hasil Penelitian APBN 1996/1997, Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor
Tizard, I. 1982, Pengantar Imunologi Veteriner, Edisi ke-2, diterjemahkan dari Bahasa
Inggris oleh Partodiredjo, M., Airlangga University Press, Surabaya.
Underwood, J. C. E. 2000, Patologi Umum dan Sistemik, Edisi 2, diterjemahkan dari
Bahasa Inggris oleh Sarjadi, EGC, Jakarta.
Widowati, S. dan Jusuf, R. 2008, Efek Tosik Logam, Andi press, Yogyakarta.
Zachary, F. J. dan McGavin, M. D. 2012, Phatologic Basis of Veterinary Disease, Fifth
edition, Elsevier Mosby, St Louis, Misoury.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
267
PENGARUH PEMBERIAN CAIRAN PROBIOTIK Effective Microorganisms-4(EM-
4®) DENGAN DOSIS BERTINGKAT TERHADAP GAMBARAN
HISTOPATOLOGIS DUODENUM DAN BERAT BADAN AYAM KAMPUNG
(Gallus Domesticus)
EFFECT OF GIVINGLIQUIDPROBIOTIC Effective Microorganisms-4(EM-4®)
WITHMULTILEVEL DOSE OFDESCRIPTIONDUODENUM HISTOPATHOLOGIC
ANDWEIGHTLOCALCHICKEN(Gallus domesticus)
Thomas Emanuel Manggotu Nahak1, Nemay Anggadewi Ndaong2, Antin Yeftanti
Nugrahening Widi3
1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail :
[email protected] 2Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,
Kupang. E-mail: [email protected] 3Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Probiotics are live beneficial microorganisms that entered into the human or
animal body orally with the aim to a positive effect on the health of humans or animals by
maintaining the balance of the ratio between pathogenic and pathogenic bacteria in the
digestive tract. The use of probiotics today conducted independently by the breeder
regardless of dose use of probiotics. One type of probiotic that is often used by breeder
local chicken (Gallus domesticus) is the Effective Microorganisms-4 (EM-4®). The use of
probiotics EM-4® aims to increase the weight of the local chicken (Gallus domesticus) so
it can be efficiently feeding. This study aims to determine the effect of graded doses of EM-
4® probiotics for the histological appearance of duodenum and weight of local chicken
(Gallus domesticus). A total of 15 local chickens (Gallus domesticus) were used as samples
and divided into 5 groups: Group K (control were given distilled water), P1 group
(treatment group were given EM-4® with a dose 1 ml/liter of water), a group P2 (
treatment group were given EM-4® with a dose 2 ml/liter of water), P3 group (treatment
group were given EM-4® with a dose 4 ml/liter of water) and P4 group (treatment group
were given a dose EM-4® 8 ml/liter of water). Provision of treatment carried out for 2
weeks. The Measurements of daily feed intake performed every day and weight
measurement carried out every week during treatment. After the treatment of EM-4®
probiotic the local chicken (Gallus domesticus) has been euthanasia and necropsy to take
the duodenum organs and then made preparations histopathologic. The results obtained
are giving probiotics EM-4®in all treatment groups (P1, P2, P3 and P4) is safe in
histopathology still in its early stages as there was no inflammation and necrosis in the
tunica mucosa, tunica submucosa, tunica muscularis externa and tunica serosa of the
duodenum. Giving probiotics EM-4® with a dose of 1 ml / liter of water can efficiently
feeding while giving probiotics EM-4® with a dose 2 ml/liter of water, 4 ml/liter of water
and 8 ml/liter of water can not be efficiently feeding.
Keywords: probiotics, Effective Microorganisms-4 (EM-4®), local chickens (Gallus
domesticus),duodenum histopathologic, weight.
PENDAHULUAN
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
268
Konsep probiotik pertama kali diperkenalkan oleh Fuller (1992) sebagai
mikroorganisme hidup yang menguntungkan yang dimasukan ke dalam tubuh manusia
atau hewan secara oral. Tujuan pemberian mikroorganisme tersebut agar mampu
memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan manusia atau hewan dengan cara
menjaga keseimbangan rasio antara bakteri patogen dan nonpatogen dalam saluran
pencernaan. Syarat probiotik adalah tidak patogen, toleran terhadap asam dan garam
empedu, mempunyai kemampuan bertahan pada proses pengawetan dan penyimpanan
serta memiliki kemampuan untuk meningkatkan kesehatan (Shortt, 1999).
Penggunaan probiotik dewasa ini dilakukan secara bebas oleh para peternak tanpa
memperhatikan dosis penggunaan dari probiotik. Salah satu jenis probiotik yang sering
digunakan oleh para peternak adalah Effective Microorganisms-4® atau yang biasa disebut
EM-4®. Effective Microorganism-4® (EM-4®) mengandung kombinasi bakteri fotosintetik
(Rhodopseudomonas spp.), bakteri asam laktat (Lactobacillus spp.) dan yeast
(Saccaharomyces spp.) (Kusuma et al.,2012).
Ayam kampung (Gallus domesticus) merupakan ayam lokal di Indonesia yang banyak
dipelihara oleh masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan ayam buras
(bukan ras). Menurut Cahyono (1998) sifat genetik ayam kampung merupakan tipe ayam
yang kecil dengan pertumbuhan yang lambat dan daya alih (konversi) makanan menjadi
produk protein esensial yang juga rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut maka para
peternak menggunakan probiotik dengan tujuan agar daya alih (konversi) makanan dari
ayam kampung dapat meningkat. Menurut Surung (2008) Penggunaan probiotik EM-4®
yang baik sehingga dapat mengefisiensikan pemberian pakan dan dapat meningkatkan
pertambahan berat badan ayam buras adalah 1 ml/liter air minum.
Keamanan probiotik sangat ditentukan dari jumlah bakteri yang digunakan dan
dosis penggunaan probiotik. Jumlah bakteri dalam probiotik dan dosis penggunaan
probiotik perlu diperhatikan agar tidak terjadi overdosis. Secara teoritis probiotik dapat
menyebabkan infeksi sistemik seperti bakteremia (Snydman, 2008)dan stimulasi kekebalan
tubuh yang berlebihan (overstimulasi) sehingga mengakibatkan respon yang sama seperti
infeksi karena kekebalan tubuh menganggap probiotik sebagai benda asing. Hal ini dapat
menyebabkan peningkatan produksi sel darah putih, kelelahan dan bahkan demam
(Sudarmono et al., 2006).
Lokasi target utama probiotik setelah diminum adalah di usus terutama usus halus
oleh karena itu penyelidikan dan studi klinis infeksi di luar usus halus agak sedikit
(Schrenzenmeir dan deVerse, 2001). Usus halus terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum.
Secara histologis, duodenum pada manusia maupun hewan memiliki jumlah vili yang lebih
banyak dan lebih tinggi dibanding jejunum dan ileum serta berbentuk seperti lembaran
daun (Jonqueira dan Carneiro, 2005). Semakin banyak jumlah vili maka semakin banyak
adhesi yang dilakukan probiotik karena mekanisme kerja dari probiotik itu sendiri yang
mampu melakukan adhesi pada mukosa usus terutama pada vili usus (Goossens et al.,
2003).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuipengaruh pemberian cairan
probiotik EM-4® dengan dosis bertingkat terhadap gambaran histopatologis duodenum dan
berat badan ayam kampung (Gallus domesticus).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
269
MATERI DAN METODE
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental laboratorik dengan desain
penelitian adalah Post Test Randomized Control Group Design. Teknik pengambilan
sampel penelitian menggunakan teknik Simple Random Sampling dengan menggunakan
sebanyak 15 ayam kampung (Gallus domesticus).
Metode perlakuan
Ayam kampung (Gallus domesticus) berjumlah 15 ekor yang memiliki umur 6
minggu, kondisi fisik yang baik dan sehat diadaptasikan selama 6 hari. Pada hari pertama
adaptasi dilakukan deworming melalui pemberian anthelmintika(Triworm), yang
dilanjutkan dengan pemeriksaan feses pada hari ke- 6 pasca deworming untuk memastikan
ayam kampung (Gallus domesticus) bebas dari infeksi cacing. Pada hari ke- 7 dibagi dalam
5 kelompok dengan jumlah ayam kampung (Gallus domesticus) tiap kelompok 3 ekor.
Pada hari ke- 8 dimulai perlakuan selama 2 minggu. Rancangan perlakuan yang
dilakukanuntuk setiap kelompok sebagai berikut: Kelompok K sebagai kelompok kontrol
yang diberi aquades, kelompok P1 sebagai kelompok perlakuan yang diberi EM-4® dengan
dosis 1 ml/liter air, kelompok P2 sebagai kelompok perlakuan yang diberi EM-4® dengan
dosis 2 ml/liter air, kelompok P3 sebagai kelompok perlakuan yang diberi EM-4® dengan
dosis 4 ml/liter air dan kelompok P4 sebagai kelompok perlakuan yang diberi EM-4®
dengan dosis 8 ml/liter air. Selama perlakuan semua ayam kampung (Gallus domesticus)
diberi pakan 40 gr/hari dan kemudian sisanya akan ditimbang. Penimbangan berat badan
dilakukan sebanyak 3 kali yaitu sebelum pemberian perlakuan, minggu pertama perlakuan
dan minggu kedua perlakuan.Setelah pemberian perlakuan setiap ayam kampung (Gallus
domesticus) dalam kelompok dieutanasidengan teknik emboli jantung, ayam kampung
(Gallus domesticus) dinekropsi dan organ duodenum dikoleksi ke dalam pot yang
berisiFormalin 10 %.
Pembuatan sediaan histopatologis
Pembuatan preparat histopatologi dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu:
Tahap I (pemrosesan jaringan), dilakukan melalui beberapa proses yaitu proses fiksasi
menggunakan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10 %. Proses dehidrasi menggunakan
alkohol 70 %, 80 %, 95 % dan alkohol absolut. Proses clearing dilakukan menggunakan
xylol. Proses infiltrasi parafin menggunakan parafin cair suhu 57 ºC sampai 59 ºC, jaringan
dicelupkan ke dalam parafin cair. Tahap II (Embedding). Cetakan disiapkan untuk proses
pengeblokan di atas tungku penghangat, selanjutnya jaringan yang telah selesai diproses
dikeluarkan dan dimasukan ke dalam blok yang sebelumnya sudah diisi dengan parafin
cair. Permukaan jaringan akan dipotong menghadap kebawah pada cetakan blok dan
kemudian diberi label. Tahap III (Sectioning). Sebelum dipotong, blok didinginkan terlebih
dahulu di dalam refrigerator, setelah itu ditempatkan pada mikrotom yang dilengkapi pisau
dengan kemiringan 30 º terhadap blok parafin. Blok parafin dipotong dengan ketebalan ± 2
µm sampai 5 µm kemudian dimasukan kedalam waterbath bersuhu 50 ºC. Tahap IV
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
270
(Inkubasi). Preparat diinkubasi di atas hot plate dengan suhu 50 ºC (di bawah titik cair
parafin) selama 15 menit (Ndaong, 2013).
Pewarnaan Hematoxiline Eosin (HE)
Metode pewarnaan Hematoxiline Eosin (HE) dilakukan dengan beberapa tahap.
Tahap deparafinisasi dengan cara dicelupkan pada larutan xylol I, II dan III masing –
masing selama 3 menit. Tahap rehidrasi dengan cara dicelupkan ke alkohol absolut,
alkohol 95 %, 80 % dan 70 % masing – masing selama 2 menit. Preparat dibilas di bawah
air mengalir selama 3 menit. Sediaan lalu direndan dalam Harri’s Hematoxylin selama 10
menit dan dibilas dengan air mengalir selama 10 menit. Perendaman dalam Eosin selama
10 menit dan dibilas dengan air mengalir selama 10 menit, selanjutnya didehidrasi dengan
alkohol bertingkat dari 70 % hingga absolut masing – masing tiga kali celupan, kemudian
clearing dengan xylol I, II dan III masing – masing selama 2 menit. Setelah pewarnaan
selesai, sediaan ditetesi perekat (Canada balsam) dan ditutup dengan gelas penutup lalu
dikeringkan (Ndaong, 2013).
Analisis hasil pembuatan preparat histopatologi dilakukan secara deskriptif
dengan membandingkan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol untuk
melihat ada atau tidaknya peradangan, jenis peradangan, ada atau tidaknya nekrosis dan
jenis nekrosis. Analisis hasil pengukuran konsumsi pakan dan pertambahan berat badan
akan dilakukan secara statistik dengan menggunakan One Way Anova dan dilanjutkan
dengan uji Beda Nyata terkecil (BNt).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pemberian Cairan Probiotik Effective Microorganisms-4 (EM-4®) Dengan
Dosis Bertingkat terhadap Gambaran Histopatologis Duodenum Ayam Kampung
(Gallus domesticus)
Secara mikroskopik, lapisan – lapisan penyusun dinding duodenum mulai dari
dalam ke luar terdiri atas tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis dan tunika
serosa (Frappier, 2006). Tunika mukosa terdiri atas lipatan – lipatan yang disebut vili.
Struktur vili pada kelompok kontrol (K) dan kelompok perlakuan (P1, P2, P3 dan P4) dapat
dilihat pada gambar dibawah ini (Gambar 1).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
271
Gambar 1. Struktur histologi vili duodenum ayam kampung (Gallus domesticus) kelompok
K, P1, P2, P3 dan P4. A. Kelompok K; B. Kelompok P1; C. Kelompok P2; D.
Kelompok P3; E. Kelompok P4; a. Vili; b. Epitel kolumnar; c. Lamina
propria; d. Sel goblet; e. Limfosit (400x, H&E).
Pada Gambar 1 terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan struktur vili antara
kelompok P1, P2, P3 dan P4 dengan kelompok K. Pada setiap kelompok tidak ditemukan
adanya peradangan dan nekrosis. Gambaran yang sama juga didapati pada daerah tunika
submukosa, tunika muskularis dan tunika serosa dari kelompok K, P1, P2, P3 dan P4
(Gambar 2).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
272
Gambar 2. Stuktur tunika submukosa, tunika muskularis externa dan tunika serosa ayam
kampung (Gallus domesticus) kelompok K, P1, P2, P3 dan P4. A. Kelompok K;
B. Kelompok P1; C. Kelompok P2; D. Kelompok P3; E. Kelompok P4; a.
Secretory unit; b. Muskularis mukosa; c. Tunika submukosa; d. Tunika
muskularis externa (sirkuler); e. Tunika muskularis externa (longitudinal); f.
Tunika serosa (400x, H&E).
Berdasarkan pengamatan di atas, tidak ditemukan adanya peradangan dan
nekrosis pada duodenum ayam kampung (Gallus domesticus) kelompok K, P1, P2, P3
maupun P4. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian probiotik Effective
Microorganisms-4 (EM-4®)sampai dengan dosis 8 ml/liter air masih tergolong aman
ditinjau dari segi histopatologis. Tidak ditemukannya perubahan gambaran histopatologi
duodenum ayam kampung (Gallus domesticus) kelompok P1, P2, P3 dan P4 disebabkan
karena mekanisme kerja dari probiotik terbatas pada lapisan mukosa usus halus tanpa
mempengaruhi struktur histologis dari usus halus dan probiotik berfungsi untuk
menghambat pertumbuhan bakteri patogen dengan melakukan kompetisi nutrisi dan
kompetisi perlekatan pada mukosa usus dengan bakteri patogen (Ann dan Fergus, 2007).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
273
Menurut Fooks dan Gibson (2002) mekanisme kerja probiotik terbatas pada mukosa usus
disebabkan karena adanya adhesi dari probiotik pada mukosa usus.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zhou et al. (2000), menunjukan bahwa
pemberian probiotik strain Lactobacillus rhamnosus, Lactobacillus acidophilus dan
Bifidobacterium lactis pada mencit strain Balb/c selama interval waktu pemberian 8 hari
dengan dosis 1011/tikus/hari secara histopatologis tidak menimbulkan perubahan morfologi
sel-sel usus halus. Hal yang sama juga ditemukan oleh Lara et al. (2007), bahwa
pemberian probiotik Lactobacillus salivarius pada mencit strain Balb/C sebanyak 50 ekor
dengan dosis 1010/tikus/hari dengan interval waktu pemberian selama 28 hari secara intra
peritoneal, tidak ditemukannya bakteri pada jaringan thymus, ginjal, jantung, hati, usus
halus dan usus besar. Kusuma et al. (2012) juga melaporkan bahwa pemberian probiotik
Effective Microorganisms-4 (EM-4®)dengan dosis sampail 2 ml/tikus/hari selama 21 hari
tidak menyebabkan perubahan secara histologis pada organ hati.
Pengaruh Pemberian Cairan Probiotik Effective Microorganisms-4 (EM-4®) Dengan
Dosis Bertingkat terhadap Berat Badan Ayam Kampung (Gallus domesticus)
a. Konsumsi pakan ayam kampung (Gallus domesticus)
Hasil analisa statistik terhadap tingkat konsumsi pakan ayam kampung (Gallus
domesticus) dari semua kelompok pada minggu pertama dan minggu kedua dengan
menggunakan One Way Anova pada tingkat kepercayaan 95 % menunjukkan bahwa
pemberian cairan probiotik Effective Microorganisms-4 (EM-4®) mempunyaipengaruh
yang signifikan (P<0,05) terhadap tingkat konsumsi pakan ayam kampung (Gallus
domesticus). Sehubungan dengan hasil analisa yang menunjukkan adanya pengaruh yang
signifikan maka analisa data dilanjutkan dengan uji Beda Nyata terkecil (BNt) untuk
melihat perbedaan antara kelompok. Hasil uji Beda Nyata terkecil (BNt) dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengujian Beda Nyata terkecil (BNt) konsumsi pakan ayam kampung
(Gallus domesticus)
Perlakuan Minggu pertama Minggu kedua
K 33.39b 34.00333b
P1 30.82a 30.56333a
P2 35.20667c 35.95333c
P3 37.1d 37.1d
P4 39.27e 39.41e
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda dalam satu kolom
menunjukan ada perbedaan nyata pada taraf 5% Uji BNt (Nilai BNt
minggu pertama = 0,65 dan nilai BNt minggu kedua = 0,95).
Berdasarkan hasil uji Beda Nyata terkecil (BNt) maka konsumsi pakan minggu
pertama dan minggu kedua perlakuan dari masing – masing kelompok berbeda nyata
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
274
karena pada tabel hasil uji Beda Nyata terkecil (BNt) setiap kelompok memiliki kode huruf
yang berbeda. Konsumsi pakan terendah minggu pertama dan minggu kedua adalah pada
kelompok P1 yang diberi Effective Microorganisms-4 (EM-4®) dengan dosis 1 ml/liter air
sedangkan konsumsi pakan tertinggi adalah kelompok P4 yang diberi Effective
Microorganisms-4 (EM-4®) dengan dosis 8 ml/liter air. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Surung (2008) dimana pemberian Effective Microorganisms-4 (EM-
4®) dengan dosis 1ml/liter air dapat mengefisiensikan pemberian pakan pada ayam
kampung (Gallus domesticus) sedangkan pemberian Effective Microorganisms-4 (EM-4®)
dengan dosis lebih dari 1 ml/liter air tidak dapat megefisiensikan pemberian pakan pada
ayam kampung (Gallus domesticus). Selanjutnya dijelaskan oleh Haruna dan Sumang
(2008) bahwa penggunaan probiotik Effective Microorganisms-4 (EM-4®) pada air minum
secara optimal dapat meningkatkan efisiensi pakan.
b.Pertambahan berat badan ayam kampung (Gallus domesticus)
Hasil analisa pertambahan berat badan ayam kampung (Gallus domesticus)
minggu pertama dan minggu kedua dengan menggunakan One Way Anova pada tingkat
kepercayaan 95 % menunjukan adanya pengaruh yang signifikan (P<0,05) pemberian
cairan probiotik Effective Microorganisms-4 (EM-4®) terhadap pertambahan berat badan
ayam kampung (Gallus domesticus). Sehubungan dengan adanya pengaruh yang signifikan
maka analisa dilanjutkan dengan uji Beda Nyata terkecil (BNt) untuk melihat perbedaan
antara kelompok. Hasil uji Beda Nyata terkecil (BNt) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengujian Beda Nyata terkecil (BNt) pertambahan berat badan ayam
kampung (Gallus domesticus)
Perlakuan Minggu pertama Minggu kedua
K 57.16667d 57.33333d
P1 64.4e 64.2e
P2 52.53333c 53.13333c
P3 48.4b 49.26667b
P4 40.46667a 42.16667a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda dalam satu kolom
menunjukan ada perbedaan nyata pada taraf 5% Uji BNt((Nilai
BNt minggu pertama = 3,68 dan nilai BNt minggu kedua = 3,09).
Berdasarkan hasil uji Beda Nyata terkecil (BNt) makapertambahan berat badan
minggu pertama dan minggu kedua dari masing – masing kelompok berbeda nyata karena
pada tabel hasil uji Beda Nyata terkecil (BNt) setiap kelompok memiliki kode huruf yang
berbeda. Pertambahan berat badan terendah minggu pertama dan minggu kedua adalah
pada kelompok P4 yang diberikan Effective Microorganisms-4 (EM-4®) dengan dosis 8
ml/liter air sedangkan pertambahan berat badan tertinggi adalah kelompok P1 yang
diberikan Effective Microorganisms-4 (EM-4®) dengan dosis 1 ml/liter air.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
275
Menurut Rasyaf (2004) pertambahan berat badan harus dikaitkan dengan
konsumsi pakan agar dapat mengetahui efisiensi pemberian pakan. Pertambahan berat
badan tertinggi pada kelompok P1 dikarenakan adanya penambahan Effective
Microorganisms-4 (EM-4®) yang optimal sehingga dapat meningkatkan daya cerna dari
organ pencernaan. Pada Tabel 1 dilihat bahwa konsumsi pakan kelompok P1 memiliki
konsumsi pakan yang paling rendah, hal ini mengindikasikan bahwa kelompok P1 memiliki
nilai konversi pakan yang rendah. Nilai konversi pakan dapat dihitung dengan
perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi ayam dengan pertambahan berat
badannya (Siregar et al., 1980). Anggorodi (1994) menambahkan bahwa semakin rendah
konversi pakan maka semakin tinggi efisiensi pakan. Menurut Surung (2008) pemberian
Effective Microorganisms-4 (EM-4®)dengan dosis 1 ml/liter air dapat meningkatkan
pertambahan berat badan ayam kampung (Gallus domesticus). Samadi (2007) juga
menyatakan bahwa pemberian probiotik yang optimal dapat menjaga keseimbangan
komposisi mikroorganisme dalam sistem pencernaan ternak yang
menyebabkanpeningkatan daya cerna bahan pakan dan menjaga kesehatan ternak.
Menurut Kholid (2011) rata – rata pertambahan berat badan standar ayam
kampung (Gallus domesticus) per minggu adalah 50 gr sampai 70 gr. Pada Tabel 3 dilihat
bahwa rata – rata pertambahan berat badan kelompok P3 dan P4 tidak mencapai rata – rata
pertambahan berat badan standar ayam kampung (Gallus domesticus). Hal ini disebabkan
oleh penggunaan dosis Effective Microorganisms-4 (EM-4®) yang berlebihan yaitu 4
ml/liter air dan 8 ml/liter air. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok P2 dimana
pertambahan berat badannya lebih rendah dibandingkan dengan kelompok K dan P1. Nilai
konversi pakan pada kelompok P2, P3 dan P4 tinggi karena konsumsi pakan yang tinggi
namun pertambahan barat badanya yang rendah. Tingginya nilai konversi pakan
mengindikasikan bahwa tidak terjadinya efisiensi pemberian pakan pada kelompok P2, P3
dan P4. Hal ini terjadi karena penggunaan probiotik secara berlebihan pada kelompok P2,
P3 dan P4 dimana menurut Atlas dan Richard (1993) dapat menyebabkan kepadatan bakteri
yang tinggi dan adanya persaingan dalam pengambilan substrat atau nutrisi sehingga dapat
menurunkan pertambahan berat badan karena aktifitas bakteri menjadi terhambat. Mulyadi
(2011) menambahkan bahwa Effective Microorganisms-4 (EM-4®) mengandung 90 %
bakteri Lactobacillus sp. (bakteri penghasil asam laktat) sehingga jumlah bakteri yang
tinggi menyebabkan aktifitas bakteri Lactobacillus sp. tidak optimal.
KESIMPULAN
Pemberian cairan probiotik Effective Microorganisms-4 (EM-4®) dengan dosis
bertingkat (1 ml/liter air, 2 ml/liter air, 4 ml/liter air dan 8 ml/liter air) dengan interval
waktu pemberian 14 hari masih dalam taraf aman karena tidak menyebabkan perubahan
pada gambaran histopatologi duodenum ayam kampung (Gallus domesticus). Pemberian
cairan probiotik Effective Microorganisms-4 (EM-4®) dengan dosis 1 ml/liter air dapat
mengefisiensikan pemberian pakan karena berimplikasi pada peningkatan pertambahan
berat badan ayam kampung (Gallus domesticus) sedangkan pemberian cairan probiotik
Effective Microorganisms-4 (EM-4®) dengan dosis 2 ml/liter air, 4 ml/liter air dan 8
ml/liter air tidak dapat mengefisiensikan pemberian pakan karena berimplikasi pada
penurunan pertambahan berat badan ayam kampung (Gallus domesticus).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
276
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1994, Ilmu Makanan Ternak Unggas, Penerbit Universitas Indonesia, UI
Press, Jakarta.
Ann, M.O. dan Fergus, S. 2007, Mechanisms of Action of Probiotics in Intestinal Diseases,
The Scientific World Journal, 7: 31 – 46.
Atlas, M.R. dan Richard, B. 1993, Microbial Ecology, The Benjamin Cummings
Publishing Company, California.
Cahyono, B. 1998, Ayam Kampung Pedaging, Kanisius, Yogyakarta.
Fooks, L.J. dan Gibson, G.R. 2002, Probiotics as Modulators of the Gut Flora, British
Journal of Nutrition, 88(1).
Frappier, B.L. 2006, Digestive System : Textbook of Veterinary Histology, Blakwell
Publishing, Oxford.
Fuller, R. 1992, Probiotics : The Science Basics. Chapman and Hall. London.
Goossens, D.J., Jonker, D. dan Stobberingh, E. 2003, Probiotics in Gastroenterology:
Indications and Future Perspectives, Scandinavian Journal of Gastroenterology –
Supplement, 239:15-23.
Haruna, S. dan Sumang. 2008, Pemanfaatan jamu sebagai campuran air minum pada ternak
ayam buras, Jurnal Agrisistem, 4(1).
Jonqueira, L.C., dan Carneiro, J. 2005, Basic Histology, Mc Graw Hill Companies,
California.
Kholid, Anwar. 2011, Panduan Sukses Beternak dan Bisnis Ayam Kampung, Penerbit
Pinang Merah, Yogyakarta.
Kusuma, I.G.E., Arjana, A.A.G. dan Berata, I.K. 2012, Pemberian Efective Microorganism
(Em4®) terhadap Gambaran Histopatologi Hati Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Betina, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Indonesia Medicus
Veterinus, 1(5):582-595.
Lara-Villoslada, S., Sierra, M.P., Diaz-Ropero, M.O., dan Xaus, J. 2007, Safety
Assesment of the Isolated Probiotic Lactobacillus salivarius CECT5713, Journal of
Dairy Science, 90(8).
Mulyadi, A.E. 2011, Pengaruh pemberian probiotik pada pakan komersil terhadap laju
pertumbuhan benih ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus), Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjajaran.
Ndaong, N.A. 2013, ’Efek Pemaparan Deltamethrin pada Broiler Terhadap Aktivitas
Enzim Alanine Amino Transferase, Aspartat Aminotransferase, Gambaran
Histopatologi Hepar dan Feed Convertion Ratio’, Tesis, MSc, Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Gajah Mada.
Rasyaf, M. 2004, Beternak Ayam Pedaging, Penebar Swadaya, Jakarta.
Schrezenmeir, J. dan deVrese, M. 2001, Probiotics, Prebiotics and Symbiotics-
Approaching a Definition, American Journal of Clinical Nutrition, 7(3):361-364.
Shortt, C. 1999, The Probiotic Century: Historical and Current Perspectives, Review on
Trend Food Science and Technology, 10:411-417.
Siregar, A.P., Sabrani, M. dan Pramu, S. 1980, Teknik Beternak Ayam Pedaging di
Indonesia, Penerbit Margie Group, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
277
Snydman, D.R. 2008, The safety of probiotics, Clin Infect Dis., 46(2):104–11.
Sudarmono, S.M., Reza, G.H., Pitono dan Djupri, L.S. 2006, Kontribusi Prebiotika pada
Formula untuk Pemeliharaan Ekosistem Mikrobiota Normal pada Usus, diakses 11
Januari 2015, www.pediatrik.com/ilmiahpopular/20060220.
Surung, M.Y. 2008, Pengaruh Dosis EM-4 (Effective Microorganisms-4) Dalam Air
Minum Terhadap Berat Badan Ayam Buras, Jurnal Agrisistem, 4(2):1858-4330.
Zhou, J.S.Q., Shu, K.J., Rutherfurd, J., Prasad, P.K dan Gopal, H.S.G. 2000, Acute Oral.
Toxicity and Bacterial Translocation Studies on Potentially Probiotic Strains of
Lactic Acid Bacteria, Int. J. Food Microbiol., 56(1).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
278
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
279
GAMBARAN ANATOMI DAN HISTOPATOLOGI TESTIS DAN
EPIDIDIMIS SAPI BALI (Bos sondaicus) DI RUMAH POTONG HEWAN OEBA
KUPANG
ANATOMY AND HISTOPATHOLOGY TESTIS AND EPIDIDYMIS BALI CATTLE (Bos
sondaicus) IN SLAUGHTER HOUSE (SH) OEBA KUPANG
Febrina Damoris Manggas1, Cynthia Dewi Gaina, M.Trop.V.Sc2, Yulfia Nely Selan3
1 Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail
:[email protected]. 2Laboratorium Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,
Kupang. E-mail: [email protected] 3 Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Univertsitas Nusa Cendana,
Kupang E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Bali Cattle is one of the extremely potential livestock in East Nusa Tenggara (NTT).
These cattle are the type of beef cattle that are commonly raised by the farmers. However,
since Bali cattle used for breeding purpose, in which affecting reproductive performance,
reproductive failure was found in Bali cattle. Reproductive problems may occur in both
males and females cattles. Therefore, it is essential to select bulls and to understand their
reproductive health. There are a number of traits that are used to measure bull fertility.
These includes examination of testicles, examination of the outer part of male reproductive
tract, male reproductive histology examination. Palpation of scrotal contents and
measurement of scrotal size are required for testicles examination. The aim of this
research was to determine the anatomical pathology and histopatology appearance of Bali
cattle’s testis and epididymis which slaughter at Oeba abattoir in Kupang. 10 bulls were
used in this experiment. Bulls were slaughtered and necropsied as typically done in the
slaughterhouse. Then, it is anatomical observation and histology sample preparation.
However, it was found no changes in anatomical appearances in all samples. Moreover,
the scrotal circumference of RPH 6 was smaller in the right testis compare to left testis in
which it was supported by macroscopic changes (histopatholgy). These includes
hypoplastic testes which is followed by testicular degeneration, necrosis, apoptosis,
vacuolation of the seminiferous and epididymial epithelium, exfoliated germ cells, giant
cells, adhesion, and damaged pseudostratified epithelial cell.
Keywords: Bali cattle (Bos sondaicus), testis, epididymis, sperm quality, SH Oeba Kupang.
PENDAHULUAN
Menurut Lake et al. (2010), sapi bali merupakan salah satu potensi peternakan selain
beternak kambing dan babi yang menjadi unggulan masyarakat di Propinsi Nusa
TenggaraTimur (NTT), terutama di Pulau Timor. Sapi bali sebagai sapi potong mempunyai
keunggulan, yaitu: memiliki efisiensi reproduksi yang tinggi, meliputi tingkat fertilitas dan
tingkat kesuburan ternak yang tinggi (Guntoro, 2002).Meskipun demikian, dalam upaya
pengembangan populasi ternak sapi Balidi NTTkasus kegagalan manajemen
reproduksimerupakan kejadian yang sering dijumpai.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
280
Menurut Yusuf (2012), kegagalanreproduksi akibat rendahnya fertilitas dapat
berdampak pada produktivitas yang menyebabkan kehilangan keuntungan setiap
tahunnya.Kegagalan reproduksi tidak hanya dapat terjadi dari faktor betina, akan tetapi
dari pejantan pun sering terjadi. Oleh karena itu, perlu dilakukannya suatu seleksi tingkat
kesuburan pada ternakterutama dalam hal kesehatan reproduksi ternak(O’Shea, 1983 cit.
Nataatmaja danArifin, 2008).
Adapun menurut Hafez (2000) kondisi patologis pada testis dan epididimisdapat
mempengaruhi jumlah dan kualitas sperma yang dihasilkan. Migbaru et al.(2014)
menyatakan bahwa gangguan patologis pada testis dan epididimis dapat diklasifikasikan
berdasarkan penyebabnya, yaitu: penyebabkongenital seperti hipoplasiadankriptorchid,
penyebab mikroorganisme atau agenmenular patogen, seperti degenerasitestis,orkitis,
hematomatestis, epididimitis dan kemungkinan penyebab lain darikelainantestis, yaitu gizi,
faktormanagement, pengaruhtermaldan usia.
Salah satu penyakit reproduksi yang disebabkan oleh agen mikroorganisme patogen
dan bersifat endemik di Propinsi NTT adalah penyakit brucellosis yang disebabkan oleh
bakteri Brucella abortus. Pulau Timor merupakan salah satu wilayah yang memiliki
prevalensi tertinggi penyakit brucellosis. Pada hewan jantan biasanya tidak menunjukan
gejala tetapi dapat mengakibatkan epididimitis, vesiculitis seminalis, orchitis atau abses
pada testis (Arsyilini, 2014).
Salah satu cara untuk mengetahui gangguan atau kerusakan struktur organ
testisdanepididimisadalah dengan melakukanpengamatan pada perubahan makroskopis dan
mikroskopis yang mencakup pengamatanpatologi anatoomi dan histopatologi tentang
struktur sel atau organ tersebut. Analisis hubungan antara gambaran histopatologi dengan
data klinik dan pemeriksaan lain seperti analisis kualitas spermadigunakanuntuk
menentukan jenis dan lokasi kelainan, prognosis dan evaluasi keberhasilan terapi (Levin,
1979), sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaranhistopatologi
testis dan epididimis sapi bali di Rumah Potong Hewan Oeba Kupang.
MATERI DAN METODE
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 ekor sapi bali (Bos
sondaicus) yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan (RPH) Oeba, Kupang.Analisis hasil
dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.Sampel yang
diambil dalam pembuatan sediaan histologi yaitu berupa jaringan organ reproduksi (testis
dan epididimis) sapi bali di RPH Oeba. Sebelum pengambilan sampel, hewan disembelih
seperti lazimnya yang dikerjakan dirumah pemotongan hewan di kota Kupang.
Selanjutnya, dilakukan pemisahan bagian testis dari badan sapi yang telah disembelih
dengan cara testis dikeluarkan dari ruang inguinal dan diamati perubahan anatominya.
Selanjutnya, jaringan yang dimaksud kemudian dipotong dengan ukuran 1 cm x 1 cm x 1
cm dan dimasukan ke dalam larutan formalin 10 %. Adappun Proses pembuatan sediaan
histologi yang meliputi beberapa tahapan, yaitu; Tahap pertama (Pemrosesan jaringan),
dilakukan melalui beberapa proses: proses fiksasi dengan menggunakan formalin 10 %.
Kemudian dilanjutkan dengan proses dehidrasi dengan alkohol 70 %, 80 %, 90 % dan
alkohol absolut. Proses selanjutnya yaitu proses clearing dengan menggunakan xilol.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
281
Dilanjutkan dengan proses infiltasi paraffin dimana jaringan dicelupkan kedalam parafin
cair dengan suhu 57oC sampai 59°C sebanyak tiga kali selama 60 menit. Tahap kedua
(Embedding), tahap ketiga (Sectioning) dan tahap keempat (Inkubasi). Tahap pewarnaan
HE meliputi deparafinisasi, rehidrasi, pewarnaan,dehidrasi, clearing dan mounting. Tahap
deparafinisasi (Ndaong, 2013).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Makroskopis Testis dan Epididimis Sapi Bali di Rumah Potong Hewan
(RPH) Oeba Kupang
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, semua sampel yang digunakan dalam
penelitian tidak menunjukan perubahan patologis pada gambaran anatominya
(makroskopis). Keadaan skrotum yang normal ditunjukkan dengan tidak adanya luka
maupun infeksi dengan bentuk simetrisdan menggantung di daerah inguinal serta normal
terletak diantara dua paha. Selain itu, dari hasil penelitian diperoleh semua sampel
memiliki bentuk normal testes oval memanjang dengan permukaan yang halus dan tegas,
konsistensi testes sapi bali kenyal dan lenting seperti tomat matang yang menurut Jackson
dan Cockcroft (2002) menyatakan bahwa proses spermatogenesis berlangsung baik serta
tidak ada perubahan warna testes ataupun kelainan yang tampak pada tunika albugenia
testes yang bila dirabaterlihat kuat. Demikian pula dengan epididimis yang tampak normal
dengan caput, corpus dan cauda yang melekat erat pada testis serta konsistensi yang sama,
yaitu cauda epididimis pada sapi bali terabaseperti karet busa ada isinya dengan ukuran
yangtidak terlalu berbeda nyata.
Secara umum data menunjukan bahwa kelompok umur sapi bali yang memiliki
umur 4 tahun pada sampel RPH 3, RPH 9 dan RPH 10 mempunyai rataan berat dan lingkar
skrotum, berat testis, epididimis dan cauda epididimis tertinggi sehingga membuktikan
bahwa umur sangat mempengaruhi perkembangan organ reproduksi. Hasil penelitian ini
didukung oleh pendapat Noviana dkk. (2000) yang menyatakan bahwa ukuran testis akan
terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur dan berat testis berkolerasi positif
dengan berat epididimis. Meskipun demikian, sampel RPH 6 yang berumur 2 tahun
memiliki panjang dan lingkar testis serta epididimis yang berbeda ukurannya dimana pada
testis dan epididimis kiri ukuran panjang serta lingkar yang berbeda nyata dibandingkan
dengan bagian kanan.
Gambaran Mikroskopis Testis dan Epididimis Sapi Bali di Rumah Potong Hewan
(RPH) Oeba Kupang
Hasil pengamatan secara mikroskopis pada testis dan epididimis sapi bali di
Rumah potong Hewan Oeba Kupang secara umum menunjukan gambaran histopatologi
yang disajikan pada Tabel 5.
Apoptosis sel ditemukan pada bagian tubulus seminiferus testis RPH 2, testis kiri
RPH 10 (Gambar 10 B) serta pada corpus epididimis RPH 2 (Gambar 11). Gambaran
histopatologi sel apoptosis ditandai dengan adanya kehadiran membran plasma utuh sekitar
badan sel yang mengalami apoptosis, nukleus menjadi piknotik dengan kromatin padat
pada membran sel ataupun tampak fragmen nukleus dengan titik seperti partikel.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
282
Sedangkan vakuolisasi tubulus seminiferus ditemukan pada sampel RPH 2dan RPH 10.
Vakuolisasi sel juga ditemukan pada epididimis terutama pada bagian caput RPH 4 dan
corpus epididimis (RPH 1, RPH 2, RPH 3 dan RPH 4 (Gambar 12).
Menurut pratama (2008), kejadian apoptosis sel secara patologis dapat disebabkan
akibat adanya bahan toksik seperti obat sitotoksik dan radiasi, keadaan tumor dan keadaan
yang diperantarai oleh sel kekebalan karena infeksi virus atau antigen asing.
Gambar 10. Gambaran histopatologi testis sapi bali di RPH Oeba Kupang: A) vakuolisasi
Tubulus seminiferus RPH 2 (10x, H&E); B) Apoptosis dan vakuolisasi
tubulus seminiferus RPH 10 (40x, H&E); a) septula testis, b) vakuolisasi, c)
sel apoptosis, d) sel piknotik (nekrosis), e)jaringan interstitial.
Gambar 11. Apoptosis dan vakuolisasi epididimis: A) Apoptosis dan vakuolisasi corpus
epidimis RPH 2 (10x, H&E); B) Apoptosis epitelium corpus epidimis RPH 2
(40x, H&E); a) pseudostratified epithelium, b) sel apoptosis, c) lumen
epididmis, d) stereocilia, e) jaringan ikat longgar.
e
d
B
c
b
a
c
c
A
e
B A
d
b
a
c
a
b
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
283
Gambar 12. Vakuolisasi epitelium epididimis sapi bali di RPH Oeba Kupang: A)
Vakuolisasi corpus epididimis (RPH 4, 40x, H&E), B) Vakuolisasi caput
epididimis (RPH 4, 40x, H&E), C) Vakuolisasi corpus epididimis (RPH 3,
40x, H&E); a) spermatozoa, b) pseudostratified epithelium, c)
mikrovakuolisasi, d) stereocilia, e) makrovakuolisasi, f) otot halus, g) basal
sel, h) principal cel.
Nekrosis sel juga dapat ditemukan pada epididimis dengan keadaan nekrosis parah,
seperti tampak pada sampel corpus RPH 6 dan corpus epididimis RPH 10. Tampak terlihat
lapisan epitelium epididimis hancur atau rusak dan menghilang. Normalnya epididimis
tersusun atas lapisan epitelium pseudostratified yang kompak dan stereocillia yang utuh
mengitari lumen epididimis (Kishore et al., 2012).
Gambar 13. Nekrosis pada tubulus seminiferus sapi bali. A) Nekrosis pada RPH 9 (10x,
H&E), B) Nekrosis pada RPH 6 (40x, H&E); ( ) sel piknosis, a) vakuola
tubulus seminiferus, b) sel apoptosis.
h
b g
f
c
a
e
e
d
b
c
A B
a
b
A B
a
C
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
284
Gambar 14. Nekrosis sel epitelium pseudostratified corpus epididimis RPH 6 (40x, H&E);
a) epitelium pseudostratified, b) pembuluh darah.
Gambaran histopatologi seperti hipoplasia yang diikuti oleh degenerasi testis juga
ditemukan pada sampel testis kanan RPH 6. Secara makroskopis sampel RPH 6 yang
dicurigai mengalami hipoplasia seperti tampak pada gambar 15, menunjukan tubulus yang
abnormal yaitu berdiameter kecil serta bentuk tubulus hanya dilapis oleh sel sertoli dan
kadang beberapa spermatogonia. Pada beberapa tubulus tampak adanya spermatid
mengalami apoptosis ataupun degenerasi sehingga membentuk vakolisasi dan lumen
tubulus dapat berisi material debris atau multinuklear sel.
Gambar 15. Gambaran hipoplasia testis yang disertai degenerasi testis pada RPH 6 bagian
kanan (10x, H&E) tampak diameter tubulus seminiferus mengecil dan
membran basal bergelombang.
Hipoplasia testis disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: Pertama adalah malnutrisi
seperti defisiensi zinc (Zn), defisinsi protein atau asam amino, kekurangan vitamin
(hipovitaminosis) A, B, C dan E. Kedua adalah gangguan endokrin, yaitu pengurangan
Luteunizing Hormon (LH) yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari yang diikuti dengan
perubahan pengaruh produksi testoteron oleh interstitial sel atau FSH (Folicel Stimulating
Hormon). Selain itu, faktor lain yang menyebabkan degenerasi adalah bahan kimia, umur,
radiasi, trauma, panas, bahan toksin sepeti arsenik (Galloway et al., 1992)
a
b
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
285
Gambar 16. Oligospermia dan aspermiapada cauda epididmis: A) cauda epididimis RPH 9
(10x, H&E) tampak duktus epididimis yang berisi banyak sperma (strong
spermatozoa); B) cauda epididmis RPH 2 (10x, H&E); a) tidak ada
spermatozoa di lumen epididimis (aspermia), b) sedikit spermatozoa
(oligospermia), c) jaringan ikat longgar.
Pada sampel RPH 2 lumen epididimis baik pada bagian caput, corpus maupun
cauda epididimis sedikit spermatozoa (oligospermia) bahkan tidak ditemukan adanya
spermatozoa (aspermia) (Gambar 16). Perubahan lainnya berupa exofoliated germ cell,
giant cell dan adhesi lumen dapat diamati pada sampel epididmis (gambar 17 dan 18).
Exofoliated germ cell dapat ditemukan pada sampel cauda epididimis RPH 4, cauda RPH
8 dan cauda sampel RPH 9. Menurut Creasy et al. (2012), exofoliated germ cell
merupakan terkelupasnya testicular germ cell atau sel yang sering dikaitkan dengan
gangguan spermatogenik pada testis.
Gambar 17. Histopatologi epididimis sapi bali di RPH Oeba Kupang: A) Exofoliated germ
cell (RPH 4, 40x, H&E), B) Exofoliated germ cell cauda epidimis (RPH 9,
40x, H&E); a) Exofoliated germ cell, b) pseudostratified epithelium, c)
vakuolisasi sel, d) stereocillia.
Adhesi atau perlekatan ditemukan pada sampel cauda epididimis RPH 3 dan RPH 7
yang secara mikroskopis ditandai adanya perlekatan antar duktus epididimis (gambar 18
A). Menurut Creasy et al. (2012), giant cell biasanya ditemukan bersamaan dengan
degenerasi germinal cell ataupun atropi dan kejadian timbulnya lesi infeksi.
b a
b
c
B A
c
b a d
b
a
\
B A
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
286
Gambar 18. Adhesi dan Giant Cell Epididimis; A: Adeshi atau perlekatan lumen cauda
epididimis RPH; B: Giant cell cauda epidimis (RPH 8, 40x, H&E), a)
pseudostratified epithelium, b) giant cell, c) exofoliatedgerm cell, d) apical
cell, e) sel apoptosis, f) adhesi lumen epididimis, g) jaringan ikat longgar, h)
lumen epididimis.
Perubahan histopatologi lainya seperti sel raksasa atau giant cell juga ditemukan
pada sampel cauda epididimis RPH 8 (gambar 18 B). Giant cell pada cauda epididimis
termasuk dalam golongan giant cell multinuklear (banyak inti).
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dapat didimpulkan bahwa pada sampel RPH 1 sampai RPH
10 ditemukan beberapa perubahan, yaitu hipoplasia testis yang diikuti dengan degenerasi
testis, kematian sel (nekrosis atau apoptosis sel), vakuolisasi tubulus seminiferus maupun
epitelium epididimis, exofoliated germ cell, giant cells atau sel raksasa, adeshi serta
kerusakan sel epitel pseudostratified lumen epididimis.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada
Fakultas Kedokteran Hewan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis serta
kepada seluruh staf laboratorium anatomi dan histopatologi Fakultas Kedokteran Hewan.
DAFTAR PUSTAKA
Arsylini, Ainin. 2014, Seroprevalensi Brucellosis pada sapi di Rumah Potong Hewan
Tamangapa Kota Makasar, SI, S.Kh, Program Studi Kedokteran Hewan, Makasar.
Creasy, D. Bube A., de Rijk, E., Kandori H., Kuwahara, M, Manson R., Nolte T., Reams,
R., Regan, K., Rehm, S., Rogerson, P. and Whitney, K. 2012, Proliferative and
Non-proliverative Lessions of the Rat and Mouse Male Reproductive System,
Toxicol Pathol, 40:40S-121S.
Abstract: http://www.nbcl.nlm.nih.gov/pubmed/22949412.
Galloway, D. B., Wright, P. J., de Kretser, D. and Clarke, I. J. 1992, An Outbreak Of
Gonadal Hypoplasia in A Sheep Flock: Clinical, Pathological And
Endocrinological Features And Aetiological Studies, Vet.Rec, 131:50-512.
Guntoro, S. 2002, Membudidayakan Sapi bali, Kanisius, Yogyakarta, Indonesia.
d
e c
b
a
B A
g h
f
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
287
Hafez, B. danHafez, E.S.E. 2000, Reproduction in Farm Animal 7th edition, Lippincott
William & Wilkins : Baltimore. USA.
Jackson, G.G.P. dan Cockcroft, D.P. 2002, Clinical Examination of Farm Animals,
Blackwell Science, Oxford, UK.
Kishore, P. V. S., Ramesh, G. dan Basha, H. S. 2012, Postnatal Differentation and
Regional Histological Variations in the DuctusEpidiys of Rams, Tamilnadu J.
Veterinary and Animal Science, 8:145-151.
Lake, P.R.M.T., Kusumawati, A. Dan Budiharta, S. 2010, Faktor Resiko Bovine
Brucellosis Pada Tingkat Peternakan Di Kabupaten Belu Provinsi Nussa Tenggara
Timur, J.Sain Vet, 28: 1-8.
Levin, H. S. 1979, Testicular Biobsy in the Study of Male Infertility, Human Pathology,
10:569-584.
Migbaru, K., Sisay, G. dan Kasa T. 2014, ‘Study on Gross Testicular Disorders ofBulls
Slaughtered at Addis Ababa Abattoirs Enterprise’, Journal of Reproduction and
Infertility,5:45-49.
Ndaong, N.A. 2013, ‘Efek Pemaparan Deltamethrin pada Broiler Terhadap Aktivitas
Enzim Alanin Aminotransferase, Aspartat Aminotransferase, Gambaran
Histopatologi Hepar dan Feed Convertion Ratio’, Thesis, Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
O’Shea, T. 1983, Anatomi and Physiology, In: Topical Sheep and Goat Production, T. N.
Edey (Ed) Australian Universitas Internasional Development Program, Camberra
cit. Nataatmaja, D.M dan Arifin, Johar. 2008, Karakteristik Ukuran Tubuh dan
Reproduksi Jantan paa Kelompok Populasi Domba di Kabupaten Pandeglang dan
Garut, Animal Reproduction, 10:140-146.
Pratama, M. L. 2008, Basic Pathological Processes, Edisi I, Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Yusuf, M. 2012, Ilmu Reproduksi Ternak, Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan
Universitas Hasanudin, Makasar, Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
288
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
289
TINGKAT KANDUNGAN NITRIT DAN NILAI GIZI PADA BERBAGAI MEREK
SOSIS SAPI YANG DIJUAL DI KOTA KUPANG
Donny R.R Padji1, Novalino H.G Kallau2, Annytha I.R Detha2
1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Undana 2Dosen Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Fakultas Kedokteran Hewan Undana
ABSTRAK
Sosis sapi adalah salah satu bahan pangan olahan yang terbuat dari daging sapi
cincang, lemak sapi dan rempah serta bahan-bahan lain kemudian dimasukkan kedalam
casing yang mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi. Nitrit adalah salah satu bahan
tambahan pangan yang diperlukan dalam pengawetan sosis sapi. Nitrit diperlukan untuk
menghambat pertumbuhan bakteri Clostridium botulinum, mempertahankan warna merah
daging agar tampil menarik, dan juga sebagai pembentuk cita rasa. Konsumsi nitrit yang
berlebihan dapat menyebabkan keracunan dan bersifat akumulatif. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui tingkat kandungan nitrit pada berbagai merek sosis sapi yang dijual di
Kota Kupang sesuai atau tidak dengan batas maksimum penggunaan yang telah ditetapkan
dalam SNI 01-0222-1995 sebesar 125 mg/kg dan kandungan nilai gizi sosis sesuai atau
tidak dengan batas SNI 01-3820-1995.Pengambilan sampel dilakukan pada Hypermart dan
Ramayana Flobamora mall dengan jumlah sampel sebanyak 10 merek sosis sapi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat kandungan nitrit pada berbagai merek sosis sapi
yang dijual di Kota Kupang 100% berada dibawah batas maksimum penggunaan yang
telah ditetapkan dalam SNI 01-0222-1995 dengan kata lain masih aman untuk dikonsumsi.
Nilai gizi protein pada 10 merek sosis sapi yang dijual di Kota Kupang 100% berada
dibawah batas minimal SNI, hal ini mengindikasikan bahwa nilai gizi protein tidak
memenuhi syarat mutu SNI, nilai gizi lemak juga 100% dibawah batas maksimal SNI
dengan kata lain nilai gizi lemak masih memenuhi syarat SNI. Sedangkan nilai gizi
karbohidrat 90% berada diatas batas SNI 01-3820-1995, dikarenakan penggunaan tepung
lebih banyak dibandingkan penggunaan daging. Hasil ini menjadi gambaran kepada
masyarakat baik konsumen maupun produsen serta pemerintah tentang keamanan dan
kualitas nilai gizi sosis.
Kata kunci : sosis sapi, nitrit, nilai gizi.
PENDAHULUAN
Sapi merupakan salah satu komoditi peternakan di Indonesia. Hasil pendataan sapi
potong, sapi perah, dan kerbau diketahui bahwa populasi sapi potong mencapai 14,8 juta
ekor, sapi perah 597,1 ribu ekor dan kerbau 1,3 juta ekor. Provinsi yang memiliki populasi
sapi potong lebih dari 0,5 juta ekor berturut-turut adalah Jawa Timur 4,7 juta ekor; Jawa
Tengah 1,9 juta; Sulawesi Selatan 984 ribu ekor; Nusa Tenggara Timur 778,2 ribu ekor;
Lampung 742,8 ribu ekor; Nusa Tenggara Barat 685,8 ribu ekor; Bali 637,5 ribu ekor; dan
Sumatera Utara 541,7 ribu ekor. Sementara itu untuk sapi perah populasi terbanyak di
Jawa Timur 296,3 ribu ekor sedangkan kerbau di NTT sebanyak 150 ribu ekor.
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa jumlah populasi ternak sapi potong di
Indonesia cukup tinggi sehingga memungkinkan pemanfaatannya sebagai sumber bahan
pangan hewani yaitu daging sapi (Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik, 2011).
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
290
Ciri daging sapi yang baik adalah daging berwarna merah cerah (khas daging),
berserabut halus dengan sedikit lemak, konsistensinya liat, bau beraroma serta tidak berair
(Standar Nasional Indonesia (SNI) 3932 : 2008). Daging sapi mempunyai kandungan gizi
yang cukup tinggi seperti protein, zat besi, selenium, vitamin B kompleks, vitamin D, zat
seng dan omega 3 (Hasrati dan Rusnawati, 2011). Selain memiliki kandungan gizi
yangcukup tinggi, pada umumnya daging sapi juga mudah rusak, oleh karena itu
penanganan yang tepat dan cepat akan menekan tingkat kerusakan daging sapi. Salah satu
cara memperpanjang daya tahan, mengembangkan cita rasa dan memperbesar daya guna
dapat dilakukan dengan pengolahan dan pengawetan.
Tujuan pengolahan maupun pengawetan antara lain untuk memperpanjang waktu
penyimpanan, mempertahankan nilai gizi, memberi peluang penganekaragaman jenis
olahan serta menjaga ketahanan terhadap serangan jamur (kapang), bakteri, virus dan
kuman agar daging tidak mudah rusak (Badan Petunjuk Pengolahan dan Teknologi, 2000).
Salah satu pengolahan daging sapi yaitu dibuat menjadi sosis sapi. Ketentuan mutu sosis
berdasarkan Standar Nasional Indonesia 01-3820-1995 adalah kadar air 67%, kadar abu
3%, kadar protein minimum 13%, kadar lemak maksimum 25%, kadar karbohidrat
maksimum 8%.
Proses curing merupakan teknik pengolahan dalam pembuatan sosis sapi yaitu
dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam NaCl, Natrium nitrit dan atau
Natrium nitrat, gula serta bumbu-bumbu (Soeparno, 2009). Nitrit adalah salah satu bahan
tambahan pangan yang diperlukan dalam pengawetan sosis sapi. Nitrit diperlukan untuk
menghambat pertumbuhan bakteri Clostridium botulinum, mempertahankan warna merah
daging agar tampil menarik, dan juga sebagai pembentuk cita rasa (Nurwantoro, 1999
dalam Waruwu, 2010).
Menurut Khomsan (2003), nitrit sebagai pengawet aman digunakan, namun
sekalipun aman perlu diperhatikan batas aman penggunaannya dalam pangan supaya tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia. Konsumsi nitrit yang
berlebihan dapat menyebabkan keracunan. Berdasarkan SNI 01-0222-1995 batas
penggunaan nitrit yang aman dalam bahan pangan olahan contohnya sosis sapi yaitu
sebesar 125 mg/kg.
Pada tahun 1989 terdapat kasus biskuit beracun yang menelan korban 38 jiwa
manusia, akibat mengkonsumsi Natrium nitrit yang secara tidak sengaja ditambahkan
kepada makanan karena kekeliruan (Waruwu, 2010). Berdasarkan hal tersebut di atas maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Tingkat kandungan nitrit dan nilai
gizi pada berbagai merek sosis sapi yang dijual di Kota Kupang”.
MATERI DAN METODE
Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif yaitu untuk
menganalisa kandungan bahan pengawet nitrit dan nilai gizi pada berbagai merek sosis
sapi.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
291
Lokasi dan Waktu Penelitian
a. Lokasi penelitian
Pengambilan sampel dilakukan di Hypermart dan Supermarket pada
Ramayana Flobamora Mall, dimana setelah dilakukan survei kedua tempat ini
merupakan pasar swalayan yang cukup besar dan banyak dimanfaatkan
masyarakat serta menjual hampir semua merek sosis sapi. Sampel yang diambil
berjumlah 10 dengan masing-masing merek yaitu bernardi, abby’s, farmhouse,
kimbo, harmoni, vitalia, irene, andy, willy, dan champ yang akan diuji di
Laboratorium Balai Pengawas Obat dan Makanan Kota Kupang dan
Laboratorium Kimia Pakan Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana.
b. Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2014.
Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah kandungan nitrit dan nilai gizi pada sosis sapi.
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh merek sosis sapi yang dijual di Kota
Kupang.
Sampel
Berdasarkan hasil survei, diketahui bahwa terdapat 10 merek sosis sapi
yang ada di Kota Kupang yaitu sosis sapi bernardi, abby’s, farmhouse, kimbo,
harmoni, vitalia, irene, andy, willy, dan champ, sehingga hal ini menjadi
pertimbangan peneliti untuk mengambil semua merek sosis sapi tersebut sebagai
sampel. Dengan demikian metode yang digunakan dalam penentuan sampel
adalah metode sampling jenuh yaitu dengan mengambil keseluruhan populasi
yang ada dimana jumlah populasinya kurang dari 30 (Sugiyono, 2012).
Teknik Pengumpulan Data
Sumber data penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian data primer. Data primer yang
dimaksud adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di laboratorium
mengenai tingkat kandungan nitrit dan nilai gizi pada berbagai merek sosis sapi.
Pengumpulan data
a. Tahap persiapan
Melakukan survei awal dan menetapkan lokasi penelitian dalam hal ini
tempat yang menjual berbagai merek sosis sapi (yang ada di Kota Kupang),
yaitu Hypermart dan supermarket Ramayana Flobamora mall.
b. Tahap pelaksanaan
Pengambilan sampel dilakukan pada lokasi yang sudah ditentukan,
kemudian sampel tersebut dibawa ke Laboratorium BPOM Kota Kupang dan
Laboratorium Kimia Pakan Fakultas Peternakan Undana untuk dilakukan
pengujian sesuai prosedur yang berlaku.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
292
MATERI DAN PROSEDUR PENELITIAN
Materi pengujian nitrit
Alat yang digunakan dalam pengujian nitrit terdiri dari spektrofotometer,
labu ukur 200 ml, bekker glass 100 ml, corong penyaring, erlenmeyer 300 ml,
labu ukur coklat 100 ml, pipet volume 50 ml.
Bahan yang digunakan sosis sapi, larutan sulfanilamide, larutan n-1
naftilethylendiamin dihidroklorida 0,1% b/v, larutan zink acetat, larutan kalium
besi (II) sianida trihidrat 10,6 % b/v, larutan HCl 5 N dan 5,34 N, larutan
natrium tetraborat 0,5 % b/v.
Prosedur pengujian nitrit
a. Larutan uji
- 10 g sampel yang telah dihaluskan dan homogen ditimbang, lalu
dimasukkan dalam beker glass 100 ml. Selanjutnya ditambahkan 5 ml
larutan natrium tetraborat 0,5 % b/v dan 70 ml air panas (suhu air tidak boleh
kurang dari 70 ºC), dicampur hingga homogen dan larutan dipindahkan
dalam labu takar 200 ml dengan bantuan 75 ml air panas.
- Labu tersebut dipanaskan pada penangas air mendidih selama 30 menit
sambil sering dikocok dan dinginkan. Selanjutnya dimasukkan 5 ml larutan
kalium besi (II) sianida trihidrat 10,6 % b/v dan 5 ml larutan zink acetat lalu
dikocok hingga homogen.
- Larutan yang sudah homogen diatur pH supernatan hingga 8,3 dengan
penambahan larutan NaOH 1 M atau HCl 4 M. Setelah itu ditambahkan
aquadest hingga mencapai tanda, dan dikocok sampai homogen, didiamkan
selama 30 menit. Kemudian larutan tersebut disaring hingga diperoleh filtrat
yang jernih.
- Dengan pipet 50 ml filtrat dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml.
Kemudian ditambahkan 10 ml larutan sulfanilamide dan 6 ml larutan HCl
5,34 N kemudian dikocok dan diamkan di tempat gelap selama 5 menit.
- Ditambahkan 2,0 ml larutan naftilethilendiamin dihidroklorida 0,1 % b/v,
kemudian dikocok dan diamkan ditampat gelap selama 3 menit.
- Selanjutnya ditambahkan aquadest hingga mencapai tanda, kemudian
dikocok sampai homogen (A).
- Untuk larutan blanko disiapkan sama seperti larutan uji dengan
menggunakan 10 ml aquadest sebagai pengganti 10 gr sampel.
b. Larutan baku
- 150 mg NaNO2 ditimbang dan dimasukkankedalam labu ukur 100 ml,
kemudian diencerkan dengan aquadest hingga tanda dan dikocok sampai
homogen (B).
- Dengan Pipet 1,0 ml larutan B, diencerkan dengan aquadest hingga 100 ml
(Bi).
- Pipet yang berisi 0,5 ml; 1 ml; 2 ml; 3 ml larutan Bi dipindahkan kedalam
labu ukur 50 ml.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
293
- Didiamkan di tempat gelap selama 5 menit.
- Ditambahkan 2,0 ml larutan naftilethylendiamin dihidroklorida 0,1 % b/v,
kemudian dikocok dan didiamkan ditempat gelap selama 3 menit.
- Selanjutnya ditambahkan aquadest hingga tanda, kocok sampai homogen
(B1, B2, B3, B4).
c. Cara penetapan
Masing-masing larutan A, B1, B2, B3, B4 segera diukur serapannya
menggunakan spektrofotometer pada λ 538 nm. Perhitungan : kadar nitrit
dapat dihitung menggunakan kurva kalibrasi dengan persamaan garis lurus
y =bx+a.
Materi dan prosedur pengujian kandungan gizi
Materi dan prosedur pengujian kandungan gizi (Protein, Lemak dan
Karbohidrat) :
Materi dan prosedur pengujian protein
1. Materi pengujian protein
Alat yang digunakan dalam pengujian protein yaitu
timbangan analitik, spatula, labu Kjieldahl/labu digesti, alat
destruksi, dispenser, beker glass kimia, pipet tetes, erlenmeyer,
destilator, buret 50 ml, magnetic sterier.
Bahan yang digunakan untuk pengujian kadar protein yaitu
sosis sapi, H2SO4 pekat; katalisator mix CuSO4. 5H2O dan K2SO4
(0,8:7); NaOH 35%, HCl 0,2 N; H3BO3 4%, aquades; metil merah.
2. Prosedur pengujian protein
- Dimasukkan sampel sebanyak 1 g (a) dalam labu Kjieldahl.
- Ditambahkan 7,8 g katalisator mix (7 g K2SO4 + 0,8 g CuSO4. 5H2O)
serta 12,5 ml H2SO4 pekat ke dalam labu Kjieldahl, selanjutnya
didestruksi hingga larutan menjadi hijau/biru bening.
- Setelah destruksi larutan didinginkan.
- Destilator/Kjelflex dihidupkan dengan menekan power.
- Dimasukkan 3 tetes metil merah dalam erlenmeyer dan diletakkan
pada posisi alat destilasi hingga koleksi dalam labu erlenmeyer
mencapai 25 ml asam borat (4%). Tabung digesti yang berisikan
sampel diletakkan pada posisi unit destilasi. Ditampung sedikitnya
100 ml sampel tersebut dalam labu erlenmeyer.
- Program dibuat dan di setting sesuai kebutuhan (sesuai kebutuhan
bahan kimia yang akan digunakan).
- Destilasi dilakukan dengan menekan tombol enter.
- Destilasi dilakukan selama 3 menit, tunggu hingga proses destilasi
selesai dan residunya dibuang ke tempat penampungan.
Nitrit dihitung
sebagai mg/kg
:
µg nitrit/ml dari kurva
gr sampel
X
Faktor pengenceran
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
294
- Labu erlenmeyer yang berisi destilat diangkat dan titrasi dilakukan
dengan menggunakan HCl 0,2 N (b). Catat volume HCl yang
terpakai, misal (c) ml.
- Untuk blanko, caranya sama tetapi tidak memakai sampel, misal (d)
ml.
3. Penetapan kandungan protein
Keterangan : a : Berat sampel
b : Normalitas HCl standart
c : Volume HCl titrasi sampel
d : Volume HCl titrasi blanko
Materi dan prosedur pengujian lemak
1. Materi pengujian lemak
Alat yang digunakan pada pengujian lemak berupa ekstraksi soxhlet,
pendingin tegak, penangas air, labu penampung, filter, desikator, tanur,
oven, cawan, pinset, timbangan analitik.
Bahan yang digunakan untuk pengujian kadar lemak yaitu sosis,
ether dan pelarut lemak lainnya seperti petrolium benzena.
2. Prosedur pengujian lemak
- Kertas saring/filter dimasukkan kedalam oven yang bersuhu 105 ºC
selama 1 jam. Kemudian diangkat dan diletakkan dalam desikator
selama 30 menit lalu di timbang berat kertas saring/filter.
- Sampel ditimbang sebanyak (a) g, lalu dimasukkan dalam roll film
yang berisi larutan ether untuk dilakukan perendaman selama 20 jam.
Roll film yang berisi sampel diletakkan didalam freezer agar larutan
ether tidak menguap.
- Sampel diangkat dan dipindahkan larutan ether dari dalam roll film
dan dimasukkan dalam alat ekstraksi Soxlet.
- Water circulation bersuhu 5 ºC, labu penampung, pendingin tegak,
alat ekstraksi Soxlet dirangkai sedemikian rupa lalu diletakkan di atas
tungku pemanas.
- Pada rangkaian soxlet tersebut diisi ether atau petrolium benzena.
- Proses ekstraksi dihentikan apabila pada labu Soxlet bahan pelarutnya
sudah bening.
- Sampel diangkat dan dikeringkan dalam oven yang bersuhhu 105 ºC
sekurangnya 20 jam.
- Sampel diangkat dan diletakkan dalam desikator selama 30 menit.
% N = (c-d) x 0,2 x 1,40067 X 100 %
(a)(%BK/100)
% protein = % N x 6,25
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
295
- Ditimbang dan catat berat sampel (C) g.
- Untuk menghitung presentase lemak kasar adalah sebagai berikut :
Materi dan prosedur pengujian karbohidrat
Kadar karbohidrat ditentukan dengan metode by difference yaitu
dengan perhitungan melibatkan kadar air, kadar abu, kadar protein dan
kadar lemak. Berikut ini adalah persamaan yang digunakan dalam
menghitung kadar karbohidrat dengan metode by difference.
Definisi Operasional
1. Sosis sapi adalah salah satu jenis makanan yang terbuat dari daging sapi cincang,
lemak sapi, dan rempah serta bahan-bahan lain yang kemudian dimasukan
kedalam selongsong.
2. Kandungan nitrit adalah banyaknya nitrit yang terkandung dalam berbagai merek
sosis sapi, yang diukur dengan metode spektofotometri.
3. Memenuhi syarat kesehatan jika jumlah kandungan nitrit yang terdapat pada
berbagai merek sosis sapi sesuai, dalam hal ini sama atau kurang dari batas yang
ditetapkan SNI 01-0222-1995 yaitu sebesar 125 mg/kg.
4. Tidak memenuhi syarat kesehatan jika jumlah kandungan nitrit yang terdapat pada
berbagai merek sosis sapi tidak sesuai, dalam hal ini melebihi batas yang
ditetapkan SNI 01-0222-1995 yaitu sebesar 125 mg/kg.
5. Memenuhi syarat gizi jika jumlah kandungan gizi pada berbagai merek sosis sapi
sesuai dengan ketentuan mutu sosis berdasarkan SNI 01-3820-1995 adalah kadar
air 67%, kadar abu 3%, kadar protein minimum 13%, kadar lemak maksimum
25%, kadar karbohidrat maksimum 8%.
6. Tidak memenuhi syarat gizi jika jumlah kandungan gizi pada berbagai merek
sosis sapi tidak sesuai dengan ketentuan mutu sosis berdasarkan SNI 01-3820-
1995 adalah kadar air 67%, kadar abu 3%, kadar protein minimum 13%, kadar
lemak maksimum 25%, kadar karbohidrat maksimum 8%.
7.
Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara Bivariat. Analisis
Bivariatmerupakan penyajian data secara deskriptif yang membahas dua variabel yang
dalam penyajiannya berbentuk tabel yaitu menganalisis tingkat kandungan nitrit dan nilai
gizi pada berbagai merek sosis sapi.
Kadar lemak kasar = ((a x (%BK/100)) + b-c X 100%
(a x (%BK/100)
Kadar karbohidrat (%) = 100% – (% kadar air + %kadar abu
+ %kadar protein + % kadar lemak)
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
296
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pemeriksaan Kuantitatif Tingkat Kandungan Nitrit Pada Berbagai Merek
Sosis Sapi
Pemeriksaan tingkat kandungan nitrit pada sosis sapi diawali dari pengambilan
sampel yang telah ditentukan yaitu pada Hypermart dan Ramayana Flobamora mall,
kemudian dibawa ke Laboratorium Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kota
Kupang untuk dilakukan pemeriksaan kandungan nitrit. Sampel yang diteliti terdiri dari 10
merek sosis sapi yaitu sosis sapi bernardi, abby’s, farmhouse, kimbo, harmoni, vitalia,
irene, andy, willy, dan champ.
Berdasarkan hasil observasi peneliti, 10 merek sosis sapi yang diambil untuk
pemeriksaan tersebut mempunyai berat rata-rata yang berkisar antara 160 sampai 250 gr
serta pada setiap kemasan berisi 6 sampai 8 potong batang sosis. Sampel tersebut disimpan
pada penyimpanan dingin yaitu 0 ºC sampai 0,2 ºC dan tempat penyimpanannya terbuka.
Sampel yang diambil dikemas dalam plastik yang vakum (kedap udara).
Hasil perhitungan tingkat kandungan nitrit diperoleh dalam bentuk konsentrasi
(ppm) dan kandungan nitrit (mg/kg), yang dibandingkan dengan Standar Nasional
Indonesia. Menurut (SNI) 01-0222-1995 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada
produk daging sapi olahan yaitu sosis sapi sebesar 125 mg/kg dan memastikan penggunaan
pengawet nitrit dalam berbagai merek sosis sapi sudah memenuhi syarat untuk dikonsumsi
masyarakat.
Hasil pemeriksaan tingkat kandungan nitrit pada berbagai merek sosis sapi dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Tingkat kandungan nitrit pada berbagai merek sosis sapi yang dijual di Kota
Kupang
No Merek
Sampel
Konsentrasi
(ppm)
Kandungan
Nitrit
(mg/kg)
Rata-Rata
Kandungan Nitrit
1 Bernardi A
Bernardi B
0,027
0,028
0,8668
0,9211
0,89 mg/kg
2 Abby’s A
Abby’s B
0,589
0,579
27,5721
27,1527
27,36 mg/kg
3 Farmhouse A
Farmhouse B
0,020
0,019
0,4259
0,3821
0,40 mg/kg
4 Kimbo A
Kimbo B
0,090
0,098
3,1128
3,3928
3,25 mg/kg
5 Harmoni A
Harmoni B
0,859
0,839
32,5356
31,6143
32,07 mg/kg
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
297
6 Vitalia A
Vitalia B
0,129
0,132
4,6109
4,6661
4,64 mg/kg
7 Irene A
Irene B
0,376
0,359
17,5233
16,7506
17,14 mg/kg
8 Andy A
Andy B
0,474
0,474
22,1677
21,8659
22,02 mg/kg
9 Willy A
Willy B
0,520
0,520
19,4860
19,5144
19,50 mg/kg
10 Champ A
Champ B
0
0
0
0
0
Keterangan : Batas maksimal penggunaan nitrit menurut SNI 01-0222-1995 adalah 125
mg/kg
Tabel 1 menunjukkan nilai hasil perhitungan rata-rata kandungan nitrit pada 10
merek sosis sapi berada di bawah batas maksimum penggunaan nitrit yang ditetapkan oleh
Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-0222-1995 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP)
yaitu sebesar 125 mg/kg atau dengan kata lain sampel yang diteliti 100% berada di bawah
batas yang ditetapkan oleh SNI. Hasil kandungan nitrit yang diteliti, nilai tertinggi berada
pada sampel merek harmoni yaitu sebesar 32,07 mg/kg dan terendah pada merek champ
sebesar 0 mg/kg.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, perbedaan kandungan nitrit pada setiap
sampel mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti adanya perbedaan lama simpan
(masa kadaluarsa), suhu, dan kemasan. Lama penyimpanan erat hubungannya dengan
konsentrasi nitrit yang dipakai sebagai bahan pengawet. Karena konsentrasi nitrit yang
dipakai disesuaikan dengan lama penyimpanan. Berdasarkan hasil pengamatan, pada
masing-masing sampel mempunyai lama penyimpanan selama 3 sampai 4 bulan tetapi
mempunyai tanggal produksi serta tanggal kadaluarsa yang berbeda. Hal ini disebabkan
karena masing-masing produsen tidak mengirimkan berbagai merek sosis dalam waktu
yang bersamaan.
Menurut Hartati (2010) bahwa kadar nitrit pada sosis sapi berpengaruh terhadap
lama penyimpanan (kadaluarsa). Semakin banyak kadar nitrit semakin lama masa
penyimpanan (masa kadaluarsa), karena proses oksidasi reduksi nitrit serta penguraian
nitrit bisa diminimalkan sesuai jangka waktu kadaluarsa sosis sapi. Proses oksidasi
merupakan proses reaksi nitrit dan protein daging yaitu mioglobin yang berperan
mempertahankan warna merah dari daging sosis (Soeparno, 2009).
Suhu dapat berpengaruh terhadap kandungan nitrit. Berdasarkan hasil observasi
kemasan sampel yang diambil dianjurkan untuk penyimpanan pada suhu beku (-18 ºC),
karena pada suhu ini perubahan kualitas daging beku sangat minimal (forrest et al., 1977).
Tetapi sampel yang diambil disimpan pada suhu refrigerator (0 ºC sampai 0,2 ºC) serta
tempat penyimpanan sampel pada tempat terbuka. Pernyataan ini sesuai dengan Soeparno
(2009), bahwa residu nitrit akan menurun selama penyimpanan pada temperatur refrigerasi.
Menurut Triatmodjo (1992), pada suhu refrigerator proses reaksi enzimatis dan kimia serta
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
298
pertumbuhan mikroba pada daging masih dapat berlangsung. Hal ini sinergis dengan
proses penguraian nitrit terhadap reaksi kimia serta enzimatis, yang menyebabkan nitrit
bersifat antioksidan untuk menghambat proses oksidasi lemak yang dapat menyebabkan
ketengikan (Forrest et al., 1977).
Kemasan sampel juga berkaitan dengan kadar nitrit, berdasarkan observasi
diketahui bahwa sampel yang diambil berada dalam kemasan plastik yang vakum.
Kemasan plastik ini mempengaruhi kadar nitrit karena kemasan plastik pada sampel dapat
dipengaruhi oleh suhu penyimpanan serta lingkungan sekitar yang berpengaruh terhadap
proses oksidasi serta reduksi dari nitrit. Pernyataan ini didukung oleh Winarno (1995)
dalam Hartati (2010) yang mengatakan bahwa kemasan kaleng dengan proses hampa udara
memberikan proses reduksi dan oksidasi nitrit oleh pengaruh suhu penyimpanan, sehingga
masa penyimpanan kemasan kaleng lebih panjang dibandingkan dengan pengemasan
plastik.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa produsen telah mengetahui atau
memahami batas aman penggunaan nitrit dalam pangan olahan, yaitu dengan menetapkan
lama penyimpanan selama 3 sampai 4 bulan dan penyimpanan pada suhu beku (-18 ºC)
disesuaikan dengan terurainya nitrit yang dipakai sebagai pengawet dalam sosis, akan
tetapi hal ini tidak sinergis dengan hasil observasi sehingga menyebabkan berbedanya
kandungan nitrit dalam sosis.
Walaupun berdasarkan hasil pemeriksaan kandungan nitrit pada sosis sapi masih
berada di bawah batas maksimum, konsumsi sosis harus tetap diperhatikan karena nitrit
bersifat akumulatif dalam tubuh manusia. Konsumsi nitrit yang berlebihan dapat
menimbulkan kerugian bagi pemakainya, baik yang bersifat langsung, yaitu keracunan
maupun yang bersifat tidak langsung, yaitu nitrit bersifat akumulasi dan menjadi
karsinogenik (Nur dan Suryani, 2011).
Nitrit yang dikonsumsi dalam jumlah banyak akan terbentuk nitrit oksida dalam
jumlah yang banyak pula. Nitrit oksida yang terserap dalam darah, mengubah haemoglobin
darah manusia menjadi nitrose haemoglobin atau methaemoglobin yang tidak berdaya lagi
mengangkut oksigen. Kebanyakan penderita methaemoglobinemia menjadi pucat, sianosis
(kulit kebiru-biruan), akibatnya sesak nafas, muntah dan shock. Kematian pada penderita
dapat terjadi apabila kandungan methaemoglobin lebih tinggi dari 70 % (Nur dan Suryani,
2011).
Hasil Pemeriksaan Nilai Gizi Pada Berbagai Merek Sosis Sapi
Hasil pemeriksaan nilai gizi pada berbagai merek sosis sapi yang dilakukakan di
Laboraturium Kimia Pakan Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, dapat dilihat
pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Nilai gizi pada berbagai merek sosis sapi
Merek
Sampel
PK
(%)
SNI
(Min)
(%)
LK
(%)
SNI
(Max)
(%)
CHO
(%)
SNI
(Max)
(%)
Bernardi 12,72 8,70 8,55
Abby’s 12,88 14,80 9,45
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
299
Farmhouse 9,27 10,18 14,47
Kimbo 11,07 7,07 14,62
Harmoni 11,56 13 14,65 25 11,01 8
Vitalia 12,73 8,70 9,99
Irene 10,31 8,78 13,86
Andy 8,97 5,11 20,86
Willy 10,30 8,75 16,90
Champ 11,60 13,56 7,57
Rata-Rata 11,14 10,03 12,72
Keterangan : PK (Protein kasar) LK (Lemak kasar) CHO (karbohidrat)
Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa nilai gizi protein pada 10 merek sosis sapi
100% masih berada di bawah batas minimal SNI 01-3820-1995yang telah ditetapkan yaitu
sebesar 13%. Sampel yang memiliki nilai gizi protein tertinggi yaitu pada sampel merek
abby’s sebesar 12,88% dan terendah pada sampel merek andy yaitu sebesar 8,97 %. Hasil
ini mengindikasikan bahwa semua nilai gizi protein sosis sapi tidak memenuhi syarat mutu
nilai gizi dari sosis sapi.
Protein merupakan zat gizi utama untuk pertumbuhan serta perkembangan tulang,
otot dan juga membantu perkembangan otak. Menurut Dalilah (2006), penggunaan daging
giling beku dapat mengakibatkan protein yang larut air ikut terlarut dalam air drip (cairan
hasil thawing) saat proses thawing terjadi, sehingga kadar protein yang terukur semakin
kecil. Kadar protein pada sosis juga dipengaruhi oleh jenis daging, kandungan protein awal
dalam daging, dan jumlah daging yang digunakan (Pujorahardjo, 2002).
Hasil pemeriksaan kandungan lemak pada 10 merek sosis sapi 100% masih berada
di bawah batas maksimal nilai gizi sosis yang telah ditetapkan oleh SNI 01-3820-1995
sebesar 25%. Sampel yang memiliki nilai lemak tertinggi yaitu pada sampel merekabby’s
sebesar 14,80% dan terendah pada sampel merk andysebesar 5,11%. Hasil tersebut
mengindikasikan bahwa mutu nilai gizi lemak pada sosis sapi masih memenuhi syarat SNI
01-3820-1995. Peranan lemak dalam pembuatan sosis yaitu untuk memperoleh sosis yang
empuk, kompak dan rasa yang lebih baik (Granada, 2011).
Hasil pemeriksaan nilai gizi karbohidrat pada 10 merek sosis sapi diketahui bahwa
90% melebihi batas maksimal SNI 01-3820-1995yaitu sebesar 8%. Sampel yang
mempunyai nilai karbohidrat tertinggi yaitu pada sampel merek andy sebesar 20,86% dan
terendah pada sampel merek champ sebesar 7,57 %.
Nilai karbohidrat yang tinggi dikarenakan konsentrasi penggunaan bahan pengisi
dalam hal ini karbohidrat pada pembuatan sosis cukup banyak yaitu tepung terigu, tepung
beras, tepung tapioka, tepung kedelai, tepung ubi jalar, tepung roti dan tepung kentang
(Koswara, 2009). Fungsi karbohidrat pada pembuatan sosis untuk menarik air, memberi
warna khas, membentuk tekstur yang padat, memperbaiki stabilitas emulsi, menurunkan
penyusutan waktu pemasakan, memperbaiki cita rasa dan sifat irisan (Koswara, 2009).
Namun hasil ini mempunyai standar gizi karbohidrat melebihi batas yang harus ada pada
sosis sapi, sehingga hasil ini mengindikasikan adanya penurunan nilai gizi atau
penambahan tepung yang terlalu berlebihan.
Variasinya nilai gizi dari 10 merek sosis sapi diketahui bahwa untuk setiap
kandungan gizi pada setiap sampel berkaitan dengan suhu, kemasan, lama penyimpanan
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
300
dan konsentrasi bahan yang dipakai. Berdasarkan hasil observasi, sampel yang dijual pada
tempat pengambilan sampel, disimpan pada suhu dingin yaitu pada suhu 0 ºC sampai 0,2
ºC. Pada penyimpanan dingin yang lama dapat meningkatkan kelembaban juga
ketersediaan air yang ada cukup banyak dan reaksi enzimatis pada daging hanya dapat
diminimalkan, faktor ini berhubungan dengan pertumbuhan mikroorganisme yaitu semakin
banyaknya ketersediaan air maka pertumbuhan mikroorganisme dalam menurunkan
kualitas daging juga semakin baik (Forrest et al., 1975). Pada suhu refrigerator (0 ºC
sampai 5 ºC) mikroorganisme psikrofilik mempunyai kemampuan untuk tumbuh, sehingga
dapat menyebabkan kerusakan kualitas daging akibat akitivitas mikroorganisme
(Soeparno, 2009). Suhu yang baik untuk mempertahankan kualitas dari daging yaitu pada
penyimpanan beku (Soeparno, 2009). Dengan membekunya sebagian kandungan air bahan
atau dengan terbentuknya es (ketersediaan air menurun), maka kegiatan enzim dan jasad
renik yaitu pertumbuhan mikroorganisme dapat dihambat atau dihentikan sehingga dapat
mempertahankan mutu bahan pangan (Triatmodjo, 1992 dalam Lay Rihi, 2009).
Kemasan juga berkaitan dengan kestabilan nilai gizi. Dengan masuknya mikroba
melalui kemasan yang memiliki permiabilitas uap air dan gas yang cukup tinggi pada saat
terjadi pertukaran uap tersebut akan mempengaruhi nilai gizi (Forsythe dan Hayes, 1998
dalam Lay Rihi, 2009). Hal ini sesuai pada saat observasi, kemasan sampel yang berada
pada suhu dingin mempunyai sedikit permiabilitas uap air. Hal ini tidak menutup
kemungkinkan bahwa dapat masuknya mikroorganisme dalam membuat perubahan nilai
gizi.
Kemasan juga berhubungan ketersediaan oksigen/gas yang ada dalam kemasan.
Menurut Syarief dan Halid (1993) dalam Nur (2009), pengemasan vakum pada prinsipnya
adalah pengeluaran gas dan uap air dari produk yang dikemas, tetapi tidak menutup
kemungkinan bahwa dari kemasan vakum yang terlihat pada saat observasi masih adanya
kandungan oksigen/gas walaupun kandungannya sedikit, hal ini dapat terjadi pada saat
penanganan waktu pengemasan sampel serta pendistribusian sampel. Menurut Faridaz,
Andhika dan Lasmi (1992) dalam Nur (2009), ketersediaan oksigen merupakan salah satu
faktor utama untuk pertumbuhan mikroba aerob. Adanya oksigen di dalam kemasan serta
adanya pertukaran atau sirkulasi gas dan uap air melalui pori-pori kemasan yang cukup
besar pada kemasan dapat menyebabkan mikroorganisme aerob meningkat
pertumbuhannya sehingga terjadi perombakan komponen-komponen gizi (Nur, 2009).
Lama penyimpanan (umur simpan) yang baik juga akan menentukkan kualitas dari
pangan olahan. Lama penyimpanan bahan pangan merupakan jangka waktu dimana bahan
pangan tersebut dianggap tetap aman dan layak untuk dikonsumsi, dapat digunakan oleh
konsumen seperti kebutuhannya dan kemasan dapat mempertahankan keadaan bahan
pangan yang dikemasnya (Lay Rihi, 2009).
Lama penyimpanan ditentukan berdasarkan salah satu atau beberapa faktor kualitas
dari bahan pangan yang dianggap paling penting yang akan berubah selama lama
penyimpanan sampai mencapai batas terakhir yang masih dapat dianggap baik (Park et al.,
2000 dalam Lay Rihi, 2009). Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, diketahui bahwa
umur simpan rata-rata dari semua sampel berkisar antara 3 sampai 4 bulan dan diketahui
pula bahwa ada beberapa sampel yang mendekati umur penyimpanan, serta ada yang agak
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
301
jauh dari umur simpan sosis sapi. Hal inilah yang dapat mengakibatkan adanya sedikit
perubahan dari nilai gizi dari setiap sampel.
Komposisi bahan penyusun sosis sapi, menjadi salah satu faktor adanya perbedaan
dari setiap nilai gizi yang didapatkan dari semua sampel. Hal ini dikarenakan pada setiap
merek/produk mempunyai takaran yang berbeda-beda, terutama bahan tepung tapioka yang
ditambahkan sehingga mendukung adanya perbedaan dari setiap nilai gizi.
Hubungan Kandungan Nitrit Dengan Nilai Gizi
Hasil pemeriksaan antara kandungan nitrit dengan nilai gizi pada 10 merek sosis
sapi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Hubungan kandungan nitrit dengan nilai gizi
Merek
Sampel
NILAI GIZI NITRIT
PK
(%)
SNI
(Min)
(%)
LK
(%)
SNI
(Max)
(%)
CHO
(%)
SNI
(Max)
(%)
Nitrit
(mg/kg)
SNI
(mg/kg)
Bernardi 12,72 8,70 8,55 0,89
Abby’s 12,88 14,80 9,45 27,36
Farmhouse 9,27 10,18 14,47 0,40
Kimbo 11,07 7,07 14,62 3,25
Harmoni 11,56 13 14,65 25 11,01 8 32,07 125
Vitalia 12,73 8,70 9,99 4,64
Irene 10,31 8,78 13,86 17,14
Andy 8,97 5,11 20,86 22,02
Willy 10,30 8,75 16,90 19,50
Champ 11,60 13,56 7,57 0
Rata-Rata 11,14 10,03 12,72 12.72
Keterangan : PK (protein kasar) LK (lemak kasar) CHO (karbohidrat)
Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan kandungan nitrit pada 10 merek
sosis sapi masih berada dibawah batas maksimum SNI atau dengan kata lain masih aman
untuk dikonsumsi. Ditinjau dari nilai gizi dapat diketahui bahwa nilai gizi protein dari 10
merek sosis sapi 100% masih berada di bawah batas minimal SNI 01-3820-1995 atau tidak
memenuhi syarat mutu sosis daging.Sedangkan protein merupakan nilai gizi yang penting
bagi pertumbuhan, perkembangan tulang, otot dan perkembangan otak.
Nilai gizi lemak pada semua merek sosis sapi 100% masih berada di bawah batas
maksimal SNI atau nilai gizi lemak ini masih memenuhi syarat mutu gizi sosis dan dapat
dikatakan bahwa konsentrasi lemak yang dipakai baik untuk keempukan dari sosis,
sedangkan untuk nilai gizi karbohidrat pada 10 merek sosis sapi 90% melebihi batas
maksimum SNI. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan tepung sebagai bahan
pengisi pada sosis lebih banyak dibandingkan daging sehingga terjadinya penurunan nilai
gizi protein.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dari ketiga nilai gizi tersebut
tidak 100% memenuhi syarat mutu gizi yang ditetapkan oleh SNI 01-3820-1995. Hal ini
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
302
dikarenakan produsen lebih banyak menggunakan bahan pengisi yaitu tepung
dibandingkan penggunaan daging dan tidak menutup kemungkinan juga produsen lebih
melihat dari segi ekonomis daripada mutu gizi/kualitas dari sosis daging, dimana tepung
lebih murah dibandingkan dengan daging.
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Tingkat kandungan nitrit pada berbagai merek sosis sapi yang dijual di Kota
Kupang 100% berada di bawah batas maksimum penggunaan yang telah ditetapkan
dalam SNI 01-0222-1995.
2. Nilai gizi protein dan lemak pada berbagai merek sosis sapi yang dijual di Kota
Kupang 100% berada di bawah batas SNI dan nilai gizi karbohidrat 90% berada
diatas batas SNI 01-3820-1995.
Saran
1. Disarankan kepada masyarakat agar mengurangi konsumsi sosis sapi, walaupun
hasil yang diketahui bahwa kandungan nitrit berada di bawah SNI 01-0222-1995.
Hal ini disebabkan karena konsumsi nitrit yang berlebihan dapat menimbulkan
keracunan dan menjadi karsinogenik (menyebabkan kanker).
2. Disarankan kepada produsen agar tetap memperhatikan penggunaan nitrit dan nilai
gizi dalam sosis sapi agar sesuai dengan batas yang telah ditetapkan oleh SNI yang
diacu.
3. Dari hasil yang diketahui tentang kandungan nitrit maupun nilai gizi dari sosis sapi,
agar menjadi perhatian bagi pemerintah maupun dinas terkait untuk tetap
memperhatikan kandungan bahan pengawet yang mempunyai efek negatif terhadap
kesehatan juga kualitas gizi yang terkandung dalam sosis sapi.
4. Diharapkan bagi peneliti lain untuk dapat mengembangkan dan melakukan
penelitian yang lebih mendalam terhadap kandungan dan jenis pengawet lain yang
mungkin dipakai pada sosis sapi selain nitrit, yang mempunyai efek negatif
terhadap kesehatan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Petunjuk Pengolahan dan Teknologi. 2000, Dendeng Sayat. Jakarta, BPP
Teknologi.
Balai Informasi Pertanian DKI Jakarta. 1993, Karkas dan Bagian-bagiannya, Jakarta.
Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., dan Wooton, M. 1987, Ilmu Pangan,
(Terjemahan Purnomo, H dan Adiono), Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta,
dikutip Waruwu, F. I. P. 2010, Pemeriksaan Kandungan Nitrit pada Produk
Daging Sapi Olahan yang dijual di Swalayan Kota Medan tahun 2010, Skripsi,
SKM, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Cahyadi, W. 2006, Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan, PT Bumi
Aksara, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
303
Dalilah, E. 2006, Evaluasi Gizi dan Karakteristik Protein Daging Sapi dan Hasil
Olahannya, Skripsi, SKM, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Faridaz, D., Andhika, A., dan Lasmi, K. 1993, Penurunan Kandungan dalam kemasan
dengan katalis untuk memperpanjang masa simpan produk pangan, Laporan
penelitian Institup Pertanian Bogor, Bogor dikutip Nur, M. 2009, Pengaruh Cara
Pengemasan, Jenis Bahan Pengemas, Dan Lama Penyimpanan Terhadap Sifat
Kimia, Mikrobiologi dan Organoleptik Sate Bandeng (Chanos Chanos), Jurnal
Teknologi dan Industri Hasil Pertanian, Vol 14. No 1.
Forrest, J.C., Aberle, E.D., Hendrick, H.B., Judge, M.D and Merkel, R.A. 1975, Principle
of Meat Science, W. H. Freeman and Company, San Fransisco.
Forsythe, S.J. and Hayes, P.R. 1998, Food Hygiene Microbiology and HACCP. Aspen
Publisher. Gaitherburg, dikutip Lay Rihi, A. Y. M. 2009, Pengaruh Lama
Penyimpanan Pada Suhu Dingin Terhadap pH, Water Holding Capacity, Tekstur,
dan Total Plate Count Bakso Ayam Rumput Laut. 2009, Skripsi, S.pt, Fakultas
Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang.
Granada, I.P. 2011, Pemanfaatan Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus) dalam
Pembuatan Sosis Rasa Sapi dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai, Skripsi,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Hartati, S. 2010, Hubungan Bahan Pengawet, Kemasan dan Lama Penyimpanan Sosis
Sapi, Skripsi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri
Makassar, Makassar.
Hafriyanti., Hidayati., dan Elfawati. 2008, Kualitas Daging Sapi Dengan Kemasan Plastik
PE (Polyethilen) dan Plastik PP (Polypropilen) dipasar Arengka Pekan Baru,
Jurnal Peternakan, 5(1):22-27.
Hasrati, E dan Rusnawati, R. 2011, Kajian penggunaan daging ikan mas (cyprinus carpio
linn) terhadap Tekstur dan cita rasa bakso daging sapi, Agromedia Vol. 29, No. 1.
Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik. 2011, Rilis Hasil Awal PSPK 2011,
Kementan-BPS. Jakarta.
Indriyani, B. 2007, Karakteristik Sosis Sapi dengan Menggunakan Bahan Dasar Tepung
Daging Sapi, Skripsi, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Khomsan, A. 2003, Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Koswara, S. 2009, Teknologi Praktis Pengolahan Daging, eBookPangan.com.
Kramlich, R.V. 1971, The Science of Meat and Meat Product. Ed. J.F.Price dan B.S.
Schweigert. W.H. Freeman and Co., San Fransisco. Hal. 230-286.
Lawrie. 2003, Ilmu Daging, Edisi Kelima, Terjemahan A. Parakkasi, UI. Press, Jakarta.
Lay Rihi, A. Y. M. 2009, Pengaruh Lama Penyimpanan Pada Suhu Dingin Terhadap pH,
Water Holding Capacity, Tekstur, dan Total Plate Count Bakso Ayam Rumput
Laut, 2009. Skripsi, S.pt, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang.
Nurwantoro. 1999, Mikrobiologi Pangan Hewani dan Nabati. Kanisius, Yogyakarta,
dikutip Waruwu, F. I. P. 2010, Pemeriksaan Kandungan Nitrit pada Produk
Daging Sapi Olahan yang dijual di Swalayan Kota Medan tahun 2010, Skripsi,
SKM, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
304
Nur, M. 2009, Pengaruh Cara Pengemasan, Jenis Bahan Pengemas, dan Lama
Penyimpanan Terhadap Sifat Kimia, Mikrobiologi dan Organoleptik Sate
Bandeng (Chanos Chanos). Jurnal Teknologi dan Industri Hasil Pertanian, Vol.
14. No. 1.
Nur, H.H dan Suryani, S. 2011, Analisis Kandungan Nitrit Dalam Sosis Pada Distributor
Sosis di Kota Yogyakarta Tahun 2011, Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 6, No.
1.
Park, M.H., Lee, D.S andLee, K.H. 2000, Food Packaging. Hyeongseol Publising. Daegu,
dikutip Lay Rihi, A. Y. M. 2009, Pengaruh Lama Penyimpanan Pada Suhu Dingin
Terhadap pH, Water Holding Capacity, Tekstur, dan Total Plate Count Bakso
Ayam Rumput Laut, 2009, Skripsi, S.pt, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya, Malang.
Pujoraharjo, A. 2002, Karakteristik Sosis dari Daging Kelinci dan Ayam dengan Tingkat
Penggunaan Tapioka dan Susu Skim yang Berbeda, Skripsi, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rachman, N. 2005, Uji Kadar Nitrat-Nitrit pada Chicken Nugget yang dijual di Daerah
Malang. Diakses pada 20 Maret 2014, <http://student-research.umm.ac.id>.
Rahardjo, S. 2010, Aplikasi Madu sebagai Pengawet Daging Sapi Giling Segar selama
proses Penyimpanan, Skripsi, Sp, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Saparinto, C dan Hidayati, D. 2006, Bahan Tambahan Pangan. Kanisius, Yogyakarta.
Siswanto, B. 2014, Jenis Sapi Unggul di Indonesia. Diakses pada 1 Mei 2014,
<http://www.usahaternak.com/2014/03/jenis-sapi-unggul-di-seluruh-dunia.html>.
Soeparno. 2009, Ilmu dan Teknologi Daging, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Standar Nasional Indonesia. 2008, SNI 3932 : 2008 : Mutu Karkas dan Daging Sapi,
Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.
Standar Nasional Indonesia. 1995, SNI 01-3820-1995 : Sosis Daging, Badan Standarisasi
Nasional, Jakarta.
Standar Nasional Indonesia. 1995, SNI 01-0222-1995 : Bahan Tambahan Pangan, Badan
Standarisasi Nasional, Jakarta.
Standar Nasional Indonesia. 1992, SNI 01 - 2891 –1992 : Cara Uji Makanan dan
Minuman, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.
Sugiyono. 2012, Statistika untuk Penelitian, Alfa beta, Jakarta.
Syarief, R dan Halid, H. 1993, Teknologi Penyimpanan pangan, Institut Pertanian Bogor,
Bogor, dikutip Nur, M. 2009, Pengaruh Cara Pengemasan, Jenis Bahan Pengemas,
Dan Lama Penyimpanan Terhadap Sifat Kimia, Mikrobiologi dan Organoleptik
Sate Bandeng (Chanos Chanos), Jurnal Teknologi dan Industri Hasil Pertanian,
Vol 14. No 1.
Triatmodjo, S. 1992, Pengaruh Penggantian Daging Sapi dengan Daging Kerbau, Ayam,
Kelinci pada Komposisi dan Kualitas Fisik Bakso, Buletin Peternakan Volume 6,
Universitas Gadja Mada, Yogyakarta.
Urbain, M.W. 1971, The Science of Meat and Meat Product. Ed. J.F.Price dan B.S.
Schweigert. W.H. Freeman and Co., San Fransisco, Hal 402-431.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
305
Usmiati, S. 2010, ‘Pengawetan Daging Segar dan Olahan’, Bogor : Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Wahyudi, H. 2007, Keracunan Nitrat-Nitrit. Diakses 23 Maret 2014, <http://red-
msg.blogspot.com>.
Waruwu, F.I.P. 2010, Pemeriksaan Kandungan Nitrit pada Produk Daging Sapi Olahan
yang dijual di Swalayan Kota Medan tahun 2010, Skripsi, SKM, Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Winarno, F.G. 1980, Pengantar Teknologi Pangan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
dikutip Waruwu, F. I. P. 2010, Pemeriksaan Kandungan Nitrit pada Produk
Daging Sapi Olahan yang dijual di Swalayan Kota Medan tahun 2010, Skripsi,
SKM, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Winarno, F.G. 1995, Pengantar Teknologi Pangan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
dikutip Hartati, S. 2010, Hubungan Bahan Pengawet, Kemasan dan Lama simpan
Sosis Sapi tahun 2010, skripsi, S.Pd, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Negeri Makassar.
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana
306