proposal tiara

Upload: dyanaana

Post on 20-Jul-2015

215 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

A. Judul KAJIAN ATAS PENGGUNAAN SAKSI UNUS TESTIS NULLUS TESTIS DI GUNAKAN DALAM PENGUNGKAPAN PERSETUBUHAN DENGAN ANAK DI BAWAH UMUR ( Studi Kasus Nomor : 09/pid.sus/2012/Pn.Bi )

B. Bidang Ilmu Ilmu Hukum ( Hukum Acara Pidana )

C. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara hukum hal ini bisa dilihat dalam Undang-undang Dasar negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 . Tujuan hukum menurut teori etis adalah untuk hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Intinya mengatakan hukum semata-mata menghendaki keadilan. Jika dilihat sekarang ini keadilan antara kedua belah pihak tidak sama, contoh keadilan bagi seorang pembunuh dengan keluarga yang dibunuh pasti keadilan yang diminta pasti akan berbeda hal ini bisa dlihat ketika pelaku itu meminta hukuman yang seringanringannya sedangkan keluarga korban pasti meminta untuk pembunuh itu juga dihukum mati. Hukum tersebut mempunyai tujuan yang lain yaitu untuk membuat atau menjadi penengah antara kedua belah pihak yang bersengketa mengenai benturan hak yang terjadi diantara keduanya. Sangatlah jelas yang terpenting dalam hukum adalah faktor keadilan, namun yang menjadi masalah adalah bagaiamana bisa menwujudkan keadilan yang dirasakan adil bagi semua pihak. Hakim merupakan personifikasi pengadilan. Ungkapan tersebut tidak dimaksudkan memarjinalkan

peran kepaniteraan dan kesekretariatan, melainkan sekedar menunjukkan betapa signifikannya posisi hakim sebagai penegak hukum dan keadilan. Perjalanan sejarah peradilan in zasu hakim mengalami pasang naik dan pasang surut. Di zaman Orde Lama, pengadilan pernah diposisikan subordinasi eksekutif. Pemerintah berwenang mengintervensi jalannya pengadilan. Undangundang No. 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman memberikan kewenangan kepada Presiden untuk dalam beberapa hal dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan. Semangat trias politica yang dianut Indonesia telah diabaikan. Lemahnya posisi pengadilan semakin nyata apabila dalam pelaksanaan tugasnya berhadapan dengan kepentingan pemerintah. Pengadilan dikondisikan untuk memberikan justifikasi terhadap tindakan dan kebijakan pemerintah. Dewasa ini banyak sekali kejahatan perkosaan terhadap anak-anak sehingga anak-anak di bawah umur yang seharusnya mendapat perlindungan dari masyarakat menjadi korban. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita (Arif Gosita, 1993: 63). Anak-anak merupakan manusia yang secara fisik, mental dan sosial belum dewasa dan masih lemah. Akibat kelemahanya secara fisik, mental, dan sosial inilah yang membuat anak-anak menjadi rawan terhadap kekerasan dan seringkali menjadi korban tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orang dewasa. Realitasnya, kekerasan seksual terhadap anak bisa jadi jauh lebih tinggi dari angka kejahatan yang selama ini terungkap dan dapat diadili. Harus diingat, perkosaan adalah hal yang sensitif, sulit diungkapkan atau dibuktikan. Data kasus perkosaan yang tercatat barangkali hanya mewakili sebagian kecil dari realitas yang

sesungguhnya. Kekerasan seksual pada anak seringkali meninggalkan bekas traumatis yang sulit dihilangkan (Sudaryono, 2007: 88). Dalam Pasal 285 KUHP ditegaskan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara selamalamanya dua belas tahun. Pasal 285 KUHP ini mengatur tentang perkosaan terhadap wanita secara umum (segala umur). Sedangkan perkosaan terhadap anak (wanita dibawah umur) diatur dalam Pasal 287 KUHP yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar

pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun. 2. Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan kecuali jika umurnya wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal tersebut Pasal 291 dan 294. Tindak pidana perkosaan yang dilakukan terhadap anak-anak diatur secara lebih khusus dalam Pasal 81 Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan

ancaman

dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

2.

Ketentuan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)

berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain Memang tugas kita bersama untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan kekerasan terhadap anak, namun disini negara/pemerintah sebagai pengayom masyarakat punya tanggung jawab yang besar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak kekerasan terhadap anak. Disamping itu negara atau pemerintah mempunyai kewajiban untuk memulihkan kodisi korban kekerasan kekerasan terhadap anak. Salah satu caranya adalah dengan membuat peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bagi aparat penegak hukum untuk melindungi anak-anak dari tindak kekerasan. Di Indonesia peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan terhadap anak dari tindakan kekerasan diantaranya adalah UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Apabila dibandingkan dengan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang memberikan perlindungan kepada anak. UU No. 23 Tahun 2002 mempunyai beberapa keunggulan, diantaranya : 1. UU No. 23 Tahun 2002 adalah peraturan perundang-undangan dan memberikan balasan atau sanksi pidana yang setimpal bagi para pelaku tindakan

yang khusus diperuntukkan untuk memberikan perlindungan terhadap anak sehingga lebih bersifat melindungi anak, sedangkan KUHP adalah peraturan pidana yang bersifat umum. 2. Mempunyai sanksi yang lebih tegas dan berat dibandingkan

KUHP. 3. Dalam UU No. 23 tahun 2002 mempunyai batasan yang lebih

luas tentang apa yang dimaksud dengan anak, yang dinamakan anak

adalah janin yang ada dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun, sedangkan dalam KUHP mengatur umur anak sebagai korban tindak pidana adalah belum genap berumur 15 tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 285, Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 295, Pasal 297 dan lain-lainnya

D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, Penulis merumuskan masalah untuk dikaji secara lebih rinci. Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimana alat bukti saksi yang unus testis nullus testis di gunakan dalam pengungkapan persetubuhan dengan anak di bawah umur pada kasus nomor : 09/Pid.Sus/2012/Pn.Bi?2. Bagaimana alat bukti saksi yang unus testis nullus testis memiliki nilai

pembuktian di dalam pengungkapan persetubuhan dengan anak di bawah umur pada kasus nomor : 09/Pid.Sus/2012/Pn.Bi? E. Tujuan Penelitian Suatu kegiatan penelitian pasti mempunyai suatu tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah: 1. Tujuan Obyektif

2. Tujuan Subyektifa.

Untuk menambah wawasan dan memperluas pengetahuan

penulis dalam penelitian hukum pada khususnya di bidang Hukum Acara pidana.

b.

Untuk mengetahui persyaratan akademis guna mencapai gelar

Strata 1 (Sarjana) dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

F. Manfaat Penelitian Adanya suatu penelitian diharapkan memberikan manfaat yang diperoleh terutama bagi bidang ilmu yang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat teoritisa. Merupakan salah satu sarana bagi penulis untuk mengumpulkan data

sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk memberi sumbangan pikiran dalam mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya.c. Untuk lebih mendalami teori-teori hukum yang telah penulis peroleh

selama menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta serta memberi landasan untuk penelitian lebih lanjut. 2. Manfaat praktis a. b. Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang

dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam mengimplementasikan ilmu yang diperoleh. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak-pihak yang terkait dengan maalah yang diteliti.

G. Tinjauan Pustaka 1. Kerangka Teoria.

Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Persetubuhan 1) Pengertian Tindak Pidana Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan sebagai Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut(Moeljatno, 2000: 54). Van Hamel dalam Moeljatno merumuskan pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) merupakan kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut di pidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan (Moeljatno, 2000: 38). Pompe dalam Merumuskan pengertian tindak pidana antara menurut hukum positif strafbaarfeit adalah tidak daripada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan Undang-Undang. Bahwa menurut teori, strafbaarfeit adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Dalam hukum positif, sifat melawan hukum (wederrechtlijkheid) dan kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana (strafbaarfeit) (Soedarto, 1986: 42). 2) Pengertian Persetubuhan Tidak pidana kesusilaan dalam KUHP dibedakan menjadi dua, yaitu Tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur

dalam Pasal 285 KUHP dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalam Pasal 289 296 KUHP. Sedangkan dalam Undang-undang Perlindungan Anak tindak pidana kesusilaan yang melibatkan anak didalamnya diatur dalam Pasal 82 dan Pasal 88 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia persetubuhan adalah hal bersetubuh atau hal berjimak, hal bersenggama. Menurut M.H. Tirtaamidjaja bersetubuh berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan.tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran air mani dalam kemaluan si perempuan (Leden Marpaung, 1996: 53). Yang disebut persetubuhan (coitus) adalah perpaduan antara 2 kelamin yang berlawanan jenisnya untuk memenuhi kebutuhan biologik, yaitu kebutuhan seksual. Persetubuhan yang lengkap terdiri atas penetrasi penis kedalam vagina, gesekan-gesekan penis terhadap vagina dan ejakulasi. Menurut kalangan ahli hukum suatu persetubuhan tidak harus diahkiri dengan ejakulasi. Bahkan penetrasi yang ringan, yaitu masuknya kepala zakar diantara kedua bibir luar, sudah dapat dianggap sebagai tindakan persetubuhan. Persetubuhan sendiri dibedakan menjadi dua macam, yaitu persetubuhan yang dilakukan secara legal dan persetubuhan yang dilakukan secara tak legal. Persetubuhan terhadap wanita dianggap legal jika wanita itu sudah cukup umur, tidak dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain dan dilakukan dengan izinnya atau persetujuannya. Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, seorang wanita dianggap cukup umur dalam soal persetubuhan jika

ia sudah genap berumur 15 tahun. Pada umur tersebut ia sudah dianggap mampu memahami resiko-resikonya dan oleh karenanya ia dapat menentukan sendiri apakah ia akan menyetujui suatu persetubuhan atau tidak. Namun persetubuhan persetubuhan dari seorang wanita yang tidak sehat akalnya tidak dianggap syah, meskipun wanita itu sudah berumur 15 tahun. Ikatan perkawinan dapat dianggap sebagai persetujuan atau izin bagi suami untuk melakukan persetubuhan dengan istrinya. Jika persetubuhan dilakukan dengan tidak mengindahkan prinsip-prinsip di atas maka persetubuhan tersebut dianggap tak legal dan dapat dipidana. Berdasarkan KUHP, persetubuhan tak legal terdiri atas persetubuhan tak legal yang dilakukan didalam perkawinan dan persetubuhan yang dilakukan diluar perkawinan. Yang dimaksud persetubuhan tak legal yang dilakukan didalam perkawinan disini adalah persetubuhan yang dilakukan terhadap istrinya sendiri yang belum cukup umur dan persetubuhan tersebut telah menimbulkan luka-luka. Acaman hukumannya berdasarkan Pasal 288 KUHP ialah penjara selamalamanya 4 tahun, jika mengakibatkan luka berat maka anacaman hukumannya 8 tahun dan jika mengakibatkan mati ancaman hukumannya 12 tahun. Sedangkan persetubuhan tak legal yang dilakukan diluar perkawinan adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang lakilaki dengan wanita yang bukan istrinya. Dengan kata lain antara laki-laki dan wanita yang melakukan persetubuhan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan. Perbuatan ini dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

a)

Persetubuhan yang dilakukan atas persetujuan atau izin dari wanita yang disetubuhi, misalnya persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur dan perzinahan.

b) Persetubuhan yang dilakukan tanpa persetujuan atau izin dari

wanita yang disetubuhi, misalnya perkosaan dan persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya.Yang dimaksud dengan persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur ialah persetubuhan dengan wanita bukan istrinya yang umurnya belum genap 15 tahun. Berdasarkan Pasal 287 KUHP, jika umur wanita itu belum genap 12 tahun termasuk delik biasa dan jika umurnya sudah genap 12 tahun tetapi belum genap 15 tahun termasuk delik aduan. Sedangkan yang dimaksud persetubuhan dengan wanita tidak berdaya sebagaimana diuraikan dalam Pasal 286 KUHP ialah persetubuhan dengan wanita bukan istrinya yang keadaan kesehatan jiwanya tidak memungkinkan wanita itu dapat diminta persetujuannya ataupun izinnya. Wanita tak sadar, gila, atau idiot tidak mungkin dapat diminta persetujuan ataupun izinnya untuk disetubuhi, kalaupun ia memberikan persetujuan ataupun izinnya maka persetujuan tersebut harus dianggap tidak syah, begitu juga wanita yang pingsan, dengan catatan pingsannya itu bukan karena perbuatan laki-laki yang menyetubuhinya, namun jika pingsannya itu akibat perbuatan laki-laki itu maka tindak pidana tersebut termasuk pemerkosaan, bukan persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya.

b.

Tinjauan Umum tentang Pembuktian

1) Pengertian Pembuktian

Menurut M Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuanketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan ( M Yahya Harahap, 1988:793 ). Disamping pengertian tentang pembuktian diatas, terdapat pula beberapa ruang lingkup pembuktian, yaitu antara lain: a. Ketentuan atau aturan hukum yang berisi

penggarisan dan pedoman cara yang dibenarkan undangundang membuktikan kesalahan terdakwa, dikenal juga dengan sistem atau teori pembuktian. b. Ketentuan yang mengatur mengenai alat bukti yang dibenarkan dan diakui undang-undang serta yang boleh digunakan hakim membuktikaann kesalahan. c. Ketentuan yang mengatur cara menggunakan dan menilai kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti. Demikian ketiga hal inilah yang merupakan obyek dan inti pembahasan hukum pembuktian. Hukum pembuktian memegang peranan penting dalam proses hukum acara pidana dan untuk sebab itu mutlak harus dikuasai oleh semua pejabat pada semua tingkat pemeriksaan, khususnya penuntut umum yang berwenang menuntut dan dibebani kewajiban membuktikan kesalahan terdakwa. Kegagalan penuntut umum dalam tugas penuntutan banyak tergantung pada ketidakmampuan menguasai teknik pembuktian. 2) Asas Asas Pembuktian

Dalam pembuktian pidana ada beberapa prinsip yang harus diketahui, yaitu : a) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan Prinsip ini terdapat pada pasal 184 ayat 2 KUHAP yang berbunyi : hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Notoire feiten adalah suatu kesimpulan umum yang didasarkan pengalaman umum bahwa suatu keadaan atau peristiwa akan senantiasa menimbulkan kejadian atau akibat yang selalu demikian. Hanya dengan notoire feiten tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain yang sah menurut undang-undang,. Hakim tidak boleh yakin akan kesalahan terdakwa. b) Menjadi saksi adalah kewajiban Dalam pasal 1 butir 26 KUHAP yang berbunyi : saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dengan demikian syarat seseorang wajib menjadi saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. c) Satu saksi bukan saksi Prinsip ini terkait dengan pasal 185 ayat 2 KUHAP yang berbunyi : keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Prinsip ini disebut dengan istilah unus testis nullus testis yang artinya satu saksi bukan saksi. Menurut undang-

undang menjadi saksi adalah wajib dan berdasarkan pengalaman praktek, keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling banyak atau dominan dalam mengadili perkara pidana di pengadilan. Hampir tidak ada perkara pidana dalam acara pemeriksaan biasa yang pembuktiannya tidak dikuatkan dengan alat bukti keterangan saksi yang diberikan oleh satu orang saksi tanpa dikuatkan atau di dukung saksi lain atau alat bukti lain yang sah, maka kesaksian yang berdiri sendiri yang demikian tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan untuk itu hakim harus membebaskan terdakwa dari tuntutan penuntut umum. d) Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan pembuktian terbalik yang tidak dikenal hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Pasal 184 ayat 4 KUHAP menyatakan keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.3) Alat Alat Bukti

Alat-alat bukti, disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, ialah : a) Keterangan saksi Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang dinyatakan di sidang pengadilan, dimana keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan padanya (Unnus Testis Nullus Testis) dan saksi harus memberikan keterangan mengenai

apa yang ia lihat, dengar, ia alami sendiri tidak boleh mendengar dari orang lain (Testimonium De Auditu). Syarat menjadi saksi :(1) Syarat objektif saksi :

(a) Dewasa telah berumur 15 tahun / sudah kawin (b) Posisi berubah akalnya (c) Tidak ada hubungan keluarga baik hubungan pertalian darah/perkawinan dengan terdakwa (2) Syarat subjektif saksi Mengetahui secara langsung terjadinya tindak pidana dengan melihat, mendengar, merasakan sendiri. (3) Syarat formil Saksi harus disumpah menurut agamanya b) Keterangan ahli Keterangan ahli berdasarkan pengertian dalam Pasal 186 KUHAP dipakai sebagai acuan dalam menyatakan terdakwa bersalah atau tidak, dimana ia harus memberikan pendapat yang didasarkan atas keilmuan dan keahlian khusus mengenai suatu hal untuk kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli dapat diberikan dalam dua bentuk : (a) Tertulis, dalam hal ini ada pendapat yang bukan dari keterangan hali, tetapi alat bukti surat(b) Lisan, contohnya visum et repertum adalah untuk

peristiwa pada waktu itu (orang/korban penganiayaan) c) Surat-surat

Yang dimaksud surat sebagai alat bukti pada Pasal 187 KUHAP adalah : (a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum/yang dibuat dihadapannya. (b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal/keadaan. (c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenal suatu hal/keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. (d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat bukti yang lain. d) Petunjuk Pengertian petunjuk berdasarkan Pasal 188 KUHAP adalah : (1) Perbuatan kejadian/keadaan yang karena persesuainnya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tidak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (2) Pasal 188 ayat (2) mengemukakan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari : (a) (b) (c) Keterangan saksi Surat Keterangan terdakwa

(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dilaksanakan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. e) Keterangan terdakwa Keterangan terdakwa dalam Pasal 189 KUHAP adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan, ketahui/alami sendiri. 4) Teori pembuktian Secara Teoretis terdapat empat teori mengenai sistem pembuktian yaitu:a) Sistem pembuktian menurut Undang-undang secara positif

(positief wettelijke bewijs theorie) Menurut teori ini, sistem pembuktian positif bergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam undang-undang. Singkatnya, undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim menggunakannya, kekuatan alat bukti tersebut dan bagaimana hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Jadi jika alat-alat bukti tersebut digunakan sesuai dengan undang-undang maka hakim mesti menentukan terdakwa bersalah walaupun hakim berkeyakinan bahwa terdakwa tidak bersalah. Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi. Teori ini yang terlalu banyak oleh mengandalkan kekuatan Teori pembuktian disebut undang-undang.

pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro untuk

dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.b) Sistem

pembuktian

menurut

keyakinan

hakim

melulu

(conviction intime) Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Melalui sistem Conviction Intime, kesalahan terdakwa bergantung kepada keyakinan belaka sehingga hakim tidak terikat pada suatu peraturan. Dengan demikian, putusan hakim dapat terasa nuansa subjektifnya. Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan bagaimanapun juga keyakinan hakim sendiri. Bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakian hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Sistem ini memberi kebebasan hakim yang terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa

berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan.c) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alas an

yang logis (Laconviction Raisonnee) Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan kesalahan terdakwa, tetapi penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan dengan selektif dalam arti keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasanalasan jelas dan rasional dalam mengambil keputusan. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasanalasan keyakinannya (vrije bewijstheorie) Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu in terpecah kedua jurusan. Yang pertama yang tersebut di atas yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonnee) dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewcijstheorie). Persamaan antara keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakirn bahwa is bersalah.

Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hat itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.d) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif

(negatief wettelijke bewijs theorie) Pada prinsipnya, sistem pembuktian menurut undangundang secara negatif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana tehadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alatalat bukti tersebut. Di dalam membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak dalam suatu perkara pidana, menurut Lilik Mulyadi KUHAP di Indonesia menganut sitem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Di dalam sitem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewujs theorie) terdapat unsur dominan berupa sekurangkurangnya dua alat bukti sedangkan unsur keyakinan hakim hanya merupakan unsur pelengkap.

Jadi dalam menentukan apakah orang yang didakwakan tersebut bersalah atau tidak, haruslah kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua jenis alat bukti seperti yang tertuang di dalam KUHAP pasal 183 Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurng-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

c.

Tinjauan Umum tentang Perlindungan anak 2) Pengertian anak dibawah umur Pengertian anak menurut Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan dalam bab I ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 ; Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga anak yang belum dilahirkan dan masih di dalam kandungan ibu menurut undang-undang ini telah mendapatkan suatu perlindungan hukum.Selain terdapat pengertian anak, dalam undang-undang ini terdapat pengertian mengenai anak telantar, anak yang menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan, anak angkat dan anak asuh. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak secara umum agar anak menjadi penerus bangsa yang berkualitas, sehingga harus dijamin agar anak dapat tumbuh dan

berkembang secara optimal. Untuk menjamin kesejahteraan anak maka perlu adanya perlindungan terhadap anak secara hokum. Tentang istilah belum cukup umur ini Soepomo

mengemukakan pendapatnya yaitu : Bahwa penggunaan istilah belum cukup umur adalah terhadap seseorang, berhubung dengan rendahnya umur, belum sanggup untuk memelihara kepentingannya sendiri, yang akhirnya disimpulkan bahwa kedewasaan seseorang ditentukan apabila dia sudah kuat bekerja sendiri, sudah kuat mengurus harta benda dan keperluan lainnya. Sistem perundang-undangan Indonesia bersifat pruralisme sehingga pengertian mengenai anak dibawah umur mempunyai pengertian dan batasan yang berbeda-beda antara satu perundangundangan dengan perundang-undangan yang lain. Berikut ini akan diuraikan pengertian anak menurut beberapa peraturan perundangundangan :a)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHperdata) Pengertian anak menurut KUHperdata dicantumkan dalam Pasal 330 ayat (1) yang menyatakan bahwa : Orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mampu mencapai usia 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Pengertian dalam Pasal 330 ayat (1) KUHperdata tersebut diletakkan sama dengan mereka yang belum dewasa dari seseorang yang belum mencapai batas usia legitimasi hukum sebagai subyek hukum seperti yang ditentukan oleh perundang-undangan perdata. Kedudukan seorang anak akibat belum dewasa menimbulkan hak-hak yang perlu direalisasikan

dengan ketentuan hukum khusus yang menyangkut hak-hak keperdataan tersebut. Anak dalam hukum perdata mempunyai kedudukan hukum yang luas dan majemuk karena tergantung pada peristiwa hukum yang meletakkan hak-hak anak dalam hubungan dengan lingkungan hukum, sosial, agama, adatistiadat dan lain-lain. Kedudukan dan pengertian anak dalam hukum perdata ini menunjuk pada hak-hak dan kewajiban anak yang memiliki kekuatan hukum secara formil maupun materiil. b) Kitab Undang-undang hukum Pidana (KUHP) Pengertian kedudukan anak dalam hukum pidana diletakkan dalam pengertian seorang anak yang belum dewasa, sebagai orang yang mempunyai hak-hak khusus dan perlu mendapatkan perlindungan menurut ketentuan hukum yang berlaku. Pengertian anak dalam KUHP dapat kita ambil contoh dalam Pasal 287 KUHP, dalam Pasal disebutkan bahwa anak dibawah umur adalah apabila anak tersebut belum mencapai usia 15 (lima belas) tahun.c) Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974

Pada Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa seseorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 tahun dan bagi pihak wanita telah mencapai usia 16 tahun. Penyimpangan atas ketentuan yang terdapat dalam undang-undang No.1 tahun 1974 hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri. Apabila melihat Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tersebut maka batas kedewasaan seorang pria

adalah 19 tahun sehingga seorang pria yang berumur dibawah 19 tahun dikategorikan sebagai anak dibawah umur. Sedang untuk wanita dikategorikan sebagai anak adalah untuk wanita yang berumur kurang dari 16 tahun.d) Undang-undang Kesejahteraan Anak No.4 Tahun 1979

Pengertian

anak

menurut

Undang-undang

Kesejahteraan Anak yaitu Undang-undang No. 4 Tahun 1979 diatur dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyebutkan bahwa: Anak adalah seorang yang berusia belum mencapai 21 tahun dan belum pernah menikah. Penjelasan dari Pasal 1 ayat (2) menyebutkan batas usia 21 tahun ditetapkan karena berdasarkan kepentingan usaha sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia tersebut. Selanjutnya dijelaskan pula batas usia 21 tahun tidak mengurangi ketentuan batas usia dalam peraturan perundangundangan lainnya dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan itu berdasarkan hukum yang berlaku.e) Undang-undang pengadilan Anak No.3 Tahun 1997

Pengertian anak menurut Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang pengadilan Anak terdapat dalam Bab I ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 yang menyebutkan : Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum perah kawin. Anak yang belum dewasa diberi batasan antar 8 tahun sampai 18 tahun dan juga anak tersebut belum

pernah kawin. Apabila seorang anak pernah mengalami perceraian walaupun belum genap 18 tahun, maka ia tetap dianggap telah dewasa. 3) Perlindungan Anak Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam diriya melekat harkat, martabat dan hak hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hak Hak anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hokum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksestabilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dan terarah. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak disebutkan bahwa :

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi. Tujuan diadakanya pengaturan mengenai perlindungan terhadap anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Hak hak anak diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak. Dalam Pasal Pasal 4 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak disebutkan bahwa : Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi. Ditinjau secara garis besar maka dapat disebutkan bahwa perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian yaitu (Irma Setyowati S,1990 : 13) : a) Perlindungan yang bersifat yuridis, yang meliputi

perlindungan dalam : (1) Bidang hokum publik; (2) Bidang hokum keperdataan

b)

Perlindungan yang bersifat non yuridis, meliputi ; (1) Bidang sosial; (2) Bidang kesehatan; (3) Bidang pendidikan. Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan

nasioanal. Melindungi anak adalah melindungi manusia. Hakekat pembangunan nasional adalah membangun manusia seutuhnya. Anak berhak memperoleh perlindungan, yang berarti bahwa semua anak harus dijamin dan dilindungi hak haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi. Pengertian diatas dapat diartikan bahwa dalam segala situasi anak anak harus dipastikan memperoleh hak haknya agar bias tumbeh dan berkembang secara optimal. Termasuk dalam kaitanya dengan posisi anak sebagai generasi penerus bangsa.

2. Kerangka Pemikiran Berdasarkan proposisi proposisi yang disusun dalam kerangka teoritik tinjauan pustaka diatas, dalam hubunganya dengan masalah pokok yang dikaji dalam penelitian ini, maka dapat di susun bagan kerangka pemikir sebagai berikut :

TINDAK PIDANA PENCABULAN / PERSETUBUHAN

ANAK DI BAWAH UMUR Undang-undang No.23 Tahun 2002

PEMBUKTIAN

ALAT BUKTI SAKSI

KETERANGAN SAKSI UNUS TESTIS NULLUS TESTIS (PASAL 185 AYAT 2 KUHP

NILAI PEMBUKTIAN

Keterangan : Alat bukti saksi yang unus testis nullus testis di gunakan dalam pengungkapan persetubuhan dengan anak di bawah umur nilai pembuktiannya di dalam pengungkapan persetubuhan dengan anak di bawah umur.

H. Metode Penelitian Penelitian hokum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hokum, prinsip prinsip hokum, maupun doktrin doktrin hokum guna menjawab isu hokum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006 ; 35). Penelitian hokum dilakukan untuk mencari pemecahan atau isu isu hokum yang timbul. Oleh karena itulah, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know how di dalam hokum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskreptif mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan (Peter Mahmud Marzuki, 2006 ; 35). Adapun metode yang digunakan dalam dalam penulisan hokum dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Jenis penelitian penelitian hukum secara umum dapat dikategorikan menjadi penelitian doctrinal dan penelitian non doctrinal. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian hokum doctrinal yang disebut juga penelitian hokum yuridis normatife ataupenelitian hokum kepustakaan. Metode penelitian hokum normatife adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hokum dari sisi normatifnya. Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah kaidah atau norma norma hokum positif (Jhony Ibrahim , 2006 : 295).

b. Sifat Penelitian Dalam penelitian hokum ini, penulis menggunakan penelitian yang bersifat preskriptif dan teknis atau terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hokum mempelajari tujuan hokum, nilai nilai keadilan, validitas aturan hokum,

konsep konsep hokum dan norma norma hokum. Sifat prerkriptif ini merupakan hal substansial yang tidak mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang obyeknya juga hokum. Sedangkan sifat teknis atau terapan menggambarkan bahwa penelitian ini menetapkan standar prosedur, ketentuan ketentuan, rambu rambu dalam melaksanakan suatu aturan hokum (Peter Mahmud Marzuki, 2006 ; 22).

c. Pendekatan Penelitian Terdapat beberapa macam pendekatan dalam penelitian hokum. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang ditelitinya. Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hokum terdiri dari (Peter Mahmud Marzuki, 2006 ; 93) :(1) Pendekatan Perundang undangan (statue approach); (2) Pendekatan Kasus (case approach); (3) Pendekatan Historis (historical approach); (4) Pendekatan Komparatif (comparative approach); dan (5) Pendekatan Konseptual (conceptual approach).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan kasus dilakukan dengan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap (Peter Mahmud Marzuki, 2006 ; 94). Pendekatan kasus ini dipilih karena dalam penulisan hokum ini penulis ingin mengetahui tentang

d.

Sumber Data Penelitian

Sumber data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sekunder. (1) Bahan hukum primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, yang artinya mempunyai otoritas. Bahan bahan hokum primer terdiri dari perundang undangan dan putusan putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2006 ; 141). Bahan hokum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(2) Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hokum yang bukan merupakan dokumen dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2006 ; 141). Bahan hukum sekunder yang digunakan sebagai pendukung data dalam penelitian ini yaitu buku buku, referensi, jurnal jurnal hokum yang terkait, majalah, internet, dan sumber lainya yang berkaitan dengan topic yang dibahas.

e. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penulisan hukum ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan). Studi dokumen adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan mempergunakan content analisys (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 21). Studi dokumen ini berguna untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji dan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen, laporan, arsip dan hasil penelitian lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

f. Teknik Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum adalah tahapan yang dilakukan peneliti dalam mengklasifikasi, menguraikan data yang diperoleh kemudian melalui proses pengolahan nantinya bahan hukum yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Teknik analisa dalam penelitian hukum ini adalah teknik kualitatif. Mengkualitatifkan bahan hukum adalah fokus utama dari penelitian hukum ini, dimana penelitian hukum ini berusaha untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti untuk kemudian mengkaitkan atau menghubungkan bahan-bahan yang diperoleh selama penelitian, yaitu apa yang tertera di dalam bahan-bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan sebagaimana telah disinggung diatas. Metode penalaran yang dipilih oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode deduktif/deduksi. Sedangkan yang dimaksud dengan metode deduksi adalah metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian diajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 47). Hal-hal yang

dirumuskan secara umum diterapkan pada keadaan yang khusus. Dalam penelitian ini penulis mengkritisi teori-teori ilmu hukum yang bersifat umum untuk kemudian menarik kesimpulan sesuai dengan kasus faktual yang dianalisa.

I. Sistematika Penulisan Hukum Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka penulis menyiapkan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang saling berkaitan dan berhubungan. Adapun sistematika dari penulisan hukum ini sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

BAB II

: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan diuraikan yang pertama, tentang kerangka teori yang berisi tinjauan kepustakaan yang menjadi literarur pendukung dalam pembahasan masalah penulisan hokum ini. Tinjauan pustaka dalam penulisan hukum ini meliputi : tinjauan umum tentang tindak pidana persetubuhan, tinjauan umum tentang pembuktian, tinjauan

umum tentang perlindungan anak. Kedua, akan diuraikan kerangka pemikiran untuk memudahkan pemahaman alur berpikir. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu : Bagaimana alat bukti saksi yang unus testis nullus testis di gunakan dalam pengungkapan persetubuhan dengan anak di bawah umur dan Bagaimana alat bukti saksi yang unus testis nullus testis memiliki nilai pembuktian di dalam pengungkapan persetubuhan dengan anak di bawah umur. BAB IV : PENUTUP Dalam bab ini akan diuraikan tentang pokok- pokok yang menjadi dasar kesimpulan dan saran dari peneliti ini, yang tentu saja berpedoman pada hasil penelitian dan pembahasan. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

J. Jangka Waktu Penelitian

DAFTAR PUSTAKA