Download - produksi semen
I. PENDAHULUAN
PT. Semen Padang merupakan perusahaan yang bergerak di dalam industri
produksi semen. Rincian kapasitas pabrik-pabrik di PT. Semen Padang adalah sebagai
berikut:
Pabrik Indarung I = 330.000 ton/tahun
Pabrik Indarung II = 660. 000 ton/tahun
Pabrik Indarung III (awalnya bernama Indarung IIIA) = 660.000 ton/tahun
Pabrik Indarung IV (awalnya Indarung IIIB dan IIIC) = 1.620.000 ton/tahun
Pabrik Indarung V = 2.300.000 ton/tahun
Total Produksi = 5.570.000 ton/tahun
Pada akhir tahun 1999 pabrik indarung I tidak dioperasikan lagi dengan
pertimbangan emisi debu dan efisiensi peralatan. Pabrik indarung I ini menggunakan
sistim proses basah (wet-process). Sementara pabrik yang lain menggunakan sistem
proses kering (dry process).
Komponen utama pembuatan semen adalah batu kapur, tanah liat, pasir besi, silika
dan gypsum. Komposisi komponen pembentukan semen yang terdapat dalam bahan
baku akan mempengaruhi semen yang akan terbentuk. Komponen pencampuran bahan
baku semen tersebut adalah sebagai berikut:
Batu kapur (Lime stone component)
Tanah Liat (Clay)
Pasir Besi dan Pasir Silika
Gypsum
PT. Semen Padang telah memproduksi jenis-jenis semen dengan berbagai fungsi.
Semua jenis semen yang diproduksi telah memenuhi standar mutu yang telah
ditetapkan. Adapun masing-masing jenis produksi adalah sebagai berikut:
a. Semen Portland
Semen Portland Type I (Ordinary Portland Cement)
Semen Portland Type II (Moderate Heat Cement)
Semen Portland Type III (High Early strength Cement)
Semen Portland Type IV (Low Heat Cement)
b. Oil Well Cement (OWC) Class G-HSR
c. Semen Portland Campur (Mixed Cement) atau super masonry cement.
d. Masonry Cement Type M,S,N
e. Portland Pozzolan Cement (PPC)
Secara garis besar, aktifitas industri PT. Semen Padang dapat dibagi menjadi 3
tahap yaitu :
a. Proses penambangan dan penyediaan bahan mentah
b. Proses produksi yang tediri dari proses penggilingan dan pembakaran
c. Proses pengantongan dan distribusi semen ke konsumen
Proses produksi dalam pembuatan semen antara lain :
a. Proses Basah
Pada proses basah, penggilingan bahan mentah dilakukan dengan
menambahkan sejumlah air ke dalam Raw Mill, sehingga kadar air dalam campuran
bahan mentah meningkat dari 6% - 11% menjadi 35% - 40%. Keluaran dari Raw
Mill ini disebut slurry yang kemudian mengalami homogenisasi di dalam Mixing
basin, tangki koreksi dan slurry basin. Dari slurry basin, slurry diumpankan ke
dalam Kiln untuk membentuk klinker pada suhu 1450 0C, setelah itu didinginkan
dengan Cooler. Kemudian klinker bersama-sama dengan gypsum digiling di dalam
Cement Mill, sehingga diperoleh semen.
b. Proses Semi Basah
Untuk umpan Kiln digunakan Moule/Granular (butiran), Pellet (cake) yang
dibuat dengan ukuran Filter Press, sehingga kadar airnya menjadi 15% - 25%.
Konsumsi panas sekitar 1000 - 2000 kcal/kg track.
c. Proses Semi Kering (SemiDrying Process)
Dalam proses ini, umpan masuk ke Kiln berupa tepung kering dan dengan alat
Granular (Pelletizer) disemprot dengan air untuk dibentuk menjadi Granular
dengan kadar air 10% - 12% dengan ukuran 10 - 12 mm seragam. Petimbangan
pemakaian alat ini adalah karena bahan bakar yang digunakan lebih sedikit, yaitu
sekitar 1000 kcal/kg. Agar kapasitas produksi meningkat maka Long Rotary Kiln
dilengkapi dengan Grate Preheater.
d. Proses Kering
Pada pembuatan semen pada proses kering, bahan mentah digiling dan
dikeringkan dalam Raw Mill, sehingga dihasilkan raw mix dan selanjutnya
dihomogenisasi di dalam Silo. Kemudian raw mix mengalami reaksi kalsinasi awal
di dalam Preheater dan Calciner. Hasil kalsinasi ini diumpankan kedalam Kiln
untuk membentuk klinker pada suhu ± 1450 0C dan didinginkan dalam Cooler
hingga mencapai suhu ± 100 0C. Setelah itu, klinker dan gypsum digiling di dalam
Cement Mill, sehingga menghasilkan semen.
PT. Semen Padang menggunakan 2 proses pembuatan, yaitu Wet Process dan
Drying Process. Terhitung Oktober 1999, proses basah yang selama ini dilakukan
di pabrik Indarung I tidak dioperasikan lagi secara menyeluruh, karena tidak efisien
serta menyadari pentingnya dampak terhadap pencemaran, sehingga Indarung I
dioperasikan I unit penggilingan semen (Cement Mill). Dengan demikian,
keseluruhan pabrik saat ini hanya mempergunakan proses kering.
Tahapan proses dalam pembuatan semen dengan sistem kering, adalah :
a. Penggilingan Bahan Mentah di area Raw Mill
Pada proses ini, terjadi penggilingan bahan mentah, bahan mentah yang
dipakai di sini, yaitu :
Bahan utama terdiri dari batu kapur (81%) dan tanah liat (9%)
Bahan penolong terdiri dari pasir silika (9%) dan pasir besi (1%)
Proses dalam pengolahan bahan baku meliputi :
Pencampuran sesama bahan baku sesuai dengan perbandingannya
Pemecahan dan penggilingan bahan mentah
Homogensasi
b. Pembakaran di area Kiln
Bahan bakar yang dapat digunakan dalam proses ini adalah minyak residu
dan gas alam atau batu bara yang telah mengalami proses penghalusan. Saat ini,
yang banyak digunakan adalah batu bara karena harganya relatif murah. Tujuan
utama proses pembakaran adalah untuk menghasilkan reaksi-reaksi kimia di
antara oksida-oksida yang terdapat dalam slurry atau raw mix. Proses ini akan
menghasilkan produk baru yang diberi nama klinker. Agar reaksi-reaksi
tersebut berlangsung secara sempurna dibutuhkan panas yang banyak dan suhu
yang tinggi. Panas didapat dari pembakaran bahan bakar.
c. Penggilingan Akhir di Cement Mill
Klinker yang dihasilkan dari proses pembakaran, selanjutnya mengalami
proses penggilingan. Pada saat penggilingan, klinker dicampur dengan gipsum
(4% - 6%) yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas semen. Fungsi gipsum
dalam semen adalah sebagai ”Retarder”, yaitu bahan yang dapat
mengendalikan waktu pengerasan semen, sehingga semen tidak terlalu cepat
mengeras. Dua jenis gipsum yang umum digunakan, yaitu : gipsum alam dari
Thailand dan gipsum sintetis yang merupakan hasil samping pembuatan pupuk
TSP. Dari hasil penggilingan klinker dan gipsum inilah diperoleh semen. Mesin
penggilingan semen disebut Cement Mill atau Finish Mill (penggilingan akhir).
II. PROSES PRODUKSI DI AREA RAW MILL
II. 1. Tahap Penarikan Bahan Baku
II. 1. 1. Metode Penumpukan (Stacking) dan Penarikan (Reclaiming) Bahan
Baku
Bahan baku yang digunakan di dalam produksi semen, setelah dikirim
dari tambang kemudian disimpan di dalam pabrik di storage sebelum
memasuki tahap penggilingan. Untuk penyimpanan dan penarikkannya,
terdapat beberapa metode penumpukkan (stacking) dan pengambilan
bahan baku (reclaiming) yang biasa digunakan, antara lain:
a. Chevron Stacking/Reclaiming
Pada Chevron Stacking, lapisan material yang membujur
dijatuhkan oleh stacker yang bergerak maju dan mundur di atas
tumpukan material sampai tercapainya ketinggian tertentu. Material
kemudian diambil dalam irisan melintang oleh front reclaimer.
Gambar 1 Chevron Stacking/Reclaiming
b. Winrow Stacking/Reclaiming
Pada winrow stacking, beberapa lapisan material yang membujur
ditumpuk secara paralel selebar tempat yang tersedia dalam cara
tertentu sehingga membentuk tumpukan bukit. Stacker jenis ini tidak
hanya bergerak secara membujur tetapi juga bergerak melintang
sehingga membentuk pola paralel serta barisan membujur yang
bertingkat. Penarikan selalu dilakukan oleh front reclaimer.
Gambar 2 Winrow stacking/reclaiming
c. Conical Shell Stacking/Reclaiming
Pada Conical shell stacking, stacker bergerak secara bertahap
dalam arah membujur. Gerakan stacker selanjutnya hanya dilakukan
setelah menyelesaikan tumpukan sampai ketinggian maksimal.
Penarikan umumnya dilakukan kemudian oleh side reclaimer. Metode
conical shell stacking sebaiknya tidak diaplikasikan bersamaan dengan
front reclaiming karena dengan metode ini hanya beberapa lapisan
material yang tercampur sehingga efisiensi homogenisasi yang dicapai
rendah.
Gambar 3 Conical shell stacking/reclaiming
Untuk metode pengambilan material dapat digunakan metode
side reclaiming yang bekerja di bagian samping tumpukan material
yang akan diambil. Side reclaimer ini dilengkapi dengan scraper
yang bisa dinaik-turunkan. Side reclaimer dapat mengambil material
dari bagian depan atau dari samping tumpukan material.
Side reclaimer dengan pengambilan dari depan tumpukan
Pengambilan material dari depan tumpukan dilakukan
dengan menurunkan dan mengangkat rantai scraper pada
tumpukan dengan gerakan maju mundur reclaimer carriage yang
simultan.
Gambar 4 Pengambilan material dari depan tumpukan
Metode pengambilan dengan cara ini memiliki kekurangan
dan sebaiknya tidak diterapkan lagi karena:
o Urutan pengendalian boom dan carriage yang rumit dan
tingginya perawatan yang diperlukan.
o Aliran pengeluaran material yang tidak beraturan
memerlukan kapasitas belt yang besar.
Side reclaimer dengan pengambilan dari samping tumpukan.
Pada metode ini, boom yang diturunkan mengambil material
dari samping tumpukan sementara carriage berjalan menyusuri
sepanjang sisi tumpukan. Metode kerja ini hanya diaplikasikan
bersamaan dengan conical shell stacking.
Gambar 5 Pengambilan material dari samping tumpukan
Kelebihan metode ini antara lain:
o Beberapa komponen material yang disimpan di tempat
prablending yang sama dapat diambil dengan mesin yang
serupa
o Cocok untuk material dengan tingkat kelengketan yang
sedang
o Biaya investasi yang rendah
Kekurangan metode ini antara lain:
o Efisiensi homogenisasi berkurang karena tidak setiap lapisan
dicampur secara simultan (Conical shell stacking)
o Dipakai hanya jika konsep prablending yang ada tidak
menuntut adanya penyimpanan material dengan adanya
kebutuhan homogenisasi material yang tinggi.
II. 1. 2. Peralatan Penarikan (Reclaiming) Bahan Baku
Untuk penarikan material untuk bahan baku, terdapat beberapa jenis
peralatan reclaimer antara lain yaitu :
a. Side Reclaimer
Side reclaimer merupakan salah satu alat penarikan material yang
biasa digunakan di pabrik semen. Peralatan ini bergerak di jalur rel
yang terletak di sepanjang pile/tumpukan material. Side reclaimer
dilengkapi oleh satu scraper chain yang digunakan untuk menarik
tumpukan material untuk selanjutnya ditransport oleh belt conveyor
yang juga terletak sepanjang tumpukan material tersebut.
Ket : 1. Hoist untuk menaikkan/menurunkan scraper chain 4. Roda dan rel
2. Ruangan operator 5. Scraper chain
3. Belt conveyor
Gambar 6 Bagian-bagian side reclaimer
b. Portal Scrapper
Portal Scrapper merupakan salah satu alat penarikan material
yang juga biasa digunakan di pabrik semen. Sama seperti side
reclaimer, peralatan ini bergerak di jalur rel yang terletak di sepanjang
pile/tumpukan material. Bedanya, untuk portal scrapper dilengkapi
oleh dua scraper chain di mana scrapper chain sekunder digunakan
untuk menarik material ke arah scrapper chain primer dan selanjutnya
ditarik oleh scrapper chain primer tersebut untuk kemudian
ditransport oleh belt conveyor yang juga terletak sepanjang tumpukan
material tersebut.
Ket : 1. Roda dan rel 4. Portal
2. Belt conveyor 5. Scraper chain primer
3. Ruang operator 6. Scrapper chain sekunder
Gambar 7 Bagian-bagian portal scrapper
c. Bucket Chain Excavator
Bucket chain excavator merupakan salah satu alat penarikan
material yang dirancang khusus untuk material yang lengket. Sistem
bucket chain, disupport oleh scrapper arm yang terpasang dengan
sudut yang tetap dari jembatan penopang. Storage tempat pengisian
material terdiri dari dua atau lebih stockpile yang ditumpuk mengacu
pada metode windrow. Sistem bucket chain mengeluarkan material
yang telah ditarik ke belt conveyor sepanjang reclaiming bridge. Belt
tersebut kemudian mentransport material ke belt selanjutnya yang
berada di sepanjang storage.
Ket : 1. Jembatan stacking 1 6. Bucket chain hoist
2. Belt conveyor di atas jembatan 7. Jembatan reclaiming
3. Ruang operator 8. Ruang operator
4. Roda kabel 9. Jembatan reclaiming
5. Bucket chain 10. Jembatan stacking 2
Gambar 8 Bagian-bagian bucket chain excavator
II. 1. 3. Penarikan (Reclaiming) Bahan Baku di Indarung II/III
Bahan baku utama yang digunakan untuk pembuatan semen terdiri
dari 4 macam yaitu batu kapur (limestone), silika, tanah liat (clay), dan
pasir besi atau copper slag. Metode penumpukkan dan pengambilan untuk
batu kapur dan silika yang terjadi di Indarung II/III yaitu menggunakan
kombinasi conical shell stacking dan side reclaiming. Perbedaan stacker
dan yang ada di Indarung II dan III yaitu untuk Indarung II hanya terdapat
satu umpan keluaran, sedangkan di Indarung III terdapat dua umpan
keluaran seperti terlihat pada gambar 6 dibawah ini.
(a) (b)
Gambar 9 Stacker di Indarung II (a) dan Indarung III (b)
Sementara untuk reclaimer yang digunakan, Indarung II mengunakan
side reclaimer, sedangkan Indarung III menggunakan portal reclaimer.
Perbedaan antara keduanya terletak pada jumlah arm-nya dimana side
reclaimer hanya mempunyai satu buah arm, sedangkan portal reclaimer
mempunyai dua buah arm dimana secondary scrapper berfungsi untuk
menarik material ke arah primary scrapper untuk dilanjutkan ke belt
conveyor.
(a) (b)
Gambar 10 Side Reclaimer (a) dan Portal Reclaimer (b)
Dari storage, batu kapur dan silika tersebut dibawa oleh belt conveyor
A1/A2L04, A1/A2L05, dan A1/A2L06 untuk kemudian dimasukkan ke
dalam hopper batu kapur A1/A2L10 dan hopper silika E1/E2A10 yang
berkapasitas sekitar 200 dan 140 ton. Dari hopper tersebut batu kapur dan
silika diumpankan ke mill melalui belt conveyor R1/R2A02 dengan
terlebih dahulu ditimbang massanya di dosimat feeder R1/R2A01 untuk
batu kapur dan R1/R2E01 untuk silika.
Untuk storage tanah liat di Indarung II/III, tanah liat yang dibawa oleh
truk dimasukkan ke dalam hopper yang kemudian digiling oleh dua buah
roller mill C1M01 dan C2M02 untuk kemudian ditumpuk di open
storage. Dari hopper sampai dengan ke open storage, silika tersebut
ditransport oleh belt conveyor C1J02 s/d J07. Pengambilan tanah liat dari
open storage mempergunakan bucket excavator yang kemudian dikirim
melalui belt conveyor R1C05 yang dilengkapi dengan weighting belt
R1C05F1 untuk menimbang massa tanah liat yang akan diumpankan.
Tanah liat tersebut kemudian digiling kembali oleh roller mill R1M21
untuk kemudian ditransport dengan belt conveyor R1C06 dan R1C07.
Gambar 11 Bucket excavator
Iron sand atau copper slag yang digunakan dimasukkan ke dalam open
storage, kemudian dikirim ke dump hopper D1L01 yang berkapasitas 220
ton. Dari hopper irond sand/copper slag tersebut diumpankan dengan
dosimat feeder R1/R2D01 ke belt conveyor R1/R2C07 untuk disatukan
bersama bahan baku tanah liat. Kedua bahan baku tersebut kemudian
dikirim menuju belt conveyor R1/R2A02 untuk disatukan dengan batu
kapur dan silika. Setelah keempat bahan baku disatukan maka bahan baku
tersebut siap untuk diumpankan ke dalam mill.
II. 2. Tahap Penggilingan Raw Meal
Maksud dari penggilingan bahan mentah adalah untuk menyiapkan
campuran yang homogen dengan kehalusan tertentu sesuai dengan keperluan
pembakaran di Kiln, yaitu sekitar 9-15 % tertahan ayakan 90 micron. Keempat
bahan baku yang telah disatukan tersebut kemudian ditransport oleh belt
conveyor R1A02/R2A02 untuk diumpankan ke dalam tube mill. Sebelum
masuk ke dalam tube mill, bahan baku tersebut melewati sebuah double, split
sluice flap yang terdiri dari 2 buah flap gate. Prinsip kerja alat ini adalah
dimana kedua gate tersebut membuka bergantian untuk mencegah udara luar
masuk ke dalam tube mill. Pencegahan masuknya udara luar ke dalam mill
bertujuan untuk menjaga suhu di dalam tube mill tetap tinggi sehingga kondisi
operasi tetap terjaga.
II. 2. 1. Penggilingan dengan Tube Mill
Penggilingan yang terjadi pada tube mill dikarenakan adanya
tumbukan material dengan grinding media. Rotasi tube mill menyebabkan
isi mill yang terdiri dari grinding media dan material umpan terangkat
akibat gaya sentrifugal serta friksi antara media dan lining. Tinggi
pengangkatan isi tube mill tergantung beberapa faktor, antara lain:
Liner design
Kecepatan putaran mill
Bentuk, ukuran, dan berat grinding media
Friksi antara lining dan grinding media
Friksi antara mill charge
Gambar 12 Pergerakan grinding media di dalam mill
Gambar (9.a) menunjukkan grinding media menampilkan “Cataracing
Motion” yang terjadi jika kecepatan rotasi mill cukup tinggi, pemilihan %
loading yang tepat, ukuran grinding ball yang relatif besar dan
terpasangnya lifting liner. Pada “Cataracing Motion” ini material umpan
terutama digiling oleh tumbukan di zona “A” dimana hampir seluruh
energi jatuh dari grinding media terpusat. Bentuk aksi ini terutama untuk
mereduksi material besar yang masuk ke dalam mill.
Sedangkan gambar (9.b) menunjukkan grinding media menampilkan
“Cascading Motion” yang terjadi pada kondisi yang mirip, tetapi dengan
ukuran grinding ball yang lebih kecil dan tanpa lifting liner. Pada
“Cascading Motion” ini, grinding media lebih bersifat mengalir dan
berputar daripada terangkat dan jatuh. Gerakan ini menyebabkan gaya
gesek sehingga “Cascading Motion” ini tidak cocok untuk mereduksi
material yang berukuran besar, tetapi sangat efektif untuk penggilingan
material yang halus.
II. 2. 2. Kondisi Operasi dari Tube Mill
a. Operasi normal
Yang dimaksud operasi normal pada sistem mill adalah dimana
operasi sistem mill sehari-hari dengan output mill yang kontinyu dan
kualitas produk yang stabil.
b. Operasi Abnormal
Operasi abnormal adalah ketika semua kondisi operasi diluar batas
normal dimana laju output mill serta kualitas yang dibutuhkan tidak
bisa dicapai seperti ketika kondisi normal.
Tabel 1 Sebab kondisi abnormal yang mungkin serta tindakan pertama yang diambil
Indikasi Kemungkinan Sebab Tindakan
Produk:
Terlalu Kasar Mill overfilled Laju umpan mill diturunkan
Bukaan vane separator Penyesuaian yang tepat
Umpan mill terlalu kasar Meningkatkan precrushing
Filter dust terlalu kasar Penyesuaian static separator
Terlalu halus Mill underloaded Meningkatkan laju umpan mill
Bukaan vane separator Penyesuaian yang tepat
Umpan mill sangat halus Diperlukan penyelidikan lebih lanjut
Filter dust sangat halus Penyesuaian static separator
Komposisi kimia
salah
Proporsi umpan salah Penyesuaian proporsi yang tepat
Komponen umpan salah Merubah kualitas komponen
Mill:
Suara pelan Mill overfilled Laju umpan mill rendah
Suara keras Mill underloaded Meningkatkan laju umpan mill
Suhu semen:
Terlalu tinggi Suhu klinker terlalu tinggi Periksa clinker cooling
Kurang injeksi air Penyesuaian laju alir
Kesalahan cement cooler Perbaikan
Mill Output:
Terlalu rendah Komposisi grinding ball tidak sesuai
atau grinding ball rusak parah
Mengganti grinding ball
Diafragma tidak cocok atau tersumbat Mengganti/membersihkan diafragma
Liner tidak cocok atau rusak Mengganti liner
Tekanan exhaust mill:
Terlalu tinggi Inlet/outlet tersumbat Bersihkan
Diafragma tersumbat Bersihkan diafragma
Terlalu rendah Diafragma rusak Mengganti plate yang rusak
II. 2. 3. Bagian-bagian Tube Mill
Bagian-bagian internal dan eksternal dari tube mill dapat dilihat pada
gambar 10 berikut:
Gambar 13 Bagian-bagian internal dan eksternal tube mill
a. Feed Arrangements
Peralatan untuk umpan mill harus memenuhi fungsi-fungsi sebagai
berikut:
Mengijinkan material terus mengalir ke dalam mill tanpa
menyebabkan tersumbat
Mencegah material kembali mengalir keluar (backflow)
Mengijinkan masuknya udara dingin untuk kasus cement mill
Mengijinkan masuknya udara panas untuk kasus raw mill
Tipe-tipe dari feed arrangements antara lain:
Spout Feeder
Drum Feeder
Step Type Feeder
Feed Chute of Airswept Mills
Gambar 14 Beragam tipe feed arrangement
b. Discharge Arrangements
Tipe-tipe dari discharge arrangements antara lain
End Discharge
Discharge of Airswept Mills
Discharge of Slurry Mill
Center Discharge
Gambar 15 Beragam tipe discharge arrangement
c. Mill Shell
Mill shell terdiri dari beberapa bagian plat yang dilas. Tekanan
(stress) maksimum berada di bagian tengah shell. Pada tabel 2 dapat
dilihat bending stress maksimum untuk tipe mill yang berbeda.
Tabel 2 Bending stress maksimum untuk beragam tipe mill
Tipe Mill Max. Admissible Bending Stress
Dengan Trunnion Bearing Dengan Slide Shoe Bearing
End Discharge
Mill ø < 4,2 m 16-18
Mill ø < 4,2 m 12-14 9-10
Centre Discharge 6-8
d. Liner
Liner berfungsi untuk melindungi bagian dalam tube mill. Liner
yang digunakan harus tahan terhadap gaya tumbuk (deformasi,
breakage), friksi dan korosi. Bagian bagian internal tube mill dapat
dilihat pada gambar 16.
Gambar 16 Bagian internal tube mill
Head Liner
Tube mill dibuat dalam tipe conical (dengan trunnion bearing)
atau tipe even (dengan slide shoe bearing).
Gambar 17 Head liner
Shell Liner
o Lifting Liner
Lifting liner dipasang di dalam kompartemen I. Liner ini
harus dapat mengangkat dan melepas grinding media sehingga
dapat menghancurkan partikel yang berukuran besar. Beragam
tipe lifting liner dapat dilihat pada gambar 18.
Gambar 18 Tipe lifting liner
o Classifying Lining
Pada bagian inlet di kompartemen II, material kasar butuh
grinding ball yang lebih besar untuk reduksi ukuran yang lebih
efisien sehingga tumbukan lebih dibutuhkan dibandingkan
dengan gesekan (friksi). Sementara di bagian outlet
kompartemen II, grinding ball yang lebih kecil diperlukan untuk
gesekan (friksi). Oleh karena itu, kompartemen II biasanya
dilengkapi dengan classifying liner. Liner ini otomatis
memisahkan grinding media dimana grinding ball yang lebih
besar di bagian inlet dan yang lebih kecil di bagian outlet.
Prinsip dasar pemisahan grinding media dapat dilihat pada
gambar 19.
Gambar 19 Classifying Liner
e. Intermediate Diaphragm
Fungsi dari intermediate diaphragm ini adalah untuk membagi
mill menjadi kompartemen I dan II. Adjustable diaphragm dapat
digunakan untuk mengontrol aliran material dan menjaga material
yang diperlukan setiap kompartemen untuk mendapatkan efisiensi
grinding yang tertinggi. Kriteria utama dalam perancangan
intermediate diaphragm adalah lebar slot dan total area slot (open
area).
Single Diaphragm
Single diaphragm digunakan sebagai pemisah antara
kompartemen I dan II untuk mill yang berukuran lebih kecil. Single
diaphragm juga digunakan sebagai discharge diaphragm untuk
centre discharge mill.
Gambar 20 Single Diaphragm
Double Diaphragm with Lifter
Diaphragm jenis ini terdiri dari slot plate di sisi inlet dan blind
plate di sisi outlet dan dilengkapi dengan lifter untuk mentransport
material. Bagian tengah diaphragm terbuka untuk mengijinkan
udara kering masuk melalui mill.
Gambar 21 Double diaphragm
Open Diaphragm (Drying Chamber Diaphragm)
Open diaphragm dipasang sebagai pemisah antara drying
chamber dengan kompartemen I. Slot liner harus cukup besar untuk
mentransfer material dan gas pengering melalui diaphragm.
Diaphragm juga harus tahan terhadap tumbukan grinding ball pada
suhu tinggi.
f. Discharge Diaphragm
Discharge diaphragm dipasang di ujung pada tipe end discharge
mill atau di bagian tengah pada tipe centre discharge mill. Diaphragm
untuk centre discharge mill terdiri dari dua single diaphragm yang
dipasang di outlet kompartemen I dan II. Perbedaan antara keduanya
adalah pada lebar slot-nya.
g. Grinding Media
Untuk kompartemen I, ukuran grinding ball antara 50-100 mm
dan untuk kompartemen II antara 15-50 mm. Ukuran dari grinding
ball tersebut tergantung pada beberapa faktor, antara lain:
Ukuran maksimal umpan yang akan digiling
Kehalusan produk
Diameter dan panjang mill
II. 2. 4. Kriteria yang Perlu diperhatikan dalam Perancangan Tube Mill
a. Length to Diameter Ratio (λ)
Length to Diameter Ratio dapat didefinisikan sebagai perbandingan
antara panjang mill dengan diameter internal mill. Length to Diameter Ratio
ini tergantung dari beberapa faktor, antara lain:
Keluaran produk setiap jam
Jenis material yang digiling
Kehalusan produk akhir
Ukuran material umpan
Keluaran produk setiap jam tergantung dari diameter mill, sedangkan
kehalusan produk tergantung waktu tinggal yang dipengaruhi oleh panjang
mill. Oleh karena itu perlu dicari nilai λ yang optimal sehingga didapatkan
kuantitas dan kualitas produk yang diinginkan.
Nilai λ untuk beragam Raw Mill:
Centre Discharge Mill 2,1 – 2,7
Two Comp. Mill 2,0 – 2,5
Single Comp. Mill 1,7 – 2,2
Air Swept Mill 1,5 – 2,0
b. Length of Compartment
Panjang dari tiap kompartmen untuk beragam tipe mill dapat dilihat
pada tabel 3 berikut:
Tabel 3 Panjang tiap kompartmen untuk beragam tipe mill
Tipe Mill % panjang total yang dipergunakan
Comp. I Comp. II Comp. III
Two Comp. Mill 30-35 70-65 -
Three Comp. Mill 20 30 50
Centre Discharge MIll 50 50 -
c. Filling Degree (f)
Filling degree (f) dapat didefinisikan sebagai volume (VQ) dari grinding
media yang diisikan dan ditunjukkan dengan persentase dari volume total
mill (VM).
100xV
Vf
M
Q (%)
Pada tabel 4 berikut ini ditampilkan persentase filling degree pada tiap
kompartment untuk beragam tipe mill.
Tabel 4 Persentase filling degree pada tiap kompartmen
Tipe Mill Filling Degree (%)
Comp.I Comp. II Comp. III
Single Comp. Mill 27-33 - -
Two Comp. Mill 27-33 25-32 -
Three Comp. Mill 26-32 26-30 23-27
Air Swept Mill ≈26 - -
Dari literatur diketahui bahwa efisiensi grinding yang maksimum terjadi
jika filling degree antara 26-28 %. Di atas nilai ini, semakin tinggi filling
degree maka efisiensi grinding semakin rendah. Pada gambar berikut filling
degree didapatkan jika diketahui h/Di.
Gambar 22 Filling degree sebagai fungsi dari h/D
d. Berat Grinding Media
Berat isi grinding media di tiap kamar dapat dihitung dengan
menggunakan rumus berlkut:
Qui xf
xxLxDQ
1004
2 (ton)
Keterangan: Lu = Panjang internal kompartmen mill (m)
f = Filling degree (%)
γ Q = Berat bulk grinding media (ton/m3)
Di = Diameter internal mill (m)
Q = Berat isi grinding media (ton)
Berat bulk grinding media (γ Q ) untuk beragam ukuran bola yang
diisikan di dalam tube mill dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5 Berat bulk grinding media untuk beragam ukuran bola
Jenis Grinding Media Ukuran bola ø (mm) Bulk Weight (t/m3)
Steel balls 100-60 4,4
50-30 4,6
30-20 4,7
Cylpebs 30-20 4,8
Pada gambar dapat dilihat bulk weight untuk grinding media di kamar 1
adalah sebesar 4,4 t/m3 dan untuk kamar 2 adalah sebesar 4,65 t/m
3.
Gambar 23 Bulk weight grinding media di tiap kompartmen
e. Mill Speed
Kecepatan operasi dari mill dapat ditunjukkan sebagai persentase dari
kecepatan kritis mill (critical mill speed). Kecepatan kritis mill tersebut
terjadi ketika gaya sentrifugal (FC) sebanding dengan gaya gravitasi (FG).
Gambar 24 Kecepatan kritis mill
Di
ncrit
3,42 (min
-1) critn
kn .
100 (min
-1)
Ket : n = Kecepatan operasi mill (min-1
)
ncrit = Kecepatan kritis mill (min-1
)
k = Rasio n/ncrit (%)
Di = Diameter internal mill (min-1
)
Gambar 25 Pergerakan grinding media untuk beragam kombinasi filling
degree dan kecepatan kritis
Kombinasi antara filling degree dan % kecepatan kritis yang tepat
sangat diperlukan dalam pengoperasian mill karena jika filling degree dan
% kecepatan kritisnya rendah, tumbukan bola ke material tidak efisien,
sebaliknya jika filling degree dan % kecepatan kritisnya tinggi dapat
mengakibatkan ball charge centrifugation dan efisiensi penggilingannya
sangat kecil. Mill modern saat ini memiliki range kecepatan antara 70-75 %
dari kecepatan kritis mill.
II. 3. Penggilingan Raw Meal di Produksi II/III
Di departemen Produksi II/III, penggilingan bahan baku (raw meal)
menggunakan tube mill dengan tipe duodan mill yang berkapasitas 160 ton/jam.
Feed Arrangements yang digunakan berjenis feed chute airswept mill karena
dibutuhkan ruang masuk yang besar bagi gas panas untuk pengeringan bahan
baku. Centre Discharge digunakan sebagai discharge arrangements dimana
letak keluaran produk hasil gilingan berada diantara kompartemen I dan
kompartemen II.
Gambar 26 Raw mill tipe duodan mill
Material yang akan digiling dimasukkan bersamaan dengan aliran udara
panas berasal dari suspension preheater yang ditarik oleh fan R1/R2P11,
sehingga di dalam tube mill selain terjadi proses penggilingan juga terjadi
Material Inlet
Gas Inlet
Drying Chamber
Kamar I
Kamar I
Material Outlet
Gas Outlet
proses pengeringan. Tube mill untuk raw mill ini terdiri dari 3 ruangan, yaitu
drying chamber, kompartmen I dan kompartmen II. Pada drying chamber
dipasang lifter yang berfungsi untuk mengangkat dan menghamburkan material
sehingga proses pengeringan dapat berlangsung dengan efektif karena luas
permukaan material yang kontak dengan gas panas bertambah besar. Sebagai
pemisah antara drying chamber dengan kompartmen I digunakan open
diaphragm seperti terlihat pada gambar 27.
Gambar 27 Open diaphragm
Di dalam kompartmen I terdapat lifting liner berjenis step liner. Liner jenis
ini berfungsi untuk mengangkat dan menjatuhkan grinding media sehingga
dihasilkan gaya tumbukan terhadap material yang akan digiling. Pada
kompartmen II, permukaan liner yang digunakan bergelombang dikarenakan
gaya yang diperlukan adalah gaya gesek antara material dengan grinding media
sehingga tidak diperlukan liner yang dapat mengangkat grinding media. Di
kompartmen II juga digunakan danula ring yang bertujuan untuk
memperpanjang waktu tinggal material di dalam mill sehingga efek
penggilingan akan lebih baik. Kedua liner yang digunakan pada tiap
kompartmen dapat dilihat pada gambar 28 berikut.
(a) (b)
Gambar 28 Shell liner pada kompartmen I (a) dan kompartmen II (b)
Diaphragm digunakan di antara kompartmen I dan kompartmen II yang
berfungsi sebagai saringan terhadap material hasil penggilingan. Karena sistem
discharge-nya adalah centre discharge maka diaphragm yang digunakan
berjenis single diaphragm untuk masing-masing keluaran kompartmen.
(a) (b)
Gambar 29 Diaphragm untuk keluaran kompartmen I (a) dan kompartmen II (b)
Material hasil penggilingan keluar melalui diaphragm dan rima screen yang
selanjutnya akan mengalami penyaringan kembali di ruang bawah tube mill
sehingga material yang masuk ke dalam air slide adalah benar-benar raw mix
dan mencegah grinding media ikut keluar bersamanya.
(a) (b)
Gambar 30 Rima screen (a) dan saringan di bawah tube mill (b)
Grinding media yang digunakan terbuat dari bola baja dengan ukuran yang
berbeda untuk tiap kompartmen. Untuk kompartmen I digunakan grinding
media berukuran 50-90 mm, sedangkan untuk kompartmen II, grinding media
yang digunakan berukuran 25-40 mm.
(a) (b)
Gambar 31 Grinding media di kompartmen I (a) dan kompartmen II (b)
II. 3. 1. Kriteria-Kriteria Perancangan di Raw Mill Indarung II/III
a. Length to Diameter Ratio (λ)
Panjang Mill (L) = LDrying Chamb. + LComp. I + LComp. II = 4,2 + 3,25 + 4,2 = 12,7 m
Diameter (D) = 4,7 m
Maka λ = L/D = 2,7
b. Filling Degree (f)
Filling degree dan berat grinding media di tiap kompartmen dapat dilihat
pada tabel 6 berikut:
Tabel 6 Filling degree dan berat grinding media
Kompartmen Ukuran grinding media (mm) Berat grinding media (ton) Filling degree (%)
I
90 21
20,7
80 14
70 14
60 10,5
50 1,5
Total 61
II
40 23,5
24 30 27
25 26,5
Total 77
c. Grinding Media Charge
Berat grinding media charge di tiap kompartmen adalah sebagai berikut:
Untuk kompartmen I
Qui xf
xxLxDQ
1004
2 (ton)
Q = 50,03 ton
Untuk kompartmen II
Qui xf
xxLxDQ
1004
2 (ton)
Q = 102,47 ton
Grinding media yang digunakan adalah berjenis bola baja untuk kedua
kompartmen. Dahulu digunakan cylpebs sebagai grinding media di kompartmen
II, tetapi kemudian diputuskan untuk menggunakan bola baja sebagai grinding
media di kompartmen II. Hal ini dikarenakan beberapa hal, antara lain:
o Kurangnya stock cylpebs di gudang
o Dapat menghemat pengeluaran karena grinding media dari kompartmen I
dapat digunakan kembali untuk kompartmen II
o Kualitas hasil penggilingan dapat tetap terjaga meskipun menggunakan bola
baja sebagai grinding media
d. Mill Speed
Dincrit
3,42 = 19,5 rpm
n = 14,2 rpm
k = 72,82 %
Dapat dilihat bahwa % kecepatan mill yang digunakan adalah sebesar 72,82
% dari kecepatan kritis.
Hasil produk setelah penggilingan kemudian keluar melalui bawah mill dan
dibawa oleh air slide dan bucket elevator untuk selanjutnya dimasukkan ke
dalam separator R1/R2S01 dan R1/R2S02. Separator yang digunakan di
indarung II/III adalah berjenis dynamic separator classifier dengan
Counterblades dan Internal Fan.
II. 4. Separator
Berdasarkan prinsip kerja peralatan, separator dapat dibagi menjadi dua
jenis, yaitu :
II. 4. 1. Static Separator
Pada static separator, tidak ada bagian peralatan pemisahan yang
berputar/bergerak dalam proses pemisahan partikel.
Beberapa contoh static separator :
a. Cyclone
Prinsip pengoperasian cyclone : udara dengan material terdispersi
masuk ke cyclone melalui inlet. Partikel kasar dengan adanya gaya
sentrifugal akan mengendap sebagai tailing, sedangkan partikel halus
akan terangkat udara keluara cyclone melalui immersion tube.
Gambar 32 Cyclone separator
b. Grit Separator
Udara yang mengandung debu masuk ke separator dari bawah dan
mengalir ke sejumlah adjustable blade. Jika blade di set radial, maka
partikel kasar akan mengendap karena aksi gaya inersia karena partikel
kasar tidak bisa membelok 90˚ ketika akan masuk ke dalam immesion
tube.
Gambar 33 Grit separator
Fines
Tailing
c. VS-Separator
Material masuk dari atas, material mengalir ke zone pemisahan
dengan melalui inclined plates. Udara pemisah masuk ke dalam zone
pemisahan secara transversal (melintang) terhadap aliran material. Zone
pemisahan sesungguhnya berada antara inclined plate dan baffle plate.
Material halus akan keluar terbawa aliran udara melalui sela-sela antara
baffle plate, sedangkan material kasar oleh gaya gravitasi akan terjatuh
dan keluar pada bagian bawah separator.
Gambar 34 V-S separator
II. 4. 2. Dynamic Separator
Prinsip kerja dari dynamic separator ini adalah material umpan
dimasukkan melalui chute ke atas distributor plate yang mendispersikan
partikel ke dalam aliran udara. Udara bersama dengan partikel yang
terdispersi mengalir ke atas dan melewati rotating counterblade. Partikel
kasar terlempar keluar akibat gaya sentrifugal, kemudian menumbuk
dinding dan jatuh masuk ke dalam tailing cone sedangkan udara dengan
partikel halus mengalir melalui fan menuju fine chamber. Di sini material
halus dipisahkan dari udara dan terkumpul di dalam outer cone. Udara
bersama dengan sejumlah material halus kembali ke zona pemisahan
melalui air vane.
Tailing
Dynamic separator memiliki fineness range sekitar 3000-6000 cm2/g
yang dapat dilakukan penyesuaian-penyesuaian untuk mendapatkan
material yang lebih halus atau lebih kasar.
Tabel 7 Penyesuaian yang dilakukan pada dynamic separator
Penyesuaian Kehalusan Produk
Counterblade:
Meningkatkan kecepatan Lebih halus
Meningkatkan jumlah Lebih halus
Meningkatkan radius (moved outward) Lebih halus
Meningkatkan ukuran Lebih halus
Fan blade
Meningkatkan radius (moved outward) Lebih kasar
Internal fan damper
Outward posistion (bukaan lebih besar) Lebih kasar
Inward position (bukaan lebih kecil) Lebih halus
Pada separator jenis ini ada sebagian peralatan pemisahan yang
berputar/bergerak untuk melakukan proses pemisahan partikel.
Beberapa contoh separator yang termasuk dalam jenis dynamic
separator :
a. Classifier dengan Counterblade dan Internal Fan
Feed material masuk melalui chute ke distribution plate yang
menaburkan partikel ke aliran udara. Udara dengan partikel terdispersi
mengalir ke atas dan melewati counterblade. Partikel kasar oleh gaya
sentrifugal akan terlempar ke dinding dan terjatuh ke dalam konis
tailing. Udara bersama partikel halus mengalir melalui fan ke konis
material halus (fine cone).Di dalam ruang inilah material halus
dipisahkan dari udara. Udara bersama sebagian partikel halus kembali
ke dalam zone pemisahan melalui slot/air vane.
Sturtevant Separator
Sturtevant Separator memiliki inlet/outlet udara untuk keperluan
drying atau cooling
Gambar 35 Sturtevant separator
Heyd Separator
Heyd Separator memiliki dua individual drives untuk fan dan
counterblade (fixed speed untuk fan, variabel speed untuk
counterblade dan distributor plate) sehingga membuat penyesuaian
lebih mudah dan meningkatkan efisiensi separator dengan fine
grinding.
Gambar 36 Heyd separator
b. Classifier dengan Counterblade dan Eksternal Fan
Prinsip pengoperasian separator jenis ini adalah sbb :
Material masuk ke dalam distribution plate dan oleh distribution
plate maeterial didispersikan ke udara sirkulasi. Partikel yang cukup
halus melewati counterblade dan diangkat oleh udara ke eksternal
cyclone untuk diendapkan dan dikeluarkan dari cyclone. Partikel kasar
keluar dari konis tailing (tailing cone).Udara yang dari cyclone eksternal
disirkulasikan kembali oleh fan ke dalam separator.
Gambar 37 Cyclone Air Separator (WEDAG)
c. Classifier dengan Rotor Cage dan Eksternal Fan (High Efficiency
Separator)
Prinsip operasi dari high efficiency (SEPAX) separator adalah sbb :
Material dari mill diumpankan ke dispersion section dan kemudian
diangkat keatas oleh aliran udara. Grinding media yang halus-halus, dan
benda-benda keras lainnya akan terjatuh dan keluar pada outlet bottom
separator, sehingga keausan bagian-bagian separator dapat dikurangi,
dan juga kemungkinan tersumbatnya diafragma bisa dikurangi.
Material tersuspensi mengalir melalui riser duct ke bagian
pemisahan, dimana guide vane mendistribusikan aliran udara dan
material ini secara merata dari bagian atas sampai bawah rotor.
Partikel halus meninggalkan separator pada bagian atas separator, ke
bag filter atau sejumlah cyclone.Sedangkan partikel kasar terjatuh dari
guide vanes ke dalam konis dan keluar separator melalui reject
outlet.Rotor digerakkan oleh sebuah motor variable speed. Kehalusan
produk bisa disesuaikan dengan mengubah-ubah speed rotor.
Gambar 38 Sepax Separator
Dynamic separator yang digunakan di Indarung II/III tidak memiliki
variable speed fan sehingga kecepatan dari putaran kipas tidak bisa diatur.
Pengaturan fineness produk hanya dilakukan dengan cara mengubah bukaan
slot vane. Oleh karena itu, jenis dynamic separator yang digunakan lebih
mendekati jenis heyd separator.
Fineness produk separator kemudian ditransport oleh air slide
R1/R2U03 dan R1/R2U04 menuju ke airlift R1/R2U05 untuk selanjutnya
dikirim ke homogenizing silo H1/H2H01-H02 dan H1/H2H11-H12. Udara
yang digunakan oleh airlift untuk membawa produk berasal dari rotary
blower R1/R2U06 dan R1/R2U07. Produk separator yang kasar (tailing)
kemudian dibalikkan ke dalam mill melalui air slide R1/R2S16 untuk
kompartemen I dan R1/R2S17 untuk kompartmen II. Produk kasar dari
separator S01 sebanyak 35 % kembali ke kompartmen I sedangkan sisanya
ke kompartmen II, sementara semua produk kasar S02 kembali ke
kompartmen II.
Udara panas dari mill keluar melalui bagian atas mill dan suhu udara
panas yang keluar dari mill harus dijaga suhunya di atas 65 0C karena jika
dibawah suhu tersebut dikhawatirkan akan terjadi pengembunan sehingga
aliran material dapat tersumbat dan transportasi menjadi tidak lancar. Udara
panas tersebut kemudian masuk ke dalam cyclone untuk pemisahan antara
material padat dan gas. Prinsip kerja dari cyclone yaitu udara dengan
material yang terdispersi memasuki cyclone melalui inlet. Akibat adanya
gaya sentrifugal maka partikel kasar terbentur dan berputar pada dinding
sementara udara bersama partikel yang lebih halus meninggalkan cyclone
melalui immersion tube. Pressure drop yang terjadi di dalam cyclone sekitar
10-15 mbar dan efisiensi dedusting sekitar 75-80 %.
Gambar 39 Cyclone
Fines
Tailing
Kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan untuk penyesuaian
kehalusan produk, antara lain:
Diameter immersion tube (semakin kecil diameter, maka separasi lebih
halus)
Kedalaman immersion tube (semakin panjang tube, maka produk lebih
halus)
Aliran gas (Semakin tinggi laju alir, maka produk lebih halus tetapi
pressure drop lebih tinggi).
II. 5. Circulation Number
Circulation Number (CN) dapat didefinisikan sebagai rasio dari umpan
yang masuk ke separator dengan fine produk hasil separator, sehingga CN dapat
dirumuskan sebagai berikut:
F
MCN
Gambar 40 Sistem centre discharge mill
Untuk mendapatkan nilai M, F, serta G tidak dapat dilihat secara langsung
di control room sehingga diperlukan bantuan residu dari tiap-tiap titik tersebut.
Residu yang dipergunakan adalah residu atau hasil sieving dari ayakan
berukuran 45 μ. Pengambilan sampel harus dilakukan dalam keadaan sistem
tunak (steady) yang diindikasikan dengan beban elevator yang stabil. Sampel di
tiap-tiap titik M, G, dan F diambil secara manual kemudian dibawa ke
laboratorium untuk dianalisa. Sampel dengan massa 10 gr tersebut ditaruh di
atas ayakan berukuran 45 μ kemudian dihisap dengan vakum sehingga material
yang halus tersedot dan tinggal material yang berukuran lebih besar yang
tersisa. Massa yang tersisa di atas saringan tersebut menunjukkan % residu dari
tiap-tiap titik tersebut.
Dari persamaan neraca massa didapatkan:
M = F + G
dan
Rm.M = Rf.F + Rg.G
Sehingga
Rg
FRfMRmFM
)..(
)()(
)..(..
RfRgFRmRgM
FRfMRmRgFRgM
Maka:
)(
)(
RmRg
RfRg
F
M
Nilai circulation number ini berguna untuk mengetahui kondisi di dalam
mill. Nilai circulation number yang normal adalah berkisar antara 2 s/d 2,5. Jika
nilai circulation number kurang dari 2 berarti kondisi material di dalam mill
cenderung kosong sehingga perlu ditambahkan feeding untuk mencegah
overgrinding. Sebaliknya jika nilai circulation number lebih besar dari 2,5
berarti kondisi di dalam mill penuh yang mungkin disebabkan oleh
penggilingan yang tidak baik sehingga perlu dilakukan pengecekan di dalam
mill itu sendiri.
Nilai circulating load sebagai pedoman adalah :
Untuk kehalusan yang rendah : U = 1.5 – 2
Untuk kehalusan yang tinggi : U >2
U = 2 – 2.5
Gambar 41 Sistem mill
a. Efisiensi separator
η = f / (u.a) x 100 %
η = F.f / (A.a) x 100 %
Gambar 42 Kurva efisiensi separator
b. Tromp Curve
Informasi yang diberikan oleh kurva efisiensi tidak lengkap karena
fraksi ukuran partikel dari 0 s/d x micron adalah sangat lebar.
Cut size (X50) diartikan sebagai ukuran partikel yang 50% feednya
kembali sebagai tailing. Makin rendah nilai cut size, makin baik
performance separator.
Sharpness (k = d25/d75) diartikan sebagai perbandingan antara ukuran
partikel yang 25% feednya kembali ke tailing dengan ukuran partikel yang
75% feednya kembali ke tailing. Makin mendekati 1 nilai k, makin baik
performance separator.
Short circuit/By pass effect (δ)
Partikel yang masuk separator ada fraksi-fraksi ukuran partikel yang
halus cenderung tidak mengalami proses pemisahan, melainkan langsung by
pass ikut aliran material tailing. Nilai % feed yang mengalami by pass ini
dapat dilihat pada tromp curve.
Contoh Tromp curve :
Gambar 43 Tromp curve
δ : short circuit/by pass effect = 3.5%
X50 : cut size = 39 μ
k : sharpness 28/55 = 0.51
II. 6. Tahap Penyimpanan Raw Mix
Raw mix hasil penggilingan di mill kemudian ditransport ke dalam
homogenizing silo. Raw mix tersebut harus dihomogenisasikan sebelum
diumpankan ke dalam kiln karena homogen tidaknya komposisi umpan kiln
akan sangat besar pengaruhnya terhadap kelancaran operasi kiln. Hal ini
dikarenakan komposisi raw mix dapat memberikan efek terhadap pembentukan
coating, ring formation, clogging, serta kerusakan brick sehingga homogenisasi
adalah merupakan proses yang sangat mutlak sebelum pengoperasian kiln.
Homogenizing silo dapat dicapai dengan dua cara yaitu:
Dengan blending, dimana dua atau lebih material dikeluarkan secara
simultan.
Dengan mixing, dimana dua atau lebih material yang berbeda diaduk
dengan pengaduk atau aerasi (dengan udara), sehingga didapat suatu
campuran material yang homogen.
II. 6. 1. Prinsip Kerja Homogenizing Silo
a. Discontinuous Batch Homogenizing Silos
Pada umumnya jenis ini terdiri dari dua pasangan silo, yang mana silo di
atas sebagai homogenisasi dan yang bawah bersifat sebagai storage silo.
Kapasitas homogenisasi silo ini adalah 6-11 kali kapasitas raw mill. Kedua
pasangan ini diisi atau dikeluarkan secara bergantian.
Gambar 44 Discontinuous Silo
b. Continuous Over Flow Silos
Sistem ini biasanya terdiri atas sebuah homogenizing silo yang
dikombinasikan dengan raw meal storage silo. Biasanya mempunyai
kapasitas 6-10 kali kapasitas raw mill dengan perbandingan diameter : tinggi
= 1 : 1,2. Prinsip dasar dari over flow homogenizing silo ini adalah dilakukan
aerasi dari bawah silo secara bergantian dan pada saat pengisian, pengadukan
dan pengeluaran terjadi bersamaan secara kontinyu. Pemakaian power sistem
ini biasanya lebih besar daripada sistem batch.
II. 6. 2. Homogenizing Silo di Indarung II/III
Dari kedua jenis prinsip kerja silo di atas, dapat dilihat bahwa sistem
homogenizing silo di operasi I adalah berjenis discontinuous batch
homogenizing silo. Homogenizing silo di operasi I terdiri dari dua bagian
yaitu blending silo H01 dan H02 di bagian atas dan storage silo H11 dan H12
di bagian bawah. Prinsip kerja pengisian homogenizing silo ini adalah raw
mix masuk ke dalam blending silo H01 sampai terisi setengah penuh,
kemudian pengisian bergantian antara H01 dan H02 setiap 5 menit. Cara
pengisian ini menyebabkan terbentuknya lapisan-lapisan raw mix yang
berbeda pada blending silo sehingga ketika dilakukan pengeluaran diharapkan
raw mix sudah terhomogenisasi. Pengisian dan pengeluaran di blending silo
dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 45 Pengisian dan pengeluaran pada blending silo
Pada bagian bawah silo ditiupkan udara yang berasal dari blower. Hal ini
bertujuan untuk menggemburkan/aerasi dari raw mix sehingga raw mix lebih
mudah untuk dikeluarkan. Raw mix yang telah dikeluarkan dari storage silo
kemudian dibawa oleh screw conveyor H1/H2U1 untuk selanjutnya
digunakan untuk umpan kiln.
III. PROSES PRODUKSI DI AREA KILN DAN COAL MILL
III. 1. Proses Pada Sistem Kiln
Sistem kiln harus didesain untuk memenuhi proses kimia yang diperlukan
selama raw mix yang diumpankan ke kiln dirubah menjadi klinker. Proses yang
terjadi merupakan proses endotermis dan terjadi pada suhu maksimum material
mencapai 1450 0C. Energi panas diterima dari gas panas dengan suhu mencapai
2000 0C yang dihasilkan oleh bahan bakar untuk pembakaran.
Tabel 8 Jenis reaksi yang tejadi pada suhu tertentu di dalam rotary kiln
Range suhu (0C) Jenis reaksi
Heating up
20-100 Penguapan H2O bebas
100-300 Penghilangan air yang terserap secara fisis
400-900 Penghilangan struktur H2O (grup H2O & OH) dari mineral tanah liat
>500 Perubahan struktural di dalam mineral silikat
600-900 Disasosiasi karbonat
>800 Pembentukan belite, produk intermediate, aluminat & ferrite
>1250 Pembentukan fase liquid (lelehan aluminat & ferrite)
Mendekati 1450 Penyempurnaan reaksi dan rekristalisasi alite dan belite
Cooling
1300-1240 Kristalisasi fase cair menjadi terutama aluminat dan ferrite
III. 1. 1. Proses Kering
1. Long Dry Kiln
a. Tanpa Peralatan Penukar Panas Internal
Merupakan jenis instalasi proses kering yang paling sederhana dengan
konsumsi panas sekitar 5100 kj/kg klinker (1200 kcal/kg klinker) atau
sekitar 90 % dari konsumsi panas pada proses basah sehingga
dipertimbangkan sangat tidak ekonomis. Keuntungannya adalah
kesederhanaan dan tidak sensitif terhadap masalah sirkulasi yang berat.
Jenis kiln ini cocok untuk dikombinasikan dengan waste heat recovery
steam boiler untuk power generation. Dalam kasus tersebut, panas sisa yang
terkandung di dalam gas buangan kiln selanjutnya digunakan untuk
menghasilkan energi yang bermanfaat.
Data karakteristik kiln:
Konsumsi panas (q) 4500-6000 kj/kg klinker (1075-1430
kcal/kg klinker)
Suhu keluar gas kiln 450-500 0C
Pressure drop pada sistem 0,5-1,0 KPa
b. Dengan Peralatan Penukar Panas Internal
Long dry kiln dengan peralatan penukar panas internal (rantai atau
crosses dari baja atau keramik) merupakan solusi agar lebih ekonomis
dimana konsumsi panas yang dicapai dapat kurang dari 4200 Kj/Kg.
Data karakteristik kiln:
Konsumsi panas (q) 3800-4500 kj/kg klinker (910-1075
kcal/kg klinker)
Suhu keluar gas kiln 400-450 0C
Pressure drop pada sistem 1,0-1,5 KPa
2. Suspension Preheater (SP) Kiln
Selama 30 tahun terakhir, SP kiln menjadi sistem pembuatan klinker yang
dominan. Pada sistem ini, raw mix yang telah digiling dan dikeringkan
menggunakan gas sisa kiln sebagai media pengering pada mill plant kemudian
diumpankan ke dalam sistem. Raw mix yang telah dihomogenisasi kemudian
diumpankan ke dalam preheater dimana di dalam preheater tersebut raw mix
tersuspensi oleh aliran gas kiln sehingga pertukaran panas yang terjadi sangat
efektif.
3. 3. Preheater Kiln dengan 4 Tingkat Siklon
Sampai pertengahan th 1980, jenis ini merupakan sistem dengan konsumsi
bahan bakar terendah. Preheater jenis ini dibuat dalam beberapa konfigurasi
dengan kapasitas sampai 4500 ton/hari yang kebanyakan dikombinasikan
dalam bentuk single atau twin cyclone stage. Gas keluaran kiln masih dapat
digunakan untuk mengeringkan raw material dengan kandungan air sampai 8
% jika mill beroperasi bersamaan dengan kiln sehingga suhu gas sisa yang
relatif tinggi tidak dianggap sebagai kehilangan panas.
Sistem preheater dipasang di dalam menara yang terbuat dari baja atau
beton dengan ketinggian sekitar 60-120 m (6 tingkat) di atas inlet kiln.
Preheater dengan 4-6 tingkat merupakan jenis yang paling sesuai untuk
menghadapi masalah sirkulasi dengan adanya konsentrasi yang berlebih
sehingga dapat menyebabkan masalah penyumbatan (clogging) pada sistem
preheater.
Gambar 46 Kiln proses kering (dengan 4 tingkat SP)
Karakteristik operasi untuk preheater kiln 4 tingkat
Konsumsi panas (q)
o Unit kecil 3350-3550 kj/kg klinker (800-850 kcal/kg klinker)
o Unit besar 3150-3350 kj/kg klinker (750-800 kcal/kg klinker)
Suhu gas keluar kiln 320-350 0C
Volume gas keluar kiln Mendekati 1,5 Nm3/kg klinker
Pressure drop sistem 4-6 KPa
Kehilangan debu relatif terhadap klinker 8-15 %
Suhu gas kiln Mendekati 110 0C
Suhu material Mendekati 800 0C
III. 2. Rotary Kiln
Saat ini, semua industri penghasil klinker menggunakan rotary kiln karena
rotary kiln merupakan satu-satunya cara yang feasible untuk mengatur proses
dengan suhu tinggi dan material dengan beragam sifat. Rotary kiln harus
memenuhi 3 jenis kebutuhan:
Combustion : Sebagai combustion chamber untuk bahan bakar pada burning
zone
Proses : Sebagai reaktor untuk proses pembakaran klinker dan material
conveyor
Mekanikal : Stabilitas bentuk, carrying load, fleksibilitas panas, dan tightness
III. 2. 1. Dimensi Rotary Kiln
Dimensi kiln didefinisikan dengan inner diameter (Di) dari shell kiln
(untuk kiln dengan diameter berbeda : D burning zone) dan panjang kiln
(L).
L [m] dan D [m] L/D [m]
Pada kiln di dalam industri semen, rasio L/D aktual yang digunakan
yaitu dari L/D = 40 (untuk long wet kiln) sampai dengan L/D = 11 (untuk
short kiln dengan precalciner).
Gambar 47 L/D untuk kiln panjang dan pendek
Kriteria dimensi pada proses yang sering digunakan adalah:
a. Specific Volume Load = ln__
ker_Pr
kinetVolume
klinoduksi
)( 3dmton
b. Specific Zone Load = SectionCrossZoneBurningNet
klinoduksi
____
ker_Pr
)( 2dmton
c. Thermal Burning Zone Load = SectioncrossZoneBurningNet
ZoneBurningpadaPanasInput
____
____ 2m
MW
III. 2. 2. Aspek Mekanikal Rotary Kiln
a. Riding Ring Fixation, Kiln Shell Ovality
Rotary kiln didesain supaya semurah mungkin, tetapi harus tetap kuat
untuk menjamin keausan lining yang minimum. Hal ini dapat terpenuhi jika
deformasi kiln dikurangi sampai batas yang diijinkan. Parameter yang
menjelaskan deformasi shell pada titik tertentu adalah kiln shell ovality
(ketidak bulatan shell kiln) (ω):
ω = 2(a-b) dengan 2a & 2b sebagai sumbu utama dari sebuah ellips
Umumnya ovality relatif (ω) maksimum yang diijinkan adalah sebesar
0,3 %. 2 hal yang harus dipenuhi untuk menjaga kiln ovality pada batas
toleransi adalah:
Riding ring harus cukup kuat
Jarak antara ring shoes dan riding ring selama operasi seharusnya
minimum
Gambar 48 Tire fixation
b. Kiln Seal
Untuk menghindari bahaya bocornya gas panas dan debu ke atmosfer,
keseluruhan sistem kiln dioperasikan pada tekanan negatif. Profil tekanan
mulai pada ambient (pada cooler) dan bertambah negatif menuju kiln
induced draft (ID) fan. Masalah yang timbul sekarang adalah adanya udara
luar yang terhisap ke dalam sistem yang disebut false air. False air memilki
efek yang berbeda tergantung dari titik masuknya sehingga menyebabkan
banyak usaha yang dilakukan untuk menjaga sistem proses rapat.
Kiln inlet seal
Kiln inlet seal harus dilengkapi dengan dust return scoop ring untuk
mencegah spillage umpan kiln.
Jenis kiln inlet seal
o Sealing force oleh silindris pneumatic; Sealing ring
o Sealing force oleh coil spring /lever atau weight (mechanical);
sealing-segment
o Sealing force oleh leaf spring dan rope dengan weight; lamella (fish
scale)
Kiln outlet seal
Kiln outlet seal dipasang di antara kiln head dan rotary kiln dimana
tekanannya negatif. Outlet seal didesain khusus untuk aplikasi jenis
pneumatic, mechanical, dan lamella (fish scale).
Kiln inlet lamella sealKiln inlet lamella seal
Gambar 49. Kiln inlet dan outlet seals
c. Kiln Drive
Kiln drive didesain untuk kecepatan antara 1,0 sampai dengan 4,0 min-1
tergantung pada kemiringan, proses dan diameter kiln. Long wet kiln
beroperasi pada kecepatan yang rendah, sedangkan beberapa kiln model
baru (L/D yang lebih pendek dengan precalciner) beroperasi pada
kecepatan yang lebih tinggi.
Gambar 50. Kiln drive
Rotary kiln telah digerakkan oleh drive dengan tipe girth & pinion drive
karena kinerja dari:
Dimensioning yang tepat
Alignment yang tepat
Sistem pelumasan dan kualitas pelumas yang mencukupi
Dengan adanya 2 support short kiln (L/D <13) yang baru, deformasi
shell kiln serta burning zone yang lebih dekat ke drive menjadikan lebih
sulit untuk memastikan alignment yang tepat. Gearless drive (=friction
drive) kemudian diperkenalkan dan menjadikannya mungkin untuk
menghindari girth drive dengan menggunakan roller kiln untuk transfer
torsi ke riding ring.
Elemen-elemen yang merupakan bagian dari sistem:
Two support → Untuk membagi beban pada driven tire
Splined tire fixation → Untuk transmisi torsi yang aman ke shell
Self-aligning roller station → Untuk pola beban linear di antara roller
dan tire (friction)
III. 3. Suspension Preheater (SP)
Semua sistem kiln modern telah dilangkapi oleh siklon suspension preheater.
Instalasi yang baru termasuk precalciner dengan tertiary air duct sehingga
preheater dan precalciner menjadi 1 unit. Bagaimanapun, preheater memiliki
tugas tertentu dan secara prinsip tidak terhubung ke precalciner.
Suspension preheater 4 tingkat pertama kali ditemukan tahun 1951.
Keuntungan dari penggunaan suspension preheater adalah :
Temperatur gas keluar cukup rendah, bisa < 350°C
Perpindahan panas dari gas ke raw mix cukup baik (temperatur raw mix
mencapai > 90% dari temperatur gas dalam waktu < 1 detik) untuk setiap
stage-nya
Gambar berikut ini memperlihatkan proses aliran material dan gas di dalam
suspension preheater 4 stage serta perubahan-perubahan temperatur pada setiap
stagenya.
Gambar 51. Pola aliran dan temperatur di suspension preheater.
Pada perkembangan teknologi, desain cyclone yang lebih tinggi dan ramping
serta dip tube/center tube yang lebih panjang, membuat pressure drop di setiap
stage-nya menurun dari 15 mbar menjadi 5-10 mbar. Sehingga pada
perkembangan selanjutnya, suspension preheater menjadi 5-6 tingkat.
III. 3. 1. Perpindahan Panas di Dalam Suspension Preheater
a. Perpindahan Panas Counter-Current (Shaft Stage)
Prinsip counter current merupakan jenis perpindahan panas yang paling
efisien. Aliran media pelepas panas dan media penyerap panas berada pada
arah yang berlawanan. Hal ini menyediakan perbedaan suhu yang optimum
Gambar 52 Perpindahan panas berlawanan arah (counter current)
Dalam kasus suspension preheater dimana serbuk tersuspensi di dalam
gas, perpindahan panas terjadi di dalam “reaktor” dimana gas panas masuk
dari bawah dan keluar dari atas. Waktu tinggal umpan tergantung pada
distribusi dan waktu tinggal aliran gas yang ditentukan oleh kecepatan gas.
b. Perpindahan Panas Co-Current (Cyclone Stage)
Perpindahan panas co-current terjadi jika kedua media perpindahan
panas mengalir dalam arah yang sama. Suhu umpan tidak pernah bisa
mencapai suhu gas inlet karena perbedaan suhu yang menurun dengan
cepat. Penukar panasnya adalah gas duct dengan kecepatan aliran 10-20 m/s
yang dilengkapi dengan peralatan dispersi umpan yang baik, sedangkan
kegunaan siklon terutama adalah untuk memisahkan umpan dari gas dan
bukan untuk perpindahan panas.
Gambar 53 Perpindahan panas searah (co current)
III. 3. 2. Tipe Suspension Preheater
a. Suspension Preheater Dengan Shaft Stage
Kinerja yang mengecewakan dari shaft stage membuatnya menghilang
dari pasaran. Banyak hybrid preheater dipasang dengan satu atau dua
cyclone stage menggantikan shaft stage. Shaft stage pada inlet kiln memiliki
keuntungan yaitu lebih kurang sensitif terhadap build-up sulfur pada sistem
kiln.
Shaft preheater murni
Polysius : GEPOL
Self-supporting structure (tidak diperlukan tower)
Untuk kapasitas kecil (s/d 1000 ton/hari)
ZAB Dessau : Beberapa aplikasi di eropa timur
Mirip dengan GEPOL, tapi tidak self supporting
Gambar 54 Desain preheater tipe shaft : ZAB, GEPOL
Hybrid Preheater
Beberapa suplier menggunakan kombinasi shaft dan cyclone stage:
Polysius: DOPOL preheater (generasi pertama)
Berkembang bertahap menjadi cyclone preheater
Kapasitas sampai 3000 ton/hari
Gambar 55 Preheater kombinasi shaft/cyclone : Buhler-Miag, Presov
Prerov: Satu shaft stage yang besar dengan dedusting cyclone
Shaft stage self supporting
Memungkinkan tambahan cyclone stage
b. Suspension Preheater dengan Cyclone Stage
Perpindahan panas counter current dapat dicapai dengan pemasangan
beberapa co-current stage secara seri. Hasilnya adalah multi-stage
cyclone preheater yang umum diaplikasikan pada pabrik semen modern.
Gambar 56 Cyclone suspension preheater
Jumlah stage pada cyclone preheater tergantung pada:
Kelembaban raw material (kebutuhan panas pengeringan)
Biaya energi panas
Biaya energi listrik
Sistem penanganan gas (batas suhu, dew point)
III. 3. 3. Tampilan Rancangan Siklon Suspension Preheater
Preheater modern yang dirancang untuk pressure drop yang rendah
dengan menggunakan rancangan siklon baru harus menyediakan efisiensi
pemisahan yang baik, khususnya di bagian atas dan bawah stage. Kecepatan
inlet siklon didesain dalam batas 10-15 m/s.
Gambar 57 Bagian-bagian cyclone preheater
Total pressure drop pada satu cyclone stage 1/3 nya disebabkan oleh
gas duct (pengangkatan material) dan 2/3 nya oleh siklon. Perancangan
siklon bertujuan untuk mengoptimalkan antara efisiensi separator yang
tinggi, pressure drop serta biaya yang rendah. Bentuk siklon mempengaruhi
efisiensi pemisahan siklon dimana efisiensi akan meningkat dengan dip tube
yang lebih panjang dan meningkatnya jarak antara silinder (swirl) dengan
dust collecting cone (misalnya bentuk yang tinggi dan ramping). Selain
memiliki parameter rancangan yang tepat, semua stage seharusnya
dilengkapi dengan:
a. Dip Tube (Immersion Tube)
Bagian siklon ini memiliki pengaruh yang menentukan terhadap
separasi dan pressure drop. Dip tube membuat gas berputar 180-360 0C
yang menghasilkan gaya sentrifugal yang diinginkan untuk efek
pemisahan. Bahan dari plat baja dapat digunakan untuk tingkat atas
yang lebih dingin (stage 1-3), sedangkan pada tingkat bawah yang lebih
panas dibuat dari bahan baja tahan panas atau keramik.
Gambar 58 Immersion tube
b. Meal Flap
Kegunaan meal flap adalah untuk menutup daerah yang tidak
digunakan umpan, untuk menghindari lewatnya aliran gas. Meal flap
dirancang hanya terbuka jika berat material tertentu mendorongnya
terbuka yang menghasilkan fluktuasi umpan.
Gambar 59 Meal flap
c. Splash Box
Perancangan cyclone preheater awalnya tidak memiliki splash box.
Material diumpankan ke dalam gas pada titik yang lebih tinggi melawan
aliran gas yang menghasilkan turbulensi dengan distribusi umpan
tertentu.
Gambar 60 Distribution box
Cyclone preheater modern harus dilengkapi dengan rancangan
splash box yang tepat untuk distribusi umpan yang optimal melalui gas
duct cross section. Splash box tidak boleh dipasang pada inlet kiln dan
umpan panas dari cyclone bagian bawah harus masuk ke dalam rotary
kiln selancar mungkin.
III. 3. 4. Pengoperasian Suspension Preheater
Kinerja dari suspension preheater dinilai berdasarkan kriteria berikut:
Profil suhu (indikator pertamanya adalah suhu gas keluar)
Profil tekanan
Profil oksigen
Beberapa sebab kinerja suspension preheater buruk berdasarkan
pengalaman:
Immersion tube yang sudah usang atau tidak ada lagi
Pintu inspeksi yang terbuka, lubang pada preheater (false air dengan
suhu yang lebih dingin masuk, dapat dideteksi dengan suara yang
berdesing)
Meal flap yang tersumbat atau tidak ada
Tidak adanya splash box (khususnya untuk preheater model lama)
Sirkulasi debu yang berlebih akibat efisiensi separasi siklon yang buruk
Cyclone preheater sangat sensitif terhadap adanya fenomena sirkulasi
dimana penyumbatan siklon dapat menyebabkan berhentinya kiln yang
mengakibatkan kehilangan produksi dan kegiatan pembersihan yang
berbahaya. Penyebab fenomena sirkulasi yang mungkin adalah:
Input yang berlebih melalui umpan atau bahan bakar (Cl, S, Na, dan K)
Ketidakseimbangan bahan kimia (sulfur, alkali ratio)
Operasi kiln/burner yang tidak sesuai
Usaha yang dapat dilakukan saat ini untuk memecahkan masalah
tersebut yaitu:
Merubah komposisi umpan atau kualitas bahan bakar
Meningkatkan kondisi pembakaran
Memasang automatic cleaning (air cannon big blaster) pada lokasi
yang kritis
Memasang sistem kiln gas bypass, merupakan solusi terakhir karena
mahal dan mengakibatkan hilangnya panas dan material
III. 4. Precalciner
Diantara reaksi-reaksi yang terjadi dalam proses pembuatan klinker, reaksi
kalsinasi yang membutuhkan energi paling besar (+/- 60% dari total heat
consumption). Reaksi kalsinasi ini tidak hanya membutuhkan temperatur reaksi,
tetapi juga butuh waktu reaksi (resident time).
Pada grafik hubungan energi yang diserap (endoterm) dan energi yang diserap
(eksoterm) dengan temperatur operasi di dalam proses pembuatan klinker terlihat
bahwa:
Dibutuhkan energi yang paling tinggi untuk decarbonisation (kalsinasi) pada
temperature sekitar 850-900 °C
Tahap kesempurnaan reaksi klinkerisasi sebenarnya melepaskan panas/energi
(eksoterm). Tetapi untuk melepaskan panas tersebut, temperatur klinkerisasi
harus tercapai >1400 °C.
Gambar 61 Energi yang diserap/dilepaskan pada beberapa temperatur operasi dan reaksi
Pada temperatur 900 °C, reaksi kalsinasi sempurna membutuhkan waktu 2–12
detik. Akan tetapi untuk menghindari terbentuknya clogging, kalsinasi di
precalciner hanya dibuat 90-95% dengan waktu tinggal 1-3 detik. Jadi fungsi dari
semua precalciner yang ada adalah untuk membuat reaksi kalsinasi 90-95% pada
temperature material 850-900 °C dengan waktu tinggal 1-3 detik.
Gambar 62 Kecepatan perpindahan panas pada partikel raw meal 0,1 mm dan 0,16 mm.
Pembakaran di dalam precalciner cukup jauh berbeda dengan pembakaran di
dalam kiln. Perbedaan itu adalah sebagai berikut:
Temperatur pembakaran di precalciner hanya sekitar 900 °C, sementara di
dalam kiln sekitar 2000 °C
Beberapa precalciner system menggunakan campuran udara dan gas hasil
pembakaran (in-line calciner)
Menjaga precalciner pada posisi temperature relatif rendah, hal ini untuk
menghindari terjadinya pelelehan yang bisa membentuk terjadinya clogging.
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam mengoperasikan
precalciner :
Pencampuran yang baik antara bahan bakar dengan oksigen. Hal ini agak sulit
bagi in-line calciner. Dispersi/penaburan bahan bakar yang optimum dalam
aliran gas sangat dibutuhkan (untuk bahan bakar cair: pengkabutan yang baik)
Dibutuhkan waktu reaksi dalam pembakaran. Pembakaran harus sempurna
dalam precalciner, jika tidak temperature akan drop dan % kalsinasi pun akan
menurun
Pola aliran dari campuran udara-gas harus baik untuk pembakaran
Distribusi raw mix harus baik agar pembakaran tidak terganggu (CaCO3 dan
CO2 dapat bereaksi dengan C membentuk CO)
Gambar 63 Sistem precalciner
III. 5. Clinker Cooler
Clinker cooler memiliki 2 tugas utama, yaitu:
Memanfaatkan sebanyak mungkin panas dari klinker untuk memanaskan
udara pembakaran
Mendinginkan klinker dari 1400 0C menjadi suhu yang sesuai untuk peralatan
pada proses selanjutnya, normalnya 100-200 0C
Clinker cooler merupakan bagian yang vital pada sistem kiln dan memiliki
pengaruh yang menentukan untuk kinerja pabrik. 3 indikator utama sebuah cooler
yang baik, yaitu:
Pemanfaatan panas yang maksimum
Laju aliran udara pendingin yang minimum
Avaibility yang tidak terbatas
Definisi-definisi yang digunakan untuk sistem clinker cooler:
Cooling air adalah udara pendingin yang melewati klinker yang dipanasi
ketika mendinginkan klinker. Cooling air berhubungan dengan kebutuhan
udara pembakaran dimana hanya grate cooler yang memakai udara tambahan
untuk pendinginan yang lebih baik.
Primary air adalah udara yang diperlukan untuk dipakai pada burner.
Beberapa burner precalciner dilengkapi dengan primary air fan (untuk
pendinginan).
Secondary air adalah udara panas yang memasuki rotary kiln melewati
clinker cooler. Alirannya ditentukan oleh pembakaran burning zone.
Sementara mendinginkan klinker, suhunya dapat mencapai 600-1000 0C,
tergantung pada tipe dan kondisi cooler.
Tertiary air adalah bagian dari udara pembakaran yang diperlukan untuk
pembakaran bahan bakar precalciner.
False air adalah udara dingin yang masuk ke dalam sistem melalui kiln outlet
seal, bukaan burner, casing atau keluaran klinker.
Specific air volume adalah aliran udara per kg klinker (m3/kg klinker, Nm
3/kg
klinker)
Specific load menunjukkan hubungan produksi klinker terhadap dimensi
cooler (t/d m, t/d m2, t/d m
3)
Radiation losses dari casing/shell cooler sangat penting untuk planetary
cooler, dimana mendukung pendinginan klinker.
Efisiensi menunjukkan kualitas transfer panas dari klinker ke udara yang
digunakan untuk pembakaran di dalam burning zone dan precalciner firing.
III. 5. 1. Planetary Cooler
Prinsip kerja dasar dari planetary cooler sama seperti pada rotary cooler
dimana klinker diumpankan melalui inlet chute dan kemudian didinginkan
oleh udara ketika ditransport menuju outlet. Pendinginan terjadi di dalam
aliran counter-current. Tube dilengkapi dengan internal lifter yang
meningkatkan perpindahan panas dan sekitar 66 % dari panjang cooler
dilengkapi dengan refractory brick. Perbedaan mendasar dari planetary
cooler dengan rotary cooler adalah jumlah cooling tube-nya. Pada
planetary cooler, aliran klinker dibagi menjadi 9-11 (biasanya 10) cooling
tube yang dipasang di sekitar kiln pada outlet kiln. Oleh karena itu,
planetary tube mengikuti rotasi kiln. Planetary cooler tidak membutuhkan
penggerak terpisah karena berhubungan dengan rotasi kiln dimana fakta ini
sudah menggambarkan satu keuntungan utama dari planetary cooler yaitu
kemudahan dalam pengoperasian.
UNAX INTERNALS PRESENTATION
F.L.Smidth introduces a
new generation of
planetary cooler
internals.
F.L.Smidth introduces a
new generation of
planetary cooler
internals.
Gambar 64 Planetary cooler
Pada kasus planetary cooler, kiln burner pipe selalu dimasukkan ke
dalam rotary kiln sehingga terdapat cooling zone di belakan nyala api
dengan sepanjang 1,5-2,5 diameter kiln. Daerah ini disebut daerah kiln
internal cooling dan harus dipertimbangkan sebagai bagian menyeluruh dari
planetary cooler. Pada daerah ini, suhu klinker turun dari 1450 0C menjadi
1200-1300 0C. Pengurangan suhu ini penting untuk perlindungan inlet
opening, elbow, dan first section dari cooling tube.
Setelah tahap pendinginan pertama di zona internal cooling kiln, klinker
kemudian jatuh ke dalam elbow. Klinker panas kemudian didinginkan oleh
udara dalam counter flow (jumlah udara yang digunakan sebanding dengan
jumlah udara sekunder). Udara dipanaskan sampai mendekati 700 0C dan
klinker mencapai suhu akhir sekitar 140-240 0C.
Panjang cooler: L/D dari tube mendekati 10:1. Inlet opening pada
cooler elbow melemahkan shell kiln dan mengakibatkan mechanical stress
serta thermal stress yang tinggi yang terjadi pada daerah itu. Untuk
mengatasinya lubang berbentuk oval dan kiln shell diperkuat ketebalannya.
Elbow berguna untuk mencegah klinker yang masuk kembali ke dalam kiln
ketika opening berada di atas. Kinerja pendinginan sangat tergantung
kepada efisiensi lifter dan kehandalan desain. Logam yang tahan terhadap
suhu tinggi sampai maksimum 1150 0C dapat digunakan untuk lifter.
Logam ini biasanya mengandung 30 % Cr. Elemen lain seperti Ni dan Mo
dapat muncul dalam proporsi yang beragam. Breaking teeth diaplikasikan di
dalam zona terpanas dan dapat menghancurkan gumpalan klinker yang
besar dan menimbulkan efek terguling untuk meningkatkan perpindahan
panas.
Gambar 65 Peralatan transfer internal pada rotary dan planetary cooler
III. 5. 2. Grate Cooler
Grate cooler pertama kali ditemukan tahun 1930 oleh Fuller Company
(USA). Tetapi baru sekitar tahun 1980-an dikembangkan lagi, karena
sebelumnya yang popular digunakan adalah planetary cooler yang lebih
simpel dalam pengoperasiannya.
Beberapa penjelasan mengenai grate cooler:
Prinsip kerjanya adalah perpindahan panas antara klinker dengan udara
secara cross-current, udara pendingin masuk dari arah bawah tumpukan
klinker bed, kemudian udara pendingin ini digunakan untuk pembakaran
di kiln dan calciner.
Biasanya grate cooler dalam pengontrolan dibagi 3 grate, grate 1 yang
paling ketat pengontrolannya karena merupakan daerah jatuhan pertama
klinker dari kiln dan merupakan patokan keberhasilan pendinginan grate
berikutnya. Grate cooler desain terbaru akan mengutamakan pada
pemanfaatan panas setinggi mungkin pada grate 1 dengan pembagian
pengaturan flow udara (constant flow) yang bergantung pada ukuran
klinker yang didinginkan (ditujukkan oleh differential pressure) karena
klinker yang jatuh dari kiln terpisahkan berdasarkan ukuran dan berat
akibat putaran klinker.
Jumlah aliran udara pendingin melebihi udara pembakaran yang
dibutuhkan, sehingga ada udara yang terbuang ke lingkungan (waste
air)
Temperatur udara untuk pembakaran sangat tinggi, mencapai >1000°C.
Mampu mendinginkan klinker pada kapasitas produksi tinggi, saat ini
mencapai 10.000 ton/hari.
Gambar 66 Grate cooler
Keuntungan menggunakan grate cooler antara lain yaitu:
Pemanfaatan panas untuk udara sekunder
Udara panas dalam jumlah besar dan temperatur tinggi dapat digunakan
untuk pembakaran di precalciner
Temperatur klinker lebih rendah
Kerugian penggunaan grate cooler antara lain:
Biaya investasi relatif tinggi
Pengoperasian lebih rumit
Power consumption tinggi, 4-6 kWh/ton
Gambar 67 Pola aliran proses grate cooler
Gambar 68 Diagram panas input dan output di grate cooler
III. 6. Refractory Lining
Daya tahan dari refractory lining terutama dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu:
Pemilihan kualitas material yang dignakan pada daerah yang berbeda
Pemasangan lining dengan mempertimbangkan metode penempatan ukuran
dan bahan sambungan
Memperhatikan kriteria pengoperasian yang mempengaruhi daya tahan lining,
seperti prosedur pemanasan dan pendinginan sistem kiln yang tepat dan
minimisasi fluktuasi proses untuk mempertahankan operasi kiln yang
berkelanjutan.
Sistem kiln dapat dibagi menjadi beragam daerah berdasarkan kondisi operasi
dan material refractory yang digunakan:
a. Zona Preheating
Pada zona preheating, air hidrat dihilangkan dan raw material dipanaskan
sampai suhu sekitar 700 0C. Panjang zona preheating pada long kiln dapat
mencapai 4-8 diameter kiln, sedangkan pada short preheater kiln, daerah
preheating merupakan bagian dari preheater.
Pada zona preheating di long kiln biasanya dilapisi dengan low alumina
firebrick atau untuk insulasi panas yang lebih baik dengan menggunakan light
weight firebrick.
b. Zona Calcining
Reaksi kalsinasi sudah dimulai pada saat suhu material di bawah 600 0C
dan selesai pada suhu sekitar 1200 0C, tetapi bagian terbesar dari reaksi
kalsinasi terjadi di antara suhu material 700-900 0C yang biasa disebut zona
kalsinasi. Refractory yang digunakan adalah fireclay brick atau untuk lebih
baik dengan menggunakan fireclay lightweight brick.
c. Zona Transisi
Zona transisi berlokasi pada kedua sisi dari zona sintering. Karena
panjang zona sintering bervariasi dengan fluktuasi proses, maka zona transisi
ditandai dengan adanya pembentukan coating yang tidak stabil.
Bagian inlet dari daerah transisi biasanya disebut safety zone dan dilapisi
oleh refractory dengan jenis alumina rich brick dengan kandungan Al2O3 50-
60 %, sedangkan bagian yang dekat dengan zona yang panas digunakan
synthetic material atau magnesia-chrome brick dengan kandungan 69-70 %
MgO.
d. Zona Sintering
Meskipun daerah ini sering disebut sebagai burning zone, tetapi sintering
zone dipakai untuk lebih mendeskripsikan mekanisme reaksi yang terjadi
pada daerah tersebut. Sintering zone biasanya ditutupi oleh coating yang
stabil yang terbentuk dari klinker dan fase cair. Fase cair mulai terbentuk pada
suhu material sekitar 1250 0C, tapi karena suhu permukaan lebih tinggi
daripada suhu raw material, maka pembentukan coating suhu terjadi pada
suhu material di atas 1050-1150 0C.
Istilah sintering zone dapat juga dijelaskan sebagai zona terjadinya difusi
material dengan pembentukan modifikasi C3S pada suhu sekitar 1100 0C.
Suhu material maksimum pada sintering zone adalah 1400-1500 0C pada
bagian awal cooling zone. Panjang sintering zone biasanya antara 3-5
diameter kiln dan sangat tergantung pada bentuk api dan tipe bahan bakar.
Api dari bahan bakar batubara umumnya memberikan panjang sintrering zone
yang pendek, bahan bakar minyak memberikan daerah yang sedang,
sedangkan bahan bakar gas memberikan daerah sintering yang panjang.
Batu tahan api pada sintering zone terkena chemical attack oleh fase cair
dari klinker dan sulfat alkali, suhu yang tinggi dan thermal shock yang tinggi.
Kondisi ini baik digunakan basic brick karena ketahanan yang baik terhadap
chemical attack. Tapi umumnya, chrome free magnesia spinell brick,
magnesia-chrome atau dolomite brick dipasang. Dolomite brick umumnya
memiliki kinerja operasi yang baik pada daerah pembentukan coating. Harga
untuk dolomite brick hanya sekitar 60 % dari harga magnesit. Kelemahan
dolomite brick adalah sensitivitasnya terhadap kelembaban. Sehingga untuk
stop kiln dalam waktu yang lama harus dilindungi terhadap kelembaban.
e. Zona Cooling
Cooling zone pada rotary kiln mencakup sekitar daerah burner nozzle
sampai kiln outlet. Pada daerah ini, klinker didinginkan dari suhu
maksimumnya. Sekitar 1400-1500 sampai sekitar 1350 0C pada kiln dengan
grate, rotary atau shaft cooler dan sekitar 1250 0C pada kiln dengan planetary
cooler.
Cooling zone pada kiln dengan planetary cooler memiliki panjang sekitar
1,5-2 kiln diameter. Brick yang digunakan mengandung 80 % Al2O3.
Tabel 9 Kualitas brick berdasarkan daerah proses pembakaran
Zona Perkiraan suhu material Panjang zona thd
rasio diameter
Kualitas brick
Awal (0C) Akhir (0C) SP kiln
Preheating zone
Calcining zone
Safety zone
Transition zone
Sintering zone
Outlet transition zone
20(100)
700
900
1050-1150
1400-1500
700
900
1050-1150
1400-1500
1350-1400
Preheater
4-6
2
2-4
3-5
1-2
Lightweight firebrick, fireclay
Lightweight firebrick, fireclay
High alumina 50-60 % Al2O3
Magnesia spinell (Magnesia-chrome 60-70 % MgO)
Dolomite, magnesia spinell (magnesia chrome 70-90 % MgO)
Magnesia spinell (magnesia chrome 60-70 % MgO)
Cooling zone 1350-1400 1250-135 0,5-2 High alumina (80-90 % Al2O3)
III. 7. Sistem Coal Firing
Sebelum batubara ditembakkan, harus dipersiapkan kehalusannya. Batubara
harus dikeringkan sehingga kandungan airnya 0,5-1,5 % karena adanya
kelembaban mengakibatkan hilangnya nilai kalori batubara dimana air harus
diuapkan tersebut dahulu. Pengeringan batubara dilakukan bersamaan dengan
penggilingan.
Klasifikasi sistem coal firing:
a. Sistem 1. – Direct firing
Sistem yang paling sederhana, dimana batubara digiling oleh mill,
dikeringkan dan kemudian dihembuskan ke dalam kiln bersama dengan gas
kering.
b. Sistem 2. – Direct firing
Pada dasarnya sama, tapi mill bekerja pada tekanan positif. Sistem ini
umumnya diaplikasikan untuk melindungi fan ketika memproses batubara
yang abrasive.
c. Sistem 3.a – Direct firing
Fan dilindungi dengan memisahkan batubara yang halus oleh siklon dan
mengumpankan setelah fan ke primary air stream.
d. Sistem 3.b – Direct firing dengan resirkulasi
Sama seperti sistem 3.a, tapi dengan resirkulasi udara pengering.
Pengaturan ini menyebabkan kurangnya rasio udara primer.
e. Sistem 4. – Semi direct firing
Tidak terlalu berpengaruh dari segi teknis karena adanya intermediate
storage batubara lebih disukai.
f. Sistem 5.a – Semi indirect firing
Kiln dapat beroperasi secara independen jika mill shutdown karena
batubara halus disimpan dalam intermediate storage bin. Udara exhaust dari
mill masuk ke dalam kiln sebagai primary air.
g. Sistem 5.b – Semi-indirect firing dengan resirkulasi
Sama seperti sistem 5.a, tapi dengan resirkulasi udara pengering.
h. Sistem 6. – Indirect firing
Instalasi grinding terpisah seluruhnya dari kiln. Batubara halus disimpan
di dalam intermediate storage bin dan udara exhaust keluar mill melalui filter
ke atmosfir.
Gambar 69 Klasifikasi sistem coal firing
Tabel 10 Keuntungan dan kekurangan utama dari beragam sistem coal firing
Direct firing Semi-indirect firing Indirect firing
Conventional Modified Conventional Modified
Sistem 1 dan 2 Sistem 3.a Sistem 5.a Sistem 5.b Sistem 6
Keuntungan Desain
sederhana
Resiko
ledakan
rendah
Rasio
udara
primer
dan
konsumsi
panas
yang
lebih
rendah
dibandin
g sistem
konvensi
onal
Fan
udara
primer
yang
independ
en
Tidak ada
exhaust gas,
sehingga tidak
perlu filter
Jika mill
shutdown, kiln
tidak shutdown
Hanya 1 mill
yang
diperlukan
untuk beberapa
kiln
Pengambilan
sampel untuk
kontrol
kehalusan
mudah
Rasio udara
primer dan
konsumsi
panas yang
lebih
rendah
dibanding
sistem
konvension
al
Fan udara
primer yang
independen
Kontrol api
(flame) yang
sederhana
Rasio udara
primer yang
rendah
Uap air dari
pengeringan
batubara tidak
masuk ke
dalam kiln
Jika mill
shutdown,
maka kiln
tidak
shutdown
Hanya 1 mill
yang
diperlukan
untuk
beberapa kiln
Pengambilan
sampel untuk
kontrol
kehalusan
mudah
Kerugian Kondisi
operasi tidak
optimal,
karena
terhubung
dengan kiln
Jika mill
shutdown,
maka kiln
juga
shutdown
Jumlah kiln =
jumlah mill
Rasio udara
primer yang
tinggi
mencapai 30
%
Pengambilan
sampel untuk
kontrol
kehalusan
sulit
Instalasi
lebih
rumit
dengan
memerlu
kan fan
udara
primer
sebagai
tambahan
, ducting
yang
lebih
panajang
Instalasi yang
lebih
kompleks,
yang
membutuhkan:
siklon, silo
batubara,
feeder
batubara,
sistem kontrol
dan
pengukuran
Rasio udara
primer yang
tinggi
mencapai 30
%, ketika start
up dan
shutdown mill
menggangu
operasi kiln
Biaya investasi
lebih tinggi
daripada sistem
direct firing
(untuk satu
kiln)
Instalasi
lebih rumit
dengan
memerluka
n fan udara
primer
sebagai
tambahan,
ducting
yang lebih
panajang
Instalasi lebih
kompleks
dengan
memerlukan
dedusting
filter
Biaya
investasi
lebih tinggi
dibanding
dengan direct
firing
Resiko self
ignition di
silo storage
Lebih rentan
terhadap api
dan ledakan
di gas duct
dan filter
Resiko self
ignition
batubara di silo
storage
III. 7. 1. Pengaruh Sistem Firing Terhadap Operasi Kiln
Sistem direct firing cenderung meningkatkan fluktuasi batu bara dan
oleh karena itu menganggu pembakaran. Pada direct firing dan semi direct
firing, mill vent air masuk ke dalam kiln sebagi udara primer sehingga rasio
udara primer lebih tinggi dari yang dibutuhkan. Rasio udara primer
mempengaruhi langsung efisiensi peningkatan kembali panas pada cooler
dan akhirnya pada konsumsi panas kiln secara keseluruhan. Jika konsumsi
panas dapat dikurangi, kuantitas gas exhaust otomatis berkurang yang
berpotensi untuk peningkatan kapasitas.
Keuntungan lain dari kuantitas exhaust gas yang rendah adalah
pengaruhnya pada berkurangnya kecepatan gas di dalam kiln sehingga
generasi debu semakin rendah untuk sistem wet kiln. Bentuk nyala api
sangat dipengaruhi oleh firing system. Indirect system tidak hanya
mendukung nyala api yang lebih stabil tapi juga lebih pendek.
Keuntungannya adalah kualitas klinker yang lebih baik dan kebutuhan
energi untuk penggilingan semen yang lebih rendah.
III. 8. Bahan Bakar
Secara fisik dalam industri semen ada 3 jenis bahan bakar yang dapat
digunakan untuk operasi pembakaran di dalam kiln dan kalsiner, yaitu :
a. Bahan bakar padat: batu bara (antrasit, lignit, coke), alternatif fuel (kayu,
cangkang kelapa sawit, ban bekas)
b. Bahan bakar cair: solar, alternatif fuel (oli bekas)
c. Bahan bakar gas: gas alam (natural gas)
III. 8. 1. Bahan Bakar Padat
Bahan bakar padat yang umum digunakan atau yang dominan dipakai di
pabrik semen adalah batu bara, pertimbangan utamanya adalah:
kalor bakarnya cukup tinggi
ketersediaannya relatif banyak
kualitasnya cukup homogen
Penanganan yang relatif mudah
Sementara bahan bakar padat lainnya seperti alternatif fuel (cangkang
kelapa sawit, kayu, ban bekas) hanyalah sebagai bahan bakar tambahan
yang pemakaiannya < 10% dari total bahan bakar.
III. 8. 2. Bahan Bakar Cair
Saat ini bahan bakar cair banyak digunakan pada industri semen. Gas oil
atau sama dengan solar sering digunakan untuk membantu pembakaran
dimana keunggulannya adalah:
Tidak butuh pemanasan awal (preheating)
Terbakar dengan mudah
Nyala api relatif stabil
Tabel 11 Jenis-jenis bahan bakar cair
Paramenter Unit Gas-Oil Light
Fuel-Oil
Heavy
Fuel-Oil
Komposisi % C 86,30 86,20 86,10
% H 12,80 12,40 11,80
% S 0,90 1,40 2,10
s.g pada… (kg/L) 0 oC 0,880 0,905 0,960
15 oC 0,870 0,895 0,950
2 oE 0,880 0,865 0,880
Temperatur untuk 2 oE
oC 0 60 120
Panas spesifik kcal/kg/oC 0,485 0,480 0,465
CV (kcal/kg) gross 10875 10550 10375
net 10200 9900 9750
Udara pembakaran kg/kg 14,40 14,20 14,00
Nm3/kg 11,10 11,00 10,80
Gas hasil pembakaran Nm3/kg
11,80 11,68 11,51
(basah, bebas oxygen)
Vol % CO2+SO2 13,7 13,9 14,1
Vol % H2O (g) 12,0 11,8 11,4
vol %N2 74,3 74,3 74,5
dew point, oC 50 50 49
Temperatur nyala teoritis oC 2160 2120 2120
Hanya Heavy fuel (BCO) yang digunakan dalam pabrik semen sebagai
bahan bakar utama. BCO ini harus dipanaskan terlebih dahulu agar
viskositasnya turun sehingga relatif mudah ditransport dan dibakar.
Beberapa heavy fuel oil butuh pemanasan <100°C ada pula yang butuh
pemanasan >150°C. Komposisi bahan bakar cair ini berbeda-beda
tergantung dari komposisi minyak mentahnya. Semakin tinggi rasio
karbon/hydrogen dalam bahan bakar, nyala api semakin terang dan jelaga
makin besar.
III. 8. 3. Bahan Bakar Gas
Penggunaan bahan bakar gas memiliki beberapa keunggulan, seperti :
Instalasi peralatan yang sedikit
Komposisi yang konstan dan mudah dikontrol
Nyala api yang sangat stabil
Kandungan sulfur relatif rendah
Kesulitan dari penggunaan bahan bakar gas adalah sifatnya yang mudah
terbakar sehingga resiko terjadinya peledakan sangat tinggi. Biasanya, suatu
pabrik semen akan menggunakan bahan bakar gas apabila bahan bakar ini
tersedia cukup banyak di sekitar area pabrik tersebut.
Volume gas hasil pembakaran relatif tinggi sehingga panas hilang yang
keluar dari SP cukup tinggi. Tetapi pada prakteknya, kehilangan panas ini
menjadi tidak tinggi karena % udara primer cukup rendah sehingga
pengambilan panas di cooler oleh udara sekunder menjadi lebih tinggi.
Tabel 12 Contoh beberapa karakteristik dari Gas Alam
Parameter Unit Belanda
Saharan North Sea
(Groningen) (Typical)
Komposisi vol %CH4 81,76 86,50 91,80
C2H6 2,73 9,42 3,50
C3H8 0,38 2,63 0,80
C4H10 0,13 1,06 0,30
< C5 0,16 0,09 0,33
CV (kcal/Nm3) Gross 8400 10780 9700
Net 7580 9750 8760
Udara pembakaran kg/Nm3 10,91 13,96 12,60
Nm3/Nm
3 8,44 10,80 9,75
Gas hasil pembakaran Nm3/Nm
3 9,20 11,52 10,60
(basah, bebas oksigen)
Vol % CO2 9,8 10,6 9,8
Vol % H2O 18,6 17,7 18,5
Vol %N2 71,6 71,7 71,7
dew point, oC 59 58 59
III. 9. Bahan Bakar Batu Bara
III. 9. 1. Klasifikasi dan Spesifikasi Batu Bara
Klasifikasi batu bara dapat didasarkan atas hasil analisa unsur-unsur
yang terkandung didalamnya. Unsur utama dalam batu bara adalah karbon
(C), hidrogen (H), oksigen (O) dan nitrogen (N). Karena hubungan antara
unsur-unsur dasar tersebut dengan sifat-sifat teknis batu bara cukup
kompleks, maka dicari parameter lain yang lebih sederhana dan dapat
diterima di industri. Parameter yang sering digunakan adalah :
Nilai kalor (calorific value)
Kadar zat terbang (volatile matter)
Namun untuk daerah Sumbar-Jambi-Riau, terdapat berbagai jenis batu
bara yang cukup beragam. Untuk memudahkan dalam klasifikasi jenis batu
bara yang digunakan di PT Semen Padang, kita menggunakan satu
parameter tambahan lagi yaitu:
Kadar abu (ash)
Untuk batu bara yang berasal dari daerah Sumbar (Sawahlunto dan
sekitarnya), umumnya kadar abu berkisar antara 10-15%. Jika kadar abu
melebihi nilai tersebut, bisa dipastikan batu bara ini sudah terkontaminasi
dengan tanah. Biasanya karena penambangan yang kurang baik dimana
lapisan atas (overburden) tidak terpisahkan dengan baik, sehingga ikut
terbawa lapisan batu bara saat diambil.
Ash yang tinggi dalam fine coal sangat mempengaruhi kualitas klinker
terutama turunnya LSF klinker, hal ini karena ash mengandung SiO2 dan
Al2O3 yang cukup banyak. Ash mengandung 15-21% Al2O3, 25-40% SiO2,
20-45% Fe2O3 1-5% CaO, 0,5-1% MgO, 2-8% SO3
Tabel 13 Komposisi mineral coal
Komponen % Mineral Coal % Coke
Carbon (C) 60-92 80-90
Hidrogen (H) 1-5 0.4-2
Oksigen (O) 2-14 -
Nitrogen (N) 0.3-2 -
Sulfur (S) 0.5-4 0.4-1
Ash 5-15 8-14
Moisture 2-15 1-1.5
Tabel 14 Contoh komposisi coal
Jenis Coal Unit Lignit Bituminous Antrasit
Total Moisture % 40-50 5-10 0-3
Volatiles % 40-50 10-40 5
Ash % 5-25 10-20 5-10
Komposisi Kimia (contoh) %C 56 70 78
%H 4 3 2
%S 1 1 1
%N+O 19 3 2
CV (gross) Kcal/kg 5120 6625 7100
Batu bara antrasit memiliki kalor bakar yang paling tinggi dimana
kandungan C nya cukup tinggi. Semakin lama batu bara tersimpan dalam
bumi, panas bumi menyebabkan lepasnya O, H, N dalam batu bara,
sehingga kandungan C dalam batu bara akan meningkat (CV meningkat).
Batu bara antrasit memiliki kandungan volatile matter yang cukup
rendah, hal ini membuat coal relatif lebih sulit terbakar dan nyala api lebih
panjang. Untuk membuat coal ini menjadi lebih mudah terbakar, biasanya
dilakukan dengan cara memperhalus fine coal yang diumpankan ke burner.
Batu bara yang lebih muda (bituminous,lignit) atau brown coal,
memiliki kandungan volatile matter yang lebih tinggi (kandungan O, H, N
tinggi), coal relatif lebih mudah terbakar, nyala api lebih pendek. Untuk
membuat bentuk nyala api lebih panjang, fine coal diperkasar dari biasanya.
Gambar 70 Grafik hubungan kehalusan fine coal yang direkomendasikan dengan VM
III. 9. 2. Pengaruh kualitas batu bara terhadap pembentukan klinker
Beberapa parameter yang perlu diperhatikan mengenai batu bara sebagai
bahan bakar pada industri semen adalah:
Total moisture
Kadar air yang tinggi pada batu bara akan mengurangi harga Net-
Calorific Value nya yang berarti secara langsung mempengaruhi
efisiensi pembakaran pada kiln.
Kadar abu/ash
CVnet = 8,35 C + 22,5 H +2,5 S + 1,5 N -2,6 O – 0,6 H2O.. Kcal/kg
Kadar abu maksimum yang bisa dipakai adalah 20%. Sebenarnya
abu tidak akan mengganggu kualitas semen apabila komposisinya tidak
berubah-ubah, sehingga memungkinkan dilakukannya koreksi dengan
komponen bahan bakunya. Yang penting di dalam abu batu bara tidak
terkandung SO3, Na, K, MgO, P2O5 dan Cl dalam jumlah yang melebihi
batas maksimum. Unsur dan senyawa tersebut dalam jumlah tertentu
ternyata akan mengganggu kualitas semen.
Nilai kalor
Setiap pabrik semen telah merancang kiln yang akan digunakan
sesuai dengan nilai kalor batu bara yang akan dipakai sebagai bahan
bakarnya. Penurunan harga nilai kalor (Net Calorific Value) sebagai
akibat harga total moisture dan abu akan menyebabkan gangguan pada
efisiensi pembakaran. Akibatnya jumlah umpan bahan baku yang
diharapkan menjadi semen akan berkurang dan tentunya akan
mengganggu produksi semen.
Formula umum untuk mengetahui Net Calorific Value adalah:
Formula diatas adalah pendekatan untuk mengetahui nilai kalor
bahan bakar cair atau padat. Sebenarnya bahan bakar cair atau padat
terdiri senyawa organik yang kompleks, dimana jenis senyawa organik
ini mempengaruhi nilai kalor bakar. Formula ini tidak bisa digunakan
untuk mengetahui nilai kalor dari karbon murni atau sulfur murni.
Untuk mendapatkan nilai kalor yang pasti dan tepat harus dilakukan
pengukuran dengan kalorimeter.
Total Sulfur
Belerang (sulfur) karena proses pembentukannya yang sama dengan
pembentukan lapisan pembentuk batu bara, selalu menyertai lapisan
batu bara dalam bentuk mineral yang bermacam-macam. Sulfur ini akan
mengganggu lingkungan dalam bentuk SOx yang keluar cerobong kiln,
juga dalam jumlah yang cukup banyak ( rasio molar alkali/SO3 <1,2)
dapat menyebabkan terbentuknya clogging di inlet kiln dan riser pipe.
PT Semen Padang sampai saat ini membatasi kandungan sulfur dalam
batu bara < 1%.
III. 9. 3. Pengolahan batu bara
Sebagai bahan bakar, batu bara yang datang dari penambangan tidak
efisien jika langsung dibakar karena ukuran partikelnya masih kasar dan
kadar airnya tinggi sehingga hasil pembakaran tidak optimal dan kontrol
operasinya menjadi sulit.
Yang menjadi persyaratan utama bagi pembakaran batu bara di dalam
kiln untuk mendapatkan nyala api yang pendek dan tajam serta
menghasilkan panas yang optimal adalah:
Ukuran partikel harus halus
Material yang halus mempunyai luas permukaan yang besar
sehingga reaksi pembakaran dapat berlangsung dengan sempurna.
Ukuran dari partikel ini sangat tergantung pada kadar volatile matter
dari batu baranya. Makin tinggi volatile matter, maka partikelnya tidak
boleh terlalu halus karena mudah terbakar. Grafik hubungan volatile
matter dengan kehalusan sudah ditampilkan pada bagian terdahulu.
Kadar air batu bara cukup rendah
Di dalam batu bara selalu terdapat sejumlah tertentu air, dimana
kadar air biasanya dinyatakan dalam persen berat. Terdapat dua jenis air
dalam batu bara yaitu :
a. Free moisture/air bebas
Yaitu air yang menguap pada saat pengeringan batu bara pada
temperatur kamar atau sedikit lebih tinggi.
b. Inherent moisture/air terikat
Yaitu air yang hanya dapat menguap pada waktu pemanasan
batu bara pada temperatur diatas 100 °C dalam waktu tertentu.
Untuk memudahkan proses pembakaran, maka kadar air harus
diturunkan tetapi untuk menghindari bahaya kebakaran dan ledakan di coal
mill, temperatur udara pengeringan tidak boleh terlalu tinggi. Biasanya
temperatur outlet operasi coal mill dijaga pada temperature 60-70 °C.
Sebaliknya air yang terlalu sedikit (<1 %) mulai menimbulkan
kesulitan pada penyalaan, sebab karbon yang ada didalam coal tidak
langsung terbakar oleh oksigen dari udara. Melainkan karbon bereaksi dulu
dengan radikal OH- dari air dan secara berantai baru terbakar oleh O2. Jadi
kandungan air dalam coal sampai batas tertentu berfungsi sebagai
katalisator dalam reaksi antara karbon dan oksigen.
Hubungan antara kadar air yang direkomendasikan tersisa dalam
fine coal dengan kadar air terikat raw coal dapat dilihat pada grafik berikut.
Gambar 71 Grafik hubungan kadar air yang direkomendasikan dalam fine
coal dengan inherent moisture
III. 9. 4. Reaksi Pembakaran
Reaksi pembakaran karbon, hidrogen dan sulfur adalah sebagai berikut :
1 kg C + 2,66 kg O2 → 3,66 kg CO2 + 8100 kcal
1 kg C + 1,33 kg O2 → 2,33 kg CO + 2400 kcal
1 kg H2 + 8 kg O2 → 9 kg H2O + 28,641 kcal
1 kg S + 1 kg O2 → 2 kg SO2 + 2210 kcal
Catatan: pada temperatur 400-1200 oC ,1-5 % SO2 teroksidasi menjadi SO3
Dari persamaan reaksi diatas, reaksi terbentuknya CO harus dihindari.
Jika oksigen dari udara pembakaran tidak cukup, reaksi karbon dengan
oksigen menjadi tidak sempurna sehingga terbentuklah CO dimana panas
yang dihasilkan dari reaksi tidak sempurna ini menjadi 30% dari seharusnya
yang diharapkan. Hal ini akan berdampak langsung secara berurutan yaitu:
temperatur burning zone turun
torsi turun
Liter weight turun
Free lime naik (reaksi pembentukan klinker tidak sempurna)
Akhirnya bisa menyebabkan klinker mentah (flushing) jika antisipasi
terlambat.
Untuk menjaga agar CO tidak terbentuk:
Coal feed harus dikurangi jika coal feed sudah relatif tinggi.
Damper ID fan harus ditambah jika udara masih kurang
Amati perubahan temperatur di SP dan O2 dan CO di top SP
Sebaliknya, jika udara pembakaran terlalu berlebih akan mengakibatkan
kerugian panas yang terbawa keluar SP. Oleh sebab itu senantiasa operator
mengamati indikasi yang ditunjukkan dari O2 analyzer agar dijaga sekitar 2
- 4%.
Proses reaksi pembakaran terjadi dalam 2 tahap :
Tahap pelepasan volatile matter
Tahap pembakaran C
Waktu pembakaran pada ukuran partikel 20–500 mikron adalah 0,1–
10 detik. Dengan adanya waktu yang dibutuhkan untuk bisa terbakarnya
fine coal ini, maka antara pangkal nyala api dengan ujung burner selalu
ada jarak.
Temperatur nyala/ignition temperature (200-600 °C)
Ignition temperature adalah temperatur permukaan coal dimana
reaksi pembakaran dapat berlangsung terus menerus/tidak terputus.
Temperatur ini tergantung pada kehalusan fine coal dan jenis coal.
Untuk jenis coal antrasit ignition temperaturnya lebih tinggi.
Range temperature nyala fine coal ini menjawab alasan mengapa
saat heating-up pertama kita tidak bisa langsung menggunakan fine
coal, tetapi harus menggunakan solar hingga tercapai temperatur
tertentu, seperti temperatur di preheater stage paling bawah 350 °C.
Transfer panas didalam kiln terjadi terutama secara radiasi.
Gas hasil pembakaran yang memancarkan radiasi adalah gas H2O,
CO2 dan SO2, sedangkan nitrogen dan oksigen tidak memancarkan
radiasinya ke raw mix di dalam kiln. Penjelasan ini juga berarti bahwa
kelebihan udara pembakaran mengakibatkan selain kerugian panas yang
terbawa keluar SP juga berkurangnya daya radiasi gas hasil
pembakaran. Radiasi ini juga menjadi sangat penting karena isi material
padat/raw mix dalam kiln hanya +/-13 % volume.
Semakin cepat gas hasil pembakaran digantikan oleh udara pembakaran,
semakin cepat fine coal terbakar. Hal ini butuh penyetelan burner dan
ID Fan yang cukup.
Jika udara pembakaran terlalu berlebih:
- Temperatur flame turun
- Gas keluar SP lebih banyak, sehingga panas terbuang lebih banyak
- Gas dalam kiln lebih cepat, akibatnya transfer panas dalam kiln
menurun.
III. 10. Proses Penggilingan di Area Coal Mill Produksi II/III
Proses ini bertujuan untuk menggiling batubara yang berukuran kasar
sehingga menjadi fine coal yang berukuran lebih kecil. Fine coal tersebut
kemudian akan dipergunakan sebagai bahan bakar untuk proses pembakaran raw
mix di kiln.
Batubara yang masih berukuran kasar disimpan di dalam hopper K1/K2L01
yang memiliki kapasitas 50-60 ton. Batubara tersebut kemudian diumpankan ke
dalam mill melalui suatu alat pengumpan berjenis rotary table feeder K1/K2A01.
Rotary table feeder adalah alat ekstraksi dan volumetric feeding yang digunakan
untuk pengumpanan raw coal ke dalam coal mill. Rotary table feeder terdiri dari
disc yang berputar yang terdapat di dalam casing kedap udara dan digerakkan
oleh worm gear melalui poros vertikal. Material dari hopper ditransport ke disc
melalui pipa teleskopik dan sebuah scrapper untuk mengarahkan material ke
lubang pengeluaran. Jumlah material umpan tergantung pada kecepatan putar
disc.
Gambar 72 Rotary table feeder
Batubara kemudian masuk ke dalam mill melalui inlet mill. Mill yang
digunakan untuk penggilingan coal di operasi I berjenis tirax mill barkapasitas 15
ton/jam dengan jenis feed arrangement feed chute of airswept mill untuk
memudahkan masuknya udara panas bersamaan dengan material umpan. Tirax mill
yang digunakan untuk penggilingan batubara mirip dengan unidan mill tetapi
berbeda dari rancangan aliran udara yang membawa produk keluar dari mill.
Umumnya, mill jenis tirax memiliki dua kompartmen penggilingan yaitu
kompartmen I (precrushing) dengan bola baja sebagai isi grinding medianya dan
compartment II dengan grinding media cylpebs. Di operasi I sekarang ini tidak
digunakan lagi cylpebs sebagai grinding media di kompartmen II tetapi digunakan
bola baja dengan diameter berukuran 20-25 mm. Tirax mill dapat menggiling
umpan dengan kandungan air lebih dari 1 % jika udara panas disuplai ke dalam
mill.
Gambar 73 Feed arrengement dari coal mill
Mill juga terdiri dari drying chamber dimana di dalam drying chamber,
batubara masuk bersama dengan udara panas yang berasal dari kiln yang ditarik
oleh fan K1/K2S13. Untuk membantu mensuplai udara panas dalam tahap starting
up kiln, maka digunakan heat generator K1/K2T11 dengan bahan bakar solar.
Udara panas ini mutlak diperlukan karena selain digunakan untuk pengeringan
batubara juga digunakan untuk membantu proses transportasi fine coal dari mill ke
dalam kiln.
Gambar 74 Drying chamber yang dilengkapi dengan lifter
Drying chamber dilengkapi dengan lifter yang berfungsi untuk menghamburkan
material ke aliran udara panas ketika terjadi putaran. Ketika mill berhenti berputar,
ketinggian isi material di dalam drying chamber akan lebih tinggi dibandingkan ketika
mill berputar. Karena sebagian besar material terhambur di dalam aliran udara. Jika
batubara kasar tersumbat pada bagian inlet drying chamber, mungkin disebabkan oleh
kurangnya kandungan panas yang dibawa udara dengan kandungan air batubara
sehingga suhu udara kering harus ditingkatkan atau baffle plate harus dipasang di
bagian inlet drying chamber untuk mengarahkan udara panas ke sudut drying
compartment.
Proses penggilingan di dalam tirax mill juga serupa dengan penggilingan di duodan
mill dimana pada kompartmen I terjadi gerakan cataracing motion akibat bola yang
digunakan lebih besar dan adanya lifting liner sehingga terjadi peristiwa tumbukan,
sedangkan di kompartmen II terjadi gerakan cascading motion akibat bola yang
digunakan berukuran lebih kecil sehingga hanya terjadi peristiwa penggerusan
batubara. Diaphragm yang digunakan juga berjenis single diaphragm karena ukuran
mill yang kecil.
III. 10. 1. Kriteria-Kriteria Perancangan di Coal Mill Indarung II/III:
a. Length to Diameter Ratio (λ)
Panjang Mill (L) = LDrying Chamb. + LComp. I + LComp. II = 2,8 + 4,4 + 2,8 = 10 m
Diameter (D) = 3 m
Maka λ = L/D = 3,33
b. Filling Degree (f)
Filling degree dan berat grinding media di tiap kompartmen dapat
dilihat pada tabel 15 berikut:
Tabel 15 Filling degree dan berat grinding media
Kompartmen Ukuran grinding media (mm) Berat grinding media (ton) Filling degree (%)
I
50 3,4
21,15 40 5,4
30 4,7
Total 13,5
II
25 8
23,8 20 8
Total 16
c. Grinding Media Charge
Berat grinding media charge di tiap kompartmen adalah sebagai berikut:
Untuk kompartmen I
Qui xf
xxLxDQ
1004
2 (ton)
Q = 18,1 ton
Untuk kompartmen II
Qui xf
xxLxDQ
1004
2 (ton)
Q = 33,17 ton
d. Mill Speed
Dincrit
3,42 = 24,45 rpm
n = 17,2 rpm
k = 70,35 %
Dapat dilihat bahwa % kecepatan mill yang digunakan adalah sebesar
70,35 % dari kecepatan kritis.
Fine coal hasil penggilingan mill kemudian keluar dari outlet mill
bersamaan dengan udara panas yang dihisap oleh fan K1/K2S05. Jenis
discharge arrangement yang digunakan yaitu berjenis discharge of airswept
mill karena fine coal keluar bersamaan dengan udara sehingga diperlukan
ruangan yang luas. Fine coal bersama udara yang keluar kemudian masuk
ke dalam air separator K1/K2S01 yang dipasang menempel langsung
dengan coal mill. Di dalam separator ini terjadi proses pemisahan antara
fine coal yang halus dengan yang kasar. Proses pemisahan memanfaatkan
gaya sentrifugal dimana material yang lebih berat akan terlempar ke dinding
dan jatuh ke bawah kembali ke dalam mill untuk digiling kembali,
sedangkan material yang lebih ringan akan dibawa oleh udara yang dihisap
oleh fan untuk selanjutnya akan disimpan ke dalam coal meal silo
K1/K2L02.
Gambar 75 Discharge arrangement yang dihubungkan langsung dengan separator
Fine coal yang melewati separator kemudian dimasukkan ke dalam silo
K1/K2L02 yang berkapasitas 60 ton melewati dedusting filter K1/K2S03
berjenis bag house filter. Bag house filter merupakan alat pemisah debu
yang terdiri dari kantong-kantong (bag) sebagai media pemisah antara debu
dengan udara, yang terbuat dari bahan poliester yang tahan terhadap
temperatur dan kelembaban gas. Campuran udara dan partikel debu ditarik
melalui ruangan filter yang berisi bag filter. Udara akan melewati bag,
sementara itu debu yang terbawa akan menempel pada bagian luar bag.
Gambar 76 Bag house filter pada coal mill
Debu yang menempel pada bag dibersihkan secara berkala dengan
mengalirkan udara yang berasal dari jet cleaning system. Udara akan
memasuki setiap bag pada arah yang berlawanan dengan udara yang
mengandung debu dan menekan setiap bag sehingga merontokkan debu
yang menempel pada dinding bag. Debu akan jatuh ke bottom hopper untuk
dibawa dengan alat transport berikutnya. Pembersihan debu ini dilakukan
dengan interval waktu tertentu.
Gambar 77 Pengumpan fine coal Indarung II yaitu pfister
Fine coal yang disimpan di dalam silo kemudian siap untuk diumpankan
ke dalam kiln untuk proses pembakaran. Di operasi I terdapat dua jenis
pengumpanan fine coal ke dalam kiln berdasarkan peralatan pengumpan
yang digunakan. Di Indarung II, fine coal diumpankan dari silo melalui
prehopper (pfister) K1L03 yang diteruskan oleh rotor scale K1V13 yang
dapat dilihat pada gambar 39. Prinsip kerja rotor scale ini adalah dimana
umpan diletakkan di atas table yang terdapat lubang di tepinya. Table ini
kemudian berputar sehingga fine coal akan bergeser ke tepi ke arah lubang.
Lubang pada rotor scale tersambung dengan pipa yang dilengkapi dengan
dua buah blower K1V14 dan K1V14 sehingga fine coal yang jatuh ke
lubang dihembus oleh udara untuk kemudian ditransport ke burner untuk
pembakaran di kiln.
(a) (b)
Gambar 78 Pengumpan fine coal Indarung III yaitu screw conveyor (a)
dan weighting belt (b)
Di Indarung III tidak terdapat pfister dan rotor scale, tetapi
pengumpanan fine coal menggunakan weighting belt K2V04 setelah
sebelumnya melewati screw conveyor K2V01-V04 yang dapat dilihat pada
gambar 40. Fine coal yang diumpankan weighting belt kemudian
dilewatkan melalui tiga buah air sluice K2V05M1, K2V06M1, K2V06M2
untuk mencegah aliran udara balik. Fine coal kemudian dihembuskan oleh
udara yang berasal dari dua buah fan K2V07B1 dan K2V07B2 untuk
diumpankan ke dalam kiln. Untuk udara primer pembakaran disuplai oleh
dua buah fan K1/K2V07A1 dan K1/K2V07A2.
III. 11. Burner
Ukuran dan Temperatur flame tergantung pada:
Temperatur udara pembakaran (udara sekunder)
Semakin tinggi udara pembakaran, maka temperature flame semakin
tinggi dan fine coal semakin mudah dibakar. Temperatur udara pembakaran
dipengaruhi oleh:
a. Semakin sedikit udara primer dibandingkan udara sekunder, temperatur
udara pembakaran semakin tinggi.
b. Semakin banyak panas yang diambil dari klinker cooler, temperatur udara
sekunder semakin tinggi sehingga temperatur udara pembakaran semakin
tinggi.
Jumlah excess air (udara berlebih)
Jumlah excess air sebaiknya dibatasi, kelebihan excess air akan
berdampak pada kehilangan panas. Parameter yang bisa dipedomani dalam
menjaga excess air adalah O2 dan CO analyzer.
Momentum = Q x V (1400-1600 % m/s)
dimana: Q = % udara primer
V = kecepatan udara di nozzle burner
Momentum yang besar sangat dibutuhkan dari udara primer, tujuannya
adalah agar fine coal dapat terdistribusi dengan merata sehingga dapat
terbakar sempurna.
Type Burner
Burner multi channel memiliki dimensi nyala yang lebih pendek dan lebih
“strong”. Sehingga panas di burning zone dapat terkonsentrasi, nyala api lebih
stabil, temperatur lebih tinggi dan stabil, pembentukan coating lebih stabil.
Bahan bakar (kehalusan, volatile matter)
Temperatur flame yang dapat dicapai:
Coal : 2150°C (energi radiasi paling tinggi)
Oil : 2120°C (energi radiasi 70-90% Coal)
Gas : 2050°C (energi radiasi 20-60% Coal)
Gambar 79 Multi channel burner
Dengan burner teknologi baru (multi channel burner), pemakaian udara
primer 10-12 %. Jika udara primer terlalu banyak, maka udara sekunder yang
dipakai lebih sedikit, sehingga temperatur udara pembakaran lebih rendah.
Sebaliknya, jika udara primer terlalu rendah (6-8 %), maka energi kinetik dan
momentum untuk pencampuran coal-udara lebih rendah, sehingga pembakaran
lebih lambat, temperatur inlet kiln tinggi, temperatur burning zone rendah.
Tabel 16 Range parameter burner
Parameter Nilai
Kecepatan udara axial 100-190 m/s
Kecepatan udara radial 100-190 m/s
Pressure udara axial dan radial 150-200 mbar
Kecepatan udara transport+coal 20-30 m/s
Penyetelan flame multi channel burner:
Udara axial: untuk memperpanjang nyala
Udara radial: untuk memperlebar nyala
Udara axial + radial: untuk membuat nyala “strong”
a. Mono-Channel/Straight Burner
Merupakan desain burner yang paling sederhana. Coal dust dan seluruh
udara primer diinjeksikan secara bersamaan melalui pipa tunggal. Biasanya
tipe ini digunakan untuk long kiln yang dilengkapi dengan direct firing.
Kecepatan udara primer pada mono channel burner antara 50-100 m/s.
b. Multi Channel Burner
Nyala api dapat disesuaikan, dimana udara primer dibagi menjadi bagian
aksial dan radial. Axial air diinjeksikan searah dengan sumbu kiln, sementara
radial air atau swirl air diinjeksikan ke arah dinding kiln. Bagian melingkar
pada radial air menyebabkan aliran udara yang berputar sepanjang sumbu
kiln dan yang mendorong ke arah luar ke arah dinding kiln. Karena radial air
channel terletak di dalam axial air channel, maka radial air membuka dan
melebarkan aliran axial air.
Peningkatan radial air menciptakan nyala api yang lebih lebar dan
pendek, sedangkan peningkatan axial air menciptakan nyala api yang lebih
panjang. Pada pillard 3-channel burner, memiliki coal channel di antara axial
dan radial air channel. Kecepatan axial air dan radial air sekitar 100-190 m/s
sedangkan kecepatan udara untuk transport coal sekitar 20-30 m/s.
Gambar 80 Duoflax burner
III. 11. 1. Karakteristik Nyala Api pada Sistem Burner Yang Berbeda
a. Single Channel Burner
Single channel burner cenderung menghasilkan nyala api yang
aksial yang berefek:
Sinter zone yang panjang
Waktu retensi yang lama pada daerah panas dan penguapan yang
tinggi bagi alkali dan sulfur (sangat cocok untuk produksi klinker
beralkali rendah)
Pembentukan Nox yang tinggi
Gambar 81 Bentuk nyala api dari single channel burner
b. Multi Channel Burner
Multi channel burner menghasilkan nyala api yang divergen yang
berefek:
Jika nyala api sangat divergen, terdapat masalah pada lining
Pembentukan coating yang tidak stabil yang disebabkan daerah
pembakaran yang tidak stabil
Peningkatan pembentukan Nox karena waktu retensi gas pada suhu
tinggi yang lama
Gambar 82 Bentuk nyala api dari multi channel burner
III. 11. 2. Faktor Yang Mempengaruhi Nyala Api
Nyala api dapat dioptimalkan selama operasi dengan menyesuaikan
parameter berikut:
a. Daya Gerak (Momentum) Udara Primer
Nyala api yang lebih pendek biasanya dicapai dengan
meningkatkan injeksi momentum dari udara primer yang dicapai
dengan meningkatkan radial air dan mengurangi axial air secara
bersamaan.
b. Posisi Burner Di Dalam Kiln
Memasukkan burner lebih dalam ke kiln meningkatkan panjang
nyala api secara signifikan. Hal ini dikarenakan daerah turbulensi dari
aliran udara sekunder yang masuk meningkatkan pencampuran dari
fuel jet dengan udara secara signifikan.
c. Suhu Udara Sekunder
Suhu udara sekunder mendefinisikan tingkah laku penyalaan api
dan suhu nyala api yang mungkin. Suhu udara sekunder yang tidak
cukup harus dikompensasi dengan bahan bakar yang berarti
peningkatan kuantitas gas pembakaran dengan panjang profil suhu.
d. Udara Berlebih (Excess Air)
Udara berlebih dalam jumlah tertentu diperlukan untuk
menyempurnakan pembakaran. Nilai optimum untuk udara berlebih
untuk mempertahankan sinter zone sependek mungkin adalah sekitar
10 % (sebanding dengan 2 % O2 pada inlet kiln). Jika kurang dari 10
%, waktu pembakaran dan panjang nyala api meningkat yang
menyebabkan berkurangnya udara atmosfir sehingga meningkatnya
sulfur volatility serta akhirnya timbul masalah clogging pada daerah
preheating. Jika lebih dari 10 %, menyebabkan daerah sinter yang
bertambah panjang.
e. Karakteristik Serbuk Batubara
Kandungan volatile: Waktu pembakaran serbuk batubara meningkat
dengan berkurangnya kandungan volatile.
Kehalusan penggilingan: Waktu bakar serbuk batubara meningkat
seiring dengan diameter. Batubara harus digiling lebih halus untuk
mendapatkan waktu bakar yang diinginkan dan panjang api yang
diinginkan.
Kandungan abu yang tinggi memiliki efek memperlambat waktu
bakar disebabkan pengurangan konsentrasi debu batu bara dan suhu
api yang lebih rendah karena penyerapan panas oleh abu.
f. Penambahan Oksigen
Dengan menambah oksigen pada udara pembakaran, suhu api
dapat ditingkatkan secara signifikan. Hal ini mengurangi kehilangan
energi akibat exhaust gas dan meningkatkan kapasitas produksi kiln.
Kekurangannya adalah pembentukan NOx yang lebih tinggi, efisiensi
cooler yang lebih rendah untuk planetary cooler dan adanya biaya
oksigen.
III. 12. Proses Produksi Klinker di Produksi II/III
Proses produksi klinker di Departemen Kiln dapat dibagi menjadi tiga tahap,
yaitu tahap penarikan dan pengumpanan raw mix ke dalam kiln, tahap
pembakaran raw mix menjadi klinker, dan tahap penyimpanan klinker ke dalam
silo.
III. 12. 1. Tahap Penarikan dan Pengumpanan Raw Mix ke Dalam Kiln
Raw mix yang disimpan di dalam homogenization silo H1/H2H11-H12
di keluarkan melalui bagian bawah silo dengan bantuan blower untuk aerasi
sehingga raw mix mudah ditarik keluar. Raw mix tersebut kemudian
ditransport oleh screw conveyor H1/H2U01 dan dibawa ke atas oleh bucket
elevator H1/H2U02-03 untuk selanjutnya disimpan di dalam hopper dengan
load cell (schenck feeder) W1/W2A01 melalui air slide H1/H2U04.
(a) (b)
Gambar 83 Bucket elevator H1/H2U02-03 (a) dan schenck feeder W1/W2A01 (b)
Dari schenck feeder tersebut, raw mix kemudian melalui flow meter
W1/W2A07 dan selanjutnya ditransport oleh air slide W1/W2A10. Raw mix
kemudian diumpankan ke dalam suspension preheater dengan terlebih
dahulu membawanya ke atas melalui bucket elevator W1/W2A21 dan air
slide W1/W2A22.
(a) (b)
Gambar 84 Bucket elevator W1/W2A21 (a) dan air slide W1/W2A22 (b)
III. 12. 2. Tahap Pembakaran Raw Mix Menjadi Klinker
Umpan raw mix ke dalam kiln terlebih dahulu melalui suspension
preheater untuk tahap awal dari proses produksi klinker yaitu proses
pengeringan dan penghilangan kadar air pada tanah liat. Raw mix yang
diumpankan dari atas suspension preheater akan bertemu dengan aliran
udara panas dari kiln sehingga terjadi proses perpindahan panas antara raw
mix dengan udara panas tersebut. Suspension preheater yang digunakan
berjenis siklon preheater dengan 4 tingkat yaitu berurutan dari atas
W1/W2A51 dan A61, W1/W2A52, W1/W2A53, dan W1/W2A54.
Siklon tingkat atas (A51 dan A61) merupakan siklon yang dipasang
paralel untuk meningkatkan efisiensi siklon bila dibandingkan dengan
mempergunakan satu siklon yang berukuran lebih besar. Pipa keluaran
material raw mix di tingkat bawah (A54) masuk ke rotary kiln sedangkan
pipa keluaran material raw mix A51 sampai dengan A53 masuk ke gas duct.
Material keluaran A54 kemudian masuk ke dalam kiln untuk menerima
proses perlakuan panas berikutnya.
(a) (b)
Gambar 85 Siklon suspension preheater (a) dan gas outlet dari A51-A61 (b)
III. 12. 3. Proses Pembakaran Klinker
Pada proses pembakaran klinker di dalam rotary kiln, ada beberapa
tahapan sesuai temperatur proses, yaitu:
Tabel 17 Tahapan reaksi pada suhu tertentu
Reaksi Suhu proses
1. Proses penguapan air
2. Tahapan pelepasan air hidrat clay (tanah liat)
3. Tahapan penguapan CO2dari batu kapur dan mulai kalsinasi
4. Tahapan pembentukan C2S
5. Tahapan pembentukan C3A dan C4AF
6. Tahapan pembentukan C3S
100 0C
500 0C
805 0C
800-900 0C
1095-1205 0C
1260-1455 0C
III. 12. 4. Reaksi Pembentukan Fase Klinker
Pada suhu proses 100 0C terjadi penguapan air dan pada suhu proses 500
0C terjadi pelepasan air hidrat tanah liat yang ditunjukkan oleh reaksi
berikut:
Al2Si2O7xH2O → Al2O3 + 2SiO2 + x H2O
Pada suhu proses 600-800 0C terjadi kalsinasi dengan reaksi sebagai
berikut:
CaCO3 → CaO + CO2
MgCO3 → MgO + CO2
Pada suhu proses dari 800-900 0C terjadi pembentukan garam kalsium
silikat yang sebenarnya sebelum mencapai suhu 800 0C sudah terjadi
sebagian kecil pembentukan garam kalsium silikat terutama C2S dengan
reaksi sebagai berikut:
2CaO + SiO2 → 2CaO.SiO2 atau C2S
Pada suhu proses dari 1095-1205 0C terjadi pembentukan garam
kalsium aluminat dan ferrit dengan reaksi sebagai berikut:
3CaO + Al2O3 → 3CaO.Al2O3 atau C3A
4CaO + Al2O3 + Fe2O3 → 4CaO.Al2O3.Fe2O3 atau C4AF
Pada suhu proses dari 1260-1455 0C terjadi pembentukan garam silikat
terutama C3S dimana persentase C2S mulai menurun karena membentuk
C3S
2CaO.SiO2 + CaO → 3CaO.SiO2 atau C3S
Sementara bagian CaO yang tidak bereaksi dengan oksida-oksida
alumina besi dan silika biasanya dalam bentuk CaO bebas atau free lime dan
banyaknya persentase CaO bebas dibatasi di bawah 1 %.
Terjadinya reaksi-reaksi tersebut membutuhkan:
Waktu reaksi (resident time dalam cyclone dan kiln)
Temperatur/panas reaksi
Urutan proses perubahan dari raw meal menjadi klinker serta tempat
terjadinya reaksi tersebut adalah sbb:
a. Drying lanjutan: terjadi di SP stage 1
b. Preheating: terjadi di SP
c. Calcining: terjadi di SP 3-4, kalsiner dan inlet kiln
d. Sintering: terjadi di burning zone
e. Cooling: terjadi di cooling zone, cooler
Pada gambar dibawah ini dapat dilihat senyawa-senyawa yang ada di
dalam cyclone dan kiln serta perkiraan jumlah senyawa tersebut pada setiap
zona dan kondisi temperatur.
Gambar 86 Reaksi dan pembentukan senyawa pada berbagai zone dan temperatur
Reaksi kalsinasi selesai setelah mencapai temperature >900 °C ditandai
dengan mengecilnya ukuran bidang CaCO3. Sejalan dengan reaksi kalsinasi,
terbentuklah CaO free, pada gambar terlihat mengecilnya bidang CaCO3
menambah besar bidang CaO free. Proses sintering mulai terjadi pada
temperatur 1100-1450 °C, hal ini ditandai dengan mulai terbentuknya
bidang C2S dan C3S. Sebenarnya terbentuknya C2S sudah mulai terjadi pada
temperatur 800 °C, tetapi penbentukannya mulai banyak dan naik secara
drastis setelah mencapai temperature 1100 °C.
Pada temperatur 1300-1450 °C, C2S bereaksi lagi dengan CaO free
untuk membentuk senyawa C3S yang merupakan komponen utama dalam
klinker dan yang sangat mempengaruhi nilai kekuatan tekan semen awal.
Akibatnya jumlah C2S dan CaO free menjadi berkurang. Clay mulai
mengalami deformasi pada temperatur 300 °C dan diharapkan sudah terurai
pada temperatur 700 °C. Terbentuknya C3A dan C4AF mulai terjadi pada
temperatur 900 °C. Kemudian pada temperatur 1250 °C C3A dan C4AF
mengalami pelelehan sehingga terbentuklah liquid phase (fase cair).
Adanya liquid phase ini membantu proses perpindahan panas di dalam
material, proses penggumpalan klinker, dan proses terbentuknya coating
sebagai pelindung brick dan media pertukaran panas. Setelah klinker
terbentuk, proses selanjutnya adalah cooling secara mendadak (quenching).
Tujuan dari quenching ini adalah untuk pengambilan panas yang akan
dimanfaatkan untuk udara pembakaran, membentuk klinker yang lebih
rapuh/tidak membentuk kristal sehingga mudah digiling dan C3A nya lebih
tahan terhadap sulfat, serta menghindari reaksi balik C3S menjadi C2S.
Reaksi kalsinasi Raw Meal
Dari semua reaksi yang terjadi di dalam kiln, kalsinasi membutuhkan
energi yang paling banyak yaitu sekitar 2 MJ/kg klinker = 480 kcal/kg
klinker. (+/- 60% total kalor yang dikonsumsi)
CaCO3 + kalor → CaO + CO2
Gambar 87 Grafik kalsinasi sebagai fungsi temperature
Grafik diatas memperlihatkan hubungan reaksi kalsinasi dalam %
kalsinasi dengan kenaikan temperatur. Pada temperatur 950 °C reaksi
kalsinasi telah sempurna ≈ 100%.
Reaksi kalsinasi ini terjadi di:
Suspension preheater
Precalciner
Calsining zone (untuk SP-Kiln)
III. 12. 5. Pengaruh Raw Mix (Komposisi Kiln Feed)
Raw meal sebelum masuk ke dalam proses pembakaran selalu dikontrol
komposisinya sesuai target batasan yang dikehendaki untuk masing-masing
tipe semen. Pengendalian komposisi terutama pada rasio oksida yang ada di
dalam raw meal seperti:
Silika ratio (SR)
Iron ratio (IR)
Lime saturation factor (LSF)
Metode lain adalah dengan mengetahui persentase massa klinker dalam
keadaan leleh (state fusion) yaitu dengan mengendalikan persentase liquid
phase (LPh) maupun kemampuan massa klinker terbakar (burnability
factor).
a. Silika Ratio (SR)
Silika ratio juga sering dinyatakan sebagai silika modulus (SM)
yang merupakan perbandingan antara proporsi oksida silika (SiO2)
dengan jumlah proporsi oksida alumina dan oksida besi.
3232
2
OFeOAl
SiOSR
Semakin tinggi nilai silika ratio maka proses pembakaran semakin
sulit, tingginya kandungan silika ratio di dalam raw meal menyebabkan
proses pembakaran berdebu (dusting). Sebaliknya jika silika ratio
rendah maka proses pembakaran cenderung mudah panas.
SR<2: Pembakaran mudah; fase liquid berlebihan; merusak brick;
mengkikis habis coating; timbul ball ring; klinker keras;
konsumsi kalor relatif agak rendah; kekuatan semen rendah.
SR>2: Pembakaran berat; fase liquid hampir tidak ada; thermal load
tinggi; tidak terbentuk coating; klinker berdebu; free lime tinggi;
kekuatan semen tinggi; pengerasan semen lambat.
b. Alumina Ratio (AR)
Perbandingan antara oksida alumina dengan oksida besi dinyatakan
sebagai alumina ratio atau alumina modulus, bisa juga dinyatakan
sebagai iron ratio (IR). Idealnya AR berkisar antara 1,38 (biasanya 1,3-
2,5).
Raw meal yang mempunyai nilai AR lebih besar dari 2,5
mempunyai sifat lelehan klinker kental dan kurang bisa mengalir
(viscous slag) serta kuat tekan awal yang tinggi. Sedangkan jika nilai
AR < 1,3 maka material (klinker) mempunyai sifat viscous dan mudah
mengalir, kuat tekan awal dan panas hidrasi yang rendah.
c. Liquid Phase (Lph) Pada Burning Zone
Untuk mengetahui proporsi pelelehan material di dalam burning
zone, dapat dilihat dari persentase fase liquid (LPh) pada raw meal.
Semakin rendah harga LPh ada kecenderungan proses pembakaran agak
sulit sebab unsur-unsur yang bisa dalam kondisi melebur (state fusion)
berkurang, seperti C3A, C4AF dan lainnya. Jadi bila LPh-nya tinggi
maka ada kecenderungan proses pembakaran mudah dibakar. LPh
biasanya berkisar antara 25-27 %.
d. Burnability Index (BI)
Semakin rendah daya mampu bakar raw meal (burnability index)
maka semakin baik, batas jangkauan BI yang baik sekitar 2,6 – 4,5.
AFCAC
SCBI
43
3
e. Burnability Factor (BF)
Untuk mengetahui burnability factor, maka terdapat persamaan:
BF = (LSF) + 10 (SR) – 3 (M / alkali)
Umumnya besar BF antara 100-120, untuk BF dengan besar 108
dianggap sebagai nilai yang bisa dipertimbangkan.
f. Lime Saturation Factor (LSF)
Lime saturation factor merupakan faktor kejenuhan terhadap lime
dimana tinggi rendahnya lime (kapur) di dalam klinker bisa diukur dari
lime saturation factor (LSF). LSF adalah ratio antara kandungan CaO
efektif dengan kemungkinan kandungan CaO efektif dengan
kemungkinan kandungan CaO maksimum di dalam klinker,
Diharapkan semua oksida-oksida silika tergabung sebagai C3S dan
semua oksida besi tergabung dengan oksida alumina dalam jumlah yang
sama dengan yang terdapat di dalam C4AF dan sisa oksida alumina
tersebut harus dapat tergabung sebagai C3A.
Semakin tinggi nilai LSF maka pembakaran cenderung berat,
sedangkan bila nilai LSF rendah maka pembakaran cenderung mudah.
Harga LSF umumnya berkisar antara 90-98.
32322
3
65,02,18,2
7,0
OFeOAlSiO
SOCaOLSF
Nilai LSF antara 90-95 untuk standard semen portland dan 95-98
untuk high early strength.
g. Hidraulic Modulus (HM)
Hidraulic modulus adalah perbandingan antara CaO dengan oksida-
oksida besi, alumina dan silika. Nilai hidraulic modulus ini berkisar
antara 1,7-2,3 dimana ia akan sangat berpengaruh terhadap kuat tekan
semen.
32322 OFeOAlSiO
CaOHM
Bila HM < 1,7 maka kuat tekan semen rendah, HM =2 maka kuat
tekan semen baik, HM > 2,3 maka semen mudah retak karena pengaruh
ekspansi CaO pada semen.
III. 12. 6. Daur Alkali Sulfur dan Klorida
Di dalam komponen bahan baku dan bahan bakar banyak terkandung
alkali, belerang (sulfur) dan klorida walaupun dalam jumlah yang kecil
tetapi sangat besar pengaruhnya bukan saja pada kualitas semen yang
dihasilkan tetapi juga pada aspek prosesnya, misalnya kesulitan operasi
karena sering terbentuknya dust ring yang menyebabkan kebuntuan pada
cyclone preheater maupun terganggunya aliran material dan gas di dalam
sistem (kiln dan preheater).
Sulfur di dalam raw meal semuanya dalam bentuk SO3 sedangkan sulfur
dari bahan bakar terutama dalam bentuk gas SO2 dan SO3. Alkali terutama
dari pottasium oksida (K2O) maupun sodium oksida (Na2O) banyak
terkandung di dalam tanah liat dan sebagian di dalam batu kapur. Di dalam
proses pembakaran klinker, gas-gas belerang yaitu SO2 dan SO3 sebagian
bereaksi dengan bagian alkali dari raw meal membentuk garam-garam
alkali sulfat
K2O + SO2 +0,5 O2 → K2SO4
Di dalam sistem alkali sebagian akan menguap pada suhu tinggi dan
terkondensasi pada suhu rendah, pada saat terkondensasi densitasnya naik
dan ia bergabung lagi bersama raw meal lagi masuk mengalir ke dalam
rotary kiln. Ketika sampai pada daerah yang mempunyai suhu
penguapannya, ia akan menguap dan tertarik kembali ke back end dan
ketika sampai pada suhu kondensasinya ia akan mengembun dan bersama
raw meal kembali mengalir ke dalam kiln lagi. Demikian seterusnya
seakan-akan ia membuat suatu proses alir melingkar bolak-balik (daur) di
dalam sistem, karena peristiwa ini merupakan suatu proses yang
menyulitkan operasi maka kejadian ini disebut cyclic phenomena yang perlu
ditangani dengan serius. Proses siklus alkali di dalam sistem ini secara
bertahap membentuk garam-garam alkali pada bagian tertentu setelah ia
mengikat gas-gas SO2, CO2 baik dari raw meal maupun bahan bakar.
Terbentuknya garam-garam alkali seperti alkali karbonat maupun alkali
klorida pada zona tertentu yang bersuhu lebih rendah akan terkondensasi
dan berbentuk butiran (dropplet) bersama dust/raw meal akan mengendap
dan bertumpuk sedikit demi sedikit memadat membentuk dust ring.
a. Daur Alkali Dalam (Internal Alkali Cyclic)
K2O yang lebih cepat menguap daripada Na2O menyebabkan ada
sebagian alkali yang cepat terkondensasi dan cepat menguap. Kasus ini
menyebabkan sebagian proses siklus alkali terjadi di dalam kiln
preheater. Proses ini disebut siklus dalam (internal cyclic) dan bagian
alkali yang lain terbawa exit gas dan dust raw meal keluar kiln
preheater.
Gambar 88 Daur alkali dalam (internal alkali cyclic)
b. Daur Alkali Luar (External Alkali Cyclic)
Bagian-bagian alkali yang tidak membuat siklus lengkap di dalam
sistem (kiln preheater) terbawa exit gas dan dust raw meal keluar
sistem. Karena exit gas terpakai di dalam unit penggilingan bahan baku
maka alkali dari kiln akan bergabung dengan alkali baru dari raw meal
yang mana raw meal ini kemudian dikirim ke blending silo dan
diumpankan kembali ke dalam kiln. Siklus alkali dari kiln preheater,
raw mill, blending silo kemudian ke kiln lagi dinamakan proses siklus
alkali luar. Alkali ini akan bertambah terus dengan penambahan alkali
dari raw mill. Pada dasarnya pemanfaatan exit gas untuk pengeringan
bahan baku semen adalah suatu masalah tersendiri, ditinjau dari aspek
ekonomi maupun dari proses.
Pada kiln preheater yang baik biasanya dilengkapi dengan suatu fan
yang dipasang pada kiln inlet yang berguna untuk menghisap exit gas
yang banyak mengandung uap alkali. Alat ini dinamakan alkali by pass.
Gambar 89 Daur alkali luar (external alkali cyclic)
Kapasitas kiln di indarung II/III ini adalah sebesar 2100 ton/ 24 jam
sehingga kiln dapat memproduksi klinker minimal 83 ton/jam. Material
yang keluar dari kiln berupa klinker dilakukan proses pendinginan
dengan mempergunakan cooler. Cooler yang digunakan di Indarung
II/III adalah cooler dengan tipe planetary cooler yang berjumlah 10
buah tabung silinder dimana semuanya ikut berotasi bersama dengan
kiln. Cooler ini memiliki panjang 18,1 m dan diameter 2 m.
(a) (b)
Gambar 90 Rotary kiln (a) dan planetary cooler (b)
Klinker masuk ke dalam cooler melalui inlet cooler pada saat cooler
berada pada posisi di bawah. Pendinginan terjadi dengan cara
menaburkan klinker sehingga kontak dengan udara sekunder lebih baik.
Penaburan klinker ini mempergunakan lifter yang dipasang pada 14
section di shell cooler.
Klinker yang keluar dari cooler outlet kemudian disaring dengan
mempergunakan screen grid. Klinker yang berukuran kecil langsung
ditarik ke drag chain W1U04/U05 sedangkan klinker yang berukuran
besar dimasukkan ke hammer crusher W1/W2M01-M02 untuk
direduksi ukurannya dan kemudian baru ditrasnportasikan oleh drag
chain W1U04/U05. Hammer crusher dipasang setelah planetary cooler
untuk memecah klinker yang ukurannya masih besar menjadi ukuran
yang diinginkan.
Gambar 91 Hammer crusher
Prinsip kerja dari hammer crusher yaitu klinker diumpankan ke
crusher melalui grate bar chute, jadi dengan demikian akan mengatur
ukuran klinker yang masuk ke crusher dan yang langsung ke alat
transport. Material yang kasar akan jatuh ke dalam crusher dan akan
dihantam oleh hammer serta dilemparkan ke sebuah baffle plate
sehingga menjadi kepingan-kepingan klinker.
Gas panas yang keluar dari suspension preheater kemudian
dimasukkan ke dalam gas conditioning tower J1K21/K11 untuk
menurunkan suhu gas panas sebelum masuk ke dalam electrostatic
precipitator (EP) J1/J2P11-P21 karena EP dapat bekerja optimal untuk
suhu gas sekitar 105-140 0C. Secara sederhana EP adalah peralatan
yang membersihkan gas-gas hasil proses dengan menggunakan
kekuatan medan listrik untuk memindahkan partikel padat yang terbawa
didalam bentuk gas. Gas kotor dialirkan melewati sebuah medan listrik
yang berada diantara elektroda yang mempunyai polaritas berlawanan.
Discharge electrode menginduksikan muatan negatif pada partikel dan
kemudian partikel akan ditangkap oleh collecting electrode yang
berpolaritas positif relatif terhadap discharge electrode, dimana didalam
prakteknya collecting electrode dihubungkan ke tanah. Partikel-partikel
yang ditangkap oleh collecting electrode merupakan lapisan-lapisan
debu yang kemudian dengan menggunakan gaya mekanik berupa
rapping akan terhempaskan kedalam hopper.
Gambar 92 Prinsip kerja elektroda EP
Semua EP, kecuali yang mempunyai desain khusus, terdiri dari
beberapa komponen-komponen penting dibawah ini:
a. Housing/Shell
Housing EP diantaranya termasuk seluruh bagian steel plate,
stiffened casing dan support beams digunakan untuk menggantung
dan menyangga elektroda-eletroda dan komponen-komponen EP
lainnya.
b. Penthouse/Insulator Compatrment
Disain penthouse meliputi sebuah daerah plenum dibawah atap
EP yang terdiri dari high voltage conductor dan support insulator.
Sedangkan insulator compartment tidak memiliki plenum melainkan
sebuah ruangan diatas atap EP yang melindungi high voltage
conductor dan support insulator dari pengaruh cuaca.
Gambar 93 Komponen-komponen EP
c. Hopper
Hopper pada EP digunakan untuk tempat pengumpulan
sementara debu sebelum ditransport ke sistem lainnya. Biasanya
hopper didisain dengan sudut kemiringan sebesar 600 agar material
mudah meluncur ke dasar hopper.
d. Discharge Device
Discharge device merupakan salah satu bagian dari sistem pada
hopper dimana sangat penting untuk mengosongkan debu dari dalam
hopper baik secara manual maupun otomatis antara lain rotary
airlock valves, flap gate valves, srew conveyors dan pneumatic
conveyors.
e. Treatment Zone
Treatment zone adalah daerah ruangan didalam EP tempat
dimana gas yang berisi debu didistribusikan, di-charging dan
dikumpulkan. Komponen mekanik didalamnya termasuk
distribution device, discharge electrodes dan collecting electrodes.
Treatment zone biasanya terbagi atas chambers, field dan cells (bus
section).
f. Perforated Plates
Komponen ini dipasang pada inlet duct sebelum masuk ke
treatment zone. Perforated plates digunakan untuk membantu
terdistribusinya gas yang melintasi luasan penampang didalam EP.
g. Discharge Electrode
Discharge electrode adalah komponen yang membangkitkan
corona discharge didalam EP. Discharge electrode pada sebagian
EP berbentuk tipis dengan diameter 0,13-0,38 cm. Sistem discharge
electrode terdiri dari kawat-kawat yang menggantung secara
vertikal. Jenis kawat biasanya terbuat dari bahan high carbon steel,
tapi juga ada yang terbuat dari stainless steel, titanium alloy dan
aluminium.
h. Collecting electrode
Kebanyakan EP menggunakan collecting electrode dari bahan
plate karena ternyata lebih efisien dalam pemakaian biaya
dibandingkan dengan jenis bahan lain. Plate umumnya dibuat dari
besi mild carbon yang didisain mampu untuk menanggung ekspansi
panas kurang lebih ¼ inch selama operasional.
i. Isolator
Jaringan bus tegangan tinggi yang berfungsi untuk mengalirkan
arus listrik dari transformer/rectifier (T/R sets) ke discharge
electrode didalam EP, dipisahkan dengan ground oleh isolator
tegangan tinggi. Isolator merupakan bahan non-conducting yang
terbuat dari plastik atau keramik dan mempunyai beberapa fungsi
termasuk antara lain sebagai support kerangka tegangan tinggi,
isolator pada rapping system dan sebagai stabilizer.
j. Purge Air System
Purge air system sering digunakan untuk menyuplai udara panas
untuk kompartemen penthouse atau isolator dengan level tekanan
lebih tinggi dari tekanan didalam EP, untuk mengurangi jumlah
debu dan kelembaban didalam kompartemen. Sistem ini akan
membantu memperpanjang umur isolator tegangan tinggi karena
menghindari terjadinya tracking dan sparking pada isolator.
k. Rapper dan Vibrator
Rapper dan vibrator adalah komponen-komponen yang
digunakan untuk menciptakan impulse atau getaran mekanis yang
berfungsi untuk membersihkan bagian internal dari EP. Pada EP
Indarung II dan III digunakan hammer sebagai rapping system.
Gambar 94 Rapping system EP
III. 12. 7. Tahap Penyimpanan Klinker Ke Dalam Silo
Klinker hasil pembakaran di kiln kemudian ditransport oleh bucket
conveyor W1U06/U07 yang kemudian disimpan ke dalam silo klinker atau
hopper klinker untuk digiling di dalam cement mill. Produksi klinker di
Indarung II/III dapat disimpan ke dalam intermediate silo U1L11 yang
berkapasitas 800 ton melalui drag chain U1U01 dan sliding gate U02S1.
Dari intermediate silo, klinker dapat langsung dikirim melalui truk atau
dikembalikan lagi ke drag chain U1U01 dengan melalui bucket elevator
U1J05 yang kemudian akan langsung dimasukkan ke dalam hopper klinker
Z1/Z2L01.
(a) (b)
Gambar 95 Bucket conveyor W1U06/U07 (a) dan silo klinker (b)
Selain disimpan dalam intermediate silo, klinker juga dapat disimpan di
dalam silo klinker U1/U2L01 yang berkapasitas masing-masing 20.000 ton.
Pengeluaran klinker dari silo tersebut ditransport oleh bucket conveyor
U1J02, drag chain U1J04, dan oleh bucket elevator U1J05 yang selanjutnya
sama seperti sebelumnya yaitu melalui drag chain U1U01 untuk
dimasukkan ke dalam hopper klinker Z1/Z2L01.
III. 13. Pengendalian Operasi Pembakaran
III. 13. 1. Pengendalian Operasi Kiln
Dalam pengoperasian kiln system ada beberapa hal yang harus
diperhatikan yang bertujuan untuk menjaga keselamatan peralatan,
personil dan kestabilan operasi kiln system. Prioritas pada pengoperasian
kiln adalah sebagai berikut :
Menjaga keselamatan peralatan dan personil
Memproduksi klinker dengan kualitas yang baik
Stabilitas operasi kiln yang kontinyu
Kapasitas produksi maksimal dan efisien
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk efisiensi operasi di kiln
antara lain:
Menjaga temperatur udara sekunder setinggi mungkin
Menjaga temperatur gas keluar preheater serendah mungkin
Menjaga temperatur klinker keluar cooler serendah mungkin
Menjaga operasi kiln pada kapasitas maksimal
Menjaga burning zone sependek mungkin
Mengurangi false air mulai dari preheater, inlet kiln, dan kilnhood
Pengendalian operasi kiln pada prinsipnya adalah mengendalikan
temperatur sesuai dengan zona-zona di kiln system. Karena proses
produksi klinker seperti yang telah diterangkan pada bagian sebelumnya,
merupakan fungsi dari temperatur (T) dan waktu tinggal (Ф) material:
FCao = f (T,Ф).
Pengendalian temperatur ini mulai dari top cyclone, precalciner, inlet
kiln, burning zone, secondary air, tertiary air, cooler exhaust gas sampai
dengan temperatur klinker keluar cooler.
Dari beberapa temperatur diatas, ada beberapa yang dapat dikontrol
langsung (control parameter), misalnya coal feed ke calciner untuk
mengontrol temperatur calciner, coal feed ke kiln untuk mengontrol
temperatur burning zone, dan sebagian besar merupakan parameter yang
perubahannya diakibatkan oleh berubahnya control parameter (atau
disebut control variable), misalnya temperatur cyclone preheater dll.
Tabel 18 Beberapa contoh control parameter yang berdampak pada control variabel
Control Parameter Control Variabel
Kiln feed Perubahan load elevator
Pengaturan umpan ke string A dan B Perubahan temperatur dan draft di kedua string
Coal feed ke kiln burner Perubahan temperature burning zone, torsi
Coal feed ke calciner Perubahan temperature calciner
Speed kiln Perubahan torsi
Damper ID fan dan EP fan Perubahan draft di preheater, O2 content
Nozzle udara primer di burner Perubahan temperatur burning zone, torsi.
Grafik dibawah ini memberi contoh bagaimana pengaruh operator
dalam mengoperasikan kiln dengan melakukan perubahan-perubahan
terhadap control parameter. Indikasi awal yang dilihat operator pada
grafik operasi ini adalah terjadinya penurunan temperatur gas di
suspension preheater W2A53T1.
Gambar 96 Pengaruh penyetelan control parameter coal feed terhadap control variable
temp W1A53T1 dan %CO.
Temperatur ini merupakan control variable, operator mengira
penurunan temperatur disebabkan coal feed kurang, lalu ia mengambil
tindakan mengubah control parameter coal meal flow (coal feed) dengan
melakukan penambahan coal feed. Beberapa menit kemudian terlihat
control variable temperatur W2A53T1 meningkat drastis, bahkan
melebihi kondisi yang diinginkan sebelumnya. Kenaikan temperatur
W2A53T1 ini diikuti perubahan control variable lainnya yaitu naiknya
%CO di top suspension preheater. Melihat perubahan 2 control variable
ini, operator mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi kelebihan coal
feed sehingga coal terbakar sebagian di suspension preheater diikuti
dengan munculnya CO. Lalu kemudian operator mengambil tindakan
menurunkan lagi control parameter coal feed, hasilnya control variable
temperatur W2A53T1 kembali ke temperature yang diinginkan, %CO
turun kembali. Tetapi karena telah terjadi pembakaran yang tidak
sempurna, dimana temperatur burning zone turun mengakibatkan klinker
pada saat itu tidak masuk standard kualitasnya (Free lime >1.3%)
Grafik ini juga memperlihatkan bahwa indikasi-indikasi yang ada di
monitor (control variable) merupakan sesuatu yang mutlak untuk selalu
diperhatikan oleh operator kiln dalam melakukan perubahan-perubahan
control parameter sehingga dihasilkan produksi klinker yang baik dengan
kapasitas produksi yang maksimal. Tanpa kejelian dan sungguh-sungguh,
seorang operator kiln tidak akan mampu menghasilkan klinker yang baik.
III. 13. 2. Pembentukan Coating di Dalam Kiln
Proses terbentuknya coating dimulai chemisorption dan adsorption
antara batu dengan liquid phase, kemudian terjadi infiltrasi liquid phase
klinker ke brick, maka terjadi reaksi antara klinker komponen dengan
material refractory. Selanjutnya terjadi pengerasan dari liquid membentuk
coating. Lapisan coating adalah komponen klinker terdiri dari C2S-MgO
yang mengeras. Coating kontinyu terbentuk sampai temperatur permukaan
coating mencapai temperatur lelehnya (1315 °C).
Fungsi coating adalah:
Melindungi brick dari corrosive dan abrasive action
Menurunkan temperatur hot face dari brick
Menyimpan panas sementara, kemudian dipindahkan lagi ke material.
Pembentukan coating ditentukan oleh:
Reaksi kimia antara clinker liquid dan brick
Rasio Al2O3/Fe2O3 naik, pembentukan coating naik
SiO2 turun, pembentukan coating naik
Thermal conductivity brick dimana makin tinggi thermal conductivity,
coating makin mudah terbentuk.
Kerusakan coating disebabkan oleh:
Perubahan komposisi raw meal
Distorsi mekanis
Temperatur burning zone turun
Temperatur burning zone terlalu tinggi (overheating)
Coating pada magnesite brick (brick spinal) terjadi karena reaksi antara
C2S-C5A3 dari liquid klinker dengan M2S dari brick, menghasilkan C2S, CA
(pada sisi klinker) dan MgO peryclase (pada sisi brick). Layer klinker akan
built-up karena ikatan MgO dengan C2S yang mengkristal kembali.
Coating pada magnesite-chrome brick (brick basic) terjadi karena reaksi
C3A-C4AF dari liquid clinker mempenetrasi ke brick bereaksi dengan MS
menghasilkan C2S C4AF-C3A. Zone klinker-brick ini bisa mencapai 400
mikron. Migrasi Cr2O3 dari brick ke section klinker akan menyelimuti β-
C2S sehingga lebih stabil dan tidak terjadi inverse menjadi α-C2S pada saat
pendinginan yang dapat menyebabkan coating jatuh.
III. 13. 3. Proses Terbentuknya Clogging
Terbentuknya clogging disebabkan karena adanya elemen yang
tersirkulasi. Elemen yang tersirkulasi ini adalah:
Alkali (K, Na, dari clay)
Sulfur (dari bahan bakar, dari gypsum/sulfat)
Chlorine (dari NaCl air laut atau KCl).
Penjelasan gambar:
CaSO4 lebih mudah menguap (lebih volatile) daripada alkali sulfat
(Na2SO4, K2SO4). Alkali sulfat akan keluar bersama klinker, sedangkan
sebagian CaSO4 akan terdekomposisi pada temperatur >1000 ºC dan
kemudian mengalami kondensasi pada temperatur 800 – 1000 ºC sehingga
membentuk clogging di riser pipe.
Gambar 97 siklus sulfur dalam kiln dan preheater
Apabila jumlah alkali cukup banyak, maka alkali akan bereaksi dengan
sulfur dan keluar kiln bersama klinker sehingga dapat mengurangi terjadi
clogging. Rasio molar alkali-sulfur yang membantu adalah: Alk/SO3 ≈ 1.2.
Jika terdapat lebih sedikit alkali, maka clogging lebih banyak terbentuk.
Secara umum, apabila jumlah input sulfur tidak berubah, maka faktor
yang menentukan terjadinya penguapan sulfur (mudahnya terbentuk
clogging) adalah:
Tingginya temperatur burning zone (terjadi saat produksi OWC)
mengakibatkan mudahnya sulfur teruapkan/terbentuk clogging.
Lama waktu tinggal didalam burning zone akan mengakibatkan sulfur
lebih banyak teruapkan/terbentuk clogging.
Terbentuknya CO pada pembakaran di dalam kiln, maka penguapan
senyawa sulfur akan meningkat sehingga memperbesar kemungkinan
terbentuknya clogging.
Nyala api relatif panjang dan tidak stabil.
Tingginya BF, sehingga butuh panas di burning zone yang tinggi,
mempermudah menguapnya sulfur.
Pyrite (FeS2) yang berasal dari raw meal, terdekomposisi pada
temperatur 400-600 °C, membentuk SO2. Kemudian 70% SO2 bereaksi
dengan CaCO3 menjadi CaSO4, dan sisanya 30% SO2 keluar cyclone (10-
20% terserap di raw mill dan sisanya keluar cerobong). Chlorida
terkondensasi pada temperatur 650-800 °C. Chlor sangat volatile sehingga
hampir tidak ada yang keluar ikut klinker.
III. 13. 4. Heating Up Kiln
Tujuan Heating Up
Sebagaimana diketahui bahwa dalam kiln terpasang batu tahan api, yang
terpasang hanya mengandalkan kekuatan interaksi antara brick yang satu
dengan yang lain, bila satu brick pecah maka kemungkinan brick di
sekitarnya akan jatuh pula demikian seterusnya, oleh karena itu batu tahan
api harus diperlakukan dengan hati-hati mulai dari penyalaan pertama
dimana brick dikeringkan dulu secara perlahan-lahan agar tidak mengalami
retak-retak, kemudian brick dipanaskan agar pemuaian terjadi
keseimbangan dengan pemuaian shell kiln sampai dengan tercapainya
temperatur operasi.
Oleh karena koefisien pemuaian shell kiln jauh lebih besar dari brick
maka pemanasan harus sangat hati-hati sehingga antara ring brick dengan
kiln shell tidak ada gap selama heating up, selama proses pemanasan
tersebut kiln harus diputar secara periodik misalnya 1/3 selama 30 menit,
dan frekuensi putaran makin ditingkatkan dengan naiknya termperatur.
Pengeringan brick dan pemuaian brick secara perlahan-lahan ini juga
berlaku di sistem suspension preheater. Tujuan lain dari heating up adalah
untuk menaikkan temperatur sistem suspension preheater dan kiln sampai
tercapainya temperatur operasi agar material yang masuk dapat langsung
diproses seperti waktu operasi normal. Jika tidak maka material tidak akan
matang sampai keluar kiln.
Penanganan heating up yang tidak hati hati menyebabkan:
Batu tahan api lolos, retak, pecah dan jatuh
Batu tahan api dapat meleleh bila apinya tidak tepat dan tidak dilakukan
pemutaran kiln
Distribusi tidak baik/tidak imbang artinya di kiln terlalu panas tetapi di
suspension preheater terlalu dingin dan sebaliknya
Final inspection
Hal-hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan heating up adalah:
Man hole, check hole di preheater system sampai dengan chimney harus
sudah tertutup
Cek semua down pipe cyclone gantungkan sluice valve masing-masing
cyclone
Semua alat-alat transport dan alat-alat pendukung lainnya harus dicoba
start local, mulai dari dust transport EP/dust filter raw mill. Cooler, kiln
feed system sampai klinker transport ke silo
Cek dan tes damper preheater fan, EP/dust filter fan, cooler exhaust fan,
cooling fan grate cooler
Cek dan tes semua gate, change over gate di kiln feed system
Cek dan tes bila diperlukan oil burner di kiln dan calciner
Cek semua air pendingin dan udara tekan ke masing-masing equipment
Cek dan tes gas analyser di kiln inlet, top cyclone string A dan B
Tempatkan dan atur posisi burner tip sesuai dengan ketentuan
Kurva Temperatur di Cyclone Stage Terbawah A/riser Pipe Terhadap
Waktu
Kurva ini sangat penting untuk dibuat, bahkan sebelum lighting up
sudah harus dibuat terlebih dahulu untuk memandu operator dalam
mengontrol kenaikan temperatur sepanjang waktu heating up. Indikator
yang biasa dipakai adalah temperatur gas di cyclone terbawah atau ada juga
yang memakai indikator di kiln inlet.
Gambar 98 Kurva kenaikan temperatur gas terhadap waktu di siklon terbawah
Kenaikan temperatur untuk secara umum kecepatan heating up sekitar
25-30 oC/jam sampai dengan temperatur di cyclone stage terbawah 350
oC
(atau temperatur burning zone sekitar 500 oC). Kemudian kecepatan heating
up dapat ditingkatkan menjadi 40-50 oC, sampai dengan dicapai temperatur
yang sesuai untuk feeding pertama. Biasanya lama heating up sekitar 18-40
jam, tergantung dengan berapa jumlah batu tahan api yang baru
dipasangkan.
Pada kondisi kiln stop trouble dalam kondisi kiln masih panas (stop
kurang dari 24 jam), maka heating up dapat dilakukan dengan memanaskan
kiln kembali minimal 40 % dari waktu stop tersebut, dengan catatan
kecepatan kenaikan temperatur seperti yang sudah dijelaskan di atas.
III. 13. 5. Feeding Pertama Sampai Normal
Syarat-Syarat Variabel Parameter Pada Saat Feeding Pertama
Kiln dengan pembakaran di kalsiner ataupun tanpa pembakaran di
kalsiner sebelum di feeding harus di heating up sampai dengan mendekati
temperatur operasinya, sedangkan pada saat feeding pertama ini draft tidak
dapat dijadikan pedoman karena sangat tergantung dengan jumlah feeding.
Biasanya setiap pabrik mempunyai batasan temperatur minimum yang
harus dicapai sebelum feeding dapat dilaksanakan, sebagai contoh: misalnya
temperatur cyclone stage terbawah minimal 700 oC atau temperatur kiln
shell setelah penggantian brick baru sekitar 300 oC, maka feeding sudah
dapat dilakukan.
Temperatur di suspension preheater yang penting saat feeding adalah:
Temperatur kiln inlet
Pada umumnya temperatur di sini cukup 900 oC-1100
oC, kurang
dari 900 oC material masuk kiln akan sulit terdecarbonisasi, sehingga
reaksi di kiln akan lambat. Sedangkan lebih 1100 oC, akan
memungkinkan material menjadi sticky (lengket) dan coating di
suspension preheater bahkan bisa berakibat blocking di cyclone.
Temperatur gas cyclone stage terbawah 700-750 oC
Daerah ini juga menentukan sekali karena temperatur tersebut
menjamin bahan bakar yang akan langsung terbakar. Sedangkan yang
tidak dengan pembakaran di kalsiner temperatur tersebut adalah awal
dari reaksi dekarbonisasi.
Diharapkan di cyclone terbawah sudah dimulai dekarbonisasi pada
temperatur tersebut, sehingga beban kiln menjadi lebih ringan. Ada dua
cara penyalaan burner di suspension preheater, yaitu menjelang feeding
atau sesaat sesudah feeding. Keduanya mempunyai resiko sendiri-
sendiri. Untuk menjelang feeding, bila feedingnya gagal akan cepat
terjadi overheating. Sedangkan sesaat sesudah feeding, bila
penyalaannya gagal, material akan relatif masih mentah masuk ke kiln.
Temperatur inlet preheater fan
Suatu yang lumrah bila saat feeding damper preheater fan mulai
dibuka (atau ditambah speed), sehingga gas panas tertarik ke atas dan
menaikkan gas masuk preheater fan. Untuk itu temperatur tetap harus
dijaga max 450 oC dengan mengatur bukaan damper/speed fan dan
balancing dengan jumlah kiln feed yang diumpankan. Menjaga
temperatur tersebut dengan maksud melindungi peralatan dan ducting
dari deformasi akibat temperatur tinggi.
Kondisi dalam kiln
Kondisi ini agak sulit diukur dengan alat karena arah kamera hanya
pada material di sintering zone. Sedang tempat lain di kiln tidak
dideteksi. Apabila di dalam kiln masih bersih tidak ada material, maka
temperatur yang terukur, bila tidak terganggu flame oleh debu dari
cooler saat feeding adalah 1400-1450 oC. Apabila di dalam kiln sudah
ada material, maka secara visual akan lebih tepat menentukan siap
feeding atau tidak, yaitu apabila material telah pijar agak keputih-
putihan menandakan material telah matang dan diharapkan akan diikuti
matangnya meterial dibelakangnya, atau bila temperatur shell kiln > 300
oC (dengan catatan brick baru).
Speed kiln
Sesaat sebelum feeding, speed kiln diganti dari auxiliary ke main
drive dengan minimum speed (± 0,6 – 0,8 rpm). Pada saat feeding
pertama penambahan bahan bakar lebihkan sekitar 300 – 400 Kcal/kg
klinker atau 10-30 % dari operasi normal.
III. 13. 6. Ganguan Operasi dan Penanggulangan
Begitu banyak ragam dan macamnya gangguan operasi sehingga suit
untuk dijelaskan satu-persatu. Bahkan terkadang jenis gangguan berasal dari
tempat lain. Namun akan dicoba untuk memberikan contoh yang
diusahakan se-general mungkin dan menyangkit gangguan yang tidak
menyebabkan shut down.
Kiln flushing
Flushing adalah akibat raw mix yang tidak terbakar sempurna menjadi
klinker, penyebabnya bermacam-macam, misalnya kiln feed berfluktuasi,
batu bara shortage atau fluktuasi, atau jatuhnya ring coating yang terlalu
besar.
Indikator awal yang dapat dipakai adalah torque kiln turun secara
drastis, misalnya disebabkan oleh shortage/fluktuasi bahan bakar maka
temperatur di kalsiner SLC atau burning zone akan turun, profil nyala
menjadi gelap.
Untuk mencegah terjadinya flushing, pertama-tama yang harus
dilakukan atau turunkan secara drastis speed kiln, hal ini bertujuan untuk
memperpanjang waktu tinggal material di dalam kiln, sehingga diharapkan
akan memperbaiki proses pembakaran raw mix menjadi klinker, jaga
temperatur di suspension preheater agar tingkat dekarbonisasinya cukup
sebelum masuk ke kiln, kemudian stabilkan flame yang dapat dijaga dengan
menstabilkan fuel dan grate I agar dapat menghasilkan temperatur udara
sekunder yang cukup temperaturnya. Untuk kiln yang menggunakan swirlax
burner tambahkan pemakaian udara swirling yang bertujuan memperbaiki
performance pencampuran bahan bakar dengan udara sehingga diharapkan
bahan bakar segera dapat terbakar, walaupun diganggu adanya abu dari raw
mix/klinker.
Ring coating
Ring coating adalah kondisi dimana ada coating dengan ketebalan
tertentu sehingga berakibat sangat mengganggu pada pengoperasian kiln
karena:
Material akan tertahan di belakang ring coating
Gas tidak lancar mengalir sehingga udara yang terhisap juga kuang dan
CO akan naik, kadang-kadang terpaksa mengurangi fuel beserta kiln
feed
Untuk mengatasi ring ini sebaiknya dilakukan dengan merubah panjang
pendeknya flame, dengan harapan ada perubahan temperatur ring coating
dan akhirnya jatuh.
Selain itu apabila di tempat ring coating itu diberi pendingin pada kiln
shellnya maka cooling fan pada posisi tersebut dimatikan. Karena pada
umumnya ring coating terjadi pada daerah antara calcination zone dan
transition zone, maka memperpendek dan memperkuat api di main burner
akan dapat menolong. Perontokan ring coating sambil operasi yang tidak
sampai mengganggu bisa berjalan 1-2 hari.
IV. PROSES PRODUKSI DI AREA CEMENT MILL
IV. 1. Proses Produksi di Area Cement Mill Indarung II/III
Proses produksi di area cement mill Produksi II/III dapat dibagi menjadi 3
tahapan yaitu tahap pengumpanan material (klinker, gypsum, material ketiga),
tahap penggilingan, dan tahap pengiriman semen ke silo semen (cement
transport).
IV. 1. 1. Tahap Pengumpanan Material
Bahan yang digunakan untuk membuat semen terdiri dari 3 jenis
bahan yaitu klinker (digunakan sebanyak ± 91% untuk tipe I dan ± 72%
untuk tipe SMC), gypsum (digunakan sebanyak ± 3% untuk semua
tipe), dan material ketiga (batu kapur digunakan sebanyak ± 3% untuk
tipe I dan ±25 % untuk SMC). Klinker yang disimpan di dalam hopper
Z1/Z2L01 yang berkapasitas 400 ton diumpankan oleh dosimat feeder
Z1/Z2A01 ke dalam cement mill, sementara gypsum yang disimpan di
dalam hopper Z1/Z2L02 yang berkapasitas 200 ton diumpankan oleh
dosimat feeder Z1/Z2B01. Material ketiga (batu kapur) yang disimpan
di dalam hopper Z1/Z2L03 dengan kapasitas 200 ton diumpankan oleh
dosimat feeder Z1A02 yang dilanjutkan oleh belt conveyor Z1A03 ke
dalam cement mill pada Indarung II. Untuk Indarung III, sebelum masuk
ke cement mill, klinker dan gypsum dapat terlebih dahulu digiling di
dalam pregrinder.
Gambar 99 Dosimat feeder
IV. 1. 2. Tahap Penggilingan
Penggilingan ketiga material tersebut dilakukan di dalam tube mill
Z1/Z2M01 yang berkapasitas 107 ton perjam. Tube mill yang
digunakan bertipe Unidan dengan feed arrangement bertipe drum feeder
karena memiliki fasilitas untuk menyemprotkan air yang dibutuhkan
untuk menurunkan suhu semen yang sedang digiling. Discharge
arrangement yang digunakan berjenis end discharge yang memiliki dua
pengeluaran dimana gas dikeluarkan melalui atas dan semen hasil
penggilingan dikeluarkan melalui bagian bawah.
Gambar 100 Cement mill
Gambar 101 Diaphragma pada cement mill
Material Inlet
Material
Outlet
Water Injection
Diafragma
Tube mill yang digunakan untuk penggilingan semen ini hanya
memiliki dua buah kompartmen yaitu kompartmen I dan kompartmen II
tanpa drying chamber. Penggilingan awal dilakukan di dalam
kompartmen I dan kemudian menuju ke kompartment II untuk
penghalusan. Antara kompartmen I dan kompartmen II juga dipasang
diaphragm yang berjenis double diaphragm. Di dalam kompartmen I
dipasang lifting liner berjenis step liner dan untuk kompartmen II
digunakan classifying liner. Grinding media yang digunakan di dalam
kompartmen I berukuran 60-90 mm, sedangkan untuk kompartmen II,
grinding media yang digunakan berukuran 20-30 mm.
(a) (b)
Gambar 102 Liner (a) dan grinding media yang digunakan di dalam cement mill (b)
Untuk mengatur dan mengendalikan suhu di dalam mill baik kamar I
dan kamar II yang diakibatkan oleh proses penggilingan, maka
dilakukan proses pendinginan dengan menembakkan air (water
injection). Penyemprotan air (water injection) dilakukan secara otomatis
pada kedua ujung mill dengan menggunakan nozzle yang dibantu oleh
udara tekan dari kompresor. Suhu inlet dikontrol oleh temperature
partition dan suhu outlet dikontrol oleh suhu semen keluar. Suhu di
dalam mill dijaga pada tingkat yang aman yaitu antara 110-125 0C
karena jika suhu semen di atas 125 0C maka dapat menimbulkan dry
clogging dan dehidrasi air kristal gypsum sehingga akan mengakibatkan
false set pada semen, sedangkan jika di bawah 110 0C, maka akan
menimbulkan wet clogging. Pengaturan suhu ini juga penting untuk
kondisi operasi Electrostatic Precipitator (EP) dimana EP tersebut akan
bekerja dengan baik pada suhu di atas 100 0C.
(a) (b)
Gambar 103 Water injection pada (a) inlet mill dan (b) outlet mill
Hasil produk semen setelah penggilingan kemudian keluar melalui
bawah mill dan dibawa oleh air slide Z1/Z2M13, bucket elevator
Z1/Z2J01, dan air slide Z1/Z2J02-04 untuk selanjutnya dimasukkan ke
dalam separator Z1/Z2S01 dan Z1/Z2S02. Sedangkan gas dari cement
mill yang ditarik dari fan Z1/Z2P05 masuk ke Electrostatic Precipitator
Z1/Z2P11 dan gas dibuang menuju cerobong. Debu yang tertangkap EP
ditransportasikan oleh screw conveyor Z1/Z2P12 dan Z1/Z2U02 ke air
slide Z1/Z2U01.
Separator yang digunakan di indarung II/III adalah berjenis dynamic
separator classifier dengan Counterblades dan Internal Fan. Produk
separator yang kasar (tailing) kemudian dibalikkan seluruhnya ke dalam
kompartmen I mill melalui air slide Z1/Z2S08. Fineness produk
separator kemudian ditransport oleh air slide Z1/Z2U01 dan
Z1/Z2U21A kemudian dilanjutkan oleh belt conveyor Z2U24 dan
Z2U25 menuju ke silo semen.
IV. 1. 3. Tahap Pengiriman Semen ke Silo Semen
Semen hasil produksi Indarung II/III dan Indarung IV kemudian
disimpan ke dalam silo semen yang berjumlah 8 buah dengan kapasitas
masing-masing silo sebesar 5000 ton. Pembagian silo semen untuk
masing-masing tipe semen yaitu untuk tipe I disimpan di dalam silo
1,4,5 dan 8, PPC disimpan di dalam silo 2,3, dan 4, sedangkan SMC
disimpan di dalam silo 7. Transportasi semen menggunakan belt
conveyor Z2U24-U27 yang kemudian dilanjutkan oleh rangkaian air
slide Z2U28-U31 sehingga semen dapat dimasukkan ke dalam tiap-tiap
silo. Untuk mengatur masuknya semen ke dalam tiap-tiap silo, maka
digunakan bottom gate yang digerakkan secara pneumatic, tetapi
sekarang pengoperasiannya dilakukan secara manual. Setiap hari juga
dilakukan pengukuran ketinggian semen di dalam silo sehingga dapat
diketahui volume semen di dalam silo tersebut
Gambar 104 Silo semen Indarung 2, 3 dan 4
IV. 1. 4. Kriteria-Kriteria Perancangan di Cement Mill Indarung II/III
a. Length to Diameter Ratio (λ)
Panjang Mill (L) = LComp. I + LComp. II = 4,2 + 7,57 = 11,77 m
Diameter (D) = 4,3 m
Maka λ = L/D = 2,74
b. Filling Degree (f)
Filling degree dan berat grinding media di tiap kompartmen dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 19 Filling degree dan berat grinding media
Kompartmen Ukuran grinding media (mm) Berat grinding media (ton) Filling degree (%)
I
90 17,7
28 80 24,6
70 16,2
60 18,5
Total 77
II
30 69,3
32 25 75,9
20 19,8
Total 165
c. Grinding Media Charge
Berat grinding media charge di tiap kompartmen adalah sebagai
berikut:
Untuk kompartmen I
Qui xf
xxLxDQ
1004
2 (ton)
Q = 75,1 ton
Untuk kompartmen II
Qui xf
xxLxDQ
1004
2 (ton)
Q = 163,49 ton
d. Mill Speed
Dincrit
3,42 = 20,39 rpm
n = 15,87 rpm
k = 77,93 %
Dapat dilihat bahwa % kecepatan mill yang digunakan adalah sebesar
77,93 % dari kecepatan kritis.
IV. 2. Vertical Roller Mill
Prinsip kerja vertical roller mill adalah klinker digiling diatas rotating table
oleh 3 (tiga) buah roller. Roller ini menekan klinker dengan tekanan hydraulic
system 60 – 80 bar. Material yang telah digiling turun dari grinding table dan
ditransport ke vibrating screen untuk mengontrol ukuran umpan material yang
akan masuk ke cement mill. Ukuran umpan yang masuk ke cement mill adalah
blaine 850 - 1000 cm2/gr, sieve on 90 mikron : 50 – 60%, sieve on 45 mikron :
+/- 70%.
Peningkatan kapasitas pregrinder berkisar 25 – 100% tergantung pada
konfigurasi. 1 kW power yang diserap pregrinder, mengurangi power yang
diserap mill 2 – 2.5 kW.
Berbagai konfigurasi vertical roller mill / pregrinder dapat dilihat pada
gambar berikut :
Gambar 105 Berbagai konfigurasi vertical roller mill
Vertical roller mill merupakan peralatan yang tepat untuk menggiling dan
mengeringkan material yang basah. Material yang dapat digiling di dalam roller
mill antara lain seperti raw material, coal, pozzolan/tras, slag, dan semen.
Fungsi utama dari roller mill dapat dilihat pada gambar 106 yaitu:
a. Menggiling (grinding)
Material digiling di antara roller dan grinding table sewaktu material
tersebut bergerak dari tengah meja ke arah nozzle ring. Metode
penggilingan ini merupakan proses penggilingan yang paling efisien di
dalam industri semen.
b. Pemisahan (separation)
Material kering diangkat oleh gas kering. Kemudian di dalam separator,
partikel yang terlalu kasar (tailing) dikembalikan lagi ke grinding table,
sementara partikel yang halus meninggalkan mill dan dikirim ke dust
collector.
c. Pengeringan (drying)
Udara proses yang digunakan terutama berasal dari waste gas kiln atau
cooler atau disuplai oleh generator gas panas. Pengeringan berlangsung
bersamaan dengan proses penggilingan dan pemisahan .
d. Transport
Gas kering digunakan sebagai media pengirim. Tahap pengiriman
pertama adalah sirkulasi internal dan tahap yang kedua adalah separator.
Akhirnya, produk diekstraksi dari separator dan secara pneumatic dikirim
ke siklon atau filter dimana produk kemudian dikumpulkan dan
diumpankan ke silo. Gas yang bersih dikeluarkan atau diresirkulasikan
kembali ke dalam mill.
Gambar 106 Fungsi utama dari roller mill
Proses ini disebut drying/grinding process, dimana hampir seluruh
material/produk ditransportasikan secara pneumatic oleh gas kering.
Gambar rancangan umum roller mill beserta bagian-bagiannya dapat
dilihat pada gambar 107 berikut.
Gambar 107 Design roller mill secara umum
Prinsip kerja dari roller mill yaitu sebagai berikut:
Umpan material
Material basah diumpankan melalui air sealed feed gate ke atas
grinding table. Feed gate dirancang untuk dapat mencegah
masuknya false air ke dalam mill dan melindungi mill terhadap
tekanan negatif yang tinggi di dalam mill body. Untuk material yang
basah dan lengket, triple gates (heatable) dibutuhkan dan umumnya
digunakan rotating airlocks.
Penggilingan
Material (umpan segar, material resirkulasi, dan tailing
separator) yang melewati tengah meja di bawah roller kemudian
digiling di antara roller dan grinding track. Ukuran maksimum
partikel yang dapat digiling di bawah roller adalah berukuran maks.
5-8 % diameter roller dimana ukuran tersebut tergantung pada
diameter roller, kecepatan meja, tekanan roller dan karakteristik
material (granulometry dan properties)
Sirkulasi material
Sirkulai internal material dapat dilihat pada gambar 108 berikut.
Material yang mengalir di atas dam ring ditangkap dan kemudian
terangkat oleh aliran gas vertikal dari nozzle ring. Partikel kasar
jatuh kembali ke grinding table sementara yang halus terangkat ke
separator untuk dipisahkan. Laju sirkulasi internal tergantung
terutama pada grindability dari ground material dan dapat mencapai
15-25 siklus. Pengurangan kecepatan gas di dalam nozzle ring
mengakibatkan jatuhnya partikel yang lebih besar. Material yang
terjatuh harus diekstraksi oleh scraper dan diresirkulasi ke dalam
mill feed.
Gambar 108 Sirkulasi internal di dalam roller mill
Separasi
Separasi yang baik dapat meningkatkan kualitas raw meal dan
menghindari penggilingan yang berlebih (menghemat energi).
Partikel kasar (coarse tailing) diumpankan melalui tailing cone ke
tengah grinding table untuk membantu formasi dari grinding table
menjadi lebih stabil. Kehalusan raw meal dapat lebih mudah
dikontrol oleh penyesuaian kecepatan cage rotor.
Drying
Pengeringan terjadi terutama di tempat di mana gas panas keluar
nozzle dan kontak dengan material yang lembab. Partikel yang halus
memiliki waktu tinggal yang lama di dalam gas pengering
(tergantung pada gas collector) yang memastikan kinerja
pengeringan yang baik.
Water injection
Pada kondisi tertentu, roller mill memerlukan injeksi air untuk
menstabilkan grinding bed, injection nozzle seharusnya
menyemprot material di bagian depan setiap roller yang disesuaikan
dengan keluaran. Fasilitas water injection dengan dosing valve dapat
dipasang di dalam mill casing untuk mendinginkan gas kiln jika
suhu gas berlebih dan kurang lembabnya material.
IV. 2. 1. Aspek Operasional Roller Mill
a. Penggilingan
Tujuan utama penggilingan selama pengoperasian adalah untuk
memastikan grinding bed yang stabil dan optimal sehingga dapat
mengakibatkan produksi pengilingan yang optimal pada penggunaan power
mill yang terendah. Faktor utama yang mempengaruhinya adalah:
Material granulometry
Campuran partikel kasar dan halus akan membentuk material bed yang
stabil. Material yang terlalu kasar menyebabkan pergerakan roller yang
kasar, sedangkan material yang terlalu halus cenderung mengakibatkan
roller tergelincir/slip. Material yang terlalu kering biasanya dilembabkan
oleh water injection untuk membentuk compact bed.
Gambar 109 Aliran material di atas grinding table
Tekanan roller
Tekanan yang tinggi menghasilkan kerja penggilingan yang lebih
tinggi di dalam satu muatan sirkulasi material yang mempengaruhi
distribusi ukuran partikel dari produk. Muatan sirkulasi yang lebih
tinggi menghasilkan distribusi ukuran partikel yang lebih sempit
sehingga kondisi optimalnya harus dicari dengan uji coba dan
pengalaman.
Dam ring
Dam ring mengizinkan penyesuaian ketinggian bed dan penting
untuk mill dengan meja datar untuk menjaga material di atas grinding
table.
Louvre ring
Berdasarkan pada pengaturan roller dan perancangan table, material
mencapai aliran tak seimbang dalam louvre ring. Dengan penyesuaian
yang tepat pada bukaan nozzle (cover, insert, peralatan adjustment)
maka lebih banyak gas yang dapat diarahkan melalui nozzle sehingga
material yang dapat terangkat lebih banyak dan lebih kasar.
b. Sirkulasi eksternal
Material diangkat melalui louvre ring oleh aliran gas dan kemudian
diresirkulasikan secara pneumatic. Untuk mengangkat partikel yang
berukuran lebih besar, kecepatan gas yang , terlalu banyak diperlukan
sehingga mengakibatkan kehilangan tekanan yang tinggi melalui louvre
ring.
Untuk mengurangi pressure drop pada area ini, open nozzle section
dibuka untuk menyediakan kecepatan dalam batas 30-50 m/s melalui nozzle
yang menghasilkan pengurangan tenaga fan. Hasilnya, partikel kasar yang
jatuh melewati nozzle harus dikumpulkan oleh scraper yang menempel
pada rotating grinding table dan kemudian diangkat oleh bucket elevator ke
dalam mill feed.
Gambar 110 Sirkulasi eksternal material
c. Separasi
Separator bertugas untuk mengklasifikasikan material yang diangkat
dari grinding table. Targetnya adalah untuk mengurangi particle size
distribution (PSD) dengan jumlah partikel kasar (%R 200 μm) dan partikel
halus (% <10 μm) yang rendah.
Gambar 111 Beragam separator yang digunakan di roller mill
Ada 3 generasi separator, yaitu:
Static separator
Static separator merupakan peralatan yang murah dan sederhana,
tetapi menghasilkan particle size distribution (PSD) yang lebar.
Penyesuaian fineness dilakukan dengan menyesuaikan arah vane dimana
efisiensi menurun dengan meningkatnya fineness.
Conventional rotor type separator
Pada Conventional rotor type separator, penyesuaian fineness
dilakukan oleh kecepatan rotor. Separator tipe ini menghasilkan particle
size distribution (PSD) yang lebar dan pressure loss yang rendah.
Jatuhan tailing tersebar di atas grinding table.
Cage rotor separator with guide vanes
Separator tipe ini harus dioperasikan dengan kecepatan udara yang
tinggi melalui cage rotor (4,5-6 m/s) untuk raw material. Guide vane
diposisikan ketika fase penggilingan dan setelah itu ditetapkan
posisinya. Cage rotor separator dapat menghasilkan less fines
(menghemat energi) dan menghasilkan coarser tailing (grinding bed
lebih stabil) dikarenakan efisiensi classifying yang lebih baik.
d. Pengeringan (drying)
Laju alir gas yang melewati mill harus dijaga konstan untuk
mendapatkan kondisi grinding/separasi yang lebih stabil. Dengan
berubahnya volume gas terhadap suhu (gas density) maka merupakan hal
yang penting untuk menjaga suhu keluaran mill yang konstan. Untuk
memproses material dengan kandungan kelembaban yang tinggi, maka suhu
keluaran mill harus lebih tinggi, sebaliknya suhu keluaran mill lebih rendah
untuk material dengan kelembaban yang rendah.
IV. 2. 2. Beragam Rancangan dan Tampilan Roller Mill
a. Gebr. Pfeiffer
Aplikasi: Raw material, coal, pozzolan/tras, semen
Tampilan rancangan:
Sudut kemiringan roller dengan grinding bed 150, grinding path
berbentuk cekung
Memiliki 3 buah roller yang berukuran sama besar
Menggunakan high efficiency separatrt tipe SLS
Pengoperasian:
Start up dengan auxiliary drive dan roller bersifat statis di atas grinding
table
Normalnya mill casing berukuran besar dan kehilangan tekanan aliran
gas rendah
Spesialisasi: Mill yang lebih rendah (tanpa separator) digunakan sebagai
pregrinder untuk klinker.
b. Loesche
Aplikasi: raw material, coal, pozzolan
Tampilan rancangan:
Menggunakan high efficiency separator jalousie tipe LJKS
Memakai conical roller yang berjumlah 2, 3, atau 4 sesuai dengan
kapasitas mill
Pengoperasian:
Roller dapat diangkat dari grinding track dengan torsi yang rendah
untuk start up mill
Umumnya terjadi kehilangan tekanan yang tinggi di dalam mill, tetapi
dapat dioptuimalkan dengan sirkulasi eksternal
(a) (b)
Gambar 112 Roller mill rancangan (a) Gebr. Pfeiffer (b)Loesche
c. Fuller-Loesche
Aplikasi: raw material, coal, pozzolan
Tampilan rancangan:
Secara umum sama seperti Loesche mill
Menggunakan high efficiency separator dengan tipe O-SERA (lisensi
ONODA). SEPAX separator juga bisa digunakan setelah pengambil
alihan oleh FLS.
Pengoperasian: Pada umumnya sama seperti Loesche mill.
d. FLS
Aplikasi: raw material, coal
Tampilan rancangan:
Menggunakan roller yang selalu berjumlah 3 buah
Pull rod diatur di luar area penggilingan
Menggunakan high efficiency cage rotor separator SEPAX tipe
(RAR…) dengan guide vane yang dapat disesuaikan.
Pengoperasian:
Roller dapat diangkat dari grinding table ketika start up
Sistem standard termasuk gas recirculating duct
(a) (b)
Gambar 113 Roller mill rancangan (a) Fuller-Loesche (b)FLS-ATOX
e. Polysius
Aplikasi: Raw material, coal
Tampilan rancangan:
Memiliki 2 roller kembar yang berukuran sama besar dengan double
grooved grinding table
Pull rod ditempatkan di luar area penggilingan
Satu pull rod umumnya tetap (tidak bergerak), sementara pull rod yang
lain dapat disesuaikan untuk pengaturan tekanan roller
Menggunakan high efficiency separator tipe SEPOL
Gambar 114 Roller mill rancangan Polysius
IV. 2. 3. Roller Mill (Pregrinder) di Departemen Produksi II/III
Roller mill (pregrinder) di Departemen Produksi II/III hanya ada di
Indarung III. Pregrinder ini merupakan proyek bantuan dari Jepang yang
dibangun pada tahun 1995 oleh Ishikawajima-Harima Heavy Industries
(IHI) Co., Ltd. Material yang akan digiling oleh pregrinder (klinker dan
gypsum) ditransportasikan oleh belt conveyor Z2J12 dan masuk ke dalam
pregrinder melalui bagian atas.
Parameter operasi pregrinder (Ind.III) :
Tekanan roller : 50 – 80 bar
Vibrasi < 50 mikron
Power motor : 700 – 900 kW
Load elevator PG : 6 – 10 kW
(a) (b)
Gambar 115 Pregrinder di Indarung III (a) dan belt untuk transport umpan (b)
Material yang digiling jatuh ke atas grinding table dan kemudian
digiling oleh roller. Pregrinder terdiri dari 3 buah roller yang dapat dinaik-
turunkan untuk pengaturan ukuran material yang akan digiling. Material
hasil penggilingan kemudian bergerak ke tepi meja dan jatuh melalui bagian
tepi meja untuk selanjutnya dikirimkan oleh drag chain Z2M22 dan bucket
elevator Z2J21 ke dalam vibrating screen Z2S21.
(a) (b)
Gambar 116 Roller dan grinding table (a) dan drag chain Z2M22 (b)
Di dalam vibrating screen ini dipisahkan antara produk yang halus
dengan yang kasar oleh saringan yang digetarkan dimana produk yang kasar
dikembalikan lagi oleh Z2J24 ke dalam pregrinder, sementara produk yang
halus ditransportasikan lagi oleh belt conveyor Z2J22 dan Z2J23 untuk
kemudian dimasukkan ke dalam cement mill Z2M01.
(a) (b)
Gambar 117 Vibrating screen tampak luar (a) dan saringan di dalamnya (b)
IV. 3. Kehalusan Semen
Pada penggilingan klinker, produk digiling halus dengan rentang ukuran
partikel 3 - 30 . Kecuali untuk keadaan khusus semen tidak direkomendasikan
untuk digiling terlalu halus. Kehalusan yang terlalu tinggi belum tentu
memberikan efek positif. Fraksi ukuran partikel antara 3 – 30 adalah yang
sangat menentukan perkembangan kekuatan semen. Partikel yang mempunyai
ukuran < 3 hanya memberikan kontribusi bagi kuat tekan awal. Partikel ini
akan terhidrasi dengan cepat, dan setelah 1 hari memberikan kuat tekan yang
tinggi. Fraksi dengan ukuran partikel diatas 30 lambat bereaksi sehingga
hanya memberikan sumbangan yang kecil terhadap kuat tekan beton.
Fraksi ukuran partikel 3 - 30 pada semen seyogyanya adalah sebagai
berikut:
Semen biasa : 40 – 50%
Semen kekuatan tinggi : 50 – 70%
Semen kekuatan sangat tinggi : >70%
Angka ini merupakan salah satu faktor yang mempunyai kuat tekan. Faktor
lain yang berpengaruh terhadap kuat tekan semen adalah komposisi mineral dan
klinkernya.
Gambar 118 Hubungan kuat tekan vs Fraksi ukuran partikel semen
Partikel yang lebih halus (kira – kira blaine 5000 cm2/g) tidak ada
pengaruhnya untuk menaikkan kuat tekan, bahkan menurunkan kuat tekan.
Gambar 119 Hubungan Blaine dengan ukuran partikel semen.
IV. 4. Grindability Klinker
Dalam “Cement Data Book” grindability diartikan sebagai banyaknya
material yang dihasilkan (gram per putaran mill) dari penggilingan dengan
grindability test mill pada ukuran ayakan 200 mesh.
Pada kenyataannya, klinker yang digiling di cement mill mempunyai
grindability yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dari percobaan-
percobaan yang dilakukan di laboratorium dan pengalaman pada penggilingan
semen, terlihat bahwa konsumsi energi yang dibutuhkan untuk mencapai
kehalusan semen tertentu, bervariasi 25% dari harga rata-rata.
Gambar 120 Grindability vs Silica Rasio dan C3S/LSF
Gambar 121 Grindability vs C2S dan Liquid phase
Keterangan gambar :
Grindability akan naik sesuai dengan penurunan silica rasio
Grindability naik secara linear dengan kenaikan C3S
Grindability turun dengan kenaikan C2S
Grindability turun dengan kenaikan liquid phase
Gambar 122 Kurva Pengaruh kecepatan pendinginan klinker terhadap
grindability
Proses penggilingan klinker akan berpengaruh pada struktur, komposisi
mineral, serta grindability klinker. Kecepatan pendinginan berpengaruh pada
perbandingan antara kandungan mineral dan fase liquid dalam klinker.
Pada laju pendinginan lambat, terjadi ukuran kristal C3S yang besar,
sehingga memerlukan energi penggilingan relatif besar. Sedangkan pada laju
pendinginan cepat akan terjadi hambatan pertumbuhan kristal C3S, sehingga
dihasilkan ukuran kristal yang kecil.
Gambar dibawah ini menunjukkan perbandingan grindability klinker
dengan pendinginan cepat (grate cooler) dan pendinginan lambat (planetary
cooler).
Gambar 123 Pengaruh kadar air terhadap proses penggilingan.
Gambar diatas menunjukkan bagaimana pengaruh kadar air dalam klinker
terhadap efisiensi penggilingan.
Diagram I : klinker yang mengandung 0.4% kadar air
Diagram II : klinker yang mengandung 2.4% kadar air
Dapat dilihat bahwa pada ukuran 90% lolos ayakan 170 mesh , klinker
dengan kadar air 2.4% mengkonsumsi 8 kWh/ton lebih tinggi dibanding dengan
klinker dengan kadar air 0.4%.
IV. 5. Coating Pada Grinding Media
Coating pada grinding media sangat mengganggu keefektifan proses
penggilingan. Penyebab coating grinding media adalah :
Static Electricity.
Partikel yang sangat halus menjadi bermuatan. Material yang berbeda
mengakibatkan partikel halusnya berbeda muatan. Partikel bermuatan (+)
dan (-) saling tarik-menarik dan akhirnya tergumpal (aglomerasi).
Energi Permukaan
Atom atau sejumlah group atom pada permukaan padatan dapat saja
tidak jenuh pada valensinya dan membentuk daerah tidak homogen pada
permukaannya.
Adsorpsi
Partikel menyerap lapisan film dari udara. Lapisan film ini mencegah
partikel bergabung. Jika lapisan film ini terlepas, partikel menjadi lebih
mudah bergumpal.
Mechanical Impact
Grinding media saling bertumbukan, dimana pada masing-masing
permukaan grinding media terdapat partikel. Partikel-partikel ini menjadi
menggumpal pada permukaan yang tidak merata/kasar.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan coating :
Kenaikan temperatur
Dehidrasi gypsum
Gypsum sebenarnya cenderung mencegah ball coating, tetapi gypsum
yang terdehidrasi menyebabkan ball coating.
Klinker yang tersimpan lama.
Klinker yang tersimpan lama memiliki kecenderungan ball coating,
Tetapi klinker yang tersimpan lama lebih mudah digiling karena hidrasi free
lime menyebabkan melemahnya dan pecahnya struktur klinker.
IV. 6. Grinding Aid
Grinding aid adalah material yang dapat menghilangkan ball coating atau
dapat mendispersikan material yang telah digiling. Grinding aid dapat
ditambahkan dalam bentuk larutan, Kandungan grinding aid adalah sekitar
0.006 – 0.08% dari berat klinker.
Bahan-bahan yang dapat dijadikan sebagai grinding aid adalah :
o Amine acetate
o Ethylene glycol
o Propylene glycol
IV. 7. Retarder
Retarder adalah suatu bahan yaitu gypsum yang berfungsi sebagai material
yang mencegah proses kekakuan dini pada semen pada saat terjadi reaksi
hidrasi pada semen. Dengan kata lain gypsum mengatur setting time semen.
Semen mengandung gypsum 3 – 6 %, dimana gypsum ini selain
berpengaruh terhadap setting time, juga berpengaruh terhadap kuat tekan
semen.
Gypsum di alam paling sering ditemui dalam bentuk gypsum dyhidrat.
Bentuk –bentuk gypsum dapat berupa :
Tabel 20. Bentuk-bentuk senyawa gypsum
Nama Dyhidrat
(gypsum)
Hemihidrat
(plester gips)
Anhidrat
(terlarut dan tidak)
Komposisi
Kimia CaSO4.2H2O CaSO4.1/2H2O CaSO4
Air kristal 20.9% 6.2% 0%
Gypsum dihidrat dan anhidrat tidak terlarut sangat stabil dan dapat
ditemukan di alam. Sedangkan gypsum hemihidrat dan anhidrat terlarut
terbentuk karena dehidrasi gypsum, sangat reaktif dan bereaksi dengan air
untuk membentuk kembali gypsum dyhidrat.
Oleh sebab itulah dehidrasi gypsum di dalam cement mill dapat
mengakibatkan false set karena gypsum hemihidrat dan anhidrat terlarut ini
bereaksi kembali dengan air pada saat hidrasi semen.
Dari pengalaman (FLS), false set dapat terjadi apabila 75% gypsum
dyhidrat terdehidrasi menjadi hemihidrat dan anhidrat. Jika hal ini terjadi,
maka cara mengatasinya dapat dengan cara mengurangi jumlah gypsum dalam
semen.
Gambar 124 % Dehidrasi gypsum vs Waktu dan Temperatur
Gypsum hemihidrat dalam semen pada saat tertentu dapat menaikkan kuat
tekan semen. Hal ini dapat dilihat pada kurva dibawah ini. Dehidrasi gypsum
dari 2.1% ke 0.1% pada uji kuat tekan 2 hari naik 7% dan pada uji kuat tekan
28 hari naik 3%.
Gambar 125 Pengaruh gypsum terhadap kuat tekan semen
Pada sisi lain, kandungan gypsum harus dibatasi karena gypsum yang
berlebih dapat mengakibatkan cracking.Keretakan pada semen ini terjadi karena
pembentukan ettringite (3C3A.3CaSO4.31H2O) yang dihasilkan dari reaksi
C3A dengan gypsum, mengakibatkan peningkatan volume. Sehingga,
kandungan SO3 maksimum menurut standard BS 12 adalah 2.5% untuk semen
yang kandungan C3A nya kurang dari 7%, dan maksimum 3% untuk semen
yang kandungan C3A nya lebih dari 7%.
V. PENUTUP
Dari uraian yang telah ditulis sebelumnya, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
Penumpukan (stacking) bahan baku di storage menggunakan metode conical shell
stacking, sedangkan penarikan bahan baku batu kapur dan silika menggunakan side
reclaimer untuk Indarung II dan portal reclaimer untuk Indarung III serta bucket
excavator untuk penarikan tanah liat.
Mill yang digunakan untuk penggilingan raw mill di produksi II/III adalah tube mill
tipe duodan mill berkapasitas 160 ton/jam dengan feed arrangement tipe feed chute
for airswept mill dan discharge arrangement tipe centre discharge.
Separator yang digunakan berjenis dynamic separator yang tidak memiliki variable
speed fan dan pengaturan fineness produk hanya dilakukan dengan cara mengubah
bukaan slot vane.
Homogenisasi raw mix dilakukan dengan metode discontinuous batch
homogenizing silos yang pada umumnya terdiri dari dua pasangan silo, yang mana
silo di atas sebagai blending silo dan yang bawah bersifat sebagai storage silo.
Mill yang digunakan untuk penggilingan batubara di produksi II/III adalah tube mill
tipe tirax mill berkapasitas 15 ton/jam dengan feed arrangement tipe feed chute for
airswept mill dan discharge arrangement yang dihubungkan langsung dengan
separator.
Kiln yang digunakan di Departemen Operasi I dilengkapi dengan suspension
preheater bertipe 4 stage cyclone dan planetary cooler berjumlah 10 buah yang
ikut berotasi bersama dengan kiln
Rotary kiln yang digunakan di Departemen Produksi II/III memiliki panjang 80 m
dan diameter 5 m, serta sudut kemiringan kiln sebesar 3,5 %. Kiln tersebut
beroperasi dengan kecepatan putar sebesar 2 rpm dan besar feeding 155-160
ton/jam. Kapasitas kiln tersebut sebesar 2100 ton/hari.
Daerah di dalam kiln dibagi menjadi beberapa zona berdasarkan suhu dan proses
reaksi yang terjadi di dalamnya yaitu zona calcining, zona transisi, zona sintering
(burning zone), dan zona pendinginan (cooling zone).
Rotary kiln dilengkapi dengan batu tahan api (firebrick) yang berjenis high alumina
brick (50-60 % Al2O3) untuk daerah pendinginan (cooling zone), magnesia spinnel
brick (60-70 % MgO) untuk daerah transisi dan sintering/burning zone, serta
lightweight firebrick untuk daerah preheating dan calcining
Sistem coal firing yang digunakan di Indarung II/III adalah sistem indirect firing
dimana sistem dilengkapi dengan blower dan intermediate storage bin coal
Tahapan pada proses pembakaran klinker yaitu proses penguapan air pada suhu 100
0C, pelepasan air hidrat tanah liat pada suhu 500
0C, penguapan CO2 dari batu
kapur dan mulai kalsinasi pada suhu 805 0C, pembentukan C2S pada suhu 800-900
0C, pembentukan C3A dan C4AF pada suhu 1095-1205
0C, dan pembentukan C3S
pada suhu 1260-1455 0C
Mill yang digunakan untuk penggilingan cement mill di produksi II/III adalah tube
mill tipe unidan mill berkapasitas 107 ton/jam dengan feed arrangement tipe drum
feeder dan discharge arrangement tipe end discharge.
Separator yang digunakan berjenis dynamic separator yang tidak memiliki variable
speed fan dan pengaturan fineness produk hanya dilakukan dengan cara mengubah
bukaan slot vane.
Roller mill (pregrinder) yang digunakan di Indarung III diproduksi oleh
Ishikawajima-Harima Heavy Industries (IHI) Co., Ltd dan memiliki kapasitas 160
ton/jam serta 3 buah roller yang dapat dinaik-turunkan.
Perbedaan prinsip antara tube mill dan roller mill adalah pada media penggilingnya
dimana pada tube mill digunakan gaya tumbukan (impact force) dari grinding
media, sedangkan pada roller mill digunakan gaya tekan roller pada meja putar.