proposal nugroho ari x.doc
TRANSCRIPT
Proposal Skripsi
Degradasi Ekosistem Mangrove dan Perubahan Garis Pantai Kecamatan
Muara Gembong Tahun 1990-2010
Nugroho Ari Saputro
1006679106
Universitas Indonesia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Program Studi Geografi
Depok
Bab I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Tarigan (2008), bahwa peranan fungsi komunitas (vegetasi) mangrove memiliki
nilai baik secara ekologis maupun ekonomis. Lebih jauh dikatakan bahwa fungsi ekologis
mangrove, selain sebagai pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, juga sebagai
habitat bagi biota perairan, baik untuk mencari makan (feeding ground), maupun tempat
pemijahan(spawning ground), asuhan dan pembesaran (nursery ground), bagi berbagai aneka
kehidupan biota perairan. Di sisi lain juga disebutkan bahwa peranan fungsi mangrove juga
memiliki kemampuan dalam pengaturan iklim mikro, baik terhadap kelembaban nisbi maupun
suhu udara. Berbeda halnya dengan peranan fungsi ekonomisnya (Dahuri, 1978 ; Yayasan
Mangrove ; Tarigan, 2008), dimana vegetasi mangrove selain sebagai sumber penghasil
keperluan rumah tangga bagi masyarakat, juga sebagai sumber bahan baku keperluan industri
seperti bahan penyamak (kulit dan batik), maupun sebagai sumber bahan tanaman.
Menurut Suprapto (2005) bahwa ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang peka
dengan perubahan yang terjadi baik secara alami maupun karena aktifitas manusia. Perubahan
tersebut, sebagai faktor penyebab terdegradasinya mangrove. Lebih jauh dikatakan bahwa
perubahan vegetasi mangrove, selain terhadap pengurangan jenis, juga terhadap luasannya.
Keberadaan tersebut selain sebagai faktor penyebab abrasi (pengkikisan tanah), juga penyebab
akresi (sedimentasi). Pekikisan terhadap tanah mangrove selain menyebabkan tingginya arus
laut, juga berakibat terhadap semakin hilangnya komunitas mangrove (Setiyono, 1996). Lebih
jauh Parjaman (1977), menyebutkan akibat dari sedimentasi, berpengaruh langsung terhadap
perubahan baik pengurangan maupun penambahan garis pantai. Fakta perubahan garis pantai
yang terjadi di Semarang juga dilaporkan oleh Sodikin (2013). Perubahan tersebut tercatat 154,5
ha garis pantai yang hilang selama jangka waktu xcx tahun (xx-2013). Lebih jauh dikatakan
bahwa ancaman juga terjadi kawasan hutan lindung mangrove di Muara Angke (Provinsi DKI
Jakarta), dan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi.
Hamparan vegetasi mangrove di Kabupaten Bekasi, terpusat di wilayah adminitrasi
Kecamatan Muara Gembong (Sodikin, 2013). Keberadaan tutupan vegetasi tersebut kini tercatat
tinggal 10.480 ha atau telah terdegradasi sebesar 93,5% dari kondisi awalnya, selama jangka
waktu xx tahun (Perhutani Jabra, 2010). Perubahan tersebut selain diokupasi/dirambah oleh
penduduk, untuk wahana pertambakan juga untuk permukiman.
Penelitian tentang vegetasi mangrove di Indonesia telah banyak dilakukan baik secara
biologi maupun berdasarkan kaidah geografi. Akan tetapi penelusuran hubungan antara
perubahan vegetasi mangrove dan perubahan garis pantai masih terbatas. Padahal kejadian
fenomena alam tersebut terjadi selain di Semarang, Indramayu, Cirebon, Pekalongan juga
terejadi di Gresik (xxxxx, yy). Sebagai akibat dari perubahan garis pantai tersebut, menyebabkan
berubahnya morfologi pantai.
Memperhatikan fenomena alam (a) hilang dan terdegradasinya vegetasi mangrove, (b)
terganggunya biota perairan laut, dan (c) perubahan terhadap garis pantai, dimana keberadaan
tersebut menyebabkan pengaruh terhadap sosial ekonomi masyarakat, untuk itu penelitian yang
berjudul ”Perubahan Vegetasi Mangrove dan Garis Pantai di Kecamatan Muara Gembong”
dilakukan. Jangka waktu penelitian ini antara tahun 1990 sampai dengan 2010. Selain untuk
mengkaji dan menginformasikan bagaimana pengaruh dari degradasi vegetasi mangrove
terhadap perubahan garis pantai, juga pengaruhnya terhadap masyarakat. Pengaruh positif karena
tambahnya luasan tambak masyarakat akibat sedimentasi, berbeda halnya dengan pengaruh
negatif dimana abrasi yang terjadi menyebabkan beberapa persil (tanah milik masyarakat)
menjadi hilang. Adapun alasan penelitian ini dilakukan mengingat hal-hal sebagai berikut:
(1). Vegetasi magrove pada dasarnya merupakan penyangga perlindungan alam sebagai
sepandan pantai. Semakin hilang dan terdegrasinya vegetasi mangrove, akan menyebabkan
hilang maupun berubahnya garis pantai, juga menyebabkan menyusupnya air laut ke
wilayah daratan.
(2). Terdegrasinya vegetasi mangrove, menyebabkan terganggunya ekosistem kehidupan biota
perairan laut.
(3). Perubahan tutupan mangrove menyebakan pengaruh terhadap para petambak masyarakat di
sekitar kawasan mangrove.
1.2 Masalah Penelitian
Perubahan vetasi mangrove, selain sebagai penyebab perubahan garis pantai juga
merupakan salah satu faktor terdegradasinya ekosistem kehidupan biota perairan. Di sisi lain dari
perubahan garis patai akan menyebabkan timpangnya perekonomian masyarakat dari sektor
pertambakan. Namun demikian dalam penelitian ini lebih memfokuskan terhadap fenomena
perubahan garis pantai akibat dari perubahan vegetasi mangrove. Atas dasar itulah permasalahan
yang diutarakan sebagai pertanyaan penelitian adalah:
(1). Bagaimana perubahan vegetasi mangrove dan garis pantai secara temporal di Kecamatan
Muara Gembong tahun 1990-2010?
dimana yang berubah
(2). Bagaimana pengaruh perubahan vegetasi mangrove terhadap perubahan garis pantai di
Kecamatan Muara Gembong ?
korelasi antara perubahan (1 dan 2)
pengaruh terhadap sosek
1.2 Tujuan
Berdasarkan masalah yang dibahas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu :
(1). Mengetahui perubahan garis pantai secara temporal sebagai akibat dari degradasi ekosistem
mangrove di Kecamatan Muara Gembong tahun 1990-2010
(2). Mengetahui faktor yang mempunyai pengaruh paling dominan terhadap perubahan garis
pantai temporal di Kecamatan Muara Gembong tahun 1990-2010?
1.3 Batasan Penelitian
1. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang terdiri dari berbagai vegetasi mangrove dan
organisme lainnya yang saling berinteraksi satu sama lainnya.
2. Vegetasi mangrove
3. Hutan mangrove merupakan daerah (habitat) vegetasi mangrove yang tumbuh dan
berkembang secara alamiah, baik diantara garis pasang surut dan atau di sekitar muara sungai
, dan berada di luar kawasan hutan (Hardjosentono, 1978).
4. Perubahan vegetasi mangrove adalah berkurang atau bertambahnya daerah tempat tumbuh
dan berkembangnya vegetasi mangrove. Perubahan area hutan mangrove dalam penelitian ini
meliputi perubahan luasan area dan tingkat kerapatan tajuk mangrove.
5. Luasan area hutan mangrove yang dimaksud dalam penelitian ini adalah luas keseluruhan
area hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong tahun 1990-2010.
6. Tingkat kerapatan tajuk mangrove yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat
kerapatan tajuk yang didapat dari hasil transformasi NDVI.
7. Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut yang masih dipengaruhi sifat
darat maupun laut (Dahuri, 2001).
8. Pantai adalah garis khayal tempat bertemunya daratan dan perairan dari muka laut rata-rat
terendah sampai muka air tertinggi rata-rata (Sandy, 1996).
8. Garis pantai adalah wilayah yang langsung berbatasan antara lautan dan daratan yang
merupakan batas antara laut dan darat ( Dahuri, 2001).
9. Perubahan garis pantai adalah berpindahnya atau bergesernya letak garis pantai dari
kedudukan semula (Bird, 1984). Perubahan garis pantai dalam penelitian ini meliputi
perubahan luas abrasi dan akresi dan perubahan jarak maju atau mundur garis pantai.
10. Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga arus laut yang bersifat merusak, disebut
juga erosi pantai (Setiyono, 1996).
11. Akresi adalah perubahan garis pantai dimana garis pantai tersebut mengalami perubahan
maju dari kedudukan semula (Pardjaman, 1977).
Bab II
TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1. Perubahan Ekosistem Mangrove 2.1.1 Perubahan Habitat (ha) (a). Perubahan (-) dan (+), sebagai akibat dari, contoh terjadi Dimana (b). Fenomena perubahan secara alami dan aktivitas manusia (c). Perubahan kelas genang 2.1.2 Perubahan Jenis (jumlah jenis) (a). Perubahan tatanan jenis (b). Dominansi jenis 2.1.3 Terganggunya ekosistem Biota Perairan 2.1.4 Perubahan Garis Pantai2.2. Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh Dalam Deteksi Peruabahan Mangrove2.3. Penelitian Terdahulu
2.1 Degradasi Ekosistem Mangrove2.2 Degradasi Ekosistem Mangrove dan Perubahan Garis Pantai2.3 2.4. Penelitian Terdahulu
2.1 Degradasi Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau
secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak
terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian
hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi
oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994
dalam Santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan
untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon
dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan
berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera,
Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu
komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar
garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae,
1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah
“mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu
tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau
atau hutan payau. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya
kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir,
terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang
khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Ekosistem mangrove memiliki berbagai potensi manfaat baik langsung maupun tidak
langsung. Hutan mangrove juga merupakan sumber bahan baku berbagai jenis industri dan
habitat berbagai jenis fauna (Zaitunah, 2005). Namun kenyataan di lapangan menunjukkan
adanya kerusakan hutan mangrove yang cukup memprihatinkan. Kerusakan tersebut terutama
disebabkan oleh adanya kegiatan di lingkungan mangrove, seperti perubahan hutan mangrove
menjadi penggunaan lain (tambak, pemukiman, dan lain-lain), pencemaran lingkungan (minyak,
sampah, dan lain-lain), atau kegiatan lain tanpa memperhatikan kelestariannya.
Melihat fungsi dan potensi ekosistem mangrove yang begitu besar seringkali membuat
masyarakat sekitar mengeksploitasi mangrove secara berlebihan. Bengen (2001) menjelaskan
bahwa kerusakan ekosistem mangrove dikarenakan adanya fakta bahwa sebagian manusia dalam
memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat
dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya
maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Hal itu dikarenakan memang
pada dasarnya hutan mangrove memiliki fungsi ekonomi antara lain sebagai penghasil keperluan
rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Akan tetapi, dampak ekologis
akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan
fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan
mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya.
Terkait dengan faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove, Kusmana (2003)
menambahkan ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2)
konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan
yang berlebihan. Pencemaran seperti pencemaran minyak, logam berat. Konversi lahan untuk
budidaya perikanan (tambak), pertanian (sawah, perkebunan), jalan raya, industri, produksi
garam dan pemukiman, pertambangan dan penggalian pasir.
2.2 Degradasi Ekosistem Mangrove dan Perubahan Garis Pantai
Pemanfaatan hutan mangrove yang dilakukan tanpa perhitungan akan menambah tekanan
ekologis bagi hutan itu sendiri dan juga tekanan sosial ekonomi masyarakat. Jika dikaitkan
dengan fungsi dan manfaat hutan mangrove, maka pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan
akan menimbulkan dampak yang merugikan dan kerusakan ekosistem mangrove.
Degradasi atau kerusakan ekosistem mangrove dapat diakibatkan oleh semakin tingginya
tingkat eksploitasi, lemahnya koordinasi dan sinkronisasi antar sektor, lemahnya penegakan
hukum, serta rendahnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi ekosistem mangrove (Nontji,
1987). Hal ini menyebabkan fungsi ekosistem mangrove sebagai habitat biota laut dan pelindung
wilayah pesisir dapat terganggu (Soraya, Suraya dan Taofiqurohman, 2012).
Terjadinya degradasi di dalam suatu ekosistem kemudian dapat menyebabkan
menurunnya fungsi ekosistem secara ekologis dan ekonomis. Salah satu penyebab menurunnya
ekosistem yang paling signifikan adalah manusia. Hal ini terjadi ketika manusia
memanfaatkan sumber daya alam untuk kesejahteraan mereka (Belvi, 2012). Begitu pula yang
terjadi pada ekosistem mangrove dimana manusia lah penyebab utama terjadinya kerusakan
mangrove. Aktifitas manusia yang menyebabkan kerusakan mangrove salah satunya adalah
pengalihfungsian atau konversi kawasan mangrove menjadi permukiman, tambak, lahan
pertanian bahkan penambangan. Menurut Pramudji (2000), kegiatan penambangan mineral baik
yang dilakukan di daerah hutan mangrove atau di daerah sekitarnya dapat menyebabkan
kerusakan ekosistem mangrove dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan dampak dari tebang habis
(clearcutting) terhadap ekosistem mangrove akan menyebabkan terjadinya abrasi secara intensif
di sepanjang pantai (Pramudji, 2000).
Konversi hutan mangrove juga dapat menimbulkan gangguan dan kerusakan pada
ekosistem mangrove yang dapat menimbulkan abrasi dan akresi di sepanjang garis pantai.
Kerusakan ekosistem mangrove ini dapat menyebabkan erosi sehingga akan menimbulkan
perubahan pola sedimentasi dan perubahan garis pantai (Soraya, Suraya dan Taofiqurohman,
2012). Pada akhirnya kerusakan ekosistem mangrove dapat menimbulkan kerugian tidak hanya
pada lingkungan namun juga dapat merugikan masyarakat sekitar.
2.3 Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek
tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001; Elachi, 2006).
Informasi diperoleh dengan cara deteksi dan pengukuran berbagai perubahan yang terdapat pada
lahan dimana obyek berada. Proses tersebut dilakukan dengan cara perabaan atau perekaman
energi yang dipantulkan atau dipancarkan, memproses, menganalisa dan menerapkan informasi
tersebut. Informasi secara potensial tertangkap pada suatu ketinggian melalui energi yang
terbangun dari permukaan bumi, yang secara detil didapatkan dari variasi-variasi spasial,
spektral dan temporal lahan tersebut (Landgrebe, 2003).
Variasi spasial, spektral dan temporal memberikan tambahan informasi yang saling
melengkapi. Sebaran bentukan garis lurus yang membentuk jalur-jalur memberikan informasi
terdapatnya suatu aktifitas dilokasi tersebut. Bentukan-bentukan teratur yang menyerupai rumah
menambah informasi bahwa lokasi tersebut juga menjadi tempat tinggal. Dua informasi tersebut
berasal dari adanya variasi spasial obyek pada citra. Warna merah kecoklatan memperjelas
pembedaan kumpulan obyek rumah dengan lokasi lahan bertutupan vegetasi yang berwarna
hijau. Tambahan informasi ini berasal dari adanya variasi spektral yang dapat secara detil
menambah akurasi identifikasi obyek. Perubahan jumlah obyek pada satu lokasi yang terdapat
pada dua atau lebih citra akan memberikan informasi tentang pertumbuhan fenomena di lokasi
tersebut. Informasi pada suatu lokasi yang sama dari dua citra yang berbeda waktu
perekamannya memberikan informasi multi temporal. Informasi multi temporal ini sangat
bermanfaat dalam menganalisis perubahan fenomena yang terjadi pada rentang waktu tertentu di
lokasi tersebut.
2.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang perubahan garis pantai di pesisir Blanakan Kabupaten Subang Jaw2a
Barat telah dilakukan oleh Soraya dkk (2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
seberapa besar perubahan garis pantai, serta pengaruhnya terhadap ekosistem mangrove
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah overlay garis pantai dari data citra
Landsat 7 ETM+ tahun 1996, 2002, dan 2011, penelitian lapangan serta metode deskriptif
kuantitatif menggunakan regresi linear untuk mengetahui hubungan antara perubahan luasan
mangrove dengan perubahan garis pantai. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa sebagian
besar Kecamatan Blanakan mengalami akresi dengan rata-rata nilai perubahan garis pantainya
sejauh 360,57 meter sedangkan Kecamatan Legonkulon sebagian besar mengalami abrasi dengan
nilai rata-rata perubahan garis pantainya sejauh 350,18 meter. Pengaruh kerusakan mangrove
terhadap perubahan garis pantai di Kecamatan Blanakan adalah sebesar 41% dan di Kecamatan
Legonkulon sebesar 68%.
1 Imam Hakim dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan Kerusakan Mangrove
Dengan Abrasi bertujuan untuk mendapatkan informasi kerusakan hutan mangrove dan dan
hubungannya dengan abrasi yang terjadi di Pantai Utara Pulau Bengkalis. Pengumpulan dan
penyelidikan data dilakukan dengan metode survey. Dalam penelitian ini dilakukan uji hipotesis
mengenai hubungan antara variabel bebas yaitu kerusakan hutan mangrove dengan variabel
terikat yaitu tingkat abrasi. Untuk mendapat gambaran kerusakan hutan mangrove dilakukan
analisis parameter kondisi hutan mangrove yang meliputi kerapatan, frekuensi, dominasi, dan
nilai penting sedangkan parameter tingkat abrasi adalah laju abrasi per tahun. Dari penelitian
tersebut disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara penurunan kerapatan
pohon pada hutan mangrove terhadap laju abrasi yang terjadi.
Bab III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitan ini adalah metode deskriptif kualitatif
dan metode deskriptif kuantitatif. Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk memaparkan
perubahan garis pantai dan luasan ekosistem mangrove secara temporal. Serta memaparkan
wilayah abrasi dan akresi yang dilihat dari perubahan garis pantai dan memaparkan tingkat
kerapatan tajuk ekosistem mangrove.
Metode deskriptif kuantitatif dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh
atau hubungan antara degradasi ekosistem mangrove dalam hal ini adalah perubahan luasan
ekosistem mangrove dengan perubahan garis pantai berdasarkan grafik regresi linear.
Adapun kerangka alur pikir penelitian secara sistematik dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.
Gambar 3.1. Alur Pikir Penelitian.
Lokasi Pengamatan
Pengumpulan Data
Pengolahan Data Degradasi Ekosistem Mangrove:
Koreksi Radiometrik dan Geometrik Citra
Ekstraksi Mangrove (RGB 543)
Penajaman Citra
Vegetasi Index (NDVI)
Pengolahan Data Perubahan Garis Pantai:
Koreksi Radiometrik dan Geometrik Citra
Penajaman
Citra
Dijitasi
Peta Perubahan Garis Pantai
Overlay
Overlay
- Peta Perubahan Luasan Ekosistem Mangrove
- Peta Perubahan Tingkat Kerapatan Tajuk
Mangrove
Overlay
Pengolahan Data
Pengaruh Degradasi Ekosistem Mangrove Terhadap Perubahan
Garis Pantai
Regresi Linear Perubahan Luasan dan Tingkat Kerapatan Tajuk Mangrove (Degradasi
Mangrove) dengan Perubahan Garis Pantai
Gambar 3.2. Alur Kerja Penelitian
3.2 Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitan ini meliputi :
3.2.1 Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden atau objek yang diteliti,
atau ada hubungannya dengan yang diteliti (Tika, 2005 dalam Harti, 2009). Pada
penelitian ini data primer didapat dengan cara observasi langsung ke lapang. Observasi
ini dilakukan untuk uji validasi dengan melakukan pengecekan langsung ke lokasi
penelitian dan melihat kondisi existing ekosistem mangrove dan garis pantai.
3.2.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh tidak secara langsung dari subjek atau objek
yang diteliti, tetapi melalui pihak lain seperti instansi atau lembaga terkait, membaca
buku teks, literature, laporan statistik, serta hasil riset peneliti-peneliti sebelumnya yang
datanya masih relevan digunakan (Tika, 2005 dalam Harti, 2009). Pada penelitian ini data
sekunder yang diperlukan diantaranya :
No Data Sumber data
1Citra Landsat ETM path/row 122/064
tahun 1990, 2000 dan 2010
BTIC Biotrop dan
www.earthexplorer.com
LAPAN
2 Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000 BIG
3Peta Wilayah Administrasi Kecamatan
Muara GembongBIG
4Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Muara
GembongBPN
Tabel 3.1. Kebutuhan dan Sumber Data Sekunder.
3.3 Pengumpulan Data
Berdasarkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, pengumpulan data primer
diperoleh dengan cara observasi langsung ke lokasi penelitian sedangkan data sekunder
diperoleh dari instansi terkait dan untuk pengumpulan data citra dapat dilakukan dengan
mengunduh citra Landsat ETM pada web yang menyediakan citra tersebut.
3.4 Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul kemudian akan diolah menggunakan software Arcgis 10.2 dan
Envi 4.8. Semua data ini akan diolah hingga menjadi peta yang memiliki informasi spasial.
3.4.1 Pengolahan Data Citra
Data citra yang digunakan adalah citra Landsat ETM path/row 122/064 yang didapat dari
instansi atau dari web yang menyediakan citra tersebut. Data citra ini diolah hingga
menghasilkan klasifikasi mangrove dan garis pantai. Pengolahan data citra menggunakan
software Envi 4.8. Langkah-langkah pengolahan citra sebagai berikut :
1 Mengoreksi kesalahanan radiometrik dan geometrik citra Landsat ETM
2 Penajaman citra untuk memperjelas kenampakan citra
3 Melakukan layer stacking pada setiap data yang akan digunakan
4 Pemotongan citra sesuai dengan daerah penelitian
5 Pembuatan citra komposit warna semu RGB (Red Green Blue) dengan kombinasi
kanal 4, 5, dan 2 untuk Landsat ETM sehingga objek mangrove akan tampak
berwarna merah tua hingga kekuningan (Sukardjo, S. et al 2009 dalam Marcello,
2012) sehingga dapat dikenali dengan jelas.
6 Melakukan klasifikasi citra dengan klasifikasi terbimbing atau supervised untuk
pengklasifikasian tutupan lahan pada citra dengan Maximum Likelihood sebagai
metodenya.
7 Mendapatkan citra hasil sebaran ekosistem mangrove dan dapat diketahui perubahan
luasan area hutan mangrove dengan mengoverlay tiap tahun pengamatan.
8 Untuk mendapatkan data tingkat kerapatan tajuk mangrove dilakukan dengan
menggunakan algoritma NDVI dengan formula sebagai berikut :
9 NDVI = (band inframerah dekat-band merah)/(band inframerah dekat +band merah)
Band inframerah dekat = band 4
Band merah = band 3
3.4.2 Pengolahan Data Peta
Proses selanjutnya untuk melihat perubahan garis pantai dan ekosistem mangrove
menggunakan software Arcgis 10.2 dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1 Digitasi garis pantai dengan menggunakan kombinasi band 742 dalam format RGB
2 Overlay hasil digitasi tiap tahun pengamatan yaitu tahun 1990, 2000, dan 2010 untuk
melihat bagian-bagian pantai yang terabrasi dan terakresi.
3 Menentukan wilayah yang terkena abrasi dan akresi kemudian dilakukan
penghitungan luasan wilayah yang terkena abrasi dan akresi serta mengukur jarak
perubahan (maju/mundur) garis pantai.
4 Hasil pemetaan perubahan garis pantai, luasan ekosistem mangrove dan tingkat
kerapatan tajuk mangrove kemudian dioverlay sehingga akan terlihat hubungan
diantara degradasi mangrove (perubahan luasan dan tingkat kerapatan tajuk ekosistem
mangrove dengan perubahan garis pantai).
3.5 Analisis
Analisa yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Degradasi ekosistem mangrove yang meliputi perubahan luasan dan tingkat kerapatan
tajuk ekosistem mangrove menggunakan analisa overlay pada tiap tahun pengamatan
yaitu tahun 1990, 2000, dan 2010. Begitu pula dengan perubahan garis pantai, dimana
dilakukan dengan menggunakan analisa overlay pada tiap tahun pengamatan yang
sama dengan perubahan luasan area hutan mangrove. Hasil dari overlay ini akan
menghasilkan wilayah pantai yang mengalami abrasi dan akresi.
2. Analisa selanjutnya adalah dengan menganalisa hubungan antara degradasi ekosistem
mangrove dengan perubahan garis pantai dengan menggunakan analisa overlay.
Dengan mengoverlay kedua peta tersebut akan terlihat bagaimana perkembangan
perubahan garis pantai tiap tahun pengamatan dengan degradasi ekosistem mangrove
dalam hal ini dilihat dari perubahan luasan area hutan mangrove dan tingkat
kerapatan tajuk mangrove.
3. Analisa yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara degradasi ekosistem
mangrove yaitu perubahan luasan tingkat kerapatan tajuk ekosistem mangrove
dengan perubahan garis pantai yaitu dengan menggunakan metode deskriptif
kuantitatif dengan cara menghitung regresi linearnya.
Daftar Pustaka
Ali Akbar, Aji dkk. 2008. Ekosistem Mangrove dan Abrasi di Pesisir Kalimantan Barat.
Forum Geografi, Vol. 22, No. 1, Juli 2008
Arfando, Rio. 2008. Perubahan Area Mangrove Di Pulau Panjang Kabupaten Serang
Provinsi Banten. Skripsi Sarjana Departemen Geografi FMIPA UI.
Budhiman, S., R. Dewanti and C. Kusmana. 2002. Application of Ladsat-TM Data
and geographic Information Systems Inventoring the Degradation of mangrove
Forest in east Kalimantan Province. PORSEC 2002 BALI Proceedings: 791 – 796.
Harti, Arum Mustika. 2009. Perubahan Garis Pantai Teluk Jakarta Tahun 1970-2009.
Skripsi Sarjana Departemen Geografi FMIPA UI.
Hakim, Imam. 2003. Hubungan Kerusakan Hutan Mangrove dengan Abrasi. Tesis
Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia.
Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology: An Ecological Approach (Third Edition).
HarperCollins College Publishers, New York.
Ongkosongo, O.S.R. 1981. Keadaan Lingkungan Fisik Pantai Jakarta. LON-LIPI
Jakarta.
Sodikin. 2013. Kerusakan Mangrove Serta Korelasinya Terhadap Tingkat Intrusi Air
Laut (Studi Kasus Di Desa Pantai Bahagia Kecamatan Muara Gembong Kabupaten
Bekasi). Tesis Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro
Soraya, Dida dkk. 2012. Perubahan Garis Pantai Akibat Kerusakan Hutan Mangrove Di
Kecamatan Blanakan Dan Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang. Jurnal
Perikanan dan Kelautan.
Susanto, Apri dkk. Analisis Kebijakan Perlindungan Pesisir Berbasis Mangrove.
Wetlands International Indonesia Programme.
Marcello, Hansel. 2012. Perubahan Mangrove Di Pesisir Indramayu. Skripsi Sarjana
Departemen Geografi FMIPA UI.
Mulia, F. dan L. Sumardjani. 2001. Hutan Tanaman Mangrove: Prospek Masa Depan
Kehutanan Indonesia. Kongres Kehutanan Indonesia III, 25 – 28 Oktober
2001, Jakarta.