proposal ptk

29
A. JUDUL PENELITIAN Model Pembelajaran Bahasa Inggris dengan Pendekatan Konstruktivistik untuk Meningkatkan Kemampuan Translate B. BIDANG KAJIAN Desain dan strategi pembelajaran di kelas C. PENDAHULUAN Belakangan ini aneka kursus bahasa asing, terutama bahasa Inggris, semakin semarak. Tidak hanya untuk orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Lembaga sekolahpun tak mau ketinggalan zaman. Pengajaran bahasa Inggris semula hanya dikenal di tingkat SMTP dan jenjang lebih tinggi, sekarang diberikan kepada siswa SD, bahkan murid Sekolah Taman Kanak-Kanak. Fenomena seperti itu antara lain terpacu oleh obsesi orang tua yang menghendaki anaknya cepat bisa berbahasa asing. Mereka berpandangan, semakin dini anak belajar bahasa asing, semakin mudah anak menguasai bahasa itu. Beberapa pakar bahasa mendukung pandangan bahswa "semakin dini anak belajar bahasa asing, semakin mudah anak menguasai bahasa itu". Misalnya, Mc Laughlin dan Genesee menyatakan bahwa anak-anak lebih cepat memperoleh bahasa tanpa banyak kesukaran dibandingkan dengan orang dewasa. Demikian pula Eric H. Lennenberg, ahli neurologi, berpendapat bahwa sebelum masa pubertas, daya pikir (otak) anak lebih lentur. Makanya, 1

Upload: hasan-basri

Post on 19-Jun-2015

894 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal Ptk

A. JUDUL PENELITIAN

Model Pembelajaran Bahasa Inggris dengan Pendekatan

Konstruktivistik untuk Meningkatkan Kemampuan Translate

B. BIDANG KAJIANDesain dan strategi pembelajaran di kelas

C. PENDAHULUANBelakangan ini aneka kursus bahasa asing, terutama bahasa Inggris,

semakin semarak. Tidak hanya untuk orang dewasa, tetapi juga anak-anak.

Lembaga sekolahpun tak mau ketinggalan zaman. Pengajaran bahasa Inggris

semula hanya dikenal di tingkat SMTP dan jenjang lebih tinggi, sekarang

diberikan kepada siswa SD, bahkan murid Sekolah Taman Kanak-Kanak.

Fenomena seperti itu antara lain terpacu oleh obsesi orang tua yang menghendaki

anaknya cepat bisa berbahasa asing. Mereka berpandangan, semakin dini anak

belajar bahasa asing, semakin mudah anak menguasai bahasa itu.

Beberapa pakar bahasa mendukung pandangan bahswa "semakin dini anak

belajar bahasa asing, semakin mudah anak menguasai bahasa itu". Misalnya, Mc

Laughlin dan Genesee menyatakan bahwa anak-anak lebih cepat memperoleh

bahasa tanpa banyak kesukaran dibandingkan dengan orang dewasa. Demikian

pula Eric H. Lennenberg, ahli neurologi, berpendapat bahwa sebelum masa

pubertas, daya pikir (otak) anak lebih lentur. Makanya, ia lebih mudah belajar

bahasa. Sedangkan sesudahnya akan makin berkurang dan pencapaiannya pun

tidak maksimal. Bambang Kaswanti Purwo, ketua Program Studi Linguistik

Terapan Bahasa Inggris, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta dalam tulisannya

Pangajaran Bahasa Inggris di SD dan SMTP, menyebutkan bahwa usia 6 - 12

tahun merupakan masa emas atau paling ideal untuk belajar bahasa selain bahasa

ibu (bahasa pertama). Alasannya, otak anak masih plastis dan lentur, sehingga

proses penyerapan bahasa lebih mulus. Penelitian Fathman terhadap 200 anak

berusia 6 - 15 tahun yang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di sekolah

di AS, menunjukkan bahwa anak yang lebih muda (usia 6 - 10 tahun) lebih

berhasil pada penguasaan fonologi (tata bunyi) bahasa Inggris. Sedangkan pada

anak lebih tua (11 - 15 tahun) lebih berhasil pada penguasaan morfologi (satuan

1

Page 2: Proposal Ptk

bentuk bahasa terkecil) dan sintaksisnya (susunan kata dan kalimat) (Kosasih,

1998).

Selama ini telah diketahui bahwa pengajaran bahasa Inggris di tingkat

SLTP dan SLTA sudah lama dilaksanakan. Namun, selama hampir 6 tahu belajar

bahasa Inggris (di SLTP dan SLTA), siswa masih tidak bisa berbahasa Inggris.

Banyak kelemahan pada diri siswa dari bahasa Inggris yang diperoleh di SLTP

dan SLTA, antara lain: perbendaharaan kosa kata (vocabulary) bahasa Inggris-

nya sangat minim, kesulitan tata kalimat dan masih takut berbicara dalam bahasa

Inggris. Ada tiga kendala yang dialami siswa berbahasa Inggris, yaitu: 1)

perbendaharaan kata yang dimiliki sangat sedikit, 2) grammer masih sulit untuk

diingat, dan 3) anak takut berbicara. Sehingga siswa menjadi sulit berbahasa

Inggris. Kesulitan lain adalah kemampuan siswa mengingat dan mencoba

menterjemahkan dari kata berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, sekaligus

juga penataan kalimatnya.

Pengajaran bahasa Inggris di tingkat SLTP dan SLTA diajarkan bahasa

sebagai ilmu kebahasaan dengan banyak tuntutan seperti grammer. Seringkali

siswa pertama diperkenalkan terlebih dahulu tentang grammer atau structure, hal

ini sering membuat kesulitan bagi siswa. Suharusnya bahasa Inggris pada siswa

diajarkan secara sederhana tidak diajarkan bahasa sebagi ilmu kebahasaan, tetapi

bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari dan diajarkan secara praktis. Bahasa

sebagai alat komunikasi, harus digunakan sehari-hari dengan kegiatan dan kata-

kata yang sangat tidak asing di dengar siswa. Hal ini juga banyak dijumpai pada

pembelajaran bahasa Inggris di Sekolah Dasar. Sebagai akibatnya, banyak siswa

yang menambah belajar bahasa Inggris melalui kegiatan-kegiatan kursus. Sekolah

Dasar sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar dalam memperkenalkan ilmu

pengetahuan kepada siswa pada usia masih muda antara 6 sampai 12 tahun,

seharusnya pengajaran bahasa Inggris lebih mudah.

Pengajaran bahasa Inggris perlu banyak variasi dan memperkenalkan

siswa pada dunia nyata yang dialami siswa, dirasakan sehari-hari di lingkungan

rumah dan sekolahnya. Dengan bahasa ibu (bahasa pertama) dapat mempermudah

pembelajaran bahasa Inggris. Siswa diajar tidak harus melalui penataan tata

kalimat yang sulit, siswa sebaiknya dilatih mengucapkan kata dengan bahasa

2

Page 3: Proposal Ptk

Inggris yang dia temui di kelas, lingkungan sekolah dan rumah serta setiap hari

siswa diingatkan kembali tentang apa yang telah mereka lihat dan alami serta

menterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Kegiatan ini dapat dibantu dengan

gambar-gambar yang menunjukkan benda atau aktifitas siswa serta diajak melihat

dan berlatih tentang konsep yang diajarkan.

Pada tingkat Sekolah Dasar, sejak tahun 1993 bahasa Inggris sudah diajarkan

di anak SD sebagai mata pelajaran muatan lokal yang dimulai pada siswa kelas

IV, V dan VI. Bahkan Sekolah Dasar di wilayah perkotaan pelajaran bahasa

Inggris dimulai sejak kelas I. Namun di SD wilayah kecamatan Tulangan

beraneka ragam, inipun di tidak seluruhnya SD diawali dari kelas I. Khusus di SD

Tlasih Kecamatan Tulangan, karena sebagai mata pelajaran muatan lokal, bahasa

Inggris di SD dimulai sejak tahun 1993 pada kelas IV, V, dan VI. Kelas I, II, dan

III diawali tahun pelajaran 2004/2005. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan

peneliti selama diberi tugas mengajar bahasa Inggris pada siswa kelas IV, V, dan

VI dengan metode pembelajaran konvensional dengan cara menghafal dan

menterjemahkan kata dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia dan

sebaliknya, siswa masih banyak mengalai kesulitan.

Data hasil evaluasi dalam bentuk hasil tes yang tertuang dalam raport

siswa kelas II pada akhir tahun dari tahun ajaran 2005/2006 sampai 2007/2008

menunjukkan nilai rata-rata kelas masih rendah. Pada tahun ajaran 2003/2004

nilai rerata kelas 5,5 dan 2004/2005 rerata kelas hanya 5,9.

Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi selama peneliti mengajar di SDN

Tlasih kurang lebih selama 15 (lima belas) tahun sebagai guru kelas, juga diberi

tugas mengajar mata pelajaran bahasa Inggris kelas II, pelaksanaan PBM belum

optimal. Mulai tahun 2004/2005 diberi tugas mengajar bahasa Inggris kelas I, II

dan III. Adanya keterbatasan fasilitas, seperti buku ajar paket maupun buku-buku

penunjang lain belum sepenuhnya dapat terpenuhi. Ditambah pula lokasi SDN

Tlasih masuk ke dalam daerah pedesaan, situasi, dinamika siswa, dan kondisi

sekolah berbeda dengan sekolah di daerah kota.

Pada mata pelajaran bahasa Inggris secara ideal siswa diharapkan punya

cukup bahan bacaan baik dalam bentuk buku ajar paket maupun buku penunjang

lain yang relevan serta anak cukup waktu untuk membaca dan latihan sehingga

3

Page 4: Proposal Ptk

pemahaman pelajaran bahasa Inggris di sekolah mudah dimengerti. Lebih mudah

lagi jika di rumah juga dibantu dengan orang tuannya. Kurangnya buku-buku

yang berisi bahan bacaan bahasa Inggris yang dipandu dengan banyak gambar

masih kurang. Karena keterbatasan fasilitas yang menunjang dalam proses belajar

mengajar tersebut, prestasi hasil belajar siswa yang dapat dilihat dari hasil tes

pada semester sebelumnya maupun hasil tes akhir semester serta hasil-hasil tes

harian baik sebagai tes penjajagan maupun evaluasi tugas harian, kurang

memuaskan.

Tingkat kesulitan bahasa Inggris pada masing-masing ketrampilan bahasa,

berbeda. Kesulitan pada ketrampilan membaca (reading), berbeda dengan

ketrampilan berbicara (speaking), demikian juga dengan kesulitan pada

ketrampilan mendengarkan (listening), maupun mengartikan kosa kata

(translating). dari berbagai macam ketrampilan berbahasa tersebut, persoalan

utama terletak pada penguasaan kosa kata. Sebab, jika siswa tidak cukup

menguasai kosa kata, maka ketrampilan lainnya akan menjadi lebih sulit. Maka

lebih awal, seharusnya ketrampilan pengajaran pada translate perlu diperbaiki.

Khusunya pada mata pelajaran bahasa Inggris pada pokok bahasan translate

atau mengartikan kata bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya,

tampaknya siswa masih mendapat kesulitan. Kesulitan tersebut terletak pada cara

memahami dan menghafal kosa kata, sehingga perbendaharaan kosa kata yang

dimiliki siswa sangat sedikit. Hal ini bisa disebabkan oleh sangat monotonnya

guru dalam mengajarkan, kurang bervariasinya metode pengajara dan

pengajarannya masih verbal. Berdasarkan identifikasi permasalahan pengajaran

bahasa Inggris di tingkat Sekolah Dasar tersebut, permasalahan utama adalah

capaian hasil belajar bahasa Inggris siswa kelas II masih rendah dan diduga

karena model pembelajaran yang digunakan kurang bervariasi.

D. PERUMUSAN DAN PEMECAHAN MASALAH

1. Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini permasalahan penelitian tindakan dapat dirumuskan

sebagai berikut :

4

Page 5: Proposal Ptk

1) Bagaimanakah suatu tindakan dapat meningkatkan kemampuan translate

siswa apabila siswa diberi tugas mengingat, kegiatan yang dilakukan di

rumah, mengamati benda-benda di sekitar rumah sampai sekolah,

selanjutnya guru merangkum apa yang telah diamati oleh siswa dan ditulis

di papan tulis dengan mengartikan dalam bahasa Inggris?

2) Bagaimanakah suatu tindakan dapat meningkatkan kemampuan translate

siswa apabila siswa diberi tugas mengingat, kegiatan yang dilakukan di

rumah, mengamati benda-benda di sekitar rumah sampai sekolah,

selanjutnya guru merangkum apa yang telah diamati oleh siswa dan ditulis

di papan tulis dengan mengartikan dalam bahasa Inggris dan dibantu

dengan media kartu bergambar?

3) Bagaimanakah suatu tindakan dapat meningkatkan kemampuan translate

siswa apakah dapat ditingkatkan apabila siswa diberi tugas mengingat,

kegiatan yang dilakukan di rumah, mengamati benda-benda di sekitar

rumah sampai sekolah, selanjutnya guru merangkum apa yang telah

diamati oleh siswa dan ditulis di papan tulis dengan mengartikan dalam

bahasa Inggris dan dibantu dengan media kartu bergambar serta

mempraktekan secara langsung?

4) Bagaimanakah pendakatan konstruktivistik dapat meningkatkan

kemampuan translate siswa?

2. Pemecahan Masalah Pada situasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang begitu

pesat perencanaan pembelajaran secara tradisional tidaklah lagi harus

dipertahankan. Dari berbagai penelitian dan pengembangan program melalui

pendekatan yang tepat dapat memberikan hasil yang lebih baik, karena salah

satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar diantaranya adalah

pendekatan pembelajaran yang tepat. Oleh karena itu, sangat perlu diupayakan

pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil prestasi belajar

siswa. Upaya ini menjadi sangat penting sebab hanya dengan melalui

pendekatan pembelajaran yang tepat siswa dapat meningkatkan

pemahamannya terhadap konsep-konsep yang sedang dipelajari.

5

Page 6: Proposal Ptk

Belajar, menurut Konstruktivistik adalah suatu perubahan konseptual,

yang dapat berupa pengkonstruksian ide baru atau merekonstruksi ide yang

sudah ada sebelumnya. Menurut Konstruktivistik ketika siswa masuk ke kelas

untuk menerima pelajaran, siswa tidak dengan kepala kosong yang siap diisi

dengan berbagai macam pengetahuan oleh guru. Sebenarnya para siswa telah

membawa pengetahuan awal yang diistilahkan oleh para konstruktivist dengan

gagasan/pikiran siswa.

Salah satu pendekatan mengajar yang dapat dianggap memenuhi syarat

dilihat dari kerangka konseptual, adalah pendekatan konstuktivistik.

Pendekatan pembelajaran ini merupakan implementasi dari sejumlah prinsip-

prinsip konstruktivisme tentang bagaimana pengetahuan diperoleh.

Permasalahan tersebut dapat dicari pemecahannya dengan mengembangkan

model pembelajaran translate dengan menggunakan pendekatan

konstruktivistik. Melalui pendekatan konstruktivistik diharapkan hasil

capaian belajar siswa dapat meningkat.

3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan adalah: 1) untuk meningkatkan kemampuan translate

pada siswa kelas II SD; 2) untuk mengurangi beberapa masalah kesulitan yang

dihadapi siswa pada saat pelajaran bahasa Inggris khususnya kemampuan

translate; dan 3) secara langsung dapat meningkatkan proses dan hasil

pembelajaran siswa.

4. Kontribusi Hasil Penelitian

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan

model pembelajaran

Bahasa Inggris untuk memudahkan translate.

Secara praktis manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:

1. Bagi guru

a. Dapat meningkatkan profesionalisme sebagai pendidik.

6

Page 7: Proposal Ptk

b. Dapat berlatih menemukan masalah dan sekaligus tatacara pemecahan

berkenaan dengan tugasnya sebagai pendidik (proses pemebelajaran

siswa).

c. Dapat terjadi tukar pengalaman antara kepala sekolah, guru, dan

peneliti dalam hal menemukan masalah sampai dengan pemecahan

masalah dalam hal pembelajaran siswa.

e. Hasil ini dapat bermanfaat bagi kolega guru lain untuk berlatih

menemukan masalah dalam pembelajaran siswa dan hasil model

pembelajaran ini dapat dicoba di sekolah masing-masing untuk

meningkatkan kemampuan memahami dan meningkatkan

perbendaharaan kosa kata para siswa.

2. Bagi siswa

a. Siswa dilatih berani mengucapkan kata dalam bahasa Inggris meskipun

spelling-nya agak kerang betul. Karena seringkali ketidakberanian

siswa mengucapkan kata dalam bahasa Inggris, sehingga bahasa

Inggris menjadi sulit.

b. Marasa senang karena mendapat perhatian dalam bentuk permainan

dalam proses belajarnya.

c. Meningkatkan prestasi siswa.

E. KAJIAN PUSTAKA

1. Landasan Teori

Salah satu model penelitian tindakan kelas adalah dikemukakan Kemmis

dan Mc Taggart yang merupakan pengembangan model dari Lewin selanjutnya

disesuaikan dengan beberapa pertimbangan. Dalam perencanaannya Kemmis

menggunakan model spiral refleksi diri yang dimulai dengan rencana, tindakan,

pengamatan, refleksi dan perencanaan kembali merupakan dasar untuk suatu

ancang-ancang pemecahan masalah. Sedangkan menurut Stringer (1999) proses

penelitian tindakan ada 3 proses, yaitu: mengamati, berpikir, dan beetindak atau

mempraktekkan. Model Kemmis dan Taggart digambar sebagai berikut.

7

Page 8: Proposal Ptk

Penelitian Tindakan Model Spiral (Kemmis & Taggart, 1988; Kasiani Kasbolah, 1999).

2. Model Pembelajaran Konstruktivistik

Matthews secara garis besar membagi aliran konstruktivisme menjadi dua,

yaitu konstruktivisme psikologi dan sosiologi (Suparno, 1997).  Kemudian

konstruktivisme psikologi juga dibagi menjadi dua yaitu: (1) konstruktivisme

radikal, yang lebih bersifat personal, individual, dan subyektif, dan aliran ini

dianut oleh Piaget dan pengikut-pengikutnya; dan (2) konstruktivisme sosial,

yang lebih bersifat sosial, dan aliran ini dipelopori oleh Vigotsky.  Ernest

(1996) secara tegas membagi tiga aliran konstruktivisme yaitu

konstruktivisme radikal, konstruktivisme sosial, dan konstruktivisme lemah

8

OBSERVE

REFLECT

PLAN

PLAN

OBSERVE

REFLECT

1

2

3

4

5

6

8

7

Page 9: Proposal Ptk

(weak constructivism). Namun secara umun secara klasik teori belajar ada dua

aliran yang dikenal dengan teori perubahan tingkah laku (behavioral theory)

dan teori kognetif (cognitive theory) (Abruscato, 1996).

Ada beberapa teori dalam model pembelajaran konstruktivistik. Namun dalam

kajian pustaka ini dikemukakan beberapa teori sebagai gambaran yang akan

dipakai sebagai landasan dalam penelitian tindakan ini.

a. Teori Piaget

Piaget mempunyai perbedaan pandangan yang sangat mendasar

dengan pandangan kaum behavior dalam pemerolehan pengetahuan.  Bagi

kaum behavior pengetahuan itu dibentuk oleh lingkungan melalui ikatan

stimulus-respon.  Piaget berpandangan bahwa pemerolehan pengetahuan

seperti itu ibarat menuangkan air dalam bejana.  Artinya, pebelajar dalam

keadaan pasif menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru.   Bagi

Piaget pemerolehan pengetahuan harus melalui tindakan dan interaksi aktif

dari seseorang/pebelajar terhadap lingkungan (Abruscato, 1996). 

           Menurut Piaget pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut

skema. yang sering disebut dengan struktur kognitif.  Dengan

menggunakan skemata itu seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi

lingkungannya sehingga terbentuk skemata yang baru, yaitu melalui

proses asimilasi dan akomodasi.

 Jean Piaget (Ellis, 1998) mengemukakan ada 4 tahap perkembangan

mental manusia dari lahir sampai dewasa, yaitu: (1) sensori motor

(sensorimotor) sejak lahir-2 tahun; (2) pra-operasional atau intuisi

(intuitive or preoperational) usia 2-7 tahun; (3) operasional konkret (

concrete operasional) usia 7-11 tahun; dan (4) operasional formal (formal

operational) pada usia 12-16 tahun.

b. Teori Vigotsky

Sebelumnya telah disinggung bahwa konstruktivisme sosial dipelopori

oleh Vygotsky.  Secara umum, penganut faham konstruktivisme sosial

memandang bahwa pengetahuan diperleh melalui konstruksi sosial.   Hal

ini didasarkan pada  pandangan bahwa: (1) Basis dari pengetahuan adalah

bahasa, perjanjian dan hukum-hukum, dan pengetahuan bahasa merupakan

9

Page 10: Proposal Ptk

konstruksi sosial; (2) Proses sosial interpersonal diperlukan untuk

membentuk pengetahuan subyektif yang selanjutnya melalui publikasi

akan terbentuk pengetahuan obyektif dan (3) Obyektivitas itu sendiri

merupakan masalah social (Hamzah, 2001). Teori Vygotsky ini juga

disebut sebagai pendekatan sosial sejarah (sociohistorical approach)

(Ellis, 1998).

c. Teori Bruner

Pengikut aliran konstruktivisme personal yang lain adalah Bruner. 

Meskipun Bruner mengklaim bahwa ia bukan pengikut Piaget tetapi teori-

teori belajarnya sangat relevan dengan tahap-tahap perkembangan

berpikir  seperti yang dikemukakan Piaget.  Salah satu  teori belajar

Bruner  yang mendukung paham konstruktivisme adalah teori konstruksi.

Dalam model pengajaran Bruner didasarkan atas empat konsep dasar,

yaitu: struktur, kesiapan, intuisi dan motivasi (Ellis, 1998).

d. Model pembelajaran konstruktivistik menurut Novick

Salah satu contoh model mengajar yang merujuk kepada pandangan

konstruktivist mengenai pembentukan pengetahuan adalah model

mengajar yang dikemukakan oleh Novick (Kurniawan, 2000). Model

mengajar tersebut mempunyai pola umum seperti bagan berikut: 1)

Exposing Alternative Framework, 2) Creating conceptual conflict, dan 3)

Encouraging cognitive accomodation.

Poses model pembelajaran konstruktivistik ada 3 fase, yaitu: fase I, fase

II, dan fase III. Model mengajar Novick diadaptasikan dari Osborne

(Kurniawan, 2000) adalah:

Fase pertama, exposing alternative framework (mengungkap konsepsi

awal)

Menurut Novick belajar konsep sains melibatkan akomodasi kognitif

terhadap konsepsi awal (alternative framework) siswa, tugas guru dalam

pembelajaran adalah mengetahui dengan pasti konsepsi awal siswa secara

individual terhadap topik IPS yang sedang dipelajari. Bila tidak sesuai

dengan konsep yang diterima oleh umumnya ilmuwan, maka guru harus

berusaha memodifikasinya menuju konsepsi yang sesuai dengan konsepsi

10

Page 11: Proposal Ptk

ilmuwan. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk mengungkap

konsepsi awal siswa mengenai topik yang akan dipelajari, salah satu

diantaranya adalah cara Verbal yakni mengajukan pertanyaan yang

bersifat meminta informasi misalnya: Apa yang terjadi jika....., Menurut

kamu apa yang menyebabkannya? Cara ini dapat dilakukan oleh guru

secara lisan maupun secara tertulis (tes bentuk uraian atau multiple

choice). Cara kedua adalah memperlihatkan fenomena alam tertentu dapat

berupa model atau kejadian asli, kemudian menugaskan mereka menjawab

pertanyaan tertentu sesuai dengan fikirannya baik berupa kata-kata

maupun berupa gambar.

Fase kedua, creating conceptual conflict (menciptakan konflik

konseptual)

Menciptakan konflik konseptual dalam pikiran siswa adalah suatu tahap

yang penting dalam pembelajaran, sebab hanya dengan adanya konflik

tersebut siswa merasa tertantang untuk belajar, dengan kata lain mereka

merasa tidak puas terhadap kenyataan yang sedang dihadapinya.

Penciptaan konflik konseptual dalam pembelajaran dapat dilakukan oleh

guru dengan cara:

1) Mengajak siswa berdiskusi baik dalam kelompok kecil maupun

kelompok besar, memberikan kegiatan kepada siswa (misalnya

melakukan percobaan yang hasilnya membantah konsepsi siswa yang

tidak ilmiah). Peran guru dalam pembelajaran jika salah satu dari

kedua cara tersebut digunakan adalah membantu siswa

mendeskripsikan ide-idenya, membantu siswa menjelaskan ide-idenya

kepada siswa yang lain yang terlibat dalam diskusi.

2) Membimbing siswa melakukan tindakan dan mengarahkan interpretasi

siswa terhadap pengamatan yang telah mereka lakukan.

Fase ketiga, encouraging cognitive accomodation (mengupayakan

terjadinya akomodasi kognitif).

Mendorong terjadinya akomodasi dalam struktur kognitif siswa dalam

pembelajaran perlu dilakukan agar pikiran mereka kembali ke kondisi

keseimbangan. Hal ini dapat dilakukan oleh guru dengan cara

11

Page 12: Proposal Ptk

menyediakan suatu pengalaman belajar misalnya mencoba yang lebih

meyakinkan mereka bahwa konsepsinya kurang tepat. Untuk sampai pada

tahap meyakinkan siswa, guru perlu menggunakan pertanyaan yang

sifatnya menggali konsepsi siswa misalnya: Apa yang anda maksud

dengan......., mengapa .....bisa terjadi, Bagaimana hasilnya jika....... dsb.

Model pembelajaran konstruktivistik yang digunakan pada pelaksanaan

penelitian tindakan kelas ini dengan model Novick.

2. Kajian Hasil Penelitian

Pada saat ini dengan diterapkannya pembelajaran dengan sistem

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), peran guru sangat penting dan harus

dapat mengembangkan berbagai macam ketrampilan mengajar sesuai dengan

kompetensi yang diharapkan sehingga siswa lebih dinamis dan aktif. Guna

menunjang KBK pengajaran dengan model konstruktivistik sangat diperlukan.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran

konstruktivistik berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar siswa.

Hasil penelitian Nurmawati dkk (2000) pada siswa kelas III SDN

Kutohardjo II Rembang menunjukkan bahwa pembelajaran yang berorientasi

pada konstruktivistik ternyata dapat membuat siswa antusias dan termotivasi

dalam belajar matematika sehingga siswa terlibat baik secara intelektual

maupun emosional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari pelaksanaan

tindakan pembelajaran tersebut yang masing-masing dilanjutkan tes formatif,

ternyata kelima subjek penelitian dapat mencapai tingkat kerberhasilan

optimal (85% - 94%) bahkan maksimal (100%).

Penelitian lain yang telah dilakukan oleh Jonny H.  Panggabean tentang

penerapan model konstruktivis dalam pembelajaran pada pembelajaran fisika

sangat efektif meluruskan   kesalahan konsep. Persentase penerapan model

konstruktivis dalam pembelajaran fisika dapat menurunkan kesalahan konsep

sebesar 34,21 % yang lebih tinggi dari pada pendekatan konvensional sebesar 

11,57 % (Panggabean, 2001).

Hasil penelitian Hamzah (2001) pada mata pelajaran fisika dengan

menggunakan pendekatan konstrukrivistik menunjukkan bahwa penelitian

yang banyak mengajarkan konsep abstrak belum cukup untuk membangkitkan

12

Page 13: Proposal Ptk

semangat dan minat anak dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan sendiri

termasuk matematika, jika tidak ditunjang atau dibarengi oleh keberadaan

benda-benda nyata (konkrit) yang dapat dimanipulasi sendiri oleh anak.   

F. RENCANA DAN PROSEDUR PENELITIAN

1. Obyek Tindakan

Yang menjadi obyek tindakan dalam penelitian ini adalah mata pelajaran

bahasa Inggris khususnya pada pokok bahasan translate atau mengartikan kata

bahasa Inggris ke dalam bahas Indonesia serta sebaliknya dan menghafal kata-

kata bahasa Inggris dan mengerti makna dalam bahasa Indonesia

2. Subyek penelitian

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SDN Tlasih Kecamatan

Tulangan, pada Klas II, Semester I. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah

yang selama ini peneliti mengajar selama hampir 15 tahun di SD ini. Mata

pelajaran yang akan diteliti dan dilakukan tindakan guna untuk melakukan

perbaikan model pengajaran pada mata pelajaran bahasa Inggris khususnya

ketrampilan mengartikan kata bahasa Inggris ke dalam bahan Indonesia serta

sebaliknya dan menghafal kata-kata bahasa Inggris dan mengerti makna dalam

bahasa Indonesia. Subyek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah siswa

kelas II dengan jumlah murid 23 siswa.

3. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini direncanakan dilakukan di SDN Tlasih Kec. Tulangan mulai

Bulan Februari 2009 sampai dengan Mei 2009.

4. Rencana Tindakan

Siklus I (Pertama)

a) Rencana:

1) Refleksi awal.

Pada tahap refleksi awal ini diadakan studi observasi terhadap kelas yang

akan dijadikan uji coba dan membicarakan uji coba ini dengan kepala

sekolah.

2) Rancangan tindakan, meliputi: a) menyiapkan bahan kosa kata bahasa

Inggris; b) membuat daftar kata-kata dalam bahasa Inggris, tentang apa

arti dari; dan c) mengadakan koordinasi dengan guru kolaborator.

13

Page 14: Proposal Ptk

3) Evaluasi dilakukan melalui analisis secara kuantitatif dengan

menggunakan tes dan menghitung nilai rata-rata kelas.

b) Pelaksanaan tindakan.

1) Menetapkan rencana tindakan

Mengadakan koordinasi dan diskusi dengan guru kolaborator akan tugas

masing-masing untuk melaksanakan tindakan yang direncanakan.

2) Melaksanakan tindakan.

Pada kegiatan proses belajar mengajar anak-anak disuruh mengingat,

apa aktifitas apa yang diingat dari rumah hingga sekolah dan siswa

menjawab.

c) Observasi dan evaluasi

Observasi ini dilaksanakan sejak awal pelaksanaan tindakan dengan harapan

dapat memdeteksi kemungkinan kalau ada suatu tindakan di luar dari

perencanaan dan kemungkinan kegagalan dari tindakan.

Evaluasi dilaksanakan bersama dengan observasi. Evaluasi ini digunakan

untuk mengetahui keberhasilan pemberian tindakan yang akan digunakan

sebagai dasar penentuan tindakan berikutnya.

d) Refleksi.

Dalam tindakan refleksi ini, semua pihak (guru peneliti, guru kolaborator)

yang terlibat dalam penelitian tindakan ini menyampaikan kesan, apakah ada

kendala dalam melaksanakan tindakan pertama dan bagaimana perbaikannya

dalam tindakan pada siklus berikutnya.

Siklus II (Dua)

a) Rencana:

1) Refleksi awal.

Berdasarkan hasil evaluasi dan refleksi pada tindakan pertama (siklus I)

dimana baru sebagian kecil indikator yang dicapai maka tindakan yang

akan dilakukan pada siklus kedua ini disamping siswa diberi kan kegiatan

seperti pada siklus I juga ditambah guru menulis di papan tulis aktifitas

yang dilakukan serta mengartikan ke dalam bahasa Inggris.

14

Page 15: Proposal Ptk

2) Rancangan tindakan, meliputi: a) menyiapkan bahan dalam bentuk

kartu bergambar; b) mengadakan koordinasi dengan guru kolaborator.

3) Evaluasi dilakukan melalui analisis secara kuantitatif dengan

menggunakan tes dan menghitung nilai rata-rata kelas.

b) Pelaksanaan:

1) menetapkan rencana tindakan;

2) mengadakan kordinasi dan diskusi dengan guru kolaborator akan tugas

masing-

masing dan memantapkan dalam pelaksanaan tindakan berikutnya; dan

3) melaksanakan tindakan sama seperti tindakan pada siklus pertama

ditambah

dengan media kartu bergambar.

c) Observasi dan evaluasi.

Observasi ini dilakukan sejak awal pelaksanaan tindakan kedua dengan

harapan dapat memdeteksi kemungkinan kalau ada suatu tindakan di luar dari

perencanaan dan kemungkinan kegagalan dari tindakan.

Evaluasi dilaksanakan bersama dengan observasin untuk mengtetahui

keberhasilan pemberian tindakan yang akan digunakan sebagai dasar

penentuan tindakan berikutnya (tindakan ke-3).

d) Refleksi.

Hasil refleksi dari tindakan tindakan ini, didiskusikan dengan semua pihak

(guru peneliti, guru kolaborator) menyampaikan kesan, apakah ada kendala

dalam melaksanakan tindakan 2 (kedua) dan bagaimana perbaikannya dalam

tindakan pada tidakan siklus ke 3.

Siklus III (Tiga)

a) Rencana :

1) Refleksi awal.

Berdasarkan hasil evaluasi dan refleksi pada tindakan kedua, akan

dilakukan perbaikan pada tindakan berikutnya.

2) Rancangan tindakan

a) menyiapkan bahan kartu bergambar dan praktek di sekitar lingkungan

15

Page 16: Proposal Ptk

sekolah.

b) mengadakan koordinasi dengan guru kolaborator.

3) Evakluasi dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan tes dan

menghitung nilai rata-rata kelas.

b) Pelaksanaan tindakan.

Pelaksanaan tindakan pada siklus 3 (tiga) sama seperti tindakan pada siklus 2

(dua) juga siswa diminta menyebutkan beberapa kata dalam bahasa Inggris

dari apa yang dilakukan baik di rumah dan di sekitar sekolahnya. Selain guru

menuliskan aktifitas-aktifitas yang dialami oleh siswa dari rumah dan sekolah

yang kemudian ditulis ke dalam bahasa inggris juga melihat kartu gambar

aktifitas ditambah lagi dengan peragaan.

c) Observasi dan evaluasi

Observasi ini dilakukan sejak awal sampai pelaksanaan tindakan ketiga.

Evaluasi dilaksanakan bersama dengan observasi. Guru mengevaluasi

kegiatan diskusi siswa dan mengevaluasi laporan hasil kegiatan siswa serta

tes.

5. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian tindakan ini dengan instrumen

dalam bentuk: 1) kisi-kisi soal tes, 2) lembar observasi, dan 3) gambar

sebagai media belajar.

6. Metode pengumpulan Data

1. Tes tertulis.

Tes dilakukan pada setiap akhir masing-masing siklus. Tes digunakan

tulis, menghafal dan menunjukkan gambar-gambar sesuai dengan makna

kosa kata yang telah diajarkan.

2. Tes lisan.

Tes ini dilakukan untuk mengetahui tingkat hafalan terhadap kosa kata

yang telah diajarkan.

7. Metode Analisa Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, dihitung nilai rata-rata

kelas dan yang disajikan dalam bentuk tabulasi frekuensi, diagram batang.

Analisis trend (analisis perkembangan) digunakan untuk mengetahui

16

Page 17: Proposal Ptk

perkembangan hasil belajar siswa dalam bentuk hasil tes baik tulis maupun

lisan.

G. JADWAL PENELITIAN

No. Kegiatan Februari 2009 Maret 2009 April 2009 Mei 2009

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 41. Persiapan

pengajaran2 Pelaksanaan3 Pengolahan data4 Pembuatan

laporan

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abruscato J, 1996. Teaching Children Science: A Discovery Aproach. Boston: Allyn and Bacon.

Ahmad Arif. (2004). Pemanfaatan Media Massa Sebagai Sumber Pembelajaran IPS Tingkat Persekolahan. Pendidikan Net Work. alkausar.org/artikel-alka.php

Ahmad Arif. (2004). Quo Vadis, Pendidikan Ips Di Indonesia? alkausar.org/artikel-alka.php. arief a. mangkoesapoetra.

AECT (1977). The Definition of Educational Technology, Association for Educational Communication and Technology.

Amstrong DG and Savage TV, 1996. Efective Teaching in Elementary Social Studies. New Jersey: Prentice-Hall.Inc.

Depdikbud. (1994). Kurikulum Pendidikan Dasar. Jakarta : Pusbangkurandik.

Ellis AK, 1998. Teaching and Learning: Elementary Social Studies. Boston: Allyn and Bacon

Fakih S dan Bunyamin M. (1999). Konsep Dasar IPS. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendaral Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar (Primary School Teacher Development Project), IBRD-LOAN-IND, Jakarta.

Fraser and West. (1993). Social Studies in Secondary School. New York: Ronald Press

Hamalik, Oemar. (1982). Media Pendidikan. Bandung : Alumni

17

Page 18: Proposal Ptk

Hamzah, 2001. Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme.Jakarta: Balitbang Didasmen Dikti PLSP, www.depdiknan.go.idJoni RK, 1997. Penelitian Tindakan: Pembentujan Knowledge Base Keguruan, Makalah disajikan dalam rangka perdiapan Penyelenggaraan Penelitian Tindakan Kelas, UP3SD BP3GSD, Yogyakarta 30 Oktober -1 Nopember 1996.

Kasbollah K, 1999. Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendaral Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar (Primary School Teacher Development Project), IBRD-LOAN-IND, Jakarta.

Kosasih E. (1998), Kapan Anak Belajar Bahasa Inggris?, Intisari, September, Artikel lepas,

Kurniawan, D. (2000). Upaya Mengaktifkan Siswa Dalam Pembelajaran Getaran Dan Gelombang Melalui Pendekatan Konstruktivisme Pada Siswa Smu Swadhipa Natar Tahun Ajaran 1999/2000, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung Bandar Lampung.

NCSS. (1998). Curriculum Standard for Social Studies. Washington, D.C. : NCSS

NCSS. (2002). Strategies for Integrating Media Literacy Into the Social Studies Curriculum. [Online]. Tersedia : http://www.mediad.org/studyguides/ Strategies for Integrating Media Literacy/html. [10 Nopember 2002].

NCSS. (2003). Curriculum Standard for the Social Studies. [Online]. Tersedia : http://www.ncss.org/. [14 Pebruari 2003].

Nurmawati, Sri Handayani dan Lusi Rachmiazasi, 2000. Pembelajaran Yang Berorientasi Pada Konstruktivistik Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Nilai Tempat Bagi Siswa Kelas III Sdn Kutohardjo II Rembang.Journal Pendidikan Vol. 2, Th. 2000.

Panggabean, JH. 2001. Pengaruh Penerapan Model Konstruktivis Dalam Pengajaran Rangkaian Listrik Searah Dalam Upaya Meluruskan Kesalahan Konsep Mahasiswa Jurusan Fisika Tahun Pertama FMIPA Universitas Negeri  Meda. MDN-FMIPA-032/XIII/2001

P3GT. (2000). Materi Pokok Diklat Tipe D, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis Bandung 2004

Rumampuk D.B. (1988). Media Instruksional IPS. Jakarta : P2LPTK-Ditjen Dikti Depdikbud.

Saxe DW, 1994. Social Studies for the Elementary Teacher. Boston: Allyn and Bacon.

18

Page 19: Proposal Ptk

Somantri, M.N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung : PPS-UPI dan PT. Remadja Rosda Karya.

Stringer, E. T. (1999) Action Research: A handbook for practitioners 2e, Newbury Park, ca.: Sage. 400 pages. Sets community-based action research in context and develops a model. Chapters on information gathering, interpretation, resolving issues; legitimacy etc. See, also Stringer's (2003) Action Research in Education, Prentice Hall.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivissme dalam Pendidikan. Yogyakarta:           Kanisius.

Suyanto, 1996. Pengenalan Penelitian Tindakan Kelas, Pedoman Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Bagian I, Yogyakarta: UP3SD-UKMP.SD.

19