proposal penonton

9

Click here to load reader

Upload: arilhetoy

Post on 25-Dec-2015

30 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

proposal

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal Penonton

1

Universitas Indonesia

Proposal Penelitian

Nama : Nugroho Ari Saputro

NPM : 1006679106

Judul : Degradasi Ekosistem Mangrove dan Perubahan Garis Pantai di

Kecamatan Muara Gembong Tahun 1990-2010

Bab I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang berada di wilayah pesisir.

Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologi dan fungsi ekonomis. Fungsi ekologi ekosistem

mangrove adalah sebagai pelindung garis pantai, mempercepat perluasan pantai melalui

pengendapan, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan

(feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning

ground) bagi aneka biota perairan, serta berperan dalam pengaturan iklim mikro. Sedangkan

fungsi ekonomisnya antara lain sebagai sumber penghasil keperluan rumah tangga, penghasil

keperluan industri dan penghasil bibit. Ekosistem ini merupakan ekosistem yang unik dan rawan

akan gangguan dari luar.

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang peka dengan perubahan yang terjadi baik

secara alami maupun karena aktifitas manusia. Perubahan karena faktor alam dan aktifitas

manusia merupakan penyebab degradasi ekosistem mangrove. Parameter yang dapat dijadikan

tolak ukur untuk menilai degradasi ekosistem mangrove adalah berdasarkan luasan dan

banyaknya jenis vegetasi mangrove. Semakin berkurang luasan dan jenis vegetasi mangrove

menunjukkan semakin parah tingkat degradasi ekosistem mangrove tersebut. Degradasi

ekosistem mangrove ini dapat mengurangi fungsi ekologi ekosistem mangrove salah satunya

adalah sebagai pelindung garis pantai sehingga degradasi ekosistem mangrove akan berpengaruh

terhadap garis pantai.

Degradasi ekosistem mangrove dapat menyebabkan rusaknya pepohonan dengan

perakarannya yang khas yang dapat menahan ombak dan arus air laut sehingga memicu

tingginya tingkat abrasi dan akresi. Abrasi merupakan pengikisan pantai oleh tenaga arus laut

2

Universitas Indonesia

yang bersifat merusak, disebut juga erosi pantai (Setiyono, 1996) sedangkan akresi merupakan

perubahan garis pantai dimana garis pantai tersebut mengalami perubahan maju dari kedudukan

semula (Pardjaman, 1977). Apabila kedua hal ini terjadi di wilayah pesisir akan berpotensi

menyebabkan perubahan garis pantai. Contoh dari pantai yang mengalami abrasi adalah wilayah

pantai di Kota Semarang yang wilayah pantainya telah hilang terabrasi seluas 154,5 Ha

(Balitbang Provinsi Jawa Tengah).

Hutan Mangrove Kecamatan Muara Gembong terletak di Pantai Utara Pulau Jawa dan

berbatasan langsung dengan DKI Jakarta termasuk ke dalam kategori kawasan hutan lindung

yang memiliki tingkat ancaman degradasi relatif tinggi (Sodikin, 2013). Menurut Perum

Perhutani sebagai pengelola kawasan mangrove, luas hutan mangrove alami di Muara Gembong

sekitar 10.480 Ha. Kondisi luas tutupan hutannya sudah sangat jauh berkurang, sebesar ± 93,5%

telah diokupasi/dirambah menjadi daerah tambak dan lahan pertanian oleh masyarakat.

Permasalahan utama di kawasan ini adalah tingginya tingkat abrasi pantai yang disebabkan oleh

semakin berkurangnya tutupan hutan mangrove di sepanjang garis pantai Muara Gembong.

Berdasarkan masalah ekosistem mangrove yang terjadi di Kecamatan Muara Gembong yaitu

tingginya tingkat kerusakan/degradasi mangrove, membuat lokasi ini menarik untuk diteliti dan

dikaji mengenai degradasi ekosistem mangrovenya serta pengaruhnya terhadap perubahan garis

pantai.

Tingginya tingkat degradasi ekosistem mangrove di Muara Gembong tentunya akan

berpotensi merubah garis pantai di wilayah tersebut. Perubahan garis pantai ini akan

menimbulkan berbagai macam masalah terutama terhadap masyarakat sekitar, sehingga penting

untuk dilakukan pengkajian dan pemantauan terhadap degradasi ekosistem mangrove dan

perubahan garis pantai. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan

menginformasikan bagaimana pengaruh dari degradasi ekosistem mangrove terhadap perubahan

garis pantai di Muara Gembong. Atas dasar itulah penelusuran mengenai degradasi ekosistem

mangrove serta pengaruhunya terhadap garis pantai menjadi strategis sebagai salah satu kajian

penelitian dalam pengetahuan geografi.

1.2 Masalah

Fungsi ekosistem mangrove sebagai pelindung garis pantai akan berkurang karena kerusakan

atau degradasi ekosistem mangrove sehingga dapat menyebabkan tingginya tingkat abrasi

Page 2: Proposal Penonton

3

Universitas Indonesia

dan akresi yang terjadi di garis pantai. Hal ini akan berpengaruh terhadap perubahan garis

pantai. Atas dasar itulah permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini sebagai pertanyaan

penelitian adalah:

1. Bagaimana perubahan garis pantai secara temporal sebagai akibat dari degradasi

ekosistem mangrove di Kecamatan Muara Gembong tahun 1990-2010?

2. Faktor apakah yang mempunyai pengaruh paling dominan terhadap perubahan garis

pantai temporal di Kecamatan Muara Gembong tahun 1990-2010?

1.3 Tujuan

Berdasarkan masalah yang dibahas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Mengetahui perubahan garis pantai secara temporal sebagai akibat dari degradasi

ekosistem mangrove di Kecamatan Muara Gembong tahun 1990-2010

2. Mengetahui faktor yang mempunyai pengaruh paling dominan terhadap perubahan

garis pantai temporal di Kecamatan Muara Gembong tahun 1990-2010

1.4 Batasan Penelitian

1 Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang terdiri dari berbagai vegetasi

mangrove dan organisme lainnya yang saling berinteraksi satu sama lainnya.

2 Hutan mangrove merupakan daerah (habitat) vegetasi mangrove yang tumbuh dan

berkembang secara alamiah, baik diantara garis pasang surut dan atau di sekitar

muara sungai , dan berada di luar kawasan hutan (Hardjosentono, 1978).

3 Perubahan area hutan mangrove adalah berkurang atau bertambahnya daerah tempat

tumbuh dan berkembangnya vegetasi mangrove. Perubahan area hutan mangrove

dalam penelitian ini meliputi perubahan luasan area dan tingkat kerapatan tajuk

mangrove.

4 Luasan area hutan mangrove yang dimaksud dalam penelitian ini adalah luas

keseluruhan area hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong tahun 1990-2010.

5 Tingkat kerapatan tajuk mangrove yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat

kerapatan tajuk yang didapat dari hasil transformasi NDVI.

6 Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut yang masih

dipengaruhi sifat darat maupun laut (Dahuri, 2001).

4

Universitas Indonesia

7 Pantai adalah garis khayal tempat bertemunya daratan dan perairan dari muka laut

rata-rat terendah sampai muka air tertinggi rata-rata (Sandy, 1996).

8 Garis pantai adalah wilayah yang langsung berbatasan antara lautan dan daratan yang

merupakan batas antara laut dan darat ( Dahuri, 2001).

9 Perubahan garis pantai adalah berpindahnya atau bergesernya letak garis pantai dari

kedudukan semula (Bird, 1984). Perubahan garis pantai dalam penelitian ini meliputi

perubahan luas abrasi dan akresi dan perubahan jarak maju atau mundur garis pantai.

10 Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga arus laut yang bersifat merusak,

disebut juga erosi pantai (Setiyono, 1996).

11 Akresi adalah perubahan garis pantai dimana garis pantai tersebut mengalami

perubahan maju dari kedudukan semula (Pardjaman, 1977).

Page 3: Proposal Penonton

5

Universitas Indonesia

Bab II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Degradasi Ekosistem Mangrove

Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau

secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian

hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi

oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994

dalam Santoso, 2000).

Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan

untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh

beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai

kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon

dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan

berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera,

Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000).

Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu

komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar

garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae,

1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah

“mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu

tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau

atau hutan payau. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya

kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir,

terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang

khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).

Ekosistem mangrove memiliki berbagai potensi manfaat baik langsung maupun tidak

langsung. Hutan mangrove juga merupakan sumber bahan baku berbagai jenis industri dan

habitat berbagai jenis fauna (Zaitunah, 2005). Namun kenyataan di lapangan menunjukkan

6

Universitas Indonesia

adanya kerusakan hutan mangrove yang cukup memprihatinkan. Kerusakan tersebut terutama

disebabkan oleh adanya kegiatan di lingkungan mangrove, seperti perubahan hutan mangrove

menjadi penggunaan lain (tambak, pemukiman, dan lain-lain), pencemaran lingkungan (minyak,

sampah, dan lain-lain), atau kegiatan lain tanpa memperhatikan kelestariannya.

Melihat fungsi dan potensi ekosistem mangrove yang begitu besar seringkali membuat

masyarakat sekitar mengeksploitasi mangrove secara berlebihan. Bengen (2001) menjelaskan

bahwa kerusakan ekosistem mangrove dikarenakan adanya fakta bahwa sebagian manusia dalam

memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat

dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya

maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Hal itu dikarenakan memang

pada dasarnya hutan mangrove memiliki fungsi ekonomi antara lain sebagai penghasil keperluan

rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Akan tetapi, dampak ekologis

akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan

fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan

mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya.

Terkait dengan faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove, Kusmana (2003)

menambahkan ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2)

konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan

yang berlebihan. Pencemaran seperti pencemaran minyak, logam berat. Konversi lahan untuk

budidaya perikanan (tambak), pertanian (sawah, perkebunan), jalan raya, industri, produksi

garam dan pemukiman, pertambangan dan penggalian pasir.

2.2 Degradasi Ekosistem Mangrove dan Perubahan Garis Pantai

Pemanfaatan hutan mangrove yang dilakukan tanpa perhitungan akan menambah tekanan

ekologis bagi hutan itu sendiri dan juga tekanan sosial ekonomi masyarakat. Jika dikaitkan

dengan fungsi dan manfaat hutan mangrove, maka pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan

akan menimbulkan dampak yang merugikan dan kerusakan ekosistem mangrove.

Degradasi atau kerusakan ekosistem mangrove dapat diakibatkan oleh semakin tingginya

tingkat eksploitasi, lemahnya koordinasi dan sinkronisasi antar sektor, lemahnya penegakan

hukum, serta rendahnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi ekosistem mangrove (Nontji,

Page 4: Proposal Penonton

7

Universitas Indonesia

1987). Hal ini menyebabkan fungsi ekosistem mangrove sebagai habitat biota laut dan pelindung

wilayah pesisir dapat terganggu (Soraya, Suraya dan Taofiqurohman, 2012).

Terjadinya degradasi di dalam suatu ekosistem kemudian dapat menyebabkan

menurunnya fungsi ekosistem secara ekologis dan ekonomis. Salah satu penyebab menurunnya

ekosistem yang paling signifikan adalah manusia. Hal ini terjadi ketika manusia

memanfaatkan sumber daya alam untuk kesejahteraan mereka (Belvi, 2012). Begitu pula yang

terjadi pada ekosistem mangrove dimana manusia lah penyebab utama terjadinya kerusakan

mangrove. Aktifitas manusia yang menyebabkan kerusakan mangrove salah satunya adalah

pengalihfungsian atau konversi kawasan mangrove menjadi permukiman, tambak, lahan

pertanian bahkan penambangan. Menurut Pramudji (2000), kegiatan penambangan mineral baik

yang dilakukan di daerah hutan mangrove atau di daerah sekitarnya dapat menyebabkan

kerusakan ekosistem mangrove dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan dampak dari tebang habis

(clearcutting) terhadap ekosistem mangrove akan menyebabkan terjadinya abrasi secara intensif

di sepanjang pantai (Pramudji, 2000).

Konversi hutan mangrove juga dapat menimbulkan gangguan dan kerusakan pada

ekosistem mangrove yang dapat menimbulkan abrasi dan akresi di sepanjang garis pantai.

Kerusakan ekosistem mangrove ini dapat menyebabkan erosi sehingga akan menimbulkan

perubahan pola sedimentasi dan perubahan garis pantai (Soraya, Suraya dan Taofiqurohman,

2012). Pada akhirnya kerusakan ekosistem mangrove dapat menimbulkan kerugian tidak hanya

pada lingkungan namun juga dapat merugikan masyarakat sekitar.

2.3 Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek

tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001; Elachi, 2006).

Informasi diperoleh dengan cara deteksi dan pengukuran berbagai perubahan yang terdapat pada

lahan dimana obyek berada. Proses tersebut dilakukan dengan cara perabaan atau perekaman

energi yang dipantulkan atau dipancarkan, memproses, menganalisa dan menerapkan informasi

tersebut. Informasi secara potensial tertangkap pada suatu ketinggian melalui energi yang

terbangun dari permukaan bumi, yang secara detil didapatkan dari variasi-variasi spasial,

spektral dan temporal lahan tersebut (Landgrebe, 2003).

8

Universitas Indonesia

Variasi spasial, spektral dan temporal memberikan tambahan informasi yang saling

melengkapi. Sebaran bentukan garis lurus yang membentuk jalur-jalur memberikan informasi

terdapatnya suatu aktifitas dilokasi tersebut. Bentukan-bentukan teratur yang menyerupai rumah

menambah informasi bahwa lokasi tersebut juga menjadi tempat tinggal. Dua informasi tersebut

berasal dari adanya variasi spasial obyek pada citra. Warna merah kecoklatan memperjelas

pembedaan kumpulan obyek rumah dengan lokasi lahan bertutupan vegetasi yang berwarna

hijau. Tambahan informasi ini berasal dari adanya variasi spektral yang dapat secara detil

menambah akurasi identifikasi obyek. Perubahan jumlah obyek pada satu lokasi yang terdapat

pada dua atau lebih citra akan memberikan informasi tentang pertumbuhan fenomena di lokasi

tersebut. Informasi pada suatu lokasi yang sama dari dua citra yang berbeda waktu

perekamannya memberikan informasi multi temporal. Informasi multi temporal ini sangat

bermanfaat dalam menganalisis perubahan fenomena yang terjadi pada rentang waktu tertentu di

lokasi tersebut.

2.4 Penelitian Terdahulu

1 Dinda Soraya, Otong Suhara, dan Ankiq Taofiqurohman dalam penelitiannya yang

berjudul Perubahan Garis Pantai Akibat Kerusakan Hutan Mangrove di Kecamatan

Blanakan dan Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang bertujuan untuk

mengetahui seberapa besar perubahan garis pantai yang terjadi di Kecamatan

Blanakan dan Kecamatan Legonkulon, serta pengaruh ekosistem hutan mangrove

terhadap perubahan garis pantai yang terjadi. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah overlay garis pantai dari data citra Landsat 7 ETM+ tahun 1996,

2002, dan 2011, penelitian lapangan serta metode deskriptif kuantitatif menggunakan

regresi linear untuk mengetahui hubungan antara perubahan luasan mangrove dengan

perubahan garis pantai. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa sebagian besar

Kecamatan Blanakan mengalami akresi dengan rata-rata nilai perubahan garis

pantainya sejauh 360,57 meter sedangkan Kecamatan Legonkulon sebagian besar

mengalami abrasi dengan nilai rata-rata perubahan garis pantainya sejauh 350,18

meter. Pengaruh kerusakan mangrove terhadap perubahan garis pantai di Kecamatan

Blanakan adalah sebesar 41% dan di Kecamatan Legonkulon sebesar 68%.

Page 5: Proposal Penonton

9

Universitas Indonesia

2 Imam Hakim dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan Kerusakan Mangrove

Dengan Abrasi bertujuan untuk mendapatkan informasi kerusakan hutan mangrove

dan dan hubungannya dengan abrasi yang terjadi di Pantai Utara Pulau Bengkalis.

Pengumpulan dan penyelidikan data dilakukan dengan metode survey. Dalam

penelitian ini dilakukan uji hipotesis mengenai hubungan antara variabel bebas yaitu

kerusakan hutan mangrove dengan variabel terikat yaitu tingkat abrasi. Untuk

mendapat gambaran kerusakan hutan mangrove dilakukan analisis parameter kondisi

hutan mangrove yang meliputi kerapatan, frekuensi, dominasi, dan nilai penting

sedangkan parameter tingkat abrasi adalah laju abrasi per tahun. Dari penelitian

tersebut disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara

penurunan kerapatan pohon pada hutan mangrove terhadap laju abrasi yang terjadi.

10

Universitas Indonesia

Bab III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitan ini adalah metode deskriptif kualitatif

dan metode deskriptif kuantitatif. Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk memaparkan

perubahan garis pantai dan luasan ekosistem mangrove secara temporal. Serta memaparkan

wilayah abrasi dan akresi yang dilihat dari perubahan garis pantai dan memaparkan tingkat

kerapatan tajuk ekosistem mangrove.

Metode deskriptif kuantitatif dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh

atau hubungan antara degradasi ekosistem mangrove dalam hal ini adalah perubahan luasan

ekosistem mangrove dengan perubahan garis pantai berdasarkan grafik regresi linear.

Adapun kerangka alur pikir penelitian secara sistematik dapat dilihat pada gambar di

bawah ini.

Page 6: Proposal Penonton

11

Universitas Indonesia

Gambar 3.1. Alur Pikir Penelitian.

12

Universitas Indonesia

Gambar 3.2. Alur Kerja Penelitian

Lokasi Pengamatan

Pengumpulan Data

Pengolahan Data Degradasi

Ekosistem Mangrove:

- Koreksi Radiometrik dan

Geometrik Citra

- Ekstraksi Mangrove

(RGB 543)

- Penajaman Citra

- Vegetasi Index (NDVI)

Pengolahan Data Perubahan Garis

Pantai:

- Koreksi Radiometrik dan

Geometrik Citra

- Penajaman

- Citra

- Dijitasi

Peta Perubahan Garis

Pantai

Overlay

Overlay

- Peta Perubahan Luasan

Ekosistem Mangrove

- Peta Perubahan Tingkat

Kerapatan Tajuk

Mangrove

Overlay

Pengolahan Data

Pengaruh Degradasi Ekosistem

Mangrove Terhadap Perubahan

Garis Pantai

Regresi Linear Perubahan

Luasan dan Tingkat Kerapatan

Tajuk Mangrove (Degradasi

Mangrove) dengan Perubahan

Garis Pantai

Page 7: Proposal Penonton

13

Universitas Indonesia

3.2 Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitan ini meliputi :

3.2.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden atau objek yang diteliti,

atau ada hubungannya dengan yang diteliti (Tika, 2005 dalam Harti, 2009). Pada

penelitian ini data primer didapat dengan cara observasi langsung ke lapang. Observasi

ini dilakukan untuk uji validasi dengan melakukan pengecekan langsung ke lokasi

penelitian dan melihat kondisi existing ekosistem mangrove dan garis pantai.

3.2.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh tidak secara langsung dari subjek atau objek

yang diteliti, tetapi melalui pihak lain seperti instansi atau lembaga terkait, membaca

buku teks, literature, laporan statistik, serta hasil riset peneliti-peneliti sebelumnya yang

datanya masih relevan digunakan (Tika, 2005 dalam Harti, 2009). Pada penelitian ini data

sekunder yang diperlukan diantaranya :

No Data Sumber data

1 Citra Landsat ETM path/row 122/064

tahun 1990, 2000 dan 2010

BTIC Biotrop dan

www.earthexplorer.com

LAPAN

2 Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000 BIG

3 Peta Wilayah Administrasi Kecamatan

Muara Gembong BIG

4 Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Muara

Gembong BPN

Tabel 3.1. Kebutuhan dan Sumber Data Sekunder.

3.3 Pengumpulan Data

Berdasarkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, pengumpulan data primer

diperoleh dengan cara observasi langsung ke lokasi penelitian sedangkan data sekunder

14

Universitas Indonesia

diperoleh dari instansi terkait dan untuk pengumpulan data citra dapat dilakukan dengan

mengunduh citra Landsat ETM pada web yang menyediakan citra tersebut.

3.4 Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul kemudian akan diolah menggunakan software Arcgis 10.2 dan

Envi 4.8. Semua data ini akan diolah hingga menjadi peta yang memiliki informasi spasial.

3.4.1 Pengolahan Data Citra

Data citra yang digunakan adalah citra Landsat ETM path/row 122/064 yang didapat dari

instansi atau dari web yang menyediakan citra tersebut. Data citra ini diolah hingga

menghasilkan klasifikasi mangrove dan garis pantai. Pengolahan data citra menggunakan

software Envi 4.8. Langkah-langkah pengolahan citra sebagai berikut :

1 Mengoreksi kesalahanan radiometrik dan geometrik citra Landsat ETM

2 Penajaman citra untuk memperjelas kenampakan citra

3 Melakukan layer stacking pada setiap data yang akan digunakan

4 Pemotongan citra sesuai dengan daerah penelitian

5 Pembuatan citra komposit warna semu RGB (Red Green Blue) dengan kombinasi

kanal 4, 5, dan 2 untuk Landsat ETM sehingga objek mangrove akan tampak

berwarna merah tua hingga kekuningan (Sukardjo, S. et al 2009 dalam Marcello,

2012) sehingga dapat dikenali dengan jelas.

6 Melakukan klasifikasi citra dengan klasifikasi terbimbing atau supervised untuk

pengklasifikasian tutupan lahan pada citra dengan Maximum Likelihood sebagai

metodenya.

7 Mendapatkan citra hasil sebaran ekosistem mangrove dan dapat diketahui perubahan

luasan area hutan mangrove dengan mengoverlay tiap tahun pengamatan.

8 Untuk mendapatkan data tingkat kerapatan tajuk mangrove dilakukan dengan

menggunakan algoritma NDVI dengan formula sebagai berikut :

9 NDVI = (band inframerah dekat-band merah)/(band inframerah dekat +band merah)

Band inframerah dekat = band 4

Band merah = band 3

Page 8: Proposal Penonton

15

Universitas Indonesia

3.4.2 Pengolahan Data Peta

Proses selanjutnya untuk melihat perubahan garis pantai dan ekosistem mangrove

menggunakan software Arcgis 10.2 dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1 Digitasi garis pantai dengan menggunakan kombinasi band 742 dalam format RGB

2 Overlay hasil digitasi tiap tahun pengamatan yaitu tahun 1990, 2000, dan 2010 untuk

melihat bagian-bagian pantai yang terabrasi dan terakresi.

3 Menentukan wilayah yang terkena abrasi dan akresi kemudian dilakukan

penghitungan luasan wilayah yang terkena abrasi dan akresi serta mengukur jarak

perubahan (maju/mundur) garis pantai.

4 Hasil pemetaan perubahan garis pantai, luasan ekosistem mangrove dan tingkat

kerapatan tajuk mangrove kemudian dioverlay sehingga akan terlihat hubungan

diantara degradasi mangrove (perubahan luasan dan tingkat kerapatan tajuk ekosistem

mangrove dengan perubahan garis pantai).

3.5 Analisis

Analisa yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

1. Degradasi ekosistem mangrove yang meliputi perubahan luasan dan tingkat kerapatan

tajuk ekosistem mangrove menggunakan analisa overlay pada tiap tahun pengamatan

yaitu tahun 1990, 2000, dan 2010. Begitu pula dengan perubahan garis pantai, dimana

dilakukan dengan menggunakan analisa overlay pada tiap tahun pengamatan yang

sama dengan perubahan luasan area hutan mangrove. Hasil dari overlay ini akan

menghasilkan wilayah pantai yang mengalami abrasi dan akresi.

2. Analisa selanjutnya adalah dengan menganalisa hubungan antara degradasi ekosistem

mangrove dengan perubahan garis pantai dengan menggunakan analisa overlay.

Dengan mengoverlay kedua peta tersebut akan terlihat bagaimana perkembangan

perubahan garis pantai tiap tahun pengamatan dengan degradasi ekosistem mangrove

dalam hal ini dilihat dari perubahan luasan area hutan mangrove dan tingkat

kerapatan tajuk mangrove.

3. Analisa yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara degradasi ekosistem

mangrove yaitu perubahan luasan tingkat kerapatan tajuk ekosistem mangrove

16

Universitas Indonesia

dengan perubahan garis pantai yaitu dengan menggunakan metode deskriptif

kuantitatif dengan cara menghitung regresi linearnya.

Page 9: Proposal Penonton

17

Universitas Indonesia

Daftar Pustaka

Ali Akbar, Aji dkk. 2008. Ekosistem Mangrove dan Abrasi di Pesisir Kalimantan Barat.

Forum Geografi, Vol. 22, No. 1, Juli 2008

Arfando, Rio. 2008. Perubahan Area Mangrove Di Pulau Panjang Kabupaten Serang

Provinsi Banten. Skripsi Sarjana Departemen Geografi FMIPA UI.

Budhiman, S., R. Dewanti and C. Kusmana. 2002. Application of Ladsat-TM Data

and geographic Information Systems Inventoring the Degradation of mangrove

Forest in east Kalimantan Province. PORSEC 2002 BALI Proceedings: 791 – 796.

Harti, Arum Mustika. 2009. Perubahan Garis Pantai Teluk Jakarta Tahun 1970-2009.

Skripsi Sarjana Departemen Geografi FMIPA UI.

Hakim, Imam. 2003. Hubungan Kerusakan Hutan Mangrove dengan Abrasi. Tesis

Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia.

Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology: An Ecological Approach (Third Edition).

HarperCollins College Publishers, New York.

Ongkosongo, O.S.R. 1981. Keadaan Lingkungan Fisik Pantai Jakarta. LON-LIPI

Jakarta.

Sodikin. 2013. Kerusakan Mangrove Serta Korelasinya Terhadap Tingkat Intrusi Air

Laut (Studi Kasus Di Desa Pantai Bahagia Kecamatan Muara Gembong Kabupaten

Bekasi). Tesis Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro

Soraya, Dida dkk. 2012. Perubahan Garis Pantai Akibat Kerusakan Hutan Mangrove Di

Kecamatan Blanakan Dan Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang. Jurnal

Perikanan dan Kelautan.

Susanto, Apri dkk. Analisis Kebijakan Perlindungan Pesisir Berbasis Mangrove.

Wetlands International Indonesia Programme.

Marcello, Hansel. 2012. Perubahan Mangrove Di Pesisir Indramayu. Skripsi Sarjana

Departemen Geografi FMIPA UI.

Mulia, F. dan L. Sumardjani. 2001. Hutan Tanaman Mangrove: Prospek Masa Depan

Kehutanan Indonesia. Kongres Kehutanan Indonesia III, 25 – 28 Oktober

2001, Jakarta.