profil dinkes jateng 2009

150
DAFTAR TABEL PROFIL KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009 TABEL 1 Luas Wilayah, Jumlah Desa/Kelurahan, Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah Tangga, dan Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Kelompok Umur, Rasio Beban Tanggungan, Rasio Jenis Kelamin Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 3 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 4 Jumlah Penduduk Laki-Laki dan Perempuan Berusia 10 Tahun Ke Atas Diperinci Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 5 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Yang Melek Huruf Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 6 Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 7 Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 8 Jumlah Kejadian Kecelakaan Lalu Lintas dan Rasio Korban Luka dan Meninggal Terhadap Jumlah Penduduk Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 9 AFP Rate, % TB Paru Sembuh, dan Pneumonia Balita di Tangani Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 10 HIV/AIDS Ditangani, Infeksi Menular Seksual Diobati, dan DBD Ditangani Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 11 Persentase Penderita Malaria Diobati Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 12 Persentase Penderita Kusta Selesai Berobat Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 13 Kasus Penyakit Filaria Ditangani Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 14 Jumlah Kasus dan Angka Kesakitan Penyakit Menular Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 15 Cakupan Kunjungan Neonatus, Bayi dan Bayi BBLR Yang Ditangani Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 16 Jumlah Kecamatan Rawan Gizi dan Status Gizi Bayi dan Balita Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 17 Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4, Ibu Hamil Risti dan Persalinan Ditolong Tenaga Kesehatan dan Ibu Nifas Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 18 Cakupan Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak Balita, Pemeriksaan Kesehatan Siswa SD/SMP/SMU Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 19 Jumlah PUS, Peserta KB, Peserta KB Baru, dan KB Aktif, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 TABEL 20 Jumlah Peserta KB Aktif Menurut Jenis Kontrasepsi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

Upload: heva-cii-mpuzz-nakal

Post on 20-Jan-2016

476 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

profil dinkes jateng tahun 2009

TRANSCRIPT

Page 1: Profil Dinkes Jateng 2009

DAFTAR TABEL

PROFIL KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH

TAHUN 2009

TABEL 1 Luas Wilayah, Jumlah Desa/Kelurahan, Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah Tangga, dan Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Kelompok Umur, Rasio Beban Tanggungan, Rasio

Jenis Kelamin Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 3 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Provinsi Jawa Tengah Tahun

2009

TABEL 4 Jumlah Penduduk Laki-Laki dan Perempuan Berusia 10 Tahun Ke Atas Diperinci Menurut Tingkat

Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 5 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Yang Melek Huruf Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 6 Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2009

TABEL 7 Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 8 Jumlah Kejadian Kecelakaan Lalu Lintas dan Rasio Korban Luka dan Meninggal Terhadap Jumlah Penduduk Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 9 AFP Rate, % TB Paru Sembuh, dan Pneumonia Balita di Tangani Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 10 HIV/AIDS Ditangani, Infeksi Menular Seksual Diobati, dan DBD Ditangani Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2009

TABEL 11 Persentase Penderita Malaria Diobati Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 12 Persentase Penderita Kusta Selesai Berobat Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 13 Kasus Penyakit Filaria Ditangani Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 14 Jumlah Kasus dan Angka Kesakitan Penyakit Menular Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi

(PD3I) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 15 Cakupan Kunjungan Neonatus, Bayi dan Bayi BBLR Yang Ditangani Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2009

TABEL 16 Jumlah Kecamatan Rawan Gizi dan Status Gizi Bayi dan Balita Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 17 Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4, Ibu Hamil Risti dan Persalinan Ditolong Tenaga Kesehatan

dan Ibu Nifas Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 18 Cakupan Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak Balita, Pemeriksaan Kesehatan Siswa SD/SMP/SMU Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 19 Jumlah PUS, Peserta KB, Peserta KB Baru, dan KB Aktif, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 20 Jumlah Peserta KB Aktif Menurut Jenis Kontrasepsi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

Page 2: Profil Dinkes Jateng 2009

TABEL 21 Pelayanan KB Baru Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 22 Persentase Cakupan Desa/Kelurahan UCI Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 23 Persentase Cakupan Imunisasi Bayi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 24 Cakupan Bayi, Balita, dan Bumil Yang Mendapat Pelayanan Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 25 Jumlah Ibu Hamil Yang Mendapatkan Pelayanan Fe 1, Fe 3, dan Ibu Nifas mendapat vitamin A

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 26 Jumlah WUS dengan Status Imunisasi TT Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007

TABEL 27 % Akses Ketersediaan Darah untuk Ibu Hamil dan Neonatus yang dirujuk Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2009

TABEL 28 Jumlah dan Persentase Ibu Hamil dan Neonatus Risiko Tinggi/Komplikasi Ditangani Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 29 Persentase Sarana Kesehatan Dengan Kemampuan Gawat Darurat Provinsi Jawa Tengah Tahun

2009

TABEL 30 Jumlah dan Persentase Desa/Kelurahan Terkena KLB Yang Ditangani < 24 Jam Menurut

Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 31 Jumlah Penderita dan Kematian, CFR, KLB menurut jenis KLB, Jumlah Kecamatan, dan Jumlah Desa Yang Terserang Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 32 Jumlah Bayi Yang Diberi ASI Eksklusif Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 33 Persentase Desa/Kelurahan Dengan Garam Beryodium Yang Baik Provinsi Jawa Tengah Tahun

2009

TABEL 34 Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut di Puskesmas Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 35 Jumlah Kegiatan Penyuluhan Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 36 Penduduk Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 37 Cakupan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin dan JPKMM Provinsi Jawa Tengah Tahun

2009

TABEL 38 Persentase Pelayanan Kesehatan Kerja Pada Pekerja Formal Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 39 Cakupan Pelayanan Kesehatan Pra Usila dan Usila Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 40 Cakupan Wanita Usia Subur Mendapat Kapsul Yodium Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 41 Persentase Darah Donor Diskrining terhadap HIV-AIDS Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 42 Jumlah Kunjungan Rawat Jalan, Rawat Inap, Pelayanan Gangguan Jiwa di Sarana Pelayanan Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 43 Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan Menurut Kemampuan Labkes dan Memiliki 4 Spesialis

Dasar Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 44 Ketersediaan Obat sesuai dengan Kebutuhan Pelayanan Kesehatan Dasar Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2009

TABEL 45 Persentase Rumah Tangga Sehat Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 46 Jumlah dan Persentase Posyandu Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 47 Persentase Rumah sehat Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 48 Persentase Keluarga Memiliki Akses Air Bersih Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

TABEL 49 Keluarga Dengan Kepemilikan Sarana Sanitasi Dasar Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa

Page 3: Profil Dinkes Jateng 2009

Tengah tahun 2009

TABEL 50 Persentase Tempat Umum dan Pengelolaan Makanan (TUPM) Sehat Menurut Kabupaten/Kota

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 51 Persentase Institusi Dibina Kesehatan Lingkungannya Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 52 Persentase Rumah/Bangunan Yang Diperiksa Jentik Nyamuk Aedes dan Persentase

Rumah/Bangunan Bebas Jentik Nyamuk Aedes Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 53 Persebaran Tenaga Kesehatan Menurut Unit Kerja Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 54 Jumlah Tenaga Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 55 Jumlah Tenaga Medis di Sarana Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 56 Jumlah Tenaga Kefarmasian di Sarana Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 57 Jumlah Tenaga Keperawatan di Sarana Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 58 Jumlah Tenaga Kesehatan Masyarakat Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

TABEL 59 Jumlah Tenaga Teknisi Medis Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 60 Anggaran Kesehatan Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 61 Jumlah sarana Pelayanan Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 62 Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 63 Indikator Pelayanan Rumah Sakit Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 64 Kasus Penyakit Tidak Menular di Puskesmas dan Rumah Sakit Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 65 Penyuluhan Pencegahan, Penaggulangan, dan Penyalahgunaan NAPZA Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2009

TABEL 66 Persentase Penulisan Resep Obat Generik Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 67 Jumlah dan Persentase Ibu Hamil Risiko Tinggi Dirujuk Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 68 Jumlah Keluarga Sadar Gizi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 69 Kebutuhan, Pengadaan, Ketersediaan Obat Esensial dan Obat Generik Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

TABEL 70 Kebutuhan, Pengadaan, Ketersediaan Obat Narkotika dan Psikotropika Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2009

TABEL 71 Pemeriksaan Kesehatan Siswa TK, SLTP, SLTA Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

Page 4: Profil Dinkes Jateng 2009

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

alam mewujudkan Jawa Tengah Sehat 2010, Pembangunan Kesehatan di Jawa

Tengah tidak dapat dilakukan sendiri oleh aparat pemerintah di sektor kesehatan, tetapi

harus dilakukan secara bersama-sama melibatkan peran serta swasta dan masyarakat.

Segala upaya kesehatan yang dilakukan baik oleh sektor kesehatan dan non kesehatan

dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan upaya mengatasi masalah kesehatan

perlu dicatat dan dikelola dengan baik dalam suatu system informasi kesehatan.

Sistem Informasi Kesehatan (SIK) yang evidence based diarahkan untuk

penyediaan data dan informasi yang akurat, lengkap, dan tepat waktu, untuk itu peran data

dan informasi kesehatan menjadi sangat penting dan makin terasa dibutuhkan dalam

manajemen kesehatan yaitu sebagai dasar pengambilan keputusan di semua tingkat

administrasi pelayanan kesehatan.

Kebutuhan data dan informasi kesehatan dari hari ke hari semakin meningkat.

Masyarakat semakin peduli dengan situasi kesehatan dan hasil pembangunan kesehatan

yang telah dilakukan oleh pemerintah terutama terhadap masalah-masalah kesehatan yang

berhubungan langsung dengan kesehatan mereka, sebab kesehatan menyangkut hajat

hidup masyarakat luas dan semua orang butuh untuk sehat. Kepedulian masyarakat akan

informasi kesehatan ini memberikan nilai positif bagi pembangunan kesehatan itu sendiri.

Untuk itu pihak pengelola program harus bisa menyediakan dan memberikan data dan

informasi yang dibutuhkan masyarakat yang dikemas secara baik, sederhana, informatif,

dan tepat waktu.

Profil kesehatan hanyalah salah satu produk dari Sistem Informasi Kesehatan yang

penyusunan dan penyajiannya dibuat sesederhana mungkin tetapi informative, untuk

dipakai sebagai alat tolok ukur kemajuan pembangunan kesehatan di Jawa Tengah

sekaligus juga sebagai bahan evaluasi program-program kesehatan dalam upaya

mewujudkan Jawa Tengah Sehat 2010 . Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah adalah

Page 5: Profil Dinkes Jateng 2009

gambaran situasi kesehatan yang memuat berbagai data tentang situasi dan hasil

pembangunan kesehatan selama satu tahun. Data dan informasi

Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah merupakan buku statistik kesehatan

untuk menggambarkan situasi dan kondisi kesehatan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah.

Profil Kesehatan Provinsi ini berisi data/informasi yang menggambarkan derajat kesehatan,

sumber daya kesehatan, dan capaian indikator hasil pembangunan kesehatan di Provinsii

Jawa Tengah selama satu tahun.

B. SISTEMATIKA PENYAJIAN

Adapun sistematika penyajian Profil Kesehatan adalah sebagai berikut :

BAB 1: PENDAHULUAN

Bab ini berisi penjelasan tentang maksud dan tujuan Profil Kesehatan dan sistematika dari

penyajiannya.

BAB 2: GAMBARAN UMUM

Bab ini menyajikan tentang gambaran umum kabupaten/kota. Selain uraian tentang letak

geografis, administratif, dan informasi umum lainnya, bab ini juga mengulas faktor -faktor

yang berpengaruh terhadap kesehatan dan faktor-faktor lainnya misal kependudukan,

ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan lingkungan.

BAB 3: SITUASI DERAJAT KESEHATAN

Bab ini berisi uraian tentang indikator mengenai angka kematian, angka kesakitan, dan

angka status gizi masyarakat.

BAB 4: SITUASI UPAYA KESEHATAN

Bab ini menguraikan tentang pelayanan kesehatan dasar, pelayanan kesehatan rujukan

dan penunjang, pemberantasan penyakit menular, pembinaan kesehatan lingkungan dan

sanitasi dasar, perbaikan gizi masyarakat, pelayanan kefarmasian dan alat kesehatan,

pelayanan kesehatan dalam situasi bencana. Upaya pelayanan kesehatan yang diuraikan

dalam bab ini juga mengakomodir indikator kinerja Standar Pelayanan Minimal Bidang

Kesehatan (SPM-BK) serta upaya pelayanan kesehatan lainnya yang diselenggarakan oleh

kabupaten/kota.

BAB 5: SITUASI SUMBER DAYA KESEHATAN

Bab ini menguraikan tentang sarana kesehatan, tenaga kesehatan, pembiayaan kesehatan

dan sumber daya kesehatan lainnya.

Page 6: Profil Dinkes Jateng 2009

BAB 6: KESIMPULAN

Bab ini diisi dengan sajian tentang hal-hal penting yang perlu disimak dan ditelaah lebih

lanjut dari profil kesehatan kabupaten/kota di tahun yang bersangkutan. Selain

keberhasilan-keberhasilan yang perlu dicatat, bab ini juga mengemukakan hal-hal yang

dianggap masih kurang dalam rangka penyelenggaraan pembangunan kesehatan.

LAMPIRAN

Pada lampiran ini berisi resume/angka pencapaian kabupaten/kota dan 71 tabel data yang

merupakan gabungan Tabel Indikator Kabupaten Sehat dan Indikator pencapaian kinerja

Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan. Profil Kesehatan dapat disajikan dalam

bentuk tercetak (berupa buku) atau dalam bentuk lain (disket, cd-rom, tampilan di situs

internet, dan lain-lain).

Page 7: Profil Dinkes Jateng 2009

GAMBARAN UMUM

A. KEADAAN GEOGRAFI

rovinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di

Indonesia yang terletak cukup strategis karena berada diantara dua provinsi

besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Provinsi Jawa Tengah sebelah barat

berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat, sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jawa

Timur, sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, dan sebelah selatan berbatasan

dengan Samudra Hindia dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Letaknya antara 5 °40' -

8°30' lintang selatan dan antara 108°30' - 111°30' bujur timur (termasuk Pulau Karimunjawa).

Luas wilayah Provinsi Jawa Tengah sebesar 32.544,12 km², secara administratif

terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota, yang tersebar menjadi 573 kecamatan dan 8.576

desa/kelurahan. Wilayah terluas adalah Kabupaten Cilacap dengan luas 2.138,51 km², atau

sekitar 6,57% dari luas total Provinsi Jawa Tengah, sedangkan Kota Magelang merupakan

wilayah yang luasnya paling kecil di Jawa Tengah, yaitu seluas 18,12 km².

Secara topografi, wilayah di Jawa Tengah terdiri dari wilayah daratan yang dapat

dibagi menjadi 4 (empat) kriteria :

- Ketinggian antara 0 - 100 m dari permukaan air laut, seluas 53,3%, yang daerahnya

berada di sepanjang pantai utara dan pantai selatan.

- Ketinggian antara 100 - 500 m dari permukaan air laut seluas 27,4%.

- Ketinggian antara 500 - 1.000 m dari permukaan air laut seluas 14,7%.

- Ketinggian diatas 1.000 m dari permukaan air laut seluas 4,6%.

Page 8: Profil Dinkes Jateng 2009

B. KEADAAN PENDUDUK

1. Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk

Jumlah Penduduk Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 32.864.563 jiwa.

Dengan luas wilayah sebesar 32.544,12 km², maka rata-rata kepadatan penduduk di

Jawa Tengah sebesar 1.010 jiwa untuk setiap kilometer persegii (km²). Wilayah

terpadat adalah Kota Surakarta, dengan tingkat kepadatan penduduk sekitar 11.996

jiwa per kilometer persegi (km²). Wilayah terlapang di Jawa Tengah adalah Kabupaten

Wonogiri, dengan tingkat kepadatan penduduk sekitar 541 jiwa per kilometer persegi

(km²). Dengan demikian dapat dilihat bahwa persebaran penduduk di Jawa Tengah

belum merata.

Dengan jumlah rumah tangga sebesar 8.900.367 rumah tangga, maka rata-rata

jumlah anggota rumah tangga di Jawa Tengah adalah 3,69 jiwa untuk setiap rumah

tangga. Jumlah penduduk tertinggi berada di Kabupaten Brebes sebesar 1.800.958 jiwa

(5,48% dari jumlah penduduk Jawa tengah) dan terendah di Kota Magelang sebesar

137.055 jiwa (0,42% dari jumlah penduduk Jawa Tengah). Data mengenai

kependudukan dapat dilihat pada lampiran Tabel 1.

2. Rasio Jenis Kelamin

Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat dari rasio jenis kelamin,

yaitu perbandingan penduduk laki-laki dengan penduduk perempuan per 100 penduduk

perempuan. Berdasarkan hasil Proyeksi Supas tahun 2005 oleh Badan Pusat Statistik,

didapatkan jumlah penduduk laki-laki di Jawa Tengah 16.331.511 jiwa (49,69%) dan

jumlah penduduk perempuan di Jawa Tengah 16.533.052 jiwa (50,31%). Sehingga

didapat rasio jenis kelamin sebesar 98,78. Dengan demikian di Jawa Tengah, tiap-tiap

100 penduduk perempuan ada sekitar 98 atau 99 penduduk laki-laki. Data mengenai

Rasio Jenis Kelamin (Sex Ratio) dapat dilihat pada lampiran Tabel 2.

3. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur

Struktur/komposisi penduduk Jawa Tengah menurut kelompok umur dan jenis

kelamin menunjukkan bahwa penduduk laki-laki maupun perempuan mempunyai

proporsi

Page 9: Profil Dinkes Jateng 2009

terbesar pada kelompok umur 15 - 19 tahun dan 20 - 24 tahun. Gambaran

komposisii penduduk secara lebih rinci dapat dilihat pada lampiran Tabel 3.

Adapun perbandingan komposisi proporsi penduduk Provinsi Jawa Tengah

menurut usia produktif dari tahun 2004 sampai tahun 2009 dapat dilihat pada tabel

berikut: Tabel 2.1

Persentase Kelompok Usia Produktif Jawa Tengah tahun 2005 - 2009

Kelompok Usia (Tahun)

TAHUN

2005 2006 2007 2008 2009

0 - 14 27,07 % 25,98 % 27,02 % 26,57 % 25,03 %

15 - 64 66,16 % 66,92 % 65,21 % 65,66 % 67,87 %

65 + 6,77 % 7,10 % 7,77 % 7,77 % 7,11 %

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah (Susenas 2008)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa proporsi penduduk tahun 2009 bila dibandingkan

dengan tahun 2008, pada kelompok usia produktif (15 - 64 tahun) mengalami

peningkatan, sedangkan pada kelompok usia belum produktif (0 - 14 tahun) mengalami

penurunan. Hal ini berarti bahwa angka beban tanggungan menjadi berkurang.

4. Angka Fertilitas Total (Total Fertility Rate)

Angka Fertilitas Total adalah rata-rata anak yang dilahirkan hidup oleh seorang

wanita selama masa usia produktif (15 - 49 tahun). Berdasarkan hasil Survei Demografi

dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002- 2003 diperoleh angka fertilitas total di

Jawa Tengah adalah 2,1 yang artinya rata-rata anak yang dilahirkan hidup oleh seorang

wanita selama masa usia produktif adalah 2 anak.

Pada tahun 2007 Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia kembalii

dilaksanakan dan didapatkan hasil bahwa angka fertilitas total di Jawa Tengah adalah

2,3. Berarti ada kenaikan jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita.

C. KEADAAN EKONOMI

1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi yang

diperlukan untuk evaluasi dan perencanaan ekonomi makro, biasanya dilihat dari

pertumbuhan angka Produk Domestik Regional Bruto, baik atas dasar harga berlaku

maupun atas dasar harga konstan. Dari publikasi Jawa Tengah Dalam Angka Tahun

2009, pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah 2009 ditunjukkan oleh laju pertumbuhan

PDRB atas dasar harga konstan 2000.

Page 10: Profil Dinkes Jateng 2009

Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah tahun 2008 yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000, lebih lambat

dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 5,46% (2007 = 5,59%). Hal tersebut cukup

beralasan mengingat kondisi perekonomian tahun ini cukup bergejolak dengan adanya krisis

moneter yang melanda seluruh negara di dunia.

Pertumbuhan riil sektoral tahun 2008 mengalami fluktuasi dari tahun

sebelumnya. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor keuangan, persewaan dan jasa

perusahaan sebesar 7,81%, meskipun peranannya terhadap PDRB hanya sekitar

3,48%. Sektor pertambangan dan penggalian ternyata mengalami pertumbuhan yang

paling rendah selama tahun 2008, yaitu sebesar 3,83%.

Sektor industri pengolahan masih memberikan sumbangan tertinggi terhadap

ekonomi Jawa Tengah yaitu sebesar 33,08%, dengan laju pertumbuhan sebesar

4,50%. Sektor pertanian yang juga merupakan sektor dominan memberikan

sumbangan berarti bagi perekonomian Jawa Tengah sebesar 19,60% dengan

pertumbuhan riil sebesar 5,09%. Sektor perdagangan, hotel dan restoran mengalami

pertumbuhan sebesar 5,10%, masih mempunyai peranan yang cukup besar terhadap

pertumbuhan ekonomi, karena mampu memberi andil sebesar 19,73%.

Dari angka-angka indeks implisit PDRB dapat diketahui kenaikan harga dari

waktu ke waktu baik secara agregat maupun secara sektoral. Secara agregat indeks

implisit di Jawa Tengah tahun 2008 sebesar 216,30. Sedangkan secara sektoral,

pertumbuhan indeks implisit yang paling cepat atau di atas angka rata-rata indeks

implisit Jawa Tengah pada tahun 2008 terjadi pada sektor listrik dan air bersih sebesar

266,14%. Sektor lain yang perkembangan indeks implisitnya paling lamban adalah

sektor pertambangan dan penggalian yaitu sebesar 189,85%.

Pada tahun 2008, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita atas

dasar harga berlaku mencapai 11,1 juta rupiah, naik 15,29% dari tahun sebelumnya.

Sementara untuk PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 mencapai 5,1 jua

rupiah atau meningkat 4,66%.

Page 11: Profil Dinkes Jateng 2009

Tabel 2.2 Perkembangan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan Di Jawa Tengah Tahun 2004 - 2008 (Juta rupiah)

Tahun PDRB atas dasar harga berlaku

PDRB atas dasar harga konstan

2004 193.435.263,05 135.789.872,31

2005 234.435.325,31 143.051.213,88

2006 281.996.709,11 150.682.654,74

2007 312.428.807,09 159.110.253,77

2008 362.938.708,25 167.790.369,85

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah (Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2009)

2. Angka Beban Tanggungan

Berdasarkan jumlah penduduk menurut kelompok umur, maka angka beban

tanggungan (dependency ratio) penduduk Provinsi JawaTengah tahun 2008 sebesar

52,29, dan pada tahun 2009 angka tersebut mengalami penurunan menjadi 51,43 yang

artinya dari setiap 100 penduduk usia produktif (usia 15 - 64 tahun) harus menanggung

beban hidup sekitar 51 penduduk usia belum produktif (0 - 14 tahun) dan usia tidak

produktif (65 tahun ke atas).

D. KEADAAN PENDIDIKAN

Tingkat pendidikan dapat berkaitan dengan kemampuan menyerap dan menerima

informasi kesehatan serta kemampuan dalam berperan serta dalam pembangunan

kesehatan. Masyarakat yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi, pada umumnya

mempunyaii pengetahuan dan wawasan yang lebih luas sehingga lebih mudah menyerap

dan menerima informasi, serta dapat ikut berperan serta aktif dalam mengatasi masalah

kesehatan dirinya dan keluarganya.

Dibandingkan dengan tahun 2008 secara umum telah terjadi peningkatan di bidang

pendidikan. Peningkatan terjadi pada tingkat pendidikan SD, SMP, dan SMU. Hal ini wajar

terjadi mengingat semakin digalakkannya program sekolah gratis bagi jenjang SD dan SMP

dan program-program pendidikan lainnya. Berikut ini disajikan tabel persentase jumlah

penduduk yang berusia 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan di

Provinsi Jawa Tengah tahun 2007, 2008 dan 2009.

Page 12: Profil Dinkes Jateng 2009

Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Usia 10 tahun ke Atas Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007, 2008 dan 2009

Tahun

Blm/Tdk Pernh Seklh

Tdk punya Ijazah SD/MI

SD/MI

SMP

SMU/SMK DIPL/AK/

PT

Total

2007 7,84 26,46 31,74 15,58 12,45 5,93 100,00

2008 9,33 23,03 32,01 16,58 14,64 4,41 100,00

2009 8,42 22,16 32,50 17,22 15,21 4,48 100,00

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah

Peningkatan tersebut berimbas pada kemampuan baca tulis penduduk yang

tercermin dari angka melek huruf. Persentase penduduk yang dapat membaca dan menulis

huruf latin dan huruf lainnya pada tahun 2009 sebesar 90,58%, sedangkan yang buta huruf

sebesar 9,42%. Bila dilihat dari jenis kelaminnya, maka penduduk laki-laki lebih banyak

yang melek huruf dibandingkan dengan penduduk perempuan, angka melek penduduk laki -

laki sebesar 94,61% dan perempuan sebesar 86,67%. Data mengenai angka melek huruf

dapat dilihat pada lampiran Tabel 5.

Demikian gambaran umum Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 secara ringkas

dengan penyajian tentang kependudukan, perekonomian, dan pendidikan. Faktor

perekonomian dan pendidikan secara bersama-sama dengan kesehatan digunakan untuk

menentukan indeks pembangunan manusia.

Page 13: Profil Dinkes Jateng 2009

SITUASI DERAJAT KESEHATAN

ambaran masyarakat Provinsi Jawa Tengah masa depan yang ingin dicapaii oleh

segenap komponen masyarakat melalui pembangunan kesehatan Provinsi Jawa

Tengah adalah Jawa Tengah Sehat 2010 yang mandiri dan bertumpu pada potensi

daerah. Untuk mewujudkan visi tersebut ada empat misi yang diemban oleh seluruh jajaran

petugas kesehatan di masing-masing jenjang administrasi pemerintahan, yaitu menggerakkan

pembangunan berwawasan kesehatan, mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat

dengan bertumpu pada potensi daerah, memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan

yang bermutu, merata dan terjangkau bagi seluruh masyarakat Jawa Tengah, dan mendorong

pemeliharaan dan peningkatan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta

lingkungannya.

Guna mempertegas rumusan Visi Jawa Tengah Sehat itu, telah ditetapkan indikator-

indikatornya secara lebih terinci yang mengacu pada Indikator Indonesia Sehat 2010, yang

terdiri atas indikator derajat kesehatan sebagai hasil akhir yang terdiri atas indikator-indikator

untuk mortalitas, morbiditas, dan status gizi; indikator hasil antara, yang terdiri atas indikator -

indikator untuk keadaaan lingkungan, perilaku hidup, akses dan mutu pelayanan kesehatan;

serta indikator proses dan masukan yang terdiri atas indikator-indikator untuk pelayanan

kesehatan, sumber daya kesehatan, manajemen kesehatan, dan kontribusi sektor terkait.

Adapun situasi derajat kesehatan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah adalah sebagaii

berikut :

A. ANGKA KEMATIAN

Kejadian kematian dalam masyarakat dari waktu ke waktu dapat menggambarkan

status kesehatan masyarakat secara kasar, kondisi atau tingkat permasalahan kesehatan,

kondisi lingkungan fisik dan biologik secara tidak langsung. Disamping itu dapat digunakan

sebagai indikator dalam penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan program

pembangunan kesehatan.

Page 14: Profil Dinkes Jateng 2009

1. Angka Kematian Bayi

Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi ( 0-12 bulan ) per

1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun. AKB dapat menggambarkan

tingkat permasalahan kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan faktor penyebab

kematian bayi, tingkat pelayanan antenatal, status gizi ibu hamil, tingkat keberhasilan

program KIA dan KB, serta kondisi lingkungan dan sosial ekonomi. Bila AKB di suatu

wilayah tinggi, berarti status kesehatan di wilayah tersebut rendah.

AKB di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 10,25/1.000 kelahiran hidup,

meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 9,17/1.000 kelahiran hidup.

Angka kematian bayi tertinggi adalah di Kota Semarang sebesar 18,59/1.000 kelahiran

hidup, sedang terendah adalah di Kab. Demak sebesar 4,42/1.000 kelahiran hidup.

Apabila dibandingkan dengan target dalam Indikator Indonesia Sehat tahun 2010

sebesar 40/1.000 kelahiran hidup, maka AKB di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

sudah melampaui target, demikian juga bila dibandingkan dengan cakupan yang

diharapkan dalam MDG ( Millenium Development Goals ) ke - 4 tahun 2015 yaitu

17/1.000 kelahiran hidup.

Gambar 3.1

Angka Kematian Bayi di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2006 - 2009

Peningkatan AKB di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 dapat memberi

gambaran adanya penurunan kualitas hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat.

Sebagai contoh, pelayanan kesehatan antenatal yang menurun ditunjukkan oleh

Page 15: Profil Dinkes Jateng 2009

cakupan kunjungan K4 serta pemberian tablet Fe 90 yang pada tahun 2009 juga

mengalami penurunan.

2. Angka Kematian Balita

Angka Kematian Balita (AKABA) adalah jumlah kematian balita ( 1 th - 5 th ) per

1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun. AKABA dapat menggambarkan

tingkat permasalahan kesehatan anak balita, tingkat pelayanan KIA/Posyandu, tingkat

keberhasilan program KIA/Posyandu, dan kondisi sanitasi lingkungan.

AKABA di provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 11,60/1.000

kelahiran hidup, cenderung meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2008

sebesar 10,12/ 1.000 kelahiran hidup. AKABA tertinggi adalah di Kota Semarang

sebesar 23,50/1.000 kelahiran hidup, sedang yang terendah adalah di Kabupaten

Demak sebesar 4,98/1.000 kelahiran hidup.

Apabila dibandingkan dengan target dalam Indikator Indonesia Sehat tahun

2010 sebesar 58/1.000 kelahiran hidup, maka AKABA di Provinsi Jawa Tengah tahun

2009 sudah melampaui target, demikian juga bila dibandingkan dengan cakupan yang

diharapkan dalam MDG ( Millenium Development Goals ) ke - 4 tahun 2015 yaitu

23/1.000 kelahiran hidup.

Gambar 3.2

Angka Kematian Balita di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2006 - 2009

Page 16: Profil Dinkes Jateng 2009

3. Angka Kematian Ibu

Angka Kematian Ibu (AKI) mencerminkan risiko yang dihadapi ibu-ibu selama

kehamilan dan melahirkan yang dipengaruhi oleh status gizi ibu, keadaan sosial

ekonomi, keadaan kesehatan yang kurang baik menjelang kehamilan, kejadian

berbagai komplikasi pada kehamilan dan kelahiran, tersedianya dan penggunaan

fasilitas pelayanan kesehatan ternasuk pelayanan prenatal dan obstetri. Tingginya

angka kematian ibu menunjukkan keadaan sosial ekonomi yang rendah dan fasili tas

pelayanan kesehatan termasuk pelayanan prenatal dan obstetri yang rendah pula.

Kematian ibu biasanya terjadi karena tidak mempunyai akses ke pelayanan

kesehatan ibu yang berkualitas, terutama pelayanan kegawatdaruratan tepat waktu

yang dilatarbelakangi oleh terlambat mengenal tanda bahaya dan mengambil

keputusan, terlambat mencapai fasilitas kesehatan, serta terlambat mendapatkan

pelayanan di fasilitas kesehatan. Selain itu penyebab kematian maternal juga tidak

terlepas dari kondisii ibu itu sendiri dan merupakan salah satu dari kriteria 4 “terlalu”,

yaitu terlalu tua pada saat melahirkan (> 35 tahun), terlalu muda pada saat melahirkan

(< 20 tahun), terlalu banyak anak (> 4 anak), terlalu rapat jarak kelahiran/paritas (< 2

tahun).

Angka kematian ibu di Provinsi Jawa Tengah untuk tahun 2009 berdasarkan

laporan dari kabupaten/kota sebesar 117,02/100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut

telah memenuhi target dalam Indikator Indonesia Sehat 2010 sebesar 150/100.000 dan

mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan AKI pada tahun 2008 sebesar

114,42/100.000 kelahiran hidup. AKI tertinggi adalah di Kabupaten Pemalang sebesar

201,50/1.000 kelahiran hidup. Sedang yang terrendah adalah di Kota Tegal yaitu

sebesar 38,97/1.000 kelahiran hidup.

Kejadian kematian maternal paling banyak adalah pada waktu nifas sebesar

49,12%, disusul kemudian pada waktu bersalin sebesar 26,99%, dan pada waktu hamil

Page 17: Profil Dinkes Jateng 2009

sebesar 23,89%. Penyebab kematian adalah perdarahan sebesar 22,42%,

eklamsii sebesar 28,76%, infeksi sebesar 3,54%, dan lain-lain sebesar 45,28%.

Gambar 3.3

Angka Kematian Ibu Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2006 - 2009

4. Angka Kecelakaan Lalu-lintas

Kasus kecelakaan lalu lintas adalah jumlah korban (meninggal dunia, cedera

berat, cedera sedang, dan cedera ringan) sebagai akibat dari kecelakaan lalu lintas.

Kabupaten/kota yang melaporkan kejadian kecelakaan lalu lintas sebanyak 25

kabupaten/kota, sedang 10 kabupaten/kota tidak melaporkan. Angka kecelakaan lalu

lintas per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 112,67

mengalami peningkatan bila dibandingkan tahun 2008 sebesar 73,75. Angka tersebut

sangat tinggi bila dibandingkan dengan target Indonesia Sehat tahun 2010 sebesar

10/100.000 penduduk.

Angka kecelakaan lalu lintas ini dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Hal

ini dikarenakan terjadinya peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang sangat pesat,

sedang kuantitas jalan relatif tetap atau kecil sekali perkembangannya. Angka

Kecelakaan tertinggi terjadi di Kota Tegal yaitu sebesar 3.211/100.000 penduduk. Kota

Tegal merupakan daerah dengan kepadatan penduduk 6.990 per km2 yang merupakan

daerah perbatasan antara Jawa Tengah dengan Kota Jakarta dan merupakan jalur lalu

lintas

Page 18: Profil Dinkes Jateng 2009

menuju Kota Jakarta sehingga sangat rawan terjadi kecelakaan lalu

lintas. Proporsii kematian pada kasus kecelakaan lalu lintas tahun 2009 cukup

besar sebanyak 923 (2,8 %) kasus kematian akibat kecelakaan.

Gambar 3.4

Angka Kecelakaan Lalu Lintas di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2005 - 2009

B. ANGKA KESAKITAN

1. Angka “Acute Flaccid Paralysis” (AFP)

Dalam upaya untuk membebaskan Indonesia dari penyakit Polio, maka

pemerintah telah melaksanakan Program Eradikasi Polio (ERAPO) yang terdiri dari

pemberian imunisasi polio rutin, pemberian imunisasi masal pada anak balita melalui

PIN (Pekan Imunisasi Nasional) dan surveilans AFP. Surveilans AFP adalah

pengamatan dan penjaringan semua kelumpuhan yang terjadi secara mendadak dan

sifatnya flaccid (layuh), seperti sifat kelumpuhan pada poliomyelitis. Prosedur

pembuktian penderita AFP terserang virus polio liar atau tidak adalah sebagai berikut :

- Melakukan pelacakan terhadap anak usia < 15 tahun yang mengalami kelumpuhan

mendadak (<14 hari) dan menentukan diagnosa awal.

- Mengambil specimen tinja penderita tidak lebih dari 14 hari sejak kelumpuhan,

sebanyak dua kali selang waktu pengambilan I dan II > 24 jam.

- Mengirim kedua specimen tinja ke laboratorium dengan pengemasan khusus (untuk

Jawa Tengah dikirim ke laboratorium Bio Farma Bandung)

Page 19: Profil Dinkes Jateng 2009

- Hasil pemeriksaan specimen tinja akan menjadi bukti virologi adanya virus polio liar

didalamnya.

- Diagnosa akhir ditentukan pada 60 hari sejak kelumpuhan. Pemeriksaan klinis ini

dilakukan oleh dokter spesialis anak atau syaraf untuk menentukan apakah masih

ada kelumpuhan atau tidak.

Hasil pemeriksaan virologis dan klinis akan menjadi bukti yang syah dan meyakinkan

apakah semua kasus AFP yang terjaring termasuk kasus polio atau tidak sehingga

dapat diketahui apakah masih ada polio liar di masyarakat.

Secara statistik jumlah penderita kelumpuhan AFP diperkirakan 2 diantara

100.000 anak usia < 15 tahun. Di Jawa Tengah setiap tahun minimal harus menemukan

184 penderita AFP. Pada tahun 2009 Jawa Tengah menemukan 193 penderita AFP,

sehingga telah melampaui target yang harus ditemukan yaitu 184 kasus.. Dari hasil

pemeriksaan laboratorium, dari 193 kasus yang diperiksa semua menunjukan negatif

polio (berarti tidak ditemukan virus polio liar).

Gambar 3.5

Penemuan Kasus AFP di Provinsi Jawa Tengah

Tahun

2004 -

2009

2. Angka Kesembuhan Penderita TB Paru BTA (+)

TB merupakan salah satu kedaruratan global (global emergency). Kegagalan

pengobatan TB sebagian besar karena pasien berobat secara tidak teratur, sehingga

menimbulkan kasus-kasus MDR maupun XDR. WHO telah menyusun strategi yang

dianggap paling cost efektif untuk mengatasi permasalahan kegagalan pengobatan TB,

yaitu dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short Course ) yang

telah dimulai sejak tahun 1995.

Page 20: Profil Dinkes Jateng 2009

Cakupan penemuan kasus TB baru BTA (+) atau case detection rate di Jawa

Tengah tahun 2005 s/d 2008 masih dibawah target yang ditetapkan sebesar 70%.

Meskipun masih dibawah target yang ditentukan, capaian Case Detection Rate tahun

2009 48,15 % meningkat dibanding tahun 2008 sebesar 45,16%, dengan angka

kesembuhan 83,92%

Untuk meningkatkan cakupan CDR dan angka kesembuhan, pada tahun

2009 telah dilakukan berbagai upaya yaitu SDM baik tenaga medis, paramedis dan

laboratorium, pertemuan jejaring antar unit pelayanan kesehatan, assistensi ke rumah

Sakit. Kegiatan-kegiatan tersebut perlu dievaluasi untuk menilai apakah hasil kegiatan

sesuai dengan tujuan yang diharapkan sekaligus mengidentifikasi permasalahan yang

ditemukan untuk selanjutnya disusun rencana tindak lanjut perbaikan.

Dengan angka insiden penderita baru BTA (+) sebesar 107/100.000 penduduk,

maka diperkirakan pada tahun 2009 di Provinsi Jawa Tengah terdapat 35.165 penderita

baru BTA (+). Dengan target penemuan penderita baru BTA (+) atau Case Detection

Rate (CDR) > 70%, maka diharapkan minimal 24.615 penderita baru BTA (+) dapat

ditemukan untuk selanjutnya diobati dan disembuhkan.

Penemuan penderita baru BTA (+) di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

sebanyak 16.716 penderita atau 48,15%, meningkat bila dibandingkan dengan CDR

tahun 2008 sebesar 45,16%. CDR tertinggi adalah di Kota Pekalongan sebesar

96,09% dan yang terendah adalah di Kabupaten Grobogan sebesar 24,20%. Terdapat

empat kabupaten/kota yang sudah melampaui target 70% yaitu Kota Pekalongan

(96,09%), Kota Surakarta (92,12%), Kabupaten Pekalongan (89,76%) dan Kabupaten

Batang (80,92%).

Gambar 3.6 Angka Penemuan TB Paru

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

Page 21: Profil Dinkes Jateng 2009

Evaluasi pengobatan pada penderita TB paru BTA (+) dilakukan melaluii pemeriksaan

dahak mikroskopis pada akhir fase intensif satu bulan sebelum akhir pengobatan dan

pada akhir pengobatan dengan hasil pemeriksaan negatif. Dinyatakan sembuh bila hasil

pemeriksaan dahak pada akhir pengobatan ditambah minimal satu kali pemeriksaan

sebelumnya (sesudah fase awal atau satu bulan sebelum akhir pengobatan) hasilnya

negatif.

Bila pemeriksaan follow up tidak dilakukan, namun pasien telah menyelesaikan

pengobatan, maka evaluasi pengobatan pasien dinyatakan sebagai pengobatan

lengkap. Evaluasi jumlah pasien dinyatakan sembuh dan pasien pengobatan lengkap

dibandingkan jumlah pasien BTA (+) yang diobati disebut dengan keberhasilan

pengobatan (Succes Rate)

Angka kesembuhan (Cure Rate) TB paru di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

sebesar 83,92%, mengalami penurunan bila dibandingkan tahun 2008 yang mencapaii

88,45%. Angka ini masih dibawah target nasional sebesar 85%. Angka kesembuhan

tertinggi adalah di Kabupaten Batang sebesar 95,70%, sedang yang terendah adalah di

Kabupaten Blora sebesar 56,22%. Penyebab belum terpenuhinya target cure

rate diantaranya karena lemahnya case holdingkhususnya di BBKPB/BKPM/BP4 dan

rumah sakit yang berakibat tingginya kasus mangkir/default. Untuk meningkatkan case

holding perlu dibentuk jejaring antar unit pelayanan kesehatan dengan koordinator

petugas kabupaten/kota.

Gambar 3.7

Angka Kesembuhan TB Paru

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

Page 22: Profil Dinkes Jateng 2009

3. Persentase Balita Dengan Pneumonia Ditangani

ISPA baik pada anak maupun dewasa adalah salah satu penyakit yang

mempunyai keterkaitan dengan beberapa penyakit lain yang mempunyai gejala awal

dan faktor risiko yang hampir sama. Beberapa penyakit tersebut antara lain TB pada

anak maupun dewasa, Asma, ILI, Flu Baru/H1N1, Flu Burung, dll. Dengan adanya

keterkaitan beberapa penyakit yang dapat menyebabkan kematian, maka perlu adanya

upaya-upaya baik berupa kebijakan maupun strategi untuk dapat menekan angka

kesakitan dan kematian. Selain itu kita juga perlu mewaspadai dan memahami dengan

adanya sinyal-sinyal epidemiologi. Upaya-upaya yang dilakukan akan menghadapi

masalah dan tidak akan menyelesaikan masalah apabila hanya dilakukan dari sektor

kesehatan saja, oleh karena itu perlu adanya kerjasama dengan pihak-pihak terkait baik

dari lintas sektor maupun lintas program.

Berdasarkan survei kematian balita tahun 2005 kematian pada balita sebagian

besar disebabkan karena pneumonia (23,6%). Kematian Ibu, Bayi dan Balita

merupakan salah satu parameter derajat kesehatan suatu negara. MDGs dalam goals 4

dan 5 mengamanatkan bahwa angka kematian balita harus mampu diturunkan 2/3 dan

kematian ibu turun ¾ pada tahun 2015. Sehingga tahun 2015 angka kematian bayi

menjadi 17/1000 kelahiran hidup (KH), balita menjadi 23/1000 KH dan angka kematian

ibu turun menjadi 125/100.000 KH. Untuk mencapai angka-angka tesebut sangatlah

tidak mudah mengingat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi.

Berdasarkan SKRT 2001 angka kematian < 1 th disebabkan karena saluran

nafas (28%) dan Perinatal (36%). Penyebab kematian anak 1 - 4 tahun adalah

dikarenakan saluran nafas 23%.

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyebab kematian anak yang

paling umum di negara berkembang. Hampir semua kematian karena ISPA pada anak

adalah akibat ISPA bagian bawah terutama Penumonia. Walaupun demikian tidak

semua ISPA bagian bawah serius, bronkhitis relatif sering terjadi pada anak akan tetapi

jarang menyebabkan fatal.

ISPA bagian atas hanya sedikit mengakibatkan kematian akan tetapi dapat

mengakibatkan sejumlah kecacatan. Otitis media merupakan penyebab utama ketulian di

negara berkembang dan sangat berperan dalam timbulnya gangguan perkembangan dan

gangguan belajar pada anak-anak.

Page 23: Profil Dinkes Jateng 2009

Indikator nasional cakupan penemuan penderita pneumonia tahun 2009

sebesar 86%. Kondisi di Jawa Tengah pada tahun 2009 cakupan penemuan

pneumonia mencapaii 26,76%. Perkiraan jumlah balita tahun 2009 sebanyak 4.423.370

balita, dengan jumlah pneumonia 69.619.

Persentase sasaran balita pneumonia yang harus ditemukan dan di

tatalaksana sesuai standart disuatu daerah dalam setahun yaitu:

Tahun Target % penemuan pneumonia

balita

2005 46

2006 56

2007 66

2008 76

2009 86

Gambar 3.8

Cakupan Penanganan Kasus Pnemonia Balita

Di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 - 2009

Cakupan penemuan penderita Pneumonia Balita adalah penemuan dan

tatalaksana penderita Pneumonia Balita yang mendapat antibiotik sesuai standar atau

pneumonia berat dirujuk ke rumah sakit di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

Page 24: Profil Dinkes Jateng 2009

Cakupan penemuan penderita Pneumonia Balita di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

sebesar 25,96% mengalami peningkatan bila dibanding cakupan tahun 2008 yang

mencapai 23,63%. Angka ini masih sangat jauh dari target SPM tahun 2010 sebesar

100%.

4. Prevalensi HIV (Persentase kasus terhadap penduduk berisiko)

Jumlah infeksi HIV yang dilaporkan tahun 2009 sebanyak 138 sebagian besar

didapat dari hasil konseling dan testing HIV sukarela (VCT/Voluntary Counselling and

Testing) di rumah sakit. Untuk kasus AIDS sebanyak 421 kasus dari laporan VCT

rumah sakit, laporan rutin AIDS kab/kota serta BP4. Peningkatan infeksi HIV dan kasus

AIDS ini dikarenakan upaya penemuan atau pencarian kasus yang semakin intensif

melalui VCT di rumah sakit dan upaya penjangkauan oleh LSM peduli AIDS di

kelompok risiko tinggi. Kasus HIV/AIDS merupakan fenomena gunung es artinya kasus

yang dilaporkan hanya sebagian kecil yang ada di masyarakat. Berdasarkan hasil

estimasi Depkes tahun 2006 diperkirakan ada sekitar 8.506 ODHA (Orang Dengan

HIV/AIDS) di Jawa Tengah, angka ini yang sebenarnya harus dicari. Sementara jumlah

kumulatif HIV/AIDS di Jawa Tengah sampai dengan 2009 sebanyak 2.488 dengan

rincian 1.518 infeksi HIV dan 970 kasus AIDS.

Gambar 3.9

Kasus HIV/AIDS di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 1999 - 2009

Dari grafik di atas menunjukan bahwa kecenderungan (trend) kasus HIV

maupun AIDS selalu mengalami peningkatan setiap tahun. Peningkatan secara

signifikan terjadii mulai tahun 2001 (82 HIV/AIDS), hampir dua kali tahun 2000 (43

Page 25: Profil Dinkes Jateng 2009

HIV/AIDS). Penemuan kasus AIDS tahun 2009 meningkat sangat tajam 2 kali lipat lebih

dibanding tahun 2008. Jumlah kasus tertinggi adalah di Kota Surakarta sebanyak 53

kasus. Kabupaten yang tidak ada kasus HIV/AIDS adalah Kabupaten Sragen.

Selain melakukan kegiatan serosurvei HIV dan surveilans/pengamatan kasus

AIDS, Dinas Kesehatan juga melakukan pengamatan terhadap hasil skrining/penapisan

darah donor melalui UTDD PMI Jawa Tengah. Tujuan skrining ini adalah untuk

mengamankan darah donor supaya bebas dari beberapa penyakit seperti Hepatitis C,

Sifilis, Malaria, DBD termasuk juga bebas dari virus HIV. Dari tabel di bawah

menunjukan bahwa dari jumlah sample darah yang diperiksa setiap tahun selalu

ditemukan hasil reaktif HIV. Pada tahun 2008 hasil skrining menunjukan jumlah reaktif

HIV yang paling tinggi yaitu sebesar 520 dari 348.795 jumlah sample yang diperiksa

(1.49). Sedangkan tahun 2009 terjadi penurunan hasil reaktif yang cukup besar yaitu

275 dari 312.793 jumlah sample yang diperiksa (0.88). Dibawah ini nampak terlihat

perkembangan jumlah sample yang diperiksa dan hasil yang reaktif HIV dari tahun 2002

sampai dengan 2009.

Tabel Hasil Skrining Darah Donor di UTDD PMI Jawa Tengah

Tahun 2002-2009

Tahun Jumlah Sample Diperiksa Jumlah

Reaktif HIV

% Reaktif HIV

(1/1000)

2002 215.526 45 0.21

2003 243.448 92 0.38

2004 267.850 219 0.82

2005 282.213 336 1.19

2006 300.410 392 1.30

2007 337.031 271 0.80

2008 348.795 520 1.49

2009 312.793 275 0.88

Page 26: Profil Dinkes Jateng 2009

Dari tabel di atas diketahui bahwa dari tahun 2004-2009 prevalensi pada

screening darah donor di PMI cenderung meningkat setiap tahun dari 0.21 tahun 2002

menjadi 0.88 di tahun 2009. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar

1.49.

Semua darah donoh yang reaktif HIV sudah langsung dimusnahkan dan tidak diberikan

kepada recipient (penerima), sehingga keamanan penerima darah terjamin.

Gambar 3.10

Grafik Trend Prevalensi HIV pada Skrining Darah Donor di Jawa Tengah Tahun 2002-2009

5. Persentase HIV/AIDS Ditangani

Sesuai kebijakan program pencegahan dan pemberantasan penyakit HIV/AIDS,

seluruh penderita HIV/AIDS harus mendapatkan pelayanan sesuai standar.

Tatalaksanaan penderita HIV/AIDS meliputi Voluntary Counseling Testing (VCT) yaitu

tes konseling secara sukarela, perawatan orang sakit dengan HIV/AIDS,

pengobatan Anti Retroviral (ARV), pengobatan infeksi oportunistik, dan rujukan kasus

spesifik.

Di Provinsi Jawa Tengah kasus AIDS pertama kali ditemukan pada tahun 1993.

Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan Bulan Desember 2009 secara kumulatif

jumlah kasus HIV/AIDS sebanyak 2.488 kasus dengan rincian infeksi HIV sebanyak

1.518 kasus, sedang kasus AIDS sebanyak 970 kasus dan 319 orang diantaranya

sudah meninggal. Keseluruhan (100%) kasus HIV/AIDS yang ditemukan tersebut sudah

Page 27: Profil Dinkes Jateng 2009

mendapat penanganan sesuai standar. Ini berarti sudah mencapai target SPM 2010

sebesar 100%.

6. Persentase Infeksi Menular Seksual Diobati

Penyakit Menular Seksual (PMS) atau biasa disebut penyakit kelamin adalah

penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Yang termasuk PMS adalah

Syphilis, Gonorhoe, Bubo, Jengger ayam, Herpes, dan lain-lain. Infeksi Menular

Seksual (IMS) yang diobati adalah kasus infeksi menular seksual yang ditemukan

berdasarkan syndrome dan etiologi serta diobati sesuai standar.

Jumlah kasus infeksi menular seksual di Provinsi Jawa Tengah dari tahun ke

tahun semakin meningkat. Peningkatan kasus ini dikarenakan pencatatan dan

pelaporan yang semakin baik. Meskipun demikian kemungkinan kasus yang

sebenarnya di populasi masih banyak yang belum terdeteksi. Program Pencegahan

dan Pemberantasan Penyakit Menular Seksual mempunyai target bahwa seluruh kasus

IMS yang ditemukan harus diobati sesuai standar.

Di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009, kasus IMS diobati sebesar 77,80%,

mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 98,14%.

Ini berarti belum seluruh kasus IMS yang ditemukan diobati atau belum mencapai target

yaitu 100%.

Gambar 3.11

Cakupan Penanganan Kasus Infeksi Menular Seksual

Di Provinsi Jawa Tengah tahun 2004 - 2009

Page 28: Profil Dinkes Jateng 2009

7. Angka Kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD)

Penyakit Demam Berdarah Dengue masih merupakan permasalahan serius di

Provinsi Jawa Tengah terbukti 35 kabupaten/kota sudah pernah terjangkit penyakit

DBD. Angka kesakitan / Incidence Rate (IR) DBD di Provinsi Jawa Tengah pada tahun

2009 sebesar 5,74/10.000 penduduk. Angka ini mengalami penurunan bila

dibandingkan tahun 2008 sebesar 5,92/10.000 penduduk. Meskipun demikian, angka

tersebut masih jauh di atas target nasional yaitu < 2/10.000 penduduk. Angka kesakitan

tertinggi adalah di Kota Semarang yaitu sebesar 23,79/100.000 penduduk, terendah

adalah di Kabupaten Brebes yaitu sebesar 1,14/10.000 penduduk. Setiap penderita

DBD yang dilaporkan dilakukan tindakan perawatan penderita, penyelidikan

epidemiologi di lapangan serta upaya pengendalian.

Tingginya angka kesakitan DBD di Provinsi Jawa Tengah ini disebabkan karena

adanya iklim yang tidak stabil dan curah hujan yang cukup banyak pada musim

penghujan yang merupakan sarana perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegipty yang

cukup potensial, juga didukung dengan tidak maksimalnya kegitan PSN di masyarakat

sehingga menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit DBD di beberapa

kabupaten bahkan di beberapa provinsi. Gambar 3.12

Angka Kesakitan dan Kematian DBD

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004 - 2009

Angka kematian / Case Fatality Rate (CFR) DBD pada tahun 2009 adalah

sebesar 1.42%, lebih tinggi bila dibandingkan CFR tahun 2008 sebesar 1,19%. Begitu

juga bila dibandingkan dengan target nasional (<1%), angka ini juga masih berada

diatasnya. Angka kematian tertinggi adalah di Kota Pekalongan yaitu sebesar 18,00%

dan yang terendah atau tidak ada kematian adalah Kabupaten Banjarnegara dan

Kabupaten Banyumas. Angka kesakitan DBD di Kabupaten/Kota hampir

Page 29: Profil Dinkes Jateng 2009

semuanya lebih dari 2 per 10.000 penduduk. Hanya ada 4 Kabupaten/Kota dengan

angka kesakitan kurang dari 2 per 10.000 penduduk yaitu Kabupaten Kebumen,

Pemalang, Brebes dan Kota Pekalongan.

Kabupaten/Kota yang tidak terjadi kematian karena DBD sebanyak 2

Kabupaten yaitu Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Banjarnegara. Sedangkan

Kabupaten/Kota dengan angka kematian lebih dari 1 % sebanyak 20 Kabupaten/Kota. 8. Penanganan Kasus DBD

Penderita DBD yang ditangani adalah penderita DBD yang penanganannya

sesuai standar di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Cakupan penderita

DBD yang ditangani di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 100%, berarti

sudah mencapai target SPM tahun 2010 sebesar 100%. Demikian juga dengan tahun-

tahun sebelumnya, cakupan penderita DBD yang ditangani selalu mencapai 100%,

artinya seluruh penderita DBD yang ada semuanya ditangani sesuai standar.

Cakupan penanganan penderita DBD yang sudah 100% ini berdampak pada

penurunan angka kematian penyakit DBD yang cenderung menurun dari tahun ke tahun

yaitu dari 2,53 pada tahun 2005, menjadi 2,01 pada tahun 2006, 1,6 pada tahun 2007,

dan 1,19 pada tahun 2008. Tetapi pada tahun 2009 mengalami peningkatan angka

kematian (CFR) sebesar 1,42 yang disebabkan adanya keterlambatan deteksi dini oleh

masyarakat sehingga mengakibatkan terlambatnya penanganan kasus DBD pada

pelayanan kesehatan.

Page 30: Profil Dinkes Jateng 2009

9.

9. Penanganan Diare pada Balita

Cakupan penemuan diare di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 48,5%,

mengalami peningkatan bila dibandingkan cakupan tahun 2008 sebesar 47,8%. Data

selama lima tahun terakhir menunjukkan bahwa cakupan penemuan diare masih sangat

jauh di bawah target yang diharapkan yaitu sebesar 80%. Hal ini disebabkan oleh

belum maksimalnya penemuan penderita diare baik oleh kader, puskesmas, RS swasta

maupun pemerintah.

Gambar 3.13

Cakupan Penemuan Penderita Diare

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

Adanya peningkatan cakupan penemuan penderita diare disebabkan adanya

peningkatan pengiriman laporan dari kabupaten/kota dibandingkan tahun sebelumnya.

Page 31: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 3.14

Grafik Kasus diare berdasarkan kelompok umur

Di Jawa Tengah tahun 2005 - 2009

Kasus penyakit diare per golongan umur dari tahun 2005 sampai tahun 2009

juga mengalami kenailkan, tetapi pada tahun 2009 mengalami penurunan untuk kasus

yang dewasa meskipun untuk kasus balita juga mengalami kenaikan Gambar 3.15

Grafik CFR Diare di Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

Page 32: Profil Dinkes Jateng 2009

Dari gambar 3.16 terlihat bahwa angka kematian diare (CFR) di Jawa Tengah

tahun 2006 mengalami penurunan, tetapi tahun 2007 sampai tahun 2009 mengalami

kenaikan, hal ini dapat dinilai bahwa tatalaksana diare yang belum sesuai dengan

standar SOP, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pencegahan diare dan

pengetahuan petugas tentang upaya penanggulangan diare.

Incidence Rate diare di Provinsi Jawa tengah pada tahun 2009 sebesar 1,95%,

mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar

1,86%. Incidence Rate tertinggi adalah di Kota Tegal yaitu sebesar 4,02% dan yang

terendah adalah di Kabupaten Pati sebesar 0,59%. Sedangkan Case Fatality Rate diare

pada tahun 2009 ini sebesar 0.021%, mengalami peningkatan bila dibandingkan

dengan CFR tahun 2008 sebesar 0.006%. CFR tertinggi adalah di Kabupaten Cilacap

yaitu sebesar 0.36%, dan yang terendah atau tidak ada kasus kematian yang

disebabkan diare terjadi di 20 kabupaten/kota.

Jumlah kasus diare pada Balita setiap tahunnya rata-rata di atas 40%. Ini

menunjukkan bahwa kasus diare pada Balita masih tetap tinggi dibandingkan golongan

umur lainnya. Berdasarkan tujuan dari program P2 diare episode yang diharapkan

adalah 1-2 kali/tahun, artinya maksimal balita boleh terkena diare tidak lebih dari dua

kali dalam setahun. Cakupan penanganan Balita dengan diare di Provinsi Jawa Tengah

tahun 2009 sebesar 100%, berarti sudah mencapai target. Demikian juga pencapaian

tahun 2008 sudah mencapai 100%.

10. Angka Kesakitan Malaria

Penyakit Malaria masih menjadi permasalahan Kesehatan masyarakat di

Provinsi Jawa Tengah. Saat ini tidak ditemukan baik kabupaten maupun

kecamatan High Case Incidence ( HCI ) namun masih ditemukan desa High Case

Incidence ( HCI )sebanyak 16 desa yang tersebar di 5 Kabupaten yaitu Purworejo,

Kebumen, Purbalingga, Banyumas dan Jepara. Secara umum di Jawa Tengah kasus

malaria pada tahun 2009 mengalami penurunan meskipun sangat kecil

persentasenya. Peta endemisitas Kabupaten yang mempunyai desa HCI Malaria di

Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 dapat dilihat pada gambar berikut.

Page 33: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 3.16

Peta Endemisitas Malaria di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2009

Annual Parasite Incidence ( API ) merupakan indikator untuk memantau

perkembangan penyakit Malaria di wilayah Jawa - Bali. Dengan API sebesar

0.04 %o pada tahun 2009, ini berarti sama dibandingkan tahun 2008 ( API

mencapai 0.04 %o). Perkembangan insidens malaria di Provinsi Jawa Tengah

sejak tahun 2005 dilihat pada gambar berikut.

Gambar 3.17

Annual Parasite Incidence Malaria (‰)

Di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 - 2009

Page 34: Profil Dinkes Jateng 2009

Pada tahun 2009 API Provinsi Jawa Tengah sebesar 0,044 ‰ terjadi sedikit

penurunan dibandingkan tahun 2008 sebesar 0,049 ‰. Demikian jugaterjadi penurunan

jumlah kasus pada tahun 2009 (1529 kasus) dibandingkan tahun 2008 ( 1602 kasus).

Penurunan insidens Malaria ini sebagai langkah awal menuju Jawa Tengah bebas

Malaria (eliminasi malaria ) pada tahun 2015.

11. Persentase Penderita Malaria Diobati

Persentase penderita Malaria yang diobati di Provinsi Jawa Tengah pada tahun

2009 secara rata-rata adalah 100%, ini berarti sudah mencapai target SPM 2010

sebesar 100%. Sebanyak 15 kabupaten/kota tidak ditemukan kasus Malaria yaitu :

Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri,

Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Blora, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang,

Kabupaten Batang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Magelang, Kota

Surakarta, Kota Salatiga, dan Kota Tegal.

12. Persentase Penderita Kusta Selesai Berobat

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular, yang dapat

menimbulkan masalah sangat komplek. Bukan hanya segi medis tetapi meluas sampai

masalah sosial, ekonomi. Stigmatisasi di masyarakat hingga kini masih menjadi

ganjalan utama dalam upaya memutus rantai penularan kusta. Akibatnya, meski secara

signifikan terjadi penurunan angka prevalensi, namun kasus-kasus baru masih selalu

bermunculan. Dengan kemajuan teknologi pengobatan, melalui MDT (Multy Drug

Therapy) dan kemajuan teknologi komunikasi untuk promotif dan pencegahan

seharusnya penyakit kusta sudah dapat diatasi dan tidak menjadi masalah lagi

Meskipun terdapat Unit Pelayanan Kesehatan yang cukup banyak namun tidak

semua UPK menemukan dan mengobati penderita kusta. Di Jawa Tengah hanya ada 2

Rumah Sakit yang memberikan pelayanan khusus kepada penderita kusta yaitu RSU

Tugurejo di Semarang, RS Kelet Donorejo di Jepara. Hal tersebut disebabkan penyakit

kusta tidak tersebar di semua daerah.

Tahun 1991 WHO mengeluarkan resolusi eliminasi kusta tahun 2000. Eliminasi

adalah menekan angka kusta sampai kusta tidak menjasi masalah kesehatan. Menurut

WHO, angka eliminasi kusta prevalensi <1/ 10.000 penduduk. Indonesia tahun 2000

Page 35: Profil Dinkes Jateng 2009

sudah capai eliminasi kusta (prev <1/10.000 penduduk dan CDR < 0,5/ 10.000

penduduk.

Provinsi Jawa Tengah tahun 2000 sudah capai eliminasi kusta. Tetapi kalau

dilihat per kab/ kota masih ada yang endemis. Ada 8 kabupaten/ kota hight endemis

kusta yang berada di pantai utara Jawa (pantura) Kabupaten Blora, Rembang, Kudus,

Pekalongan, Pemalang, Tegal, Kota Pekalongan, dengan prevalensi >1/ 10.000

penduduk dan angka penemuan penderita baru tiap tahun >5/ 100.000 penduduk. Ada

6 kabupaten/ kota termasuk sustained endemis kusta yang juga ada di sekitar pantura,

kabupaten Pati, Grobogan, Demak, Jepara, Batang dan kota Tegal dimana prevalensi

penderita kusta < 1/ 10.000 penduduk tetapi angka penemuan penderita baru tiap tahun

>5/ 100.000 penduduk. Penemuan penderita kusta baru di Jawa Tengah tiap tahun

sekitar 1500 samapai dengan 1700 kasus, 80% berasal dari 9 kabupaten/ kota hihg

endemis dan 5 sustained endemic.

Setelah dicermati data penderita kusta dari tahun ke tahun tidak menunjukkan

penurunan yang bermakna.

- Penderita baru ditemukan (CDR) sekitar 1.500 per tahun

- Penderita anak 9%

- Penderita cacat tk.2 mencapai 11% (200 orang) Gambar 3.18

Kab/Kota dengan kasus kusta tinggi

Di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

Page 36: Profil Dinkes Jateng 2009

Cakupan program kusta diukur berdasarkan angka penderita kusta type PB dan

MB selesai berobat. Cakupan program kusta type MB tahun 2009 berdasarkan jumlah

penderita baru tahun 2007 yang selesai berobat sampai dengan tahun 2009 hanya 87%

lebih rendah dari target 95%. Sedangkan kusta type PB diambil dari data penderita baru

tahun 2008 yang selesai berobat ada 85% lebih rendah dari target 90%. Cakupan

selama 3 tahun terakhir kusta type PB cenderung menurun, sedangkan type MB

cenderung naik sedikit. Cakupan kusta tidak bisa tercapai dikarenakan masih banyak

penderita yang tidak berobat teratur atau penderita yang seharusnya sudah selesai

berobat (Release From Treatment/ RFT) tetapi belum dicatat sudah RFT. Rendahnya

cakupan penderita kusta yang RFT juga dikarenakan adanya ketentuan baru

pengobatan untuk penderita default. Penderita PB tidak minum obat lebih dari 3 bulan

dalam jangka waktu 9 bulan sudah dianggap default. Ketentuan lama penderita disebut

default kalau 3 bulan berturut-turut tidak minum obat. Penderita MB tidak minum obat

lebih dari 6 bulan dalam jangka wakti 18 bulan sudah disebut default. Ketentuan lama

penderita MB berturut-turut 6 bulan tidak berobat baru dikatakan default.

Gambar 3.19

Peta Endemisitas Kusta di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2009

Page 37: Profil Dinkes Jateng 2009

13. Kasus Penyakit Filariasis Ditangani

Jumlah kasus Filariasis di Provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun semakin

bertambah. Secara kumulatif, jumlah kasus Filariasis pada tahun 2009 sebanyak 356

penderita. Untuk tahun 2009 kabupaten/kota yang melaporkan adanya penderita

sebanyak 24 kabupaten/kota. Pada tahun 2009 terdapat 2 (dua) kabupaten/kota yang

endemis Filariasis yaitu : Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan.

Gambar 3.20

Penemuan Penderita Filariasis

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

Kasus Filariasis yang ditangani di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009

adalah 100%. Ini berarti sudah mencapai target SPM 2010 sebesar ≥ 90%.

Sebagaimana tahun 2008, penanganan kasus Filariasis pada tahun - tahun

sebelumnya juga sudah mencapaii 100% atau semua kasus yang ada mendapatkan

penanganan sesuai standar. Sebanyak 10 kabupaten/kota tidak ditemukan kasus

Filariasis yaitu : Kabupaten Magelang, Boyolali, Sragen, Sukoharjo, Wonogiri,

Grobogan, Rembang, Jepara, Kota Magelang, Kota Surakarta dan Kota Semarang.

14. Jumlah Kasus dan Angka Kesakitan Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)

Yang termasuk dalam PD3I yaitu Polio, Campak, Difteri, dan Tetanus

Neonatorum. Dalam upaya untuk membebaskan Indonesia dari penyakit tersebut,

diperlukan komitmen global untuk menekan turunnya angka kesakitan dan kematian

yang lebih banyak dikenal dengan Eradikasi Polio (ERAPO), Reduksi Campak

(Redcam) dan Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN).

Page 38: Profil Dinkes Jateng 2009

Saat ini telah dilaksanakan Program Surveilans Integrasi PD3I, yaitu

pengamatan penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (Difteri, Tetanus

Neonatorum, dan Campak). Dalam waktu 5 tahun terakhir jumlah kasus PD3I yang

dilaporkan adalah sebagi berikut:

a. Difteri

Jumlah kasus Difteri di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebanyak 30

kasus yang tersebar di 9 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten

Banjarnegara, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten

Grobogan, Kabupaten Semarang, Kabupaten Brebes, Kota Semarang dan Kota

Surakarta. Sedangkan 26 kabupaten/kota yang lain tidak ada kasus.

Jumlah kasus Difteri pada tahun 2009 ini lebih banyak bila dibandingkan

dengan tahun 2008 tetapi lebih sedikit bila dibandingkan dengan tahun tahun

sebelumnya. Hal ini dimungkinkan karena pencapaian cakupan imunisasi yang

meningkat (> 85%). Penemuan kasus selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada

gambar berikut.

Gambar 3.21

Penemuan Kasus Difteri di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2005 - 2009

Page 39: Profil Dinkes Jateng 2009

b. Tetanus Neonatorum

Jumlah kasus Tetanus Neonatorum di Provinsi Jawa Tengah pada tahun

2009 sebanyak 15 kasus yang tersebar di 7 kabupaten/kota yaitu Kabupaten

Banyumas, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang,

Kabupaten Kudus, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes. Sedangkan 28

kabupaten/kota lainnya tidak ada kasus.

Kasus tertinggi adalah di Kabupaten Rembang sebanyak 5 kasus dan

Kabupaten Brebes sebanyak 4 kasus, sedangkan 5 kabupaten lainnya masing-

masing

Page 40: Profil Dinkes Jateng 2009

1 - 2 kasus. Penemuan kasus Tetanus Neonatorum selama lima tahun

terakhir dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 3.22

Penemuan Kasus Tetanus Neonatorum di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2005 -

2009

c. Campak

Jumlah kasus Campak di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebanyak 3.614

kasus. Kasus terbanyak terdapat di Kabupaten Banjarnegara sebesar 659 kasus.

Ada 4 Kabupaten yang tidak terdapat kasus yaitu Kab. Sragen, Kabupaten Kudus,

Kabupaten Demak, dan Kota Pekalongan.

Jumlah kasus Campak tahun 2009 ini mengalami kenaikan yang

signifikan bila dibandingkan dengan tahun 2008. Hal ini dimungkinkan karena

pencapaian cakupan imunisasi yang menurun dari 99,18% menjadi 96,595.

Penemuan kasus campak selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada gambar

berikut.

Page 41: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 3.23

Kasus Campak Yang Dilaporkan di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2005 -

2009

Page 42: Profil Dinkes Jateng 2009

15. Penyakit Tidak Menular

Penyakit tidak menular (PTM) yang diintervensi meliputi jantung koroner,

dekompensasio kordis, hipertensi, stroke, diabetes mellitus, kanker serviks, kanker

payudara, kanker hati, kanker paru, penyakit paru obstruktif kronis, asma bronkiale, dan

kecelakaan lalu lintas. Penyakit tidak menular seperti penyakit kardiovaskular, stroke,

diabetes mellitus, penyakit paru obstruktif kronis dan kanker tertentu, dalam kesehatan

masyarakat sebenarnya dapat digolongkan sebagai satu kelompok PTM utama yang

mempunyai faktor risiko sama (common underlying risk factor). Faktor risiko tersebut

antara lain faktor genetik merupakan faktor yang tidak dapat diubah (unchanged risk

factor), dan sebagian besar berkaitan dengan faktor risiko yang dapat diubah (change

risk factor) antara lain konsumsi rokok, pola makan yang tidak seimbang, makanan

yang mengandung zat aditif, kurang berolah raga dan adanya kondisi lingkungan yang

tidak kondusif terhadap kesehatan.

Penyakit tidak menular mempunyai dampak negatif sangat besar karena

merupakan penyakit kronis. Apabila seseorang menderita penyakit tidak menular,

berbagai tingkatan produktivitas menjadi terganggu. Penderita ini menjadi serba

terbatas aktivitasnya, karena menyesuaikan diri dengan jenis dan gradasi dari penyakit

tidak menular yang dideritanya. Hal ini berlangsung dalam waktu yang relatif lama dan

tidak diketahui kapan sembuhnya karena memang secara medis penyakit tidak menular

tidak bisa disembuhkan tetapi hanya bisa dikendalikan. Yang harus mendapatkan

perhatian lebih adalah bahwa penyakit tidak menular merupakan penyebab kematian

tertinggi dibanding dengan penyakit menular.

a. Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah

Penyakit jantung dan pembuluh darah adalah penyakit yang mengganggu

jantung dan sistem pembuluh darah seperti penyakit jantung koroner (angina

pektoris, akut miokard infark), dekompensasio kordis, hipertensi, stroke, penyakit

jantung rematik, dan lain-lain. Penyakit Tidak Menular di Jawa Tengah Tahun 2009

hanya sebesar 91 % karena masih ada 3 Kab/kota yang belum ada datanya. Ada

penurunan kasus yang cukup tajam pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2008

sebesar 640.195 kasus atau sebesar 29,45 %. Hampir semua kelompok Penyakit

Tidak Menular mengalami penurunan jumlah kasus, kecuali kasus penyakit psikosis

yang justru mengalami peningkatan sebesar 137 % dari tahun 2008. Artinya jumlah

kasus Psikosis pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebanyak 1,37 kali

dibanding tahun 2008. Kasus tertinggi Penyakit Tidak Menular pada tahun 2009

Page 43: Profil Dinkes Jateng 2009

adalah kelompok penyakit jantung dan pembuluh darah. Ada sebanyak 833.094

kasus penyakit jantung dan pembuluh darah (54,33 %). Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada grafik berikut ini.

Gambar 3.24

Kasus Penyakit Tidak Menular di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2009

Adapun kasus tertinggi Penyakit Tidak Menular Tahun 2009 pada kelompok

penyakit jantung dan pembuluh darah adalah penyakit Hipertensi Esensial,

yaitu sebanyak 698.816 kasus (83,88 %). Adapun jumlah kasus tertinggi ada di

Kabupaten Klaten sebanyak 56.404 kasus (8,07 %). Disamping itu, penyakit

Hipertensi Essensial dalam 3 tahun terakhir ini menunjukkan adanya peningkatan

kasus yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Gambar 3.25

Tren Peningkatan Kasus Hipertensi Essensial di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2007 -

Page 44: Profil Dinkes Jateng 2009

1) Hipertensi

Hipertensi atau sering disebut dengan darah tinggi adalah suatu keadaan

di mana terjadi peningkatan tekanan darah yang memberi gejalaberlanjut pada

suatu target organ tubuh sehingga timbul kerusakan lebih berat seperti stroke

(terjadi pada otak dan berdampak pada kematian yang tinggi), penyakit jantung

koroner (terjadi pada kerusakan pembuluh darah jantung) serta penyempitan

ventrikel kiri / bilik kiri (terjadi pada otot jantung).

Hipertensi merupakan penyakit yang sering dijumpai diantara penyakit

tidak menular lainnya. Hipertensi dibedakan menjadi hipertensi primer yaitu

hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder yaitu

hipertensi yang muncul akibat adanya penyakit lain seperti hipertensi ginjal,

hipertensi kehamilan, dll.

Prevalensi kasus hipertensi essensial di Provinsi Jawa Tengah tahun

2009 sebesar 2,13% menurun bila dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar

2,65%. Terdapat dua kabupaten/kota dengan prevalensi sangat tinggi di atas

10% yaitu Kota Magelang sebesar 14,08% dan Kota Tegal sebesar 10,38%.

Gambar 3.26

Prevalensi Kasus Hipertensi Essensial

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 - 2009

Page 45: Profil Dinkes Jateng 2009

2) Stroke

Stroke adalah suatu penyakit menurunnya fungsi syaraf secara akut

yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak, terjadi secara mendadak

dan cepat yang menimbulkan gejala dan tanda sesuai dengan daerah otak yang

terganggu. Stroke disebabkan oleh kurangnya aliran darah yang mengalir ke

otak, atau terkadang menyebabkan pendarahan di otak.

Stroke dibedakan menjadi stroke hemoragik yaitu adanya perdarahan

otak karena pembuluh darah yang pecah dan stroke non hemoragik yaitu lebih

karena adanya sumbatan pada pembuluh darah otak. Prevalensi stroke

hemoragik di Jawa Tengah tahun 2009 adalah 0,05% lebih tinggi dibandingkan

dengan angka tahun 2008 sebesar 0.03. Prevalensi tertinggi tahun 2009 adalah

di Kab. Kebumen sebesar 0,29%. Sedang prevalensi stroke non hemorargik

pada tahun 2009 sebesar 0,09%, mengalami penurunan bila dibandingkan

prevalensii tahun 2008 sebesar 0,11%. Prevalensi tertinggi adalah di Kota

Surakarta sebesar 0,75%.

Gambar 3.27

Prevalensi Penyakit Stroke Hemoragik & Non Hemoragik

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009

3) Dekompensasio Kordis

Dekompensasio kordis merupakan kegagalan jantung dalam memompa

darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau istilah lain adalah payah

jantung. Gambaran klinis dekompensasio kordis kiri adalah sesak

Page 46: Profil Dinkes Jateng 2009

nafas: dyspnoe d’effort dan ortopne, pernafasan cheynes stokes, batuk-batuk

mungkin hemoptu, sianosis, suara serak, ronchi basah halus tidak nyaring,

tekanan vena jugularis masih normal. Sedangkan gambaran klinis

dekompensasio kordis kanan adalah gangguan gantrointestinal seperti

anoreksia, mual, muntah, meteorismus dan rasa kembung di epigastrum. Selain

itu terjadi pembesaran hati yang mula-mula lunak, tepi tajam, nyeri tekan, lama

kelamaan menjadi keras, tumpul dan tidak nyeri. Dapat juga terjadi edema

pretibial, edema presakral, asites dan hidrotoraks, tekanan jugularis meningkat.

Prevalensi kasus dekompensasio kordis tahun 2009 sebesar 0,14%

artinya dari 10.000 orang terdapat 14 orang yang menderita penyakit ini,

mengalami penurunan bila dibandingkan prevalensi tahun 2008 sebesar 0,18%.

Prevalensi tertinggi adalah di Kota Magelang sebesar 1,10%.

Gambar 3.28

Prevalensi Dekompensasio Kordis

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

b. Diabetes Melitus

Diabetes Mellitus (DM) atau kencing manis adalah suatu kumpulan gejala

yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar gula dalam darah

akibat kekurangan insulin, baik absolut maupun relatif. Absolut artinya pankreas

sama sekali tidak bisa menghasilkan insulin sehingga harus mendapatkan insulin

dari luar (melalui suntikan) dan relatif artinya pankreas masih bisa menghasilkan

insulin yang kadarnya berbeda pada setiap orang. (Perkeni 2002)

Page 47: Profil Dinkes Jateng 2009

WHO (1985) mengklasifikasikan penderita DM dalam lima golongan klinis,

yaitu DM tergantung insulin (DMTI), DM tidak tergantung insulin (DMTTI), DM

berkaitan dengan malnutrisi (MRDM), DM karena toleransi glukosa terganggu (IGT),

dan DM karena kehamilan (GDM). Di Indonesia, yang terbanyak adalah DM tidak

tergantung insulin. DM jenis ini baru muncul pada usia di atas 40 tahun. DM dapat

menjadi penyebab aneka penyakit seperti hipertensi, stroke, jantung koroner, gagal

ginjal, katarak, glaukoma, kerusakan retina mata yang dapat membuat buta,

impotensi, gangguan fungsi hati, luka yang lama sembuh mengakibatkan infeksi

hingga akhirnya harus diamputasi terutama pada kaki.

DM merupakan penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat

dikendalikan, artinya sekali didiagnosa DM seumur hidup bergaul dengannya.

Penderita mampu hidup sehat bersama DM, asalkan mau patuh dan kontrol

teratur. Gejala khas berupa Polyuri (sering kencing), Polydipsi(sering

haus), Polyfagi (sering lapar). Sedangkan gejala lain seperti Lelah/lemah, berat

badan menurun drastis, kesemutan/gringgingan, gatal/bisul, mata kabur, impotensi

pada pria, pruritis vulva hingga keputihan pada wanita, luka tdk sembuh-sembuh,

dll. Kelompok Faktor Risiko Tinggi antara lain pola makan yang tidak seimbang,

riwayat Keluarga/ada keturunan, kurang olah raga, umur Lebih dari 40th, obesitas,

hipertensi, kehamilan dengan berat bayi lahir > 4 kg, kehamilan dengan

hiperglikemi, gangguan toleransi glukosa, lemak dalam darah tinggi, abortus,

keracunan kehamilan, bayi lahir mati, berat badan turun drastis, mata kabur,

keputihan, gatal daerah genital, dan lain-lain.

Prevalensi diabetes mellitus tergantung insulin (DM TI) di Provinsi Jawa

Tengah pada tahun 2009 sebesar 0,19%, mengalami peningkatan bila dibandingkan

prevalensi tahun 2008 sebesar 0,16%. Prevalensi tertinggi adalah di Kota

Semarang sebesar 1,15%. Sedang prevalensi kasus DM tidak tergantung insulin

lebih dikenal dengan DM tipe II, mengalami penurunan dari 1,25% menjadi 0,62%

pada tahun 2009. Prevalensi tertinggi adalah di Kota Surakarta sebesar 5,11%.

Page 48: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 3.29

Prevalensi Penyakit Diabetes Mellitus

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009

c. Neoplasma

Neoplasma atau kanker adalah tumor ganas yang ditandai

dengan pertumbuhan dan perkembangan abnormal dari sel-sel tubuh, yang tumbuh

tanpa kontrol dan tujuan yang jelas, mendesak dan merusak jaringan normal. Di

Indonesia terdapat lima jenis kanker yang banyak diderita penduduk yakni kanker

rahim, kanker payudara, kanker kelenjar getah bening, kanker kulit, dan kanker

rektum.

Kasus penyakit kanker yang ditemukan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun

2009 sebesar 24.204 kasus lebih sedikit dibandingkan dengan tahun 2008

sebanyak 27.125 kasus, terdiri dari Ca. servik 9.113 kasus (37,65%), Ca. mamae

12.281 kasus (50,74%), Ca. hepar 2.026 (8,37%), dan Ca. paru 784 kasus (3,24%).

Prevalensi kanker di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah

sebagaii berikut : kanker serviks sebesar 0,028% dan tertinggi di Kota Semarang

sebesar 0,382%; kanker payudara sebesar 0,037% dan tertinggi di Kota Surakarta

sebesar 0,637%; kanker hati sebesar 0,006% dan tertinggi di Kota Surakarta

sebesar 0,034%; kanker paru 0,002% dan tertinggi di Kota Surakarta sebesar

0,027%.

Page 49: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 3.30

Prevalensi Penyakit Kanker

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

d. Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Penyakit Paru Obtruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai

adanya hambatan aliran pernafasan bersifat reversible sebagian dan progresif yang

berhubungan dengan respon inflamsi abnormal dari paru terhadap paparan partikel

atau gas berbahaya. (Global Obstructive Lung Disease 2003).Faktor risiko pencetus

terjadinya PPOK adalah perokok aktif/pasif, debu dan bahan kimia, polusi udara di

dalam atau di luar ruangan, infeksi saluran nafas terutama waktu anak-anak, usia,

genetik, jenis kelamin, ras, defisiensi alpha-1 antitripsin, alergi dan autoimunitas.

Prevalensi kasus PPOK di Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan

yaitu dari 0,20% pada tahun 2008 menjadi 0.12% pada tahun 2009 dan tertinggi di

Kota Tegal sebesar 0,83%.

Page 50: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 3.31

Prevalensi PPOK Di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2005 - 2009

e. Asma Bronkial

Asma Bronkial terjadi akibat penyempitan jalan napas yang reversibel dalam

waktu singkat oleh karena mukus kental, spasme, dan edema mukosa serta

deskuamasi epitel bronkus / bronkeolus, akibat inflamasi eosinofilik dengan

kepekaan yang berlebihan. Serangan asma bronkhiale sering dicetuskan oleh ISPA,

merokok, tekanan emosi, aktivitas fisik, dan rangsangan yang bersifat

antigen/allergen antara lain :

- Inhalan yang masuk ketubuh melalui alat pernafasan misalnya debu rumah,

serpih kulit dari binatang piaraan, spora jamur dll.

- Ingestan yang masuk badan melalui mulut biasanya berupa makanan seperti

susu, telur, ikan-ikanan, obat-obatan dll.

- Kontaktan yang masuk badan melalui kontak kulit seperti obat-obatan dalam

bentuk salep, berbagai logam dalam bentuk perhiasan, jam tangan dll.

Prevalensi kasus asma di Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar

0.66% mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar

1,07% dan prevalensi tertinggi di Kota Surakarta sebesar 2,42%.

Page 51: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 3.32

Prevalensi Asma Bronkial

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009 C. ANGKA STATUS GIZI MASYARAKAT

1. Persentase Kunjungan Neonatus

Kunjungan neonatus (KN) adalah kunjungan yang dilakukan oleh petugas

kesehatan ke rumah ibu bersalin, untuk memantau dan memberi pelayanan

kesehatan untuk ibu dan bayinya. Pada Permenkes 741/ th. 2008, Standar

Pelayanan Minimal (SPM), KN dibagi menjadi 3, yaitu KN 1 adalah kunjungan

pada 0-2 hari ,KN 2 adalah kunjungan 2-7 hari dan KN 3 adalah kunjungan setelah

7- 28 hari. Cakupan kunjungan neonatus di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009

sebesar 99,37%, terjadi kenaikan bila dibandingkan tahun 2008 sebesar 94,66. Dari

35 kabupaten/ kota di Jawa Tengah, rata-rata KN-1 sudah lebih dari 90 %, bahkan

beberapa Kabupaten/Kota ada yang mencapai 100%. Adapun KN-1 Jawa Tengah

tahun 2009 yang masih kurang dari 90 % adalah Kab Tegal (83,69).

Untuk meningkatkan Kunjungan Neonatus di Kabupaten/Kota, pemerintah

telah mengupayakan alokasi dana diantaranya melalui dana Bantuan Operasional

Kesehatan (BOK) disamping pendanaan lainnya baik dari Provinsi maupun

Kabupaten/Kota. Selain itu perlu dilakukan analisis apakah jumlah tenaga

kesehatan yang ada telah mencukupi kebutuhan pelayanan kesehatan tersebut

serta tenaga kesehatan yang bertugas apakah telah melakukan pelayanan

kesehatan secara optimal.

Page 52: Profil Dinkes Jateng 2009

Untuk lebih jelasnya kunjungan neonatal di Jawa Tengah pada tahun 2009

adalah sebagai berikut :

Gambar 3.33

Cakupan Kunjungan Neonatus

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

Secara keseluruhan di tingkat Provinsi Jawa Tengah cakupan kunjungan

neonatus sudah memenuhi target yaitu lebih dari 90%, . Hal ini dimungkinkan

adanya upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat

melalui bidan, bertambahnya tenaga bidan desa dan penempatan bidan di desa.

Selain itu juga upaya peningkatan pelayanan tenaga kesehatan melalui pelatihan

Manajemen Terpadu bayi Muda ( MTBM) dan penyuluhan perawatan neonatus di

rumah dengan menggunakan buku KIA dan meningkatnya pengetahuan ibu untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan untuk bayinya.

2. Persentase Kunjungan Bayi

Kunjungan bayi adalah bayi yang memperoleh pelayanan kesehatan sesuai

dengan standar oleh tenaga kesehatan, paling sedikit 4 kali, di luar kunjungan

neonatus. Setelah umur 28 hari. Setiap bayi berhak mendapatkan pelayanan

kesehatan dengan memantau pertumbuhan dan perkembangannya secara teratur

setiap bulan di sarana pelayanan kesehatan. Cakupan kunjungan bayi tingkat

Page 53: Profil Dinkes Jateng 2009

Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 95,12%, menurun bila

dibandingkan tahun 2008 sebesar 96,44%.

Bila merujuk pada target cakupan kunjungan bayi tahun 2009 dalam Renstra

Dinas Kesehatan provinsi Jawa Tengah, yaitu minimal 50%, maka cakupan

kunjungan bayi tahun 2009 telah tercapai. Artinya Kabupaten/Kota dengan cakupan

kunjungan bayi mencapai 90% sudah lebih dari 50%. Namun demikian upaya

peningkatan secara kuantitas dan kualitas terus dilakukan mengingat sistem

pencatatan dan pelaporan di setiap jenjang masih perlu ditingkatkan.

Cakupan kunjungan bayi Kabupaten/Kota di Jawa Tengah pada tahun 2009

yang cakupannya masih dibawah 90 % yaitu Kabupaten Batang (24,10%),

Kabupaten Sragen (83,27%),Kabupaten Pemalang (84,12%) dan Kabupaten

Cilacap (86,21%). Sedangkan Kabupaten/Kota yang telah mencapai 100% yaitu

KabupatenKota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kabupaten

Pekalongan, Kab. Banjarnegara, Kab. Banyumas, dan Kabupaten Sukoharjo.

Cakupan kunjungan bayi di Jawa Tengah dari tahun 2005 sampai tahun

2009 dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Gambar 3.34

Cakupan Kunjungan Bayi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

Perlu diwaspadai, mengingat cakupan Kunjungan Bayi tahun 2009 menurun

dibandingkan tahun 2008. Selain itu perlu dilakukan kajian apakah kunjungan bayi

sudah memenuhi kualitas kunjungan yang baik, yaitu sudah memberikan pelayanan

kesehatan bagi bayi, pemantauan pertumbuhan dengan penimbangan dan

Page 54: Profil Dinkes Jateng 2009

pengukuran tinggi badan untuk mengetahui status gizi bayi, pemantauan

perkembangan melalui Stimulasi, Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang

(SDIDTK) serta pemberian imunisasi dasar lengkap .

3. Persentase BBLR Ditangani

Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi yang lahir dengan berat badan

kurang dari 2500 gram. Penyebab terjadinya BBLR antara lain karena ibu hamil

mengalami anemia, kurang suply gizi waktu dalam kandungan, ataupun lahir kurang

bulan. Bayi yang lahir dengan berat badan rendah perlu penanganan yang serius,

karena pada kondisi tersebut bayi mudah sekali mengalami hipotermi dan belum

sempurnanya pembentukan organ-organ tubuhnya yang biasanya akan menjadi

penyebab utama kematian bayi.

Jumlah bayi berat lahir rendah ( BBLR) di Jawa Tengah pada tahun 2009

sebanyak 16.303 meningkat bila dibandingan tahun 2008 sebesar 11.865. Adapun

persentase bayi dengan berat lahir rendah di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

sebesar 2,81% meningkat bila dibandingkan tahun 2008 sebesar 2.08,%. Bayi

dengan berat badan lahir rendah yang ditangani oleh tenaga kesehatan secara

keseluruhan di tingkat Provinsi Jawa Tengah, cakupannya tidak selalu mengalami

peningkatan. Tahun 2009 bayi BBLR yang ditangani sebesar 96,67% menurun bila

dibandingkan tahun 2008 sebesar 99,67 % meningkat bila dibandingkan tahun

2007 sebesar 92,77%. Kenaikan cakupan ini dimungkinkan karena penanganan

BBLR yang banyak ditangani oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan

kesehatan pemerintah, swasta dan penanganan lain. Kemungkinan peningkatan

lain juga karena mulai dikembangkan dan sosialisasi pelatihan mengenai

manajemen asfekia, dan manajemen BBLR, penerapan Manajemen Terpadu Bayi

Muda (MTBM) pada petugas kesehatan baik di tingkat kabupaten sampai ke

Puskesmas, yang salah satu metode di dalamnya adalah metode kanguru

(menghangatkan bayi dengan sentuhan kulit bayi dan ibu/ pengasuhnya secara

langsung ) diharapkan dapat mengurangi kematian bayi BBLR dan pengobatan

secara dini bagi bayi melalui MTBM dan MTBS.

Cakupan BBLR yang ditangani di Jawa Tengah tahun 2009 sudah

memenuhi target dalam Renstra Dinas Kesehatan provinsi Jawa Tengah sebesar

70 %. Namun apabila dilihat per Kabupaten/Kota, masih ada yang belum mencapai

target yaitu Kabupaten Banjarnegara (42,01%).

Page 55: Profil Dinkes Jateng 2009

4. Balita Dengan Gizi Buruk

Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini melalui intensifikasi

pemantauan tumbuh kembang Balita di Posyandu, dilanjutkan dengan penentuan

status gizi oleh bidan di desa atau petugas kesehatan lainnya. Penemuan kasus gizi

buruk harus segera ditindak lanjuti dengan rencana tindak yang jelas, sehingga

penanggulangan gizi buruk memberikan hasil yang optimal.

Pendataan gizi buruk di Jawa Tengah didasarkan pada 2 kategori yaitu

dengan indikator membandingkan berat badan dengan umur (BB/U) dan kategori

kedua adalah membandingkan berat badan dengan tinggi badan (BB/TB). Skrining

pertama dilakukan di posyandu dengan membandingkan berat badan dengan umur

melalui kegiatan penimbangan, jika ditemukan balita yang berada di bawah garis

merah (BGM) atau dua kali tidak naik (2T), maka dilakukan konfirmasi status gizi

dengan menggunakan indikator berat badan menurut tinggi badan. Jika ternyata

balita tersebut merupakan kasus buruk, maka segera dilakukan perawatan gizi

buruk sesuai pedoman di Posyandu dan Puskesmas. Jika ternyata terdapat

penyakit penyerta yang berat dan tidak dapat ditangani di Puskesmas maka segera

dirujuk ke rumah sakit.

Berdasarkan hasil penimbangan pada tahun 2009 jumlah gizi buruk dengan

indikator berat badan menurut tinggi badan sebanyak 4.908 balita (0,26%) lebih

rendah bila dibandingkan dengan tahun 2008 sebanyak 5.598 balita (0,28%), angka

ini masih lebih rendah dari target nasional sebesar 3%. Angka tertinggi di

Kab. Cilacap sebesar 3,56% dan terendah di Kabupaten Sragen 0,00%.

Page 56: Profil Dinkes Jateng 2009

5. Kecamatan Bebas Rawan Gizi

Hasil pemantauan kerawanan pangan dan gizi di wilayah kecamatan di Jawa

Tengah memberikan gambaran bahwa sebagian besar wilayah kecamatan di Jawa

Tengah sudah bebas dari rawan pangan dan gizi. Hanya beberapa daerah

Kabupaten yang masih mempunyai wilayah kecamatan yang masih rawan pangan

dan gizi. Dari 573 kecamatan di 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah pada tahun

2009 terdapat 534 diantaranya sudah bebas dari rawan pangan dan gizi hanya 39

kecamatan yang masih mengalami kerawanan pangan dan gizi.

Kecamatan tersebut berada pada 8 kabupaten yaitu 4 kecamatan di

Kabupaten Cilacap, 4 kecamatan di Kabupaten Banyumas, 2 kecamatan di

Kabupaten Purworejo, 4 kecamatan di Kabupaten Rembang, 9 kecamatan di

Kabupaten Demak, 11 kecamatan di kabupaten Temanggung, 2 kecamatan di

Kabupaten Batang, dan 1 kecamatan di Kota Semarang. Untuk dapat melihat lebih

jelas jumlah kecamatan rawan di 35 kabupaten/kota dapat dilihat tabel dibawah ini.

Gambar 3.35 Kecamatan Rawan Gizi

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

Page 57: Profil Dinkes Jateng 2009

BAB

4

SITUASI UPAYA KESEHATAN

A. PELAYANAN KESEHATAN DASAR

1. Pelayanan Kesehatan Ibu

a. Cakupan Kunjungan Ibu hamil

elayanan kesehatan ibu meliputi pelayanan kesehatan antenatal,

pertolongan persalinan dan pelayanan kesehatan nifas. Cakupan pelayanan

antenatal dapat dipantau melalui pelayanan kunjungan baru ibu hamil (K1) untuk

melihat akses dan pelayanan kesehatan ibu hamil sesuai standar paling sedikit

empat kali (K4) dengan distribusi pemberian pelayanan yang dianjurkan adalah

Page 58: Profil Dinkes Jateng 2009

minimal satu kali pada triwulan pertama, satu kali pada triwulan kedua dan dua kali

pada triwulan ketiga umur kehamilan.

Kunjungan ibu hamil sesuai standar adalah pelayanan yang mencakup

minimal : (1) Timbang badan dan ukur tinggi badan, (2) ukur tekanan darah, (3)

skrining status imunisasi tetanus (dan pemberian Tetanus Toxoid), (4) (ukur) tinggi

fundus uteri, (5) Pemberian tablet besi (90 tablet selama kehamilan), (6) temu

wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan konseling), (7) Test laboratorium

sederhana (Hb, protein urin) dan atau berdasarkan indikasi (HbsAG, Sifilis, HIV,

Malaria, TBC)

Cakupan pelayanan lengkap ibu hamil (K4) di Jawa Tengah pada tahun

2009 sebesar 93,39% dengan cakupan tertinggi Kota Surakarta (122,19%) dan

cakupan terendah Kabupaten Rembang (84,06%). Cakupan K4 tahun 2009

mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 (90,14%)

dan dibawah target SPM 2015 sebesar 95%. Dari 35 kabupaten/kota yang ada di

Jawa Tengah baru 10 kabupaten/ kota yang sudah melampaui target cakupan K4

yaitu

Kabupaten Banyumas (96,33%), Kabupaten Purbalingga (97,00%),

kabupaten Wonogiri (101,25%), Kabupaten Karanganyar (96,05%), Kabupaten Pati

(99,99%), Kabupaten Demak (97,72%), Kabupaten Batang (100,22%), kabupaten

Pekalongan (99,41%), Kota Magelang (97,09%) dan Kota Surakarta (122,19%).

Page 59: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 4.1

Cakupan Pelayanan Antenatal K4 di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2005 - 2009

b. Persalinan Yang Ditolong Oleh Tenaga Kesehatan

Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi

kebidanan adalah ibu bersalin yang mendapat pertolongan persalinan oleh tenaga

kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan. Cakupan pertolongan persalinan

oleh tenaga kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 93,03%,

mengalami kenaikan dibandingkan dengan pencapaian tahun 2008 sebesar

90,98%. Angka tersebut sudah melampaui target SPM 2015 sebesar 90%.

Gambar 4.2

Cakupan Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2009

Page 60: Profil Dinkes Jateng 2009

Cakupan tertinggi adalah di Kabupaten Grobogan (100,04%) dan terendah

adalah Kabupaten Tegal (73,90%). Dari 35 kabupaten/kota yang ada di Provinsi

Jawa Tengah, sebanyak 28 kabupaten/kota sudah melampaui target SPM 2010

(90%). Secara keseluruhan di Provinsi Jawa Tengah, cakupan pertolongan

persalinan oleh tenaga kesehatan mengalami kenaikan mulai dari tahun 2005

sebesar 81,36%, kemudian 86.09% pada tahun 2006, 86.60% pada tahun 2007,

90,98% pada tahun 2008 dan 93,03% pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan

adanya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan persalinan oleh

tenaga kesehatan, adanya perencanaan persalinan yang baik dari ibu, suami

maupun dukungan keluarga.

c. Pelayanan Ibu Nifas

Paska persalinan (masa nifas) berpeluang untuk terjadinya kematian ibu

maternal, sehingga perlu mendapatkan pelayanan kesehatan masa nifas dengan

dikunjungi oleh tenaga kesehatan minimal 3 (tiga) kali sejak persalinan. Pelayanan

Ibu Nifas meliputi pemberian Vitamin A dosis tinggi ibu nifas yang kedua dan

pemeriksaan kesehatan paska persalinan untuk mengetahui apakan terjadi

perdarahan paska persalinan, keluar cairan berbau dari jalan lahir, demam lebih dari

2 (dua) hari, payudara bengkak kemerahan disertai rasa sakit dan lain-lain.

Kunjungan terhadap ibu nifas yang dilakukan petugas kesehatan biasanya

bersamaan dengan kunjungan neonatus.

Cakupan pelayanan pada ibu nifas tahun 2009 yaitu 80,29% menurun bila

dibandingkan pencapaian cakupan tahun 2008 (92,94%) dan dibawah target SPM

tahun 2015 (90%). Cakupan tertinggi adalah Kabupaten Grobogan (102,79%) dan

Page 61: Profil Dinkes Jateng 2009

terendah Kabupaten Tegal (25,34%). Dari 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa

Tengah masih ada 18 kabupaten/kota yang belum mencapai target.

d. Ibu Hamil Mendapat Tablet Fe

Program penanggulangan anemia yang dilakukan adalah memberikan tablet

tambah darah yaitu preparat Fe yang bertujuan untuk menurunkan angka anemia

pada balita, ibu hamill, ibu nifas, remaja putri, dan WUS ( Wanita Usia Subur ). Hasil

survey anemi ibu hamil pada 15 kabupaten/kota pada tahun 2007 menunjukkan

bahwa prevalensi anemi di Jawa Tengah adalah 57,7%, angka ini masih lebih tinggi

dari angka nasional yakni 50,9%.

Penanggulangan anemi pada ibu hamil dilaksanakan dengan memberikan

90 tablet Fe kepada ibu hamil selama periode kehamilannya. Cakupan ibu hamil

mendapat 90 tablet Fe di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 85,62%,

lebih rendah bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2008 sebesar 87,06%

dan masih di bawah target SPM 2010 sebesar 90%. Cakupan tertinggi adalah di

Kabupaten Wonogiri (104,68%) dan yang terendah adalah di Kabupaten Kebumen

sebesar 7,37%.

Gambar 4.3

Persentase Pemberian Tablet Fe Pada Ibu Hamil

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

Page 62: Profil Dinkes Jateng 2009

Dari grafik di atas dapat diihat bahwa cakupan Fe 1 sudah cukup baik,

namun cakupan Fe 3 masih belum memadai. Masih ada sekitar 6,97% ibu hamil

tidak meneruskan konsumsi Fe sampai pada Fe 3. Hal ini amat mungkin berkaitan

dengan masih tingginya prevalensi anemi pada ibu hamil.

2. Pelayanan Kesehatan Anak Pra Sekolah dan Usia Sekolah

a. Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak Balita dan Prasekolah

Deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah yang

dimaksudkan adalah anak umur 1 - 6 tahun yang dideteksi dini pertumbuhan

dan perkembangannya sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan dan dideteksi

sesuai jadwalnya. Standart Pelayanan Minimal (SPM) menargetkan paling sedikit 2

kali per tahun balita dan pra sekolah mendapatkan pemantauan perkembangan

setiap tahunnya. Upaya pemantauan perkembangan kesehatan anak diarahkan

untuk meningkatkan kesehatan fisik, mental, dan sosial anak dengan perhatian

khusus pada kelompok balita yang merupakan masa krisis atau periode emas

tumbuh kembang anak.

Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah tingkat

Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 50,29%, meningkat bila

dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 44,76%. Ada 3 kabupaten yang

mempunyai cakupan tertinggi (100%) yaitu Kabupaten Wonogiri, Sukoharjo dan

kabupaten Pati. Sementara masih ada 4 kabupaten yang tidak tersedia datanya

yaitu Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Magelang, Kabupaten Blora dan

Kabupaten Kendal. Cakupan tersebut ini masih jauh dibawah target SPM 2010

sebesar 95%.

Gambar 4.4

Cakupan Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak Balita dan Pra Sekolah

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

Page 63: Profil Dinkes Jateng 2009

Upaya peningkatan ketrampilan petugas kesehatan dalam upaya Stimulasi

Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang anak (SDIDTK) telah dilakukan

dengan pelatihan standarisasi SDIDTK di semua kabupaten/kota baik di tingkat

Provinsi maupun tingkat Kabupaten. Untuk pengembangan program SDIDTK maka

ketrampilan bisa diperoleh tidak hanya melalui pelatihan formal tetapi juga bisa on the

job training baik di puskesmas maupun di Rumah Sakit.

Kementerian yang bertanggung jawab langsung terhadap program

pengembangan anak usia dini yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian

Pendidikan, Departemen Agama, Kementerian Sosial dan BKKBN telah mendukung

pengembangan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak balita dan pra

sekolah melalui integrasi kegiatan posyandu, PAUD dan BKB. Diharapkan melalui

integrasi tersebut, semua balita dan anak pra sekolah akan mendapatkan stimulasi,

Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang yang akan mamacu pertumbuhan

dan perkembangannya secara optimal sesuai tahap perkembangannya.

Untuk implementasi pelaksanaan SDIDTK di lapangan maka Pemerintah

bersama semua unsur terkait baik swasta, organisasi profesi, LSM dan masyarakat

perlu mendukung baik sarana prasarana, pendanaan dan sumber daya

manusianya.

b. Cakupan Penjaringan Kesehatan Siswa SD dan setingkat

Penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat adalah pemeriksaan

kesehatan terhadap murid baru kelas 1 SD dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang

meliputi pengukuran tinggi badan, berat badan, pemeriksaan ketajaman mata,

ketajaman pendengaran, kesehatan gigi, kelainan mental emosional dan kebugaran

Page 64: Profil Dinkes Jateng 2009

jasmani. Pelaksanaan penjaringan kesehatan ini dikoordinir oleh puskesmas

bersama dengan guru sekolah dan kader kesehatan/konselor kesehatan. Setiap

puskesmas mempunyai tugas melakukan penjaringan kesehatan siswa SD?MI di

wilayah kerjanya dan dilakukan satu kali pada setiap awal tahun ajaran baru

sekolah.

Untuk siswa SD dan setingkat ditargetkan 100 % mendapatkan pemantauan

kesehatan melalui penjaringan kesehatan. Dengan melakukan penjaringan

kesehatan siswa SD dan setingkat diharapkan dapat menapis / menjaring anak

yang sakit dan melakukan tindakan intervensi secara dini sehingga anak yang sakit

menjadi sembuh dan anak yang sehat tidak tertular menjadi sakit.

Gambar 4.5

Cakupan Pemeriksaan Kesehatan Siswa SD/MI

Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 - 2009

Cakupan penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh tenaga

kesehatan/guru UKS/kader kesehatan sekolah pada tahun 2009 sebesar 43,80%,

sedikit meningkat dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 43,77%. Nilai

cakupan terendah di Kabupaten Purworejo sebesar 5,13% dan tertinggi (100%)

dicapai oleh 4 kabupaten yaitu Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Sukoharjo,

Kabupaten Pati dan Kabupaten Tegal. Selain itu ada 3 kabupaten yang tidak masuk

datanya yaitu Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Blora.

c. Pelayanan Kesehatan Remaja

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

dewasa dan terjadi perubahan fisik yang cepat menyamai orang dewasa, tetapi

Page 65: Profil Dinkes Jateng 2009

emosinya belum dapat mengikuti perkembangan jasmaninya, hal ini sering

menimbulkan gejolak sehingga masa ini perlu mendapat perhatian. Salah satunya

adalah pendidikan dan perhatian agar anak berperilaku hidup sehat, baik secara

fisik maupun mental.

Pemeriksaan kesehatan remaja adalah pemeriksaan kesehatan siswa kelas

1 SLTP dan setingkat, kelas 1 SMU dan setingkat melalui penjaringan kesehatan

terhadap murid kelas 1 SLTP dan Madrasah Tsanawiyah, kelas 1 SMU/SMK dan

Madrasah Aliyah yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bersama dengan guru

UKS terlatih dan kader kesehatan remaja secara berjenjang. Cakupan pemeriksaan

kesehatan siswa Remaja oleh tenaga kesehatan/Guru UKS/kader kesehatan remaja

di Provinsi JawaTengah tahun 2009 sebesar 29,21%, menurun dibandingkan

cakupan tahun 2008 yang sebesar 35,47%.

Cakupan terendah adalah di Kabupaten Kebumen (5,08%) dan tertinggi

(100%) adalah di Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten

Batang. Sementara itu ada 8 kabupaten/kota yang tidak ada datanya yaitu

Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten, Kabupaten Blora,

Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara dan Kota Tegal.

Gambar 4.6

Cakupan Pemeriksaan Kesehatan Remaja

di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 - 2009

3. Pelayanan Keluarga Berencana

a. Peserta KB Baru

Peserta KB Baru adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang baru pertaman

kali menggunakan salah satu cara/alat dan/atau PUS yang menggunakan kembali

salah satu cara/alat kontrasepsi setelah mereka berakhir masa kehamilannya.

Page 66: Profil Dinkes Jateng 2009

Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

sebanyak 6.483.189 meningkat sebanyak 125.353 dibanding tahun 2008. Jumlah

peserta KB baru pada tahun 2009 sebanyak 870.891 atau 13,43% dari jumlah PUS

yang ada. Peserta KB baru tersebut menggunakan kontrasepsi sebagai berikut :

- MKJP : IUD (3,73%), MOP/MOW (2,22%) dan Implant (10,61%)

- NON MKJP : Suntik (60,91%), PIL (17,31%) dan Kondom (5,23%)

Gambar 4.7

Persentase Pemakaian Kontrasepsi Peserta KB Baru

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar peserta KB baru

mempergunakan kontrasepsi NON MKJP (83,44%). Peserta KB baru tersebut

membutuhkan pembinaan secara rutin dan berkelanjutan untuk menjaga

kelangsungan pemakaian kontrasepsi.

b. Peserta KB Aktif

Peserta KB aktif adalah akseptor yang pada saat ini memakai kontrasepsi

untuk menjarangkan kehamilan atau mengakhiri kesuburan. Cakupan peserta KB

aktif adalah perbandingan antara jumlah peserta KB aktif dengan Pasangan Usia

Subur si satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Cakupan peserta KB aktif

menunjukkan tingkat pemanfaatan kontrasepsi di antara Pasangan Usia Subur.

Page 67: Profil Dinkes Jateng 2009

Cakupan peserta KB aktif di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar

78,37%, mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan pencapaian tahun

2008 sebesar 78,09%. Angka ini masih di bawah target tahun 2010 sebesar 80%.

Cakupan tertinggi adalah di Kabupaten Semarangsebesar 83,60% dan terendah

adalah di Kota Tegal sebesar 71,46%. Sebanyak 10 kabupaten/kota telah

melampaui target tahun 2010 yaitu Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo,

Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten

Rembang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten

Pekalongan, dan Kabupaten Brebes.

Gambar 4.8

Cakupan Peserta KB Aktif di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2005 - 2009

Adapun jenis kontrasepsi yang digunakan para peserta KB aktif adalah

sebagai berikut :

- MKJP : IUD (8,77%), MOP/MOW (7,02%) dan Implant (9,61%)

- NON MKJP : Suntik (55,80%), PIL (17,09%) dan Kondom (1,71%)

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar peserta KB baru

mempergunakan kontrasepsi NON MKJP (74,60%).

Gambar 4.9

Persentase Pemakaian Kontrasepsi Peserta KB Aktif

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

Page 68: Profil Dinkes Jateng 2009

Peserta KB hormonal tersebut membutuhkan pembinaan yang berkelanjutan

untuk menjaga kelangsungan pemakaian kontrasepsi. Secara khusus, proporsi

pemakai kontrasepsi suntikan sangat besar yaitu 55,80%, hal tersebut dapat

difahami karena akses untuk memperoleh pelayanan suntikan relatif lebih mudah,

sebagai akibat tersedianya jaringan pelayanan sampai di tingkat desa/kelurahan

sehingga dekat dengan tempat tinggal peserta KB.

Sementara itu partisipasi pria (bapak) untuk menjadi peserta KB aktif dengan

mempergunakan kontrasepsi MOP dan kondom sangat kecil, karena terbatasnya

pilihan kontrasepsi yang disediakan bagi pria, dan sebagian pria masih

beranggapan bahwa KB merupakan urusan ibu (istri), sehingga ibu (istri) yang

menjadi sasaran.

4. Pelayanan Imunisasi

a. Persentase Desa yang Mencapai “Universal Child Immunization” (UCI)

Strategi operasional pencapaian cakupan tinggi dan merata berupa

pencapaian Universal Child Immunization (UCI) yang berdasarkan indikator

cakupan DPT-HB 3, Polio 4 dan Campak dengan cakupan minimal 80% dari jumlah

sasaran bayi di desa. Pencapaian UCI desa di Jawa Tengah dari tahun ke tahun

mengalami peningkatan, kecuali tahun 2005 mengalami penurunan karena

ketersediaan vaksin tidak mencukupi. Hasil UCI desa tahun 2003 (82,08%), 2004

(83,51%), 2005 (77,06%), 2006 (84,42%), 2007 (83,64%) , 2008 (86,83%) dan 2009

(91,95%). Dari hasil pencapaian UCI desa tahun 2009 kabupaten/kota yang sudah

mencapai target UCI desa tahun 2009 (98%) adalah Kabupaten Magelang (100%),

Kabupaten Sragen (100%), Kabupaten Kudus (100%), Kabupaten Demak (100%),

Kabupaten Temanggung (100%), Kota Surakarta (100%), Kabupaten Banyumas

Page 69: Profil Dinkes Jateng 2009

(99,40%), Kota Semarang (98,87%) dan Kabupaten Kendal (98,60%). Sedangkan

yang pencapaian UCI desa terendah adalah di Kabupaten Brebes (71,72%).

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tidak pencapaian UCI desa di

beberapa kabupaten/kota di Jawa Tengah pada umumnya disebabkan karena

penghitungan sasaran (denominator) yang melebihi dengan kondisi riil jumlah

sasaran di lapangan.

Gambar 4.10

Cakupan Desa/Kelurahan UCI di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2005 - 2009

Kabupaten/kota yang belum mencapai target imunisasi dasar lengkap pada bayi

disebabkan antara lain :

- Adanya perbedaan jumlah sasaran pada perencanaan dibandingkan dengan

sasaran yang ada, hal ini dikarenakan penentuan jumlah sasaran masih

berdasarkan angka estimasi jumlah penduduk bukan dari hasil pendataan.

- Belum semua Puskesmas membuat Pemantauan Wilayah Setempat (PWS)

imunisasi secara rutin (bulanan, tribulanan) dikarenakan banyak petugas

imunisasi yang merangkap dengan tugas lain.

Page 70: Profil Dinkes Jateng 2009

- Belum dilakukan pelaksanaan sweeping atau kunjungan rumah untuk

melengkapi status imunisasi pada daerah-daerah yang cakupan imunisasinya

masih rendah, pada umumnya disebabkan keterbatasan sumber daya atau

tenaga banyak yang merangkap dengan tugas lain.

- Masih ada sebagian kecil orang tua yang menolak anaknya untuk diimunisasi

dikarenakan keyakinan/kepercayaan agama, dan lain-lain.

b. Cakupan Imunisasi bayi

Upaya untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian bayi

serta anak balita dilaksanakan program imunisasi baik program rutin maupun

program tambahan/suplemen untuk penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi (PD3I) seperti TBC, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio, Hepatitis B, dan

Campak. Bayi seharusnya mendapat imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari BCG

1 kali, DPT-HB 3 kali, Polio 4 kali, HB Uniject 1 kali dan campak 1 kali. Sebagai

indikator kelengkapan status imunisasi dasar lengkap bagi bayi dapat dilihat dari

hasil cakupan imunisasi campak, karena imunisasi campak merupakan imunisasi

yang terakhir yang diberikan pada bayi umur 9 (sembilan) bulan dengan harapan

imunisasi sebelumnya sudah diberikan dengan lengkap (BCG, DPT-HB, Polio, dan

HB).

Selain pemberian imunisasi rutin, program imunisasi juga melaksanakan

program imunisasi tambahan/suplemen yaitu Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS)

DT, BIAS Campak yang diberikan pada semua usia kelas I SD/MI/SDLB/SLB,

sedangkan BIAS TT diberikan pada semua anak usia kelas II dan III

SD/MI/SDLB/SLB, Backlog Fighting (melengkapi status imunisasi).

Cakupan imunisasi dasar lengkap bayi di Jawa Tengah dari semua antigen

sudah mencapai target minimal nasional (85%), pencapaian tiap tahun mengalami

peningkatan. Jumlah sasaran bayi pada tahun 2009 adalah 577.750. Sedang

cakupan masing-masing jenis imunisasi adalah sebagai berikut: BCG (102,05%),

DPT+HB 1 (100,89%), DPT+HB 3 (99,04%), Polio 4 (99,14%), Campak (96,59%).

Gambar 4.11

Cakupan Imunisasi Bayi di Provinsi Jawa Tengah

Page 71: Profil Dinkes Jateng 2009

Tahun 2007 - 2009

c. Drop Out Imunisasi DPT1-Campak

Dalam rangka mencapai dan mempertahankan UCI desa, analisis PWS

harus diikuti dengan tindak lanjut. Dengan grafik PWS akan terlihat dan dapat

dianalisis cakupan dan kecenderungan setiap bulan, maka dapat segera diketahui

kekurangan cakupan dan beban yang harus dicapai setiap bulan pada periode

berikutnya. Untuk kecenderungan cakupan setiap bulan dapat diketahui dengan

indikator Drop Out (DO). Sesuai kesepakatan dengan kabupaten/kota indikator DO

di Jawa Tengah maksimal 5% atau (-5%). Pada tahun 2009 untuk tingkat Provinsi

Jawa Tengah mencapai 4,19%.

Sedangkan dilihat per kabupaten/kota yang DO-nya lebih dari 5% atau (-5%)

sebanyak 9 kabupaten/kota (25,71%) yaitu Kabupaten Purbalingga, Kabupaten

Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonogiri,

Kabupaten Grobogan, Kabupaten Kendal, Kabupaten Brebes dan Kota Salatiga.

d. WUS Mendapat Imunisasi TT

Imunisasi TT Wanita usia Subur adalah pemberian imunisasi TT pada

Wanita Usia Subur (15-39 th) sebanyak 5 dosis dengan interval tertentu yang

berguna bagi kekebalan seumur hidup. Data kegiatan imunisasi TT WUS saat ini

Page 72: Profil Dinkes Jateng 2009

akurasinya masih sangat kurang sehingga belum dapat dinalisis. Hal ini disebabkan

:

- Pencatatan dan pelaporan status imunisasi 5 dosis belum berjalan dengan baik

karena pelaksanaan skrining status TT belum optimal.

- Penggunaan format pelaporan yang berbeda antara kabupaten/kota ke provinsi

dan puskesmas ke kabupaten/kota terutama untuk TT ibu hamil dan non ibu

hamil.

5. Pelayanan Kesehatan Gigi

a. Rasio Tambal Cabut Gigi Tetap

Pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Puskesmas meliputi

kegiatan pelayanan dasar gigi dan upaya kesehatan gigi sekolah. Kegiatan

pelayanan dasar gigi adalah tumpatan (penambalan) gigi tetap dan pencabutan gigi

tetap. Indikasi dari perhatian masyarakat adalah bila tumpatan gigi tetap semakin

bertambah banyak berarti masyarakat lebih memperhatikan kesehatan gigi yang

merupakan tindakan preventif sebelum gigi tetap betul betul rusak dan harus

dicabut. Sedang pencabutan gigi tetap adalah tindakan kuratif dan rehabilitatif yang

merupakan tindakan terakhir yang harus diambil oleh seorang pasien.

Di tahun 2009 pelayanan dasar gigi mengalami penurunan sebesar

0,27% dibandingkan dengan tahun 2008. Jumlah tumpatan gigi tetap di tahun 2009

juga turun sebesar 0,26% bila dibandingkan dengan tahun 2008, sementara jumlah

pencabutan gigi tetap juga mengalami penurunan yang hampir sama yaitu sebesar

0,27%. Hal ini menandakan bahwa motivasi masyarakat dalam mempertahankan

gigi geliginya sudah baik, maka fungsi kunyah akan tetap baik sehingga sistim

pencernaan semakin bagus akibatnya kesehatan secara umum akan meningkat dan

diharapkan di tahun-tahun mendatang jumlah pencabutan gigi tetap trennya

semakin menurun. Dilihat dari rasio tumpatan dan pencabutan gigi tetap tahun 2009

ini sama dengan rasio tahun 2008 yaitu 0,71, hal ini berarti bahwa masih banyak

masyarakat yang melakukan pencabutan gigi dibandingkan melakukan tumpatan

gigi tetap.

Ada beberapa Kabupaten/Kota yang pencabutan giginya jauh lebih banyak

dibandingkan tumpatan giginya (rasio rendah), hal ini menandakan bahwa

Page 73: Profil Dinkes Jateng 2009

masyarakat di kabupaten yang bersangkutan masih kurang memperhatikan

kesehatan gigi & mulut dan kemungkinan frekuensi penyuluhan kesehatan gigi &

mulut yang dilakukan oleh petugas kesehatan di setiap lini baik yang dilakukan

didalam maupun diluar gedung, masih sangat minim. 3 Kabupaten dengan rasio

terendah adalah : Kabupaten Rembang 0,04 (tumpatan 222, pencabutan 5.012),

Kabupaten Purworejo 0,10 (tumpatan 441, pencabutan 4.473) dan Kabupaten

Klaten 0.27 (tumpatan 3.685, pencabutan 13.525). Sementara beberapa

Kabupaten/Kota yang rasionya tinggi (penumpatan lebih banyak dibandingkan

dengan pencabutan) antara lain Kota Tegal (2,57), Kabupaten Kendal (1.83) dan

Kabupaten Kudus (1.77). Namun dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah masih ada

1 kabupaten yang belum melaporkan pelayanan kesehatan gigi yaitu Kabupaten

Pati.

Gambar 4.12

Rasio Tumpatan dan Pencabutan Gigi Tetap

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

b. Murid SD/MI Mendapat Pemeriksaan Gigi dan Mulut

Kegiatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut lainnya adalah Upaya

Kesehatan Gigi Sekolah yang merupakan upaya promotif dan preventif kesehatan

gigi khususnya untuk anak sekolah. Kegiatan UKGS meliputi pemeriksaan gigi pada

Page 74: Profil Dinkes Jateng 2009

seluruh murid untuk mendapatkan murid yang perlu perawatan gigi, kemudian

melakukan perawatan pada murid yang memerlukan.

Prosentasi jumlah murid yang diperiksa untuk tahun 2009 (36,31%) lebih

tinggi dibandingkan pencapaian tahun 2008 (33,22%). Beberapa kabupaten

memang mempunyai cakupan sangat rendah seperti Kabupaten Cilacap (1.94%),

Kabupaten Wonosobo (2.45%) dan Kabupaten Purworejo (2.67%). Sementara

kabupaten yang mempunyai cakupan di atas 100% adalah Kabupaten Sragen

(167,88%), meskipun cakupan tersebut tinggi tetapi terlihat tidak masuk akal, hal ini

kemungkinan besar karena kesalahan dalam menyerahkan data yang diberikan ke

Dinas Kesehatan Provinsi.

Gambar 4.13

Cakupan Pemeriksaan Kesehatan Gigi Murid SD

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

c. Murid SD/MI Mendapat Perawatan Gigi dan Mulut

Cakupan perawatan gigi dan mulut murid SD/MI di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2009 mengalami penurunan dari 62,95% di tahun 2008 menjadi 54,75%,

dimana masih ada 3 kabupaten/ kota yang tidak ada datanya. Kabupaten/Kota yang

sudah bisa merawat seluruh murid yang memerlukan perawatan gigi adalah

Page 75: Profil Dinkes Jateng 2009

Kabupaten Purworejo dan Kota Salatiga (100%).

Gambar 4.14

Cakupan Perawatan Gigi Murid SD

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

6. Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut

Pelayanan kesehatan pra usia lanjut dan usia lanjut yang dimaksudkan adalah

penduduk usia 45 tahun ke atas yang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai

dengan standar oleh tenaga kesehatan, baik di Puskesmas maupun di

Posyandu/Kelompok Usia Lanjut . Yang termasuk dalam kelompok pra usia lanjut

adalah kelompok umur 45 - 59 tahun, sedangkan usia lanjut adalah kelompok umur

lebih atau sama dengan 60 tahun.

Cakupan pelayanan kesehatan pra usia lanjut dan usia lanjut tingkat Provinsi

Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 42,27% meningkat bila dibandingkan cakupan

pada tahun 2008 yang hanya sebesar 29,36%, tetapi masih jauh dibawah target

cakupan pelayanan kesehatan usia lanjut tahun 2010 (70%). Kabupaten/kota di

Provinsi Jawa Tengah dengan cakupan tertinggi adalah Kota Magelang (132,49%) dan

terendah adalah Kabupaten Wonosobo (2,84%). Sementara masih ada 1 kabupaten

yang tidak ada data pelayanan kesehatan baik bagi pra usila maupun usila yaitu

Kabupaten Klaten.

Page 76: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 4.15

Pelayanan Kesehatan Pra Usila dan Usila

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

Masih rendahnya cakupan pelayanan kesehatan pra usila dan usila dan

sedikitnya kabupaten/kota yang mencapai target pelayanan kesehatan pra usila dan

usila tahun 2010, menggambarkan bahwa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah

belum memperhatikan pelayanan kesehatan untuk kelompok pra usila dan usila yang

merupakan kelompok usia berisiko. Upaya-upaya yang telah dilakukan Dinas

Kesehatan Provinsi Jawa Tengah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan pra usila

dan usila adalah sbb :

- Pertemuan Koordinasi Program Kesehatan Usila Provinsi Jawa Tengah, dengan

kesepakatan identifikasi kelompok pra usila di masing-masing SKPD kabupaten/

kota dan memberikan dukungan kegiatan dan pelayanan kesehatan.

- Advokasi ke SKPD provinsi dengan pengembangan model kelompok pra

usila percontohan dan fasilitasi pelayanan kesehatan

7. Pelayanan Kesehatan Kerja

Terselenggaranya pelayanan kesehatan yang lebih bermutu dan merata untuk

seluruh masyarakat merupakan keinginan yang menjadi landasan pelaksanaan

pembangunan kesehatan di Indonesia.

Pembangunan kesehatan di Indonesia selama beberapa dekade yang lalu harus

diakui relatif berhasil, terutama pembangunan infra struktur pelayanan kesehatan yang

telah menyentuh sebagian besar wilayah kecamatan dan pedesaan.

Page 77: Profil Dinkes Jateng 2009

Namun keberhasilan yang sudah dicapai belum dapat menuntaskan

problem kesehatan masyarakat secara menyeluruh, bahkan sebaliknya tantangan

sektor baik formal maupun informal kesehatan cenderung semakin meningkat.

Tantangan lainnya yang harus ditanggulangi antara lain adalah meningkatnya masalah

kesehatan kerja, serta dampak globalisasi yang akan memberikan pengaruh terhadap

perkembangan keadaan kesehatan masyarakat. Berdasarkan penjelasan di atas

sangat diperlukan upaya agar masalah kesehatan di masa depan dapat ditanggulang i

sehingga mencapai kualitas kesehatan masyarakat senantiasa terjaga baik.

Beberapa upaya pelayanan kesehatan kerja yang dilakukan di Jawa Tengah

adalah pembinaan upaya pengembangan pelayanan kesehatan kerja pada puskesmas di

kawasan/sentra industri. Peningkatan kapasitas dokter puskesmas dan dokter klinik

perusahaan tentang pelayanan kesehatan kerja dan deteksi dini penyakit akibat kerja,

serta peningkatan kerja sama lintas sektor dan lintas program dalam pengembangan

pelayanan kesehatan kerja baik di Puskesmas maupun di masyarakat.

Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang letaknya cukup

strategis karena berada di daratan padat Pulau Jawa, diapit oleh dua Provinsi besar

Jawa Barat dan Jawa Timur, dan satu Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan data

dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, jumlah Penduduk di Jawa Tengah

tahun 2006 (hasil SUSENAS 2006) adalah 32.908.850 jiwa dan lebih dari 60%

penduduknya merupakan usia kerja. Sebagian besar diantara usia kerja ini (sekitar

70%) merupakan pekerja pada sektor informal dan selebihnya merupakan pekerja

sektor formal.

Pekerja sektor informal adalah mereka yang bekerja dengan modal skala kecil

dengan ciri-ciri antara lain : bekerja dalam jam kerja yang tidak tetap dan umumnya

mempergunakan tenaga kerja dari lingkungan keluarga sendiri, risiko bahaya pekerjaan

tinggi, keterbatasan sumber daya dalam mengubah lingkungan kerja, kesadaran

tentang risiko bahaya pekerjaan rendah, kondisi pekerjaan tidak ergonomis, keluarg a

banyak yang terpajan, kurangnya pemeliharaan kesehatan (M. Mikhew (ICHOIS 1997))

Sedang pekerja sektor formal adalah pekerja yang bekerja pada perusahaan,

instansi instansi pemerintah dimana dalam menjalankan pekerjaannya pekerja tersebut

mendapat perlindungan dari undang- undang yang ada, baik untuk kesejahteraannya

maupun untuk kesehatannya. Namun begitu untuk lebih melindungi pekerja pada

sektor formal ini kegiatan pencegahan penyakit akibat kerja perlu lebih dilaksanakan.

Page 78: Profil Dinkes Jateng 2009

Pekerja sektor formal maupun informal memegang peranan penting dalam

pembangunan ekonomi. Oleh karena itu sudah sepatutnya para pekerja ini

mendapatkan perhatian dari pemerintah. Salah satunya adalah dalam bidang

peningkatan derajat kesehatan.

Gambar 4.16

Pelayanan Kesehatan Kerja Sektor Informal Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2009

Pada tahun 2009, cakupan pelayanan kesehatan kerja sektor informal sebesar

54.89%. Dibandingkan tahun 2008 mengalami kenaikan sebesar 3.96%. Ada beberapa

kabupaten yang melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan kerja sektor informal

dengan cukup baik (>100%) antara lain Kota Semarang (143,19%), Kabupaten

Wonosobo, Kabupaten Sukoharjo, Kota Tegal, Kabupaten Blora dan Kota Salatiga

(100%). Namun dari kabupaten yang mempunyai cakupan 100% itu kemungkinan

belum seluruh kelompok kerja didata, jumlah pekerja yang di data kurang dari 1000

orang maka pendataan perlu ditinjau kembali. Disamping itu ada beberapa kabupaten

yang telah mengisi jumlah pekerja informal yang didata namun belum mengisi jumlah

pekerja yang dilayani yaitu Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Kendal.

Cakupan pelayanan kesehatan kerja sektor formal yang mendapat pelayanan

kesehatan tahun 2009 sebesar 61.31% mengalami peningkatan dibandingkan

pencapaian tahun 2008 (56,49%) namun tetap lebih rendah bila dibandingkan tahun

2007 (63,26%), hal ini disebabkan karena kurang lancarnya pelaporan dari

kabupaten/kota. Dari 35 kabupaten/kota masih ada 6 kabupaten/kota yang tidak ada

datanya. Agar lebih meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan bagi pekerja sektor

formal maka koordinasi lebih ditingkatkan baik dengan lintas sektor maupun dengan

pengelola poliklinik perusahaan.

Page 79: Profil Dinkes Jateng 2009

Secara keseluruhan cakupan pelayanan kesehatan kerja sektor formal lebih

tinggi daripada sektor informal. Hal ini dikarenakan pendataan dan pembinaan sektor

formal memang lebih bagus dibandingkan dengan sektor informal.

8. Upaya Penyuluhan Kesehatan

Kesehatan sebagai hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang

menjadi tanggung jawab setiap orang, keluarga dan masyarakat serta didukung oleh

pemerintah. Undang-undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

mengamanatkan Pembangunan Kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,

kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan

sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk itu upaya

kesehatan harus ditingkatkan secara terus menerus untuk memelihara dan

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit,

peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.

Setiap orang berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, lingkungan yang

sehat dan informasi serta edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung

jawab. Setiap orang juga berkewajiban berperilaku Hidup Bersih dan Sehat seta

menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung

jawabnya.

Promosi kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan

masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar

mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang

bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh

kebijakan publik yang berwawasan kesehatan. Kegiatan promosi kesehatan yang

diselenggarakan di Pusat dan Daerah mencakup diantaranya penyebarluasan informasi

termasuk penyuluhan kesehatan.

Upaya penyuluhan adalah semua usaha secara sadar dan berencana yang

dilakukan untuk memperbaiki perilaku manusia sesuai prinsip-prinsip pendidikan dalam

bidang kesehatan. Penyuluhan kelompok adalah penyuluhan yang dilakukan pada

kelompok sasaran tertentu, misalnya : kelompok siswa sekolah, kelompok ibu-ibu PKK

dan lain sebagainya. Sedangkan penyuluhan massa adalah penyuluhan yang dilakukan

Page 80: Profil Dinkes Jateng 2009

dengan sasaran massa seperti : pameran, pemutaran film, melalui media massa, cetak

dan elektronik

Dari data yang masuk pada tahun 2009 di wilayah Provinsi Jawa Tengah,

jumlah kegiatan penyuluhan kesehatan berjumlah 381.857 kegiatan, terbagi menjadi

penyuluhan kelompok sebanyak 339.399 kegiatan dan penyuluhan massa sebanyak

42.458 kegiatan. Bila dibanding data 2 tahun sebelumnya yaitu tahun 2008 dan 2007,

jumlah kegiatan penyuluhan kesehatan semakin meningkat. Tahun 2008, kegiatan

penyuluhan kesehatan sebanyak 165.287 kegiatan, terdiri dari 144.770 kegiatan

penyuluhan kelompok dan 20.517 kegiatan penyuluhan massa. Sedangkan pada tahun

2007 kegiatan penyuluhan kesehatan sebanyak 91.975 terdiri dari 87.595 kegiatan

penyuluhan kelompok dan 4.380 kegiatan penyuluhan massa.

Dari data tersebut menunjukkan bahwa upaya promosi kesehatan dari tahun ke

tahun semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran, kemampuan dan

kemampuan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.

Kegiatan penyuluhan pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan

NAPZA/NARKOBA (P3 NAPZA/NARKOBA) oleh tenaga kesehatan adalah semua

usaha secara sadar dan berencana yang dilakukan untuk memperbaiki perilaku

manusia sesuai prinsip-prinsip pendidikan yakni pada tingkat sebelum seseorang

menggunakan NAPZA/NARKOBA.

Gambar 4.17

Cakupan Upaya P3 NAPZA/NARKOBA

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009

Adapun data cakupan penyuluhan P3 NAPZA/NARKOBA di Provinsi Jawa

Tengah tahun 2009 sebesar 19,96%, mengalami sedikit peningkatan dibandingkan

Page 81: Profil Dinkes Jateng 2009

dengan cakupan tahun 2008 sebesar 19,07% dan tahun 2007 sebesar 12,05%. Namun

cakupan ini masih dibawah target Standar Pelayanan Minimal (SPM) tahun 2010

sebesar 30%. Hal ini kemungkinan karena masih ada kabupaten/kota yang belum

melaporkan,atau karena minimnya pencatatan dan pelaporan terkait kegiatan

penyuluhan termasuk penyuluhan P3 NAPZA/NARKOBA. Tetapi persentase cakupan

cenderung mengalami kenaikan dari tahun 2006 sampai 2009, yang kemungkinan juga

perilaku masyarakat sasaran, lambat laun semakin sadar untuk menerima in formasi

kesehatan.

B. PELAYANAN KESEHATAN RUJUKAN DAN PENUNJANG

1. Akses Ketersediaan Darah Untuk Ibu Hamil dan Neonatus Dirujuk

Dari 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, hanya 16 kabupaten/kota yang

sudah masuk datanya untuk indikator akses ketersediaan darah dan komponen yang

aman untuk menangani rujukan bumil dan neonatus. Hal ini disebabkan belum semua

rumah sakit memiliki pencatatan dan pelaporan untuk indikator ini. Sedikitnya data yang

masuk menyebabkan angka cakupan yang diperoleh belum menggambarkan cakupan

yang sebenarnya. Sehingga ke depan perlu perbaikan dalam sistem pencatatan dan

pelaporannya.

Dari data yang masuk diperoleh cakupan akses ketersediaan darah dan

komponen yang aman untuk menangani rujukan bumil dan neonatus di Provinsi Jawa

Tengah tahun 2009 sebesar 97,77%, mengalami peningkatan bila dibandingkan

dengan cakupan tahun 2008 sebesar 89,00%. Dari 16 kabupaten/kota, 12 diantaranya

sudah melampaui target 2010 sebesar 80% yaitu Kabupaten Cilacap (100%),

Kabupaten Banjarnegara (100%), Kabupaten Kebumen (100%), Kabupaten Sukoharjo

(100%), Kabupaten Blora (100%), Kabupaten Demak (100%), Kabupaten Pekalongan

(100%), Kabupaten Pemalang (99,06%), Kabupaten Tegal (100%), Kota Surakarta

(100%), Kota Pekalongan (100%) dan Kota Tegal (100%).

Page 82: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 4.18

Akses Ketersediaan Darah Untuk Menangani Rujukan Bumil dan Neonatus

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

2. Komplikasi kebidanan yang ditangani

Komplikasi kebidanan yang dimaksud adalah kesakitan pada ibu hamil, ibu

bersalin dan ibu nifas yang dapat mengancam jiwa ibu dan/atau bayi. Komplikasi dalam

kehamilan diantaranya : a) Abortus, b) Hiperemesis Gravidarum, c) perdarahan per

vaginam, d) Hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia, eklampsia), e) kehamilan lewat

waktu, f) ketuban pecah dini. Komplikasi dalam persalinan diantaranya : a) Kelainan

letak/presentasi janin, b) Partus macet/distosia, c) Hipertensi dalam kehamilan

(preeklampsia, eklampsia) d) perdarahan pasca persalinan, e) Infeksi berat/sepsis, f)

kontraksi dini/persalinan premature, g) kehamilan ganda. Komplikasi dalam nifas

diantaranya : a) Hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia, eklampsia), b) Infeksi nifas,

c) perdarahan nifas. Ibu hamil, ibu bersalin dan ibu nifas dengan komplikasi yang

ditangani adalah ibu hamil, bersalin dan nifas dengan komplikasi yang mendapatkan

pelayanan sesuai standar pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan (Polindes,

Puskesmas, Puskesmas PONED, Rumah Bersalin, RSIA/RSB, RSU, RSU PONEK).

Jumlah ibu hamil risiko tinggi/komplikasi di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

adalah sebanyak 125.841 ibu hamil atau sebesar 99,46 dari target ibu hamil risti (20%

ibu hamil). Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani tahun 2009 adalah 57,78%.

Untuk tahun-tahun sebelumnya yang dihitung hanya cakupan komplikasi pada ibu hamil

yang ditangani. Pencapaian cakupan tahun ini masih dibawah target SPM tahun 2015

(80%), tetapi diharapkan target tercebut bias tercapai sebelum tahun 2015.

Page 83: Profil Dinkes Jateng 2009

3. Neonatus dengan Komplikasi yang ditangani

Menurut definisi operasionalnya, neonatus dengan komplikasi adalah neonatus

dengan penyakit dan kelainan yang dapat menyebabkan kesakitan, kecacatan dan

kematian. Neonatus dengan komplikasi seperti asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus

neonatorum, infeksi/sepsis, trauma lahir, BBLR (berat badan lahir rendah < 2500 gr),

sindroma gangguan pernafasan dan kelainan congenital maupun yang termasuk

klasifikasi kuning pada MTBS.

Neonatus dengan komplikasi yang ditangani adalah neonatus komplikasi yang

mendapat pelayanan oleh tenaga kesehatan yang terlatih, dokter dan bidan di sarana

pelayanan kesehatan. Perhitungan sasaran neonatus dengan komplikasi adalah

dihitung berdasarkan 15% dari jumlah bayi baru lahir. Indikator ini mengukur

kemampuan manajemen program KIA dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan

secara profesional kepada neonatus dengan komplikasi.

Tahun 2009 perkiraan bayi dengan komplikasi bila dihitung dari banyaknya

sasaran bayi, maka jumlahnya sebesar 86.896 bayi. Dari jumlah perkiraan tersebut,

yang mendapat penanganan oleh tenaga kesehatan di tiap jenjang pelayanan

kesehatan sebesar 21.652 bayi (24,92%). Cakupan Neonatus Risiko Tinggi/komplikasi

yang ditangani tersebut masih jauh dari target cakupan sebesar 80%, yaitu setiap

Kabupaten/Kota seharusnya mencapai target minimal 80%.

Masih rendahnya Neonatus risiko tinggi yang mendapatkan pelayanan

kesehatan kemungkinan belum ada keseragaman mengenai definisi operasional

mengenai neonatal yang termasuk dalam risiko tinggi, sehingga belum semua neonatus

dengan risiko tinggi/komplikasi dicatat dan dilaporkan. Selain hal tersebut, target

neonatus komplikasi yang ditangani untuk neonatal resiko tinggi seharusnya 15 % dari

jumlah sasaran bayi pertahun, namun belum semua Kabupaten Kota mempunyai

persepsi / pemahaman yang sama.

4. Pelayanan Gawat Darurat

a. Sarana Kesehatan Dengan Kemampuan Pelayanan Gawat Darurat Yang Dapat

Diakses Masyarakat

Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat

diakses masyarakat adalah sarana kesehatan yang telah mempunyai kemampuan

Page 84: Profil Dinkes Jateng 2009

untuk melaksanakan pelayanan gawat darurat sesuai standar dan dapat diakses

oleh masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Kemampuan pelayanan gawat darurat

yang dimaksud adalah upaya cepat dan tepat untuk segera mengatasi puncak

kegawatan yaitu henti jantung dengan Resusitasi Jantung Paru Otak (Cardio-

Pulmonary-Cebral-Resucitation) agar kerusakan organ yang terjadi dapat

dihindarkan atau ditekan sampai minimal dengan menggunakan Bantuan Hidup

Dasar (Basic Life Support) dan

Bantuan Hidup Lanjut (ALS). Sedang yang dimaksud sarana kesehatan adalah rumah bersalin,

Puskesmas, dan rumah sakit baik rumah sakit umum, jiwa maupun khusus.

Gambar 4.19

Sarana Kesehatan (RS, Pusk, RB) Dengan Kemampuan Pelayanan Gawat Darurat Yang Dapat Diakses Masyarakat

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009

Puskesmas dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat

diakses masyarakat di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebanyak 538 dari

853 Puskesmas yang ada di Jawa Tengah (63,07%). Dari jumlah puskesmas yang

mempunyai kemampuan kegawatdaruratan mengalami kenaikan bila dibandingkan

dengan tahun 2008 (51,57%) demikian juga untuk Rumah Sakit (RSU, RSJ & RSK))

mengalami peningkatan dari 93,01% pada tahun 2008 menjadi 96,79% pada tahun

2009. Sementara untuk Rumah Bersalin hanya 31,51% dari 365 rumah bersalin

yang ada, melaporkan mampu menangani kegawatdaruratan. Secara keseluruhan,

sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat

diakses masyarakat di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 60.94%,

mengalami penurunan bila dibandingkan tahun 2008 sebesar 62,37%.

Page 85: Profil Dinkes Jateng 2009

b. Pemenuhan Darah di Rumah Sakit

Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Tranfusi Darah adalah upaya kesehatan

berupa segala tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk memungkinkan

penggunaan darah bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan yang

mencakup kegiatan-kegiatan pengerahan penyumbangan darah, pengambilan,

pengamanan, pengolahan, penyimpanan dan penyampaian darah kepada pasien

melalui sarana pelayanan kesehatan.

Berdasarkan data dari PMI Provinsi Jawa Tengah bahwa Jumlah Pendonor

Darah di UTD PMI se Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebanyak 315.216

orang dimana persentase darah yang periksa sebesar 99,23%. Jumlah ini lebih

rendah bila dibandingkan tahun 2008 yang sebanyak 348.795 pendonor dengan

persentase pemeriksaan mencapai 100%.

Target program upaya kesehatan di bidang transfusi darah adalah 95%

permintaan darah oleh RSU maupun RSK (pemerintah dan swasta) mampu

dipenuhi oleh Unit Transfusi Darah (UTD). Sebagian kabupaten/kota di Provinsi

Jawa Tengah tidak mempunyai data permintaan dan penerimaan darah oleh rumah

sakit. Pada tahun 2009 ini, data yang masuk sangat sedikit sehingga tidak bisa

dianalisis karena tidak bisa menggambarkan kondisi yang sebenarnya tentang

pemenuhan darah di rumah sakit. Berdasarkan data yang dilaporkan, diketahui

kebutuhan darah di Rumah Sakit tahun 2009 sebanyak 132.196 kantong dan dapat

dipenuhi 98,51% atau sebanyak 130,221 kantong.

Permasalahan yang dihadapi dalam program pelayanan darah di Rumah

Sakit di Provinsi Jawa Tengah saat ini adalah :

- Tidak ada kesamaan dalam menentukan kriteria Bank Darah Rumah Sakit

(BDRS) dalam pelayanan bank darah di Rumah Sakit. Misalnya standar

ketersediaan blood bank, standar ketersediaan ruangan dan standar

ketersediaan tenaga yang melayani.

- Pelayanan darah dengan ketersediaan bank darah di RS menjadi beban bagi

RS baik dari biaya operasional dan biaya pengadaan sarana prasarana. Hal ini

disebabkan beberapa rumah sakit berdekatan lokasi atau masih satu area lokasi

dengan UTD setempat, sehingga tidak ada kendala transportasi dalam

pengiriman darah.

Page 86: Profil Dinkes Jateng 2009

C. AKSES DAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN

1. Cakupan Rawat Jalan

Cakupan rawat jalan adalah cakupan kunjungan rawat jalan baru di sarana

pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta di satu wilayah kerja pada kurun waktu

tertentu. Cakupan kunjungan rawat jalan di sarana kesehatan di Provinsi Jawa Tengah

pada tahun 2009 sebesar 45,01% lebih tinggi dibanding cakupan tahun 2008 (36,90%),

yang tertinggi adalah di Kota Magelang (123,40%), terendah di Kabupaten Klaten

(4,75%). Target SPM tahun 2010 untuk cakupan rawat jalan adalah 15%.

Cakupan yang sangat tinggi tersebut mengisyaratkan bahwa pencatatan dan

pelaporan di sarana pelayanan kesehatan masih belum benar, disamping pemahaman

terhadap definisi operasional suatu variabel yang belum benar pula. Berdasarkan

definisi operasional yang ada, seharusnya seorang yang berkunjung ke sarana

pelayanan kesehatan, dalam satu tahun hanya dihitung satu kali meskipun ia datang

berkali kali dalam tahun tersebut.

2. Cakupan Rawat Inap

Cakupan rawat inap adalah cakupan kunjungan rawat inap baru di sarana

pelayanan kesehatan swasta dan pemerintah di satu wilayah kerja pada kurun waktu

tertentu. Cakupan rawat inap di sarana kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

sebesar 4,09%, sedikit lebih tinggi dibanding cakupan tahun 2008 sebesar 3,09%. Ini

berarti sudah melampaui target 2010 sebesar 1,5%. Cakupan terendah adalah

Kabupaten Purbalingga sebesar 0,32%, sedangkan tertinggi di Kota Tegal sebesar

33,54%.

3. Pelayanan Kesehatan Jiwa

Pelayanan gangguan jiwa adalah pelayanan pada pasien yang mengalami

gangguan kejiwaan, yang meliputi gangguan pada perasaan, proses pikir, dan perilaku

yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan

peran sosialnya.

Page 87: Profil Dinkes Jateng 2009

Tahun 2009 ini, sudah semua kabupaten/kota melaporkan hasil pelayanan

kesehatan jiwa, hal ini dapat dilihat dari hasil cakupan pelayanan kesehatan jiwa di

Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 yaitu sebesar 1,41% meningkat dibandingkan

cakupan tahun 2008 yang hanya 0,36%. Cakupan ini masih jauh dibawah target SPM

2010 yang sebesar 15%. Hanya ada satu kabupaten yang mencapai target SPM 2010

yaitu Kabupaten Purbalingga (20,26%).

Data yang masuk untuk pelayanan kesehatan jiwa di RS berasal dari Rumah

Sakit Jiwa dan Rumah Sakit Umum yang mempunyai klinik jiwa. Permasalahan yang

ada saat ini adalah tidak semua Rumah Sakit Umum mempunyai pelayanan klinik jiwa

karena belum tersedia tenaga medis jiwa dan tidak banyak kasus jiwa di masyarakat

yang berobat di sarana pelayanan kesehatan. Dari permasalahan tersebut, upaya yang

perlu dilakukan adalah peningkatan pembinaan program kesehatan jiwa di sarana

kesehatan pemerintah dan swasta, pelatihan/refreshing bagi dokter dan paramedis

Puskesmas terutama upaya promotif dan preventif, serta meningkatkan pelaksanaan

sistem monitoring dan evaluasi pencatatan dan pelaporan program kesehatan jiwa.

4. Sarana Kesehatan Dengan Kemampuan Laboratorium Kesehatan

Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan laboratorium kesehatan yang

dapat diakses masyarakat adalah cakupan sarana kesehatan yang telah mempunyai

kemampuan untuk melaksanakan pelayanan laboratorium kesehatan sesuai standar

dan dapat diakses oleh masyarakat dalam waktu tertentu. Kemampuan pelayanan

laboratorium kesehatan yang dimaksud adalah upaya pelayanan penunjang medik

untuk mendukung dalam pelayanan medik, dimana untuk menegakkan diagnosis dokter

di rumah sakit.

Page 88: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 4.20

Sarana Kesehatan Dengan Kemampuan Labkes

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 - 2009

Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan laboratorium yang dapat

diakses masyarakat di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 94,41% dengan

perincian untuk RSU 97,69%, RS Jiwa 100%, RS Khusus 95,0%, dan Puskesmas

93,67%.

5. Rumah Sakit Yang Menyelenggarakan 4 Pelayanan Kesehatan Spesialis Dasar

Target Penyelenggaraan empat pelayanan kesehatan spesialis dasar dalam

Indikator Indonesia Sehat 2010 sebesar 100%. Dari 173 Rumah Sakit Umum di Provinsi

Jawa Tengah baik pemerintah maupun swasta, baru 84,39% atau 146 RSU yang

memiliki minimal 4 spesialis dasar. Hal ini berkaitan dengan disyaratkannya

penyelenggaraan 4 pelayanan kesehatan spesialis dasar pada perizinan pendirian

sebuah rumah sakit.

6. Ketersediaan Obat Esensial dan Generik Sesuai Kebutuhan

Ketersediaan obat sesuai kebutuhan adalah ketersedian obat pelayanan

kesehatan dasar di unit pengelola obat dan perbekalan kesehatan kabupaten/kota. Ada

33 jenis obat yang wajib dilaporkan ketersediaannya berdasarkan Surat Edaran

Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI Nomor :

IR.01.02.112 tanggal 13 Mei 2004.

Page 89: Profil Dinkes Jateng 2009

Jumlah kebutuhan 33 jenis obat yang wajib dilaporkan tingkat kebutuhannya

oleh kabupaten/kota adalah 217.408.106 satuan kemasan. Sementara jumlah

ketersediaan 33 jenis obat yang wajib dilaporkan tingkat ketersediaannya oleh

kabupaten/kota adalah 300.149.886 satuan kemasan. Persentase ketersediaan 33 jenis

obat yang wajib dilaporkan tingkat ketersediaannya oleh Kabupaten/kota adalah

138,06%, artinya kebutuhan 33 jenis obat yang wajib dilaporkan tingkat

ketersediaannya oleh Kabupaten/kota sudah dapat tersedia seluruhnya.

Terdapat 3 (tiga) jenis obat yang persentase tingkat ketersediaannya <100%,

yang artinya belum dapat tersedia dengan cukup yaitu : Dexamethasone injeksi 5

mg/ml-2 ml (86,1%), Kotrimoksazol suspensi (95,8%) dan OAT kategori 3 (81,4%).

Sementara 30 (tiga puluh) jenis obat yang lain, persentase tingkat ketersediaannya

>100%.

Dari 33 jenis obat yang wajib dilaporkan tingkat ketersediaannya oleh

Kabupaten/kota, jenis obat yang persentase ketersediaannya paling tinggi yaitu

Kloroquin tablet 150 mg (13.208%), sebenarnya hanya 12 kabupaten/kota yang

melaporkan kebutuhan dan ketersediaannya dan yang membuat tingkat

ketersediaannya tinggi adalah karena tingkat ketersediaan yang tinggi di Kabupaten

Purworejo (19.416%) dan kabupaten Sragen (6.532%). Sedang jenis obat yang

persentase ketersediaannya paling rendah adalah OAT kategori 3 (81,4%).

Rata-rata item obat esensial yang dibutuhkan kabupaten/kota tahun 2009

adalah sebanyak 110 item, sementara rata-rata item obat esensial yang tersedia di

Kabupaten/kota sebanyak 109 item. Sehingga persentase ketersediaan obat esensial

Kabupaten/kota adalah 99,66%, artinya kebutuhan obat esensial di Kabupaten/kota

hampir dapat tersedia seluruhnya.

Kabupaten/kota dengan persentase ketersediaan obat esensial >100% ada 12

Kabupaten/kota, artinya kebutuhan obat esensial di Kabupaten/kota tersebut telah

dapat tersedia semuanya, sedangkan Kabupaten/kota dengan persentase ketersediaan

obat esensial <100% ada 19 Kabupaten/kota, artinya kebutuhan obat esensial

Kabupaten/kota tersebut belum dapat tersedia semuanya. Sementara masih ada 4

kabupaten/kota yang tidak tersedia datanya. Kabupaten dengan persentase

ketersediaan obat esensial paling tinggi adalah Kabupaten Kudus (182,24%), sedang

Kabupaten dengan persentase ketersediaan obat esensial paling rendah adalah

Kabupaten Rembang (72,22%).

Page 90: Profil Dinkes Jateng 2009

Rata-rata item obat generik yang dibutuhkan Kabupaten/kota pada tahun

2009 adalah sebanyak 118 item, sedangkan rata-rata yang tersedia sebanyak 121 item

(102,67%), artinya kebutuhan obat generik Kabupaten/kota dapat tersedia seluruhnya.

Kabupaten/kota dengan persentase ketersediaan obat generik >100% ada 12

Kabupaten/kota, artinya kebutuhan obat generik Kabupaten/kota tersebut telah dapat

tersedia semuanya, sedangkan Kabupaten/kota dengan persentase ketersediaan obat

generik <100% ada 19 Kabupaten/kota, artinya kebutuhan obat generik Kabupaten/kota

tersebut belum dapat tersedia semuanya. Sementara masih ada 4 kabupaten/kota yang

tidak tersedia datanya. Kabupaten dengan persentase ketersediaan obat generik paling

tinggi adalah Kabupaten Boyolali (190,75%), sedangkan terendah adalah Kabupaten

Wonogiri (71,35%).

Trend persentase ketersediaan obat esensial maupun obat generik dalam 4 (empat)

tahun terakhir menunjukkan kecenderungan meningkat, sebagaimana terlihat pada gambar

berikut ini.

Gambar 4.21

Ketersediaan Obat Esensial dan Obat Generik

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009

7. Ketersediaan Obat Narkotika dan Psikotropika

Rata-rata jumlah kebutuhan item obat Narkotika dan Psikotropika di

kabupaten/kota tahun 2009 adalah sebanyak 4 item, sedangkan rata-rata jumlah

ketersediaannya sebanyak 4 item juga. Sementara persentase ketersediaan obat

Narkotika dan Psikotropika Kabupaten/kota adalah 111,66%, artinya seluruh kebutuhan

obat Narkotika dan Psikotropika Kabupaten/kota telah tersedia semuanya.

Page 91: Profil Dinkes Jateng 2009

Kabupaten/kota dengan persentase ketersediaan obat Narkotika dan

Psikotropika >100% ada 20 Kabupaten/kota, artinya kebutuhan obat Narkotika dan

Psikotropika Kabupaten/kota tersebut telah dapat tersedia semua, sedangkan

kabupaten/kota dengan persentase ketersediaan obat Narkotika dan Psikotropika

<100% ada 12 kabupaten/kota, artinya kebutuhan obat Narkotika dan Psikotropika

Kabupaten/kota tersebut belum dapat tersedia semua. Kabupaten dengan persentase

ketersediaan obat Narkotika dan Psikotropika paling tinggi adalah Kabupaten Kudus

(367,74%) dan yang terendah adalah Kabupaten Wonosobo (71,43%). Sementara

masih ada 3 kabupaten/kota yang tidak tersedia datanya.

8. Penulisan Resep Obat generik

Jumlah penulisan resep di RSU dan RSK pemerintah di Provinsi Jawa Tengah

tahun 2009 adalah sebanyak 18.461.163 lembar, sedangkan jumlah resep (yang

mengandung) obat generik di RSU dan RSK pemerintah sebanyak 11.695.202 lembar.

Persentase penulisan resep obat generik di RSU dan RSK milik pemerintah adalah

63,35%, artinya resep yang isinya (mengandung) obat generik adalah lebih dari

separuh/setengah dari total resep yang diterima RSU dan RSK milik pemerintah.

Kabupaten dengan RSU dan RSK milik pemerintah yang memiliki persentase

penulisan resep obat generik 100% adalah Kabupaten Grobogan dan Kabupaten

Batang (100%), sedang Kabupaten dengan RSU dan RSK milik pemerintah yang

memiliki persentase penulisan resep obat generik paling rendah adalah Kabupaten

Jepara (6,22%). Sementara itu masih ada 5 kabupaten/kota yang tidak tersedia

datanya.

D. PEMBINAAN KESEHATAN LINGKUNGAN DAN SANITASI DASAR

Lingkungan sehat merupakan salah satu pilar utama dalam pencapaian Indonesia

Sehat 2010. Lingkungan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap derajat

kesehatan, disamping perilaku dan pelayanan kesehatan.

Program Lingkungan Sehat bertujuan untuk mewujudkan mutu lingkungan hidup

yang lebih sehat melalui pengembangan sistem kesehatan kewilayahan untuk

menggerakkan pembangunan lintas sektor berwawasan kesehatan. Adapun kegiatan

Page 92: Profil Dinkes Jateng 2009

pokok untuk mencapai tujuan tersebut meliputi : (1). Penyediaan Sarana Air Bersih dan

Sanitasi Dasar (2). Pemeliharaan dan Pengawasan Kualitas Lingkungan (3). Pengendalian

Dampak Risiko Lingkungan (4). Pengembangan Wilayah Sehat.

Pencapaian tujuan penyehatan lingkungan merupakan akumulasi berbagai

pelaksanaan kegiatan dari berbagai lintas sektor, peran swasta dan masyarakat.

Pengelolaan kesehatan lingkungan merupakan penanganan yang paling kompleks,

kegiatan tersebut sangat berkaitan antara satu dengan yang lainnya, berbagai lintas sektor

ikut serta berperan (Bappeda, Bapermas, Perindustrian, Lingkungan Hidup, Pertanian,

Cipta Karya dan Dinas Kesehatan). 1. Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi

Adanya perubahan paradigma dalam pembangunan sektor air minum dan

penyehatan lingkungan dalam penggunaan prasarana dan sarana yang dibangun,

melalui kebijakan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan yang ditandatangani oleh

Bappenas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian

Pekerjaan Umum cukup signifikan terhadap penyelenggaraan kegiatan penyediaan air

bersih dan sanitasi khususnya di daerah.

Strategi pelaksanaan diantaranya, meliputi penerapan pendekatan tanggap kebutuhan,

peningkatan sumber daya manusia, kampanye kesadaran masyarakat, upaya peningkatan

penyehatan lingkungan, pengembangan kelembagaan dan penguatan sistem monitoring

serta evaluasi pada semua tingkatan proses pelaksanaan menjadi acuan pola pendekatan

kegiatan penyediaan Air Bersih dan Sanitasi.

Pada dasarnya negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi

kebutuhan pokok minimal sehari - hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih

dan produktif (UU No. 7 Tahun 2004, pasal 10). Namun pada kenyataannya persentase

penduduk miskin masih tinggi, sehingga kemampuan untuk mendapat akses ke sarana

penyediaan air minum yang memenuhi syarat masih terbatas.

Masyarakat berpenghasilan rendah, ternyata membayar lebih besar untuk

memperoleh air daripada masyarakat berpenghasilan tinggi, hal ini menunjukkan

ketidakadilan dalam mendapatkan akses pada air minum. Walaupun terdapat program

- program air minum dan sanitasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah, namun

akses terhadap air minum belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Perlu

dukungan kebijakan yang lebih fokus untuk penyediaan sanitasi dan air minum bagi

masyarakat berpenghasilan rendah.

Page 93: Profil Dinkes Jateng 2009

a. Akses Sarana Air Bersih

Jumlah keluarga yang diperiksa akses air bersih sebanyak 3.814.389

(42,86%) dari 8.900.367 KK dan yang telah memiliki akses sarana air bersih

sebanyak 3.142.157 (82,38%). Keluarga yang telah akses air bersih tersebut,

terbanyak memanfaatkan Sumur gali (45,58 %).

Gambar 4.22

Akses Air Bersih Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

b. Sarana Sanitasi Dasar

Kepemilikan sarana sanitasi dasar yang dimiliki oleh keluarga meliputi

persediaan air bersih, jamban, tempat sampah, dan pengelolaan air limbah. Jumlah

KK yang telah memiliki Persediaan Air Bersih (PAB) 2.969.747 (77,86%),

Jamban 2.629.797 (68,95 %), Tempat Sampah 2.781.564 (72,93%) dan Jumlah KK

yang telah memiliki pengelolaan air limbah : 2.117.447 (55,51 %).

Page 94: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 4.23

Cakupan Kepemilikan Sarana Sanitasi Dasar

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 - 2009

Dalam mendukung perubahan sanitasi total khususnya buang air besar di

sembarang tempat, telah dilakukan pemicuan Community Led Total Sanitation

(CLTS) di 30 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah untuk mendukung pencapaian

wilayah stop buang air besar di sembarang tempat dan penurunan penyakit

berbasis lingkungan, khususnya Diare. Melalui CLTS terjadi perubahan perilaku

tidak buang air besar di sembarang tempat tanpa ada stimulan, pembiayaan tidak

ada subsidi dan jamban adalah private good.

2. Pengawasan dan Pemeliharaan Kualitas Lingkungan

a. Pengawasan Institusi

Kondisi kesehatan lingkungan pada institusi meliputi institusi pendidikan,

kesehatan, tempat ibadah, kantor dan sarana lain dititikberatkan pada aspek

hygiene sarana sanitasi yang erat kaitannya dengan kondisi fisik bangunan institusi

tersebut.

Page 95: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 4.24

Cakupan Institusi Dibina Kesehatan Lingkungannya

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 - 2009

Pada Tahun 2009 pencapaian cakupan institusi yang dibina yaitu sarana kesehatan

81,90%, pendidikan 71,48%, tempat ibadah 57,49%, kantor 70,81% dan sarana

lainnya 59,75%. Kegiatan yang dilakukan dalam meningkatkan kesehatan

lingkungan di insitusi adalah:

Pengendalian faktor risiko lingkungan institusi terhadap penyakit berbasis

lingkungan.

Pembinaan kesehatan lingkungan di institusi sekolah dan pondok pesantren.

b. Rumah Sehat

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi

sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Rumah

haruslah sehat dan nyaman agar penghuninya dapat berkarya untuk meningkatkan

produktivitas. Konstruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat

kesehatan merupakan faktor risiko penularan berbagai jenis penyakit khususnya

penyakit berbasis lingkungan seperti Demam Berdarah Dengue, Malaria, Flu

Burung, TBC, ISPA dan lain - lain.

Page 96: Profil Dinkes Jateng 2009

Pada Tahun 2009 sebanyak 41,18% (3.314.318 buah) rumah telah diperiksa

kondisi kesehatan lingkungannya secara sampling dan yang memenuhi syarat

rumah sehat sebesar 65,12%.

Gambar 4.25

Cakupan Rumah Sehat Di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2007 - 2009

Jumlah rumah yang bebas jentik nyamuk Aedes aegypti tahun 2009

sebanyak 2.330.525 rumah atau 79,38% (Pemantauan jentik di 2.935.764 rumah

dari 7.773.432 rumah yang ada). Cakupan angka bebas jentik ini masih dibawah

target 95 %. Oleh karena itu gerakan pemberantasan sarang nyamuk dengan 3 M

Plus (Menguras, Menutup, Mengubur dan Plusnya adalah Mencegah Gigitan

Nyamuk), bila memungkinkan pemakaian ulang kaleng, ban untuk pot dan lain -

lain harus selalu digerakkan secara optimal, mengingat kasus Demam Berdarah

yang cenderung meningkat dan bertambah luasnya wilayah yang terjangkit.

c. Pengawasan Tempat - Tempat Umum dan Pengelolaan Makanan

Tempat - tempat umum adalah kegiatan bagi umum yang dilakukan oleh

badan pemerintah, swasta atau perorangan yang langsung digunakan oleh

masyarakat yang mempunyai tempat dan kegiatan tetap serta memiliki fasilitas.

Pengawasan sanitasi tempat umum bertujuan untuk mewujudkan kondisi yang

memenuhi syarat kesehatan agar masyarakat pengunjung terhindar dari

kemungkinan bahaya penularan penyakit serta tidak menyebabkan gangguan

terhadap kesehatan masyarakat di sekitarnya. Risiko dari pengelolaan makanan

mempunyai peluang yang besar dalam penularan penyakit karena jumlah

konsumen relatif banyak dalam waktu yang bersamaan.

Page 97: Profil Dinkes Jateng 2009

Cakupan pengawasan sanitasi tempat - tempat umum yang memenuhi

syarat kesehatan Tahun 2009 meliputi Hotel 88,87%, Restoran 75,38%, Pasar

61,78% dan TUPM lainnya (73.59%). Pada Tempat Umum Pengelolaan Makanan,

jumlah diperiksa sebanyak 48.694 buah dan yang memenuhi syarat kesehatan

35.826 (73.57%)

Beberapa hambatan dalam pelaksanaan program penyehatan lingkungan

antara lain, yaitu :

Tenaga Pengelola Penyehatan Lingkungan di Puskesmas sebagian besar

merangkap tugas lain dan sangat terbatas untuk memperoleh pelatihan tentang

penyehatan lingkungan.

Anggaran kegiatan penyehatan lingkungan di Puskesmas sangat

terbatas,karena belum menjadi prioritas. Anggaran di Kabupaten/Kota masih

berorientasi kepada pemberian bantuan sarana air bersih dan jamban keluarga

karena masyarakat maupun stakeholder masih berorientasi/menginginkan

stimulan tersebut. Hal ini berdampak pula pada kegiatan pemicuan stop buang

air besar sembarangan di masyarakat masih lamban.

Kebiasaan Buang Air Besar di sembarang tempat masih cukup besar karena

berkaitan dengan budaya dan ekonomi.

Pedoman/instrumen dan media promosi tentang penyehatan

lingkungan terbatas di Puskesmas dan Kabupaten/Kota.

Data cakupan program Penyehatan Lingkungan merupakan sampling bukan

total populasi dan setiap tahunnya dilakukan sampling yang berbeda.

Peralatan penunjang kegiatan penyehatan lingkungan sangat terbatas di

Puskesmas. Hal ini menjadikan petugas Puskesmas kurang percaya diri ketika

bertugas di masyarakat/lapangan.

Belum optimalnya sinkronisasi pembangunan di bidang air minum dan

penyehatan lingkungan (Bapermas, Cipta Karya, Kesehatan dan Swasta).

Kondisi sanitasi masih buruk disamping belum adanya dukungan perilaku hidup

bersih dan sehat sehingga masih terjadi penyakit dan kejadian luar biasa yang

berhubungan dengan sanitasi lingkungan.

Page 98: Profil Dinkes Jateng 2009

Upaya yang telah dilakukan antara lain :

Pembahasan kegiatan dan monitoring evaluasi Air Minum dan Penyehatan

Lingkungan (AMPL) oleh Kelompok Kerja AMPL Provinsi dan Kabupaten/Kota

serta sinkronisasi kegiatan Provinsi dengan Kabupaten/Kota.

Pengembangan Community Led Total Sanitation (CLTS) dalam memicu

perubahan perilaku buang air besar di sembarang tempat dan penurunan

penularan penyakit Dare dan Polio serta pengembangan hygiene dan sanitasi

sekolah.

Pengembangan kabupaten/kota sehat dalam mendukung kawasan sehat dan

penggerakan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.

Pemberian stimulan dan penggerakan masyarakat dalam akses sanitasi

(stimulan rumah sehat untuk penderita TBC dan ISPA).

Pendidikan dan pelatihan tenaga penyehatan lingkungan Puskesmas melalui

dana APBD Provinsi melalui kerjasama antara Badan Pendidikan dan Pelatihan

Provinsi dengan Dinas Kesehatan Provinsi.

Fasilitasi perencanaan dan evaluasi serta data/indikator penyehatan lingkungan

dengan mengacu rencana strategis Dinas Kesehatan Provinsi dan data di

Kabupaten/Kota.

Pengembangan MPA - PHAST (Methodology For Participatory

Assesment dan Participatory Hygiene and Sanitation Transformation) untuk

memicu perubahan perilaku yang berkaitan dengan kegiatan Sanitasi Total

Berbasis Masyarakat.

E. PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT

1. Pemantauan Pertumbuhan Balita

a. Partisipasi Masyarakat Dalam Penimbangan

Salah satu upaya untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat adalah

melalui Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) yang sebagian kegiatannya

dilaksanakan di Posyandu. Penimbangan terhadap bayi dan balita yang dilakukan di

Page 99: Profil Dinkes Jateng 2009

posyandu merupakan upaya masyarakat memantau pertumbuhan dan

perkembangan bayi dan balita yang dintegrasikan dengan pelayanan kesehatan

dasar lain (KIA, Imunisasi, Pemberantasan Penyakit). Partisipasi masyarakat dalam

penimbangan di posyandu tersebut digambarkan dalam perbandingan jumlah balita

yang ditimbang (D) dengan jumlah balita seluruhnya (S). Semakin tinggi partisipasi

masyarakat dalam penimbangan di posyandu maka semakin baik pula data yang

dapat menggambarkan status gizi balita.

Partisipasi masyarakat dalam penimbangan di posyandu Provinsi Jawa

Tengah tahun 2009 sebesar 75,89%, lebih rendah bila dibandingkan dengan

pencapaian tahun 2008 yang sebesar 76,47%. Cakupan tertinggi adalah di

Kabupaten Pati yakni sebesar 97,64% dan terendah adalah di Kabupaten Cilacap

yakni sebesar 32,39%.

Gambar 4.26

Cakupan Balita Yang Datang Dan Ditimbang (D/S) Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009

Kabupaten/kota yang belum dapat mencapai target partisipasi masyarakat

sebesar 80% sebanyak 23 kabupaten/kota. Banyak hal dapat mampengaruhi tingkat

pencapaian partisipasi masyarakat dalam penimbangan di posyandu antara lain

tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan masyarakat tentang kesehatan dan gizi,

faktor ekonomi dan sosial budaya. Dari data yang ada menggambarkan bahwa

pedesaan dan perkotaan tidak memperlihatkan perbedaan yang menyolok dalam

partisipasi masyarakat tetapi yang sangat berpengaruh adalah faktor ekonomi dan

sosial budaya.

Page 100: Profil Dinkes Jateng 2009

b. Balita Yang Naik Berat Badannya

Keberhasilan kader posyandu dalam memberikan penyuluhan gizi kepada

masyarakat di desanya sehingga orang tua dapat memberikan makanan yang

cukup gizi kepada anaknya dapat tergambar dari jumlah balita yang naik

timbangannya. Anak sehat bertambah umur akan bertambah berat badannya dan

persentase Balita yang naik timbangannya dapat menggambarkan tingkat

kesehatan balita di wilayah kerja Posyandu. Beberapa hal yang mungkin

mempengaruhi tingkat pencapaian Balita yang naik timbangannya antara lain

pengetahuan keluarga tentang kebutuhan gizi Balita, penyuluhan gizi masyarakat

dan ketersediaan pangan di tingkat keluarga.

Gambar 4.27

Cakupan Balita Yang Naik Berat Badannya (N/D)

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009

Cakupan Balita yang naik timbangannya di Provinsi Jawa Tengah tahun

2009 sebesar 75,93%, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan

tahun 2008 (74,95%). Cakupan tertinggi adalah di Kabupaten Cilacap sebesar

87,94% dan terendah adalah di Kota Magelang sebesar 57,45%.

Cakupan Balita yang naik timbangannya selama 4 tahun terakhir

berfluktuasi, dimana mengalami penurunan dari tahun 2006 sampai dengan tahun

2008, tetapi meningkat lagi pada tahun 2009 ini.

Page 101: Profil Dinkes Jateng 2009

c. Balita Bawah Garis Merah (BGM)

Hasil penimbangan bayi dan balita di posyandu disamping tergambar balita

yang naik timbangannya juga diperoleh data balita BGM. BGM adalah merupakan

hasil penimbangan dimana berat badan balita berada di bawah garis merah pada

KMS. Tidak semua BGM dapat menggambarkan gizi buruk pada balita, hal ini

masih harus dilihat tinggi badannya, jika tinggi badan sesuai umur maka keadaan ini

merupakan titik waspada bagi orang tua untuk tidak terlanjur menjadi lebih buruk

lagi, namun jika balita ternyata pendek maka belum tentu anak tersebut berstatus

gizi buruk.

Target yang ingin dicapai secara nasional untuk BGM adalah kurang dari

5%. Persentase balita BGM Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 2,82%, ini

merupakan angka yang cukup rendah jika dibandingkan dengan target nasional.

Persentase BGM di kabupaten/kota sangat bervariasi yaitu persentase terendah di

Kabupaten Pati yaitu sebesar 0,61 % dan tertinggi di Kabupaten Cilacap sebesar

29,06%. Kabupaten yang persentase BGM-nya masih belum mencapai target (>

5%) adalah Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Batang (6,8%).

Gambar 4.28

Balita Bawah Garis Merah (BGM)

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009

Intervensi terhadap balita BGM antara lain adalah dengan pemberian MP-

ASI untuk balita berumur 6-24 bulan. Pada tahun 2009 jumlah anak BGM (6-24

bulan) sebanyak 127.145 anak dan yang mendapatkan penanganan berupa

pemberian MP-ASI adalah sebanyak 49.322 anak (38,79%). Pemberian MP-ASI

pada anak BGM adalah salah satu intervensi yang diambil dalam menangani

masalah anak BGM agar tidak jatuh pada kondisi yang lebih buruk lagi (Gizi Buruk).

Page 102: Profil Dinkes Jateng 2009

Secara rata-rata di Provinsi Jawa Tengah Cakupan Balita Garis Merah (BGM)

mengalami fluktuatif dari tahun 2006 sebesar 1,97%, turun menjadi 1,52% di tahun

2007, naik lagi menjadi 2,99% tahun 2008 dan tahun 2009 turun lagi menjadi

2,82%.

2. Pelayanan Gizi

a. Bayi dan Balita Mendapat Kapsul Vitamin A

Kurang Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar diseluruh

dunia terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada semua umur terutama

pada masa pertumbuhan. KVA dalam tubuh dapat menimbulkan berbagai jenis

penyakit yang merupakan “Nutrition Related Diseases” yang dapat mengenai

berbagai macam anatomi dan fungsi dari organ tubuh seperti menurunkan sistem

kekebalan tubuh dan menurunkan epitelisme sel-sel kulit. Salah satu dampak

kurang Vitamin A adalah kelainan pada mata yang umumnya terjadi pada anak usia

6 bulan - 4 tahun yang menjadi penyebab utama kebutaan di negara berkembang.

Salah satu program penanggulangan KVA yang telah dijalankan adalah

dengan suplementasi kapsul Vitamin A dosis tinggi 2 kali pertahun pada Balita dan

ibu nifas untuk mempertahankan bebas buta karena KVA dan mencegah

berkembangnya kembali masalah Xerofthalmia dengan segala manifestasinya

(gangguan penglihatan, buta senja dan bahkan kebutaan sampai kematian).

Disamping itu pemantapan program distribusi kapsul Vitamin A dosis tinggi juga

dapat mendorong tumbuh kembang anak serta meningkatkan daya tahan anak

terhadap penyakit infeksi, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan

kematian pada bayi dan anak.

Balita yang dimaksud dalam program distribusi kapsul Vitamin A adalah bayi

yang berumur mulai umur 6-11 bulan dan anak umur 12 - 59 bulan yang mendapat

kapsul vitamin A dosis tinggi. Kapsul Vitamin A dosis tinggi terdiri dari kapsul

Vitamin A biru dengan dosis 100.000 SI yang diberikan pada bayi berumur 6-11

bulan dan kapsul vitamin A berwarna merah dengan dosis 200.000 SI yang

diberikan pada anak umur 12-59 bulan dan diberikan pada bulan Pebruari dan

Agustus setiap tahunnya.

Page 103: Profil Dinkes Jateng 2009

Berdasarkan data yang yang diperoleh dari profil kesehatan kabupaten/kota di

Jawa Tengah tahun 2009, cakupan pemberian kapsul Vitamin A dosis tinggi pada bayi

sebesar 98,11%, mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan dengan cakupan

tahun 2008 yang sebesar 98,57%. Ini berarti sudah melampaui target SPM sebesar

95%. Sebagian besar kabupaten/kota telah melampaui target, hanya ada 3

kabupaten/kota yang masih di bawah target yaitu Kabupaten Cilacap (80,51%),

Kabupaten Jepara (93,79%) dan Kabupaten Pemalang (91,04%).

Gambar 4.29

Cakupan Suplementasi Kapsul Vit. A Pada Bayi dan Balita

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009

Cakupan pemberian kapsul vitamin A pada Balita tahun 2009 sebesar

83,31%, mengalami banyak penurunan dibandingkan cakupan tahun 2008 yang

mencapai 95,14%. Cakupan ini masih di bawah target SPM sebesar 95%. Cakupan

tertinggi (>100%) sudah dapat dicapai oleh 4 kabupaten/kota yaitu Kabupaten

Magelang, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Pati dan Kota Surakarta. Cakupan

terendah adalah di Kabupaten Blora sebesar 14,41%. Cakupan pemberian kapsul

vitamin A pada bayi dan Balita selama 4 tahun terakhir (2006-2009) dapat dilihat

dalam gambar berikut ini :

b. Ibu Nifas Mendapat Kapsul Vitamin A

Ibu nifas adalah ibu yang baru melahirkan bayinya yang dilaksanakan di

rumah dan atau rumah bersalin dengan pertolongan dukun bayi dan atau tenaga

Page 104: Profil Dinkes Jateng 2009

kesehatan. Suplementasi vitamin A pada ibu nifas merupakan salah satu program

penanggulangan kekurangan vitamin A.

Cakupan ibu nifas mendapat kapsul vitamin A adalah cakupan ibu nifas yang

mendapat kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI) pada periode sebelum 40 hari

setelah melahirkan. Cakupan ibu nifas mendapat kapsul vitamin A di Provinsi Jawa

Tengah tahun 2009 sebesar 87,31%, mengalami penurunan dibandingkan dengan

cakupan tahun 2008 yang mencapai 92,94%. Cakupan tertinggi (>100%) dicapai

oleh Kabupaten Banyumas dan Kota Semarang. Sementara cakupan terendah

adalah di Kabupaten Cilacap sebesar 50,18%.

Beberapa hal yang mempengaruhi fluktuasi angka cakupan pemberian

vitamin A pada bayi, balita, dan bufas diantaranya adalah :

- Advokasi, pendekatan, dan lain-lain bentuk yang disertai dengan

penyebarluasan informasi.

- Forum komunikasi, yang bermanfaat sebagai wahana yang mendukung

terlaksananya kegiatan KIE di berbagai sektor terkait.

- Sosialisasi pemberian kapsul Vitamin A terhadap petugas kesehatan di

Puskesmas, rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan lainnya.

- Kegiatan konseling/konsultasi gizi dilakukan oleh tenaga kesehatan di

Puskesmas dan rumah sakit pada sasaran ibu anak.

- Tersedianya sarana pelayanan kesehatan yang terjangkau.

- Lintas program/ lintas sektor terkait (Promosi Kesehatan, Imunisasi, dll)

- Adanya sweeping dari kader kesehatan dengan sasaran ibu anak yang belum

mendapatkan kapsul Vitamin A pada bulan kapsul.

c. Bayi BGM Gakin Mendapat MP ASI

Bayi Bawah Garis Merah (BGM) keluarga miskin adalah bayi usia 6 - 11

bulan yang berat badannya berada pada garis merah atau di bawah garis merah

pada KMS. Keluarga miskin adalah keluarga yang ditetapkan oleh Pemerintah

Daerah kabupaten/kota melalui Tim Koordinasi Kabupaten/Kota (TKK) dengan

Page 105: Profil Dinkes Jateng 2009

melibatkan Tim Desa dalam mengidentifikasi nama dan alamat gakin secara tepat

sesuai dengan Gakin yang disepakati. Cakupan pemberian makanan pendamping

ASI pada bayi usia 6 - 11 bulan BGM dari keluarga miskin adalah pemberian MPASI

dengan porsi 100 gram per hari selama 90 hari.

Cakupan bayi BGM Gakin yang mendapat MP-ASI di Provinsi Jawa Tengah

tahun 2009 sebesar 26,62%, mengalami penurunan bila dibandingkan cakupan

tahun 2008 yang mencapai 32,49%. Sementara cakupan tahun 2007 sangat t inggi

yaitu mencapai 95,72%. Cakupan yang sangat fluktuatif tersebut menunjukkan

kurangnya validitas data tersebut. Kurangnya validitas data tersebut disebabkan

banyaknya kabupaten/kota yang tidak masuk datanya untuk indikator ini. Data tidak

masuk disebabkan memang kesulitan untuk mendapatkan data tersebut. Kesulitan

itu disebabkan pencatatan pelaporan yang ada saat ini belum memisahkan bayi

BGM dari maskin dan non maskin. Untuk itu perlu adanya perbaikan pencatatan,

sehingga ke depan akan didapatkan data yang lengkap dan benar untuk indikator

ini.

d. Balita Gizi Buruk Mendapat Perawatan

Balita gizi buruk mendapat perawatan adalah balita dengan gizi buruk yang

ditangani di sarana pelayanan kesehatan dan atau di rumah oleh tenaga kesehatan

sesuai tata laksana gizi buruk di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

Sedang gizi buruk adalah status gizi menurut berat badan (BB) dan tinggi badan

(TB) dengan Z score < -3 SD, dan atau dengan tanda-tanda klinis (marasmus,

kwasiorkor, dan marasmus-kwasiorkor).

Page 106: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 4.30

Cakupan Balita Gizi Buruk Yang Mendapat Perawatan

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009

Jumlah Balita gizi buruk yang ditemukan di Provinsi Jawa Tengah pada

tahun 2009 sebanyak 4.696 balita. Balita gizi buruk yang mendapatkan perawatan

sesuai standar sebanyak 3.404 kasus atau sebesar 72,49%. Persentase ini

menurun jika dibandingkan dengan tahun 2008 yang mencapai 80,97%. Hal ini ada

kaitannya dengan partisipasi masyarakat dan fihak-fihak lain dalam perawatan gizi

buruk.

Sebanyak 28 kabupaten/kota sudah memenuhi target 100%. Satu kabupaten

tidak masuk datanya yaitu Kabupaten Sragen. Enam kabupaten/kota mempunyai

cakupan yang rendah (< 100%). Untuk kabupaten/kota yang cakupannya sangat

rendah ini kemungkinan terjadi karena kesalahan persepsi dan kurangnya

pemahaman terhadap definisi operasional variabel.

Page 107: Profil Dinkes Jateng 2009

e. Wanita Usia Subur Yang Mendapat Kapsul Yodium

Pemberian kapsul yodium kepada sasaran wanita usia subur di daerah

endemik berat dan sedang dimaksudkan untuk mencegah kretinisme pada bayi.

Daerah-daerah endemik GAKY yang memerlukan intervensi kapsul yodium meliputi

11 kabupaten, yaitu Cilacap, Banjarnegara, Wonosobo, Magelang, Wonogiri,

Karanganyar, Pati, Temanggung, Kendal, Tegal dan Brebes.

Berdasarkan laporan yang masuk dari 9 kabupaten tampak bahwa cakupan

WUS yang mendapat kapsul yodium baru mencapai 52,66%. Cakupan ini cukup

rendah dibandingkan dengan target sebesar 90%, walaupun masih lebih tinggi

tajam dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 yang sebesar 49.91%. Dari 9

kabupaten/kota yang mempunyai cakupan tertinggi adalah Kabupaten Magelang

(98,84%). Sementara cakupan terendah adalah Kabupaten Wonogiri yang hanya

sebesar 1,47%. Hal ini perlu mendapatkan perhatian untuk dilakukan validasi data

dan apabila ternyata memang cakupannya sangat rendah, perlu dilakukan kajian

untuk menemukan masalah dan merumuskan upaya peningkatan cakupan WUS

yang mendapatkan kapsul Yodium.

Gambar 4.31

Cakupan WUS Mendapat Kapsul Yodium

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009

F. PERILAKU HIDUP MASYARAKAT

1. Persentase Rumah Tangga Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di rumah tangga merupakan upaya

untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar sadar, mau dan mampu melakukan

Page 108: Profil Dinkes Jateng 2009

PHBS dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya, mencegah risiko terjadinya

penyakit dan melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan

kesehatan masyarakat.

Yang dimaksud rumah tangga sehat adalah proporsi rumah tangga yang

memenuhi minimal 11 indikator dari 16 indikator PHBS tatanan rumah tangga. Adapun

16 indikator PHBS tatanan Rumah tangga Provinsi Jawa Tengah meliputi :

a. Variabel KIA dan GIZI : Persalinan Nakes; ASI Eksklusif; Penimbangan Balita; Gizi

seimbang

b. Variabel KESLING : Air bersih; Jamban; Sampah;Kepadatan hunian;lantai rumah.

c. Variabel GAYA HIDUP : Aktifitas fisik; Tidak merokok; Cuci tangan;Kesehatan gigi

dan mulut; Miras/Narkoba

d. Variabel UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT : Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

(JPK) dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).

Berdasarkan data hasil pengkajian PHBS Tatanan Rumah Tangga yang

dilaporkan oleh Dinas Kesehatan 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2009,

dapat diketahui bahwa dari sejumlah 8.885.675 rumah tangga yang ada di Jawa

Tengah, yang dilakukan pengkajian baru sejumlah 2.085.999 rumah tangga atau baru

mencapai 23% atau terjadi kenaikan sebesar 9% apabila dibandingkan dengan hasil

pengakajian tahun 2008 dimana dari 8.771.411 Rumah Tangga yang ada baru sebesar

14% yang telah dilakukan pengkajian (1.185.571 Rumah Tangga), akan tetapi

mengalami penurunan sebesar 10% apabila dibandingkan dengan hasil pengkajian

tahun 2007 yang telah mencapai 33% Rumah Tangga. Hal ini disebabkan karena

belum semua Kabupaten/Kota secara rutin mengalokasikan dukungan dana dari APBD

II untuk kegiatan pemetaan PHBS.

Page 109: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 4.32

Grafik Persentase Rumah Tangga Sehat Berdasarkan Strata

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 s/d 2009

Apabila dilihat dari pencapaian persentase rumah tangga sehat yaitu yang

diwakili oleh rumah tangga yang mencapai strata sehat utama dan sehat paripurna

telah mencapai 63,68% dengan cakupan tertinggi di Kabupaten Wonogiri (92%),

sedangkan cakupan rumah tangga sehat terendah adalah Kabupaten Kendal dan

Kabupaten Wonosobo yaitu masing-masing sebesar (49%). Terjadi peningkatan

dibandingkan dengan cakupan rumah tangga sehat pada tahun 2008 yang mencapai

57,91% demikian juga apabila dibandingkan dengan cakupan tahun 2007 yang

mencapai 43.79%. Sebanyak 20 Kabupaten/Kota telah mencapai target rumah tangga

sehat melebihi 65% (target SPM tahun 2010), mengalami penurunan apabila dibanding

Tahun 2008 yang telah mencapai 22 Kabupaten/kota. Dan apabila dibandingkan

dengan target pencapaian Renstra tahun 2008-2013 yaitu Kabupaten/Kota mencapai

rumah tangga sehat 75%, pencapaian Jawa Tengah belum berhasil, karena baru

mencapai 63,68 %. Hal tersebut dapat terjadi karena perubahan perilaku tidak dapat

terjadi dalam waktu singkat, tetapi memerlukan proses yang sangat panjang termasuk

didalamnya perlu upaya pemberdayaan masyarakat yang berkesinambungan. Berikut

ini adalah Grafik persentase rumah tangga sehat berdasarkan strata Utama dan

Paripurna di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 s/d 2009.

Page 110: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 4.33

Grafik Persentase Rumah Tangga Sehat (Strata Utama dan Strata Paripurna)

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 s/d 2009

Berdasarkan hasil pemetaan PHBS tatanan Rumah Tangga Kabupaten/Kota

tahun 2009, diperoleh 5 (lima) urutan prioritas masalah berdasarkan 16 indikator PHBS

sebagai berikut :

o Perilaku anggota rumah tangga tidak merokok baru mencapai 33%, sehingga masih

ada sebesar 67% Rumah tangga yang belum bebas rokok (variabel gaya hidup)

o Perilaku Rumah Tangga yang memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya

mencapai 50%, sehingga masih ada sebesar 50% rumah tangga yang belum

memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya ( variabel KIA/Gizi)

o Rumah tangga yang menjadi anggota JPK mencapai 55%, sehingga masih ada

45% Rumah tangga yang belum menjadi anggota JPK ( variabel UKM)

o Perilaku anggota rumah tangga melakukan aktifitas fisik mencapai 65%, sehingga

masih ada 35% Rumah Tangga yang belum melakukan aktifitas fisik secara rutin

(variabel gaya hidup)

o Rumah tangga yang menggunakan lantai rumah kedap air mencapai 67%,

sehingga masih ada 33% rumah tangga yang menggunakan lantai tidak kedap air

(Variabel kesling)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari 5 urutan prioritas masalah tersebut,

diperlukan kegiatan intervensi yang melibatkan lintas program/sektor terkait, mengingat

kelima urutan prioritas masalah tersebut mewakili variabel yang beragam, sehingga

Page 111: Profil Dinkes Jateng 2009

koordinasi dengan program dan sektor terkait diharapkan dapat mendukung

peningkatan dan pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat.

2. Persentase Posyandu Aktif

Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya

Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan

dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan

kesehatan guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada

masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar, utamanya 5 program

prioritas yang meliputi (KB; KIA; Gizi; Imunisasi dan penanggulangan diare dan ISPA)

dengan tujuan mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi.

Gambar 4.34

Persentase Posyandu Berdasarkan Strata

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 s/d 2009

Dasar penghitungan Strata/penilaian tingkat perkembangan posyandu yang

selama ini digunakan adalah :

a. Manajemen ARRIF dengan 8 indikator yang meliputi : Frekuensi penimbangan;

Rerata kader bertugas pada hari buka Posyandu; Rerata cakupan D/S; Cakupan

kumulatif KB; Cakupan kumulatif KIA; Cakupan kumulatif imunisasi; Ada tidaknya

program tambahan dan Cakupan dana sehat

Page 112: Profil Dinkes Jateng 2009

b. Penghitungan strata Posyandu secara kuantitatif berdasar Surat Gubernur Jawa

Tengah nomor 411.4/05768, tanggal 20 Februari 2007 tentang Pedoman teknis

penghitungan strata Posyandu secara kuantitatif di Jawa Tengah yang dinilai

meliputi :

Variabel Input : kepengurusan, kader,sarana, prasarana dan dana

Variabel Proses : pelaksanaan program pokok, program pengembangan dan

administrasi

Variable Output : D/S; N/S; K/S; cakupan K4; pertolongan persalinan oleh

nakes; Cakupan peserta KB, Imunisasi; dana sehat; Fe; Vit A; pemberian ASI

eksklusif dan frekuensi penimbangan.

Berdasarkan laporan Kabupaten/kota, jumlah posyandu di Jawa Tengah dalam

3 tahun terakhir mengalami peningkatan. Data Posyandu di Jawa Tengah pada tahun

2009 sebanyak 48.096 buah, mengalami kenaikan sebesar 811 buah apabila

dibandingkan dengan jumlah Posyandu Tahun 2008 sebanyak 47.285 buah, serta

mengalami kenaikan sebesar 1.273 posyandu apabila dibandingkan dengan jumlah

Posyandu tahun 2007 yaitu sejumlah 46.823 buah.

Gambar 4.35

Jumlah Posyandu Di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2007 s/d 2009

Page 113: Profil Dinkes Jateng 2009

Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa Posyandu secara kuantitatif maupun

kualitatif dalam 3 (tiga) tahun terakhir mengalami peningkatan. Meskipun kenaikan

secara kualitatif (strata purnama dan strata mandiri) relatif kecil.

a. Posyandu Purnama

Posyandu Purnama adalah Posyandu yang sudah dapat melaksanakan

kegiatan lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader sebanyak lima

orang atau lebih, cakupan kelima kegiatan utamanya lebih dari 50%, mampu

menyelenggarakan program tambahan, serta telah memperoleh sumber

pembiayaan dari dana sehat yang dikelola oleh masyarakat yang pesertanya masih

terbatas yakni kurang dari 50% KK di wilayah kerja Posyandu.

Posyandu yang mencapai Strata Purnama pada tahun 2009 sebanyak

15.770 (32,79%), dengan nilai tertinggi di Kabupaten Karanganyar (52,24%) dan

terendah di Kabupaten Blora (13,92%). Cakupan tersebut mengalami penurunan

apabila dibanding tahun 2008 yang mencapai 33,85%. Sebanyak 8 kabupaten/kota

(22,86%) telah berhasil mencapai target SPM 2010 (40%). Angka tersebut apabila

dibandingkan dengan target Renstra tahun 2009 ”bahwa sebanyak 80%

Kabupaten/Kota telah mengembangkan Posyandu Purnama 40%” masih jauh

tertinggal, karena pencapaian di Jawa Tengah tahun 2009 baru mencapai 22,86%. Gambar 4.36

Cakupan Posyandu Purnama Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2006 - 2009

Belum tercapainya target sesuai Renstra dapat disebabkan kegiatan

revitalisasi posyandu yang sudah dilaksanakan selama ini belum optimal, yang

dipengaruhi beberapa kendala antara lain :

Kegiatan Koordinasi dan sinkronisasi lintas program/sektoral belum optimal,

Dukungan lintas sektor belum terlihat nyata/masih sepotong-potong

Kelengkapan sarana prasarana maupun ketrampilan kader yang masih perlu

ditingkatkan.

Page 114: Profil Dinkes Jateng 2009

Melihat kondisi tersebut, kegiatan revitalisasi posyandu masih perlu

mendapat perhatian dari semua sektor/pihak terkait. Termasuk didalamnya adalah

dengan mengoptimalkan fungsi Posyandu maupun pokjanal Posyandu yang sudah

terbentuk baik di tingkat Provinsi,Kabupaten/Kota maupun Kecamatan serta pokja

Posyandu di tingkat desa/kelurahan.

b. Posyandu Mandiri

Posyandu Mandiri adalah Posyandu sudah dapat melaksanakan kegiatan

lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader sebanyak lima orang atau

lebih, cakupan kelima kegiatan utamanya lebih dari 50%, mampu

menyelenggarakan program tambahan, serta telah memperoleh sumber

pembiayaan dari dana sehat yang dikelola oleh masyarakat yang pesertanya lebih

dari 50% KK di wilayah kerja Posyandu.

Posyandu yang mencapai Strata Mandiri tahun 2009 sejumlah 6.051 buah

(12,58%), dengan nilai tertinggi di Kota Surakarta (50,34%) dan terendah di

Kabupaten Rembang (0,16%). Pencapaian tersebut mengalami peningkatan

sebesar 2,53% dibanding tahun 2008 yang mencapai 10,05% dan terjadi

peningkatan sebesar 3,82% dibanding tahun 2007 yang mencapai 8,76%.

Pencapaian Cakupan tersebut sudah melampaui target SPM 2010 (> 2%),

hanya masih tersisa satu Kabupaten (2,86%) yang belum mencapai target

posyandu mandiri 2 % yaitu Kabupaten Rembang yang baru mencapai strata

mandiri 0,16 %. Gambar 4.37

Cakupan Posyandu Mandiri di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2006 - 2009

Page 115: Profil Dinkes Jateng 2009

Apabila dilihat dari gambar 4.38, terlihat bahwa terjadi kenaikan persentase

pencapaian strata mandiri. Pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 1,29%

dari tahun 2007, dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 2,53% dari

tahun 2008. Berdasarkan data di atas, dan hasil pemantauan di lapangan, hal

tersebut dapat terjadi seiring dengan dikembangkannya Posyandu Model (Kegiatan

Posyandu yang sudah diintegrasikan dengan minimal satu kelompok kegiatan yang

sesuai dengan karakteristik daerah, misal kegiatan BKB, PAUD, UP2K). Sehingga

secara tidak langsung kegiatan integrasi tersebut dapat mempengaruhi pencapaian

indicator proses maupun indicator output posyandu.

3. Bayi Yang Mendapat ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) merupakan satu-satunya makanan yang sempurna dan

terbaik bagi bayi karena mengandung unsur-unsur gizi yang dibutuhkan oleh bayi untuk

pertumbuhan dan perkembangan bayi guna mencapai pertumbuhan dan

perkembangan bayi yang optimal.

ASI adalah hadiah yang sangat berharga yang dapat diberikan kepada bayi,

dalam keadaan miskin mungkin merupakan hadiah satu-satunya, dalam keadaan sakit

mungkin merupakan hadiah yang menyelamatkan jiwanya (UNICEF). Oleh sebab itu

pemberian ASI perlu diberikan secara eksklusif sampai umur 6 (enam) bulan dan tetap

mempertahankan pemberian ASI dilanjutkan bersama makanan pendamping sampai

usia 2 (dua) tahun.

Kebijakan Nasional untuk memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan telah

ditetapkan dalam SK Menteri Kesehatan No. 450/Menkes/SK/IV/2004. ASI eksklusif

adalah Air Susu Ibu yang diberikan kepada bayi sampai bayi berusia 6 bulan tanpa

diberikan makanan dan minuman, kecuali obat dan vitamin. Bayi yang mendapat ASI

eksklusif adalah bayi yang hanya mendapat ASI saja sejak lahir sampai usia 6 bulan di

satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

Pemberian ASI eksklusif bukan hanya isu nasional namun juga merupakan isu

global. Pernyataan bahwa dengan pemberian susu formula kepada bayi dapat

menjamin bayi tumbuh sehat dan kuat, ternyata menurut laporan mutakhir UNICEF

(Fact About Breast Feeding) merupakan kekeliruan yang fatal, karena meskipun insiden

diare rendah pada bayi yang diberi susu formula, namun pada masa pertumbuhan

Page 116: Profil Dinkes Jateng 2009

berikutnya bayi yang tidak diberi ASI ternyata memiliki peluang yang jauh lebih besar

untuk menderita hipertensi, jantung, kanker, obesitas, diabetes dll.

Berdasarkan data yang diperoleh dari profil kesehatan kabupaten/kota di

Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 menunjukkan cakupan pemberian ASI eksklusif

hanya sekitar 40,21%, terjadi peningkatan dibandingkan dengan tahun 2008 (28,96%),

tetapi dirasakan masih sangat rendah bila dibandingkan dengan target pencapaian ASI

eksklusif tahun 2010 sebesar 80%.

Cakupan tertinggi adalah di Kabupaten Banyumas yaitu sebesar 87,99%.

Sedangkan yang terendah adalah di Kabupaten Kudus sebesar 4,77%. Hanya 4

kabupaten/kota saja yang telah mencapai pemberian ASI eksklusif di atas 60% yaitu

Kabupaten Banyumas, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Blora.

Gambar 4.38

Cakupan Pemberian ASI Eksklusif Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2006 - 2009

Beberapa hal yang menghambat pemberian ASI eksklusif diantaranya adalah :

1). Rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga lainnya mengenai manfaat ASI dan cara

menyusui yang benar.

2). Kurangnya pelayanan konseling laktasi dan dukungan dari petugas kesehatan.

3). Faktor sosial budaya.

4). Kondisi yang kurang memadai bagi para ibu yang bekerja.

Page 117: Profil Dinkes Jateng 2009

5). Gencarnya pemasaran susu formula.

Upaya- upaya yang telah dilaksanakan dalam rangka meningkatkan cakupan

pemberian ASI eksklusif tetap berpedoman pada Sepuluh Langkah Menuju

Keberhasilan Menyusui yaitu ;

1) Sarana Pelayanan Kesehatan mempunyai kebijakan Peningkatan Pemberian Air

Susu Ibu (PP-ASI) tertulis yang secara rutin dikomunikasikan kepada semua

petugas.

2) Melakukan pelatihan bagi petugas dalam hal pengetahuan dan ketrampilan untuk

menerapkan kebijakan tersebut.

3) Menjelaskan kepada semua ibu hamil tentang manfaat menyusui dan

penatalaksanaannya dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi lahir sampai umur 2

tahun termasuk cara mengatasi kesulitan menyusui.

4) Membantu ibu mulai menyusui bayinya dalam 30 menit setelah melahirkan yang

dilakukan di ruang bersalin (inisiasi dini). Apabila ibu mendapat operasi caesar, bayi

disusui setelah 30 menit ibu sadar.

5) Membantu ibu bagaimana cara menyusui yang benar dan cara mempertahankan

menyusui meski ibu dipisah dari bayi atas indikasi medis.

6) Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI kepada bayi baru

lahir.

7) Melaksanakan rawat gabung dengan mengupayakan ibu bersama bayi 24 jam

sehari.

8) Membantu ibu menyusui semau bayi semau ibu, tanpa pembatasan terhadap lama

dan frekuensi menyusui.

9) Tidak memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang diberi ASI.

10) Mengupayakan terbentuknya Kelompok Pendukung ASI (KP-ASI) dan rujuk ibu

kepada kelompok tersebut ketika pulang dari rumah sakit, rumah bersalin atau

sarana pelayanan kesehatan.

Page 118: Profil Dinkes Jateng 2009

4. Desa Dengan Garam Beryodium yang Baik

Persentase desa/kelurahan dengan garam beryodium yang baik,

menggambarkan identitas mutu garam beryodium yang dikonsumsi penduduk di suatu

desa/kelurahan. Pada tahun 2009 di Provinsi Jawa Tengah, sebanyak 48,81% dari

desa/kelurahan yang disurvey, masyarakatnya telah mengkonsumsi garam beryodium

yang memenuhi syarat (mengandung KJO3 30-80 ppm).

Gambar 4.39

Persentase Desa/Kelurahan dengan Garam Beryodium Baik

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009

Berdasarkan laporan yang masuk dari 31 kabupaten/kota, diantaranya yang

tertinggi adalah Kabupaten Sragen dengan 100% penduduknya telah mengkonsumsi

garam beryodium. Sedangkan kabupaten dengan konsumsi garam beryodium terendah

adalah Kabupaten Wonosobo (4,91%). Target cakupan untuk indikator ini adalah 90%,

sesuai dengan sasaran Garam Beryodium untuk Semua pada tahun 2010. Hal ini

berarti bahwa belum ada kemajuan yang berarti selama 4 tahun terakhir. Sejak tahun

2006 - 2009 berturut-turut tampak kecenderungan yang stagnan seperti dapat dilihat

pada gambar berikut.

5. Keluarga Sadar Gizi (Belum)

Keluarga sadar gizi adalah keluarga yang seluruh anggota keluarganya

melakukan perilaku gizi seimbang yang mencakup 5 indikator yaitu : biasa

mengkonsumsi aneka ragam makanan, selalu memantau kesehatan dan pertumbuhan

anggota keluarganya, khususnya balita dan ibu hamil, hanya menggunakan garam

beryodium untuk memasak makanannya, memberi dukungan pada ibu melahirkan

untuk memberikan ASI eksklusif dan biasa sarapan/makan pagi.

Page 119: Profil Dinkes Jateng 2009

Cakupan keluarga sadar gizi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah

41,24%, ada peningkatan dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar

35,26%. Cakupan terendah adalah Kabupaten Cilacap (14,15%) dan tertinggi di Kota

Surakarta (94,79%).

Cakupan yang naik atau turun sangat mencolok tersebut mengindikasikan

kurang akuratnya data yang ada. Hal ini salah satunya disebabkan banyaknya

kabupaten/kota yang tidak ada datanya. Pada tahun 2009 ini, sebanyak 11

kabupaten/kota datanya tidak masuk. Sedangkan pada tahun 2008 sebanyak 9

kabupaten/kota tidak tersedia data. Tidak tersedianya data tersebut dikarenakan tidak

semua kabupaten/kota melaksanakan kegiatan pemantauan keluarga sadar gizi. Tidak

adanya kegiatan berkaitan dengan tidak adanya pendanaan untuk kegiatan tersebut.

G. PELAYANAN KESEHATAN DALAM SITUASI BENCANA

Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit menular dan keracunan masih merupakan

salah satu masalah kesehatan masyarakat di Jawa Tengah. Tingginya frekuensi KLB

seperti Demam Berdarah Dengue (DBD), Chikungunya, AFP (Acute Flacid Paralisys),

Keracunan Makanan, Difteri, Campak, Diare, bencana serta munculnya penyakit baru

seperti Avian Influenza (Flu Burung), disamping menimbulkan korban kesakitan dan

kematian juga berdampak pada situasi sosial ekonomi masyarakat secara umum

(keresahan masyarakat, produktivitas menurun). Kondisi tersebut menuntut adanya

upaya/tindakan secara cepat dan tepat (kurang dari 24 jam) untuk menanggulangi setiap

KLB serta melaporkan kepada tingkat administrasi kesehatan di atasnya.

Data frekuensi KLB penyakit menular, keracunan makanan, dan bencana selama

tahun 2008 sebanyak 536 kejadian tersebar di 35 kabupaten/kota. Dari 536 desa/kelurahan

yang terkena KLB, seluruhnya (100%) telah mendapatkan penanganan kurang dari 24 jam

oleh Puskesmas bersama Dinas Kesehatan kabupaten/kota.

Page 120: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 4.40

Distribusi Frekuensi KLB menurut Jumlah Desa Yang Terserang

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006-2009

Dari grafik di atas diketahui bahwa jumlah desa/kelurahan yang terkena KLB di

Provinsi Jawa Tengah tahun 2006-2009 mengalami fluktuasi yaitu dari 567 desa/kelurahan

pada tahun 2006 meningkat menjadi 1023 desa/kelurahan pada tahun 2007, tetapi tahun

2008 dan 2009 terus mengalami penurunan yaitu sebanyak 543 dan 536 desa/kelurahan.

Gambar 4.41

Distribusi Frekuensi Persentase Desa/Kelurahan Terkena KLB

Yang Ditangani Kurang Dari 24 jam

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006-2009

Page 121: Profil Dinkes Jateng 2009

Dari grafik di atas diketahui bahwa persentase desa/kelurahan tekena KLB yang

ditangani kurang dari 24 jam di Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009 mengalami fluktuasi yaitu

dari 99,65% pada tahun 2006 meningkat menjadi 99,84% pada tahun 2007 kemudian turun

menjadi 99,63% dan meningkat lagi tahun 2009 menjadi 100% atau semua desa/kelurahan

yang terkena KLB mendapatkan penanganan kurang dari 24 jam.

Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan

dan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu desa/kelurahan dalam

jangka waktu tertentu. Sebaran Kejadian Luar Biasa menurut Kabupaten/Kota di Provinsi

Jawa Tengah tahun 2009 menunjukkan bahwa 3 kabupaten/kota dengan frekuensi KLB

terbanyak adalah Kabupaten Cilacap (63 kejadian), Kabupaten Sukoharjo (56 kejadian) dan

Kabupaten Wonogiri (50 kejadian).

Gambar 4.42

Jenis Kejadian Luar Biasa

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

Dari 536 desa/kelurahan yang terkena KLB di Provinsi Jawa Tengah pada tahun

2009, jenis KLB dengan frekuensi kejadian tertinggi adalah KLB DBD (95 desa/kelurahan)

tersebar di 13 kabupaten/kota pada 55 kecamatan. Angka serangan (Attack Rate) KLB

DBD pada tahun 2009 sebesar 0,15%, mengalami sedikit kenaikan bila dibandingkan

Page 122: Profil Dinkes Jateng 2009

dengan attack rate tahun 2008 yang sebesar 0,10%, sedangkan angka kematian (Case

Fatality Rate) akibat KLB DBD pada tahun 2009 sebesar 2,81%, mengalami kenaikan bila

dibandingkan CFR tahun 2008 sebesar 2,58%.

Kejadian Luar Biasa chikungunya yang ditemukan di 81 desa/kelurahan merupakan

KLB dengan frekuensi tertinggi kedua dengan angka serangan kasus (AR=1,63%) dan

angka kematian kasus (CFR=0,00%). Kondisi tersebut mengalami penurunan bila

dibanding tahun 2008 dimana frekuensi KLB chikungunya sebanyak 98 kejadian, dengan

angka serangan (AR=1,46%) dan angka kematian kasus (CFR=0,00%). Meskipun ada

penurunan jumlah desa/kelurahan, tetapi ada peningkatan di Attack Rate-nya, sehingga

tetap diperlukan adanya upaya peningkatan program, terutama kegiatan bidang promosi

(melalui penyuluhan) dan preventif (pemberantasan sarang nyamuk)

Berdasarkan Case Fatality Rate, KLB Tetanus Neonatorum merupakan kasus

KLB dengan Case Fatality Rate tertinggi (44,44%). Urutan selanjutnya adalah KLB

H1N1 (37,50%), HIV/AIDS (33,33%) dan KIPI (25%).

SITUASI SUMBER DAYA KESEHATAN A. SARANA KESEHATAN

1. Data Dasar Puskesmas

usat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah merupakan

sarana pelayanan masyarakat di tingkat dasar. Puskesmas terdiri dari

Puskesmas Perawatan, Puskesmas Non Perawatan, Puskesmas Pembantu, dan

Puskesmas Keliling. Jumlah Puskesmas di Jawa Tengah pada tahun 2009 sebanyak

853 (termasuk 303 Puskesmas Rawat Inap).. Bila dibandingkan dengan konsep wilayah

kerja Puskesmas, dengan sasaran penduduk yang dilayani oleh sebuah Puskesmas

rata-rata 30.000 penduduk per Puskesmas, maka rasio jumlah Puskesmas per 30.000

penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun tahun 2009 sebesar 0,78 lebih rendah

dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 0,79. Ini berarti bahwa di Provinsi Jawa

Page 123: Profil Dinkes Jateng 2009

Tengah jumlah Puskesmas masih kurang. Rasio tertinggi di Kabupaten Banjarnegara

(1,20) dan Rasio Terendah di Kabupaten Sukoharjo (0,43).

Kekurangan jumlah Puskesmas ini diupayakan agar dapat terpenuhi dengan

adanya Puskesmas Pembantu dan Puskesmas Keliling. Jumlah Puskesmas Pembantu

mengalami sedikit kenaikan dari 1.846 pada tahun 2008 menjadi 1.850 pada tahun

2009. Dengan adanya Puskesmas Pembantu diharapkan dapat mendekatkan

pelayanan kepada masyarakat.

Pada tahun 2009 jumlah Puskesmas Keliling di Provinsi Jawa Tengah adalah

1.130 unit, bertambah bila dibandingkan tahun 2008 yang hanya berjumlah 1.020 unit.

Rasio Puskesmas Keliling terhadap Puskesmas pada tahun 2009 adalah 1,32. Ini

berarti semua Puskesmas telah memiliki Puskesmas Keliling, bahkan ada yang memiliki

lebih dari satu. Puskesmas Perawatan juga bertambah dari 267 buah pada tahun 2008

menjadi 303 pada tahun 2009. Jumlah Puskesmas, Puskesmas Perawatan, Puskesmas

Pembantu, dan Puskesmas Keliling dapat dilihat pada gambar di bawah. Gambar 5.1

Jumlah Puskesmas, Puskesmas Perawatan, Puskesmas Pembantu, dan Puskesmas Keliling Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009

2. Indikator Pelayanan Rumah Sakit

Indikator yang digunakan untuk menilai perkembangan sarana rumah sakit

antara lain dengan melihat perkembangan fasilitas perawatan yang biasanya diukur

dengan jumlah rumah sakit dan tempat tidurnya serta rasionya terhadap jumlah

penduduk. Pada tahun 2009 jumlah rumah sakit di Provinsi Jawa Tengah menurut

jenis dan kepemilikannya adalah sebagai berikut : Tabel Jumlah Rumah Sakit di Provinsi Jawa Tengah menurut jenis dan pemilikan

Tahun 2009

Page 124: Profil Dinkes Jateng 2009

Pemilikan/Pengelola

Pem Pusat Pem Prov Pem Kab/Kota TNI/Polri BUMN Swasta Jml

RSU 2 4 42 11 1 113 173

RSJ 1 3 0 0 0 2 6

RSB 0 0 0 0 0 10 10

RSK lainnya

2 0 0 0 0 48 50

JML : 5 7 42 11 1 173 239

a. Pemakaian Tempat Tidur/Bed Occupancy Rate (BOR)

Merupakan prosentase pemakaian tempat tidur pada satu satuan waktu

tertentu. Indikator ini dipergunakan untuk menilai suatu kinerja rumah sakit dengan

melihat persentase pemanfaatan tempat tidur rumah sakit atau Bed Occupation

Rate (BOR). Angka BOR yang rendah menunjukkan kurangnya pemanfaatan

fasilitas perawatan rumah sakit oleh masyarakat. Angka BOR yang tinggi (>85%)

menunjukkan tingkat pemanfaatan tempat tidur yang tinggi, sehingga perlu

pengembangan rumah sakit atau penambahan tempat tidur. BOR yang ideal untuk

suatu rumah sakit adalah antara 60% sampai dengan 80%.

Dari 239 Rumah Sakit di Jawa Tengah tahun 2009 yang terdiri dari 11 RS

(4,51%) mempunyai tingkat pemanfaatan sangat tinggi diatas maksimal occupancy

rate, 74 RS (30,32%) mempunyai BOR yang dianggap cukup ideal. Tetapi masih

terdapat 75 RS (34,83) tingkat pemanfaatannya masih kurang, bahkan ada 40 RS

(18,85%) yang tingkat pemanfaatannya masih sangat rendah

b. Rata-rata Lama Rawat Seorang Pasien / Average Length of Stay (ALOS)

Rata-rata lama rawat seorang pasien yang secara umum/Average Length of

Stay (ALOS) yang ideal adalah antara 6 - 9 hari. Rata-rata lama rawat seorang

pasien di RS se Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 3,87, mengalami

peningkatan bila dibandingkan nilai ALOS tahun 2008 sebesar 3,61. Angka tersebut

masih berada dibawah nilai ALOS yang ideal. Dari 198 RS yang melapor, hanya 13

rumah sakit yang mempunyai nilai ALOS ideal yaitu RSUD Banyumas, RSIA

Amelia Banyumas, RSIA Aisyiyah Purworejo, RS Cakra Husada Klaten, RS Wira

Husada Blora, RSUD Kudus, RSUD Kraton Kab. Pekalongan, RSJ Prof dr. Soerojo

Kota Magelang, RSUD dr. Moewardi Surakarta, RSJ Daerah Surakarta, RSJ &

Page 125: Profil Dinkes Jateng 2009

Syaraf Puri Waluyo Surakarta, RS Sejahtera Bakti & Holistik Salatiga dan RSUP Dr.

Kariadi Semarang. Sedangkan 185 rumah sakit lainnya masih mempunyai nilai

ALOS di bawah 6.

a. Rata-rata Hari Tempat Tidur Tidak Ditempati / Turn Of Interval (TOI)

TOI bersama dengan ALOS merupakan indikator tentang efisiensi

penggunaan tempat tidur. Semakin besar TOI maka efisiensi penggunaan tempat

tidur semakin jelek. Angka ideal untuk TOI adalah 1 - 3 hari. Rata-rata TOI di

Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 5,90. Ini berarti nilai TOI di Provinsi

Jawa Tengah tahun 2009 belum masuk di angka ideal. Dari 198 RS yang melapor,

ada 94 rumah sakit yang mempunyai nilai TOI di atas 3.

b. Angka Kematian Umum Penderita Yang Dirawat di RS / Gross Death

Rate (GDR)

Angka GDR adalah untuk mengetahui mutu pelayanan atau perawatan rumah

sakit. Semakin rendah GDR, berarti mutu pelayanan rumah sakit semakin baik.

Angka GDR yang dapat ditolerir maksimum 45. Rata-rata angka GDR di Provinsi

Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 18,66, berarti masih berada dalam kisaran yang

bisa ditolerir. Dari 198 RS yang melapor, sebanyak 21 rumah sakit mempunyai nilai

GDR melebihi angka yang dapat ditolerir.

c. Angka Kematian Penderita Yang Dirawat < 48 Jam / Net Death Rate (NDR)

Angka NDR adalah untuk mengetahui mutu pelayanan atau perawatan rumah

sakit. Nilai NDR yang dapat ditolerir adalah 25 per 1.000 penderita keluar. Rata-rata

NDR di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 8,47, berarti masih berada

dalam kisaran yang bisa ditolerir.

Dari 198 RS yang melapor, sebanyak 13 rumah sakit mempunyai nilai NDR

melebihi angka yang dapat ditolerir. Dari data NDR dan GDR di Provinsi Jawa

Tengah tersebut, masih diperlukan tindak lanjut dengan upaya baru dalam

pelayanan kesehatan agar seluruh RS mempunyai NDR dan GDR di bawah angka

yang dapat ditolerir.

3. Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan Menurut Kepemilikan/Pengelola

Sarana Pelayanan Kesehatan terdiri dari RSU, RSJ, RSB, RS Khusus lainnya,

Puskesmas Perawatan, Puskesmas Non Perawatan, Pustu, Puskesling, RB, BP/Klinik,

Praktek Dokter Bersama, Praktek Dokter Perorangan dan Praktek Pengobatan

Tradisional. Jumlah sarana pelayanan kesehatan pada tahun 2009 sebanyak 15.129

Page 126: Profil Dinkes Jateng 2009

unit, yang terbagi dalam 6 (enam) kepemilikan yaitu : Pemerintah Pusat sebanyak 5

(0,03%), Pemerintah Provinsi sebanyak 8 (0,05%), Pemerintah kabupaten/kota

sebanyak 4.102 (0,67%), TNI/POLRI sebanyak 21 (0,14%), BUMN sebanyak 5

(0,03%), Swasta sebanyak 10.988 (72,63%).

4. Sarana Pelayanan Kesehatan Swasta

Sarana Pelayanan Kesehatan Swasta terdiri dari RSU, RSJ, RSB, RS Khusus

lainnya, Puskesmas, Posyandu, Polindes, PKD, RB, BP/Klinik, Apotek, Toko

Obat,GFK, Industri Obat Tradisional, Industri Kecil Obat Tradisional, Praktek Dok ter

Bersama, Praktek Dokter Perorangan dan Praktek Pengobatan Tradisional. Pada tahun

2009 jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan Swasta sebesar 10.362 buah. Persentase

tertinggi adalah Praktek Dokter Perorangan (60,02%), terendah adalah Rumah Sakit

Jiwa (0,02%).

5. Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat

Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat terdiri atas Desa Siaga, Forum

Kesehatan Desa, Poskesdes, Polindes, dan Posyandu. Total UKBM tahun 2009 adalah

70.740 buah, lebih banyak daripada tahun 2008. UKBM terbanyak adalah Posyandu

sebesar 48.096 (67,99%).

Poliklinik Kesehatan Desa adalah wujud upaya kesehatan bersumberdaya

masyarakat yang merupakan Program Unggulan di Jawa Tengah dalam rangka

mewujudkan desa siaga. PKD merupakan pengembangan dari Pondok Bersalin Desa.

Dengan dikembangkannya Polindes menjadi PKD maka fungsinya menjadi bertambah

yaitu sebagai tempat untuk memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan

masyarakat, sebagai tempat untuk melakukan pembinaan kader/pemberdaya an

masyarakat serta forum komunikasi pembangunan kesehatan di desa, dan sebagai

tempat memberikan pelayanan kesehatan dasar termasuk kefarmasian sederhana

serta untuk deteksi dini dan penanggulangan pertama kasus gawat darurat.

Pengembangan PKD dimulai sejak tahun 2004. Jumlah PKD pada tahun 2009

sebanyak 5.552 buah.

Desa siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan

kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah

kesehatan, bencana, dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri. Sebuah desa

dikatakan menjadi desa siaga apabila desa tersebut telah memiliki sekurang-kurangnya

sebuah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes). Jumlah Desa Siaga pada tahun 2009

Page 127: Profil Dinkes Jateng 2009

adalah 8.128 buah, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan jumlah

Poskesdes tahun 2008 sebanyak 7.419.

B. TENAGA KESEHATAN

1. Persebaran Tenaga Kesehatan

Peningkatan mutu pelayanan kesehatan dilakukan melalui perbaikan fisik dan

penambahan sarana prasarana, penambahan peralatan dan ketenagaan serta

pemberian biaya operasional dan pemeliharaan. Namun dengan semakin tingginya

pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan

semakin meningkat. Untuk itu dibutuhkan penambahan tenaga kesehatan yang

terampil dan siap pakai sesuai dengan karateristik dan fungsi tenaganya.

Sampai saat ini kebutuhan tenaga kesehatan masih belum sepenuhnya

terpenuhi. Hal tersebut dapat dilihat dari usulan permintaan kebutuhan tenaga

kesehatan baik di pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten/kota yang sulit

terpenuhi akibat belum tertatanya data-data serta belum siapnya anggaran untuk

perekrutan pegawai. Kekurangan lain disebabkan belum tergantinya tenaga kesehatan

yang sudah pensiun, dan makin kompleksnya masalah-masalah kesehatan yang

ditangani oleh tenaga tersebut.

Untuk mencukupi kebutuhan tenaga kesehatan tersebut ditangani dengan

membuka penerimaan CPNS baru baik secara swakelola maupun tenaga pusat yang

ditempatkan di daerah. Usulan lain dalam mencukupi kekurangan tenaga juga

dilakukan pengangkatan Dokter Tidak Tetap, Bidan Tidak Tetap yang kedepannya

mengangkat tenaga kesehatan lain sebagai pegawai tidak tetap disamping sebagai

Pegawai Harian Lepas (PHL). Dalam pengangkatan PTT tersebut dilakukan masa bakti

selama 3 (tiga) tahun baik dengan dana Pemerintah Pusat maupun dari Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masing-masing kabupaten/kota.

Jumlah tenaga kesehatan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebanyak

50.392 pegawai. Penempatan tenaga kesehatan tersebut tersebar belum merata pada

masing-masing pelayanan kesehatan. Secara berurutan persentase penempatan

tenaga kesehatan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah sebagai berikut :

Rumah Sakit sebesar 51,80 lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar

50,26% , Puskesmas sebesar 40,85% lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2008

sebesar 42,75%, Dinas Kesehatan kabupaten/kota sebesar 2,88% lebih kecil

dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 3,02%, sarana kesehatan lain sebesar

3,08% lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 2,74%, Institusi

Diklat/Diknakes sebesar 1,40% lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar

Page 128: Profil Dinkes Jateng 2009

1,22%, dan Dinas Kesehatan Provinsi sebesar 0,41 lebih kecil dibandingkan dengan

tahun 2008 sebesar 0,47%.

2. Rasio tenaga kesehatan per 100.000 penduduk

a. Rasio Tenaga Dokter Spesialis

Rasio Dokter Ahli per 100.000 penduduk di provinsi Jawa Tengah tahun

2009 sebesar 8,00, mengalami peningkatan bila dibandingkan rasio tahun 2008

sebesar 5,25. Rasio tersebut berada diatas target Indonesia Sehat 2010 dan

standar dari WHO sebesar 6 per 100.000 penduduk. Rasio dokter ahli per 100.000

penduduk yang tertinggi adalah di Kota Surakarta sebesar 69,61 dan rasio terendah

adalah di Kabupaten Klaten dan Kota Salatiga sebesar 0,00 per 100.000 penduduk

karena tidak ada dokter spesialis.

Gambar 5.2 Rasio Dr. Spesialis di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

b. Rasio Tenaga Dokter Umum

Rasio Dokter Umum per 100.000 penduduk tahun 2009 sebesar 11,35,

mengalami peningkatan dibanding tahun 2008 yang mencapai 10,41. Rasio tersebut

masih di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 40 per 100.000 penduduk.

Rasio Dokter Umum per 100.000 penduduk yang terbesar adalah Kota Surakarta

sebesar 52,78 dan rasio terendah adalah Kabupaten Brebes sebesar 5,42.

Page 129: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 5.3 Rasio Dr. Umum di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

c. Rasio Tenaga Dokter Gigi

Rasio Dokter Gigi di Provinsi Jawa Tengah per 100.000 penduduk tahun

2009 sebesar 3,14 mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan rasio tahun

2008 sebesar 2,72. Hal ini berarti masih di bawah target Indonesia Sehat 2010

sebesar 11 per 100.000 penduduk. Rasio terendah di Kabupaten Batang sebesar

0,88 dan tertinggi di Kota Tegal sebesar 13,31.

Gambar 5.4 Rasio Dr. Gigi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

d. Tenaga Kefarmasian

Tenaga Kefarmasian terdiri dari Apoteker, S-1 Farmasi, D-III Farmasi, dan

Asisten Apoteker. Jumlah tenaga kefarmasian di Provinsi Jawa Tengah pada tahun

2009 adalah 2.948. Rasio tenaga kefarmasian per 100.000 penduduk tahun 2009

sebesar 8.97, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan rasio tahun 2008

sebesar 9,13. Rasio tertinggi adalah di Kota Semarang sebesar 22,46, diikuti

Kota Surakarta sebesar 20,92. Rasio terendah adalah di Kota Salatiga (1,47).

Page 130: Profil Dinkes Jateng 2009

Sedangkan khusus untuk tenaga apoteker per 100.000 penduduk sebesar 2,07,

mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan dengan rasio tahun 2008 sebesar

2,37. Angka tersebut masih jauh dibawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 10

per 100.000 penduduk.

Gambar 5.5 Rasio Tenaga Farmasi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

e. Rasio Tenaga Gizi

Tenaga Gizi terdiri dari D-IV/S-1 Gizi, D-III Gizi, dan D-1 Gizi. Jumlah

Tenaga Gizi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah 1.248 orang. Rasio

Tenaga Gizi per 100.000 penduduk sebesar 3,80, mengalami peningkatan bila

dibandingkan rasio tahun 2008 sebesar 3,56. Angka tersebut masih di bawah target

Indonesia Sehat 2010 sebesar 22 per 100.000 penduduk. Rasio tertinggi adalah di

Kota Magelang yaitu sebesar 27,24 dan terendah adalah di Kabupaten Kudus

sebesar 1,16. Gambar 5.6

Rasio Tenaga Gizi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

Page 131: Profil Dinkes Jateng 2009

f. Rasio Tenaga Keperawatan

Jumlah Tenaga Keperawatan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009

adalah 21.612 orang. Rasio Tenaga Keperawatan per 100.000 penduduk sebesar

65,76, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan rasio tahun 2008 sebesar

60,43 per 100.000 penduduk. Angka tersebut masih di bawah target Indonesia

Sehat 2010 dan standar dari WHO sebesar 117.5 per 100.000 penduduk. Rasio

tertinggi adalah di Kota Magelang sebesar 650,00, disusul kemudian oleh Kota

Surakarta sebesar 387,62, Kota Tegal sebesar 210,36, Kota Semarang sebesar

189,18 dan Kota Pekalongan sebesar 171,12. Lima Kota tersebut telah melampaui

standar Indonesia Sehat 2010. Rasio yang tinggi tersebut disebabkan di kota-kota

tersebut terdapat rumah sakit rujukan yang cukup besar sehingga memerlukan

tenaga perawat yang banyak pula. Sedangkan rasio terendah adalah di Kabupaten

Klaten yaitu sebesar 16,50.

Gambar 5.7 Rasio Tenaga Perawat di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

g. Rasio Tenaga Bidan

Jumlah Tenaga Bidan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah

11.971 orang. Rasio Tenaga Bidan per 100.000 penduduk sebesar 36,69,

mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan rasio tahun 2008 sebesar 34.43.

Rasio tersebut masih di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 100 per

100.000 penduduk. Rasio tertinggi adalah di Kota Magelang sebesar 71,31 dan

yang terendah adalah di Kota Salatiga sebesar 16,25. Belum ada satu

kabupaten/kotapun yang memenuhi target Indonesia sehat 2010.

Page 132: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 5.8 Rasio Tenaga Bidan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

h. Rasio Tenaga Kesehatan Masyarakat

Jumlah Tenaga Kesehatan Masyarakat di Provinsi Jawa Tengah pada tahun

2009 adalah 1.351 orang. Rasio Tenaga Kesehatan Masyarakat per 100.000

penduduk sebesar 4,14, sedikit meningkat bila dibandingkan dengan rasio tahun

2008 sebesar 3.61. Rasio tersebut masih di bawah target Indonesia Sehat 2010

sebesar 40 per 100.000 penduduk. Rasio tertinggi adalah di Kota Salatiga sebesar

23,54, disusul kemudian oleh Kota Magelang sebesar 15,60. Rasio terendah adalah di

Kabupaten Kebumen yaitu sebesar 0,41. Belum ada satu kabupaten/kotapun yang

memenuhi target Indonesia Sehat 2010.

Gambar 5.9 Rasio Tenaga Kesehatan Masyarakat di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

Page 133: Profil Dinkes Jateng 2009

i. Rasio Tenaga Sanitasi

Tenaga sanitasi terdiri dari D-III sanitasi dan D-I sanitasi. Jumlah Tenaga

Sanitasi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah 1.125 orang. Rasio

Tenaga Sanitasi per 100.000 penduduk sebesar 3,45, mengalami penurunan bila

dibandingkan rasio tahun 2008 sebesar 3,59. Rasio tersebut masih sangat jauh di

bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 40 per 100.000 penduduk. Rasio

tertinggi adalah di Kota Magelang sebesar 15,60 dan terendah adalah di Kabupaten

Kebumen sebesar 1,15. Rasio tenaga sanitasi dapat dilihat pada gambar dibawah.

Gambar 5.10

Rasio Tenaga Sanitasi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

j. Rasio Tenaga Teknisi Medis

Tenaga Teknisi Medis terdiri atas analis laboratorium, teknik elektromedik,

penata rontgent, penata anestesi, dan fisioterapi. Jumlah Tenaga Teknisi Medis di

Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah 2.954 orang. Rasio Tenaga Teknisi

Medis per 100.000 penduduk sebesar 8.99, mengalami sedikit kenaikan bila

dibandingkan dengan rasio tahun 2008 sebesar 8,86. Rasio tertinggi adalah di Kota

Magelang yaitu sebesar 60,91, dan yang terendah adalah di Kabupaten Demak

sebesar 2,42.

Page 134: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 5.11 Rasio Tenaga Tehnisi Medis di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

Secara umum jumlah tenaga kesehatan di Provinsi Jawa Tengah masih

belum tercukupi sesuai dengan indikator Indonesia Sehat 2010. Namun Pemerintah

Provinsi maupun Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) telah berusaha mencukupi

kebutuhan tenaganya. Usaha yang dilakukan berupa pengangkatan tenaga baru

seperti CPNS, PHL maupun PTT.

Pemerataan tenaga kesehatan yang tersebar di wilayah pelayanan

kesehatan diupayakan dengan peningkatan sarana-sarana kesehatan yang ada

seperti peningkatan akreditasi rumah sakit serta peningkatan Puskesmas menjadi

Puskesmas Rawat Inap dan peningkatan pemberian Insentif oleh Departemen

Kesehatan bagi Tenaga Medis yang mau melaksanakan masa bakti di daerah

terpencil maupun sangat terpencil.

C. PEMBIAYAAN KESEHATAN

1. Persentase Anggaran Kesehatan Dalam APBD Kabupaten/Kota

Pada tahun 2009 jumlah total anggaran kesehatan di 35 kabupaten/kota se

Jawa Tengah Rp.2.121.096.713.805 dengan kontribusi terbesar sebesar 73,25%

berasal dari APBD Kab/kota. Kontibusi terendah adalah sumber biaya PHLN yaitu

0,19%. Persentase kontibusi anggaran kesehatan APBD Kab/kota tahun 2009 ini

mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2008 (78,70%).

APBD Provinsi yang dialokasikan untuk pembiayaan kesehatan di kab/kota

tahun 2009 adalah sebesar 0,57 %, jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan

tahun 2008 yaitu sebesar 0,95%. Kontribusi persentase DAK Bidang Kesehatan di

kabupaten/kota tahun 2009, baik yankes dasar maupun yankes rujukan (non Provinsi)

lebih besar jika dibandingkan dengan DAK Bidang Kesehatan tahun 2008 (12,07%).

Sesuai dengan Undang-Undang No. 33 tahun 2004, dalam rangka pelaksanaan

otonomi daerah/desentralisasi, terdapat pembagian peran dan wewenang antara

Page 135: Profil Dinkes Jateng 2009

pemerintah pusat dan daerah. Dalam pembangunan kesehatan, pemerintah pusat dan

daerah menyediakan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau dan berkualitas.

Melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), pemerintah pusat memberikan anggaran pada

daerah untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan

merupakan prioritas nasional.

DAK Bidang Kesehatan terdiri dari 2 (dua) pelayanan, yaitu:

a. Upaya Pelayanan Kesehatan Dasar jumlah anggaran Rp.258.389.000.000,-

tersebar di 35 kabupaten/kota, jumlah terbesar di Kab. Klaten yaitu sebesar

Rp.9.257.000.000,- dan yang terkecil di Kota Salatiga yaitu Rp.5.614.000.000,- .

DAK pelayanan kesehatan dasar tahun 2009 dimanfaatkan untuk pembangunan,

peningkatan, perbaikan dan pengadaan sarana prasarana serta peralatan kesehatan

Puskesmas dan jaringannya, Poskesdes serta penyediaan sarana/prasarana

penunjang pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota.

b. Upaya Pelayanan Kesehatan Rujukan di RS Kab/kota jumlah anggaran sebesar

Rp.30.347.000.000,- tersebar di 20 Rumah sakit kabupaten/kota, jumlah terbesar di

RSUD Ashari Pemalang (Rp.3.017.000.000,-) dan yang terkecil di BLUD

RSU Banyumas (Rp. 662.000.000,-). DAK pelayanan kesehatan rujukan

dimanfaatkan untuk pembangunan, peningkatan, perbaikan dan pengadaan sarana

prasarana serta peralatan kesehatan RS Provinsi/Kabupaten/Kota serta Unit

Transfusi Darah.

Jumlah anggaran ASKESKIN tahun 2009 mengalami peningkatan dari tahun

2008 sebesar 6,55% menjadi 11,03% pada tahun 2009. Anggaran kesehatan

bersumber PHLN tahun 2009 yang mencapai 0,19% dari keseluruhan anggaran

kesehatan mengalami penurunan dibandingkan tahun 2008 (0,21%).Kontribusi

anggaran kesehatan bersumber dana lain tahun 2009 mengalami peningkatan

dibandingkan tahun 2008 yaitu dari 0,07% menjadi 1,35%.

Anggaran belanja bersumber APBD Kab./kota yang dialokasikan untuk

pembiayaan kesehatan di kabupaten/kota tahun 2009 sebesar 9,15% dari total jumlah

APBD kabupaten/kota, Mengalami kenaikan 3,11% dibandingkan tahun 2008 yaitu

6,04%. Hal ini merupakan respon pemerintah yang positif terhadap pembangunan

bidang kesehatan di kab./kota.

Total angaran kesehatan di kab/kota tahun 2009 adalah sebesar

Rp.2.121.096.713.805,- mengalami kenaikan sebesar 33,32% dibandingkan dengan

tahun 2008 (Rp.1.590.940.254.847,-) Untuk anggaran kesehatan perkapita mengalami

kenaikan dari Rp.63.958,- pada tahun 2008 menjadi Rp.64.541,- pada tahun 2009.

Page 136: Profil Dinkes Jateng 2009

2. Pembiayaan Kesehatan Untuk Pelayanan Kesehatan Perorangan

a. Cakupan Penduduk Yang Menjadi Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Pra Bayar

Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, pemerintah telah

berupaya mengembangkan berbagai upaya kesehatan, salah satunya adalah

dengan mengembangkan suatu upaya kesehatan melalui program jaminan

kesehatan. Program ini dikembangkan dengan tujuan merubah pola pembayaran

yang biasanya dibayar setelah pelayanan diberikan dan pelayanan kesehatan yang

diterima secara komprehensif.

Namun disadari sampai saat ini perkembangan peserta jaminan kesehatan

sangat kurang menggembirakan. Data terakhir di Provinsi Jawa Tengah

menggambarkan perkembangan kepesertaan jaminan kesehatan saat ini baru

mencapai 19,37% dari total penduduk non maskin, mengalami peningkatan bila

dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 18,09%. Angka ini masih

sangat jauh di bawah target SPM 2010 sebesar 80%, bahkan dari target SPM 2005

sebesar 30% sekalipun. Sementara yang belum terjamin dengan pelayanan

kesehatan sebesar 80,63%.

Perkembangan kepesertaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dari tahun

ke tahun mengalami fluktuasi, kepesertaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

mengalami peningkatan yang menggembirakan sampai tahun 2006, pada tahun

2007 merupakan titik antiklimak kepesertaan Jaminan Kesehatan. Dua tahun

terakhir peserta Jaminan Kesehatan kembali mengalami peningkatan sedikit demi

sedikit.

Bila dikaitkan dengan Program Jamkesmas, kemungkinan Program

Jamkesmas memberikan dampak negatif pada kepesertaan Jaminan Pemeliharaan

Kesehatan Pra Bayar. Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dengan

Premi/Pra Bayar banyak yang mengundurkan diri dengan adanya program

Jamkesmas yang membebaskan anggotanya dari segala beban iur biaya.

Penurunan jumlah penduduk yang masuk dalam katagori non masyarakat

miskin ditengarahi akibat dampak negatif Program Jamkesmas. Masyarakat yang

dulunya merasa non miskin berramai-ramai mengaku miskin supaya dapat masuk

dalam Program Jamkesmas.

Page 137: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 5.12 Cakupan Kepesertaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Penduduk Non Maskin di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2009

Kepesertaan program jaminan kesehatan penduduk non maskin yang

diperinci menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah, menunjukkan angka

yang bervariasi mulai dari cakupan 3,52% (Kabupaten Brebes) hingga 100%

(Kabupaten Rembang). Kepesertaan program jaminan kesehatan masyarakat non

maskin di Kabupaten Jepara hanya pada Askes PNS. Sedangkan di Kabupaten

Rembang dengan cakupan kepesertaan program jaminan kesehatan masyarakat

non maskin mencapai 100% karena menerapkan Program Jaminan Kesehatan

Rembang Sehat (JKRS).

Sebanyak 10 kabupaten/kota mempunyai cakupan kepesertaan program

jaminan kesehatan penduduk non maskin <10%. 11 kabupaten/kota mempunyai

cakupan 10% hingga 20%. Dan 12 kabupaten/kota mempunyai cakupan > 20%.

Sementara masih terdapat dua kabupaten yang belum lengkap datanya, yaitu

Kabupaten Klaten dan Kota Salatiga. Kepesertaan jaminan kesehatan tersebut

diperinci; Askes (40,84%), Bapel/Pra Bapel (14,31%), Jamsostek (18,98%), Dana

Sehat (8,44%), dan lain-lain (17,43%).

Page 138: Profil Dinkes Jateng 2009

Gambar 5.13 Cakupan Kepesertaan Program JPK Pra Bayar Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia telah mencanangan “Universal Coverage”

kepesertaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan pada tahun 2014 yang berarti bahwa seluruh

penduduk di Indonesia pada tahun 2014 harus memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Saat ini

kabupaten yang sudah mencapai cakupan 100% adalah Kabupaten Rembang meskipun masih pada

Pelayanan Kesehatan Dasar.

b. Cakupan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin dan Masyarakat Rentan

Kesehatan bagi fakir miskin atau masyarakat tidak mampu merupakan aset

satu-satunya. Oleh karena itu apabila sakit akan mengakibatkan keterpurukan

terutama untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar dan kelangsungan kehidupan

bagi diri dan keluarganya. Berbagai upaya dan terobosan telah dilakukan dalam

upaya memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat miskin. Hal ini menjadi

sangat fenomenal bagi wujud tanggung jawab negara untuk memenuhi hak sehat

bagi setiap penduduk sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945. Bagi kelompok

ini telah diimplementasikan melalui pengembangan program jaminan kesehatan

bagi masyarakat miskin dan tidak mampu atau lebih dikenal dengan ”Jamkesmas”.

Sasaran dari program Jamkesmas ini adalah masyarakat miskin dan tidak

mampu yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan berdasarkan data Badan

Pusat Statistik (BPS) yang dikenal dengan kuota. Kuota Provinsi Jawa Tengah pada

tahun 2008 adalah sebesar 11.715.881 jiwa atau sekitar 33% dari total penduduk.

Cakupan kepesertaan program Jamkesmas tahun 2009 sebesar 90,55%

yang berarti bahwa masih terdapat masyarakat miskin dan tidak mampu yang tidak

tercakup Jamkesmas sebesar 9,45%. Cakupan tersebut meningkat bila

Page 139: Profil Dinkes Jateng 2009

dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 90,12%. Meskipun demikian

angka tersebut masih belum mencapai target SPM sebesar 100%. Gambar 5.14

Cakupan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009

Pelayanan kesehatan yang diberikan bagi pasien masyarakat miskin dan

tidak mampu meliputi pelayanan kesehatan di Puskesmas dan di rumah sakit.

Pelayanan kesehatan di Puskesmas meliputi rawat jalan tingkat pertama, rawat inap

tingkat pertama, persalinan normal di Puskesmas dan jaringannya, pelayanan

gawat darurat, dan pelayanan transport untuk rujukan bagi pasien. Sedang

pelayanan di rumah sakit meliputi rawat jalan tingkat lanjut, rawat inap tingkat lanjut,

pelayanan obat dan bahan habis pakai, pelayanan penunjang medik, serta

pelayanan tindakan dan operasi. Gambar 5.15

Cakupan Pelayanan Peserta Jamkesmas Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009

Page 140: Profil Dinkes Jateng 2009

KESIMPULAN A. Derajat Kesehatan

1. Mortalitas/Angka Kematian

a. AKB di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 10,25/1.000 kelahiran hidup,

sudah melampaui target Indonesia Sehat 2010 sebesar 40/1.000 kelahiran hidup

dan juga sudah melampaui target MDG ( Millenium Development Goals ) ke - 4

tahun 2015 yaitu 17/1.000 kelahiran hidup.

b. AKABA di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 11,60/1.000 kelahiran

hidup, sudah melampaui target Indikator Indonesia Sehat tahun 2010 sebesar

58/1.000 kelahiran hidup dan juga sudah melampaui target MDG ( Millenium

Development Goals ) ke - 4 tahun 2015 yaitu 23/1.000 kelahiran hidup.

c. Angka kematian ibu di Provinsi Jawa Tengah untuk tahun 2009 sebesar

117,02/100.000 kelahiran hidup, telah memenuhi target dalam Indikator Indonesia

Sehat 2010 sebesar 150/100.000 kelahiran hidup.

2. Morbiditas/Angka Kesakitan

a. Pada tahun 2009 di Provinsi Jawa Tengah ditemukan 193 penderita AFP, sehingga

telah melampaui target yang harus ditemukan yaitu 184 kasus. Dari hasil

pemeriksaan laboratorium, dari 193 kasus yang diperiksa semua menunjukan

negatif polio (berarti tidak ditemukan virus polio liar).

b. Case Detection Rate (CDR) atau angka penemuan penderita TB paru BTA (+) di

Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 48,15%, lebih rendah daripada target

SPM sebesar 70%. Sedang angka kesembuhan TB Paru (Cure Rate) sebesar

83,92%, masih dibawah target nasional sebesar 85%.

c. Cakupan penemuan penderita Pneumonia Balita di Provinsi Jawa Tengah tahun

2009 sebesar 25,96%, masih sangat jauh dari target SPM tahun 2010 sebesar

100%.

d. Jumlah kasus baru HIV dan AIDS dari Januari - Desember 2009 sebanyak 559

terdiri dari 138 infeksi HIV dan 421 kasus AIDS. Sejak pertama kali ditemukan

sampai dengan Bulan Desember 2009 secara komulatif jumlah kasus HIV/AIDS

Page 141: Profil Dinkes Jateng 2009

sebanyak 2.488 kasus dengan rincian infeksi HIV sebanyak 1.518 kasus, sedang

kasus AIDS sebanyak 970 kasus dan 319 orang diantaranya sudah meninggal.

Keseluruhan (100%) kasus HIV/AIDS yang ditemukan tersebut sudah mendapa t

penanganan sesuai standar. Ini berarti sudah mencapai target SPM 2010 sebesar

100%. Sedang penanganan Infeksi Menular Seksual (IMS) baru mencapai 77,80%,

berarti masih dibawah target sebesar 100%.

e. Angka kesakitan (IR) penyakit DBD di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 sebesar

5,74/10.000 penduduk dan angka kematian (CFR) sebesar 1,42%. Angka kesakitan

tersebut masih lebih tinggi dari target nasional yaitu < 2/10.000 penduduk. Demikian

juga dengan angka kematian, masih lebih tinggi dari dari target nasional yaitu < 1%.

f. Cakupan penemuan penderita diare di Provinsi Jawa tengah tahun 2009 sebesar

50,66%, masih jauh di bawah target sebesar 80%. Akan tetapi semua penderita

diare yang ditemukan seluruhnya (100%) mendapatkan penanganan sesuai

standar.

g. Annual Parasite Incidence (API) penyakit Malaria di Provinsi Jawa tengah tahun

2009 sebesar 0,047‰ , ini berarti terjadi penurunan kasus malaria dibanding tahun

2008 (API mencapai 0,049‰). Seluruh penderita Malaria Positif yang ditemukan

mendapatkan penanganan sesuai standar.

h. Angka Penemuan kasus baru (CDR) Kusta di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

sebesar 4,18/100.000 penduduk dengan prevalensi 0,66/10.000 penduduk,

mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan CDR tahun 2008 sebesar

4,96/100.000 penduduk dengan prevalensi 0,56/10.000 penduduk.

i. Kasus Filariasis di provinsi Jawa Tengah yang ditemukan sampai tahun 2009

sebanyak 353 kasus tersebar di 24 kabupaten/kota dan kesemuanya (100%) sudah

ditangani sesuai standar. Ini berarti sudah mencapai target SPM 2010 sebesar ≥

90%.

j. Kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti Polio, Campak, Difteri

dan Tetanus Neonatorum, cenderung mangalami peningkatan. Hal ini dimungkinkan

karena pencapaian cakupan imunisasi yang menurun bila dibandingkan dengan

tahun 2008.

k. Kejadian penyakit tidak menular cenderung menurun pada tahun 2009. Prevalensi

kasus hipertensi essensial di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 2,13%

menurun bila dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 2,65%. Hipertensi lain

menurun dari 0,98% pada tahun 2008 menjadi 0,21% pada tahun 2009. Prevalensi

stroke hemoragik di Jawa Tengah tahun 2009 adalah 0,05% lebih tinggi

dibandingkan dengan angka tahun 2008 sebesar 0.03%. Stroke non hemoragik

Page 142: Profil Dinkes Jateng 2009

menurun dari 0,13% pada tahun 2008 menjadi 0,09% pada tahun 2009.

Dekompensasi kordis meningkat dari 0,23% pada tahun 2008 menjadi 0,14% pada

tahun 2009. Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin menurun dari 1,25% pada

tahun 2008 menjadi 0,58% pada tahun 2009. Diabetes Mellitus tergantung insulin

meningkat dari 0,16% pada tahun 2008 menjadi 0,18% pada tahun 2009. Kanker

Leher Rahim tidak mengalami peningkatan yaitu sebesar 0,03%. Kanker Payudara

tidak mengalami peningkatan sebesar 0,04%. Kanker hati menurun dari 0,18% pada

tahun 2008 menjadi 0,01% pada tahun 2009. Kanker paru menurun dari 0,005%

pada tahun 2008 menjadi 0,002% pada tahun 2009. PPOK menurun dari 0,20%

pada tahun 2008 menjadi 0,12% pada tahun 2009. Asma Bronkial menurun dari

1,07% pada tahun 2008 menjadi 0,66% pada tahun 2009.

3. Status Gizi

a. Cakupan kunjungan neonatus di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar

99,37%,mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2008

sebesar 94,66%. Angka tersebut sudah melampaui target SPM 2010 sebesar 90%.

b. Cakupan kunjungan bayi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar

95,07%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 yaitu

96,04%. Angka tersebut sudah melampaui target SPM 2010 sebesar 90%.

c. Persentase bayi dengan berat badan lahir rendah di Provinsi Jawa Tengah tahun

2009 sebesar 2,81%, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan persentase

tahun 2008 sebesar 2,08%. Sedangkan berat bayi dengan berat badan lahir rendah

yang berhasil ditangani di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 96,67%,

mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar

99,67% dan masih lebih rendah dari target SPM 2010 sebesar 100%.

d. Jumlah balita gizi buruk dengan indikator berat badan menurut tinggi badan di

Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebanyak 4.696 Balita atau 0,24%, angka ini

masih lebih rendah dari target nasional sebesar 3%.

e. Dari 573 kecamatan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah pada tahun 2009

terdapat 534 diantaranya sudah bebas rawan pangan dan gizi. Hanya 39

Kecamatan yang masih mengalami kerawanan pangan dan gizi.

B. Upaya Kesehatan

1. Pelayanan Kesehatan Dasar

a. Cakupan kunjungan ibu hamil K4 di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008

sebesar 93,39%, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan tahun

Page 143: Profil Dinkes Jateng 2009

2008 sebesar 90,14%, dan hampir mendekati target pencapaian tahun 2010 yaitu

95%.

b. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Provinsi Jawa Tengah

tahun 2009 sebesar 93,03%, mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan

cakupan tahun 2008 sebesar 90,98%., angka tersebut sudah mencapai target SPM

2010 sebesar 90%.

c. Cakupan pelayanan pada ibu nifas di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar

80,29%, menurun bila dibandingkan cakupan tahun 2008 sebesar 92,94% dan

sudah dan angka tersebut masih dibawah target tahun 2009 sebesar 90%.

d. Cakupan pemberian Fe 3 pada ibu hamil di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

sebesar 85,62%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun

2009 sebesar 87,06%. Angka tersebut masih di bawah target SPM sebesar 90%.

e. Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah tingkat Provinsi

Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 50,30%, meningkat bila dibandingkan

dengan cakupan tahun 2008 sebesar 44,76%. Cakupan tersebut ini masih jauh

dibawah target SPM tahun 2005 sebesar 65% apalagi bila dibandingkan dengan

target SPM 2010 sebesar 95%.

f. Cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD/MI oleh tenaga kesehatan/guru

UKS/kader kesehatan sekolah pada tahun 2009 sebesar 37,82%, lebih rendah

dibandingkan tahun 2008 sebesar 43,77%. Cakupan tersebut masih jauh di bawah

target SPM 2010 sebesar 80%.

g. Cakupan pemeriksaan kesehatan siswa remaja oleh tenaga kesehatan/Guru

UKS/kader kesehatan remaja di Provinsi JawaTengah tahun 2009 sebesar 30,91%,

lebih rendah bila dibandingkan cakupan tahun 2008 sebesar 34,49%. Cakupan

tersebut masih jauh di bawah target SPM tahun 2010 sebesar 80%.

h. Jumlah peserta KB baru pada tahun 2009 sebanyak 870.891 atau 13,43% dari

jumlah PUS yang ada.

i. Cakupan peserta KB aktif di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar

78,37%, mengalami peningkatan bila dibandingkan cakupan tahun 2008 sebesar

78,09%. Angka ini masih di bawah target tahun 2010 sebesar 80%.

j. Hasil UCI desa di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 91,95%, mengalami

peningkatan bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2008 sebesar 86,83%,

angka tersebut sudah melampaui target tahun 2008 sebesar 90%.

k. Cakupan masing-masing jenis imunisasi di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009;

BCG (101,96%), DPT-HB 1 (100,80%), DPT-HB 3 (98,95%), Polio 4 (99,05%),

Page 144: Profil Dinkes Jateng 2009

Campak (96,59%), kesemuanya sudah di atas target minimal nasional sebesar

85%.

l. Angka Drop Out (DO), sesuai kesepakatan dengan kabupaten/kota indikator DO dii

Jawa Tengah maksimal 5% atau (-5%). Pada tahun 2009 untuk tingkat Provinsi

Jawa Tengah sebesar 4,19%.

m. Rasio tumpatan dan pencabutan gigi tetap di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

sebesar 0,71, mengalami penurunan bila dibandingkan rasio tahun 2008 sebesar

0.73.

n. Cakupan pemeriksaan gigi murid SD di Provinsi Jawa Tengah tahu 2009 sebesar

33,20%, mengalami penurunan bila dibandingkan cakupan tahun 2008

sebesar 33,22%. Cakupan perawatan gigi murid SD yang perlu mendapatkan

perawatan pada tahun 2009 sebesar 54,71%, mengalami penurunan bila

dibandingkan cakupan tahun 2008 sebesar 62,95%.

o. Cakupan pelayanan kesehatan pra usia lanjut dan usia lanjut tingkat Provinsi Jawa

Tengah pada tahun 2009 sebesar 42,27%, mengalami peningkatan bila

dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 29.36%, dan masih di bawah

target SPM 2010 sebesar 70%.

p. Cakupan pekerja pada industri informal yang mendapat pelayanan kesehatan kerja

di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 54,89%, mengalami peningkatan bila

dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 50,92%. Ini berarti sudah

melampaui target SPM 2010 sebesar 40%.

q. Cakupan pelayanan kesehatan pada pekerja di sektor formal di Provinsi Jawa

Tengah tahun 2009 sebesar 61,31%, mengalami peningkatan bila dibandingkan

dengan cakupan tahun 2008 yang mencapai 56,49% dan masih di bawah target

SPM 2010 sebesar 80%.

2. Pelayanan Kesehatan Rujukan dan Penunjang

a. Cakupan akses ketersediaan darah dan komponen yang aman untuk menangani

rujukan bumil dan neonatus di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 97,77%,

mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar

89,00%. Angka tersebut sudah melampaui target 2010 sebesar 80%.

b. Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani tahun 2009 sebesar 57,78%. Angka

tersebut sudah melampaui target Nasional tahun 2009 sebesar 55%.

c. Cakupan neonatal risti tertangani Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar

24,92%.

d. Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat

diakses masyarakat di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 65,34%,

Page 145: Profil Dinkes Jateng 2009

mengalami peningkatan bila dibandingkan tahun 2008 sebesar 62,37%. Angka ini

masih di bawah target SPM 2010 sebesar 80%.

3. Akses dan Mutu Pelayanan Kesehatan

a. Cakupan kunjungan rawat jalan di sarana kesehatan di Provinsi Jawa Tengah pada

tahun 2009 sebesar 42,34%, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar

36,90%. Target SPM tahun 2010 untuk cakupan rawat jalan adalah 15%.

b. Cakupan rawat inap di sarana kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

sebesar 3,53%. Ini berarti telah melampaui target 2005 (1%), bahkan juga target

tahun 2010 (1,5%).

c. Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan laboratorium di Provinsi Jawa

Tengah tahun 2009 sebesar 99,36%, lebih rendah dibandingkan dengan kondisi

tahun 2008. Cakupan ini masih di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar

100%.

d. Keseluruhan rumah sakit yang ada di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009

hanya 84,39% sudah menyelenggarakan empat pelayanan kesehatan spesialis

dasar. Ini berarti belum mencapai target Indonesia Sehat 2010.

e. Ketersediaan 33 jenis obat yang wajib dilaporkan di Provinsi Jawa Tengah tahun

2009 sebesar 138,06%. Ini berarti sudah melampaui target SPM 2010 sebesar 90%.

f. Persentase rata-rata item obat esensial tersedia di kabupaten/kota di Provinsi Jawa

Tengah tahun 2009 sebesar 99,66%, mengalami peningkatan bila dibandingkan

dengan cakupan tahun 2008 sebesar 99,56%. Ini berarti secara umum kebutuhan

obat esensial kabupaten/kota hampir dapat tersedia seluruhnya dan hampir

mencapai target SPM 2010 sebesar 100%

g. Persentase rata-rata item obat generik yang tersedia di kabupaten/kota di Provinsi

Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 102,67%, mengalami peningkatan bila

dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 95,25% dan sudah

melampaui target SPM 2010 sebesar 100%.

h. Persentase rata-rata item obat Narkotika dan Psikotropika tersedia di

kabupaten/kota sebesar 111,66%. Ini berarti secara umum kebutuhan obat

Narkotika dan Psikotropika kabupaten/kota sudah dapat tersedia seluruhnya dan

sudah mencapai target SPM 2010 sebesar 100%.

i. Cakupan penulisan resep obat generik di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

sebesar 63,35%,. Mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan tahun

2008 sebesar 46,71%. Cakupan tersebut masih jauh dari target SPM 2010 sebesar

90%.

4. Pembinaan Kesehatan Lingkungan dan Sanitasi Dasar

Page 146: Profil Dinkes Jateng 2009

a. Cakupan rumah yang memenuhi syarat kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun

2009 sebesar 65,12%. Angka ini mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan

pencapaian tahun 2008 yang mencapai 58,83%. Cakupan rumah sehat tersebut

masih di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 80%.

b. Cakupan keluarga yang memiliki akses terhadap air bersih sebesar 82,38%,

mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar

83,23%. Penurunan ini terjadi karena adanya perbaikan data dan pemahaman yang

lebih baik terhadap definisi operasional variabel. Cakupan tersebut masih di bawah

target Indonesia Sehat 2010 sebesar 85%.

c. Cakupan keluarga yang memiliki jamban yang memenuhi syarat kesehatan di

Provinsii Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 72,22%, mengalami penurunan bila

dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 yang mencapai 71,08%.

d. Cakupan keluarga yang memiliki tempat sampah memenuhi syarat kesehatan di

Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 65,87%. Sedangkan cakupan keluarga

memiliki sarana pengelolaan air limbah yang memenuhi syarat kesehatan sebesar

56,82%.

e. Hotel yang memenuhi syarat kesehatan sebesar 88,87%. Restoran yang memenuhi

syarat kesehatan sebesar 75,38%. Pasar yang memenuhi syarat kesehatan

sebesar 61,78%. Tempat pengelolaan makanan yang memenuhi syarat kesehatan

sebesar 73,59%.

f. Cakupan pembinaan kesehatan lingkungan di institusi di Provinsi JawaTengah

tahun 2009 untuk sarana kesehatan adalah 81,90%. Cakupan sarana pendidikan

yang dibina kesehatan lingkungannya sebesar 71,48%. Cakupan sarana ibadah

yang dibina kesehatan lingkungannya sebesar 57,49%. Cakupan perkantoran yang

dibina kesehatan lingkungannya sebesar 70,81. Sedang sarana lain yang dibina

kesehatan lingkungannya sebesar 59,75%.

g. Cakupan rumah bebas jentik nyamuk Aedes Aegypti di Provinsi Jawa Tengah tahun

2009 sebesar 79,34%, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan

tahun 2008 yang mencapai 73,57%. Angka ini masih di bawah target SPM tahun

2010 sebesar > 95%, bahkan masih di bawah target SPM tahun 2005 sebesar 95%.

5. Perbaikan Gizi Masyarakat

a. Partisipasi masyarakat dalam penimbangan di Posyandu Provinsi Jawa Tengah

tahun 2009 sebesar 75,89%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan

cakupan tahun 2008 sebesar 76,47%. Angka ini hampir mencapai target tahun 2008

sebesar 76%.

Page 147: Profil Dinkes Jateng 2009

b. Balita yang naik timbangannya di Provinsi Jawa tengah tahun 2009 sebesar

75,93%, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2008

yang mencapai 74,95% dan sudah melampaui target tahun 2008 sebesar 75%.

c. Jumlah Balita BGM di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebanyak 54.196

kasus atau 2,82%, menurun bila dibandingkan persentase tahun 2007 sebesar

2,99%. Akan tetapi ini merupakan angka yang cukup rendah jika dibandingkan

dengan target nasional sebesar ≤ 5%.

d. Cakupan pemberian kapsul Vitamin A dosis tinggi pada bayi di Provinsi Jawa

Tengah pada tahun 2009 sebesar 98,11%, mengalami peningkatan bila

dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 yang hanya mencapai 98,53%. Angka

tersebut sudah melampaui target SPM sebesar 95%.

e. Cakupan pemberian kapsul vitamin A pada Balita di Provinsi Jawa Tengah pada

tahun 2009 sebesar 81,59%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan

cakupan tahun 2008 yang hanya mencapai 95,14%. Angka tersebut masih

dibawah target SPM sebesar 95%.

f. Cakupan ibu nifas mendapat kapsul vitamin A di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

sebesar 87,31%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun

2008 yang mencapai 92,94%. Angka ini hampir mendekati target SPM tahun 2008

sebesar 88%.

g. Cakupan ibu hamil yang mendapat Fe 90 di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

sebesar 85,62%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun

2008 yang mencapai 87,06%. Angka ini masih di bawah target SPM tahun 2010

sebesar 90%.

h. Cakupan bayi BGM Gakin yang mendapat MP-ASI di Provinsi Jawa Tengah tahun

2009 sebesar 26,62%, mengalami penurunan bila dibandingkan cakupan tahun

2008 yang mencapai 32,49%. Angka tersebut masih sangat jauh di bawah target

SPM tahun 2010 sebesar 100%.

i. Cakupan pemberian ASI eksklusif hanya sekitar 40,21%, terjadi peningkatan yang

tajam bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 28,96% , tetapi angka

ini masih sangat rendah bila dibandingkan dengan target tahun 2010 sebesar 80%.

j. Persentase desa/kelurahan dengan garam beryodium yang baik di Provinsi Jawa

Tengah pada tahun 2009 sebesar 48,81%. Angka ini masih jauh di bawah target

SPM 2010 sebesar 90%.

k. Cakupan keluarga sadar gizi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah

41,24%, masih sangat jauh di bawah target SPM 2010 sebesar 80%.

Page 148: Profil Dinkes Jateng 2009

6. Perilaku Hidup Masyarakat

a. Persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat yaitu yang diwakili

oleh rumah tangga yang mencapai strata sehat utama dan sehat paripurna sebesar

63,68%, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008

sebesar 62,45%. Angka tersebut masih dibawah target SPM tahun 2010 sebesar

65% dan juga masih di bawah target Renstra Provinsi Jawa Tengah tahun 2008

sebesar 95%.

b. Posyandu yang mencapai strata purnama pada tahun 2009 sebesar 32,79%,

mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008

sebesar 33,85%. Cakupan tersebut masih di bawah target SPM 2010 sebesar 40%.

c. Posyandu yang mencapai strata mandiri sebesar 12,58%, mengalami peningkatan

bila dibandingkan pencapaian tahun 2008 sebesar 10,05%. Cakupan tersebut juga

sudah melampaui target SPM 2010 sebesar > 2%.

7. Pelayanan Kesehatan Dalam Situasi Bencana

Frekuensi KLB penyakit menular, keracunan makanan, dan bencana selama tahun

2009 sebanyak 536 kejadian tersebar di 35 kabupaten/kota. Dari 536 desa/kelurahan

yang terkena KLB, sebanyak 536 desa/kelurahan (100%) telah ditangani kurang dari 24

jam oleh Puskesmas bersama Dinas Kesehatan kabupaten/kota.

C. Sumber Daya Kesehatan

1. Tenaga Kesehatan

a. Rasio dokter ahli per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

sebesar 8,00 sudah melampaui target Indonesia Sehat 2010 sebesar 6 per 100.000

penduduk.

b. Rasio tenaga dokter umum per 100.0000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun

2009 sebesar 11,35 masih jauh di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 40

per 100.000 penduduk.

c. Rasio tenaga dokter gigi per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun

2009 sebesar 3,14 masih jauh di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 11

per 100.000 penduduk.

d. Rasio tenaga farmasi per 100.000 penduduk sebesar 8,97. Sedang khusus untuk

tenaga Apoteker per 100.000 penduduk sebesar 2,07 masih jauh di bawah target

Indonesia Sehat 2010 sebesar 10 per 100.000 penduduk.

e. Rasio tenaga gizi per 100.000 penduduk tahun 2009 sebesar 3,80 masih jauh di

bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 22 per 100.000 penduduk.

Page 149: Profil Dinkes Jateng 2009

f. Rasio tenaga keperawatan per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun

2009 sebesar 65,76 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 60,43

dan masih jauh di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 117,5 per 100.000

penduduk.

g. Rasio Bidan per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar

36,43 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 34,43 dan masih jauh

di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 100 per 100.0000 penduduk.

h. Rasio tenaga kesehatan masyarakat per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa

Tengah tahun 2009 sebesar 4,11 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008

sebesar 3,61 dan masih jauh di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 40 per

100.000 penduduk.

i. Rasio tenaga sanitasi per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

sebesar 3,42 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 3,59

dan masih jauh di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 40 per 100.000

penduduk.

j. Rasio tenaga teknisi medis per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun

2009 sebesar 8,99 lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 8,86.

2. Sarana Kesehatan

a. Pada tahun 2009 jumlah Puskesmas di Provinsi Jawa Tengah adalah 853 buah.

Bila dibandingkan dengan konsep wilayah kerja Puskesmas, dengan sasaran

penduduk yang dilayani oleh sebuah Puskesmas rata-rata 30.000 penduduk per

Puskesmas, maka jumlah Puskesmas per 30.000 penduduk pada tahun 2009

adalah 0,78. Ini berarti bahwa di Provinsi Jawa Tengah jumlah Puskesmas masih

kurang. Akan tetapi kekurangan ini dapat dipenuhi dengan bertambahnya

Puskesmas Perawatan dari 267 buah pada tahun 2008 menjadi 303 pada tahun

2009 dan adanya Puskesmas Pembantu (1850 unit) dan Puskesmas Keliling (1.130

unit) terlebih lagi dengan dikembangkannya Poliklinik Kesehatan Desa (5.552 unit).

b. Jumlah Rumah Sakit Umum di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 berjumlah 173

buah yang terdiri dari RSU Pemerintah sebanyak 48 buah ( 2 RSU milik

Departemen Kesehatan, 4 RSU milik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan 42

milik Pemerintah Kabupaten/Kota), RSU milik TNI/POLRI sebanyak 11 RS, RSU

milik Departemen lain sebanyak 1 buah, dan RSU milik Swasta sebanyak 113 buah.

c. Jumlah Rumah Sakit Khusus Pemerintah dan Swasta di Provinsi Jawa Tengah

tahun 2009 adalah 66 buah, terdiri dari 6 Rumah Sakit Khusus milik Pemerintah dan

60 milik Swasta.

Page 150: Profil Dinkes Jateng 2009

d. Balai Kesehatan Paru Masyarakat milik Pemerintah sebanyak 5 unit dan 1 Balai

Kesehatan Indera Masyarakat Semarang.

3. Anggaran Kesehatan

Anggaran belanja yang dialokasikan untuk pembiayaan kesehatan di kabupaten/kota

Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sekitar 9,15% dari seluruh pembiayaan

kabupaten/kota. Hal ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2008

sebesar 6,04% dan masih di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 15%. Sedang

anggaran kesehatan perkapita pada tahun 2009 sebesar Rp. 64.541,-

4. Pembiayaan Jaminan Kesehatan

Cakupan kepesertaan program Jamkesmas di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

sebesar 90,55%, yang berarti bahwa masih terdapat masyarakat miskin dan tidak

mampu yang tidak tercakup Jamkesmas sebesar 9,45%. Cakupan tersebut meningkat

bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 90,12%. Meskipun demikian

angka tersebut masih belum mencapai target SPM sebesar 100%.

Demikian gambaran hasil pembangunan kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun

2008 sebagai wujud nyata kinerja seluruh jajaran kesehatan di Provinsi Jawa Tengah

dalam upaya mewujudkan Jawa Tengah Sehat 2010 yang Mandiri dan Bertumpu pada

Potensi Daerah.