proposal ptk
TRANSCRIPT
A. JUDUL PENELITIAN
Model Pembelajaran Bahasa Inggris dengan Pendekatan
Konstruktivistik untuk Meningkatkan Kemampuan Translate
B. BIDANG KAJIANDesain dan strategi pembelajaran di kelas
C. PENDAHULUANBelakangan ini aneka kursus bahasa asing, terutama bahasa Inggris,
semakin semarak. Tidak hanya untuk orang dewasa, tetapi juga anak-anak.
Lembaga sekolahpun tak mau ketinggalan zaman. Pengajaran bahasa Inggris
semula hanya dikenal di tingkat SMTP dan jenjang lebih tinggi, sekarang
diberikan kepada siswa SD, bahkan murid Sekolah Taman Kanak-Kanak.
Fenomena seperti itu antara lain terpacu oleh obsesi orang tua yang menghendaki
anaknya cepat bisa berbahasa asing. Mereka berpandangan, semakin dini anak
belajar bahasa asing, semakin mudah anak menguasai bahasa itu.
Beberapa pakar bahasa mendukung pandangan bahswa "semakin dini anak
belajar bahasa asing, semakin mudah anak menguasai bahasa itu". Misalnya, Mc
Laughlin dan Genesee menyatakan bahwa anak-anak lebih cepat memperoleh
bahasa tanpa banyak kesukaran dibandingkan dengan orang dewasa. Demikian
pula Eric H. Lennenberg, ahli neurologi, berpendapat bahwa sebelum masa
pubertas, daya pikir (otak) anak lebih lentur. Makanya, ia lebih mudah belajar
bahasa. Sedangkan sesudahnya akan makin berkurang dan pencapaiannya pun
tidak maksimal. Bambang Kaswanti Purwo, ketua Program Studi Linguistik
Terapan Bahasa Inggris, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta dalam tulisannya
Pangajaran Bahasa Inggris di SD dan SMTP, menyebutkan bahwa usia 6 - 12
tahun merupakan masa emas atau paling ideal untuk belajar bahasa selain bahasa
ibu (bahasa pertama). Alasannya, otak anak masih plastis dan lentur, sehingga
proses penyerapan bahasa lebih mulus. Penelitian Fathman terhadap 200 anak
berusia 6 - 15 tahun yang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di sekolah
di AS, menunjukkan bahwa anak yang lebih muda (usia 6 - 10 tahun) lebih
berhasil pada penguasaan fonologi (tata bunyi) bahasa Inggris. Sedangkan pada
anak lebih tua (11 - 15 tahun) lebih berhasil pada penguasaan morfologi (satuan
1
bentuk bahasa terkecil) dan sintaksisnya (susunan kata dan kalimat) (Kosasih,
1998).
Selama ini telah diketahui bahwa pengajaran bahasa Inggris di tingkat
SLTP dan SLTA sudah lama dilaksanakan. Namun, selama hampir 6 tahu belajar
bahasa Inggris (di SLTP dan SLTA), siswa masih tidak bisa berbahasa Inggris.
Banyak kelemahan pada diri siswa dari bahasa Inggris yang diperoleh di SLTP
dan SLTA, antara lain: perbendaharaan kosa kata (vocabulary) bahasa Inggris-
nya sangat minim, kesulitan tata kalimat dan masih takut berbicara dalam bahasa
Inggris. Ada tiga kendala yang dialami siswa berbahasa Inggris, yaitu: 1)
perbendaharaan kata yang dimiliki sangat sedikit, 2) grammer masih sulit untuk
diingat, dan 3) anak takut berbicara. Sehingga siswa menjadi sulit berbahasa
Inggris. Kesulitan lain adalah kemampuan siswa mengingat dan mencoba
menterjemahkan dari kata berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, sekaligus
juga penataan kalimatnya.
Pengajaran bahasa Inggris di tingkat SLTP dan SLTA diajarkan bahasa
sebagai ilmu kebahasaan dengan banyak tuntutan seperti grammer. Seringkali
siswa pertama diperkenalkan terlebih dahulu tentang grammer atau structure, hal
ini sering membuat kesulitan bagi siswa. Suharusnya bahasa Inggris pada siswa
diajarkan secara sederhana tidak diajarkan bahasa sebagi ilmu kebahasaan, tetapi
bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari dan diajarkan secara praktis. Bahasa
sebagai alat komunikasi, harus digunakan sehari-hari dengan kegiatan dan kata-
kata yang sangat tidak asing di dengar siswa. Hal ini juga banyak dijumpai pada
pembelajaran bahasa Inggris di Sekolah Dasar. Sebagai akibatnya, banyak siswa
yang menambah belajar bahasa Inggris melalui kegiatan-kegiatan kursus. Sekolah
Dasar sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar dalam memperkenalkan ilmu
pengetahuan kepada siswa pada usia masih muda antara 6 sampai 12 tahun,
seharusnya pengajaran bahasa Inggris lebih mudah.
Pengajaran bahasa Inggris perlu banyak variasi dan memperkenalkan
siswa pada dunia nyata yang dialami siswa, dirasakan sehari-hari di lingkungan
rumah dan sekolahnya. Dengan bahasa ibu (bahasa pertama) dapat mempermudah
pembelajaran bahasa Inggris. Siswa diajar tidak harus melalui penataan tata
kalimat yang sulit, siswa sebaiknya dilatih mengucapkan kata dengan bahasa
2
Inggris yang dia temui di kelas, lingkungan sekolah dan rumah serta setiap hari
siswa diingatkan kembali tentang apa yang telah mereka lihat dan alami serta
menterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Kegiatan ini dapat dibantu dengan
gambar-gambar yang menunjukkan benda atau aktifitas siswa serta diajak melihat
dan berlatih tentang konsep yang diajarkan.
Pada tingkat Sekolah Dasar, sejak tahun 1993 bahasa Inggris sudah diajarkan
di anak SD sebagai mata pelajaran muatan lokal yang dimulai pada siswa kelas
IV, V dan VI. Bahkan Sekolah Dasar di wilayah perkotaan pelajaran bahasa
Inggris dimulai sejak kelas I. Namun di SD wilayah kecamatan Tulangan
beraneka ragam, inipun di tidak seluruhnya SD diawali dari kelas I. Khusus di SD
Tlasih Kecamatan Tulangan, karena sebagai mata pelajaran muatan lokal, bahasa
Inggris di SD dimulai sejak tahun 1993 pada kelas IV, V, dan VI. Kelas I, II, dan
III diawali tahun pelajaran 2004/2005. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan
peneliti selama diberi tugas mengajar bahasa Inggris pada siswa kelas IV, V, dan
VI dengan metode pembelajaran konvensional dengan cara menghafal dan
menterjemahkan kata dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia dan
sebaliknya, siswa masih banyak mengalai kesulitan.
Data hasil evaluasi dalam bentuk hasil tes yang tertuang dalam raport
siswa kelas II pada akhir tahun dari tahun ajaran 2005/2006 sampai 2007/2008
menunjukkan nilai rata-rata kelas masih rendah. Pada tahun ajaran 2003/2004
nilai rerata kelas 5,5 dan 2004/2005 rerata kelas hanya 5,9.
Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi selama peneliti mengajar di SDN
Tlasih kurang lebih selama 15 (lima belas) tahun sebagai guru kelas, juga diberi
tugas mengajar mata pelajaran bahasa Inggris kelas II, pelaksanaan PBM belum
optimal. Mulai tahun 2004/2005 diberi tugas mengajar bahasa Inggris kelas I, II
dan III. Adanya keterbatasan fasilitas, seperti buku ajar paket maupun buku-buku
penunjang lain belum sepenuhnya dapat terpenuhi. Ditambah pula lokasi SDN
Tlasih masuk ke dalam daerah pedesaan, situasi, dinamika siswa, dan kondisi
sekolah berbeda dengan sekolah di daerah kota.
Pada mata pelajaran bahasa Inggris secara ideal siswa diharapkan punya
cukup bahan bacaan baik dalam bentuk buku ajar paket maupun buku penunjang
lain yang relevan serta anak cukup waktu untuk membaca dan latihan sehingga
3
pemahaman pelajaran bahasa Inggris di sekolah mudah dimengerti. Lebih mudah
lagi jika di rumah juga dibantu dengan orang tuannya. Kurangnya buku-buku
yang berisi bahan bacaan bahasa Inggris yang dipandu dengan banyak gambar
masih kurang. Karena keterbatasan fasilitas yang menunjang dalam proses belajar
mengajar tersebut, prestasi hasil belajar siswa yang dapat dilihat dari hasil tes
pada semester sebelumnya maupun hasil tes akhir semester serta hasil-hasil tes
harian baik sebagai tes penjajagan maupun evaluasi tugas harian, kurang
memuaskan.
Tingkat kesulitan bahasa Inggris pada masing-masing ketrampilan bahasa,
berbeda. Kesulitan pada ketrampilan membaca (reading), berbeda dengan
ketrampilan berbicara (speaking), demikian juga dengan kesulitan pada
ketrampilan mendengarkan (listening), maupun mengartikan kosa kata
(translating). dari berbagai macam ketrampilan berbahasa tersebut, persoalan
utama terletak pada penguasaan kosa kata. Sebab, jika siswa tidak cukup
menguasai kosa kata, maka ketrampilan lainnya akan menjadi lebih sulit. Maka
lebih awal, seharusnya ketrampilan pengajaran pada translate perlu diperbaiki.
Khusunya pada mata pelajaran bahasa Inggris pada pokok bahasan translate
atau mengartikan kata bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya,
tampaknya siswa masih mendapat kesulitan. Kesulitan tersebut terletak pada cara
memahami dan menghafal kosa kata, sehingga perbendaharaan kosa kata yang
dimiliki siswa sangat sedikit. Hal ini bisa disebabkan oleh sangat monotonnya
guru dalam mengajarkan, kurang bervariasinya metode pengajara dan
pengajarannya masih verbal. Berdasarkan identifikasi permasalahan pengajaran
bahasa Inggris di tingkat Sekolah Dasar tersebut, permasalahan utama adalah
capaian hasil belajar bahasa Inggris siswa kelas II masih rendah dan diduga
karena model pembelajaran yang digunakan kurang bervariasi.
D. PERUMUSAN DAN PEMECAHAN MASALAH
1. Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini permasalahan penelitian tindakan dapat dirumuskan
sebagai berikut :
4
1) Bagaimanakah suatu tindakan dapat meningkatkan kemampuan translate
siswa apabila siswa diberi tugas mengingat, kegiatan yang dilakukan di
rumah, mengamati benda-benda di sekitar rumah sampai sekolah,
selanjutnya guru merangkum apa yang telah diamati oleh siswa dan ditulis
di papan tulis dengan mengartikan dalam bahasa Inggris?
2) Bagaimanakah suatu tindakan dapat meningkatkan kemampuan translate
siswa apabila siswa diberi tugas mengingat, kegiatan yang dilakukan di
rumah, mengamati benda-benda di sekitar rumah sampai sekolah,
selanjutnya guru merangkum apa yang telah diamati oleh siswa dan ditulis
di papan tulis dengan mengartikan dalam bahasa Inggris dan dibantu
dengan media kartu bergambar?
3) Bagaimanakah suatu tindakan dapat meningkatkan kemampuan translate
siswa apakah dapat ditingkatkan apabila siswa diberi tugas mengingat,
kegiatan yang dilakukan di rumah, mengamati benda-benda di sekitar
rumah sampai sekolah, selanjutnya guru merangkum apa yang telah
diamati oleh siswa dan ditulis di papan tulis dengan mengartikan dalam
bahasa Inggris dan dibantu dengan media kartu bergambar serta
mempraktekan secara langsung?
4) Bagaimanakah pendakatan konstruktivistik dapat meningkatkan
kemampuan translate siswa?
2. Pemecahan Masalah Pada situasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang begitu
pesat perencanaan pembelajaran secara tradisional tidaklah lagi harus
dipertahankan. Dari berbagai penelitian dan pengembangan program melalui
pendekatan yang tepat dapat memberikan hasil yang lebih baik, karena salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar diantaranya adalah
pendekatan pembelajaran yang tepat. Oleh karena itu, sangat perlu diupayakan
pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil prestasi belajar
siswa. Upaya ini menjadi sangat penting sebab hanya dengan melalui
pendekatan pembelajaran yang tepat siswa dapat meningkatkan
pemahamannya terhadap konsep-konsep yang sedang dipelajari.
5
Belajar, menurut Konstruktivistik adalah suatu perubahan konseptual,
yang dapat berupa pengkonstruksian ide baru atau merekonstruksi ide yang
sudah ada sebelumnya. Menurut Konstruktivistik ketika siswa masuk ke kelas
untuk menerima pelajaran, siswa tidak dengan kepala kosong yang siap diisi
dengan berbagai macam pengetahuan oleh guru. Sebenarnya para siswa telah
membawa pengetahuan awal yang diistilahkan oleh para konstruktivist dengan
gagasan/pikiran siswa.
Salah satu pendekatan mengajar yang dapat dianggap memenuhi syarat
dilihat dari kerangka konseptual, adalah pendekatan konstuktivistik.
Pendekatan pembelajaran ini merupakan implementasi dari sejumlah prinsip-
prinsip konstruktivisme tentang bagaimana pengetahuan diperoleh.
Permasalahan tersebut dapat dicari pemecahannya dengan mengembangkan
model pembelajaran translate dengan menggunakan pendekatan
konstruktivistik. Melalui pendekatan konstruktivistik diharapkan hasil
capaian belajar siswa dapat meningkat.
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan adalah: 1) untuk meningkatkan kemampuan translate
pada siswa kelas II SD; 2) untuk mengurangi beberapa masalah kesulitan yang
dihadapi siswa pada saat pelajaran bahasa Inggris khususnya kemampuan
translate; dan 3) secara langsung dapat meningkatkan proses dan hasil
pembelajaran siswa.
4. Kontribusi Hasil Penelitian
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan
model pembelajaran
Bahasa Inggris untuk memudahkan translate.
Secara praktis manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Bagi guru
a. Dapat meningkatkan profesionalisme sebagai pendidik.
6
b. Dapat berlatih menemukan masalah dan sekaligus tatacara pemecahan
berkenaan dengan tugasnya sebagai pendidik (proses pemebelajaran
siswa).
c. Dapat terjadi tukar pengalaman antara kepala sekolah, guru, dan
peneliti dalam hal menemukan masalah sampai dengan pemecahan
masalah dalam hal pembelajaran siswa.
e. Hasil ini dapat bermanfaat bagi kolega guru lain untuk berlatih
menemukan masalah dalam pembelajaran siswa dan hasil model
pembelajaran ini dapat dicoba di sekolah masing-masing untuk
meningkatkan kemampuan memahami dan meningkatkan
perbendaharaan kosa kata para siswa.
2. Bagi siswa
a. Siswa dilatih berani mengucapkan kata dalam bahasa Inggris meskipun
spelling-nya agak kerang betul. Karena seringkali ketidakberanian
siswa mengucapkan kata dalam bahasa Inggris, sehingga bahasa
Inggris menjadi sulit.
b. Marasa senang karena mendapat perhatian dalam bentuk permainan
dalam proses belajarnya.
c. Meningkatkan prestasi siswa.
E. KAJIAN PUSTAKA
1. Landasan Teori
Salah satu model penelitian tindakan kelas adalah dikemukakan Kemmis
dan Mc Taggart yang merupakan pengembangan model dari Lewin selanjutnya
disesuaikan dengan beberapa pertimbangan. Dalam perencanaannya Kemmis
menggunakan model spiral refleksi diri yang dimulai dengan rencana, tindakan,
pengamatan, refleksi dan perencanaan kembali merupakan dasar untuk suatu
ancang-ancang pemecahan masalah. Sedangkan menurut Stringer (1999) proses
penelitian tindakan ada 3 proses, yaitu: mengamati, berpikir, dan beetindak atau
mempraktekkan. Model Kemmis dan Taggart digambar sebagai berikut.
7
Penelitian Tindakan Model Spiral (Kemmis & Taggart, 1988; Kasiani Kasbolah, 1999).
2. Model Pembelajaran Konstruktivistik
Matthews secara garis besar membagi aliran konstruktivisme menjadi dua,
yaitu konstruktivisme psikologi dan sosiologi (Suparno, 1997). Kemudian
konstruktivisme psikologi juga dibagi menjadi dua yaitu: (1) konstruktivisme
radikal, yang lebih bersifat personal, individual, dan subyektif, dan aliran ini
dianut oleh Piaget dan pengikut-pengikutnya; dan (2) konstruktivisme sosial,
yang lebih bersifat sosial, dan aliran ini dipelopori oleh Vigotsky. Ernest
(1996) secara tegas membagi tiga aliran konstruktivisme yaitu
konstruktivisme radikal, konstruktivisme sosial, dan konstruktivisme lemah
8
OBSERVE
REFLECT
PLAN
PLAN
OBSERVE
REFLECT
1
2
3
4
5
6
8
7
(weak constructivism). Namun secara umun secara klasik teori belajar ada dua
aliran yang dikenal dengan teori perubahan tingkah laku (behavioral theory)
dan teori kognetif (cognitive theory) (Abruscato, 1996).
Ada beberapa teori dalam model pembelajaran konstruktivistik. Namun dalam
kajian pustaka ini dikemukakan beberapa teori sebagai gambaran yang akan
dipakai sebagai landasan dalam penelitian tindakan ini.
a. Teori Piaget
Piaget mempunyai perbedaan pandangan yang sangat mendasar
dengan pandangan kaum behavior dalam pemerolehan pengetahuan. Bagi
kaum behavior pengetahuan itu dibentuk oleh lingkungan melalui ikatan
stimulus-respon. Piaget berpandangan bahwa pemerolehan pengetahuan
seperti itu ibarat menuangkan air dalam bejana. Artinya, pebelajar dalam
keadaan pasif menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Bagi
Piaget pemerolehan pengetahuan harus melalui tindakan dan interaksi aktif
dari seseorang/pebelajar terhadap lingkungan (Abruscato, 1996).
Menurut Piaget pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut
skema. yang sering disebut dengan struktur kognitif. Dengan
menggunakan skemata itu seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi
lingkungannya sehingga terbentuk skemata yang baru, yaitu melalui
proses asimilasi dan akomodasi.
Jean Piaget (Ellis, 1998) mengemukakan ada 4 tahap perkembangan
mental manusia dari lahir sampai dewasa, yaitu: (1) sensori motor
(sensorimotor) sejak lahir-2 tahun; (2) pra-operasional atau intuisi
(intuitive or preoperational) usia 2-7 tahun; (3) operasional konkret (
concrete operasional) usia 7-11 tahun; dan (4) operasional formal (formal
operational) pada usia 12-16 tahun.
b. Teori Vigotsky
Sebelumnya telah disinggung bahwa konstruktivisme sosial dipelopori
oleh Vygotsky. Secara umum, penganut faham konstruktivisme sosial
memandang bahwa pengetahuan diperleh melalui konstruksi sosial. Hal
ini didasarkan pada pandangan bahwa: (1) Basis dari pengetahuan adalah
bahasa, perjanjian dan hukum-hukum, dan pengetahuan bahasa merupakan
9
konstruksi sosial; (2) Proses sosial interpersonal diperlukan untuk
membentuk pengetahuan subyektif yang selanjutnya melalui publikasi
akan terbentuk pengetahuan obyektif dan (3) Obyektivitas itu sendiri
merupakan masalah social (Hamzah, 2001). Teori Vygotsky ini juga
disebut sebagai pendekatan sosial sejarah (sociohistorical approach)
(Ellis, 1998).
c. Teori Bruner
Pengikut aliran konstruktivisme personal yang lain adalah Bruner.
Meskipun Bruner mengklaim bahwa ia bukan pengikut Piaget tetapi teori-
teori belajarnya sangat relevan dengan tahap-tahap perkembangan
berpikir seperti yang dikemukakan Piaget. Salah satu teori belajar
Bruner yang mendukung paham konstruktivisme adalah teori konstruksi.
Dalam model pengajaran Bruner didasarkan atas empat konsep dasar,
yaitu: struktur, kesiapan, intuisi dan motivasi (Ellis, 1998).
d. Model pembelajaran konstruktivistik menurut Novick
Salah satu contoh model mengajar yang merujuk kepada pandangan
konstruktivist mengenai pembentukan pengetahuan adalah model
mengajar yang dikemukakan oleh Novick (Kurniawan, 2000). Model
mengajar tersebut mempunyai pola umum seperti bagan berikut: 1)
Exposing Alternative Framework, 2) Creating conceptual conflict, dan 3)
Encouraging cognitive accomodation.
Poses model pembelajaran konstruktivistik ada 3 fase, yaitu: fase I, fase
II, dan fase III. Model mengajar Novick diadaptasikan dari Osborne
(Kurniawan, 2000) adalah:
Fase pertama, exposing alternative framework (mengungkap konsepsi
awal)
Menurut Novick belajar konsep sains melibatkan akomodasi kognitif
terhadap konsepsi awal (alternative framework) siswa, tugas guru dalam
pembelajaran adalah mengetahui dengan pasti konsepsi awal siswa secara
individual terhadap topik IPS yang sedang dipelajari. Bila tidak sesuai
dengan konsep yang diterima oleh umumnya ilmuwan, maka guru harus
berusaha memodifikasinya menuju konsepsi yang sesuai dengan konsepsi
10
ilmuwan. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk mengungkap
konsepsi awal siswa mengenai topik yang akan dipelajari, salah satu
diantaranya adalah cara Verbal yakni mengajukan pertanyaan yang
bersifat meminta informasi misalnya: Apa yang terjadi jika....., Menurut
kamu apa yang menyebabkannya? Cara ini dapat dilakukan oleh guru
secara lisan maupun secara tertulis (tes bentuk uraian atau multiple
choice). Cara kedua adalah memperlihatkan fenomena alam tertentu dapat
berupa model atau kejadian asli, kemudian menugaskan mereka menjawab
pertanyaan tertentu sesuai dengan fikirannya baik berupa kata-kata
maupun berupa gambar.
Fase kedua, creating conceptual conflict (menciptakan konflik
konseptual)
Menciptakan konflik konseptual dalam pikiran siswa adalah suatu tahap
yang penting dalam pembelajaran, sebab hanya dengan adanya konflik
tersebut siswa merasa tertantang untuk belajar, dengan kata lain mereka
merasa tidak puas terhadap kenyataan yang sedang dihadapinya.
Penciptaan konflik konseptual dalam pembelajaran dapat dilakukan oleh
guru dengan cara:
1) Mengajak siswa berdiskusi baik dalam kelompok kecil maupun
kelompok besar, memberikan kegiatan kepada siswa (misalnya
melakukan percobaan yang hasilnya membantah konsepsi siswa yang
tidak ilmiah). Peran guru dalam pembelajaran jika salah satu dari
kedua cara tersebut digunakan adalah membantu siswa
mendeskripsikan ide-idenya, membantu siswa menjelaskan ide-idenya
kepada siswa yang lain yang terlibat dalam diskusi.
2) Membimbing siswa melakukan tindakan dan mengarahkan interpretasi
siswa terhadap pengamatan yang telah mereka lakukan.
Fase ketiga, encouraging cognitive accomodation (mengupayakan
terjadinya akomodasi kognitif).
Mendorong terjadinya akomodasi dalam struktur kognitif siswa dalam
pembelajaran perlu dilakukan agar pikiran mereka kembali ke kondisi
keseimbangan. Hal ini dapat dilakukan oleh guru dengan cara
11
menyediakan suatu pengalaman belajar misalnya mencoba yang lebih
meyakinkan mereka bahwa konsepsinya kurang tepat. Untuk sampai pada
tahap meyakinkan siswa, guru perlu menggunakan pertanyaan yang
sifatnya menggali konsepsi siswa misalnya: Apa yang anda maksud
dengan......., mengapa .....bisa terjadi, Bagaimana hasilnya jika....... dsb.
Model pembelajaran konstruktivistik yang digunakan pada pelaksanaan
penelitian tindakan kelas ini dengan model Novick.
2. Kajian Hasil Penelitian
Pada saat ini dengan diterapkannya pembelajaran dengan sistem
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), peran guru sangat penting dan harus
dapat mengembangkan berbagai macam ketrampilan mengajar sesuai dengan
kompetensi yang diharapkan sehingga siswa lebih dinamis dan aktif. Guna
menunjang KBK pengajaran dengan model konstruktivistik sangat diperlukan.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran
konstruktivistik berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar siswa.
Hasil penelitian Nurmawati dkk (2000) pada siswa kelas III SDN
Kutohardjo II Rembang menunjukkan bahwa pembelajaran yang berorientasi
pada konstruktivistik ternyata dapat membuat siswa antusias dan termotivasi
dalam belajar matematika sehingga siswa terlibat baik secara intelektual
maupun emosional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari pelaksanaan
tindakan pembelajaran tersebut yang masing-masing dilanjutkan tes formatif,
ternyata kelima subjek penelitian dapat mencapai tingkat kerberhasilan
optimal (85% - 94%) bahkan maksimal (100%).
Penelitian lain yang telah dilakukan oleh Jonny H. Panggabean tentang
penerapan model konstruktivis dalam pembelajaran pada pembelajaran fisika
sangat efektif meluruskan kesalahan konsep. Persentase penerapan model
konstruktivis dalam pembelajaran fisika dapat menurunkan kesalahan konsep
sebesar 34,21 % yang lebih tinggi dari pada pendekatan konvensional sebesar
11,57 % (Panggabean, 2001).
Hasil penelitian Hamzah (2001) pada mata pelajaran fisika dengan
menggunakan pendekatan konstrukrivistik menunjukkan bahwa penelitian
yang banyak mengajarkan konsep abstrak belum cukup untuk membangkitkan
12
semangat dan minat anak dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan sendiri
termasuk matematika, jika tidak ditunjang atau dibarengi oleh keberadaan
benda-benda nyata (konkrit) yang dapat dimanipulasi sendiri oleh anak.
F. RENCANA DAN PROSEDUR PENELITIAN
1. Obyek Tindakan
Yang menjadi obyek tindakan dalam penelitian ini adalah mata pelajaran
bahasa Inggris khususnya pada pokok bahasan translate atau mengartikan kata
bahasa Inggris ke dalam bahas Indonesia serta sebaliknya dan menghafal kata-
kata bahasa Inggris dan mengerti makna dalam bahasa Indonesia
2. Subyek penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SDN Tlasih Kecamatan
Tulangan, pada Klas II, Semester I. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah
yang selama ini peneliti mengajar selama hampir 15 tahun di SD ini. Mata
pelajaran yang akan diteliti dan dilakukan tindakan guna untuk melakukan
perbaikan model pengajaran pada mata pelajaran bahasa Inggris khususnya
ketrampilan mengartikan kata bahasa Inggris ke dalam bahan Indonesia serta
sebaliknya dan menghafal kata-kata bahasa Inggris dan mengerti makna dalam
bahasa Indonesia. Subyek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah siswa
kelas II dengan jumlah murid 23 siswa.
3. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini direncanakan dilakukan di SDN Tlasih Kec. Tulangan mulai
Bulan Februari 2009 sampai dengan Mei 2009.
4. Rencana Tindakan
Siklus I (Pertama)
a) Rencana:
1) Refleksi awal.
Pada tahap refleksi awal ini diadakan studi observasi terhadap kelas yang
akan dijadikan uji coba dan membicarakan uji coba ini dengan kepala
sekolah.
2) Rancangan tindakan, meliputi: a) menyiapkan bahan kosa kata bahasa
Inggris; b) membuat daftar kata-kata dalam bahasa Inggris, tentang apa
arti dari; dan c) mengadakan koordinasi dengan guru kolaborator.
13
3) Evaluasi dilakukan melalui analisis secara kuantitatif dengan
menggunakan tes dan menghitung nilai rata-rata kelas.
b) Pelaksanaan tindakan.
1) Menetapkan rencana tindakan
Mengadakan koordinasi dan diskusi dengan guru kolaborator akan tugas
masing-masing untuk melaksanakan tindakan yang direncanakan.
2) Melaksanakan tindakan.
Pada kegiatan proses belajar mengajar anak-anak disuruh mengingat,
apa aktifitas apa yang diingat dari rumah hingga sekolah dan siswa
menjawab.
c) Observasi dan evaluasi
Observasi ini dilaksanakan sejak awal pelaksanaan tindakan dengan harapan
dapat memdeteksi kemungkinan kalau ada suatu tindakan di luar dari
perencanaan dan kemungkinan kegagalan dari tindakan.
Evaluasi dilaksanakan bersama dengan observasi. Evaluasi ini digunakan
untuk mengetahui keberhasilan pemberian tindakan yang akan digunakan
sebagai dasar penentuan tindakan berikutnya.
d) Refleksi.
Dalam tindakan refleksi ini, semua pihak (guru peneliti, guru kolaborator)
yang terlibat dalam penelitian tindakan ini menyampaikan kesan, apakah ada
kendala dalam melaksanakan tindakan pertama dan bagaimana perbaikannya
dalam tindakan pada siklus berikutnya.
Siklus II (Dua)
a) Rencana:
1) Refleksi awal.
Berdasarkan hasil evaluasi dan refleksi pada tindakan pertama (siklus I)
dimana baru sebagian kecil indikator yang dicapai maka tindakan yang
akan dilakukan pada siklus kedua ini disamping siswa diberi kan kegiatan
seperti pada siklus I juga ditambah guru menulis di papan tulis aktifitas
yang dilakukan serta mengartikan ke dalam bahasa Inggris.
14
2) Rancangan tindakan, meliputi: a) menyiapkan bahan dalam bentuk
kartu bergambar; b) mengadakan koordinasi dengan guru kolaborator.
3) Evaluasi dilakukan melalui analisis secara kuantitatif dengan
menggunakan tes dan menghitung nilai rata-rata kelas.
b) Pelaksanaan:
1) menetapkan rencana tindakan;
2) mengadakan kordinasi dan diskusi dengan guru kolaborator akan tugas
masing-
masing dan memantapkan dalam pelaksanaan tindakan berikutnya; dan
3) melaksanakan tindakan sama seperti tindakan pada siklus pertama
ditambah
dengan media kartu bergambar.
c) Observasi dan evaluasi.
Observasi ini dilakukan sejak awal pelaksanaan tindakan kedua dengan
harapan dapat memdeteksi kemungkinan kalau ada suatu tindakan di luar dari
perencanaan dan kemungkinan kegagalan dari tindakan.
Evaluasi dilaksanakan bersama dengan observasin untuk mengtetahui
keberhasilan pemberian tindakan yang akan digunakan sebagai dasar
penentuan tindakan berikutnya (tindakan ke-3).
d) Refleksi.
Hasil refleksi dari tindakan tindakan ini, didiskusikan dengan semua pihak
(guru peneliti, guru kolaborator) menyampaikan kesan, apakah ada kendala
dalam melaksanakan tindakan 2 (kedua) dan bagaimana perbaikannya dalam
tindakan pada tidakan siklus ke 3.
Siklus III (Tiga)
a) Rencana :
1) Refleksi awal.
Berdasarkan hasil evaluasi dan refleksi pada tindakan kedua, akan
dilakukan perbaikan pada tindakan berikutnya.
2) Rancangan tindakan
a) menyiapkan bahan kartu bergambar dan praktek di sekitar lingkungan
15
sekolah.
b) mengadakan koordinasi dengan guru kolaborator.
3) Evakluasi dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan tes dan
menghitung nilai rata-rata kelas.
b) Pelaksanaan tindakan.
Pelaksanaan tindakan pada siklus 3 (tiga) sama seperti tindakan pada siklus 2
(dua) juga siswa diminta menyebutkan beberapa kata dalam bahasa Inggris
dari apa yang dilakukan baik di rumah dan di sekitar sekolahnya. Selain guru
menuliskan aktifitas-aktifitas yang dialami oleh siswa dari rumah dan sekolah
yang kemudian ditulis ke dalam bahasa inggris juga melihat kartu gambar
aktifitas ditambah lagi dengan peragaan.
c) Observasi dan evaluasi
Observasi ini dilakukan sejak awal sampai pelaksanaan tindakan ketiga.
Evaluasi dilaksanakan bersama dengan observasi. Guru mengevaluasi
kegiatan diskusi siswa dan mengevaluasi laporan hasil kegiatan siswa serta
tes.
5. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan dalam penelitian tindakan ini dengan instrumen
dalam bentuk: 1) kisi-kisi soal tes, 2) lembar observasi, dan 3) gambar
sebagai media belajar.
6. Metode pengumpulan Data
1. Tes tertulis.
Tes dilakukan pada setiap akhir masing-masing siklus. Tes digunakan
tulis, menghafal dan menunjukkan gambar-gambar sesuai dengan makna
kosa kata yang telah diajarkan.
2. Tes lisan.
Tes ini dilakukan untuk mengetahui tingkat hafalan terhadap kosa kata
yang telah diajarkan.
7. Metode Analisa Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, dihitung nilai rata-rata
kelas dan yang disajikan dalam bentuk tabulasi frekuensi, diagram batang.
Analisis trend (analisis perkembangan) digunakan untuk mengetahui
16
perkembangan hasil belajar siswa dalam bentuk hasil tes baik tulis maupun
lisan.
G. JADWAL PENELITIAN
No. Kegiatan Februari 2009 Maret 2009 April 2009 Mei 2009
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 41. Persiapan
pengajaran2 Pelaksanaan3 Pengolahan data4 Pembuatan
laporan
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abruscato J, 1996. Teaching Children Science: A Discovery Aproach. Boston: Allyn and Bacon.
Ahmad Arif. (2004). Pemanfaatan Media Massa Sebagai Sumber Pembelajaran IPS Tingkat Persekolahan. Pendidikan Net Work. alkausar.org/artikel-alka.php
Ahmad Arif. (2004). Quo Vadis, Pendidikan Ips Di Indonesia? alkausar.org/artikel-alka.php. arief a. mangkoesapoetra.
AECT (1977). The Definition of Educational Technology, Association for Educational Communication and Technology.
Amstrong DG and Savage TV, 1996. Efective Teaching in Elementary Social Studies. New Jersey: Prentice-Hall.Inc.
Depdikbud. (1994). Kurikulum Pendidikan Dasar. Jakarta : Pusbangkurandik.
Ellis AK, 1998. Teaching and Learning: Elementary Social Studies. Boston: Allyn and Bacon
Fakih S dan Bunyamin M. (1999). Konsep Dasar IPS. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendaral Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar (Primary School Teacher Development Project), IBRD-LOAN-IND, Jakarta.
Fraser and West. (1993). Social Studies in Secondary School. New York: Ronald Press
Hamalik, Oemar. (1982). Media Pendidikan. Bandung : Alumni
17
Hamzah, 2001. Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme.Jakarta: Balitbang Didasmen Dikti PLSP, www.depdiknan.go.idJoni RK, 1997. Penelitian Tindakan: Pembentujan Knowledge Base Keguruan, Makalah disajikan dalam rangka perdiapan Penyelenggaraan Penelitian Tindakan Kelas, UP3SD BP3GSD, Yogyakarta 30 Oktober -1 Nopember 1996.
Kasbollah K, 1999. Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendaral Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar (Primary School Teacher Development Project), IBRD-LOAN-IND, Jakarta.
Kosasih E. (1998), Kapan Anak Belajar Bahasa Inggris?, Intisari, September, Artikel lepas,
Kurniawan, D. (2000). Upaya Mengaktifkan Siswa Dalam Pembelajaran Getaran Dan Gelombang Melalui Pendekatan Konstruktivisme Pada Siswa Smu Swadhipa Natar Tahun Ajaran 1999/2000, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung Bandar Lampung.
NCSS. (1998). Curriculum Standard for Social Studies. Washington, D.C. : NCSS
NCSS. (2002). Strategies for Integrating Media Literacy Into the Social Studies Curriculum. [Online]. Tersedia : http://www.mediad.org/studyguides/ Strategies for Integrating Media Literacy/html. [10 Nopember 2002].
NCSS. (2003). Curriculum Standard for the Social Studies. [Online]. Tersedia : http://www.ncss.org/. [14 Pebruari 2003].
Nurmawati, Sri Handayani dan Lusi Rachmiazasi, 2000. Pembelajaran Yang Berorientasi Pada Konstruktivistik Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Nilai Tempat Bagi Siswa Kelas III Sdn Kutohardjo II Rembang.Journal Pendidikan Vol. 2, Th. 2000.
Panggabean, JH. 2001. Pengaruh Penerapan Model Konstruktivis Dalam Pengajaran Rangkaian Listrik Searah Dalam Upaya Meluruskan Kesalahan Konsep Mahasiswa Jurusan Fisika Tahun Pertama FMIPA Universitas Negeri Meda. MDN-FMIPA-032/XIII/2001
P3GT. (2000). Materi Pokok Diklat Tipe D, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis Bandung 2004
Rumampuk D.B. (1988). Media Instruksional IPS. Jakarta : P2LPTK-Ditjen Dikti Depdikbud.
Saxe DW, 1994. Social Studies for the Elementary Teacher. Boston: Allyn and Bacon.
18
Somantri, M.N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung : PPS-UPI dan PT. Remadja Rosda Karya.
Stringer, E. T. (1999) Action Research: A handbook for practitioners 2e, Newbury Park, ca.: Sage. 400 pages. Sets community-based action research in context and develops a model. Chapters on information gathering, interpretation, resolving issues; legitimacy etc. See, also Stringer's (2003) Action Research in Education, Prentice Hall.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivissme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suyanto, 1996. Pengenalan Penelitian Tindakan Kelas, Pedoman Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Bagian I, Yogyakarta: UP3SD-UKMP.SD.
19