proposal bambang.docx

56
1.1. Latar Belakang Bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Keberagaman dan kekhasan budaya dari setiap suku bangsa merupakan aset yang tidak terhitung jumlahnya. Warisan budaya (cultural heritage) merupakan bagian dari keberagaman dan kekhasan yang dimiliki setiap suku bangsa di Indonesia. Warisan budaya dapat pula ditafsirkan sebagai bagian inti dari jati diri suatu bangsa. Dengan kata lain, martabat suatu bangsa ditentukan oleh kebudayaannya yang mencakup unsur-unsur yang ada di dalamnya. Warisan budaya adalah kekayaan bangsa Indonesia yang harus kita pelihara dan kembangkan. Warisan budaya yang kita miliki bersama ini sangat bernilai sosial dan ekonomi. Kita tidak pernah memikirkan bahwa sebetulnya khazanah budaya, baik yang berbentuk artefak-kebendaan (tangible) maupun yang non-kebendaan (intangible), sesungguhnya menyimpan potensi luar biasa untuk dikembangkan (Sedyawati, 2003: xi—xiii). Menurut Schiffer, sumberdaya budaya selalu akan mengalami proses didapat, dibuat, dan dipakai sesuai dengan tujuan pembuatannya. Semua kegiatan itu berada pada konteks sistem. Artinya, sumberdaya budaya itu masih berada dan berfungsi di tengah masyarakat. Dalam konteks sistem, sumberdaya budaya dapat dipakai berulang-ulang sesuai fungsi semula (reuse) atau dapat mengalami daur ulang melalui proses pembuatan kembali menjadi sesuatu yang baru. Namun, ada pula sumberdaya budaya yang dianggap sudah tidak diperlukan lagi lalu dibuang, ditinggalkan

Upload: hendrickjhon

Post on 16-Sep-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1.1. Latar Belakang

Bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Keberagaman dan kekhasan budaya dari setiap suku bangsa merupakan aset yang tidak terhitung jumlahnya. Warisan budaya (cultural heritage) merupakan bagian dari keberagaman dan kekhasan yang dimiliki setiap suku bangsa di Indonesia. Warisan budaya dapat pula ditafsirkan sebagai bagian inti dari jati diri suatu bangsa. Dengan kata lain, martabat suatu bangsa ditentukan oleh kebudayaannya yang mencakup unsur-unsur yang ada di dalamnya. Warisan budaya adalah kekayaan bangsa Indonesia yang harus kita pelihara dan kembangkan. Warisan budaya yang kita miliki bersama ini sangat bernilai sosial dan ekonomi. Kita tidak pernah memikirkan bahwa sebetulnya khazanah budaya, baik yang berbentuk artefak-kebendaan (tangible) maupun yang non-kebendaan (intangible), sesungguhnya menyimpan potensi luar biasa untuk dikembangkan (Sedyawati, 2003: xixiii).Menurut Schiffer, sumberdaya budaya selalu akan mengalami proses didapat, dibuat, dan dipakai sesuai dengan tujuan pembuatannya. Semua kegiatan itu berada pada konteks sistem. Artinya, sumberdaya budaya itu masih berada dan berfungsi di tengah masyarakat. Dalam konteks sistem, sumberdaya budaya dapat dipakai berulang-ulang sesuai fungsi semula (reuse) atau dapat mengalami daur ulang melalui proses pembuatan kembali menjadi sesuatu yang baru. Namun, ada pula sumberdaya budaya yang dianggap sudah tidak diperlukan lagi lalu dibuang, ditinggalkan atau hilang, sehingga masuk ke dalam konteks arkeologis. Sumberdaya budaya yang sudah masuk ke konteks arkeologi dapat saja kemudian punah. Sebaliknya, sumberdaya itu juga dapat difungsikan lagi dengan dimasukkan kembali pada konteks sistem, melalui reklamasi atau di sini lebih populer disebut revitalisasi. Dalam proses itu, sumberdaya budaya dapat langsung digunakan seperti semula (reuse) atau dapat pula didaur ulang (recycle) sebelum dapat dimanfaatkan. Melalui kerangka Schiffer ini, dapat dipahami bahwa hakekat pengelolaan sumberdaya budaya adalah melestarikan sumberdaya budaya agar tetap ada dalam konteks sistem dan berguna bagi kehidupan masyarakat sekarang. Untuk itu, seringkali sumberdaya budaya itu harus melalui proses daur ulang dan reklamasi. Dengan kata lain, pengelolaan sumberdaya budaya adalah upaya untuk memberi makna baru bagi sumberdaya budaya itu. Karena itu, jika tidak ada makna baru yang dapat dirasakan masyarakat masa kini, upaya pengelolaan itu akan terasa sulit atau bahkan tidak akan mencapai sasaran.Menurut Hodder,1999; Cleere,1990; Little,2002, bahwa warisan budaya tidak hanya memiliki publik yang tunggal tetapi jamak. Masing-masing pihak merasa punya kepentingan dan ingin mengambil manfaat dari warisan budaya. Hal ini tentu saja wajar, karena warisan budaya memang dapat memiliki nilai penting yang berbeda bagi setiap pihak. Ada yang menilai pentingnya suatu warisan budaya dari segi ilmu pengetahuan (untuk pengajian dan pengujian akademik), sejarah (sebagai bukti-bukti peristiwa penting dalam kehidupan manusia), etnik (jatidiri dan latar kehidupan suatu bangsa tertentu), estetik (bukti hasil seni yang adiluhung), maupun publik, yaitu kepentingan masyarakat luas termasuk untuk pendidikan masyarakat, daya tarik wisata, serta keuntungan ekonomis.Schiffer dan Gummerman (1977:244-245) misalnya beranggapan, bahwa antara masyarakat dengan warisan budaya seringkali memiliki keterikatan batin yang kuat, sehingga warisan budaya tersebut merupakan lambang eksistensi, dan peneguhan rasa kebangsaan, bahkan simbol jati diri mereka. Jati diri adalah hakekat atau esensi. Apa yang sebenarnya ada di dalam diri baik yang positif maupun negatif dan hal itu tercermin di dalam warisan budaya. Namun informasi budaya sebagai lambang jati diri yang tersembunyi di balik warisan budaya tersebut, tidak dapat diketahui tanpa ada upaya menggali dan menemukan pengetahuan itu. Di sini letak arti penting arkeologi, sebagai satu-satunya ilmu yang mampu menerobos ke belakang ke dunia masa lalu. Membongkar masa lampau sekaligus menyajikannya untuk masyarakat sekarang merupakan kewajiban arkeolog yang mesti dilakukan.Dari keseluruhan sumberdaya budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, maka salah satunya sumberdaya arkeologi. Sumberdaya arkeologi ini juga tersebar luas hampir di seluruh wilayah Nusantara yang dapat dibanggakan, karena memiliki keanekaragaman, keunikan, serta ciri-ciri tersendiri yang membedakan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Potensi ini merupakan sesuatu yang membangggakan karena membuktikan bahwa masing-masing daerah memiliki keunggulan sebagai wujud kemampuan lokal masyarakatnya. (Mahmud, 2012: 3) .Sumberdaya arkeologi adalah bagian dari sumberdaya budaya. Pengertian sumberdaya budaya sebagai gejala fisik, baik alamiah maupun buatan manusia yang memiliki nilai penting bagi sejarah, arsitektur, arkelogi dan pengembangan budaya yang diwariskan hingga saat ini, bersifat unik dan tidak terperbaharui (non-renewable) Selain itu juga ada yang mendefinisikan sumberdaya, yaitu yang menyebutkan bahwa Cultural resources atau sumberdaya budaya adalah sesuatu yang merupakan khasanah bermakna bagi segala macam upaya berkaitan dengan kebudayaan dalam pengembangannya, perlindungannya, pemanfaatannya maupun pengkajiannya (Sedyawati,2002 dalam Mahmud, 2012:5-6). Upaya pelestarian tinggalan budaya tidak lagi semata-mata menyelamatkan bendanya, tetapi menyelamatkan nilai-nilai atau pengetahuan di balik benda tersebut. Sehingga batasan tentang tinggalan budaya menjadi tidak sekedar benda cagar budaya tetapi juga lingkungan disekitarnya yaitu bangunan, situs maupun kawasan, atau gabungan diantaranya. Sebagai rekaman dasar tentunya warisan budaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan menggali ilmu pengetahuan, sejarah, dan kebudayaan serta dapat berdampak pada bidang ekonomi dan pariwisata. Sementara itu ilmu pengetahuan sangat dibutuhkan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas tentu akan dapat memanfaatkan setiap peluang yang ada dan mengembangkannya untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat . Atas dasar inilah maka cagar budaya penting untuk dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana menjadi roh dalam Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010. Dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya disebutkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pelestarian warian budaya menjadi keharusan dan diharapkan menjadi energi baru dalam pelestarian warisan budaya yang selama ini didominasi oleh pemerintah.Pelaksanaan otonomi daerah dengan peraturannya yang terbaru yakni UU Nomor 32 Tahun 2004, semakin melebarkan peluang pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dengan diberlakukannya undang-undang otonomi daerah, maka telah terjadi pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan kabupaten/kota yang penyelenggaraannya sesuai asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Oleh karena kewenangan itu maka yang terjadi saat ini, pemerintah daerah seakan berlomba menghitung pendapatan daerah sebagai modal pembangunan. Berbagai sumberdaya dieksplorasi, dan dieksploitasi. Namun, dijumpai masih banyak daerah masih sangat menggantungkan modal pembangunan dari sumberdaya alam. Sehingga membuat laju eksploitasi sumberdaya alam kurang terkendali. Dengan mengatas namakan pembangunan, terlihat banyak kasus justru membuat sumberdaya alam semakin menipis, sebagai akibat dari laju eksploitasi kurang memperhatikan pelestariannya. Masing-masing daerah berorientasi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk memompa laju pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan dalih ini, berbagai upaya eksploitasi lingkungan dilakukan. Salah satu dampak negatif dari upaya ini, banyak kasus justru merugikan daerah sendiri, baik pemerintah maupun masyarakat, sebab laju eksploitasi lingkungan yang tak terarah dan tak terkendali.Kalkulasi pendapatan daerah, mendorong pemerintah untuk menghadirkan berbagai alternatif modal pembangunan. Salah satu alternatif itu yakni sumberdaya budaya, yang mencakup pula sumberdaya arkeologi. Meski demikian, sebenarnya sektor ini masih sangat terbatas diperbincangkan, padahal menyimpan potensi besar sebagai salah satu modal pembangunan jika dikelola dengan baik. Namun masih sedikit daerah yang memahami bahwa sumberdaya arkeologi adalah aset pembangunan. Dengan alasan dikelola sebagai modal pembangunan, tak jarang malah menghancurkannya atas nama pembangunan.Dalam pelaksanaan otonomi daerah saat ini, banyak pihak semakin serius mendorong wacana sumberdaya arkeologi sebagai modal pembangunan. Sebagai modal pembangunan, maka asset-asset budaya tersebut mesti dipertahankan keberadaannya. Berbagai sektor perlu diberdayakan secara merata, agar menutupi berbagai ketimpangan yang ada. Dewasa ini, salah satu sektor penting yang kerap kali menjadi tumpuan pembangunan adalah sektor pariwisata. Tercatat sektor ini menjadi salah satu primadona Indonesia dalam perolehan devisa negara. Oleh karena itu berbagai potensi pariwisata terus digali, dengan konsep pengelolaan yang tepat guna dan menjunjung tinggi azas kerakyatan dan berbasis pada pelestarian sumberdaya itu sendiri.Meskipun ada kecenderungan positif, sumberdaya arkeologi semakin kuat posisinya dalam ranah pembangunan, namun instrumen pengelolaannya masih sangat terbatas. Dalam konteks otonomi daerah, dimana peran dan kewenangan pemerintah daerah untuk mengembangkan daerahnya sendiri, perlu memacu diri untuk memahami bagaimana mengelola berbagai sumberdaya alternatif yang dapat menjadi modal pembangunan. Para pemangku kebijakan beserta masyarakat harus bersinergi dalam satu kesepahaman dan gerak langkah sama dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi yang berazaskan pembangunan berkelanjutan.Dengan ditetapkannya undang-undang otonomi daerah, yang banyak memberikan kebebasan para pemerintah daerah untuk melaksanakan kebijakan dengan tanpa campur tangan pemerintah pusat. Sehingga menyebabkan banyaknya daerah-daerah yang tersebar di wilayah Indonesia berbondong-bondong untuk mengembangkan potensi daerah mereka masing-masing khususnya dalam sektor pariwisata. Hal tersebut mengakibatkan adanya dampak buruk yang terjadi dalam sistem otonomi daerah khususnya sektor pariwisata. Karena banyaknya pemda yang menetapkan keputusan tanpa disertai kajian analisis yang tajam, mereka serta-merta mengalirkan dana yang tidak sedikit untuk tujuan pengembangan sebuah kawasan sebagai obyek dan daya tarik wisata. Hal tersebut dilakukan tanpa persiapan dan kajian-kajian prediksi yang matang. Sehingga banyak dari pemda akhirnya menuai kegagalan dalam usaha pengembangan kawasan tersebut.Perubahan sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik dengan adanya Undang-Undang No. 24 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 22 Undang-Undang No. 32 tahun 2004 huruf m disebutkan bahwa: Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban melestarikan nilai sosial budaya. Dengan penegasan ini, daerah berkewajiban melestarikan kebudayaan yang ada di wilayahnya, menampung aspirasi lokal bagi berkembangnya kebudayaan suku bangsa, dan sekaligus menjadi bagian dari mozaik kebudayaan nasional Indonesia. Selain itu, system pemerintahan yang baru ini membawa konsekuensi terjadinya perubahan terhadap pengelolaan dan pelestarian warisan budaya bangsa. Perubahan sistem pemerintahan tersebut menempatkan peran pemerintah yang semula merupakan operator tunggal dalam pelestarian warisan budaya, selanjutnya menjadi fasilitator, dinamisator, dan koordinator dalam pelestarian warisan budaya. Disamping itu, Otonomi daerah memberikan peluang kepada masyarakat untuk lebih berperan serta dalam upaya pelestarian warisan budaya, dengan harapan bahwa warisan budaya sebagai sumber daya budaya harus dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi kesejahteraan masyarakat . Pertimbangan tersebut menjadi salah satu dasar perubahan kebijakan pelestarian warisan budaya yang tertuang dalam Undang-Undang Cagar Budaya nomor 11 tahun 2010 (selanjutnya disebut Undang-Undang CBNo.11/2010) menggantikan Undang-Undang Benda Cagar Budaya Nomor 5 tahun 1992 (selanjutnya disebut Undang-Undang BCB No.5/1992).Indonesia harus dapat memanfaatkan setiap peluang untuk mengembangkan warisan budaya bangsa menjadi sebuah aset berharga bagi pertumbuhan sosial. Menurut, PSAP No. 07 Tahun 2010, aset bersejarah merupakan aset tetap yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah yang karena umur dan kondisinya aset tetap tersebut harus dilindungi oleh peraturan yang berlaku dari segala macam tindakan yang dapat merusak aset tetap tersebut. Kriteria umur sebuah aset untuk dapat disebut sebagai aset bersejarah adalah yang memenuhi beberapa persyaratan seperti yang telah dicantumkan dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Berusia 50 tahun atau lebih b. Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun Kriteria di atas menunjukkan bahwa aset bersejarah (heritage assets) merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari Cagar Budaya. Menurut UU No. 11 Tahun 2010, cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/ atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/ atau kebudayaan melalui proses penetapan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka aset bersejarah termasuk dalam golongan cagar budaya karena aset bersejarah memenuhi kriteria sebagai aset yang perlu dilestarikan karena memiliki nilai historis, pengetahuan, pendidikan, agama dan/ atau kebudayaan.Upaya pengelolaan warisan budaya pada masa sekarang, penting untuk memperhatikan kebermaknaan sosial (social significance) untuk masyarakat sekitarnya. Merubah fungsi masyarakat atau penduduk di sekitar situs yang semula sebagai objek menjadi subjek. Oleh sebab itu masyarakat perlu diajak menghidupkan warisan budaya di sekitarnya agar warisan budaya tersebut dapat menghidupi mereka. Masyarakat perlu dilibatkan dalam proses pengelolaan warisan budaya yang dimiliki, agar aset yang dimiliki memberikan kontribusi balik baik material maupun non material yang berguna untuk kehidupannya. Kemajemukan budaya Indonesia sangat bernilai dan berpeluang menjadi investasi besar bagi pengembangan daya saing bangsa. Hal itu akan berdampak pula pada peningkatan potensi keunggulan bangsa yang luar biasa. Dengan mengembangkan warisan budaya yang kita miliki dalam kerangka budaya industri kreatif, kita dapat menunjukkan karakteristik budaya kita, yaitu karakteristik budaya yang unik, khas, dan menarik perhatian. Hal itu merupakan salah satu manfaat yang dapat kita peroleh selain manfaat ekonomi tentunya. Dengan kata lain, warisan budaya menjadi salah satu akar dari budaya industri kreatif.Kebudayaan adalah modal dasar masyarakat untuk mengantisipasi dan mengadaptasi kebutuhan. Geertz (1973:89) menekankan: "The culture concept..., it denotes an historically transmitted pattern of meanings embodied in simbols: a system of inherited conceptions expressed in symbolic forms by means of which men: communicate, perpetuate, and develop their knowledge about and attitudes toward life". Berarti kebudayaan adalah pola pengertian atau makna menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis; sistem konsepsi-konsepsi yang diwariskan: dalam bentukbentuk simbolis yang dengan cara tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan. Simbolik yang dimaksud Geertz adalah suatu cara memberi bentuk konseptual objektif terhadap kenyataan sosial dan kejiwaan warganya.Berdasarkan pengertian di atas dapat diyakini bahwa tinggalan warisan budaya masa lampau memiliki berbagai nilai dan makna, antara lain: nilai dan makna ilmu pengetahuan, ekonomi, estetika dan asosiasi atau simbolik (Cleere, 1984 dalam Mahmud, 2012:6).Dilihat dari wujud kebudayaan, nilai-nilai itu ada pada budaya material da nada pula system budaya dan system social. Jika nilai yang tergolong pertama kasat mata pada tinggalan, nilai-nilai yang kedua dan ketiga tidak kasat mata karena sifatnya abstrak. Rekaman arkeologi memperlihat nilai-nilai abstrak itu antara lain berupa kekayaan alam pikir dan wawasan pengetahuan, kemampuan adaptasi dan kearifan .lingkungan, keuletan, keunggulan, keberanian, cita rasa keindahan, kebersamaan/gotong royong, keterbukaan dan kesiapan merespon dan mengolah pengaruh asing (Simanjuntak, 2012)Budaya materi, artefak, situs, yang dirasa oleh arkeolog mampu menggambarkan banyak arti dalam suatu kebudayaan, adalah fokus dalam analisa arkeologi. Cagar budaya, dengan potensinya secara fisik dan tangible adalah mata rantai dengan masa lampau secara luas (Zimmerman, 1998; Graham et al, 2000, Laurajane Smith, 2004 dalam Triharyantoro, 2012: 88)Menurut Akbar (2012), peninggalan arkeologi dapat menjadi sumber daya apabila punya manfaat lain selain untuk penelitian. Cleere, menyatakan sesuatu dapat dikategorikan sebagai sumber daya budaya apabila mengandung nilai informasi, nilai simbolik, nilai estetika, dan nilai ekonomi. Mengacu pada pendapat Cooper, sumber daya budaya mengandung potensi atau bermanfaat untuk: scientific research, creative arts, education, recreation and tourism, symbolic representation, legitimation of action, social solidarity and integrity, monetary and economic gain.Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010, menyebutkan bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu juga menyebutkan bahwa pelestarian cagar budaya pada masa yang akan datang menyesuaikan dengan paradigma baru yang berorientasi pada pengelolaan kawasan, peran serta masyarakat, desentralisasi pemerintahan, perkembangan serta tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat (Anonim, 2010 dalam Triharyantoro, 2012 ; 89-90). Dalam pengelolaan pelaksanaan otonomi daerahya terhadap pengelolaan cagar budaya harus ada keseimbangan antar berbagai kepentingan baik pusat, daerah, masyarakat dan lainnya (Trihayantoro, 2012: 93)Perkembangan technology of government masa kini cenderung diarahkan pada upaya pemerintah dalam membangun masyarakatnya. Sehingga diketahui adanya keterkaitan antara arkeologi dan ekonomi. Archaeological knowledge tidak hanya digunakan sebagai polical power,melainkan juga sebagai sumberdaya, bahkan akhirnya sebagai komoditi (Magetsari, 2011 dalam Rahardjo, 2012 : 116).Di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir berhembus pendekatan arkeologi publik (Public Archaeology). Pendekatan itu secara eksplisit menyatakan bahwa benda budaya harus dapat bermanfaat untuk kepentingan masyarakat banyak, bukan hanya untuk kalangan arkeolog semata. (Akbar, 2009). Menurut Kasnowihardjo (2004), arkeologi publik setidaknya mencakup tiga hal. Pertama, keberadaan sumberdaya arkeologi selalu terkait dengan kepentingan masyarakat (nilai ekonomis). Kedua, sumberdaya arkeologi penting bagi kehidupan manusia karena mengandung nilai edukatif dan rekreatif. Ketiga, sumberdaya arkeologi akan memacu munculnya ikatan emosional bagi masyarakat yang peduli akan kelestarian dan pelestariannya, dengan membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat yang bersifat nirlaba. Potensi ini dapat terwujud dalam bentuk kesenian, agama, adat istiadat, bahasa, situs, arsitektur dan termasuk didalamnya kawasan Bangunan Cagar Budaya bersejarah. Kawasan Bangunan Cagar Budaya bersejarah memiliki peran yang sangat strategis, sebagai subsistem dari ruang dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan suatu wilayah. Nilai-nilai kearifan lokal, lingkungan, sosial, ekonomi yang terdapat dalam kawasan bersejarah wilayah tersebut jika dilestarikan dan dikelola secara optimal dalam rangka pembangunan berkelanjutan akan bermanfaat bagi peningkatan kualitas lingkungan dan berkontribusi dalam menekan dampak kerusakan terutama dari penduduk yang berada disekitarnya demi kepentingan hidupnya. Sementara itu, peran pemerintah daerah yang begitu besar dalam pengelolaan sumber daya daerahnya termasuk di dalamnya sumberdaya budaya atau arkeologi diharapkan akan tetap memperhatikan kelestarian serta kemanfaatannya bagi masyarakat terutama yang berada di sekitar obyek sumber daya tersebut. Masyarakat di sekitar situs arkeologi yang dimaksud adalah masyarakat yang bermukim di sekitar situs dalam wilayah administratif desa atau pun kecamatan tergantung dari luas wilayah situs dan mereka yang memiliki interaksi dengan situs tersebut. Mereka inilah yang diberdayakan tidak terbatas dari aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, bahkan politis sesuai dengan keperluan. Schiffer dan Gummerman (1977:244-245) misalnya beranggapan, bahwa antara masyarakat dengan warisan budaya seringkali memiliki keterikatan batin yang kuat, sehingga warisan budaya tersebut merupakan lambang eksistensi, dan peneguhan rasa kebangsaan,bahkan simbol jati diri mereka (Sulistyanto, 2011).Namun dalam faktanya, seringkali terdengar kritik, bahwa masyarakat di sekitar situs arkeologi cenderung hanya sebagai objek dalam pengelolaan warisan budaya. Mereka jarang dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengambilan keputusan (Sulistyanto, 2009:78). Secara konkrit, pemikiran tersebut dapat dijelaskan, bahwa masyarakat di sekitar situs tidak dapat diabaikan dalam segala kegiatan yang menyangkut keberadaan dan keberlangsungan warisan budaya disekitarnya. Sementara itu, mereka sebenarnya memiliki kearifan atau potensi sosial, budaya, politik, maupun ekonomi yang dapat dikembangkan untuk pelestarian warisan budaya. Potensi tersebut jika dikelola dengan benar bukan tidak mungkin akan mampu menumbuhkan ketergantungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualistis) antara situs dan masyarakat di sekitarnya. Ketergantungan tersebut diharapkan mampu menunjukkan korelasi positif atau hubungan timbal balik yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak, yaitu pihak pemerintah selaku pengelola yang bertanggung jawab terhadap pelestarian situs dan pihak masyarakat lokal, selaku pemilik warisan budaya. Pada umumnya, permasalahan masyarakat di wilayah cagar budaya adalah benturan kepentingan terhadap pemanfaatan sumber daya arkeologi. Benturan atau konflik kepentingan tersebut, biasanya disebabkan oleh perbedaan dalam memaknai warisan budaya, di samping beberapa faktor pendukung lainnya di setiap situs, karena setiap daerah memiliki permasalahan yang berbeda (Sulistyanto, 2006:17).Masyarakat pada hakekatnya merupakan pemilik sah atas warisan budaya (Groube, 1985: 58; Schaafsma, 1989: 38; Layton, 1989:1 dalam Tanudirjo, 1993/1994: 11-12). Sementara itu, mereka sebenarnya memiliki kearifan atau potensi sosial, budaya, politik, maupun ekonomi yang dapat dikembangkan untuk pelestarian warisan budaya. Masyarakat akan diuntungkan dengan adanya pemanfaatan situs yang mengarah pada kepentingan ekonomis, sebagai objek pariwisata misalnya keterlibatan mereka dalam aktivitas kepariwisataan secara langsung, akan dapat mendatangkan pendapatan tambahan atau pendapatan utama yang mampu meningkatkan perekonomian mereka. Melalui pemberdayaan, masyarakat akan memiliki keyakinan yang lebih besar akan kemampuan dirinya, paling tidak kemampuan mengapresiasi dan mengaktualisasikan warisan budaya yang dijaganya kepada wisatawan pengunjung situs. Pemberdayaan atau empowerment bukan hanya bertujuan membantu masyarakat lokal di sekitar situs, tetapi memiliki makna lebih, yakni merupakan pertanggungjawaban sosial arkeologi terhadap masyarakat yang terkena dampak akibat pengembangan yang dicanangkan terhadap suatu situs yang dikelolanya (Sulistyanto, 2008: 28).Dengan demikian, program pemberdayaan tidak hanya bersifat fisik, melainkan dapat diwujudkan dalam berbagai aspek seperti hukum, sosial-budaya, atau ekonomi, sesuai dengan problem yang mereka hadapi. Pemberdayaan dalam bidang ekonomi merupakan pemberdayaan yang secara langsung paling cepat dan konkrit dirasakan hasilnya oleh masyarakat di sekitar situs. Namun demikian pemberdayaan yang menyentuh aspek ekonomi ini harus dilakukan dengan hati-hati, agar masyarakat tidak selalu mengantungkan pada pihak lain, yang pada akhirnya justru melemahkan masyarakat itu sendiri. Program pemberdayaan masyarakat di sekitar situs akan lebih berhasil, apabila disesuaikan dengan kemampuan dan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Oleh karena itu, pemetaan potensi masyarakat di sekitar situs merupakan keharusan untuk dipahami.Obyek sumber daya arkeologi atau budaya tersebut merupakan bagian dari sarana untuk pengembangan kesejahteraan masyarakatnya melalui kegiatan industri dengan memanfaatkan obyek tinggalan arkeologis ataupun budaya sebagai modal dasar pertumbuhan perekonomian masyarakat setempat. Dengan kata lain pemerintah daerah didalam melakukan pembangunan wilayahnya juga harus memperhatikan serta dapat menjadikan dasar sumber daya arkeologis ataupun budaya sebagai dasar pembuatan kebijakan pembangunan di wilayah. Dengan kata lain sumberdaya arkeologi atau budaya dapat diijadikan salah dasar pembangunan wilayah yang berbasis budaya lokal. Jika warisan budaya yang mereka jaga memberikan kontribusi terhadap kehidupannya, maka dengan sendirinya masyarakat akan meninggalkan kebiasaan dan nilai-nilai lama (nilai-nilai tradisional) yang merugikan atau menghambat kemajuan kehidupannya (Sulistyanto,2011).Jadi sumberdaya arkeologi pada dasarnya dapat dipergunakan sebagai modal pembangunan bangsa secara menyeluruh (Mahmud, 2012: 3). Keberadaan potensi situs dan artefak di suatu tempat/daerah merupaka milik masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu masyarakat local dengan sendirinya memiliki hak untuk mengintepretasikan, memelihara dan mengelola sumberdaya arkeologi yang mereka miliki (Ascherson, 2000 dalam dalam Mahmud, 2012:7) Saat ini kendala utama yang sering dijumpai di dalam mendukung pelaksanaan pembangunan serta pengembangan bidang Arkeologi adalah tidak memiliki data yang integrasi serta ketersedian data yang minim informasi terkait pengelolaan peninggalan bersejarah. Dalam penelitian ini adalah situs arkeologi serta kegiatan sosial ekonomi masyarakat disekitarnya dalam memanfaatkan situs arkeologis tersebut, sehingga perlu adanya ketersediaan database informasi terintegrasi yang lengkap dan akurat khususnya ketersediaan data yang menyangkut aspek keruangan (spatial) dan data atributnya yang akurat dan up to date. Hal tersebut akan menjadi sangat penting sebagai bahan masukan bagi pemerintah, stakeholder maupun pusat penelitian dalam rangka untuk menentukan rencana pendekatan serta strategi pengembangan sumberdaya budaya yang terintegrasi dengan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, sehingga dirasa diperlukan penggunaan tekhnologi informasi guna mendukung pengembangan situs arkeologis sebagai bagian dari arkeologi publik dalam kehidupan masyarakat di suatu wilayah. Kehadiran teknologi informasi telah membuktikan dirinya sebagai media yang mendukung analisis serta pemenuhan kebutuhan individu atau organisasi yang selalu menitikberatkan pada efektifitas dan efisiensi. Dengan teknologi informasi, manusia dapat menjalankan aktivitas dengan mudah, selain itu juga proses penyelesaian tugasnya dilakukan dalam jangka waktu yang relatif singkat terutama didalam upaya meningkatkan kemampuan pengelolaan atau manajemen data dalam kerangka spasial atau pendekatan wilayah. Salah satu teknologi yang mendukung dan dapat mengintegrasikan data tersebut adalah Teknologi berbasis spasial dengan menggunakan alat Geographics Information System (GIS), GPS serta Remote Sensing (Worrall, Les and Derek Bond., 1997:368). Pendekatan kewilayahan diharapkan dapat mengungkapkan pola-pola pengelolaan sumberdaya budaya serta pola kegiatan ekonomi masyarakat berbasis budaya di sekitarnya. Pendekatan spasial (ruang wilayah dan geografis) ini akan sangat bermanfaat untuk memperoleh gambaran yang tepat atas kondisi dan karakerisik fisik maupun sosial ekonomi maupun budaya di wilayah penelitian (Kvamme, 1989:163). Sistem Informasi Geografis (selanjutnya disebut SIG) merupakan suatu perangkat untuk melakukan kajian-kajian spasial secara terintegrasi dengan kemudahan operasional dengan memanfaatkan data-data yang cukup kompleks baik data spasial mapun data non spasial. SIG pada umumnya diperlukan sebagai perangkat perencanaan mengingat kemampuannya menyajikan data geografis secara cepat, utuh dan terintegrasi (Kvamme, 1989:184-185). Perangkat SIG juga memungkinkan untuk melakukan pemutakhiran data, sehingga informasi yang dihasilkan dapat memberikan masukan yang cukup berarti dalam proses pengambilan keputusan/kebijaksanaan pengelolaan, perawatan pengembangan wilayah peninggalan arkeologis (Worrall, Les and Derek Bond., 1997:369). Tidak dapat disangkal bahwa adanya ruang (space) adalah merupakan prasyarat mutlak dalam analisis ekonomi dan perencanaan pembangunan pada tingkat wilayah. Terlebih lagi pada Negara yang mempunyai daerah cukup luas dan potensi geografis yang bervariasi, aspek ruang ini menjadi sangat penting sekali. Aspek ruang yang muncul dalam Analisis Ekonomi Wilayah dalam berbagai bentuk. Dalam analisisis yang bersifat mikro, unsur ruang muncul dalam bentuk analisis lokasi perusahaan atau pasar, kompetisi antar lokasi dan penentuan harga tempat, luas area pasar. Sedangkan analisis makro unsur ruang ditampilkan dalam bentuk Analisis Konsentrasi Industri, Mobilitas Regional, dan Analisis Pusat Pertumbuhan.Arsyad menjelaskan bahwa setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif membangun daerah. Pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya dan dengan menggunakan sumber daya yang ada berupaya menginventarisir potensi sumber daya ada untuk merancang dan membangun perekonomian daerah. Perbedaan kondisi daerah membawa implikasi bahwa corak pembangunan yang diterapkan berbeda pula. Total pola kebijaksanaan yang pernah diterapkan dan berhasil pada suatu daerah belum tentu memberikan manfaat yang sama bagi daerah lain. Jika akan membangun suatu daerah, kebijakan yang diambil harus sesuai dengan kondisi (masalah, kebutuhan, dan potensi) daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, penelitian yang mendalam tentang keadaan tiap daerah harus dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi yang berguna bagi penentuan perencanaan pembangunan daerah yang bersangkutan (Arsyad,1999:109).Tren yang mendominasi pengelolaan sumber daya budaya saat ini merupakan aspirasi penggunaan sumber daya tersebut dalam konteks sosial dan ekonomi dari pembangunan regional daerah. Dalam literatur akademis, hal ini merupakan tujuan untuk meningkatkan terjadinya kaitan antara peninggalan sumber daya budaya, economics recovery khususnya di wilayah pedesaan dan wilayah industry serta pengembangan competitive advantage pada pasar global. Diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan peluang bagi daerah (kabupaten dan kota) untuk menciptakan kemandirian dalamrangka membangun daerahnya dengan berpijak pada prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi danperan serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dankeanekaragaman daerah untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal. Lokal menurut pemahaman UU No. 22 Tahun 1999 adalah pada tataran mikro artinya istilah lokal untuk menyebut kawasan daerah tingkat satu/propinsi, daerah tingkat dua/ kabupaten atau kota, dan dimungkinkan lokal untuk menyebut yang lebih spesifik yaitu kecamatan dan desa. Jadi institusi lokal merupakan asosiasi komunitas setempat yang bertanggung jawab atas proses kegiatan pembangunan setempat, seperti rukun tetangga, arisan trah, kelompok pengajian, kelompok ronda dan sejenisnya dan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah setempat. Institusi lokal dalam komunitas harus dilihat sebagai suatu sistem yang saling silang menyilangdan institusi lokal telah menyediakan jaring pengaman sosial (sosial safety net) ketika komunitas lokal berada dalam situasi krisis. Kehadiran institusi lokal bukan atas kepentingan pribadi/individu tetapi atas kepentingan bersama, sehingga institusi lokal lama kelamaan menduduki posisi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Rasa saling percaya warga komunitas lokal yang digalang dan diasah melalui institusi ini semakin hari semakin didambakan sebagai modal sosial (social capital). Kan (2007) dan David et al. (2010) menunjukkan bahwa ikatan sosial tidak dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain: modal sosial memiliki sifat spasial, itu adalah lokasi-spesifik. Kami setuju dengan mereka bahwa modal sosial harus pertama kali diidentifikasi dan diakui sebagai sumber daya dari tempat tertentu. (Attanasi, 2012: 3)Fukuyama (2002) mengatakan,We cannot divorce economic life from cultural life in an era where social capital may be as important as physical capital....Kita tidak dapat memisahkan kehidupan ekonomi dari kehidupan budaya dalam era dimana modal sosial sama pentingnya dengan modal fisik. Tanpa budaya unggul (yang merupakan modal sosial), maka pembangunan fisik (ekonomi) akan berjalan lamban, oleh karena itu Modal sosial yang akan memberikan energi positif terhadap proses pembangunan itu.Modal sosial yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat di sekitar situs, ini perlu dikembangkan dalam program pemberdayaan dan dikaitkan dengan upaya pelestarian situs. Hal ini sangat dimungkinkan karena dengan modal sosial, khususnya dalam bentuk trust atau kepercayaan, masyarakat bersedia untuk bekerjasama dan menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu. Secara teoritis, masyarakat high trust akan memiliki solidaritas komunal yang sangat tinggi. Hal ini dapat berdampak, masyarakat bersedia berperilaku mengikuti aturan, sehingga dapat memperkuat kebersamaan (Fukuyama, 2002:3-6). Dalam konteks pemberdayaan, kesediaan berperilaku mengikuti aturan, inilah menjadi salah satu tujuan guna upaya pelestarian situs (Sulistyanto,2011).Dalam setiap komunitas (masyarakat disekitar situs) sudah pasti memiliki nilai-nilai, institusi-institusi, dan mekanisme sosial yang memungkinkan terjadinya hubungan sosial dan kerjasama yang dilandasi rasa saling percaya di luar ataupun di dalam kelompok sosialnya. Jalinan antara nilai-nilai, institusi-institusi, dan mekanisme sosial itulah yang sering disebut modal sosial. Modal sosial sangat terkait dengan organisasi sosial, ikatan atau hubungan sosial, norma ataupun kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk kepentingan bersama. Dengan demikian, modal sosial yang dimiliki (oleh masyarakat di sekitar situs), merupakan elemen penting untuk warga masyarakat untuk lebih peduli terhadap kepentingan bersama.Modal sosial dianggap sebagai satu elemen pembangun dalam penciptaan dan perawatan kemakmuran ekonomi (Fukuyama, 1995), pembangunan regional (Grootaert & Bastelaer, 2002) aksi kebersamaan (Burt, 1992) dan pemerintahan demokratis (Putnam, 1993; 2000). Modal Sosial, secara nyata merupakan energi bagi pembangunan. Sebagai energi, Modal Sosial akan efektif memberikan dorongan keberhasilan bagi berbagai kebijakan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta. Pembangunan yang mengabaikan dimensi ini sebagai pendorong munculnya kekuatan masyarakat, tidak saja akan kehilangan fondasi kemasyarakatan yang kuat, tetapi juga akan mengalami stagnasi dan kesulitan untuk keluar dari berbagai krisis yang dialami. Modal sosial saat ini dipandang mempunyai peranan yang vital bagi perkembangan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Fukuyama menunjukkan hasi-hasil studi di berbagai negara bahwa modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan kerekatan hubungan alam jaringan yang lebih luas tumbuh antar sesama pelaku ekonomi. Modal sosial merupakan syarat yang harus dipenuhi bagi pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik dan stabilitas demokrasi. pentingnya dimensi kultural dan pendayagunaan peran lembaga-lembaga yang tumbuh dalam masyarakat untuk mempercepat dan mengoptimalkan proses-proses pembangunan seperti pembangunan regional. Pembangunan regional pada dasarnya adalah berkenaan dengan tingkat dan perubahan selama kurun waktu tertentu suatu set (gugus) variabel-variabel, seperti produksi, penduduk, angkatan kerja, rasio modal tenaga, dan imbalan bagi faktor (factor returns) dalam daerah di batasi secara jelas. Laju pertumbuhan dari daerah-daerah biasanya di ukur menurut output atau tingkat pendapatan. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang melibatkan pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, dan transformasi pengetahuan (Adisasmita 2005 dalam Manik, 2009 : 32). Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999 : 108). Pada dasarnya kebijakan pembangunan regional merupakan suatu keputusan dan intervensi pemerintah, baik ditinjau secara nasional maupun regional yang bertujuan untuk mendorong proses pembangunan daerah secara keseluruhan. Hal ini sangatlah penting artinya dalam upaya untuk menerapkan teori dan konsep guna mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, penanggulangan kemiskinan serta meningkatkan penyediaan lapangan kerja pada wilayah yang masih terbelakang. Semua ini diperlukan untuk dapat meningkatkan proses pembangunan daerah serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masalah pokok dalam pembangunan regional adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi dalam skala regional maupun nasional. Pembangunan regional adalah bagian yang integral dalam pembangunan nasional. Karena itu diharapkan bahwa hasil pembangunan akan dapat terdistribusi dan teralokasi ke tingkat regional. Untuk mencapai keseimbangan regional terutama dalam perkembangan ekonominya maka diperlukan beberapa kebijaksanaan dan program pembangunan daerah yang mengacu pada kebijaksanaan regionalisasi atau perwilayahanPertumbuhan ekonomi yang meningkat dewasa ini ternyata belum mampu mensejahterakan rakyat. Sebagai mana dirilis BPS tahun 2010, Badan Pusat Statistik telah mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia terakhir ini meningkat. Sebut saja pertumbuhan ekonomi tahun 2010 sebesar 6,1 persen. Akan tetapi beberapa daerah di Indonesia, daya beli masyarakat masih rendah, sehingga kemiskinan akan sulit teratasi. Namun kesulitan itu sebetulnya akan terasa ringan, bahkan kemungkinan dapat dielakkan, manakala modal sosial kita sebagai warga negara dapat dikuatkan. Sehingga Fukuyama menjelaskan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi yang terjadi di berbagai belahan bumi, terutama di negara-negara berkembang Asia, Afrika, dan Amerika Latin, determinan utamanya adalah tidak berfungsinya komponen-komponen modal social yang idealnya tumbuh di tengah masyarakat sebagai penopang kekuatan.Untuk itulah modal sosial ini harus terus dijaga, agar berbagai macam apapun krisis akan bisa kita hadapi. Indikator dalam kekuatan pertumbuhan dalam kehidupan masyarakat ada tiga aspek yang perlu dibangun dalam meningkatkan pendapatan dan mengurangi pengeluaran masyarakat.Pertama, peningkatan kapasitas dan sumberdaya manusia.Kedua,peningkatan perluasan dan kesempatan kerja.Ketiga,tersedianya perlindungan sosial.Indonesia memiliki potensi kekayaan seni budaya yang beragam sebagai fondasi tumbuhnya industri kreatif. Peninggalan arkeologi yang banyak terdapat di suatu wilayah bisa menjadi sumber inspirasi untuk membangkitkan kreativitas para seniman dan masyarakat sekitarnya dalam menghasilkan karya seni bertema etnik. Keragaman budaya itu sendiri sebagai bahan baku industri kreatif, munculnya aneka ragam kerajinan dan berbagai produk Indonesia, memunculkan juga berbagai bakat (talent) dari masyarakat Indonesia di bidang industri kreatif. Peninggalan arkeologi yang ada tersebut dapat menjadi inspirasi untuk membuat cendera mata khas suatu daerah yang tidak hanya bernilai budaya, tapi juga menguntungkan karena bisa dikomersialkan, sebagai contoh beberapa kekayaan budaya dari masa lalu yang hingga kini masih dijumpai, seperti corak dan motif hiasan kuno, patung-patung, dan ukiran bisa menjadi tema berbagai bentuk kerajinan maupun kesenian setelah dimodifikasi. Semakin pentingnya peran ekonomi kreatif dalam perekonomian nasional serta karakteristik Indonesia yang terkenal dengan keragaman sosio-budaya yang tersebar di seluruh pelosok nusantara tentunya dapat menjadi sumber inspirasi yang tidak pernah kering dalam melakukan pengembangan industri kreatif. Indonesia perlu terus mengembangkan industri kreatif. Alasannya, industri kreatif memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan. Selain itu, industri kreatif menciptakan iklim bisnis yang positif dan membangun citra serta identitas bangsa.John Howkins mendefinisikan ekonomi kreatif sebagai ekonomi yang menjadikan kreativitas, budaya, warisan budaya, dan lingkungan sebagai tumpuan masa depan. Konsep ekonomi kreatif itu kemudian dikembangkan oleh ekonom Richard Florida (2001) dari Amerika Serikat. Dalam buku The Rise of Creative Class dan Cities and Creative Class, Florida mengulas tentang industri kreatif di masyarakat. Menurutnya, manusia pada dasarnya adalah kreatif, apakah ia seorang pekerja di pabrik kacamata atau seorang remaja di gang senggol yang sedang membuat musik hip-hop. Namun perbedaannya ada pada statusnya, karena ada individu-individu yang secara khusus menekuni di bidang kreatif dan mendapatkan kemanfaatan ekonomi secara langsung dari aktivitas yang dilakukan.Pemerintah Indonesia telah mencanangkan pembangunan ekonomi kreatif berwawasan budaya. Pengembangan ekonomi kreatif diharapkan mampu menciptakan daya saing baru bagi masyarakat. Produk ekonomi kreatif lebih menonjolkan pada gagasan atau ide, yang sulit ditiru seperti produk pabrik. Jika dikelola dengan baik kontribusinya pada produk domestik bruto akan terus naik. Karenanya jika pengembangannya berhasil, maka daya saing ekonomi masyarakat otomatis naik. Ekonomi kreatif tidak bisa dilihat dalam konteks ekonomi saja, tetapi juga dari dimensi budaya. Ide-ide kreatif yang muncul adalah produk budaya. Karenanya strategi kebudayaan sangat menentukan arah perkembangan ekonomi kreatif.Kebudayaan materi yang diciptakan manusia kapan dan di mana pun pada hakekatnya merupakan representasi yang paling dapat dipercaya yang dapat diperoleh peneliti tentang nilai dan makna yang ada dalam masyarakat (Magetsari). Keragaman budaya tersebut menandakan tingginya kreatifitas yang telah tertanam dalam masyarakat Indonesia yang mencirikan keahlian spesifik dan talenta yang dimiliki. Keragaman budaya tersebut didukung pula oleh keragaman etnis dalam masyarakat Indonesia. Keragaman tersebut dapat hidup berdampingan karena tingginya toleransi yang dimiliki. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa Indonesia memiliki faktor pendukung yang powerfull dalam melakukan pengembangan ekonomi kreatif.Ekonomi kreatif berkembang tidak hanya terbatas pada produk barang dan jasa, tetapi juga pada produk seni budaya dan usaha kerajinan (seperti seni pertunujkkan, seni lukis, seni patung, seni desain dan kraesi seni lainnya). Produk ini sangat dinamis serta bernilai ekonomi dan komersial (Suryana, 2013: 5). Ekonomi kreatif telah menjadi kekuatan baru pada abad ini dan merupakan mesin pendorong pertumbuhan ekonomi suatu Negara karena dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, mendorong ekspor, menghasilkan devisa dan menggali potensi-potensi lokal (Suryana , 2013: 16)Kabupaten Blitar merupakan daerah yang memiliki berbagai sumber daya baik sumber daya alam maupun sumber daya budaya yang berpotensi untuk menjadi daerah yang maju serta berkembang, selain itu Kabupaten Blitar juga merupakan salah satu kawasan di Jawa Timur yang memiliki lokasi yang strategis dan penting disamping itu mempunyai perkembangan yang cukup dinamis, bila dilihat dari letaknya Kabupaten Blitar berbatasan dengan tiga kabupaten lain, yaitu kabupaten Kediri, Tulungagung dan kabupaten Malang yang memungkinkan pemasaran produk keberbagai daerah.Sejak zaman dulu dan sampai sekarang daerah Blitar merupakan daerah lintas antara Daha (Kediri) dan Tumapel (Malang) yang terdekat dan termudah hingga banyak ditempuh banyak orang. Disinilah letak arti pentingnya daerah Blitar: daerah perbatasan yang mengusai lalu lintas antara dua daerah atau wilayah kerajaan yang di zamannya saling bersaing, ialah Panjalu dan Jenggala, kemudian Daha dan Singhasari. Tidak mustahil bahwa banyaknya prasasti-prasastidi ditemukan di daerah Blitar ini (lebih kurang 21 buah) menunjuk kearah hal itu (Soebantardjo dkk, 1976 ; 5).Suatu hal yang menarik bahwa letak prasasti raja-raja Kediri itu hampir sebagian besar terdapat di daerah Kabupaten Blitar sekarang. Memang letak pendirian prasasti itu dapat menunjukkan aktifitas politik, ekonomi serta kebudayaan masa itu (Soebantardjo dkk, 1976 ; 22).Prasasti-prasasti raja-raja Kediri itu, memuat nama desa-desa kuno di daerah Kabupaten Blitar, yang sekarang sebagian besar masih bertahan namanya seperti ketika diresmikan untuk pertama kalinya. Nama-nama itu karena perkembangan jaman kemudian berubah. Desa-desa yang memegang peranan penting semasa menjadi daerah kekuasaan Panjalu, antara lain ialah desa Pandelegan, desa Pikatan, desa Mleri, yang sekarang termasuk daerah Kecamatan Srengat. Demikian desa-desa Panumbangan, Gereng (Brumbung) Karangrejo, Talan (Gurit), Jepun. Nama-nama desa ini termasuk daerah Kecamatan Wlingi, Kesamben dan Gandusari. Penduduk di desa tersebut menunjukkan kebaktiannya kepada raja, sehingga dianugrahkan status swantantra dengan hak Sima yang turun-temurun. Daerah di sebelah selatan sungai Brantas pada masa pemerintahan kerajaan Kediri pun tampil dalam sejarah. Hal itu terbukti dengan adanya sebuah prasasti yang berhubungan dengan penduduk desa Jaring, Sumberarum Kecamatan Lodaya sekarang. Dan selama hampir 800 tahun lalu, nama desa Jaring ini tetap bertahan sampai sekarang, demikian pula letak prasasti batunya berada di tempat semula, ketika diresmikan 8 abad yang lalu (Soebantardjo dkk, 1976 ; 22-23).Pertumbuhan Blitar sebagai pusat pemerintahan mulai ada sejak awal pemerintahan raja-raja Majapahit. Sebagaimana dapat dibuktikan dalam sejarah , kerajaan Majapahit lahir setelah Raden Wijaya berhasil mengusir tentara Tartar Ku Bilai Khan pada tahun 1293 M. (Pararaton:33). Majapahit sebagai Negara baru berpusat di Trik dekat Majakerta. Di bawah pimpinan Raden wijaya sebagai raja pertama, Negara Majapahit tumbuh dengan pesat. Suatu hal yang menarik dalam hubungan sejarah daerah Blitar dari masa itu ialah adanya peninggalan bangunan suci yang terletak di desa Kotes Kecamatan Gandusari. Pada bangunan itu terdapat angka tahun 1222 Saka dan 1223 Saka. Dengan demikian bangunan tersebut berasal dari tahun 1300 M dan 1301 Masehi (Knebel, 1908 : 355). Dengan perkataan lain, bangunan itu adalah sezaman dengan pemerintahan Raja pertama Majapahit (Soebantardjo dkk, 1976 ; 34).Blitar menunjukkan sebagai wilayah yang penting pada abad XIV terlihat adanya petunjuk yang dapat memberikan keterangan tentang hal itu antara lain terdapatnya sejumlah Prasasti dari masa Abad ke XIV Masehi di daerah lembah kaki Gunung Kawi sebelah Barat. Ini menunjukkan bahwa daerah ini subur dan berpenduduk padat. Kesuburan daerah ini masih dapat dibuktikan hingga sekarang denngan adanya beberapa perkebunan. Faktor alamiah yang menguntungkan ini menyebabkan adanya kehidupan masyarakat yang makmur. Kemakmuran itu mendorong pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu singkat . Walaupun tidak terdapat catatan tentang jumlah penduduk di daerah Blitar bagian Timur ini, namun dapat diperkirakan bahwa adanya men-power maka daerah ini menjadi penting. Tersedianya tenaga manusia yang cukup besar, merupakan salah satu jaminan pengerahan pasukan secara untuk suatu tujuan pertahan maupun serangan (Soebantardjo dkk, 1976 ; 35).Selain itu, peninggalan arkeologi yang terdapat di wilayah Kabupaten Blitar tidak hanya bernilai budaya akan tetapi bisa menjadi sumber inspirasi untuk membangkitkan kreativitas dari masyarakat sekitar sehingga dapat menjadi modal social dalam menghasilkan karya seni bertema etnik yaitu dengan membuat cendera mata khas masyarakat sekitar lokasi peninggalan artkeologis tersebut sehingga dapat menguntungkan dan menjadikan kegiatan industry kreatif karena bisa dikomersialkan dan dapat menambah pendapatan secara ekonomi masyarakat sekitar. Oleh sebab itu diperlukan adanya upaya pelestarian terhadap keberadaan situs cagar budaya atau situs arkeologi dari berbagai pihak terkait, pemerintah, swasta serta seluruh lapisan masyarakat sehingga sustainable dari kegiatan pengelolaan sumber daya budaya tersebut.Pengelolaan sumberdaya budaya mempunyai dua kepentingan strategis yaitu pelestarian dan pemanfaatan. Pendapat tersebut secara nyata terlihat dalam Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1992 yaitu pada Pasal 2 yang berbunyi: Perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Dua kepentingan strategis tersebut bersumber pada pengelolaan, sementara tujuan melestarikan dan memanfaatkan bersumber pada perlindungan. Antara pengelolaan dan perlindungan keduanya tidak dapat dipisahkan. Hal ini mengingat bahwa dalam pengelolaan benda cagar budaya, di dalamnya terkandung upaya perlindungan. Demikian juga sebaliknya bahwa dalam perlindungan benda cagar budaya upaya pelestarian tidak boleh diabaikan (Haryono, 2003: 9). Pada prinsipnya, manfaat ekonomis dari sumberdaya budaya, termasuk sumber daya arkeologi dapat digalakkan dengan tanpa mengancam kelestarian sumberdaya arkeologi itu sendiri. Untuk tahap ini berbagai bentuk pembatasan, seperti sistemzonasi, merupakan hal yang jamak diterapkan di Indonesia. Pengelolaan sumberdaya budaya yang berorientasi pada kawasan dilakukan dalam rangka pelestarian sumberdaya budaya. Dalam pelaksanaannya, pengelolaan sumberdaya arkeologi dipadukan dengan sumberdaya budaya lainnya. Dengan demikian, keberadaan sumberdaya arkeologi tetap dapat dipertahankan kelestarian dan kebermanfaatannya dalam jangka waktu yang lebih lama. Hal ini mutlak dilakukan karena tinggalan arkeologi merupakan jatidiri dari suatu bangsa (Ardika, 2007).Pelestarian dipahami sebagai upaya pengelolaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, dan pengawasan pengendalian. Dengan tujuan untuk menjaga kesinambungan, keserasian dan daya dukung sebagai bagian dari perjalanan peradaban bangsa. Pelestarian diharapkan mampu menjadi indikator penguatan jatidiri bangsa, dalam rangka membangun bangsa yang lebih berkualitas. Untuk mencapai itu ada tiga aspek pokok yang menjadi prioritas, yakni pelestarian sumberdaya budaya, pengembangan lingkungan, dan pelibatan masyarakat. Sehingga melalui perspektif pengelolaan situs arkeologi/cagar budaya yang berbasis pada penataan ruang, diharapkan akan tercipta model pengelolaan sumberdaya budaya yang berorientasi kawasan.Model pengelolaan ini diharapkan dapat mengakomodasi berbagai informasi potensi sumberdaya budaya dalam satu keterpaduan dan sinerji dengan kepentingan berbagai sektor. Dengan demikian, diharapkan rekomendasi yang dihasilkan dapat menjadi solusi tidak hanya bagi masyarakat Kabupten Blitar secara khusus, namun juga bagi pihak-pihak lain pada umumnya.Lemahnya penerapan aspek legal dan kurangnya pemahaman terhadap keberadaan situs cagar budaya mengakibatkan tidak sedikit benda/kawasan atau apapun yang jelas-jelas termasuk cagar budaya, baik yang sudah ditetapkan ataupun belum dikorbankan demi pembangunan baru (modernisasi). Di sinilah terjadi konflik kepentingan antara pro dan kontra kegiatan pelestarian/pemugaran. Situasi ini masih diperburuk dengan kurangnya partisipasi dan motivasi masyarakat dalam proses pembentukan lingkungan. Untuk itu, diharapkan bahwa pelestarian sumberdaya arkeologi merupakan upaya bersama atau kolektif. Di masa mendatang, tentunya diharapkan lahirnya kondisi yang ideal dimana pelestarian sumberdaya arkeologi menjadi tugas secara bersama-sama bagi seluruh elemen masyarakat.Di samping itu program-program terkait dengan pelestarian ataupun konservasi situs arkeologi masih merupakan cost center belum menjadi profit center. Sebagai akibatnya banyak terjadi kontroversi tentang perlakuan terhadap situs cagar budaya tidak pernah berhenti dan selalu terjadi di negara kita seperti yang terjadi pada kota-kota ataupun beberapa wilayah di Indonesia. Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu Pasar Johar di Semarang hampir dibongkar dan digantikan dengan bangunanshopping mall modern. Di Jakarta, gedung cantik eks Kunstkring (1913) yang berlokasi di Menteng sekarang dikenal sebagai Gedung Imigrasi berhasil diselamatkan oleh Pemprov. DKI Jakarta. Bekas Kantor Imigrasi Jakarta Pusat ini sempat dimiliki oleh pihak swasta melalui mekanisme ruilslag (tukar guling).Ataupun sebagai akibat pemerintah daerahnya upaya mencarai sumber dana lain bagi pemerintah daerah dengan menjual asset kawasan cagar budaya untuk hal yang lebih menguntungkan seperti menjadi permukiman, wilayah industri, perdagangan ataupun wilayah dapat menghasilkan serta mendatangkan benefit daerah.Dalam konteks ekonomi benda, barang atau sering disebut juga sebagai modal atau sumberdaya kebudayaan merupakan sebuah produk. Aset atau sumberdaya tersebut dianggap sebagai modal karena dapat memberikan kontribusi, dan bahkan dapat pula berkombinasi dengan berbagai input dari produksi barang dan layanan jasa lainnya. Karena merupakan sebuah modal, maka logikanya fitur kebudayaan tersebut tentunya memiliki nilai, atau disebut sebagai nilai kebudayaan, yang dapat didekati dari banyak aspek seperti geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi dan lain-lain.Mourutto dan Mazzanti menjelaskan, kegagalan pasar dalam sumberdaya arkeologi memberikan pembenaran untuk subsidi pemerintah dalam mendukung budaya, karena umumnya, pendapatan yang dikumpulkan dari pengguna tidak cukup untuk menutupi pengeluaran untuk biaya konservasi. Oleh karena itu, aset budaya dapat menjadi terlalu tergantung subsidi pemerintah (Morutto dan Mazzanti, 2002). Kegiatan pelestarian budaya seharusnya menyatu dengan kegiatan pemanfaatan sebagaimana tersurat dalam peraturan perundang-undangan mengenai pelestarian benda cagar budaya. Dalam aspek pemanfaatan dimaksud sudah tentu termasuk di dalamnya ialah upaya mendapatkan keuntungan ekonomik yang pada gilirannya digunakan untuk mendukung berbagai upaya pelestarian. Para arkeolog Indonesia belum banyak membicarakan aspek ekonomik dalam kerangka manajemen sumberdaya budaya (cultural resource management). Mereka belum memiliki kesempatan untuk menanggapi banyak pihak yang menyatakan bahwa pelestarian itu hanya membuang-buang uang semata, bukan sebaliknya menghasilkan dan mendapatkan keuntungan dari tinggalan budaya yang dilestarikan.Terkait dengan manfaat ekonomi, maka tidak lepas adalah soal bicara tentang keuntungan finansial. Tampaknya di Indonesia, pembicaraan soal nilai ekonomis sumberdaya arkeologi baik dalam kategori cagar budaya maupun yang bukan cagar budaya masih tabu. Inilah tampaknya salah satu bentuk ketertinggalan dalam hal pengelolaan sumberdaya arkeologi dibanding dalam konsep pengelolaan sumberdaya alam. Jika dalam pengelolaan sumberdaya alam, yang dikenal dengan Natural Resource Management (NRM) valuasi ekonomi sudah menjadi bagian terpenting dalam konsep pengelolaannya, sebaliknya dalam konsep pengelolaan sumberdaya arkeologi, atau yang lebih trend dengan sebutan Cultural Resource Management (CRM) yang disepadankan dengan Archaeological Resource Management (ARM), atau pengelolaan sumberdaya arkeologi, konsep valuasi ekonomi masih jarang atau bahkan mungkin tabu diperbincangkan. Hal ini mengingat bicara sumberdaya arkeologi adalah bicara tentang warisan budaya, yang harus dilestarikan, sementara bicara tentang nilai finansial, biasanya dihubungkan dengan nilai guna langsung suatu barang yang menghasilkan nilai ekonomis atau nilai finansial. Sumberdaya arkeologi biasanya dihubungan dengan pendugaan nilai penting arkeologis yang biasanya dihubungkan pula dengan nilai penting sumberdaya arkeologi tersebut sebagai cagar budaya, sementara dalam konteks penilaian ekonomis atau valuasi ekonomi, tampaknya belum diperbincangkan. Beberapa arkeolog telah mengajukan usul mengenai metode penilaian yang non-finansial terhadap benda arkeologi yang akan dijadikan benda cagar budaya. Memang benar ada usaha beberapa arkeolog untuk membicarakan masalah penilaian atas benda masa lalu menjadi benda cagar budaya yang dilindungi oleh peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di negara kita, namun pembicaraan semacam itu hanya sebatas penilaian yang sifatnya non-finansial. Throsby (1999) mengatakan bahwa barang kebudayaan adalah modal penghasil nilai kebudayaan karena memasukkan unsur nilai yang dimiliki masyarakat seperti sosial, sejarah dan dimensi kebudayaan lainnya. Dengan begitu, di dalam barang kebudayaan terkandung nilai estetika, spiritual, sosial, sejarah, simbolis dan keaslian.Menurut teori ekonomi neoklasik, nilai-nilai ekonomi adalah nilai-nilai yang dilihat terutama semata-mata melalui kacamata individu sebagai konsumen dan yang paling menentukan adalah soal nilai kegunaan, yang kemudian menentukan suatu harga Namun tidak semua nilai-nilai ekonomi, bagaimanapun, terukur dalam kaitan dengan harga pasar (Mouratto dan Mazzanty, 2002). Nilai (value) merupakan persepsi seseorang; adalah harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Kegunaan, kepuasan dan kesenangan merupakan istilah-istilah lain yang diterima dan berkonotasi nilai atau harga. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian (valuasi) adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa (Davis dan Johnson, 1987).Benda cagar budaya (BCB) yang merupakan salah satu dari barang kebudayaan pada dasarnya memiliki ciri benda tidaklah jauh berbeda dengan barang lingkungan lainnya yang diproduksi oleh alam publik yang bersifat tidak bersaing artinya manfaat yang dinikmati seseorang tidak akan menimbulkan biaya terhadap individu lain yang kemudian menikmatinya. Selain itu tidak dapat eksklusif dimiliki oleh perseorangan.Barang kebudayaan memiliki dua nilai yaitu ekstrinsik dan intrinsik. Nilai ekstrinsik merupakan jumlah maksimum kesediaan konsumen membayar untuk memperoleh akses terhadap suatu barang. Pada barang kebudayaan, nilai ekstrinsik yang diperoleh pengguna adalah cerminan jumlah uang terbesar yang bersedia dibayar, dan senyatanya melebihi ongkos sebenarnya untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya tersebut. Total nilai ekstrinsik barang kebudayaan merupakan jumlah total kesediaan membayar pengguna secara individu.Adapun nilai intrinsik adalah manfaat yang diterima konsumen karena mereka dapa menikmati artefak kebudayaan yang dilindungi. Di sini terkandung nilai eksistensi, nilai pilihan karena menimbulkan pilihan apakah akan dilindungi atau tidak, apakah akan dipreservasi, dikonservasi atau tidak, apakah akan dikembangkan atau dibiarkan mati, dan nilai warisan karena barang tersebut akan diwariskan bagi generasi mendatang.Jika dibandingkan dengan negara yang maju seperti Eropa dan Amerika, tampaknya memang Indonesia masih sangat tertinggal dalam hal ini. Di Indonesia, penerapan valuasi ekonomi baru berlaku dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, sedangkan dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi tampaknya masih jarang. Di Amerika dan Eropa, metode ini sudah diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya budaya dalam hal ini yang termasuk dalam kategoricultural heritage. Dalam paradigma baru pengelolaan sumberdaya arkeologi, dimana sumberdaya arkeologi tidak hanya menyangkut manfaat ideologis dan akademis, namun juga manfaat langsung untuk kepentingan masyarakat, maka perlu dipertimbangkan metode-metode penelitian baru yang bersifat terapan agar hasil penelitian dapat secara langsung dimanfaatkan publik. Dalam konteks ini maka metode penerapan valuasi ekonomi sumberdaya arkeologi, merupakan sebuah penelitian terapan yang berguna untuk memberikan bobot atau nilai ekonomis suatu sumberdaya arkeologi yang memberi dampak untuk kepentingan langsung masyarakat. Namun mengingat bicara sumberdaya arkeologi adalah bicara dalam ranah kebudayaan, maka tentu saja di dalamnya tidak termuat nilai guna langsung dalam pengertian sebagai barang publik non pasar, yang tidak diperjualbelikan secara langsung untuk memperoleh keuntungan finansial. Sumberdaya arkeologi bisa memiliki nilai guna langsung, jika sumberdaya arkeologi tersebut berada dalam sebuah kawasan dan telah menjadi warisan budaya dan dimanfaatkan atau dapat dinikmati sebagai obyek pariwisata. Sementara di Indonesia, konsepsi dan metode valuasi ekonomi baru diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Para arkeolog Indonesia belum banyak membicarakan aspek ekonomik dalam kerangka manajemen sumberdaya budaya (cultural resource management). Mereka belum memiliki kesempatan untuk menanggapi banyak pihak yang menyatakan bahwa pelestarian itu hanya membuang-buang uang semata, bukan sebaliknya menghasilkan dan mendapatkan keuntungan dari tinggalan budaya yang dilestarikan. Sejauh ini, nilai penting dari segi pendanaan dikaitkan dengan pertimbangan apakah beaya yang akan dicurahkan untuk menangani sumberdaya arkeologi itu sesuai dengan aspek kemanfaatan dari sumberdaya tersebut. Namun, nilai penting dari segi pendanaan ini seringkali menimbulkan masalah dan kontroversi, sehingga cenderung tidak diperhitungkan (Schiffer dan Gumerman, 1977, Tanudirjo, 2004). Tampaknya, inilah yang terjadi di Indonesia, mengabaikan aspek finansial dalam penilaian sumberdaya arkeologi.Berdasarkan RAPBN tahun 2014 daan APBD 2013, memperlihatkan besaran anggaran untuk bidang budaya terlihat kecil porsinya atau persentasenya apabila dibandingkan dengan anggaran untuk sector ataupun bidang lainnya. Berikut ini adalah gambaran besaran anggaran menurut APBN dan APBD di sektor budaya, Pemerintah menetapkan anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (ABPP) Kementerian Negara/Lembaga dan Non K/L Tahun Anggaran (TA) 2014 mencapai sebesar Rp 80,661 triliun.. Selain itu, adapun anggaran Ditjen Kebudayaan menyiapkan program pengelolaan permeseuman dengan anggaran Rp140,509 miliar; pelestarian sejarah dan nilai tradisional Rp 88,605 miliar; pelestarian dan pengelolaan peninggalan purbakala Rp 326,758 miliar; pelestarian cagar budaya dan permuseuman Rp 194,100 miliar; pembinaan kesenian dan perfilman Rp141,950 miliar; pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan tradisi Rp 60 miliar; dan internalisasi nilai dan diplomasi budaya Rp 63,350 miliar.

Sedangkan menurut data anggaran belanja daerah Kabupaten Blitar memperlihatkan besaran dari masing-masing sector sebagai berikut:Data Belanja APBD Kabupaten Blitar Untuk Keselarasan dan Keterpaduan Urusan Pemerintahan Daerah Dan Fungsi Dalam Pengelolaan Keuangan Negara (dalam jutaan rupiah)Tahun 2010Tahun2011Tahun2012Tahun 2013Rata-Rata

Pelayanan Umum263.799(27,3%)220.685(19,1%)241.452(17,7%)260.809(17,5%)246.686(20,4%)

Ketertiban dan Keamanan7.564(0,8%)5.485(0,5%)8.863(0,6%)15.857(1,1%)9.442(0,75%)

Ekonomi47.952(5,0%)67.458(5,8%)86.098(6,3%)86.847(5,8%)72.088(5,7%)

Lingkungan Hidup2.455(0,2%)2.984(0,3%)5.340(0,4%)6.871(0,5%)4.412(0,35%)

Perumahan dan Fasilitas Umum95.658(10,0%)90.166(7,8%)136.508(10,0%)169.521(11,3%)122.963(9,8%)

Kesehatan82.575(8,5%)84.546(7,3%)96.554(7,1%)133.734(9,0%)99.352(8,0%)

Pariwisata dan Budaya685(0,1%)1.604(0,1%)1.563(0,1%)3.478(0,2%)1.832,5(0,1%)

Pendidikan451.300(46,7%)670.846(57,9%)771.255(56,4%)796.743(53,3%)672.536(53,6%)

Perlindungan Sosial13.628(1,4%)13.708(1,2%)19.218(1,4%)19.318(1,3%)16.468(1,3%)

Total965.616(100%)1.157.482(100%)1.366.851(100%)1.493.178(100%)1.245.781,75(100%)

Sumber :www.blitarkab.go.id

Dengan memperhatikan nilai anggaran dari Kabupaten Blitar tersebut dapatlah dijelaskan bahwa pesrentase data belanja untuk sector pariwisata dan Budaya sangat kecil dengan rata-rata 0,1 % atau 1,83 milar, bias diartikan bahwa peranan pengelolaan serta pelestarian cagar budaya yang ada didalam komponen sektir Pariwisata dan Budaya masih dianggap belum memiliki value yang berarti. Hal tersebut sangatlah berlawanan dengan betapa pentingnya keberadaan situs cagar budaya ataupun arkeologibaik yang berbentuk tangible maupun yang Intangible, sesungguhnya menyimpan potensi luar biasa untuk dikembangkan untuk kemakmuran rakyat. Selain itu berfungsi penguatan jatidiri bangsa, dalam rangka membangun bangsa yang lebih berkualitas.Pada saat ini, permasalahan dalam pelestarian warisan budaya yang ada di negara kita terutama di daerah adalah belum adanya regulasi dalam upaya pelestarian, pengelolaan dan pemanfaatan warisan budaya, belum adanya pemahaman yang sama dalam pelestarian dan pengelolaan warisan budaya antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota serta masyarakat, belum adanya catatan dan inventarisasi yang baik tentang warisan budaya yang berwujud benda dan meningkatnya pencurian situs-situs cagar budaya sebagai warisan budaya di tempat-tempat suci untuk diperjual belikan. Seluruh hasil karya masyarakat baik masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang perlu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan, sehingga warisan budaya harus dilestarikan dan dipertahankan keberadaannya.Atas dasar uraian yang terdahulu maka penelitian ini akan membahas peran situs arkeologi terhadap pertumbuhan ekonomi regional dengan mempergunakan pendekatan yang secara ekonomi dan spasial. Hal tersebut akan membahas soal sumberdaya arkeologi dalam konteks peran serta fungsi sosial dan ekonomi dari situs arkeologi di suatu tempat dan bagaimana relevansinya dengan nilai ekonomis dan penerapannya dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi. Selanjutnya tentang metode analisis ekonomi dan spasial serta kemungkinan penerapannya di Indonesia. Bahasan ini mencoba menerapkan metode-metode ekonomi dan spasial untuk sumberdaya arkelogi, yang merupakan adaptasi dari metode valuasi ekonomi yang telah diterapkan dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, terutama di Indonesia. Melalui penelitian ini diharapkan muncul pemikiran dan penerapan metode ekonomi serta pendekatan spasial penelitian arkeologi terapan di masa-masa mendatang.Kajian mengenai aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat kawasan situs arkeologi di kabupaten Blitar ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif (dsekriptif), kuantitatif, cost benefit situs arkeologi, dan spasial. Data dikumpulkan dengan teknik studi pustaka, observasi, dan wawancara mendalam dengan informan-informan yang mengetahui seputar permasalahan yang dikaji. Hasil analisis diharapkan dengan mengambil model yaitu situs candi Penataran, Simping, Sawentar dan Kotes dapat menunjukkan bahwa Kawasan Situs Candi dapat memberikan dampak eonomi yang positif bagi masyarakat sekitarnya. Kawasan Candi sebagai warisan arkeologi memberi damapk ekonomi bagi masyarakat sekitar serta terhadap pertumbuhan ekonomi regional Kabupaten Blitar, baik bersifat langsung maupun tidak langsung. Dampak secara langsung tampak dari manfaat ekonomi. Nilai ekonomi (economic value), berkaitan dengan sumberdaya arkeologi sebagai objek budaya yang dapat memberikan manfaat ekonomi bagi pemiliknya, kawasan Candi dan sekitarnya, mencakup kegiatan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, serta pelibatan dan peran serta masyarakat.Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka dalam penelitian ini menampilkan tema SITUS ARKEOLOGI UNTUK MENOPANG PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL (STUDI KASUS DI KABUPATEN BLITAR)

1. 2. TujuanDengan memperhatikan latar belakang serta rumusan permasalahan yang diajukan didalam maka yang menjadi tujuannya penelitian ini adalah berupaya untuk: 1. Mengetahui peran dan fungsi secara sosial dan ekonomi dari situs arkeologi atau cagar budaya sebagai penompang pertumbuhan ekonomi regional di Kabupaten Blitar2. Mengetahui perkiraan alokasi anggaran yang dibutuhkan di dalam pengelolaan situs.

1. 3. Permasalahan PenelitianPermasalahan situs arkeologi atau cagar budaya sebagai sumberdaya daya arkeologi adalah bicara tentang barang-barang budaya (cultural goods) yang merupakan atau dikategorikan barang publik non pasar, hal ini karena sumberdaya arkeologi, berupa barang-barang artefak maupun arsitektural sebuah bangunan, bukanlah barang yang diperjualbelikan secara ekonomis menurut kemauan pasar. Sumberdaya arkeologi sebagai asset budaya, tidak diperdagangkan di pasar, kadangkala dapat dinikmati meskipun kita tidak perlu mengeluarkan biaya sepeserpun. Ini sesungguhnya merupakan masalah dalam soal konservasi. Sebagian dari masalah adalah bahwa banyak aset budaya tidak diperdagangkan di pasar: memiliki harga nol dan dapat dinikmati oleh banyak pihak tanpa biaya. Dengan kata lain, ini disebut sumber daya budaya non pasar dinilai oleh masyarakat tapi dengan cara yang tidak diterjemahkan ke dalam harga pasar atau harga di luar pasar. Dampak pada konservasi ini mengakibatkan adanya kegagalan pasar dan upaya konservasi semakin parah antara lain, kekurangan dana, atau dana yang dihasilkan tidak cukup untuk membiayai konservasi; sangat tergantung pada dukungan atau subsidi pemerintah dan publik. Semakin meningkatnya dua kepentingan, yaitu pembangunan ekonomi dan pembangunan budaya para arkeolog turut diperhadapkan kebutuhan pemanfaatan cagar budaya untuk kepentingan ekonomi masyarakat. Kondisi tersebut telah menghasilkan kajian baru di dalam ilmu arkeologi yang berkaitan dengan pengelolaan peninggalan budaya. Pada awalnya, yaitu sekitar tahun 1970-an di Amerika Serikat tumbuh bidang yang disebut dengan istilah Manajemen Sumber Daya Budaya (Cultural Resource Management). Bidang itu berawal dari keprihatinan para pakar arkeologi Amerika terhadap perusakan situs untuk proyek-proyek pembangunan (Ramelan, 2011:195)Kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk didalamnya situs arkeologi harus memiliki visi makro untuk menciptakan ekologi yangsustainable. Sedangkan visi mikronya adalah menjaga jenis-jenis keanekaragaman yangsustainable. Selain itu, pemanfaatan sumbedaya arkeologi juga harus memiliki rasa keadilan intra generasi (antar kelompok masyarakat) saat ini dan keadilan antar generasi. Menempatkan permasalahan sumberdaya arkeologi sebagai permasalahan jangka panjang. pada akhirnya, akan bermuara pada dimensi keadilan antargenerasi. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut tidak sepenuhnya dapat menguraikan mekanisme pasar. Karena pasar memiliki beberapa kelemahan dan tidak bisa menyelesaikan semua masalah. Kelemahan tersebut adalah kegagalan pasar yang ditandai ekssternalitas dan barang publik (public goods). Permasalahan mi mengakibatkan harga sumberdaya arkeologi menjadi lebih murah (under pricing) karena tidak memasukkan unsur deplesi. Begitu pula dengan barang-barang industri, harganya lebih murah karena tidak memasukkan unsur eksternalitas negatif, seperti perusakan, pencurian, polusi sebagai misal. Oleh karena itu, diperlukan intervensi pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar tersebut.Situs arkeologi atau cagar budaya sebagai warisan budaya, harus tetap dilestarikan, oleh karena itu perlu adanya penilaian ekonominya, seberapa besar keuntungan finansial dari upaya pelestarian dan seberapa besar beban biaya yang dibutuhkan untuk pelestariannya. Dari sini kita bisa melihat keterkaitan nilai penting budaya dan nilai ekonomis saling berkaitan, semakin tinggi nilai penting budayanya, semakin dituntut upaya pelestariannya, yang tentu dibutuhkan pendanaan, sebaliknya berapa besar nilai ekonomi sumberdaya arkeologi itu untuk dilestarikan. Sumberdaya arkeologi sebagai warisan budaya bisa membiayai sendiri upaya pelestariannya, karena adanya nilai ekonomis yang tinggi, sehingga nilai penting budayanya tidak akan hilang. Semakin tinggi nilai budayanya, semakin tinggi beban biaya konservasi, oleh karena itu perlu dihitung nilai ekonomisnya, yang diharapkan semakin tinggi nilai ekonomisnya dan semakin mampu membiayai perjuangan konservasi warisan budaya. Visi dan misi pelestarian harus bisa melindungi warisan, menjamin keanekaragaman, dan ekonomis. Melestarikan benda cagar budaya itu perlu motivasi. Dan motivasi adalah partisipasi kolektif. Perwujudan dari tanggung jawab bersama pemerintah, swasta, dan masyarakat berupa pemberian ruang gerak yang kondusi bagi kemanfaatan sosial dan ekonomi publik atau masyarakat. Penyertaan peran masyarakat dalam upaya pelestarian benda cagar budaya harus segera dilakukan, pelestarian bukan lagi hak mutlak kalangan terbatas saja. Langkah penyertaan masyarakat dalam upaya pelestarian sudah pernah diterapkan oleh UNESCO dan hal tersebut merupakan hal positif yang dapat kita adopsi untuk diterapkan di Kabupaten Blitar.Dari berbagai kasus pengelolaan sumberdaya arkeologi dan warisan budaya, terutama di Indonesia, kita bisa melihat bagaimana menurunnya kualitas pelestarian, yang sesungguhnya disebabkan oleh minimnya kebijakan konservasi yang disebabkan oleh tidak berimbangnya kebutuhan pembiayaan dan penggunaan anggaran pelestarian. Kebutuhan anggaran pelestarian, tidak didukung oleh alokasi biaya yang optimal, sementara banyak masyarakat bisa menikmati sumberdaya dan warisan budaya tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun, padahal jika membayar dapat digunakan untuk kebutuhan peningkatan kualitas pelestarian. Objek tinggalan arkeologi yang sifatnya langka dan unik serta dapat berfungsi sebagai objek wisata budaya seperti yang telah disebutkan di atas, jelas akan mendatangkan keuntungan terutama bagi daerah ataupun masyarakat di sekitarnya (Kasnowihardjo, 2001: 15-17).Sehubungan dengan apa yang sudah diuraikan di atas dan latar belakang penelitian maka persoalan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana social capital, akltivitas ekonomi masyarakat kawasan situs Penataran, Simping, Sawentar dan Kotes. Selain itu juga ingin mengetahui bagaimana relasi antara kawasan situs Penataran, Simping, Sawentar dan Kotes dengan masyarakat sekitarnya serta kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Atas dasar hal tersebut maka permasalahan yang diajukan di dalam penelitian ini:1. Bagaimana fungsi serta peran sosial dan ekonomi dari situs arkeologi dalam konteks pertumbuhan ekonomi regional?2. Bagaimana memperkirakan alokasi anggaran untuk pengelolaan situs arkeologi ?

1.4. Definisi Operasional

Dalam rangka mempermudah pemahaman tentang data-data arkeologis dan ekonomi yang disajikan dalam penelitian ini, maka berikut akan disajikan definisi operasional dari tiap-tiap indikator yang akan digunakan:a. Terkait dengan Arkeologi1. Situs Arkeologi diartikan setiap bidang tanah yang mengandung data arkeologi. Di atas sebidang tanah ini terkandung bukti-bukti arkeologi yang menunjukkan kegiatan masyarakat masa lalu (Rahardjo dan kawan-kawan, 2011) 2. Situs adalah lokasi di darat maupun di air yang mengandung cagar budaya sebagai hasil kegiatan manusia (UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya)

b. Terkait dengan Ekonomi1. Pembangunan Ekonomi2. Pertumbuhan Ekonomi3. Cost Benefit4. Cost Effectiveness Analyisis5. Permintaan agregat6. Pertumbuhan jangka panjang7. Pertumbuhan jangka pendek8. Sumberdaya Manusia (ketenaga kerjaan)

1.5. Kerangka Penelitian dan Pengolahan Data

Proses analisis data dalam penelitian ini meliputi berbagai tahapan. Pertama, identifikasi data, mengumpulkan data verbal dan data visual, baik yang diperoleh melalui studi pustaka, observasi, maupun wawancara. Kedua, klasifikasi data yaitu memilih atau mengelompokkan data yang telah teridentifikasi sesuai dengan jenis dan sifat data. Ketiga, seleksi data yaitu menyisihkan data yang tidak relevan dan kurang berkontribusi terhadap kebutuhan pokok pembahasan. Tahap ke empat, melakukan analisis sesuai dengan teori yang telah ditetapkan, dengan menggunakan analisis tekstual dan kontekstual

Kerangka Pikir Penelitian

Archaeological RecordSitus ArkeologiMessangerAnalisisSpasialEkonomi 1. Long Run Growth : Y = A.K. L Y /y= A/A + . K/K + . L /L2. Short Run Growth : Agregat Demand Management3. Cost-Benefit : Cost benefit analysis, Costeffectiveness analysis

KualitatifHasilSistem ManajemenTekhnologiKualitas SDMInfrastrukturSocial Capital

Kerangka Pikir Analisis Spasial

Proses Analisis spasial

OverlayBufferHasil analisis spasialPengambilan keputusanconvertProses Pengolahan data spasial

Editing, topologiKodefikasiPeta untuk analisis spasiallink DatabaseconvertTujuan dan permasalahan penelitianAnalisis Spasial berdasarkan variable-varioabel dalam penelitian

Studi literature dan interviewPengumpulan Dan Pengolahan data dasarData VektorData Raster/citra satelitPeta Dijital terbangunDatabase Wilayah PenelitianDjjitasi

Analisis Ekonometrika

Keunggulan analisis ekonometrika adalah dapat mengetahui tingkat signifikansi, besar dan arah pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat. Model ekonometrika yang digunakan adalah model simultan dan atau regresi linier berganda, yang bertujuan mengetahui tingkat signifikansi tingkat signifikansi, besar dan arah pengaruh variabel-variabel yang dianggap mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran.Bila menggunakan model simultan maka data yang digunakan adalah data kerat lintang (cross section). Bila menggunakan regresi linier berganda maka data yang digunakan adalah data panel (panel data) yaitu kombinasi antara data kerat lintang dan runtut waktu (time series). Data kerat lintang (cross section) yang digunakan adalah kecamatan yang memiliki situs cagar budaya di kabupaten Blitar dan data runtut waktu (time series) antara 2003-2013. Hasil yang diperoleh dari estimasi persamaan menjadi pijakan utama dalam melakukan analisis simulasi.

1.6. Keterbaruan (novelty) dari Penelitian

Dalam berbagai penelitian arkeologis selama ini yang dilakukan masih belum memperlihatkan adanya keintegrasian dengan ilmu-ilmu lain didalam menganalisis ataupun menghasilkan sesuatu manfaat. Terkesan hanya mempergunakan pendekatan arkeologi itu sendiri sehingga masih bersifat sektoral. Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti mencoba memperlihatkan serta menampilkan metode analisis untuk obyek arkeologi yang diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat melalui metode analisis baik kualitatif maupun kuantitatif dengan menggunakan ilmu Ekonomi serta Ilmu Geografi.Melalui ilmu ekonomi akan dicoba untuk mendapatkan model valuasi ekonomi terhadap situs arkeologi atau gambaran dari satu kenyataan melalui analisis terhadap sebuah obyek arkeologis dengan menggunakan persamaan-persamaan matematis ataupun model ekonometrik sehingga menghasilkan model yang representative serta yang berguna bagi akademis, penelitian, pembuat kebijakan, pemerintah, swasta maupun masyarakat di dalam upayanya memperlakukan benda arkeologis agar lebih bermakna bagi kepentingan bersama, serta mendukung proses pertumbuhan maupun pembangunan ekonomi suatu wilayah.

Dilain pihak dengan memanfaatkan ilmu geografi diharapkan dengan menggunakan analisis spasial sehingga akan lebih memudahkan ilmu arkeologis didalam memahami sebuah obyek arkeologis yang membentuk suatu pola yang dapat ditelusuri keterkaitan antara pola dengan kondisi fisik suatu wilayah ataupun kondisi social ekonomi juga budaya dari suatu masyarakat pada waktu lampau ataupun saat ini