proposal ajnihah

65
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memahami tentang pentingnya kesehatan. Mereka umumnya mengkonsumsi segala jenis makanan seperti makanan tinggi lemak dan tinggi kolestrol tanpa diimbangi olahraga dan aktivitas fisik yang baik serta gaya hidup yang salah seperti kebiasaan merokok, konsumsi alkohol ataupun menggunakan obat-obatan terlarang yang berdampak buruk bagi kesehatan tubuh. Bahkan berbagai penyakit yang dapat ditimbulkan yang disebabkan konsumsi makanan yang tidak terkontrol, berlebihan dan gaya hidup yaitu salah satunya adalah penyakit Diabetes Melitus (DM). Diabetes Melitus (DM) merupakan gangguan metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia (kenaikan kadar glukosa serum) akibat kurangnya 1

Upload: ainulgeo

Post on 14-Dec-2015

215 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada era globalisasi saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang

belum memahami tentang pentingnya kesehatan. Mereka umumnya

mengkonsumsi segala jenis makanan seperti makanan tinggi lemak dan

tinggi kolestrol tanpa diimbangi olahraga dan aktivitas fisik yang baik

serta gaya hidup yang salah seperti kebiasaan merokok, konsumsi alkohol

ataupun menggunakan obat-obatan terlarang yang berdampak buruk bagi

kesehatan tubuh. Bahkan berbagai penyakit yang dapat ditimbulkan yang

disebabkan konsumsi makanan yang tidak terkontrol, berlebihan dan gaya

hidup yaitu salah satunya adalah penyakit Diabetes Melitus (DM).

Diabetes Melitus (DM) merupakan gangguan metabolik yang

ditandai oleh hiperglikemia (kenaikan kadar glukosa serum) akibat

kurangnya hormone insulin, menurunnya efek insulin atau keduanya.1

World Health Organization (WHO) merumuskan bahwa DM merupakan

penyakit kronik yang disebabkan oleh keturunan dan/atau defisiensi yang

didapat dalam memproduksi insulin oleh pancreas, atau oleh

ketidakefektifan diproduksinya insulin. Defisiensi ini menyebabkan

peningkatan kadar glukosa didalam darah, yang menyebabkan kerusakan

banyak system tubuh, khususnya pembuluh darah dan saraf-saraf.2

Menurut laporan WHO, Indonesia menempati urutan ke empat

terbesar dari jumlah penderita diabetes melitus dengan prevalensi 8,6%

1

dari total penduduk sedangkan posisi urutan diatasnya yaitu India, China

dan Amerika Serikat dan WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang

DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta

pada tahun 2030.3 Senada dengan WHO, International Diabetes

Foundation (IDF) pada tahun 2010 memprediksi kenaikan jumlah

penyandang DM dari 7 juta pada tahun 2010 menjadi 12 juta pada tahun

2030.4

Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kementrian Kesehatan (RISKESDAS) tahun 2013 menyebutkan terjadi

peningkatan prevalensi pada penderita diabetes melitus yang diperoleh

berdasarkan wawancara yaitu 1,1% pada tahun 2007 menjadi 1,5% pada

tahun 2013 sedangkan prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis

dokter atau gejala pada tahun 2013 sebesar 2,1% dengan prevalensi

terdiagnosis dokter tertinggi pada daerah Sulawesi Tengah (3,7%) dan

paling rendah pada daerah Jawa Barat (0,5%). Untuk daerah Sulawesi

Selatan prevalensi diabetes melitus yang terdiagnosis dokter sebesar 1,6%

dan prevalensi diabetes melitus yang terdiagnosis dokter atau gejala

sebesar 3,4%. Dimana dari data prevalensi tersebut daerah Sulawesi

Selatan merupakan salah satu daerah yang angka kejadian diabetes

melitusnya tinggi.5

Dari data diatas Indonesia juga merupakan salah satu Negara yang

memiliki angka kejadian yang tinggi dimana diabetes melitus ini

disebabkan oleh beberapa faktor yang salah satunya yaitu kebiasaan

2

merokok. Ada kecenderungan tingkat prevalensi merokok menurun seiring

perilaku hidup semakin baik oleh karena itu, pada saat perokok berhenti

merokok yang seharusnya menurunkan resiko DM, akan tetapi berhenti

merokok kemungkinan akan mengurangi inflamasi yang sistimatik, yang

selanjutnya merupakan resiko untuk terkena penyakit DM. Dengan

demikian berhenti merokok akan menyebabkan kenaikan berat badan,

yang juga memungkinkan meningkatkan resiko terjadinya DM.

Pada perokok yang berhenti merokok cenderung nafsu makannya

meningkat sehingga bisa juga menyebabkan makan tidak terkontrol yang

menyebabkan meningkatnya resiko diabetes. Oleh karena itu peneliti

tertarik untuk meneliti pengaruh rokok terhadap kejadian diabetes melitus

di Rumah Sakit Umum Daerah Syekh Yusuf kabupaten gowa sehingga

kasus DM bisa dikontrol.

B. Rumusan Masalah

Apakah perilaku berhenti merokok mempengaruhi tingkat kejadian

diabetes melitus di RSUD Syekh Yusuf kab. Gowa tahun 2014 ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh kebiasaan merokok dan berhenti merokok

terhadap kejadian penyakit diabetes melitus di RSUD Syekh Yusuf kab.

Gowa tahun 2014

3

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui tingkat kejadian penyakit diabetes melitus akibat

banyaknya rokok yang di konsumsi di RSUD Syekh Yusuf kab. Gowa

tahun 2014

b. Untuk mengetahui tingkat kejadian penyakit diabetes melitus akibat

lamanya merokok di RSUD Syekh Yusuf kab. Gowa tahun 2014

c. Untuk mengetahui tingkat kejadian diabetes melitus akibat berhenti

merokok di RSUD Syekh Yusuf kab. Gowa tahun 2014

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Aplikatif

a. Untuk RSUD Syekh Yusuf kab. Gowa sebagai bahan masukan tambahan

untuk perencanaan kesehatan dalam pencegahan terjadinya penyakit

diabetes melitus

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi penyuluhan bagi tenaga-

tenaga kesehatan.

c. Untuk peneliti sebagai bahan tambahan pengetahuan dan pengalaman

dalam melakukan penelitian.

2. Manfaat Teoritis

a.    Untuk Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar

sebagai tambahan kepustakaan dan sebagai bahan tambahan informasi tentang

pengaruh rokok terhadap kejadian penyakit diabetes melitus

b.    Untuk masyarakat sebagai bahan informasi tentang factor penyebab

terjadinya diabetes melitus

4

3. Manfaat Metodologis

Secara metodologis penelitian ini diharapkan bermanfaat dan mampu

memberi kontribusi untuk penelitian selanjutnya.

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Diabetes Melitus

Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau

mengalihkan”. Melitus dari bahasa latin yang bermakna manis atu madu.

Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan

volume urin yang banyak dengan kadar glukosa tinggi.6

Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang secara

genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa

hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara

klinis, maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan

postprandial, aterosklerotik dan penyakit vaskular mikroangiopati, dan

neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya bertahun-tahun

mendahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya. Pasien

dengan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan

gangguan toleransi glukosa) dapat tetap berisiko mengalami komplikasi

metabolik diabetes.7

World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan

bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat ditungkan dalam satu

jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan

sebagai suatu kumpulan problema anatomic dan kimiawi akibat dari

sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan

gangguan fungsi insulin.8

6

Diabetes melitus merupakan suatu sindrom dengan terganggunya

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh

berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap

insulin. Terdapat dua tipe utama diabetes melitus yaitu Diabetes tipe 1,

yang juga disebut diabetes melitus tergantung insulin (IDDM), disebabkan

kurangnya sekresi insulin dan Diabetes tipe 2, yang juga disebut diabetes

melitus tidak tergantung insulin (NIDDM), disebabkan oleh penurunan

sensitivitas jaringan target terhadap efek metabolic insulin. Penurunan

sensitivitas terhadap insulin ini sering kali disebut resistensi insulin.9

Pada kedua jenis diabetes melitus, metabolisme semua bahan makanan

utama terganggu. Pengaruh mendasar resistensi atas tidak adanya insulin

terhadap metabolisme glukosa adalah mencegah efisiensi penggunaan dan

pengambilan glukosa oleh sebagian besar sel-sel tubuh, kecuali oleh otak.

Hasilnya konsentrasi glukosa darah meningkat, penggunaan glukosa oleh

sel menjadi sangat berkurang dan penggunaan lemak dan protein

meningkat. Namun disini yang akan dibahas lebih lanjut adalah diabetes

tipe 2.9

B. Etiologi dan Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus

bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda

akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan

genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas pada

penderita diabetes melitus.7

7

Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya

mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk diabetes tipe 2 pada

kembar monozigot hampir 100%. Resiko berkembangnya diabetes tipe 2

pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% pada anak cucunya.

Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam

diabetes awitan dewasa muda (MODY), yaitu subtipe penyakit diabetes

yang diturunkan dengan autosomal dominan. Jika orang tua menderita

diabetes melitus tipe 2, rasio diabetes dan non diabetes pada anak adalah

1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2.7

Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja

insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran

terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada

reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi

intraseluler yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan

meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien-

pasien dengan diabetes melitus tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan

insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya

jumlah tempat reseptor pada membrane sel yang selnya responsive

terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik.

Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor

insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor

dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta

dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai

8

untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien diabetes melitus

tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi

insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang

menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan sering kali

dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan

toleransi glukosa.7

Pasien NIDDM tipe 2 mempunyai 2 defek fisiologik : sekresi insulin

abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran

(target). Abnormalitas mana yang utama tidak diketahui. Secara deskriptif,

tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama, glukosa

plasma tetap normal meskipun terlihat resistensi insulin karena kadar

insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung

memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak

intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase

ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun

menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata. Kebanyakan

penulis yakin bahwa resistensi insulin merupakan hal pertama,

hiperinsulinemia kedua, jadi sekresi insulin meningkat untuk

mengkompensasi keadaan resistensi. Namun hipersekresi insulin

menyebabkan resistensi insulin yaitu defek sel pankreas primer

menyebabkan hipersekresi insulin dan sebaliknya hipersekresi insulin

menyebabkan resistensi insulin. Hipotesis yang menjelaskan melibatkan

sintesis lemak terstimulasi insulin dalam hati dengan transpor lemak

9

(melalui lipoprotein kepadatan sangat rendah) menyebabkan penyimpanan

lemak sekunder dalam otot. Peningkatan oksigenasi lemak akan

mengganggu ambilan glukosa dan sintesis glikogen. Penurunan pelepasan

insulin yang terlambat dapat disebabkan oleh efek toksik glukosa terhadap

pulau pankreas atau akibat defek genetik yang mendasari. Sebagian besar

pasien NIDDM obes, dan obesitas itu sendiri menyebabkan resistensi

insulin. Namun penderita NIDDM yang relative tidak obae dapat

mengalami hiperinsulinemia dan pengurangan kepekaan insulin,

membuktikan bahwa obesitas bukan merupakan penyebab resistensi satu-

satunya. Hal ini bukan untuk mengurangi pentingnya peranan kelebihan

lemak karena penurunan berat badan yang sederhana seringkali

menghasilkan perbaikan besar dalam pengendalian glukosa darah pada

penderita NIDDM obes.10

Sebagai ringkasan, defek sekresi insulin dan resistensi insulin

merupakan ciri khas NIDDM. Mungkin keduanya diperlukan untuk

penampakan diabetes, karena individu yang sangat obes dengan resistensi

insulin yang nyata dapat mempunyai toleransi glukosa normal. Mungkin

individu ini tidak mempunyai lesi sel beta. Hal ini dapat menunjukkan

bahwa defek utama terletak pada sel penghasil insulin. Massa sel beta

intak pada NIDDM tipe 2, berlawanan dengan IDDM tipe 1. Populasi sel

alfa meningkat, menyebabkan peningkatan rasio sel alfa dan beta. Hal ini

menyebabkan kelebihan relatif glukagon disbanding insulin yang

10

merupakan ciri khas NIDDM dan gambaran semua keadaan

hiperglikemik.10

C. Faktor Resiko Diabetes Melitus Tipe 2

Faktor risiko diabetes tipe 2 di Asia :

Kelebihan berat badan dan obesitas abdomen. Asia memiliki

tingkat lebih rendah dari kelebihan berat badan dan obesitas di bandingkan

Negara-negara Barat, dengan menggunakan definisi konvensional (indeks

massa tubuh [BMI] ≥25 untuk kelebihan berat badan dan ≥30 obesitas,

dihitung sebagai berat dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan dalam

meter kuadrat). Meskipun BMI lebih rendah, beberapa negara Asia

memiliki prevalensi yang sama atau bahkan lebih tinggi dari diabetes

dibandingkan Negara-negara Barat. Data ini mengkonfirmasi bahwa risiko

diabetes tipe 2 dimulai pada BMI yang lebih rendah untuk orang Asia dari

pada Eropa.11

Populasi Asia, terutama keturunan Asia Selatan, lebih rentan terhadap

obesitas abdominal dan massa otot yang rendah dengan peningkatan

resistensi insulin dibandingkan dengan negara barat. Dengan demikian,

lingkar pinggang mencerminkan obesitas sentral merupakan ukuran

obesitas yang berguna terkait risiko diabetes tipe 2, khususnya pada

individu dengan BMI yang normal di Singapura, untuk usia yang sama,

jenis kelamin, dan BMI, India memiliki persentase lemak tubuh tertinggi,

diikuti oleh orang Malaysia dan Cina. Semua 3 kelompok memiliki

persentase lemak tubuh yang lebih tinggi dari pada kulit putih.11

11

Transisi dan Perubahan Nutrisi pada Diet dan Gaya Hidup. Di

banyak negara Asia, pembangunan sosial ekonomi yang cepat telah

menyebabkan pergeseran bersamaan dalam infrastruktur, teknologi, dan

suplai makanan yang mempromosikan kelebihan gizi dan gaya hidup

menetap. Pola diet tradisional menghilang sebagai orang Asia dan

beradaptasi dengan kondisi peningkatan industri dan perkotaan akibat

globalisasi. Transisi gizi yang cepat telah menyebabkan banyak negara

menghadapi masalah dari kelebihan gizi dan kekurangan gizi.11

Di Cina antara tahun 1992 dan 2002, proporsi asupan energi dari

makanan hewani meningkat dari 9,3% menjadi 13,7% dan dari lemak dari

22% menjadi 29,8% Di India perubahan itu lebih menonjol di antara

penduduk perkotaan, yang mengkonsumsi 32% dari energi dari lemak

dibandingkan dengan 17% pada penduduk pedesaan. Peningkatan

substansial dalam asupan lemak hewan juga telah dilaporkan di Vietnam,

Jepang, Korea, dan Thailand. Sayur ghee, seperti Dalda-mentega

diklarifikasi umum digunakan dalam memasak di India dan Negara Asia

tenggara lainnya mengandung kadar asam lemak trans setinggi 50%.

Asupan lebih tinggi dari asam lemak trans telah dikaitkan dengan

penambahan berat badan, peningkatan risiko kardiometabolik, dan

resistensi insulin.11

Stress psikososial, depresi, dan jam tidur pendek , yang telah menjadi

semakin umum di negara-negara yang mengalami perkembangan ekonomi

yang pesat, telah dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi dari sindrom

12

metabolik dan diabetes di populasi Asia. Dalam metaanalisis, depresi

terkait dengan 60% peningkatan risiko diabetes tipe 2, sedangkan yang

kedua dikaitkan dengan 15% peningkatan risiko koeksistensi diabetes dan

depresi dikaitkan dengan 50% sampai 100% peningkatan risiko semua

penyebab kematian.11

Merokok. Dalam meta-analisis baru-baru ini, merokok saat dikaitkan

dengan 44% peningkatan risiko diabetes. Sebuah asosiasi positif serupa

telah dilaporkan di Korea, Taiwan, dan China. Merokok diketahui

menyebabkan resistensi insulin dan insulin tidak memadai kompensasi

tanggapan sekresi. Antara individu dengan BMI normal, perokok lebih

mungkin untuk memiliki obesitas perut daripada yang tidak merokok.11

Di banyak negara Asia, antara 50% dan 60% dari laki-laki dewasa

adalah perokok. China diikuti oleh India adalah produsen terbesar dan

konsumen rokok di dunia. Hampir 1 dari 3 rokok yang diproduksi di

seluruh dunia dikonsumsi di China. Kebanyakan orang India

menggunakan produk tembakau tanpa asap, seperti sirih, dan 40% asap

rokok sedikit. Tidak terkena pajak karena produksi yang menyediakan

lapangan kerja bagi banyak kaum miskin kota.11

Fungsi Sel Beta Pankreas. Pada 1980-an, peneliti Jepang lebih dulu

terurai yang mengurangi respon awal insulin dengan prediktor independen

untuk diabetes. Fukushima menemukan pada semua tahap intoleransi

glukosa, individu Jepang telah mengurangi awal dan akhir fase respon

insulin. Pada pria Jepang dengan toleransi glukosa normal, bahkan

13

peningkatan kecil di BMI menghasilkan penurunan fungsi sel beta yang

tidak proporsional dengan sensitivitas insulin. Dalam sampel pasien Cina

dengan diabetes tipe 2, 50% berat badan normal, dengan BMI rendah

berhubungan dengan rendahnya tingkat plasma puasa C-peptida (penanda

sekresi insulin menurun) dan tingginya kadar hemoglobin. Dalam sebuah

survei dari Jepang Amerika, daerah lemak visceral dan berkurang respon

insulin adalah prediktor independen untuk diabetes. Secara bersama-sama

di beberapa populasi Asia, respon sel beta memadai untuk meningkatkan

hasil resistensi insulin pada hilangnya kontrol glikemik dan peningkatan

risiko diabetes, bahkan dengan relatif sedikit penambahan berat badan.11

Asal Usul Perkembangan Diabetes. Banyak orang dewasa Asia yang

mengalami kesulitan besar selama masa perang atau kerusuhan sipil di

awal kehidupan yang sekarang mengalami perubahan yang ditandai dalam

gaya hidup. Selain itu, berat badan lahir rendah dan paparan gizi dalam

rahim yang umum di beberapa populasi Asia, terutama di India, di mana

30% dari bayi yang kurang gizi atau tekanan selama periode intrauterine

dapat menyebabkan perubahan permanen dalam struktur, metabolisme,

dan fisiologi melalui ekspresi diubah dari genom tanpa perubahan kode

DNA, proses yang disebut epigenetik. Peristiwa kehidupan awal ini dapat

mempengaruhi kemudian kerentanan terhadap diabetes, sindrom

metabolik, dan penyakit cardiorenal. Studi prospektif dari India telah

menunjukkan dampak kekurangan gizi janin (sering dinyatakan sebagai

berat lahir rendah) serta kelebihan gizi (misalnya, bayi dari ibu dengan

14

diabetes) adalah risiko resiko masa depan. Di India, ketipisan pada masa

bayi dan kelebihan berat badan pada usia 12 tahun dikaitkan dengan

peningkatan risiko pengembangan IGT atau diabetes pada orang dewasa.11

Kerentanan genetik. Di antara ramping, orang yang sehat cocok

untuk usia, BMI, lingkar pinggang, berat lahir, dan pola makan saat ini,

orang-orang Asia (terutama keturunan Asia Tenggara) memiliki kadar

glikemia postprandial dan sensitivitas insulin yang lebih rendah

dibandingkan kulit putih dalam menanggapi 75-g beban karbohidrat

temuan ini meningkatkan kemungkinan bahwa genetik orang Asia lebih

rentan terhadap resistensi insulin dan diabetes dibandingkan kulit putih.11

Beberapa gen diabetes baru ditemukan melalui studi genome-wide

association pada populasi kulit putih telah dikonfirmasi di Asia baik.

Namun, ada perbedaan etnis yang signifikan dalam frekuensi alel risiko

dan lokasi. Menggunakan faktor transkripsi 7-seperti 2 TCF7L2 gen

(rs7901349) sebagai contoh, frekuensi alel kecil adalah 0,03 di Asia dan

0.27 di populations. Eropa Untuk tempat tegangan saluran kalium,

subfamili Q, anggota 1 KCNQ1 gen, yang minor frekuensi alel dari

rs2237892 adalah 0,28-0,41 dan 0,05-0,07 di Asia Timur dan populasi

Eropa menerimanya. Kebanyakan varian genetik diabetes diidentifikasi

sejauh ini, termasuk di TCF7L2 dan KCNQ1, tampaknya terkait dengan

penurunan sekresi insulin dalam putih serta Asia. Selain itu, di antara

orang dewasa di Asia didiagnosis dengan diabetes sebelum usia 40 tahun,

sekitar 40% memiliki ramping, fenotipe nonautoimmune dengan obat oral

15

yang cepat failure. Sekitar 10% dari pasien-pasien ini dilakukan varian

genetik pengkodean jalur sel beta pankreas, termasuk faktor transkripsi

dan amylin, atau polimorfisme mitokondria. Temuan ini memberikan bukti

lebih lanjut bahwa disfungsi sel beta memainkan peran penting dalam

pengembangan diabsetes di Asia.11

Faktor Risiko lainnya. Muncul bukti menunjukkan bahwa paparan

iritasi lingkungan, seperti pencemar organik yang persisten, terkait dengan

peningkatan resistensi insulin, sindrom metabolik, dan diabetes. Studi dari

Taiwan dan Bangladesh telah menemukan hubungan yang kuat antara

paparan arsenik kronis dan risiko diabetes.11

Konsisten dengan penelitian dalam kulit putih, Sun dkk menemukan

bahwa kelebihan zat besi moderat diperkirakan diabetes pada orang

Tionghoa. Hemoglobinopathies, seperti α dan β thalassemia sifat dan

penyakit H hemoglobin, yang dikaitkan dengan peningkatan omset besi,

hadir di 8% sampai 10% dari individu Cina. Orang Asia dengan ciri-ciri

talasemia dilaporkan memiliki peningkatan risiko beberapa kali lipat

diabetes gestasional, resistensi insulin, dan intoleransi glukosa.11

Faktor resiko DM sangat erat kaitan dengan perilaku tidak sehat, yaitu

diet tidak sehat dan tidak seimbang, kurang aktivitas fisik, merokok,

mempunyai berat badan lebih (obesitas), hipertensi, hiperkolestrolemi, dan

konsumsi alkohol.12

Berkaitan dengan faktor resiko tersebut diatas, riskesdas tahun 2007

telah menghasilkan angka-angka prevalensi faktor resiko DM sebagai

16

berikut : prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk berumur > 15

tahun sebesar 10,3%, dan obesitas sentral sebentar 18,8%, prevalensi

nasional hipertensi berdasarkan pengukuran pada penduduk berumur > 18

tahun adalah 29,8%. Prevalensi nasional merokok setiap hari pada

penduduk berusia >10 tahun sebesar 23,7% dan sebanyak 85,4% perokok

telah merokok di dalam rumah mereka ketika bersama dengan anggota

keluarganya. Prevalensi nasional kurang makan buah dan sayur pada

penduduk berusia >10 tahun sebesar 93,6% dari prevalensi kurang

aktivitas fisik pada penduduk berumur >10 tahun sebesar 48,2%

sedangkan untuk prevalensi perokok pada 12 bulan terakhir sebesar

4,6%.12

D. Diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2

Diagnosis DM harus didasarkan pada pemeriksaan konsentrasi glukosa

darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan

darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis,

pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara

enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis

DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium

klinik yang terpercaya (yang melakukan program pemantauan kendali

mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat

dapat juga dipakai bahan darah untuk (whole blood), vena ataupun kapiler

dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostic yang berbeda

17

sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat

diperiksa glukosa darah kapiler.8

Ada perbedaan antara uji diagnosik DM dan pemeriksaan penyaring.

Uji diagnostic DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda

DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi

mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. (Serangkaian

uji diagnostic akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil

pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis defenitif).8

PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar

berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari

poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat badan menurun tanpa sebab yang

jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka

yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria), dan pruritus

vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa

darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis,

namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali

pemeriksaan glukosa darah abnormal.8

Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik DM

Kriteria Diagnosis DM

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL

(11,1 mmol/L)

2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0

mmol/L)

Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan

18

sedikitnya 8 jam

3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)

TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban

glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang

dilarutkan kedalam air

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi

3 yaitu:

< 140 mg/dL : normal

140 - < 200 mg/dL : toleransi glukosa terganggu

≥ 200 mg/dL : diabetes

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan

konsentrasi glukosa darah sewaktu atau konsentrasi glukosa darah puasa,

kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.8

Table 2.2 Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai

Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL)

Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL)

Bukan DM

Belum pasti DM

DM

Konsentrasi glukosa

Plasma vena

< 100 100-199 ≥ 200

Darah sewaktu (mg/dL)

Darah kapiler

< 90 90-199 ≥ 200

Konsentrasi glukosa

Plasma vena

< 100 100-125 ≥126

19

Darah puasa (mg/dL)

Darah kapiler

< 90 90-99 ≥ 100

E. Pengertian Rokok

Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70

hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10

mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar

pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat

dihirup lewat mulut pada ujung lainnya.13

F. Jenis Rokok

Menurut Sitepoe, M. (1997), rokok berdasarkan bahan baku atau isi di

bagi tiga jenis:

1. Rokok Putih : rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun tembakau

yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.

2. Rokok Kretek : rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun

tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan

aroma tertentu.

3. Rokok Klembak : rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun

tembakau, cengkeh, dan kemenyan yang diberi saus untuk mendapatkan

efek rasa dan aroma tertentu.13

Rokok berdasarkan penggunaan filter dibagi dua jenis :

1. Rokok Filter (RF) : rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus.

2. Rokok Non Filter (RNF) : rokok yang pada bagian pangkalnya tidak

terdapat gabus.13

20

G. Kandungan Rokok

Lebih dari 4000 substansi yang telah diidentifikasi dalam asap rokok,

termasuk beberapa bahan yang secara farmakologis bersifat aktif,

antigenik, sitotoksik, mutagenik, dan karsinogenik : berbagai efek biologik

ini memberikan kerangka untuk memahami akibat yang merugikan dari

merokok. Lebih dari 70.000 kali setahun perokok mengisap satu bungkus

rokok sehari, dan membrane mulut, hidung, faring, dan saluran

trakeobronkial terpajan berulang kali dengan asap tembakau. Beberapa

unsur rokok mempengaruhi membrane, sedangkan yang lain diabsorpsi ke

dalam darah atau terlarut dalam saliva dan tertelan.10

Sistem jarinagn dan organ memberikan reaksi yang multiple dan

kompleks terhadap asap rokok yang diinhalasi. Banyak penelitian terhadap

manusia yang telah terpajan dengan asap rokok atau unsur rokok tertentu

yang diperkirakan mempunyai resiko yang besar terhadap kesehatan,

seperti nikotin dan karbonmonoksida. Relative sedikit diketahui mengenai

efek individu dan interaksi unsur pokok asap lainnya yang secara potensial

beracun apabila terdapt dalam konsentrasi rendah.10

Zat-zat beracun yang terdapat dalam rokok antara lain adalah sebagai

berikut :

1. Nikotin

Komponen ini paling banyak dijumpai di dalam rokok. Nikotin

yang terkandung di dalam asap rokok antara 0.5-3 ng, dan semuanya

diserap, sehingga di dalam cairan darah atau plasma antara 40-50

21

ng/ml. Nikotin merupakan alkaloid yang sangat toksik yakni stimulant

dan depresan ganglionik. Banyak efek kompleksnya diperantarai oleh

pelepasan katekolamin. Reaksi kardiovaskuler akut akibat nikotin yang

diobservasi pada perokok yang sehat meliputi peningkatan tekanan

darah baik sistolik maupun diastolic, peningkatan denyut jantung,

peningkatan kekuatan kontraksi miokard, peningkatan konsumsi

oksigen, dan vasokonstriksi perifer. Nikotin juga meningkatkan serum

glukosa, kortisol, asam lemak bebas, vasopressin, dan ß-endorfin.10

Nikotin yaitu zat atau bahan senyawa porillidin yang terdapat

dalam Nicotoana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya yang

sintesisnya bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan.

Nikotin ini dapat meracuni saraf tubuh, meningkatkan tekanan darah,

menyempitkan pembuluh perifer dan menyebabkan ketagihan serta

ketergantungan pada pemakainya.13

2. Karbon Monoksida (CO)

Karbon monoksida (CO) merupakan gas beracun yang

mengganggu pengangkutan dan penggunaan oksigen. Oleh karena asap

rokok mengandung 2-6% karbon monoksida, perokok mengisap kadar

karbon monoksida setinggi-tingginya 400 bagian per juta (ppm), cukup

untuk meningkatkan kadar karboksihemoglobin (COHb). Kadar COHb

pada seorang perokok berkisar dari 2-15%. Sedangkan pada orang

yang tidak merokok mendekati 1%. Kadar COHb rata-rata pada

seorang perokok sedang adalah 5%. Efek buruk dari karbon monoksida

22

adalah mengurangi jumlah oksihemoglobin dan mioglobin yang ada

dan mengubah kurva disosiasi oksigen-hemoglobin kea rah kiri.

Peningkatan kadar COHb yang ringan dalam waktu lama akibat rokok

merupakan penyebab yang sering pada polisitemia ringan dan dapat

mengakibatkan gangguan fungsi sistem saraf pusat yang tidak

terlihat.10

3. Tar

Tar merupakan bagian partikel rokok sesudah kandungan nikotin

dan uap air diasingkan. Tar adalah senyawa polinuklin hidrokarbon

aromatika yang bersifat karsinogenik. Dengan adanya kandungan tar

yang beracun ini, sebagian dapat merusak sel paru karena dapat

lengket dan menempel pada jalan nafas dan paru-paru sehingga

mengakibatkan terjadinya kanker. Pada saat rokok dihisap, tar masuk

kedalam rongga mulut sebagai uap padat asap rokok. Setelah dingin

akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna coklat pada

permukaan gigi, saluran pernafasan dan paru-paru. Pengendapan ini

bervariasi antara 3-40 mg per batang rokok, sementara kadar dalam

rokok berkisar 24-45 mg. Sedangkan bagi rokok yang menggunakan

filter dapat mengalami penurunan 5-15 mg. Walaupun rokok diberi

filter, efek karsinogenik tetap bisa masuk dalam paru-paru, ketika pada

saat merokok hirupannya dalam-dalam, menghisap berkali-kali dan

jumlah rokok yang digunakan bertambah banyak.13

4. Timah Hitam (Pb)

23

Timah Hitam (Pb) yang dihasilkan oleh sebatang rokok sebanyak

0,5 ug. Sebungkus rokok (isi 20 batang) yang habis dihisap dalam satu

hari akan menghasilkan 10 ug. Sementara ambang batas bahaya timah

hitam yang masuk ke dalam tubuh adalah 20 ug per hari.13

5. Amoniak

Amoniak merupakan gas yang tidak berwarna yang terdiri dari

nitrogen dan hidrogen. Zat ini tajam baunya dan sangat merangsang.

Begitu kerasnya racun yang ada pada ammonia sehingga jika masuk

sedikit pun ke dalam peredaran darah akan mengakibatkan seseorang

pingsan atau koma.13

6. Hidrogen Sianida (HCN)

Hidrogen sianida merupakan sejenis gas yang tidak berwarna, tidak

berbau dan tidak memiliki rasa. Zat ini merupakan zat yang paling

ringan, mudah terbakar dan sangat efisien untuk menghalangi

pernapasan dan merusak saluran pernapasan.13

Sianida adalah salah satu zat yang mengandung racun yang sangat

berbahaya Sedikit saja sianida dimasukkan langsung ke dalam tubuh

dapat mengakibatkan kematian.13

7. Nitrous Oxide

Nitrous oxide merupakan sejenis gas yang tidak berwarna, dan bila

terhisap dapat menyebabkan hilangnya pertimbangan dan

menyebabkan rasa sakit.13

8. Fenol

24

Fenol adalah campuran dari kristal yang dihasilkan dari distilasi

beberapa zat organic seperti kayu dan arang, serta diperoleh dari tar

arang. Zat ini beracun dan membahayakan karena fenol ini terikat ke

protein dan menghalangi aktivitas enzim.13

9. Hidrogen sulfida

Hidrogen sulfida adalah sejenis gas yang beracun yang gampang

terbakar dengan bau yang keras. Zat ini menghalangi oksidasi enzim

(zat besi yang berisi pigmen).13

H. Kategori Perokok

1. Perokok Pasif

Perokok pasif dalah asap rokok yang di hirup oleh seseorang yang

tidak merokok (Pasive Smoker). Asap rokok merupakan polutan bagi

manusia dan lingkungan sekitarnya. Asap rokok lebih berbahaya terhadap

perokok pasif daripada perokok aktif. Asap rokok yang dihembuskan oleh

perokok aktif dan terhirup oleh perokok pasif, lima kali lebih banyak

mengandung karbon monoksida, empat kali lebih banyak mengandung tar

dan nikotin.13

2. Perokok Aktif

Menurut Bustan (1997) rokok aktif adalah asap rokok yang berasal

dari hisapan perokok atau asap utama pada rokok yang dihisap

(mainstream). Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

perokok aktif adalah orang yang merokok dan langsung menghisap rokok

25

serta bisa mengakibatkan bahaya bagi kesehatan diri sendiri maupun

lingkungan sekitar.13

I. Jumlah Rokok yang Dihisap

Menurut Bustan (1997) jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan

batang, bungkus, pak per hari. Jenis rokok dapat dibagi atas 3 kelompok

yaitu :

1. Perokok Ringan : Disebut perokok ringan apabila merokok kurang dari

10 batang per hari.

2. Perokok Sedang : Disebut perokok sedang jika menghisap 10-20 batang

per hari.

3. Perokok Berat : Disebut perokok berat jika menghisap lebih dari 20

batang.13

J. Lama Menghisap Rokok

Menurut Bustan (1997) merokok dimulai sejak umur kurang dari 10

tahun atau lebih dari 10 tahun. Semakin awal seseorang merokok makin

sulit untuk berhenti merokok. Rokok juga punya dose-response effect,

artinya semakin muda usia merokok, akan semakin besar pengaruhnya.

Apabila perilaku merokok dimulai sejak usia remaja, merokok dapat

berhubungan dengan tingkat arterosclerosis.13

Risiko kematian bertambah sehubungan dengan banyaknya merokok

dan umur awal merokok yang lebih dini. Merokok sebatang setiap hari

akan meningkatkan tekanan sistolik 10–25 mmHg dan menambah detak

26

jantung 5–20 kali per menit. Dampak rokok akan terasa setelah 10-20

tahun pasca digunakan.13

K. Berhenti Merokok

Sebenarnya sekitar 70%-80% perokok ingin berhenti merokok

tetapi hanya kurang separuh dari mereka yang akhirnya benar-benar dapat

berhenti merokok total sebelum usia 60 tahun. Malahan ada data yang

menyebutkan walaupun sampai 40% perokok serius mencoba berhenti

merokok hanya 3% yang benar-benar berhenti dalam 6 bulan mendatang.14

Berhenti merokok memberikan keuntungan baik fisis, psikologis,

maupun ekonomik dengan segera maupun jangka panjang. Dalam waktu

beberapa hari setelah berhenti merokok daya cium dan daya kecap

seseorang akan mengalami perbaikan. Satu tahun setelah berhenti merokok

terdapat penurunan drastic dari resiko terjadinya infark miokard. Berhenti

merokok akan mengurangi resiko terjadinya kanker yang berkaitan dengan

tembakau, infark miokard, penyakit serebrovaskuler, dan penyakit paru

obstruksi kronik. Pengaruh berhenti merokok bagi kesehatan lebih lanjut

adalah menambah berat badan sekitar 5 pons atau dapat menimbulkan efek

psikologis yang merugikan yang dapat terjadi setelah berhenti.10

Berhenti merokok merupakan proses yang bersifat dinamik, siklik

yang bertujuan untuk mengatasi perilaku ketagihan. Perokok mengalami

beberapa tahapan dalam usahanya untuk berhenti, berusaha untuk berhenti,

dan mempertahankan status sebagai mantan perokok, tanpa mengalaminya

lagi. Faktor yang mendorong proses penghentian dalam waktu yang lama

27

meliputi berkurangnya penerimaan masyarakat terhadap rokok,

meningkatnya kesadaran akan konsekuensi kesehatan bagi perokok aktif

atau pasif, dan meningkatnya harga produk tembakau (rokok). Faktor yang

menyebabkan seseorang untuk merokok lagi meliputi sangat

membutuhkan nikotin, bertambahnya beart badan, tekanan social, dan

berusaha untuk mengatasi perasaan tidak enak dan konflik interpersonal.10

L. Rokok dan Diabetes Melitus Tipe 2

Merokok merupakan faktor risiko terkenal untuk jantung koroner

penyakit yang disebabkan oleh keruskan vaskular melalui perubahan

patologis seperti arteriosklerosis melalui mekanisme peradangan dan

disfungsi endotel. Merokok juga meningkatkan aktivitas saraf simpatis,

yang pada gilirannya meningkatkan tonus pembuluh darah, meningkatkan

pengeluaran energi, mengeluarkan kortikoid, dan mengarah ke jantung

overburden. Diabetes juga menyebabkan mikro dan makro vaskular

komplikasi akibat berkepanjangan hiperglikemia. Sampai batas tertentu,

efek dalam kondisi fisik merokok dan diabetes mirip, yang membawa

pertanyaan jika ada hubungan antara merokok dan diabetes. setelah dekade

penelitian, mengumpulkan baris bukti epidemi telah menyarankan bahwa

perokok kronis memiliki risiko lebih tinggi untuk resisten insulin,

menunjukkan beberapa aspek insulin Sindrom resistensi, dan

mengembangkan diabetes mellitus tipe 2 (DM2). Risiko sangat terkait

dengan tingkat merokok dan independen dari merokok disebabkan efek

vascular. Dilaporkan bahwa perokok berat (sedikitnya 20 batang rokok

28

setiap hari) memiliki risiko 61% lebih tinggi, sementara kurang dari 20

batang sehari-hari yang berkorelasi dengan peningkatan 29% dari risiko.

Mantan perokok beresiko risiko 23% lebih tinggi. Sementara itu, temuan

ini konsisten dengan hubungan dosis respons, dengan asosiasi kuat bagi

perokok berat relatif perokok lebih ringan dan untuk perokok aktif relatif

terhadap mantan perokok. Dengan demikian, temuan ini menunjukkan

bahwa merokok dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2 dan

perokok kronis memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi resisten insulin

atau kompensasi yang tidak memadai respon sekresi insulin.15

Sejumlah studi eksperimental dan klinis menunjukkan merokok

menurunkan sensitivitas insulin, dan akibatnya terjadi gangguan glukosa

dan metabolisme lipid sebagai hiperglikemia dan dislipidemia termasuk

rendahnya kolesterol HDL dan intoleransi lipid postprandial. Pada pasien

diabetes tertentu, jelas bahwa merokok memperburuk kontrol metabolik.

Dosis insulin yang lebih besar diperlukan untuk mencapai kontrol

metabolik pada pasien yang merokok dibanding pasien yang tidak

merokok.15

Efek nikotin pada aksi insulin, sekresi, dan pengembangan diabetes

telah banyak dipelajari baik pada model hewan dan subyek manusia.

Hasilnyamenunjukkan paparan nikotin bisa menyebabkan pengurangan

pelepasan insulin, dan berpengaruh negatif terhadap tindakan insulin,

nikotin bisa menjadi penyebab untuk pengembangan resistensi insulin.

Disfungsi mitokondria, oksidatif stres, dan peradangan terlibat sebagai

29

dasar mekanisme nikotin yang menginduksi kehilangan sel β pankreas.

Bukti-bukti ini bersama-sama menunjukkan bahwa merokok dapat

mempengaruhi tindakan insulin dan fungsi sel pankreas.15

Gambar 2.1 Kerangka Teori. Modifikasi dari : Chan JC, Malik V, Jia W et all

(2009) dan Departemen Kesehatan (2008)

30

Kurang aktifitas fisik

Merokok

Diet dan gaya hidup yang tidak

benar

Genetik Hipertensi

Diabetes Melitus tipe 2

Obesitas

Hiperkolestrolemi Alkohol

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka yang djelaskan dan maksud serta

tujuan penelitian maka disusunlah variabel pola pikir. Menurut

kepustakaan terdapat banyak faktor risiko yang menyebabkan terjadinya

penyakit DM khususnya pada umur 45-64 tahun , salah satu diantaranya

adalah kebiasaan merokok, tetapi berhenti dari kebiasaan merokok adalah

meninggalkan kebiasaan tidak sehat menjadi sehat, tetapi disii lain bagi

sebagian besar yang berhenti merokok semakin memacu apptetite yang

tidak terkontrol sehingga lebih memacu mengidap DM.

B. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Kerangka Konsep

31

vTidak merokok

Pernah merokok

Baru berhenti merokok

Merokok

Diabetes Melitus Tipe 2

v

v

v

C. Defenisi Operasional

Variabel Dependent (DM type 2)

Definisi : Penyakit dengan kadar gula darah yang melebihi

normal dan menunjukkan gejala cepat lapar, cepat haus, sering buang air

kecil terutama di malam hari.

Alat ukur : Daftar tilik

Cara ukur : wawancara

Hasil Ukur : Ya : menderita DM tipe 2

Tidak : tidak menderita Dm tipe 2

Ada beberapa variabel yang tidak diukur, yang turut dijadikan variabel

yang dianggap sebagai prediktor yaitu:

1. Berat Badan (range BMI)

2. Lingkar Perut

3. Tinggi Badan

4. Sistolik

5. Diastolik

6. HDL

7. Trigliserida

32

Variabel Independent (Merokok)

Tidak Merokok

Definisi : Seseorang yang tidak pernah mengkonsumsi rokok

sampai saat ini

Alat ukur : Daftar tilik

Cara ukur : Ya

Tidak

Hasil Ukur : Nominal

Mantan perokok

Definisi : Seseorang yang pernah mengkonsumsi rokok dulu

namun sekarang sudah berhenti mengkonsumsi rokok

Alat ukur : Daftar tilik

Cara ukur : Pernah merokok dan hanya mengurangi

Pernah merokok dan berhenti total

Hasil Ukur : Nominal

Baru Berhenti Merokok

Definisi : Seseorang yang kurang dari 3 bulan baru berhenti

merokok setelah sebelumnya pernah merokok

33

Alat ukur : Daftar tilik

Cara ukur : Pernah, berhenti merokok >3 bulan yang lalu

Pernah, berhenti merokok <3 bulan yang lalu

Hasil Ukur : Nominal

Merokok

Definisi : Seseorang yang dalam kesehariannya masih

mengkonsumsi rokok dengan rutin

Alat ukur : Daftar tilik

Cara ukur : Ya

Tidak

Hasil Ukur : Nominal

D. Hipotesis

Ho : Tidak ada pengaruh berhenti merokok dengan kejadian

diabetes melitus

Ha : Ada pengaruh berhenti merokok dengan kejadian diabetes

melitus

34

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan adalah observasional yaitu melakukan

pengamatan/ pengukuran terhadap berbagai variabel subyek penelitian

menurut keadaan alamiah, tanpa melakukan manipulasi atau intervensi.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancagan penelitian cross

sectional yaitu suatu penelitian yang menyangkut bagaimana faktor-faktor

resiko dipelajari dan efeknya dalam waktu bersamaan.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kota Makassar pada bulan November –

Desember 2014

C. Tempat pengumpulan Data

Di RSUD Syekh Yusuf Kab. Gowa

D. Jenis Data

Data yang digunakan adalah data primer berupa hasil wawancara

langsung dengan penderita dan data sekunder yang diambil dari catatan

rekam medik sampel penelitian ditempat penelitian untuk memperoleh

informasi yang akurat sehubungan dengan masalah penelitian.

35

E. Populasi penelitian

a. Populasi target

Populasi target dalam penelitian adalah semua penderita DM tipe 2

Populasi terjangkau, yaitu bagian populasi target yang dibatasi oleh waktu

dan tempat, adalah semua penderita DM tipe 2 yang didiagnosa ,menderita

DM tipe 2 akibat merokok.

b. Sampel

1) Kriteria inklusi :

a) Pasien Rumah Sakit Syekh Yusuf Kab. Gowa

b) Pasien yang menderita Diabetes Melitus tipe 2

c) Pasien DM dengan riwayat merokok

d) Pasien DM dengan riwayat tidak merokok

2) Kriteria ekslusi :

a) Pasien yang tidak menderita diabetes melitus

b) Pasien yang tidak bersedia menjadi responden

c) Pasien dengan riwayat keluarga DM

F. Cara Pengambilan Sampel

Sampel diambil dengan Teknik Total Sampling

Pengambilan sampel dilakukan secara bersamaan pada penderita DM tipe

2 yang menjadi pasien RSUD Syekh Yusuf kab. Gowa.

36

G. Besar Sampel

Menurut M. Sopiyuddin Dahlan (2010) rumus besar

sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumus

penelitian analitik kategorik tidak berpasangan dengan

desain cross sectional, yaitu:

n=¿¿

Kesalahan tipe I = 10%, hipotesis satu arah, Zα = 1,645

Kesalahan tipe II = 20%, maka Zβ = 0,842

P2 = Proporsi pajanan pada kelompok kasus sebesar 0,034

Q2 = 1- P2 = (1-0.034) = 0,966

P1-P2 = selisih proporsi pajanan yang dianggap bermakna,

ditetapkan sebesar 0,2

P1 = P2 + 0,2 = 0,034 + 0,2 = 0,234

Q1 = (1-P1) = (1- 0,234) = 0,766

P = (P1 + P2)/2= ( 0,234 + 0,034 )/2 = 0,134

Q = (1 – P ) = ( 1 – 0,134 ) = 0,866

n=¿¿

n=¿¿

n=¿¿

37

n=¿¿

n=¿¿

n=¿¿

n=( 1,1770,2 )

2

n=(5,88 )2

n=34,61=35

Besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini yakni

minimal 35 orang.

H. Instrument Penelitian

Instrument penelitian yang digunakan adalah Daftar tilik yang

berbentuk pertanyaan sebagai alat bantu untuk mengumpulkan data primer

I. Cara Pengumpulan Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah jenis data primer

dan sekunder. Data primer diambil melalui wawancara langsung pada

penderita DM tipe 2 dan data sekunder melalui hasil pencatatan data yang

telah ada di RSUD Syekh Yusuf Kab. Gowa

J. Analisis Data

Data yang akan diperoleh melalui penelitian akan diolah menggunakan

program SPSS dan dianalisis

a. Analisis Univariat

38

Data yang diolah kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi

frekuensi berdasarkan masing-masing variabel untuk presentase dan

disertai dengan penjelasan

b. Analisi Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel

dependen (Diabetes type 2) dengan variabel independen (berhenti

merokok).

Uji statistik yang digunakan yaitu Chi-Square, karena variabel

independen dan dependennya termasuk dalam jenis variabel kategorik.

Keputusan uji statistik dalam uji Chi-Square adalah p-value ≤ 0,05

maka hasil perhitungan statistik signifikan. Artinya ada hubungan

antara variabel independen dan variabel dependen. Sedangkan p-value

> 0,05 berarti tidak ada hubungan antara variabel independen dan

variabel dependennya.

Dalam uji Chi-Square ini untuk mengetahui derajat hubungan

digunakan nilai Odds Ratio (OR) yaitu perbandingan nilai odds pada

kelompok terekspose dengan odds kelompok tidak terekspose. Ukuran

OR ini biasa digunakan untuk desain penelitian case control atau cross

sectional.

Interpretasi nilai OR adalah sebagai berikut :

a. Nilai OR <1 maka tidak ada hubungan antara eksposure dengan

outcome.

39

b. Nilai OR >1 dan 95% CI termasuk 1 didalamnya maka tidak

ada hubungan antara eksposure dengan outcome.

c. Nilai OR >1 dan 95% CI tidak termasuk 1 didalmnya maka ada

hubungan antara eksposure dengan outcome.

K. Penyajian Data

Penyajian data yang digunakan dalam bentuk teks dan

tabel.

L. Aspek Etika Penelitian

Sebelum penelitian dimulai, peneliti harus

mendapatkan persetujuan dari subjek penelitian setelah

yang bersangkutan mendapatkan penjelasan dari peneliti.

DAFTAR PUSTAKA

40

1. Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. Buku Ajar Patofisiologi. 1st Engl.Ed.

Hartono A ‘Ahli Bahasa’. Komalasari R, Tampubolon A, Ester M ‘editor’.

Jakarta : EGC, 2012. 519 p

2. World Health Organization. Diabetes Mellitus. Media Center. 2014

3. Wild S, Roglic G, Green A et all. Global Prevalence of Diabetes Estimates

for The Years 2000 and Projections for 2030. World Health Organization.

2004 May 27. 1051p

4. Sicree R, Shaw J, Zimmet P. The Global Burden Diabetes and Impaired

Glucose Tolerance. International Diabetes Federation. 2010 ; 4. 27p

5. Riset kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. 121p

6. Corwin EJ. Buku saku Patofisiologi. 3rd rev.ed. Subekti NB ‘Ahli Bahasa’.

Yuda EK, Wahyuningsi E, Yulianti D et all ‘Editor’. Jakarta : EGC. 2009.

624p

7. Prince SA and Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. 6th rev.ed. Pendit BU, Hartanto H, Wulansari P et all’Ahli

Bahasa’. Hartanto H, Susi H, Wulansari P et all ‘Editor’. Jakarta : EGC.

2012.1261p

8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi L et all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

5th rev.ed. Jakarta : InternalPublishing. 2009. 1880p

9. Guyton AC and Hall JE. Buku Ajar Patofisiologi Kedokteran. 11th rev.ed.

Irawati, ramadhani D, Indriyani F, Dany F et all ‘Ahli Bahasa’. Rachman

41

LY, Hartanto H, Novrianti A, Wulandari N ‘Editor’. Jakarta : EGC.

2008.1022-23p

10. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB et all. Harrison

Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. 13th rev.ed. Asdie AH ‘Editor’.

Jakarta : EGC. 2013. 2196.2200p

11. Chan JC, Malik V, Jia W, Kadowaki T et all. Diabetes in Asia

Epidemiology, Risk Factor and Patophysiology. American Medical

Assosiation. 2009 May 27:301: 2133-35p

12. Pedoman Pengendalian Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik.

Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Direktorat Jenderal

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen

Kesehatan Republik Indonesia. 2008. 3p

13. Zulkeflie. Pengaruh Tekanan Darah Pada Perokok di Kalangan

Mahasiswa Lelaki Angkatan 2007 Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara. Medan: USU Institusional Repository.2011

14. Aditama TY. Tuberkulosis, Rokok dan Perempuan. Jakarta : Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011.41.42p

15. Wakui M, Wu J, Liu Q, Xie X. Impact of Cigarette Smoking in Type 2

Diabetes Development. Acta Pharmacol Sin. 2009 June; 784-86p

42