prof. dr. h. sofyan sauri, msofyansauri.lecturer.upi.edu/wp-content/uploads/sites/3/2018/07/4... ·...
TRANSCRIPT
Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd
Nilai Kearifan Pesantren
ii
Nilai Kearifan Pesantren
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN : 978-602-6971-43-2
Cetakan Pertama
Penulis : Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd
Editor : Mohamad Zaka Al-Farisi
Lay out : Yusman
Desain Cover : E. Dedih
Penerbit:
RIZQI PRESS
Jl. Cidadap Girang 26
Ledeng Bandung 40143
Telp. (022) 2005869 Fax. (022) 2003656
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.
1.000.000 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
© Copyright
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku tanpa seizin tertulis dari penerbit
All right reserved
Nilai Kearifan Pesantren
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas limpahan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini. Solawat dan
salam semoga selalu tercurah dan terlimpah kepada manusia pilihan,
tokoh teladan berbahasa dalam pergaulan, yang dilahirkan ke dunia
membawa misi dan tugas mulia dari yang maha kuasa, yakni Nabi
Muhammad sallallahu „alaihi wasallam, semoga sampai kepada para
sahabat serta pengikut beliau sampai akhir zaman.
Buku Nilai Kearifan Pesantren ini disusun dengan segudang
harapan yaitu dapat membantu semua sektor pendidikan dan para
praktisi pemerhati nilai generasi Indonesia serta nilai pendidikan
Indonesia saat ini.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada
semua pihak yang telah mendorong, mengarahkan dan membimbing
untuk terwujudnya tulisan ini, Dr. M. Zaka Al-Farisi, M.Hum yang telah
membaca dan mengeditnya dengan teliti dan bijaksana, semua dosen
Program Pendidikan Umum PPS UPI, Ketua Program dan para dosen
Pendidikan Bahasa Arab FPBS, Dekan FPBS, Ketua LPPM dan rekan-
rekan dosen yang tidak disebutkan satu persatu namanya, para
mahasiswa Program Pendidikan Bahasa Arab FPBS UPI. Wabil khusus
istri dan anak tercinta Dra. Hj. Rita Sumarni, Inna Tresnagalih, S.Pd dan
Firman, yang selalu memberikan dorongan kepada penulis untuk
mewujudkan tulisan ini. Semoga semua kebaikan tersebut menjadi amal
shaleh yang diridhoi Allah Swt.
Hanya kepada Allah Swt penulis bertawakkal, semoga Allah
selalu membukakan jalan yang terang kepada penulis dan keluarga,
serta para pembaca, diberi ilmu yang bermanfaat, selalu dilindungi
dari pikiran kotor, sombong, takabur dan riya, serta memafkan segala
kesalahan dan kehilapan. Aamiin.
iv
Karya tulis ini masih jauh untuk lebih sempurna sebagaimana
yang diharapkan. Namun penulis menyadari bahwa penyusunan buku
ini masih banyak kekurangan, dan banyak kekhilafan serta jauh dari
kata kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis berharap kepada seluruh
para pembaca buku Nilai Kearifan Pesantren ini agar memberikan
masukan, kiritik dan saran untuk memperbaiki segala kekurangan ini
guna untuk memperbaiki buku selanjutnya.
Bandung, 2017
Sofyan Sauri
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Pesantren dan Best Practice Pendidikan Nilai ......................... 1
B. Hakikat Nilai dan Karakter ...................................................... 5
C. Hakikat Pesantren .................................................................. 12
D. Hakikat Nilai Kearifan Lokal ................................................. 17
BAB II POTRET PENDIDIKAN NILAI DI PESANTREN ............. 22
A. Pemahaman Pemimpin Pesantren .......................................... 22
B. Nilai Kearifan Lokal .............................................................. 32
C. Upaya yang dilakukan pemimpin Pesantren .......................... 36
D. Kendala Pemimpin Pesantren ................................................ 39
BAB III NILAI-NILAI INTI KEARIFAN PESANTREN ................ 66
BAB IV NILAI-NILAI DASAR KEARIFAN PESANTREN ........ 176
A. Nilai Dasar -1 Ikhlas dalam Beramal ................................... 176
B. Nilai Dasar -2 Syukur Nikmat ............................................. 185
C. Nilai Dasar -3 Wara‟ dan Zuhud .......................................... 192
D. Nilai Dasar-4 Ta‟awun ......................................................... 200
E. Nilai Dasar-5 Pola Hidup Sederhana ................................... 226
BAB V USAHA PENANAMAN NILAI ........................................ 232
A. Do‟a dan Ikhtiar ................................................................... 232
B. Tawakal kepada Allah .......................................................... 250
C. Husnu Dzan .......................................................................... 259
vi
BAB VI INTERNALISASI PENDIDIKAN NILAI ........................ 263
A. Internalisasi Melalui Metode Uswah Hasanah...................... 263
B. Implementasi Melalui Metode Pembiasaan ......................... 273
C. Implementasi Melalui Metode Bandungan .......................... 280
D. Implementasi Melalui Metode Sorogan ............................... 284
BAB VII IMPLEMENTASI PENDIDIKAN NILAI DAN
IMPLEMENTASINYA .................................................................... 287
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 290
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pesantren dan Best Practice Pendidikan Nilai
Mencermati nilai-nilai kearifan lokal di pondok pesantren,
merupakan keniscayaan dalam pembinaan kepribadian santri secara
mandiri dan bertanggung Jawab, terutama dalam proses pendidikan
dan pembelajaran yang langsung ditangani para kiai atau ustad secara
terus menerus. Hal ini terbukti banyaknya para alumni pesantren yang
tersebar di Nusantara, mampu membina masyarakat melalui
pendidikan dan pembelajaran. Menjadi tokoh teladan dalam
kehidupan sehari-hari, nilai karismatik para kiai menjadi acuan dan
rujukan, baik bagi masyarakat kelas bawah (biasa), kelas menengah,
bahkan hingga kelas atas. Karakter merupakan sendi-sendi yang
menopang bangsa dalam mewujudkan masyarakat yang mandiri
(Sauri, 2010)
Sumbangan terbesar para kiai dan tokoh agama Islam dalam
kemerdekaan Indonesia terbukti dengan kalimat takbir yang
dikumAndangkan saat melawan penjajah yang bercokol di Indonesia.
Dengan nilai kesederhanaan dan kesantunannnya di tengah-tengah
masyarakat, para kiai menjadi mudah menggerakan masyarakat untuk
melawan para penghianat bangsa dan negara. Banyak alumni
pesantren yang bergerak dan menjadi tokoh di bidang pendidikan,
sosial-budaya, politik, pemerintahan, ekonomi, pertanian, dan lain-
lain.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang mempunyai suatu
tujuan, membentuk pribadi muslim seutuhnya, yang mengembangkan
seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun
ruhaniah, menumbuh suburkan hubungan yang harmonis setiap
pribadi manusia dengan Allah, manusia dan alam semesta. Pendidikan
2
Islam bertolak dari pAndangan Islam tentang manusia. Al-Quran
menjelaskan bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai dua fungsi
yang sekaligus mencakup dua tugas pokok. Fungsi pertama, manusia
sebagai khalifah Allah di bumi. Makna ini mengandung arti bahwa
manusia diberi amanah untuk memelihara, merawat, memanfaatkan,
serta melestarikan alam raya. Fungsi kedua, manusia adalah makhluk
Allah yang ditugasi untuk menyembah dan mengabdi kepada-Nya.
Selain dari itu, di sisi lain manusia adalah makhluk yang memiliki
potensi lahir dan batin. Potensi lahir adalah unsur fisik yang dimiliki
oleh manusia tersebut. Sedangkan potensi batin adalah unsur batin
yang dimiliki manusia yang dapat dikembangkan ke arah sempurna
(Daulay, 2007)
Indonesia merupakan negara tebesar yang mayoritas
penduduknya memeluk agama Islam. Oleh karena itu, pendidikan
Islam berkembang sesuai dengan zamannya. Perkembangan
pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditAndai dengan munculnya
berbagai macam lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang
amat sederhana, sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung
modern dan lengkap. Lembaga pendidikan Islam telah memainkan
fungsi dan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan
zamannya. Sehingga lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah
menarik perhatian para ahli dari dalam dan luar negeri untuk
melakukan studi ilmiah secara komprehensif (Nizar, 2007)
Pada dasarnya lingkungan pendidikan mencakup pendidikan
formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal. Pendidikan
formal merupakan pendidikan dalam bentuk sistem persekolahan
(schooling sistem) dan berada langsung secara struktural dalam
struktur pemerintahan, dalam hal ini Kemendikbud atau Kemenag.
Pesantren merupakan pendidikan nonformal di bawah
pembinaan Kemenag. Pesantren sudah ada di Indonesia sejak zaman
walisongo. Kemudian bertahan pada masa kolonial, sampai sekarang.
3
Pada zaman para wali, pesantren digunakan untuk penyebaran agama
Islam. Terutama di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya memeluk
agama Hindu dan Budha. Di dalamnya, para wali mengakulturasikan
antara budaya Jawa dan hindu-budha yang melekat dengan kehidupan
mereka dengan budaya Islam. Seperti menerapkan nilai-nilai Islam
dalam pertunjukan wayang, dan lain sebagainya. Pada saat penjajahan,
pesantren menjadi pusat pengajaran sekaligus tempat pertahanan
rakyat. Di dalamnya, rakyat Indonesia, terutama masyarakat Jawa
menyusun kekuatan untuk melawan kolonialisme. Terbukti banyak
pahlawan nasional yang lahir dari kalangan pesantren. Seperti K.H.
Hasyim Asy‟ari dari Jombang, K.H Wahid Hasyim, putra Kiai
Hasyim Asy‟ari, dan masih banyak lagi. Saat ini pendidikan di
pesantren berjalan mengikuti perkembangan zaman. Tak sedikit
pesantren yang telah menyertakan pelajaran IT (information and
technology) dalam kegiatan belajar mengajar dan kegiatan sehari-hari,
seperti pembelajaran komputer, internet, bahkan bahasa asing.
Demikianlah eksistensi pesantren masih melekat di hati masyarakat
Islam pulau Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia pada
umumnya.
Pesantren telah dikenal dan bergerak, bahkan menjadi bagian
dari pelopor anti penjajah sebelum kemerdekaan Indonesia. Kemudian
dalam perjalanannya, pasca Indonesia mencapai kemerdekaannya,
pesantren masih mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Ki
Hajar Dewantara, yang dikenal sebagai tokoh Pendidikan Nasional
sekaligus sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
R.I yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan
dasar pendidikan nasional karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan
kepribadian bangsa Indonesia (Alamsyah, 1982).
Pemerintah RI pun mengakui bahwa pesantren dan madrasah
merupakan dasar dan sumber pendidikan nasional sehingga harus
dikembangkan, diberi bimbingan dan bantuan. Wewenang dan
4
pengembangan tersebut berada di bawah wewenang Kementrian
Agama (Latif, 1983).
Pada Pendidikan pondok pesantren biasanya selalu terjadi
sebuah interaksi antara kiai atau ustad sebagai guru dan para santri
sebagai murid dengan mengambil tempat di masjid atau halaman-
halaman asrama (pondok) untuk mengaji dan membahas kitab-kitab
keagamaan Islam klasik. Kitab itu lebih dikenal dengan sebutan kitab
kuning, karena di masa lalu kitab-kitab itu pada umumnya ditulis atau
dicetak di atas kertas berwarna kuning. Kitab-kitab itu ditulis oleh
ulama zaman dahulu yang berisikan tentang ilmu keIslaman seperti
fikih, hadis, tafsir, akhlak, dan pendidikan pesantren. Pengajaran kitab
kuning tetap diberikan sebagai satu-satunya pengajaran formal yang
diberikan dalam lingkungan pesantren. Kitab-kitab kuning yang
menjadi rujukan utamanya dikelompokkan berdasarkan pertimbangan
tingkat kemudahan dan kesulitan dalam mempelajarinya dalam tiga
tingkatan: "kitab kecil" atau kitab dasar, kitab "sedang" atau kitab
tingkat menengah, kitab "besar" atau kitab tingkat tinggi (Departemen
Agama, 2003).
Secara garis besar, pesantren sekarang dapat dibedakan atas dua
macam. Pertama, pesantren tradisional; pesantren yang masih
mempertahankan sistem pengajaran tradisional dengan materi
pengajaran kitab-kitab klasik yang sering disebut kitab kuning. Kedua,
pesantren modern; pesantren yang berusaha mengintegrasikan secara
penuh sistem klasikal dan sekolah ke dalam pondok pesantren. Semua
santri yang masuk pondok terbagi dalam tingkatan kelas. Pengajian
kitab-kitab klasik tidak lagi menonjol, bahkan ada yang hanya sekedar
penghapal, dan berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi.
Begitu juga dengan sistem yang diterapkan seperti cara sorogan dan
bandongan mulai berubah menjadi individual dalam hal belajar dan
kuliah secara umum, atau stadium general (Zuhairini, 1986).
5
Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan di atas terdapat
permasalahan yakni, bagaimanakah nilai kearifan lokal pesantren
dalam upaya pembinaan karakter santri? Untuk menJawab pertanyaan
tersebut disusunlah buku yang ada pada tangan pembaca yang
dirahmati Allah swt.
B. Hakikat Nilai dan Karakter
Nilai adalah harga atau sesuatu yang berharga, atau sesuatu yang
absrak yang hanya akan dirasakan oleh yang memilki rasa. Rasa
merupakan bagian penting dalam jiwa manusia, atau esensi manusia
terletak pada rasanya, atau kalbunya. Penataan rasa perlu dikelola
dengan baik dan penuh kehati-hatian. Terutama ketika rasa terusik
dengan hal yang membahagiakan atau dengan hal yang menyedihkan.
Tatkala terjadi pada hal yang membahagiakan perlu disambut dengan
kesadaran betapa nikmatnya kebahagiaan tersebut. Sedangkan apabila
sebaliknya maka hadapi dengan kesabaran. Kesabaran itu pedih dalam
merealisasikannya dan memperjuangkannya dengan mengerahkan
sepenuh upayanya. Hasil dari kesabaran tersebut mendapatkan
kepuasan dan dan kenikmatan yang tidak ada bandingannya. Orang
bilang sengsara membawa nikmat, maksudnya hasil dari perjuangan
dengan penuh kesungguhan membawa hasil yang gilang gemilang.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia memerlukan nilai
kehidupan yang lebih nyaman dan aman. Ada enam sistem nilai
kehidupan yang sedang disosialisaikan oleh Profesor Achmad Sanusi
(Direktur Pascasarjana UNINUS Bandung) dalam berbagai
kesempatan. Dalam seminar Nasional bahkan International, keenam
nilai tersebut adalah: nilai teologik, nilai pisik psikologik, nilai etik,
nilai estetik, nilai empiric, dan nilai teleologik.
Nilai adalah fitrah tauhidullah yang dikembangkan dan
diinternalisasikan dalam pribadi seseorang untuk mencapai akhlak
mulia demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. (Sauri, 2011)
6
Sedangkan pendidikan adalah upaya sadar dan terencana dalam
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
berubah ke arah yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menggariskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkaan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadiaan, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pendidikan Nilai dapat dirumuskan dari dua pengertian dasar
yang terkandung dalam istilah pendidikan dan nilai. Ketika dua istilah
itu disatukan, arti keduanya menyatu dalam definisi Pendidikan Nilai.
Namun, karena arti pendidikan dan arti nilai dimaksud dapat dimaknai
berbeda, definisi Pendidikan Nilai pun dapat beragam bergantung
pada tekanan dan rumusan yang diberikan pada kedua istilah itu.
Mulyana (2004) mengartikan Pendidikan Nilai sebagai
penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Dalam
pengertian yang hampir sama, Mardiatmadja (Mulyana: 2004)
mendefinisikan Pendidikan Nilai sebagai bantuan terhadap peserta
didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta
menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya.
Pendidikan Nilai tidak hanya merupakan program khusus yang
diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, akan tetapi mencakup
keseluruhan program pendidikan.
Hakam (2000) mengungkapkan bahwa Pendidikan Nilai adalah
pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut moral dan sudut
pAndang nonmoral, meliputi estetika, yakni menilai objek dari sudut
pAndang keindahan dan selera pribadi, dan etika yaitu menilai benar
atau salahnya dalam hubungan antarpribadi.
7
Dari definisi di atas, dapat dimaknai bahwa Pendidikan Nilai
adalah proses bimbingan melalui suri tauladan pendidikan yang
berorientasi pada penanaman nilai-nilai kehidupan yang di dalamnya
mencakup nilai agama, budaya, etika, dan estetika menuju
pembentukan pribadi peserta didik yang memiliki kecerdasan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian yang utuh, berakhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, dan
negara.
Menurut Driyarkara (1985), manusia selalu hidup dan
mengubah dirinya dalam arus situasi yang konkret. Manusia sebagai
mahluk individu, sosial, susila, dan religius. Dari semuanya itu
manusia sebagai homo educandum. Eksistensi manusia secara
individu, merupakan makhluk yang unik. Begitu banyak manusia
tetapi berbeda. Hal ini dapat dilihat akan kemauan, ketahanan,
kepuasaan, kekuasaan, pendidikan, kesenangan, perjuangan, dan lain-
lain. Semua itu tidak ada yang sama. Dalam ranah individu, manusia
bebas tanpa batas. Tetapi dalam ranah sosial, manusia penuh dengan
batasan. Sebagai makhluk sosial, manusia menciptakan aturan dan
menjalankan kesepakatan bersama itu. Makhluk sosial itu tidak bisa
hidup tanpa manusia lainnya zoon politicon. Manusia selalu ingin
berinteraksi dengan manusia lainnya. Manusia sebagai mahluk sosial,
selalu peka dengan lingkungan dan apa yang ada di sekitarnya. Jadi
manusia cenderung suka menolong, cepat tergugah (simpatik),
humanis, familier, dan sikap-sikap manusia lainnya. Artinya, bahwa
manusia pada dasarnya cenderung untuk berbuat baik, dan
merindukan perilaku yang sarat akan nilai-nilai positif. Adapun
karakteristik manusia yang bernilai antara lain:
1. Teguh pendirian dan keyakinan.
2. Tekun, ulet menuntut ilmu.
3. Semakin berkuasa semakin bijaksana, berwibawa di depan umum.
4. Qonaah menerima rezeki.
8
5. Berhias walaupun miskin.
6. Bersyukur di kala beruntung.
7. Murah hati dan murah tangan.
8. Tidak menuntut yang bukan haknya.
9. Bila ditegur menyesali dirinya.
10. Bila bersalah akan istigfar.
11. Bila dimaki tersenyum sambil berdo‟a.
Pendidikan nilai membantu peserta didik dengan melibatkan
proses-proses sebagai berikut:
Identification of a core of personal and societal values (Adanya
proses identfikasi nilai personal dan nilai sosial terhadap stimulasi
yang diterima).
Philosophical and rational inquiry into the core (Adanya
penyelidikan secara rasional dan filosofis terhadap inti nilai-nilai
dari stimulus yang diterima).
Affective or emotive response to the core (Respons afektif dan
respons emotif terhadap inti nilai tersebut).
Decision-making related to the core based on inquiry and
response (Pengambilan keputusan berupa nilai-nilai dan perilaku
terhadap stimulus, berdasarkan penyelidikan terhadap nilai-nilai
yang ada dalam dirinya).
Sasaran yang hendak dituju dalam Pendidikan Nilai adalah
penanaman nilai-nilai luhur ke dalam diri peserta didik.
Adapun istilah karakter sebenarnya semakna dengan akhlak.
Hanya saja, jika akhlak secara tegas-tegas bersumberkan Al-Quran
dan As-Sunnah, maka karakter lebih bersumberkan konstitusi,
masyarakat, dan keluarga di Indonesia bisa saja bersumberkan pula
kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Demikian juga nilai, moral, etika,
dan budi pekerti sebenarnya semakna pula dengan akhlak, hanya saja
sumbernya dari konstitusi, masyarakat, dan keluarga, yang di
9
Indonesia bisa saja bersumberkan pula kepada Al-Quran dan As-
Sunnah. (Sauri, 2011).
Menurut Wynne (1991), istilah karakter diambil dari bahsas
Yunani “Charassian” yang berarti to mark (menAndai). Secara istilah
terdapat dua pengertian, pertama karakter menunjukkan bagaimana
seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur,
kejam, atau tidak rukun, maka orang tersebut memanifulasikan
karakter jelek. Sebaliknya apabila seseorang berperilaku jujur, suka
menolong, maka orang tersebut memanifulasikan karakter mulia.
Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan personality. Seseorang
disebut orang berkarakter kalau tingkah lakunya sesuai dengan kaidah
moral.
Sementara Lickona (1992) mengemukakan bahwa karakter
terdiri atas tiga bagian yang saling terkait, yaitu pengetahuan tentang
moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan perilaku
bermoral (moral behavior). Karakter yang baik terdiri atas mengetahui
kebaikan, mencintai atau menginginkan kebaikan, dan melakukan
kebaikan. Cara membentuk karakter yang efektif adalah dengan
melibatkan ketiga aspek tersebut.
Moral knowing adalah hal yang penting untuk diajarkan yang
terdiri atas enam hal, yaitu: (1) moral awareness , (2) knowing moral
values , (3) perspective taking, (4) moral reasoning, (5) decision
making, dan 6) self knowledge. Sedangkan moral feeling adalah aspek
yang lain yang harus ditanamkan kepada peserta didik dan merupakan
sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai dengan
prinsip-prinsip moral. Terdapat enam hal yang merupakan aspek
emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi
manusia berkarakter, yaitu (1) conscience atau nurani, (2) self esteem
atau percaya diri, (3) empathy, (4) loving the good atau mencintai
kebenaran, (5) self control atau mampu mengontrol diri, (6) humanity
atau kerendahhtian. Adapun moral action adalah bagaimana membuat
10
pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata.
Perbuatan moral ini merupakan hasil dari dua komponen karakter
lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam
perbuatan yang baik maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter,
yaitu (1) kompetensi (commpetence), 2) keinginan (will), dan (3)
kebiasaan (habit).
Terkait dengan hakikat pendidikan karakter, Doni Koesoema
(2007) mengungkapkan bahwa untuk kepentingan pertumbuhan
individu secara integral, pendidikan karakter semestinya memiliki
tujuan jangka panjang yang mendasarkan diri pada tanggapan aktif
kontekstual individu atas impuls natural sosial yang diterimanya yang
pada gilirannya semakin mempertajam visi hidup yang akan diraih
lewat proses pembentukan diri terus-menerus (on going formation).
Tujuan jangka panjang ini tidak sekadar berupa idealisme yang
penentuan sarana untuk mencapai tujuan itu tidak diverifikasi,
melainkan sebuah pendekatan dialektis yang semakin mendekatkan
antara yang ideal dengan kenyataan, melalui proses infleksi dan
interaksi terus menerus, antara lain idealisme, pilihan sarana, dan hasil
langsung yang dapat dievaluasi secara objektif”.
Menurut pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966), terdapat
empat ciri dasar dalam pendidikan yang berbasis karakter. Pertama,
keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki
nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua,
koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada
prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut
risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya
satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas
seseorang. Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan
aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat
dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau
desakan pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan
11
merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang
dipAndang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan
atas komitmen yang dipilih. Kematangan keempat karakter ini, lanjut
Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas
menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering
mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku
alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.”
Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala
tindakannya.
Dalam mengembangkan kurikulum berbasis pendidikan
karakter, terdapat berbagai prinsip yang bisa dijadikan pedoman
sebagaimana dikemukakan oleh Doni Keosoema (2007) sebagai
berikut:
1. Karaktermu ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa
yang kamu katakan atau yakini.
Perinsip ini ingin memberikan verifikasi konkret tentang karakter
seseorang individu dengan memberikan prioritas pada unsur
pisiko-motorik yang menggerakan seseorang untuk bertindak.
2. Setiap keputusan yang kamu ambil akan menjadi orang macam
apa dirimu.
Individu mengungkapkan karakter pribadinya melalui setiap
keputusan yang diambilnya. Hanya dari keputusannya inilah
seorang individu mendefinisikan karakternya sendiri. Oleh karena
itu, karakter seseorang itu bersifat dinamis.
3. Karakter yang baik mengandalkan bahwa hal yang baik itu
dilakukan dengan cara-cara yang baik, bahkan seAndainya pun
kamu harus membayar secara mahal, sebab mengandung resiko.
Pribadi yang berproses membentuk dirinya menjadi manusia yang
baik, juga akam memilih cara-cara yang baik bagi pembentukan
dirinya. Maxim moral imperatif kategoris Kant di sini tetap
berlaku. Setiap manusia mesti menganggap bahwa manusia itu
12
bernilai di dalam dirinya sendiri, karena itu tidak boleh diperalat
dan dipengaruhi sebagai sarana bagi tujuan-tujuan tertentu. Inilah
yang membuat pendidikan karakter mempunyai dimensi moral.
4. Jangan pernah mengambil risiko buruk yang dilakukan orang lain
sebagai patokan bagi dirimu. Kamu dapat melihat patokan lebih
baik dari pada mereka.
Tekanan sosial dan kelompok sebaya menjadi arena yang ramai
bagi pergulatan pendidikan karakter di sekolah. Kultur non-
edukatif yang berlangsung terus dalam lembaga sebuah
pendidikan jika segera tidak diatasi akan menjadi standar perilaku
para siswa. Demikian juga tekanan kelompok sebaya sangat
mempengaruhi siswa dalam mengembangkan pendidikan karakter
yang berguna bagi dirinya sendiri.
5. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna dan transformatif.
Seorang individu bisa mengubah dunia.
Para siswa perlu disadarkan bahwa setiap tindakan yang
berkarakter, setiap tindakan yang bernilai, dan setiap perilaku yang
bermoral yang mereka lakukan memiliki makna yang bersifat
transformatif.
6. Bayaran memiliki karakter baik adalah bahwa kamu menjadi
pribadi yang lebih baik, dan ini akan membuat dunia menjadi
tempat yang lebih baik untuk dihuni.
Setiap tindakan dan keputusan memiliki karakter membentuk
seorang individu menjadi pribadi yang lebih baik.
C. Hakikat Pesantren
Kata pesantren sendiri berasal dari akar kata santri dengan
awalan "Pe" dan akhiran "an" berarti tempat tinggal para santri.
Zamakhsari (1983) berpendapat bahwa istilah santri berasal dari
bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji.
13
Potret pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama
pendidikan Islam tradisional tempat para siswanya tinggal bersama
dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang
lebih dikenal dengan sebutan kiai. Asrama untuk para siswa tersebut
berada dalam komplek pesantren di mana kiai bertempat tinggal. Di
samping itu juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Biasanya
komplek pesantren dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi
arus keluar masuk nya santri. Dari aspek kepemimpinan pesantren kiai
memegang kekuasaan yang hampir-hampir mutlak. Pondok, masjid,
santri, kiai dan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan lima elemen
dasar yang dapat menjelaskan secara sederhana apa sesungguhnya
hakikat pesantren. (http://darul-hadis.tripod.com).
Elemen yang pertama adalah pondok. Pondok adalah tempat
tinggal para santri di pesantren karena pesantren pada dasarnya adalah
asrama pendidikan Islam sehingga kata pondok selalu melekat kepada
kata pesantren menjadi pondok pesantren. Ada tiga alasan utama
kenapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri.
Pertama, kemashuran seorang kiai dan kedalaman pengetahuannya
tentang Islam menarik santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali
ilmu dari kiai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, para
santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan
menetap di dekat kediaman kiai. Kedua, hampir semua pesantren
berada di desa-desa di mana tidak tersedia perumahan (akomodasi)
yang cukup untuk dapat menampung santri-santri. Dengan demikian
perlu adanya suatu asrama khusus bagi para santri. Ketiga, ada sikap
timbal balik antara kiai dan santri. Para santri menganggap kiainya
seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kiai menganggap
para santri sebagai titipan Tuhan yang harus dilindungi. Sikap ini juga
menimbulkan perasaan tanggung Jawab di pihak kiai untuk dapat
menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping itu dari
pihak para santri tumbuh perasaan pengabdian kepada kiainya,
14
sehingga dapat memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber
tenaga bagi kepentingan pesantren dan keluarga kiai. (Haedari, 2005)
Elemen yang kedua adalah masjid. Masjid merupakan elemen
yang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai
tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam
salat lima waktu, khotbah dan salat Jumah, dan mengajarkan kitab-
kitab klasik. Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam
tradisi pesantren merupakan manivestasi universalisme dari sistem
pendidikan tradisional. Dengan kata lain kesinambungan sistem Islam
yang berpusat pada masjid sejak masjid Qubba didirikan dekat
Madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar dalam
sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat
pendidikan Islam. Di mana pun kaum muslimin berada, mereka selalu
menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan,
aktivitas administrasi dan kultural. Lembaga-lembaga pesantren Jawa
memelihara terus tradisi ini, para kiai selalu mengajar murid-muridnya
di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat
untuk menanamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban
sembahyang lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan
kewajiban agama yang lain. Seorang kiai yang ingin mengembangkan
sebuah pesantren, biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di
dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya
yang telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah
pesantren (Dhofier, 1982)
Elemen yang ketiga adalah santri. Santri merupakan elemen
yang penting dalam pesantren karena seorang ulama tidak disebut kiai
bila tidak memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam
persantren. Terdapat dua kelompok santri:
Santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah jauh dan
menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang menetap
paling lama tinggal di pesantren tersebut biasanya merupakan
15
suatu kelompok tersendiri yang memegang tanggung Jawab
mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari, mereka juga
memikul tanggung Jawab mengajar santri-santri tentang kitab-
kitab dasar dan menengah.
Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di
sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren
(nglajo) dari rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan pesantren
kecil dan pesantren besar dapat dilihat dari komposisi santri
kalong. Tambah besar sebuah pesantren, akan semakin besar
jumlah mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan
memiliki lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim
(Dhofier, 1982)
Elemen yang keempat adalah Kiai. Kiai merupakan elemen yang
sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang
berkembang di Jawa dan Madura mempunyai sosok kiai begitu sangat
berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat disegani
oleh masyrakat di lingkungan pesantren. Di samping itu kiai pondok
pesantren biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari
pesantren yang bersangkutan. Oleh karenanya, sangat wajar jika
pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran seorang
kiai. (Haedari, 2005 : 28)
Para kiai dengan kelebihan pengetahuannya dalam Islam, sering
kali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan
Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap
memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan
orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan kekhususan
mereka dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan simbol
kealiman yaitu kopiah dan sorban. (Dhofier, 1982)
Masyrakat biasanya mengharapkan seorang kiai dapat
menyelesaikan persoalan-persoalan keagamaan praktis sesuai dengan
kedalaman pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kitab yang
16
ia ajarkan, ia akan semakin di kagumi. Ia juga diharapkan dapat
menunjukkan kepemimpinannya, kepercayaannya kepada diri sendiri
dan kemampuannya, karena banyak orang yang data ng meminta
nasehat dan bimbingan dalam banyak hal. Ia juga di harapkan untuk
rendah hati, menghormati semua orang, tanpa melihat tinggi rendah
status sosialnya, kekayaan, dan pendidikannya, banyak prihatin dan
penuh pengabdian kepada Tuhan, dan tidak pernah berhenti
memberikan kepemimpinan dan keagamaan, seperti memimpin salat
lima waktu, memberikan khotbah Jum‟ah dan menerima undangan
perkawinan, kematian, dan lain-lain. (Dhofier, 1982)
Elemen yang kelima adalah pengajaran kitab-kitab klasik. Materi
yang diajarkan seorang Kiai kepada para santri adalah mengaji dan
membahas kitab-kitab keagamaan Islam klasik. Kitab itu lebih dikenal
dengan sebutan kitab kuning, karena di masa lalu kitab-kitab itu pada
umumnya ditulis atau dicetak di atas kertas berwarna kuning. Kitab-kitab
itu ditulis oleh ulama zaman dahulu yang berisikan tentang ilmu
keIslaman seperti fikih, hadis, tafsir, maupun tentang akhlak, dan
pendidikan pesantren. Pengajaran kitab kuning tetap diberikan sebagai
satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan
pesantren. Kitab-kitab kuning yang menjadi rujukan utamanya
dikelompokkan berdasarkan pertimbangan tingkat kemudahan dan
kesulitan dalam mempelajarinya dalam tiga tingkatan: "kitab kecil" atau
kitab dasar, kitab "sedang" atau kitab tingkat menengah, kitab "besar"
atau kitab tingkat tinggi (Departemen Agama, 2003).
Pesantren merupakan pendidikan non formal dibawah
pembinaan Kemenag. Pesantren sudah ada di Indonesia sejak zaman
walisongo. Kemudian bertahan pada masa kolonial, sampai sekarang.
Pada zaman para wali, pesantren digunakan untuk penyebaran agama
Islam. Terutama di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya memeluk
agama Hindu dan Budha. Di dalamnya, para wali mengakulturasikan
antara budaya Jawa dan hindu-budha yang melekat dengan kehidupan
17
mereka dengan budaya Islam, seperti menerapkan nilai-nilai Islam
dalam pertunjukan wayang, dan lain sebagainya. Pada saat penjajahan,
pesantren menjadi pusat pengajaran sekaligus tempat pertahanan
rakyat. Di dalamnya, rakyat Indonesia, terutama masyarakat Jawa
menyusun kekuatan untuk melawan kolonialisme.
Pemerintah RI pun mengakui bahwa pesantren dan madrasah
merupakan dasar dan sumber Pendidikan Nasional sehingga harus
dikembangkan, diberi bimbingan dan bantuan. Wewenang dan
pengembangan tersebut berada di bawah wewenang Kementrian
Agama (Latif, 1983).
D. Hakikat Nilai Kearifan Lokal
Mencermati nilai-nilai kearifan lokal di pondok pesantren,
merupakan keniscayaan dalam pembinaan kepribadian santri secara
mandiri dan bertanggung Jawab, terutama dalam proses pendidikan
dan pembelajaran yang langsung ditangani para kiai atau ustad secara
terus menerus. Hal ini terbukti banyaknya para alumni pesantren yang
tersebar di Nusantara, mampu membina masyarakat melalui
pendidikan dan pembelajaran. Menjadi tokoh teladan dalam
kehidupan sehari-hari, nilai karismatik para kiai menjadi acuan dan
rujukan, baik bagi masyarakat biasa, menengah ke atas. Karakter
merupakan sendi-sendi yang menopang bangsa dalam mewujudkan
masyarakat yang mandiri. (Sofyan, 2010)
Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua
bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat
kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal
ini dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke
generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama
manusia, alam maupun gaib.
18
Selanjutnya Francis Wahono (2005) menjelaskan bahwa
kearifan lokal adalah kepAndaian dan strategi-strategi pengelolaan
alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah
berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta
keteledoran manusia. Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika,
tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga
kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia
dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-
hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh.
(http://lilawatyy95.blogspot.com)
Kepemimpinan berdasarkan nilai dapat diwujudkan dengan
mengembangkan six value sistem (enam sistem nilai) berikut:
Pertama, teological value (nilai teologis), yaitu nilai-nilai yang
berbasis pada wahyu ilahi, atau dalil-dalil nakli yakni Al-qur‟an,
hadis, dan ijtihad para ulama. Artinya bahwa kepemimpinan
pendidikan dalam tataran aplikasinya, harus selaras atau tidak
bertentangan dengan nilai-nilai teologis (agama Islam), karena agama
Islam memiliki kebenaran yang mutlak. Pengembangan nilai teologis
dalam konteks pendidikan, akan mampu melahirkan insan-insan yang
beriman, bertakwa, sabar, tawakal, syukur, dan sebagainya.
Pada dasarnya cita-cita pendidikan memiliki relevansi yang kuat
dengan cita-cita agama (Islam). Hal itu sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan
bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengebangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara (UUSPN, No.20 tahun 2003)
Kedua, fhysics and physiological value (nilai fisik dan
fisiologis); yaitu nilai-nilai yang berbasis pada hukum alam semesta.
19
Hukum alam yang bersifat sunatullah mengandung aturan yang
konsisten dan pasti. Seorang pemimpin pendidikan yang baik,
terpancar dalam sikap dan perilakunya, untuk tidak bertentangan
dengan sunatullah (hukum-hukum alam) termasuk hukum negara.
Pemimpin sejati adalah pemimpin yang mampu membanguan
hubungan harmoni antara pemimpin dengan dirinya sendiri, dengan
orang lain, dan dengan alam semesta.
Manusia sebagai pemimpin di muka bumi khalifah fil ardi
sejatinya memperlakukan alam raya dengan sebaik-baiknya. Karena,
kebaikan dan keburukan yang dilakukan manusia terhadap alam itu,
akan kembali kepada manusia itu sendiri. Begitupun para pemimpin
(pendidikan) dituntut untuk memiliki rasa tanggung Jawab (sense of
responsibility) atas kebijakan atau keputusan yang diambilnya dalam
mengelola pendidikan.
Ketiga, logical value (nilai logika), yakni nilai-nilai yang
berbasis pada akal pikiran manusia. Akal pikiran manusia memiliki
cara kerja yang konsisten yang dapat membedakan yang hak (benar)
dan yang batil (salah). Daya pikir melahirkan logika yang
dikembangkan dan dipertajam dengan cara mengembangkan
pemahaman terhadap fenomena alam melalui proses berpikir
(Suryana, dkk, 1997). Bagi Al-Latas (1988:38), setiap ruh insan
memiliki daya akliah cognitive power yang dapat membentuk dan
menyampaikan isyarat-isyarat bermakna meaningful signs. Daya
akliyah ini juga memiliki daya untuk membuat penilaian moral,
membedakan antara yang benar dan yang palsu. Pemimpin yang baik,
sejatinya mampu menggunakan akalnya, dalam menghadapi masalah,
menganalisis masalah, serta membuat keputusan atau kebijakan. Atas
dasar itu, maka pemimpin pendidikan berdasarkan kecerdasannya,
akan bersikap jujur, cermat dan tanggung Jawab atas pikiran dan
keputusannya.
20
Keempat, etical value (nilai etika); yaitu nilai-nilai yang berbasis
pada nilai kebaikan. Pemimpin pendidikan yang diidamkan oleh
segenap civitas akademika, adalah pemimin yang mencintai,
menjunjung tinggi, dan memperjuangkan etika (nilai-nilai kebenaran),
di manapun dan kapanpun pemimpin itu berada. Ahmad Amin (1983)
mendefinisikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan
buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia,
menyatakan tujuan yang harus dituju manusia di dalam perbuatan
mereka, dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya
diperbuat.
Kelima, estetical value (nilai estetik); yaitu nilai yang berbasis
pada nilai keindahan. Pemimpin pendidikan yang baik, yakni
pemimpin pendidikan yang mencintai keindahan secara universal,
indah dalam bersikap, berucap dan bertindak. Atas dasar itu, maka
pemimpin pendidikan akan mencerminkan sikap dan perilaku yang
ramah, santun, toleran, menghargai orang lain, dan cinta kepada
sesama. Orang yang tidak senang pada orang lainlah yang paling
banyak menjumpai kesulitan dalam hidupnya dan mengakibatkan
kesusuahan pada orang lain. Dari orang macam itulah timbul
kegagalan seluruh manusia (Carnagie, 2008).
Keenam, teleological value (nilai kemanfaatan); yaitu nilai-nilai
yang lebih mengedepankan unsur-unsur manfaat. Pemimpin yang
kental dengan nilai-nilai ini, senantiasa melahirkan sikap, ucap,
tindakan, serta keputusan yang bermanfaat baik secara individual
maupun komunal. Nilai teleologis ini juga akan memicu para
pemimpin pendidikan untuk bersikap lebih responsif dan disiplin
dalam mengelola pendidikan. Alhasil, tipikal kepemimpinan semacam
ini, mampu memberikan kemaslahatan bagi dirinya, peserta didik,
tenaga kependidikan, serta bagi institusi pendidikan, bahkan
masyarakat sekitar.
21
Apabila keenam nilai tersebut tumbuh dalam jiwa
kepemimpinan seseorang, maka dapat dipastikan pemimpin tersebut
memiliki sifat-sifat beriman, bertakwa, tawakal, cerdas, jujur, adil,
amanah/tanggung Jawab, disiplin, ikhlas. Dewasa ini, pemimpin yang
memiliki karakteristik di atas, adalah sosok yang mendesak
dibutuhkan dalam dunia pendidikan.
Oleh sebab itu, bagi seorang pemimpin pendidikan, sejatinya ia
terampil dalam mengendalikan pikiran, perasaan, dan tindakan.
Penedekatan ini oleh sebagian ahli disebut dengan istilah model
pembelajaran nilai-nilai kemanusiaan terpadu; yakni bertujuan
mencapai manusia unggul human excellenc) atau manusia seutuhnya
dengan kepribadian yang terpadu antara head, heart, and hands
(Sauri, 2008:iv). Pikiran yang ada di benak pemimpin hari ini,
perasaan yang pemimpin rasakan hari ini, dan tindakan yang
pemimpin lakukan hari ini, akan menentukan perjalanan umat
manusia di kemudian hari. Maka penting sekali untuk para pemimpin
pendidikan, agar terus berpikir dan bertindak dengan cara yang positif.
Yakni sama dengan apa yang sesungguhnya manusia inginkan, ingin
manusia lakukan, dan ingin manusia alami dalam hidup. Pikiran,
perbuatan dan perkataan kembali pada kita cepat atau lambat, dengan
ketepatan yang sangat mengejutkan.
22
BAB II
POTRET PENDIDIKAN NILAI
DI PESANTREN
A. Pemahaman Pimpinan Pesantren terhadap Nilai Kearifan
Lokal dalam Pembinaan Karakter Santri
Pemahaman kiai tentang pembinaan karakter sangat kuat dan
mendorong para santri untuk selaku melakukan hal-hal yang baik. Dan
pembicaraan kiai tidak lepas dari karakter qurani dan karakter Nabi
Muhammad, pesantren menjadi tempat untuk pembinaan karakter,
sehingga karakter itu disejajarkan dengan akhlak. Akhlak itu adalah
perilaku yang sudah melekat pada diri yang dilakukan secara spontan
tanpa dipikirkan terlebih dahulu, semua perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh kiai, santri, dan seluruh keluarga besarnya selalu
mengedepankan perilaku-perilaku yang baik yang sering disebut
dengan aklakul karimah.
Maka kedamaian, keharmonian kehidupan di pesantren tertata
lebih rapih dan lebih sempurna dan selalu kegiatan-kegiatan tersebut
mengharapkan kepada rida Allah swt. Karena yang ditanamkan
selama hidup dipesantren selalu mengedepankan pendidikan akidah,
syariah, dan akhlak. Bila akidahnya sudah kuat atau keimanannya
sudah mantap maka dia akan melaksanakan perintah-perintah Allah
itu dengan penuh ketulusan dan keyakinan yang sangat mendalam,
mereka tidak merasa terpaksa melaksanakan kegiatan yang mahdhah
atau ghair mahdhah tersebut, ssecara spontanitas mereka lakukan
dengan sepenuh hati dan meresa dipantau, diperhatikah, dilihat, dan
ditatap oleh Allah swt.
Pembinaan keimanan sering disejajarkan dengan pembinaan
nilai-nilai kepercayaan, sehingga nilai kepercayaan itu merupakan
nilai yang paling utama dan pertama dalam hidup, nilai dipandang
sebagai sesuatu harga yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi,
23
misalnya nilai keimanan itu adalah sesuatu hal yang paling mendasari
melandasi segala kehidupan ustad, kiai, santri, dan seluruh keluarga
besarnya.
Dengan iman yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari akan
melahirkan para santri yang jujur, amanah, disiplin, tanggung jawab,
kerja sama, toleran, mandiri, santun, ramah, dan beradab.
Nilai keteladanan merupakan metoda yang paling ampuh dalam
menginternalisasikan nilai-nilai di pesantren, karena nilai keteladanan
itu diambil dari keteladanan Rasulullah saw. Hal ini diungkapkan
dalam al-ahzab ayat 21 yang artinya:Sungguh ada pada pribadi
Rasulullah saw itu suri teladan yang baik. Adapun hal yang diteladani
dari pribadi Rasul itu yang sekaligus diterapkan di pesantren
sekurang-kurangnya ada tiga hal: (1) keteladanan dalam berucap; (2)
keteladanan dalam berbuat, dan (3) keteladanan dalam bertindak.
Dalam istilah Arabnya adalah qaulun wa fi‟lun wa amalun bil arkani.
Kiai dan pendidik yang lainya berupaya sekuat tenaga untuk
mengucapkan yang keluar dari mulutnya itu harus ucapannya
berlAndaskan ALquran, yaitu,
1. qulan sadida,
2. qaulan baligha,
3. qaulan karima,
4. qaulan ma‟rufa,
5. qaulan maisura,
6. qaulan layyina.
Jadi saya memAndang bahwa nilai kearifan lokal di pesantren
yang perlu dilestarikan adalah nilai penguatan keimanan. Keimanan
melAndasi segala perilaku manusia dari mulai bangun sampai tidur,
bahkan mimpinya pun mimpi yang berdasarkan keimanan.
Dari hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa pemahaman
kiai tentang pembinaan karakter sangat kuat dan mendorong para
santri untuk selalu melakukan hal-hal yang baik. Dan pembicaraan
24
kiai tidak lepas dari karakter qurani dan karakter Nabi Muhammad.
Pesantren menjadi tempat untuk pembinaan karakter, sehingga
karakter itu disejajarkan dengan akhlak. Akhlak itu adalah perilaku
yang sudah melekat pada diri yang dilakukan secara spontan tanpa
dipikirkan terlebih dahulu. Semua perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh kiai, santri dan seluruh keluarga besarnya selalu
mengedepankan perilaku-perilaku yang baik yang sering disebut
dengan akhlakul karimah.
Selanjutnya dari hasil data tersebut di atas bahwa mencermati
nilai-nilai kearifan lokal di pondok pesantren, merupakan keniscayaan
dalam pembinaan kepribadian santri secara mandiri dan bertanggung
Jawab, terutama dalam proses pendidikan dan pembelajaran yang
langsung ditangani para kiai atau ustad secara terus menerus. Hal ini
terbukti banyaknya para alumni pesantren yang tersebar di Nusantara
mampu membina masyarakat melalui pendidikan dan pembelajaran.
Menjadi tokoh teladan dalam kehidupan sehari-hari, nilai karismatik
para kiai menjadi acuan dan rujukan, baik bagi masyarakat biasa
maupun menengah keatas. Karakter merupakan sendi-sendi yang
menopang bangsa dalam mewujudkan masyarakat yang mandiri
(Sofyan, 2010)
Upaya untuk menemukan dan melaksanakan nilai-nilai kearifan
lokal pesantren seperti kedamaian dan keharmonian kehidupan di
pesantren tertata lebih rapih dan lebih sempurna. Dilakukan kegiatan-
kegiatan tersebut mengharapkan kepada ridha Allah swt. Karena yang
ditanamkan selama hidup di pesantren selalu mengedepankan
pendidikan akidah, syariah, dan akhlak. Bila akidahnya sudah kuat
atau keimanannya sudah mantap maka dia akan melaksanakan
perintah-perintah Allah itu dengan penuh ketulusan dan keyakinan
yang sangat mendalam. Mereka tidak merasa terpaksa melaksanakan
kegiatan yang mahdhah atau ghair mahdhah tersebut, secara spontan.
25
Meraka melakukannya dengan sepenuh hati dan merasa dipantau,
diperhatikah, dilihat, ditatap oleh Allah swt.
Dalam hal tersebut di atas Keraf (2002) menegaskan bahwa
kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,
pemahaman, wawasan, adat kebiasaan, atau etika yang menuntun
perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.
Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktikkan, diajarkan, dan
diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola
perilaku manusia terhadap sesama manusia.
Selanjutnya Francis Wahono (2005) menjelaskan bahwa
kearifan lokal adalah kepAndaian dan strategi-strategi pengelolaan
alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah
berabad-abad teruji oleh berbagai bencana, kendala, serta keteledoran
manusia. Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai
pada norma, tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat
menjadi seperti agama yang memedomani manusia dalam bersikap
dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun
menentukan peradaban manusia yang lebih jauh
(http://lilawatyy95.blogspot.com)
Dalam kehidupan di pesantren selalu dilakukan pembinaan
keimanan yang sering disejajarkan dengan pembinaan nilai-nilai
kepercayaan, sehingga nilai kepercayaan itu merupakan nilai yang
paling utama dan pertama dalam hidup. Nilai dipAndang sebagai
sesuatu harga yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Misalnya,
nilai keimanan itu adalah sesuatu hal yang paling mendasar yang
melAndasi segala kehidupan ustad, kiai, santri, dan seluruh keluarga
besarnya.
Iman yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari akan
melahirkan para santri yang jujur, amanah, disiplin, tanggung jawab,
kerjas ama, toleran, mandiri, santun, ramah, dan beradab.
26
Nilai keteladanan merupakan metoda yang paling ampuh dalam
menginternalisasikan nilai-nilai di pesantren, karena nilai keteladanan
itu diambil dari keteladanan Rasulullah saw. Hal ini diungkapkan
dalam al-Ahzab ayat 21 yang artinya: Sungguh ada pada pribadi
Rasulullah saw itu suri teladan yang baik. Adapun hal yang diteladani
dari pribadi Rasul itu yang sekaligus diterapkan di pesantren
sekurang-kurangnya ada tiga hal: 1) keteladanan dalam berucap; 2)
keteladanan dalam berbuat, dan 3) keteladanan dalam bertindak.
Dalam istilah Arabnya adalah qaulun wa fi‟lun wa amalun bil arkani.
Kiai dan pendidik yang lainya berupaya sekuat tenaga untuk
mengucapkan perkataan yang berlAndaskan Al-Quran, yaitu:
1. Qaulan sadida
Ungkapan qaulan sadida dalam Al-Quran terdapat pada dua
tempat, yaitu pada surah an-Nisa 9 dan al-Ahzab 70. Perkataan
qaulan sadida diungkapkan Al-Quran dalam konteks pembicaraan
mengenai wasiat. Hamka (1987) menafsirkan kata qaulan sadida
berdasarkan konteks ayat, yaitu dalam konteks mengatur wasiat.
Untuk itu, orang yang memberi wasiat harus menggunakan kata-kata
yang jelas dan jitu; tidak meninggalkan keragu-raguan bagi orang
yang ditinggalkan. Sedangkan ketika beliau menafsirkan qaulan
sadida pada Q.S al-Ahzab, beliau berkata bahwa ungkapan tersebut
bermakna ucapan yang tepat yang timbul dari hati yang bersih,
sebab ucapan adalah gambaran dari apa yang ada di dalam hati.
Orang yang mengucapkan kata-kata yang dapat menyakiti orang lain
menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki jiwa yang tidak jujur.
Rakhmat (1994: 77) mengungkap makna qaulan sadida dalam arti
pembicaraan yang benar, jujur, lurus, tidak sombong, dan tidak
berbelit-belit. Senada dengan itu, at-Tabari (1988: Juz III: 273)
menafsirkan kata qaulan sadida dengan makna adil. Al Buruswi
(1996: Juz IV: 447) menyebutkan qaulan sadida dalam konteks
27
tutur kata kepada anak-anak yatim yang harus dilakukan dengan cara
yang lebih baik dan penuh kasih sayang, seperti kasih sayang kepada
anak sendiri. Memahami pAndangan para ahli tafsir di atas dapat
diungkapkan bahwa qaulan sadida dari segi konteks ayat
mengandung makna kekhawatiran dan kecemasan seorang pemberi
wasiat terhadap anak-anaknya yang digambarkan dalam bentuk
ucapan-ucapan yang lemah lembut, jelas, jujur, tepat, baik, dan adil.
2. Qaulan baligha
Ungkapan qaulan baligha dalam Al-Quran disebut sebanyak
satu kali yaitu pada surah an-Nisa ayat 63. Ungkapan tersebut
diartikan sebagai pembicaraan yang fasih, jelas maknanya, terang,
serta tepat dalam mengungkapkan apa yang dikehendakinya. Hamka
(1983: Jilid V) menyebutkan bahwa ungkapan qaulan baligha
bermakna ucapan yang sampai pada lubuk hati orang yang diajak
bicara, yaitu kata-kata yang fashahat dan balaghah (fasih dan tepat);
kata-kata yang membekas pada hati sanubari. Kata-kata seperti ini
tentunya keluar dari lubuk hati sanubari orang yang mengucapkannya.
Sementara al-Buruswi (1996, Juz V: 175) memaknai qaulan baligha
dari segi cara mengungkapkannya. Lebih lanjut al-Maraghi (1943:
129) mengaitkan qaulan baligha dengan arti tabligh sebagai salah
satu sifat Rasul (Tabligh dan baligh berasal dari akar kata yang
sama yaitu balagha), yaitu Nabi Muhammad diberi tugas untuk
menyampaikan peringatan kepada umatnya dengan perkataan yang
menyentuh hati mereka. Senada dengan itu, Katsir (tt) menyatakan
bahwa makna qaulan baligha ialah menasihati dengan ungkapan yang
menyentuh sehingga mereka berhenti dari perbuatan salah yang
selama ini mereka lakukan. Dari segi lain Assidiqi (1977: 358)
memaknai qaulan baligha dari segi gaya pengungkapan, yaitu
perkataan yang membuat orang lain terkesan atau mengesankan orang
yang diajak bicara. Dari sudut ilmu komunikasi, Rakhmat (1994: 81)
28
mengartikan ungkapan qaulan baligha sebagai ucapan yang fasih, jelas
maknanya, tenang, tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki.
Karena itu, qaulan baligha diterjemahkan sebagai komunikasi yang
efektif. Efektivitas komunikasi terjadi apabila komunikator
menyesuaikan pembicaraannya dengan sifat-sifat khalayak yang
dihadapinya. Qaulan baligha mengandung arti pula bahwa
komunikator menyentuh khalayaknya pada hati dan otak sekaligus,
sehingga komunikasi dapat terjadi secara tepat dan efektif. Memahami
pemaparan para ahli di atas, qaulan baligha diartikan sebagai ucapan
yang benar dari segi kata. Apabila dilihat dari segi sasaran atau ranah
yang disentuhnya dapat diartikan sebagai ucapan yang efektif.
3. Qaulan karima
Dalam Al-Quran ungkapan qaulan karima disebut sebanyak
satu kali yaitu pada surah al-Isra ayat 23. Secara leksikal ungkapan
tersebut bermakna perkataan yang mulia. Al-Maraghi (1943: 62)
menafsirkan ungkapan qaulan karima dengan makna yang merujuk
pada ucapan Ibn Musayyab, yaitu ucapan seorang budak yang bersalah
di hadapan majikannya yang galak. Katsir (TT) menjelaskan makna
qaulan karima dengan arti lembut, baik, dan sopan disertai tata
krama, penghormatan, dan pengagungan. Dengan memperhatikan
penjelasan para mufasir di atas, dapat disimpulkan bahwa ungkapan
qaulan karima memiliki pengertian mulia, penghormatan,
pengagungan, dan penghargaan. Ucapan yang bermakna qaulan
karima berarti ucapan yang lembut berisi pemuliaan, penghargaan,
pengagungan, dan penghormatan kepada orang yang diajak bicara.
Sebaliknya ucapan yang menghinakan dan merendahkan orang lain
merupakan ucapan yang tidak santun.
29
4. Qaulan ma’rufa
Secara leksikal kata ma‟ruf bermakna baik dan diterima oleh
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Shihab, 1999: 125).
Ucapan yang baik adalah ucapan yang diterima sebagai sesuatu
yang baik dalam pAndangan masyarakat lingkungan penutur. Amir
(1999) menyebut arti qaulan ma‟rufa sebagai perkataan yang baik dan
pantas. Baik artinya sesuai dengan norma dan nilai, sedangkan pantas
sesuai dengan latar belakang dan status orang yang mengucapkannya.
Apabila melihat konteks ayatnya, Al-Quran menggunakan kalimat
tersebut dalam konteks peminangan, pemberian wasiat dan waris.
Karena itu, qaulan ma‟rufa mengandung arti ucapan yang halus
sebagaimana ucapan yang disukai perempuan dan anak-anak; pantas
untuk diucapkan oleh pembicara maupun untuk orang yang diajak
bicara.
Hamka (1983: Juz 22) memaknai qaulan ma‟rufa sebagai ucapan
bahasa yang sopan santun, halus, dan penuh penghargaan. Ketika
memaknai ungkapan tersebut yang terdapat pada surah al-Isra ayat
23 yang berkaitan dengan etika berkomunikasi dengan orang tua,
beliau mengartikan sebagai ucapan yang khidmat sebagai dasar
budi kepada orang tua. Sedangkan penjelasan beliau tentang
ungkapan qaulan sadida yang terdapat pada surah al-Ahzab dengan
makna kata-kata yang pantas.
Al-Buruswi (1996, juz 22) menyebutkan qaulan ma‟rufa
sebagai ungkapan bahasa yang baik dan halus seperti ucapan seorang
laki-laki kepada perempuan yang akan dipersuntingnya. Sedangkan
at-Tabari (1998, juz 22: 3) memaknai ungkapan qaulan ma‟rufa
dengan pengertian optimisme dan doa. Assidiqi (1997: 258)
menyebutnya sebagai perkataan yang baik, yaitu kata-kata yang
tidak membuat orang lain atau dirinya merasa malu. Senada
dengan itu Khozin (725: 203,404) menyebutkan qaulan ma‟rufa
sebagai perkataan yang baik, benar, menyenangkan dan disampaikan
30
dengan tidak diikuti oleh celaan dan cacian. Berbeda dengan
penjelasan ulama lainnya al-Jauhari (t.t, Juz 2: 10) mengartikannya
sebagai ucapan yang sesuai dengan hukum dan ketentuan akal yang
sehat (logis).
Dengan memperhatikan pendapat para mufasir di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa qaulan ma‟rufa mengandung arti perkataan
yang baik, yaitu perkataan yang sopan, halus, indah, benar, penuh
penghargaan, dan menyenangkan, serta sesuai dengan hukum dan
logika. Dalam pengertian di atas tampak bahwa perkataan yang baik
adalah perkataan yang bahasanya dapat dipahami oleh orang yang
diajak bicara dan diucapkan dengan pengungkapan yang sesuai
dengan norma dan diarahkan kepada orang (objek) yang tepat.
5. Qaulan maisura
Ungkapan qaulan maiysura dalam Al-Quran terdapat pada surah
al-Isra ayat 28. Secara leksikal ungkapan tersebut bermakna
perkataan yang mudah. Al-Maraghi (1943: Jilid 2: 190) mengartikan
ungkapan tersebut dengan makna ucapan yang lunak dan baik atau
ucapan janji yang tidak mengecewakan. Dilihat dari kondisi ketika
ayat itu turun (asbab nuzul) sebagaimana diriwayatkan oleh Saad bin
Mansur yang bersumber dari Atha al-Khurasani, ketika orang-orang
dari Muzainah meminta kepada Rasulullah supaya diberi kendaraan
untuk berperang fi sabilillah. Rasulullah menJawab, “Aku tidak
mendapatkan lagi kendaraan untuk kalian”. Mereka berpaling dengan
air mata berlinang karena sedih mengira bahwa Rasulullah marah
kepada mereka. Maka turunlah ayat ini sebagai petunjuk kepada
Rasulullah dalam menolak suatu permohonan supaya menggunakan
kata-kata yang lemah lembut.
Katsir (TT, Jilid 3:50) menyebutkan makna qaulan maysura
dengan makna ucapan yang pantas, yakni ucapan janji yang
menyenangkan, misalnya ucapan, “Jika aku mendapat rezeki dari
31
Allah, aku akan mengantarkannya ke rumah”. Sementara at-Tabari
(1988, Juz 15: 50) menambahkan makna indah dan bernada
mengharapkan. Hamka (1983, Juz 15: 50) mengartikan qaulan
maysura adalah kata-kata yang menyenangkan, bagus, halus,
dermawan, dan sudi menolong orang.
Memahami qaulan maysura, baik dilihat dari segi asbab nuzul,
kaitan teks dengan konteks adalah ucapan yang membuat orang lain
merasa mudah, bernada lunak, indah, menyenangkan, halus, lemah
lembut dan bagus, serta memberikan optimisme bagi orang yang
diajak bicara. Mudah artinya dan bahasanya komunikatif sehingga
dapat dimengerti dan berisi kata-kata yang mendorong orang lain
tetap mempunyai harapan. Ucapan yang lunak adalah ucapan yang
menggunakan ungkapan dan diucapkan dengan pantas dan layak.
Sedangkan ucapan yang lemah lembut adalah ucapan yang baik dan
halus sehingga tidak membuat orang lain kecewa atau tersinggung.
Dengan demikian qaulan maysura memberikan rincian operasional
bagi tata cara pengucapan bahasa yang santun.
6. Qaulan layyina
Ungkapan qaulan layyina dalam A l-Quran terdapat pada surah
Thaha ayat 44. Secara leksikal ungkapan qaulan layyina bermakna
perkataan lemah lembut. Menurut al-Maraghi (1943: 156) ayat ini
berbicara dalam konteks pembicaraan nabi Musa As. ketika
menghadap Fir‟aun. Allah mengajarkan kepadanya agar berkata
lemah lembut dengan harapan Firaun tertarik dan tersentuh hatinya
sehingga dia dapat menerima dakwahnya dengan baik. Katsir (TT)
menyebut qaulan layyina sebagai ucapan yang lemah lembut. Senada
dengan itu, Assiddiqi (1968: 829) memaknai qaulan layyina sebagai
perkataan yang lemah lembut yang di dalamnya terdapat harapan agar
orang yang diajak bicara menjadi teringat pada kewajibannya atau
32
takut meninggalkan kewajibannya. At-Tabari (1988: 169)
menambahkan arti baik dan lembut pada kata layyina.
Dengan memperhatikan penjelasan para mufasir tersebut dapat
disimpulkan bahwa makna qaulan layyina adalah ucapan baik yang
dilakukan dengan lemah lembut sehingga dapat menyentuh hati
orang yang diajak bicara. Ucapan yang lemah lembut dimulai dari
dorongan dan suasana hati orang yang berbicara. Apabila ia berbicara
dengan hati yang tulus dan memAndang orang yang diajak bicara
sebagai saudara yang ia cintai, maka akan lahir ucapan yang
bernada lemah lembut. Dampak kelemahlembutan itu akan
membawa isi pembicaraan kepada hati orang yang diajak bicara.
Komunikasi yang terjadi adalah hubungan dua hati yang akan
berdampak pada tercerapnya isi ucapan oleh orang yang diajak
bicara. Akibatnya ucapan itu akan memiliki pengaruh yang dalam,
bukan hanya sekedar sampainya informasi, tetapi juga berubahnya
pAndangan, sikap, dan perilaku orang yang diajak bicara.
B. Nilai Kearifan Lokal yang Berada di Pesantren dalam
Pembinaan Karakter Santri
Nilai kearifan lokal pesantren adalah karismatik, santun, etika,
disiplin, keteladanan, dan tata krama. Sabar dan syukur merupakan
dua hal penting yang harus ada pada pribadi kaum muslimin dan kaum
muslimat semuanya karena hidup menjadi bahagia harmoni dan
sentosa hanya cukup diraih dengan dua hal tadi yakni bila
mendapatkan nikmat bersyukur dan bila mendapatkan musibah
bersabar. Kebersihan, kerjasama, keimanan, tanggung Jawab,
kesehatan, empirik, manfaat, kebersihan, keindahan, kewibawaan,
kerapihan, kearifan, ketakwaan merupakan nilai-nilai kearifan lokal
yang sepatutnya harus dilestarikan dan dijaga, alhamdulillah para
lulusan persantren di Indonesia ini belum pernah terdengar ada
33
penyimpangan-penyimpangan karakter yang buruk seperti korupsi,
kolusi dan nepotisme yang menjadi musuh para santri di pesantren.
Hasil didikan di pesantren ditentukan oleh kepemimpinan kiai.
Karena kiai sebagai seorang pemimpin di pesantren selalu membekali
pengetahuan dan hal ini internalisasi nilai-nilai kearifan lokal di
pesantren merupakan bagian yang mendasari nilai-nilai yang dapat
diwujudkan dengan mengembangkan six value sistem (enam sistem
nilai) berikut:
Pertama, teological value (nilai teologis); yaitu nilai-nilai yang
berbasis pada wahyu ilahi, atau dalil-dalil naqli yakni Al-qur‟an,
hadis, dan ijtihad para ulama. Artinya kepemimpinan pendidikan
dalam tataran aplikasinya harus selaras atau tidak bertentangan dengan
nilai-nilai teologis (agama Islam), karena agama Islam memiliki
kebenaran yang mutlak. Pengembangan nilai teologis dalam kontek
pendidikan, akan mampu melahirkan insane-insan yang beriman,
bertakwa, bersabar, bertawakal, bersyukur, dan sebagainya.
Pada dasarnya cita-cita pendidikan memiliki relevansi yang kuat
dengan cita-cita agama (Islam). Hal itu sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengebangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara (UUSPN, No.20 tahun 2003)
Kedua, fhysical and psicological value (nilai fisik dan
psiologis); yaitu nilai-nilai yang berbasis pada hukum alam semesta.
Hukum alam yang berifat sunatullah mengandung aturan yang
konsisten dan pasti. Seorang pemimpin pendidikan yang baik,
terpancar dalam sikap dan perilakunya, untuk tidak bertentangan
dengan sunatullah (hukum-hukum alam) termasuk hukum negara.
34
Pemimpin sejati adalah pemimpin yang mampu membanguan
hubungan harmoni antara pemimpin dengan dirinya sendiri, dengan
orang lain, dan dengan alam semesta.
Manusia sebagai pemimpin di muka bumi (khalifah fil ardhi)
sejatinya memperlakukan alam raya dengan sebaik-baiknya. Karena,
kebaikan dan keburukan yang dilakukan manusia terhadap alam itu
akan kembali kepada manusia itu sendiri. Begitupun para pemimpin
(pendidikan) dituntut untuk memiliki rasa tanggung Jawab (sense of
responsibility) atas kebijakan atau keputusan yang diambilnya dalam
mengelola pendidikan.
Ketiga, logical value (nilai logika); yakni nilai-nilai yang
berbasis pada akal pikiran manusia. Akal pikiran manusia memiliki
cara kerja yang konsisten, yaitu dapat membedakan yang hak (benar)
dan yang batil (salah). Daya pikir melahirkan logika yang
dikembangkan dan dipertajam dengan cara mengembangkan
pemahaman terhadap fenomena alam melalui proses berpikir
(Suryana, dkk, 1997:16). Bagi Al-Latas (1988:38), setiap ruh insan
memiliki daya akliah (cognitive power) yang dapat membentuk dan
menyampaikan isyarat-isyarat bermakna (meningful signs). Daya
akliah ini juga memiliki daya untuk membuat penilaian moral,
membedakan antara yang benar dan yang palsu. Pemimpin yang baik
sejatinya mampu menggunakan akalnya dalam menghadapi masalah,
menganalisis masalah, serta membuat keputusan atau kebijakan. Atas
dasar itu, maka pemimpin pendidikan berdasarkan kecerdasannya,
akan bersikap jujur, cermat dan tanggung Jawab atas pikiran dan
keputusannya.
Keempat, ethical value (nilai etika); yaitu nilai-nilai yang
berbasis pada nilai kebaikan. Pemimpin pendidikan yang diidamkan
oleh segenap civitas akademika, adalah pemimin yang mencintai,
menjunjung tinggi, dan memperjuangkan etika (nilai-nilai kebenaran),
di manapun dan kapanpun pemimpin itu berada. Ahmad Amin (1983)
35
mendefinisikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan
buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia,
menyatakan tujuan yang harus dituju manusia di dalam perbuatan
mereka, dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya
diperbuat.
Kelima, esthetical value (nilai estetik); yaitu nilai yang berbasis
pada nilai keindahan. Pemimpin pendidikan yang baik adalah
pemimpin pendidikan yang mencintai keindahan secara universal,
indah dalam bersikap, berucap, bertindak. Atas dasar itu, maka
pemimpin pendidikan akan mencerminkan sikap dan perilaku yang
ramah, santun, toleran, menghargai orang lain, dan cinta kepada
sesama. Orang yang tidak senang pada orang lainlah yang paling
banyak menjumpai kesulitan dalam hidupnya dan mengakibatkan
kesusahan pada orang lain. Dari orang macam itulah timbul kegagalan
seluruh manusia (Carnagie, 2008:146).
Keenam, theleological value (nilai kemanfaatan); yaitu nilai-
nilai yang lebih mengedepankan unsur-unsur manfaat. Pemimpin yang
kental dengan nilai-nilai ini senantiasa melahirkan sikap, ucap,
tindakan, serta keputusan yang bermanfaat baik secara individual
maupun komunal. Nilai telelologis ini juga akan memicu para
pemimpin pendidikan untuk bersikap lebih responsive dan disiplin
dalam mengelola pendidikan. Alhasil, tipikal kepemimpinan semacam
ini, mampu memberikan kemaslahatan bagi dirinya, peserta didik,
tenaga kependidikan, serta bagi institusi pendidikan, bahkan
masyarakat sekitar.
Apabila keenam nilai tersebut tumbuh dalam jiwa kepemipinan
seseorang, maka dapat dipastikan pemimpin tersebut memiliki sifat-
sifat beriman, bertakwa, bertawakal, cerdas, jujur, adil,
amanah/tanggung Jawab, disiplin, dan ikhlas. Dewasa ini, pemimpin
yang memiliki karakteristik di atas adalah sosok yang mendesak
dibutuhkan dalam dunia pendidikan.
36
Oleh sebab itu, seorang pemimpin pendidikan sejatinya terampil
dalam mengendalikan pikiran, perasaan, dan tindakan. Pendekatan ini
oleh sebagian ahli disebut dengan istilah model pembelajaran nilai-
nilai kemanusiaan terpadu yang bertujuan mencapai manusia unggul
(human excellence) atau manusia seutuhnya dengan kepribadian yang
terpadu antara head, heart, and hands (Sauri, 2011:iv). Pikiran yang
ada di benak pemimpin hari ini, perasaan yang pemimpin rasakan hari
ini, dan tindakan yang pemimpin lakukan hari ini, akan menentukan
perjalanan umat manusia di kemudian hari. Maka penting sekali untuk
para pemimpin pendidikan, agar terus berpikir dan bertindak dengan
cara yang positif. Yakni sama dengan apa yang sesungguhnya
manusia inginkan, ingin manusia lakukan, dan ingin manusia alami
dalam hidup. Pikiran, perbuatan dan perkataan kembali pada kita
cepat atau lambat, dengan ketepatan yang sangat mengejutkan.
C. Upaya yang Dilakukan Pimpinan Pesantren dalam Pembinaan
Karakter Santri
Upaya yang dilakukan pimpinan pesantren dalam pembinaan
karakter santri mandiri tidak lepas dari tindakan-tindakan berikut:
1. Berdoa
Berdoa adalah permohonan dari seorang hamba terhadap Khalik
pencipta alam jagad raya. Dan Doa merupakan kegiatan yang
bernilai ibadah yang harus menjadi pengamalan setiap saat. Dan
doa juga merupakan senjata bagi orang-orang yang beriman. Tidak
ada satu kegiatan pun yang luput dari doa, mulai bangun,
beraktivitas, sampai tidur kembali, sarat dengan doa. Doa yang
paling populer dalam Islam adalah doa sapu jagat, yaitu menjadi
manusia yang bahagai di dunia dan di akhirat. Karakter kuat atau
karakter yang baik terlaksana karena doa dan tentu memahami
kaifiat-kaifiat berdoa, baik doa yang dilakukan secara individual
atau beramai-ramai atau jahar, para santri sangat banyak dan
37
memahami berbagai macam doa baik doa yang berasal dari al-
quran, dari as-Sunnah, dan doa dari orang-orang saleh.
Salah satu doa yang dimunculkan oleh kiai setiap saat dalam hal
ilmu selalu bermohon agar ilmunya bermanfaat yang menjadi obor
dalam kehidupan di saat sedang menemukan kegelapan, dan minta
agar ilmu tersebut selain diamalkan juga dapat disampaikan
kembali kepada khalayak yang lainnya. Salah satu contoh doa
yang diamalkan kiai adalah,
ما رب زدو عهما ف ارزقى ه انذ مه انص اجعهى
Ya Allah tambahkanlah aku ilmu, dan berilah aku karunia untuk
dapat memahaminya, dan jadikanlah aku termasuk golongannya
orang-orang yang saleh.
ر ن أمري س ادهم عقدة مه نساو رب اشرح ن صدري ن فقا ق
Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku
urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku supaya mereka
mengerti perkataanku
م اوفعى بما عهمت عهمى ما ىفعىانه ى ارزقى عهما تىفعى ب
Ya Allah, berilah aku manfaat dari ilmu yang telah Engkau
ajarkan kepadaku, ajarkanlah kepadaku ilmu yang bermanfaat
bagiku dan tambahkanlah untukku ilmu yang bermanfaat bagiku.
م ٱانه ىا دكمتك ىا مه خسائه ر ٱفتخ عه ه وشر عه ادم دمتك آ أردم انر
Ya Allah, bukakanlah atas kami hikmat-Mu dan limpahkanlah atas
kami khazanah-Mu, wahai Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.
2. Berihtiar (Berusaha)
Sebagai implementasi dari doa tersebut biasanya pesantren
memberikan kesempatan dalam program pengajian secara
terjadwal setelah atau berbarengan dengan doa yang
dikumAndangkan dan dipanjatkan. Selanjutnya perlu adanya
38
upaya dan usaha agar apa yang diinginkannya itu dapat terlaksana
dengan baik. Upaya yang dilakukan oleh para santri ketika ingin
menjadi orang yang berilmu ialah mengikuti program-program
pengajian, baik pengajian individual, langsung setiap santri
menyodorkan kitabnya kepada ustad maupun mendengarkan
secara langsung dalam ruangan yang terbuka disampaikan oleh
kiai atau ustad. Selain pengajaran yang disampaikan oleh kiai dan
ustad sebagai wujud pendalaman dan pemahaman keilmuan yang
diberikan, maka diberikan tugas-tugas berupa hafalan atau laporan
tertulis yang secara periodik dilaporkan kepada kiai atau ustad.
3. Bertawakal
Usaha santri dalam meraih ilmu yang diberikan kiai dan ustad
ditambah dengan tugas-tugas yang cukup dan para santri berupaya
sekuat tenaga agar ilmu yang diperoleh dapat dirasakan dalam
kehidupannya. Namun apabila terjadi pengecekan dari kiai dan
ustad dari tugas yang diberikannya dan ada santri yang tidak bisa
menJawab secara maksimal bahkan kurang dari cukup maka santri
harus berhadapan dengan hukuman sebagai wujud kepedulian dan
kecintaan kiai terhadap santri. Santri perlu menghadapi hal ini
dengan penuh ketawakalan kepada Allah swt. Karena tawakal
merupakan bagian kepasrahan sepenuh hati apa pun dari hasil
upaya dan doa itu disikapi dan dihadapi dengan penuh
pengharapan kepada Allah swt. Tawakal bukan menyerah tapi
berjuang sekuat tenaga bagaimana bisa menerima segala
keputusan yang Allah berikan, baik menyenangkan maupun tidak
menyenangkan. Alhamdulillah para santri di pesantren ini terlihat
ketawakalannya ketika diberi tugas oleh kiai dan ustad berupa
hapalan ayat-ayat quran atau hadis atau kitab-kitab lain, mereka
berupaya dengan sekuat tenaga dan bila ada kegagalan pada diri
santri maka berpasrahlah diri kepada Allah.
39
4. Berhusnu dzan
Ketenangan batin seorang santri setelah menerima hukuman yang
cukup hanya bisa dihadapi dan diterima dengan penuh berbaik
sangka karena husnu dzan adalah bagian yang paling besar
memberikan pengaruh kepada pribadi santri, terutama takala sudah
sepenuh hati berdoa, sekuat tenaga berusaha dan apa pun yang
terjadi dengan tawakal diharapkan bisa menerima segala
keputusan itu dengan tidak menyalahkan individu yang lain.
Husnu dzan merupakan bagian yang paling ampuh untuk bisa
hidup dengan penuh ketenagan terhindar dari hasud, sum‟ah,
takabur, sombong dan lain sebagainya. Para santri setelah
berkiprah mencari ilmu di pesantren maka penanaman nilai-nilai
husnu dzan dengan yang lebih penting
D. Kendala Pimpinan Pesantren dalam Pembinaan Nilai
Kearifan Lokal Terhadap Santri
Setiap manusia hidup di dunia ini tidak terlepas dari kelebihan
dan kekurangan. Tidak ada seorang manusia pun yang sempurna
kecuali kesempurnaan Nabi Muhammad saw sebagai pilihan Allah
swt. Meskipun usaha yang telah maksimal dan harapan yang tidak
pernah berhenti, tetapi keterbatasan tetap terjadi seperti yang dialami
di pesantren ini antara lain:
1. Terbatasnya ustad dan kiai untuk memantau prilaku santri di luar
kegiatan pengajian. Kiai dan ustad menghadapi santri yang sangat
banyak 1 berbanding 500 santri, sehingga kemampuan untuk
memantau sangat terbatas. Kemudian kerumunan dalam kegiatan
perlu adanya pengeras suara yang lebih mudah didengar oleh
semua santri ketika kegiatan berlangsung. Kiai dan ustad dibantu
oleh lurah pondok dan beberapa anggotanya yang sangat terbatas.
2. Pergaulan yang tidak terbatas. Dengan jumlah santri yang cukup
banyak dan pergaulan dengan masyarakat sekitar tidak ada sekat
40
dan para jemaah yang datang bersama-sama ke masjid
memberikan kontribusi perilaku yang kadang kala tidak terkontrol.
Misalnya soal santri yang keluar berkunjung ke lain santri di luar
pesantren, dan kebiasaaan yang diluar bisa berpengaruh kepada
perilaku santri.
3. Latar belakang santri yang beraneka ragam. Santri yang datang ke
pesantren dari berbagai latar belakang yang bervariasi seperti
santri anak petani, pedagang, buruh, anak tentara, anak ustad, anak
yang tidak jelas statusnya, dan sebagainya. Hal ini menjadi bagian
yang sangat sulit untuk menyatukan persepsi pemikiran yang sama
dan memerlukan waktu yang cukup panjang namum walaupun
demikian upaya pesantren untuk membina karakter yang baik
tidak pernah ada kata berakhir.
4. Perhatian masyarakat yang kurang. Masyarakat di sekitar
pesantren kurang memberikan perhatian yang maksimal, terutama
memperhatikan karakter sifat santri yang menyimpang. Takala ada
santri yang keluar dari waktu pengajian dan diketemukan oleh
masyarakat, masyarakat kadang kala tidak menegur takala
kegiatan pengajian sedang berlagsung di pesantren. Bahkan ada
santri yang masuk ke rumah masyarakat bicara bergaul dengan
anak dari masyarakat dibiarkan tidak diberikan teguran atau
melaporkan langsung ke pesantren.
5. Fasilitas pesantren yang perlu disempurnakan. Pesantren adalah
tempat pembinaan para santri yang sangat terbatas dari segi sarana
dan prasarana pesantren, luas kobong diisi oleh santri yang
jumlahnya kadang kala tidak sesuai dengan kapasitas yang
berlaku, tempat berwudu tidak diimbangi dengan kebutuhan yang
berwudu, dapur umum tidak menyediakan alat masak yang
sempurna, tempat istirahat dan berolahraga santri masih terbatas,
alat pemantau berupa CCTV untuk memantau perilaku santri di
berbagai tempat belum terpasan dan lain sebagainya.
41
6. Kesadaran semua pihak dalam menegakkan dan melestarikan
pembiasakan berakhlak baik masih perlu disempurnakan. Faktor
kesadaran adalah faktor yang paling tinggi yang akan melahirkan
kehidupan yang lebih baik, misalnya membuang sampah
sembarangan, kebersihan lingkungan masih kurang, dan
sebagainya.
Keberadaan manusia di muka bumi ini bukanlah ada dengan
sendirinya. Manusia diciptakan oleh Allah swt dengan dibekali
potensi dan infrastruktur yang sangat unik. Keunikan dan
kesempurnaan bentuk manusia ini bukan saja dilihat dari bentuknya,
akan tetapi juga dari karakter dan sifat yang dimiliki oleh manusia.
Sebagai ciptaan, manusia dituntut memiliki kesadaran terhadap posisi
dan kedudukan dirinya di hadapan Tuhan. Manusia dicipakan dan
diturunkan ke bumi ini sebagai makhluk Allah swt yang tertinggi.
Sebagai makhluk tertinggi, di samping menjadi hamba Allah swt,
manusia juga dijadikan sebagai khalifah atau wakil Tuhan di muka
bumi. Di samping itu, Allah juga menegaskan bahwa manusia
ditumbuhkan (diciptakan) dari bumi dan selanjutnya diserahi tugas
untuk memakmurkannya. Dengan demikian, seluruh urusan kehidupan
manusia dan eksistensi alam semesta di dunia ini telah diserahkan oleh
Allah swt kepada manusia.
Fitrah atau potensi dasar manusia berupa potensi berketuhanan,
potensi kekhalifahan, dan potensi keilmuan. Mengembangkan potensi
berketuhanan berarti upaya pendidikan tersebut mewariskan informasi,
melaksanakan bimbingan, latihan dan pengajaran untuk hidup
berketuhanan dan mengabdi/beribadah pada Tuhan (Uwes, 2001:44-47).
Mengembangkan potensi kekhalifahan adalah mengembangkan potensi
terdidik dalam menguasai bagian-bagian untuk kepengurusan alam dan
manusia. Sedangkan mengembangkan potensi keilmuan manusia
merupakan tanggung Jawab kegiatan pendidikan dalam
pengembangannya yang diharapkan sebagai alat paling baik untuk
42
membuka rahasia sesuatu yang tersembunyi.
Manusia diciptakan oleh Allah swt dengan mempunyai daya fisik
seperti mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium, dan daya
gerak. Sedangkan unsur immateri mempunyai dua daya, yaitu daya
berpikir yang disebut akal dan daya rasa yang berpusat di kalbu.
Untuk membangun daya fisik perlu dibina melalui latihan-latihan
keterampilan panca indra. Untuk mengembangkan daya akal dapat
dipertajam melalui proses penalaran dan berpikir. Sedangkan untuk
mengembangkan daya rasa dapat dilakukan melalui ibadah, karena
intisari ibadah dalam Islam adalah mendekatkan diri kepada Tuhan
(Nasution, 1989:37).
Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi; mempunyai kapasitas
intelegensia yang paling tinggi; manusia mempunyai kesadaran akan
kehadiran Tuhan; manusia merupakan makhluk pilihan; manusia
dikaruniai pembawaan dan martabat yang mulia; manusia bersifat
bebas dan merdeka; manusia memiliki kesadaran moral dan butuh
kepada Tuhan; manusia berhak memanfaatkan bumi dan segala isi
yang terkandung di dalamnya dengan cara-cara yang sah; Tuhan
menciptakan manusia agar mereka menyembah-Nya dan tunduk patuh
kepada-Nya, serta senantiasa mengingat-Nya; di samping kebutuhan-
kebutuhan yang bersifat duniawi, manusia juga selalu berupaya untuk
mencapai tujuan ukhrawi. Dengan dibekali potensi-potensi dalam diri
manusia dan disediakannya alam dalam kehidupannya, manusia dituntut
untuk dapat memaksimalkan potensi-potensi yang terdapat dalam
dirinya supaya bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi umat, dan
menjadi khalifah di bumi untuk mengatur dan memanfaatkan alam dunia
ini dengan bijak. Sebab, segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah
dimuka bumi ini tidaklah diciptakan dengan sia-sia dan main-main tetapi
Allah menciptakan seluruh langit dan bumi beserta isinya untuk
menemukan manfaat darinya dan mendorong manusia untuk
menemukan kebesaran Allah (Langulung, 2004:274).
43
Tetapi lebih penting dari itu semua fitrah manusia adalah
pembinaan karakter umat manusia menjadi hamba Allah secara kaffah
dan memiliki keselerasan dan keseimbangan hidup bahagia dunia dan
di akhirat, sebagai realisasi cita-cita bagi yang beriman dan bertakwa
yang senatiasa beribadah untuk mencapai keridaan Allah swt. Dengan
mengembangkan daya pikir, daya nalar dan daya rasa yang
diwujudkan dalam bentuk penghambaan kepada Allah yang terletak
pada keselarasan antara dimensi jasmani, ruhani dan akal (Sauri,
2010:28). Sebagaimana Allah berfirman dalam surah adz Dzariaat
ayat 56:
واإلنس ال لي عبدون وما خلقت اجلن “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku”
Potensi dasar setiap manusia dapat berkembang secara optimal
dan maksimal. Potensi-potensi dasar manusia tersebut tidak bisa
berkembang dengan sendirinya, tetapi butuh bantuan dan pertolongan
orang lain dalam mengotimalkannya. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk mengoptimalkan potensi-potensi manusia tersebut
adalah dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan, baik lembaga
pendidikan formal maupun lembaga pendidikan nonformal. Lembaga
pendidikan tersebut banyak ragam dan macamnya. Dalam kepentingan
penulisan kali ini akan dibahas lembaga pendidikan nonformal yang
salah satunya berupa pondok pesantren. Pondok pesantren merupakan
lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia (Tafsir, 2012:289).
Pesantren telah berdiri sebagai lembaga pendidikan nonformal jauh
sebelum keberadaan pendidikan-pendidikan formal.
Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tertua telah
secara luas menyebar ke seluruh pelosok tanah air guna memberikan
pembekalan dan pengoptimalan potensi santri-santrinya, serta
44
membentuk manusia Indonesia yang religius. Lembaga tersebut telah
melahirkan banyak pemimpin bangsa di masa lalu, masa kini, dan
masa yang akan datang. Lulusan pesantren banyak mengambil
partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa (Tafsir, 2012:290).
Pendidikan dalam pondok pesantren merupakan sebuah upaya
untuk bisa mengoptimalkan seluruh potensi yang dimiliki santrinya
agar menjadi manusia yang benar-benar menjadi manusia yang benar,
yakni pembentukan jati diri sebagai individu, makhluk sosial, dan
makhluk religius yang cerdas otaknya, terampil tangannya, dan lembut
hatinya (Sauri, 2010:21-25). Pondok pesantren juga bisa
memberdayakan santrinya dalam membangun generasi yang
intelektual dan berakhlakul karimah serta menjadi manusia seutuhnya
untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Manusia yang
utuh merupakan manusia yang mencerminkan manusia kaffah, dalam
arti satunya niat, ucap, pikir, perilaku, dan tujuan yang direalisasikan
dalam kehidupan (Sauri, 2010:36).
Dalam memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki santri,
hendaknya pesantren mampu memberdayakan potensi-potensi
santrinya agar menjadi generasi yang intelek dan berakhlakul karimah.
Ada beberapa prinsip yang berlaku di pesantren dalam
mempersiapkan lulusannya menjadi generasi yang intelek dan
berakhlakul karimah. Prinsip-prinsip itu menggambarkan ciri utama
tujuan pendidikan pesantren, ciri-ciri utama tersebut seperti yang
dijelaskan Tafsir (2012:303-305) sebagai berikut:
1. Memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam. Santri dibantu oleh
kiai, guru atau ustad dalam lingkungan pesantren agar mampu
memahami makna hidup, keberadaan, peranan, serta tanggung
Jawabnya dalam kehidupan di masyarakat.
2. Memiliki kebebasan yang terpimpin. Setiap manusia memiliki
kebebasan, tetapi kebebasan itu harus dibatasi, karena kebebasan
memiliki potensi anarkisme. Keterbatasan (ketidakbebasan)
45
mengandung kecenderungan mematikan kreativitas, karena itu
kebebasan harus dibatasi. Inilah yang dimaksud dengan kebebasan
yang terpimpin. Kebebasan yang terpimpin yang seperti ini adalah
watak ajaran Islam. Manusia bebas menetapkan aturan hidup
tetapi dalam berbagai hal manusia menerima saja aturan yang
datang dari Tuhan.
3. Berkemampuan mengatur diri sendiri. Di pesantren, santri
mengatur sendiri kehidupannya menuruti batasan yang dianjurkan
dan diajarkan oleh agama. Ada unsur kebebasan dan kemandirian
di sini. Bahkan masing-masing pesantren juga mengatur dirinya
sendiri. Masing-masing pesantren memiliki otonomi. Setiap
pesantren mengatur kurikulumnya sendiri, mengatur kegiatan
santrinya, tidak harus sama antara satu pesantren dengan pesantren
lainnya. Menarik juga kenyataan, pada umumnya masing-masing
santri bangga dengan pesantrennya, dan menghargai pesantren
lain. Sejauh ini belum pernah terjadi perkelahian, atau saling
mengejek antar santri pondok pesantren yang berbeda,
sebagaimana sering terjadi di antara sekolah-sekolah umum di
kota. Kebanggaan santri terhadap pesantrennya masing-masing
umumnya terletak pada kehebatan dan kealiman kiainya, kitab
yang dipelajari, kerukunan dalam bergaul, rasa senasib
sepenanggungan, kedisiplinan, kerapian berorganisasi, dan
kesederhanaan. Menarik sekali, kesederhanaan dijadikan
kebanggaan.
4. Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi. Dalam pesantren yang
berlaku prinsip: Dalam hal kewajiban, individu harus menunaikan
kewajiban lebih dahulu, sedangkan dalam hal hak, individu harus
mendahului kepentingan orang lain sebelum kepentingan diri
sendiri. Kolektivisme ini ditanamkan antara lain melalui tata tertib,
baik tentang tata tertib belajar maupun kegiatan lainnya.
46
Kolektivisme itu dipermudah terbentuk oleh kesamaan dan
keterbatasan fasilitas kehidupan.
5. Menghormati orang tua dan guru. Ini memang ajaran Islam.
Tujuan ini dikenal antara lain melalui penegakan berbagai pranata
di pesantren seperti mencium tangan guru dan tidak membantah
guru. Demikian juga terhadap orang tua.
6. Cinta kepada ilmu. Menurut Al-Quran, ilmu (pengetahuan) datang
dari Allah. Banyak hadis yang mengajarkan pentingnya menuntut
ilmu dan menjaganya. Karena itu orang-orang pesantren
cenderung memAndang ilmu sebagai sesuatu suci dan tinggi.
7. Mandiri. Jika mengatur diri sendiri kita sebut otonomi, maka
mandiri yang dimaksud adalah berdiri di atas kekuatan sendiri.
Sejak awal santri telah dilatih untuk mandiri. Mereka memasak
sendiri, mengatur uang belanja sendiri, mencuci pakaiannya
sendiri, membersihkan kamar dan pondokannya sendiri, dan lain-
lain. Metode sorogan yang individual juga memberikan
pendidikan kemandirian. Melalui metode ini santri maju sesuai
dengan kecerdasan dan keuletan sendiri. Tidak diberikannya ijazah
yang memiliki civil effect juga menanamkan pAndangan pada
santri bahwa mereka kelak secara ekonomi harus berusaha
mandiri, tidak mengharap menjadi pegawai negeri.
8. Kesederhanaan. Dilihat secara lahiriah sederhana memang mirip
dengan miskin. Padahal yang dimaksud sederhana di pesantren
adalah sikap hidup secara wajar, proporsional, dan fungsional.
Sebenarnya banyak santri yang berlatarbelakang orang kaya, tetapi
mereka dilatih hidup sederhana. Ternyata orang kaya tidak sulit
menjalani kehidupan yang sederhana bila dilatih seperti cara
pesantren itu. Di sini kita melihat bahwa pesantren adalah suatu
sistem yang kondisi itu merupakan salah satu elemennya (yang
belum disebut dalam teori Zamakhsyari). Kesederhanaan ini
sesungguhnya merupakan realisasi ajaran Islam yang pada
47
umumnya diajarkan oleh para sufi. Hidup cara sufi memang
merupakan suatu yang khas pesantren pada umumnnya.
Selain hal tersebut di atas, pesantren berupaya secara sungguh-
sungguh untuk memberdayakan dan menyadarkan santrinya tentang
tujuan manusia diciptakan ke alam dunia. Allah swt menciptakan alam
semesta, termasuk manusia tidaklah dengan palsu dan sia-sia, seperti
firman Allah dalam (QS. As-Shod ayat 27).
ن هما باطل ذالك ظن ال ذين كفروا ف ويل لل ذين وما خلقنا الس ماء واألرض وما ب ي
ا من الن ار. كفرو “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada
antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan
orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena
mereka akan masuk neraka”
Segala ciptaan-Nya mengandung maksud dan manfaat. Oleh
karena itu, sebagai makhluk yang paling mulia, sekaligus sebagai
khalifah di muka bumi, manusia harus menyadari tujuan hidupnya.
Dalam konteks ini, al-Qur‟an menjelaskan, bahwa manusia memiliki
beberapa tujuan hidup, di antaranya sebagai berikut:
1. Menyembah Allah (Beribadah)
Keberadaan manusia di muka bumi ini bukanlah ada dengan
sendirinya. Manusia diciptakan oleh Allah dengan dibekali potensi
dan infrastruktur yang sangat unik. Keunikan dan kesempurnaan
bentuk manusia ini bukan saja dilihat dari bentuknya, akan tetapi juga
dari karakter dan sifat yang dimiliki oleh manusia. Sebagai ciptaan,
manusia dituntut memiliki kesadaran terhadap posisi dan kedudukan
dirinya di hadapan Tuhan. Dalam konteks ini, posisi manusia
dihadapan Tuhan adalah bagaikan “hamba” dengan “majikan” atau
48
“abdi” dengan “raja”, yang harus menunjukan sifat pengabdian dan
kepatuhan.
Sebagai agama yang haq, Islam menegaskan bahwa posisi
manusia di dunia ini adalah sebagai „abdullah (hamba Allah). Posisi
ini menunjukan bahwa salah satu tujuan hidup manusia di dunia
adalah untuk mengabdi atau beribadah kepada Allah. Yang dimaksud
dengan mengabdi kepada Allah adalah taat dan patuh terhadap seluruh
perintah Allah dengan cara menjalankan seluruh perintah-Nya dan
menjauhi seluruh larangan-Nya dalam segala aspek kehidupan. Dalam
hal ini, Allah swt. menjelaskan dalam firman-Nya, bahwa tujuan
hidup manusia adalah semata-mata untuk mengabdi (beribadah)
kepada-Nya
Makna beribadah sebagaimana dikemukakan di atas (menaati
segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah) merupakan
makna ibadah secara umum. Dalam tataran praktis, ibadah secara
umum dapat diimplementasikan dalam setiap aktivitas yang diniatkan
untuk menggapai keridaan-Nya, seperti bekerja secara profesional,
mendidik anak, berdakwah, dan lain sebagainya. Dengan demikian,
misi hidup manusia untuk beribadah kepada Allah dapat diwujudkan
dalam segala aktivitas yang bertujuan mencari rida Allah
(mardlatillah).
Sedangkan secara khusus, ibadah dapat dipahami sebagai
ketaatan terhadap hukum syara yang mengatur hubungan vertikal-
transendental (manusia dengan Allah). Hukum syara ini selalu
berkaitan dengan amal manusia yang diorientasikan untuk
menjalankan kewajiban ubudiah manusia, seperti menunaikan ibadah
shalat, menjalankan ibadah puasa, memberikan zakat, pergi haji, dan
lain sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
tujuan hidup manusia yang pertama adalah menyembah kepada Allah.
Dalam pengertian yang lebih sederhana, tujuan ini dapat disebut
49
dengan “beriman”. Manusia memiliki keharusan menjadi individu
yang beriman kepada Allah (tauhid). Beriman merupakan kebalikan
dari syirik, sehingga dalam kehidupannya manusa sama sekali tidak
dibenarkan menyekutukan Allah dengan segala sesuatu yang ada
dimuka bumi ini (syirik).
2. Memanfaatkan Alam Semesta (Beramal)
Manusia adalah puncak ciptaan dan makhluk Allah yang
tertinggi (QS. at-Tien ayat 4). Sebagai makhluk tertinggi, di samping
menjadi hamba Allah, manusia juga dijadikan sebagai khalifah atau
wakil Tuhan di muka bumi (QS. al-Isra‟ ayat 70). Di samping itu,
Allah juga menegaskan bahwa manusia ditumbuhkan (diciptakan) dari
bumi dan selanjutnya diserahi tugas untuk memakmurkannya (QS.
Hud ayat 16 dan QS. al-An‟am ayat 165). Dengan demikian, seluruh
urusan kehidupan manusia dan eksistensi alam semesta di dunia ini
telah diserahkan oleh Allah kepada manusia.
Perintah memakmurkan alam, berarti perintah untuk menjadikan
alam semesta sebagai media mewujudkan kemaslahatan hidup
manusia di muka bumi. Al-Qur‟an menekankan bahwa Allah tidak
pernah tak perduli dengan ciptaan-Nya. Ia telah menciptakan bumi
sebanyak Ia menciptakan langit, yang kesemuanya dimaksudkan
untuk menjamin kesejahteraan lahir dan batin manusia. Ia telah
menciptakan segala sesuatu untuk kepentingan manusia. Bintang
diciptakan untuk membantu manusia dalam pelayaran, bulan dan
matahari diciptakan sebagai dasar penanggalan. Demikian juga
dengan realitas kealaman yang lainnya diciptakan dengan maksud
untuk kemaslahatan manusia.
Untuk menjadikan realitas kealaman dapat dimanfaatkan oleh
manusia, Allah telah membekalinya dengan potensi akal. Di samping
itu, Allah juga telah mengajarkan kepada manusia terhadap nama-
nama benda yang ada di alam semesta. Semua ini diberikan oleh Allah
50
sebagai bekal untuk menjadikan alam semesta sebagai media
membentuk kehidupan yang sejahtera lahir dan batin. Dalam hal ini
Allah menegaskan bahwa manusia harus mengembara di muka bumi,
dan menjadikan seluruh fenomena kealaman sebagai pelajaran untuk
meraih kebahagiaan hidupnya (QS. Al-Ankabut ayat 20 dan QS. Al-
Qashash ayat 20).
Berdasarkan uraian di atas, maka sangat jelas bahwa dalam
kehidupannya manusia memiliki tujuan untuk memakmurkan alam
semesta. Implementasi tujuan ini dapat diwujudkan dalam bentuk
mengambil i‟tibar (pelajaran), menunjukan sikap sportif dan inovatif
serta selalu berbuat yang bermanfaat untuk diri dan lingkungannya.
Dalam konteks hubungannya dengan alam semesta, dalam
kehidupannya manusia memiliki tujuan untuk melakukan kerja
perekayasaan agar segala yang ada di alam semesta ini dapat
bermanfaat bagi kehidupannya. Dengan kata lain, tujuan hidup
manusia yang semacam ini dapat dikatakan dengan tujuan untuk
“beramal”.
3. Membentuk Sejarah dan Peradaban (Berilmu)
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, Allah menciptakan
alam semesta ini dengan pasti dan tidak ada kepalsuan di dalamnya
(QS. Shad ayat 27). Oleh Karena itu, alam memiliki eksistensi yang
riil dan obyektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap
(sunatullah). Di samping itu, sebagai ciptaan dari Dzat yang
merupakan sebaik-baiknya pencipta (QS. al-Mu‟minun ayat 14), alam
semesta mengandung nilai kebaikan dan nilai keteraturan yang sangat
harmonis. Nilai ini diciptakan oleh Allah untuk kepentingan manusia,
khususnya bagi keperluan perkembangan sejarah dan peradabannya
(QS. Luqman ayat 20). Oleh karena itu, salah satu tujuan hidup
manusia menurut al-Qur‟an di muka bumi ini adalah melakukan
penyelidikan terhadap alam, agar dapat dimengerti hukum-hukum
51
Tuhan yang berlaku di dalamnya. Selanjutnya manusia memanfaatkan
alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri, demi kemajuan sejarah
dan peradabannya.
Proses pemanfaatan alam semesta dalam kehidupan manusia
diwujudkan dengan perbuatan dan aktivitas riil yang memiliki nilai
guna. Perbuatan atau aktivitas riil yang dijalankan manusia di muka
bumi ini selanjutnya membentuk rentetan peristiwa, yang disebut
dengan “sejarah”. Dunia adalah wadah bagi sejarah, di mana manusia
menjadi pemilik atau rajanya. Hidup tanpa sejarah adalah kehidupan
yang dialami oleh manusia setelah kematian. Karena dalam kehidupan
pasca kematian manusia hanya diharuskan mempertanggungJawabkan
terhadap sejarah yang telah dibuat atau dibentuk selama dalam
kehidupannya di dunia. Dengan demikian, dalam kehidupannya di
dunia, manusia juga memiliki tujuan untuk membentuk sejarah dan
peradabannya yang baik, dan selanjutnya harus
dipertanggungJawabkan di hadapan Tuhannya.
Dalam membentuk sejarahnya, manusia harus selalu iqra‟ atau
membaca alam semesta. Dengan kata lain, manusia harus menjadikan
alam semesta sebagai media mengembangkan ilmu dan
pengetahuannya. Oleh karena itu, tujuan manusia membentuk sejarah
dan peradaban ini dapat dikatakan sebagai tujuan menjadi manusia
yang “berilmu”.
Daradjat (1971:29-34) menjelaskan bahwa pendidikan di
pesantren diharapkan santri setelah mendapatkan pendidikan secara
keseluruhan akan menjadikan seseorang yang berkepribadian “insan
kamil” dengan pola takwa. Insan kamil artinya manusia utuh ruhani
dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal
karena takwanya kepada Allah swt. Ini mengandung arti bahwa
pendidikan dalam lingkungan pesantren itu diharapkan menghasilkan
santri yang berguna bagi dirinya sendiri, masyarakat, serta gemar
52
mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan
dengan Allah dan dengan sesama manusia lainnya.
Untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan santri dan masyarakat,
agar tidak tertinggal sesuai dengan perkembangan zaman, maka perlu
dilakukan pembaharuan kurikulum, terutama pada tiga aspek penting,
yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Adapun perencanaan
kurikulum harus didahului dengan kegiatan kajian kebutuhan needs
assessment secara akurat agar pendidikan pesantren fungsional. Kajian
kebutuhan tersebut harus dikaitkan dengan era global, di mana
pendidikan itu berbasis kepada kecakapan hidup life skills yang sesuai
dengan lingkungan santri. Pelaksanaan kurikulum juga mempunyai
tiga pendekatan kecerdasan majemuk multiple inteligence dan
pembelajaran kontekstual contextual teaching and learning. Sedang
evaluasinya menerapkan penilaian secara universal terhadap semua
kompetensi santri authentic assessment.
Pengembangan kurikulum pesantren pada dasarnya tidak bisa
lepas dari visi pembangunan nasional yang berupaya menyelamatkan
dan memperbaiki kehidupan nasional yang tertera dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Oleh karena itu,
pengembangan tersebut harus mampu mengakomodasikan tuntutan-
tuntutan sistemik (Kemendikbud, Kemenag atau Pekapontren).
Secara konseptual, sebenarnya lembaga pesantren optimis akan
mampu memenuhi tuntutan reformasi pembangunan nasional, karena
fleksibilitas dan keterbukaan sistemik yang melekat, maksudnya
perwujudan masyarakat berkualitas dapat dibangun melalui perubahan
kurikulum pesantren yang berusaha membekali para santri untuk
menjadi subyek pembangunan yang mampu menampilkan keunggulan
santri, yang tangguh, kreatif, dan profesional pada bidangnya masing-
masing.
Mengenai kitab kuning atau kitab klasik, sesuatu yang wajib
dipelajari di pesantren. Menurut Syamsudduha (1982) yang
53
mempunyai pemikiran sama pula dengan Dhofir, menekankan bahwa
harus ada pengajaran kitab-kitab Islam klasik di pondok pesantren.
Karena menurut mereka apabila suatu pondok tanpa ada pengajaran
kitab-kitab klasik maka pondok pesantren bukan lagi asli, karena
merupakan elemen pokok dalam suatu pesantren. Karena kitab kuning
atau kitab klasik adalah karya-karya dalam bahasa Arab yang disusun
para sarjana Islam abad yang disebut juga sebagai kitab kuno.
Meskipun dari segi kandungannya komprehenship dan berbobot
secara akademis, tetapi dari segi sistematika penulisannya sederhana.
Sedangkan isi content yang disajikan dalam kitab kuning terdiri dua
komponen; matan dan syarah di mana lembaran-lembarannya
terpisah, kertas yang dipakai pun berwarna kuning. Sehingga kitab
kuning merupakan pilar utama yang memuat sejumlah materi
pelajaran keagamaan dalam pesantren.
Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa ajaran-ajaran yang
terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman hidup dan
kehidupan yang sah dan relevan. Sah berarti ajaran yang berasal dari
kitab-kitab kuning, diyakini kebenarannya yang bersumber dari kitab
Allah swt Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah (Al-Hadis); dan relevan
berarti ajaran-ajarannya masih tetap cocok dan berguna kini atau
dimasa mendatang lagi.
Kurikulum pendidikan di pondok pesantren masih terfokus pada
pendidikan agama dengan sedikit penekanan pada ilmu pengetahuan
umum dan teknologi sehingga lulusannya belum mampu berkompetisi
dengan lulusan lembaga pendidikan lainnya dalam dunia kerja.
Pengajaran ilmu agama seperti fikih, bahasa Arab, nahwu, dan sharaf
menjadi porsi utama di pesantren, sedang pengajaran ilmu umum
menjadi prioritas kedua. Apabila santri berminat untuk menuntut ilmu
umum selain ilmu agama, maka santri tersebut harus bersekolah di
luar pondok pesantren. Hal ini terjadi karena banyak pondok pesantren
masih belum memiliki lembaga pendidikan umum seperti SMP, SMA,
54
Madrasah Tsanawiyah, dan Aliyah yang dikelola sendiri oleh pondok
pesantren tersebut.
Ciri-ciri pendidikan pesantren dapat diidentifikasikan sebagai
berikut:
1. Kepatuhan santri kepada kiai (li adabita‟alum). Menentang kiai
akan menjadi penyebab kurangnya memperoleh keberkahan
ilmunya, karena tidak menghormati kiai yang sekaligus guru bagi
santri.
2. Hidup hemat dan sederhana, benar-benar diwujudkan di
lingkungan pesantren. Karena antara kaya dan miskin ketika sudah
masuk dalam lingkungan pondok pesantren semua itu dianggap
sama.
3. Kemandirian amat terasa di pesantren. Semua dilakukannya
sendiri oleh para santri yang menjalankan pendidikan di pesantren.
4. Rasa jiwa tolong-menolong dan suasana persaudaraan sangat
mewarnai pergaulan di pesantren.
5. Disiplin sangat dianjurkan, untuk menjaga kedisiplinan itu biasa
ada iqobah /ta‟jir (sanksi-sanksi).
6. Keprihatinan untuk mencapai tujuan yang mulia. Kebiasaan para
santri melakukan puasa-puasa sunnah, zikir, dan „itikaf,
qiyamullail, dan bentuk-bentuk riyadhah lainnya, atau dengan
menauladani kiainnya yang menonjolkan sikap zuhud.
7. Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam satu daftar
rantai penglihatan pengetahuan yang diberikan kepada santri yang
berprestasi, yang menAndakan perkenaan restu sang kiai kepada
murid atau santri-santrinya.
Kurikulum pendidikan pesantren, ditinjau dari mata pelajaran
yang diberikan secara formal oleh pengasuh atau kiai, maka pelajaran
yang diberikan merupakan bagian kurikulum yang berkisar pada ilmu
pengetahuan agama dan segala vak-nya. Terutama pengetahuan-
pengetahuan yang berhubungan dengan bahasa Arab (ilmu al-sharaf,
55
al-nahwu dan „ilm „alat), sedangkan yang berhubung dengan syariat
(„ilm fikih), dari yang menyangkut hal ibadat sampai pada hal
(mu‟amalat), ilmu yang berkaitan dengan ke al-qur‟anan serta
tafsiran-tafsirannya, „ilmal-hadis beserta mustalah al-hadis, begitu
juga ada „ilm al-kalam, al-tauhid, ada juda pelajaran mantiq (logika),
tasawuf, dan tarikh.
Menurut Abdurrahman Wahid, kurikulum yang berkembang di
pesantren memperlihatkan pola yang tetap, sebagai berikut:
1. Kurikulum itu ditujukan untuk mencetak ulama di kemudian hari
2. Struktur kurikulum itu berupa pengajaran ilmu pengetahuan
agama dalam segenap tingkatannya dan pemberian pendidikannya
dalam bentuk bimbingan kepada santri secara lansung dari
kiai/gurunya
3. Secara universal, kurikulum pendidikan pesantren bersifat
fleksibel, dalam artian setiap santri mempunyai kesempatan
menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya atau sesuai dengan
kebutuhannya, bahkan dalam pesantren memilki sistem
pendidikan yang berbentuk sekolah.
StAndar pokok yang menjadi tolok ukur dalam mempolakan
suatu kurikulum adalah materi pelajaran yang bersifat intrakurikuler
dan metode yang disampaikan di lingkungan pesantren. Adapun pola
pendidikan pesantren dari segi kurikulumnya, menurut Haidar ada
lima pola sebagai berikut:
Pola I, materi pelajaran yang diberikan di pesantren adalah mata
pelajran yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Adapun metode
penyampaiannya dengan wetonan dan sorogan, tidak memakai sistem
klasikal. Santri dinilai dan diukur berdasarkan kitab yang mereka
baca, mata pelajaran umum tidak diajarkan, tidak mementingkan
ijazah, tetapi yang paling penting adalah pengalaman ilmu-ilmu
agama yang mereka harapkan dari kajian melalui kitab-kitab klasik
tersebut.
56
Pola II, dalam proses belajar mengajar dilaksanakan secara
klasikal, di mana diberikan materi keterampilan dan pendidikan
berorganisasi. Pada tingkat tertentu santri diberi tambahan ilmu
pengetahuan. Santri di bagi beberapa jenjang pendidikannya mulai
dari tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah,„aliyah. Adapun metode yang
digunakan adalah sorogan, wetonan, hafalan dan musyawarah
(batsumasa‟il).
Pola III, dalam pola ini materi pelajaran telah dilengkapi dengan
pelajaran umum dan ditambah aneka macam pendidikan, seperti;
keterampilan, olahraga, kesenian dan pendidikan berorganisasi.
Pola IV, pola ini lebih menitik beratkan pada pelajaran
keterampilan selain pelajaran agama. Di mana keterampilan diberikan
dengan tujuan sebagai bekal dikehidupan santri setelah santri lulus
dari pesantren.
Pola V, pada pola ini materi yang diajarkan di pesantren adalah
sebagai berikut:
1. Pengajaran kitab-kitab klasik.
2. Madrasah, dalam pesantren diadakan pendidikan madrasah, yang
biasanya dilaksanakan di malam hari, tetapi ada juga yang
dilaksanakan pada pagi hari. Selain mengajarkan pelajaran agama
juga mengajarkan pelajaran umum. Di mana kurikulum pondok
pesantren ini ada dua bagian. Pertama, kurikulum yang dibuat oleh
pesantren itu sendiri. Kedua, kurikulum dari pemerintah dengan
memodifikasi materi pelajaran agama.
3. Keterampilan dan kesenian juga diajarkan dalam berbagai
kegiatan-kegiatan, seperti merangkai bunga, membuat kaligrafi,
tilawah, hadroh, dan lain-lain sebagainya.
4. Sekolah umum, di pesantren juga dilengkapi sekolah-sekolah
umum. Adapun materi pelajaran umum pada sekolah umum yang
ada di pesantren, secara keseluruhan tidak lepas dari kurikulum
Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan. Sedangkan
57
untuk materi pelajaran agama disusun oleh pondok pesantren itu
sendiri.
5. Perguruan tinggi, pada beberapa pesantren yang tergolong besar,
telah memiliki sebuah universitas atau perguruan tinggi yang
masih satu yayasan dengan pondok pesantren tersebut.
Kapasitas dan kecenderungan kiai merupakan faktor yang
menentukan dalam pengembangan kurikulum. Ilmu-ilmu yang
diajarkan di pesantren ialah ilmu-ilmu yang telah di kuasai oleh
seorang kiai, seperti ilmu tasawuf, di mana harus seimbang di tataran
amalan maupun keabsahan keilmuannya. Cukup dapat dipahami
bahwa kondisi pendidikan pesantren diorientasikan pada ibadah
kepada Allah dan serangkaian amalan yang mendukungnya.
Pada abad 19 M, sulit ditemukan rincian materi pelajaran di
pesantren. Hingga kurikulum pesantren menjadi bertambah luas
dengan adanya penambahan ilmu-ilmu yang masih merupakan elemen
dari materi pelajaran yang sudah diajarkan, seperti Al-qur‟an dengan
tajwid dan tafsirnya, aqaid dan ilmu kalam, fikih dan ushulfikih serta
qawa‟id al-fikih, hadis dengan musthalah hadis, bahasa Arab dengan
ilmu alatnya seperti nahwusharaf, bayan, ma‟ani, „arudh, tarikh,
mantiq, tasawuf akhlak dan falak. Tidak semua pesantren
mengajarkan ilmu tersebut secara ketat, karena beberapa pesantren
lainnya dalam menerapkan kombinasi ilmu yang berbeda-beda, karena
belum ada stAndardisasi kurikulum.
Dengan adanya standardisasi kurikulum, justru akan
menimbulkan bumerang, karena kita ketahui bahwa lembaga
pendidikan pesantren cenderung sentralistik yang berpusat pada kiai,
sebagai pengasuh sekaligus perancang kurikulum bahkan sebagai
pengajar juga. Selain dibantu oleh ustad/ustadah yang telah diberi
amanah oleh sang kiai dan selama ini belum ada kurikulum yang
cocok untuk stAndarisasi pendidikan pesantren.
58
Adapun kritikan Mulkhan yang dikutip oleh Binti Maunah,
bahwa pesantren sebaiknya menerapkan fikih lintas madzhab
muqaranah al-madzahib, pesantren juga harus mengadakan re-
evaluasi dan rekonstruksi dalam kitab kuning. Inilah salah satu
kelemahan pesantren, di mana pengetahuan umum hanya dilaksanakan
setengah-setengah, sehingga kemampuan santri sebagian terbatas dan
kurang mendapatkan pengakuan umum dari masyarakat. Seharusnya
pesantren menjadi sebuah lembaga pendidikan yang kompatibel dan
sebagai pembentuk produk ulama yang profesional, yang
menggunakan penguatan pendidikan dasar (basic education) sesuai
dengan perkembangan zaman dan mampu mengadaptasikan dirinya
dengan wawasan global.
Studi-studi tentang pesantren tidak menyebut kurikulum yang
baku, dapat dipahami karena pesantren sesungguhnya merupakan
lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang bebas dan otonom. Dari
segi kurikulum pesantren diberi kebebasan untuk menyusun dan
melaksanakan kurikulum pendidikan secara bebas tanpa adanya
pemaksaan. Secara umum kurikulum pendidikan pesantren meliputi
materi (bidang studi), kitab-kitab yang dijadikan referensi, metode
pembelajaran, dan sistem evaluasi.
Pada umumnya pembagian keahlian di lingkungan pesantren
telah melahirkan produk-produk pesantren yang berkisar pada pada
bidang-bidang; nahwu-sharf, fikih, „aqa‟id, tasawuf, hadis, bahasa
Arab, dan lain-lain.
1. Nahwu-Sharf. Istilah Nahwu-sharf ini mungkin bisa diartikan
sebagai gramatika bahasa Arab. Keahlian seseorang dalam
gramatika bahasa Arab ini telah dapat merubah status sosial
keagamaannya, padahal bentuk kongkret keahlian itu biasanya
sangat sederhana sekali yaitu kemampuan mengaji atau
mengajarkan kitab-kitab nahwu-sharf tertentu, seperti al-jurmiyah,
59
imrithi, alfiyah, atau untuk tingkat yang lebih tingginya lagi, dari
karya Ibnu „Aqil.
2. Fikih. Fikih merupakan sekumpulan hukum amaliah (sifatnya
akan diamalkan) yang disyariatkan dalam Islam, atau pengetahuan
tentang hukum agama.
3. Aqaid. Bentuk plural dari „aqidah dalam bahasa populernya
“keyakinan atau kepercayaan”. „Aqaid meliputi segala hal yang
bertalian dengan kepercayaan dan keyakinan seorang muslim, atau
ushuluddin (merupakan bidang pokok-pokok agama), sedangkan
fikih disebut furu‟ (cabang-cabang), namun kenyataannya bidang
„aqaid ini kalah besar dan antusias dibanding pada bidang fikih
yang hanya merupakan cabang (furu‟).
4. Tasawuf. Dalam bidang tasawuf, sampai saat ini sulit untuk
didefinisikan. Di mana Nurcholish Madjid melihat suatu
kejanggalan yang terjadi di pesantren-pesantren. Ada kekaburan
tentang makna tasawuf itu sendiri, sehingga semakin sulit untuk
menjelaskan secara gamblang tentang hal duniawinya.
Pemahaman umum yang berkembang tentang ilmu tasawuf hanya
seputar tarikat, suluk, dan wirid. Hal ini menunjukan kurangnya
pemahaman mereka terhadap tasawuf itu sendiri.
5. Tafsir. Salah satu bidang keahlian yang jarang dihasilkan pesantren
menurut Nurcholish Madjid adalah bidang tafsir Al-Qur‟an. Bidang
inilah yang paling luas daya cakupannya, sesuai dengan daya cakup
kitab suci yang mampu menjelaskan totalitas ajaran Islam. Atau
disebut juga nilai universalitas Al-qur‟an. Di mana keahlian di bidang
tafsir sangat diperlukan untuk mengantisipasi atas penyelewengan
dalam menafsirkan Al-Qur‟an. Secara umum tafsir yang dikaji di
pondok pesantren hanyalah tafsir jalalain. Karena secara umum
kemampuan intelektual Islam masih rendah dan kurangnya juga
perhatian terhadap displin keilmuan tafsir.
60
6. Hadis. Nurcholish Madjid berpendapat, produk pondok pesantren
menyangkut keahlian dalam hadis jauh relatif kecil bila dibanding
dengan tafsir. Apabila diukur dari segi penguasaan riwayah dan
dirayah. Padahal penguasaan hadis jauh lebih penting, mengingat
hadis merupakan sumber hukum agama (Islam) kedua setelah Al-
Qur‟an. Keahlian di bidang ini tentu saja sangat diperlukan untuk
pengembangan pengetahuan agama itu sendiri.
7. Bahasa Arab. Institusi pesantren telah mampu memproduksi
orang-orang yang memiliki keahlian dalam bahasa Arab. Keahlian
di bidang ini harus dibedakan dengan keahlian dalam nahwu-
sharf. Sebab, titik beratnya ialah penguasaan “materi” itu pada
bahasa itu sendiri, baik pasif maupun aktif. Dengan adanya
modernisasi di dunia pesantren telah masuk bahasa Inggris,
sehingga penekanan untuk bahasa Arab berkurang. Tetapi saat ini
bahasa Inggris telah resmi menjadi bahasa internasional, dan
kedua bahasa Arab.
Metode Pembelajaran dalam Pesantren, diantaranya adalah:
1. Bandongan. Atau, sering disebut juga dengan ”weton”, ialah
metode pembelajaran yang berasal dari inisiatif kiainya sendiri
baik dalam menentukan tempat, waktu maupun kitab-kitab yang
akan di kaji. Dalam metode weton ini, sekelompok murid (antara
min 5 sampai 500 murid) mendengarkan seorang kiai (guru) yang
membaca, menerjemahkan, dan menerangkan suatu kitab yang
dikaji. Dalam bahasa modernnya lebih dikenal dengan “kelas
musyawarah” atau kelompok seminar. Dalam kelas sistem
bandongan ini disebut “halaqoh” yang berarti lingkaran murid
yang belajar dibawah bimbingan seorang guru atau kiai.
2. Sorogan, yaitu sistem pembelajaran yang biasanya santri cukup
dengan maju ketika santri berminat mengaji (face to face), dalam
metode sorogan ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan
kedisiplinan pribadi guru pembimbing dan murid. Sistem ini
61
sangat efektif dalam pembelajaran kerena bisa lebih fokus dan
mampu membimbing secara maksimal seorang santri atau murid.
3. Kelas musyawarah, suatu metode pengajaran yang sangat
berbeda dengan sistem bandongan dan sorogan. Dalam sistem ini
para siswa atau santri harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang
ditunjuk dan dirujuk, kiai memimpin kelas mustawarah seperti
dalam seminar dan lebih banyak tanya Jawab, biasanya
menggunakan bahasa Arab untuk menguji keterampilan dalam
memahami sumber-sumber argumentasi kitab-kitab klasik.
Sistem evaluasi pembelajaran di pesantren. Istilah evaluasi atau
penilaian (evalution) merupakan suatu proses untuk menentukan nilai
dari suatu kegiatan tertentu dengan tujuan untuk mengetahui seberapa
jauh hasil belajar yang dicapai selama proses pendidikan atau
pembelajaran yang telah dilaksanakan, dan apakah hasil yang dicapai
sesuai dengan yang diharapkan. Adapun prinsip-prinsip yang perlu
diperhatikan dalam evaluasi hasil belajar sebagai berikut:
1. Prinsip integralitas; evaluasi hasil bealajar yang tidak hanya
menyangkut konsep-konsep, tetapi meliputi apresiasi, sikap minat,
pemikiran kritis serta penyesuaian diri, baik personal maupun
sosial.
2. Prinsip kontinuitas; diharapkan guru maupun ustadah dalam
menilai tidak hanya sekali saja, melainkan kesinambungan selama
dalam proses pembelajaran.
3. Prinsip objektifitas; hasil evaluasi harus dapat ditafsirkan secara
jelas dan tegas, keadaan santri dibandingkan dengan keadaan
sebelumnya.
Dalam evaluasi hasil belajar di pesantren bisa dilakukan
dengan dua metode sebagai berikut:
1. Metode test, yaitu suatu cara penilaian yang berbentuk suatu tugas
yang harus dikerjakan oleh santri, bisa dalam bentuk ujian tulis
meliputi; esai, multiple choice, maching (menjodohkan), maupun
62
completation (melengkapi), hafalan, praktek maupun penugasan
(sesuai dengan kebijakan para ustad atau ustadah).
2. Metode non-test, baik dalam bentuk observasi maupun portofolio.
Dengan tujuan agar para santri mempu mempraktekkan suatu ilmu
yang sudah dikaji, dan dalam bentuk observasi santri sudah
dilengkapi dengan instrumen.
Life skill (kecakapan hidup); untuk meningkatkan peran
pengembangan masyarakat, maka perlu dilakukan diversifikasi
program dan kegiatan kecakapan hidup (life skill) di pesantren. Peran
pondok pesantren yang tadinya hanya mempelajari kitab-kitab Islam
klasik kiranya direkonstruksi agar dapat diberdayagunakan secara
maksimal. Melalui pendekatan ini, sumber daya atau unsur-unsur
pondok pesantren termasuk guru atau kiai, masjid, santri, kitab kitab
klasik hingga ilmu pengetahuan yang baru dapat didayagunakan
dalam proses pendidikan life skills secara berkelanjutan untuk
membangun manusia yang memiliki paham ilmu pengetahuan, potensi
kemasyarakatan, dan pembangunan wilayah. Hal ini berujung pada
penciptaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang produktif dan berdaya
saing sehingga tidak hanya menjadi penempa nilai-nilai spiritual saja,
tetapi juga mampu meningkatkan kecerdasan sosial dan keterampilan
dalam membangun masyarakat di sekitarnya. Ini dimulai dari
kemampuan pesantren memberdayakan potensi-potensi yang ada di
lingkungannya yang dilakukan oleh SDM yang ada di pesantren itu
sendiri.
Kecakapan hidup (life skill) adalah kemampuan dan keberanian
untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan
kreatif, mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya.
Kecakapan hidup merupakan orientasi pendidikan yang
mensinergikan mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang
diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak
bekerja, apapun profesinya (Wintoro Sukirman, 2008)
63
Pengertian kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan
vokasional atau keterampilan untuk bekerja. Orang yang tidak bekerja,
misalnya ibu rumah tangga atau orang yang sudah pensiun, tetap
memerlukan kecakapan hidup. Seperti halnya orang yang bekerja,
mereka juga menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan.
Orang yang sedang menempuh pendidikan pun memerlukan
kecakapan hidup, karena mereka tentu juga memiliki
permasalahannya sendiri (Rahman, 1986). Kecakapan hidup itu
bersifat umum, yaitu bersikap dan berlaku produktif (to be a
productive people). Artinya, apa pun bidang kejuruan atau pekerjaan
yang dipelajari, bersikap dan berperilaku produktif harus
dikembangkan. Bidang pekerjaan biasanya dibedakan menjadi
pekerjaan yang lebih menekankan pada keterampilan manual dan
bidang pekerjaan yang menekankan pada kecakapan berpikir. Terkait
dengan itu, pendidikan kecakapan hidup yang bersifat spesifik juga
dapat dipilah menjadi kecakapan akademik (academic skill) dan
kecakapan vokasional (vocational skill) (Aziz Masyuri, 2002).
Dengan bekal kecakapan hidup yang baik, diharapkan para
lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang
dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka
yang tidak melanjutkan pendidikannya (Rahardjo Dawam, 1995).
SDM pesantren diberikan kemampuan pendidikan dan keterampilan
yang sesuai dengan tuntutan masyarakatnya, serta tumbuh dan
berkembang secara bottom up, dan bukan ditentukan terlebih dahulu
sebagai ekspektasi formal suatu kurikulum persekolahan. Oleh karena
itu, pembangunan pendidikan di kalangan pesantren memerlukan
keterlibatan elemen-elemen masyarakat sekitar dan pemerintahan
daerah. Dalam upaya mencari model yang tepat agar peran pondok
dalam membangun wilayah berjalan efektif, pemda perlu merangkul
perguruan tinggi sebagai mitra. Hal ini dikarenakan perguruan tinggi
64
memiliki sumbar daya yang memadai dalam pengembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan kegiatan riset (SM Ismail, 2002).
Profile santri atau lulusan pesantren yang diharapkan adalah
teguh dalam keyakinan, tekun dalam menuntut ilmu, semakin
berkuasa semakin merendah, semakin berkuasa semakin bijaksana,
tampak wibawa di depan umum, jelas syukurnya di kala beruntung,
qanaah dalam pembagian rezeki, senantiasa berhias walaupun miskin,
selalu cermat, murah hati dan murah tangan, tidak boros walau kaya,
disiplin dalam tugasnya, tinggi dedikasinya, terpelihara identitasnya,
tidak menuntut yang bukan haknya, tidak menahan hak orang lain,
kalau ditegur ia menyesal, kalau bersalah ia istigfar. Bila dimaki ia
tersenyum sambil berkata jika makian Anda benar, maka aku
bermohon semoga Tuhan mengampuniku; dan jika makian Anda
keliru, maka aku bermohon semoga Tuhan menganpunimu.
Pesantren merupakan pendidikan tertua di Indonesia yang telah
banyak berkontribusi dan melahirkan generasi-generasi intelektual
muslim. Para lulusan pesantren telah terbukti dan banyak berkiprah di
masyarakat, di bidang pendidikan, sosial, budaya maupun di dunia
perpolitikan negara. Bahkan kemerdekaan bangsa Indonesia pun tidak
lepas dari perjuangan para santri, ulama dan kiai yang sejatinya
bergelut di dunia pesantren. Hal tersebut, menunjukan bahwa
pesantren mempunyai peran strategis dan memiliki peran penting
dalam melahirkan generasi muslim berkarakter, generasi inteletual
penerus bangsa dan agama. Selain itu, pendidikan pesantren telah
terbukti mampuh melahirkan generasi yang siap mengabdi di
masyarakat bangsa dan agama, melahirkan generasi yang mempunyai
karakter, sikap dan mental yang baik, sopan, santun, dan senantiasa
teguh memegang nilai-nilai moral bangsa dan agama.
Pendidikan dalam pondok pesantren merupakan sebuah upaya
untuk bisa mengoptimalkan seluruh potensi yang dimiliki santrinya
agar menjadi manusia yang benar-benar menjadi manusia yang benar,
65
yakni pembentukan jati diri sebagai individu, makhluk sosial, dan
makhluk religius yang cerdas otaknya, terampil tangannya, dan lembut
hatinya. Serta pondok pesantren bisa memberdayakan santrinya dalam
membangun generasi yang intelektual dan berakhlakul karimah serta
menjadi manusia seutuhnya untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia
dan akhirat. Manusia yang utuh merupakan manusia yang
mencerminkan manusia kaffah, dalam arti satunya niat, ucap, pikir,
perilaku, dan tujuan yang direalisasikan dalam kehidupan. Selain itu
pendidikan dalam pesantren dapat mengantarkan santrinya untuk
dapat menyembah Allah swt. (beriman), memakmurkan alam semesta
untuk kemaslahatan (beramal), dan membentuk sejarah dan
peradabannya yang bermartabat (berilmu). Dengan kata lain,
pesantren mampu menggiring lulusannya menjadi manusia yang
“beriman”, “beramal” dan “berilmu”.
66
BAB III
NILAI-NILAI INTI YANG MENJADI
KEARIFAN LOKAL PESANTREN
Nilai-nilai inti yang dijadikan kearifan lokal di pondok
pesantren ada tiga, yakni pertama, iman (nilai keimanan); kedua,
Islam (nilai keIslaman); dan ketiga, ihsan (nilai keihsanan). Ketiga
nilai fundamental ini didasarkan atas sebuah hadis riwayat Imam
Muslim, sebagai berikut:
Dari Umar radhiyallahu `anhu berkata: Suatu hari kami duduk-duduk
di sisi Rasulullah saw, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang
mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam. Tidak
tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorang pun di
antara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk di hadapan
Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada lututnya seraya berkata:
“Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam?”. Maka bersabdalah
Rasulullah saw: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah (tuhan
yang disembah) selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah,
engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadan dan pergi
haji jika mampu“, kemudian dia berkata, “Anda benar“. Kami semua heran.
Dia yang bertanya dia pula yang membenarkan.
Kemudian dia bertanya lagi, “Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu
beliau bersabda, “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, Rasul- Rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman
kepada takdir yang baik maupun yang buruk”. Kemudian dia berkata,
“Anda benar”.
Kemudian dia berkata lagi, “Beritahukan aku tentang ihsan“. Lalu
beliau bersabda, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan
engkau melihatnya. Jika engkau tidak melihatNya, maka Dia melihat
engkau”.
67
Kemudian dia berkata, “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan
kejadiannya).” Beliau bersabda, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang
bertanya". Dia berkata, “Beritahukan aku tentang tAnda-tAndanya“. Beliau
bersabda, “Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat
seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin lagi penggembala domba,
kemudian berlomba-lomba meninggikan bangunannya:. Kemudian orang
itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau bertanya, “Tahukah
engkau siapa yang bertanya?” Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui“. Beliau bersabda, “Dia adalah Jibril yang datang kepada
kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “.
(Hadis Arba`in An-Nawawi, hadis nomor 2)
Kaum santri mengenal ketiga nilai fundamental ini sebagai
rukun agama. Ketiga nilai fundamental ini dapat dijelaskan sebagai
berikut.
A. Nilai Inti-1 Keimanan (Bertauhid)
Keimanan berkaitan dengan tauhidullah, yakni meng-Esa-kan
Allah dengan semurni-murninya tauhid tanpa terkotori oleh sekecil
apa pun syirik. Jadi, beriman tidak cukup sekedar mempercayai
adanya Tuhan yang punya Nama Allah (juga Nama-nama lainnya,
terutama nama-namaNya yang terangkum dalam Asma`ul Husna).
Jika sekedar percaya adanya (Tuhan yang bernama) Allah maka
hampir semua manusia (malah mungkin semua manusia) di dunia ini
percaya adanya Tuhan. Kalau ukuran beriman itu cukup dengan
”percaya” berarti (hampir) semua manusia di dunia ini beriman!? Tapi
kita pun tahu bahwa kebanyakan manusia tidaklah beriman. Artinya,
beriman kepada Allah bukan sekedar percaya akan adanya Allah.
Melainkan harus benar-benar meyakini Nya, harus benar-benar
menyaksikan Nya, harus benar-benar bersyahadat. Dalam Qs. 13/Ar-
Ro`du ayat 16 disebutkan: Qul man rabbus samaawaati wal ardhi,
68
qul Allah (Katakanlah, siapakah pencipta langit dan bumi? Jawablah
”Allah!”). Untuk beriman kepada Allah harus disertai keyakinan
tentang adanya Tuhan yang bernama Allah, sebagaimana firman Nya
dalam Qs. 20/Thoha ayat 14 : Innanii ana Allah, laa ilaaha illaa
anaa fa`budnii wa aqiimish shalaata lidz-dzikrii Sesungguhnya Aku
ini bernama Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah
Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. Empat kata Aku
dalam ayat yang pendek ini adalah Diri Nya Ilahi Zat Tuhan Yang Al-
Ghaib, Allah AsmaNya.
Oleh karena itu, nilai keimanan di kalangan pesantren tidak
cukup dengan sekedar mempercayai adanya Allah. Beriman kepada
Allah di dunia pesantren mengharuskan para santri untuk
mentauhidkan Allah dengan semurni-murninya tauhid tanpa
tercampuri oleh syirik.
Meng-Esa-kan Allah (tauhid) merupakan akumulasi kesadaran
akan fakta bahwa kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-
Nya. Semua kita. bahkan juga alam semesta – bergerak menuju
kesempurnaan sesuai dengan "kodratnya" masing-masing.
Hati-hati! Makna "sempurna" untuk makhluk sebenarnya tidak
sempurna, karena kesempurnaannya itu dibatasi oleh "kodrat"-nya.
Jika terbatas artinya tidak sempurna, karena kesempurnaan sejati tidak
menghendaki adanya batasan-batasan.
Karakter ketergantungan keberadaan alam semesta
menunjukkan intensitas keterarahannya kepada satu tujuan yang sama.
Semuanya terarah menuju kesempurnaannya untuk menghampiri
Yang Maha Sempurna, Allah swt.
Kesempurnaan pepohonan adalah bertumbuh-berkembang
menjadi pepohonan yang sempurna sesuai dengan jenis dan
kodratnya. Kesempurnaan padi adalah bertumbuh kembang menjadi
tangkai padi yang keras, bercabang banyak, dan menghasilkan butir-
butir padi yang banyak, padat, besar-besar, enak rasanya, dan harum
69
baunya. Kesempurnaan pohon jati adalah bertumbuh kembang
menjadi pohon jati yang tegak lurus, besar dan keras, menghasilkan
bibit pohon jati unggulan, dan kemudian menjadi bahan bangunan
yang kokoh atau menjadi kursi, lemari, dan tempat tidur yang nyaman
dan indah dipAndang mata.
Kesempurnaan binatang adalah bertumbuh dan berkembang
biak menjadi binatang yang sempurna sesuai dengan jenis dan
kodratnya. Kesempurnaan ayam adalah tumbuh menjadi ayam dewasa
yang sehat, gemuk, dan menghasilkan daging ayam yang tebal, renyah
dan gurih, atau menghasilkan telor yang banyak dan bagus-bagus.
Kesempurnaan sapi adalah tumbuh menjadi sapi dewasa yang sehat
dan gemuk serta menjadi makanan yang lezat, atau menghasilkan susu
yang kental dan banyak, juga berkembang biak melahirkan anak-anak
sapi unggulan. Dan sebagainya.
Tapi kesempurnaan manusia berbeda dengan pepohonan dan
binatang. Kesempurnaan manusia tidak berhenti pada tumbuh
kembang menjadi besar dan dewasa serta melahirkan generasi baru
anak-anak manusia yang sehat dan kuat, melainkan lebih dari pada itu.
Manusia bukan sekedar makhluk jasmaniah, melainkan sekaligus
sebagai makhluk ruhaniah. Malah, substansi manusia justru ruhani-
nya. Dimensi jasmaniah manusia – dalam hal tumbuh dan
berkembang–sama saja dengan binatang dan pepohonan. Malah,
dalam hal-hal tertentu bisa lebih rendah. Bayi manusia lahir dalam
keadaan sangat lemah, yang untuk dapat tumbuh dan berkembangnya
memerlukan perawatan yang ketat dan penuh hati-hati. Berbeda
dengan bayi hewan dan bibit tetumbuhan yang dapat tumbuh dan
berkembang dengan perawatan alakadarnya. Malah tanpa perawatan
manusia pun, beberapa jenis binatang dan pepohonan bisa tumbuh dan
berkembang secara sempurna.
70
Untuk mencapai kesempurnaan, manusia harus mengembangkan
dimensi ruhaniahnya setinggi-tingginya mendekati Allah Yang Maha
Tinggi. Di sinilah justru esensi tauhid.
Tauhid bukanlah sekedar sebuah pengakuan akan ke-Esa-an
Allah. Bila sebuah pengakuan saja, maka iblis la`natullah adalah
bertauhid. Malah iblis juga berdo`a kepada Allah meminta umur
panjang, sebagaimana dalam Al-Quran surah Al-A`raf ayat 12-15
berikut:
د اذ امرتك قال انا خي ر من ها خلقتن من نار وخلقتو من طي قال ما من عك ال تسج
( قال فاىبط من ها فما يكون لك ان ت تكب ر في ها فاخرج ان ك من الص اغرين 21)
عث و 21) نظرين )21ن )( قال انظر ن ال ي وم ي ب (21( قال ان ك من امل
Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud
(kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" MenJawab iblis: "Saya
lebih baik daripadanya; Engkau ciptakan saya dari api sedang dia
Engkau ciptakan dari tanah."
Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu, karena kamu tidak
sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya; maka keluarlah,
sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina."
Iblis menJawab: "Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka
dibangkitkan. Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk
mereka yang diberi tangguh."
Dalam empat ayat di atas, iblis menyebut Allah sebagai Pencipta
dirinya dan Adam. Karena diusir dari surga, iblis pun memohon
kepada Allah untuk diberi umur panjang agar dapat menjerumuskan
manusia dari jalan yang benar, Allah pun mengabulkan
71
permohonannya sehingga iblis sampai sekarang masih hidup dan
selalu menyesatkan manusia.
Oleh karena itu, sekali lagi, tauhid bukanlah sekedar pengakuan
akan ke-Esa-an Allah, bukan sekedar mengakui Allah sebagai Sang
Pencipta saja. Bertauhid memerlukan pengetahuan yang luas dan
mendalam tentang ke-Esa-an Allah (artinya harus terus menerus
belajar tentang tauhid), sikap tunduk dan patuh di hadapan Allah, dan
mengembangkan ruhani setinggi-tingginya untuk menyatu dengan
Allah, disertai penolakan dan kebencian terhadap segala bentuk syirik,
kufur, dan nifaq.
Singkatnya, menurut Sayyid Quthub, keimanan bukanlah
sesuatu yang terpenjara dalam hati atau tersimpan di peti
intelektualisme. Iman tidak cukup dengan sekedar tashdiq (pengakuan
dalam hati) dan iqrar (pengakuan dalam bentuk ucapan), atau sekedar
makrifat. Iman mesti disertai dengan amal perbuatan. Meskipun
beribu-ribu kali seseorang mengatakan dirinya mukmin, namun jika
pengakuannya tidak disertai dengan amal, maka dia bukanlah seorang
mukmin. (Afif Muhammad, 2004, hal. 137-138).
1. Tingkatan Tauhid
Tauhid yang paling tinggi, atau bertauhid yang sebenar-
benarnya tauhid adalah “menyaksikan” Allah, sebagaimana ungkapan
kalimat “syahadat”, yakni “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
kecuali Allah”. Pernyataan bersaksi jauh lebih tinggi daripada
mengenal Allah melalui pendefinisian.
Sebagai ilustrasi “menyaksikan” dan “mendefinisikan” Ka`bah
di Makkah. Orang yang pernah menjalankan ibadah haji dan umrah
meyakini keberadaan Ka`bah melebihi orang-orang yang belum
melaksanakan ibadah haji dan umrah. Orang yang belum berangkat
haji atau umrah, mereka hanya mengenal Ka`bah dari tulisan-tulisan
tentang Ka`bah; atau paling hebat dari melihat gambar Ka`bah atau
72
menonton orang-orang yang towaf mengelilingi Ka`bah di televisi.
Tapi orang yang pernah pergi haji dan umrah, mereka benar-benar
telah “menyaksikan” Ka`bah. Atas dasar ilustrasi ini maka mengetahui
sesuatu melalui “kesaksian” jauh lebih tinggi dan lebih kuat daripada
mengetahui sesuatu melalui “pendefinisian”.
Kearifan lokal di pesantren, pendidikan keimanan dilakukan
sedemikian rupa agar para santri dapat mencapai ma`rifat billah
(mengetahui Allah melalui penyaksian). Biasanya dilakukannya
melalui disiplin dalam beribadah dan membaguskan akhlak mulia,
atau dengan cara-cara lainnya, terutama cara-cara tersebut ditambah
dengan bimbingan dari seorang guru mursyid. Yang terakhir ini
biasanya dilakukan oleh para santri yang menjalankan tasawuf atau
tarekat.
Jika penyaksian melalui instrumen hati-nurani, maka
pendefinisian melalui instrumen akal sehat dan bukti pancaindra.
Meng-Esa-kan Allah melalui pendefinisian menghasilkan macam-
macam tauhid sebagai berikut:
a. Tauhid Zat
Menurut Ammar (1993) tauhid Zat maksudnya bahwa Allah itu
SATU hakiki, berdiri sendiri, tidak bersekutu, dan tidak terbatas serta
sederhana.
satu artinya tidak terbilang. Tapi ada dua jenis satu, yaitu satu
haqiqi dan satu i`tibari. SATU-hakiki adalah satu yang tidak berbilang
dan tidak ada bilangan atau unsur di dalamnya. SATU-hakiki hanya
dimiliki oleh Allah SWT. Adapun satu-i`tibari (satu kesatuan)
memang tidak berbilang, tapi merupakan satu kesatuan, karena ada
bilangan atau unsur-unsur di dalamnya. Kesatuan itu ditimbulkan oleh
bagian-bagiannya atau unsur-unsurnya itu. Contohnya, satu orang.
Orang seorang disifati dengan satu, namun di dalamnya mempunyai
kesatuan yang ditimbulkan oleh bagian-bagian atau unsur-unsur
73
dirinya. Satu orang seseorang adalah kesatuan dari kepala, leher, dada,
perut, tangan dan kaki, dan lain sebagainya.
SATU-hakiki tidak mengandung rangkapan, baik rangkapan itu
banyak atau sedikit. Proton yang tidak dapat dipecah – hari ini (lain
waktu mungkin bisa dipecah) – itu pun masih mempunyai rangkapan.
Proton merupakan rangkapan dari panjang, lebar, tebal, berat, warna,
dan lain-lain. Begitu pula non-material (misalnya Malaikat) yang
belum sampai ke derajat paling sempurna. Malaikat, misalnya saja,
tidak "tak terbatas", karena ia mempunyai unsur kesempurnaan dan
sekaligus unsur kekurangan.
Berdiri sendiri adalah tidak bersebab. Maksudnya, Allah tidak
mempunyai sebab atas keberadaan-Nya. Ia justru merupakan sebab-
akhir dari seluruh mata rantai sebab-akibat. Kita, manusia–sebagai
makhluk– menjadi "ada" adalah dari serangkaian sebab-akibat. Kita
ada karena dilahirkan oleh orang tua kita, orang tua kita ada karena
dilahirkan oleh kakek dan nenek kita, dan seterusnya hingga ke
manusia pertama (Adam dan Hawa). Adam dan Hawa ada karena ada
bahan bakunya berupa tanah (lempung, air, tembikar, dan sebagainya)
yang dihembusi Ruh Allah. Keberadaan tanah pun merupakan
serangkaian sebab-akibat dari bahan-bahan sebelumnya. Dan
akhirnya, Allah-lah sebagai Sang Penciptanya. Dia-lah sebab terakhir
dari keseluruhan rangkaian sebab-akibat.
Tidak bersekutu artinya dalam menciptakan apa pun Allah tidak
perlu kepada pertolongan siapa pun, karena segala kesempurnaan
hanyalah milik-Nya.
Tidak terbatas maknanya sama dengan "tidak beresensi" dan
"sederhana". Maksudnya, bahwa bagi Allah tidak dikenal batas
kesempurnaan, karena kalau terbatas bukanlah Tuhan. Dengan
demikian Tuhan tidak beresensi, dalam arti tidak ada batasan dalam
Wujud-Nya; karena pengertian esensi diambil dari batas-batas wujud.
74
Karena Tuhan tidak terbatas, maka Tuhan tidak mempunyai esensi.
Satu-satunya yang Dia punya hanyalah Wujud (Keberadaan-Nya).
Dengan adanya suatu batasan, maka suatu wujud tidak dapat
dikatakan sempurna. Mengapa makhluk tidak sempurna, karena ia
memiliki batasan-batasan dan rangkapan-rangkapan. Minimal ia telah
terangkap dari wujud dan esensinya. Malah esensi pun akan
menimbulkan rangkapan tersendiri, sebab ia akan memuat
kesempurnaan yang dimiliki suatu wujud tapi sekaligus juga
menegaskannya dari segala kesempurnaan lain yang tidak dimilikinya.
Atau, biasanya esensi akan memuat keumumam (jenis) suatu wujud
dan ditambah dengan kekhususannya (pembeda). Misal, manusia
adalah binatang yang rasional. "Binatang" adalah segi keumuman
manusia yang menyamakannya dengan binatang lainnya, sedangkan
"rasional" adalah segi kekhususan (pembeda) manusia dari binatang
lainnya.
Tidak adanya batasan-batasan dan rangkapan-rangkapan, atau
tidak adanya esensi menunjukkan bahwa suatu wujud itu sederhana.
Di sinilah makna "sederhana" untuk Tuhan.
b. Tauhid Sifat
Untuk memahami tauhid sifat, menurut Ammar (1993),
sebelumnya perlu dipahami pembagian sifat, yaitu:
(1) Sifat tsubutiyah dan sifat salbiyah. Sifat tsubutiyah (sifat-
ketetapan) ialah sifat-sifat yang mesti ditetapkan pada dan dimiliki
oleh Allah, yakni sifat-sifat yang menggambarkan kesempurnaan
Tuhan, tanpa kekurangan suatu apa pun.
Contohnya, Wujud-Mutlak (Wujud dengan sendirinya tanpa
ada yang mewujudkan). Kebalikan Wujud-Mutlak adalah wujud-
mungkin. Manusia adalah wujud-mungkin, karena wujudnya
manusia diwujudkan oleh Allah swt), Qadim (Terdahulu), Baqa
(Kekal-Abadi), Qudrat (Berkuasa), Iradah (Berkehendak), `Ilmu
75
(Mengetahui), Cahaya, Indah, Sempurna, Cinta, dan segala sifat
sempurna tanpa ada batasan lainnya.
Pokoknya, sejauh kita bisa menyebutkan segala yang baik-
baik, itulah sifat Tsubutiyah. Sumber pokok sifat-sifat Tsubutiyah
adalah Al-Quran dan Hadis. Asma-ul Husna yang kita kenal (99
Asma Allah, yaitu: Allahur-Rahman, ar-Rahim, al-Malik, al-
Quddus, as-Salam, al-Mu`min, al-Muhaimin, dan seterusnya)
adalah sifat-sifat tsubutiyah Allah. Dalam Al-Quran disebutkan
lebih 120 sifat tsubutiyah, 99 di antaranya dalam Asma-ul Husna.
Adapun sifat salbiyah (sifat-tertolak) adalah segala sifat yang
menggambarkan kekurangan dan kesempurnaan-terbatas, yakni
suatu sifat yang tidak boleh ditetapkan pada dan dimiliki Tuhan.
Contohnya: bendawi, bodoh, lemah, terbatas, terangkap, butuh,
dan segala sifat kekurangan lainnya. Contoh kesempurnaan-
terbatas adalah suci, cerdas, abadi, dan lainnya yang melekat pada
diri para nabi, para wali, dan malaikat. Misal, Nabi itu cerdas (jauh
di atas kecerdasan manusia-manusia cerdas), tapi Nabi tidak
mengetahui hal-hal yang gaib, kecuali jika diberi tahu oleh Allah
swt. Suci-Cerdas-Abadi pada Allah adalah Suci-Cerdas-Abadi
yang sempurna dan tidak ada batasan.
(2) Sifat-Zat dan Sifat-Perbuatan. (Lengkapnya adalah Sifat-Tsubutiyah-
Zat dan Sifat-Tsubutiyah-Perbuatan). Sebenarnya dengan
memperhatikan Zat-Tuhan – yang sempurna dan tidak terbatas – kita
dapat memahami sifat-sifat-Nya yang mesti dan layak bagi-Nya. Kita
bisa mengungkapkan segala sifat yang baik bagi Allah, misalnya:
Qadim, Baqa, Qudrat, Iradat, `Ilmu, Cahaya, Indah, Sempurna, Cinta,
dan segala sifat yang baik lainnya. Inilah Sifat-Zat.
Tapi adakalanya hanya dengan membayangkan Zat-Nya saja kita
tidak dapat menyimpulkan sifat-sifat tertentu. Untuk dapat
76
menangkapnya, kita perlu membayangkan wujud-mungkin, yaitu
dengan jalan menghubungkan kedua wujud tersebut. Misalnya
Pemberi Hidayah, Pemberi Rahmat, Pemberi Rezeki, Maha
Mendengar, Maha Melihat, dan lain-lain. Inilah yang disebut Sifat-
Perbuatan.
Selain itu ada pula Sifat-Zat yang dapat dikategorikan sebagai
Sifat-Perbuatan, yakni sifat yang memiliki dua sisi, Sifat-Zat dan
sekaligus Sifat-Perbuatan. Contohnya, mengetahui dan mencintai.
Kedua sifat itu bisa dikategorikan sebagai Sifat-Zat, Allah Mengetahui
Diri-Nya dan (Allah) Mencintai Diri-Nya. Tapi bisa juga
dikategorikan sebagai Sifat-Perbuatan, yaitu – misalnya – (Allah)
Mengetahui rencana jahat yang dirahasiakan orang-orang munafik dan
Allah Mencintai orang-orang yang mengemban misi Islam.
Apa Tauhid Sifat itu?
Ammar (1993) lebih lanjut menjelaskan, dengan tauhid sifat ini
dimaksudkan agar kita meyakini bahwa seluruh Sifat-sifat Allah itu
(Sifat-sifat Tsubutiyah-Zat), pada hakekatnya, sama 100%. Sifat
Abadi sama 100% dengan Sifat Berdiri Sendiri, sama 100% dengan
Sifat Iradah, sama 100% dengan Sifat `Ilmu, dan lain sebagainya.
Demikian juga Sifat Berdiri Sendiri sama 100% dengan Sifat Iradah,
sama 100% dengan Sifat `Ilmu, sama 100% dengan Sifat Hidup, dan
lain sebagainya. Kita tidak boleh membeda-bedakan di antara Sifat
(Sifat-Tsubutiyah-Zat) yang satu dengan lainnya.
Demikian juga Sifat-sifat-Nya itu (Sifat-Tsubutiyah-Zat) sama
100% dengan Zat-Nya. Sifat Maha Esa = Zat Allah, Sifat Qidam = Zat
Allah, Sifat Baqa = Zat Allah, Sifat Hidup = Zat Allah, dan
sebagainya. Jadi, Sifat Allah itu adalah Zat-Nya juga, tidak berdiri
sendiri atau terpisah dari Zat Allah SWT. Orang yang memiliki
keyakinan bahwa Sifat Allah itu berbeda atau terpisah dari Zat-Nya,
berarti orang tersebut musyrik, yakni musyrik Sifat. (Ammar, 1993).
77
Dalam rangka bertauhid, kita dianjurkan untuk menyerap Sifat-
sifat Tsubutiyah Allah. Nabi saw bersabda, "Takhallaqu bi
akhlaqillah" (Berakhlaklah kalian dengan Akhlak Allah). Maksudnya,
jika Allah itu Adil, maka kita pun harus menjadi orang yang adil. Jika
Allah mencintai orang-orang beriman, maka kita pun harus mencintai
orang-orang beriman; dan jika Allah itu membenci orang-orang kafir
dan munafik, maka kita pun harus membenci orang-orang kafir dan
munafik. Dan seterusnya.
c. Tauhid Penciptaan
Maksud tauhid penciptaan adalah seluruh keberadaan alam
semesta secara hakiki merupakan makhluk dan "diciptakan" oleh
Allah swt.
Kata "diciptakan" sengaja memakai tAnda-petik, karena di
kalangan ahli ilmu kalam (teologi) terdapat dua aliran pemikiran yang
berbeda. Kelompok pertama berpAndangan bahwa seluruh makhluk
diciptakan secara langsung oleh Allah SWT. Adapun kelompok
lainnya berpAndangan, bahwa hanya inteligensia pertama saja yang
diciptakan secara langsung oleh Allah swt. Inteligensia pertama
kemudian menciptakan yang kedua, yang kedua menciptakan yang
ketiga, dan seterusnya.
Dalam Al-Quran, kata "khalaqa" (mencipta) adalah meng-qodar
atau menentukan. Maksudnya, wujud sebelumnya itu mengakibatkan
dan menentukan wujud setelahnya; dan tanpa wujud sebelumnya
maka wujud setelahnya itu tidak akan eksis. Dengan demikian, jika
dikatakan bahwa wujud setelahnya dicipta oleh wujud sebelumnya,
maksudnya adalah keberadaan wujud setelahnya tergantung kepada
wujud sebelumnya.
Contohnya, kita (sebagai anak). Keberadaan kita tergantung
kepada wujud sebelumnya, yaitu orang tua kita. Kita (sebagai anak)
tidak secara langsung diciptakan oleh Allah, melainkan melalui orang
tua kita. Selain manusia pertama (Adam dan Hawa) tidak ada manusia
78
(generasi kemudian) yang langsung diciptakan oleh Allah tanpa
(dilahirkan) oleh orang tuanya, sebagai wujud sebelumnya.
Dengan menggunakan teori sebab-akibat, kita (sebagai anak)
adalah "akibat". Penyebabnya adalah orang tua kita. Tapi orang tua
kita pun (sebagai anak dari kakek-nenek kita) adalah "akibat", karena
"penyebab"-nya adalah kakek-nenek kita; dan seterusnya, hingga
sampai kepada Sebab-Pertama yang tanpa penyebab, yakni Allah swt.
Dengan demikian, rangkaian sebab-akibat yang lebih kemudian itu
sebenarnya hanyalah sebuah "akibat" saja dari Sebab-Pertama.
Kalaupun disebut "sebab" hanyalah sebatas sebab-perantara.
Jadi, maksud tauhid penciptaan yang lebih lengkap adalah,
bahwa seluruh keberadaan alam semesta secara hakiki merupakan
makhluk dan "diciptakan" oleh Allah swt, baik secara langsung atau
tidak langsung.
d. Tauhid Pengaturan
Maksud dari tauhid pengaturan adalah, kita harus tahu dan yakin
bahwa satu-satunya Wujud yang berhak dan mampu mengatur alam
semesta, termasuk mengatur manusia, hanyalah Allah swt. Adapun yang
diaturnya – tentu saja adalah – keberadaan alam semesta, termasuk
kehidupan manusia. Adapun yang dimaksud dengan "Allah mengatur
manusia" adalah, Allah memberikan arahan, bimbingan dan aturan-
aturan yang berkenaan dengan kehidupan manusia. Aturan-aturan itu
biasa disebut dengan syari`at (Syari`at Islam).
Dalam Surah asy-Syura 42 ayat 13 disebutkan:
نا بو آب راىيم نآ اليك وما وص ي شرع لكم من الدين ما وص ى بو ن وحا وال ذي آوحي
أقيم الدين ول ت ت فر ق و فيو كب ر على ال مشركي ما تدعوىم اليو وموسى و عيسى أن
من يشآء وي هدي آليو م، ينيب.
79
Dia telah men-syari`at-kan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa
dan Isa, yaitu: "Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-
belah tentangnya." Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang
yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya
orang yang kembali (kepada-Nya).
Sehubungan dengan tauhid-pengaturan ini, Allah swt
memerintahkan agar kita mentaati Allah dan mentaati Rasulullah serta
Ulil Amri (orang yang memiliki otoritas memerintah secara benar),
sebagaimana disebutkan dalam surah an-Nisa 4 ayat 59:
زعتم ف شىء ت ن ألمر منكم فإنٱلر سول وأول ٱوأطيعوا لل و ٱطيعوا ءامن و آل ذين ٱأي ها ي
لك خي ر وأحسن لءاخر ذ ٱ لي وم ٱلل و و ٱلر سول إن كنتم ت ؤمنون ب ٱلل و و ٱف ردوه إل
تأويل
Hai orang-orang yang beriman ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul-
(Nya) dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dalam kedua ayat di atas (surah Asy-Syra/42: 13 dan An-
Nisa/4: 59) disebutkan tentang keberatan orang-orang musyrik untuk
menerima Syari`at Islam. Orang yang tidak meyakini bahwa satu-
80
satunya Wujud yang dapat dan berhak mengatur alam ini hanyalah
Allah, maka orang itu dapat dikatakan musyrik-pengaturan.
Sebagai peringatan kepada orang-orang beriman, Allah swt
menyebutkan bahwa orang-orang munafiq itu selalu mengatakan
beriman, padahal mereka tidak beriman. Dalam surah an-Nisa 4 ayat
60 Allah swt mewanti-wanti kita agar jangan tertipu oleh orang-orang
munafiq:
آمنوا با أنزل إليك وما أنزل من ق بلك يريدون أن ا ل ت ر إل ال ذين ي زعمون أن هم
ي تحاكموا إل الط اغوت وقد أمروا أن يكفروا بو ويريد الش يطان أن يضل هم ضلل
(٠بعيدا )Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku
dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan
kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak
berhakim kepada thagut, padahal mereka telah diperintah
mengingkari thagut itu. Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.
Tetapi orang yang benar-benar beriman justru menta`ati Allah,
Rasul-Nya dan Ulil-Amri. Mereka benar-benar menggunakan Syari`at
Islam dalam menjalani kehidupannya: dalam kehidupan pribadi,
kehidupan berkeluarga, kehidupan bermasyarakat, kehidupan
ekonomi, kehidupan politik, dan dalam seluruh gerak hidupnya. Atau
secara ringkas, mereka beriman kepada tauhid-pengaturan.
Orang yang mengingkari syari`at Islam sebagai pengaturan
kehidupan dari Allah SWT, berarti orang itu tergolong syirik, dalam
hal ini musyrik-pengaturan.
81
2. Tauhid dan Pembangunan
Di dunia pesantren keimanan itu diimplementasikan dalam
kehidupan. Berbeda dengan orang-orang sekuler yang memisahkan
antara tauhid dengan kehidupan, dalam tradisi pesantren tauhid itu
menyatu dengan dirinya, sehingga dalam bidang profesi apa pun para
santri bekerja dan di mana saja para santri bekerja, nilai tauhid selalu
melekat dalam dirinya.
Sebagai orang beriman, para santri bergerak dan berbuat karena
kesadarannya, tidak terseok-seok oleh kepentingan sesaat duniawi
yang bersifat rendahan. Kesadaran tersebut terkait langsung kepada
sentral di mana kehidupan merujuk, tergantung, dan terarah ke sana.
Di sinilah para santri menemukan kebermaknaan eksistensinya dan
itulah yang menyebabkan hidupnya menjadi suatu perjalanan dari
kesadaran yang kokoh dan hakiki, suatu perjalanan yang penuh
makna, suatu perjalanan di mana dunia dan akhirat terefleksikan pada
seluruh sikap dan tindakannya.
Dengan prinsip tauhid, para santri harus terus bergerak secara
dinamis menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Minimal lima kali
setiap hari orang beiman mendengar ajakan untuk menggapai
kesuksesan (al-falah) Hayya 'alal falah. Ini cukup memberikan
dorongan yang kuat untuk berubah, berusaha dan berbuat lebih baik
menggapai keberuntungan, di samping memberikan rujukan,
sAndaran dan tolok ukur yang jelas Laa ilaaha illallah.
Asyhadu allaa ilaaha illallah berarti bahwa saya dan seluruh
manifestasi kehidupan saya menjadi bukti dan saksi atas ke-Esaan
Allah. Tidak ada yang tersisa dari kenyataan diri dan kehidupan
kecuali harus mengungkapkan dan mengaktualisa sikap tauhid.
Karena itulah tauhid harus manifest dalam seluruh segi dan aspek
kehidupan (Abdussalam, 2003).
82
a. Tauhid dalam bidang pendidikan
Sejalan dengan karakter dasar pAndangan tauhid,
pengembangan pendidikan dalam perspektif ini bersifat komprehensif,
integral, dan menem-patkan Allah sebagai rujukan sentral. Maka
berbagai komponen pendidikan dikembangkan secara menyeluruh dan
diperlakukan sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak parsial, dan Allah
sebagai pusat orbitnya.
Pendidikan adalah upaya untuk membina dan membimbing anak
didik agar mencapai kedewasaan dan kesempurnaannya sebagai
manusia. Upaya pendidikan yang mencakup komponen materi,
metode, dan tujuan merupakan implikasi dari pAndangan tentang
manusia, sebab manusia menempati fungsi dan kepentingan pokok di
dalamnya. PAndangan yang menempatkan manusia sebagai makhluk
berakal yang didominasi oleh para dewa akan berbeda sama sekali
dalam pendidikannya dengan pAndangan yang menempatkan manusia
sebagai khalifah.
Manusia yang dikembangkan dalam cara pAndang tauhidullah
harus bersifat komprehensif, yakni manusia yang tidak dipisahkan dari
tritema kehidupan, yaitu Allah, manusia dan alam. Harus integral,
yakni ketiga tema itu merupakan satu kesatuan di mana Allah sebagai
sentralnya. Ia adalah manusia tauhid, yakni manusia yang mendapat
mAndat dari Allah untuk memakmurkan kehidupan dunia dan harus
mepertanggung Jawabkan kepada-Nya (khalifah), dan pada waktu
yang sama ia harus mengaktualisasi-kan diri dan mengarahkan seluruh
aktivitasnya kepada harapan dan rida-Nya ('abd). Bagaitu pula halnya
dengan pengembagan berbagai komponen pendi-dikan lainya. Materi
pendidikan umpamanya, dikembang atas dasar cara pAndang integral,
yakni tidak ada dikomtomi antara ilmu umum dan agama, bahwa ilmu
apa pun datang dari milik Allah. Karena itu, ilmu tidak bebas nilai
baik dalam pengkajian, pengembangan atau pengaplikasiannya, dan
83
Ilmu apa pun harus mampu mempertemukan kesadaran manusia
dengan Pemiliknya yang mutlak (Abdussalam, 2003).
b. Tauhid dalam bidang sosial budaya
Dalam konteks sosial budaya, tauhid ditempatkan sebagai
sumber yang mendasari sekaligus mewarnai aktivitas sosial budaya
masyarakat. Aktualisasi tauhid dalam konteks sosial budaya adalah
maletakkan masyarakat sebagai wahana perealisasian sifat-sifat Allah
dalam konteks kemanusiaan. Karena itu masyarakat "marhamah"
menjadi identitas sekaligus menjadi tujuan.
Kasih sayang sebagai sifat Allah yang utama diaktualisasikan
dalam pAndangan sosial dengan melihat sesama manusia sebagai
saudara yang pantas diberi kasih sayang. Karena itu, setiap anggota
masyarakat terdorong untuk menebar kasih sayang kepada sesamanya.
Masyarakat yang bertitik tolak dari sifat Rahman Rahim Allah akan
dipenuhi oleh budaya saling memberi perhatian dan saling peduli
terhadap sesama. Setiap orang akan berpikir bagaimana ia dapat
memberikan sesuatu yang terbaik bagi lingkungan sosialnya
sebagaimana Allah memberikan terbaik bagi dirinya.
Allah hanya akan memAndang manusia dari amalnya dan
masyarakat tempat beramal, karena itu bukti amaliah adalah adanya
masyarakat amal, masyara-kat yang aktif, kreatif dan dinamis.
Tauhid dalam diri seseorang tidak hanya dalam bentuk
kesalehan individual, tapi harus tampil dalam bentuk kesalehan sosial.
Kesalehan sosial dapat diwujudkan manakala orang dapat
menghadirkan Allah dalam konteks sosial budayanya.
c. Tauhid dalam bidang ekonomi
Tauhid dalam bidang ekonomi adalah menempatkan Allah
sebagai Sang Maha Pemilik yang selalu hadir dalam tiap detik
kehidupan seorang muslim. Memperlakukan Allah sebagai Maha
84
Pemilik satu-satunya menempatkan manusia sebagai pemilik "hak
guna pakai" yang bersifat sementara.
Keyakinan akan kehadirang Yang Maha Pemilik akan
mendorong lahirnya sikap jujur dan adil sehingga hak-hak orang lain
akan diberikan secara penuh dan ikhlas. Karena itu, pemenuhan
kebutuhan manusia melalui transaksi-tranksaksi ekonomi akan
ditunaikan sebagai sarana pembagian hak antara pelaku ekonomi
secara adil.
Keyakinan akan Allah satu-satunya pemilik mutlak akan
mendorong orang untuk menunaikan hak-hak Allah yang terdapat
pada apa saja yang dimilikinya. Hak-hak Allah tersebut diberikan
kepada orang-orang yang ditunjuk untuk menerimanya. Karena itu,
harta dalam pAndangan ini bernilai sosial yang bukan hanya
menyejahterakan pemiliknya, tetapi juga memeratakan kepemilikan di
kalangan orang-orang miskin yang berhak pula memilikinya.
Dengan demikian, tauhid dalam bidang ekonomi akan
mendorong lahirnya pemerataan dan kesejahteraan ekonomi.
Kesejahteraan ekonomi tidak hanya diartikan sebagai terpenuhinya
kebutuhan ekonomi semata, tetapi lebih jauh memberikan keberkahan
secara spiritual. Dengan berlAndas-kan pada keterarahan pada Allah.
Pengembangan ekonomi menghendaki pemenuhan dimensi duniawi
dan dimensi ukhrawi secara proporsional.
d. Tauhid dalam bidang politik
Tauhid memAndang kekuasaan yang ada pada tangan manusia
bersifat nisbi, bukan miliknya secara penuh. Allah pemilik segala
kekuasaan. Dia memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-
Nya. Dia juga yang mencabutnya dari siapa saja yang dikehendaki-
Nya. Dia memberikan kemulyaan kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya. Dan sebaliknya Dia menghinakan siapa saja yang
85
dikehendaki-Nya. Dialah yang memegang segala kebaikan, dan Dia
berkuasa atas segala sesuatu.
Tauhid memAndang kekuasan yang diperoleh oleh manusia
adalah amanat. Karena itu, pada hari kiamat bisa jadi kehinaan dan
penyesalan yang tiada tara, kecuali bagi orang yang mampu
memenuhi tanggung Jawabnya secara penuh. Karena itu pertanggung
Jawaban tidak sepenuhnya selesai di hadapan manusia. Puncak
pertanggung Jawaban akan diselesaikan di hadapa-Nya. Ini
memastikan bahwa kepentingan politik bukan kepentingan final.
Kepentingan politik lebih merupakan kepentingan strategis untuk
menata kehidupan bersama supaya berjalan senapas dengen pesan dan
harapan tauhid.
Dengan demikian, demokrasi sebagai teori kekuasaan tidak
menempatkan segala-galanya pada tangan manusia. Segala hal yang
berkaitan dengan kekuasaan yang diaktualisasikan manusia
merupakan implikasi dari pengakuan dan kesadaran tauhid. Dengan
merujuk kepada al-Quran dapat diangkat beberapa prinsip demokrasi,
antara lain: 1) Ta'aruf, yakni pengenalan dan pengakuan terhadap
kenyataan dan keragaman yang ada. 2) Musyawarah, yakni perlakuan
dan penghargaan terhadap kenyataan dan keragaman yang ada untuk
mencapai kesamaan dan kesefakatan. 3) Ta'awun, yakni optimalisasi
dan fungsionalisai keragaman untuk bergerak dan berbuat mencapai
tujuan bersama. 4) 'Adalah, yakni prinsip keseimbangan dan
keproporsioanalan dalam mengembangkan seluruh perencanaan dan
operasionalisasi aktivitas politik. 5) Maslahah, yakni keberpihakan
kepada kebanaran dan kebaikan untuk kepentingan masyarakat.
Dalam perspektif tauhidullah, prinsip-prinsip ini dikembangkan secara
komprehensif, integral dan rujukan sentralnya adalah Allah.
86
3. Berjumpa dengan Allah
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa;
Kemudian Dia bersemayam di atas arsy Dia mengetahui apa yang
masuk ke dalam bumi, apa yang keluar daripadanya dan apa yang
turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama
kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan (QS.57 al-Hadid: 4). Kehadiran manusia hanyalah
karena kehadiran-Nya. Kebaikan manusia sesungguhnya karena
kebaikan-Nya. Jika tidak ada karunia dan rahmat Allah, niscaya tak
akan ada seorang pun yang dapat membersihkan dirinya untuk
selama-lamanya. (QS.24:21). Jika tidak ada karunia dan rahmat-Nya
tentu manusia akan terseok-seok mengikuti jejak syetan (Qs.4:83).
Jika tidak adan karunia dan rahmat-Nya tentu manusia akan
terjerumus pada kecelakaan. (QS.2:64)
Melalui membaca dan merenungi ayat-ayat Al-Quran, setiap
saat Allah seakan-akan menemui manusia melalui ayat-ayat-Nya baik
yang tersurah maupun yang tersirat. Semuanya membisikan harapan-
harapan terbaik bagi manusia. Hanya sayang kadang manusia lari dari
pertemuan ini, sehingga menjadi sulit dan terasa berat menghayati
kebersamaan dengan-Nya. Padahal, pertemuan dan kebersamaan
manusia dengannya sesungguhnya merupakan suatu keniscayaan dari
hakikat eksistensi manusia yang tergantung dan terarah kepadanya.
Tanpa pertemuan dengan-Nya hidup manusia menjadi hampa,
kehilangan makna dan arah yang hakiki dalam hidupnya. Pertemuan
ini lebih bersifat maknawi, yakni pertemuan kesadaran manusia
dengan kebesaran, keagungan, harapan dan ridla-Nya.
Bagaimana, kapan, dan dengan cara bagaimana manusia dapat
berjumpa dengan Allah swt? Melalui beribadah yang ikhlas, melalui
penghayatan dan internalisasi Asma`ul Husna, melalui wirid-wirid dan
berdoa, belajar dari peristiwa alam dan sosial, dan ciptaannya seakan-
akan manusia berjumpa dengan Allah. Mudah-mudahan suatu saat
87
nanti para santri yang melakukan kelima hal ini dapat benar-benar
berjumpa dengan Allah.
a. Berjumpa dengan Allah melalui ibadah yang ikhlas
Ibadah merupakan wujud aktualisasi diri sebagai hamba.
Pengakuan kehambaan yang paling fasih adalah dengan mengidentifi-
kasikan diri kepada sifat-sifat-Nya dan mentransparankan harapan-
harapan-Nya dalam seluruh aktivitas hidup. Ibadah adalah kata
kuncinya.
Allah selalu merindukan manusia menghampiri-Nya. Allah
selalu menginginkan agar manusia selalu dekat dan terus menerus
berusaha mendekati-Nya. "Jika hamba-hamba-Ku mendekati
sejengkal maka Aku mendekatinya sehasta. Jika hamba-hamba-Ku
mendekati-Ku sehasta maka Aku mendekatinya sedepa. Jika hamba-
hamba-Ku mendekati-Ku sambil jalan maka aku mendekatinya sambil
lari” (HR Bukhari).
Karena Allah menyayangi manusia dan selalu merindukan
pertemuan dengan manusia, maka Allah menetapkan forum pertemuan
rutin dengannya. Paling tidak ada lima kali forum pertemuan resmi
dalam setiap hari. Begitu proaktif Allah berusaha bertemu dengan
manusia, sehingga Dia menyusun jadwal pertemuan khususnya
dengan-Nya dan membuat format undangannya yang sangat indah.
Hayya 'alash shalah, Hayya 'alal falah. (Mari mendidirikan shalat,
mari menggapai kesuksesan/kebahagiaan). Begitu mesra Allah
memanggil manusia untuk bertemu dengan-Nya.
Jika Anda punya atasan yang kaya raya, dan sangat sayang
kepada Anda. ia memberi berbagai fasilitas yang Anda perlukan,
padahal Anda tidak memiliki sesuatu atau kebaikan yang dapat Anda
berikan kepadanya. Suatu waktu ia ingin bertemu dengan Anda secara
langsung dan memanggil Anda dengan cara yang baik. Apakah Anda
88
merasa perlu untuk menemuinya? Kira-kira dengan cara, sikap, dan
kata apa Anda akan menemuinya?
Yang ingin sering bertemu secara khusus dengan manusia ini
adalah Allah, Pencipta, Pemberi, dan Pemilik segala yang dimiliki
manusia. Dia Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang, Yang
Maha kaya, Yang Maha Pemurah, Yang Maha adil, dan seterusnya.
Jadi bagaimana seharusnya manusia menyambut pertemuan tersebut?
Pertemuan tersebut sangat khusus, sangat istimewa dan sangat
esensial maksud dan maknanya. Tidak sembarang orang bisa terlibat
dalam pertemuan tersebut. Orang yang dapat masuk pada pertemuan
ini hanya orang yang memiliki kesucian, suci hadas, suci tempat,
pakaian, dan terutama suci hati (niat/tujuan). Dari segi penataan
lahiriah dan gerak, pertemuan ini terbuka dan mudah dibaca, tapi
sesungguhnya pertemuan ini sangat rahasiah. Ia lebih merupakan
pertemuan batin, tapi tidak mengabaikan unsur lahirah. Jadi
pertemuan ini merupakan pertemuan lahir dan batin secara serempak.
Pertemuan (melalui shalat yang khusyu`) menjadi kunci untuk
terjadinya berbagai pertemuan dengan Allah di luar shalat. Kalau
dalam pertemuan (shalat) ini tidak pernah bertemu dengan Allah
(karena tidak dapat menghadirkan Allah dalam shalatnya), maka akan
sulit sekali kalau tidak dikatakan mustahil akan dapat bertemu dengan
Allah di luar shalat. Berbagai ayat dan hadis mengungkapkan bahwa
pertemuan dengan Allah dalam shalat ini akan mempengaruhi perilaku
di luar shalat. "Sesungguhnya shalat akan mencegah perbuatan jahat
dan mungkar”. Dalam hadis kudsi Allah berfirman: "Aku hanya
menerima shalat orang yang mampu menghayati keagungan Allah
dalam shalatnya, tidak sombong kepada sesama makhluk, tidak
melaksanakan dosa secara sengaja, menghabiskan masa-masa
hidupnya dengan penuh zikir kepada-Ku, menyayangi orang miskin,
yatim, dan orang-orang yang mendapat musibat" (Al-Hadis).
89
Selain melalui ibadah shalat, banyak lagi ibadah-ibadah lainnya
yang secara khusus ditetapkan dan ditata seluruh aturan dan caranya
langsung oleh Allah dan Rasul-Nya. Ini tiada lain supaya ibadah
tersebut efektif dalam mempertemukan manusia dengan Allah,
pertemuan pikiran dan kesadaran manusia dengan harapan dan rida-
Nya. Jadi sangat penting sekali bahwa dalam ibdah itu manusia harus
bisa bertemu dalam arti sesungguhnya dengan Allah. Jangan sampai
ibadah itu hanya sekedar rutinitas yang kehilangan jiwanya.
b. Berjumpa dengan Allah melalui zikir dan doa
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw mengingat Allah pada
seluruh waktunya. Kitab al-Adzkar tulisan Imam Nawawi adalah salah
satu kitab yang mengumpulkan berbagai zikir dan doa Rasulullah
pada seluruh aktivitas manusia. Dari mulai bangun tidur, masuk kamar
mandi, pakai dan buka baju, pakai dan buka sepatu, keluar dan masuk
rumah, berangkat bepergian, naik dan turun dari kendaraan, melihat
sesuatu (seperti hujan dll), mendengar sesuatu (seperti petir dll), dan
seluruh aktivitas manusia sampai saat tidur lagi ada lafad doa atau
zikirnya yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. (Abdussalam, 2003).
Doa atau lafal-lafal zikir tersebut tentu saja bukan untuk sekedar
diucapkan tanpa makna. Dengan lafal-lafal itu manusia diharapkan
terus-menerus mengomukasikan seluruh aktivitas dan hidupnya
kepada-Nya, sehingga ia tetap menghayati kehadiran dan keterlibatan
Allah dalam seluruh keadaannya. Dengan demikian, maka seluruh
langkah, usaha, harapan dan tujuannya hanya akan tersAndar dan
terarah kepada-Nya, kepada pertolongan dan rida-Nya. Di sinilah
sesungguhnya tertumpunya kekuatan, keberanian, ketenangan dan
kepuasan seorang muslim, apa pun yang akan dan telah diperolehnya
setelah itu. (Abdussalam, 2003).
Pada dasarnya doa dan zikir-zikir itu bermakna memohon perto-
longan dan perlindungan dari Allah serta harapan kebaikan secara
90
umum. Ini sejalan dengan hakikat manusia sebagai makhluk yang
tergantung dan terarah ke luar dirinya, karena keterbatasannya. Tanpa
zikir berarti manusia hanya mengAndalkan kekuatan dirinya dan
kekuatan lain ciptaan manusia sendiri, yang jelas tidak mungkin
diAndalkan secara penuh dan mutlak. Betapapun hebatnya kekuatan
seseorang dan canggihnya teknologi yang digunakan tetap memiliki
keterbatasan. Tanpa zikir berarti ia memutlakkan kemampuan diri dan
teknologi, sekaligus mengingkari keterbatasannya. Ini berarti bahwa
sesungguhnya zikir tersebut merupakan kebutuhan manusia yang
sangat esensial.
Suatu hadis sahih menyatakan bahwa setiap perbuatan yang
tidak dimulai dengan basmalah, maka perbuatan itu terputus (Al-
Hadis). Maksudnya terputus dari sAndaran kekuatan dan orientasi
hidup yang lebih hakiki. Tatkala kita meninggalkan rumah berangkat
kerja, apakah kita cukup aman dan pecaya penuh kepada kunci dan
satpam, sehingga kita yakin bahwa rumah itu pasti aman tidak akan
ada yang mengganggu? Ketika kita naik kendaraan, apakah kita cukup
tentram dan pasti selamat dengan percaya penuh kepada supir dan
kendaran yang masih baik? Pasti Jawaban kita “tidak”. Kita tidak bisa
percaya penuh kepada kunci dan security, kita tidak akan mendapat
keberanian dan ketenangan penuh dalam perjalanan dengan hanya
mengAndalkan dan percaya penuh kepada sopir dan kendaraannya.
Betapapun sopir sangat terampil, masih terdapat seribu satu
kemungkinan yang bisa terjadi di luar perhitungan manusia. Kalau
kunci, Security, dan sopir tidak mungkin dipercaya penuh untuk
menjamin keselamatan, lantas siapa yang dapat dipercaya secara
penuh? Ke manakah kita harus menitipkan keselamatan diri kita
sehingga kita bisa tenang?
Di sinilah kita akan merasa nikmat menitipkan diri kita kepada
Dzat yang memiliki penglihatan dan kekuatan tak terbatas. Di sinilah
kita akan merasa senang dan tenang menitipkan dan menyerahkan
91
segalanya kepada Allah melalui basmalah. Seakan hati kita
berkata,”Ya Allah Engkau sajalah yang menjaga rumah dan milik
saya, Engkau saja yang melindungi kami di perjalanan ini. Betapapun
banyak pihak yang bermaksud mengganggu milik saya, mencelakakan
saya di perjalanan, pasti kami akan selamat, jika Engkau melindungi
(Abdussalam, 2003).
Ini hanya sebagai contoh penghayatan terhadap makna salah
satu lafad zikir. Lafad zikir itu banyak sekali, baik yang ditentukan
atau tanpa penentuan waktu/kondisi. Ada bismillah, al-hamdulillah,
subhanallah, inalillahi dan lain sebagainya. Dapat diyakini bahwa
semua lafzd zikir itu mengakar pada hakikat eksistensi manusia.
Semuannya berkaitan langsung dan dibutuhkan oleh manusia dalam
seluruh gerak dan diamnya. Jelaslah bahwa lafadz-lafadz zikir tersebut
dikemas untuk mempertemukan pikiran dan kesadaran manusia
dengan dengan Allah. Banyaknya lafadz zikir menghendaki terjadinya
pertemuan dimaksud yang terus menerus. Pertemuan inilah yang
sesungguhnya mampu memberi ketenangan kepada manusia. Allah
swt berfirman dalam Al-Quran, “Ingatlah hanya dengan berzikir
kepada Allah hati akan tenang.” Karena itu, jangan sampai lafadz-
lafzd zikir tersebut jatuh menjadi ungkapan klise yang tidak memiliki
ruh.
c. Berjumpa dengan Allah melalui Asmaul Husna
Sebagai pengantar untuk mengenali Diri Nya Yang Al-Ghaib,
secara proaktif pula Allah memperkenalkan diri melalui nama dan
sifat-sifat-Nya (lebih dikenal dengan Asmaul Husna). Berbagai
riwayat yang sangat populer menyatakan bahwa jumlah Asma Husna
adalah sembilan puluh sembilan. Ini tidak berarti bahwa nama dan
sifat Allah hanya sejumlah itu. Para ulama yang juga merujuk al-
Quran menemukan jumlah nama/sifat yang berda-beda. Ath-
Thabathabai dalam tafsirnya mengumpulkan sebanyak 127, Ibn
92
Barjam mengumpulkan sebanyak 132, Al-Qurthubi mengumpulkan
200 lebih, dan lain sebagainya (Abdussalam, 2003).
Sesungguhnya manusia hanyalah mengenal Allah melalui
Nama/Si-fat-Nya. Amat-sangat langka yang mengenal Dzat-Nya.
Misal, kita dapat mengenal kecerdasan dan kepiawaian seseorang dari
artikel yang ditulisnya. Kita dapat mengakui kehalusan daya seni
seorang seniman dari lukisan yang dibuatnya. Walau tidak pernah
bertemu secara langsung kita dapat mengenalnya sebagai penulis yang
trampil dan pelukis ulung melalui karya-karyanya. Hanya saja untuk
mengenali kecantikan seorang wanita atau kegantengan seorang lelaki
haruslah bertemu dengan orang-orangnya. Tidak cukup hanya melalui
tulisan tentang kecantikan dan kegantengannya.
Pertemuan dengan Allah melalui sifat-sifat-Nya ini merupakan
pertemuan yang paling mendalam bagi seseorang yang belum
mencapai makrifatullah; sebab makna sifat-sifat tersebut dapat terbaca
dengan jelas pada seluruh fenomena yang dapat ditangkap oleh akal
serta bashar dan bashiroh manusia. Begitu dalam pertemuan ini
sehingga dapat menumbuhkan suatu keyakinan kepada-Nya, percaya
penuh pada jaminan makna sifat itu, dan tumbuh kesediaan untuk
mempertaruhkan diri kepada-Nya. Orang beriman berani
mempertaruhkan segala keberhasilan dan imbalan amalnya kepada-
Nya karena yakin bahwa Dia Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha
Kaya, Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha adil
dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Dengan meyakini semua
sifat-sifat tersebut selesailah semua harapan dan kekuatan berhenti dan
tenang padanya. Keyakinan dan kesediaan mempertaruhkan diri
tersebut bukan angan-angan kosong. Kecuali ada informasi verbal dari
al-Quran dan sunah tertang sifat itu, alam dan keterarahannya menjadi
sumber informasi visual yang cukup meyakinkan, di samping bahwa
kayinan itu bukan harapan yang luput dari amal.
93
Pertemuan dengan Allah melalui nama/sifat-sifat ini memiliki
tingkatan yang berbeda-beda sesusai dengan pemahaman,
penghayatan dan pengalaman yang telah dijalaninya. Pertama,
mengetahui dan yakin bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut.
Kedua, memahami makna-makna yang terkadung dalam sifat tersebut
dan menghayati wujud makna tersebut pada fenomena alam dan
peristiwa kehidupan yang dilihat dan atau dialaminya. Ketiga, Kecuali
menghayati wujud makna sifat itu, berusaha mencerap dan
merealisasikan sifat-sifat tersebut pada tindakan dan perilakunya. Al-
Ghazali (1989) mengomentari pengenalan melalui sifat-sifat ini,
“Barangsiapa yang mendengar asma-asma Allah, memahaminya dari
segi tafsiran dan sifatnya, serta meyakini bahwa makna tersebut
adalah milik Allah, maka sesungguh-nya ia baru memperoleh bagian
yang kecil daripadanya dan masih rendah tingkatannya”.
Al-Quran surah 7 al-A‟raf ayat 180 menAndaskan agar kita
memohon kepada Allah dengan menggunakan al-Asma al-Husna dan
agar kita mening-galkan orang yang tidak mengenalnya karena
mereka telah menyimpang dari kebenaran saat menyebut nama atau
sifat-sifatnya. Masih banyak ayat lain di mana di dalamnya
terkandung al-Asma al-Husna.. Muhammad Ali menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan al-Asma al-Husna adalah nama-nama yang
menampakkan sifat-sifat paling baik dari Dzat Allah. Sedangkan yang
dimaksud dengan fad‟uhu biha (berdoalah/mohonlah Dia dengannya)
berarti bahwa manusia harus menyimpan sifat-sifat ilahi dalam
pikirannya dan berusaha memiliki sifat-sifat tersebut, sebab hanya
dengan itu ia dapat mencapai kesempurnaannya. Kecuali itu, Al-Jili
menafsirkan amanah yang diasongkan kepada manusia setelah bumi
dan langit enggan menerimanya (QS 33:72) adalah amanat untuk
merealisasikan sifat sifat Allah di bumi. (Abdussalam, 2003).
Itulah pertemuan terindah antara manusia umumnya dengan
Allah melalui sifat-sifat-Nya, yakni apabila sifat-sifat itu menjadi
94
rujukan dan tolok ukur dalam pengembangan kepribadiannya. Di
sinilah manusia mendekatkan diri kepada-Nya, dalam arti
mengidentifikasikan diri dan perilakunya kepada sifat-sifat Allah,
sebatas jangkauan kemanusiaan dan batas-batas yang ditetapkan oleh
Allah sendiri. Pemancaran kembali sifat-sifat Allah dalam wujud
akhlak insani diperintahkan secara tAnda oleh Allah dan Rasul-Nya.
“Berbuat baiklah kamu sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu (QS.28:77). Rasulullah saw bersabda: Takhallaquu bi
akhlaaqillaah (Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah)
d. Berjumpa dengan Allah melalui peristiwa susah dan senang
Peristiwa yang dialami oleh orang perorangan (secara
individual), suatu komunitas (secara kolektif), bahkan hingga suatu
bangsa (dalam satu negara dan pada beberapa negara) hanyalah bolak
balik antara sukses dan gagal, antara senang dan susah, serta antara di
atas dan di bawah. Tidak ada seorang manusia atau suatu masyarakat
dan bangsa pun yang merencakan untuk gagal, karena tidak ada
seorang pun, suatu masyarakat pun, dan suatu bangsa pun yang
menginginkan kesusahan. Akan tetapi realitasnya tidak terelakan
bahwa manusia (juga masyarakat dan bangsa) sering kali mengalami
kegagalan, kepahitan, dan kesusahan. Di manakah Allah dari peristiwa
kegagalan dan kepahitan itu? Bukankah Dia tahu persis apa-apa yang
kita inginkan? Bukankah Dia Mahakuasa memberi kita sesuai apa
yang kita inginkan?
Jika Anda ditanya mengapa Anda lulus dan duduk di jurusan
yang Anda ikuti sekarang ini? Apakah Jawaban Anda cukup dengan
menyatakan bahwa masuk jurusan tersebut semata pilihan dan usaha
Anda sendiri, karena memang jauh sebelumnya telah menjadi cita-cita
dan belajar keras mempersiapkan diri supaya lulus? Apakah Anda
cukup menyatakan kebetul-an saja, karena sesungguhnya jurusan ini
tidak menjadi prioritas pilihan Anda dan tidak sungguh-sungguh
95
mempersiapkan diri? Jika demikian, di manakah Allah dari apa yang
Anda harapkan dan yang tidak Anda harapkan itu? Padahal setiap
selesai shalat kita sering membaca, “Ya Allah, tidak akan ada yang
dapat menghalangi apa-apa yang Engkau berikan, tidak akan ada yang
bisa memberikan apa-apa yang Engkau halangi”
Jika Anda ditanya mengapa dan bagaimana bisa datang ke
tempat kuliah hari ini? Apakah Anda cukup menJawab karena Anda
sedang sehat dan jalanan lancar? Apakah Anda cukup menjawab
karena kuliah ini merupkana perbuatan rutin atau terbiasa dan
jaraknya cukup dekat? Apakah Anda merasa cukup aman, tenang yang
menjamin keselamatan Anda karena badan Anda kekar dan sehat?
Apakah Anda dapat memastikan bahwa Anda akan sampai ke tempat
kuliah dengan selamat karena kuliah sudah menjadi kegiatan rutin dan
jaraknya dekat? Jawaban kita pasti tidak, sebab kita tidak akan bisa
lari dari keterbatasan kita sebagai manusia. Jika hidup, perilaku dan
kesuksesan kita memang tergantung kepada pihak lain (Allah),
mengapa kita cenderung mengingkari keterlibatan-Nya? Mengapa kita
cenderung lebih sulit menghayati kehadiran dan keterlibatan Allah
dalam seluruh prilaku dan nikmat yang kita terima, walau hanya
seisap oksigen ke dalam paru-paru kita? Padahal andil dan
keterlibatan-Nya lebih nyata pada segala fenomena dan peristiwa.
Mengapa kita cenderung kurang peduli dengan pertolongan dan
karunia-Nya, sehingga sulit sekali bersyukur kepada-Nya? Padahal
lancarnya mata kita berkedip merupakan hasil penataan dan karunia
pemberian-Nya.
Apabila perilaku atau peristiwa yang kita alami itu pahit, di
manakah Allah, dengan mata apa kita memAndang-Nya dan dengan
hati bagaimana kita menghayati-Nya? Ada beberapa alumni suatu
pesantren yang biasa mengikuti pengajian bulanan di pesantren
almamaternya. Secara rutin me-reka menggunakan mobil-mobil
tertentu yang telah mereka kenal. Pada suatu saat mereka dikejutkan
96
oleh mobil yang telah mereka pesan tidak menunggu mereka. Padahal
biasanya mobil itu menunggu mereka dan tidak berangkat sebelum
mereka datang lengkap. Karena itu, dengan agak menyesal mereka
terpaksa menumpang mobil lain. Akibatnya mereka agak kesiangan
menghadiri pengajian. Baru satu jam mereka istirahat menghadiri
pengajian, mereka mendapat berita bahwa mobil yang biasa
ditumpanginya itu mendapat kecelakaan. Maka penyesalan tadi pagi
itu berbalik menjadi rasa gembira yang tak henti-hentinya dibarengi
dengan ucapan syukur yang mendalam. Di sanalah pikiran dan
kesadaran mereka bertemu dengan rencana Allah yang lebih baik. Di
saat itulah mereka menikmati karunia dan kasih sayang Allah setelah
sebelumnya mereka sesali karena terasa pahit. Dengan peristiwa
tersebut mereka menikmati pertemuan dengan Allah, dengan rencana
dan pilihan Allah untuk mereka sehingga mereka benar-benar tambah
yakin bahwa pengetahuan Allah, rencana Allah, dan pilihan Allah
jauh lebih baik daripada apa yang dapat kita harapkan dan perkirakan.
Allah berfirman: “Tidaklah kamu menghendaki sesuatu kecuali Allah
pun menghendaki (sesuatu), sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
dan Maha Bijaksana (QS 76:30). Dalam ayat yang lain bisa jadi kamu
membenci sesuatu padahal ia lebih baik bagimu: dan bisa jadi kamu
menginginkan sesuatu padahal ia lebih buruk bagimu. Allah
mengetahui dan kamu tidak mengetahui. (QS.2:216).
Maka peristiwa apa pun yang dialami manusia akan dapat
mempertemukan pikiran dan kesadaran manusia dengan rencana,
kehendak dan pilihan Allah yang pasti lebih baik dari rencana
siapapun. Setiap manusia yang bertemu dengan Allah melalui
peristiwa apa pun pasti akan menemui Allah berada pada pihak
terbaik. Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang di satu pihak dan
Maha adil di lain pihak. Karena itu, mustahil Allah berbuat aniaya;
mustahil Allah salah memperlakukan siapa pun.
97
e. Berjumpa dengan Allah melalui ciptaan-Nya yang menakjubkan
Allah memperkenalkan diri kepada manusia dengan segala cara
dan segala jalur komunikasi yang dapat diterima oleh manusia. Begitu
deras dan gencarnya ayat-ayat Allah (baik kauniah atau kauliah)
menyentuh seluruh sisi hidup dan kesadaran manusia. Itu karena Allah
sayang. Dia ingin sekali dikenal dan dihampiri oleh hamba-Nya.
Semua ciptaan Allah itu, yang sangat indah dan harmonis, sebenarnya
merupakan pengantar agar manusia berkeinginan mengenali Diri-Nya.
Tatkala kita enak bernapas, siapakah yang merancang oksigen
yang kita perlukan, yang ternyata dikeluarkan dari tumbuh-tumbuhan,
sehingga antara manusia dan tumbuhan terjalin hubungan timbal balik
yang harmoni? Siapakah yang merancang paru-paru dengan dua ratus
lima puluh juta gelembung, setiap detik menyuplai oksigen pada sel-
sel darah merah dan mengeluarkan karbondioksida daripadanya,
sehingga dalam satu detik itu darah yang tadinya sudah hampir hitam
berubah menjadi merah cerah? Siapa yana punya pekerjaan sehebat
itu? Semua orang pasti mengaguminya.
Tatkala kita mengecap rasa makanan dalam mulut, kita dapat
membedakan berbagaia jenis rasa. Siapa yang menata 9.000 kucup
perasa pada lidah kita, di mana masing-masing kucup mempunyai
tugas tersendiri dalam pengecapan rasa dan dihubungkan kepada otak.
Siapakah yang merancang dan mengatur semua ini? Begitu makanan
jatuh di mulut, langsung disambut oleh enam kelenjar untuk
mempermudah penghancuran dan pencernaannya. Jika makanan itu
terus bergulir ke usus, maka pembuluh-pembuluh di dinding usus itu
tak ubahnya laksana laboratorium-laboratorium kimia yang menyuplai
enzim-enzim dan unsur kimia yang dibutuhkan sesuai dengan macam
dan jenis makan yang masuk. Semua orang pasti mengaguminya.
Seluruh alam ini gelap gulita. Ia hanya diterangi dengan
tampaknya al-Haq (Allah) padanya. Barangsiapa melihat alam tapi
tidak melihat Allah di dalamnya, berarti ia telah tersilaukan oleh
98
cahaya itu, dan nur makrifat tertutup baginya oleh awan kebendaan.
Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Dia terhijab oleh sesuatu,
padahal Dia-lah yang menampakkan segala sesuatu. Dia-lah yang
tampak oleh segala sesuatu, Dia-lah yang tampak pada segala sesuatu.
Dialah yang tampak untuk segala sesuatu, Dia-lah yang tampak
sebelum segala sesuatu. Dia-lah yang lebih tampak daripada segala
sesuatu. Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Dia terhalang oleh
sesuatu, padahal Dia lebih dekat daripada segala seautu. Dia lebih
lekat daripada segala sesuatu. Dia lebih menguasai daripada segala
sesuatu. Hal ini sudah pasti diyakini oleh semua manusia.
Untuk bertemu dengan Allah melalui ayat-ayat-Nya, manusia
diberi kekuata bashor, yakni kekuatan indrawi yang mengangkat
pesan atau stimulus konkrit, dan kekuatan bashiroh, yakni kekuatan
batin (mata batin) untuk menangkap makna dan esensi di belakang
benda. Kekuatan bashar dan bashirah ini harus terintegrasi
menumbuhkan kesadaran tertinggi, mengantarkan pertemuan terindah
antara manusia dengan Khaliknya. Itulah pertemuan pikiran dan
kesadaran manusia dengan rida-Nya.
Jika kekuatan bashar tidak membantu mempertajam kekuatan
bashirah dan mengantarkan pertemuan dengan-Nya, berarti
kebendaan yang hinggap pada kekuatan bashar tersebut telah
menumpulkan dan menghijabnya. Akibatnya, betapapun derasnya ayat
Allah akan berlalu tanpa makna. Pertemuan itu hanya sebatas materi.
Akibatnya, perhitungan, keputusan, dan pilihan-pilihan dalam hidup
pun berujung pada materi. Sebabnya, karena hal-hal itu pulalah yang
masuk ke dalam hatinya karena hanya satu hati saja yang berfungsi,
yakni hati nurani (hati yang memperoleh cahaya Tuhan) atau hati
sanubari (hati yang gelap-gulita, karena tidak mau mengenali Tuhan).
Bagaimana Allah akan masuk dalam hati nurani, kalau gambar yang
lain tercetak kokoh di dalam hati sanubarinya.
99
4. Buah dari Tauhid
Bagi para santri dan orang-orang mukmin, seluruh kenyataan
dan peristiwa yang dialami sesungguhnya harus menjadi buah atau
manifestasi dari tauhid. Kenyataan yang dimaksud bukan saja
kenyataan secara empirik, tapi mencakup bahkan kadang kadang lebih
menekankan kenyataan spirutal ruhaniah. Suatu kenyataan bisa saja
tampil sebagai kenistaan pada ujung bashar seseorang, tapi kemudian
dirasakan sebagai suatu keindahan dalam penghayatan bashirah-nya.
Di sini hanya akan dikemukakan beberapa nilai yang dapat
dikembangkan dari tauhid. Itu pun hanya dalam bentuk contoh
ilustrasi saja. Nilai-nilai dimaksud adalah ketenangan, keselamatan,
keamanan, dan keberanian. Tapi perlu hati-hati juga karena Iblis
dengan bala tentaranya selalu menciptakan pandangan yang indah
kepada manusia, sehingga orang itu merasa tenang, merasa selamat,
merasa aman, dan merasa berani menghadapi hari akhir, padahal
semuanya palsu. Bisa kita saksikan semua agama merasakan
ketenangan, keselamatan, keamanan, dan keberanian.
a. Ketenangan
Rasulullah saw. pernah diancam dibunuh oleh seorang musyrik
Quraisy, namanya Suroqah. Waktu itu beliau sedang beristirahat di
bawah suatu pohon kurma. Tiba-tiba datanglah seorang musyrik
menghunuskan pedang di hadapan mukanya sambil berkata, "Hai
Muhammad siapakah yang akan menolongmu dari pedangku ini?
Karena keterarahan dan kepercayaan yang penuh hanya kepada Allah,
beliau sama sekali tidak gentar atau takut. Beliau tetap tenang karena
telah menitipkan dan mempercayakan diri serta keselamatannya
kepada Dzat Yang Memiliki dan Menguasainya. Beliau menjawab,
“Hanya Allah-lah yang menjagaku". (Al-Buthi, 1999).
Dengan ketenangan dan keteguhan hatinya yang penuh tertumpu
hanya kepada Allah, karena dia memang sudah mengenali Tuhannya,
100
maka sikap yang terpancar dari padanya mampu mempengaruhi sikap
musuhnya yang garang menjadi lemah dan tak berdaya, sehingga
posisinya jadi terbalik. Kini jadi Rasulullah yang memegang pedang,
mengancam musuhnya sambil berkata, "Sekarang siapa yang akan
menolongmu dari aku ini?” Ia menJawab, "Tidak ada yang akan
menolongku selain engkau sendiri". Ya, memang ia tidak bisa
menolong dirinya sendiri, karena ia tidak mengenal Allah. Tapi
kemudian Rasulullah saw. membebaskannya kembali. (Al-Buthi,
1999).
b. Keselamatan
Tatkala Nabi Yunus `alaihissalam dilemparkan ke laut, ikan
paus langsung menelannya. Paling tidak inilah pAndangan
kebanyakan ahli tafsir. Tapi para ahli berbeda pendapat tentang
lamanya Nabi Yunus dalam perut ikan. Ada yang berpendapat selama
tiga hari, satu minggu bahkan ada yang berpendapat selama satu
bulan. Pendapat mana pun yang benar, yang jelas Yunus mampu
bertahan hidup dalam perut ikan selama kurun yang melampaui
kekuatan manusia paling hebat. Yunus adalah manusia biasa yang
perlu bernapas sebagaimana manusia kebanyakan. Mengapa Yunus
dapat bertahan hidup selama itu padahal ia tidak dilengkapi dengan
tabung oksigen? Menurut perhitungan kekuatan materi, Yunus sudah
tidak terperhitungkan masih hidup.
Di sinilah bedanya orang beriman, dalam kondisi sekritis apa
pun ia tidak akan pernah kehilangan harapan. Walau pun semua
kekuatan yang dimiliki manusia telah habis dan sampai pada
puncaknya, ia tetap istikamah beriman kepada Allah. Bagi orang
sekaliber Nabi Yunus, hidup atau mati baginya adalah suatu kebaikan.
Tapi orang beriman diperintah untuk berdoa dan berikhtiar. Dengan
ikhtiar kurang mungkin dilakukan. Makanya Nabi Yunus
mengAndalkan doa. Kalau hidup itu baik ia meminta dikeluarkan dari
101
perut ikan. Tapi kalau Allah menghendaki dirinya mati, ya kematian
itulah yang terbaik bagi dirinya. Begitulah logika berpikir orang-orang
yang beriman. Jadi, hanya satu yang dapat mengeluarkan Yunus dari
dalam perut ikan, yaitu Allah. Ini diungkapkan oleh al-Quran sendiri:
"Kalaulah Yunus tidak bertasbih kepada-Nya, tentu ia akan tinggal di
dalam perut ikan sampai hari kebangkitan kembali.”
c. Keamanan
Saat utusan Quraisy yang berpura-pura sebagai kafilah dagang
sampai di Madinah untuk menakut-nakuti tentara muslim supaya tidak
berangkat ke Badar, mereka terkagetkan dengan barang-barang di
pasar yang ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya saat
melaksanakan shalat. Mereka merasa kaget karena barang itu tidak
dijaga oleh siapa pun. Karena itu mereka bertanya kepada Hamzah,
“Hai Hamzah, siapakah yang menjaga barang-barang ini?" Hamzah
menJawab, "Allahlah yang menjaganya".
Hal ini menunjukkan situasa yang sangat aman. Barang-barang
dipasar ditinggalkan begitu saja tanpa ada yang menjaga. Tapi tidak
terjadi pencurian. Situasi aman seperti bukan suatu impian. Ini suatu
kenyataan di masa Rasul dan para sahabat. Sebab, polisinya adalah
yang Maha Melihat dan Maha Mengawasi telah senantiasa hadir
dalam kesadaran dan hati Rasul dan para sahabatnya.
d. Keberanian
Tatkala tentara muslim telah berhadapan dengan tentara Quraisy
dalam perang Uhud, ternyata tentara Quraisy jauh lebih banyak
jumlahnya dibanding tentar muslim. Sahabat lain yang berada di
samping Hamzah berkata, "Hai Hamzah, tentara Quraisy itu
jumlahnya lebih banyak daripada tentara kita". Hamzah menJawab,
“Ya, betul. Akan tetapi, dengan keimanan kita jauh lebih kuat
daripada mereka".
102
B. Nilai Inti-2 KeIslaman (Beribadah)
Manusia diciptakan oleh Allah dengan tujuan untuk beribadah
kepada-Nya. Dalam Al-Quran disebutkan, Wamaa khalaqtul-jinna
wal-insa illa liya`budun (Tidak semaca-mata Aku ciptakan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah). Maksud ibadah dalam ayat tersebut
mencakup ibadah-ibadah khusus ataupun ibadah-ibadah umum, atau
disebut dengan ibadah mahdhah dan ghaer mahdhah, atau lebih
dikenal dengan ibadah ritual dan ibadah sosial.
Ibadah khusus atau ibadah mahdhah atau dikenal juga dengan
sebutan ibadah ritual adalah segala bentuk peribadatan dengan maksud
menyembah Allah, mengagungkan Allah, dan memohon sesuatu
kepada Allah. Mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat,
berpuasa di bulan Ramadlan, membayar zakat, dan menunaikan
ibadah haji ke Makkah bagi yang mampu merupakan bentuk-bentuk
ibadah ritual. Kelima jenis ibadah ini tergolong ke dalam Rukun
Islam. Adapun ibadah sosial adalah segala bentuk pengabdian kepada
Allah dengan cara memberikan bantuan kepada manusia dengan niat
lillahi Ta`ala.
Amal saleh mungkin termasuk ibadah sosial, karena amal saleh
kebanyakan (bahkan mungkin semuanya) berhubungan dengan
pembangunan kemanusiaan yang berkeadilan berlAndaskan tauhid.
Menyantuni anak yatim, memberi makan fakir-miskin, memberi
beasiswa kepada para santri dan pelajar, membangun pondok
pesantren, mendirikan sekolah yang berkualitas dan Islami,
memfasilitasi penulisan buku-buku berkualitas dan Islami untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, juga pembangunan fasilitas-fasilitas
umum yang menjadi hajat hidup orang banyak merupakan ibadah
sosial dan amal saleh yang bernilai tinggi.
103
1. Taat kepada Allah dan RasulNya
Dasar beribadah haruslah atas dasar ketaatan kepada Allah dan
RasulNya, sebagaimana firmanNya dalam QS 4 an-Nisa ayat 59:
زعتم ف شىء ت ن ألمر منكم فإنٱلر سول وأول ٱلل و وأطيعوا ٱءامن و آطيعوا ل ذين ٱأي ها ي
لك خي ر وأحسن لءاخر ذ ٱ لي وم ٱلل و و ٱلر سول إن كنتم ت ؤمنون ب ٱلل و و ٱف ردوه إل
تأويل
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya) dan (taati juga) ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah dan Rasul (Nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.
Implikasinya, ibadah yang kita lakukan haruslah didasarkan atas
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, jangan sampai atas dasar selera
sendiri. Rasul telah memberikan tuntutan dan teladan bagaimanakah
cara beribadah yang benar dan ikhlas. Tugas kita sebagai orang Islam
tinggal menjalankannya saja. Jangan sampai kita beribadah atas dasar
kira-kira atau dugaan. Ibadah yang kita lakukan harus didasarkan
kepada keyakinan yang bersumber dari Allah dan RasulNya.
2. Ibadah Shalat
Rasulullah saw bersabda: “Batas atau pembeda antara seorang
hamba (seseorang yang taat beribadah) dengan orang kafir adalah
meninggalkan shalat” (HR Muslim). Hadis lain menyebutkan:
“Ikatan antara mereka dengan kami adalah shalat, barangsiapa
meninggalkannya maka ia telah kafir”. (HR Turmudzi dan Nasai).
Riwayat lainnya lagi mengatakan: “Para sahabat Rasulullah Saw.
104
tidak pernah menilai suatu amalan yang ditinggalkan sebagai
kekufuran kecuali shalat”. (Al-Hadis).
Shalat adalah bentuk ibadah yang bersifat ritual, terdiri dari
gerakan dan bacaan tertentu dengan hati yang khusyuk mengingat-
ingat Allah serta dilaksanakan pada waktu-waktu dan syarat-syarat
tertentu pula. Gerakan maupun bacaan dalam shalat yang bersifat tetap
(tidak boleh diubah sepanjang masa), merupakan refleksi dari ketaatan
seorang muslim terhadap perintah Allah melalui Rasul-Nya. Karena
itu, apakah orang itu memahami makna bacaan dan gerakan shalatnya
atau tidak, hal itu tidak akan menunjukkan sah dan tidaknya shalat.
Secara ritual, kalau orang sudah melaksanakan shalat sesuai dengan
syarat dan rukunnya, maka orang itu telah sah menunaikan kewajiban
shalatnya.
Shalat merupakan aktualisasi makna iman yang bersemayam di
dalam hati-nuraninya. Meninggalkan shalat berarti kufur terhadap hal
yang wajib diimaninya. Dengan shalat –mulai niat hingga salam–
berarti ia mengingat Allah, beriman kepada DiriNya Yang Al-Ghaib,
beriman kepada malaikat-malaikatNya (meneladani para malaikat-
Nya, yang ditunjukkan dengan ketaatan kepada perintah Allah dan
Rasul-Nya), beriman kepada Al-Quran (sebagai pedoman hidup dan
matinya), beriman kepada rasul-Nya (berguru dan meneladani rasul-
Nya, karena shalat ditetapkan wajib oleh rasul-Nya), dan mengimani
hari akhir (karena shalat merupakan amal pertama yang ditanya atau
dimintai pertanggung-Jawabannya di akhirat).
Gerakan dan bacaan shalat menunjukkan ketundukan manusia di
hadapan Allah. Ketika rukuk seolah-olah ia memasrahkan dirinya
kepada Allah. Bahkan ketika sedang sujud, ia benar-benar
merendahkan dirinya di hadapan Allah. Karena itu, shalat merupakan
bukti keimanan seseorang. Shalat merupakan bukti kedudukan
seseorang di hadapan Tuhan. Shalat merupakan pernyataan bagi
mushalliin (orang yang mendirikan shalat) bahwa dirinya sebagai
105
hamba yang rendah dan butuh kepada Tuhan. Meninggalkan shalat
berarti bukti kekufuran. Dengan demikian shalat merupakan ibadah
yang sangat penting bagi seorang muslim sebagai aktualisasi dari
keimanannya.
a. Makna shalat bagi kehidupan
Shalat bagi seorang muslim di samping merupakan kegiatan
ritual, juga memiliki makna yang dalam bagi kehidupan, baik sebagai
individu maupun anggota masyarakat. Beberapa makna yang
terkandung dalam shalat dapat dikemukakan sebagai berikut:
(1) Shalat membersihkan jasmani dan ruhani
Sebagaimana kita maklumi, manusia tediri dari jasmani dan
ruhani secara terpadu. Amaliah wudu yang dilakukan sebelum
shalat dapat membersihkan ragawi manusia dari berbagai
kotoran, najis dan hadas. Amaliah shalat sebagai suatu gerakan
dapat menyehatkan dan menyegarkan badan. Posisi kepala di
bawah tatkala sujud dapat melakcarkan peredaran darah, dan
masih banyak lagi contoh yang dapat dipahami dari hikmah
Shalat dalam menyehatkan jasmani kita.
Ruh manusia yang berasal dari ruh Allah swt (merupakan
pinjaman dari Allah, yang jika habis masa pakainya akan
kembali kepada Allah) harus dipergunakan dengan sebaik-
baiknya sesuai kehendak Allah. Ruh menghajatkan pembinaan
dan pembersihan diri dari berbagai kotoran dan gangguan.
Tujuan utama mendirikan Shalat adalah untuk mengingat Allah
(QS. 20 Thoha: 14). Jadi, ruh manusia akan suci jika dalam
shalatnya selalu mengingat-ingat Allah. Sabda Nabi saw, “secara
syariat shalat merupakan maqam munajat (yakni memohon
pertolongan Allah, terutama memohon diberi hidayahnya serta
diampuni dosa-dosa dan kesalahannya); adapun secara hakikat
shalat merupakan qurrota a`yun (tempat melihat Allah, yakni
106
hati orang yang shalat selalu melihat Allah)”. Malah di luar
shalat pun terus-terusan mengingat-ingat Allah. Itulah mereka
ulul albab yang telah mendirikan shalat secara da`im
(alladziinahum `an shalaatihim da`imun = mereka yang
mendirikan shalat terus-menerus). Maksudnya keadaan shalat
terus dibawa ke luar shalat, sehingga shalatnya punya dampak
menghindari perbuatan keji dan munkar. Ruhani yang kotor akan
mendorong perbuatan kotor pula dan jahat. Sebaliknya ruhani
yang bersih akan mendorong pada perbuatan yang terpuji dan
diridai Allah.
Dengan ibadah shalat jiwa akan menjadi bersih dan suci,
badan menjadi sehat dan pikiran menjadi cerdas. Ia akan
mempunyai kemampuan untuk menimbang dan mengambil
keputusan yang tepat, sehingga dapat memperoleh kebahagiaan
dalam hidup dan kehidupannya.
(2) Shalat menanamkan ketenangan dan ketenteraman
Sudah menjadi tabiat manusia, kikir, mengeluh, dan susah.
Namun bagi orang-orang yang senantiasa mendirikan Shalat
tabiat jelek di atas tidak dimilikinya. Dalam QS al-Ma`arif ayat
19-23 diterangkan:
“Sesungguhnya manusia dijadikan bersifat keluh-kesah,
mengeluh apabila kesusahan menimpanya; dan kikir apabila
dianugerahi keuntungan, kecuali orang-orang yang shalat, yang
mendirikan shalat mereka.”
Orang-orang yang mempunyai tabiat jelek tersebut adalah
orang-orang yang lupa kepada Allah. Shalat merupakan aktifitas
manusia untuk ingat kepada Allah. Dengan shalat, sifat-sifat itu
akan terkikis, dan mengakibatkan tenang dan tentramnya hati.
Firman Allah dalam QS. Al-Hadid ayat 23:
107
Supaya kamu tidak berputus asa karena ada yang luput
daripadamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira dengan
apa yang datang kepadamu Allah tidak suka kepada orang-
orang yang angkuh lagi sombong.”
Dengan demikian orang yang shalat akan tetap tenang dan
tenteram dalam menghadapi segala keadaan dan peristiwa. Ia
tidak akan angkuh dengan kebaikan yang diterimanya dan tidak
akan kecewa atau berduka cita serta putus asa bila kebaikan itu
lepas dari tangannya. Segala sesuatu yang terjadi adalah dengan
kehendak dan ketentuan Allah. Ia meyakini bahwa segala
kejadian yang menimpa dirinya merupakan hal yang terbaik bagi
dirinya dan akan memperoleh hikmahnya. Ketenangan dan
ketenteraman merupakan kekayaan yang amat berharga lebih
dari kekayaan yang bersifat materi.
(3) Shalat melatih konsentrasi pikiran
Shalat hendaklah dilakukan secara khusyuk, di mana pikiran,
perasaan, dan kemauan dipusatkan menjadi satu dengan badan
untuk dihadapkan kepada Allah. Bacaan shalat, berzikir dan
berdoa, pemusatan pikiran dan pemahaman tentang isi makna
dan maksud yang terkandung di dalamnya dipadukan. Hal yang
demikian itu akan membiasakan orang yang shalat terlatih
konsentrasinya, perhatiannya, perasaannya, kemauannya di
dalam menghadapi segala persoalan. Dampak yang diharapkan
adalah konsentrasi dalam menghadapi setiap problem,
menimbang dengan seksama, memikirkan dengan matang,
memperhatikan segala aspek dan segi yang mempengaruhinya,
memperhatikan dengan teliti, setelah itu barulah ia akan
mengambil keputusan yang tepat dan benar. Sehingga ia dapat
menjalani kehidupan dengan menyenangkan.
108
(4) Shalat memperbaiki akhlak
Di antara hikmah shalat adalah keberpihakan orang yang shalat
kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan keji dan munkar,
rendah hati, tidak suka berbuat sewenang-wenang, menghindari
maksiat, berzikir dan menyayangi orang-orang yang lemah.
Firman Allah dalam surah Al-Ankabut ayat 45: “Dirikanlah
shalat, karena sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan
keji dan munkar”. Kemudian Nabi Saw dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Al-Bazzar bersabda:
Sesungguhnya aku menerima shalat yang merendahkan diri
karena kebesaran-Ku dan tidak berlaku sewenang-wenang
terhadap makhluk-Ku dan tidak terus menerus berbuat maksiat
kepada-Ku. Dan ia menghabiskan waktu siangnya untuk ingat
kepada-Ku (zikirullah), dan ia sayang kepada orang-orang
miskin, ibnu sabil, dan jAnda serta sayang terhadap orang yang
tertimpa musibah”. (Al-Hadis)
Dengan demikian, hikmah pokok dari ibadah shalat itu
mengangkut pendidikan untuk memperbaiki akhlak. Orang yang
mendirikan shalat haruslah melahirkan bekas dan kesan yang
mendasar dalam tingkah laku, sikap dan budi pekerti orang yang
melakukan Shalat itu sendiri.
(5) Shalat melatih disiplin
Shalat merupakan kewajiban atas setiap muslim yang mukallaf
untuk dilaksanakan pada waktunya sebagaimana yang telah
ditentukan. Dalam QS an-Nisa ayat 103 Allah swt berfirman:
“…. dirikanlah shalat, karena sesungguhnya shalat itu
diwajibkan kepada mukminin pada waktu-waktu yang
ditentukan”.
Ketika Rasulullah Saw ditanya oleh sahabat Ibnu Mas`ud:
“Apakah amalan yang paling disukai oleh Allah? Rasulullah
109
menJawab: Mendirikan shalat pada (awal) waktunya.” Hal ini
berarti bahwa Shalat itu haruslah dilaksanakan pada waktunya.
Dan yang paling baik di awal waktu, sebab kita tidak tahu apa
yang akan terjadi pada diri kita setelah hidup detik ini.
Di samping ketentuan waktu yang harus ditepati, ketentuan
tata cara, tata laksana, dan bacaannya haruslah disiplin sesuai
dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw.
sebagaimana sabdanya: “Shalatlah kalian sebagaimana melihat
aku shalat”. (HR Bukhari dan Muslim). Tidak disiplin dalam
shalat seperti mengubah, mengurangi, mendahului imam, dan
menambah aturan yang terlah dicontohkan oleh Rasulullah
Muhammad Saw merupakan perbuatan bidah yang
menyebabkan shalat tidak diterima oleh Allah.
“Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami (ibadah
langsung) ini dengan sesuatu yang bukan dari kami (Rasulullah
Muhammad saw), maka hal demikian itu ditolak”. (HR Bukhari
dan Muslim).
Dari uraian di atas dapatlah diangkat maknanya bahwa
shalat harus dilakukan dengan disiplin dan taat atas
ketententuan-ketentuan yang telah digariskan oleh syariat. Oleh
karena itu maka salah satu hikmah shalat yang harus
diimplementasika dalam kehidupan kita sehari-hari adalah
menegakkan disiplin pada aturan dan pimpinan.
(6) Shalat dapat mengembangkan kepribadian
Dengan mencermati seruan (adzan) untuk mendirikan shalat,
setelah hayya ‟alashalaah dilanjutkan diikuti dengan hayya „alal
falah. Demikian juga dengan mencermati ayat-ayat pertama
dalam surah al-Baqarah setelah dikemukakan kewajiban-
kewajiban sifat-sifat orang yang bertakwa dikemukakan tujuan
110
yang hendak dicapainya, yaitu muflihuun (orang-orang yang
berbahagia).
Kata muflih berasal dari kata Arab falaha, artinya
membelah sesuatu. Kata al-falah bentuk infinitif dari kata
muflih, artinya sukses dan mencapai sesuatu yang diinginkan
secara sempurna. Maulana Muhammad Ali dalam kitab Tafsir
Al-Quran menerangkan bahwa falah (kesuksesan) itu ada dua
macam. Pertama berhubungan dengan kebahagiaan dunia, dan
kedua bertalian dengan kebahagiaan akhirat. Tercapainya
kebahagiaan dunia berarti membuat kehidupan dunia menjadi
baik dan tercapainya kehidupan dunia yang baik. Hal yang baik-
baik sifatnya baqa (serba ada), gina (serba berkecukupan, dan
„izz (serba terhormat). Orang yang mendirikan shalat seharurnya
mengembangkan dirinya untuk meraih sifat-sifat di atas.
Tercapainya kehidupan yang baik di akhirat menurut Imam
Raghib sebagaimana dituliskan oleh Maulana Muhammad Ali
menyangkut empat hal, yaitu hidup yang tak mengenal mati,
kaya yang tak mengenal kekurangan, kehormatan yang tak
mengenal kehinaan, dan ilmu yang tak mengenal kebodohan.
Jadi shalat yang didirikan itu hendak mencapai kebahagiaan
dalam arti perkembangan lahir dan batin manusia secara
sempurna dan manusiawi. Dalam ilmu tasawuf, orang yang
dengan shalatnya itu dapat mencapai martabat insan kamil
(manusia sempurna).
(7) Shalat membina persatuan dan kebersamaan
Shalat merupakan ibadah yang diwajibkan secara individual
(fardu ain) kepada yang mukalaf. Di dalam hal ini tidak ada
perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin, yang berilmu
dengan yang bodoh, yang tinggal di kota dengan yang di
kampung, baik tatkala ada di tempat tinggal maupun di
111
perjalanan, baik yang sehat maupun yang sakit, dalam keadaan
aman maupun tidak aman. Shalat wajib didirikan dengan
ketentuan-ketentuan tertentu. Dalam shalat berjamaah, saf wajib
ditertibkan dan diluruskan. bagi Siapa saja yang lebih awal
masuk mesjid berhak menempati shaf yang paling baik (depan).
Semua jamaah berdiri sama tinggi, rukuk sama bungkuknya,
sujud sama rendahnya, dan lain-lain. Hal ini merupakan
gambaran dan pelajaran bahwa dalam shalat terwujud rasa
persatuan dan kebersamaan, senasib dan sepenanggungan,
secita-cita serta seperjuangan.
(8) Shalat menumbuhkan jiwa kepemimpinan
Ibadah shalat jika dilakukan dengan berjamaah (sesuai sunnah
Rasulullah saw) akan dapat memupuk jiwa kepemimpinan.
Dalam pelaksanaan shalat berjamaah ada beberapa ketentuan
yang harus diperhhatikan dan dipatuhi, di antaranya dalam
memilih iman (pemimpin).
Imam dalam shalat harus memenuhi kriteria tertentu. yaitu
orang yang paling baik bacaan al-Qurannya, kemudian orang
yang paling mengetahui sunnah rasul, lalu orang yang paling
dahulu hijrahnya, orang yang paling tua usianya, dan
memprioritaskan tuan rumah daripada pendatang. Selain itu,
Islam mengajarkan agar imam mampu membaca situasi dan
keadaan jamaahnya. Hendaklah ia meringankan (pendek) bacaan
shalatnya tatkala berjamaah, dan memanjangkan baan Shalatnya
tatkala sendirian (munfarid). Seorang imam juga harus sadar diri
bila bersalah dan siap untuk dikoreksi. Ia jangan angkuh dan
sombong dengan jabatannya sebagai imam. Ia harus
bertanggung Jawab dalam membawa jama‟ahnya dalam shalat.
Bila ia batal, karena batal wudhu misalnya, ia harus legowo
meletakkan jabatannya Kriteria dan sifat-sifat di atas dapat
112
diterapkan dalam memilih pemimpin di luar shalat, apakah
dalam kehidupan keluarga, pekerjaan, bermasyarakat atau
bernegara.
Orang yang shalat adalah orang yang taat dan berserah diri
kepada Allah. Karena itu ia disebut muslim. Sebaliknya orang
yang tidak shalat adalah orang yang menolak perintah Allah,
karena itu disebut kafir. Selanjutnya apakah orang yang muslim
dan shalat otomatis dapat disebut mukmin?. Dalam sebuah hadis
Rasulullah saw bersabda: Akan datang suatu zaman di mana
orang-orang berkumpul di mesjid untuk shalat berjamaah tetapi
tidak seorang pun di antara mereka yang mukmin”. Dalam hadis
yang lain beliau bersabda: Nanti akan datang suatu zaman di
mana seorang muazin melantunkan azan, kemudian orang-orang
menegakkan shalat, tetapi di antara mereka tidak ada yang
mukmin.
Memahami sabda Rasulullah di atas, orang yang telah
shalat boleh dikatakan muslim, tetapi tidak otomatis dia menjadi
mukmin. Mukmin harus ditampilkan dalam berbagai tindakan di
luar shalat. Sebagian di antara ciri mukmin diungkapkan Rasul
antara lain menghormati tetangga, menyambungkan tali
persaudaraan, berbicara benar, tidak dalam keadaan kenyang
sementara tetangganya kelaparan. Ciri mukmin di atas, jika
diamati berkaitan dengan hubungan sosial dan kepedulian
terhadap sesama atau dengan kata lain berkaitan dengan
tanggung Jawab sosial. Ciri-ciri tersebut tidak selalu terdapat
pada orang yang sudah melaksanakan shalat. Karena itu untuk
mencapai tingkat mukmin, maka perjuangan orang yang Shalat
adalah menampilkan hubungan dan tanggung Jawab sosial di
tengah masyarakat.
113
b. Tanda-tanda orang yang shalat
Shalat adalah hubungan langsung seseorang dengan Allah.
Kebermaknaan shalat terjadi jika shalat yang didirikannya itu dapat
berhubungan secara dekat dengan Allah. Dengan shalat itu seseorang
dapat melihat Allah (dari dekat) dan dapat merasakan kehadirannya.
Dengan demikian dia pun akan menyampaikan hajat-hajatnya kepada
Allah dalam shalatnya. Hajat utama yang dimohonkannya adalah (1)
memohon dibukakannya pintu hidayah; (2) memohon diampuni dosa-
dosa dan kesalahannya; dan (3) permohonan-permohonan lainnya.
Dalam membaca surah al-Fatihah ada permohonan: ihdinash
shiroothol mustaqiim (bimbinglah kami ke jalan yang lurus) dan
seterusnya. Kemudian di dalam duduk di antara dua sujud ada
permohonan, minimal allahummaghfir lii (Ya Allah, ampunilah dosa-
dosa dan kesalahanku)
Selain itu, kebermaknaan shalat pun ditentukan juga dalam
hubungan antar sesama manusia. Apabila seseorang telah
mengerjakan shalat, tetapi hubungan sosialnya buruk, maka orang
tersebut baru mencapai tingkat muslim saja, sedangkan shalat yang
dilakukannya belum memiliki makna. Dari sudut pAndang ini tidaklah
mengherankan kalau Al-Quran memberikan peringatan lebih jauh,
yaitu neraka bagi orang yang shalat (mushallin), yang Shalatnya lalai,
ria dan enggan membayar zakat (QS Al-Ma`un). Shalat semacam ini
adalah halat yang tidak bermakna atau tidak memberi dampak ke
dalam hidupnya sehari-hari.
Shalat sebagai bentuk penyerahan diri dan ketundukkan apabila
dilakukan dengan ikhlas dan sepenuh hati akan melahirkan
kenikmatan dan ketenangan jiwa. Kenikmatan dan ketenangan pada
dasarnya adalah hikmah yang dicapai dari Shalat bagi individu orang
yang shalat, sedangkan makna shalat lebih lanjut justru terletak pada
konteks sosialnya, yaitu mencegah dari dosa dan kemunkaran yang
tempatnya di tengah masyarakat.
114
Orang yang diterima shalatnya bukan hanya ditAndai dengan
ketenangan pribadi tetapi adanya kepedulian sosial dalam dirinya. Hal
ini tampak pada tAnda-tAnda orang yang diterima shalatnya
sebagaimana yang diungkapkan dalam sebuah hadis qudsi swt Allah
berfirman:
Sesungguhnya Aku hanya akan menerima shalat orang-orang yang
merendahkan dirinya karena kebesaran-Ku, menahan dirinya dari
hawa nafsu karena Aku, yang mengisi sebagian waktu siangnya untuk
berzikir kepada-Ku, yang melazimkan hatinya untuk takut kepada-Ku,
yang tidak sombong kepada makhluk-Ku, yang memberi makan
kepada orang yang lapar, yang memberi pakaian kepada orang yang
telanjang, yang menyayangi orang yang kena musibah, yang
memberikan perlindungan kepada orang yang terasing. Kelak cahaya
orang itu akan bersinar seperti cahaya matahari. Aku akan berikan
cahaya ketika dia kegelapan. Aku akan berikan ilmu ketika dia tidak
tahu. Aku akan lindungi dia dengan kebesaran-Ku. Aku akan suruh
malaikat menjaganya. Kalau dia berdoa kepada-Ku, Aku akan segera
menJawabnya. Kalau dia meminta kepada-Ku, Aku akan segera
memenuhi permintaannya. Perumpamaannya di hadapan-Ku seperti
perumpamaan Firdaus.
Pertama, orang yang merendahkan dirinya karena kebesaran
Allah. Sikap ini merupakan refleksi dari rukuk dan sujud yang
menggambarkan kemahabesaran Allah dan kesadaran akan kelemahan
dan kehinaan manusia. Apabila kesadaran ini telah terbentuk dari
shalat, maka orang akan terhindar dari sikap sombong dan takabur,
baik dalam berhubungan dengan sesama manusia maupun dengan
makhluk Allah lainnya.
Kedua, orang yang menahan dirinya dari hawa nafsu karena
Allah. Sikap ini terbentuk dari shalat yang merefleksikan keyakinan
akan keesaan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang mendominasi dan
115
tempat menggantungkan dirinya. Karena itu, segala keinginan yang
didorong oleh nafsu akan mampu dikontrol dengan baik sehingga
orang dapat menahan dan mengendalikan dirinya.
Ketiga, orang yang mengisi sebagian waktunya untuk berzikir
kepada Allah. Sikap ini merupakan hasil dari pembiasaan Shalat yang
intin sarinya adalah zikir. Shalat yang baik akan memberikan bekas
kepada orang yang shalat dalam bentuk kebiasaan berzikir.
Keempat, orang yang memiliki kepedulian sosial, yaitu sikap
perhatian kepada orang lain terutama kepada orang-orang yang kurang
beruntung (dhu‟afa). Kepedulian tersebut ditampilkan dalam bentuk
kesenangan untuk memberikan pertolongan dan bantuan kepada orang
lain yang membutuhkannya, baik dalam bentuk santunan pangan
maupun sAndang atau perhatian kepada orang yang terkena musibah.
Mushallin yang memiliki sifat-sifat di atas dijanjikan Allah
memperoleh kemudahan di dunia dalam bentuk pemberian cahaya
ketika ia kegelapan, pemberian ilmu ketika ia tidak tahu, perlindungan
dengan kebesaran Allah, dijaga oleh para malaikat, menJawab doa-
doanya apabila ia berdoa, dan memenuhi permintaannya kalau ia
meminta.
Shalat yang berbuah sifat-sifat tersebut di atas sesungguhnya
sudah ditampakkan dalam makna bacaan dan secara simbolik tampak
pada makna gerakan shalat. Sebagian besar isi bacaan shalat adalah
doa, di samping takbir dan tasbih. Doa mengisyaratkan kerendahan
dan kelemahan diri di hadapan Allah Yang Mahakuasa. Karena itu,
dengan Shalat orang menyerahkan dirinya ke hadapan Allah Yang
Maha besar. Demikian pula, takbir dan tasbih mengisyaratkan
kemahakuasaan dan kemahasucian Allah dan pengakuan akan
kekecilan dan kekurangan manusia.
Dalam gerakan shalat terdapat isyarat ketundukkan dan
ketaatan. Takbir dengan cara mengangkat kedua tangan
menyimbulkan penghormatan kepada Allah dan sekaligus pengakuan
116
terhadap kebesaran-Nya sambil mengucapkan Allahu Akbar. Ruku
dan sujud mengisyaratkan penyerahan diri kepada-Nya tanpa reserve.
Badan yang tegak sebagai simbol kemuliaan manusia, tetapi dalam
rukuk badan itu dibungkukkan sebagai isyarat penghormatan yang
tiada tara kepada Allah. Kepala yang merupakan simbol harga diri,
tetapi dalam sujud diletakkan di tempat yang paling rendah (lantai)
sebagai bukti manusia tidak memiliki harga dan kemuliaan apapun di
hadapan Allah Yang Maha mulia.
Totalitas penyerahan diri manusia dalam shalat diakhiri dengan
salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri yang mengisyaratkan
bahwa ketaatan kepada Allah harus dibuktikan dengan menebarkan
kedamaian di kalangan manusia sehingga orang yang shalat selalu
mengembangkan perdamaian dengan sesama.
Shalat sebagai hubungan langsung seorang hamba dengan Allah
pada waktu-waktu tertentu bukan hanya berhenti sampai dengan salam.
Salam adalah perhentian ritual, sementara ruh shalat dibawa kemana pun
perginya orang yang shalat. Shalat yang baik adalah Shalat yang
memiliki dampak bagi kehidupan orang yang shalat, yaitu shalat yang
mampu mencegah dari dosa dan kemunkaran. Karena itu, orang yang
shalat tidak cukup hanya sampai melaksanakan shalat pada waktunya
saja, tetapi membawa ruh shalat dalam kehidupannya di luar shalat.
Shalat fardlu yang telah ditentukan waktunya dapat dilihat pula
sebagai penataan waktu yang dilalui seorang muslim untuk
mengevaluasi perjalanannya secara rutin. Seorang muslim mengawali
kehidupan barunya dengan menghadap Allah melalui shalat Subuh. Ia
melapor, meminta perlindungan dan pengarahan, serta memanjatkan
harapan dan doanya sehingga melarutkan dirinya dalam dialog yang
intens dengan Allah dalam shalat subuh. Misi dan kesucian shalat
subuh akan membawa dan mewarnai jam-jam berikutnya yang dialami
dan dilewati seorang muslim dalam kehidupannya hingga saat Zuhur.
Zuhur kembali menghadap Allah melapor dan melarutkan dirinya
117
dalam rukuk dan sujud serta kembali meneruskan perjalanannya
sampai asar. Demikian seterusnya hingga magrib dan isya. Perjalanan
hidup yang teratur seperti itu meletakkan seorang muslim pada situasi
dan kondisi yang dekat dengan Allah. Shalat akan mengarahkan dan
memberi warna pada kehidupan orang di luar shalat sehingga sedikit
kesempatan untuk menghindar dan melupakan Allah. Apabila Shalat
telah diperankan seperti itu, maka fungsi shalat sebagai tanha `anil
fakhsya wal munkar (mencegah perbuatan keji dan munkar) dapat
diwujudkan dalam kehidupan orang yang shalat.
3. Ibadah zakat
Ibadah zakat adalah ibadah harta. Jika ibadah lainnya, secara
syare`at, lebih berupa ibadah badan, maka ibadah zakat itu berupa
membayarkan sejumlah harta sesuai syarat dan rukun zakat. Adapun
secara hakikat, ibadah zakat (juga ibadah-ibadah harta lainnya:
sedekah, infak, kifarat, wakaf, hibah, asyr/sepersepuluh,
khumus/seperlima, fay, dan lain-lain) bertujuan agar seorang muslim
memiliki sikap dasar, bahwa (1) harta dunia, bahkan diri kita sendiri,
adalah milik Allah semata; (2) kaya-miskinnya seseorang bukan
disebabkan oleh prestasi dirinya dalam bekerja dan mencari nafkah,
melainkan karena kehendak Allah semata; (3) harta yang sering
dirasakan sebagai milik dirinya harus dirasakannya sebagai amanah
dari Allah; dan (4) kesediaan dengan penuh kesadaran untuk
membayarkan atau menyerahkan harta yang menjadi hak Allah, hak
Rasul, hak kerabat Rasul, dan hak manusia.
a. Dasar hukum zakat
Zakat merupakan pengikat solidaritas dalam masyarakat dan
mendidik jiwa untuk mengalahkan kelemahan dan mempraktikkan
pengorbanan diri serta kemurahan hati. Pelaksanaan zakat akan
membahagiakan dan menimbulkan rasa puas dalam diri muzakki
118
(wajib zakat) karena telah menyempurnakan kewajiban kepada Allah.
Zakat. Sebagai lembaga sosial keagamaan zakat telah berumur tua dan
telah dikenal dalam agama wahyu yang dibawa oleh para Rasul
terdahulu.
Dilihat dari sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata zaka
yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik Pendapat lain
mengatakan bahwa kata dasar zaka berarti bertambah dan tumbuh,
sedangkan segala sesuatu yang bertambah disebut zakat. Adapun
menurut istilah fikih zakat berarti sejumlah harta tertentu yang
diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada yang berhak. Menurut
Nawawi, jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat
karena yang dikeluarkan itu “menambah banyak, membuat lebih
berarti, dan melindungi kekayaan dari kebinasaan” (Yusuf al-
Qardlawi, 1969: 37-38). Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, jiwa dan
kekayaan orang yang berzakat itu menjadi bersih dan kekayaannya
akan bertambah (al-Jaziri: 590). Hal ini berarti bahwa makna tumbuh
dan berkembang itu tidak hanya diperuntukkan buat harta kekayaan
tetapi justru bagi jiwa muzakki. Dengan mengeluarkan zakat
diharapkan hati dan jiwa orang yang menunaikan kewajiban zakat itu
menjadi bersih. Hal ini sesuai dengan ayat al-Quran sebagai berikut:
“Pungutlah zakat dari kekayaan mereka, engkau bersihkan dan
sucikan mereka dengannya” (QS at-Taubat: 103).
Dari ayat ini tergambar bahwa zakat yang dikeluarkan oleh
para muzakki itu dapat mensucikan dan membersihkan hati mereka.
Suci hati dapat diartikan mereka tidak mempunyai sifat yang tercela
terhadap harta seperti rakus dan kikir. Sebagai orang yang suci dan
dan mendapat petunjuk Allah, dia akan mengeluarkan harta bendanya
tidak hanya semata-mata karena kewajiban yang diperintahkan Allah,
melainkan benar-benar karena merasa sebagai orang yang mempunyai
kelebihan harta yang ikut bertanggung Jawab atas sebagian
masyarakat yang terlantar. Dengan rasa tanggungJawab yang
119
demikian, ia akan mau setiap saat bersedia mengeluarkan hartanya
bila orang lain memerlukannya, dan ia akan memiliki sikap jiwa yang
peka terhadap kemiskinan dan kesengsaraan orang lain. Dari pihak si
miskin, zakat juga dapat membuat hati mereka bersih dan suci.
Dengan menerima zakat ia dapat mengusir rasa dengki dan iri
terhadap orang yang memiliki kekayaan dan harta benda.
Dari definisi tersebut jelas bahwa zakat selain merupakan
ibadah kepada Allah juga mempunyai dampak sosial yang nyata. Dari
satu segi zakat adalah ibadah dan dari segi lain ia merupakan
kewajiban sosial. Zakat merupakan salah satu dana atau harta
masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk menolong orang-orang
yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari sehingga
dapat mempunyai kesempatan untuk hal-hal yang lebih luhur. Dalam
ajaran Islam manusia selalu diberi kesempatan untuk menikmati
kehidupan ini dengan cara-cara yang halal, sehingga dengan
kenikmatan yang ia rasakan itu ia dapat berbuat bagi dirinya dan
orang lain.
Zakat merupakan dasar prinsifil untuk menegakkan struktur
sosial Islam. Zakat bukanlah derma atau sedekah biasa, ia adalah
shodaqoh wajib. Zakat adalah perintah Allah yang harus dilaksanakan.
Dalam al-Quran dan al-Hadis banyak perintah untuk melaksanakan
zakat, antara lain yaitu:
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan apa-apa yang
kamu usahakan dari kebaikan darimu, tentu kamu akan mendapatkan
pahalanya di sisi Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Melihat apa-
apa yang kamu kerjakan” (QS 2 al-Baqarah: 110).
Di samping ayat di atas masih banyak ayat-ayat lain yang
mengandung perintah menunaikan zakat. Adapun hadis yang
dipergunakan dasar hukum diwajibkannya zakat antara lain adalah
hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut:
120
Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw. ketika mengutus Mu‟az ke
Yaman, ia bersabda: Sesungguhnya engkau akan datang ke satu kaum
dari Ahli Kitab. Oleh karena itu ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa
tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan
Allah. Kemudian jika mereka taat kepadamu untuk ajakan itu, maka
beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada
mereka shalat lima kali sehari semalam; lalu jika mereka mentaati
kamu untuk ajakan itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa
Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang-
orang kaya mereka lalu dikembalikan kepada orang-orang miskin
mereka; kemudian jika mereka taat kepadamu untuk ajakan itu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap kehormatan harta-harta mereka, dan
takutlah terhadap doa orang yang teraniaya, karena sesungguhnya
antara do`a itu dan Allah tidak ada hijab (pembatas).
Al-Quran menyebutkan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya
hanya dengan kata-kata yang sangat umum, yakni harta benda atau
kekayaan seperti yang tersebut dalam surah at-Taubat ayat 103. Harta
benda yang ada di dunia ini macam-macam jenisnya, namun demikian
jenis-jenis kekayaan itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut: emas
dan perak; binatang ternak; harta perdagangan; hasil tanaman dan
tumbuh-tumbuhan; harta rikaz dan ma`din; hasil laut dan harta profesi.
Masing-masing di antara harta yang wajib dikeluarkan zakatnya itu
sudah ditentukan nisab dan kadar zakatnya. Dalam uraian yang
singkat ini penulis tidak membahas secara rinci mengenai macam-
macam harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, syarat-syarat harta
yang wajib dikeluarkan zakatnya , termasuk nisab dan haulnya.
Meskipun zakat dijelaskan dalam Al-Quran secara singkat,
tetapi khusus mengenai orang yang berhak menerima zakat disebutkan
secara jelas dalam Al-Quran:
121
Sesunguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS at-Taubat: 60).
Dari ayat di atas jelas bahwa Allah dengan tegas menunjukkan
kepada umat Islam ke mana zakat itu harus disalurkan. Hal ini
mengingatkan manusia agar mereka memberikan harta zakat itu
kepada orang yang berhak menerimanya. Adapun orang-orang yang
berhak menerima zakat adalah (1) fakir, (2) miskin, (3) amil, yakni
orang yang mengurus zakat, (4) muallaf, yaitu orang yang baru masuk
Islam yang masih lemah imannya, (5) riqab, yakni hamba sahaya atau
budak belian yang diberi kebebasan berusaha untuk menebus dirinya
supaya menjadi orang merdeka, (6) gharim, yakni orang yang
berhutang, (7) sabilillah, arti harfiahnya jalan Allah. Maknanya adalah
segala usaha yang baik yang dilakukan untuk kepentingan agama dan
ajaran Islam, (8) ibnus-sabil yaitu orang yang kehabisan biaya dalam
perjalanan yang bermaksud baik.
Dalam ayat yang disebutkan di atas, fakir-miskin merupakan
prioritas utama dari 8 golongan orang yang berhak menerima zakat.
Hal ini menunjukkan bahwa sasaran utama lembaga zakat adalah
untuk menghapuskan kemiskinan dan kemelaratan umat Islam. Hal ini
menunjukkan begitu pentingnya kedermawanan dan kepedulian umat
Islam terhadap sesama umat manusia.
b. Manajemen zakat
Pada tahun 1990-an, beberapa perusahaan dan masyarakat
membentuk Baitul Mal atau lembaga zakat yang bertugas mengelola
ZIS (zakat, infak dan sedekah) dari karyawan perusahaan yang
122
bersangkutan ataupun dari masyarakat. Harian Republika membuat
Dompet Dhu`afa Republika (DDR). Dengan kekuatan media,
Republika mempersuasi masyarakat untuk menyalurkan ZIS lewat
DDR. Ternyata himbauan terbuka DDR ini secara tidak langsung
membangun kompetisi-positif di antara lembaga pengumpul zakat.
Lembaga-lembaga Pengumpul ZIS menjadi lebih transparan.
Tahun 1997 DDR menggelar seminar zakat perusahaan di
Jakarta yang pesertanya lebih dari seratus orang, dan 70 % mewakili
Baitul Mal lembaga zakat dari berbagai perusahaan. Setelah
berakhirnya seminar tersebut, atas keinginan peserta, maka lahirlah
suatu asosiasi yang menangani masalah zakat yakni Forum Zakat
(FOZ). FOZ ini memayungi keberadaan LPZ dan asosiasi ini sangat
diperlukan saat ini karena ia merupakan lembaga konsultatif,
koordinatif, dan informatif tentang zakat. Untuk memaksimalkan dana
ZIS, FOZ menjalin kerjasama antar LPZ, baik yang dibentuk oleh oleh
pemerintah maupun nonpemerintah. Di samping itu, FOZ juga
diharapkan dapat mengatasi konflik yang mungkin terjadi di antara
para anggota FOZ. Bahkan FOZ juga diharapkan dapat menjadi
lembaga yang memiliki kekuatan untuk memperjuangkan kebutuhan
anggota, termasuk dalam usaha menggolkan RUU tentang
pengelolaan zakat menjadi undang-undang.
Pada awal Agustus tahun 1999, Menteri Agama, A. Malik Fajar,
membacakan RUU tentang pengelolaan Zakat di depan Sidang
Paripurna DPR-RI. Setelah melalui perjuangan yang keras dan
panjang, maka pada tanggal 23 September 1999 Presiden RI, B.J.
Habibie, mengesahkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang zakat. Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 itu kemudian
diikuti dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999, tentang
Pengelolaan Zakat.
123
Jika diperhatikan, umat Islam di Indonesia akhir-akhir ini sangat
mengharapkan pelaksanaan zakat dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya. Mereka mengharapkan lembaga zakat itu dapat
meningkatkan kemampuan masyarakat fakir miskin, meningkatkan
kesehatan masyarakat, memberikan beasiswa kepada mereka yang
ingin meneruskan belajar, dan memberi modal kepada mereka yang
ingin berusaha dan sebagainya.
Tujuan umum usaha-usaha pengembangan zakat di Indonesia
ialah agar bangsa Indonesia lebih mengamalkan seluruh ajaran
agamanya. Dalam hal ini zakat yang diharapkan dapat menunjang
perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai masyarakat adil dan
makmur materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Meskipun umat Islam selalu melaksanakan kewajibannya membayar
zakat, namun pengaruh lembaga tersebut belum nampak kuat dalam
perkembangan ekonomi masyarakat. Atau dengan kata lain zakat
belum dapat meningkatkan kesejahteraan umat secara menyeluruh.
Padahal apabila zakat dikelola secara optimal dan profesional dengan
tetap menerapkan fungsi standar manajemen, yakni perencanaan
(planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (actuating)
dan pengawasan (controlling), jelas akan dapat meningkatkan
kesejahteraan umat dan dapat mewujudkan keadilan sosial.
Meskipun cukup banyak hal yang mendorong umat Islam untuk
memungut dan melaksanakan kewajiban membayar zakat, namun
dalam masyarakat jelas masih ada beberapa masalah. Masalah-
masalah tersebut antara lain adalah pemahaman zakat. Yang dimaksud
pemahaman dalam hal ini adalah pengertian umat Islam tentang
lembaga zakat ini. Sampai saat ini pengertian mereka tentang zakat
masih sangat terbatas dibanding dengan masalah shalat, puasa dan
haji. Masalah kedua yang dihadapi adalah masalah konsepsi fikih
zakat. Fikih zakat yang selama ini diajarkan di lembaga-lembaga
pendidikan di Indonesia hampir seluruhnya hasil perumusan para ahli
124
beberapa abad yang lalu, yang tentu saja dipengaruhi oleh situasi dan
kondisi setempat. Perumusan tersebut jelas sudah tidak sesuai lagi
untuk dipergunakan mengatur zakat dalam masyarakat modern
sekarang ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang yang
mempunyai sektor-sektor industri, pelayanan jasa misalnya tidak
tertampung oleh fikih zakat yang telah ada. Masalah ketiga adalah
adanya perbenturan kepentingan organisasi-organisasi atau lembaga-
lembaga sosial Islam yang memungut zakat ini dengan misalnya BAZ
(Badan Amil zakat) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ), organisasi
pengelola zakat yang baru. Di samping itu juga masih ada sebagian
masyarakat yang kurang percaya terhadap lembaga pengumpul zakat
yang ada. Sebagai akibatnya, masih cukup banyak muzaki yang
menyerahkan zakat kepada pihak yang ia kehendaki tanpa adanya
koordinasi dengan lembaga pengelola zakat yang sudah ada.
Untuk memecahkan masalah-masalah yang telah dikemukakan
tersebut, ada beberapa upaya yang harus dilakukan. Upaya-upaya
tersebut antara lain adalah penyebarluasan pengertian zakat.
Penyebarluasan pengertian zakat secara baik dan benar, sebaiknya
dilakukan melalui pendidikan, baik formal maupun nonformal. Di
samping itu penyebarluasan pengertian zakat juga dapat dilakukan
melalui seminar, media elektronik, media cetak, dan penyuluhan,
terutama tentang hukumnya, barang yang dizakati, pendayagunaan
dan pengorganisasiannya sesuai dengan perkembangan zaman. Akhir-
akhir ini masalah penyebarluasan pemahaman zakat sudah mulai
dilakukan. Upaya lain yang harus dilakukan adalah merumuskan fikih
zakat baru. Untuk membuat konsepsi fikih zakat baru tersebut harus
ada kerjasama multidisipliner antara para ahli berbagai bidang yang
erat hubungannya dengan zakat. Fikih zakat yang baru itu diharapkan
dapat menampung perkembangan yang ada dan akan ada di Indonesia.
Mengenai barang yang dizakati, sebagai sumber zakat hendaknya
125
semua jenis barang yang bernilai ekonomis yang ada dalam
masyarakat Indonesia.
Dengan adanya Undang-undang 38 Tahun 1999 diharapkan amil
zakat di Indonesia dapat mengelola zakat secara produktif dan optimal.
Untuk melaksanakan Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat tersebut, Menteri Agama RI menetapkan Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 581 Tahun 1999.
Berdasarkan Undang-undang No. 38 Tahun 1999, pengelolaan
zakat dilakukan Badan Amil Zakat yang dibentuk oleh Pemerintah,
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Organisasi BAZ di
semua tingkatan bersifat koordinatif, konsultatif dan informatif.
Pengurus BAZ terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah yang
memenuhi persyaratan tertentu, antara lain memiliki sifat amanah,
adil. berdedikasi, profesional, dan berintegritas tinggi. Meskipun
pemerintah membentuk Badan Amil Zakat, tetapi dalam Keputusan
Menteri Agama No. 581 Tahun 1999, masyarakat tetap diberikan
kesempatan untuk mendirikan institusi pengelolaan zakat yang
sepenuhnya dibentuk atas prakarsa dan oleh masyarakat sendiri yang
disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ). LAZ yang telah dan akan
dibentuk dikukuhkan, dibina dan dilindungi oleh Pemerintah. Dengan
adanya BAZ dan LAZ ini diharapkan, zakat infak dan sedekah yang
diberikan oleh umat Islam yang mempunyai kelebihan harta dapat
dikelola dan dapat didistribusikan kepada yang berhak. Meskipun
masyarakat sudah diberi kesempatan untuk membentuk LAZ, namun
dalam masyaraakat masih cukup banyak lembaga-lembaga pengelola
zakat. Kondisi yang demikian jelas akan sulit dilakukan koordinasi.
Berhasilnya pengelolaan zakat tidak hanya tergantung pada
banyaknya zakat yang terkumpul saja, tetapi juga sangat tergantung
pada dampak dari pengelolaan zakat tersebut dalam masyarakat. Zakat
baru dapat dikatakan berhasil dalam pengelolaannya apabila zakat
126
tersebut benar-benar dapat mewujudkan kesejahteraan dan keadilan
sosial dalam masyarakat.
4. Ibadah puasa
Shaum (puasa) menurut bahasa artinya menahan. Puasa
terdapat pula dalam berbagai agama lain, tetapi ada perbedaan
mendasar. Puasa menurut syariat Islam berarti menahan makan dan
minum dan semua yang membatalkan puasa dari terbit fajar
(datangnya waktu subuh) hingga malam hari (terbenam matahari).
Puasa yang diwajibkan dalam Islam antara lain puasa Ramadan, yaitu
puasa wajib selama sebulan penuh di bulan Ramadhan.
Tapi secara hakikat puasa adalah untuk meningkatkan
ketakwaan. Nabi saw bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa,
tapi yang diperolehnya hanyalah lapar dan haus”. Maksud Nabi yang
mulia itu bahwa orang-orang Islam kebanyakan mengerjakan puasa,
tapi puasanya tidak bermakna, yakni sekedar menahan lapar dan haus.
Padahal nilai puasa itu berada pada peningkatan ketakwaan. Puasa
Ramadhan disebutkan secara khusus dalam QS al-Baqarah ayat 183-
188, yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa,
sebagaimana diwajibkan atas umat-umat terdahulu, agar kalian
bertaqwa (183); (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. …(184),
(Beberapa hari yang tertentu itu ialah) bulan Ramadhan …” (185);
“… makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai malam. …” (187).
Mengapa puasa bagi umat Islam ditetapkan pada bulan
Ramadan? Dalam Al-Quran surah al-Baqarah ayat 185 disebutkan,
karena bulan Ramadan itu merupakan bulan diturunkannya Al-Quran.
Sebagaimana kita ketahui Al-Quran adalah Kitab Suci terbesar yang
127
diturunkan Allah bagi umat manusia, dan secara khusus lagi bagi
kaum muslimin yang bertakwa. Dengan demikian puasa Ramadan
merupakan sebuah syukuran bagi kita, umat yang beriman, atas
diturunkannya Al-Quran. Bisa dibayangkan, jika Al-Quran tidak turun
sudah dapat dipastikan dunia ini akan kacau-balau. Dengan
diturunkannya Al-Quran saja masih banyak umat manusia yang
membuat kerusakan di muka bumi. Sebabnya sudah jelas, mereka
tidak beriman dengan Al-Quran. Atau, mereka beriman kepada
sebagian Al-Quran tapi kafir terhadap sebagian Al-Quran lainnya.
Manusia dalam pandangan Islam terdiri dari jasmani dan
ruhami. Menurut Islam baik jasmani maupun ruhani harus dihidupi.
Jasmani dihidupi dengan memakan makanan-minuman yang halal dan
baik serta beristirahat yang cukup. Dalam Islam makanan-minuman
pun tidak boleh sembarangan, yaitu harus yang halal dan baik
(halalan thoyyiban). Adapun ruhani dihidupi dengan beribadah
kepada Allah swt dan menekan hawa-nafsu yang buruk.
Sumber keburukan hawa nafsu yang paling utama adalah dirinya
sendiri yang ingin memenuhi selera jasmaninya (ingin kaya, ingin
sehat, ingin punya daya tarik, dan berbagai keinginan lainnya yang
tidak pernah habis). Hidupnya dipenuhi dengan mimpi-mimpi
indahnya tentang kehidupan dunia. Di antara nafsu-nafsu itu terutama
nafsu perut (keinginan makan-minum yang enak-enak dan lezat-lezat)
dan nafsu syahwat terhadap lawan jenis. Dengan berpuasa selama
sebulan penuh, perut kita dan syahwat terhadap istri diistirahatkan,
agar sedikitnya selama sebulan dapat diisi dengan ruhani yang lebih
bermakna dibanding pada bulan-bulan lainnya di luar bulan Ramadan.
Para hamba Allah yang saleh selalu mengosongkan perut
mereka. Sebab, ruhani tidak akan menaik setinggi-tingginya jika perut
dipenuhi dengan aneka makanan dan minuman. Mereka selalu
berpuasa. Siti Aisyah r.a. pernah menceritakan bahwa sangat langka
melihat Rasulullah saw tidak berpuasa. Nabi Dawud a.s. selalu
128
berpuasa selang sehari. Demikian juga hamba-hamba Allah yang saleh
memperbanyak puasa.
5. Ibadah haji
Ibadah haji terdiri dari serangkaian ibadah di tanah suci Makkah
pada bulan Dzulhijjah. Ibadah haji merupakan semacam kongres
tahunan Islam internasional. Tapi bukan kongres biasa, melainkan
semacam deklarasi komitmen bersama kaum muslimin. Komitmen
yang dimaksud menyangkut janji setia hanya akan menyembah Allah
dengan mengikhlaskan diri kepadanya serta akan menjunjung tinggi
keadilan dan kesederajatan umat manusia. Semua ritual haji mengarah
kepada komitmen untuk memperjuangkan misi dan tujuan utama
agama Islam.
Ibadah haji diwajibkan hanya sekali dalam seumur hidup
seorang muslim. Rasulullah saw sendiri hanya sekali melaksanakan
ibadah haji, yakni hanya beberapa bulan sebelum beliau wafat. Hal ini
tidak berati bahwa ibadah haji harus ditunda hingga tua. Rasulullah
melakukan yang demikian karena situasi saat itu. Sebelumnya
Rasulullah berusaha untuk menunaikan ibadah haji, tapi dihalangi
oleh kafir Quraisy. Jadi pada saat haji akbar itulah Rasulullah
menunaikannya.
Dalil-dalil Al-Quran dan hadis tentang haji sbb:
Dan permaklumkanlah kepada manusia untuk menunaikan (ibadah)
haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki
dan mengendarai unta (dan lain-lain). Mereka akan datang dari
segenap penjuru yang jauh. (QS. al-Hajj: 27).
Dan Allah mewajibkan manusia yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali „Imran: 97).
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah…. (QS. al-
Baqarah :196).
129
Haji itu wajib sekali saja. Barang siapa tambah maka hukumnya
sunnah. (HR Ahmad)
Saya tidak akan berpanjang-lebar membahas haji, tapi yang
lebih penting–menurut saya–adalah makna dan rahasia ibadah haji
bagi kita. Dengan demikian kita yang tidak sempat pergi berhaji pun
bisa menangkap makna dan rahasia dari peribadatan ini.
Makna dan rahasia haji dapat ditangkap dari ritual-ritual haji.
Pada kesempatan ini akan dibahas beberapa ritual haji, yaitu ihram,
thawaf, sa`i, melempar jumrah, dan wukuf di Arafah.
a. Ihram dengan memakai kain putih tanpa jahitan
Ihram merupakan ritual pertama ibadah haji dan umrah. Mulai
saat itulah pakaian sehari-hari kita ditanggalkan dan diganti dengan
kain putih tanpa jahitan. Ihram dimulai dari miqat hingga masuk kota
Makkah. Ketika ihram itulah niat haji ditancapkan dalam hati kita.
Selama perjalanan hingga masuk kota Makkah, jamaah haji
mengumAndangkan talbiyah, yaitu Labbaika Allahumma labbaik,
(Hamba memenuhi undangan-Mu, Ya Allah! dan seterusnya).
Dalam ihram terkandung falsafah Islam tentang kehidupan. Kain
putih tanpa jahitan adalah pakaian yang biasa digunakan untuk
mengafani jenazah. Artinya, bahwa jamaah haji mengikrarkan diri siap
mati. Siapakah yang siap menghadapi kematian selain hamba-hamba
Allah yang saleh? Makna kain putih tanpa jahitan menunjukkan bahwa
jamaah haji mempersembahkan kehidupan dan kematiannya untuk Allah
semata: Inna shalati wa nusuki wa mahya-ya wa mamati lillahi rabbil
`alamin (Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya
untuk Allah, Tuhan semesta alam).
Kain putih tanpa jahitan pun merupakan simbol kesederajatan
umat manusia. Bahwa jamaah haji berikrar untuk menjunjung tinggi
hak asasi manusia (HAM). Pakaian warna-warni berjahit merupakan
simbol status sosial dan status ekonomi. Mereka yang dari kalangan
130
kaya-raya biasanya menggunakan pakaian yang mahal-mahal dan
dengan mode terkini.
Bisa dibayangkan jika ritual haji tidak mewajibkan memakai
kain putih tanpa jahitan, sudah dapat dipastikan lapisan-lapisan sosial
dan ekonomi akan tampak dalam ibadah yang agung ini. Untuk itulah
Allah mengingatkan lewat pakaian putih tanpa jahitan ini, yang berarti
bahwa jamaah haji harus tampil terdepan dalam membela hak-hak
asasi manusia, harus tampil terdepan dalam membela kesederajatan
umat manusia, harus tampil paling depan dalam membela umat
manusia yang menderita dan hidup susah.
b. Thawaf
Thawaf adalah jalan berputar mengelilingi Ka`bah. Satu kali
thawaf sebanyak 7 putaran. Ada bermacam-macam thawaf, yaitu
qudum, wada, dan tawaf sunat. Tapi yang menjadi rukun haji adalah
thawaf ifadhah, atau disebut juga thawaf ziarah.
Thawaf melambangkan perputaran manusia yang seiring dan
seirama mengelilingi Rumah Allah. Dalam thawaf individualitas
manusia (seharusnya) hilang sama sekali. Yang tampak dari kejauhan
adalah sebuah putaran bagaikan putaran air dalam kolam yang akan
masuk ke sebuah lobang. Thawaf mengisyaratkan, bahwa ke manapun
manusia pergi, mereka pasti kembali kepada Allah.
Persoalannya, apakah para haji mau kembali kepada Allah yang
penuh magfirah dan rahmat (karena ibadah haji dan ibadah-ibadah
lainnya diniati karena Allah dan untuk Allah semata, bukan karena
ingin punya gelar haji atau ingin disebut-sebut sebagai orang yang taat
beribadah) ataukah mau menuju Allah yang penuh murka (karena
kafir dan zalim)? Nah, jamaah haji berikrar bahwa mereka datang dari
Allah dan kembali menuju Allah.
c. Sa`i
131
Sa`i adalah lari-lari kecil di antara bukit Shafa dan Marwa
sebanyak 7 balikan. Ibadah ini mengingatkan kita kepada ibunda
Isma`il nabiullah yang juga istri Nabi Ibrahim a.s., Siti Hajar r.a., yang
berlari bolak-balik di antara kedua bukit itu karena mencari air minum
bagi anak semata wayangnya.
Siapakah Siti Hajar itu? Dia semula adalah seorang amat (budak
wanita) dan berkulit hitam (negro). Tapi dia seorang wanita salehah,
bahkan sangat saleh. Wanita budak dan hitam ini justru diperingati
dan dijadikan ritual haji karena kesalehannya. Dalam lapisan sosial
masyarakat, kaum wanita selalu menempati posisi buncit. Kaum
wanita dianggap sebagai manusia kelas dua. Di masa jahiliah para
orang tua merasa terhina jika melahirkan bayi wanita. Malah terjadi
pula penguburan bayi wanita hidup-hidup tanpa mendapat kecaman
dari masyarakat.
Di sisi lain, orang berkulit hitam menempati posisi rendah.
Manusia berkulit hitam dipAndang sebagai manusia kelas kedua, atau
bahkan ketiga. Manusia yang mulia adalah berkulit putih. Sepanjang
sejarah budak menempati posisi sosial yang paling rendah. Budak
boleh diperlakukan apa saja. Disuruh bekerja seperti hewan tidak
menjadi soal, bahkan dijadikan pelacur pun tidak soal. Sebab, pemilik
budak itulah yang menentukannya.
Siti Hajar r.a. adalah simbol wanita, berkulit hitam, dan budak
belian. Benar-benar merupakan simbol sempurna dari penghinaan
umat manusia jahiliyah. Islam datang dengan menghapuskan citra
buruk wanita, menghapuskan citra buruk kulit hitam, dan
menghapuskan citra buruk budak belian. Semua manusia di sisi Allah
adalah sama, kecuali ketakwaannya. Dan Siti Hajar r.a. menempati
posisi terhormat di sisi Allah dan di mata orang-orang beriman karena
ketakwaannya.
Ibadah sa`i merupakan simbol bahwa kita tidak akan membeda-
bedakan manusia atas dasar pangkat, jabatan, keturunan, kekayaan,
132
kecantikan, dan status-status sosial lainnya. Kita hanya membeda-
bedakan manusia atas dasar ketakwaannya. “Inna akramakum
`indallahi atqakum” (Sesungguhnya manusia yang paling mulia di sisi
Allah adalah manusia yang paling bertakwa di antara kamu).
d. Wukuf di padang Arafah
Wukuf di padang Arafah dimulai sejak tergelincir matahari
hingga terbit fajar pada tanggal 10 Zulhijah. Wukuf di padang Arafah
merupakan rukun haji yang sangat utama. Ibadah haji tidak sah tanpa
wukuf di padang Arafah. Jamaah yang tidak melaksanakan wukuf
dianggap tidak mengerjakan ibadah haji. Rasulullah saw barsabda:
“Haji itu wukuf di padang Arafah. Barang siapa yang datang pada
tangggal 10 Zulhijah sebelum terbit fajar, maka sesungguhnya ia
telah mendapatkan haji". (HR al-khamsah).
Saking pentingnya wukuf di padang Arafah sampai-sampai
jamaah haji tidak disyaratkan suci dari hadts. Karena itu, wanita yang
sedang haid atau nifas pun diwajibkan melakukan wukuf di padang
Arafah. Selama wukuf, jamaah dianjurkan memperbanyak zikir,
beristighfar, dan berdoa.
Wukuf di padang Arafah mengingatkan jamaah haji tentang
asal-muasal manusia. Bahwa manusia berasal dari Tuhan dan akan
kembali kepada Tuhan. Oleh karena itu jam`ah haji harus mengenali
Tuhan hingga mencapai ma`rifatullah.
e. Melempar Jumrah
Melempar tiga buah jumrah adalah salah satu wajib haji. Jamaah
yang tidak melempar tiga buah jumrah wajib membayar dam,
sedangkan yang tidak melempar 1-2 jumrah wajib membayar fidyah.
Waktu pelaksanaan melempar jumrah adalah pada Hari Raya Idul
adha dan hari Tasyrik (11-13 Zul-hijah), yakni setelah selesai wukuf di
padang Arafah. Melempar jumrah menAndai berakhirnya ritual haji.
133
Jumrah adalah simbol setan yang menggoda Nabi Ibrahim dan
Nabi Isma`il `alaihimassalam ketika keduanya diuji oleh Allah Swt.
Nabi Ibrahim a.s. waktu itu melempari syetan agar tidak
menggodanya. Selesainya wukuf di padang Arafah menunjukkan
bahwa jamaah haji sudah kembali menjadi manusia yang fitri,
manusia yang benar-benar beriman dan bertakwa kepada Allah swt.
Karena sudah suci-bersih, maka jangan sampai kesuciannya itu kotor
kembali oleh berbagai dosa dan kesalahan.
Setan merupakan simbol pembuat dosa dan kesalahan, baik
syetan jin, setan manusia, ataupun setan hawa nafsu yang buruk.
Jamaah haji diwajibkan melempar setan-setan itu. Artinya, ketika
melempar jumrah jamaah harus mengetahui dan membuang setan-
setan yang ada dalam dirinya. Ketika lemparan pertama, ia
melemparkan satu syetan dalam dirinya. Ketika lemparan kedua, ia
melemparkan satu syetan lainnya dalam dirinya. Dan demikian
seterusnya sehingga seluruh setan yang ada dalam dirinya
dilemparkan semuanya.
f. Zikirullah
Zikirullah artinya ingat atau mengingat Allah. Zikir yang paling
utama adalah kesadaran akan kalimat dan makna laa ilaaha illallaah.
Zikir inilah (yang penuh makna) sebagai inti ibadah. Anjuran untuk
zikir diungkapkan Al-Quran dalam berbagai ayat. Zikir selalu
dihubungkan dengan balasan bagi orang yang berzikir, yaitu akan
diingat Allah dan dianugrahi berbagai kebaikan.
Suruhan Allah mengenai zikir berbeda dengan suruhan-Nya
untuk amal lainnya. Untuk amal lainnya Allah menganjurkan untuk
berbuat amal yang paling baik (ahsanu `amala) tapi untuk zikir, Allah
justru menyuruh memperbanyak zikir siang dan malam. Dorongan
Allah untuk berzikir dalam Al-Quran diungkapkan dalam berbagai
konteks antara lain:
134
Berzikir (ingat pada Allah) berarti bersyukur kepada Allah (QS.
al-Baqarah: 152), dan Allah akan mengingatnya. Sebaliknya orang
yang enggan berzikir berarti melupakan Allah dan menolak nikmat-
nikmat-Nya (kufr). Banyak berzikir merupakan amalan yang sangat
baik dan orang yang banyak berzikir dalam hidupnya termasuk orang
yang panjang umur dan beramal baik (Ibn Katsir, Jilid 3). Berzikir
merupakan ciri Ulul Albab (orang yang berakal), yakni orang yang
berzikir dalam berbagai situasi dan kondisi serta berpikir tentang
kemahakuasaan Allah (QS. ali Imran: 191).
Berzikir hendaknya dilakukan setiap saat; siang maupun malam
(QS. an-Nisa: 103). Artinya, seorang muslim harus selalu
menghadirkan Allah dalam hatinya kapan saja di mana saja, dan
dalam kondisi apa saja. Berzikir hendaknya dilakukan dengan rendah
hati dan takut (segan) kepada Allah serta diucapkan dengan tidak
terlampau keras (QS. an-Nisa:142). Orang yang sedikit berzikir adalah
orang munafik (QS. al-A`raf: 2005)
Zikir yang baik adalah yang membekas, yaitu zikir yang
dilakukan secara tetap dan berlangsung terus menerus seraya
merasakan kehadiran Allah dalam hati, atau menghadirkan Allah
dalam hati orang yang berzikir. Zikir kata al-Ghazali (1989), ada
permulaannya dan ada pula akhirnya. Permulaan zikir adalah
ketenangan dan kecintaan sedangkan akhirnya adalah ketenangan dan
kecintaan. Ketenangan dan kecintaan yang pertama datang dari luar,
sedangkan yang kedua menjelma dan timbul dari dalam dirinya yang
kesemuanya menuju kepada ketenangan dan kecintaan abadi.
Ibadah yang dikaitkan dengan zikir adalah shalat sehingga
sering disebut bahwa inti sari shalat adalah zikir, sebab (seharusnya)
sepanjang shalat orang mengingat-ingat Allah. Shalat sebagai zikir
mengandung arti hubungan atau komunikasi langsung antara seorang
hamba dengan Tuhannya. Karena itu zikir dan shalat merupakan dua
hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Zikir dan Shalat merupakan
135
implementasi dari tugas hidup manusia sebagai hamba Allah
(„abdullah). Karena itu, shalat menjadi pokok ibadah dan tiang agama.
Hakekat ibadah adalah tugas persembahan kepada Allah yang
berintikan ketaatan, ketundukkan, kepatuhan, dan kepasrahan total
kepada Allah swt.
6. Beramal saleh
Perhatikan kedua hadis berikut: “Siapa yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir, muliakanlah tetanggamu.” Hadis lainnya
“Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari, Akhir bicaralah yang
baik atau diam saja.” Perhatikan pula bahwa kedua hadis tersebut
yang dimulai dengan kalimat “La yu`minu ahadukum …” (Tidak
beriman seseorang). Dan banyak lagi hadis-hadis lain yang senada
dengan keempat hadis tersebut.
Dari hadis-hadis tersebut, Nabi saw mendefinisikan iman
dengan sejumlah “amal saleh”. Berdasarkan hadis-hadis tersebut
Rakhmat (1994) mengungkapkan, “Malah saya berani mengatakan
bahwa seringkali iman itu ditandai dengan bentuk amal sosial
daripada amal saleh yang bersifat ritual. Lebih lengkapnya Jalaluddin
Rakhmat mengungkapkan bahwa sebetulnya agak sulit kita
membedakan ibadah ritual/mahdhah dengan ibadah sosial itu, karena
setiap ibadah mahdhah mempunyai dimensi sosial. Tetapi untuk
memudahkan pembicaraan, perlu dibedakan bahwa yang dimaksud
ibadah mahdhah adalah ibadah ritual yang berupa upacara-upacara
untuk menyembah Allah. Dan ibadah sosial adalah ibadah yang
berupa amal saleh dalam bentuk sosial. Kesemuanya itu dilakukan
dalam rangka mengabdi kepada Allah swt. (Rakhmat, 1994)
Ibadah ritual sebenarnya tidak banyak, misalnya: shalat, shaum,
zakat, haji, zikir, doa, dan aqiqah, yang dimaksudkan untuk secara
langsung “menyembah” Allah swt. Ibadah-ibadah mahdhoh ini pun
kebanyakan mengandung dimensi sosial. Zakat dan aqiqah sangat
136
jelas dimensi sosialnya, karena kedua ibadah ritual ini tampak dari
membagikan harta dan mengundang makan para tetangga atau
kerabat. Shaum merupakan ibadah menahan lapar. Dampak sosialnya
juga jelas, yaitu orang yang shaum lapar yang diderita fakir-miskin,
sehingga ia berempati dan mau menginfakan hartanya. Dalam berdo`a
kita dianjurkan untuk mendoakan orang lain, selain tentunya untuk
kepentingan sendiri.
Masih menurut Rakhmat (1994), Islam menekankan ibadah
dalam dimensi sosial jauh lebih besar daripada dimensi ritual.
Beberapa alasan yang beliau kemukakan adalah:
Pertama, ketika Al-Quran membicarakan ciri-ciri orang mukmin
atau orang takwa, maka ditemukan di situ bahwa ibadah ritualnya satu
saja tetapi ibadah sosialnya banyak. Misalnya dalam QS. al-Mu`minun
ayat 1-11 disebutkan: Berbahagialah orang yang beriman, yaitu orang
yang khusyu` dalam shalatnya (dimensi ritual), yang mengeluarkan
zakat (dimensi ritual yang banyak mengandng unsur sosial), orang
yang berpaling dari hal-hal yang tidak bermanfaat (dimensi sosial),
dan mereka yang memelihara kehormatannya kecuali kepada istrinya
(dimensi sosial). Anehnya, ungkap Rakhmat (1994), kita sering
mengukur orang takwa dari ritualnya ketimbang sosialnya.
Kedua, bila mengerjakan ibadah ritual itu bersamaan dengan
pekerjaan lain yang mengandung dimensi sosial, kita diberi pelajaran
untuk mendahulukan yang berdimensi sosial. Misalnya, Nabi pernah
melarang membaca surah yang panjang-panjang ketika shalat
berjamaah. Nabi pernah memperpanjang waktu sujudnya karena di
pundaknya ada kedua cucunya Hasan dan Husain. Bahkan dalam
suatu riwayat, ketika Nabi sedang shalat sunat, beliau berhenti dan
membukakan pintu untuk tamu yang dating. Itu semua karena
pertimbangan sosial.
Ketiga, kalau ibadah ritual itu bercacat, kita dianjurkan untuk
berbuat sesuatu yang bersifat sosial. Ketika melanggar shaum, kita
137
dianjurkan membayar fidyah (memberi makan kepada fakir-miskin).
Hubungan suami-istri pada siang hari di bulan Ramadan harus diganti
dengan shaum dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang
fakir-miskin. Dalam ritual haji, kalau terkena dam (pelanggaran haji),
kita harus menyembelih kambing atau domba yang dagingnya
dibagikan kepada fakir-miskin. Dalam hal lain tebusan yang bersifat
ritual yang dilakukan bila kita tidak mampu melaksanakan yang
berdimensi sosial. Akan tetapi sebaliknya, kalau ada cacat dalam
ibadah yang berdimensi sosial, ibadah ritual sama sekali tidak bisa
dijadikan tebusan ibadah sosial. Misalnya, kalau kebetulan kita
berbuat zalim kepada manusia, maka kezaliman kita itu tidak bisa
ditebus dengan, misalnya, shalat tahajud selama sekian malam.
(Rakhmat, 1994)
Ketika dilaporkan kepada Nabi ada seorang wanita yang selalu
shalat malam dan puasa sunat tiap hari (selain yang wajib) tetapi ia
menyakiti tetangga dengan lisa. Nabi saw bersabda, “Perempuan itu di
neraka.” Hadis ini menunjukkan bahwa ibadah mahdhoh bisa saja
tidak bermakna bila ibadah sosialnya buruk.
C. Nilai Inti-3 Keihsanan
Jika Anda sudah memahami makna iman dan beriman dengan
benar, juga memahami makna Islam dan menjalankan rukun Islam
dengan benar, maka Anda akan lebih mudah memahami makna ihsan.
Anda dapat mencapai derajat ihsan dengan lebih meningkatkan
kualitas iman dan Islam.
Makna Ihsan, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis:
“Kamu menyembah Allah seolah-olah (mata kepala) kamu melihat
Allah. Jika (mata kepala) kamu tidak bisa melihat Allah (dan pasti
tidak bisa melihat Nya), Allah melihat kamu.” Maksudnya, mata
kepala kita tidak mungkin bisa melihat Allah (karena Allah adalah Zat
Yang Maha ghaib). Tapi Allah melihat kita. Oleh karena itu, supaya
138
ibadah kita mencapai derajat ihsan, maka mata hati kita harus selalu
diusahakan melihat Allah. Ketika beribadah, mata hati kita harus
dapat menghadirkan Allah sehingga kita menyembah Tuhan yang
benar-benar Tuhan, sesuai perintah Allah dalam Qs. 15/al-Hijr ayat
99: Wa`bud rabbaka hattaa ya`tiyakal yaqiin =Sembahlah Tuhanmu
sampai kamu yakin (Tuhan yang kamu sembah itu) hadir (dalam mata
hatimu).
1. Ihsan dalam syahadat
Di antara tanda-tanda orang beriman adalah “jika disebut
(Tuhan yang asma Nya) Allah maka “gemetar”lah hatinya. Mungkin
ini merupakan ciri utama orang beriman. Dua ayat berikut
menjelaskan secara gamblang tentang tAnda-tAnda orang beriman
tersebut:
ا المؤمنون ال ذين إذا ذكر الل و وجلت ق لوب هم وإذا تليت عليهم إن
م ي ت وك لون نا وعلى زادت هم إي ۥتو اي ء رب
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila
disebut (Tuhan yang asma Nya) Allah “gemetar”lah hati mereka, dan
apabila dibacakan ayat-ayat Nya bertambahlah iman mereka; dan
hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS. 8 al-Anfal: 2)
إلو ولكل أم ة جعلنا منسكا ليذكروا اسم اهلل على ما رزق هم من بيمة األن عام فإلكم
ق لوب هم والص ابرين على بشر المخبتي. ال ذين إذا ذكر اهلل وجلت واحد ف لو أسلموا و
ما أصاب هم والمقيمي الص لة وم ا رزق ناىم ي نفقون Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh
(kepada Allah, yakni) orang-orang yang apabila disebut (Tuhan yang
139
asma Nya) Allah “gemetar”lah hati mereka, orang-orang yang sabar
terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan
shalat, dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang
telah Kami rezkikan kepada mereka. (QS. 22 al-Hajj: 34-35)
Tanda-tanda orang beriman tersebut, yakni “gemetar” hatinya
ketika disebut Tuhan yang asma Nya Allah bisa dikatkan dengan
rukun Islam pertama syahadat. Kalimat Rukun Islam pertama sudah
sangat dikenali oleh semua orang Islam, yakni Asyhadu an laa ilaaha
illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah (Aku bersaksi
tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi
Muhammad itu adalah utusan Allah). Kedua kalimah syahadat ini
tentu bukan sekedar diucapkan, melainkan diucapkan dengan penuh
makna, agar ketika nama “Agung” ini disebut, “gemetar”lah hati
orang yang mengucapkan atau mendengarkan nama itu. Agar
bermakna, yakni agar hati kita dapat “gemetar” ketika nama Allah
disebut, maka kita perlu merenungkan bagaimanakah cara kita dapat
menyaksikan Allah; dan juga bagaimana cara kita dapat menyaksikan
Nabi Muhammad utusan Allah?
Ibarat kita, rakyat, ingin menyaksikan seorang raja yang hanya
tinggal di istananya. Bagaimanakah cara rakyat agar dapat
menyaksikan rajanya itu? Cara yang paling tepat adalah rakyat itu
harus terlebih dahulu dapat menyaksikan (baca: mengenal) ajudan raja
(yang sangat dipercaya oleh raja). Jika kita sudah berkenalan dan
menyaksikan ajudan raja, maka melalui dialah kita akan mengetahui
sang raja sehingga kita dapat menyaksikan sang raja itu. Demikianlah,
untuk dapat menyaksikan Allah kita terlebih dahulu harus dapat
menyaksikan utusan Allah. Dari petunjuk rasul itulah kita akan dapat
mengenal Allah dan menyaksikanNya.
Hanya persoalannya Allah itu Maha Ghaib (Al-Ghaib).
Bagaimanakah cara mengenal atau ma`rifat billah agar kita dapat
140
menyaksikan Allah (Yang Maha Gaib itu)? Atau pertanyaan lebih
kongkritnya, bagaimanakah cara kita dapat menyaksikan Allah?
Sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) metode untuk dapat mengenal Allah,
yakni:
a. Mempelajari Asma, Sifat, dan Af`al (Perbuatan) Allah serta
mempelajari atau merenungkan alam ciptaan-Nya;
b. Menjalankan riyalat, riyadhah, dan mujahadah sehingga
diharapkan suatu saat nanti Allah „menyingkapkan‟ Diri-Nya
(dengan cara inkisyaf);
c. Menurut Tasawuf Syaththariah, cara mengenal Allah adalah
dengan cara bertanya kepada Ahli Zikir, sebagaimana perintah
Allah: Fas`aluu ahladz dzikri in kuntum laa ta`lamun =maka
bertanyalah kepada Ahli Zikir jika kamu tidak mengetahui (Tuhan
dan Ilmu Zikir).
Anda dapat memilih salah satu cara dari ketiga cara di atas,
manakah di antara cara-cara itu yang lebih sesuai dengan pengetahuan
agama dan rasa beragama Anda.
Sebagai tambahan, pandangan ketiga (c) di atas didasarkan
kepada beberapa ayat Al-Quran. Dalam QS Thoha ayat 14
diungkapkan tentang tujuan shalat, yakni untuk „mengingat‟ AKU.
Siapakah Sang AKU dalam ayat ini? AKU adalah Zat Tuhan Yang
Al-Ghaib. Ternyata Diri Nya Yang Al-Ghaib itu hanya diberitahukan
Allah kepada Rasul Nya:
من رسول فإناو لا من ارتضى إ .غيبو أحدا عالم الغيب فل يظهر على
يسلك من ب ين يديو ومن خلفو رصدا
(Dia-lah) Yang Maha Mengetahui (Diri Nya Zat Yang) Al-Ghaib.
Maka tidak dIlahirkanNya (DiriNya) Yang Al-Ghaib itu kepada
141
seorangpun juga (dirahasiakan), kecuali kepada Rasul yang
diridhoiNya. (QS al-Jin: 26-27).
Maksudnya, DiriNya Tuhan Yang Al-Ghaib itu dirahasiakan
dan hanya diberitahukan kepada Rasul yang diridhoinya. Oleh karena
itu, untuk dapat ma`rifat bi dzatillah (untuk dapat bersyahadat
pertama), ada syahadat kedua, yakni harus menyaksikan (sehingga
dapat bertanya dan berguru kepada) Rasul. Dari penjelasan Rasul
inilah orang-orang yang beriman memperoleh pengetahuan tentang
cara-cara menyaksikan Allah, sehingga selanjutnya dapat mengingat-
ingat Nya (Rakhmat, 1994).
Bagaimanakah halnya setelah Rasulullah saw itu wafat, kepada
siapa kita harus bertanya tentang cara-cara berzikir (mengingat Allah)
dalam perspektif tasawuf atau tarekat, untuk dapat ma`rifat bi
Dzatillah di zaman pasca wafatnya Nabi Agung Muhammad SAW
haruslah „bertanya‟ kepada Ahli Zikir, sebagaimana perintah Allah
dalam ayat-ayat berikut:
إن كنتم ل ت علمون وما أرسلنا من ق بلك إل رجال نوحي إليهم فاسألوا أىل الذكر
للن اس ما ن زل إليهم ولعل هم ي ت 11) فك رون ( بالب ي نات والزبر وأن زلنا إليك الذكر لتب ي
(11(
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki
yang Kami beri wahyu kepada mereka. Maka “bertanyalah kepada
Ahli Zikir” (orang yang ahli mengingat Tuhan) jika kamu tidak
mengetahui (Tuhan dan ilmu zikir) (QS an-Nahl: 43)
لك إلا رجال نوحي إليهم وما أرسل فاسألوا أىل الذكر إن كنتم ل ت علمون نا ق ب
Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad),
melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada
142
mereka, Maka “tanyakanlah olehmu kepada Ahli Zikir” (orang yang
ahli mengingat Tuhan), jika kamu tiada mengetahui (Tuhan dan ilmu
zikir). (QS a l-Anbiya: 7)
2. Ihsan dalam Shalat
Ibadah shalat bukan sekedar dikerjakan, bukan pula sekedar
memenuhi syarat dan rukun secara syair`i. Ibadah shalat harus
dilakukan secara ihsan. Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa shalat
harus didirikan dengan khusyu`: Qod aflahal mu`minum,
alladziinahum `an shalaatihim khoosyi`suun (Sungguh beruntung
orang-orang yang beriman, yakni mereka yang khusyu` dalam
shalatnya); dan ayat-ayat lainnya. Ada lagi ayat Al-Quran yang
menegaskan bahwa tujuan shalat adalah untuk “mengingat” Allah;
kemudian ada larangan shalat sahun (lalai), dan larangan-larangan
lainnya. Ada lagi ayat lainnya, bahwa shalat (yang didirikan secara
ihsan) akan dapat mencegah perbuatan keji dan Munkar. Kesemua
ayat-ayat Al-Quran tentang shalat ini menegaskan bahwa ibadah
shalat harus didirikan secara ihsan, jangan asal dikerjakan. Mari kita
bahas ayat-ayat tersebut.
ة لذكرىلص لو ٱعبدن وأقم ٱف أنا و إل إل لل و ل ٱأنا إن ن
Sesungguhnya AKU ini (bernama) Allah, tidak ada Tuhan selain
AKU, maka sembahlah AKU dan dirikanlah shalat untuk mengingat
AKU. (QS Thoha: 14)
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa tujuan shalat adalah untuk
„mengingat‟ AKU. AKU dalam ayat ini maksudnya (Tuhan yang
asmanya) Allah. (Baca kembali Ihsan dalam Syahadat, bagian C.1 di
atas). Jadi shalat yang mencapai derajat ihsan, dalam shalat yang
didirikannya (selama shalat didirikan) yang diingat-ingat hanyalah
Allah.
143
Sabda Nabi Saw ash-shalaatu `imaaduddiin (=shalat itu
tiangnya agama). Jika tiangnya roboh (shalatnya tidak sesuai dengan
Kehendak Allah dan RasulNya) maka amal-amal lain akan sia-sia.
Dalam hadis lainnya disebutkan, bahwa amal-amal lain akan diperiksa
setelah pemeriksaan terhadap shalat beres. Jika shalatnya benar, amal-
amal lain diperhitungkan. Tapi jika shalatnya salah (tidak sesuai
dengan tujuan shalat, yakni lidz-dzikrii (ingat AKU lah), maka amal-
amal lain tidak diperhitungkan. Menurut Rahmat (1994), amaliah
shalat itu ibarat angka 1 di depan, sedangkan amal-amal lain ibarat
angka 0 di belakang. Angka 0 di belakang akan berharga jika di
depannya ada angka 1; tapi tidak berharga sama sekali jika di
depannya angka 0 juga. (Angka 100 berharga, tapi angka
0.000.000.000.000 walaupun angka nol di belakang angka-0-nya
sepanjang jalan kereta api, tidak berharga sama sekali).
Shalat yang tidak sesuai dengan tujuan shalat diancam dengan
neraka. Tidaklah heran jika orang-orang yang diancam dengan neraka
itu adalah mereka yang tidak mengerjakan shalat. Tetapi dalam Al-
Quran, orang-orang yang diancam dengan neraka itu justru al-
mushalliin.
ذين ىم عن صلتم ساىون ال .ف ويل للمصلي
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yakni) orang-
orang yang lalai dari shalatnya (shalat tapi tidak ingat Tuhan) (QS
al-Ma`un: 4-5)
Menurut Rakhmat (1994), al-mushalliin bukanlah orang yang
tidak mengerti syarat dan rukun shalat atau yang mengerjakan shalat
secara asal-asalan dan di sembarang waktu, karena kata al-mushalliin
menggunakan alif-lam “al” (berarti ma`rifat), artinya orang yang
terbiasa mengerjakan shalat dengan memenuhi syarat dan rukunnya.
Secara sosiologis, al-mushalliin dapat diartikan shalatnya kaum santri,
144
karena kaum santrilah yang terbiasa mengerjakan shalat serta yang
mengerti syarat dan rukunnya. Tapi mereka shalatnya saahuun (lalai,
tidak lidz-dzikrii) sehingga dijebloskan Tuhan ke neraka.
Na‟udzubillah min dzalik!
Di sinilah letak pentingnya shalat yang benar, yakni harus
memenuhi kehendak dan perintah Tuhan, Wa aqiimish shalaata lidz
dzikrii (dan dirikanlah shalat untuk mengingat AKU). Jadi, shalat
yang benar sesuai kehendak Tuhan (shalat yang mencapai derajat
ihsan) harus selalu “mengingat” AKU (Diri-Nya Tuhan Yang Al-
Ghaib, Asma-Nya Allah).
Dengan shalat lidz-dzikrii (mengingat AKU), maka kondisi
khusyu` dapat tercapai (QS al-Mu`minun: 1-2; QS al-Baqarah: 45).
Dengan demikian maka shalatnya benar-benar menjadi tiangnya
agama (ash-shalatu `imaduddin); yakni benar-benar dapat meniadakan
hijab terbesar dan terhebat, yang sekiranya tidak dengan Daya dan
Kekuatan Ilahi (illa ANA) sama sekali tidak mungkin tercapai. Dengan
shalat yang lidz-dzikrii (mengingat AKU, mengingat Allah) inilah
maka perbuatan keji (maksiat) dan mungkar dapat tercegah (QS al-
Ankabut: 45). Orang yang ma`rifat billaah dan selalu mengingat-Nya
(zikir), maka tidak terbesit dalam hatinya untuk melakukan perbuatan
maksiat dan kemungkaran.
هى عن الفحشاء أتل ما أوحي إليك من الكتاب وأقم الصالة إنا الصالة ت ن
عون والمنكر و ر واللاو ي علم ما تصن لذكر اللاو أكب Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-
Quran); dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah
dari (perbuatan) yang keji dan mungkar. Dan sesungguhnya
mengingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya). Allah
Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS al-Ankabut: 45).
145
Shalat yang mencapai derajat ihsan tidak berhenti shalat ketika
salam dengan menoleh ke kanan dan kiri. Setelah salam diteruskan
dengan berzikir khusus bada shalat, sebagaimana perintah Allah
dalam Al-Quran:
تم فئذا لة قض فاذكرا انص قعدا قاما للا عهى فئذا جىبكم
لة فؤقما اطمؤوىتم لة إن انص كتابا انمؤمىه عهى كاوت انص
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah
di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian
apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS an-Nisa:
103).
لعل كم فإذا قضيت الص لة فان تشروا ف األرض واب ت غوا من فضل الل و واذكروا الل و كثريا
ت فلحون Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi, dan carilah karunia Allah; dan ingatlah Allah (berzikirlah)
sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung (QS al-Jumu`ah ayat
10).
Shalat yang mencapai derajat ihsan dikerjakan dengan sungguh-
sungguh (sehingga shalatnya banyak) mencakup shalat-shalat wajib
dan salah-shalat sunat. Kalam Ilahi berikut menegaskan tentang
perlunya shalat didirikan secara sungguh-sungguh, jangan sampai
dikerjakan dengan malas.
ي راءون إن المنافقي يادعون الل و وىو خادعهم وإذا قاموا إل الص لة قاموا كسال
يذكرون الل و إل قليل الن اس ول
146
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan
membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat,
mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud ria (dengan
shalatnya itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka mengingat
Allah kecuali sedikit sekali (QS an-Nisa: 142).
لك بأن هم ق وم ل ي عقلون ذ ة ات ذوىا ىزوا ولعبا وإذا نادي تم إلىالص لو Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat,
mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian
itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau
mempergunakan akal (QS al-Maidah: 58).
عهم وما الصالة يأتون ول وبرسولو باللاو كفروا أن اهم إل ن فقات هم م من ه ت قبل أن من
كارىون وىم إل ي نفقون ول كسالى وىم إل
Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka
nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan
Rasul-Nya; mereka tidak mengerjakan shalat melainkan dengan
malas; dan tidak (pula mereka) menafkahkan (harta) melainkan
dengan rasa enggan (QS at-Taubat: 54).
3. Ihsan dalam zakat
Zakat yang menjadi rukun Islam ketiga juga akan benar-benar
menjadikan proses pensucian diri supaya hati nurani selalu terjaga dan
terpelihara dalam bersentuhan dengan Diri-Nya Ilahi Zat Yang
Mahasuci. Zakat merupakan salah satu ibadah harta di samping
ibadah-ibadah harta lainnya. Ibadah harta ini bermaksud mendidik
jiwa agar tidak lengket dengan harta dunia karena harta itu milik Allah
Ta`ala. Oleh karena itu, ihsan dalam ibadah zakat harus mencapai
suatu pandangan dan keyakinan dasar bahwa harta itu milik Allah dan
harus dipergunakan sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana
147
diuraikan oleh Rasul-Nya, baik dalam Al-Quran maupun melalui
sabda-sabda dan perbuatan Rasul-Nya. Kepemilikan harta oleh
manusia hanyalah sekedar aku-akuan belaka, karena yang benar
adalah sekedar dititipi “amanah” agar harta itu dibelanjakan sesuai
dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya.
Orang yang telah mencapai derajat ihsan dalam kepemilikan
harta akan memiliki pandangan dan keyakinan dasar sebagai berikut.
Allah swt telah menganugerahkan rezeki yang luas dan harta yang
banyak bagi umat manusia. Jika dikelola dengan benar dan adil, maka
tidak akan ada seorang manusia pun di muka bumi ini yang akan
menghadapi kelaparan. Tetapi pada kenyataannya, sepanjang sejarah
selalu banyak saja manusia yang sulit mencari sesuap nasi sekalipun.
Banyak umat manusia yang mati kelaparan.
Mengapa bisa terjadi demikian? Karena adanya segelintir
manusia yang sangat kuat dan amat serakah. Memang, tanpa
bimbingan dari Allah manusia tidak bisa mengelola bumi dengan
benar dan adil. Oleh karena itulah Allah swt menurunkan nabi-nabi
sebagai khalifah-khalifahnya di muka bumi. Allah swt berfirman
dalam Al-Quranul Karim, “Bumi diwariskan kepada hamba-hamba-
Ku yang saleh.” Hanya manusia-manusia salehlah yang layak
memimpin bumi.
Kekafiran musuh para nabi antara lain karena keserakahannya
terhadap harta. Nabi Nuh a.s. didatangkan kepada kaum `Ad yang
kaya-raya tapi melupakan Allah dan menciptakan kesengsaraan di
muka bumi. Nabi Hud a.s. didatangkan kepada kaum Tsamud yang
kaya-raya tapi melupakan Allah dan menciptakan kesengsaraan di
muka bumi. Nabi Ibrahim a.s. didatangkan kepada bangsa Babilon
yang memperbudak manusia. Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s.
didatangkan kepada Fir`aun yang juga memperbudak manusia. Dan
Nabi Muhammad saw didatangkan di tanah Arab antara lain untuk
melawan saudagar-saudagar Makkah yang kaya raya tapi serakah dan
148
bakhil, melawan tuan-tuan tanah di Thaif yang membayar murah para
buruh tani, dan melawan Yahudi Madinah dan Yahudi Khaibar yang
kaya raya karena praktek riba. Setelah umat Islam kuat, Nabi saw
mengarahkan penyerangannya kepada kekaisaran Rumawi dan Persia
karena mereka menjajah bangsa-bangsa di dunia.
Agama Islam didatangkan dengan seperangkat ajaran yang
lengkap dan sempurna tentang pengelolaan harta. Dalam Islam,
pemilik mutlak harta adalah Allah swt. Dalam Al-Quran ditegaskan,
“Lillahi ma fis-samaawaati wal-ardhi” (Milik Allah segala yang ada
di langit dan di bumi). Harta yang diaku milik kita sebenarnya
merupakan amanah dari Allah swt.
Oleh karena itulah dalam Islam harta harus diperoleh secara
halal dan dikelola secara benar. Orang yang dianugerahi kekayaan
harus membayar zakat, infak, sedekah, dan ibadah-ibadah harta
lainnya. Wakaf sangat dianjurkan bagi orang-orang kaya. Tangan
yang di atas (simbol orang yang senang memberi) dimuliakan. Ada
hadis Nabi saw yang menyebutkan, Al-yadul `ulyaa khairum min
yadis-suflaa” (Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di
bawah). Demikian juga bekerja keras mencari harta yang halal dengan
niat lillah dan untuk dipergunakan secara benar sangat dipuji oleh
Islam.
Kemiskinan merupakan musuh Islam yang harus dihilangkan.
Bahaya miskin adalah bisa menjurus menjadi kufur. Sabda Nabi saw,
“Kaadzal faqru ayyakuuna kufran” (Kefakiran itu bisa menjurus
kepada kekufuran). Supaya orang-orang fakir tidak menjadi kufur,
maka mereka harus disejahterakan. Cerita pemurtadan lewat mie
instan dan supermie mungkin sudah terdengar oleh kita semua.
Na`uudzu billaahi min dzaalik.
Islam mengharamkan riba, pencurian, dan penipuan karena
semua perbuatan ini merusak harta. Karena itu, segala upaya
pengrusakan terhadap harta, seperti korupsi, pemerasan, dan segala
149
transaksi bisnis yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak
lainnya, diharamkan. Sebaliknya, segala upaya peningkatan
kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan sangat dianjurkan oleh
Islam.
Hafidhuddin (2005) menyebutkan bahwa sistem ekonomi Islam
perlu dibangun atas dasar tiga nilai, yakni tauhid, keadilan, dan
kesejahteraan bersama, serta kebebasan dan tanggungjawab.
a. Nilai Tauhid, yakni keyakinan kepada Allah swt sebagai pemberi
rezeki (QS Hud: 6), pemberi dan pembuat aturan untuk
kemaslahatan hidup ummat manusia (QS ar-Rum: 30), sekaligus
yang mewajibkan manusia untuk mencari rezeki dan karunia-Nya
(QS al-Mulk: 15) untuk kemudian dipertanggung-Jawabkan di
kelak kemudian hari di hadapan-Nya.
قراىا ومستودعها كل وما من داباة في األرض إل على اللاو رزقها ويعلم مست
في كتاب مبين Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-
lah yang memberi rezekinya. Dia mengetahui tempat berdiam
binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam
Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) (QS Hud: 6).
ها ل ت بدل للق اهلل فا فطرة اهلل ال ت فطر الن اس علي فاقم وجهك لل ذين حني Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
(agama yang lurus). (QS ar-Rum: 30).
150
ىو الاذي جعل لكم األرض ذلول فامشوا في مناكبها وكلوا من
وإليو النشور رزقو
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu. Maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari
rezeki-Nya. Hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan (QS al-Mulk ayat 15).
Selain itu, dan ini justru yang paling utama dari nilai tauhid, harta
yang biasa diaku oleh manusia sebagai miliknya sebenarnya adalah
harta milik Allah, sebagaimana firman-Nya:
للاو ما في الساماوات وما في األرض وإن ت بدوا ما في أن فسكم أو تخفوه
غفر لمن يشاء وي عذب من اء واللاو على كل شيء يش يحاسبكم بو اللاو ف ي
قدير Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi. Jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu
atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat
perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah
mengampuni siapa yang dikehAndaki-Nya dan menyiksa siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu
(QS al-Baqarah: 284).
Implikasinya; pertama, manusia harus mencari harta yang halal dan
diperoleh dengan cara-cara yang halal. Kedua, apa yang kita
peroleh dengan harta itu (banyak atau sedikit) sebenarnya adalah
amanat oleh Allah, bukan prestasi kita. Dan ketiga, pada harta yang
biasa kita akui sebagai milik kita (padahal sebenarnya milik Allah)
151
ada hak-hak bagi Allah, Rasul-Nya, kerabat Rasul, dan bagi orang-
orang yang berhak atas harta, sebagaimana firman-Nya:
ا غنمتم من شىء فأن لل وللر سول ولذى ۥ و خسو واعلموا أن
بن الس بيل إن كنتم ءامنتم بالل و كي واوالمس مى واليت القرب
والل و عبدنا ي وم الفرقان ي وم الت قى اجلمعان أنزلنا على وما
كل شىء قدير على Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai ghanimah, maka sesungguhnya seperlima untuk Allâh,
Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
ibnusabil, jika kamu beriman kepada Allâh dan kepada apa yang
Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari
Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu (QS al-Anfal ayat 41).
فلل و وللر سول ولذى لقرى ٱمن أىل ۦرسولو لل و على ٱء م ا أفا
بيل كى ل يك ٱبن ٱكي و لمس ٱو مى ليت ٱو لقرب ٱ ب ي ون دولة لس
نت هواٱكم عنو ف لر سول فخذوه وما ن هى ٱكم ءاتى ء منكم وما ألغنياٱ
لعقاب ٱ لل و شديد ٱلل و إن ٱ ت قواٱو
Apa saja harta fay yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah
untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya
152
harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di
antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat keras hukuman-Nya. (QS al-Hasyr ayat 7).
QS al-Anfal ayat 41 memerintahkan kita membayar seperlima dari
harta ghanimah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, dan ibnusabil. Secara praktis seperlima
harta itu diserahkan kepada Rasul. Nanti oleh Rasul seperlima harta
itu akan dibagi-bagikan untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-
anak yatim, orang-orang miskin dan ibnusabil; walau biasanya hak
Rasul (hak dirinya) juga dipergunakan Rasul untuk kepentingan
umat. Adapun QS al-Hasyr ayat 7 menyebutkan bahwa harta fay itu
diserahkan pengaturannya kepada Rasul. Kita yang beriman harus
menerima pemberian dari Rasul (dari harta fay) sekecil apa pun
pemberian itu (jangan sampai ada perasaan dan punya anggapan
bahwa Rasûl tidak adil). Malah sebelum berbicara dengan Rasul,
orang-orang yang beriman diperintah untuk bersedekah,
sebagaimana firman-Nya:
يا أي ها الاذين آمنوا إذا ناجيتم الراسول ف قدموا ب ين يدي نجواكم صدقة ذلك
ر لكم و أطهر فإن لم تجدوا فإنا اللاو غفور رحيم موا خي . أأشفقتم أن ت قد
ب ين يدي نجواكم صدقات فإذ لم ت فعلوا و تاب اللاو عليكم فأقيموا الصالة
خبير بما ت عملون و آتوا الزاكاة و أطيعوا اللاو و رسولو و اللاو
Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan
pembicaraan khusus dengan Rasûl hendaklah kamu
153
mengeluarkan sedekah sebelum pembicaraan itu. Yang demikian
itu lebih baik bagimu dan lebih bersih. (Tetapi) jika kamu tidak
memperoleh (yang akan disedekahkan), maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu
memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan
Rasul? Maka jika kamu tidak melakukannya (tidak mengeluarkan
sedekah) dan Allah telah memberi taubat kepadamu, maka
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan
RasulNya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan
(QS al-Mujadilah: 12-13).
b. Keadilan dan kesejahteraan bersama, yakni:
o Tidak boleh harta dikuasai kelompok tertentu saja (QS al-
Hasyr: 7).
o Menghapuskan monopoli, kecuali oleh pemerintah, untuk
bidang-bidang tertentu.
o Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk aktif dalam
proses ekonomi, baik produksi, distribusi, sirkulasi, maupun
konsumsi.
o Menjamin basic needs fulfillment (pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan dasar hidup) setiap anggota masyarakat.
o Melaksanakan amanah at-takaaful al-ijtima‟i atau social
economic security insurance di mana yang mampu menanggung
dan membantu yang tidak mampu.
o Prof. Abd. Mannan: “Jangan mengatakan sistem ekonomi
syariah bila outputnya tidak bermanfaat bagi masyarakat atau
umat.
o Pengenaan kewajiban zakat (QS at-Taubah: 60; QS ar-Rum: 39).
154
c. Kebebasan dan tanggungjawab
Dalam ekonomi Islam dikenal prinsip tsawaabit / ابت tetap dan) ث
pasti) dan mutaghayyirat/ رات untuk melaksanakan (variabel) متـغـ
prinsip yang bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang
memerlukan inovasi dan kreativitas.
Beberapa contoh prinsip:
o Tidak boleh menipu dan berlaku curang (QS al-Muthaffifin: 1-6).
o Tidak boleh saling menzalimi (QS al-Baqarah: 279).
o Tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang haram dan batil (QS al-
Baqarah: 188; QS al-Maidah: 90-91).
o Tidak boleh melakukan kegiatan riba, sebagaimana tercantum
dalam QS al-Baqarah: 275-279).
Catatan:
Membungakan uang adalah sama dengan riba, karena itu bunga
hukumnya haram. Haramnya bunga telah ditetapkan pula oleh:
a. Majelis Tarjih Muhammadiyyah (Sidoarjo, 1968)
b. Lajnah Bahtsul Masaail Nahdatul Ulama (BAndar Lampung,
1982).
c. Sidang Organisasi Konfrensi Islam (OKI) di Islamababad, 1970.
d. Sidang MUFTI Negara Mesir, Kairo 1989.
e. Konsul Kajian Islam Dunia, 1965.
f. Kajian Islam dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia.
g. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 2003.
(Hafidhuddin, 2005)
Perlu juga ditambahkan di sini bahwa perspektif Islam semua
yang dirasakan “senang” oleh nafsu dan syahwat manusia bukanlah
anugerah dan karunia, melainkan sebagai ujian dan cobaan dari Allah.
Bahwa Allah hendak menguji orang itu dengan kekayaan, jabatan,
kecerdasan, gelaran, paras cantik, suara merdu, sehat walafiat,
155
berumur panjang, dan sebagainya. Apakah orang itu “mengaku”
sebagai hasil prestasi dirinya (dan leluhurnya) ataukah menafikannya?
Jika “mengaku” berarti orang itu “tidak lulus” dalam ujian kehidupan.
Sebaliknya, jika orang itu “menafikan”-nya dan memAndangnya
sebagai ujian dan cobaan dari Allah, lalu mendorongnya melakukan
amal-amal saleh yang dikehendaki Allah, maka orang itu lulus dari
ujian kehidupan.
Sebenarnya, seseorang menjadi kaya-raya bukanlah karena
prestasi dirinya (misal mendapat jabatan basah atau merasa sukses
dalam bisnis), prestasi orang tuanya (misal hibah, warisan yang
banyak), atau faktor keberuntungan (seperti menemukan harta karun
atau dapat hadiah besar). Tapi orang itu sebenarnya “di-kaya-kan”
oleh Allah, karena Allah kehendak menguji orang itu dengan
kekayaan. Syeikh Puji semula orang miskin. Dia bekerja sebagai
kernet sebuah angkutan kota. Lalu bekerja sebagai buruh. Kemudian
mendirikan bisnis kaligrafi dari bahan kuningan. Dagangannya laris
dan tambah laris. Akhirnya Syeikh Puji menjadi orang yang kaya-
raya. Apakah kalau diadakan pelatihan mengikuti jejak Syeikh Puji
semua kernet angkot dan buruh akan menjadi kaya-raya seperti Syeikh
Puji? Jawabannya, pasti tidak bisa. Sebab, seseorang menjadi kaya-
raya karena di-kaya-kan oleh Allah (Rahmat, 2012). Atau dalam
bahasa Rukun Iman, sudah ditakdirkan oleh Allah. Dalam QS Saba`
ayat 36 dan 39 Allah berfirman:
قل إن رب ي بسط الرزق لمن يشاء وي قدر ولكن أكث ر الن اس ل ي علمونKatakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa
yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang
dikehendaki-Nya). Akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.”
156
أنفقتم من شىء ف هو وما ۥوي قدر لو ۦء من عباده لرزق لمن يشاٱقل إن رب ي بسط
زقي لر ٱوىو خي ر ۥيلفو Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa
yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan
menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". Dan barang apa
saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan
Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.
Demikian juga dengan jabatan tinggi, bukanlah karena prestasi
dirinya (dan/atau kelompoknya) melainkan karena Allah berkehendak
menguji orang itu dengan diamanati menduduki jabatan yang tinggi.
Genius pun bukan karena prestasi dirinya (dan/atau keluarganya),
melainkan karena Allah berkehendak menguji orang itu dengan
diberinya kegeniusan. Dan seterusnya.
Demikian juga halnya dengan hidup miskin, bodoh, buruk rupa,
sakit-sakitan, dan apa saja yang dirasakan “susah” oleh nafsu dan
syahwat, dalam Ilmu Syaththariah semua itu merupakan ujian dan
cobaan dari Allah. Bahkan dalam Ilmu Syaththariah, setiap ujian dan
cobaan yang dirasakan “susah” oleh nafsu dan syahwat merupakan
“hari raya” bagi orang-orang yang beriman, karena akan menjadi
“pancatan” yang kokoh untuk pulang kembali kepada Allah dengan
selamat. Mereka akan rida dengan keadaan ini, menerimanya sebagai
takdir dari Allah, dan berusaha menafikan semua yang dipAndang
susah oleh nafsu dan syahwat itu.
Oleh karena itu mengapa ketika manusia menerima amanat yang
Tuhan tawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, Tuhan
tidak memujinya malah memvonisnya dengan dzaluuman jahuula
(zalim dan bodoh), sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Ahzab ayat
72:
157
جلبال فأب ي أن يملن ها وأشفقن من ها ٱألرض و ٱت و و لس م ٱألمانة على ٱإن ا عرضنا
نس ٱوحلها كان ظلوما جهول ۥ ن إن و إل
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul
amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dan
dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu
amat zalim dan amat bodoh,
Kapan manusia menerima amanat itu? Adalah ketika manusia
masih di alam Dzar (alam sebelum manusia lahir dan hidup di dunia).
Pada saat itu memang jati diri manusia menyaksikan Tuhan selalu
mengingat-ingat-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam QS al-A`raf
ayat 172:
وإذ أخذ ربك من بني آدم من ظهورىم ذري ات هم وأشهدىم على أن فسهم ألست
ت قولوا ي وم القيامة إناا كناا عن ىذا غافلين بربكم قالوا ب لى شهدنا أن
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap
jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?"
Mereka menJawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-
orang yang lengah terhadap (kesaksian) ini"
Tentang ujian berupa SUSAH dan SENANG, Allah swt
berfirman:
نة ت كل ن فس ذائقة المو لوكم بالشار والخير فت نا ت رجعون ون ب وإلي
158
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji
kamu dengan “keburukan” dan “kebaikan” sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan
(QS al-Anbiya ayat 35).
لون كم بشيء من الوف واجلوع ون قص من األموال واألن فس والث مرات ر ولنب وبش
الص ابرين Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (QS
al-Baqarah: 155).
هم مصيبة قالوا إناا للاو وإ .ناا إليو راجعون الاذين إذا أصاب ت
ئك ىم المهتدون وأول ئك عليهم صلوات من رابهم ورحمة أول
(Orang-orang yang sabar yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi
raaji`uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna
dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk (QS al-Baqarah: 156-157).
Apa saja yang disenangi oleh manusia? Adalah segala hal yang
disenangi oleh nafsu dan syahwat, sebagaimana firman-Nya dalam QS
Ali „Imran ayat 14:
ىب ٱ لمقنطرة من ٱطري لقن ٱلبني و ٱء و لنساٱت من لش هو ٱزين للن اس حب لذ
ن ياٱة ي و ل ٱع لك مت لرث ذ ٱم و ألن ع ٱلمسو مة و ٱليل ٱلفض ة و ٱو حسن ۥلل و عنده ٱو لد
اب لم ٱ
159
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-
apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak
dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi
Allahlah tempat kembali yang baik (surga).
Setelah lahir ke dunia rupanya manusia “melupakan” janjinya,
“melupakan” kesaksiannya terhadap Tuhan Yang Asma-Nya Allah.
Manusia malah lebih memperturutkan hawa nafsu dan syahwat.
Ketika diuji dengan SUSAH, manusia malah berputus asa, berkeluh
kesah, dan banyak berdoa; tetapi ketika diuji dengan SENANG,
manusia malah sombong, berpaling, dan kikir, sebagaimana firman-
Nya:
نسان أعرض ونأى بانبو وإذا مس و الش ر كان ي ئوسا وإذا أن عمنا على اإلDan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya
berpalinglah dia dan membelakang dengan sikap yang sombong. Dan
apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa (QS al-Isra‟
ayat 83).
عآء عريضو اذا ا،عمنا على اإلنسان اعرض ونابانبو واذا مس و شر فذو د
Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling
dan menjauhkan diri. Tetapi apabila ia ditimpa malapetaka maka ia
banyak berdoa (QS Fushshilat: 51).
إذا مساو الشار جزوعا
ر منوعا وإذا مساو الخي Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah; dan apabila ia
mendapat kebaikan, ia amat kikir (QS al-Ma`arij: 20-21).
160
Jihad akbar sudah sangat dikenal luas di kalangan kaum
muslimin. Mengenai definisi dan kedudukan jihad akbar mungkin
tidak terdapat perbedaan di kalangan umat Islam sedunia. Jihad akbar
adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk memerangi nafsunya
sendiri hingga tunduk. Kedudukan jihad akbar disepakati sebagai
bernilai yang sangat tinggi. Maksudnya tiada lain agar masing-masing
murid (orang yang berkehendak kembali kepada Tuhan hingga sampai
dengan selamat) mencapai derajat mu`min (orang yang beriman),
muttaqin (orang yang bertakwa), hingga mukhlashin (orang yang
ikhlas), sebagaimana firman-Nya: fa qaliilan maa yu`minuun =maka
sedikit sekali mereka yang beriman (QS al-Baqarah: 88; QS al-
Haqqah: 41); Inna akramakun `indallaahi atqaakum =Sesungguhnya
orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling
bertakwa (QS al-Hujurat: 13); ...illaa `ibaadaka minhumul
mukhlashiin =”kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara
mereka", yang tidak akan tersentuh oleh iblis (QS al-Hijr: 40); untuk
mencapai derajat asy-syakuur (manusia yang bersyukur),
sebagaimana firman-Nya qaliilan maa tasykuruun =hanya sedikit
manusia yang bersyukur (QS al-A`raf: 10; QS al-Mu`minun: 78; QS
as-Sajdah: 9; QS al-Mulk: 23); untuk mencapai martabat insan kamil
(Rahmat, 2010).
Jadi, bagaimanakah sikap kita jika diuji dengan hal-hal yang
susah (seperti dijadikan miskin)? Jawabnya, kita harus bersabar.
Bentuk sabarnya: (1) rida dengan kemiskinan atau penyakit yang
diujikan Allah, tidak mengekspresikan ketidaksenangan, tidak
mengeluh, tidak berputus asa, dan hidup optimistik; (2) suasana hati
merasa senang karena ujian yang menyakitkan justru akan
mempercepat proses sampainya diri kembali dan bertemu dengan
Tuhan (sakit =hari raya bagi orang-orang beriman); (3) jika dijadikan
miskin, berikhtiar menghilangkan kemiskinannya, seperti
meningkatkan keterampilan; dengan tetap membayar hak-hak Allah
161
dan Rasul-Nya serta hak-hak manusia; dan (4) berdoa seperti
membaca shalawat nariyah (biasanya dibaca ganjil, sedikitnya 11 kali)
memohon agar Allah memberi rezeki yang banyak halal, dan suci,
demi tegaknya syiar Islam.
Bagaimanakah pula jika diuji dengan hal-hal yang senang
(seperti dijadikan kaya atau pejabat tinggi)? Jawabnya, kita harus
syukur nikmat yang dilAndasi sabar. Ketika mendapat rezeki yang
banyak, kita ungkapkan “alhamdulillah”. Tapi jangan berhenti di
sini. Harus ditindak-lanjuti dengan bersabar, karena kebanyakan
manusia justru tidak lulus ketika diuji dengan yang senang. Berbeda
dengan orang yang susah (seperti miskin), yang biasanya butuh sekali
akan pertolongan Tuhan, orang kaya atau menduduki jabatan tinggi
biasanya “merasa serba cukup” sehingga tidak butuh lagi dengan
Tuhan. Makanya kalaupun beribadah biasanya memilih-milih ibadah
yang sesuai dengan selera nafsu dan watak akunya. Karena itu ketika
diuji dengan hal-hal yang menyenangkan pun (seperti dikayakan atau
dijadikan pejabat tinggi) harus tetap bersabar juga. Adapun bentuk
sabarnya sebagai berikut: (1) tidak “ngaku” kaya atau punya jabatan
tinggi melainkan karena dikayakan atau dijadikan pejabat tinggi oleh
Allah sebagai ujian bagi dirinya; (2) rida menerima amanat dikayakan
(atau dijadikan pejabat tinggi) sebagai ujian dari Allah; (3) khauf
(takut) terhadap Allah sekiranya dirinya tidak memenuhi amanat yang
diujikan Allah kepadanya; dan (4) jika dijadikan kaya, membayarkan
hak-hak Allah (melalui Rasul-Nya), hak-hak Rasul, hak-hak kerabat
Rasul, dan hak-hak manusia (seperti zakat, infak, sedekah, dan
jariyah), serta punya kepedulian yang tinggi dengan hartanya untuk
memajukan lingkungannya (masyarakat, bangsa, dan negara); tidak
menggunakan hartanya untuk bermegah-megahan, berpoya-poya, dan
jor-joran demi memenuhi selera nafsu dan syahwatnya (tentunya
dengan memenuhi hak-hak dirinya dan keluarganya). Adapun jika
dijadikan pejabat tinggi, selain tersebut sebagaimana yang dikayakan,
162
juga memajukan bidang garapannya secara profesional, berlaku adil,
dan benar serta tidak zalim.
4. Ihsan dalam puasa
Ibadah puasa yang mencapai derajat ihsan ialah ibadah puasa
yang diarahkan untuk mencapai tujuan berpuasa, yakni la`allakum
tattaquun (agar kalian mencapai ketakwaan), sebagaimana firmannya:
كتب على الاذين من ق بلكم لعلاكم يا أي ها الاذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما
ت ت اقون Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa (QS al-Baqarah: 183).
Kewajiban melaksanakan berpuasa di bulan Ramadan
merupakan gambaran nyata terhadap proses supaya hidupnya menjadi
mulia di sisi-Nya, yaitu muttaqiin. Menjadi hamba yang bersunguh-
sungguh dalam ibadahnya dengan benar dan ikhlas. Ikhlas adalah
bersih. Bersih dari syirik lahir dan syirik batin. Hal ini terjadi karena
semua amal ibadahnya tidak ada yang ”diaku”. Sebab akunya telah
sirna (tenggelam) ke dalam Yang Maha Aku. Ibadahnya ka annaka
taraahu =seolah-olah dapat melihat-Nya; yakni ibadah yang kondisi
ruhaninya dijaga untuk dapat dibarengi dengan mengingat-ingat dan
menghayati Diri Ilahi Yang Al-Ghaib (Tuhan Yang Asma-Nya Allah).
Gambaran orang bertakwa diungkapkan dalam berbagai ayat Al-
Quran, antara lain terutama dalam QS al-Baqarah ayat 3-5 sebagai
berikut:
Ciri-ciri orang yang bertakwa dijelaskan dalam QS al-Baqarah
ayat 2-5 sebagai berikut:
163
لاذين ي ؤمنون بالغيب ويقيمون فيو لك الكتاب ل ريب ذ ىدى للمتاقين
ناىم ي نفقون الصالة ومماا رزق Kitab (Al-Quran) itu tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada (Diri-
Nya) Yang Al-Ghaib, yang mendirikan shalat, dan menginfakkan
rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Ciri pertama, yu`minuuna bil-ghaibi. Kalimat yu`minuuna
adalah fi`il mudhari, artinya ‟selalu mengimani‟; dan kalimat ghaib
adalah isim mufrad (singular), bukan jama` (plural), artinya ‟satu yang
ghaib‟, dan menggunakan kalimat ‟al‟ (alif-lam) yang berarti isim
ma`rifat (khusus, spesifik), bukan isim nakirah (umum, tidak
spesifik). Dengan demikian kalimat ini (yu`minuuna bil-ghaibi) harus
diartikan selalu mengimani kepada ‟Satu-satunya Yang Ada dan
Wajib Wujud-Nya tapi Al-Ghaib Allah Asma-Nya‟. Bagaimana cara
mengimani kepada Diri-Nya Yang Al-Ghaib itu, yakni dengan selalu
mengingat-ingat (Diri-Nya) Yang Al-Ghaib serta selalu merasakan
kehadiran-Nya (Rahmat, 2012).
Ciri kedua, setelah mengetahui Zat Tuhan (Diri-Nya Yang Al-
Ghaib), orang yang takwa itu (masih dalam QS al-Baqarah ayat 3)
adalah wa yuqiimuunash shalaata (selalu mendirikan shalat), yakni
shalat yang berdiri tegak, karena shalat merupakan tiangnya agama
(Rahmat, 2012).
Makanya, rukun Islam yang pertama adalah ‟syahadat‟, bukan
shalat, karena shalat tanpa ma`rifat bi Dzaatillaah (tanpa mengetahui
Diri-Nya Yang Al-Ghaib) sia-sia. Apabila rukun Islam yang pertama
telah terpenuhi (sudah dapat „menyaksikan‟ Zat Tuhan Yang Al-Ghaib
yang Asma-Nya Allah), maka kewajiban shalatnya juga akan benar-
benar menjadi tempat hamba mencahaya. Mencahaya dengan zikir
164
dalam dadanya. Mencahaya, karena hati nurani, roh dan rasanya
dengan yakinnya mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud-
Nya Zat Al-Ghaib yang sangat dekat sekali dalam rasa hati. Dengan
demikian maksud sabda Nabi saw bahwa shalat adalah mi‟rajul-
mukminiin (mi`raj-nya orang-orang beriman), dapat terhayati.
Demikian juga firman Allâh bahwa manfaat shalat adalah tanhaa „anil
fahsyaa`i wal munkar (mencegah perbuatan keji dan mungkar) akan
diwujudkan Tuhan. Demikian halnya dengan shalat sebagai tiangnya
agama (ash-shalaatu `imaaduddiin) akan benar-benar dapat
meniadakan/menafikan hijab terbesar dan terhebat yang bila sekiranya
tidak dengan Daya dan Kekuatan Ilahi sama sekali tidak mungkin
tercapai.
Ciri ketiga, wa mimmaa razaqnaahum yunfiquun (meng-
infaq-kan sebagian rezeki yang Allah anugerahkan kepada mereka).
Dengan kajian tematik Al-Quran, infak berbeda dari zakat dan
sedekah. Infak ini lebih utama, lebih mulia, karena orang yang infak:
(1) sudah terbiasa membayar zakat dan sedekah, juga ibadah-ibadah
harta lainnya; dan (2) infak ini menyerahkan „seluruh‟ harta (100%)
dari harta yang diperoleh di luar penghasilan biasa. Contoh,
penghasilan biasa dosen PNS adalah gaji bulanan (bisa ditambahkan
gaji profesi, gaji sertifikasi dosen). Di luar itu adalah penghasilan di
luar penghasilan biasa (karena umumnya penghasilan dosen adalah
dari gaji bulanan plus gaji sertifikasi). Jika ia membayarkan
penghasilan lain (misal: honor menguji sarjana, honor menilai
sertifikasi guru, hadiah dari mahasiswa yang kaya, dan yang serupa
dengan itu) itulah yang disebut infaq (jika ia membayarkannya 100%
dari penghasilan tambahan itu tanpa menguranginya satu rupiah pun)
(Rahmat, 2012).
Kemudian puasa yang dijalaninya pun untuk lebih
meningkatkan ketakwaan (QS al-Baqarah: 183). Artinya, bulan
Ramadan itu dijadikan bulan beribadah. Selain berpuasa juga
165
shalatnya lebih banyak (yakni selain shalat yang biasa ditambah
dengan shalat tarawih dan shalat-shalat sunat lainnya seperti isyraq
dan dhuha; dan shalat malam pun lebih dianjurkan di bulan ini). Di
bulan ini pun lebih dianjurkan memperbanyak bacaan Al-Quran dan
sedekah. Kemudian ada lailatul qadar dan zakat fitrah.
Bulan Ramadan disebut pula dengan bulan suci. Bulan
pensucian diri agar hakekat diri yang asal mula tempatnya dari Diri-
Nya Zat Yang Mahasuci kembali lagi kepada-Nya. Kembali pada
fitrah yang asalnya dari Yang Maha Fitrah.
Siang hari menahan dahaga, menahan lapar, menahan nafsu
syahwat, menahan diri tidak berbuat maksiat, dan segala macam hal
yang merusakkannya (sebagai taubatnya jasad); di malam hari
memperbanyak shalat (termasuk qiyaamul-lail), membaca Al-Quran,
rajin bersedekah, rela mengeluarkan harta titipan Allah bagi yang
berhak menerima, berzakat, zakat fitrah, ada juga malam lailatul-
qadar, malam Allah memuliakan hambaNya menjadi kekasih-Nya,
sehingga hamba yang dicintai oleh-Nya ini akan menjadikan rasa
hatinya dapat merasakan betapa indahnya dan betapa nikmatnya
merasakan Diri-Nya Zat Yang Al-Ghaib ini, meskipun ia tetap
sebagaimana layaknya manusia biasa.
5. Ihsan dalam haji
Kemudian berhaji bagi yang dimampukan oleh-Nya, yang
mencapai derajat ihsan, adalah panggilan Allah untuk membuktikan
„arifun billah (mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya). Sebab al-
hajju „arafatu (ibadah haji itu harus mencapai ma`rifat billah).
Praktiknya ibadah haji itu harus wukuf di Padang „Arafah. Rahmat
(2010) menjelaskan lebih lanjut:
Makna “wukuf” adalah “berhenti”. Yang harus dihentikan
adalah semua hal yang menjadikan hijabnya mata hati hingga tidak
akan dapat menyaksikan Diri-Nya Ilahi.
166
Karena itulah maka semua rukun haji merupakan simbol-simbol
guna mencapai keadaan di atas. Simbol-simbol itu misalnya
disunatkan oleh Nabi mencium Hajar Aswad.
Pencium dengan alat hidung adalah satu-satunya panca indra
manusia yang tidak bisa ditipu dan paling jujur. Instrumennya rasa
yang satu ini (hidung), oleh Sunan Kalijaga disebut dengan “kayu
gung susuhing angin”. Zat Yang Al-Hayyu al-Qayyuum, Mahaagung
yang harus dapat diingat-ingat bersama-sama dengan setiap masuknya
nafas ke dalam dada. Sebab bila nafas yang keluar masuk ini tidak
diisi dengan zikir, layaknya seperti keluar masuknya nafas hewan;
kosong dari butiran iman.
Dan apabila begitu halnya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad
saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa: “Akan datang atas
manusia suatu zaman di mana pada zaman itu seseorang dinyatakan:
alangkah pAndainya, alangkah bijaksananya, alangkah kuatnya,
padahal dalam hatinya tidak ada sedikitpun butiran imannya.”
Karena itulah hidung sebagai tempat keluar masuknya nafas
yang dengan ada isinya, disimbulkan sebagai “gunung Tursina”. Lalu
mengapa Nabi Muhammad saw menyunatkan mencium Hajar Aswad?
Hajar Aswad adalah simbol mudgah, segumpal daging dalam
jasad manusia. Apabila segumpal daging itu shaluha (bagus) maka
menjadi baiklah seluruh jasad manusia. Dan apabila segumpal daging
ini jelek (fasad), maka menjadi jeleklah seluruh jasad manusia (al
hadis).
Segumpal daging ini setelah terkena hawa dunia, benar-benar
persis sebagaimana wujudnya yang nyata-nyata Hajar Aswad, batu
yang keras dan hitam. Dalam jasad, benar-benar menjadi qalbun
jasmaaniyuun zhulmaaniyyun. Menjadi hati yang watak dan
keinginannya bagaimana agar jasadnya kajen keringan dan mukti
wibawa hidup di dunia. Maka lalu zalim, termakan betapa kuatnya
pengaruh hawa dunia. Hawa dunia yang 99% lebih sepertinya
167
memang dikuasai setan. Sebab yang disebut setan itu adalah semua
pengaruh dan ajakan yang datang dari luarnya diri yang pengaruh dan
ajakan itu sama sekali tidak sekehendak dengan Tuhan. Jadi ya
banyak sekali. Bisa dari istri, dari anak, dari saudara, teman sekerja,
dari pekerjaan, dari bacaan, dari apa yang didengar dan dilihat mata
kepala, dari harta, wanita, dan banyak lagi. Jadi kalau ada ungkapan
para luhur bahwa dunia ini penuh dengan setan doyan sambal, tidak
ada salahnya.
Sedang bila ajakan yang mempengaruhi manusia menjadikan
hidupnya tidak sejalan dengan kehendak Allah, datang dari dalam
dirinya sendiri, ini namanya nafsu. Karena itu, maka antara setan dan
nafsu ada kerja sama yang kental.
Lalu mengapa Nabi Muhammad saw mencium Hajar Aswad?
Sebab, dibalik batu yang keras itu (dibalik hijab yang hebat dan
bahkan dahsyat) dan hitam pekat, gelap, dan zalim ketika terkena
hawa dunia, di balik itu ada kandungan makna asli dan murni,
sebelum terkena hawa dunia. Sebelum dibungkus oleh jenggelegnya
jiwa raga.
Asli dan murninya itu adalah inti manusia, yaitu fitrahnya diri,
yang ketika hendak diproses Allah menjalani ujian dan cobaan dunia
lewat kandungan sang ibu, ketika dimintai kesaksian oleh Allah:
Alastu birabbikum, Jawabnya sama, Qaaluu balaa syahidnaa.
Fitrah diri yang kini menjadi inti manusia, diletakkan dalam
rasa, dibungkus oleh arwah, diletakkan dalam hati nurani, dibungkus
wujudnya jasad, ketika dimintai kesaksian oleh Tuhannya: ”Bukankah
Aku ini Tuhanmu?” Jawabnya adalah “Benar, wahai Tuhanku, kami
semua menjadi saksi.” Maksudnya secara yakin menyaksikan (weruh
= melihat dengan seyakinnya) atas keberadaan Diri Tuhan yang di
alam dunia ini Dia sama sekali takkan pernah menampakkan Diri.
Karena itu, Al-Ghaib, Satu-satu-Nya Zat Yang Wajib Wujud-Nya
tetapi gaib dan di dunia ini, Dia mengenalkan Diri-Nya dengan Asma
168
Allah dan juga Asma-Asma lain yang terangkum dalam Asmaul
Husna.
Itulah keadaan asli dan murninya fitrah manusia. Oleh karena itu
dengan tegasnya, agar manusia ketika dalam ujian dunia ini dapat
lulus guna tujuan pulang kembali kepada-Nya, Nabi Muhammad saw
bersabda: Uthlubul `ilma minal mahdi ilal-lahdi (Carilah ilmu sejak
dari ayunan hingga ke liang lahad).
Ilmu sejak dari ayunan berarti masih dalam keadaan bayi yang
baru lahir. Yaitu, ilmu untuk mengenali fitrahnya diri yang asal
tempatnya dari Diri-Nya Zat Yang Mahafitrah. Itulah sebabnya
mengapa ada ungkapan man „arafa nafsahu faqad „arafa rabbahu
(Barang siapa yang mengenal dirinya maka pasti akan mengenal
Tuhannya). Dan ilmu untuk masuk ke liang lahad adalah ilmu yang
menunjukkan pintunya mati supaya dapat selamat bertemu dengan
Diri-Nya Tuhan lagi. Sabda Nabi di atas bermakna perintah, yaitu:
Carilah! Maksudnya yang dicari ini adalah yang orang yang ahli
menunjuki dan membimbing` shiraathal mustaqiim.
Pelaksanaan thawaf dengan mengelilingi Ka‟bah 7 kali juga ada
makna di dalamnya. Pada pojok pertama Ka`bah ada Hajar Aswad
(batu hitam). Hajar Aswad adalah simbol asal mula tempat fitrahnya
manusia. Fitrah diri manusia yang terhadap keberadaan Diri Tuhannya
menyaksikan Ada dan Wujud Diri Tuhannya, dan juga telah sedia
memikul amanah-Nya meskipun kesediaannya memikul amanah-Nya
ini ternyata tidak dipuji bahkan malah mendapat vonis: Innahu kaana
zhaluuman jahuula, karena memang sangat bodohnya hingga karena
itu sama sekali tidak tahu bahwa akan diproses menjadi bentuk baru
(berjiwa raga), lewat kandungan ibu terus diuji dengan hidup dan
kehidupan dunia.
Pojok Ka’bah yang kedua adalah simbol alam kandungannya
ibu. Di alam ini, ketika calon manusia telah berumur 120 hari berupa
segumpal daging, lalu dimasukkan ke dalamnya ruh-Nya dan
169
ditetapkan rezekinya, umurnya, matinya, amalnya, serta nasib baik
dan buruknya (Perhatikan kembali hadis takdir dalam Rukun Iman).
Pojok Ka`bah ketiga adalah simbol alam dunia. Bagi yang
dikehendaki mengikut jejak para malaaikatul-muqarrabin yang rela
bersujud kepada wakil-Nya Allah = jihadunnafsi-nya hingga patuh
dan tunduk bagai mayat yang pasrah seutuhnya kepada yang berhak
menyucikannya, di tempat ujian dunia ini tidak berhenti, terus jalan
melewati pojok keempatnya Ka'bah sebagai simbol alam kubur. Dan
karena matinya selamat, maka bangkitlah suka citanya merasakan
betapa indah dan bahagianya kembali bertemu dengan Diri Ialhi.
Thawaf dengan mengelilingi Ka'bah tujuh kali ini adalah
lambang adanya firman Allah dalam QS al Mukminun 17, Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan,
dan Kami tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami.
Juga lambang dari pada mukadimahnya Ilmu Ma'rifat Billah
(Ilmu Syaththariah), yaitu zikir 7 macam yang disesuaikan dengan
nafsu manusia yang juga ada 7 macam. Sebab, untuk dapat selamat
kembali bertemu Tuhan, harus menunggangi nafsu yang tujuh macam
itu.
Kain ihram tanpa jahitan adalah simbol sama-sama. Simbol
kemerdekaan, dan kedamaian. Simbol tiadanya perbedaan; simbol
rasa jiwa yang hurriyah tammah; rasa jiwa yang merdeka sejati dan
sempurna karena hanya merasakan Diri-Nya Tuhan dalam rasa
hatinya; simbol hidupnya manusia yang tidak dijajah oleh nafsunya
sendiri; simbol dari pada hamba yang segala tingkah laku dan
perbuatan lahir dan batinnya semata-mata karena katut siliring
Qudratullah, karena dijadikan oleh-Nya hamba yang mencahayakan
Diri-Nya.
Tahalul dengan simbol motong rambut. Rambut adalah
lambang mahkota. Memotong rambut adalah simbol untuk
170
meniadakan watak akunya nafsu yang mahkotanya adalah abaa
wastakbara, ana khairun minhu, layatgha, dan an ro-aa hustaghna.
Mengambil tujuh buah kerikil di malam hari untuk alat
melempar jumrah merupakan simbol hamba yang bangun habis tengah
malam, beristigfar, mohon ampunan kepada-Nya. Dan bila dikabulkan
oleh-Nya, diberitahu oleh Tuhannya bahwa penyebab orang tergelincir
dari jalan lurus yang licin ini karena kesandung kerikil, yang biasanya
dianggap sepele.
Kerikil-kerikil ini adalah lambang wataknya nafsu yang maunya
”ngaku” terhadap semua amal baiknya hingga menjadikannya lupa
pada belas kasih Tuhan yang membuat dirinya mempunyai hati
"dimaukan" beramal baik. Karena itu harus dibuang, yakni dilempar
ke sumur tempat melempar jumrah. Ini simbol melempar setan supaya
setan (yaitu ajakan dari luar dirinya yang menyebabkan hidup dan
kehidupan tidak sejalan dengan kehendak Tuhan), tidak mempan lagi.
Lalu mengapa melemparkannya mesti ke dalam sumur, dan
harus dapat masuk semua? Sumur adalah simbolnya sumber ilmu.
Ilmu untuk dapat masuk ke dalam samuderanya 'arifun billah.
Dilempar ke dalam sumur supaya tenggelam, yakni sirna, fana, dan
nafi. Hal ini dimaksudkan agar watak nafsu yang maunya selalu
”ngaku” (ngaku hebat, ngaku kaya, ngaku pintar, ngaku kuat, dan
berbagai pengakuan lainnya) sirna tenggelam ke dalam Diri-Nya Sang
Maha Aku (Allah).
6. Ihsan dalam beramal saleh
Perhatikan ayat Al-Quran tentang amal saleh berikut:
ال ذي خلق الموت والياة ليب لوكم بتارك ال ذي بيده الملك وىو على كل شيء قدير
أيكم أحسن عمل وىو العزيز الغفور
171
Mahasuci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia
Mahakuasa atas segala sesuatu. (Dia) yang telah menjadikan “mati
dan hidup” (dengan maksud) untuk menguji siapakah di antara
kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun (QS al-Mulk: 1-2).
Bandingkan dengan ayat Al-Quran tentang berzikir berikut:
يا أي ها ال ذين آمنوا اذكروا ال و ذكرا كثرياHai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama)
Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. (QS al-ahzab: 41)
Dalam berzikir, kita yang beriman diperintah oleh Allah untuk
berzikir sebanyak-banyaknya (dzikran katsiiraa). Menurut ilmu
tasawuf makna zikir sebanyak-banyaknya itu setiap kita arik nafas
maka kita harus mengingat Allah. Adapun dalam beramal saleh, kita
yang beriman diperintah oleh Allah untuk beramal saleh secara
berkualitas (ahsanu `amalaa). Maksudnya, jangan asal beramal, tetapi
mesti beramal yang berkualitas.
Bagaimanakah beramal saleh yang berkualitas itu? Untuk
memperoleh Jawabannya kita dapat membuka ayat-ayat suci Al-
Quran seperti ayat-ayat berikut:
عها أذى ر من صدقة ي تب واللاو غني حليم ق ول معروف ومغفرة خي Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah
yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si
penerima). Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun (QS al-Baqarah:
263).
Ayat ini mengaitkan sedekah dengan “ucapan yang baik”.
Sedekah merupakan ibadah harta yang diperintahkan oleh Allah. Tapi
sedekah sama sekali tidak bermakna jika dilakukan secara asal-asalan.
172
Dalam ayat di atas pemberian sedekah yang disertai ucapan hati si
penerima sedekah secara implisit terlarang, dengan ditegaskannya
bahwa “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada
sedekah yang diiringi perkataan yang menyakitkan hati si penerima
sedekah”. Kata-kata yang bisa menyakitkan hati sang penerima
sedekah seperti dalam kasus berikut. Seseorang meminta sedekah
kepada saudaranya yang lebih beruntung (lebih kaya, lebih
berkecukupan). Saudaranya yang lebih kaya itu memberinya sedekah
tapi disertai ucapan, misalnya: “Ah, kamu kerjanya hanya minta-minta
saja. Coba kamu usaha yang benar, jangan membebani saudara-
saudara kamu!” Perkataan yang baik (qulun ma`ruufun) dalam ayat di
atas bisa bermakna luas, mulai dari penerimaan yang ramah dengan
menyambut kedatangan saudaranya yang mau meminta sedekah itu
hingga memberikan solusi konseptual tentang cara-cara mengatasi
kesulitan ekonomi, karena kalimat qaulun adalah isim nakirah
(umum). Maksudnya, daripada memberi sedekah yang disertai ucapan
menyakitkan lebih baik memberi solusi atau jalan keluar dari kesulitan
ekonomi yang dihadapi oleh saudaranya.
Perhatikan pula ayat berikut
لقتال رأيت فإذا أنزلت سورة مكمة وذكر فيها وي قول ال ذين آمنوا لول ن زلت سورة
وت فأول لم من الم ي نظرون إليك نظر المغشي عليو ال ذين ف ق لوبم مرض
فإذا عزم األمر ف لو صدقوا الل و لكان خي را لم طاعة وق ول معروف
Dan berkata orang-orang yang beriman: "Mengapa tidak diturunkan
suatu surah (tentang perintah berperang)?" Maka apabila diturunkan
satu surah yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya
(perintah) perang, kalian (akan) lihat orang-orang yang ada penyakit
di dalam hatinya memAndang kalian seperti orang yang pingsan
173
karena takut mati (akibat peperangan itu); dan kecelakaanlah bagi
mereka.
Taat dan mengucapkan “perkataan yang baik” (adalah lebih baik
bagi mereka daripada meminta diturunkannya satu surah yang jelas
perintah berperang). Apabila dia telah menetapkan suatu urusan
(seperti perintah berperang, tentu mereka tidak menyukainya). Tetapi
jika mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian
itu lebih baik bagi mereka (QS Muhammad: 20-21).
Kedua ayat ini mengaitkan perang dengan “ucapan yang baik”.
Berperang, baik perang sebagaimana layaknya perang-perang di dunia
(untuk mengalahkan musuh) ataupun perang dalam arti jihad akbar
(perang untuk menundukkan nafsunya sendiri, agar selalu menaati
perintah Allah dan Rasul-Nya), merupakan amal saleh yang sangat
berat. Dalam ayat di atas secara tersirat dijelaskan bahwa orang-orang
yang lemah imannya meminta diturunkannya satu surah tentang
perintah berperang (seolah-olah mereka itu menantang datangnya
perintah untuk berperang). Tetapi ketika ayat perintah berperang itu
benar-benar turun, orang-orang yang memiliki penyakit hati enggan
untuk berperang (padahal sebelumnya mereka meminta didatangkan
satu surah tentang perintah berperang). Kedua ayat di atas
menegaskan bahwa “ucapan yang baik” lebih baik daripada meminta
didatangkannya satu surah tentang perintah berperang. Maksud
“ucapan yang baik” di sini adalah “taat” kepada Rasul. Jika Rasul
telah mengeluarkan perintah (misal perintah perang), maka
berperanglah karena Allah atas dasar ketaatan kepada Rasulullah. Jika
Rasul tidak memerintahkan sesuatu (misal tidak memerintahkan untuk
berperang), lakukan saja perintah-perintah Rasul yang lainnya (yang
telah diperintahkan, seperti ibadah-ibadah dan amal-amal sosial).
Perintah perang yang paling abadi adalah perintah untuk melakukan
174
jihad akbar, yakni berperang untuk menundukkan nafsu sendiri agar
tunduk dan patuh kepada perintah-perintah Allah dan perintah-
perintah Rasul-Nya. Inilah makna “perkataan yang baik” dalam kedua
ayat di atas.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa amal saleh lebih berkaitan
dengan ibadah-ibadah ghair mahdhah. Bahasa moderennya adalah
“kepedulian sosial”. Jadi, amal saleh adalah amal-amal berupa
kepedulian untuk membantu orang lain yang memerlukan
pertolongan. Dalam bahasa pembangunan, bantuan-bantuan yang
diperlukan oleh kebanyakan orang adalah bantuan ekonomi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bantuan kesehatan, dan
bantuan pendidikan. Amal saleh yang berkualitas dalam bidang
pembangunan ini, misalnya memberi makan di hari-hari orang miskin
sulit makan, mempekerjakan orang-orang miskin (secara manusiawi),
memberikan pelatihan-pelatihan life skills dan bantuan modal bagi
orang-orang miskin usia kerja, hingga memberikan beasiswa kepada
anak-anak orang miskin yang potensial agar kelak bisa menghidupi
dirinya dan keluarganya secara lebih baik. Dan kepedulian-kepedulian
sosial lainnya yang berkualitas.
Pengertian ahsanu amalan perlu dipahami secara lebih
komprehensif dan menyeluruh. Kaum muslimin yang sadar membayar
zakat, sedekah, dan infak sering kali menunggu-nunggu waktu yang
baik untuk membayarkan ibadah harta itu. Pernah seorang miskin
datang meminta sedekah kepada seorang kaya, suatu bantuan yang
sangat diperlukan oleh orang miskin tersebut untuk mengatasi masalah
yang dihadapinya saat itu. Orang kaya itu mengatakan, “Nanti di
bulan Ramadan akan saya keluarkan semua harta zakat, infak, dan
sedekah saya. Sekarang bukan waktu yang tepat!” Si miskin dibuat
bengong dan pulang meninggalkan orang kaya itu dengan tangan
hampa. PAndangan hidup orang kaya itu bukan merupakan ahsanu
amalan. Amal saleh yang berkuatas seperti ini akan lebih tepat
175
dilakukan pada saat orang miskin itu benar-benar membutuhkan
bantuan, jangan sampai menunggu-nunggu hari yang baik untuk
beribadah harta. Apakah ajaran Islam sekaku itu? Masa seorang
miskin yang memerlukan operasi pada awal bulan Sya`ban harus
menunggu sedekah pada bulan Ramadan? Secara ilmu kedokteran
orang yang menunda-nunda operasi (jika operasi itu satu-satunya
jalan) sama saja dengan menyiapkan dirinya untuk mati!
176
BAB IV
NILAI-NILAI DASAR YANG MENJADI
KEARIFAN LOKAL PESANTREN
Nilai-nilai dasar yang dijadikan kearifan lokal di pondok
pesantren sekurangnya ada 5 (lima), yakni pertama, ikhlas dalam
beramal; syukur nikmat; “wara` & zuhud; ta`awun (tolong-
menolong); pola hidup sederhana.
A. Nilai Dasar-1 Ikhlas dalam Beramal
Ikhlas dalam beramal merupakan nilai dasar yang pertama dari
nilai-nilai dasar yang menjadi kearifan lokal pesantren. Para kiai
memberikan keteladanan dalam menjalankan nilai dasar ini. Para santri
selalu diajari dan dinasihati agar selalu ikhlas dalam beramal.
Nilai dasar ini biasnya merujuk kepada hadis Nabi saw tentang
peranan “niat” dalam beramal. Perhatikan hadis dalam kotak berikut,
yang dikutip dari Kitab Hadis Arba`in Nawawiy :
Dari Amirul Mu‟minin, Abi Hafs Umar bin Al-Khattab r.a.
berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya
setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang
(akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya
karena (ingin mendapatkan keridaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang
hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau
karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai
sebagaimana) yang dia niatkan. (HR Bukhari dan Muslim, dalam
www.lidwapusaka.com)
Imam Nawawiy (2007), memberikan catatan tentang hadis di atas
sebagai berikut:
1. Hadis ini merupakan salah satu dari hadis-hadis yang menjadi inti
ajaran Islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi‟i berkata: Dalam hadis
177
tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu. Sebab, perbuatan hamba
terdiri dari perbuatan hati, lisan, dan anggota badan, sedangkan niat
merupakan salah satu bagian dari ketiga unsur tersebut.
Diriwayatkan dari Imam Syafi‟i bahwa dia berkata," Hadis ini
mencakup tujuh puluh bab dalam fikih. Sejumlah ulama bahkan ada
yang berkata," Hadis ini merupakan sepertiga Islam.
2. Sebab diturunkannya hadis ini, yaitu ada seseorang yang hijrah dari
Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk dapat menikahi seorang
wanita yang konon bernama Ummu Qais, dan bukan untuk meraih
pahala berhijrah. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan
“Muhajir Ummi Qais” (Orang yang hijrah karena Ummu Qais).
Menurut Imam Nawawiy, hadis di atas memuat 7 kandungan,
yakni:
1. Niat merupakan syarat diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan
amal ibadah tidak akan menghasilkankan pahala kecuali berdasarkan
niat (karena Allah Ta‟ala).
2. Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya
di hati.
3. Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah Ta‟ala
dituntut pada semua amal saleh dan ibadah.
4. Seorang mukmin akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar
niatnya.
5. Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi
niat karena mencari keridaan Allah maka dia akan bernilai ibadah.
6. Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas)
adalah niat.
7. Hadis di atas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman
karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman
Ahlu Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati,
diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.
178
Ikhlas merupakan nilai yang tinggi. Karena iblis yang biasanya
selalu berhasil menjerumuskan manusia, sama sekali tidak mampu
menjerumuskan orang-orang yang ikhlas. Hanya amal yang ikhlas yang
akan mendapat ganjaran dari sisi Allah Sang Pemberi Pahala. Ayat-ayat
Al-Quran menegaskan tentang tingginya derajat orang-orang yang ikhlas
di sisi Allah swt, sampai-sampai iblis saja tidak sanggup menggodanya.
Perhatikan ayat-ayat Al-Quran berikut:
هم قال رب بما أغوي تني ألزي ننا لهم في األرض وألغوي ن اهم أجمعين إلا عبادك من
المخلصين
Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan
bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memAndang baik
(perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan
mereka semuanya; kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis (ikhlas)
di antara mereka" (QS al-Hijr: 39-40).
رك األسفل من الناار ولن تجد لهم نصيرا إلا الاذين تابوا .إنا المنافقين في الدا
هم للاو فأول وسوف ئك مع المؤمنين وأصلحوا واعتصموا باللاو وأخلصوا دين
اللاو المؤمنين أجرا عظيما ي ؤت Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan
yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan
mendapat seorang penolong pun bagi mereka; kecuali orang-orang
yang bertobat, mengadakan perbaikan, berpegang teguh pada Allah,
dan tulus ikhlas (dalam menjalankan) agama mereka karena Allah.
Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak
Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang
besar (QS an-Nisa‟: 145-146).
179
قل أمر ربي بالقسط وأقيموا وجوىكم عند كل مسجد وادعوه مخلصين لو
ين كما بدأكم ت عودون الد
Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan"; dan (katakan
pula): "Luruskanlah mukamu di setiap shalat dan sembahlah Allah
dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepadanya; sebagaimana Dia telah
menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan
kembali kepada-Nya)". (QS al-A`raf: 29)
Amal yang ikhlas didasarkan atas niat lillaah (karena Allah), fii
sabiilillaah (di Jalan Allah), billaah (bersama Allah), dan ilallaah
(menuju Allah). Amal yang ikhlas harus diniatkan ingin kembali
kepada DiriNya Ilahi hingga sampai dengan selamat.
لدين فيهالمشركين فى نار جهنام خ ٱب و لكت ٱمن أىل لاذين كفرواٱإنا
لبرياة ٱئك ىم شر ل أوPadahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan ikhlas dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus (QS al-Bayyinah: 5).
Ayat ini menegaskan bahwa beribadah harus dijalankan dengan
seikhlas-ikhlasnya dengan niat lillaah (karena Allah), fii sabiilillaah
(di Jalan Allah), billaah (bersama Allah), dan ilallaah (menuju Allah).
Jangan sampai ada niat-niat tambahan berupa pamrih dunia ataupun
pamrih akhirat.
Sangat disayangkan, betapa banyak kaum muslimin yang
menjalankan ibadah dengan niat untuk memperoleh dunia. Mereka
memperbanyak shalat, mengerjakan shalat tahajud, menjalankan puasa
180
sunat, kadang-kadang diselingi juga dengan sedekah, tetapi niatnya
untuk meraih kesenangan duniawi. Bahkan ibadah hajji pun kadang-
kadang diniati untuk meraih kesenangan duniawi. Mereka
menjalankan ibadah-ibadah demikian untuk lebih memperlancar
bisnisnya, untuk mendapat posisi dalam suatu jabatan, untuk
kesembuhan penyakitnya, untuk mendapatkan jodoh yang
dikehendakinya, untuk ditutupi Tuhan aib-aib dunianya, yang pada
pokoknya untuk dimudahkan urusan-urusan duniawinya.
Demikian juga ada sebagian kaum muslimin yang
memperbanyak ibadah dengan niat untuk meraih pamrih-pamrih
akhirat, yakni mengumpul-ngumpulkan pahala dan menghitung-
hitungnya. Apa pahalanya sudah mencapai takaran surga ataukah
masih kurang, sehingga untuk menghindari neraka harus memilih
amal-amal yang paling banyak pahalanya (menurut pertimbangan akal
pikirannya). Padahal takabur, ujub, riya, dan sum`ah dapat
menghapus seluruh pahala seperti api yang membakar habis kayu
kering. Terlebih lagi jika terkotori dosa syirik, seluruh amal saleh akan
terhapus tanpa tersisa sedikit pun. Firman-Nya antara lain dalam QS
al-Kahfi ayat 103-105:
ن يا وىم يسبون - قل ىل ن نبئكم باألخسرين أعمال ال ذين ضل سعي هم ف الياة الد
م ولقائو فحبطت أعما - أن هم يسنون صنعا لم فل أولئك ال ذين كفروا بآيات رب
نقيم لم ي وم القيامة وزنا
Katakanlah: "Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-
orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang
telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan
mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka
itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka
dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah
181
amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian
bagi (amalan) mereka pada hari kiamat( QS al-Kahfi : 103-105).
Nilai dasar ikhlas yang menjadi kearifan lokal pesantren ini tentu
sangat tepat. Coba renungkan, siapakah di antara dua orang ini yang
berpikiran maju: orang yang bekerja mencari keuntungan sesaat atau
orang yang bekerja mencari keuntungan abadi? Pasti kita memilih orang
yang kedua. Orang yang mencari keuntungan sesaat tidak akan berpikir
tentang akibat yang terjadi di kemudian hari. Pokoknya hari ini
beruntung. Esok hari, lusa? Gimana nanti. Orang yang sehat akan
berpikir keberuntungan yang kekal-abadi.
Para pelaku maksiat dan kemungkaran adalah mereka yang
mencari keuntungan sesaat. Bahkan untuk ukuran duniawi juga mereka
mencari keuntungan sesaat. Coba perhatikan para koruptor. Mereka
terkesan senang dan berbahagia. Mereka bisa membeli apa saja yang
diinginkannya. Mereka memilih hidup mewah: rumah mewah, mobil
mewah, vila dan taman yang indah-indah, perabotan rumah yang
mewah, pakaian mewah, perhiasan emas permata yang serba mahal,
batangan-batangan mas, permata dan intan-berlian, dan berbagai
kemewahan lainnya. Para lelaki koruptor biasanya menikahi banyak
wanita muda atau mempunyai istri/wanita simpanan. Pertanyaannya,
apakah kemewahan hidup mereka berjalan lama? Bukan hanya hukum
alam yang membuat mereka tua (karena umur terus bertambah dan pasti
mati); melainkan penegak hukum datang menangkap mereka. Mereka
pun seolah-olah tidak sayang dengan membayar mahal para pengacara
kondang. Apakah bukti korupsi mereka dapat terbantahkan? Mungkin
beberapa hakim curang dapat membebaskan mereka dari tuduhan
korupsi. Tapi citra kehidupan mewah sebagai orang bersih sangat susah
dihapus dari masyarakat. Bisa saja para koruptor demikian terus
bersembunyi, misalnya pura-pura hidup biasa (tinggal di rumah biasa
dan mobil kelas ekonomi, bukan rumah mewah dan mobil mewah). Tapi
apakah kehidupan pura-pura seperti ini dapat membuat hidup mereka
182
bahagia? Terlebih-lebih banyak para koruptor yang tertangkap basah dan
menghabiskan sisa hidupnya di penjara. Contohnya Gayus Tambunan,
sang koruptor muda dan sangat serakah. Ia telah ditetapkan oleh
Pengadilan dipenjara selama 36 tahun. Harta hasil korupsinya yang
berjumlah mencapai ratus milyar disita negara. Kasus serupa menimpa
puluhan koruptor. Baru ketika kehidupan menghimpit mereka, para
koruptor itu (juga para pelaku maksiat dan kemunkaran) seolah-olah
sadar beragama. Tapi yang sebenarnya hanyalah kesadaran-semu.
Perhatikan QS Yunus ayat 22-23 berikut:
لفلك وجرين بم بريح طيبة ٱ إذا كنتم ف لبحر حت ٱلب ر و ٱل ذى يسي ركم ف ٱىو
ا لموج من كل مكان وظنوٱءىم ءت ها ريح عاصف وجا با جا وفرحوا
ين لئن أميت نا من ى ٱلل و ملصي لو ٱ أن هم أحيط بم دعوا من لنكونن ۦذه لد
كرين لش ٱ
ا ب غيكم على ٱأي ها لق ي ٱألرض بغري ٱهم إذا ىم ي ب غون ف أمى ف لم ا لن اس إن
نا مرجعكم ف ن نبئكم با كنتم ت عمل ٱة لي و ٱع أنفسكم م ت ن يا ث إلي ون لد
Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan,
(berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera,
dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di
dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira
karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari
segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah
terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan
mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata):
"Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini,
pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur".
183
Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat
kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia,
sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri;
(hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian
kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan (QS Yunus: 22-23).
Kenyataannya para pelaku koruptor serta para pelaku maksiat
dan kemunkaran hidupnya serba susah, sebab mereka memilih
keuntungan sesaat. Oleh karena itu, dalam kaca mata dunia saja cara
berpikir seperti ini (memilih keuntungan sesaat) sudah salah. Terlebih
lagi dari kaca mata agama.
Pondok pesantren memberikan kiat-kiatnya dalam beramal.
Ketika bekerja, maka amalnya hanya didasarkan atas keikhlasan kepada
Allah swt. Ketika shalat, niatnya ditujukan kepada Allah semata. Ketika
menolong orang didasarkan atas Allah Ta'ala. Ketika bekerja dan belajar
pun niatnya karena Allah semata. Makanya ketika orang yang dibantu
itu tidak berterima kasih, orang yang ikhlas tidak akan morang-maring.
Biarlah manusia begitu asalkan Allah meridai kita.
Lawan ikhlas adalah ria. Para kiai mengingatkan para santri
jangan sampai beramal karena ria. Di kalangan masyarakat muslim
istilah riya dimaksudkan untuk menyebutkan suatu amal ibadah yang
didasarkan atas pamer semata, sekedar untuk mendapatkan pujian dari
manusia, bukan karena atas dasar lillaahi Ta`ala (karena Allah Ta‟ala).
Dalam tradisi pesantren ria adalah beramal karena “pamrih”. Misal,
menolong orang karena ingin dipuji sebagai orang baik, atau karena
ingin mendapatkan upah. Allah swt menyebut orang yang berbuat ria itu
sebagai orang yang sombong dan suka membangga-banggakan diri.
Coba perhatikan ayat berikut:
184
واليتامى وبالوالدين إحسانا وبذي القرب واعبدوا الل و ول تشركوا بو شيئا
واجلار اجلنب والص احب باجلنب وابن الس بيل وما والمساكي واجلار ذي القرب
إن الل و ل يب من كان متال فخورا لكت أيانكم م
وأعتدنا ال ذين ي بخلون ويأمرون الن اس بالبخل ويكتمون ما آتاىم الل و من فضلو
للكافرين عذابا مهينا
ومن يكن ن أموالم رئاء الن اس ول ي ؤمنون بالل و ول بالي وم الخر وال ذين ي نفقو
الش يطان لو قرينا فساء قرينا
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu pun; dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat
dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri;
(yaitu) orang-orang yang kikir, menyuruh orang lain berbuat kikir,
dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada
mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu
siksa yang menghinakan;
dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta mereka karena ria
kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah
dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil setan itu
menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-
buruknya. (QS an-Nisa: 36-38)
185
Ketiga ayat di atas menegaskan bahwa orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri akan berwatak kikir dan menyuruh orang
lain untuk berwatak kikir juga. Dengan berbuat kikir berarti mereka
telah menyembunyikan karunia Allah, karena harta kekayaan itu
seharusnya dibelanjakan sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-
Nya. Kalau pun mereka mengeluarkan sedekah, niatnya hanyalah
karena ria, sekedar untuk mendapatkan pujian dari manusia. Mereka
ini oleh Allah digolongkan sebagai sahabat setan, dan kelak akan
Allah jebloskan ke dalam neraka.
Para santri begitu khawatir jangan sampai amal yang mereka
lakukan tercoreng oleh ria. Kiai dan para ustad selalu mengingatkan
para santri agar beramal yang ikhlas dan terhindar dari ria.
B. Nilai Dasar-2 Syukur Nikmat
Syukur merupakan nilai dasar yang menjadi kearifan lokal
pesantren. Para kiai memberikan keteladanan dalam menjalankan nilai
dasar ini. Para santri selalu diajari dan dinasihati agar mereka selalu
mensyukuri nikmat.
Syukur berasal dari kata اشكر -شكر -شكر (bahasa Arab) yang
berarti berterima kasih. Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
syukur memiliki dua arti: (1) rasa berterima kasih kepada Allah; dan
(2) berarti untunglah, yakni merasa lega atau senang, dan lain-lain.
Sebagian ulama mengartikan syukur sebagai gambaran dalam benak
tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Ulama lainnya
menjelaskan syukur berasal dari kata ‟syakara‟ yang berarti
„membuka‟. Lawan katanya „kufur‟ yang berarti „‟menutup atau
melupakan segala nikmat kemudian menutup-nutupinya. (Sauri 2011).
Adapun secara istilahi, syukur adalah rasa berterima kasih yang
tiada terhingga kepada Tuhan Yang Asma-Nya Allah karena hati kita
telah dimaukan oleh Allah untuk beragama yang lurus (shiraathal
mustaqiim) sesuai petunjuk dan teladan Rasulullah, juga hati kita
186
dimaukan untuk menjalankan ibadah dan amal sosial sesuai kehendak
Allah sebagaimana diajarkan dan diteladankan oleh Rasulullah atau
ulil amri. Manusia golongan ini memang sangat sedikit sebagaimana
firman Allah: qaliilan maa tasykuruun = sedikit sekali kamu yang
bersyukur (QS al-A`raf: 10). Jadi, syukur bukanlah sebagai yang
dipahami masyarakat, yakni ekspresi kesenangan karena memperoleh
nikmat duniawi. Syukur yang sebenarnya karena memperoleh nikmat
keberagamaan yang benar sesuai petunjuk dan teladan Rasulullah.
Banyaknya ayat tentang keutamaan dan perintah untuk
bersyukur kepada Allah menunjukkan bahwa syukur merupakan nilai
dasar dalam Islam. Orang yang bersyukur kepada Allah dijanjikan
oleh Allah akan diberi tambahan nikmat. Tetapi jika kufur (tidak
bersyukur) maka orang itu akan berhadapan dengan azab Allah,
sebagaimana firman-Nya dalam QS Ibrahim ayat 5-8:
بآياتنا أن أخرج ق ومك من الظلمات إلى النور وذكرىم بأياام ولقد أرسلنا موسى
.صباار شكور لك ليات لكل إنا في ذ اللاو
عون لقومو اذكروا نعمة اللاو عليكم إذ أنجاكم من آل فر وإذ قال موسى
لكم بلء وفي ذ أب ناءكم ويستحيون نساءكم يسومونكم سوء العذاب ويذبحون
.من ربكم عظيم
.ولئن كفرتم إنا عذابي لشديد وإذ تأذان ربكم لئن شكرتم ألزيدناكم
.إن تكفروا أن تم ومن في األرض جميعا فإنا اللاو لغني حميد قال موسى و
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa
ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): "Keluarkanlah
kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang-benderang, dan
ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah." Sesunguhnya pada yang
187
demikian itu terdapat tAnda-tAnda (kekuasaan Allah) bagi setiap
orang penyabar dan banyak bersyukur.
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Ingatlah
nikmat Allah atasmu ketika Dia menyelamatkan kamu dari Fir'aun
dan pengikut-pengikutnya. Mereka menyiksa kamu dengan siksa yang
pedih; mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu; membiarkan
hidup anak-anak perempuanmu. Dan pada yang demikian itu ada
cobaan yang besar dari Tuhanmu."
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.
Namun jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih." Musa berkata: "Jika kamu dan orang-orang
yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) maka
sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji." (QS Ibrahim : 5-
8).
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa lawan bersyukur adalah
kufur. Maksudnya, jika kita tidak bersyukur berarti (na`udzu billaahi
min dzaalik) okit itu kufur. Oleh karena itu jika kita ingin selamat, kita
harus bersyukur. Perintah agar kita bersyukur diungkapkan dalam 6
ayat Al-Quran berikut:
فاذكرون أذكركم واشكروا ل ول تكفرون Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari-Ku (QS al-Baqarah: 152).
ا ال ذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزق ناكم واشكروا للو إن كنتم إي اه ت عبدون يا أي ه
188
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-
baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah,
jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah (QS al-
Baqarah: 172).
Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah
berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah
selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu; maka
mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan
bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nyalah kamu akan
dikembalikan (QS al-Ankabut: 17)
نا لقمان الحكمة أن اشكر للاو ومن يشكر فإناما يشكر لن فسو ومن كفر ولقد آت ي
فإنا اللاو غني حميد
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur
(kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya
sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya
Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji" (QS Luqman: 12).
نسان بوالديو ح نا اإل لتو أمو وىنا على وىن وفصالو ف عامي أن ووص ي
اشكر ل ولوالديك إل المصري
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu (QS Luqman: 14).
189
ربكم من رزق لقد كان لسبإ ف مسكنهم ءاية جن تان عن يي وشال كلوا
ب لدة طيبة ورب غفور ۥلو شكرواٱو
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tAnda di tempat kediaman
mereka, yakni dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.
(Kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya.
(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan
Yang Maha Pengampun" (QS Saba`: 15).
Apa saja yang harus kita syukuri? Dengan menelaah ayat-ayat di
atas, rasa syukur yang “paling utama” karena hati kita ditahukan dan
dimaukan untuk beriman dengan keimanan yang benar. Setelah
mensyukuri nikmat iman, kita wajib bersyukur karena: (1) kita
ditahukan agama yang lurus (shiraathal mustaqiim), (2) kita dimaukan
untuk menjalankan ibadah secara benar dan ikhlas, (3) kita dimaukan
untuk menghindari dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil yang
dilakukan secara terus-menerus (karena dosa kecil yang dilakukan
secara terus-menerus tergolong dosa besar), (4) kita dimaukan untuk
selalu bertobat memohon pengampunan Allah dari segala dosa dan
kesalahan, (5) kita dijadikan orang yang sabar ketika mendapat
musibah, dan (6) kita wajib bersyukur karena kita telah diberi nikmat
dunia. (Rahmat, 2010; Supriadi, 2013).
Cara-cara mengungkapkan rasa syukur sebagai berikut Pertama,
secara umum ungkapan rasa syukur diungkapkan secara batin, yakni
rasa senang yang tak terhingga karena hatinya dimaukan oleh Allah
untuk menjalankan agama yang benar (sesuai petunjuk Rasulullah),
juga hatinya dimaukan Allah untuk menjalankan ibadah dan amal
sosial yang benar dan ikhlas (sesuai petunjuk dan teladan Rasul-Nya),
dan lain-lain (terhadap ketujuh hal yang wajib disyukuri).
190
Kedua, secara khusus rasa syukur biasanya diungkapkan dalam
sujud syukur, misalnya setelah menyelesaikan shalat dan zikir ba`da
shalat. Banyak juga kaum muslimin yang melakukan sujud syukur
setelah memperoleh nikmat duniawi. Seorang calon bupati atau wakil
rakyat yang meraih suara terbanyak, seorang peserta lomba yang
terpilih menjadi juara, pemain sepak bola yang berhasil menendang
bola ke gawang lawan, pemain badminton yang berhasil mengalahkan
lawannya, seorang sarjana yang lulus seleksi PNS, dan lain-lain,
hingga seorang siswa yang lulus ujian masuk PTN favorit, banyak di
antara mereka yang bersujud mengungkapkan rasa syukur kepada
Allah atas keberhasilannya.
Untuk lebih memahami dan meresapi rasa syukur kita bisa
membuat ilustrasi sebagai berikut. Pernahkah Anda menghitung,
berapa banyak nikmat yang Allah berikan kepadamu? Pasti Anda tidak
mampu menghitungnya, karena saking banyaknya kenikmatan yang kita
terima. Anda tentu tahu HO2 yang dihirup setiap saat, setiap detik, setiap
kali kita bernafas? Itu semua gratis, bukan? Ya, itu semua dari Allah
swt. Coba kalau kita harus membeli oksigen, berapa ratus juta rupiah
uang yang harus kita keluarkan. Dan jarang sekali orang yang punya
uang sebanyak itu.
Lihat saja orang yang pergi ke luar angkasa, atau yang mau
menyelam ke dasar lautan, mereka semua membawa tabung HO2. Dan
itu hasil pembelian, tidak gratis. Berapa harga setabungnya? Cukup
mahal! Nah, siapa yang menciptakan dan memberikan HO2 secara gratis
itu? Allah Ta'ala. Masya Allah, pernahkah kita menyadari anugerah
Allah yang sangat besar itu. Apakah kita pernah menyampaikan rasa
syukur atas nikmat yang sangat besar itu? Bila belum, mulailah dari
sekarang kita ungkapkan rasa syukur itu dengan mengucapkan:
alhamdulillah atau subhanallah.
Malah kata Ibn Arabi (ulama dan filsuf Islam), kita wajib
mengungkapkan rasa syukur kita sebanyak dua kali setiap kita
191
bernafas: satu kali ketika menarik nafas, dan satu kali lagi ketika
mengeluarkan nafas. Ya, bagi orang-orang mukmin yang selalu
berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya,
mereka selalu melakukan syukur demikian. Bagi kita, paling tidak kita
perlu mengucapkan: subhanallah, alhamdulillah, allahu akbar, dan la
ilaha illallah, sehabis kita mengerjakan shalat wajib.
Itu baru udara saja. Belum lagi nikmat air yang dengannya kita
dapat minum dan mandi; nikmat makanan yang berlimpah ruah di alam
semesta; nikmat angin yang dengannya pohon-pohon berbuah,
buah-buahan dan makanan tahan busuk, suatu sistem pengawet makanan
yang gratis. Belum lagi nikmat kesehatan. Kapan kita sadar punya mata?
Ketika sedang sakit mata, bukan?! Coba hitung, berapa ratus juta rupiah
untuk memperbaiki organ-organ tubuh yang rusak. Besar sekali!
Dan bagi kita yang beragama Islam, ada satu nikmat yang lebih
besar lagi, yaitu kita mendapat hidayah (petunjuk) untuk beragama Islam
secara benar. Coba Anda telaah, betapa sulitnya orang menerima agama
Islam. Mereka harus belajar dulu bertahun-tahun,
membanding-bandingkannya, baru kemudian memeluk agama Islam.
Sedangkan kita sejak lahir sudah beragama Islam. Oleh karena itu,
terhadap nikmat ini kita harus mensyukurinya. Selain dengan
mengucapkan kalimat-kalimat tadi (subhanallah, alhamdulillah, allahu
akbar, dan la ilaha illallah), juga kita harus punya waktu khusus untuk
mempelajari agama Islam. Jangan hanya mengAndalkan pelajaran
agama di sekolah. Tapi tambah dengan mengaji di masjid atau membaca
buku-buku agama. Ini justru bentuk pengungkapan syukur yang lebih
baik! Dan ada yang lebih baik lagi, kita harus selalu memohon kepada
Allah (diusahakan setiap selesai shalat 5 waktu dan selesai shalat
malam) agar Allah swt menunjuki kita Islam yang lurus (shiraathal
mustaqiim) sebagaimana Islam yang diajarkan dan diteladankan oleh
Rasulullah Nabi Muhammad saw.
192
C. Nilai Dasar-3 Wara` dan Zuhud
Wara` dan zuhud merupakan nilai dasar yang menjadi kearifan
lokal pesantren. Para kiai memberikan keteladanan dalam menjalankan
nilai dasar ini. Para santri selalu diajari, dibimbing, dan dinasihati agar
mereka memiliki nilai dasar “wara` dan zuhud” ini.
Wara` dan zuhud didasarkan kepada ayat-ayat Al-Quran. Ada
ratusan ayat Al-Quran yang berkaitan dengan kedua nilai dasar ini. Salah
satu ayatnya dapat diperhatikan sebagaimana berikut ini.
ار الخرة ول ت نس نصيبك من ن يا وأحسن كما أحسن واب تغ فيما آتاك الل و الد الد
المفسدين الل و إليك ول ت بغ الفساد ف األرض إن الل و ل يب Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi; dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS al-
Qashash: 77).
Ayat Al-Quran di atas secara tegas memerintahkan kepada
manusia, terutama orang-orang yang telah menyatakan dirinya
beriman, agar selalu mencari kebahagiaan akhirat. Artinya, jika ingin
selamat atau berbahagia di dunia dan akhirat maka orientasi hidup kita
haruslah “akhirat”, bukan dunia. Tapi kita pun, terutama orang-orang
yang sudah melupakan dunia (seperti meninggalkan bekerja untuk
mencari nafkah, berpuasa setiap hari, dan janji tidak akan menikah),
mereka diingatkan pula “jangan sampai melupakan kenikmatan
dunia”. Dalam sebuah hadis disebutkan, tiga orang mendatangi
Rasulullah saw. Salah seorang di antara mereka mengatakan, “Saya
193
akan meninggalkan pekerjaan” Seorang lainnya mengatakan, “Saya
akan berpuasa setiap hari” Dan yang seorang lagi mengatakan, “Saya
tidak akan menikah”, dengan alasan akan terus-menerus beribadah.
Kepada mereka Nabi saw menJawab, “Aku Rasulullah, tapi aku
bekerja mencari nafkah, aku kadang-kadang berpuasa dan kadang-
kadang makan-minum di siang hari, dan aku pun memiliki istri.” (Al-
Hadis). Tegasnya, keharusan mencari kebahagiaan akhirat itu tidak
serta-merta dengan meninggalkan kebahagiaan dunia. Tapi tentu saja
kebahagiaan dunia yang jangan dilupakan adalah kebahagiaan dunia
yang berorientasi akhirat. Kita bekerja mencari nafkah dengan niat
lillaah dan karena menjalankan perintah Rasul. Kita beristri atau
bersuami dengan niat lillaah dan karena menjalankan perintah Rasul.
Dan seterusnya, apa saja urusan dunia dengan niat lillaah dan karena
menjalankan perintah Rasul.
Ayat-ayat Al-Quran lainnya yang berkaitan dengan Wara` dan
zuhud sebagai berikut:
من النااس فمن ذكرا أشدا أو آباءكم كذكركم اللاو اذكرواف مناسككم قضيتم فإذا
ن يا في آتنا رب انا ي قول هم خلق من الخرة في لو وما الد آتنا رب انا ي قول من ومن
ن يا في مماا نصيب لهم أولئك )( الناار عذاب وقنا حسنة الخرة وفي حسنة الد
لحساب سريعاا واللاو كسبوا
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah
dengan menyebut Allah sebagaimana kamu menyebut-nyebut
(membangga-banggakan) nenek-moyangmu, atau (bahkan)
berzikirlah lebih banyak daripada itu. Maka di antara manusia ada
orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di
dunia", dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat.
194
Dan di antara mereka ada (juga) orang yang bendoa: "Ya Tuhan
Kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan
peliharalah kami dari siksa neraka." Mereka itulah orang-orang yang
mendapat bagian dari yang mereka usahakan. Dan Allah sangat cepat
perhitungan-Nya (QS al-Baqarah: 200-202).
Berdasarkan ketiga ayat ini, para jamaah haji (demikian juga
orang pada umumnya) ada yang berdoa untuk dibahagiakan di dunia.
Minta dikayakan, dibuat terkenal, menduduki jabatan yang tinggi, dan
lain-lain kebahagiaan dunia, sebagaimana dikemukakan Allah melalui
firma-Nya dalam QS al-Baqarah ayat 200 di atas. Orang yang berdoa
seperti ini di sisi Allah pada hakekatnya tidak menghendaki
kebahagiaan abadi di akhirat. Bagi mereka dunia adalah segalanya.
Tapi ada juga orang yang berdoa sebagaimana doa dalam QS al-
Baqarah ayat 201 di atas, yakni:
ن يا حسنة وفي الخرة حسنة وقنا عذاب الناار هم من ي قول رب انا آتنا في الد ومن
Orang yang wara` dan zuhud akan berdoa sebagaimana doa ini.
Tapi, bukankah kebanyakan kaum muslimin pun berdoa sebagaimana
doa yang dipanjatkan oleh orang yang wara` dan zuhud? Memang
demikianlah doa yang dipanjatkan oleh kebanyakan kaum muslimin.
Hanya pertanyaannya, apakah kaum muslimin yang memanjatkan doa
ini benar-benar menghendaki sebagaimana yang dikehendaki oleh orang
yang wara` dan zuhud? Doa mereka yang sebenarnya adalah
menghendaki nikmat-nikmat dunia berupa kekayaan yang melimpah,
rumah dan mobil yang bagus, sawah-ladang yang luas, menjadi orang
yang terkenal, dan menduduki jabatan penting (dan basah). Keinginan
seperti ini tidak sesuai dengan doa dalam QS al-Baqarah ayat 201 di
atas. Bagi orang yang wara` dan zuhud, kalaupun mereka diberi harta
kekayaan yang melimpah, mereka akan membelanjakan hartanya itu
sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan
195
membayarkan hak-hak Allah, hak-hak Rasul, hak-hak kerabat Rasul,
dan hak-hak manusia. Mereka akan bersikap peduli dan banyak
melakukan ibadah harta. Kalaupun Allah menempatkan mereka
menduduki jabatan yang tinggi, maka mereka akan berlaku adil dan
berbuat ihsan, menghindari sejauh-jauhnya berlaku zalim dan curang,
dan akan mengayomi orang-orang yang dipimpinnya. Malah dengan
kekayaan dan jabatan yang tinggi, orang-orang yang wara` dan zuhud
akan semakin lengket dengan Tuhannya, memohon dimaukan dan
dimampukan untuk beramal ibadah serta berbuat amanah dengan harta
dan kedudukannya itu. Jadi bagi orang yang wara` dan zuhud harta
kekayaan itu bukan itu hidup mewah dan jor-joran, bukan untuk
berpoya-poya, bukan pula untuk menumpuk harta kekayaan; dan dengan
jabatan yang didudukinya itu bukan untuk hebat-hebatan dan gagah-
gagahan, melainkan dijadikannya ladang amal saleh sesuai kehendak
Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian dalam QS an-Nisa ayat 77 Allah swt mengingatkan
akan bahaya dunia dan pentingnya berorientasi akhirat, sebagai
berikut: ة لزاكو ٱ ة وءاتوالصالو ٱ أيديكم وأقيموا ا لاذين قيل لهم كفوٱألم ت ر إلى
هم ٱف لماا كتب عليهم للاو أو أشدا ٱلنااس كخشية ٱيخشون لقتال إذا فريق من
نا خشية وقالوا أجل قريب قل إلى أخارت نا لقتال لول ٱرب انا لم كتبت علي
ن يا قليل و ٱع مت ر لمن ٱلد يل ول تظلمون فت ت اقى ٱلءاخرة خي
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada
mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat,
dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang
tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada
manusia (musuh) seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat
196
takut daripada itu. (Bahkan) mereka berkata: "Ya Tuhan kami,
mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak
Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai
kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah (hai Rasul): "Kesenangan
di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-
orang yang bertakwa, dan (di akhirat) kamu tidak akan dianiaya
sedikit pun.
Di zaman Nabi Muhammad saw masih di tengah-tengah umat,
orang-orang yang merasa dirinya beriman (padahal di sisi Allah
mereka munafik) dan suka meminta kepada Rasul agar mereka
diizinkan berperang (karena pada saat itu orang-orang kafir sangat
menjengkelkan kaum muslimin), padahal saat itu belum ada perintah
berperang. Artinya, mereka itu meminta sesuatu karena dorongan
nafsunya, bukan karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tapi
ketika Rasul-Nya memerintahkan untuk berperang, mereka malah
takut menghadapi musuh; dan mereka pun memohon kepada Allah
agar dirinya tidak diikut-sertakan dalam berperang. Mereka banyak
yang datang menemui Rasul meminta izin tidak ikut berperang dengan
alasan-alasan duniawi, seperti “Kami mohon izin tidak ikut berperang
karena kurma-kurma mau dipanen. Jika kami ikut berperang tentu
panenan kami gagal!” Ada lagi yang datang kepada Rasul, “Kami
mohon izin tidak ikut berperang karena istri kami sakit. Jika kami ikut
berperang, tentu istri kami akan tambah sakit!”, dan berbagai alasan
lainnya. Adapun di zaman sekarang, ketika zaman jihad akbar (yakni
perang untuk menundukkan nafsunya sendiri) yang disebut-sebut oleh
Nabi saw sebagai perang terbesar, orang-orang muslim akan membuat
berbagai alasan untuk tidak menjalankan perintah Allah dan Rasul-
Nya, seolah-olah alasan-alasan mereka itu benar dan dapat diterima
oleh akal sehat. Padahal, di sisi Allah mereka hanya mengejar
197
kenikmatan dunia yang sementara serta mengabaikan kehidupan abadi
di akhirat.
Wara` adalah meniggalkan segala hal yang syubhat, terlebih-
lebih yang haram. Tetapi dalam tasawuf dibedakan dua jenis wara`,
yang lahir dan batin. Wara` lahir adalah meninggalkan segala pangan,
pakaian, papan, dan sebagainya (termasuk cara pencariannya) dari
yang syubhat, terlebih-lebih lagi dari yang haram. Jadi, hanya memilih
yang benar-benar halal. Adapun wara` batin adalah apa pun yang
dijalankan hanya ibadah semata, yakni agar tidak masuk ke dalam hati
selain Allah semata. Adapun zuhud, dalam Risalah Al-Qusyairi
(Simuh, 1996) disebutkan, jika wara` sebatas menjauhi yang syubhat
dan hanya memilih yang halal, maka zuhud adalah tidak
mengutamakan kesenangan dunia walau halal dan lebih mengejar
kelezatan ber-mujahadah (memperbanyak ibadah). Dalam praktiknya
para zahid (orang yang zuhud) memilih yang serba sederhana,
menjauhi yang mewah walau halal, dan lebih memperbanyak ibadah.
Sekaitan dengan wara` dan zuhud ada hadis yang sangat populer
di kalangan kaum muslimin: I`mal li dunyaaka ka`annaka ta`iisyu
abadan wa`mal li aakhirataka ka`annaka tamuutu ghaddan
(Bekerjalah untuk urusan duniamu seolah-olah kamu akan hidup
selamanya; dan beramallah untuk urusan akhiratmu seolah-olah kamu
akan mati besok). Sebagian kaum muslimin menyambut gembira
hadis ini dengan mencari kenikmatan dunia habis-habisan (karena
seolah-olah kamu akan hidup selamanya), sambil mengerjakan
ibadah-ibadah pokok yang terangkum dalam Rukun Islam. Tapi orang
yang wara` dan zuhud memahami hadis Nabi saw tentang pentingnya
berorientasi akhirat (wara` dan zuhud), tapi dengan tidak melupakan
kebahagiaan dunia, sebagaimana yang ditegaskan dalam QS al-
Qashash ayat 77 di atas.
Nabi Sulaeman a.s. adalah orang yang sangat kaya-raya. Tapi
dia sangat wara` dan zuhud. Dia tidak dikendalikan oleh hartanya,
198
melainkan dialah yang mengendalikan hartanya. Dia gunakan
hartanya itu untuk berbuat adil dan ihsan, sementara dia makan dan
minum secara sederhana dari hasil tangannya sendiri. Nabi
Muhammad saw bukanlah orang yang kaya-raya, walaupun beliau
bisa menjadi orang yang paling kaya-raya. Tapi beliau sangat wara`
dan zuhud, sehingga beliau tidak pernah menyimpan makanan lebih
dari satu hari, kecuali memberikannya kepada orang-orang miskin.
Demikian juga Ali bin Abi Thalib karaallaahu wajhah. Anak asuh,
keponakan, dan menantu Nabi itu tidak pernah menyimpan makanan
melebihi waktu magrib, karena dia akan memberikannya kepada
fakir-miskin sebagaimana teladan Nabi. Walau peluang untuk menjadi
kaya-raya sangat tinggi, tapi Ali k.w. hidup dalam keadaan miskin
karena sifat wara` dan zuhudnya.
Jadi, ukuran wara` dan zuhud bukanlah pada kemiskinan atau
kekayaan seseorang, melainkan sikap orang itu terhadap harta. Artinya,
seorang yang wara` dan zuhud bisa kaya atau miskin, asalkan mereka
tidak terpengaruh oleh hartanya. Dalam arti, harta itu mereka gunakan
untuk menegakkan keadilan dan berbuat ihsan.
Ada kisah menarik lainnya dari seorang Pakistan yang cukup
kaya dan hidup mewah yang kemudian berubah menjadi seorang yang
wara` dan zuhud. Dia adalah Maulana Edhi. Semula Maulana Edhi
adalah seorang pengusaha rental mobil. Dia seorang muslim yang baik,
tapi tidak terlalu luar biasa, seperti kebanyakan muslim yang baik
lainnya.
Ketika akumulasi pemAndangan sosialnya menyentuh lubuk
kalbunya, dia pun kemudian segera mengubah arah bisnisnya. Dia
sangat terheran menyaksikan, betapa seorang muslim yang hidup mewah
dan pergi ke masjid megah dengan mobil mewah bisa beribadah-shalat
secara khusyuk (paling tidak begitulah perasaan dirinya, padahal
maksudnya bersungguh-sungguh, bukan khusyuk), kemudian beristigfar,
bertasbih, bertahmid, bertakbir, dan bertahlil secara khusyuk pula, juga
199
membacakan wirid-wirid lainnya dan menengadahkan kedua tangannya
ke langit bermunajat ke hadirat Ilahi Rabbi dengan penuh kesungguhan
berlinang air mata? Sementara dia dapat hidup tenang menyaksikan
saudara-saudaranya, yang justru berseliweran di sekelilingnya dan di
sekeliling masjid, hidup dalam keadaan papa, miskin, dan sakit-sakitan?!
“Tidak ...!” teriak Edhi dalam hatinya. Seorang zahid (seorang
muslim yang zuhud) bukanlah orang yang membiarkan saudara-saudara
seiman, bahkan tidak juga membiarkan manusia hidup terlunta-lunta.
Seorang zahid adalah orang yang di siang harinya sibuk bekerja dan
beraktivitas sosial, sambil tidak henti-hentinya berzikir mengagungkan
Asma Ilahi, sementara di malam harinya ia bangun untuk beribadat
menegakkan shalat, berzikir, membaca Al-Quran, serta bermunajat ke
hadirat Allah Rabbul `Izzati.
Maulana Edhi kemudian mengubah mobil taxinya menjadi
ambulan. Pertama kali dia setir sendiri. Dia berputar-putar keliling kota
dan desa untuk menjemput orang-orang miskin yang sakit, kemudian
membawanya ke rumah sakit untuk diobati dan disembuhkan. Dia
gunakan seluruh harta kekayaannya untuk membantu dan
memberdayakan orang-orang miskin. Dia tidak pAndang bulu, mazhab
apa yang diyakini orang, bahkan agama apa yang dianut orang. Yang
penting asalkan orang itu miskin dan membutuhkan pertolongan,
Maulana Edhi datang segera menjemputnya. Dan di malam hari,
Maulana Edhi sujud tersungkur di atas tanah, berdiri menegakkan shalat,
berzikir, berdoa, membaca Al-Quran, dan merenungi nasib orang-orang
miskin yang malang.
Nama Maulana Edhi semakin populer di kalangan orang-orang
miskin dan menjadi buah-bibir penduduk desa dan kota, walau dia tidak
menghendaki kepopuleran akan usahanya itu. Lambat laun simpati dari
orang-orang kaya senegerinya berdatangan, kemudian datang juga
simpati dari orang-orang muslim kaya dari berbagai negeri. Dana
sosialnya semakin menebal dan jumlah mobil ambulannya pun menjadi
200
ribuan, bahkan juga ambulan pesawat terbang. Kini Maulana Edhi sudah
tua. Satu-satunya kegembiraan sang Maulana adalah senyum simpul dari
orang-orang miskin yang menderita. Dia sangat bergembira ketika
menyaksikan orang-orang yang lapar dikenyangkan, orang-orang yang
telanjang berpakaian, dan orang-orang miskin yang sakit disembuhkan.
Pernahkah Anda menyaksikan seorang Maulana Edhi di sekitar
Anda?
Wara` dan zuhud memang merupakan sifat hamba Allah yang
gemar beribadah. Betul, bahwa zuhud itu akan tampak dari keningnya
yang bercirikan banyak bersujud, bahwa bibirnya basah berzikir
mengumAndangkan Asma Allah, bahwa air matanya meleleh menyesali
dosa-dosa dan kesalahan-kesalahannya, yang menurut ukuran orang
kebanyakan, tidak seberapa, bahkan mungkin bukan merupakan suatu
perbuatan dosa. Tapi, seorang zahid sejati tidak akan berpribadi ganda.
Seorang zahid (sejati) akan zuhud, baik dalam beribadah ritual ataupun
dalam beribadah sosial. Seorang zahid (sejati) ialah orang yang telah
berikrar sebagaimana diungkap dalam Al-Quran dan sering kita baca
dalam shalat:
ل شريك لو وبذلك قل إنا صلتي ونسكي ومحياي ومماتي للاو رب العالمين
أمرت وأنا أوال المسلمينSesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku, dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya. Dan demikian
itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah) (QS al-An`am: 162-
163).
D. Nilai Dasar-4 Ta`aawun (Tolong-menolong)
Ta`aawun merupakan nilai dasar yang menjadi kearifan lokal
pesantren. Para kiai memberikan keteladanan dalam menjalankan nilai
201
dasar ini. Para santri selalu diajari dan dinasihati agar mereka selalu
berbuat ta`aawun dalam hal kebaikan dan ketakwaan.
Perhatikan ayat Al-Quran berikut ini:
ين آم ا ال ذ ي ه ا أ ر الرام ول ي ه ر الل و ول الش ائ ع لوا ش وا ل ت ن
ن ل م ض ون ف غ ت ب ت الرام ي ي ب ل ي ا د ول آم ئ ل ق ل ي ول ا د ال
ا ن وا وا ربم ورض اد ط اص م ف ت ل ل ا ح ذ آن وإ ن م ش ن ك ول يرم
وم أ وا ق د ت ع ن ت م أ د الرا ج س م ن ال م ع وك د وا ن ص اون ع وت
وى ق ب والت ى ال ل وان ع د ع ل ث وا ى اإل ل وا ع اون ع ول ت
وا الل و اب وات ق ق ع ل يد ا د ن الل و ش إ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar
Allah[1]; jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram[2]; jangan
(mengganggu) binatang-binatang hadya[3]; binatang-binatang qalaa-
id[4], dan jangan pula mengganggu orang-orang yang mengunjungi
Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya.
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.
Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena
mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram mendorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). “Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” Dan bertakwalah
kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (QS al-
Maidah: 2).
[1] Syiar Allah ialah segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat
haji dan tempat-tempat mengerjakannya.
202
[2] Maksudnya antara lain ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah,
Zulhijah, Muharam, dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan ihram.
Maksudnya ialah dilarang melakukan peperangan di bulan-bulan
itu.
[3] Binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke Ka'bah
untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih di tanah Haram
dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka
ibadat haji.
[4] Binatang hadya yang diberi kalung supaya diketahui orang bahwa
binatang itu telah diperuntukkan untuk dibawa ke Ka'bah.
Tolong menolong merupakan perbuatan yang baik. Tetapi dalam
Islam tolong menolong masih bersifat netral, bisa baik dan bisa juga
buruk, tergantung jenis pertolongannya. Menolong saudara, teman,
atau tetangga yang sedang mengalami kesusahan merupakan nilai
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, dinilai sebagai bentuk tolong
menolong yang baik. Bahkan kata tolong-menolong sendiri sudah
mengindikasikan kebaikan. Dalam istilah masyarakat tidak ada tolong
menolong dalam perbuatan maksiat dan kemungkaran walau dalam
realitasnya ada. Bahkan mungkin merupakan bentuk tolong menolong
yang paling banyak dilakukan. Seorang mahasiswa yang tidak lulus-
lulus dalam mata kuliah yang dirasakannya sulit, kemudian ada teman
mahasiswanya yang (menguasai mata kuliah itu) memberikan bantuan
mengerjakan soal-soal yang sulit itu dianggap oleh kawan-kawannya
(terlebih lagi oleh mahasiswa yang memperoleh bantuan) sebagai
mahasiswa penolong. Malah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
pun dinilai sebagai bentuk tolong menolong (bagi para pelakunya).
Adapun tolong menolong yang diperintahkan oleh Allah melalui
firmanNya hanyalah tolong menolong dalam al-birr dan at-taqwa,
juga tolong menolong atau wasiat mewasiati dalam al-haq dan ash-
shobr.
203
1. Ta`aawun dalam Al-Birr dan At-Taqwa
Hakekat persaudaraan dalam Islam adalah persaudaraan seiman.
Maksudnya, saudara yang sesungguhnya atau saudara yang benar-
benar saudara bukanlah saudara kandung atau saudara sedarah
melainkan saudara seiman, saudara se-Islam yang benar-benar tunduk
patuh kepada Allah. (Supriadi, 2013). Jika seseorang beriman dengan
keimanan yang sebenar-benarnya maka ia akan memAndang sesama
orang-orang yang beriman sebagai saudaranya. Kepada mereka inilah
Nabi Muhammad saw bersabda: Orang mukmin dengan sesama
mukmin bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian dari tubuh itu sakit
maka akan sakitlah seluruh tubuhnya. Atau, orang mukmin dengan
sesama mukmin bagaikan jari-jemari yang saling mengokohkan (Al-
Hadis). Dalam QS al-Hujurat ayat 10 Allah berfirman:
م ك وي خ ي أ وا ب ح ل ص أ وة ف خ ون إ ن ؤم م ل ا ا ن وا الل و و إ ات ق
رحون م ت ل ك ع لOrang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu;
dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat
(Allah).
إل ى ا ل وا ع اون ع وان ول ت د ع وا الل و ث وال ت ق ن وا إ
اب ق ع ل يد ا د الل و ش
... dan tolong-menolonglah kamu dalam al-birr (kebajikan) dan at-
taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran; dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya (QS al-Maidah: 2).
204
Ayat ini memerintahkan orang-orang yang beriman untuk
saling tolong menolong dalam al-birr dan at-taqwa. Apa itu al-birr
dan apa pula at-taqwa? QS al-Baqarah ayat 177 menjelaskan makna
al-birr sebagai berikut:
ليس البرا أن ت ولوا وجوىكم قبل المشرق والمغرب ولكنا البرا من آمن باللاو
الملئكة والكتاب والنابيين وآتى المال على حبو ذوي القربى و والي وم الخر
السابيل والساائلين وفي الرقاب وأقام الصالة وآتى واليتامى والمساكين وابن
والصاابرين في البأساء والضارااء وحين البأس الزاكاة والموفون بعهدىم إذا عاىدوا
أولئك الاذين صدقوا وأولئك ىم المت اقون Al-birr (kebajikan) itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah
timur dan ke arah barat. Akan tetapi sesungguhnya al-birr itu ialah
beriman kepada Allah, Hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnusabil, dan orang-orang
yang meminta-minta; (juga memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji; dan orang-orang yang sabar
dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka
itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-
orang yang bertakwa.
Dalam ayat ini orang yang berbuat al-birr (kebajikan) adalah
mereka yang:
a. beriman kepada Allah, Hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
dan nabi-nabi;
b. memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak yatim,
orang-orang miskin, musafir, peminta-minta;
205
c. memerdekakan hamba sahaya;
d. mendirikan shalat;
e. menunaikan zakat;
f. menepati janji apabila berjanji; dan
g. sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan peperangan. Mereka
itulah orang-orang yang benar dan yang bertakwa.
Kemudian apa itu at-taqwa, apa pula ciri-ciri orang yang
bertakwa? Takwa sering diartikan takut kepada Allah. Maksudnya
takut akan murka Allah, takut akan azab Allah, takut jika Allah tidak
menurunkan hidayah-Nya, takut jika Allah tidak melimpahkan fadhl
(karunia) dan rahmat-Nya, dan takut jika Allah tidak mengampuni
dosa-dosa dan kesalahannya, sehingga orang yang bertakwa akan
selalu menjaga dirinya dengan menjalankan perintah-perintah Allah
dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Makna takwa demikian tidak
ada salahnya, tapi kurang lengkap dan bagi para pencari ilmu kurang
operasional. Ciri-ciri orang yang bertakwa terutama diungkapkan
melalui firman-Nya dalam QS al-Baqarah ayat 1-5, yakni: (1) beriman
kepada Diri-Nya (Zat Tuhan) Yang Al-Ghaib, (2) mendirikan shalat,
(3) menunaikan infak, dalam QS Ali Imran ayat 133-135 berinfak
ketika banyak harta ataupun ketika kekurangan harta, (4) beriman
kepada apa-apa yang diturunkan Allah kepada rasul-rasul-Nya, dan (5)
meyakini Hari Akhir. Kemudian dalam QS Ali Imran ayat 133-135
disebutkan ciri-ciri orang yang bertakwa itu menahan amarahnya, lalu
memaafkan kesalahan, lalu berbuat ihsan (Rahmat, 2012).
Berdasarkan QS al-Baqarah ayat 1-5 dan 177, juga dalam QS
Ali Imran ayat 133-135, untuk dapat melakukan tolong menolong di
dalam al-birr dan at-taqwa maka haruslah terlebih dahulu memahami
secara benar term-term berikut.
Beriman kepada Allah, Hari Akhir, malaikat-malaikat, dan nabi-
nabi. Perlu saling mengingatkan bahwa beriman kepada Allah bukan
206
sekedar percaya akan adanya Allah. Jika sekedar percaya akan adanya
Allah maka semua manusia juga percaya akan adanya Allah (percaya
adanya Tuhan). Malah orang-orang ateis (orang-orang yang
mengenalkan dirinya tidak bertuhan) ternyata mereka mempercaya
juga adanya Tuhan. Dikisahkan tokoh-tokoh ateis Uni Soviet tempo
dulu menaiki sebuah pesawat terbang. Tiba-tiba terjadi gangguan
cuaca yang sangat serius sehingga bisa-bisa mengancam keselamatan
para penumpang pesawat. Apa yang dilakukan para penumpang?
Mereka semuanya berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan, tentu
sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing. Kemudian
apa yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku ateis? Ternyata
mereka juga berdoa. Oleh karena itu jika makna beriman kepada Allah
dimaknai percaya akan adanya Allah maka semua manusia
mempercayainya. Tapi Al-Quran menegaskan bahwa orang-orang
yang beriman itu sedikit. Artinya makna beriman sekedar percaya
akan adanya Allah adalah keliru. Dalam QS al-Baqarah ayat 3 di
antara ciri orang yang bertakwa adalah yu`minuuna bil-ghaibi
=beriman kepada Diri-Nya (Zat Tuhan) Yang Al-Ghaib. Beriman
kepada Allah haruslah disertai pengenalan dan keyakinan terhadap
Tuhan Yang Asma-Nya Allah. Tidak cukup dengan pengenalan
terhadap Sifat, Asma, dan Perbuatan Tuhan saja tapi harus disertai
pengenalan dan keyakinan terhadap Zat-Nya.
Beriman kepada Hari Akhir pun bukan sekedar percaya akan
terjadinya hari-hari pasca Hari Kiamat. Jika sekedar percaya akan
terjadinya Hari Akhir maka (hampir) semua manusia di dunia pun
mempercayainya. Semua agama-agama di dunia pun mengajarkan
akan terjadinya Hari Akhir. Perlu saling mengingatkan bahwa beriman
kepada Hari Akhir haruslah sesuai dengan Kehendak Allah dalam QS
al-Baqarah ayat 5: wabil aakhiroti hum yuuqinuun (dan terhadap
Hari Akhir mereka meyakininya).
207
Afandi (2002) menegaskan bahwa ungkapan kata yang diawali
dengan “ber”, seperti bersepatu, bersepeda, berpakaian, berenang,
bergelora, bertopi memberi petunjuk melekatnya sesuatu pada
pelakunya. Begitu halnya dengan kata ”ber”-iman kepada Hari Akhir.
Hari Akhir adalah tempat pulang kembalinya hamba ke asalnya, yang
dalam QS al-Qomar ayat 55 dikatakan fii maq‟adi shidqin „inda
malikin muqtadir (Pulang kembali di tempat yang benar [lalu
merasakan betapa bahagianya, betapa bergembiranya, selama-
lamanya] di sisi Raja Yang Berkuasa). Dan Raja Diraja itu adalah
Diri-Nya Ilahi Tuhan Zat Yang Al-Ghaib yang Allah Asma-Nya. Hari
Akhir dimulai saat seseorang mengalami kematian. Artinya, saat
seseorang mati, maka itulah awal Hari Akhir bagi dirinya. Kematian
inilah penentu seseorang kembali kepada Allah dengan selamat dan
bahagia atau celaka dan sengsara selama-lamanya, abadan aabaada.
Atau ungkapan umum kaum muslimin adalah mati secara khusnul
khaatimah atau mati secara su`ul khaatimah, yakni akhir kehidupan
(yang dimulai dengan kematian) yang baik dan akhir kehidupan yang
buruk. Dalam QS an-Nazi`at ayat 1-2 disebutkan adanya orang yang
dicabut nyawanya dengan keras dan dengan lemah-lembut:
والن اشطات نشطا - والن ازعات غرقا
Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, Dan
(malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut
(QS an-Nazi‟at: 1-2).
Orang yang dicabut nyawanya dengan keras adalah orang yang
mengalami kematian dalam keadaan su`ul khaatimah, sedangkan
orang yang dicabut nyawanya dengan lemah-lembut adalah orang
yang mengalami kematian dalam keadaan khusnul khaatimah.
Perlu saling mengingatkan tentang orang yang mati dalam
keadaan su`ul khaatimah digambarkan dalam QS Saba` ayat 51-53:
208
رى و ت ريب ول ان ق ك ن م وا م ذ خ وت وأ ل ف وا ف زع ذ ف إ
Dan (alangkah ngerinya) jika kamu (dibisakan) melihat ketika mereka
(orang yang merasa beriman, padahal tidak mengenal Diri-Nya Yang
Al-Ghaib) terperanjat ketakutan (pada saat kematiannya), maka
mereka tidak dapat melepaskan diri dan mereka ditangkap (oleh
tentara iblis) dari tempat yang dekat (untuk disiksa di tempat sesat)
(QS Saba`: 51)
ن و وأ ن ا ب وا آم ال يد وق ع ان ب ك ن م اوش م ن ت م ال ن .ل و م روا ب ف د ك وق
ل ب يد ق ع ان ب ك ن م ب م ي غ ال ون ب ف ذ ق وي
Dan (di waktu itu) mereka berkata: "Kami beriman kepada-Nya!"
(Tuhan menyanggahnya:)”Bagaimanakah mereka dapat mencapai
(keimanan kepada Diri-Nya Yang Al-Ghaib) dari tempat yang jauh
itu?” Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari (Diri)-Nya (Yang
Al-Ghaib) sebelum itu (ketika di dunia); dan mereka (hanya)
menduga-duga tentang (Ada dan Wujud Diri-Nya) Yang Al-Ghaib
dari tempat yang jauh (QS Saba` ayat 52-53).
Kembali ke ayat wabil aakhirati hum yuuqinuun (Dan dengan
Hari Akhir mereka meyakininya), yakni kehidupan akhirat yang telah
dapat dihayati dalam rasa hati sejak sekarang ini. Sebab, kematian
seseorang sangat ditentukan oleh keadaan dia sekarang ini ketika
masih berada di dunia. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw
bersabda: muutuu qobla an tamuutuu =belajarlah mati sebelum mati
(yang sebenarnya). Mati adalah kembali kepada Tuhan, karena kita
berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan (innaa lillaahi wa
innaa ilaihi raji`uuna). Untuk dapat kembali kepada Tuhan maka
terlebih dahulu kita harus kenal dengan Tuhan (harus ma`rifat).
Jangan sampai bernasib sebagaimana yang digambarkan dalam QS
209
Saba` ayat 51-54 di atas, yakni mati dalam keadaan su`ul khaatimah
karena tidak kenal dengan Diri-Nya Ilahi Yang Al-Ghaib. Jika ia
kenal Tuhan, lalu selalu mengingat-ingat dan menghayatinya dalam
rasa hati, kemudian melakukan ibadah dan amal sosial sesuai
kehendak Allah dan petunjuk Rasul-Nya, maka ia akan mati
”selamat”. Sebaliknya, jika ia ”tidak” kenal Tuhan dan ”menyimpang”
dari jalan Tuhan, maka ia akan mati ”sesat”, tidak selamat. Demikian
seterusnya, bagaimana keadaan seseorang di hari kemudian, sangat
ditentukan bagaimana keadaan orang itu ketika dia mati. Jika matinya
”selamat”, maka ia akan kembali dan berjumpa dengan Tuhan (dengan
segala kebahagiaan yang dirasakannya). Sebaliknya, jika matinya
”sesat”, maka ia akan diberadakan di tempat yang Tuhan sediakan
dengan segala siksaannya yang sangat nelangsa. Atau dengan bahasa
lain, orang yang mati ”selamat” akan masuk ”surga”, sedangkan orang
yang mati ”sesat” akan masuk ”neraka” (Rahmat, 2013).
Jadi perlu saling mengingatkan, bahwa beriman kepada Hari
Akhir itu bukan sekedar percaya akan adanya kehidupan setelah mati
(siksa dan nikmat kubur, kiamat, mahsyar, mizan, dan seterusnya
hingga neraka dan surga) melainkan harus dihayati dan dirasakan
sejak sekarang, agar mengalami mati (yang hanya sekali saja) dengan
selamat, yang tentunya (karena matinya selamat) akan kembali dan
berjumpa dengan Tuhan dengan selamat. Karena itu, kunci untuk
beriman kepada Hari Akhir adalah harus kenal dengan seyakin-
yakinnya kepada Tuhan Zat Yang Al-Ghaib, Allah Asma-Nya, karena
Tuhan itu Huwal Awwalu wal aakhiru (Dia Yang Awal dan Yang
Akhir).
Perlu saling mengingatkan pula bahwa pada Hari Akhir Tuhan-
lah yang menjadi Raja, Tuhanlah yang kuasa, sedangkan manusia
tidak bisa berbuat apa-apa selain yang dikehendaki oleh Tuhan. Ketika
di dunia manusia seolah-olah yang berkuasa. Mau beribadah secara
asal-asalan pun bisa; beribadah dengan mengikuti selera nafsu pun
210
bisa; tidak beribadah pun bisa; mau menantang Tuhan bisa; mau kafir
dan musyrik sekalipun bisa. Manusia ketika di dunia bisa
melaksanakan apa saja yang diingininya. Al-Quran menggambarkan
dengan jelas kekuasaan manusia ketika masih berada di dunia:
ۦل ذى يى ٱ م رب ۦه لملك إذ قال إب ر ٱلل و ٱو أن ءاتى ۦ م ف ربو ۦه ر ج إب ل ذى حاٱأل ت ر إل
لمشرق فأت با ٱ لش مس من ٱلل و يأتى ب ٱم فإن ۦه وأميت قال إب ر ۦأحى وييت قال أنا
لمي لظ ٱلقوم ٱلل و ل ي هدى ٱل ذى كفر و ٱلمغرب ف بهت ٱمن
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim
tentang Tuhannya karena Allah telah memberikan kepada orang itu
kerajaan. Ketika Ibrahim berkata: "Tuhanku ialah Yang
Menghidupkan dan Mematikan," orang itu berkata: "Aku juga
menghidupkan dan mematikan." Ibrahim berkata: "Sesungguhnya
Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari
barat!" Lalu terdiamlah orang kafir itu. Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS al-Baqarah: 258).
Raja Namrud yang lalim dan kafir, sebagaimana kebanyakan
manusia, bertanya kepada Nabi Ibrahim, yang dengan ungkapan lisan
manusia, “Apa sih hebatnya Tuhan kamu itu?” Nabi Ibrahim
menJawab: “Tuhanku menghidupkan dan mematikan!” Kata Raja
Namrud, “Kalau sekedar menghidupkan dan mematikan, aku pun
bisa!” Lalu Raja Namrud memerintahkan seorang menterinya untuk
mengambil dua orang terpidana mati. Raja Namrud meminta sebilah
pedang. Lalu dia perintahkan algojo untuk membunuh salah seorang
terpidana. Terpidana itu pun mati. Kemudian seorang terpidana
lainnya dibebaskannya. Raja Namrud lalu berkata dengan
sombongnya kepada Nabi Ibrahim, “Nah, perhatikanlah aku bisa
menghidupkan dan mematikan!” Walaupun disadarkan dengan
211
keterbatasan kemampuannya (Raja Namrud tidak bisa mengedarkan
matahari dari barat ke timur) tapi dia, sebagaimana umumnya
manusia, tetap tidak mau beriman.
Tentang harta perlu saling mengingatkan. Harta yang biasa
diaku oleh manusia sebagai miliknya sebenarnya adalah milik Allah.
Kepemilikan oleh manusia hanyalah kepemilikan aku-akuan belaka,
sebagaimana firman-Nya:
حاسبكم بو للاو ما في الساماوات وما في األرض وإن ت بدوا ما في أن فسكم أو تخفوه ي
يشاء واللاو على كل شيء قدير اللاو ف ي غفر لمن يشاء وي عذب من
Kepunyaan Allahlah segala apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi. Jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu
atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat
perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Allah
mengampuni siapa yang dikehAndaki-Nya dan menyiksa siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu (QS al-
Baqarah: 284).
Implikasinya: pertama, manusia harus mencari harta yang halal
dan diperoleh dengan cara-cara yang halal; kedua, apa yang kita
peroleh dengan harta itu (banyak atau sedikit) sebenarnya adalah
amanat dari Allah, bukan prestasi kita; dan ketiga, pada harta yang
biasa kita akui sebagai milik kita (padahal sebenarnya milik Allah)
ada hak-hak bagi Allah, bagi Rasul-Nya, bagi kerabat Rasul, dan bagi
orang-orang yang berhak atas harta, sebagaimana firman-Nya:
212
واليتامى سول ولذي القربى واعلموا أناما غنمتم من شيء فأنا للاو خمسو وللرا
عبدنا ي وم الفرقان والمساكين وابن السابيل إن كنتم آمنتم باللاو وما أن زلنا على
كل شيء قدير واللاو على ي وم الت قى الجمعان
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
ghanimah, maka sesungguhnya seperlima untuk Allâh, Rasul,
kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnusabil,
jika kamu beriman kepada Allâh dan kepada apa yang Kami turunkan
kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari
bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu
(QS al-Anfal: 41).
ى ل اء الل و ع ف ا أ رى م ق ل ال ى ن أ و م ول ذي رس ول ول لر س ل و ول ل ف
رب ق ل ى ا ام ت ي ة وال ول ون د ك ي ل ي يل ك ب ن الس ب ي وا اك س م وال
م ك ن اء م ي ن ي األغ م ب اك ه ا ن وه وم ذ خ ول ف م الر س اك ا آت وم
وا ه ت ان و ف ن وا الل و ع ت ق اب وا ق ع ل يد ا د ن الل و ش إ
Apa saja harta fay yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk berbagai kota, maka adalah
untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta
itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya. (QS al-Hasyr
ayat 7).
213
QS al-Anfal ayat 41 memerintahkan kita membayar seperlima
dari harta ghanimah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan ibnusabil. Secara praktis seperlima
harta itu diserahkan kepada Rasul. Nanti oleh Rasul seperlima harta
itu akan dibagi-bagikan untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan ibnusabil; walau biasanya hak Rasul
(hak dirinya) juga dipergunakan Rasul untuk kepentingan umat.
Adapun QS al-Hasyr ayat yang menyebutkan bahwa harta fay itu
diserahkan pengaturannya kepada Rasûl. Kita yang beriman harus
menerima pemberian dari Rasul (dari harta fay) sekecil apa pun
pemberian itu (jangan sampai ada perasaan dan punya anggapan
bahwa Rasul tidak adil). Malah sebelum berbicara dengan Rasul,
orang-orang yang beriman diperintah untuk bersedekah sebelum
berbicara dengan Rasul, sebagaimana firman-Nya:
موا ب ين يدي نجواكم صدقة ذلك يا أي ها الاذين آمنوا إذا ناجيتم الراسول ف قد
ر لكم و أطهر فإن لم تجدوا فإنا اللاو غفور رحيم خي
موا ب ين يدي نجواكم صدقات فإذ لم ت فعلوا و تاب اللاو عليكم أأشفقت م أن ت قد
خبير بما ت عملون فأقيموا الصالة و آتوا الزاكاة و أطيعوا اللاو و رسولو و اللاو
Hai orang-orang b.eriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan
khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah
sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan
lebih bersih. (Tapi) jika kamu tidak memperoleh (yang akan
disedekahkan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu
memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan
Rasul? Maka jika kamu tidak melakukannya (tidak mengeluarkan
214
sedekah) dan Allah telah memberi taubat kepadamu, maka dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS al-
Mujadilah: 12-13).
Memerdekakan hamba sahaya seringkali dihubungkan dengan
perbudakan. Lebih khusus lagi dihubungkan dengan zaman
perbudakan tempo dulu. Padahal perbudakan selalu ada. Hingga
zaman penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di zaman sekarang pun
perbudakan masih ada, dan mungkin akan selalu ada. Oleh karena itu
memerdekakan hamba sahaya bukan ditujukan kepada umat di zaman
perbudakan melainkan ditujukan kepada kita semua. Kita harus selalu
saling mengingatkan untuk membebaskan manusia dari perbudakan
menuju kemerdekaan sejati. Manusia yang merdeka sejati bukan
hanya terbebas dari penjajahan bangsa lain atau dari manusia lain,
melainkan juga terbebas dari penjajahan nafsu dan syahwat yang
selalu mendorong manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang tidak sejalan dengan kehendak Allah. Inilah apa yang
didengungkan oleh Almarhum Kiai Hasan Ulama (pendiri Pesantren
Takeran Magetan, tahun 1896) sebagai tujuan pendidikan, yakni agar
umat Islam mencapai hurriyah taammah (merdeka sejati) (Rahmat,
2010).
Shalat merupakan tiang agama, sebagaimana sabda Nabi saw:
ash-shalaatu `imaaduddiin. Mengingatkan saudara se-Islam untuk
“menegakkan” shalat merupakan perbuatan al-birr. Mengapa perlu
tolong-menolong? Sebab, kebanyakan orang Islam hanyalah
“mengerjakan” shalat bukannya “mendirikan” shalat, padahal perintah
Allah adalah “mendirikan” shalat. Mendirikan shalat harus sesuai
dengan kehendak Sang Pemberi perintah. Firman Allah dalam QS
Thoha ayat 14: aqimish shalaata lidz-dzikrii =dirikanlah shalat untuk
mengingat AKU (Aku=Tuhan). Artinya, untuk dapat mendirikan
215
shalat haruslah terlebih dahulu mengenal Tuhan agar Tuhan dapat
diingat-ingat terutama ketika mendirikan shalat. Dengan shalat yang
lidz-dzikrii maka kondisi khusyu` akan tercapai; kemudian shalat pun
akan punya dampak mencegah perbuatan yang keji dan munkar. Jika
shalat tidak tegak (yakni tidak lidz-dzikrii) berarti shalatnya saahuun
(=lalai, =tidak lidz-dzikrii). Jika shalatnya saahuun terancam dengan
fawailun, masuk neraka (QS al-Ma`un: 4-5). Na`udzi billaahi min
dzaalik. Di sinilah letak pentingnya bertolong-tolongan dalam
mendirikan shalat.
Di antara al-birr dan at-taqwaa lainnya adalah membayar zakat
dan infaq. Jika syahadatnya benar dan shalatnya benar (sesuai dengan
kehendak Allah dan Rasul-Nya) maka rukun Islam ketiga akan mudah
dijalankan. Harta kekayaan yang biasa diaku miliknya (diaku hasil
usahanya, diaku hasil prestasi bisnisnya), pada orang yang telah
”menyaksikan” Zat Tuhan Yang Asma-Nya Allah dan ”menyaksikan”
Nabi Muhammad saw serta mendirikan shalat untuk mengingat-ingat
Zat Tuhan, maka harta kekayaannya itu dianggapnya sebagai barang
titipan Tuhan untuk dibelanjakan sesuai dengan kehendak Tuhan dan
Rasul-Nya. Maka zakat yang menjadi rukun Islam ketiga juga akan
benar-benar menjadikan proses penyucian diri supaya hati nurani, ruh
dan rasanya selalu terjaga dan terpelihara dalam bersentuhan dengan
Diri-Nya Ilahi Zat Yang Mahasuci. Lebih dari itu, bukan hanya
membayar zakat tapi juga infak. Jika zakat merupakan kewajiban
tahunan, maka infak merupakan perbuatan ihsan. Hubungan zakat
dengan infak seperti shalat wajib yang 5 waktu dengan shalat malam.
Shalat tahajud itu hukumnya sunat tapi punya nilai yang lebih tinggi
dibanding shalat wajib 5 waktu. Demikian juga infak hukumnya sunat
tapi punya nilai lebih tinggi dibandingkan zakat. Infak ialah
mengeluarkan seluruh harta (100%) di luar penghasilan utama.
Firman-Nya:
216
إثم كبير ومن فع للنااس وإثمهما أكب ر يس لونك عن ٱلخمر و ٱلميسر قل فيهما
من ن افعهما ويس ل ونك ماذا ينفقون قل ٱلعفو كذ لك ي ب ين ٱللاو لكم ٱلءاي ت
لعلاكم ت ت فكارون ... dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka infakkan.
Katakanlah: "(Harta yang perlu diinfakkan adalah harta) yang lebih
dari keperluan!" Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berpikir (QS al-Baqarah: 219).
Misal, kita dapat hadiah. Hadiah bukanlah penghasilan pokok
melainkan apa disebutkan dalam ayat ini adalah harta yang lebih dari
keperluan. Jika seluruh hadiah itu kita berikan kepada orang yang
berhak menerimanya berarti kita telah mengeluarkan infak. Tetapi jika
diberikan sebagiannya (walau 99%-nya) namanya sedekah. Orang
yang telah secara benar menjalankan rukun Islam ke-1 dan ke-2, dan
terlebih lagi orang yang berbuat al-birr dan at-taqwaa maka ia akan
mengeluarkan harta (yang diamanatkan Allah kepadanya) untuk
membayarkan hak-hak Allah, hak-hak Rasulullah, hak-hak kerabat
Rasul, dan hak-hak manusia (yang berhak menerimanya). Mereka
sama sekali tidak akan menggunakan harta (yang diamanatkan Allah
kepadanya) untuk bersenang-senang, bermewah-mewahan, jor-joran,
terlebih lagi menumpuk harta kekayaan hingga untuk 7 turunan.
Janji-janji paling mudah diucapkan, tapi paling susah dijalankan.
Orang-orang yang beriman perlu tolong-menolong untuk memenuhi
janji-janji. Sabda Nabi saw: Aayatul munafiqina tshalaatsun idzaa
hadatsa kadzaba wa idzaa wa`ada akhlafa wa idzaa u`tumina
khaana (Ciri-ciri orang munafik ada 3: jika berkata, ia berdusta; jika
berjanji, ia ingkar janji; dan jika diberi amanat, ia khianat). Manusia
umumnya memang memiliki karakter munafik. Jika berkata, senang
berdusta. Bahkan sering juga berdusta dalam beragama. Tidak segan-
217
segan berdusta dengan mengatas-namakan Nabi, atas nama Rasul, atas
nama Al-Quran, atas nama Allah, padahal mereka tidak memperoleh
pemahaman yang sempurna terhadap agama (tapi merasa paham
agama). Ketika diberi amanat kebanyakan manusia malah khianat.
Diamanati jabatan malah menyalah-gunakan amanat, yang dalam
istilah modern malah melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN). Jabatan malah dijadikan aji-mumpung untuk menumpuk harta
kekayaan dan penyelewenangan. Kebanyakan manusia bukan hanya
ingkar janji terhadap manusia, malah yang lebih parah lagi dan justru
ini lebih sering dilakukan manusia adalah ingkar janji terhadap Allah.
Padahal Allah menegaskan perintahNya: Yaa ayyuhal-ladziina
aamanuu aufuu bil-`uquud =Wahai orang-orang yang beriman
penuhilah janji-janjimu! (QS al-Maidah: 1). Perspektif sufisme
Syaththariah, janji-janji orang yang beriman kepada Allah ada 4: (1)
meninggalkan dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil yang dilakukan
secara terus menerus, (2) memenuhi perintah Allah yang menjadi
madhlul-nya Al-Quran: wa`bud robbaka hattaa ya`tiyakal yaqiin
=Sembahlah Tuhanmu sampai yakin (Tuhan yang kamu sembah itu)
hadir (QS al-Hijr: 99), (3) memenuhi sabda Nabi saw yang menjadi
madhlul-nya hadis: muutuu qabla antamuutu =(Belajarlah kamu)
mati sebelum datang kematian (yang sebenarnya). Belajar mati
merupakan implementasi dari Rukun Iman kedua, beriman kepada
malaikat-malaikat Allah. Ketinggian derajat para malaikat adalah rela
sujud (dalam arti taat) kal-mayyiti baina yadil ghaasili (bagai mayat
yang rela disucikan oleh orang yang berhak memandikannya) kepada
Rasul-Nya Allah; dan (4) untuk dapat menjalankan ketiga janji ini
maka harus dibimbing oleh guru yang saleh, yakni ulama pewaris
Nabi. Di sinilah letak pentingnya saling tolong-menolong untuk
berbuat al-birr dan at-taqwaa. Bagi mereka yang berbuat al-birr dan
at-taqwaa maka ia akan mudah menepati janji-janjinya, seberat apa
pun janji itu.
218
Kemudian perlu tolong menolong juga dalam menjaga amarah.
Manusia umumnya mudah marah, pendendam, gengsian, dan
menonjolkan harga diri. Karena itu, umumnya manusia mudah
tersinggung dan marah, lalu mendendam. Oleh karena itu, akar-akar
marah dan dendam harus dikikis habis. Caranya adalah menahan
amarah. Istilah populernya mengusap dada. Jika ada orang yang
mengkritik kita, bahkan memfitnah kita, hati kita harus tenteram.
Kalaupun belum bisa tenteram, akar watak buruk harus dikikis, yakni
dengan menahan amarah. Perlu terus berlatih menghilangkan watak
gengsian dan harga diri. Kita perlu memenuhi kehendak Allah dalam
QS Fathir ayat 15: Yaa ayyuhan naasu antumul fuqaaraau ilallaahi
wallahu huwal ghoniyyul hamiid =Wahai manusia, kamulah yang al-
faqiir (butuh) kepada Allah. Dan Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.
Kita harus punya watak al-faqiir. Untuk memperoleh watak ini, kita
harus rendah hati dan menerima segala kritikan. Bahkan segala
kritikan itu harus diyakini datangnya dari Allah, lalu kita mengoreksi
diri kemudian menambah ibadah dan amal sosial kita. Ini perlu
tolong-menolong karena sangat beratnya menanamkan karakter
menahan amarah, memaafkan kesalahan orang, terlebih lagi berbuat
ihsan kepada orang yang pernah mengkritik dan melecehkan kita.
Adapun tentang tolong menolong dalam kesabaran akan dibahas
berikut ini.
2. Ta`aawun dalam Al-Haq dan As-Shabr
Surah ke 103/al-`Ashr merupakan ayat paling pendek, sama
dengan Surah al-Kautsar hanya 3 ayat. Imam Syafi`i pernah berkata
“Sekiranya Al-Quran (yang 30 juz) tidak turun dan yang turun
hanyalah surah al-`Ashr saja maka surah ini sudah cukup
membimbing umat manusia untuk beragama dengan baik” (Supriadi,
2013). Baca dan renungkan maknanya surah ini:
219
( إل ال ذين آمنوا وعملوا الص الات وت واصوا لفي خسر ) ( إن اإلنسان والعصر )
- بالق وت واصوا بالص ب
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
saling berwasiat supaya dalam Al-Haq dan saling berwasiat dalam
kesabaran (QS al-`Ashr: 1-3).
Surah al-`Ashr mungkin salah satu surah Al-Quran yang paling
banyak dihapal oleh kaum muslimin setelah surah al-Fatihah, al-
Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas. Jumlah ayatnya hanya 3 ayat, tapi isinya
sangat padat.
Dalam ayat pertama, wal`ashri, Allah swt bersumpah dengan
„waktu‟, Demi waktu! Ada juga yang memaknai “Demi waktu „Asar!”
Waktu „Asar adalah waktu sebelum magrib, waktu sebelum atau
menjelang malam. Maksudnya bahwa umat Nabi Muhammad saw itu
merupakan umat yang hidup menjelang kiamat. Hari yang sangat
dahsyat ini bagi kebanyakan manusia memang merupakan hari-hari
yang gelap-gulita tidak ada cahaya sedikit pun. Dalam QS al-Isra ayat
72 disebutkan:
وأضل سبيل لءاخرة أعمى ٱف هو فى أعمى ۦ ذه ومن كان فى ى Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat
(nanti) ia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan (yang yang
lurus).
Ayat pertama ini mengingatkan umat Nabi Muhammad agar
lebih hati-hati dan waspada karena akan menghadapi satu hari yang
bagi orang-orang yang buta mata hatinya akan hidup sesat selama-
lamanya dalam neraka-Nya. Na`uudzu billaahi min dzaalik!
220
Ayat pertama ini pun mengandung makna bahwa setelah
berjalannya waktu sejak Nabi Adam a.s. diangkat menjadi khalifah
Allah di bumi, kemudian dilanjutkan oleh khalifah-khalifah Tuhan
berikutnya hingga Nabi Muhammad saw ternyata sedikit sekali
manusia yang benar-benar beriman. Mayoritas manusia adalah kafir
dan tidak beriman secara benar. Hal ini ditegaskan oleh Al-Quran:
faqoliilan maa yu`minuun =Sedikit sekali mereka yang beriman (QS
al-Baqarah: 88 dan ayat-ayat lainnya). Sementara yang musyrik, yang
kafir, yang munafik, yang fasik, dan yang zalim justru banyak,
sebagaimana firman-Nya: wamaa yu`minu aktsaruhum billaahi illaa
wahum musyrikuun =dan kebanyakan mereka itu tidak beriman
kepada Allah melainkan dalam keadaan musyrik (QS Yusuf: 106), wa
aktsaruhum kaafirum =dan kebanyakan mereka itu kafir (QS an-
Nahl: 83), wa aktsaruhum faasiqun =dan kebanyakan mereka itu
fasik (QS at-Taubat: 8) (Rahmat, 2013).
Kebanyakan manusia kafir dan musyrik sesuai juga dengan
sumpah Iblis yang akan menyesatkan manusia, kecuali sedikit, yakni
sebagian dari orang-orang yang ikhlas. Artinya, dari sekian banyak
orang-orang yang ikhlas (sejak zaman Nabi Adam a.s. hingga zaman
Nabi Muhammad saw, mungkin sudah ribuan bahkan puluhan ribu
tahun) hanya sebagiannya saja orang-orang yang benar-benar beriman
yang tidak tergoda oleh Iblis, yakni sebagian dari mereka yang ikhlas.
Ketika Nabi Adam a.s. diangkat sebagai khalifah Tuhan di bumi dan
Iblis enggan bersujud (dalam arti „taat‟) kepada Nabi Adam a.s. (juga
kepada khalifah-khalifah Tuhan berikutnya). Iblis bersumpah akan
menyesatkan seluruh manusia, kecuali sedikit. Firman-Nya:
تو ون فخت فيو ( فإذا سواي اذ قال ربك للملئكة إني خالق بشرا من طين )
( إل ( فسجد الملئكة كلهم أجمعون )من روحي ف قعوا لو ساجدين )
221
عك أن تسجد لما إبليس استكب ر وكان من الكافرين ) (قال يا إبليس ما من
ر منو خلقتني من ت أم كنت من العالين )خلقت بيديا أستكب ر ( قال أنا خي
ها فإناك رجيم )نار وخلقتو من طين ) ( وإنا عليك لعنتي (قال فاخرج من
ين ) عثون )( قال رب فأنظرني إلى ي وم ي إلى ي وم الد (قال فإناك من ب
( قال فبعزاتك ألغوي ن اهم أجمعين ( إلى ي وم الوقت المعلوم )المنظرين )
هم المخلصين )) )( إل عبادك من 72. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya (kejadian Adam
a.s.) dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku, hendaklah kamu
tersungkur dengan bersujud (dalam arti „taat‟ secara mutlak)
kepadanya.
73. Lalu malaikat-malaikat itu bersujud semuanya,
74. kecuali Iblis; dia menyombongkan diri dan adalah dia termasuk
orang-orang yang kafir.
75. Allah berfirman: "Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu
sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku,
apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa)
termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?"
76. Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau
ciptakan aku dari api, sedangkan dia (Adam a.s.) Engkau
ciptakan dari tanah."
77. Allah berfirman: "Maka keluarlah kamu dari surga.
Sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk,
78. Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari
pembalasan."
79. Iblis berkata: "Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari
mereka dibangkitkan."
222
80. Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang
yang diberi tangguh,
81. sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari
kiamat.)"
82. Iblis menJawab: "Demi kekuasaan Engkau, aku akan
menyesatkan mereka semuanya,
83. kecuali sebagian dari hamba-hamba-Mu yang mukhlis di
antara mereka (QS Shad: 72-83).
هم قال رب بما أغوي تني ألزي ننا لهم في األرض وألغوي ن اهم أجمعين إلا عبادك من
المخلصين
Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan
bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memAndang baik
(perbuatan yang tidak sejalan dengan kehendak-Mu) di muka bumi,
dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya; kecuali hamba-
hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka." (QS al-Hijr: 39-40).
Oleh karena itu, dalam ayat kedua Allah swt mengingatkan sekali
bahwa manusia pasti dalam keadaan merugi. Manusia merugi karena
mereka kafir, musyrik, munafik, fasik, dan zalim (tapi manusia tidak
merasa kafir, musyrik, munafik, fasik, dan zalim). Mereka merasa
beriman. Manusia merugi karena lebih mengikuti Iblis (sebagaimana
ditegaskan dalam ayat-ayat di atas), juga cenderung mengikuti nafsunya,
sebagaimana firman-Nya dalam ayat-ayat berikut:
223
تاى ك ح ي ل ع إ م ت س ن ي م م ه ن وا وم ال ك ق د ن ن ع رجوا م ا خ ذ إ
وا ال وت ين أ لاذ ا ل ف ال آن ا ق اذ م م ل ول ع ع اللاو أ ب ين ط ك الاذ ئ
ى ل م ع ى واء ى وا أ ع ب م وات ا ه وب ل ق
Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu
(mendengar perkataan Rasul) sehingga apabila mereka keluar dari
sisimu orang-orang berkata kepada orang yang telah diberi ilmu
pengetahuan (sahabat-sahabat Rasul) "Apakah yang dikatakannya
tadi?" (Jawablah hai Rasul) “Mereka itulah orang-orang yang
dikunci mati hati mereka oleh Allah dan (karena mereka) mengikuti
hawa nafsunya (QS Muhammad: 16; juga dalam banyak ayat
lainnya).
وجعل ۦوق لبو ۦسمعو علم وختم على للاو على ٱو وأضلاو ىوى ۥهو تاخذ إل ٱف رءيت من ا
للاو أفل تذكارون ٱب عد ن ي هديو منوة فم غش ۦبصره على Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai Tuhannya, dan Allah membiarkannya berdasarkan
ilmu-Nya dan mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan
memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka
mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS al-Jatsiyah: 23).
تكون عليو وكيل هو ىواه أفأنت أرأيت من اتاخذ إل
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai Tuhannya; maka apakah kamu dapat menjadi
pemelihara atasnya? (QS al-Furqan: 43).
224
Sumpah serapah Iblis itu terbukti benar sebagaimana
difirmankan oleh Allah dalam QS Saba` ayat 20:
عوه إلا فريقا من المؤمنين ولقد صداق عليهم إبليس ظناو فات اب Dan sesungguhnya Iblis telah dapat membuktikan kebenaran
sangkaannya terhadap mereka lalu mereka (manusia) mengikutinya,
kecuali sebagian dari orang-orang yang beriman (QS Saba‟: 20)
Manusia yang beruntung (tidak merugi) hanyalah manusia-
manusia yang menyimpang dari umumnya manusia. Mereka hanyalah
segelintir manusia yang berbeda dari umumnya manusia. Mereka itu
sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat al-`Ashr ayat 3
adalah orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta wasiat
mewasiati dalam al-haq dan ash-shabr. Manusia yang beriman adalah
manusia yang benar-benar berimannya (baca kembali bab akhlak
dalam beriman) bukan sekedar percaya adanya Allah. Adapun
manusia yang beramal saleh adalah mereka yang telah beriman
kemudian melakukan ibadah dan amal sosial sesuai kehendak Allah
sebagaimana yang diajarkan dan diteladankan oleh Rasulullah.
Kemudian masih ditambah lagi dengan wasiat-mewasiati dalam al-
haq dan ash-shabr. Al-haq (kebenaran dari Allah) dalam realitasnya
sangat samar-samar tidak terlihat dengan jelas. Ketika menjelaskan
shiraathal mustaqiim (jalan lurus-Nya Tuhan) Nabi Muhammad saw
mengungkapkan, shiraathal mustaqiim itu bagaikan rambut dibelah
tujuh. Satu helai rambut saja sudah kecil, terlebih-lebih sehelai rambut
dibelah tujuh. Untuk melihatnya harus menggunakan lampu yang
sangat terang. Demikian juga ketika menjelaskan syirik, Nabi
Muhammad saw mengungkapkan, “Kamu melihat syirik itu seperti
melihat semut hitam yang kecil yang berjalan di atas batu hitam di
malam hari yang gelap gulita.” Tentu kita tidak bisa melihatnya
kecuali menggunakan sinar matahari yang sangat terang. Sinar
225
matahari itu adalah pengajaran dan teladan dari Rasululllah, bukan
dugaan.
Konsep iman, takwa, dan ikhlas serta kafir, musyrik, munafik,
fasik, dan zalim merupakan konsep-konsep „inti‟ dan fundamental
agama Islam. Demikian juga konsep ibadah dan amal saleh serta
maksiat dan kemunkaran merupakan konsep-konsep „pokok‟ dan
fundamental agama Islam. Konsep-konsep ini semua harus dipahami
secara benar sebagaimana yang diajarkan dan diteladankan oleh
Rasulullah. Jangan sampai kita merumuskan sebuah konsep „iman‟
misalnya atas dasar perkiraan dan dugaan bukan atas dasar keyakinan
dari Rasulullah. Di sinilah letak pentingnya wasiat-mewasiati dalam
al-haq. Kemudian untuk menjalankan ibadah dan amal sosial,
ditambah lagi dengan ujian-ujian dan musibah-musibah yang selalu
menimpa manusia, diperlukan kesabaran yang tinggi dan istiqamah
dalam kesabarannya. Untuk secara istiqamah menjalankan shalat 5
waktu, shalat malam, dan shalat-shalat lainnya diperlukan kesabaran.
Untuk menghindari dosa-dosa, menghindari maksiat dan kemunkaran,
menghindari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), menghindari
tindakan curang dan menipu diperlukan kesabaran yang tinggi dan
istiqamah dalam kesabarannya. Demikian juga untuk dapat bersabar
dalam menghadapi musibah-musibah yang sangat dibenci oleh nafsu
(kemiskinan, sakit, turun jabatan, dan kecelakaan) diperlukan
istiqamah dalam kesabarannya. Tapi di kalangan masyarakat sering
terdengar “sabar itu ada batasnya”. Perlu ditegaskan di sini bahwa
sabar itu tidak ada batasnya. Orang-orang yang beriman dan beramal
saleh haruslah terus-menerus bersabar secara istiqamah sepanjang
waktu. Kapankah seorang mukmin boleh berhenti bersabar? Seorang
mukmin hanya boleh berhenti bersabar ketika nafas berakhir (ketika
mati). Kalau sudah mati, boleh tidak bersabar lagi. Di sinilah letak
pentingnya orang-orang yang beriman perlu wasiat-mewasiati dalam
kesabaran.
226
E. Nilai Dasar-5 Pola Hidup Sederhana
Pola hidup sederhana merupakan nilai dasar yang menjadi
kearifan lokal pesantren. Para kiai memberikan keteladanan dalam
menjalankan nilai dasar ini. Para santri selalu diajari dan dinasihati agar
mereka memilih pola hidup sederhana.
Pesantren lebih merupakan pendidikan keluarga dibandingkan
sekolah. Kiai di pondok pesantren sebagai ayah dari para santri,
sedangkan bu nyai (istri kiai) sebagai ibu bagi para santrinya. Tidak
heran jika di banyak pesantren para santri memanggil “Umi” kepada ibu
kiai.
Perhatikan Al-Quran surah Luqman berikut ini, sebagai pelajaran
dalam pendidikan di pesantren:
نا لقمان الحكمة أن اشكر للاو ومن يشكر فإناما يشكر لن فس و ومن كفر ولقد آت ي
( وإذ قال لقمان لبنو وىو يعظو يا ب نيا ل تشرك باللاو 21فإنا اللاو غني حميد )
نسان بوالديو حملتو أمو وىنا على وىن 21إنا الشرك لظلم عظيم ) نا ال ( ووصاي
( وإن جاىداك على 21وفصالو في عامين أن اشكر لي ولوالديك إليا المصير )
ن يا معروفا واتابع هما في الد أن تشرك بي ما ليس لك بو علم فل تطعهما وصاحب
( يا ب نيا إن اها 21إليا مرجعكم فأن بئكم بما كنتم ت عملون ) سبيل من أناب إليا ثما
إن تك مث قال حباة من خردل ف تكن في صخرة أو في الساماوات أو في األرض
ا ب نيا أقم الصالة وأمر بالمعروف وانو ( ي 21يأت بها اللاو إنا اللاو لطيف خبير )
( ول تصعر 21عن المنكر واصبر على ما أصابك إنا ذلك من عزم األمور )
( 21ل فخور )خداك للنااس ول تمش في األرض مرحا إنا اللاو ل يحب كلا مختا
227
واقصد في مشيك واغضض من صوتك إنا أنكر األصوات لصوت الحمير
(21(
12. Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman,
yaiu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan brangsiapa yang
bersyukur (kepada Allah) maka sesungguhnya ia bersyukur untuk
dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
13. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu
ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
14. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada
dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
Aku sesuatu yang tidak ada pengetauanmu tentang itu, maka
janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya
di dunia ini dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
16. Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di
langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya
(membalasinya). Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Maha
Mengetahui.
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang makruf dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
228
yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diwajibkan.
18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
lagi membanggakan diri.
19. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah
suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara
keledai.
Kisah Luqman tersebut dipaparkan dalam QS Luqman ayat 12-
19. Dalam ayat 12 disebutkan bahwa Luqman telah diberi hikmah
oleh Allah. Pertanyaan pertama yang harus diajukan, bagaimanakah
bisa Luqman memperoleh hikmah? Siapa-siapa saja orang yang akan
memperoleh hikmah? Kata kunci QS Luqman ayat 12-19 adalah
perintah Luqman kepada anaknya di ayat 15: wattabi` sabiila man
anaaba ilayya (ikutilah jalan orang yang pernah kembali kepada-Ku).
Maksud orang yang pernah kembali kepada Tuhan adalah Rasulullah.
Kembali kepada Tuhan hanyalah melalui pintu ‟mati‟. Makna
mati secara umum adalah ‟mati‟ biasa: dimandikan, dikafani,
dishalatkan, dan dikuburkan. Mereka mati untuk selama-lamanya dan
tidak akan kembali lagi ke dunia. Mereka dibangkitkan kembali pada
Hari Kiamat nanti dengan penglihatan yang terang-benderang:
fakasyafnaa `anka ghithaa`aka fabasharukal yauma hadiidun =Maka
Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka
penglihatanmu pada waktu itu amat tajam (QS Qof: 22). Nabi
Muhammad saw bersabda: ”Manusia itu tidur, maka apabila mereka
sudah mati sadarlah mereka.” (Al-Ghazali, 1989).
Pola hidup sederhana tidak bisa dipisahkan dengan watak
rendah hati (sebagai kebalikan dari sombong dan bangga diri), bahkan
229
tidak bisa dipisahkan dari keyakinan religius tentang penilaian Allah
terhadap sekecil apa pun amal yang dilakukan oleh manusia. Oleh
karena itulah kajian pola hidup sederhana merujuk kepada QS
Luqman mulai ayat 16-19 (sebagaimana telah dituliskan di atas).
Kisah Luqman diangkat dalam QS Luqman ayat 12-19 karena
Luqman memiliki al-`ilmu yang benar, yang ia amalkan sekaligus
ajarkan kepada anaknya. Rahmat (2013) menjelaskan tentang makna
ayat 16-19 sebagai berikut:
(1) Meyakini bahwa Allah akan membalas setiap perbuatan manusia
sekecil apa pun perbuatan itu (hingga sebesar benda sekecil biji
sawi pun yang tersimpan di dalam batu, di langit, atau di dalam
bumi dan di kegelapan malam, akan terlihat pula dengan jelas
oleh-Nya) karena Luqman mengenal dan menyaksikan Tuhan
bahwa Tuhan Yang bernama Allâh itu Mahahalus dan Maha
Mengetahui. Ajaran fundamental ini menegaskan bahwa Zat
Tuhan memiliki segala perkara.
(2) Mendirikan shalat yang shalatnya benar-benar berdiri tegak
(menjadi tiangnya agama), karena Luqman mendirikan shalat
sesuai dengan tujuan shalat, yakni lidz-dzikrii (mengingat AKU
=mengingat Tuhan) sebagaimana firman-Nya dalam QS Thoha
ayat 14: wa aqiimish shalaata lidz-dzikrii (dan dirikanlah shalat
untuk mengingat Aku). Dengan demikian dia akan terhindar dari
shalat saahuun (shalat yang lalai, shalat yang tidak ada zikirnya).
Luqman juga beramar makruf dan nahi mungkar. Kemudian
Luqman melakukan jihad akbar, yakni memerangi nafsunya
sendiri hingga tunduk dan patuh dikendalikan oleh hati nurani,
roh, dan rasa untuk dapat kembali kepada Tuhan hingga sampai
dengan selamat. Oleh karena itu, Luqman pun memerintahkan
anaknya untuk bersabar. Sabar adalah selalu dengan sadar dan
rela memaksa jiwa-raganya sendiri hingga selalu mau
melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Semua perintah
230
Allah dan Rasul-Nya itu sangat berat karena berlawanan dengan
nafsu dan syahwat. Oleh karena itulah diperlukan kesabaran yang
konsisten terus-menerus sepanjang waktu. Jadi, tidak ada istilah
“sabar itu ada batasnya”. Kalau pun mau disebut ada batasnya, ya
batas sabar itu hanyalah kematian. Artinya, seseorang bisa
berhenti dari bersabar jika ajal menjemputnya. Selama hayat
masih di kandung badan, harus selalu bersabar dengan dasar
keimanan bahwa segala takdir yang menimpanya –yang baik
ataupun buruk– semuanya dari Allah (yang jika dijalani dengan
sabar) merupakan kebaikan dari Allakkh untuk diri orang yang
menjalaninya.
(3) Takabur (sombong) dan ujub (bangga diri), termasuk saudara
kembarnya ria (bukan sekedar pamer, melainkan ketinggian
derajatnya ingin diakui orang lain) dan sum`ah (ingin kehebatan
dirinya terdengar orang lain) merupakan watak-watak yang
merusak amal saleh, bagai api yang memakan habis kayu kering.
Menurut KH Afandi (Rahmat, 2010) ke-4 watak ini sangat
berbahaya karena dengan watak inilah Iblis dan bala tentaranya
merasa ‟lebih baik‟ dan tidak mau bersujud kepada wakil-Nya
Tuhan di bumi. Orang yang punya 4 watak ini akan seperti Iblis,
Ia akan menghalang-halangi manusia untuk berguru kepada
wakil-Nya Tuhan di bumi. Na`uudzu billaahi min dzaalik.
Luqman karena telah diberi hikmah oleh Allah, dimampukan
Tuhan untuk menghindari watak-watak buruk ini, kemudian
mengajarkannya kepada anaknya. Termasuk telah dapat
menjalankan perintah sederhana dalam berjalan dan melunakkan
suara dalam berbicara, karena gaya berjalan dan gaya bicara (juga
isi pembicaraan) dapat mengekspresikan watak-nya. Sering kali
kekerasan terjadi gara-gara gaya berjalan dan gaya berbicara yang
dapat mengundang emosi orang yang melihat dan
mendengarkannya. Sederhana dalam berjalan dan lunaknya suara
231
dalam berbicara merupakan ekspresi hati nuraninya, karena jasad
akan tunduk kepada perintah hati. Jika hati nurani yang
memerintahnya maka orang itu akan berwatak baik. Tapi jika hati
sanubari yang memerintahnya maka orang itu akan berwatak
buruk.
Pola hidup sederhana di pondok pesantren diwujudkan mulai
pola makan dengan memilih makanan yang murah (tapi tetap
higienis), pakaian dari bahan/kain yang murah, dan pondok (tempat
menginap para santri) yang juga sederhana. Kiai dan keluarganya pun
menampilkan pola hidup sederhana. Walau punya uang yang
berkecukupan, Kiai membangun rumah yang sederhana dan
berkendaraan dengan kendaraan kelas ekonomi. Biaya pendidikan di
pesantren pun murah, jauh lebih murah dibandingkan biaya di
sekolah-sekolah yang murah. Dalam bahasa pesantren, pendidikan
yang murah itu berkah. Walau ada pesantren-pesantren modern
memungut biaya yang besar, tapi pesantren pada umumnya menolak
cara-cara seperti itu. Para kiai lebih memilih menjaga ruhani para
santri dari sifat-sifat egois, sombong, dan bangga diri. Dengan biaya
yang murah akan berimplikasi besar terhadap watak para santri.
Mereka akan bersifat rendah hati dan akan memilih pola hidup
sederhana.
232
BAB V
USAHA PENANAMAN NILAI
YANG MENJADI KEARIFAN LOKAL PESANTREN
Penanaman nilai di pesantren berbeda dengan di sekolah. Ciri khas
pesantren adalah berorientasi akhirat. Oleh karena itu cara-cara
penanaman nilainya pun memiliki kekhasan tersendiri. Cara-cara
penanaman nilai sebagai kearifan lokal pesantren, sekurang-kurangnya
ada 3 (tiga) cara, yakni: doa dan ikhtiar; tawakal kepada Allah, dan
husnu zhan (baik sangka).
A. Doa dan Ikhtiar
Doa dan ikhtiar merupakan metode kembar sebagai kearifan
lokal pesantren dalam penanaman nilai. Kedua-duanya wajib
dilakukan. Doa dipanjatkan sebelum dan ketika menjalankan usaha.
Malah sesudah berusaha pun berdoa pula dengan maksud memohon
proses dan hasil usaha yang selamat dan lancar serta mendatangkan
rezeki yang banyak, halal, dan suci. Percuma saja rezeki yang banyak
jika subhat atau haram. Yang dimohonkan oleh kiai, para ustad, dan
para santri adalah rezeki yang banyak dan halal. Bahkan halal saja
tidak cukup, dimohonkan pula rezeki yang suci. Rizki yang suci
adalah rizki yang halal kemudian dibayarkan kewajiban-kewajiban
ibadah harta (zakat, infak, sedekah, dan lain-lain).
Ayat-ayat Al-Quran yang memerintah umat manusia untuk
bekerja sebagai berikut:
م و ك ل م رى الل و ع ي س وا ف ل م ل اع ون وق ن ؤم م ل و وا رسول
ل ردون إ ت م وس ت ن ا ك م ب ك بئ ن ي ة ف اد ه ب والش ي غ ل ال ا ع
ون ل م ع ت
233
Dan katakanlah (hai Rasul): "Bekerjalah kalian, maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu;
dan (tapi ingat) kalian akan dikembalikan kepada (Allah) yang
mengetahui (Diri-Nya) Yang Maha Ghaib dan Yang Nyata. Lalu
diberitakan-Nya kepada kalian tentang apa-apa yang telah kalian
kerjakan (QS Taubat: 105)
ت لجواب وقدور رااسي ٱثيل وجفان ك ريب وتم ء من ماح ما يشا ۥي عملون لو
Para jin itu membuat untuk (Nabi) Sulaiman apa yang
dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung
serta piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang
tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk
bersyukur (kepada Allah); dan (sayang sekali) sedikit sekali dari
hamba-hamba-Ku yang bersyukur (QS Saba`: 13).
ل ى ق ل وا ع ل م وم اع ا ق ل ي ام ني ع م إ ك ت ان ك سوف م ف
ون م ل ع ت Katakanlah: "Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu.
Sesungguhnya aku akan bekerja (pula). Maka kelak kamu akan
mengetahui (QS az-Zumar: 39).
Ketiga ayat di atas memerintahkan umat manusia untuk bekerja
(berikhtiar). Tapi secara tersirat mewanti-wanti jangan asal bekerja,
melainkan pekerjaan yang dapat dipertanggung-Jawabkan di akhirat.
Atau, bekerjalah kalian dengan berorientasi akhirat. Oleh karena itu,
konsep ikhtiar dalam Islam menyatu dengan doa.
Perintah berdoa dikemukakan oleh banyak ayat Al-Quran,
antara lain ayat-ayat berikut:
234
ها ما للاو ن ٱل يكلف كتسبت رب انا ٱفسا إلا وسعها لها ما كسبت وعلي
نا إن ناسينا ت ؤاخذنا ل ۥإصرا كما حملتو أو أخطأنا رب انا ول تحمل علي
لنا ما ل ٱ على غفر ٱعف عناا و ٱو ۦطاقة لنا بو لاذين من ق بلنا رب انا ول تحم
.فرين لك ٱلقوم ٱنصرنا على ٱنا ف أنت مولى رحمناٱو لنا
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (Jawablah hai Rasul) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku; maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-
Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu
berada dalam kebenaran. (Qs. 2/Al-Baqarah: 286)
ادعوا رباكم تضرعا وخفية إناو ل يحب المعتدين
ول ت فسدوا في األرض ب عد إصلحها وادعوه خوفا وطمعا إنا رحمة اللاو قريب من
المحسنين
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang
lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas; dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi sesudah (Allah) memperbaikinya; dan berdoalah kepada-Nya
dengan rasa takut dan harap. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik (QS al-A`raf: 55-56).
لاذين يستكبرون عن عبادتىٱأستجب لكم إنا دعونىٱوقال ربكم
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka
Jahannam dalam keadaan hina dina." (QS al-Mu`min: 60)
235
ا ه ت خ ن أ ر م ب ك ي أ ل ى ة إ ن آي م م ه ري ا ن خ وم م وأ اى ن ذ
ون ع رج م ي ل ه ع اب ل ذ ع ال ب
ا ن ن ك إ د ن د ع ه ا ع ا رب ك ب ن ر ادع ل اح يو الس ا أ وا ي ال وق
ون د ت ه م ل
ون ث ك ن م ي ا ى ذ اب إ ذ ع م ال ه ن ا ع ن ف ش ا ك م ل ف
Dan tidaklah Kami perlihatkan kepada mereka sesuatu mukjizat
kecuali mukjizat itu lebih besar dari mukjizat-mukjizat yang
sebelumnya; dan Kami timpakan kepada mereka azab supaya mereka
kembali (ke jalan yang benar).
Dan mereka (orang-orang kafir) berkata (kepada Nabi Musa): "Hai
ahli sihir, berdoalah kepada Tuhanmu untuk (melepaskan) kami
sesuai dengan apa yang telah dijanjikan-Nya kepadamu;
sesungguhnya kami (jika doamu dikabulkan) benar-benar akan
menjadi orang yang mendapat petunjuk. Maka tatkala Kami
hilangkan azab itu dari mereka, dengan serta merta mereka
memungkiri (janjinya) (QS az-Zukhruf: 48-50).
Doa merupakan ibadah yang amat penting dalam ajaran Islam.
Doa merupakan permohonan seorang hamba kepada Tuhannya.
Sebagai ibadah, doa merupakan bentuk penyerahan diri serta
pengakuan akan keterbatasan manusia. Karena itu, tidaklah
mengherankan kalau Nabi saw menyebut doa sebagai otaknya ibadah.
Dalam ayat-ayat di atas doa merupakan metode bagi orang-orang yang
beriman untuk memohon pertolongan Allah.
236
1. Pentingnya Doa dan Ikhtiar
Konsep doa terlahir dari pengakuan akan keterbatasan manusia
dan sekaligus keyakinan akan kekuasaan Allah yang tak terbatas.
Manusia dalam konteks apa pun adalah makhluk yang memiliki batas
kemampuan, baik fisik maupun pikirannya. Bersamaan dengan itu, ia
memiliki pula harapan-harapan sebagai ciri orang yang hidup dan
memiliki kehidupan. Karena itu, setiap orang memerlukan doa yang
memberinya harapan dan ketenteraman batin.
Banyak orang –termasuk orang-orang terpelajar– beranggapan
bahwa berdoa sebagai opium. Doa bagi mereka adalah kelemahan
yang berkedok kekuatan, eskapisme, kepahlawanan yang pudar,
kemalasan, dan kekerdilan lainnya. Dalam pandangan mereka, orang
yang gigih berdoa cenderung malas berpikir, enggan berusaha dan
berikhtiar, berspekulasi, yang semestinya dilakukan dalam kehidupan
individual dan sosial. PAndangan semacam itu, kata Syariati (1995),
berasal dari periode-periode pra Islam yang pada akhirnya menyusup
ke mentalitas kaum muslimin dewasa ini. Ia menolak keras
pAndangan di atas. Doa malah menambahkan kekuatan yang sudah
ada dengan kekuatan baru dan membuat kebaikan menjadi lebih
langgeng dalam konstruksi kehidupan sosial maupun individual.
Dalam pAndangan Islam berapa pada peringkat setelah tugas dan daya
upaya yang sudah dilakukan secara terus menerus dan sabar.
Masih ada pula orang yang bertanya, apakah gunanya doa bagi
manusia, sedang Allah menentukan qada dan qadarnya, atau surahan
taqdir telah digariskan-Nya? Apakah qada dan qadar dapat dirubah
oleh manusia dengan doanya? Bukankan qada dan qadar tidak dapat
dirubah oleh siapapun?
Al-Ghazali (1989) menJawab bahwa bala` (cobaan) itu dapat
dihilangkan dengan doa, karena doa itu menjadi satu sebab untuk
menampik sesuatu bala. Ia mengibaratkan doa sebagai tameng untuk
menolak sesuatu pukulan senjata, atau laksana air yang menyebabkan
237
tumbuhnya tumbuh-tumbuhan di muka bumi. Sebagaimabna antara
tameng dengan senjata dalam hal tarik menarik dan tolak menolak,
begitupun antara doa dengan qada dan qadar, namun tetap yang
berhak merubah qada dan qadar Allah itu adalah Allah Yang
Mahakuasa atas segala sesuatu. Dengan demikian dapatlah dipahami
dengan mudah, serta tidak cukup alasan bagi kita untuk tidak
mempergunakan usaha dan ikhtiar dalam kehidupan seorang muslim.
Dalam antologi doa-doa yang diajarkan Islam, ternyata
Rasulullah saw tidak berdoa sebelum ia bekerja maksimal, tetapi
sebaliknya, ia berdoa setelah berusaha maksimal. Lihatlah kapan
Rasulullah berdoa? Beliau berdoa setelah segala kebutuhan untuk
berperang dipersiapkan, Beliau mengumpulkan kekuatan, merapatkan
barisan, merancang strategi, kemudian berdoa. Dalam sebuah riwayat
diungkap bahwa beliau menegur sahabat yang duduk bersimpuh di
mesjid dan terus menerus berdoa minta diturunkan rezeki dari langit,
sementara sahabat lainnya sibuk mencari nafkah, lalu Rasulullah
memberi jalan kehidupan dengan memberikan kampak kepadanya
untuk mencari kayu bakar. Sekali lagi, inilah Islam!
Kedudukan doa amatlah penting. Pentingnya doa dapat
diungkap dari kenyataan bahwa ternyata Allah swt dan Rasul-Nya
yang mulia memerintahkan untuk berdoa, dan melaksanakan doa
merupakan manifestasi dari perintah tersebut (QS al-Mu`min: 60).
Doa sebagai upaya ruhaniah untuk merealisasikan harapan
tidaklah dapat berjalan sendirian. Ia memerlukan upaya-upaya yang
bersifat fisik yang sering disebut ikhtiar. Ikhtiar adalah usaha nyata
yang dilakukan untuk menuai harapan yang diinginkan.
Dalam ikhtiar, manusia diberi kebebasan secara luas untuk
melakukan berbagai tindakan konkret. Kebebasan ini menjadikan
manusia sebagai subyek yang menentukan. Tetapi kendatipun
demikian, tidak berarti manusia memiliki hak yang tak terbatas.
Dalam konteks ikhtiar, manusia diperkenankan untuk merancang dan
238
melakukan sesuatu yang diinginkannya secara bebas, tetapi dalam
perealisasiannya terdapat keterbatasan-keterbatasan. Menghadapi
keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki manusia berhadapan dengan
kemahakuasaan Allah yang tak terbatas, maka Islam memberikan
solusi dengan doa, sehingga keterbatasan itu tidak melahirkan
kekecewaan dan keputusasaan. Karena itu, doa dan ikhtiar harus selalu
berdampingan karena keduanya merupakan dua hal yang tidak bisa
dipisah-pisahkan.
Doa dan ikhtiar apabila dirunutkan kepada tugas esensial
manusia, maka doa diletakkan sebagai bentuk perealisasian tugas
perhambaan manusia kepada Allah. Adapun ikhtiar merupakan
implementasi dari tugas kekhalifahannya di muka bumi. Tugas
keabdullahan mengisyaratkan keterbatasan sedangkan khalifah
menunjukkan kebebasan manusia. Apabila doa dan ikhtiar dipahami
secara utuh sebagaimana melihat dua tugas manusia tersebut, maka
doa dan ikhtiar tidak akan dipAndang sebagai usaha manusia yang
saling bertentangan.
Lalu, mengapa kita harus berdoa? Ada beberapa alasan
mendasar yang menuntut seorang muslim harus berdoa, sebagai
berikut:
a. Berdoa adalah perintah Allah. Kaidah ushul menyatakan bahwa
Asal dalam sesuatu perintah menunjukkan wajib. Demikian
halnya, berdoa diperintahkan Allah kepada manusia (baca: orang-
orang beriman), dan manusia harus melaksanakannya (QS al-
Mukmin: 60; al-A‟raf: 180). Keengganan manusia untuk berdoa
atau mengabaikannya merupakan penolakan yang nyata dan
kesombongan yang jelas.
b. Panggilan jiwa. Jiwa manusia cenderung untuk meminta
pertolongan manakala dirundung malang atau terkena musibah.
Nabi Adam dan Siti Hawa meminta pertolongan Allah tatkala
239
mereka sadar telah terjerumus pada larangan mendekati buah
Khuldi, seraya berdoa: “Ya Tuhan kami kami telah menganiaya
diri kami, dan sekiranya Engkau tidak mengampuni kami dan
merahmati kami, niscaya kami tergolong orang-orang yang rugi.”
(QS al-A‟raf: 23-24). Tatkala kapal Tampomas tenggelam, pers
menyiarkan bahwa seluruh penumpangnya berdoa minta
keselamatan. Demikianlah manusia, Maka apabila mara bahaya
menimpanya, ia berdoa kepada Kami. (QS az-Zumar: 49).
c. Kelemahan manusia. Sungguh pun manusia diberi akal yang
hebat, mengerahkan segala usaha dan ikhtiar secara maksimal,
ternyata tidak semua ancaman, tantangan, hambatan, dan
gangguan dapat diatasi oleh kemampuannya. Dalam keadaan
demikian tinggal satu-satunya harapan, berdoa mohon pertolongan
Allah serta menyerahkan keputusan akhir hanya kepada-Nya pula
(tawakkal).
d. Ilmu manusia terbatas, ilmu Allah Mahaluas. Ilmu yang
dimiliki manusia amatlah terbatas, sedangkan ilmu Allah amatlah
luas tanpa batas (QS al-Kahfi: 109). Oleh karena itu, untuk
memecahkan seluruh persoalan kehidupan manusia amatlah
musykil serta naif jika manusia tidak mengantungkan harapan
kepada Allah Yang Mahatahu.
e. Manusia hanya diperintahkan untuk bekerja. Bekerja atau
beramal adalah tugas manusia (QS al-An`am: 135) untuk
kemakmuran di muka bumi ini. Ia tidak diperintahkan untuk
berhasil dalam pekerjaannya, sebab Allahlah yang mengabulkan
putusan akhir tentang hasil atau tidaknya. Kita kenal pepatah yang
menyatakan “manusia yang merencanakan dan Tuhan yang
menentukan”. Untuk itulah manusia diwajibkan untuk berusaha
mengubah suatu keadaan secara maksimal serta berdoa secara
240
sungguh-sungguh seraya menyerahkan keputusan akhir kepada
Allah (Majid & Rahmat, 2004).
Hal-hal di atas merupakan alasan esensial mengapa kita harus
berdoa. Persoalan selanjutnya adalah apa dan bagaimana kedudukan
berdoa dalam kehidupan seorang muslim?
2. Keterkabulan dan Penghalang Doa
Allah Maha Mendengar karena itu setiap doa didengar Allah,
tetapi ada doa yang dikabulkan ada juga yang tidak dikabulkan.
Keterkabulan doa kemungkinan disebabkan oleh ketidaksungguhan
orang yang berdoa, dosa yang dilakukan si pendoa atau karena Allah
berkehendak lain.
Berdoa memiliki tata cara sebagaimana yang diajarkan oleh
Rasul. Karena itu, bisa jadi doa tidak terkabul karena ketidaktepatan
dalam caranya. Ketertkabulan doa itu sangat tergantung pada:
a. Niat berdoa; Niat berdoa hendaklah ikhlas, mengharap rahmat dan
keridaan Allah, serta yakin kepada-Nya (QS al-Mu`min: 14).
b. Kepada siapa doa dipanjatkan; Doa yang akan kabulkan Allah
adalah doa yang hanya dipanjatkan kepada-Nya saja (QS Yunus:
106).
c. Orang yang berdoa; Orang-orang yang makbul doanya banyak
diceritakan dalam hadis, antara lain imam (pemimpin) yang adil,
Orang yang teraniaya, ibu/bapak terhadap anaknya, orang-orang
yang salih, anak yang patuh terhadap orang tuanya, orang yang
sedang dalam perjalanan, orang yang sedang berpuasa, orang
muslim yang mendoakan temannya yang jauh, orang muslim yang
berdoa bukan untuk hal dosa dan memutuskan silaturahmi, orang
yang sedang dalam kesulitan hidup, yang sedang beribadah haji
dan umrah, orang yang hafal Al-Quran, yang lanjut usia dan taat
kepada Allah, yang disantuni kepada yang menyantuni, yang
241
membiasakan berdoa waktu dalam kesenangan, sekelompok atau
kumpulan orang-orang salih.
d. Sesuatu yang didoakannya; Tidak setiap segala sesuatu boleh
diminta kepada Allah. Dia melarang hal-hal mustahil adanya, hal-
hal yang jelek, dan hal-hal yang dilarang oleh syara‟.
e. Cara-cara berdoa; Doa sebagai ibadah, pelaksanaannya harus
dengan cara-cara tertentu yang disyariatkan Islam, yakni dengan
penuh keyakinan, rendah hati dan khusyuk, suara lembut, merasa
takut dan harap, mengawali dengan memuji Allah dan membaca
selawat, memperbaharui tobat, menghadap kiblat, menyampaikan
doa diulang-ulang sampai tiga kali dan kata-kata yang jelas serta
dapat dipahami. dan mengakhirinya dengan selawat dan hamdalah.
f. Waktu berdoa; Hendaklah memilih waktu yang mustajab, yakni
waktu-waktu yang dianjurkan untuk berdoa, yaitu waktu mulia
seperti hari Arafah, bulan Ramadhan, lailatu al-qodar, ketika adzan
dan iqamah kumAndangkan, antara dua khutbah, ketika berbuka
puasa, malam ied al-fitri dan adha, ketika sujud dan ruku‟, hari dan
malam jum‟at, setiap ba‟da Shalat, sepertiga malam terakhir
(sahur), waktu turun hujan, saat bertemu musuh di medan jihad,
sewaktu air mata mulai berderai, waktu dalam perjalanan, dan
lain-lain.
g. Tempat berdoa; Hendaklah memilih tempat-tempat mulia dan
mustajab, antara lain di majelis zikir, di mesjid, di tanah lapang, di
tanah haram, di dalam Ka‟bah, di Hijir Ismail, di pojok-pojok
Ka‟bah, di Multazam, di belakang maqom Ibrahim, di sumur Zam-
zam, di Shafa dan Marwah, di Arafah (Masy‟ar al-Haram), di
Muzdalifah dan di Mina.
Bila ketujuh hal di atas terpenuhi maka doa seseorang pasti
dikabulkan oleh Allah swt. Hanya saja pengabulan doa ini ada
242
beberapa model dan kemungkinan atau alternatif, yang kita –sebagai
manusia- tidak tahu secara pasti. Kemungkinan tersebut berupa:
a. Dikabulkan secara kontan sesuai dengan permintaan;
b. Diganti dengan hal lain, mungkin serupa, mungkin berbeda
dengan hal yang diminta, tetapi yang jelas Allah lebih tahu hal
yang terbaik bagi hamba-Nya.
c. Dihindarkan dari suatu bencana yang akan menimpanya;
d. Diampuni dosa-dosanya; doa sebagai kifarat dosa;
e. Ditunda pengabulannya oleh Allah sampai waktu tertentu yang
kita tidak tahu secara pasti.
Sehubungan dengan keterkabulan doa ini, Nabi saw bersabda:
o Tidaklah seseorang muslim di muka bumi ini berdoa meminta
sesuatu kepada Allah, melainkan Allah mengabulkannya
sebagaimana yang dimintanya, atau dipalingkan (oleh) Allah
dari sesuatu bencana selama ia tidak berdoa dengan sesuatu
yang membawa dosa atau memutuskan tali silaturahmi (HR
Tirmidzi).
o Sesungguhnya doa seseorang itu tidak akan lepas dari salah
satu di antara tiga hal: adakalanya diampunkan dosanya,
adakalanya diberikan kebaikan segera (kontan), dan
adakalanya ditunda pengabulannya (HR Dailami)
Jika doa tidak dikabulkan, berarti ditolak. Doa akan tertolak
bila tidak memenuhi syarat-syarat atau kriteria diterimanya doa seperti
yang telah dijelaskan di atas. Untuk lebih jelas lagi, perhatikan secara
cermat sebab-sebab tertolaknya doa sebagai berikut:
a. Jika berdoa tidak dengan cara-cara yang diajarkan Islam.
b. Jika berdoa dengan tidak memenuhi syarat-syarat diterimanya doa.
c. Jika mengkonsumsi makanan/minuman atau berpakaian yang
haram.
Nabi saw bersabda:
243
Hai manusia, Allah itu Mahabaik, hanya menerima yang baik.
Allah berfirman: „Hai orang-orang beriman makanlah dari yang
baik-baik dan beramal salihlah….Kemudian Nabi menyebut
seseorang yang telah jauh perjalannanya, rambutnya kusut,
pakaiannya berdebu, lalu berdoa dengan menengadahkan
tangannya ke atas, “Ya Rabb! Ya Rabb!”, sementara itu
makanannya haram, minumannya haram, dan ia tumbuh dari
barang yang haram, maka bagaimana Allah akan mengabulkan
doanya! (HR Muslim)
Ibrahim bin `Adham menambahkan sebab-sebab tertolaknya
doa karena:
a. Seseorang mengaku mengenal Allah, tetapi hak-hak-Nya tidak
dipenuhi (tidak mau beribadah dll.)
b. Seseorang membaca Al-Quran, tetapi isinya tidak diamalkan
dalam kehidupannya.
c. Seseorang mengaku mencintai Rasulullah, tetapi Sunnahnya tidak
dijalankan.
d. Seseorang mengaku bahwa setan sebagai musuhnya, tetapi patuh
kepada bujuk rayunya.
e. Seseorang berdoa untuk terhindar dari keburukan dan neraka tetapi
selalu berbuat dosa.
f. Seseorang berharap mendapatkan kebahagiaan dan masuk surga,
tetapi enggan beramal ibadah.
g. Seseorang meyakini kematian pasti menjemputnya, tetapi ia tidak
mempersiapkannya.
h. Seseorang yang selalu sibuk dengan aib orang lain sementara
aibnya enggan untuk diintrospeksi.
Berdoa juga tergantung kepada siapa orangnya. Apabila doa
disampaikan oleh seorang pendosa, maka mungkin saja doa dapat
244
ditolak. Allah Mahasuci, dan berdoa merupakan permintaan dari
makhluk kepada Yang Mahasuci. Oleh sebab itu, kesucian diri
merupakan prasyarat untuk mendekati-Nya. Tidak heran kalau para
ulama menganjurkan agar berdoa itu dimulai dengan permintaan
ampunan (istigfar) sebagai usaha untuk menghilangkan dosa terlebih
dahulu sebelum permintaan disampaikan.
Di samping sebab-sebab di atas, ketidakterkabulan doa juga
disebabkan oleh karena kehendak Allah berbeda dengan kemauan
orang yang berdoa. Fenomena ini mudah untuk dipahami dan diterima
apabila dikaitkan dengan kasih sayang Allah. Allah Yang Maha
Pengasih selalu memberikan yang terbaik bagi makhluk-Nya,
termasuk bagi orang yang berdoa. Allah Mahatahu baik dan buruknya
keinginan sang pendoa apabila doanya itu dikabulkan atau ditolak.
Allah selalu memberikan yang terbaik bagi umatnya. Karena itu, bisa
jadi tidak dikabulkannya doa seseorang merupakan pemberian Allah
yang terbaik bagi orang itu. Jadi apabila doa tidak terkabul, tidak bisa
menyalahkan Allah dengan menggugat janji-Nya bahwa siapa orang
yang berdoa niscaya akan dikabulkan-Nya. Setiap doa yang diucapkan
selalu bertujuan untuk meminta kebaikan bagi dirinya. Tetapi manusia
tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui implikasi dari sesuatu
yang dimintanya itu sebagai suatu kebaikan yang hakiki bagi dirinya.
Karena itulah berdoa dipAndang sebagai ibadah atau sesuatu bentuk
perhambaan yang dikabul atau tidaknya harus diterima dengan
kepasrahan.
3. Cara-cara Berdoa
Manusia selalu berdoa memohon pertolongan Tuhan. Tidak
ada seorang manusia pun yang tidak pernah berdoa. Tapi sayangnya
kebanyakan manusia berdoa hanya untuk memenuhi selera nafsunya
yang rendah, bukannya untuk mencapai kemuliaan diri di hadapan
Tuhan. Firman-Nya:
245
قل من ي نجيكم من ظلمات الب ر والبحر تدعونو تضرعا وخفية لئن أنجانا من
.ىذه لنكوننا من الشااكرين
ها ومن كل كرب ثما أن تم تشركون قل اللاو ي نجيكم من
Katakanlah: "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana
di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah diri
dengan suara yang lembut (dengan mengatakan): "Sesungguhnya jika
Tuhan menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi
orang-orang yang bersyukur!" Katakanlah: "Allahlah menyelamatkan
kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, (tetapi setelah
diselamatkan) kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya (seperti
sedia kala)." (QS al-An`am: 63-64).
غون فى أنجى ف لماا لنااس إناما ٱأي ها لحق ي ٱألرض بغير ٱهم إذا ىم ي ب
نا مرجعكم ف ن نبئكم بما كنتم ٱة لحي و ٱع أنفسكم مات على ب غيكم ن يا ثما إلي لد
.ت عملون
Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan dan
(berlayar) di lautan. sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera,
dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di
dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira
karenanya, datanglah angin badai. Dan (apabila) gelombang dari
segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah
terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan
mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka
memohon): "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari
bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang
bersyukur." Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba
246
mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang
benar. Hai manusia, sesungguhnya kezalimanmu akan menimpa
dirimu sendiri. (Hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup
duniawi, kemudian kepada Kamilah kembalimu, lalu Kami kabarkan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (QS Yunus: 22-23).
Malah ada (bahkan mungkin sebenarnya paling banyak) orang
yang berdoa untuk memohon kebahagiaan duniawi walau di akhirat
merugi, sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Baqarah ayat 200:
ي قو من النااس فمن ذكرا شدا أ أو آباءكم كذكركم اللو فاذكروا ماناسككم قضيتم إذا
ن يا في آتنا رب انا ل خلق من الخرة في لو وما الد
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah
dengan menyebut Allah sebagaimana kamu menyebut-nyebut
(membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah
lebih banyak daripada itu. Maka di antara manusia ada orang yang
bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan
tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat.
Seharusnya doa yang dimohonkan kepada Allah adalah
memohon kebahagiaan di dunia dan akhirat serta memohon untuk
dihindarkan dari siksaan api neraka, sebagaimana firmanNya dalam
Qs. 2/Al-Baqarah ayat 200:
dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami,
berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
peliharalah kami dari siksa neraka".
Doa ini dikenal luas dan biasa diucapkan oleh kaum muslimin
se-dunia. Tapi sayangnya pikiran mereka menghendaki kebahagiaan
duniawi. Terbukti mereka melakukan amal-amal yang bertentangan
dengan amal-amal yang diajarkan dan diteladankan oleh Rasulullah.
247
Adapun cara-cara berdoa kepada Allah sebagai berikut:
1. Merendahkan diri, kemudian menyampaikan doa dengan suara
lemah lembut, sebagaimana firman-Nya:
ادعوا رب كم تضرعا وخفية إن و ل يب المعتدين Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara
yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas (QS al-A`raf: 55).
2. Mengembangkan rasa takut dan penuh harap sebagaimana firman-
Nya:
عوه خوفا وطمعا إنا رحمت اللو ول ت فسدوا في األرض ب عد إصلحها واد
قريب من المحسنين Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa
takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik (QS sl-A`rof: 56).
3. Memulai doa dengan ta`awudz, basmallah, hamdallah, dan
shalawat. Perintah membaca taawud (memohon perlindungan
kepada Allah dari gangguan syetan) diungkapkan dalam ayat-ayat
di bawah ini,
o Perintah membaca taawud diungkapkan dalam ayat-ayat
berikut:
ا يطان من ينزغنك وإم إنه بالل فاستعذ نزغ الش
عليم سميع
248
Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka
berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs. 7/Al-A`raf: 200)
لر جيم ٱن لش يط ٱلل و من ٱستعذ ب ٱلقرءان ف ٱفإذا ق رأت Apabila kamu membaca Al-Qur'an, hendaklah kamu meminta
perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. (QS an-
Nahl: 98)
إن ال ذين يادلون ف آيات الل و بغري سلطان أتاىم إن ف صدورىم إل كب ر ما
إن و ىو الس ميع البصري ىم ببالغيو فاستعذ بالل و Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang
ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak
ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan)
kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya,
maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya
Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Qs. 40/Al-Mu`min:
56)
وإماا ينزغناك من الشايطان ن زغ فاستعذ باللاو إناو ىو الساميع العليم Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka
mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Fushshilat:
36).
o Perintah membaca basmalah diungkapkan dalam ayat berikut:
م س ا ب يه وا ف ب ال ارك ا وق اى رس ا وم ن رب الل و مراى إ
يم ور رح ف غ ل
249
Dan Nuh berkata: "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya
dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan
berlabuhnya." Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Hud: 41).
o Perintah membaca hamdalah diungkapkan dalam ayat-ayat
berikut:
د ل الم ق ك ف ل ف ل ى ا ل ك ع ع ن م ت وم ن ت أ وي ت ا اس ذ إ ف
مي وم الظ ال ق ل ن ا ا م ل و ال ذي م ان لApabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada
di atas bahtera itu, maka ucapkanlah: "Alhamdulillah” Dia
telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim (QS
al-Mu`minun: 28).
ق ي اوات واألرض ل م ق الس ل ن خ م م ه ت ل أ ن س ئ ن الل و ول ول
ل و د ل ل الم ون ق م ل ع م ل ي رى ث ك ل أ بDan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka:
"Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka
akan menJawab: "Allah." Katakanlah: "Alhamdulillah”,
tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS Luqman: 25).
o Perintah membaca selawat diungkapkan dalam ayat-ayat
berikut:
صلوا لاذين ءامنواٱأي ها لنابى ي ٱيصلون على ۥئكتو للاو ومل ٱإنا
يماتسل عليو وسلموا
250
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya berselawat
untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, berselawatlah
kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya (QS al-Ahzab: 56).
Nabi saw bersabda:
عه كم دعاء مذجب دتى صهى عهى انىب صهى للا
سهم.
Setiap doa itu terhalang hingga diucapkan selawat kepada
Nabi saw. (Silsilah Al-Ahaadiis Ash-Shahiihah No. 2035,
dalam Sauri: 2011).
B. Tawakal kepada Allah
Tawakal setelah berdoa dan berikhtiar merupakan metode
kearifan lokal pesantren dalam penanaman nilai. Tawakal adalah
menyerahkan urusan keputusannya terserah Allah. Apa pun
keputusan-Nya diterima dengan senang hati. Orang yang sudah
bertawaakal tidak akan menginginkan keputusannya A atau bukan A.
Misal, seorang santri senior sudah membulatkan tekad untuk menikahi
seorang perempuan pilihannya. Tentu, biasanya setelah terlebih
dahulu berkonsultasi dengan kiai. Jika doa sudah dan terus-menerus
dipanjatkan dan ikhtiar pun sudah dilakukan (yakni melamar
perempuan pilihannya itu), ia kemudian bertawakal. Apa jadi menikah
dengan perempuan pilihannya itu ataupun Allah berkehendak lain,
santri yang sudah tawakal itu menerima keputusan dari Allah. Ia
senang dengan apa pun keputusan Allah. Jika, misal, ternyata
perempuan pilihannya itu malah meninggal dunia sebelum
dinikahinya, ia tidak akan kecewa. Ia menerima kematian sang calon
istrinya itu sebagai takdir yang baik bagi dirinya. Doa dipanjatkan
sebelum dan ketika menjalankan usaha.
251
Ayat-ayat Al-Quran tentang tawakal sangat banyak, di
antaranya seperti berikut ini
ومن ي تاق اللاو يجعل لو مخرجا وي رزقو من حيث ل يحتسب ومن ي ت وكال على
اللاو ف هو حسبو إنا اللاو بالغ أمره قد جعل اللاو لكل شيء قدراBarangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah
niscaya Allah, akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (QS ath-
Thalaq: 2-3).
Dalam ayat di atas, orang yang bertawakal kepada Allah akan
dicukupkan keperluannya. Oleh karena itu orang beriman yang telah
maqom dalam karakter tawakal hidupnya akan selalu bahagia, karena
semua urusannya sudah diserahkan kepada Allah. Apa pun keputusan
Allah, orang yang bertawakal menyenanginya.
1. Nilai Tinggi Tawakal
Keutamaan tawakal diungkap dalam 38 ayat lebih, sedangkan
perintah untuk bertawakal diungkapkan dalam 14 ayat Al-Quran
sebagai berikut:
من فضوانٱلقلب ل ٱللاو لنت لهم ولو كنت فظا غليظ ٱفبما رحمة من
هم و ٱف حولك غفر لهم وشاورىم فى ٱعف عن ألمر فإذا عزمت ف ت وكال على ٱست
لمت وكلين ٱللاو يحب ٱإنا للاو ٱ
Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah-lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
252
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya (QS Ali Imran: 159).
م غ ه ن ة م ف ائ ي ت ط ك ب د ن ن ع رزوا م ا ب ذ إ ة ف اع ون ط ول ق ر وي ي
ول ق ون ال ذي ت يت ب ا ي ب م ت ك م والل و ي ه ن رض ع ع أ ف
ى الل و ل ل ع وك ى وت ف يل وك الل و وك ب
Dan mereka (orang-orang munafik) mengatakan: "(Kewajiban kami
hanyalah) taat." Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu,
sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil
keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah menulis
siasat yang mereka atur di malam hari itu. Maka berpalinglah kamu
dari mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah
menjadi Pelindung (QS an-Nisa: 81).
يا أي ها ال ذين آمنوا اذكروا نعمة الل و عليكم إذ ىم ق وم أن ي بسطوا إليكم أيدي هم
ليت وك ل المؤمنون وعلى الل و ف فكف أيدي هم عنكم وات قوا الل و
Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah
(yang diberikan-Nya) kepadamu di waktu suatu kaum bermaksud
hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat),
maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwallah
kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin
harus bertawakal (QS al-Maidah: 11)
253
قال رجلن من الاذين يخافون أن عم اللاو عليهما ادخلوا عليهم الباب فإذا
البون وعلى اللاو دخلتموه فإناكم غ
Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada
Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah
mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu. Bila kamu
memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah
hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang
beriman." (QS al-Maidah: 23).
إناو ىو الساميع العليم وإن جنحوا للسالم فاجنح لها وت وكال على اللاو
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah
kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS al-Anfal: 61).
نا إلا ما كتب اللاو لنا ىو مولنا لى اللاو ف ليت وكال المؤمنون وع قل لن يصيب
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa
yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami,
dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus
bertawakal." (QS at-Taubat: 51).
ه د ب اع لو ف ر ك ع األم رج و ي ي ل اوات واألرض وإ م ب الس ي ل و غ ول
و ي ل ل ع وك ون وت ل م ع ا ت م ل ع اف غ ا ربك ب وم
Dan kepunyaan Allahlah apa yang gaib di langit dan di bumi dan
kepada-Nyalah dikembalikan urusan-urusan semuanya. Maka
254
sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali
Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan (QS Hud: 123).
وت وك ل على العزيز الر حيم
Dan bertawakallah kepada Yang Maha Perkasa lagi Maha
Penyayang (QS asy-Syu`ara: 217).
ى الل و ل ل ع وك ت ي ف ب م ى الق ال ل ن ك ع إ
Sebab itu bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di
atas kebenaran yang nyata (QS an-Naml: 79).
ن الل و ول ق ي اوات واألرض ل م ق الس ل ن خ م م ه ت ل أ ن س ئ ل ول ق
ن ل ى ر ى ض ن الل و ب راد ن أ ون الل و إ ن د ون م ع د ا ت م م ت ي رأ ف أ
ات رح ك ن مس ل ى رحة ى ن ب راد و أ ره أ ات ض ف اش و ك ل ت ق
ب الل و س ون ح ل وك ت م ل ل ا وك ت و ي ي ل ع
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menJawab: "Allah"
Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu
seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudaratan
kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan
kemudaratan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku,
apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?” Katakanlah:
"Cukuplah Allah bagiku. KepadaNya-lah bertawakal orang-orang
yang berserah diri.” (QS az-Zumar: 38).
255
من الشايطان ليحزن الاذين آمنوا وليس بضارىم شيئا إلا بإذن إناما الناجوى
المؤمنون وعلى اللاو ف ليت وكال اللاو
Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, supaya
orang-orang yang beriman itu berduka cita, sedang pembicaraan itu
tiadalah memberi mudarat sedikit pun kepada mereka, kecuali dengan
izin Allah, dan kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang
beriman bertawakal (QS al-Mujadilah: 10).
وعلى الاو ف ليت وكال المؤمنون و إلا ىو الاو ل إل
(Dia-lah) Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Dan hendaklah orang-
orang mukmin bertawakal kepada Allah saja (QS at-Taghobun: 13).
2. Pentingnya Bertawakal
Banyaknya ayat tentang keutamaan dan perintah untuk
bertawakal kepada Allah menunjukkan bahwa tawakal merupakan
karakter utama dalam Islam. Orang yang bertawakal kepada Allah
dijanjikan oleh Allah akan dicukupkan semua keperluannya. Allah swt
berfirman:
ومن ي تاق اللاو يجعل لو مخرجا وي رزقو من حيث ل يحتسب ومن ي ت وكال على
اللاو بالغ أمره قد جعل اللاو لكل شيء قدرا اللاو ف هو حسبو إنا
Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan
memberikan jalan keluar (terhadap semua persoalan hidupnya), dan
(juga) memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.
Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan
256
mencukupkan (semua keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (QS ath-Thalaq: 2-3).
Allah swt memberikan pujian terhadap hamba-hamba-Nya yang
suka bekerja keras. Terhadap orang yang belajar mencari ilmu
disediakannya surga. Dalam sebuah hadis disebutkan: Man salaaka
thariiqan yaltamisu fiihi `ilman sahhalallaahu thariiqan ilal jannah
(Barang siapa yang bepergian mencari ilmu, Allah akan memudahkan
baginya jalan ke surga). Allah swt mengangkat orang-orang yang
beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat. Jadi, bekerja keras
merupakan akhlak yang terpuji.
Tapi, adakalanya kita tidak sampai kepada cita-cita yang kita
inginkan, padahal kita sudah beberapa kali mengulangi pekerjaan itu.
Alias, kita sudah bekerja keras dan maksimal. Misal, Anda ikut testing
Pengawai Negeri Sipil (PNS) hingga tiga kali. Anda pun sudah belajar
secara sungguh-sungguh. Anda sudah mempelajari semua soal-soal
terdahulu serta menelaahnya secara cermat butir demi butir soal, tetapi
Anda tetap tidak lulus. Tentu saja Anda kecewa. Dengan mengikuti
gejolak emosi, mungkin Anda akan mengatakan "testing PNS tidak
objektif", "terlalu banyak peserta yang melakukan KKN", atau kata-kata
apa saja yang menunjukkan kebobrokan testing PNS menurut persepsi
Anda.
Anda tentu boleh saja kecewa. Itu manusiawi. Tapi Anda perlu
mengembalikan semua kegagalan Anda kepada Allah swt dengan jalan
tawakal. Ada pepatah yang sangat bagus: "Kegagalan adalah
keberhasilan yang tertunda". Dan memang, dalam ajaran Islam, semua
yang kita kerjakan dengan sungguh-sungguh tapi gagal, sebenarnya
tidak gagal. Justru Allah swt akan memberikan jalan lain yang lebih baik
dan lebih cocok bagi kita.
257
Banyak sekali orang yang memaksakan kehendaknya dengan
cara-cara yang haram sekalipun. Benar, untuk tahap awal ia berhasil,
misal berhasil lulus di Fakultas Kedokteran melalui jasa Joki. Tapi
mereka gagal di perguruan tingginya, karena sebenarnya bidang dan
perguruan tinggi yang dipilihnya itu tidak cocok. Karena itulah tawakal
adalah satu sikap yang cerdas dan dewasa, pilihan bagi umat yang
beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beriman kepada qada dan qadar.
3. Cara-cara Bertawakal
Cara-cara di sini bukanlah seperti cara-cara dalam berdoa. Cara-
cara bertawakal lebih berhubungan dengan sikap dasar psikologis kita.
Istilah agamanya, sejauh mana tingkat keimanan kita kepada Allah,
terutama kepada Rukun Iman keenam (beriman kepada qada dan qadar,
yang baik dan yang buruk semuanya dari Allah “untuk keuntungan
orang yang beriman”). Biasanya makna Rukun Iman keenam ini hanya
dipahami sebatas “beriman kepada qada dan qadar, yang baik dan yang
buruk semuanya dari Allah”. Sudah, sampai di sini saja, titik. Padahal
maksud yang “baik” dan yang “buruk” itu adalah yang baik dan buruk
menurut ukuran nafsu. Contoh, dapat uang adalah baik dan hilang uang
adalah buruk, menurut ukuran nafsu. Tapi menurut ukuran Allah, baik
dapat uang ataupun hilang uang, kedua-keduanya baik. Pertanyaannya,
baik bagi siapa? Adalah baik bagi orang-orang yang beriman.
Oleh karena itu adalah beberapa tip agar kita dapat bertawakal
kepada Allah, walau cara-cara ini tetap berat bagi orang-orang yang
tidak mau meningkatkan keimanannya. Tip-tip yang dimaksud adalah:
a. Rencanakan cita-cita. Misal, mengikuti seleksi PNS dengan harapan
lulus dalam seleksi ini.
b. Bekerjalah dengan sungguh-sungguh. Dalam kasus mengikuti
seleksi PNS, belajarlah sungguh-sungguh semua soal-soal yang
mungkin diberikan dalam tes seleksi PNS (dengan mempelajari soal-
soal terdahulu).
258
c. Yakini Rukun Iman keenam, bahwa apa saja yang terjadi bagi diri
kita adalah kebaikan dari Allah.
d. Lebih mendekatlah kepada Allah, dan sampaikanlah permohonan
doa dengan rasa takut dan penuh harap. Bukan takut tidak lulus, tapi
takut jika Allah tidak membukakan pintu hidayah bagi kita, takut
jika Allah tidak memberikan karunia dan rahmat-Nya kepada kita,
dan takut jika Allah tidak mengampuni dosa-dosa dan kesalahan
kita. Penuh harap pun bukan penuh harap agar lulus seleksi PNS.
Dimaksud penuh harap di sini adalah penuh harap agar Allah
membukakan pintu hidayah-Nya bagi kita, penuh harap agar Allah
memberikan karunia dan rahmat-Nya kepada kita, dan penuh harap
agar Allah mengampuni dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kita.
Masalah lulus atau tidak lulus adalah soal lain. Ini persoalan takdir
yang baik dan yang buruk. Kita harus mengimaninya
(menerimanya).
e. Kearifan lokal pesantren, doa khusus untuk memohon hajat-hajat
dunia adalah dengan memperbanyak membaca selawat Nariyah,
biasanya dibaca minimal 11 kali bahkan hingga 75 kali atau tidak
berbilang (sebanyak-banyaknya). Bacaan selawat Nariyah sebagai
berikut:
هى م ص هى ه نا ه ى س ال يا ت ايا ع س ايه ح و ال ج ك ذ ح ي ص م ته انعق ذ و ن ت ح
ب و تقضى ته ان ائج ت نف رج ته انكر ى حسن و ح ا ئة و غ تن ال ته انر
او يست سق ى انغ اتى و ى حثه فى كم ى ت انخ ص هى ا نه و ع ريى و جهه انك
ح ح د و ن عهىو ن ك م ك ن ف س تع ذ .ي
Untuk bacaan “tiga kali” di awal, ketika sampai pada kalimat به
sampaikan hajat-hajat Anda, misal mohon diberi rezeki الحوائج
yang banyak, halal, dan suci. Atau, mohon lulus dalam seleksi
PNS, dan lain-lain hajat-hajat Anda.
259
f. Siapkan manajemen “gagal”. Maksudnya, setelah Anda berikhtiar
secara maksimal, berdoa dengan sungguh-sungguh ditambah
membaca selawat Nariyah tiap malam, disertai Iman kepada Rukun
Iman keenam, Anda berhitung minimalis (misal, Anda tidak akan
diterima di universitas favorit yang Anda cita-citakan; Anda tidak
akan lulus seleksi PNS; lamaran Anda ditolak, dan lain-lain). Jika
Anda sudah mempersiapkan manajemen “gagal”, seraya ikhtiar dan
doa Anda sangat maksimal (ditambah dengan mengimani Rukun
Iman keenam) maka Anda tidak akan begitu kecewa dengan
kegagalan Anda. Bahkan jika sudah terbiasa dengan cara-cara seperti
ini, Anda sama sekali tidak akan kecewa.
g. Kalau pun ternyata “sukses”, Anda pun jangan terlalu gembira.
Biasa-biasa saja. Anda tetap bersyukur atas sukses yang Anda
terima. Tapi gagal pun Anda tetap bersyukur, karena sukses-gagal
adalah kebaikan dari Allah bagi diri kita yang beriman.
C. Husnu zhan
Husnu zhan merupakan metode penanaman nilai sebagai
kearifan lokal pesantren. Dalam bahasa psikologisnya, berpikir positif,
sebagai lawan dari su`u zhan (berpikir negatif). Kiai bukan hanya
mengajarkan, tapi juga memberikan teladan dalam ber-husnu zhan.
Jika terdengar santri yang membicarakan keburukan orang lain, kiai
pasti menegornya dengan mengatakan, “Jangan membicarakan
keburukan orang lain. Bisa jadi orang yang kamu bicarakan itu malah
lebih baik daripada dirimu.” Kita harus berbaik sangka.
Membicarakan keburukan orang lain di samping dosa, juga tidak ada
manfaatnya sama sekali.
Nilai dasar keharusan ber-husnu zhan terdapat dalam Al-Quran,
sebagaimana berikut:
260
هم و يا أي ها الاذين آمنوا ل يسخر ق وم من ق وم عسى را من ل نساء أن يكونوا خي
هنا من نساء عسى را من ول ت لمزوا أن فسكم ول ت ناب زوا باأللقاب أن يكنا خي
يمان ئك ىم الظاالمون. لم ي تب فأول ومن بئس السم الفسوق ب عد ال
ول تجساسوا ول منوا اجتنبوا كثيرا من الظان إنا ب عض الظان إثم يا أي ها الاذين آ
أيحب أحدكم أن يأكل لحم أخيو ميتا فكرىتموه ي غتب ب عضكم ب عضا
إنا اللاو ت وااب رحيم وات اقوا اللاو Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-
laki merendahkan kumpulan yang lain. Boleh Jadi yang ditertawakan
itu lebih baik daripada mereka. Jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya. Boleh jadi yang direndahkan itu
lebih baik. Janganlah suka mencela dirimu sendiri[1]. dan jangan
memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk
panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[2]. Barang
siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa.
Janganlah mencari-cari keburukan orang, dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seseorang di antara kamu
yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang (QS
al-Hujurat: 11-12).
Catatan:
[1] Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela sesama
mukmin karena orang-orang mukmin itu seperti satu tubuh.
261
[2] Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang
yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman,
dengan panggilan seperti: Hai fasik, hai kafir, dan sebagainya.
Ayat-ayat Al-Quran di atas menegaskan bahwa sebagian
prasangka itu dosa. Maksudnya adalah prasangka yang bersifat su`u
zhan (prasangka buruk). Berarti, sebagian prasangka tidak berdosa,
malah dianjurkan, yakni prasangka yang baik (husnu zhan). Dalam
sebuah hadis qudsi, Allah berprasangka terhadap manusia sesuai
prasangka manusia terhadap Allah. Allah berprasangka sebagaimana
prasangka hamba-Nya. Jika kita berprasangka baik terhadap Allah,
maka Allah pun akan berprasangka baik terhadap kita. Tapi jika kita
berprasangka buruk terhadap Allah, maka Allah pun akan
berprasangka buruk terhadap kita.
Jika kita bersikap positif terhadap takdir yang Allah tetapkan
bagi kita, maka Allah pasti memberikan berbagai kebaikan kepada
kita, baik kebaikan dunia dan terlebih lagi kebaikan akhirat. Tapi jika
kita berprasangka buruk, misal menolak takdir Allah (contohnya
ketika hilang uang atau sakit, kita berkeluh kesah) maka Allah pun
akan berprasangka buruk terhadap kita, misal, dengan menambah
kekesalahan kita atas rasa sakit dan hilangnya uang itu. Tapi jika kita
ber-husnu zhan kepada Allah, maka Allah pun akan memberikan
kebaikan. Misalnya, rasa sakit kita dihilangkan, atau bahkan diganti
dengan sehat wal afiat. Harta yang hilang pun diganti dengan harta
yang lebih baik. Terlebih-lebih di akhirat, karena kita telah ber-husnu
zhan kepada Allah, maka Allah akan memberikan fadhl (karunia) dan
rahmat-Nya kepada kita.
Mengapa orang-orang senang ngerumpi? Pekerjaan ngerumpi
sangat digemari oleh para penganggur dan orang-orang yang malas
bekerja. Ngerumpi memang sangat mudah dilakukan, tidak perlu
menguasai ilmu pengetahuan, malah tidak perlu juga menguasai bahasa
262
ilmiah. Cukup bahasa sehari-hari, yang anak kecil pun mudah
memahaminya. Obrolan tentang si anu main serong, si dia punya pacar
baru, teman kita kurang asem, tetangga sebelah cerewet sekali, pak anu
streng, bu ini judes, termasuk membicarakan kehidupan para artis adalah
pekerjaan ngerumpi.
Untuk melakukan obrolan demikian tidak perlu kerja keras, seperti
menghapal atau menyelesaikan soal-soal matematika dan fisika, seorang
pemuda dan gadis yang hanya tamat SMP, malah seorang ibu yang tidak
tamat SD pun dapat melakukannya.
Apa sih manfaatnya dari pekerjaan ngerumpi, selain
menyia-nyiakan waktu dan memfitnah orang lain. Padahal, dalam
pAndangan Islam menfitnah itu lebih kejam ketimbang pembunuhan.
Malah dalam Islam, membicarakan sesuatu tentang seseorang yang tidak
disukainya (meng-ghibah) termasuk perbuatan tercela. Dalam ngerumpi
tidak jarang keluar fitnahan dan mengghibah seseorang, atau
berperasangka buruk dan menjelek-jelekan orang lain, yang kesemuanya
itu sangat dikecam oleh Allah swt.
263
BAB VI
INTERNALISASI PENDIDIKAN NILAI
YANG MENJADI KEARIFAN LOKAL PESANTREN
Metode internalisasi pendidikan nilai di pesantren memiliki
kearifan lokal yang khas. Sekurang-kurangnya ada empat metode
internalisasi pendidikan nilai di pesantren, yakni internalisasi nilai
melalui metode uswah hasanah, internalisasi nilai melalui metode
pembiasaan, internalisasi nilai melalui metode bandungan, dan
internalisasi nilai melalui metode sorogan.
A. Internalisasi Nilai Melalui Metode Uswah Hasanah
Metode pendidikan yang paling besar pengaruhnya terhadap
keberhasilan pendidikan adalah metode pendidikan uswah hasanah
(keteladanan). Metode uswah hasanah adalah suatu metode
pendidikan dengan cara memberikan contoh yang baik kepada para
peserta didik, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan. Hamba-
hamba Allah yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya telah diberi
kemampuan untuk meneladani para Rasul dalam menjalankan
keberagamaannya.
Misalnya tentang keteladanan, Nabi Muhammad saw, Siti
Aisyah (salah seorang istri Nabi) pernah ditanya tentang pribadi
Rasulullah. Dia menjawab bahwa pribadi Rasulullah adalah al-Quran
(Kaana khuluquhul Quran (Akhlak beliau saw adalah Al-Quran).
Maksudnya, Nabi Muhammad saw itu adalah “Al-Quran yang
berjalan”. Dengan meminjam istilah Ilmu Hadis, bahwa ucapan,
perbuatan, dan taqriir Nabi Muhammad saw adalah (isinya) Al-Quran.
Tidak ada satu kata dan satu perbuatan pun yang bertentangan dengan
Al-Quran. Sebuah Jawaban yang sangat ringkas tetapi pengertiannya
sangat dalam, luas, dan mengagumkan. Ini menunjukkan bahwa
Rasulullah adalah saksi hidup tentang jiwa, hakikat, dan tuntunan Al-
264
Quran. Implikasinya adalah ada Al-Quran dalam bentuk tulisan. Inilah
Kitab Suci yang biasa dibaca, dipelajari, dan ditafsirkan, khususnya
oleh kalangan ulama. Kitab Al-Quran yang ini (karena bersifat pasif
tergantung cara pAndang orang yang membaca dan mempelajari Al-
Quran) terjadi perbedaan-perbedaan dalam penafsirannya sehingga
menghasilkan perbedaan-perbedaan dalam memahami ajaran Islam.
Lahirnya beragam mazhab dalam teologi dan fikih terjadi adanya
perbedaan cara pAndang terhadap isi Al-Quran. Ada lagi Kitab Al-
Quran yang hidup dan dapat dijadikan teladan, yakni pribadi Nabi
Muhammad saw.
Oleh karena itulah “keteladanan” merupakan metode pendidikan
yang paling utama sebagai kearifan lokal pesantren. Tanpa
keteladanan makan pesantren kehilangan maknanya sebagai benteng
pendidikan Islam.
Keteladanan merupakan salah satu metode pendidikan yang
diterapkan Rasulullah dan dianggap paling banyak pengaruhnya
terhadap keberhasilan menyampaikan misi dakwahnya. Oleh karena
itu, apabila seorang pendidik mendasarkan metode pendidikannya
kepada keteladanan, maka konsekuensinya ia harus dapat memberikan
teladan (contoh yang baik) kepada para peserta didiknya dengan
berusaha mencontoh dan meneladani Rasulullah Muhammad saw.
Para Ulama dengan mengikuti jejak Rasulullah Muhammad saw
mereka menggunakan metode uswah hasanah dalam mendidik kaum
santrinya .
Uswah artinya teladan, sedangkan hasanah artinya baik. Uswah
hasanah berarti teladan yang baik. Teladan saja sebenarnya sudah
cukup karena mengandung kebaikan yang banyak. Ditambah dengan
kata hasanah (yang baik) maka artinya bisa menjadi “keteladanan
yang sempurna”.
Uswah hasanah ini hanya cocok disAndangkan kepada pribadi
utusan Tuhan (Rasulullah), karena beliau adalah kepercayaan mutlak
265
Tuhan serta Wakil Tuhan di muka bumi. Dalam QS al-Ahzab ayat 21
disebutkan:
لقد كان لكم ف رسول الل و أسوة حسنة لمن كان ي رجو الل و والي وم الخر وذكر الل و
كثرياSesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri
teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap
kembali kepada Allah dan (meyakini) Hari Akhir serta banyak
berzikir.
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa Rasulullah merupakan
suri teladan yang baik. Teladan bagi siapa? Tentu sebagai teladan bagi
orang-orang yang berkehendak berjumpa kembali dengan Tuhan,
meyakini Hari Akhir, dan banyak berzikir, sebagaimana diungkapkan
dalam ayat Al-Quran di atas. Maksudnya, Rasulullah itu tidak
dijadikan teladan oleh setiap manusia. Malah kebanyakan manusia
justru lebih meneladani Iblis dan bala tentaranya dari bangsa setan
(baik setan jin ataupun setan manusia). Kita harus membedakan
dengan jelas “sikap dan perbuatan” orang-orang yang beriman dan
orang-orang yang tidak beriman. “Sikap dan perbuatan” orang-orang
yang beriman adalah “menaati” Allah dan Rasul-Nya, sedangkan
“sikap dan perbuatan” orang-orang yang tidak beriman adalah
mengikuti kehendak “nafsu dan syahwatnya”. Kebanyakan orang
merasa dirinya menaati Allah dan Rasul-Nya, tapi pada kenyataannya
lebih mengikuti/menuruti kehendak “nafsu dan syahwatnya”. Kaum
santri diharapkan meneladani kiainya yang selalu menaati Allah dan
Rasul-Nya.
Hanya segelintir manusia yang menjadikan Rasulullah sebagai
suri teladan, yakni –sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas–
hanyalah orang yang: (1) berkehendak berjumpa kembali dengan
Tuhan, (2) meyakini Hari Akhir, dan (3) banyak berzikir.
266
Orang yang berkehendak berjumpa dengan Tuhan Yang Asma-
Nya Allah sangat sedikit, karena sangat berat. Kebanyakan orang
sebenarnya hanya berpura-pura ingin kembali kepada Tuhan.
Mengapa berpura-pura? Sama halnya dengan orang yang ingin lulus
ujian dengan hasil yang tinggi tapi tidak pernah sungguh-sungguh
belajar. Siswa semacam ini sebenarnya tidak ingin lulus ujian,
terlebih-lebih ingin memperoleh nilai tinggi. Terlebih-lebih orang
yang berkehendak kembali kepada Tuhan, maka ia haruslah
bersungguh-sungguh dalam beribadah secara benar dan ikhlas; harus
bersungguh-sungguh memerangi nafsunya sendiri, menundukkan
nafsunya sendiri –atau istilah hadisnya, harus melakukan jihad akbar,
kemudian “meyakini” Hari Akhir. Kata-kata “meyakini” berbeda
dengan sekedar “percaya”. Mungkin semua orang “percaya” akan
adanya Hari Akhir, tapi sangat sedikit orang yang “meyakini” Hari
Akhir. Sebagai ilustrasi adalah perumpamaan seorang siswa SMA
kelas tiga, yang mengatakan: “Saya yakin akan lulus masuk ITB, UPI,
UGM, ITS, UI, atau universitas-universitas ternama lainnya. Siswa
yang bagaimana yang dapat mengatakan “yakin” lulus? Tentu
hanyalah diucapkan oleh siswa kelas tiga SMA yang selalu mendapat
nilai tinggi, ikut bimbingan belajar, ikut Try Out dengan mendapatkan
nilai minimal sama dengan persyaratan lulus universitas ternama, dan
ikut ujian masuk universitas ternama itu. Orang yang meyakini Hari
Akhir adalah orang yang yakin memasuki Hari Akhir dengan selamat.
Hari Akhir dimulai dengan kematian. Dengan demikian orang yang
meyakini Hari Akhir adalah orang yang yakin akan mati dengan
selamat (mati secara husnul khaatimah).
Dan terakhir orang yang dapat meneladani Rasulullah itu adalah
orang yang banyak berzikir, yakni orang yang banyak mengingat
Tuhan. Untuk mengingat Tuhan tentu saja harus dimulai dengan
mengenal Tuhan. Sama seperti halnya untuk mengingat ayah dan ibu
maka terlebih dahulu harus sudah mengenal ayah dan ibu. Maka
267
mengingat-ingat ayah dan ibu akan mudah. Orang yang banyak
mengingat Allah termasuk ulul albaab (QS Ali „Imran ayat 190-191).
Pertanyaannya, kalau ada orang yang sudah memenuhi ketiga
persyaratan (berkehendak berjumpa dengan Tuhan, meyakini Hari
Akhir, dan banyak berzikir) apakah orang itu dapat meneladani
Rasulullah –jika yang dimaksud Rasulullah itu adalah Nabi
Muhammad? Pertanyaan lebih konkretnya, dapatkah meneladani
orang yang sudah meninggal dunia, karena Nabi Muhammad saw
sudah meninggal dunia lebih dari 1.400 tahun yang lalu? Adapun bagi
orang yang mempercayai adanya pelanjut kenabian, yakni
mempercayai adanya ulama pewaris Nabi tidaklah terlalu masalah,
karena mereka bisa meneladani ulama pewaris Nabi yang ada di
tengah-tengah umat. Bagaimana halnya jika meneladani orang yang
sudah meninggal dunia, karena tidak bisa dilihat dengan mata kepala.
Yang bisa hanyalah mempelajari sebagian-sebagian perilakunya
melalui tulisan-tulisan.
Untuk menJawab permasalahan inilah maka makna uswah
hasanah perlu lebih diperlonggar dengan meneladani “sebagian”
perilaku baiknya. Tulisan ini lebih bermaksud memaknai uswah
hasanah sebagai meneladani sebagian perilaku baik yang dapat
dijelaskan melalui untaian kata-kata yang dikutip dari tulisan-tulisan.
Tentu saja yang dimaksud tulisan di sini terutama Kitab Al-Quran
yang mengisahkan kehidupan para nabi dan rasul.
Menurut An-Nahlawi, pada dasarnya manusia cenderung
memerlukan sosok teladan dan panutan yang mampu mengarahkan
manusia pada jalan kebenaran dan sekaligus menjadi perumpamaan
dinamis. Di antara tipe-tipe peneladanan yang terpenting adalah
pengaruh yang disengaja dan tidak disengaja.
Pengaruh yang tersirat dari sebuah keteladanan akan
menentukan sejauhmana seseorang memiliki sifat yang mampu
mendorong orang lain untuk meniru dirinya, baik dalam keunggulan
268
ilmu pengetahuan, kepemimpinan, atau ketulusan. Dalam kondisi
yang demikian, pengaruh keteladanan itu terjadi secara spontan dan
tidak disengaja. Ini berarti bahwa setiap orang yang ingin dijadikan
panutan oleh orang lain harus senantiasa mengontrol perilakunya.
Semakin dia waspada dan tulus, semakin bertambahlah kekaguman
orang kepadanya.
Kadang kata peneladanan diupayakan secara sengaja. Misalnya,
seorang pendidik menyampaikan model bacaan yang diikuti oleh
anak. Seorang imam membaguskan shalatnya untuk mengajarkan
shalat yang sempurna (An-Nahlawi, 1989).
Menurut Daradjat (1971), orang tua (tentunya termasuk para
ustad, terlebih-lebih kiai) hendaknya menjadi contoh yang baik dalam
segala aspek kehidupan bagi si anak, karena pada dasarnya manusia
sangat cenderung memerlukan sosok teladan dan panutan yang
mampu mengarahkan manusia pada jalan kebenaran dan sekaligus
menjadi perumpamaan dinamis yang menjelaskan cara mengamalkan
syariat Allah. Itu akan terjadi pada anak yang akan meniru kebiasaan
dari orang tuanya (dan orang dewasa lainnya, terutama para
pendidiknya) yang memberikan keteladanan.
Kiai di pesantren pun sering juga menggunakan metode
pendidikan keteladanan ini dengan menampilkan kisah teladan para
nabi dan orang-orang saleh. Kisah keteladanan yang sempat terekam
dalam pendidikan di pondok pesantren adalah keteladanan Nabi
Sulaiman a.s. dan keteladanan waliyullah Syekh Abdul Qadir Jailani.
Tentu, kalau kita lebih lama lagi tinggal di pesantren, kita akan
memperoleh sejumlah kisah teladan para nabi dan orang-orang saleh.
Nabi Sulaiman cukup dikenal di kalangan kaum muslimin,
terlebih lagi di kalangan santri. Nabi Sulaiman adalah seorang nabi
sekaligus rasul yang menjadi raja, berilmu tinggi, dan kaya-raya. Tapi
Nabi Sulaiman bersikap tawadhu‟ (rendah hati), tidak sombong
(takabur), dan tidak ujub (bangga diri). Nilai-nilai utama inilah yang
269
diteladankan kepada para santri. Sebagai seorang raja, Nabi Sulaiman
bukan sekedar menjadi raja dari bangsa-bangsa di dunia, malah
bangsa Jin pun tunduk di bawah kendali Nabi Sulaiman. Bangsa jin
dipekerjakan oleh Nabi Sulaiman sesuai kehendaknya atas izin dan
perintah Allah, bukan atas kehendak nafsu dan syahwatnya. Kaum
Saba` yang dipimpin oleh seorang ratu yang sangat sombong, karena
merasa memiliki kerajaan yang besar dan makmur (Ratu Bilqis),
ternyata tunduk di bawah kekuasaan Nabi Sulaiman. Malah burung-
burung pun dijadikan tentara oleh Nabi Sulaiman. Itulah kekuasaan
yang terbesar yang belum pernah dimiliki oleh seorang penguasa pun
sebelumnya juga sesudahnya.
Dalam segi ilmu, Nabi Sulaiman menguasai juga ilmu
berkomunikasi dengan binatang. Nabi Sulaiman bisa berbicara dengan
burung-burung, juga bisa berbicara dengan semut-semut. Malah
burung-burung pun tunduk di bawah perintah Nabi Sulaiman.
Keberadaan Kerajaan Saba` yang dipimpin oleh Ratu Bilqis pun
diberitahukan oleh burung Hud-hud.
Dari segi kekayaan, Nabi Sulaiman menguasai seprah harta
dunia. Hingga sekarang harta itu disimpan di suatu tempat yang
dirahasiakan. Gunanya untuk menjamin kesejahteraan hidup di zaman
keemasan Islam, yang disebut-sebut orang sebagai zaman Mahdi.
Hanya Imam Mahdi-lah yang bisa membuka harta kekayaan yang
disimpan oleh Nabi Sulaiman itu.
Walau demikian (raja, berilmu tinggi, paling kaya sedunia) tapi
Nabi Sulaiman tidak sombong, tidak ujub (bangga dengan dirinya),
malah beliau tawadhu (rendah hati). Jika dibandingkan dengan orang
terkaya di zaman sekarang, orang terkaya itu hanyalah sedikit dari
harta yang dikuasai oleh Nabi Sulaiman. Perbedaan yang sangat
mencolok, orang-orang kaya di zaman sekarang (sebagaimana orang-
orang yang kaya di zaman dulu), mereka sombong-sombong dan
cenderung merendahkan orang yang miskin dan tidak kaya. Demikian
270
juga orang-orang yang berilmu di zaman sekarang (sebagaimana
orang-orang yang berilmu di zaman dulu), mereka cenderung
sombong-sombong dan merendahkan orang-orang yang bodoh dan
tidak berilmu. Para raja (para penguasa) pun cenderung sombong-
sombong. Padahal Nabi Sulaiman mencakup raja, berilmu tinggi, dan
kaya-raya, tapi beliau tidak sombong, beliau tidak ujub, dan malah
beliau rendah hati. Ke-tawadhu-an Nabi Sulaiman tentunya
diharapkan menjadi contoh teladan kaum santri dan seluruh komunitas
pesantren.
Kisah Syekh Abdul Qodir Jailani sering dijadikan kisah
keteladanan dalam kejujuran. Pesantren sering menekankan betapa
pentingnya para santri memiliki karakter jujur.
Tindakan jujur memang sangat berat karena menyangkut bidang
kehidupan yang sangat luas. Pertaruhan jujur atau tidak jujur adalah
agama, apakah mau memilih Allah dan Rasul-Nya (berbuat jujur)
ataukah memilih dunia (berkata dusta, ingkar janji, dan khianat)
dengan resiko berhadapan dengan azab Allah di akhirat? Allah swt
dalam Al-Quran berfirman:
ى ل و ع ل و ول اء ل د ه ط ش س ق ال ي ب و ام وا ق ون وا ك ن ين آم ا ال ذ ي ه ا أ ي
و و ال م أ ك س ف ن ي أ رب ن واألق ي د ل الل و ا ريا ف ق و ف يا أ ن ن غ ك ن ي إ
ول ا أ وى بم وا ال ع ت ب ل ت وا ف ل د ع ن ت و أ ووا أ ل ن ت وإ
ريا ب ون خ ل م ع ا ت ان ب ن الل و ك إ وا ف رض ع تWahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun
terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kerabatmu. Jika ia kaya
atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya; maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
271
kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
segala apa yang kamu kerjakan (QS an-Nisa: 135).
Ayat di atas memerintah orang-orang beriman untuk menjadi
orang yang benar-benar sebagai penegak keadilan dan menjadi saksi
yang jujur. Menjadi penegak keadilan berarti dirinya sendiri harus adil
kepada orang lain ataupun kepada diri sendiri. Berbuat adil kepada
orang lain, walaupun sangat berat, tapi lebih mudah dibandingkan
dengan berbuat adil kepada diri sendiri. Adil adalah menempatkan
sesuatu pada tempatnya. Lawan adil adalah zalim, artinya
menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Berbuat adil kepada
orang lain, misal kita seorang pimpinan perguruan tinggi yang
mengurusi beasiswa bagi para mahasiswa yang kurang mampu. Jika
pimpinan itu benar-benar memberikan beasiswa kepada para
mahasiswa yang kurang mampu, berarti dia telah berbuat adil. Adil
terhadap diri sendiri jauh lebih berat. Kita sebagai manusia memiliki
beberapa unsur. Misal, unsur hati memiliki tugas untuk “mengingat-
ingat” Allah. Jika hati kita digunakan untuk “mengingat-ingat” Allah
berarti kita sudah berbuat adil kepada diri sendiri. Tapi jika hati kita
digunakan untuk mengingat-ingat selain Allah (misal, mengingat-
ingat harta dunia) berarti diri kita telah berbuat zalim. Contoh lainnya,
unsur rasa. Unsur ini ditugaskan oleh Allah untuk merasa-rasakan
senangnya dengan Tuhan. Jika Tuhan memberi kita rezeki atau pun
menghilangkan rezeki dari diri kita, orang yang memfungsikan
rasanya akan senang dengan Tuhan. Diberi rezeki senang karena dapat
menambah ibadah dan amal sosial. Dihilangkan rizki juga senang
karena jika kita bersabar akan memperoleh pahala yang besar. Tapi
nyatanya unsur rasa ini sering digunakan untuk merasa-rasakan
kesenangan duniawi. Di sinilah letak beratnya berbuat adil terhadap
diri sendiri.
272
Kemudian dalam hadis dikemukakan:
الصدق ي هدي إلى البر وإنا البرا ي هدي إلى الجناة وما ي زال عليكم بالصدق فإنا
يقا وإيااكم والكذب الراجل يصدق وي تحراى الصدق حتاى يكتب عند اللاو صد
ر ي هدي إلى الناار وما ي زال الراجل فإنا الكذب ي هدي إلى الفجور وإنا الفجو
ابا يكذب وي تحراى الكذب حتاى يكتب عند اللاو كذاSenantiasalah kalian berbuat jujur, karena jujur itu membawa kepada
kebajikan, sedangkan kebajikan membawanya ke surga. Tidaklah
seseorang berbuat jujur dan dia selalu berusaha untuk berbuat jujur,
hingga dia ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Dan
jauhilah berdusta karena dusta itu membawa kepada kemaksiatan,
sedangkan kemaksiatan membawanya ke neraka. Tidaklah seseorang
berdusta dan selalu berusaha untuk berdusta, hingga dia ditulis di sisi
Allah sebagai seorang pendusta. (HR al-Bukhari dan Muslim.
Hadis ini menekankan keharusan kita berhati-hati jangan sampai
kita berusaha untuk berdusta, karena akan divonis oleh Allah sebagai
pendusta. Jika sudah divonis begini, na`uudzu billaahi min dzaalik,
maka nerakalah tempat kembali bagi seorang pendusta. Tapi jika
selalu berusaha untuk berbuat jujur, maka Allah akan memvonis diri
kita sebagai orang jujur. Jika Allah sudah memvonis begini (sebagai
orang jujur) pada diri kita, maka surgalah tempat kembali bagi kita.
Mudah-mudahan, amin.
Kembali ke kisah Syekh Abdul Qodir Jailani. Kisah teladan
yang akan dipaparkan di sini adalah Abdul Qodir Jailani kecil. Ia
berkeinginan kuat untuk belajar mencari ilmu di luar kota
kelahirannya. Oleh ibunya (karena ia sebagai anak yatim) dibekali
uang yang dijaitkan di ketiak bajunya. Maksudnya agar para
perampok tidak mengetahui kalau Abdul Qodir Jailani kecil membawa
273
uang. Ia pun hanya membawa uang-uang kecil di saku terbukanya
untuk kepentingan belanja makanan-minuman di perjalanan. Tapi
ibunya mengingatkan agar Abdul Qodir berlaku jujur, jangan sampai
berdusta.
Di tengah jalan Abdul Qodir dicegat oleh kawanan perampok.
Setelah diperiksanya para perampok itu menyimpulkan bahwa Abdul
Qodir tidak membawa uang, selain uang recehan di sakunya.
Perampok itu bertanya, kok berani-beraninya kamu belajar di tempat
jauh tanpa berbekal uang yang cukup! Abdul Qodir menJawab bahwa
ia membawa uang yang cukup. Di mana uang itu kamu simpan?
Tanya para perampok. Jawab Abdul Qodir, uang ini oleh ibu dijahit
dalam ketiak baju (sambil ditunjukkannya tempat penyimpanan uang
itu). Para perampok heran, bagaimana di zaman ketidakjujuran ini ada
anak yang jujur. Mereka akhirnya membawa Abdul Qodir kepada
pimpinan perampok. Pimpinan dan para perampok ini menjadi
terharu. Mereka ingin bertobat dan belajar agama secara sungguh-
sungguh. Akhirnya para perampok itu mengikuti Abdul Qodir untuk
bertobat dan belajar ilmu agama.
Jadi, metode keteladanan di pondok pesantren ada dua cara.
Pertama, kiai memberikan teladan kepada para ustad dan para
santrinya, dan para ustad pun memberikan teladan kepada para
santrinya; dan kedua, kiai dan para ustad memberikan kisah-kisah
teladan para nabi dan orang-orang saleh.
B. Implementasi Pendidikan Nilai Melalui Metode Pembiasaan
“Pembiasaan” merupakan implementasi pendidikan nilai yang
juga paling menonjol sebagai kearifan lokal pesantren. Melalui
“pembiasaan” ini para santri dibiasakan untuk mengerjakan perbuatan-
perbuatan yang baik sesuai syariat Islam. Ibadah shalat lima waktu,
misalnya, saja selalu dibiasaan secara berjamaah. Malah waktu-waktu
belajar pun mengikuti perputaran waktu shalat yang lima waktu ini.
274
Para santri biasanya belajar di sekitar waktu-waktu shalat: ba`da
Zuhur, ba`da Asar, ba`da Magrib, ba`da `Isya, dan ba`da shubuh.
Maksud tersiratnya supaya belajar mencari ilmu itu tidak ditujukan
untuk kepentingan dunia melainkan untuk kepentingan akhirat.
Bandingkan dengan waktu-waktu belajar di sekolah yang hanya
mengenal pagi atau siang.
Secara kebahasaan, “pembiasaan” berasal dari kata dasar “biasa”
yang berarti sebagai sediakala, sebagai yang sudah-sudah, tidak
menyalahi adat, atau tidak aneh (Poerwadarminta, 2007). Dengan
adanya awalan “pe” dan akhiran “an” menunjukkan suatu “proses”.
Jadi, “pembiasaan” adalah “proses” membuat sesuatu atau seseorang
menjadi biasa atau terbiasa.
Beberapa definisi tentang kebiasaan sebagai berikut:
o Kebiasaan adalah perbuatan yang melekat dalam diri dan sulit
untuk ditinggalkan. Sebagai contoh, merokok adalah suatu
kelakuan yang pada waktu pertama dilakukan tidaklah merupakan
suatu kesenangan bahkan kadang-kadang menimbulkan pusing.
Tapi karena perbuatan tersebut diulang dan terus diulang akhirnya
menjadi kebiasaan yang menyenangkan. (Ya`kub, 1991).
o Kebiasaan yaitu suatu perbuatan yang menjadi rutinitas atau
berkelanjutan keberadaannya dikarenakan sering dilakukan secara
berulang-ulang (Asyafah, 2011).
o Metode pembiasaan (dalam pendidikan agama Islam) adalah suatu
cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik
berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan tuntunan ajaran
agama Islam. (Armai, 2002)
Jadi, secara istilahi, maksud “pembiasaan” dalam dunia
pendidikan adalah “proses” membiasakan perilaku atau akhlak yang
baik. Adapun di dunia pesantren “proses” pembiasaan ini mencakup
pembiasaan menjalankan ibadah-ibadah mahdhah, pembiasaan
menghormati kitab kuning dan ulama penyusun kitab itu, pembiasaan
275
belajar secara sungguh-sungguh dengan niat lillaahi ta`aala,
pembiasaan hidup mandiri, dan pembiasaan hidup dengan memilih
pola hidup sederhana.
Secara teoretis, kebiasaan merupakan pola perilaku yang relatif
tetap (berulang-ulang), otomatis, dan tidak disadari. Setiap datang
waktu shalat para santri keluar dari pondokan memasuki masjid untuk
mendirikan shalat dan belajar. Hal ini dilakukan secara terus-menerus
(setiap datang waktu shalat) dan terjadi secara otomatis. Mereka tanpa
sadar begitu datang waktu shalat terus pergi ke masjid. Tapi perbuatan
shalat dan mengajinya disadari dengan penuh kesadaran yang sesadar-
sadarnya.
Para santri dibiasakan dan menjadi terbiasa setiap datang waktu
shalat mereka berbondong-bondong pergi ke masjid pesantren.
Kemudian mereka mengaji dengan metode bandungan atau sorogan.
Setelah shalat mereka berzikir dan membaca wiridan dengan pimpinan
imam shalat. Selesai wiridan mereka langsung mengaji kitab kuning
sesuai tingkat individualitas masing-masing. Tingkat individualitas
yang dimaksud adalah bab atau halaman yang dipelajari oleh masing-
masing santri.
Dalam mempelajari ilmu agama para santri selalu diingatkan
oleh kiai agar mereka mencari ilmu dengan niat lillahi ta`aala.
Berbeda dengan di sekolah, yang lebih ditekankan untuk lulus ujian,
meraih nilai tinggi dalam ujian, kemudian memperoleh pekerjaan
yang baik setelah lulus dari sekolah atau perguruan tinggi. Para kiai
menyadarkan para santri bahwa masalah rezeki adalah urusan Allah.
Jika para santri benar-benar berorientasi akhirat, maka Allah akan
mencukupkan bekal kehidupan di dunia. Kiai sering mengungkap ayat
Al-Quran berikut ini:
276
ومن ي ت ق الل و يعل لو مرجا وي رزقو من حيث ل يتسب ومن ي ت وك ل على الل و ف هو
لكل شيء قدرا ه قد جعل الل و حسبو إن الل و بالغ أمر Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar; dan memberinya rezeki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya; dan barangsiapa yang bertawakal kepada
Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu. (QS ath-Thalaq: 2-3).
Boleh Anda saksikan, setiap kali diadakan pendaftaran PNS,
maka lulusan sekolah berbondong-bondong mendaftar menjadi calon
peserta seleksi PNS. Angka perbandingan antara yang mendaftar
dengan mereka yang akan diterima sering kali sangat menganga, 30 :
1 bahkan 100 : 1. Boleh Anda selidiki, tidak ada seorang pendaftar
pun dari kalangan santri (kecuali santri yang memiliki ijazah). Jadi,
santri yang benar-benar santri adalah mereka yang tidak tertarik untuk
mencari pekerjaan duniawi dengan pesantrennya. Mereka memang
dididik untuk hidup mandiri. Di sini kiai memberikan teladan bahwa
dirinya memang bukan seorang pegawai, baik PNS ataupun pegawai
swasta. Para ustad santri senior pun memberikan keteladanan dalam
kemandirian hidup. Mereka membiasakan para santri untuk hidup
mandiri.
Kemudian para santri pun dibiasakan menjalani kehidupan
dengan pola hidup sederhana. Pola hidup ini (pola hidup sederhana)
dibiasakan di pesantren mulai dari pola makan dengan memilih
makanan yang murah (tapi tetap higienis), dibiasakan berpakaian dari
bahan/kain yang murah, dan kehidupan di pondok (tempat menginap
para santri) juga dibiasakan pola hidup sederhana. Kiai dan
277
keluarganya menampilkan diri dengan kebiasaan pola hidup
sederhana. Walau punya uang yang berkecukupan, tapi kiai
membangun rumah yang sederhana dan berkendaraan dengan
kendaraan kelas ekonomi. Biaya pendidikan di pesantren pun murah,
jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya di sekolah-sekolah yang
murah. Dalam bahasa pesantren, pendidikan yang murah itu berkah.
Argumen pembiasaan nilai-nilai keteladanan dan pembiasaan ini
didasarkan pada Al-Quran, antara lain QS ash-Shaff ayat 2-3:
كب ر مقتا عند الاو أن ت قولوا ما ل - يا أي ها الاذين آمنوا لم ت قولون ما ل ت فعلون
ت فعلون
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS ash-
Shaff:2-3)
Sebagai benteng pertahanan ilmu agama, pesantren berusaha
membiasakan segala peribadatan dan amal-amal Islam. Berbagai
shalat sunat dibiasakan di pesantren. Puasa-puasa sunat dibiasakan di
pesantren. Dan segala amal yang tidak dilakukan di luar pesantren itu
dibiasakan di pesantren.
Pentingnya pembiasaan ini didasarkan pula kepada sebuah hadis
riwayat Ahmad tentang pendidikan shalat bagi anak:
صهى للا عه سهم لة نسبع سىه : مرا قال رسل للا أبىاءكم بانص
ىم فى انمضاجع قا ب فر ا نعشر سىه اضربم عه )راي أدمد(
Rasulullah saw. berkata: “Suruhlah anakmu mendirikan shalat ketika
berumur tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkannya
ketika ia berumur sepuluh tahun. (Pada saat itu), pisahkanlah tempat
tidur mereka.” (HR Ahmad)
278
Dari segi hukum, anak yang berusia tujuh tahun belum
termasuk mukalaf (Hasbullah, 1383 H). Apa maksud Rasulullah
memerintahkan anak-anak diajari shalat, padahal belum diwajibkan
untuk mendirikan shalat? Maksudnya adalah untuk membiasakan
anak-anak shalat agar setelah mereka mencapai mukalaf (dewasa)
nanti anak-anak sudah terbiasa melakukannya sehingga terasa ringan.
Ingat pepatah “Alah bisa karena biasa”, yang berarti segala kesukaran
dan sebagainya tidak lagi terasa sesudah terbiasa (Salim, 1991).
Maksud peribahasa ini adalah pekerjaan yang pada awalnya sulit dan
memberatkan akan terasa mudah dan ringan apabila sudah dikerjakan
berulang kali sehingga menjadi kebiasaan.
Ada baiknya juga di sini dikemukakan pembiasaan beribadat
dan berzikir bagi para korban narkotika dan zat-zat adiktif di Pondok
Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Hasil riset di Pondok Inabah VII
menunjukkan bahwa dengan pembiasaan ibadah dan zikir ini ternyata
kebanyakan korban narkoba sembuh dan menjadi orang yang taat
beragama.
Inabah VII yang terletak di kampung Rawa, Rajapolah Kab.
Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat merupakan projek dampingan
Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM). Inabah VII
merupakan salah satu lembaga yang bergerak dalam rehabilitasi
korban NAPZA. Semenjak didirikan tahun 1983 atas inisiatif KH A.
Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom) sesepuh pondok pesantren
Suryalaya Tasikmalaya sekaligus mursyid tarekat Qodiriyah
Naqsyabandiyah, Inabah VII telah mengembalikan kurang lebih 3.830
santri anak binaan. Inabah bermakna kembali ke jalan yang benar.
Dalam arti, seseorang kembali dan berhijrah ke jalan yang seharusnya
dengan cara melepaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang
mengakibatkan lupa terhadap Allah.
279
Biasanya santri memulai kegiatan dengan mandi malam atau
yang dikenal dengan mandi tobat; shalat tahajud, tashbih, witir, shalat
sunat qabla subuh, sunat li-daf‟il bala‟i, shalat subuh, shalat sunat
israq, sunat istiadah, dhuha, qabla zhuhr, zhuhur, qabla ashar, ashar,
qabla maghrib, maghrib, sunat awwabin, taubat, birrul walidayni,
lihifdzil iman, lisyukrin nikmat, qabla isya, isya, ba‟da isya, syukur,
sunat mutlaq; istikharah dan hajat. Usai salat, biasanya disertai dengan
zikir.
Berikut adalah kurikulum Inabah:
TABEL 6.1
PEMBIASAAN SHALAT DAN ZIKIR DI PONDOK INABAH
Waktu/Jam Jenis ibadah Rakaat
09.00 Shalat Dhuha
Zikir
8 Rakaat/4 Salam
1 jam
12.00 Shalat sunat qabla zhuhur
Shalat dzuhur
Shalat sunat ba‟da zhuhur
Zikir
Shalat sunat qabla ashar
2 takaat
4 rakaat
2 rakaat
1 jam
2 rakaat
15.00 Shalat sunat li daf‟il bala
Shalat Ashar
Zikir dan khataman
Shalat sunat qabla magrib
Shalat Magrib
Zikir dan khataman
2 takaat
4 rakaat
1,5 jam
2 rakaat
3 rakaat
1,5 jam
18.00 Shalat sunat ba‟da Magrib
Shalat sunat awwabin
Shalat sunat taubat
Shalat sunat birrul walidain
2 rakaat
6 rakaat
2 rakaat
2 rakaat
280
Shalat sunat li syukrin ni‟mat
Shalat sunat qabla Isya
2 rakaat
2 rakaat
19.00 Shalat sunat mutlak
Shalat sunat istikharah
Shalat sunat hajat
Zikir
2 rakaat
2 rakaat
2 rakaat
1 jam
02.00 Mandi taubat
Shalat sunat tahajud
Shalat sunat tasbih
Shalat sunat witir
Zikir sampai menjelang subuh
12 rakaat
4 rakaat
3 rakaat
3 rakaat
Sumber: Praja Dkk (2007)
Secara umum 90 persen kegiatan di Inabah VII adalah berpusat
pada shalat dan zikir. Kegiatan lainnya yang sering dilakukan secara
rutin adalah olahraga. Meskipun terapi tersebut berkesan ala kadarnya
dan lebih pada pembinaan religiusitas santri, banyak santri yang telah
dinyatakan sembuh dan kembali kepada orang tua mereka.
C. Implementasi Nilai Melalui Metode Bandungan
Kitab kuning (kitab-kitab klasik) merupakan salah satu elemen
pesantren, di samping empat elemen lainnya: kiai, santri, masjid, dan
pondok (asrama santri). Pengajaran kitab kuning diberikan sebagai
upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik
calon-calon ulama yang setia terhadap paham Islam tradisional.
Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari
nilai dan paham pesantren yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Dalam https://id.wikipedia.org diungkapkan, bahwa penyebutan
kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan
281
sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui
secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi
dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab
tersebut berwarna kuning. Tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab
pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan
kertas putih.
Pengajaran kitab-kitab kuning oleh pengasuh pondok (kiai) atau
ustadz biasanya dengan menggunakan sistem bandungan dan sorogan
(mungkin juga ada sistem-sistem lainnya). Adapun kitab-kitab kuning
yang diajarkan di pesantren menurut Dhofir (1982) dapat digolongkan
ke dalam 8 kelompok, yaitu:
(1) Nahwu (syntax) dan sharaf (morfologi),
(2) Fikih (hukum),
(3) Ushul Fikih (yurispundensi),
(4) Hadis,
(5) Tafsir,
(6) Tauhid (teologi),
(7) Tasawuf dan etika,
(8) Cabang-cabang lain seperti tarikh (sejarah) dan balaghah.
Kitab-kitab kuning adalah kepustakaan dan pegangan para kiai
di pesantren. Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan kiai di
pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai
ajaran Islam, sedangkan kiai merupakan personifikasi dari nilai-nilai
itu. (https://id.wikipedia.org).
Sehubungan dengan hal ini, Munif (https://id.wikipedia.org)
mengatakan bahwa ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning
tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan.
Sah artinya ajaran itu diyakini bersumber pada kitab Allah Al-Quran
dan sunnah Rasulullah (Al-Hadis), dan relevan. Artinya ajaran-ajaran
itu masih tetap cocok dan berguna kini atau nanti. Dengan demikian,
pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren
282
guna mencetak alumnus yang menguasai pengetahuan tentang Islam
bahkan diharapkan di antaranya dapat menjadi kiai.
Secara umum, pengajaran ilmu agama di pesantren terdiri dari
dua metode. Pertama, kiai mengajarkan kitab kuning kepada para
santri secara klasikal. Inilah yang dikenal dengan metode bandungan.
Dan kedua, para santri secara individual mempelajari bab dan halaman
dari suatu kitab. Kemudian setelah santri itu merasa menguasainya ia
mendatangi kiai (bagi santri senior) atau ustad/santri senior (bagi
santri yunior) untuk dicek apakah ia telah benar-benar menguasai atau
belum.
Kembali ke pembahasan tentang metode “bandungan”. Metode
ini merupakan metode pengajaran khas pesantren di mana para santri
“menyimak” pengajaran kitab kuning secara klasikal dari kiai. Kiai
membedah suatu kitab, biasanya dimulai dengan mengirim hadiah
Fatihah kepada penulis kitab. Kemudian membedah isi kitab. Dalam
membedah isi kitab ini, kiai memulainya dengan membacakan kalimat
demi kalimat. Kemudian membedahnya dari segi bahasa Arab
(terutama nahwu dan sharaf), lalu menerjemahkannya kalimat demi
kalimat. Para santri biasanya menuliskan kajian nahwu dan sharaf di
bawah kalimat-kalimat dari kitab yang dikajinya itu. Setelah itu kiai
menjelaskan arti dan makna dari kalimat-kalimat yang dikajinya. Dan
terakhir kiai menjelaskan makna keseluruhan dari satu paragraf (satu
term) dari kitab yang dikajinya itu.
Pembelajaran nilai dari pembelajaran metode “bandungan” ini
sebagai berikut:
1. Kiai dan pesantren tempat belajar para santri memiliki karisma
tersendiri. Maksudnya, para santri memasuki sebuah pesantren
karena karisma kiai dan pesantrennya. Karisma ini untuk
selanjutnya merupakan modal utama kesiapan para santri untuk
belajar ilmu agama di bawah bimbingan kiai tersebut. Para santri
sudah memiliki kesiapan untuk belajar ilmu agama di
283
pesantrennya, bagaimana pun cara belajarnya dan kitab apa pun
yang dikajinya.
2. Kitab yang akan dijadikan bahan bandungan disadari oleh para
santri sebagai kitab “babon” atau kitab induk untuk menguasai
tahapan-tahapan ilmu agama. Karena merupakan kitab “babon”
maka para santri merasa perlu untuk menguasai kitab ini dengan
sempurna.
3. Melalui hadiah Fatihah, para santri dihubungkan dengan ulama
penulis kitab, walau ulama itu telah meninggal dunia ratusan tahun
silam. Dengan mengirim hadiah Fatihah kepada ulama penulis
kitab para santri disadarkan untuk: (a) memuliakan ulama penulis
kitab, (b) menghormati isi kitab, dan (c) memuliakan ilmu agama.
Kiai menyadarkan para santri bahwa ulama penulis kitab itu
adalah ulama yang kredibel, ahli ibadah, saleh, jujur, cerdas, dan
penegak agama Allah. Kiai pun menyadarkan para santri bahwa isi
kitab yang dikajinya itu telah benar-benar sesuai dengan
Kitabullah dan Sunnah Rasul serta disaring dari segala bidah dan
khurafat. Kemudian kiai pun menyadarkan para santri bahwa
dengan mengkaji kitab yang dipelajarinya itu secara langsung
ataupun tidak langsung para santri itu telah memelihara ilmu
agama.
4. Melalui kajian perparagraf atau pertema/sub-tema dari kitab yang
dikajinya itu para santri disadarkan bahwa mempelajari ilmu
agama harus dilakukan secara berhati-hati dan bertahap, jangan
tergesa-gesa ingin menyelesaikan satu kitab (padahal belum
menguasai dengan benar dan sempurna). Karena sumber referensi
agama Islam (Al-Quran, Hadis, dan kitab-kitab karya ulama
klasik) berbahasa Arab, maka penguasaan akan gramatika
(khususnya nahwu dan sharaf) mutlak diperlukan. Sejak awal para
santri sudah diperkenalkan dengan kajian kitab-kitab berbahasa
Arab. Kemudian setahap demi setahap para santri dibimbing untuk
284
dapat menerjemahkan kata demi kata dan kalimat demi kalimat.
Dengan cara seperti ini para santri diharapkan memiliki
keterampilan dan kepekaan untuk memahami kitab-kitab
berbahasa Arab dari kitab-kitab klasik. Selanjutnya, dengan
semakin bertambah lamanya belajar di pesantren, para santri dapat
memahami kitab-kitab klasik.
5. Melalui metode belajar sistem bandungan ini para santri bukan
hanya belajar dalam pengertian mencari ilmu secara syariat
(ikhtiar belajar), tapi juga untuk memperoleh berkah kiai (ikhtiar
hakikat). Terlebih-lebih para ustad dan santri senior menunjukkan
penghormatan yang tinggi terhadap kiai, sehingga santri yunior
yang sejak sebelum masuk pesantren telah memiliki citra demikian
semakin diperkuat oleh hubungan kiai dengan ustad/santri senior
itu.
D. Implementasi Nilai Melalui Metode Sorogan
Metode sorogan merupakan metode lainnya dari pengajaran
khas pesantren. Dengan metode ini para santri secara individual
mempelajari secara mandiri kitab yang telah ditetapkan oleh kiai.
Dalam mempelajari isi kitab, para santri memulainya dengan
membaca kalimat demi kalimat. Kemudian membedahnya dari segi
bahasa Arab (terutama nahwu dan sharaf), lalu menerjemahkannya
satu demi satu kalimat. Setelah dirinya merasa telah menguasai suatu
penggalan bab/tema (biasanya ditentukan waktunya oleh kiai/ustad),
para santri kemudian mendatangi kiai/ustad untuk melaporkan
kemajuan belajarnya. Para ustad/ santri senior melaporkan kemajuan
belajarnya kepada Kiai, sedangkan santri yunior melaporkan
kemajuan belajarnya kepada ustad/santri senior.
Pembelajaran nilai dari pembelajaran metode “sorogan” ini
sebagai berikut:
285
1. Sama dengan nilai dari sistem atau metode bandungan, dalam
sistem atau metode sorogan ini kiai dan pesantren tempat belajar
para santri memiliki karisma tersendiri. Maksudnya, para santri
memasuki sebuah pesantren karena karisma kiai dan pesantrennya.
Karisma ini untuk selanjutnya merupakan modal utama kesiapan
para santri untuk belajar ilmu agama di bawah bimbingan kiai
tersebut. Para santri sudah memiliki kesiapan untuk belajar ilmu
agama di pesantrennya, bagaimana pun cara belajarnya dan kitab
apa pun yang dikajinya.
2. Kitab yang akan dijadikan bahan sorogan disadari oleh para santri
sebagai kitab “babon” atau kitab induk/kitab stAndar untuk
menguasai tahapan-tahapan ilmu agama. Karena merupakan kitab
“babon” maka para santri merasa perlu untuk menguasai kitab ini
dengan sempurna.
3. Ketika memulai belajar, pertama kali para santri mengirim hadiah
Fatihah kepada ulama penulis kitab. Dengan cara seperti ini para
santri dihubungkan dengan ulama penulis kitab, walau ulama itu
telah meninggal dunia ratusan tahun silam. Dengan mengirim
hadiah Fatihah kepada ulama penulis kitab para santri disadarkan
untuk: (a) memuliakan ulama penulis kitab, (b) menghormati isi
kitab, dan (c) memuliakan ilmu agama. Kiai menyadarkan para
santri bahwa ulama penulis kitab itu adalah Ulama yang kredibel,
ahli ibadah, saleh, jujur, cerdas, dan penegak agama Allah. Kiai
pun menyadarkan para santri bahwa isi kitab yang dikajinya itu
telah benar-benar sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul
serta disaring dari segala bidah dan khurafat. Kemudian kiai pun
menyadarkan para santri bahwa dengan mengkaji kitab yang
dipelajarinya itu secara langsung ataupun tidak langsung para
santri itu telah memelihara ilmu agama.
4. Melalui kajian perparagraf atau pertema/sub-tema dari kitab yang
dikajinya itu para santri disadarkan bahwa mempelajari ilmu
286
agama harus dilakukan secara hati-hati dan bertahap, jangan
tergesa-gesa ingin menyelesaikan satu kitab (padahal belum
menguasai dengan benar dan sempurna). Karena sumber referensi
agama Islam (Al-Quran, hadis, dan kitab-kitab karya ulama klasik)
berbahasa Arab, maka penguasaan akan gramatika (khususnya
nahwu dan sharaf) mutlak diperlukan. Sejak awal para santri sudah
diperkenalkan dengan kajian kitab-kitab berbahasa Arab.
Kemudian setahap demi setahap para santri dibimbing untuk dapat
menerjemahkan kata demi kata dan kalimat demi kalimat. Dengan
cara seperti ini para santri diharapkan memiliki keterampilan dan
kepekaan untuk memahami kitab-kitab berbahasa Arab dari kitab-
kitab klasik. Selanjutnya, dengan semakin bertambah lamanya
belajar di pesantren, para santri dapat memahami Kitab-kitab
klasik.
5. Melalui metode belajar sistem sorogan ini para santri bukan hanya
belajar dalam pengertian mencari ilmu secara syariat (ikhtiar
belajar), tapi juga untuk memperoleh berkah kiai (ikhtiar hakikat).
Terlebih-lebih para ustad dan santri senior menunjukkan
penghormatan yang tinggi terhadap kiai, sehingga santri yunior
yang sejak sebelum masuk pesantren telah memiliki citra demikian
semakin diperkuat oleh hubungan kiai dengan ustad/santri senior
itu.
287
BAB VII
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN NILAI DI PESANTREN
DAN IMPLIKASINYA BAGI PENDIDIKAN NILAI
DI SEKOLAH
Pendidikan adalah pilar utama pembangunan bangsa.
Keberhasilan pendidikan suatu bangsa berkaitan erat dengan
kemajuan yang dicapai. Karena itu adalah suatu keniscayaan bila
pemerintah dan masyarakat memprioritaskan pembangunan bidang
pendidikan secara menyeluruh, terutama pendidikan yang membentuk
karakter nasional bangsa. (Zarkasyi, 2010).
Lebih lanjut Zarkasyi (2010) mengatakan, pesantren sebagai
salah satu sub sistem Pendidikan Nasional yang indigenous Indonesia,
mempunyai keunggulan dan karakteristik khusus dalam
mengaplikasikan pendidikan karakter bagi anak didiknya (santri). Hal
itu karena pesantren mempunyai jiwa dan falsafah yang ditanamkan
kepada anak didiknya. Di Pesantren Gontor dikenal dengan Panca
Jiwa, yakni keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah
Islamiyah, dan kebebasan dalam menentukan lapangan perjuangan
dan kehidupan. Jiwa dan falsafah inilah yang akan menjamin
kelangsungan sebuah lembaga pendidikan bahkan menjadi motor
penggeraknya menuju kemajuan di masa depan. Pondok-pondok
pesantren yang lain pun, hingga pondok-pondok pesantren yang
dikenal tradisional, tentu memiliki jiwa dan falsafah seperti ini. Hanya
ada yang tertulis dan lebih banyak lagi yang tidak tertulis, tapi tampak
jelas dalam tradisi pesantren.
Buku ini telah berupaya memotret nilai-nilai kearifan lokal
pesantren yang diharapkan dapat dijadikan rujukan dalam pendirian,
pengembangan, maupun pembinaan nilai-nilai di pesantren.
Saat ini banyak orang-orang kaya dan sadar beragama ingin
mendirikan pondok pesantren. Tapi mereka sering kali bingung
288
bagaimanakah mendirikan pesantren yang kaya dengan nilai-nilai
Islam. Atau istilah antropologinya, kaya dengan nilai-nilai kearifan
lokal pesantren. Kiranya buku ini dapat menjadi salah satu rujukan
dalam pendirian sebuah pondok pesantren.
Pihak-pihak yang telah menyelenggarakan pesantren pun tapi
dirasa masih perlu pengembangan, buku ini kiranya dapat juga
menjadi salah satu rujukan dalam pengembangan dan pembinaan
sebuah pondok pesantren.
Pola-pola pendidikan berbasis karakter yang berkembang di
pondok pesantren dinilai berhasil. Oleh karena itu, Kemdiknas
Mohammad Nuh pada Seminar Nasional Pendidikan Karakter Bangsa
Melalui Pola Pendidikan Pesantren di Kementerian Pendidikan
Nasional (Jakarta/Jumat, Oktober 2012) menyampaikan keinginannya
untuk memasukkan nilai kearifan lokal pesantren ke sekolah umum.
Mendiknas mencontohkan, nilai-nilai yang diberikan dalam
pendidikan karakter adalah kepedulian dan kejujuran. Nilai-nilai
tersebut dapat dikontekstualisasikan dengan masalah korupsi,
pendidikan bencana, lingkungan hidup, dan lalu lintas.
(www.Republika.co.id). Diharapkan Mendikdasmen yang baru, Anies
Baswedan, memiliki keinginan yang serupa.
Terlebih-lebih Presiden Joko Widodo yang telah bertekad
melakukan gerakan revolusi mental. Pendidikan nilai/karakter
tentunya akan menjadi Andalan dalam pembangunan pendidikan
mental di sekolah.
Buku ini telah berupaya memotret nilai-nilai kearifan lokal
pesantren yang diharapkan dapat juga dijadikan rujukan dalam
mengimplementasikan nilai-nilai dan karakter di sekolah-sekolah,
mulai pendidikan dasar hingga pendidikan menengah.
Bagaimanakah mengimplementasikan suatu nilai yang dinilai
berhasil ditanamkan di pondok pesantren agar dapat berhasil pula
ditanamkan di sekolah?
289
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (SPs
UPI) Bandung memiliki program magister dan doktor dalam bidang
pendidikan umum/nilai. Program studi ini mengembangkan
kepakarannya di bidang pendidikan nilai/moral/karakter dan akhlak
mulia. Adapun para pakar pendidikan nilai (mayoritas alumni program
studi S2 dan S3 Pendidikan Umum/Nilai) telah bergabung dalam
sebuah organisasi profesi, yakni Asosiasi Dosen dan Pendidik Nilai
Indonesia (ADPENSI).
290
DAFTAR PUSTAKA
Departeman Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Al-Quran
Digital).
Al-HadisWeb.3 (Al-Hadis Digital).
Abdusslam, Aam (2003), Rekonstruksi Pembelajaran Akidah (dengan
Tauhidullah sebagai Model), Jurnal Ta`lim, Vol. 1, No. 1, Maret
2003.
Afandi, KH Muhammad Munawwar (2002), Risalah Ilmu
Syaththariah: Jalan Menuju Tuhan, Bandung: Pustaka Pondok
Sufi.
Ahmad, Imam (TT), Musnad Ahmad, dalam Lidwa Pusaka i-
software (www.lidwapusaka.com).
Ahmad, Khurshid (Ed.) (1983), Pesan Islam, diterjemahkan oleh
Achsin Muhammad, Bandung: Pustaka.
Ahmad, N. (1982). Potret Dunia Pesantren. Bandung: Humaniora.
Alamsyah, Ratu (1982). Pembinaan Pendidikan Agama. Jakarta:
Depag RI.
Ali, Maulana Muhammad (...), Tafsir Al-Quran.
Ali, Mohammad Daud (1988). Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan
Wakaf, Jakarta: UI – Press.
Ammar, Hasan Abu (1993). Tauhid: Rasionalisme dan Alam
Pemikiran Filsafat dalam Islam, Jakarta: Yayasan Al-
Muntazhar.
Arief, Armai (2002). Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan
Islam, Jakarta: Ciputat Pers.
Asyafah, Abas (2011), Mendidik Karakter dengan Pengamalan dan
Pembiasaan. Bandung: Widya Akrasa Press.
Aziz, Jum`ah Amin Abdul (1998), Fiqih Dakwah, (Terjemahan), Solo:
Intermedia.
291
Badri, Malik (2001). Dari Perenungan Menuju Kesadaran: Sebuah
Pendekatan Psikologi Islam. Surakarta: Intermedia
Bashri, Muh. Mu‟inudinillah & Tarmizi, Maerwandi (2007). Hadis
Arba'in Nawawiyah [Indonesia], Terjemahan Abdullah Haidhir,
Tanpa Tempat: Maktab Dakwah dan Bimbingan Jaliyat Rabwah
(Islamhouse.com).
Behesti, Muhammad (1992). Kepemilikan dalam Islam, Terjemahan
Lukman Hakim dan Ahsin Muhammad, Jakarta: Pustaka
Hidayah.
Al-Buthy, Muhammad Said Ramadhan (1999). Sirah Nabawiyah,
Terjemahan. Jakarta: Rabbani Press.
Daradjat, Zakiah (1971). Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia.
Jakarta: Bulan Bintang.
Departemen Agama RI (2003). Pesantren Madrasah Diniyah
Pertumbuhan dan Perkembangannya. Jakarta: Depag.
Dhofier, Zamakhsyari. (1982). Tradisi Pesantren: Studi tentang
PAndangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad (1989), Ihya` Al-Ghazali,
Terjemahan Prof. Tk. H. Ismail Yakub, SH, MA, Jakarta
Selatan: CV Faizan.
Hafidhuddin, Didin (2005), “Menumbuhkan Kekuatan Ekonomi
Ummat Melalui Pembangunan Lembaga Keuangan Syari‟ah”,
Disampaikan pada Kegiatan “Workshop dan Konsultasi
Nasional Dosen PAI dan PTU”, Wisma YPI Jalan Raya Puncak,
Ciawi Bogor, 24-26 Syawal 1426 H/26-28 Nopember 2005.
_______ (2003), Islam Aplikatif. Bogor, Tanpa Penerbit.
Hasbullah, A. (1383 H/1964 M). Ushûl al-Tasyrî' al-Islâmiy, Mesir:
Dâr al-Ma'ârif.
Hasyim Adelina (1988). “Pelanggaran Etis oleh Siswa dan Alasan
Menghindarinya”, Tesis S2, Bandung: Program Pasca Sarjana
UPI.
292
Hawa, Said (1995). Al-Islam: Syahadatain dan Fenomena Kekufuran.
Jakarta: Al-Ikhlas Press.
_______, (2000), Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu,
Intisari Ihya Ulunmuddin al-Gazali, Jakarta: Rabbani Press.
https://id.wikipedia.org
Karim, Adiwarman Azwar (2005). “Implementasi Ekonomi Syari'ah
di Indonesia”, dalam Hafidhuddin, Didin (2005),
“Menumbuhkan Kekuatan Ekonomi Ummat Melalui
Pembangunan Lembaga Keuangan Syari‟ah”.
Katsir, Ibn (TT). Tafsir Ibn Katsir.
Majid, Abdul & Rahmat, Munawar (Editor) (2004). Islam: Doktrin
dan Pembinaan Umat. Bandung: Value Press.
al-Maududi, Abul A`la (1988), Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi
Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, Terjemahan. Bandung:
Mizan.
Murtadha Muthahhari (1995). Falsafah Akhlak: Kritik atas Konsep
Moralitas Barat, terjemahan Faruq bin Dhiya‟, Jakarta: Pustaka
Hidayah.
Muslim, Imam (TT), Shahih Muslim, dalam Lidwa Pusaka i-
software (www.lidwapusaka.com).
Muthohar, A. (2007). Ideologi Pendidikan Pesantren. Semarang:
Pustaka Rizki Putra.
Al-Nadwi, Abul Hasan Ali (1993), Pergulatan Iman dan
Materialisme: Hikmah Surah Al-Kahfi, terjemahan. Bandung:
Mizan.
An-Nahlawi, Abdurrahman (1989). Prinsip-prinsip dan Metoda
Pendidikan Islam, terjemahan Herry Noer Ali. Bandung: CV
Diponegoro.
Nasutian, Harun (1989). Islam Rasional, Bandung: Mizan.
Nuh, KH Abdullah Bin (1987). Keutamaan Keluarga Rasulullah Saw,
Semarang: CV Toha Putra.
293
Nurdin, Muslim Dkk (1993). Moral dan Kognisi Islam. Bandung:
Alfabeta.
Poerwadarminta (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Praja, Juhaya S, dkk (2007), Pemberdayaan Life Skills Anak Bina
Inabah, Jakarta-Tasikmalaya: Direktorat DIKTI Islam
bekerjasama dengan Fakultas Syari`ah Intitut Agama Islam
Latifah Mubarokiyah (IAILM) Pondok Pesantren Suryalaya
Tasikmalaya.
Qiro`ati, Muhsin (...), Pancaran Cahaya Shalat.
Al-Qosimi, Muhammad Jamaluddin (1986). Mau`izhotul Mu`minin
min Ihya `Ulumiddin, Ringkasan Ihya Imam Ghazali,
Terjemahan. Bandung: CV Diponegoro.
Rahardjo, M. Dawam (1986), “Zakat dalam Perspektif Sosial
Ekonomi”, Pesantren, No. 2/Vol. III/1986.
Ramayulis. (2012). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Rahmat, Munawar (2010). Dari Disertasi: Pendidikan Insan Kamil,
Bandung: ADPISI Press.
______ (2012), Filsafat Akhlak: Mengkaji Ontologi Akhlak Mulia
dengan Epistimologi Qurani. Bandung: Program Studi Ilmu
Pendidikn Agama Islam bekerjasama dengan Value Press.
______ (2013), Tafsir Al-Quran Sufistik Menyangkut Ayat Inti dan
Ayat Kunci. Bandung: Yayasan Sirrul Albab Cabang Bandung.
Rakhmat, Jalaluddin (1994). Renungan-renungan Sufistik. Bandung:
Mizan.
www.Republika.co.id
Sabiq, Sayid (1990). Akidah Islam, (terjemahan). Bandung:
Diponegoro.
Salim, P.S. (1991), Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta:
Modern English Press.
294
Sauri, Sofyan (2010), Membangun karakter bangsa melalui
pembianaan profesionalisme guru berbasis pendidikan nilai,
Jurnal pendidikan karakter, Bandung
_______, (2011), Filsafat dan Teosofat Akhlak: Kajian Filosofis dan
Teosofis tentang Akhlak, Karakter, Nilai, Moral, Etika, Budi
Pekerti, Tatakrama, dan Sopan Santun. (Editor: Munawar
Rahmat). Bandung: Rizki Press.
Shihab, Quraish (1999). Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu`i atas
Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
Simuh (1996), Simuh (1996). Tasawuf dan Perkembangannya dalam
Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sudjana, Ohan (1994). Fenomena Akidah Islam Berdasarkan Qur'an
dan Sunnah, Jakarta: Media Dakwah.
Supridi, Udin (2013). Pendidikan Akhlak, Bandung: Program Studi
Ilmu Pendidikn Agama Islam bekerjasama dengan Value Press.
Syaltut, Mahmud (1990). Islam: Akidah dan Syari`ah, Terjemahan.
Bandung: PT Al-Ma`arif.
Syari`ati, Ali (1995). Do`a, Terjemahan, Bandung: Mizan.
Tirmidzi, Imam (TT), Sunan Tirmidzi, dalam Lidwa Pusaka i-
software (www.lidwapusaka.com).
Sembilan Kitab Hadis, Lidwa Pusaka i-software www.lidwapusaka.com.
Yahya, Harun (2002), Deep Thinking: Bagaimana Seorang Muslim
Berfikir. (Terjemah). Jakarta: Rabbani Press.
Ya`kub, H. (1991). Etika Islam: Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu
Pengantar), Bandung: CV Diponegoro, Edisi Ketiga.
Yusuf Qardhawi, Fikih al-Zakat, Jilid I, terjemahan, Bandung: PT Al-
Ma`arif.
Zarkasyi, Abdullah Syukri (2010). Iprafuns.blogspot.com/2010/02.
Zuhairini. (1986). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Penerbit Bumi
Aksara.
Zubair, Achmad Charris (1990). Kuliah Etika, Jakarta: RaJawali Pers.