proposal penelitian menganalisis faktor yang diduga berhubungan dengan keteraturan berobat...
DESCRIPTION
Proposal Penelitian Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K.TRANSCRIPT
Proposal Penelitian
Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan
Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K.
Ayu Anas Silvya
102010072
F1
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna Utara No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta Barat
2015
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang berbagai
organ atau jaringan tubuh. Tuberkulosis paru merupakan bentuk yang paling banyak dan
paling penting.1
Penyakit tuberculosis merupakan penyakit masyarakat yang dapat menyerang siapa
saja (tua, muda, laki-laki, perempuan, miskin, atau kaya ) dan dimana saja. Indonesia
sendiri termasuk dalam negara peringkat ke tiga yang menyumbang penyakit Tb terbesar
di dunia setelah India dan Cina2. Terdapat empat juta kasus baru tbc setiap tahunnya.
Penyakit tuberculosis ialah penyakit kronis. Proses gejalanya berjalan perlahan sehingga
banyak masyarakat yang tidak mengenal tentang penyakit tuberculosis. Gejala
tuberculosis yang lama tidak ditangani bisa menyebabkan kematian. Di Indonesia sekitar
140.000 kematian yang terjadi setiap tahun disebabkan oleh tbc. Tahun 2004, menurut
hasil survei prevalensi tbc di Indonesia ditemukan hasil BTA positif 110 per 100.000
penduduk. Pada frekuensi umur, terlihat angka insidensi tbc secara perlahan bergerak ke
arah kelompok umur tua (dengan puncak pada 55-64 tahun). Dalam usaha menumpas
penyakit Tuberculosis, WHO sebenarnya telah memperkenalkan strategi dots (Directly
Observed Treatment Short-couers = pengobatan jangka pendek dengan pengawasan).
Strategi ini terdiri atas lima komponen utama yakni adanya komitmen politik, tepat
waktu, adanya sistem monitoring yang baik dan adanya program pengawasan keteraturan
minum obat di sertai jaminan agar setiap pasien pasti minum obat sampai tuntas. Strategi
ini cukup efektif untuk menurunkan frekuensi penyakit tuberculosis di Indonesia. Pada
tahun 2005 keberhasilan strategi ini mencapai angka pengobatan (success rate = sr)
sebesar 89,7% melebihi target who sebesar 85%.2 Terkait prevalensi penderita
tuberculosis di Indonesia menunjukan bahwa angka keberhasilan pengobatan masih
rendah. Untuk mencapai kesembuhan dibutuhkan keteraturan berobat, dan pengobatan
yang tidak benar akan berakibat timbulnya resistensi kuman TB terhadap obat yang
diberi.
Oleh itu Pukesmas K tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui faktor apa
yang diduga menyebabkan keteraturan pasien berobat berdasarkan data yang didapatkan
bahwa banyak pasien yang didiagnosis dengan TB paru dan diobati dengan system DOTs
tidak kembali follow up pengobatan. Sementara angka kejadian Multi Drug Resistance
(MDR) semakin meningkat.
2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan dari latar belakang diatas, Pukesmas K merumuskan:-
- Apakah faktor yang menyebabkan pasien yang diterapi dengan sistem DOTS tidak
kembali lagi untuk mengambil obat ?
- Bagaimana menanggulangi angka Multi Drugs Resistance (MDR) yang semakin
meningkat?
1.3 Tujuan Umum
Untuk menganalisis beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan keteraturan
berobat penderita TB.
1.4 Tujuan Khusus
- Menganalisis apakah usia penderita TB mempengaruhi keteraturan berobat pasien TB.
- Menganalisis apakah tingkat pendidikan penderita TB mempengaruhi keteraturan
berobat pasien TB.
- Menganalisis apakah tingkat sosial ekonomi penderita TB mempengaruhi keteraturan
berobat pasien TB.
- Menganalisis apakah jenis pekerjaan penderita TB mempengaruhi keteraturan berobat
pasien TB.
- Menganalisis apakah jarak rumah dengan Puskesmas mempengaruhi keteraturan
berobat pasien TB.
- Menganalisis apakah efek samping obat mempengaruhi keteraturan berobat pasien TB.
- Menganalisis apakah lamanya minum obat mempengaruhi keteraturan berobat pasien
TB.
1.5 Hipotesis
-Untuk melihat jika terdapat perbedaan diantara pasien yang patuh melakukan terapi
pengobatan dengan pasien yang tidak patuh melakukan terapi pengobatan terhadap
tingkat kesembuhan.
- Untuk melihat jika terdapat hubungan diantara ketidak teraturan berobat penderita TB
dengan kejadian meningkatnya kasus MDR.
3
1.6 Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Kesehatan
Diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi dalam rangka meningkatkan
upaya pelayanan mesyarakat khususnya pada penderita TB melalui penyuluhan
tentang bahaya penyakit TB, upaya mengatasi dan menanggulanginya sehingga akan
mempengaruhi kepatuhan penderita TB paru.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat menanbah bahan bacaan dan menambah wawasan diri bagi
mahasiswa khuususnya yang berada dalam lungkup keperawatan untuk memberikan
ilmu baru dalam penyusunan asuhan keperawatan dengan penderita TB.
3. Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan kemampuan mengenali tentang
masalah dan perawatan pasien TB.
4. Bagi Keluarga
Diharapkan dapar memberikan masukan oleh pihak keluarga tentang penanganan TB
paru sehingga penderita dapat melakukan pengobatan secara teratur sehingga
sembuh.
5. Bagi Penderita Sendiri
Diharapkan dapat menemukan solusi terhadap faktor yang menjadi penghalang
supaya penderita dapat melakukan pengobatan TB secara teratur sekali gus merubah
pandangan-pandangan salah terhadap pengobatan TB.
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Tuberkulosis
Tuberkulosis dikenal sebagai penyakit infeksi yang bersifat menular yang disebabkan
oleh Mycobacterium Tuberculosis, sebagian besar menyerang paru tetapi dapat juga
menyerang organ tubuh lainnya. Tuberkulosis dapat memasuki tubuh barsama butir-butir
debu atau percikan dahak (Droplet) yang menyebar ke udara sewaktu penderita
tuberkulosis batuk atau bersin.
Mycobacterium Tuberculosis berbentuk batang ramping, lurus atau sedikit bengkok
dengan kedua ujungnya membulat. Basil ini sulit sekali diwarnai, tetapi sekali terwarnai
maka ia akan menahan zat warna itu dengan baik sekali dan tidak dapat lagi dilunturkan
walaupun dengan asam alkohol. Oleh karena itu disebut juga sebagai Basil Tahan Asam
( BTA). Zat lilin yang ada di dinding selnya yang menyebabkan sulit diwarnai dan
kesulitan ini dapat diatasi bila digunakan zat warna yang melunturkan lilin sambil
dilakukan pemanasan. Untuk mewarnai kuman ini lazimnya digunakan zat warna Zeihl-
Neelsen (ZN). Basil ini cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan
hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh,
Mycobacterium Tuberculisis dapat dormant (tertidur/ tidak aktif) selama beberapa tahun.
2.2 Penularan dan Patofisiologi Penyakit Tuberkulosis.
Yang mempengaruhi penyebaran TB sebagai salah satu penyakit menular adalah
adanya faktor lingkungan, host dan agen penyakit. Ditinjau dari sudut ekologis,
terdapat tiga faktor yang dapat menimbulkan suatu kesakitan, kecacatan,
ketidakmampuan dan kematian pada manusia yang disebut trias ekologi atau trias
epidemiologi yaitu agen penyakit, manusia (pejamu) dan lingkungan. Dalam keadaan
normal terjadi suatu keseimbangan yang dinamis antara ketiga komponen ini atau dengan
kata lain disebut sehat. Pada suatu keadaan terjadinya gangguan pada keseimbangan
dinamin ini, misalnya akibat menurunnya kualitas lingkungan hidup sampai pada tingkat
tertentu tertentu maka akan memudahkan agen penyakit masuk ke dalam tubuh manusia.2-
4
Interaksi agent, lingkungan, dan host:
a) Faktor Agent (Mycobacterium tuberculosis)
5
Agen yang dimaksud adalah agen biologis yaitu bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap
disifektan kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang
kering untuk jangka waktu yang lama. Pada Host, daya infeksi dan kemampuan
tinggal sementara Mycobacterium Tuberculosis sangat tinggi. Patogenesis hampir
rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi Host.
Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang
terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung,
serta transmisi kongenital yang jarang terjadi.2-4
Gambar 1. Bakteri Mycobacterium tuberculosis penyebab TBC
b) Faktor Perilaku dan Lingkungan
Perilaku manusia sehari-hari bisa menjadi faktor pencetus terjadinya TBC.
Perilaku yang terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan yang kurang mengerti
akan menjadi . Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara
penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan
prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi
orang disekelilingnya. Kurangnya kesigapan masyarakat akan setiap orang yang
mangalami sakit cukup lama.
Perilaku Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk
mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik
dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk
terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di
Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan
430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan
760 batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok
pada hampir semua Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki
6
dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan
merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.1,3
Lingkungan : Kepadatan Hunian
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,
artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah
penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab
disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu
anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada
anggota keluarga yang lain. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah
biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif
tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah
sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas
lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan,
jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm.
Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami
istri dan anak di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup,
di syaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m.1,4
Lingkungan : Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela
kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau
kurang leluasa maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting
karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya
basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya
yang cukup. Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin
atau kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang
lebih redup. Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari
segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang
sama apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh
kuman dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama
Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar
matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko
penularan antar penghuni akan sangat berkurang.1,2
Lingkungan : Ventilasi
7
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga
agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap
terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam
rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban
udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari
kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya
kuman TB. Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara
ruangan daribakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu
terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan
selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar
tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum. Untuk
sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10%
dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan
luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar
juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam
ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari kelembaban udara
optimum kurang lebih 60%.1,2,5,6
Lingkungan : Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana
kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° –
30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung,
tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab.2
c) Faktor Host
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat 3 puncak
kejadian dan kematian :
Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita
8
Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan
pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada
wanita
Puncak sedang pada usia lanjut
Dalam perkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak
berlaku pada golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup
sampel usia ini atau tidak terlindung dari resiko infeksi. Pria lebih umum
terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis
dan kehamilan yang menurunkan resistensi. Penduduk dengan sosialekonomi
rendah memiliki laju lebih tinggi. Aspek keturunan dan distribusi secara familial
sulit terinterprestasikan dalam TBC, tetapi mungkin mengacu pada kondisi
keluarga secara umum dan sugesti tentang pewarisan sifat resesif dalam
keluarga. Kebiasaan sosial dan pribadi turut memainkan peranan dalam infeksi
TBC, sejak timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian. Status gizi, kondisi
kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai
mekanisme pertahanan umum juga berkepentingan besar. Imunitas spesifik
dengan pengobatan infeksi primer memberikan beberapa resistensi, namun sulit
untuk dievaluasi.2-4
2.2.1 Penularan :
o Cara Penularan
- Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
- Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.
- Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembab.
- Daya penularan seorang pasein dapat ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
- Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB adalah ditentukan
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
9
o Resiko Penularan
- Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien
TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih
besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
- Risiko penularan setiap tahunnya juga ditunjukan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1% berarti 10 diantara 1000
penduduk terinfeksi setiap tahunnya.
- ARTI di Indonesia bervariasi 1-3%.
- Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberculin negatif menjadi
positif.
o Resiko Menjadi sakit TB:
- Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
- Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi
1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB
setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
- Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi TB adalah day
tahan tubuh rendah, diantaranya karena HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi
buruk).
- HIV merupakan faktor resiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB
menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya
tahan tubuh seluler (celluer immunity), sehingga terjadi infeksi penyerta
(oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi
sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV
meningkat, maka jumlah pasein TB akan meningkat, dengan demikian
penularan TB di masyarakat meningkat pula.4
2.3 Diagnosis Tuberkulosis
Mengacu pada program nasional penanggulangan TB, diagnosis dilakukan
dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Adapun diagnosis
pastinya adalah melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak. Namun, pemeriksaan
10
kultur memerlukan waktu yang lama, hanya akan dilakukan bila diperlukan atas
indikasi tertentu, dan tidak semua unit pelayanan kesehatan memilikinya.
Pemerintah melalui gerakan terpadu nasional, memiliki upaya untuk meningkatkan
kemampuan Puskesmas untuk melakukan diagnosis TB berdasarkan pemeriksaan
BTA. Pemeriksaan dahak dilakukan sedikitnya 3 kali, yaitu pengambilan dahak
sewaktu penderita datang berobat dan dicurigai menderita TB, kemudian
pemeriksaan kedua dilakukan keesokan harinya, yang diambil adalah dahak pagi.
Sedangkan pemeriksaan ketiga adalah dahak ketika penderita memeriksakan dirinya
sambil membawa dahak pagi. Oleh sebab itu, disebut pemeriksaan SPS (Sewaktu-
Pagi-Sewaktu).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya
BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan
positif apabila sedikit 2 dari 3 pemeriksaan spesimen SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu)
BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut,
yaitu rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau dalam pemeriksaan
radiologi, dada menunjukkan adanya tanda-tanda yang mengarah kepada TB maka
yang bersangkutan dianggap positif menderita TB. Kalau hasil radiologi tidak
menunjukkan adanya tanda-tanda TB, maka pemeriksaan dahak SPS harus diulang.
Sedangkan pemeriksaan biakan basil atau kuman TB, hanya dilakukan apabila
sarana mendukung untuk itu.
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, maka diberikan antibiotik
berspektrum luas selama 1 hingga 2 minggu, amoksilin atau kotrimoksasol. Bila
tidak berhasil, dan penderita yang bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-
tanda TB, maka ulangi pemeriksaan dahak SPS. Selanjutnya prosedur terdahulu
dilakukan, yakni kalau dalam pemeriksaan ulang ternyata dahak SPS positif, maka
yang bersangkutan adakah positif menderita TB. Namun, apabila dahak negatif,
maka ulangi pemeriksaan radiologi. Apabila hasil radiologi mendukung TB
dianggap sebagai penderita TB dengan BTA negatif, radiologi positif. Apabila baik
radiologi tidak mendukung TB, spesimen dahak negatif, maka yang bersangkutan
bukan TB.
Karena tingginya prevalensi TB di Indonesia, maka tes tuberkulin pada orang
dewasa, tidak memiliki makna lagi. Pada anak, sulit untuk mendapatkan BTA,
11
sehingga diagnosis TB pada anak didapat dari gambaran klinik, radiologi dan uji
tuberkulin.
Untuk itu, seorang anak dapat dicurigai menderita TB, kalau terdapat gejala
seperti:
1. Mempunyai riwayat kontak serumah dengan penderita TB dengan BTA
positif.
2. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG dalam waktu 3-7
hari.
3. Terdapat gejala umum TB. Gejala umum TB pada anak sebagai berikut:
Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut, tanpa sebab yang jelas
dan tidak naik dalam 1 bulan meski sudah mendapat penanganan gizi
yang baik.
Nafsu makan tidak ada, dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik
dengan memadai.
Demam lama dan atau berulang tanpa sebab yang jelas, disertai keringat
malam, tanpa sebab-sebab lain yang jelas. Misalnya infeksi saluran napas
bagian atas yang akut, malaria, tipus, dan lain-lain.
Pembesaran kelenjar limpa superfisialis yang tidak sakit. Pembesaran ini
biasanya multiple, paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha.
Batuk lama lebih dari 30 hari, disertai tanda adanya cairan di dada.
Gejala dari saluran pencernaan, misalnya adanya diare berulang yang
tidak sembuh dengan pengobatan diare, adanya benjolan massa di daerah
dan adanya tanda-tanda cairan abdomen.
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan secara intrakutan, dengan
tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU ( Tuberculin Unit ). Pembacaan dilakukan
48-72 jam setelah penyuntikan, dan diukur diameter dari peradangan atau indurasi
yang dinyatakan dalam milimeter. Dinyatakan positif bila indurasi sebesa r > 10
mm.
Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern
kemoterapi spesifik, walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga.
Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TBC
sebagai pusat, sehingga pengobatan dini dapat diberikan. Selain itu, pengetahuan
tentang resistensi obat dan gejala infeksi juga penting untuk seleksi dari petunjuk
yang paling efektif.
12
2.4 Penatalaksanaan Tuberkulosis
Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat.
Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun
dan teratur, waktu yang lama ( 6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya resistensi
terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.
Pemberian INH sebagai pengobatan preventif memberikan hasil yang cukup
efektif untuk mencegah progresivitas infeksi TB laten menjadi TB klinis.
Berbagai penelitian yang telah dilakukan terhadap orang dewasa yang menderita
infeksi HIV terbukti bahwa pemberian rejimen alternatif seperti pemberian
rifampin dan pyrazinamide jangka pendek ternyata cukup efektif. Pemberian
terapi preventif merupakan prosedur rutin yang harus dilakukan terhadap
penderita HIV/AIDS usia dibawah 35 tahun. Apabila mau melakukan terapi
preventif, pertama kali harus diketahui terlebih dahulu bahwa yang bersangkutan
tidak menderita TB aktif, terutama pada orang-orang dengan imunokompromais
seperti pada penderita HIV/AIDS. Oleh karena ada risiko terjadinya hepatitis
dengan bertambahnya usia pada pemberian isoniazid, maka isoniazid tidak
diberikan secara rutin pada penderita TB usia diatas 35 tahun kecuali ada hal-hal
sebagai berikut: infeksi baru terjadi (dibuktikan dengan baru terjadinya konversi
tes tuberkulin); adanya penularan dalam lingkungan rumah tangga atau dalam satu
institusi; abnormalitas foto thorax konsisten dengan proses penyembuhan TB
lama, diabetes, silikosis, pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid atau
pengobatan lain yang menekan kekebalan tubuh, menderita penyakit yang
menekan sistem kekebalan tubuh seperti HIV/AIDS. Mereka yang akan diberi
pengobatan preventif harus diberitahu kemungkinan terjadi reaksi samping yang
berat seperti terjadinya hepatitis, demam dan ruam yang luas, jika hal ini terjadi
dianjurkan untuk menghentikan pengobatan dan hubungi dokter yang merawat.
Sebagian besar fasilitas kesehatan yang akan memberikan pengobatan TB akan
melakukan tes fungsi hati terlebih dahulu terhadap semua penderita, terutama
terhadap yang berusia 35 tahun atau lebih dan terhadap pecandu alkohol sebelum
memulai pengobatan.
Terapi spesifik: Pengawasan Minum obat secara langsung terbukti sangat efektif dalam
pengobatan TBC di AS dan telah direkomendasikan untuk diberlakukan di AS. Pengawasan
minum obat ini di AS disebut dengan sistem DOPT, sedangkan Indonesia sebagai negara anggota
13
WHO telah mengadopsi dan mengadaptasi sistem yang sama yang disebut DOTS (Directly
Observed Treatment Shortcourse). Penderita TBC hendaknya diberikan OAT kombinasi yang
tepat dengan pemeriksaan sputum yang teratur. Untuk penderita yang belum resisten terhadap
OAT diberikan regimen selama 6 bulan yang terdiri dari isoniazid (INH), Rifampin (RIF) dan
pyrazinamide (PZA) selama 2 bulan kemudia diikuti dengan INH dan PZA selama 4 bulan.
Pengobatan inisial dengan 4 macam obat termasuk etambutol (EMB) dan streptomisin diberikan
jika infeksi TB terjadi didaerah dengan peningkatan prevalensi resistensi terhadap INH. Namun
bila telah dilakukan tes sensititvitas maka harus diberikan obat yang sesuai. Jika tidak ada konversi
sputum setelah 2-3 bulan pengobatan atau menjadi positif setelah beberapa kali negatif atau
respons klinis terhadap pengobatan tidak baik, maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap
kepatuhan minum obat dan tes resistensi. Kegagalan pengobatan umumnya karena tidak teraturnya
minum obat dan tidak perlu merubah regimen pengobatan. Perubahan Supervisi dilakukan bila
tidak ada perubahan respons klinis penderita. Minimal 2 macam obat dimana bekteri tidak resisten
harus ada dalam regiemen pengobatan. Jangan sampai menambahkan satu jenis obat baru pada
kasus yang gagal. Jika INH atau rifampisin tidak dapat dimasukkan kedalam regimen maka
lamanya pengobatan minimal selama 18 bulan setelah biakan menjadi negatif. 551 Untuk
penderita baru TBC paru dengan BTA (+) di negara berkembang, WHO merekomendasikan
pemberian 4 macam obat setiap harinya selama 2 bulan yang teridiri atas RIF, INH, EMB, PZA
diikuti dengan pemberian INH dan RIF 3 kali seminggu selama 4 bulan. Semua pengobatan harus
diawasi secara langsung, jika pada pengobatan fase kedua tidak dapat dilakukan pengawasan
langsung maka diberikan pengobatan substitusi dengan INH dan EMB selama 6 bulan. Walaupun
pengobatan jangka pendek dengan 4 macam obat lebih mahal daripada pengobatan dengan jumlah
obat yang lebih sedikit dengan jangka waktu pengobatan 12- 18 bulan namun pengobatan jangka
pendek lebih efektif dengan komplians yang lebih baik. Penderita TBC pada anak-anak diobati
dengan regimen yang sama dengan dewasa dengan sedikit modifikasi. Kasus resistensi pada anak
umumnya karena tertular dari penderita dewasa yang sudah resisten terlebih dahulu.Anak dengan
limfadenopati hilus hanya diberikan INH dan RIF selama 6 bulan. Pengobatan anak-anak dengan
TBC milier, meningitis, TBC tulang/sendi minimal selama 9-12 bulan, beberapa ahli
menganjurkan pengobatan cukup selama 9 bulan. Etambutol tidak direkomendasikan untuk
diberikan pada anak sampai anak cukup besar sehingga dapat dilakukan pemeriksaan buta warna
(biasanya usia > 5 tahun). Penderita TBC pada anak dengan keadaan yang mengancam jiwa harus
diberikan pengobatan inisial dengan regimen dengan 4 macam obat. Streptomisin tidak boleh
diberikan selama hamil. Semua obat kadang-kadang dapat menimbulkan reaksi efek samping yang
berat. Operasi toraks kadang diperlukan biasanya pada kasus MDR.
Sediakan fasilitas perawatan penderita dan fasilitas pelayanan diluar institusi untuk penderita yang
mendapatkan pengobatan dengan sistem (DOPT/DOTS) dan sediakan juga fasilitas pemeriksaan
dan pengobatan preventif untuk kontak.
Isolasi: Untuk penderita TB paru untuk mencegah penularan dapat dilakukan dengan pemberian
pengobatan spesifik sesegera mungkin. Konversi sputum biasanya terjadi dalam 4 – 8 minggu.
Pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit hanya dilakukan terhadap penderita berat dan bagi
14
penderita yang secara medis dan secara sosial tidak bisa dirawat di rumah. Penderita TB paru
dewasa dengan BTA positif pada sputumnya harus ditempatkan dalam ruangan khusus dengan
ventilasi bertekanan negatif. Penderita diberitahu agar menutup mulut dan hidung setiap saat batuk
dan bersin. Orang yang memasuki ruang perawatan penderita hendaknya mengenakan pelindung
pernafasan yang dapat menyaring partikel yang berukuran submikron. Isolasi tidak perlu dilakukan
bagi penderita yang hasil pemeriksaan sputumnya negatif, bagi penderita yang tidak batuk dan
bagi penderita yang mendapatkan pengobatan yang adekuat (didasarkan juga pada pemeriksaan
sensitivitas/resistensi obat dan adanya respons yang baik terhadap pengobatan).Penderita remaja
harus diperlakukan seperti penderita dewasa. Penilaian terus menerus harus dilakukan terhadap
rejimen pengobatan yang diberikan kepada penderita.
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok, yaitu:
a. Obat primer/Lini pertama: Isoniazid (INH), Rifampisin, Etambutol,
Streptomisin, Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan
toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar dapat dipisahkan dengan
obat-obatan ini.
b. Obat sekunder / Lini kedua: Etionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin,
Amikasin, Kapreomisin, Kanamisin
2.5 Program Penanggulangan Tuberkulosis.
Direct Observe Treatment Shorcut (DOTS)
Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan badan kesehatan
dunia (WHO), melaksanakan suatu evaluasi bersama yang menghasilkan rekomendasi
perlunya segera dilakukan perubahan mendasar pada strategi penanggulangan TB di
Indonesia, yang kemudian disebut sebagai strategi DOTS.10,11
Istilah DOTS dapat diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka
pendek setiap hari oleh pengawas menelan obat. Tujuannya mencapai angka
kesembuhan yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping obat jika
timbul dan mencegah resistensi. Sebelum pengobatan pertama kali dimulai DOTS harus
menjelaskan kepada pasien tentang cara dan manfaatnya. PMO haruslah seseorang yang
mampu membantu pasien sampai sembuh selama enam bulan dan sebaiknya merupakan
anggota keluarga pasien yang diseganinya. Siapapun dapat menjadi PMO, dengan syarat
sebagai berikut:
a. PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama
pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita dengan HIV/AIDS.
15
b. PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader
PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien.
Adapun tugas PMO antara lain:
1. Bersedia mendapat penjelasan di klinik
2. Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
3. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang
ditentukan
4. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga
sembuh
5. Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap
minum obat.
6. Merujuk pasien bila efek semakin berat
7. Melakukan kunjungan rumah
8. Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui
gejala TB.
Hasil evaluasi pada tahun 1998 menggambarkan bahwa cakupan penemuan penderita
baru mencapai 9.8% dengan angka keberhasilan mencapai 89%, sehingga WHO
menggolongkan Negara kita sebagai Negara dengan penyelenggaraan program yang baik
tetapi ekspansi sangat lambat. Kajian data ini didapatkan dari puskesmas pelaksana
program DOTS yang baru mencapai lebih kurang 40% dari 7000 puskesmas dan rumah
sakit yang ada.7-10
BAB III METODELOGI PENELITIAN
3.1 Alur Penelitian
16
3.2 Teknik Pengambilan Sampel
Beberapa teknik pengambilan sampel yang dapat berguna dalam penelitian tipe
pengkajian, antara lain random( dipilih secara acak), representatif (mewakili populasi)
dan equal probability.
a. Probability Sampling, yaitu penarikan sampel berdasarkan peluang (setiap
subjek memiliki peluang yang sama).
Simple Random Sampling, subjek dalam populasi terjangkau akan dipilih
sampelnya lalu setiap subjek diberi nomor dan dipilih sebagian dari mereka
dapat melalui undian atau dengan table angka random.
Sistematik sampling, ditentukan dari seluruh subjek yang dapat dipilih, setiap
subjek nomor kesekian dipilih sebagai sampel.
Stratified Random Sampling, populasi masih heterogen. Sampel dipilih acak
untuk setiap strata, kemudian hasil digabung menjadi satu sampel.
Cluster Sampling, proses penarikan sampel secara acak pada kelompok
individu dalam populasi yang terjadi secara alami misalkan berdasarkan
wilayah.
b. Non Probability Sampling, yaitu cara pemilihan sampel tidak berdasarkan
peluang.
17
Consecutive Sampling, semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria
pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah ubjek yang diperlukan
terpenuhi.
Convenient Sampling, sampel diambil tanpa sistematika (sesuka peneliti),
sehingga jarang mewakili populasi.
3.3 Identifikaasi Variabel
Dalam penelitian ini digunakan variable dependen (terikat) dan variable
independen (bebas). Variable terikat berupa pasien TB yang tidak kembali untuk
mengambil obat. Variabel bebas berupa, pendidikan, social ekonomi,
pekerjaan, ,jarak rumah pasien ke Puskesmas, efeksamping obat, lamanya minum
obat.
3.4 Rancangan Penelitian.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan
kualitatif, dimana tujuan riset kualitatif adalah pengembangan konsep yang dapat
membantu memahami fenomena sosial dalam setting atau lingkungan yang alami
(bukan percobaan/eksperimen), yang dengan demikian memberi penekanan pada
makna-makna pengalaman dan pandangan semua peserta risetnya.
Dengan metode ini, akan didapat jawaban mendalam dibanding metode kuantitatif.
Metode kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan lain, yakni : Pertama,
luwes karena rancangan studi ini bisa dimodifikasi, meskipun sedang dilaksanakan.
Kedua, berhubungan langsung dengan khalayak sasaran. Teknik kualitatif memberi
kesempatan pada peneliti untuk mengamati dan berhubungan langsung dengan
khalayak sasaran. Ketiga, analisis induktif karena peneliti tidak memaksa diri untuk
hanya membatasi penelitian pada upaya menerima atau menolak dugaan-dugaannya,
melainkan mencoba memahami situasi (make sense of the situation) sesuai dengan
bagaimana situasi tersebut menampilkan diri. Keempat, perspektif, holistik, yakni
berusaha memahami secara menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti.
Penelitian analitik terdiri dari : cross-sectional analytic, cohort, case-control.
Penelitian cross-sectional adalah penelitian yang melakukan determinasi terhadap
paparan (exposure) dan hasil (disease outcome) secara stimultan pada setiap subjek
18
penelitian. Ini berarti exposure dan outcome dan effect dilihat pada waktu yang sama
atau dikenal dengan snapshot of the population.
Penelitian cohort yaitu dimana peneliti menentukan satu kelompok yang
terpapar factor resiko dan satu kelompok tidak terpapat, kemudian dilakukan follow
up terhadap kedua kelompok tersebut untuk membandingkan insiden penyakitnya.
Penelitian cohort termasuk penelitian dengan pendekatan yang diukur dari waktu ke
waktu atau bersifat longitudinal.
Penelitian case control adalah penelitian yang banyak digunakan pada bidang
epidemiologi untuk mengetahui penyebab penyakit dengan meninvestigasi hubungan
antara factor risiko dengan kejadian penyakit. Pada penelitian ini menggunakan
pendekatan backward looking (retrospective.)
3.1 Sumber data dan metode pengumpulan data
Berbagai jenis sumber data dan metode pengumpulan data, yaitu :
1. Data primer
Data penelitian yang diperoleh sendiri melalui :
Wawancara, observasi, tes.
Kuesioner (daftar pertanyaan)
Pengukuran fisik
Percobaan laboratorium
2. Data sekunder
Data yang diperoleh dari sumber kedua, dokumentasi lembaga, yaitu :
Biro Pusat Statistik (BPS)
Rumah sakit
Lembaga atau institusi
3.2 Metode Pengumpulan Data
1. Kuesioner
Kuesioner adalah daftar pertanyaan tertulis yang ditujukan kepada responden
kemudian jawaban responden dicatat/direkam.
2. Observasi
Metode pengumpulan data dimana peneliti mencatat informasi sebagaimana yang
disaksikan selama penelitian lalu dicatat seobyektif mungkin.
19
3. Wawancara
Pengambilan data melalui wawancara /secara lisan langsung dengan
sumberdatanya, baik melalui tatap muka atau lewat telephone, teleconference.
Jawaban responden direkam dan dirangkum sendiri oleh peneliti.
4. Dokumen
Pengambilan data melalui dokumen tertulis mamupun elektronik dari
lembaga/institusi. Dokumen diperlukan untuk mendukung kelengkapan data yang
lain.7
3.3 Analisis data
Terhadap data yang telah diolah kemudian dilakukan analisis sesuai dengan cara uji
statistic menggunakan chi square.
Uji parametric atau non-parametrik
- Uji Parametrik
Metode statistik parametrik terdiri dari Uji-Z (1 atau 2 sampel, Uji-T (1 atau 2
sampel), Korelasi Pearson. Ciri-ciri statistik parametrik dimana data dengan
skala interval dan rasio.
Keunggulan pada uji parametrik dimana suatu populasi yang dianggap sampel
biasanya tidak diuji dan dianggap memenuhi syarat namun kelemahan
pupolasi harus memiliki varian yang sama dan variabel yang diteliti harus
dapat diukur setidaknya dalam skala interval.
- Uji Non-Parametrik
Metode statistik uji non-parametrik terdiri dari Uji Fisher, Chi-square test dan
umunya data yang digunakan data berskala nominal dan ordinal lalu jumlah
sampel biasanya kecil.
Keunggulan pada uji non parametrik lebih mudah dikerjakan dan lebih mudah
dimengerti dibanding uji parametrik karena statistik non-parametrik tidak
membutuhkan perhitungan matematik yang rumit namun kelemahannya hasil
pengujian hipotesis dengan statistik non-parametrik tidak setajam statistik
parametrik.7
20
3.4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat diambil
beberapa simpulan antara lain kepatuhan pasien untuk berobat dipengaruhi beberapa
faktor yaitu, faktor pendidikan, sosial ekonomi, jarak rumah pasien dengan
Puskesmas, lamanya berobat dan efek samping obat yang dikonsumsi
3.5 Saran
1. Melakukan penyuluhan
2. Penyediaan sarana dan prasaran untuk pengobatan TB
3. Melakukan monitoring
4. Melakukan evaluasi dari program yang sedang dijalankan
21
Daftar Pustaka
1. Nasry N. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta;2008.hal.5-23.
2. Widoyono A. Tuberkulosis Paru. In: Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan,
Pencegahan, dan Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.hal.13-21.
3. Azwar A. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Binarupa Aksara;
2006.hal.104-19.
4. Aditama Tjandra et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi ke-2.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.hal.3-37.
5. Pohan I. Tuberkulosis Paru. In: Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2006.hal.438-50.
6. Amin Z, Asril r. Tuberkulosis Paru. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2009.hal.2230-9.
7. Crofton J, Horne N, Miler F. Tuberkulosisi klinis. Edisi ke-2. Jakarta: Widya
Medika;2002.h.1-56.
8. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan dan komunitas. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC; 2009.h.5-19.
9. Dinas Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Edisi ke-2. Jakarta: Bakti Husada; 2006.hal.3-7,13-33,83-5.
10. Idris F. Manajemen Public Private Mix Penanggulangan Tuberkulosis Strategi DOTS
Dokter Praktik Swasta. Jakarta: Penerbit Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia;
2004.h.87-95, 112-3.
22