proposal penelitian individu -...

14
1 LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU TENTANG IMPLEMENTASI PEMENUHAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA UNTUK MEMPEROLEH INFORMASI PUBLIK Oleh: Novianto Murti Hantoro, S.H., M.H. PUSAT PENELITIAN – BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2016

Upload: vanthuy

Post on 29-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU

TENTANG IMPLEMENTASI PEMENUHAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA

UNTUK MEMPEROLEH INFORMASI PUBLIK

Oleh: Novianto Murti Hantoro, S.H., M.H.

PUSAT PENELITIAN – BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

2016

2

RINGKASAN EKSEKUTIF (EXECUTIVE SUMMARY)

Hak untuk memperoleh informasi telah diatur di Undang-Undang Dasar, hukum internasional, undang-undang, sampai dengan peraturan daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 28F UUD 1945 yang berada di dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, secara konstitusional konstitusi telah memberikan hak bagi warga negaranya untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Hak untuk memperoleh informasi bukan hanya berlaku di Indonesia, melainkan juga secara universal karena terdapat di dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM). Di dalam DUHAM tersebut, hak memperoleh informasi terintegrasi dengan hak untuk berpendapat, yang di dalamnya terdapat substansi “mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan” yang dapat disamakan dengan informasi. Selain DUHAM, perangkat hukum internasional lainnya yang mengatur hal ini adalah Kovenan Internasional untuk masalah hak sipil politik (International Covenant on Civil and Political Rights, Adopted by the General Assembly of the United Nations on 19 December 1966) yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil Politik.

Ketentuan di dalam UUD 1945 dan hukum internasional yang telah diratifikasi tersebut selanjutnya dijabarkan, salah satunya, melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Undang-undang ini antara lain mengatur mengenai pengertian informasi dan informasi publik; Informasi yang dikecualikan; mekanisme memperoleh informasi, pembentukan komisi informasi, sampai dengan sengketa informasi publik.

Setelah diterapkan selama kurang lebih 8 (delapan) tahun, masih terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi publik. Pemenuhan informasi publik dapat diukur dengan beberapa indicator. Pertama, kesiapan badan publik untuk memberikan informasi serta interpretasi terhadap jenis informasi. Kedua, adanya sengketa informasi publik. Hal ini mengingat ketika hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik tidak perpenuhi, akan terjadi sengketa informasi publik. Jumlah Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik pada tahun 2013 sejumlah 377 Permohonan, pada tahun 2014 sejumlah 1367 Permohonan, dan pada tahun 2015 sampai dengan bulan Juni sejumlah 41 Permohonan. Data tersebut menunjukkan bahwa masih banyak permohonan penyelesaian sengketa informasi yang belum diselesaikan.

Permasalahan pokok yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah implementasi pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi? Dari permasalahan pokok tersebut, terdapat 3 (tiga) pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Bagaimanakah prosedur untuk memperoleh informasi publik dan jenis informasi publik

apa sajakah yang diminta oleh pemohon? 2. Bagaimanakah pelaksanaan pemberian informasi publik oleh badan publik?

3

3. Apa yang menjadi hambatan dalam pemenuhan hak warga negara untuk mendapatkan informasi publik?

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini, di antaranya pengertian hak konstitusional dan implementasi kebijakan publik. Menurut I Dewa Gede Palguna, UUD 1945 tidak memberikan pengertian tentang “hak konstitusional”. Istilah hak konstitusional pertama kali terdapat dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan pengertian “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Hak-hak yang diatur dalam UUD 1945 tersebut mencakup hak-hak yang tergolong hak warga negara (citizen’s rights) dan hak-hak yang tergolong hak asasi manusia (humans rights). Hak-hak yang tergolong ke dalam hak warga negara diatur dalam BAB X (Warga Negara dan Penduduk) yang rumusannya dimulai dengan kata-kata “segala warga negara” atau “tiap-tiap warga negara” atau “setiap warga negara”. Sedangkan, hak-hak yang tergolong ke dalam hak asasi manusia diatur dalam BAB XA (Hak Asasi Manusia) yang rumusannya dimulai dengan kata-kata “setiap orang”. Dengan demikian, hak konstitusional mencakup citizen’s rights dan human rights.

Berdasarkan pengertian di atas, akses terhadap informasi menurut UUD 1945 pada dasarnya adalah hak konstitusional setiap manusia (human rights). Hak ini telah disandang manusia sejak ia lahir. Namun, Undang-Undang KIP membatasi Pemohon Informasi adalah warga negara dan/atau badan hukum Indonesia yang mengajukan permintaan informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Artinya, UU KIP membatasi sebagai hak konstitusional warga negara. UU KIP menjamin hak setiap warga negara dalam konteks untuk mengajukan permintaan informasi publik.

Menurut Haedar Akib dan Antonius Tarigan, implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan. Salah satunya ialah implementation problems approach yang diperkenalkan oleh Edwards III. Edwards III mengajukan pendekatan masalah implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni: (i) faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan? dan (ii) faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan? Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dirumuskan empat faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi. Empat faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam implementasi suatu kebijakan.

Penelitian mengenai Implementasi Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara untuk Memperoleh Informasi Publik ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini adalah UU KIP beserta peraturan pelaksanaannya, dalam konteks pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi. Dengan kata lain, apakah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai keterbukaan informasi telah dilaksanakan secara efektif sehingga warga negara terpenuhi hak konstitusionalnya. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian terhadap efektivitas hukum yang masuk dalam kategori penelitian hukum empiris.

Berdasarkan UU KIP, Pemohon mengajukan permohonan informasi publik kepada badan publik. Badan Publik yang dimaksud oleh UU KIP adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD

4

Ruang lingkup penelitian ini akan dibatasi pada badan publik di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif di daerah, yaitu di 2 (dua) provinsi yang menjadi lokasi penelitian.

Pembatasan berikutnya adalah membatasi kedudukan warga negara sebagai pemohon informasi publik, tidak termasuk pengguna informasi, sehingga hanya sebatas bagaimana pemenuhan hak konstitusional warga untuk memperoleh informasi publik. Dengan pembatasan ini, maka bagaimana kedudukan warga negara sebagai pengguna informasi publik tidak diteliti lebih lanjut.

Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari responden dan informan melalui wawancara dengan meggunakan daftar pertanyaan terbuka dan diskusi. Adapun instansi atau kalangan yang dituju adalah Komisi Informasi Provinsi, PPID di Pemerintah Daerah, PPID di DPRD, PPID di Pengadilan, dan pegiat HAM atau Akademisi

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber kedua. Data sekunder meliputi bahan pustaka hukum yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, berupa norma dasar atau kaidah dasar yaitu UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan Keterbukaan Memperoleh Informasi dan Hak Warga Negara untuk Memperoleh Informasi, mulai dari peraturan perundang-undangan tingkat pusat dan daerah. Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, berupa buku, artikel-artikel ilmiah, makalah seminar, bahan-bahan bacaan pendukung baik secara cetak maupun elektronik.

Data yang terkumpul disajikan secara kualitatif (uraian teks/penelitian kualitatif) dan dianalisis secara deskriptif. Analisis yuridis deskriptif menggambarkan mengenai kerangka regulasi (pengaturan atau norma-norma) mengenai hak warga negara untuk memperoleh informasi dan bagaimana implementasi pemenuhannya.

Penelitian dilakukan di dua provinsi, yaitu Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Bangka Belitung. Dasar pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pemeringkatan Komisi Informasi Pusat. Setiap Tahun, Komisi Informasi Pusat menyelenggarakan kegiatan penganugerahan keterbukaan informasi badan publik. Pada akhir tahun 2015, pemeringkatan untuk Badan Publik Pemerintahan Provinsi adalah sebagai berikut: Masuk dalam kategori 10 terbaik adalah: Aceh, Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan. Pemilihan 2 lokasi penelitian didasarkan pada perbandingan antara Provinsi yang masuk 10 besar, yaitu provinsi Jawa Barat dan provinsi yang tidak masuk 10 besar, yaitu Provinsi Bangka Belitung.

Berdasarkan hasil penelitian, pada tingkat provinsi, peraturan pelaksanaan mengenai keterbukaan informasi publik diatur dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 30 Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Transparansi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Sedangkan pada tingkat Kota diatur dalam Peraturan Walikota Bandung Nomor 1352 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Pemerintah Kota Bandung.

Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2014 ini mengatur Kewajiban Organisasi Perangkat daerah (OPD) dalam pelayanan informasi publik; jenis informasi publik; pendokumentasian informasi; pejabat pengelola informasi; SOP Pengelolaan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi; Tata cara pengecualian informasi publik; Prosedur keberatan; Tata cara penyelesaian sengketa informasi publik; dan laporan dan evaluasi.

5

Berdasarkan Peraturan Gubernur diuraikan tiga kategori informasi, yaitu Informasi yang Wajib Disediakan dan Diumumkan Secara Berkala; Informasi yang Wajib Tersedia Setiap Saat, yakni seluruh informasi yang dikuasai selain dari informasi yang dikecualikan; dan iIformasi yang Wajib Diumumkan secara Serta Merta oleh OPD dilakukan berdasarkan tingkat urgensitas kebutuhan masyarakat atas informasi, yaitu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum.

Komisioner Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat diangkat oleh Gubernur Provinsi Jawa Barat berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor: 821.2/Kep.722-Diskominfo/2015 tentang Pengangkatan Komisioner Pada Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat Masa Jabatan Tahun 2015-2019. Komisioner Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat bertanggungjawab kepada Gubernur Provinsi Jawa Barat dan melaporkan kinerja kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat.

Sejumlah kesulitan yang teridentifikasi oleh Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat yang dihadapi PPID pada Badan Publik di Provinsi Jawa Barat di antaranya: dalam pemilahan jenis informasi (berkala, setiap saat, dan dikecualikan), dalam melakukan uji konsekuensi untuk menentukan informasi itu dikecualikan, menyusun SOP untuk mengimplemtasikan pelayanan informasi kepada publik, dan kesulitan dalam menafsirkan isi peraturan perundang-undangan yang sebagian dianggap masih belum jelas. Salah satu hal yang belum banyak dikembangkan dalam program sosialisasi adalah program peningkatan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan informasi publik. Masyarakat tidak berhenti hanya dapat mengakses informasi publik. Lebih jauh lagi masyarakat perlu meningkatkan kemampuan mereka untuk mempelajari dan memanfaatkan informasi publik tersebut. Sehingga lebih jauh lagi masyarakat dapat memanfaatkan informasi publik untuk meningkatkan kualitas partisipasi mereka dalam kebijakan dan program yang mempengaruhi dirinya.

Selain wawancara dengan pejabat di pemerintahan daerah, juga dilakukan Focus Group Discussion untuk menggali masukan. Pelaksanaan FGD dilakukan dengan Dr. Indra Perwira, S.H, akademisi dari Universitas Padjadjaran dan Ketua KIP Jawa Barat Dan Satriana untuk memperoleh pandangan terkait dengan Implementasi Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara untuk Memperoleh Informasi Publik di Provinsi Jawa Barat. Pandangan dari akademisi ini untuk melengkapi data yang telah diperoleh berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa responden di lokasi penelitian, antara lain Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumen (PPID) di Pemerintah Daerah, DPRD, dan Pengadilan. Adapun hasil FGD tersebut diperoleh masukan dan keterangan sebagai berikut: 1. Undang-Undang Keterbukaan Informasi tidak dapat dilepaskan dengan UU tentang

Rahasia Negara dan Penyiaran. 2. Keterbukaan Informasi Publik terkait dengan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, namun

perlu digarisbawahi bahwa keduanya masuk pada generasi ketiga. Generasi demokrasi dapat dibedakan: a. Rule of Majority (demokrasi mayoritas); b. Welfare state (demokrasi partisipatif); dan c. Civil society yang kuat (demokrasi deliberatif) sehingga menghasilkan kelompok

masyarakat yang mampu mengatur dirinya sendiri (self regulation). Sementara generasi untuk HAM: a. Generasi pertama (dari abad ke-17 dan ke-18) memuat hak-hak kebebasan dan

demokratis "klasik": hak orang atas hidup, keutuhan jasmani, dan perkembangan

6

bebas, lalu, sebagai implikasinya, hak atas perlindungan terhadap penahanan sewenang-wenang, atas jaminan hukum, atas kesamaan di hadapan hukum, hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi, larangan perbudakan, hak atas kebebasan suara hati, berpikir dan beragama, hak untuk bergerak bebas, atas kebebasan berpendapat dan kebebasan pers, atas kebebasan berkumpul dan berserikat, atas milik pribadi, hak memilih pekerjaan dan kawin atau tidak kawin dengan bebas, dan hak berusaha. Di sini juga termasuk hak untuk ikut menentukan kehidupan bersama bangsa.

b. Kesadaran atas ketidakadilan sosial dalam abad ke-19 melahirkan hak-hak asasi manusia dari generasi kedua, yaitu hak-hak sosial dan kultural. Yang terpenting adalah: hak atas pekerjaan, atas kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam hal pangan, sandang, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan, hak atas istirahat dari pekerjaan keras (atau liburan), hak atas upah yang wajar, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan kultural bangsa. Adalah ciri khas hak-hak generasi kedua (dan ketiga) ini bahwa hak-hak ini tidak dapat langsung diklaim di depan pengadilan, jadi lebih tepat dipandang sebagai tuntutan mengenai apa yang harus menjadi prioritas kebijakan politik sebuah negara.

c. Generasi ketiga adalah hak-hak yang baru dalam 30 tahun terakhir semakin disadari. Di situ termasuk misalnya hak untuk menolak bahwa semua data kehidupan pribadi dimasukkan ke dalam sistem-sistem informasi negara atau umum. Tetapi terutama di sini yang dimaksudkan adalah hak-hak yang dimiliki bukan oleh individu-individu tertentu (seperti hak-hak asasi manusia generasi pertama dan kedua), melainkan oleh kelompok orang, seperti: hak atas perkembangan atau pembangunan, hak atas identitas kultural sendiri, hak atas perdamaian, hak atas lingkungan hidup yang sehat, hak atas partisipasi pada warisan bersama umat manusia, hak generasi-generasi mendatang atas lingkungan hidup yang masih utuh (misalnya secara genetis). Termasuk di sini atau right to know atau hak untuk mendapatkan informasi.

3. Mengingat Hak atas Informasi bukan merupakan underogable rights, maka pelaksanaannya tergantung dari kesiapan pemerintah. Ketidaksiapan pemerintah terhadap pelaksanaan UU KIP ini terlihat pada saat tawar menawar pelaksanaan UU ini di dalam ketentuan peralihan. Pada kenyataannya sampai dekarang birokrasi belum siap dan budaya masyarakat juga belum mendukung.

4. Di negara maju telah berkembang penguatan kelompok masyarakat yang mengatur dan menyelesaikan permasalahannya sendiri. Terkait dengan hal tersebut, maka seharusnya hak untuk memperoleh informasi tersebut lebih tepat untuk memenuhi kepentingan komunitas dibandingkan perseorangan atau individu.

5. Fungsi negara terhadap HAM adalah menghormati, (to respect); melindungi (to protect), dan selanjutnya untuk memenuhi (to fulfill). Hak atas informasi ini termasuk hak untuk dipenuhi sehingga bagaimana pemenuhannya sangat tergantung pada pemerintah, sehingga penanggung jawab yang sebenarnya adalah pejabat pemerintahan tersebut yang dibantu oleh birokrasinya. Pejabat birokrat tertinggi itulah yang bertindak untuk dan atas nama pemerintah.

6. Perlu ada pendekatan komprehensif bahwa pelaksanaan UU KIP terkait dengan sistem yang lebih besar yang dikehendaki pada awal reformasi, yaitu pada UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

7

7. Perlu ada sosialisasi; perlu ada daerah yang menjadi pilot project; kemudian Komisi Informasi perlu lebih ditingkatkan perannya bukan hanya normatif melainkan juga memberdayakan masyarakat.

8. Perlu ada action plan yang progresif dan perlu dibuat standar pelayanan minimal. 9. Untuk pola penyelesaian sengketa, perlu dibedakan antara mengadili kepentingan

dengan tidak terpenuhinya hak atas informasi. Harus ada direct injury kerugian nyata yang terjadi atau potensi kerugian akibat tidak dipenuhinya hak tersebut, baik kerugian material maupun immaterial. Sehingga dapat dibedakan mana yang menjadi kewenangan PTUN dan mana yang menjadi kewenangan Komisi Informasi. Pada prinsipnya harus ada prosedur yang jelas dengan asas cepat, murah, dan sederhana.

10. Sebagai pembelajaran, maka pada saat merumuskan norma hukum perlu dipikirkan kesiapan infra struktur pelaksananya. Perumusan norma hukum harus disertai dengan kesiapan infra struktur yang mengikutinya.

Sementara untuk Provinsi Bangka Belitung, Salah satu permasalahan di Komisi Informasi Provinsi Bangka Belitung adalah sampai dengan pada saat penelitian, belum ditunjuk sekretaris Komisi Informasi Daerah Provinsi Bangka Belitung. Hal ini mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya tugas penyelesaian sengketa informasi publik. Pada tingkat kabupaten, yaitu Kabupaten Belitung, data Peraturan perundang-undangan mengenai Keterbukaan Informasi Publik, antara lain: 1. Peraturan Bupati Belitung No. 32 tahun 2014 tentang Tata Kerja Pejabat Pengelola

Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Belitung tanggal 25 Juli 2014.

2. Keputusan Bupati Belitung Nomor: 188.45/373/KEP/DISHUBKOMINFO/2014 tentang Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Belitung tanggal 30 Juli 2014.

3. Keputusan Bupati Belitung Nomor: 188.45/324/KEP/HUBKOMINFO/2015 tentang Standar Operasional Prosedur Pelayanan Informasi Publik Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Kabupaten Belitung tanggal 31 Agustus 2015.

Berdasarkan keterangan dari PPID Kabupaten Belitung, mekanisme untuk memperoleh Informasi Publik didasarkan pada prinsip cepat, tepat waktu dan biaya ringan. a. setiap pemohon informasi publik dapat mengajukan permintaan untuk memperoleh

informasi publik kepada badan publik terkait secara tertulis atau tidak tertulis. b. setiap badan publik wajib mencatat nama dan alamat pemohon informasi publik,

subjek, dan format informasi serta cara penyampaian informasi yang diminta oleh pemohon informasi publik;

c. badan publik yang bersangkutan wajib mencatat permintaan informasi publik yang diajukan secara tidak tertulis;

d. Badan Publik wajib memberikan tanda bukti penerimaan permintaan informasi publik berupa nomor pendaftaran pada saat permintaan diterima;

e. dalam hal permintaan disampaikan secara langsung atau melalui surat elektronik, nomor pendaftaran diberikan saat penerimaan permintaan;

f. dalam hal permintaan disampaikan melalui surat, pengiriman nomor pendaftaran dapat diberikan bersamaan dengan pengiriman informasi.

Paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja diterimanya permintaan informasi, Badan Publik yang bersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis yang berisikan:

8

1. Informasi yang diminta berada di bawah penguasaannya ataupun tidak; 2. Badan publik wajib memberitahukan Badan Publik yang menguasai informasi yang

diminta apabila informasi yang diminta tidak berada di bawah penguasaannya dan Badan Publik yang menerima permintaan mengetahui keberadaan informasi;

3. Penerimaan atau penolakan permintaan dengan alasan yang tercantum sebagaimana dimaksud Pasal 17 UU KIP;

4. Dalam hal permintaan diterima seluruhnya atau sebagian dicantumkan materi informasi yang akan diberikan;

5. Dalam hal suatu dokumen mengandung materi yang dikecualikan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 17 UU KIP, maka informasi yang dikecualikan tersebut dapat dihitamkan dengan disertai alasan dan materinya;

6. Alat penyampaian dan format informasi yang akan diberikan dan/atau; 7. Biaya serta cara pembayaran untuk memperoleh informasi yang diminta. Badan Publik yang bersangkutan dapat memperpanjang waktu untuk mengirimkan pemberitahuan, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja berikutnya dengan memberikan alasan secara tertulis.

Prosedur ini sama untuk seluruh SKPD yang ada di Kabupaten Belitung, mengingat sudah terdapat PPID Pembantu di seluruh SKPD yang ada di Kabupaten Belitung sesuai dengan Keputusan Bupati Belitung Nomor: 188.45/373/KEP/DISHUBKOMINFO/2014 tentang Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Belitung tanggal 30 Juni 2014.

Petugas yang melayani permintaan informasi adalah bagian sekretariat PPID selaku pengelola sekretariat yang dijabat oleh Kasi Saran Komunikasi dan Diseminasi Informasi pada Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Belitung. Berdasarkan keterangan PPID, Sarana dan prasarana yang tersedia hingga saat ini belum memadai. Kemudian belum ada masyarakat yang meminta informasi melalui PPID di Kabupaten Belitung, sehingga belum ada dokumentasi tertulis terkait jumlah permintaan informasi dari masyarakat yang dilayani PPID. Hal ini disebabkan belum optimalnya tugas dan fungsi PPID di Kabupaten Belitung dalam mengelola informasi publik dan ketidaktahuan masyarakat (pemohon informasi) tentang adanya PPID di Kabupaten Belitung.

Informasi yang diminta oleh masyarakat terdiri dari informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala; informasi yang wajib diumumkan secara serta merta; dan informasi yang wajib tersedia setiap saat. Semuanya dapat terpenuhi dan kadang kesulitan dialami apabila informasi yang diminta belum mempunyai data yang lengkap hingga memerlukan waktu untuk menyediakan informasi tersebut. Pada saat penelitian, dinyatakan tidak pernah terjadi sengketa informasi sampai saat ini di Kabupaten Belitung.

Keterbukaan informasi merupakan perwujudan demokratisasi di bidang pengelolaan pemerintahan. Badan publik yang terbuka dan transparan memungkinkan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Untuk mendukung pelaksanaan dari keterbukaan informasi publik dalam rangka good governance maka pemerintah daerah harus menyiapkan sarana pra sarana, SDM yang mempunyai kemampuan (skill), dan kemauan serta komitmen dari seluruh penyelenggara pemerintahan atau badan publik (pemerintah pusat atau daerah dan aparat atau komponennya) untuk melaksanakannya. Pentingnya penegakan hukum yang berkeadilan serta dukungan penegak hukum yang profesional dan yang menjunjung tinggi keadilan.

9

Secara implementatif, kendala antara lain terkait dengan tingginya sengketa informasi antara badan publik dengan pemohon informasi. Misalnya, adanya penolakan badan publik untuk memberikan informasi dengan menggunakan alasan Pasal 17 tentang informasi yang dikecualikan atau karena kelalaian dalam mempersiapkan informasi. Mekanisme dalam penanganan sengketa informasi telah diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 50, namun mekanisme ini menjadi kurang berguna apabila informasi yang dibutuhkan sangat urgen dan dibatasi oleh waktu. Sengketa itu akan tinggi terutama antara badan publik dengan jurnalis yang setiap saat membutuhkan informasi yang aktual.

Kendala lainnya adalah menyangkut anggaran, infrastruktur, sikap pelaksana, organisasi pelaksana dan lingkungan. Anggaran bagi PPID sebagai lembaga yang mengatur teknis cara permintaan informasi dan penyelesaian sengketa pada tingkat kabupaten Belitung, tentunya sangat diperlukan. Dibutuhkan komitmen dari pihak eksekutif dan legislatif, untuk konsisten dalam menyediakan anggaran setiap tahunnya yang dimasukkan dalam APBD. Terkait infrastruktur, kendala yang mungkin terjadi adalah dalam penyiapan kantor, meubeler, dan fasilitas lainnya. Sementara untuk sikap pelaksana kendalanya adalah pemilihan terhadap orang-orang pada badan publik yang akan bertugas dalam memberikan informasi. Mereka yang dipilih tentunya haruslah orang yang dapat memahami betul tujuan UU KIP dan peraturan yang dibuat. Terakhir, kendala lingkungan terkait situasi politik, hukum dan budaya apakah mendukung atau tidak. Ketidakstabilan politik, penegakan hukum yang belum benar-benar mantap dan masih rendahnya kepercayaan masyarakat kepada pejabat dan aparat publik tentunya akan mengurangi efektivitas implementasi UU KIP. Kebebasan memperoleh informasi sudah jelas diatur dalam UU No. 14 tahun 2008. Semuanya sudah diatur dengan baik tinggal dioptimalkan pelaksanaannya.

FGD juga dilaksanakan di Provinsi Bangka Belitung dengan pembicara Toni, S.H., M.H. dan Sigit Nugroho, S.H., M.H. selaku Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung. Pelaksanaan FGD ini merupakan upaya untuk mengumpulkan data, informasi, dan masukan dari akademisi terkait dengan topik penelitian. Adapun dari hasil FGD tersebut diperoleh masukan sebagai berikut: 1. Untuk melihat efektivitas aturan hukum dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 14

tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik maka diuji dengan teori efektivitas hukum. Mengkualifikasikan dari pendapat Anthony Allot tentang efektivitas hukum maka disimpulkan dalam kajian efektivitas hukum menekankan pada 3 (tiga) fokus bahasan yang meliputi : a. Keberhasilan dalam pelaksanaan;

Artinya keberhasilan dari implementasi peraturan tersebut salah satunya terletak pada relevansi kebebasan pers sebagai salah satu prinsip dasar negara demokrasi, karena pers menjadi organisator yang mampu memberi informasi dari fakta fakta publik yang didapat dari badan publik dan terbukannya ruang informasi publik dengan pengecualian

b. Kegagalan dalam pelaksanaannya; Kesiapan badan publik dalam memberikan informasi masih dipertanyakan dengan interprestasi yang berbeda terhadap informasi itu sendiri. Adanya penolakan badan publik memberikan informasi, yang ditafsirkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan rahasia negara atau lainnya.

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi.

10

1) Badan publik Yang tersandera oleh peraturan perundang-undangan rahasia negara yang ditafsirkan definisi tetapi bukan dengan argumentasi, yang mestinya pemahaman informasi publik dengan mengedepankan HAM bukan hal-hal lainnya dan cenderung ego sektoal dalam menjalankan kewenangannya, anggaran, psikologis organisasi keterbukaan informasi dipahami sebagai ketakutan “membuka aib”

2) Sinkronisasi aturan Dalam hal ini adalah penetapan standar batasan informasi publik dan rahasia negara belum sinkron. Hingga melahirkan multi tafsir diantara subjek hukum yang berhubungan dengan informasi publik.

2. Keterbukaan informasi publik dalam kajian teori hak azasi manusia dan efektivitas hukum, dapat disimpulkan bahwa : Keterbukaan informasi publik adalah hak azasi yang melekat secara kodrati, memiliki legalitas yang tinggi dalam konstitusi, dipahami sama oleh negara-negara modern, lahir dari realita budaya yang berkembang. Dan tingkat efektivitas dalam pelaksanaan aturan belum maksimal yang dipengaruhi beberapa faktor yakni perbedaan persepsi pemahaman antara badan publik dengan pemohon informasi, badan publik yang tersandera aturan rahasia negara dan tidak adanya sinkronisasi standar antara peraturan perundang-undangan keterbukaan informasi publik dengan rahasia negara

Hasil analisis penelitian dilakukan dengan menjabarkan tiga pertanyaan penelitian

sebagai berikut: 1. Prosedur untuk memperoleh informasi publik dan jenis informasi publik yang diminta

oleh pemohon. UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) bertujuan

memberikan untuk jaminan memperoleh informasi publik dan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat pada proses penyelenggaraan negara. Keterbukaan informasi publik diharapkan dapat berpengaruh untuk proses pengambilan keputusan publik, pelaksanaan kebijakan, dan kepentingan pengawasan.

Secara normatif, peraturan perundang-undangan telah mengatur bagaimana prosedur untuk memperoleh informasi publik pada badan-badan publik, namun tidak semua masyarakat mengetahui. Masyarakat tidak semuanya tahu mengenai PPID sehingga cenderung mendatangi tempat-tempat terdekat dengan mereka. Selama penerapan UU KIP masih belum sesuai harapan. Dalam pelaksanaannya, masih banyak badan publik yang masih mengalami kendala dalam pelaksanannya.

Beberapa badan publik telah telah membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) serta Standar Operating Procedure (SOP) pada pelayanan informasi di insitusinya masing-masing. Namun, badan publik belum sepenuhnya dapat memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat.

Beberapa faktor yang menjadi penyebab badan publik belum atau tidak memberikan informasi karena dikhawatirkan informasi publik yang diberikan akan disalahgunakan oleh pemohon informasi publik. Misalnya, karena sudah mendapatkan data yang dminta maka hal tersebut digunakan untuk memeras institusi tersebut atau pihak lain terkait dengan informasi. Selain itu, ada upaya menutupi kelemahan dalam institusi tersebut. Beberapa instansi tidak memberikan informasi publik yang diminta

11

publik karena jika diberikan akan membuka maladministrasi atau kelemahan di lembaga tersebut.

Dari pemohon informasi pun terdapat kalangan dan motivasi yang beragam. Kalangan pertama adalah jurnalis yang menginginkan informasi untuk berita. Kalangan kedua adalah akademisi yang mencri informasi untuk keperluan pendidikan atau penelitian. Kalangan ketiga adalah masyarakat umum yang biasanya untuk mengetahui prosedur-prosedur terkait dengan kepentingan administrasi.

Sebagian masyarakat telah merasakan dampak dari implementasi undang-undang ini. Mereka mudah mendapatkan informasi publik yang selama ini sulit didapat dari instansi pemerintah. Kemudahan dan banyaknya informasi publik yang dimiliki masyarakat, telah membuka cakrawala masyarakat kebijakan atau produk yang dihasilkan pemerintah dan lembaga publik. Sehingga timbul kekritisan masyarakat sebagai pembenahan pengelola lembaga-lembaga tersebut.

Implementasi UU KIP masih belum berjalan efektif karena sebagian besar lembaga negara dan pemerintah belum sepenuhnya membuka informasi yang dikategorikan terbuka bagi publik. Dalam beberapa sengketa informasi publik yang telah diputuskan secara terbuka oleh Komisi Informasi Publik, ternyata tidak ditindaklanjuti oleh badan publik pemerintah dan negara.

Menurut data Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, pada 11 Februari 2015, dari sekitar 694 badan publik, hanya 49.2 persen diantaranya yang telah memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Rendahnya pencapaian ini tidak hanya terjadi di tingkat pemerintah daerah, tetapi juga di tingkat kelembagaan negara. Dari 497 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 234 kabupaten yang telah memiliki PPID atau masih kurang dari 53 persen, sedangkan Lembaga Negara/Lembaga Setingkat Menteri/LNS/LPP baru 33,3 persen yang memiliki PPID. Terlebih, baru 28 persen pemerintah kabupaten/kota yang memiliki situs yang membuka informasi publik pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diperintahkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 188.52/1797/SC/2012 tahun 2012 tentang transparansi pengelolaan anggaran daerah.

2. Pelaksanaan Pemberian Informasi Publik oleh Badan Publik

Pada tingkat pemerintahan daerah, terdapat dua peraturan pelaksanaan yang harus menjadi acuan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.

Pada Pasal 12 PP No. 61 tahun 2010 diatur mengenai PPID bahwa pejabat yang dapat ditunjuk sebagai PPID di lingkungan Badan Publik Negara yang berada di pusat dan di daerah merupakan pejabat yang membidangi informasi publik. PPID ditunjuk oleh pimpinan setiap Badan Publik Negara yang bersangkutan. PPID di lingkungan Badan Publik selain Badan Publik Negara ditunjuk oleh pimpinan Badan Publik yang bersangkutan. Selanjutnya pada Pasal 13 diatur bahwa PPID dijabat oleh seseorang yang memiliki kompetensi di bidang pengelolaan informasi dan dokumentasi. Kompetensi tersebut ditetapkan oleh pimpinan Badan Publik yang bersangkutan.

12

Sementara di dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 35 Tahun 2010 diatur bahwa untuk mengelola pelayanan informasi dan dokumentasi di lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah ditetapkan PPID. PPID tersebut melekat pada pejabat struktural yang membidangi tugas dan fungsi pelayanan informasi. PPID di lingkungan Pemerintahan Provinsi ditetapkan oleh Gubernur. PPID di lingkungan Pemerintahan Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Selanjutnya di dalam Pasal 8 diatur bahwa PPID di lingkungan Pemerintahan Provinsi bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. PPID di lingkungan Pemerintahan Kabupaten/Kota bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah. PPID di lingkungan Pemerintahan Provinsi dibantu oleh PPID Pembantu yang berada di lingkungan Satuan Kerja Perangkat Daerah dan/atau Pejabat Fungsional. PPID di lingkungan Pemerintahan Kabupaten/Kota dibantu oleh PPID Pembantu yang berada di lingkungan Satuan Kerja Perangkat Daerah dan/atau Pejabat Fungsional.

Terdapat perbedaan antara kedua peraturan pelaksana tersebut. PP No. 61 Tahun 2010 mengedepankan kompetensi di bidang pengelolaan informasi dan dokumentasi bagi PPID, sementara Permendagri menyebutkan bahwa PPID melekat pada pejabat strukturan yang membidangi tugas dan fungsi pelayanan informasi. Pemerintah daerah lebih memperhatikan Permendagri tersebut, sehingga PPID dijabat oleh Kepala Dinas yang mebidangi informasi atau biasanya adalah diskomisnfo. Namun sebagi contoh di kabupaten belitung, mengingat dinas komunikasi dan informasi tidak berdiri sendiri namun digabung dengan dinas perhubungan, maka PPID dijabat oleh Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informasi.

Secara umum, prosedur permohonan informasi telah disusun oleh setiap badan publik. PPID juga telah dibentuk dan ditetapkan oleh pemerintah daerah. Terdapat dua model pelayanan pemberian informasi pulik. Pertama, tersentralisasi yaitu ada SKPD yang menjadi PPID utama dan SKPD yang lain menjadi PPID pembantu. Kedua, terdesentralisasi yaitu tidak ada PPID utama, masing-masing SKPD memberikan informasi berdasarkan kewenangannya. Sistem sentralisasi dapat dikatakan lebih baik, karena akan terbangun sebuah database yang terpusat dan terintegrasi, namun dari sisi kepentingan pemohon, model terpusat akan menjadi kendala karena bisa jadi lokasinya jauh dari tempat tinggal pemohon. Hal ini dapat diatasi apabila PPID telah menggunakan sistem teknologi informasi yang memadai, sehingga pemohon dapat mengakses dari tempat manapun. Demikian pula bahwa dengan sistem terintegrasi, bukan berarti tidak ada PPID pembantu yang berada di lokasi pemohon.

3. Hambatan dalam Pemenuhan Hak Warga Negara untuk Mendapatkan Informasi Publik

Beberapa permasalahan yang terkait dengan implementasi penerapan keterbukaan informasi publik adalah sebagai berikut:

Pertama, masalah kelembagaan. Pembentukan dan penunjukkan PPID belum seragam di berbagai badan publik. Di jajaran pemerintah daerah, ada aturan yang memayunginya, yaitu permendagri. Namun di dalam pelaksanaannya masih berbeda-beda SKPD mana yang akan menjadi PPID. Kemudian di daerah juga terdapat instansi vertikal, seperti di pengadilan, sehingga aturannya mengikuti ketentuan dari Pusat. Kedua, Keterbatasan tenaga PNS sebagai PPID dan koordinasi dengan sekretaris sebagai atasan PPID menyebabkan pelayanan informasi publik belum berjalan optimal. Terlebih

13

biasanya PPID merangkap dengan jabatan lain. Ketiga, pengembangan website belum dilakukan secara optimal. Hal ini karena keterbatasan tenaga pengelola dan anggaran program. Keterbatasan tenaga pengelola dan anggaran menyebabkan pengelolaan data dan website tidak berjalan optimal. Seyogyanya Pemerintah Daerah mengembangkan program dan anggaran yang cukup untuk mngembangkan website yang dapat dijadikan model oleh badan publik. Keempat, Pengelolaan kelembagaan yang perlu menjadi perhatian adalah peningkatan profesionalitas lembaga. Koordinasi dengan Komisi Informasi Daerah dengan Pemerintah Daerah sebagai pendukung pelaksanaan kesekretariatan perlu disempurnakan, termasuk membahas kemungkinan pengembangan sekretariat Komisi Informasi menjadi unit kerja yang dapat lebih mandiri dengan memperhatikan koridor pembatasan dari UU KIP dan undang-undang terkait pembentukan unit kerja di pemerintah daerah. Keterbatasan dukungan oleh sekretariat yang belum optimal perlu diperhatikan. Baik dari sarana maupun staff sekretariat. Staff sekretariat yang ditempatkan tidak dapat sepenuhnya membantu komisioner terutama dalam penyelesaian sengketa informasi. Jumlah dan kapasitas sekretariat yang tidak memadai harus diakui menyebabkan dukungan administrasi dan kepaniteraan di Komisi Informasi tidak sesuai dengan kebutuhan. Kelima, jenis informasi. Jenis informasi yang “sensitif” cenderung sulit didapatkan dibandingkan dengan informasi yang lain.

Selain meningkatkan pengelolaan koordinasi sekretariat, peningkatan kapasitas komisioner dan sekretariat terus menerus harus ditingkatkan dengan melaksankan pelatihan maupun program diskusi dengan tenaga ahli. Transparansi pada badan publik di lingkup kabupaten/kota maupun pemerintah desa pada akhirnya memberikan kontribusi pada penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Pada akhirnya hasil peningkatan kualitas tersebut akan dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Di sisi lain, peningkatan pelayanan informasi publik oleh badan publik tersebut hanya akan bermakna jika diimbangi juga oleh peningkatan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan informasi publik.

Masyarakat tidak berhenti hanya dapat mengakses informasi publik. Lebih jauh lagi masyarakat perlu meningkatkan kemampuan mereka untuk mempelajari dan memanfaatkan informasi publik tersebut. Sehingga lebih jauh lagi masyarakat dapat memanfaatkan informasi publik untuk meningkatkan kualitas partisipasi mereka dalam kebijakan dan program yang memengaruhi dirinya.

Sebagai kesimpulan dalam penelitian ini: Memperoleh informasi publik merupakan hak warga negara yang dijamin oleh

konstitusi dan kemudian telah dijabarkan di dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, menjadi kewajiban bagi negara untuk memenuhi hak tersebut. Namun demikian, secara teori hak ini dikategorikan sebagai generasi ketiga yang bukan merupakan underrogable rights sehingga pelaksanaannya tergantung dari kesiapan pemerintah.

Hal memperoleh informasi publik dapat dikaitkan dengan masalah transparansi, sehingga diharapkan masyarakat mengetahui proses-proses pengambilan kebijakan dan turut berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan tersebut. Di sisi lain, hal ini juga menjadi salah satu metode pengawasan bagi penyelenggaraan pemerintahan.

14

Prosedur memperoleh informasi telah banyak disusun oleh badan publik, namun pada penerapannya tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan, karena akan tergantung pada informasi publik yang diminta oleh Pemohon. Informasi-informasi yang sifatnya “sensitif” cenderung masih sulit untuk diberikan. Tidak semua permasalahan terdapat di badan publik, karena dari sisi pemohon juga terdapat pemohon yang ditengarai “beritikad tidak baik”, yaitu dengan memohon informasi terkait dengan penyimpangan-penyimpangan dan dengan tujuan untuk melakukan “pemerasan” dengan informasi tersebut.

Terkait dengan pelaksanaan pemberian informasi oleh badan publik, telah dibentuk sejumlah PPID di badan publik, namun penunjukkan PPID dan prosedur pelaksanaan pemberian informasi masih beragam. Terdapat pemerintah daerah yang menjalankan prosedur pemberian informasi secara terpusat, namun ada pula yang di delegasikan ke SKPD yang tersebar sesuai dengan kewenangannya.

Hambatan dalam pemenuhan hak warga negara untuk mendapatkan informasi publik, terdapat beberapa kategori yang pada umumnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu jenis informasi yang diminta dan masalah kelembagaan badan publik pemberi informasi. Jenis informasi yang bersifat “sensitif” biasanya terkait dengan masalah anggaran, proyek, atau kasus-kasus penyimpangan yang terjadi. Sementara masalah terkait dengan pemberi informasi adalah masalah kelembagaan, personil, serta sarana dan prasarana yang kurang memadai.

Adapun saran yang diberikan: Penerapan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik dapat dikatakan

belum dapat dilaksanakan secara optimal, namun hal ini bukan menjadi permasalahan di tingkat Undang-Undang. Untuk mengoptimalkan permasalahan ini, perlu diperbaiki ketentuan mengenai teknis pelaksanaannya. Pertama, masalah penentuan PPID dan mekanisme kerjanya. Kedua, membangun kesepakatan bersama mengenai klasifikasi secara tegas informasi yang bersifat rahasia. Ketiga, badan publik juga perlu dilindungi dari pemohon informasi yang “beritikad tidak baik”, namun di lain pihak, badan publik juga harus beritikad baik untuk melayani permohonan informasi publik.

Pada tataran awal memang baru terbatas pada ketentuan-ketentuan normatif, yaitu tersedianya kelembagaan, pejabat informasi, prosedur, dan mekanisme permohonan informasi. Termasuk kemudian menyelesaikan sengketa informasi. Pada tataran berikutnya, hak untuk memperoleh informasi harus ditingkatkan esensinya menjadi hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Berpartisipasi aktif untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan, khususnya yang menyangkut diri mereka sendiri, sehingga terbentuk suatu masyarakat madani yang mandiri. Di satu pihak, masyarakat menjadi ikut memiliki dan di lain pihak penyelenggara negara dapat menjalankan transparansi dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara dan pembangunan.