program studi hukum keluarga fakultas syariah dan … · serta hak dan kewajiban antara orang tua...
TRANSCRIPT
NAFKAH IDDAH PADA CERAI TALAK ISTERI YANG NUSYUZ
(ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT NOMOR
585/PDT.G/2017/PA.JB)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
AMZA MAULANA
NIM. 11140440000098
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2018 M
v
ABSTRAK
Amza Maulana NIM 11140440000098 NAFKAH IDDAH PADA CERAI
TALAK ISTERI YANG NUSYUZ (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta
Barat Nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB). Program STUDI Hukum Keluarga (Ahwal
Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 1439 H/2018 M. viii + 81 halaman + 20 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui alasan yang digunakan hakim
dalam memutus perkara nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB kasus cerai talak yang
menetapkan nafkah iddah bagi isteri yang melakukan nusyuz dan bertujuan untuk
mengetahui apa yang menjadi dasar hakim dalam memutuskan perkara tersebut.
Serta untuk mengetahui status nafkah iddah bagi isteri yang nusyuz dari sudut
pandang Agama Islam dan dari sudut pandang hukum positif yang berlaku di
Indonesia serta dari sudut keadilan gender.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yang bertujuan
untuk menemukan sebuah pemahaman dalam bentuk deskriptif. Pendekatan yang
digunakan pendekatan normatif. Sumber data primer yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat.
Sedangkan untuk data skunder menggunakan putusan Pengadilan Agama Jakarta
Barat Nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB, peraturan perundang-undangan dan buku-
buku yang terkait. Teknis penulisan yang digunakan berdasarkan buku “Pedoman
Penulisan Skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
Berdasarkan dari hasil penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa tidak
setiap perkara cerai talak akibat isteri yang nusyuz gugur hak nafkah iddahnya.
Majelis Hakim berpendapat bahwa apabila isteri melakukan nusyuz akibat sikap
suami maka hakim boleh menetapkan nafkah iddah bagi isteri ataupun apabila
ternyata suami menyatakan bersedia dan rela untuk memberikan nafkah iddah
maka hakim boleh menetapkan nafkah iddah bagi isteri yang nusyuz. Hakim pun
berpendpat bahwa pasal yang tertuang didalam KHI pasal 149 huruf (b) dan pasal
152 bukan pasal yang tetap akan tetapi dapat berubah sesuai keadaan yang terjadi
karna hakim pun memiliki sifat bebas berpendapat jikalau hakim melihat ada yang
lebih mashlahat. Lalu jika dilihat dari alasan-alasan yang digunakan hakim dalam
menetapkan nafkah iddah pada isteri yang nusyuz, hakim berpegangan kepada
teori keadilan gender. Di mana hakim lebih mengedepankan keadilan bagi mantan
isteri dengan menilai bahwa isteri takan melakukan nusyuz tanpa ada sebab dan
melihat betapa berat kehidupan bagi mantan isteri setelah perceraian. Dengan
demikian hakim telah merubah keadilan formal menjadi keadilan yang subtantif.
Yaitu, merubah keadilan yang sesuai dengan bunyi ketentuan hukum yang tertulis
kepada keadilan yang secara nyata berlaku dan dapat dinikmati.
Kata kunci : Nusyuz, Nafkah Iddah, Perkara Nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB
Pembimbing : Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H
vi
KATA PENGANTAR
ــن الرحيـــــــمم هللا الرحمــــــــــبس
Alhamdulillah segala puji dan rasa syukur yang tak terhingga penulis
panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan
kasih sayangnya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat
untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum (S.H.).
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW yang telah mengantarkan umatnya dari zaman kejahilan kepada
zaman yang penuh dengan cahaya ilmu.
Skripsi ini penulis hadiahkan kepada ayahanda Aden dan Ibunda Drs.
Ma’lah yang selalu memberikan dorongan, semangat dan tak henti-hentinya
mendoakan tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah limpahkan rahmat dan
kasih sayangnya kepada mereka dan semoga Allah panjangkan umur keduanya.
Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit kesulitan yang penulis hadapi,
namun dengan rasa syukur atas nikmat dan ridha-Nya serta dukungan, motivasi
dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung ataupun tidak langsung
semua hambatan yang ada bisa dilewati semua. Oleh karna itu penulis pada
kesempatan kali ini ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Phil. H. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukun Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga
Fakultas Syariah dan Hukun Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H., selaku dosen pembimbing
skripsi yang dengan tulus meluangkan waktunya dan sabar dalam memberi
bimbingan, koreksi serta arahan selama membimbing penulis.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta Staf Pengajar Program Studi Hukum
Keluarga Fakultas Syariah dan Hukun Universitas Islam Negeri Syarif
vii
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama
penulis belajar di bangku perkuliahan.
5. Staf Karyawan Akademik, Staf Perpustakaan Utama UIN dan Staf
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memudahkan
penulis dalam mencari referensi.
6. Drs.H. Mhd Nasir S.H., M.H., sebagai Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Barat Yang telah membantu dan membimbing selama wawancara.
7. Segenap Staf Pengadilan Agama Jakarta Barat khususnya kepada Bapak
Muhammad Hambali S.H., yang telah memberikan data kepada penulis
sebagai bahan skripsi.
8. Kedua orang tua penulis Bapak Aden dan Ibu Drs. Ma’lah yang selalu
mendoakan dan memberi semangat kepada penulis.
9. Kawan-kawan seperjuangan SAS 14 dan teman-teman KKN Devition 15
yang memberikan semngat dan motivasi kepada penulis.
10. Zahra Lutfiana S.Ag., yang selalu memberikan semangat dan dukungan
serta sabar menemani dari awal penulisan hingga terselesaikan skripsi ini.
Tidak ada yang dapat penulis berikan sebagai ucapan terimakasih tetapi
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan kebaikan
yang berlipat ganda.
Jakarta, 16 September 2018
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................... 5
C. Pembatasan Masalah .................................................................. 6
D. Rumusan Masalah ...................................................................... 6
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 7
F. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ........................................... 7
G. Metode Penulisan ....................................................................... 9
H. Sistematika Penulisan ................................................................ 11
BAB II NUSYUZ DAN HAK-HAK PEREMPUAN DALAM
PERKAWINAN
A. Teori Nusyuz .............................................................................. 13
B. Teori Gender .............................................................................. 22
C. Hak-Hak Perempuan dalam Perkawinan ................................... 29
BAB III PERCERAIAN DAN NAFKAH IDDAH
A. Perceraian dalam Perspektif Fikih dan Perundang-undangan .... 35
B. Nafkah Iddah dalam Perspektif Fikih dan
Perundang-undangan .................................................................. 40
C. Implementasi Nafkah Iddah di Pengadilan Agama .................... 51
ix
BAB IV IMPLEMENTASI NAFKAH IDDAH DALAM KASUS NUSYUZ
DI PENGADILAN
A. Profil Singkat Pengadilan Agama Jakarta Barat ........................ 54
B. Deskripsi Putusan ....................................................................... 57
C. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan Hakim ...................... 62
D. Analisa Penulis ........................................................................... 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 75
B. Saran ........................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 78
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Surat Memohon Kesedian Pembimbing Skripsi
2. Surat Permohonan Wawancara ke Pengadilan Agama Jakarta Barat
3. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara dari Pengadilan
Agama Jakarta Barat
4. Pedoman Wawancara
5. Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat
6. Putusan Nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan lembaran kehidupan babak baru bagi setiap insan
yang melakukannya. Ia adalah aktivitas kemanusiaan dengan makna yang
luas dan dimensi ibadah seperti ungkapan Nabi Muhammad SAW النكاح
تيسن (nikah merupakan bagian sunnahku). Hukum pernikahan telah diatur
dalam agama Islam dengan cara yang sebaik-baiknya agar tercipta satu rumah
tangga atau suami isteri yang berbahagia dunia dan akhirat.1
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup
berjodoh-jodoh, adalah naluri setiap makhluk Allah, termasuk manusia. Dari
makhluk yang diciptakan berpasang-pasangan inilah Allah SWT menciptakan
manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi
berikutnya2.
Menurut mazhab Syafi’iyah nikah dirumuskan sebagai akad yang
menjamin kepemilikan untuk bersetubuh dengan menggunakan lafal Inkâh
atau tazwîj. Masih dalam kaitan dengan definisi perkawinan juga bisa lihat
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dalam kaitan ini
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, merumuskan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.3 Dari rumusan di atas jelas bahwa ikatan lahir
batin harus ada dalam sebuah perkawinan. Adanya ikatan lahir batin yang
baik antara suami dan isteri akan menjadi pondasi utama dalam terbentuknya
1 Hussein Bahreisj, 450 Masalah Agama Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1980), h. 157.
2 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 11-12.
3 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,(Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 45.
2
keluarga yang bahagia, karena tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah
mewujudkan rumah tangga yang sakînah, mawaddah dan rahmah.
Syariat nikah merupakan sebuah anjuran dan keutamaannya merupakan
realita yang tidak ada perdebatan di dalamnya. Nikah pada satu sisi adalah
sunnah yang dilakukan para nabi dan rasul dalam upaya penyebaran dan
risâlah ilâhiyyah. Nikah pada sisi yang lain, berfungsi sebagai penyambung
keturunan agar silsilah keluarga tidak terputus yang berarti terputusnya mata
rantai sejarah dan hilangnya keberadaan status sosial seseorang.4
Terdapat pula makna perkawinan pada Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang dirumuskan sebagai akad yang
sangat kuat atau mitsâqan ghalîẕan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.5Ungkapan untuk menaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah,merupakan penjelasan dari
ungakapan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam UU. Hal ini
lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam merupakan peristiwa
agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan
ibadah. Disamping perkawinan itu merupakan suatu perbuatan ibadah
perempuan yang sudah menjadi isteri itu merupakan amanah Allah yang
harus dijaga dan diperlakukan dengan baik.6
Perkawinan merupakan fitrah bagimanusia, oleh karena itu Islam
menganjurkan untuk hidup berumah tangga dan menghindari hidup
membujang. Perkawinan merupakan wadah untuk melanggengkan
kebahagian manusia, bukan sebagai pengekang pasangan hidup. Oleh karena
itu, perkawinan dalam Islam tidak untuk jangka waktu tertentu yang terbatas,
4 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan antar Madzhab,
(Jakarta: PT.Prima Heza Lestari, 2006), h. 7. 5 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 46.
6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia:Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta:Kencana Pernada Media Group,2009),cet. 3, h. 41.
3
melaikan untuk selama-lamanya sampai maut memisahkan kedua pasangan
hidup.7
Tiap-tiap dari kita mempunyai hak dan kewajiban. Dimana hak dapat
diperoleh jikalau seseorang telah melaksanakan kewajibannya. Maka, ketika
seorang suami ingin mendapatkan haknya ketika itu pula dia harus
melaksanakan kewajibannya dan begitupun sebaliknyabagi isteri. Apabila
suami telah melaksanakan demikian dan begitupula dengan isteri, maka
menjadi sempurnalahsarana-sarana kearah terwujudnya ketentraman hidup
kesenangan jiwa masing-masing dan terciptanya keluarga yang sakinah.8
Benar bahwa di antara hal yang sangat penting dalam tujuan pernikahan
adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual, namun di sisi lain arti dari sebuah
pernikahan adalah pembinaan hubungan psikis secara baik, memperbanyak
keturunan, dan adanya timbal balik hak dan kewajiban antara suami isteri
serta hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak.
Kewajiban suami terhadap isteri di antaranya memberikan mahar,
memberikan nafkah, berlaku adil, dan bergaul dengan isteri dengan cara yang
baik. Adapun kewajiban isteri terhadap suami adalah patuh kepada suami,
harus memenuhi hasrat seksual suami, harus sopan santun kepada suami,izin
keluar rumah dengan izin suami9 dan harus bertanggung jawab mengurus
serta mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya.10
Membina sebuah keluarga bahagia merupakan impian setiap individu.
Untuk mencapai kebahagiaan yang diimpikan, Islam telah meletakan
beberapa garis panduan bermula dari kaedah memilih pasangan dengan
meletakan syarat dan rukun perkawinan sampai cara menangani konflik yang
terjadi dalam keluarga. Tidak ada pasangan yang inginkan konflik dalam
7 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), cet.2, h. 174. 8 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan,(Jakarta: CV. Pedoman Ilmu
Jaya, 1989), h. 11. 9 Nor Fadilah, Akibat-Akibat Fatal Durhaka Kepada Suami, (Jogjakarta: Diva Press,
2013), h. 19. 10
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, h. 13.
4
rumah tangganya, namun konflik yang tidak diinginkan itu hadir tanpa
diundang.11
Terkadang dalam menjalankan bahtera rumah tangga itu tidak selalu
mulus, pasti ada kesalahfahaman,kekhilafan, dan pertentangan. Di dalam
menangani percekcokan dalam rumah tangga ini ada yang bisa
menanganinya. Terkadang percekcokan itu perlu ada di tengah dinamika
keluarga sebagai bumbu keharmonisan dan variasi rumah tangga, tentunya
dalam porsi yang tidak terlalu banyak.
Namun, ada juga keluarga yang tidak dapat mengatasi problematika ini.
Percikan api yang dimunculkan oleh salah satu pasangan, lalu oleh pasangan
lain disiramnya dengan minyak sehingga terjadilah kebakaran hebat. Apabila
dipertahankan keutuhan rumah tangga, baik suami maupun isteri akan
mengalami penderitaan. Di mana masing-masing pasangan merasa teraniaya
oleh yang lainnya. Dalam kondisi ini dimana daruratnya lebih besar dari pada
maslahatnya, Islam memperbolehkan terjadinya perceraian.12
Perceraian di
dalam sebuah perkawinan adalah putusnya ikatan perkawinan antara seorang
pria dan seorang wanita. Perceraian dalam hukum Islam merupakan suatu
perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT.
Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 menjelaskan ketentuan
tentang putusnya perkawinan atau talak pada pasal 38 yang berbunyi:
“Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian b. Perceraian c. Atas
keputusan pengadilan”
Talak yang diikrarkan oleh suami kepada isteri merupakan pemutus bagi
tali pernikahan. Ikrar yang diucapkan oleh suami itu didasari atas beberapa
sebab, di antaranya isteri yang meninggalkan kewajibannya sebagai seorang
isteri atau ibu rumah tangga atau yang dikenal dengan perbuatan nusyuz
11
Nourzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz, Syiqaq dan Hakam Menurut Al-Qur’an, Sunnah
dan Undang-Undang Keluarga Islam (Bandar Baru Nilai: KUIM, 2007), h. 1. 12
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, cet.2, h. 172-173.
5
(nusyûz). Apabila isteri melakukan hal tersebut maka talak yang jatuh pada
saat suami mengucapkan ikrar talak adalah talak raj’i.
Apabila talak telah disahkan maka akan menimbulkan sebuah akibat,
yang dimana pada KHI pasal 149 menjelaskan tentang akibat dari putusnya
perkawinan karena talak, di antaranya: (1) suami wajib memberikan mut’ah
yang layak kepada bekas isterinya. (2) memberikan nafkah, maskan, dan
kiswah selama masa iddah kecuali bekas isteri yang dijatuhi talak ba’in atau
nusyuz dan dalam keadaan hamil.
Bekas isteri yang ditalak raj’i akibat nusyuz tidak mendapatkan hak
nafkah iddah, karena di sini isteri melakukan kedurhakaan kepada suami yang
mengakibatkan gugurnya hak nafkah iddah. Hal ini juga diatur di dalam Pasal
152 Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan bahwa,“Bekas isteri berhak
mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz”.
Tapi pada kenyataannya tidak semua pengadilan agama menerapkan hal
tersebut, seperti pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor
585/Pdt.G/2017/PA.JB yang ternyata menetapkan bahwa mantan isteri yang
dicerai talak karena nusyuz berhak mendapatkan nafkah iddah. Hal ini
kemudian menarik penulis untuk diteliti dalam skripsi yang berjudul
“Nafkah Iddah pada Cerai Talak Isteri yang Nusyuz (Analisis Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB)”.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dapat diambil
beberapa identifikasi masalah yang berhubungan dengan kewajiban dan hak
suami-isteri, putusnya perkawinan dan nafkah terhadap mantan isteri, di
antaranya adalah:
1. Apa saja yang menjadi kewajiban dan hak suami isteri dalam kehidupan
berkeluarga?
2. Apa saja yang bisa memutuskan hubugan perkawinan menurut Islam dan
hukum di Indonesia?
6
3. Perbuatan apa saja yang bisa dikategorikan nusyuz?
4. Bagaimana panadangan hukum Islam dan hukum di Indonesia tentang
nafkah bagi pasangan yang sudah bercerai akibat nusyuz?
C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah pada pokok permasalan dan menghindari
meluasnya pembahasan, maka penulis membatasi pada pembahasan ini hanya
seputar masalah nafkah iddah pada cerai talak isteri yang nusyuz di
Pengadilan Agama Jakarta Barat yang terdapat di dalam putusan tahun 2017.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam pasal 149 ayat b, apabila perkawinan putus sebab talak maka
bekas suami wajib memberikan nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas
isteri selama masa iddah, kecuali bekas isteri yang telah dijatuhi talak bain
atau nusyuz dan tidak dalam keadaan hamil. Pada pasal 80 ayat 7 KHI
menerangkan bahwa kewajiban suami yang dimaksud dipasal 5 menajdi
gugur apabila isteri nusyuz. Serta pada pasal 152 yang menerangkan bahwa
bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suami kecuali ia
nusyuz. Namun pada praktiknya hakim memberikan nafkah iddah kepada
isteri yang melakukan perbuatan nusyuz. Kemudian berdasarkan perumusan
masalah di atas menimbulkan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi landasan dan pertimbangan Majelis Hakim Jakarta
Barat untuk memberikan nafkah iddah kepada isteri yang nusyuz pada
perkara nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam, hukum positif dan asas keadilan
gender terhadap putusan Majelis Hakim Jakarta Barat yang memberikan
nafkah iddah kepada isteri yang nusyuz pada perkara nomor
585/Pdt.G/2017/PA.JB?
7
E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan
yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Mengetahui landasan dan pertimbangan Majelis Hakim Jakarta Barat
untuk memberikan nafkah iddah kepada isteri yang nusyuz pada
perkara nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB.
b. Mengetahui pandangan hukum Islam, hukum positif dan asas keadilan
gender terhadap putusan Majelis Hakim Jakarta Barat untuk
memberikan nafkah iddah kepada isteri yang nusyuz pada perkara
nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB.
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan dan rumusan masalah di atas, hasil
penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
masyarakat umumnya yaitu:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan di bidang hukum Islam terutama tentang nafkah iddah.
b. Memberikan wawasan kepada penulis tentang hak-hak pasangan suami
isteri dan perbuatan yang bisa menggugurkannya.
F. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Berdasarkan pengamatan dan penelusuran penulis terhadap karya ilmiah
terdahulu, dimana bertujuan untuk menjaga keaslian penelitian ini. Penulis
menemukan adanya penelitian yang hampir sama, di antaranya:
a. Hak Nafkah Iddah Pasca Cerai Gugat Dihubungkan Dengan Azas
Kepastian Hukum (Analisa Perbandingan Putusan Perkara Nomor
1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan Perkara Nomor 296/Pdt.G/2012/PA.JB) oleh
Zian Mufti (1110044100027) skripsi ini menjelaskan hak nafkah iddah
bagi isteri yang mengajukan cerai gugat dan membandingkan dua putusan
hakim. Yang sama dengan skripsi yang penulis tulis adalah sama-sama
8
membahas tentang hak nafkah iddah. Sedangkan yang membedakan
dengan skripsi yang akan penulis tulis adalah penulis akan membahas
nafkah iddah pada cerai talak isteri yang nusyuz.
b. Implementasi Pemberian Nafkah Iddah Bagi Istri Yang Nusyuz (Analisis
Putusan Perkara Nomor 1223/Pdt.G/2011?PA.Depok) oleh Ahmad Faisal
(108044100021). Penelitian ini hanya membahas ketentuan iddah menurut
kompilasi hukum Islam dan implementasi pemberian nafkah iddah bagi
isteri yang nusyuz. Yang sama dengan skripsi yang penulis tulis adalah
sama-sama membahas tentang hak nafkah iddah terhadap isteri yang
nusyuz tetapi hanya mengkaitkan dengan Kompilasi Hukum Islam.
Sedangkan yang membedakan dengan skripsi yang akan penulis tulis
adalah penulis membahas landasan dan pertimbangan hakim Jakarta Barat
yang menetapkan nafkah iddah bagi isteri yang nusyuz.
c. Pemberian Nafkah Iddah Terhadap Mantan Istri Yang Ditalak Cerai
Karena Nusyuz (Analisa Putusan Pengadilan Agama Slawi No.
2408/Pdt.G/ 2014/PA. Slawi) oleh M. Saekhoni (1111044100099).
Penelitian ini membahas tentang nafkah iddah bagi isteri yang dicerai talak
karenanusyuz dengan menganalisi putusan Pengadilan Agama Slawi.Yang
sama dengan skripsi yang penulis tulis adalah sama-sama membahas
tentang hak nafkah iddah terhadap isteri yang nusyuz. Sedangkan yang
membedakan dengan skripsi yang akan penulis tulis adalah penulis
membahas secara mendalam dengan meneliti landasan dan pertimbangan
hakim Jakarta Barat dalam menetapkan nafkah iddah bagi isteri yang
nusyuz dengan menganalisi putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat.
d. Nafkah Iddah Pada Perkara Cerai Gugat (Analisi Putusan Nomor
2615/Pdt.G/2011/ PA.JS) oleh Erwin Hikmatiar (1110044100014).
Penelitian ini membahas nafkah iddah bagi isteri yang menggugat cerai
suami. Yang sama dengan skripsi yang penulis tulis adalah sama-sama
membahas tentang hak nafkah iddah. Sedangkan yang membedakan
dengan skripsi yang akan penulis tulis adalah penulis membahas nafkah
9
iddah bagi isteri yang dicerai karena nusyuz berdasarkan putusan
Pengadilan Agama Jakarta Barat.
G. Metode Penulisan
Metode yang akan digunakan oleh penulis untuk menyelesaikan skripsi
ini adalah metode penulisan sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitan ini penulis menggunakan pendekatan normatif.
Digunakannya pendekatan ini bertujuan untuk bisa lebih mengidentifikasi
konsep dengan meneliti hasil dari pertimbangan hakim dalam memutus
perkara Nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB. Degan melakukan pendekatan ini
penulis akan mendapatkan data yang lebih aktual karena akan melakukan
wawancara.
2. Jenis Penelitian
Dalam penulisan penelitian ini penulis akan menggunakan jenis
penelitian kualitatif. Dimana penelitian ini digunakan dalam rangka
mencari makna, pemahaman, pengertian, tentang suatu fenomena, kejadian
maupun kehidupan manusia dengan terlibat langsung atau tidak terlibat
langsung dalam setting yang diteliti, kontekstual, dan menyeluruh yang
disajikan dalam bentuk deskriptif.
3. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari subyek
penelitian dengan menggunakan alat pengambilan data langsung dari
subyek sebagai sumber informasi. Data diperoleh dari wawancara
dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat.
b. Data Skunder
10
Data skunder adalah data yang bersumber dari putusan Pengadilan
Agama Jakarta Barat, al-Qur’an, hadis, peraturan perundang-
undangan,data-data resmi dari instansi yang berwenang, buku-buku
literatur, karangan ilmiah dan internet yang ada hubungannya dengan
penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam rangka mengumpulkan, mengolah serta menyajikan bahan-
bahan yang diperlukan, maka penulis dalam hal ini akan melakukan
pengumpulan data dengan cara:
a. Wawancara
Pada penelitian ini akan dilakukan wawancara dengan pihak-pihak
yang terkait seperti Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat. Pada
wawancara ini akan menggunakan metode bebas dan terstruktur,
kemudian akan penulis kaji dan akan dijadikan refrensi untuk
memperkuat data.
b. Studi Dokumentasi
Pada penelitian ini digunakan studi dokumentasi dalam rangka
untuk mendapatkan dan menelaah bahan-bahan atau data yang akan
diambil dari dokumentasi yang berhubungan dengan masalah nafakh
iddah bagi isteri yag nusyuz.
c. Studi Pustaka
Pada penelitian ini juga digunakan teknik studi pustaka yaitu
mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan penelitian ini
yang bersumber dari undang-undang, buku-buku, litelatur-litelatur dan
sumber-sumber bacaan lainnya. Studi putaka ini dilakukan dengan cara
dibaca, dikaji lalu dikelompokan dengan pokok masalah yang terdapat
dalam penelitian ini.
5. Pengolahan Data
11
Pengolahan data dilakukan dengan cara mengedit data, dan data yang
sudah diedit dikelompokan berdasarkan permasalahan yang dirumuskan
secara deduktif. Data-data yang sudah dikelompokan tadi akan
dikomparatifkan antara data yang tertera pada teori dengan kenyataan yang
didapatkan dilapangan. Untuk data yang didapatkan dari wawancara maka
data tersebut akan dirubah menjadi sebuah narasi dengan cara ditranskip.
6. Metode analisa data
Metode analisa data yang digunakan adalah analisis data kualitatif,
yaitu upaya yang dilakukan dengan cara bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milihnya menjadi satuan yang dapat
dikelolah, mensintesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan apa
yang penting dan mencari apa yang bisa dipelajari.13
Sehingga terhasil
data yang deskriptif yang dapat menggambarkan masalah-masalah yang
diteliti. Dan untuk teknik penulisan penulis berpedoman kepada buku
“pedoman penulisan skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
H. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan ini perlu adanya uraian tentang susunan dari
penulisan yang dibuat agar lebih teratur dan terarah. Sistematika dalam
penelitan ini dibagi menjadi lima bab, yang akan disebutkan sebagai
berikut:
Bab pertama, berisi pendahuluan, merupakan gambaran secara
global tapi sangat komperhensif. Di dalamnya memuat latar belakang
masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan
serta manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penulisan, dan
sistematika penulisan.
13
Lexy J. Moeleong, Metode Penelitian Kualitatif, cet. 37, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2017), hlm. 248.
12
Bab kedua, berisi pengertian nusyuz,nusyuz dalam perspektif fikih
konvensional, nusyuz dalam prespektif kompilasi hukum Islam, macam-
macam nusyuz, penjelasan tentang gender, kesetaraan gender dan hak- hak
perempuan dalam perkawinan.
Bab ketiga, berisi pengertian cerai talak dalam perspektif Islam dan
perundang-undangan, nafkah iddah dalam perspektif fikih dan perundang-
undangan, sebab wajibnya nafkah, gugurnya hak nafkah, nafkah atas
perempuan yang sedang menjalani masa iddah dan implementasi nafkah
iddah di Indonesia.
Bab keempat, berisi profil singkat Pengadilan Agama Jakarta
Barat, deskripsi putusan nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB,analisa terhadap
putusan nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB tentang pemberian nafkkah iddah
bagi isteri yang dicerai talak akibat nusyuz.
Bab kelima, merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi yang
berisi kesimpulan serta saran penulis dari masalah yang dibahas.
13
BAB II
NUSYUZ DAN HAK-HAK PEREMPUAN DALAM PERKAWINAN
A. Teori Nusyuz
1. Pengertian Nusyuz
Kata nusyuz berasal dari bahasa Arab yaitu nasyaza, yansyuzu,
nasyazan nusyûzan ( شصا شضا شض شض ).1 Menurut Ibnu Manzur kata
nusyuz memiliki beberapa makna, di antaranya nusyuz memberikan
makna bangkit atau bangun.2 Kenyataan ini berasarkan firman Allah SWT:
ف شضب و ؼظب ٱظش إى ٱ بط جؼه ءات بسن ٱظش إى د ب ىغب ذ )٢٥٢ :٢/ابمشة( ث
Artinya: “Dan lihatlah kepada tulang-tulang (keledai itu), bagaimana
kami menyusunnya kembali kemudian kami membalutnya dengan daging”
ٱشضا فٲشضا إرا ل )١١ :٥٥/اجبدت (
Artinya: “Maka apabila dikatakan berdilah maka berdirilah”
Dalam KBBI nusyuzmemiliki makna perbuatan tidak taat dan
membangkang seorang isteri terhadap suami tanpa alasan yang tidak
dibenarkan oleh hukum.3 Dalam bahasa Arab nusyuz secara etimologi
memiliki makna اسحفبع yang berarti mengangkat atau meninggi.
Maksudnya jikalau seorang isteri sudah dikatakan nusyuz berarti isteri
sudah lebih tinggi kedudukannya dari pada suami, sehingga ia tidak lagi
merasa harus untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang isteri.4
Secara definitif nusyuz adalah pembangkangan5 atau kedurhakaan isteri
terhadapsuami dalam hal-hal apa saja yang diwajibkan oleh Allah
1 A.W. Munawir, Kamus al-Munawwir Arab, (Surabaya: Pustaka Pregresif, 1997), h. 1481-
1482. 2 Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, jil. 5 (Beirut: Dâr al-Sadîr, 1990), h. 417.
3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 970. 4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta:Kencana Pernada Media Group,2009), cet. 3, h. 159. 5 Hussein Bahreisj, 450 Masalah Agama Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1980), h. 161.
14
atasnya.6 Maksudnya, isteri melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan
oleh syara‟ yang berkaitan kepatuhan isteri terhadap suami. Seperti,
berpaling dalam bergaul dengan suami dan berucap dengan kata-kata yang
kasar terhadap suami.7
Di dalam ensiklopedi bahasa Arab yang bernama lisân al-‘Arab, Ibnu
Manzur yang merupakan ahli bahasa Arab mendefinisikan nusyuz sebagai
rasa kebencian salah satu pihak terhadap pasangannya.8 Menurut Wahbah
az-Zuhaili mengartikan nusyuz sebagai ketidak patuhan salah satu
pasangan terhadap apa yang seharusnya dipatuhi atau rasa benci terhadap
pasangannya.9 Sedangkan Menurut Nourzulaili Mohd Ghazali nusyuz
adalah isteri yang mendurhakai, angkuh serta ingkar terhadap apa yang
telah Allah SWT perintahkan kepada mereka mengenai tanggung jawab
yang perlu dilaksanakan terhadap suami.10
2. Dasar Hukum Nusyuz
Nusyuz merupakan salah satu perbuatan yang dilarang oleh Islam.
Dimana Islam telah menetapkan hukuman bagi isteri-isteri yang durhaka
kepada suami. Hal ini telah Allah jelaskan di dalam al-Qur‟an Qs. an-
Nisâ‟(4): 34
فؼظ شص خ حخبفٱ ٱظشب عبجغ
ف ٱ جش ٱ ب وبشا ػ وب ٱلل إ عبلا فل حبغا ػ أغؼى فئ
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah
6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 159. 7 Ali Yusuf as-Subki, Fiqih Keluarga: Pedoman Berkeluarga dalam Islam, (Jakarta:
Amzah, 2010), h. 302. 8 Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, h. 417
9 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuhu, juz 9,(Suriah: Dar al-Fikr, 2011), h.
6855. 10
Nourzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz, Syiqaq dan Hakam Menurut Al-Qur’an, Sunnah dan
Undang-Undang Keluarga Islam, (Bandar Baru Nilai: KUIM, 2007), h. 2.
15
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha besar.”
Dijelaskan pula di ayat lain Qs. an-Nisâ‟ (4): 128
ب أ صذب إػشاظب فل جبح ػ ا أ بؼب شصا شأة خبفج ٱ إ حخما إ حذغا
خ أدعشث ٱلفظ ٱش ش خ خ ٱص ذب ب ص ب
خب ب حؼ ب وب ٱلل شا فئ
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi
mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu
bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz
dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”
Dan dijelaskan pula permasalahan nusyuz pada hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh imam abu daud di dalam kitab sunan nya11
دى ػ بب بد أخبشب أب لضػت ا ثب د دذ ؼ إع عى ب ثب دذ
ب ج ب سعي للا لبم أب شي ػ مش ت ا ؼب ب جت أدذب ػ دك ص
ل حعشة اوخغبج ج أ ب إرا اوخغ حىغ ج ب إرا غؼ حطؼ لبي أ
ج ب جش إل ف ا ل ح ل حمبخ ج ا
حمي لبذه ل حمبخ أ د لبي أب دا للا
Artinya: “saya berkata, „Wahai Rasulullah, apa hak isteri-isteri kami?‟
maka Rasulullah pun menjawab, „Engkau cukupi kebutuhan makannya
jika engkau makan, kau cukupi pakaiannya jika engkau berpakaian atau
jika engkau mendapatkan sesuatu. Jangan engkau memukul wajahnya,
jangan berkata dengan perkataan yang buruk, jangan engkau
meninggalkannya kecuali di rumah.”
Abu daud berkata, “Jangan engkau berkata buruk” yaitu engkau
mengtakan “Allah akan memberikan keburukan kepadamu.”
3. Nusyuz Menurut fikih Konvensional
11 Abu Daud Sulaiman bin Asy‟ats bin Ishâq bin Basyîr, Sunan Abu Daud (Beirut:
Maktabah al-„Asriyyah, 219), h. 44.
16
Sesungguhnya Islam mengharuskan bahwa pernikahan itu harus
berlangsung selamanya. Pernikahan yang dijalani oleh suami dan isteri
seharusnya berlangsung hingga maut memisahkan mereka berdua. Karena
pernikahan itu juga diorientasikan sebagai sebuah komitmen yang kekal
dan berlangsung untuk selamanya.12
Namun ada beberapa keadaaan yang
mengharuskan putusnya sebuah ikatan pernikahan dalam artian apabila
pernikahan itu tetap dilangsungkan, maka akan ada kemudaratan yang
terjadi.13
Karena islam pun tidak menutup kemungkinan akan terjadinya
sebuah perselisihan atau pertentangan dalam kehidupan berumah tangga.14
Berdasarkan pengertian dan dasar hukum yang telah dipaparkan di atas
dapat diketahui bahwa dalam Islam nusyuz bisa dilakukan oleh isteri
maupun suami. Adapun pengertian dari keduanya adalah sebagai berikut:
a. Nusyuz Isteri
Kita telah mengetahui bahwa nusyuz itu tidak hanya terjadi pada
kaum perempuan saja akan tetapi laki-laki pun juga bisa dikatakan
nusyuz. Tetapi, watak perempuan dan laki-laki berbeda. Oleh karena
itu, cara penanggulangan dan penyembuhannya pun berbeda secara
teori, karena berbedanya bentuk nusyuz yang mereka lakukan.
Meskipun terkadang terdapat beberapa kesamaaan antara keduanya dan
bahwa pada setiap diri mereka sebenarnya mencemaskan bagi lainnya.
Terkadang dalam beberapa waktu perilaku isteri menyalahi aturan,
ia berpaling dalam bergaul dengan suami, ucapannya berubah menjadi
kasar, maka ketika itu tampaklah kedurhakaan, meninggalkan
ketaaatan, dan menampakan perlawanan.15
Nusyuz ada dua bentuk, bisa
berupa perkataan bisa berupa perbuatan. Bentuk nusyuz perkataan dari
pihak isteri adalah menjawab secara tidak sopan, sedangkan bentuk
nusyuz perbuatan dari pihak isteri adalah seperti tidak mau pindah
12
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
228. 13
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 190. 14
Ali Yusuf as-Subki, Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, h. 299 15
Ali Yusuf as-Subki, Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, h. 302
17
kerumah yang telah suami sediakan, enggan melakukan apa yang
diperintahkan oleh suaminya dan keluar rumah tanpa seizin suami.
Apabila isteri menentang kehendaak suami dengan tidak ada alasan
yang dapat diterima menurut hukum syara‟, tindakan itu dipandang
durhaka. Seperti hal-hal berikut:16
1) Suami telah menyediakan rumah yang sesuai dengan keadaan
suami tapi isteri tidak mau pindah ke rumah itu atau isteri
meninggalkan rumah tinggal bersama tanpa izin suami.
2) Apabila suami dan isteri tinggal di rumah isteri dengan izin isteri,
namun pada suatu waktu isteri mengusir suami dari rumah itu atau
melarang suami masuk kedalam rumah itu. Bukan karena ingin
pindah ke rumah yang disediakan suami.
3) Seumpamanya isteri mendapatkan tempat tinggal dari kantornya,
sedangkan suami meminta agar isteri tinggal dirumah yang telah
suami sediakan, tetapi isteri berkeberatan tanpa ada jalasan yang
jelas.
4) Apabila isteri berpergian tanpa suami atau mahramnya, sekalipun
perjalanan itu wajib, seperti pergi haji. Karena perjalanan isteri
tanpa suami atau mahramnya terhitung maksiat.17
5) Isteri tidak taat lahir batin kepada suami, selama perintah suami itu
bukan merupakan perbuatan maksiat.
Adapun ketika isteri nusyuz Islam memberikan solusi bagi suami
untuk mengatasinya. Ada 3 tahapan yang dapat dilakukan oleh suami
dalam menghadapi isteri yang melakukan nusyuz, sebagaimana yang
telah diterangkan di dalam al-Qur‟an surah an-Nisâ‟ ayat 34 :
1) Apabila suami melihat ada tanda-tanda bahwa isteri akan nusyuz,
maka suami dapat memberikan peringatan dan nasihat tentang
perbuatan yang dilakukan oleh isterinya itu salah, serta
16
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru, 2007), cet. 40, h. 398. 17
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. 40, h. 398.
18
menjelaskan akibat apa saja yang akan didapati oleh seorang isteri
jika melakukan nusyuz, yaitu mendapatkan dosa karena perbuatan
nusyuz itu haram menurut Islam dan dapat mengugurkan haknya
sebagai isteri dan juga sembari mengingatkannya akan apa yang
telah Allah wajibkan kepadanya untuk menaati suami dan tidak
membangkang kepadanya, mengiming-iming dengan pahala jika ia
menaatinya dan menjadi isteri yang salihah.18
Dalam memberikan nasihat kepada isteri yang nusyuz, al-Qur‟an,
hadits dan para ulama tidak memberikan batasan waktu. Bahkan
alangkah baiknya bagi suami harus terus menerus memberikan
nasihat kepada isterinya sebelum pindah ketahap selanjutnya.
2) Apabila suami telah memberikan nasihat dan peringatan namun
isteri tidak menampakan perubahan sikap menjadi lebih baik, maka
suami bisa melakukan langkah yang kedua yaitu pisah ranjang,
dalam arti menghentikan hubungan seksual.Karena jika isteri
mencintai suami maka hal itu akan terasa berat baginya sehingga ia
akan kembali bersikap baik.19
Di dalam surah an-Nisâ‟ ayat 34
pisah ranjang dibahasakan dengan kata hijrah. Sebagian ulama
mengartikan hijrah disitu dengan makna meninggalkan
komunikasi.
Banyak pendapat yang berkembang di tengah kalangan ulama
mengenai mekanisme pisah ranjang. Ada yang mengatakan tidak
berhubungan intim dengan isteri. Ada juga yang mengatakan
bahwa suami tetap boleh berhubungan intim dengannya, namun
tanpa bicara satu kata pun kepada isteri ketika melakukan
hubungan intim. Bagaimanapun hubungan intim merupakan hak
bersama, dan hukuman kedisiplinan tidak boleh sampai
mengandung unsur menyakiti. Ada pula yang mengatakan bahwa
pisah ranjang itu adalah menolak bercumbu dengan isteri ketika
18
Abu Malik Kamal, Sahîh Fiqh As-Sunnah, Penerjemah Khoirul Amru Harahap dkk,
Shahih Fikih Sunnah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, h. 351. 19
Ali Yusuf as-Subki, Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, h. 305.
19
isteri sedang menginginkannya dan saat libidonya sedang tinggi.
Bukan pada saat suami bergairah dan ingin melakukan hubungan
intim, sebab pisah ranjang bertujuan untuk menghukum isteri
bukan menghukum suami.20
Apabila langkah ini yang digunakan, maka tidak boleh lebih dari
tiga hari. Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi yang diriwayatkan
Abi Hurairah:21
بي ل ذ غ ا جش اخب فق ثلثت Artinya:“tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya
sesama muslim lebih dari tiga hari”.
Tapi untuk pisah ranjang yang diartikan tidak berhubungan intim
ada dua pendapat. Pertama, waktu pisah ranjang adalah sebulan dan
bisa diperpanjang hingga empat bulan. Ini adalah pendapat mazhab
imam Malik. Mengacu kepada perbuatan Nabi yang mendiami
isteri-isteri beliau selama satu bulan. Kedua, tidak terbatas sampai
isteri menyadari keliruannya. Pendapat ini digunakan oleh kalangan
mazhab Hanafi, Syafi‟i dan Hambali. Mereka merujuk kepada ayat
34 surah An-Nisa, karena perintah pisah ranjang di ayat tersebut
disebutkan secara mutlak tanpa menyebutkan batasan waktu.22
3) Apabila dengan nasihat serta pisah ranjang isteri tidak
menampakan juga perubahan, maka suami boleh melakukan
pukulan terhadap isterinya dengan pukulan yang tidak
menyakitinya. Pukulan di sini bukan semata-mata luapan emosi
kebencian tapi pukulan di sini bertujuan untuk ta‟dîb.Pemukulan
ini tidak wajib secara syara‟. Hanya saja ini merupakan cara yang
terakhir yang dapat suami lakukan setelah ia tidak mampu
20
Abu Malik Kamal, Sahîh Fiqh As-Sunnah, h. 352. 21
Muhammad bin Isma‟il bin Abu „Abdullah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz. 8
(Libanon: Dar Tûq an-Najâh, 2000), h.21. 22
Abu Malik Kamal, Sahîh Fiqh As-Sunnah. h. 353.
20
menundukan isterinya, mengajaknya dengan nasihat, terguran dan
pemisahan.23
b. Nusyuz suami
Selama ini banyak yang salah mengartikan bahwa nusyuz itu
datangnya hanya dari pihak isteri saja. Akan tetapi sebenarnya nusyuz
pun bisa datang dari pihak suami, sebagaimana yang sudah Allah
terangkan di dalam al-Qur‟an Q.s.an-Nisâ‟ (4): 128:24
ب أ صذب إػشاظب فل جبح ػ ا أ بؼب شصا شأة خبفج ٱ إ حخما إ حذغا
خ أدعشث ٱلفظ ٱش ش خ خ ٱص ذب ب ص ب
خب ب حؼ ب وب ٱلل شا فئArtinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi
mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu
bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz
dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”
Nusyuz suami mengandung arti kedurhakaan suami kepada Allah
karena meninggalkan kewajibannya kepada isteri. Nusyuz suami terjadi
apabila suami meninggalkan kewajibannya terhadap isterinya, baik
meninggalkan kewajiban yang bersifat materil seperti nafkah atau
meninggalkan kewajiban yang bersifat nonmateril seperti menggauli
isteri dengan baik. Menggauli isteri dengan baik di sini memiliki arti luas
bisa berupa berlaku kasar kepada isteri, menyakiti fisik atau mental isteri
dan tidak menggauli isteri dalam waktu tertentu.
Berbeda dengan nusyuz isteri, nusyuz suami di dalam surah an-Nisâ‟
ayat 128 ditambahkan dengan istilah i’râd. Nusyuz suami kepada isteri
lebih banyak berupa kebencian atau tidak kesenangan terhadap isterinya,
sehingga suami menjauhi dan tidak memperhatikan isterinya. Selain
istilah nusyuz suami, ada juga istilah i’râd (berpaling). Maksud i’râd di
23
Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh as-Sunnah. h. 356. 24
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), cet.3, h. 210.
21
sini adalah suami bukan menjauhi isterinya melaikan hanya tidak mau
berbicara dan tidak menunjukan kasih sayang kepada isterinya.25
Apabila suami melakukan nusyuz maka solusi yang bisa dilakukan
seorang isteri adalah perdamaian (as-sulhu). Sebagaimana diterangkan di
dalam al-Qur‟an surah an-Nisâ‟ 128. Adapun perdamaian yang
dimaksudkan di dalam ayat tersebut adalah perundingan yang membawa
kepada perdamaian, sehingga suami tidak sampai menceraikan isterinya,
di antaranya dengan kesediaan isteri untuk dikurangi hak materil dalam
bentuk nafkah atau kewajiban nonmateri dalam arti kesediaan untuk
memberikan giliran bermalamnya untuk digunakan suami kepada
isterinya yang lain. Cara ini pun termasuk salah satu langkah untuk
menghindari perceraian.
Dari ayat an-Nisâ‟ 128 dapat disimpulkan bahwa penanganan nusyuz
dari pihak suami berbeda dengan nusyuz dari pihak isteri bahkan terlihat
diskriminatif. Kalau nusyuz yang dilakukan suami, seperti suami
bersikap acuh tak acuh atau melalaikan kewajibannya, maka berdamai
adalah upaya yang bisa isteri lakukan. Adapun caranya dengan
merelakan hak-haknya dikurangi agar suaminya bersedia kembali kepada
isterinya dengan baik. Untuk menghindari terjadinya ketidakadilan atau
diskriminatif gander, maka para ulama merumuskan taklik talak.26
4. Nusyuz dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Ketentutan tentang nusyuz telah diatur di dalam Kompilasi Hukum
Islam. Tetapi yang diatur di dalam KHI hanya nusyuz isteri saja,
sedangkan nusyuz suami tidak diatur di sana. Berkaitan dengan nusyuz
isteri KHI telah mengatur di dalam Pasal 84:
Ayat 1: Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1)
kecuali dengan alasan yang sah.
25
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 194. 26
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, h. 183.
22
Ayat 2: Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap
isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku
kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
Ayat 3: Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku
kembali sesudah isteri tidak nusyuz.
Ayat 4: Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri
harus didasarkan bukti yang sah.
B. Teori Gender
1. Pengertian Gender
Gender sebagai sebuah konsep sudah mulai diperkenalkan sejak awal
pemerintahan orde baru, namun faktanya banyak masyarakat di negara ini
yang belum memahami istilah gender dengan baik, Karena itu definisi gender
harus diketengahkan dalam penulisan ini agar istilah tersebut tidak lagi
disalah artikan sebagai yang merujuk hanya kepada perempuan atau
menyamakan maknanya dengan seks atau jenis kelamin.27
Gender secara etimologi berarti jenis kelamin. Adapun menurut
terminologi, gender adalah suatu konsep kurtural yang berupaya membuat
perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat. Jadi, gender merupakan suatu konsep yang digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
sosial budaya.28
Istilah gender digunakan di Indonesia memakai ejaan
“jender” yang diartikan dengan interpretasi mental dan cultural terhadap
perbedaan kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan.29
Nasaruddin Umar, mengartikan gender sebagai sebuah konsep yang
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan
27
Ida Rosyiddah Hermawati, Relasi Gender Dalam Agama-Agama, (Jakarta:UIN Jakarta
Press, 2013), h. 11. 28
Zaitunah Subhan, Al-Quran dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam
Penafsiran, (Jakarta: Kencana, 2015), h. 1. 29
Tim penyusun, Buku III: Pengantar Teknik Analisa Gender, (Jakarta: Kantor Menteri
Negara Urusan Perempuan, 2002), h. 2.
23
dalam segi sosial. Dimana dalam arti tersebut gender mendifinisikan laki-laki
dan perempuan bukan dari segi biologis.30
Pengertian gender dalam bahasa Inggris adalah jenis kelamin (laki-laki dan
perempuan). Selanjutnya gender atau yang lebih dikenal dengan kemitra
sejajaran antara laki-laki dan permepuan adalah sebuah kondisi dinamis,
dimana laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan hak, kewajiban,
kedudukan, peranan dan kesempetan yang dilandasi sikap dan perilaku saling
menghargai, saling menghormati, saling membantu dan saling mengerti
dalam pembangunan di berbagai bidang.31
Menurut Ida Rosyidah
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan gender adalah pembagian peran
antara laki-laki dan perempuan yang dilandaskan pada ciri-ciri emosional dan
psikologis yang diharapkan oleh budaya tertentu yang disesuaikan dengan
fisik atau onatomi keduanya.32
Menurut Alfian Rokhmansyah dalam bukunya Pengantar Gender dan
Feminisme gender adalah harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan
perempuan. Gender dipandang sebagai suatu konsep kultural yang dipakai
untuk membedakan antara peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan. Dipahami bahwa gender
merupakan suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan
antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya,
nilai, perilaku mentalitas dan emosi serta faktor-faktor non-biologis lainnya.33
Senada dengan definisi di atas adalah definisi yang mengatakan bahwa
gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan didasari
pada faktor biologis dan jenis kelamin sebagai kodrat tuhan secara permanen
memang berbeda. Gender adalah behavorial differences antara laki-laki dan
30
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Quran, (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 35. 31
Raihan Putry Ali Muhammad, Gender Dalam Perspektif Islam, (Banda Aceh: Biro
Pemberdayaan Perempuan Setdaprov Nanggroe Aceh Darussalam, 2002), h. 1. 32
Ida Rosyiddah Hermawati, Relasi Gender Dalam Agama-Agama, h. 13. 33
Alfian Rokhmansyah, Pengantar Gender dan Feminisme, (Yogyakarta: Garudhawaca,
2016), h. 1.
24
perempuan yang socially constructed, yaitu perbedaan yang diciptakan
melalui proses sosial dan budaya yang panjang.34
Berdasarkan dari definisi-definisi yang telah dijelaskan di atas, gender
dapat diartikan sebagai konstruksi sosial tentang pembedaan sifat, peran,
tanggung jawab, nilai, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan. Misalnya, konstruksi sosial bahwa perempuan
lemah, cengeng, emosional, tidak percaya diri, kurang kreatif, tidak memiliki
inisiatif, kurang bebas bergerak, kurang tegas, rapuh dan lain-lain. Sebaliknya
laki-laki memiliki sifat kuat, tidak mudah menangis, rasional, percaya diri,
kreatif, banyak inisiatif, bebas bergerak, tahan banting dan lain-lain.35
Perbedaan gender sesungguhnya tidak akan menjadi masalah sepanjang
perbedaan gender tersebut tidak menimbulkan berbagai ketidakadilan gender
(gender ineguratics). Namun yang menjadi permasalahannya adalah bahwa
dalam kenyataannya perbedaan gender menimbulkan ketidakadilan bagi
kaum laki-laki dan terutama kaum perempuan.
Gender masih identik dengan perempuan. Karena itu, persoalan gender
juga masih jadi persoalan perempuan. Padahal sebenarnya, persoalan gender
adalah problem bersama laki-laki dan perempuan, karena menyangkut peran,
fungsi dan relasi antara dua jenis kelamin tersebut baik kehidupan ranah
domestik ataupun publik. Untuk memudahkan dalam memahami makna
gender, maka gender perlu dibedakan dengan seks. Seks merupakan
pembedaan dua jenis kelamin secara biologis. Perbedaan seks ini sudah
dimulai sejak lahir.dalam masyarakat manapun, setiap bayi yang dilahirkan
pasti diasosiasikan hanya pada salah satu dari dua macam jenis kelamin dan
hanya didasarkan pada satu indikator yaitu genital. Perbedaan seks bersifat
permanen, atau dalam konteks teologis disebut sebagai kodrat yang sudah
ditentukan Allah.36
34
Rosyidah dkk, Potret Kesetaraan Gender di Kampus, (Banda Aceh: Pusat Studi Wanita
IAIN Ar-Raniry:2008), h. 9. 35
Ida Rosyiddah Hermawati, Relasi Gender Dalam Agama-Agama, h. 13. 36
Ida Rosyiddah Hermawati, Relasi Gender Dalam Agama-Agama, h. 12.
25
Kesalah pahaman terhadap istilah seks dan gender yang secara konseptual
dan implikasinya sangat berbeda ini bisa disebabkan beberapa hal: pertama,
istilah gender tergolong bahasa asing, bukan istilah baku yang terdapat di
kamus besar bahasa Indonesia. Kedua, fenomena dan problem gender
dianggap sebagai problem yang tidak di sisi tapi di sana, padahal
sesengguhnya fenomena gender itu ada disekitar kita baik fenomena keadlian
atau ketidakadilan gender. Ketiga, rendahnya daya asertiftas terhadap
persoalan gender, yang mengakibatkatkan kaum perempuan khususnya,
merasa kurang mampu untuk menyuarakan problemnya, oleh karena itu
mutlak diperlukan perjuangan untuk melawan ketidakadilan gender.37
2. Kesetaraan Gender
Kata kesetaraan berasal dari kata tara yang memiliki arti sama
tingkatannya atau kedudukannya kemudian ditambahkan imbuhan se-
menjadi setara yang berarti sejajar (sama tingginya), sama tingkatnya (sama
kedudukannya), sebanding, seimbang atau sepadan. Setara juga dapat
diartikan sebagai seimbang, yang berarti tidak membeda-bedakan. Dari situ
dapat diambil kesimpulan bahwa kesetaraan gender dapat diartikan sebagai
wujud kesamaan kondisi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan dan pertahanan. Kesetaraan juga meliputi penghapusan
diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki atau
perempuan.38
Berbicara tentang kesetaraan gender maka tidak terlepas dengan masalah
keadlian gender. Jaminan perlindungan dan keadilan di semua bidang
kehidupan merupakan hak setiap warga Negara Indonesia sebagimana amanat
konstitusi. Sudah seharusnya bahwa proses hukum selalu dan tetap
mempertimbangkan kebutuhan, aspirasi dan kepentingan demi rasa keadilan
37
Umi Sumbulah, “Spektrum Gender Kilasan: Inklusi Gender di Perguruan Tinggi”,
(Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 4. 38
Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam Terhadap Isu-
isuAktual, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 62.
26
bagi kaum laki-laki dan perempuan. Hukum bukan semata-mata sebagi
peraturan semata, akan tetapi hukum adalah sebuah sistem hukum yang
subtansi, struktur dan kultur hukum. Oleh karena itu dibutuhkan langkah-
langkah yang digunakan untuk membangun sebuah hukum yang berkeadilan
gender dan mengintegritaskan perspektif gender. Sehingga upaya yang
dilakukan tidak hanya mewujudkan kebijakan hukum yang berkeadilan
gender, akan tetapi juga dapat mengubah paradigma yang tidak adil gender
menjadi paradigma berkeadilan gender dan pada akhirnya tercipta budaya
hukum masyarakat yang berkeadilan gender. Untuk mewujudkan hukum
yang berkeadilan gender maka harus ada pihak-pihak yang terlibat yakni para
pengambil keputusan baik dikalangan legislatif (DPR-RI, DPD dan DPRD),
eksekutif (seluruh K/L dan Daerah Provinsi, Kabupaten /Kota), yudikatif
(para Hakim, Advokat, Polri, Kejaksaan sebagai penegak hukum) dan tak
lupa masyarakat itu sendiri. Aparat penegak hukum, sebagai elemen
masyarakat yang berdiri di garda depan dalam mewujudkan hukum yang
berkeadilan gender, memiliki peran yang sangat strategis. Seluruh penguatan
hukum yang responsif terhadap keadilan gender dapat dilakukan oleh aparat
hukum dengan berbagai macam upayayang berdampak kepada sistem hukum
yang diberlakukan secara menyeluruh. 39
Sebenarnya di dalam al-Quran telah memberikan prinsip-prinsip umum
kesetaraan gender berkaitan relasi suami isteri dalam ikatan rumah tangga. di
antara prinsip-prinsip kesetaran gender tersebut adalah:
a. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah SWT.40
Tujuan diciptakannya manusia adalah adalah sebagai hamba yang
mengabdi kepada Allah SWT.Kedudukan manusia sebagai hamba Allah
menunjukan bahwa antar laki-laki dan perempuan tidak memiliki
perbedaan. Keduanya sama-sama memiliki potensi dan peluang untuk
39
Https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/438/hukum-yang-berkeadilan-
untuk-mewujudkan-kesetaraan-gender 40
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran,
(Yogyakarta: Lkis, 2003), h. 285.
27
menjadi hamba yang ideal. Sebagaimana telah Allah sebutkan di dalam
Qs. al-Dzariyat ayat 56:
ظ إل ؼبذ ٱل ج ب خمج ٱ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku”
b. Laki-laki dan perempuan sebagai khilafah di muka bumi.41
Di samping manusia sebagai hamba yang harus tundukdan patuh
kepada Allah, manusia juga diciptikan sebagai khilaf di muka
bumi.Sebagimana Allah telah jelaskan di dalam Qs. al-An‟am ayat 165:
سفغ بؼعى ئف ٱلسض خ ٱزي جؼى ج ق بؼط دسج ف
د ۥ غفس س إ ؼمبة سبه عشغ ٱ إ ب ءاحىى ف و ب
Artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di
bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain)
beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
c. Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial.42
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sebelum manusia dilahirkan
dari rahim ibunya, manusia terlebih dahulu melakukan perjanjian dengan
Allah SWT. Sebagaimana Allah terangkan dalam Qs. al-A‟raf ayat 172:
رس ظس ءاد ب إر أخز سبه ػى أفغ أشذ خ
ف زا غ ت إب وب ػ م ٱ أ حما
ذب لبا بى ش أغج بشبى
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-
anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap
jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami
41
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiranh, h.
287. 42
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiranh, h.
290.
28
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)".
d. Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosnis.43
Ayat-ayat yang menceritakan drama kosnis, yaitu cerita tentang
keadaan Adam dan Hawa di surga hingga diturunkan ke bumi selalu
menekankan kedua pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti
untuk dua orang yang merujuk kepada keduanya, seperti dalam Qs. al-
A‟raf ayat 23:
ب حشد حغفش ب إ ب أفغب ب ظ لبل سب غش خ ٱ ى
Artinya: “Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya
diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi
rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang
merugi”.
e. Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi.44
Allah SWT memberikan peluang yang sama kepada laki-laki dan
perempuan untuk meraih prestasi dalam menjalani kehidupan.
Sebagimana Allah jelaskan dalam Qs. an-Nahl ayat 97:
أ روش أ ذب ص ػ ة غبت ۥ د فذ ؤ ثى
ب وبا ؼ أجش بأدغ جض
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan
Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan”.
43
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiranh, h.
288. 44
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiranh, h.
294.
29
C. Hak-Hak Perempuan dalam Perkawinan
Secara istilah hak memiliki pengertian sebagai kekuasaan atau wewenang
yang dimiliki seseorang untuk mendapatkan atau berbuat sesuatu.45
Sedangkan menurut C.S.T Cansil hak adalah izin atau kekuasaan yang
diberikan oleh hukum kepada seseorang.46
Menurut Amir Syarifuddin yang
dimaksud hak di sini adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang
lain.47
Pada dasarnya konsep hak itu sama, bahwa laki-laki dan perempuan sama
dalam segala sesuatu. Perempuan memiliki hak seperti yang dimiliki laki-laki,
dan laki-laki memiliki hak seperti perempuan. Lalu, laki-laki di beri
kelebihan dengan satu derajat, yaitu sebagai pemimpin yang telah ditetapkan
bersaaman dengan fitrahnya. Dalam hal ini bukan berarti keluar dari konsep
yang telah disamakan dalam hak dan kewajiban, sebab setiap tambahan hak
diiringi dengan tambahan kewajiban.48
Sebagaimana firman Allah yang
menyakan antara hak dan kewajiban suami istri itu sama, yaitu Qs.al-Baqarah
ayat 228:
ػضض دى ٱلل دسجت جبي ػ ش ؼشف
بٲ ٱزي ػ ث
) ٢٢٥ :٢/بمشةا(
Artinya: “Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”.
Hak yang dimiliki istri adalah kewajiban bagi suami, sebaliknya hak suami
adalah kewajiban bagi istri. Hak isteri terhadap suami terdiri dari dua macam.
Pertama, hak fianansial yaitu mahar dan nafkah. Kedua hak nonfinansial,
seperti hak untuk diperlakukan secara adil (apabila sang suami menikahi
45
J.C.T. Simorangkir dkk, Kamus Hukum, Cet IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 60. 46
C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum, Cet VIII, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 119 47
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang, h. 159. 48
Muhammad Albar, Wanita karir dalam Timbangan Islam, (Jakarta: Pustaka Azam,
1998) h. 18
30
perempuan lebih dari satu orang) dan hak untuk tidak disengsarakan.Berikut
ini adalah hak-hak isteri atas suami:
1. Hak yang bersifat materi
a. Mahar
Islam sangat memuliakan dan menghormati wanita, salah satu
bentuk penghoramatannya adalah dengan memberikan hak kepadanya
untuk memiliki.49
Hak-hak yang harus diterima oleh isteri pada
hakikatnya adalah upaya Islam dam mengangkat harkat dan martabat
wanita, karena pada zaman dahulu hak-hak perempuan hampir tidak
ada dan yang terlihat hanyalah kewajiban. Hal ini karna pada saat itu
perempuan dianggap rendah dan dianggap sesuatu yang tidak berguna
seperti pada masa jahiliyah di jazirah Arab dan hampir di semua
negeri.50
Secara etimologi mahar artinya maskawin51
dan dalam kamus
kontemporer Arab Indonesia, mahar atau mas kawin disamakan
dengan kata صبدق , صذاق, ش .52
sedangkan menurut Hamka,
kata shidaq atau shaduqât dari rumpun kata shidiq, shadaq, bercabang
juga dengan kata shadaqah yang terkenal. Arti yang sebenarnya dari
makna mahar adalah seperti halnya cap atau stempel bahwa nikah itu
telah dimaterikan.53
Dalil keharusannya memberikan mahar kepada isteri adalah pada
Q.s. an-Nisa: 4,
49
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jil. 3 (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013), 412.
50 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h.11.
51 H.M.A Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 36.
52 Atabik Ali dan Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia (Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 2007), h. 462.
53 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz. IV (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1999), h. 294.
31
فغب فى ء ػ ش ى فئ غب ذت خ
ءاحا ٱغبء صذل ش ب .ب
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
b. Nafkah
Nafkah hanya diwajibkan atas suami, karena tuntutan akad nikah
dan karena keberlangsungan bersenang-senang seperti isteri wajib taat
kepada suami, selalu menyertainya, mengatur rumah tangga, dan
mendidik anak-anaknya.54
Dalil diwajibkannya nafkah terdapat di
dalam al-Qur‟an pada Q.s. Al-Baqarah: 233,
ظبػت ٱش أساد أ خ وب د ذ أ ث شظؼ ذ ٱ
د ۥ سصل ػى ٱ ؼشف
بٲ ح وغ
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara ma´ruf”.
Adapun Syarat-syarat seorang isteri agar mendapatkan nafkah
adalah sebagai berikut55
:
a. Akad pernikahan yang dilakukan adalah sah
b. Isteri menyerahkan dirinya kepada suami
c. Isteri memungkinkan suami untuk menikmatinya
d. Isteri tidak menolak untuk berpindah ke tempat manapun yang
dikehendaki oleh suami.
54
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 88. 55
Abdul Aziz Muhammad Azam, Fiqih Munakahat (Jakarta: Amzah, 2011), 215.
32
e. Keduanya memiliki kemampuan untuk menikmati hubungan suami
isteri.56
Apabila salah satu syarat itu tidak terpenuhi maka nafkah tidak
wajib diberikan.
2. Hak yang bersifat nonmateri
Selain ada hak isteri yang bersifat materi, ada juga hak isteri yang
bersifat nonmateri. Hak-hak yang bukan bersifat nonmateri adalah:
a. Mempergauli isteri dengan baik
Kewajiban pertama seorang suami adalah memuliakan dan
mempergauli isterinya secara baik, menyediakan apa yang menjadi
hak isterinya, memperhatikan dan bersabar ketika ada sesuatu yang
tidak berkenan dihatinya.
Sebagaimana Firman Allah swt pada Q.s. an-Nisa: 19,
ل حؼع ب أ حشثا ٱغبء وش ى ا ل ذ ءا ب ٱز أ
ػبشش ت ب ذشت بف أ أح إل خ ب ءاح خزبا ببؼط
خ ؼشف فئ وش فؼغى أ حىشا ش بٲ ف ٱلل جؼ ب
شا وثشا خ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian
dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka
secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
b. Menjaga dan memelihara isteri
Disamping berkewajiban mempergauli isteri dengan baik, suami
juga wajib menjaga martabat dan kehormatan isterinya. Mencegah
isterinya jangan sampai hina, jangan sampai isterinya berkata jelek.57
56
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h.343. 57
Al- Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 163.
33
c. Mencampuri isteri
Berbicara nafkah batin sudah tentu harus benar-benar faham apa
yang dimaksud dengannya. Jadi nafkah batin merupakan pemenuhan
kebutuhan terutama biologis dan psikologis, seperti cinta dan kasih
sayang, perhatian, perlindungan dan lain sebagainya.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pun menjelaskan tentang hak-hak bagi
isteri, yaitu pada:
Pasal 80
(1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan
tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami isteri bersama.
(2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat
bagi agama, nusa dan bangsa.
(4) sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri
dan anak
c. biaya pendididkan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a
dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri
nusyuz.
Pasal 81
(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya
atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama
dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
34
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya
dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram.
Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta
kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya
serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik
berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang
lainnya.
35
BAB III
PERCERAIAN DAN NAFKAH IDDAH
A. Perceraian dalam Perspektif Fikih dan Perundang-undangan
1. Pengertian Perceraian
Talak berasal dari bahasa arab (طك ٠طك طمب طاللب) yang berarti
melepas ikatan dan membebaskan belenggu.1 Dalam terminologi
menurut H.M.A Tihami talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan
sehingga setelah hilangnya perkawinan itu isteri tidak lagi halal bagi
suaminya.2
Amir Syarifuddin menyebutkan di dalam bukunya bahwa
dihubungkannya kata talak dengan putusnya perkawinan adalah karena
antara suami dan isteri sudah lepas hubungannya atau masing-masing
sudah bebas.3
Menurut al-Mahalli dalam kitabnya Syarh Minhâj aṯ-Ṯalibîn
merumuskan talak sebagai berikut4 :
اىبح بفظ اطالق ذ ل١دد
“Melepaskan hubunganperkawinan dengan menggunakan kata talak
dan semacamnya”.
Dari rumusan yang dikemukakan al-Mahalli dapat dipetik tiga kata
kunci yang menunjukan hakikat dari perceraian yang bernama talak:
Pertama, kata “melepaskan” atau membuka atau menanggalkan
mengandung arti bahwa talak itu melepaskan sesuatu yang selama ini
1 A.W. Munawir, Kamus al-Munawwir Arab, (Surabaya: Pustaka Pregresif, 1997), h. 861.
2 H.M.A Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 230.
3 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia:Antara Fiqih Munakahat
Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta:Kencana Pernada Media Group,2009), cet. 3, h. 199. 4
36
telah terikat, yaitu ikatan perkawinan.5 Kedua, kata “ikatan perkawinan”
yang mengandung arti bahwa talak itu mengakhiri hubungan perkawinan
yang terjadi selama ini. Bila ikatan perkawinan itu memperbolehkan
hubungan antara suami dan isteri, maka dengan telah dibuka ikatan itu
status suami isteri kembali kepada keadaan semula, yaitu haram.Ketiga,
kata “dengan kata talak atau yang semacamnya” mengandung arti bahwa
putusnya perkawinan itu melalui suatu ucapan dan ucapan yang
digunakan itu adalah kata-kata talak. Tidak disebut dengan putusnya
perkawinan bila tidak dengan cara pengucapan ucapan tersebut, seperti
putus karena kematian.6
Jadi, talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah
hilangnya perkawinan itu isteri tidak lagi halal bagi suaminya. Ini terjadi
dalam talak bâi‟n, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan
perkawinan adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami tiga
kali menjadi dua, dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilang hak
dalam talak raj‟i.7
Allah SWT memperbolehkan talak hanya sampai dua kali agar laki-
laki tidak leluasa menceraikan isterinya apabila terjadi perselisihan. Bila
tidak dibatasi mungkin laki-laki ketika ada perselisan sekecil apapun itu
dengan mudahnya menjatuhkan talak kepada isterinya. Setelah Allah
menurunkan perintah ini, maka laki-laki akan sadar bahwa perceraian itu
tidak bisa dipermainkan begitu saja. Paling banyak yang suami jatuhkan
kepada isterinya adalah tiga kali seumur hidup, atau selama pergaulan
suami isteri. Bila perceraian sudah sampai tiga kali, maka tertutuplah
5 Jalaludin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli, Syarh Minhâj aṯ-Ṯâlibîn, Jil.3, cet. 2.
(Mesir: Mushtofa al-Bab, 2013 ), h.323. 6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat
Dan Undang-Undang Perkawinan, h. 199. 7 H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat,(Jakarta: Rajawali Pres, 2009), h
.230.
37
pintu untuk rujuk kepada isteri karena sudah itu sudah melampaui batas
talak.8
Aturan talak tersebut juga menyebabkan wanita insaf dan sadar bahwa
perceraian dengan suaminya itu adalah suatu aib atas dirinya dalam
pandangan masyarakat. Dengan demikian, mereka dapat menghindari
suatu yang mungkin bisa memicu terjadinya perpecahan dan perselisihan
di dalam rumah tangga.
Pada hakikatnya, talak lebih dari dua itu dibolehkan, tetapi yang
dilarang adalah rujuknya setelah itu. Sebanyak-banyaknya talak adalah
tiga kali dan sekurang-kurangnya adalah satu kali.9
2. Dasar Hukum Perceraian
Mengenai dasar hukum tentang perceraian Allah telah
menjelaskannya di dalam al-Qur‟an yaitu pada Q.s. al-Baqarah (2) : 229:
أ تأخرا ى ل ٠ذ بإدس تسس٠خ عسف أ ب
سبن فإ تب س ك ٱط
ش١ ب ءات١ت ب دد أل ٠م١ خفت فإ ب دد ٱ أ ٠ابفب أل ٠م١ ب لل
فال ٠تعد ٱ فال تعتدب ه دد ٱ ت ب ب ٱفتد ب ف١ ١ بح
ٱظ ئه
فأ دد ٱ
Artinya:“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak
ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar huku-hukum Allah mereka
Itulah orang-orang yang zalim.”
3. Macam-Macam Talak
Talak terdiri dari berbagai macam dan dapat dilihat dari beberapa
sudut pandang, di antaranya:
8 H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 234.
9 H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 235.
38
Talak jika dilihat dari segi waktu dijatuhkannya, maka terbagi menjadi
dua yaitu:
a. Talak Sunni
Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan sesuai tuntunan sunnah.
Dapat dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat, yaitu:
1) isteri yang ditalak sudah pernah digauli, bila talak dijatuhkan
terhadap isteri yang belum pernah digauli, tidak termasuk talak
sunni.
2) Isteri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yaitu
dalam keadaan suci dari haid. Menurut ulama syâfî‟iyyah
perhitungan masa id
3) dah bagi wanita itu tiga kali suci bukan tiga kali haid. Sehingga
talak yang terjadi pada wanita yang sudah tidak haid lagi
(monopause), wanita dalam keadaan haid atau talak karena khulu‟
itu tidak termasuk talak sunni
4) Talak itu dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci, baik di
permulaan, di pertengahan maupun di akhir suci.
5) Suami tidak pernah menggauli isteri selama masa suci dimana
talak itu dijatuhkan.10
b. Talak bid‟i
Talak bid‟i adalah talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau
bertentangan dengan tuntunan sunnah. Yang termasuk talak bid‟i di
antaranya:
1) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri pada masa haid, baik
dipermulaan haid maupun di pertengahannya.
2) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri pada masa suci tapi sudah
pernah digauli pada masa suci tersebut.11
Talak jika dilihat dari segi memungkinkan atau tidaknya bagi bekas
suami untuk kembali rujuk kepada isteri terbagi 2, yaitu:
10
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 193. 11
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 194.
39
a. Talak raj‟i adalah talak yang dijatuhkan suami kepada isteri yang
pernah digauli, bukan karena suami memperoleh ganti harta dari
isterinya dan talaknya itu merupakan talak yang pertama kali
dijatuhkan atau yang kedua kalinya.12
b. Talak bâi‟n adalah talak yang memutuskan,13
yaitu talak yang tidak
memberikan hak rujuk bagi bekas suami terhadap isterinya. Untuk
mengembalikan bekas isteri kedalam ikatan perkawinan lagi harus
menggunan akad nikah yang baru lengkap dengan syarat dan
rukunnya. Talak bâi‟n ada dua macam:
1) Talak bâi‟n shugra, yaitu talak bâi‟n yang menghilangkan
pemilikan bekas suami terhadap isteri tetapi tidak menghilangkan
kehalalan suami untuk menikah kembali kepada isterinya. Yang
termasuk talak bâi‟n shugra adalah talak sebelum berkumpul,
talak dengan penggantian harta (khulu‟) dan talak karena aib.14
2) Talak bâi‟n kubro, yaitu talak bâi‟n yang menghilangkan
pemilikan bekas suami terhadap bekas isteri serta menghilangkan
kehalalan bekas suami untuk kawin kembali kepada bekas
isterinya kecuali bekas isteri itu kawin dengan laki-laki lain dan
telah berkumpul dengan suami keduanya itu serta telah dicerai
secara wajar dan telah habis masa iddahnya. Talak bâi‟n kubro ini
terjadi pada talak yang ketiga.15
4. Alasan-alasan Perceraian
Perceraian dapat terjadi karena ada sebuah alasan, tidak mungkin
seseorang mengajukan perceraian kalau tidak ada alasan. Tetapi tidak
semuanya dapat dijadikan alasan untuk mengajukan perceraian, karena
sudah diatur di dalam undang-undang tentang alasan-alasan apa saja yang
dapat dijadikan alasan untuk mengajukan perceraian, yaitu di dalam
12
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 196. 13
Ali Yusuf as-Subki, Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, h. 337. 14
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, h. 198. 15
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, h. 199.
40
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 39 Jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 Jo. Kompilasi Hukum Islam Pasal 116
yang berbunyi:
“Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagaimana yang sukar disembunyikan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atas
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau
isteri.
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
g. Suami melanggar talik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
keidak rukunan dalam rumah tangga.”
B. Nafkah Iddah dalam Perspektif Fikih dan Perundang-undangan
1. Pengertian Nafkah Iddah
Kata nafkah atau افمة adalah bentuk maṣdar yang diambil dari kata
pengeluaran yang tidak digunakan selain) الخساج yang berarti الفبق
41
untuk kebaikan).16
Dan betuk jamaknya فمبا . Secara bahasa nafkah
adalah sesuatu yang dibelanjakan oleh seseorang untuk keluarganya.17
Yang dimaksud dengan nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan
yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian,
rumah dan sebagainya. Banyaknya nafkah yang diwajibkan adalah
sekedar mencukupi keperluan dan kebutuhan serta mengikat keadaan
dan kemampuan orang yang berkewajiban menurut kebiasaan masing-
masing.18
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia nafkah memiliki
pengertian uang belanja untuk hidup sehari-hari yang wajib suami
berikan kepada isteri.19
Adapun landasan atas wajibnya memberi nafkah sebagaimana yang
terdapat dalam al-Qur‟an adalah:
QS. al-Baqarah (2): 233:
ة ضب ٱس أزا أ ٠ت ١ وب ١ د د أ ٠سضع د ٱ
عسف بٱ ت وس ۥ زشل
ٱ
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan dan
kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan
cara ma'ruf.”
QS. aṯ-Ṯalâq (65): 6:
ل ١ تض١ما ل تضبز دو د١ث سىت أسى
ى أزضع فإ د ٠ضع دت ١ فأفما ت د
أ و
سا ب١ ف أت ز أ فستسضع ۥ بت ل تعبسست عسف ى ب
أخس
16
Ibrahim al-Bayjuri, Hasyiyah asy-Syaykh Ibrahim al-Bayjuri, (Jakarta: Dar al-Kutub al-
Islamiyah, 2007), h. 359. 17
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu,(Suriya: Dar al-Fikr, 1985),cet. II,
h. 765. 18
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru, 2007), cet. 40, h. 421 19
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 974.
42
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka dan jika mereka (isteri-isteri
yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika
kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak
itu) untuknya.”
QS. aṯ-Ṯalâq (65): 7
ل ٱ ا ءاتى رزقۥ فلينفق مم لي ومن قدر ن سعت لينفق ذو سعة م
سر يسرا يكلف ٱ بعد ا سيجعل ٱ ا لل ما ءاتى نفس
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan.”
Adapun landasan atas wajibnya memberi nafkah yang bersumber dari
Sunnah Rasulullah saw, Yaitu hadis yang terdapat di dalam Sunan at-
Tirmidzi dengan sanad dari Amar bin Ahwash, Rasulullah bersabda20
:
ن ئـال ان لكم لى نساءكم حقا و لنساءكم ليكم حقا فاما حقكم لى نساءكم فال يط
تحسنوا كم أن فرشكم من تكرهون ول يأذن في بيوتكم لمن تكرهون أل و حقن لي
للين في كسوتن و طعامن
Artinya: “Ingatlah bahwa kalian memiliki hak atas isteri kalian,
demikian isteri kalian punya hak atas kalian. Adapun hak kalian atas
isteri kalian bahwa jangan membiarkan orang yang dibenci masuk
kedalam rumah. Adapun hak isteri atas kalian adalah kalian menanggung
pakaian dan makanan mereka”
Iddah menurut bahasa diambil dari ‘adada, ia mengikuti wazan fi’lah
dari kata ‘add yang artinya hitungan dan bentuk jamaknya adalah ‘idâd.
Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Iddah
merupakan masa penantian wanita untuk mengetahui rahimnya negatif
20
Muhammad bin ‘Isa bin Surah bin Musa bin Dahk, Sunan at-Turmudzi, juz. 2, cet. 2
(Mesir: Musthafa al-Bab, 2010), h. 458 .
43
atau untuk beribadah atau untuk merisaukan suaminya.21
Secara istilah
iddah mengandung arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan
perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, dengan
tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berfikir bagi
suami.22
Sedangkan di dalam kamus besar bahasa Indonesia Iddah adalah
masa tunggu bagi seorang isteri yang ditinggal oleh suaminya baik
karena ditalak ataupun karena dicerai mati, dalam artian bahwa seorang
isteri tidak boleh menikah dengan orang lain pada masa itu.23
Para ulama mendefinisikan iddah sebagai nama untuk menanti
kesucian seorang isteri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh
suaminya, dan selama masa tersebut dilarang baginya untuh dinikahi pria
lain. Menurut Sayuti Thalib, pengertian iddah dapat dilihat dari dua sudut
pandang24
:
a. Dilihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan yang telah
ada, suami dapat rujuk kepada isterinya. Dengan demikian, kata
iddah dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang mempunyai
arti tenggang waktu setelah jatuhnya talak.
b. Dilihat dari segi isteri, masa iddah itu akan berarti sebagai
tenggang waktu dimana isteri belum dapat melangsungkan
perkawinan dengan pihak laki-laki lain.
Masa yang telah ditentukan oleh syariat ini memiliki maksud untuk
memberi kesempatan kepada suami isteri untuk berfikir, apakah
perkawinan tersebut masih dapat dilanjutkan dengan rujuk jika
21
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhu Asy-Syafi‟i Al-Muyassar, Penerjemah Muhammad Afifi,
Fiqih Imam Syaf‟i, Jakarta: Almahira, 2012, cet.2, h. 1. 22
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), cet.3, h.240 23
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 516. 24
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan di Indonesia (Jakarta: UI Press, 1982 ), h. 122.
44
perceraian itu terjadi pada talak raj‟i atau perceraian itu lebih baik bagi
keduanya.25
Adapun dasar hukum iddah sebagaimana yang terdapat dalam al-
Qur‟an adalah:
QS. al-Baqarah (2): 228:
ب خك أ ٠ىت ل ٠ذ ء ثة لس ث بأفس ت ٠تسبص طم ٱ
أدك بس بعت ٱلخس ١ ٱ بٱ ٠ؤ ل و أزدب ف ٱ
أزا ه لبي ف ذ س عسف
بٱ ١ ٱر ث ذب ا لص
ص٠ص دى١ ٱ ة ز ١
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada
Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan
Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.”
2. Syarat-syarat kepemilikan hak terhadap nafkah
Untuk memiliki hak atas nafkah bagi isteri, para ulama telah sepakat
bahwa seorang isteri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Telah terjadi akad yang sah antara suami dan isteri. Bila akad nikah
mereka masih diragukan kesahannya, maka isteri belum berhak
menerima nafkah dari suaminya.26
b. Isteri menyerahkan dirinya kepada suaminya. Penyerahan diri ini
dapat dibuktikan dengan kesiapan dirinya ketika diminta untuk
melayani suami, baik meminta untuk bermain cinta atau tidak.27
c. Isteri sudah dewasa dan mampu melakukan hubungan suami isteri.
Apabila isteri tidak sanggup berhubungan suami isteri maka suami
25
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.
241 26
Abu Malik Kamal, Sahîh Fiqh As-Sunnah, Penerjemah Khoirul Amru Harahap dkk,
Shahih Fikih Sunnah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, h. 316. 27
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuhu, h. 112.
45
tidak wajib memberinya nafkah, karena nafkah itu berkaitan dengan
mampu atau tidaknya isteri melakukan hubungan suami isteri.
d. Isteri tidak menolak untuk pindah sesuai dengan keinginan suami
e. Keduanya termasuk orang yang layak untuk dapat menikmati
kesenangan dalam hubungan suami isteri28
3. Sebab wajibnya pemberian nafkah
Di dalam kitabnya al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaili
menjelaskan sebab suami diwajibkan memberikan nafkah kepada isteri.
Dimana para ulama berbeda pendapat tentang sebab wajibnya suami
memberikan nafkah kepada isteri, di antaranya:29
a. Ulama Hanafiyyah berpendapat sebab wajibnya suami memberikan
nafkah kepada isterinya adalah karena suami berhak mehanan
isterinya untuk tidak keluar dari rumah ataupun bekerja setelah akad
nikah yang sah. Artinya, jika akad nikah itu batal, secara otomatis
pemberian nafkah tidak menjadi wajib, karena hilangnya sebab yang
mewajibkannya, yaitu hak menahan isteri setelah akad nikah dan hak
tersebut akah hilang apabila pernikahannya itu fasid atau batal.
b. Menurut Ulama Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa yang menjadi sebab wajibnya nafkah antara suami dan isteri
adalah tali perkawinan. Karena posisi wanita sebagai isteri lah yang
menyebabkan ia mendapatkan nafkah dari suaminya.
4. Gugurnya Nafkah
Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan nafkah seorang isteri gugur,
di antaranya:30
a. Lewatnya masa tanpa ada keputusan Mahkamah atau saling
merelakan
Nafkah isteri gugur jika masanya lewat setelah ditetapkan
kewajibnya sebelum nafkah itu menjadi hutang dalam tanggungan.
28
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah Abdurrahim, Fikih Sunnah, Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2011, cet.2, jil.3 h. 430. 29
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuhu, h. 111. 30
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuhu, h. 104.
46
Tetapi, nafkah itu tidak gugur jika lewat masanya setelah ditetapkan
mahkamah dan menjadi hutang. Mazhab Malikiyyah dan mazhab
lainnya berpendapat bahwa nafkah isteri tidak gugur dengan
lewatnya masa dan sang suami kembali memberi nafkah kepada
isteri dengan nafkah yang baru.
b. Pembebasan dari nafkah yang telah lewat
Pembebasan atas nafkah yang telah lewat termasuk salah satu sebab
yang menggugurkan utang wajib. Akan tetapi Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa membebaskan atau memberikan nafkah yang
akan datang, karena nafkah isteri itu wajib diberikan secara berkala
sesuai waktu dan kebutuhan. Jika nafkah itu dibebaskan maka berarti
membebaskan suatu kewajiban sebelum datang waktu wajib dan
sebelum adanya sebab yang mewajibkan itu hak itsri.31
c. Wafatnya salah satu dari suami isteri
Jika seorang suami meninggal dunia sebelum memberikan nafkah,
isterinya berhak mendapatkan nafkah tersebut. Jika yang meninggal
itu isteri, maka ahli warisnya juga tidak berhak mengambil
nafkahnya.
d. Nusyuz
Nusyuz adalah maksiat yang dilakukan isteri atas hak suaminya
dalam hal-hal yang wajib isteri kerjakan dan patuhi setelah
melakukan akad nikah. Nafkah isteri dianggap gugur jika ia
melakukan perbuatan nusyuz, meski menolak bersentuhan tanpa
uzur, yang menjadi pembukaan untuk melakukan senggama. Karena
nafkah merupakan pengganti kesenangan yang diperoleh suami. Jika
isteri menolak untuk disentuh maka ia tidak berhak mendapatkan
nafkah dari suaminya. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa nafkah
yang gugur akibat nusyuz dan ditinggal mati adalah nafkah yang
wajib. Bukan nafkah yang dihutang menurut pendapat yang asoh.
Jika isteri menolak ajakan suami karena ada luka kecil di sekitar
31
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuhu, h. 105.
47
kemaluan, atau ternyata kemaluannya itu sedang mengalami
pembengkakakn maka nafkah bagi isteri tidaklah gugur. Di antara
hal yang juga dianggap uzur adalah apabila sakit bila melakukan
senggama, atau terlalu besarnya kemaluan suami sehingga kemaluan
isteri tidak sanggup menahannya.
Adapun jika isteri keluar rumah tanpa izin suami atau berpergian
tanpa izin suami, maka itu juga termasuk nusyuz yang mengugurkan
nafkahnya. Jika isteri keluar dari rumah atas izin suaminya ulama
Syafi‟iyyah memberikan perincian, yaitu jika isteri keluar rumah
bersama suami atau karena memenuhi kebutuhan suami maka
nafkahnya tidak gugur. Namun jika perginya untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maka nafkahnya gugur menurut qaul azhar.32
Menurut Ulama Hanabilah berpendapat bahwa seorang isteri tidak
berhak mendapatkan nafkah jika ia keluar tanpa izin suaminya, baik
keluarnya untuk keperluannya sendiri, berwisata atau berziarah
meski dengan izin suaminya atau dalam menjalani hukuman buang,
atau ditahan meski karena zolim atau mengerjakan puasa kafarat,
mengqaḏa puasa ramadhan yang waktunya masih luas, puasa secara
mutlak atau melakukan ibadah haji baik sunah maupun nazar dan
tanpa izin dari suami. Akan tetapi menurutHanabilah dan
Malikiyyah, nafkah isteri tidak gugur jika ia menjalankan ibadah haji
yang wajib.
e. Murtad
Jika isteri murtad maka nafkahnya menjadi gugur, karena ia telah
keluar dari Islam dan tidak boleh digauli karena murtad. Namun jika
kembali lagi masuk Islam maka menurut Syafi‟iyah dan Hanabilah
nafkahnyakembali lagi. Perbedaan antara murtad dan nusyuz adalah
isteri yang murtad nafkahnya gugur karena ia murtad. Jika sebabnya
hilang, artinya apabila isterinya masuk Islam kembali maka
nafkahnya juga kembali lagi. Adapun isteri yang nusyuz, nafkahnya
32
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuhu, h. 105.
48
gugur karena ia melarang suami melakukan sesuatu atas dirinya, dan
ini tidak kembali hanya dengan taat kepada suami, namun dengan
penyerahan diri sepenuhnya kepada suami, dan itu tidak bisa dicapai
jika suaminya tidak ada.33
5. Ukuran Nafkah
Berkenaan dengan ukuran nafkah yang harus ditunaikan oleh suami para
ulama mazhab berbeda pendapat, di antaranya:
a. Pendapat Mazhab Hanafi
Para ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwasanya untuk ukuran
nafkah tidak ada ketentuan syariat yang terkait, dan bahwasanya
suami berkewajiban memenuhi kebutuhan isteri secukupnya yang
dalam arti lain adalah suami memberikan nafkah semampunya sesuai
dengan kondisinya dari segi kelapangan atau kesulitannya.
b. Pendapat Mazhab Syafi‟i
Para ulama mazhab Syafi‟i tidak mengkaitkan penetapan besaran
nafkah dengan batas secukupnya akan tetapi mereka menetapkan
besaran nafkah berdasarkan ketentuan syariat. Meskipun begitu
mereka sepakat dengan mazhab Hanafi dalam mempertimbangkan
keadaaan suami dari segi kelapangan dan kesulitannya. Maksudnya
jika suami berada dalam keadaan lapang maka besaran nafkah yang
harus suami berikan dalam satu hari adalah dua mud. Sedangkan
suami yang dalam kesulitan maka nafkah yang harus diberikan
adalah satu mud.34
6. Nafkah Atas Perempuan yang Sedang Menjalani Iddah
Para ulama sependapat bahwa perempuan yang sedang
menjalankan masa iddah akibat talak raj‟i berhak mendapatkan nafkah
dan tempat tinggal.35
Demikian pula mereka sependapat bahwa isteri yang
33
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuhu, h. 106. 34
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah. Penerjemah Abdurrahim, Fikih Sunnah, h. 436-437. 35
Ali Yusuf as-Subki, Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, h. 358.
49
sedang menjalankan masa iddah karena talak bâi‟n dan dalam keadaan
hamil masih berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya.
Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hak nafkah isteri
yang sedang menjalankan masa iddah karena talak bâi‟n dan tidak sedang
dalam keadaan hamil. Pertama, Ulama Hanâfiyyah berpendapat bahwa ia
berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah. Pendapat ini juga sama
dengan pendapat Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz dan Sufyan
ats-Tsauri.Kedua, Ulama Hanâbilah berpendapat isteri tidak berhak apa-
apa baik nafkah ataupun tempat tinggal. Ketiga, ulama Malikiyah dan
Syafi‟iyah berpendapat ia hanya berhak mendapatkan tempat tinggal
tetapi tidak mendapatkan nafkah.36
Ketentuan nafkah bagi isteri yang sedang menjalankan masa iddah
akan gugur apabila isteri melakukan perbuatan nusyuz, yaitu
pembangkangan terhadap suami atau durhaka kepadanya. Isteri bisa
dikategorikan nusyuz apabila ia meninggalkan rumah tanpa izin dari
suaminya, tidak mau melayani suami dalam masalah hubungan intim
atau isteri menolak tinggal dirumah yang layak baginya, maka menurut
kesepakatan para mazhab dia tidak berhak mendapatkan nafkah. Hanya
saja Imam Syafi‟i dan juga Imam Hambali menambahkan, apabila isteri
keluar rumah demi kepentingan suami maka nafkahnya tidak menjadi
gugur. Tetapi apabila keluarnya isteri dari rumah bukan karena
kepentingan suami sekalipun dengan izin suami maka gugurlah hak
nafkah baginya. Tetapi apabila isteri kembali lagi taat kepada suami
maka ketika itu kembali pula hak nafkahnya.37
Akan tetapi imam Hanafi berbeda dalam masalah batasan nusyuz
yang mengakibatkan gugurnya nafkah. Pendapatnya tersebut adalah
apabila isteri tidak keluar rumah tanpa izin suaminya dan tetap di dalam
rumah maka ia masih terhitung taat, sekalipun dia tidak mau diajak
36
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 447. 37
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera, 2002), h. 402-
404.
50
bersetubuh tanpa alasan syar‟i. Penolakan itu haram, tapi tidak
menggugurkan hak nafkah baginya. Bagi imam Hanafi yang menjadi
sebab suami harus memberikan nafkah adalah beradanya isteri dirumah
suaminya. Persoalan hubungan seksual tidak ada kaitannya dengan
nafkah. Pendapat ini sungguh berbeda sekali dengan jumhur ulama,
dimana para ulama sepakat bahwa isteri apabila tidak mau diajak
bersetubuh tanpa adanya alasan syar‟i maka ia tidak berhak mendapatkan
hak nafkah.38
7. Nafkah Iddah dalam Peraturan Perundang-undangan
Mengenai nafkah iddah bagi bekas isteri pasca perceraian UU No.1
Tahun 1974 telah mengatur pada pasal 41 huruf c yang berbunyi:
“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan atau menentukan suatu kewajiban bagi
bekas isteri”.
Ketentuan ini dimaksudkan agar bekas isteri yang telah diceraikan
suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya.39
Di dalam KHI pun mengatur tentang nafkah iddah
yang merupakan sebuah akibat yang timbul setelah terjadinya perceraian,
hal itu diatur pada pasal 149 yang berbunyi:
“Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas isteri qobla dukhûl.
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama
dalam masa iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau
nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh
apabila qobla dukhûl.
38
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, h. 402-404. 39
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.
255.
51
d. Membebankan biaya haḏanah untuk anak-anak yang belum
mencapai umur 21 tahun.”
Dan pasal 152 yang berbunyi:
“Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suami
kecuali ia nusyuz”
C. Implementasi Nafkah Iddah di Pengadilan Agama
Dari ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sudah dipaparkan di
atas sudah jelas apabila isteri diceraikan karena cerai talak raj‟i dan isteri
yang sedang hamil berhak mendaptkan nafkah. Sedangkan bagi isteri yang
cerai karena talak bâi‟n dan isteri yang cerai karena nusyuz maka ia tidak
berhak mendapatkan nafkah iddah.
Nafkah iddah merupakan nafkah yang wajib untuk diberikan oleh mantan
suami kepada mantan isteri jika perceraian karena talak. Adapun maksud
talak di sini adalah suami mengajukan permohonan cerai talak terhadap
isterinya ke pengadilan agama. Dalam perkara permohonan cerai talak salah
satu yang diputus oleh majelis hakim yaitu adanya pemberian nafkah iddah.
Terhitungnya awal kewajiban nafkah iddah adalah ketika suami selesai
membacakan ikrar talak. Di dalam praktiknya hakim memerintahkan kepada
suami untuk membawa uang nafkah iddah tersebut ketika persidangan ikrar
talak untuk diserahkan kepada mantan isteri setelah selesai ikrar talak.Untuk
mengetahui berapa lama pemberian nafkah iddah terebut, maka harus dilihat
kepada lama iddah bagi isteri yang di cerai talak. Masa iddah isteri yang
ditalak oleh suaminya adalah tiga kali suci atau jikalau dalam hitungan hari
adalah 90 hari, maka lama masa pemberian nafkah iddah adalah selama tiga
kali suci atau jikalau dalam hitungan hari adalah 90 hari.40
Tetapi ada beberapa Pengadilan agama yang menerapkan pemberian
nafkah iddah sebelum pembacaan ikrar talak. Dimana hakim berijtihad dalam
40
http://kantorpengacara.co/nafkah-yang-wajib-dibayarkan-suami-setelah -perceraian/
52
rangka memperjuangkan hak-hak mantan isteri dan menegakan keadilan bagi
para isteri dan sebagai penerapan asas peradilan agama bahwa peradilan
agama dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan.Faktor ekonomi
berpengaruh dalam terlaksananya pembayaran nafkah iddah kepada mantan
isteri. Apabila mantan suami berada dalam kondisi ekonomi yang cukup baik
maka proses pembayaran nafkah iddah akan berjalan dengan lancar.
Sebaliknya apabila kondisi mantan suami dalam keadaan ekonomi yang susah
maka proses pemberian nafkah iddah akan menjadi sulit. Karena secara
hukum tidak ada aturan yang mengharuskan pembayaran nafkah iddah
kepada mantan isteri secara tunai. Apabila suami yang tidak mau membayar
secara keseluruhan kewajiban memberikan nafkah iddah, maka suami dapat
meminta keringanan kepada pihak pengadilan agar diperkenankan membayar
kewajiban memberikan nafkah iddah tersebut dibayarkan secara dicicil.41
Ada 4 kategori dalam hal nafkah perempuan yang sedangkan menjalankan
masa iddah, yaitu:
a. Perempuan yang dalam masa iddah akibat talak raj‟i berhak
mendapatkan tempat tinggal dan nafkah, mengingat bahwa statusnya
masih sebagai isteri sah dan karenanya tetap memiliki hak-hak sebagai
isteri. Kecuali ia dianggap nusyuz, yaitu melakukan hal-hal yang
dianggap durhaka dan melanggar kewajiban taat kepada suaminya.
b. Perempuan dalam masa iddah akibat talak bâi‟n apabila ia dalam
keadaan mengandung maka ia berhak mendapatkan tempat tinggal dan
nafkah.
c. Perempuan dalam masa iddah akibat talak bâi‟n dan tidak sedang
dalam keadaan mengandung maka ia hanya mendapatkan tempat
tinggal saja.
d. Perempuan yang dalam masa iddah karena suaminya meninggal dunia
tidak berhak mendapatkan apa-apa baik nafkah ataupun tempat tinggal.
41
Siti zulaekah, “Analisis Pemberian Nafkah Mantan Isteri Akibat Cerai Talak : Studi
Kasus di Pengadilan Agama Semarang tahun 2015.”(Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2016), h. 85-87
53
Karena harta peninggalan suaminya kini telah menjadi hak ahli waris,
termasuk dia dan anak-anaknya.42
42
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.
249-250.
54
BAB IV
IMPLEMENTASI NAFKAH IDDAH DALAM KASUS NUSYUZ DI
PENGADILAN
A. Profil Singkat Pengadilan Agama Jakarta Barat
1. Sejarah Pengadilan Jakarta Barat
Gedung Pengadilan Agama Jakarta Barat yang dibangun pada tahun
1994 dan selesai pada tahun 1997 adalah milik PEMDA DKI Jakarta.
Kemudian olehnya diserah terimakan kepada Pengadilan Agama Jakarta
Barat pada tanggal 19 Mei 1997 untuk dipergunakkan sebagai tempat
kegiatan Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam melaksanakan tugas
penegakan hukum dan keadilan.
Pengadilan Agama Jakarta Barat yang pada awalnya bernama Kantor
Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat, dibentuk pada tahun 1963
berdasarkan Surat Keputusan MenteriAgama Republik Indonesia Nomor
69 Tahun 1963. Sebelumnya di Jakarta hanya ada tiga Pengadilan Agama,
yaitu:
a. Kantor Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagi induk
b. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah
c. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara
Semula Pengadilan Agama di Jakarta berada di bawah Mahakamah
Islam Tinggi Surakarta. Kemudian pada tahun 1976, setelah dibentuknya
Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 1976 tanggal 16
Desember 1976, Pengadilan Agama di Jakarta bersama semua pengadilan
agama di Jawa Barat berada di bawah Mahkamah Islam Tinggi Bandung.1
Selanjutnya pada tahun 1985, Mahkamah Islam Tinggi Surakarta yang
sudah berubah nama menjadi Pengadilan Tinggi Agama dipindahkan ke
1 http://www.pa-jakartabarat.go.id/tentang-pengadian/sejarah-pengadilan
55
Jakarta berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 61 Tahun
1985 tanggal 16 Juli 1985 yang realisasainya baru terlaksana pada tanggal
30 Oktober 1987. Dengan demikian secara otomatis semua pengadilan
agama di Wilayah DKI Jakarta berada di bawah Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta.
2. Wilayah Yuridiksi
Secara geografis Pengadilan Agama Jakarta Barat berada antara 6o 10’
LS dan 106o 49’ BT. Adapun wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta
Barat terdiri dari 8 (delapan) Kecamatan 56 (lima puluh eman) Kelurahan,
yaitu:2
a. Kecamatan Kebon Jeruk
Kecamatan Kebon Jeruk terdiri dari 7 (tujuh) Kelurahan,
yaitu:Kelurahan Kebon Jeruk, Kelurahan Sukabumi Selatan,
Kelurahan Sukabumi Utara, Kelurahan Kelapa Dua, Kelurahan Duri
Kepa, Kelurahan Kedoya Selatan, Kelurahan Kedoya Utara
b. Kecamatan Cengkareng
Kecamatan Cengkareng Terdiri dari 6 (eman) Kelurahan,
yaitu:Kelurahan Cengkareng Timur, Kelurahan Cengkareng Barat,
Kelurahan Kapuk, Kelurahan Rawa Buaya, Kelurahan Duri Kosambi,
Kelurahan Kali Angke
c. Kecamatan Grogol Petamburan
Kecamatan Grogol Petamburan terdiri dari 7 (tujuh) Kelurahan,
yaitu:Kelurahan Grogol, Kelurahan Tanjung Duren Utara, Kelurahan
Tanjung Duren Selatan, Kelurahan Tomang, Kelurahan Jelambar,
Kelurahan Jelambar Baru, Kelurahan Wijaya Kusuma
d. Kecamatan Tambora
Kecamatan Tambora terdiri dari 11 (sebelas) Kelurahan, yaitu:
Kelurahan Tambora,Kelurahan Tanah Sereal, Kelurahan Duri Utara,
Kelurahan Duri Selatan, Kelurahan Angke, Kelurahan Roa Malaka,
2 http://www.pa-jakartabarat.go.id/tentang-pengadian/wilayah-yuridiksi
56
Kelurahan Pekojan, Kelurahan Jembatan Besi, Kelurahan Jembatan
Lima, Kelurahan Kali Anyar, Kelurahan Krendang
e. Kecamatan Taman Sari
Kecamatan Taman Sari terdiri dari 8 (delapan) Kelurahan,
yaitu:Kelurahan Taman Sari, Kelurahan Glodok, Kelurahan
Keagungan, Kelurahan Krukut, Kelurahan Tangki, Kelurahan Maphar,
Kelurahan Mangga Besar, Kelurahan Pinangsia
f. Kecamatan Palmerah
Kecamatan Palmerah terdiri dari 6 (enam) Kelurahan, yaitu:Kelurahan
Palmerah, Kelurahan Kota Bambu Utara, Kelurahan Kota Bambu
Selatan, Kelurahan Kemanggisan, Kelurahan Jati Pulo, Kelurahan
Slipi
g. Kecamatan Kembangan
Kecamatan Kembangan Terdiri dari 6 (eman) Kelurahan,
yaitu:Kelurahan Kembangan Selatan, Kelurahan Kembangan Utara,
Kelurahan Meruya Utara, Kelurahan Meruya Selatan, Kelurahan
Srengseng, Kelurahan Joglo
h. Kecamatan Kalideres
Kecamatan Kalideres Terdiri dari 5 (lima) Kelurahan, yaitu:Kelurahan
Kalideres, Kelurahan Tegal Alur, Kelurahan Kamal, Kelurahan
Semanan, Kelurahan Pegadungan
3. Struktur Organisasi
Berdasarkan PERMA No 7 Tahun 2015 tentang organisasi dan tata
kerja kepaniteraan dan kesertariatan peradilan, ditetapkan bahwa struktur
organisasi Pengadilan Agama Jakarta Barat sebagaimana berikut:3
a. Ketua : Drs. H. Rusman Mallapi, S.H, M.H.
b. Wakil Ketua : Dr. H. Amam Fakhrur, S.H., M.H.
c. Dewan Hakim :Drs. H. Ali Mas’ad, Drs. Mulawarman S.H,.
M.H.,Drs. H. Ubaidillah M.Sy.,Drs. H. Mahdi Usman S.H.,Dra. Hj.
3 http://www.pa-jakartabarat.go.id/tentang-pengadian/struktur-organisasi
57
AbsariM.H., Drs. H. Abdul Hadi M.H.I.,Dra. Hj. Neliati S.H.,Drs. H.
Fajri Hidayat M.H., Dra. Nurhayati M.H., Praptiningsih S.H., M.E.,
Drs. H. Mhd. Nasir S.H., M.H.
d. Panitera : H. Hanafi Baihaqi Lc., S.H.
e. PanMud Permohonan : H. Ali Usman Hasibuan S.H.I.
f. Staff PanMud Permohonan : Meli Yosa S.E. M.H.
g. PanMud Gugatan : Hj. Nisrin S.H., M.H.
h. Staff PanMud Gugatan : H. Waluyo S.H., Syarif Maulana S.H,. M.H.,
Lidya Anggreini S.E., Kunthi Septiyanti S.H.,Ulfa Fouziyah
S.H.I.,Triningsih Subekti A.md.
i. PanMud Hukum : Muhammad Hambali S.H.
j. Sekertaris: Drs. Safe’i Agustian
k. Kasubag Perencanaan IT: Windarti S.E,. M.H,. MBA.
l. Subag Umum dan Keuanga : Haryanti S.H., Drs. Syamsuddin M.H.,
Didin Awaludin S.H., Tri Supani S.H., Widya Fauziah S.E.,
m. Kasubag Kepegawaian : Tri Jumiyati S.H,.
n. Panitera Pengganti : Saparanto S.H., M.H., Abdul Hamid S.Ag.,
Junaedi S.H., M. Yasin S.H., Endang Bahtiar S.H., M.H., Ahlan S.H.,
Donny Sulistiyantoro S.E., Ria Amalia Sari S.H, M.H., Hj. Siti
Rohmah S.E,. S.H.,
o. Jurusita dan Jurusita Pengganti : Toto Sudarto, Priyorianto, Frans
Paulus Alfons, S.E., Hafas, Burhamzah, Nining Widiawati, Dika
Andrian S.Kom., Pepen Effendi
B. Deskripsi Putusan
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat nomor
585/Pdt.G/2017/PA.JB adalah perkara cerai talak yang didaftarkan di
Pengadilan Agama Jakarta Barat pada tanggal 08 Maret 2017 dengan
duduk perkara sebagai berikut:
Bahwa pada tanggal 15 Juni 2011 pemohon dengan termohon
melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama Kecamatan Palmerah.
58
Bahwa setelah pernikahan tersebut pemohon dengan termohon
berpindah-pindah dan bertempat tinggal terakhir dikontrakan sesuai alamat
termohon.
Bahwa dalam perkawinan antara pemohon dengan termohon telah
bercampur sebagaimana layaknya pasangan suami isteri dan telah
dikaruniai dua orang anak, yang pertama anak perempuan dan yang kedua
anak laki-laki.
Bahwa sejak pertengahan bulan Desember tahun 2015 rumah
tangga antara pemohon dan termohon sering terjadi pertengkaran secara
terus-menerus, yang penyebabnya anatara lain:
1. Termohon sering marah-marah kepada pemohon.
2. Termohon sering keluar rumah tanpa izin.
3. Pemohon tidak patuh dalam menjalankan kewajiban sebagai isteri dari
pemohon.
Bahwa sejak pertengahan bulan Februari 2017 pemohon dan termohon
ribut besar, dimana termohon meminta cerai kepada pemohon dan
pemohon mengabulkannya, selanjutnya pemohon pergi dari rumah
kediaman bersama ke alamat orang tua pemohon yang sesuai dengan
alamat pemohon, dan sejak saat itu antara pemohon dan termohon sudah
tidak pernah lagi melakukan hubungan suami isteri sampai sekarang.
Bahwa ikatan perkawinan antara pemohon dan termohon sebagaimana
diuraikan diatas sudah sulit untuk dibina untuk membentuk suatu rumah
tangga yang sakînah, mawaddah wa rahmah sebagaimana maksud dan
tujuan dari sebuah perkawinan, sehingga lebih baik diputus karena
perceraian.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka pemohon memohon kepada
ketua Pengadilan Agama Jakarta Baratuntuk berkenan menerima,
memerikasa dan memutus perkara ini sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan pemohon.
59
2. Memberikan izin kepada pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj’i
terhadap termohon dihadapan sidang Pengadilan Agama Jakarta Barat.
3. Membebankan biaya perkara sesuai dengan hukum yang berlaku.
Bahwa pada hari sidang yang ditetapkan, pemohon dan termohon
hadir pada persidangan, oleh Majelis telah diupayakan perdamaian dan
diberi kesempatan kepada pihak berperkara untuk menempuh mediasi
dengan menunda persidangan secara cukup, namun tidak berhasil
mencapai kesepakatan.
Bahwa oleh karena proses mediasi yang dilaksanakan oleh Mediator
Drs.H.Muchit A.Karim, M.Pd. tidak berhasil, maka pemerikasaan
dilanjutkan dalam persidangan tertutup untuk umum dan dibacakan
permohonan pemohon yang isinya tetap dipertahankan oleh pemohon
tanpa ada perubahan.
Bahwa atas permohonan pemohon tersebut, termohon telah
mengajukan jawaban secara lisan, yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa benar pemohon adalah suami termohon yang menikah pada
tanggal 15 juni 2011.
2. Bahwa benar pemohon dan termohon memiliki 2 anak.
3. Bahwa benar setelah menikah pemohon dan termohon terakhir tinggal
bersama di Kebon Jeruk.
4. Bahwa benar sejak akhir 2015 antara pemohon dengan termohon
sering terjadi pertengkaran.
5. Bahwa benar termohon sering keluar rumah tanpa izin.
6. Bahwa termohon hanya bermaksud agar pemohon dan termohon tidak
tinggal bersama orang tua pemohon, agar mandiri.
7. Bahwa benar termohon pernah marah-marah dan meminta diceraikan
oleh pemohon.
60
8. Bahwa pada bulan Februari 2017 pemohon pergi meninggalkan
tempat kediaman bersama dan sekarang pemohon tinggal bersama
orang tua pemohon.
9. Bahwa sebaiknya termohon bercerai dari pemohon.
Bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya pemohon
mengajukan beberapa bukti, di antaranya:
1. Bukti surat
a. Fotokopi kutipan akta nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai
Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Palmerah,
Kota Jakarta Barat, Tanggal 15 Juni 2011, telah di nazegelen dan
telah dicocokan dengan aslinya ternyata cocok, dan oleh Majelis
Hakim diberi tanda “P1” dan diparaf.
b. Fotokopi KTP atas nama pemohon yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Kota Jakarta Barat Tanggal 03 Oktober 2012, telah di
nazegelen dan telah dicocokan dengan aslinya ternyata cocok, dan
oleh Majelis Hakim diberi tanda “P2” dan diparaf.
2. Bukti saksi
a. Saksi I, Bibi pemohon, Agama Islam, pekerjaan Ibu Rumah
Tangga, bertempat tinggal di Jakarta Barat. Memberikan
keterangan dibawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut:
1) Bahwa saksi kenal dengan pemohon dan termohon.
2) Bahwa saksi adalah bibi pemohon.
3) Bahwa saksi mengetahui pemohon dan termohon adalah
suami isteri sah dan menikah pada tahun 2011.
4) Bahwa saksi mengetahui pemohon dan termohon tinggal
bersama di rumah kontrakan di daerah Kebon Jeruk Jakarta
Barat.
5) Bahwa saksi mengetahui pemohon dantermohon telah
dikaruniai dua orang anak.
6) Bahwa saksi mengetahui sejak akhir 2015, antara pemohon
dan pemohon terjadi pertengkaran.
61
7) Bahwa saksi mengetahui yang dipertengkarkan pemohon dan
termohon adalah mengenai sikap termohon yang sering tidak
ada di tempat kediaman.
8) Bahwa saksi mengetahui pada bulan Februari 2017 pemohon
meninggalkan tempat kediaman menuju rumah orang tua
pemohon.
9) Bahwa saksi mengetahui termohon pernah minta diceraikan
oleh pemohon.
10) Bahwa saksi mengetahui sejak kepergiannya dan sampai
sekarang pemohon tidak pernah kembali.
11) Bahwa dahulu pemohon dan termohon juga pernah pisah
tempat tinggal, dan waktu itu termohon tinggal dirumah
saksi.
b. Saksi II, adalah tetangga pemohon, Agama Islam, ibu rumah
tangga, bertempat tinggal di Jakarta Barat. Memberikan
keterangan dibawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut:
1) Bahwa saksi kenal dengan pemohon dan termohon.
2) Bahwa saksi adalah tetangga pemohon.
3) Bahwa saksi mengetahui pemohon dan termohon adalah
suami isteri sah.
4) Bahwa saksi mengetahui pemohon dan termohon tinggal
bersama di rumah kontrakan di daerah Kebon Jeruk dan telah
dikaruniai dua orang anak.
5) Bahwa saksi mengetahui pada bulan Februari 2017, pemohon
meninggalkan tempat kediaman bersama menuju ke rumah
orang tua pemohon.
6) Bahwa saksi mengetahui ketika masih serumah antar
pemohon dan termohon terjadi pertengkaran.
7) Bahwa saksi mengetahui yang di pertengkarkan pemohon dan
termohon adalah mengenai sikap termohon yang sering tidak
ada di tempat kediaman.
62
8) Bahwa saksi mengetahui sejak kepergiannya dan sampai
sekarang pemohon tidak pernah kembali.
Bahwa termohon menyatakan kepada Majelis Hakim, dimana
termohon tidak akan mengajukan bukti-bukti ke muka persidangan.
Bahwa selanjutnya pemohon dan termohon menyampaikan
kesimpulan secara lisan sebagaimana di dalam Berita Acara Pemeriksaan
Perkara.
Bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini ditunjuk segala hal
yang tercantum dalam berita acara sidang yang merupakan bagian tak
terpisankan dari putusan ini.
C. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan Hakim
Bahwa Majelis Hakim pada setiap permulaan persidangan telah
mengupayakan perdamaian dengan memberi nasehat agar pemohon dan
termohon kembali hidup rukun dan telah menempuh proses mediasi,
sesuai dengan PERMA No. 1 Tahun 2016 dengan Mediator Drs. Muchit
A. Karim, M.Pd. akan tetapi tidak berhasil mencapai kesepakatan,
sebaagaimana laporan mediator tertanggal 10 April 2017.
Bahwa perkara ini adalah perkara perceraian antara warga negara
Indonesia yang beragama Islam, maka berdasarkan Pasal 49 ayat (1) huruf
(a) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan
Pasal 49 huruf (a) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, perkara ini menjadi
wewenang absolut Pengadilan Agama.
Bahwa dipersidangan Termohon menyatakan Termohon bertempat
tinggal di Jakarta Barat, maka Majelis Hakim berpendapat sesuai dengan
ketntuan Pasal 66 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, perkara ini menjadi wewenang relatif Pengadilan
Agama Jakarta Barat.
63
Bahwa pemohon mendalilkan bahwa pemohon dan termohon adalah
suami isteri yang menikah pada tanggal 15 Juni 2011. Dengan mengajukan
bukti P1 yaitu fotokopi dari akta autentik yang berupa buku Kutipan Akta
Nikah yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, telah dinazegelen
(dimaterai) dan dileges (dicap), serta telah dicocokan dengan aslinya
ternyata cocok, dan isinya menunjukan bahwa pemohon dan termohon
telah menikah pada tanggal 15 Juni 2011 .
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, harus dinyatakan bahwa
bukti P1 tersebut terbukti memenuhi syarat formil dan syarat materil alat
bukti, dan mempunyai kekuatan bukti yang sempurna dan mengikat, oleh
karena itu harus dinyatakan terbukti bahwa antara pemohon dan termohon
ada hubungan suami isteri, dan karenanya harus dinyatakan bahwa
permohonan pemohon mempunyai dasar hukum (legal standing), dan
pemohon adalah pihak yang memiliki kepentingan (persona standi in
judicio) dalam perkara ini.
Bahwa dalil permohonan pemohon untuk bercerai dengan termohon
adalah karena sejak Desember 2015, antara pemohon dan termohon sering
terjadi pertengkaran yang disebabkan termohon sering marah-marah
kepada pemohon, termohon sering keluar rumah tanpa izin pemohon dan
pemohon tidak patuh dalam menjalankan kewajibanya sebagai isteri dari
pemohon.
Bahwa dalam jawabannya termohon telah membenarkan mengenai
dalil-dalil perceraian yang diajukan pemohon dan termohon dan mengakui
sepanjang mengenai hubungan perkawinan permohon dengan termohon,
anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan pemohon dan termohon,
perselisihan yang mulai terjadi pada Desember 2015, termohon sering
keluar rumah tanpa izin pemohon dan keduanya telah pisah rumah sejak
Februari 2017.
Bahwa pasal 39 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
menyebutkan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa
antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
64
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar dalam perkara aquo adalah
sebagaimana disebut dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, Jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, Jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.
Bahwa setelah membaca dengan seksama dalil-dalil pemohon untuk
menjatuhkan ikrar talaknya, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa
ketentuan hukum yang dapat diterapkan adalah pasal 39 ayat (2) dan
penjelesannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jo. Pasal 19 huruf
(f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Jo. Pasal 116 huruf (f)
Komplikasi Hukum Islam, yaitu antara suami isteri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.
Bahwa pasal 163 HIR menyebutkan: Barang siapa yang mengatakan
ia mempunyai hak atau ia menyebutkan bahwa suatu perbuatan untuk
menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang
itu harus mebuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Dengan
berdasarkan ketentuan hukum tersebut, meskipun dalil-dalil pemohon
telah diakui oleh termohon, maka pemohon wajib membuktikan dalilnya.
Bahwa saksi satu adalah bibi pemohon dan saksi dua adalah tetangga
pemohon yang memberian keterangan di bawah sumpahnya tentang apa
yang dilihat dan didengarnya sendiri tentang rumah tangga pemohon
dengan termohon dan keterangannya relevan dengan dalil permohonan
pemohon.
Bahwa dua saksi di atas telah memenuhi batas minimal saksi,
keduanya tidak terlarang menjadi saksi dalam perkara ini dan
keterangannya saling bersesuaian satu sama lain, maka sesuai dengan
Pasal 171 dan Pasal 172 HIR, kesaksian kedua orang saksi tersebut dapat
diterima sebagai bukti.
Bahwa berdasarkan keterangan pemohon dan dihubungkan dengan
pengakuan termohon dan keterangan saksi-saksi sebagaimana
dikemukakan pada duduk perkara di atas, ditemukan fakta sebagai berikut:
65
- Bahwa sejak Desember 2015 antara pemohon dan termhon terjadi
pertengkaran.
- Bahwa pertengkaran yang terjadi antara pemohon dan termohon
dipicu masalah termohon yang sering meninggalkan tempat kediaman
tanpa izin pemohon.
- Bahwa sudah sekitar tiga bulan pemohon dan termohonhidup
berpisah, dimana pada Februari 2017 pemohon peri eninggalkan
tempat kediaman dan sampai sekarang tidak kembali.
Bahwa rumah tangga pemohon dan termohon tidak sesuai tujuan
perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa
rahmah sebagaimana dikehendaki dalam rumusan Pasal 3 Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, Jo. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, tidak dapat lagi dapat terwujud dan antara pemohon dan
termohon tidak ada lagi harapan untuk kembali hidup rukun sebagai suami
isteri.
Bahwa selanjutnya Majelis perlu mengetengahkan fiman Allah SWT
sebagimana tercantum dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 227 yang
berbunyi:
فاى هللا سويع علين الطالقو اى عزم
Artinya: “ Dan jika mereka telah berketetapan hati untuk bercerai, maka
sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahu.”
Bahwa memperhatikan keadaan rumah tangga antara pemohon dan
termohon seperti tersebut di atas, dan pemohon tetap berkehendak untuk
menjatuhkan ikrar talak terhadap termhon, demikian pula termohon meinta
agar diceraikan pemohon, Majelis Hakim berpendapat bahwa perceraian
lebih maslahat dan memberi kepastian hukum dari pada menerukan
perkawinan, bahkan menerukan perkawinan seperti tersebut di atas dapat
dikhawatirkan akan mendatangkan muḏaratyang lebih besar bagi pemohon
dan termohon.
66
Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan sebagimana tersebut
di atas, Majelis Hakim berpendapat permohonan pemohon dapat
dinyatakan telah beralasan hukum, memenuhi maksud dan ketentuan pasal
19 huruf (f) Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Jo. Pasal 116
huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, dan patut dikabulkan.
Bahwa bila mana perkawinan putus karena talak maka bekas suami
wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla dukhûl dan bekas
suami wajib memberikan nafkah maskan dan kiswah kepada bekas isteri,
kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bâi’n atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil, sesuai yang telah diatur oleh pasal 149 huruf (a) dan
huruf (b) kompilasi Hukum Islam di Indonesia maka secara ex officio
Majelis Hakim perlu menghukum pemohon untuk memberikan kepada
termohon berupa nafkah iddah dan mut’ah.
Bahwa dimuka persidangan pemohon dan termohon telah bersepakat
besarnya nafkah iddah dan mut’ah yang akan dibayarkan pemohon kepada
termohon adalah sejumlah 2.000.000.,-(dua juta rupiah) dengan rincian,
1.500.000 (satu juta lima ratus ribu) untuk nafkah iddah selama tiga bulan
dan 500.000 (lima ratus ribu rupiah) untuk uang mut’ah.
Bahwa dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 241 dinyatakan:
وللوطلقات هتاع بوعروف حقا على الوتقيي
Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan
oleh suaminya) mut’ah (pemberian) menurut yang ma’ruf, sebagai
kewajiban bagi orang-orang yang takwa.”
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, pemohon patut
dihukum membayar berupa nafkah iddah selama tiga bulan sejumlah
1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan mut’ah sebesar 500.000
(lima ratus ribu rupiah).
67
Bahwa demi menjamin hak-hak penggugat rekonpensi sebagai bekas
isteri, maka Majelis Hakim berpendapat, bahwa waktu penyerahan uang
sebagaimana dalam amar putusan dari pemohon kepada termohon tersebut
di atas adalah saat persidangan ikrar talak.
Berdasarkan Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama, Majelis memerintahkan kepada Panitera
Pengadilan Agama Jakarta Barat untuk mengirimkansalinan penetapan
ikrar talak kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama yang
wilayahnya meliputi tempat kediaman pemohon dan termohon serta
kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama yang wilayahnya
meliputi tempat perkawinan dilangsungkan untuk mendaftarkan putusan
perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.
Bahwa oleh karena perkara termasuk bidang perkawinan maka
berdasarkan pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang
diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka semua biaya
perkara dibebankan kepada pemohon.
Memperhatikan pasal-pasal tersebut di atas beserta segala
ketentuanhuum syar’i dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan berkaitan dengan perkara ini maka ditetapkan amar putusan sebagai
berikut:
1. Mengabulkan permohonan pemohon
2. Memberikan izin kepada pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj’i
terhadap termohon di hadapan sidang pengadilan Agama Jakarta Barat
3. Menghukum pemohon untuk membayar kepada termohon berupa:
a. Nafkah iddah sejumlah 1.500.000 (satu juta lima ratus ribu
rupiah)
b. Uang mut’ah sejumlah 500.000 (lima ratus ribu rupiah)
4. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Jakarta Barat
untuk mengirimkan salinan penetapan ikrar talak kepada Pegawai
68
Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Palmerah Kota
Jakarta Barat dan kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan
Agama Kebon Jeruk Kota Jakarta Barat
5. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara yang
hingga kini dihitung sejumlah 516.000 (lima ratus eman belas ribu
rupiah).
D. Analisa Penulis
1. Analisa Proses Persidangan
Proses persidangan perkara nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB perkara
tersebut di sidangkan di Pengadilan Agama Jakarta Barat, dan
persidangan tersebut berjalan sesuai dengan sebagaimana mestinya,
artinya proses persidangan tersebut berjalan sebagaimana proses
perkara-perkara yang lain. Dimana para pihak yaitu pemohon dan
termohon hadir pada hari yang telah ditentukan oleh majelis hakim.
Kemudian pada hari itu hakim memerintahkan kepada para pihak
untuk melakukan mediasi bersama mediator, tapi ternyata proses
mediasi itu gagal maka dilanjutkan proses pemeriksaan perkara dalam
persidangan tertutup untuk umum dan dibacakanlah surat permohonan
yang diajukan oleh pemohon. Lalu Majelis Hakim memberikan
kesempatan kepada termohon untuk memberikan jawaban atas
permohonan tersebut. Lalu dilanjutkan dengan replik dari pemohon
dan duplik dari termohon. Setelah itu hakim memerintahkan kepada
pemohon untuk mengajukan bukti-bukti untuk membuktikan dalil-dalil
permohonannya. Majelis Hakim juga memberikan kesempetan kepada
termohon untuk mengajukan bukti-bukti yang menguatkan jawaban
serta bantahan termohon atas dalil-dalil yang diajukan pemohon Tetapi
termohon menyatakan kepada Majelis Hakim tidak akan mengajukan
bukti-bukti. Selanjutnya pemohon dan termohon menyampaikan
kesimpulannya masing-masing dan dilanjutkan dengan pembacaan
putusan oleh Majelis Hakim.
2. Analisa Perkara
69
Pada dasarnya tujuan dari pernikahan ialah membentuk sebuah
keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Hal itu dapat dicapai
apabila suami dan isteri dapat saling membantu, melengkapi,
memahami, menyayangi dan mengasihi antara satu sama lain. Kata
saling di sini maksudnya ialah keduanya harus bersama sama, tidak
melulu harus selalu isteri atau tidak melulu harus selalu suami,
keduanya harus selalu beriringan atau bersama-sama dalam
membangun sebuah keluarga. Tujuan lainnya dari pernikahan yaitu
antara suami dan isteri menciptakan keluarga yang aman, damai, saling
memahami satu sama lain agar tercipta keluarga yang harmonis
sehingga rumah tangga akan terasa indah, menyenangkan, penuh kasih
sayang dan dapat mencetak generasi keturunan yang baik.
Tidak semua kehidupan rumah tangga berjalan dengan harmonis
tanpa ada permasalaahan, banyak juga rumah tangga yang tidak
harmonis karena sering terjadi perselisihan atau percekcokan yang
disebabkan karena kesalah pahaman antara suami dengan isteri,
terkadang juga disebabkan oleh permasalahan yang lain. Seperti tidak
mau melayani suami, ketidak taatan dan acuh terhadap kewajibannya.
Hal tersebut biasanya dijadikan sebagai alasan dalam pengajuan
permohonan perceraian di pengadilan, hal ini menurut mereka menjadi
solusi terbaik dari penyelesaian masalah yang selama ini mereka alami.
Namun ketika perceraian itu terjadi maka ada akibat yang timbul dari
perceraian itu di antaranya adalah nafkah iddah, kiswah dan nafkah
anak yang harus diberikan oleh mantan suami.
Sebab terjadinya perceraian juga dapat terjadi akibat isteri
melakukan nusyuz. Adapun nusyuz itu sendiri memiliki arti bahwa
isteri tidak lagi taat kepada suami dalam hal-hal yang tidak dilarang
oleh agama, maka dari hal inilah dapat timbul pertanyaan, yaitu;
apakah isteri yang melakukan nusyuz tetap mendapatkan hak nafkah
idah?
70
Berkaitan dengan hal itu maka, dalam putusan perkara Nomor
585/Pdt.G/2017/PA.JB dalam kasus cerai talak, yang mana perkara
tersebut diadili di Pengadilan Agama Jakarta Barat, maka di sinilah
Pengadilan Agama Jakarta Barat berperan dalam menetapkan apakah
isteri yang melakukan nusyuz tetap mendapatkan hak nafkah iddah
dari mantan suami?
Dalam putusan perkara Nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB dapat
diketahui antara pemohon dan termohon terikat dalam ikatan
perkawinan yang sah, hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan akta
nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan
Palmerah kota Jakarta Barat tertanggal 15 juni 2011. Ini berarti ikatan
perkawinan antara pemohon dan termohon sudah berjalan selama 6
tahun dengan dikaruniai dua orang anak.
Hal tersebut membuktikan bahwa keadaan rumah tangga mereka
berjalan dengan baik pada awalnya. Akan tetapi pada bulan Desember
tahun 2015, keadaan rumah tangga mereka mulai tidak harmonis, hal
itu disebabkan sikap termohon yang sering marah-marah kepada
pemohon, seringnya termohon keluar rumah tanpa izin dan termohon
tidak patuh dalam menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri
dan keadaan tersebut memuncak pada bulan Februari 2017 dimana
termohon minta diceraikan oleh pemohon dan pemohon mengabulkan
keinginan termohon dan pemohon pergi meninggalkan kontrakan yang
menjadi tempat tinggal bersama. Karena hal tersebut pemohon
akhirnya mengajukan permohonan cerai ke Pengadilan Agama Jakarta
Barat.
Berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh pemohon dalam
permohonanya, Majelis Hakim telah memututskan bahwa pemohon
diberikan izin untuk menjatuhkan talak kepada termohon dengan dasar
kaiddah fikihدرء الوفاسد علي جلب الوصالح. Pertimbangan hakim
tersebut sudah sesuai dengan hukum yang ada dan sudah sesuai
berdasarkan hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
71
Namun jika dilihat dari sebab runtuhnya keharnonisan rumah
tangga mereka, penyebabnya adalah sikap si isteri dalam hal ini
sebagai termohon yang melakukan nusyuz kepada pemohon dalam hal
ini suami. Jika bukan karena sikap termohon yang nusyuz kepada
pemohon, maka keadaan rumah tangga mereka akan tetap tentram,
damai dan bahagia sesuai dengan tujuan pernikahan dan pemohon
tidak akan mengajukan permohonan cerai ke Pengadilan Agama
Jakarta Barat.
Dari pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim yang telah
dipaparkan sebelumnya dalam hal memberikan izin kepada pemohon
untuk menjatuhkan talak raj’i terhadap termohon, menurut penulis itu
sudah tepat dan sesuai perundang-undangan. Akan tetapi penulis tidak
setuju atau kurang sependapat terhadap pertimbangan Majelis Hakim
dalam hal menghukum pemohon untuk memberikan nafkah iddah
kepada termohon. Hal ini didasarkan pada kasusnya yaitu disebabkan
karena termohon melakukan nusyuz dan juga apabila dilihat dari
alasan-alasan yang diajukan pemohon, sikap termohon sudah termasuk
kedalam kategori nusyuz, dimana termohon sering marah-marah
terhadap pemohon, termohon sering keluar meninggalkan tempat
kediaman bersama tanpa izin dari pemohon dan temohon tidak patuh
serta melalaikan kewajibannya sebagaimana kewajiban seorang isteri,
terlebih lagi termohon mengakui bahwa benar ia sering keluar dan
tidak ada di rumah tanpa se izin pemohon. Berdasarkan sebab-sebab
tersebut maka, termohon dalam hal ini sebagai isteri dari pemohon
dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan nusyuz. Sesuai dengan
pendapat Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili bahwa perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagai nusyuz adalah ketidak taatan isteri kepada suami
dalam hal yang tidak dilanggar oleh agama dan keluarnya isteri dari
rumah suami tanpa seizin suami, yaitu tanpa keridhoan suami.4
4Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 105
72
Bagi isteri yang telah diketahui bahwa ia melakukan nusyuz maka
ia tidak berhak mendapatkan nafkah iddah. Sesuai dengan ketentuan
yang diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 149 huruf (b)
yang berbunyi:
“Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami
wajib memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri
selama dalam masa iddah, kecauli bekas isteri yang di jatuhi talak
bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.”
Dan dalam pasal 152 yang berbunyi:
“bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas
suaminya kecuali ia nusyuz”
Sesuai dengan uraian di atas, maka penulis berpendapat bahwa
dalam putusan perkara Nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB, isteri yang telah
terbukti melakukan perbuatan nusyuz itu tidak berhak mendapatkan
nafkah iddah. Karena terasa tidak adil bagi pemohon untuk di hukum
memberikan nafkah iddah sedangkan termohon melakukan nusyuz.
Akan tetapi Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam
memutus perkara Nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB menetapkan bahwa
isteri yang melakukan nusyuz berhak mendapatkan nafkah iddah.
Dimana Majelis Hakim mempertimbangkan putusan tersebut
berdasarkan Undang-Undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 41
huruf c yang berbunyi “Pengadilan Agama dapat mewajibkan kepada
suami untuk memberikan biaya kehidupan dan atau menentukan suatu
kewajiban bagi mantan isteri”. Majelis Hakim melihat bahwa
nusyuzyang dilakukan termohon tidak semata-mata kemauan
termohon, tetapi akibat sikap pemohon yang ingin mengajaknya
tinggal dirumah ibunya. Sehingga hal tersebut bisa memicu termohon
sebagai isteri untuk melakukan perbuatan nusyuz kepada pemohon.
Dengan pertimbangan itulah maka Majelis Hakim menetapkan pada
perkara Nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB bahwa isteri berhak
mendapatkan nafkah iddah walaupun ia telah terbukti melakukan
73
perbuatan nusyuz. Hakim pun menganggap pemberian nafkah di sini
menajdi sebuah kemaslahatan bagi isteri.5
Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat memandang
nusyuz yang dilakukan di sini masih kategori nusyuz ingkar belum
mencapai nusyuz yang fatal. Di antara perbuatan nusyuz yang fatal
adalah berzina dan yang dapat membahayakan akiddah seperti murtad.
Sehingga Majelis Hakim menyatakan bahwa isteri sebagai termohon
masih berhak mendapatkan nafkah iddah.
Berkenaan dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 149 huruf (b)
dan pasal 152 Majelis Hakim berpendapat bahwa ketentuan pada pasal
tersebut bukan sebagai ketentuan yang tetap. Akan tetapi bisa berubah
sesuai keadaan yang terjadi. Semisal Apabila di dalam persidangan
atau di dalam surat permohonannya suami bersedia memberikan
nafkah iddah kepada isteri sekalipun perkara tersebut termasuk nusyuz
yang fatal maka hakim boleh menetapkan di dalam amar putusan
pemberian nafkah iddah untuk isteri dari mantan suami, karena
menurut Majelis Hakim itu bukanlah sebuah perbuatan yang berdosa
jikalau suami rela dan bersedia memberikan nafkah kepada isteri yang
nusyuz. Majelis Hakim juga dapat menetapkan nafkah iddah kepada
isteri yang nusyuz dalam hal keadaan apabila isteri terbukti melakukan
nusyuz dan ternyata isteri melakukan hal tersebut karena perbuatan
suami, semisal karena faktor ekonomi sehingga isteri tidak
mendapatkan nafkah, maka ketika itu isteri dikategorikan nusyuz tapi
tetap mendapatkan nafkah iddah atau sama halnya apabila isteri
mengajukan cerai gugat dan ternyata isteri mengajukan karena akibat
perbuatan suami. Maka Majelis Hakim boleh menetapapkan nafkah
iddah kepada bekas isteri walaupun pada kasus talak bâi’n atau pada
5Hasil Wawancara dengan Drs. Mhd Nasir S.H., M.H (Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Barat), Tanggal 14 Mei 2018. di Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat. Pukul 14:00.
74
kasus cerai talak isteri yang melakukan nusyuz dan tidak dalam
keadaan hamil.6
Jika dilihat dari alasan-alasan yang digunakan Majelis Hakim,
penulis menilai bahwa Majelis Hakim menggunakan asas kesetaraan
dan keadilan gender. Dimana Majelis Hakim memandang bahwa tidak
mungkin isteri melakukan nusyuz tanpa ada sebab yang
melatarbelakanginya dan melihat kenyataan betapa beratnya nasib
seorang mantan isteri setelah perceraian serta meyakini bahwasanya
perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki.
Tujuan utama seorang hakim mengeluarkan putusan bukan
sekedar tentang apakah putusan tersebut memiliki asas kepastian
hukum, akan tetapi harus memiliki nilai keadilan dan manfaat di
dalamnya. Sehingga hasil putusan yang dikeluarkan hakim yang
menggunakan asas kesetaraan dan keadilan gender mengubah nilai
keadilan formal menjadi keadilan substantif.
6Hasil Wawancara dengan Drs. Mhd Nasir S.H., M.H (Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Barat), Tanggal 14 Mei 2018. di Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat. Pukul 14:00.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengkaji dan menganalisis terhadap putusan Pengadilan Agama
Jakarta Barat Nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB. Ada beberapa kesimpulan yang
dapat penulis tarik dari hal-hal tersebut, sebagai berikut:
1. Adapun landasan dan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Barat memberikan nafkah iddah kepada isteri yang nusyuz adalah
karna hakim melihat terdapat kemaslahatan di dalamnya serta perbuatan
nusyuz yang dilakukan isteri merupakan reaksi dari sikap suami yang
ingin mengajak isteri ke rumah ibunya suami, karna hal itu isteri
akhirnya melakukan perbuatan nusyuz. Hakim juga memandang nusyuz
disini masih kategori nusyuz ingkar belum kepada nusyuz yang fatal
semisal berzina dan yang dapat membahayakan akiddah seperti murtad.
Sehinga berdasarkan alasan-alasan tersebut hakim pun dapat
memutuskan bahwa isteri masih berhak mendapatkan nafkah iddah.
2. Menurut pandangan Islam, para ulama sepakat bahwa setiap isteri yang
dicerai talak oleh suaminya berhak mendapatkan nafkah iddah. Tetapi
apabila suami menjatuhkan talak nya kepada isteri yang sedang dalam
keadaan nusyuz maka isteri tidak berhak mendapatkan nafkah iddah.
Karna nusyuz merupakan sikap ketidak taatan isteri terhadap suami
sehingga isteri tidak berhak mendapatkan nafkah iddah. Begitu juga
apabila suami telah menjatuhkan talak raj`i kepada isterinya dan ketika
menjalankan masa iddahnya isteri melakukan nusyuz, maka nafkah iddah
yang semulanya ia dapatkan ketika itu pula nafkah iddahnya menjadi
gugur dikarnakan ia melakukan nusyuz. Di antara perbuatan yang dapat
dikategorikan nusyuz adalah apabila isteri tidak ingin di ajak bersetubuh
tanpa alasan syar`i, keluar rumah tanpa izin suami dan isteri tidak taat
lahir batin kepada suami dalam hal yang tidak dilarang oleh agama. Jika
dilihat dari hukum positif hal ini sejalan dengan peraturan yang berlaku
76
di Indonesia yaitu Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat (7) dan pasal
149 ayat (b). Tetapi berbeda jika ditinjau dari asas keadilan gender,
menurut asas keadilan gender isteri yang nusyuz ataupun isteri dalam
perkara cerai gugat tetap mendapatkan nafkah iddah karna isteri tidak
mungkin melakukan hal tersebut tanpa adanya sebab, sehingga akan
terasa lebih adil dari segi gender jikalau isteri diberikan hak nafkah iddah
nya. Karna memang seharusnya hukum harus mengedepankan keadilan
yang substantif dari pada keadilan formal, karna hakim mengadili bukan
sekedar demi asas kepastian hukum akan tetapi hakim mengadili demi
asas keadilan salah satunya adalah keadlian gender.
B. Saran
Setelah ada beberapa kesimpulan yang telah dipaparkan di atas,
penulis juga ingin memberikan beberapa sarang yang di tujukan kepada
pihak-pihak yang terkait, yaitu:
1. Kepada para isteri untuk selalu taat kepada suami dan mencari
ridhonya selama apa yang di perintahakan suami tidak bertentangan
dengan syariat dan merusak akiddah. Apabila suami memberikan
sesuatu dengan kadar kemampuannya harap diterima dengan lapang
hati dan jangan menuntut apa yang suami belum bisa sanggupi.
2. Kepada pengadilan agama dan para ulama di kalangan masyarakat
sekitar agar memberikan regulasi tentang perbuatan apa saja yang bisa
dikategorikan perbatan nusyuz agar suami dan isteri diharapkan dapat
mengantisipasi dirinya agar tidak sampai berbuat nusyuz dan
diharapkan pula apabila ada salah satu pihak yang melakukan nusyuz
maka salah satu pasangan lainnya bisa mempertahankan apa yang
menajdi hak nya.
3. Kepada para suami apabila ingin mengajukan permohonan talak ke
pengadilan agama agar mencantum kan kata “isteri telah melakukan
nusyuz” apabila jika suami merasa isteri telak melakukan nusyuz.
77
Jangan hanya mencantumkan perbuatan-perbuatan yang bisa
diindikasikan perbuatan nusyuz saja.
78
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan antar
Madzhab. Jakarta: PT.Prima Heza Lestari, 2006.
Al-Bayjuri, Ibrahim. Hasyiyah asy-Syaykh Ibrâhîm al-Bayjûri. Jakarta: Dâr al-
Kutub al-Islamiyyah, 2007.
Al- Hamdani. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Al-Mahalli, Jalaludin Muhammad bin Ahmad. Syarh Minhâj aṯ-Ṯâlibîn, Mesir:
Mushtofa al-Bab, 2013.
As-Subki, Ali Yusuf. Fiqih Keluarga: Pedoman Berkeluarga dalam Islam.
Jakarta: Amzah, 2010.
At-Turmudzi, Muhammad bin ‘Isa bin Surah bin Musa bin Dahk. Sunan at-
Turmudzi. Mesir: Musthafa al-Bab, 2010.
Azam, Abdul Aziz Muhammad. Fiqih Munakahat. Jakarta: Amzah, 2011.
Bahreisj, Hussein. 450 Masalah Agama Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1980.
Bukhari, Muhammad bin Isma’il bin Abu ‘Abdullah. Shahih al-Bukhari.
Libanon: Dâr Tûq an-Najâh, 2000.
Cansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Daud , Abu. Shahih Sunan Abu Daud. Penerjemah Tajuddin Arief dkk. Shahih
Sunan Abu Daud. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Fadilah, Nor. Akibat-Akibat Fatal Durhaka Kepada Suami. Jogjakarta: Diva
Press, 2013.
Firdaweri. Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan. Jakarta: CV. Pedoman
Ilmu Jaya, 1989.
Ghazali, Nourzulaili Mohd. Nusyuz, Syiqaq dan Hakam Menurut Al-
Quran,Sunnah dan Undang-Undang Keluarga Islam. Bandar Baru Nilai:
KUIM, 2007.
Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2013.
79
Hamka. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1999.
Hermawati, Ida Rosyidah. Relasi Gender Dalam Agama-Agama. Jakarta:UIN
Jakarta Press, 2013.
Ismail, Nurjannah. Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam
Penafsiran. Yogyakarta: Lkis, 2003.
Kamal, Abu Malik. Sahîh Fiqh As-Sunnah. Penerjemah Khoirul Amru Harahap
dkk. Shahih Fikih Sunnah. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
2013.
Manzûr, Ibn. Lisân al-„Arab. Beirut: Dâr al-Sadîr, 1990.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera, 2002.
Muhammad, Raihan putri ali. Gender Dalam Perspektif Islam. Banda Aceh: Biro
Pemberdayaan Perempuan Setdaprov Nanggroe Aceh Darussalam, 2002.
Musa, Ali Masykur. Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam Terhadap Isu-
isu Aktual. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru, 2007.
Rokhmansyah, Alfian. Pengantar Gender dan Feminisme. Yogyakarta:
Garudhawaca, 2016.
Rosyidah. Potret Kesetaraan Gender di Kampus. Banda Aceh: Pusat Studi Wanita
IAIN Ar-Raniry, 2008.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Penerjemah Abdurrahim. Fikih Sunnah. Cet. 2. Jil.
3. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011.
______________. Fiqih Sunnah. Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013.
Saebani, Beni Ahmad. Fiqh Munakahat 2. Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Simorangkir, J.C.T. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
80
Sopyan, Yayan. Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam
Hukum Nasional. Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012.
Subhan, Zaitunah. Al-Quran dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam
Penafsiran. Jakarta: Kencana, 2015.
Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004.
Sumbulah, Umi. Spektrum Gender Kilasan: Inklusi Gender di Perguruan Tinggi.
Malang: UIN Malang Press, 2008.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih
Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2009.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan di Indonesia. Jakarta: UI Press, 1982.
Tihami, M.A. dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat. Jakarta: Rajawali Pres, 2009.
Tim penyusun. Buku III: Pengantar Teknik Analisa Gender. Jakarta: Kantor
Menteri Negara Urusan Perempuan, 2002.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Quran. Jakarta:
Paramadina, 2001.
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuhu. Suriah: Dar al-Fikr, 2011.
______________. Al-Fiqhu Asy-Syafi‟i Al-Muyassar. Penerjemah Muhammad
Afifi, Fiqih Imam Syaf‟i. Jakarta: Almahira, 2012.
______________. al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani dkk. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani, 2011.
Kamus
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2008.
A.W. Munawir. Kamus al-Munawwir arab. Surabaya: Pustaka Pregresif, 1997.
Ali, Atabik dan Zuhdi Muhdhor. Kamus Kontemporer Arab Indonesia.
Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2007.
Skripsi
81
Siti zulaekah, “ Analisis Pemberian Nafkah Mantan Istri Akibat Cerai Talak :
Studi Kasus di Pengadilan Agama Semarang tahun 2015.” Skripsi S-1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Walisongo
Semarang, 2016.
Internet
Http://www.pa-jakartabarat.go.id/tentang-pengadian/sejarah-pengadilan
Http://www.pa-jakartabarat.go.id/tentang-pengadian/wilayah-yuridiksi
Http://www.pa-jakartabarat.go.id/tentang-pengadian/struktur-organisasi
Http://kantorpengacara.co/nafkah-yang-wajib-dibayarkan-suami-setelah -
perceraian/
Https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/438/hukum-yang-
berkeadilan-untuk-mewujudkan-kesetaraan-gender
PERTANYAAN WAWANCARA
1. Apakah pada setiap cerai talak, istri pasti mendapatkan nafkah idah?
2. Apakah perkara pada putusan ini bisa di kategorikan nusyuz?
3. Apa yang menjadi pertimbangan dasar hakim sehingga menetapkan nafkah
idah bagi istri yang nusyuz? Sedangkan didalam khi pasal 149 ayat b dan
pasal 152 menyebutkan bahwa nafkah idah tidak diberikan kepada istri
yang nusyuz!
4. Metode ijtihad (طروق االجتهاد ) apakah yang hakim gunakan pada putusan
ini?
5. Bagaimana cara hakim membuktikan sebuah kasus perceraian terjadi
akibat nusyuz?
6. Apa upaya hakim untuk memberitahukan kepada masyarakat tentang
ketentuan- ketentuan nusyuz?
7. Bagaimana proses pemberian nafkah idah?
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 1 dari 14 halaman,putusan nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB.
Salinan PUTUSAN
Nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Jakarta Barat yang memeriksa dan mengadili
perkara Cerai Talak pada tingkat pertama dalam persidangan majelis hakim
telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara antara:
PEMOHON, umur XX tahun, agama Islam, Pendidikan terakhir SD, Pekerjaan
buruh, tempat tinggal di Jakarta Barat; Selanjutnya
disebut sebagai “Pemohon”;
melawan
TERMOHON, umur XX tahun, agama Islam, Pendidikan terakhir SD, Pekerjaan
buruh, tempat tinggal di Jakarta Barat selanjutnya
disebut sebagai Termohon;
Pengadilan Agama tersebut;
Telah membaca dan mempelajari berkas perkara;
Telah mendengar keterangan Pemohon,Termohon dan memeriksa bukti-bukti
di persidangan;
DUDUK PERKARA
Bahwa berdasarkan permohonan tertulisnya bertanggal 06 Maret 2017
yang didaftarkan pada tanggal 08 Maret 2017 dalam Register Induk Perkara
Gugatan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB,
Pemohon mengajukan permohonan Cerai Talak terhadap Termohon dengan
dalil-dalil sebagai berikut:
1. Bahwa, pada tanggal 15 Juni 2011, Pemohon dengan Termohon
melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama Kecamatan Palmerah, kota Jakarta Barat sesuai
Kutipan Akta Nikah Nomor: XXXXX tertanggal 15 Juni 2009;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 2 dari 14 halaman,putusan nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB.
2. Bahwa, setelah pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon
berpindah-pindah dan bertempat tinggal terakhir di kontrakan sesuai alamat
Termohon tersebut di atas;
3. Bahwa, dalam perkawinan tersebut Pemohon dengan Termohon telah
bercampur (ba’da dukhul) sebagaimana layaknya suami dan istri, dan telah
dikaruniai 2 (dua) orang anak bernama:
3.1. ANAK I, Perempuan, lahir di Jakarta tanggal XXXXX;
3.2. ANAK II, Laki-laki, lahir di Jakarta tanggal XXXXX;
4. Bahwa sejak pertengahan bulan Desember tahun 2015 rumah tangga
antara pemohon tan termohon sering terjadi pertengkaran secara terus-
menerus, yang penyebabnya antara lain;
- Termohon sering marah – marah kepada Pemohon :
- Termohon sering keluar rumah tanpa izin Pemohon;
- Termohon tidak patuh dalam menjalankan kewajibannya sebagai istri
dari Pemohon;
5. Bahwa, sejak pertengahan bulan Februari 2017 Pemohon dan Termohon
ribut besar, dimana Termohon meminta cerai kepada Pemohon dan
Pemohon mengabulkannya, selanjutnya Permohon pergi dari rumah
kediaman bersama ke alamat orang tua Pemohon yang sesuai dengan
alamat Pemohon diatas, dan sejak saat itu antara Pemohon dan Termohon
sudah tidak pernah melakukan hubungan sebagai suami istri sampai
sekarang;
6. Bahwa ikatan perkawinan antara Pemohon dan Termohon sebagaimana
diuraikan di atas sudah sulit dibina untuk membentuk suatu rumah tangga
yang sakinah, mawaddah wa rahmah sebagaimana maksud dan tujuan dari
suatu perkawinan, sehingga lebih baik diputus karena perceraian;
7. Bahwa, dengan fakta-fakta tersebut diatas permohonan Pemohon telah
memenuhi alasan perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 19 PP No. 9
Tahun 1975 jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam;
8. Bahwa untuk memenuhi ketentuan Pasal 84 ayat 1 Undang-undang Nomor
7 Tahun 1989 yang diubah oleh undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
Tentang Peradilan Agama Serta SEMA Nomor 28/TUADA-AG/X/2002
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 3 dari 14 halaman,putusan nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB.
tanggal 22 Oktober 2002 memerintahkan Panitera Pengadilan Agama
Jakarta Barat untuk mengirimkan salinan putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap kepada Kantor Urusaan Agama tempat tinggal
Pemohon dan Termohon serta Kecamatan, tempat perkawinan Termohon
dan Pemohon dilaksanakan, untuk dalam register yang tersedia untuk itu;
9. Bahwa, terhadap biaya yang timbul akibat perkara ini agar dibebankan
menurut Peraturan Perundang-Undangan;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dengan ini Pemohon mohon
kepada ketua Pengadilan Agama Jakarta Barat untuk berkenan menerima ,
memeriksa dan memutus perkara ini sebagai berikut:
PRIMAIR:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Memberikan izin kepada Pemohon (PEMOHON) untuk menjatuhkan talak
satu Raj’i terhadap Termohon (TERMOHON) di hadapan sidang Pengadilan
Agama Jakarta Barat;
3. Membebankan biaya perkara sesuai dengan hukum yang berlaku;
SUBSIDAIR:
Dan, atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon untuk
menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);
Bahwa pada hari sidang yang ditetapkan, Pemohon dan Termohon
hadir pada persidangan , oleh Majelis telah diupayakan perdamaian dan diberi
kesempatan kepada pihak berperkara untuk menempuh mediasi dengan
menunda persidangan secara cukup, namun tidak berhasil mencapai
kesepakatan;
Bahwa oleh karena proses mediasi yang dilaksanakan oleh Mediator
Drs.H.Muchit A.Karim, M.Pd.., tidak berhasil, maka pemeriksaan dilanjutkan
dalam persidangan tertutup untuk umum dan dibacakan permohonan Pemohon
yang isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon tanpa ada perubahan ;
Menimbang, bahwa atas permohonan Pemohon tersebut, Termohon
telah mengajukan jawaban secara lisan, yang pada pokoknya sebagai berikut :
- Bahwa benar Pemohon adalah suami Termohon yang menikah pada
tanggal 15 Juni 2011 .
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 4 dari 14 halaman,putusan nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB.
- Bahwa benar Pemohon dan Termohon mempunyai 2 anak;
- Bahwa benar setelah menikah, Pemohon dan Termohon,terakhir tinggal
bersama di Kebon Jeruk;
- Bahwa benar sejak akhr 2015 antara Pemohon dengan Termohon sering
terjadi pertengkaran;
- Bahwa benar Termohon sering keluar rumah tanpa ijin Pemohon;
- Bahwa Termohon hanya bermaksud, agar Pemohon dan Termohon tidak
tinggal bersama orang tua Pemohon, agar mandiri;
- Bahwa benar, Termohon pernah marah-marah dan minta diceraikan oleh
Pemohon;
- Bahwa pada bulan Pebruari 2017, Pemohon pergi meninggalkan tempat
kediaman dan sekarang ini Pemohon tinggal bersama orang tua
Pemohon;
- Bahwa sebaiknya Termohon bercerai dari Pemohon;
Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya
Pemohon mengajukan bukti-bukti sebagai berikut;
A. Bukti Surat berupa :
1. Fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor XXXXX yang dikeluarkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Palmerah,
Kota Jakarta Barat, tanggal 15 Juni 2009, telah di-nazegelen dan telah
dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, dan oleh Majelis Hakim diberi
tanda “P1” dan diparaf;
2. Fotokopi KTP, NIK XXXXX,atas nama Pemohon yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Kota Jakarta Barat, tanggal 03 Oktober 2012, telah di-
nazegelen dan telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, dan oleh
Majelis Hakim diberi tanda “P2” dan diparaf;
B. Bukti Saksi yaitu :
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 5 dari 14 halaman,putusan nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB.
1. Saksi I, Umur XX tahun, Agama Islam, pekerjaan Ibu Rumah Tangga ,
Bertempat tinggal di Jakarta Barat;
Setelah saksi I bersumpah menurut tata cara agamanya kemudian
memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut :
- Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon;
- Bahwa saksi adalah bibi Pemohon;
- Bahwa saksi mengetahui Pemohon dan Termohon adalah suami isteri
sah, dan menikah pada tahun 2011;
- Bahwa saksi mengetahui Pemohon dan Termohon tinggal bersama di
rumah kontrak di daerah Kebon Jeruk Jakarta Barat;
- Bahwa saksi mengetahui Pemohon dan Termohon telah dikaruniai
dua orang anak;
- Bahwa saksi mengetahui sejak akhir 2015, antara Pemohon dan
Termohon terjadi pertengkaran;
- Bahwa saksi mengetahui yang dipertengkarkan Pemohon dan
Termohon adalah mengenai sikap Termohon yang sering tidak ada di
tempat kediaman;
- Bahwa saksi mengetahui pada bulan Pebruari 2017,Pemohon
meninggalkan tempat kediaman menuju ke rumah orang tua
Pemohon;
- Bahwa saksi mengetahui Termohon pernah meminta diceraikan oleh
Pemohon;
- Bahwa saksi mengetahui sejak kepergiannya dan sampai sekarang
Pemohon tidak pernah kembali;
- Bahwa dahulu Pemohon dan Termohon juga pernah pisah tempat
tinggal, dan waktu itu Termohon tinggal di rumah saksi;
2. Saksi II, Umur XX tahun, Agama Islam, Ibu Rumah Tangga ,
Bertempat tinggal di Jakarta Barat;
Setelah saksi II bersumpah menurut tata cara agamanya kemudian
memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut :
- Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon;
- Bahwa saksi adalah tetangga Pemohon;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 6 dari 14 halaman,putusan nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB.
- Bahwa saksi mengetahui Pemohon dan Termohon adalah suami isteri
sah;
- Bahwa saksi mengetahui Pemohon dan Termohon tinggal bersama di
rumah kontrak di daerah Kebon Jeruk dan telah dikaruniai dua orang
anak;
- Bahwa saksi mengetahui pada bulan Pebruari 2017,Pemohon
meninggalkan tempat kediaman menuju ke rumah orang tua
Pemohon;
- Bahwa saksi mengetahui ketika masih serumah, antara Pemohon dan
Termohon terjadi pertengkaran;
- Bahwa saksi mengetahui yang dipertengkarkan Pemohon dan
Termohon adalah mengenai sikap Termohon yang sering tidak ada di
tempat kediaman;
- Bahwa saksi mengetahui sejak kepergiannya dan sampai sekarang
Pemohon mohon tidak pernah kembali;
Bahwa Termohon menyatakan kepada Majelis Hakim, dimana Termohon
tidak akan mengajukan bukti-bukti ke muka persidangan;
Bahwa selanjuntnya Pemohon dan Termohon menyampaikan
kesimpulan secara lisan sebagaimana dalam Berita Acara Pemeriksaan
Persidangan ;
Bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini ditunjuk segala hal yang
tercantum dalam berita acara sidang yang merupakan bagian tak terpisahkan
dari putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah
sebagaimana diuraikan di atas;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim pada tiap-tiap permulaan sidang telah
mengupayakan perdamaian dengan memberi nasehat agar Pemohon dan
Termohon kembali hidup rukun dan telah diperintahkan untuk menempuh
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 7 dari 14 halaman,putusan nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB.
proses mediasi, sesuai dengan PERMA No. 1 tahun 2016 dengan Mediator
Drs. Muchit A.Karim, M.Pd. akan tetapi tidak berhasil mencapai kesepakatan,
sebagaimana laporan Mediator tertanggal 10 April 2017;
Menimbang, bahwa perkara ini adalah perkara perceraian antara warga
negara Indonesia yang beragama Islam, maka berdasarkan Pasal 49 ayat (1)
huruf (a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan
Pasal 49 huruf (a) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, perkara ini menjadi wewenang absolut
Pengadilan Agama;
Menimbang, bahwa dipersidangan Termohon menyatakan Termohon
bertempat tinggal di Jakarta Barat , maka Majelis Hakim berpendapat sesuai
dengan ketentuan Pasal 66 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, perkara ini menjadi wewenang relativ Pengadilan
Agama Jakarta Barat;
Menimbang, bahwa Pemohon mendalilkan bahwa Pemohon dan
Termohon adalah suami istri yang menikah pada tanggal 15 Juni 2011 ;
Menimbang, bahwa bukti P.1 tersebut adalah fotokopi dari akta autentik
berupa Buku Kutipan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang, telah di-nazegelen dan dileges, serta telah dicocokkan dengan
aslinya ternyata cocok, dan isinya menunjukkan bahwa Pemohon dan
Termohon telah menikah pada tanggal 15 Juni 2011;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, harus
dinyatakan bahwa bukti P.1 tersebut telah memenuhi syarat formil dan syarat
materil alat bukti, dan mempunyai kekuatan bukti yang sempurna dan mengikat,
oleh karena itu harus dinyatakan terbukti bahwa antara Pemohon dan
Termohon ada hubungan suami istri, dan karenanya harus dinyatakan bahwa
permohonan Pemohon mempunyai dasar hukum (legal standing), dan
Pemohon adalah pihak yang punya kepentingan hukum ( persona standi in
judicio ) dalam perkara ini;
Manimbang, bahwa dalil permohonan Pemohon untuk bercerai dengan
Termohon adalah karena sejak Desember 2015, antara Pemohon dan Termohon
sering terjadi pertengkaran yang disebabkan Termohon Termohon sering marah –
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 8 dari 14 halaman,putusan nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB.
marah kepada Pemohon ,Termohon sering keluar rumah tanpa izin Pemohon
dan Termohon tidak patuh dalam menjalankan kewajibannya sebagai istri dari
Pemohon;
Menimbang, bahwa dalam jawabannya Termohon telah membenarkan
mengenai dalil-dalil perceraian yang diajukan Pemohon dan Termohon dan
mengakui sepanjang mengenai hubungan perkawinan Pemohon dengan
Termohon, anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan Pemohon dengan
Termohon,dan perselisihan yang mulai terjadi pada Desember 2015,Termohon
sering keluar rumah tanpa izin Pemohon , dan keduanya telah pisah rumah
sejak Pebruari 2017;
Menimbang , bahwa pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 menyebutkan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan
bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar dalam
perkara aquo adalah sebagaimana disebut dalam penjelasan pasal 39 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, Jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam;
Menimbang, bahwa setelah membaca dengan seksama dalil-dalil
Pemohon untuk menjatuhkan ikrar talaknya, maka Majelis Hakim berpendapat
bahwa ketentuan hukum yang dapat diterapkan adalah pasal 39 ayat (2) dan
penjelasannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jo. Pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi
Hukum Islam, yaitu antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga;
Menimbang, bahwa pasal 163 HIR menyebutkan: Barang siapa yang
mengatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk
menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu
harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu;
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan hukum tersebut, meskipun
dalil-dalil permohonan Pemohon telah diakui Termohon , maka Pemohon wajib
membuktikan dalilnya;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 9 dari 14 halaman,putusan nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB.
Menimbang , bahwa saksi satu adalah bibi Pemohon dan saksi dua
adalah tetangga Pemohon, yang memberikan keterangan di bawah
sumpahnya tentang apa yang dilihat dan didengarnya sendiri tentang rumah
tangga Pemohon dengan Termohon dan keterangannya relevan dengan dalil
permohonan Pemohon;
Menimbang, bahwa dua saksi di atas telah memenuhi batas minimal
saksi, keduanya tidak terlarang menjadi saksi dalam perkara ini, dan
keterangannya saling bersesuaian satu sama lain, maka sesuai dengan Pasal
171 dan pasal 172 HIR, kesaksian dua orang saksi tersebut dapat diterima
sebagai bukti;
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Pemohon dan
dihubungkan dengan pengakuan Termohon dan keterangan saksi-saksi
sebagaimana dikemukakan pada duduk perkara di atas, ditemukan fakta
sebagai berikut;
- Bahwa sejak Desember 2015 antara Pemohon dan Termohon terjadi
pertengkaran;
- Bahwa pertengkaran yang terjadi antara Pemohon dan Termohon
adalah dipicu masalah Termohon yang sering meninggalkan tempat
kediaman tanpa ijin Pemohon;
- Bahwa sudah sekitar tiga bulan Pemohon dan Termohon hidup
berpisah,dimana pada Pebruari 2017, Pemohon pergi meninggalkan
tempat kediaman dan sampai sekarang tidak kembali;
Menimbang,bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon tidak sesuai
tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah
wa rahmah sebagaimana dikehendaki dalam rumusan pasal 3 Kompilasi hukum
Islam di Indonesia jo. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang nomor : 1 tahun 1974,
tidak lagi dapat terwujud dan antara Pemohon dan Termohon tidak lagi ada
harapan untuk kembali hidup rukun sebagai suami istri;
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis perlu mengetengahkan firman
Allah SWT sebagaimana tercantum dalam Al-Qur-an surat Al-Baqarah ayat 227
yang berbunyi:
وان عزمواالطالق فان هللا سميع عليم
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 10 dari 14 halaman,putusan nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB.
Artinya : Dan jika mereka telah berketetapan hati untuk bercerai, maka
sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui;
Menimbang, bahwa memperhatikan keadaan rumah tangga antara
Pemohon dan Termohon seperti tersebut di atas, dan Pemohon tetap
berkehendak untuk menjatuhkan ikrar talak terhadap Termohon,demikian pula
Termohon meminta agar diceraikan oleh Pemohon, Majelis Hakim
berpendapat bahwa, perceraian lebih maslahat dan memberi kepastian hukum
dari pada meneruskan perkawinan, bahkan meneruskan perkawinan dalam
keadaan seperti tersebut di atas dikhawatirkan akan mendatangkan madlorot
yang lebih besar bagi Pemohon dan Termohon;
Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan
sebagaimana tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat permohonan
Pemohon dapat dinyatakan telah beralasan hukum, memenuhi maksud dan
ketentuan pasal 116 huruf ( f ) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Jo. Pasal
19 huruf ( f ) Peraturan Pemerintah Nomor: 9 tahun 1975, dan patut dikabulkan;
Menimbang, bahwa, bila mana perkawinan putus karena talak maka
bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik
berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla dukhul,dan bekas
suami wajib memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri,
kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan
tidak hamil, sesuai yang diatur oleh pasal 149 huruf (a) dan huruf (b),
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, maka secara ex officio Majlis Hakim perlu
menghukum Pemohon untuk memberikan kepada Termohon berupa nafkah
iddah dan mut’ah;
Menimbang, bahwa di muka persidangan Pemohon dan Termohon telah
bersepakat,besarnya nafkah iddah dan mut’ah yang akan akan dibayarkan
Pemohon kepada Termohon adalah sejumlah 2.000.000,-( dua juta
rupiah),dengan rincian, Rp.1.500.000 ( satu juta lima ratus ribu rupiah ) untuk
nafkah iddah selama tiga bulan dan Rp.500.000,- ( lima ratus ribu rupiah
rupiah) untuk uang mut’ah;
Menimbang, bahwa dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 241,
dinyatakan:
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 11 dari 14 halaman,putusan nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB.
قين وللمطلقات متاع بالمعروف حقا على المت
Artinya: ”Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh
suaminya) mut’ah (pemberian) menurut yang ma’ruf”.
Menimbang bahwa, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
Pemohon patut dihukum membayar berupa nafkah iddah selama tiga bulan
,sejumlah Rp.1.500.000 ( satu juta lima ratus ribu rupiah ) dan mut’ah berupa
uang sejumlah Rp.500.000,- ( lima ratus ribu rupiah rupiah);
Menimbang,bahwa bahwa untuk menjamin hak- hak Penggugat
Rekonpensi sebagai bekas isteri, maka Majelis Hakim berpendapat, bahwa
waktu penyerahan uang sebagaimana dalam amar putusan dari Pemohon
kepada Termohon tersebut di atas, adalah saat persidangan ikrar talak;
Menimbang, berdasarkan Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,majelis memerintahkan kepada Panitera
Pengadilan Agama Jakarta Barat untuk mengirimkan salinan penetapan ikrar
talak kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama yang wilayahnya
meliputi tempat kediaman Pemohon dan Termohon serta kepada Pegawai
Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama yang wilayahnya meliputi tempat
perkawinan dilangsungkan untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam
sebuah daftar yang disediakan untuk itu;
Menimbang bahwa oleh karena, perkara termasuk bidang perkawinan,
maka berdasarkan pasal 89 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor : 7 tahun 1989,
yang diubah dengan Undang-undang Nomor : 3 Tahun 2006 dan diubah kedua
kalinya dengan Undang-undang Nomor : 50 tahun 2009, maka semua biaya
perkara dibebankan kepada Pemohon;;
Memperhatikan pasal-pasal tersebut di atas beserta segala ketentuan
hukum syar’i dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan
dengan perkara ini;
M E N G A D I L I
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 12 dari 14 halaman,putusan nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB.
2. Memberi izin kepada Pemohon (PEMOHON) untuk menjatuhkan talak satu
raj’i terhadap Termohon (TERMOHON) di hadapan sidang Pengadilan
Agama Jakarta Barat ;
3. Menghukum Pemohon (PEMOHON) untuk membayar kepada Termohon
(TERMOHON), berupa:
- Nafkah Iddah, sejumlah Rp.1.500.000,- ( Satu juta lima ratus ribu
rupiah);
- Uang mut’ah, sejumlah Rp.500.000,- (Lima ratus ribu rupiah);
4. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Jakarta Barat untuk
mengirimkan salinan penetapan ikrar talak kepada Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama Kecamatan Palmerah Kota Jakarta Barat dan
kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kebon Jeruk
Kota Jakarta Barat;
3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara yang
hingga kini dihitung sejumlah Rp. 516.000,- (Lima ratus enam belas ribu
rupiah);
Demikian putusan ini dijatuhkan berdasarkan hasil musyawarah Majelis
Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat pada hari Senin tanggal 29 Mei 2017
M. bertepatan dengan tanggal 03 Ramadlan 1438 H. oleh kami Dr. H. Amam
Fakhrur, SH.,MH selaku Ketua Majelis, Dra.Hj.Neliati, SH dan Drs.Mahdy
Usman, SH., masing-masing selaku Hakim Anggota, putusan mana pada hari
itu juga dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis,
dengan didampingi oleh Hakim-Hakim Anggota dan H.Abdul Hamid, S.Ag.,
selaku Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh Pemohon dan Termohon;
Hakim Ketua
ttd
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 13 dari 14 halaman,putusan nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB.
Dr. H. Amam Fakhrur, SH, MH.
Hakim Anggota
ttd ttd
Dra.Hj. Neliati,SH. Drs.Mahdy Usman,SH
Panitera Pengganti
ttd
H.Abdul Hamid, S.Ag.
PERINCIAN BIAYA :
1. Biaya Pencatatan : Rp. 30.000,-
2. Biaya ATK : Rp. 75.000,-
3. Biaya Panggilan Pemohon : Rp. 200.000,-
4. Biaya Panggilan Termohon : Rp. 200.000,-
5. Biaya Redaksi : Rp. 5.000,-
6. Biaya Meterai : Rp. 6.000,-
Jumlah Rp. 516.000,- (Lima ratus enam
belas ribu rupiah );
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 14 dari 14 halaman,putusan nomor 585/Pdt.G/2017/PA.JB.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14