produksi semen

159
I. PENDAHULUAN PT. Semen Padang merupakan perusahaan yang bergerak di dalam industri produksi semen. Rincian kapasitas pabrik-pabrik di PT. Semen Padang adalah sebagai berikut: Pabrik Indarung I = 330.000 ton/tahun Pabrik Indarung II = 660. 000 ton/tahun Pabrik Indarung III (awalnya bernama Indarung IIIA) = 660.000 ton/tahun Pabrik Indarung IV (awalnya Indarung IIIB dan IIIC) = 1.620.000 ton/tahun Pabrik Indarung V = 2.300.000 ton/tahun Total Produksi = 5.570.000 ton/tahun Pada akhir tahun 1999 pabrik indarung I tidak dioperasikan lagi dengan pertimbangan emisi debu dan efisiensi peralatan. Pabrik indarung I ini menggunakan sistim proses basah (wet-process). Sementara pabrik yang lain menggunakan sistem proses kering (dry process). Komponen utama pembuatan semen adalah batu kapur, tanah liat, pasir besi, silika dan gypsum. Komposisi komponen pembentukan semen yang terdapat dalam bahan baku akan mempengaruhi semen yang akan terbentuk. Komponen pencampuran bahan baku semen tersebut adalah sebagai berikut: Batu kapur (Lime stone component) Tanah Liat (Clay) Pasir Besi dan Pasir Silika Gypsum PT. Semen Padang telah memproduksi jenis-jenis semen dengan berbagai fungsi. Semua jenis semen yang diproduksi telah memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Adapun masing-masing jenis produksi adalah sebagai berikut: a. Semen Portland Semen Portland Type I (Ordinary Portland Cement) Semen Portland Type II (Moderate Heat Cement) Semen Portland Type III (High Early strength Cement) Semen Portland Type IV (Low Heat Cement) b. Oil Well Cement (OWC) Class G-HSR

Upload: phitokrio

Post on 08-Feb-2016

948 views

Category:

Documents


19 download

DESCRIPTION

produksi semen

TRANSCRIPT

Page 1: produksi semen

I. PENDAHULUAN

PT. Semen Padang merupakan perusahaan yang bergerak di dalam industri

produksi semen. Rincian kapasitas pabrik-pabrik di PT. Semen Padang adalah sebagai

berikut:

Pabrik Indarung I = 330.000 ton/tahun

Pabrik Indarung II = 660. 000 ton/tahun

Pabrik Indarung III (awalnya bernama Indarung IIIA) = 660.000 ton/tahun

Pabrik Indarung IV (awalnya Indarung IIIB dan IIIC) = 1.620.000 ton/tahun

Pabrik Indarung V = 2.300.000 ton/tahun

Total Produksi = 5.570.000 ton/tahun

Pada akhir tahun 1999 pabrik indarung I tidak dioperasikan lagi dengan

pertimbangan emisi debu dan efisiensi peralatan. Pabrik indarung I ini menggunakan

sistim proses basah (wet-process). Sementara pabrik yang lain menggunakan sistem

proses kering (dry process).

Komponen utama pembuatan semen adalah batu kapur, tanah liat, pasir besi, silika

dan gypsum. Komposisi komponen pembentukan semen yang terdapat dalam bahan

baku akan mempengaruhi semen yang akan terbentuk. Komponen pencampuran bahan

baku semen tersebut adalah sebagai berikut:

Batu kapur (Lime stone component)

Tanah Liat (Clay)

Pasir Besi dan Pasir Silika

Gypsum

PT. Semen Padang telah memproduksi jenis-jenis semen dengan berbagai fungsi.

Semua jenis semen yang diproduksi telah memenuhi standar mutu yang telah

ditetapkan. Adapun masing-masing jenis produksi adalah sebagai berikut:

a. Semen Portland

Semen Portland Type I (Ordinary Portland Cement)

Semen Portland Type II (Moderate Heat Cement)

Semen Portland Type III (High Early strength Cement)

Semen Portland Type IV (Low Heat Cement)

b. Oil Well Cement (OWC) Class G-HSR

Page 2: produksi semen

c. Semen Portland Campur (Mixed Cement) atau super masonry cement.

d. Masonry Cement Type M,S,N

e. Portland Pozzolan Cement (PPC)

Secara garis besar, aktifitas industri PT. Semen Padang dapat dibagi menjadi 3

tahap yaitu :

a. Proses penambangan dan penyediaan bahan mentah

b. Proses produksi yang tediri dari proses penggilingan dan pembakaran

c. Proses pengantongan dan distribusi semen ke konsumen

Proses produksi dalam pembuatan semen antara lain :

a. Proses Basah

Pada proses basah, penggilingan bahan mentah dilakukan dengan

menambahkan sejumlah air ke dalam Raw Mill, sehingga kadar air dalam campuran

bahan mentah meningkat dari 6% - 11% menjadi 35% - 40%. Keluaran dari Raw

Mill ini disebut slurry yang kemudian mengalami homogenisasi di dalam Mixing

basin, tangki koreksi dan slurry basin. Dari slurry basin, slurry diumpankan ke

dalam Kiln untuk membentuk klinker pada suhu 1450 0C, setelah itu didinginkan

dengan Cooler. Kemudian klinker bersama-sama dengan gypsum digiling di dalam

Cement Mill, sehingga diperoleh semen.

b. Proses Semi Basah

Untuk umpan Kiln digunakan Moule/Granular (butiran), Pellet (cake) yang

dibuat dengan ukuran Filter Press, sehingga kadar airnya menjadi 15% - 25%.

Konsumsi panas sekitar 1000 - 2000 kcal/kg track.

c. Proses Semi Kering (SemiDrying Process)

Dalam proses ini, umpan masuk ke Kiln berupa tepung kering dan dengan alat

Granular (Pelletizer) disemprot dengan air untuk dibentuk menjadi Granular

dengan kadar air 10% - 12% dengan ukuran 10 - 12 mm seragam. Petimbangan

pemakaian alat ini adalah karena bahan bakar yang digunakan lebih sedikit, yaitu

sekitar 1000 kcal/kg. Agar kapasitas produksi meningkat maka Long Rotary Kiln

dilengkapi dengan Grate Preheater.

d. Proses Kering

Pada pembuatan semen pada proses kering, bahan mentah digiling dan

dikeringkan dalam Raw Mill, sehingga dihasilkan raw mix dan selanjutnya

dihomogenisasi di dalam Silo. Kemudian raw mix mengalami reaksi kalsinasi awal

Page 3: produksi semen

di dalam Preheater dan Calciner. Hasil kalsinasi ini diumpankan kedalam Kiln

untuk membentuk klinker pada suhu ± 1450 0C dan didinginkan dalam Cooler

hingga mencapai suhu ± 100 0C. Setelah itu, klinker dan gypsum digiling di dalam

Cement Mill, sehingga menghasilkan semen.

PT. Semen Padang menggunakan 2 proses pembuatan, yaitu Wet Process dan

Drying Process. Terhitung Oktober 1999, proses basah yang selama ini dilakukan

di pabrik Indarung I tidak dioperasikan lagi secara menyeluruh, karena tidak efisien

serta menyadari pentingnya dampak terhadap pencemaran, sehingga Indarung I

dioperasikan I unit penggilingan semen (Cement Mill). Dengan demikian,

keseluruhan pabrik saat ini hanya mempergunakan proses kering.

Tahapan proses dalam pembuatan semen dengan sistem kering, adalah :

a. Penggilingan Bahan Mentah di area Raw Mill

Pada proses ini, terjadi penggilingan bahan mentah, bahan mentah yang

dipakai di sini, yaitu :

Bahan utama terdiri dari batu kapur (81%) dan tanah liat (9%)

Bahan penolong terdiri dari pasir silika (9%) dan pasir besi (1%)

Proses dalam pengolahan bahan baku meliputi :

Pencampuran sesama bahan baku sesuai dengan perbandingannya

Pemecahan dan penggilingan bahan mentah

Homogensasi

b. Pembakaran di area Kiln

Bahan bakar yang dapat digunakan dalam proses ini adalah minyak residu

dan gas alam atau batu bara yang telah mengalami proses penghalusan. Saat ini,

yang banyak digunakan adalah batu bara karena harganya relatif murah. Tujuan

utama proses pembakaran adalah untuk menghasilkan reaksi-reaksi kimia di

antara oksida-oksida yang terdapat dalam slurry atau raw mix. Proses ini akan

menghasilkan produk baru yang diberi nama klinker. Agar reaksi-reaksi

tersebut berlangsung secara sempurna dibutuhkan panas yang banyak dan suhu

yang tinggi. Panas didapat dari pembakaran bahan bakar.

c. Penggilingan Akhir di Cement Mill

Klinker yang dihasilkan dari proses pembakaran, selanjutnya mengalami

proses penggilingan. Pada saat penggilingan, klinker dicampur dengan gipsum

(4% - 6%) yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas semen. Fungsi gipsum

Page 4: produksi semen

dalam semen adalah sebagai ”Retarder”, yaitu bahan yang dapat

mengendalikan waktu pengerasan semen, sehingga semen tidak terlalu cepat

mengeras. Dua jenis gipsum yang umum digunakan, yaitu : gipsum alam dari

Thailand dan gipsum sintetis yang merupakan hasil samping pembuatan pupuk

TSP. Dari hasil penggilingan klinker dan gipsum inilah diperoleh semen. Mesin

penggilingan semen disebut Cement Mill atau Finish Mill (penggilingan akhir).

Page 5: produksi semen

II. PROSES PRODUKSI DI AREA RAW MILL

II. 1. Tahap Penarikan Bahan Baku

II. 1. 1. Metode Penumpukan (Stacking) dan Penarikan (Reclaiming) Bahan

Baku

Bahan baku yang digunakan di dalam produksi semen, setelah dikirim

dari tambang kemudian disimpan di dalam pabrik di storage sebelum

memasuki tahap penggilingan. Untuk penyimpanan dan penarikkannya,

terdapat beberapa metode penumpukkan (stacking) dan pengambilan

bahan baku (reclaiming) yang biasa digunakan, antara lain:

a. Chevron Stacking/Reclaiming

Pada Chevron Stacking, lapisan material yang membujur

dijatuhkan oleh stacker yang bergerak maju dan mundur di atas

tumpukan material sampai tercapainya ketinggian tertentu. Material

kemudian diambil dalam irisan melintang oleh front reclaimer.

Gambar 1 Chevron Stacking/Reclaiming

b. Winrow Stacking/Reclaiming

Pada winrow stacking, beberapa lapisan material yang membujur

ditumpuk secara paralel selebar tempat yang tersedia dalam cara

tertentu sehingga membentuk tumpukan bukit. Stacker jenis ini tidak

hanya bergerak secara membujur tetapi juga bergerak melintang

sehingga membentuk pola paralel serta barisan membujur yang

bertingkat. Penarikan selalu dilakukan oleh front reclaimer.

Page 6: produksi semen

Gambar 2 Winrow stacking/reclaiming

c. Conical Shell Stacking/Reclaiming

Pada Conical shell stacking, stacker bergerak secara bertahap

dalam arah membujur. Gerakan stacker selanjutnya hanya dilakukan

setelah menyelesaikan tumpukan sampai ketinggian maksimal.

Penarikan umumnya dilakukan kemudian oleh side reclaimer. Metode

conical shell stacking sebaiknya tidak diaplikasikan bersamaan dengan

front reclaiming karena dengan metode ini hanya beberapa lapisan

material yang tercampur sehingga efisiensi homogenisasi yang dicapai

rendah.

Gambar 3 Conical shell stacking/reclaiming

Untuk metode pengambilan material dapat digunakan metode

side reclaiming yang bekerja di bagian samping tumpukan material

yang akan diambil. Side reclaimer ini dilengkapi dengan scraper

yang bisa dinaik-turunkan. Side reclaimer dapat mengambil material

dari bagian depan atau dari samping tumpukan material.

Page 7: produksi semen

Side reclaimer dengan pengambilan dari depan tumpukan

Pengambilan material dari depan tumpukan dilakukan

dengan menurunkan dan mengangkat rantai scraper pada

tumpukan dengan gerakan maju mundur reclaimer carriage yang

simultan.

Gambar 4 Pengambilan material dari depan tumpukan

Metode pengambilan dengan cara ini memiliki kekurangan

dan sebaiknya tidak diterapkan lagi karena:

o Urutan pengendalian boom dan carriage yang rumit dan

tingginya perawatan yang diperlukan.

o Aliran pengeluaran material yang tidak beraturan

memerlukan kapasitas belt yang besar.

Side reclaimer dengan pengambilan dari samping tumpukan.

Pada metode ini, boom yang diturunkan mengambil material

dari samping tumpukan sementara carriage berjalan menyusuri

sepanjang sisi tumpukan. Metode kerja ini hanya diaplikasikan

bersamaan dengan conical shell stacking.

Page 8: produksi semen

Gambar 5 Pengambilan material dari samping tumpukan

Kelebihan metode ini antara lain:

o Beberapa komponen material yang disimpan di tempat

prablending yang sama dapat diambil dengan mesin yang

serupa

o Cocok untuk material dengan tingkat kelengketan yang

sedang

o Biaya investasi yang rendah

Kekurangan metode ini antara lain:

o Efisiensi homogenisasi berkurang karena tidak setiap lapisan

dicampur secara simultan (Conical shell stacking)

o Dipakai hanya jika konsep prablending yang ada tidak

menuntut adanya penyimpanan material dengan adanya

kebutuhan homogenisasi material yang tinggi.

II. 1. 2. Peralatan Penarikan (Reclaiming) Bahan Baku

Untuk penarikan material untuk bahan baku, terdapat beberapa jenis

peralatan reclaimer antara lain yaitu :

a. Side Reclaimer

Side reclaimer merupakan salah satu alat penarikan material yang

biasa digunakan di pabrik semen. Peralatan ini bergerak di jalur rel

yang terletak di sepanjang pile/tumpukan material. Side reclaimer

dilengkapi oleh satu scraper chain yang digunakan untuk menarik

Page 9: produksi semen

tumpukan material untuk selanjutnya ditransport oleh belt conveyor

yang juga terletak sepanjang tumpukan material tersebut.

Ket : 1. Hoist untuk menaikkan/menurunkan scraper chain 4. Roda dan rel

2. Ruangan operator 5. Scraper chain

3. Belt conveyor

Gambar 6 Bagian-bagian side reclaimer

b. Portal Scrapper

Portal Scrapper merupakan salah satu alat penarikan material

yang juga biasa digunakan di pabrik semen. Sama seperti side

reclaimer, peralatan ini bergerak di jalur rel yang terletak di sepanjang

pile/tumpukan material. Bedanya, untuk portal scrapper dilengkapi

oleh dua scraper chain di mana scrapper chain sekunder digunakan

untuk menarik material ke arah scrapper chain primer dan selanjutnya

ditarik oleh scrapper chain primer tersebut untuk kemudian

ditransport oleh belt conveyor yang juga terletak sepanjang tumpukan

material tersebut.

Page 10: produksi semen

Ket : 1. Roda dan rel 4. Portal

2. Belt conveyor 5. Scraper chain primer

3. Ruang operator 6. Scrapper chain sekunder

Gambar 7 Bagian-bagian portal scrapper

c. Bucket Chain Excavator

Bucket chain excavator merupakan salah satu alat penarikan

material yang dirancang khusus untuk material yang lengket. Sistem

bucket chain, disupport oleh scrapper arm yang terpasang dengan

sudut yang tetap dari jembatan penopang. Storage tempat pengisian

material terdiri dari dua atau lebih stockpile yang ditumpuk mengacu

pada metode windrow. Sistem bucket chain mengeluarkan material

yang telah ditarik ke belt conveyor sepanjang reclaiming bridge. Belt

tersebut kemudian mentransport material ke belt selanjutnya yang

berada di sepanjang storage.

Page 11: produksi semen

Ket : 1. Jembatan stacking 1 6. Bucket chain hoist

2. Belt conveyor di atas jembatan 7. Jembatan reclaiming

3. Ruang operator 8. Ruang operator

4. Roda kabel 9. Jembatan reclaiming

5. Bucket chain 10. Jembatan stacking 2

Gambar 8 Bagian-bagian bucket chain excavator

II. 1. 3. Penarikan (Reclaiming) Bahan Baku di Indarung II/III

Bahan baku utama yang digunakan untuk pembuatan semen terdiri

dari 4 macam yaitu batu kapur (limestone), silika, tanah liat (clay), dan

pasir besi atau copper slag. Metode penumpukkan dan pengambilan untuk

batu kapur dan silika yang terjadi di Indarung II/III yaitu menggunakan

kombinasi conical shell stacking dan side reclaiming. Perbedaan stacker

dan yang ada di Indarung II dan III yaitu untuk Indarung II hanya terdapat

satu umpan keluaran, sedangkan di Indarung III terdapat dua umpan

keluaran seperti terlihat pada gambar 6 dibawah ini.

(a) (b)

Page 12: produksi semen

Gambar 9 Stacker di Indarung II (a) dan Indarung III (b)

Sementara untuk reclaimer yang digunakan, Indarung II mengunakan

side reclaimer, sedangkan Indarung III menggunakan portal reclaimer.

Perbedaan antara keduanya terletak pada jumlah arm-nya dimana side

reclaimer hanya mempunyai satu buah arm, sedangkan portal reclaimer

mempunyai dua buah arm dimana secondary scrapper berfungsi untuk

menarik material ke arah primary scrapper untuk dilanjutkan ke belt

conveyor.

(a) (b)

Gambar 10 Side Reclaimer (a) dan Portal Reclaimer (b)

Dari storage, batu kapur dan silika tersebut dibawa oleh belt conveyor

A1/A2L04, A1/A2L05, dan A1/A2L06 untuk kemudian dimasukkan ke

dalam hopper batu kapur A1/A2L10 dan hopper silika E1/E2A10 yang

berkapasitas sekitar 200 dan 140 ton. Dari hopper tersebut batu kapur dan

silika diumpankan ke mill melalui belt conveyor R1/R2A02 dengan

terlebih dahulu ditimbang massanya di dosimat feeder R1/R2A01 untuk

batu kapur dan R1/R2E01 untuk silika.

Untuk storage tanah liat di Indarung II/III, tanah liat yang dibawa oleh

truk dimasukkan ke dalam hopper yang kemudian digiling oleh dua buah

roller mill C1M01 dan C2M02 untuk kemudian ditumpuk di open

storage. Dari hopper sampai dengan ke open storage, silika tersebut

ditransport oleh belt conveyor C1J02 s/d J07. Pengambilan tanah liat dari

open storage mempergunakan bucket excavator yang kemudian dikirim

melalui belt conveyor R1C05 yang dilengkapi dengan weighting belt

R1C05F1 untuk menimbang massa tanah liat yang akan diumpankan.

Page 13: produksi semen

Tanah liat tersebut kemudian digiling kembali oleh roller mill R1M21

untuk kemudian ditransport dengan belt conveyor R1C06 dan R1C07.

Gambar 11 Bucket excavator

Iron sand atau copper slag yang digunakan dimasukkan ke dalam open

storage, kemudian dikirim ke dump hopper D1L01 yang berkapasitas 220

ton. Dari hopper irond sand/copper slag tersebut diumpankan dengan

dosimat feeder R1/R2D01 ke belt conveyor R1/R2C07 untuk disatukan

bersama bahan baku tanah liat. Kedua bahan baku tersebut kemudian

dikirim menuju belt conveyor R1/R2A02 untuk disatukan dengan batu

kapur dan silika. Setelah keempat bahan baku disatukan maka bahan baku

tersebut siap untuk diumpankan ke dalam mill.

II. 2. Tahap Penggilingan Raw Meal

Maksud dari penggilingan bahan mentah adalah untuk menyiapkan

campuran yang homogen dengan kehalusan tertentu sesuai dengan keperluan

pembakaran di Kiln, yaitu sekitar 9-15 % tertahan ayakan 90 micron. Keempat

bahan baku yang telah disatukan tersebut kemudian ditransport oleh belt

conveyor R1A02/R2A02 untuk diumpankan ke dalam tube mill. Sebelum

masuk ke dalam tube mill, bahan baku tersebut melewati sebuah double, split

sluice flap yang terdiri dari 2 buah flap gate. Prinsip kerja alat ini adalah

dimana kedua gate tersebut membuka bergantian untuk mencegah udara luar

masuk ke dalam tube mill. Pencegahan masuknya udara luar ke dalam mill

bertujuan untuk menjaga suhu di dalam tube mill tetap tinggi sehingga kondisi

operasi tetap terjaga.

Page 14: produksi semen

II. 2. 1. Penggilingan dengan Tube Mill

Penggilingan yang terjadi pada tube mill dikarenakan adanya

tumbukan material dengan grinding media. Rotasi tube mill menyebabkan

isi mill yang terdiri dari grinding media dan material umpan terangkat

akibat gaya sentrifugal serta friksi antara media dan lining. Tinggi

pengangkatan isi tube mill tergantung beberapa faktor, antara lain:

Liner design

Kecepatan putaran mill

Bentuk, ukuran, dan berat grinding media

Friksi antara lining dan grinding media

Friksi antara mill charge

Gambar 12 Pergerakan grinding media di dalam mill

Gambar (9.a) menunjukkan grinding media menampilkan “Cataracing

Motion” yang terjadi jika kecepatan rotasi mill cukup tinggi, pemilihan %

loading yang tepat, ukuran grinding ball yang relatif besar dan

terpasangnya lifting liner. Pada “Cataracing Motion” ini material umpan

terutama digiling oleh tumbukan di zona “A” dimana hampir seluruh

energi jatuh dari grinding media terpusat. Bentuk aksi ini terutama untuk

mereduksi material besar yang masuk ke dalam mill.

Sedangkan gambar (9.b) menunjukkan grinding media menampilkan

“Cascading Motion” yang terjadi pada kondisi yang mirip, tetapi dengan

ukuran grinding ball yang lebih kecil dan tanpa lifting liner. Pada

“Cascading Motion” ini, grinding media lebih bersifat mengalir dan

Page 15: produksi semen

berputar daripada terangkat dan jatuh. Gerakan ini menyebabkan gaya

gesek sehingga “Cascading Motion” ini tidak cocok untuk mereduksi

material yang berukuran besar, tetapi sangat efektif untuk penggilingan

material yang halus.

II. 2. 2. Kondisi Operasi dari Tube Mill

a. Operasi normal

Yang dimaksud operasi normal pada sistem mill adalah dimana

operasi sistem mill sehari-hari dengan output mill yang kontinyu dan

kualitas produk yang stabil.

b. Operasi Abnormal

Operasi abnormal adalah ketika semua kondisi operasi diluar batas

normal dimana laju output mill serta kualitas yang dibutuhkan tidak

bisa dicapai seperti ketika kondisi normal.

Tabel 1 Sebab kondisi abnormal yang mungkin serta tindakan pertama yang diambil

Indikasi Kemungkinan Sebab Tindakan

Produk:

Terlalu Kasar Mill overfilled Laju umpan mill diturunkan

Bukaan vane separator Penyesuaian yang tepat

Umpan mill terlalu kasar Meningkatkan precrushing

Filter dust terlalu kasar Penyesuaian static separator

Terlalu halus Mill underloaded Meningkatkan laju umpan mill

Bukaan vane separator Penyesuaian yang tepat

Umpan mill sangat halus Diperlukan penyelidikan lebih lanjut

Filter dust sangat halus Penyesuaian static separator

Komposisi kimia

salah

Proporsi umpan salah Penyesuaian proporsi yang tepat

Komponen umpan salah Merubah kualitas komponen

Mill:

Suara pelan Mill overfilled Laju umpan mill rendah

Suara keras Mill underloaded Meningkatkan laju umpan mill

Suhu semen:

Terlalu tinggi Suhu klinker terlalu tinggi Periksa clinker cooling

Kurang injeksi air Penyesuaian laju alir

Kesalahan cement cooler Perbaikan

Mill Output:

Page 16: produksi semen

Terlalu rendah Komposisi grinding ball tidak sesuai

atau grinding ball rusak parah

Mengganti grinding ball

Diafragma tidak cocok atau tersumbat Mengganti/membersihkan diafragma

Liner tidak cocok atau rusak Mengganti liner

Tekanan exhaust mill:

Terlalu tinggi Inlet/outlet tersumbat Bersihkan

Diafragma tersumbat Bersihkan diafragma

Terlalu rendah Diafragma rusak Mengganti plate yang rusak

II. 2. 3. Bagian-bagian Tube Mill

Bagian-bagian internal dan eksternal dari tube mill dapat dilihat pada

gambar 10 berikut:

Gambar 13 Bagian-bagian internal dan eksternal tube mill

a. Feed Arrangements

Peralatan untuk umpan mill harus memenuhi fungsi-fungsi sebagai

berikut:

Mengijinkan material terus mengalir ke dalam mill tanpa

menyebabkan tersumbat

Mencegah material kembali mengalir keluar (backflow)

Mengijinkan masuknya udara dingin untuk kasus cement mill

Mengijinkan masuknya udara panas untuk kasus raw mill

Tipe-tipe dari feed arrangements antara lain:

Page 17: produksi semen

Spout Feeder

Drum Feeder

Step Type Feeder

Feed Chute of Airswept Mills

Gambar 14 Beragam tipe feed arrangement

b. Discharge Arrangements

Tipe-tipe dari discharge arrangements antara lain

End Discharge

Discharge of Airswept Mills

Discharge of Slurry Mill

Center Discharge

Page 18: produksi semen

Gambar 15 Beragam tipe discharge arrangement

c. Mill Shell

Mill shell terdiri dari beberapa bagian plat yang dilas. Tekanan

(stress) maksimum berada di bagian tengah shell. Pada tabel 2 dapat

dilihat bending stress maksimum untuk tipe mill yang berbeda.

Tabel 2 Bending stress maksimum untuk beragam tipe mill

Tipe Mill Max. Admissible Bending Stress

Dengan Trunnion Bearing Dengan Slide Shoe Bearing

End Discharge

Mill ø < 4,2 m 16-18

Mill ø < 4,2 m 12-14 9-10

Centre Discharge 6-8

d. Liner

Liner berfungsi untuk melindungi bagian dalam tube mill. Liner

yang digunakan harus tahan terhadap gaya tumbuk (deformasi,

breakage), friksi dan korosi. Bagian bagian internal tube mill dapat

dilihat pada gambar 16.

Page 19: produksi semen

Gambar 16 Bagian internal tube mill

Head Liner

Tube mill dibuat dalam tipe conical (dengan trunnion bearing)

atau tipe even (dengan slide shoe bearing).

Gambar 17 Head liner

Shell Liner

o Lifting Liner

Lifting liner dipasang di dalam kompartemen I. Liner ini

harus dapat mengangkat dan melepas grinding media sehingga

dapat menghancurkan partikel yang berukuran besar. Beragam

tipe lifting liner dapat dilihat pada gambar 18.

Page 20: produksi semen

Gambar 18 Tipe lifting liner

o Classifying Lining

Pada bagian inlet di kompartemen II, material kasar butuh

grinding ball yang lebih besar untuk reduksi ukuran yang lebih

efisien sehingga tumbukan lebih dibutuhkan dibandingkan

dengan gesekan (friksi). Sementara di bagian outlet

kompartemen II, grinding ball yang lebih kecil diperlukan untuk

gesekan (friksi). Oleh karena itu, kompartemen II biasanya

dilengkapi dengan classifying liner. Liner ini otomatis

memisahkan grinding media dimana grinding ball yang lebih

besar di bagian inlet dan yang lebih kecil di bagian outlet.

Prinsip dasar pemisahan grinding media dapat dilihat pada

gambar 19.

Gambar 19 Classifying Liner

e. Intermediate Diaphragm

Page 21: produksi semen

Fungsi dari intermediate diaphragm ini adalah untuk membagi

mill menjadi kompartemen I dan II. Adjustable diaphragm dapat

digunakan untuk mengontrol aliran material dan menjaga material

yang diperlukan setiap kompartemen untuk mendapatkan efisiensi

grinding yang tertinggi. Kriteria utama dalam perancangan

intermediate diaphragm adalah lebar slot dan total area slot (open

area).

Single Diaphragm

Single diaphragm digunakan sebagai pemisah antara

kompartemen I dan II untuk mill yang berukuran lebih kecil. Single

diaphragm juga digunakan sebagai discharge diaphragm untuk

centre discharge mill.

Gambar 20 Single Diaphragm

Double Diaphragm with Lifter

Diaphragm jenis ini terdiri dari slot plate di sisi inlet dan blind

plate di sisi outlet dan dilengkapi dengan lifter untuk mentransport

material. Bagian tengah diaphragm terbuka untuk mengijinkan

udara kering masuk melalui mill.

Page 22: produksi semen

Gambar 21 Double diaphragm

Open Diaphragm (Drying Chamber Diaphragm)

Open diaphragm dipasang sebagai pemisah antara drying

chamber dengan kompartemen I. Slot liner harus cukup besar untuk

mentransfer material dan gas pengering melalui diaphragm.

Diaphragm juga harus tahan terhadap tumbukan grinding ball pada

suhu tinggi.

f. Discharge Diaphragm

Discharge diaphragm dipasang di ujung pada tipe end discharge

mill atau di bagian tengah pada tipe centre discharge mill. Diaphragm

untuk centre discharge mill terdiri dari dua single diaphragm yang

dipasang di outlet kompartemen I dan II. Perbedaan antara keduanya

adalah pada lebar slot-nya.

g. Grinding Media

Untuk kompartemen I, ukuran grinding ball antara 50-100 mm

dan untuk kompartemen II antara 15-50 mm. Ukuran dari grinding

ball tersebut tergantung pada beberapa faktor, antara lain:

Ukuran maksimal umpan yang akan digiling

Kehalusan produk

Diameter dan panjang mill

Page 23: produksi semen

II. 2. 4. Kriteria yang Perlu diperhatikan dalam Perancangan Tube Mill

a. Length to Diameter Ratio (λ)

Length to Diameter Ratio dapat didefinisikan sebagai perbandingan

antara panjang mill dengan diameter internal mill. Length to Diameter Ratio

ini tergantung dari beberapa faktor, antara lain:

Keluaran produk setiap jam

Jenis material yang digiling

Kehalusan produk akhir

Ukuran material umpan

Keluaran produk setiap jam tergantung dari diameter mill, sedangkan

kehalusan produk tergantung waktu tinggal yang dipengaruhi oleh panjang

mill. Oleh karena itu perlu dicari nilai λ yang optimal sehingga didapatkan

kuantitas dan kualitas produk yang diinginkan.

Nilai λ untuk beragam Raw Mill:

Centre Discharge Mill 2,1 – 2,7

Two Comp. Mill 2,0 – 2,5

Single Comp. Mill 1,7 – 2,2

Air Swept Mill 1,5 – 2,0

b. Length of Compartment

Panjang dari tiap kompartmen untuk beragam tipe mill dapat dilihat

pada tabel 3 berikut:

Tabel 3 Panjang tiap kompartmen untuk beragam tipe mill

Tipe Mill % panjang total yang dipergunakan

Comp. I Comp. II Comp. III

Two Comp. Mill 30-35 70-65 -

Three Comp. Mill 20 30 50

Centre Discharge MIll 50 50 -

c. Filling Degree (f)

Page 24: produksi semen

Filling degree (f) dapat didefinisikan sebagai volume (VQ) dari grinding

media yang diisikan dan ditunjukkan dengan persentase dari volume total

mill (VM).

100xV

Vf

M

Q (%)

Pada tabel 4 berikut ini ditampilkan persentase filling degree pada tiap

kompartment untuk beragam tipe mill.

Tabel 4 Persentase filling degree pada tiap kompartmen

Tipe Mill Filling Degree (%)

Comp.I Comp. II Comp. III

Single Comp. Mill 27-33 - -

Two Comp. Mill 27-33 25-32 -

Three Comp. Mill 26-32 26-30 23-27

Air Swept Mill ≈26 - -

Dari literatur diketahui bahwa efisiensi grinding yang maksimum terjadi

jika filling degree antara 26-28 %. Di atas nilai ini, semakin tinggi filling

degree maka efisiensi grinding semakin rendah. Pada gambar berikut filling

degree didapatkan jika diketahui h/Di.

Gambar 22 Filling degree sebagai fungsi dari h/D

Page 25: produksi semen

d. Berat Grinding Media

Berat isi grinding media di tiap kamar dapat dihitung dengan

menggunakan rumus berlkut:

Qui xf

xxLxDQ

1004

2 (ton)

Keterangan: Lu = Panjang internal kompartmen mill (m)

f = Filling degree (%)

γ Q = Berat bulk grinding media (ton/m3)

Di = Diameter internal mill (m)

Q = Berat isi grinding media (ton)

Berat bulk grinding media (γ Q ) untuk beragam ukuran bola yang

diisikan di dalam tube mill dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5 Berat bulk grinding media untuk beragam ukuran bola

Jenis Grinding Media Ukuran bola ø (mm) Bulk Weight (t/m3)

Steel balls 100-60 4,4

50-30 4,6

30-20 4,7

Cylpebs 30-20 4,8

Pada gambar dapat dilihat bulk weight untuk grinding media di kamar 1

adalah sebesar 4,4 t/m3 dan untuk kamar 2 adalah sebesar 4,65 t/m

3.

Gambar 23 Bulk weight grinding media di tiap kompartmen

Page 26: produksi semen

e. Mill Speed

Kecepatan operasi dari mill dapat ditunjukkan sebagai persentase dari

kecepatan kritis mill (critical mill speed). Kecepatan kritis mill tersebut

terjadi ketika gaya sentrifugal (FC) sebanding dengan gaya gravitasi (FG).

Gambar 24 Kecepatan kritis mill

Di

ncrit

3,42 (min

-1) critn

kn .

100 (min

-1)

Ket : n = Kecepatan operasi mill (min-1

)

ncrit = Kecepatan kritis mill (min-1

)

k = Rasio n/ncrit (%)

Di = Diameter internal mill (min-1

)

Gambar 25 Pergerakan grinding media untuk beragam kombinasi filling

degree dan kecepatan kritis

Kombinasi antara filling degree dan % kecepatan kritis yang tepat

sangat diperlukan dalam pengoperasian mill karena jika filling degree dan

Page 27: produksi semen

% kecepatan kritisnya rendah, tumbukan bola ke material tidak efisien,

sebaliknya jika filling degree dan % kecepatan kritisnya tinggi dapat

mengakibatkan ball charge centrifugation dan efisiensi penggilingannya

sangat kecil. Mill modern saat ini memiliki range kecepatan antara 70-75 %

dari kecepatan kritis mill.

II. 3. Penggilingan Raw Meal di Produksi II/III

Di departemen Produksi II/III, penggilingan bahan baku (raw meal)

menggunakan tube mill dengan tipe duodan mill yang berkapasitas 160 ton/jam.

Feed Arrangements yang digunakan berjenis feed chute airswept mill karena

dibutuhkan ruang masuk yang besar bagi gas panas untuk pengeringan bahan

baku. Centre Discharge digunakan sebagai discharge arrangements dimana

letak keluaran produk hasil gilingan berada diantara kompartemen I dan

kompartemen II.

Gambar 26 Raw mill tipe duodan mill

Material yang akan digiling dimasukkan bersamaan dengan aliran udara

panas berasal dari suspension preheater yang ditarik oleh fan R1/R2P11,

sehingga di dalam tube mill selain terjadi proses penggilingan juga terjadi

Material Inlet

Gas Inlet

Drying Chamber

Kamar I

Kamar I

Material Outlet

Gas Outlet

Page 28: produksi semen

proses pengeringan. Tube mill untuk raw mill ini terdiri dari 3 ruangan, yaitu

drying chamber, kompartmen I dan kompartmen II. Pada drying chamber

dipasang lifter yang berfungsi untuk mengangkat dan menghamburkan material

sehingga proses pengeringan dapat berlangsung dengan efektif karena luas

permukaan material yang kontak dengan gas panas bertambah besar. Sebagai

pemisah antara drying chamber dengan kompartmen I digunakan open

diaphragm seperti terlihat pada gambar 27.

Gambar 27 Open diaphragm

Di dalam kompartmen I terdapat lifting liner berjenis step liner. Liner jenis

ini berfungsi untuk mengangkat dan menjatuhkan grinding media sehingga

dihasilkan gaya tumbukan terhadap material yang akan digiling. Pada

kompartmen II, permukaan liner yang digunakan bergelombang dikarenakan

gaya yang diperlukan adalah gaya gesek antara material dengan grinding media

sehingga tidak diperlukan liner yang dapat mengangkat grinding media. Di

kompartmen II juga digunakan danula ring yang bertujuan untuk

memperpanjang waktu tinggal material di dalam mill sehingga efek

penggilingan akan lebih baik. Kedua liner yang digunakan pada tiap

kompartmen dapat dilihat pada gambar 28 berikut.

Page 29: produksi semen

(a) (b)

Gambar 28 Shell liner pada kompartmen I (a) dan kompartmen II (b)

Diaphragm digunakan di antara kompartmen I dan kompartmen II yang

berfungsi sebagai saringan terhadap material hasil penggilingan. Karena sistem

discharge-nya adalah centre discharge maka diaphragm yang digunakan

berjenis single diaphragm untuk masing-masing keluaran kompartmen.

(a) (b)

Gambar 29 Diaphragm untuk keluaran kompartmen I (a) dan kompartmen II (b)

Material hasil penggilingan keluar melalui diaphragm dan rima screen yang

selanjutnya akan mengalami penyaringan kembali di ruang bawah tube mill

sehingga material yang masuk ke dalam air slide adalah benar-benar raw mix

dan mencegah grinding media ikut keluar bersamanya.

Page 30: produksi semen

(a) (b)

Gambar 30 Rima screen (a) dan saringan di bawah tube mill (b)

Grinding media yang digunakan terbuat dari bola baja dengan ukuran yang

berbeda untuk tiap kompartmen. Untuk kompartmen I digunakan grinding

media berukuran 50-90 mm, sedangkan untuk kompartmen II, grinding media

yang digunakan berukuran 25-40 mm.

(a) (b)

Gambar 31 Grinding media di kompartmen I (a) dan kompartmen II (b)

II. 3. 1. Kriteria-Kriteria Perancangan di Raw Mill Indarung II/III

a. Length to Diameter Ratio (λ)

Panjang Mill (L) = LDrying Chamb. + LComp. I + LComp. II = 4,2 + 3,25 + 4,2 = 12,7 m

Diameter (D) = 4,7 m

Maka λ = L/D = 2,7

b. Filling Degree (f)

Filling degree dan berat grinding media di tiap kompartmen dapat dilihat

pada tabel 6 berikut:

Page 31: produksi semen

Tabel 6 Filling degree dan berat grinding media

Kompartmen Ukuran grinding media (mm) Berat grinding media (ton) Filling degree (%)

I

90 21

20,7

80 14

70 14

60 10,5

50 1,5

Total 61

II

40 23,5

24 30 27

25 26,5

Total 77

c. Grinding Media Charge

Berat grinding media charge di tiap kompartmen adalah sebagai berikut:

Untuk kompartmen I

Qui xf

xxLxDQ

1004

2 (ton)

Q = 50,03 ton

Untuk kompartmen II

Qui xf

xxLxDQ

1004

2 (ton)

Q = 102,47 ton

Grinding media yang digunakan adalah berjenis bola baja untuk kedua

kompartmen. Dahulu digunakan cylpebs sebagai grinding media di kompartmen

II, tetapi kemudian diputuskan untuk menggunakan bola baja sebagai grinding

media di kompartmen II. Hal ini dikarenakan beberapa hal, antara lain:

o Kurangnya stock cylpebs di gudang

o Dapat menghemat pengeluaran karena grinding media dari kompartmen I

dapat digunakan kembali untuk kompartmen II

o Kualitas hasil penggilingan dapat tetap terjaga meskipun menggunakan bola

baja sebagai grinding media

d. Mill Speed

Page 32: produksi semen

Dincrit

3,42 = 19,5 rpm

n = 14,2 rpm

k = 72,82 %

Dapat dilihat bahwa % kecepatan mill yang digunakan adalah sebesar 72,82

% dari kecepatan kritis.

Hasil produk setelah penggilingan kemudian keluar melalui bawah mill dan

dibawa oleh air slide dan bucket elevator untuk selanjutnya dimasukkan ke

dalam separator R1/R2S01 dan R1/R2S02. Separator yang digunakan di

indarung II/III adalah berjenis dynamic separator classifier dengan

Counterblades dan Internal Fan.

II. 4. Separator

Berdasarkan prinsip kerja peralatan, separator dapat dibagi menjadi dua

jenis, yaitu :

II. 4. 1. Static Separator

Pada static separator, tidak ada bagian peralatan pemisahan yang

berputar/bergerak dalam proses pemisahan partikel.

Beberapa contoh static separator :

a. Cyclone

Prinsip pengoperasian cyclone : udara dengan material terdispersi

masuk ke cyclone melalui inlet. Partikel kasar dengan adanya gaya

sentrifugal akan mengendap sebagai tailing, sedangkan partikel halus

akan terangkat udara keluara cyclone melalui immersion tube.

Page 33: produksi semen

Gambar 32 Cyclone separator

b. Grit Separator

Udara yang mengandung debu masuk ke separator dari bawah dan

mengalir ke sejumlah adjustable blade. Jika blade di set radial, maka

partikel kasar akan mengendap karena aksi gaya inersia karena partikel

kasar tidak bisa membelok 90˚ ketika akan masuk ke dalam immesion

tube.

Gambar 33 Grit separator

Fines

Tailing

Page 34: produksi semen

c. VS-Separator

Material masuk dari atas, material mengalir ke zone pemisahan

dengan melalui inclined plates. Udara pemisah masuk ke dalam zone

pemisahan secara transversal (melintang) terhadap aliran material. Zone

pemisahan sesungguhnya berada antara inclined plate dan baffle plate.

Material halus akan keluar terbawa aliran udara melalui sela-sela antara

baffle plate, sedangkan material kasar oleh gaya gravitasi akan terjatuh

dan keluar pada bagian bawah separator.

Gambar 34 V-S separator

II. 4. 2. Dynamic Separator

Prinsip kerja dari dynamic separator ini adalah material umpan

dimasukkan melalui chute ke atas distributor plate yang mendispersikan

partikel ke dalam aliran udara. Udara bersama dengan partikel yang

terdispersi mengalir ke atas dan melewati rotating counterblade. Partikel

kasar terlempar keluar akibat gaya sentrifugal, kemudian menumbuk

dinding dan jatuh masuk ke dalam tailing cone sedangkan udara dengan

partikel halus mengalir melalui fan menuju fine chamber. Di sini material

halus dipisahkan dari udara dan terkumpul di dalam outer cone. Udara

bersama dengan sejumlah material halus kembali ke zona pemisahan

melalui air vane.

Tailing

Page 35: produksi semen

Dynamic separator memiliki fineness range sekitar 3000-6000 cm2/g

yang dapat dilakukan penyesuaian-penyesuaian untuk mendapatkan

material yang lebih halus atau lebih kasar.

Tabel 7 Penyesuaian yang dilakukan pada dynamic separator

Penyesuaian Kehalusan Produk

Counterblade:

Meningkatkan kecepatan Lebih halus

Meningkatkan jumlah Lebih halus

Meningkatkan radius (moved outward) Lebih halus

Meningkatkan ukuran Lebih halus

Fan blade

Meningkatkan radius (moved outward) Lebih kasar

Internal fan damper

Outward posistion (bukaan lebih besar) Lebih kasar

Inward position (bukaan lebih kecil) Lebih halus

Pada separator jenis ini ada sebagian peralatan pemisahan yang

berputar/bergerak untuk melakukan proses pemisahan partikel.

Beberapa contoh separator yang termasuk dalam jenis dynamic

separator :

a. Classifier dengan Counterblade dan Internal Fan

Feed material masuk melalui chute ke distribution plate yang

menaburkan partikel ke aliran udara. Udara dengan partikel terdispersi

mengalir ke atas dan melewati counterblade. Partikel kasar oleh gaya

sentrifugal akan terlempar ke dinding dan terjatuh ke dalam konis

tailing. Udara bersama partikel halus mengalir melalui fan ke konis

material halus (fine cone).Di dalam ruang inilah material halus

dipisahkan dari udara. Udara bersama sebagian partikel halus kembali

ke dalam zone pemisahan melalui slot/air vane.

Sturtevant Separator

Sturtevant Separator memiliki inlet/outlet udara untuk keperluan

drying atau cooling

Page 36: produksi semen

Gambar 35 Sturtevant separator

Heyd Separator

Heyd Separator memiliki dua individual drives untuk fan dan

counterblade (fixed speed untuk fan, variabel speed untuk

counterblade dan distributor plate) sehingga membuat penyesuaian

lebih mudah dan meningkatkan efisiensi separator dengan fine

grinding.

Page 37: produksi semen

Gambar 36 Heyd separator

b. Classifier dengan Counterblade dan Eksternal Fan

Prinsip pengoperasian separator jenis ini adalah sbb :

Material masuk ke dalam distribution plate dan oleh distribution

plate maeterial didispersikan ke udara sirkulasi. Partikel yang cukup

halus melewati counterblade dan diangkat oleh udara ke eksternal

cyclone untuk diendapkan dan dikeluarkan dari cyclone. Partikel kasar

keluar dari konis tailing (tailing cone).Udara yang dari cyclone eksternal

disirkulasikan kembali oleh fan ke dalam separator.

Page 38: produksi semen

Gambar 37 Cyclone Air Separator (WEDAG)

c. Classifier dengan Rotor Cage dan Eksternal Fan (High Efficiency

Separator)

Prinsip operasi dari high efficiency (SEPAX) separator adalah sbb :

Material dari mill diumpankan ke dispersion section dan kemudian

diangkat keatas oleh aliran udara. Grinding media yang halus-halus, dan

benda-benda keras lainnya akan terjatuh dan keluar pada outlet bottom

separator, sehingga keausan bagian-bagian separator dapat dikurangi,

dan juga kemungkinan tersumbatnya diafragma bisa dikurangi.

Material tersuspensi mengalir melalui riser duct ke bagian

pemisahan, dimana guide vane mendistribusikan aliran udara dan

material ini secara merata dari bagian atas sampai bawah rotor.

Partikel halus meninggalkan separator pada bagian atas separator, ke

bag filter atau sejumlah cyclone.Sedangkan partikel kasar terjatuh dari

guide vanes ke dalam konis dan keluar separator melalui reject

outlet.Rotor digerakkan oleh sebuah motor variable speed. Kehalusan

produk bisa disesuaikan dengan mengubah-ubah speed rotor.

Page 39: produksi semen

Gambar 38 Sepax Separator

Dynamic separator yang digunakan di Indarung II/III tidak memiliki

variable speed fan sehingga kecepatan dari putaran kipas tidak bisa diatur.

Pengaturan fineness produk hanya dilakukan dengan cara mengubah bukaan

slot vane. Oleh karena itu, jenis dynamic separator yang digunakan lebih

mendekati jenis heyd separator.

Fineness produk separator kemudian ditransport oleh air slide

R1/R2U03 dan R1/R2U04 menuju ke airlift R1/R2U05 untuk selanjutnya

dikirim ke homogenizing silo H1/H2H01-H02 dan H1/H2H11-H12. Udara

yang digunakan oleh airlift untuk membawa produk berasal dari rotary

Page 40: produksi semen

blower R1/R2U06 dan R1/R2U07. Produk separator yang kasar (tailing)

kemudian dibalikkan ke dalam mill melalui air slide R1/R2S16 untuk

kompartemen I dan R1/R2S17 untuk kompartmen II. Produk kasar dari

separator S01 sebanyak 35 % kembali ke kompartmen I sedangkan sisanya

ke kompartmen II, sementara semua produk kasar S02 kembali ke

kompartmen II.

Udara panas dari mill keluar melalui bagian atas mill dan suhu udara

panas yang keluar dari mill harus dijaga suhunya di atas 65 0C karena jika

dibawah suhu tersebut dikhawatirkan akan terjadi pengembunan sehingga

aliran material dapat tersumbat dan transportasi menjadi tidak lancar. Udara

panas tersebut kemudian masuk ke dalam cyclone untuk pemisahan antara

material padat dan gas. Prinsip kerja dari cyclone yaitu udara dengan

material yang terdispersi memasuki cyclone melalui inlet. Akibat adanya

gaya sentrifugal maka partikel kasar terbentur dan berputar pada dinding

sementara udara bersama partikel yang lebih halus meninggalkan cyclone

melalui immersion tube. Pressure drop yang terjadi di dalam cyclone sekitar

10-15 mbar dan efisiensi dedusting sekitar 75-80 %.

Gambar 39 Cyclone

Fines

Tailing

Page 41: produksi semen

Kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan untuk penyesuaian

kehalusan produk, antara lain:

Diameter immersion tube (semakin kecil diameter, maka separasi lebih

halus)

Kedalaman immersion tube (semakin panjang tube, maka produk lebih

halus)

Aliran gas (Semakin tinggi laju alir, maka produk lebih halus tetapi

pressure drop lebih tinggi).

II. 5. Circulation Number

Circulation Number (CN) dapat didefinisikan sebagai rasio dari umpan

yang masuk ke separator dengan fine produk hasil separator, sehingga CN dapat

dirumuskan sebagai berikut:

F

MCN

Gambar 40 Sistem centre discharge mill

Untuk mendapatkan nilai M, F, serta G tidak dapat dilihat secara langsung

di control room sehingga diperlukan bantuan residu dari tiap-tiap titik tersebut.

Residu yang dipergunakan adalah residu atau hasil sieving dari ayakan

berukuran 45 μ. Pengambilan sampel harus dilakukan dalam keadaan sistem

Page 42: produksi semen

tunak (steady) yang diindikasikan dengan beban elevator yang stabil. Sampel di

tiap-tiap titik M, G, dan F diambil secara manual kemudian dibawa ke

laboratorium untuk dianalisa. Sampel dengan massa 10 gr tersebut ditaruh di

atas ayakan berukuran 45 μ kemudian dihisap dengan vakum sehingga material

yang halus tersedot dan tinggal material yang berukuran lebih besar yang

tersisa. Massa yang tersisa di atas saringan tersebut menunjukkan % residu dari

tiap-tiap titik tersebut.

Dari persamaan neraca massa didapatkan:

M = F + G

dan

Rm.M = Rf.F + Rg.G

Sehingga

Rg

FRfMRmFM

)..(

)()(

)..(..

RfRgFRmRgM

FRfMRmRgFRgM

Maka:

)(

)(

RmRg

RfRg

F

M

Nilai circulation number ini berguna untuk mengetahui kondisi di dalam

mill. Nilai circulation number yang normal adalah berkisar antara 2 s/d 2,5. Jika

nilai circulation number kurang dari 2 berarti kondisi material di dalam mill

cenderung kosong sehingga perlu ditambahkan feeding untuk mencegah

overgrinding. Sebaliknya jika nilai circulation number lebih besar dari 2,5

berarti kondisi di dalam mill penuh yang mungkin disebabkan oleh

penggilingan yang tidak baik sehingga perlu dilakukan pengecekan di dalam

mill itu sendiri.

Nilai circulating load sebagai pedoman adalah :

Untuk kehalusan yang rendah : U = 1.5 – 2

Untuk kehalusan yang tinggi : U >2

U = 2 – 2.5

Page 43: produksi semen

Gambar 41 Sistem mill

a. Efisiensi separator

η = f / (u.a) x 100 %

η = F.f / (A.a) x 100 %

Gambar 42 Kurva efisiensi separator

b. Tromp Curve

Informasi yang diberikan oleh kurva efisiensi tidak lengkap karena

fraksi ukuran partikel dari 0 s/d x micron adalah sangat lebar.

Cut size (X50) diartikan sebagai ukuran partikel yang 50% feednya

kembali sebagai tailing. Makin rendah nilai cut size, makin baik

performance separator.

Page 44: produksi semen

Sharpness (k = d25/d75) diartikan sebagai perbandingan antara ukuran

partikel yang 25% feednya kembali ke tailing dengan ukuran partikel yang

75% feednya kembali ke tailing. Makin mendekati 1 nilai k, makin baik

performance separator.

Short circuit/By pass effect (δ)

Partikel yang masuk separator ada fraksi-fraksi ukuran partikel yang

halus cenderung tidak mengalami proses pemisahan, melainkan langsung by

pass ikut aliran material tailing. Nilai % feed yang mengalami by pass ini

dapat dilihat pada tromp curve.

Contoh Tromp curve :

Gambar 43 Tromp curve

δ : short circuit/by pass effect = 3.5%

X50 : cut size = 39 μ

k : sharpness 28/55 = 0.51

II. 6. Tahap Penyimpanan Raw Mix

Page 45: produksi semen

Raw mix hasil penggilingan di mill kemudian ditransport ke dalam

homogenizing silo. Raw mix tersebut harus dihomogenisasikan sebelum

diumpankan ke dalam kiln karena homogen tidaknya komposisi umpan kiln

akan sangat besar pengaruhnya terhadap kelancaran operasi kiln. Hal ini

dikarenakan komposisi raw mix dapat memberikan efek terhadap pembentukan

coating, ring formation, clogging, serta kerusakan brick sehingga homogenisasi

adalah merupakan proses yang sangat mutlak sebelum pengoperasian kiln.

Homogenizing silo dapat dicapai dengan dua cara yaitu:

Dengan blending, dimana dua atau lebih material dikeluarkan secara

simultan.

Dengan mixing, dimana dua atau lebih material yang berbeda diaduk

dengan pengaduk atau aerasi (dengan udara), sehingga didapat suatu

campuran material yang homogen.

II. 6. 1. Prinsip Kerja Homogenizing Silo

a. Discontinuous Batch Homogenizing Silos

Pada umumnya jenis ini terdiri dari dua pasangan silo, yang mana silo di

atas sebagai homogenisasi dan yang bawah bersifat sebagai storage silo.

Kapasitas homogenisasi silo ini adalah 6-11 kali kapasitas raw mill. Kedua

pasangan ini diisi atau dikeluarkan secara bergantian.

Page 46: produksi semen

Gambar 44 Discontinuous Silo

b. Continuous Over Flow Silos

Sistem ini biasanya terdiri atas sebuah homogenizing silo yang

dikombinasikan dengan raw meal storage silo. Biasanya mempunyai

kapasitas 6-10 kali kapasitas raw mill dengan perbandingan diameter : tinggi

= 1 : 1,2. Prinsip dasar dari over flow homogenizing silo ini adalah dilakukan

aerasi dari bawah silo secara bergantian dan pada saat pengisian, pengadukan

dan pengeluaran terjadi bersamaan secara kontinyu. Pemakaian power sistem

ini biasanya lebih besar daripada sistem batch.

II. 6. 2. Homogenizing Silo di Indarung II/III

Dari kedua jenis prinsip kerja silo di atas, dapat dilihat bahwa sistem

homogenizing silo di operasi I adalah berjenis discontinuous batch

homogenizing silo. Homogenizing silo di operasi I terdiri dari dua bagian

yaitu blending silo H01 dan H02 di bagian atas dan storage silo H11 dan H12

di bagian bawah. Prinsip kerja pengisian homogenizing silo ini adalah raw

mix masuk ke dalam blending silo H01 sampai terisi setengah penuh,

Page 47: produksi semen

kemudian pengisian bergantian antara H01 dan H02 setiap 5 menit. Cara

pengisian ini menyebabkan terbentuknya lapisan-lapisan raw mix yang

berbeda pada blending silo sehingga ketika dilakukan pengeluaran diharapkan

raw mix sudah terhomogenisasi. Pengisian dan pengeluaran di blending silo

dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 45 Pengisian dan pengeluaran pada blending silo

Pada bagian bawah silo ditiupkan udara yang berasal dari blower. Hal ini

bertujuan untuk menggemburkan/aerasi dari raw mix sehingga raw mix lebih

mudah untuk dikeluarkan. Raw mix yang telah dikeluarkan dari storage silo

kemudian dibawa oleh screw conveyor H1/H2U1 untuk selanjutnya

digunakan untuk umpan kiln.

Page 48: produksi semen

III. PROSES PRODUKSI DI AREA KILN DAN COAL MILL

III. 1. Proses Pada Sistem Kiln

Sistem kiln harus didesain untuk memenuhi proses kimia yang diperlukan

selama raw mix yang diumpankan ke kiln dirubah menjadi klinker. Proses yang

terjadi merupakan proses endotermis dan terjadi pada suhu maksimum material

mencapai 1450 0C. Energi panas diterima dari gas panas dengan suhu mencapai

2000 0C yang dihasilkan oleh bahan bakar untuk pembakaran.

Tabel 8 Jenis reaksi yang tejadi pada suhu tertentu di dalam rotary kiln

Range suhu (0C) Jenis reaksi

Heating up

20-100 Penguapan H2O bebas

100-300 Penghilangan air yang terserap secara fisis

400-900 Penghilangan struktur H2O (grup H2O & OH) dari mineral tanah liat

>500 Perubahan struktural di dalam mineral silikat

600-900 Disasosiasi karbonat

>800 Pembentukan belite, produk intermediate, aluminat & ferrite

>1250 Pembentukan fase liquid (lelehan aluminat & ferrite)

Mendekati 1450 Penyempurnaan reaksi dan rekristalisasi alite dan belite

Cooling

1300-1240 Kristalisasi fase cair menjadi terutama aluminat dan ferrite

III. 1. 1. Proses Kering

1. Long Dry Kiln

a. Tanpa Peralatan Penukar Panas Internal

Merupakan jenis instalasi proses kering yang paling sederhana dengan

konsumsi panas sekitar 5100 kj/kg klinker (1200 kcal/kg klinker) atau

sekitar 90 % dari konsumsi panas pada proses basah sehingga

dipertimbangkan sangat tidak ekonomis. Keuntungannya adalah

kesederhanaan dan tidak sensitif terhadap masalah sirkulasi yang berat.

Jenis kiln ini cocok untuk dikombinasikan dengan waste heat recovery

steam boiler untuk power generation. Dalam kasus tersebut, panas sisa yang

Page 49: produksi semen

terkandung di dalam gas buangan kiln selanjutnya digunakan untuk

menghasilkan energi yang bermanfaat.

Data karakteristik kiln:

Konsumsi panas (q) 4500-6000 kj/kg klinker (1075-1430

kcal/kg klinker)

Suhu keluar gas kiln 450-500 0C

Pressure drop pada sistem 0,5-1,0 KPa

b. Dengan Peralatan Penukar Panas Internal

Long dry kiln dengan peralatan penukar panas internal (rantai atau

crosses dari baja atau keramik) merupakan solusi agar lebih ekonomis

dimana konsumsi panas yang dicapai dapat kurang dari 4200 Kj/Kg.

Data karakteristik kiln:

Konsumsi panas (q) 3800-4500 kj/kg klinker (910-1075

kcal/kg klinker)

Suhu keluar gas kiln 400-450 0C

Pressure drop pada sistem 1,0-1,5 KPa

2. Suspension Preheater (SP) Kiln

Selama 30 tahun terakhir, SP kiln menjadi sistem pembuatan klinker yang

dominan. Pada sistem ini, raw mix yang telah digiling dan dikeringkan

menggunakan gas sisa kiln sebagai media pengering pada mill plant kemudian

diumpankan ke dalam sistem. Raw mix yang telah dihomogenisasi kemudian

diumpankan ke dalam preheater dimana di dalam preheater tersebut raw mix

tersuspensi oleh aliran gas kiln sehingga pertukaran panas yang terjadi sangat

efektif.

3. 3. Preheater Kiln dengan 4 Tingkat Siklon

Sampai pertengahan th 1980, jenis ini merupakan sistem dengan konsumsi

bahan bakar terendah. Preheater jenis ini dibuat dalam beberapa konfigurasi

dengan kapasitas sampai 4500 ton/hari yang kebanyakan dikombinasikan

dalam bentuk single atau twin cyclone stage. Gas keluaran kiln masih dapat

digunakan untuk mengeringkan raw material dengan kandungan air sampai 8

% jika mill beroperasi bersamaan dengan kiln sehingga suhu gas sisa yang

relatif tinggi tidak dianggap sebagai kehilangan panas.

Page 50: produksi semen

Sistem preheater dipasang di dalam menara yang terbuat dari baja atau

beton dengan ketinggian sekitar 60-120 m (6 tingkat) di atas inlet kiln.

Preheater dengan 4-6 tingkat merupakan jenis yang paling sesuai untuk

menghadapi masalah sirkulasi dengan adanya konsentrasi yang berlebih

sehingga dapat menyebabkan masalah penyumbatan (clogging) pada sistem

preheater.

Gambar 46 Kiln proses kering (dengan 4 tingkat SP)

Karakteristik operasi untuk preheater kiln 4 tingkat

Konsumsi panas (q)

o Unit kecil 3350-3550 kj/kg klinker (800-850 kcal/kg klinker)

o Unit besar 3150-3350 kj/kg klinker (750-800 kcal/kg klinker)

Suhu gas keluar kiln 320-350 0C

Volume gas keluar kiln Mendekati 1,5 Nm3/kg klinker

Pressure drop sistem 4-6 KPa

Kehilangan debu relatif terhadap klinker 8-15 %

Suhu gas kiln Mendekati 110 0C

Suhu material Mendekati 800 0C

Page 51: produksi semen

III. 2. Rotary Kiln

Saat ini, semua industri penghasil klinker menggunakan rotary kiln karena

rotary kiln merupakan satu-satunya cara yang feasible untuk mengatur proses

dengan suhu tinggi dan material dengan beragam sifat. Rotary kiln harus

memenuhi 3 jenis kebutuhan:

Combustion : Sebagai combustion chamber untuk bahan bakar pada burning

zone

Proses : Sebagai reaktor untuk proses pembakaran klinker dan material

conveyor

Mekanikal : Stabilitas bentuk, carrying load, fleksibilitas panas, dan tightness

III. 2. 1. Dimensi Rotary Kiln

Dimensi kiln didefinisikan dengan inner diameter (Di) dari shell kiln

(untuk kiln dengan diameter berbeda : D burning zone) dan panjang kiln

(L).

L [m] dan D [m] L/D [m]

Pada kiln di dalam industri semen, rasio L/D aktual yang digunakan

yaitu dari L/D = 40 (untuk long wet kiln) sampai dengan L/D = 11 (untuk

short kiln dengan precalciner).

Page 52: produksi semen

Gambar 47 L/D untuk kiln panjang dan pendek

Kriteria dimensi pada proses yang sering digunakan adalah:

a. Specific Volume Load = ln__

ker_Pr

kinetVolume

klinoduksi

)( 3dmton

b. Specific Zone Load = SectionCrossZoneBurningNet

klinoduksi

____

ker_Pr

)( 2dmton

c. Thermal Burning Zone Load = SectioncrossZoneBurningNet

ZoneBurningpadaPanasInput

____

____ 2m

MW

III. 2. 2. Aspek Mekanikal Rotary Kiln

a. Riding Ring Fixation, Kiln Shell Ovality

Rotary kiln didesain supaya semurah mungkin, tetapi harus tetap kuat

untuk menjamin keausan lining yang minimum. Hal ini dapat terpenuhi jika

deformasi kiln dikurangi sampai batas yang diijinkan. Parameter yang

Page 53: produksi semen

menjelaskan deformasi shell pada titik tertentu adalah kiln shell ovality

(ketidak bulatan shell kiln) (ω):

ω = 2(a-b) dengan 2a & 2b sebagai sumbu utama dari sebuah ellips

Umumnya ovality relatif (ω) maksimum yang diijinkan adalah sebesar

0,3 %. 2 hal yang harus dipenuhi untuk menjaga kiln ovality pada batas

toleransi adalah:

Riding ring harus cukup kuat

Jarak antara ring shoes dan riding ring selama operasi seharusnya

minimum

Gambar 48 Tire fixation

b. Kiln Seal

Untuk menghindari bahaya bocornya gas panas dan debu ke atmosfer,

keseluruhan sistem kiln dioperasikan pada tekanan negatif. Profil tekanan

mulai pada ambient (pada cooler) dan bertambah negatif menuju kiln

induced draft (ID) fan. Masalah yang timbul sekarang adalah adanya udara

luar yang terhisap ke dalam sistem yang disebut false air. False air memilki

efek yang berbeda tergantung dari titik masuknya sehingga menyebabkan

banyak usaha yang dilakukan untuk menjaga sistem proses rapat.

Page 54: produksi semen

Kiln inlet seal

Kiln inlet seal harus dilengkapi dengan dust return scoop ring untuk

mencegah spillage umpan kiln.

Jenis kiln inlet seal

o Sealing force oleh silindris pneumatic; Sealing ring

o Sealing force oleh coil spring /lever atau weight (mechanical);

sealing-segment

o Sealing force oleh leaf spring dan rope dengan weight; lamella (fish

scale)

Kiln outlet seal

Kiln outlet seal dipasang di antara kiln head dan rotary kiln dimana

tekanannya negatif. Outlet seal didesain khusus untuk aplikasi jenis

pneumatic, mechanical, dan lamella (fish scale).

Kiln inlet lamella sealKiln inlet lamella seal

Gambar 49. Kiln inlet dan outlet seals

c. Kiln Drive

Kiln drive didesain untuk kecepatan antara 1,0 sampai dengan 4,0 min-1

tergantung pada kemiringan, proses dan diameter kiln. Long wet kiln

beroperasi pada kecepatan yang rendah, sedangkan beberapa kiln model

baru (L/D yang lebih pendek dengan precalciner) beroperasi pada

kecepatan yang lebih tinggi.

Page 55: produksi semen

Gambar 50. Kiln drive

Rotary kiln telah digerakkan oleh drive dengan tipe girth & pinion drive

karena kinerja dari:

Dimensioning yang tepat

Alignment yang tepat

Sistem pelumasan dan kualitas pelumas yang mencukupi

Dengan adanya 2 support short kiln (L/D <13) yang baru, deformasi

shell kiln serta burning zone yang lebih dekat ke drive menjadikan lebih

sulit untuk memastikan alignment yang tepat. Gearless drive (=friction

drive) kemudian diperkenalkan dan menjadikannya mungkin untuk

menghindari girth drive dengan menggunakan roller kiln untuk transfer

torsi ke riding ring.

Elemen-elemen yang merupakan bagian dari sistem:

Two support → Untuk membagi beban pada driven tire

Splined tire fixation → Untuk transmisi torsi yang aman ke shell

Self-aligning roller station → Untuk pola beban linear di antara roller

dan tire (friction)

III. 3. Suspension Preheater (SP)

Semua sistem kiln modern telah dilangkapi oleh siklon suspension preheater.

Instalasi yang baru termasuk precalciner dengan tertiary air duct sehingga

Page 56: produksi semen

preheater dan precalciner menjadi 1 unit. Bagaimanapun, preheater memiliki

tugas tertentu dan secara prinsip tidak terhubung ke precalciner.

Suspension preheater 4 tingkat pertama kali ditemukan tahun 1951.

Keuntungan dari penggunaan suspension preheater adalah :

Temperatur gas keluar cukup rendah, bisa < 350°C

Perpindahan panas dari gas ke raw mix cukup baik (temperatur raw mix

mencapai > 90% dari temperatur gas dalam waktu < 1 detik) untuk setiap

stage-nya

Gambar berikut ini memperlihatkan proses aliran material dan gas di dalam

suspension preheater 4 stage serta perubahan-perubahan temperatur pada setiap

stagenya.

Gambar 51. Pola aliran dan temperatur di suspension preheater.

Pada perkembangan teknologi, desain cyclone yang lebih tinggi dan ramping

serta dip tube/center tube yang lebih panjang, membuat pressure drop di setiap

stage-nya menurun dari 15 mbar menjadi 5-10 mbar. Sehingga pada

perkembangan selanjutnya, suspension preheater menjadi 5-6 tingkat.

Page 57: produksi semen

III. 3. 1. Perpindahan Panas di Dalam Suspension Preheater

a. Perpindahan Panas Counter-Current (Shaft Stage)

Prinsip counter current merupakan jenis perpindahan panas yang paling

efisien. Aliran media pelepas panas dan media penyerap panas berada pada

arah yang berlawanan. Hal ini menyediakan perbedaan suhu yang optimum

Gambar 52 Perpindahan panas berlawanan arah (counter current)

Dalam kasus suspension preheater dimana serbuk tersuspensi di dalam

gas, perpindahan panas terjadi di dalam “reaktor” dimana gas panas masuk

dari bawah dan keluar dari atas. Waktu tinggal umpan tergantung pada

distribusi dan waktu tinggal aliran gas yang ditentukan oleh kecepatan gas.

b. Perpindahan Panas Co-Current (Cyclone Stage)

Perpindahan panas co-current terjadi jika kedua media perpindahan

panas mengalir dalam arah yang sama. Suhu umpan tidak pernah bisa

mencapai suhu gas inlet karena perbedaan suhu yang menurun dengan

cepat. Penukar panasnya adalah gas duct dengan kecepatan aliran 10-20 m/s

yang dilengkapi dengan peralatan dispersi umpan yang baik, sedangkan

kegunaan siklon terutama adalah untuk memisahkan umpan dari gas dan

bukan untuk perpindahan panas.

Page 58: produksi semen

Gambar 53 Perpindahan panas searah (co current)

III. 3. 2. Tipe Suspension Preheater

a. Suspension Preheater Dengan Shaft Stage

Kinerja yang mengecewakan dari shaft stage membuatnya menghilang

dari pasaran. Banyak hybrid preheater dipasang dengan satu atau dua

cyclone stage menggantikan shaft stage. Shaft stage pada inlet kiln memiliki

keuntungan yaitu lebih kurang sensitif terhadap build-up sulfur pada sistem

kiln.

Shaft preheater murni

Polysius : GEPOL

Self-supporting structure (tidak diperlukan tower)

Untuk kapasitas kecil (s/d 1000 ton/hari)

ZAB Dessau : Beberapa aplikasi di eropa timur

Mirip dengan GEPOL, tapi tidak self supporting

Page 59: produksi semen

Gambar 54 Desain preheater tipe shaft : ZAB, GEPOL

Hybrid Preheater

Beberapa suplier menggunakan kombinasi shaft dan cyclone stage:

Polysius: DOPOL preheater (generasi pertama)

Berkembang bertahap menjadi cyclone preheater

Kapasitas sampai 3000 ton/hari

Gambar 55 Preheater kombinasi shaft/cyclone : Buhler-Miag, Presov

Prerov: Satu shaft stage yang besar dengan dedusting cyclone

Shaft stage self supporting

Page 60: produksi semen

Memungkinkan tambahan cyclone stage

b. Suspension Preheater dengan Cyclone Stage

Perpindahan panas counter current dapat dicapai dengan pemasangan

beberapa co-current stage secara seri. Hasilnya adalah multi-stage

cyclone preheater yang umum diaplikasikan pada pabrik semen modern.

Gambar 56 Cyclone suspension preheater

Jumlah stage pada cyclone preheater tergantung pada:

Kelembaban raw material (kebutuhan panas pengeringan)

Biaya energi panas

Biaya energi listrik

Sistem penanganan gas (batas suhu, dew point)

Page 61: produksi semen

III. 3. 3. Tampilan Rancangan Siklon Suspension Preheater

Preheater modern yang dirancang untuk pressure drop yang rendah

dengan menggunakan rancangan siklon baru harus menyediakan efisiensi

pemisahan yang baik, khususnya di bagian atas dan bawah stage. Kecepatan

inlet siklon didesain dalam batas 10-15 m/s.

Gambar 57 Bagian-bagian cyclone preheater

Total pressure drop pada satu cyclone stage 1/3 nya disebabkan oleh

gas duct (pengangkatan material) dan 2/3 nya oleh siklon. Perancangan

siklon bertujuan untuk mengoptimalkan antara efisiensi separator yang

tinggi, pressure drop serta biaya yang rendah. Bentuk siklon mempengaruhi

efisiensi pemisahan siklon dimana efisiensi akan meningkat dengan dip tube

yang lebih panjang dan meningkatnya jarak antara silinder (swirl) dengan

dust collecting cone (misalnya bentuk yang tinggi dan ramping). Selain

memiliki parameter rancangan yang tepat, semua stage seharusnya

dilengkapi dengan:

Page 62: produksi semen

a. Dip Tube (Immersion Tube)

Bagian siklon ini memiliki pengaruh yang menentukan terhadap

separasi dan pressure drop. Dip tube membuat gas berputar 180-360 0C

yang menghasilkan gaya sentrifugal yang diinginkan untuk efek

pemisahan. Bahan dari plat baja dapat digunakan untuk tingkat atas

yang lebih dingin (stage 1-3), sedangkan pada tingkat bawah yang lebih

panas dibuat dari bahan baja tahan panas atau keramik.

Gambar 58 Immersion tube

b. Meal Flap

Kegunaan meal flap adalah untuk menutup daerah yang tidak

digunakan umpan, untuk menghindari lewatnya aliran gas. Meal flap

dirancang hanya terbuka jika berat material tertentu mendorongnya

terbuka yang menghasilkan fluktuasi umpan.

Gambar 59 Meal flap

Page 63: produksi semen

c. Splash Box

Perancangan cyclone preheater awalnya tidak memiliki splash box.

Material diumpankan ke dalam gas pada titik yang lebih tinggi melawan

aliran gas yang menghasilkan turbulensi dengan distribusi umpan

tertentu.

Gambar 60 Distribution box

Cyclone preheater modern harus dilengkapi dengan rancangan

splash box yang tepat untuk distribusi umpan yang optimal melalui gas

duct cross section. Splash box tidak boleh dipasang pada inlet kiln dan

umpan panas dari cyclone bagian bawah harus masuk ke dalam rotary

kiln selancar mungkin.

III. 3. 4. Pengoperasian Suspension Preheater

Kinerja dari suspension preheater dinilai berdasarkan kriteria berikut:

Profil suhu (indikator pertamanya adalah suhu gas keluar)

Profil tekanan

Profil oksigen

Beberapa sebab kinerja suspension preheater buruk berdasarkan

pengalaman:

Immersion tube yang sudah usang atau tidak ada lagi

Pintu inspeksi yang terbuka, lubang pada preheater (false air dengan

suhu yang lebih dingin masuk, dapat dideteksi dengan suara yang

berdesing)

Meal flap yang tersumbat atau tidak ada

Page 64: produksi semen

Tidak adanya splash box (khususnya untuk preheater model lama)

Sirkulasi debu yang berlebih akibat efisiensi separasi siklon yang buruk

Cyclone preheater sangat sensitif terhadap adanya fenomena sirkulasi

dimana penyumbatan siklon dapat menyebabkan berhentinya kiln yang

mengakibatkan kehilangan produksi dan kegiatan pembersihan yang

berbahaya. Penyebab fenomena sirkulasi yang mungkin adalah:

Input yang berlebih melalui umpan atau bahan bakar (Cl, S, Na, dan K)

Ketidakseimbangan bahan kimia (sulfur, alkali ratio)

Operasi kiln/burner yang tidak sesuai

Usaha yang dapat dilakukan saat ini untuk memecahkan masalah

tersebut yaitu:

Merubah komposisi umpan atau kualitas bahan bakar

Meningkatkan kondisi pembakaran

Memasang automatic cleaning (air cannon big blaster) pada lokasi

yang kritis

Memasang sistem kiln gas bypass, merupakan solusi terakhir karena

mahal dan mengakibatkan hilangnya panas dan material

III. 4. Precalciner

Diantara reaksi-reaksi yang terjadi dalam proses pembuatan klinker, reaksi

kalsinasi yang membutuhkan energi paling besar (+/- 60% dari total heat

consumption). Reaksi kalsinasi ini tidak hanya membutuhkan temperatur reaksi,

tetapi juga butuh waktu reaksi (resident time).

Pada grafik hubungan energi yang diserap (endoterm) dan energi yang diserap

(eksoterm) dengan temperatur operasi di dalam proses pembuatan klinker terlihat

bahwa:

Dibutuhkan energi yang paling tinggi untuk decarbonisation (kalsinasi) pada

temperature sekitar 850-900 °C

Tahap kesempurnaan reaksi klinkerisasi sebenarnya melepaskan panas/energi

(eksoterm). Tetapi untuk melepaskan panas tersebut, temperatur klinkerisasi

harus tercapai >1400 °C.

Page 65: produksi semen

Gambar 61 Energi yang diserap/dilepaskan pada beberapa temperatur operasi dan reaksi

Pada temperatur 900 °C, reaksi kalsinasi sempurna membutuhkan waktu 2–12

detik. Akan tetapi untuk menghindari terbentuknya clogging, kalsinasi di

precalciner hanya dibuat 90-95% dengan waktu tinggal 1-3 detik. Jadi fungsi dari

semua precalciner yang ada adalah untuk membuat reaksi kalsinasi 90-95% pada

temperature material 850-900 °C dengan waktu tinggal 1-3 detik.

Gambar 62 Kecepatan perpindahan panas pada partikel raw meal 0,1 mm dan 0,16 mm.

Page 66: produksi semen

Pembakaran di dalam precalciner cukup jauh berbeda dengan pembakaran di

dalam kiln. Perbedaan itu adalah sebagai berikut:

Temperatur pembakaran di precalciner hanya sekitar 900 °C, sementara di

dalam kiln sekitar 2000 °C

Beberapa precalciner system menggunakan campuran udara dan gas hasil

pembakaran (in-line calciner)

Menjaga precalciner pada posisi temperature relatif rendah, hal ini untuk

menghindari terjadinya pelelehan yang bisa membentuk terjadinya clogging.

Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam mengoperasikan

precalciner :

Pencampuran yang baik antara bahan bakar dengan oksigen. Hal ini agak sulit

bagi in-line calciner. Dispersi/penaburan bahan bakar yang optimum dalam

aliran gas sangat dibutuhkan (untuk bahan bakar cair: pengkabutan yang baik)

Dibutuhkan waktu reaksi dalam pembakaran. Pembakaran harus sempurna

dalam precalciner, jika tidak temperature akan drop dan % kalsinasi pun akan

menurun

Pola aliran dari campuran udara-gas harus baik untuk pembakaran

Distribusi raw mix harus baik agar pembakaran tidak terganggu (CaCO3 dan

CO2 dapat bereaksi dengan C membentuk CO)

Gambar 63 Sistem precalciner

Page 67: produksi semen

III. 5. Clinker Cooler

Clinker cooler memiliki 2 tugas utama, yaitu:

Memanfaatkan sebanyak mungkin panas dari klinker untuk memanaskan

udara pembakaran

Mendinginkan klinker dari 1400 0C menjadi suhu yang sesuai untuk peralatan

pada proses selanjutnya, normalnya 100-200 0C

Clinker cooler merupakan bagian yang vital pada sistem kiln dan memiliki

pengaruh yang menentukan untuk kinerja pabrik. 3 indikator utama sebuah cooler

yang baik, yaitu:

Pemanfaatan panas yang maksimum

Laju aliran udara pendingin yang minimum

Avaibility yang tidak terbatas

Definisi-definisi yang digunakan untuk sistem clinker cooler:

Cooling air adalah udara pendingin yang melewati klinker yang dipanasi

ketika mendinginkan klinker. Cooling air berhubungan dengan kebutuhan

udara pembakaran dimana hanya grate cooler yang memakai udara tambahan

untuk pendinginan yang lebih baik.

Primary air adalah udara yang diperlukan untuk dipakai pada burner.

Beberapa burner precalciner dilengkapi dengan primary air fan (untuk

pendinginan).

Secondary air adalah udara panas yang memasuki rotary kiln melewati

clinker cooler. Alirannya ditentukan oleh pembakaran burning zone.

Sementara mendinginkan klinker, suhunya dapat mencapai 600-1000 0C,

tergantung pada tipe dan kondisi cooler.

Tertiary air adalah bagian dari udara pembakaran yang diperlukan untuk

pembakaran bahan bakar precalciner.

False air adalah udara dingin yang masuk ke dalam sistem melalui kiln outlet

seal, bukaan burner, casing atau keluaran klinker.

Specific air volume adalah aliran udara per kg klinker (m3/kg klinker, Nm

3/kg

klinker)

Page 68: produksi semen

Specific load menunjukkan hubungan produksi klinker terhadap dimensi

cooler (t/d m, t/d m2, t/d m

3)

Radiation losses dari casing/shell cooler sangat penting untuk planetary

cooler, dimana mendukung pendinginan klinker.

Efisiensi menunjukkan kualitas transfer panas dari klinker ke udara yang

digunakan untuk pembakaran di dalam burning zone dan precalciner firing.

III. 5. 1. Planetary Cooler

Prinsip kerja dasar dari planetary cooler sama seperti pada rotary cooler

dimana klinker diumpankan melalui inlet chute dan kemudian didinginkan

oleh udara ketika ditransport menuju outlet. Pendinginan terjadi di dalam

aliran counter-current. Tube dilengkapi dengan internal lifter yang

meningkatkan perpindahan panas dan sekitar 66 % dari panjang cooler

dilengkapi dengan refractory brick. Perbedaan mendasar dari planetary

cooler dengan rotary cooler adalah jumlah cooling tube-nya. Pada

planetary cooler, aliran klinker dibagi menjadi 9-11 (biasanya 10) cooling

tube yang dipasang di sekitar kiln pada outlet kiln. Oleh karena itu,

planetary tube mengikuti rotasi kiln. Planetary cooler tidak membutuhkan

penggerak terpisah karena berhubungan dengan rotasi kiln dimana fakta ini

sudah menggambarkan satu keuntungan utama dari planetary cooler yaitu

kemudahan dalam pengoperasian.

UNAX INTERNALS PRESENTATION

F.L.Smidth introduces a

new generation of

planetary cooler

internals.

F.L.Smidth introduces a

new generation of

planetary cooler

internals.

Page 69: produksi semen

Gambar 64 Planetary cooler

Pada kasus planetary cooler, kiln burner pipe selalu dimasukkan ke

dalam rotary kiln sehingga terdapat cooling zone di belakan nyala api

dengan sepanjang 1,5-2,5 diameter kiln. Daerah ini disebut daerah kiln

internal cooling dan harus dipertimbangkan sebagai bagian menyeluruh dari

planetary cooler. Pada daerah ini, suhu klinker turun dari 1450 0C menjadi

1200-1300 0C. Pengurangan suhu ini penting untuk perlindungan inlet

opening, elbow, dan first section dari cooling tube.

Setelah tahap pendinginan pertama di zona internal cooling kiln, klinker

kemudian jatuh ke dalam elbow. Klinker panas kemudian didinginkan oleh

udara dalam counter flow (jumlah udara yang digunakan sebanding dengan

jumlah udara sekunder). Udara dipanaskan sampai mendekati 700 0C dan

klinker mencapai suhu akhir sekitar 140-240 0C.

Panjang cooler: L/D dari tube mendekati 10:1. Inlet opening pada

cooler elbow melemahkan shell kiln dan mengakibatkan mechanical stress

serta thermal stress yang tinggi yang terjadi pada daerah itu. Untuk

mengatasinya lubang berbentuk oval dan kiln shell diperkuat ketebalannya.

Elbow berguna untuk mencegah klinker yang masuk kembali ke dalam kiln

ketika opening berada di atas. Kinerja pendinginan sangat tergantung

kepada efisiensi lifter dan kehandalan desain. Logam yang tahan terhadap

Page 70: produksi semen

suhu tinggi sampai maksimum 1150 0C dapat digunakan untuk lifter.

Logam ini biasanya mengandung 30 % Cr. Elemen lain seperti Ni dan Mo

dapat muncul dalam proporsi yang beragam. Breaking teeth diaplikasikan di

dalam zona terpanas dan dapat menghancurkan gumpalan klinker yang

besar dan menimbulkan efek terguling untuk meningkatkan perpindahan

panas.

Gambar 65 Peralatan transfer internal pada rotary dan planetary cooler

Page 71: produksi semen

III. 5. 2. Grate Cooler

Grate cooler pertama kali ditemukan tahun 1930 oleh Fuller Company

(USA). Tetapi baru sekitar tahun 1980-an dikembangkan lagi, karena

sebelumnya yang popular digunakan adalah planetary cooler yang lebih

simpel dalam pengoperasiannya.

Beberapa penjelasan mengenai grate cooler:

Prinsip kerjanya adalah perpindahan panas antara klinker dengan udara

secara cross-current, udara pendingin masuk dari arah bawah tumpukan

klinker bed, kemudian udara pendingin ini digunakan untuk pembakaran

di kiln dan calciner.

Biasanya grate cooler dalam pengontrolan dibagi 3 grate, grate 1 yang

paling ketat pengontrolannya karena merupakan daerah jatuhan pertama

klinker dari kiln dan merupakan patokan keberhasilan pendinginan grate

berikutnya. Grate cooler desain terbaru akan mengutamakan pada

pemanfaatan panas setinggi mungkin pada grate 1 dengan pembagian

pengaturan flow udara (constant flow) yang bergantung pada ukuran

klinker yang didinginkan (ditujukkan oleh differential pressure) karena

klinker yang jatuh dari kiln terpisahkan berdasarkan ukuran dan berat

akibat putaran klinker.

Jumlah aliran udara pendingin melebihi udara pembakaran yang

dibutuhkan, sehingga ada udara yang terbuang ke lingkungan (waste

air)

Temperatur udara untuk pembakaran sangat tinggi, mencapai >1000°C.

Mampu mendinginkan klinker pada kapasitas produksi tinggi, saat ini

mencapai 10.000 ton/hari.

Page 72: produksi semen

Gambar 66 Grate cooler

Keuntungan menggunakan grate cooler antara lain yaitu:

Pemanfaatan panas untuk udara sekunder

Udara panas dalam jumlah besar dan temperatur tinggi dapat digunakan

untuk pembakaran di precalciner

Temperatur klinker lebih rendah

Kerugian penggunaan grate cooler antara lain:

Biaya investasi relatif tinggi

Pengoperasian lebih rumit

Power consumption tinggi, 4-6 kWh/ton

Gambar 67 Pola aliran proses grate cooler

Page 73: produksi semen

Gambar 68 Diagram panas input dan output di grate cooler

III. 6. Refractory Lining

Daya tahan dari refractory lining terutama dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu:

Pemilihan kualitas material yang dignakan pada daerah yang berbeda

Pemasangan lining dengan mempertimbangkan metode penempatan ukuran

dan bahan sambungan

Memperhatikan kriteria pengoperasian yang mempengaruhi daya tahan lining,

seperti prosedur pemanasan dan pendinginan sistem kiln yang tepat dan

minimisasi fluktuasi proses untuk mempertahankan operasi kiln yang

berkelanjutan.

Page 74: produksi semen

Sistem kiln dapat dibagi menjadi beragam daerah berdasarkan kondisi operasi

dan material refractory yang digunakan:

a. Zona Preheating

Pada zona preheating, air hidrat dihilangkan dan raw material dipanaskan

sampai suhu sekitar 700 0C. Panjang zona preheating pada long kiln dapat

mencapai 4-8 diameter kiln, sedangkan pada short preheater kiln, daerah

preheating merupakan bagian dari preheater.

Pada zona preheating di long kiln biasanya dilapisi dengan low alumina

firebrick atau untuk insulasi panas yang lebih baik dengan menggunakan light

weight firebrick.

b. Zona Calcining

Reaksi kalsinasi sudah dimulai pada saat suhu material di bawah 600 0C

dan selesai pada suhu sekitar 1200 0C, tetapi bagian terbesar dari reaksi

kalsinasi terjadi di antara suhu material 700-900 0C yang biasa disebut zona

kalsinasi. Refractory yang digunakan adalah fireclay brick atau untuk lebih

baik dengan menggunakan fireclay lightweight brick.

c. Zona Transisi

Zona transisi berlokasi pada kedua sisi dari zona sintering. Karena

panjang zona sintering bervariasi dengan fluktuasi proses, maka zona transisi

ditandai dengan adanya pembentukan coating yang tidak stabil.

Bagian inlet dari daerah transisi biasanya disebut safety zone dan dilapisi

oleh refractory dengan jenis alumina rich brick dengan kandungan Al2O3 50-

60 %, sedangkan bagian yang dekat dengan zona yang panas digunakan

synthetic material atau magnesia-chrome brick dengan kandungan 69-70 %

MgO.

d. Zona Sintering

Meskipun daerah ini sering disebut sebagai burning zone, tetapi sintering

zone dipakai untuk lebih mendeskripsikan mekanisme reaksi yang terjadi

pada daerah tersebut. Sintering zone biasanya ditutupi oleh coating yang

stabil yang terbentuk dari klinker dan fase cair. Fase cair mulai terbentuk pada

suhu material sekitar 1250 0C, tapi karena suhu permukaan lebih tinggi

daripada suhu raw material, maka pembentukan coating suhu terjadi pada

suhu material di atas 1050-1150 0C.

Page 75: produksi semen

Istilah sintering zone dapat juga dijelaskan sebagai zona terjadinya difusi

material dengan pembentukan modifikasi C3S pada suhu sekitar 1100 0C.

Suhu material maksimum pada sintering zone adalah 1400-1500 0C pada

bagian awal cooling zone. Panjang sintering zone biasanya antara 3-5

diameter kiln dan sangat tergantung pada bentuk api dan tipe bahan bakar.

Api dari bahan bakar batubara umumnya memberikan panjang sintrering zone

yang pendek, bahan bakar minyak memberikan daerah yang sedang,

sedangkan bahan bakar gas memberikan daerah sintering yang panjang.

Batu tahan api pada sintering zone terkena chemical attack oleh fase cair

dari klinker dan sulfat alkali, suhu yang tinggi dan thermal shock yang tinggi.

Kondisi ini baik digunakan basic brick karena ketahanan yang baik terhadap

chemical attack. Tapi umumnya, chrome free magnesia spinell brick,

magnesia-chrome atau dolomite brick dipasang. Dolomite brick umumnya

memiliki kinerja operasi yang baik pada daerah pembentukan coating. Harga

untuk dolomite brick hanya sekitar 60 % dari harga magnesit. Kelemahan

dolomite brick adalah sensitivitasnya terhadap kelembaban. Sehingga untuk

stop kiln dalam waktu yang lama harus dilindungi terhadap kelembaban.

e. Zona Cooling

Cooling zone pada rotary kiln mencakup sekitar daerah burner nozzle

sampai kiln outlet. Pada daerah ini, klinker didinginkan dari suhu

maksimumnya. Sekitar 1400-1500 sampai sekitar 1350 0C pada kiln dengan

grate, rotary atau shaft cooler dan sekitar 1250 0C pada kiln dengan planetary

cooler.

Cooling zone pada kiln dengan planetary cooler memiliki panjang sekitar

1,5-2 kiln diameter. Brick yang digunakan mengandung 80 % Al2O3.

Tabel 9 Kualitas brick berdasarkan daerah proses pembakaran

Zona Perkiraan suhu material Panjang zona thd

rasio diameter

Kualitas brick

Awal (0C) Akhir (0C) SP kiln

Preheating zone

Calcining zone

Safety zone

Transition zone

Sintering zone

Outlet transition zone

20(100)

700

900

1050-1150

1400-1500

700

900

1050-1150

1400-1500

1350-1400

Preheater

4-6

2

2-4

3-5

1-2

Lightweight firebrick, fireclay

Lightweight firebrick, fireclay

High alumina 50-60 % Al2O3

Magnesia spinell (Magnesia-chrome 60-70 % MgO)

Dolomite, magnesia spinell (magnesia chrome 70-90 % MgO)

Magnesia spinell (magnesia chrome 60-70 % MgO)

Page 76: produksi semen

Cooling zone 1350-1400 1250-135 0,5-2 High alumina (80-90 % Al2O3)

III. 7. Sistem Coal Firing

Sebelum batubara ditembakkan, harus dipersiapkan kehalusannya. Batubara

harus dikeringkan sehingga kandungan airnya 0,5-1,5 % karena adanya

kelembaban mengakibatkan hilangnya nilai kalori batubara dimana air harus

diuapkan tersebut dahulu. Pengeringan batubara dilakukan bersamaan dengan

penggilingan.

Klasifikasi sistem coal firing:

a. Sistem 1. – Direct firing

Sistem yang paling sederhana, dimana batubara digiling oleh mill,

dikeringkan dan kemudian dihembuskan ke dalam kiln bersama dengan gas

kering.

b. Sistem 2. – Direct firing

Pada dasarnya sama, tapi mill bekerja pada tekanan positif. Sistem ini

umumnya diaplikasikan untuk melindungi fan ketika memproses batubara

yang abrasive.

c. Sistem 3.a – Direct firing

Fan dilindungi dengan memisahkan batubara yang halus oleh siklon dan

mengumpankan setelah fan ke primary air stream.

d. Sistem 3.b – Direct firing dengan resirkulasi

Sama seperti sistem 3.a, tapi dengan resirkulasi udara pengering.

Pengaturan ini menyebabkan kurangnya rasio udara primer.

e. Sistem 4. – Semi direct firing

Tidak terlalu berpengaruh dari segi teknis karena adanya intermediate

storage batubara lebih disukai.

f. Sistem 5.a – Semi indirect firing

Kiln dapat beroperasi secara independen jika mill shutdown karena

batubara halus disimpan dalam intermediate storage bin. Udara exhaust dari

mill masuk ke dalam kiln sebagai primary air.

g. Sistem 5.b – Semi-indirect firing dengan resirkulasi

Sama seperti sistem 5.a, tapi dengan resirkulasi udara pengering.

h. Sistem 6. – Indirect firing

Page 77: produksi semen

Instalasi grinding terpisah seluruhnya dari kiln. Batubara halus disimpan

di dalam intermediate storage bin dan udara exhaust keluar mill melalui filter

ke atmosfir.

Gambar 69 Klasifikasi sistem coal firing

Page 78: produksi semen

Tabel 10 Keuntungan dan kekurangan utama dari beragam sistem coal firing

Direct firing Semi-indirect firing Indirect firing

Conventional Modified Conventional Modified

Sistem 1 dan 2 Sistem 3.a Sistem 5.a Sistem 5.b Sistem 6

Keuntungan Desain

sederhana

Resiko

ledakan

rendah

Rasio

udara

primer

dan

konsumsi

panas

yang

lebih

rendah

dibandin

g sistem

konvensi

onal

Fan

udara

primer

yang

independ

en

Tidak ada

exhaust gas,

sehingga tidak

perlu filter

Jika mill

shutdown, kiln

tidak shutdown

Hanya 1 mill

yang

diperlukan

untuk beberapa

kiln

Pengambilan

sampel untuk

kontrol

kehalusan

mudah

Rasio udara

primer dan

konsumsi

panas yang

lebih

rendah

dibanding

sistem

konvension

al

Fan udara

primer yang

independen

Kontrol api

(flame) yang

sederhana

Rasio udara

primer yang

rendah

Uap air dari

pengeringan

batubara tidak

masuk ke

dalam kiln

Jika mill

shutdown,

maka kiln

tidak

shutdown

Hanya 1 mill

yang

diperlukan

untuk

beberapa kiln

Pengambilan

sampel untuk

kontrol

kehalusan

mudah

Kerugian Kondisi

operasi tidak

optimal,

karena

terhubung

dengan kiln

Jika mill

shutdown,

maka kiln

juga

shutdown

Jumlah kiln =

jumlah mill

Rasio udara

primer yang

tinggi

mencapai 30

%

Pengambilan

sampel untuk

kontrol

kehalusan

sulit

Instalasi

lebih

rumit

dengan

memerlu

kan fan

udara

primer

sebagai

tambahan

, ducting

yang

lebih

panajang

Instalasi yang

lebih

kompleks,

yang

membutuhkan:

siklon, silo

batubara,

feeder

batubara,

sistem kontrol

dan

pengukuran

Rasio udara

primer yang

tinggi

mencapai 30

%, ketika start

up dan

shutdown mill

menggangu

operasi kiln

Biaya investasi

lebih tinggi

daripada sistem

direct firing

(untuk satu

kiln)

Instalasi

lebih rumit

dengan

memerluka

n fan udara

primer

sebagai

tambahan,

ducting

yang lebih

panajang

Instalasi lebih

kompleks

dengan

memerlukan

dedusting

filter

Biaya

investasi

lebih tinggi

dibanding

dengan direct

firing

Resiko self

ignition di

silo storage

Lebih rentan

terhadap api

dan ledakan

di gas duct

dan filter

Page 79: produksi semen

Resiko self

ignition

batubara di silo

storage

III. 7. 1. Pengaruh Sistem Firing Terhadap Operasi Kiln

Sistem direct firing cenderung meningkatkan fluktuasi batu bara dan

oleh karena itu menganggu pembakaran. Pada direct firing dan semi direct

firing, mill vent air masuk ke dalam kiln sebagi udara primer sehingga rasio

udara primer lebih tinggi dari yang dibutuhkan. Rasio udara primer

mempengaruhi langsung efisiensi peningkatan kembali panas pada cooler

dan akhirnya pada konsumsi panas kiln secara keseluruhan. Jika konsumsi

panas dapat dikurangi, kuantitas gas exhaust otomatis berkurang yang

berpotensi untuk peningkatan kapasitas.

Keuntungan lain dari kuantitas exhaust gas yang rendah adalah

pengaruhnya pada berkurangnya kecepatan gas di dalam kiln sehingga

generasi debu semakin rendah untuk sistem wet kiln. Bentuk nyala api

sangat dipengaruhi oleh firing system. Indirect system tidak hanya

mendukung nyala api yang lebih stabil tapi juga lebih pendek.

Keuntungannya adalah kualitas klinker yang lebih baik dan kebutuhan

energi untuk penggilingan semen yang lebih rendah.

III. 8. Bahan Bakar

Secara fisik dalam industri semen ada 3 jenis bahan bakar yang dapat

digunakan untuk operasi pembakaran di dalam kiln dan kalsiner, yaitu :

a. Bahan bakar padat: batu bara (antrasit, lignit, coke), alternatif fuel (kayu,

cangkang kelapa sawit, ban bekas)

b. Bahan bakar cair: solar, alternatif fuel (oli bekas)

c. Bahan bakar gas: gas alam (natural gas)

III. 8. 1. Bahan Bakar Padat

Bahan bakar padat yang umum digunakan atau yang dominan dipakai di

pabrik semen adalah batu bara, pertimbangan utamanya adalah:

kalor bakarnya cukup tinggi

ketersediaannya relatif banyak

Page 80: produksi semen

kualitasnya cukup homogen

Penanganan yang relatif mudah

Sementara bahan bakar padat lainnya seperti alternatif fuel (cangkang

kelapa sawit, kayu, ban bekas) hanyalah sebagai bahan bakar tambahan

yang pemakaiannya < 10% dari total bahan bakar.

III. 8. 2. Bahan Bakar Cair

Saat ini bahan bakar cair banyak digunakan pada industri semen. Gas oil

atau sama dengan solar sering digunakan untuk membantu pembakaran

dimana keunggulannya adalah:

Tidak butuh pemanasan awal (preheating)

Terbakar dengan mudah

Nyala api relatif stabil

Tabel 11 Jenis-jenis bahan bakar cair

Paramenter Unit Gas-Oil Light

Fuel-Oil

Heavy

Fuel-Oil

Komposisi % C 86,30 86,20 86,10

% H 12,80 12,40 11,80

% S 0,90 1,40 2,10

s.g pada… (kg/L) 0 oC 0,880 0,905 0,960

15 oC 0,870 0,895 0,950

2 oE 0,880 0,865 0,880

Temperatur untuk 2 oE

oC 0 60 120

Panas spesifik kcal/kg/oC 0,485 0,480 0,465

CV (kcal/kg) gross 10875 10550 10375

net 10200 9900 9750

Udara pembakaran kg/kg 14,40 14,20 14,00

Nm3/kg 11,10 11,00 10,80

Gas hasil pembakaran Nm3/kg

11,80 11,68 11,51

(basah, bebas oxygen)

Vol % CO2+SO2 13,7 13,9 14,1

Vol % H2O (g) 12,0 11,8 11,4

Page 81: produksi semen

vol %N2 74,3 74,3 74,5

dew point, oC 50 50 49

Temperatur nyala teoritis oC 2160 2120 2120

Hanya Heavy fuel (BCO) yang digunakan dalam pabrik semen sebagai

bahan bakar utama. BCO ini harus dipanaskan terlebih dahulu agar

viskositasnya turun sehingga relatif mudah ditransport dan dibakar.

Beberapa heavy fuel oil butuh pemanasan <100°C ada pula yang butuh

pemanasan >150°C. Komposisi bahan bakar cair ini berbeda-beda

tergantung dari komposisi minyak mentahnya. Semakin tinggi rasio

karbon/hydrogen dalam bahan bakar, nyala api semakin terang dan jelaga

makin besar.

III. 8. 3. Bahan Bakar Gas

Penggunaan bahan bakar gas memiliki beberapa keunggulan, seperti :

Instalasi peralatan yang sedikit

Komposisi yang konstan dan mudah dikontrol

Nyala api yang sangat stabil

Kandungan sulfur relatif rendah

Kesulitan dari penggunaan bahan bakar gas adalah sifatnya yang mudah

terbakar sehingga resiko terjadinya peledakan sangat tinggi. Biasanya, suatu

pabrik semen akan menggunakan bahan bakar gas apabila bahan bakar ini

tersedia cukup banyak di sekitar area pabrik tersebut.

Volume gas hasil pembakaran relatif tinggi sehingga panas hilang yang

keluar dari SP cukup tinggi. Tetapi pada prakteknya, kehilangan panas ini

menjadi tidak tinggi karena % udara primer cukup rendah sehingga

pengambilan panas di cooler oleh udara sekunder menjadi lebih tinggi.

Tabel 12 Contoh beberapa karakteristik dari Gas Alam

Parameter Unit Belanda

Saharan North Sea

(Groningen) (Typical)

Komposisi vol %CH4 81,76 86,50 91,80

C2H6 2,73 9,42 3,50

Page 82: produksi semen

C3H8 0,38 2,63 0,80

C4H10 0,13 1,06 0,30

< C5 0,16 0,09 0,33

CV (kcal/Nm3) Gross 8400 10780 9700

Net 7580 9750 8760

Udara pembakaran kg/Nm3 10,91 13,96 12,60

Nm3/Nm

3 8,44 10,80 9,75

Gas hasil pembakaran Nm3/Nm

3 9,20 11,52 10,60

(basah, bebas oksigen)

Vol % CO2 9,8 10,6 9,8

Vol % H2O 18,6 17,7 18,5

Vol %N2 71,6 71,7 71,7

dew point, oC 59 58 59

III. 9. Bahan Bakar Batu Bara

III. 9. 1. Klasifikasi dan Spesifikasi Batu Bara

Klasifikasi batu bara dapat didasarkan atas hasil analisa unsur-unsur

yang terkandung didalamnya. Unsur utama dalam batu bara adalah karbon

(C), hidrogen (H), oksigen (O) dan nitrogen (N). Karena hubungan antara

unsur-unsur dasar tersebut dengan sifat-sifat teknis batu bara cukup

kompleks, maka dicari parameter lain yang lebih sederhana dan dapat

diterima di industri. Parameter yang sering digunakan adalah :

Nilai kalor (calorific value)

Kadar zat terbang (volatile matter)

Namun untuk daerah Sumbar-Jambi-Riau, terdapat berbagai jenis batu

bara yang cukup beragam. Untuk memudahkan dalam klasifikasi jenis batu

bara yang digunakan di PT Semen Padang, kita menggunakan satu

parameter tambahan lagi yaitu:

Kadar abu (ash)

Untuk batu bara yang berasal dari daerah Sumbar (Sawahlunto dan

sekitarnya), umumnya kadar abu berkisar antara 10-15%. Jika kadar abu

Page 83: produksi semen

melebihi nilai tersebut, bisa dipastikan batu bara ini sudah terkontaminasi

dengan tanah. Biasanya karena penambangan yang kurang baik dimana

lapisan atas (overburden) tidak terpisahkan dengan baik, sehingga ikut

terbawa lapisan batu bara saat diambil.

Ash yang tinggi dalam fine coal sangat mempengaruhi kualitas klinker

terutama turunnya LSF klinker, hal ini karena ash mengandung SiO2 dan

Al2O3 yang cukup banyak. Ash mengandung 15-21% Al2O3, 25-40% SiO2,

20-45% Fe2O3 1-5% CaO, 0,5-1% MgO, 2-8% SO3

Tabel 13 Komposisi mineral coal

Komponen % Mineral Coal % Coke

Carbon (C) 60-92 80-90

Hidrogen (H) 1-5 0.4-2

Oksigen (O) 2-14 -

Nitrogen (N) 0.3-2 -

Sulfur (S) 0.5-4 0.4-1

Ash 5-15 8-14

Moisture 2-15 1-1.5

Tabel 14 Contoh komposisi coal

Jenis Coal Unit Lignit Bituminous Antrasit

Total Moisture % 40-50 5-10 0-3

Volatiles % 40-50 10-40 5

Ash % 5-25 10-20 5-10

Komposisi Kimia (contoh) %C 56 70 78

%H 4 3 2

%S 1 1 1

%N+O 19 3 2

CV (gross) Kcal/kg 5120 6625 7100

Page 84: produksi semen

Batu bara antrasit memiliki kalor bakar yang paling tinggi dimana

kandungan C nya cukup tinggi. Semakin lama batu bara tersimpan dalam

bumi, panas bumi menyebabkan lepasnya O, H, N dalam batu bara,

sehingga kandungan C dalam batu bara akan meningkat (CV meningkat).

Batu bara antrasit memiliki kandungan volatile matter yang cukup

rendah, hal ini membuat coal relatif lebih sulit terbakar dan nyala api lebih

panjang. Untuk membuat coal ini menjadi lebih mudah terbakar, biasanya

dilakukan dengan cara memperhalus fine coal yang diumpankan ke burner.

Batu bara yang lebih muda (bituminous,lignit) atau brown coal,

memiliki kandungan volatile matter yang lebih tinggi (kandungan O, H, N

tinggi), coal relatif lebih mudah terbakar, nyala api lebih pendek. Untuk

membuat bentuk nyala api lebih panjang, fine coal diperkasar dari biasanya.

Gambar 70 Grafik hubungan kehalusan fine coal yang direkomendasikan dengan VM

III. 9. 2. Pengaruh kualitas batu bara terhadap pembentukan klinker

Beberapa parameter yang perlu diperhatikan mengenai batu bara sebagai

bahan bakar pada industri semen adalah:

Total moisture

Kadar air yang tinggi pada batu bara akan mengurangi harga Net-

Calorific Value nya yang berarti secara langsung mempengaruhi

efisiensi pembakaran pada kiln.

Kadar abu/ash

Page 85: produksi semen

CVnet = 8,35 C + 22,5 H +2,5 S + 1,5 N -2,6 O – 0,6 H2O.. Kcal/kg

Kadar abu maksimum yang bisa dipakai adalah 20%. Sebenarnya

abu tidak akan mengganggu kualitas semen apabila komposisinya tidak

berubah-ubah, sehingga memungkinkan dilakukannya koreksi dengan

komponen bahan bakunya. Yang penting di dalam abu batu bara tidak

terkandung SO3, Na, K, MgO, P2O5 dan Cl dalam jumlah yang melebihi

batas maksimum. Unsur dan senyawa tersebut dalam jumlah tertentu

ternyata akan mengganggu kualitas semen.

Nilai kalor

Setiap pabrik semen telah merancang kiln yang akan digunakan

sesuai dengan nilai kalor batu bara yang akan dipakai sebagai bahan

bakarnya. Penurunan harga nilai kalor (Net Calorific Value) sebagai

akibat harga total moisture dan abu akan menyebabkan gangguan pada

efisiensi pembakaran. Akibatnya jumlah umpan bahan baku yang

diharapkan menjadi semen akan berkurang dan tentunya akan

mengganggu produksi semen.

Formula umum untuk mengetahui Net Calorific Value adalah:

Formula diatas adalah pendekatan untuk mengetahui nilai kalor

bahan bakar cair atau padat. Sebenarnya bahan bakar cair atau padat

terdiri senyawa organik yang kompleks, dimana jenis senyawa organik

ini mempengaruhi nilai kalor bakar. Formula ini tidak bisa digunakan

untuk mengetahui nilai kalor dari karbon murni atau sulfur murni.

Untuk mendapatkan nilai kalor yang pasti dan tepat harus dilakukan

pengukuran dengan kalorimeter.

Total Sulfur

Belerang (sulfur) karena proses pembentukannya yang sama dengan

pembentukan lapisan pembentuk batu bara, selalu menyertai lapisan

batu bara dalam bentuk mineral yang bermacam-macam. Sulfur ini akan

mengganggu lingkungan dalam bentuk SOx yang keluar cerobong kiln,

juga dalam jumlah yang cukup banyak ( rasio molar alkali/SO3 <1,2)

dapat menyebabkan terbentuknya clogging di inlet kiln dan riser pipe.

Page 86: produksi semen

PT Semen Padang sampai saat ini membatasi kandungan sulfur dalam

batu bara < 1%.

III. 9. 3. Pengolahan batu bara

Sebagai bahan bakar, batu bara yang datang dari penambangan tidak

efisien jika langsung dibakar karena ukuran partikelnya masih kasar dan

kadar airnya tinggi sehingga hasil pembakaran tidak optimal dan kontrol

operasinya menjadi sulit.

Yang menjadi persyaratan utama bagi pembakaran batu bara di dalam

kiln untuk mendapatkan nyala api yang pendek dan tajam serta

menghasilkan panas yang optimal adalah:

Ukuran partikel harus halus

Material yang halus mempunyai luas permukaan yang besar

sehingga reaksi pembakaran dapat berlangsung dengan sempurna.

Ukuran dari partikel ini sangat tergantung pada kadar volatile matter

dari batu baranya. Makin tinggi volatile matter, maka partikelnya tidak

boleh terlalu halus karena mudah terbakar. Grafik hubungan volatile

matter dengan kehalusan sudah ditampilkan pada bagian terdahulu.

Kadar air batu bara cukup rendah

Di dalam batu bara selalu terdapat sejumlah tertentu air, dimana

kadar air biasanya dinyatakan dalam persen berat. Terdapat dua jenis air

dalam batu bara yaitu :

a. Free moisture/air bebas

Yaitu air yang menguap pada saat pengeringan batu bara pada

temperatur kamar atau sedikit lebih tinggi.

b. Inherent moisture/air terikat

Yaitu air yang hanya dapat menguap pada waktu pemanasan

batu bara pada temperatur diatas 100 °C dalam waktu tertentu.

Untuk memudahkan proses pembakaran, maka kadar air harus

diturunkan tetapi untuk menghindari bahaya kebakaran dan ledakan di coal

mill, temperatur udara pengeringan tidak boleh terlalu tinggi. Biasanya

temperatur outlet operasi coal mill dijaga pada temperature 60-70 °C.

Page 87: produksi semen

Sebaliknya air yang terlalu sedikit (<1 %) mulai menimbulkan

kesulitan pada penyalaan, sebab karbon yang ada didalam coal tidak

langsung terbakar oleh oksigen dari udara. Melainkan karbon bereaksi dulu

dengan radikal OH- dari air dan secara berantai baru terbakar oleh O2. Jadi

kandungan air dalam coal sampai batas tertentu berfungsi sebagai

katalisator dalam reaksi antara karbon dan oksigen.

Hubungan antara kadar air yang direkomendasikan tersisa dalam

fine coal dengan kadar air terikat raw coal dapat dilihat pada grafik berikut.

Gambar 71 Grafik hubungan kadar air yang direkomendasikan dalam fine

coal dengan inherent moisture

III. 9. 4. Reaksi Pembakaran

Reaksi pembakaran karbon, hidrogen dan sulfur adalah sebagai berikut :

1 kg C + 2,66 kg O2 → 3,66 kg CO2 + 8100 kcal

1 kg C + 1,33 kg O2 → 2,33 kg CO + 2400 kcal

1 kg H2 + 8 kg O2 → 9 kg H2O + 28,641 kcal

1 kg S + 1 kg O2 → 2 kg SO2 + 2210 kcal

Catatan: pada temperatur 400-1200 oC ,1-5 % SO2 teroksidasi menjadi SO3

Dari persamaan reaksi diatas, reaksi terbentuknya CO harus dihindari.

Jika oksigen dari udara pembakaran tidak cukup, reaksi karbon dengan

Page 88: produksi semen

oksigen menjadi tidak sempurna sehingga terbentuklah CO dimana panas

yang dihasilkan dari reaksi tidak sempurna ini menjadi 30% dari seharusnya

yang diharapkan. Hal ini akan berdampak langsung secara berurutan yaitu:

temperatur burning zone turun

torsi turun

Liter weight turun

Free lime naik (reaksi pembentukan klinker tidak sempurna)

Akhirnya bisa menyebabkan klinker mentah (flushing) jika antisipasi

terlambat.

Untuk menjaga agar CO tidak terbentuk:

Coal feed harus dikurangi jika coal feed sudah relatif tinggi.

Damper ID fan harus ditambah jika udara masih kurang

Amati perubahan temperatur di SP dan O2 dan CO di top SP

Sebaliknya, jika udara pembakaran terlalu berlebih akan mengakibatkan

kerugian panas yang terbawa keluar SP. Oleh sebab itu senantiasa operator

mengamati indikasi yang ditunjukkan dari O2 analyzer agar dijaga sekitar 2

- 4%.

Proses reaksi pembakaran terjadi dalam 2 tahap :

Tahap pelepasan volatile matter

Tahap pembakaran C

Waktu pembakaran pada ukuran partikel 20–500 mikron adalah 0,1–

10 detik. Dengan adanya waktu yang dibutuhkan untuk bisa terbakarnya

fine coal ini, maka antara pangkal nyala api dengan ujung burner selalu

ada jarak.

Temperatur nyala/ignition temperature (200-600 °C)

Ignition temperature adalah temperatur permukaan coal dimana

reaksi pembakaran dapat berlangsung terus menerus/tidak terputus.

Temperatur ini tergantung pada kehalusan fine coal dan jenis coal.

Untuk jenis coal antrasit ignition temperaturnya lebih tinggi.

Page 89: produksi semen

Range temperature nyala fine coal ini menjawab alasan mengapa

saat heating-up pertama kita tidak bisa langsung menggunakan fine

coal, tetapi harus menggunakan solar hingga tercapai temperatur

tertentu, seperti temperatur di preheater stage paling bawah 350 °C.

Transfer panas didalam kiln terjadi terutama secara radiasi.

Gas hasil pembakaran yang memancarkan radiasi adalah gas H2O,

CO2 dan SO2, sedangkan nitrogen dan oksigen tidak memancarkan

radiasinya ke raw mix di dalam kiln. Penjelasan ini juga berarti bahwa

kelebihan udara pembakaran mengakibatkan selain kerugian panas yang

terbawa keluar SP juga berkurangnya daya radiasi gas hasil

pembakaran. Radiasi ini juga menjadi sangat penting karena isi material

padat/raw mix dalam kiln hanya +/-13 % volume.

Semakin cepat gas hasil pembakaran digantikan oleh udara pembakaran,

semakin cepat fine coal terbakar. Hal ini butuh penyetelan burner dan

ID Fan yang cukup.

Jika udara pembakaran terlalu berlebih:

- Temperatur flame turun

- Gas keluar SP lebih banyak, sehingga panas terbuang lebih banyak

- Gas dalam kiln lebih cepat, akibatnya transfer panas dalam kiln

menurun.

III. 10. Proses Penggilingan di Area Coal Mill Produksi II/III

Proses ini bertujuan untuk menggiling batubara yang berukuran kasar

sehingga menjadi fine coal yang berukuran lebih kecil. Fine coal tersebut

kemudian akan dipergunakan sebagai bahan bakar untuk proses pembakaran raw

mix di kiln.

Batubara yang masih berukuran kasar disimpan di dalam hopper K1/K2L01

yang memiliki kapasitas 50-60 ton. Batubara tersebut kemudian diumpankan ke

dalam mill melalui suatu alat pengumpan berjenis rotary table feeder K1/K2A01.

Rotary table feeder adalah alat ekstraksi dan volumetric feeding yang digunakan

untuk pengumpanan raw coal ke dalam coal mill. Rotary table feeder terdiri dari

disc yang berputar yang terdapat di dalam casing kedap udara dan digerakkan

oleh worm gear melalui poros vertikal. Material dari hopper ditransport ke disc

Page 90: produksi semen

melalui pipa teleskopik dan sebuah scrapper untuk mengarahkan material ke

lubang pengeluaran. Jumlah material umpan tergantung pada kecepatan putar

disc.

Gambar 72 Rotary table feeder

Batubara kemudian masuk ke dalam mill melalui inlet mill. Mill yang

digunakan untuk penggilingan coal di operasi I berjenis tirax mill barkapasitas 15

ton/jam dengan jenis feed arrangement feed chute of airswept mill untuk

memudahkan masuknya udara panas bersamaan dengan material umpan. Tirax mill

yang digunakan untuk penggilingan batubara mirip dengan unidan mill tetapi

berbeda dari rancangan aliran udara yang membawa produk keluar dari mill.

Umumnya, mill jenis tirax memiliki dua kompartmen penggilingan yaitu

kompartmen I (precrushing) dengan bola baja sebagai isi grinding medianya dan

compartment II dengan grinding media cylpebs. Di operasi I sekarang ini tidak

digunakan lagi cylpebs sebagai grinding media di kompartmen II tetapi digunakan

bola baja dengan diameter berukuran 20-25 mm. Tirax mill dapat menggiling

umpan dengan kandungan air lebih dari 1 % jika udara panas disuplai ke dalam

mill.

Gambar 73 Feed arrengement dari coal mill

Page 91: produksi semen

Mill juga terdiri dari drying chamber dimana di dalam drying chamber,

batubara masuk bersama dengan udara panas yang berasal dari kiln yang ditarik

oleh fan K1/K2S13. Untuk membantu mensuplai udara panas dalam tahap starting

up kiln, maka digunakan heat generator K1/K2T11 dengan bahan bakar solar.

Udara panas ini mutlak diperlukan karena selain digunakan untuk pengeringan

batubara juga digunakan untuk membantu proses transportasi fine coal dari mill ke

dalam kiln.

Gambar 74 Drying chamber yang dilengkapi dengan lifter

Drying chamber dilengkapi dengan lifter yang berfungsi untuk menghamburkan

material ke aliran udara panas ketika terjadi putaran. Ketika mill berhenti berputar,

ketinggian isi material di dalam drying chamber akan lebih tinggi dibandingkan ketika

mill berputar. Karena sebagian besar material terhambur di dalam aliran udara. Jika

batubara kasar tersumbat pada bagian inlet drying chamber, mungkin disebabkan oleh

kurangnya kandungan panas yang dibawa udara dengan kandungan air batubara

sehingga suhu udara kering harus ditingkatkan atau baffle plate harus dipasang di

bagian inlet drying chamber untuk mengarahkan udara panas ke sudut drying

compartment.

Proses penggilingan di dalam tirax mill juga serupa dengan penggilingan di duodan

mill dimana pada kompartmen I terjadi gerakan cataracing motion akibat bola yang

digunakan lebih besar dan adanya lifting liner sehingga terjadi peristiwa tumbukan,

sedangkan di kompartmen II terjadi gerakan cascading motion akibat bola yang

digunakan berukuran lebih kecil sehingga hanya terjadi peristiwa penggerusan

batubara. Diaphragm yang digunakan juga berjenis single diaphragm karena ukuran

mill yang kecil.

Page 92: produksi semen

III. 10. 1. Kriteria-Kriteria Perancangan di Coal Mill Indarung II/III:

a. Length to Diameter Ratio (λ)

Panjang Mill (L) = LDrying Chamb. + LComp. I + LComp. II = 2,8 + 4,4 + 2,8 = 10 m

Diameter (D) = 3 m

Maka λ = L/D = 3,33

b. Filling Degree (f)

Filling degree dan berat grinding media di tiap kompartmen dapat

dilihat pada tabel 15 berikut:

Tabel 15 Filling degree dan berat grinding media

Kompartmen Ukuran grinding media (mm) Berat grinding media (ton) Filling degree (%)

I

50 3,4

21,15 40 5,4

30 4,7

Total 13,5

II

25 8

23,8 20 8

Total 16

c. Grinding Media Charge

Berat grinding media charge di tiap kompartmen adalah sebagai berikut:

Untuk kompartmen I

Qui xf

xxLxDQ

1004

2 (ton)

Q = 18,1 ton

Untuk kompartmen II

Qui xf

xxLxDQ

1004

2 (ton)

Q = 33,17 ton

d. Mill Speed

Dincrit

3,42 = 24,45 rpm

n = 17,2 rpm

k = 70,35 %

Page 93: produksi semen

Dapat dilihat bahwa % kecepatan mill yang digunakan adalah sebesar

70,35 % dari kecepatan kritis.

Fine coal hasil penggilingan mill kemudian keluar dari outlet mill

bersamaan dengan udara panas yang dihisap oleh fan K1/K2S05. Jenis

discharge arrangement yang digunakan yaitu berjenis discharge of airswept

mill karena fine coal keluar bersamaan dengan udara sehingga diperlukan

ruangan yang luas. Fine coal bersama udara yang keluar kemudian masuk

ke dalam air separator K1/K2S01 yang dipasang menempel langsung

dengan coal mill. Di dalam separator ini terjadi proses pemisahan antara

fine coal yang halus dengan yang kasar. Proses pemisahan memanfaatkan

gaya sentrifugal dimana material yang lebih berat akan terlempar ke dinding

dan jatuh ke bawah kembali ke dalam mill untuk digiling kembali,

sedangkan material yang lebih ringan akan dibawa oleh udara yang dihisap

oleh fan untuk selanjutnya akan disimpan ke dalam coal meal silo

K1/K2L02.

Gambar 75 Discharge arrangement yang dihubungkan langsung dengan separator

Fine coal yang melewati separator kemudian dimasukkan ke dalam silo

K1/K2L02 yang berkapasitas 60 ton melewati dedusting filter K1/K2S03

berjenis bag house filter. Bag house filter merupakan alat pemisah debu

yang terdiri dari kantong-kantong (bag) sebagai media pemisah antara debu

dengan udara, yang terbuat dari bahan poliester yang tahan terhadap

temperatur dan kelembaban gas. Campuran udara dan partikel debu ditarik

melalui ruangan filter yang berisi bag filter. Udara akan melewati bag,

sementara itu debu yang terbawa akan menempel pada bagian luar bag.

Page 94: produksi semen

Gambar 76 Bag house filter pada coal mill

Debu yang menempel pada bag dibersihkan secara berkala dengan

mengalirkan udara yang berasal dari jet cleaning system. Udara akan

memasuki setiap bag pada arah yang berlawanan dengan udara yang

mengandung debu dan menekan setiap bag sehingga merontokkan debu

yang menempel pada dinding bag. Debu akan jatuh ke bottom hopper untuk

dibawa dengan alat transport berikutnya. Pembersihan debu ini dilakukan

dengan interval waktu tertentu.

Gambar 77 Pengumpan fine coal Indarung II yaitu pfister

Fine coal yang disimpan di dalam silo kemudian siap untuk diumpankan

ke dalam kiln untuk proses pembakaran. Di operasi I terdapat dua jenis

pengumpanan fine coal ke dalam kiln berdasarkan peralatan pengumpan

yang digunakan. Di Indarung II, fine coal diumpankan dari silo melalui

prehopper (pfister) K1L03 yang diteruskan oleh rotor scale K1V13 yang

dapat dilihat pada gambar 39. Prinsip kerja rotor scale ini adalah dimana

Page 95: produksi semen

umpan diletakkan di atas table yang terdapat lubang di tepinya. Table ini

kemudian berputar sehingga fine coal akan bergeser ke tepi ke arah lubang.

Lubang pada rotor scale tersambung dengan pipa yang dilengkapi dengan

dua buah blower K1V14 dan K1V14 sehingga fine coal yang jatuh ke

lubang dihembus oleh udara untuk kemudian ditransport ke burner untuk

pembakaran di kiln.

(a) (b)

Gambar 78 Pengumpan fine coal Indarung III yaitu screw conveyor (a)

dan weighting belt (b)

Di Indarung III tidak terdapat pfister dan rotor scale, tetapi

pengumpanan fine coal menggunakan weighting belt K2V04 setelah

sebelumnya melewati screw conveyor K2V01-V04 yang dapat dilihat pada

gambar 40. Fine coal yang diumpankan weighting belt kemudian

dilewatkan melalui tiga buah air sluice K2V05M1, K2V06M1, K2V06M2

untuk mencegah aliran udara balik. Fine coal kemudian dihembuskan oleh

udara yang berasal dari dua buah fan K2V07B1 dan K2V07B2 untuk

diumpankan ke dalam kiln. Untuk udara primer pembakaran disuplai oleh

dua buah fan K1/K2V07A1 dan K1/K2V07A2.

III. 11. Burner

Ukuran dan Temperatur flame tergantung pada:

Temperatur udara pembakaran (udara sekunder)

Page 96: produksi semen

Semakin tinggi udara pembakaran, maka temperature flame semakin

tinggi dan fine coal semakin mudah dibakar. Temperatur udara pembakaran

dipengaruhi oleh:

a. Semakin sedikit udara primer dibandingkan udara sekunder, temperatur

udara pembakaran semakin tinggi.

b. Semakin banyak panas yang diambil dari klinker cooler, temperatur udara

sekunder semakin tinggi sehingga temperatur udara pembakaran semakin

tinggi.

Jumlah excess air (udara berlebih)

Jumlah excess air sebaiknya dibatasi, kelebihan excess air akan

berdampak pada kehilangan panas. Parameter yang bisa dipedomani dalam

menjaga excess air adalah O2 dan CO analyzer.

Momentum = Q x V (1400-1600 % m/s)

dimana: Q = % udara primer

V = kecepatan udara di nozzle burner

Momentum yang besar sangat dibutuhkan dari udara primer, tujuannya

adalah agar fine coal dapat terdistribusi dengan merata sehingga dapat

terbakar sempurna.

Type Burner

Burner multi channel memiliki dimensi nyala yang lebih pendek dan lebih

“strong”. Sehingga panas di burning zone dapat terkonsentrasi, nyala api lebih

stabil, temperatur lebih tinggi dan stabil, pembentukan coating lebih stabil.

Bahan bakar (kehalusan, volatile matter)

Temperatur flame yang dapat dicapai:

Coal : 2150°C (energi radiasi paling tinggi)

Oil : 2120°C (energi radiasi 70-90% Coal)

Gas : 2050°C (energi radiasi 20-60% Coal)

Page 97: produksi semen

Gambar 79 Multi channel burner

Dengan burner teknologi baru (multi channel burner), pemakaian udara

primer 10-12 %. Jika udara primer terlalu banyak, maka udara sekunder yang

dipakai lebih sedikit, sehingga temperatur udara pembakaran lebih rendah.

Sebaliknya, jika udara primer terlalu rendah (6-8 %), maka energi kinetik dan

momentum untuk pencampuran coal-udara lebih rendah, sehingga pembakaran

lebih lambat, temperatur inlet kiln tinggi, temperatur burning zone rendah.

Tabel 16 Range parameter burner

Parameter Nilai

Kecepatan udara axial 100-190 m/s

Kecepatan udara radial 100-190 m/s

Pressure udara axial dan radial 150-200 mbar

Kecepatan udara transport+coal 20-30 m/s

Penyetelan flame multi channel burner:

Udara axial: untuk memperpanjang nyala

Udara radial: untuk memperlebar nyala

Udara axial + radial: untuk membuat nyala “strong”

a. Mono-Channel/Straight Burner

Merupakan desain burner yang paling sederhana. Coal dust dan seluruh

udara primer diinjeksikan secara bersamaan melalui pipa tunggal. Biasanya

Page 98: produksi semen

tipe ini digunakan untuk long kiln yang dilengkapi dengan direct firing.

Kecepatan udara primer pada mono channel burner antara 50-100 m/s.

b. Multi Channel Burner

Nyala api dapat disesuaikan, dimana udara primer dibagi menjadi bagian

aksial dan radial. Axial air diinjeksikan searah dengan sumbu kiln, sementara

radial air atau swirl air diinjeksikan ke arah dinding kiln. Bagian melingkar

pada radial air menyebabkan aliran udara yang berputar sepanjang sumbu

kiln dan yang mendorong ke arah luar ke arah dinding kiln. Karena radial air

channel terletak di dalam axial air channel, maka radial air membuka dan

melebarkan aliran axial air.

Peningkatan radial air menciptakan nyala api yang lebih lebar dan

pendek, sedangkan peningkatan axial air menciptakan nyala api yang lebih

panjang. Pada pillard 3-channel burner, memiliki coal channel di antara axial

dan radial air channel. Kecepatan axial air dan radial air sekitar 100-190 m/s

sedangkan kecepatan udara untuk transport coal sekitar 20-30 m/s.

Gambar 80 Duoflax burner

III. 11. 1. Karakteristik Nyala Api pada Sistem Burner Yang Berbeda

a. Single Channel Burner

Single channel burner cenderung menghasilkan nyala api yang

aksial yang berefek:

Sinter zone yang panjang

Waktu retensi yang lama pada daerah panas dan penguapan yang

tinggi bagi alkali dan sulfur (sangat cocok untuk produksi klinker

beralkali rendah)

Page 99: produksi semen

Pembentukan Nox yang tinggi

Gambar 81 Bentuk nyala api dari single channel burner

b. Multi Channel Burner

Multi channel burner menghasilkan nyala api yang divergen yang

berefek:

Jika nyala api sangat divergen, terdapat masalah pada lining

Pembentukan coating yang tidak stabil yang disebabkan daerah

pembakaran yang tidak stabil

Peningkatan pembentukan Nox karena waktu retensi gas pada suhu

tinggi yang lama

Gambar 82 Bentuk nyala api dari multi channel burner

III. 11. 2. Faktor Yang Mempengaruhi Nyala Api

Nyala api dapat dioptimalkan selama operasi dengan menyesuaikan

parameter berikut:

a. Daya Gerak (Momentum) Udara Primer

Nyala api yang lebih pendek biasanya dicapai dengan

meningkatkan injeksi momentum dari udara primer yang dicapai

Page 100: produksi semen

dengan meningkatkan radial air dan mengurangi axial air secara

bersamaan.

b. Posisi Burner Di Dalam Kiln

Memasukkan burner lebih dalam ke kiln meningkatkan panjang

nyala api secara signifikan. Hal ini dikarenakan daerah turbulensi dari

aliran udara sekunder yang masuk meningkatkan pencampuran dari

fuel jet dengan udara secara signifikan.

c. Suhu Udara Sekunder

Suhu udara sekunder mendefinisikan tingkah laku penyalaan api

dan suhu nyala api yang mungkin. Suhu udara sekunder yang tidak

cukup harus dikompensasi dengan bahan bakar yang berarti

peningkatan kuantitas gas pembakaran dengan panjang profil suhu.

d. Udara Berlebih (Excess Air)

Udara berlebih dalam jumlah tertentu diperlukan untuk

menyempurnakan pembakaran. Nilai optimum untuk udara berlebih

untuk mempertahankan sinter zone sependek mungkin adalah sekitar

10 % (sebanding dengan 2 % O2 pada inlet kiln). Jika kurang dari 10

%, waktu pembakaran dan panjang nyala api meningkat yang

menyebabkan berkurangnya udara atmosfir sehingga meningkatnya

sulfur volatility serta akhirnya timbul masalah clogging pada daerah

preheating. Jika lebih dari 10 %, menyebabkan daerah sinter yang

bertambah panjang.

e. Karakteristik Serbuk Batubara

Kandungan volatile: Waktu pembakaran serbuk batubara meningkat

dengan berkurangnya kandungan volatile.

Kehalusan penggilingan: Waktu bakar serbuk batubara meningkat

seiring dengan diameter. Batubara harus digiling lebih halus untuk

mendapatkan waktu bakar yang diinginkan dan panjang api yang

diinginkan.

Kandungan abu yang tinggi memiliki efek memperlambat waktu

bakar disebabkan pengurangan konsentrasi debu batu bara dan suhu

api yang lebih rendah karena penyerapan panas oleh abu.

Page 101: produksi semen

f. Penambahan Oksigen

Dengan menambah oksigen pada udara pembakaran, suhu api

dapat ditingkatkan secara signifikan. Hal ini mengurangi kehilangan

energi akibat exhaust gas dan meningkatkan kapasitas produksi kiln.

Kekurangannya adalah pembentukan NOx yang lebih tinggi, efisiensi

cooler yang lebih rendah untuk planetary cooler dan adanya biaya

oksigen.

III. 12. Proses Produksi Klinker di Produksi II/III

Proses produksi klinker di Departemen Kiln dapat dibagi menjadi tiga tahap,

yaitu tahap penarikan dan pengumpanan raw mix ke dalam kiln, tahap

pembakaran raw mix menjadi klinker, dan tahap penyimpanan klinker ke dalam

silo.

III. 12. 1. Tahap Penarikan dan Pengumpanan Raw Mix ke Dalam Kiln

Raw mix yang disimpan di dalam homogenization silo H1/H2H11-H12

di keluarkan melalui bagian bawah silo dengan bantuan blower untuk aerasi

sehingga raw mix mudah ditarik keluar. Raw mix tersebut kemudian

ditransport oleh screw conveyor H1/H2U01 dan dibawa ke atas oleh bucket

elevator H1/H2U02-03 untuk selanjutnya disimpan di dalam hopper dengan

load cell (schenck feeder) W1/W2A01 melalui air slide H1/H2U04.

(a) (b)

Gambar 83 Bucket elevator H1/H2U02-03 (a) dan schenck feeder W1/W2A01 (b)

Dari schenck feeder tersebut, raw mix kemudian melalui flow meter

W1/W2A07 dan selanjutnya ditransport oleh air slide W1/W2A10. Raw mix

Page 102: produksi semen

kemudian diumpankan ke dalam suspension preheater dengan terlebih

dahulu membawanya ke atas melalui bucket elevator W1/W2A21 dan air

slide W1/W2A22.

(a) (b)

Gambar 84 Bucket elevator W1/W2A21 (a) dan air slide W1/W2A22 (b)

III. 12. 2. Tahap Pembakaran Raw Mix Menjadi Klinker

Umpan raw mix ke dalam kiln terlebih dahulu melalui suspension

preheater untuk tahap awal dari proses produksi klinker yaitu proses

pengeringan dan penghilangan kadar air pada tanah liat. Raw mix yang

diumpankan dari atas suspension preheater akan bertemu dengan aliran

udara panas dari kiln sehingga terjadi proses perpindahan panas antara raw

mix dengan udara panas tersebut. Suspension preheater yang digunakan

berjenis siklon preheater dengan 4 tingkat yaitu berurutan dari atas

W1/W2A51 dan A61, W1/W2A52, W1/W2A53, dan W1/W2A54.

Siklon tingkat atas (A51 dan A61) merupakan siklon yang dipasang

paralel untuk meningkatkan efisiensi siklon bila dibandingkan dengan

mempergunakan satu siklon yang berukuran lebih besar. Pipa keluaran

material raw mix di tingkat bawah (A54) masuk ke rotary kiln sedangkan

pipa keluaran material raw mix A51 sampai dengan A53 masuk ke gas duct.

Material keluaran A54 kemudian masuk ke dalam kiln untuk menerima

proses perlakuan panas berikutnya.

Page 103: produksi semen

(a) (b)

Gambar 85 Siklon suspension preheater (a) dan gas outlet dari A51-A61 (b)

III. 12. 3. Proses Pembakaran Klinker

Pada proses pembakaran klinker di dalam rotary kiln, ada beberapa

tahapan sesuai temperatur proses, yaitu:

Tabel 17 Tahapan reaksi pada suhu tertentu

Reaksi Suhu proses

1. Proses penguapan air

2. Tahapan pelepasan air hidrat clay (tanah liat)

3. Tahapan penguapan CO2dari batu kapur dan mulai kalsinasi

4. Tahapan pembentukan C2S

5. Tahapan pembentukan C3A dan C4AF

6. Tahapan pembentukan C3S

100 0C

500 0C

805 0C

800-900 0C

1095-1205 0C

1260-1455 0C

III. 12. 4. Reaksi Pembentukan Fase Klinker

Pada suhu proses 100 0C terjadi penguapan air dan pada suhu proses 500

0C terjadi pelepasan air hidrat tanah liat yang ditunjukkan oleh reaksi

berikut:

Al2Si2O7xH2O → Al2O3 + 2SiO2 + x H2O

Pada suhu proses 600-800 0C terjadi kalsinasi dengan reaksi sebagai

berikut:

CaCO3 → CaO + CO2

Page 104: produksi semen

MgCO3 → MgO + CO2

Pada suhu proses dari 800-900 0C terjadi pembentukan garam kalsium

silikat yang sebenarnya sebelum mencapai suhu 800 0C sudah terjadi

sebagian kecil pembentukan garam kalsium silikat terutama C2S dengan

reaksi sebagai berikut:

2CaO + SiO2 → 2CaO.SiO2 atau C2S

Pada suhu proses dari 1095-1205 0C terjadi pembentukan garam

kalsium aluminat dan ferrit dengan reaksi sebagai berikut:

3CaO + Al2O3 → 3CaO.Al2O3 atau C3A

4CaO + Al2O3 + Fe2O3 → 4CaO.Al2O3.Fe2O3 atau C4AF

Pada suhu proses dari 1260-1455 0C terjadi pembentukan garam silikat

terutama C3S dimana persentase C2S mulai menurun karena membentuk

C3S

2CaO.SiO2 + CaO → 3CaO.SiO2 atau C3S

Sementara bagian CaO yang tidak bereaksi dengan oksida-oksida

alumina besi dan silika biasanya dalam bentuk CaO bebas atau free lime dan

banyaknya persentase CaO bebas dibatasi di bawah 1 %.

Terjadinya reaksi-reaksi tersebut membutuhkan:

Waktu reaksi (resident time dalam cyclone dan kiln)

Temperatur/panas reaksi

Urutan proses perubahan dari raw meal menjadi klinker serta tempat

terjadinya reaksi tersebut adalah sbb:

a. Drying lanjutan: terjadi di SP stage 1

b. Preheating: terjadi di SP

c. Calcining: terjadi di SP 3-4, kalsiner dan inlet kiln

d. Sintering: terjadi di burning zone

e. Cooling: terjadi di cooling zone, cooler

Pada gambar dibawah ini dapat dilihat senyawa-senyawa yang ada di

dalam cyclone dan kiln serta perkiraan jumlah senyawa tersebut pada setiap

zona dan kondisi temperatur.

Page 105: produksi semen

Gambar 86 Reaksi dan pembentukan senyawa pada berbagai zone dan temperatur

Reaksi kalsinasi selesai setelah mencapai temperature >900 °C ditandai

dengan mengecilnya ukuran bidang CaCO3. Sejalan dengan reaksi kalsinasi,

terbentuklah CaO free, pada gambar terlihat mengecilnya bidang CaCO3

menambah besar bidang CaO free. Proses sintering mulai terjadi pada

temperatur 1100-1450 °C, hal ini ditandai dengan mulai terbentuknya

bidang C2S dan C3S. Sebenarnya terbentuknya C2S sudah mulai terjadi pada

temperatur 800 °C, tetapi penbentukannya mulai banyak dan naik secara

drastis setelah mencapai temperature 1100 °C.

Pada temperatur 1300-1450 °C, C2S bereaksi lagi dengan CaO free

untuk membentuk senyawa C3S yang merupakan komponen utama dalam

klinker dan yang sangat mempengaruhi nilai kekuatan tekan semen awal.

Akibatnya jumlah C2S dan CaO free menjadi berkurang. Clay mulai

mengalami deformasi pada temperatur 300 °C dan diharapkan sudah terurai

pada temperatur 700 °C. Terbentuknya C3A dan C4AF mulai terjadi pada

temperatur 900 °C. Kemudian pada temperatur 1250 °C C3A dan C4AF

mengalami pelelehan sehingga terbentuklah liquid phase (fase cair).

Adanya liquid phase ini membantu proses perpindahan panas di dalam

material, proses penggumpalan klinker, dan proses terbentuknya coating

Page 106: produksi semen

sebagai pelindung brick dan media pertukaran panas. Setelah klinker

terbentuk, proses selanjutnya adalah cooling secara mendadak (quenching).

Tujuan dari quenching ini adalah untuk pengambilan panas yang akan

dimanfaatkan untuk udara pembakaran, membentuk klinker yang lebih

rapuh/tidak membentuk kristal sehingga mudah digiling dan C3A nya lebih

tahan terhadap sulfat, serta menghindari reaksi balik C3S menjadi C2S.

Reaksi kalsinasi Raw Meal

Dari semua reaksi yang terjadi di dalam kiln, kalsinasi membutuhkan

energi yang paling banyak yaitu sekitar 2 MJ/kg klinker = 480 kcal/kg

klinker. (+/- 60% total kalor yang dikonsumsi)

CaCO3 + kalor → CaO + CO2

Gambar 87 Grafik kalsinasi sebagai fungsi temperature

Grafik diatas memperlihatkan hubungan reaksi kalsinasi dalam %

kalsinasi dengan kenaikan temperatur. Pada temperatur 950 °C reaksi

kalsinasi telah sempurna ≈ 100%.

Reaksi kalsinasi ini terjadi di:

Suspension preheater

Precalciner

Calsining zone (untuk SP-Kiln)

Page 107: produksi semen

III. 12. 5. Pengaruh Raw Mix (Komposisi Kiln Feed)

Raw meal sebelum masuk ke dalam proses pembakaran selalu dikontrol

komposisinya sesuai target batasan yang dikehendaki untuk masing-masing

tipe semen. Pengendalian komposisi terutama pada rasio oksida yang ada di

dalam raw meal seperti:

Silika ratio (SR)

Iron ratio (IR)

Lime saturation factor (LSF)

Metode lain adalah dengan mengetahui persentase massa klinker dalam

keadaan leleh (state fusion) yaitu dengan mengendalikan persentase liquid

phase (LPh) maupun kemampuan massa klinker terbakar (burnability

factor).

a. Silika Ratio (SR)

Silika ratio juga sering dinyatakan sebagai silika modulus (SM)

yang merupakan perbandingan antara proporsi oksida silika (SiO2)

dengan jumlah proporsi oksida alumina dan oksida besi.

3232

2

OFeOAl

SiOSR

Semakin tinggi nilai silika ratio maka proses pembakaran semakin

sulit, tingginya kandungan silika ratio di dalam raw meal menyebabkan

proses pembakaran berdebu (dusting). Sebaliknya jika silika ratio

rendah maka proses pembakaran cenderung mudah panas.

SR<2: Pembakaran mudah; fase liquid berlebihan; merusak brick;

mengkikis habis coating; timbul ball ring; klinker keras;

konsumsi kalor relatif agak rendah; kekuatan semen rendah.

SR>2: Pembakaran berat; fase liquid hampir tidak ada; thermal load

tinggi; tidak terbentuk coating; klinker berdebu; free lime tinggi;

kekuatan semen tinggi; pengerasan semen lambat.

b. Alumina Ratio (AR)

Perbandingan antara oksida alumina dengan oksida besi dinyatakan

sebagai alumina ratio atau alumina modulus, bisa juga dinyatakan

sebagai iron ratio (IR). Idealnya AR berkisar antara 1,38 (biasanya 1,3-

2,5).

Page 108: produksi semen

Raw meal yang mempunyai nilai AR lebih besar dari 2,5

mempunyai sifat lelehan klinker kental dan kurang bisa mengalir

(viscous slag) serta kuat tekan awal yang tinggi. Sedangkan jika nilai

AR < 1,3 maka material (klinker) mempunyai sifat viscous dan mudah

mengalir, kuat tekan awal dan panas hidrasi yang rendah.

c. Liquid Phase (Lph) Pada Burning Zone

Untuk mengetahui proporsi pelelehan material di dalam burning

zone, dapat dilihat dari persentase fase liquid (LPh) pada raw meal.

Semakin rendah harga LPh ada kecenderungan proses pembakaran agak

sulit sebab unsur-unsur yang bisa dalam kondisi melebur (state fusion)

berkurang, seperti C3A, C4AF dan lainnya. Jadi bila LPh-nya tinggi

maka ada kecenderungan proses pembakaran mudah dibakar. LPh

biasanya berkisar antara 25-27 %.

d. Burnability Index (BI)

Semakin rendah daya mampu bakar raw meal (burnability index)

maka semakin baik, batas jangkauan BI yang baik sekitar 2,6 – 4,5.

AFCAC

SCBI

43

3

e. Burnability Factor (BF)

Untuk mengetahui burnability factor, maka terdapat persamaan:

BF = (LSF) + 10 (SR) – 3 (M / alkali)

Umumnya besar BF antara 100-120, untuk BF dengan besar 108

dianggap sebagai nilai yang bisa dipertimbangkan.

f. Lime Saturation Factor (LSF)

Lime saturation factor merupakan faktor kejenuhan terhadap lime

dimana tinggi rendahnya lime (kapur) di dalam klinker bisa diukur dari

lime saturation factor (LSF). LSF adalah ratio antara kandungan CaO

efektif dengan kemungkinan kandungan CaO efektif dengan

kemungkinan kandungan CaO maksimum di dalam klinker,

Diharapkan semua oksida-oksida silika tergabung sebagai C3S dan

semua oksida besi tergabung dengan oksida alumina dalam jumlah yang

sama dengan yang terdapat di dalam C4AF dan sisa oksida alumina

tersebut harus dapat tergabung sebagai C3A.

Page 109: produksi semen

Semakin tinggi nilai LSF maka pembakaran cenderung berat,

sedangkan bila nilai LSF rendah maka pembakaran cenderung mudah.

Harga LSF umumnya berkisar antara 90-98.

32322

3

65,02,18,2

7,0

OFeOAlSiO

SOCaOLSF

Nilai LSF antara 90-95 untuk standard semen portland dan 95-98

untuk high early strength.

g. Hidraulic Modulus (HM)

Hidraulic modulus adalah perbandingan antara CaO dengan oksida-

oksida besi, alumina dan silika. Nilai hidraulic modulus ini berkisar

antara 1,7-2,3 dimana ia akan sangat berpengaruh terhadap kuat tekan

semen.

32322 OFeOAlSiO

CaOHM

Bila HM < 1,7 maka kuat tekan semen rendah, HM =2 maka kuat

tekan semen baik, HM > 2,3 maka semen mudah retak karena pengaruh

ekspansi CaO pada semen.

III. 12. 6. Daur Alkali Sulfur dan Klorida

Di dalam komponen bahan baku dan bahan bakar banyak terkandung

alkali, belerang (sulfur) dan klorida walaupun dalam jumlah yang kecil

tetapi sangat besar pengaruhnya bukan saja pada kualitas semen yang

dihasilkan tetapi juga pada aspek prosesnya, misalnya kesulitan operasi

karena sering terbentuknya dust ring yang menyebabkan kebuntuan pada

cyclone preheater maupun terganggunya aliran material dan gas di dalam

sistem (kiln dan preheater).

Sulfur di dalam raw meal semuanya dalam bentuk SO3 sedangkan sulfur

dari bahan bakar terutama dalam bentuk gas SO2 dan SO3. Alkali terutama

dari pottasium oksida (K2O) maupun sodium oksida (Na2O) banyak

terkandung di dalam tanah liat dan sebagian di dalam batu kapur. Di dalam

proses pembakaran klinker, gas-gas belerang yaitu SO2 dan SO3 sebagian

bereaksi dengan bagian alkali dari raw meal membentuk garam-garam

alkali sulfat

Page 110: produksi semen

K2O + SO2 +0,5 O2 → K2SO4

Di dalam sistem alkali sebagian akan menguap pada suhu tinggi dan

terkondensasi pada suhu rendah, pada saat terkondensasi densitasnya naik

dan ia bergabung lagi bersama raw meal lagi masuk mengalir ke dalam

rotary kiln. Ketika sampai pada daerah yang mempunyai suhu

penguapannya, ia akan menguap dan tertarik kembali ke back end dan

ketika sampai pada suhu kondensasinya ia akan mengembun dan bersama

raw meal kembali mengalir ke dalam kiln lagi. Demikian seterusnya

seakan-akan ia membuat suatu proses alir melingkar bolak-balik (daur) di

dalam sistem, karena peristiwa ini merupakan suatu proses yang

menyulitkan operasi maka kejadian ini disebut cyclic phenomena yang perlu

ditangani dengan serius. Proses siklus alkali di dalam sistem ini secara

bertahap membentuk garam-garam alkali pada bagian tertentu setelah ia

mengikat gas-gas SO2, CO2 baik dari raw meal maupun bahan bakar.

Terbentuknya garam-garam alkali seperti alkali karbonat maupun alkali

klorida pada zona tertentu yang bersuhu lebih rendah akan terkondensasi

dan berbentuk butiran (dropplet) bersama dust/raw meal akan mengendap

dan bertumpuk sedikit demi sedikit memadat membentuk dust ring.

a. Daur Alkali Dalam (Internal Alkali Cyclic)

K2O yang lebih cepat menguap daripada Na2O menyebabkan ada

sebagian alkali yang cepat terkondensasi dan cepat menguap. Kasus ini

menyebabkan sebagian proses siklus alkali terjadi di dalam kiln

preheater. Proses ini disebut siklus dalam (internal cyclic) dan bagian

alkali yang lain terbawa exit gas dan dust raw meal keluar kiln

preheater.

Page 111: produksi semen

Gambar 88 Daur alkali dalam (internal alkali cyclic)

b. Daur Alkali Luar (External Alkali Cyclic)

Bagian-bagian alkali yang tidak membuat siklus lengkap di dalam

sistem (kiln preheater) terbawa exit gas dan dust raw meal keluar

sistem. Karena exit gas terpakai di dalam unit penggilingan bahan baku

maka alkali dari kiln akan bergabung dengan alkali baru dari raw meal

yang mana raw meal ini kemudian dikirim ke blending silo dan

diumpankan kembali ke dalam kiln. Siklus alkali dari kiln preheater,

raw mill, blending silo kemudian ke kiln lagi dinamakan proses siklus

alkali luar. Alkali ini akan bertambah terus dengan penambahan alkali

dari raw mill. Pada dasarnya pemanfaatan exit gas untuk pengeringan

bahan baku semen adalah suatu masalah tersendiri, ditinjau dari aspek

ekonomi maupun dari proses.

Pada kiln preheater yang baik biasanya dilengkapi dengan suatu fan

yang dipasang pada kiln inlet yang berguna untuk menghisap exit gas

yang banyak mengandung uap alkali. Alat ini dinamakan alkali by pass.

Page 112: produksi semen

Gambar 89 Daur alkali luar (external alkali cyclic)

Kapasitas kiln di indarung II/III ini adalah sebesar 2100 ton/ 24 jam

sehingga kiln dapat memproduksi klinker minimal 83 ton/jam. Material

yang keluar dari kiln berupa klinker dilakukan proses pendinginan

dengan mempergunakan cooler. Cooler yang digunakan di Indarung

II/III adalah cooler dengan tipe planetary cooler yang berjumlah 10

buah tabung silinder dimana semuanya ikut berotasi bersama dengan

kiln. Cooler ini memiliki panjang 18,1 m dan diameter 2 m.

(a) (b)

Gambar 90 Rotary kiln (a) dan planetary cooler (b)

Klinker masuk ke dalam cooler melalui inlet cooler pada saat cooler

berada pada posisi di bawah. Pendinginan terjadi dengan cara

menaburkan klinker sehingga kontak dengan udara sekunder lebih baik.

Page 113: produksi semen

Penaburan klinker ini mempergunakan lifter yang dipasang pada 14

section di shell cooler.

Klinker yang keluar dari cooler outlet kemudian disaring dengan

mempergunakan screen grid. Klinker yang berukuran kecil langsung

ditarik ke drag chain W1U04/U05 sedangkan klinker yang berukuran

besar dimasukkan ke hammer crusher W1/W2M01-M02 untuk

direduksi ukurannya dan kemudian baru ditrasnportasikan oleh drag

chain W1U04/U05. Hammer crusher dipasang setelah planetary cooler

untuk memecah klinker yang ukurannya masih besar menjadi ukuran

yang diinginkan.

Gambar 91 Hammer crusher

Prinsip kerja dari hammer crusher yaitu klinker diumpankan ke

crusher melalui grate bar chute, jadi dengan demikian akan mengatur

ukuran klinker yang masuk ke crusher dan yang langsung ke alat

transport. Material yang kasar akan jatuh ke dalam crusher dan akan

dihantam oleh hammer serta dilemparkan ke sebuah baffle plate

sehingga menjadi kepingan-kepingan klinker.

Gas panas yang keluar dari suspension preheater kemudian

dimasukkan ke dalam gas conditioning tower J1K21/K11 untuk

menurunkan suhu gas panas sebelum masuk ke dalam electrostatic

Page 114: produksi semen

precipitator (EP) J1/J2P11-P21 karena EP dapat bekerja optimal untuk

suhu gas sekitar 105-140 0C. Secara sederhana EP adalah peralatan

yang membersihkan gas-gas hasil proses dengan menggunakan

kekuatan medan listrik untuk memindahkan partikel padat yang terbawa

didalam bentuk gas. Gas kotor dialirkan melewati sebuah medan listrik

yang berada diantara elektroda yang mempunyai polaritas berlawanan.

Discharge electrode menginduksikan muatan negatif pada partikel dan

kemudian partikel akan ditangkap oleh collecting electrode yang

berpolaritas positif relatif terhadap discharge electrode, dimana didalam

prakteknya collecting electrode dihubungkan ke tanah. Partikel-partikel

yang ditangkap oleh collecting electrode merupakan lapisan-lapisan

debu yang kemudian dengan menggunakan gaya mekanik berupa

rapping akan terhempaskan kedalam hopper.

Gambar 92 Prinsip kerja elektroda EP

Semua EP, kecuali yang mempunyai desain khusus, terdiri dari

beberapa komponen-komponen penting dibawah ini:

a. Housing/Shell

Housing EP diantaranya termasuk seluruh bagian steel plate,

stiffened casing dan support beams digunakan untuk menggantung

dan menyangga elektroda-eletroda dan komponen-komponen EP

lainnya.

b. Penthouse/Insulator Compatrment

Page 115: produksi semen

Disain penthouse meliputi sebuah daerah plenum dibawah atap

EP yang terdiri dari high voltage conductor dan support insulator.

Sedangkan insulator compartment tidak memiliki plenum melainkan

sebuah ruangan diatas atap EP yang melindungi high voltage

conductor dan support insulator dari pengaruh cuaca.

Gambar 93 Komponen-komponen EP

c. Hopper

Hopper pada EP digunakan untuk tempat pengumpulan

sementara debu sebelum ditransport ke sistem lainnya. Biasanya

hopper didisain dengan sudut kemiringan sebesar 600 agar material

mudah meluncur ke dasar hopper.

d. Discharge Device

Page 116: produksi semen

Discharge device merupakan salah satu bagian dari sistem pada

hopper dimana sangat penting untuk mengosongkan debu dari dalam

hopper baik secara manual maupun otomatis antara lain rotary

airlock valves, flap gate valves, srew conveyors dan pneumatic

conveyors.

e. Treatment Zone

Treatment zone adalah daerah ruangan didalam EP tempat

dimana gas yang berisi debu didistribusikan, di-charging dan

dikumpulkan. Komponen mekanik didalamnya termasuk

distribution device, discharge electrodes dan collecting electrodes.

Treatment zone biasanya terbagi atas chambers, field dan cells (bus

section).

f. Perforated Plates

Komponen ini dipasang pada inlet duct sebelum masuk ke

treatment zone. Perforated plates digunakan untuk membantu

terdistribusinya gas yang melintasi luasan penampang didalam EP.

g. Discharge Electrode

Discharge electrode adalah komponen yang membangkitkan

corona discharge didalam EP. Discharge electrode pada sebagian

EP berbentuk tipis dengan diameter 0,13-0,38 cm. Sistem discharge

electrode terdiri dari kawat-kawat yang menggantung secara

vertikal. Jenis kawat biasanya terbuat dari bahan high carbon steel,

tapi juga ada yang terbuat dari stainless steel, titanium alloy dan

aluminium.

h. Collecting electrode

Kebanyakan EP menggunakan collecting electrode dari bahan

plate karena ternyata lebih efisien dalam pemakaian biaya

dibandingkan dengan jenis bahan lain. Plate umumnya dibuat dari

besi mild carbon yang didisain mampu untuk menanggung ekspansi

panas kurang lebih ¼ inch selama operasional.

i. Isolator

Jaringan bus tegangan tinggi yang berfungsi untuk mengalirkan

arus listrik dari transformer/rectifier (T/R sets) ke discharge

Page 117: produksi semen

electrode didalam EP, dipisahkan dengan ground oleh isolator

tegangan tinggi. Isolator merupakan bahan non-conducting yang

terbuat dari plastik atau keramik dan mempunyai beberapa fungsi

termasuk antara lain sebagai support kerangka tegangan tinggi,

isolator pada rapping system dan sebagai stabilizer.

j. Purge Air System

Purge air system sering digunakan untuk menyuplai udara panas

untuk kompartemen penthouse atau isolator dengan level tekanan

lebih tinggi dari tekanan didalam EP, untuk mengurangi jumlah

debu dan kelembaban didalam kompartemen. Sistem ini akan

membantu memperpanjang umur isolator tegangan tinggi karena

menghindari terjadinya tracking dan sparking pada isolator.

k. Rapper dan Vibrator

Rapper dan vibrator adalah komponen-komponen yang

digunakan untuk menciptakan impulse atau getaran mekanis yang

berfungsi untuk membersihkan bagian internal dari EP. Pada EP

Indarung II dan III digunakan hammer sebagai rapping system.

Gambar 94 Rapping system EP

III. 12. 7. Tahap Penyimpanan Klinker Ke Dalam Silo

Klinker hasil pembakaran di kiln kemudian ditransport oleh bucket

conveyor W1U06/U07 yang kemudian disimpan ke dalam silo klinker atau

hopper klinker untuk digiling di dalam cement mill. Produksi klinker di

Indarung II/III dapat disimpan ke dalam intermediate silo U1L11 yang

berkapasitas 800 ton melalui drag chain U1U01 dan sliding gate U02S1.

Dari intermediate silo, klinker dapat langsung dikirim melalui truk atau

Page 118: produksi semen

dikembalikan lagi ke drag chain U1U01 dengan melalui bucket elevator

U1J05 yang kemudian akan langsung dimasukkan ke dalam hopper klinker

Z1/Z2L01.

(a) (b)

Gambar 95 Bucket conveyor W1U06/U07 (a) dan silo klinker (b)

Selain disimpan dalam intermediate silo, klinker juga dapat disimpan di

dalam silo klinker U1/U2L01 yang berkapasitas masing-masing 20.000 ton.

Pengeluaran klinker dari silo tersebut ditransport oleh bucket conveyor

U1J02, drag chain U1J04, dan oleh bucket elevator U1J05 yang selanjutnya

sama seperti sebelumnya yaitu melalui drag chain U1U01 untuk

dimasukkan ke dalam hopper klinker Z1/Z2L01.

III. 13. Pengendalian Operasi Pembakaran

III. 13. 1. Pengendalian Operasi Kiln

Dalam pengoperasian kiln system ada beberapa hal yang harus

diperhatikan yang bertujuan untuk menjaga keselamatan peralatan,

personil dan kestabilan operasi kiln system. Prioritas pada pengoperasian

kiln adalah sebagai berikut :

Menjaga keselamatan peralatan dan personil

Memproduksi klinker dengan kualitas yang baik

Stabilitas operasi kiln yang kontinyu

Kapasitas produksi maksimal dan efisien

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk efisiensi operasi di kiln

antara lain:

Page 119: produksi semen

Menjaga temperatur udara sekunder setinggi mungkin

Menjaga temperatur gas keluar preheater serendah mungkin

Menjaga temperatur klinker keluar cooler serendah mungkin

Menjaga operasi kiln pada kapasitas maksimal

Menjaga burning zone sependek mungkin

Mengurangi false air mulai dari preheater, inlet kiln, dan kilnhood

Pengendalian operasi kiln pada prinsipnya adalah mengendalikan

temperatur sesuai dengan zona-zona di kiln system. Karena proses

produksi klinker seperti yang telah diterangkan pada bagian sebelumnya,

merupakan fungsi dari temperatur (T) dan waktu tinggal (Ф) material:

FCao = f (T,Ф).

Pengendalian temperatur ini mulai dari top cyclone, precalciner, inlet

kiln, burning zone, secondary air, tertiary air, cooler exhaust gas sampai

dengan temperatur klinker keluar cooler.

Dari beberapa temperatur diatas, ada beberapa yang dapat dikontrol

langsung (control parameter), misalnya coal feed ke calciner untuk

mengontrol temperatur calciner, coal feed ke kiln untuk mengontrol

temperatur burning zone, dan sebagian besar merupakan parameter yang

perubahannya diakibatkan oleh berubahnya control parameter (atau

disebut control variable), misalnya temperatur cyclone preheater dll.

Tabel 18 Beberapa contoh control parameter yang berdampak pada control variabel

Control Parameter Control Variabel

Kiln feed Perubahan load elevator

Pengaturan umpan ke string A dan B Perubahan temperatur dan draft di kedua string

Coal feed ke kiln burner Perubahan temperature burning zone, torsi

Coal feed ke calciner Perubahan temperature calciner

Speed kiln Perubahan torsi

Damper ID fan dan EP fan Perubahan draft di preheater, O2 content

Nozzle udara primer di burner Perubahan temperatur burning zone, torsi.

Page 120: produksi semen

Grafik dibawah ini memberi contoh bagaimana pengaruh operator

dalam mengoperasikan kiln dengan melakukan perubahan-perubahan

terhadap control parameter. Indikasi awal yang dilihat operator pada

grafik operasi ini adalah terjadinya penurunan temperatur gas di

suspension preheater W2A53T1.

Gambar 96 Pengaruh penyetelan control parameter coal feed terhadap control variable

temp W1A53T1 dan %CO.

Temperatur ini merupakan control variable, operator mengira

penurunan temperatur disebabkan coal feed kurang, lalu ia mengambil

tindakan mengubah control parameter coal meal flow (coal feed) dengan

melakukan penambahan coal feed. Beberapa menit kemudian terlihat

control variable temperatur W2A53T1 meningkat drastis, bahkan

melebihi kondisi yang diinginkan sebelumnya. Kenaikan temperatur

W2A53T1 ini diikuti perubahan control variable lainnya yaitu naiknya

%CO di top suspension preheater. Melihat perubahan 2 control variable

ini, operator mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi kelebihan coal

feed sehingga coal terbakar sebagian di suspension preheater diikuti

dengan munculnya CO. Lalu kemudian operator mengambil tindakan

menurunkan lagi control parameter coal feed, hasilnya control variable

Page 121: produksi semen

temperatur W2A53T1 kembali ke temperature yang diinginkan, %CO

turun kembali. Tetapi karena telah terjadi pembakaran yang tidak

sempurna, dimana temperatur burning zone turun mengakibatkan klinker

pada saat itu tidak masuk standard kualitasnya (Free lime >1.3%)

Grafik ini juga memperlihatkan bahwa indikasi-indikasi yang ada di

monitor (control variable) merupakan sesuatu yang mutlak untuk selalu

diperhatikan oleh operator kiln dalam melakukan perubahan-perubahan

control parameter sehingga dihasilkan produksi klinker yang baik dengan

kapasitas produksi yang maksimal. Tanpa kejelian dan sungguh-sungguh,

seorang operator kiln tidak akan mampu menghasilkan klinker yang baik.

III. 13. 2. Pembentukan Coating di Dalam Kiln

Proses terbentuknya coating dimulai chemisorption dan adsorption

antara batu dengan liquid phase, kemudian terjadi infiltrasi liquid phase

klinker ke brick, maka terjadi reaksi antara klinker komponen dengan

material refractory. Selanjutnya terjadi pengerasan dari liquid membentuk

coating. Lapisan coating adalah komponen klinker terdiri dari C2S-MgO

yang mengeras. Coating kontinyu terbentuk sampai temperatur permukaan

coating mencapai temperatur lelehnya (1315 °C).

Fungsi coating adalah:

Melindungi brick dari corrosive dan abrasive action

Menurunkan temperatur hot face dari brick

Menyimpan panas sementara, kemudian dipindahkan lagi ke material.

Pembentukan coating ditentukan oleh:

Reaksi kimia antara clinker liquid dan brick

Rasio Al2O3/Fe2O3 naik, pembentukan coating naik

SiO2 turun, pembentukan coating naik

Thermal conductivity brick dimana makin tinggi thermal conductivity,

coating makin mudah terbentuk.

Kerusakan coating disebabkan oleh:

Perubahan komposisi raw meal

Distorsi mekanis

Temperatur burning zone turun

Page 122: produksi semen

Temperatur burning zone terlalu tinggi (overheating)

Coating pada magnesite brick (brick spinal) terjadi karena reaksi antara

C2S-C5A3 dari liquid klinker dengan M2S dari brick, menghasilkan C2S, CA

(pada sisi klinker) dan MgO peryclase (pada sisi brick). Layer klinker akan

built-up karena ikatan MgO dengan C2S yang mengkristal kembali.

Coating pada magnesite-chrome brick (brick basic) terjadi karena reaksi

C3A-C4AF dari liquid clinker mempenetrasi ke brick bereaksi dengan MS

menghasilkan C2S C4AF-C3A. Zone klinker-brick ini bisa mencapai 400

mikron. Migrasi Cr2O3 dari brick ke section klinker akan menyelimuti β-

C2S sehingga lebih stabil dan tidak terjadi inverse menjadi α-C2S pada saat

pendinginan yang dapat menyebabkan coating jatuh.

III. 13. 3. Proses Terbentuknya Clogging

Terbentuknya clogging disebabkan karena adanya elemen yang

tersirkulasi. Elemen yang tersirkulasi ini adalah:

Alkali (K, Na, dari clay)

Sulfur (dari bahan bakar, dari gypsum/sulfat)

Chlorine (dari NaCl air laut atau KCl).

Penjelasan gambar:

CaSO4 lebih mudah menguap (lebih volatile) daripada alkali sulfat

(Na2SO4, K2SO4). Alkali sulfat akan keluar bersama klinker, sedangkan

sebagian CaSO4 akan terdekomposisi pada temperatur >1000 ºC dan

kemudian mengalami kondensasi pada temperatur 800 – 1000 ºC sehingga

membentuk clogging di riser pipe.

Page 123: produksi semen

Gambar 97 siklus sulfur dalam kiln dan preheater

Apabila jumlah alkali cukup banyak, maka alkali akan bereaksi dengan

sulfur dan keluar kiln bersama klinker sehingga dapat mengurangi terjadi

clogging. Rasio molar alkali-sulfur yang membantu adalah: Alk/SO3 ≈ 1.2.

Jika terdapat lebih sedikit alkali, maka clogging lebih banyak terbentuk.

Secara umum, apabila jumlah input sulfur tidak berubah, maka faktor

yang menentukan terjadinya penguapan sulfur (mudahnya terbentuk

clogging) adalah:

Tingginya temperatur burning zone (terjadi saat produksi OWC)

mengakibatkan mudahnya sulfur teruapkan/terbentuk clogging.

Lama waktu tinggal didalam burning zone akan mengakibatkan sulfur

lebih banyak teruapkan/terbentuk clogging.

Terbentuknya CO pada pembakaran di dalam kiln, maka penguapan

senyawa sulfur akan meningkat sehingga memperbesar kemungkinan

terbentuknya clogging.

Page 124: produksi semen

Nyala api relatif panjang dan tidak stabil.

Tingginya BF, sehingga butuh panas di burning zone yang tinggi,

mempermudah menguapnya sulfur.

Pyrite (FeS2) yang berasal dari raw meal, terdekomposisi pada

temperatur 400-600 °C, membentuk SO2. Kemudian 70% SO2 bereaksi

dengan CaCO3 menjadi CaSO4, dan sisanya 30% SO2 keluar cyclone (10-

20% terserap di raw mill dan sisanya keluar cerobong). Chlorida

terkondensasi pada temperatur 650-800 °C. Chlor sangat volatile sehingga

hampir tidak ada yang keluar ikut klinker.

III. 13. 4. Heating Up Kiln

Tujuan Heating Up

Sebagaimana diketahui bahwa dalam kiln terpasang batu tahan api, yang

terpasang hanya mengandalkan kekuatan interaksi antara brick yang satu

dengan yang lain, bila satu brick pecah maka kemungkinan brick di

sekitarnya akan jatuh pula demikian seterusnya, oleh karena itu batu tahan

api harus diperlakukan dengan hati-hati mulai dari penyalaan pertama

dimana brick dikeringkan dulu secara perlahan-lahan agar tidak mengalami

retak-retak, kemudian brick dipanaskan agar pemuaian terjadi

keseimbangan dengan pemuaian shell kiln sampai dengan tercapainya

temperatur operasi.

Oleh karena koefisien pemuaian shell kiln jauh lebih besar dari brick

maka pemanasan harus sangat hati-hati sehingga antara ring brick dengan

kiln shell tidak ada gap selama heating up, selama proses pemanasan

tersebut kiln harus diputar secara periodik misalnya 1/3 selama 30 menit,

dan frekuensi putaran makin ditingkatkan dengan naiknya termperatur.

Pengeringan brick dan pemuaian brick secara perlahan-lahan ini juga

berlaku di sistem suspension preheater. Tujuan lain dari heating up adalah

untuk menaikkan temperatur sistem suspension preheater dan kiln sampai

tercapainya temperatur operasi agar material yang masuk dapat langsung

diproses seperti waktu operasi normal. Jika tidak maka material tidak akan

matang sampai keluar kiln.

Penanganan heating up yang tidak hati hati menyebabkan:

Page 125: produksi semen

Batu tahan api lolos, retak, pecah dan jatuh

Batu tahan api dapat meleleh bila apinya tidak tepat dan tidak dilakukan

pemutaran kiln

Distribusi tidak baik/tidak imbang artinya di kiln terlalu panas tetapi di

suspension preheater terlalu dingin dan sebaliknya

Final inspection

Hal-hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan heating up adalah:

Man hole, check hole di preheater system sampai dengan chimney harus

sudah tertutup

Cek semua down pipe cyclone gantungkan sluice valve masing-masing

cyclone

Semua alat-alat transport dan alat-alat pendukung lainnya harus dicoba

start local, mulai dari dust transport EP/dust filter raw mill. Cooler, kiln

feed system sampai klinker transport ke silo

Cek dan tes damper preheater fan, EP/dust filter fan, cooler exhaust fan,

cooling fan grate cooler

Cek dan tes semua gate, change over gate di kiln feed system

Cek dan tes bila diperlukan oil burner di kiln dan calciner

Cek semua air pendingin dan udara tekan ke masing-masing equipment

Cek dan tes gas analyser di kiln inlet, top cyclone string A dan B

Tempatkan dan atur posisi burner tip sesuai dengan ketentuan

Kurva Temperatur di Cyclone Stage Terbawah A/riser Pipe Terhadap

Waktu

Kurva ini sangat penting untuk dibuat, bahkan sebelum lighting up

sudah harus dibuat terlebih dahulu untuk memandu operator dalam

mengontrol kenaikan temperatur sepanjang waktu heating up. Indikator

yang biasa dipakai adalah temperatur gas di cyclone terbawah atau ada juga

yang memakai indikator di kiln inlet.

Page 126: produksi semen

Gambar 98 Kurva kenaikan temperatur gas terhadap waktu di siklon terbawah

Kenaikan temperatur untuk secara umum kecepatan heating up sekitar

25-30 oC/jam sampai dengan temperatur di cyclone stage terbawah 350

oC

(atau temperatur burning zone sekitar 500 oC). Kemudian kecepatan heating

up dapat ditingkatkan menjadi 40-50 oC, sampai dengan dicapai temperatur

yang sesuai untuk feeding pertama. Biasanya lama heating up sekitar 18-40

jam, tergantung dengan berapa jumlah batu tahan api yang baru

dipasangkan.

Pada kondisi kiln stop trouble dalam kondisi kiln masih panas (stop

kurang dari 24 jam), maka heating up dapat dilakukan dengan memanaskan

kiln kembali minimal 40 % dari waktu stop tersebut, dengan catatan

kecepatan kenaikan temperatur seperti yang sudah dijelaskan di atas.

III. 13. 5. Feeding Pertama Sampai Normal

Syarat-Syarat Variabel Parameter Pada Saat Feeding Pertama

Kiln dengan pembakaran di kalsiner ataupun tanpa pembakaran di

kalsiner sebelum di feeding harus di heating up sampai dengan mendekati

temperatur operasinya, sedangkan pada saat feeding pertama ini draft tidak

dapat dijadikan pedoman karena sangat tergantung dengan jumlah feeding.

Page 127: produksi semen

Biasanya setiap pabrik mempunyai batasan temperatur minimum yang

harus dicapai sebelum feeding dapat dilaksanakan, sebagai contoh: misalnya

temperatur cyclone stage terbawah minimal 700 oC atau temperatur kiln

shell setelah penggantian brick baru sekitar 300 oC, maka feeding sudah

dapat dilakukan.

Temperatur di suspension preheater yang penting saat feeding adalah:

Temperatur kiln inlet

Pada umumnya temperatur di sini cukup 900 oC-1100

oC, kurang

dari 900 oC material masuk kiln akan sulit terdecarbonisasi, sehingga

reaksi di kiln akan lambat. Sedangkan lebih 1100 oC, akan

memungkinkan material menjadi sticky (lengket) dan coating di

suspension preheater bahkan bisa berakibat blocking di cyclone.

Temperatur gas cyclone stage terbawah 700-750 oC

Daerah ini juga menentukan sekali karena temperatur tersebut

menjamin bahan bakar yang akan langsung terbakar. Sedangkan yang

tidak dengan pembakaran di kalsiner temperatur tersebut adalah awal

dari reaksi dekarbonisasi.

Diharapkan di cyclone terbawah sudah dimulai dekarbonisasi pada

temperatur tersebut, sehingga beban kiln menjadi lebih ringan. Ada dua

cara penyalaan burner di suspension preheater, yaitu menjelang feeding

atau sesaat sesudah feeding. Keduanya mempunyai resiko sendiri-

sendiri. Untuk menjelang feeding, bila feedingnya gagal akan cepat

terjadi overheating. Sedangkan sesaat sesudah feeding, bila

penyalaannya gagal, material akan relatif masih mentah masuk ke kiln.

Temperatur inlet preheater fan

Suatu yang lumrah bila saat feeding damper preheater fan mulai

dibuka (atau ditambah speed), sehingga gas panas tertarik ke atas dan

menaikkan gas masuk preheater fan. Untuk itu temperatur tetap harus

dijaga max 450 oC dengan mengatur bukaan damper/speed fan dan

balancing dengan jumlah kiln feed yang diumpankan. Menjaga

temperatur tersebut dengan maksud melindungi peralatan dan ducting

dari deformasi akibat temperatur tinggi.

Kondisi dalam kiln

Page 128: produksi semen

Kondisi ini agak sulit diukur dengan alat karena arah kamera hanya

pada material di sintering zone. Sedang tempat lain di kiln tidak

dideteksi. Apabila di dalam kiln masih bersih tidak ada material, maka

temperatur yang terukur, bila tidak terganggu flame oleh debu dari

cooler saat feeding adalah 1400-1450 oC. Apabila di dalam kiln sudah

ada material, maka secara visual akan lebih tepat menentukan siap

feeding atau tidak, yaitu apabila material telah pijar agak keputih-

putihan menandakan material telah matang dan diharapkan akan diikuti

matangnya meterial dibelakangnya, atau bila temperatur shell kiln > 300

oC (dengan catatan brick baru).

Speed kiln

Sesaat sebelum feeding, speed kiln diganti dari auxiliary ke main

drive dengan minimum speed (± 0,6 – 0,8 rpm). Pada saat feeding

pertama penambahan bahan bakar lebihkan sekitar 300 – 400 Kcal/kg

klinker atau 10-30 % dari operasi normal.

III. 13. 6. Ganguan Operasi dan Penanggulangan

Begitu banyak ragam dan macamnya gangguan operasi sehingga suit

untuk dijelaskan satu-persatu. Bahkan terkadang jenis gangguan berasal dari

tempat lain. Namun akan dicoba untuk memberikan contoh yang

diusahakan se-general mungkin dan menyangkit gangguan yang tidak

menyebabkan shut down.

Kiln flushing

Flushing adalah akibat raw mix yang tidak terbakar sempurna menjadi

klinker, penyebabnya bermacam-macam, misalnya kiln feed berfluktuasi,

batu bara shortage atau fluktuasi, atau jatuhnya ring coating yang terlalu

besar.

Indikator awal yang dapat dipakai adalah torque kiln turun secara

drastis, misalnya disebabkan oleh shortage/fluktuasi bahan bakar maka

temperatur di kalsiner SLC atau burning zone akan turun, profil nyala

menjadi gelap.

Page 129: produksi semen

Untuk mencegah terjadinya flushing, pertama-tama yang harus

dilakukan atau turunkan secara drastis speed kiln, hal ini bertujuan untuk

memperpanjang waktu tinggal material di dalam kiln, sehingga diharapkan

akan memperbaiki proses pembakaran raw mix menjadi klinker, jaga

temperatur di suspension preheater agar tingkat dekarbonisasinya cukup

sebelum masuk ke kiln, kemudian stabilkan flame yang dapat dijaga dengan

menstabilkan fuel dan grate I agar dapat menghasilkan temperatur udara

sekunder yang cukup temperaturnya. Untuk kiln yang menggunakan swirlax

burner tambahkan pemakaian udara swirling yang bertujuan memperbaiki

performance pencampuran bahan bakar dengan udara sehingga diharapkan

bahan bakar segera dapat terbakar, walaupun diganggu adanya abu dari raw

mix/klinker.

Ring coating

Ring coating adalah kondisi dimana ada coating dengan ketebalan

tertentu sehingga berakibat sangat mengganggu pada pengoperasian kiln

karena:

Material akan tertahan di belakang ring coating

Gas tidak lancar mengalir sehingga udara yang terhisap juga kuang dan

CO akan naik, kadang-kadang terpaksa mengurangi fuel beserta kiln

feed

Untuk mengatasi ring ini sebaiknya dilakukan dengan merubah panjang

pendeknya flame, dengan harapan ada perubahan temperatur ring coating

dan akhirnya jatuh.

Selain itu apabila di tempat ring coating itu diberi pendingin pada kiln

shellnya maka cooling fan pada posisi tersebut dimatikan. Karena pada

umumnya ring coating terjadi pada daerah antara calcination zone dan

transition zone, maka memperpendek dan memperkuat api di main burner

akan dapat menolong. Perontokan ring coating sambil operasi yang tidak

sampai mengganggu bisa berjalan 1-2 hari.

Page 130: produksi semen

IV. PROSES PRODUKSI DI AREA CEMENT MILL

IV. 1. Proses Produksi di Area Cement Mill Indarung II/III

Proses produksi di area cement mill Produksi II/III dapat dibagi menjadi 3

tahapan yaitu tahap pengumpanan material (klinker, gypsum, material ketiga),

tahap penggilingan, dan tahap pengiriman semen ke silo semen (cement

transport).

IV. 1. 1. Tahap Pengumpanan Material

Bahan yang digunakan untuk membuat semen terdiri dari 3 jenis

bahan yaitu klinker (digunakan sebanyak ± 91% untuk tipe I dan ± 72%

untuk tipe SMC), gypsum (digunakan sebanyak ± 3% untuk semua

tipe), dan material ketiga (batu kapur digunakan sebanyak ± 3% untuk

tipe I dan ±25 % untuk SMC). Klinker yang disimpan di dalam hopper

Z1/Z2L01 yang berkapasitas 400 ton diumpankan oleh dosimat feeder

Z1/Z2A01 ke dalam cement mill, sementara gypsum yang disimpan di

dalam hopper Z1/Z2L02 yang berkapasitas 200 ton diumpankan oleh

dosimat feeder Z1/Z2B01. Material ketiga (batu kapur) yang disimpan

di dalam hopper Z1/Z2L03 dengan kapasitas 200 ton diumpankan oleh

dosimat feeder Z1A02 yang dilanjutkan oleh belt conveyor Z1A03 ke

dalam cement mill pada Indarung II. Untuk Indarung III, sebelum masuk

ke cement mill, klinker dan gypsum dapat terlebih dahulu digiling di

dalam pregrinder.

Gambar 99 Dosimat feeder

Page 131: produksi semen

IV. 1. 2. Tahap Penggilingan

Penggilingan ketiga material tersebut dilakukan di dalam tube mill

Z1/Z2M01 yang berkapasitas 107 ton perjam. Tube mill yang

digunakan bertipe Unidan dengan feed arrangement bertipe drum feeder

karena memiliki fasilitas untuk menyemprotkan air yang dibutuhkan

untuk menurunkan suhu semen yang sedang digiling. Discharge

arrangement yang digunakan berjenis end discharge yang memiliki dua

pengeluaran dimana gas dikeluarkan melalui atas dan semen hasil

penggilingan dikeluarkan melalui bagian bawah.

Gambar 100 Cement mill

Gambar 101 Diaphragma pada cement mill

Material Inlet

Material

Outlet

Water Injection

Diafragma

Page 132: produksi semen

Tube mill yang digunakan untuk penggilingan semen ini hanya

memiliki dua buah kompartmen yaitu kompartmen I dan kompartmen II

tanpa drying chamber. Penggilingan awal dilakukan di dalam

kompartmen I dan kemudian menuju ke kompartment II untuk

penghalusan. Antara kompartmen I dan kompartmen II juga dipasang

diaphragm yang berjenis double diaphragm. Di dalam kompartmen I

dipasang lifting liner berjenis step liner dan untuk kompartmen II

digunakan classifying liner. Grinding media yang digunakan di dalam

kompartmen I berukuran 60-90 mm, sedangkan untuk kompartmen II,

grinding media yang digunakan berukuran 20-30 mm.

(a) (b)

Gambar 102 Liner (a) dan grinding media yang digunakan di dalam cement mill (b)

Untuk mengatur dan mengendalikan suhu di dalam mill baik kamar I

dan kamar II yang diakibatkan oleh proses penggilingan, maka

dilakukan proses pendinginan dengan menembakkan air (water

injection). Penyemprotan air (water injection) dilakukan secara otomatis

pada kedua ujung mill dengan menggunakan nozzle yang dibantu oleh

udara tekan dari kompresor. Suhu inlet dikontrol oleh temperature

partition dan suhu outlet dikontrol oleh suhu semen keluar. Suhu di

dalam mill dijaga pada tingkat yang aman yaitu antara 110-125 0C

karena jika suhu semen di atas 125 0C maka dapat menimbulkan dry

clogging dan dehidrasi air kristal gypsum sehingga akan mengakibatkan

false set pada semen, sedangkan jika di bawah 110 0C, maka akan

menimbulkan wet clogging. Pengaturan suhu ini juga penting untuk

Page 133: produksi semen

kondisi operasi Electrostatic Precipitator (EP) dimana EP tersebut akan

bekerja dengan baik pada suhu di atas 100 0C.

(a) (b)

Gambar 103 Water injection pada (a) inlet mill dan (b) outlet mill

Hasil produk semen setelah penggilingan kemudian keluar melalui

bawah mill dan dibawa oleh air slide Z1/Z2M13, bucket elevator

Z1/Z2J01, dan air slide Z1/Z2J02-04 untuk selanjutnya dimasukkan ke

dalam separator Z1/Z2S01 dan Z1/Z2S02. Sedangkan gas dari cement

mill yang ditarik dari fan Z1/Z2P05 masuk ke Electrostatic Precipitator

Z1/Z2P11 dan gas dibuang menuju cerobong. Debu yang tertangkap EP

ditransportasikan oleh screw conveyor Z1/Z2P12 dan Z1/Z2U02 ke air

slide Z1/Z2U01.

Separator yang digunakan di indarung II/III adalah berjenis dynamic

separator classifier dengan Counterblades dan Internal Fan. Produk

separator yang kasar (tailing) kemudian dibalikkan seluruhnya ke dalam

kompartmen I mill melalui air slide Z1/Z2S08. Fineness produk

separator kemudian ditransport oleh air slide Z1/Z2U01 dan

Z1/Z2U21A kemudian dilanjutkan oleh belt conveyor Z2U24 dan

Z2U25 menuju ke silo semen.

IV. 1. 3. Tahap Pengiriman Semen ke Silo Semen

Semen hasil produksi Indarung II/III dan Indarung IV kemudian

disimpan ke dalam silo semen yang berjumlah 8 buah dengan kapasitas

masing-masing silo sebesar 5000 ton. Pembagian silo semen untuk

masing-masing tipe semen yaitu untuk tipe I disimpan di dalam silo

1,4,5 dan 8, PPC disimpan di dalam silo 2,3, dan 4, sedangkan SMC

Page 134: produksi semen

disimpan di dalam silo 7. Transportasi semen menggunakan belt

conveyor Z2U24-U27 yang kemudian dilanjutkan oleh rangkaian air

slide Z2U28-U31 sehingga semen dapat dimasukkan ke dalam tiap-tiap

silo. Untuk mengatur masuknya semen ke dalam tiap-tiap silo, maka

digunakan bottom gate yang digerakkan secara pneumatic, tetapi

sekarang pengoperasiannya dilakukan secara manual. Setiap hari juga

dilakukan pengukuran ketinggian semen di dalam silo sehingga dapat

diketahui volume semen di dalam silo tersebut

Gambar 104 Silo semen Indarung 2, 3 dan 4

IV. 1. 4. Kriteria-Kriteria Perancangan di Cement Mill Indarung II/III

a. Length to Diameter Ratio (λ)

Panjang Mill (L) = LComp. I + LComp. II = 4,2 + 7,57 = 11,77 m

Diameter (D) = 4,3 m

Maka λ = L/D = 2,74

b. Filling Degree (f)

Filling degree dan berat grinding media di tiap kompartmen dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 19 Filling degree dan berat grinding media

Kompartmen Ukuran grinding media (mm) Berat grinding media (ton) Filling degree (%)

I

90 17,7

28 80 24,6

70 16,2

60 18,5

Page 135: produksi semen

Total 77

II

30 69,3

32 25 75,9

20 19,8

Total 165

c. Grinding Media Charge

Berat grinding media charge di tiap kompartmen adalah sebagai

berikut:

Untuk kompartmen I

Qui xf

xxLxDQ

1004

2 (ton)

Q = 75,1 ton

Untuk kompartmen II

Qui xf

xxLxDQ

1004

2 (ton)

Q = 163,49 ton

d. Mill Speed

Dincrit

3,42 = 20,39 rpm

n = 15,87 rpm

k = 77,93 %

Dapat dilihat bahwa % kecepatan mill yang digunakan adalah sebesar

77,93 % dari kecepatan kritis.

IV. 2. Vertical Roller Mill

Prinsip kerja vertical roller mill adalah klinker digiling diatas rotating table

oleh 3 (tiga) buah roller. Roller ini menekan klinker dengan tekanan hydraulic

system 60 – 80 bar. Material yang telah digiling turun dari grinding table dan

ditransport ke vibrating screen untuk mengontrol ukuran umpan material yang

akan masuk ke cement mill. Ukuran umpan yang masuk ke cement mill adalah

blaine 850 - 1000 cm2/gr, sieve on 90 mikron : 50 – 60%, sieve on 45 mikron :

+/- 70%.

Page 136: produksi semen

Peningkatan kapasitas pregrinder berkisar 25 – 100% tergantung pada

konfigurasi. 1 kW power yang diserap pregrinder, mengurangi power yang

diserap mill 2 – 2.5 kW.

Berbagai konfigurasi vertical roller mill / pregrinder dapat dilihat pada

gambar berikut :

Gambar 105 Berbagai konfigurasi vertical roller mill

Page 137: produksi semen

Vertical roller mill merupakan peralatan yang tepat untuk menggiling dan

mengeringkan material yang basah. Material yang dapat digiling di dalam roller

mill antara lain seperti raw material, coal, pozzolan/tras, slag, dan semen.

Fungsi utama dari roller mill dapat dilihat pada gambar 106 yaitu:

a. Menggiling (grinding)

Material digiling di antara roller dan grinding table sewaktu material

tersebut bergerak dari tengah meja ke arah nozzle ring. Metode

penggilingan ini merupakan proses penggilingan yang paling efisien di

dalam industri semen.

b. Pemisahan (separation)

Material kering diangkat oleh gas kering. Kemudian di dalam separator,

partikel yang terlalu kasar (tailing) dikembalikan lagi ke grinding table,

sementara partikel yang halus meninggalkan mill dan dikirim ke dust

collector.

c. Pengeringan (drying)

Udara proses yang digunakan terutama berasal dari waste gas kiln atau

cooler atau disuplai oleh generator gas panas. Pengeringan berlangsung

bersamaan dengan proses penggilingan dan pemisahan .

d. Transport

Gas kering digunakan sebagai media pengirim. Tahap pengiriman

pertama adalah sirkulasi internal dan tahap yang kedua adalah separator.

Akhirnya, produk diekstraksi dari separator dan secara pneumatic dikirim

ke siklon atau filter dimana produk kemudian dikumpulkan dan

diumpankan ke silo. Gas yang bersih dikeluarkan atau diresirkulasikan

kembali ke dalam mill.

Page 138: produksi semen

Gambar 106 Fungsi utama dari roller mill

Proses ini disebut drying/grinding process, dimana hampir seluruh

material/produk ditransportasikan secara pneumatic oleh gas kering.

Gambar rancangan umum roller mill beserta bagian-bagiannya dapat

dilihat pada gambar 107 berikut.

Page 139: produksi semen

Gambar 107 Design roller mill secara umum

Prinsip kerja dari roller mill yaitu sebagai berikut:

Umpan material

Material basah diumpankan melalui air sealed feed gate ke atas

grinding table. Feed gate dirancang untuk dapat mencegah

masuknya false air ke dalam mill dan melindungi mill terhadap

tekanan negatif yang tinggi di dalam mill body. Untuk material yang

basah dan lengket, triple gates (heatable) dibutuhkan dan umumnya

digunakan rotating airlocks.

Penggilingan

Material (umpan segar, material resirkulasi, dan tailing

separator) yang melewati tengah meja di bawah roller kemudian

digiling di antara roller dan grinding track. Ukuran maksimum

partikel yang dapat digiling di bawah roller adalah berukuran maks.

5-8 % diameter roller dimana ukuran tersebut tergantung pada

diameter roller, kecepatan meja, tekanan roller dan karakteristik

material (granulometry dan properties)

Sirkulasi material

Page 140: produksi semen

Sirkulai internal material dapat dilihat pada gambar 108 berikut.

Material yang mengalir di atas dam ring ditangkap dan kemudian

terangkat oleh aliran gas vertikal dari nozzle ring. Partikel kasar

jatuh kembali ke grinding table sementara yang halus terangkat ke

separator untuk dipisahkan. Laju sirkulasi internal tergantung

terutama pada grindability dari ground material dan dapat mencapai

15-25 siklus. Pengurangan kecepatan gas di dalam nozzle ring

mengakibatkan jatuhnya partikel yang lebih besar. Material yang

terjatuh harus diekstraksi oleh scraper dan diresirkulasi ke dalam

mill feed.

Gambar 108 Sirkulasi internal di dalam roller mill

Separasi

Separasi yang baik dapat meningkatkan kualitas raw meal dan

menghindari penggilingan yang berlebih (menghemat energi).

Partikel kasar (coarse tailing) diumpankan melalui tailing cone ke

tengah grinding table untuk membantu formasi dari grinding table

menjadi lebih stabil. Kehalusan raw meal dapat lebih mudah

dikontrol oleh penyesuaian kecepatan cage rotor.

Page 141: produksi semen

Drying

Pengeringan terjadi terutama di tempat di mana gas panas keluar

nozzle dan kontak dengan material yang lembab. Partikel yang halus

memiliki waktu tinggal yang lama di dalam gas pengering

(tergantung pada gas collector) yang memastikan kinerja

pengeringan yang baik.

Water injection

Pada kondisi tertentu, roller mill memerlukan injeksi air untuk

menstabilkan grinding bed, injection nozzle seharusnya

menyemprot material di bagian depan setiap roller yang disesuaikan

dengan keluaran. Fasilitas water injection dengan dosing valve dapat

dipasang di dalam mill casing untuk mendinginkan gas kiln jika

suhu gas berlebih dan kurang lembabnya material.

IV. 2. 1. Aspek Operasional Roller Mill

a. Penggilingan

Tujuan utama penggilingan selama pengoperasian adalah untuk

memastikan grinding bed yang stabil dan optimal sehingga dapat

mengakibatkan produksi pengilingan yang optimal pada penggunaan power

mill yang terendah. Faktor utama yang mempengaruhinya adalah:

Material granulometry

Campuran partikel kasar dan halus akan membentuk material bed yang

stabil. Material yang terlalu kasar menyebabkan pergerakan roller yang

kasar, sedangkan material yang terlalu halus cenderung mengakibatkan

roller tergelincir/slip. Material yang terlalu kering biasanya dilembabkan

oleh water injection untuk membentuk compact bed.

Page 142: produksi semen

Gambar 109 Aliran material di atas grinding table

Tekanan roller

Tekanan yang tinggi menghasilkan kerja penggilingan yang lebih

tinggi di dalam satu muatan sirkulasi material yang mempengaruhi

distribusi ukuran partikel dari produk. Muatan sirkulasi yang lebih

tinggi menghasilkan distribusi ukuran partikel yang lebih sempit

sehingga kondisi optimalnya harus dicari dengan uji coba dan

pengalaman.

Dam ring

Dam ring mengizinkan penyesuaian ketinggian bed dan penting

untuk mill dengan meja datar untuk menjaga material di atas grinding

table.

Louvre ring

Berdasarkan pada pengaturan roller dan perancangan table, material

mencapai aliran tak seimbang dalam louvre ring. Dengan penyesuaian

yang tepat pada bukaan nozzle (cover, insert, peralatan adjustment)

maka lebih banyak gas yang dapat diarahkan melalui nozzle sehingga

material yang dapat terangkat lebih banyak dan lebih kasar.

b. Sirkulasi eksternal

Material diangkat melalui louvre ring oleh aliran gas dan kemudian

diresirkulasikan secara pneumatic. Untuk mengangkat partikel yang

berukuran lebih besar, kecepatan gas yang , terlalu banyak diperlukan

Page 143: produksi semen

sehingga mengakibatkan kehilangan tekanan yang tinggi melalui louvre

ring.

Untuk mengurangi pressure drop pada area ini, open nozzle section

dibuka untuk menyediakan kecepatan dalam batas 30-50 m/s melalui nozzle

yang menghasilkan pengurangan tenaga fan. Hasilnya, partikel kasar yang

jatuh melewati nozzle harus dikumpulkan oleh scraper yang menempel

pada rotating grinding table dan kemudian diangkat oleh bucket elevator ke

dalam mill feed.

Gambar 110 Sirkulasi eksternal material

c. Separasi

Separator bertugas untuk mengklasifikasikan material yang diangkat

dari grinding table. Targetnya adalah untuk mengurangi particle size

distribution (PSD) dengan jumlah partikel kasar (%R 200 μm) dan partikel

halus (% <10 μm) yang rendah.

Page 144: produksi semen

Gambar 111 Beragam separator yang digunakan di roller mill

Ada 3 generasi separator, yaitu:

Static separator

Static separator merupakan peralatan yang murah dan sederhana,

tetapi menghasilkan particle size distribution (PSD) yang lebar.

Penyesuaian fineness dilakukan dengan menyesuaikan arah vane dimana

efisiensi menurun dengan meningkatnya fineness.

Conventional rotor type separator

Pada Conventional rotor type separator, penyesuaian fineness

dilakukan oleh kecepatan rotor. Separator tipe ini menghasilkan particle

size distribution (PSD) yang lebar dan pressure loss yang rendah.

Jatuhan tailing tersebar di atas grinding table.

Cage rotor separator with guide vanes

Separator tipe ini harus dioperasikan dengan kecepatan udara yang

tinggi melalui cage rotor (4,5-6 m/s) untuk raw material. Guide vane

diposisikan ketika fase penggilingan dan setelah itu ditetapkan

posisinya. Cage rotor separator dapat menghasilkan less fines

Page 145: produksi semen

(menghemat energi) dan menghasilkan coarser tailing (grinding bed

lebih stabil) dikarenakan efisiensi classifying yang lebih baik.

d. Pengeringan (drying)

Laju alir gas yang melewati mill harus dijaga konstan untuk

mendapatkan kondisi grinding/separasi yang lebih stabil. Dengan

berubahnya volume gas terhadap suhu (gas density) maka merupakan hal

yang penting untuk menjaga suhu keluaran mill yang konstan. Untuk

memproses material dengan kandungan kelembaban yang tinggi, maka suhu

keluaran mill harus lebih tinggi, sebaliknya suhu keluaran mill lebih rendah

untuk material dengan kelembaban yang rendah.

IV. 2. 2. Beragam Rancangan dan Tampilan Roller Mill

a. Gebr. Pfeiffer

Aplikasi: Raw material, coal, pozzolan/tras, semen

Tampilan rancangan:

Sudut kemiringan roller dengan grinding bed 150, grinding path

berbentuk cekung

Memiliki 3 buah roller yang berukuran sama besar

Menggunakan high efficiency separatrt tipe SLS

Pengoperasian:

Start up dengan auxiliary drive dan roller bersifat statis di atas grinding

table

Normalnya mill casing berukuran besar dan kehilangan tekanan aliran

gas rendah

Spesialisasi: Mill yang lebih rendah (tanpa separator) digunakan sebagai

pregrinder untuk klinker.

b. Loesche

Aplikasi: raw material, coal, pozzolan

Tampilan rancangan:

Menggunakan high efficiency separator jalousie tipe LJKS

Page 146: produksi semen

Memakai conical roller yang berjumlah 2, 3, atau 4 sesuai dengan

kapasitas mill

Pengoperasian:

Roller dapat diangkat dari grinding track dengan torsi yang rendah

untuk start up mill

Umumnya terjadi kehilangan tekanan yang tinggi di dalam mill, tetapi

dapat dioptuimalkan dengan sirkulasi eksternal

(a) (b)

Gambar 112 Roller mill rancangan (a) Gebr. Pfeiffer (b)Loesche

c. Fuller-Loesche

Aplikasi: raw material, coal, pozzolan

Tampilan rancangan:

Page 147: produksi semen

Secara umum sama seperti Loesche mill

Menggunakan high efficiency separator dengan tipe O-SERA (lisensi

ONODA). SEPAX separator juga bisa digunakan setelah pengambil

alihan oleh FLS.

Pengoperasian: Pada umumnya sama seperti Loesche mill.

d. FLS

Aplikasi: raw material, coal

Tampilan rancangan:

Menggunakan roller yang selalu berjumlah 3 buah

Pull rod diatur di luar area penggilingan

Menggunakan high efficiency cage rotor separator SEPAX tipe

(RAR…) dengan guide vane yang dapat disesuaikan.

Pengoperasian:

Roller dapat diangkat dari grinding table ketika start up

Sistem standard termasuk gas recirculating duct

(a) (b)

Gambar 113 Roller mill rancangan (a) Fuller-Loesche (b)FLS-ATOX

Page 148: produksi semen

e. Polysius

Aplikasi: Raw material, coal

Tampilan rancangan:

Memiliki 2 roller kembar yang berukuran sama besar dengan double

grooved grinding table

Pull rod ditempatkan di luar area penggilingan

Satu pull rod umumnya tetap (tidak bergerak), sementara pull rod yang

lain dapat disesuaikan untuk pengaturan tekanan roller

Menggunakan high efficiency separator tipe SEPOL

Gambar 114 Roller mill rancangan Polysius

Page 149: produksi semen

IV. 2. 3. Roller Mill (Pregrinder) di Departemen Produksi II/III

Roller mill (pregrinder) di Departemen Produksi II/III hanya ada di

Indarung III. Pregrinder ini merupakan proyek bantuan dari Jepang yang

dibangun pada tahun 1995 oleh Ishikawajima-Harima Heavy Industries

(IHI) Co., Ltd. Material yang akan digiling oleh pregrinder (klinker dan

gypsum) ditransportasikan oleh belt conveyor Z2J12 dan masuk ke dalam

pregrinder melalui bagian atas.

Parameter operasi pregrinder (Ind.III) :

Tekanan roller : 50 – 80 bar

Vibrasi < 50 mikron

Power motor : 700 – 900 kW

Load elevator PG : 6 – 10 kW

(a) (b)

Gambar 115 Pregrinder di Indarung III (a) dan belt untuk transport umpan (b)

Material yang digiling jatuh ke atas grinding table dan kemudian

digiling oleh roller. Pregrinder terdiri dari 3 buah roller yang dapat dinaik-

turunkan untuk pengaturan ukuran material yang akan digiling. Material

hasil penggilingan kemudian bergerak ke tepi meja dan jatuh melalui bagian

tepi meja untuk selanjutnya dikirimkan oleh drag chain Z2M22 dan bucket

elevator Z2J21 ke dalam vibrating screen Z2S21.

Page 150: produksi semen

(a) (b)

Gambar 116 Roller dan grinding table (a) dan drag chain Z2M22 (b)

Di dalam vibrating screen ini dipisahkan antara produk yang halus

dengan yang kasar oleh saringan yang digetarkan dimana produk yang kasar

dikembalikan lagi oleh Z2J24 ke dalam pregrinder, sementara produk yang

halus ditransportasikan lagi oleh belt conveyor Z2J22 dan Z2J23 untuk

kemudian dimasukkan ke dalam cement mill Z2M01.

(a) (b)

Gambar 117 Vibrating screen tampak luar (a) dan saringan di dalamnya (b)

IV. 3. Kehalusan Semen

Pada penggilingan klinker, produk digiling halus dengan rentang ukuran

partikel 3 - 30 . Kecuali untuk keadaan khusus semen tidak direkomendasikan

untuk digiling terlalu halus. Kehalusan yang terlalu tinggi belum tentu

memberikan efek positif. Fraksi ukuran partikel antara 3 – 30 adalah yang

sangat menentukan perkembangan kekuatan semen. Partikel yang mempunyai

ukuran < 3 hanya memberikan kontribusi bagi kuat tekan awal. Partikel ini

Page 151: produksi semen

akan terhidrasi dengan cepat, dan setelah 1 hari memberikan kuat tekan yang

tinggi. Fraksi dengan ukuran partikel diatas 30 lambat bereaksi sehingga

hanya memberikan sumbangan yang kecil terhadap kuat tekan beton.

Fraksi ukuran partikel 3 - 30 pada semen seyogyanya adalah sebagai

berikut:

Semen biasa : 40 – 50%

Semen kekuatan tinggi : 50 – 70%

Semen kekuatan sangat tinggi : >70%

Angka ini merupakan salah satu faktor yang mempunyai kuat tekan. Faktor

lain yang berpengaruh terhadap kuat tekan semen adalah komposisi mineral dan

klinkernya.

Gambar 118 Hubungan kuat tekan vs Fraksi ukuran partikel semen

Partikel yang lebih halus (kira – kira blaine 5000 cm2/g) tidak ada

pengaruhnya untuk menaikkan kuat tekan, bahkan menurunkan kuat tekan.

Page 152: produksi semen

Gambar 119 Hubungan Blaine dengan ukuran partikel semen.

IV. 4. Grindability Klinker

Dalam “Cement Data Book” grindability diartikan sebagai banyaknya

material yang dihasilkan (gram per putaran mill) dari penggilingan dengan

grindability test mill pada ukuran ayakan 200 mesh.

Pada kenyataannya, klinker yang digiling di cement mill mempunyai

grindability yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dari percobaan-

percobaan yang dilakukan di laboratorium dan pengalaman pada penggilingan

semen, terlihat bahwa konsumsi energi yang dibutuhkan untuk mencapai

kehalusan semen tertentu, bervariasi 25% dari harga rata-rata.

Gambar 120 Grindability vs Silica Rasio dan C3S/LSF

Page 153: produksi semen

Gambar 121 Grindability vs C2S dan Liquid phase

Keterangan gambar :

Grindability akan naik sesuai dengan penurunan silica rasio

Grindability naik secara linear dengan kenaikan C3S

Grindability turun dengan kenaikan C2S

Grindability turun dengan kenaikan liquid phase

Gambar 122 Kurva Pengaruh kecepatan pendinginan klinker terhadap

grindability

Proses penggilingan klinker akan berpengaruh pada struktur, komposisi

mineral, serta grindability klinker. Kecepatan pendinginan berpengaruh pada

perbandingan antara kandungan mineral dan fase liquid dalam klinker.

Pada laju pendinginan lambat, terjadi ukuran kristal C3S yang besar,

sehingga memerlukan energi penggilingan relatif besar. Sedangkan pada laju

pendinginan cepat akan terjadi hambatan pertumbuhan kristal C3S, sehingga

dihasilkan ukuran kristal yang kecil.

Page 154: produksi semen

Gambar dibawah ini menunjukkan perbandingan grindability klinker

dengan pendinginan cepat (grate cooler) dan pendinginan lambat (planetary

cooler).

Gambar 123 Pengaruh kadar air terhadap proses penggilingan.

Gambar diatas menunjukkan bagaimana pengaruh kadar air dalam klinker

terhadap efisiensi penggilingan.

Diagram I : klinker yang mengandung 0.4% kadar air

Diagram II : klinker yang mengandung 2.4% kadar air

Dapat dilihat bahwa pada ukuran 90% lolos ayakan 170 mesh , klinker

dengan kadar air 2.4% mengkonsumsi 8 kWh/ton lebih tinggi dibanding dengan

klinker dengan kadar air 0.4%.

IV. 5. Coating Pada Grinding Media

Coating pada grinding media sangat mengganggu keefektifan proses

penggilingan. Penyebab coating grinding media adalah :

Static Electricity.

Partikel yang sangat halus menjadi bermuatan. Material yang berbeda

mengakibatkan partikel halusnya berbeda muatan. Partikel bermuatan (+)

dan (-) saling tarik-menarik dan akhirnya tergumpal (aglomerasi).

Energi Permukaan

Atom atau sejumlah group atom pada permukaan padatan dapat saja

tidak jenuh pada valensinya dan membentuk daerah tidak homogen pada

permukaannya.

Adsorpsi

Page 155: produksi semen

Partikel menyerap lapisan film dari udara. Lapisan film ini mencegah

partikel bergabung. Jika lapisan film ini terlepas, partikel menjadi lebih

mudah bergumpal.

Mechanical Impact

Grinding media saling bertumbukan, dimana pada masing-masing

permukaan grinding media terdapat partikel. Partikel-partikel ini menjadi

menggumpal pada permukaan yang tidak merata/kasar.

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan coating :

Kenaikan temperatur

Dehidrasi gypsum

Gypsum sebenarnya cenderung mencegah ball coating, tetapi gypsum

yang terdehidrasi menyebabkan ball coating.

Klinker yang tersimpan lama.

Klinker yang tersimpan lama memiliki kecenderungan ball coating,

Tetapi klinker yang tersimpan lama lebih mudah digiling karena hidrasi free

lime menyebabkan melemahnya dan pecahnya struktur klinker.

IV. 6. Grinding Aid

Grinding aid adalah material yang dapat menghilangkan ball coating atau

dapat mendispersikan material yang telah digiling. Grinding aid dapat

ditambahkan dalam bentuk larutan, Kandungan grinding aid adalah sekitar

0.006 – 0.08% dari berat klinker.

Bahan-bahan yang dapat dijadikan sebagai grinding aid adalah :

o Amine acetate

o Ethylene glycol

o Propylene glycol

IV. 7. Retarder

Retarder adalah suatu bahan yaitu gypsum yang berfungsi sebagai material

yang mencegah proses kekakuan dini pada semen pada saat terjadi reaksi

hidrasi pada semen. Dengan kata lain gypsum mengatur setting time semen.

Page 156: produksi semen

Semen mengandung gypsum 3 – 6 %, dimana gypsum ini selain

berpengaruh terhadap setting time, juga berpengaruh terhadap kuat tekan

semen.

Gypsum di alam paling sering ditemui dalam bentuk gypsum dyhidrat.

Bentuk –bentuk gypsum dapat berupa :

Tabel 20. Bentuk-bentuk senyawa gypsum

Nama Dyhidrat

(gypsum)

Hemihidrat

(plester gips)

Anhidrat

(terlarut dan tidak)

Komposisi

Kimia CaSO4.2H2O CaSO4.1/2H2O CaSO4

Air kristal 20.9% 6.2% 0%

Gypsum dihidrat dan anhidrat tidak terlarut sangat stabil dan dapat

ditemukan di alam. Sedangkan gypsum hemihidrat dan anhidrat terlarut

terbentuk karena dehidrasi gypsum, sangat reaktif dan bereaksi dengan air

untuk membentuk kembali gypsum dyhidrat.

Oleh sebab itulah dehidrasi gypsum di dalam cement mill dapat

mengakibatkan false set karena gypsum hemihidrat dan anhidrat terlarut ini

bereaksi kembali dengan air pada saat hidrasi semen.

Dari pengalaman (FLS), false set dapat terjadi apabila 75% gypsum

dyhidrat terdehidrasi menjadi hemihidrat dan anhidrat. Jika hal ini terjadi,

maka cara mengatasinya dapat dengan cara mengurangi jumlah gypsum dalam

semen.

Gambar 124 % Dehidrasi gypsum vs Waktu dan Temperatur

Page 157: produksi semen

Gypsum hemihidrat dalam semen pada saat tertentu dapat menaikkan kuat

tekan semen. Hal ini dapat dilihat pada kurva dibawah ini. Dehidrasi gypsum

dari 2.1% ke 0.1% pada uji kuat tekan 2 hari naik 7% dan pada uji kuat tekan

28 hari naik 3%.

Gambar 125 Pengaruh gypsum terhadap kuat tekan semen

Pada sisi lain, kandungan gypsum harus dibatasi karena gypsum yang

berlebih dapat mengakibatkan cracking.Keretakan pada semen ini terjadi karena

pembentukan ettringite (3C3A.3CaSO4.31H2O) yang dihasilkan dari reaksi

C3A dengan gypsum, mengakibatkan peningkatan volume. Sehingga,

kandungan SO3 maksimum menurut standard BS 12 adalah 2.5% untuk semen

yang kandungan C3A nya kurang dari 7%, dan maksimum 3% untuk semen

yang kandungan C3A nya lebih dari 7%.

Page 158: produksi semen

V. PENUTUP

Dari uraian yang telah ditulis sebelumnya, maka dapat diambil beberapa

kesimpulan sebagai berikut:

Penumpukan (stacking) bahan baku di storage menggunakan metode conical shell

stacking, sedangkan penarikan bahan baku batu kapur dan silika menggunakan side

reclaimer untuk Indarung II dan portal reclaimer untuk Indarung III serta bucket

excavator untuk penarikan tanah liat.

Mill yang digunakan untuk penggilingan raw mill di produksi II/III adalah tube mill

tipe duodan mill berkapasitas 160 ton/jam dengan feed arrangement tipe feed chute

for airswept mill dan discharge arrangement tipe centre discharge.

Separator yang digunakan berjenis dynamic separator yang tidak memiliki variable

speed fan dan pengaturan fineness produk hanya dilakukan dengan cara mengubah

bukaan slot vane.

Homogenisasi raw mix dilakukan dengan metode discontinuous batch

homogenizing silos yang pada umumnya terdiri dari dua pasangan silo, yang mana

silo di atas sebagai blending silo dan yang bawah bersifat sebagai storage silo.

Mill yang digunakan untuk penggilingan batubara di produksi II/III adalah tube mill

tipe tirax mill berkapasitas 15 ton/jam dengan feed arrangement tipe feed chute for

airswept mill dan discharge arrangement yang dihubungkan langsung dengan

separator.

Kiln yang digunakan di Departemen Operasi I dilengkapi dengan suspension

preheater bertipe 4 stage cyclone dan planetary cooler berjumlah 10 buah yang

ikut berotasi bersama dengan kiln

Rotary kiln yang digunakan di Departemen Produksi II/III memiliki panjang 80 m

dan diameter 5 m, serta sudut kemiringan kiln sebesar 3,5 %. Kiln tersebut

beroperasi dengan kecepatan putar sebesar 2 rpm dan besar feeding 155-160

ton/jam. Kapasitas kiln tersebut sebesar 2100 ton/hari.

Daerah di dalam kiln dibagi menjadi beberapa zona berdasarkan suhu dan proses

reaksi yang terjadi di dalamnya yaitu zona calcining, zona transisi, zona sintering

(burning zone), dan zona pendinginan (cooling zone).

Rotary kiln dilengkapi dengan batu tahan api (firebrick) yang berjenis high alumina

brick (50-60 % Al2O3) untuk daerah pendinginan (cooling zone), magnesia spinnel

Page 159: produksi semen

brick (60-70 % MgO) untuk daerah transisi dan sintering/burning zone, serta

lightweight firebrick untuk daerah preheating dan calcining

Sistem coal firing yang digunakan di Indarung II/III adalah sistem indirect firing

dimana sistem dilengkapi dengan blower dan intermediate storage bin coal

Tahapan pada proses pembakaran klinker yaitu proses penguapan air pada suhu 100

0C, pelepasan air hidrat tanah liat pada suhu 500

0C, penguapan CO2 dari batu

kapur dan mulai kalsinasi pada suhu 805 0C, pembentukan C2S pada suhu 800-900

0C, pembentukan C3A dan C4AF pada suhu 1095-1205

0C, dan pembentukan C3S

pada suhu 1260-1455 0C

Mill yang digunakan untuk penggilingan cement mill di produksi II/III adalah tube

mill tipe unidan mill berkapasitas 107 ton/jam dengan feed arrangement tipe drum

feeder dan discharge arrangement tipe end discharge.

Separator yang digunakan berjenis dynamic separator yang tidak memiliki variable

speed fan dan pengaturan fineness produk hanya dilakukan dengan cara mengubah

bukaan slot vane.

Roller mill (pregrinder) yang digunakan di Indarung III diproduksi oleh

Ishikawajima-Harima Heavy Industries (IHI) Co., Ltd dan memiliki kapasitas 160

ton/jam serta 3 buah roller yang dapat dinaik-turunkan.

Perbedaan prinsip antara tube mill dan roller mill adalah pada media penggilingnya

dimana pada tube mill digunakan gaya tumbukan (impact force) dari grinding

media, sedangkan pada roller mill digunakan gaya tekan roller pada meja putar.