proposal disertasi a.m.rusli.doc

222
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat yang kehadirannya tidak mungkin terelakkan. Birokrasi adalah sebuah konsekuensi logis dari diterimanya suatu asumsi bahwa negara mempunyai kewajiban mulia yaitu untuk mensejahterakan rakyatnya melalui media birokrasi. Sebagai perwujudan dari kewajiban tersebut, maka negara dituntut untuk terlibat langsung menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh rakyatnya. Negara secara aktif terlibat dalam kehidupan sosial rakyatnya, bahkan jika perlu negara yang memutuskan apa yang terbaik bagi rakyatnya. Dalam rangka itulah, maka negara membangun suatu sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi. Sekalipun tingkat sosial dan ekonomi suatu masyarakat telah meningkat, peran pemerintah tetap diperlukan untuk melaksanakan fungsi regulasi, alokasi, distribusi,

Upload: orbit-rupawan

Post on 27-Nov-2015

125 views

Category:

Documents


23 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat yang kehadirannya

tidak mungkin terelakkan. Birokrasi adalah sebuah konsekuensi logis dari

diterimanya suatu asumsi bahwa negara mempunyai kewajiban mulia yaitu untuk

mensejahterakan rakyatnya melalui media birokrasi. Sebagai perwujudan dari

kewajiban tersebut, maka negara dituntut untuk terlibat langsung menyediakan

barang dan jasa publik yang diperlukan oleh rakyatnya. Negara secara aktif terlibat

dalam kehidupan sosial rakyatnya, bahkan jika perlu negara yang memutuskan apa

yang terbaik bagi rakyatnya. Dalam rangka itulah, maka negara membangun suatu

sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang

disebut dengan istilah birokrasi.

Sekalipun tingkat sosial dan ekonomi suatu masyarakat telah meningkat, peran

pemerintah tetap diperlukan untuk melaksanakan fungsi regulasi, alokasi, distribusi,

pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Fungsi-fungsi ini harus dilaksanakan oleh

pemerintah agar tercapai keadilan dan pemerataan dalam masyarakat. Inti

pemerintahan adalah sistem birokrasi yang diharapkan dapat menjalankan perannya

secara optimal melalui fungsi-fungsi tersebut. Dalam kenyataannya, keberadaan

birokrasi pemerintah seringkali dipandang secara dikotomis, selain dibutuhkan

untuk melaksanakan urusan pemerintahan sehari-hari, birokrasi juga seringkali

dianggap sebagai sistem yang menyebabkan jalannya pemerintahan dan layanan

publik tersendat dan bertele-tele.

Page 2: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Gejala patologi (penyakit) birokrasi tersebut telah lama menggerogoti sistem

birokrasi pemerintahan di Indonesia. Patologi birokrasi merupakan sesuatu yang

kompleks, karena memiliki keterkaitan dengan berbagai aspek organisasional, baik

yang menyangkut struktur maupun kultur. Bentuk-bentuk patologi dan berbagai

penyebabnya pada dasarnya dapat diidentifikasi, namun terapi atau solusi untuk

mengatasinya bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini seperti yang dialami di

Indonesia, dimana reformasi birokrasi telah lama dilakukan oleh pemerintah, namun

sampai saat ini sistem birokrasi belum mampu mengatasi berbagai permasalahan

yang dihadapi.

Identifikasi terhadap bentuk-bentuk patologi birokrasi telah dilakukan oleh

beberapa pakar administrasi, seperti yang akan diuraikan secara rinci pada bagian

tinjauan pustaka. Beberapa pemikiran yang berkaitan dengan itu antara lain Caiden

(dalam Jurnal Public Administration Review Vol. 51 No. 6, hal. 492) yang secara

alfabetikal merinci adanya 175 penyakit dalam organisasi termasuk birokrasi.

Demikian juga halnya dengan Siagian yang mengidentifikasi bentuk-bentuk

patologi ke dalam lima kategori kelompok, yaitu: (1) Patologi yang timbul karena

persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi; (2) Patologi yang

disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan para

petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional; (3) Patologi yang timbul karena

tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; (4) Patologi yang dimanifestasikan dalam

perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional atau negatif; (5) Patologi yang

merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan

pemerintahan (Siagian,1994:36).

Page 3: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Berkaitan dengan pelayanan publik dalam rangka mewujudkan kesejahteraan

rakyat, birokrasi publik tentunya memberikan kontribusi yang sangat besar, karena

semua yang termasuk dalam lingkup penyelenggaraan negara tidak terlepas dari

koteks public service dan public affairs. Barang dan jasa publik hendaknya dapat

dikelola secara efisien dan efektif. Sedangkan konsekuensi dari pengelolaan tersebut

menjadi tanggung jawab birokrasi. Dengan demikian peran pemerintah yang sangat

strategis tersebut akan banyak ditopang oleh bagaimana birokrasi publik mampu

melaksanakan tugas dan fungsinya.

Tantangan besar yang dihadapi birokrasi adalah bagaimana mereka mampu

melaksanakan kegiatan secara efisien dan efektif, karena selama ini birokrasi

diidentikkan dengan kinerja yang berbelit-belit, struktur yang terlalu besar, penuh

dengan kolusi, korupsi dan nepotisme, serta tidak ada standar yang pasti. Sejumlah

patologi birokrasi tersebut menjadi hambatan yang sangat berarti dalam rangka

perwujudan suatu pelayanan yang memuaskan masyarakat. Atas dasar itulah

sehingga birokrasi Indonesia sangat jauh dari apa yang disebut good governance.

Birokrasi bagi sebagian orang dimaknai sebagai prosedur yang berbelit-belit,

menyulitkan dan menjengkelkan. Namun bagi sebagian yang lain birokrasi

dipahami dari perspektif yang positif yakni sebagai upaya untuk mengatur dan

mengendalikan perilaku masyarakat agar lebih tertib. Ketertiban yang dimaksud

adalah ketertiban dalam hal mengelola berbagai sumber daya dan mendistribusikan

sumber daya tersebut kepada setiap anggota masyarakat secara berkeadilan.

Pendapat yang berbeda di atas dapat dipahami dari perspektifnya masing-

masing. Bagi yang berpandangan posisif terhadap birokrasi maka baginya birokrasi

adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi bagi mereka yang berpandangan negatif

Page 4: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

maka birokrasi justru menjadi salah satu penghalang tercapainya tujuan. Pandangan

negatif terhadap birokrasi bukan muncul tanpa alasan, melainkan melalui suatu

proses interaksi dalam pola hubungan antara aparat birokrasi dengan masyarakat,

baik dalam tataran pembuatan kebijakan maupun dalam tataran implementasi

kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik.

Konteks hubungan birokrasi dengan masyarakat dalam penyelenggaraan

pelayanan publik sudah sangat lama terdengar keluhan, namun sampai saat ini

belum ada perubahan yang berarti. Bahkan, harapan masyarakat bahwa pergantian

rezim akan membawa perbaikan terhadap penyelenggaraan layanan publik ternyata

tidak pernah terwujud. Pemerintahan sudah mengalami pergantian selama beberapa

kali, tetapi perilaku birokrasi terutama dalam pelayanan publik belum banyak

berubah.

Keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik secara garis besar ditentukan

oleh 3 (tiga) aspek, yaitu: bagaimana pola penyelenggaraannya, dukungan sumber

daya manusia dan kelembagaan (organisasi). Berdasarkan ketiga aspek tersebut,

maka penelitian ini akan diarahkan untuk mengkaji aspek sumber daya manusia

dengan penekanan pada perilaku aparat birokrasi dalam pelayanan publik, terutama

perilaku yang berisifat patologis. Perilaku birokrasi yang bersifat patologis bukanlah

merupakan hal yang berdiri sendiri, tetapi merupakan hasil interaksi antara berbagai

aspek, seperti struktur birokrasi, serta berbagai aspek yang ada dalam lingkungan,

terutama aspek budaya, serta aspek penerapan teknologi, terutama teknologi

informasi sebagai penunjang dalam pemberian layanan.

Birokrasi sebagai konsep, pengetahuan dan teknik secara umum pada

kenyataannya dapat dipergunakan di setiap organisasi manapun, yang

Page 5: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

memanfaatkan untuk kepentingan kelancaran jalannya pencapaian tujuan organisasi

tersebut. Dalam melaksanakan fungsinya birokrasi dapat tampil dalam dua sisi,

yaitu satu sisi yang baik dan satu sisi yang lain adalah menunjukkan gambaran

birokrasi yang buruk atau biasa disebut dengan patologi birokrasi.

Patologi birokrasi dalam konteks pemikiran paradigmatis tentu tidak dapat

dipisahkan dengan teori Weber tentang birokrasi. Kast dan Rosenzweig (1981)

membagi perkembangan paradigmatis dalam bidang pengetahuan organisasi dan

manajemen dalam tiga kelompok, yaitu; (1) Konsep Organisasi dan Manajemen

Tradisional, (2) Konsep Perilaku dan Ilmu Manajemen, (3) Konsep Organisasi dan

manajemen Modern. Teori Weber dikelompokkan dalam Konsep Organisasi dan

Manajemen yang terdapat pada paradigma 1 dan 2 Nicholas Henry atau paradigma 1

Frederickson (Sedarmayanti, 2010:11)

Kemudian dalam perspektif teori organisasi, patologi birokrasi dapat ditelusuri

melalui evolusi teori seperti yang dikemukakan oleh Robbins (1994: 33) bahwa teori

organisasi yang ada sekarang ini merupakan hasil dari sebuah proses evolusi.

Selama beberapa dekade, para akademisi dan praktisi dari beberapa latar belakang

dan perspektif telah mengkaji dan menganalisis organisasi-organisasi. Dalam

pemetaan evolusi teori, Weber berada dalam klasifikasi teoritis tipe 1 yang dicirikan

dengan perspektif tujuan rasional dengan tema utama efisiensi-mekanis. Ciri ini

mewarnai birokrasi sebagai suatu organisasi yang kemudian dikritik oleh para

teoritikus berikutnya yang berada dalam klasifikasi teoritis tipe 2 yang lebih

mengutamakan orang dan hubungan manusia. Salah satu teoritikus dalam tipe ini

adalah Bennis yang terkenal dengan pidatonya ”matinya birokrasi” (Robbins,

1994:45).

Page 6: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Berdasarkan pemetaan evolusi teori tersebut di atas, maka munculnya patologi

birokrasi mungkin salah satu penyebabnya adalah sifatnya yang sangat mekanis,

sementara dalam organisasi faktor-faktor yang sifatnya humanis justru memegang

peranan yang sangat penting, karena berkaitan langsung dengan manusia yang

memiliki karakteristik yang sangat heterogen. Munculnya berbagai bentuk patologi

birokrasi sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia sebagai aktor kunci dalam

penyelenggaraan tugas-tugas organisasi.

Secara obyektif sebenarnya harus diakui bahwa birokrasi memiliki ciri-ciri

ideal dipandang dari aspek formalnya. Menurut Weber (dalam Albrow, 1989:33),

secara rasional birokrasi memiliki ciri-ciri, yaitu: Para anggota staf secara pribadi

bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan mereka. Ada hirarki

jabatan yang jelas. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara jelas. Para pejabat

diangkat berdasarkan suatu kontrak. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi

professional, idealnya berdasarkan suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui

ujian. Mereka memiliki gaji dan biasanya ada hak-hak pensiun, gaji berjenjang

menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya dan

dalam keadaan-keadaan tertentu ia dapat diberhentikan. Pos jabatan adalah lapangan

kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya. Terdapat suatu struktur karir, dan

promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut

pertimbangan keunggulan (superior). Pejabat mungkin tidak sesuai baik dengan

posnya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut. Ia tunduk

pada sistem disipliner dan kontrol yang seragam.

Kalau dalam kenyataan praktek kerja ciri-ciri ideal tersebut luntur dan berubah

menjadi sesuatu yang buruk dan merugikan, berarti memerlukan modifikasi serta

Page 7: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

perubahan dan pengembangan. Dengan kata lain, bahwa birokrasi dalam perspektif

Weberian adalah birokrasi yang sehat, namun dalam penerapannya mengalami

banyak kendala yang menyebabkan birokrasi tersebut tidak berfungsi sebagaimana

mestinya. Kondisi inilah yang menyebabkan birokrasi diasumsikan sebagai organ

yang terjangkiti oleh penyakit atau dalam istilah yang lazim disebut dengan patologi

birokrasi.

Istilah “patologi” dalam ilmu kedokteran diartikan sebagai ilmu tentang

penyakit. Pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang

mungkin diderita oleh manusia, meskipun sekaligus dimaklumi bahwa tidak ada

manusia yang menderita semua jenis penyakit dalam waktu yang bersamaan.

Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi

pemerintah negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul,

baik yang sifatnya politis, ekonomi, sosio-kultural dan teknologikal, berbagai

“penyakit” yang mungkin sudah “dideritanya” atau mengancam akan

“menyerangnya” perlu diidentifikasikan untuk kemudian dicarikan terapi

pengobatannya yang paling efektif (Siagian, 1994: 35).

Patologi birokrasi dalam konteks ini difahami sebagai kajian dalam Ilmu

Administrasi Publik untuk memahami berbagai penyakit yang melekat dalam suatu

birokrasi, sehingga menyebabkan birokrasi mengalami disfungsi. Bahkan para

ilmuan administrasi publik sudah sejak lama menggunakan istilah patologi birokrasi

untuk menjelaskan berbagai bentuk penyakit birokrasi, seperti Gerald E. Caiden

(1991) menggunakan istilah bureaupathologies untuk mengemas berbagai bentuk

penyakit birokrasi dan Barry Bozeman (2000) menggunakan bureaucratic

pathology untuk menjelaskan red-tape sebagai salah satu penyakit birokrasi, serta

Page 8: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Sondang P. Siagian (1994) yang meskipun diawal bukunya menjelaskan patologi

sebagai ilmu tentang penyakit yang melekat pada organ manusia, namun pada

bagian-bagian selanjutnya Siagian menggunakan istilah itu seolah sebagai penyakit

dari birokrasi itu sendiri (Dwiyanto, 2011:59)

Berbagai jenis atau bentuk penyakit birokrasi yang sudah sangat dikenal dan

dirasakan masyarakat, antara lain ketika setiap mengurus sesuatu di kantor

pemerintah merasakan prosedur yang berbelit-belit, lamban atau membutuhkan

waktu yang lama, membutuhkan biaya yang besar termasuk biaya-biaya tambahan,

pelayanan yang kurang ramah, terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme,

dan lain-lain. Menghadapi berbagai penyakit birokrasi tersebut menyebabkan

kinerja birokrasi sampai dewasa ini belum menunjukkan perubahan yang signifikan.

Kenyataan ini memberi suatu isyarat bahwa reformasi birokrasi memang perlu

dilakukan dalam rangka perubahan yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan

masyarakat. Menurut Hughes alasan untuk melakukan reformasi adalah dalam

rangka: (1) merealisasikan pendekatan baru untuk menjalankan fungsi pelayanan

publik yang lebih baik ke arah manajerial daripada sekedar administratif, (2) sebagai

respon terhadap skala penanganan dan cakupan tugas pemerintah, (3) perubahan

dalam teori dan masalah ekonomi, dan (4) perubahan peran sektor swasta dalam

penyelenggaraan pelayanan publik (Widaningrum, 2009: 355).

Belum optimalnya perubahan pada tubuh birokrasi dikarenakan secara internal

masih menghadapi beberapa kendala antara lain; Pertama, dalam sudut pandang

aparatur birokrasi, terutama pola karier tidak berjalan dengan semestinya yaitu

masih banyak penempatan pejabat tidak menggunakan prinsip “knowledge and

basic competention”, tetapi lebih kental dengan orientasi kedekatan atau nepotisme.

Page 9: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Kedua, perkembangan dewasa ini cenderung semakin marak praktek “politisasi

birokrasi”, menyebabkan terjadi disorientasi terhadap professionalisme dan

kompetensi. Ketiga, desain organisasi pemerintahan masih cenderung berbadan

gemuk, sehingga tidak efisien dan efektif. Keempat, struktur organisasi

pemerintahan yang kecil dan rampaing, berbentuk “flat” yang lebih mengandalkan

keahlian dan kompetensi sebagai tenaga fungsional, sampai saat ini belum juga

dilaksanakan sebagai kebijakan nasional dalam reformasi birokrasi bidang

kelembagaan. Kelima, seiring dengan arah kebijakan perbaikan renumerasi pegawai,

belum menunjukkan keseriusan pemerintah menetapkan perubahan renumerasi di

setiap unit instansi pemerintah. Keenam, penataan alokasi fasilitas kerja pada semua

jabatan negeri secara adil dan merata, belum menjadi landasan kebijakan yang

komprehensif dalam mengelola sumber daya aparatur yang profesional dan

kompetens (Istianto,2011:143).

Patologi birokrasi dan kendala internal birokrasi sebagaimana diuraikan di atas,

merupakan faktor hambatan yang saling berpengaruh dan bersifat kausalitas.

Walaupun sesungguhnya pemerintah telah lama berupaya melakukan

penyempurnaan dan pembaharuan birokrasi, namun dampak buruk dari patologi

birokrasi kenyataannya telah menghambat upaya pelaksanaan pembangunan di

segala bidang. Menelusuri sejarah penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia,

berbagai upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah dalam rangka pembaharuan

birokrasi, antara lain; Sejak pemerintahan Orde Lama., dengan program “retooling

aparatur”. Kemudian pada jaman periode pemerintahan Orde Baru, dengan melalui

program “Pengawasan dan Penertiban serta Pendayagunaan Aparatur”. Bahkan di

era reformasi dan pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, kementerian yang

Page 10: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

menangani pembinaan aparatur birokrasi telah berubah nomenklaturnya menjadi

“Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi”. Hal ini

menunjukkan bahwa fokus perhatian pemerintah kearah perbaikan dalam

pembinaan aparatur birokrasi sudah menjadi kebijakan yang lebih prioritas.

Meskipun demikian upaya pemerintah yang sudah menunjukkan keseriusan tersebut

belum memperlihatkan hasil yang optimal, sehingga melahirkan pertanyaan ada apa

dengan birokrasi pemerintah Indonesia?. Pertanyaan ini juga menjadi suatu hal yang

mendorong untuk mengkaji dan menelusuri berbagai problematika yang dihadapi

birokrasi pemerintah di Indonesia, meskipun dalam lingkup lembaga birokrasi

pemerintah yang terbatas yaitu birokrasi pelayanan administrasi pertanahan sebagai

bahagian dari sistem kelembagaan birokrasi publik.

Gambaran mengenai hubungan birokrasi dan masyarakat akan lebih jelas

melalui penelusuran berbagai agenda penelitian yang telah dilakukan oleh para

ilmuan terdahulu. Karl D. Jackson (1988) tentang Bureaucratic Polity a Theoritical

Framework for the analicys of Power and Communication in Indonesia”. Hasil

penelitiannya menunjukkan adanya dominasi birokrasi atas proses politik, dan

keterasingan kekuatan sosial politik di luar birokrasi dari proses pembuatan

pelaksanaan keputusan nasional. Penelitian lain dilakukan oleh Harold Crouch

tentang “Patrimonialism and Military Rule in Indonesia”. Crouch (dalam World

Politics, 1989) melihat bahwa birokrasi Indonesia masih cenderung bercorak

patrimonial, di mana kekuasaan diperoleh dan dipertahankan dengan cara menukar

loyalitas dan dukungan dengan jabatan dan kepentingan materiil. Kedua penelitian

tersebut memang tidak tergolong baru, namun dalam konteks analisis tetap

diperlukan untuk memberikan gambaran bagaimana corak birokrasi di Indonesia

Page 11: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

dalam kurun waktu dua dekade yang lalu yang bagaimanapun juga turut

menentukan corak dan warna birokrasi saat ini.

Citra buruk birokrasi juga terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan Political

and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong. Hasil

penelitian lembaga ini menilai birokrasi Indonesia termasuk terburuk dan belum

mengalami perbaikan berarti (Soebhan, 2000). Demikian juga penelitian yang

dilakukan oleh Bank Dunia dan UGM tentang kinerja pelayanan publik dengan

menggunakan sejumlah variabel, yaitu keadilan (equity), responsivitas, efisiensi

pelayanan, suap dan rente birokrasi (Dwiyanto, dkk, 2003). Hasil Good Governance

Survey 2002 yang dilakukan oleh UGM tersebut dapat digunakan untuk

menggambarkan kondisi pelayanan publik di Indonesia yang masih sarat dengan

kepentingan birokrasi. Birokrasi kita masih cenderung dilayani daripada melayani.

Penelitian lain tentang birokrasi, yaitu; Budaya Patron-klien terhadap perilaku

birokrasi di daerah dilakukan oleh Kausar A.S (2006) menunjukkan bahwa budaya

patron-klien sangat mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintah daerah, utamanya

memperlemah kinerja birokrasi dengan perilaku birokrasi yang menyimpang.

Penelitian yang senada dengan itu dilakukan oleh Priyo Budi Santoso (1993) dan

Masson C. Headly (2006) memiliki kesimpulan yang sama bahwa penyelenggaraan

birokrasi di Indonesia sejak zaman kerajaan, sampai zaman pemerintahah Orde

Lama dan Orde Baru dan ditambahkan oleh Masson, sampai era reformasi belum

menunjukkan perubahan, yaitu “corak birokrasi yang feodalistik” (Istianto,

2011:75).

Penelitian yang berkaitan dengan patologi birokrasi dilakukan oleh Monsod

(2008) terhadap birokrasi pemerintah di Philipina. Hasilnya menunjukkan bahwa

Page 12: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

birokrasi pemerintah Philipina memiliki tiga fitur bureau-pathology. Pertama tidak

ada kejelasan kontrol atas jabatan: mana yang tunduk pada kewenangan prerogatif

presiden, penunjukan politis dari kongres, dan sistem karir. Kedua, struktur insentif

moneter dan non-moneter tidak berbasis kontribusi. Ketiga, kurangnya transparansi

dalam peran dan kewenangan penasehat presiden, tidak ada kerangka acuan kerja

yang jelas, dan tidak ada kerangka akuntabilitas terhadap entitas lain di luar

kepresidenan.

Penelitian yang masih berkaitan dengan patologi birokrasi pelayanan publik,

yaitu Studi Etika Pelayanan Publik (I Wayan Sudana, dkk, 2009) yang dilakukan di

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar. Hasil penelitian ini

menunjukkan adanya ketidakpuasan masyarakat yang dibuktikan dengan beberapa

fenomena pemberian pelayanan seperti tindakan aparat yang mengharapkan balas

jasa, adanya penyalahgunaan wewenang, menghindar dari tanggung jawab,

pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan, dan munculnya diskriminasi dalam

pelayanan.

Hal yang sama juga terjadi pada instansi pelayanan pertanahan di kantor BPN

(Dwiyanto, dkk, 2008:193). Berdasarkan observasi, terlihat bahwa aparat sangat

membedakan dalam memberikan sapaan kepada masyarakat pengguna jasa.

Berdasarkan hasil observasi ini, sekitar 30 persen masyarakat pengguna jasa di

Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan pernah

mengalami diskriminasi pelayanan yang dilakukan oleh aparat birokrasi.Salah satu

imbas dari perilaku birokrasi tersebut adalah adanya kecenderungan penggunbaan

perantara dalam menerima layanan. Berdasarkan data GDS 2006 (Dwiyanto, 2011:

89) menunjukkan prosentase warga yang menggunakan perantara pada saat

Page 13: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

mengurus pelayanan untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Kartu

Tanda Penduduk (KTP) dan Sertifikat Tanah, ternyata jenis pelayanan yang

disebutkan terakhir memperlihatkan prosentase yang lebih tinggi, yaitu di Jawa

mencapai 57, 50% dan 66,50% untuk luar Jawa.

Penelitian yang berkaitan dengan pelayanan administrasi pertanahan dilakukan

Yuliana Paris, yaitu “Etika Aparatur dalam Pelayanan Publik (Kasus Badan

Pertanahan DKI Jakarta). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun secara

normatif pelayanan pertanahan telah menggunakan Standar Prosedur Operasional

Pelayanan Pertanahan (SPOOPP), namun praktek penyimpangan dalam pelayanan

masih tetap terjadi, seperti; pemanfaatan jabatan untuk mendapatkan keuntungan

pribadi melalui lobi-lobi dan negosiasi dengan para aparat pertanahan diluar

prosedur yang telah ditetapkan (Yuliana Paris, 2007:237-238).

Penelitian yang senada dilakukan oleh Baharuddin, “ Signifikansi Kompetensi

dan Komitmen Pimpinan terhadap Kinerja Aparat Pelayanan Publik (Studi pada

Kantor Badan Pertanahan Kota Makassar, Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa).

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kompetensi dan komitmen pimpinan tidak

berpengaruh secara langsung terhadap kualitas pelayanan publik, tetapi berpengaruh

melalui kinerja aparat. Sedangkan kinerja aparat berpengaruh positif terhadap

kualitas pelayanan publik (Baharuddin, 2010: 326)

Berkaitan dengan kualitas pelayanan publik, Business Digest sebagai salah satu

lembaga survey ekonomi independen yang hasil penelitiannya dilansir majalah

ekonomi SWA Sembada edisi Juni 2007 (Majid, 2009:105-7), dimana Makassar

menempati rangking ke-25 dari 50 kota di Indonesia dalam hal kekayaan atau

sumber daya. Artinya, lembaga ini melihat Makassar memiliki potensi yang besar

Page 14: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

untuk terus berkembang secara cepat dan memiliki pertumbuhan eknomi yang

tinggi. Tetapi Makassar hanya menempati rangking 21 dari 25 kota yang disurvei

sebagai daerah yang menarik untuk investasi. Hal ini ternyata disebabkan oleh

masalah kualitas pelayanan publik.

Salah satu titik layanan publik dalam lingkup Kota Makassar yang juga

tergolong krusial, yaitu pelayanan administrasi pertanahan. Fenomena menarik yang

menjastifikasi adanya masalah layanan publik adalah adanya kecenderungan

mayarakat yang membutuhkan layanan lebih memilih menggunakan perantara

ketimbang mengurus secara langsung ke tempat pelayanan sesuai dengan prosedur

dan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan data GDS 2006, seperti yang telah

disebutkan di atas merupakan suatu hal yang menarik untuk dikembangkan.

Kecenderungan penggunaan perantara dalam pemberian layanan adminsitrasi

pertanahan memberikan isyarat adanya masalah dalam pelayanan tersebut.

Berkaitan dengan ini berbagai pertanyaan bakal muncul, misalnya siapa yang

menjadi perantara?, apakah penggunaan perantara akan mempercepat proses

layanan?, Apakah penggunaan perantara tidak merusak mekanisme tatanan

administrasi penyedia layanan?, dan bagaimanan nasib masyarakat yang tidak

mampu menggunakan perantara?, serta masih banyak pertanyaan yang akan

dikembangkan dalam penelitian ini untuk mengungkap berbagai sisi yang menjadi

celah terjadinya patologi birokrasi.

Secara teoritis maupun praktis, penggunaan perantara dalam berbagai jenis

pelayanan berpeluang melahirkan patologi birokrasi, meskipun dari satu sisi pihak

pengguna layanan dengan dan pemberi layanan memperoleh keuntungan secara

timbal balik, namun disisi lain akan merugikan pengguna jasa yang lain yang tidak

Page 15: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

menggunakan perantara. Fenomena ini membuktikan bahwa dari berbagai jenis

layanan publik, maka pelayanan administrasi pertanahan tetap menarik untuk

diteliti. Apalagi terhadap setting penelitian birokrasi pelayanan administrasi

pertanahan, dimana pada umumnya peneliti lebih cenderung mengkaji obyek ini dari

perspektif hukum, tanpa memperhatikan dimensi administratif sebagai suatu sistem

yang sarat dengan patologi birokrasi. Dimensi inilah yang akan menjadi fokus

penelitian yang aspek-aspeknya meliputi; struktur birokrasi, sumber daya manusia,

penerapan teknologi dan lingkungan budaya. Berbagai aspek tersebut akan dikaji

secara sistemik, sehingga hasil penelitian diharapkan lebih bersifat holistik dan

substantif. Atas dasar inilah, sehingga penelitian ini dianggap sebagai sesuatu yang

memiliki nilai kebaruan.

B. Rumusan Masalah

Makna birokrasi sebagai lembaga pemerintah muncul karena lembaga

pemerintah pada umumnya selalu berbentuk birokrasi. Skala organisasi pemerintah

yang besar dan luas cakupannya mendorong mereka untuk memiliki birokrasi yang

karakteristiknya sama dengan birokrasi Weberian. Karakteristik utama yang dapat

dijumpai dalam organisasi pemerintah pada umumnya, yaitu adanya pembagian

kerja, hierarki, prosedur tertulis, impersonalitas, dan sebagainya juga dimiliki oleh

organisasi pemerintah yang dijadikan sebagai objek penelitian. Adapun instansi

pemerintah yang dimaksud adalah keseluruhan instansi pemerintah yang berkaitan

langsung dengan pelayanan administrasi pertanahan di Kota Makassar, yaitu

Pemerintah Kelurahan, Pemerintah Kecamatan, dan Badan Pertanahan Kota

Makassar.

Page 16: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Berdasar pada lingkup penelitian tersebut di atas, maka permasalahan utama

penelitian ini adalah “Mengapa patologi birokrasi terjadi dalam pelayanan publik

(Pelayanan Administrasi Pertanahan) di Kota Makassar?”. Permasalahan utama

tersebut dikembangkan dalam beberapa pertanyaan penelitian, yaitu (1) Bagaimana

bentuk patologi birokrasi dalam pelayanan publik (Pelayanan Administrasi

Pertanahan) di Kota Makassar?. (2) Bagaimana sistem pelayanan administrasi

pertanahan yang dapat meminimalisir patologi birokrasi tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang terjadinya patologi birokrasi

dalam pelayanan publik (Pelayanan Administrasi Pertanahan) di Kota Makassar.

Berkaitan dengan permasalahan tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dalam

penelitian ini adalah:

1. Untuk Mengidentifikasi dan menjelaskan bentuk/jenis patologi birokrasi dalam

pelayanan publik (pelayanan Administrasi Pertanahan) di Kota Makassar.

2. Untuk menjelaskan dan menganalisis sistem pelayanan administrasi pertanahan

yang dapat meminimalisir patologi birokrasi.

D. Kegunaan Penelitian

Birokrasi pemerintah dewasa ini banyak mendapatkan sorotan dari masyarakat,

baik yang berkaitan dengan pengambilan keputusan maupun perilaku aparat dan

kualitas layanan di sektor publik. Bahkan munculnya citra buruk birokrasi pada

umumnya bersumber pada kedua faktor tersebut yang secara spesifik lazim disebut

dengan patologi birokrasi. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa di lingkungan

birokrasi itu terdapat suatu masalah yang menyebabkan birokrasi tidak berfungsi

sebagaimana mestinya.

Page 17: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Bertolak dari pemikiran tersebut, maka penelitian ini diharapkan memberikan

berbagai kontribusi teoritik maupun praktis dalam rangka mengatasi permasalahan

yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan publik di lingkungan birokrasi

pemerintah, khususnya dalam pelayanan adminsitrasi pertanahan di Kota Makassar.

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memperkaya kajian teoritik dalam pengembangan ilmu administrasi publik,

terutama yang berkaitan dengan studi tentang birokrasi, khususnya dalam aspek

patologi birokrasi dalam pelayanan publik. Selain itu penelitian ini diharapkan

dapat memberikan informasi bagi para peneliti lain yang berminat untuk

melakukan pengembangan kajian, khususnya dalam hal studi tentang birokrasi

dan pengembangan teori administrasi publik pada umumnya.

2. Memberikan kontribusi kepada Pemerintah Kota Makassar untuk menemu-

kenali berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan birokrasi, khususnya

berbagai bentuk patologi birokrasi yang terjadi dalam penyelenggaraan

pelayanan publik (administrasi pertanahan), serta berbagai solusi yang

ditawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut, sehingga dapat menjadi

bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan perumusan berbagai

kebijakan yang terkait.

Page 18: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Birokrasi

Tulisan tentang dan kritik para teroritisi terhadap birokrasi publik sejak abad

ke-18, dapat ditelusuri mulai dari M de Goumay yang mengajukan sejumlah

pertanyaan tentang birokrasi, yaitu bagaimana manfaat birokrasi bagi masyarakat,

apakah tujuan dasar dibentuknya birokrasi pemerintah, bagaimana pelaksanaan

fungsi pelayanan birokrasi terhadap masyarakat. Istilah birokrasi yang pertama kali

digunakan oleh M de Goumay mengacu kepada suatu penyakit yang melanda

pemerintahan, ditandai dengan berbelit-belitnya prosedur biasanya dikeluhkan

dengan pejabat, juru ketik, para sekretaris, para inspektur dan para intendan yang

diangkat bukannya untuk menguntungkan kepentingan umum tetapi kepentingan

individu, bahkan kepentingan umum itu untuk para pejabat (Albrow, 1996:1).

Perkembangan konsep birokrasi sebenarnya merupakan salah satu varian dari

jenis pemerintahan demokrasi dan aristokrasi sebagaimana yang dapat dilihat dari

tulisan de Goumay dan Mill. Para teoritisi pada abad ke-19 seperti Van Mohl,

Olzewski dan Le Play banyak memfokuskan kepada ketidakpuasan rakyat terhadap

pemerintah dan melihat birokrasi sebagai hasrat pegawai negeri yang digaji untuk

selalu mencampuri urusan orang lain (Albrow, 1996:17).

Dalam abad ke-19, terdapat beberapa penulis dan pemikir yang sangat

berpengaruh terhadap perkembangan teori birokrasi, antara lain yaitu Gaetano Mosca

dan Max Weber. Mosca dalam bukunya membagi semua pemerintahan menjadi dua

tipe yaitu feudal dan birokratis berdasarkan kepada kelas yang memerintah. Dalam

Page 19: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

sistem pemerintahan feudal, kelas yang memerintah adalah kelas yang sederhana

yang memonopoli fungsi-fungsi ekonomi, politik, militer atau administrasi. Setelah

masyarakat berkembang menjadi lebih kompleks dan mempunyai fungsi terpisah

satu sama lain, maka pemerintahan dijalankan oleh birokrasi, yaitu sekelompok

pejabat yang digaji (Albrow, 1996:22).

Ilmuan yang sangat berjasa dalam memperkenalkan model organisasi

birokratis adalah Max Weber. Dapat dikatakan bahwa konsep birokrasi yang

diajukan oleh Weber masih menjadi acuan sampai sekarang ini, walaupun mendapat

kritik dari ilmuan-ilmuan lain. Weber membahas peran organisasi dalam suatu

masyarakat, dan mempertanyakan bentuk organisasi yang sesuai bagi sebuah

masyarakat industri yang dijumpai di Eropa pada akhir abad ke 19. Ia mencoba

melukiskan sebuah organisasi yang ideal—organisasi yang secara murni rasional dan

yang akan memberikan efisiensi operasi yang maksimum (Robbins, 1994:337).

Kontroversi tentang penerapan model birokrasi Weberian dalam pemerintahan

sudah lama berkembang, bahkan menimbulkan polemik yang belum berakhir sampai

saat ini. Tidak dipungkiri bahwa ada kalangan yang cenderung menolak model

birokrasi Weberian karena menganggap model birokrasi itu memiliki banyak

kelemahan. Meskipun demikian, sebagian kalangan praktisi administrasi publik

yang telah lama berkecimpung dalam lingkungan birokrasi, melihat bahwa model

birokrasi Weberian masih diperlukan sampai saat ini. Alasan yang dikemukakan oleh

kalangan yang disebutkan terakhir ini, bahwa sejauh ini belum ada model pengaturan

kelembagaan alternatif yang cukup lengkap dan menyeluruh yang dapat digunakan

untuk menggantikan birokrasi Weberian.

Page 20: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Dalam Ilmu Administrasi Publik, birokrasi memiliki sejumlah makna, di

antaranya adalah pemerintahan yang dijalankan oleh suatu biro yang biasanya

disebut dengan officialism, badan eksekutif pemerintah (the executive organs of

government), dan keseluruhan pejabat publik (public officials), baik itu pejabat tinggi

ataupun rendah (Albrow, 1989:116-117). Diantara ketiga makna tersebut,

karakteristik umum yang melekat pada birokrasi adalah keberadaannya sebagai suatu

lembaga pemerintah. Makna birokrasi sebagai lembaga pemerintah muncul karena

lembaga pemerintah pada umumnya selalu berbentuk birokrasi. Skala organisasi

pemerintah yang besar dan luas cakupannya mendorong mereka untuk memilih

birokrasi yang memiliki karakteristik sebagai birokrasi Weberian.

Dalam konteks Indonesia, lembaga pemerintah pada umumnya memiliki

hierarki yang panjang, prosedur dan standar operasi yang tertulis, spesialisasi yang

rinci, dan pajabat karier yang menjadi karakteristik birokrasi Weberian. Oleh karena

itu, lembaga pemerintah sering disebut sebagai birokrasi pemerintah. Karena kinerja

birokrasi pemerintah pada umumnya cenderung buruk dan mengecewakan,

khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik, sehingga pandangan masyarakat

terhadap birokrasi pemerintah cenderung negatif yang pada akhirnya menimbulkan

stereotif yang negatif tentang konsep birokrasi Weberian. Robbins (1994: 338)

mengutip konsep birokrasi ideal dari Weber yang terdiri dari 7 elemen, sebagai

berikut:

a. Spesialisasi pekerjaan, yaitu semua pekerjaan dilakukan dalam kesederhanaan,

rutinitas dan mendefinisikan tugas dengan baik.

Page 21: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

b. Hierarki kewenangan yang jelas, yaitu sebuah struktur multi tingkat yang formal,

dengan posisi hierarki atau jabatan, yang memastikan bahwa setiap jabatan yang

lebih rendah berada di bawah supervisi dan kontrol dari yang lebih tinggi.

c. Formalisasi yang tinggi, yaitu semua anggota organisasi diseleksi dalam basis

kualifikasi yang didemonstrasikan dengan pelatihan, pendidikan atau latihan

formal.

d. Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasarkan atas

kemampuan, yaitu keputusan tentang seleksi dan promosi didasarkan atas

kualifikasi teknis, kemampuan dan prestasi para calon.

e. Bersifat tidak pribadi (impersonalitas), yaitu sanksi-sanksi diterapkan secara

seragam dan tanpa perasaan peribadi untuk menghindari keterlibatan dengan

keperibadian individual dan freferensi peribadi para anggota.

f. Jejak karier bagi para pegawai, yaitu para pegawai diharapkan mengejar karier

dalam organisasi. Sebagai imbalan atas komitmen terhadap karier tersebut, para

pegawai mempunyai masa jabatan, artinya mereka akan dipertahankan meskipun

mereka “kehabisan tenaga” atau jika kepandaiannya tidak terpakai lagi.

g. Kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan peribadi, yaitu

pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan

pribadinya termasuk keluarganya.

Tipe ideal birokrasi Weber tersebut di atas, sampai saat ini belum sepenuhnya

dapat diimplementasikan di Indonesia sebagaimana yang diharapkan pencetusnya.

Bahkan Weber mempertegas dalam teorinya bahwa satu-satunya cara bagi

masyarakat modern untuk mengoperasikan secara efektif konsep ideal tersebut di

atas ialah dengan mengorganisasikan spesialis-spesialis birokrasi yang fungsional

Page 22: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

dan terlatih. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh LeMay (2006:65), bahwa

sebagai organisasi yang cenderung semakin besar, membutuhkan pembagian kerja

yang lebih kecil atau bersifat khusus.

Weber sebenarnya memperhitungkan tiga elemen pokok dalam konsep

birokrasinya, yaitu: (1) birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis. (2) birokrasi

dipandang sebagai kekuatan independen. (3) birokrasi dipandang mampu keluar dari

fungsinya yang sebenarnya karena anggotanya cenderung berasal dari kelas sosial

yang particular (Thoha, 2005:19). Konsep birokrasi weberian berasumsi bahwa

birokrasi dibentuk independen dari kekuatan politik. Ia berada di luar atau di atas

aktor-aktor politik yang saling berkompetisi satu sama lain. Birokrasi pemerintah

diposisikan sebagai kekuatan yang netral, lebih mengutamakan kepentingan negara

dan rakyat secara keseluruhan, sehingga siapapun kekuatan politik yang memerintah

birokrat dan birokrasinya memberikan pelayanan terbaik kepadanya.

Pemikir lain yang juga penting untuk ditampilkan dalam pembahasan birokrasi

adalah Karl Marx (Thoha, 2008:23). Pemikiran Marx tentang birokrasi merupakan

suatu gejala yang bisa dipergunakan secara terbatas dalam hubungannnya dengan

administrasi negara. Pandangannya terhadap birokrasi hanya bisa difahami dalam

kerangka umum teorinya tentang perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dan

pengembangan komunisme.

Marx mengelaborasi birokrasi dengan cara menganalisis filsafat Hegel tentang

negara. Hegel berpendapat bahwa administrasi negara (birokrasi) sebagai suatu

jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintah) dengan masyarakatnya.

Adapun masyarakat itu terdiri dari kelompok-kelompok professional, usahawan dan

lain kelompok yang mewakili bermacam-macam kepentingan particular (khusus).

Page 23: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Meskipun Marx terinspirasi oleh pemikiran Hegel, namun Marx berpendapat bahwa

negara itu tidak mewakili kepentingan umum. Bahkan ia mengatakan bahwa

kepentingan umum itu tidak ada, yang ada adalah kepentingan partikular yang

mendominasi kepentingan partikular lainnnya. Kepentingan particular yang

memenangkan perjuangan kelas sehingga menjadi kelas yang dominan itulah yang

berkuasa. Menurut Marx birokrasi adalah negara atau pemerintah itu sendiri.

Birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk

melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya. Dengan kata

lain, birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.

Hal yang sangat menarik adalah kritik yang disampaikan Warren Bennis

(Robbins, 1994:349), bahwa struktur birokratik terlalu mekanis bagi kebutuhan

organisasi modern. Ia menyatakan bahwa struktur tersebut telah usang, karena

didesain untuk menghadapi lingkungan yang stabil, sedangkan kebutuhan saat ini

adalah struktur yang dirancang untuk menanggapi perubahan yang terjadi secara

efektif. Bennis mencoba melakukan prediksi masa depan tentang berbagai macam

perubahan yang pada gilirannya akan mempengaruhi eksistensi birokrasi. Menurut

Bennis, birokrasi merupakan penemuan sosial yang sangat elegan, suatu bentuk

kemampuan yang luar biasa untuk mengorganisasikan, mengkoordinasikan proses-

proses kegiatan yang produktif pada masa revolusi Industri. Birokrasi dikembangkan

untuk menjawab berbagai persoalan yang hangat pada waktu itu, misalnya persoalan

pengurangan peran-peran personal, persoalan subyektivitas yang berlebihan, dan

tidak dihargainya hubungan kerja kemanusiaan.

Singkatnya, dalam pandangan Bennis, birokrasi adalah produk kultural dan

sangat terikat oleh proses zaman pada saat kemunculannya. Kita sangat

Page 24: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

membutuhkan birokrasi yang berorientasi kemanusiaan, tidak secara konseptual

semata tapi merambah pada tataran praktis di lapangan. Hal ini menjadi pekerjaan

sangat penting untuk mendekatkan birokrasi pada manusia, bukan lagi pada mesin.

Sebuah teori akan diuji menurut kelayakan historis dan kebutuhan pada sebuah masa.

Birokrasi yang humanis masih menjadi pekerjaan rumah yang harus serius digarap

oleh para pemerhati masalah-masalah adminsitrasi negara dan kebijakan publik.

Nada pesimistik Bennis yang menggambarkan kondisi-kondisi sebagai penyebab

matinya birokrasi dibantah oleh Robert Miewald (Robbins, 1994:349-352) dengan

mengajukan argumentasi tandingan, bahwa birokrasi dapat menyesuaikan diri

dengan lingkungan yang berubah dan dinamis. Miewald menegaskan bahwa Weber

tidak pernah mengatakan bahwa karakteristik-karakteristik birokrasi akan berlaku

untuk selama-lamanya. Sasaran utama dari Weber adalah menciptakan sebuah

bentuk rasional dan efisien. Bentuk tersebut adalah birokrasi. Bentuk apapun yang

diperlukan untuk mempertahankan rasionalitas seperti efisiensi akan menghasilkan

birokrasi. Perkembangan birokrasi professional adalah contoh yang sempurna

mengenai karakteristik birokrasi yang dimodifikasi.

Pengkritisi lain terhadap birokrasi Weber adalah Fried W. Riggs. Dalam

penelitiannya di beberapa negara berkembang, ia menemukan model birokrasi yang

disebutnya sebagai “model sala” atau biasa disebut dengan “model prismatic”. Kata

sala diambil dari bahasa Spanyol yang sering menunjuk arti kantor pemerintah di

negara-negara Amerika Latin. Arti sala secara umum ialah “ruangan”, bahasa

Perancis menyebutnya “Salle” yang pada dasarnya masih serumpun. dalam

penggunaan sehari-hari, kata sala mengandung arti ruangan pribadi dalam suatu

Page 25: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

rumah—keagamaan—ruangan pertemuan umum, tetapi juga dan bahkan terutama

mengandung arti kantor pemerintah (Riggs, 1988:316)

Beberapa karakteristik birokrasi model sala yang dikemukakan oleh Riggs

(1988:317-320), yaitu; struktur prismatic akan memperkokoh pemborosan birokrasi

—Korupsi telah melembaga. Sementara pejabat menikmati kedudukannnya karena

leluasa memeras uang suap—dalam penentuan anggaran, semua tergantunng pada

keahlian serta besarnya pengaruh pejabat yang harus memperjuangkan pengajuan

anggaran, beberapa ketentuan tidak dapat digunakan untuk mengatasi kekurangan

anggaran suatu biro, sedang kenyataannya anggaran terbuang sia-sia di berbagai biro

lainnya—dalam model prismatic, hubungan antara administrator dengan pengikut

sudah demikian terstruktur, sehingga bobot berbagai sanksi akan memaksa para

pejabat model sala lebih cenderung menggunakan kekerasan daripada menerapkan

undang-undang. Terbukanya kesempatan menerima suap lebih mendorong para

petugas pelaksana model sala menunda-nunda pekerjaan dan mengintroduksi

berbagai hambatan teknis dengan tujuan agar dapat memetik imbalan pelayanan atas

pekerjaan yang seharusnya tidak dipungut biaya.

Gambaran birokrasi pemerintah seperti yang dikemukakan oleh Riggs tersebut

sangat bertentangan dengan substansi birokrasi yang dikemukakan oleh Weber.

Meskipun kritik terhadap birokrasi Weber selalu muncul, namun kenyataaan

menunjukkan bahwa birokrasi ada dimana-mana, perusahaan-perusahaan besar pada

umumnya berstruktur birokrasi, bahkan untuk kelompok yang terdiri dari beberapa

orang saja, birokrasi merupakan cara yang paling efisien untuk mengorganisasikan

sesuatu, sehingga pertanyaannya adalah mengapa birokrasi dapat berjaya terus

sampai saat ini. Mungkinkah karena karakteristik birokrasi yang dirumuskan oleh

Page 26: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Weber itulah yang menyebabkan demikian atau mungkin ada faktor lain yang

menjadi keampuhan birokrasi.

Salah satu agenda utama dan pertama yang harus dilakukan dalam rangka

peningkatan kualitas pelayanan birokrasi pemerintah terhadap masyarakatnya, adalah

perubahan perilaku aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan. Paradigma

perilaku birokrasi harus diubah dari yang lebih condong sebagai abdi negara

ketimbang abdi masyarakat diubah menjadi lebih mengutamakan peranan sebagai

abdi masyarakat ketimbang abdi negara. Pada hakekatnya, jika aparatur birokrasi

sudah melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati maka sesungguhnya mereka telah

melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai abdi masyarakat maupun sebagai abdi

negara. Dengan perilaku aparatur birokrasi yang berorientasi pada kepuasan

masyarakat, maka diharapkan melahirkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat

kepada birokrasi pemerintah dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan,

pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian maka

keberadaan birokrasi pemerintah bukan hanya karena adanya dukungan legalitas

formal, tetapi keberadaannya didukung dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Birokrasi memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah fungsi pengaturan.

Fungsi ini mutlak terselenggara dengan efektif, karena suatu pemerintahan negara

diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan yang

ditentukan oleh lembaga legislatif melalui berbagai ketentuan pelaksanaan dan

kebijaksanaannya. Persoalan yang sering muncul dalam praktik, acapkali terjadi

kekakuan dalam implementasi aturan. Kekakuan ini dapat terlihat pada interpretasi

secara harfiah, padahal yang lebih diperlukan adalah menegakkan hukum dan

Page 27: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

peraturan itu dilihat dari semangat dan jiwanya, artinya bahwa pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan situasional (Siagian, 2000: 147).

B. Patologi Birokrasi

Patologi birokrasi di berbagai negara, terutama pada negara-negara

berkembang menunjukkan adanya kecenderungan mengutamakan kepentingan

sendiri, mempertahankan status-quo, resisten terhadap perubahan, cenderung terpusat

(centralized), dan dengan kewenangannya yang besar seringkali memanfaatkan

kewenangannya itu untuk kepentingan sendiri. Hal ini merupakan suatu tantangan

besar bagi administrasi negara dan birokrasi pada umumnya. Menurut Kartasasmita

(1995), dari berbagai penelitian diketahui betapa tidak mudahnya melakukan

pembaharuan di bidang administrasi negara. Sebabnya adalah pendekatan yang

sering kali bersifat formal struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi-

fungsi.

Solusi untuk mengatasi patologi birokrasi adalah dengan melakukan perubahan.

Menurut Widaningrum (2009:368), sistem administrasi dan manajemen dalam

birokrasi publik memang tidak didisain untuk sering berubah. Namun demikian,

kenyataannya menunjukkan bahwa stabilitas seringkali bersifat sebaliknya (counter-

productive). Dalam era yang penuh dengan perubahan seperti sekarang ini, sistem

yang tidak dapat berubah justeru akan menemui banyak kegagalan.

Berkaitan dengan perubahan, yang sesungguhnya amat penting, tetapi lebih sulit

dilakukan adalah pembaharuan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia-

manusia birokrat. Internalisasi nilai-nilai ini yang oleh Riggs (1996) disebut

introfection, merupakan kunci terhadap peningkatan kinerja birokrasi. Terutama

Page 28: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap birokrasi dalam hubungan

dengan masyarakatnya.

Secara teoritik, disadari bahwa konsep birokrasi yang dirumuskan oleh Weber

dengan berbagai karakteristiknya diyakini bahwa proses administrasi dalam kegiatan

pemerintahan itu hanya dapat menjadi efisien, rutin dan nonpartisan apabila cara

kerja organbisasi pemerintah itu dirancang sedemikian rupa sehingga menyerupai

cara kerja sebuah mesin (Morgan, 1986). Persoalannya adalah mengapa ketika model

ini diterapkan di beberapa negara, termasuk Indonesia justru menimbulkan berbagai

fenomena yang menunjukkan adanya perilaku birokrasi yang bersifat patologis,

bahkan dapat dianggap sebagai pengingkaran terhadap jiwa birokrasi itu sendiri.

Salah satu aspek birokrasi yang paling banyak disoroti adalah struktur birokrasi.

Struktur birokrasi Weberian memiliki berbagai masalah internal yang pada tingkat

tertentu berpotensi menyebabkan birokrasi mengalami disfungsi (Caiden, 1991).

Setiap aspek dan struktur birokrasi , selain memiliki manfaat dan kontribusi terhadap

efisiensi dan kinerja birokrasi, juga memiliki potensi untuk menciptakan penyakit

birokrasi. Suatu variabel struktur birokrasi dapat menghasilkan penyakit birokrasi

jika intensitas dari variabel itu sudah menjadi berlebihan.

Sebagai contoh, hierarki dalam suatu organisasi sangat bermanfaat karena

membantu pimpinan melakukan kontrol dan juga dapat membuat arus perintah dan

informasi menjadi lebih jelas, sehingga mempermudah koordinasi. Namun, ketika

hierarki semakin panjang, maka berbagai persoalan dalam organisasi akan muncul.

Hierarki yang panjang menyebabkan arus perintah dan informasi menjadi semakin

panjang dan cenderung mengalami distorsi, Proses pengambilan keputusan menjadi

semakin lamban dan terkotak-kotak (fragmented). Bahkan hierarki juga dapat

Page 29: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

memperbesar ketergantungan bawahan terhadap atasan (Pye, 1978). Akibatnya

seringkali muncul perilaku para pejabat birokrasi yang ABS (asal bapak senang), dan

menunjukkan loyalitas secara berlebihan pada atasan.

Birokrasi publik di Indonesia yang memiliki hierarki ketat, panjang dan

cenderung mendorong para pejabatnya untuk mengembangkan perilaku ABS

memperoleh justifikasi dari lingkungannya karena budaya masyarakat yang

paternalistis tidak bisa menjadi sensor bagi perilaku negatif yang muncul dari

hierarki yang berlebihan. Sebaliknya budaya paternalistis itu justru mengajarkan

kepada para pegawai untuk memberikan perlakuan istimewa kepada pimpinan.

Budaya paternalistis mengajarkan mengenai suatu pola hubungan ternetu antara

rakyat dan penguasa, serta antara bawahan dan atasan. Dalam budaya paternalistis

bawahan harus memberikan pelayanan kepada atasan (Eisantadt, 1973). Mereka

harus menunjukkan dedikasi dan loyalitas kepada atasannya. Bahkan dedikasi dan

loyalitas itu cenderung mereka tunjukkan secara berlebihan, dengan maksud agar

atasanya memberikan keistimewaan tertentu. Mereka meyakini bahwa yang

menentukan nasib mereka dalam berkarier adalah atasan. Hal inilah yang

menyebabkan para pejabat birokrasi memiliki ketergantungan yang sangat tinggi

kepada atasan. Perilaku ABS di kalangan pejababt birokrasi ini terbentuk sebagai

hasil interaksi antara budaya paternalistis dan struktur birokrasi Weberian yang

selanjutnya menghasilkan penyakit birokrasi.

Dalam sistem politik yang tidak demokratis, penyakit birokrasi tidak mudah

untuk dicegah, karewna kekuasaan terkonsentrasi pada pemerintah dan birokrasi.

Masyarakat tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mengontrol perilaku

birokrasi. Oleh karena itu masyarakat tidak dapat berbuat banyak ketika para pejabat

Page 30: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

birokrasi publik hanya memikirkan kepentingan birokrasi, atasan, dan dirinya sendiri

serta mengabaikan kebutuhan dan kepentingan publik. Pengguna layanan birokrasi

berada pada posisi yang sangat lemah ketika berhadapan dengan birokrasi dan

pejabatnya. Apalagi jika kapasitas dari unsur dan komponen masyarakat madani,

seperti media, NGO, dan kelompok-kelompok madani lainnya masih sangat lemah,

maka kontrol terhadap perilaku birokrasi menjadi sangat tidak efektif, sehingga

penyakit birokrasi terus tumbuh dengan sangat subur.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa patologi birokrasi adalah

merupakan hasil interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel-variabel

lingkungan yang salah. Struktur birokrasi yang hierarkis berinteraksi dengan budaya

masyarakat yang paternalistis, sistem politik yang tidak demokratis dan

ketidakberdayaan kelompok masyarakat madani cenderung melahirkan perilaku

birokrasi paternalistis yang merugikan kepentingan publik. Patologi birokrasi bukan

hanya disebabkan oleh struktur birokrasi yang salah dan tidak tepat, seperti hierarki

yang berlebihan, prosedur yang rigid, fragmentasi birokrasi yang terlalu banyak, dan

masalah structural lainnya. Selain masalah structural, patologi birokrasi disebabkan

juga oleh interaksi berbagai variabel yang saling terkait antara satu dengan yang

lainnya, baik yang terdapat dalam struktur birokrasi, budaya birokrasi, maupun

variabel-variabel lain yang terdapat dalam lingkungan

C. Dimensi-Dimensi Patologi Birokrasi

Peristilahan konsep patologi berasal dari ilmu kedokteran yang mengkaji

mengenai penyakit yang melekat pada organ manusia, sehingga menyebabkan tidak

berfungsinya organ tersebut. Menjadikan istilah patologi sebagai metafora, patologi

birokrasi dalam uraian ini tentunya difahami sebagai kajian dalam konteks

Page 31: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Administrasi Publik yang diarahkan untuk menelusuri secara faktual dan teoritik

berbagai penyakit yang melekat dalam tubuh birokrasi pemerintah, sehingga

birokrasi tersebut mengalami disfungsi

Menurut Siagian (1994:35), agar seluruh birokrasi pemerintahan negara

mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang sifaynya

politis, ekonomi, sosio-kultural, dan teknologikal, berbagai penyakit yang mungkin

sudah dideritanya atau mengancam akan menyerangnya, perlu diidentifikasi untuk

kemudian dicarikan terapi pengobatannya yang palimg efektif. Harus diakui bahwa

tidak ada birokrasi yang sama sekali bebas dari berbagai patologi birokrasi.

Sebaliknya tidak ada birokrasi yang menderita semua penyakit birokrasi sekaligus.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Siagian (1994: 36-145),

mengidentifikasi berbagai patologi birokrasi yang dikategorikan ke dalam lima

kelompok, yaitu:

1) Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di

lingkungan birokrasi.

2) Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan

keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional.

3) Patologi yang timbul karena tindakan para aparat birokrasi yang melanggar

norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4) Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat

disfungsional atau negatif.

5) Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam

lingkungan pemerintahan.

Page 32: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Secara lengkap berbagai penyebab munculnya patologi dan bentuk-bentuk

patologi tersebut dapat diuraikan dalam tabel berikut.

Tabel 1: Penyebab dan Bentuk-bentuk Patologi Birokrasi

PERSEPSI DAN GAYA MANAJERIAL PARA PEJABAT

BIROKRASI

RENDAHNYA PENGETAHUAN

&KETERAMPILAN PETUGAS

PELANGGARAN TERHADAP

NORMA HUKUM

PERILAKU YANG BERSIFAT

DISFUNGSIONAL

SITUASI INTERNAL DALAM BERBAGAI

INSTANSI PEMERINTAHAN

Penyalahgunaan wewenang dan jabatan;Persepsi yang didasarkan pada prasangka;Pengaburan masalah;Menerima sogok;Pertentangan kepentingan;Kecenderungan mempertahankan status quo;Empire Building;Sikap bermewah-mewah;Pilih kasih;Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko;Penipuan;Sikap sombong;Ketidakpedulian pada kritik dan saran;Jarak kekuasaan;Tidak mau bertindak;Takut mengambil keputusanSikap menyalahkan orang lain;Tidak adil;Intimidasi;Kurangnya komitmen;Kurangnya koordinasi;Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi;Kreativitas yang rendah;Kurangnya visi yang imajinatif;Kedengkian;Nepotisme;Tindakan yang tidak rasional;Bertindak di luar wewenangnya;Paranoia;Sikap Opresif;Patronase;Penyeliaan dengan pendekatan punitive;Keengganan mendelegesaikan;Keengganan memikul tanggung jawab;Ritualisme;Astigmatisme;Xenophobia;

Ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan;Ketidaktelitian;Rasa puas diri;Bertindak tanpa pikir;Kebingungan;Tindakan yang counter productive;Tidak adanya kemampuan berkembang;Mutu hasil pekerjaan yang rendah;Kedangkalan;Ketidakmampuan belajar;Ketidaktepatan tindakan;Inkompetensi;Ketidakcekatan;Ketidakteraturan;Melakukan kegiatan yang tidak relevan;Sikap ragu-ragu;Kurangnya imajinasi;Kurangnya prakarsa;Kemampuan rendah;Bekerja tidak produktif;Ketidakrapian;Stagnasi.

Penggemukan pembiayaan;Menerima sogok;Ketidakjujuran;Korupsi;Tindakan kriminal;Penipuan;Kleptokrasi;Kontrak fiktif;Sabotase;Tatabuku yang tidak benar;Pencurian.

Bertindak sewenang-wenang;Pura-pura sibuk;Paksaan;Konspirasi;Sikap takut;Penurunan mutu;Tidak sopan;Diskriminasi;Cara kerja yang legalistil;Dramatisasi;Sulit dijangkau;Sikap tidak acuh;Tidak disiplin;Inersia;Sikap kaku (tidak fleksibel)Tidak berperikemanusiaan;Tidak peka;Sikap tidak sopan; Sikap lunak;Tidak peduli mutu kinerja;Salah tindak;Semangat yang salah tempat;Negativisme;Melalaikan tugas;Rasa tanggung jawab yang rendah;Lesu darah (anorexia)Paperasserie;Melaksanakan kegiatan yang tidak relevan;Cara kerja yang berbelit-belit (red tape)Kerahasiaan;Pengutamaan kepentingan sendiri;SuboptimasiSycophancy;Tampering;Imperatif wilayah kekuasaan;Tokenisme;Tidak professional;Sikap tidak wajar;Melampaui wewenang;Vasted interest;Pertentangan kepentingan;Pemborosan;

Penempatan tujuan dan sasaran yang tidak tepat;Kewajiban sosial sebagai beban;Eksploitasi;Ekstorsi;Tidak tanggap;Pengangguran terselubung;Motivasi yang tidak tepat;Imbalan yang tidak memadai;Kondisi kerja yang kurang memadai;Pekerjaan yang tidak kompatibel;Inconvenience;Tidak adanya indikator kinerja;Kekuasaan kepemimpinan;Miskomunikasi;Misinformasi; Beban kerja yang terlalu berat; Terlalu banyak pegawai;Sistem pilih kasih (spoil system);Sasaran yang tidak jelas;Kondisi kerja yang tidak aman;Sarana dan prasarana yang tidak tepat;Perubahan sikap yang mendadak.

Sumber: Siagian, 1994. Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi dan Terapinya. Jakarta, Ghalia Indonesia: Hal. 35-145.

Page 33: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Adapun beberapa jenis penyakit birokrasi yang sudah sangat dikenal dan

dirasakan masyarakat yaitu ketika setiap mengurus sesuatu dikantor pemerintah,

pengurusannya berbelit-belit, membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar,

pelayanannya kurang ramah, terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme dan

lain-lain. Sedangkan penyakit birokrasi yang lebih sistemik banyak sebutan yang

diberikan terhadapnya yaitu antara lain; politisasi birokrasi, otoritarian birokrasi,

birokrasi katabelece (Istianto, 2011:143).

Istilah patologi lazim digunakan dalam wacana akademis di lingkungan

administrasi publik untuk menjelaskan berbagai praktik penyimpangan dalam

birokrasi, seperti; paternalisme, pembengkakan anggaran, prosedur yang berlebihan,

fragmentasi birokrasi, dan pembengkakan birokrasi (Dwiyanto, 2011:59). Untuk

keperluan teoritik, maka dimensi-dimensi patologis yang disebutkan terakhir akan

diuraikan secara singkat seperti berikut.

1. Birokrasi Paternalistis

Perilaku birokrasi paternalistis adalah hasil dari proses interaksi yang intensif

antara struktur birokrasi yang hierakis dan budaya paternalistis yang berkembang

dalam masyarakat. Struktur birokrasi yang hierarkis cenderung mebuat pejabat

bawahan menjadi sangat tergantung pada atasannya. Ketergantungan itu

kemudian mendorong mereka untuk memperlakukan atasan secara berlebihan

dengan menunjukkan loyalitas dan pengabdian yang sangat tinggi kepada

pimpinan dan mengabaikan perhatiannya kepada para pengguna layanan yang

seharusnya menjadi perhatian utama (Mulder, 1985).

Struktur birokrasi yang hierarkis mendorong pejabat bawahan untuk

menunjukkan loyalitas dan penghormatan kepada atasan secara berlebihan, karena

Page 34: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

seorang pejabat bawahan hanya memiliki satu atasan. Pejabat atasan memiliki

peran yang penting dalam pengembangan karier pegawai, karena informasi

mengenai kinerja pegawai sangat ditentukan oleh atasannya. Bahkan penilaian

kinerja pegawai itu dilakukan oleh atasan langsung. Informasi mengenai kinerja

pegawai atau pejabat itu kemudian diteruskan oleh atasan langsung kepada

pejabat atasan yang lebih tinggi.

Peranan atasan langsung dalam penilaian kinerja menjadi sangat penting

sehingga wajar apabila para pejabat birokrasi cenderung memperlakukan

atasannya secara berlebihan. Mereka cenderung menunjukkan perilaku ABS, yaitu

meberikan laporan yang baik dan menyenangkan atasan dengan menciptakan

distorsi informasi. Akibatnya, para pejabat atasan seringkali menjadi kurang

memahami realitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat (Harmon, 1995).

Berbagai persoalan yang dikeluhkan oleh pengguna layanan tidak tersampaikan

pada pejabat atasan, namun tidak diatasi sendiri oleh petugas pelayanan karena

mereka tidak memiliki kewenangan yang memadai untuk meresponsnya. Mereka

beranggapan bahwa menyampaikan persoalan yang terkait dengan pelaksanaan

tugasnya dapat menciptakan penilaian buruk dari pejabat atasan terhadap kinerja

mereka. Akibatnya responsivitas birokrasi dan pejabatnya terhadap dinamika

lingkungannya menjadi sangat rendah.

2. Prosedur Yang Berlebihan

Prosedur yang berlebihan merupakan bentuk penyakit birokrasi publik yang

menonjol di berbagai instansi pelayanan publik di Indonesia. Birokrasi publik

bukan hanya mengembangkan prosedur yang rigid dan kompleks, tetapi juga

mengembangkan ketaatan terhadap prosedur secara berlebihan. Dalam birokrasi

Page 35: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

publik, prosedur bukan lagi sebagai fasilitas yang dibuat untuk membantu

penyelenggaraan layanan tetapi sudah menjadi seperti berhala yang harus ditaati

oleh para pejabat birokrasi dalam kondisi apapun. Bahkan prosedur sudah menjadi

tujuan birokrasi itu sendiri dan menggusur tujuan yang semestinya, yaitu melayani

publik sexcara professional dan bermartabnat. Apapun penyebabnya, pelanggaran

terhadap prosedur selalu dianggap sebagai penyimpangan dan karena itu

pelanggarnya harus diberi sanksi.

Dalam birokrasi Weberian pengembangan prosedur yang rinci dan tertulis

dilakukan untuk menciptakan kepastian pelayanan. Prosedur tertulis yang jelas

dan rinci sebenarnya diperlukan oleh pejabat birokrasi sebagai penyelenggara

layanan ataupun oleh para pengguna layanan. Para pejabat birokrasi memerlukan

prosedur yang rinci dan tertulis karena dengan prosedur seperti itu mereka

terhindar dari keharusan mengambil keputusan. Keberadaan prosedur pelayanan

sangat membantu mereka dalam menentukan tindakan yang harus dilakukan

untuk merespon berbagai persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan layanan.

Risiko melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan bias dihindari dengan

adanya prosedur pelayanan yang tertulis dan rinci.

Prosedur yang tertulis dan rinci juga menguntungkan bagi para pengguna

layanan, karena mereka dapat lebih mudah memahami hak dan kewajibannya

dalam mengakses pelayanan. Mereka juga menjadi semakin mudah mengetahui

apakah hak-haknya sebagai warga negara dilanggar oleh para pejabat birokrasi

atau tidak pada saat mereka mengakses pelayanan publik. Para pengguna layanan

juga menjadi lebih mudah untuk turut serta mengontrol proses penyelenggaraan

layanan publik. Tanpa prosedur yang jelas dan rinci maka sangat sulit bagi para

Page 36: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

pengguna layanan untuk memahami hak dan kewajibannya ataupun menjalankan

peran kontrol terhadap proses penyelenggaraan layanan publik. Oleh karena itu,

prosedur yang rinci dan tertulis sebenarnya diperlukan oleh pejabat birokrasi dan

pengguna layanan. Tidaklah mengherankan jika prosedur kemudian berkembang

semakin banyak sehingga menjadikan birokrasi mengalami over regulation yang

juga merupakan salah satu penyakit birokrasi.

3. Pembengkakan Birokrasi

Mengamati sejarah perkembangan berbagai birokrasi pemerintah di Indonesia

dengan mudah dapat dilihat perkembangan sejumlah birokrasi yang semula

dibentuk dengan misi yang jelas dan struktur yang ramping, tetapi dalam waktu

singkat birokrasi tersebut sudah berubah menjadi kerajaan birokrasi yang besar.

Kecenderungan seperti ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi

juga terjadi di negara-negara lainnya. Fenomena ini lazim terjadi karena memang

ada kecenderungan dari internal birokrasi untuk mengembangkan diri seiring

dengan kegiatan untuk memperbesar kekuasaan dan anggaran.

Menurut Dwiyanto (2011:97) terdapat dua cara yang biasanya ditempuh untuk

membengkakkan birokrasi. Cara pertama dilakukan dengan memperluas misi

birokrasi. Pada saat pemerintah membentuk satuan birokrasi tertentu biasanya

pemerintah memiliki gambaran yang jelas mengenai misi yang akan diemban oleh

satuan birokrasi itu. Misi itu juga yang menjadi alasan dibentuknya sebuah atau

beberapa satuan birokrasi. Namun, setelah terbentuk, para pejabat di birokrasi itu

untuk selanjutnya cenderung memperluas misi birokrasi. Alasan utama yang

mendorong mereka memperluas misi birokrasi tidak lain adalah keinginan para

pejabat itu untuk dapat mengakses kekuasaan dan anggaran yang lebih besar.

Page 37: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Cara kedua untuk membengkakkan birokrasi adalah dengan melakukan

kegiatan di luar misinya. Tindakan seperti ini banyak sekali dilakukan oleh

satuan-satuan birokrasi, baik di pemerintah pusat maupun daerah. Munculnya

inisiatif untuk membengkakkan birokrasi juga disebabkan oleh cara pengalokasian

anggaran yang berorientasi pada input. Karena alokasi anggaran didasarkan pada

input, maka birokrasi dan para pejabatnya yang ingin memperoleh anggaran besar

cenderung memperbesar input. Cara termudah untuk memperbesar input adalah

dengan menciptakan banyak kegiatan.

4. Fragmentasi Birokrasi

Fragmentasi adalah pengkotat-kotakan birokrasi ke dalam sejumlah satuan yang

masing-masing memiliki peran tertentu. Fragmentasi birokrasi memiliki beberapa

interpretasi. Pragmentasi birokrasi dapat menunjukkan derajat spesialisasi dalam

birokrasi. Dalam konteks ini pembentukan satuan-satuan birokrasi didorong oleh

keinginan untuk mengembangkan birokrasi yang mampu merespons

permasalahan publik yang cenderung semakin kompleks.

Namun, fragmentasi birokrasi yang tinggi juga dapat disebabkan oleh sejumlah

motif lainnya. Pemerintah mengembangkan satuan birokrasi dalam jumlah banyak

bias saja bukan karena keinginan pemerintah untuk merespon kebutuhan dan

aspirasi masyarakat secara efisien dan efektif, malainkan karena adanya tujuan

tertentu.

Mencermati berbagai uraian tentang patologi birokrasi seperti yang dipaparkan

di atas, secara umum memberi gambaran bahwa patologi birokrasi merupakan suatu

kondisi dimana birokrasi mengalami suatu keadaan yang tidak normal atau berada

pada situasi yang tidak dikehendaki menurut prinsip dan tujuan birokrasi itu sendiri.

Page 38: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Bahkan untuk memudahkan identifikasi terhadap patologi birokrasi, Caiden secara

sistematis telah merumuskan suatu daftar yang merangkum sebanyak 175 hal yang

dapat dikatagorikan sebagai bureaupathologies, seperti pada tabel berikut.

Tabel 2: Common Bureaupathologies

Abuse of authority/power/positionAccount paddingAllenationAnorexiaArbitrarinesAroganceBiasBurring IssuesBoondoglesBriberyBureaucratese (unintelligibility)BusyworkCarelessnesChiselingCoersionComplacencyCompulsivenessComplicts of interest/objectivesConfusionConspiracyCorruptionCounter-productivenessCowardiceCriminalityDeadwoodDeceiut and deceptionDedication to status quoDefective goodsDelayDeteriorationDiscountesyDiscriminationDiseconomies of sizeDisplacement of goals/ objectivesDogmatismDramaturgyEmpire-buildingExcessive social cost/ complexityExploitationExtortionExtravaganceFailure to acknowledge/act/ answer/respondFavoritism

Fear of change, innovation, riskFinaglingFootdraggingFramingFraudFudging/fuzzing (issues)GamesmanshipGattopardisno (superficiality)Ghost EployeesGobbledygook/jargonHighhandednessIgnoranceIllegalityImpervious to criticism/suggestionImproper motivationInability to lernInaccessibilityInactionInadequate rewards and incentivesInadequate working conditionsInappropriatenessIncompatible taskIncompetenceInconvenienceIndecision (decidophobia)IndifferenceIndiciplineInefectivenessIneptitudeInertiaInferior qualityInflexibilityInhumanityInjusticeInsensitivityInsolenceIntimidationIrregularityIrrelevanceIrresolutionIrresponsibilityKleptocracyLack of commitmentLack of coordination

Lack of creativity/ experimentationLack of credibilityLack of imaginationLack of initiativeLack of performance indicationsLack of visionLawiesnessLaxityLeadership vacuumsMalfeasanceMaliceMalignityMeaningless/make workMediocrityMellownizationMindless job performanceMiscommunicationMisconductMisfeasanceMisinformationMisplaced zealNegativismNegligence/neglectNepotismNeuroticismNonaccountabilityObscurityObstructionOfficiousnessPressionOverkillOversightOverspreadOverstaffing PaperasserieParanoiaPatronagePayoffs and kickbacksPerversityPhony contractsPointless activityProcrastinationPunitive supervisionRed-tape

Reductance to delegate Reductance to take decisionsReductance to take responsibility RemotenessRigidity/brittlenessRip-offsRitualismRudenessSabotageScamsSecrecySelf-perpetutionSelf-servingSlick bookkeepingSloppinessSocial astigmatism(failure to see problems)Soul-destroying work SpendthriftSpoilsStagnationStallingStonewallingSuboptimizationSycophancyTail-chasingTemperingTerritorial imperativeTheftTokenismTunnel visionUnclear objectivesUnfairnessUnnecessary workUnprofessional conductUnreasonablenessUnsafe conditionsUnsuitable premises and equipmentUsurpatoryVanityVested interestVindictivenessWasteWhimXenophobia

Sumber:Gerald E. Caiden, “What Really is Public Administration?” dalam Public Admnistration Review, Vol.51, No. 6 (Nov-Dec 1991), Hal. 492.

Page 39: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

D. Urgensi Sumber Daya Manusia Dalam Birokrasi

Pemberdayaan organisasi merupakan konsekuensi untuk menanggapi perubahan,

utamanya difokuskan pada sumber daya manusia sebagai pelaku utama perubahan.

SDM tidak sekedar menjadi alat untuk mencapai tujuan nmelainkan sebagai human

capital yang berharga. Oleh karena itu, manajemen sumber daya manusia perlu

mendapat perhatian terutama dalam upaya peningkatan kualitasnya.

Agar sumber daya manusia dapat menunjukkan “daya yang lebih” maka perlu

adanya model pemberdayaan seperti; pemberian peran, penempatan dalam jabatan,

motivasi pimpinan, menghubungkan tanggung jawab dan menumbuhkembangkan

budaya organisasi yang kondusif untuk meningkatkan kinerja organisasi. Dalam

hubungan pemberdayaan sumber daya manusia, juga diperlukan pengembangan

strategi yang tepat, yaitu: inward looking, outward looking, dan mengembangkan

kemitraan. Pemberdayaan sumber daya manusia dimaksud, diimplementasikan pada

organisasi melalui pemberian kewenangan yang jelas, pengembangan kompetensi,

pengembangan kepercayaan, pemanfaatan peluang, pemberian tanggung jawab, dan

pengembangan budaya organisasi (Sedarmayanti, 2010:286).

Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan serangkaian aktivitas yang

dilakukan dalam pengelolaan SDM. Serangkaian aktivitas tersebut dilakukan secara

berkelanjutan, sehingga tercipta SDM yang mampu mendukung organisasi. Dengan

demikian ada jaminan bagi kemajuan dan perkembangan organisasi secara

menyeluruh. Berkaitan dengan itu D. Harvey dan R. Bowin (1996) mengemukakan

beberapa langkah penting untuk dilakukan yang disebutnya sebagai The Succes

System Model (Matheus dan Sulistiyani, 2011:53-54), yaitu:

Page 40: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

1. Anticipating (antisipasi); Organisasi terlebih dahulu menentukan manajemen

sumber daya manusianya. Sistem ini harus dapat mengantisipasi kemungkinan-

kemungkinan di masa depan, mampu mengindikasikan kecenderungan terbaru

dan mengembangkan program-program yang dapat memenuhi perubahan kondisi.

2. Atracting (penarikan); Organisasi mulai memusatkan perhatian pada aktivitas

yang ditujukan untuk meyakinkan bahwa organisasi mampu mencari orang-orang

yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan, diantaranya meliputi analisis

jabatan, penarikan, seleksi, yang didahului oleh issu legal yang berkaitan dengan

penerimaan pegawai, yaitu Equal Employment Opportunity (EEO).

3. Developing (pengembangan); Setelah organisasi mencari dan menemukan orang

yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan, maka selanjutnya diikuti dengan

pengembangan agar dapat menunjukkan kinerja yang tinggi. Upaya ini

dimaksudkan dapat diperoleh dengan melalui pelatihan dan pengembangan

pegawai, baik pada tingkat manajer maupun pada tingkat bawahan.Termasuk

dalam aktivitas ini adalah penilaian kinerja pegawai, pelatihan, pengembangan

organisasi dan pengembangan karier.

4. Motivating (memotivasi); Motivasi perlu dilakukan agar mereka bekerja dengan

baik, sehingga menghasilkan kinerja yang tinggi. Untuk itu haruslah diketahui

bagaimana cara memotivasi pegawai yang ada, misalnya dengan sistem

konmpensasi yang berfungsi untuk memotivasi pegawai, seperti; gaji, insentif,

dan berbagai program keterlibatan pegawai.

5. Maintaining (memelihara); Aktivitas ini harus diikuti dengan adanya komunikasi

yang terbuka sebagai alat utama dalam memelihara hubungan dengan pegawai

Page 41: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

yang efektif. Hubungan pegawai merupakan faktor penting karena akan

mempengaruhi berbagai aktivitas SDM.

6. Changing for Success (perubahan untuk sukses); Dalam kondisi lingkungan yang

terus berubah, manajemen sumber daya manusia memberikan pendekatan untuk

mengembangkan strategi-strategi baru, yakni mengadakan perubahan budaya

organisasi dan mengelola keragaman SDM. Aktivitas ini akan menjadi pengkajian

ulang struktur organisasi, budaya dan proses manajerial, mengelola perubahan

sikap, nilai dan prosedur sehubungan dengan keragaman SDM.

7. Focusing (pemfokusan); Mengukur efektifitas SDM dapat dilakukan dengan

mengevaluasi sejauhmana efektivitas SDM dilakukan dalam organisasi. Berbagai

alat dapat digunakan, mulai dari survey tentang sikap pegawai sampai dengan

formal audit SDM. Untuk menunjang aktivitas ini diperlukan sikap dan tindakan

yang pro aktif dari para manajer SDM, sehingga dapat menghadapi situasi yang

terus berubah

E. Penggunaan Teknologi Informasi Dalam Pelayanan Publik

Penggunaan teknologi informasi (information technology) merupakan salah satu

alternatif untuk melakukan inovasi birokrasi dan perbaikan pelayanan publik. Trend

ini menjadi fenomena global, karena kecenderungan perkembangan masyarakat dan

perekonomiannya semakin digerakkan oleh inovasi teknologi. Bahkan tidak dapat

dipungkiri bahwa di luar lingkungan birokrasi, inovasi-inovasi teknologi telah

menghasilkan kualitas kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.

Manfaat IT terhadap birokrasi pemerintah telah dibuktikan oleh berbagai

kalangan, baik praktisi maupun akademisi. Bahkan Al Gore dan Tany Blair

Page 42: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

(Ardiyanto, 2007:47) secara bersemangat menjelaskan manfaat yang dapat diperoleh

dengan adanya e-governmen, yaitu:

1. Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholder-nya

(masyarakat, kalangan usahawan, dan industri), terutama dalam hal kinerja

efektivitas dan efisiensi diberbagai kehidupan bernegara;

2. Meningkatkan transparansi, kontrol, dan akuntabilitas penyelenggaraan

pemerintahan dalam rangka penerapan konsep good corporate governance.

3. Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi dan interaksi yang

dikeluarkan pemerintah maupun stakeholder-nya untuk keperluan aktivitas

sehari-hari.

4. Memberikan peluang pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan

yang baru melalui interaksinya dengan pihak-pihak yang berkepentingan.

5. Menciptakan suatu lingkungan baru yang dapat menjawab berbagai permasalahan

yang dihadapi secara cepat dan tepat sejalan dengan perubahan global dan trend

yang ada.

6. Memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak yang lain sebagai mitra pemerintah

dalam proses pengambilan kebijakan publik secara merata dan demokratis.

Meskipun diakui bahwa manfaat e-government terhadap pelayanan birokrasi

pemerintah, namun dalam prakteknya tidak luput dari berbagai kendala, antara lain

faktor kultur. Budaya kerja birokrasi kita merupakan hambatan dalam implementasi

penggunaan ICT/E-Gov dalam pelaksanaan tugas birokrasi. Terjadinya kristalisasi

budaya Asal bapak Senang (ABS) terhadap atasanmenjadi salah satu faktor

penolakan penggunaan ICT/E-Gov Turnip (dalam Pramusinto dan Kumorotomo,

2009: 353.

Page 43: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Berdasarkan pengalaman, dalam pelayanan administrasi pertanahan kantor-

kantor pertanahan telah menggunakan berbagai produk teknologi informasi, namun

dalam kenyataannya proses layanan masih tergolong lamban. Pelayanan pertanahan

melalui Kantor Pertanahan pada prinsipnya adalah pelayanan data dan informasi

pertanahan. Data yang tersimpan di Kantor Pertanahan merupakan data yang

diperoleh dan diolah melalui proses yang rumit dan panjang mengikuti aturan yang

tertuang pada Peraturan Kepala BPN nomor 1 tahun 2005 tentang Standar Prosedur

Opersional Pelayanan Pertanahan (SPOPP). Pembaruan data selalu dilakukan apabila

terjadi perubahan pada subyek atau obyek hak atas tanah.

Salah satu usaha untuk mengotimalkan tugas-tugas pelayanan pertanahan

dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi adalah pembangunan dan

pengembangan komputerisasi kantor pertanahan (KKP). Kantor Pertanahan

merupakan basis terdepan dalam kegiatan pelayanan. Dikembangkan model

pelayanan yang berbasis on-line system. Pembangunan pelayanan on line,

membangun data base elektronik, pembangunan infrastruktur perangkat keras dan

jaringan koneksi, peningkatan sumber daya manusia dalam kemampuan penguasaan

IT serta sosialisasi kegiatan di kalangan intern dan ekstren merupakan tahap-tahap

kegiatan yang harus dilakukan pada kantor-kantor yang sedang dan sudah

menerapakan KKP.

Pembangunan Komputerisasi Kantor Pertanahan tidak hanya memberikan

pelayanan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara on-line

system, tetapi sekaligus membangun basis data digital.  Melalui program KKP telah

dilakukan digitalasisasi data pertanahan (Buku Tanah, Surat Ukur, Gambar Ukur dan

Peta Pendaftaran Tanah). Suatu hal yang tidak dipungkiri bahwa stigma tentang

Page 44: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

pelayanan pertanahan dengan efek yang menyertainya adalah masalah yang harus

menjadi tantangan bagi semua insan pertanahan. Sikap masyarakat semakin kritis

dalam menyikapi setiap bentuk pelayanan apapun, terutama yang berkaitan

pelayanan publik.

F. Lingkungan Birokrasi

Pembahasan tentanng birokrasi sebagai organisasi tidak dapat dipisahkan

dengan faktor lingkungan. Kehadiran teori sistem sebagai pelopor perspektif modern

membuka wawasan baru dalam teori organisasi. Berbeda dengan perspektif klasik,

maka perspektif modern memasukkan unsur lingkungan sebagai determinan dan

mencoba mengembangkan teori-teori yang menjelaskan hubungan organisasi dan

lingkungan. Berkaitan dengan ini Hatch (1997:76) mengelompokkannya ke dalam

dua periode, yaitu: (1) periode awal 1960-an hingga akhir 1970-an, dimana teori-

teori yang dikembangkan bersifat kontingensi dalam arti lingkungan mempengaruhi

organisasi, dan (2) periode awal 1980-an sampai sekarang, dimana teori-teori yang

dikembangkan lebih ditekankan pada penjelasan secara lebih detail tentang

bagaimana lingkungan mempengaruhi organisasi.

Burn dan Stalker (1961) dalam penelitiannya di Inggeris dan Scotlandia

menemukan bahwa organisasi-organisasi yang mereka teliti ternyata dapat dibedakan

menjadi dua jenis struktur yang berbeda, yaitu struktur mekanik dan organic (Gerlof,

1985:51). Meskipun penelitian ini dilakukan terhadap organisasi-organisasi industri,

namun klasifikasi ini juga ditemukan pada organisasi publik atau birokrasi

pemerintah.

Struktur organisasi yang mekanistik dibuat atas dasar pertimbangan bahwa

sistem kerja yang stabil dibutuhkan agar organisasi dapat menjalankan berbagai

Page 45: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

fungsinyasecara efektif dan efisien. Oleh karena itu, untuk setiap posisi atau jabatan

di dalam organisasi harus ditentukan secara jelas otoritas atau wewenangnya,

kebutuhan informasi, kompetensi, dan aktivitas teknis yang dilakukan. Mereka yang

menduduki posisi tersebut tidak boleh melanggar batas-batas yang telah ditentukan.

Dengan cara ini, organisasi dapat berjalan secara efisien karena dodasarkan pada

prosedur-prosedur yang distandardisasi, terutama untuk tugas-tugas yang bersifat

rutin.

Sedangkan struktur organic bekerja dengan prinsip sebaliknya. Struktur ini

mengandalkan kreativitas dan daya adaptasi individu dalam melaksanakan tugas-

tugasnya. Oleh karena itu batasan-batasan sebagaimana telah disebutkan diupayakan

seminimal mungkin, sehingga anggota organisasi memiliki ruang yang lebih luas

untuk menyesuaikan berbagai tugasnya sejalan dengan perubahan lingkungan yang

dihadapi. Menurut Burn dan Stalker, bahwa organisasi mekanistik berjalan efektif

jika lingkungan yang dihadapi stabil dan tugas-tugas yang dilakukan dapat ditangani

dengan mekanisme yang bersifat rutin. Sementara untuk lingkungan yang cenderung

berubah-ubah dan sifat permasalahannya tidak dapat diatasi dengan cara-cara rutin,

organisasi organik akan lebih mendukung (Kusdi, 2009:73-74).

Eksistensi birokrasi sebagai suatu organisasi memang tidak dapat dipisahkan

dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan internal

dan eksternal organisasi. Lingkungan internal organisasi tidak saja meliputi kondisi

fisik yang sifatnya kasat mata, melainkan hal-hal yang tidak secara eksplisit terlihat

akan tetapi juga mempengaruhi kondisi lingkungan internal, seperti budaya kerja,

kebiasaan-kebiasaan pegawai, perilaku organisasi, sistem diskresi, dan lain-lain.

Kondisi internal pegawai tersebut senantiasa berubah dan berkembang, sehingga

Page 46: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

menuntut sebuah pembelajaran yang sesuai, agar permasalahan-permasalahan yang

muncul dapat diantisipasi. Sedangkan lingkungan eksternal meliputi instansi-instansi

lain, organisasi swasta, masyaralat, kebijakan-kebijakan pemerintah, teknologi,

kondisi sosial ekonomi yang mengalami dinamika dari waktu-ke waktu (Matheus

dan Sulistiyani, 2011: 47-48)

Dalam konteks penelitian ini, salah satu faktor lingkungan yang menjadi fokus

penelitian, yaitu budaya yang bersifat paternalistik. Pada masyarakat yang berbudaya

paternalistic, dampak negatif struktur birokrasi yang hierakis tidak dapat dikoreksi

oleh sistem budayanya. Tidak seperti di negara-negara barat yang memiliki budaya

rasionalyang mampu berperan sebagai sensor efektif terhadap dampak negatif dari

hierarki, seperti ABS, distrosi informasi, dan promosi atas dasar pertimbangan

hubungan subyektif. Budaya rasional mengajarkan kepada masyarakat untuk

menghargai orang atas dasar prestasi, bukan atas dasar loyalitas, keturunan dan

ukuran-ukuran subjektif lainnya. Salah satu karakteristik penting yang membedakan

antara birokrasi paternalistic dengan birokrasi yang rasional adalah konsep mereka

mengenai jabatan. Dalam birokrasi paternalistis, jabatan dilihat sebagai fungsi dan

kepercayaan atasan, sedangkan dalam birokrasi rasional jabatan adalah fungsi dan

prestasi kerja (Gruber, 1988).

G. Etika Birokrasi

Konsep etika dalam berbagai literatur mengandung beberapa arti, seperti

digambarkan oleh Bertens (2000) bahwa salah satu diantaranya dan biasa digunakan

orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles telah

mengunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang

apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan

Page 47: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwadarminta), etika dirumuskan

sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; 1988), disebut sebagai

(1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban

moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai

mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Mencermati beberapa sumber di atas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti

penting dari konsep etika, yaitu: (1) etika sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma

moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur

tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistem nilai”, (2) etika sebagai kumpulan asas

atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”, dan (3) etika sebagai ilmu

tentang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”

Moral selalu dikaitkan dengan kewajiban khusus dihubungkan dengan norma

sebagai cara bertindak yang berupa tuntutan, baik yang relatif maupun yang mutlak.

Dengan demikian moral merupakan wacana normatif dan imperatif yang

diungkapkan dalam kerangka baik/buruk, benar/salah yang dianggap sebagai nilai

mutlak atau transenden, isinya adalah kewajiban-kewajiban. Dengan demikian

kondep moral mengacu keseluruh aturan dan norma yang berlaku, yang diterima

suatu masyarakat tertentu sebagai pegangan dalam bertindak dan diungkapkan dalam

kerangka baik dan buruk, benar dan salah.

Menurut Chander dan Plano (1988) dalam etika terdapat empat aliran utama,

yaitu: (1) empirical theory; melihat bahwa etika diturunkan dari pengalaman manusia

dan persetujuan umum. Dalam konteks ini penilaian tentang baik dan buruk tidak

terlepas dari atau tidak terpisahkan dari fakta dan perbuatan; (2) rational theory;

Page 48: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

melihat bahwa baik atau buruk sangat tergantung dari reasoning atau alasan dan

logika yang melatarbelakangi suatu perbuatan, bukan pengalaman. Dalam konteks

ini, setiap situasi dilihat sebagai suatu yang unik dan membutuhkan penerapan yang

unik dari logika manusia dan memberikan kesimpulan yang unik pula tentang baik

atau buruk; (3) intuitive theory; melihat bahwa etika tidak harus berasal dari

pengalaman dan logika, tetapi manusia secara alamiah dan otomatis memiliki

pemahaman tentang apa yang benar dan salah, apa yang baik dan yang buruk. Teori

ini menggunakan hukum moral alamiah atau “natural moral law”; dan (4) revelation

theory; melihat bahwa yang benar atau salah berasal dari kekuasaan di atas manusia

yaitu dari Tuhan sendiri. Dengan kata lain apa yang dikatakan Tuhan (dalam

berbagai kitab suci) menjadi rujukan utama untuk memutuskan apa yang benar dan

apa yang salah.

Pada kenyataannya etika menjadi suatu hal yang amat dilekatkan dengan

birokrasi. Alasannya sangat sederhana, yakni karena merekalah yang mempunyai

kekuasaan dan mereka juga yang harus membuat keputusan-keputusan. Keputusan-

keputusan mereka itu akan mempengaruhi publik secara keseluruhan. Oleh karena itu

etika senantiasa dihubungkan dengan soal nilai yang mengatur perilaku manusia,

dihadapkan pada benar atau salah sesuatu tindakan dan pada baik atau buruknya

motif dan tujuan tindakan yang dilakukan. Dalam konteks birokrasi pemerintah,

setiap aparatur pemerintah wajib memiliki sikap mental dan perilaku yang

mencerminkan keunggulan watak, keluhuran budi, dan asas etis. Ia wajib

mengembangkan diri, sehingga sunguh-sunggih memahami, menghayati dan

menerapkan berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan-kebajikan moral

(khususnya keadilan) dalam tindakan jabatannya.

Page 49: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Berkaitan dengan itu, Dwight Waldo dalam “The Enterprise of Public

Administration”, menyatakan bahwa petugas Negara memiliki kewajiban-kewajiban

etis (ethical obligations). Oleh karena itu, setiap petugas administrasi pemerintahan

wajib memahami asas-asas etis yang bersumber pada berbagai kewajiban moral,

kemudian membina diri sehingga sungguh-sungguh menghayati asas-asas etis itu

dalam melaksanakan tugasnya. Waldo mengemukakan berbagai asas etis (Sukidin,

2011: 26-29) yang pokok dalam administrasi pemerintahan, yaitu:

a. Pertanggujawaban (responsibility)

Asas etis ini menyangkut hasrat seseorang petugas untuk merasa memikul

kewajiban penuh dan ikatan kuat dalam melaksanakan semua tugas pekerjaan

secara memuaskan. Petugas administrasi pemerintahan harus mempunyai hasrat

besar untuk melaksanakan fungsi-fungsinya secara efektif, sepenuh kemampuan,

dan dengan cara paling memuaskkan pihak yang menerima pertanggungjawaban.

Pertanggungjawabannya itu tertuju kepada rakyat umumnya, instansi

pemerintahnya, maupun pihak atasan langsung.

Kecenderungan untuk melepaskan tanggung jawab atau keinginan untuk

melemparkan tanggung jawab kepada pihak lain atau pun kebiasaan mengajukan

dalih “hanya melaksanakan perintah” (just following orders), harus dihilangkan

dari diri setiap aparatur pemerintah. Dengan demikian setiap petugas

administrator pemerintahan harus siap untuk memikul pertanggung jawaban

mengenai apa saja yang dilakukannya. Ia tidak boleh terjebak pada alasan bahwa

ia hanya menjalankan petunjuk atau melaksanakan kebijakan pemerintah.

Page 50: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

b. Pengabdian (dedication)

Pengabdian merupakan suatu keinginan untuk menjalankan tugas-tugas

pekerjaan dengan semua tenaga (pikiran atau mental dan fisik), seluruh semangat

kegairahan, dan sepenuh perhatian tanpa pamrih apa-apa yang bersifat pribadi,

misalnya ingin cepat naik pangkat atau diberi tanda jasa. Setiap petugas dalam

administrasi pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya harus selalu dan terus

menerus menunjukkan keterlibatan diri (involvement of selself) dan penuh

antusiasme. Kecenderungan bekerja setengah hati atau asal jadi, tidak boleh ada

dalam diri setiap petugas yang baik. Pengabdian itu terarah pada jabatannya,

keahliannya, dan bidang profesinya.

c. Kesetiaan (loyality)

Kesetiaan merupakan suatu kebajikan moral, yaitu sebagai kesadaran

seseorang petugas untuk setulusnya patuh kepada tujuan bangsa, konstitusi

Negara, peraturan perundang-undangan, badan/instansi, tugas/jabatan, maupun

atasan demi tercapainya cita-cita bersama yang diharapkan. Pelaksanaan tugas

pekerjaan dengan ukuran rangkap, pertimbangan untung-rugi, atau bahkan dengan

kebiasaan sabotase, tidak dikenal dalam setiap petugas yang baik. Kalau seorang

petugas tidak dapat menjalankan tugas jabatannya dengan sepenuh kemampuan,

tidak bersedia terikat patuh pada badan/instansinya, atau tidak merasa cocok

dengan kebijakan pihak pimpinannya, maka tindakan etis adalah mengundurkan

diri dari jabatannya.

d. Kepekaan (sensitivity)

Asas etis ini mencerminkan kemauan dari kemampuan seseorang petugas

untuk memperhatikan serta siaga terhadap berbagai perkembangan yang baru,

Page 51: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

situasi yang berubah, dan kebutuhan yang timbul dalam kehidupan masyarakat

dari waktu ke waktu dengan disertai usaha-usaha untuk menanggapi secara

sebaik-baiknya. Sikap tidak peduli asalkan tugas rutin sudah selesai atau tidak

mau susah payah melakukan pembaharuan harus disingkirkan dari setiap petugas

administrasi pemerintahan yang baik.

e. Persamaan (equality)

Salah satu kebajikan pokok dari badan pemerintahan yang bertujuan mengabdi

kepada seluruh rakyat dan melayani kepentingan umum ialah perlakuan adil.

Perlakuan yang adil itu biasanya dapat diwujudkan dengan memberikan perlakuan

yang sama tanpa membeda-bedakan atau pilih kasih kepada semua pihak.

Persamaan dalam perlakuan, pelayanan, dan pengabdian harus diberikan oleh

setiap petugas kepada publik tanpa memandang hubungan kerabat, ikatan politik,

asal-usul keturunan, atau kedudukan sosial. Perbedaan perlakuan secara semena-

mena atau berdasarkan kepentingan pribadi, tidak boleh dilakukan oleh petugas

administrasi pemerintahan yang adil.

f. Kepantasan (equity)

Persamaan perlakuan terhadap semua pihak sebagai suatu asas etis, tidak

selalu mencapai keadilan dan kelayakan. Persoalan dan kebutuhan dalam

masyarakat sangat beraneka ragam, sehingga memerlukan perbedaan perlakuan

asalkan berdasarkan pertimbangan yang adil atau alasan yang benar. Demikian

pula, sesuatu faktor khusus atau situasi tertentu dapat membuat persamaan yang

ketat menjadi suatu perlakuan yang tidak adil. Dengan demikian terhadap suatu

kelompok tertentu dan untuk suatu keadaan tertentu, perlu diberikan perlakuan

yang sama. Tetapi terhadap suatu golongan lain dan berdasarkan kondisi khusus

Page 52: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

yang berlainan, mungkin perlu ada perlakuan yang tidak sama. Untuk itu, asas

yang harus diindahkan ialah kepantasan yang juga merupakan salah satu makna

keadilan. Asas kepantasan mengacu pada suatu hal yang sepatutnya menurut

pertimbangan moral atau nilai etis yang berlaku dalam kehidupan masyrakat.

Dalam pemberian pelayanan publik, telah terjadi pergeseran paradigma etika.

Pergeseran tersebut diuraikan oleh Keban (2008; 173-6) dengan menelusuri tulisan

Denhardt yang berjudul The Ethics Of Public Service (1988). Dalam tulisan ini

digambarkan sejarah etika pelayanan publik mulai dari karya Wayne A.R.Leys tahun

1944 yang disebutnya sebagai Model I-The 1940s. Leys memberikan saran kepada

pemerintah Amerika Serikat tentang bagaimana menghasilkan suatu “good public

policy decision”. Ia berpendapat bahwa sudah waktunya meninggalkan kebiasaan

atau tradisi (custom) yang selama ini selalu menjadi pegangan utama dalam

menentukan suatu pembuatan keputusan karena pemerintah selalu berhadapan

dengan berbagai masalah baru. Kebiasaan dan tradisi tersebut harus digoyang dengan

standar etika yang ada, dimana etika harus dilihat sebagai “source of doubt”.

Pertanyaan-pertanyaan etika harus digunakan dalam menilai apakah suatu keputusan

sudah dianggap baik atau tidak. Singjkatnya dalam model ini dikatakan bahwa agar

menjadi etis, diperlukan seorang administrator senantiasa menguji dan

mempertanyakan standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan daripada

hanya sekedar menerima atau tergantung pada kebiasaan dan tradisi yang ada

(Denhardt, 1988:6).

Pada tahun 1953, Hurst A.Anderson dalam suatu pidatonya yang berjudul

Ethical Values in Administration mengatakan, bahwa masalah etika sangat penting

dalam setiap keputusan administratif, tidak hanya bagi mereka yang

Page 53: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

memformulasikan kebijakan publik, dan etika itu sendiri harus dipandang sebagai

asumsi-asumsi yang menuntun kehidupan dan pekerjaan kita semua. Dengan kata

lain, kita harus memiliki apa yang disebut “philosophy of personal and social

living”. Pendapat ini diklasifikasikan oleh Denhardt (1988: 8) sebagai Model II-The

1950s, yang intinya bahwa agar dianggap etis maka seorang administrator hendaknya

menguji dan mempertanyakan standar atau asumsi-asumsi yang digunakan sebagai

dasar pembuatan keputusan. Standar-standar tersebut harus merefleksikan nilai-nilai

dasar masyarakat, dan tidak sekedar tergantung semata pada kebiasaan dan tradisi.

Perlu diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan nilai-nilai dasar (core values)

masyarakat meliputi antara lain kebebasan, kesetaraan, keadilan, kebenaran,

kebaikan dan keindahan.

Kemudian pada tahun 1960an muncul suatu nuansa baru dalam etika pelayanan

publik. Robert T. Golembiewski memaparkan dalam tulisannya yang berjudul Men,

Management, and Morality tahun 1965, bahwa praktek-praktek organisasi yang telah

berlangsung sekian lama yang didasarkan pada teori-teori organisasi tradisional telah

membawa dampak negatif pada individu-individu yang bekerja dalam organisasi itu

sendiri. Dengan kata lain, para individu tersebut merasa tertekan dan frustrasi dan

oleh karena itu sisi etika dari praktek tersebut perlu mendapatkan perhatian. Standar-

standar yang telah ditetapkan dalam organisasi jaman dulu belum tentu cocok

sepanjang masa, karena itu harus dilihat apakah masih pantas dipertahankan atau

tidak. Disini Golembiewski melihat etika sebagai “contemporary standards of right

conduct” yang harus disesuaikan dengan perubahan waktu. Karena itu Denhardt

(1988:9-10) melihat pendapat ini sebagai Model III-1960s, yang intinya bahwa agar

menjadi etis, seorang administrator sebaiknya menguji dan mempertanyakan standar,

Page 54: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

atau asumsi yang melandasi pembuatan suatu keputusan. Standar-standar tersebut

harus merefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat dan tidak semata tergantung pada

kebiasaan dan tradisi. Standar etika bisa berubah ketika kita mencapai suatu

pemahaman yang lebih baik terhadap standar-standar moral yang absolut.

Pada tahun 1970an muncul para ahli administrasi publik yang tergolong dalam

masyarakat New Public Administration, memberikan nuansa baru yaitu meminta agar

administrator memperhatikan “administrative responsibility”. David K.Hart, salah

seorang intelektualnya, menilai bahwa administrasi publik saat itu sudah bersifat

“impartial” dan sudah waktunya merubah paradigma lama untuk memperbaiki

kepercayaan publik yang waktu itu sudah pudar. Ia menyarankan agar “social

equity” atau keadilan sosial harus menjadi pegangan pokok administrasi publik,

sebagaimana disarankan oleh John Rawls dalam Teori Keadilan, yang dinilai benar-

benar menggambarkan paradigma keadilan. Oleh karena itu, Denhardt (1988:16)

menyebutnya sebagai Model IV-the 1970s, yang merupakan akumulasi

penyempurnaan dari model-model sebelumnya, dimana dikatakan bahwa agar

menjadi etis seoranmg administrator harus benar-benar memberi perhatian pada

proses menguji dan mempertanyakan standar, atau asumsi yang melandasi

pembuatan keputusan administratif. Standar-standar ini mungkin berubah dari waktu

ke waktu dan administrator harus mampu merespons tantangan-tantangan dan

tuntutan-tuntutan baru dengan memperbaharui standar-standar tersebut. Isi dari

standar-standar tersebut harus merefleksikan komitmen terhadap nilai-nilai dasar

masyarakat, dan administrator harus tahu bahwa ialah yang akan bertanggung jawab

penuh terhadap satandart-standar yang digunakan dan terhadap keputusan-keputusan

itu sendiri.

Page 55: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Perkembangan selanjutnya, muncul beberapa pendapat yang secara signifikan

memberikan kontribusi bagi penyempurnaan paradigma etika pelayanan publik. Dua

tokoh penting yang memberi kontribusi tersebut adalah John Rohr dalam karyanya

Ethics for bureaucrats tahun 1978 dan Terry L. Cooper dalam The Responsible

Administrator tahun 1986. John Rohr dalam tulisannya memberikan sumbangan

yang sangat berarti, yaitu bahwa dalam proses pengujian dan mempertanyakan

standard dan asumsi yang digunakan dalam pengambilan keputusan diperlukan

“independensi”, dan tidak boleh tergantung dari pemikiran pihak luar seperti

Mahkamah Agung atau Pengadilan Negeri, dsb. Karena itu Denhardt (1988:23)

menyebutnya sebagai Model V-After Rohr, dimana dikatakan bahwa untuk dapat

disebut etis, maka seorang administrator harus secara independen masuk dalam

proses menguji dan mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam

pembuatan keputusan. Isi dari standar tersebut mungkin berubah dari waktu ke waktu

ketika nilai-nilai sosial difahami secara lebih baik atau ketika masalah-masalah baru

diungkapkan. Administrator harus memahami bahwa ia akan bertanggung jawab baik

secara perorangan maupun kelompok terhadap keputusan-keputusan yang dibuat dan

terhadap standar etika yang dijadikan dasar keputusan-keputusan tersebut.

Model akhir didasarkan pada pemikiran Cooper, sehingga Denhardt (1988:26)

mentyebutnya sebagai Model VI-After Cooper. Model ini menggambarkan bahwa

antara administrator, organisasi, dan etika terdapat hubungan penting dimana etika

para administrator justru sangat ditentukan oleh konteks organisasi dimana ia

bekerja. Jadi lingkungan organisasi menjadi sangat menentukan, bahkan begitu

menentukan sehingga seringkali para administrator hanya memiliki sedikit “otonomi

beretika”. Dengan kata lain, agar dapat dikatakan etis apabila seorang administrator

Page 56: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

mampu mengatur secara independen proses menguji dan mempertanyakan standar

yang digunakan dalam pembuatan keputusan, paling tidak keputusan yang secara sah

dibuat pada tingkatan organisasi itu. Isi dari standar tersebut mungkin berubah dari

waktu kewaktu bila nilai-nilai sosial difahami secara lebih baik dan masalah-masalah

sosial baru mulai terungkap. Administrator dalam hal ini harus siap menyesuaikan

standar-standar tersebut dengan perubahan-perubahan tersebut, senantiasa

memberikan komitmennya pada nilai-nilai dasar masyarakat dan tujuan

organisasinya. Administrator akan bertanggung jawab secara perorangan dan

professional, dan bertanggung jawab dalam organisasi terhadap keputusan yang

dibuat dan terhadap standar etika yang digunakan dalam keputusan itu.

Berdasarkan gambaran singkat tentang pergeseran paradigm etika pelayanan

publik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa selama ini etika dan moralitas sudah

mendapatkan perhatian yang serius dalam dunia pelayanan publik atau administrasi

publik. Tiga hal pokok yang menarik perhatian dalam paradigma tersebut, yaitu

(1) proses menguji dan mempertanyakan standar etika dan asumsi, secara

independen. (2) Isi standar etika yang seharusnya merefleksikan nilai-nilai dasar

masyarakat dan perubahan standar tersebut, baik sebagai akibat dari penyempurnaan

pemahaman terhadap nilai-nilai dasar masyarakat, maupun sebagai akibat dari

muculnya masalah-masalah baru dari waktu ke waktu; dan (3) konteks organisasi

dimana para administrator bekerja berdasarkan tujuan organisasi dan peranan yang

dimainkan mereka, yang dapat mempengaruhi otonomi mereka dalam beretika.

Menurut Denis Thompson (Shafritz & Hide,1997), di dalam administrasi publik

terdapat isu etika yang kontroversil dan dilemmatis, yaitu etika netralitas dan etika

struktur. Etika netralitas menuntut seorang administrator untuk netral, artinya

Page 57: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

menerapkan prinsip etika sesuai dengan kebijakan organisasi atau sebagaimana

diputuskan oleh organisasi, dan tidak boleh menerapkan prinsip etika yang

dianutnya. Etika seperti ini menuntut loyalitas tinggi bagi seorang administrator, dan

menyangkal otonomi beretika. Pertanyaan yang sering muncul menyangkut isi

kebijakan atau keputusan organisasi, apakah keputusan atau kebijakan tersebut baik

atau buruk, benar atau salah. Bila ada keinginan yang tidak baik di balik kebijakan

atau keputusan tersebut, apakah administrator tetap harus mengikutinya?

Untuk memahami relevansi etiuka dengan setiap aktivitas yang terdapat dalam

birokrasi, perlu dirumuskan kembali lingkup administrasi negara itu sendiri yang

pada akhirnya akan sampai pada perdebatan tentang paradigma. Kalau kita berbicara

tentang paradigma maka kita harus memahami ilmu administrasi publik dari dua

aspek. Aspek pertama disebut lokus yang menunjukkan tempat keberadaan suatu

bidang ilmu, dan yang kedua adalah fokus yang menunjukkan kekhususan dari ilmu

tersebut. Menururut Henry, paradigma yang terakhir mengatakan bahwa lokus

administasi negara adalah mengenai kepentingan publik (public interest) dan urusan

publik (public affairs), sedangkan fokusnya adalah teori organisasi dan ilmu

manajemen (Henry, 1988: 33-65).

Berdasar pada hal tersebut, jelas bahwa administrasi publik merupakan proses

yang rumit karena bukan saja berkaitan dengan aktivitas-aktivitas teknis yang

berlandaskan ilmu manajemen untuk mencapai efisiensi yang tinggi melainkan juga

aktivitas-aktivitas politis yang berusaha menafsirkan kehendak publik dan

menerjemahkannya dalam kebijakan nyata. Kebijakan dapat didefinisikan sebagai

seluruh gagasan mengenai tujuan dan cara/arah tindakan-tindakan manusia dalam

organisasi (Surie, 1978:12).

Page 58: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Kebijakan menentukan norma dan mngatur administrasi negara pada tingkat

strategis. Dari segi materi atau isi, administrasi negara berarti administrasi negara

melakukan kebijakan publik yakni menetapkan dan melaksanakan suatu kebijakan

yang berpengaruh kepada masyarakat umum. Dari segi formal atau bentuk,

administrasi negara adalah pengambilan keputusan-keputusan yang mengikat orang

banyak. Dari segi sosiologi, administrasi negara merupakan bentuk tindakan sosial

tertentu yang diorganisasi. Jadi dalam praktek administrasi negara merupakan

rangkaian pengambilan kebijakan, yang menghasilkan norma-norma formal, aturan-

aturan, serta keharusan-keharusan bagi tindakan sosial. Proses pengaturan itu

tentunya akan menunjang tertib sosial hanya apabila ia merujuk kepada rasa

kebenaran dan keadilan dari warga masyarakatnya, sehingga setiap aktivitas

administrasi negara akan selalu punya konsekuensi nilai (Kumorotomo, 2002:102).

Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa proses administrasi negara

senantiasa menuntut pertanggung jawaban etis.

H. Pelayanan Publik

Setiap negara di manapun serta apapun bentuk pemerintahannya selalu

membutuhkan pelayanan publik. Pelayanan publik merupakan suatu keharusan bagi

negara atau pemerintahan untuk melayani warga negaranya. Pelayanan publik tidak

mudah dilakukan, dan banyak negara yang gagal melakukan pelayanan publik yang

baik bagi warganya. Pelayanan publik (public service), merupakan salah satu

pembahasan yang cukup aktual dalam kajian birokrasi.

Pelayanan publik menjadi ujung tombak interaksi antara masyarakat dan

pemerintah. Kemampuan birokrasi dapat dinilai salah satunya dengan melihat sejauh

mana kualitas pelayanan publik. Sebagai implementasi kebijakan birokrasi di

Page 59: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

lapangan, pelayanan publik pun menarik minat tersendiri untuk dipelajari. Penilaian

terhadap kemampuan birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan

menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi seperti efisiensi dan

efektifitas, tetapi harus dilihat pula dari indikator-indikator yang melekat pada

pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas dan responsivitas

(Dwiyanto dkk, 2002).

Pelayanan publik merupakan segala kegiatan dalam rangka pemenuhan

kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas

suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh

penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik. Adapun

penyelenggaranya adalah lembaga dan petugas pelayanan publik, baik Pemerintah

Daerah maupun Badan Usaha Milik Daerah yang menyelenggarakan pelayanan

publik. Sedangkan penerima pelayanan publik adalah orang perseorangan dan atau

kelompok orang dan atau badan hukum yang memiliki hak, dan kewajiban terhadap

suatu pelayanan publik.

Dalam hubungannya dengan pelayanan birokrasi pemerintah, aparatur birokrasi

yang mendapat kepercayaan untuk melayani masyarakat perlu menyadari bahwa

pada dirinya dituntut untuk memberikan pelayanan prima (excellent services),

sebagai berikut: (a) sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan yang

dihadapi, (b) dapat mengembangkan fungsi instrumental dengan melakukan

terobosan melalui pemikiran yang inovatif dan kreatif, (c) berwawasan futuris dan

sistematis sehingga resiko yang bakal timbul akan diminimalisir, dan (d)

berkemampuan dalam mengoptimalkan sumber daya yang potensial. Untuk

menjadikan kepuasan pelanggan sebagai tujuan utama, maka perilaku aparatur

Page 60: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

birokrasi dalam memberikan pelayanan harus melakukan pekerjaannya dengan

sepenuh hati (Patricia Patton: 1997).

Salah satu kekurangan mendasar organisasi pemerintahan atau birokrasi

pemerintahan, khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah

ketidakmampuannya menciptakan suatu iklim organisasi pembelajar. Padahal dalam

tuntutan masyarakat yang semakin dinamis organisasi sangat diharapkan memiliki

karakter organisasi pembelajar. Menurut Sangkala (2007: 210), bahwa organisasi

pembelajar akan memiliki kemampuan memperbaiki dan meningkatkan adaptabilitas

serta kapasitasnya dalam memenuhi tuntutan lingkungan. Organisasi yang di

dalamnya berisi orang-orang yang senang belajar dan senantiasa membantu

organisasi melahirkan pengetahuan dan keterampilan baru.

Kemampuan memperbaiki dan meningkatkan adaptabilitas serta kapasitasnya

dalam memenuhi tuntutan lingkungan merupakan suatu issu penting yang justru

kurang mendapat perhatian selama ini. Secara teoritik tuntutan dan kepentingan

individu sebagai anggota masyarakat yang merupakan bagian dari lingkungan

memang sangat bervariasi, sehingga dalam batas tertentu berpeluang melahirkan

benturan kepentingan, khususnya dalam proses pengambilan keputusan oleh para

pejabat birokrasi. Akibatnya pengambilan keputusan sebagai bagian proses

administrasi seringkali menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat. Menurut

Permana (2009: 39-40) persepsi masyarakat terhdap ketidakadilan itu muncul

sebagai akibat perbedaan cara pandang individu terhadap kebijakan yang disebabkan

oleh beberapa faktor, yaitu: preferensi individu (individual preference), etika (ethic),

kebebasan individu (individual freedom), hak individu (individual rights), dan

Page 61: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

distribusi keadilan (distribution of justice). Proses pengambilan kebijakan publik

yang berkeadilan ditunjukkan dengan skema/gambar sebagai berikut:

Gambar 1: Proses Pengambilan Kebijakan Publik

Sumber : Permana, 2009. Kebijakan Publik : Yogyakarta; Ar-Ruzz Media. Hal. 172 Fenomena ini banyak ditemukan di negara-negara yang sedang berkembang,

seperti di Indonesia. Justifikasi yang sederhana bahwa secara filosofis Negara

Republik Indonesia ini dibentuk dengan sejumlah tujuan yang luhur seperti yang

tercantum dalam konstitusi yang antara lain yaitu: memajukan kesejahteraan umum

dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kenyataan tujuan tersebut belum

terealisasi sampai saat ini. Dalam konteks ini tentu yang paling menonjol untuk

disoroti adalah masalah pelayanan publik.

a. Konsep Pelayanan Publik

Konsep Pelayanan publik (public service) sering digunakan dalam berbagai

konteks oleh banyak kalangan, baik ilmuan maupun praktisi dengan makna yang

berbeda-beda. Dalam sejarah perjalanan administrasi publik, pelayanan publik

semula difahami secara sederhana sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh

pemerintah. Konsep pelayanan publik terdiri dari rangkaian dua kata, yaitu

“pelayanan” dan “publik”. Pelayanan adalah cara melayani, membantu menyiapkan,

dan mengurus, menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang atau kelompok orang,

artinya obyek yang dilayani adalah individu, pribadi-pribadi dan kelompok

organisasi (Sianipar, 1998). Sedangkan publik secara umum diartikan sebagai

masyarakat atau rakyat. Berdasarkan pengertian itu, maka secara sederhana

Lima hal yang mempengaruhi

kesadaran individu dalam

memahami keadilan

Konflik kepentingan dan klaim kebenaran

dalam ruang publik

Kebijakan Publik Yang

BerkeadilanRuang Publik

Masuk Akal

Ruang Publik

Masuk Akal

Page 62: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu pelayanan atau pemberian terhadap

masyarakat yang berupa penggunaan fasilitas-fasilitas umum, baik jasa maupun non

jasa yang dilakukan oleh organisasi publik dalam hal ini adalah suatu pemerintahan.

Dalam pemerintahan, pihak yang memberikan pelayanan adalah aparatur

pemerintahan beserta segenap kelengkapan kelembagaannya. Semua barang dan jasa

yang diselenggarakan oleh pemerintah kemudian disebut sebagai pelayanan publik.

Pelayanan publik juga dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani)

keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu

sesuai dengan aturan pokok dan tatacara yang telah ditetapkan (Kurniawan dalam

Sinambella, 2008). Selanjutnya dalam Kepmenpan No.63/KEP/M.PAN/7.2003),

pelayanan publik diartikan sebagai segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh

penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima

pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik,

pelayanan publik diartikan sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi

setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif

yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sementara penyelenggara

pelayanan publik yang selanjutnya disebut penyelenggara adalah setiap institusi

penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan

undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang

semata-mata dibentuk untuk kegiatan pelayanan publik.

Berdasarkan berbagai pengertian tersebut di atas, maka secara sederhana

pelayanan publik dapat diartikan sebagai segala kegiatan dalam rangka pemenuhan

Page 63: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas

suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh

penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik. Adapun

penyelenggaranya adalah lembaga dan petugas pelayanan publik, baik Pemerintah

Daerah maupun Badan Usaha Milik Daerah yang menyelenggarakan pelayanan

publik. Sedangkan penerima pelayanan publik adalah orang perseorangan dan atau

kelompok orang dan atau badan hukum yang memiliki hak, dan kewajiban terhadap

suatu pelayanan publik.

Dalam memahami konsep pelayanan publik, makna “publik” perlu difahami,

baik dalam perkembangan historis atau latar belakang munculnya dan aplikasinya di

dalam manajemen publik. Dalam perkembangan ilmu administrasi publik, konsep

“publik” bermakna luas daripada hanya “government” (pemerintah saja). Sebagai

akibat meluasnya makna konsep publik tersebut, milai-nilai keadilan,

kewarganegaraan, (citizenship), etika, patriotisme, dan responsiveness menjadi kajian

penting di samping nilai-nilai efisiensi dan efektivitas (Nurmandi, 2010:1)

Pemahaman terhadap sektor publik dan sektor privat menjadi perdebatan dalam

diskursus ilmiah. Perdebatan itu antara lain menganggap bahwa kajian public sector

merupakan bidang studi administrasi negara, sedangkan private sector merupakan

kajian disiplin menajemen. Secara substansial diskursus mengenai isu-isu sektor

privat dan publik sudah lama diperdebatkan di Amerika Serikat. Sebagai kesimpulan

umum yang sangat relevan dapat dilihat pada uraian berikut (Bruce McCallum,

1984). Pertama, ada persamaan praktik-praktik manajemen pada sektor publik dan

privat, sehingga yang lebih ditekankan adalah peranan respektif para manajer

dibidangnya masing-masing. Kedua, ada persamaan praktik-praktik manajemen pada

Page 64: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

sektor publik dan privat ke arah meningkatkan over time. Ketiga, persamaan-

persamaan dan perbedaan sektor publik dan privat relatif tidak penting, artinya tidak

menghasilkan sifat-sifat yang fundamental. Keempat, karena peranan dan keahlian

antara manajer sektor publik dan privat berbeda, maka training-training yang

digunakan juga berbeda, manajer sektor publik mungkin akan gagal bila menjalankan

sektor privat begitu juga sebaliknya. Kelima, gaya manajemen sektor publik berbeda

dengan sektor privat. Mungkin prinsip atau teknik manajemen dapat diterapkan di

dalam kedua sektor tersebut, tetapi dalam tataran praktis tetap berbeda. Keenam, ada

pertukaran nilai antara manajer sektor publik dan sektor privat dalam menentukan

program-program pelayanan kepada publik.

Beberapa dimensi yang dapat dijabarkan dalam melihat perbedaan antara sektor

publik dan sektor privat seperti yang dikemukakan oleh Bruce McCallum (1984),

yaitu dalam hal tujuan dan sasaran, akuntabilitas, merit system, jaminan kerja,

koordinasi, keterlibatan politik dalam pembuatan keputusan, konsistensi dalam

pengambilan keputusan, personalitas antara manajer publik dan privat.

Perbedaan antara manajemen sektor publik dan sektor privat dalam hal dimensi

tujuan, yaitu sektor publik memiliki tujuan yang sangat banyak, seragam, bahkan

terkadang kabur dan tidak nyata. Hal ini disebabkan karena ada polarisasi aspek

politis dan ekonomis yang berarti public sector goal itu tidak begitu nampak seperti

halnya private sector goal.

Akuntabilitas dalam sektor publik dan privat juga berbeda, dalam sektor privat

kebebasan untuk memilih pekerjaan guna meraih tujuan yang dbebankan kepadanya

akan dipertanggungjawabkan kepada komisaris dan pemegang saham. Dalam sektor

publik atasan vertical bertanggung jawab pada institusi yang berwenang. Tanggung

Page 65: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

jawab itu mencakup finansial, administratif, politis serta pelaksanaan program kerja

sesuai dengan yang ditetapkan. Ini merupakan konsekuensi peran administrator

publik. Orang yang ditunjuk pada pelayanan publik adalah orang-orang yang

memiliki kriteria tertentu dan dinilai berdasarkan keahlian, kualifikasi khusus,

loyalitas secara politis. Sedangkan pada sektor privat, prinsip kepantasan sesuai

dengan kualifikasi keahlian yang berdasarkan prinsip-prinsip manajemen modern,

sehingga maximized profit yang dicapai akan terwujud.

Perbedaan lain adalah masalah jaminan kerja. Dalam sektor privat cenderung

untuk meningkatkan jaminan dari jabatan yang diembannya. Dalam hal ini, sektor

publik juga mengikuti trend demikian. Walaupun ada kecenderungan ke arah security

of tenure dari masing-masing sektor, akan tetapi dalam praktiknya, jumlah imbalan

yang diberikan berbeda. Kenyataan ini disebabkan oleh pengelolaan pada masing-

masing sektor. Sektor privat selalu menggunakan sumber dana, sumber daya dan

sumber-sumber lainnya mengikuti prosedur dan proses atau standar yang efektif dan

efisien. Segala sesuatunya dihitung dari berapa jumlah biaya yang harus dikeluarkan

dan profit yang akan diterima. Hasil keuntungan bersih organisasi privat itulah yang

akan didistribusikan kepada pekerja sesuai dengan proporsi masing-masing.

Fenomena yang terjadi pada sektor privat tersebut tidak terjadi pada sektor

publik. Rumitnya jalur birokrasi serta tujuan yang bersifat sosial mengakibakan tidak

efisiennya pengelolaan organisasi. Hal tersebut berdampak pada jaminan yang

diberikan juga terbatas. Sektor publik memiliki koordinasi antardepartemen dan

lembaga publik, sementara sektor privat koordinasinya antara pimpinan dan bawahan

serta komisaris organisasi.

Page 66: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Mendefinisikan pelayanan publik tidak lagi dapat ditentukan dengan hanya

melihat lembaga penyelenggaranya, yaitu pemerintah atau swasta. Pelayanan publik

tidak lagi tepat untuk difahami sebagai pelayanan dari pemerintah, begitu juga

pelayanan swasta yang tidak dapat difahami hanya sebagai pelayanan yang diberikan

oleh lembaga non-pemerintah. Pelayanan publik harus dilihat dari karakteristik dan

sifat dari pelayanan itu sendiri, bukan dari karakteristik lembaga penyelenggaranya

atau sumber pembiayaannya semata. Kriteria yang selama ini secara konvensional

digunakan untuk membedakan antara pelayanan publik dan pelayanan privat tidak

dapat lagi digunakan dengan mudah untuk mendefinisikan pelayanan publik.

Atas dasar itu, maka muncul suatu pertanyaan, apa yang kemudian dapat

digunakan untuk menentukan suatu pelayanan dapat dikategorikan sebagai pelayanan

publik dan kapan pelayanan itu kehilangan sifatnya sebagai pelayanan publik?.

Menurut Dwiyanto (2010:18-19) terdapat banyak kriteria untuk menentukan sebuah

pelayanan (barang, jasa dan administratif) termasuk sebagai pelayanan publik atau

bukan. Adapun kriteria tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.

Kriteria pertama yang biasanya digunakan adalah sifat dari barang dan jasa itu

sendiri (Stiglitz, 2000:128; Ostrom, Gradner & Walker:1994:7). Barang dan jasa

yang termasuk dalam kategori barang publik atau barang yang memiliki ekternalitas

tinggi biasanya tidak dapat diselenggarakan oleh korporasi atau diserahkan kepada

pasar, karena mereka tidak dapat mengontrol siapa yang mengkonsumsi barang dan

jasa tersebut, sementara barang dan jasa tersebut sangat penting bagi kehidupan

warga dan masyarakat luas. Karena pelayanan ini sangat penting dan harus

disediakan oleh negara, sehingga pelayanan tersebut seharusnya menjadi bagian dari

pelayanan publik.

Page 67: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Kriteria kedua yang dapat digunakan untuk mendefinisikan pelayanan publik

adalah tujuan dari pelayanan barang dan jasa. Penyediaan barang dan jasa yang

dilakukan untuk mencapai tujuan dan misi negara, walaupun barang dan jasa itu

bersifat privat, dapat dikatakan sebagai pelayanan publik. Tujuan dan misi negara

biasanya diatur dalam konstitusi atau peraturan perundangan lainnya.

Semua pelayanan yang memenuhi salah satu dari kedua kriteria, yaitu

merupakan jenis barang atau jasa yang memiliki eksternalitas tinggi dan sangat

diperlukan oleh masyarakat serta penyediaannya untuk mencapai tujuan atau misi

negara, baik dalam rangka memenuhi hak dan kebutuhan dasar warga, maupun

tujuan strategis pemerintah, seharusnya dikategorikan sebagai pelayanan publik.

Ketika sebuah pelayanan menjadi pelayanan publik, maka negara tidak dapat lepas

tangan dan menyerahkan penyelenggaraannya kepada mekanisme pasar atau

assosiasi sukarela sepenuhnya. Meskipun keterlibatan pasar untuk berpartisipasi telah

meringankan beban pemerintah, namun untuk menghgindari agar keterlibatan

tersebut tidak merugikan kepentingan warga pengguna, maka keterlibatan pasar atau

assosiasi sukarela dalam penyelenggaraan layanan publik harus diatur dalam

peraturan perundangan.

Berdasarkan kedua kriteria seperti yang telah disebutkan di atas, maka

perbedaan ciri pelayanan publik dengan pelayanan privat dapat dijelaskan. Pelayanan

privat dapat didefinisikan sebagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan

perseorangan, yang bukan menjadi hajat hidup orang banyak, bukan menjadi

kebutuhan bersama secara kolektif, dan tidak menjadi bagian dari komitmen

pemerintah untuk memenuhi kebutuhan minimal warganya agar dapat hidup secara

Page 68: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

layak. Lembaga pemerintah dan swasta yang terlibat dalam penyelenggaraan layanan

itu, tidak menjadi bagian dari lembaga penyelenggara layanan publik.

Sedangkan suatu pelayanan didefinisikan sebagai pelayanan publik, maka

tanggung jawab penyediaannya menjadi tanggung jawab negara. Tentu hal ini tidak

berarti pemerintah atau unsur penyelenggara negara lainnya harus melakukannya

sendiri. Negara dapat melibatkan lembaga non pemerintah untuk menyelenggarakan

pelayanan publik. Dalam penyelenggaraannya, negara harus menyediakan anggaran

atau subsidi untuk menjamin semua warga memiliki akses terhadap pelayanan

tersebut.

Berbagai pemikiran yang berkaitan dengan itu, antara lain dikemukakan oleh

Frederickson (1997: 31-32), dengan membedakan berbagai perspektif dalam

mendefinisikan publik, yaitu:

1. Publik sebagai kelompok kepentingan (perspektif pluralis);

2. Publik sebagai pemilih rasional (perspektif pilihan publik);

3. Publik sebagai pihak yang diwakili (perspektif perwakilan);

4. Publik sebagai pelanggan (perspektif penerima layanan publik)

5. Publik sebagai warganegara.

Dalam perspektif pluralis, publik difahami sebagai kelompok kepentingan

sebagaimana yang dikembangkan oleh ilmuan politik. Kepentingan (interest) publik

disalurkan sedemikian rupa oleh kelompok kepentingan, baik dalam bentuk artikulasi

kepentingan maupun agregasi kepentingan. Dalam demokrasi, sebuah atau beberapa

kelompok kepentingan melakukan aliansi dengan partai politik untuk

mengartikulasikan kepentingannya.

Page 69: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Pemahaman publik dalam perspektif pemilih rasional dikembangkan oleh

Buchanan dan Tullock. Mereka mengembangkan model ekonomi untuk

memformulasikan perilaku indovidu dalam sistem politik. Salah satu karya yang

menerapkan model Buchanan dan Tullock adalah Down (dalam Frederickson,

1997:34) pada perilaku birokrat dalam mengkalkulasi preferensi pribadinya. Teori

Down tentang instansi pemerintah adalah: Pertama, menekankan benefit positif pada

kegiatan instansi pemerintah dan mengurangi biaya; Kedua, Menunjukkan bahwa

perluasan pelayanan instansi akan lebih memenuhi harapan dan pengiritan akan

kurang memenuhi harapan; Ketiga, Instansi lebih memberikan pelayanan pada

kepentingan masyarakat dalam arti luas daripada kepentingan yang spesifik;

Keempat, menekankan pada efisiensi pada instansi tingkat atas; Kelima, menekankan

pada prestasi dan kemampuan, sementara mengabaikan kegagalan dan

ketidakmampuan.

Perspektif ketiga adalah perspektif perwakilan, yang melihat publik sebagai

pihak yang diwakili oleh elected officials (politisi). Dalam perspektif ini,

kepentingan publik diasumsikan telah diwakili oleh wakilnya yang duduk di

lembaga-lembaga perwakilan. Kelemahan utama perspektif ini adalah pada

kenyataannya politisi tidak menyuarakan kepentingan publik, dan politisipun tidak

pernah melibatkan masyarakat dalam perumusan kebijakan.

Perspektif keempat, melihat publik sebagai pelanggan (customer) pelayanan

publik yang diselenggarakan oleh birokrasi publik. Lipsky mengembangkan konsep

street level bureaucracy untuk menunjukkan interaksi yang erat antara aparat

pelayanan publik dengan masyarakat yang dilayani. Namun iapun mensinyalir bahwa

Page 70: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

birokrasi lebih melayani kepentingannya daripada kepentingan masyarakat, dan

street level bureaucracy lebih memfungsikan dirinya sebagai kelompok kepentingan.

Perspektif terakhir melihat publik sebagai warganegara. Sebagai warganegara,

seseorang tidak hanya mewakili kepentingan individu namun juga kepentingan

publik. Model-model partisipasi publik dalam pengambilan keputusan lebih banyak

menerapkan perspektif ini.

Berkaitan dengan produk pelayanan birokrasi, Gronroos dalam Dwiyanto yang

dikutip dari LAN (2006:137) mengemukakan sejumlah karakteristik pelayanan

publik, baik dalam bentuk barang maupun jasa seperti yang terlihat pada tabel 3.

Tabel 3. Perbedaan Karakteristik antara Pelayanan Barang dan Jasa

Pelayanan Barang Pelayanan Jasa Sesuatu yang berwujud Sesuatu yang tidak berwujud Homogen: satu jenis barang dapat

berlaku untuk banyak orang Heterogen: satu bentuk pelayanan

kepada seseorang belum tentu sesuai atau sama dengan bentuk pelayanan kepada orang lain.

Proses produksi dan distribusinya terpisah dengan proses konsumsi

Proses produksi dan distribusi pelayanan berlangsung bersamaan pada saat dikonsumsi

Berupa barang/benda Berupa proses atau kegiatan Nilai utamanya dihasilkan di

perusahaan Nilai utamanya dihasilkan dalam proses

interaksi antara penjual dan pembeli Pembeli pada umumnya tidak

terlibat dalam proses produksi Pembeli terlibat dalam proses produksi

Dapat disimpan sebagai persediaan Tidak dapat disimpan Dapat terjadi perpindahan

kepemilikan Tidak ada perpindahan kepemilikan

Sumber: Gronroos dalam Dwiyanto (2006)

b. Pergeseran Paradigma Pelayanan Publik

Dalam konteks keilmuan, birokrasi pelayanan publik selalu mengalami

perkembangan atau pergeseran sesuai dengan perspektif atau paradigma pelayanan

publik itu sendiri atau biasa disebut dengan reformasi birokrasi. Menurut Denhardt

dan Denhardt (2002: 28-29) pelayanan publik juga mengalami pergeseran seiring

Page 71: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

dengan pergeseran paradigma administrasi publik dari old administration ke new

public management dan terakhir ke new public service. Secara garis besar pergeseran

paradigma tersebut digambarkan oleh Keban (2008:244-8), sebagai berikut:

1. Old Public Administration

Woodrow Wilson merupakan tokoh penting yang memprakarsai gerakan

perubahan dalam paradigma OPA. Ia menyarankan agar administrasi publik harus

dipisahkan dari dunia politik (dikhotomi administrasi publik dengan politik).

Berdasarkan pengalaman Wilson, negara terlalu memberi peluang bagi para

administrator untuk mempraktekkan sistem nepotisme dan spoil.Oleh karena itu ia

mengeluarkan doktrin untuk melakukan pemisahan antara dunia legislative

(politik) dengan dunia eksekutif, dimana para legislator hanya merumuskan

kebijakan dan para administrator hanya mengeksekusi atau

menmgimplementasikan kebijakan. Sosok birokrasi yang ditawarkan Wilson ini

sejalan dengan jiwa atau semangat bisnis. Wilson menuntut agar para

administrator publik selalu mengutamakan nilai efisiensi dan ekonomis, sehingga

mereka harus diangkat berdasarkan kecocokan dan kecakapan dalam bekerja

ketimbang keanggotaan atau kedudukan dalam suatu partai politik. Ajaran Wilson

untuk meniru dunia bisnis ini membawa suatu implikasi penting dalam

pemerintahan, yaitu bahwa prinsip-prinsip dalam dunia bisnis yang diprakarsai

oleh Taylor pantas untuk diperhatikan. Metode keilmuan menurut Taylor harus

menggeser metode rule of thumb. Tenaga kerja harus diseleksi, dilatih dan

dikembangkan secara ilmiah dan didorong untuk bekerja sama dalam

menyelesaikan berbagai tugas pekerjaan sesuai prinsip-prinsip keilmuan. Dunia

Page 72: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

telah mengakui kebesaran Taylor dalam membangun prinsip manajemen yang

professional.

Sejalan dengan Wilson, Max Weber juga mengajak untuk melaksanakan

prinsip-prinsip Taylor. Menurut Weber, ketika masyarakat berkembang semakin

kompleks, maka diperlukan suatu institusi yang rasional yaitu birokrasi. Dalam

birokrasi ini, diatur perilaku yang tidak saja produktif, tetapi juga loyal terhadap

pimpinan dan organisasi. Perilaku yang impersonal dan saklek harus diterapkan.

Hubungan kekeluargaan dan kelompok sosial tidak mendapat tempat untuk

dipertimbangkan dalam birokrasi. Oleh karena itu, para anggota organisasi harus

ditempatkan berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Dikembangkan dan dituntun

dengan peraturan yang jelas dalam menjalankan tugasnya.

Doktrin OPA, dalam perkembangannya menghadapi masalah (fallacies).

Sebagai illustrasi misalnya, Weber yakin bahwa sosok organisasi birokrasi sangat

ideal, padahal dalam perkembangannya bias berubah sifatnya menjadi sangat

kaku, bertele-tele dan penuh red-tape (Weber fallacy). Demikian juga halnya

dengan Taylor sangat yakin bahwa hanya ada satu cara terbaik (one way of doing

the task) untuk melakukan tugas, padahal dalam perkembangan jaman terdapat

banyak cara lain untuk bekerja terbaik, hasil rekayasa teknologi dan ilmu

pengetahuan (Taylor fallacy). Hal yang sama juga terjadi pada Wilson, dimana ia

cenderunmg melihat dunia administrasi publik sebagai kegiatan yang tidak

bersifat politis,padahal dalam kenyataannya bersifat politis (Wilson fallacy).

Meskipun muncul berbagai masalah dalam paradigma Old Poblic

Administration (OPA), namun belajar dari paradigma ini telah memberikan

kontribusi pengetahuan yang penting bahwa dalam membangun birokrasi

Page 73: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

diperlukan profesionalitas, penggunaan prinsip keilmuan, hubungan yang

impersonal, penerapan aturan dan standardisasi secara tegas, sikap yang netral dan

perilaku yang mendorong efisisiensi dan efektifitas.

2. New Public Management

Paradigma New Public Management (NPM) muncul di Inggris, New

Zealand, Amerika Serikat dan Canada. Istilah management pada New Public

Management, diberikan lantaran istilah ini lebih agresif daripada istilah

administration (Vigoda,2003).Paradigma ini didasarkan pada teori pasar dan

budaya bisnis dalam organisasi publik (vigoda,2002). Paradigma tersebut muncul

tidak hanya karena adanya krisis fiscal pada tahun 1970an dan 1980an, tetapi juga

karena adanya keluhan bahwa sektor publik terlalu besar, boros, inefisien,

merosotnya kenerja pelayanan publik, kurangnya perhatian terhadap

pengembangan dan kepuasan kerja pegawai pemerintah (hope, 2002).

Kemunculan NPM pertama kali hanya meliputi lima doktrin, yaitu (1)

penerapan deregulasi pada line management, (2) konversi unit pelayanan publik

menjadi organisasi yang berdiri sendiri, (3) penerapan akuntabilitas berdasarkan

kinerja terutama melalui kontrak, (4) penerapan mekanisme kompetisi seperti

melakukan kontrak keluar, dan (5) memperhatikan mekanisme pasar (Hood,

1991). Dalam perkembangannya, telah menjadi sepuluh doktrin sebagaimana

yang disampaikan dalam Reinventing Governmen (Gaebler dan Osborne, 1992).

Beberapa tahun kemudian muncul lagi model NPM yang lebih variatif misalnya

model efisiensi drive, downsizing and decentralization, in search of exelence dan

public service orientation (Ferile et al, 1996). Berbagai variasi ini memberi kesan

Page 74: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

bahwa NPM hanyalah merupakan upaya para ahli dalam memodernisasikan

sektor publik (Pollit, 1995).

Melalui berbagai doktrin NPM tersebut di atas, dapat dipelajari bahwa

proses reformasi harus diarahkan pada enam dimensi kunci. Pertama, menyangkut

productivity, yaitu bagaimana pemerintah menghasilkan lebih banyak hasil

dengan biaya yang lebih sedikit. Kedua, marketization yaitu bagaimana

pemerintah menggunakan insentif bergaya pasar agar melenyapkan patologi

birokrasi. Ketiga, service orientation yaitu bagaimana pemerintah dapat

berhubungan dengan warga masyarakat secara lebih baik agar program-

programnya lebih responsif terhadap kebutuhan warga masyarakat. Keempat,

decentralization yaitu bagaimana pemerintah membuat program yang responsif

dan efektif dengan memindahkan program ke tingkat pemerintahan yang lebih

rendah, atau memindahkan tanggung jawab instansi pemerintah ke para menejer

lapangan yang berhadapan langsung dengan warga masyarakat, atau memberi

kesempatan kepada mereka untuk melakukan adaptasi terhadap kebutuhan warga

masyarakat. Kelima, policy yaitu bagaimana pemerintah memperbaiki kapasitas

kebijakan. Keenam, performance accountability yaitu bagaimana pemerintah

memperbaiki kemampuannya untuk memenuhi janjinya (Kettl, 2000).

Reformasi birokrasi tersebut diarahkan untuk mencapai hasil nyata yang

mencakup lima spek, yaitu (1) saving, (2) perbaikan proses, (3) perbaikan

efisiensi, (4) peningkatan efektivitas, dan (5) perbaikan sistem administrasi,

seperti peningkatan kapasitas, fleksibilitas dan ketahanan. Dalam hal saving,

perbaikan proses dan efisiensi, serta sistem administrasi, Inggris dan Amerika

telah mengklaim berhasil, tetapi dalam hal efektifitas masih belum dirasakan,

Page 75: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

karena hasil akhir program baru dirasakan beberapa tahun kemudian (Pollit,

2002). Di negara-negara berkembang, NPM masih bersifat embrio dan coba-coba.

Keberhasilan NPM ini sangat tergantung dari konteks dan karakteristik negara dan

sektor yang ditangani, kemampuan institusi, dan konteks dari institusi itu sendiri

seperti iklim dan ideologi manajemen yang dianut, sikap terhadap otoritas,

hubungan sosial dan kelompok (Fertie et al, 1996; Flynn, 2002).

Seperti halnya dengan OPA, NPM pun menghadapi banyak kritikan,

karena para elit birokrasi cenderung berkompetisi untuk memperjuangkan

kepentingan dirinya daripada kepentingan umum, dan berkolaborasi untuk

mencapainya. Apalagi dasar NPM adalah teori Public Choice yang sangat

didominasi oleh kepentingan pribadi (self interest) sehingga konsep seperti public

spirit, public service, dsb, terabaikan (Kamensky, 1996:251). Hal yang demikian

tidak akan mendorong proses demokratisasi. Disamping itu, NPM tidak pernah

ditujukan untuk menangani pemerataan dan masalah keadilan sosial (Harrow,

2002). Munculnya NPM telah mengancam nilai inti sektor publik yaitu citizen self

governance dan fungsi administrator sebagai servant of public interest (Box,

1999), bahkan kalau tidak berhati-hati , justeru akan meningkatkan korupsi dan

menciptakan orang miskin baru (Haque, 2007).

Pelajaran penting yang dapat diambil dari NPM ini adalah bahwa

pembangunan birokrasi harus memperhatikan mekanisme pasar, mendorong

kompetisi dan kontrak untuk mencapai hasil, harus lebih responsif terhadap

kebutuhan pelanggan, harus lebih bersifat mengarahkan (steering) daripada

menjalankan sendiri (rowing), harus melakukan deregulasi, memberdayakan para

pelaksana agar lebih kreatif, dan menekankan budaya organisasi yang lebih

Page 76: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

fleksibel, inovatif, berjiwa wirausaha dan pencapaian hasil, ketimbang budaya taat

azas, orientasi pada proses dan input (Rossembloom & Krafchuck, 2005).

3. New Public Service

Sebagai koreksi terhadap NPM, King dan Stivens (1998), menegaskan

bahwa para administrator harus melibatkan warga masyarakat. Mereka harus

melihat rakyat sebagai warga masyarakat (bukan sebagai pelanggan), sehingga

dapat saling membagi otoritas dan melonggarkan kendali, serta percaya terhadap

keefektifan kolaborasi. Mereka harus membangun trust dan bersikap responsif

terhadap kepentingan atau kebutuhan masyarakat, dan bukan semata mencari

efisiensi yang lebih tinggi sebagaimanja yang dituntut dalam NPM.

Di Inggris, muncul apa yang disebut joined up thinking and joined up

action (Stewart at al, 1999), yang kemudian dikenal dengan paradigma New

Public Service (NPS). Di dalam paradigma ini tidak ada lagi yang menjadi

penonton, semua jadi pemain atau ikut bermain. Disini pemerintah harus

menjamin hak-hak warga masyarakat, dan memenuhi tanggung jawabnya kepada

masyarakat dengan mengutamakan kepentingan warga masyarakat.. Fiirst

Citizens harus menjadi pegangan atau semboyan pemerintah (Denhardt &Gray,

1998). Isu tentang justice, equity, participation, dan leadership yang tidak

diperhatikan dalam buku Reinventing Government (Osborn & Gaebler, 1992),

justru harus mendapatkan perhatian utama (Denhardt & Denhardt, 2003).

Paradigma ini sejalan dengan prinsip co-creating yang digagas oleh Prahalad dan

Ramaswany (2004) sebagai sumber energi organisasi era demokrasi, karena dapat

menjamin hak, kebutuhan dan nilai-nilai warga, dan bukan kebutuhan institusi.

Page 77: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Ada tujuh prinsip NPS (Denhardt & Denhardt; 2000; 2003; 2007) yang

berbeda dari NPM dan OPA. Pertama, peran utama dari pelayan publik adalah

membantu warga masyarakat mengartikulasikan dan memenuihi kepentingan

yang telah disefakati bersama, daripada mencoba mengontrol atau mengendalikan

masyarakat kearah yang baru. Kedua, administrator publik harus menciptakan

gagasan kolektif yang disetujui bersama tentang apa yang disebut sebagai

kepentingan publik. Ketiga, kebijakan dan program yang ditujukan untuk

memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secata efektif dan responsif melalui

upaya-upaya kolektif dan proses kolaboratif. Keempat, kepentingan publik lebih

merupakan hasil suatu dialog tentang nilai-nilai yang disetujui bersama dari pada

agregasi kepentingan pribadi para individu. Kelima, para pelayan publik harus

memberi perhatian, tidak semata pada pasar, tetapi juga pada spek hukum dan

peraturan perundangan, nilai-nnilai masyarakat, norma-norma politik, standard

professional dan kepentingan warga masyarakat. Keenam, organisasi publik dan

jaringan-jaringan yang terlibat akan lebih sukses dalam jangka panjang kalau

mereka beroperasi melalui proses kolaborasi dan melalui kepemimpinan yang

menghargai semua orang. Ketujuh, kepentingan publik lebih baik dikembangkan

oleh pelayan-pelayan publik dan warga masyarakat yang berkomitmen

memberikan kontribusi terhadap masyarakat, dari pada oleh manajer wirausaha

yang bertindak seakan-akan uang adalah milik mereka.

Pelajaran penting yang dapat diambil dari paradigma NPS ini adalah bahwa

birokrasi harus dibangun agar dapat memberi perhatian kepada pelayanan

masyarakat sebagai warga negara (bukan sebagai pelanggan), mengutamakan

kepentingan umum, mengikutsertakan warga masyarakat, berpikir strategis dan

Page 78: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

bertindak demokratis , memperhatikan norma, nilai dan standard yang ada, dan

menghargai masyarakat.

Birokrasi tadisional yang bekerja berdasarkan ciri-ciri birokrasi perlu dipadukan

dengan ciri-ciri demokrasi. Perpaduan ciri tentunya akan melahirkan ciri-ciri baru

yaitu ciri-ciri birokrasi yang demokratis. Hal ini perlu dilakukan karena prinsip-

prinsip kerja birokrasi berbeda dengan tuntutan moral dalam demokrasi.

Birokrasi dalam proses pencapaian tujuannya menekankan efisiensi dan

mengandalkan kapabilitas satu orang, menekankan hirarcki, dan kewenangan yang

mengalir secara vertikal mengikuti struktur yang berbeda dengan semangat yang ada

dalam nilai-nilai demokrasi seperti persamaan hak dan kedudukan bagi semua warga

negara, serta peluang untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Ciri-ciri

birokrasi dan demokrasi ini dijelaskan oleh Denhardt dan Denhardt (2005) seperti

yang terlihat pada tabel 4 berikut.

Tabel 4. Ciri-ciri Birokrasi dan Ciri-ciri Demokrasi

Ciri Birokrasi Ciri Demokrasi

• Pertama, memerlukan kerjasama untuk mencapai tujuan melalui kapabilitas satu orang.

• Kedua, sistem birokrasi dibangun secara hirarki, mereka yang ada di puncak memiliki kuasa dan pengawasan yang lebih besar dibanding mereka yang di bawah.

• Ketiga, organisasi birokrasi menganggap bahwa kekuasaan dan kewenangan mengalir dari atas ke bawah dan bukan sebaliknya.

• Pertama, berasumsi bahwa individual adalah ukuran primer nilai manusia dan pembangunan individual adalah sasaran primer sistem politik demokrasi.

• Kedua, moralitas demokrasi menegaskan bahwa semua orang diciptakan sama — perbedaan dalam kesejahteraan, status, atau posisi – tidak boleh satu orang atau kelompok mendapat keuntungan dibanding yang lain.

• Ketiga, moralitas demokrasi menekankan partisipasi luas semua warga dalam membuat keputusan-keputusan besar.

Sumber: Denhardt Robert B. dan Denhardt Janet V. 2006. Public Administration: An Action Overview, Fifth Edition

Page 79: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Secara teoritis mungkin kesulitannya adalah bagaimana menggabungkan dua

nilai yang kecenderungannya memiliki orientasi yang berbeda. Hal ini senada dengan

pernyataan Denhardt dan Denhardt yang mengingatkan bahwa, “dalam organisasi

publik, anda pasti sering menghadapi kesulitan menyatukan efisiensi dan daya

tanggap.” Ciri-ciri birokrasi yang demokratis antara lain birokrasi yang memiliki

daya tanggap (responsivitas) yang tinggi terhadap kebuuhan publik, memberi ruang

partisipasi publik dalam pengambilan keputusan dan transparansi, atau lebih jelasnya

adalah birokrasi yang menerapkan prinsip-prisip good governance seperti yang

direkomendasikan oleh Bank Dunia, yaitu: participation, rule of law, transparency,

responsiveness, consensus orientation, equity, efficienscy and effectiveness,

accountability, dan strategic vision (Sjamsuddin, 2005: 68-69). Senada dengan

Wilson seperti yang dikutip Frederickson (2003;56), menyimpulkan bahwa birokrasi

sukses adalah birokrasi dengan eksekutif mampu menciptakan misi yang jelas,

mengidentifikasi tugas yang harus dicapai untuk memenuhi misi, mendistribusikan

otoritas di dalam organisasi menurut tugas, dan memberi bawahan otonomi yang

memadai untuk mencapai tugas tersebut.

Malcolm Walters (1994) menambahkan bahwa kegagalan daripada pelayanan

publik ini disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan

dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat

hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya

yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk

budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok

untuk budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang

modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya

Page 80: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

hirarkhis dan anti budaya individu); sedangkan pelayanan publik yang modelnya

memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter

(yang anti budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis).

Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang

dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk

memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai

tujuan tertentu. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh

pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi

pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang berhubungan dengan pelayanan

publik. Dan jika non-pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi partai politik,

organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi

kemasyarakatan yang lain. Siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang

terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada

masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.

Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai

ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program

pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam

kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum

pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh

masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan

pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi

kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan

urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi

Page 81: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan

birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik).

Thompson, pernah menunjukkan bahwa budaya birokrasi membuat tuntutan-

tuntutan tertentu pada klien serta organisasi pada karyawan. ada banyak orang di

masyarakat kita yang belum mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan ini.

mereka melihat birokrasi adalah kutukan. mereka tidak melihat baik dalam apapun,

tetapi melihat tuntutan organisasi modern sebagai "pita merah" (Rossembloom,

2005: 442).

Perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin dinamis, sejalan dengan

tingkat kehidupan yang semakin baik, telah meningkatkan kesadarannya akan hak

dan kewajibannya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara. Masyarakat yang semakin kritis dan berani untuk mengajukan

keinginan, tuntutan dan aspirasinya, serta melakukan kontrol atas kinerja pemerintah.

Masyarakat  semakin berani menuntut birokrasi publik untuk mengubah posisi dan

perannya (revitalisasi) dalam memberikan layanan publik. Kebiasaan suka mengatur

dan memerintah mesti diubah menjadi suka melayani, dari yang lebih suka

menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong, semuanya

menuju ke arah  fleksibelitas, kolaboratis dan dialogis, dan menghilangkan  cara-cara

yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha, 1988:119).

Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, aparat birokrasi harus

dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, efesien,

serderhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif, adaptif dan sekaligus  dapat

membangun “kualitas manusia” dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan

masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Berkaitan dengan

Page 82: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam tinjauan manajemen pelayanan publik,

sangat dibutuhkan sistem birokrasi yang desentralistik. Ciri struktur birokrasi yang

terdesentralisir memiliki beberapa tujuan dan manfaat antara lain :

1. Mengurangi (bahkan menghilangkan) kesenjangan peran antara organisasi pusat

dengan organisasi-organisasi pelaksana yang ada dilapangan.

2. Melakukan efesiensi dan penghematan alokasi penggunaan keuangan.

3. Mengurangi jumlah staf/aparat yang berlebihan terutama pada level atas dan level

menengah (prinsip rasionalisasi).

4. Mendekatkan birokrasi dengan masyarakat yang akan memperoleh pelayayan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam konteks pelayanan publik dapat

digaris bawahi bahwa keberhasilan proses pelayanan publik sangat tergantung pada

dua pihak yaitu birokrasi (pelayan) dan masyarakat (yang dilayani). Dengan

demikian untuk melihat kualitas pelayanan publik perlu diperhatikan dan dikaji dua

aspek pokok yakni: Pertama, aspek proses internal organisasi birokrasi (pelayan);

Kedua, aspek eksternal organisasi yakni kemanfaatan yang dirasakan oleh

masyarakat pelanggan.

Berkaitan dengan berbagai fenomena yang ada di Indonesia, khususnya yang

berkaitan dengan birokrasi pelayanan publik, maka langkah yang harus dilakukan

adalah melakukan reformasi birokrasi. Salah satu aspek yang perlu dilakukan dalam

desentralisasi pemerintahan ialah reformasi birokrasi pemerintahan (birokrasi

publik). Karena organisasi ini memegang peran utama dalam mewujudkan tata kelola

kepemerintahan yang baik (Good Governance). Terpenuhinya prinsip-prinsip good

governance seperti partisipasi, transparansi, supremasi hukum, kesetaraan,

Page 83: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

responsivitas, efektivitas dan efisiensi serta akuntabilitas dapat menjadi indikator

terlaksananya reformasi birokrasi pelayanan publik.

Target dan sasaran reformasi birokrasi, secara garis besar ada lima hal. Pertama,

Terbentuknya birokrasi yang bersih, yaitu birokrasi yang anti KKN dan

berkurangnya perilaku koruptif pegawai negeri. Kedua, birokrasi yang efisien dan

hemat dalam menggunakan sumber daya yang terbatas. Ketiga, birokrasi yang

transparan yakni birokrasi yang seluruh kebijakan dan aktivitasnya diketahui

masyarakat dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah. Keempat, birokrasi

yang melayani, yaitu birokrasi yang tidak minta dilayani, tetapi birokrasi yang

melayani masyarakat. Kelima, birokrasi yang terdesentralisasi, yaitu kewenangan

pengambilan keputusan terdesentralisasi kepada pimpinan unit kerja terdepan

(Thoha, 2002).

Reformasi politik yang tidak diikuti oleh reformasi birokrasi ternyata tidak

banyak menghasilkan perbaikan kinerja pelayanan publik. Dengan birokrasi yang

masih kuat mempraktekan budaya korup, bersikap sebagai penguasa, dan tidak

profesional maka perubahan apapun yang terjadi dalam pemerintahan tidak akan

memiliki dampak yang berarti bagi perbaikan kinerja pelayanan publik. Karenya,

menjadi sangat wajar kalau perbaikan kehidupan politik yang menjadi semakin

demokratis sekarang ini belum memiliki dampak yang berarti pada kinerja birokrasi

dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Kinerja birokrasi pelayanan publik

menjadi isu kebijakan yang semakin penting dan strategis karena perbaikan kinerja

birokrasi memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.

Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki

Iklim investasi. Buruknya kinerja birokrasi publik di Indonesia sering menjadi

Page 84: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

determinan yang penting dari penurunan minat investasi. Dari berbagai studi dan

observasi, kinerja birokrasi publik di Indonesia tidak banyak mengalami perbaikan,

bahkan cenderung menjadi semakin buruk. Akibatnya, pemerintah mengalami

kesulitan dalam menarik investasi, belum lagi ditambah dengan masalah-masalah

lain, seperti ketidak-pastian hukum dan keamanan nasional.

Dalam kehidupan sosial, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki

sistem kehidupan masyarakat yang lebih mengembangkan pola hubungan secara

terbuka, taat aturan, menghargai hasil kerja secara profesional, dan berorientasi pada

kepuasan hasil kerja (produktivitas). Pada akhirnya perbaikan kinerja birokrasi akan

lebih mendorong tumbuhnya sistem sosial yang mengutamakan etos kerja dan

moralitas sebagai bagian dari relasi sosial. Dalam kehidupan politik, perbaikan

kinerja birokrasi pelayanan publik akan memiliki implikasi luas, terutama dalam

memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Buruknya kinerja

birokrasi selama ini menjadi salah satu faktor penting yang mendorong munculnya

krisis kepercayaan kepada pemerintah. Protes, demonstrasi, dan bahkan pendudukan

kantor-kantor pemerintah oleh masyarakat yang banyak terjadi di berbagai daerah

menjadi indikator dari besarnya ketidak-puasan masyarakat terhadap kinerja

pemerintah.

Perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik diharapkan akan memperbaiki

kembali citra pemerintah di mata masyarakat karena dengan kualitas pelayanan

publik yang semakin baik, kepuasan dan kepercayaan masyarakat bisa di bangun

kembali. Oleh sebab itu, kajian mengenai kinerja birokrasi publik menjadi isu sentral

dan memiliki nilai strategis, terutama yang terkait dengan penyelenggaraan

pelayanan publik.

Page 85: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

c. Pelayanan Administrasi Pertanahan

Keberadaan tanah merupakan suatu hal yang penting bagi manusia, karena tanah

merupakan suatu kebutuhan hidup. Oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan

tanah, dari zaman dahulu hingga sekarang menjadi salah satu agenda terpenting

untuk dibahas. Tanah bagi bangsa Indonesia mempunyai dimensi yang khas dan

khusus. Tanah bukan sekedar benda mati yang bernilai tunggal, akan tetapi

dipandang sebagai benda yang multi nilai. Hal ini menjadi bagian dari filosofis

dalam melaksanakan sistem administrasi pertanahan.

Mengingat fungsi strategis dari tanah, sehingga pelayanan administrasi

pertanahan menjadi sangat penting., Administrasi pertanahan adalah pemberian hak,

perpanjangan hak, pembaruan hak, peralihan hak, peningkatan hak, penggabungan

hak, pemisahan hak, pemecahan hak, izin lokasi, izin perubahan penggunaan tanah,

serta izin penunjukan dan penggunaan tanah (Hermit, 2008). Dalam praktek

pelaksanaan administrasi pertanahan sering menimbulkan berbagai masalah yang

tidak jarang menimbulkan konflik di dalam masyarakat. Oleh karena itu diperlukan

suatu kebijakan yang lebih komprehensif, yaitu kebijakan yang tidak hanya

berorientasi pada perbaikan internal birokrasi, tetapi yang lebih penting adalah juga

memperhatikan kepentingan publik.

Kebijakan pertanahan nasional yang dirumuskan dalam pasal 33 UUD 1945

didasarkan pada konsepsi bahwa semua tanah adalah tanah bangsa Indonesia sebagai

karunia Tuhan Yang Maha Esa yang penguasaannya ditugaskan kepada negara yang

pada intinya dirumuskan dalam pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

memberikan kewenangan untuk mengatur dan menetapkan berbagai segi penguasaan

tanah yang sejak semula menurut sifatnya selalu dianggap sebagai tugas pemerintah

Page 86: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

pusat. Pengaturan dan penetapan tersebut yang meliputi perencanaan peruntukan

tanah, penguasaan dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah serta pendaftaran

tanah, pelaksanaan ketentuan hukumnya pada asasnya selalu dilakukan oleh

pemerintah pusat sendiri. Kalaupun ada pelimpahan kewenangan dalam

pelaksanaannya, pelimpahan tersebut dilakukan dalam rangka dekonsentrasi kepada

pejabat-pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah.

Berdasarkan fenomena tersebut, maka diperlukan suatu ketentuan peraturan

perundang-undangan yang secara jelas mengatur kewenangan-kewenangan apa yang

ada di pemerintah pusat dan kewenagan-kewenangan yang didelegasikan kepada

pemerintah daerah. Dari materi muatan yang terdapat dalam UUD 1945, Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan

Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara

pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,

kewenangan dari pusat meliputi hukum, kebijakan, pedoman mengenai pemberian

hak-hak atas tanah, pendaftaran, landreform, dalam bentuk undang-undang,

peraturan pemerintah maupun keputusan presiden. Sementara itu, kewenangan

pemerintah daerah cukup pada pelayanan masyarakat dan pelaksanaan kebijakan

yang dapat dituangkan dalam bentuk peraturan daerah maupun keputusan kepala

daerah (Hutagalung, 2008: 59).

Dalam rangka menghemat biaya dan memudahkan tersedianya pejabat pelaksana

yang professional dan berpengalaman, demikian juga dalam memelihara koordinasi

dengan pelaksanaan tugas-tugas kewenangan lain di bidang pertanahan yang ada

pada pemerintah, dalam melaksanakan urusan-urusan yang ditugaskan dalam rangka

Page 87: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

medebewind, tidak perlu pemerintah provinsi, kabupaten/kota membentuk perangkat

pelaksana sendiri. Dengan tidak mengurangi tugasnya sebagai perangkat BPN, cukup

kantor-kentor wilayah BPN provinsi, kantor-kantor pertanahan kabupaten/kota

diperbantukan kepada provinsi, kabuoaten/kota yang bersangkutan dengan tetap

berstatus perangkat Pemerintah Pusat, demikian juga pejabat dan karyawannya

(Harsono, 2006:12).

Kewenangan pemerintah dalam bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh

pemerintah kabupaten/kota ditegaskan dalam pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 34

Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Kewenangan tersebut

meliputi: pemberian izin lokasi, penyelenggaraan pengadaan tanah untuk

kepentingan pembangunan, penyelesaian sengketa tanah garapan, penyelesaian

masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, penetapan subyek

dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan

tanah absente, penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat, pemanfaatan dan

penyelesaian tanah kosong, pemberian izin membuka tanah, perencanaan

penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.

Sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden tersebut, ditetapkan Keputusan Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar

Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang

dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam Keputusan Kepala Badan

Peranahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tersebut diatur secara rinci kewenangan

bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.

Dari muatan-muatan undang-undang ataupun peraturan pemerintah dan

keputusan presiden yang terdapat delegasi kewenagnan, dalam pelaksanaannya dapat

Page 88: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

dituangkan dalam peraturan daerah yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-

masing. Khusus untuk masalah-masalah teknis yang dapat berubah dari waktu ke

waktu, pelaksanaan peraturan daerah dapat dituangkan dalam keputusan kepala

daerah setempat.

Dalam rangka menyerahkan kewenangan pertanahan pada pemerintah

kabupaten/kota, perlu kiranya difahami makna politik pertanahan lokal dan

administrasi pertanahan yang dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Secara

garis besar politik pertanahan lokal berkaitan dengan kebijakan pemerintah lokal

dalam rangka penataan tata guna tanah bagi peri kehidupan sosial maupun ekonomi

guna memenuhi interaksi antarindividu di daerah. Pengaturan ini meliputi

pembentukan zona ekonomi, alokasi tanah untuk kepentingan sosial, penetapan

instrumen kebijakan pertanahan, pengawasan terhadap harga pasar tanah dan

pencadangan terhadap tanah. Politik pertanahan ini tentu sepenuhnya harus

dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota agar problema aplikasi sumber daya

alam maupun sumber daya ekonomi dapat diwujudkan untuk kemaslahatan rakyat

setempat. Kewenagan semacam ini memang pada tempatnya diserahkan pada

pemerintah kabupaten/kota mengingat kebijakan pemerintah pusat tidak mampu

menjangkau setiap detail permasalahan tersebut (Subyanto, 2002:6)

I. Prinsip-Prinsip Pelayanan untuk Meminimalisir Patologi Birokrasi

Dalam konteks birokrasi pelayanan publik di Indonesia, Dwiyanto (2011: 62)

merumuskan suatu model seperti pada Gambar 2 yang mengkritisi birokrasi

Weberian dimana pada awalnya dirancang untuk membuat birokrasi dapat

menjalankan fungsinya dengan baik pada akhirnya justru menimbulkan berbagai

penyakit yang membuat birokrasi mengalami disfungsi.

Page 89: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Gambar 2. Model Kinerja Birokrasi di Indonesia

Struktur birokrasi memiliki berbagai masalah internal yang pada tingkat tertentu

berpotensi menyebabkan birokrasi mengalami disfungsi (Caiden, 2009:1991). Setiap

aspek dan struktur birokrasi seperti hierarki, spesialisasi dan formalisasi, selain

memiliki manfaat dan kontribusi terhadap efisiensi dan kinerja birokrasi, juga

memiliki potensi untuk menciptakan penyakit birokrasi.

Penyakit birokrasi merupakan interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan

variabel lingkungan yang salah. Struktur birokrasi yang hierarkis berinteraksi dengan

budaya masyarakat yang paternalistis, sistem politik yang tidak demokratis dan

ketidak berdayaan kelompok masyarakat madani cenderung melahirkan perilaku

birokrasi paternalistis yang merugikan kepentingan publik. Beberapa aspek penting

yang berkaitan dengan struktur dapat dijelaskan sebagai berikut:

LINGKUNGAN

BUDAYADAN

NILAI

STURKTUR BIROKRASI

(WEBERIAN)

KINERJA BIROKRA

SI

KINERJA BIROKRA

SI

PATOLOGI BIROKRASI

PATOLOGI BIROKRASI

Page 90: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

1. Hierarki

Dalam birokrasi yang hierarkis, persoalan seringkali menjadi lebih kompleks

karena konsentrasi kekuasaan ada pada pimpinan. Pimpinan memiliki kewenangan

mengambil keputusan, sedangkan bawahan cenderung diposisikan sebagai pelaksana

saja. Padahal, dalam kenyataan staf dan pejabat bawahan lebih mengetahui masalah,

keluhan dan kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat. Mereka sehari-hari bergelut

dengan berbagai masalah dan secara langsung berhadapan dengan masyarakat dalam

kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik. Mereka juga yang sering menerima

keluhan masyarakat dan dituntut untuk merespon dengan cepat berbagai kesulitan

yang dihadapi oleh masyarakat. Namun, pejabat bawahan justru tidak memiliki

kewenangan untuk merespons karena kewenangan dan kekuasaan terkonsentrasi

pada atasan. Atasan yang memiliki kewenangan dan kekuasaan seringkali tidak

memiliki sense of urgency karena mereka jauh dari realitas kesulitan yang dihadapi

masyarakat. Akibatnya, tindakan dan respons birokrasi terhadap berbagai persoalan

cenderung lamban (Ripley & Franklin, 1986).

Hierarki juga membuat proses pengambilan keputusan dalam birokrasi menjadi

sangat terkotak-kotak (fragmented), kerena arus informasi dan perintah hanya

berjalan sevara vertikal. Pada organisasi yang hierarkis, setiap bagian cenderung

menyelesaikan urusan yang menjadi tanggung jawabnya tanpa melibatkan bagian-

bagian lainnya. Hal itu membuat proses penyelesaian masalah dalam suatu organisasi

menjadi tidak pernah optimal.

Hierarki yang panjang seringkali juga menciptakan distrosi dalam

komunikasi.Perintah dan peran pimpinan kepada bawahan melalui jenjang hierarki

yang panjang cenderung membuat distorsi yang besar, karena setiap jenjang hierarki

Page 91: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

cenderung melakukan reinterpretasi sesuai ndengan cognitive style dan kepentingan

dari masing-masing orang dalam hierarki itu. Hal yang sama terjadi pada arus

informasi dan laporan dari bawahan kepada atasan. Semakin panjang hierarki dari

suatu birokrasi, semakin besar kecenderungan terjadinya distorsi dalam komunikasi.

2. Formalisasi

Prinsip formalisasi organisasi ketika diterapkan secara kaku akan sangat

menghambat munculnya perubahan dan inovasi dalam kehidupan organisasi publik.

Eskipun demikian prinsip formalisasi tetap diperlukan sebagai dsar bagi pengambilan

keputusan seorang pejabat birokrasi dalam memberikan pelayanan agar pelayanan

yang diberikan dapat cepat dan adil. Tentu sangat sulit bagi birokrasi publik untuk

dapat meberikan pelayanan yang cepat dan adil tanpa adanya prosedur dan aturan

yang jelas. Apabila seorang pejabat birokrasi harus menilai dan memutuskan sendiri

tanpa ada prosedur dan aturan yang dapat mempermudah dan membantunya setiap

menghadapi warga negara yang membutuhkan pelayanan, pelayanan birokrasi akan

sangat bertele-tele dan mungkin berbeda-beda antar warga negara, kendati mereka

memiliki persoalan yang sama. Akibatnya akan muncul ketidakpastian pelayanan

yang sangat tinggi, sehingga merugikan tidak hanya bagi warga pengguna layanan,

tetapi juga bagi pejabat birokrasi.

Tidak adanya peraturan dan prosedur yang jelas membuat warga negara

pengguna layanan tidak dapat mengetahui hak dan kewajibannya untuk memperoleh

pelayanan. Berapa banyak mereka harus membayar harga pelayanan? Berapa lama

harus menunggu? Apa pelayanan yang akan diterima? Apa yang dapat dilakukan jika

pelayanan yang diterima ternyata tidak seperti yang dijanjikan? Semua itu tidak

dapat diketahui oleh warga pengguna layanan dengan pasti. Warga negara berada

Page 92: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

dalam posisi yang sangat lemah. Bagi pejabat birokrasi, tidak adanya prosedur dan

aturan yang jelas juga dapat sangat merugikan karena hal itu berarti mengharuskan

mereka untuk selalu mengambil keputusan pada saat melayaniwarga. Situasi itu

menghadapkan mereka bukan hanya pada kondisi kejiwaan yang tidak

mengunbtungkan, seperti stress dan cemas, tetapi juga menghadapkan mereka pada

peluang dan resiko untuk melakukan kesalahan dalam pengambilan keputusan.

3. Spesialisasi

Prinsip spesialisasi dalam organisasi diperlukan untuk meningkatkan efisiensi,

karena dengan adanya spesialisasi memungkinkan untuk dilakukannya

penyederhanaan dari proses administrasi. Proses administrasi yang kompleks dapat

disederhanakan menjadi serangkaian kegiatan yang sederhana dan mudah dikelola

jika spesialisasi atau pembagian kerja dilakukan dengan rinci. Spesialisasi juga

menjadi basis dari pengembangan keahlian dan karena itu menjadi salah satu hal

yang diperlukan bagi pengembangan profesionalisme.

Meskipun spesialisasi sangat diperlukan dalam suatu organisasi, namun di sisi

lain tetap berpotensi menciptakan masalah dalam kehidupan birokrasi, yaitu

munculnya satuan-satuan birokrasi yang berjumlah banyak dan terkotak-kotak,

sehingga membuat proses administrasi dan pelayanan publik menjadi berbelit-belit

dan panjang. Prosedur yang sederhana, murah dan cepat sulit diwujudkan karena

harus melibatkan banyak satuan birokrasi.

Spesialisasi juga dapat mewujudkan terjadinya fenomena individualism, yaitu

orang hanya peduli terhadap tugas dan tanggung jawab sendiri, tidak peduli dengan

tugas kolega atau bagian lainnya, serta mengabaikan kepentingan dan misi

organisasi. Ketika pembagian kerja dilakukan secara rinci dan tugas untuk

Page 93: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

melaksanakan setiap kegiatan diserahkan kepada masing-masing aparat, maka setiap

aparat akan merasa bahwa tugasnya adalah melaksanakan apa yang telah menjadi

deskripsi pekerjaannya. Mereka menjadi tidak peduli dengan pekerjaan dan tanggung

jawab orang lain dalam organisasinya.

4. Impersonalitas

Prinsip impersonalitas dalam organisasi mendorong agar aparat birokrasi dapat

bertindak adil dan bersikap nonpartisan dalam melayani masyarakatnya juga dapat

menimbulkan efek ganda. Pada satu sisi, penerapan impersonalitas hubungan antara

aparat birokrasi dan warga pengguna layanan birokrasi akan membuat birokrasi

menjadi lebih lugas dan bertindak obyektif. Namun di sisi yang lain, ketika

penerapan prinsip tersebut menjadi berlebihan, maka aparat birokrasi dapat menjadi

robot yang tidak memiliki sense of human being. Birokrasi juga akan kehilangan

peluang untuk menjadi instrument pemihakan terhadap kelompok-kelompok

marginal, yang tanpa bantuan birokrasi tidak dapat memperoleh kehidupan yang

layak dan bermartabat.

Prinsip impersonalitas yang diajarkan oleh Weber memperlakukan pengguna

layanan sebagai kasus, bukan sebagai orang dengan segala karakteristik

subyektifnya. Hal itu dimaksudkan agar birokrasi menjadi nonpartisan, tidak

memihak, dan memberikan perlakuan yang sama terhadap setiap pengguna layanan

birokrasi. Namun, penerapan prinsip tersebut dapat membuat birokrasi menjadi

kehilangan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat penting dalam mengelola kegiatan

birokrasi. Birokrasi pemerintah tidak boleh mengabaikan kenyataan bahwa warga

memiliki akses yang berbeda-beda terhadap pelayanan birokrasi. Sebagian warga

memiliki akses yang besar dan dapat dengan mudah memanfaatkan keberadaan

Page 94: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

birokrasi dan pelayanannnya, sementara sebagian warga lainnya memiliki akses yang

terbatas terhadap pelayanan birokrasi. Menganggap setiap warganegara sebagai

kasus yang sama dengan karakteristik, kapasitas dan akses yang sama tentu adalah

sebuah kekeliruan (Dwiyanto, 2011:40).

Kondisi patologis tersebut tentu memerlukan solusi untuk keluar dari berbagai

masalah yang tidak tertutup kemungkinan akan semakin menambah buruk citra

birokrasi bagi masyarakat. Sebagai alternatif, lahir doktrin baru yang menggantikan

Old Public Administration, yaitu New Publik Managemen (NPM) atau Reinventing

Government yang didasarkan pada pengalaman Eropa, Amerika Serikat, Australia,

dan Selandia Baru pada beberapa dekade terakhir (Hood,1991; Pollit, 1993; Osborne

& Gaebler,1993) secara berangsur-angsur dipromosikan ke dalam manajemen

pemerintahan di berbagai negara, termasuk negara sedang berkembang.

Dalam doktrin NPM atau Reinventing Government, pemerintah dianjurkan untuk

meninggalkan paradigma administrasi tradisional yang cenderung mengutamakan

sistem dan prosedur dan menggantikan dengan orientasi pada hasil kerja. Pemerintah

juga dianjurkan untuk melepaskan diri dari birokrasi klasik dengan mendorong

organisasi dan pegawai agar lebih fleksibel, dan menetapkan tujuan serta target

organisasi secara lebih jelas, sehingga memungkinkan pengukuran hasil. Di samping

itu, pemerintah juga diharapkan meneraokan sistem desentralisasi, member perhatian

pada pasar, melibatkan sektor swasta dan melakukan privatisasi (Hood, 1995).

Osborne dan Gaebler (1993) di dalam buku Reinventing Government

menekankan, harus ada upaya untuk mentransformasikan entrepreneurial spirit atau

jiwa kewirausahaan, karena dalam masa di mana sumber daya publik semakin

langka, pemerintah harus berumah dari bureaucratic model ke enterprunerial model.

Page 95: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Oleh karena itu manajemen pemerintahan yang mengimplementasikan pemikiran

NPM ini sangat berorientasi pada jiwa dan semangat kewirausahaan, maka

manajemen publik baru di tubuh pemerintah dapat disebut sebagai kewirausahaan.

Dampak dari penerapan model NPM ini mulai terasa tidak saja di negara maju,

akan tetapi juga di negara-negara sedang berkembang, seperti penerapan lima prinsip

inti, yaitu: (1) sistem desentralisasi dengan memindahkan otoritas pengambilan

keputusan yang lebih dekat pada penerima pelayanan; (2) privatisasi dengan

mengalokasikan barang dan jasa publik ke sektor privatl; (3) downsizing dengan

melakukan pemangkasan atau penyederhanaan jumlah dan ruang lingkup organisasi

pada sturuktur pemerintahanl; (4) debirokratisasi dengan melakukan restrukturisasi

organisasi pemerintah dengan menekankan hasil daripada proses; dan (5)

manajerialisme dengan menerapkan gaya bisnis pada organisasi pemerintah (Vigoda,

2003:813)

Pemberlakuan doktrin desentralisasi dan NPM atau manajemen kewirausahaan

ke dalam sistem pemerintahan membawa harapan bagi pemenuhan kebutuhan

masyarakat. Implementasinya lebih fleksibel, lebih cepat meberi respons terhadap

perubahan lingkungan, dan kebutuhan masyarakat di daerah, lebih melibatkan

partisipasi aktif para pihak dalam pengambilan keputusan daripada menunggu

keputusan pemerintah pusat. Juga lebih inovatif dengan member peluang dengan

melibatkan masyarakat di daerah dalam pengambilan keputusan dengan alternative

solusi yang lebih banyak, menghasilkan semangat kerja, dan komitmen yang lebih

tinggi, serta lebih produktif (Osborne & Gaebler, 1993; Pollit, Birchall dan Putman,

1998).

Page 96: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Sebagai unsur penting dari prinsip NPM atau manajemen kewirausahaan, sistem

desentralisasi ini telah diakui memiliki sisi positif secara ekonomis dan sosial politik.

Secara ekonomis, sistem ini dapat memperbaiki tingkat efisiensi, mengurangi biaya,

memperbaiki output, dan lebih efektif memanfaatkan sumber daya manusia. Secara

sosial politik dapat memperkuat akubtabilitas, keterampilan berpolitik, dan integrasi

nasional, membawa pemerintah dekat dengan rakyat, dan mendorong kebebasan

kesetaraan serta kesejahteraan (Smith, 1985:3-7)

Selain itu, sistem ini juga diakui mampu mengatasi kekurangan sentralisasi

dalanm perencanaan pembangunan nasional, menghilangkan red-tape, dan prosedur

yang berbelit-belit, mendorong pengetahuan dan sensitivitas terhadap masalah local,

membawa tingkat penetrasi yang lebih baik, menjamin keterwakilan, kemampuan

administratif pemerintahan, koordoinasi dan partisipasi masyarakat local (Rondinelli

& Cheema, 1983(

Reformasi terus bergulir dengan munculnya doktrin yang lebih baru, yaitu New

Public Service (Denhardt & Denhardt, 2003). Aliran The New Publik Service

memberikan definisi yang lain terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik

adalah hasil dari sebuah dialog tentang nilai-nilai bersama yang diagregasikan dari

kepentingan individual. Oleh karena itu, pelayan publik tidak hanya selalu merespon

permintaan “pelanggan”, tetapi lebih berfokus pada membangun hubungan baik

dengan kepercayaan dan kolaborasi dengan dan atar warganegara. Pelayanan publik

merupakan hubungan antara lembaga publik secara keseluruhan dengan citizen

secara keseluruhan (Nurmandi, 2010:21).

Sebagai perbandingan berbagai model yang telah disebutkan di atas, dapat

dilihat pada tabel berikut.

Page 97: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Tabel 5 Perbandingan Perspektif Old Public Administration, New Public Management, dan New Public Service

Old Publik Admnistration

New Public Management New Public Service

Teori dan Epistimologi

Teori politik dan ilmu sosial naif

Teori eknomi berdasarkan pada ilmu sosial positif

Teori demokrasi positif, kritis dan interpretatif

Rasionalitas dan model perilaku manusia

Rasionalitas synoptic atau administrative management

Tcnical dan eknomical man, self interest dicision maker

Rasionalitas formal dan strategis serta ganda (politik, ekonomi, dan organisasional)

Konsepsi kepentingan publik

Didefinisikan secara politis dan tercantum dalam konstitusi

Mewakili kepentingan pribadi

Hasil dari dialog yang diakui bersama

Pihak yang menerima tanggung jawab pejabat publik

Klien dan konstituen Pelanggan Warganegara

Peranan Pemerintah

Mengendalikan (mendesain dan melaksanakan kebijakan pada satu kebijakan)

Mengarahkan (katalis) Melayani (negosiasi dan mediasi kepentingan antar warganegara dan komunitas-komunitas)

Mekanisme untuk mencapai objectif kebijakan

Mengadministrasikan program melalui instansi pemerintah

Menciptakan mekanisme struktur insentif untuk mencapai objektif kebijakan melalui lembaga swasta dan non profit

Membangun koalisis antar organisasi publik, non profit dan swasta untuk mencapai kesefakatan pada kebutuhan

Akuntabilitas Hierarki administrator bertanggung jawab pada politisi

Mekanisme pasar Ganda. Pelayan publik harus bertanggung jawab pada hukum, sistem nilai, norma politik, standard profesi, dan kepentingan warganegara

Diskresi administrasi

Diskresi terbatas diberikan pada pejabat administrasi

Peluang yang luas sesuai dengan peluang bisnis

Diskresi dibutuhkan tetaoi terbatas dan akuntabel

Struktur organisasi

Birokratis, Top-down Desentralisasi dengan kontrol tetap dalam organisasi

Struktur kolaboratif dengan sistem kepemimpinan yang terbagi baik secara internal maupun eksternal

Motivasi administrator

Sesuai dengan gaji Spirit wirausaha Pelayan publik dan memberikan kontribusi pada masyarakat

Sumber: Janet V, Denhardt and Robert B. Denhardt. The New Public Service . M.E. Sharpe, New York, 2003, h. 28-29.

Penerapan prinsip New Public Management dan New Public Service dalam

sektor pemerintahan di Indonesia tidak semudah dengan yang dibayangkan seperti

keberhasilan di beberapa negara. Hal ini senada dengan nada pesimis yang

diungkapkan oleh Golembiewski (2003: 140-152), bahwa ada empat hal yang dapat

menggagalkan penerapan NPM, yaitu: (1) tidak memiliki model penerapan atau road

Page 98: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

map yang jelas; (2) tidak mempertimbangkan kekhasan lingkungan atau milieu-

specificity dimana NPM hendak diterapkan (3) tidak melakukan cultural

preparedness atau kesiapan budaya bagi institusi dan pegawainya, dan (4) cenderung

dihambat dan diganggu oleh birokrasi itu sendiri.

Meskipun demikian, prinsip-prinsip New Public Management dan New Public

Service memiliki banyak nilai-nilai positif yang dapat diadopsi untuk diterapkan

pada sektor pemerintahan dengan melakukan adaptasi atau penyesuaian dengan

lingkungan dan kondisi masyarakat.

Berdasarkan berbagai model birokrasi pelayanan yang telah diuraikan di atas,

maka ada beberapa faktor yang dianggap berpeluang memicu terjadinya patologi

birokrasi, yaitu: Struktur birokrasi, Sumber daya manusia, Kepemimpinan, Etika

birokrasi dan Lingkungan. Melalui kelima komponen ini akan dijadikan sebagai

dasar untuk membangun sebuah model birokrasi pelayanan dengan mengadopsi

berbagai unsur dalam New Public Management dan New Public Service yang

dianggap positif dan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Dengan demikian

model temuan diharapkan dapat meminimalisir patologi birokrasi, terutama terhadap

birokrasi pelayanan publik.

J. Penelitian Terdahulu

Gambaran mengenai hubungan birokrasi dan masyarakat akan lebih jelas

melalui penelusuran berbagai agenda penelitian yang telah dilakukan oleh para

ilmuan terdahulu. Khusus penelitian tentang birokrasi dalam konteks Indonesia

telah dilakukan oleh para peneliti, antara lain adalah penelitian yang dilakukan oleh

Karl D. Jackson (1988) tentang Bureaucratic Polity a Theoritical Framework for

the analicys of Power and Communication in Indonesia”. Hasil penelitiannya

Page 99: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

menunjukkan adanya dominasi birokrasi atas proses politik, dan keterasingan

kekuatan sosial politik di luar birokrasi dari proses pembuatan pelaksanaan

keputusan nasional. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu indikator yang

membuktikan belum menguatnya civil society di Indonesia. Begitu besarnya peran

pemerintah atau birokrasi untuk mengontrol hak dan kebebasan politik warga

negara, sehingga diciptakan suatu aturan main, baik dalam bentuk undang-undang,

peraturan pemerintah, maupun berbagai bentuk pengaturan yang lainnya.

Penelitian lain dilakukan oleh Harold Crouch tentang “Patrimonialism and

Military Rule in Indonesia”. Crouch (dalam World Politics, 1989) melihat bahwa

birokrasi Indonesia masih cenderung bercorak patrimonial, di mana kekuasaan

diperoleh dan dipertahankan dengan cara menukar loyalitas dan dukungan dengan

jabatan dan kepentingan materiil. Pola hubungan antara penguasa (patron) dengan

yang dikuasai (client) mencerminkan hubungan saling menguntungkan, di mana

client memberikan dukungan berupa kepatuhan dan kesetiaan terhadap patron,

sedangkan patron memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap client.

Mencermati hasil-hasil penelitian tersebut, pada dasarnya bernada pesimistik

dalam melihat sistem birokrasi di Indonesia. Hal ini dapat diinterpretasi bahwa

mereka cenderung memandang kekuasaan birokrasi yang terlalu besar dan

menghambat proses demokratisasi yang sedang dilaksanakan. Kedua penelitian

tersebut memang terkesan klasik, namun dalam konteks analisis tetap diperlukan

untuk memberikan gambaran bagaimana corak birokrasi di Indonesia dalam kurun

waktu dua dekade yang lalu.

Buruknya kondisi birokrasi Indonesia juga terlihat dari hasil penelitian yang

dilakukan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di

Page 100: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Hongkong. Lembaga ini meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats),

hasilnya birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami

perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik

dibanding dengan keadaan China, Vietnam dan India. Pada tahun 2000, Indonesia

memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang

dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor yang jauh

dibawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats

yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak pejabat

tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya

diri sendiri dan orang terdekat (Soebhan, 2000).

Penelitian lain yang berkaitan dengan efektifitas birokrasi adalah yang dilakukan

oleh Bank Dunia dan UGM tentang kinerja pelayanan publik dengan menggunakan

sejumlah variabel, yaitu keadilan (equity), responsivitas, efisiensi pelayanan, suap

dan rente birokrasi (Dwiyanto, dkk, 2003). Hasil Good Governance Survey 2002

yang dilakukan oleh UGM tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi

pelayanan publik di Indonesia. Hasil penelitian ini berkesimpulan bahwa pelayanan

publik di Indonesia masih sarat dengan kepentingan birokrasi. Birokrasi kita masih

cenderung dilayani daripada melayani. Birokrasi dalam segala urusan belum bisa

mengedepankan kepentingan umum daripada kepenitngan diri dan kelompoknya.

Penelitian lain tentang birokrasi, yaitu; Budaya Patron-klien terhadap perilaku

birokrasi di daerah dilakukan oleh Kausar A.S (2006) menunjukkan bahwa budaya

patron-klien sangat mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintah daerah, utamanya

memperlemah kinerja birokrasi dengan perilaku birokrasi yang menyimpang.

Page 101: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Penelitian yang senada dengan itu dilakukan oleh Priyo Budi Santoso (1993) dan

Masson C. Headly (2006) memiliki kesimpulan yang sama bahwa penyelenggaraan

birokrasi di Indonesia sejak zaman kerajaan, sampai zaman pemerintahah Orde

Lama dan Orde Baru dan ditambahkan oleh Masson, sampai era reformasi belum

menunjukkan perubahan, yaitu “corak birokrasi yang feodalistik”. Artinya para

aparatur birokrasi masih memandang bahwa melaksanakan tugas dan jabatan yang

dipangkunya merupakan sumber kekuasaan, jadi cara pandangnya masih sebagai

“penguasa”. Sedang dalam konsep negara modern, Administrasi Negara sebagai

badan eksekutif yang merupakan pelaksana kebijakan secara jelas diartikan “public

servent”, artinya bahwa para aparatur birokrasi sesungguhnya sebagai “pelayan

masyarakat”.Demikian pula dalam konsep negara demokrasi, pejabat publik adalah

dipilih oleh rakyat. Oleh karena itu kedudukan sebagai pejabat publik adalah

melaksanakan atas nama rakyat. Dengan demikian perbedaan paradigma para

aparatur birokrasi antara sebagai “penguasa” dengan sebagai “pelayan”, dalam

praktek penyelenggaraan birokrasi memiliki implikasi yang berbeda. Jika sebagai

penguasa, karena dirinya merasa memiliki kedudukan, bukan memberikan

pelayanan yang terbaik, tetapi justru meminta dilayani. Dan terhadap bawahan

bukan sebagai team work atau rekan kerja, tapi cenderung dianggap sebagai

pembantunya yang harus siap meleyani keinginan pimpinan, bahkan terkadang

bukan melaksanakan tugas kedinasan. Sedangkan jika aparatur sebagai “pelayan

masyarakat”, maka akan memberikan pelayanan yang terbaik. Kedua macam

paradigma yang saling bertolak belakang tersebut memang dilatarbelakangi oleh

kondisi sosial dan budaya yang berbeda. Secara konseptual sikap dan perilaku

sebagai “penguasa” menunjukkan latar belakang budaya “paternalistik”, sedangkan

Page 102: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

sebagai “pelayan masyarakat” menunjukkan latar belakang budaya yang “egaliter”

(Istianto, 2011:75).

Salah satu penelitian yang berkaitan dengan patologi birokrasi dilakukan oleh

Monsod (2008) terhadap birokrasi pemerintah di Philipina. Birokrasi yang diteliti

adalah depertemen pemerintah dan hubungannnya dengan pimpinan politik

tertinggi, yakni presiden dan kongres. Fokus penelitian ini adalah fitur bureau-

pathology. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa birokrasi pemerintah

Philipina memiliki tiga fitur bureau-pathology. Pertama tidak ada kejelasan kontrol

atas jabatan: mana yang tunduk pada kewenangan prerogatif presiden, penunjukan

politis dari kongres, dan sistem karir. Kedua, struktur insentif moneter dan non-

moneter tidak berbasis kontribusi. Ketiga, kurangnya transparansi dalam peran dan

kewenangan penasehat presiden, tidak ada kerangka acuan kerja yang jelas, dan

tidak ada kerangka akuntabilitas terhadap entitas lain di luar kepresidenan.

Penelitian yang masih berkaitan dengan patologi birokrasi pelayanan publik,

yaitu Studi Etika Pelayanan Publik (I Wayan Sudana, dkk, 2009) yang dilakukan di

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar. Penelitian ini menghasilkan

beberapa kesimpulan, yaitu: (1) Etika birokrasi dalam pelayanan publik masih jauh

dari harapan pada umumnya. Oleh karena itu timbul ketidakpuasan masyarakat

sebagai pengguna jasa yang nampak pada keluhan yang disampaikan dalam hal

pelayanan KTP. (2) Berdasarkan indikator penelitian, etika birokrasi dalam

pelayanan publik masih sangat jauh dari yang diharapkan. Fenomena pemberian

pelayanan ini terlihat seperti tindakan aparat yang lebih mengharapkan balas jasa,

adanya penyalahgunaan wewenang, menghindar dari tanggung jawab, pelanggaran

terhadap aturan yang ditetapkan, dan munculnya diskriminasi dalam pelayanan.

Page 103: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Di dalam penyelenggaraan pelayanan publik terdapat dua pihak yang

berhadapan dan saling berbeda kepentingan. Pihak aparat birokrasi sebagai pemberi

layanan yang berhadapan dengan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan, antara

keduanya acapkali terjadi perbedaan kepentingan yang mencolok. Aparat birokrasi

pada dasarnya adalah seorang abdi, bukannya seoranmg tuan. Persoalannya adalah,

persepsi tersebut tidak ditanamkan dalam lingkungan birokrasi. Akibatnya, muncul

sikap arogansi birokrasi, seperti merasa sebagai pihak yang paling dibutuhkan oleh

orang banyak, atau bersikap seenaknya kepada masyarakat. Sikap yang ditunjukkan

oleh sebagian besar aparat birokrasi tersebut membuat masyarakat merasa tidak

memperoleh pelayanan seperti yang diharapkan, bahkan masyarakat seringkali

merasa disepelekan oleh aparat birokrasi.

Perbedaan sikap pelayanan secara normatif dengan sikap pelayanan secara

faktual yang dilakukan oleh aparat birokrasi terungkap dari banyaknya keluhan

yang dirasakan oleh masyarakat pengguna jasa pada saat menerima pelayanan.

Pengamatan di lapangan menunjukkan adanya kecenderungan diskriminasi yang

sangat mencolok dalam memberikan pelayanan. Realitas pelayanan menunjukkan

bahwa aparat birokrasi dalam kenyataannya melakukan perbedaan pelayanan

terhadap masyarakat pengguna jasa.

Berdasarkan observasi pada instansi pelayanan pertanahan di kantor BPN

(Dwiyanto, dkk, 2008:193), terlihat bahwa aparat sangat membedakan dalam

memberikan sapaan kepada masyarakat pengguna jasa. Aparat akan terlihat lebih

ramah kepada masyarakat pengguna jasa yang telah dikenal sebelumnya atau

karena status sosial ekonomi pengguna jasa yang menunjukkan sebagai orang kaya,

sedangkan masyarakat pengguna jasa yang berasal dari desa dengan penampilan

Page 104: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

sederhana, biasanya akan mendapat perlakuan yang tidak sebaik kelompopk

masyarakat pengguna jasa yang pertama. Stigma pelayanan yang sudah dimaklumi

oleh publik tersebut menjadikan masyarakat pengguna jasa seakan saling berlomba

untuk dapat memperoleh hak istimewa dari aparat birokrasi. Berdasarkan hasil

observasi ini, sekitar 30 persen masyarakat pengguna jasa di Sumatera Barat,

Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan pernah mengalami diskriminasi

pelayanan yang dilakukan oleh aparat birokrasi.

Dibandingkan dengan jenis pelayanan lain, seperti; pelayanan kependudukan

(KTP), pelayanan untuk memperoleh SIM, maka pelayanan administrasi

pertanahan lebih kompleks dan rumit. Berdasarkan data GDS 2006 (Dwiyanto,

2011: 89) menunjukkan persentase warga yang menggunakan perantara pada saat

mengurus pelayanan untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Kartu

Tanda Penduduk (KTP) dan Sertifikat Tanah, ternyata jenis pelayanan yang

disebutkan terakhir memperlihatkan prosentase yang lebih tinggi, yaitu di Jawa

mencapai 57, 50% dan 66,50% untuk luar Jawa.

Berkaitan dengan kualitas pelayanan publik, suatu hasil penelitian yang

dilakukan Business Digest, sebagai salah satu lembaga survey ekonomi independen

yang dilansir majalah ekonomi SWA Sembada edisi Juni 2007 (Majid, 2009:105-

7), Makassar menepati rangking ke-25 dari 50 kota di Indonesia sdalah hal

kekayaan atau sumber daya. Artinya, lembaga ini melihat Makassar memiliki

potensi yang besar untuk terus berkembang secara cepat dan memiliki pertumbuhan

eknomi yang tinggi. Tetapi Makassar hanya menempati rangking 21 dari 25 kota

yang disurvei sebagai daerah yang menarik untuk investasi. Hal ini ternyata

disebabkan oleh masalah kualitas pelayanan publik.

Page 105: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Makassar, berada pada posisi juru kunci atau ranking terendah dari 16 kota

lainnya di Indonesia dalam hal City Public Service (CPS) Index. Terdapat 15 titik

layanan yang diukur dalam survey ini, yaitu telepon, air bersih, listrik, KTP,

SIP/STNK, perizinan usaha, IMB/HGB, pajak, keamanan, transfortasi umum,

kesehatan, pendidikan, penerangan jalan, kebersihan kota, dan prasarana jalan raya.

Dari 15 titik layanan, hampir seluruh responden memberikan nilai kurang baik atau

bahkan buruk. Angka yang diperoleh Makassar semuanya rendah. Posisi tertinggi

diraih oleh Kota Gorontalo dan Jakarta. Makassar bahkan jauh berada di bawah

Medan, Balikpapan, Manado dan Palembang.

Salah satu titik layanan publik dalam lingkup Kota Makassar yang juga

tergolong krusial, yaitu pelayanan administrasi pertanahan. Fenomena menarik

yang menjastifikasi adanya masalah layanan publik adalah adanya kecenderungan

mayarakat yang membutuhkan layanan lebih memilih menggunakan perantara

ketimbang mengurus secara langsung ke tempat pelayanan sesuai dengan prosedur

dan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan data GDS 2006, seperti yang telah

disebutkan di atas menunjukkan prosentase yang melampaui 50 % penggunaan

perantara dalam pemberian layanan, yaitu masing-masing 57, 50% dan 66,50%

untuk wilayah Pulau Jawa dan Wilayah di Luar Pulau Jawa.

Bedasarkan fakta tersebut di atas, maka fenomena ini menarik untuk

dikembangkan, dimana kecenderungan penggunaan perantara dalam pemberian

layanan adminsitrasi pertanahan memberikan isyarat adanya masalah dalam

pelayanan tersebut. Berkaitan dengan ini berbagai pertanyaan bakal muncul,

misalnya siapa yang menjadi perantara?, apakah penggunaan perantara akan

mempercepat proses layanan?, Apakah penggunaan perantara tidak merusak

Page 106: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

mekanisme tatanan administrasi penyedia layanan?, dan bagaimanan nasib

masyarakat yang tidak mampu menggunakan perantara?, serta masih banyak

pertanyaan yang akan dikembangkan dalam penelitian ini berdasarkan fenomena

tersebut.

Penggunaan perantara dalam berbagai jenis pelayanan tersebut berpeluang

munculnya patologi birokrasi, meskipun dari satu sisi pihak pengguna layanan

dengan dan pemberi layanan memperoleh keuntungan secara timbal balik, namun

disisi lain akan merugikan pengguna jasa yang lain yang tidak menggunakan

perantara. Fenomena ini membuktikan bahwa dari berbagai jenis layanan publik,

maka pelayanan administrasi pertanahan tetap menarik untuk diteliti.

K. Kerangka Pikir

Kerangka pikir ini dikembangkan berdasarkan berbagai macam pemikiran yang

bersifat dialogis dimana diskusi tentang penerapan birokrasi Weberian dalam

organisasi publik mengalami pro dan kontra. Perdebatan teoritik yang penting

untuk diketengahkan sebagai landasan kerangka pikir ini antara lain kritik yang

disampaikan Warren Bennis (Robbins, 1994: 349), bahwa struktur birokratik

terlalu mekanis bagi kebutuhan organisasi modern. Menurut Bennis, birokrasi

merupakan penemuan sosial yang sangat elegan, suatu bentuk kemampuan yang

luar biasa untuk mengorganisasikan, mengkoordinasikan proses-proses kegiatan

yang produktif pada masa revolusi Industri. Birokrasi dikembangkan untuk

menjawab berbagai persoalan yang hangat pada waktu itu, misalnya persoalan

pengurangan peran-peran personal, persoalan subyektivitas yang berlebihan, dan

tidak dihargainya hubungan kerja kemanusiaan. Bennis menegaskan bahwa kita

sangat membutuhkan birokrasi yang berorientasi kemanusiaan, tidak secara

Page 107: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

konseptual semata tapi merambah pada tataran praktis di lapangan. Hal ini menjadi

pekerjaan sangat penting untuk mendekatkan birokrasi pada manusia, bukan lagi

pada mesin. Sebuah teori akan diuji menurut kelayakan historis dan kebutuhan pada

sebuah masa. Birokrasi yang humanis masih menjadi pekerjaan rumah yang harus

serius digarap oleh para pemerhati masalah-masalah administrasi negara dan

kebijakan publik.

Nada pesimistik Bennis dibantah oleh Robert Miewald (Robbins, 1994: 349-

352) dengan menegaskan bahwa Weber tidak pernah mengatakan bahwa

karakteristik-karakteristik birokrasi akan berlaku untuk selama-lamanya. Sasaran

utama dari Weber adalah menciptakan sebuah bentuk rasional dan efisien. Bentuk

tersebut adalah birokrasi. Bentuk apapun yang diperlukan untuk mempertahankan

rasionalitas seperti efisiensi akan menghasilkan birokrasi. Perkembangan birokrasi

professional adalah contoh yang sempurna mengenai karakteristik birokrasi yang

dimodifikasi.

Perdebatan teoritik tersebut di atas menjadi dasar inspirasi yang melahirkan

suatu pemikiran bahwa dalam konteks kekinian birokrasi Weberian dengan

berbagai kelebihan dan kekurangannya memerlukan nuansa baru untuk menjawab

tantangan masyarakat organisasional yang selalu berubah dan berkembang. Nuansa

baru tersebut secara sederhana dapat difahami melalui pergeseran paradigma dari

Old Public Administration ke New Public Management dan New Public Service.

Adaptasi terhadap prinsip-prinsip baru tersebut bukanlah merupakan hal yang

mudah, karena bersentuhan dengan berbagai aspek-aspek organisasional yang

lainnya, seperti: struktur birokrasi, sumber daya manusia, penerapan teknologi, dan

lingkungan budaya masyarakat yang bersifat paternalistik. Berbagai aspek ini saling

Page 108: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

berinteraksi secara sistemik yang jika dikelola dengan baik akan melahirkan sistem

birokrasi yang sesuai dengan tuntutan masyarakatnya. Demikian juga sebaliknya,

jika interaksi antara berbagai aspek tersebut tidak sinerjik, maka akan berpeluang

melahirkan berbagai patologi birokrasi.

Dalam konteks Indonesia, fenomena patologi birokrasi terjadi sebagai hasil

interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel lingkungan yang salah.

Struktur birokrasi yang hierarkis berinteraksi dengan budaya masyarakat yang

paternalistis, sistem politik yang tidak demokratis dan ketidakberdayaan kelompok

masyarakat madani cenderung melahirkan perilaku birokrasi paternalistis yang

merugikan kepentingan publik. Dengan kata lain bahwa patologi birokrasi bukan

hanya disebabkan oleh struktur birokrasi yang salah dan tidak tepat, seperti

hierarchi yang berlebihan, prosedur yang rigid, fragmentaasi birokrasi yang terlalu

banyak, dan masalah struktur lainnya. Selain masalah struktural, penyakit birokrasi

disebabkan juga oleh interaksi berbagai variabel yang saling berkaitan antara satu

sama lainnya, baik yang terdapat dalam struktur birokrasi, budaya birokrasi,

maupun variabel-variabel lain yang terdapat dalam lingkungan. Termasuk di dalam

variabel lingkungan itu adalah budaya masyarakat, sistem politik yang kurang

demokratis, dan kelompok masyarakat madani yang tidak mampu menjalankan

fungsi kontrol (Dwiyanto, 2011:64).

Kast dan Rosenzweig (1981) mengemukan bahwa struktur internal setiap

“sistem organisasi” terdiri dari beberapa sub sistem: goal values (bersumnber dari

lingkungan sosial budaya yang luas), technical termasuk ilmu pengetahuan dan

teknologi yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas), psychosocial (terdiri dari

individu dan kelompok individu dengan berbagai sikap, aspirasi, motivasi, status,

Page 109: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

interaksi, dan sebagainya), structural (terdiri dari pembagian pekerjaan dan

koordinasi, dengan pola kewenangan dan sistem komunikasi tertentu), dan

managerial (berperan untuk melakukan kepemimpinan dalam organisasi serta

dalam interaksi dengan lingkungannya (Sedarmayanti, 2010:11)

Upaya mengatasi patologi birokrasi sesungguhnya sejak lama telah dilakukan

oleh pemerintah melalui reformasi birokrasi dalam berbagai bentuk. Beberapa

diantaranya dapat disebutkan, seperti pelayanan yang berbelit-belit (red tape),

misalnya telah diatasi dengan cara memperpendek mekanisme dan prosedur

pelayanan di beberapa jajaran birokrasi. Sebagai contoh pelayanan Kartu Tanda

Penduduk yang semula sampai pada tingkat kabupaten, telah diperpendek hanya

sampai pada tingkat kecamatan, sehingga dengan demikian telah memangkas jalur

dan waktu pelayanan. Demikian juga halnya dengan reformasi di bidang pelayanan

perizinan, seperti IMB yang sekarang dilakukan dengan sistem satu pintu, juga

dapat diartikan sebagai pemangkasan mata rantai birokrasi yang terlalu panjang.

Sementara pelayanan publik dalam bidang administrasi pertanahan sampai saat ini

masih menimbulkan berbagai masalah, seperti kelambanan dalam proses penerbitan

sertifikat tanah, munculnya perantara (calo) dalam proses pelayanan yang

berpeluang menimbulkan masalah-masalah patologis, misalnya; munculnya biaya-

biaya tambahan dalam proses pelayanan, terjadinya perbedaan-perbedaan perlakuan

terhadap masyarakat dalam menerima layanan yang bertentangan dengan prinsip

impersonalitas, bahkan persoalan fatal yang kerapkali muncul yaitu terbitnya

sertifikat ganda, serta masalah-masalah krusial lainnya yang banyak menimbulkan

keluhan masyarakat penerima layanan.

Page 110: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Sistem pelayanan administrasi pertanahan pada Kantor Pertanahan Kota

Makassar menggunakan sistem loket. Adapun secara rinci loket-loket yang

dimaksud, yaitu:

1. Loket 1 : Informasi Pelayanan

Setiap permohonan yang dating ke loket informasi dapat menerima

penjelasan mengenai jenis pelayanan yang diinginkan pemohon oleh petugas

loket. Setelah menerima penjelasan dari loket 1 untuk kelengkapan berkas

pengurusan sertipikat dalam pelayanan pendaftaran tanah hak milik. Maka

pemohon dianjurkan ke koperasi untuk mengambil blanko pengukuran dan

permohonan hak yang alkan diisi pemohon sesuai dengan pelayanan yang

diinginkan.

2. Loket 2 : Penerimaan Berkas Permohonan

Berkas pemohon telah diisi dengan benar maka pemohon menyetorkan

berkas permohonan pengukuran ke loket 2a dengan disertai tanda terima berkas

dari aparat petugas loket dan membayar administrasi ke loket 3. Pemohon

menyerahkan berkas melalui loket ini, yang terlebih dahulu diteliti oleh petugas

mengenai kelengkapan persyaratan. Adapun loket penyerahan berkas

permohonan terbagi dalam beberapa loket pelayanan menurut jenis pelayanan

pertanahan yang diberikan, antara lain :

a. Loket 2a. Loket Pengukuran, Kutipan SU, Pengembalian Batas.

b. Loket 2b. Loket Pelayanan Konversi/Pengakuan, Pemberian Hak,

Peningkatan Hak.

c. Loket 2c. Pendaftaran SK, Pemecahan/Pemisahan, Penggabungan,

Penggantian Sertipikat.

Page 111: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

d. Loket 2d. Loket Pngecekan Sertipikat.

e. Loket 2e. Peralihan Hak, Pemasangan Hak Tanggungan, Tukar Menukar,

Ganti Nama.

3. Loket 3 : Penerimaan Biaya

Pembayaran dilaksanakan melalui loket ini pada Bendaharawan Khusus

Penerima (BKP) dan kepada pemohon diberikan tanda bukti pembayaran berupa

kwitansi.

4. Loket 4 : Pengambilan Produk

Segala produk pelayanan pertanahan dapat diambil pada loket ini.

Adapun jenis produk pelayanan meliputi :

a. Seripikat tanah

b. Surat Keputusan Pemberian Hak atas Tanah

c. Surat keputusan Ijin Perubahan Penggunaan Tanah

Proses pelayanan melalui loket-loket tersebut melibatkan interaksi secara

internal antar unit kerja dan secara eksternal dengan masyarakat penerima layanan.

Proses inilah acapkali melahirkan berbagai bentuk patologi birokrasi. Atas dasar itu,

maka berbagai aspek yang mengkonstruksi proses tersebut akan dijadikan sebagai

kerangka nalisis. Adapun aspek-aspek yang dimaksud meliputi; struktur birokrasi

pelayanan, sumber daya manusia, penerapan teknologi dalam pelayanan, dan

lingkungan budaya. Adapun skema kerangka pikir dapat digambarkan sebagai

berikut:

Page 112: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Gambar 3: Model Kerangka Pikir

SISTEM PELAYANAN ADMINISTRASI PERTANAHAN

LOKET INFORMASI

PETUGAS PELAKSANA

PEMERIKSAAN BERKAS PELAKSANAAN,PENGUKURAN, PENCETAKAN SURAT UKUR, OPENCETAKAN BUKU TANAH DAN SERTIFIKAT

KOORDINATOR

KOPERASI PEGAWAI

PEMOHON MASYARAKAT

LOKET PENGADUAN

LOKET PENYERAHAN

PRODUK

PENGECEKAN PETA

LOKET PENERIMAAN

BERKAS

KEPALA KANTOR

KEPALA SEKSI

KEPALA SUB SEKSI

SEKSI SENGKETA KONFLIK & PERKARA

WARKAH/ARSIP

LOKET PENERIMAAN

BIAYA

EMPIRICAL SYSTEM

Struktur Birokrasi yang Sangat Hierarkis

Kemampuan Sumber Daya Manusia Belum Optimal

Penerapan Teknologi Belum Optimal

Lingkungan Budaya yang Bersifat Paternalistik

ALTERNATIVE SYSTEM

Penyederhanan struktur birokrasi pelayanan.

Pengembangan Sumber Daya Manusia Profesional.

Penerapan Sistem Informasi dan Teknologi yang tepat.

Adaptasi terhadap lingkungan budaya.

PATOLOGI BIROKRASI

Page 113: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan proses berfikir yang bersifat deduktif,

yaitu suatu penelitian yang didekati dari segi konsep dan teori yang berkaitan

dengan patologi birokrasi dalam pelayanan publik yang selama ini telah banyak

disoroti, dan dikaji, serta dikembangkan oleh berbagai kalangan. Berbagai konsep

dan teori yang relevan tersebut kemudian dilakukan modifikasi dan reduksi

sehingga melahirkan fokus penelitian dan kerangka konseptual. Sedangkan

pendekatan berdasarkan paradigma penelitian yang digunakan adalah paradigma

kualitatif, karena data yang digunakan adalah data kualitatif yang diperoleh melalui

metode dan analisis data kualitatif. Bogdan dan Taylor menyebutnya sebagai

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 1994:3).

Meskipun demikian data kuantitatif tetap diperlukan sebagai data pendukung untuk

kelengkapan analisis data penelitian.

Strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Menurut Yin (1996:1)

studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu

penelitian berkenaan dengan how atau why, bila peneliti hanya memiliki sedikit

peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki dan bilamana

fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam

konteks kehidupan nyata. Berkaitan dengan fenomena yang akan diteliti, yaitu

“Patologi Birokrasi Dalam Pelayanan Publik: Studi Pelayanan Administrasi

Page 114: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Pertanahan di Kota Makassar”, maka strategi penelitian studi kasus dianggap cocok

untuk digunakan.

Menurut Denzin dan Loncoln (2009: 300-1) Strategi penelitian studi kasus

memiliki 3 (tiga) jenis kajian (study), yaitu: studi kasus intrinsik (intrinsic case

study), studi kasus instrumental (instrumental case study), dan studi kasus kolektif

(collective case study). Jenis yang pertama ditempuh oleh peneliti yang ingin

memahami sebuah kasus tertentu. Jenis ini ditempuh bukan karena suatu kasus

mewakili kasus-kasus lain atau karena menggambarkan sifat atau problem tertentu,

namun karena dalam seluruh aspek kekhususan dan kesederhanaannya, kasus itu

sendiri menarik minat. Tujuannya bukan untuk memahami fenomena umum tertentu

dan bukan untuk merumuskan suuatu teori, melainkan tujuannya adalah karena

minat intrinsik. Jenis kedua digunakan untuk meneliti suatu kasus tertentu agar

tersaji sebuah perspektif tentang isu atau perbaikan suatu teori. Dalam hal ini kasus

tidak menjadi minat utama, kasus memainkan peranan supportif, yang memudahkan

pemahaman kita tentang sesuatu yang lain. Pemilihan sebuah kasus lebih

disebabkan karena hasrat kita untuk meningkatkan pemahaman tentang minat-minat

yang lain tersebut. Jika seorang peneliti merasa kurang tertarik mengkaji satu kasus

tertentu, maka dapat meneliti sejumlah kasus secara bersamaan yang disebut dengan

studi kasus kollektif (collective case studi). Studi kasus kolektif pada intinya sama

dengan istilah yang digunakan oleh Herriot dan Firestone (1983) sebagai “penelitian

kualitatif dengan banyak lokasi (multisite qualitative research”.

Penelitian ini memilih jenis kedua yaitu studi kasus instrumental, karena

penelitian ini dimaksudkan untuk menuntun peneliti dalam menggambarkan

bagaimana perhatian peneliti dan teoretisi tercermin dalam suatu kasus. Dalam studi

Page 115: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

kasus instrumental, tidak menentukan terlebih dahulu kasusnya, melainkan mencari

kasus yang sesuai untuk dipilih. Penelitian ini berkenaan dengan patologi birokrasi

dalam pelayanan publik dengan memfokuskan diri pada aktivitas birokrasi dalam

pelayanan administrasi pertanahan. Dalam proses ini akan terlihat interaksi antara

aparatur birokrasi dengan masyarakat yang membutuhkan pelayanan, serta

bagaimana keterkaitannya dengan struktur birokrasi, manajemen sumber daya

manusia, penerapan teknplogi, dan pengaruh lingkungan terutama budaya

masyarakat yang bersifat paternalistic.

B. Pengelolaan Peran Peneliti

Peran peneliti dalam penelitian kualitatif sangat penting, karena peneliti itu

sendiri merupakan instrumen, bahkan instrumen utama, di samping instrumen-

instrumen yang lainnya sebagai instrumen pendukung peneliti. Urgensi peran

peneliti nampak dalam proses penelitian mulai dari awal sampai akhir penelitian

yang meliputi: menentukan informan, wawancara dengan informan, meneliti

dokumentasi, membuat rekaman arsip, membuat reduksi data, menyajikan data,

menganalisis data, menguji validitas data, dan menginterpretasi hasil penelitian.

Bagian lain yang tidak terpisahkan dengan proses penelitian adalah observasi,

dimana peran peneliti dituntut untuk melakukan pengamatan terhadap aktivitas yang

terjadi dalam birokrasi, seperti hubungan-hubungan antara staf dengan staf, antara

pimpinan dengan staf, dan berbagai hal yang berkaitan dengan perilaku aparat dalam

melaksanakan tugasnya, seperti pemberian pelayanan kepada masyarakat.

Keseluruhan aktivitas tersebut akan diamati dan dianalisis Dalam observasi, peneliti

akan melakukan pengamatan langsung terhadap aktivitas pelayanan yang berkaitan

dengan administrasi pertanahan, baik pada kantor pertanahan maupun terhadap

Page 116: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

instansi pemerintah yang terkait, seperti pemerintah kelurahan dan pemerintah

kecamatan sebagai bagian yang integral dengan proses administrasi pertanahan.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar sebagai Ibukota Propvinsi

Sulawesi Selatan. Pertimbangan pemilihan Kota Makassar sebagai lokasi penelitian

didasarkan pada beberapa aspek; Pertama, Kota Makassar sebagai Ibukota Propinsi

tentunya meiliki volume aktivitas pemerintahan yang sangat tinggi, dengan akses

teknologi informasi yang lebih mudah dan tersedia, sehingga dapat mendukung

penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam pelayanan publik. Kedua, Kota

Makassar lebih memiliki heterogenitas, terutama heterogenitas budaya, sehingga

tercipta hubungan-hubungan yang dapat meminimalisir pengaruh-pengaruh

primordialisme yang mungkin akan berpengaruh terhadap analisis.

Di samping itu, berdasarkan hasil survey seperti yang telah dikemukakan

terdahulu, bahwa Makassar menempati rangking ke-25 dari 50 kota di Indonesia

dalam hal kekayaan atau sumber daya. Artinya, lembaga ini melihat Makassar

memiliki potensi yang besar untuk terus berkembang secara cepat dan memiliki

pertumbuhan eknomi yang tinggi. Tetapi Makassar hanya menempati rangking 21

dari 25 kota yang disurvei sebagai daerah yang menarik untuk investasi. Hal ini

ternyata disebabkan oleh masalah kualitas pelayanan publik, dimana kota Makassar

berada pada posisi juru kunci atau ranking terendah dari 16 kota lainnya di

Indonesia dalam hal City Public Service (CPS) Index. Terdapat 15 titik layanan yang

diukur dalam survey ini, yaitu telepon, air bersih, listrik, KTP, SIP/STNK, perizinan

usaha, IMB/HGB/, pajak, keamanan, transfortasi umum, kesehatan, pendidikan,

penerangan jalan, kebersihan kota, dan prasarana jalan raya. Dari 15 titik layanan,

Page 117: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

hampir seluruh responden memberikan nilai kurang baik atau bahkan buruk. Angka

yang diperoleh Makassar semuanya rendah. Posisi tertinggi diraih oleh Kota

Gorontalo dan Jakarta. Makassar bahkan jauh berada di bawah Medan, Balikpapan,

Manado dan Palembang.

D. Fokus Penelitian

Studi tentang birokrasi publik telah banyak dilakukan, kritik terhadap birokrasi

publik telah banyak dilontarkan, dan bahkan reformasi terhadap birokrasi publik pun

telah menjadi agenda pemerintah di sepanjang masa. Namun demikian birokrasi

publik di Indonesia nampaknya banyak menimbulkan masalah, terutama dalam

kaitannnya dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Berbagai permasalahan yang

muncul dalam birokrasi pelayanan publik tersebut dalam penelitian ini dikatagorikan

sebagai patologi birokrasi.

Salah satu jenis pelayanan publik yang menjadi obyek penelitian adalah

pelayanan administrasi pertanahan, yakni proses penerbitan serttifikat atas tanah.

Peyelenggaraan pelayanan publik ini banyak mendapat sorotan dari berbagai

kalangan dikarenakan adanya berbagai masalah yang muncul dalam pelaksanaannya,

seperti kelambanan dalam pelayanan, kelaziman penggunaan perantara dalam

mengakses layanan, munculnya biaya-biaya tambahan dalam pelayanan, dan perilaku

aparat birokrasi lainnya yang bertentangan dengan norma-norma etika, bahkan yang

sangat fatal adalah kerapkali muncul sertifikat ganda sebagai produk layanan,

sehingga banyak menimbulkan masalah di dalam masyarakat.

Persoalan-persoalan patologis tersebut akan dikaji berdasarkan berbagai aspek

yang dianggap berpeluang menjadi pemicu terjadinya patologi birokrasi. Adapun

Page 118: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

faktor-faktor tersebut, yaitu: (1) Struktur birokrasi; (2) Sumber Daya Manusia;

(3) Penggunaan Teknologi Imformasi dan (4) Lingkungan budaya.

E. Sumber Data

Penelitian lapangan yang dilakukan di wilayah Kota Makassar diarahkan untuk

memperoleh data yang berkaitan dengan patologi birokrasi dalam pelayanan publik,

yaitu pelayanan adminsitrasi pertanahan di kota Makassar. Sumber data dalam

penelitian ini adalah: (1) Informan yang dipilih secara sengaja dalam rangka

melakukan wawancara, yaitu: Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar, Para

Kepala Seksi dalam Lingkup Kantor Pertanahan Kota Makassar Camat, Lurah, dan

aparat birokrasi yang berkaitan dengan lokasi kasus yang akan didalami dalam

lingkup Kota Makassar, serta tokoh masyarakat dan masyarakat pengguna layanan

(2) Tempat dan peristiwa merupakan sumber data tambahan yang dilakukan dengan

mengamati secara langsung aktivitas-aktivitas aparat birokrasi dalam menjalankan

tugasnya yang meliputi berbagai pola hubungan, yaitu: hubungan antara pimpinan

dan staf, antara staf dengan staf dan antara pimpinan/staf dengan masyarakat. (3)

Dokumen sebagai sumber data lain yang melengkapi data utama, yaitu berupa:

peraturan perundang-undangan yang terkait, data kepegawaian, dan berbagai data

lain yang dapat dijadikan sebagai bahan analisis.

Menurut Yin, dalam studi kasus terdapat enam sumber bukti yang dapat

dijadikan sebagai fokus bagi pengumpulan data yaitu dokumen, rekaman arsip,

wawancara, observasi langsung, observasi peran serta, dan perangkat fisik (Yin

2008: 103). Keenam sumber bukti ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga sumber

data yaitu dokumen dan rekaman arsip dikelompokkan ke dalam sumber dokumen,

wawancara bersumber dari orang/informan, dan observasi langsung, observasi peran

Page 119: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

serta dan perangkat fisik dikelompokkan ke dalam sumber observasi. Berkenaan

dengan penelitian ini data akan dihimpun dari sumber dokumen, rekaman arsip,

wawancara, dan observasi langsung. Semua sumber bukti ini akan ditetapkan

dengan teknik purposive sampling yaitu sumber-sumber yang datanya dapat

digunakan untuk menjelaskan fokus penelitian

Sumber-sumber data ini dikelompokkan menjadi dua yaitu sumber data primer

dan sumber data sekunder. Semua sumber data yang disebutkan sebelumnya yang

datanya berkaitan langsung dengan kasus yang diteliti dikelompokkan ke dalam

sumber data primer. Sedangkan semua sumber data yang datanya tidak berkaitan

langsung/hanya sebagai data pendukung dengan kasus yang diteliti dikelompokkan

ke dalam sumber data sekunder.

F. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik

mencatat atau merekam dari berbagai sumber, baik melalui wawancara, observasi

maupun dari dokumen yang ada pada dinas/badan/kantor yang terkait. Untuk

menghindari kelemahan dari aspek representativeness, maka data yang berhasil

dikumpulkan diverifikasi melalui wawancara dengan beberapa orang yang dianggap

mempunyai keterkaitan atau memahami substansi dari data tersebut. Jika dianggap

perlu, data temuan dibandingkan dengan data yang tersedia, sehingga keakuratan

data dapat lebih terjamin.

Pengumpulan data yang dilakukan dengan teknik wawancara mendalam

melibatkan aparatur pemerintah, yaitu: Kepala Kantor Pertanahan, Para Kepala

Seksi dalam lingkup Kantor Pertanahan Kota Makassar, Camat, Lurah, dan staf

terutama yang berkaitan dengan pelayanan administrasi pertanahan, serta tokoh

Page 120: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

masyarakat dan masyarakat pengguna layanan. Instrumen pendukung dalam proses

wawancara antara lain pedoman wawancara, catatan wawancara, dan jika

memungkinkan menggunakan alat perekam.

Penentuan informan dilakukan secara purposive, dengan maksud untuk

memperoleh informasi sebanyak mungkin dengan tetap menjaga relevansi dengan

konteks penelitian. Seluruh hasil wawancara direkonstruksi menjadi berkas-berkas

catatan lapangan, kemudian membaca secara cermat, menyusun serta mengajukan

pertanyaan-pertanyaan analitik dalam rangka mendapatkan informasi yang lebih

baik dan mendalam serta untuk memberikan dasar bagi analisis lebih lanjut.

Penelitian lapangan dilakukan bersamaan dengan analisis selama pengumpulan

data (analysis during data collection). Pada saat penelitian berakhir, maka peneliti

melakukan analisis pasca pengumpulan data (analysis after data collection).

Sedangkan pada tahap pasca kegiatan penelitian, peneliti berkonsentrasi pada

pengolahan dan interpretasi data.

G. Teknik Analisis Data

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka metode analisis data yang digunakan

adalah kualitatif deskriptif. Melalui teknik tersebut, akan digambarkan seluruh fakta

yang diperoleh dari lapangan dengan menerapkan prosedur sebagai berikut:

analisis deskriptif kualitatif dengan mengembangkan kategori-kategori yang

relevan dengan tujuan penelitian. Penafsiran terhadap hasil analisis deskriptif

kualitatif dengan berpedoman kepada teori-teori yang sesuai.

Menurut Miles dan Huberman (1992:16), secara umum analisis data kualitatif

terdiri dari 3 (tiga) alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan masing-masing

adalah :

Page 121: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

1. Reduksi Data

Reduksi data yaitu sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari

catatan-catatan tertulis dilapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk

analisis yang memanajemen, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang

tidak perlu dan mengoordinasi data dengan cara sedemikian rupa hingga

kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.

2. Penyajian Data

Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis data adalah penyajian

data dalam bentuk sekumpulan informasi yang tersusun secara lebih sistematis

yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan. Dengan melihat penyajian data kita akan dapat memahami apa yang

sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan, lebih jauh menganalisis atau

mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian-

penyajian data tersebut. Data dapat disajikan dalam bentuk matriks, jaringan

grafik, bagan dan sebagainya yang mempermudah peneliti memahami pola

umum dari data atau informasi yang diperoleh.

3. Menarik Kesimpulan/Verifikasi

Pengambilan kesimpulan pada hakekatnya adalah memberi pemaknaan

dari data yang diperoleh. Untuk itu sejak pengumpulan data awal, peneliti

berusaha memaknai data yang diperoleh dengan cara mencari pola, model, tema,

hubungan persamaan, alur sebab-akibat dan hal lain yang sering muncul. Pada

awalnya kesimpulan itu masih kabur tetapi semakin lama kesimpulan akan

semakin jelas setelah dalam proses selanjutnya didukung oleh data yang semakin

Page 122: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

banyak. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian

berlangsung. Singkatnya makna-makna yang muncul dari data harus diuji

kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya sehingga akan diperoleh satu

keyakinan mengenai kebenarannya.

H. Pengecekan Validitas Temuan

Dalam rangka menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik

pemeriksaan atau pengecekan validitas temuan. Di dalam penelitian ini, teknik yang

akan digunakan adalah; perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, dan

pemeriksaan sejawat melalui diskusi.

Perpanjangan keikutsertaan peneliti diharapkan akan meningkatkan derajat

kepercayaan data yang dikumpulkan. Sedangkan ketekunan pengamatan bermaksud

menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan

persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal

tersebut secara rinci. Untuk lebih meningkatkan keakuratan data, maka akan

dilakukan pemeriksaan sejawat melalui diskusi, yaitu dengan cara mengekspos hasil

sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan

rekan-rekan sejawat.

Page 123: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

I. Tahap Dan Jadwal Penelitian

Tahapan Kegiatan Penelitian

2012 2013

Jan Peb Mart

Aprl Mei Juni Juli Agst Sep Okt Nov Des Jan Peb Mart Aprl Mei

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17Penulisan Proposal dan bimbinganSeminar ProposalPersiapan lapanganPenelitian lapangan dan penulisan drafKonsultasi Seminar HasilPerbaikan Ujian TutupPromosi

Page 124: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

DAFTAR PUSTAKA

Albrow, Martin,1989. Birokrasi.Yogyakarta: PT. Tiara Wacana

Andrianto, Nico. 2007. Good E-Government: Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui E.Governement. Malang: Bayu Media Publishing.

Armstrong, Michael and Angela Baron. 1998. Performance Management the New Realities, Institute of Personnel and Development, London.

Arep, Ishak dan Hendri Tanjung. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti.

Bellion, Carl J.,1980. Organization Theory and The New Public Administration. Boston, Massachusetts: Allyn and Bacon Inc.

Bertens, K., 1993. Etika. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Bethan David, 1990. Birokrasi, Bumi Aksara, Jakarta

Bevir, Mark (editor), 2007. Encyclopedia of Governance, SAGE Publication, Thousand Oaks-London-New Delhi.

Blau Peter M dan Marshall W. Meyer, 2000. Birokrasi Dalam Masyarakat Modern, Penerbit Prestasi Pustakaraya, Jakarta.

Blumberg, M. dan Charles D.Pringgle. 1992. The Missing Opportunities of Organizational Research : Some Implications for a theory of work performance. Academy of Management Review, Vol. 7, No. 4.

Bouckaert, G., Verhoest, K. and Verschuere, B., 2003, Public Management and Governance: An Introductory Text, London: Routledge.

Bryant, Caroline., dan Louise G White. 1989. Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang, LP3ES, Jakarta.

Caiden,G.E, 1991. Administrative Reforms Comes of Age, New York, Walter de Gruyter.

Caiden, G.E., 1991. “What Really is Public Administration?” dalam Public Admnistration Review, Vol.51, No. 6.

Page 125: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Chandler Ralph C. and and Plano Jack, C. 1982. The Public Administration Dictionary, John Wiley & Sons, New York, Brisbane,

Crouch, Harold, “Patrimonialism and Military Rule in Indonesia,” dalam World Politics, Vol. 31, 1989.

Cooper,P.J. 1998. Public Administration for the Twenty-first Century. Orlando, Florida, : Harcourt Brace.

Davis, Keith dan John W. Newstrom. 1985. Perilaku dalam Organisasi, Penerbit Erlangga

Denhardt Robert B. dan Denhardt Janet V. 2006. Public Administration: An Action Overview, Fifth Edition.

---------------, 2003. The New Public Service Serving, not Steering, M.E. Sharpe,

Armonk New York, London England.

Denzin, Norman K., & Lincoln, Yvonna S., 2009. Handbook Of Qualitative Research., Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Dessler, Gary. 2000. Human Resource Management. New Jersey 07458, Prentice Hall Inc.

Denhardt Robert, B. and Janet V. Denhardt. 2006. Public Administration:An Action Overview, Fisth Edition, Thomson Wadsworth, United States of America.

Derhart Janet V. dan Robert B. Denhart, 2007. The New Public Service – Serving, Not Steering, Expanded Edition, M.F. Sharpe, Armonk, New York, London, England

Donovan, F. & A.C. Jackson. 1991. Managing Human Service Organization. New York, N.Y. Prentice Hall.

Dwiyanto Agus, dkk. 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.

---------------, 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Seri Kajian Birokrasi: Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Dwiyanto Agus (editor), 2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Page 126: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

---------------, 2010. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

---------------, 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.

Dwiyanto, Agus, dkk., 2008. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Eisanstadt, S.N, 1973. Traditional Patrimonialism and Modern Neopatrimonialism. California: Sage Publications.

Farazmand, Ali (ed). 2009. Bureaucracy and Administration, New York: Taylor & Francis Geou

Fink, Hans, 2003. Filsafat Sosial Dari Feodalisme Hingga Pasar Bebas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Frederickson, George H., (terjmh), 1987. Administrasi Negara Baru. Jakarta: LP3ES.

Frederickson, George H., 1977. Spirit of Public Administration. Jossey Bas Public Administration Series. Alabama.

Frederickson, George, H., dan Kevin B. Smith, 2003. The Public Administration Theory Primer. Westview Press.

Gareth R. Jones, 2007. Organizational Theory, Design and Change. New Jessey : Pearson Prentice Hall.

Gerlof,E.A. 1985. Organizational Theory and Design: A Strategi Aproach For Management. Singapura:McGraw-Hill.

Golembbiewski, Robert T. 2003. Ironies in Organization Development , New York: Marcell Dekker.

Gruber, J>E. (1988). Controlling Bureaucracies: Dilemmas in Democratic Governance. Berkeley: University of California Press.

Hardiman, Budi F. 2009. Demokrasi Deliberatif – Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jürgen Hubermas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Harmon, M.M, 1995. Responsibility as Paradox: A Critique of Rational Discourse on Gornment. London Sage Publications.

Haryatmoko, 2011. Etika Publik : Untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi. Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama.

Page 127: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Hasibuan, Malayu SP. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi. Jakarta :Penerbit Bumi Aksara.

Hatch,M.J. 1997. Organization Theory Modern, Symbolic, and Post Modern Perspective Oxford Univ. Press.

Hatch Mary Jo dengan Cunliffe Ann, L. 2006. Organization Theory, Modern, Syimbolic, and Postmodern Perspectives, Second Edition, Oxford University Press.

Henry Nicholas, 1995. Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Publik, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Heselbein, Prances, Marshal Goldsmith dan Richard Beckhard. 2001. Organisasi Masa Depan (terjemahan). Jakarta: PT. Elex Media Komputelindo.

Hidayat, Syarif, 2007. Too Much Too Soon: Local State Elite’s Perspective On and The Puzzle Of Contemporarry Indonesian Regional Autonomy Policy. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Hood, Christopher, 1995/ “The New Public Management’ in the 1980s: Variations on the theme” , Accounting, Organization and Society. Volume 20 Number 2/3.

Huberts, Maesschalek & Jurkiewicz, (ed.), 2008. Ethics and Integrity of Governance: Perspectives Actors Frontiers. Edward Elgar, Cheltenham, UK- Northampton, MA, USA.

Hughest, K, Eds. The Future of UK Compettitiveness and Role of Industrial Policy. London :Policy Studies Institute

Hutagalung, Arie Sukanti dan Gunawan, Markus, 2008. Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan. jJakarta: RajaGrafindo Persada.

Irmawati. 2004. Peranan Goal Setting Dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Kerja Karyawan. Medan: Digitized by USU.

Istianto, Bambang.2011. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Ivancevich, M.John. 2007. Perilaku dan Manajemen Organisasi (Jilid 2). Jakarta: Erlangga.

Jabbra, G.Joseph dan O. P. Dwivedi, 1988. Public Service Accountability: A Comparative Perspective, Kumarian Press Inc.

Page 128: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Jackson, Karl D., Bureaucratic Polity A Theoritical framework For The Analysis of Power and Communication in Indonesia, Berkeley: University of California, 1988.

Jones, Greath R., 2007. Organizational Theory, Design, and Change, Fifth Edition, Pearson Prentice Hall.

Kane, Kimberly ,F. 1993. Situational Faktors and Performance: An Overview . Dalam Human Resources Management Review, Vol.3 No.2.

Kaloh, J. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: Rineka Cipta.

Keban, T. Yeremias, 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep Teori dan Isu. Yogyakarta: Gaya Media.

Kettl, Donald, F., 2002. The Transformation of Governance : Public Administration for Twenty –First Century America. Baltimore and London: The John Hopkins University Press.

Kumorotomo, Wahyudi, 2002. Etika Administrasi Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Kusdi, 2009.Teori Organisasi dan Administrasi. Jakarta: Salemba Humanika

------, 2011. Budaya Organisasi: Teori, Penelitian, dan Praktek. Jakarta: Salemba Empat.

LeMay, C. Michael, 2006. Public Administration : Clashing Values in the Administration of Public Policy.Thomson Wadsworth.

Lipsky, Michael, 1980. Street Level Bureaucracy; Dilemas of The Individual in Public Service. Russel Sage Foundation, New York.

Mangkunegara, Prabu, Anwar. 2008. Perilaku dan Budaya Organisasi. Bandung: Reflika Aditama.

Menzel, Donal C., 2007. Ethics management For Public Administration; Building Organization of Integrity. ME. Sharpe, Inc. Anmork, New York.

Miles, Mathew B., dan Huberman, A. Michael, 1992. Analisisi Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Penerjemah: Tjetjep Rohendi Rohidi, Jakarta: University Press.

Moleong, Lexy J., 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Page 129: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Monsod, T.C., 2008.The Philippine Bureaucracy: Incentive Structures and implications for Performance. Human Development Network (HDN) Discussion Paper Series, No.4.

Morgan, G, 1986. Images Of Organization. Beverly Hils, Ca: Sage Puvlications.

Muhammad, Fadel. 2008. Reiventing Local Government: Pengalaman Dari Daerah. Jakarta: PT. Elex Komputindo.

Mulder, N. 1985. Pribadi dan Masyarakat Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.

Muluk,, Khairul, 2006. Desentralisasi Pemerintahan Daerah. Malang: Bayumedia Publishing & Center For Indonesian Reform.

Nasucha, Chaizi, 2004. Reformasi Administrasi Publik: Teori dan Praktek. Jakarta: Grasindo.

Nawawi, Ismail, 2009. Perilaku Administrasi: Kajian, Teori, dan Pengantar Praktek. Surabaya: ITSPress.

Nurmandi, Achmad, 2010. Manajemen Pelayanan Publik. Yogyakarta: Sinergi Visi Utama.

Osborne, D. and Gaebler, T. 1993. Reinventing Governent: How the Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sektor New York : Plume.

Osborne, D. and Plastrik, P., 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reiventing Government. Addison-Wesley, reading, MA. .

Permana, Surya, 2008. Kebijakan Publik: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Pollit, Christopher. 1993. Managerialism and Public Service The Ango-American Experience 2end Edition: Oxford University Press.

Pramusinto, Agus & Kumorotomo. 2009. Governance Reform di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik yang demokratis dan Birokrasi yang Professional. Yogyakarta: Gaya Media

Pramusinto dan Purwanto (ed), 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Gaya Media.

Pye,L.W. 1978. “Participation and Authority”, dalam Verba,S. & Pye (ed). The Citizen and Politics: A Comparative. Standford: Grey Look Ltd.

Rakhmat, 2009. Teori Administrasi dan Manajemen Publik. Tangerang-Banten: Pustaka Arif.

Page 130: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Ripley, R.B & Frranklin, G.A. (1986). Policy Implementation and Bureaucracy. Chicago : The Dosey Press.

Robbins, P.Stephen, 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Jakarta: Arcan.

---------------, 2003. Perilaku Organisasi, (Jilid 1 dan 2). Jakarta : PT. Indeks Kelompok Gramedia.

Rosenbloom, David H. & Kravchuk, Robert. S. 2005. Public Administration Understanding Management, Politics and Law in the Public Sector. USA: Mc.Graw Hill.

Ruky, Ahmad.S. 2001. Sistem manajemen Kinerja. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Ryavec, Karl W., 2003. Russian Bureaucracy Power and Pathology. Rowman & Littlefield Publisher, Inc. Lanham-Boulder-New York—Toronto-Oxford.

Sampford, Charles & Preston, Noel, (ed), 1998. Public Sektor Ethics. The Federation Press/ Routledge.

Sangkala, 2007. Knowledge Management: Suatu Pengantar Memahami Bagaimana Organisasi Mengelola Pengetahuan sehingga Menjadi Organisasi yang Unggul, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Sangkala 2010. Perubahan Paradigma Administrasi Negara dan Implikasinya Terhadap Karakter dan Desain Birokrasi Dalam Pelayanan Publik, Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Manajemen Publik, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Santoso, Urip, 2005. Hukum Agraria dan hak-Hak Atas tanah. Jakarta: Kencana.

Sedarmayanti, 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia: Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Bandung: Aditama.

-----------------, 2010. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik. Bandung: Aditama.

Shafritz, Jay M. dan Ott, J. Steven, 1987. Classics of Organization Theory, Second Edition, Brooks/Cole Publishing Company Pasific Grove, California.

Shafritz, Jay M. ed., 2000. Defining Public Administration Selections from the International Encyclopedia of Public Policy and Administration, Westview, A Mamber of the Perseus Books Group.

Page 131: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Shafritz, Jay M., Hyde, Albert, C. Parkes, Sandra, J. 2004 . Classics of Public Administration, Fifth Edition, Thomson.

Siagian, Sondang P. 1994. Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi, dan Terapinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Siagian, P. Sondang, 2000. Administrasi Penbangunan. Jakarta: Bumi Aksara.

Sigit, Soehardi. 2003. Perilaku Organisasional (Esensi). Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.

Sinambella, Poltak, Lijan, 2006. Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Sjamsuddin, Sjamsiar, 2005. Kepemerintahan & Kemitraan. Malang: Yayasan Pembangunan Nasional & CV. Sofa Mandiri.

Smith, B.C, 1985. Dezentralization: The teritorial Dimension of the State . London : George Allen & Urwin.

Sobhan, Syafuan Rozi, 2000, Masalah Birokrasi di Indonesia. Jurnal Transparansi, Edisi 18 Maret 2000.

Steer, M. Richard, 1977. Organizational Effectiveness A Behavioral View. Santa Monica,, California: Goodyear Publishing Inc.

Stinger, Robert. 2002. Leadership and Organizational Climate: The Cloud Chamber Effect. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

Subiyanto, Ibnu. 2002. Peluang dan Tantangan Peningkatan Pelayanan Kepada Masyarakat di Era Desentralisasi, Jakarta: Bappenas.

Sukidin dan Damai Darmadi., Administrasi Publik. Yogyakarta: LaksBang Pressindo.

Sulistiyani, Ambar T. (ed), 2011. Memahami Good Governance Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Gaya Media.

Sumihardjo, Tumar, 2008. Penyelenggaaan Pemerintahan Daerah Melalui Pengembangan Daya Saing Berbasis Potensi Daerah. Bandung: Fokusmedia.

Thoha, Miftah. 2002. Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: PT, RajaGrafindo Persada.

----------------.2002. Perspektif Perilaku Birokrasi (Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Jilid II. Jakarta: PT Rajagrafindo persada.

Page 132: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

----------------,2005. Birokrasi Politik di Indonesia. Jakarta :PT. RajaGrafindo Persada.

----------------,2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Jakarta: Kencana.

----------------, 2008. Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

----------------, 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta: Kencana.

Travers, Max, 2007. The New Bureaucracy: Quality Assurance and Its Critics. The Policy Press University of Bristol UK.

Vroom, V., 1964. Work and Motivation. New York: Wiley.

Waters, Malcolm, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications, London, Thousand Oaks, New Delhi.

Weber, Max, (terjmh), 2009. Sosilogi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Widaningrum, Ambar, 2009. Reformasi Manajemen Pelayanan Kesehatan, dalam Pramusinto dan Purwanto (ed). Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan Publik: Kajian tentang pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Yogyakarta; Gaya Media.

Wilson, James Q.,1989. Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do It. Basic Book. United State Of America.

Winardi, J. 2004. Manajemen Perilaku Organisasi, (Edisi Revisi). Jakarta : Penerbit Kencana.

--------------. 2004. Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Yin, Robert, K. 1996. Studi Kasus :Desain dan Metode. Jakarta: RajaGrafindo.

Page 133: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc

Publikasi Khusus dan Dokumen

Baharuddin, 2010, Signifikansi Kompetensi dan Komitmen Pimpinan terhadap Kinerja Aparatur Pelayanan Publik (Studi Pada Kantor Badan Pertanahan Kota Makassar, Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa), Disertasi pada Pascasarjana Unhas, Makassar.

Paris, A. Yuliani, 2007. Etika Aparatur Pemerintah Dalam Pelayanan Publik

(Kasus Badan Pertanahan DKI Jakarta, Disertasi pada Pascasarjana Unhas, Makassar.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Pelayan Publik dan Penyelenggara Pelayanan Publik Di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Page 134: PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc