profil jawa tengah

Upload: vicky-yusman

Post on 13-Jul-2015

219 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

PROFIL JAWA TENGAH Propinsi Jawa Tengah terletak diantara 100030-111030 BT dan 603 - 8030 Lintang Selatan. Batas daerahnya adalah sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Jawa Barat, sebelah utara dengan laut Jawa, sebelah Timur dengan propinsi Jawa Timur dan sebelah selatn dibatasi dengan Samudra Indonesia. Luas daerahnya termasuk pepulauan Karimun Jawa adalah 34.503 km2. Tanahnya terdiri dari tanah persawahan, tegalan, tanah hutan dan pegunungan. Menurut catatan dari hasil penemuan antropologis, penduduk Jawa Tengah sejak awalnya berasal dari Jawa Tengah. Pada abad ke II masehi penduduk Indonesia khususnya Jawa Tengah mengadakan kontak langsung dengan bangsa asing yang datang khususnya bangsa India yang membawa peradaban Hindu. Bukti bahwa perkembangan manusia sentralnya di kawasan Jawa Tengah adalah ditemukannya fosil-fosil Homo Mojokertensis dan Megantroppus Palaeo Javanicus di wilayah Jawa Tengah. Sejak jaman prasejarah Jawa Tengah khususnya daerah Sangiran kabupaten Sragen telah hidup manusia yaitu pada jaman Palaeolotikum, dengan meninggalkan kebudayaan berupa alat-alat dari batu, tanduk binatang, tulang binatang purba dan kayu. Dengan datangnya orang-orang memuja roh nenek moyang, juga memuja dewa-dewa yakni Siwa, Brahmana dan Wisnu, bahkan kemudian lahir kerajaan yang menganut ajaran Hindu dan Budha. Kemudian datang pula orang-orang dari luar yang membawa agama Islam ke Jawa Tengah, yang mempengaruhi kehidupan dan kebudayaan masyarakatnya. Agama Islam mengalami masa cemerlang pada saat Raden Patah mendirikan Kerajaan Demak, sehingga dalam sejarahnya di propinsi ini pernah berpengaruh kerajaan-kerajaan terkenal baik pada masa Hindu, Budha maupun Islam. Karena itu Jawa Tengah juga merupakan salah satu pusat Kebudayaan Jawa, yang nilai-nilainya hingga kini masih nampak mewarnai berbagai aspek seni budaya, adat istiadat dan kehidupan mayarakat hingga pada suatu saat dengan kedatangan bangsa Barat, masing-masing membawa pengaruh kepada kebudayaan penduduk Jawa Tengah. Namun demikian tidak mengurangi kebudayaan yang terkenal luhur. Peninggalan sejarah sangat banyak ditemukan di Jawa Tengah berupa candi-candi Budha atau Hindu, seperti Borobudur, Mendut, Prambanan, komplek candi Dieng dan sebagainya. Selain dari itu beberapa kota yang mempunyai nilai sejarah seperti Demak merupakan kerajaan Islam yang pertama di pulau Jawa mempunyai peninggalan Mesjid Demak, Kudus dengan mesjid bermenara khas serta makam Sunan Kudus, Rembang dengan makam R.A. Kartini, serta kota Solo atau Surakarta dan lain-lain. Di daerah Solo terdapat peninggalan bersejarah antara lain makam Raja-Raja di Imogiri yang menjadi milik bersama Solo dan Yogyakarta. Kota Solo inilah merupakan pusat kebudayaan Jawa Tengah dimana segala kesenian tumbuh dan berkembang dengan subur. Misalnya seni tari yang terkenal diantaranya Tari Serimpi, Tari Bedoyo, Tari Gambyong, Tari Golek, Sendratari Ramayana serta opera Klasik Langgendriyan yang kini kurang digemari. Seni karawitanpun dikagumi pada ahli musik di luar negeri. Kota Solo juga menjadi pusat perkembangan seni pewayangan, baik wayang kulit maupun wayang orang. Masih ada satu karya seni yang tak boleh dilupakan yakni seni batik, di kota ini terdapat pusat kerajinan batik gaya Surakarta. Jawa Tengah adalah daerah agraris, maka mata pencaharian penduduk yang pokok sebagian besar adalah pertanian dan perkebunan yang menghasilkan padi, jagung,

palawija, tembakau, teh, coklat, kelapa, cengkeh dan lain-lain. Di daerah pantai Utara dan di daerah Pantai Cilacap penduduk berusaha dengan perikanan di darat yaitu di tambak, tambak serta sebagai nelayan menangkap ikan di laut. Di beberapa kota seperti Pekalongan, Jepara, Banjarnegara, kerajinan tangan berupa batik, ukiran kayu dan keramik menjadi mata pencaharian penduduk, disamping mata pencaharian lainnya. Masyarakat desa di Jawa Tengah merupakan kesatuan hukum berdasarkan ikatan teritorial. Susunan masyarakat desa ini mengenal adanya lapisan sosial yang didasarkan atas hak dan kewajiban serta pemilikan tanah, yaitu sikap atau wong lakon yang merupakan cikal bakal, kuli gundul atau indang bukan cikal bakal tapi punya tanah, dan wong mondok atau numpang yakni mereka yang tak punya apa-apa dan bertempat tinggal di pekarangan orang lain. Dasar daripada hubungan di daerah pedesaan adalah bersifat gotong royong atau tolong menolong. Pada masyarakat kota, pelapisan sosial juga ada walupun sifatnya samar-samar, yakni golongan priyayi atau bangsawan, golongan menengah seperti guru, pegawai saudagar dan golongan orang kebanyakan. Dalam perkawinan bagi mereka yang berstatus sebagai priyayi, senantiasa melakukan perjodohan di kalangan kerabatnya untuk menjaga stratanya. Sedangakan bagi masyarakat desa yang non priyayi, umumnya endogam dalam desanya. Namun hal ini sekarang tidak dilaksanakan lagi. Dalam perjodohan masih memakai perhitungan berdasarkan nama masing-masing calon mempelai , hari kelahiran, kemudian dicari komposisinya untuk dipertemukan. Sesudah upacara perkawinan, biasanya mempelai wanita berdiam di rumah keluarga mempelai kaki-laki.

Rumah Adat Jawa TengahArsitektur atau Seni Bangunan yang terdapat di daerah Provinsi Jawa Tengah dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a. Arsitektur Tradisional, yaitu Seni Bangunan Jawa asli yang hingga kini masih tetap hidup dan berkembang pada masyarakat Jawa. Ilmu yang mempelajari seni bangunan oleh masyarakat Jawa biasa disebut Ilmu Kalang atau disebut juga Wong Kalang. Yang merupakan bangunan pokok dalam seni bangunan Jawa ada 5 (lima) macam, ialah : - Panggang-pe, yaitu bangunan hanya dengan atap sebelah sisi. - Kampung, yaitu bangunan dengan atap 2 belah sisi, sebuah bubungan di tengah saja. - Limasan, yaitu bangunan dengan atap 4 belah sisi, sebuah bubungan de tengahnya. - Joglo atau Tikelan, yaitu bangunan dengan Soko Guru dan atap 4 belah sisi, sebuah bubungan di tengahnya. - Tajug atau Masjid, yaitu bangunan dengan Soko Guru atap 4 belah sisi, tanpa bubungan, jadi meruncing. Masing-masing bentuk berkembang menjadi beraneka jenis dan variasi yang bukan hanya berkaitan dengan perbedaan ukurannya saja, melainkan juga

dengan situasi dan kondisi daerah setempat. Dari kelima macam bangunan pokok rumah Jawa ini, apabila diadakan penggabungan antara 5 macam bangunan maka terjadi berbagai macam bentuk rumah Jawa. Sebagai contoh : gedang selirang, gedang setangkep, cere gencet, sinom joglo lambang gantung, dan lain-lain. Menurut pandangan hidup masyarakat Jawa, bentuk-bentuk rumah itu mempunyai sifat dan penggunaan tersendiri. Misalnya bentuk Tajug, itu selalu hanya digunakan untuk bangunan yang bersifat suci, umpamanya untuk bangunan Masjid, makam, dan tempat raja bertahta, sehingga masyarakat Jawa tidak mungkin rumah tempat tinggalnya dibuat berbentuk Tajug. Rumah yang lengkap sering memiliki bentuk-bentuk serta penggunaan yang tertentu, antara lain : - pintu gerbang : bentuk kampung - pendopo : bentuk joglo - pringgitan : bentuk limasan - dalem : bentuk joglo - gandhok (kiri-kanan) : bentuk pacul gowang - dapur : bentuk kampung - dan lain-lain. Tetapi bagi orang yang tidak mampu tidaklah mungkin akan demikian. Dengan sendirinya rumah yang berbentuk doro gepak (atap bangunan yang berbentuk mirip burung dara yang sedang terbang mengepakkan sayapnya) misalnya bagian-bagiannya dipergunakan untuk kegunaan yang tertentu, misalnya : -- emper depan : untuk Pendopo -- ruang tengah : untuk tempat pertemuan keluarga -- emper kanan-kiri : untuk senthong tengah dan senthong kiri kanan -- emper yang lain : untuk gudang dan dapur. Di beberapa daerah pantai terdapat pula rumah-rumah yang berkolong. Hal tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga bila ada banjir. Dalam Seni Bangunan Jawa karena telah begitu maju, maka semua bagian kerangka rumah telah diberi nama-nama tertentu, seperti : ander, dudur, brunjung, usuk peniyung, usuk ri-gereh, reng, blandar, pengeret, saka guru, saka penanggap, umpak, dan sebagainya. Bahan bangunan rumah Jawa ialah terutama dari kayu jati. Arsitektur tradisional Jawa terbukti sangat populer tidak hanya di Jawa sendiri tetapi sampai menjangkau manca negara. Kedutaan Besar Indonesia di Singapura dan Malaysia juga Bandar Udara Soekarno-Hatta mempunyai arsitektur tradisional Jawa. Arsitektur tradisional Jawa harus dilihat sebagai totalitas pernyataan hidup yang bertolak dari tata krama meletakkan diri, norma dan tata nilai manusia Jawa dengan segala kondisi alam lingkungannya. Arsitektur ini pada galibnya menampilkan karya swadaya dalam kebersamaan yang secara arif memanfaatkan setiap potensi dan sumber daya setempat serta menciptakan keselarasan yang harmonis antara jagad cilik (mikrokosmos) dan jagad gedhe (makrokosmos).

Pada dasarnya arsitektur tradisonal Jawa sebagaimana halnya Bali dan daerah lain adalah arsitektur halaman yang dikelilingi oleh pagar. Yang disebut rumah yang utuh seringkali bukanlah satu bangunan dengan dinding yang pejal melainkan halaman yang berisi sekelompok unit bangunan dengan fungsi yang berbeda-beda. Ruang dalam dan luar saling mengimbas tanpa pembatas yang tegar. Struktur bangunannya merupakan struktur rangka dengan konstruksi kayu, bagaikan payung yang terpancang terbuka. Dinding ruangan sekedar merupakan tirai pembatas, bukan dinding pemikul. Yang sangat menarik pula untuk diungkap adalah struktur tersebut diperlihatkan secara jelas, wajar dan jujur tanpa ada usaha menutup-nutupinya. Demikian pula bahan-bahan bangunannya, semua dibiarkan menunjukan watak aslinya. Di samping itu arsitektur Jawa memiliki ketahanan yang cukup handal terhadap gempa. Atap bangunannya selalu menggunakan tritisan yang lebar, yang sangat melindungi ruang beranda atau emperan di bawahnya. Tata ruang dan struktur yang demikian sungguh cocok untuk daerah beriklim tropis yang sering mengalami gempa dan sesuai untuk peri kehidupan manusia yang memiliki kepribadian senang berada di udara terbuka. Halaman yang lega dengan perkerasan pasir atau kerikil sangat bermanfaat untuk penyerapan air hujan. Sedangkan pepohonan yang ditanam seringkali memiliki sasraguna (multi fungsi), yaitu sebagai peneduh, penyaring debu, peredam angin dan suara, juga sebagai sumber pangan bagi manusia dan binatang bahkan sering pula dimanfaatkan untuk obat tradisional. Sumber utama untuk mengenal seni bangunan Jawa untuk untuk daerah Jawa Tengah adalah Kraton Surakarta dan Kraton Mangkunegaran. Juga peninggalanpeninggalan bangunan makam kuno serta masjid-masjid kuno seperti Masjid Demak, Masjid Kudus dengan menaranya yang bergaya khusus, Makam Demak, Makam Kadilangu, Makam Mengadeg, dll. Di samping seni bangunan Jawa asli yang berupa bangunan rumah tempat tinggal, terdapat juga seni bangunan Jawa peninggalan dari jaman Sanjayawanga dan Syailendrawanga, semasa berkuasa di daerah Jawa Tengah. Bangunan semasa itu biasanya menggunakan bahan bangunan batu sungai, ada juga yang menggunakan batu merah, bahan kayu yang peninggalannya tidak kita jumpai lagi, tetapi kemungkinan dahulunya ada. Fungsi bangunan-bangunan itu bermacam-macam : sebagai tempat pemujaan, tugu peringatan, tempat pemakaman, tempat bersemedi, dan sebagainya. Corak bangunan-bangunan agama itu ada yang agama Budha Mahayana, misalnya : Borobudur. Yang bercorak Trimurti, misalnya : Dieng. Sedangkan yang bercorak campuran dengan kepercayaan daerah setempat, misalnya : Candi Sukuh dan eta. Bentuk Rumah Panggang-pe : Banyak kita jumpai sebagai tempat jualan minuman, nasi dan lain-lainnya yang terdapat di tepi jalan. Apabila diperkembangkan dapat berfungsi sebagai tempat ronda, tempat mobil / garasi, pabrik, dan sebagainya. Bentuk Rumah Kampung : Umumnya sebagai tempat tinggal, baik di kota maupun di desa dan di gunung-

gunung. Perkembangan dari bentuk ini juga dipergunakan sebagai tempat tinggal. Bentuk Rumah Limasan : Terutama terlihat pada atapnya yang memiliki 4 (empat) buah bidang sisi, memakai dudur. Kebanyakan untuk tempat tinggal. Perkembangannya dengan penambahan emper atau serambi, serta beberapa ruangan akan tercipta bentuk-bentuk sinom, kutuk ngambang, lambang gantung, trajumas, dan lainlain. Hanya saja yang berbentuk trajumas tidak biasa digunakan sebagai tempat tinggal. Bentuk Rumah Tajug : Ciri utamanya pada atap berbentuk runcing, soko guru dengan blandar-blandar tumpang sari, berdenah bujur sangkar, lantainya selalu di atas tanpa bertingkat. Dipergunakan sebagai tempat suci, semisal : Masjid, tempat raja bertahta, makam. Tidak ada yang untuk tempat tinggal. Bentuk Rumah Joglo : Memiliki ciri; atap terdiri dari 4 (empat) buah sisi soko guru dengan pemidangannya (alengnya) dan berblandar tumpang sari. Bangunan ini umumnya dipergunakan sebagai pendopo dan juga untuk tempat tinggal (dalem). B. Arsitektur Modern ; yaitu seni bangunan yang ada di Provinsi Jawa Tengah yang mempunyai corak campuran antara seni bangunan asli dengan pengaruh seni bangunan luar, atau campuran antara luar dengan luar atau asli luar. Paduan unsur seni bangunan yang satu dengan yang lain ini terutama terlihat pada konstruksi bangunannya, atau pada bentuk atapnya. Dari bagian yang mudah terlihat ini, misalnya pada atap, orang dapat mengenalnya dengan mudah bahwa bangunan itu unsur seninya perpaduan. Jenis bangunan yang termasuk arsitektur modern ini dapat berfungsi sebagai tempat tinggal, rumah ibadah, gedung sekolah, gedung pertemuan, rumah makan, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, Masjid Kudus, yang selain berbentuk bangunan Jawa asli yaitu Tajug, juga memiliki menara yang berbentuk bale kul-kul seni budaya Bali, mempunyai pintu gerbang bergaya Persia. Kantor-kantor Pemerintahan peninggalan masa pemerintahan kolonial Belanda banyak yang memiliki pilar-pilar dengan Kapiteel Yonis, Doris atauKornilis. Monumen-monumen yang termasuk Arsitektur Modern adalah ; Monumen Palagan Ambarawa, Monumen Diponegoro di Magelang, Monumen Tugu Muda di Semarang, dan lain-lainnya

Contoh Bangunan Jawa tengah : Anjungan Jawa Tengah

Anjungan ini menampilkan tujuh bangunan tradisional, yakni Pendopo Agung sebagai bangunan utama, pringgitan, tajuk mangkurat, Sasono Suko, joglo pengrawit apitan, dara gepak, dan panggung terbuka Ojo Dumeh. Selain itu, di dalam anjungan ini ditampilkan juga bangunan miniatur Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Candi Mendut. Pendopo Agung merupakan bangunan tanpa dinding beratap joglo, tiruan pendhapa Pura Mangkunegaran, Surakarta, ditopang empat saka guru berukir, dengan dua patahan atap: penanggap yang ditopang 12 saka goco dan penitih yang ditopang 12 saka rawa. Sesuai fungsi aslinya pendhapa digunakan untuk pertemuan resmi serta menggelar seni dan upacara adat. Pringgitan bersambung di belakang pendhapa, beratap limas, digunakan untuk memamerkan koleksi pakaian adat. Gedung serbaguna joglo pangrawit apitan merupakan bangunan dengan empat saka guru, digunakan sebagai tempat gamelan jika ada pergelaran di panggung terbuka, tempat rias para penari atau artis yang akan pentas di panggung terbuka, untuk menyimpan barang-barang peralatan, serta untuk peragaan pembuatan wayang kulit, batik, dan objek wisata di Jawa Tengah. Di sebelah kanan depan Pendopo Agung terdapat bangunan tajuk mangkurat dengan empat saka guru. Bangunan model ini dinamai tajuk mangkurat karena saka guru-nya menggunakan lambang sariyang berarti hubungan mesra dan serasi antara pria dan wanita sebagai landasan yang kokoh untuk keharmonisan hidup berkeluarga. Konon pencipta bentuk dan gaya bangunan ini adalah Sultan Agung. Bangunan ini dipergunakan untuk menyelenggarakan kegiatan administrasi perkantoran, perpustakaan, tempat menyimpan koleksi barang-barang antik, serta hasil kerajinan. Di belakang kanan Pendopo Agung berdiri bangunan rumah pedesaan, disebut dara gepak, berbentuk menyerupai rumah burung merpati, mempunyai delapan saka guru, dikelilingi atap penanggap dengan 16 buah saka penanggap; berfungsi sebagai rumah makan dan kafetaria yang menyediakan makanan dan minuman khas Jawa Tengah. Sebuah panggung terbuka menghadap ke utara dengan latar belakang kala makara bertuliskan ojo dumeh digunakan untuk pentas seni pada malam hari dengan kapasitas penonton 500 orang.

Setiap hari Minggu dan hari libur anjungan menggelar pameran dan penjualan aneka kerajinan tangan dan makanan khas tiap kabupaten/kota serta mementaskan kesenian tradisional. Tamu-tamu negara yang pernah mengunjungi Anjungan Jawa Tengah antara lain Perdana Menteri Republik Srilangka Ny. Sirimovo Bandaranaike (1976), PM Republik Ceko dan Ny. Vaclav Klaus (1994), isteri Sekjen PBB Ny. Leia Maria Boutros-Ghali (1995), Ratu Beatrix dan Pangeran Claus dari Belanda (1995), Presiden Republik Polandia dan Ny. Jolanta Kwasniewski (2004), Wakil Presiden Republik Persatuan Tanzania dan Ny. Mwanamwema Shein (2005), dan Perdana Menteri Republik Rakyat Laos Tuan Bouasone Bouphavanh (2007).

Bahan rumah adat Rumah merupakan sesuatu yang penting karena mencerminkan papan (tempat tinggal), disamping dua macam kebutuhan lainnya yaitu sandang (pakaian) dan pangan (makanan). Karena rumah berfungsi untuk melindungi dari tantangan alam dan lingkungannya. Selain itu rumah tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan utamanya saja. Tetapi dipergunakan untuk mewadahi semua kegiatan dan kebutuhan yang ada di dalam rumah tersebut. Rumah Jawa lebih dari sekedar tempat tinggal. Masyarakat Jawa lebih mengutamakan moral kemasyarakatan dan kebutuhan dalam mengatur warga semakin menyatu dalam satu kesatuan. Semakin lama tuntutan masyarakat dalam keluarga semakin berkembang sehingga timbullah tingkatan jenjang kedudukan antar manusia yang berpengaruh kepada penampilan fisik rumah suatu keluarga. Lalu timbulah jati diri arsitektur dalam masyarakat tersebut. Rumah Jawa merupakan lambang status bagi penghuninya dan juga menyimpan rahasia tentang kehidupan sang penghuni. Rumah Jawa merupakan sarana pemiliknya untuk menunjukkan siapa sebenarnya dirinya sehingga dapat dimengerti dan dinikmati orang lain. Rumah Jawa juga menyangkut dunia batin yang tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat Jawa. Bentuk dari rumah Jawa dipengaruhi oleh 2 pendekatan yaitu : 1. Pendekatan Geometrik yang dikuasai oleh kekuatan sendiri 2. Pendekatan Geofisik yang tergantung pada kekuatan alam lingkungan.

Kedua pendekatan itu akhirnya menjadi satu kesatuan. Kedua pendekatan mempunyai perannya masing-masing, situasi dan kondisi yang menjadikan salah satunya lebih kuat sehingga menimbulkan bentuk yang berbeda bila salah satu peranannya lebih kuat. Rumah Jawa merupakan kesatuan dari nilai seni dan nilai bangunan sehingga merupakan nilai tambah dari hasil karya budaya manusia yang dapat dijabarkan secara keilmuan. Bentuk rumah tradisional jawa dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan bentuk. Secara garis besar tempat tinggal orang jawa dapat dibedakan menjadi: 1. 2. 3. 4. 5. Rumah Bentuk Joglo Rumah Bentuk Limasan Rumah bentuk Kampung Rumah Bentuk Masjid dan Tajug atau Tarub Rumah bentuk panggang Pe

Rumah JOGLO

Dibanding 4 bentuk lainnya, rumah bentuk joglo merupakan rumah joglo yang dikenal masyarakat pada umumnya. Rumah Joglo ini kebanyakan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu. Hal ini disebabkan rumah bentuk joglo membutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan mahal daripada rumah bentuk yang lain. Masyarakat jawa pada masa lampau menganggap bahwa rumah joglo tidak boleh dimiliki oleh orang kebanyakan, tetapi rumah joglo hanya diperkenankan untuk rumah kaum bangsawan, istana raja, dan pangeran, serta orang yang terpandang atau dihormati oleh sesamanya saja. Dewasa ini rumah joglo digunakan oleh segenap lapisan masyarakat dan juga untuk berbagai fungsi lain, seperti gedung pertemuan dan kantor-kantor. Banyak kepercayaan yang menyebabkan masyarakat tidak mudah untuk membuat rumah bentuk joglo. Rumah bentuk joglo selain membutuhkan bahan yang lebih banyak, juga membutuhkan pembiayaan yang besar, terlebih jika rumah tersebut mengalami kerusakan dan perlu diperbaiki. Kehidupan ekonomi seseorang yang mengalami pasang surut pun turut berpengaruh, terutama setelah terjadi penggeseran keturunan dari orang tua kepada anaknya. Jika keturunan seseorang yang memiliki rumah bentuk joglo mengalami penurunan tingkat ekonomi dan harus memperbaiki serta harus mempertahankan bentuknya, berarti harus menyediakan biaya secukupnya. Ini akan menjadi masalah bagi orang tersebut. Hal ini

disebabkan adanya suatu kepercayaan, bahwa pengubahan bentuk joglo pada bentuk yang lain merupakan pantangan sebab akan menyebabkan pengaruh yang tidak baik atas kehidupan selanjutnya, misalnya menjadi melarat, mendatangkan musibah, dan sebagainya. Pada dasarnya, rumah bentuk joglo berdenah bujur sangkar. Pada mulanya bentuk ini mempunyai empat pokok tiang di tengah yang di sebut saka guru, dan digunakan blandar bersusun yang di sebut tumpangsari. Blandar tumpangsari ini bersusun ke atas, makin ke atas makin melebar. Jadi awalnya hanya berupa bagian tengah dari rumah bentuk joglo zaman sekarang. Perkembangan selanjutnya, diberikan tambahan-tambahan pada bagianbagian samping, sehingga tiang di tambah menurut kebutuhan. Selain itu bentuk denah juga mengalami perubahan menurut penambahannya. Perubahan-perubahan tadi ada yang hanya bersifat sekedar tambahan biasa, tetapi ada juga yang bersifat perubahan konstruksi. Dari perubahan-perubahan tersebut timbulah bentuk-bentuk rumah joglo yang beraneka macam dengan namanya masing-masing. Adapaun, jenis-jenis joglo yang ada, antara lain : joglo jompongan, joglo kepuhan lawakan, joglo ceblokan, joglo kepuhan limolasan, joglo sinom apitan, joglo pengrawit, joglo kepuhan apitan, joglo semar tinandu, joglo lambangsari, joglo wantah apitan, joglo hageng, dan joglo mangkurat.

Joglo Semar Tinandhu

Joglo Semar Tinandu (semar diusung/semar dipikul) diilhami dari bentuk tandu. Joglo ini biasanya digunakan untuk regol atau gerbang kerajaan, dengan ciri- ciri :

o o

o

o o o o o o

Denah berbentuk persegi panjang Pondasi bebatur, yaitu tanah yang diratakan dan lebih tinggi dari tanah disekelilingnya. Diatas bebatur dipasang umpak yang sudah diberi purus wedokan, umpak ini nantinya akan disambung dengan tiang saka. Memakai 2 saka guru sebagai tiang utama yang menyangga atap brunjung dan 8 saka pananggap yang berfungsi sebagai penyangga yang berada diluar saka guru. Bagian bawah tiap saka diberi purus lanang untuk disambung ke purus wedokan dan diperkuat dengan umpak Terdapat 2 pengeret sebagai penyangga balok tandu Memiliki tumpang 3 tingkat yang ditopang balok tandu Atapnya memiliki 4 jenis empyak yaitu; empyak brunjung, empyak cocor pada bagian atas dan empyak penanggap serta empyak penangkur dibagian bawah. Pada atap terdapat molo Menggunakan usuk rigereh, usuk yang pada bagian atas bersandar pada dudur sedangkan bagian bawah bertumpu pada balok pengeret dan dipasang tegak lurus. Biasanya digunakan untuk regol ( pintu masuk)

Karena tiang utama/saka guru pada joglo ini tergantikan oleh tembok sambungan, maka ruang di bawah atap yang lebih tinggi mempunyai besaran ruang sebatas di besaran uleng saja. Udara yang ada masih terpengaruh udara luar, namun terasa lebih sejuk karena ada kemiringan atap yang memberikan perbedaan udara antara ruang luar dengan ruang di dalam joglo.

Pada joglo semar tinandu ini udara bergerak secara lurus melalui celah diantara dua tembok sambungan. Pergerakan udara terjadi secara leluasa, langsung pada bagian tengah joglo ini, karena tidak terhalang oleh tembok, namun pada bagian samping kanan dan kiri, udara tidak bisa mengalir ke sisi sebelahnya, karena terhalang oleh tembok sambungan yang sampai ke puncak joglo. Udaara kembali bergerak ke bawah melewati celah menuju ruang di sebelah tembok sambungan, dan mengalir ke berbagai arah.

Joglo Lambang Sari

Joglo Lambangsari merupakan joglo dengan sistem konstruksi atap menerus. Bentuk ini paling banyak dipakai pada bangunan tradisional jawa. Bentuk joglo yang menggunakan lambangsari, dengan ciri- ciri :

o o

o

Bentuk denah persegi panjang Memakai pondasi bebatur, yaitu tanah yang diratakan dan lebih tinggi dari tanah disekelilingnya. Diatas bebatur ini dipasang umpak yang sudah diberi purus wedokan. Terdapat 4 saka guru sebagai penahan atap brunjung yang membentuk ruang pamidangan yang merupakan ruang pusat dan 12 saka pananggap yang

o o

o o o o o

menyangga atap pananggap (tiang pengikut), masing-masing saka ditopang oleh umpak menggunakan sistem purus Memakai blandar, pengeret, sunduk, serta kilil. masing- masing blandar dan pengeret dilengkapi dengan sunduk dan kili sebagai stabilisator. Menggunakan tumpang dengan 5 tingkat. Balok pertama disebut pananggap, balok ke dua disebut tumpang, balok ke tiga dan empat disebut tumpangsari, dan balok terakhir merupakan tutup kepuh yang berfungsi sebagai balok tumpuan ujung- ujung usuk atap. Uleng/ruang yang terbentuk oleh balok tumpang di bawah atap ada 2 (uleng ganda) Terdapat godhegan sebagai stabilisator yang biasanya berbentuk ragam hias ularularan. Menggunakan atap sistem empyak. 4 sistem empyak yang digunakan : brunjung dan cocor pada bagian atas, serta pananggap dan penangkur di bagian bawah Terdapat balok molo pada bagian paling atas yang diikat oleh kecer dan dudur. Menggunakan usuk peniyung yaitu usuk yang dipasang miring atau memusat ke molo. Joglo ini juga tidak memiliki emper

penghawaan pada rumah joglo ini dirancang dengan menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. rumah joglo, yang biasanya mempunyai bentuk atap yang bertingkat-tingkat, semakin ke tengah, jarak antara lantai dengan atap yang semakin tinggi dirancang bukan tanpa maksud, tetapi tiap-tiap ketinggian atap tersebut menjadi suatu hubungan tahaptahap dalam pergerakan manusia menuju ke rumah joglo dengan udara yang dirasakan oleh manusia itu sendiri. Saat manusia berada pada rumah joglo paling pinggir, sebagai perbatasan antara ruang luar dengan ruang dalam, manusia masih merasakan hawa udara dari luar, namun saat manusia bergerak semakin ke tengah, udara yang dirasakan semakin sejuk, hal ini dikarenakan volume ruang di bawah atap, semakin ke tengah semakin besar. Seperti teori yang ada pada fisika bangunan,

Efek volume sebenarnya memanfaatkan prinsip bahwa volume udara yang lebih besar akan menjadi panas lebih lama apabila dibandingkan dengan volume udara yang kecil. Saat manusia kembali ingin keluar, udara yang terasa kembali mengalami perubahan, dari udara sejuk menuju udara yang terasa diluar ruangan. Dapat dilihat kalau penghawaan pada rumah joglo, memperhatikan penyesuaian tubuh manusia pada cuaca disekitarnya.

Sistem penghawaan pada joglo lambangsari ini, seperti pada sistem penghawaan joglo pada umumnya, angin/udara bergerak sejajar, di seluruh ruang terbuka, pada bagian ruang bagian tengah, yang dibatasi tiang utama/saka guru, udara bergerak ke atas, namun kembali bergerak ke bawah. Hal ini terjadi karena joglo lambangsari tidak memiliki lubang ventilasi, karena memang di desain untuk atap menerus