produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis … · 6 output analisis metode single exponential...

108
i PRODUKSI DAN KONSUMSI KOMODITI PANGAN STRATEGIS SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP SWASEMBADA NASIONAL YURTA FARIDA DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Upload: doanque

Post on 06-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

i

PRODUKSI DAN KONSUMSI KOMODITI PANGAN

STRATEGIS SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP

SWASEMBADA NASIONAL

YURTA FARIDA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

i

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Produksi dan Konsumsi

Komoditi Pangan Strategis Serta Implikasinya Terhadap Swasembada Nasional

adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Yurta Farida

NIM H34114014

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak

luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

i

ABSTRAK

YURTA FARIDA. Produksi dan Konsumsi Komoditi Pangan Strategis Serta

Implikasinya Terhadap Swasembada Nasional. Di bawah bimbingan

MUHAMMAD FIRDAUS.

Kementrian Pertanian merencanakan akan merevisi roadmap swasembada

komoditi pangan strategis yaitu beras, jagung, dan kedelai. Target roadmap

tersebut dirasakan tidak mungkin tercapai dikarenakan produksi riil dari setiap

komoditi kurang dari target. Tujuan dari penelitian ini adalah proyeksi terkait

swasembada tahun 2014 dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis. Analisis dilakukan

dengan regresi berganda dan peramalan time series. Dari hasil penelitian, secara

umum semua proyeksi komoditas strategis belum mencapai target seperti dalam

Roadmap Kementrian Pertanian. Berdasarkan hasil proyeksi produksi dan

konsumsi pada tahun 2014, komoditi beras dan jagung mampu berswasembada.

Namun, komoditi kedelai belum mampu berswasembada pada tahun 2014. Hasil

analisis regresi menyimpulkan bahwa tidak semua variabel penduga dalam

hipotesis berpengaruh secara signifikan pada produksi dan konsumsi komoditi

pangan strategis. Variabel yang memengaruhi semua produksi komoditi adalah

areal panen dan anggaran litbang. Sedangkan variabel yang memengaruhi semua

konsumsi komoditi adalah jumlah penduduk. Implikasi kebijakan yang perlu

diambil terkait peningkatan swasembada dan swasembada berkelanjutan antara

lain: perluasan areal panen, peningkatan anggaran litbang, dan penurunan

konsumsi per kapita.

Kata kunci : Komoditi pangan, konsumsi, produksi, swasembada

ABSTRACT

YURTA FARIDA. Production and Consumption of Strategic Food Commodities

and The Implications for National Self-Sufficiency. Under direction of

MUHAMMAD FIRDAUS.

Agriculture Ministry plans to revise the strategic roadmap self-sufficiency

of food commodities such as rice, corn, and soybeans. Roadmap target is

impossible to achieve as real production of each commodity is less than the target.

The purpose of this study is related to self-sufficiency by 2014 projections and

analyzes the factors that influence the production and consumption of strategic

food commodities. The analysis was performed by multiple regression and time

series forecasting. From the research, in general all projections of strategic

commodities has not hit the target as the Ministry of Agriculture roadmap. Based

on a projection of production and consumption in 2014, commodity that achieve

self-sufficient are rice and maize. However, soybean has not been self-sufficient

in 2014. The results of the regression analysis concluded that not all of the

hypothesized predictor variables significant influence on the production and

consumption of strategic food commodities. Variables that affect all commodity

production are harvested acreage and R & D budgets. While the variables that

affect all commodity consumption is the total population. Policy implications that

need to be taken related to an increase in self-sufficiency and self-sustained,

among others : the expansion of harvest area, the increase in R & D budgets, and a

reduction in consumption per capita.

Keywords : Consumption, food commodities, production, self-sufficiency

i

PRODUKSI DAN KONSUMSI KOMODITI PANGAN

STRATEGIS SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP

SWASEMBADA NASIONAL

YURTA FARIDA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

i

Judul Skripsi : Produksi dan Konsumsi Komoditi Pangan Strategis Serta

Implikasinya Terhadap Swasembada Nasional

Nama : Yurta Farida

NIM : H34114014

Disetujui oleh

Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP, MSi

Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS

Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

i

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan sehingga karya

ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2013

sampai November 2013, dengan judul Produksi dan Konsumsi Komoditi Pangan

Strategis Serta Implikasinya Terhadap Swasembada Nasional.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir.

Muhammad Firdaus, MSi selaku pembimbing yang telah membimbing penulis

dari proses pembuatan proposal penelitian sampai dengan selesai penulisan, telah

meluangkan waktu dan tenaga serta memberikan ilmunya sehingga penulisan

karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada

Dr. Ir. Netti Tinaprilia, MM dan Dr. Amzul Rifin, SP, MA yang telah banyak

memberi saran dan masukan sebagai perbaikan pada saat kolokium dan ujian

sidang. Di samping itu, Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah,

ibu, serta seluruh keluarga, atas do’a dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014

Yurta Farida

i

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN iv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 5 Tujuan Penelitian 8 Manfaat Penelitian 8 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 9

TINJAUAN PUSTAKA 10

Komoditi Pangan Strategis 10 Syarat Tumbuh Tanaman Komoditi Pangan Strategis 11

Syarat Tumbuh Tanaman Padi 11 Syarat Tumbuh Tanaman Jagung 12 Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai 13

Kebijakan Pangan dan Ketahanan Pangan 14 Swasembada Pangan 15 Model-model Peramalan Time Series Komoditi Strategis 16 Tinjauan Faktor-faktor yang Memengaruhi Komoditi Pertanian 17

KERANGKA PEMIKIRAN 19

Kerangka Pemikiran Teoritis 19 Konsep Produksi 19

Konsep Konsumsi 21 Konsep Peramalan 23

Kerangka Pemikiran Operasional 24

METODE PENELITIAN 27

Waktu dan Tempat 27 Jenis dan Sumber Data 27 Metode Pengolahan dan Analisis Data 28

Variabel dan Definisi Operasional 28 Analisis Peramalan Model Time Series 29

Penerapan Peramalan Model Time Series 30 Pemilihan Model Peramalan Time Series Terakurat 33

Analisis Peramalan Model Kausal 33

Analisis Regresi Berganda 34

Perumusan Model 34

Evaluasi Model Penduga 36 Hipotesis Penelitian 39

Analisis Deskriptif 40

ii

PERKEMBANGAN SERTA PROYEKSI PRODUKSI DAN KONSUMSI

KOMODITI PANGAN STRATEGIS TERHADAP SWASEMBADA

NASIONAL 41

Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia 41 Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia 42

Proyeksi Produksi Beras 42 Proyeksi Konsumsi Beras 44

Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia 45 Proyeksi Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia 46

Proyeksi Produksi Jagung Indonesia 46 Proyeksi Konsumsi Jagung Indonesia 47

Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia 49 Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia 50

Proyeksi Produksi Kedelai Indonesia 50

Proyeksi Konsumsi Kedelai Indonesia 51

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PRODUKSI DAN

KONSUMSI KOMODITI PANGAN STRATEGIS SERTA

IMPLIKASINYA TERHADAP SWASEMBADA NASIONAL 52

Model Produksi Komoditi Beras di Indonesia 52 Model Produksi Komoditi Jagung di Indonesia 54 Model Produksi Komoditi Kedelai di Indonesia 55 Model Konsumsi Komoditi Beras di Indonesia 57 Model Konsumsi Komoditi Jagung di Indonesia 59 Model Konsumsi Komoditi Kedelai di Indonesia 60 Implikasi Terhadap Swasembada Komoditi Pangan Strategis 61

Skenario Pencapaian Swasembada 64 Strategi Kebijakan Peningkatan Swasembada 66

SIMPULAN DAN SARAN 75

Simpulan 75 Saran 75

DAFTAR PUSTAKA 76

LAMPIRAN 78

RIWAYAT HIDUP 92

iii

DAFTAR TABEL

1 Kontribusi lapangan usaha terhadap PDB atas harga dasar berlaku,

2009-2012 (dalam %) 3 2 Inflasi tahunan di Indonesia, 2009-2012 (dalam %) 3 3 Ekspor dan impor pertanian Indonesia menurut sub sektor, 2009-2012

(dalam US$ 000) 4 4 Roadmap pengembangan produksi komoditas pangan strategis, 2010-

2014 6 5 Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi komoditas

pangan strategis, 2010-2012 7 6 Target perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi

komoditas pangan strategis, 2010-2014 8 7 Data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian 27

8 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi beras di

Indonesia 43 9 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi beras di

Indonesia 44 10 Proyeksi produksi dan konsumsi beras 44 11 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi jagung di

Indonesia 46 12 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi jagung di

Indonesia 47 13 Proyeksi produksi dan konsumsi jagung 48 14 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi kedelai di

Indonesia 50 15 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi kedelai di

Indonesia 51

16 Proyeksi produksi dan konsumsi kedelai 51 17 Hasil analisis model regresi produksi beras di Indonesia 52 18 Hasil analisis model regresi produksi jagung di Indonesia 54 19 Hasil analisis model regresi produksi kedelai di Indonesia 56 20 Hasil analisis model regresi konsumsi beras di Indonesia 58

21 Hasil analisis model regresi konsumsi jagung di Indonesia 59 22 Hasil analisis model regresi konsumsi kedelai di Indonesia 60 23 Hasil peramalan dan analisis faktor-faktor yang memengaruhi

produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis Indonesia 62 24 Capaian produksi dan capaian swasembada beras 63

25 Capaian produksi dan capaian swasembada jagung 63 26 Capaian produksi dan capaian swasembada kedelai 64 27 Skenario produksi dan konsumsi dengan peningkatan luas areal

tanam, anggaran litbang serta penurunan konsumsi per kapita (dalam

ribu ton) 66 28 Perkembangan produksi padi di 6 provinsi sentra, tahun 2008-2012 67 29 Perkembangan produksi jagung di 6 provinsi sentra, tahun 2008-2012 68

30 Perkembangan produksi kedelai di 6 provinsi sentra, tahun 2008-2012 68 31 Sasaran skor Pola Pangan Harapan (PPH) 73

iv

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan jumlah penduduk Indonesia, tahun 1971-2010 2 2 Fluktuasi harga beras, jagung, dan kedelai September 2011–Maret

2013 5 3 Kurva PT, PR, dan PM 20 4 Map isoquant 21 5 Klasifikasi metode peramalan 24 6 Bagan alur kerangka pemikiran operasional 26 7 Diagram arus untuk strategi pembentukan Model Box-Jenkins 33 8 Grafik produksi dan konsumsi beras Indonesia 42 9 Grafik produksi dan konsumsi jagung Indonesia 45

10 Grafik produksi dan konsumsi kedelai Indonesia 49 11 Persentase anggaran litbang tanaman pangan tahun 2006-2012 71

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data yang digunakan dalam model ekonometrika 78 2 Output analisis metode ARIMA untuk peramalan produksi beras

Indonesia 82 3 Output analisis metode double exponential smoothing untuk

peramalan konsumsi beras Indonesia 83 4 Output analisis metode double exponential smoothing untuk

peramalan produksi jagung Indonesia 83 5 Output analisis Metode ARIMA untuk peramalan konsumsi jagung

Indonesia 84

6 Output analisis metode single exponential smoothing untuk peramalan

produksi kedelai Indonesia 85 7 Output analisis metode double exponential smoothing untuk

peramalan konsumsi kedelai Indonesia 85 8 Output analisis regresi produksi beras di Indonesia 86 9 Output analisis regresi produksi jagung di Indonesia 87

10 Output analisis regresi produksi kedelai di Indonesia 88

11 Output analisis regresi konsumsi beras di Indonesia 89 12 Output analisis regresi konsumsi jagung di Indonesia 90 13 Output analisis regresi konsumsi kedelai di Indonesia 91

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar, serta komoditas

penting dan strategis, karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang

pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia. Menurut UU No 18

Tahun 2012 tentang Pangan, pangan didefinisikan segala sesuatu yang berasal

dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,

peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang

diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk

bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan

dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau

minuman.

Perubahan iklim global secara ekstrim mengakibatkan masa produksi

relatif pendek serta berpengaruh terhadap kondisi pangan global. Misalnya

kekeringan yang terjadi di Amerika Serikat, India, dan Cina yang menyebabkan

produksi menurun sehingga memicu kenaikan harga pangan dunia2. Masalah

kekeringan tersebut, negara-negara produsen cenderung mengamankan hasil

produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga bagi negara

pengimpor hal tersebut merupakan ancaman bagi keamanan pangan negaranya.

Dampak negatif paling dirasakan oleh negara-negara miskin di dunia

terutama di negara-negara berkembang yang rentan terhadap guncangan

keamanan pangan. Pemerintah mencoba mengatasi guncangan tersebut dengan

menerbitkan UU No 11 Tahun 2005 yang berisi tentang hak setiap orang atas

standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya atas pangan serta setiap

orang harus bebas dari kelaparan. Oleh karena itu, untuk menghadapi ancaman

krisis pangan global tersebut, setiap negara harus memperkuat ketahanan pangan

melalui peningkatan produktivitas pangan, terutama untuk stok nasional bagi

negara-negara yang biasanya mengimpor pangan.

Penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar

manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan

berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan.

masalah pangan nasional mempunyai potensi yang tinggi sebagai pemicu

ketidakstabilan baik di tingkat nasional maupun di daerah (Sholahuddin 2009).

Masalah penyelenggaraan pangan nasional masih memerlukan keterlibatan

pemerintah mengingat masalah ini menyengkut hajat hidup segenap rakyat

Indonesia. Salah satu program pemerintah dalam penyelenggaraan pangan adalah

swasembada pangan. Namun saat ini tantangan swasembada pangan semakin

berat mengingat kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat seiring

pertumbuhan penduduk. Data Badan Pusat Statistika (2012) berdasarkan Gambar

1 dapat dianalisis bahwa jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 230 juta jiwa

dengan rata-rata pertumbuhan 2% per tahunnya. Kondisi tersebut menyebabkan

2 Syafputri, Ella. 2012. Swasembada komoditas strategis, target ketahanan pangan Indonesia

[Internet]. [diunduh 2013 April 13]. Tersedia pada: http://www.antaranews.com/berita/337004/

swasembada-komoditas-strategis-target-ketahanan-pangan-indonesia.

2

konsumsi masyarakat juga meningkat. Hal ini harus diimbangi dengan strategi

produksi sehingga konsumsi pangan masyarakat dapat terpenuhi.

Gambar 1 Perkembangan jumlah penduduk Indonesia, tahun 1971-2010 Sumber: BPS (2012)

Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan, maka

pemerintah menetapkan target komoditi strategis yaitu dengan mencapai

swasembada pangan untuk komoditas strategis seperti padi, jagung, kedelai, gula,

dan daging. Penentuan 5 komoditas strategis tersebut telah menjadi peran baru

dalam revitalisasi yang akan dilakukan Bulog. Kriteria terhadap komoditas

pangan tersebut antara lain komoditas memiliki peran besar dalam perekonomian

nasional, komoditas yang bepengaruh besar pada inflasi, dan komoditas yang

menguras belanja pengeluaran negara. Instrumen lain yang harus disiapkan ialah

cadangan komoditas yang distabilkan sehingga apabila harga naik, pemerintah

dapat melakukan operasi pasar, dan apabila harga turun, pemerintah dapat

melakukan pembelian dalam jumlah besar.

Komoditi pangan seperti beras, jagung, dan kedelai merupakan komoditi

yang mempunyai ktriteria komoditi paling strategis dari kelima komoditi strategis.

Komoditi pangan strategis tergolong ke dalam lapangan usaha tanaman bahan

pangan. Kriteria pertama yaitu komoditas memiliki peran besar dalam

perekonomian nasional dapat dilihat data dari Badan Pusat Statistik (2012) pada

Tabel 1. Terlihat bahwa kelompok lapangan usaha tanaman bahan pangan

memiliki peran besar dalam perekonomian nasional dilihat dari besarnya

kontribusi untuk PDB yang lebih besar dari lapagan usaha lainnya seperti

kontribusi pada lapangan usaha tanaman perkebunan (komoditi gula), dan

peternakan (komoditi daging). Rata-rata kontribusi lapangan usaha tanaman bahan

makanan antara tahun 2009-2012 adalah sebesar 7.63% dari keseluruhan PDB

nasional. Kontribusi lapangan usaha tanaman bahan makanan adalah hampir

mencapai 50% terhadap lapangan usaha pertanian, perkebunan, peternakan,

kehutanan, dan perikanan. Hal ini membuktikan bahwa lapangan usaha tanaman

bahan makanan yang mencakup pertanian tanaman padi, jagung dan kedelai

memiliki peran besar dalam perekonomian Indonesia.

119 208 229

147 490 298

179 378 946

194 754 808 206 264 595

237 641 326

0

50000000

100000000

150000000

200000000

250000000

1971 1980 1990 1995 2000 2010

3

Tabel 1 Kontribusi lapangan usaha terhadap PDB atas harga dasar berlaku, 2009-

2012 (dalam %)

No Lapangan Usaha 2009 2010 2011* 2012**

1 Pertanian, Perkebunan, Peternakan,

Kehutanan & Perikanan 15.29 15.31 14.72 15.22

a. Tanaman Bahan Makanan 7.48 7.49 7.14 8.40

b. Tanaman Perkebunan 1.99 2.11 2.07 1.47

c. Peternakan 1.87 1.85 1.74 1.77

d. Kehutanan 0.80 0.75 0.70 0.58

e. Perikanan 3.15 3.10 3.07 2.99

2 Pertambangan & Penggalian 10.56 11.16 11.93 12.73

3 Industri Pengolahan 26.36 24.79 24.28 23.61

4 Listrik, Gas & Air Bersih 0.83 0.76 0.75 0.75

5 Konstruksi 9.90 10.27 10.19 10.07

6 Perdagangan, Hotel & Restoran 13.28 13.71 13.78 13.51

7 Pengangkutan dan Komunikasi 6.31 6.57 6.61 6.60

8 Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan 7.23 7.25 7.20 7.27

9 Jasa-jasa 10.24 10.17 10.55 10.24

Produk Domestik Bruto 100.00 100.00 100.00 100.00

Produk Domestik Bruto Tanpa Migas 91.71 92.23 91.48 91.66

Keterangan: *Angka sementara, **Angka sangat sementara

Sumber : Badan Pusat Statistik (2012)

Selain mempunyai kontribusi yang paling besar dibandingkan lapangan

usaha pertanian yang lainnya, pengaruhnya terhadap perekonomian di Indonesia

juga ditunjukkan dari fluktuasi harga dan pasokan yang secara cepat memengaruhi

harga-harga komoditi lainnya. Hal ini menjadikan komoditi pangan strategis

termasuk dalam komoditi yang menyumbang inflasi seperti yang terlihat pada

Tabel 2 yang menunjukan kelompok bahan makanan padi-padian dan kacang-

kacangan mempunyai nilai inflasi yang cukup besar.

Tabel 2 Inflasi tahunan di Indonesia, 2009-2012 (dalam %)

No Kelompok / Subkelompok 2009 2010 2011 2012 (TW I)

Umum 2.78 6.96 3.79 0.88

1 Bahan makanan 3.88 15.64 3.64 0.77

Padi-padian, umbi-umbian, dan hasilnya 6.34 26.91 10.56 2.74

Daging dan hasilnya 4.23 7.55 4.46 0.41

Ikan segar 0.90 3.37 7.00 3.24

Ikan diawetkan 3.12 3.18 8.66 2.32

Telur, susu, dan hasilnya 0.17 4.44 5.21 1.63

Sayur-sayuran 1.59 19.82 4.61 -1.62

Kacang-kacangan -0.80 5.07 5.67 0.25

Buah-buahan 10.25 9.95 0.65 -0.47

Bumbu-bumbuan 14.97 48.98 -23.98 -7.83

Lemak dan minyak -3.52 9.01 5.57 2.33

Bahan makanan lainnya 3.20 5.49 7.04 1.46

2 Makanan jadi, minuman, rokok, & tembakau 7.81 6.96 4.51 1.46

3 Perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 1.83 4.08 3.47 1.02

4 Sandang 6.00 6.51 7.57 1.29

5 Kesehatan 3.89 2.19 4.26 0.81

6 Pendidikan, rekreasi, dan olahraga 3.89 3.29 5.16 0.30

7 Transpor, komunikasi, dan jasa keuangan -3.67 2.69 1.92 0.40

Sumber : BPS, diolah Pusdatin (2012)

4

Pengaruh yang ditimbulkan dari komoditi pangan strategis yang lainnya

yaitu komoditas yang menguras belanja pengeluaran negara. Pengeluaran negara

dapat dilihat dari nilai impor komoditi. Berdasarkan Tabel 3, beberapa subsektor

pertanian, subsektor tanaman pangan memiliki nilai neraca defisit terbesar

dibandingkan subsektor lain. Hal ini menunjukan bahwa nilai impor tanaman

pangan lebih besar dari nilai ekspor, sehingga pemerintah harus mengeluarkan

devisa lebih besar pada subsektor tanaman pangan.

Tabel 3 Ekspor dan impor pertanian Indonesia menurut sub sektor, 2009-2012

(dalam US$ 000)

No Subsektor 2008 2009 2010 2011

1 Tanaman pangan

Ekspor 812.330 786.627 934.321 807.265

Impor 7.414.295 7.788.215 10.209.752 15.363.009

Neraca -6.601.965 -7.001.588 -9.275.431 -14.555.744

2 Hortikultura

Ekspor 524.485 447.609 5.289 1.127.428

Impor 1.429.967 1.524.666 540.274 308.040

Neraca -905.482 -1.077.057 -534.985 819.388

3 Perkebunan

Ekspor 21.378.189 22.089.288 25.061.619 9.887.835

Impor 2.681.456 2.963.532 3.191.117 474.036

Neraca 18.696.733 19.125.756 21.870.502 9.413.799

4 Peternakan

Ekspor 635.304 42.076 48.181 16.170

Impor 1.065.235 406.227 538.615 386.443

Neraca -429.931 -364.151 -490.434 -370.273

Pertanian

Ekspor 23.350.308 23.365.600 26.049.410 11.838.698

Impor 12.590.953 12.682.640 14.479.758 16.531.528

Neraca 10.759.355 10.682.960 11.569.652 -4.692.830

Sumber : BPS, diolah Pusdatin (2012)

Sama seperti komoditas pertanian lainnya, pasokan komoditi pangan

strategis dipengaruhi oleh jumlah produksi. Jumlah komoditi yang tersedia tidak

selalu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jumlah produksi yang tersedia bisa

melebihi kebutuhan konsumsi masyarakat saat panen raya, tetapi jumlah produksi

yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Ketidakseimbangan antara

jumlah produksi dan konsumsi sering menjadi sumber permasalahan dalam pasar

beras, jagung, dan kedelai. Permasalahan yang muncul saat terjadi

ketidakseimbangan adalah adanya fluktuasi harga. Fluktuasi harga menjadi

permasalahan penting dalam perekonomian di Indonesia berkaitan dengan

pendapatan petani, dan harga yang harus dibayar oleh konsumen.

Data dari Kementrian Perdagangan (2012) pada Gambar 2 menunjukan

harga komoditi beras, jagung, dan kedelai yang hampir tidak berfluktuasi

dikarenakan adanya intervensi harga oleh pemerintah. Pemerintah memelihara

cadangan komoditi sehingga apabila harga naik, pemerintah dapat melakukan

operasi pasar, dan apabila harga turun, pemerintah dapat melakukan pembelian

dalam jumlah besar. Dengan cara tersebut maka harga komoditi pangan strategis

dapat distabilkan.

5

Gambar 2 Fluktuasi harga beras, jagung, dan kedelai September 2011–Maret 2013 Sumber: Kementrian Perdagangan (2012)

Kriteria-kriteria yang melekat pada komoditi pangan strategis yaitu beras,

jegung, dan kedelai merupakan komoditas strategis yang amat menentukan

keberhasilan untuk mewujudkan ketahanan pangan. Selain itu, ketiga komoditi

tersebut rentan dan rapuh terhadap gejolak pasar internasional. Salah satu cara

mengurangi dampak negatif gejolak pasar internasional adalah dengan

memproduksi sendiri atau swasembada.

Komoditas pangan strategis yang ditargetkan swasembada. Pemerintah

menargetkan peningkatan produksi dari tahun 2011 hingga tahun 2014 sebesar

16% untuk beras, 64% untuk jagung, dan lebih dari 200% untuk kedelai. Adapun

operasionalisasi swasembada pangan pada berbagai tingkat pemerintahan di

Indonesia yaitu pada tingkat nasional dilakukannya swasembada pada komoditas

pangan strategis, pada tingkat propinsi, kabupaten atau kota dan desa dengan

melakukan pemanfaatan potensi lokal dan pada tingkat masyarakat dilakukannya

peningkatan kemampuan fisik, sosial, politik, dan ekonomi (BKP-Kementrian

Pertanian 2009).

Ketercapaian swasembada dapat dilihat dari sisi produksi dan konsumsi. Hal

ini dikarenakan produksi dan konsumsi merupakan suatu kegiatan yang tidak

hanya melihat dari sisi jumlah, tetapi melihat kegiatan apa yang dapat

memengaruhi ketercapaian target swasembada. Analisis produksi dan konsumsi

komoditi strategis tersebut sangat penting untuk melihat senjang (gap) yang

terjadi, sehingga dapat diperoleh informasi dan dapat dijadikan sebagai bahan

pertimbangan dalam mengambil langkah kebijakan serta kegiatan yang tepat bagi

pemerintah.

Perumusan Masalah

Pada dasarnya, permasalahan dalam pengadaan pangan nasional dapat

ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi produksi yang berkaitan dengan pengadaan pangan

nasional akan semakin kompleks dan sulit. Permasalahan pangan nasional dipilah

menjadi permasalahan yang berkaitan dengan sumberdaya alam, sumberdaya

manusia, sumberdaya kapital, sarana dan prasarana, teknologi, serta sistem

insentif. Sementara itu dari sisi konsumsi beras dan bahan pangan lainnya

0

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3

2011 2012 2013

Harg

a R

p/K

g

Beras

Jagung

Kedelai

6

diproyeksikan akan terus meningkat dari tahun ke tahun, peningatan konsumsi

bahan pangan ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk Indonesia

(Sholahuddin 2009).

Pemenuhan kebutuhan akan pangan bisa dipenuhi lewat dua cara, yakni

melalui produksi domestik dan impor. Berbagai pihak di dalam negeri berharap

pangan bisa dipenuhi lewat produksi domestik (swasembada), dan impor hanya

dilakukan jika produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan

konsumsi. Pemenuhan kebutuhan pangan dari produksi komoditi pangan strategis

padi, jagung, dan kedelai domestik dewasa ini menemui banyak tantangan.

Tantangan utama adalah produktivitas secara nasional telah mengalami

penurunan. Selain itu, tingginya tingkat konversi lahan mengurangi secara

signifikan lahan potensial untuk produksi ketiga komoditi tersebut merupakan

tantangan yang masih belum bisa dikendalikan oleh pemerintah.

Kementrian Pertanian merencanakan akan merevisi roadmap swasembada

pangan. Hal ini dikarenakan menurut Suswono (2012), target swasembada pangan

pemerintah sulit tercapai. Sepanjang tahun 2012 impor beras sudah mencapai 1.95

juta ton, jagung sebanyak 2 juta ton, kedelai sebanyak 1.9 juta ton, gula sebanyak

3.06 juta ton, dan teh sebesar 11 juta dollar3. Keadaan ini memperlihatkan bahwa

Indonesia masih mengalami krisis pangan karena masih mengimpor komoditi

pangan dari luar negeri. Pemerintah menargetkan Indonesia harus sudah mencapai

swasembada beras, kedelai, jagung, gula dan daging sapi pada tahun 2014. Tabel

4 memperlihatkan roadmap pengembangan produksi komoditas pangan strategis

tahun 2010 sampai tahun 2014.

Tabel 4 Roadmap pengembangan produksi komoditas pangan strategis, 2010-

2014

Komoditas Tahun

2010 2011 2012 2013 2014

Beras

Luas tanam (ribu ha) 13.520 13,850 14.023 14.593 15.306

Luas panen (ribu ha) 13.270 13.402 13.538 14.088 14.776

Produktivitas (kw/ha) 48.38 49.05 50.10 51.15 51.82

Produksi (ribu ton) 37.222 36.959 38.131 40.514 43.046

Jagung

Luas tanam (ribu ha) 4.412 4.632 4.850 5.000 5.263

Luas panen (ribu ha) 4.200 4.400 4.600 4.800 5.000

Produktivitas (kw/ha) 47.14 50.00 52.17 54.17 58.00

Produksi (ribu ton) 19.800 22.000 24.000 26.000 29.000

Kedelai

Luas tanam (ribu ha) 920 1.088 1.312 1.538 1.830

Luas panen (ribu ha) 874 1.036 1.250 1.465 1.742

Produktivitas (kw/ha) 14.90 15.05 15.20 15.35 15.50

Produksi (ribu ton) 1.300 1.560 1.900 2.250 2.700

Sumber : Kementrian Pertanian (2012)

Dengan menganalisis Tabel 5 yang menunjukkan perkembangan luas panen,

produktivitas, dan produksi komoditi pangan strategis dengan roadmap

pengembangan produksi komoditi pangan strategis, maka dapat ketahui bahwa

3 Kompas. 2012. Surplus Beras Berbasis Impor [Internet]. [ diunduh 2013 Maret 27]. Tersedia

pada: http://www.kompas.com.

7

produksi dari tahun 2010 sampai tahun 2012 di bawah target yang telah

ditetapkan. Di samping itu, roadmap produksi yang telah dibuat dari tahun 2010

sampai tahun 2014 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini dirasakan

tidak mungkin tercapai karena produksi riil dari setiap komoditi kurang dari

target, terutama produksi kedelai yang dari tahun 2010 sampai tahun 2012

mengalami penurunan produksi.

Tabel 5 Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi komoditas pangan

strategis, 2010-2012

Komoditas Realisasi Senjang Realisasi dan Target

2010 2011 2012 2010 2011 2012

Beras

Luas panen ( ribu ha) 13.253 13.204 13.472 13.240 13.190 13.458

Produktivitas (kw/ha) 50.15 49.80 50.38 1.77 0.75 0.28

Produksi (ribu ton) 37.369 36.968 38.767 37.332 36.931 38.729

Jagung

Luas panen (ribu ha) 4.132 3.865 3.967 4.128 3.861 3.962

Produktivitas (kw/ha) 44.36 45.65 47.39 -2.78 -4.35 -4.78

Produksi (ribu ton) 16.248 15.641 16.810 16.228 15.619 16.786

Kedelai

Luas panen (ribu ha) 661 622 566 660 621 565

Produktivitas (kw/ha) 13.73 13.68 13.76 -1.17 -1.37 -1.44

Produksi (ribu ton) 907 851 783 906 849 781

Sumber : Kementrian Pertanian, diolah (2013)

Target produksi beras pada 2012 adalah 38.131 ribu ton dari produksi beras

riil yang sebesar 38.767 ribu ton, sehingga pemerintah tidak perlu khawatir

dengan target produksi beras tahun 2014 mendatang. Namun, hal tersebut belum

tentu dapat mencapai target Kementan yang menargetkan surplus beras 10 juta

ton. Selisih antara jagung dan kedelai dari target awal (tahun 2010) sampai tahun

2012 masih menunjukkan nilai negatif. Di sisi lain, Indonesia optimis bahwa

target produksi jagung 29.000 ribu ton per tahun akan tercapai pada tahun 2014

sehingga Indonesia bisa menjadi negara eksportir jagung. Namun untuk tahun

2012, target sebesar 24.000 ribu ton memang belum bisa tercapai karena produksi

hanya mencapai 16.810 ribu ton dikarenakan jumlah produksi jagung masih

terpengaruh anomali cuaca tahun lalu. Sedangkan target produksi swasembada

kedelai tahun 2014 harus mencapai 2.700 ribu ton. Hal tersebut dirasa tidak

realistis mengingat senjang produksi dan target mencapai 1.117 ribu ton pada

tahun 2012.

Pada tahun 2012 pencapaian target swasembada beras telah mencapai

85.88%, pencapaian jagung sebesar 57.96%, dan pencapaian swasembada kedelai

hanya mencapai 29% (Tabel 6). Produksi komoditas strategis seperti padi, jagung,

dan kedelai secara umum telah mencapai 85% dari target di tahun 2012. Untuk

mencapai target swasembada, maka diperlukan upaya peningkatan produksi

dengan berbagai strategi. Hal yang lebih penting adalah bahwa ketergantungan

impor yang terus menerus kepada negara-negara pengekspor utama beras, jagung,

dan kedelai akan merugikan posisi ekonomi Indonesia sendiri. Impor diduga akan

menurunkan harga sehingga dikhawatirkan pada akhirnya akan membuat petani

merugi dan menghentikan produksi serta mengalihkan sumber daya yang

dimilikinya untuk produksi komoditi lain.

8

Tabel 6 Target perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi komoditas

pangan strategis, 2010-2014

Komoditas Target Target (%)

2012-2013 2012-2014 2012-2013 2012-2014

Beras Luas panen (Ha) -505 -1 304 -3.58 -8.83

Produktivitas (Kw/Ha) -0.77 -1.44 -1.51 -2.78

Produksi (Ton) -1 747 -4 279 -4.31 -9.94

Jagung

Luas panen (Ha) -833 -1 033 -17.35 -20.66

Produktivitas (Kw/Ha) -6.78 -10.61 -12.52 -18.29

Produksi (Ton) -9 190 -12 190 -35.35 -42.04

Kedelai

Luas panen (Ha) -899 -1 176 -61.37 -67.51

Produktivitas (Kw/Ha) -1.59 -1.74 -10.36 -11.23

Produksi (Ton) -1 467 -1 917 -65.20 -71.00

Sumber : Kementrian Pertanian, diolah (2013)

Dengan demikian yang menjadi pertanyaan adalah apakah produksi

komoditi pangan strategis dapat ditingkatkan dan apakah swasembada komoditi

pangan strategis seperti yang diinginkan akan tercapai secara berkelanjutan.

Sedangkan masih banyak faktor-faktor yang belum mendukung dalam pencapaian

swasembada komoditi pangan strategis. Selain itu, faktor lain yang tidak

mendukung yaitu faktor perubahan iklim, anomali iklim saat ini semakin tinggi

intensitasnya. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang ingin dijawab dalam

penelitian ini, antara lain :

1. Bagaimana proyeksi jumlah produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis

di Indonesia sampai tahun 2014?

2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi produksi dan konsumsi komoditi

pangan strategis di Indonesia, serta implikasinya terhadap swasembada

komoditi pangan strategis di Indonesia?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Memproyeksikan produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis di

Indonesia sampai tahun 2014.

2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan konsumsi

komoditi pangan strategis di Indonesia serta implikasinya terhadap

swasembada komoditi pangan strategis di Indonesia.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk :

1. Bagi pemerintah, semoga dapat memberikan informasi tambahan dalam

menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan di masa yang akan datang

dalam upaya peningkatan produksi komoditi pangan strategis.

9

2. Bagi pembaca, tulisan ini semoga bermanfaat sebagai refrensi, penyedia

informasi, literatur, dan bahan melakukan penelitian lanjutan.

3. Bagi penulis sendiri, diharapkan penelitian ini dapat menambah pengalaman

dan pengembangan wawasan serta dapat dijadikan sebagai aplikasi nyata dari

ilmu yang telah didapat selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis produksi dan konsumsi

komoditi pangan strategis di Indonesia yang terdiri dari beras, jagung, dan kedelai

serta implikasinya terhadap swasembada nasional. Komoditi beras, jagung, dan

kedelai dalam penelitian ini adalah beras, jagung, dan kedelai secara umum bukan

dengan jenis atau kualitas tertentu.

Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan, namun tujuan penelitian

ini masih bisa dicapai dengan memanfaatkan data yang ada. Adapun keterbatasan

dari penelitian ini diantaranya: beberapa faktor seperti adanya kebijakan dan

nonkebijakan yang berkaitan dengan komoditi beras, jagung, dan kedelai di

Indonesia diasumsikan sama (cateris paribus) dan data yang digunakan adalah

data tahunan sehingga model yang dirumuskan tidak menggambarkan fluktuasi

harga bulanan dan musiman.

10

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan diuraikan secara ringkas mengenai pengidentifikasian

komoditi strategis serta pembahasan beberapa studi ataupun penelitian yang telah

dilakukan para peneliti terdahulu, baik yang menyangkut aspek produksi,

konsumsi, model peramalan, faktor-faktor yang memengaruhi, maupun pangan

dan pertanian. Selain itu, juga akan dapat diketahui pendekatan apa saja yang

digunakan para peneliti terdahulu dalam mempelajari fenomena swasembada,

serta kelebihan dan kelemahan pendekatan yang digunakan. Uraian dan bahasan

tersebut akan menjadi masukan bagi pengembangan kerangka pemikiran dan

penyusunan model dalam penelitian ini.

Komoditi Pangan Strategis

Indonesia memelopori proposal Special Products pada perundingan

multilateral dalam naungan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Special

Products yang dimaksud adalah sejumlah komoditas strategis yang penting untuk

hajat hidup orang banyak, baik dari segi lapangan kerja, maupun jaminan

perolehan pangan yang cukup, perlindungan, dan dinamisasi kehidupan desa

secara berkelanjutan, serta pertahanan dan stabilitas sosial-politik yang

sesungguhnya merupakan tujuan utama pembangunan pertanian, dikecualikan dari

agenda perundingan lanjutan liberalisasi dan deregulasi perdagangan produk

pertanian.

Menurut Simatumpang (2004), ada 6 indikator dan kriteria obyektif sebagai

penciri produk strategis antara lain persentase pangsa dalam nilai total produksi

pertanian domestik (peranan dalam perekonomian desa), persentase pangsa dalam

penyediaan zat gizi, kalori, dan protein (peranan dalam ketahanan pangan),

persentase pangsa dalam total serapan tenaga kerja sektor pertanian (peranan

dalam pengentasan kemiskinan atau kehidupan penduduk), ketergantungan

terhadap impor (kerentanan), insiden banjir impor (kerapuhan), serta tren

pertumbuhan (keberlanjutan). Berdasarkan indikator dan kriteria kuantitatif-

obyektif, komoditi beras, jagung, dan kedelai merupakan komoditas strategis

dalam subsektor tanaman pangan yang amat menentukan keberhasilan dinamisasi

perekonomian desa, memantapkan ketahanan pangan, serta mengentaskan

kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk, sehingga dapat

mewujudkan tujuan utama pembangunan pertanian. Selain itu, ketiga komoditas

tersebut rentan dan rapuh terhadap gejolak pasar internasional. Oleh karena itu,

ketiga komoditas tersebut layak dijadikan sebagai komoditas pangan strategis bagi

Indonesia.

Indonesia menetapkan target strategis dalam rangka mewujudkan ketahanan

pangan berkelanjutan yaitu dengan mencapai swasembada pangan di tahun 2014

untuk komoditas strategis seperti padi, jagung, kedelai, gula, dan daging. Sampai

Oktober 2012, pemerintah telah mendorong produksi beras, jagung, dan kedelai

11

secara umum telah mencapai 85% dari target di tahun 20124. Untuk mencapai

target tersebut, Indonesia telah menerapkan revitalisasi pertanian di 7 daerah baik

ada aspek tanah, benih dan bibit, fasilitas pendukung, sumber daya manusia,

petani pembiayaan, lembaga petani, dan teknologi serta industri hilir. Hal ini

mendapat apresiasi dari FAO (Food and Agriculture Organization) karena

langkah-langkah Indonesia menghadapi krisis pangan akibat kekeringan panjang

di beberapa negara penghasil pangan dunia.

Syarat Tumbuh Tanaman Komoditi Pangan Strategis

Tanaman komoditi pangan strategis yang terdiri dari padi, jagung, dan

kedelai hampir memiliki kesamaan tumbuh yang sama. Tanaman padi dan jagung

mudah beradaptasi dengan lingkungan terutama daerah tropis. Berbeda dengan

tanaman kedelai yang pada umumnya kurang cocok di tanam di daerah tropis.

Ketiga tanaman tersebut akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik bila

syarat-syarat tumbuh terpenuhi. Faktor iklim dan tanah merupakan faktor yang

paling dominan bagi syarat tumbuh tanaman.

Syarat Tumbuh Tanaman Padi

1. Iklim

Tanaman padi dapat hidup dengan baik di daerah yang berhawa panas dan

banyak mengandung uap air. Dengan kata lain, padi dapat hidup baik di daerah

beriklim panas yang lembab. Suhu yang panas merupakan temperatur yang sesuai

bagi tanaman padi, misalnya daerah tropis. Tanaman padi membutuhkan curah

hujan yang baik, rata-rata 200 mm/bulan atau lebih, dengan distribusi selama 4

bulan. Sedangkan curah hujan yang dikehendaki per tahun sekitar 1.500-2.000

mm. Curah hujan yang baik akan membawa dampak positif dalam pengairan,

sehingga genangan air yang diperlukan tanaman padi di sawah dapat tercukupi.

Tanaman padi dapat tumbuh dengan baik pada suhu 23 0C ke atas, sedangkan di

indonesia pengaruh suhu tidak terasa, sebab suhunya hampir konstan sepanjang

tahun. Adapun salah satu pengaruh suhu terhadap tanaman padi yaitu kehampaan

pada biji. Daerah antara 0-650 meter dengan suhu antara 26.5-22.5 0C termasuk

96% dari luas tanah di Jawa, cocok untuk tanaman padi. Daerah antara 650-1.500

meter dengan suhu antara 22.5-18.7 0C masih cocok untuk tanaman padi (AAK

2003).

Musim berhubungan erat dengan hujan yang berperan di dalam penyediaan

air, dan hujan dapat berpengaruh terhadap pembentukan buah sehingga sering

terjadi bahwa penanaman padi pada musim kemarau mendapatkan hasil yang

lebih tinggi daripada penanaman padi pada musim hujan, dengan catatan apabila

pengairan baik. Pada musim kemarau, peristiwa peyerbukan dan pembuahan tidak

terganggu oleh hujan, sehingga persentase terjadinya buah lebih besar, dan

produksi menjadi lebih baik. Namun yang perlu diperhatikan ialah adanya

4

Kompas. 2012. Pemerintah Targetkan Indonesia Capai Swasembada Pangan Tahun 2014

[Internet]. [diunduh 2013 April 27]. Tersedia pada: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/

2012/10/28/09154127/Pemerintah.Targetkan.Indonesia.Capai.Swasembada.Pangan.Tahun.2014.

12

pengairan untuk kebutuhan hidup tanaman padi. Sedangkan pada musim hujan

terjadi sebaliknya, proses penyerbukan dan pembuahan sangat terganggu, sebab

membukanya bunga padi juga terganggu, maka produksi pada musim hujan relatif

lebih rendah walaupun pengairan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya (AAK

2003).

2. Tanah

Tanah merupakan bagian dari permukaan bumi yang dapat digunakan

sebagai tempat tumbuh suatu tanaman, sebab pada tanah terkandung zat-zat

makanan yang diperlukan oleh tanaman untuk pertumbuhan dan

perkembangannya. Apabila pada tanah hanya tersedia makanan dalam jumlah

kecil atau tidak ada sama sekali, akibatnya pertumbuhan tanaman tidak normal,

seperti kerdil, merana, dan tidak bisa berproduksi. Di samping itu tanah berperan

sebagai tempat tegaknya tanaman dan tempat penyediaan udara, sehingga akar

bisa bernafas.

Di Pulau Jawa, padi dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang ketebalan

lapisan atasnya antara 18-22 cm, terutama tanah muda dengan pH antara 4-7.

Sedangkan lapisan olah tanah sawah, menurut IRRI ialah dengan kedalaman

18cm. Pada lapisan tanah atas untuk pertanian pada umumnya mempunyai

ketebalan antara 10-30 cm dengan warna tanah coklat sampai kehitam-hitaman,

tanah tersebut gembur. Tanah tersusun dari beberapa macam bahan, sehingga

terdapat rongga-rongga halus dalam tanah yang disebut pori-pori tanah berisi air

dan udara. Sedangkan kandungan air dan udara di dalam pori-pori tanah masing-

masing 25% (AAK 2003).

Syarat Tumbuh Tanaman Jagung

1. Iklim

Menurut Warisno (2004), suhu atau temperatur yang dikehendaki tanaman

jagung adalah antara 21-30 0C. Akan tetapi, untuk pertumbuhan yang baik bagi

tanaman jagung, suhu yang optimum adalah 23-27 0C. Suhu yang terlalu tinggi

dan kelembapan yang rendah akan dapat mengganggu proses persarian. Suhu

yang rendah (sekitar 15 0C) akan mengakibatkan perkecambahan tertunda

sehingga muncul di atas tanah lebih dari tujuh hari. Suhu sekitar 25 0C akan

mengakibatkan perkecambahan biji jagung lebih cepat, yaitu kurang dari tujuh

hari. Suhu yang tinggi (lebih dari 40 0C) akan mengakibatkan kerusakan embrio

sehingga tanaman tidak jadi kekecambah.

Jagung memerlukan air memerlukan air yang cukup untuk pertumbuhan,

terutama pada saat berbunga dan pengisian biji. Setelah biji jagung berkecambah,

diharapkan hujan tidak terlalu banyak. Semakin bertambah umur tanaman, curah

hujan diharapkan semakin banyak dan semakin meningkat sampai semua daun

mencapai ukuran penuh. Pada saat keluar malai, kebutuhan air paling banyak,

setelah itu, hujan diharapkan berkurang sampai tak ada hujan. Untuk mudahnya

curah hujan yang normal untuk pertumbuhan tanaman jagung yang ideal adalah

sekitar 85-100 mm/bulan atau 1.000-1.200 mm per tahun, dan yang paling penting

adalah distribusinya pada setiap tahap pertumbuhan.

Dari hasil penelitian Warisno (2004) juga menjelaskan bahwa intensitas

cahaya yang tinggi baik untuk pertumbuhan tanaman jagung. Intensitas cahaya

13

yang rendah (di bawah naungan misalnya) akan berakibat tanaman jagung tumbuh

memanjang (tinggi), tongkolnya ringan, dan bijinya kurang berisi. Jagung dapat

ditanam di dataran rendah sampai dataran tinggi (daerah pegunungan) yang

memiliki ketiggian sekitar 1.000 m atau lebih dari permukaan air laut (dpl).

Umumnya jagung yang ditanam di daerah ketinggian kurang dari 800 m dpl akan

memberikan hasil yang tinggi. Dan anehnya, jagung yang di tanamn di tanah

dengan ketinggian antara 800-1.200 m dari permukaan air laut juga masih bisa

berproduksi dengan baik.

Keadaan tinggi tempat erat kaitannya dengan suhu udara, kelembapan, dan

intensitas penyinaran matahari. Semuanya itu akan saling mempengaruhi terhadap

keadaan fisiologis tanaman jagung. Setiap kenaikan 100, suhu akan turun sekitar

setengah sampai satu derajat celcius. Suhu dan intensitas cahaya mempengaruhi

proses fotosintesis.

2. Tanah

Jagung tidak begitu memerlukan persyaratan tanah yang khusus, hampir

semua jenis tanah dapat ditanami. Akan tetapi jagung yang ditanam pada tanah

yang gembur, subur, dan kaya akan humus dapat memberikan hasil yang baik.

Tanah yang mengandung bahan organik cukup banyak akan membuat tanaman

jagung dapat tumbuh dengan baik asalkan ph-nya sesuai. Tanah yang paling baik

untuk ditanami jagung hibrida adalah tanah lempung berdebu, lempung berpasir,

atau lempung. Derajat keasaman tanah (pH) yang paling baik untuk tanaman

jagung adalah ph 5.5-7.0. Pada pH netral, unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh

tanaman jagung banyak tersedia di dalamnya (Warisno 2004).

Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai

1. Iklim

Di indonesia kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran

rendah sampai ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (dpl). Meskipun

demikian telah banyak varietas kedelai dalam negeri ataupun kedelai introduksi

yang dapat beradaptasi dengan baik di dataran tinggi (pegunungan) ±1.200 m dpl.

Hasil penelitian balai penelitian tanaman pangan menunjukkan bahwa varietas

orba dan galunggung mempunyai adaptasi yang luas sehingga dapat ditanam pada

ketinggian ±1.100 m dpl. Demikian pula uji coba pengembangan varietas kedelai

edamane dan kedelai hitam (koramame) pada umumnya cocok ditanam di dataran

tinggi antara 1.000-1.200 m dpl.

Di sentra penanaman kedelai di indonesia pada umumnya kondisi iklim

yang paling cocok adalah daerah-daerah yang mempunyai suhu antara 25-27 0C,

kelembapan udara (rH) rata-rata 65%, penyinaran matahari 12 jam/hari atau

minimal 10 jam/hari, dan curah hujan paling optimum antara 100-200 mm/bulan.

Varietas kedelai yang unggul untuk suatu daerah belum tentu menunjukkan

keunggulan yang sama di daerah lain, karena faktor perbedaan iklim, tofografi,

dan cara tanam. Dari berbagai nara sumber dan bacaan terdapat petunjuk, bahwa

varietas kedelai yang berbiji kecil cenderung lebih cocok ditanam di dataran

rendah. Sebaliknya, varietas kedelai yang berbiji besar lebih cocok ditanam di

dataran tinggi (Rukmana dan Yunarsih 2001).

14

2. Tanah

Tanaman kedelai menurut Rukmana dan Yunarsih (2001) mempunyai daya

adaptasi yang luas terhadap berbagai jenis tanah. Berdasarkan kesesuaian jenis

tanah untuk pertanian, maka tanaman kedelai cocok ditanam pada jenis tanah

aluvial, regosol, grumosol, latosol, dan andosol. Hal yang penting diperhatikan

dalam pemilihan lokasi atau lahan untuk penanaman kedelai adalah tata air

(drainase) dan tata udara (aerasi) tanahnya baik, bebas dari kandungan atau wabah

nematoda, dan reaksi tanah (pH) 5.0-7.0. Pada tanah yang asam (di bawah pH 5.0)

perlu dilakukan pengapuran (liming) dengan kapur pertanian.

Kebijakan Pangan dan Ketahanan Pangan

Kebijakan pangan meliputi (1) Kebijakan pangan fokus pada pangan,

khususnya makanan pokok yg esensial bagi kelangsungan hidup manusia; (2)

Kebijakan pangan mencakup juga kecukupan konsumsi pangan dari populasi

suatu negara, tidak hanya sekedar produksi pangan; (3) Kebijakan pangan

mencakup koreksi ketidakseimbangan antara ketersediaan pangan dan kapasitas

masyarakat yang berbeda dlm mengakses pangan; dan (4) Kebijakan pangan

memandang masalah kemiskinan dan ketidakseimbangan pendapatan dari risiko

yang mereka hadapi dalam penyebaran kurang gizi dan kelaparan di berbagai

sektor masyarakat.

Tahun 1970-an, negara berkembang mengalami kekurangan pangan,

sehingga tujuan utamanya adalah swasembada pangan. Hal tersebut dikarenakan

masyarakat tidak seharusnya kelaparan karena ketidakcukupan supply pangan,

kasus kelaparan tersebut biasanya karena tidak memiliki kontrol yang cukup atau

akses terhadap pangan. Adanya kasus kelaparan tersebut mengakibatkan setiap

negara mengembangkan pendekatan terpadu terhadap masalah pangan dan nutrisi:

ketahanan pangan (food security)5.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, Pasal 1 Ayat 17

menyatakan bahwa: “ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan

rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah

maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Ketahanan pangan adalah

terpenuhinya pangan, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun kesesuaian

dengan sosio kultur, dapat dijangkau secara fisik maupun ekonomi, dan

dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan individu, setiap waktu, untuk sehat,

tumbuh dan produktif. Unsur utama dari ketahanan pangan adalah ketersediaan

pangan yang cukup, distribusi yang menjamin setiap individu dapat mengakses,

serta mengkonsumsi yang menjamin setiap individu memperoleh asupan zat gizi

dengan jumlah dan keseimbangan yang cukup. Menurut Arifin (2005) dan

Sholahuddin (2009), pengkajian aspek keseimbangan dalam ketahanan pangan

menekankan pada 3 dimensi penting, yaitu:

1. Ketersediaan dan kecukupan pangan juga mencakup kuantitas dan kualitas

bahan pangan agar setiap individu dapat terpenuhi standar kebutuhan kalori

5 Harianto. 2013. Kebijakan Pangan dan Ketahanan Pangan (Food Policy and Food Security).

[diunduh 2013 Maret 25]. Tersedia pada: Handout mata kuliah pembangunan dan politik

agribisnis

15

dan energi untuk menjalankan aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari,

melalui:

a. Produksi sendiri dengan cara memanfaatkan dan alokasi sumberdaya

alam, manajemen dan pengembangan sumberdaya manusia serta aplikasi

dan penguasaan teknologi yang optimal.

b. Impor dari negara lain asal tidak terlalu berlebihan dan dibenarkan oleh

peraturan yang berlaku atau tidak dalam keadaan larangan impor dengan

menjaga cadangan devisa negara dari sektor pereknomian untuk

menjamin kesehatan neraca keseimbangan.

2. Aksesibilitas masyarakat terhadap pangan dapat dijelaskan misalnya dengan

proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan merupakan salah

satu indikator ketahanan pangan di tingkat rumah tangga tersebut. Semakin

besar pangsa pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan, semakin

rendah ketahanan pangan rumah tangga yang bersangkutan.

3. Stabilitas harga pangan menjadi salah satu hal yang penting dalam ketahanan

pangan karena dapat menimbulkan konsekuensi ekonomi, politik, dan sosial

kemasyarakatan yang berat. Negara berkembang,termasuk Indonesia

umumnya melakukan intervensi kebijakan untuk menjaga atau mengurangi

tingkat fluktuasi harga agar tidak terlalu besar.

Menurut Sholahuddin (2009) konsep ketahanan pangan merupakan realitas

yang harus dicapai oleh bangsa Indonesia. Salah satu agenda penting untuk

meningkatkan ketahanan pangan saat ini adalah mengurangi impor pangan

strategis, mencegah penyelundupan dan memacu ekspor pangan yang memiliki

keunggulan kompetitif, serta melakukan diversifikasi pangan. Di samping itu,

swasembada harus terus diperjuangkan karena ketergantungan impor pangan

strategis dapat membahayakan stabilitas nasional dan pemerintah harus

melakukan proteksi pada komoditi pangan strategis. Dengan demikian, usaha

pencapaian swasembada dan peningkatan ketahanan pangan menjadi salah satu

fokus pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling

mendasar, kualitas pangan yang dikonsumsi akan menentukan kualitas

sumberdaya manusia suatu bangsa, keterkaitan pangan ke depan dan ke belakang.

Swasembada Pangan

Ketersediaan pangan memiliki 2 sisi, yaitu sisi pasokan pangan dan sisi

kebutuhan pangan penduduk. Pada sisi pasokan, ketersediaan pangan terkait

dengan kapasitas produksi dan perdagangan (impor/ekspor) pangan. tergantung

pada kapasitas produksi yang dimilikinya, sumber pasokan pangan suatu negara

dapat bersumber dari produksi domestik, impor atau kombinasi produksi domestik

dan impor. Kapasitas produksi pangan merupakan fungsi gabungan serangkaian

faktor, meliputi: luas lahan, agroklimat, infrastruktur, dan teknologi. Semakin

besar kapasitas produksi pangan yang dimiliki semakin kecil ketergantungannya

pada sumber impor atau bahkan tidak bergantung sama sekali (swasembada).

Ketersediaan pangan dapat dicapai salah satunya dengan swasembada (Self-

sufficiency) dilakukan untuk menghindari ketergantungan pada pasar pangan

dunia yang tidak stabil dan tidak bisa diprediksi. Swasembada dapat diartikan

16

sebagai kemampuan untuk memenuhi segala kebutuhan pangan. Pangan bahan-

bahan makanan yang di dalamnya terdapat hasil pertanian, perkebuban, dan lain-

lain. Jadi swasembada pangan adalah keadaan dimana suatu negara dapat

memenuhi tingkat permintaan akan suatu bahan makanan sendiri tanpa perlu

melakukan impor dari pihak luar. Swasembada domestik butuh biaya tinggi dan

metode yang inefisien dalam mencapai ketahanan pangan dari sisi produksi.

Swasembada bukan merupakan syarat perlu dan syarat cukup dalam ketahanan

pangan. Suatu negara tidak harus dalam kondisi swasembada pangan, karena

impor bisa menutupi perbedaan produksi dan konsumsi dalam negeri.

Swasembada belum menunjukkan kondisi cukup, karena walaupun

berswasembada bisa terdapat kondisi tidak yang tidak tahan pangan, dikarenakan

kurangnya control atau akses terhadap pangan. The ASEAN Food Security

Information and Training Center menyarankan rasio cadangan pangan terhadap

kebutuhan domestik minimal sebesar 20% untuk menstabilkan ketersediaan

pangan sepanjang tahun6.

Dalam pertumbuhan ekonomi nasional sangat tinggi, ketahanan pangan

mempunyai pengaruh yang erat pada ketahanan nasional. Menurut Sholahuddin

(2009) sisi pasokan atau produksi, fokus upaya pencapaian swasembada dan

ketahanan pangan dilaksanakan dalam bentuk:

1. Peningkatan produksi beras untuk meraih kembali swasembada beras secara

nasional

2. Peningkatan produksi komoditas palawija, khususnya jagung dan kedelai guna

mendukung pengembangan insdustri pakan domestik dan pengolahan pangan

sumber protein nabati.

3. Peningkatan produksi perikanan, peternakan dan hortikultura utama untuk

meningkatkan keanekaragaman, keseimbangan dan kualitas konsumsi pangan

dan gizi masyarakat.

Hampir semua pemerintah di dunia, baik di negara berkembang maupun

negara maju, selalu melakukan kontrol dan intervensi terhadap komoditas pangan

strategis seperti beras untuk ketahanan pangan dan stabilitas politik.

Model-model Peramalan Time Series Komoditi Strategis

Pada dasarnya metode peramalan diklasifikasikan menjadi model kuantitatif

(objektif) dan model kualitatif (subjektif). Prosedur peramalan kualitatif

melibatkan pengalaman, judgements maupun opini dari sekelompok orang yang

pakar di bidangnya. Sedangkan model kuantitatif melibatkan analisis statistik

terhadap data-data yang lalu (Firdaus 2011). Evaluasi dan peramalan masa depan

swasembada beras dapat dilakukan dengan perhitungan nilai penduga parameter

setiap persamaan dalam suatu model ekonometrika (Mulyana 1998). Keterkaitan

permintaan, penawaran, dan harga beras dapat dirumuskan dengan model dinamis

dalam bentuk persamaan simultan. Daya prediksi model ekonometrika penawaran

dan permintaan beras dalam penelitian ini telah diuji dengan suatu simulasi dasar

untuk periode sampel pengamatan tahun 1984-1996. Serupa dengan penelitian

6

Budastra, I Ketut. 2010. Ketahanan Pangan [Internet]. [2014 Januari 25]. Tersedia pada:

http://inspirasi tabloid.wordpress.com/2010/04/30/ketahanan-pangan”/

17

Mulyana, pada kajian mengenai produksi dan konsumsi beras terhadap

swasembada yang dilakukan oleh Hessie (2009), penggunaan model persamaan

simultan ekonometrika dapat menjelaskan perkembangan produksi dan konsumsi

beras di Indonesia dari tahun ke tahun yang berfluktuasi dengan kecenderungan

mengalami peningkatan tiap tahunnya. Hasil proyeksi produksi dan konsumsi

beras di Indonesia tahun 2009-2013 menunjukan bahwa Indonesia defisit beras

hingga tahun 2010 dan surplus beras terjadi pada tahun 2011 sehingga

swasembada beras Indonesia dapat tercapai.

Penggunaan model-model peramalan meliputi 2 langkah, yaitu analisis deret

data dan seleksi model peramalan yang paling cocok dengan deret data tersebut.

Pada beberapa studi terdahulu menggunakan metode time series, model yang

sering dipakai adalah naive, average, trend, smoothing, exponential, dekomposisi,

ARIMA, SARIMA. Melihat keadaan perkedelaian saat ini, Yuwanita (2006)

mencoba meramalkan beberapa tahun ke depan produksi dan konsumsi kedelai

dengan berbagai model peramalan time series untuk mendapatkan model

peramalan terbaik. Hasil penelitiannya menunjukkan model terbaik untuk

meramalkan produksi dan konsumsi kedelai adalah model ARIMA.

Berbeda dengan Yuwanita, Aldillah (2006) yang meneliti tentang peramalan

permintaan dan penawaran jagung nasional. Mereka berpendapat bahwa model

ARIMA mempunyai tingkat keakuratan yang lebih tinggi dari model-model

peramalan time series lainnya. Menurut Hanke (2003), metodologi Box-Jenkins

mengacu pada himpunan prosedur untuk mengidentifikasikan, mencocokan, dan

memeriksa model ARIMA dengan data deret waktu. Peramalan mengikuti

langsung dari bentuk model disesuaikan. Sehingga dengan konsep inilah

penggunaan ARIMA lebih tepat digunakan untuk data dalam penelitian ini

dibandingkan dengan teknik peramalan lainnya (Hanke 2003). Dari hasil

peramalan menunjukan bahwa permintaan jagung selalu melebihi penawaran,

maka kondisi neraca jagung nasional selalu mengalami defisit hingga tahun 2015.

Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Aldillah, Maretha (2008) yang

meneliti mengenai produksi dan konsumsi kedelai nasional, hanya menggunakan

model ramalan ARIMA untuk ramalan produksi dan konsumsi kedelai. Penelitian

Yuwanita dan Maretha mengenai analisis kedelai menunjukan hasil yang sama,

yaitu Indonesia akan mencapai swasembada kedelai pada tahun 2015 karena nilai

produksi (skenario) lebih besar daripada nilai hasil prediksi konsumsi.

Dari beberapa model peramalan yang telah digunakan dalam penelitian di

atas, penelitian ini akan mencoba menggunakan seluruh model peramalan time

series. Alasan menggunakan keseluruhan model mulai dari model naive, model

trend, model rata-rata, model penghalusan, model dekomposisi, dan model

ARIMA dimaksudkan untuk melihat model terbaik yang nantinya akan digunakan

untuk meramal. Penentuan model terbaik dilihat dari nilai mean square error

(MSE) terkecil apabila dibandingkan dengan model lainnya.

Tinjauan Faktor-faktor yang Memengaruhi Komoditi Pertanian

Menurut Lipsey et al. (1986), penawaran suatu komoditi menunjukkan

jumlah komoditas yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu

18

pasar pada tingkat harga tertentu. Beberapa faktor yang memengaruhi penawaran

suatu komoditas adalah harga komoditas yang bersangkutan, harga faktor

produksi, tingkat teknologi, pajak dan subsidi. Ambarinanti (2007) menunjukkan

bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia terdiri dari luas

areal panen padi Indonesia, harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan.

Al-Mudatsir (2009) menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi luas areal

panen kacang kedelai yaitu harga kacang kedelai, harga jagung, harga kacang

tanah, luas areal teririgasi, dan luas areal panen sebelumnya. Sedangkan faktor

yang mempengaruhi produktivitas adalah harga pupuk, upah buruh, dan

produktivitas tahun sebelumnya. Hasil penelitian Purnamasari (2006) menunjukan

luas areal panen tanaman kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga riil kedelai

domestik, harga riil jagung, dan luas areal panen tahun sebelumnya, dimana

respon luas areal panen elastis terhadap perubahan harga riil kedelai domestik dan

harga riil jagung dalam jangka panjang. Sedangkan Produktivitas tanaman kedelai

dipengaruhi oleh curah hujan, harga riil jagung, dan produktivitas tahun

sebelumnya.

Timor (2008) menunjukan bahwa peningkatan produksi jagung di Indonesia

disebabkan oleh peningkatan luas areal dan produktivitas jagung. Luas areal

mengalami peningkatan secara fluktuatif dan terkonsentrasi di Pulau Jawa,

disamping itu terjadi pergeseran dari lahan kering ke lahan sawah beririgasi pada

musim kemarau. Produktivitas jagung di Indonesia masih relatif rendah karena

sistem usaha tani belum optimal, yaitu sebagian besar petani masih menggunakan

benih varietas jagung lokal, penggunaan pupuk yang belum berimbang, dan masih

terbatasnya penggunaan pestisida untuk pengendalian hama.

Permintaan merupakan jumlah suatu komoditi yang ingin dibeli oleh

konsumen rumah tangga (Lipsey et al. 1986). Hal ini berbeda dengan faktor-

faktor yang berpengauh terhadap penawaran, menurut Jumini (2008) dalam

penelitiannya menjelaskan bahwa ada empat variabel yang berpengaruh nyata

terhadap permintaan bawang putih impor ke Indonesia, yaitu harga bawang putih

lokal, konsumsi bawang putih lokal, produksi bawang putih dalam negeri, dan

harga bawang putih impor. Sedangkan Priyanti (2012) diketahui bahwa faktor-

faktor yang memengaruhi permintaan rumah tangga terhadap cabai merah yaitu

jumlah anggota keluarga, harga beli, pendapatan rumah tangga, frekuensi

pembelian, tempat pembelian, dan suku.

Berdasarkan penelitian Ambarinanti (2007), Al-Mudatsir (2009)

Purnamasari (2006), dan Timor (2008), menunjukkan bahwa hasil signifikansi

atau faktor-faktor yang memengaruhi produksi beberapa komoditi pangan seperti

beras, kedelai, dan jagung akan dijadikan sebagai dasar dalam merumuskan

strategi atau kebijakan pengembangan komoditi pertanian tersebut. Sedangkan

menurut Jumini (2008) dan Priyanti (2012) yang melakukan penelitian mengenai

faktor-fakor yang memengaruhi permintaan komoditi bawang putih dan cabai

merah, hasil signifikansi akan dijadikan acuan untuk menyusun kebijakan dalam

menjaga keseimbangan atau menjaga stabilitas kuantitas pasokan, seperti:

pengaturan waktu budidaya, peneapan harga minimal dan maksimal.

19

KERANGKA PEMIKIRAN

Dalam bab ini akan dikemukakan kerangka pendekatan untuk menganalisis

dan menjawab permasalahan peramalan produksi dan konsumsi komoditi strategis

dalam rangka pencapaian swasembada seperti yang telah dirumuskan pada

pendahuluan, yaitu mengenai konsep hubungan atau keterkaitan di antara

produksi, konsumsi, dan peramalan. Untuk mengetahui hubungan kuantitatif dari

kerangka pendekatan tersebut, akan diuraikan pula beberapa teori rumusan

fungsional yang relevan dengan masing-masing komponen tersebut.

Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis yang digunakan dalam penelitian ini berasal

dari penelusuran teori yang relevan dengan permasalahan yang menjadi topik

kajian ini, yaitu konsep produksi, konsep konsumsi, dan konsep peramalan.

Adapun kerangka pemikiran teoritis yang digunakan dalam penelitian ini akan

dijelaskan pada subbab berikut ini.

Konsep Produksi

Lipsey et al. (1986) mengatakan bahwa produksi adalah tindakan dalam

membuat komoditi, baik berupa barang maupun jasa. Dalam pertanian, proses

produksi begitu kompleks dan terus menerus berubah seiring dengan kemajuan

teknologi. Secara umum produksi diartikan sebagai setiap kegiatan atau usaha

manusia untuk menghasilkan atau menciptakan, menambah nilai guna suatu

barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Tidak ada produk yang

dihasilkan dengan menggunakan satu input. Dalam produksi banyak digunakan

input-input untuk menghasilkan output.

Fungsi produksi merupakan hubungan kuantitatif antara masukan dan

produksi. Masukan seperti pupuk, tanah, tenaga kerja, modal, dan ikim yang

mempengaruhi besar kecilnya produksi yang diperoleh. Tidak semua masukan

yang dipakai untuk dianalisis, hal ini tergantung dari penting tidaknya pengaruh

masukan itu terhadap produksi. Jika bentuk fungsi produksi diketahui, maka

informasi harga dan biaya yang dikorbankan dapat dimanfaatkan untuk

menentukan kombinasi masukan yang terbaik. Ada banyak hubungan input-output

dalam pertanian karena tingkat dimana input diubah menjadi output akan berbeda-

beda diantara tipe tanah, hewan, teknologi, curah hujan dan faktor lainnya. Tiap

hubungan input output menggambarkan kuantitas dan kualitas dari sumberdaya

yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk tertentu. Lipsey et al. (1986) juga

mengatakan bahwa fungsi produksi adalah hubungan fungsi yang memperlihatkan

output maksimum yang dapat diproduksi oleh setiap input dan oleh kombinasi

berbagai input.

Sebuah fungsi produksi dapat digambarkan dalam cara yang berbeda; dalam

bentuk tertulis, menyebutkan dan menggambarkan tiap input yang berhubungan

dengan output; dengan membuat daftar input dan hasil output secara numerik

20

dalam tabel; dalam bentuk grafik atau diagram; dan dalam bentuk persamaan

aljabar. Hubungan antara input dan output ini dapat diformulasikan oleh sebuah

fungsi produksi, yang dalam bentuk matematis bisa ditulis: Q = f(K,L), dimana Q

mewakili tingkat Output yang dihasilkan selama suatu periode tertentu, K

mewakili barang modal, dan L mewakili tenaga kerja. Simbol f menggambarkan

bentuk hubungan dari perubahan input menjadi output. Hubungan fisik antara

faktor produksi dengan produksi dapat digambarkan dalam suatu proses produksi

seperti Gambar 3.

Gambar 3 Kurva PT, PR, dan PM Sumber: Nicholson (1998)

Keterangan : X : Hasil produksi a : PM maksimum

Y : Faktor produksi b : PR maksimum

PT : Produk total c : MP = 0

PR : Produk rata-rata

PM : Produk Marjinal

Proses alokasi faktor produksi yang efisien dapat dianalisis melalui Gambar

3 yang menunjukkan 3 tahap penting dari gerakan perubahan nilai produk total,

yaitu:

1. Tahap I, sampai pada saat kondisi produk rata-rata maksimum. Sering disebut

sebagai daerah rasional atau kenaikan hasil yang selalu bertambah. Pada tahap

ini keuntungan maksimum belum tercapai karena produksi masih dapat

ditingkatkan dengan pemakaian faktor produksi yang lebih banyak, dengan

asumsi cukup tersedia faktor produksi.

2. Tahap II, antara produk rata-rata sampai saat produk marjinal sama dengan 0.

Tahap ini juga sering disebut sebagai daerah rasional atau kenaikan hasil tetap.

Y

X 0

a

Y

X 0

PT

c b

Tahap

I

PR

PM

Tahap

II

Tahap

III

21

Pada tahap ini keuntungan maksimum akan tercapai karena faktor produksi

telah digunakan secara maksimum.

3. Tahap III, saat produk marjinal sudah bernilai kurang dari 0. Tahap III

merupakan daerah irrasional atau kenaikan hasil negatif. Pada tahap ini

menggambarkan bahwa pemakaian faktor produksi sudah tidak efisien.

Nicholson (1998) menyatakan bahwa fungsi produksi memeperlihatkan

jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan

kombinasi alternatif antara modal (K) dan Tenaga kerja (L). Fungsi produksi

dapat digambar dalam 2 dimensi, yaitu dengan menggunakan map isoquant.

Sebuah isoquant berarti catatan penggunaan kombinasi input-input yang

menghasilkan output yang sama. Pada kurva Q, penggunaan kombinasi input

antara modal (K) dan Tenaga kerja (L) berbeda-beda tetapi menghasilkan output

yang sama. Semakin kurva isoquant bergeser ke kanan (dari Q1 ke Q2 ke Q3),

maka kombinasi penggunaan input (K dan L) semakin meningkat.

Gambar 4 Map isoquant Sumber: Nicholson (1998)

Konsep Konsumsi

Secara umum konsumsi diartikan sebagai setiap kegiatan memkai,

menggunakan atau menikmati barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan.

Penentuan pengeluaran atau belanja konsumen sangat penting dalam analisis

tingkat Output perekonomian suatu negara. Pengeluaran atau belanja konsumen

sebagian besar ditentukan oleh penghasilan pribadi, perkiraan konsumen terhadap

masa depan, kekayaan, dan tingkat harga. Konsumsi tidak mungkin dilakukan

oleh kebanyakan individu yang tidak mempunyai penghasilan dari pekerjaan atau

melalui transfer dari pemerintah atau dunia bisnis, maka penghasilan pribadi

menjadi hal penting dari variabel-variabel konsumsi (Salvatore 2009). Perubahan

pendapatan disposabel berhubungan erat dengan perubahan konsumsi per kapita.

Konsumsi tidak terlalu bereaksi terhadap gejolak pendapatan jangka pendek,

sebaliknya gejolak pendapatan jangka panjang mempengaruhi perubahan

konsumsi (Hill 2008).

Konsumsi, terutama konsumsi rumah tangga memiliki porsi (sekitar 70%)

terbesar dalam total pengeluaran agregat (Hill 2008; Rahardja 2008). Konsumsi

merupakan sejumlah barang yang digunakan lagsung oleh masyarakat untuk

memenuhi kebutuhannya. Konsumsi pada saat ini hampir bisa diprediksi dengan

sempurna dari konsumsi periode sebelumnya ditambah sedikit pertumbuhan.

K

L 0

Q1

Q2 Q3

22

Teori konsumsi modern memprediksi bahwa kenaikan pajak kontemporer, yang

kemudian akan menurunkan pendapatan disposabel, akan memiliki sedikit

dampak pada konsumsi dan oleh karenanya sedikit dampak pula pada permintaan

agregat.

Teori Keynesian awal, menyatakan bahwa konsumsi pendapatan sekarang

bergerak dalam pola yang sama tanpa berusaha memisahkan antara perubahan

pendapatan sementara dengan perubahan tetap. Keynes membuat dugaan-dugaan

tentang fungsi konsumsi berdasarkan introspeksi dan observasi kausal. Dalam

Mankiw (2003), 3 dugaan-dugaan Keynes tersebut antara lain:

1. Kecenderungan menkonsumsi marjinal, yaitu jumlah yang dikonsumsi dari

setiap dolar tambahan adalah antara nol dan satu.

2. Rasio konsumsi terhadap pendapatan disebut kecenderungan mengkonsumsi

rata-rata turun ketika pendapatan naik.

3. Pendapatan merupakan determinan konsumsi yang penting dan tingkat bunga

tidak memiliki peran penting.

Berdasarkan 3 dugaan tersebut, fungsi konsumsi Keynes ditulis sebagai

berikut: C = C0 + cY, C0 > 0, 0 < c < 1,

Dimana C adalah konsumsi, Y adalah pendapatan disposabel, C0 adalah

konstanta, dan c adalah kecenderungan mengkonsumsi marjinal. Fungsi konsumsi

adalah hubungan antara konsumsi dengan pendapatan disposabel, dan

menganggap konstan faktor-faktor penentu konsumsi yang lain yang bukan

berasal dari penghasilan. Fungsi konsumsi berasumsi bahwa perilaku konsumsi

individu pada periode tertentu berhubungan dengan pendapatan pada periode

tersebut. Perubahan faktor-faktor penentu konsumsi yang bukan berasal dari

penghasilan mengubah pula hubungan antara konsumsi dengan pendapatan

disposabel.

Banyak faktor yang memengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah

tangga. Menurut Rahardja (2008), faktor-faktor yang dapat memengaruhi tingkat

konsumsi antara lain:

1. Faktor-faktor ekonomi

Berdasarkan faktor-faktor ekonomi, ada beberapa hal yang menentukan

tingkat konsumsi, yaitu pendapatan rumah tangga, kekayaan rumah tangga,

jumlah barang konsumsi tahan lama dalam masyarakat, tingkat bunga, perkiraan

tentang masa depan, dan kebijakan pemerintah mengurangi ketimpangan

distribusi pendapatan.

2. Faktor-faktor demografi atau kependudukan

Yang mencakup dalam faktor-faktor kependudukan adalah jumlah

penduduk dan komposisi penduduk. Dilihat dari jumlah penduduk yang banyak

akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun

pengeluaran rata-rata per orang atau per keluarga relatif rendah. Pengaruh

komposisi penduduk terhadap peningkatan konsumsi apabila makin banyak

penduduk yang berusia kerja atau usia produktif, semakin tinggi tingkat

pendidikan masyarakat, dan makin banyak penduduk yang tinggal diperkotaan.

3. Faktor-faktor nonekonomi

Faktor-faktor nonekonomi yang paling berpengaruh terhadap besarnya

konsumsi adalah faktor sosial budaya masyarakat. Perubahan pola kebiasaan

23

makan, perubahan etika, dan tata nilai karena ingin meniru kelompok masyarakat

lain yang dianggap ideal akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi masyarakat.

Konsep Peramalan

Peramalan merupakan kegiatan untuk memerkirakan apa yang akan terjadi.

Peramalan dapat menjadi alat bantu yang penting dalam perencanaan yang efektif

dan efisien serta bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan pengambilan

keputusan manajemen (Makridakis et al. 1999). Peramalan penting dalam

berbagai situasi perencanaan dan pengambilan keputusan. Ramalan-ramalan yang

terutama sangat berguna adalah tentang faktor-faktor perekonomian yang dapat

berfungsi sebagai latar belakang bagi semua perencanaan dan pengambilan

keputusan yang berlangsung dalam berbagai fungsi yang biasanya disebut sebagai

skenario dasar perekonomian yang dipergunakan dalam penganggaran dan

perencanaan lainnya. Perubahan yang diproyeksikan dalam harga, biaya, tingkat

pertumbuhan, dan sebagainya merupakan unsur-unsur penting dalam asumsi

bersama. Menurut Makridakis (1999), persyaratan data untuk berbagai metode

peramalan meliputi:

1. Data digunakan untuk menentukan pola perilaku beberapa variabel yang

didasarkan pada pengamatan historis

2. Data yang digunakan untuk menyediakan nilai yang akan datang dari variabel

bebas yang termasuk dalam suatu model kausal.

Sedangkan Hanke (2003) mengatakan bahwa bagian tersulit dan cukup

memakan waktu adalah tahap mengumpulkan data yang baik dan dapat

diandalkan, karena salah satu faktor yang mempengaruhi keakuratan suatu

ramalan adalah data yang digunakan. Berikut merupakan kriteria data yang baik:

1. Data hendaknya dapat diandalkan (reliable) dan akurat. Penanganan yang

sesuai harus dilakukan pada data yang dikumpulkan dari sumber-andal

dengan memperhatikan keakuratannya

2. Data hendaknya relevan. Data harus mewakili keadaan dimana data tersebut

digunakan.

3. Data hendaknya konsisten. Ketika data yang berkaitan dengan definisi

berubah, penyesuaian perlu dilakukan untuk memepertahankan konsistensi

pola historis.

4. Data hendaknya tepat waktu. Data yang dikumpulkan, dirangkum, dan

dipublikasikan berdasarkan ketepatan waktu akan memberikan nilai tertinggi

bagi forecaster.

Umumnya, ada dua jenis data yang digunakan dalam peramalan. Pertama

adalah data yang dikumpulkan dari satu titik waktu (jam, hari, minggu, bulan, dan

triwulan) yaitu data cross section. Data ini dikumpulkan dari periode yang sama.

Tujuannya adalah untuk menelaah suatu data dan mengekstrapolasi atau

memperluas hubungan yang ada pada populasi yang besar. Kedua adalah data

yang dikumpulkan, dicatat, atau diamati dari rangkaian waktu tahapan waktu yaitu

data time series (deret waktu). Pada bagan klasifikasi metode peramalan yang

digunakan untuk menyusun perencanaan dan pengambilan keputusan, mencakup:

24

1. Model peramalan time series (naive, average, trend, smoothing, exponential,

dekomposisi, ARIMA, SARIMA, ARCH/GARCH)

2. Model kausal

3. Model peramalan kualitatif

Gambar 5 Klasifikasi metode peramalan Sumber: Makridakis (1999)

Kerangka Pemikiran Operasional

Komoditi pangan strategis merupakan komoditi yang banyak dikonsumsi

dan diproduksi di Indonesia. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan masalah

yang sangat serius. Konsumsi pangan di Indonesia semakin meningkat terutama

dengan pertambahan jumlah penduduk. Namun, produksi pangan terutama

komoditas pangan strategis seperti beras, jagung, dan kedelai hingga saat ini

belum bisa memenuhi kebutuhan nasional yang besar dan selalu meningkat.

Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi mengakibatkan kebutuhan pangan

menjadi sangat besar pula. Sebagian pengadaan bahan pangan, khususnya untuk

komoditi yang dapat dibudidayakan dengan baik di Indonesia, misalnya beras dan

jagung hingga kini masih diusahakan. Perkembangan produksi beras, jagung, dan

kedelai dapat dilihat juga dari perkembangan luas areal tanam dan produksi. Hal

ini disebabkan penerapan teknologi dan efisiensi usahatani yang masih rendah.

Meskipun setiap tahunnya produksi komoditi strategis ini mengalami

peningkatan, tetapi belum dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk

Indonesia.

Desakan pemenuhan kebutuhan komoditi beras, jagung, dan kedelai serta

rendahnya produktivitas komoditi pangan strategis menyebabkan pemerintah

mengambil kebijakan impor dibandingkan meningkatkan produksi domestik.

Namun saat ini pemerintah berupaya untuk menargetkan swasembada dan

swasembada berkelanjutan komoditi pangan strategis pada tahun 2014. Melihat

keadaan komoditas pangan strategis bagi Indonesia saat ini, maka dibutuhkan

proyeksi produksi dan konsumsi komoditas strategis nasional hingga tahun 2014.

Proyeksi tersebut dapat dijadikan infornasi ketercapaian target swasembada

pemerintah sehingga dapat dilihat pula apakah terjadi surplus atau defisit. Setelah

melihat ketimpangan antara volume produksi dan konsumsi, langkah selanjutnya

adalah mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat memengaruhi produksi dan

konsumsi tersebut.

Model Peramalan

Model Peramalan Objektif Model Peramalan Subjektif

(Judgmental)

Model Time Series Naive Eksponential Smoothing

Trend Dekomposisi

Average Model ARIMA

Model Kausal Simple Regression

Multiple Regression

Structural Models

25

Ketidaksesuaian antara jumlah produksi dan konsumsi ini dapat berasal dari

fluktuasinya jumlah produksi dan konsumsi. Masing-masing jumlah produksi dan

konsumsi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berbeda-beda. Misalnya jumlah

konsumsi komoditi pangan strategis dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga

komoditi tersebut, produksi dunia, dan Gross Domestic Product (GDP). Variabel-

variabel tersebut dipilih dengan alasan: (1) Jumlah penduduk merupakan faktor

yang memegang penanan sangat penting dalam peingkatan dan penurunan

konsumsi; (2) Harga komoditi merupakan faktor yang sering kali dijadikan

pertimbangan oleh konsumen dalam membeli suatu komoditi; (3) Produksi dunia

secara umum dijadikan indikator oleh penduduk suatu negara untuk menambah

atau mengurangi konsumsinya terhadap suatu komoditi; dan (4) GDP

mencerminkan kemakmuran penduduk, dengan kemakmuran tersebut penduduk

dapat mengkonsumsi suatu komoditi lebih banyak.

Sedangkan variabel yang digunakan dalam analisis jumlah produksi yaitu

luas areal, curah hujan, anggaran litbang, dan jumlah varietas unggul. Hal ini

disebabkan karena dalam fungsi produksi merupakan hubungan kuantitatif antara

masukan dan produksi, seperti tanah, modal, dan ikim yang mempengaruhi besar

kecilnya produksi yang diperoleh. Selain itu, hubungan input-output dalam

pertanian karena tingkat dimana variabel- variabel yang dipakai (input) diubah

menjadi hasil produksi (output) akan berbeda-beda diantara tipe tanah, teknologi,

curah hujan dan faktor lainnya. Pemilihan variabel-variabel tersebut berdasarkan:

(1) Luas areal panen dijadikan indikator penting dalam fungsi produksi dan

merupakan faktor vital dari produksi pertanian, karena tidak mungkin ada hasil

produksi tanpa menanam suatu komoditi pada lahan; (2) Curah hujan merupakan

salah satu input dalam pertanian komoditi pangan strategis yang menupakan

komoditi biologi (makhluk hidup); (3) Anggaran litbang dipakai dalam model

karena merupakan implementasi kebijakan pemerintah secara kuantitatif; dan (4)

Jumlah varietas unggul menggambarkan perkembangan teknologi yang

berpengaruh pada produktivitas dan volume produksi komoditi pangan strategis.

Dari berbagai faktor yang diduga memengaruhi jumlah produksi dan

konsumsi, tentunya tidak semua faktor memberikan pengaruhnya secara

signifikan. Oleh karena itu, pengkajian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang

memengaruhi jumlah produksi dan konsumsi penting untuk dilakukan. Hal ini

agar dapat diketahui secara pasti faktor apa yang memengaruhi produksi dan

konsumsi secara signifikan dan seberapa besar pengaruh yang diberikan. Produksi

dan konsumsi komoditi pangan strategis dalam kajian ini akan dianalisis

menggunakan data produksi dan konsumsi yang menggambarkan produksi dan

konsumsi komoditi strategis.

Adanya permasalahan produksi lokal tidak mencukupi kebutuhan dalam

negeri, akibatnya impor terus meningkat. Permasalahan tersebut merupakan

sebuah tantangan dan peluang untuk meningkatkan produksi di masa yang akan

datang dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki serta meminimalisir

kelemahan yang ada saat ini bagi semua pihak baik kalangan praktisi, akademis

maupun pemerintah. Oleh sebab itu, untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan

mengurangi volume impor komoditi perlu adanya kemandirian pangan atau

swasembada komoditi pangan strategis. Hal inilah yang mendasari bagaimana

hubungan antara metode peramalan dan metode peramalan kausal yang digunakan

dalam penelitian ini dengan implikasi pencapaian swasembada nasional. Lebih

26

lanjutnya dari analisis tersebut dapat diambil strategi sebagai implikasi kebijakan

yang akan direkomendasikan agar peningkatan swasembada komoditi pangan

strategis dapat tercapai.

Gambar 6 Bagan alur kerangka pemikiran operasional

Pendugaan faktor-faktor yang

memengaruhi produksi dan konsumsi

komoditi pangan strategis

(Metode Kausal)

Implikasi Kebijakan

Faktor-faktor yang

memengaruhi:

Jumlah Penduduk

Harga Komoditi

Produksi Dunia

GDP

Konsumsi Produksi Swasembada Komoditi

Pangan Strategis

Kedelai Beras Jagung

Komoditi Pangan Strategis banyak dikonsumsi dan diproduksi di Indonesia

Konsumsi komoditi pangan strategis lebih besar daripada produksi

Masalah kerawanan pangan dan ketahanan pangan

Faktor-faktor yang

memengaruhi:

Luas areal

Curah hujan

Anggaran Litbang

Jumlah Varietas Unggul

Perkembangan dan proyeksi produksi dan

konsumsi komoditi pangan strategis (Metode Peramalan Time Series)

27

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan dengan mengambil data dari Badan Pusat Statistik

(BPS), Kementrian Pertanian, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

(BMKG), Badan Litbang Pertanian yang berlokasi di Jakarta. Waktu penelitian

dilakukan pada bulan Mei sampai September 2013.

Jenis dan Sumber Data

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang

berbentuk data time series tahunan antara tahun 1970-2012. Semua data diperoleh

dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementrian Pertanian, Badan Meteorologi

Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Litbang Pertanian serta literatur-

literatur dan situs-situs yang terkait dengan penelitian ini yang menyediakan

kebutuhan data yang diperlukan dalam penelitian. Adapun data-data yang

dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data-data yang digunakan dalam analisis

peramalan serta analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi

komoditi pangan strategis di Indonesia, antara lain:

Tabel 7 Data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian

Data yang digunakan Tahun Sumber data

Produksi beras 1970-2012 BPS dan Ditjen Tanaman Pangan

Produksi jagung 1970-2012 BPS

Produksi kedelai 1970-2012 Ditjen Tanaman Pangan Kementan

Konsumsi beras 1970-2012 Susenas BPS, diolah Pusdatin

Konsumsi jagung 1970-2012 Susenas BPS

Konsumsi kedelai 1970-2012 Kementrian Pertanian

Luas panen padi 1980-2012 BPS dan Ditjen Tanaman Pangan

Luas panen jagung 1980-2012 BPS

Luas panen kedelai 1980-2012 Ditjen Tanaman Pangan Kementan

Curah hujan 1980-2012 BMKG

Anggaran Litbang 1980-2012 Badan Litbang Pertanian

Jumlah varietas unggul padi 1980-2012 Badan Litbang Pertanian

Jumlah varietas unggul jagung 1980-2012 Badan Litbang Pertanian

Jumlah varietas unggul kedelai 1980-2012 Badan Litbang Pertanian

Jumlah penduduk Indonesia 1980-2012 BPS

Harga beras 1980-2012 Kemendag diolah Pusdatin Kementan

Harga jagung 1980-2012 BPS

Harga kedelai 1980-2012 BPS dan Kemendag, diolah Pusdatin

Produksi dunia beras 1980-2012 FAO

Produksi dunia jagung 1980-2012 FAO

Produksi dunia kedelai 1980-2012 FAO

PDB 1980-2012 BPS

28

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis deskriptif digunakan untuk memberi gambaran produksi dan

konsumsi komoditi pangan strategis yang menyangkut proyeksi swasembada pada

tahun 2014. Selain itu juga dapat digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang

memengaruhi produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis tersebut. Proyeksi

produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis dalam penelitian ini dianalisis

dengan analisis peramalan model time series. Regresi berganda digunakan untuk

mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh nyata dalam produksi dan

konsumsi komoditi pangan strategis di Indonesia. Pengolahan data dalam

penelitian ini menggunakan software Microsoft Excel dan Minitab 14.

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel merupakan segala sesuatu yang hendak dijadikan sebagai objek

pengamatan sebuah penelitian atau fenomena yang menjadi perhatian di dalam

penelitian yang diukur atau diobservasi. Agar variabel bisa dioperasionalkan

dalam sebuah penelitian, maka harus jelas pengukurannya. Variabel yang diamati

dalam penelitian ini merujuk pada literatur yang telah dibaca oleh penulis yaitu

variabel dependen dan variabel independen.

Variabel dependen (Y) atau variabel terikat adalah variabel yang nilainya

ditentukan oleh satu atau serangkaian nilai variabel lain. Variabel terikat dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Volume Produksi Beras (PB)

Volume produksi beras adalah jumlah total produksi beras nasional dengan

nilai konversi gabah kering giling (GKG) ke beras rata-rata nasional adalah

60%. Variabel PB diukur dalam satuan ribu ton.

2. Volume Produksi Jagung (PJ)

Volume produksi jagung adalah jumlah total produksi jagung nasional

dikurangi rata-rata jagung terecer, bibit, dan pakan sebesar 11.35% . Variabel

PJ diukur dalam satuan ribu ton

3. Volume Produksi Kedelai (PK)

Volume produksi kedelai adalah jumlah total produksi kedelai nasional.

Variabel PK diukur dalam satuan ribu ton.

4. Volume Konsumsi Beras (KB)

Volume konsumsi beras adalah perkalian antara konsumsi per kapita/tahun

dengan jumlah penduduk. Variabel KB diukur dalam satuan ribu ton.

5. Volume Konsumsi Jagung (KJ)

Konsumsi jagung yang dimaksud disini adalah konsumsi jagung basah berkulit

dan jagung pipilan kering. Volume konsumsi jagung adalah penjumlahan dari

konsumsi langsung (konsumsi rumah tangga) dan konsumsi tidak langsung

(permintaan industri). Variabel KJ diukur dalam satuan ribu ton.

6. Volume Konsumsi Kedelai (KK)

Konsumsi kedelai terdiri dari konsumsi langsung dan tidak langsung.

Konsumsi tidak langsung adalah olahan biji kedelai seperti tempe, tahu,

oncom, dan kecap. Volume konsumsi kedelai adalah penjumlahan dari

29

konsumsi langsung dan konsumsi tidak langsung per kapita/tahun dengan

jumlah penduduk. Variabel KK diukur dalam satuan ribu ton.

Variabel independen (X) atau variabel bebas adalah variabel yang nilainya

tidak dipengaruhi oleh perilaku variabel lain dan memiliki serangkaian nilai

tertentu. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Luas Panen

Dalam penelitian ini luas panen yang digunakan adalah luas areal tanam

seluruh lahan pertanian padi (LB), jagung (LJ), dan kedelai (LK) di Indonesia,

diukur dalam satuan ribu hektar.

2. Curah hujan (CH)

Iklim merupakan syarat tumbuh tanaman padi, jagung, dan kedelai. Variabel

ini didekati dengan tingkat curah hujan rata-rata setiap daerah di Indonesia

dalam periode waktu 1 tahun dan diukur dalam satuan millimeter per tahun.

3. Anggaran Litbang (AL)

Kebijakan pemerintah direfleksikan dalam jumlah dan proporsi anggaran

pemerintah yang dialokasikan untuk sektor pertanian per tahun khususnya

subsektor tanaman pangan, diukur dalam juta Rupiah.

4. Varietas Unggul

Dalam penelitian ini variabel yang digunakan untuk melihat teknologi didekati

dengan variabel varietas unggul padi (VB), jagung (VJ), dan kedelai (VK)

yang ditemukan setiap tahun. Diukur dalam satuan tanaman.

5. Jumlah Penduduk (JP)

Demografi dan kependudukan merupakan salah satu faktor yang menentukan

konsumsi masyarakat. Variabel ini didekati dengan jumlah penduduk yang

dinyatakan dalam ribu jiwa.

6. Harga Riil

Harga riil beras (HB), jagung (HJ), dan kedelai (HK) didekati dengan harga

rata-rata beras, jagung, dan kedelai di tingat konsumen. dinyatakan dalam

satuan Rupiah per kilogram.

7. Produksi Dunia

Selera didekati dengan produksi dunia komoditi beras (PDB), jagung (PDJ),

dan kedelai (PDK). Dinyatakan dalam satuan ribu ton.

8. Gross Domestic Product (GDP)

Variabel ekonomi didekati dengan Gross Domestic Product dinyatakan dalam

satuan triliun Rupiah.

Analisis Peramalan Model Time Series

Pengolahan data produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis

menggunakan model time series. Pengolahan data dengan menggunakan

peramalan time series dimaksudkan untuk mendapatkan model peramalan terbaik

sehingga dapat memproyeksikan produksi dan konsumsi komoditi pangan

strategis di masa yang akan datang.

30

Penerapan Peramalan Model Time Series

Peramalan model time series merupakan metode peramalan kuantitatif.

Model dalam penelitian ini hanya membutuhkan data time series atau kuantitatif

dari variabel yang akan diramal yaitu data time series tahunan produksi dan

konsumsi komoditi pangan strategis.

1. Model Trend

Pada deret waktu bisnis dan ekonomi, trend dapat dilihat sebagai perubahan

halus sepanjang waktu. Trend dapat dinyatakan sebagai fungsi sederhana seperti

suatu garis lurus disepanjang periode deret waktu yang diobservasi.

2. Metode Dekomposisi

Dekomposisi adalah suatu teknik untuk memisahkan komponen data time

series. Analisis time series tersebut bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor

komponen yang memengaruhi setiap nilai pada deret. Komponen tersebut adalah

faktor trend (kecenderungan, siklus, dan musiman).

a. Metode Dekomposisi Aditif

Metode dekomposisi aditif merupakan model yang memperlakukan nilai-

nilai deret waktu sebagai jumlah dari komponen-komponen. Jika fluktuasi

musiman konstan, maka bentuk fungsional yang cocok adalah dekomposisi

aditif, yakni: Yt = Trt + Clt + Snt + εt.

b. Metode Dekomposisi Multiplikatif

Metode dekomposisi multiplikatif merupakan model yang memperlakukan

nilai-nilai deret waktu sebagai hasil dari komponen-komponen. Jika fluktuasi

musiman membesar secara proporsional terhadap trend, maka bentuk

fungsional yang cocok adalah dekomposisi multiplikatif, yakni:

Yt = Trt x Clt x Snt x εt.

3. Model Rata-rata

Model ini menggunakan suatu bentuk rata-rata tertimbang dari observasi

masa lalu dalam memuluskan fluktuasi jangka pendek. Asumsi model ini adalah

fluktuasi di masa lampau mewakili selisih acak dari suatu kurva yang mulus.

Dengan mengidentifikasi kurva, maka dapat diproyeksikan ke masa depan

sehingga menghasilkan suatu ramalan. Ada 2 model rata-rata bergerak, yaitu

model rata-rata sederhana dan model rata-rata bergerak. Dalam penelitian ini

model rata-rata yang digunakan adalah model rata-rata bergerak (moving

average).

Rata-rata bergerak dihitung dari rata-rata terkini, setiap pengamatan baru

yang tersedia, maka rata-rata baru dihitung dengan menambahkan nilai terkini dan

mengeluarkan nilai terlama. Rata-rata bergerak orde k merupakan nilai rata-rata

dari k pengamatan berurutan.

4. Model Pemulusan Eksponensial

Model pemulusan eksponensial merupakan teknik untuk mengupdate

koefisien model trend berdasar pengamatan terbaru. Model dengan prosedur yang

bekesinambungan merevisi ramalan berdasarkan pengamatan terkini. Model ini

berdasarkan rata-rata (pemulusan) nilai pengamatan yang lama secara menurun

(eksponensial).

31

a. Model Pemulusan Eksponensial Tunggal (Single Eksponential Smoothing)

Pemulusan eksponensial tunggal dengan tingkat respon yang disesuaikan

memiliki kelebihan dalam hal nilai α yang dapat berubah secara terkendali,

dengan adanya perubahan dalam pola datanya.

b. Model Holt (Double Eksponential Smoothing)

Model holt disebut juga sebagai model pemulusan eksponensial ganda.

Model holt memuluskan nilai trend (tingkatan) dan slope yang berbeda dari

parameter yang digunakan pada deret yang asli secara langsung dengan

menggunakan parameter (konstanta) pemulusan yang masing-masing berbeda.

Konstanta pemulusan ini menyediakan estimasi dari tingkatan dan slope yang

disesuaikan sepanjang waktu begitu observasi yang baru tersedia. Ramalan

dari model holt didapat dengan menggunakan dua konstanta pemulusan

(dengan nilai antara 0 dan 1) serta 3 persamaan:

Update Intercept

Update Slope

Peramalan c. Model Winters

Model winters didasarkan atas 3 persamaan pemulusan, yaitu satu untuk

unsur stasioner, satu untuk trend, dan satu untuk musiman. Model winters

merupakan pengembangan dari model holt yang dapat mengurangi galat

ramalan. Satu tambahan persamaan digunakan untuk estimasi musiman.

Model winters yang mengalihkan komponen trend dan musiman disebut

multiplikatif, sedangkan yang menambahkan komponen trend dan musiman

disebut additif. Berikut persamaan dasar untuk kedua model winters.

Pemulusan intersep Winters Multiplikatif

(

)

Winters Aditif

Pemulusan slope Winters Multiplikatif = Winters Aditif

Pemulusanomusiman Winters Multiplikatif

(

)

Winters Aditif

Peramalan Winters Multiplikatif = Winters Aditif

[ ] 5. Metode Box-Jenkins (Model ARIMA)

ARIMA dikembangkan oleh Box dan Jenkins sehingga disebut ARIMA

Box-Jenkins. Model ARIMA merupakan gabungan dari metode pengahalusan,

metode regresi, dan metode dekomposisi. Model ini digunakan bila data yang

tersedia dalam jumlah yang cukup besar sehingga membentuk runtut waktu yang

cukup panjang. Peramalan dengan menggunakan ARIMA dilakukan melalui lima

tahap, yaitu tahap pemeriksaan kestasioneran data, pengidentifikasian model,

pengestimasian parameter model, pengujian model, dan pengujuan model untuk

peramalan Hanke (2003).

32

Metode Box-Jenkins mengacu pada himpunan prosedur untuk

mengidentifikasikan, mencocokan dan memeriksa model ARIMA dengan data

deret waktu mengikuti langsung dari bentuk model disesuaikan (Hanke, 2003).

Metode Box Jenkins secara umum dengan menggunakan backward shift

operation dinotasikan sebagai berikut : ARIMA (p,d,q)=(1-B)d (1- Ǿ1 B- Ǿ 2B2-....-Ǿ p BP)P Yt =c+(1-ω1B- ω 2B2-...-ω qBq)εt

dimana : p = orde/derajat autoregressive (AR)

d = orde/derajat B Yt = Yt-1

q = orde/derajat B2Yt = Yt-2

εt = kesalahan ramalan periode ke-t BpYt = Yt-p

c = Konstanta Bq εt = εt -q

Secara umum notasi model ARIMA yang diperluas dengan memperhatikan

unsur musiman atau sering disebut dengan model SARIMA adalah sebagai

berikut: ARIMA (p,d,q) (P,D,Q)L dimana L adalah banyaknya periode dalam

setahun.

Hanke (2003) menjelaskan langkah-langkah peramalan dengan model

ARIMA yang sesuai Gambar 11. Tahapan dalam Model ARIMA, sebagai berikut:

a. Tahap 1 : Tahap penstasioneran data

Dilakukan dengan melihat plot data. Identik dengan model ARIMA,

apabila data belum stasioner maka perlu dilakukan pembedaan.

Penstasioneran data dilakukan dengan melakukan pembedaan regular.

Pembedaan regular: Zt = Yt – Yt-1.

b. Tahap 2 : Tahap identifikasi model sementara

Setelah data distasionerkan, tahap penting berikutnya dari identifikasi

adalah menentukan model ARIMA tentatif. Hal ini dilakukan dengan

menganalisis perilaku pola dari ACF dan PACF.

c. Tahap 3 : Tahap estimasi parameter dari model sementara

Setelah model ditemukan, maka parameter dari model harus diestimasi.

Terdapat dua cara yang mendasar dapat digunakan untuk pendugaan terhadap

parameter-parameter tersebut, yaitu:

1) Trial and error yaitu dengan menguji beberapa nilai yang berbeda dan

memilih diantaranya dengan syarat yang meminimumkan jumlah kuadrat

nilai galat (sum square of residuals)

2) Perbaikan secara iteratif yaitu dengan memilih taksiran awal dan

kemudian membiarkan program komputer untuk memperhalus panaksiran

tersebut secara iteratif. Metode ini lebih disukai dan telah tersedia suatu

logaritma (proses komputer).

d. Tahap 4 : Tahap diagnosa

Pemeriksaan model dilakukan dengan sistem trials and errors, dimana

nilai MSE yang dihasilkan dari berbagai macam kombinasi model ARIMA

dapat diperoleh, kemudian model ARIMA yang menghasilkan nilai MSE

terkecil dipilih, yang kemudian model ARIMA tersebut dapat digunakan hasil

peramalannya untuk memprediksi konsumsi dan produksi nasional.

e. Tahap 5 : Tahap peramalan

Model terbaik telah diperoleh, maka dapat dilakukan peramalan untuk

beberapa waktu ke depan. Evaluasi ulang terhadap model perlu dilakukan

karena kemungkinan pola data berubah.

33

Gambar 7 Diagram arus untuk strategi pembentukan Model Box-Jenkins Sumber: Hanke (2003)

Pemilihan Model Peramalan Time Series Terakurat

Tahap selanjutnya adalah pemilihan metode peramalan terbaik. Penilaian

terhadap akurasi hasil peramalan dapat dilakukan dengan mengamati besarnya

selisih nilai aktual pengamatan dengan nilai estimasi dari ramalan. Perbedaan

antara nilai aktual dengan nilai hasil ramalan disebut sebagai residual (error) atau

εt, dapat dirumuskan : εt= yt - ŷt dimana : εt = residual atau galat peramalan

yt = nilai deret waktu pada periode t

ŷt = nilai ramalan pada periode t

Dari nilai residual tersebut, secara umum bila residual besarnya merata

sepanjang pengamatan maka Mean Squared Error (MSE) yang digunakan.

Peramalan yang memiliki nilai MSE yang paling kecil, maka hasil ramalan

tersebut akan semakin mendekati nilai aktualnya atau semakin akurat (Hanke

2003 dan Firdaus 2011). Nilai MSE terkecil akan memberikan keakuratan

peramalan yang tinggi. Untuk itu, di dalam memilih metode peramalan yang

terbaik adalah dengan cara membandingkan nilai MSE dan kemudahan dalam

penerapan. Nilai MSE dirumuskan :

[∑

]

Analisis Peramalan Model Kausal

Metode kausal fokus pada identifikasi dan determinasi hubungan antar

variabel yang akan diramalkan. Yang tergolong dalam metode ini antara lain

teknik regresi, model ekonometrika, dan input Output (Firdaus 2011). Metode

kausal merupakan suatu teknik peramalan dengan menggunakan analisis

hubungan antara veriabel yang dicari atau yang diramalkan dengan satu atau lebih

variabel bebas yang mempengaruhinya dan bukan variabel waktu serta didasarkan

pada pengguanaan analisis pola hubungan sebab akibat. Model kausal dalam

penelitian ini digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi

dan konsumsi masing-masing komoditas strategis. Metode regresi berganda

digunakan untuk mempresentasikan pola hubungan fungsional, satu variabel

Postulat Model Kelas Umum

Identifikasi Model yang Akan Secara Tentatif Digunakan

Estimasi Parameter-parameter secara Tentatif Digunakan Model

Pemeriksaan Diagnostik (Apakah model memadai?)

Gunakan Model untuk Peramalan

Tidak Ya

34

dependen yang dipengaruhi oleh lebih dari satu variabel independen dengan

masing-masing variabel mencapai tingkat pengukuran metrik.

Analisis Regresi Berganda

Analisis regresi berganda adalah analisis yang berkenaan dengan studi

ketergantungan satu variabel (variabel dependen) yang satu atau lebih variabel

lain (variabel independen) dengan maksud menaksir dan atau meramalkan nilai

variabel dependen berdasarkan nilai yang diketahui dari variabel yang

menjelaskan (variabel independen). Model regresi yang terdiri lebih dari satu

variabel independen disebut model regresi berganda (Gujarati 2009). Untuk

mengidentifikasi apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan

konsumsi komoditi pangan strategis, penelitian ini menggunakan metode analisis

regresi berganda. Tahapan penyusunan model regresi berganda, antara lain:

a. Menentukan variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen

(Y) adalah produksi dan konsumsi. Variabel independen produksi antara lain

adalah luas lahan, curah hujan, anggaran litbang, dan jumlah varietas unggul.

Sedangkan variabel independen konsumsi adalah jumlah penduduk, harga

komoditi dalam negeri, produksi dunia, dan Gross Domestic Product (GDP).

b. Menentukan metode pembuatan model regresi. Metode yang digunakan pada

penelitian ini adalah metode ENTER (dengan bantuan software).

c. Menguji sejumlah asumsi-asumsi dasar (evaluasi penduga model) yang

biasanya akan diuji pada regresi berganda, yakni linearitas, multikolinieritas,

normalitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi.

d. Menguji signifikansi model setelah model terbentuk. Uji ini digunakan untuk

melihat apakah model dapat digunakan untuk melakukan prediksi. Uji yang

dilakukan meliputi uji terhadap koefisien regresi seperti, uji t dan uji F.

e. Setelah uji asumsi dan signifikansi dilakukan, serta terbukti model yang ada

dapat digunakan untuk memprediksi besar variabel dependen berdasar input

data dari variabel independen.

Analisis model dengan angka R (Koefisien Determinasi) di atas 0.9

menunjukkan bahwa korelasi atau keeratan hubungan antara variabel dependen

dengan variabel independen adalah sangat kuat dan hubungan kuat jika angka R

sebesar 0.5.

Perumusan Model

Pola hubungan antara variabel dalam analisis regresi berganda

diekspresikan dalam sebuah persamaan regresi berganda yang diduga berdasarkan

data sampel (Makridakis 1999). Berdasarkan pada kerangka pemikiran teoritis,

maka model ekonometrik produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis

Indonesia secara umum diduga sebagai berikut:

Model dari produksi komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut:

PB = β0 + β1 LB + β2 CH + β3 AL + β4 VB + εt

PJ = β0 + β1 LJ + β2 CH + β3 AL + β4 VJ + εt

PK = β0 + β1 LK + β2 CH + β3 AL + β4 VK + εt

35

dimana : PB = produksi beras (ribu ton)

PJ = produksi jagung (ribu ton)

PK = produksi kedelai (ribu ton)

β0 = Intersep

βi = parameter atau koefisien regresi variabel X1 ( i=(1,2,...))

LB = luas panen padi (ribu Ha)

LJ = luas panen jagung (ribu Ha)

LK = luas panen kedelai (ribu Ha)

CH = curah hujan (mm per tahun)

AL = anggaran litbang (Rp juta)

VB = jumlah varietas unggul padi (varietas tanaman)

VJ = jumlah varietas unggul jagung (varietas tanaman)

VK = jumlah varietas unggul kedelai (varietas tanaman)

et = Error

Model dari konsumsi komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut:

KB = α0 + α1 JP + α2 HB + α3 PDB + α4 GDP + εt

KJ = α0 + α1 JP + α2 HJ + α3 PDB + α4 GDP + εt

KK = α0 + α1 JP + α2 HK + α3 PDB + α4 GDP+ εt

dimana : KB = konsumsi beras (ribu ton)

KJ = konsumsi jagung (ribu ton)

KK = konsumsi kedelai (ribu ton)

α0 = Intersep

αi = parameter atau koefisien regresi variabel X1 ( i=(1,2))

JP = jumlah penduduk (jiwa)

HB = harga beras (Rp/kg)

HJ = harga jagung (Rp/kg)

HK = harga kedelai (Rp/kg)

PDB = produksi dunia beras (ton)

PDJ = produksi dunia jagung (ton)

PDK = produksi dunia kedelai (ton)

GDP = Gross Domestic Product atau GDP (Rp T)

et = Error

Pembentukan model produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis

terbilang cukup mudah untuk dianalisis. Tetapi model yang dihasilkan memiliki

kelemahan yaitu sulit mengintepretasikan koefisien interceptnya. Untuk

mengatasi kelemahan tersebut salah satu teknik yang dapat dilakukan yaitu

dengan mentranformasikan model ke bentuk lain. Untuk menghasilkan model

terbaik dan sekaligus melihat elastisitas variabel dependen terhadap variabel

independen, variabel-variabel yang ada di dalam model atau data yang dianalisis

ditransformasi dalam bentuk logaritma natural (Ln). Sehingga akan terbentuk

model sebagai berikut.

Model dari produksi komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut:

Ln PB = Ln β0 + β1 Ln LB + β2 Ln CH + β3 Ln AL + β4 Ln VB + εt

Ln PJ = Ln β0 + β1 Ln LJ + β2 Ln CH + β3 Ln AL + β4 Ln VJ + εt

Ln PK = Ln β0 + β1 Ln LK + β2 Ln CH + β3 Ln AL + β4 Ln VK + εt

Model dari konsumsi komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut:

Ln KB = Ln α0 + α1 Ln JP + α2 Ln HB + α3 Ln PDB + α4 Ln GDP + εt

Ln KJ = Ln α0 + α1 Ln JP + α2 Ln HJ + α3 Ln PDJ + α4 Ln GDP + εt

Ln KK = Ln α0 + α1 Ln JP + α2 Ln HK + α3 Ln PDK + α4 Ln GDP + εt

36

Transformasi ke dalam bentuk lograitma natural dipilih kerena data yang

dihasilkan harus membentuk garis lurus atau merupakan model yang linear. Selain

itu, nilai koefisien dalam persamaan merupakan elastisitas, atau dengan kata lain

koefisien slope merupakan tingkat perubahan pada variabel Y (dalam persen) bila

terjadi perubahan variabel X (dalam persen). Tetapi tidak semua variabel

ditransformasi ke dalam bentuk logaritma natural, khususnya variabel independen

yang merupakan variabel dummy tidak dilakukan transformasi. Hal ini

dikarenakan variabel dummy mengandung nilai nol (0) yang tidak bisa

ditransformasikan.

Parameter yang digunakan dalam model diatas dapat ditaksir dengan metode

Ordinary Least Squares (OLS), dengan syarat asumsi-asumsi model regresi linear

berganda ini terpenuhi (Gujarati 2009). Penggunaan metode kuadrat terkecil biasa

(OLS) dapat dilakukan apabila asumsi regresi linear klasik terpenuhi. Beberapa

asumsi yang yang harus dipenuhi oleh persamaan regresi linear berganda ini

adalah sebagai berikut:

1. Normalitas, regresi linear klasik mengasumsikan bahwa tiap εi mengikuti

distribusi normal εi ~ N (0, σ2 ).

2. Non autokorelasi antar sisaan, berarti cov (εi , εj ) = 0, dimana i ≠ j

3. Homoskedastisitas, var (εi) = σ2 untuk setiap i, i = 1, 2,…,n yang artinya

varians dari semua sisaan adalah konstan atau homoskedastik.

4. Tidak terjadi multikolinearitas, yang artinya tidak terdapat hubungan linear

yang sempurna atau pasti di antara beberapa atau semua variabel yang

menjelaskan model regresi.

Evaluasi Model Penduga

Evaluasi model penduga bertujuan untuk mengetahui apakah model yang

diduga terpenuhi secara teori dan statistik. Jika asumsi OLS tidak terpenuhi, maka

model belum layak digunakan atau data tidak valid. Menurut Gujarati (2009)

pengujuan sebagai kriteria statistik yang dilakukan antara lain, yaitu sebagai

berikut:

1. Uji Multikolinieritas

Tujuan uji multikolinieritas adalah menguji apakah pada sebuah model

regresi ditemukan adanya korelasi antar-variabel independen sehingga

menghasilkan model yang regresi yang baik. Jika terjadi korelasi, maka

dinamakan terdapat problem multikolinieritas. Multikolinearitas berarti ada

hubungan linear yang sempurna (pasti) diantara beberapa atau semua variabel

independen dari model regresi. Adapun cara pendeteksiannya adalah jika

multikolinearitas tinggi, maka akan diperoleh R2 yang tinggi tetapi tidak satu

pun atau sangat sedikit koefisien yang ditaksir signifikan secara statistik. Untuk

melakukan uji multikolinearitas dapat dideteksi dengan beberapa cara berikut:

a. Besaran VIF (Variance Inflation Factor) dan Tolerance. Pedoman suatu

model regresi yang bebas multikolinearitas adalah mempunyai nilai VIF

kurang dari sepuluh.

b. Besaran korelasi antar variabel independen. Pedoman suatu model regresi

yang bebas multikolinearitas adalah koefisien korelasi antar variabel bebas

37

haruslah lemah (di bawah 0.1). Jika korelasi kuat, maka terjadi

multikolinearitas.

2. Uji Normalitas

Asumsi normalitas mengharuskan nilai residual dalam model menyebar

atau terdistribusi secara normal. Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui

apakah dalam sebuah model regresi error yang dihasilkan mempunyai

distribusi normal atau tidak. Selain itu mendeteksi normalitas dapat dilakukan

dengan plot probabilitas normal. Melalui plot ini masing-masing nilai

pengamatan dipasangkan dengan nilai harapan dari distribusi normal. Jika

residual berasal dari distribusi normal, maka nilai-nilai data (titik-titik dalam

grafik) akan terletak di sekitar garis diagonal. Peubah bebas atau variabel bebas

X1, X2, X3,…,Xk konstan dalam pengambilan sampel terulang dan bebas

terhadap kesalahan pengganggu.

3. Uji Homoskedastisitas

Tujuan uji asumsi ini adalah ingin mengetahui apakah dalam sebuah

model regresi terjadi ketidaksamaan variabel pada residual (error) dari satu

pengamatan ke pengamatan yang lain. Uji ini akan menjamin bahwa komponen

error pada model regresi memiliki ragam yang sama untuk setiap nilai variabel

dependen (homoskedastisitas). Pelanggaran dari asumsi ini adalah

heterokedastisitas. Pembuktian kesamaan varian (homoskedastisitas) dapat

dilihat dari penyebaran nilai-nilai residual terhadap nilai-nilai prediksi melalui

grafik Residuals Versus The Fitted Values. Jika penyebarannya tidak

membentuk suatu pola tertentu seperti meningkat atau menurun, maka

homoskedastisitas terpenuhi.

4. Uji Autokorelasi

Tujuan uji ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada autokorelasi atau

bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi

oleh disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain

manapun. Autokorelasi pada sebagian besar kasus ditemukan pada regresi

yang dasarnya adalah time series, atau berdasarkan waktu berkala, seperti

bulanan, tahunan, dan seterusnya. Karena itu, ciri khusus uji ini adalah waktu.

Autokorelasi terjadi bila terdapat hubungan yang signifikan antara dua data

yang berdekatan. Adanya autokorelasi mengakibatkan estimatornya menjadi

kosisten, tidak bias, dan tidak valid. Autokorelasi dapat pula dideteksi dengan

menggunakan pengujian Durbin-Watson (DW) kemudian dibandingkan dengan

nilai di tabel. Pendekteksian ada atau tidaknya autokorelasi dilakukan dengan

pengujian Durbin-Watson (DW) dengan ketentuan sebagai berikut:

a. 1.7298 < DW < 2.2702, berarti tidak terdapat autokorelasi positif (tolak H0)

b. 1.1927 < DW < 1.7298 atau 2.2702 < DW < 2.8073, berarti tidak dapat

disimpulkan

c. DW < 1.1927 atau DW > 2.8073, berarti terdapat autokorelasi (tolak H0)

5. Uji R2 (Koefisien Determinasi)

Uji koefisiern determinasi (R2) merupakan pengujian

kecocokan/ketepatan (goodness of fit) yang pada analisis regresi berganda

disebut koefisien determinasi berganda (multiple coefficient of correlation). Uji

ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar persentase sumbangan masing-

masing variabel independen terhadap variasi (naik-turunnya) variabel

dependen (Firdaus 2011). Nilai R2 mempunyai interval nilai antara 0 sampai 1

38

(0 ≤ R2 ≤ 1). Interpretasi dari nilai interval tersebut yaitu semakin besar R

2

(mendekati 1), maka semakin baik hasil untuk model regresi tersebut. Semakin

mendekati 0, maka variabel independen secara keseluruhan tidak dapat

menjelaskan variabel dependen. Nilai R2 diperoleh dengan menggunakan

rumus berikut :

∑( )

dimana : R2 = Koefisien determinasi

Ŷ = Nilai Y yang ditaksir dengan model regresi

Ῡ = Nilai rata-rata pengamatan

Y = Nilai pengamatan

k = Jumlah variabel independen

6. Uji signifikansi Masing-masing Parameter (Uji t)

Uji t digunakan untuk menguji ada tidaknya hubungan linear antara

variabel independen terhadap variabel dipenden, atau untuk mengetahui

variabel bebas yang berpengaruh secara parsial terhadap variabel tak bebas.

Adapun hipotesis yang digunakan dalam uji t sebagai berikut :

H0 : βij = 0 → Hipotesis ini berarti tidak ada hubungan linier antara variabel

independen dan variabel dependen (koefisien regresi tidak

signifikan).

H1 : βij ≠ 0 → Hipotesis ini berarti ada hubungan linier antara variabel

independen dan variabel dependen (koefisien regresi signifikan).

Uji nyata setiap variabel dilakukan dengan perbandingan thitung dan tα/2;(n-k) atau

ttabel. Ttabel atau t(0.025;29) untuk masing-masing variabel adalah 2.045.

Pengambilan kesimpulan pada pengujian hipotesis dilakukan adalah jika thitung

> t α/2;(n-k), maka tolak H0 atau jika thitung < t α/2;(n-k), maka terima H0.

7. Uji signifikansi Model Penduga (Uji F)

Pengujian kelinearan model atau yang disebut juga evaluasi model

dugaan. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah ada

hubungan linear antara variabel dipenden dengan beberapa variabel

independen. Pada uji ini diperiksa signifikansi regresi yang semuanya

disediakan pada standar Output paket software statsitika. Hipotesis yang

digunakan adalah:

H0 : β1 = β2 =....= βi = 0, → model regresi liniear berganda tidak signifikan

atau dengan kata lain tidak ada hubungan linear antara variabel independen

terhadap variabel dependen.

H1 : paling tidak salah satu βi ≠ 0, i = 1, 2, 3,....., → model regresi linear

berganda signifikan atau dengan kata lain ada hubungan linear antara

variabel independen terhadap variabel dependen.

Hipotesis di atas dikaitkan dengan uji nyata regresi yang diperoleh, maka

perhitungan statistik uji yang digunakan adalah:

Setelah dilakukan uji nyata regresi dengan perbandingan Fhitung dan Fα(k-

1;n-k) atau F tabel. Ttabel atau t(0.025;29) untuk masing-masing model regresi adalah

2.93. Pengambilan kesimpulannya adalah bila Fhitung > Ftabel, maka tolak H0

atau terima H1 atau bila Fhitung > Ftabel, maka terima H0.

39

Apabila H0 ditolak maka seluruh variabel bebas secara bersama-sama

mempengaruhi variabel tidak bebasnya pada tingkat signifikasi tertentu dan

derajat bebas tertentu. Jika H0 diterima maka seluruh variabel bebas secara

bersama-sama tidak mempengaruhi variabel bebas pada tingkat signifikasi

tertentu dan derajat bebas tertentu.

Hipotesis Penelitian

Penentuan parameter model regresi berdasarkan teori ekonomi yang ada,

kemudian diuji berdasarkan teori ekonomi pula. Teori ekonomi yang digunakan

untuk menerangkan hasil analisis ini adalah teori produksi dan konsumsi.

Sebelum dilakukan analisa terkait dengan variabel yang memengaruhi produksi

dan konsumsi komoditi pangan strategis, dilakukan penyusunan hipotesis

terhadap masing-masing variabel untuk menduga masing-masing pengaruh

variabel.

Hipotesis mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi produksi

komoditi pangan strategis dan bagaimana pengaruhnya terhadap produksi

komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut:

1. Luas lahan panen diduga berpengaruh positif pada volume produksi beras,

jagung, dan kedelai nasional. Semakin luas lahan panen, maka volume produksi

beras, jagung, dan kedelai akan meningkat dan sebaliknya jika luas lahan panen

berkurang maka volume produksi beras, jagung, dan kedelai akan berkurang.

Lahan panen menunjukkan volume panen masing-masing komoditi (beras,

jagung, dan kedelai). Sehingga lahan panen yang semakin luas menunjukkan

volume produksi yang semakin meningkat.

2. Curah hujan diduga berpengaruh positif pada volume produksi beras dan

kedelai, sedangkan pada volume produksi jagung diduga tidak dipengaruhi oleh

curah hujan. Semakin tinggi curah hujan, maka volume produksi beras dan

kedelai akan meningkat. Hal ini dikarenakan penanaman padi dan kedelai

sangat ditentukan oleh cukup tidaknya persediaan air sehingga curah hujan

yang tinggi sangat diperlukan serta membawa dampak positif dalam pengairan.

Tanaman jagung juga memrlukan air yang cukup pada saat berbunga dan

pengisian biji, tetapi setelah biji jagung berkecambah dan keluar malai,

diharapkan hujan berkurang sampai tidak ada hujan.

3. Anggaran litbang tanaman pangan diduga berpengaruh positif pada volume

produksi beras, jagung, dan kedelai. Semakin besar anggaran litbang tanaman

pangan yang dikeluarkan pemerintah maka produksi beras, jagung, dan kedelai

akan semakin meningkat dan sebaliknya jika anggaran litbang tanaman pangan

kecil maka volume produksi beras, jagung, dan kedelai akan menurun. Hal ini

terjadi karena anggaran litbang tanaman pangan merupakan proporsi anggaran

pemerintah yang digunakan untuk mendukung program atau kegiatan empat

target sukses Kementrian Pertanian. Program tersebut antara lain peningkatan

swasembada, peningkatan diversifikasi pangan, peningkatan nilai tambah, dan

peningkatan daya saing petani. Besarnya alokasi anggaran litbang tanaman

pangan mengindikasikan volume produksi beras, jagung, dan kedelai.

4. Varietas unggul yang ditemukan diduga berpengaruh positif terhadap volume

produksi beras, jagung, dan kedelai. Semakin banyak varietas unggul yang

40

ditemukan maka volume produksi beras, jagung, dan kedelai akan meningkat.

Varietas unggul yang dimaksud adalah varietas tanaman yang mempunyai salah

satu atau lebih dari sifat-sifat yang lebih dari pada sifat yang dimiliki varietas

lain, misalnya mempunyai produksi tinggi, respon terhadap pemupukan, tahan

terhadap hama dan penyakit, umur pendek, dan daya adaptasi luas terhadap

berbagai keadaan lingkungan tumbuh. Dengan kata lain banyaknya varietas

unggul yang ditemukan mengindikasikan bahwa volume produksi beras,

jagung, dan kedelai cukup tinggi.

Hipotesis mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi konsumsi

komoditi pangan strategis dan bagaimana pengaruhnya terhadap konsumsi

komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut:

1. Jumlah penduduk diduga berpengaruh positif terhadap volume konsumsi

beras, jagung, dan kedelai. Semakin besar jumlah penduduk, maka volume

konsumsi beras, jagung, dan kedelai akan meningkat. Pertambahan jumlah

penduduk menyebabkan volume konsumsi beras, jagung, dan kedelai

nasional tinggi.

2. Harga konsumen diduga berpengaruh negatif atau berbanding terbalik dengan

volume konsumsi masing-masing komoditi. Volume konsumsi beras, jagung,

dan kedelai lebih sedikit pada harga yang tinggi, dan volume konsumsi beras,

jagung, dan kedelai lebih banyak ketika harga rendah.

3. Produksi dunia diduga berpengaruh positif terhadap volume konsumsi

masing-masing komoditi. Semakin besar produksi beras, jagung, dan kedelai

di seluruh dunia, maka akan menyebabkan volume konsumsi beras, jagung,

dan kedelai nasional meningkat.

4. Gross Domestic Product (GDP) diduga berpengaruh positif terhadap volume

konsumsi beras, jagung, dan kedelai. Semakin besar GDP Indonesia , maka

volume konsumsi beras, jagung, dan kedelai nasional semain besar.

Sebaliknya, volume konsumsi beras, jagung, dan kedelai lebih sedikit pada

saat GDP kecil.

Analisis Deskriptif

Metode deskriptif adalah metode dalam meneliti suatu kelompok manusia,

suatu objek, suatu set kondisi, suatu system pemikiran, ataupun suatu kelas

peristiwa pada masa sekarang. Hal ini dilakukan untuk membuat deskripsi,

gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,

sifat-sifat atau hubungan antar fenomena yang diselidiki. Dalam statsitika

deskriptif belum sampai pada upaya menarik kesimpulan, tetapi baru sampai pada

tingkat memberikan suatu bentuk ringkasan data sehingga khalayak/masyarakat

awam dapat memahami apa yang terkandung dalam data.

Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan penjabaran mengenai

perkembangan, proyeksi, faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan

konsumsi komoditi pangan strategis, serta implikasi kebijakan yang

direkomendasikan. Analisis deskriptif ini untuk menganalisis variabel-variabel

yang tidak diuji secara statistik.

41

PERKEMBANGAN SERTA PROYEKSI PRODUKSI DAN

KONSUMSI KOMODITI PANGAN STRATEGIS TERHADAP

SWASEMBADA NASIONAL

Komoditi pangan strategis yang dibahas dalam bab ini meliputi beras,

jagung, dan kedelai. Perkembangan produksi dan konsumsi komoditi pangan

strategis di Indonesia dapat dilihat dalam Gambar 8 untuk beras, Gambar 9 untuk

jagung, dan Gambar 10 untuk kedelai. Grafik-grafik tersebut akan menjelaskan

adanya fluktuasi dengan kecenderungan bervariatif tiap tahunnya. Langkah yang

dilakukan untuk mengetahui ketercapaian swasembada adalah dengan

mengadakan sensus untuk mengetahui jumlah produksi dan konsumsi nasional.

Selanjutnya salah satu langkah penting yaitu peramalan atau proyeksi. Proyeksi

produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis dalam penelitian ini dianalisis

dengan analisis peramalan model time series. Metode time series yang digunakan

antara lain Tren, Dekomposisi Multiplikatif, Dekomposisi Aditif, Moving

Average, Single Eksponential Smoothing, Double Eksponential Smoothing,

Winters Multiplikatif, Winters Aditif, dan ARIMA. Alat yang digunakan dalam

pembentukan model ini yaitu software minitab versi 14.0. Hasil pengolahan data

dapat dilihat pada halaman lampiran.

Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia

Hingga kini padi masih dianggap sebagai komoditas strategis dan mendapat

prioritas yang tinggi dalam program pembangunan nasional. Hal ini disebabkan

beras merupakan kebutuhan pangan pokok bagi lebih dari 90% penduduk

Indonesia. Selain itu, beras juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan

kerja bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Sehingga seringkali beras

dianggap sebagai komoditas yang bersifat strategis dan politis. Oleh karena itu,

keberadaan dan kecukupannya senantiasa diperhatikan oleh pemerintah. Salah

satu upaya pemerintah adalah kebijakan pembangunan tanaman pangan hingga

tahun 2014 yang dituangkan dalam Rencana Strategis Ditjen Tanaman Pangan

Tahun 2010-2014 yang merupakan strategi yang digunakan dalam upaya

peningkatan produksi pangan.

Keragaan produksi beras di Indonesia secara umum antara tahun 1970

hingga tahun 2012 dengan tren cenderung terus meningkat (Gambar 8). Produksi

beras rata-rata tahun 1970-2012 mencapai 24.187 ribu ton dengan pertumbuhan

rata-rata 2.53%. Produksi dan pertumbuhan produksi beras paling rendah terjadi

pada tahun 1973 masing-masing sebesar 12.081 ribu ton dan -15.23%. Tahun

1980 terjadi pertumbuhan produksi beras tertinggi yaitu sebesar 12.82%. Jika

dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek antara tahun 1990-2012, rata-rata

pertumbuhan produksi beras Indonesia hanya berkisar 1.95%. Sementara keragaan

rata-rata pertumbuhan produksi beras pada dekade terakhir meningkat sebesar

2.99%. Rata-rata pertumbuhan produksi beras antara tahun 2008 hingga 2012

meningkat menjadi 3.86%. Produksi beras tertinggi mencapai 38.767 ribu ton

pada tahun 2012.

42

Gambar 8 Grafik produksi dan konsumsi beras Indonesia Sumber: Kementrian Pertanian, diolah (2012)

Pada Gambar 8 dapat dilihat keragaan konsumsi beras di Indonesia antara

tahun 1970-2012 yang menunjukkan pola berfluktuasi dengan kecenderungan

meningkat. Konsumsi beras rata-rata tahun 1970-2012 mencapai 26.300 ribu ton

dengan pertumbuhan rata-rata 2.23%. Rata-rata konsumsi beras terendah terjadi

pada tahun 1972 sebesar 15.685 ribu ton. Rata-rata pertumbuhan konsumsi beras

terendah terjadi pada tahun 1982 sebesar -7.82%, sedangkan pertumbuhan

konsumsi beras tertinggi sebesar 34.52% di tahun 1985. Pada tahun 1990-2012

rata-rata pertumbuhan konsumsi beras Indonesia sebesar 1.55%. Jika dilihat pada

kurun waktu yang lebih pendek antara tahun 2008-2012, rata-rata pertumbuhan

konsumsi beras hanya sebesar 0.76%. Sementara keragaan rata-rata pertumbuhan

konsumsi beras pada 5 tahun terakhir berkisar 1.36%. Konsumsi beras tertinggi

terjadi pada tahun 2011 sebesar 38.106 ribu ton.

Secara umum rata-rata pertumbuhan produksi beras dari tahun 1970-2012

lebih besar daripada rata-rata pertumbuhan konsumsi beras. Besarnya laju

peningkatan produksi pada 10 tahun terakhir diduga karena peningkatan produksi

pada periode 5 tahun terakhir sebagai akibat peningkatan produksi baik di wilayah

Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Krisis ekonomi diduga menjadi penyebab

turunnya konsumsi beras karena terjadinya peningkatan harga berbagai barang

dan terjadinya penurunannya daya beli masyarakat. Perkembangan konsumsi

beras setelah masa-masa krisis berfluktuasi dengan kecenderungan mengalami

penurunan dengan pertumbuhan yang tidak terlalu tinggi.

Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia

Proyeksi Produksi Beras

Berdasarkan Tabel 14, metode peramalan time series terbaik untuk produksi

beras di Indonesia adalah metode ARIMA (1,1,0). Hasil analisis ARIMA (1,1,0)

dapat dilihat pada Lampiran 2.

11.000

14.000

17.000

20.000

23.000

26.000

29.000

32.000

35.000

38.000

41.000

197

0

197

2

197

4

197

6

197

8

198

0

198

2

198

4

198

6

198

8

199

0

199

2

199

4

199

6

199

8

200

0

200

2

200

4

200

6

200

8

201

0

201

2

To

tal

(Rib

u T

on)

Tahun

Produksi

Beras

Konsumsi

Beras

43

Tabel 8 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi beras di

Indonesia

Metode Time Series Terbaik MSE Ranking Hasil Ramalan

2013 2014

Tren 2 617 206 7 37.236 37.830

Dekomposisi Multiplikatif 2 605 873 6 37.104 37.954

Dekomposisi Aditif 2 602 745 5 37.144 37.918

Moving Average 1 200 015 3 38.767 38.767

Single Eksponential Smoothing 1 024 470 2 39.627 39.627

Double Eksponential Smoothing 1 398 027 4 39.667 40.341

Winters Multiplikatif 4 250 795 9 38.250 39.401

Winters Aditif 4 199 137 8 38.230 39.343

ARIMA (1,1,0) 889 990 1 39.492 40.096

1. Identifikasi

Berdasarkan gambar plot ACF dan PACF pada Lampiran 2 terlihat

bahwa ACF memiliki pola dying down dan PACF cut off pada lag 1.

2. Estimasi

Melihat pola ACF dan PACF model tentatif yang mungkin adalah AR

(1). Selain kemungkinan dari model tersebut, tidak menutup kemungkinan

untuk model tentatif yang lain.

3. Evaluasi Model (Uji Diagnostik)

Setelah dilakukan estimasi parameter model, selanjutnya dilakukan

evaluasi untuk memastikan apakah model yang diestimasi sudah baik atau

belum. Kriteria dalam evaluasi metode ARIMA antara lain:

a. Proses iterasi harus konvergen

Hasil pengolahan model ARIMA menunjukkan bahwa proses iterasi telah

konvergen (antara suatu model sudah tidak ada beda yang nyata). Proses

iterasi telah konvergen ditunjukkan adanya pernyataan relative change in

each estimate less then 0.0010.

b. Kondisi invertibilitas ataupun stasioneritas harus terpenuhi

Kondisi invertibilitas ataupun stasioneritas telah terpenuhi. Hal ini

ditunjukkan oleh jumlah koefisien MA atau AR yang masing-masing

kurang dari satu. Dalam Output model terlihat jumlah koefisien untuk AR

(1) = 0.1126.

c. Residual random

Residual dari hasil peramalan dari model juga menunjukkan bahwa

residual (forecast error) sudah random. Sebagai indikator residual hasil

ramalan telah random, ditunjukkan dengan nilai P-value untuk uji statistik

dari residual lebih besar dari 0.05. Selain itu grafik ACF dan PACF dari

residual yang memiliki pola cut off menunjukkan bahwa residual telah

acak.

d. Signifikansi parameter

Hal ini dapat dilihat dari nilai P-value koefisien yang kurang dari 0.05.

Terlihat pada Output bahwa P-value koefisien untuk AR (1) = 0.000.

e. Model harus parsimonius

Keseluruhan model yang telah memenuhi syarat diatas, model ARIMA

(1,1,0) adalah model yang relatif sudah dalam bentuk paling sederhana.

44

f. Model harus memiliki MSE terkecil

Model ini memiliki nilai MSE terkecil dari keseluruhan model yang

dicoba. Model ini memiliki nilai MSE sebesar 889 990.

4. Peramalan

Prediksi produksi beras pada tahun 2013 diperkirakan akan mencapai

39.492 ribu ton atau meningkat sebesar 1.87% dari tahun sebelumnya.

Sementara prediksi produksi beras tahun 2014 diperkirakan akan mencapai

41.096 ribu ton atau naik 4.06%.

Proyeksi Konsumsi Beras

Pada Tabel 9 di bawah ini hasil pengolahan terbaik diperoleh dengan

menggunakan metode double eksponential smoothing. Hasil pengolahan data

menggunakan double eksponential smoothing menghasilkan nilai MSE terkecil

sebesar 2.181.923. Metode ini optimal pada nilai pemulusan level estimasi saat ini

sebesar 1.10514 sedangkan untuk nilai pemulusan trend sebesar 0.02324. Hasil

proyeksi konsumsi beras Indonesia 2013-2014 diperkirakan menurun 1.38% per

tahun, dengan pertumbuhan penduduk diasumsikan sebesar 1.49% pertahun. Hasil

proyeksi kebutuhan beras Indonesia pada tahun 2013 sebesar 38.130 ribu ton atau

menurun 2.66% dari tahun sebelumnya dan sebesar 38.558 ribu ton atau naik

1.12% pada tahun 2014.

Tabel 9 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi beras di

Indonesia

Metode Time Series Terbaik MSE Ranking Hasil Ramalan

2013 2014

Tren 4 640 968 7 40 409 41 051

Dekomposisi Multiplikatif 4 619 915 5 40 562 40 906

Dekomposisi Aditif 4 625 823 6 40 505 40 959

Moving Average 2 435 114 3 37 793 37 793

Single Eksponential Smoothing 2 332 338 2 37 731 37 731

Double Eksponential Smoothing 2 181 923 1 38 130 38 558

Winters Multiplikatif 5 103 412 9 39 092 39 145

Winters Aditif 5 075 582 8 39 055 39 208

ARIMA (1,2,1) 2 452 832 4 38 501 39 244

Berdasarkan hasil produksi total diperoleh bahwa produksi beras tahun 2013

akan mengalami peningkatan 1.53% per tahun, sedangkan konsumsi beras per

tahun meningkat 1.12%. Hasil proyeksi produksi dan konsumsi beras

dibandingkan seperti yang terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Proyeksi produksi dan konsumsi beras

Tahun Produksi Beras (ribu ton) Konsumsi Beras (ribu ton) Senjang

2013 39 492 38 130 1 362

2014 40 096 38 558 1 538

Pertumbuhan 1.53% 1.12%

45

Laju pertumbuhan produksi beras sebesar 1.53% lebih tinggi dibandingkan

laju pertumbuhan konsumsi beras sebesar 1.12%, sehingga ada kemungkinan

untuk Indonesia sampai pada keadaan surplus beras. Upaya pemerintah dengan

membuat roadmap peningkatan produksi beras nasional menuju swasembada

tahun 2014 akan berhasil. Hal ini seperti yang terlihat pada Tabel 10, Indonesia

dapat sampai pada surplus beras pada tahun 2013.

Dengan melihat hasil proyeksi produksi dan konsumsi beras pada Tabel 10

Indonesia akan menjadi negara yang surplus beras pada tahun 2013. Produksi

dapat memenuhi konsumsi beras dalam negeri, keadaan ini akan mengantarkan

Indonesia menjadi negara yang mandiri dalam pemenuhan pangannya. Tetapi

surplus pada tahun 2014 belum memenuhi target pemerintah yang merencanakan

surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014. Namun, keadaan tersebut dapat

mengurangi impor beras yang selama ini dilakukan sebagai upaya memenuhi

konsumsi beras dalam negeri.

Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia

Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan baik luas

panen maupun produktivitas jagung secara nasional. Upaya tersebut sepertinya

mulai berhasil dengan meningkatnya produksi jagung mulai tahun 2007.

Sebelumnya konsumsi jagung masih lebih tinggi dibandingkan produksi jagung

secara nasional. Mulai pada tahun 2007 antara konsumsi dan produksi tidak

bersenjang terlalu besar.

Gambar 9 Grafik produksi dan konsumsi jagung Indonesia Sumber: Kementrian Pertanian, diolah (2012)

Pada Gambar 9 dapat dilihat keragaan produksi jagung di Indonesia antara

tahun 1970-2012 yang menunjukkan tren dengan kecenderungan meningkat.

Produksi jagung rata-rata tahun 1970-2012 mencapai 6.969 ribu ton dengan

pertumbuhan rata-rata 6.23%. Pada tahun 1972 mengalami rata-rata produksi

jagung terendah 1.998 ribu ton. Rata-rata pertumbuhan produksi jagung tertinggi

terjadi pada tahun 1973 sebesar 63.71%, sedangkan rata-rata pertumbuhan

0

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

14.000

16.000

18.000

20.000

197

0

197

2

197

4

197

6

197

8

198

0

198

2

198

4

198

6

198

8

199

0

199

2

199

4

199

6

199

8

200

0

200

2

200

4

200

6

200

8

201

0

201

2

To

tal

(Rib

u T

on)

Tahun

Produksi

Jagung

Konsumsi

Jagung

46

produksi jagung terendah terjadi pada tahun 1982 sebesar -28.25%. Pada tahun

1990-2012 rata-rata pertumbuhan produksi jagung Indonesia sebesar 5.58%. Jika

dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek antara tahun 2008-2012, rata-rata

pertumbuhan produksi jagung hanya sebesar 7.40%. Sementara keragaan rata-rata

pertumbuhan produksi jagung pada 5 tahun terakhir berkisar 7.71%. Produksi

jagung tertinggi terjadi pada tahun 2012 sebesar 16.810 ribu ton.

Keragaan konsumsi jagung di Indonesia secara umum antara tahun 1970

hingga tahun 2012 berfluktuasi dengan tren cenderung terus meningkat (Gambar

9). Konsumsi jagung rata-rata tahun 1970-2012 mencapai 7.948 ribu ton dengan

pertumbuhan rata-rata 6.50%. Pada tahun 1972 mengalami rata-rata konsumsi

jagung terendah 2.591 ribu ton. Rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung tertinggi

terjadi pada tahun 1973 sebesar 97.19%, sedangkan rata-rata pertumbuhan

konsumsi jagung terendah terjadi pada tahun 1982 sebesar -34.57%. Jika dilihat

pada kurun waktu yang lebih pendek antara tahun 1990-2012, rata-rata

pertumbuhan konsumsi jagung Indonesia hanya berkisar 5.51%. Sementara

keragaan rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung pada dekade terakhir meningkat

sebesar 6.90%. Konsumsi jagung tertinggi mencapai 16.928 ribu ton pada tahun

2007. Rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung antara tahun 2008 hingga 2012

meningkat menjadi -0.15%.

Secara umum rata-rata pertumbuhan produksi jagung dari tahun 1970-2012

lebih besar daripada rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung. Rata-rata

pertumbuhan konsumsi jagung 5 tahun terakhir menurun diduga karena konversi

penggunaan jagung sebagai bahan pangan menjadi biodiesel.

Proyeksi Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia

Proyeksi Produksi Jagung Indonesia

Pada Tabel 11 di bawah ini hasil pengolahan terbaik diperoleh dengan

menggunakan metode double eksponential smoothing. Hasil pengolahan data

menggunakan Double Eksponential Smoothing menghasilkan nilai MSE terkecil

sebesar 720.278. Metode ini optimal pada nilai pemulusan level estimasi saat ini

sebesar 0.579359 sedangkan untuk nilai pemulusan trend sebesar 0.145900.

Tabel 11 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi jagung di

Indonesia

Metode Time Series Terbaik MSE Ranking Hasil Ramalan

2013 2014

Tren 2 007 019 9 13 830 14 142

Dekomposisi Multiplikatif 1 977 369 7 13 506 14 444

Dekomposisi Aditif 1 985 115 8 13 662 14 302

Moving Average 926 257 6 16 810 16 810

Single Eksponential Smoothing 889 384 3 16 689 16 689

Double Eksponential Smoothing 720 278 1 17 523 18 223

Winters Multiplikatif 911 883 4 16 976 18 099

Winters Aditif 924 831 5 16 967 17 925

ARIMA (1,1,1) 783 791 2 16 882 17 306

47

Hasil proyeksi pada tahun 2013 produksi jagung Indonesia diramalkan akan

meningkat menjadi 17.523 ribu ton atau meningkat sebesar 4.24%. Analisis lebih

lanjut untuk proyeksi pada tahun 2014 produksi jagung akan kembali meningkat

sebesar 3.99% menjadi 18.223 ribu ton.

Proyeksi Konsumsi Jagung Indonesia

Berdasarkan Tabel 12, metode peramalan time series terbaik untuk

konsumsi jagung di Indonesia adalah metode ARIMA (1,1,1). Hasil analisis

ARIMA (1,1,1) dapat dilihat pada Lampiran 5.

Tabel 12 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi jagung di

Indonesia

Metode Time Series Terbaik MSE Ranking Hasil Ramalan

2013 2014

Tren 2 340 480 7 14 532 14 831

Dekomposisi Multiplikatif 2 340 813 8 14 537 14 827

Dekomposisi Aditif 2 340 456 6 14 540 14 823

Moving Average 2 303 788 4 15 638 15 638

Single Eksponential Smoothing 2 003 055 3 15 012 15 012

Double Eksponential Smoothing 1 926 635 2 15 574 15 918

Winters Multiplikatif 2 343 515 9 16 420 17 109

Winters Aditif 2 319 322 5 16 307 17 056

ARIMA (1,1,1) 1 909 916 1 15 764 16 016

1. Identifikasi

Berdasarkan gambar plot ACF dan PACF pada Lampiran 5 terlihat

bahwa ACF memiliki pola dying down dan PACF dying down pada lag 1.

2. Estimasi

Melihat pola ACF dan PACF model tentatif yang mungkin adalah AR

(1) dan MA (1). Selain kemungkinan dari model tersebut, tidak menutup

kemungkinan untuk model tentatif yang lain.

3. Evaluasi Model (Uji Diagnostik)

Setelah dilakukan estimasi parameter model, selanjutnya dilakukan

evaluasi untuk memastikan apakah model yang diestimasi sudah baik atau

belum. Kriteria dalam evaluasi metode ARIMA antara lain:

a. Proses iterasi harus konvergen

Hasil pengolahan model ARIMA menunjukkan bahwa proses iterasi telah

konvergen (antara suatu model sudah tidak ada beda yang nyata). Proses

iterasi telah konvergen ditunjukkan adanya pernyataan relative change in

each estimate less then 0.0010.

b. Kondisi invertibilitas ataupun stasioneritas harus terpenuhi

Kondisi invertibilitas ataupun stasioneritas telah terpenuhi. Hal ini

ditunjukkan oleh jumlah koefisien MA atau AR yang masing-masing

kurang dari satu. Dalam Output model terlihat jumlah koefisien untuk AR

(1) = 0.2900 dan MA (1) = 0.7066 adalah 0.9966.

c. Residual random

Residual dari hasil peramalan dari model juga menunjukkan bahwa

residual (forecast error) sudah random. Sebagai indikator residual hasil

48

ramalan telah random, ditunjukkan dengan nilai P-value untuk uji statistik

dari residual lebih besar dari 0.05. Selain itu grafik ACF dan PACF dari

residual yang memiliki pola cut off menunjukkan bahwa residual telah

acak.

d. Signifikansi parameter

Hal ini dapat dilihat dari nilai P-value koefisien yang kurang dari 0.05.

Terlihat pada Output bahwa P-value koefisien untuk AR (1) = 0.000 dan

MA (1) = 0.000.

e. Model harus parsimonius

Keseluruhan model yang telah memenuhi syarat diatas, model ARIMA

(1,1,1) adalah model yang relatif sudah dalam bentuk paling sederhana.

f. Model harus memiliki MSE terkecil

Model ini memiliki nilai MSE terkecil dari keseluruhan model yang

dicoba. Model ini memiliki nilai MSE sebesar 1.909.916.

4. Peramalan

Hasil proyeksi konsumsi jagung Indonesia menunjukkan peningkatan

dari tahun sebelumnya yaitu menjadi sebesar 15.764 ribu ton pada tahun 2013.

Sedangkan proyeksi konsumsi jagung tahun 2014 adalah sebesar 16.016 ribu

ton.

Berdasarkan hasil produksi total diperoleh bahwa produksi jagung ke depan

meningkat 3.99% per tahun, sedangkan konsumsi jagung per tahun meningkat

1.60%. Hasil proyeksi produksi dan konsumsi jagung dibandingkan seperti yang

terlihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Proyeksi produksi dan konsumsi jagung

Tahun Produksi Jagung (ribu ton) Konsumsi Jagung (ribu ton) Senjang

2013 17 523 15 764 1 759

2014 18 223 16 016 2 207

Pertumbuhan 3.99% 1.60%

Laju pertumbuhan produksi jagung sebesar 3.99% lebih tinggi dibandingkan

laju pertumbuhan konsumsi jagung sebesar 1.60%, sehingga ada kemungkinan

untuk Indonesia sampai pada keadaan surplus jagung. Upaya pemerintah dengan

membuat roadmap peningkatan produksi jagung nasional menuju swasembada

tahun 2014 akan berhasil. Hal ini seperti yang terlihat pada Tabel 13, Indonesia

dapat sampai pada surplus jagung pada tahun 2013.

Dengan melihat hasil proyeksi produksi dan konsumsi jagung pada Tabel

13, Indonesia akan menjadi negara yang surplus jagung pada tahun 2013.

Produksi dapat memenuhi konsumsi beras dalam negeri, keadaan ini akan

mengantarkan Indonesia menjadi negara yang mandiri dalam pemenuhan

pangannya. Tetapi surplus pada tahun 2014 belum dapat memenuhi target

pemerintah. Namun, keadaan tersebut dapat mengurangi impor jagung yang

selama ini dilakukan sebagai upaya memenuhi konsumsi jagung dalam negeri.

49

Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia

Sumber protein nabati paling populer bagi masyarakat Indonesia pada

umumnya adalah kedelai. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia

dilakukan dalam bentuk tempe, 40% dalam bentuk tahu, dan 10% dalam bentuk

produk lain seperti tauco, kecap, dan lain-lain (Susenas BPS 2012). Hal tersebut

yang menyababkan kebutuhan Indonesia terhadap kedelai menjadi tinggi.

Tingginya kosumsi kedelai ini tidak disertai dengan produksi yang seimbang,

sehingga Indonesia masih harus mengimpor dari luar. Peningkatan produksi

kedelai baik dari kuantitas maupun kualitas terus diupayakan oleh pemerintah.

Pengembangan komoditas kedelai untuk menjadi unggulan subsektor tanaman

pangan perlu mendapat dukungan dari semua pihak terkait. Untuk melihat

perkembangan komoditas kedelai, berikut Gambar15 menyajikan perkembangan

produksi dan konsumsi kedelai Indonesia tahun 1970-2012.

Gambar 10 Grafik produksi dan konsumsi kedelai Indonesia Sumber: Kementrian Pertanian, diolah (2012)

Keragaan produksi kedelai di Indonesia secara umum antara tahun 1970

hingga tahun 2012 dengan tren cenderung terus meningkat (Gambar 10). Produksi

kedelai rata-rata tahun 1970-2012 mencapai 938 ribu ton dengan pertumbuhan

rata-rata 2.25%. Produksi rata-rata kedelai paling rendah terjadi pada tahun 1970

sebesar 497 ribu ton. Tahun 1984 terjadi rata-rata pertumbuhan produksi kedelai

tertinggi yaitu sebesar 43.47%. Jika dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek

antara tahun 1990-2012, rata-rata pertumbuhan produksi kedelai Indonesia hanya

berkisar -1.13%. Rata-rata produksi kedelai tertinggi mencapai Produksi kedelai

tertinggi mencapai 1.869 ribu ton pada tahun 1992. Rata-rata pertumbuhan

produksi kedelai terendah pada tahun 2000 sebesar -26.41. Sementara keragaan

rata-rata pertumbuhan produksi kedelai pada dekade terakhir meningkat sebesar

3.21%. Rata-rata pertumbuhan produksi kedelai antara tahun 2008 hingga 2012

meningkat menjadi 7.11%.

Pada Gambar 10 dapat dilihat keragaan konsumsi kedelai di Indonesia

antara tahun 1970-2012 yang menunjukkan pola berfluktuasi dengan

kecenderungan meningkat. Konsumsi kedelai rata-rata tahun 1970-2012 mencapai

300

500

700

900

1.100

1.300

1.500

1.700

1.900

2.100

197

0

197

2

197

4

197

6

197

8

198

0

198

2

198

4

198

6

198

8

199

0

199

2

199

4

199

6

199

8

200

0

200

2

200

4

200

6

200

8

201

0

201

2

To

tal

(Rib

u T

on

)

Tahun

Produksi

Kedelai

Konsumsi

Kedelai

50

1.394 ribu ton dengan pertumbuhan rata-rata 2.78%. Rata-rata konsumsi kedelai

terendah terjadi pada tahun 1970 sebesar 627 ribu ton. Pada tahun 1990-2012 rata-

rata pertumbuhan konsumsi kedelai Indonesia sebesar 1.05%. Rata-rata

pertumbuhan konsumsi kedelai tertinggi terjadi pada tahun 1992 sebesar 19.08%,

dan rata-rata konsumsi kedelai tertinggi sebesar 2.096 ribu ton pada tahun 1998.

Rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai terendah pada tahun 1999 sebesar -

29.78%. Jika dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek antara tahun 2008-2012,

rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai hanya sebesar 0.31%. Sementara

keragaan rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai pada 5 tahun terakhir berkisar -

1.85%.

Secara umum rata-rata pertumbuhan produksi kedelai dari tahun 1970-2012 lebih

besar daripada rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai. Penurunan tertinggi pada

5 tahun terakhir terjadi pada tahun 2008 yang merupakan salah satu masa krisis.

Hal ini menunjukkan bahwa kedelai masih terimbas krisis dibandingkan

komoditas pertanian lainnya, karena penyediaan kedelai masih tergantung dengan

kedelai impor. Sehingga swasembada diperlukan untuk meningkatkan produksi

kedelai pada masa mendatang.

Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia

Proyeksi Produksi Kedelai Indonesia

Pada Tabel 14 di bawah ini hasil pengolahan terbaik diperoleh dengan

menggunakan metode single eksponential smoothing. Hasil pengolahan data

menggunakan single eksponential smoothing menghasilkan nilai MSE terkecil

sebesar 19.469. Metode ini optimal pada nilai pemulusan level estimasi saat ini

sebesar 1.13322. Hasil proyeksi produksi kedelai Indonesia menurun dari tahun

sebelumnya sebesar -1.02% menjadi 775 ribu ton pada tahun 2013. Sedangkan

pada tahun 2014 hasil proyeksi produksi kedelai Indonesia tidak mengalami

peningkatan yaitu tetap sebesar 775 ribu ton.

Tabel 14 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi kedelai di

Indonesia

Metode Time Series Terbaik MSE Ranking Hasil Ramalan

2013 2014

Tren 142 158 8 1 152 1 161

Dekomposisi Multiplikatif 142 149 7 1 153 1 160

Dekomposisi Aditif 142 164 9 1 151 1 162

Moving Average 20 320 3 783 783

Single Eksponential Smoothing 19 469 1 775 775

Double Eksponential Smoothing 19 987 2 772 769

Winters Multiplikatif 69 326 6 711 687

Winters Aditif 68 785 5 718 690

ARIMA (2,2,1) 22 421 4 723 661

51

Proyeksi Konsumsi Kedelai Indonesia

Pada Tabel 15 di bawah ini hasil pengolahan terbaik diperoleh dengan

menggunakan metode double eksponential smoothing. Hasil pengolahan data

menggunakan double eksponential smoothing menghasilkan nilai MSE terkecil

sebesar 19.358. Metode ini optimal pada nilai pemulusan level estimasi saat ini

sebesar 0.890233 sedangkan untuk nilai pemulusan trend sebesar 0.012814. Hasil

proyeksi konsumsi kedelai Indonesia meningkat dari tahun sebelumnya yaitu

menjadi 1.755 ribu ton pada tahun 2013. Sedangkan pada tahun 2014 hasil

proyeksi konsumsi kedelai Indonesia sebesar 1.773 ribu ton.

Tabel 15 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi kedelai di

Indonesia

Metode Time Series Terbaik MSE Ranking Hasil Ramalan

2013 2014

Tren 42492 9 2 020 2 046

Dekomposisi Multiplikatif 42491 7 2 020 2 046

Dekomposisi Aditif 42492 8 2 020 2 046

Moving Average 20157 3 1 730 1 730

Single Eksponential Smoothing 19686 2 1 729 1 729

Double Eksponential Smoothing 19358 1 1 755 1 773

Winters Multiplikatif 25573 5 1 741 1 725

Winters Aditif 25441 4 1 740 1 726

ARIMA (3,2,1) 26663 6 1 708 1 714

Berdasarkan hasil produksi total diperoleh bahwa produksi kedelai ke depan

tidak mengalami peningkatan, sedangkan konsumsi kedelai per tahun meningkat

1.03%. Hasil proyeksi produksi dan konsumsi kedelai dibandingkan seperti yang

terlihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Proyeksi produksi dan konsumsi kedelai

Tahun Produksi Kedelai (ribu ton) Konsumsi Kedelai (ribu ton) Senjang

2013 775 1 755 -980

2014 775 1 773 -998

Pertumbuhan 0.00% 1.03%

Berdasarkan hasil proyeksi produksi terlihat bahwa hasil proyeksi produksi

yang diperoleh jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan konsumsi. Produksi

kedelai tidak mengalami peningkatan, sedangkan laju peryumbuhan konsumsi

kedelai setiap tahunnya meningkat sebesar 1.03. Pada tahun 2014 proyeksi

produksi sebesar 775 ribu ton dan konsumsi sebesar 1.773 ribu ton. Artinya

Indonesia belum bisa mencapai swasembada kedelai pada tahun 2014 seperti yang

ditargetkan pemerintah.

52

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PRODUKSI DAN

KONSUMSI KOMODITI PANGAN STRATEGIS SERTA

IMPLIKASINYA TERHADAP SWASEMBADA NASIONAL

Pendugaan model mengunakan metode regresi berganda dengan fungsi

linier dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan

konsumsi komoditi pangan strategis di Indonesia. Alat yang digunakan dalam

pembentukan model ini yaitu software minitab versi 14.0. Data yang digunakan

merupakan data 33 tahun terakhir yaitu dari tahun 1980 hingga tahun 2012 dengan

periode tahunan. Pembentukan model produksi dan konsumsi di Indonesia ini

dilakukan dengan menggunakan satu variabel dependen dan empat variabel

independen. Untuk menghasilkan model terbaik, variabel-variabel yang ada di

dalam model ditransformasi dalam bentuk logaritma natural (Ln). Hasil

pengolahan data dengan menggunakan variabel-variabel yang telah ditentukan

sebelumnya memberikan informasi seperti yang terlihat pada halaman lampiran.

Model Produksi Komoditi Beras di Indonesia

Berdasarkan hipotesis penelitian, semua variabel diduga memengaruhi

produksi beras Indonesia. Keseluruhan variabel yang diduga memengaruhi

produksi beras Indonesia yang berpengaruh nyata antara lain lahan panen padi,

curah hujan, anggaran litbang, dan varietas unggul yang ditemukan.

Tabel 17 Hasil analisis model regresi produksi beras di Indonesia

Variabel Koefisien Standar Error T-Hitung P-Value VIF

Constant -4.8270 1.6410 -2.94 0.007

LB (luas areal panen padi) 1.5814 0.1840 8.60 0.000 8.8

CH (curah hujan) 0.0199 0.0326 0.61 0.546 1.2

AL (anggaran litbang) 0.0182 0.0118 2.54 0.035 9.0

VB (varietas unggul padi) -0.0010 0.0007 -1.48 0.149 1.1

R-Sq = 96.9%

R-Sq(adj) = 96.4%

Durbin-Watson statistic = 1.784655

F = 216.14

P-value model = 0.000

Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model produksi

beras di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 17. Variabel

dependen (PB) dalam model ini merupakan produksi beras di Indonesia per tahun.

PB = - 4.83 + 1.58 LB + 0.0199 CH + 0.0182 AL – 0.000980 VB

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa perubahan produksi beras bersifat

elastis terhadap lahan panen padi, tetapi bersifat inelastis terhadap curah hujan,

anggaran litbang, dan varietas unggul. Hasil regresi lainnya menunjukkan variabel

lahan panen padi, curah hujan dan anggaran litbang mempunyai korelasi yang

positif terhadap produksi beras seperti yang diduga dalam hipotesis. Pada saat

lahan panen padi meningkat, maka akan menyebabkan produksi beras Indonesia

meningkat. Seperti halnya lahan panen padi, curah hujan tinggi juga akan

53

meningkatkan jumlah produksi beras. Pada musim hujan petani tidak menghadapi

masalah pengairan tetapi curah hujan yang sangat tinggi dan udara yang sangat

lembab menyebabkan populasi hama dan penyakit tanaman. Sebaliknya pada saat

musim kemarau, petani menghadapi masalah pengairan tetapi tidak menghadapi

masalah serangan hama dan penyakit, namun pada musim kemarau produksi

menjadi lebih rendah dibanding pada musim hujan. Curah hujan yang

memengaruhi peningkatan produksi beras ini adalah curah hujan yang sesuai

dengan kebutuhan penanaman padi yaitu 1.500-2.000 mm per tahun atau lebih.

Produksi beras juga diduga meningkat pada saat anggaran litbang meningkat.

Sebaliknya, variabel varietas unggul padi yang ditemukan memiliki korelasi

yang negatif terhadap produksi beras dan hal tersebut bertentangan dengan

hipotesis. Di dalam hipotesis disebutkan bahwa jika jumlah varietas unggul padi

bertambah, maka jumlah produksi padi akan meningkat. Akan tetapi hal tersebut

tidak sesuai dengan hasil regresi yang menunjukkan bahwa penyebab menurunnya

jumlah produksi padi adalah bertambahnya varietas unggul padi. Hal ini

disebabkan karena adanya degenerasi (kemerosotan atau kemunduran) varietas

unggul, diantaranya: perbaruan benih dilakukan lebih dari 3 kali masa tanam

sehingga kemurnian kurang terjaga, kurangnya pengawasan sistem penyebaran

benih oleh dinas pertanian rakyat, keadaan alam yang berubah, serta percampuran

benih dengan lebih dari satu varietas sehingga produksi dari benih unggul tidak

sesuai dengan harapan. Permasalahan lain yang dihadapi dalam penyiapan atau

pengadaan benih padi adalah viabilitas (kemampuan hidup suatu individu) benih

padi yang cepat mengalami penurunan. Sering terjadi viabiltas benih padi

menurun sampai kurang dari 80% dalam waktu 2-3 bulan, penyebab tingginya

laju penurunan viabiltas benih padi selama penyimpanan adalah (a) Benih padi

yang disimpan memiliki vigor (kemampuan benih menghasilkan tanaman normal)

awal yang rendah; (b) Benih disimpan atau dikemas pada kadar air yang tinggi;

(c) Kondisi penyimpanan yang lembab dan panas; dan (d) Kerusakan benih oleh

hama, penyakit terbawa benih dan kerusakan benih secara mekanis (Siregar,

1981).

Ada beberapa evaluasi model regresi produksi beras Indonesia (Output

minitab tersaji di Lampiran 2). Masalah multikolinieritas dapat dilihat dari nilai

VIF. Pada Tabel 17 terlihat bahwa semua variabel independen mempunyai nilai

VIF lebih kecil dari 10, sehingga tidak terjadi masalah multikolinieritas. Untuk

mengetahui uji normalitas dapat dilihat dari grafik Normal Probability Plot

(Lampiran 8). Titik-titik residual berada pada posisi yang mendekati garis lurus,

sehingga dapat dikatakan bahwa model ini memenuhi kriteria uji normalitas.

Asumsi homoskedastisitas atau masalah heteroskedastisitas diperiksa

menggunakan grafik Residuals Versus the Fitted Values (Lampiran 8). Terlihat

pada grafik tidak terlihat berpola baik meningkat maupun menurun, hal ini

menunjukkan bahwa variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan). Uji

Durbin-Watson menghasilkan nilai sebesar 1.784655 (1.7298<DW<2.2702),

maka dapat diambil kesimpulan tidak terdapat autokorelasi antar variabel

independen dalam model.

Hasil dugaan model regresi produksi beras Indonesia terlihat pada Tabel 17.

Uji koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan untuk model produksi beras

Indonesia yaitu sebesar 96.9%. Angka tersebut menunjukkan bahwa keragaman

produksi beras Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel independen di dalam

54

model sebesar 96.9% sedangkan sisanya sebesar 3.1% dijelaskan oleh faktor-

faktor lain yang tidak terdapat di dalam model. Berdasarkan uji statistik t

menunjukkan bahwa variabel independen lahan panen padi dan anggaran litbang

yang memberikan pengaruh nyata terhadap produksi beras Indonesia pada taraf

nyata 5% atau thitung > t2.045, sedangkan variabel curah hujan dan varietas unggul

tidak berpengaruh nyata. Hasil uji F untuk signifikansi menyeluruh, signifikan

pada taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung > F2.93. Hasil tersebut memiliki pengertian

bahwa secara bersama-sama semua variabel independen dalam model mampu

menjelaskan dengan baik perubahan produksi beras Indonesia.

Model Produksi Komoditi Jagung di Indonesia

Keseluruhan variabel hipotesis penelitian yang diduga memengaruhi

produksi jagung Indonesia yang berpengaruh nyata antara lain lahan panen

jagung, anggaran litbang, dan varietas unggul jagung yang ditemukan. Sedangkan

variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah curah hujan.

Tabel 18 Hasil analisis model regresi produksi jagung di Indonesia

Variabel Koefisien Standar Error T-Hitung P-Value VIF

Constant -3.6666 0.8892 -4.12 0.000

LJ (luas areal panen jagung) 1.2609 0.1028 12.27 0.000 2.2

CH (curah hujan) -0.1066 0.0488 -2.18 0.038 1.1

AL (anggaran litbang) 0.1812 0.0093 19.51 0.000 2.3

VJ (varietas unggul jagung) -0.0027 0.0012 -2.25 0.032 1.1

R-Sq = 98.6%

R-Sq(adj) = 98.3%

Durbin-Watson statistic = 1.78939

F = 477.77

P-value model = 0.000

Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model produksi

jagung di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 18. Variabel

dependen (Y) dalam model ini merupakan produksi jagung di Indonesia per tahun.

Sedangkan variabel independen untuk menggambarkan model produksi jagung di

Indonesia antara lain: lahan panen jagung (LJ), curah hujan (CH), anggaran

litbang (AL), dan jumlah varietas jagung yang ditemukan pada periode saat ini

(VJ). Bentuk persamaannya yaitu:

PJ = - 3.67 + 1.26 LJ + 0.107 CH + 0.181 AL – 0.00273 VJ

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa perubahan produksi jagung

bersifat elastis terhadap lahan panen jagung, tetapi bersifat inelastis terhadap

curah hujan, anggaran litbang, dan varietas unggul. Hasil regresi lainnya

menunjukkan variabel lahan panen jagung dan anggaran litbang mempunyai

korelasi yang positif terhadap produksi beras seperti yang diduga dalam hipotesis.

Pada saat lahan panen padi meningkat, maka akan menyebabkan produksi beras

Indonesia meningkat. Produksi beras juga diduga meningkat pada saat anggaran

litbang meningkat. Variabel curah hujan sejalan dengan dugaan atau hipotesis

yaitu berkorelasi negatif terhadap produksi jagung. Hal tersebut disebabkan

55

karena setelah keluar malai hujan diharapkan berkurang sampai tak ada hujan

karena jika curah hujan tinggi akan menyebabkan pembusukan.

Sebaliknya, variabel varietas unggul jagung yang ditemukan memiliki

korelasi yang negatif terhadap produksi jagung dan hal tersebut bertentangan

dengan hipotesis. Di dalam hipotesis disebutkan bahwa jika jumlah varietas

unggul jagung bertambah, maka jumlah produksi padi akan meningkat. Akan

tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan hasil regresi yang menunjukkan bahwa

penyebab menurunnya jumlah produksi jagung adalah bertambahnya varietas

unggul jagung. Hal ini disebabkan karena adanya degenerasi (kemerosotan atau

kemunduran) varietas unggul seperti tanaman jagung serta kurang baiknya sistem

penyebaran benih unggul kepada para petani, sehingga petani memakai benih

lebih dari 3 kali masa tanam sehingga kemurnian kurang terjaga.

Ada beberapa evaluasi model regresi produksi jagung Indonesia (Output

minitab tersaji di Lampiran 9). Masalah multikolinieritas dapat dilihat dari nilai

VIF. Pada Tabel 18 terlihat bahwa semua variabel independen mempunyai nilai

VIF lebih kecil dari 10, sehingga tidak terjadi masalah multikolinieritas.

Pengujian kenormalan dilakukan dengan melihat grafik Normal Probability Plot

(Lampiran 9). Titik-titik residual berada pada posisi yang mendekati garis lurus,

sehingga dapat dikatakan bahwa model ini memenuhi kriteria uji normalitas.

Pengujian lainnya yaitu asumsi homoskedastisitas diperiksa menggunakan grafik

Residuals Versus the Fitted Values (Lampiran 9). Pada grafik tidak ditemukan

titik yang berpola sistematik (acak) baik meningkat maupun menurun, hal ini

menunjukkan bahwa variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan).

Sedangkan uji Durbin-Watson untuk melihat autokorelasi dihasilkan nilai sebesar

1.78939 (1.7298<DW<2.2702), maka berdasarkan hipotesis awal dapat diambil

kesimpulan tidak terdapat autokorelasi antar variabel bebas dalam model.

Hasil dugaan model regresi produksi jagung Indonesia terlihat pada Tabel

18 diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar 98.6%. Hal tersebut memiliki

pengertian bahwa 98.6% perubahan produksi jagung Indonesia dijelaskan oleh

variasi variabel independen dalam model, sedangkan 1.4% dijelaskan oleh faktor-

faktor lain yang tidak terdapat di dalam model. Berdasarkan uji statistik t

menunjukkan bahwa variabel independen lahan panen jagung dan anggaran

litbang yang memberikan pengaruh nyata terhadap produksi jagung Indonesia

pada taraf nyata 5% atau thitung > t2.045, sedangkan variabel curah hujan dan

varietas unggul jagung tidak berpengaruh nyata. Hasil uji F untuk signifikansi

menyeluruh, signifikan pada taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung > F2.93. Hasil

tersebut memiliki pengertian bahwa secara bersama-sama semua variabel

independen dalam model mampu menjelaskan dengan baik perubahan produksi

jagung Indonesia.

Model Produksi Komoditi Kedelai di Indonesia

Semua variabel diduga memengaruhi produksi kedelai Indonesia. Variabel

yang diduga berpengaruh nyata adalah lahan panen kedelai, curah hujan, anggaran

litbang, dan varietas unggul kedelai yang ditemukan.

Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model produksi

kedelai di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 19. Variabel

56

dependen (Y) dalam model ini merupakan produksi kedelai di Indonesia per

tahun.

PK = - 1.83 + 1.15 LK + 0.0195 CH + 0.0937 AL – 0.00132 VK

Tabel 19 Hasil analisis model regresi produksi kedelai di Indonesia

Variabel Koefisien Standar Error T-Hitung P-Value VIF

Constant -1.8299 0.3821 -4.79 0.000

LK (luas areal panen kedelai) 1.1479 0.0243 47.24 0.000 1.6

CH (curah hujan) 0.0195 0.0345 0.57 0.576 1.2

AL (anggaran litbang) 0.0937 0.0054 17.25 0.000 1.8

VK (varietas unggul kedelai) -0.0013 0.0014 -0.97 0.339 1.1

R-Sq = 99.0%

R-Sq(adj) = 98.8%

Durbin-Watson statistic = 1.85562

F = 661.46

P-value model = 0.000

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa perubahan produksi kedelai

bersifat elastis terhadap lahan panen kedelai, tetapi bersifat inelastis terhadap

curah hujan, anggaran litbang, dan varietas unggul. Hasil regresi lainnya

menunjukkan variabel lahan panen kedelai, curah hujan dan anggaran litbang

mempunyai korelasi yang positif terhadap produksi kedelai seperti yang diduga

dalam hipotesis. Pada saat lahan panen kedelai meningkat, maka akan

menyebabkan produksi kedelai Indonesia meningkat. Seperti halnya lahan panen

kedelai, curah hujan tinggi juga akan meningkatkan jumlah produksi kedelai.

Produksi kedelai menjadi lebih tinggi pada musim hujan dibanhdingkan dengan

musim kemarau, hal ini dikarenakan petani tidak menghadapi masalah perairan.

Curah hujan yang memengaruhi peningkatan produksi beras ini adalah curah

hujan yang sesuai dengan kebutuhan penanaman padi yaitu 1.200-2.400 mm per

tahun. Produksi beras juga diduga meningkat pada saat anggaran litbang

meningkat.

Sebaliknya, variabel varietas unggul kedelai yang ditemukan memiliki

korelasi yang negatif terhadap produksi kedelai dan hal tersebut bertentangan

dengan hipotesis. Di dalam hipotesis disebutkan bahwa jika jumlah varietas

unggul kedelai bertambah, maka jumlah produksi kedelai akan meningkat. Akan

tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan hasil regresi yang menunjukkan bahwa

penyebab menurunnya jumlah produksi kedelai adalah bertambahnya varietas

unggul kedelai. Situasi perbenihan kedelai di Indonesia sudah menjurus pada

krisis benih. Hal ini dapat dilihat pada saat musim tanam petani mengalami

kesulitan untuk mencari benih unggul, sehingga benih yang ditanam berasal dari

pasar atau benih asalan yang memiliki daya tumbuh rendah. Sebagian besar benih

untuk tanaman pangan hampir 50% dikuasai oleh perusahaan multinasional.

Kondisi seperti ini merupakan bentuk monopoli yang menyebabkan biaya tinggi,

akibatnya petani menanggung beban ongkos produksi yang semakin mahal.

Sampai saat ini sudah dilepas 70 varietas kedelai namun penyebarannya masih

mengalami kendala karena belum teraturnya sistem perbenihan di

Indonesia. Disisi lain, upaya pengembangan benih kedelai terhambat atau jalan

57

ditempat7. Adanya benih unggul belum mampu tersebar luas pada petani kedelai

sehingga membuat pertambahan varietas unggul benih akan menyebabkan

penurunan produksi kedelai.

Evaluasi model regresi produksi kedelai Indonesia dapat dilihat pada

Lampiran 10. Masalah multikolinieritas dapat dilihat dari nilai VIF. Pada Tabel 19

terlihat bahwa semua variabel independen mempunyai nilai VIF lebih kecil dari

10, sehingga tidak terjadi masalah multikolinieritas. Uji normalitas dilakukan

dengan melihat grafik Normal Probability Plot (Lampiran 10). Titik-titik residual

berada pada posisi yang mendekati garis lurus, sehingga dapat dikatakan bahwa

model ini memenuhi kriteria uji normalitas. Asumsi homoskedastisitas atau

masalah heteroskedastisitas diperiksa menggunakan grafik Residuals Versus the

Fitted Values (Lampiran 10). Pada grafik tidak ditemukan titik yang berpola

sistematik (acak) baik meningkat maupun menurun, hal ini menunjukkan bahwa

variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan). Uji Durbin-Watson untuk

melihat autokorelasi dihasilkan nilai sebesar 1.85562 (1.7298<DW<2.2702),

maka dapat diambil kesimpulan tidak terdapat autokorelasi antar variabel

independen dalam model.

Hasil dugaan model regresi produksi kedelai Indonesia (Tabel 19) diperoleh

koefisien determinasi (R2) sebesar 99%. Hal tersebut memiliki pengertian bahwa

99% perubahan produksi kedelai Indonesia dapat dijelaskan oleh variasi variabel

independen dalam model, sedangkan 1% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang

tidak terdapat di dalam model. Berdasarkan uji statistik t menunjukkan bahwa

variabel independen lahan panen kedelai dan anggaran litbang yang memberikan

pengaruh nyata terhadap produksi kedelai Indonesia pada taraf nyata 5% atau

thitung > t2.045, sedangkan variabel curah hujan dan varietas unggul kedelai tidak

berpengaruh nyata. Hasil uji F untuk signifikansi menyeluruh, signifikan pada

taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung > F2.93. Hasil tersebut memiliki pengertian

bahwa secara bersama-sama semua variabel independen dalam model mampu

menjelaskan dengan baik perubahan produksi kedelai Indonesia.

Model Konsumsi Komoditi Beras di Indonesia

Berdasarkan hipotesis penelitian, keseluruhan variabel yang diduga

memengaruhi konsumsi beras Indonesia yang berpengaruh nyata antara lain

jumlah penduduk, produksi beras dunia, dan GDP. Sedangkan variabel yang

diduga tidak berpengaruh nyata adalah harga beras.

Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model konsumsi

beras di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 20. Variabel

dependen (Y) dalam model ini merupakan konsumsi beras di Indonesia per tahun.

KB = - 30.7 + 3.90 JP – 0.138 HB + 0.355 PDB + 0.156 GDP

Pertambahan jumlah penduduk akan mengakibatkan pertambahan konsumsi

beras Indonesia, jika jumlah penduduk meningkat maka konsumsi beras Indonesia

meningkat. Harga beras memiliki korelasi yang negatif terhadap konsumsi beras,

artinya jika harga beras naik maka konsumsi beras Indonesia akan mengalami

7 Purwantoro. Percepatan Penyebaran Varietas Unggul Melalui Sistem Penangkaran Perbenihan

Kedelai di Indoenesia [Internet]. [diunduh 2013 November 8]. Tersedia pada:

http://balitkabi.litbang.deptan.go.id.

58

penurunan. Konsumsi beras Indonesia akan meningkat jika produksi dunia beras

meningkat. Pada saat GDP Indonesia meningkat maka akan meningkatkan

konsumsi beras Indonesia. Perubahan konsumsi beras bersifat elastis terhadap

variabel jumlah penduduk, tetapi tidak bersifat elastis terhadap harga beras,

produksi beras dunia serta GDP.

Tabel 20 Hasil analisis model regresi konsumsi beras di Indonesia

Variabel Koefisien Standar Error T-Hitung P-Value VIF

Constant -30.7170 8.3530 -3.68 0.001

JP (jumlah penduduk) 3.8964 0.5459 7.14 0.000 3.2

HB (harga beras) -0.1379 0.0664 -2.08 0.047 3.8

PDB (produksi dunia beras) 0.3553 0.7148 0.50 0.623 4.0

GDP (Gross Domestic Product) -0.1565 0.0612 -2.56 0.016 1.2

R-Sq = 92.5%

R-Sq(adj) = 91.5%

Durbin-Watson statistic = 1.838268

F = 86.71

P-value model = 0.000

Ada beberapa evaluasi model regresi konsumsi beras Indonesia (Output

minitab tersaji di Lampiran 11). Untuk mengetahui uji linieritas dapat dilihat dari

plot variabel-variabel prediksi tidak membentuk suatu pola tertentu (parabola,

kubik, dan lain-lain). Terlihat bahwa residual terdistribusi secara random dan

terkumpul di sekitar garis lurus, sehingga dapat dikatakan asumsi atau uji

linieritas telah terpenuhi oleh model ini. Masalah multikolinieritas dapat dilihat

dari nilai VIF. Pada Tabel 20 terlihat bahwa semua variabel independen

mempunyai nilai VIF lebih kecil dari 10, sehingga tidak terjadi masalah

multikolinieritas. Untuk mengetahui uji normalitas dapat dilihat dari grafik

Normal Probability Plot (Lampiran 11). Titik-titik residual berada pada posisi

yang mendekati garis lurus, sehingga dapat dikatakan bahwa model ini memenuhi

kriteria uji normalitas. Asumsi homoskedastisitas atau masalah heteroskedastisitas

diperiksa menggunakan grafik Residuals Versus the Fitted Values (Lampiran 11).

Terlihat pada grafik tidak terlihat berpola baik meningkat maupun menurun, hal

ini menunjukkan bahwa variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan). Uji

Durbin-Watson menghasilkan nilai sebesar 1.838268 (1.7298<DW<2.2702),

maka dapat diambil kesimpulan tidak terdapat autokorelasi antar variabel

independen dalam model.

Hasil dugaan model regresi konsumsi beras Indonesia terlihat pada Tabel

20. Uji koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan untuk model konsumsi beras

Indonesia yaitu sebesar 92.5%. Angka tersebut menunjukkan bahwa keragaman

konsumsi beras Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel independen di dalam

model sedangkan sisanya sebesar 7.5% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang

tidak terdapat di dalam model. Berdasarkan uji statistik t menunjukkan bahwa

variabel jumlah penduduk, harga beras, dan GDP memberikan pengaruh nyata

terhadap konsumsi beras Indonesia pada taraf nyata 5% atau thitung > t2.045,

sedangkan variabel konsumsi beras dunia tidak berpengaruh nyata. Hasil uji F

untuk signifikansi menyeluruh, signifikan pada taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung

> F2.93. Hasil tersebut memiliki pengertian bahwa secara bersama-sama semua

59

variabel independen dalam model mampu menjelaskan dengan baik perubahan

konsumsi beras Indonesia.

Model Konsumsi Komoditi Jagung di Indonesia

Berdasarkan hipotesis penelitian, keseluruhan variabel yang diduga

memengaruhi konsumsi jagung Indonesia yang berpengaruh nyata antara lain

jumlah penduduk, produksi jagung dunia, dan GDP. Sedangkan variabel yang

diduga tidak berpengaruh nyata adalah harga jagung.

Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model konsumsi

jagung di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 21. Variabel

dependen (Y) dalam model ini merupakan konsumsi jagung di Indonesia per

tahun.

KJ = - 24,2 + 2,37 JP - 0,135 HJ + 0,344 PDJ + 0,160 GDP

Tabel 21 Hasil analisis model regresi konsumsi jagung di Indonesia

Variabel Koefisien Standar Error T-Hitung P-Value VIF

Constant -24.2400 10.9000 -2.22 0.034

JP (jumlah penduduk) 2.3652 0.9088 2.60 0.015 5.4

HJ (harga jagung) -0.1354 0.1075 -1.26 0.218 4.8

PDJ (produksi dunia jagung) 0.3444 0.4053 0.85 0.403 4.9

GDP (Gross Domestic Product) 0.1597 0.1349 1.18 0.046 7.2

R-Sq = 88.9%

R-Sq(adj) = 87.3%

Durbin-Watson statistic = 1.79243

F = 55.87

P-value model = 0.000

Pertambahan jumlah penduduk memberikan korelasi yang positif terhadap

konsumsi jagung Indonesia, jika jumlah penduduk meningkat maka konsumsi

jagung Indonesia meningkat. Harga jagung memiliki korelasi yang positif

terhadap konsumsi jagung, artinya jika harga jagung naik maka konsumsi jagung

Indonesia akan mengalami peningkatan. Konsumsi jagung Indonesia akan

meningkat jika produksi dunia jagung mengalami peningkatan. Pada saat GDP

Indonesia meningkat maka akan meningkatkan konsumsi beras Indonesia.

Perubahan konsumsi jagung bersifat elastis terhadap variabel jumlah penduduk,

tetapi tidak bersifat elastis terhadap harga jagung, produksi jagung dunia serta

GDP.

Ada beberapa evaluasi model regresi konsumsi jagung Indonesia (Output

minitab tersaji di Lampiran 12). Masalah multikolinieritas dapat dilihat dari nilai

VIF. Pada Tabel 21 terlihat bahwa semua variabel independen mempunyai nilai

VIF lebih kecil dari 10, sehingga tidak terjadi masalah multikolinieritas.

Pengujian kenormalan dilakukan dengan melihat grafik Normal Probability Plot

(Lampiran 12). Titik-titik residual berada pada posisi yang mendekati garis lurus,

sehingga dapat dikatakan bahwa model ini memenuhi kriteria uji normalitas.

Pengujian lainnya yaitu asumsi homoskedastisitas diperiksa menggunakan grafik

Residuals Versus the Fitted Values (Lampiran 12). Pada grafik tidak ditemukan

titik yang berpola sistematik (acak) baik meningkat maupun menurun, hal ini

60

menunjukkan bahwa variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan).

Sedangkan uji Durbin-Watson untuk melihat autokorelasi dihasilkan nilai sebesar

1.79243 (1.7298<DW<2.2702), maka berdasarkan hipotesis awal dapat diambil

kesimpulan tidak terdapat autokorelasi antar variabel bebas dalam model.

Hasil dugaan model regresi konsumsi jagung Indonesia terlihat pada Tabel

21 diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar 88.9%. Hal tersebut memiliki

pengertian bahwa 88.9% perubahan konsumsi jagung Indonesia dijelaskan oleh

variasi variabel independen dalam model, sedangkan 11.1% dijelaskan oleh

faktor-faktor lain yang tidak terdapat di dalam model. Berdasarkan uji statistik t

menunjukkan bahwa variabel independen jumlah penduduk dan GDP yang

memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi jagung Indonesia pada taraf nyata

5% atau thitung > t2.045, sedangkan variabel harga jagung dan produksi jagung dunia

tidak berpengaruh nyata. Hasil uji F untuk signifikansi menyeluruh, signifikan

pada taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung > F2.93. Hasil tersebut memiliki pengertian

bahwa secara bersama-sama semua variabel independen dalam model mampu

menjelaskan dengan baik perubahan konsumsi jagung Indonesia.

Model Konsumsi Komoditi Kedelai di Indonesia

Berdasarkan hipotesis penelitian, keseluruhan variabel yang diduga

memengaruhi konsumsi kedelai Indonesia yang berpengaruh nyata antara lain

jumlah penduduk, produksi kedelai dunia, dan GDP. Sedangkan variabel yang

diduga tidak berpengaruh nyata adalah harga kedelai.

Tabel 22 Hasil analisis model regresi konsumsi kedelai di Indonesia

Variabel Koefisien Standar Error T-Hitung P-Value VIF

Constant -31.2390 8.0880 -3.86 0.001

JP (jumlah penduduk) 3.7801 0.7450 5.07 0.000 4.4

HK (harga kedelai) -0.2081 0.0890 -2.34 0.027 3.5

PDK (produksi dunia kedelai) 0.4626 0.2369 1.95 0.061 3.3

GDP (Gross Domestic Product) 0.0720 0.0751 0.96 0.346 1.2

R-Sq = 67.8%

R-Sq(adj) = 63.2%

Durbin-Watson statistic = 1.73353

F = 14.76

P-value model = 0.000

Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model konsumsi

kedelai di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 22. Variabel

dependen (Y) dalam model ini merupakan konsumsi kedelai di Indonesia per

tahun.

KK = - 31,2 + 3,78 JP - 0,208 HK + 0,463 PDK + 0,0720 GDP

Peningkatan jumlah penduduk berkorelasi positif terhadap konsumsi kedelai

Indonesia dan berkorelasi positif, artinya jika jumlah penduduk meningkat maka

konsumsi kedelai Indonesia meningkat. Konsumsi kedelai diduga mengalami

kenaikan pada saat harga turun. Sedangkan terhadap perubahan produksi kedelai

dunia bersifat elastis dan berkorelasi negatif, artinya jika produksi kedelai dunia

meningkat maka konsumsi kedelai Indonesia akan mengalami peningkatan. Pada

61

saat GDP Indonesia meningkat maka akan meningkatkan konsumsi kedelai

Indonesia. Perubahan konsumsi kedelai bersifat elastis terhadap variabel jumlah

penduduk, tetapi tidak bersifat elastis terhadap harga kedelai, produksi kedelai

dunia serta GDP.

Evaluasi model regresi konsumsi kedelai Indonesia dapat dilihat pada

Lampiran 13. Masalah multikolinieritas dapat dilihat dari nilai VIF. Pada Tabel 22

terlihat bahwa semua variabel independen mempunyai nilai VIF lebih kecil dari

10, sehingga tidak terjadi masalah multikolinieritas. Uji normalitas dilakukan

dengan melihat grafik Normal Probability Plot (Lampiran 13). Titik-titik residual

berada pada posisi yang mendekati garis lurus, sehingga dapat dikatakan bahwa

model ini memenuhi kriteria uji normalitas. Asumsi homoskedastisitas atau

masalah heteroskedastisitas diperiksa menggunakan grafik Residuals Versus the

Fitted Values (Lampiran 13). Pada grafik tidak ditemukan titik yang berpola

sistematik (acak) baik meningkat maupun menurun, hal ini menunjukkan bahwa

variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan). Uji Durbin-Watson untuk

melihat autokorelasi dihasilkan nilai sebesar 1.73353 (1.7298<DW<2.2702),

maka dapat diambil kesimpulan tidak terdapat autokorelasi antar variabel

independen dalam model.

Hasil dugaan model regresi konsumsi kedelai Indonesia (Tabel 22)

diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar 67.8%. Hal tersebut memiliki

pengertian bahwa 67.8% perubahan konsumsi kedelai Indonesia dapat dijelaskan

oleh variasi variabel independen dalam model, sedangkan 32.2% dijelaskan oleh

faktor-faktor lain yang tidak terdapat di dalam model. Berdasarkan uji statistik t

menunjukkan bahwa variabel independen jumlah penduduk, dan harga kedelai

yang memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi kedelai Indonesia pada taraf

nyata 5% atau thitung > t2.045, sedangkan variabel produksi kedelai dunia dan GDP

tidak berpengaruh nyata. Hasil uji F untuk signifikansi menyeluruh, signifikan

pada taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung > F2.93. Hasil tersebut memiliki pengertian

bahwa secara bersama-sama semua variabel independen dalam model mampu

menjelaskan dengan baik perubahan konsumsi kedelai Indonesia.

Implikasi Terhadap Swasembada Komoditi Pangan Strategis

Komoditi pangan strategis memiliki peran besar dalam perekonomian

nasional, komoditas yang bepengaruh besar pada inflasi, dan komoditas yang

menguras belanja pengeluaran negara. Oleh karena itu, komoditi pangan strategis

tersebut harus dapat dijaga dengan baik keseimbangannya agar tidak berdampak

negatif bagi perekonomian Indonesia. Untuk dapat menjaga keseimbangan pasar

beras, jagung, dan kedelai tersebut, hal yang paling penting untuk dilakukan yaitu

menjaga agar produksi seimbang dengan konsumsi konsumen.

Secara ringkas Tabel 23 menyajikan hasil model peramalan produksi dan

konsumsi komoditi pangan strategis (beras, jagung, dan kedelai). Hasil proyeksi

tersebut digunakan sebagai dasar dalam analisis faktor-faktor yang memengaruhi

produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis. Hasil regresi berganda yang

signifikan akan dijadikan implikasi strategi atau kebijakan dalam meningkatkan

swasembada ketiga komoditi tersebut. Strategi tersebut diharapkan dapat

62

meningkatkan swasembada Indonesia pada tahun 2014 dan swasembada yang

berkelanjutan pada tahun-tahun berikutnya.

Tabel 23 Hasil peramalan dan analisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi

dan konsumsi komoditi pangan strategis Indonesia

Variabel Model time

series terbaik Hasil proyeksi Keterangan

Faktor-faktor

berpengaruh

Produksi

beras

ARIMA (1,1,0) Meningkat dari tahun

sebelumnya

Tahun 2013: 39.492 ribu ton

Tahun 2014: 40.096 ribu ton

Prediksi mampu

berswasembada

tahun 2014

Anggaran

litbang

Lahan panen

padi

Konsumsi

beras

Double

Eksponential

Smoothing

o Meningkat dari tahun

sebelumnya

o Tahun 2013: 38.130 ribu ton

o Tahun 2014: 38.558 ribu ton

o Jumlah

penduduk

o GDP

o Harga beras

Produksi

jagung

Double

Eksponential

Smoothing

Meningkat dari tahun

sebelumnya

Tahun 2013: 17.523 ribu ton

Tahun 2014: 18.223 ribu ton

Prediksi mampu

berswasembada

tahun 2014

Lahan panen

jagung

Curah hujan

Varietas

unggul jagung

Anggaran

litbang

Konsumsi

jagung

ARIMA (1,1,1) o Meningkat dari tahun

sebelumnya

o Tahun 2013: 15.764 ribu ton

o Tahun 2014: 16.016 ribu ton

o GDP

o Jumlah

penduduk

Produksi

kedelai

Single

Eksponential

Smoothing

Menurun dari tahun

sebelumnya

Tahun 2013: 775 ribu ton

Tahun 2014: 775 ribu ton

Prediksi belum

mampu

berswasembada

tahun 2014

Lahan panen

kedelai

Anggaran

litbang

Konsumsi

kedelai

Double

Eksponential

Smoothing

o Meningkat dari tahun

sebelumnya

o Tahun 2013: 1.755 ribu ton

o Tahun 2014: 1.773 ribu ton

o Jumlah

penduduk

o Harga kedelai

Jika dilihat dari pencapaian terhadap target sasaran yang ditetapkan oleh

Ditjen Tanaman Pangan, pencapaian realisasi produktivitas telah mencapai target,

bahkan selama 3 tahun terakhir (tahun 2010-2012) realisasi produktivitas melebihi

target yang ditetapkan. Sementara realisasi pencapaian target luas panen tahun

2010-2012 cenderung tidak mencapai target yang ditetapkan dengan kisaran

mencapai 0.12-1.49%. Berdasarkan pencapaian target luas panen dan

produktivitas tersebut, maka capaian produksi tahun 2010-2012 melebihi angka

targetnya yaitu sebesar 100.69%. Tabel 23 menjelaskan bahwa produksi beras

hingga tahun 2014 diperkirakan belum mencapai target sasaran yang ditetapkan

dan ada trend penurunan pencapaian target yaitu mencapai 98.08% di tahun 2013

dan 95.38% di tahun 2014. Meskipun belum mencapai terget sasaran, proyeksi

produksi dan konsumsi beras menunjukkan bahwa tahun 2014 Indonesia telah

mampu berswasembada beras. Namun kisaran capaian swasembada yang tidak

terlalu besar, sehingga belum dapat menggambarkan ketercapaian swasembada

beras yang berkelanjutan. Selain itu, kebijakan penetapan surplus 10 juta ton beras

di tahun 2014 diperkirakan belum dapat tercapai serta apabila volume cadangan

(20%) ikut dihitung, maka kemampuan swasembada beras pada tahun 2014 hanya

berkisar 86%.

63

Tabel 24 Capaian produksi dan capaian swasembada beras

Tahun

Target

Produksi

(Ribu Ton)

Proyeksi (Ribu Ton) Capaian (%)

Produksi Konsumsi Produksi Swasembada

2013 40 514 39 492 38 130 97.48 103.57

2014 43 046 40 096 38 558 93.15 103.99

Pertumbuhan (%) 6.25 1.53 1.12

Serupa dengan komoditi beras, melihat persentase capaian produksi jagung

terhadap sasaran komoditas selama 5 tahun terakhir menunjukkan pencapaian

realisasi yang masih jauh dari target yang ditetapkan. Dilihat dari tahun 2012

target produksi 24.000 ribu ton, sementara realisasi produksi berdasarkan hasil

proyeksi hanya sebesar 18.223 ribu ton. Berdasarkan pencapaian target luas panen

dan produktivitas tersebut, maka capaian produksi tahun 2010-2012 melebihi

angka targetnya yaitu sebesar 74.40%. Tabel 24 menjelaskan bahwa produksi

jagung hingga tahun 2014 diperkirakan tidak akan mencapai target sasaran yang

ditetapkan dan ada trend penurunan pencapaian target yaitu mencapai 67.40% di

tahun 2013 dan 62.84% di tahun 2014. Meskipun belum mencapai terget sasaran,

proyeksi produksi dan konsumsi jagung menunjukkan bahwa tahun 2014

Indonesia telah mampu berswasembada jagung. Sama dengan komoditi beras,

kisaran capaian swasembada jagung pada tahun 2014 yang tidak terlalu besar

belum dapat menggambarkan ketercapaian swasembada jagung yang

berkelanjutan. Namun, apabila cadangan (20%) ikut dihitung, maka kemampuan

swasembada jagung hanya berkisar 94%.

Tabel 25 Capaian produksi dan capaian swasembada jagung

Tahun

Target

Produksi

(Ribu Ton)

Proyeksi (Ribu Ton) Capaian (%)

Produksi Konsumsi Produksi Swasembada

2013 26 000 17 523 15 764 67.40 111.16

2014 29 000 18 223 16 016 62.84 113.78

Pertumbuhan (%) 11.54 3.99 1.60

Sedangkan, capaian produksi kedelai tahun 2012 adalah sekitar 41.21%,

yaitu dari target 1.900 ribu ton dapat direalisasikan sebesar 783 ribu ton. Secara

umum, penetapan target produksi dan luas meningkat lebih dari 15% per

tahunnya. Sementara produktivitas selama 5 tahun ditargetkan berkisar antara 15

kw/ha. Menurut hasil proyeksi produksi kedelai di Indonesia akan turun pada 2

tahun ke depan. Produksi antara tahun 2013 dan 2014 sebesar 775 ribu ton tanpa

adanya pertumbuhan dalam 2 tahun tersebut. Angka proyeksi produksi kedelai

tahun 2013 hanya mencapai 34.44% dari angka target produksi yang ditetapkan

oleh Ditjen Tanaman Pangan. Angka proyeksi tahun 2014 mencapai 28.70% dari

sasaran produksi. Berbeda dengan proyeksi produksi beras dan jagung yang

menunjukkan capaian produksi yang telah mencapai angka lebih dari 50% dari

target produksi sehingga kemungkinan dapat diswasembadakan. Proyeksi

produksi kedelai yang masih 50% di bawah target swasembada menggambarkan

bahwa tahun 2014 Indonesia belum mampu berswasembada kedelai. Dengan

diperhitungkannya cadangan (20%), maka kemampuan swasembada kedelai

adalah sebesar 36%.

64

Tabel 26 Capaian produksi dan capaian swasembada kedelai

Tahun

Target

Produksi

(Ribu Ton)

Proyeksi (Ribu Ton) Capaian (%)

Produksi Konsumsi Produksi Swasembada

2013 2 250 775 1 755 34.44 44.16

2014 2 700 775 1 773 28.70 43.71

Pertumbuhan (%) 20.00 0.00 1.03

Skenario Pencapaian Swasembada

Pada skenario pencapaian swasembada komoditi pangan strategis tahun

2014 dilakukan dengan menggunakan model kausal dari hasil analisis regresi

berganda sebelumnya. Upaya pencapaian swasembada komoditi pangan strategis

sebagaimana hasil yang signifikan atau yang berpengaruh pada poduksi dan

konsumsi, yaitu: pada sisi produksi adalah luas areal panen diupayakan dengan

peningkatan luas areal tanam sebesar 5-20% dari tahun dasar (tahun 2012),

angaran litbang diupayakan meningkat sebesar 5-20% dari tahun dasar (tahun

2012), serta penigkatan luas areal tanam bersamaan dengan peningkatan anggaran

litbang sebesar 5-20% dari tahun dasar (tahun 2012). Sedangkan dari sisi

konsumsi adalah jumlah penduduk didekati dengan penurunan jumlah konsumsi

per kapita sebesar 5-20% dari tahun dasar (tahun 2012). Hasil skenario produksi

tersebut dibandingkan dengan hasil proyeksi yang telah diperoleh sebelumnya,

misalnya skenario produksi tahun 2013 dibandingkan dengan roadmap

Kementerian Pertanian tahun 2013 dan proyeksi konsumsi tahun 2013, begitu

pula dengan tahun 2014.

Pada Tabel 27 skenario produksi dengan perluasan areal panen, peningkatan

anggaran litbang, serta skenario gabungan antara perluasan areal panen dan

peningkatan anggaran litbang adalah antara 5-20% pada komoditi beras, jagung,

dan kedelai pada tahun 2013 belum melebihi target roadmap Kementerian

Pertanian. Akan tetapi, skenario produksi dapat melebihi target roadmap dengan

peningkatan luas areal panen sebesar 5% serta perluasan areal panen dan

peningkatan anggaran litbang peningkatan sebesar 5% pada komoditi beras.

Sebaliknya, skenario produksi dengan perluasan areal panen, peningkatan

anggaran litbang, serta keduanya (perluasan areal panen dan peningkatan

anggaran litbang) antara 5-20% pada komoditi beras, jagung, dan kedelai pada

tahun 2013 telah melebihi proyeksi konsumsi, kecuali peningkatan anggaran

litbang pada komoditi beras diperkirakan melebihi 20%.

Skenario konsumsi dengan mengurangi konsumsi rata-rata per kapita

sebesar 5% pada tahun 2013 telah dapat menempatkan konsumsi beras, jagung,

dan kedelai di bawah target roadmap Kementerian Pertanian. Pengurangan

konsumsi rata-rata per kapita sebesar 5% juga telah menempatkan jumlah

konsumsi komoditi beras, dan jagung di bawah target proyeksi produksi, kecuali

pengurangan konsumsi per kapita kedelai diperkirakan melebihi 20% dari

proyeksi produksi tahun 2012.

Seperti halnya tahun 2013, perluasan areal panen, peningkatan anggaran

litbang, serta keduanya (perluasan areal panen dan peningkatan anggaran litbang)

antara 5-20% pada komoditi beras, jagung, dan kedelai pada tahun 2014

menghasilkan skenario produksi yang belum melebihi target roadmap

65

Kementerian Pertanian. Akan tetapi, skenario produksi dapat melebihi target

roadmap dengan peningkatan luas areal panen sebesar 10% serta perluasan areal

panen dan peningkatan anggaran litbang peningkatan sebesar 10% pada komoditi

beras. Sebaliknya, skenario produksi dengan perluasan areal panen, peningkatan

anggaran litbang, serta keduanya (perluasan areal panen dan peningkatan

anggaran litbang) antara 5-20% pada komoditi beras, jagung, dan kedelai pada

tahun 2014 telah melebihi proyeksi konsumsi, kecuali peningkatan anggaran

litbang pada komoditi beras diperkirakan melebihi 20%.

Sama halnya dengan tahuan 2014, skenario konsumsi dengan mengurangi

konsumsi rata-rata per kapita sebesar 5% pada tahun 2014 telah dapat

menempatkan konsumsi beras, jagung, dan kedelai di bawah target roadmap

Kementerian Pertanian. Pengurangan konsumsi rata-rata per kapita sebesar 5%

juga telah menempatkan jumlah konsumsi komoditi beras dan jagung di bawah

target proyeksi produksi, kecuali pengurangan konsumsi per kapita kedelai

diperkirakan melebihi 20% dari proyeksi produksi di tahun 2013.

Untuk mengetahui perkiraan seberapa besar persentase peniningkatan yang

diperlukan agar skenario produksi dan konsumsi memenuhi roadmap serta

proyeksi produksi dan konsumsi, maka dilakukan teknik trial and error pada

masing-masing persentase skenario. Pengurangan konsumsi per kapita kedelai

pada tahun 2013 dan 2014 dari teknik trial and error adalah 60% agar konsumsi

di bawah proyeksi produksi. Sedangkan agar dapat melebihi proyeksi konsumsi

beras, maka pada ahun 2013 dan 2014 peningkatan anggaran litbang harus lebih

besar dari 35% dan 25%.

Hasil dari trial and error yang diperoleh agar melebihi target roadmap

Kementerian Pertanian adalah peningkatan anggaran litbang pada tahun 2013 dan

2014 untuk komoditi beras harus lebih besar dari 70% dan 145. Untuk komoditi

jagung, perluasan areal panen di tahun 2013 dan 2014 sebesar lebih dari 220%

dan 260%, peningkatan anggaran litbang diperkirakan lebih dari 75% dan 90%,

serta dengan skenario gabungan adalah 60% dan 70%. Komoditi kedelai yang

diperkirakan tidak mencapai swasembada pada tahun 2014 jika dikondisikan

hingga mencapai swasembada maka diperlukan skenario yang besar. Seperti

halnya perluasan areal panen harus lebih besar dari 2315% pada tahun 2013 dan

3100% di tahun 2014. Peningkatan anggaran litbang pada tahun 2013 dan 2014

sebaiknya lebih besar dari 205% dan 275%. Sedangkan gabungan skenario

peningkatan luas areal panen dan anggaran litbang dikonsisikan lebih besar dari

190% dan 250%.

Skenario pencapaian swasembada dan swasembada yang berkelanjutan

komoditi beras dan jagung dimungkinkan tercapai. Hal ini disebabkan karena

kemungkinan direalisasikan skenario produksi dan konsumsi di bawah hasil

proyeksi, meskipun dalam pencapaian roadmap dirasakan masih sulit dicapai.

Dalam hal yang sama, kemungkinan pencapaian swasembada komoditi kedelai

diperkirakan sulit tercapai karena peningkatan produksi dan konsumsi lebih dari

100%. Walau demikian, tetap memerlukan strategi kebijakan yang dapat

meningkatkan jumlah produksi serta mengurangi konsumsi agar peningkatan,

pencapaian swasembada, dan swasembada berkelanjutan akan terus dapat

dilakukan.

66

Tabel 27 Skenario produksi dan konsumsi dengan peningkatan luas areal tanam,

anggaran litbang serta penurunan konsumsi per kapita (dalam ribu ton)

Skenario Produksi Skenario Konsumsi Skenario

Beras Jagung Kedelai Beras Jagung Kedelai

Skenario tahun 2013

Roadmap Kementerian Pertanian 40 514 26 000 2 250

Proyeksi tanpa skenario 39 492 17 523 775 38 130 15 764 1 755

Perluasan areal tanam 5% 40 580 17 025 786

Perluasan areal tanam 10% 42 392 17 240 790

Perluasan areal tanam 15% 44 205 17 455 793

Perluasan areal tanam 20% 46 017 17 670 796

Peningkatan anggaran litbang 5% 38 890 17 425 819

Peningkatan anggaran litbang 10% 39 012 18 040 855

Peningkatan anggaran litbang 15% 39 135 18 655 891

Peningkatan anggaran litbang 20% 39 257 19 270 926

Perluasan areal tanam & peningkatan

anggaran litbang 5% 40 702 17 640 822

Perluasan areal tanam & peningkatan

anggaran litbang 10% 42 637 18 470 861

Perluasan areal tanam & peningkatan

anggaran litbang 15% 44 572 19 300 900

Perluasan areal tanam & peningkatan

anggaran litbang 20% 46 507 20 130 939

Penurunan konsumsi per kapita 5% 36 224 15 375 1 667

Penurunan konsumsi per kapita 10% 34 317 14 986 1 579

Penurunan konsumsi per kapita 15% 32 411 14 597 1 491

Penurunan konsumsi per kapita 20% 30 504 14 208 1 404

Skenario tahun 2014

Roadmap Kementerian Pertanian 43046 29 000 2 700

Proyeksi tanpa skenario 40 096 18 223 775 38 558 16 016 1 773

Perluasan areal tanam 5% 41 339 17 747 778 Perluasan areal tanam 10% 43 185 17 971 781 Perluasan areal tanam 15% 45 031 18 195 785 Perluasan areal tanam 20% 46 878 18 419 788 Peningkatan anggaran litbang 5% 39 617 18 164 811 Peningkatan anggaran litbang 10% 39 742 18 805 846 Peningkatan anggaran litbang 15% 39 867 19 446 881 Peningkatan anggaran litbang 20% 39 992 20 087 917 Perluasan areal tanam & peningkatan

anggaran litbang 5%

41 464 18 388 814

Perluasan areal tanam & peningkatan

anggaran litbang 10%

43 435 19 253 852

Perluasan areal tanam & peningkatan

anggaran litbang 15%

45 406 20 118 891

Perluasan areal tanam & peningkatan

anggaran litbang 20%

47 377 20 983 929

Penurunan konsumsi per kapita 5% 36 630 15 614 1 684

Penurunan konsumsi per kapita 10% 34 702 15 212 1 595

Penurunan konsumsi per kapita 15% 32 774 14 811 1 507

Penurunan konsumsi per kapita 20% 30 846 14 409 1 418

Strategi Kebijakan Peningkatan Swasembada

Hasil analisis regresi menyebutkan faktor-faktor yang memengaruhi

produksi dan konsumsi beras, jagung, serta kedelai adalah lahan areal panen,

67

anggaran litbang, dan jumlah penduduk. Berikut ini adalah upaya atau strategi

kebijakan yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan capaian swasembada

komoditi pangan strategis (beras, jagung, dan kedelai) di Indonesia, diantaranya:

1. Perluasan areal tanam

Perluasan areal panen dipengaruhi oleh luas areal tanam sehingga perlu

adanya upaya untuk peningkatan luas areal tanam. Beberapa cara yang dapat

dilakukan dalam perluasan areal tanam, antara lain:

a. Mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh konversi lahan

Konversi lahan merupakan masalah yang serius dalam peningkatan

produksi beras nasionalKonversi lahan sawah terus berlangsung dengan laju

konversi sekitar 100 ribu hektar per tahun.konversi lahan sawah tersebut

terjadi di sekitar kota besar (provinsi dan kabupaten), kota kecil (kecamatan)

dan bahkan sampai di tingkat desa, terutama di Pulau Jawa. Oleh karena itu

perlu dilakukan usaha pengendalian dan pencegahan alih fungsi lahan

pertanian menjadi nonpertanian, antara lain dengan penegakan peraturan dan

undang-undang yang sudah dibuat. Peraturan yang bertujuan mengendalikan

alih fungsi lahan jangan bersifat himbauan tapi sanksi. Selain itu, himbauan

Kementrian Pertanian untuk pembukaan lahan pertanian yang baru harus

segera dilaksanakan. Semakin besar konversi lahan maka seakin berkurang

lahan pertanian. Oleh karena itu, pemerintah saat ini berusaha melakukan

perluasan areal dengan melakukan pembukaan lahan atau pencetakan sawah

baru. Bahkan pemerintah saat ini dalam revitalisasi pertanian, perikanan dan

kehutanan mencanangkan lahan pertanian abadi, lahan sawah 15 juta hektar

dan lahan kering 15 juta hektar.

b. Pencetakan lahan sawah baru

Lahan panen padi tahun 2012 sekitar 13.472 ribu hektar, untuk

mencapai swasembada beras tahun 2014 harus ada tambahan 1.834 ribu hektar

berdasarkan roadmap dan tambahan 5% (674 ribu hektar) dari proyeksi

konsumsi. Pencetakan sawah baru difokuskan di luar Pulau Jawa sepeti

Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan yang menjadi sentra

produksi beras. Karena secara nasional diperkirakan terdapat sekitar 10 juta

hektar lahan tidur yang sebagian besar terdapat di luar Jawa terutama di

daerah-daerah sentra yang mempunyai kondisi lahan yang sesuai dengan lahan

pertanaman padi.

Tabel 28 Perkembangan produksi padi di 6 provinsi sentra, tahun 2008-2012

Provinsi

Tahun

Rata-rata Share

(%)

Pert.

rata-rata

(%) 2008 2009 2010 2011 2012

Jawa Barat 10 111 11 322 11 737 11 633 11 403 11 241.2 17.25 3.20

Jawa Timur 10 474 11 259 11 643 10 576 12 043 11 199.0 17.18 3.90

Jawa Tengah 9 136 9 600 10 110 9 391 10 199 9 687.2 14.86 2.97

Sulawesi Selatan 4 083 4 324 4 382 4 511 4 872 4 434.4 6.80 4.55

Sumatera Utara 3 340 3 527 3 582 3 607 3 689 3 549.0 5.44 2.53

Sumatera Selatan 2 971 3 125 3 272 3 384 3 479 3 246.2 4.98 4.03

Lainnya 20 210 21 241 21 743 22 654 23 271 21 823.8 33.48 3.59

Indonesia 60 325 64 398 66 469 65 756 68 956 65 180.8 100.00 3.54

Sumber: Kementrian Pertanian, 2012 (diolah)

Lahan panen jagung tahun 2012 sekitar 3.967 ribu hektar, untuk

mencapai swasembada jagung tahun 2014 harus ada tambahan 1.296 ribu

68

hektar berdasarkan roadmap dan tambahan 20% (259 ribu hektar) dari

proyeksi konsumsi. Pencetakan sawah baru difokuskan di luar Pulau Jawa

sepeti Lampung, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara yang menjadi sentra

produksi jagung.

Tabel 29 Perkembangan produksi jagung di 6 provinsi sentra, tahun 2008-

2012

Provinsi

Tahun

Rata-rata Share

(%)

Pert.

rata-rata

(%) 2008 2009 2010 2011 2012

Jawa Timur 5 053 5 266 5 587 5 443 5 995 5 468.8 30.77 4.47

Jawa Tengah 2 679 3 057 3 058 2 772 2 990 2 911.2 16.38 3.16

Lampung 1 809 2 067 2 126 1 817 1 750 1 913.8 10.77 -0.28

Sulawesi Selatan 1 195 1 395 1 343 1 420 1 457 1 362.0 7.66 5.34

Sumatera Utara 1 098 1 166 1 377 1 294 1 369 1 260.8 7.09 5.99

Jawa Barat 639 787 923 945 1 019 862.6 4.85 12.64

Lainnya 3 844 3 891 3 913 3 952 4 381 3 996.2 22.48 3.41

Indonesia 16 317 17 629 18 327 17 643 18 961 17 775.4 100.00 4.96

Sumber: Kementrian Pertanian, 2012 (diolah)

Lahan panen kedelai tahun 2012 sekitar 566 ribu hektar, untuk

meningkatkan produksi kedelai tahun 2014 harus ada tambahan 1.264 ribu

hektar berdasarkan roadmap dan tambahan 5% (28 ribu hektar) dari proyeksi

konsumsi. Pencetakan sawah baru difokuskan di luar Pulau Jawa sepeti Nusa

Tenggara Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan yang menjadi sentra produksi

kedelai. Lahan tidur yang sebagian besar terdapat di luar Jawa terutama di

daerah-daerah sentra dengan kondisi lahan sesuai lahan pertanaman kedelai.

Tabel 30 Perkembangan produksi kedelai di 6 provinsi sentra, tahun 2008-

2012

Provinsi

Tahun

Rata-rata Share

(%)

Pert.

rata-rata

(%) 2008 2009 2010 2011 2012

Jawa Timur 227 335 339 366 316 316.6 36.90 0.04

Jawa Tengah 167 175 187 112 134 155.0 18.07 -0.02

Nusa Tenggara Barat 95 95 93 88 67 87.6 10.21 -0.06

Aceh 43 63 53 50 57 53.2 6.20 0.08

Jawa Barat 32 60 55 56 47 50.0 5.83 0.12

Sulawesi Selatan 29 41 35 33 32 34.0 3.96 0.04

Lainnya 182 205 145 146 130 161.6 18.83 -6.73

Indonesia 775 974 907 851 783 858.0 100.00 -0.93

Sumber: Kementrian Pertanian, 2012 (diolah)

c. Optimalisasi lahan dan peningkatan indeks pertanaman

Potensi optimalisasi pemanfaatan lahan sawah masih luas mulai dari

Indeks Pertanaman (IP) di bawah 100-200 (kurang dari1-2 kali tanam dalam 1

tahun). Permasalahan IP yang belum optimal pada umumnya adalah

disebabkan oleh permasalahan air, tenaga kerja, dan budaya petani setempat.

Dengan mengetahui permasalahan tersebut, masalah seperti pompa air, traktor

untuk mempercepat pengolahan lahan, dan perbaikan jaringan irigasi dapat

diatasi sesuai dengan potensi yang ada, sehingga optimalisasi lahan mampu

meningkatkan IP. IP dapat ditingkatkan dengan input kegiatan optimalisasi

69

lahan seperti penyediaan paket sarana produksi lengkap, perbaikan jaringan

irigasi, pompanisasi, penggunaan alsintan prapanen.

d. Menambah dan memperbaiki pengelolaan infrastruktur irigasi untuk budidaya

padi

Air merupakan faktor utama dalam budidaya, dengan adanya air

tanaman mampu tumbuh, sebaran tanam padi bulanan sangat tergantung pada

keberadaan air (dapat meningkatkan indeks pertanaman). Irigasi merupakan

hal yang penting diperhatikan dalam peningkatan produksi padi, karena

kondisi infrastruktur irigasi di Indonesia belum memadai. Lebih dari 20%

rusak dan sekitar 80% areal irigasi di daerah sentra produksi nasional rentan

terhadap kekeringan sehingga perlu diperbaiki atau bahkan ditambah.

Kegiatan pengelolaan air meliputi perbaikan jaringan irigasi, perbaikan dan

pembangunan dam parit, pemanfaatan air irigasi permukaan dengan pompa

air, dan Pengembangan Irigasi Perdesaan (PIP).

Melalui berbagai upaya dengan pendekatan berbagai program tersebut

diharapkan kendala dan hambatan peningkatan produksi baik luas panen

maupun produktivitas akan dapat diantisipasi. Dengan mengacu pada berbagai

usaha peningkatan baik luas panen maupun produktivitas melalui program-

program yang telah dicanangkan serta dengan asumsi kondisi iklim baik,

maka pencapaian terget produksi di tahun 2013 dan 2014 optimis akan

tercapai.

Kementrian Pertanian (2012) menyebutkan bahwa penetapan kebijakan

swasembada dapat tercapai dengan tetap mempertahankan laju pertumbuhan area

panen berupa strategi program perluasan areal tanam melalui optimalisasi

pemanfaatan lahan, cetak sawah baru, pembangunan atau perbaikan Jaringan

Irigasi Teknis Usahatani (JITUT), Jaringan Irigasi Desa (JIDES) dan Tata Air

Makro (TAM), pembangunan atau perbaikan sumur, serta rehabilitasi dan

konservasi lahan pertanian yang dapat memungkinkan petani untuk meningkatkan

indeks pertanaman sehingga peningkatan areal tanam akan tercapai.

2. Peningkatan anggaran litbang

Faktor yang memengaruhi produksi 3 komoditi pangan strategis (beras,

jagung, dan kedelai) sekaligus adalah anggaran litbang. Angaran litbang

merupakan salah satu implementasi dari strategi dari kementrian pertanian. Sesuai

amanat dalam UU No 17 TAHUN 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional, pembangunan pertanian tetap memegang peran strategis

dalam perekonomian nasional yang tergambar melalui kontribusi nyata

pembentukan kapital, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan

bioenergi, penyerapan tenaga kerja, sumber devisa negara dan sumber

pendapatan, serta pelestarian lingkungan melalui praktek usahatani yang ramah

lingkungan.

Kegiatan penelitian dan pengembangan dilaksanakan untuk mendukung 4

program pembangunan pertanian yaitu: (1) Program penerapan pemerintahan

yang baik; (2) Pengembangan agribisnis; (3) Peningkatan Ketahanan Pangan; dan

(4) Peningkatan kesejahteraan petani. Sedangkan alokasi anggaran menurut

Program Utama Renstra Badan Litbang Pertanian, sebagian besar difokuskan

untuk pelaksanaan program litbang komoditas. Adapun komposisi anggaran untuk

implementasi 4 program utama lainnya adalah: untuk mendukung penciptaan

70

inovasi teknologi dan untuk akselerasi pemasyarakatan dan teknologi serta

kegiatan pengkajian teknologi spesifik lokasi, pengembangan kapasitas

kelembagaan dan komunikasi hasil litbang, program litbang sumberdaya

pertanian, untuk implementasi program litbang sosial ekonomi, serta nilai tambah

pertanian. Berdasarkan prioritas kegiatan, anggaran litbang dialokasikan untuk

mendukung penciptaan inovasi teknologi, dan untuk akselerasi pemasyarakatan

dan teknologi dalam rangka mewujudkan pemberdayaan petani dan agribisnis

industrial di pedesaan. Kegiatan pengkajian teknologi spesifik lokasi,

pengembangan kapasitas dan kelembagaan litbang. Persentase alokasi anggaran

termasuk alokasi loan ADB untuk mendanai kegiatan Peningkatan Pendapatan

Petani melalui Inovasi Pertanian (P4MI) dan World Bank untuk kegiatan Farmer

Empowerment through Agricultural Technology and Information (FEATI).

Alokasi anggaran untuk implementasi kegiatan litbang, diantaranya: litbang

tanaman pangan, litbang tanaman hortikultura, litbang tanaman perkebunan,

litbang peternakan dan verteriner, litbang sumberdaya lahan pertanian, litbang

bioteknologi dan sumberdaya genetik pertanian, penelitian atau analisis ekonomi

dan kebijakan pertanian, perekayasaan atau litbang mekanisasi pertanian, litbang

pascapanen pertanian, pengembangan perpustakaan dan penyebaran teknologi

pertanian, serta untuk dukungan manajemen, fasilitas, dan instrumen teknis dalam

pelaksanaan kegiatan litbang.

Strategi pemerintah dalam pencapaian swasembada beras, jagung dan

kedelai tidak akan berhasil tanpa adanya implementasi berupa dukungan

pembiayaan. Berdasarkan rancangan sasaran kegiatan dan anggaran yang

diperlukan dari Kementrian Pertanian dan BUMN, maka salah satu dukungan

pembiayaan yang diharapkan agar mampu mendukung capaian sasaran produksi

roadmap adalah anggaran litbang. Dukungan anggaran terhadap litbang saat ini

dirasakan masih kurang bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dana

pemerintah untuk bidang litbang di Indonesia sekarang ini hanya 0.025% dari

Gross Domestic Product (GDP) setiap tahun. Jumlah ini jauh lebih kecil bila

dibandingkan dengan Jepang dan Malaysia dengan dana litbang mencapai 2.5%

dari GDP8

. Minimnya anggaran litbang yang diberikan pemerintah kepada

Balitbang menjadikannya sulit berkembang. Akibatnya hasil penelitian yang

dihasilkan kurang mampu digunakan sebagai bahan merumuskan kebijakan-

kebijakan pemerintah baik dalam upaya untuk mengatasi maupun mencegah

timbulnya berbagai masalah.

Persentase alokasi anggaran litbang tanaman pangan dari seluruh

anggaran litbang selama tahun ke tahun mengalami perubahan (Gambar 13).

Agar peningkatan swasembada beras, jagung, dan kedelai dapat berjalan lancar

dan target swasembada dapat tercapai, maka perlu adanya kebijakan

penambahan proporsi untuk anggaran litbang tanaman pangan. Anggaran

litbang akan mendukung program pencapaian sasaran produksi seperti:

a. Penyediaan dan pengembangan prasarana dan sarana pertanian

b. Peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman pangan untuk

mencapai swasembada dan swasembada berkelanjutan

c. Pengembangan SDM pertanian dan kelembagaan petani

d. Program penciptaan teknologi dan varietas unggul berdaya saing

8 Pusdatin. 2004. Ke Depan Perlu Dukungan Anggaran Besar Untuk Litbang [Internet]. [diunduh

2013 Desember 10]. Tersedia pada: http://www1.pu.go.id/uploads/berita/ppw2906043.htm.

71

e. Peningkatan nilai tambah dan daya saing industri hilir, pemasaran, dan

ekspor hasil pertanian

f. Dukungan manajemen dan teknis lainnya

g. Pengelolaan sumber daya air

Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K)

Gambar 11 Persentase anggaran litbang tanaman pangan tahun 2006-2012 Sumber: Badan Litbang Pertanian (2012)

Kementerian Pertanian memperoleh alokasi anggaran Rp.15.470 miliar

Rupiah pada Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (ABPP) Kementerian

negara/lembaga dan non K/L Tahun Anggaran 2014. Ditjen Tanaman Pangan

memperoleh anggaran yang cukup besar, untuk program peningkatan produksi,

produktivitas, dan mutu tanaman pangan untuk mencapai swasembada

berkelenjutan sebesar Rp.2.559 miliar Rupiah. Rincian lebih lanjut program

Ditjen Tanaman Pangan adalah pengelolaan produksi tanaman aneka kacang-

kacangan dan umbi (termasuk kedelai) Rp.735.555 juta Rupiah, pengelolaan

produksi tanaman serealia (termasuk padi dan jagung) Rp.1.266 miliar,

pengelolaan sistem penyediaan benih tanaman pangan Rp.131.455 miliar

Rupiah, dan penanganan pascapanen tanaman pangan Rp.216.383 juta Rupiah.

Adapun Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian menyediakan

anggaran Rp.518.399 juta Rupiah untuk pengkajian dan percepatan diseminasi

inovasi dan teknologi pertanian, penelitian dan pengembangan sumberdaya

lahan pertanian Rp.102.947 juta Rupiah, dan pengembangan tanaman pangan

Rp.128.422 juta Rupiah. Sedangkan Badan Ketahanan Pangan (BKP)

Kementerian Pertanian mengalokasikan anggaran Rp.341.837 juta Rupiah untuk

program peningkatan diversifikasi dan ketahanan pangan masyarakat,

didalamnya juga termasuk program pengembangan peganekaragaman konsumsi

pangan dan peningkatan keamanan pangan segar sebesar Rp.194.572 juta

Rupiah 9

.

Berdasarkan hasil analisis maka rata-rata peningkatan anggaran litbang

tahun 2014 adalah 80% dari tahun 2012 (79.037 juta Rupiah), dengan tambahan

sebesar 63.230 juta Rupiah. Jadi anggaran litbang yang diperlukan untuk

9 Desk Informasi. 2013. Anggaran Kementerian Pertanian 2014: Bantuan Sosial Tersebar di

Sejumlah Program [Internet]. [diunduh 2014 Januari 25]. Tersedia pada:

Http://www.setkab.go.id/kawal-apbn-11467-anggaran-kementerian-pertanian-2014-bantuan-

sosial-tersebar-di-sejumlah-program. html.

8,58

6,52 6,03

8,01 8,01

5,28

6,41

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

%

Tahun

72

meningkatkan swasembada pada tahun 2014 adalah sebesar 142.267 juta

Rupiah. Melihat anggaran litbang yang diturunkan pemerintah untuk

pengembangan tanaman pangan sebesar Rp.128.422 juta Rupiah, maka

pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran untuk tanaman pangan.

3. Pengaturan pola konsumsi per kapita penduduk

Faktor yang signifikan dalam hasil analisis regresi berganda dari sisi

konsumsi adalah jumlah penduduk. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk

dan kesejahteraan masyarakat, maka kebutuhan terhadap jenis dan kualitas produk

makanan juga semakin meningkat dan beragam. Pengendalian konsumsi dari

jumlah penduduk ini dapat didekati dengan pengaturan konsumsi per kapita. Oleh

karena itu salah satu target Kementerian Pertanian tahun 2010-2014 adalah

peningkatan diversifikasi pangan. Selama tahun 2010-2014, konsumsi beras

ditargetkan turun 1,5% per tahun yang diimbangi dengan peningkatan konsumsi

umbi-umbian, pangan hewani, buah-buahan dan sayuran.

Menganekaragamkan jenis pangan dan meningkatkan mutu gizi makanan

rakyat secara kualitas maupun kuantitas sebagai usaha untuk meningkatkan

kualitas sumberdaya manusia. Dalam upaya mengoperasionalisasikan konsep

diversifikasi konsumsi pangan, Food dan Agricultural Organization-Regional

Asia Pasific (FAO RAPA) pada tahun 1989 mengadakan pertemuan para ahli

pangan dan gizi di Bangkok dengan merumuskan komposisi pangan yang ideal

yang terdiri dari 57-68% dari karbohidrat, 10-13% dari protein, dan 20-30% dari

lemak. Rumusan ini kemudian diimplementasikan dalam bentuk energi dari 9

kelompok pangan yang dikenal dengan istilah Pola Pangan Harapan.

Selain itu juga diupayakan tercapainya pola konsumsi pangan beragam,

bergizi, seimbang dan aman yang tercermin oleh meningkatnya skor Pola Pangan

Harapan (PPH) dari 86.4 pada tahun 2010 menjadi 93.3 pada tahun 2014 (Renstra

Kementerian Pertanian, 2010). Menurut Susenas 2011, Rata-rata asupan gizi

penduduk berada di bawah standar anjuran (dengan skor pola pangan harapan

83.1 pada tahun 2007). Tingkat Pola Pangan Harapan (PPH) di Indonesia pada

periode tahun 2009-2011 mengalami fluktuasi mulai dari 75.7 pada tahun 2009

naik menjadi 77.5 pada tahun 2010, kemudian turun lagi pada tahun 2011 menjadi

77.3 dan tingkat PPH pada tahun 2012 bahkan cenderung mengalami penurunan

lagi. Pemerintah melalui kementerian Pertanian pada 2014, menargetkan secara

nasional skor untuk PPH penganekaragaman pangan berbasis sumberdaya lokal

dapat mencapai 93.3.

Pada tahun 2012 persentase pengeluaran untuk makanan sebesar 51.08%

dan non makanan sebesar 48.92%, Persentase pengeluaran penduduk Indonesia

untuk makanan tahun 2012 terbesar adalah pengeluaran untuk makanan dan

minuman jadi yaitu sebesar 24.90%, disusul padi-padian sebesar 17.90%,

tembakau dan sirih sebesar 12.07%, ikan sebesar 8.22%, sayur-sayuran sebesar

7.40%, telur dan susu sebesar 5.88%, sementara kelompok makanan lainnya

kurang dari 5%. Data Susenas 1999 pola konsumsi pangan penduduk Indonesia

masih jauh dari harapan dan belum memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG).

Tingkat konsumsi energi baru mencapai 84.2% atau 1.852 kal/kapita/hari. Skor

PPH yang sebesar 62.6 memperlihatkan pola konsumsi belum beragam karena

masih didominasi kelompok padi-padian (56.3%) terutama beras (86.3%).

73

Kecenderungan penurunan konsumsi komoditi pangan sudah mulai terjadi

antara tahun 1999-2004 saat pemerintah mencanagkan program diversifikasi.

Namun, penurunan tersebut hanya berlaku pada komoditi beras dengan laju

penurunan sebesar 4,2% pada periode 1999-2004. Menurut hasil analisis,

pengurangan konsumsi rata-rata komoditi pangan strategis sebesar 5% pada tahun

2013 dan 2014 diharapkan dapat mengimbangi proyeksi produksi. Penekanan

jumlah konsumsi dapat dilakukan dengan mengalihkan konsumsi masyarakat pada

komoditi pangan lain sebagai penganti pemenuhan energi dengan gizi seimbang.

Tabel 31 Sasaran skor Pola Pangan Harapan (PPH)

Makanan Tahun

2010 2011 2012 2013 2014

Padi-padian 54.9 53.9 52.9 51.9 51.0

Umbi-umbian 5.0 5.2 5.4 5.6 5.8

Pangan hewani 9.6 10.1 10.6 11.1 11.5

Minyak dan lemak 10.1 10.1 10.1 10.0 10.0

Buah/Biji berminyak 2.8 2.9 2.9 2.9 3.0

Kacangan-kacangan 4.3 4.4 4.6 4.7 4.9

Gula 4.9 4.9 5.0 5.0 5.0

Sayur dan buah 5.2 5.4 5.5 5.7 5.8

Lain-lain 2.9 2.9 2.9 2.9 3.0

SKOR PPH 86.4 88.1 89.8 91.5 93.3

Sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2013)

Pola Pangan Harapan (PPH) atau desirable dietery adalah suatu komposisi

pangan yg seimbang untuk dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan gizi penduduk.

PPH dpt dinyatakan dalam bentuk komposisi energi (kalori) aneka ragam pangan

dan komposisi berat (gram atau kg) aneka ragam pangan yang memenuhi

kebutuhan penduduk. PPH mencerminkan susunan konsumsi pangan anjuran

untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Tujuan PPH adalah untuk menghasilkan

suatu komposisi normal atau standar pangan dalam memenuhi kebutuhan gizi

penddk. sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutricional

balance), cita rasa (porlability), daya cerna (digestability), daya terima masy

(acceptability), kualitas dan kemampuan daya beli (affeadebility).

Pola pangan harapan merupakan suatu metode yang digunakan untuk,

menilai jumlah dan komposisi atau ketersediaan pangan. Pola pangan harapan

biasanya digunakan untuk perencanaan konsumsi, kebutuhan dan penyediaan

pangan wilayah. Beberapa kegunaan analisis ini adalah :

a. Menilai jumlah dan komposisi konsumsi atau ketersediaan pangan.

b. Indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi atau ketersediaan pangan.

c. Sebagai baseline data untuk mengestimasi kebutuhan pangan ideal di suatu

wilayah.

d. Sebagai baseline data untuk menghitung proyeksi penyediaan pangan ideal

untuk suatu wilayah.

e. Perencanaan konsumsi, kebutuhan dan peyediaan pangan wilayah.

Untuk implentasinya, telah dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor

22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi

Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Menjadi acuan bagi Pemerintah dan

Pemerintah Daerah dalam melakukan perencanaan, penyelenggaraan, evaluasi,

74

dan pengendalian kegiatan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan

berbasis sumber daya lokal. Di tingkat provinsi, kebijakan tersebut telah

ditindaklanjuti melalui surat edaran atau Peraturan Gubernur (Pergub), dan di

tingkat kabupaten/kota ditindaklanjuti dengan surat edaran atau Peraturan

Bupati/Walikota (Perbup/Perwalikota)10

.

Sebagai bentuk keberlanjutan program Percepatan Penganekaragaman

Konsumsi Pangan (P2KP) berbasis sumber daya lokal tahun 2010, pada tahun

2013 program P2KP diimplementasikan melalui kegiatan: (1) Optimalisasi

pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari

(KRPL); (2) Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L); serta (3)

Sosialisasi dan Promosi P2KP.

10

Nugrayasa, Oktavio. 2013. Pola Pangan Harapan Sebagai Pengganti Ketergantungan Pada Beras

[Internet]. [diunduh 2014 Januari 13]. Tersedia pada: http://www.setkab.go.id/artikel-7199-.html

75

75

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil proyeksi produksi dan konsumsi beras dan jagung tahun

2013-2014, produksi beras dan jagung melebihi konsumsi dengan kata lain

Indonesia akan mengalami surplus beras dan jagung. Surpus tersebut

menunjukkan ketercapaian swasembada, tetapi belum mampu mencapai target

produksi dari Kementrian Pertanian. Sedangkan hasil proyeksi produksi dan

konsumsi kedelai tahun 2013-2014 Indonesia masih mengalami defisit kedelai

serta belum mampu mencapai target produksi Kementrian Pertanian.

Tidak semua variabel penduga dalam hipotesis berpengaruh secara

signifikan pada produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis. Faktor-faktor

yang memengaruhi produksi komoditi pangan strategis (beras, jagung, dan

kedelai) adalah lahan panen dan anggaran litbang. Sedangkan faktor-faktor yang

memengaruhi konsumsi beras, jagung, dan kedelai adalah jumlah penduduk.

Upaya kebijakan dalam rangka peningkatan swasembada komoditi pangan

strategis, diantaranya perluasan areal tanam, meningkatkan anggaran litbang, serta

pengaturan pola per kapita konsumsi penduduk.

Saran

Terkait dengan hasil penelitian yang telah disampaikan, beberapa saran

yang direkomendasikan penulis kepada berbagai pihak terkait dengan produksi

dan konsumsi komoditi pangan strategis seperti beras, jagung, dan kedelai yaitu:

1. Peningkatan perluasan areal dan pengelolaan lahan, khususnya di daerah sentra

produksi beras, jagung, dan kedelai.

2. Kebijakan alokasi anggaran litbang yang ditetapkan pemerintah perlu

ditingkatkan pada tanaman pangan strategis dalam rangka ketercapaian kegiatan

swasembada.

3. Konsistensi masing-masing pihak (pemerintah pusat dan daerah, industri

makanan, LSM, serta masarakat) sebagai bentuk keberlanjutan program

Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) berbasis sumber daya

lokal sehingga pola pangan harapan Indonesia dapat sesuai dengan sasaran.

4. Untuk penelitian lebih lanjut disarankan pengembangan proyeksi ketercapaian

swasembada komoditi pangan yang berkelanjutan sehingga dapat diketahui

kapan Indonesia dapat berswasembada secara bekelanjutan.

76

76

DAFTAR PUSTAKA

[Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2012. Statistik Badan

Litbang Pertanian 2012. Jakarta (ID): IAARD Press.

[BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2009. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan

Tahun 2010-2014. Jakarta (ID): Badan Ketahanan Pangan.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Data Strategis BPS. Jakarta (ID): Badan Pusat

Statistik.

[Kemendag] Kementrian Perdagangan. 2012. Harga-harga Komoditi Pertanian.

Jakarta (ID): Pusat Hubungan Masyarakat dan Pusat Data dan Informasi

Perdagangan.

[Kementan] Kementrian Pertanian. 2012. Outlook Komoditas Pertanian Subsektor

Tanaman Padi. Jakarta (ID): Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

Kementrian Pertanian.

[Kementan] Kementrian Pertanian. 2012. Outlook Komoditas Pertanian Subsektor

Tanaman Jagung. Jakarta (ID): Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

Kementrian Pertanian.

[Kementan] Kementrian Pertanian. 2012. Outlook Komoditas Pertanian Subsektor

Tanaman Kedelai. Jakarta (ID): Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

Kementrian Pertanian.

AAK. 2003. Budidaya Tanaman Padi. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius

Aldillah R. 2006. Analisis Peramalan Permintaan dan Penawaran Jagung

Nasional serta implikasinya Terhadap Strategi Pengembangan Agribisnis

Jagung [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.

Al-Mudatsir MI. 2009. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon

Penawaran Kacang Kedelai di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.

Ambarinanti M. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan

Ekspor Beras Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.

Arifin B. 2005. Ekonomi Kelembagaan Pangan. Jakarta (ID): Pustaka LP3ES

Indonesia.

Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series Seri

Metode Kuantitatif. Bogor (ID): IPB Press.

Gujarati D, Porter. 2009. Basic Econometrics International Edition. Ed ke-9. New

York (US): Mc Graw-Hill .

Hanke JE, Wichern DW, Reitsch AG. 2003. Peramalan Bisnis. Ed ke-7. Jakarta

(ID): PT Prenhallindo.

Hessie R. 2009. Analisis Produksi dan Konsumsi Beras Dalam Negeri Serta

Implikasinya Terhadap Swasembada Beras di Indonesia [Skripsi]. Bogor

(ID): IPB.

Hill M. 2008. Makroekonomi. Ed ke-10. Jakarta (ID): PT Media Global Edukasi.

Jumini. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Bawang

Putih Impor di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.

77

Lipsey RG, Steiner PC, Purvis DD. 1986. Bahan Kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi

Mikro. Ed ke-2. Bogor (ID): Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Makridakis S, Wheelwright SC, McGee VE. 1999. Metode dan Aplikasi

Peramalan. Ed ke-2. Jakarta (ID): PT Gelora Aksara Pratama.

Mankiw NG. 2003. Teori Makroekonomi. Ed ke-5. Jakarta (ID): Penerbit

Erlangga.

Maretha D. 2008. Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional serta

Implikasinya Terhadap Strategi Pencapaian Swasembada Kedelai Nasional

[Skripsi]. Bogor (ID): IPB.

Mulyana A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan

Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas Suatu Analisis

Simulasi [Disertasi]. Bogor (ID): IPB.

Nicholson W. 1998. Microeconomic Theory: Basic Principles and Extensions. Ed

ke-7. United States (US): The Dryden Press Harcourt Brace College

Publishers.

Priyanti D. 2012. Analisis Perilaku Permintaan Rumah Tangga dan Jumlah

Pasokan Cabai Merah Keriting di DKI Jakarta [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.

Purnamasari R. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan

Impor Kedelai di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.

Rahardja P. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan Makroekonomi.

Ed ke-3. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia.

Rukmana R, Yuniarsih Y. 2001. Kedelai Budidaya dan Pascapanen. Yogyakarta

(ID): Penerbit Kanisius

Salvatore D, Diulio E. 2009. Prinsip-prinsip Ekonomi. Ed ke-8. Jakarta (ID):

Penerbit Erlangga.

Simatumpang, P. 2003. Justifikasi dan Metode Penetapan Komoditas Strategis.

Jurnal Hlm 35-57.

Siregar H. 1981. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Jakarta (ID): PT Sastra

Hudaya

Solahuddin S. 2009. Pertanian: Harapan Masa Depan Bangsa. Bogor (ID). IPB

Press.

Suswono. 2008. Menuju Kemandirian Pangan. Di dalam Prosiding Seminar

Nasional Teknik Pertanian 2008. Hlm 18-19.

Timor SD. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor

Jagung di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.

Warisno. 2004. Budidaya Jagung Hibrida. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius

Yuwanita R. 2006. Analisis Kemungkinan Pencapaian Swasembada Kedelai

Nasional dengan Metode Peramalan Deret Waktu [Skripsi]. Bogor (ID):

IPB.

78

78

LAMPIRAN

Lampiran 1 Data yang digunakan dalam model ekonometrika

Tahun

Produksi

Beras

(Ribu Ton)

Pert.

(%)

Produksi

Jagung

(Ribu Ton)

Pert.

(%)

Produksi

Kedelai

(Ribu Ton)

Pert.

(%)

1970 14 206

2 504

497

1971 14 838 4.44 2 310 -7.75 515 3.62

1972 14 252 -3.94 1 998 -1.51 518 0.58

1973 12 081 -15.23 3 271 63.71 541 4.44

1974 12 629 4.54 2 669 -18.40 589 8.87

1975 12 554 -0.60 2 574 -3.59 589 0.00

1976 13 100 4.34 2 280 -11.40 521 -11.54

1977 13 126 0.20 2 786 22.20 522 0.19

1978 14 489 10.38 3 572 28.19 616 18.01

1979 14 776 1.98 3 197 -10.50 679 10.23

1980 16 670 12.82 3 538 10.68 652 -3.98

1981 18 426 10.53 3 997 12.98 703 7.82

1982 18 881 2.47 2 868 -28.25 521 -25.89

1983 19 847 5.12 4 510 57.25 536 2.88

1984 21 440 8.03 4 688 3.95 769 43.47

1985 21 944 2.35 3 839 -18.12 869 13.00

1986 22 334 1.78 5 248 36.72 1 226 41.08

1987 22 532 0.88 4 571 -12.91 1 160 -5.38

1988 23 430 3.99 5 897 29.01 1 270 9.48

1989 25 145 7.32 5 490 -6.90 1 315 3.54

1990 25 400 1.01 5 970 8.74 1 487 13.08

1991 25 124 -1.09 5 546 -7.10 1 555 4.57

1992 27 121 7.95 7 088 27.80 1 869 20.19

1993 27 087 -0.12 5 727 -19.20 1 708 -8.61

1994 26 222 -3.20 6 089 6.33 1 564 -8.43

1995 27 966 6.65 7 310 20.05 1 680 7.42

1996 28 770 2.87 8 251 12.87 1 517 -9.70

1997 27 760 -3.51 7 775 -5.76 1 346 -11.27

1998 27 681 -0.28 9 015 15.94 1 305 -3.05

1999 28 597 3.31 8 159 -9.49 1 382 5.90

2000 28 149 -1.57 8 579 5.14 1 017 -26.41

2001 28 369 0.78 8 286 -3.41 826 -18.78

2002 28 948 2.04 8 497 2.55 637 -22.88

2003 29 312 1.26 9 650 13.57 671 5.34

2004 30 409 3.74 9 951 3.11 723 7.75

2005 30 444 0.12 11 103 11.57 808 11.76

2006 30 615 0.56 10 291 -7.31 747 -7.55

2007 32 134 4.96 11 780 14.46 592 -20.75

2008 33 915 5.54 14 465 22.80 775 30.91

2009 36 205 6.75 15 629 8.05 974 25.68

2010 37 369 3.22 16 248 3.96 907 -6.88

2011 36 968 -1.07 15 641 -3.74 851 -6.17

2012 38 767 4.87 16 810 7.48 783 -7.99

1970-2012 24 187 2.53 6 969 6.23 938 2.25

1990-2012 30 145 1.95 9 907 5.58 1.118 -1.13

2003-2012 33 614 2.99 13 157 7.40 783 3.21

2008-2012 36 645 3.86 15 758 7.71 858 7.11

Sumber : Data diolah (2013)

79

Tahun

Konsumsi

Beras

(Ribu Ton)

Pert.

(%)

Konsumsi

Jagung

(Ribu Ton)

Pert.

(%)

Konsumsi

Kedelai

(Ribu Ton)

Pert.

(%)

1970 16 286

3 084

627

1971 15 833 -2.78 2 832 -8.19 674 7.48

1972 15 873 0.25 2 591 -8.51 723 7.25

1973 15 991 0.74 5 109 97.19 773 7.00

1974 16 075 0.53 3 607 -29.40 826 6.80

1975 15 685 -2.42 3 678 1.97 880 6.58

1976 15 752 0.43 3 125 -15.03 937 6.40

1977 15 905 0.97 4 022 28.71 995 6.21

1978 15 803 -0.64 5 902 46.75 1 055 6.03

1979 16 329 3.33 4 725 -19.96 1 116 5.85

1980 16 483 0.94 4 705 -0.40 1 177 5.42

1981 17 642 7.03 4 638 -1.42 1 246 5.85

1982 16 262 -7.82 3 035 -34.57 1 314 5.44

1983 16 446 1.14 5 299 74.59 1 383 5.29

1984 17 142 4.23 5 573 5.17 1 212 -12.36

1985 23 058 34.52 7 746 38.99 1 273 5.01

1986 25 724 11.56 6 930 -10.53 1 335 4.87

1987 26 507 3.04 5 976 -13.77 1 398 4.72

1988 25 666 -3.17 5 932 -0.73 1 462 4.59

1989 27 230 6.09 5 654 -4.69 1 527 4.45

1990 28 256 3.77 6 673 18.03 1 590 4.08

1991 28 358 0.36 6 805 1.98 1 647 3.64

1992 28 414 0.20 7 008 2.98 1 962 19.08

1993 29 109 2.44 6 176 -11.87 1 867 -4.84

1994 28 966 -0.49 7 727 25.12 1 713 -8.23

1995 28 196 -2.66 9 473 22.60 1796 4.87

1996 29 256 3.76 9 371 -1.08 1 877 4.50

1997 28 297 -3.28 9 134 -2.53 1 972 5.06

1998 26 666 -5.77 8 406 -7.97 2 096 6.28

1999 32 406 21.53 7 871 -6.37 1 472 -29.78

2000 33 516 3.43 9 287 17.99 1 451 -1.40

2001 35 314 5.36 8 759 -5.69 1 588 9.44

2002 35 130 -0.52 9 151 4.48 1 720 8.27

2003 35 919 2.24 11 217 22.57 1 706 -0.79

2004 36 124 0.57 12 501 11.45 1 554 -8.94

2005 36 459 0.93 12 798 2.38 1 643 5.74

2006 36 560 0.28 12 423 -2.93 1 836 11.73

2007 35 387 -3.21 16 928 36.26 1 919 4.55

2008 37 273 5.33 15 414 -8.95 1 680 -12.48

2009 36 863 -1.10 15 716 1.96 1 668 -0.71

2010 36 834 -0.08 16 664 6.04 1 672 0.25

2011 38 106 3.45 12 474 -25.14 1 789 6.99

2012 37 793 -0.82 15 638 25.36 1 730 -3.28

1970-2012 26 300 2.23 7 948 6.50 1 439 2.78

1990-2012 33 009 1.55 10 766 5.51 1 737 1.05

2003-2012 36 732 0.76 14 177 6.90 1 720 0.31

2008-2012 37 374 1.36 15 181 -0.15 1 708 -1.85

Sumber : Data diolah (2013)

80

Tahun Luas Panen (Ribu Ha) Curah

Hujan

(mm)

Anggaran

Litbang

(Rp juta)

Jumlah Varietas Unggul

(Tanaman)

Padi Jagung Kedelai Padi Jagung Kedelai

1980 9 005 2 735 732 2 709 177 5 1 0

1981 9 382 2 955 810 2 582 413 7 3 1

1982 8 988 2 061 608 2 428 625 1 0 2

1983 9 162 3 002 640 2 232 815 21 4 1

1984 9 764 3 086 859 2 674 981 7 0 1

1985 9 902 2 440 896 2 227 1 124 21 8 1

1986 9 988 3 143 1 254 2 461 1 243 15 1 2

1987 9 923 2 626 1 101 2 266 1 340 10 0 2

1988 10 138 3 406 1 177 2 752 1 414 4 0 1

1989 10 521 2 944 1 198 2 904 1 464 15 3 5

1990 10 465 3 158 1 334 2 411 1 491 0 0 0

1991 10 256 2 909 1 368 2 169 1 513 10 1 4

1992 11 084 3 629 1 666 1 938 2 484 6 6 0

1993 10 994 2 940 1 470 2 178 2 613 2 0 4

1994 10 718 3 109 1 407 1 512 3 114 6 0 0

1995 11 421 3 652 1 477 1 698 3 709 3 8 3

1996 11 550 3 744 1 279 1 846 4 731 6 9 1

1997 11 126 3 355 1 119 1 551 4 919 2 13 0

1998 11 716 3 848 1 095 1 875 8 110 1 10 6

1999 11 963 3 456 1 151 1.536 11 300 15 31 31

2000 11 794 3 500 824 1 821 14 491 54 15 1

2001 11 490 3 286 679 3 095 17 681 33 43 9

2002 11 521 3 109 545 2 750 20 872 16 6 4

2003 11 488 3 359 527 1 470 26 686 12 2 2

2004 11 923 3 357 565 2 359 32 396 3 2 3

2005 11 839 3 626 622 1 266 38 855 1 0 2

2006 11 786 3 346 581 1 296 49 814 2 1 0

2007 12 148 3 630 459 2 391 50 879 7 3 0

2008 12 327 4 002 591 2 206 44 482 6 3 3

2009 12 884 4 161 723 2 392 61 403 13 15 0

2010 13 253 4 132 661 2 206 74 353 20 11 1

2011 13 204 3 865 622 2 283 56 782 26 8 1

2012 13 472 3 967 571 2 278 79 037 12 1 1

Sumber : Data diolah (2013)

81

Tahun

Jumlah

Penduduk

(Ribu jiwa)

Harga (Rp) Produksi Dunia (Ribu Ton) GDP

(Rp T) Beras Jagung Kedelai Beras Jagung Kedelai

1980 147 490 197 119 272 459 595 396 623 81 040 49

1981 151 107 224 132 304 465 177 446 772 88 525 53

1982 154 347 250 146 340 470 827 448 933 92 122 54

1983 157 610 300 161 380 476 545 347 082 79 467 59

1984 160 879 323 158 528 482 333 450 449 90 753 63

1985 164 131 318 164 559 488 192 485 527 101 157 65

1986 167 350 343 180 656 494 121 478 176 94 446 69

1987 170 530 383 224 761 500 123 453 115 100 103 73

1988 173 671 466 250 845 506 197 403 050 93 522 77

1989 176 770 493 265 860 512 345 476 874 107 254 84

1990 179 379 519 290 1 015 518 568 483 372 108 456 92

1991 181 384 558 318 1 117 518 701 494 465 103 323 100

1992 184 491 604 324 1 100 528 568 533 586 114 461 107

1993 187 589 592 351 1 192 531 000 476 770 115 148 115

1994 190 676 660 415 1 285 538 921 569 012 136 449 124

1995 193 750 776 498 1 291 547 430 517 296 126 950 134

1996 196 807 885 528 1 343 568 914 589 270 130 206 144

1997 197 410 1 064 560 1 463 576 989 585 513 144 358 151

1998 200 327 2 099 1 089 3 404 579 192 615 804 160 136 131

1999 203 456 2 666 1 381 4 073 610 948 607 177 157 779 132

2000 206 265 2 424 1 466 3 479 599 355 592 479 161 290 139

2001 208 900 2 537 1 746 3 979 599 828 615 533 178 245 165

2002 212 000 2 826 2 002 4 283 571 386 604 861 181 678 182

2003 215 200 2 786 1 738 3 766 587 068 645 171 190 658 201

2004 219 200 2 851 1 700 4 018 607 990 728 965 205 514 230

2005 225 100 3 479 1 896 4 661 634 392 713 609 214 483 277

2006 228 500 4 179 2 163 4 741 641 239 706 832 221 915 334

2007 229 900 5 031 2 630 5 005 657 149 789 524 219 677 395

2008 230 980 5 288 3 573 7 385 689 043 826 806 231 218 495

2009 234 430 5 705 3 868 8 657 684 779 819 210 222 989 561

2010 237 641 6 755 4 205 8 475 672 015 840 308 261 578 645

2011 240 780 7 379 4 885 8 814 667 974 882 323 258 267 742

2012 240 200 8 057 5 258 9 228 675 990 926 440 269 631 824

Sumber : Data diolah (2013)

82

Lampiran 2 Output analisis metode ARIMA untuk peramalan produksi beras

Indonesia

Estimates at each iteration

Iteration SSE Parameters

0 35605494 0,100 526,397

1 35599631 0,112 522,432

2 35599615 0,113 522,280

3 35599614 0,113 522,273

Relative change in each estimate less than

0,0010

Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P

AR 1 0,1126 0,1605 0,70 0,487

Constant 522,3 145,7 3,59 0,001

Differencing: 1 regular difference

Number of observations:

Original series 43,

after differencing 42

Residuals:

SS = 35599591 (backforecasts excluded)

MS = 889990 DF = 40

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square

statistic

Lag 12 24 36 48

Chi-Square 10,2 26,0 42,9 *

DF 10 22 34 *

P-Value 0,424 0,252 0,141 *

Forecasts from period 43

95 Percent

Limits

Period Forecast Lower Upper Actual

44 39491,9 37642,5 41341,4

45 40095,9 37329,1 42862,6

Residual

Pe

rce

nt

200010000-1000-2000

99

90

50

10

1

Fitted Value

Re

sid

ua

l

3500030000250002000015000

2000

1000

0

-1000

-2000

Residual

Fre

qu

en

cy

10000-1000-2000

8

6

4

2

0

Observation Order

Re

sid

ua

l

4035302520151051

2000

1000

0

-1000

-2000

Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values

Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data

Residual Plots for PB

83

Lampiran 3 Output analisis metode double exponential smoothing untuk

peramalan konsumsi beras Indonesia

Data PJ

Length 43

Smoothing Constants

Alpha (level) 0,579359

Gamma (trend) 0,145900

Accuracy Measures

MAPE 13

MAD 708

MSD 720278

Forecasts

Period Forecast Lower Upper

44 17521,8 15788,4 19255,2

45 18222,5 16177,0 20268,0

Lampiran 4 Output analisis metode double exponential smoothing untuk

peramalan produksi jagung Indonesia

Data PJ

Length 43

Smoothing Constants

Alpha (level) 0,579359

Gamma (trend) 0,145900

Accuracy Measures

MAPE 13

MAD 708

MSD 720278

Forecasts

Period Forecast Lower Upper

44 17521,8 15788,4 19255,2

45 18222,5 16177,0 20268,0

Residual

Pe

rce

nt

6000400020000-2000

99

90

50

10

1

Fitted Value

Re

sid

ua

l

400003000020000

6000

4000

2000

0

-2000

Residual

Fre

qu

en

cy

6000400020000-2000

20

15

10

5

0

Observation Order

Re

sid

ua

l

4035302520151051

6000

4000

2000

0

-2000

Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values

Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data

Residual Plots for KB

Residual

Pe

rce

nt

200010000-1000-2000

99

90

50

10

1

Fitted Value

Re

sid

ua

l

1600012000800040000

3000

2000

1000

0

-1000

Residual

Fre

qu

en

cy

25002000150010005000-500-1000

12

9

6

3

0

Observation Order

Re

sid

ua

l

4035302520151051

3000

2000

1000

0

-1000

Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values

Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data

Residual Plots for PJ

84

Lampiran 5 Output analisis Metode ARIMA untuk peramalan konsumsi jagung

Indonesia

Estimates at each iteration

Iteration SSE Parameters

0 93006634 0,100 0,100 269,104

1 79274614 -0,050 0,250 293,655

2 77482794 0,036 0,400 275,617

3 75961679 0,127 0,550 256,358

4 74819393 0,230 0,700 232,102

5 74664645 0,268 0,745 221,441

6 74648727 0,281 0,759 217,903

7 74646413 0,287 0,764 216,525

8 74646068 0,289 0,766 215,949

9 74646032 0,290 0,766 215,702

10 74646032 0,290 0,767 215,704

Relative change in each estimate less

than 0,0010

Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P

AR 1 0,2900 0,2512 1,15 0,255

MA 1 0,7066 0,1700 4,51 0,000

Constant 215,70 50,19 4,30 0,000

Differencing: 1 regular difference

Number of observations:

Original series 43,

after differencing 42

Residuals: SS = 74486734

(backforecasts excluded)

MS = 1909916 DF = 39

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-

Square statistic

Lag 12 24 36 48

Chi-Square 9,7 17,7 38,1 *

DF 9 21 33 *

P-Value 0,375 0,665 0,250 *

Forecasts from period 43

95 Percent

Limits

Period Forecast Lower Upper

Actual

44 15763,9 13054,6 18473,1

45 16016,1 12958,2 19074,0

Residual

Pe

rce

nt

400020000-2000-4000

99

90

50

10

1

Fitted Value

Re

sid

ua

l

15000100005000

4000

2000

0

-2000

-4000

Residual

Fre

qu

en

cy

400020000-2000-4000

16

12

8

4

0

Observation Order

Re

sid

ua

l

4035302520151051

4000

2000

0

-2000

-4000

Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values

Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data

Residual Plots for KJ

85

Lampiran 6 Output analisis metode single exponential smoothing untuk peramalan

produksi kedelai Indonesia

Data PK

Length 43

Smoothing Constant

Alpha 1,13322

Accuracy Measures

MAPE 11,5

MAD 107,0

MSD 19468,9

Forecasts

Period Forecast Lower Upper

44 774,722 512,616 1036,83

45 774,722 512,616 1036,83

Lampiran 7 Output analisis metode double exponential smoothing untuk

peramalan konsumsi kedelai Indonesia

Data KK

Length 43

Smoothing Constants

Alpha (level) 0,890233

Gamma (trend) 0,012814

Accuracy Measures

MAPE 6,3

MAD 92,3

MSD 19358,2

Forecasts

Period Forecast Lower Upper

44 1755,30 1529,07 1981,54

45 1773,25 1451,76 2094,74

Residual

Pe

rce

nt

4002000-200-400

99

90

50

10

1

Fitted Value

Re

sid

ua

l

200015001000500

400

200

0

-200

-400

Residual

Fre

qu

en

cy

3002001000-100-200-300-400

16

12

8

4

0

Observation Order

Re

sid

ua

l

4035302520151051

400

200

0

-200

-400

Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values

Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data

Residual Plots for PK

Residual

Pe

rce

nt

2000-200-400-600

99

90

50

10

1

Fitted Value

Re

sid

ua

l

200015001000500

200

0

-200

-400

-600

Residual

Fre

qu

en

cy

2000-200-400-600

20

15

10

5

0

Observation Order

Re

sid

ua

l

4035302520151051

200

0

-200

-400

-600

Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values

Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data

Residual Plots for KK

86

Lampiran 8 Output analisis regresi produksi beras di Indonesia

The regression equation is

PB = - 4,83 + 1,58 LB + 0,0199 CH + 0,0182 AL - 0,000980 VB

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant -4,827 1,641 -2,94 0,007

LB 1,5814 0,1840 8,60 0,000 8,8

CH 0,01993 0,03261 0,61 0,546 1,2

AL 0,01820 0,01183 1,54 0,035 9,0

VB -0,0009802 0,0006605 -1,48 0,149 1,1

S = 0,0392284 R-Sq = 96,9% R-Sq(adj) = 96,4%

PRESS = 0,0589947 R-Sq(pred) = 95,70%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 4 1,33043 0,33261 216,14 0,000

Residual Error 28 0,04309 0,00154

Total 32 1,37352

Source DF Seq SS

LB 1 1,32402

CH 1 0,00001

AL 1 0,00300

VB 1 0,00339

Unusual Observations

Obs LB PB Fit SE Fit Residual St Resid

1 9,11 9,7214 9,8197 0,0158 -0,0983 -2,74R

2 9,15 9,8215 9,8970 0,0129 -0,0755 -2,04R

12 9,24 10,1316 10,0551 0,0088 0,0765 2,00R

21 9,38 10,2453 10,2705 0,0299 -0,0252 -0,99 X

R denotes an observation with a large standardized residual.

X denotes an observation whose X value gives it large influence.

Durbin-Watson statistic = 1,784655

Lack of fit test

Possible curvature in variable LB (P-Value = 0,011 )

Possible curvature in variable AL (P-Value = 0,000 )

Overall lack of fit test is significant at P = 0,000

Residual

Pe

rce

nt

0,100,050,00-0,05-0,10

99

90

50

10

1

Fitted Value

Re

sid

ua

l

10,610,410,210,09,8

0,10

0,05

0,00

-0,05

-0,10

Residual

Fre

qu

en

cy

0,075

0,050

0,025

0,000

-0,025

-0,050

-0,075

-0,100

12

9

6

3

0

Observation Order

Re

sid

ua

l

302520151051

0,10

0,05

0,00

-0,05

-0,10

Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values

Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data

Residual Plots for PB

87

Lampiran 9 Output analisis regresi produksi jagung di Indonesia

The regression equation is

PJ = - 3,67 + 1,26 LJ + 0,107 CH + 0,181 AL - 0,00273 VJ

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant -3,6666 0,8892 -4,12 0,000

LJ 1,2609 0,1028 12,27 0,000 2,2

CH 0,10658 0,04884 2,18 0,038 1,1

AL 0,181184 0,009288 19,51 0,000 2,3

VJ -0,002727 0,001211 -2,25 0,032 1,1

S = 0,0603261 R-Sq = 98,6% R-Sq(adj) = 98,3%

PRESS = 0,138010 R-Sq(pred) = 98,04%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 4 6,9548 1,7387 477,77 0,000

Residual Error 28 0,1019 0,0036

Total 32 7,0567

Source DF Seq SS

LJ 1 5,5555

CH 1 0,0116

AL 1 1,3693

VJ 1 0,0185

Unusual Observations

Obs LJ PJ Fit SE Fit Residual St Resid

22 8,10 9,0223 9,0545 0,0475 -0,0322 -0,87 X

32 8,26 9,6576 9,5335 0,0195 0,1241 2,17R

R denotes an observation with a large standardized residual.

X denotes an observation whose X value gives it large influence.

Durbin-Watson statistic = 1,78939

No evidence of lack of fit (P >= 0,1).

Residual

Pe

rce

nt

0,100,050,00-0,05-0,10

99

90

50

10

1

Fitted Value

Re

sid

ua

l

9,69,28,88,48,0

0,10

0,05

0,00

-0,05

-0,10

Residual

Fre

qu

en

cy

0,100,050,00-0,05-0,10

8

6

4

2

0

Observation Order

Re

sid

ua

l

302520151051

0,10

0,05

0,00

-0,05

-0,10

Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values

Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data

Residual Plots for PJ

88

Lampiran 10 Output analisis regresi produksi kedelai di Indonesia

The regression equation is

PK = - 1,83 + 1,15 LK + 0,0195 CH + 0,0937 AL - 0,00132 VK

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant -1,8299 0,3821 -4,79 0,000

LK 1,14786 0,02430 47,24 0,000 1,6

CH 0,01953 0,03449 0,57 0,576 1,2

AL 0,093690 0,005432 17,25 0,000 1,8

VK -0,001318 0,001355 -0,97 0,339 1,1

S = 0,0405935 R-Sq = 99,0% R-Sq(adj) = 98,8%

PRESS = 0,0681873 R-Sq(pred) = 98,45%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 4 4,3599 1,0900 661,46 0,000

Residual Error 28 0,0461 0,0016

Total 32 4,4060

Source DF Seq SS

LK 1 3,7672

CH 1 0,0974

AL 1 0,4937

VK 1 0,0016

Unusual Observations

Obs LK PK Fit SE Fit Residual St Resid

1 6,60 6,48004 6,38112 0,02047 0,09892 2,82R

4 6,46 6,28413 6,36397 0,01686 -0,07984 -2,16R

20 7,05 7,23129 7,23752 0,03828 -0,00623 -0,46 X

R denotes an observation with a large standardized residual.

X denotes an observation whose X value gives it large influence.

Durbin-Watson statistic = 1,85562

No evidence of lack of fit (P >= 0,1).

Residual

Pe

rce

nt

0,100,050,00-0,05-0,10

99

90

50

10

1

Fitted Value

Re

sid

ua

l

7,57,06,5

0,10

0,05

0,00

-0,05

-0,10

Residual

Fre

qu

en

cy

0,100

0,075

0,050

0,025

0,000

-0,025

-0,050

-0,075

8

6

4

2

0

Observation Order

Re

sid

ua

l

302520151051

0,10

0,05

0,00

-0,05

-0,10

Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values

Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data

Residual Plots for PK

89

Lampiran 11 Output analisis regresi konsumsi beras di Indonesia

The regression equation is

KB = - 30,7 + 3,90 JP - 0,138 HB + 0,355 PDB + 0,156 GDP

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant -30,717 8,353 -3,68 0,001

JP 3,8964 0,5459 7,14 0,000 3,2

HB -0,13794 0,06644 -2,08 0,047 3,8

PDB 0,3553 0,7148 0,50 0,623 4,0

GDP -0,15646 0,06115 -2,56 0,016 1,2

S = 0,0777344 R-Sq = 92,5% R-Sq(adj) = 91,5%

PRESS = 0,222540 R-Sq(pred) = 90,17%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 4 2,09584 0,52396 86,71 0,000

Residual Error 28 0,16919 0,00604

Total 32 2,26503

Source DF Seq SS

JP 1 1,97185

HB 1 0,07264

PDB 1 0,01178

GDP 1 0,03956

Unusual Observations

Obs JP KB Fit SE Fit Residual St Resid

5 12,0 9,7493 9,8992 0,0247 -0,1499 -2,03R

R denotes an observation with a large standardized residual.

Durbin-Watson statistic = 1,838268

Lack of fit test

Possible interaction in variable JP (P-Value = 0,063 )

Possible interaction in variable PDB (P-Value = 0,073 )

Possible interaction in variable GDP (P-Value = 0,029 )

Overall lack of fit test is significant at P = 0,029

Residual

Pe

rce

nt

0,20,10,0-0,1-0,2

99

90

50

10

1

Fitted Value

Re

sid

ua

l

10,610,410,210,09,8

0,1

0,0

-0,1

Residual

Fre

qu

en

cy

0,120,080,040,00-0,04-0,08-0,12-0,16

8

6

4

2

0

Observation Order

Re

sid

ua

l

302520151051

0,1

0,0

-0,1

Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values

Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data

Residual Plots for KB

90

Lampiran 12 Output analisis regresi konsumsi jagung di Indonesia

The regression equation is

KJ = - 24,2 + 2,37 JP - 0,135 HJ + 0,344 PDJ + 0,160 GDP

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant -24,24 10,90 -2,22 0,034

JP 2,3652 0,9088 2,60 0,015 5,4

HJ -0,1354 0,1075 -1,26 0,218 4,8

PDJ 0,3444 0,4053 0,85 0,403 4,9

GDP 0,1597 0,1349 1,18 0,246 7,2

S = 0,150108 R-Sq = 88,9% R-Sq(adj) = 87,3%

PRESS = 0,947920 R-Sq(pred) = 83,27%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 4 5,0354 1,2589 55,87 0,000

Residual Error 28 0,6309 0,0225

Total 32 5,6663

Source DF Seq SS

JP 1 4,9278

HJ 1 0,0066

PDJ 1 0,0694

GDP 1 0,0316

Unusual Observations

Obs JP KJ Fit SE Fit Residual St Resid

3 11,9 8,0180 8,4647 0,0662 -0,4468 -3,32R

6 12,0 8,9549 8,6507 0,0579 0,3043 2,20R

R denotes an observation with a large standardized residual.

Durbin-Watson statistic = 1,79243

Possible lack of fit at outer X-values (P-Value = 0,094)

Overall lack of fit test is significant at P = 0,094

Residual

Pe

rce

nt

0,40,20,0-0,2-0,4

99

90

50

10

1

Fitted Value

Re

sid

ua

l

9,59,08,5

0,4

0,2

0,0

-0,2

-0,4

Residual

Fre

qu

en

cy

0,30,20,10,0-0,1-0,2-0,3-0,4

12

9

6

3

0

Observation Order

Re

sid

ua

l

302520151051

0,4

0,2

0,0

-0,2

-0,4

Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values

Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data

Residual Plots for KJ

91

Lampiran 13 Output analisis regresi konsumsi kedelai di Indonesia

The regression equation is

KK = - 31,2 + 3,78 JP - 0,208 HK + 0,463 PDK + 0,0720 GDP

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant -31,239 8,088 -3,86 0,001

JP 3,7801 0,7450 5,07 0,000 4,4

HK -0,20809 0,08898 -2,34 0,027 3,5

PDK 0,4626 0,2369 1,95 0,061 3,3

GDP 0,07202 0,07507 0,96 0,346 1,2

S = 0,0920790 R-Sq = 67,8% R-Sq(adj) = 63,2%

PRESS = 0,340244 R-Sq(pred) = 53,90%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 4 0,50061 0,12515 14,76 0,000

Residual Error 28 0,23740 0,00848

Total 32 0,73801

Source DF Seq SS

JP 1 0,34523

HK 1 0,08594

PDK 1 0,06164

GDP 1 0,00780

Unusual Observations

Obs JP KK Fit SE Fit Residual St Resid

19 12,2 7,6479 7,3209 0,0413 0,3270 3,97R

R denotes an observation with a large standardized residual.

Durbin-Watson statistic = 1,73353

Lack of fit test

Possible curvature in variable JP (P-Value = 0,044 )

Possible curvature in variable HK (P-Value = 0,010 )

Overall lack of fit test is significant at P = 0,010

Residual

Pe

rce

nt

0,40,20,0-0,2

99

90

50

10

1

Fitted Value

Re

sid

ua

l

7,57,47,37,27,1

0,3

0,2

0,1

0,0

-0,1

Residual

Fre

qu

en

cy

0,30,20,10,0-0,1

16

12

8

4

0

Observation Order

Re

sid

ua

l

302520151051

0,3

0,2

0,1

0,0

-0,1

Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values

Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data

Residual Plots for KK

92

92

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kudus pada tanggal 11 November 1988 dari Bapak

Mohamad Tho’at dan Ibu Soelasih. Penulis merupakan anak kedua dari dua

bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN C Demaan

III Kudus pada tahun 2001. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri 1 Kudus

sampai tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang

pendidikan di SMA Negeri 1 Kudus dan lulus tahun 2007.

Tahun 2008 penulis lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru IPB melalui

jalur reguler dan diterima pada Program Studi Diploma III Manajemen Agribisnis

dan lulus pada tahun 2011. Kemudian penulis kembali melanjutkan pendidikan di

Program Alih Jenis Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut

Pertanian Bogor pada tahun 2011.

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan,

seperti aktif dalam kegiatan organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Diploma

masa bakti 2009-2010. Penulis turut berkontribusi sebagai sekretaris devisi

pendidikan Mipro AKMAPESA IPB tahun 2009-2010, dan organisasi mahasiswa

daerah yang bernama Keluarga Kudus Bogor Menara Kota (KKB-MK). Selain

itu, penulis mendapat kesempatan mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa

(PKM) yang didanai oleh DIKTI pada tahun 2011. Saat ini, penulis bergabung

dalam organisasi Himpunan Alumni Keluarga Kudus Bogor (HA KKB) dan

Ikatan Keluarga AKMAPESA (IKAMA).