proposal gerontik kucur
DESCRIPTION
kucurTRANSCRIPT
PENGARUH DIET HIPERTENSI PADA LANSIA TERHADAP
PERUBAHAN PERILAKU DI DESA KUCUR DUSUN
KLASEMAN RW 09 KECAMATAN DAU
KABUPATEN MALANG
Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Profesi Gerontologi
Oleh :
Kelompok IV
PSIK B
2013
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Lansia adalah proses yang mengubah seseorang dewasa sehat menjadi
seseorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem
fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan
kematian. Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi berbagai perubahan
fisiologis yang tidak hanya berpengaruh terhadap penampilan fisis, namun juga
terhadap fungsi dan tanggapannya pada kehidupan sehari-hari (Stanley, 2006).
Menurut Hawari (2007) lansia bukan merupakan suatu penyakit, namun
merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang sering disebut sebagai
proses penuaan atau ‘’senescene” dalam bahasa latinnya. Proses menua atau
’senescene” memiliki arti tumbuh menjadi tua dan merupakan suatu siklus
kehidupan yang ditandai dengan tahap-tahap menurunnya berbagai fungsi organ
tubuh.
Penurunan berbagai organ, fungsi, dan sistem tubuh yang terjadi pada
lansia dapat bersifat alamiah/fisiologi dan juga bersifat patologis. Perubahan
fisiologis meliputi penurunan, fungsi immunitas, fungsi pengindraan, fungsi
pendengaran, fungsi pencernaan, fungsi perkemihan, fungsi muskuloskeletal,
fungsi kardiovaskuler, dan lain-lain. Penurunan fungsi tersebut disebabkan
berkurangnnya jumlah dan kemampuan sel tubuh (Pudjiastuti, 2003). Beberapa
penurunan fungsi yang terjadi pada lansia, yang perlu menjadi perhatian adalah
sistem kardiovaskuler, karena jumlah lansia yang menderita penyakit akibat
penurunan fungsi kardiovaskuler masih dalam jumlah yang banyak. Perubahan
sistem kardiovaskuker meliputi perubahan struktur dan mekanik dan atau fungsi
dari dinding pembuluh darah, sehingga mengakibatkan penebalan dinding
dengan peningkatan kekakuan, lumen yang melebar dan kemudian diikuti
dengan penurunan vascular compliance. Dampak dari perubahan pada
pembuluh darah tersebut mengakibatkan peningkatan tekanan darah (hipertensi)
dan penumpukan plak aterosklerosis yang berdampak pada penyakit
kardiovaskuler lainnya seperti penyakit jantung koroner, infark jantung, stroke
dan penyakit pembuluh darah. (Lakatta & Levy, 2003; Klatz & Goldman, 2003;
Najjar et al., 2005; Jani & Rajkumar, 2006; Nilson, 2008).
Jumlah lansia yang mengalami hipertensi diketahui masih tinggi, diketahui
di Indonesia sekitar 50-60% pada populasi lansia menderita hipertensi (Depkes
RI, 2009). Hal tersebut juga didukung oleh data yang didapatkan pada lahan
Binaan di Dusun Klaseman, Desa Kucur, Kecamatan Dau bahwa pada 3 bulan
terakhir (April-Mei) kunjungan terbanyak lansia adalah dengan masalah
hipertensi yaitu sebanyak 21 lansia dari 47 lansia. Data tersebut, menunjukkan
bahwa masalah kesehatan yang dialami oleh mayoritas lansia di lahan Binaan
adalah masalah kesehatan pada sistem kardiovaskuler khususnya penyakit
hipertensi.
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah persisten/menetap
dengan tekanan sistolik sedikitnya 140 mmHg dan tekanan diastolik sedikitnya
90 mmHg dalam pembuluh darah arteri secara terus - menerus lebih dari satu
periode (Price dan Wilson, 2005). Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
hipertensi adalah faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat
dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi meliputi genetik, umur, seks,
dll, sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi adalah merokok, obesitas, emosi,
stress dan lain-lain (Bustan, 2007). Selain faktor penyebab, perlu juga diketahui
tanda dan gejala penyakit hipertensi. Tanda dan gejala penyakit hipertensi yang
dirasakan pada masing-masing invidu adalah berbeda-beda, bahkan ada yang
sama sekali tidak memunculkan atau tidak merasakan gejala hipertensi sama
sekali, tetapi diketahui menderita hipertensi saat dilakukan pengukuran tekanan
darah, sehingga hipertensi sering juga disebut sebagai ”silent killer” atau
pembunuh secara diam-diam.
Hal tersebut sangat berbahaya mengingat bahwa hipertensi akan
memunculkan beberapa komplikasi jika tidak ditangani atau tidak terkontrol
akibat sifat ”silent killer” daripada hipertensi. Komplikasi tersebut dapat berupa
kerusakan/kematian target organ meliputi retinopati dan penyakit arteri perifer,
gagal jantung, insufisiensi ginjal kronis dan CVA atau stroke, dan pada akhirnya
akan mengakibatkan kematian. Oleh sebab itu, untuk mencegah terjadinya
komplikasi tersebut, maka diperlukannya beberapa menejemen kesehatan baik
pada individu yang menderita hipertensi ataupun keluarga yang memiliki anggota
keluarga dengan hipertensi. Menejemen kesehatan dapat berupa perubahan
perilaku atau gaya hidup dari yang tidak sehat menuju gaya hidup yang sehat,
mengontrol stress, teratur berolah raga, serta mengontrol hipertensi dengan
patuh terhadap pengobatan.
Tugas profesi keperawatan dalam membantu proses pelaksanaan
menejemen kesehatan tersebut baik pada invidu (lansia) dengan hipertensi
maupun pada keluarga yang memiliki anggota keluarga (lansia) dengan
hipertensi adalah dengan melaksanakan asuhan keperawatan yang meliputi
pengkajian, perumusan diagnose keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan
monitoring.
Pelaksanaan menejemen kesehatan baik pada individu maupun keluarga
bukan mudah untuk dilakukan, karena mengingat kemungkinan adanya
keterbatasan yang dimiliki baik individu maupaun keluarga .Kemungkinan
keterbatasan individu meliputi pengobatan hipertensi yang secara kontinu, jika
dikaitkan dengan lansia yang secara fisiologis mengalami penurunan daya ingat
dan daya serap terhadap informasi yang diberikan, maka hal tersebut akan
mempengaruhi lansia dalam proses pengobatan yang sedang atau yang akan
dijalankan. Kemungkinan keterbatasan keluarga meliputi kurang pengetahuan
akan bahaya yang ditimbulkan akibat dari penyakit hipertensi yang dialami
anggota keluarga, ketidakmampuan dalam melakukan pemantauan pengobatan
serta penyajian diet, dan lain-lain.
Berdasarkan fenomena yang ada di lokasi binaan, melalui survey
menejemen hipertensi yang telah dilakukan oleh kelompok melalui kuisioner,
didapatkan hasil bahwa mayoritas lansia yang hipertensi di Dusun Klaseman RW
09 memiliki masalah tentang pengetahuan dalam penatalaksanaan diet
hipertensi yang tepat. Oleh sebab itu, kelompok tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pengaruh diet hipertensi pada lansia dengan hipertensi
terhadap perubahan perilaku di. Dusun Klaseman, Desa Kucur, Kecamatan Dau.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana diet hipertensi pada lansia di Dusun Klaseman RW 09,
Desa Kucur, Kecamatan Dau?
1.2.2. Bagaimana perilaku lansia di Dusun Klaseman RW 09, Desa Kucur,
Kecamatan Dau?
1.2.3. Adakah pengaruh diet hipertensi terhadap perubahan perilaku pada
lansia di Dusun Klaseman RW 09, Desa Kucur, Kecamatan Dau?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui perubahan perilaku pada lansia di Dusun Klaseman
RW 09, Desa Kucur, Kecamatan Dau setelah dilakukan intervensi
keperawatan
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi diet hipertensi pada lansia di Dusun Klaseman RW
09, Desa Kucur, Kecamatan Dau?
2. Mengidentifikasi perilaku lansia di Dusun Klaseman RW 09, Desa
Kucur, Kecamatan Dau?
3. Mengetahui adakah pengaruh diet hipertensi terhadap perubahan
perilaku pada lansia di Dusun Klaseman RW 09, Desa Kucur,
Kecamatan Dau setelah dilakukan intervensi keperawatan?
1.4. Manfaat Penelitian
1.1.1.1. Bagi Lahan Binaan
Memberi informasi mengenai diet hipertensi dan perlunya
perubahan perilaku lansia dalam mengontrol hipertensi.
1.1.1.2. Bagi Responden
Mendapat perubahan pengetahuan, perilaku dan sikap dalam
mengontrol hipertensi.
1.1.1.3. Bagi Keluarga
Mendapat pengetahuan baru tentang cara merawat,
memanajemen kesehatan dan memaksimalkan dukungan pada lansia
dengan hipertensi, sehingga dapat membantu memaksimalkan
kesehatan lansia melalui pengontrolan perilaku dan sikap lansia
terhadap diet hipertensi sesuai dengan standar
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Lansia
2.1.1 Pengertian Lansia
Lansia menurut UU no 4 tahun 1965 adalah seseorang yang
mencapai umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk
keperluan hidupnya sehari – hari dan menerima nafkah dari orang lain
(wahyudi, 2000). Sedangkan menurut UU no.12 tahun 1998 tentang
kesejahteraan lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang telah mencapai
usia diatas 60 tahun (Depsos,1999). Proses penuaan disebut pula
dengan nama “senescene”, kata ini diambil dari bahasa latin yang artinya
tumbuh menjadi tua. Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang
ditandai dengan tahap-tahap menurunnya berbagai fungsi organ tubuh
misalya pada sistem kardiovaskuler dan pembuluh darah, pernafasan,
pencernaan, endokrin, dan lain sebagainya. (FKUI, 2007).
Lansia adalah proses yang mengubah seseorang dewasa sehat
menjadi seseorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar
cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap
berbagai penyakit dan kematian. Seiring dengan bertambahnya usia,
terjadi berbagai perubahan fisiologis yang tidak hanya berpengaruh
terhadap penampilan fisis, namun juga terhadap fungsi dan tanggapannya
pada kehidupan sehari-hari (Ilmu Penyakit Dalam, 2006).
Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari
suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan
tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan. Penurunan berbagai
organ, fungsi, dan sistem tubuh itu bersifat alamiah/fisiologi atau patologis.
Penurunan tersebut disebabkan berkurangnnya jumlah dan kemampuan
sel tubuh (Pudjiastuti, 2003).
2.1.2 Teori Penuaan
1. Teori Biologis
Teori Biologis mencoba untuk menjelaskan proses fisik penuaan,
termasuk perubahan fungsi dan struktur, panjang usia, dan kematian.
Perubahan-perubahan dalam tubuh termasuk perubahan molekular dan
seluler dalam sistem organ utama dan kemampuan tubuh untuk berfungsi
secara adekuat dan melawan penyakit. Teori Biologis yang
mempengaruhi kualitas tidur antara lain:
a. Riwayat Lingkungan
Menurut teori ini, faktor-faktor di dalam lingkungan (misalnya
karsinogen dari industri, cahaya matahari, trauma, dan infeksi) dapat
membawa perubahan dalam proses penuaan. Walaupun faktor-faktor
ini diketahui dapat mempercepat penuaan, dampak dari lingkungan
lebih merupakan dampak sekunder dan bukan merupakan faktor
utama dalam penuaan.
b. Teori Imunitas
Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam
sistem imun yang berhubungan dengan penuaan. Ketika orang
bertambah tua, pertahanan mereka terhadap organisme asing
mengalami penurunan, sehingga mereka lebih rentan untuk menderita
berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi. Seiring dengan
berkurangnnya fungsi sistem imun, terjadilah peningkatan dalam
respon autoimun tubuh. Ketika orang mengalami penuaan, mereka
mungkin mengalami penyakit autoimun seperti artritis reumatoid dan
alergi terhadap makanan dan faktor lingkungan lain.
c. Teori Neuroendokrin
Para ahli telah memikirkan bahwa penuaan terjadi oleh karena
adanya suatu perlambatan dalam sekresi hormon tertentu yang
mempunyai suatu dampak pada reaksi yang diatur oleh sistem saraf.
Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan secara universal
akibat penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk menerima,
memproses, dan bereaksi terhadap perintah.
2. Teori Psikososial
Teori psikososial memusatkan perhatian pada perubahan sikap
dan perilaku yang menyertai peningkatan usia, sebagai lawan dari
implikasi biologi pada kerusakan anatomis. Teori psikososial antara lain :
a. Teori Kepribadian
Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek pertumbuhan psikologis
tanpa menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia. Jung
mengembangkan suatu teori pengembangan kepribadian orang
dewasa yang memandang kepribadian sebagai ekstrovert atau
introvert..
b. Teori Tugas Perkembangan
Tugas perkembangan adalah aktivitas dan tantangan yang harus
dipenuhi oleh seseorang pada tahap-tahap spesifik dalam
kehidupannya untuk mencapai penuaan yang sukses. Tugas utama
lansia adalah mampu melihat kehidupan seseorang sebagai kehidupan
yang dijalani dengan integritas. Pada kondisi tidak adanya pencapaian
perasaan bahwa ia telah menikmati kehidupan yang baik, maka lansia
tersebut berisiko untuk disibukkan dengan rasa penyesalan atau putus
asa.
c. Teori Disengagement
Teori disengagement (teori pemutusan hubungan), dikembangkan
pertama kali pada awal tahun 1960-an, menggambarkan proses
penarikan diri oleh lansia dari peran masyarakat dan tanggung
jawabnya. Lansia dikatakan akan bahagia apabila kontak sosial telah
berkurang dan tanggung jawab telah diambil oleh generasi yang lebih
muda. Manfaat pengurangan kontak sosial bagi lansia adalah agar ia
dapat menyediakan waktu untuk merefleksikan pencapaian hidupnya
dan untuk menghadapi harapan yang tidak terpenuhi.
d. Teori Aktivitas
Lawan langsung dari teori disengagement adalah teori aktivitas
penuaan, yang berpendapat bahwa jalan menuju penuaan yang
sukses adalah dengan cara tetap aktif. Havighurts yang pertama kali
menulis tentang pentingnya tetap aktif secara sosial sebagai alat untuk
penyesuaian diri yang sehat untuk lansia pada tahun 1952. Sejak saat
itu, berbagai penelitian telah memvalidasi hubungan positif antara
mempertahankan interaksi yang penuh arti dengan orang lain dan
kesejahteraan fisik dan mental orang tersebut.
e. Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas, juga dikenal sebagai suatu teori perkembangan,
merupakan suatu kelanjutan dari kedua teori sebelumnya dan
mencoba untuk menjelaskan dampak kepribadian pada kebutuhan
untuk tetap aktif atau memisahkan diri agar mencapai kebahagiaan
dan terpenuhinya kebutuhan di usia tua. Teori ini menekankan pada
kemampuan koping individu sebelumnya dan kepribadian sebagai
dasar untuk memprediksi bagaimana seseorang akan dapat
menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat penuaan (Stanley,
2006).
2.1.3 Perubahan pada lansia
1. Perubahan fisik
a. Perubahan sel
Perubahan ini meliputi jumlah sel lebih sedikit dan lebih besar
ukurannya, berkurangnya cairan tubuh dan berkurangnya cairan intra
seluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, hati,
dan sejumlah sel otak menurun, dan terganggunya mekanisme
perbaikan sel (Nugroho, 2000 ).
b. Sistem Persarafan
Berat otak menurun 10-20% (setiap orang berkurang sel saraf
otaknya setiap hari). Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi,
khususnya dengan stres. Mengecilnya saraf panca indra,
berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya saraf
penciuman dan perasa, lebih sensitif terhadap perubahan suhu
dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin, kurang sensitif
terhadap sentuhan (Nugroho, 2000 ).
c. Sistem Pendengaran
Hilang atau berkurangnya kemampuan mendengar, terutama
terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi. Terjadinya
pengumpulan serumen, dapat mengeras karena meningkatnya keratin
(Nugroho, 2000 ).
d. Sistem Penglihatan
Menurunnya lapang pandang, hilangnya daya akomodasi mata.
Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, glaukoma,
ulkus kornea (Nugroho, 2000 ).
e. Sistem Kardiovaskuler
Elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal, dan
menjadi kaku. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1%
setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan
menurunnya kontraksi dan volumenya. Tekanan darah meninggi
diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer
(Nugroho, 2000 ).
f. Sistem Respirasi
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku.
Paru-paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik
nafas menjadi lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun,
dan kedalaman nafas menurun. Alveoli ukurannya melebar dan
jumlahnya berkurang. O2 pada arteri menurun menjadi 75 mmHg. CO2
pada arteri tidak berganti (Nugroho, 2000 ).
g. Sistem Gastrointestinal
Kehilangan gigi penyebab utama adanya Peridontal disease yang
biasa terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan
gigi yang buruk dan gizi yang buruk. Indra pngecap menurun,
hilangnya sensitifitas dari saraf pengecap di lidah terutama rasa manis,
asin, dan pahit. Esofagus melebar. Asam lambung menurun dan waktu
untuk mengosongkan lambung menurun. Peristaltik lemah dan
biasanya timbul konstipasi (Nugroho, 2000 ).
h. Sistem Genitourinaria
Pada lansia ukuran nefron mengecil dan menjadi atrofi sehingga
aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%. Otot-otot vesika urinaria
(kandung kemih) menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200
ml menyebabkan frekuensi buang air kecil meningkat. Kandung kemih
susah dikosongkan pada pria lanjut usia sehingga mengakibatkan
pretensi urine. Pembesaran prostat ±75% dialami oleh pria usia diatas
65 tahun (Nugroho, 2000 ).
i. Sistem Endokrin
Sistem endokrin pada lansia terdapat perubahan seperti : toleransi
glukosa, terganggu dan insulin serum meningkat, penurunan
testoteron bebas maupun yang bioavaiable, penurunan hormon T3,
peningkatan hormon paratiroid (PTH), penurunan produksi vitamin D
pada kulit, dan peningkatan kadar homosistein serum (Nugroho, 2000).
j. Sistem Integumen
Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak.
Permukaan kulit kasar dan bersisik (karena kehilangan proses
keratinasi serta perubahan ukuran dan bentuk sel epidermis). Kulit
kepala dan rambut menipis dan berwarna kelabu. Kuku jari menjadi
keras dan rapuh (Nugroho, 2000 ).
k. Sistem Muskuloskletal
Tulang kehilanglangan cairan dan semakin rapuh. Persendian
membesar dan menjadi kaku. Tendon mengerut dan mengalami
sklerosis. Kadar kapur dalam tulang menurun mengakibatkan tulang
menjadi keropos (Nugroho, 2000 ).
l. System Reproduksi (menopause)
Menopause adalah berhentinya siklus perdarahan uterus yang
teratur, merupakan satu peristiwa dalam klimakterium. Menopause
biasanya terjadi antara usia 45-52 tahun (Price, 2006). Menopause
digambarkan sebagai penghentian fisiologis haid berhubungan dengan
kegagalan fungsi ovarium, selama fungsi reproduktif menurun dan
berakhir (Smeltzer, 2002). Turunnya fungsi ovarium mengakibatkan
hormone terutama hormone estrogen dan progesterone sangant
berkurang di dalam tubuh. Kekurangan hormone ini menyebabkan
beberapa keluhan, salah satunya yaitu insomnia ( sulit tidur). Insomnia
lazim terjadi pada waktu menopause, tetapi hal ini mungkin ada
kaitannya dengan rasa tegang akibat berkeringat malam hari, wajah
memerah, dan perubahan yang lain.
2. Masalah kesehatan jiwa
a. Kecemasan
Gejala kecemasan yang sering dialami oleh lansia yaitu, perasaan
khawatir atau takut yang tidak rasional akan kejadian yang terjadi, sulit
tidur sepanjang malam, rasa tegang dan cepat marah, dan sering
membayangkan hal yang menakutkan. (Maryam, 2008).
b. Depresi
Depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang sering dijumpai
pada lansia. Depresi ditandai dngan gejala seperti sering mengalami
gangguan tidur, sering kelelahan, kebersihan dan kerapian diri
diabaikan, mudah tersinggung, konsentrasi berkurang, dan hilangnya
nafsu makan yanf bisa menyebabkan penurunan berat badan. (Maryam,
2008).
c. Insomnia
Kebiasaan atau pola tidur lansia dapat berubah , yang terkadang
dapat mengganggu kenyamanan anggota keluarga lain yang tinggal
serumah. Perubahan pola tidur dapat brupa tidak bisa tidur sepanjang
malam dan sering terbangun pada malam hari, sehingga lansia
melakukan kegiatan pada malam hari. Insomnia pada lansia sering
disebabkan oleh kurangnya kegiatan fisik dan mental sepanjang hari
sehingga mereka masih semangat sepanjang malam, tertidur sebentar-
sebentar sepanjang hari, gangguan cemas dan depresi, tempat tidur
dan suasana kamar yang kurang nyaman. (Maryam, 2008).
d. Paranoid
Lansia terkadang merasa bahwa ada orang yang mengancam
mereka, membicarakan, serta berkomplot ingin melukai atau mencuri
barang miliknya. Bila kondisi ini berlangsung lama dan tidak ada
dasarnya, hal ini merupakan kondisi yang disebut paranoid. (Maryam,
2008).
e. Demensia
Demensia sinilis merupakan gangguan mental yang berlangsung
progresif, lambat, dan serius yang disebabkan oleh kerusakan organik
jaringan otak. (Maryam, 2008).
3. Perubahan sosial lansia
a. Ketersaingan
Terjadinya penurunan kemampuan pada individu dalam
mendengar, melihat, dan aktivitas lainnya, sehingga merasa tersisih
dalam masyarakat.
b. Post power syndrome
Kondisi ini terjadi pada seseorang yang semula mempunyai
jabatan pada masa aktif bekerja. Setelah berhenti bekerja, merasa ada
sesuatu yang hilang dalam kehidupannya.
c. Masalah ekonomi
Penerimaan atau pendapatan pada usia lanjut tidak seperti masa
produktif, sehingga masalah ekonomi merupakan salah satu masalah
yang perlu dipahami. (Mangoenprasodjo, 2005).
2.2 Konsep Hipertensi
2.2.1 Pengertian
Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolik
dan sistolik yang intermiten atau menetap. Insiden hipertensi meningkat
seiring bertambahnya usia (Stockslager , 2008). Hipertensi lanjut usia
dibedakan menjadi dua hipertensi dengan peningkatan sistolik dan
diastolik dijumpai pada usia pertengahan hipertensi sistolik pada usia
diatas 65 tahun. Tekanan diastolik meningkat usia sebelum 60 tahun dan
menurun sesudah usia 60 tahun tekanan sistolik meningkat dengan
bertambahnya usia (Temu Ilmiah Geriatri Semarang, 2008). Hipertensi
menjadi masalah pada usia lanjut karena sering ditemukan menjadi faktor
utama payah jantung dan penyakit koroner. Lebih dari separuh kematian
diatas usia 60 tahun disebabkan oleh penyakit jantung dan
serebrovaskuler. Dari uraian diatas disimpulkan bahwa hipertensi lanjut
usia dipengaruhi oleh faktor usia.
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik yang menetap
lebih dari 140 mmHg, atau tekanan darah diastolik lebih tinggi dari 90
mmHg. Joint National Committee baru-baru ini telah mengadopsi pedoman
hipertensi dan mengklasifikasi ulang menjadi 4 tingkat sebagai berikut:
Tabel 2.1 Tingkatan Hipertensi Lansia
Tingkat Tekanan Sistolik
(mmHg)
Tekanan Diastolik
(mmHg)
Tingkat 1 140 – 159 90 – 99
Tingkat 2 160 – 179 100 – 109
Tingkat 3 180 – 209 110 – 119
Tingkat 4 210 atau lebih tinggi 120 atau lebih tinggi
Diagnosis dibuat pada setidaknya 2 pengukuran berturut-turut dan
diukur dengan posisi klien supine atau duduk, dan kemudian berdiri
(kecuali untuk klien-klien yang memiliki tekanan darah sistolik lebih dari 210
mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 120 mmHg, mereka pasti
memiliki tekanan darah tinggi pada 1 kali kunjungan).
Pada lanjut usia, terdapat pula istilah yang disebut pseudohipertensi.
Pseudohipertensi ini adalah hasil dari klasifikasi dinding arterial, perubahan
sklerotik ini mengakibatkan rigiditas pada arteri brakialis, menyebabkan
kompresi yang inefektif pada arteri brakialis dengan sphygmomanometer.
Jadi, pseudohipertensi adalah suatu fenomena peningkatan hasil
pengukuran sistolik akibat ketidakmampuan manset eksternal untuk
menekan arteri lanjut usia dengan arteriosclerosis. Pseudohipertensi dapat
dicurigai jika :
1. Tekanan darah sistolik sangat tinggi tanpa ada tanda-tanda
kerusakan organ dan dengan tekanan darah diastolik normal
2. Ada perbedaan tekanan darah pada ekstrimitas yang berbeda
3. Gejala hipotensi muncul dengan terapi.
Osler’s maneuver adalah skrening tes untuk pseudohipertensi,
walaupun hasilnya masih dipertanyakan. Dilakukan dengan palpasi arteri
brakial atau radial setelah memompa manset di atas tekanan sistolik. Arteri
normal dapat tak teraba dan jika masih teraba, maka hasilnya berhubungan
dengan pembacaan intra arteri (Elnicki, Kotchen, 1993).
2.2.2 Patofisiologi
Mekanisme dasar peningkatan tekanan sistolik sejalan dengan
peningkatan usia terjadinya penurunan elastisitas dan kemampuan
meregang pada arteri besar. Tekanan aorta meningkat sangat tinggi
dengan penambahan volume intravaskuler yang sedikit menunjukan
kekakuan pembuluh darah pada lanjut usia. Secara hemodinamik
hipertensi sistolik ditandai penurunan kelenturan pembuluh arteri besar
resistensi perifer yang tinggi pengisian diastolik abnormal dan
bertambah masa ventrikel kiri. Penurunan volume darah dan output
jantung disertai kekakuan arteri besar menyebabkan penurunan tekanan
diastolik. Lanjut usia dengan hipertensi sistolik dan diastolik output
jantung, volume intravaskuler, aliran darah keginjal aktivitas plasma
renin yang lebih rendah dan resistensi perifer. Perubahan aktivitas
sistem syaraf simpatik dengan bertambahnya norepinephrin
menyebabkan penurunan tingkat kepekaan sistem reseptor beta
adrenergik pada sehingga berakibat penurunan fungsi relaksasi otot
pembuluh darah (Temu Ilmiah Geriatri , 2008). Lanjut usia mengalami
kerusakan struktural dan fungsional pada arteri besar yang membawa
darah dari jantung menyebabkan semakin parahnya pengerasan
pembuluh darah dan tingginya tekanan darah.
Pada pertimbangan gerontologis, terjadi perubahan struktural
dan fungsional pembuluh darah meliputi atherosklerosis, hilangnya
elastisitas jaringan ikat, penurunan relaksasi otot polos pembuluh darah
berakibat menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh
darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa
jantung, mengakibatkan penurunan curah jantung dan meningkatkan
tahanan perifer sehingga tekanan darah pun mengalami peningkatan.
Jenis kelaminumur Gaya hidup obesitas
hipertensiiiiii
Kerusakan vaskuler pembuluh darah
Perubahan struktur
Penyumbatan pembuluh darah
vasokonstriksi
Gangguan sirkulasi
otak ginjal Pembuluh darah Retina
Nyeri kepala
Gangguan pola tidur
Suplai O2 otak menurun
sinkop
Gangguan perfusi
jaringan
Vasokonstriksi pembuluh darah ginjal
Blood flow munurun
Respon RAA
Rangsang aldosteron
Retensi Na
edema
sistemik
vasokonstriksi
Afterload meningkat
Penurunan curah jantung
Fatique
Intoleransi aktifitas
koroner
Iskemi miocard
Nyeri dada
Spasme arteriole
diplopia
Resti injuri
Resistensi pembuluh darah otak
Elastisitas , arteriosklerosis
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi pada lanjut usia
Menurut Darmojo (2006), faktor yang mempengaruhi hipertensi
pada lanjut usia adalah:
a. Penurunanya kadar renin karena menurunya jumlah nefron akibat
proses menua. Hal ini menyebabkan suatu sirkulus vitiosus: hipertensi
glomerelo-sklerosis-hipertensi yang berlangsung terus menerus.
b. Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium. Dengan
bertambahnya usia semakin sensitif terhadap peningkatan atau
penurunan kadar natrium.
c. Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer akibat proses menua
akan meningkatakan resistensi pembuluh darah perifer yang
mengakibatkan hipertensi sistolik.
d. Perubahan ateromatous akibat proses menua menyebabkan disfungsi
endotel yang berlanjut pada pembentukan berbagai sitokin dan
subtansi kimiawi lain yang kemudian meyebabkan resorbi natrium di
tubulus ginjal, meningkatkan proses sklerosis pembuluh darah perifer
dan keadaan lain berhubungan dengan kenaikan tekanan darah.
Dengan perubahan fisiologis normal penuaan, faktor resiko hipertensi
lain meliputi diabetes ras riwayat keluarga jenis kelamin faktor gaya
hidup seperti obesitas asupan garam yang tinggi alkohol yang
berlebihan (Stockslager, 2008).
Menurut Elsanti (2009), faktor resiko yang mempengaruhi
hipertensi yang dapat atau tidak dapat dikontrol, antara lain:
a. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:
1) Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita.
Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum
menopause. Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi
oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar
High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi
merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses
aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai
penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada
premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon
estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari
kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen
tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara
alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah penderita
hipertensi berjenis kelamin wanita sekitar 56,5%. (Anggraini , 2009).
Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia
dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang wanita setelah umur
55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini
sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah menopause
(Marliani, 2007).
2) Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya,
jadi orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah
yang tinggi dari orang yang berusia lebih muda. Hipertensi pada
usia lanjut harus ditangani secara khusus. Hal ini disebabkan pada
usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun, karena itu dosis obat
yang diberikan harus benar-benar tepat. Tetapi pada kebanyakan
kasus , hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut. Pada wanita,
hipertensi sering terjadi pada usia diatas 50 tahun. Hal ini
disebabkan terjadinya perubahan hormon sesudah menopause.
Hanns Peter (2009) mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan
dengan usia ini adalah produk samping dari keausan
arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta, dan akibat
dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini
dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya
penyesuaian diri.
3) Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan
keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini
berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan
rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium Individu dengan
orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar
untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai
keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80%
kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga
(Anggraini dkk, 2009). Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih
besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah
penderita hipertensi (Marliani, 2007).
b. Faktor resiko yang dapat dikontrol:
1) Obesitas
Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori
mengimbangi penurunan kebutuhan energi karena kurangnya
aktivitas. Itu sebabnya berat badan meningkat. Obesitas dapat
memperburuk kondisi lansia. Kelompok lansia dapat memicu
timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh
darah, hipertensi (Rohendi, 2008). Indeks masa tubuh (IMT)
berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah
sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang obes 5
kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya
normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memiliki
berat badan lebih.
2) Kurang olahraga
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak
menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan
tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk
hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa
apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat karena
adanya kondisi tertentu Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko
tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi
gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak
jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras
pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus
memompa semakin besar pula kekuaan yang mendesak arteri
(Rohaendi, 2008).
3) Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat
dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna
dan risiko terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami
ateriosklerosis. Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S
Bowman dari Brigmans and Women’s Hospital, Massachussetts
terhadap 28.236 subyek yang awalnya tidak ada riwayat hipertensi,
51% subyek tidak merokok, 36% merupakan perokok pemula, 5%
subyek merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8% subyek yang
merokok lebih dari 15 batang perhari. Subyek terus diteliti dan dalam
median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu
kejadian hipertensi terbanyak pada kelompok subyek dengan
kebiasaan merokok lebih dari 15 batang perhari (Rahyani, 2007).
4) Mengkonsumsi garam berlebih
Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi
risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan
adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6
gram garam) perhari. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan
konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk
menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume
cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan
ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah,
sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi. (Hans Petter,
2008).
5) Minum alkohol
Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak
jantung dan organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan
minum alkohol berlebihan termasuk salah satu faktor resiko
hipertensi (Marliani, 2007).
6) Minum kopi
Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi
mengandung 75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir
tersebut berpotensi meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg.
7) Stres
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas
saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah
secara intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan
dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal
ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat
perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini
dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok
masyarakat yang tinggal di kota (Rohaendi, 2003). Menurut Anggraini
(2009) mengatakan stres akan meningkatkan resistensi pembuluh
darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas
saraf simpatis. Adapun stres ini dapat berhubungan dengan
pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal
2.2.4 Klasifikasi
Hipertensi pada dasarnya diklasifikasikan ke dalam 2 tipe, yaitu:
1. Hipertensi primer yang penyebab pastinya tidak diketahui teteapi
terdapat faktor-faktor resiko di atas.
2. Hipertensi sekunder, yaitu peningkatan tekanan darah sebagai hasil
dari penyakit yang mendasarinya seperti renal artery disease,
parenchymal disorder, gangguan endokrin dan metabolic, gangguan
CNS, koartasio aorta dan peningkatan volume intravaskuler.
Berdasarkan klasifikasi dari JNC-VI maka hipertensi pada lanjut
usia dapat dibedakan menjadi:
1. Hipertensi sistolik saja (Isolated Systolic Hypertension), terdapat pada
6-12 % penderita di atas usia 60 tahun, terutama pada wanita.
Insidensi meningkat dengan bertambahnya umur. Terjadi
peningkatan tekanan darah sistolik yang disproporsional terhadap
tekanan darah diastolik, mengarah pada peningkatan kekakuan dan
rigiditas arterial.
2. Hipertensi diastolik (Diastolic Hypertension), terdapat antara 12 –
14% penderita di atas usia 60 tahun, terutama pada pria. Insidensi
menurun dengan bertambahnyua umur.
3. Hipertensi sistolik-diastolik terdapat pada 6-8 % penderita usia lebih
dari 60 tahun, lebih banyak pada wanita. Meningkat dengan
bertambahnya umur.
2.2.5 Tanda dan Gejala
Seperti semua penyakit pada lanjut usia, hipertensi biasanya
tidak memberi gejala apapun atau gejala yang timbul samara-samar
(insidious) atau tersembunyi (occult). Seringkali yang terlihat adalah
gejala akibat penyakit, komplikasi atau penyakit yang menyertai.
Diagnosis juga seringkali didapatkan pada waktu mengadakan
asesmen geriarti atau general check-up.
Pada hipertensi ringan sampai sedang, klien dapat asimptomatik.
Seiring perkembangan penyakit, klien dapat mengalami kelelahan,
pising, vertigo, sesak nafas, dan palpitasi.
Pada hipertensi berat klien dapat mengalami sakit kepala
berdenyut pada bagian okspital, nyeri dada, epistaksis, bingung, loss
of vision, kejang/koma.
2.2.6 Komplikasi
Hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan pada beberapa organ, yaitu:
1. Jantung, mengalami Congestive Heart Failure (CHF), ventricular
hypertrophy, angina, myocardial infarction, dan kematian mendadak.
2. Sistem Saraf Pusat – Transient Ischemia Attack
3. Pembuluh darah perifer – Peripheral vascular disease, aneurysm
4. Ginjal – serum kreatinin > 133 mmol/L (1,5 mg/100 ml), proteinuria,
mikroalbuminemia
5. Mata – hemoragi atau eksudat, dengan atau tanpa papiledema
2.2.7 Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Faktor resiko hipertensi antara lain: tekanan darah di atas rata-rata,
adanya hipertensi pada anamnesis keluarga, ras (negro),
tachycardi, obesitas dan konsumsi garam yang berlebihan
dianjurkan untuk :
a. Mengatur diet agar berat badan tetap ideal juga untuk menjaga
agar tidak terjadi hiperkolesterolemia, Diabetes Mellitus, dan
sebagainya.
b. Dilarang merokok atau menghentikan merokok.
c. Merubah kebiasaan makan sehari-hari dengan konsumsi rendah
garam.
d. Melakukan exercise untuk mengendalikan berat badan.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dikerjakan bila penderita telah diketahui
menderita hipertensi berupa :
a. Pengelolaan secara menyeluruh bagi penderita baik dengan obat
maupun dengan tindakan-tindakan seperti pada pencegahan
primer.
b. Harus dijaga supaya tekanan darahnya tetap dapat terkontrol
secara normal dan stabil mungkin.
c. Faktor-faktor resiko penyakit jantung ischemic yang lain harus
dikontrol
d. Batasi aktivitas.
2.3 Diit Hipertensi
2.3.1 Bahan Makanan yang dianjurkan dan Tidak Dianjurkan
Bahan Makanan Dianjurkan Tidak Dianjurkan
Sumber
Karbohidrat
Beras, kentang, singkong,
terigu, tapioka, makanan
yang diolah dari bahan
makanan tanpa garam
dapur atau soda
Roti, biskuit, dan kue-kue yang
dimasak dengan garam dapur
atau soda kue
Sumber Protein
Hewani telur
maksimal 1 btr
sehari
Daging dan ikan maksimal
100 gram per hari, putih
telur, daging ayam tanpa
kulit
Otak, ginjal, sardin, kuning
telur, daging asap, ikan yang
diawetkan, dendeng, abon,
keju, ikan asin, kornet, udang
kering,telur asin.
Sumber Protein
Nabati
Semua kacang-kacangan
dan hasil olahannya seperti
kacang hijau, kacang merah
tahu dan tempe
Keju, kacang tanah, dan
semua kacang-kacangan yang
dimasak dengan garam dapur
Sayuran Semua sayuran segar,
contoh: kangkung, labu
siam, sawi, dll
Daun singkong, sayuran yang
diawetkan dan dimasak
dengan santan kental
Buah-buahan Semua buah-buahan segar Buah-buahan yang diawetkan
seperti buah dalam kaleng dan
buah yang bergas seperti
durian dan nangka
Sumber Lemak Minyak goreng, margari, dan Margarin dan mentega biasa
mentega tanpa garam
Minuman/camilan Teh, susu rendah lemak kopi, alkohol, rokok
Bumbu-bumbu Rempah-rempah MSG, saos tomat, terasi,
kecap, banyak garam
2.3.2 Aturan Diet yang Dianjurkan pada Penderita Hipertensi
Diet Rendah Garam adalah diet yang dianjurkan untuk penderita
hipertensi. Diet ini mengandung cukup zat-zat gizi. Sesuai dengan
keadaan penyakit dapat diberikan berbagai tingkat Diet Rendah Garam.
Beberapa syarat Diet Rendah Garam adalah:
1. Cukup energi, protein, mineral, dan vitamin
2. Bentuk makanan sesuai dengan keadaan penyakit
3. Jumlah natrium disesuaikan dengan berat tidaknya retensi garam atau air
dan/ atau hipertensi
2.3.3 Macam-Macam Diet Rendah Garam
1. Diet Rendah Garam I (200-400 mg Na)
Diet Rendah Garam I diberikan kepada pasien dengan hipertensi
berat (>180/100). Pada pengolahan makanannya tidak ditambahkan
garam dapur. Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya
2. Diet Rendah Garam II (600-800 mg Na)
Diet Rendah Garam II diberikan kepada pasien dengan
hipertensi tidak terlalu berat (160/100-179/109). Pemberian makanan
sehari sama dengan Diet Rendah Garam I. Pada pengolahan
makanannya boleh menggunakan ½ sdt garam dapur (2 gr). Dihindari
bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya.
3. Diet Rendah Garam III (1000-1200 mg Na)
Diet Rendah Garam III diberikan kepada pasien dengan
hipertensi ringan (140/90-159/99). Pemberian makanan sehari sama
dengan Diet Rendah Garam I. Pada pengolahan makanannya boleh
menggunakan 1 sdt (4 gr) garam dapur.
2.3.4 Ukuran Bahan Makanan Sehari-Hari yang Dianjurkan
Bahan Makanan Berat (gr) Urt (ukuran rumah tangga)
Beras 300 5 gelas nasi
Daging 100 2 potongan sedang
Telur ayam 50 1 butir
Tempe 100 4 potong sedang
Kacang hijau 25 2½ sdm
Sayuran 200 2 gelas
Buah 200 2 potong sedang papaya
Minyak 25 2½ sdm
Gula pasir 25 2½ sdm
Ukuran di Atas Disajikan Dengan Pembagian Sebagai Berikut:
Pagi Siang dan Sore
Beras 70 gr = 1 gelas nasi
Telur 50 gr = 1 butir
Sayuran 50 gr = ½ gelas
Minyak 5 gr = ½ sdm
Gula pasir 10 gr = 1 sdm
Beras 140 gr = 2 gelas nasi
Daging 50 gr = 1 potong sedang
Tempe 50 gr = 2 potong sedang
Sayuran 75 gr = ¾ gelas
Buah 100 gr = 1 potong sedang
Minyak 10 gr = 1 sdm
Pukul 10.00
Kacang hijau 25 gr = 2½ sdm
Gula pasir 15 gr = 1½ sdm
2.3.5 Cara Pengolahan Makanan Pada Penderita Hipertensi
1. Rasa yang kurang asin bisa diperbaiki dengan menggunakan bumbu-
bumbu yang tidak mengandung natrium, seperti bawang, jahe, kunir,
daun salam, cuka, dll.
2. Cara memasak yang baik adalah dengan merebus, mengukus,
mengungkep, manumis, memanggang, atau membakar.
3. Hindari menggoreng dengan banyak minyak (disesuaikan pada tabel
ukuran kebutuhan pada)
4. Sayur bisa dimakan mentah atau dilalap.
5. Ubah olahan makanan bersantan dengan jenis olahan tumis atau lainnya.
2.3.6 Contoh Menu Sehari
Pagi Siang Malam
Nasi
Telur rebus
Tumis kacang
panjang
Nasi
Ikan acar kuning
Tahu bacam
Sayur Sop
Pepaya
Nasi
Daging pepes
kukus/pepes tongkol
Keripik tempe
Cah sayuran
Pisang
Untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan anda, dalam
menyajikan menu diet hipertensi, diharapkan anda melakukan kegiatan
memasak sesuai menu di atas.
2.3.7 Beberapa Menu Rekomendasi
1. Tongkol Bumbu Tomat :
a. Lumuri ikan tongkol dengan air jeruk nipis, sisihkan. diamkan 10-15
menit, sisihkan.
b. Panaskan minyak (disesuaikan pada tabel ukuran kebutuhan pada
halaman 5), tumis bawang bombai, bawang putih dan jahe hingga
harum. Masukkan tomat, gula pasir, merica dan air. masak diatas api
kecil hingga mendidih dan matang.
c. Masukkan ikan sesaat sebelum matang. tambahkan daun kemangi
dan tutup wajan. Masak hingga matang. angkat dan sajikan.
2. Tahu Telur Asam Manis
Bahan:
2 putih telur kocok
50 gram tahu putih, iris kotak
1 batang daun bawang
1 batang daun seledri
Saus :
1 siung bawang putih
1 cm jahe, haluskan
¼ sdt merica bubuk
100 ml sari tomat
1 sdm tepung maizena
Cara membuat tahu telur asam manis :
1. Campur tahu, putih telur, daun bawang, daun seledri. aduk rata. Tuang
adonan ke dalam cetakan tahan panas, kukus hingga matang. Angkat,
sisihkan.
2. Saus : panaskan minyak (disesuaikan pada tabel ukuran kebutuhan),
tumis bawang putih dan jahe hingga harum. Masukkan sari tomat dan
gula pasir. tambahkan larutan maizena, masak hingga mendidih.
3. Tata tahu telur kukus di atas piring saji lalu siram dengan saus asam
manis dan sajikan
2.4
BAB III
METODE
3.1 Design
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain
“Pretest posttest group design”. Penelitian ini adalah untuk mengetahui
perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam melakukan
penatalaksanaan diit individu dengan hipertensi.
3.2 Populasi Dan Sampel
3.2.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua semua lansia dengan
hipertensi di dusun Klaseman Selatan Desa Kucur Kecamatan Dau
Kabupaten Malang.
3.2.2 Teknik Sampling
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive
sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang dilakukan tidak
mendasarkan diri pada sastra, random atau daerah, tetapi mendasarkan
adanya tujuan tertentu (Arikunto, 2002) dari jumlah populasi 47 orang yang
dibatasi oleh kriteria inklusi dan eksklusi dan didapatkan 26 orang.
3.2.3 Kriteria Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah lansia dengan hipertensi dengan
kriteria sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi
1) Lansia di atas umur 60 tahun
2) Lansia menderita hipertensi
3) Lansia yang berada di RW 09 desa Kucur
b. Kriteria eksklusi
1) Lansia yang tidak mengalami hipertensi
2) Saat penelitian menolak untuk melanjutkan menjadi responden
3.3 Kerangka Kerja
Gambar 4.3 Kerangka kerja penelitian
Populasi: Seluruh lansia dengan hipertensi di dusun Klaseman Selatan Desa Kucur kecamatan Dau Kab.Malang.
Sampel (kriteria inklusi)
Identifikasi Variabel Dependent
Pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam diit hipertensi
Identifikasi Variabel Independent
Penatalaksanaan diit hipertensi pada lansia
Baik / kurang baik Posiitif/ negatif
Penatalaksanaan diit lansia hipertensi Penatalaksanaan keluarga lansia
hipertansi
Pengumpulan Data
Menggunakan lembar monitoring (observasional)
Analisa data: Chi Square
Pengolahan data : Editing, Coding, Skoring, Tabulating
Hasil penelitian
Rumusan Masalah
Bagaimanakah penatalaksanaan diit hipertensi pada lansia terhadap perilaku lansia dalam manajemen diit hipertensi di dusun Klaseman Selatan Desa Kucur Kecamatan Dau Kabupaten
Desain : Pretest posttest group design
Kesimpulan
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel Independent
Penatalaksanaan diit hipertensi pada lansia dan keluarga lansia
3.4.2 Variabel Dependent
Perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam manajemen diit
hipertensi.
3.5 Lokasi Dan Waktu
Dilaksanakan di dusun Klaseman Selatan desa Kucur kecamatan Dau
kabupaten Malang dari tanggal 3 - 29 Juni 2013.
3.6 Instrumen
Lembar observasional
3.7 Metode pengumpulan data
Penelitian ini menggunakan data primer dan skunder. Data primer
diambil dari responden dengan observasi pengetahuan, sikap, dan perilaku
manajemen kesehatan individu (lansia dengan hipertensi) dan keluarga
dengan lansia yang menderita hipertensi. Lembar observasi diisi langsung
oleh peneliti dengan cara wawancara dan mengamati secara langsung
terhadap responden dan keluarga.
Data sekunder diambil dari dokumen-dokumen dan informasi yang
ada di Puskesmas, kantor desa maupun posyandu lansia untuk melihat data
demografi dan riwayat pengobatan lansia.
3.8 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang
diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2003)
Tabel 3.8 Definisi Operasional
No Variabel Definisi operasional Parameter Alat ukur Skala Hasil ukur
1. Penatalaksanaan diit
hipertensi pada
Individu (lansia)
Pemberian
penatalaksanaan
hipertensi terhadap
individu dari segi afektif,
kognitif, dan psikomotor
(promosi
kesehatan/penyuluhan)
Kemampuan kognitif diit hipertensi
Kemampuan afektif diit hipertensi
Kemampuan psikomotor diit
hipertensi
- - -
2. Perubahan
pengetahuan, sikap,
perilaku dalam
Pengetahuan,sikap,
dan perilaku setelah
dilakukan
Penggunaan garam, penyedap
Konsumsi kopi, rokok, sayuran
yang tidak dianjurkan, makanan
Lembar
observasi
Nominal Pengetahuan:
- Baik= >=71
- Kurang baik=
melakukan
manajemen diit
hipertensi
penatalaksanaan diit
hipertensi pada lansia
bersantan/ berminyak, jeroan, ikan
asin/ makanan yang diasinkan
Kesediaan untuk memilih dan
bahan makanan sesuai diit
hipertensi,
memasak sesuai cara yang
dianjurkan
Menu masakan diit
Rasa masakan
Penyajian makanan
<=70
Sikap
- positif= 3
- negatif=<3
Perilaku:
- Patuh=11
- Tidak patuh=<11
3.9 Prosedur pengumpulan data
Sebelum proses pengumpulan data responden dijelaskan tentang tujuan
dan inform consent. Setelah responden diberikan penjelasan, responden
diberikan sejumlah pertanyaan dan dilakukan observasi langsung terhadap
responden dan keluarga. Setelah pengisian lembar observasi selesai
kemudian dilakukan pengolahan data.
3.10 Pengolahan Dan Analisa Data
3.10.1 Pre Analisa
Pada pre analisa,dilakukan pengolahan data melalui tahapan, edit
(editing), kode (coding), skor (scoring), dan tabulasi (tabulating).
a. Editing
Data yang telah terkumpul diperiksa kembali satu persatu untuk
mengecek apakah telah diisi sesuai dengan petunjuk yang
ditentukan.
b. Coding
Dilakukan dengan cara mengubah identitas responden menjadi
kode berupa angka.
c. Scoring
Setelah data terkumpul kemudian dilakukan pemberian skor.
d. Tabulating
Mengelompokkan responden sesuai dengan tingkat kepuasan
kerja dan kinerja. Data yang terkumpul diubah dalam bentuk
persentase kemudian disajikan dalam bentuk diagram pie chart.
3.10.2 Analisa Data
a. Univariat
Analisa univariat ini digunakan untuk analisa hasil tabulasi
terhadap data perilaku lansia dan keluarga terhadap
penatalaksanaan diit hipertensi
1) Pengolahan untuk data pengetahuan lansia
Untuk menghitung data mengenai pengetahuan (kognitif)
penatalaksanaan diit lansia hipertensi dengan metode
pengelompokan nominal.
Interpretasi hasil dari data penatalaksanaan diit lansia
hipertensi yaitu akan dikatakan baik apabila didapatkan skor ≥
50 dan dikatakan buruk apabila didapatkan skor <50
2) Pengolahan untuk data sikap dan perilaku lansia
Untuk menghitung data mengenai sikap (afektif) dan
perilaku (psikomotor) penatalaksanaan diit lansia hipertensi
dengan metode pengelompokan nominal.
Interpretasi hasil dari data penatalaksanaan diit lansia
hipertensi yaitu akan dikatakan positif apabila didapatkan skor
≥ 50 dan dikatakan negatif apabila didapatkan skor <50
b. Bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk menganalisa hubungan antara
kedua variabel, yakni antara penatalaksanaan diit lansia
hipertensi dengan perubahan perilaku lansia terhadap
pengaturan diet. Uji bivariat yang digunakan yaitu uji
kemaknaan dengan mengunakan uji statistik ”wilcoxon”
(Nursalam,2008)
Untuk penghitungannya dengan bantuan komputer
program SPSS Versi 16.0 for Windows dengan taraf
signifikansi 5% (0,05). Interpretasi dilakukan dengan kriteria.
3.11 Penyajian Data
Penyajian data dalam laporan ini menggunakan tabel dan tekstular.
3.11.1 Penyajian cara tekstular
Adalah penyajian data hasil peneltian dalam bentuk kalimat,
biasanya digunakan untuk penelitian atau data kuantatif (Notoatmojo,
2002).
3.11.2 Penyajian cara tabel
Adalah suatu penyajian yang sistemik dari data numerik yang
tersusun dalam kolom atau jajaran yang digunakan untuk data yang
sudah diklasifikasikan dan tabualasi (Notoatmojo, 2002).
3.12 Etika penelitian
Peneliti melakukan penelitian dengan memperhatikan masalah etika yang
meliputi :
1) Informed Consent
Lembar persetujuan diberikan sebelum penatalaksanaan dilakukan,
dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden.
Sebelum responden menandatangani informed consent observer
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. Responden yang bersedia
kemudiaan menandatangani lembar persetujuan tetapi jika responden
tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak responden tersebut
(Hidayat, 2008).
2) Anonimity
Pada laporan ini , nama responden tidak dicantumkan pada lembar alat
ukur dan diganti dengan menuliskan kode pada lembar pengumpulan
data sehingga hak privasi responden terlindungi dan semua informasi
yang di berikan kepada peneliti akan tetap rahasia.
3) Confidentiality
Peneliti menjamin kerahasiaan dari hasil laporan baik informasi maupun
masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin
kerahasiannya dengan tidak mempublikasikan atau membocorkan detail
hasil pengumpulan data ke pihak manapun. Hanya data tertentu yang
merupakan kesimpulan yang dilaporkan pada hasil riset .