Download - PROPOSAL DISERTASI A.M.RUSLI.doc
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat yang kehadirannya
tidak mungkin terelakkan. Birokrasi adalah sebuah konsekuensi logis dari
diterimanya suatu asumsi bahwa negara mempunyai kewajiban mulia yaitu untuk
mensejahterakan rakyatnya melalui media birokrasi. Sebagai perwujudan dari
kewajiban tersebut, maka negara dituntut untuk terlibat langsung menyediakan
barang dan jasa publik yang diperlukan oleh rakyatnya. Negara secara aktif terlibat
dalam kehidupan sosial rakyatnya, bahkan jika perlu negara yang memutuskan apa
yang terbaik bagi rakyatnya. Dalam rangka itulah, maka negara membangun suatu
sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang
disebut dengan istilah birokrasi.
Sekalipun tingkat sosial dan ekonomi suatu masyarakat telah meningkat, peran
pemerintah tetap diperlukan untuk melaksanakan fungsi regulasi, alokasi, distribusi,
pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Fungsi-fungsi ini harus dilaksanakan oleh
pemerintah agar tercapai keadilan dan pemerataan dalam masyarakat. Inti
pemerintahan adalah sistem birokrasi yang diharapkan dapat menjalankan perannya
secara optimal melalui fungsi-fungsi tersebut. Dalam kenyataannya, keberadaan
birokrasi pemerintah seringkali dipandang secara dikotomis, selain dibutuhkan
untuk melaksanakan urusan pemerintahan sehari-hari, birokrasi juga seringkali
dianggap sebagai sistem yang menyebabkan jalannya pemerintahan dan layanan
publik tersendat dan bertele-tele.
Gejala patologi (penyakit) birokrasi tersebut telah lama menggerogoti sistem
birokrasi pemerintahan di Indonesia. Patologi birokrasi merupakan sesuatu yang
kompleks, karena memiliki keterkaitan dengan berbagai aspek organisasional, baik
yang menyangkut struktur maupun kultur. Bentuk-bentuk patologi dan berbagai
penyebabnya pada dasarnya dapat diidentifikasi, namun terapi atau solusi untuk
mengatasinya bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini seperti yang dialami di
Indonesia, dimana reformasi birokrasi telah lama dilakukan oleh pemerintah, namun
sampai saat ini sistem birokrasi belum mampu mengatasi berbagai permasalahan
yang dihadapi.
Identifikasi terhadap bentuk-bentuk patologi birokrasi telah dilakukan oleh
beberapa pakar administrasi, seperti yang akan diuraikan secara rinci pada bagian
tinjauan pustaka. Beberapa pemikiran yang berkaitan dengan itu antara lain Caiden
(dalam Jurnal Public Administration Review Vol. 51 No. 6, hal. 492) yang secara
alfabetikal merinci adanya 175 penyakit dalam organisasi termasuk birokrasi.
Demikian juga halnya dengan Siagian yang mengidentifikasi bentuk-bentuk
patologi ke dalam lima kategori kelompok, yaitu: (1) Patologi yang timbul karena
persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi; (2) Patologi yang
disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan para
petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional; (3) Patologi yang timbul karena
tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; (4) Patologi yang dimanifestasikan dalam
perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional atau negatif; (5) Patologi yang
merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan
pemerintahan (Siagian,1994:36).
Berkaitan dengan pelayanan publik dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
rakyat, birokrasi publik tentunya memberikan kontribusi yang sangat besar, karena
semua yang termasuk dalam lingkup penyelenggaraan negara tidak terlepas dari
koteks public service dan public affairs. Barang dan jasa publik hendaknya dapat
dikelola secara efisien dan efektif. Sedangkan konsekuensi dari pengelolaan tersebut
menjadi tanggung jawab birokrasi. Dengan demikian peran pemerintah yang sangat
strategis tersebut akan banyak ditopang oleh bagaimana birokrasi publik mampu
melaksanakan tugas dan fungsinya.
Tantangan besar yang dihadapi birokrasi adalah bagaimana mereka mampu
melaksanakan kegiatan secara efisien dan efektif, karena selama ini birokrasi
diidentikkan dengan kinerja yang berbelit-belit, struktur yang terlalu besar, penuh
dengan kolusi, korupsi dan nepotisme, serta tidak ada standar yang pasti. Sejumlah
patologi birokrasi tersebut menjadi hambatan yang sangat berarti dalam rangka
perwujudan suatu pelayanan yang memuaskan masyarakat. Atas dasar itulah
sehingga birokrasi Indonesia sangat jauh dari apa yang disebut good governance.
Birokrasi bagi sebagian orang dimaknai sebagai prosedur yang berbelit-belit,
menyulitkan dan menjengkelkan. Namun bagi sebagian yang lain birokrasi
dipahami dari perspektif yang positif yakni sebagai upaya untuk mengatur dan
mengendalikan perilaku masyarakat agar lebih tertib. Ketertiban yang dimaksud
adalah ketertiban dalam hal mengelola berbagai sumber daya dan mendistribusikan
sumber daya tersebut kepada setiap anggota masyarakat secara berkeadilan.
Pendapat yang berbeda di atas dapat dipahami dari perspektifnya masing-
masing. Bagi yang berpandangan posisif terhadap birokrasi maka baginya birokrasi
adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi bagi mereka yang berpandangan negatif
maka birokrasi justru menjadi salah satu penghalang tercapainya tujuan. Pandangan
negatif terhadap birokrasi bukan muncul tanpa alasan, melainkan melalui suatu
proses interaksi dalam pola hubungan antara aparat birokrasi dengan masyarakat,
baik dalam tataran pembuatan kebijakan maupun dalam tataran implementasi
kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik.
Konteks hubungan birokrasi dengan masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik sudah sangat lama terdengar keluhan, namun sampai saat ini
belum ada perubahan yang berarti. Bahkan, harapan masyarakat bahwa pergantian
rezim akan membawa perbaikan terhadap penyelenggaraan layanan publik ternyata
tidak pernah terwujud. Pemerintahan sudah mengalami pergantian selama beberapa
kali, tetapi perilaku birokrasi terutama dalam pelayanan publik belum banyak
berubah.
Keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik secara garis besar ditentukan
oleh 3 (tiga) aspek, yaitu: bagaimana pola penyelenggaraannya, dukungan sumber
daya manusia dan kelembagaan (organisasi). Berdasarkan ketiga aspek tersebut,
maka penelitian ini akan diarahkan untuk mengkaji aspek sumber daya manusia
dengan penekanan pada perilaku aparat birokrasi dalam pelayanan publik, terutama
perilaku yang berisifat patologis. Perilaku birokrasi yang bersifat patologis bukanlah
merupakan hal yang berdiri sendiri, tetapi merupakan hasil interaksi antara berbagai
aspek, seperti struktur birokrasi, serta berbagai aspek yang ada dalam lingkungan,
terutama aspek budaya, serta aspek penerapan teknologi, terutama teknologi
informasi sebagai penunjang dalam pemberian layanan.
Birokrasi sebagai konsep, pengetahuan dan teknik secara umum pada
kenyataannya dapat dipergunakan di setiap organisasi manapun, yang
memanfaatkan untuk kepentingan kelancaran jalannya pencapaian tujuan organisasi
tersebut. Dalam melaksanakan fungsinya birokrasi dapat tampil dalam dua sisi,
yaitu satu sisi yang baik dan satu sisi yang lain adalah menunjukkan gambaran
birokrasi yang buruk atau biasa disebut dengan patologi birokrasi.
Patologi birokrasi dalam konteks pemikiran paradigmatis tentu tidak dapat
dipisahkan dengan teori Weber tentang birokrasi. Kast dan Rosenzweig (1981)
membagi perkembangan paradigmatis dalam bidang pengetahuan organisasi dan
manajemen dalam tiga kelompok, yaitu; (1) Konsep Organisasi dan Manajemen
Tradisional, (2) Konsep Perilaku dan Ilmu Manajemen, (3) Konsep Organisasi dan
manajemen Modern. Teori Weber dikelompokkan dalam Konsep Organisasi dan
Manajemen yang terdapat pada paradigma 1 dan 2 Nicholas Henry atau paradigma 1
Frederickson (Sedarmayanti, 2010:11)
Kemudian dalam perspektif teori organisasi, patologi birokrasi dapat ditelusuri
melalui evolusi teori seperti yang dikemukakan oleh Robbins (1994: 33) bahwa teori
organisasi yang ada sekarang ini merupakan hasil dari sebuah proses evolusi.
Selama beberapa dekade, para akademisi dan praktisi dari beberapa latar belakang
dan perspektif telah mengkaji dan menganalisis organisasi-organisasi. Dalam
pemetaan evolusi teori, Weber berada dalam klasifikasi teoritis tipe 1 yang dicirikan
dengan perspektif tujuan rasional dengan tema utama efisiensi-mekanis. Ciri ini
mewarnai birokrasi sebagai suatu organisasi yang kemudian dikritik oleh para
teoritikus berikutnya yang berada dalam klasifikasi teoritis tipe 2 yang lebih
mengutamakan orang dan hubungan manusia. Salah satu teoritikus dalam tipe ini
adalah Bennis yang terkenal dengan pidatonya ”matinya birokrasi” (Robbins,
1994:45).
Berdasarkan pemetaan evolusi teori tersebut di atas, maka munculnya patologi
birokrasi mungkin salah satu penyebabnya adalah sifatnya yang sangat mekanis,
sementara dalam organisasi faktor-faktor yang sifatnya humanis justru memegang
peranan yang sangat penting, karena berkaitan langsung dengan manusia yang
memiliki karakteristik yang sangat heterogen. Munculnya berbagai bentuk patologi
birokrasi sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia sebagai aktor kunci dalam
penyelenggaraan tugas-tugas organisasi.
Secara obyektif sebenarnya harus diakui bahwa birokrasi memiliki ciri-ciri
ideal dipandang dari aspek formalnya. Menurut Weber (dalam Albrow, 1989:33),
secara rasional birokrasi memiliki ciri-ciri, yaitu: Para anggota staf secara pribadi
bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan mereka. Ada hirarki
jabatan yang jelas. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara jelas. Para pejabat
diangkat berdasarkan suatu kontrak. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi
professional, idealnya berdasarkan suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui
ujian. Mereka memiliki gaji dan biasanya ada hak-hak pensiun, gaji berjenjang
menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya dan
dalam keadaan-keadaan tertentu ia dapat diberhentikan. Pos jabatan adalah lapangan
kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya. Terdapat suatu struktur karir, dan
promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut
pertimbangan keunggulan (superior). Pejabat mungkin tidak sesuai baik dengan
posnya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut. Ia tunduk
pada sistem disipliner dan kontrol yang seragam.
Kalau dalam kenyataan praktek kerja ciri-ciri ideal tersebut luntur dan berubah
menjadi sesuatu yang buruk dan merugikan, berarti memerlukan modifikasi serta
perubahan dan pengembangan. Dengan kata lain, bahwa birokrasi dalam perspektif
Weberian adalah birokrasi yang sehat, namun dalam penerapannya mengalami
banyak kendala yang menyebabkan birokrasi tersebut tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. Kondisi inilah yang menyebabkan birokrasi diasumsikan sebagai organ
yang terjangkiti oleh penyakit atau dalam istilah yang lazim disebut dengan patologi
birokrasi.
Istilah “patologi” dalam ilmu kedokteran diartikan sebagai ilmu tentang
penyakit. Pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang
mungkin diderita oleh manusia, meskipun sekaligus dimaklumi bahwa tidak ada
manusia yang menderita semua jenis penyakit dalam waktu yang bersamaan.
Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi
pemerintah negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul,
baik yang sifatnya politis, ekonomi, sosio-kultural dan teknologikal, berbagai
“penyakit” yang mungkin sudah “dideritanya” atau mengancam akan
“menyerangnya” perlu diidentifikasikan untuk kemudian dicarikan terapi
pengobatannya yang paling efektif (Siagian, 1994: 35).
Patologi birokrasi dalam konteks ini difahami sebagai kajian dalam Ilmu
Administrasi Publik untuk memahami berbagai penyakit yang melekat dalam suatu
birokrasi, sehingga menyebabkan birokrasi mengalami disfungsi. Bahkan para
ilmuan administrasi publik sudah sejak lama menggunakan istilah patologi birokrasi
untuk menjelaskan berbagai bentuk penyakit birokrasi, seperti Gerald E. Caiden
(1991) menggunakan istilah bureaupathologies untuk mengemas berbagai bentuk
penyakit birokrasi dan Barry Bozeman (2000) menggunakan bureaucratic
pathology untuk menjelaskan red-tape sebagai salah satu penyakit birokrasi, serta
Sondang P. Siagian (1994) yang meskipun diawal bukunya menjelaskan patologi
sebagai ilmu tentang penyakit yang melekat pada organ manusia, namun pada
bagian-bagian selanjutnya Siagian menggunakan istilah itu seolah sebagai penyakit
dari birokrasi itu sendiri (Dwiyanto, 2011:59)
Berbagai jenis atau bentuk penyakit birokrasi yang sudah sangat dikenal dan
dirasakan masyarakat, antara lain ketika setiap mengurus sesuatu di kantor
pemerintah merasakan prosedur yang berbelit-belit, lamban atau membutuhkan
waktu yang lama, membutuhkan biaya yang besar termasuk biaya-biaya tambahan,
pelayanan yang kurang ramah, terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme,
dan lain-lain. Menghadapi berbagai penyakit birokrasi tersebut menyebabkan
kinerja birokrasi sampai dewasa ini belum menunjukkan perubahan yang signifikan.
Kenyataan ini memberi suatu isyarat bahwa reformasi birokrasi memang perlu
dilakukan dalam rangka perubahan yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan
masyarakat. Menurut Hughes alasan untuk melakukan reformasi adalah dalam
rangka: (1) merealisasikan pendekatan baru untuk menjalankan fungsi pelayanan
publik yang lebih baik ke arah manajerial daripada sekedar administratif, (2) sebagai
respon terhadap skala penanganan dan cakupan tugas pemerintah, (3) perubahan
dalam teori dan masalah ekonomi, dan (4) perubahan peran sektor swasta dalam
penyelenggaraan pelayanan publik (Widaningrum, 2009: 355).
Belum optimalnya perubahan pada tubuh birokrasi dikarenakan secara internal
masih menghadapi beberapa kendala antara lain; Pertama, dalam sudut pandang
aparatur birokrasi, terutama pola karier tidak berjalan dengan semestinya yaitu
masih banyak penempatan pejabat tidak menggunakan prinsip “knowledge and
basic competention”, tetapi lebih kental dengan orientasi kedekatan atau nepotisme.
Kedua, perkembangan dewasa ini cenderung semakin marak praktek “politisasi
birokrasi”, menyebabkan terjadi disorientasi terhadap professionalisme dan
kompetensi. Ketiga, desain organisasi pemerintahan masih cenderung berbadan
gemuk, sehingga tidak efisien dan efektif. Keempat, struktur organisasi
pemerintahan yang kecil dan rampaing, berbentuk “flat” yang lebih mengandalkan
keahlian dan kompetensi sebagai tenaga fungsional, sampai saat ini belum juga
dilaksanakan sebagai kebijakan nasional dalam reformasi birokrasi bidang
kelembagaan. Kelima, seiring dengan arah kebijakan perbaikan renumerasi pegawai,
belum menunjukkan keseriusan pemerintah menetapkan perubahan renumerasi di
setiap unit instansi pemerintah. Keenam, penataan alokasi fasilitas kerja pada semua
jabatan negeri secara adil dan merata, belum menjadi landasan kebijakan yang
komprehensif dalam mengelola sumber daya aparatur yang profesional dan
kompetens (Istianto,2011:143).
Patologi birokrasi dan kendala internal birokrasi sebagaimana diuraikan di atas,
merupakan faktor hambatan yang saling berpengaruh dan bersifat kausalitas.
Walaupun sesungguhnya pemerintah telah lama berupaya melakukan
penyempurnaan dan pembaharuan birokrasi, namun dampak buruk dari patologi
birokrasi kenyataannya telah menghambat upaya pelaksanaan pembangunan di
segala bidang. Menelusuri sejarah penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia,
berbagai upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah dalam rangka pembaharuan
birokrasi, antara lain; Sejak pemerintahan Orde Lama., dengan program “retooling
aparatur”. Kemudian pada jaman periode pemerintahan Orde Baru, dengan melalui
program “Pengawasan dan Penertiban serta Pendayagunaan Aparatur”. Bahkan di
era reformasi dan pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, kementerian yang
menangani pembinaan aparatur birokrasi telah berubah nomenklaturnya menjadi
“Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi”. Hal ini
menunjukkan bahwa fokus perhatian pemerintah kearah perbaikan dalam
pembinaan aparatur birokrasi sudah menjadi kebijakan yang lebih prioritas.
Meskipun demikian upaya pemerintah yang sudah menunjukkan keseriusan tersebut
belum memperlihatkan hasil yang optimal, sehingga melahirkan pertanyaan ada apa
dengan birokrasi pemerintah Indonesia?. Pertanyaan ini juga menjadi suatu hal yang
mendorong untuk mengkaji dan menelusuri berbagai problematika yang dihadapi
birokrasi pemerintah di Indonesia, meskipun dalam lingkup lembaga birokrasi
pemerintah yang terbatas yaitu birokrasi pelayanan administrasi pertanahan sebagai
bahagian dari sistem kelembagaan birokrasi publik.
Gambaran mengenai hubungan birokrasi dan masyarakat akan lebih jelas
melalui penelusuran berbagai agenda penelitian yang telah dilakukan oleh para
ilmuan terdahulu. Karl D. Jackson (1988) tentang Bureaucratic Polity a Theoritical
Framework for the analicys of Power and Communication in Indonesia”. Hasil
penelitiannya menunjukkan adanya dominasi birokrasi atas proses politik, dan
keterasingan kekuatan sosial politik di luar birokrasi dari proses pembuatan
pelaksanaan keputusan nasional. Penelitian lain dilakukan oleh Harold Crouch
tentang “Patrimonialism and Military Rule in Indonesia”. Crouch (dalam World
Politics, 1989) melihat bahwa birokrasi Indonesia masih cenderung bercorak
patrimonial, di mana kekuasaan diperoleh dan dipertahankan dengan cara menukar
loyalitas dan dukungan dengan jabatan dan kepentingan materiil. Kedua penelitian
tersebut memang tidak tergolong baru, namun dalam konteks analisis tetap
diperlukan untuk memberikan gambaran bagaimana corak birokrasi di Indonesia
dalam kurun waktu dua dekade yang lalu yang bagaimanapun juga turut
menentukan corak dan warna birokrasi saat ini.
Citra buruk birokrasi juga terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong. Hasil
penelitian lembaga ini menilai birokrasi Indonesia termasuk terburuk dan belum
mengalami perbaikan berarti (Soebhan, 2000). Demikian juga penelitian yang
dilakukan oleh Bank Dunia dan UGM tentang kinerja pelayanan publik dengan
menggunakan sejumlah variabel, yaitu keadilan (equity), responsivitas, efisiensi
pelayanan, suap dan rente birokrasi (Dwiyanto, dkk, 2003). Hasil Good Governance
Survey 2002 yang dilakukan oleh UGM tersebut dapat digunakan untuk
menggambarkan kondisi pelayanan publik di Indonesia yang masih sarat dengan
kepentingan birokrasi. Birokrasi kita masih cenderung dilayani daripada melayani.
Penelitian lain tentang birokrasi, yaitu; Budaya Patron-klien terhadap perilaku
birokrasi di daerah dilakukan oleh Kausar A.S (2006) menunjukkan bahwa budaya
patron-klien sangat mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintah daerah, utamanya
memperlemah kinerja birokrasi dengan perilaku birokrasi yang menyimpang.
Penelitian yang senada dengan itu dilakukan oleh Priyo Budi Santoso (1993) dan
Masson C. Headly (2006) memiliki kesimpulan yang sama bahwa penyelenggaraan
birokrasi di Indonesia sejak zaman kerajaan, sampai zaman pemerintahah Orde
Lama dan Orde Baru dan ditambahkan oleh Masson, sampai era reformasi belum
menunjukkan perubahan, yaitu “corak birokrasi yang feodalistik” (Istianto,
2011:75).
Penelitian yang berkaitan dengan patologi birokrasi dilakukan oleh Monsod
(2008) terhadap birokrasi pemerintah di Philipina. Hasilnya menunjukkan bahwa
birokrasi pemerintah Philipina memiliki tiga fitur bureau-pathology. Pertama tidak
ada kejelasan kontrol atas jabatan: mana yang tunduk pada kewenangan prerogatif
presiden, penunjukan politis dari kongres, dan sistem karir. Kedua, struktur insentif
moneter dan non-moneter tidak berbasis kontribusi. Ketiga, kurangnya transparansi
dalam peran dan kewenangan penasehat presiden, tidak ada kerangka acuan kerja
yang jelas, dan tidak ada kerangka akuntabilitas terhadap entitas lain di luar
kepresidenan.
Penelitian yang masih berkaitan dengan patologi birokrasi pelayanan publik,
yaitu Studi Etika Pelayanan Publik (I Wayan Sudana, dkk, 2009) yang dilakukan di
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar. Hasil penelitian ini
menunjukkan adanya ketidakpuasan masyarakat yang dibuktikan dengan beberapa
fenomena pemberian pelayanan seperti tindakan aparat yang mengharapkan balas
jasa, adanya penyalahgunaan wewenang, menghindar dari tanggung jawab,
pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan, dan munculnya diskriminasi dalam
pelayanan.
Hal yang sama juga terjadi pada instansi pelayanan pertanahan di kantor BPN
(Dwiyanto, dkk, 2008:193). Berdasarkan observasi, terlihat bahwa aparat sangat
membedakan dalam memberikan sapaan kepada masyarakat pengguna jasa.
Berdasarkan hasil observasi ini, sekitar 30 persen masyarakat pengguna jasa di
Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan pernah
mengalami diskriminasi pelayanan yang dilakukan oleh aparat birokrasi.Salah satu
imbas dari perilaku birokrasi tersebut adalah adanya kecenderungan penggunbaan
perantara dalam menerima layanan. Berdasarkan data GDS 2006 (Dwiyanto, 2011:
89) menunjukkan prosentase warga yang menggunakan perantara pada saat
mengurus pelayanan untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Kartu
Tanda Penduduk (KTP) dan Sertifikat Tanah, ternyata jenis pelayanan yang
disebutkan terakhir memperlihatkan prosentase yang lebih tinggi, yaitu di Jawa
mencapai 57, 50% dan 66,50% untuk luar Jawa.
Penelitian yang berkaitan dengan pelayanan administrasi pertanahan dilakukan
Yuliana Paris, yaitu “Etika Aparatur dalam Pelayanan Publik (Kasus Badan
Pertanahan DKI Jakarta). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun secara
normatif pelayanan pertanahan telah menggunakan Standar Prosedur Operasional
Pelayanan Pertanahan (SPOOPP), namun praktek penyimpangan dalam pelayanan
masih tetap terjadi, seperti; pemanfaatan jabatan untuk mendapatkan keuntungan
pribadi melalui lobi-lobi dan negosiasi dengan para aparat pertanahan diluar
prosedur yang telah ditetapkan (Yuliana Paris, 2007:237-238).
Penelitian yang senada dilakukan oleh Baharuddin, “ Signifikansi Kompetensi
dan Komitmen Pimpinan terhadap Kinerja Aparat Pelayanan Publik (Studi pada
Kantor Badan Pertanahan Kota Makassar, Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa).
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kompetensi dan komitmen pimpinan tidak
berpengaruh secara langsung terhadap kualitas pelayanan publik, tetapi berpengaruh
melalui kinerja aparat. Sedangkan kinerja aparat berpengaruh positif terhadap
kualitas pelayanan publik (Baharuddin, 2010: 326)
Berkaitan dengan kualitas pelayanan publik, Business Digest sebagai salah satu
lembaga survey ekonomi independen yang hasil penelitiannya dilansir majalah
ekonomi SWA Sembada edisi Juni 2007 (Majid, 2009:105-7), dimana Makassar
menempati rangking ke-25 dari 50 kota di Indonesia dalam hal kekayaan atau
sumber daya. Artinya, lembaga ini melihat Makassar memiliki potensi yang besar
untuk terus berkembang secara cepat dan memiliki pertumbuhan eknomi yang
tinggi. Tetapi Makassar hanya menempati rangking 21 dari 25 kota yang disurvei
sebagai daerah yang menarik untuk investasi. Hal ini ternyata disebabkan oleh
masalah kualitas pelayanan publik.
Salah satu titik layanan publik dalam lingkup Kota Makassar yang juga
tergolong krusial, yaitu pelayanan administrasi pertanahan. Fenomena menarik yang
menjastifikasi adanya masalah layanan publik adalah adanya kecenderungan
mayarakat yang membutuhkan layanan lebih memilih menggunakan perantara
ketimbang mengurus secara langsung ke tempat pelayanan sesuai dengan prosedur
dan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan data GDS 2006, seperti yang telah
disebutkan di atas merupakan suatu hal yang menarik untuk dikembangkan.
Kecenderungan penggunaan perantara dalam pemberian layanan adminsitrasi
pertanahan memberikan isyarat adanya masalah dalam pelayanan tersebut.
Berkaitan dengan ini berbagai pertanyaan bakal muncul, misalnya siapa yang
menjadi perantara?, apakah penggunaan perantara akan mempercepat proses
layanan?, Apakah penggunaan perantara tidak merusak mekanisme tatanan
administrasi penyedia layanan?, dan bagaimanan nasib masyarakat yang tidak
mampu menggunakan perantara?, serta masih banyak pertanyaan yang akan
dikembangkan dalam penelitian ini untuk mengungkap berbagai sisi yang menjadi
celah terjadinya patologi birokrasi.
Secara teoritis maupun praktis, penggunaan perantara dalam berbagai jenis
pelayanan berpeluang melahirkan patologi birokrasi, meskipun dari satu sisi pihak
pengguna layanan dengan dan pemberi layanan memperoleh keuntungan secara
timbal balik, namun disisi lain akan merugikan pengguna jasa yang lain yang tidak
menggunakan perantara. Fenomena ini membuktikan bahwa dari berbagai jenis
layanan publik, maka pelayanan administrasi pertanahan tetap menarik untuk
diteliti. Apalagi terhadap setting penelitian birokrasi pelayanan administrasi
pertanahan, dimana pada umumnya peneliti lebih cenderung mengkaji obyek ini dari
perspektif hukum, tanpa memperhatikan dimensi administratif sebagai suatu sistem
yang sarat dengan patologi birokrasi. Dimensi inilah yang akan menjadi fokus
penelitian yang aspek-aspeknya meliputi; struktur birokrasi, sumber daya manusia,
penerapan teknologi dan lingkungan budaya. Berbagai aspek tersebut akan dikaji
secara sistemik, sehingga hasil penelitian diharapkan lebih bersifat holistik dan
substantif. Atas dasar inilah, sehingga penelitian ini dianggap sebagai sesuatu yang
memiliki nilai kebaruan.
B. Rumusan Masalah
Makna birokrasi sebagai lembaga pemerintah muncul karena lembaga
pemerintah pada umumnya selalu berbentuk birokrasi. Skala organisasi pemerintah
yang besar dan luas cakupannya mendorong mereka untuk memiliki birokrasi yang
karakteristiknya sama dengan birokrasi Weberian. Karakteristik utama yang dapat
dijumpai dalam organisasi pemerintah pada umumnya, yaitu adanya pembagian
kerja, hierarki, prosedur tertulis, impersonalitas, dan sebagainya juga dimiliki oleh
organisasi pemerintah yang dijadikan sebagai objek penelitian. Adapun instansi
pemerintah yang dimaksud adalah keseluruhan instansi pemerintah yang berkaitan
langsung dengan pelayanan administrasi pertanahan di Kota Makassar, yaitu
Pemerintah Kelurahan, Pemerintah Kecamatan, dan Badan Pertanahan Kota
Makassar.
Berdasar pada lingkup penelitian tersebut di atas, maka permasalahan utama
penelitian ini adalah “Mengapa patologi birokrasi terjadi dalam pelayanan publik
(Pelayanan Administrasi Pertanahan) di Kota Makassar?”. Permasalahan utama
tersebut dikembangkan dalam beberapa pertanyaan penelitian, yaitu (1) Bagaimana
bentuk patologi birokrasi dalam pelayanan publik (Pelayanan Administrasi
Pertanahan) di Kota Makassar?. (2) Bagaimana sistem pelayanan administrasi
pertanahan yang dapat meminimalisir patologi birokrasi tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang terjadinya patologi birokrasi
dalam pelayanan publik (Pelayanan Administrasi Pertanahan) di Kota Makassar.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah:
1. Untuk Mengidentifikasi dan menjelaskan bentuk/jenis patologi birokrasi dalam
pelayanan publik (pelayanan Administrasi Pertanahan) di Kota Makassar.
2. Untuk menjelaskan dan menganalisis sistem pelayanan administrasi pertanahan
yang dapat meminimalisir patologi birokrasi.
D. Kegunaan Penelitian
Birokrasi pemerintah dewasa ini banyak mendapatkan sorotan dari masyarakat,
baik yang berkaitan dengan pengambilan keputusan maupun perilaku aparat dan
kualitas layanan di sektor publik. Bahkan munculnya citra buruk birokrasi pada
umumnya bersumber pada kedua faktor tersebut yang secara spesifik lazim disebut
dengan patologi birokrasi. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa di lingkungan
birokrasi itu terdapat suatu masalah yang menyebabkan birokrasi tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.
Bertolak dari pemikiran tersebut, maka penelitian ini diharapkan memberikan
berbagai kontribusi teoritik maupun praktis dalam rangka mengatasi permasalahan
yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan publik di lingkungan birokrasi
pemerintah, khususnya dalam pelayanan adminsitrasi pertanahan di Kota Makassar.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memperkaya kajian teoritik dalam pengembangan ilmu administrasi publik,
terutama yang berkaitan dengan studi tentang birokrasi, khususnya dalam aspek
patologi birokrasi dalam pelayanan publik. Selain itu penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi bagi para peneliti lain yang berminat untuk
melakukan pengembangan kajian, khususnya dalam hal studi tentang birokrasi
dan pengembangan teori administrasi publik pada umumnya.
2. Memberikan kontribusi kepada Pemerintah Kota Makassar untuk menemu-
kenali berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan birokrasi, khususnya
berbagai bentuk patologi birokrasi yang terjadi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik (administrasi pertanahan), serta berbagai solusi yang
ditawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut, sehingga dapat menjadi
bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan perumusan berbagai
kebijakan yang terkait.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Birokrasi
Tulisan tentang dan kritik para teroritisi terhadap birokrasi publik sejak abad
ke-18, dapat ditelusuri mulai dari M de Goumay yang mengajukan sejumlah
pertanyaan tentang birokrasi, yaitu bagaimana manfaat birokrasi bagi masyarakat,
apakah tujuan dasar dibentuknya birokrasi pemerintah, bagaimana pelaksanaan
fungsi pelayanan birokrasi terhadap masyarakat. Istilah birokrasi yang pertama kali
digunakan oleh M de Goumay mengacu kepada suatu penyakit yang melanda
pemerintahan, ditandai dengan berbelit-belitnya prosedur biasanya dikeluhkan
dengan pejabat, juru ketik, para sekretaris, para inspektur dan para intendan yang
diangkat bukannya untuk menguntungkan kepentingan umum tetapi kepentingan
individu, bahkan kepentingan umum itu untuk para pejabat (Albrow, 1996:1).
Perkembangan konsep birokrasi sebenarnya merupakan salah satu varian dari
jenis pemerintahan demokrasi dan aristokrasi sebagaimana yang dapat dilihat dari
tulisan de Goumay dan Mill. Para teoritisi pada abad ke-19 seperti Van Mohl,
Olzewski dan Le Play banyak memfokuskan kepada ketidakpuasan rakyat terhadap
pemerintah dan melihat birokrasi sebagai hasrat pegawai negeri yang digaji untuk
selalu mencampuri urusan orang lain (Albrow, 1996:17).
Dalam abad ke-19, terdapat beberapa penulis dan pemikir yang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan teori birokrasi, antara lain yaitu Gaetano Mosca
dan Max Weber. Mosca dalam bukunya membagi semua pemerintahan menjadi dua
tipe yaitu feudal dan birokratis berdasarkan kepada kelas yang memerintah. Dalam
sistem pemerintahan feudal, kelas yang memerintah adalah kelas yang sederhana
yang memonopoli fungsi-fungsi ekonomi, politik, militer atau administrasi. Setelah
masyarakat berkembang menjadi lebih kompleks dan mempunyai fungsi terpisah
satu sama lain, maka pemerintahan dijalankan oleh birokrasi, yaitu sekelompok
pejabat yang digaji (Albrow, 1996:22).
Ilmuan yang sangat berjasa dalam memperkenalkan model organisasi
birokratis adalah Max Weber. Dapat dikatakan bahwa konsep birokrasi yang
diajukan oleh Weber masih menjadi acuan sampai sekarang ini, walaupun mendapat
kritik dari ilmuan-ilmuan lain. Weber membahas peran organisasi dalam suatu
masyarakat, dan mempertanyakan bentuk organisasi yang sesuai bagi sebuah
masyarakat industri yang dijumpai di Eropa pada akhir abad ke 19. Ia mencoba
melukiskan sebuah organisasi yang ideal—organisasi yang secara murni rasional dan
yang akan memberikan efisiensi operasi yang maksimum (Robbins, 1994:337).
Kontroversi tentang penerapan model birokrasi Weberian dalam pemerintahan
sudah lama berkembang, bahkan menimbulkan polemik yang belum berakhir sampai
saat ini. Tidak dipungkiri bahwa ada kalangan yang cenderung menolak model
birokrasi Weberian karena menganggap model birokrasi itu memiliki banyak
kelemahan. Meskipun demikian, sebagian kalangan praktisi administrasi publik
yang telah lama berkecimpung dalam lingkungan birokrasi, melihat bahwa model
birokrasi Weberian masih diperlukan sampai saat ini. Alasan yang dikemukakan oleh
kalangan yang disebutkan terakhir ini, bahwa sejauh ini belum ada model pengaturan
kelembagaan alternatif yang cukup lengkap dan menyeluruh yang dapat digunakan
untuk menggantikan birokrasi Weberian.
Dalam Ilmu Administrasi Publik, birokrasi memiliki sejumlah makna, di
antaranya adalah pemerintahan yang dijalankan oleh suatu biro yang biasanya
disebut dengan officialism, badan eksekutif pemerintah (the executive organs of
government), dan keseluruhan pejabat publik (public officials), baik itu pejabat tinggi
ataupun rendah (Albrow, 1989:116-117). Diantara ketiga makna tersebut,
karakteristik umum yang melekat pada birokrasi adalah keberadaannya sebagai suatu
lembaga pemerintah. Makna birokrasi sebagai lembaga pemerintah muncul karena
lembaga pemerintah pada umumnya selalu berbentuk birokrasi. Skala organisasi
pemerintah yang besar dan luas cakupannya mendorong mereka untuk memilih
birokrasi yang memiliki karakteristik sebagai birokrasi Weberian.
Dalam konteks Indonesia, lembaga pemerintah pada umumnya memiliki
hierarki yang panjang, prosedur dan standar operasi yang tertulis, spesialisasi yang
rinci, dan pajabat karier yang menjadi karakteristik birokrasi Weberian. Oleh karena
itu, lembaga pemerintah sering disebut sebagai birokrasi pemerintah. Karena kinerja
birokrasi pemerintah pada umumnya cenderung buruk dan mengecewakan,
khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik, sehingga pandangan masyarakat
terhadap birokrasi pemerintah cenderung negatif yang pada akhirnya menimbulkan
stereotif yang negatif tentang konsep birokrasi Weberian. Robbins (1994: 338)
mengutip konsep birokrasi ideal dari Weber yang terdiri dari 7 elemen, sebagai
berikut:
a. Spesialisasi pekerjaan, yaitu semua pekerjaan dilakukan dalam kesederhanaan,
rutinitas dan mendefinisikan tugas dengan baik.
b. Hierarki kewenangan yang jelas, yaitu sebuah struktur multi tingkat yang formal,
dengan posisi hierarki atau jabatan, yang memastikan bahwa setiap jabatan yang
lebih rendah berada di bawah supervisi dan kontrol dari yang lebih tinggi.
c. Formalisasi yang tinggi, yaitu semua anggota organisasi diseleksi dalam basis
kualifikasi yang didemonstrasikan dengan pelatihan, pendidikan atau latihan
formal.
d. Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasarkan atas
kemampuan, yaitu keputusan tentang seleksi dan promosi didasarkan atas
kualifikasi teknis, kemampuan dan prestasi para calon.
e. Bersifat tidak pribadi (impersonalitas), yaitu sanksi-sanksi diterapkan secara
seragam dan tanpa perasaan peribadi untuk menghindari keterlibatan dengan
keperibadian individual dan freferensi peribadi para anggota.
f. Jejak karier bagi para pegawai, yaitu para pegawai diharapkan mengejar karier
dalam organisasi. Sebagai imbalan atas komitmen terhadap karier tersebut, para
pegawai mempunyai masa jabatan, artinya mereka akan dipertahankan meskipun
mereka “kehabisan tenaga” atau jika kepandaiannya tidak terpakai lagi.
g. Kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan peribadi, yaitu
pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan
pribadinya termasuk keluarganya.
Tipe ideal birokrasi Weber tersebut di atas, sampai saat ini belum sepenuhnya
dapat diimplementasikan di Indonesia sebagaimana yang diharapkan pencetusnya.
Bahkan Weber mempertegas dalam teorinya bahwa satu-satunya cara bagi
masyarakat modern untuk mengoperasikan secara efektif konsep ideal tersebut di
atas ialah dengan mengorganisasikan spesialis-spesialis birokrasi yang fungsional
dan terlatih. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh LeMay (2006:65), bahwa
sebagai organisasi yang cenderung semakin besar, membutuhkan pembagian kerja
yang lebih kecil atau bersifat khusus.
Weber sebenarnya memperhitungkan tiga elemen pokok dalam konsep
birokrasinya, yaitu: (1) birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis. (2) birokrasi
dipandang sebagai kekuatan independen. (3) birokrasi dipandang mampu keluar dari
fungsinya yang sebenarnya karena anggotanya cenderung berasal dari kelas sosial
yang particular (Thoha, 2005:19). Konsep birokrasi weberian berasumsi bahwa
birokrasi dibentuk independen dari kekuatan politik. Ia berada di luar atau di atas
aktor-aktor politik yang saling berkompetisi satu sama lain. Birokrasi pemerintah
diposisikan sebagai kekuatan yang netral, lebih mengutamakan kepentingan negara
dan rakyat secara keseluruhan, sehingga siapapun kekuatan politik yang memerintah
birokrat dan birokrasinya memberikan pelayanan terbaik kepadanya.
Pemikir lain yang juga penting untuk ditampilkan dalam pembahasan birokrasi
adalah Karl Marx (Thoha, 2008:23). Pemikiran Marx tentang birokrasi merupakan
suatu gejala yang bisa dipergunakan secara terbatas dalam hubungannnya dengan
administrasi negara. Pandangannya terhadap birokrasi hanya bisa difahami dalam
kerangka umum teorinya tentang perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dan
pengembangan komunisme.
Marx mengelaborasi birokrasi dengan cara menganalisis filsafat Hegel tentang
negara. Hegel berpendapat bahwa administrasi negara (birokrasi) sebagai suatu
jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintah) dengan masyarakatnya.
Adapun masyarakat itu terdiri dari kelompok-kelompok professional, usahawan dan
lain kelompok yang mewakili bermacam-macam kepentingan particular (khusus).
Meskipun Marx terinspirasi oleh pemikiran Hegel, namun Marx berpendapat bahwa
negara itu tidak mewakili kepentingan umum. Bahkan ia mengatakan bahwa
kepentingan umum itu tidak ada, yang ada adalah kepentingan partikular yang
mendominasi kepentingan partikular lainnnya. Kepentingan particular yang
memenangkan perjuangan kelas sehingga menjadi kelas yang dominan itulah yang
berkuasa. Menurut Marx birokrasi adalah negara atau pemerintah itu sendiri.
Birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk
melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya. Dengan kata
lain, birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.
Hal yang sangat menarik adalah kritik yang disampaikan Warren Bennis
(Robbins, 1994:349), bahwa struktur birokratik terlalu mekanis bagi kebutuhan
organisasi modern. Ia menyatakan bahwa struktur tersebut telah usang, karena
didesain untuk menghadapi lingkungan yang stabil, sedangkan kebutuhan saat ini
adalah struktur yang dirancang untuk menanggapi perubahan yang terjadi secara
efektif. Bennis mencoba melakukan prediksi masa depan tentang berbagai macam
perubahan yang pada gilirannya akan mempengaruhi eksistensi birokrasi. Menurut
Bennis, birokrasi merupakan penemuan sosial yang sangat elegan, suatu bentuk
kemampuan yang luar biasa untuk mengorganisasikan, mengkoordinasikan proses-
proses kegiatan yang produktif pada masa revolusi Industri. Birokrasi dikembangkan
untuk menjawab berbagai persoalan yang hangat pada waktu itu, misalnya persoalan
pengurangan peran-peran personal, persoalan subyektivitas yang berlebihan, dan
tidak dihargainya hubungan kerja kemanusiaan.
Singkatnya, dalam pandangan Bennis, birokrasi adalah produk kultural dan
sangat terikat oleh proses zaman pada saat kemunculannya. Kita sangat
membutuhkan birokrasi yang berorientasi kemanusiaan, tidak secara konseptual
semata tapi merambah pada tataran praktis di lapangan. Hal ini menjadi pekerjaan
sangat penting untuk mendekatkan birokrasi pada manusia, bukan lagi pada mesin.
Sebuah teori akan diuji menurut kelayakan historis dan kebutuhan pada sebuah masa.
Birokrasi yang humanis masih menjadi pekerjaan rumah yang harus serius digarap
oleh para pemerhati masalah-masalah adminsitrasi negara dan kebijakan publik.
Nada pesimistik Bennis yang menggambarkan kondisi-kondisi sebagai penyebab
matinya birokrasi dibantah oleh Robert Miewald (Robbins, 1994:349-352) dengan
mengajukan argumentasi tandingan, bahwa birokrasi dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang berubah dan dinamis. Miewald menegaskan bahwa Weber
tidak pernah mengatakan bahwa karakteristik-karakteristik birokrasi akan berlaku
untuk selama-lamanya. Sasaran utama dari Weber adalah menciptakan sebuah
bentuk rasional dan efisien. Bentuk tersebut adalah birokrasi. Bentuk apapun yang
diperlukan untuk mempertahankan rasionalitas seperti efisiensi akan menghasilkan
birokrasi. Perkembangan birokrasi professional adalah contoh yang sempurna
mengenai karakteristik birokrasi yang dimodifikasi.
Pengkritisi lain terhadap birokrasi Weber adalah Fried W. Riggs. Dalam
penelitiannya di beberapa negara berkembang, ia menemukan model birokrasi yang
disebutnya sebagai “model sala” atau biasa disebut dengan “model prismatic”. Kata
sala diambil dari bahasa Spanyol yang sering menunjuk arti kantor pemerintah di
negara-negara Amerika Latin. Arti sala secara umum ialah “ruangan”, bahasa
Perancis menyebutnya “Salle” yang pada dasarnya masih serumpun. dalam
penggunaan sehari-hari, kata sala mengandung arti ruangan pribadi dalam suatu
rumah—keagamaan—ruangan pertemuan umum, tetapi juga dan bahkan terutama
mengandung arti kantor pemerintah (Riggs, 1988:316)
Beberapa karakteristik birokrasi model sala yang dikemukakan oleh Riggs
(1988:317-320), yaitu; struktur prismatic akan memperkokoh pemborosan birokrasi
—Korupsi telah melembaga. Sementara pejabat menikmati kedudukannnya karena
leluasa memeras uang suap—dalam penentuan anggaran, semua tergantunng pada
keahlian serta besarnya pengaruh pejabat yang harus memperjuangkan pengajuan
anggaran, beberapa ketentuan tidak dapat digunakan untuk mengatasi kekurangan
anggaran suatu biro, sedang kenyataannya anggaran terbuang sia-sia di berbagai biro
lainnya—dalam model prismatic, hubungan antara administrator dengan pengikut
sudah demikian terstruktur, sehingga bobot berbagai sanksi akan memaksa para
pejabat model sala lebih cenderung menggunakan kekerasan daripada menerapkan
undang-undang. Terbukanya kesempatan menerima suap lebih mendorong para
petugas pelaksana model sala menunda-nunda pekerjaan dan mengintroduksi
berbagai hambatan teknis dengan tujuan agar dapat memetik imbalan pelayanan atas
pekerjaan yang seharusnya tidak dipungut biaya.
Gambaran birokrasi pemerintah seperti yang dikemukakan oleh Riggs tersebut
sangat bertentangan dengan substansi birokrasi yang dikemukakan oleh Weber.
Meskipun kritik terhadap birokrasi Weber selalu muncul, namun kenyataaan
menunjukkan bahwa birokrasi ada dimana-mana, perusahaan-perusahaan besar pada
umumnya berstruktur birokrasi, bahkan untuk kelompok yang terdiri dari beberapa
orang saja, birokrasi merupakan cara yang paling efisien untuk mengorganisasikan
sesuatu, sehingga pertanyaannya adalah mengapa birokrasi dapat berjaya terus
sampai saat ini. Mungkinkah karena karakteristik birokrasi yang dirumuskan oleh
Weber itulah yang menyebabkan demikian atau mungkin ada faktor lain yang
menjadi keampuhan birokrasi.
Salah satu agenda utama dan pertama yang harus dilakukan dalam rangka
peningkatan kualitas pelayanan birokrasi pemerintah terhadap masyarakatnya, adalah
perubahan perilaku aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan. Paradigma
perilaku birokrasi harus diubah dari yang lebih condong sebagai abdi negara
ketimbang abdi masyarakat diubah menjadi lebih mengutamakan peranan sebagai
abdi masyarakat ketimbang abdi negara. Pada hakekatnya, jika aparatur birokrasi
sudah melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati maka sesungguhnya mereka telah
melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai abdi masyarakat maupun sebagai abdi
negara. Dengan perilaku aparatur birokrasi yang berorientasi pada kepuasan
masyarakat, maka diharapkan melahirkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat
kepada birokrasi pemerintah dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian maka
keberadaan birokrasi pemerintah bukan hanya karena adanya dukungan legalitas
formal, tetapi keberadaannya didukung dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Birokrasi memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah fungsi pengaturan.
Fungsi ini mutlak terselenggara dengan efektif, karena suatu pemerintahan negara
diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan yang
ditentukan oleh lembaga legislatif melalui berbagai ketentuan pelaksanaan dan
kebijaksanaannya. Persoalan yang sering muncul dalam praktik, acapkali terjadi
kekakuan dalam implementasi aturan. Kekakuan ini dapat terlihat pada interpretasi
secara harfiah, padahal yang lebih diperlukan adalah menegakkan hukum dan
peraturan itu dilihat dari semangat dan jiwanya, artinya bahwa pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan situasional (Siagian, 2000: 147).
B. Patologi Birokrasi
Patologi birokrasi di berbagai negara, terutama pada negara-negara
berkembang menunjukkan adanya kecenderungan mengutamakan kepentingan
sendiri, mempertahankan status-quo, resisten terhadap perubahan, cenderung terpusat
(centralized), dan dengan kewenangannya yang besar seringkali memanfaatkan
kewenangannya itu untuk kepentingan sendiri. Hal ini merupakan suatu tantangan
besar bagi administrasi negara dan birokrasi pada umumnya. Menurut Kartasasmita
(1995), dari berbagai penelitian diketahui betapa tidak mudahnya melakukan
pembaharuan di bidang administrasi negara. Sebabnya adalah pendekatan yang
sering kali bersifat formal struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi-
fungsi.
Solusi untuk mengatasi patologi birokrasi adalah dengan melakukan perubahan.
Menurut Widaningrum (2009:368), sistem administrasi dan manajemen dalam
birokrasi publik memang tidak didisain untuk sering berubah. Namun demikian,
kenyataannya menunjukkan bahwa stabilitas seringkali bersifat sebaliknya (counter-
productive). Dalam era yang penuh dengan perubahan seperti sekarang ini, sistem
yang tidak dapat berubah justeru akan menemui banyak kegagalan.
Berkaitan dengan perubahan, yang sesungguhnya amat penting, tetapi lebih sulit
dilakukan adalah pembaharuan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia-
manusia birokrat. Internalisasi nilai-nilai ini yang oleh Riggs (1996) disebut
introfection, merupakan kunci terhadap peningkatan kinerja birokrasi. Terutama
yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap birokrasi dalam hubungan
dengan masyarakatnya.
Secara teoritik, disadari bahwa konsep birokrasi yang dirumuskan oleh Weber
dengan berbagai karakteristiknya diyakini bahwa proses administrasi dalam kegiatan
pemerintahan itu hanya dapat menjadi efisien, rutin dan nonpartisan apabila cara
kerja organbisasi pemerintah itu dirancang sedemikian rupa sehingga menyerupai
cara kerja sebuah mesin (Morgan, 1986). Persoalannya adalah mengapa ketika model
ini diterapkan di beberapa negara, termasuk Indonesia justru menimbulkan berbagai
fenomena yang menunjukkan adanya perilaku birokrasi yang bersifat patologis,
bahkan dapat dianggap sebagai pengingkaran terhadap jiwa birokrasi itu sendiri.
Salah satu aspek birokrasi yang paling banyak disoroti adalah struktur birokrasi.
Struktur birokrasi Weberian memiliki berbagai masalah internal yang pada tingkat
tertentu berpotensi menyebabkan birokrasi mengalami disfungsi (Caiden, 1991).
Setiap aspek dan struktur birokrasi , selain memiliki manfaat dan kontribusi terhadap
efisiensi dan kinerja birokrasi, juga memiliki potensi untuk menciptakan penyakit
birokrasi. Suatu variabel struktur birokrasi dapat menghasilkan penyakit birokrasi
jika intensitas dari variabel itu sudah menjadi berlebihan.
Sebagai contoh, hierarki dalam suatu organisasi sangat bermanfaat karena
membantu pimpinan melakukan kontrol dan juga dapat membuat arus perintah dan
informasi menjadi lebih jelas, sehingga mempermudah koordinasi. Namun, ketika
hierarki semakin panjang, maka berbagai persoalan dalam organisasi akan muncul.
Hierarki yang panjang menyebabkan arus perintah dan informasi menjadi semakin
panjang dan cenderung mengalami distorsi, Proses pengambilan keputusan menjadi
semakin lamban dan terkotak-kotak (fragmented). Bahkan hierarki juga dapat
memperbesar ketergantungan bawahan terhadap atasan (Pye, 1978). Akibatnya
seringkali muncul perilaku para pejabat birokrasi yang ABS (asal bapak senang), dan
menunjukkan loyalitas secara berlebihan pada atasan.
Birokrasi publik di Indonesia yang memiliki hierarki ketat, panjang dan
cenderung mendorong para pejabatnya untuk mengembangkan perilaku ABS
memperoleh justifikasi dari lingkungannya karena budaya masyarakat yang
paternalistis tidak bisa menjadi sensor bagi perilaku negatif yang muncul dari
hierarki yang berlebihan. Sebaliknya budaya paternalistis itu justru mengajarkan
kepada para pegawai untuk memberikan perlakuan istimewa kepada pimpinan.
Budaya paternalistis mengajarkan mengenai suatu pola hubungan ternetu antara
rakyat dan penguasa, serta antara bawahan dan atasan. Dalam budaya paternalistis
bawahan harus memberikan pelayanan kepada atasan (Eisantadt, 1973). Mereka
harus menunjukkan dedikasi dan loyalitas kepada atasannya. Bahkan dedikasi dan
loyalitas itu cenderung mereka tunjukkan secara berlebihan, dengan maksud agar
atasanya memberikan keistimewaan tertentu. Mereka meyakini bahwa yang
menentukan nasib mereka dalam berkarier adalah atasan. Hal inilah yang
menyebabkan para pejabat birokrasi memiliki ketergantungan yang sangat tinggi
kepada atasan. Perilaku ABS di kalangan pejababt birokrasi ini terbentuk sebagai
hasil interaksi antara budaya paternalistis dan struktur birokrasi Weberian yang
selanjutnya menghasilkan penyakit birokrasi.
Dalam sistem politik yang tidak demokratis, penyakit birokrasi tidak mudah
untuk dicegah, karewna kekuasaan terkonsentrasi pada pemerintah dan birokrasi.
Masyarakat tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mengontrol perilaku
birokrasi. Oleh karena itu masyarakat tidak dapat berbuat banyak ketika para pejabat
birokrasi publik hanya memikirkan kepentingan birokrasi, atasan, dan dirinya sendiri
serta mengabaikan kebutuhan dan kepentingan publik. Pengguna layanan birokrasi
berada pada posisi yang sangat lemah ketika berhadapan dengan birokrasi dan
pejabatnya. Apalagi jika kapasitas dari unsur dan komponen masyarakat madani,
seperti media, NGO, dan kelompok-kelompok madani lainnya masih sangat lemah,
maka kontrol terhadap perilaku birokrasi menjadi sangat tidak efektif, sehingga
penyakit birokrasi terus tumbuh dengan sangat subur.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa patologi birokrasi adalah
merupakan hasil interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel-variabel
lingkungan yang salah. Struktur birokrasi yang hierarkis berinteraksi dengan budaya
masyarakat yang paternalistis, sistem politik yang tidak demokratis dan
ketidakberdayaan kelompok masyarakat madani cenderung melahirkan perilaku
birokrasi paternalistis yang merugikan kepentingan publik. Patologi birokrasi bukan
hanya disebabkan oleh struktur birokrasi yang salah dan tidak tepat, seperti hierarki
yang berlebihan, prosedur yang rigid, fragmentasi birokrasi yang terlalu banyak, dan
masalah structural lainnya. Selain masalah structural, patologi birokrasi disebabkan
juga oleh interaksi berbagai variabel yang saling terkait antara satu dengan yang
lainnya, baik yang terdapat dalam struktur birokrasi, budaya birokrasi, maupun
variabel-variabel lain yang terdapat dalam lingkungan
C. Dimensi-Dimensi Patologi Birokrasi
Peristilahan konsep patologi berasal dari ilmu kedokteran yang mengkaji
mengenai penyakit yang melekat pada organ manusia, sehingga menyebabkan tidak
berfungsinya organ tersebut. Menjadikan istilah patologi sebagai metafora, patologi
birokrasi dalam uraian ini tentunya difahami sebagai kajian dalam konteks
Administrasi Publik yang diarahkan untuk menelusuri secara faktual dan teoritik
berbagai penyakit yang melekat dalam tubuh birokrasi pemerintah, sehingga
birokrasi tersebut mengalami disfungsi
Menurut Siagian (1994:35), agar seluruh birokrasi pemerintahan negara
mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang sifaynya
politis, ekonomi, sosio-kultural, dan teknologikal, berbagai penyakit yang mungkin
sudah dideritanya atau mengancam akan menyerangnya, perlu diidentifikasi untuk
kemudian dicarikan terapi pengobatannya yang palimg efektif. Harus diakui bahwa
tidak ada birokrasi yang sama sekali bebas dari berbagai patologi birokrasi.
Sebaliknya tidak ada birokrasi yang menderita semua penyakit birokrasi sekaligus.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Siagian (1994: 36-145),
mengidentifikasi berbagai patologi birokrasi yang dikategorikan ke dalam lima
kelompok, yaitu:
1) Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di
lingkungan birokrasi.
2) Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan
keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional.
3) Patologi yang timbul karena tindakan para aparat birokrasi yang melanggar
norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4) Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat
disfungsional atau negatif.
5) Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam
lingkungan pemerintahan.
Secara lengkap berbagai penyebab munculnya patologi dan bentuk-bentuk
patologi tersebut dapat diuraikan dalam tabel berikut.
Tabel 1: Penyebab dan Bentuk-bentuk Patologi Birokrasi
PERSEPSI DAN GAYA MANAJERIAL PARA PEJABAT
BIROKRASI
RENDAHNYA PENGETAHUAN
&KETERAMPILAN PETUGAS
PELANGGARAN TERHADAP
NORMA HUKUM
PERILAKU YANG BERSIFAT
DISFUNGSIONAL
SITUASI INTERNAL DALAM BERBAGAI
INSTANSI PEMERINTAHAN
Penyalahgunaan wewenang dan jabatan;Persepsi yang didasarkan pada prasangka;Pengaburan masalah;Menerima sogok;Pertentangan kepentingan;Kecenderungan mempertahankan status quo;Empire Building;Sikap bermewah-mewah;Pilih kasih;Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko;Penipuan;Sikap sombong;Ketidakpedulian pada kritik dan saran;Jarak kekuasaan;Tidak mau bertindak;Takut mengambil keputusanSikap menyalahkan orang lain;Tidak adil;Intimidasi;Kurangnya komitmen;Kurangnya koordinasi;Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi;Kreativitas yang rendah;Kurangnya visi yang imajinatif;Kedengkian;Nepotisme;Tindakan yang tidak rasional;Bertindak di luar wewenangnya;Paranoia;Sikap Opresif;Patronase;Penyeliaan dengan pendekatan punitive;Keengganan mendelegesaikan;Keengganan memikul tanggung jawab;Ritualisme;Astigmatisme;Xenophobia;
Ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan;Ketidaktelitian;Rasa puas diri;Bertindak tanpa pikir;Kebingungan;Tindakan yang counter productive;Tidak adanya kemampuan berkembang;Mutu hasil pekerjaan yang rendah;Kedangkalan;Ketidakmampuan belajar;Ketidaktepatan tindakan;Inkompetensi;Ketidakcekatan;Ketidakteraturan;Melakukan kegiatan yang tidak relevan;Sikap ragu-ragu;Kurangnya imajinasi;Kurangnya prakarsa;Kemampuan rendah;Bekerja tidak produktif;Ketidakrapian;Stagnasi.
Penggemukan pembiayaan;Menerima sogok;Ketidakjujuran;Korupsi;Tindakan kriminal;Penipuan;Kleptokrasi;Kontrak fiktif;Sabotase;Tatabuku yang tidak benar;Pencurian.
Bertindak sewenang-wenang;Pura-pura sibuk;Paksaan;Konspirasi;Sikap takut;Penurunan mutu;Tidak sopan;Diskriminasi;Cara kerja yang legalistil;Dramatisasi;Sulit dijangkau;Sikap tidak acuh;Tidak disiplin;Inersia;Sikap kaku (tidak fleksibel)Tidak berperikemanusiaan;Tidak peka;Sikap tidak sopan; Sikap lunak;Tidak peduli mutu kinerja;Salah tindak;Semangat yang salah tempat;Negativisme;Melalaikan tugas;Rasa tanggung jawab yang rendah;Lesu darah (anorexia)Paperasserie;Melaksanakan kegiatan yang tidak relevan;Cara kerja yang berbelit-belit (red tape)Kerahasiaan;Pengutamaan kepentingan sendiri;SuboptimasiSycophancy;Tampering;Imperatif wilayah kekuasaan;Tokenisme;Tidak professional;Sikap tidak wajar;Melampaui wewenang;Vasted interest;Pertentangan kepentingan;Pemborosan;
Penempatan tujuan dan sasaran yang tidak tepat;Kewajiban sosial sebagai beban;Eksploitasi;Ekstorsi;Tidak tanggap;Pengangguran terselubung;Motivasi yang tidak tepat;Imbalan yang tidak memadai;Kondisi kerja yang kurang memadai;Pekerjaan yang tidak kompatibel;Inconvenience;Tidak adanya indikator kinerja;Kekuasaan kepemimpinan;Miskomunikasi;Misinformasi; Beban kerja yang terlalu berat; Terlalu banyak pegawai;Sistem pilih kasih (spoil system);Sasaran yang tidak jelas;Kondisi kerja yang tidak aman;Sarana dan prasarana yang tidak tepat;Perubahan sikap yang mendadak.
Sumber: Siagian, 1994. Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi dan Terapinya. Jakarta, Ghalia Indonesia: Hal. 35-145.
Adapun beberapa jenis penyakit birokrasi yang sudah sangat dikenal dan
dirasakan masyarakat yaitu ketika setiap mengurus sesuatu dikantor pemerintah,
pengurusannya berbelit-belit, membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar,
pelayanannya kurang ramah, terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme dan
lain-lain. Sedangkan penyakit birokrasi yang lebih sistemik banyak sebutan yang
diberikan terhadapnya yaitu antara lain; politisasi birokrasi, otoritarian birokrasi,
birokrasi katabelece (Istianto, 2011:143).
Istilah patologi lazim digunakan dalam wacana akademis di lingkungan
administrasi publik untuk menjelaskan berbagai praktik penyimpangan dalam
birokrasi, seperti; paternalisme, pembengkakan anggaran, prosedur yang berlebihan,
fragmentasi birokrasi, dan pembengkakan birokrasi (Dwiyanto, 2011:59). Untuk
keperluan teoritik, maka dimensi-dimensi patologis yang disebutkan terakhir akan
diuraikan secara singkat seperti berikut.
1. Birokrasi Paternalistis
Perilaku birokrasi paternalistis adalah hasil dari proses interaksi yang intensif
antara struktur birokrasi yang hierakis dan budaya paternalistis yang berkembang
dalam masyarakat. Struktur birokrasi yang hierarkis cenderung mebuat pejabat
bawahan menjadi sangat tergantung pada atasannya. Ketergantungan itu
kemudian mendorong mereka untuk memperlakukan atasan secara berlebihan
dengan menunjukkan loyalitas dan pengabdian yang sangat tinggi kepada
pimpinan dan mengabaikan perhatiannya kepada para pengguna layanan yang
seharusnya menjadi perhatian utama (Mulder, 1985).
Struktur birokrasi yang hierarkis mendorong pejabat bawahan untuk
menunjukkan loyalitas dan penghormatan kepada atasan secara berlebihan, karena
seorang pejabat bawahan hanya memiliki satu atasan. Pejabat atasan memiliki
peran yang penting dalam pengembangan karier pegawai, karena informasi
mengenai kinerja pegawai sangat ditentukan oleh atasannya. Bahkan penilaian
kinerja pegawai itu dilakukan oleh atasan langsung. Informasi mengenai kinerja
pegawai atau pejabat itu kemudian diteruskan oleh atasan langsung kepada
pejabat atasan yang lebih tinggi.
Peranan atasan langsung dalam penilaian kinerja menjadi sangat penting
sehingga wajar apabila para pejabat birokrasi cenderung memperlakukan
atasannya secara berlebihan. Mereka cenderung menunjukkan perilaku ABS, yaitu
meberikan laporan yang baik dan menyenangkan atasan dengan menciptakan
distorsi informasi. Akibatnya, para pejabat atasan seringkali menjadi kurang
memahami realitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat (Harmon, 1995).
Berbagai persoalan yang dikeluhkan oleh pengguna layanan tidak tersampaikan
pada pejabat atasan, namun tidak diatasi sendiri oleh petugas pelayanan karena
mereka tidak memiliki kewenangan yang memadai untuk meresponsnya. Mereka
beranggapan bahwa menyampaikan persoalan yang terkait dengan pelaksanaan
tugasnya dapat menciptakan penilaian buruk dari pejabat atasan terhadap kinerja
mereka. Akibatnya responsivitas birokrasi dan pejabatnya terhadap dinamika
lingkungannya menjadi sangat rendah.
2. Prosedur Yang Berlebihan
Prosedur yang berlebihan merupakan bentuk penyakit birokrasi publik yang
menonjol di berbagai instansi pelayanan publik di Indonesia. Birokrasi publik
bukan hanya mengembangkan prosedur yang rigid dan kompleks, tetapi juga
mengembangkan ketaatan terhadap prosedur secara berlebihan. Dalam birokrasi
publik, prosedur bukan lagi sebagai fasilitas yang dibuat untuk membantu
penyelenggaraan layanan tetapi sudah menjadi seperti berhala yang harus ditaati
oleh para pejabat birokrasi dalam kondisi apapun. Bahkan prosedur sudah menjadi
tujuan birokrasi itu sendiri dan menggusur tujuan yang semestinya, yaitu melayani
publik sexcara professional dan bermartabnat. Apapun penyebabnya, pelanggaran
terhadap prosedur selalu dianggap sebagai penyimpangan dan karena itu
pelanggarnya harus diberi sanksi.
Dalam birokrasi Weberian pengembangan prosedur yang rinci dan tertulis
dilakukan untuk menciptakan kepastian pelayanan. Prosedur tertulis yang jelas
dan rinci sebenarnya diperlukan oleh pejabat birokrasi sebagai penyelenggara
layanan ataupun oleh para pengguna layanan. Para pejabat birokrasi memerlukan
prosedur yang rinci dan tertulis karena dengan prosedur seperti itu mereka
terhindar dari keharusan mengambil keputusan. Keberadaan prosedur pelayanan
sangat membantu mereka dalam menentukan tindakan yang harus dilakukan
untuk merespon berbagai persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan layanan.
Risiko melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan bias dihindari dengan
adanya prosedur pelayanan yang tertulis dan rinci.
Prosedur yang tertulis dan rinci juga menguntungkan bagi para pengguna
layanan, karena mereka dapat lebih mudah memahami hak dan kewajibannya
dalam mengakses pelayanan. Mereka juga menjadi semakin mudah mengetahui
apakah hak-haknya sebagai warga negara dilanggar oleh para pejabat birokrasi
atau tidak pada saat mereka mengakses pelayanan publik. Para pengguna layanan
juga menjadi lebih mudah untuk turut serta mengontrol proses penyelenggaraan
layanan publik. Tanpa prosedur yang jelas dan rinci maka sangat sulit bagi para
pengguna layanan untuk memahami hak dan kewajibannya ataupun menjalankan
peran kontrol terhadap proses penyelenggaraan layanan publik. Oleh karena itu,
prosedur yang rinci dan tertulis sebenarnya diperlukan oleh pejabat birokrasi dan
pengguna layanan. Tidaklah mengherankan jika prosedur kemudian berkembang
semakin banyak sehingga menjadikan birokrasi mengalami over regulation yang
juga merupakan salah satu penyakit birokrasi.
3. Pembengkakan Birokrasi
Mengamati sejarah perkembangan berbagai birokrasi pemerintah di Indonesia
dengan mudah dapat dilihat perkembangan sejumlah birokrasi yang semula
dibentuk dengan misi yang jelas dan struktur yang ramping, tetapi dalam waktu
singkat birokrasi tersebut sudah berubah menjadi kerajaan birokrasi yang besar.
Kecenderungan seperti ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi
juga terjadi di negara-negara lainnya. Fenomena ini lazim terjadi karena memang
ada kecenderungan dari internal birokrasi untuk mengembangkan diri seiring
dengan kegiatan untuk memperbesar kekuasaan dan anggaran.
Menurut Dwiyanto (2011:97) terdapat dua cara yang biasanya ditempuh untuk
membengkakkan birokrasi. Cara pertama dilakukan dengan memperluas misi
birokrasi. Pada saat pemerintah membentuk satuan birokrasi tertentu biasanya
pemerintah memiliki gambaran yang jelas mengenai misi yang akan diemban oleh
satuan birokrasi itu. Misi itu juga yang menjadi alasan dibentuknya sebuah atau
beberapa satuan birokrasi. Namun, setelah terbentuk, para pejabat di birokrasi itu
untuk selanjutnya cenderung memperluas misi birokrasi. Alasan utama yang
mendorong mereka memperluas misi birokrasi tidak lain adalah keinginan para
pejabat itu untuk dapat mengakses kekuasaan dan anggaran yang lebih besar.
Cara kedua untuk membengkakkan birokrasi adalah dengan melakukan
kegiatan di luar misinya. Tindakan seperti ini banyak sekali dilakukan oleh
satuan-satuan birokrasi, baik di pemerintah pusat maupun daerah. Munculnya
inisiatif untuk membengkakkan birokrasi juga disebabkan oleh cara pengalokasian
anggaran yang berorientasi pada input. Karena alokasi anggaran didasarkan pada
input, maka birokrasi dan para pejabatnya yang ingin memperoleh anggaran besar
cenderung memperbesar input. Cara termudah untuk memperbesar input adalah
dengan menciptakan banyak kegiatan.
4. Fragmentasi Birokrasi
Fragmentasi adalah pengkotat-kotakan birokrasi ke dalam sejumlah satuan yang
masing-masing memiliki peran tertentu. Fragmentasi birokrasi memiliki beberapa
interpretasi. Pragmentasi birokrasi dapat menunjukkan derajat spesialisasi dalam
birokrasi. Dalam konteks ini pembentukan satuan-satuan birokrasi didorong oleh
keinginan untuk mengembangkan birokrasi yang mampu merespons
permasalahan publik yang cenderung semakin kompleks.
Namun, fragmentasi birokrasi yang tinggi juga dapat disebabkan oleh sejumlah
motif lainnya. Pemerintah mengembangkan satuan birokrasi dalam jumlah banyak
bias saja bukan karena keinginan pemerintah untuk merespon kebutuhan dan
aspirasi masyarakat secara efisien dan efektif, malainkan karena adanya tujuan
tertentu.
Mencermati berbagai uraian tentang patologi birokrasi seperti yang dipaparkan
di atas, secara umum memberi gambaran bahwa patologi birokrasi merupakan suatu
kondisi dimana birokrasi mengalami suatu keadaan yang tidak normal atau berada
pada situasi yang tidak dikehendaki menurut prinsip dan tujuan birokrasi itu sendiri.
Bahkan untuk memudahkan identifikasi terhadap patologi birokrasi, Caiden secara
sistematis telah merumuskan suatu daftar yang merangkum sebanyak 175 hal yang
dapat dikatagorikan sebagai bureaupathologies, seperti pada tabel berikut.
Tabel 2: Common Bureaupathologies
Abuse of authority/power/positionAccount paddingAllenationAnorexiaArbitrarinesAroganceBiasBurring IssuesBoondoglesBriberyBureaucratese (unintelligibility)BusyworkCarelessnesChiselingCoersionComplacencyCompulsivenessComplicts of interest/objectivesConfusionConspiracyCorruptionCounter-productivenessCowardiceCriminalityDeadwoodDeceiut and deceptionDedication to status quoDefective goodsDelayDeteriorationDiscountesyDiscriminationDiseconomies of sizeDisplacement of goals/ objectivesDogmatismDramaturgyEmpire-buildingExcessive social cost/ complexityExploitationExtortionExtravaganceFailure to acknowledge/act/ answer/respondFavoritism
Fear of change, innovation, riskFinaglingFootdraggingFramingFraudFudging/fuzzing (issues)GamesmanshipGattopardisno (superficiality)Ghost EployeesGobbledygook/jargonHighhandednessIgnoranceIllegalityImpervious to criticism/suggestionImproper motivationInability to lernInaccessibilityInactionInadequate rewards and incentivesInadequate working conditionsInappropriatenessIncompatible taskIncompetenceInconvenienceIndecision (decidophobia)IndifferenceIndiciplineInefectivenessIneptitudeInertiaInferior qualityInflexibilityInhumanityInjusticeInsensitivityInsolenceIntimidationIrregularityIrrelevanceIrresolutionIrresponsibilityKleptocracyLack of commitmentLack of coordination
Lack of creativity/ experimentationLack of credibilityLack of imaginationLack of initiativeLack of performance indicationsLack of visionLawiesnessLaxityLeadership vacuumsMalfeasanceMaliceMalignityMeaningless/make workMediocrityMellownizationMindless job performanceMiscommunicationMisconductMisfeasanceMisinformationMisplaced zealNegativismNegligence/neglectNepotismNeuroticismNonaccountabilityObscurityObstructionOfficiousnessPressionOverkillOversightOverspreadOverstaffing PaperasserieParanoiaPatronagePayoffs and kickbacksPerversityPhony contractsPointless activityProcrastinationPunitive supervisionRed-tape
Reductance to delegate Reductance to take decisionsReductance to take responsibility RemotenessRigidity/brittlenessRip-offsRitualismRudenessSabotageScamsSecrecySelf-perpetutionSelf-servingSlick bookkeepingSloppinessSocial astigmatism(failure to see problems)Soul-destroying work SpendthriftSpoilsStagnationStallingStonewallingSuboptimizationSycophancyTail-chasingTemperingTerritorial imperativeTheftTokenismTunnel visionUnclear objectivesUnfairnessUnnecessary workUnprofessional conductUnreasonablenessUnsafe conditionsUnsuitable premises and equipmentUsurpatoryVanityVested interestVindictivenessWasteWhimXenophobia
Sumber:Gerald E. Caiden, “What Really is Public Administration?” dalam Public Admnistration Review, Vol.51, No. 6 (Nov-Dec 1991), Hal. 492.
D. Urgensi Sumber Daya Manusia Dalam Birokrasi
Pemberdayaan organisasi merupakan konsekuensi untuk menanggapi perubahan,
utamanya difokuskan pada sumber daya manusia sebagai pelaku utama perubahan.
SDM tidak sekedar menjadi alat untuk mencapai tujuan nmelainkan sebagai human
capital yang berharga. Oleh karena itu, manajemen sumber daya manusia perlu
mendapat perhatian terutama dalam upaya peningkatan kualitasnya.
Agar sumber daya manusia dapat menunjukkan “daya yang lebih” maka perlu
adanya model pemberdayaan seperti; pemberian peran, penempatan dalam jabatan,
motivasi pimpinan, menghubungkan tanggung jawab dan menumbuhkembangkan
budaya organisasi yang kondusif untuk meningkatkan kinerja organisasi. Dalam
hubungan pemberdayaan sumber daya manusia, juga diperlukan pengembangan
strategi yang tepat, yaitu: inward looking, outward looking, dan mengembangkan
kemitraan. Pemberdayaan sumber daya manusia dimaksud, diimplementasikan pada
organisasi melalui pemberian kewenangan yang jelas, pengembangan kompetensi,
pengembangan kepercayaan, pemanfaatan peluang, pemberian tanggung jawab, dan
pengembangan budaya organisasi (Sedarmayanti, 2010:286).
Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan serangkaian aktivitas yang
dilakukan dalam pengelolaan SDM. Serangkaian aktivitas tersebut dilakukan secara
berkelanjutan, sehingga tercipta SDM yang mampu mendukung organisasi. Dengan
demikian ada jaminan bagi kemajuan dan perkembangan organisasi secara
menyeluruh. Berkaitan dengan itu D. Harvey dan R. Bowin (1996) mengemukakan
beberapa langkah penting untuk dilakukan yang disebutnya sebagai The Succes
System Model (Matheus dan Sulistiyani, 2011:53-54), yaitu:
1. Anticipating (antisipasi); Organisasi terlebih dahulu menentukan manajemen
sumber daya manusianya. Sistem ini harus dapat mengantisipasi kemungkinan-
kemungkinan di masa depan, mampu mengindikasikan kecenderungan terbaru
dan mengembangkan program-program yang dapat memenuhi perubahan kondisi.
2. Atracting (penarikan); Organisasi mulai memusatkan perhatian pada aktivitas
yang ditujukan untuk meyakinkan bahwa organisasi mampu mencari orang-orang
yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan, diantaranya meliputi analisis
jabatan, penarikan, seleksi, yang didahului oleh issu legal yang berkaitan dengan
penerimaan pegawai, yaitu Equal Employment Opportunity (EEO).
3. Developing (pengembangan); Setelah organisasi mencari dan menemukan orang
yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan, maka selanjutnya diikuti dengan
pengembangan agar dapat menunjukkan kinerja yang tinggi. Upaya ini
dimaksudkan dapat diperoleh dengan melalui pelatihan dan pengembangan
pegawai, baik pada tingkat manajer maupun pada tingkat bawahan.Termasuk
dalam aktivitas ini adalah penilaian kinerja pegawai, pelatihan, pengembangan
organisasi dan pengembangan karier.
4. Motivating (memotivasi); Motivasi perlu dilakukan agar mereka bekerja dengan
baik, sehingga menghasilkan kinerja yang tinggi. Untuk itu haruslah diketahui
bagaimana cara memotivasi pegawai yang ada, misalnya dengan sistem
konmpensasi yang berfungsi untuk memotivasi pegawai, seperti; gaji, insentif,
dan berbagai program keterlibatan pegawai.
5. Maintaining (memelihara); Aktivitas ini harus diikuti dengan adanya komunikasi
yang terbuka sebagai alat utama dalam memelihara hubungan dengan pegawai
yang efektif. Hubungan pegawai merupakan faktor penting karena akan
mempengaruhi berbagai aktivitas SDM.
6. Changing for Success (perubahan untuk sukses); Dalam kondisi lingkungan yang
terus berubah, manajemen sumber daya manusia memberikan pendekatan untuk
mengembangkan strategi-strategi baru, yakni mengadakan perubahan budaya
organisasi dan mengelola keragaman SDM. Aktivitas ini akan menjadi pengkajian
ulang struktur organisasi, budaya dan proses manajerial, mengelola perubahan
sikap, nilai dan prosedur sehubungan dengan keragaman SDM.
7. Focusing (pemfokusan); Mengukur efektifitas SDM dapat dilakukan dengan
mengevaluasi sejauhmana efektivitas SDM dilakukan dalam organisasi. Berbagai
alat dapat digunakan, mulai dari survey tentang sikap pegawai sampai dengan
formal audit SDM. Untuk menunjang aktivitas ini diperlukan sikap dan tindakan
yang pro aktif dari para manajer SDM, sehingga dapat menghadapi situasi yang
terus berubah
E. Penggunaan Teknologi Informasi Dalam Pelayanan Publik
Penggunaan teknologi informasi (information technology) merupakan salah satu
alternatif untuk melakukan inovasi birokrasi dan perbaikan pelayanan publik. Trend
ini menjadi fenomena global, karena kecenderungan perkembangan masyarakat dan
perekonomiannya semakin digerakkan oleh inovasi teknologi. Bahkan tidak dapat
dipungkiri bahwa di luar lingkungan birokrasi, inovasi-inovasi teknologi telah
menghasilkan kualitas kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
Manfaat IT terhadap birokrasi pemerintah telah dibuktikan oleh berbagai
kalangan, baik praktisi maupun akademisi. Bahkan Al Gore dan Tany Blair
(Ardiyanto, 2007:47) secara bersemangat menjelaskan manfaat yang dapat diperoleh
dengan adanya e-governmen, yaitu:
1. Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholder-nya
(masyarakat, kalangan usahawan, dan industri), terutama dalam hal kinerja
efektivitas dan efisiensi diberbagai kehidupan bernegara;
2. Meningkatkan transparansi, kontrol, dan akuntabilitas penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka penerapan konsep good corporate governance.
3. Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi dan interaksi yang
dikeluarkan pemerintah maupun stakeholder-nya untuk keperluan aktivitas
sehari-hari.
4. Memberikan peluang pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan
yang baru melalui interaksinya dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
5. Menciptakan suatu lingkungan baru yang dapat menjawab berbagai permasalahan
yang dihadapi secara cepat dan tepat sejalan dengan perubahan global dan trend
yang ada.
6. Memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak yang lain sebagai mitra pemerintah
dalam proses pengambilan kebijakan publik secara merata dan demokratis.
Meskipun diakui bahwa manfaat e-government terhadap pelayanan birokrasi
pemerintah, namun dalam prakteknya tidak luput dari berbagai kendala, antara lain
faktor kultur. Budaya kerja birokrasi kita merupakan hambatan dalam implementasi
penggunaan ICT/E-Gov dalam pelaksanaan tugas birokrasi. Terjadinya kristalisasi
budaya Asal bapak Senang (ABS) terhadap atasanmenjadi salah satu faktor
penolakan penggunaan ICT/E-Gov Turnip (dalam Pramusinto dan Kumorotomo,
2009: 353.
Berdasarkan pengalaman, dalam pelayanan administrasi pertanahan kantor-
kantor pertanahan telah menggunakan berbagai produk teknologi informasi, namun
dalam kenyataannya proses layanan masih tergolong lamban. Pelayanan pertanahan
melalui Kantor Pertanahan pada prinsipnya adalah pelayanan data dan informasi
pertanahan. Data yang tersimpan di Kantor Pertanahan merupakan data yang
diperoleh dan diolah melalui proses yang rumit dan panjang mengikuti aturan yang
tertuang pada Peraturan Kepala BPN nomor 1 tahun 2005 tentang Standar Prosedur
Opersional Pelayanan Pertanahan (SPOPP). Pembaruan data selalu dilakukan apabila
terjadi perubahan pada subyek atau obyek hak atas tanah.
Salah satu usaha untuk mengotimalkan tugas-tugas pelayanan pertanahan
dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi adalah pembangunan dan
pengembangan komputerisasi kantor pertanahan (KKP). Kantor Pertanahan
merupakan basis terdepan dalam kegiatan pelayanan. Dikembangkan model
pelayanan yang berbasis on-line system. Pembangunan pelayanan on line,
membangun data base elektronik, pembangunan infrastruktur perangkat keras dan
jaringan koneksi, peningkatan sumber daya manusia dalam kemampuan penguasaan
IT serta sosialisasi kegiatan di kalangan intern dan ekstren merupakan tahap-tahap
kegiatan yang harus dilakukan pada kantor-kantor yang sedang dan sudah
menerapakan KKP.
Pembangunan Komputerisasi Kantor Pertanahan tidak hanya memberikan
pelayanan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara on-line
system, tetapi sekaligus membangun basis data digital. Melalui program KKP telah
dilakukan digitalasisasi data pertanahan (Buku Tanah, Surat Ukur, Gambar Ukur dan
Peta Pendaftaran Tanah). Suatu hal yang tidak dipungkiri bahwa stigma tentang
pelayanan pertanahan dengan efek yang menyertainya adalah masalah yang harus
menjadi tantangan bagi semua insan pertanahan. Sikap masyarakat semakin kritis
dalam menyikapi setiap bentuk pelayanan apapun, terutama yang berkaitan
pelayanan publik.
F. Lingkungan Birokrasi
Pembahasan tentanng birokrasi sebagai organisasi tidak dapat dipisahkan
dengan faktor lingkungan. Kehadiran teori sistem sebagai pelopor perspektif modern
membuka wawasan baru dalam teori organisasi. Berbeda dengan perspektif klasik,
maka perspektif modern memasukkan unsur lingkungan sebagai determinan dan
mencoba mengembangkan teori-teori yang menjelaskan hubungan organisasi dan
lingkungan. Berkaitan dengan ini Hatch (1997:76) mengelompokkannya ke dalam
dua periode, yaitu: (1) periode awal 1960-an hingga akhir 1970-an, dimana teori-
teori yang dikembangkan bersifat kontingensi dalam arti lingkungan mempengaruhi
organisasi, dan (2) periode awal 1980-an sampai sekarang, dimana teori-teori yang
dikembangkan lebih ditekankan pada penjelasan secara lebih detail tentang
bagaimana lingkungan mempengaruhi organisasi.
Burn dan Stalker (1961) dalam penelitiannya di Inggeris dan Scotlandia
menemukan bahwa organisasi-organisasi yang mereka teliti ternyata dapat dibedakan
menjadi dua jenis struktur yang berbeda, yaitu struktur mekanik dan organic (Gerlof,
1985:51). Meskipun penelitian ini dilakukan terhadap organisasi-organisasi industri,
namun klasifikasi ini juga ditemukan pada organisasi publik atau birokrasi
pemerintah.
Struktur organisasi yang mekanistik dibuat atas dasar pertimbangan bahwa
sistem kerja yang stabil dibutuhkan agar organisasi dapat menjalankan berbagai
fungsinyasecara efektif dan efisien. Oleh karena itu, untuk setiap posisi atau jabatan
di dalam organisasi harus ditentukan secara jelas otoritas atau wewenangnya,
kebutuhan informasi, kompetensi, dan aktivitas teknis yang dilakukan. Mereka yang
menduduki posisi tersebut tidak boleh melanggar batas-batas yang telah ditentukan.
Dengan cara ini, organisasi dapat berjalan secara efisien karena dodasarkan pada
prosedur-prosedur yang distandardisasi, terutama untuk tugas-tugas yang bersifat
rutin.
Sedangkan struktur organic bekerja dengan prinsip sebaliknya. Struktur ini
mengandalkan kreativitas dan daya adaptasi individu dalam melaksanakan tugas-
tugasnya. Oleh karena itu batasan-batasan sebagaimana telah disebutkan diupayakan
seminimal mungkin, sehingga anggota organisasi memiliki ruang yang lebih luas
untuk menyesuaikan berbagai tugasnya sejalan dengan perubahan lingkungan yang
dihadapi. Menurut Burn dan Stalker, bahwa organisasi mekanistik berjalan efektif
jika lingkungan yang dihadapi stabil dan tugas-tugas yang dilakukan dapat ditangani
dengan mekanisme yang bersifat rutin. Sementara untuk lingkungan yang cenderung
berubah-ubah dan sifat permasalahannya tidak dapat diatasi dengan cara-cara rutin,
organisasi organik akan lebih mendukung (Kusdi, 2009:73-74).
Eksistensi birokrasi sebagai suatu organisasi memang tidak dapat dipisahkan
dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan internal
dan eksternal organisasi. Lingkungan internal organisasi tidak saja meliputi kondisi
fisik yang sifatnya kasat mata, melainkan hal-hal yang tidak secara eksplisit terlihat
akan tetapi juga mempengaruhi kondisi lingkungan internal, seperti budaya kerja,
kebiasaan-kebiasaan pegawai, perilaku organisasi, sistem diskresi, dan lain-lain.
Kondisi internal pegawai tersebut senantiasa berubah dan berkembang, sehingga
menuntut sebuah pembelajaran yang sesuai, agar permasalahan-permasalahan yang
muncul dapat diantisipasi. Sedangkan lingkungan eksternal meliputi instansi-instansi
lain, organisasi swasta, masyaralat, kebijakan-kebijakan pemerintah, teknologi,
kondisi sosial ekonomi yang mengalami dinamika dari waktu-ke waktu (Matheus
dan Sulistiyani, 2011: 47-48)
Dalam konteks penelitian ini, salah satu faktor lingkungan yang menjadi fokus
penelitian, yaitu budaya yang bersifat paternalistik. Pada masyarakat yang berbudaya
paternalistic, dampak negatif struktur birokrasi yang hierakis tidak dapat dikoreksi
oleh sistem budayanya. Tidak seperti di negara-negara barat yang memiliki budaya
rasionalyang mampu berperan sebagai sensor efektif terhadap dampak negatif dari
hierarki, seperti ABS, distrosi informasi, dan promosi atas dasar pertimbangan
hubungan subyektif. Budaya rasional mengajarkan kepada masyarakat untuk
menghargai orang atas dasar prestasi, bukan atas dasar loyalitas, keturunan dan
ukuran-ukuran subjektif lainnya. Salah satu karakteristik penting yang membedakan
antara birokrasi paternalistic dengan birokrasi yang rasional adalah konsep mereka
mengenai jabatan. Dalam birokrasi paternalistis, jabatan dilihat sebagai fungsi dan
kepercayaan atasan, sedangkan dalam birokrasi rasional jabatan adalah fungsi dan
prestasi kerja (Gruber, 1988).
G. Etika Birokrasi
Konsep etika dalam berbagai literatur mengandung beberapa arti, seperti
digambarkan oleh Bertens (2000) bahwa salah satu diantaranya dan biasa digunakan
orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles telah
mengunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang
apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan
bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwadarminta), etika dirumuskan
sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; 1988), disebut sebagai
(1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Mencermati beberapa sumber di atas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti
penting dari konsep etika, yaitu: (1) etika sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistem nilai”, (2) etika sebagai kumpulan asas
atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”, dan (3) etika sebagai ilmu
tentang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”
Moral selalu dikaitkan dengan kewajiban khusus dihubungkan dengan norma
sebagai cara bertindak yang berupa tuntutan, baik yang relatif maupun yang mutlak.
Dengan demikian moral merupakan wacana normatif dan imperatif yang
diungkapkan dalam kerangka baik/buruk, benar/salah yang dianggap sebagai nilai
mutlak atau transenden, isinya adalah kewajiban-kewajiban. Dengan demikian
kondep moral mengacu keseluruh aturan dan norma yang berlaku, yang diterima
suatu masyarakat tertentu sebagai pegangan dalam bertindak dan diungkapkan dalam
kerangka baik dan buruk, benar dan salah.
Menurut Chander dan Plano (1988) dalam etika terdapat empat aliran utama,
yaitu: (1) empirical theory; melihat bahwa etika diturunkan dari pengalaman manusia
dan persetujuan umum. Dalam konteks ini penilaian tentang baik dan buruk tidak
terlepas dari atau tidak terpisahkan dari fakta dan perbuatan; (2) rational theory;
melihat bahwa baik atau buruk sangat tergantung dari reasoning atau alasan dan
logika yang melatarbelakangi suatu perbuatan, bukan pengalaman. Dalam konteks
ini, setiap situasi dilihat sebagai suatu yang unik dan membutuhkan penerapan yang
unik dari logika manusia dan memberikan kesimpulan yang unik pula tentang baik
atau buruk; (3) intuitive theory; melihat bahwa etika tidak harus berasal dari
pengalaman dan logika, tetapi manusia secara alamiah dan otomatis memiliki
pemahaman tentang apa yang benar dan salah, apa yang baik dan yang buruk. Teori
ini menggunakan hukum moral alamiah atau “natural moral law”; dan (4) revelation
theory; melihat bahwa yang benar atau salah berasal dari kekuasaan di atas manusia
yaitu dari Tuhan sendiri. Dengan kata lain apa yang dikatakan Tuhan (dalam
berbagai kitab suci) menjadi rujukan utama untuk memutuskan apa yang benar dan
apa yang salah.
Pada kenyataannya etika menjadi suatu hal yang amat dilekatkan dengan
birokrasi. Alasannya sangat sederhana, yakni karena merekalah yang mempunyai
kekuasaan dan mereka juga yang harus membuat keputusan-keputusan. Keputusan-
keputusan mereka itu akan mempengaruhi publik secara keseluruhan. Oleh karena itu
etika senantiasa dihubungkan dengan soal nilai yang mengatur perilaku manusia,
dihadapkan pada benar atau salah sesuatu tindakan dan pada baik atau buruknya
motif dan tujuan tindakan yang dilakukan. Dalam konteks birokrasi pemerintah,
setiap aparatur pemerintah wajib memiliki sikap mental dan perilaku yang
mencerminkan keunggulan watak, keluhuran budi, dan asas etis. Ia wajib
mengembangkan diri, sehingga sunguh-sunggih memahami, menghayati dan
menerapkan berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan-kebajikan moral
(khususnya keadilan) dalam tindakan jabatannya.
Berkaitan dengan itu, Dwight Waldo dalam “The Enterprise of Public
Administration”, menyatakan bahwa petugas Negara memiliki kewajiban-kewajiban
etis (ethical obligations). Oleh karena itu, setiap petugas administrasi pemerintahan
wajib memahami asas-asas etis yang bersumber pada berbagai kewajiban moral,
kemudian membina diri sehingga sungguh-sungguh menghayati asas-asas etis itu
dalam melaksanakan tugasnya. Waldo mengemukakan berbagai asas etis (Sukidin,
2011: 26-29) yang pokok dalam administrasi pemerintahan, yaitu:
a. Pertanggujawaban (responsibility)
Asas etis ini menyangkut hasrat seseorang petugas untuk merasa memikul
kewajiban penuh dan ikatan kuat dalam melaksanakan semua tugas pekerjaan
secara memuaskan. Petugas administrasi pemerintahan harus mempunyai hasrat
besar untuk melaksanakan fungsi-fungsinya secara efektif, sepenuh kemampuan,
dan dengan cara paling memuaskkan pihak yang menerima pertanggungjawaban.
Pertanggungjawabannya itu tertuju kepada rakyat umumnya, instansi
pemerintahnya, maupun pihak atasan langsung.
Kecenderungan untuk melepaskan tanggung jawab atau keinginan untuk
melemparkan tanggung jawab kepada pihak lain atau pun kebiasaan mengajukan
dalih “hanya melaksanakan perintah” (just following orders), harus dihilangkan
dari diri setiap aparatur pemerintah. Dengan demikian setiap petugas
administrator pemerintahan harus siap untuk memikul pertanggung jawaban
mengenai apa saja yang dilakukannya. Ia tidak boleh terjebak pada alasan bahwa
ia hanya menjalankan petunjuk atau melaksanakan kebijakan pemerintah.
b. Pengabdian (dedication)
Pengabdian merupakan suatu keinginan untuk menjalankan tugas-tugas
pekerjaan dengan semua tenaga (pikiran atau mental dan fisik), seluruh semangat
kegairahan, dan sepenuh perhatian tanpa pamrih apa-apa yang bersifat pribadi,
misalnya ingin cepat naik pangkat atau diberi tanda jasa. Setiap petugas dalam
administrasi pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya harus selalu dan terus
menerus menunjukkan keterlibatan diri (involvement of selself) dan penuh
antusiasme. Kecenderungan bekerja setengah hati atau asal jadi, tidak boleh ada
dalam diri setiap petugas yang baik. Pengabdian itu terarah pada jabatannya,
keahliannya, dan bidang profesinya.
c. Kesetiaan (loyality)
Kesetiaan merupakan suatu kebajikan moral, yaitu sebagai kesadaran
seseorang petugas untuk setulusnya patuh kepada tujuan bangsa, konstitusi
Negara, peraturan perundang-undangan, badan/instansi, tugas/jabatan, maupun
atasan demi tercapainya cita-cita bersama yang diharapkan. Pelaksanaan tugas
pekerjaan dengan ukuran rangkap, pertimbangan untung-rugi, atau bahkan dengan
kebiasaan sabotase, tidak dikenal dalam setiap petugas yang baik. Kalau seorang
petugas tidak dapat menjalankan tugas jabatannya dengan sepenuh kemampuan,
tidak bersedia terikat patuh pada badan/instansinya, atau tidak merasa cocok
dengan kebijakan pihak pimpinannya, maka tindakan etis adalah mengundurkan
diri dari jabatannya.
d. Kepekaan (sensitivity)
Asas etis ini mencerminkan kemauan dari kemampuan seseorang petugas
untuk memperhatikan serta siaga terhadap berbagai perkembangan yang baru,
situasi yang berubah, dan kebutuhan yang timbul dalam kehidupan masyarakat
dari waktu ke waktu dengan disertai usaha-usaha untuk menanggapi secara
sebaik-baiknya. Sikap tidak peduli asalkan tugas rutin sudah selesai atau tidak
mau susah payah melakukan pembaharuan harus disingkirkan dari setiap petugas
administrasi pemerintahan yang baik.
e. Persamaan (equality)
Salah satu kebajikan pokok dari badan pemerintahan yang bertujuan mengabdi
kepada seluruh rakyat dan melayani kepentingan umum ialah perlakuan adil.
Perlakuan yang adil itu biasanya dapat diwujudkan dengan memberikan perlakuan
yang sama tanpa membeda-bedakan atau pilih kasih kepada semua pihak.
Persamaan dalam perlakuan, pelayanan, dan pengabdian harus diberikan oleh
setiap petugas kepada publik tanpa memandang hubungan kerabat, ikatan politik,
asal-usul keturunan, atau kedudukan sosial. Perbedaan perlakuan secara semena-
mena atau berdasarkan kepentingan pribadi, tidak boleh dilakukan oleh petugas
administrasi pemerintahan yang adil.
f. Kepantasan (equity)
Persamaan perlakuan terhadap semua pihak sebagai suatu asas etis, tidak
selalu mencapai keadilan dan kelayakan. Persoalan dan kebutuhan dalam
masyarakat sangat beraneka ragam, sehingga memerlukan perbedaan perlakuan
asalkan berdasarkan pertimbangan yang adil atau alasan yang benar. Demikian
pula, sesuatu faktor khusus atau situasi tertentu dapat membuat persamaan yang
ketat menjadi suatu perlakuan yang tidak adil. Dengan demikian terhadap suatu
kelompok tertentu dan untuk suatu keadaan tertentu, perlu diberikan perlakuan
yang sama. Tetapi terhadap suatu golongan lain dan berdasarkan kondisi khusus
yang berlainan, mungkin perlu ada perlakuan yang tidak sama. Untuk itu, asas
yang harus diindahkan ialah kepantasan yang juga merupakan salah satu makna
keadilan. Asas kepantasan mengacu pada suatu hal yang sepatutnya menurut
pertimbangan moral atau nilai etis yang berlaku dalam kehidupan masyrakat.
Dalam pemberian pelayanan publik, telah terjadi pergeseran paradigma etika.
Pergeseran tersebut diuraikan oleh Keban (2008; 173-6) dengan menelusuri tulisan
Denhardt yang berjudul The Ethics Of Public Service (1988). Dalam tulisan ini
digambarkan sejarah etika pelayanan publik mulai dari karya Wayne A.R.Leys tahun
1944 yang disebutnya sebagai Model I-The 1940s. Leys memberikan saran kepada
pemerintah Amerika Serikat tentang bagaimana menghasilkan suatu “good public
policy decision”. Ia berpendapat bahwa sudah waktunya meninggalkan kebiasaan
atau tradisi (custom) yang selama ini selalu menjadi pegangan utama dalam
menentukan suatu pembuatan keputusan karena pemerintah selalu berhadapan
dengan berbagai masalah baru. Kebiasaan dan tradisi tersebut harus digoyang dengan
standar etika yang ada, dimana etika harus dilihat sebagai “source of doubt”.
Pertanyaan-pertanyaan etika harus digunakan dalam menilai apakah suatu keputusan
sudah dianggap baik atau tidak. Singjkatnya dalam model ini dikatakan bahwa agar
menjadi etis, diperlukan seorang administrator senantiasa menguji dan
mempertanyakan standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan daripada
hanya sekedar menerima atau tergantung pada kebiasaan dan tradisi yang ada
(Denhardt, 1988:6).
Pada tahun 1953, Hurst A.Anderson dalam suatu pidatonya yang berjudul
Ethical Values in Administration mengatakan, bahwa masalah etika sangat penting
dalam setiap keputusan administratif, tidak hanya bagi mereka yang
memformulasikan kebijakan publik, dan etika itu sendiri harus dipandang sebagai
asumsi-asumsi yang menuntun kehidupan dan pekerjaan kita semua. Dengan kata
lain, kita harus memiliki apa yang disebut “philosophy of personal and social
living”. Pendapat ini diklasifikasikan oleh Denhardt (1988: 8) sebagai Model II-The
1950s, yang intinya bahwa agar dianggap etis maka seorang administrator hendaknya
menguji dan mempertanyakan standar atau asumsi-asumsi yang digunakan sebagai
dasar pembuatan keputusan. Standar-standar tersebut harus merefleksikan nilai-nilai
dasar masyarakat, dan tidak sekedar tergantung semata pada kebiasaan dan tradisi.
Perlu diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan nilai-nilai dasar (core values)
masyarakat meliputi antara lain kebebasan, kesetaraan, keadilan, kebenaran,
kebaikan dan keindahan.
Kemudian pada tahun 1960an muncul suatu nuansa baru dalam etika pelayanan
publik. Robert T. Golembiewski memaparkan dalam tulisannya yang berjudul Men,
Management, and Morality tahun 1965, bahwa praktek-praktek organisasi yang telah
berlangsung sekian lama yang didasarkan pada teori-teori organisasi tradisional telah
membawa dampak negatif pada individu-individu yang bekerja dalam organisasi itu
sendiri. Dengan kata lain, para individu tersebut merasa tertekan dan frustrasi dan
oleh karena itu sisi etika dari praktek tersebut perlu mendapatkan perhatian. Standar-
standar yang telah ditetapkan dalam organisasi jaman dulu belum tentu cocok
sepanjang masa, karena itu harus dilihat apakah masih pantas dipertahankan atau
tidak. Disini Golembiewski melihat etika sebagai “contemporary standards of right
conduct” yang harus disesuaikan dengan perubahan waktu. Karena itu Denhardt
(1988:9-10) melihat pendapat ini sebagai Model III-1960s, yang intinya bahwa agar
menjadi etis, seorang administrator sebaiknya menguji dan mempertanyakan standar,
atau asumsi yang melandasi pembuatan suatu keputusan. Standar-standar tersebut
harus merefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat dan tidak semata tergantung pada
kebiasaan dan tradisi. Standar etika bisa berubah ketika kita mencapai suatu
pemahaman yang lebih baik terhadap standar-standar moral yang absolut.
Pada tahun 1970an muncul para ahli administrasi publik yang tergolong dalam
masyarakat New Public Administration, memberikan nuansa baru yaitu meminta agar
administrator memperhatikan “administrative responsibility”. David K.Hart, salah
seorang intelektualnya, menilai bahwa administrasi publik saat itu sudah bersifat
“impartial” dan sudah waktunya merubah paradigma lama untuk memperbaiki
kepercayaan publik yang waktu itu sudah pudar. Ia menyarankan agar “social
equity” atau keadilan sosial harus menjadi pegangan pokok administrasi publik,
sebagaimana disarankan oleh John Rawls dalam Teori Keadilan, yang dinilai benar-
benar menggambarkan paradigma keadilan. Oleh karena itu, Denhardt (1988:16)
menyebutnya sebagai Model IV-the 1970s, yang merupakan akumulasi
penyempurnaan dari model-model sebelumnya, dimana dikatakan bahwa agar
menjadi etis seoranmg administrator harus benar-benar memberi perhatian pada
proses menguji dan mempertanyakan standar, atau asumsi yang melandasi
pembuatan keputusan administratif. Standar-standar ini mungkin berubah dari waktu
ke waktu dan administrator harus mampu merespons tantangan-tantangan dan
tuntutan-tuntutan baru dengan memperbaharui standar-standar tersebut. Isi dari
standar-standar tersebut harus merefleksikan komitmen terhadap nilai-nilai dasar
masyarakat, dan administrator harus tahu bahwa ialah yang akan bertanggung jawab
penuh terhadap satandart-standar yang digunakan dan terhadap keputusan-keputusan
itu sendiri.
Perkembangan selanjutnya, muncul beberapa pendapat yang secara signifikan
memberikan kontribusi bagi penyempurnaan paradigma etika pelayanan publik. Dua
tokoh penting yang memberi kontribusi tersebut adalah John Rohr dalam karyanya
Ethics for bureaucrats tahun 1978 dan Terry L. Cooper dalam The Responsible
Administrator tahun 1986. John Rohr dalam tulisannya memberikan sumbangan
yang sangat berarti, yaitu bahwa dalam proses pengujian dan mempertanyakan
standard dan asumsi yang digunakan dalam pengambilan keputusan diperlukan
“independensi”, dan tidak boleh tergantung dari pemikiran pihak luar seperti
Mahkamah Agung atau Pengadilan Negeri, dsb. Karena itu Denhardt (1988:23)
menyebutnya sebagai Model V-After Rohr, dimana dikatakan bahwa untuk dapat
disebut etis, maka seorang administrator harus secara independen masuk dalam
proses menguji dan mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam
pembuatan keputusan. Isi dari standar tersebut mungkin berubah dari waktu ke waktu
ketika nilai-nilai sosial difahami secara lebih baik atau ketika masalah-masalah baru
diungkapkan. Administrator harus memahami bahwa ia akan bertanggung jawab baik
secara perorangan maupun kelompok terhadap keputusan-keputusan yang dibuat dan
terhadap standar etika yang dijadikan dasar keputusan-keputusan tersebut.
Model akhir didasarkan pada pemikiran Cooper, sehingga Denhardt (1988:26)
mentyebutnya sebagai Model VI-After Cooper. Model ini menggambarkan bahwa
antara administrator, organisasi, dan etika terdapat hubungan penting dimana etika
para administrator justru sangat ditentukan oleh konteks organisasi dimana ia
bekerja. Jadi lingkungan organisasi menjadi sangat menentukan, bahkan begitu
menentukan sehingga seringkali para administrator hanya memiliki sedikit “otonomi
beretika”. Dengan kata lain, agar dapat dikatakan etis apabila seorang administrator
mampu mengatur secara independen proses menguji dan mempertanyakan standar
yang digunakan dalam pembuatan keputusan, paling tidak keputusan yang secara sah
dibuat pada tingkatan organisasi itu. Isi dari standar tersebut mungkin berubah dari
waktu kewaktu bila nilai-nilai sosial difahami secara lebih baik dan masalah-masalah
sosial baru mulai terungkap. Administrator dalam hal ini harus siap menyesuaikan
standar-standar tersebut dengan perubahan-perubahan tersebut, senantiasa
memberikan komitmennya pada nilai-nilai dasar masyarakat dan tujuan
organisasinya. Administrator akan bertanggung jawab secara perorangan dan
professional, dan bertanggung jawab dalam organisasi terhadap keputusan yang
dibuat dan terhadap standar etika yang digunakan dalam keputusan itu.
Berdasarkan gambaran singkat tentang pergeseran paradigm etika pelayanan
publik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa selama ini etika dan moralitas sudah
mendapatkan perhatian yang serius dalam dunia pelayanan publik atau administrasi
publik. Tiga hal pokok yang menarik perhatian dalam paradigma tersebut, yaitu
(1) proses menguji dan mempertanyakan standar etika dan asumsi, secara
independen. (2) Isi standar etika yang seharusnya merefleksikan nilai-nilai dasar
masyarakat dan perubahan standar tersebut, baik sebagai akibat dari penyempurnaan
pemahaman terhadap nilai-nilai dasar masyarakat, maupun sebagai akibat dari
muculnya masalah-masalah baru dari waktu ke waktu; dan (3) konteks organisasi
dimana para administrator bekerja berdasarkan tujuan organisasi dan peranan yang
dimainkan mereka, yang dapat mempengaruhi otonomi mereka dalam beretika.
Menurut Denis Thompson (Shafritz & Hide,1997), di dalam administrasi publik
terdapat isu etika yang kontroversil dan dilemmatis, yaitu etika netralitas dan etika
struktur. Etika netralitas menuntut seorang administrator untuk netral, artinya
menerapkan prinsip etika sesuai dengan kebijakan organisasi atau sebagaimana
diputuskan oleh organisasi, dan tidak boleh menerapkan prinsip etika yang
dianutnya. Etika seperti ini menuntut loyalitas tinggi bagi seorang administrator, dan
menyangkal otonomi beretika. Pertanyaan yang sering muncul menyangkut isi
kebijakan atau keputusan organisasi, apakah keputusan atau kebijakan tersebut baik
atau buruk, benar atau salah. Bila ada keinginan yang tidak baik di balik kebijakan
atau keputusan tersebut, apakah administrator tetap harus mengikutinya?
Untuk memahami relevansi etiuka dengan setiap aktivitas yang terdapat dalam
birokrasi, perlu dirumuskan kembali lingkup administrasi negara itu sendiri yang
pada akhirnya akan sampai pada perdebatan tentang paradigma. Kalau kita berbicara
tentang paradigma maka kita harus memahami ilmu administrasi publik dari dua
aspek. Aspek pertama disebut lokus yang menunjukkan tempat keberadaan suatu
bidang ilmu, dan yang kedua adalah fokus yang menunjukkan kekhususan dari ilmu
tersebut. Menururut Henry, paradigma yang terakhir mengatakan bahwa lokus
administasi negara adalah mengenai kepentingan publik (public interest) dan urusan
publik (public affairs), sedangkan fokusnya adalah teori organisasi dan ilmu
manajemen (Henry, 1988: 33-65).
Berdasar pada hal tersebut, jelas bahwa administrasi publik merupakan proses
yang rumit karena bukan saja berkaitan dengan aktivitas-aktivitas teknis yang
berlandaskan ilmu manajemen untuk mencapai efisiensi yang tinggi melainkan juga
aktivitas-aktivitas politis yang berusaha menafsirkan kehendak publik dan
menerjemahkannya dalam kebijakan nyata. Kebijakan dapat didefinisikan sebagai
seluruh gagasan mengenai tujuan dan cara/arah tindakan-tindakan manusia dalam
organisasi (Surie, 1978:12).
Kebijakan menentukan norma dan mngatur administrasi negara pada tingkat
strategis. Dari segi materi atau isi, administrasi negara berarti administrasi negara
melakukan kebijakan publik yakni menetapkan dan melaksanakan suatu kebijakan
yang berpengaruh kepada masyarakat umum. Dari segi formal atau bentuk,
administrasi negara adalah pengambilan keputusan-keputusan yang mengikat orang
banyak. Dari segi sosiologi, administrasi negara merupakan bentuk tindakan sosial
tertentu yang diorganisasi. Jadi dalam praktek administrasi negara merupakan
rangkaian pengambilan kebijakan, yang menghasilkan norma-norma formal, aturan-
aturan, serta keharusan-keharusan bagi tindakan sosial. Proses pengaturan itu
tentunya akan menunjang tertib sosial hanya apabila ia merujuk kepada rasa
kebenaran dan keadilan dari warga masyarakatnya, sehingga setiap aktivitas
administrasi negara akan selalu punya konsekuensi nilai (Kumorotomo, 2002:102).
Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa proses administrasi negara
senantiasa menuntut pertanggung jawaban etis.
H. Pelayanan Publik
Setiap negara di manapun serta apapun bentuk pemerintahannya selalu
membutuhkan pelayanan publik. Pelayanan publik merupakan suatu keharusan bagi
negara atau pemerintahan untuk melayani warga negaranya. Pelayanan publik tidak
mudah dilakukan, dan banyak negara yang gagal melakukan pelayanan publik yang
baik bagi warganya. Pelayanan publik (public service), merupakan salah satu
pembahasan yang cukup aktual dalam kajian birokrasi.
Pelayanan publik menjadi ujung tombak interaksi antara masyarakat dan
pemerintah. Kemampuan birokrasi dapat dinilai salah satunya dengan melihat sejauh
mana kualitas pelayanan publik. Sebagai implementasi kebijakan birokrasi di
lapangan, pelayanan publik pun menarik minat tersendiri untuk dipelajari. Penilaian
terhadap kemampuan birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan
menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi seperti efisiensi dan
efektifitas, tetapi harus dilihat pula dari indikator-indikator yang melekat pada
pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas dan responsivitas
(Dwiyanto dkk, 2002).
Pelayanan publik merupakan segala kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas
suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik. Adapun
penyelenggaranya adalah lembaga dan petugas pelayanan publik, baik Pemerintah
Daerah maupun Badan Usaha Milik Daerah yang menyelenggarakan pelayanan
publik. Sedangkan penerima pelayanan publik adalah orang perseorangan dan atau
kelompok orang dan atau badan hukum yang memiliki hak, dan kewajiban terhadap
suatu pelayanan publik.
Dalam hubungannya dengan pelayanan birokrasi pemerintah, aparatur birokrasi
yang mendapat kepercayaan untuk melayani masyarakat perlu menyadari bahwa
pada dirinya dituntut untuk memberikan pelayanan prima (excellent services),
sebagai berikut: (a) sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan yang
dihadapi, (b) dapat mengembangkan fungsi instrumental dengan melakukan
terobosan melalui pemikiran yang inovatif dan kreatif, (c) berwawasan futuris dan
sistematis sehingga resiko yang bakal timbul akan diminimalisir, dan (d)
berkemampuan dalam mengoptimalkan sumber daya yang potensial. Untuk
menjadikan kepuasan pelanggan sebagai tujuan utama, maka perilaku aparatur
birokrasi dalam memberikan pelayanan harus melakukan pekerjaannya dengan
sepenuh hati (Patricia Patton: 1997).
Salah satu kekurangan mendasar organisasi pemerintahan atau birokrasi
pemerintahan, khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah
ketidakmampuannya menciptakan suatu iklim organisasi pembelajar. Padahal dalam
tuntutan masyarakat yang semakin dinamis organisasi sangat diharapkan memiliki
karakter organisasi pembelajar. Menurut Sangkala (2007: 210), bahwa organisasi
pembelajar akan memiliki kemampuan memperbaiki dan meningkatkan adaptabilitas
serta kapasitasnya dalam memenuhi tuntutan lingkungan. Organisasi yang di
dalamnya berisi orang-orang yang senang belajar dan senantiasa membantu
organisasi melahirkan pengetahuan dan keterampilan baru.
Kemampuan memperbaiki dan meningkatkan adaptabilitas serta kapasitasnya
dalam memenuhi tuntutan lingkungan merupakan suatu issu penting yang justru
kurang mendapat perhatian selama ini. Secara teoritik tuntutan dan kepentingan
individu sebagai anggota masyarakat yang merupakan bagian dari lingkungan
memang sangat bervariasi, sehingga dalam batas tertentu berpeluang melahirkan
benturan kepentingan, khususnya dalam proses pengambilan keputusan oleh para
pejabat birokrasi. Akibatnya pengambilan keputusan sebagai bagian proses
administrasi seringkali menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat. Menurut
Permana (2009: 39-40) persepsi masyarakat terhdap ketidakadilan itu muncul
sebagai akibat perbedaan cara pandang individu terhadap kebijakan yang disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu: preferensi individu (individual preference), etika (ethic),
kebebasan individu (individual freedom), hak individu (individual rights), dan
distribusi keadilan (distribution of justice). Proses pengambilan kebijakan publik
yang berkeadilan ditunjukkan dengan skema/gambar sebagai berikut:
Gambar 1: Proses Pengambilan Kebijakan Publik
Sumber : Permana, 2009. Kebijakan Publik : Yogyakarta; Ar-Ruzz Media. Hal. 172 Fenomena ini banyak ditemukan di negara-negara yang sedang berkembang,
seperti di Indonesia. Justifikasi yang sederhana bahwa secara filosofis Negara
Republik Indonesia ini dibentuk dengan sejumlah tujuan yang luhur seperti yang
tercantum dalam konstitusi yang antara lain yaitu: memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kenyataan tujuan tersebut belum
terealisasi sampai saat ini. Dalam konteks ini tentu yang paling menonjol untuk
disoroti adalah masalah pelayanan publik.
a. Konsep Pelayanan Publik
Konsep Pelayanan publik (public service) sering digunakan dalam berbagai
konteks oleh banyak kalangan, baik ilmuan maupun praktisi dengan makna yang
berbeda-beda. Dalam sejarah perjalanan administrasi publik, pelayanan publik
semula difahami secara sederhana sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh
pemerintah. Konsep pelayanan publik terdiri dari rangkaian dua kata, yaitu
“pelayanan” dan “publik”. Pelayanan adalah cara melayani, membantu menyiapkan,
dan mengurus, menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang atau kelompok orang,
artinya obyek yang dilayani adalah individu, pribadi-pribadi dan kelompok
organisasi (Sianipar, 1998). Sedangkan publik secara umum diartikan sebagai
masyarakat atau rakyat. Berdasarkan pengertian itu, maka secara sederhana
Lima hal yang mempengaruhi
kesadaran individu dalam
memahami keadilan
Konflik kepentingan dan klaim kebenaran
dalam ruang publik
Kebijakan Publik Yang
BerkeadilanRuang Publik
Masuk Akal
Ruang Publik
Masuk Akal
pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu pelayanan atau pemberian terhadap
masyarakat yang berupa penggunaan fasilitas-fasilitas umum, baik jasa maupun non
jasa yang dilakukan oleh organisasi publik dalam hal ini adalah suatu pemerintahan.
Dalam pemerintahan, pihak yang memberikan pelayanan adalah aparatur
pemerintahan beserta segenap kelengkapan kelembagaannya. Semua barang dan jasa
yang diselenggarakan oleh pemerintah kemudian disebut sebagai pelayanan publik.
Pelayanan publik juga dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani)
keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu
sesuai dengan aturan pokok dan tatacara yang telah ditetapkan (Kurniawan dalam
Sinambella, 2008). Selanjutnya dalam Kepmenpan No.63/KEP/M.PAN/7.2003),
pelayanan publik diartikan sebagai segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik,
pelayanan publik diartikan sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi
setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif
yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sementara penyelenggara
pelayanan publik yang selanjutnya disebut penyelenggara adalah setiap institusi
penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang
semata-mata dibentuk untuk kegiatan pelayanan publik.
Berdasarkan berbagai pengertian tersebut di atas, maka secara sederhana
pelayanan publik dapat diartikan sebagai segala kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas
suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik. Adapun
penyelenggaranya adalah lembaga dan petugas pelayanan publik, baik Pemerintah
Daerah maupun Badan Usaha Milik Daerah yang menyelenggarakan pelayanan
publik. Sedangkan penerima pelayanan publik adalah orang perseorangan dan atau
kelompok orang dan atau badan hukum yang memiliki hak, dan kewajiban terhadap
suatu pelayanan publik.
Dalam memahami konsep pelayanan publik, makna “publik” perlu difahami,
baik dalam perkembangan historis atau latar belakang munculnya dan aplikasinya di
dalam manajemen publik. Dalam perkembangan ilmu administrasi publik, konsep
“publik” bermakna luas daripada hanya “government” (pemerintah saja). Sebagai
akibat meluasnya makna konsep publik tersebut, milai-nilai keadilan,
kewarganegaraan, (citizenship), etika, patriotisme, dan responsiveness menjadi kajian
penting di samping nilai-nilai efisiensi dan efektivitas (Nurmandi, 2010:1)
Pemahaman terhadap sektor publik dan sektor privat menjadi perdebatan dalam
diskursus ilmiah. Perdebatan itu antara lain menganggap bahwa kajian public sector
merupakan bidang studi administrasi negara, sedangkan private sector merupakan
kajian disiplin menajemen. Secara substansial diskursus mengenai isu-isu sektor
privat dan publik sudah lama diperdebatkan di Amerika Serikat. Sebagai kesimpulan
umum yang sangat relevan dapat dilihat pada uraian berikut (Bruce McCallum,
1984). Pertama, ada persamaan praktik-praktik manajemen pada sektor publik dan
privat, sehingga yang lebih ditekankan adalah peranan respektif para manajer
dibidangnya masing-masing. Kedua, ada persamaan praktik-praktik manajemen pada
sektor publik dan privat ke arah meningkatkan over time. Ketiga, persamaan-
persamaan dan perbedaan sektor publik dan privat relatif tidak penting, artinya tidak
menghasilkan sifat-sifat yang fundamental. Keempat, karena peranan dan keahlian
antara manajer sektor publik dan privat berbeda, maka training-training yang
digunakan juga berbeda, manajer sektor publik mungkin akan gagal bila menjalankan
sektor privat begitu juga sebaliknya. Kelima, gaya manajemen sektor publik berbeda
dengan sektor privat. Mungkin prinsip atau teknik manajemen dapat diterapkan di
dalam kedua sektor tersebut, tetapi dalam tataran praktis tetap berbeda. Keenam, ada
pertukaran nilai antara manajer sektor publik dan sektor privat dalam menentukan
program-program pelayanan kepada publik.
Beberapa dimensi yang dapat dijabarkan dalam melihat perbedaan antara sektor
publik dan sektor privat seperti yang dikemukakan oleh Bruce McCallum (1984),
yaitu dalam hal tujuan dan sasaran, akuntabilitas, merit system, jaminan kerja,
koordinasi, keterlibatan politik dalam pembuatan keputusan, konsistensi dalam
pengambilan keputusan, personalitas antara manajer publik dan privat.
Perbedaan antara manajemen sektor publik dan sektor privat dalam hal dimensi
tujuan, yaitu sektor publik memiliki tujuan yang sangat banyak, seragam, bahkan
terkadang kabur dan tidak nyata. Hal ini disebabkan karena ada polarisasi aspek
politis dan ekonomis yang berarti public sector goal itu tidak begitu nampak seperti
halnya private sector goal.
Akuntabilitas dalam sektor publik dan privat juga berbeda, dalam sektor privat
kebebasan untuk memilih pekerjaan guna meraih tujuan yang dbebankan kepadanya
akan dipertanggungjawabkan kepada komisaris dan pemegang saham. Dalam sektor
publik atasan vertical bertanggung jawab pada institusi yang berwenang. Tanggung
jawab itu mencakup finansial, administratif, politis serta pelaksanaan program kerja
sesuai dengan yang ditetapkan. Ini merupakan konsekuensi peran administrator
publik. Orang yang ditunjuk pada pelayanan publik adalah orang-orang yang
memiliki kriteria tertentu dan dinilai berdasarkan keahlian, kualifikasi khusus,
loyalitas secara politis. Sedangkan pada sektor privat, prinsip kepantasan sesuai
dengan kualifikasi keahlian yang berdasarkan prinsip-prinsip manajemen modern,
sehingga maximized profit yang dicapai akan terwujud.
Perbedaan lain adalah masalah jaminan kerja. Dalam sektor privat cenderung
untuk meningkatkan jaminan dari jabatan yang diembannya. Dalam hal ini, sektor
publik juga mengikuti trend demikian. Walaupun ada kecenderungan ke arah security
of tenure dari masing-masing sektor, akan tetapi dalam praktiknya, jumlah imbalan
yang diberikan berbeda. Kenyataan ini disebabkan oleh pengelolaan pada masing-
masing sektor. Sektor privat selalu menggunakan sumber dana, sumber daya dan
sumber-sumber lainnya mengikuti prosedur dan proses atau standar yang efektif dan
efisien. Segala sesuatunya dihitung dari berapa jumlah biaya yang harus dikeluarkan
dan profit yang akan diterima. Hasil keuntungan bersih organisasi privat itulah yang
akan didistribusikan kepada pekerja sesuai dengan proporsi masing-masing.
Fenomena yang terjadi pada sektor privat tersebut tidak terjadi pada sektor
publik. Rumitnya jalur birokrasi serta tujuan yang bersifat sosial mengakibakan tidak
efisiennya pengelolaan organisasi. Hal tersebut berdampak pada jaminan yang
diberikan juga terbatas. Sektor publik memiliki koordinasi antardepartemen dan
lembaga publik, sementara sektor privat koordinasinya antara pimpinan dan bawahan
serta komisaris organisasi.
Mendefinisikan pelayanan publik tidak lagi dapat ditentukan dengan hanya
melihat lembaga penyelenggaranya, yaitu pemerintah atau swasta. Pelayanan publik
tidak lagi tepat untuk difahami sebagai pelayanan dari pemerintah, begitu juga
pelayanan swasta yang tidak dapat difahami hanya sebagai pelayanan yang diberikan
oleh lembaga non-pemerintah. Pelayanan publik harus dilihat dari karakteristik dan
sifat dari pelayanan itu sendiri, bukan dari karakteristik lembaga penyelenggaranya
atau sumber pembiayaannya semata. Kriteria yang selama ini secara konvensional
digunakan untuk membedakan antara pelayanan publik dan pelayanan privat tidak
dapat lagi digunakan dengan mudah untuk mendefinisikan pelayanan publik.
Atas dasar itu, maka muncul suatu pertanyaan, apa yang kemudian dapat
digunakan untuk menentukan suatu pelayanan dapat dikategorikan sebagai pelayanan
publik dan kapan pelayanan itu kehilangan sifatnya sebagai pelayanan publik?.
Menurut Dwiyanto (2010:18-19) terdapat banyak kriteria untuk menentukan sebuah
pelayanan (barang, jasa dan administratif) termasuk sebagai pelayanan publik atau
bukan. Adapun kriteria tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.
Kriteria pertama yang biasanya digunakan adalah sifat dari barang dan jasa itu
sendiri (Stiglitz, 2000:128; Ostrom, Gradner & Walker:1994:7). Barang dan jasa
yang termasuk dalam kategori barang publik atau barang yang memiliki ekternalitas
tinggi biasanya tidak dapat diselenggarakan oleh korporasi atau diserahkan kepada
pasar, karena mereka tidak dapat mengontrol siapa yang mengkonsumsi barang dan
jasa tersebut, sementara barang dan jasa tersebut sangat penting bagi kehidupan
warga dan masyarakat luas. Karena pelayanan ini sangat penting dan harus
disediakan oleh negara, sehingga pelayanan tersebut seharusnya menjadi bagian dari
pelayanan publik.
Kriteria kedua yang dapat digunakan untuk mendefinisikan pelayanan publik
adalah tujuan dari pelayanan barang dan jasa. Penyediaan barang dan jasa yang
dilakukan untuk mencapai tujuan dan misi negara, walaupun barang dan jasa itu
bersifat privat, dapat dikatakan sebagai pelayanan publik. Tujuan dan misi negara
biasanya diatur dalam konstitusi atau peraturan perundangan lainnya.
Semua pelayanan yang memenuhi salah satu dari kedua kriteria, yaitu
merupakan jenis barang atau jasa yang memiliki eksternalitas tinggi dan sangat
diperlukan oleh masyarakat serta penyediaannya untuk mencapai tujuan atau misi
negara, baik dalam rangka memenuhi hak dan kebutuhan dasar warga, maupun
tujuan strategis pemerintah, seharusnya dikategorikan sebagai pelayanan publik.
Ketika sebuah pelayanan menjadi pelayanan publik, maka negara tidak dapat lepas
tangan dan menyerahkan penyelenggaraannya kepada mekanisme pasar atau
assosiasi sukarela sepenuhnya. Meskipun keterlibatan pasar untuk berpartisipasi telah
meringankan beban pemerintah, namun untuk menghgindari agar keterlibatan
tersebut tidak merugikan kepentingan warga pengguna, maka keterlibatan pasar atau
assosiasi sukarela dalam penyelenggaraan layanan publik harus diatur dalam
peraturan perundangan.
Berdasarkan kedua kriteria seperti yang telah disebutkan di atas, maka
perbedaan ciri pelayanan publik dengan pelayanan privat dapat dijelaskan. Pelayanan
privat dapat didefinisikan sebagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan
perseorangan, yang bukan menjadi hajat hidup orang banyak, bukan menjadi
kebutuhan bersama secara kolektif, dan tidak menjadi bagian dari komitmen
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan minimal warganya agar dapat hidup secara
layak. Lembaga pemerintah dan swasta yang terlibat dalam penyelenggaraan layanan
itu, tidak menjadi bagian dari lembaga penyelenggara layanan publik.
Sedangkan suatu pelayanan didefinisikan sebagai pelayanan publik, maka
tanggung jawab penyediaannya menjadi tanggung jawab negara. Tentu hal ini tidak
berarti pemerintah atau unsur penyelenggara negara lainnya harus melakukannya
sendiri. Negara dapat melibatkan lembaga non pemerintah untuk menyelenggarakan
pelayanan publik. Dalam penyelenggaraannya, negara harus menyediakan anggaran
atau subsidi untuk menjamin semua warga memiliki akses terhadap pelayanan
tersebut.
Berbagai pemikiran yang berkaitan dengan itu, antara lain dikemukakan oleh
Frederickson (1997: 31-32), dengan membedakan berbagai perspektif dalam
mendefinisikan publik, yaitu:
1. Publik sebagai kelompok kepentingan (perspektif pluralis);
2. Publik sebagai pemilih rasional (perspektif pilihan publik);
3. Publik sebagai pihak yang diwakili (perspektif perwakilan);
4. Publik sebagai pelanggan (perspektif penerima layanan publik)
5. Publik sebagai warganegara.
Dalam perspektif pluralis, publik difahami sebagai kelompok kepentingan
sebagaimana yang dikembangkan oleh ilmuan politik. Kepentingan (interest) publik
disalurkan sedemikian rupa oleh kelompok kepentingan, baik dalam bentuk artikulasi
kepentingan maupun agregasi kepentingan. Dalam demokrasi, sebuah atau beberapa
kelompok kepentingan melakukan aliansi dengan partai politik untuk
mengartikulasikan kepentingannya.
Pemahaman publik dalam perspektif pemilih rasional dikembangkan oleh
Buchanan dan Tullock. Mereka mengembangkan model ekonomi untuk
memformulasikan perilaku indovidu dalam sistem politik. Salah satu karya yang
menerapkan model Buchanan dan Tullock adalah Down (dalam Frederickson,
1997:34) pada perilaku birokrat dalam mengkalkulasi preferensi pribadinya. Teori
Down tentang instansi pemerintah adalah: Pertama, menekankan benefit positif pada
kegiatan instansi pemerintah dan mengurangi biaya; Kedua, Menunjukkan bahwa
perluasan pelayanan instansi akan lebih memenuhi harapan dan pengiritan akan
kurang memenuhi harapan; Ketiga, Instansi lebih memberikan pelayanan pada
kepentingan masyarakat dalam arti luas daripada kepentingan yang spesifik;
Keempat, menekankan pada efisiensi pada instansi tingkat atas; Kelima, menekankan
pada prestasi dan kemampuan, sementara mengabaikan kegagalan dan
ketidakmampuan.
Perspektif ketiga adalah perspektif perwakilan, yang melihat publik sebagai
pihak yang diwakili oleh elected officials (politisi). Dalam perspektif ini,
kepentingan publik diasumsikan telah diwakili oleh wakilnya yang duduk di
lembaga-lembaga perwakilan. Kelemahan utama perspektif ini adalah pada
kenyataannya politisi tidak menyuarakan kepentingan publik, dan politisipun tidak
pernah melibatkan masyarakat dalam perumusan kebijakan.
Perspektif keempat, melihat publik sebagai pelanggan (customer) pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh birokrasi publik. Lipsky mengembangkan konsep
street level bureaucracy untuk menunjukkan interaksi yang erat antara aparat
pelayanan publik dengan masyarakat yang dilayani. Namun iapun mensinyalir bahwa
birokrasi lebih melayani kepentingannya daripada kepentingan masyarakat, dan
street level bureaucracy lebih memfungsikan dirinya sebagai kelompok kepentingan.
Perspektif terakhir melihat publik sebagai warganegara. Sebagai warganegara,
seseorang tidak hanya mewakili kepentingan individu namun juga kepentingan
publik. Model-model partisipasi publik dalam pengambilan keputusan lebih banyak
menerapkan perspektif ini.
Berkaitan dengan produk pelayanan birokrasi, Gronroos dalam Dwiyanto yang
dikutip dari LAN (2006:137) mengemukakan sejumlah karakteristik pelayanan
publik, baik dalam bentuk barang maupun jasa seperti yang terlihat pada tabel 3.
Tabel 3. Perbedaan Karakteristik antara Pelayanan Barang dan Jasa
Pelayanan Barang Pelayanan Jasa Sesuatu yang berwujud Sesuatu yang tidak berwujud Homogen: satu jenis barang dapat
berlaku untuk banyak orang Heterogen: satu bentuk pelayanan
kepada seseorang belum tentu sesuai atau sama dengan bentuk pelayanan kepada orang lain.
Proses produksi dan distribusinya terpisah dengan proses konsumsi
Proses produksi dan distribusi pelayanan berlangsung bersamaan pada saat dikonsumsi
Berupa barang/benda Berupa proses atau kegiatan Nilai utamanya dihasilkan di
perusahaan Nilai utamanya dihasilkan dalam proses
interaksi antara penjual dan pembeli Pembeli pada umumnya tidak
terlibat dalam proses produksi Pembeli terlibat dalam proses produksi
Dapat disimpan sebagai persediaan Tidak dapat disimpan Dapat terjadi perpindahan
kepemilikan Tidak ada perpindahan kepemilikan
Sumber: Gronroos dalam Dwiyanto (2006)
b. Pergeseran Paradigma Pelayanan Publik
Dalam konteks keilmuan, birokrasi pelayanan publik selalu mengalami
perkembangan atau pergeseran sesuai dengan perspektif atau paradigma pelayanan
publik itu sendiri atau biasa disebut dengan reformasi birokrasi. Menurut Denhardt
dan Denhardt (2002: 28-29) pelayanan publik juga mengalami pergeseran seiring
dengan pergeseran paradigma administrasi publik dari old administration ke new
public management dan terakhir ke new public service. Secara garis besar pergeseran
paradigma tersebut digambarkan oleh Keban (2008:244-8), sebagai berikut:
1. Old Public Administration
Woodrow Wilson merupakan tokoh penting yang memprakarsai gerakan
perubahan dalam paradigma OPA. Ia menyarankan agar administrasi publik harus
dipisahkan dari dunia politik (dikhotomi administrasi publik dengan politik).
Berdasarkan pengalaman Wilson, negara terlalu memberi peluang bagi para
administrator untuk mempraktekkan sistem nepotisme dan spoil.Oleh karena itu ia
mengeluarkan doktrin untuk melakukan pemisahan antara dunia legislative
(politik) dengan dunia eksekutif, dimana para legislator hanya merumuskan
kebijakan dan para administrator hanya mengeksekusi atau
menmgimplementasikan kebijakan. Sosok birokrasi yang ditawarkan Wilson ini
sejalan dengan jiwa atau semangat bisnis. Wilson menuntut agar para
administrator publik selalu mengutamakan nilai efisiensi dan ekonomis, sehingga
mereka harus diangkat berdasarkan kecocokan dan kecakapan dalam bekerja
ketimbang keanggotaan atau kedudukan dalam suatu partai politik. Ajaran Wilson
untuk meniru dunia bisnis ini membawa suatu implikasi penting dalam
pemerintahan, yaitu bahwa prinsip-prinsip dalam dunia bisnis yang diprakarsai
oleh Taylor pantas untuk diperhatikan. Metode keilmuan menurut Taylor harus
menggeser metode rule of thumb. Tenaga kerja harus diseleksi, dilatih dan
dikembangkan secara ilmiah dan didorong untuk bekerja sama dalam
menyelesaikan berbagai tugas pekerjaan sesuai prinsip-prinsip keilmuan. Dunia
telah mengakui kebesaran Taylor dalam membangun prinsip manajemen yang
professional.
Sejalan dengan Wilson, Max Weber juga mengajak untuk melaksanakan
prinsip-prinsip Taylor. Menurut Weber, ketika masyarakat berkembang semakin
kompleks, maka diperlukan suatu institusi yang rasional yaitu birokrasi. Dalam
birokrasi ini, diatur perilaku yang tidak saja produktif, tetapi juga loyal terhadap
pimpinan dan organisasi. Perilaku yang impersonal dan saklek harus diterapkan.
Hubungan kekeluargaan dan kelompok sosial tidak mendapat tempat untuk
dipertimbangkan dalam birokrasi. Oleh karena itu, para anggota organisasi harus
ditempatkan berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Dikembangkan dan dituntun
dengan peraturan yang jelas dalam menjalankan tugasnya.
Doktrin OPA, dalam perkembangannya menghadapi masalah (fallacies).
Sebagai illustrasi misalnya, Weber yakin bahwa sosok organisasi birokrasi sangat
ideal, padahal dalam perkembangannya bias berubah sifatnya menjadi sangat
kaku, bertele-tele dan penuh red-tape (Weber fallacy). Demikian juga halnya
dengan Taylor sangat yakin bahwa hanya ada satu cara terbaik (one way of doing
the task) untuk melakukan tugas, padahal dalam perkembangan jaman terdapat
banyak cara lain untuk bekerja terbaik, hasil rekayasa teknologi dan ilmu
pengetahuan (Taylor fallacy). Hal yang sama juga terjadi pada Wilson, dimana ia
cenderunmg melihat dunia administrasi publik sebagai kegiatan yang tidak
bersifat politis,padahal dalam kenyataannya bersifat politis (Wilson fallacy).
Meskipun muncul berbagai masalah dalam paradigma Old Poblic
Administration (OPA), namun belajar dari paradigma ini telah memberikan
kontribusi pengetahuan yang penting bahwa dalam membangun birokrasi
diperlukan profesionalitas, penggunaan prinsip keilmuan, hubungan yang
impersonal, penerapan aturan dan standardisasi secara tegas, sikap yang netral dan
perilaku yang mendorong efisisiensi dan efektifitas.
2. New Public Management
Paradigma New Public Management (NPM) muncul di Inggris, New
Zealand, Amerika Serikat dan Canada. Istilah management pada New Public
Management, diberikan lantaran istilah ini lebih agresif daripada istilah
administration (Vigoda,2003).Paradigma ini didasarkan pada teori pasar dan
budaya bisnis dalam organisasi publik (vigoda,2002). Paradigma tersebut muncul
tidak hanya karena adanya krisis fiscal pada tahun 1970an dan 1980an, tetapi juga
karena adanya keluhan bahwa sektor publik terlalu besar, boros, inefisien,
merosotnya kenerja pelayanan publik, kurangnya perhatian terhadap
pengembangan dan kepuasan kerja pegawai pemerintah (hope, 2002).
Kemunculan NPM pertama kali hanya meliputi lima doktrin, yaitu (1)
penerapan deregulasi pada line management, (2) konversi unit pelayanan publik
menjadi organisasi yang berdiri sendiri, (3) penerapan akuntabilitas berdasarkan
kinerja terutama melalui kontrak, (4) penerapan mekanisme kompetisi seperti
melakukan kontrak keluar, dan (5) memperhatikan mekanisme pasar (Hood,
1991). Dalam perkembangannya, telah menjadi sepuluh doktrin sebagaimana
yang disampaikan dalam Reinventing Governmen (Gaebler dan Osborne, 1992).
Beberapa tahun kemudian muncul lagi model NPM yang lebih variatif misalnya
model efisiensi drive, downsizing and decentralization, in search of exelence dan
public service orientation (Ferile et al, 1996). Berbagai variasi ini memberi kesan
bahwa NPM hanyalah merupakan upaya para ahli dalam memodernisasikan
sektor publik (Pollit, 1995).
Melalui berbagai doktrin NPM tersebut di atas, dapat dipelajari bahwa
proses reformasi harus diarahkan pada enam dimensi kunci. Pertama, menyangkut
productivity, yaitu bagaimana pemerintah menghasilkan lebih banyak hasil
dengan biaya yang lebih sedikit. Kedua, marketization yaitu bagaimana
pemerintah menggunakan insentif bergaya pasar agar melenyapkan patologi
birokrasi. Ketiga, service orientation yaitu bagaimana pemerintah dapat
berhubungan dengan warga masyarakat secara lebih baik agar program-
programnya lebih responsif terhadap kebutuhan warga masyarakat. Keempat,
decentralization yaitu bagaimana pemerintah membuat program yang responsif
dan efektif dengan memindahkan program ke tingkat pemerintahan yang lebih
rendah, atau memindahkan tanggung jawab instansi pemerintah ke para menejer
lapangan yang berhadapan langsung dengan warga masyarakat, atau memberi
kesempatan kepada mereka untuk melakukan adaptasi terhadap kebutuhan warga
masyarakat. Kelima, policy yaitu bagaimana pemerintah memperbaiki kapasitas
kebijakan. Keenam, performance accountability yaitu bagaimana pemerintah
memperbaiki kemampuannya untuk memenuhi janjinya (Kettl, 2000).
Reformasi birokrasi tersebut diarahkan untuk mencapai hasil nyata yang
mencakup lima spek, yaitu (1) saving, (2) perbaikan proses, (3) perbaikan
efisiensi, (4) peningkatan efektivitas, dan (5) perbaikan sistem administrasi,
seperti peningkatan kapasitas, fleksibilitas dan ketahanan. Dalam hal saving,
perbaikan proses dan efisiensi, serta sistem administrasi, Inggris dan Amerika
telah mengklaim berhasil, tetapi dalam hal efektifitas masih belum dirasakan,
karena hasil akhir program baru dirasakan beberapa tahun kemudian (Pollit,
2002). Di negara-negara berkembang, NPM masih bersifat embrio dan coba-coba.
Keberhasilan NPM ini sangat tergantung dari konteks dan karakteristik negara dan
sektor yang ditangani, kemampuan institusi, dan konteks dari institusi itu sendiri
seperti iklim dan ideologi manajemen yang dianut, sikap terhadap otoritas,
hubungan sosial dan kelompok (Fertie et al, 1996; Flynn, 2002).
Seperti halnya dengan OPA, NPM pun menghadapi banyak kritikan,
karena para elit birokrasi cenderung berkompetisi untuk memperjuangkan
kepentingan dirinya daripada kepentingan umum, dan berkolaborasi untuk
mencapainya. Apalagi dasar NPM adalah teori Public Choice yang sangat
didominasi oleh kepentingan pribadi (self interest) sehingga konsep seperti public
spirit, public service, dsb, terabaikan (Kamensky, 1996:251). Hal yang demikian
tidak akan mendorong proses demokratisasi. Disamping itu, NPM tidak pernah
ditujukan untuk menangani pemerataan dan masalah keadilan sosial (Harrow,
2002). Munculnya NPM telah mengancam nilai inti sektor publik yaitu citizen self
governance dan fungsi administrator sebagai servant of public interest (Box,
1999), bahkan kalau tidak berhati-hati , justeru akan meningkatkan korupsi dan
menciptakan orang miskin baru (Haque, 2007).
Pelajaran penting yang dapat diambil dari NPM ini adalah bahwa
pembangunan birokrasi harus memperhatikan mekanisme pasar, mendorong
kompetisi dan kontrak untuk mencapai hasil, harus lebih responsif terhadap
kebutuhan pelanggan, harus lebih bersifat mengarahkan (steering) daripada
menjalankan sendiri (rowing), harus melakukan deregulasi, memberdayakan para
pelaksana agar lebih kreatif, dan menekankan budaya organisasi yang lebih
fleksibel, inovatif, berjiwa wirausaha dan pencapaian hasil, ketimbang budaya taat
azas, orientasi pada proses dan input (Rossembloom & Krafchuck, 2005).
3. New Public Service
Sebagai koreksi terhadap NPM, King dan Stivens (1998), menegaskan
bahwa para administrator harus melibatkan warga masyarakat. Mereka harus
melihat rakyat sebagai warga masyarakat (bukan sebagai pelanggan), sehingga
dapat saling membagi otoritas dan melonggarkan kendali, serta percaya terhadap
keefektifan kolaborasi. Mereka harus membangun trust dan bersikap responsif
terhadap kepentingan atau kebutuhan masyarakat, dan bukan semata mencari
efisiensi yang lebih tinggi sebagaimanja yang dituntut dalam NPM.
Di Inggris, muncul apa yang disebut joined up thinking and joined up
action (Stewart at al, 1999), yang kemudian dikenal dengan paradigma New
Public Service (NPS). Di dalam paradigma ini tidak ada lagi yang menjadi
penonton, semua jadi pemain atau ikut bermain. Disini pemerintah harus
menjamin hak-hak warga masyarakat, dan memenuhi tanggung jawabnya kepada
masyarakat dengan mengutamakan kepentingan warga masyarakat.. Fiirst
Citizens harus menjadi pegangan atau semboyan pemerintah (Denhardt &Gray,
1998). Isu tentang justice, equity, participation, dan leadership yang tidak
diperhatikan dalam buku Reinventing Government (Osborn & Gaebler, 1992),
justru harus mendapatkan perhatian utama (Denhardt & Denhardt, 2003).
Paradigma ini sejalan dengan prinsip co-creating yang digagas oleh Prahalad dan
Ramaswany (2004) sebagai sumber energi organisasi era demokrasi, karena dapat
menjamin hak, kebutuhan dan nilai-nilai warga, dan bukan kebutuhan institusi.
Ada tujuh prinsip NPS (Denhardt & Denhardt; 2000; 2003; 2007) yang
berbeda dari NPM dan OPA. Pertama, peran utama dari pelayan publik adalah
membantu warga masyarakat mengartikulasikan dan memenuihi kepentingan
yang telah disefakati bersama, daripada mencoba mengontrol atau mengendalikan
masyarakat kearah yang baru. Kedua, administrator publik harus menciptakan
gagasan kolektif yang disetujui bersama tentang apa yang disebut sebagai
kepentingan publik. Ketiga, kebijakan dan program yang ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secata efektif dan responsif melalui
upaya-upaya kolektif dan proses kolaboratif. Keempat, kepentingan publik lebih
merupakan hasil suatu dialog tentang nilai-nilai yang disetujui bersama dari pada
agregasi kepentingan pribadi para individu. Kelima, para pelayan publik harus
memberi perhatian, tidak semata pada pasar, tetapi juga pada spek hukum dan
peraturan perundangan, nilai-nnilai masyarakat, norma-norma politik, standard
professional dan kepentingan warga masyarakat. Keenam, organisasi publik dan
jaringan-jaringan yang terlibat akan lebih sukses dalam jangka panjang kalau
mereka beroperasi melalui proses kolaborasi dan melalui kepemimpinan yang
menghargai semua orang. Ketujuh, kepentingan publik lebih baik dikembangkan
oleh pelayan-pelayan publik dan warga masyarakat yang berkomitmen
memberikan kontribusi terhadap masyarakat, dari pada oleh manajer wirausaha
yang bertindak seakan-akan uang adalah milik mereka.
Pelajaran penting yang dapat diambil dari paradigma NPS ini adalah bahwa
birokrasi harus dibangun agar dapat memberi perhatian kepada pelayanan
masyarakat sebagai warga negara (bukan sebagai pelanggan), mengutamakan
kepentingan umum, mengikutsertakan warga masyarakat, berpikir strategis dan
bertindak demokratis , memperhatikan norma, nilai dan standard yang ada, dan
menghargai masyarakat.
Birokrasi tadisional yang bekerja berdasarkan ciri-ciri birokrasi perlu dipadukan
dengan ciri-ciri demokrasi. Perpaduan ciri tentunya akan melahirkan ciri-ciri baru
yaitu ciri-ciri birokrasi yang demokratis. Hal ini perlu dilakukan karena prinsip-
prinsip kerja birokrasi berbeda dengan tuntutan moral dalam demokrasi.
Birokrasi dalam proses pencapaian tujuannya menekankan efisiensi dan
mengandalkan kapabilitas satu orang, menekankan hirarcki, dan kewenangan yang
mengalir secara vertikal mengikuti struktur yang berbeda dengan semangat yang ada
dalam nilai-nilai demokrasi seperti persamaan hak dan kedudukan bagi semua warga
negara, serta peluang untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Ciri-ciri
birokrasi dan demokrasi ini dijelaskan oleh Denhardt dan Denhardt (2005) seperti
yang terlihat pada tabel 4 berikut.
Tabel 4. Ciri-ciri Birokrasi dan Ciri-ciri Demokrasi
Ciri Birokrasi Ciri Demokrasi
• Pertama, memerlukan kerjasama untuk mencapai tujuan melalui kapabilitas satu orang.
• Kedua, sistem birokrasi dibangun secara hirarki, mereka yang ada di puncak memiliki kuasa dan pengawasan yang lebih besar dibanding mereka yang di bawah.
• Ketiga, organisasi birokrasi menganggap bahwa kekuasaan dan kewenangan mengalir dari atas ke bawah dan bukan sebaliknya.
• Pertama, berasumsi bahwa individual adalah ukuran primer nilai manusia dan pembangunan individual adalah sasaran primer sistem politik demokrasi.
• Kedua, moralitas demokrasi menegaskan bahwa semua orang diciptakan sama — perbedaan dalam kesejahteraan, status, atau posisi – tidak boleh satu orang atau kelompok mendapat keuntungan dibanding yang lain.
• Ketiga, moralitas demokrasi menekankan partisipasi luas semua warga dalam membuat keputusan-keputusan besar.
Sumber: Denhardt Robert B. dan Denhardt Janet V. 2006. Public Administration: An Action Overview, Fifth Edition
Secara teoritis mungkin kesulitannya adalah bagaimana menggabungkan dua
nilai yang kecenderungannya memiliki orientasi yang berbeda. Hal ini senada dengan
pernyataan Denhardt dan Denhardt yang mengingatkan bahwa, “dalam organisasi
publik, anda pasti sering menghadapi kesulitan menyatukan efisiensi dan daya
tanggap.” Ciri-ciri birokrasi yang demokratis antara lain birokrasi yang memiliki
daya tanggap (responsivitas) yang tinggi terhadap kebuuhan publik, memberi ruang
partisipasi publik dalam pengambilan keputusan dan transparansi, atau lebih jelasnya
adalah birokrasi yang menerapkan prinsip-prisip good governance seperti yang
direkomendasikan oleh Bank Dunia, yaitu: participation, rule of law, transparency,
responsiveness, consensus orientation, equity, efficienscy and effectiveness,
accountability, dan strategic vision (Sjamsuddin, 2005: 68-69). Senada dengan
Wilson seperti yang dikutip Frederickson (2003;56), menyimpulkan bahwa birokrasi
sukses adalah birokrasi dengan eksekutif mampu menciptakan misi yang jelas,
mengidentifikasi tugas yang harus dicapai untuk memenuhi misi, mendistribusikan
otoritas di dalam organisasi menurut tugas, dan memberi bawahan otonomi yang
memadai untuk mencapai tugas tersebut.
Malcolm Walters (1994) menambahkan bahwa kegagalan daripada pelayanan
publik ini disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan
dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat
hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya
yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk
budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok
untuk budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang
modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya
hirarkhis dan anti budaya individu); sedangkan pelayanan publik yang modelnya
memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter
(yang anti budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis).
Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk
memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai
tujuan tertentu. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh
pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi
pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang berhubungan dengan pelayanan
publik. Dan jika non-pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi partai politik,
organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi
kemasyarakatan yang lain. Siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang
terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada
masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai
ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program
pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam
kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum
pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh
masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan
pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi
kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan
urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi
selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan
birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik).
Thompson, pernah menunjukkan bahwa budaya birokrasi membuat tuntutan-
tuntutan tertentu pada klien serta organisasi pada karyawan. ada banyak orang di
masyarakat kita yang belum mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan ini.
mereka melihat birokrasi adalah kutukan. mereka tidak melihat baik dalam apapun,
tetapi melihat tuntutan organisasi modern sebagai "pita merah" (Rossembloom,
2005: 442).
Perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin dinamis, sejalan dengan
tingkat kehidupan yang semakin baik, telah meningkatkan kesadarannya akan hak
dan kewajibannya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Masyarakat yang semakin kritis dan berani untuk mengajukan
keinginan, tuntutan dan aspirasinya, serta melakukan kontrol atas kinerja pemerintah.
Masyarakat semakin berani menuntut birokrasi publik untuk mengubah posisi dan
perannya (revitalisasi) dalam memberikan layanan publik. Kebiasaan suka mengatur
dan memerintah mesti diubah menjadi suka melayani, dari yang lebih suka
menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong, semuanya
menuju ke arah fleksibelitas, kolaboratis dan dialogis, dan menghilangkan cara-cara
yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha, 1988:119).
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, aparat birokrasi harus
dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, efesien,
serderhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif, adaptif dan sekaligus dapat
membangun “kualitas manusia” dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan
masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam tinjauan manajemen pelayanan publik,
sangat dibutuhkan sistem birokrasi yang desentralistik. Ciri struktur birokrasi yang
terdesentralisir memiliki beberapa tujuan dan manfaat antara lain :
1. Mengurangi (bahkan menghilangkan) kesenjangan peran antara organisasi pusat
dengan organisasi-organisasi pelaksana yang ada dilapangan.
2. Melakukan efesiensi dan penghematan alokasi penggunaan keuangan.
3. Mengurangi jumlah staf/aparat yang berlebihan terutama pada level atas dan level
menengah (prinsip rasionalisasi).
4. Mendekatkan birokrasi dengan masyarakat yang akan memperoleh pelayayan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam konteks pelayanan publik dapat
digaris bawahi bahwa keberhasilan proses pelayanan publik sangat tergantung pada
dua pihak yaitu birokrasi (pelayan) dan masyarakat (yang dilayani). Dengan
demikian untuk melihat kualitas pelayanan publik perlu diperhatikan dan dikaji dua
aspek pokok yakni: Pertama, aspek proses internal organisasi birokrasi (pelayan);
Kedua, aspek eksternal organisasi yakni kemanfaatan yang dirasakan oleh
masyarakat pelanggan.
Berkaitan dengan berbagai fenomena yang ada di Indonesia, khususnya yang
berkaitan dengan birokrasi pelayanan publik, maka langkah yang harus dilakukan
adalah melakukan reformasi birokrasi. Salah satu aspek yang perlu dilakukan dalam
desentralisasi pemerintahan ialah reformasi birokrasi pemerintahan (birokrasi
publik). Karena organisasi ini memegang peran utama dalam mewujudkan tata kelola
kepemerintahan yang baik (Good Governance). Terpenuhinya prinsip-prinsip good
governance seperti partisipasi, transparansi, supremasi hukum, kesetaraan,
responsivitas, efektivitas dan efisiensi serta akuntabilitas dapat menjadi indikator
terlaksananya reformasi birokrasi pelayanan publik.
Target dan sasaran reformasi birokrasi, secara garis besar ada lima hal. Pertama,
Terbentuknya birokrasi yang bersih, yaitu birokrasi yang anti KKN dan
berkurangnya perilaku koruptif pegawai negeri. Kedua, birokrasi yang efisien dan
hemat dalam menggunakan sumber daya yang terbatas. Ketiga, birokrasi yang
transparan yakni birokrasi yang seluruh kebijakan dan aktivitasnya diketahui
masyarakat dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah. Keempat, birokrasi
yang melayani, yaitu birokrasi yang tidak minta dilayani, tetapi birokrasi yang
melayani masyarakat. Kelima, birokrasi yang terdesentralisasi, yaitu kewenangan
pengambilan keputusan terdesentralisasi kepada pimpinan unit kerja terdepan
(Thoha, 2002).
Reformasi politik yang tidak diikuti oleh reformasi birokrasi ternyata tidak
banyak menghasilkan perbaikan kinerja pelayanan publik. Dengan birokrasi yang
masih kuat mempraktekan budaya korup, bersikap sebagai penguasa, dan tidak
profesional maka perubahan apapun yang terjadi dalam pemerintahan tidak akan
memiliki dampak yang berarti bagi perbaikan kinerja pelayanan publik. Karenya,
menjadi sangat wajar kalau perbaikan kehidupan politik yang menjadi semakin
demokratis sekarang ini belum memiliki dampak yang berarti pada kinerja birokrasi
dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Kinerja birokrasi pelayanan publik
menjadi isu kebijakan yang semakin penting dan strategis karena perbaikan kinerja
birokrasi memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.
Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki
Iklim investasi. Buruknya kinerja birokrasi publik di Indonesia sering menjadi
determinan yang penting dari penurunan minat investasi. Dari berbagai studi dan
observasi, kinerja birokrasi publik di Indonesia tidak banyak mengalami perbaikan,
bahkan cenderung menjadi semakin buruk. Akibatnya, pemerintah mengalami
kesulitan dalam menarik investasi, belum lagi ditambah dengan masalah-masalah
lain, seperti ketidak-pastian hukum dan keamanan nasional.
Dalam kehidupan sosial, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki
sistem kehidupan masyarakat yang lebih mengembangkan pola hubungan secara
terbuka, taat aturan, menghargai hasil kerja secara profesional, dan berorientasi pada
kepuasan hasil kerja (produktivitas). Pada akhirnya perbaikan kinerja birokrasi akan
lebih mendorong tumbuhnya sistem sosial yang mengutamakan etos kerja dan
moralitas sebagai bagian dari relasi sosial. Dalam kehidupan politik, perbaikan
kinerja birokrasi pelayanan publik akan memiliki implikasi luas, terutama dalam
memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Buruknya kinerja
birokrasi selama ini menjadi salah satu faktor penting yang mendorong munculnya
krisis kepercayaan kepada pemerintah. Protes, demonstrasi, dan bahkan pendudukan
kantor-kantor pemerintah oleh masyarakat yang banyak terjadi di berbagai daerah
menjadi indikator dari besarnya ketidak-puasan masyarakat terhadap kinerja
pemerintah.
Perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik diharapkan akan memperbaiki
kembali citra pemerintah di mata masyarakat karena dengan kualitas pelayanan
publik yang semakin baik, kepuasan dan kepercayaan masyarakat bisa di bangun
kembali. Oleh sebab itu, kajian mengenai kinerja birokrasi publik menjadi isu sentral
dan memiliki nilai strategis, terutama yang terkait dengan penyelenggaraan
pelayanan publik.
c. Pelayanan Administrasi Pertanahan
Keberadaan tanah merupakan suatu hal yang penting bagi manusia, karena tanah
merupakan suatu kebutuhan hidup. Oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan
tanah, dari zaman dahulu hingga sekarang menjadi salah satu agenda terpenting
untuk dibahas. Tanah bagi bangsa Indonesia mempunyai dimensi yang khas dan
khusus. Tanah bukan sekedar benda mati yang bernilai tunggal, akan tetapi
dipandang sebagai benda yang multi nilai. Hal ini menjadi bagian dari filosofis
dalam melaksanakan sistem administrasi pertanahan.
Mengingat fungsi strategis dari tanah, sehingga pelayanan administrasi
pertanahan menjadi sangat penting., Administrasi pertanahan adalah pemberian hak,
perpanjangan hak, pembaruan hak, peralihan hak, peningkatan hak, penggabungan
hak, pemisahan hak, pemecahan hak, izin lokasi, izin perubahan penggunaan tanah,
serta izin penunjukan dan penggunaan tanah (Hermit, 2008). Dalam praktek
pelaksanaan administrasi pertanahan sering menimbulkan berbagai masalah yang
tidak jarang menimbulkan konflik di dalam masyarakat. Oleh karena itu diperlukan
suatu kebijakan yang lebih komprehensif, yaitu kebijakan yang tidak hanya
berorientasi pada perbaikan internal birokrasi, tetapi yang lebih penting adalah juga
memperhatikan kepentingan publik.
Kebijakan pertanahan nasional yang dirumuskan dalam pasal 33 UUD 1945
didasarkan pada konsepsi bahwa semua tanah adalah tanah bangsa Indonesia sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa yang penguasaannya ditugaskan kepada negara yang
pada intinya dirumuskan dalam pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
memberikan kewenangan untuk mengatur dan menetapkan berbagai segi penguasaan
tanah yang sejak semula menurut sifatnya selalu dianggap sebagai tugas pemerintah
pusat. Pengaturan dan penetapan tersebut yang meliputi perencanaan peruntukan
tanah, penguasaan dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah serta pendaftaran
tanah, pelaksanaan ketentuan hukumnya pada asasnya selalu dilakukan oleh
pemerintah pusat sendiri. Kalaupun ada pelimpahan kewenangan dalam
pelaksanaannya, pelimpahan tersebut dilakukan dalam rangka dekonsentrasi kepada
pejabat-pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka diperlukan suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan yang secara jelas mengatur kewenangan-kewenangan apa yang
ada di pemerintah pusat dan kewenagan-kewenangan yang didelegasikan kepada
pemerintah daerah. Dari materi muatan yang terdapat dalam UUD 1945, Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,
kewenangan dari pusat meliputi hukum, kebijakan, pedoman mengenai pemberian
hak-hak atas tanah, pendaftaran, landreform, dalam bentuk undang-undang,
peraturan pemerintah maupun keputusan presiden. Sementara itu, kewenangan
pemerintah daerah cukup pada pelayanan masyarakat dan pelaksanaan kebijakan
yang dapat dituangkan dalam bentuk peraturan daerah maupun keputusan kepala
daerah (Hutagalung, 2008: 59).
Dalam rangka menghemat biaya dan memudahkan tersedianya pejabat pelaksana
yang professional dan berpengalaman, demikian juga dalam memelihara koordinasi
dengan pelaksanaan tugas-tugas kewenangan lain di bidang pertanahan yang ada
pada pemerintah, dalam melaksanakan urusan-urusan yang ditugaskan dalam rangka
medebewind, tidak perlu pemerintah provinsi, kabupaten/kota membentuk perangkat
pelaksana sendiri. Dengan tidak mengurangi tugasnya sebagai perangkat BPN, cukup
kantor-kentor wilayah BPN provinsi, kantor-kantor pertanahan kabupaten/kota
diperbantukan kepada provinsi, kabuoaten/kota yang bersangkutan dengan tetap
berstatus perangkat Pemerintah Pusat, demikian juga pejabat dan karyawannya
(Harsono, 2006:12).
Kewenangan pemerintah dalam bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh
pemerintah kabupaten/kota ditegaskan dalam pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 34
Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Kewenangan tersebut
meliputi: pemberian izin lokasi, penyelenggaraan pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan, penyelesaian sengketa tanah garapan, penyelesaian
masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, penetapan subyek
dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan
tanah absente, penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat, pemanfaatan dan
penyelesaian tanah kosong, pemberian izin membuka tanah, perencanaan
penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.
Sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden tersebut, ditetapkan Keputusan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar
Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam Keputusan Kepala Badan
Peranahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tersebut diatur secara rinci kewenangan
bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Dari muatan-muatan undang-undang ataupun peraturan pemerintah dan
keputusan presiden yang terdapat delegasi kewenagnan, dalam pelaksanaannya dapat
dituangkan dalam peraturan daerah yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-
masing. Khusus untuk masalah-masalah teknis yang dapat berubah dari waktu ke
waktu, pelaksanaan peraturan daerah dapat dituangkan dalam keputusan kepala
daerah setempat.
Dalam rangka menyerahkan kewenangan pertanahan pada pemerintah
kabupaten/kota, perlu kiranya difahami makna politik pertanahan lokal dan
administrasi pertanahan yang dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Secara
garis besar politik pertanahan lokal berkaitan dengan kebijakan pemerintah lokal
dalam rangka penataan tata guna tanah bagi peri kehidupan sosial maupun ekonomi
guna memenuhi interaksi antarindividu di daerah. Pengaturan ini meliputi
pembentukan zona ekonomi, alokasi tanah untuk kepentingan sosial, penetapan
instrumen kebijakan pertanahan, pengawasan terhadap harga pasar tanah dan
pencadangan terhadap tanah. Politik pertanahan ini tentu sepenuhnya harus
dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota agar problema aplikasi sumber daya
alam maupun sumber daya ekonomi dapat diwujudkan untuk kemaslahatan rakyat
setempat. Kewenagan semacam ini memang pada tempatnya diserahkan pada
pemerintah kabupaten/kota mengingat kebijakan pemerintah pusat tidak mampu
menjangkau setiap detail permasalahan tersebut (Subyanto, 2002:6)
I. Prinsip-Prinsip Pelayanan untuk Meminimalisir Patologi Birokrasi
Dalam konteks birokrasi pelayanan publik di Indonesia, Dwiyanto (2011: 62)
merumuskan suatu model seperti pada Gambar 2 yang mengkritisi birokrasi
Weberian dimana pada awalnya dirancang untuk membuat birokrasi dapat
menjalankan fungsinya dengan baik pada akhirnya justru menimbulkan berbagai
penyakit yang membuat birokrasi mengalami disfungsi.
Gambar 2. Model Kinerja Birokrasi di Indonesia
Struktur birokrasi memiliki berbagai masalah internal yang pada tingkat tertentu
berpotensi menyebabkan birokrasi mengalami disfungsi (Caiden, 2009:1991). Setiap
aspek dan struktur birokrasi seperti hierarki, spesialisasi dan formalisasi, selain
memiliki manfaat dan kontribusi terhadap efisiensi dan kinerja birokrasi, juga
memiliki potensi untuk menciptakan penyakit birokrasi.
Penyakit birokrasi merupakan interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan
variabel lingkungan yang salah. Struktur birokrasi yang hierarkis berinteraksi dengan
budaya masyarakat yang paternalistis, sistem politik yang tidak demokratis dan
ketidak berdayaan kelompok masyarakat madani cenderung melahirkan perilaku
birokrasi paternalistis yang merugikan kepentingan publik. Beberapa aspek penting
yang berkaitan dengan struktur dapat dijelaskan sebagai berikut:
LINGKUNGAN
BUDAYADAN
NILAI
STURKTUR BIROKRASI
(WEBERIAN)
KINERJA BIROKRA
SI
KINERJA BIROKRA
SI
PATOLOGI BIROKRASI
PATOLOGI BIROKRASI
1. Hierarki
Dalam birokrasi yang hierarkis, persoalan seringkali menjadi lebih kompleks
karena konsentrasi kekuasaan ada pada pimpinan. Pimpinan memiliki kewenangan
mengambil keputusan, sedangkan bawahan cenderung diposisikan sebagai pelaksana
saja. Padahal, dalam kenyataan staf dan pejabat bawahan lebih mengetahui masalah,
keluhan dan kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat. Mereka sehari-hari bergelut
dengan berbagai masalah dan secara langsung berhadapan dengan masyarakat dalam
kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik. Mereka juga yang sering menerima
keluhan masyarakat dan dituntut untuk merespon dengan cepat berbagai kesulitan
yang dihadapi oleh masyarakat. Namun, pejabat bawahan justru tidak memiliki
kewenangan untuk merespons karena kewenangan dan kekuasaan terkonsentrasi
pada atasan. Atasan yang memiliki kewenangan dan kekuasaan seringkali tidak
memiliki sense of urgency karena mereka jauh dari realitas kesulitan yang dihadapi
masyarakat. Akibatnya, tindakan dan respons birokrasi terhadap berbagai persoalan
cenderung lamban (Ripley & Franklin, 1986).
Hierarki juga membuat proses pengambilan keputusan dalam birokrasi menjadi
sangat terkotak-kotak (fragmented), kerena arus informasi dan perintah hanya
berjalan sevara vertikal. Pada organisasi yang hierarkis, setiap bagian cenderung
menyelesaikan urusan yang menjadi tanggung jawabnya tanpa melibatkan bagian-
bagian lainnya. Hal itu membuat proses penyelesaian masalah dalam suatu organisasi
menjadi tidak pernah optimal.
Hierarki yang panjang seringkali juga menciptakan distrosi dalam
komunikasi.Perintah dan peran pimpinan kepada bawahan melalui jenjang hierarki
yang panjang cenderung membuat distorsi yang besar, karena setiap jenjang hierarki
cenderung melakukan reinterpretasi sesuai ndengan cognitive style dan kepentingan
dari masing-masing orang dalam hierarki itu. Hal yang sama terjadi pada arus
informasi dan laporan dari bawahan kepada atasan. Semakin panjang hierarki dari
suatu birokrasi, semakin besar kecenderungan terjadinya distorsi dalam komunikasi.
2. Formalisasi
Prinsip formalisasi organisasi ketika diterapkan secara kaku akan sangat
menghambat munculnya perubahan dan inovasi dalam kehidupan organisasi publik.
Eskipun demikian prinsip formalisasi tetap diperlukan sebagai dsar bagi pengambilan
keputusan seorang pejabat birokrasi dalam memberikan pelayanan agar pelayanan
yang diberikan dapat cepat dan adil. Tentu sangat sulit bagi birokrasi publik untuk
dapat meberikan pelayanan yang cepat dan adil tanpa adanya prosedur dan aturan
yang jelas. Apabila seorang pejabat birokrasi harus menilai dan memutuskan sendiri
tanpa ada prosedur dan aturan yang dapat mempermudah dan membantunya setiap
menghadapi warga negara yang membutuhkan pelayanan, pelayanan birokrasi akan
sangat bertele-tele dan mungkin berbeda-beda antar warga negara, kendati mereka
memiliki persoalan yang sama. Akibatnya akan muncul ketidakpastian pelayanan
yang sangat tinggi, sehingga merugikan tidak hanya bagi warga pengguna layanan,
tetapi juga bagi pejabat birokrasi.
Tidak adanya peraturan dan prosedur yang jelas membuat warga negara
pengguna layanan tidak dapat mengetahui hak dan kewajibannya untuk memperoleh
pelayanan. Berapa banyak mereka harus membayar harga pelayanan? Berapa lama
harus menunggu? Apa pelayanan yang akan diterima? Apa yang dapat dilakukan jika
pelayanan yang diterima ternyata tidak seperti yang dijanjikan? Semua itu tidak
dapat diketahui oleh warga pengguna layanan dengan pasti. Warga negara berada
dalam posisi yang sangat lemah. Bagi pejabat birokrasi, tidak adanya prosedur dan
aturan yang jelas juga dapat sangat merugikan karena hal itu berarti mengharuskan
mereka untuk selalu mengambil keputusan pada saat melayaniwarga. Situasi itu
menghadapkan mereka bukan hanya pada kondisi kejiwaan yang tidak
mengunbtungkan, seperti stress dan cemas, tetapi juga menghadapkan mereka pada
peluang dan resiko untuk melakukan kesalahan dalam pengambilan keputusan.
3. Spesialisasi
Prinsip spesialisasi dalam organisasi diperlukan untuk meningkatkan efisiensi,
karena dengan adanya spesialisasi memungkinkan untuk dilakukannya
penyederhanaan dari proses administrasi. Proses administrasi yang kompleks dapat
disederhanakan menjadi serangkaian kegiatan yang sederhana dan mudah dikelola
jika spesialisasi atau pembagian kerja dilakukan dengan rinci. Spesialisasi juga
menjadi basis dari pengembangan keahlian dan karena itu menjadi salah satu hal
yang diperlukan bagi pengembangan profesionalisme.
Meskipun spesialisasi sangat diperlukan dalam suatu organisasi, namun di sisi
lain tetap berpotensi menciptakan masalah dalam kehidupan birokrasi, yaitu
munculnya satuan-satuan birokrasi yang berjumlah banyak dan terkotak-kotak,
sehingga membuat proses administrasi dan pelayanan publik menjadi berbelit-belit
dan panjang. Prosedur yang sederhana, murah dan cepat sulit diwujudkan karena
harus melibatkan banyak satuan birokrasi.
Spesialisasi juga dapat mewujudkan terjadinya fenomena individualism, yaitu
orang hanya peduli terhadap tugas dan tanggung jawab sendiri, tidak peduli dengan
tugas kolega atau bagian lainnya, serta mengabaikan kepentingan dan misi
organisasi. Ketika pembagian kerja dilakukan secara rinci dan tugas untuk
melaksanakan setiap kegiatan diserahkan kepada masing-masing aparat, maka setiap
aparat akan merasa bahwa tugasnya adalah melaksanakan apa yang telah menjadi
deskripsi pekerjaannya. Mereka menjadi tidak peduli dengan pekerjaan dan tanggung
jawab orang lain dalam organisasinya.
4. Impersonalitas
Prinsip impersonalitas dalam organisasi mendorong agar aparat birokrasi dapat
bertindak adil dan bersikap nonpartisan dalam melayani masyarakatnya juga dapat
menimbulkan efek ganda. Pada satu sisi, penerapan impersonalitas hubungan antara
aparat birokrasi dan warga pengguna layanan birokrasi akan membuat birokrasi
menjadi lebih lugas dan bertindak obyektif. Namun di sisi yang lain, ketika
penerapan prinsip tersebut menjadi berlebihan, maka aparat birokrasi dapat menjadi
robot yang tidak memiliki sense of human being. Birokrasi juga akan kehilangan
peluang untuk menjadi instrument pemihakan terhadap kelompok-kelompok
marginal, yang tanpa bantuan birokrasi tidak dapat memperoleh kehidupan yang
layak dan bermartabat.
Prinsip impersonalitas yang diajarkan oleh Weber memperlakukan pengguna
layanan sebagai kasus, bukan sebagai orang dengan segala karakteristik
subyektifnya. Hal itu dimaksudkan agar birokrasi menjadi nonpartisan, tidak
memihak, dan memberikan perlakuan yang sama terhadap setiap pengguna layanan
birokrasi. Namun, penerapan prinsip tersebut dapat membuat birokrasi menjadi
kehilangan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat penting dalam mengelola kegiatan
birokrasi. Birokrasi pemerintah tidak boleh mengabaikan kenyataan bahwa warga
memiliki akses yang berbeda-beda terhadap pelayanan birokrasi. Sebagian warga
memiliki akses yang besar dan dapat dengan mudah memanfaatkan keberadaan
birokrasi dan pelayanannnya, sementara sebagian warga lainnya memiliki akses yang
terbatas terhadap pelayanan birokrasi. Menganggap setiap warganegara sebagai
kasus yang sama dengan karakteristik, kapasitas dan akses yang sama tentu adalah
sebuah kekeliruan (Dwiyanto, 2011:40).
Kondisi patologis tersebut tentu memerlukan solusi untuk keluar dari berbagai
masalah yang tidak tertutup kemungkinan akan semakin menambah buruk citra
birokrasi bagi masyarakat. Sebagai alternatif, lahir doktrin baru yang menggantikan
Old Public Administration, yaitu New Publik Managemen (NPM) atau Reinventing
Government yang didasarkan pada pengalaman Eropa, Amerika Serikat, Australia,
dan Selandia Baru pada beberapa dekade terakhir (Hood,1991; Pollit, 1993; Osborne
& Gaebler,1993) secara berangsur-angsur dipromosikan ke dalam manajemen
pemerintahan di berbagai negara, termasuk negara sedang berkembang.
Dalam doktrin NPM atau Reinventing Government, pemerintah dianjurkan untuk
meninggalkan paradigma administrasi tradisional yang cenderung mengutamakan
sistem dan prosedur dan menggantikan dengan orientasi pada hasil kerja. Pemerintah
juga dianjurkan untuk melepaskan diri dari birokrasi klasik dengan mendorong
organisasi dan pegawai agar lebih fleksibel, dan menetapkan tujuan serta target
organisasi secara lebih jelas, sehingga memungkinkan pengukuran hasil. Di samping
itu, pemerintah juga diharapkan meneraokan sistem desentralisasi, member perhatian
pada pasar, melibatkan sektor swasta dan melakukan privatisasi (Hood, 1995).
Osborne dan Gaebler (1993) di dalam buku Reinventing Government
menekankan, harus ada upaya untuk mentransformasikan entrepreneurial spirit atau
jiwa kewirausahaan, karena dalam masa di mana sumber daya publik semakin
langka, pemerintah harus berumah dari bureaucratic model ke enterprunerial model.
Oleh karena itu manajemen pemerintahan yang mengimplementasikan pemikiran
NPM ini sangat berorientasi pada jiwa dan semangat kewirausahaan, maka
manajemen publik baru di tubuh pemerintah dapat disebut sebagai kewirausahaan.
Dampak dari penerapan model NPM ini mulai terasa tidak saja di negara maju,
akan tetapi juga di negara-negara sedang berkembang, seperti penerapan lima prinsip
inti, yaitu: (1) sistem desentralisasi dengan memindahkan otoritas pengambilan
keputusan yang lebih dekat pada penerima pelayanan; (2) privatisasi dengan
mengalokasikan barang dan jasa publik ke sektor privatl; (3) downsizing dengan
melakukan pemangkasan atau penyederhanaan jumlah dan ruang lingkup organisasi
pada sturuktur pemerintahanl; (4) debirokratisasi dengan melakukan restrukturisasi
organisasi pemerintah dengan menekankan hasil daripada proses; dan (5)
manajerialisme dengan menerapkan gaya bisnis pada organisasi pemerintah (Vigoda,
2003:813)
Pemberlakuan doktrin desentralisasi dan NPM atau manajemen kewirausahaan
ke dalam sistem pemerintahan membawa harapan bagi pemenuhan kebutuhan
masyarakat. Implementasinya lebih fleksibel, lebih cepat meberi respons terhadap
perubahan lingkungan, dan kebutuhan masyarakat di daerah, lebih melibatkan
partisipasi aktif para pihak dalam pengambilan keputusan daripada menunggu
keputusan pemerintah pusat. Juga lebih inovatif dengan member peluang dengan
melibatkan masyarakat di daerah dalam pengambilan keputusan dengan alternative
solusi yang lebih banyak, menghasilkan semangat kerja, dan komitmen yang lebih
tinggi, serta lebih produktif (Osborne & Gaebler, 1993; Pollit, Birchall dan Putman,
1998).
Sebagai unsur penting dari prinsip NPM atau manajemen kewirausahaan, sistem
desentralisasi ini telah diakui memiliki sisi positif secara ekonomis dan sosial politik.
Secara ekonomis, sistem ini dapat memperbaiki tingkat efisiensi, mengurangi biaya,
memperbaiki output, dan lebih efektif memanfaatkan sumber daya manusia. Secara
sosial politik dapat memperkuat akubtabilitas, keterampilan berpolitik, dan integrasi
nasional, membawa pemerintah dekat dengan rakyat, dan mendorong kebebasan
kesetaraan serta kesejahteraan (Smith, 1985:3-7)
Selain itu, sistem ini juga diakui mampu mengatasi kekurangan sentralisasi
dalanm perencanaan pembangunan nasional, menghilangkan red-tape, dan prosedur
yang berbelit-belit, mendorong pengetahuan dan sensitivitas terhadap masalah local,
membawa tingkat penetrasi yang lebih baik, menjamin keterwakilan, kemampuan
administratif pemerintahan, koordoinasi dan partisipasi masyarakat local (Rondinelli
& Cheema, 1983(
Reformasi terus bergulir dengan munculnya doktrin yang lebih baru, yaitu New
Public Service (Denhardt & Denhardt, 2003). Aliran The New Publik Service
memberikan definisi yang lain terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik
adalah hasil dari sebuah dialog tentang nilai-nilai bersama yang diagregasikan dari
kepentingan individual. Oleh karena itu, pelayan publik tidak hanya selalu merespon
permintaan “pelanggan”, tetapi lebih berfokus pada membangun hubungan baik
dengan kepercayaan dan kolaborasi dengan dan atar warganegara. Pelayanan publik
merupakan hubungan antara lembaga publik secara keseluruhan dengan citizen
secara keseluruhan (Nurmandi, 2010:21).
Sebagai perbandingan berbagai model yang telah disebutkan di atas, dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5 Perbandingan Perspektif Old Public Administration, New Public Management, dan New Public Service
Old Publik Admnistration
New Public Management New Public Service
Teori dan Epistimologi
Teori politik dan ilmu sosial naif
Teori eknomi berdasarkan pada ilmu sosial positif
Teori demokrasi positif, kritis dan interpretatif
Rasionalitas dan model perilaku manusia
Rasionalitas synoptic atau administrative management
Tcnical dan eknomical man, self interest dicision maker
Rasionalitas formal dan strategis serta ganda (politik, ekonomi, dan organisasional)
Konsepsi kepentingan publik
Didefinisikan secara politis dan tercantum dalam konstitusi
Mewakili kepentingan pribadi
Hasil dari dialog yang diakui bersama
Pihak yang menerima tanggung jawab pejabat publik
Klien dan konstituen Pelanggan Warganegara
Peranan Pemerintah
Mengendalikan (mendesain dan melaksanakan kebijakan pada satu kebijakan)
Mengarahkan (katalis) Melayani (negosiasi dan mediasi kepentingan antar warganegara dan komunitas-komunitas)
Mekanisme untuk mencapai objectif kebijakan
Mengadministrasikan program melalui instansi pemerintah
Menciptakan mekanisme struktur insentif untuk mencapai objektif kebijakan melalui lembaga swasta dan non profit
Membangun koalisis antar organisasi publik, non profit dan swasta untuk mencapai kesefakatan pada kebutuhan
Akuntabilitas Hierarki administrator bertanggung jawab pada politisi
Mekanisme pasar Ganda. Pelayan publik harus bertanggung jawab pada hukum, sistem nilai, norma politik, standard profesi, dan kepentingan warganegara
Diskresi administrasi
Diskresi terbatas diberikan pada pejabat administrasi
Peluang yang luas sesuai dengan peluang bisnis
Diskresi dibutuhkan tetaoi terbatas dan akuntabel
Struktur organisasi
Birokratis, Top-down Desentralisasi dengan kontrol tetap dalam organisasi
Struktur kolaboratif dengan sistem kepemimpinan yang terbagi baik secara internal maupun eksternal
Motivasi administrator
Sesuai dengan gaji Spirit wirausaha Pelayan publik dan memberikan kontribusi pada masyarakat
Sumber: Janet V, Denhardt and Robert B. Denhardt. The New Public Service . M.E. Sharpe, New York, 2003, h. 28-29.
Penerapan prinsip New Public Management dan New Public Service dalam
sektor pemerintahan di Indonesia tidak semudah dengan yang dibayangkan seperti
keberhasilan di beberapa negara. Hal ini senada dengan nada pesimis yang
diungkapkan oleh Golembiewski (2003: 140-152), bahwa ada empat hal yang dapat
menggagalkan penerapan NPM, yaitu: (1) tidak memiliki model penerapan atau road
map yang jelas; (2) tidak mempertimbangkan kekhasan lingkungan atau milieu-
specificity dimana NPM hendak diterapkan (3) tidak melakukan cultural
preparedness atau kesiapan budaya bagi institusi dan pegawainya, dan (4) cenderung
dihambat dan diganggu oleh birokrasi itu sendiri.
Meskipun demikian, prinsip-prinsip New Public Management dan New Public
Service memiliki banyak nilai-nilai positif yang dapat diadopsi untuk diterapkan
pada sektor pemerintahan dengan melakukan adaptasi atau penyesuaian dengan
lingkungan dan kondisi masyarakat.
Berdasarkan berbagai model birokrasi pelayanan yang telah diuraikan di atas,
maka ada beberapa faktor yang dianggap berpeluang memicu terjadinya patologi
birokrasi, yaitu: Struktur birokrasi, Sumber daya manusia, Kepemimpinan, Etika
birokrasi dan Lingkungan. Melalui kelima komponen ini akan dijadikan sebagai
dasar untuk membangun sebuah model birokrasi pelayanan dengan mengadopsi
berbagai unsur dalam New Public Management dan New Public Service yang
dianggap positif dan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Dengan demikian
model temuan diharapkan dapat meminimalisir patologi birokrasi, terutama terhadap
birokrasi pelayanan publik.
J. Penelitian Terdahulu
Gambaran mengenai hubungan birokrasi dan masyarakat akan lebih jelas
melalui penelusuran berbagai agenda penelitian yang telah dilakukan oleh para
ilmuan terdahulu. Khusus penelitian tentang birokrasi dalam konteks Indonesia
telah dilakukan oleh para peneliti, antara lain adalah penelitian yang dilakukan oleh
Karl D. Jackson (1988) tentang Bureaucratic Polity a Theoritical Framework for
the analicys of Power and Communication in Indonesia”. Hasil penelitiannya
menunjukkan adanya dominasi birokrasi atas proses politik, dan keterasingan
kekuatan sosial politik di luar birokrasi dari proses pembuatan pelaksanaan
keputusan nasional. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu indikator yang
membuktikan belum menguatnya civil society di Indonesia. Begitu besarnya peran
pemerintah atau birokrasi untuk mengontrol hak dan kebebasan politik warga
negara, sehingga diciptakan suatu aturan main, baik dalam bentuk undang-undang,
peraturan pemerintah, maupun berbagai bentuk pengaturan yang lainnya.
Penelitian lain dilakukan oleh Harold Crouch tentang “Patrimonialism and
Military Rule in Indonesia”. Crouch (dalam World Politics, 1989) melihat bahwa
birokrasi Indonesia masih cenderung bercorak patrimonial, di mana kekuasaan
diperoleh dan dipertahankan dengan cara menukar loyalitas dan dukungan dengan
jabatan dan kepentingan materiil. Pola hubungan antara penguasa (patron) dengan
yang dikuasai (client) mencerminkan hubungan saling menguntungkan, di mana
client memberikan dukungan berupa kepatuhan dan kesetiaan terhadap patron,
sedangkan patron memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap client.
Mencermati hasil-hasil penelitian tersebut, pada dasarnya bernada pesimistik
dalam melihat sistem birokrasi di Indonesia. Hal ini dapat diinterpretasi bahwa
mereka cenderung memandang kekuasaan birokrasi yang terlalu besar dan
menghambat proses demokratisasi yang sedang dilaksanakan. Kedua penelitian
tersebut memang terkesan klasik, namun dalam konteks analisis tetap diperlukan
untuk memberikan gambaran bagaimana corak birokrasi di Indonesia dalam kurun
waktu dua dekade yang lalu.
Buruknya kondisi birokrasi Indonesia juga terlihat dari hasil penelitian yang
dilakukan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di
Hongkong. Lembaga ini meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats),
hasilnya birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami
perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik
dibanding dengan keadaan China, Vietnam dan India. Pada tahun 2000, Indonesia
memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang
dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor yang jauh
dibawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats
yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak pejabat
tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya
diri sendiri dan orang terdekat (Soebhan, 2000).
Penelitian lain yang berkaitan dengan efektifitas birokrasi adalah yang dilakukan
oleh Bank Dunia dan UGM tentang kinerja pelayanan publik dengan menggunakan
sejumlah variabel, yaitu keadilan (equity), responsivitas, efisiensi pelayanan, suap
dan rente birokrasi (Dwiyanto, dkk, 2003). Hasil Good Governance Survey 2002
yang dilakukan oleh UGM tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi
pelayanan publik di Indonesia. Hasil penelitian ini berkesimpulan bahwa pelayanan
publik di Indonesia masih sarat dengan kepentingan birokrasi. Birokrasi kita masih
cenderung dilayani daripada melayani. Birokrasi dalam segala urusan belum bisa
mengedepankan kepentingan umum daripada kepenitngan diri dan kelompoknya.
Penelitian lain tentang birokrasi, yaitu; Budaya Patron-klien terhadap perilaku
birokrasi di daerah dilakukan oleh Kausar A.S (2006) menunjukkan bahwa budaya
patron-klien sangat mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintah daerah, utamanya
memperlemah kinerja birokrasi dengan perilaku birokrasi yang menyimpang.
Penelitian yang senada dengan itu dilakukan oleh Priyo Budi Santoso (1993) dan
Masson C. Headly (2006) memiliki kesimpulan yang sama bahwa penyelenggaraan
birokrasi di Indonesia sejak zaman kerajaan, sampai zaman pemerintahah Orde
Lama dan Orde Baru dan ditambahkan oleh Masson, sampai era reformasi belum
menunjukkan perubahan, yaitu “corak birokrasi yang feodalistik”. Artinya para
aparatur birokrasi masih memandang bahwa melaksanakan tugas dan jabatan yang
dipangkunya merupakan sumber kekuasaan, jadi cara pandangnya masih sebagai
“penguasa”. Sedang dalam konsep negara modern, Administrasi Negara sebagai
badan eksekutif yang merupakan pelaksana kebijakan secara jelas diartikan “public
servent”, artinya bahwa para aparatur birokrasi sesungguhnya sebagai “pelayan
masyarakat”.Demikian pula dalam konsep negara demokrasi, pejabat publik adalah
dipilih oleh rakyat. Oleh karena itu kedudukan sebagai pejabat publik adalah
melaksanakan atas nama rakyat. Dengan demikian perbedaan paradigma para
aparatur birokrasi antara sebagai “penguasa” dengan sebagai “pelayan”, dalam
praktek penyelenggaraan birokrasi memiliki implikasi yang berbeda. Jika sebagai
penguasa, karena dirinya merasa memiliki kedudukan, bukan memberikan
pelayanan yang terbaik, tetapi justru meminta dilayani. Dan terhadap bawahan
bukan sebagai team work atau rekan kerja, tapi cenderung dianggap sebagai
pembantunya yang harus siap meleyani keinginan pimpinan, bahkan terkadang
bukan melaksanakan tugas kedinasan. Sedangkan jika aparatur sebagai “pelayan
masyarakat”, maka akan memberikan pelayanan yang terbaik. Kedua macam
paradigma yang saling bertolak belakang tersebut memang dilatarbelakangi oleh
kondisi sosial dan budaya yang berbeda. Secara konseptual sikap dan perilaku
sebagai “penguasa” menunjukkan latar belakang budaya “paternalistik”, sedangkan
sebagai “pelayan masyarakat” menunjukkan latar belakang budaya yang “egaliter”
(Istianto, 2011:75).
Salah satu penelitian yang berkaitan dengan patologi birokrasi dilakukan oleh
Monsod (2008) terhadap birokrasi pemerintah di Philipina. Birokrasi yang diteliti
adalah depertemen pemerintah dan hubungannnya dengan pimpinan politik
tertinggi, yakni presiden dan kongres. Fokus penelitian ini adalah fitur bureau-
pathology. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa birokrasi pemerintah
Philipina memiliki tiga fitur bureau-pathology. Pertama tidak ada kejelasan kontrol
atas jabatan: mana yang tunduk pada kewenangan prerogatif presiden, penunjukan
politis dari kongres, dan sistem karir. Kedua, struktur insentif moneter dan non-
moneter tidak berbasis kontribusi. Ketiga, kurangnya transparansi dalam peran dan
kewenangan penasehat presiden, tidak ada kerangka acuan kerja yang jelas, dan
tidak ada kerangka akuntabilitas terhadap entitas lain di luar kepresidenan.
Penelitian yang masih berkaitan dengan patologi birokrasi pelayanan publik,
yaitu Studi Etika Pelayanan Publik (I Wayan Sudana, dkk, 2009) yang dilakukan di
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar. Penelitian ini menghasilkan
beberapa kesimpulan, yaitu: (1) Etika birokrasi dalam pelayanan publik masih jauh
dari harapan pada umumnya. Oleh karena itu timbul ketidakpuasan masyarakat
sebagai pengguna jasa yang nampak pada keluhan yang disampaikan dalam hal
pelayanan KTP. (2) Berdasarkan indikator penelitian, etika birokrasi dalam
pelayanan publik masih sangat jauh dari yang diharapkan. Fenomena pemberian
pelayanan ini terlihat seperti tindakan aparat yang lebih mengharapkan balas jasa,
adanya penyalahgunaan wewenang, menghindar dari tanggung jawab, pelanggaran
terhadap aturan yang ditetapkan, dan munculnya diskriminasi dalam pelayanan.
Di dalam penyelenggaraan pelayanan publik terdapat dua pihak yang
berhadapan dan saling berbeda kepentingan. Pihak aparat birokrasi sebagai pemberi
layanan yang berhadapan dengan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan, antara
keduanya acapkali terjadi perbedaan kepentingan yang mencolok. Aparat birokrasi
pada dasarnya adalah seorang abdi, bukannya seoranmg tuan. Persoalannya adalah,
persepsi tersebut tidak ditanamkan dalam lingkungan birokrasi. Akibatnya, muncul
sikap arogansi birokrasi, seperti merasa sebagai pihak yang paling dibutuhkan oleh
orang banyak, atau bersikap seenaknya kepada masyarakat. Sikap yang ditunjukkan
oleh sebagian besar aparat birokrasi tersebut membuat masyarakat merasa tidak
memperoleh pelayanan seperti yang diharapkan, bahkan masyarakat seringkali
merasa disepelekan oleh aparat birokrasi.
Perbedaan sikap pelayanan secara normatif dengan sikap pelayanan secara
faktual yang dilakukan oleh aparat birokrasi terungkap dari banyaknya keluhan
yang dirasakan oleh masyarakat pengguna jasa pada saat menerima pelayanan.
Pengamatan di lapangan menunjukkan adanya kecenderungan diskriminasi yang
sangat mencolok dalam memberikan pelayanan. Realitas pelayanan menunjukkan
bahwa aparat birokrasi dalam kenyataannya melakukan perbedaan pelayanan
terhadap masyarakat pengguna jasa.
Berdasarkan observasi pada instansi pelayanan pertanahan di kantor BPN
(Dwiyanto, dkk, 2008:193), terlihat bahwa aparat sangat membedakan dalam
memberikan sapaan kepada masyarakat pengguna jasa. Aparat akan terlihat lebih
ramah kepada masyarakat pengguna jasa yang telah dikenal sebelumnya atau
karena status sosial ekonomi pengguna jasa yang menunjukkan sebagai orang kaya,
sedangkan masyarakat pengguna jasa yang berasal dari desa dengan penampilan
sederhana, biasanya akan mendapat perlakuan yang tidak sebaik kelompopk
masyarakat pengguna jasa yang pertama. Stigma pelayanan yang sudah dimaklumi
oleh publik tersebut menjadikan masyarakat pengguna jasa seakan saling berlomba
untuk dapat memperoleh hak istimewa dari aparat birokrasi. Berdasarkan hasil
observasi ini, sekitar 30 persen masyarakat pengguna jasa di Sumatera Barat,
Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan pernah mengalami diskriminasi
pelayanan yang dilakukan oleh aparat birokrasi.
Dibandingkan dengan jenis pelayanan lain, seperti; pelayanan kependudukan
(KTP), pelayanan untuk memperoleh SIM, maka pelayanan administrasi
pertanahan lebih kompleks dan rumit. Berdasarkan data GDS 2006 (Dwiyanto,
2011: 89) menunjukkan persentase warga yang menggunakan perantara pada saat
mengurus pelayanan untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Kartu
Tanda Penduduk (KTP) dan Sertifikat Tanah, ternyata jenis pelayanan yang
disebutkan terakhir memperlihatkan prosentase yang lebih tinggi, yaitu di Jawa
mencapai 57, 50% dan 66,50% untuk luar Jawa.
Berkaitan dengan kualitas pelayanan publik, suatu hasil penelitian yang
dilakukan Business Digest, sebagai salah satu lembaga survey ekonomi independen
yang dilansir majalah ekonomi SWA Sembada edisi Juni 2007 (Majid, 2009:105-
7), Makassar menepati rangking ke-25 dari 50 kota di Indonesia sdalah hal
kekayaan atau sumber daya. Artinya, lembaga ini melihat Makassar memiliki
potensi yang besar untuk terus berkembang secara cepat dan memiliki pertumbuhan
eknomi yang tinggi. Tetapi Makassar hanya menempati rangking 21 dari 25 kota
yang disurvei sebagai daerah yang menarik untuk investasi. Hal ini ternyata
disebabkan oleh masalah kualitas pelayanan publik.
Makassar, berada pada posisi juru kunci atau ranking terendah dari 16 kota
lainnya di Indonesia dalam hal City Public Service (CPS) Index. Terdapat 15 titik
layanan yang diukur dalam survey ini, yaitu telepon, air bersih, listrik, KTP,
SIP/STNK, perizinan usaha, IMB/HGB, pajak, keamanan, transfortasi umum,
kesehatan, pendidikan, penerangan jalan, kebersihan kota, dan prasarana jalan raya.
Dari 15 titik layanan, hampir seluruh responden memberikan nilai kurang baik atau
bahkan buruk. Angka yang diperoleh Makassar semuanya rendah. Posisi tertinggi
diraih oleh Kota Gorontalo dan Jakarta. Makassar bahkan jauh berada di bawah
Medan, Balikpapan, Manado dan Palembang.
Salah satu titik layanan publik dalam lingkup Kota Makassar yang juga
tergolong krusial, yaitu pelayanan administrasi pertanahan. Fenomena menarik
yang menjastifikasi adanya masalah layanan publik adalah adanya kecenderungan
mayarakat yang membutuhkan layanan lebih memilih menggunakan perantara
ketimbang mengurus secara langsung ke tempat pelayanan sesuai dengan prosedur
dan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan data GDS 2006, seperti yang telah
disebutkan di atas menunjukkan prosentase yang melampaui 50 % penggunaan
perantara dalam pemberian layanan, yaitu masing-masing 57, 50% dan 66,50%
untuk wilayah Pulau Jawa dan Wilayah di Luar Pulau Jawa.
Bedasarkan fakta tersebut di atas, maka fenomena ini menarik untuk
dikembangkan, dimana kecenderungan penggunaan perantara dalam pemberian
layanan adminsitrasi pertanahan memberikan isyarat adanya masalah dalam
pelayanan tersebut. Berkaitan dengan ini berbagai pertanyaan bakal muncul,
misalnya siapa yang menjadi perantara?, apakah penggunaan perantara akan
mempercepat proses layanan?, Apakah penggunaan perantara tidak merusak
mekanisme tatanan administrasi penyedia layanan?, dan bagaimanan nasib
masyarakat yang tidak mampu menggunakan perantara?, serta masih banyak
pertanyaan yang akan dikembangkan dalam penelitian ini berdasarkan fenomena
tersebut.
Penggunaan perantara dalam berbagai jenis pelayanan tersebut berpeluang
munculnya patologi birokrasi, meskipun dari satu sisi pihak pengguna layanan
dengan dan pemberi layanan memperoleh keuntungan secara timbal balik, namun
disisi lain akan merugikan pengguna jasa yang lain yang tidak menggunakan
perantara. Fenomena ini membuktikan bahwa dari berbagai jenis layanan publik,
maka pelayanan administrasi pertanahan tetap menarik untuk diteliti.
K. Kerangka Pikir
Kerangka pikir ini dikembangkan berdasarkan berbagai macam pemikiran yang
bersifat dialogis dimana diskusi tentang penerapan birokrasi Weberian dalam
organisasi publik mengalami pro dan kontra. Perdebatan teoritik yang penting
untuk diketengahkan sebagai landasan kerangka pikir ini antara lain kritik yang
disampaikan Warren Bennis (Robbins, 1994: 349), bahwa struktur birokratik
terlalu mekanis bagi kebutuhan organisasi modern. Menurut Bennis, birokrasi
merupakan penemuan sosial yang sangat elegan, suatu bentuk kemampuan yang
luar biasa untuk mengorganisasikan, mengkoordinasikan proses-proses kegiatan
yang produktif pada masa revolusi Industri. Birokrasi dikembangkan untuk
menjawab berbagai persoalan yang hangat pada waktu itu, misalnya persoalan
pengurangan peran-peran personal, persoalan subyektivitas yang berlebihan, dan
tidak dihargainya hubungan kerja kemanusiaan. Bennis menegaskan bahwa kita
sangat membutuhkan birokrasi yang berorientasi kemanusiaan, tidak secara
konseptual semata tapi merambah pada tataran praktis di lapangan. Hal ini menjadi
pekerjaan sangat penting untuk mendekatkan birokrasi pada manusia, bukan lagi
pada mesin. Sebuah teori akan diuji menurut kelayakan historis dan kebutuhan pada
sebuah masa. Birokrasi yang humanis masih menjadi pekerjaan rumah yang harus
serius digarap oleh para pemerhati masalah-masalah administrasi negara dan
kebijakan publik.
Nada pesimistik Bennis dibantah oleh Robert Miewald (Robbins, 1994: 349-
352) dengan menegaskan bahwa Weber tidak pernah mengatakan bahwa
karakteristik-karakteristik birokrasi akan berlaku untuk selama-lamanya. Sasaran
utama dari Weber adalah menciptakan sebuah bentuk rasional dan efisien. Bentuk
tersebut adalah birokrasi. Bentuk apapun yang diperlukan untuk mempertahankan
rasionalitas seperti efisiensi akan menghasilkan birokrasi. Perkembangan birokrasi
professional adalah contoh yang sempurna mengenai karakteristik birokrasi yang
dimodifikasi.
Perdebatan teoritik tersebut di atas menjadi dasar inspirasi yang melahirkan
suatu pemikiran bahwa dalam konteks kekinian birokrasi Weberian dengan
berbagai kelebihan dan kekurangannya memerlukan nuansa baru untuk menjawab
tantangan masyarakat organisasional yang selalu berubah dan berkembang. Nuansa
baru tersebut secara sederhana dapat difahami melalui pergeseran paradigma dari
Old Public Administration ke New Public Management dan New Public Service.
Adaptasi terhadap prinsip-prinsip baru tersebut bukanlah merupakan hal yang
mudah, karena bersentuhan dengan berbagai aspek-aspek organisasional yang
lainnya, seperti: struktur birokrasi, sumber daya manusia, penerapan teknologi, dan
lingkungan budaya masyarakat yang bersifat paternalistik. Berbagai aspek ini saling
berinteraksi secara sistemik yang jika dikelola dengan baik akan melahirkan sistem
birokrasi yang sesuai dengan tuntutan masyarakatnya. Demikian juga sebaliknya,
jika interaksi antara berbagai aspek tersebut tidak sinerjik, maka akan berpeluang
melahirkan berbagai patologi birokrasi.
Dalam konteks Indonesia, fenomena patologi birokrasi terjadi sebagai hasil
interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel lingkungan yang salah.
Struktur birokrasi yang hierarkis berinteraksi dengan budaya masyarakat yang
paternalistis, sistem politik yang tidak demokratis dan ketidakberdayaan kelompok
masyarakat madani cenderung melahirkan perilaku birokrasi paternalistis yang
merugikan kepentingan publik. Dengan kata lain bahwa patologi birokrasi bukan
hanya disebabkan oleh struktur birokrasi yang salah dan tidak tepat, seperti
hierarchi yang berlebihan, prosedur yang rigid, fragmentaasi birokrasi yang terlalu
banyak, dan masalah struktur lainnya. Selain masalah struktural, penyakit birokrasi
disebabkan juga oleh interaksi berbagai variabel yang saling berkaitan antara satu
sama lainnya, baik yang terdapat dalam struktur birokrasi, budaya birokrasi,
maupun variabel-variabel lain yang terdapat dalam lingkungan. Termasuk di dalam
variabel lingkungan itu adalah budaya masyarakat, sistem politik yang kurang
demokratis, dan kelompok masyarakat madani yang tidak mampu menjalankan
fungsi kontrol (Dwiyanto, 2011:64).
Kast dan Rosenzweig (1981) mengemukan bahwa struktur internal setiap
“sistem organisasi” terdiri dari beberapa sub sistem: goal values (bersumnber dari
lingkungan sosial budaya yang luas), technical termasuk ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas), psychosocial (terdiri dari
individu dan kelompok individu dengan berbagai sikap, aspirasi, motivasi, status,
interaksi, dan sebagainya), structural (terdiri dari pembagian pekerjaan dan
koordinasi, dengan pola kewenangan dan sistem komunikasi tertentu), dan
managerial (berperan untuk melakukan kepemimpinan dalam organisasi serta
dalam interaksi dengan lingkungannya (Sedarmayanti, 2010:11)
Upaya mengatasi patologi birokrasi sesungguhnya sejak lama telah dilakukan
oleh pemerintah melalui reformasi birokrasi dalam berbagai bentuk. Beberapa
diantaranya dapat disebutkan, seperti pelayanan yang berbelit-belit (red tape),
misalnya telah diatasi dengan cara memperpendek mekanisme dan prosedur
pelayanan di beberapa jajaran birokrasi. Sebagai contoh pelayanan Kartu Tanda
Penduduk yang semula sampai pada tingkat kabupaten, telah diperpendek hanya
sampai pada tingkat kecamatan, sehingga dengan demikian telah memangkas jalur
dan waktu pelayanan. Demikian juga halnya dengan reformasi di bidang pelayanan
perizinan, seperti IMB yang sekarang dilakukan dengan sistem satu pintu, juga
dapat diartikan sebagai pemangkasan mata rantai birokrasi yang terlalu panjang.
Sementara pelayanan publik dalam bidang administrasi pertanahan sampai saat ini
masih menimbulkan berbagai masalah, seperti kelambanan dalam proses penerbitan
sertifikat tanah, munculnya perantara (calo) dalam proses pelayanan yang
berpeluang menimbulkan masalah-masalah patologis, misalnya; munculnya biaya-
biaya tambahan dalam proses pelayanan, terjadinya perbedaan-perbedaan perlakuan
terhadap masyarakat dalam menerima layanan yang bertentangan dengan prinsip
impersonalitas, bahkan persoalan fatal yang kerapkali muncul yaitu terbitnya
sertifikat ganda, serta masalah-masalah krusial lainnya yang banyak menimbulkan
keluhan masyarakat penerima layanan.
Sistem pelayanan administrasi pertanahan pada Kantor Pertanahan Kota
Makassar menggunakan sistem loket. Adapun secara rinci loket-loket yang
dimaksud, yaitu:
1. Loket 1 : Informasi Pelayanan
Setiap permohonan yang dating ke loket informasi dapat menerima
penjelasan mengenai jenis pelayanan yang diinginkan pemohon oleh petugas
loket. Setelah menerima penjelasan dari loket 1 untuk kelengkapan berkas
pengurusan sertipikat dalam pelayanan pendaftaran tanah hak milik. Maka
pemohon dianjurkan ke koperasi untuk mengambil blanko pengukuran dan
permohonan hak yang alkan diisi pemohon sesuai dengan pelayanan yang
diinginkan.
2. Loket 2 : Penerimaan Berkas Permohonan
Berkas pemohon telah diisi dengan benar maka pemohon menyetorkan
berkas permohonan pengukuran ke loket 2a dengan disertai tanda terima berkas
dari aparat petugas loket dan membayar administrasi ke loket 3. Pemohon
menyerahkan berkas melalui loket ini, yang terlebih dahulu diteliti oleh petugas
mengenai kelengkapan persyaratan. Adapun loket penyerahan berkas
permohonan terbagi dalam beberapa loket pelayanan menurut jenis pelayanan
pertanahan yang diberikan, antara lain :
a. Loket 2a. Loket Pengukuran, Kutipan SU, Pengembalian Batas.
b. Loket 2b. Loket Pelayanan Konversi/Pengakuan, Pemberian Hak,
Peningkatan Hak.
c. Loket 2c. Pendaftaran SK, Pemecahan/Pemisahan, Penggabungan,
Penggantian Sertipikat.
d. Loket 2d. Loket Pngecekan Sertipikat.
e. Loket 2e. Peralihan Hak, Pemasangan Hak Tanggungan, Tukar Menukar,
Ganti Nama.
3. Loket 3 : Penerimaan Biaya
Pembayaran dilaksanakan melalui loket ini pada Bendaharawan Khusus
Penerima (BKP) dan kepada pemohon diberikan tanda bukti pembayaran berupa
kwitansi.
4. Loket 4 : Pengambilan Produk
Segala produk pelayanan pertanahan dapat diambil pada loket ini.
Adapun jenis produk pelayanan meliputi :
a. Seripikat tanah
b. Surat Keputusan Pemberian Hak atas Tanah
c. Surat keputusan Ijin Perubahan Penggunaan Tanah
Proses pelayanan melalui loket-loket tersebut melibatkan interaksi secara
internal antar unit kerja dan secara eksternal dengan masyarakat penerima layanan.
Proses inilah acapkali melahirkan berbagai bentuk patologi birokrasi. Atas dasar itu,
maka berbagai aspek yang mengkonstruksi proses tersebut akan dijadikan sebagai
kerangka nalisis. Adapun aspek-aspek yang dimaksud meliputi; struktur birokrasi
pelayanan, sumber daya manusia, penerapan teknologi dalam pelayanan, dan
lingkungan budaya. Adapun skema kerangka pikir dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 3: Model Kerangka Pikir
SISTEM PELAYANAN ADMINISTRASI PERTANAHAN
LOKET INFORMASI
PETUGAS PELAKSANA
PEMERIKSAAN BERKAS PELAKSANAAN,PENGUKURAN, PENCETAKAN SURAT UKUR, OPENCETAKAN BUKU TANAH DAN SERTIFIKAT
KOORDINATOR
KOPERASI PEGAWAI
PEMOHON MASYARAKAT
LOKET PENGADUAN
LOKET PENYERAHAN
PRODUK
PENGECEKAN PETA
LOKET PENERIMAAN
BERKAS
KEPALA KANTOR
KEPALA SEKSI
KEPALA SUB SEKSI
SEKSI SENGKETA KONFLIK & PERKARA
WARKAH/ARSIP
LOKET PENERIMAAN
BIAYA
EMPIRICAL SYSTEM
Struktur Birokrasi yang Sangat Hierarkis
Kemampuan Sumber Daya Manusia Belum Optimal
Penerapan Teknologi Belum Optimal
Lingkungan Budaya yang Bersifat Paternalistik
ALTERNATIVE SYSTEM
Penyederhanan struktur birokrasi pelayanan.
Pengembangan Sumber Daya Manusia Profesional.
Penerapan Sistem Informasi dan Teknologi yang tepat.
Adaptasi terhadap lingkungan budaya.
PATOLOGI BIROKRASI
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan proses berfikir yang bersifat deduktif,
yaitu suatu penelitian yang didekati dari segi konsep dan teori yang berkaitan
dengan patologi birokrasi dalam pelayanan publik yang selama ini telah banyak
disoroti, dan dikaji, serta dikembangkan oleh berbagai kalangan. Berbagai konsep
dan teori yang relevan tersebut kemudian dilakukan modifikasi dan reduksi
sehingga melahirkan fokus penelitian dan kerangka konseptual. Sedangkan
pendekatan berdasarkan paradigma penelitian yang digunakan adalah paradigma
kualitatif, karena data yang digunakan adalah data kualitatif yang diperoleh melalui
metode dan analisis data kualitatif. Bogdan dan Taylor menyebutnya sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 1994:3).
Meskipun demikian data kuantitatif tetap diperlukan sebagai data pendukung untuk
kelengkapan analisis data penelitian.
Strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Menurut Yin (1996:1)
studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu
penelitian berkenaan dengan how atau why, bila peneliti hanya memiliki sedikit
peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki dan bilamana
fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam
konteks kehidupan nyata. Berkaitan dengan fenomena yang akan diteliti, yaitu
“Patologi Birokrasi Dalam Pelayanan Publik: Studi Pelayanan Administrasi
Pertanahan di Kota Makassar”, maka strategi penelitian studi kasus dianggap cocok
untuk digunakan.
Menurut Denzin dan Loncoln (2009: 300-1) Strategi penelitian studi kasus
memiliki 3 (tiga) jenis kajian (study), yaitu: studi kasus intrinsik (intrinsic case
study), studi kasus instrumental (instrumental case study), dan studi kasus kolektif
(collective case study). Jenis yang pertama ditempuh oleh peneliti yang ingin
memahami sebuah kasus tertentu. Jenis ini ditempuh bukan karena suatu kasus
mewakili kasus-kasus lain atau karena menggambarkan sifat atau problem tertentu,
namun karena dalam seluruh aspek kekhususan dan kesederhanaannya, kasus itu
sendiri menarik minat. Tujuannya bukan untuk memahami fenomena umum tertentu
dan bukan untuk merumuskan suuatu teori, melainkan tujuannya adalah karena
minat intrinsik. Jenis kedua digunakan untuk meneliti suatu kasus tertentu agar
tersaji sebuah perspektif tentang isu atau perbaikan suatu teori. Dalam hal ini kasus
tidak menjadi minat utama, kasus memainkan peranan supportif, yang memudahkan
pemahaman kita tentang sesuatu yang lain. Pemilihan sebuah kasus lebih
disebabkan karena hasrat kita untuk meningkatkan pemahaman tentang minat-minat
yang lain tersebut. Jika seorang peneliti merasa kurang tertarik mengkaji satu kasus
tertentu, maka dapat meneliti sejumlah kasus secara bersamaan yang disebut dengan
studi kasus kollektif (collective case studi). Studi kasus kolektif pada intinya sama
dengan istilah yang digunakan oleh Herriot dan Firestone (1983) sebagai “penelitian
kualitatif dengan banyak lokasi (multisite qualitative research”.
Penelitian ini memilih jenis kedua yaitu studi kasus instrumental, karena
penelitian ini dimaksudkan untuk menuntun peneliti dalam menggambarkan
bagaimana perhatian peneliti dan teoretisi tercermin dalam suatu kasus. Dalam studi
kasus instrumental, tidak menentukan terlebih dahulu kasusnya, melainkan mencari
kasus yang sesuai untuk dipilih. Penelitian ini berkenaan dengan patologi birokrasi
dalam pelayanan publik dengan memfokuskan diri pada aktivitas birokrasi dalam
pelayanan administrasi pertanahan. Dalam proses ini akan terlihat interaksi antara
aparatur birokrasi dengan masyarakat yang membutuhkan pelayanan, serta
bagaimana keterkaitannya dengan struktur birokrasi, manajemen sumber daya
manusia, penerapan teknplogi, dan pengaruh lingkungan terutama budaya
masyarakat yang bersifat paternalistic.
B. Pengelolaan Peran Peneliti
Peran peneliti dalam penelitian kualitatif sangat penting, karena peneliti itu
sendiri merupakan instrumen, bahkan instrumen utama, di samping instrumen-
instrumen yang lainnya sebagai instrumen pendukung peneliti. Urgensi peran
peneliti nampak dalam proses penelitian mulai dari awal sampai akhir penelitian
yang meliputi: menentukan informan, wawancara dengan informan, meneliti
dokumentasi, membuat rekaman arsip, membuat reduksi data, menyajikan data,
menganalisis data, menguji validitas data, dan menginterpretasi hasil penelitian.
Bagian lain yang tidak terpisahkan dengan proses penelitian adalah observasi,
dimana peran peneliti dituntut untuk melakukan pengamatan terhadap aktivitas yang
terjadi dalam birokrasi, seperti hubungan-hubungan antara staf dengan staf, antara
pimpinan dengan staf, dan berbagai hal yang berkaitan dengan perilaku aparat dalam
melaksanakan tugasnya, seperti pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Keseluruhan aktivitas tersebut akan diamati dan dianalisis Dalam observasi, peneliti
akan melakukan pengamatan langsung terhadap aktivitas pelayanan yang berkaitan
dengan administrasi pertanahan, baik pada kantor pertanahan maupun terhadap
instansi pemerintah yang terkait, seperti pemerintah kelurahan dan pemerintah
kecamatan sebagai bagian yang integral dengan proses administrasi pertanahan.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar sebagai Ibukota Propvinsi
Sulawesi Selatan. Pertimbangan pemilihan Kota Makassar sebagai lokasi penelitian
didasarkan pada beberapa aspek; Pertama, Kota Makassar sebagai Ibukota Propinsi
tentunya meiliki volume aktivitas pemerintahan yang sangat tinggi, dengan akses
teknologi informasi yang lebih mudah dan tersedia, sehingga dapat mendukung
penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam pelayanan publik. Kedua, Kota
Makassar lebih memiliki heterogenitas, terutama heterogenitas budaya, sehingga
tercipta hubungan-hubungan yang dapat meminimalisir pengaruh-pengaruh
primordialisme yang mungkin akan berpengaruh terhadap analisis.
Di samping itu, berdasarkan hasil survey seperti yang telah dikemukakan
terdahulu, bahwa Makassar menempati rangking ke-25 dari 50 kota di Indonesia
dalam hal kekayaan atau sumber daya. Artinya, lembaga ini melihat Makassar
memiliki potensi yang besar untuk terus berkembang secara cepat dan memiliki
pertumbuhan eknomi yang tinggi. Tetapi Makassar hanya menempati rangking 21
dari 25 kota yang disurvei sebagai daerah yang menarik untuk investasi. Hal ini
ternyata disebabkan oleh masalah kualitas pelayanan publik, dimana kota Makassar
berada pada posisi juru kunci atau ranking terendah dari 16 kota lainnya di
Indonesia dalam hal City Public Service (CPS) Index. Terdapat 15 titik layanan yang
diukur dalam survey ini, yaitu telepon, air bersih, listrik, KTP, SIP/STNK, perizinan
usaha, IMB/HGB/, pajak, keamanan, transfortasi umum, kesehatan, pendidikan,
penerangan jalan, kebersihan kota, dan prasarana jalan raya. Dari 15 titik layanan,
hampir seluruh responden memberikan nilai kurang baik atau bahkan buruk. Angka
yang diperoleh Makassar semuanya rendah. Posisi tertinggi diraih oleh Kota
Gorontalo dan Jakarta. Makassar bahkan jauh berada di bawah Medan, Balikpapan,
Manado dan Palembang.
D. Fokus Penelitian
Studi tentang birokrasi publik telah banyak dilakukan, kritik terhadap birokrasi
publik telah banyak dilontarkan, dan bahkan reformasi terhadap birokrasi publik pun
telah menjadi agenda pemerintah di sepanjang masa. Namun demikian birokrasi
publik di Indonesia nampaknya banyak menimbulkan masalah, terutama dalam
kaitannnya dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Berbagai permasalahan yang
muncul dalam birokrasi pelayanan publik tersebut dalam penelitian ini dikatagorikan
sebagai patologi birokrasi.
Salah satu jenis pelayanan publik yang menjadi obyek penelitian adalah
pelayanan administrasi pertanahan, yakni proses penerbitan serttifikat atas tanah.
Peyelenggaraan pelayanan publik ini banyak mendapat sorotan dari berbagai
kalangan dikarenakan adanya berbagai masalah yang muncul dalam pelaksanaannya,
seperti kelambanan dalam pelayanan, kelaziman penggunaan perantara dalam
mengakses layanan, munculnya biaya-biaya tambahan dalam pelayanan, dan perilaku
aparat birokrasi lainnya yang bertentangan dengan norma-norma etika, bahkan yang
sangat fatal adalah kerapkali muncul sertifikat ganda sebagai produk layanan,
sehingga banyak menimbulkan masalah di dalam masyarakat.
Persoalan-persoalan patologis tersebut akan dikaji berdasarkan berbagai aspek
yang dianggap berpeluang menjadi pemicu terjadinya patologi birokrasi. Adapun
faktor-faktor tersebut, yaitu: (1) Struktur birokrasi; (2) Sumber Daya Manusia;
(3) Penggunaan Teknologi Imformasi dan (4) Lingkungan budaya.
E. Sumber Data
Penelitian lapangan yang dilakukan di wilayah Kota Makassar diarahkan untuk
memperoleh data yang berkaitan dengan patologi birokrasi dalam pelayanan publik,
yaitu pelayanan adminsitrasi pertanahan di kota Makassar. Sumber data dalam
penelitian ini adalah: (1) Informan yang dipilih secara sengaja dalam rangka
melakukan wawancara, yaitu: Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar, Para
Kepala Seksi dalam Lingkup Kantor Pertanahan Kota Makassar Camat, Lurah, dan
aparat birokrasi yang berkaitan dengan lokasi kasus yang akan didalami dalam
lingkup Kota Makassar, serta tokoh masyarakat dan masyarakat pengguna layanan
(2) Tempat dan peristiwa merupakan sumber data tambahan yang dilakukan dengan
mengamati secara langsung aktivitas-aktivitas aparat birokrasi dalam menjalankan
tugasnya yang meliputi berbagai pola hubungan, yaitu: hubungan antara pimpinan
dan staf, antara staf dengan staf dan antara pimpinan/staf dengan masyarakat. (3)
Dokumen sebagai sumber data lain yang melengkapi data utama, yaitu berupa:
peraturan perundang-undangan yang terkait, data kepegawaian, dan berbagai data
lain yang dapat dijadikan sebagai bahan analisis.
Menurut Yin, dalam studi kasus terdapat enam sumber bukti yang dapat
dijadikan sebagai fokus bagi pengumpulan data yaitu dokumen, rekaman arsip,
wawancara, observasi langsung, observasi peran serta, dan perangkat fisik (Yin
2008: 103). Keenam sumber bukti ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga sumber
data yaitu dokumen dan rekaman arsip dikelompokkan ke dalam sumber dokumen,
wawancara bersumber dari orang/informan, dan observasi langsung, observasi peran
serta dan perangkat fisik dikelompokkan ke dalam sumber observasi. Berkenaan
dengan penelitian ini data akan dihimpun dari sumber dokumen, rekaman arsip,
wawancara, dan observasi langsung. Semua sumber bukti ini akan ditetapkan
dengan teknik purposive sampling yaitu sumber-sumber yang datanya dapat
digunakan untuk menjelaskan fokus penelitian
Sumber-sumber data ini dikelompokkan menjadi dua yaitu sumber data primer
dan sumber data sekunder. Semua sumber data yang disebutkan sebelumnya yang
datanya berkaitan langsung dengan kasus yang diteliti dikelompokkan ke dalam
sumber data primer. Sedangkan semua sumber data yang datanya tidak berkaitan
langsung/hanya sebagai data pendukung dengan kasus yang diteliti dikelompokkan
ke dalam sumber data sekunder.
F. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik
mencatat atau merekam dari berbagai sumber, baik melalui wawancara, observasi
maupun dari dokumen yang ada pada dinas/badan/kantor yang terkait. Untuk
menghindari kelemahan dari aspek representativeness, maka data yang berhasil
dikumpulkan diverifikasi melalui wawancara dengan beberapa orang yang dianggap
mempunyai keterkaitan atau memahami substansi dari data tersebut. Jika dianggap
perlu, data temuan dibandingkan dengan data yang tersedia, sehingga keakuratan
data dapat lebih terjamin.
Pengumpulan data yang dilakukan dengan teknik wawancara mendalam
melibatkan aparatur pemerintah, yaitu: Kepala Kantor Pertanahan, Para Kepala
Seksi dalam lingkup Kantor Pertanahan Kota Makassar, Camat, Lurah, dan staf
terutama yang berkaitan dengan pelayanan administrasi pertanahan, serta tokoh
masyarakat dan masyarakat pengguna layanan. Instrumen pendukung dalam proses
wawancara antara lain pedoman wawancara, catatan wawancara, dan jika
memungkinkan menggunakan alat perekam.
Penentuan informan dilakukan secara purposive, dengan maksud untuk
memperoleh informasi sebanyak mungkin dengan tetap menjaga relevansi dengan
konteks penelitian. Seluruh hasil wawancara direkonstruksi menjadi berkas-berkas
catatan lapangan, kemudian membaca secara cermat, menyusun serta mengajukan
pertanyaan-pertanyaan analitik dalam rangka mendapatkan informasi yang lebih
baik dan mendalam serta untuk memberikan dasar bagi analisis lebih lanjut.
Penelitian lapangan dilakukan bersamaan dengan analisis selama pengumpulan
data (analysis during data collection). Pada saat penelitian berakhir, maka peneliti
melakukan analisis pasca pengumpulan data (analysis after data collection).
Sedangkan pada tahap pasca kegiatan penelitian, peneliti berkonsentrasi pada
pengolahan dan interpretasi data.
G. Teknik Analisis Data
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka metode analisis data yang digunakan
adalah kualitatif deskriptif. Melalui teknik tersebut, akan digambarkan seluruh fakta
yang diperoleh dari lapangan dengan menerapkan prosedur sebagai berikut:
analisis deskriptif kualitatif dengan mengembangkan kategori-kategori yang
relevan dengan tujuan penelitian. Penafsiran terhadap hasil analisis deskriptif
kualitatif dengan berpedoman kepada teori-teori yang sesuai.
Menurut Miles dan Huberman (1992:16), secara umum analisis data kualitatif
terdiri dari 3 (tiga) alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan masing-masing
adalah :
1. Reduksi Data
Reduksi data yaitu sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari
catatan-catatan tertulis dilapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk
analisis yang memanajemen, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang
tidak perlu dan mengoordinasi data dengan cara sedemikian rupa hingga
kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
2. Penyajian Data
Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis data adalah penyajian
data dalam bentuk sekumpulan informasi yang tersusun secara lebih sistematis
yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Dengan melihat penyajian data kita akan dapat memahami apa yang
sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan, lebih jauh menganalisis atau
mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian-
penyajian data tersebut. Data dapat disajikan dalam bentuk matriks, jaringan
grafik, bagan dan sebagainya yang mempermudah peneliti memahami pola
umum dari data atau informasi yang diperoleh.
3. Menarik Kesimpulan/Verifikasi
Pengambilan kesimpulan pada hakekatnya adalah memberi pemaknaan
dari data yang diperoleh. Untuk itu sejak pengumpulan data awal, peneliti
berusaha memaknai data yang diperoleh dengan cara mencari pola, model, tema,
hubungan persamaan, alur sebab-akibat dan hal lain yang sering muncul. Pada
awalnya kesimpulan itu masih kabur tetapi semakin lama kesimpulan akan
semakin jelas setelah dalam proses selanjutnya didukung oleh data yang semakin
banyak. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian
berlangsung. Singkatnya makna-makna yang muncul dari data harus diuji
kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya sehingga akan diperoleh satu
keyakinan mengenai kebenarannya.
H. Pengecekan Validitas Temuan
Dalam rangka menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik
pemeriksaan atau pengecekan validitas temuan. Di dalam penelitian ini, teknik yang
akan digunakan adalah; perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, dan
pemeriksaan sejawat melalui diskusi.
Perpanjangan keikutsertaan peneliti diharapkan akan meningkatkan derajat
kepercayaan data yang dikumpulkan. Sedangkan ketekunan pengamatan bermaksud
menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan
persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal
tersebut secara rinci. Untuk lebih meningkatkan keakuratan data, maka akan
dilakukan pemeriksaan sejawat melalui diskusi, yaitu dengan cara mengekspos hasil
sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan
rekan-rekan sejawat.
I. Tahap Dan Jadwal Penelitian
Tahapan Kegiatan Penelitian
2012 2013
Jan Peb Mart
Aprl Mei Juni Juli Agst Sep Okt Nov Des Jan Peb Mart Aprl Mei
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17Penulisan Proposal dan bimbinganSeminar ProposalPersiapan lapanganPenelitian lapangan dan penulisan drafKonsultasi Seminar HasilPerbaikan Ujian TutupPromosi
DAFTAR PUSTAKA
Albrow, Martin,1989. Birokrasi.Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Andrianto, Nico. 2007. Good E-Government: Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui E.Governement. Malang: Bayu Media Publishing.
Armstrong, Michael and Angela Baron. 1998. Performance Management the New Realities, Institute of Personnel and Development, London.
Arep, Ishak dan Hendri Tanjung. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti.
Bellion, Carl J.,1980. Organization Theory and The New Public Administration. Boston, Massachusetts: Allyn and Bacon Inc.
Bertens, K., 1993. Etika. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Bethan David, 1990. Birokrasi, Bumi Aksara, Jakarta
Bevir, Mark (editor), 2007. Encyclopedia of Governance, SAGE Publication, Thousand Oaks-London-New Delhi.
Blau Peter M dan Marshall W. Meyer, 2000. Birokrasi Dalam Masyarakat Modern, Penerbit Prestasi Pustakaraya, Jakarta.
Blumberg, M. dan Charles D.Pringgle. 1992. The Missing Opportunities of Organizational Research : Some Implications for a theory of work performance. Academy of Management Review, Vol. 7, No. 4.
Bouckaert, G., Verhoest, K. and Verschuere, B., 2003, Public Management and Governance: An Introductory Text, London: Routledge.
Bryant, Caroline., dan Louise G White. 1989. Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang, LP3ES, Jakarta.
Caiden,G.E, 1991. Administrative Reforms Comes of Age, New York, Walter de Gruyter.
Caiden, G.E., 1991. “What Really is Public Administration?” dalam Public Admnistration Review, Vol.51, No. 6.
Chandler Ralph C. and and Plano Jack, C. 1982. The Public Administration Dictionary, John Wiley & Sons, New York, Brisbane,
Crouch, Harold, “Patrimonialism and Military Rule in Indonesia,” dalam World Politics, Vol. 31, 1989.
Cooper,P.J. 1998. Public Administration for the Twenty-first Century. Orlando, Florida, : Harcourt Brace.
Davis, Keith dan John W. Newstrom. 1985. Perilaku dalam Organisasi, Penerbit Erlangga
Denhardt Robert B. dan Denhardt Janet V. 2006. Public Administration: An Action Overview, Fifth Edition.
---------------, 2003. The New Public Service Serving, not Steering, M.E. Sharpe,
Armonk New York, London England.
Denzin, Norman K., & Lincoln, Yvonna S., 2009. Handbook Of Qualitative Research., Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Dessler, Gary. 2000. Human Resource Management. New Jersey 07458, Prentice Hall Inc.
Denhardt Robert, B. and Janet V. Denhardt. 2006. Public Administration:An Action Overview, Fisth Edition, Thomson Wadsworth, United States of America.
Derhart Janet V. dan Robert B. Denhart, 2007. The New Public Service – Serving, Not Steering, Expanded Edition, M.F. Sharpe, Armonk, New York, London, England
Donovan, F. & A.C. Jackson. 1991. Managing Human Service Organization. New York, N.Y. Prentice Hall.
Dwiyanto Agus, dkk. 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.
---------------, 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Seri Kajian Birokrasi: Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Dwiyanto Agus (editor), 2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
---------------, 2010. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
---------------, 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Dwiyanto, Agus, dkk., 2008. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Eisanstadt, S.N, 1973. Traditional Patrimonialism and Modern Neopatrimonialism. California: Sage Publications.
Farazmand, Ali (ed). 2009. Bureaucracy and Administration, New York: Taylor & Francis Geou
Fink, Hans, 2003. Filsafat Sosial Dari Feodalisme Hingga Pasar Bebas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Frederickson, George H., (terjmh), 1987. Administrasi Negara Baru. Jakarta: LP3ES.
Frederickson, George H., 1977. Spirit of Public Administration. Jossey Bas Public Administration Series. Alabama.
Frederickson, George, H., dan Kevin B. Smith, 2003. The Public Administration Theory Primer. Westview Press.
Gareth R. Jones, 2007. Organizational Theory, Design and Change. New Jessey : Pearson Prentice Hall.
Gerlof,E.A. 1985. Organizational Theory and Design: A Strategi Aproach For Management. Singapura:McGraw-Hill.
Golembbiewski, Robert T. 2003. Ironies in Organization Development , New York: Marcell Dekker.
Gruber, J>E. (1988). Controlling Bureaucracies: Dilemmas in Democratic Governance. Berkeley: University of California Press.
Hardiman, Budi F. 2009. Demokrasi Deliberatif – Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jürgen Hubermas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Harmon, M.M, 1995. Responsibility as Paradox: A Critique of Rational Discourse on Gornment. London Sage Publications.
Haryatmoko, 2011. Etika Publik : Untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi. Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hasibuan, Malayu SP. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi. Jakarta :Penerbit Bumi Aksara.
Hatch,M.J. 1997. Organization Theory Modern, Symbolic, and Post Modern Perspective Oxford Univ. Press.
Hatch Mary Jo dengan Cunliffe Ann, L. 2006. Organization Theory, Modern, Syimbolic, and Postmodern Perspectives, Second Edition, Oxford University Press.
Henry Nicholas, 1995. Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Publik, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Heselbein, Prances, Marshal Goldsmith dan Richard Beckhard. 2001. Organisasi Masa Depan (terjemahan). Jakarta: PT. Elex Media Komputelindo.
Hidayat, Syarif, 2007. Too Much Too Soon: Local State Elite’s Perspective On and The Puzzle Of Contemporarry Indonesian Regional Autonomy Policy. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Hood, Christopher, 1995/ “The New Public Management’ in the 1980s: Variations on the theme” , Accounting, Organization and Society. Volume 20 Number 2/3.
Huberts, Maesschalek & Jurkiewicz, (ed.), 2008. Ethics and Integrity of Governance: Perspectives Actors Frontiers. Edward Elgar, Cheltenham, UK- Northampton, MA, USA.
Hughest, K, Eds. The Future of UK Compettitiveness and Role of Industrial Policy. London :Policy Studies Institute
Hutagalung, Arie Sukanti dan Gunawan, Markus, 2008. Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan. jJakarta: RajaGrafindo Persada.
Irmawati. 2004. Peranan Goal Setting Dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Kerja Karyawan. Medan: Digitized by USU.
Istianto, Bambang.2011. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Ivancevich, M.John. 2007. Perilaku dan Manajemen Organisasi (Jilid 2). Jakarta: Erlangga.
Jabbra, G.Joseph dan O. P. Dwivedi, 1988. Public Service Accountability: A Comparative Perspective, Kumarian Press Inc.
Jackson, Karl D., Bureaucratic Polity A Theoritical framework For The Analysis of Power and Communication in Indonesia, Berkeley: University of California, 1988.
Jones, Greath R., 2007. Organizational Theory, Design, and Change, Fifth Edition, Pearson Prentice Hall.
Kane, Kimberly ,F. 1993. Situational Faktors and Performance: An Overview . Dalam Human Resources Management Review, Vol.3 No.2.
Kaloh, J. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: Rineka Cipta.
Keban, T. Yeremias, 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep Teori dan Isu. Yogyakarta: Gaya Media.
Kettl, Donald, F., 2002. The Transformation of Governance : Public Administration for Twenty –First Century America. Baltimore and London: The John Hopkins University Press.
Kumorotomo, Wahyudi, 2002. Etika Administrasi Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Kusdi, 2009.Teori Organisasi dan Administrasi. Jakarta: Salemba Humanika
------, 2011. Budaya Organisasi: Teori, Penelitian, dan Praktek. Jakarta: Salemba Empat.
LeMay, C. Michael, 2006. Public Administration : Clashing Values in the Administration of Public Policy.Thomson Wadsworth.
Lipsky, Michael, 1980. Street Level Bureaucracy; Dilemas of The Individual in Public Service. Russel Sage Foundation, New York.
Mangkunegara, Prabu, Anwar. 2008. Perilaku dan Budaya Organisasi. Bandung: Reflika Aditama.
Menzel, Donal C., 2007. Ethics management For Public Administration; Building Organization of Integrity. ME. Sharpe, Inc. Anmork, New York.
Miles, Mathew B., dan Huberman, A. Michael, 1992. Analisisi Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Penerjemah: Tjetjep Rohendi Rohidi, Jakarta: University Press.
Moleong, Lexy J., 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Monsod, T.C., 2008.The Philippine Bureaucracy: Incentive Structures and implications for Performance. Human Development Network (HDN) Discussion Paper Series, No.4.
Morgan, G, 1986. Images Of Organization. Beverly Hils, Ca: Sage Puvlications.
Muhammad, Fadel. 2008. Reiventing Local Government: Pengalaman Dari Daerah. Jakarta: PT. Elex Komputindo.
Mulder, N. 1985. Pribadi dan Masyarakat Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Muluk,, Khairul, 2006. Desentralisasi Pemerintahan Daerah. Malang: Bayumedia Publishing & Center For Indonesian Reform.
Nasucha, Chaizi, 2004. Reformasi Administrasi Publik: Teori dan Praktek. Jakarta: Grasindo.
Nawawi, Ismail, 2009. Perilaku Administrasi: Kajian, Teori, dan Pengantar Praktek. Surabaya: ITSPress.
Nurmandi, Achmad, 2010. Manajemen Pelayanan Publik. Yogyakarta: Sinergi Visi Utama.
Osborne, D. and Gaebler, T. 1993. Reinventing Governent: How the Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sektor New York : Plume.
Osborne, D. and Plastrik, P., 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reiventing Government. Addison-Wesley, reading, MA. .
Permana, Surya, 2008. Kebijakan Publik: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Pollit, Christopher. 1993. Managerialism and Public Service The Ango-American Experience 2end Edition: Oxford University Press.
Pramusinto, Agus & Kumorotomo. 2009. Governance Reform di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik yang demokratis dan Birokrasi yang Professional. Yogyakarta: Gaya Media
Pramusinto dan Purwanto (ed), 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Gaya Media.
Pye,L.W. 1978. “Participation and Authority”, dalam Verba,S. & Pye (ed). The Citizen and Politics: A Comparative. Standford: Grey Look Ltd.
Rakhmat, 2009. Teori Administrasi dan Manajemen Publik. Tangerang-Banten: Pustaka Arif.
Ripley, R.B & Frranklin, G.A. (1986). Policy Implementation and Bureaucracy. Chicago : The Dosey Press.
Robbins, P.Stephen, 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Jakarta: Arcan.
---------------, 2003. Perilaku Organisasi, (Jilid 1 dan 2). Jakarta : PT. Indeks Kelompok Gramedia.
Rosenbloom, David H. & Kravchuk, Robert. S. 2005. Public Administration Understanding Management, Politics and Law in the Public Sector. USA: Mc.Graw Hill.
Ruky, Ahmad.S. 2001. Sistem manajemen Kinerja. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ryavec, Karl W., 2003. Russian Bureaucracy Power and Pathology. Rowman & Littlefield Publisher, Inc. Lanham-Boulder-New York—Toronto-Oxford.
Sampford, Charles & Preston, Noel, (ed), 1998. Public Sektor Ethics. The Federation Press/ Routledge.
Sangkala, 2007. Knowledge Management: Suatu Pengantar Memahami Bagaimana Organisasi Mengelola Pengetahuan sehingga Menjadi Organisasi yang Unggul, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Sangkala 2010. Perubahan Paradigma Administrasi Negara dan Implikasinya Terhadap Karakter dan Desain Birokrasi Dalam Pelayanan Publik, Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Manajemen Publik, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Santoso, Urip, 2005. Hukum Agraria dan hak-Hak Atas tanah. Jakarta: Kencana.
Sedarmayanti, 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia: Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Bandung: Aditama.
-----------------, 2010. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik. Bandung: Aditama.
Shafritz, Jay M. dan Ott, J. Steven, 1987. Classics of Organization Theory, Second Edition, Brooks/Cole Publishing Company Pasific Grove, California.
Shafritz, Jay M. ed., 2000. Defining Public Administration Selections from the International Encyclopedia of Public Policy and Administration, Westview, A Mamber of the Perseus Books Group.
Shafritz, Jay M., Hyde, Albert, C. Parkes, Sandra, J. 2004 . Classics of Public Administration, Fifth Edition, Thomson.
Siagian, Sondang P. 1994. Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi, dan Terapinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Siagian, P. Sondang, 2000. Administrasi Penbangunan. Jakarta: Bumi Aksara.
Sigit, Soehardi. 2003. Perilaku Organisasional (Esensi). Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.
Sinambella, Poltak, Lijan, 2006. Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Sjamsuddin, Sjamsiar, 2005. Kepemerintahan & Kemitraan. Malang: Yayasan Pembangunan Nasional & CV. Sofa Mandiri.
Smith, B.C, 1985. Dezentralization: The teritorial Dimension of the State . London : George Allen & Urwin.
Sobhan, Syafuan Rozi, 2000, Masalah Birokrasi di Indonesia. Jurnal Transparansi, Edisi 18 Maret 2000.
Steer, M. Richard, 1977. Organizational Effectiveness A Behavioral View. Santa Monica,, California: Goodyear Publishing Inc.
Stinger, Robert. 2002. Leadership and Organizational Climate: The Cloud Chamber Effect. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
Subiyanto, Ibnu. 2002. Peluang dan Tantangan Peningkatan Pelayanan Kepada Masyarakat di Era Desentralisasi, Jakarta: Bappenas.
Sukidin dan Damai Darmadi., Administrasi Publik. Yogyakarta: LaksBang Pressindo.
Sulistiyani, Ambar T. (ed), 2011. Memahami Good Governance Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Gaya Media.
Sumihardjo, Tumar, 2008. Penyelenggaaan Pemerintahan Daerah Melalui Pengembangan Daya Saing Berbasis Potensi Daerah. Bandung: Fokusmedia.
Thoha, Miftah. 2002. Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: PT, RajaGrafindo Persada.
----------------.2002. Perspektif Perilaku Birokrasi (Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Jilid II. Jakarta: PT Rajagrafindo persada.
----------------,2005. Birokrasi Politik di Indonesia. Jakarta :PT. RajaGrafindo Persada.
----------------,2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Jakarta: Kencana.
----------------, 2008. Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
----------------, 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Travers, Max, 2007. The New Bureaucracy: Quality Assurance and Its Critics. The Policy Press University of Bristol UK.
Vroom, V., 1964. Work and Motivation. New York: Wiley.
Waters, Malcolm, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications, London, Thousand Oaks, New Delhi.
Weber, Max, (terjmh), 2009. Sosilogi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widaningrum, Ambar, 2009. Reformasi Manajemen Pelayanan Kesehatan, dalam Pramusinto dan Purwanto (ed). Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan Publik: Kajian tentang pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Yogyakarta; Gaya Media.
Wilson, James Q.,1989. Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do It. Basic Book. United State Of America.
Winardi, J. 2004. Manajemen Perilaku Organisasi, (Edisi Revisi). Jakarta : Penerbit Kencana.
--------------. 2004. Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Yin, Robert, K. 1996. Studi Kasus :Desain dan Metode. Jakarta: RajaGrafindo.
Publikasi Khusus dan Dokumen
Baharuddin, 2010, Signifikansi Kompetensi dan Komitmen Pimpinan terhadap Kinerja Aparatur Pelayanan Publik (Studi Pada Kantor Badan Pertanahan Kota Makassar, Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa), Disertasi pada Pascasarjana Unhas, Makassar.
Paris, A. Yuliani, 2007. Etika Aparatur Pemerintah Dalam Pelayanan Publik
(Kasus Badan Pertanahan DKI Jakarta, Disertasi pada Pascasarjana Unhas, Makassar.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Pelayan Publik dan Penyelenggara Pelayanan Publik Di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.