problematika pendirian rumah ibadah di...

131
PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEH (Analisis terhadap Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2007) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Bisril Hadi NIM: 109032100019 JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H / 2017 M

Upload: trinhminh

Post on 21-Mar-2019

235 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEH

(Analisis terhadap Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2007)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Bisril Hadi NIM: 109032100019

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H / 2017 M

Page 2: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan
Page 3: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Sripsi berjudul PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI

ACEH (Analisis Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007) telah

diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Februari 2017. Skripsi

ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Agama (S.Ag) pada Jurusan Studi Agama-Agama.

Jakarta, 14 Februari 2017

Page 4: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan
Page 5: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

i

ABSTRAK

BISRIL HADI

“Problematika Pendirian Rumah Ibadah di Aceh (Analisis Peraturan Gubernur

Aceh Nomor 25 Tahun 2007)”

Bisril Hadi, “Problematika Pendirian Rumah Ibadah di Aceh (Analisis Peraturan

Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007)”. Skripsi Fakultas Ushuluddin Jurusan Studi

Agama-Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 29

Januari 2017.

Pada dasarnya beribadah dan membangun rumah ibadah adalah dua hal yang berbeda.

Beribadah merupakan ekspresi keagamaan seseorang kepada Tuhan Yang Maha Esa,

sedangkan membangun rumah ibadah adalah tindakan yang berhubungan dengan

warga negara lainnya karena berhubungan dengan hal-hal yang fundamental, seperti:

kepemilikan tanah, kedekatan lokasi, dan lain sebagainya. Mendirikan rumah ibadah

di Aceh tidak semudah mendirikan rumah ibadah di daerah-daerah lain di Indonesia.

Meskipun Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9

dan 8 Tahun 2006 sebetulnya sudah sangat detail dalam mengatur pendirian rumah

ibadah, tapi di tingkat daerah khususnya Aceh merasa penting untuk menindaklanjuti

dengan aturan yang lebih detail lagi karena Aceh mempunyai keistimewaan dan

kekhususan melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun

2016. Berkaitan dengan pendirian rumah ibadah di Aceh telah diatur melalui

Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007 disingkat Pergub. Dikeluarkannya

Pergub ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, bagi kalangan yang

mendukung beranggapan bahwa adanya Pergub ini merupakan langkah konkrit

sebagai jawaban dari keistimewaan Aceh dalam bidang pelaksanaan syariat Islam

sebagai agama mayoritas di Aceh. Sebaliknya, bagi golongan yang kontra

menganggap bahwa Pergub ini mempersempit peluang minoritas dalam mendirikan

rumah ibadah di Aceh. Kekurangan yang terdapat pada Pergub ini adalah posisi

landasan hukumnya belum kuat dan tidak adanya sanksi hukum bagi yang melanggar.

Oleh karena itu, Pemerintah Aceh segera mengesahkan qānūn/peraturan daerah agar

status hukumnya lebih kuat. Selain memperkuat kerukunan umat beragama,

kehadiran qānūn ini diharap mampu menyelesaikan permasalahan pendirian rumah

ibadah di Aceh.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat dan mengkaji muatan-muatan yang terkandung

dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007 dan realisasi pelaksanaannya

serta untuk mengetahui bagaimana respon umat beragama dan Pemerintah Daerah

terkait muatan dalam Pergub tersebut. Dalam penulisan skripsi ini, peneliti

menggunakan jenis penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan sosiologis

untuk mengetahui realita interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat Aceh.

Dalam usaha memperoleh data, penulis melakukan wawancara (interview) dengan

beberapa narasumber yang dianggap dapat mewakili untuk mendeskripsikan

mengenai masalah yang diteliti. Adapun dalam pembahasan skripsi ini, penulis

menggunakan metode analisis deskriptif.

Page 6: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ilahi Rabbi dengan segala karunia dan nikmat yang

diberikan kepada umat manusia, hingga sebahagian kecil dari sebuah perjalanan

hidup yang diarungi oleh salah seorang hamban-Nya, tak pernah luput dari

pantauan dan perhatian-Nya. Penulis persembahkan syukur yang tak terbilang

kepada-Nya. Tuhanku dan Tuhan semesta alam karena kesehatan fisik dan mental

yang telah diberikan-Nya sehingga penulis danpat merampungkan penulisan

skripsi ini sebagai bagian dari tugas akademis di Program Studi Perbandingan

Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syrif Hidayatullah

Jakarta.

Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

kekasih Allah, yaitu Nabi Muhammad SAW., yang telah memperkenalkan

kepadaku sesuatu yang telah menjadi way of life selama perjalanan hidup yang

telah, sedang, dan dijalani penulis merupakan bagian hidup yang tak terpisahkan

untuk memahami dan mengerti tentang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.

Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan, bantuan, bimbingan, dan

motivasi dari semua pihak, penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik.

Maka sudah sepatutnya penulis mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-

besarnya dan rasa hormat yang mendalam di tujukan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, MA. selaku pembimbing dalam

penulisan skripsi ini yang di tengah kesibukan masih berkenan meluangkan

Page 7: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

iii

waktu dan tenaganya serta kesabarannya memberikan arahan dan bimbingan

kepada penulis sehingga membuka cakrawala berfikir dan nuansa keilmuan

yang baru. Hanya Allah yang dapat membalas semua kebaikan Bapak, dan

semoga Bapak beserta keluarga selalu dikaruniai kesehatan, umur panjang,

kelancaran rezeki dan bahagia dunia maupun akhirat kelak.

2. Bapak Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, selaku Penasehat Akademik penulis.

Terimakasih atas nasehat-nasehatnya yang telah bersedia memberi arahan

dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer,

MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si.

selaku Wakil Dekan Bidang Akademik dan Bapak Dr. H. M. Suryadinata,

M.Ag. selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan

Kerjasama.

4. Bapak Dr. Media Zainul Bahri, MA. selaku Ketua Prodi Studi Agama-

Agama dan Ibu Dra. Halimah SM, MA. selaku Sekretaris Prodi Studi

Agama-Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah memberikan arahan dan juga masukan kepada penulis. Bapak

Abdul Hakim Wahid, MA selaku dosen pembantu Prodi Agama-Agama

yang telah memberikan nasehat-nasehat dan saran-saran kepada penulis,

juga mempermudah dalam pengurusan surat-menyurat administratif jurusan.

Page 8: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

iv

5. Para dosen Fakultas Ushuluddin terutama Prodi Studi Agama-Agama yang

telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu dosen

selalu diberikan kesehatan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis

dapat bermanfaat.

6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Pimpinan beserta staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan

Utama dan Perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Bapak Prof. Dr. Farid Wajdi, MA. selaku Rektor UIN Ar-Ranirry Banda

Aceh, Bapak Drs. H. Ghazali Abbas Adan selaku Anggota DPD RI

(Provinsi Aceh), Bapak Drs. H. Hasyim Syamsuddin, MA. yang merupakan

salah satu tokoh Aceh di Jakarta, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)

Aceh dan Bapak Willy Putrananda selaku Pengurus Vihara Shakyamuni

Banda Aceh. Terimaksih atas kesediaan dan waktunya untuk penulis

wawancarai dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

9. Keluarga tercinta yaitu Ibunda Asnimar dan Bapak Taharuddin yang selalu

memberikan doa restu dan dukungannya berupa materi, motivasi, nasehat,

serta kasih sayang yang tiada hentinya bagi penulis. Adik-adik ku tersayang

Taufik Muftawin, Ariadi Ananda, Faizun Saputra, Agus, Fachrul Rizal, dan

“si kembar” Alya Adriana dan Alya Jazilla. Semoga selalu dalam lindungan

Allah Swt. Amin. Miss You All!

Page 9: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

v

10. Big Thanks to Pak Puk atas doa, arahan, nasehat dan bantuan materilnya

yang sangat membantu selama tinggal di Jakarta. Semoga dalam lindungan-

Nya, dimudahkan rezekinya dan sehat selalu. Terimakasih juga kepada Pak

Uwo, Bengsu, Pak Soehardi dan Ibu, Bundo, Pak Tanga, Pak Uda, Pak Acu,

Angku GosTel, Angku Sibolga, Angku Tanjung Pinang, Paman Wasil, Kak

Wardiah, Mak Janul, Mak Azwir dan Mak Azmal yang tidak henti-hentinya

mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan studi. Terimakasih atas

semua bantuan materilnya. Semoga tetap dalam lindungan-Nya dan

dimudahkan rezekinya.

11. Dan untuk seseorang yang spesial My Love Elis Rostiani, S.Th.I yang lebih

dahulu menyelesaikan studinya. Meskipun demikian, selalu membantu,

menemani, dan tak henti-hentinya mengingatkan serta memberikan

semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga Tuhan

mempermudah urusan kita. Amin.

12. Thanks soo much to Juli Ahsani, S.Th.I yang juga sedang menyelesaikan

Tesis. Terimakasih atas masukan dan ide-ide nya sehingga penulis ter-

inspirasi untuk menemukan judul skripsi ini. Good luck brooo!

13. Pak Mahyudin dan Ibu Siti Hasanah (Neng) selaku orang tua kami di

Jakarta, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga atas semua

nasehat bimbingannya dengan penuh keikhlasan telah memberikan

perhatian maupun kasih sayang kepada kami. Semoga Bapak dan Ibu selalu

dikaruniai nikmat kesehatan, keluasan rezeki dan umur panjang.

Page 10: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

vi

14. Pengurus Pusat Taman Iskandar Muda (PP-TIM) Jakarta, Pengurus Pusat

Taman Iskandar Muda Cabang Ciputat, dan Yayasan Cinta Ibu Serambi

Mekkah yang telah memberikan bantuan dana pendidikan (baik zakat

fitsabilillah maupun uang bulanan) kepada penulis. Bantuan Bapak/Ibu

sangat bermanfaat bagi penulis dalam menempuh studi dan biaya hidup

selama di Jakarta. Saya ucapkan terimakasih, hanya Allah yang dapat

membalas jasa-jasa Bapak/Ibu sekalian.

15. Guru-guru tercinta, SDN 1 Kuala Baru, SMPN 3 Kuala Baru dan juga

SMAS Sekolah Sukma Bangsa (Pidie) yang telah memberikan ilmu-

ilmunya kepada penulis hingga menjadi sekarang ini. Terimakasih Guruku!

Kalian adalah pahlawan tanpa jasa.

16. Teman-teman KKN BBM (Belajar, Bekarya dan Mengabdi) 2012 UIN

Jakarta; Amizar Isma, Mulyadi, Masrukhin, Fasjud Syukroni, M. Reza

Istaqim, M. Bagus Salim, Rizki Ramadhani, Dwi Pranata, Arif Rahman,

Rizky Noor Alam, Eni Noor Aini, Aam Mariyamah, Putri Syahri Dzulhijah,

Muzie, Amira, Khairunnisa Lubis dan Meutia Rachmawati.

17. Teman-teman HMI Komfuf, HMI Cabang Ciputat, dan BEM-J

Perbandingan Agama serta BEM-F Ushuluddin. Yakusa!

18. Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA) Jakarta; baik

Pengurus Pusat maupun Pengurus Cabang, teruslah berjuang dalam

menuntut ilmu di perantauan. Jaga terus silaturrahmi dan tetap solid!

Page 11: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

vii

19. Para Senior, Alumni serta sahabat IMAPA Jakarta; bang Nazirullah, bang

Rahmatul Fadhil, bang Nazri Adlani, bang Rizki Mauliadi, bang M. Yasir

Arafad, bang Fajar Rizki, dan bang Wahyu “Teudayah” yang selalu

menyempatkan waktu untuk ngopi bareng, sharing pengalaman dan

mendiskusikan banyak hal. Kak Alfi Syahriati, Kak Nurur Rahmah, dan

para senior dan alumni lainnya. Terimakasih atas nasehat-nasehatnya.

Sahabat-sahabat IMAPA; bro Amizar Isma, Desiana, July Ahsani, Dwi

Abdullah, Nasruddin, Mulyadi, Mahdi, Arsyad, Rabuman, Salina, Farida,

Saiful Rahmat, Inas Ghina, Mawaddah, Hilma Azmi, Istiqomah, Rima,

Ainul, Tika, Mayra, Dian, Subhan, Abi Surya, Ali Ridha, Anjar dan teman-

teman semua yang tidak disebutkan. Terimakasih atas kebersamaannya.

20. Sahabat seperjuangan (Sukma Bangsa 2009); July Ahsani, Mahdi, Mulyadi,

Dwi Abdullah, Nasruddin, Arsyad, Samsul Bahri, Rabuman, Desiana,

Salina, Farida, Rahmad Syalevi dan Yusrizal. Dimanapun kalian berada,

semoga tetap dalam lindungan Allah Swt. dan semoga ilmu yang telah

diraih dapat bermanfaat dan berkah.

21. Teman-teman Perbandingan Agama 2009; July Ahsani, Ahcmad Rizal,

Almam Faluki, Nirmatullah Efendi, Helmi, Habiburrahman, Abdurrohman,

M. Thamrin Sau, Samsul Bahri, Ipan Fahmi Fauzillah, Dimas Sigit,

Shalihing, Anton Nuryantono, Wahidin Mulyadi, Rifky Firdaus, Reni

Rosita, Suartinih, Elina Alfiani, Siti Rahmah, Rodiah Adawiah, Asiyah dan

Septian Darwis.

Page 12: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

viii

22. Senior-senior Perbandingan Agama; bang Wasil, bang Buluk, bang Uzli,

bang Samsul dan kak Ay Shumyati. Terimakasih semuanya atas segala

nasehat dan pengalamannya baik dalam „dunia‟ akademisi maupun dalam

berorganisasi, kegiatan aksi, seminar dan lainnya.

23. Teman-teman yang sering penulis repotkan baik itu kesediaan jasa maupun

kendaraannya (motor); Yofie, Subki, Nanda, Ozoel, Irvan, Faisi, Sofyan,

Iyus, dan Bustamam. Terimakasih kawan!

24. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis

sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

Akhirnya, hanya kepada Allah Swt. kita memohon, semoga skripsi ini dapat

memberi makna bagi peningkatan kehidupan keagamaan yang lebih humanis dan

dinamis serta berkeadaban. Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini dapat

memberikan manfaat dan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan

khususnya bagi umat beragama di Aceh dan di Indonesia umumnya dalam

menyikapi persoalan pendirian rumah ibadah. Dan semoga Allah Swt. membalas

jasa-jasa yang telah diberikan kepada penulis dari semua pihak dalam

penyelesaian skripsi ini, juga mendapatkan balasan yang setimpal baik di dunia

maupun di akhirat. Amin

Jakarta, 14 Februari 2017

Penulis,

Bisril Hadi

Page 13: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

ix

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK …....................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ………………………………………………………… ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………… ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……………………………………………….. 1

B. Rumusan Masalah ……………………………………………. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………. 7

D. Metodologi Penelitian ………………………………………... 7

E. Sistematika Penulisan ………………………………………... 12

BAB II GAMBARAN UMUM ACEH

A. Sejarah Singkat ………………………………………………. 14

B. Letak Geografis …………………………………………….... 19

C. Demografi ……………………………………………………. 21

1. Suku Bangsa …………………………………………........ 21

2. Bahasa …………………………………………………...... 23

3. Agama …………………………………………………….. 28

4. Budaya ……………………………………………………. 34

5. Urbanisasi ……………………………………………........ 37

D. Sistem Pemerintahan ………………………………………… 39

1. Pemerintahan Indonesia ………………………………...... 39

2. Pemerintahan Aceh ………………………………………. 43

BAB III PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENDIRIAN

RUMAH IBADAH

A. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007……………. 52

1. Landasan Filosofis ………………………………………... 52

2. Landasan Sejarah ………………………………………..... 54

3. Landasan Hukum ………………………………………..... 56

4. Landasan Sosial …………………………………………... 58

Page 14: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

x

B. Perbandingan Peraturan Bersama Menteri Agama dan

Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 dengan

Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007 …………....

59

1. Kelebihan …………………………………………………. 59

2. Kekurangan ……………………………………………...... 63

C. Respon Masyarakat terhadap Peraturan Gubernur Aceh

Nomor 25 Tahun 2007 ……………………………………......

67

1. Kelompok Pendukung …………………………………….. 68

2. Kelompok Penentang ……………………………………... 71

BAB IV ANALISIS PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 25

TAHUN 2007

A. Realisasi Pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007..... 74

B. Akibat Dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007... 83

C. Rencana Perumusan Qanun Kerukunan Umat Beragama di

Aceh……………………………………………………...........

86

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………... 89

B. Saran-Saran …………………………………………………... 91

DAFTAR PUSTAKA 93

LAMPIRAN-LAMPIRAN 96

Page 15: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai penduduk

yang bercorak plural. Pluralitas itu ditandai dengan adanya kesatuan-kesatuan

sosial yang beraneka ragam baik dari segi suku, budaya, ras, maupun agama. Dari

segi agama khususnya, Indonesia ditempati oleh penduduk dengan latar belakang

agama yang berbeda-beda baik agama Mondial (Islam, Kristen, Katolik, Hindu,

Buddha, dan Khonghucu),1 maupun agama Lokal (Sunda Wiwitan, Kaharingan,

Marapu, Parmalim, Pemena, dan lain sebagainya). Semua agama tersebut hidup

dan tumbuh subur di Indonesia dengan jumlah pemeluk yang bervariasi. Dengan

adanya pluralitas dalam segi agama, maka semua kelompok agama berupaya

mengekspresikan keberagamaan yang menjadi keyakinan agama masing-masing,

Ekspresi keberagamaan itu menjadi sebuah indikasi atau penanda adanya

penganut suatu agama di daerah tertentu. Tempat yang dimaksud tersebut ialah

rumah ibadah. Rumah ibadah menjadi kebutuhan mendasar bagi semua umat

beragama yang keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan masing-

masing agama.

1 Keenam agama Mondial ini masuk sebagai agama yang dilayani oleh pemerintah,

sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor

1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama. Pasal 1:

“Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu,

Buddha, dan Khong Hu Cu”.

Page 16: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

2

Dalam konteks budaya, rumah ibadah bagi masyarakat Indonesia bukan

hanya dimaknai sekedar simbol keagamaan saja, tetapi juga sebagai aktualisasi

keyakinan bagi tiap-tiap pemeluk umat beragama sehingga keberadaan rumah

agama sering juga menimbulkan persepsi yang berkaitan dengan aspek kehidupan

sosial-politis. Adanya rumah ibadah juga sebagai sarana sosialisasi dan

internalisasi ajaran agama maka melalui pelestarian sistem keyakinan keagamaan

yang dianut kelompok agama yang kemudian menghasilkan regenerasi bagi

kelangsungan kehidupan kelompok keagamaan sekaligus dengan adanya.2 Dalam

proses regenerasi itu, segala kegiatan yang meyangkut pendidikan keagamaan

juga menjadi aktifitas bagi rumah ibadat. Selain itu, rumah ibadat juga kerap

dijadikan sebagai pusat kegiatan sosial bagi umat beragama yang semua

kegiatannya tak terlepas dari penyiaran keagamaan. Namun di sisi lain,

sebagaimana yang juga disepakati oleh para ahli berpendapat bahwa rumah ibadah

selain sebagai salah satu tempat bagi umat beragama dalam rangka

mengekspresikan kebebasan beragama yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar

1945.3 Akan tetapi pada waktu dan konteks tertentu juga dapat menimbulkan

2 Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama

Republik Indonesia (Jurnal Harmoni, Vol. IX, Nomor 33, Januari-Maret 2010), h. 5.

3 Dalam konstitusi Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan

bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk dan beribadat sesuai dengan

agama yang diyakininya. Pasal 29 Ayat (2) menyebutkan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-

tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu”. Pasal 28 e Ayat (1) dan (2) juga menyebutkan: (1) Setiap orang bebas

memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; (2) Setiap orang berhak atas kebebasan

meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya.

Page 17: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

3

keresahan dalam masyarakat.4 Bahkan keresahan yang muncul tersebut jika terus

dibiarkan dan tidak ada penanganannya maka akan menimbulkan masalah dan

konflik. Masalah yang sering muncul dan hampir selalu dialami oleh setiap

pemeluk umat beragama ialah tentang perizinan mendirikan rumah ibadah selalu

menjadi persoalan di berbagai daerah di Indonesia.

Asumsi sederhana dari penulis bahwa dari berbagai macam persoalan yang

muncul salah satunya diakibatkan karena adanya dominasi peranan Pemerintah

Daerah sebagai upaya memenuhi dorongan aspirasi masyarakat mengeluarkan

regulasi sendiri tentang izin mendirikan rumah ibadah tersebut. Meski secara

jelas, izin mendirikan rumah ibadah di Indonesia telah diatur dalam Peraturan

Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006,

namun ada beberapa daerah yang membuat aturan sendiri dalam bentuk peraturan

gubernur (Pergub) seperti halnya Aceh yang mayoritas penduduknya beragama

Islam. Aceh sebagai sebuah provinsi yang mempunyai keistimewaan sebagai

daerah otonomi khusus memang mempunyai hak dan kewenangan tersendiri

untuk membuat atau mengeluarkan kebijakan apapun baik dalam bentuk Qanun

maupun peraturan khusus lainnya. Selain Aceh, Bali yang mayoritas beragama

Hindu juga mempuyai regulasi sendiri dalam membangun tempat-tempat ibadah

di Provinsi Bali sebagaimana yang tertuang dalam Pergub Bali Nomor 10 Tahun

2006. Demikian juga Papua yang mayoritas penduduknya beragama Kristen,

dimana adanya peraturan daerah (Perda) tentang larangan membangun rumah

4 Ubaidillah Marsan (Penyusun), Modul Diklat Teknis Kerukunan Umat Beragama:

Prosedur Pendirian Rumah Ibadah (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Pusdiklat Tenaga Teknis

dan Keagamaan, Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012), h. 2.

Page 18: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

4

ibadah baru (selain Gereja Injil di Indonesia) di Tolikara dengan alasan Papua

memiliki keistimewaan otonomi khusus. Padahal Perda ini belum diajukan ke

tingkat Provinsi (Papua) meskipun sudah disetujui oleh Bupati dan DPRD

setempat.

Selanjutnya, terkait izin mendirikan rumah ibadah di Aceh telah diatur

melalui Pergub Nomor 25 Tahun 2007 dimana Pergub ini dianggap telah

melampaui PBM Dua Menteri No. 8/2006 dan No. 9/2006 sesuai dengan bunyi

pasal 3 ayat 2 poin a, dimana mengharuskan 150 KTP yang disahkan oleh pejabat

setempat dan sesuai dengan batas wilayahnya serta dukungan sedikitnya 120

orang masyarakat setempat. Sedangkan pada PBM Dua Menteri No. 8/2006 dan

No. 9/2006 syarat yang diajukan untuk membangun rumah ibadah adalah 90 KTP

serta 60 dukungan dari warga. Sebagian golongan menganggap dikeluarkannya

Pergub kontroversial tersebut sangatlah latah. Sementara itu, Gubernur yang

memiliki kekuasaan untuk mengeluarkan keputusan ini menganggap hal tersebut

adalah langkah konkrit sebagai jawaban dari keistimewaan Aceh dalam bidang

pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Lebih lanjut, peraturan gubernur tersebut lebih

ketat daripada surat keputusan bersama dua menteri dan peraturan menteri

(Permen) sebelumnya.

Namun, sejauh pengamatan dan pengetahuan penulis bahwa Pergub yang

mengatur tentang izin mendirikan rumah ibadah tersebut sampai saat ini masih

menjadi masalah yang tak kunjung menemukan solusinya. Kalangan ulama di

Provinsi Aceh meminta Pergub tentang Pendirian Rumah Ibadah segera dicabut.

“Pergub itu telah meresahkan masyarakat. Karena itu, saya menyerukan Gubernur

Page 19: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

5

Irwandi Yusuf5 untuk mencabutnya,” tegas Sekretaris Jenderal (Sekjen)

Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Tgk Faisal Ali, di Banda Aceh, Jumat

(23/1/2009).6

Meskipun ketentuan pendirian rumah ibadah sudah diatur dalam Pergub

Aceh Nomor 25 Tahun 2007, tapi pada kenyataannya konflik sekitar masalah

rumah ibadah di lapangan masih saja terjadi. Hal ini bisa dilihat dari kasus

pembakaran geraja di Aceh Singkil yang baru-baru ini terjadi (13/10/2015)

kembali mencederai kerukunan umat beragama di Aceh.

Maka bertitik tolak pada pola pikir di atas, penulis merasa tertarik untuk

menggali lebih dalam lagi mengenai konflik agama yang dalam hal ini adalah

konflik pendirian rumah ibadah di Aceh. Untuk itu penulis merasa perlu untuk

menuangkan serta menuliskan dalam bentuk skripsi dengan judul: “Problematika

Pendirian Rumah Ibadah di Aceh (Analisis Terhadap Peraturan Gubernur

Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah)”.

Penelitian ini berusaha memahami keberadaan Pergub Aceh No. 25 Tahun

2007 tersebut dalam mengatur pendirian rumah ibadah agar kerukunan antar umat

beragama terpelihara. Karena sebenarnya agama Islam adalah ajaran agama yang

berisikan nilai-nilai yang mengatur kehidupan masyarakat secara keseluruhan baik

di bidang sosial, ekomoni, budaya bahkan politik. Setiap agama, bukan lembaga,

bukan tokoh, bukan pula sekedar doktrin/tradisi, tetapi merupakan pesan-pesan

5 Gubernur Aceh ke-15, Masa Jabatan 2007-2012.

6 Lihat: http://www.infoanda.com/followlink.php?lh=DAIHBApWBVpS. Diakses pada 12

Juli 2016.

Page 20: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

6

profetis yang sesungguhnya dari agama-agama yang berisikan nilai-nilai yang

diaplikasikan pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.7

Topik ini menarik untuk dikaji karena nantinya dapat memberikan

sumbangsih berupa pemikiran yang signifikan terhadap pemerintah, pemerhati

dan para tokoh agama dalam meciptakan kerukunan antarumat beragama dan

membuat regulasi yang adil, demokratis dan menghargai kemajemukan terkait

pendirian rumah ibadah.

B. Rumusan Masalah

Secara lebih rinci, permasalahan yang akan dikaji dalam studi ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa muatan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007?

2. Bagaimana realisasi pelaksanaan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25

Tahun 2007?

3. Bagaimana respon umat beragama dan Pemerintahan Daerah tentang

muatan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007?

4. Bagaimana kerukunan di Aceh setelah dikeluarkannya Peraturan

Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007?

7 Th. Sumartana dkk, Agama dan Negara, Perspektif: Islam, Buddha, Hindu, Konghucu,

Protestan, h. ix.

Page 21: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian dan penulisan skripsi ini

adalah untuk mengetahui muatan-muatan yang terkandung dalam Peraturan

Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang pedoman pendirian rumah ibadah,

bagaimana realisasi pelaksanaan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun

2007, bagaimana respon umat beragama dan Pemerintah Daerah tentang muatan

Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007, serta untuk mengetahui

bagaimana tingkat kerukunan di Aceh setelah dikeluarkannya Peraturan Gubernur

Aceh Nomor 25 Tahun 2007.

Selain itu, penulisan skripsi ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas akhir

proses pembelajaran di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta pada Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin, yaitu berupa

penulisan karya ilmiah/skripsi yang nantinya dapat dimanfaatkan sebagai

dokumentasi almamater dan bahan referensi kepada semua pihak, khususnya para

peneliti dan pemerhati yang sesuai dengan topik penelitian ini serta untuk

memperoleh kepuasan intelektual.

D. Metodologi Penelitian

Metode pada dasarnya berarti cara yang dipergunakan untuk mencapai

tujuan.8 Arti luas metode adalah cara bertindak menurut sistem atau aturan

8 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta:Gadjah Mada University

Press, 1998), h. 61.

Page 22: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

8

tertentu. Sedangkan arti khususnya adalah cara berfikir menurut aturan atau

sistem tertentu.

Metodologi adalah ilmu metode atau cara-cara dan langkah-langkah yang

tepat untuk menganalisa sesuatu penjelasan serta menerapkan cara. Adapun dalam

metodologi penelitian ini, penulis akan menggunakan metode penelitian sebagai

berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field Research)

yang bersifat kualitatif, seperti yang dikemukakan Bagdan dan Taylor bahwa

metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang mengahasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari perilaku seseorang yang dapat

diamati.

Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasilkan uraian yang

mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu

individu, kelompok, masyarakat, dan atau organisasi tertentu dalam

suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh,

komprehensif, dan holistik.9 Jenis penelitian ini bertujuan untuk melukiskan

keadaan obyek dan peristiwa. Data yang terdapat dilapangan dicari kecocokannya

dengan teori yang terdapat dalam literatur. Dalam penelitian ini, penulis akan

mengadakan penelitian terkait Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pedoman Pendirian Rumah Ibadah di Aceh.

9 Nuryanti Reni dan Peno Suryanto, Penelitian: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: UKM

Penelitian UNY, 2006), h. 6.

Page 23: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

9

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

Sosiologis. Pendekatan Sosiologis menurut Joachim Wach adalah pendekatan

tentang interaksi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang

terjadi antara mereka.10

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial

yang dinamis menyangkut hubungan antara orang-perorang, antar kelompok-

kelompok manusia, maupun antara orang-perorang dengan kelompok manusia.

Interaksi sosial tersebut merupakan syarat utama terjadinya aktifitas-aktifitas

sosial.11

Dalam pendekatan sosiologis, agama sendiri dipandang sebagai sistem

kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu.12

Perilaku

keagamaan tersebut berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu

maupun kelompok, sehingga setiap perilaku yang diperankannya akan terkait

dengan sistem keyakinan ajaran agama yang dianutnya. Kaitan dengan penelitian

ini, pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui realita interaksi sosial

yang dilakukan oleh masyarakat Aceh dalam hal ini terkait dengan pendirian

rumah ibadah.

3. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik yaitu metode yang digunakan

terhadap sesuatu data yang terkumpul, kemudian diklasifikasikan, dirangkai,

10

Dadang Kahmad, Metodelogi Penelitian Agama: Perspektif Ilmu Perbandingan Agama

(Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 90.

11 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2002), h. 61.

12 Ibid., h. 121-122.

Page 24: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

10

dijelaskan dan digambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang dipisah-pisahkan

menurut kategori untuk mendapatkan kesimpulan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam usaha memperoleh data, maka penulis menggunakan pengumpulan

data sabagai berikut:

a. Wawancara (interview), adalah pengumpulan data dengan jalan

mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpul

data) kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau

direkam dengan alat perekam (Tape recorder).13

Hal ini dilakukan untuk

memperoleh data dan informasi yang diperlukan khususnya yang

berkaitan dengan penelitian. Dengan kata lain, metode ini merupakan alat

pengumpulan informasi dengan cara mengajukan pertanyaan secara lisan,

untuk dijawab secara lisan pula antara pencari informasi dan sumber

informasi. Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang bisa

memberikan informasi berkaitan dengan obyek penelitian.

b. Pengamatan (Observasi), adalah pengamatan dan pencatatan secara

sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau

gejala-gejala pada obyek penelitian. Unsur-unsur yang tampak itu disebut

data atau informasi yang harus diamati dan dicatat secara benar dan

lengkap.14

Penelitian ini menekankan pada penelitian kualitatif, yaitu

13

Syafuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 91.

14 Hadari Nawawi, Intrument Penelitian Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University,

1995), h. 74.

Page 25: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

11

dengan menggunakan teknik observasi. Adakalanya observasi dilakukan

participant observation yaitu peneliti ikut serta dalam kegiatan-kegiatan

yang dilakukan oleh subyek yang diteliti, seolah-oleh merupakan bagian

dari mereka. Juga non pasticipant observation yaitu peneliti berada diluar

subyek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan yang mereka

lakukan.

c. Dokumentasi, ialah teknik pengumpulan data dengan cara

mengumpulkan bahan-bahan berupa peninggalan-peninggalan yang

sesuai denga tema penelitian. Metode ini dimaksudkan untuk

memperoleh pengetahuan yang lebih luas serta wawasan yang obyektif

dan ilmiah tentang tema penelitian.

5. Metode Analisa Data

Analisis data menurut patton (1980: 268), adalah proses mengatur urutan

data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian

dasar. Ia membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang

signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan

antara dimensi-dimensi uraian.15

Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode analisis deskriptif.

Deskriptif yang dimaksud adalah metode penulisan yang berusaha

menggambarkan atau menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan judul skripsi ini

menurut apa adanya secara jelas dan detail tanpa mengurangi ataupun

15

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

1989), h. 103.

Page 26: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

12

menambahkan. Kemudian dilanjutkan dengan metode analitis kritis yang artinya

memberikan uraian-uraian kritis dan sistematis terhadap pokok-pokok

pembahasan dan permasalahan tanpa adanya upaya memberikan penilaian tertentu

terhadap pembahasan skripsi. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan alur yang

jelas dan sistematis.

Sedangkan tekhnik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku

Pedoman Akademik Program Strata 1 Universitas Isam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta 2014 - 2015 terkait Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis

dan Disertasi) yang diterbitkan oleh Biro Akademik, Kemahasiswaan dan

Kerjasama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2014.

E. Sistematika Penulisan

Agar skripsi ini dapat terarah pada tujuan yang telah ditetapkan, maka

disusun sistematika sedemikian rupa secara sistematis yang terdiri dari lima bab

yang masing-masing menampakkan karakteristik yang berbeda namun dalam satu

kesatuan yang saling melengkapi dan berhubungan. Adapun sistematika

penulisannya sebagai berikut:

BAB I Merupakan bab pendahuluan. Dalam bab ini tercakup di dalamnya

lima pasal pembahasan yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah;

Perumusan Masalah; Tujuan dan Manfaat Penelitian; Metode

Penelitian; dan Sistematika Penulisan.

BAB II Berisi ulasan mengenai Gambaran Umum tentang Aceh: Sejarah

Singkat Aceh; Letak Geografis; Demografi; Suku Bangsa, Bahasa,

Page 27: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

13

Agama, Budaya dan Urbanisasi Masyarakat. Sistem Pemerintahan

meliputi; Sistem Pemerintahan Indonesia dan Sistem Pemerintahan

Lokal Aceh.

BAB III Bab ini mendeskripsikan bagaimana Aturan Pemerintah tentang

Pendirian Rumah Ibadah di Aceh yaitu; Pergub Aceh Nomor 25

Tahun 2007 meliputi Landasan Filosofis, Landasan Sejarah,

Landasan Hukum, dan Landasan Sosial. Perbandingan Kelebihan dan

Kekuranga Pergub Aceh No. 25 Tahun 2007 dengan PBM Dua

Menteri No. 8 dan 9 Tahun 2006; serta Respon Masyarakat terhadap

Pergub Aceh No. 25 Tahun 2007 yang meliputi Kelompok

Pendukung dan Kelompok Penentang.

BAB IV Dalam bab ini penulis mencoba untuk menganalisis dan menjawab

persoalan-persoalan mengenai Analisis Pergub Aceh No. 25 Tahun

2007 terhadap Problematika Pendirian Rumah Ibadah di Aceh, yaitu

bagaimana Realisasi Pelaksanaan Pergub Aceh No. 25 Tahun 2007

dan Apa Akibat dari Dikeluarkan Pergub Aceh tersebut serta

Bagaimana Rencana Perumusan Qanun Kerukunan Umat Beragama

di Aceh.

BAB V Bab ini merupakan bab terakhir/penutup yang berisikan Kesimpulan

dari pokok permasalahan dalam kajian skripsi ini, dan dalam bab ini

pula dapat diajukan Saran-Saran yang dianggap penting dan relevan

dengan pokok permasalahan.

Page 28: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

14

Page 29: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

14

BAB II

GAMBARAN UMUM ACEH

A. Sejarah Singkat

Daerah Aceh yang terletak di bagian paling Barat gugusan kepulauan

Nusantara, menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perniagaan

dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat sejak berabad-abad

lampau. Aceh sering disebut-sebut sebagai tempat persinggahan para pedagang

Cina, Eropa, India dan Arab, sehingga menjadikan daerah Aceh pertama

masuknya budaya dan agama di Nusantara.

Pada abad ke-7 para pedagang India memperkenalkan agama Hindu dan

Budha. Namun peran Aceh menonjol sejalan dengan masuk dan berkembangnya

agama Islam di daerah ini, yang diperkenalkan oleh pedagang Gujarat dari jajaran

Arab menjelang abad ke-9.1

Menurut catatan sejarah, Aceh adalah tempat pertama masuknya agama

Islam di Indonesia dan sebagai tempat timbulnya kerajaan Islam pertama di

Indonesia, yaitu Peureulak dan Pasai. Kerajaan yang dibangun oleh Sultan Ali

Mughayatsyah dengan ibukotanya di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh

sekarang) lambat laun bertambah luas wilayahnya yang meliputi sebagaian besar

pantai Barat dan Timur Sumatra hingga ke Semenanjung Malaka.2

1 Naskah oleh Bidang Statistik Sosial, Bidang Statistik Produksi, Bidang Statistik

Distribusi, Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik dan Bidang Integrasi, Pengolahan dan

Diseminasi Statistik, Aceh Dalam Angka 2015, (Banda Aceh: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh,

2015), h. x1iii. Katalog BPS 1102001.11. Lihat http://aceh.bps.go.id

2 Aceh Dalam Angka 2015, h. x1iii.

Page 30: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

15

Kehadiran daerah ini semakin bertambah kokoh dengan terbentuknya

Kesultanan Aceh yang mempersatukan seluruh kerajaan-kerajaan kecil yang

terdapat di daerah itu. Dengan demikian kesultanan Aceh mencapai puncak

kejayaannya pada permulaan abad ke-17, pada masa pemerintahan Sultan

Iskandar Muda.3

Pada masa itu pengaruh agama dan kebudayaan Islam begitu besar dalam

kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh, sehingga daerah ini mendapat julukan

“Seuramo Mekkah” (Serambi Mekkah). Keadaan ini tidak berlangsung lama,

karena sepeninggal Sultan Iskandar Muda para penggantinya tidak mampu

mempertahankan kebesaran kerajaan tersebut. Sehingga kedudukan daerah ini

sebagai salah satu kerajaan besar di Asia Tenggara melemah. Hal ini

menyebabkan wibawa kerajaan semakin merosot dan mulai dimasuki pengaruh

dari luar. Kesultanan Aceh menjadi incaran bangsa Barat yang ditandai dengan

penandatanganan Traktat London dan Traktat Sumatera antara Inggris dan

Belanda mengenai pengaturan kepentingan mereka di Sumatera. Sikap bangsa

Barat untuk menguasai wilayah Aceh menjadi kenyataan pada tanggal 26 Maret

1873, ketika Belanda menyatakan perang kepada Sultan Aceh.4

Dalam zaman perang kemerdekaan, sumbangan dan keikutsertaan rakyat

Aceh dalam perjuangan sangatlah besar, sehingga Presiden Pertama Republik

3 Sultan Iskandar Muda merupakan simbol kejayaan dan kegemilangan kesultanan Aceh

yang dikenal sangat dekat dengan Ulama dan masyarakat. Beliau dinobatkan menjadi Sultan/ Raja

pada tahun 1607-1636.

4 Aceh Dalam Angka 2015, h. x1iv.

Page 31: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

16

Indonesia, Ir. Sukarno memberikan julukan sebagai “Daerah Modal” pada daerah

Aceh.

Sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17

Agustus 1945 sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat, Aceh

merupakan salah satu daerah atau bagian dari negara Republik Indonesia sebagai

sebuah keresidenan dari Propinsi Sumatera. Bersamaan dengan pembentukan

keresidenan Aceh, berdasarkan Surat Ketetapan Gubernur Sumatera Utara Nomor

1/X tanggal 3 Oktober 1945 diangkat Teuku Nyak Arief sebagai Residen.5

Kedudukan daerah Aceh sebagai bagian dari wilayah Negara Republik

Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan status. Pada masa revolusi

kemerdekaan, Keresidenan Aceh pada awal tahun 1947 berada di bawah daerah

administratif Sumatera Utara. Sehubungan dengan adanya agresi militer Belanda

terhadap Republik Indonesia, Keresidenan Aceh, Langkat dan Tanah Karo

ditetapkan menjadi Daerah militer yang berkedudukan di Kutaradja (Banda Aceh

sekarang) dengan Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh.

Walaupun pada saat itu telah dibentuk Daerah Militer namun keresidenan masih

tetap dipertahankan. Selanjutnya pada tanggal 5 April 1948 ditetapkan Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1948 yang membagi Sumatera menjadi 3 Propinsi

Otonom, yaitu : Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Propinsi

Sumatera Utara meliputi keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli

Selatan, dengan pimpinan Gubernur Mr. S.M. Amin.6

5 Aceh Dalam Angka 2015, h. x1v.

6 Aceh Dalam Angka 2015, h. x1vi.

Page 32: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

17

Pada akhir tahun 1949 Keresidenan Aceh dikeluarkan dari Propinsi

Sumatera Utara dan selanjutnya ditingkatkan statusnya menjadi Propinsi Aceh.

Teungku Muhammad Daud Beureueh yang sebelumnya sebagai Gubernur Militer

Aceh, Langkat dan Tanah Karo diangkat menjadi Gubernur Propinsi Aceh.

beberapa waktu kemudian, berdasarkan Peraturan pemerintah pengganti Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1950 propinsi Aceh kembali menjadi Keresidenan

sebagaimana halnya pada awal kemerdekaan. Perubahan status ini menimbulkan

gejolak politik yang menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan, ketertiban

dan ketentraman masyarakat. Keinginan pemimpin dan rakyat Aceh ditanggapi

oleh Pemerintah sehingga dikeluarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956

tentang pembentukan kembali propinsi Aceh yang meliputi seluruh wilayah bekas

keresidenan Aceh.7

Dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, status Propinsi

Aceh menjadi Daerah Swatantra Tingkat I dan pada tanggal 27 Januari 1957 A.

Hasjmy dilantik sebagai Gubernur Propinsi Aceh. Namun gejolak politik di Aceh

belum seluruhnya berakhir. Untuk menjaga stabilitas Nasional demi persatuan dan

kesatuan bangsa, melalui misi Perdana Menteri Hardi yang dikenal dengan nama

Missi Hardi tahun 1959 dilakukan pembicaraan yang berhubungan dengan gejolak

politik, pemerintahan dan pembangunan daerah Aceh. Hasil misi tersebut ditindak

lanjuti dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor

1/MISSI/1959. Maka sejak tanggal 26 Mei 1959 Daerah Swatantra Tingkat I atau

Propinsi Aceh diberi status “Daerah Istimewa” dengan sebutan lengkap Propinsi

7 Aceh Dalam Angka 2015, h. x1vii.

Page 33: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

18

Daerah Istimewa Aceh. Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak

otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan.8 Status ini

dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.

Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintah pada masa lalu yang

menitik beratkan pada sistem yang terpusat dipandang sebagai sumber bagi

munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kondisi yang

demikian ini memunculkan pergolakan.

Hal ini ditanggapi oleh pemerintah pusat dengan pemberian Otonomi

Khusus dengan disahkannya Undang-Undang No. 18 tahun 2002 dan Propinsi

Daerah Istimewa Aceh berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.9

Kemudian berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009

tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam

Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009,

ditegaskan bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur

dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur

Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas

di lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari

sebutan/nomenklatur "Nanggroe Aceh Darussalam" ("NAD") menjadi

sebutan/nomenklatur "Aceh". Ini dilakukan sambil menunggu ketentuan dalam

8 Humas Pemda Aceh, Aceh 40 Tahun: Derap Langkah Pembangunan 1959-1998/1999

(Banda Aceh: Humas Banda Aceh), h. 290.

9 Aceh Dalam Angka 2015, h. x1viii.

Page 34: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

19

Pasal 251 UU Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai

provinsi dalam sistem NKRI, akan ditentukan oleh DPRA hasil Pemilu 2009.10

Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511-1959),

kemudia Daerah Istimewa Aceh (1959-2001), Nanggroe Aceh Darussalam (2001-

2009), dan terakhir Aceh (2009-sekarang).11

Sebelumnya, nama Aceh biasa

ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.

B. Geografis

Aceh terletak paling Barat dari kepulauan indonesia, tepatnya di ujung Barat

laut pulau Sumatera. Provinsi Aceh terletak antara 01º 58‟ 37,2” – 06º 04‟ 33,6”

Lintang Utara dan 94º 57‟ 57,6” – 98º 17‟ 13,2” Bujur Timur dengan ketinggian

rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Pada tahun 2013 Provinsi Aceh terdiri

atas 18 Kabupaten dan 5 kota, 289 kecamatan, 779 mukim dan 6.474 gampong

atau desa.12

Batas-batas wilayah Provinsi Aceh, sebelah Utara dan Timur berbatasan

dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara dan

sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Satu-satunya hubungan darat hanyalah

dengan Provinsi Sumatera Utara, sehingga memiliki ketergantungan yang cukup

tinggi dengan Provinsi Sumatera Utara.13

10

Aceh Dalam Angka 2015, h. x1ix.

11 Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009. Lihat http://www.acehprov.go.id/

12 Aceh Dalam Angka 2015, h. 3.

13 Aceh Dalam Angka 2015, h. 3.

Page 35: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

20

Luas Provinsi Aceh 5.677.081 Ha, dengan hutan sebagai lahan terluas yang

mencapai 2.270.080 Ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 700.350 Ha.

Sedangkan lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 2.096 Ha.14

Gambar 1.1

Peta Provinsi Aceh

Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010,15

jumlah penduduk

Aceh sementara adalah 4.494.410 yang terdiri dari 2.249,0 ribu jiwa laki-laki dan

2.245,5 ribu jiwa perempuan, dengan laju pertumbuhan sebesar 2,32 persen per

tahun. Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, jumlah penduduk di provinsi

14

Aceh Dalam Angka 2015, h. 3.

15 Sensus Penduduk Aceh 2010.

Page 36: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

21

Aceh berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2011 sebanyak 4.619.033 jiwa, tahun

2012 sebanyak 4.715.108 jiwa, tahun 2013 sebanyak 4.811.133 jiwa dan pada

tahun 2014 sebanyak 4.906.835 jiwa, terdiri atas 2.449,4 ribu jiwa laki-laki dan

2.457,4 ribu jiwa perempuan. Dan kepadatan penduduk di Provinsi Aceh tahun

2014 mencapai 86 orang/km².16

Lokasi suaka alam/objek wisata alam di Provinsi Aceh ada di dua belas

lokasi, yaitu Taman Buru Lingga Isaq, Cagar Alam Serbajadi, Taman Wisata dan

Taman Laut Pulau Weh Sabang, Cagar Alam Jantho, Taman Nasional Gunung

Leuser, Taman Wisata Alam Kepulauan Banyak, Suaka Margasatwa Rawa

Singkil, Taman Wisata Alam Jantho, Taman Wisata Alam Aceh Besar, Taman

Hutan Raya Pocut Meurah Intan, Taman Hutan Raya Subulussalam dan Taman

Hutan Raya Simeulue.17

C. Demografi

1. Suku Bangsa

Aceh memiliki 13 suku bangsa asli. Yang terbesar adalah Suku Aceh yang

mendiami wilayah pesisir mulai dari Langsa di pesisir timur utara sampai dengan

Trumon di pesisir barat selatan. Suku lainnya adalah Suku Gayo, seperti: Suku

Gayo Lut, Suku Gayo Luwes, Suku Gayo Serbe Jadi yang mendiami wilayah

pegunungan di Aceh Tengah. Selain itu juga dijumpai suku-suku lainnya seperti,

Aneuk Jamee di Aceh Selatan, Singkil dan Pakpak di Subulussalam, Singkil dan

16

Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. Lihat: http://aceh.bps.go.id/

17 Aceh Dalam Angka 2015, h. 3.

Page 37: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

22

Alas di Aceh Tenggara, Kluet di Aceh Selatan dan Tamiang di Aceh Tamiang,

dan di Pulau Simeulue terdapat Suku Sigulai.

Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan hasil sebagai berikut: Aceh

(50,32%), Jawa (15,87%), Gayo (11,46%), Alas (3,89%), Singkil (2,55%),

Simeulue (2,47%), Batak (2,26%), Minangkabau (1,09%), lain-lain (10,09%).18

Namun sensus tahun 2000 ini dilakukan ketika Aceh dalam masa konflik

sehingga cakupannya hanya menjangkau kurang dari setengah populasi Aceh saat

itu. Masalah paling serius dalam pencacahan ditemui di kabupaten Aceh Timur

dan Aceh Utara, dan tidak ada data sama sekali yang dikumpulkan dari kabupaten

Pidie. Ketiga kabupaten ini merupakan kabupaten dengan mayoritas suku Aceh.19

Berdasarkan sensus 2010 di peroleh hasil 10 suku bangsa terbesar di Aceh,

yaitu:20

No Suku Bangsa Jumlah Persentase

1 Suku Aceh 3.160.728 70,65

2 Suku Jawa 399.976 8,94

3 Suku Gayo 322.996 7,22

4 Suku Batak 147.295 3,29

5 Suku Alas 95.152 2,13

6 Suku Simeulue 66.495 1,49

7 Suku Aneuk Jamee 62.838 1,40

8 Suku Tamiang 49.580 1,11

9 Suku Singkil 46.600 1,04

10 Suku Minangkabau 33.112 0,74

11 Lain-Lain 89.172 1,99

18

Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape.

Institute of Southeast Asian Studies. 2003. ISBN 9812302123.

19 Changing Ethnic Composition: Indonesia 2000-2010.

20 Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin, M. Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, dan Agus

Pramono (2015). Demography of Indonesia’s Ethnicity. Institute of Southeast Asian Studies dan

BPS – Statistics Indonesia, h. 98.

Page 38: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

23

2. Bahasa

Bahasa merupakan bagian yang terpenting dan tak terpisahkan dari

kebudayaan suatu bangsa. Tanpa bahasa, sukar dibayangkan bagaimana

perkembangan kebudayaan suatu bangsa.21

Bahasa Aceh terdiri dari berbagai macam bahasa dari berbagai suku yang

mendiami daerah ini, di antaranya;

1) Bahasa Aceh

Bahasa merupakan cermin dari budaya suatu masyarakat, dan ketika

kita hendak mengenal karakter suatu masyarakat salah satunya kita harus

memahami bahasanya. Bahasa Aceh merupakan bahasa pada umumnya

paling banyak dipakai masyarakat Aceh, yakni sekitar 70% dari total

penduduk Aceh (Daud, 1997:10, Daud and Durie, 1999:1)22

. Menurut

pengamatannya penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan

Barat Aceh. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami

Kabupaten Aceh Besar, Kota Banda Aceh, Kabupaten Pidie, Kabupaten

Aceh Jeumpa, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Timur, Kabupaten Aceh

Jaya, Kabupaten Aceh Barat dan Kota Sabang.

Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam

Kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie,

21

Abdul Gani Syik, Sinar Darussalam: Majalah Pengetahuan dan Kebudayaan, No.

174/175.

22 Bukhari Daud, Bahasa dan Sastra Aceh: Milik Siapa?, “Makalah” (2004) dalam Muliadi

Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan: Rekonstruksi Sejarah Sosial Budaya (Banda Aceh: Lembaga

Kajian Agama dan Sosial (LKAS), 2009), Cet. 1, h. 63.

Page 39: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

24

Manggeng, Sawang, Tangan-Tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan.

Bahkan di Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita

dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain

itu, diluar provinsi Aceh, yaitu daerah-daerah perantauan masih ada juga

kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa

Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas

masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia

serta Sydney di Australia (Daud, 1997:30).23

2) Bahasa Gayo

Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan

bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo

yang telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa

ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah,

sebahagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten

Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini

mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian

didong.24

3) Bahas Alas

Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan

oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami

23

Bukhari Daud, Bahasa dan Sastra Aceh: Milik Siapa? h. 64.

24 Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan: Rekonstruksi Sejarah Sosial Budaya (Banda

Aceh: LKAS, 2009), Cet. 1, h. 64.

Page 40: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

25

Kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan

penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di Kabupaten Aceh Singkil,

merupakan penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk Kabupaten Aceh

Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di

lima kecamatan, yaitu Kecamatan Lewe Sigala-Gala, Lawe Alas, Bambel,

Babussalam, dan Bandar (Abdullah, dkk,1987:2).25

4) Bahasa Tamiang

Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng)

merupakan variant atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh

masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah kabupaten Aceh

Timur), kecuali di Kecamatan Manyak Payed (yang merupakan wilayah

bahasa Aceh) dan Kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni

bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa

Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.26

5) Bahasa Aneuk Jamee

Bahasa ini sering juga disebut (terutama penutur bahasa Aceh) dengan

bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan bahasa ini

merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah

Susoh, Labuhan Haji, Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar

wilayah Aceh Selatan, menurut Wildan (2002:2), bahasa ini juga digunakan

25

Wildan, Tata Bahasa Aceh: Untuk Madrasah Dasar dan Madrasah Lanjutan (Banda

Aceh: Global Education Consultant Institute [Geuci], 2002) dalam Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata

Sejarawan…, h. 65.

26 Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan, h. 65.

Page 41: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

26

oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat di Kabupaten Aceh Singkil dan

Aceh Barat, khususnya di Kecamatan Kaway XVI (Desa Peunaga Rayek,

Rantau Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan ranto Kleng), serta di

Kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di desa Padang Seurahet). Bahasa

Aneuk Jamee adalah bahasa yang lahir dari asimilasi bahasa sekelompok

masyarakat Minang yang datang ke wilayah pantai barat Aceh dengan

bahasa daerah masyarakat tempatan, yakni bahasa Aceh. Nama Aneuk

Jamee (yang secara harfiah bermakna „anak tamu‟, thus „bangsa pendatang‟)

yang dinisbahkan pada bahasa ini adalah refleksi yang tersirat dari makna

masyarakat pendatang itu sendiri. Bahasa ini dapat disebut juga sebagai

variant dari bahasa Minang.27

6) Bahasa Kluet

Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami

daerah Kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh

Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian yang

bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara luas,

terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri tidak banyak mengetahui tentang

seluk-beluk bahasa ini.28

7) Bahasa Singkil

Bahasa Singkil masih sangat terbatas dan sangat sedikit dapat dipahami

oleh masyarakat Aceh secara umum, ini sama halnya dengan bahasa Kluet.

27

Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan, h. 65-66.

28 Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan, h. 66.

Page 42: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

27

Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat di kabupaten

Aceh Singkil. Sebagian masyarakat di Aceh Singkil menggunakan bahasa

Aceh, bahasa Aneuk Jamee, sebagian lainnya menggunakan bahasa Minang,

dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa

Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah

Subulussalam. Selain itu masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan

Banyak, mereka menggunakan bahasa Haloban. Jadi dari sudut pandang

linguistik bahasa yang dipakai masyarakat Singkil adalah bahasa

pluralistik.29

8) Bahasa Haloban

Bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan

oleh masyarakat di kabupaten Aceh Singkil, khususnya mereka yang

mendiami “Puloe Banyak”, terutama sekali di Pulau Tuanku (Wildan,

2002:2). Bahasa ini kedengarannya sangat mirip dengan bahasa Devayan

yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa

Haloban sangat sedikit dan perlu dilestarikan agar tidak hilang.30

9) Bahasa Simeulue

Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang

merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah

penuturnya 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina Bahasa

Simeulue, seperti diamati Asyik dan Daud, dkk (2000:1), menemukan

29

Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan, h. 66.

30 Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan, h. 66-67.

Page 43: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

28

bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini telah menimbulkan salah

pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue;

mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa

daerah, yakni bahasa Simeulue.

Padahal di kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah yaitu

bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan

bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa

tentang jumlah bahasa di pulau Simeulue. Wildan (2002:2) misalnya,

mengatakan bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa

Simeulue. Akan tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan

yang digunakan di wilayah kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah

dan di kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh

masyarakat di wilayah kecamatan Simeulue Barat dan kecamatan Salang.

Dari beberapa anggota masyarakat pulau Simeulue yang kami hubungi,

kami peroleh informasi bahwa ketiga bahasa yang ada di pulau tersebut

merupakan bahasa yang berbeda dan terpisah.31

3. Agama

Berdasaran data sensus tahun 2010, jumlah penduduk Provinsi Aceh sebesar

4.494.410 jiwa, dan penduduk terbesar di Provinsi ini berada di Kabupaten Aceh

Utara. Adapun Provinsi ini terdiri dari 18 Kabupaten dan 5 kota.

31

Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan, h. 67.

Page 44: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

29

Bila di lihat dari besaran agama yang paling banyak di anut, sebagain besar

penduduk Aceh memeluk agama Islam, yang berikutnya adalah agama Kristen,

Budha dan Katolik. Agama Islam menjadi mayoritas di semua kabupaten dan

kota, sedangkan Agama Kristen dengan jumlah besar di Provinsi ini ada di

Kabupaten Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, Agama Katolik dengan populasi

besar ada di Aceh tenggara, dan Agama Budha berada di Kota Banda Aceh dan

Aceh Tamiang. Berikut data di sajikan dalam bentuk tabel untuk setiap kota dan

kabuaten di provinsi Aceh.

Tabel 1.1

Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut

Provinsi Aceh

Sumber: Data Sensus Penduduk 2010 – Badan Pusat Statistik Republik Indonesia

Dalam pengambilan data dimaksud, dari total jumlah penduduk yang didata,

di temukan data yang tidak terjawab sebesar 1 jiwa dan tidak ditanyakan sebesar

20.030 jiwa, dan lainnya sebesar 277 jiwa. Maka ketiga jumlah itu jika

Page 45: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

30

ditambahkan dengan jumlah penduduk yang terdata pada tabel, yang ditemukan

adalah jumlah total penduduk dalam provinsi di maksud. Adapun pada kolom

jumlah dalam tabel, untuk sub jumlah pada tiap kabupaten dan kota, adalah

penjumlahan dari besaran yang ada pada kolom-kolom Agama di sampingnya,

sedangkan selisih kurang dari jumlah tersebut adalah mereka yang masuk pada

kategori data tidak terjawab dan tidak terdata seta lain-lain.32

Adapun persentase penduduk menurut pemeluk agama dalam

kabupaten/kota menurut Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh

tahun 2014 menunjukkan agama Islam dengan persentase tertinggi dengan jumlah

98,923 %, disusul agama Protestan dengan presentase 0,795 %, Katolik 0,162 %,

Hindu 0,014 %, Buddha 0,103 %, Konghuchu 0,005 %. Berikut data persentase

penduduk menurut pemeluk agama dalam bentuk tabel untuk setiap

kabupaten/kota di provinsi Aceh. 33

32

Data Sensus Penduduk 2010.

33 Aceh Dalam Angka 2015, h. 112.

Page 46: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

31

Tabel 1.2

Presentase Penduduk Menurut Pemeluk Agama dalam Kabupaten/Kota, 2014

Provinsi Aceh

Sumber: Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh

Adapun jumlah rumah ibadah menurut jenis agama di masing-masing

kabupaten/kota di Aceh tahun 2014 sebagaimana yang telah diterbitkan oleh

Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Aceh dalam Angka 2015, adalah dimana

jumlah rumah ibadah umat Islam (Masjid) dari tiap-tiap kabupaten/kota di Aceh

Page 47: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

32

berjumlah 3.939 Masjid dan Meunasah34

dengan jumlah 6.363 unit. Selain itu,

jumah rumah ibadah umat Katolik berjumlah 6 Gereja dan Protestan dengan

jumlah 36 Gereja, rumah ibadah umat Buddha berjumlah 17 Vihara, dan umat

Hindu tidak memiliki bangunan rumah ibadah.35

Untuk lebih jelas, silahkan lihat

tabel dibawah ini:

Tabel 1.3

Jumlah Tempat Ibadah Menurut Jenis Agama dalam Kabupaten/Kota, 2014

Provinsi Aceh

Sumber: Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh

34

Secara etimologi, Meunasah berasal dari perkataan Madrasah, yaitu tempat belajar, atau

sekolah. Bagi masyarakat Aceh, meunasah tidak semata-mata sebagai tempat belajar akan tetapi

memiliki multi fungsi, disamping sebagai tempat belajar juga digunakan sebagai sebagai tempat

ibadah (shalat), tempat pertemuan, musyawarah, pusat informasi, tempat tidur bagi pemuda,

tempat menginap bagi musafir dan sebagai tempat kegiatan administrasi pemerintahan

gampong/kampung. Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam

di Indonesia (Jakarta: Perdana Media Graup, 2007), h. 23. Jika ditinjau dari segi pendidikan,

meunasah adalah lembaga pendidikan awal bagi anak-anak yang dapat disamakan dengan

tingkatan sekolah dasar. Hasyimi, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (Jakarta: Beuna, 1983), h.192.

Setiap kampung mesti ada meunasah yang dijadikan sebagai tempat berbagai aktifitas yang

berhubungan dengan kepentingan kampung.

35 Aceh Dalam Angka 2015, h. 111.

Page 48: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

33

Sedangkan menurut Kemenag Aceh Dalam Angka Tahun 2014 terkait data

keagamaan yang dalam hal ini adalah jumlah rumah ibadah, terdapat perbedaan

signifikan menyangkut jumlah rumah ibadah, seperti rumah ibadah umat Islam

dengan jumlah 3.930 Masjid (95,16%), Gereja Kristen berjumlah 165 Gereja

(4,00%) dan Gereja Katolik dengan jumlah 20 Gereja (0,48%). Selain itu, jumlah

rumah ibadah umat Buddha berjumlah 14 Vihara (0,34%), dan rumah ibadah umat

Hindu hanya 1 Pura (0,02%).36

Silahkan lihat tabel dibawah ini!

Tabel 1.4

Jumlah Rumah Ibadah

Tahun 2014

36

Tim Penyusun, Kemenag Aceh dalam Angka Tahun 2014 (Banda Aceh: Subbagian

Informasi dan Humas Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh, 2014), h. 7.

*) Belum termasuk Meunasah dan Mushalla

**) Belum termasuk Sanggah

Page 49: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

34

4. Budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama

oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.37

Budaya

terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat

istidat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana

juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak

orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang

berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan

menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu

dipelajari.

Budaya Aceh merupakan kumpulan budaya dari berbagai suku di Aceh,

dimana masing-masing 11 suku yang terdapat di Aceh mempunyai budaya, bahasa

dan pola pikir masing-masing.38

Di sana hidup adat istiadat Melayu, yang mengatur segala kegiatan dan

tingkah laku warga masyarakat bersendikan hukum Syariat Islam. Penerapan

syariat Islam di provinsi ini bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum Republik

Indonesia berdiri, tepatnya sejak masa kesultanan, syariat Islam sudah meresap ke

dalam diri masyarakat Aceh.

Undang-undang memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur

kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu, pemeluk

37

Human Communication: Konteks-konteks Komunikasi dalam Wikipedia:

https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#cite_note-Human-1 . Diakses pada 26 Juni 2016.

38 Budaya Aceh, Wikipedia. Lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Aceh. Diakses

pada 26 Juni 2016.

Page 50: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

35

agama lain dijamin untuk beribadah sesuai dengan kenyakinan masing-masing.

Inilah corak sosial budaya masyarakat Aceh, dengan Islam agama mayoritas di

sana tapi provinsi ini pun memiliki keragaman agama.

Keanekaragaman seni dan budaya menjadikan provinsi ini mempunyai daya

tarik tersendiri. Dalam seni sastra, provinsi ini memiliki 80 cerita rakyat yang

terdapat dalam Bahasa Aceh, Aneuk Jame, Tamiang, Gayo, Alas, Haloban, kluet.

Bentuk sastra lainnya adalah puisi yang dikenal dengan hikayat, dengan salah satu

hikayat yang terkenal adalah Hikayat Prang Sabi (Perang Sabil).

Adapun budaya yang terdapat dalam masyarakat Aceh adalah sebagai

berikut:

1) Budaya membuka lahan, Bagi masyarakat Aceh terdapat sejumlah aturan

yang sudah hidup dan berkembang sejak zaman dahulu. Kearifan

masyarakat Aceh juga terdapat dalam larangan menebang pohon pada radius

sekitar 500 meter dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata air dan kiri-

kanan sungai pada daerah rawa, sekitar 100 meter dari tepi kiri-kanan

sungai, sekitar 50 meter dari tepi anak sungai (alue).

2) Budaya bercocok tanam; Bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan

lahan. Dalam hal ini, ada lembaga/instansi adat yang berwenang, yakni

Panglima Uteuen yang dibawahi beberapa struktur adat lainnya seperti

Petua Seuneubôk, Keujruen Blang, Pawang Glé, dan sebagainya.

Sistem pengelolaan hutan sebagai lahan bercocok tanam, fungsi Petua

Seuneubôk tak dapat dinafikan. Seuneubôk sendiri maknanya adalah suatu

Page 51: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

36

wilayah baru di luar gampông yang pada mulanya berupa hutan. Hutan

tersebut kemudian dijadikan ladang. Karena itu, pembukaan lahan

seuneubôk harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak

menimbulkan dampak negatif bagi anggota seuneubôk dan lingkungan

hidup itu sendiri. Maka fungsi Petua Seuneubôk menjadi penting dalam

menata bercocok tanam, di samping kebutuhan terhadap Keujruen Blang.

3) Peusijuek; Peusijuek adalah sebuah prosesi adat dalam budaya

masyarakat Aceh yang masih dipraktikan hingga saat ini. Tradisi peusijuek

ini dilakukan pada hampir semua kegiatan adat dalam kehidupan

masyarakat di Aceh. Misalnya ketika memulai sebuah usaha, menyelesaikan

persengketaan, terlepas atau selesai dari musibah, menempati rumah baru,

merayakan kelulusan, memberangkatkan dan menyambut kedatangan haji,

kembalinya keluarga dari perantauan dan masih banyak lagi.

Pada kalangan masyarakat pedesaan di Aceh peusijuek merupakan prosesi

adat yang cukup biasa dilakukan bahkan untuk hal-hal yang kecil sekalipun

misalnya ketika membeli kendaraan baru atau ketika hendak menabur benih

padi di sawah. Sementara bagi masyarakat perkotaan yang lebih modern

tradisi peusijuek ini hanya dilakukan dalam kegiatan-kegiatan adat saja

misalnya dalam prosesi adat perkawinan.

Ritual peusijuek ini mirip dengan tradisi tepung tawar dalam

budaya Melayu. Di Aceh yang melakukan acara peusijuek adalah tokoh

agama maupun adat yang dituakan ditengah masyarakat. Bagi kaum lelaki

yang melakukan peusijuek adalah tokoh pemimpin agama Teungku (Ustadz)

Page 52: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

37

sedangkan bagi wanitanya adalah Ummi atau seorang wanita yang dituakan

ditengah masyarakat. Diutamakan yang melakukan peusijuek ini adalah

mereka yang memahami dan menguasai hukum agama sebab prosesi

peusijuek ini diisi dengan acara mendoakan keselamatan dan kesejahteraan

bersama sesuai dengan agama Islam yang dianut secara umum oleh

masyarakat Aceh.

4) Meuseukee Eungkot (sebuah tradisi di wilayah Aceh Barat)

5) Dan lain-lain.

5. Urbanisasi

Urbanisasi adalah suatu proses perpindahan penduduk dari desa ke kota atau

dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses terjadinya masyarakat

perkotaan.39

Seorang sarjana lain mengartikan urbanisasi sebagai suatu proses,

membawa bagian yang semakin besar dari penduduk suatu negara untuk berdiam

di pusat-pusat perkotaan. Yang bermakna bahwa gejala pertumbuhan kota tidak

perlu (selalu) berarti terjadinya urbanisasi. Kalau pertambahan di desa-desa

menurut perbandingan sejalan dengan pertumbuhan penduduk di kota, maka tidak

dapat dikatakan telah terjadi urbanisasi.40

Urbanisasi adalah masalah yang cukup

serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa

dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial

kemasyarakatan. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa

39

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: CV: Rajawali Press, 1982),

Edisi 1, h. 150.

40 J.W. Schoort, Modernisasi (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), Cet-2, h. 263.

Page 53: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

38

didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum,

aparat penegak hukum, perumahan, penyediaan pangan, dan lain sebagainya tentu

adalah suatu masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.41

Begitu juga halnya dengan Provinsi Aceh. Berikut disajikan tabel tingkat

kepadatan penduduk menurut Kabupaten/Kota (Jiwa/Km²) dari tahun 2010-2014.

Tabel 1.5

Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota (Jiwa/Km²), 2010-2014

Provinsi Aceh

Kepadatan penduduk di Provinsi Aceh tahun 2014 mencapai 86 orang/km².

Namun, penduduk yang menyebar di dua puluh tiga kabupaten/kota berbeda

41

Wikipedia, lihat http://wikipedia.org/wiki/urbanisasi. Diakses pada 01 Juni 2016.

Page 54: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

39

kepadatannya antar daerah. Daerah terpadat adalah Kota Banda Aceh yang rata-

rata per kilometer wilayahnya dihuni oleh sekitar 4.455 jiwa. Lalu Kota

Lhokseumawe dan Kota Langsa masing-masing 1.225 jiwa/km² dan 802 jiwa/km².

Sebaliknya, daerah yang paling jarang penduduknya yaitu hanya 16 jiwa/km²

adalah Kabupaten Gayo Lues.

Persebaran Penduduk merupakan masalah kependudukan yang rumit, karena

persebaran penduduk akan berimbas kepada permasalahan ekonomi dan sosial.

Persebaran penduduk yang merata memberi dampak positif kepada

pertumbuhan ekonomi, sedangkan persebaran penduduk yang timpang dapat

memberikan masalah baik sosial maupun ekonomi pada daerah tersebut. Untuk itu

persebaran penduduk yang tidak merata hendaknya dipecahkan secara berhati-

hati. Sebab bukannya tidak mungkin program pemerataan penduduk yang

sedianya ditujukan untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan rakyat,

menjadi berbalik menyengsarakan rakyat dan menimbulkan kerawanan sosial.

D. Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan yang berlaku di Aceh saat ini ada 2, yaitu sistem

Pemerintahan Indonesia dan Pemerintahan Aceh. Berdasarkan perjenjangan,

perbedaan yang tampak adalah adanya pemerintahan Mukim diantara Kecamatan

dan Gampong.

1. Sistem Pemerintahan Indoesia

Sejak tahun 1999, Aceh telah mengalami beberapa pemekaran wilayah

hingga sekarang mencapai 5 pemerintahan kota dan 18 kabupaten sebagai berikut:

Page 55: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

40

No. Kabupaten/Kota Pusat Pemerintahan

Luas (Km²)42

Jumlah Penduduk43

Kecamatan Kelurahan/ Desa

1 Kabupaten Aceh Barat

Meulaboh 2.927,95 172.896 12 321

2 Kabupaten Aceh Barat Daya

Blangpidie 1.490,60 125.991 9 132

3 Kabupaten Aceh Besar

Kota Jantho 2.969,00 350.225 23 609

4 Kabupaten Aceh Jaya

Calang 3.812,99 76.892 9 173

5 Kabupaten Aceh Selatan

Tapak Tuan 3.841,60 202.003 16 369

6 Kabupaten Aceh Singkil

Singkil 2.185,00 102.213 10 127

7 Kabupaten Aceh Tamiang

Karang Baru 1.956,72 250.992 12 128

8 Kabupaten Aceh Tengah

Takengon 4.318,39 175.329 14 268

9 Kabupaten Aceh Tenggara

Kutacane 4.231,43 178.852 11 164

10 Kabupaten Aceh Timur

Idi Rayeuk 6.286,01 359.280 21 580

11 Kabupaten Aceh Utara

Lhoksukon 3.236,86 529.746 27 1.160

12 Kabupaten Bener Meriah

Simpang Tiga Redelong

1.454,09 121.870 7 232

13 Kabupaten Bireuen Bireuen 1.901,20 389.024 17 514

14 Kabupaten Gayo Lues

Blang Kejeren 5.719,58 79.592 11 97

15 Kabupaten Nagan Raya

Suka Makmue 3.363,72 138.670 5 213

16 Kabupaten Pidie Sigli 3.086,95 378.278 22 946

17 Kabupaten Pidie Jaya

Meureudu 1.073,60 132.858 8 215

18 Kabupaten Simeulue

Sinabang 2.051,48 80.279 8 135

19 Kota Banda Aceh - 61,36 224.209 9 80

20 Kota Langsa - 262,41 148.904 5 52

21 Kota Lhokseumawe - 181,06 170.504 4 67

22 Kota Sabang - 153,00 30.647 2 18

23 Kota Subulussalam - 1.391,00 67.316 5 74

Berdasarkan Pemilihan umum legislatif 2014, Provinsi Aceh mengirim 13

wakil ke DPR RI dari dua daerah pemilihan dan empat wakil ke DPD. Pada

tingkat provinsi, DPRA hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014 tersusun dari

42

Luas Kabupaten dan Kota di Aceh

43 Sensus Penduduk Aceh 2010

Page 56: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

41

sepuluh partai, dengan perincian sebagai berikut: Partai Aceh (29 kursi), Partai

Golkar (9 kursi), Partai Demokrat (8 kursi), Partai NasDem (8 kursi), PAN (7

kursi), PPP (6 kursi), PKS (4 kursi), Partai Gerindra (3 kursi), PNA (3 kursi),

PDA (1 kursi), PKB (1 kursi), PBB (1 kursi), dan PKPI (1 kursi). Dengan jumlah

total 81 kursi.

Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam

sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Aceh (DPRA) sesuai dengan fungsi dan kewenangan

masing-masing.44

Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan subnasional yang

setingkat dengan pemerintahan provinsi lainnya di Indonesia dan merupakan

kelanjutan dari Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Pemerintahan

Provinsi Aceh. Pemerintahan Aceh dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, dalam hal

ini Gubernur Aceh sebagai lembaga eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Aceh (DPRA) sebagai lembaga legislatif.

Sementara itu, Pemerintah daerah kabupaten/kota yang selanjutnya disebut

pemerintah kabupaten/kota adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah

kabupaten/kota yang terdiri atas bupati/walikota dan perangkat daerah

kabupaten/kota. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang

selanjutnya disebut Dewan Perwakilan Rakyat kabupaten/kota (DPRK) adalah

unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota yang anggotanya

44

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Page 57: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

42

dipilih melalui pemilihan umum. Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat

sebagai perangkat daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan

kecamatan.

Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Perjalanan

ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan

pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter

khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya

juang tinggi.

Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup

yang berlandaskan syari‟at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat,

sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan dalam merebut

dan mempertahankan kemerdekaan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945.

Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir

diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan

Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). Undang-Undang Pemerintahan Aceh ini tidak

terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara

Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15

Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat

menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.

Page 58: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

43

2. Sistem Pemerintahan Aceh

Secara struktural terdapat perbedaan antara bentuk pemerintahan Indonesia

dan pemerintahan Aceh. Yaitu adanya Lembaga Wali Nanggroe, Mukim dan

Gampong di pemerintahan Aceh.

a. Penyelenggaraan Pemerintahan

Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan

Kabupaten/Kota berpedoman pada asas umum penyelenggaraan

pemerintahan yang memiliki khususan yaitu dimasukkannya asas ke-

Islaman. Penyelenggara Pemerintahan Aceh terdiri atas Pemerintah Aceh

dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Penyelenggara Pemerintahan

Kabupaten/Kota terdiri atas Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRK.

Susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota

diatur lebih lanjut dalam Qanun.

1) DPRA dan DPRK

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh disebut Dewan Perwakilan

Rakyat Aceh (DPRA). Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota

disebut Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK). Jumlah

anggota DPRA adalah 1¼ kali lebih banyak dari jumlah anggota DPRD

Provinsi lainnya dari yang ditetapkan undang-undang.

Tugas dan wewenang DPRA antara lain:

1. Membentuk Qanun Aceh yang dibahas dengan Gubernur untuk

mendapat persetujuan bersama;

Page 59: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

44

2. Memberikan pertimbangan terhadap rencana bidang legislasi Dewan

Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh;

Tugas dan wewenang DPRK antara lain adalah membentuk Qanun

Kabupaten/Kota yang dibahas dengan Bupati/Walikota untuk mendapat

persetujuan bersama.

2) Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota

Pemerintah Aceh dipimpin oleh seorang Gubernur sebagai Kepala

Pemerintah Aceh dan dibantu oleh seorang Wakil Gubernur. Gubernur

bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan Pemerintah Aceh pada

semua sektor pemerintahan termasuk pelayanan masyarakat dan

ketenteraman serta ketertiban masyarakat yang diatur dalam Qanun Aceh.

Gubernur karena jabatannya berkedudukan juga sebagai Wakil Pemerintah

Pusat dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Pemerintah Kabupaten/Kota dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota

sebagai kepala pemerintah Kabupaten/Kota dan dibantu oleh seorang Wakil

Bupati/Wakil Walikota. Bupati/Wali kota bertanggung jawab dalam

penetapan kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota di semua sektor pelayanan

publik termasuk ketenteraman dan ketertiban masyarakat yang diatur

dalam Qanun Kabupaten/Kota.

Gubernur atau Bupati/Wali kota mempunyai tugas dan wewenang

antara lain melaksanakan dan mengoordinasikan pelaksanaan syari‟at Islam

Page 60: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

45

secara menyeluruh. Wakil Gubernur mempunyai tugas membantu Gubernur

antara lain dalam pengoordinasian kegiatan instansi pemerintah dalam

pelaksanaan syari‟at Islam.

3) Pemerintahan Mukim dan Gampoeng

Dalam buku The Sultanate Of Aceh karya Lie Kam Hing pada tahun

1994, serta buku karangan Tgk. Ibrahim Alfian “Wajah Aceh dalam

Lintasan Sejarah” disebutkan bahwa Struktur Pemerintahan Aceh terdiri

dari enam unsur, yaitu : (1) Sultan, (2) Sagoe dipimpin oleh seorang

Panglima Sagoe, (3) Ulei Balang dipimpin oleh seorang Ulei Balang, (4)

Mukim dipimpin oleh Imum Mukim, (5) Gampong dipimpin oleh Keuchik

dan (6) Kawom/ Duson dipimpin oleh Ulei Kawom atau kepala Dusun.

Untuk saat ini posisi seorang Sultan setara dengan Presiden atau

Pemerintahan Pusat, Panglima Sagoe setara dengan Pemerintah Provinsi

atau Gubernur, Ulei Balang setara dengan Pemerintahan Kabupaten

(Bupati) atau Kota (Wali Kota), Imum Mukim setara dengan Kecamatan

(Camat), Gampong setara dengan Desa dan Kawom/Duson setara Rukun

Tetangga/RT.

Kalau kita lihat dari sejarahnya kenapa di Aceh terdapat pemerintahan

Mukim? Ternyata tidak bisa terlepas dari kehidupan masyarakat Aceh yang

beragama Islam, dimana dalam sebuah Mukim membawahi beberapa

Gampong dan terdapat satu Masjid yang dipergunakan untuk mendirikan

Shalat Jum‟at secara bersama. Selain itu syarat-syarat seseorang untuk

Page 61: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

46

menjadi Imum Mukim adalah harus ahli dalam agama dan adat. Pada zaman

Kesultanan Aceh seorang yang diangkat menjadi Imum Mukim adalah

seorang Tengku atau Seorang Ulama. Untuk menentukan siapa yang lanyak

dipilih menjadi Imum Mukim dipilih secara musyawarah oleh perwakilan

tokoh-tokoh masyarakat yang ada dalam beberapa Gampong tersebut.

Untuk pemerintahan di bawah kabupaten/kota, selain memiliki

kecamatan dan gampong (wilayah setingkat desa) berdasarkan Qanun

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 dibentuk Mukim

yang berkedudukan langsung dibawah camat dan wilayahnya terdiri atas

beberapa Gampong.45

Dalam wilayah Kabupaten/Kota dibentuk Mukim46

yang terdiri atas

beberapa Gampong. Mukim dipimpin oleh Imeum Mukim sebagai

penyelenggara tugas dan fungsi Mukim yang dibantu oleh Tuha Peuet

Mukim atau nama lain. Imeum Mukim dipilih melalui Musyawarah Mukim

yang tata cara pemelihannya diatur dengan Qanun Aceh. Ketentuan

organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan Mukim diatur dengan Qanun

Kabupaten/Kota.

Dalam wilayah Kabupaten/Kota dibentuk Gampong47

atau nama lain.

Pemerintahan Gampong terdiri atas Keuchik dan Badan Permusyawaratan

Gampong yang disebut Tuha Peuet atau nama lain. Gampong dipimpin

45

Aceh Dalam Angka 2015, h. 15.

46 Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003.

47 Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003.

Page 62: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

47

oleh Keuchik yang dipilih secara langsung dari dan oleh anggota masyarakat

yang tata cara pemilihannya diatur dengan Qanun Aceh.

Pembentukan, penggabungan, dan/atau penghapusan Gampong

dilakukan dengan memperhatikan asal usul dan prakarsa masyarakat.

Kedudukan, fungsi, pembiayaan, organisasi dan perangkat

Pemerintahan Gampong atau nama lain diatur dengan Qanun

Kabupaten/Kota.48

4) Komisi Independen Pemilihan

Komisi Independen Pemilihan (KIP) adalah KIP Aceh dan KIP

Kabupaten/Kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum

(KPU) yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk

menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota

Dewan Perwakilan Rayat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota

DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati,

dan Wali kota/Wakil Wali kota.

5) Partai Politik Lokal

Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal. Kepengurusan

partai politik lokal berkedudukan di ibukota Aceh. Asas partai politik lokal

tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Partai politik

lokal dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan aspirasi, agama,

adat istiadat, dan filosofi kehidupan masyarakat Aceh. Partai politik lokal

48

Dikutip dari Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_Aceh. Diakses pada

10 Juli 2016).

Page 63: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

48

yang melakukan pelanggaran dapat dibubarkan berdasarkan putusan

Mahkamah Konstitusi. Kepengurusan partai politik lokal memperhatikan

keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen).

Ketentuan partai politik lokal diatur dengan Peraturan Pemerintah.

b. Syariat Islam dan Pelaksanaannya

Syari‟at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi

bidang aqidah, syar’iyah, dan akhlak. Syari‟at Islam tersebut meliputi

ibdah, ahwal al syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata),

jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah,

syiar, dan pembelaan Islam. Ketentuan pelaksanaan syari‟at Islam diatur

dengan Qanun Aceh.

Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan

syari‟at Islam. Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh

wajib menghormati pelaksanaan syari‟at Islam. Pemerintahan Aceh dan

Pemerintahan Kabupaten/Kota menjamin kebebasan, membina kerukunan,

menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan

melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan

agama yang dianutnya. Pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat

izin dari Pemerintah Aceh dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota.

1) Mahkamah Syar’iyah

Peradilan Syariat Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan

nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah

Page 64: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

49

Syar‟iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun. Mahkamah

Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan

berada di Aceh.

Mahkamah Syar‟iyah terdiri atas Mahkamah Syar‟iyah Kabupaten/Kota

sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Syar‟iyah Aceh sebagai

pengadilan tingkat banding. Hakim Mahkamah Syar‟iyah diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

Mahkamah Syar'iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan

menyelesaikan perkara yang meliputi bidang Ahwal Al-Syakhsiyah (hukum

keluarga), Muamalah (hukum perdata), dan Jinayah (hukum pidana) yang

didasarkan atas syari‟at Islam. Ketentuan mengenai bidang Ahwal Al-

Syakhsiyah (hukum keluarga), Muamalah (hukum perdata), dan Jinayah

(hukum pidana) diatur dengan Qanun Aceh.

2) Majelis Permusyawaratan Ulama

Majelis Permusyawarata Ulama atau disingkat MPU dibentuk di

Aceh/Kabupaten/Kota yang anggotanya terdiri atas Ulama dan

Cendekiawan Muslim yang memahami ilmu agama Islam dengan

memperhatikan keterwakilan perempuan, yang bersifat independen dan

kepengurusannya dipilih dalam musyawarah ulama. MPU berkedudukan

sebagai mitra Pemerintah Aceh, pemerintah Kabupaten/Kota, serta DPRA

dan DPRK. Ketentuan struktur organisasi, tata kerja, kedudukan protokoler,

dan hal lain yang berkaitan dengan MPU diatur dengan Qanun Aceh.

Page 65: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

50

MPU berfungsi menetapkan Fatwa yang dapat menjadi salah satu

pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintahan Daerah dalam bidang

pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi. MPU

mempunyai tugas dan wewenang:

1. Memberi Fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan

pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi; dan

2. Memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam

masalah keagamaan.

c. Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat

1) Lembaga Wali Nanggroe

Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai

pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang

membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga

adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat

lainnya.

Lembaga Wali Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan

lembaga pemerintahan di Aceh. Lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh

seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen. Wali

Nanggroe berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada

perseorangan atau lembaga, baik dalam maupun luar negeri yang kriteria

dan tata caranya diatur dengan Qanun Aceh. Ketentuan mengenai Lembaga

Wali Nanggroe diatur dengan Qanun Aceh.

Page 66: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

51

2) Lembaga Adat

Lembaga Adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi

masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan

Kabupaten/Kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan

ketertiban masyarakat. Tugas, wewenang, hak dan kewajiban lembaga adat,

pemberdayaan adat, dan adat istiadat diatur dengan qānūn Aceh.

Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui

Lembaga Adat. Lembaga adat Aceh meliputi:

1. Majelis Adat Aceh;

2. Imeum Mukim atau nama lain;

3. Imeum Chik atau nama lain;

4. Keuchik atau nama lain;

5. Tuha Peut atau nama lain;

6. Tuha Lapan atau nama lain;

7. Imeum Meunasah atau nama lain;

8. Keujreun Blang atau nama lain;

9. Panglima Laot atau nama lain;

10. Pawang Glee atau nama lain;

11. Peutua Peuneubok atau nama lain;

12. Haria Peukan atau nama lain; dan

13. Syahbanda atau nama lain.

Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan

perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada

nilai-nilai syari‟at Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Penyusunan

ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh

Lembaga Adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe.

Page 67: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

52

BAB III

PERATURAN PEMERINTAH

TENTANG PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEH

A. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman

Pendirian Rumah Ibadah di Aceh

1. Landasan Filosofis

Dasar filosofis merupakan landasan filsafat atau pandangan yang menjadi

dasar cita-cita sewaktu menuangkan suatu masalah ke dalam peraturan perundang-

undangan. Dasar filosofis sangat penting untuk menghindari pertentangan

peraturan perundang-undangan yang disusun dengan nilai-nilai yang hakiki dan

luhur ditengah-tengah masyarakat, misalnya nilai etika, adat, agama dan lainnya.

Landasan filosofis merupakan filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa

yang berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik. Adapun nilai yang baik

adalah pandangan dan cita-cita yang dijujung tinggi serta menyangkut nilai

kebenaran, keadilan, kesusilaan dan berbagai nilai lainnya yang dianggap baik.

Sedangkan suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan

sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau

kesadaran hukum masyarakat. Hal ini bertujuan agar perundang-undangan yang

dibuat ditaati oleh masyarakat, dengan pengertian tidak menjadi kalimat-kalimat

mati belaka.1

Saat ini, Aceh sebagai daerah yang memiliki kewenangan dalam

menjalankan Syariat Islam secara formal mendapat landasan kuat dalam sejumlah

Peraturan Perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999

1 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia (Jakarta: Indhill, 1992), h.

20.

Page 68: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

53

tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Syariat Islam selalu berinteraksi dengan kepentingan lokal dan para pemeluknya.

Tidak heran hasil interaksi tersebut menggambarkan pola dan tingkah laku intern

umat beragama maupun antar umat beragama. Sikap seperti ini turut mewarnai

pelaksanaan syariat Islam sebagai agama mayoritas di Aceh. Walaupun demikian,

dinamika sikap keberagamaan umat beragama berjalan dengan baik tanpa

merusak hubungan antar pemeluk umat beragama.

Sesuai dengan prinsip dasar ajaran Islam, sikap toleransi, dan saling

menghargai yang terdapat dalam al-Qur’an dipraktikkan Nabi Muhammad Saw.

menjadi warisan sejarah yang masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Secara

filosofis, ajaran yang terkandung dalam sikap toleransi adalah setuju dalam

perbedaan, agree in disagreement. Karena itu, ajaran toleransi agama mencakup

dua bidang kajian. Toleransi dalam hubungan intern suatu agama, seperti sekte,

mazhab, aliran atau golongan dalam suatu agama disebut dengan kerukunan intern

agama. Selanjutnya, toleransi antar umat beragama. Dalam kesehariannya

digunakan istilah kerukunan antar umat beragama. Disini bukan berarti ajaran

toleransi mengakui semua agama adalah benar, tetapi lebih kepada pengakuan

sikap menghargai dan menghormati cara pandang agama lain menurut keyakinan

pengikutnya.

Page 69: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

54

2. Landasan Sejarah

Dalam catatan sejarah, Aceh dikenal sebagai sebuah kesatuan masyarakat

yang sangat menjunjung tolerasi dan keberagaman. Salah satu indikatornya, di

Aceh tidak pernah terjadi konflik kekerasan atas nama agama baik itu antar agama

maupun antar aliran agama. Masyarakat Aceh meyakini bahwa Islam sangat anti

tindak kekerasan dan bertujuan menciptakan harmonisasi dalam kehidupan umat

manusia. Kondisi seperti ini berubah sejak adanya formalisasi nilai-nilai syariat

Islam pasca penerapan syariat Islam di Aceh melalui Undang-Undang Nomor 44

tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh serta disahkanya Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Implementasi dari kedua produk itu

tidak disokong oleh niat baik dan komitmen Pemerintah Aceh serta kurangnya

sensitifitas pemangku kebijakan terhadap dampak yang berpotensi muncul ke

permukaan sebagai efek dari formalisasi penerapan syariat Islam tersebut dalam

kehidupan sosial masyarakat.

Minimnya peran dan upaya pemerintah baik itu oleh Dinas Syariat Islam

Aceh maupun Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan juga Majelis

Adat Aceh (MAA) dalam mensosialisasikan upaya pencegahan kekerasan dalam

pelaksanan syariat Islam akhirnya menjadi bumerang dan melahirkan kesan yang

begitu kuat bahwa penerapan syariat Islam di Aceh yang dimotori oleh pemerintah

masih bersifat parsial semata. Tak jarang, “peradilan jalanan” terhadap orang-

orang yang diduga melanggar syariat Islam di aceh menjadi hal yang sering

terjadi, mulai dari memandikan si pelanggar syariat dengan air kotoran, dipukuli,

Page 70: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

55

diarak di hadapan umum, dipermalukan, diusir dari daerah tempat tinggalnya,

dinikahkan secara paksa hingga diberi label sesat dan menyesatkan.

Disatu sisi, sebahagian orang menganggap bentuk penghukuman yang

sedemikian merupakan bentuk sanksi yang sesuai dengan kebiasaan, adat-istiadat

dan budaya Aceh. Adat istiadat dan kebudayaan Aceh sangat kental dipengaruhi

oleh nilai-nilai keislaman yang sudah diwariskan dari generasi ke genarasi.

Pelangaran terhadap syariat juga bermakna pelanggaran terhadap adat, nilai dan

norma yang berlaku dalam masyarakat; maka muncullah alasan pembenar bagi

sekelompok orang untuk menghakimi pelanggar syariat dengan “sanksi adat”

yang mereka tentukan secara serta merta. Padahal, di sisi lain, budaya Aceh yang

diadopsi dari nilai dan norma syariat harusnya tetap terus diimplementasikan oleh

berbagai pihak dengan menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan anti kekerasan,

menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, mengedepankan cara dan

mekanisme yang terhormat serta mencegah tindakan kekerasan massa sebagai

wujud sanksi yang hanya bertujuan untuk penghukuman semata bagi si

pelanggar.2

Sebagian besar problem di seputar rumah ibadah adalah konflik pendirian

rumah ibadah, dimana perizinan menjadi penyebab utamanya. Terjadinya konflik

pendirian rumah ibadah hampir semuanya dilatarbelakangi oleh penolakan

kelompok agama tertentu atas keberadaan suatu rumah ibadah yang dianggap

meresahkan masyarakat. Di samping itu, konflik pendirian rumah ibadah juga

2 Hasil diskusi tinjauan yuridis terhadap kedudukan fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama

Aceh (suatu kajian normatif terhadap fatwa MPU Aceh terkait dengan aliran sesat di Aceh), Banda

Aceh, 2013.

Page 71: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

56

dilatarbelakangi oleh argumen bahwa bangunan atau rencana pembangunan tidak

sesuai dengan peruntukkan atau menyalahi konsep tata ruang.3

3. Landasan Hukum

Landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar kewenangan

pembuatan peraturan perundang-undangan. Landasan yuridis ini memuat aspek

yang berkenaan dengan kehendak hukum, artinya suatu peraturan perundang-

undangan harus mempunyai landasan hukum atau legalitas yang terdapat dalam

ketentuan lain yang lebih tinggi. Landasan yuridis dapat dibedakan menjadi dua

hal berikut: Pertama, landasan yuridis yang beraspek formal berupa ketentuan

yang memberikan wewenang kepada semua lembaga untuk membentuknya.

Kedua, landasan yuridis yang beraspek material berupa ketentuan tentang masalah

atau persoalan yang harus diatur.4

Landasan hukum dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007

adalah mengacu pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam

Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat

Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Baragama dan Pendirian

Rumah Ibadah. Disamping itu, Perub ini juga memiliki sandaran hukum pada

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan dalam

3 Akhol Firdaus, dkk., Negara Menyangkal: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan

di Indonesia 2010, Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed.), (Jakarta: Pustaka Masyarakat

Setara, 2011), h. 61.

4 Budiman N.P.D Sinaga, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan (Yogyakarta: UII Press,

2004), h. 33.

Page 72: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

57

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.5 Dua

undang-undang ini menjadi lex specialis dalam rangka pemberlakuan hukum

Islam/Agama di Aceh.

Selain itu, Pergub ini juga memiliki sandaran hukum pada Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi Provinsi Aceh dan

Perubahan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara, Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002

tentang Bangunan Gedung, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta Keputusan Bersama Menteri

Agama Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kelola Kantor

Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor Departemen Agama

Kabupaten/Kota.

Sekalipun Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri

Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 sebetulnya sudah sangat detail dalam mengatur

pendirian rumah ibadah, tapi di tingkat daerah khususnya Aceh merasa penting

untuk menindaklanjutinya dengan aturan yang lebih detail lagi karena Aceh

mempunyai keistimewaan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor

44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh.

5 Pasal 127 Ayat (4) yang berisi pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat izin dari

Pemerintah Aceh dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota.

Page 73: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

58

Pergub ini salah satu ekspresi dan manifestasi dari penyeragaman. Dan ini

pararel dengan perda-perda atau qanun syariah di Aceh. Namun bukan berarti

mengabaikan satu kesatuan hukum nasional, tetapi juga dengan tetap

memperhatikan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat

dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan (ius contituendum),

sebab hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari norma nilai-nilai

yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu

merupakan pencerminan dan konkretisasi dari nilai-nilai yang pada suatu saat

berlaku dalam masyarakat.

4. Landasan Sosial

Aceh sebagai wilayah yang mempunyai keistimewaan, memiliki

kewenangan untuk membuat sebuah kebijakan dalam melindungi setiap usaha

penduduk melaksanakan ajaran agama dan ibadat pemeluk-pemeluknya,

sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan

itu tertuang dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. Meskipun regulasi terkait pendirian rumah

ibadah sudah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama Nomor 9 Tahun

2006 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006. Akan tetapi, Pemerintah

Aceh merasa perlu untuk membuat regulasi sendiri terkait persoalan pendirian

rumah ibadah yang disesuaikan dengan kearifan lokal (local wisdom) Aceh.

Selain itu, Pemerintah Aceh juga mempunyai tanggungjawab atas

penyelenggaraan palaksanaan syariat Islam serta menjamin kebebasan, membina

kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan

Page 74: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

59

melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan

agama yang dianutnya.6 Pelaksanaan syariat Islam di Aceh dapat dikatakan unik

jika dibandingkan dengan daerah lain. Salah satu keunikan yang membedakan

dengan daerah lain adalah kesadaran adanya keanekaragaman agama yang

dirasakan masyarakat Aceh yang selalu hidup berdampingan dengan syariat Islam

sebagai agama mayoritas.

Selanjutnya, sebagai upaya dalam menjaga ketentraman dan ketertiban

umum serta menjaga kerukunan umat beragama dan antar umat beragama,

Pemerintah Aceh merasa perlu adanya sebuah regulasi untuk mengatur pendirian

rumah ibadah di Aceh dalam hal ini berbentuk Pergub. Oleh karenanya, dengan

adanya peraturan tersebut, diharapkan masyarakat Aceh mampu menjaga

kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan beragama.

B. Perbandingan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam

Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 dengan Peraturan Gubernur Aceh

Nomor 25 Tahun 2007

1. Kelebihan

Salah satu kebijakan penting dalam bidang politik keagamaan di Indonesia

adalah keberhasilan pemerintah bersama para wakil-wakil majelis agama

menapaki jalan terjal di tengah badai “kecurigaan” antara sesama umat beragama

di Indonesia pasca kegagalan pertemuan wakil-wakil majelis agama pada tahun

1967 di awal era orde baru. Keberhasilan itu adalah melahirkan sebuah produk

aturan yang menjadi pedoman dalam penataan kehidupan umat beragama di

6 Berdasarkan ketentuan dalam pasal 127 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Page 75: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

60

Indonesia yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri

Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 disingkat PBM. Peraturan tersebut diputuskan secara

final setelah melalui perdebatan panjang sejak tanggal 28 Oktober 2005 sampai

akhirnya ditandatangani secara bersama pada tanggal 21 Maret 2006.7 Adapun

ketetapan yang termuat di dalamnya adalah seperti pengertian kerukunan,

peranana Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, pengertian rumah ibadat, prinsip

pendirian rumah ibadat, kedudukan pemuka agama, penggunaan bangunan bukan

rumah ibadat sebagai tempat ibadat sementara, tata cara penyelesaian perselisihan

adalah bagian-bagian penting yang berhasil diselesaikan oleh para wakil majelis

agama yang terdiri dari MUI, PGI, KWI, Walubi, dan PHDI.

PBM ini dimaksudkan sebagai wadah yang mempertemukan semua umat

beragama dalam kedudukan yang setara di dalam rumah besar yaitu Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, PBM juga menjadi peluang sebagai

tempat umat beragama melakukan proses dialog dengan meminta kesediaan

masing-masing untuk memberikan sesuatu demi kepentingan bersama guna

menuju kepada kemenangan bersama (win-win solution).8

Kekuatan/kelebihan PBM ini adalah telah mengisi kekosongan pengaturan

pemeliharaan kerukunan beragama di Indonesia. Dimana PBM menjadi dasar bagi

setiap daerah untuk menyusun kesepakatan sehingga sejak dini dapat diantisipasi

7 Sebuah Prolog oleh Prof. Dr. H.M. Ridwan Lubis, Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia:

Pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8

Tahun 2006, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian

Agama RI, 2011), Cet. 1, h. xxi.

8 Sebuah Prolog oleh Prof. Dr. H.M. Ridwan Lubis, Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia,

h. xvi.

Page 76: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

61

adanya kemungkinan gangguan terhadap kerukunan beragama. Selanjutnya,

dengan adanya PBM ini maka akan menjadi anak tangga untuk merancang

formalisasi kehidupan umat beragama yang rukun di kemudian hari baik dalam

bentuk Undang-Undang, Peraturan Presiden dan sebagainya. Semua provinsi di

Indonesia telah membentuk FKUB demikian pula hampir semua Kabupaten/Kota

telah membentuk FKB sekalipun dengan pola kinerja yang berbeda-beda sesuai

dengan kondisi daerah yang bersangkutan serta tingkat perhatian dari kepala

daerah.

Menurut mantan Menteri Agama, Muhammad Maftuh Basyumi, kehadiran

PBM telah melahirkan perubahan sosial dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir

dengan ditandai berdirinya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Jumlahnya mencapai 435 FKUB di provinsi kota/kebupaten. PBM merupakan

salah satu bentuk instrumen hukum yang mengacu kepada UU No.32 tahun 2004

tentang pemerintahan daerah, yang di antara pasal-pasalnya menuntut adanya

penjabaran yang menjembatani antara kewajiban pemerinah pusat, daerah dalam

era otonomi. PBM bukanlah aspek doktrin agama yang merupakan kewenangan

masing-masing agama, melainkan hal-hal yang terkait dengan lalu lintas para

warganegara Indonesia yang memeluk suatu agama ketika bertemu dengan warga

negara Indonesia lainnya, yang kebetulan memeluk agama yang sama atau

berbeda dan ketika masing-masing mengamalkan ajaran yang dianutnya. Dengan

Page 77: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

62

begitu, pengaturan ini sama sekali tidak mengurangi kebebasan beragama yang

dijamin oleh Pasal 29 UUD1945.9

Adapun di Aceh, terbitnya regulasi yang mengatur tentang pendirian rumah

ibadah sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25

tahun 2007 disingkat Pergub. Sebelumnya, ada kekhawatiran persyaratan

pendirian rumah ibadah dalam Pergub ini lebih memberi peluang bagi warga non-

muslim untuk memperbanyak rumah ibadahnya. Syarat yang dipermasalahkan

yaitu mengenai jumlah pengguna rumah ibadah dan dukungan dalam

pembangunannya yang dinilai memberi peluang memudahkan pembangunan

rumah ibadah. Padahal, pergub ini makin mempersempit peluang, bukan

mempermudah, karena dalam pergub mensyaratkan dua kali lipat jumlah

pengguna rumah ibadah dan dukungan warga setempat.

Dalam Pasal 3 disebutkan, pendirian rumah ibadah harus memenuhi

persyaratan yang meliputi daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah paling

sedikit 150 orang, serta dukungan sedikitnya 120 warga masyarakat setempat.

Sedangkan dalam PBM hanya mensyaratkan daftar nama dan KTP pengguna

rumah ibadah sebanyak 90 orang, serta dukungan sedikitnya 60 warga setempat.

Selain itu, untuk membangun rumah ibadah tidak bisa sembarangan, harus ada

rekomendasi dari camat, tokoh masyarakat, ulama, dan Forum Kerukunan Umat

Beragama (FKUB) kabupaten/kota dan provinsi.

9 Disampaikan pada seminar PBM Nomor 9 dan 8 tahun 2006, Implementasi dan

Problematikanya, yang diadakan di Hotel Merlynn Part Jakarta, Kamis, 21 Maret 2013. Lihat:

http://balitbangdiklat.kemenag.go.id.

Page 78: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

63

Menurut Wakil Gubernur Muhammad Nazar, dikeluarkannya Pergub

tersebut adalah untuk mengisi kekosongan hukum sebelum adanya qanun. Saat ini

Pemerintah Aceh sedang menyelesaikan qanun terkait pedoman pemeliharaan

kerukunan umat beragma dan pendirian rumah ibadah, dan untuk sementara

menggunakan Pergub dengan tujuan agar umat Muslim di Aceh menerapkan

syariat Islam, begitu pula seluruh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, MPU juga

menyerukan kepada seluruh masyarakat Aceh agar tidak cepat terpancing isu dan

diharapkan membaca secara teliti muatan-muatan yang terkandung dalam Pergub

dan PBM. Selain itu, ulama di Aceh juga diharapkan memberi pemahaman yang

benar kepada masyarakat.10

2. Kekurangan

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan

8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala

Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum

Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat merupakan penegasan

dari Surat Keputusan Bersama (SKB) No.01/BER/MDN-MAG/1969 tentang

Pelaksanaan Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran

Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya. SKB

tersebut ditetapkan pada tanggal 13 September 1969 dan ditandatangani oleh

Menteri Agama KH. Moh. Dahlan dan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud.

10

http://regional.kompas.com/read/2009/01/23/22082951/peraturan.baru.pembangunan.rum

ah.ibadah.di.aceh. Diakses pada 23 Agustus 2016.

Page 79: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

64

PBM Nomor 9 dan 8 tahun 2006 memuat 10 Bab dan 31 Pasal yang

menjelaskan secara terperinci ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tiga hal,

pertama, Kerukunan umat beragama, kedua, Pemberdayaan FKUB dan, ketiga,

tentang Pendirian rumah ibadat.

Namun beberapa pasal didalamnya masih menjadi perdebatan dan akar

konflik di masyarakat, seperti syarat untuk mendirikan rumah ibadat adalah daftar

nama dan KTP pengguna rumah ibadat, paling sedikit 90 orang yang disahkan

oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah dan dukungan

masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh Lurah/Kepala

Desa. Syarat tersebut harus diperkuat oleh rekomendasi resmi Kepala Kemenag

dan FKUB Kabupaten/Kota.

Kekisruhan dan kontroversi pendirian rumah ibadat sebenarnya merupakan

kelemahan-kelemahan regulasi pemerintah baik SKB 1969 maupun PBM 2006.

Menurut Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata

Urutan Peraturan Perundang-Undangan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang didalamnya

mengatur tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, maka SKB 1969

maupun PBM 2006 tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat publik karena

tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.

Dalam perkembanganya, beberapa kalangan menilai terbitnya PBM menjadi

salah satu kebijakan diskiriminatif yang justru mempersulit umat beragama untuk

mendirikan rumah ibadah. Menurut pengamatan Komisioner Komnas HAM, DR.

Maneger Nasution, MA, selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, kelemahan

Page 80: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

65

utama PBM bukan pada substansinya melainkan pada pelaksanaannya. Selain itu,

tidak terlaksana PBM dengan baik dikarenakan tidak adanya sanksi hukum bagi

yang melanggar.11

Hal senada juga disampaikan Eka Martiana Wulansari,

Perancang Undang-Undang Bidang Politik Hukum dan HAM, kelemahan dari

PBM ini adalah posisi landasan hukumnya belum kuat untuk mengatur kehidupan

beragama dan keagamaan di Indonesia. Seharusnya untuk mengatur kehidupan

beragama dan keagamaan diperlukan landasan hukum setingkat Undang-Undang

(UU).12

Kelemahan lainnya adalah sulitnya meregenerasi maupun kaderisasi

terhadap keanggotaan FKUB karena hampir belum ada sistem rekrutmen yang

menggambarkan lahirnya tokoh-tokoh muda yang memiliki pengalaman dan

wawasan dalam hubungan antar agama yang bisa tampil dalam keanggotaan

FKUB. Selain itu, kelemahan berikutnya adalah pola hubungan antara FKUB

Provinsi dengan FKUB Kabupaten/Kota hanya sebatas hubungan konsultatif

sehingga hampir tidak ada wewenang FKUB Provinsi untuk melakukan

monitoring dan evaluasi terhadap perkembangan kehidupan beragama di

daerahnya masing-masing. Demikian juga, oleh karena tidak adanya badan yang

bersifat nasional untuk melakukan koordinasi termasuk evaluasi terhadap kinerja

FKUB maka kegiatan FKUB di beberapa daerah lebih banyak bersifat rutin

karena tidak adanya institusi di pusat yang melakukan pembinaan forum tersebut.

11

Dikutip dari: https://www.arrahmah.com/news/2015/06/28/komnas-ham-dorong-pbm-

jadi-uu.html. Diakses pada 28 Juli 2016.

12Dikutip dari: http://www.gresnews.com/berita/opini/1459911-dilema-ham-hukum-positif-

dan-agama-dalam-membangun-tempat-ibadah/0/. Diakses pada 24 Agustus 2016.

Page 81: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

66

Pengaturan kerukunan umat beragama dalam bentuk aturan legal-formal

memang cukup pelik dan krusial. Apalagi yang diatur hanyalah teknis

peribadatan, sarana peribadatan, dan hal-hal yang sifatnya menyangkut aspek

ritual dan hal-hal yang dianggap pribadi. Akibatnya, meskipun telah diatur, yang

ada adalah konflik horizontal dan pertentangan kelompok, karena merasa privasi

keagamaannya terancam atau terganggu.

Setiap peraturan yang dibuat pasti ada kekurangannya, sehingga berpotensi

menimbulkan masalah dan konflik sosial di dalam masyarakat. Hal ini juga

terdapat pada Pergub Aceh Nomor 25 tahun 2007 tentang izin mendirikan rumah

ibadah. Kekurangan yang terdapat pada Pergub ini sebagaimana dijelaskan

Juniazi, Kasubbag Hukum dan Kerukunan Umat Beragama Kanwil Kemenag

Aceh adalah belum adanya regulasi yang kuat untuk menjerat pelaku ke ranah

hukum. Menurut beliau, salah satu cara untuk memberikan efek jera kepada

pelaku yakni adanya regulasi yang kuat.13

Oleh karena itu, beliau meminta agar

Pemerintah Aceh dapat segera mengesahkan qanun/ peraturan daerah Aceh

tentang Kerukunan Umat Beragama.14

Selain itu, kekurangan lainnya adalah masih belum optimalnya kinerja dan

kiprah FKUB salah satunya disebabkan oleh faktor intern seperti pendanaan,

program kerja dan kinerja FKUB, maupun persoalan ekstern seperti dinamika

umat beragama yang tengah berkembang. Oleh karena itu, FKUB sebagai

lembaga yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah,

13

Disampaikan pada Rapat Kerja Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) se-Aceh di

Hotel Grand Nanggroe Banda Aceh, 16-18 November 2015.

14 Salah satu rekomendasi dari hasil Raker FKUB se-Aceh.

Page 82: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

67

masih memerlukan peningkatan dan optimalisasi program disertai langkah-

langkah nyata dan dukungan pemerintah daerah sebagai tindak lanjut perintah dari

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8

Tahun 2006 dan juga Peraturan Gubernur Aceh Nomor 22 Tahun 2011.15

C. Respon Masyarakat terhadap Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25

Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah di Aceh

Dikeluarkannya Pergub Aceh yang mengatur tentang pedoman mendirikan

rumah ibadah tak ayal telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Beberapa

golongan yang pro beranggapan bahwa dengan adanya Pergub ini merupakan

sebuah langkah konkrit sebagai jawaban dari keistimewaan Aceh dalam bidang

pelaksanaan syariat Islam. Selain itu, adanya aturan ini juga dianggap bukan

sebagai upaya untuk mengurangi kebebasan beragama masyarakat, namun

dimaksudkan agar terjadinya ketertiban dalam interaksi para pemeluk agama yang

satu dengan lainnya, baik menyangkut kepemilikan, kedekatan lokasi, dan ikatan-

ikatan kemasyarakatan lainnya. Karena itu dalam Pergub ini termuat pula di

dalamnya keharusan mengikuti peraturan perundang-undangan yang ada,

keharusan menjaga kerukunan dan ketentraman serta ketertiban masyarakat.

Sementara sebagian golongan yang kontra menganggap dikeluarkannya

Pergub tersebut sangatlah latah. Mereka menilai bahwa Pergub ini sangatlah

bertentangan dengan Undang-Undang keistimewaan Aceh, dan Pergub ini akan

menjadi bom waktu yang siap meluluh lantakkan Aceh dalam cengkraman SARA.

15

Peraturan Gubernur Aceh Nomor 22 Tahun 2011 tentang pedoman pelaksanaan tugas

Forum Kerukunan Umat Beragama.

Page 83: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

68

Berikut beberapa kelompok baik yang mendukung maupun yang menentang

Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007.

1. Kelompok Pendukung

a) Kesbangpol dan Linmas Aceh

Menurut M. Djakfar Djuned, Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas

Provinsi Aceh, bahwa Pergub Aceh Nomor 25 tahun 2007 justru lebih

mempersempit dibandingkan dengan PBM yang menetapkan hanya 60 tanda

tangan penduduk untuk pembangunan rumah ibadat. Sedangkan Pergub

mensyaratkan pembangunan rumah ibadah harus mendapatkan dukungan

masyarakat setempat paling sedikit 120 orang yang disahkan oleh lurah/geuchik,

rekomendai tertulis camat, KUA kecamatan setempat, rekomendasi tertulis

Kepaka Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan rekomendasi tertulis

Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kabupaten/Kota. Djakfar juga

menyatakan bahwa Pergub bukan untuk membuat peluang mendirikan rumah iba-

dah non-muslim di Aceh menjadi lebih besar melainkan untuk merespon pasal 5

PBM tentang tugas dan kewajiban gubernur dalam menciptakan kerukunan

beragama di wilayahnya masing-masing.16

Oleh karena itu, Djakfar menghimbau

semua pihak untuk tidak salah memahami soal Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh

Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.

16

The Wahid Institute, Monthly Report on Religious Issues, Edisi XVII, Januari 2009, h. 6-

7.

Page 84: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

69

b) Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh

Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Prof. Dr. Tgk.

Muslim Ibrahim, MA., menuding lembaga swadaya masyarakat dari luar Aceh

ikut memengaruhi kenyamanan dan kerukunan antarumat agama di Aceh. Dalam

kasus rumah ibadah, ia mencontohknan kasus di Lamteumen dan Punie, Aceh.

“Surat izin pembangunannya (IMB) tertulis rumah toko (ruko) tapi setiap minggu

digunakan untuk acara peribadatan,” katanya. Meski tidak sampai terjadi konflik,

masalah-masalah seperti itu bisa berpotensi menjadi pemicu konflik.

c) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI

Menurut Ghazali Abbas Adan, salah satu anggota Dewan Perwakilan

Daerah RI asal Aceh, apapun peraturan yang dikeluarkan baik oleh Pemerintah

Pusat maupun Pemerintah Daerah, semua elemen masyarakat harus tunduk dan

konsekuen terhadap peraturan tersebut.

Dalam konteks Aceh, perihal aturan pendirian rumah ibadah sudah tertuang

dalam Pergub Aceh No. 25 Tahun 2007. Pergub ini merupakan turunan dari PBM.

Meskipun pada tingkat pusat sudah ada aturan terkait pendirian rumah ibadah,

akan tetapi Pemerintah Aceh merasa perlu untuk meninaklanjuti sesuai dengan

kearifal lokal Aceh. Oleh karenanya, Pemerintah Aceh mengeluarkan Pergub

tentang pendirian rumah ibadah. Aturan ini menjadi landasan bagi setiap umat

beragama dalam mendirikan rumah ibadah di Aceh, selain PBM.

Selain itu, terkait konflik pendirian rumah ibadah di Aceh Singkil, peristiwa

pembakaran gereja itu merupakan kasuistis, menurut Ghazali, peristiwa itu terjadi

Page 85: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

70

karena umat Kristiani dianggap melanggar aturan izin bangunan. Oleh karenanya,

umat beragama diharap tunduk dan patuh terhadap aturan yang sudah ada

(Pergub) untuk menjaga keharmonisan dan kerukunan umat beragama di Aceh.17

d) Rektor UIN Ar-Ranirry Banda Aceh

Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA selaku Rektor UIN Ar-Ranirry Banda

Aceh mengatakan, Pemerintah Aceh merasa perlu untuk membuat standar terkait

pendirian rumah ibadah di Aceh, dalam hal ini berbentuk Pergub. Meskipun pada

tingkat nasional, Pemerintah Pusat sudah mengeluarkan aturan pendirian rumah

ibadah dalam PBM. Akan tetapi, mungkin Aceh mempunyai hak keistimewaan

sehingga Pemerintah Aceh merasa perlu untuk membuat aturan (Pergub)

berdasarkan kondisi lokal karena Aceh mayoritas beragama Islam. Selain itu,

mungkin Pemerintah Aceh juga mengatur penertiban terkait rumah ibadah karena

banyak orang-orang yang datang ke Aceh dengan latarbelakang agama yang

berbeda dan ingin mendirikan rumah ibadah.

Terkait Pergub, saat ini menjadi pegangan dan legitimasi dalam hal

pendirian rumah ibadah di Aceh. Akan tetapi, ada beberapa wilayah tertentu yang

melampaui (melanggar) aturan ini, sehingga timbullah konflik.18

e) Vihara Buddha Shakyamuni Banda Aceh

Menurut Pandhita Vihara Buddha Shakyamuni Banda Aceh yang juga salah

satu pengurus di FKUB Kota Banda Aceh mengatakan apapun peraturan yang

17

Wawancara pribadi dengan Drs. H. Ghazali Abbas Adan (DPD RI asal Aceh), Jakarta, 28

September 2016.

18 Wawancara pribadi dengan Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA (Rektor UIN Ar-Ranirry

Banda Aceh), Banda Aceh, 2 Oktober 2016.

Page 86: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

71

dibuat oleh Pemerintah Aceh (Pergub), sebagai umat beragama yang

berkedudukan di Aceh secara tidak langsung mentaati apapun aturan yang dibuat

oleh Pemerintah Aceh, termasuk Pergub. Menurut mereka, ajaran Buddha itu

adalah ajaran alam yang merupakan ajaran cinta damai.

Selain itu, menurut umat Buddha terkait persyaratan administratif pendirian

rumah ibadah (Pergub), yaitu disetujui oleh 150 KTP dan mendapat dukungan 120

masyarakat setempat sangatlah memberatkan. Jangankan Pergub, persyaratan

administratif dalam PBM saja sudah sangat memberatkan. Walaupun demikian,

kami tetap mentaati aturan yang sudah ada.19

2. Kelompok Penentang

a) Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA)

Kalangan ulama di Provinsi Aceh meminta Pergub tentang pendirian rumah

ibadah segera dicabut, dalam hal ini adalah Himpunan Ulama Dayah Aceh

(HUDA). Menurut Tgk.Faisal Ali, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Himpunan Ulama

Dayah Aceh, Pergub ini telah meresahkan masyarakat karena dianggap telah

memberikan peluang untuk non-Muslim dalam mendirikan rumah ibadah di

Aceh.20

19

Wawancara pribadi dengan Willy Putranada (Pandhita Vihara Buddha Shakyamuni

Banda Aceh), Banda Aceh, 29 September 2016.

20 http://www.infoanda.com/followlink.php?lh=DAIHBApWBVpS. Diakses pada 12 Juli

2016.

Page 87: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

72

b) Fron Pembela Islam (FPI)

Menurut Yusuf Qardawi, Ketua FPI Aceh mengatakan pihaknya meminta

DPRA mendesak Pemerintah Aceh untuk mencabut Pergub tentang pendirian

rumah ibadah. Menurutnya, jika Pergub itu diterapkan, dikhawatirkan banyak

gereja berdiri di Aceh, karena banyak investor asing berencana masuk Aceh, dan

nilai-nilai islami yang dianut masyarakatnya akan hilang. Hal ini dikarenakan

provinsi Aceh merupakan negeri Serambi Mekkah yang kental dengan syariat

Islam-nya, berbeda dengan provinsi lain di Indonesia. Selain itu, FPI juga

meminta agar PBM tidak diberlakukan di Aceh. Pemerintah juga diminta tidak

menyamakan Aceh dengan daerah lain yang membebaskan pendirian gereja.21

c) Kalangan Umat Kristen

Dikalangan Kristen, seorang Pendeta Haryono Gultom, juga

mengungkapkan kekecewaannya terhadap Pergub tersebut. Menurutnya, Pergub

ini sangat ketat. Jumlah pengguna harus memenuhi persyaratan khusus berupa

daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 150

orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah

dan dukungngan masyarakat setempat paling sedikit 120 orang yang disahkan

oleh lurah atau geuchik setempat. Persyaratan khusus lainnya sama dengan

persyaratan PBM. Mengapa aturan di Aceh berbeda dengan aturan di daerah lain?.

21

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=63278&Itemi

d=26. Waspada Online, 23 Januari 2009. Diakses pada 10 September 2016.

Page 88: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

73

d) Kalangan Pemerhati Kerukunan Umat Beragama dan HAM

Sementara, para pemerhati kerukunan umat beragama dan HAM

menganggap pergub ini mempersempit peluang minoritas dalam mendirikan

rumah ibadat, sehingga pemerintah secara tidak langsung telah merampas

kebebasan seseorang untuk menjalankan ibadatnya. Maka secara kasat mata tentu

jelas hak-hak minoritas di Aceh bertabrakan dengan regulasi yang bernuansa

syariat tersebut, karena hak-hak minoritas itu berada di luar jangkauan hukum dan

hal itu merupakan sebuah diskriminasi. Namun sebenarnya bukan hanya regulasi

yang hegemonik seperti itu saja yang mengancam hak-hak kaum minoritas, tetapi

secara prinsipal memang setiap regulasi yang berkaitan dengan agama memiliki

potensi mengancam kebebasan dan toleransi beragama.22

Dalam membuat perizinan rumah ibadat di Aceh memang tidaklah mudah.

Karena dalam praktiknya, aturan ini terkait dengan banyak pihak, kerukunan

hidup bersama, dan sejumlah nilai lokal yang dipegang teguh oleh masyarakat.

Apalagi di Aceh yang mayoritas muslim, perizinan pendirian gereja khususnya

menjadi perkara yang sensitif. Selain itu, sejak banyak lembaga swadaya

masyarakat (LSM) masuk ke Aceh setelah tsunami, isu-isu konversi agama dan

penyebaran agama menjadi salah satu isu penting dalam perbincangan dialog

antarumat beragama. Karena bagi masyarakat Aceh, konversi agama menjadi

masalah serius.

22

Ismatu Ropi, Hak-Hak Minoritas, Negara dan Regulasi Agama (Jakarta: Makalah pada

Seminar Pertemuan Nasional Jaringan Antar-Kampus untuk Islam dan Demokrasi, 2007), h. 126.

Page 89: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

74

BAB IV

ANALISIS PERATURAN GUBERNUR ACEH

NOMOR 25 TAHUN 2007

A. Realisasi Pelaksanaan Peraturan Gubernur Aceh No. 25 Tahun 2007

Mendirikan rumah ibadah di Aceh tidak semudah mendirikan rumah ibadah

di daerah-daerah lain di Indonesia, hal ini dikarenakan Pemerintah Aceh

mempunyai aturan tersendiri dalam urusan tersebut. Pembicaraan terkait dengan

pengaturan pendirian rumah ibadah di Aceh tidak dapat dilepaskan dari regulasi

pemerintah yang dikenal dengan Pergub Aceh No. 25 Tahun 2007. Setidaknya

untuk mendirikan rumah ibadah di Aceh harus memenuhi beberapa syarat, yaitu

berupa syarat administratif, persyaratan teknis bangunan gedung serta syarat

khusus lainnya.

1. Syarat Mendirikan Rumah Ibadah Di Aceh

Secara garis besar pendirian rumah ibadah di provinsi Aceh harus

didasarkan pada keperluan umat dengan memperhatikan jumlah penduduk di

wilayah tempat berdirinya rumah ibadah dengan tetap menjaga kerukunan

antarumat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum serta

mematuhi peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan

dalam Pergub No. 25 Tahun 2007, pada BAB II Pasal 2, ayat (1) dan (2) yang

berbunyi:

a. Pendirian rumah ibadah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-

sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat

beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/ gampoeng.

Page 90: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

75

b. Pendirian rumah ibadah dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan

umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum

serta mematuhi peraturan perundang-undangan.

Pasal 3 ayat (1) juga menyebutkan:

“Pendirian rumah ibadah juga harus mematuhi persyaratan

administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung”.

Setelah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada BAB II Pasal 3

ayat (1), pendirian rumah ibadah juga harus memenuhi persyaratan khusus yang

meliputi:1

a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) calon pengguna rumah

ibadah paling sedikit 150 orang yang disahkan oleh pejabat setempat

sesuai dengan tingkat batas wilayah.

b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 120 orang yang disahkan

oleh Lurah/Geuchik setempat.

c. Rekomendasi tertulis dari Kepala Kantor Departemen Agama

Kabupaten/Kota.

d. Rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Kabupaten/Kota.

Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada BAB II Pasal 3 ayat (2)

huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, Pemerintah

Kabupaten/Kota berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi bangunan rumah

1 Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, Pasal 3 Ayat (2).

Page 91: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

76

ibadah.2 Hal ini harus mendapatkan rekomendasi FKUB yang dituangkan dalam

bentuk tertulis yang merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat

FKUB.3

Setelah semua persyaratan di atas terpenuhi, baru kemudian panitia

pembangunan mengajukan permohonan pendirian rumah ibadah kepada

Bupati/Walikota untuk memperoleh IMB. Selain itu, untuk memastikan agar

proses perizinan mendirikan rumah ibadah tidak berlarut-larut, Bupati/Walikota

wajib memberikan keputusan paling lambat 90 hari sejak permohonan pendirian

rumah ibadah diajukan.4 Jika terjadi perubahan tata kota, sehingga mengharuskan

rumah ibadat dibongkar untuk kepentingan umum, maka Pemerintah

Kabupaten/Kota harus memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan

gedung rumah ibadah yang telah memiliki IMB yang dipindahkan kerena

perubahan rencana tata ruang wilayah tersebut sehingga tidak ada rumah ibadah

yang hilang atau berkurang karena pembangunan.5

2. Izin Sementara Pemanfaatan Bangunan Gedung

Salah satu hal krusial yang sering menjadi penyebab konflik dalam

masyarakat adalah pemakaian gedung sementara untuk rumah ibadah sebelum

dikeluarkannya izin mendirikan rumah ibadah secara resmi dan permanen. Maka

untuk mengantisipasi hal itu, Pergub juga menetapkan beberapa ketentuan terkait

2 Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, Pasal 3 ayat (3).

3 Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, Pasal 4.

4 Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, Pasal 5 ayat (2).

5 Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, Pasal 6.

Page 92: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

77

izin sementara pemanfaatan gedung untuk tempat ibadah, dengan ketentuan

sebagai berikut:6

1) Pemanfaatan gedung bukan rumah ibadah sebagai rumah ibadat harus

mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari

Bupati/Walikota dengan persetujuan Camat setempat secara tertulis

dengan memenuhi persyaratan;

a. Layak Fungsi

b. Pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketentraman dan

ketertiban masyarakat.

2) Persyaratan layak fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.

3) Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama, ketentraman dan

ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,

meliputi:

a. Izin tertulis pemilik bangunan

b. Rekomendasi tertulis Lurah/Geuchik

c. Pelaporan tertulis kepada FKUB Kabupaten/Kota

d. Pelaporan tertulis Kepala Kantor Departemen Agama

Kabupaten/Kota.

6 Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3).

Page 93: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

78

3. Penyelesaian Perselisihan

Tak dipungkiri bahwa Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pedoman Pendirian Rumah Ibadah ini berpotensi menimbulkan masalah dan

konflik sosial di masyarakat. Maka jika masalah itu timbul, langkah yang harus

ditempuh adalah dengan jalan musyawarah antar masyarakat pemeluk agama

dengan melibatkan pemerintah setempat. Jalan musyawarah harus diutamakan

sebelum ditempuh melalui proses hukum di pengadilan, sehingga masalah yang

terjadi dapat diselesaikan secara damai tanpa adanya dendam dan konflik yang

berlarut-larut. Untuk itu, dalam Pergub ini juga diatur mengenai penyelesaian

berbagai masalah yang nantinya akan timbul terkait pendirian rumah ibadah

tersebut. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam BAB IV, Pasal 10 Ayat (1),

(2) dan (3):

1) Perselisihan akibat pendirian rumah ibadah diselesaikan secara

musyawarah oleh masyarakat setempat.

2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak

tercapai, penyelesaian dilakukan oleh Bupati/Walikota dibantu Kepala

Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota melalui musyawarah yang

dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan

saran FKUB Kabupaten/Kota.

3) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada Ayat

(2) tidak dicapai, penyelesaian dilakukan melalui pengadilan setempat.

Page 94: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

79

Selain itu, pada pasal 11 Gubernur melaksanakan pembinaan terhadap

Bupati/Walikota serta instansi terkait di daerah dalam menyelesaikan perselisihan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 10.

Konflik akibat pendirian rumah ibadah masih kerap terjadi di Indonesia, tak

terkecuali di Aceh. Kesulitan mendirikan rumah ibadah tak hanya dialami satu

agama saja. Hampir seluruh agama di Indonesia pernah mengalami sulitnya

mendirikan rumah ibadah.7 Biasanya, persoalan yang muncul dalam sulitnya

pendirian rumah ibadah adalah masalah penerimaan masyarakat di sekitar rumah

ibadah. Bila mayoritas warga di sekitar rumah ibadah beragama yang sama

dengan jamaah rumah ibadah itu, pendiriannya tak akan terlalu sulit. Namun bila

jamaah rumah ibadah itu beragama minoritas dengan masyarakat sekitar,

pendirian rumah ibadah bisa menjadi lebih sulit.

Dalam perspektif konflik yang berasal dari pemikiran Karl Marx. Gagasan-

gagasan yang mengenai dominasi kaum borjuis dan eksploitasi terhadap kaum

proletar adalah contoh-contoh yang jelas bagaimana kekuasaan digunakan untuk

kepentingan suatu kelompok diatas penderitaan kelompok lain. Bagi para ahli

teori konflik, kekuatan adalah alat yang membuat sesuatu kelompok mampu

mendominasi kelompok lain. Dominasi pada gilirannya menggerakkan potensi

terjadinya konflik antara pihak-pihak yang menerima keuntungan memegang

kekuasaan dan mereka yang menderita akibat tekanan kuasa.8

7 Lihat: http://sp.beritasatu.com/home/banyak-faktor-terkait-konflik-soal-rumah-

ibadah/57036. Diakses pada 29 Oktober 2016.

8 Yusron Rajak (Editor), Sosiologi Sebuah Penganta (Jakarta: Laboratorium Sosiologi

Agama, 2008), h. 25-26.

Page 95: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

80

Konflik akibat pendirian rumah ibadah kerap kali berujung pada kekerasan,

penyerangan dan penyegelan rumah ibadah oleh masyarakat sekitar atau aparat

setempat. Peristiwa yang masih hangat terjadi di Kabupaten Aceh Singkil,

Provinsi Aceh. Timbulnya kasus destruktif dan kekerasan yang terjadi di Aceh

Singkil pada 13 Oktober 2015 lalu yang menyebabkan sebuah Gereja dibakar dan

menimbulkan korban jiwa sebenarnya telah mencoreng wajah toleransi dan

kerukunan umat beragama yang telah berlangsung dengan baik selama ini di

Tanah Rencong.9

Pada dasarnya kehidupan antarumat beragama di Aceh Singkil dari dulu

dikenal sangat harmonis. Umat non-Muslim yang minoritas tidak pernah diganggu

saat mereka beraktifitas dan melakukan ibadah ditempat ibadah yang resmi dan

berizin. Mengutip pernyataan Salihin Mizal selaku Kepala Kantor Kemenag Aceh

Singkil, mengatakan bahwa kasus bentrokan antar kelompok massa di Aceh

Singkil berawal dari adanya protes umat Muslim atas pendirian Gereja yang tanpa

izin dan dianggap telah melanggar kesepakatan bersama. Kesepakatan antara umat

Islam dan Kristen terjadi pada tahun 1979, dan bahkan pada tahun 2001 juga

kembali dibuat kesepakatan tentang pendirian rumah ibadah. Dalam isi

kesepakatannya umat Kristen hanya boleh mendirikan satu Gereja dan 4 undung-

undung.10

Ini merupakan bentuk toleransi umat Islam di Aceh Singkil kepada

9 Tanah Rencong merupakan nama lain dari Aceh. Kata ini merujuk pada senjata khas

tradisional Aceh yakni rencong.

10 Istilah undung-undung hanya ada di Aceh Singkil dan tidak dikenal di luar Aceh.

Undung-undung bisa diartikan sebagai Gereja kecil. Bukan tidak mungkin, istilah undung-undung

digunakan sebagai cara untuk mengakali agar rumah ibadah non-muslim itu terus berkembang

hingga menjadi bangunan permanen seperti Gereja. Dalam peraturan yang ada, selama ini yang

dikenal adalah Gereja, bukan undung-undung.

Page 96: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

81

umat Kristen, karena dalam pendirian Gereja dan undung-undung tersebut tidak

harus melalui izin pemerintah, tapi atas dasar kerelaan masyarakat untuk

menerima keberadaan mereka. Masyarakat Muslim tidak mempermasalahkan

adanya Gereja dan 4 undung-undung di wilayah mereka.

Faktanya, dalam rentang waktu 14 tahun sejak kesepakatan bersama itu

dibuat, jumlah gereja dan undung-undung di kabupaten Aceh Singkil bertambah

banyak. Forum Kerukunan Umat Beragama Aceh Singkil mencatat, terdapat 27

unit bangunan rumah ibadah tanpa izin dan melanggar PBM No 8/9 tahun 2006

dan Pergub Aceh No. 25 tahun 2007. Hal inilah yang menjadi faktor pemicu

terjadinya konflik antara Islam dan Kristen di Aceh Singkil.

Perbedaan fundamental dalam PBM tahun 2006 dan Pergub Aceh tahun

2007 tentang Izin Mendirikan Rumah Ibadah ialah mengenai syarat utama

pengajuan pembangunan. Dalam PBM pasal 14 peraturan itu disebutkan bahwa

syarat utama yang diajukan untuk membangun rumah ibadah harus menyertakan

daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling

sedikit 90 orang, adanya dukungan dari masyarakat setempat paling sedikit 60

orang yang disahkan lurah/kepala desa, serta mendapatkan rekomendasi tertulis

dari kantor departemen agama kabupaten/kota dan Forum Kerukunan Umat

Beragama (FKUB) kabupaten/kota. Selain rumah ibadah, regulasi itu juga

mengatur tentang pemanfaatan bangunan bukan rumah ibadah sebagai rumah

ibadah sementara. Pasal 18 peraturan itu menyebutkan pemanfaatan sementara

bangunan sebagai rumah ibadah harus mendapatkan izin dari bupati/wali kota.

Izin dari bupati/wali kota dapat dikeluarkan bila memenuhi persyaratan laik fungsi

Page 97: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

82

dan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban

masyarakat. Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta

ketenteraman dan ketertiban masyarakat meliputi izin tertulis pemilik bangunan,

rekomendasi tertulis lurah/kepala desa, pelaporan tertulis kepada FKUB

kabupaten/kota dan kantor departemen agama kabupaten/kota.

Sedangkan dalam Pergub Aceh pasal 3 disebutkan bahwa syarat utama yang

diajukan untuk membangun rumah ibadah harus menyertakan daftar nama dan

Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 150 orang,

adanya dukungan dari masyarakat setempat paling sedikit 120 orang yang

disahkan lurah/geuchik setempat, serta mendapatkan rekomendasi tertulis dari

kantor departemen agama kabupaten/kota dan Forum Kerukunan Umat Beragama

(FKUB) kabupaten/kota. Selain rumah ibadah, regulasi ini juga mengatur tentang

pemanfaatan bangunan bukan rumah ibadah sebagai rumah ibadah sementara.

Pendirian rumah ibadah di Aceh khususnya agama minoritas (selain agama

Islam) kerap berpotensi menimbulkan konflik akibat komunikasi yang tidak lancar

selain kurang optimalnya peran FKUB Aceh yang menjadi jembatan komunikasi

di internal agama masing-masing hingga antar umat beragama. Karena itu peran

FKUB dalam pendirian rumah ibadah layak diakomodasi kepala daerah.

Dalam perspektif fungsionalis, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu

jejaring kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi, yang bekerja dalam

suatu cara yang agak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut

oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu

Page 98: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

83

sistem yang stabil dengan suatu kecenderungan untuk mempertahankan suatu

sistem kerja yang selaras dan seimbang.

Dalam persfektif fungsionalis, dengan Talcott Parsons (1937), Kingsley

Davis (1937), dan Robert Merton (1957) sebagai para juru bicara yang terkemuka,

setiap kelompok atau lembaga meaksanakan tugas tertentu dan terus-menerus,

karena hal itu fungsionalis.11

Pada kenyataannya, secara struktualis fungsionalis peran Pemerintah Daerah

dalam hal pendirian rumah ibadah tidak berjalan dengan baik. Hal ini terbukti

dengan munculnya konflik di Aceh Singkil. Memang pada tataran atas terlihat

berjalan dengan baik, akan tetapi pada tataran bawah muncul beberapa kendala

seperti kurang optimalnya peran kepala daerah dan juga peran FKUB yang

menjadi ujung tombak dalam mensosialisasikan dan memberikan pemahaman

terhadap sebuah regulasi atau aturan kepada masyarakat sehingga menyebabkan

munculnya konflik.

B. Akibat Dikeluarkannya Peraturan Gubernur Aceh No. 25 Tahun 2007

Dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 tahun 2007 memiliki dasar dalam

Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) pasal 127 ayat (4) yang berisi

pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat izin dari pemerintah Aceh

dan/atau pemerintah kabupaten/kota. Oleh karena itu, semenjak dikeluarkannya

11

Ishomuddin, Sosiologi Perspektif Islam (Malang: UMM Press, 1997), h. 106 dalam Prof.

Dr. H. M. Ridwan Lubis, Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama dalam Interaksi

Sosial (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 32 dan Agama Dalam Perbincangan Sosiologi

(Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010), h. 40.

Page 99: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

84

Pergub ini banyak rumah-rumah ibadah yang ditertibkan karena tidak sesuai

dengan aturan dan peruntukannya.

Setelah dilantik Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi atas nama Presiden

RI dalam sidang paripurna istimewa DPR Aceh pada 25 Juni 2012, Gubernur

Aceh Zaini Abdullah yang juga petinggi besar GAM langsung melakukan

tindakan yang fenomenal dengan menutup 17 gereja secara paksa karena dinilai

melanggar izin peruntukan. Hal ini mengakibatkan PGI melaporkan tindakan

semena-mena Gubernur Aceh ini ke lembaga Hak Asasi Manusia PBB. Menurut

Pemerintah Aceh, penutupan rumah ibadah di Aceh dilakukan karena menyalahi

ketentuan yang berlaku.

Sebelumnya, sebanyak 17 gereja di Kabupaten Aceh Singkil disegel oleh

pemerintah setempat. Hal ini diungkapkan Kepala Pembimbing Masyarakat

(Pembimas) Katolik, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh, Baron

Ferryson Pandiangan. Penyegelan gereja tersebut menggunakan dalih Surat

Keputusan Bersama Dua Menteri tentang Rumah Ibadah; Peraturan Gubernur No

25/2007 tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah di Aceh, Qanun Aceh Singkil No

2/2007 tentang Pendirian Rumah Ibadah, dan surat perjanjian bersama antara

komunitas Islam dan Kristen dari tiga kecamatan di Aceh Singkil pada 11 Oktober

2001.12

Selain Singkil, Pemkot Banda Aceh (21/10/12) juga melakukan penutupan 9

Gereja dan 5 Vihara di Banda Aceh sebagai tindak lanjut Peraturan Gubernur

Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. Pemkot banda

12

Sumber: waspada-globe journey

Page 100: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

85

Aceh menganggap bangunan yang selama ini dijadikan Vihara dan Gereja oleh

pemeluk agama minoritas di Banda Aceh tidak sesuai dengan aturan dan

ketentuan yang ada dalam hal pendirian rumah ibadah. Bangunan yang mereka

dirikan tidak sesuai dengan PBM dan juga Pergub Aceh tentang pendirian rumah

ibadah

Hal ini ternyata mendapat tanggapan dari politisi Partai Kebangkitan Bangsa

Lily Wahid di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (24/10) yang

menganggap Pemerintah Pusat tidak boleh membiarkan permasalahan

penutupan gereja dan vihara di Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lily meganggap

kasus ini sebagai pintu masuk disintegrasi bangsa. Ini upaya sistematis untuk

terjadinya disintegrasi bangsa. Kalau itu terjadi, pemerintah pusat sangat

bertanggung jawab. Pernyataan Lily Wahid mengundang reaksi banyak pihak di

Aceh karena dianggap tidak memahami persoalan Aceh.

Terkait perizinan mendirikan Gereja dan Vihara yang ditutup di Aceh,

banyak kalangan memandang persyaratan yang dituangkan di dalam Peraturan

Gubernur Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah

teramat berat untuk dipenuhi. Sebuah rumah ibadah dapat memperoleh izin jika,

mendapat persetujuan dari 120 orang warga sekitar, dengan jumlah jemaat lebih

dari 150 orang, mendapat pengesahan dari lurah/kecik, dan ada surat rekomendasi

dari Departemen Agama setempat.13

13

Kompas, 22 Oktober 2012 , 9 Gereja di Banda Aceh Kesulitan Beribadah. Lihat:

http://regional.kompas.com/read/2012/10/22/14504434/9.Gereja.di.Banda.Aceh.Kesulitan.Beribad

ah.

Page 101: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

86

Persyaratan itu jauh lebih berat dari ketentuan yang tertuang dalam

Peraturan Bersama Dua Menteri yang mewajibkan ada izin dari 90 jemaat, dengan

dukungan 60 orang warga sekitar.

C. Rencana Perumusan Qanun Kerukunan Umat Beragama di Aceh

Pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)

membuat qanun atau peraturan daerah tentang pendirian rumah ibadah dan

pedoman kerukunan umat beragama. Gubernur Aceh Zaini Abdullah

menyampaikan bahwa qanun ini dibuat untuk melindungi umat beragama yang

ada di Aceh. Qanun ini juga diharapkan menjadi pedoman bagi antarumat

beragama dalam menjalankan aktivitasnya masing-masing.14

Senada dengan itu, Staf Ahli Gubernur Aceh M. Jafar yang juga mantan

Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh mengatakan qanun tersebut

sedang dalam proses finalisasi di DPR Aceh dan berharap qanun ini bisa disahkan

pada tahun 2016.

M. Jafar mengatakan qanun ini agat terlambat dibuat karena banyak qanun

turunan UU Nomor 11 Tahun 2006 yang harus diselesaikan Pemerintah Aceh.

Dan selama ini, aturan pendirian rumah ibadah diatur dalam Peraturan Gubernur

(Pergub). Perlu diketahui, qanun pendirian rumah ibadah dibuat atas perintah

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Menurut M Jafar, qanun tersebut juga mengatur pedoman kerukunan umat

beragama. Dengan hadirnya qanun tersebut, diharapkan menjawab permasalahan-

permasalahan menyangkut penodaan agama dan penyiaran agama. Di dalam

14

Lihat: http://aceh.antaranews.com/berita/30971/gubernur-sampaikan-empat-rancangan-

qanun. Diakses pada 19 September 2016.

Page 102: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

87

qanun tersebut juga dijabarkan tentang langkah-langkah pemberdayaan dan

penguatan Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB di semua tingkatan.

Selain itu, dengan hadirnya qanun tersebut, maka regulasi bagi kehidupan

umat beragama di Aceh semakin jelas dan berbagai potensi yang bisa

menghadirkan disharmonisasi antarumat beragama bisa diatasi. Selain

memperkuat kerukunan umat beragama, kehadiran qanun ini diharapkan mampu

menyelesaikan permasalahan pendirian rumah ibadah di Aceh.15

Hal demikian juga disampaikan Ketua Komisi VII DPR Aceh Ghufran

Zainal Abidin mengatakan, qanun ini diharapkan menjadi regulasi kerukunan

umat beragama di Aceh sehingga kasus-kasus seperti di Aceh Singkil beberapa

waktu lalu tidak terulang lagi. Ghufran mengatakan banyak hal yang diatur dalam

qanun itu demi menjaga hubungan antar umat beragama di provinsi Aceh yang

selama ini terjalin cukup baik. Ia menegaskan semua agama yang diakui di

Indonesia akan mendapatkan hak-haknya di Aceh. Dalam qanun ini juga diatur

menyangkut izin pendirian rumah ibadah, mengingat kasus yang terkahir terjadi di

Singkil salah satunya disebabkan oleh pendirian rumah ibadah illegal di daerah

itu. 16

Sebelum di sahkan, Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)

akan mengundang para kepala daerah di Aceh, tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh

agama dalam rangka Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait Rancangan

15

Lihat: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/06/18/o8yj6w-aceh-buat-

qanun-pendirian-rumah-ibadah. Diakses pada 22 Oktober 2016.

16http://portal.radioantero.com/index.php?option=com_content&view=article&id=5271:qan

un-kerukunan-umat-beragama-dan-pendirian-rmah-ibadah-selesai-akhir-

tahun&catid=46:ap.Diakses pada 22 Oktober 2016.

Page 103: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

88

Qanun (Raqan) tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan

Pendirian Rumah Ibadah untuk mencari masukan-masukan dalam rangka

penyempurnaan dari isi qanun tersebut. Sehingga dengan lahirnya qanun ini

nantinya tidak menimbulkan kontradiksi dengan pelaksanaan syariat Islam di

Aceh.

Semua hasil RDPU itu akan dibahas lagi oleh Komisi VII DPRA dengan

tim Pemerintah Aceh untuk menyesuaikan dengan peraturan yang ada. Sehingga,

qanun itu bisa menjadi payung hukum bagi kerukunan umat beragama di Aceh.17

17

Lihat: http://aceh.tribunnews.com/2015/12/17/dpra-gelar-rdpu-tentang-raqan-pendirian-

rumah-ibadah. Diakses pada 22 Oktober 2016.

Page 104: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

89

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada dasarnya beribadah dan membangun rumah ibadah adalah dua hal

yang berbeda. Beribadah merupakan ekspresi keagamaan seseorang kepada Tuhan

Yang Maha Esa, sedangkan membangun rumah ibadah adalah tindakan yang

berhubungan dengan warga negara lainnya karena berhubungan dengan hal-hal

yang fundamental, seperti: kepemilikan tanah, kedekatan lokasi, dan lain

sebagainya. Untuk itu sudah sepatutnya Pemerintah Pusat maupun Pemerintah

Daerah ketika membuat sebuah kebijakan yang menyangkut tentang urusan umat

seperti pembangunan rumah ibadah jangan sampai merugikan satu pihak dan

malah menguntungkan pihak lain. Prinsip dasar yang harus kita junjung dalam hal

pendirian rumah ibadah selain harus memenuhi peraturan perundang-undangan

yang ada, tetapi pada saat yang sama juga harus tetap menjaga kerukunan

antarumat beragama dan menjaga ketentraman dan ketertiban masyarakat.

Setelah melalui tahapan kajian terhadap rumusan masalah yang

dimunculkan dalam kajian ini, secara keseluruhan respon umat beragama di Aceh

ternyata masih menimbulkan polemik dalam masyarakat. Hal ini disebabkan

karena Pergub Aceh Nomor 25 tahun 2007 dianggap hanya menguntungkan bagi

kaum mayoritas (Islam) dan mempersempit gerak bagi umat agama lain dalam

upayanya untuk mendirikan rumah ibadah di Aceh. Disamping itu, Pemerintah

Daerah menganggap regulasi tentang pendirian rumah ibadah tersebut telah sesuai

dengan prinsip-prinsip kerukunan umat beragama. Namun, dalam prakteknya di

Page 105: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

90

lapangan memang masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pada

dasarnya Pergub ini dikeluarkan guna untuk memberi payung hukum yang pasti

terhadap umat beragama dalam mendirikan rumah ibadah di Aceh karena Pemda

Aceh sendiri menemukan banyak kasus penyalahgunaan bangunan gedung yang

disalahfungsikan sebagai tempat ibadah yang tidak sesuai dengan aturan atau

perizinan.

Dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 memiliki dasar dalam

Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) pasal 127 ayat (4) yang berisi

pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat izin dari pemerintah Aceh

dan/atau pemerintah kabupaten/kota. Oleh karena itu, semenjak dikeluarkannya

Pergub ini banyak rumah-rumah ibadah yang ditertibkan karena tidak sesuai

dengan aturan dan peruntukannya. Tercatat, sekitar 17 gereja di Aceh Singkil

ditutup secara paksa oleh Pemerintah Aceh karena dinilai melanggar izin

peruntukan (illegal). Selain itu, Pemkot Banda Aceh juga melakukan penutupan 9

Gereja dan 5 Vihara di Banda Aceh sebagai tindak lanjut Peraturan Gubernur

Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.

Pada kesimpulannya, meskipun lahirnya Pergub ini menimbulkan polemik

di masyarakat namun secara keseluruhan tidak mengganggu stabilitas situasi

kerukunan umat beragama di Aceh.

Page 106: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

91

B. Saran – Saran

Setelah melalui kajian dan analisis terhadap penelitian ini, berikut penulis

memberikan beberapa saran-saran yang dapat dipertimbangkan sebagai berikut:

1. Pemerintah Aceh harus lebih intens dalam mensosialisasikan setiap aturan

atau kebijakan baik itu Qanun/Perda, Pergub dan aturan lainnya sehingga

masyarakat mengetahui dan memahami terhadap maksud dan tujuan

dikeluarkannya aturan tersebut.

2. Dalam setiap mengeluarkan Qanun maupun Pergub, Pemerintah Aceh

diharapkan agar memberikan jaminan kebebasan kepada non-Muslim untuk

beribadah sesuai ajaran agamanya tanpa merasa takut atau terancam, dalam

hal ini menyangkut dengan pendirian rumah ibadah di Aceh. Untuk itu,

diharapkan kepada pemerintah agar segera membuat aturan tentang

pendirian rumah ibadah menjadi qanun, agar status hukumnya lebih kuat.

3. Sebelum di sahkan menjadi qanun, diharapkan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat Aceh (DPRA) mengundang para kepala daerah di Aceh, tokoh

masyarakat dan tokoh-tokoh agama dalam rangka Rapat Dengar Pendapat

Umum (RDPU) terkait Rancangan Qanun (Raqan) tentang Pedoman

Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah

untuk mencari masukan-masukan dalam rangka penyempurnaan dari isi

qanun tersebut. Sehingga dengan lahirnya qanun ini nantinya tidak

menimbulkan kontradiksi dengan pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

Page 107: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

92

4. Selain itu, dengan hadirnya qanun tersebut, maka regulasi bagi kehidupan

umat beragama di Aceh semakin jelas dan berbagai potensi yang bisa

menghadirkan disharmonisasi antarumat beragama bisa diatasi. Selain

memperkuat kerukunan umat beragama, kehadiran qanun ini nantinya

diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan pendirian rumah ibadah di

Aceh.

Page 108: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

93

DAFTAR PUSTAKA

Asry, M. Yusuf (Editor). Pendirian Rumah Ibadat di Indonesia: Pelaksanaan

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9

dan 8 Tahun 2006. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama

Republik Indonesia. Cet.1, 2011.

Azwar, Syafuddin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh (Aceh dalam Angka 2015) dengan website:

http://aceh.bps.go.id

Humas Pemda Aceh. Aceh 40 Tahun: Derap Langkah Pembangunan 1959-

1998/1999. Banda Aceh: Humas Banda Aceh, tt.

Kahmad, Dadang. Metodologi Penelitian Agama: Perspektif Ilmu Perbandingan

Agama. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh (Kemenag Aceh dalam Angka Tahun

2014) dengan website: http://aceh.kemenag.go.id

Kurdi, Muliadi. Aceh di Mata Sejarawan: Rekonstruksi Sejarah Sosial Budaya.

Banda Aceh: Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), 2009.

Lubis, M. Ridwan. Agama dalam Perbincangan Sosiolog. Bandung: Citapustaka

Media Perintis. Cet.1, 2010.

_______________. Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama dalam

Interaksi Sosial. Jakarta: Prenadamedia Group. Cet.1, 2015.

Manan, Bagir. Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta: Indhill,

1992.

Marsan, Ubaidillah (Penyusun). Modul Diklat Teknis Kerukunan Umat

Beragama: Prosedur Pendirian Rumah Ibadah. Jakarta: Badan Litbang dan

Diklat, Pusdiklat Tenaga Teknis dan Keagamaan, Kementerian Agama

Republik Indonesia, 2012.

Page 109: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

94

Moleong, Lexy. J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 1989.

Nawawi, Hadari. Instrument Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada

University, 1995.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8

Tahun 2006.

Peraturan Gubernur Aceh Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan

Tugas Forum Kerukunan Umat Beragama.

Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan

Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan Dalam Tata Naskah Dinas di

Lingkungan Pemerintahan Aceh.

Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.

Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama

Republik Indonesia. Jurnal Harmoni, Vol. IX, Nomor 33, Januari-Maret

2010.

Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan

Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah.

Razak, Yusron (Editor). Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran

Sosiologi Perspektif Islam. Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2010.

Reni, Nuryanti dan Suryanto, Peno. Penelitian: Sebuah Pengantar. Yogyakarta:

UKM Penelitian UNY, 2006.

Sinaga, Budiman N.P.D. Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan. Yogyakarta:

UII Press, 2004.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2002.

Page 110: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

95

Syik, Abdul Gani. Sinar Darussalam: Majalah Pengetahuan dan Kebudayaan.

No. 174/175.

The Wahid Institute. Monthly Report on Religious Issues. Edisi XVII, Januari

2009.

Tim Penyusun. Kemenag Aceh dalam Angka Tahun 2014. Banda Aceh:

Subbagian Informasi dan Humas Kanwil Kementerian Agama Provinsi

Aceh, 2014.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Undang-Undang Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun

1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama.

Page 111: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

MW\DATATU\F\doc.Wahed\PER\JUNI,07

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

PERATURAN GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 25 TAHUN 2007

TENTANG

PEDOMAN PENDIRIAN RUMAH IBADAH

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Mimbang : a. bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan setiap orang bebas memilih agama dan beribadat menurut agamanya;

b. bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya;

c. bahwa pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk melaksanakan ajaran agama dan ibadat pemeluk-pemeluknya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalah gunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum;

d. bahwa pemerintah mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya dapatberlangsung dengan rukun, lancar dan tertib;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d perlu disusun Pedoman Pendirian Rumah Ibadah dengan menetapkan dalam suatu Peraturan Gubernur;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103);

2. Undang-Undang Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2726);

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298);

4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);

5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893);

6. Undang-……………./2

Page 112: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

MW\DATATU\F\doc.Wahed\PER\JUNI,07

- 2 -

6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);

7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4468);

9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);

10. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 Nomor 8 Tahun 2006

tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah;

11. Keputusan Bersama Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota;

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM TEN-TANG PEDOMAN PENDIRIAN RUMAH IBADAH;

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Gubernur ini yang dimaksud dengan :

1. Gubernur/Wakil Gubernur adalah Kepala/Wakil Kepala Pemerintah Aceh yang dipilih melalui proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil;

2. Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota adalah Kepala/Wakil Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang dipilih melalui proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil;

3. Camat Kepala Pemerintah Daerah Kecamatan dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

4. Lurah Kepala Pemerintah Kelurahan yang diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan;

5. Keuchik…………./3

Page 113: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

MW\DATATU\F\doc.Wahed\PER\JUNI,07

- 3 -

5. Keuchik Kepala Pemerintah Gampong yang dipilih melalui proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil;

6. Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

7. Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan Pemerintah dibidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan umat beragama;

8. Rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus digunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga;

9. Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan atau Ormas Keagamaan adalah Organisasi non Pemerintah bervisi Kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga Negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan hukum dan telah terdaftar di Pemerintah Daerah setempat serta bukan Organisasi Sayap Politik;

10. Pemuka Agama adalah tokoh komunitas umat beragama baik yang memimpin ormas keagamaan maupun yang tidak memimpin ormas keagamaan yang diakui dan atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan;

11. Forum Kerukunan Umat Beragama yang selanjutnya disingkat FKUB, adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan;

12. Panitia pembangunan rumah ibadah adalah panitia yang dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadah;

BAB IISYARAT PENDIRIAN RUMAH IBADAT

Pasal 2

(1) Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/gampong;

(2) Pendirian rumah ibadat dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak menganggu ketentraman dan ketertiban umum serta mematuhi peraturan perundang-undangan;

(3) Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/gampong sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau Kabupaten/Kota atau Provinsi;

Pasal 3

(1) Pendirian rumah ibadat harus mematuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung;

(2). Selaian…………/4

Page 114: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

MW\DATATU\F\doc.Wahed\PER\JUNI,07

- 4 -

(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :

a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 150 (Seratus lima puluh) orang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3);

b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 120 (seratus dua puluh) orang yang disahkan oleh Lurah/Geuchik setempat;

c. Rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota; dan

d. Rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota;

(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi bangunan rumah ibadat;

Pasal 4

Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis;

Pasal 5

(1) Permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat;

(2) Bupati/Walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

Pasal 6

Pemerintah Kabupaten/Kota memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang dipindahkan kerena perubahan rencana tata ruang wilayah;

BAB IIIIZIN SEMENTARA PEMANFAATAN BANGUNAN GEDUNG

Pasal 7

(1) Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari Bupati/Walikota dengan persetujuan Camat setempat secara tertulis dengan memenuhi persyaratan :

a. Laik Fungsi; dan

b. Pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban masyarakat;

(2) Persyaratan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung;

(3) Persyaratan. …………../5

Page 115: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

MW\DATATU\F\doc.Wahed\PER\JUNI,07

- 5 -

(3) Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama, ketentraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi :

a. Izin tertulis pemilik bangunan;

b. Rekomendasi tertulis Lurah/Geuchik;

c. Pelaporan tertulis kepada FKUB Kabupaten/Kota; dan

d. Pelaporan tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota;

Pasal 8

(1) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) diterbitkan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan FKUB Kabupaten/Kota;

(2) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 2 (dua) tahun;

Pasal 9

(1) Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Camat;

(2) Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan FKUB Kabupaten/Kota;

BAB IVPENYELESAIAN PERSELISIHAN

Pasal 10

(1) Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat;

(2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian dilakukan oleh Bupati/Walikota dibantu Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Walikota melalui musyawarah yang dilakukansecara adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan saran FKUB Kabupaten/Kota;

(3) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dicapai, penyelesaian dilakukan melalui pengadilan setempat;

Pasal 11

Gubernur melaksanakan pembinaan terhadap Bupati/Walikota serta instansi terkait di daerah dalam menyelesaikan perselisihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10;

BAB VPENGAWASAN DAN PELAPORAN

Pasal 12

(1) Gubernur dibantu Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsimelakukan pengawasan terhadap Bupati/Walikota serta instansi terkait di daerah atas pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan pendirian rumah ibadat;

(2) Bupati/ . …………../6

Page 116: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

MW\DATATU\F\doc.Wahed\PER\JUNI,07

- 6 -

(2) Bupati/Walikota dibantu Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota melakukan Pengawasan terhadap Camat dan Lurah/Geuchik serta instansi terkait di daerah atas pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan pendirian rumah ibadat;

Pasal 13

(1) Gubernur melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan pengaturan pendirian rumah ibadat di Provinsi kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama dengan tembusan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat;

(2) Bupati/Walikota melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan pengaturan pendirian rumah ibadat di Kabupaten/Kota kepada Gubernur dengan tembusan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama;

(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan setiap 6 (enam) bulan pada bulan Januari dan Juli, atau sewaktu-waktu jika dipandang perlu;

BAB VIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 14

Peraturan Gubernur ini berlaku sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

Ditetapkan di Banda AcehPada tanggal 19 Juni 2007

4 Jumadil Akhir 1428

Diundangkan di Banda AcehPada tanggal, 19 Juni 2007

4 Jumadil Akhir 1428

SEKRETARIS DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM

HUSNI BAHRI TOB

BERITA DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2007 NOMOR ……...................

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

IRWANDI YUSUF

Page 117: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan
Page 118: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

PERTANYAAN WAWANCARA

Nama : Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA

Tempat, Tanggal Lahir : Rukoh, Aceh Besar / 5 Maret 1961

Lembaga / Instansi : UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Posisi / Jabatan : Rektor

1. Apa yang melatarbelakangi dibentuknya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pedoman Pendirian Rumah Ibadah?

Dibentuknya Pergub maupun Perda/Qanun mempunyai latarbelakang yang panjang,

selain pada 2006 ada PBM di tingkat nasional. Sekalipun PBM itu sebetulnya sudah

sangat detail, tapi biasanya di tingkat daerah merasa penting untuk menindaklanjutinya

dengan aturan yang lebih detail lagi di daerah masing-masing. Mungkin, Pemerintah Aceh

merasa perlu untuk membuat standar terkait pendirian rumah ibadah, dalam hal ini

berbentuk Pergub. Meskipun pada tingkat nasional, pemerintah sudah mengeluarkan

aturan, yaitu PBM. Tapi, mungkin karena Aceh mempunyai hak istimewa dengan Undang-

Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), Pemerintah Aceh bisa saja mengatur ataupun

membuat regulasi sendiri berdasarkan kondisi lokal karena Aceh mayoritas bergama

Islam. Selain itu, mungkin juga Pemerintah Aceh perlu mengatur penertiban terkait

pendirian rumah ibadah karena banyak orang-orang yang datang ke Aceh dengan

latarbelakang agama yang bermacam-macam (selain Islam) dan ingin mendirikan rumah

ibadah di Aceh.

Pada prinsipnya, Pergub Aceh No.25 Tahun 2007 sudah diatur sedemikian rupa sehingga

tidak bertentangan dengan PBM. Di Aceh, banyak kita jumpai umat Kristen khususnya,

meskipun jamaatnya sedikit tetapi tetap ingin mendirikan rumah ibadah yang baru. Untuk

membatasi keleluasan itu, makanya Pemerintah Aceh merasa perlu membuat suatu aturan

dalam hal ini berbentuk Pegub. Selain itu, mungkin juga ada pihak-pihak tertentu yang

mempolitisasi agar berdirinya sebuah rumah ibadah yang baru meskipun tidak memenuhi

persyaratan yang telah ditetapkan.

2. Apa dasar hukum dibentuknya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007?

Adapun dasar hukum dibentuknya Pergub itu adalah Undang-Undang Pemerintahan Aceh

(UUPA), selain itu juga mengacu pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.

3. Bagaimana kedudukan Pergub? Apakah sama dengan Perda/Qanun?

Tidak sama, karena Pergub dibentuk berdasarkan kewenangan Gubernur tanpa perlu

disetujui oleh DPRD/DPRA. Sedangkan Perda/Qanun dibentuk oleh DPRD/DPRA dengan

persetujuan bersama Gubernur.

Page 119: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

4. Bagaimana realisasi pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pedoman Pendirian Rumah Ibadah?

Terkait realisasi Pergub, saat ini menjadi pegangan dan legitimasi dalam mendirikan

rumah ibadah di Aceh. Akan tetapi, ada beberapa wilayah tertentu melampaui

(melanggar) aturan tersebut sehingga terjadilah konflik.

Contoh kasus di Aceh Singkil, di sana umat Kristen (minoritas) jelas sudah melanggar

aturan pendirian rumah ibadah, baik itu PBM maupun Pergub Aceh. Mereka (Kristen)

sudah mendirikan tempat ibadah tidak sesuai dengan aturan yang ada, misalnya terkait

perizinan. Selain itu, Pemeritah Daerah juga tidak bergerak cepat dalam menangani kasus

tersebut sehingga terjadilah konflik.

Mungkin, Pemerintah Pusat memihak kaum minoritas (Kristen). Bagaimana tidak,

pelanggar pengrusakan rumah ibadah di Tolikara saja tidak di usut dan di proses hukum,

sementara di Aceh malah sebaliknya, di tangkap dan proses sesuai dengan ketentuan

hukum. Intinya, ada keberpihakan Pemerintah dalam hal ini.

5. Kenapa Pergub Nomor 25 Tahun 2007 tidak mengatur Tata Cara Penyiaran Agama

di Aceh ?

Mungkin saja karena di Aceh mayoritas beragama Islam (Muslim) yang dikenal dengan

syariat Islam-nya, Pemerintah Aceh tidak mengatur hal tersebut. Sebenarnya di Aceh,

masalah tata cara penyiaran agama sudah menjadi tradisi dan budaya dalam masyarakat

Aceh, sehingga tidak perlu diatur lagi. Katakanlah seperti peringatan Maulid Nabi Saw.,

peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan Nuzulul Qur’an, dll, sudah termasuk kedalam

penyiaran agama dalam Islam.

Kalau selain Islam (non-Muslim), memang harus ada tata caranya, tetapi tidak boleh

mempengaruhi orang lain untuk pindah agama. Tapi sekarang mereka (Kristen)

melakukan itu. Dalam hal ini bisa saja dengan cara-cara memberikan bantuan dan lain –

lain yang ujung-ujungnya mempengaruhi orang lain (umat Islam) untuk pindah agama.

kasus ini sangat sering terjadi di Aceh. Sedangkan peringatan Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi

Saw., dan Nuzulul Qur’an tidak mempengaruhi siapa-siapa, kecuali mereka (non-Muslim)

yang terpengaruh tanpa adanya paksaan dari siapapun.

6. Bagaimana hasil setelah dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pendirian Rumah Ibadah?

Sebenarnya Pergub itu muncul sebagai upaya dalam menertibkan pendirian rumah

ibadah, karena banyak tempat-tempat ibadah yang berdiri tidak sesuai dengan aturan.

Dimana banyak gereja-geraja yang berdiri tidak sesuai dengan peruntukannya, seperti

izin bangunan dan lain-lain. Selain itu, banyak juga gereja-gereja yang berdiri yang tidak

sesuai dengan jumlah jamaatnya. Dengan kata lain, jamaatnya sedikit tetapi tetap ingin

mendirikan rumah ibadah yang baru. Padahal salah satu syarat dalam mendirikan rumah

ibadah itu harus sesuai dengan komposisi jumlah penduduk bagi umat beragama yang

bersangkutan dalam suatu wilayah.

7. Apa tantangan dan kendala dalam pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007

tentang Pendirian Rumah Ibadah?

Page 120: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

Baik Pergub maupun PBM, perlu disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat,

bukan pada masyarakat dan daerah tertentu saja . Selain itu, tokoh dari masing-masing

agama juga harus berperan dalam membimbing ummatnya dalam mensosialisasikan

Pergub ini.

8. Bagaimana respon masyarakat terhadap Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pendirian Rumah Ibadah?

Bagi Pemda, apapun aturan yang dibuat oleh pemerintah Aceh merupakan hasil dari

kesepakatan tokoh-tokoh yang kompeten. Sehingga apapun aturan yang dibuat dan sudah

final, mereka akan menjalankannya.

9. Bagaimana peran Forum Kerukunan Umat Beragama Aceh dalam Pendirian Rumah

Ibadah?

FKUB Aceh hanya berperan pada tatanan atas sehingga jarang terjadi konflik. Sedangkan

pada tataran bawah peran FKUB sangat kurang maksimal sehingga sering muncul konflik

di masyarakat.

Banda Aceh, 02 Oktober 2016

Ttd,

(Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA)

Page 121: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

PERTANYAAN WAWANCARA

Nama : Drs. H. Ghazali Abbas Adan

Tempat, Tanggal Lahir : Pidie, Aceh / 15 Oktober 1951

Lembaga / Instansi : Anggota DPD RI

Posisi / Jabatan : Wakil Ketua Komite IV DPD RI

1. Apa yang melatarbelakangi dibentuknya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pedoman Pendirian Rumah Ibadah?

Pertama ada SKB Dua Menteri, jadi ada syarat-syarat dalam membangun rumah ibadah

dalam konteks kerukunan umat beragama. Diantaranya adalah tidak boleh menyebar

agama terhadap orang yang sudah beragama dengan dalih apapun. Termasuk mendirikan

rumah ibadah itu harus disetujui oleh masyarakat sekitar (sekian orang), itu baru boleh

mendirikan rumah ibadah, Saya kira itu wajar.

Dalam konteks Aceh, dengan adanya kearifan lokal dengan syariat Islam-nya, mungkin

karena itu Gubernur membuat Pergub dalam rangka turunan implementasi dari SKB Dua

Menteri. Dan setiap masyarakat di Aceh harus tunduk pada aturan tersebut, karena aturan

itu merupakan asas legalitas dan tidak boleh dilanggar. Maka sejatinyalah setiap

masyarakat yang tinggal di Aceh harus ikut pada aturan tersebut karena peraturan itu

masih berlaku sampai dengan sekarang. Selain itu, Pergub juga suda diuji oleh

Pemerintah Pusat karena setiap Pergub atau Perda harus ada persetujuan dari

Pemerintah Pusat karena aturan dibawahnya tidak boleh melanggar aturan lebih tinggi.

Itulah strata, aturan perundang-undangan di Indonesia. Karena tidak melanggar aturan

yang lebih tinggi, makanya Pemerintah Pusat tidak membatalkan Pergub tersebut

sehingga masih tetap berlaku sampai sekarang. Bukan berarti orang Aceh itu melanggar

HAM, dan juga bukan berarti orang Aceh itu diskrimitatif, bukan.

Untuk kasus Singkil, sebab terjadinya konflik itu memang adanya pelanggaran izin

bangunan. Pada awal-awalnya Saya kecewa dengan Pemda Singkil yang tidak tegas,

terakhir baru Pemda tegas setelah mendapat sorotan dari Pemerintah Pusat.

Jika aturan sudah ada (Pergub) semestinya tidak boleh ada siapapun yang melanggarnya.

Kalaupun ada yang melanggar berarti ini sesuatu yang tidak normal, maka terjadilah hal

yang tidak normal. Kita sebenarnya tidak sepakat dengan cara-cara seperti itu (kekerasan

yang berujung anarkis), mungkin saja masa pada saat itu sedang emosional dan tidak bisa

dikendalikan. Jadikanlah peristiwa ini sebagai pelajaran, pertama dan terkahir, jangan

sampai terulang lagi.

Jadi, untuk melaksanakan kearifan lokal yang ada di Aceh, maka dibentuklah Pergub yang

merupakan turunan dari SKB Dua Menteri dan Pergub ini tidak diskriminatif karena

sesuai dengan kondisi lokal Aceh.

Page 122: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

2. Apa dasar hukum dibentuknya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007?

Dasar hukum nya adalah SKB Dua Menteri, karena dibentuknya Pergub itu merupakan

turunan dari SKB Dua menteri tersebut, dan tidak melanggar aturan yang lebih tinggi.

3. Bagaimana kedudukan Pergub? Apakah sama dengan Perda/Qanun?

Memang, Perda lebih tinggi daripada Pergub, tapi juga turunan. Perda/Qanun harus

disusun bersama-sama oleh DPRA dan Gubernur dengan catatan tidak boleh melanggar

aturan yang lebih tinggi.

4. Bagaimana realisasi pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pedoman Pendirian Rumah Ibadah?

Semua harus konsekuen dalam melaksanakan Pergub, selama Pergub itu masih belum

dicabut harus konsekuen melaksanakannya dan mentaatinya, itu prinsipnya. Indonesia

adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan, segalanya ada aturannya. Aturan yang

sudah ada laksanakanlah secara serius dan sungguh-sungguh oleh semua pihak.

5. Kenapa Pergub Nomor 25 Tahun 2007 tidak mengatur Tata Cara Penyiaran Agama

di Aceh ?

Saya kira tidak ada masalah, yang penting aturan SKB Dua Menteri juga berlaku di Aceh.

Aceh-kan NKRI ya harus ikut yang itu juga, tetap saja berlaku SKB Dua Menteri meskipun

di dalam Pergub Aceh tidak ada. Maka, Saya pikir kedepan Pergub itu harus

disempurnakan jangan cuma sebatas mengatur pendirian rumah ibadah, tapi juga tata

cara penyiaran agama di Aceh. Akan tetapi, sebelum aturan itu ada, berpegang jugalah

pada SKB Dua Menteri. Sejatinya, agar aturan itu lebih kuat harus dijadikan Qanun/

Perda.

6. Bagaimana hasil setelah dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pendirian Rumah Ibadah?

Khusus untuk Aceh, peristiwa di Singkil itu hanya insidental karena selama ini tidak

pernah terjadi di Aceh. Secara umum rukun-rukun saja, apa yang terjadi di Singkil hanya

kasuistis. Kendati demikian, jadikanlah sebagai pelajaran untuk kita semua, jangan

adalagi konflik. Kita harus konsekuen melaksanakan peraturan negara, juga kensekuen

mengikuti dan tunduk pada aturan itu. Dan aparat negarapun harus menjaga wibawa

aturan. Kalau ada yang melanggar harus diberi peringatan (ada prosedurnya) yaitu

peringatan pertama dengan cara persuasif, jangan dibiarkan sampai terjadi akumulasi

dimana sudah menggumpal baru ditindak. Berilah kesadaran persuasif dengan cara

sosialisasi dan sebagainya. Setelah diberi penyadaran pemasyarakatan, dan masih ada

yang melanggar, baru ditindak dan di beri sanksi sesuai dengan aturan hukum.

7. Apa tantangan dan kendala dalam pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007

tentang Pendirian Rumah Ibadah?

Perlu disosialisasikan terlebih dahulu bahwa di Aceh ada Pergub yang mengatur tentang

pendirian rumah ibadah. Selain itu, juga perlu pemasyarakatan oleh tokoh-tokoh dari

masing-masing agama.

Page 123: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

Di Indonesia, FKUB yang diwakili oleh masing-masih tokoh agama agar mengajarkan

ummatnya. FKUB harus diefektifkan, apalagi di Aceh Singkil khususnya, sangatlah plural

masyarakatnya. Jadi, perlu difungsikan dengan baik peran FKUB-nya.

8. Bagaimana respon masyarakat terhadap Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pendirian Rumah Ibadah?

Saya tidak pernah dengar komplen terkait Pergub tersebut. Di sini (DPD RI) Saya punya

teman yang non-Muslim dan kami sangat akrab. Dengan kata lain, di DPD RI ada

beberapa orang Pendeta tapi mereka adalah teman-teman Saya yang baik. Ada pendeta

dari Papua misalnya, kami akrab bergaul dan kami saling menghargai. Mereka tidak

pernah “nyeletuk” kepada Saya kenapa kampung anda seperti itu, enggak. Saya pikir

mereka juga bisa memahaminya, Saya tidak tahu bagaimana hati kecilnya. Tapi, faktanya

lahiriahnya tidak ada komplen dengan Saya terkait kejadian di Aceh Singkil. Masalah

menyesali itu adalah hal manusiawi, karena adanya kerusakan, kerugian dan juga korban.

Yang pasti mereka tidak tidak pernah komplen dengan Pergub itu, karena mereka juga

sadar dengan adanya SKB Dua Menteri.

9. Bagaimana peran Forum Kerukunan Umat Beragama Aceh dalam Pendirian Rumah

Ibadah?

Melihat kasus di Aceh Singkil, peran FKUB kurang maksimal. Maka kedepannya peran

FKUB harus dimaksimalkan lagi dalam rangka mengayomi umat masing-masing sehingga

ikut pada aturan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Termasuk di Aceh,

karena ada kearifan lokal dan juga ada kekhususan tersendiri.

Jakarta, 28 September 2016

Ttd,

(Drs. H. Ghazali Abbas Adan)

Page 124: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

PERTANYAAN WAWANCARA

Nama : Munardi, SH, MH.

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 4 Desember 1970

Lembaga / Instansi : Sekretariat MPU Aceh

Posisi / Jabatan : Kabag. Hukum dan Humas

1. Apa yang melatarbelakangi dibentuknya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pedoman Pendirian Rumah Ibadah?

Adanya permasalahan terkait pendirian rumah ibadah di Kota Madya Banda Aceh/ Aceh

Besar pada waktu itu.

2. Apa dasar hukum dibentuknya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007?

Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006.

3. Bagaimana kedudukan Pergub? Apakah sama dengan Perda/Qanun?

Pergub dibuat oleh Gubernur tanpa perlu disetujui oleh DPRA dan tidak bertentangan

dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Sedangkan Perda dibuat oleh DPRA dan disetujui

oleh Gubernur.

4. Bagaimana realisasi pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pedoman Pendirian Rumah Ibadah?

Terlaksana tapi terbatas, masih menyisakan permasalahan yang umumnya karena kurang

patuh kepada aturan hukum. Misalnya di Aceh Singkil ada pihak-pihak yang melanggar

peraturan-peraturan yang telah disepakati dan juga Pergub sehingga terjadilah konflik.

5. Kenapa Pergub Nomor 25 Tahun 2007 tidak mengatur Tata Cara Penyiaran Agama

di Aceh ?

Itu hanya khusus untuk pendirian rumah ibadah.

6. Bagaimana hasil setelah dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pendirian Rumah Ibadah?

Sesuai dengan jawaban nomor 4.

7. Apa tantangan dan kendala dalam pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007

tentang Pendirian Rumah Ibadah?

Ada pihak-pihak yang tidak patuh terhadap Pergub tersebut.

8. Bagaimana respon masyarakat terhadap Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pendirian Rumah Ibadah?

Page 125: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

Cukup baik, meskipun ada beberapa kalangan yang menolak keberadaan Pergub ini

karena dianggap diskriminatif.

9. Bagaimana peran Forum Kerukunan Umat Beragama Aceh dalam Pendirian Rumah

Ibadah?

Sangat kurang maksimal, seharusnya FKUB Aceh lebih gencar dalam mensosialisasikan

Pergub tersebut dengan cara turun ke lapangan, terutama di tempat-tempat yang rawan

terjadi konflik.

Banda Aceh, 30 September 2016

Ttd,

(Munardi, SH, MH)

Page 126: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

PERTANYAAN WAWANCARA

Nama : Willy Putrananda

Tempat, Tanggal Lahir : Meulaboh, 23 Juli 1960

Lembaga / Instansi : Vihara Buddha Shakyamuni Banda Aceh

Posisi / Jabatan : Pandhita Vihara

1. Apa yang melatarbelakangi dibentuknya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pedoman Pendirian Rumah Ibadah?

………………………………….………………………………………………………..…..

……………………………………………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………….

2. Apa dasar hukum dibentuknya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007?

………………………………….………………………………………………………..…..

……………………………………………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………….

3. Bagaimana kedudukan Pergub? Apakah sama dengan Perda/Qanun?

………………………………….………………………………………………………..…..

……………………………………………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………….

4. Bagaimana realisasi pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pedoman Pendirian Rumah Ibadah?

………………………………….………………………………………………………..…..

……………………………………………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………….

5. Kenapa Pergub Nomor 25 Tahun 2007 tidak mengatur Tata Cara Penyiaran Agama

di Aceh ?

………………………………….………………………………………………………..…..

……………………………………………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………….

Page 127: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

6. Bagaimana hasil setelah dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pendirian Rumah Ibadah?

Secara eksekutif (di pemerintahan) kami sangat harmonis, juga di lingkungan Vihara.

Agama Buddha itu tidak bisa melihat orang lain menderita. Oleh karena itu, jika ada

musibah yang menimpa saudara-saudara kita, dimanapun dan beragama apapun, kami

ikut andil untuk membantunya.

7. Apa tantangan dan kendala dalam pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007

tentang Pendirian Rumah Ibadah?

Menurut kami, tantangan dan kendalanya mungkin karena perangkat-perangkat daerah

kurang maksimal dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya dalam

mensosialisasikan aturan/regulasi yang di buat oleh Pemerintah Aceh sehingga

masyarakat tidak mengetahuinya.

8. Bagaimana respon masyarakat terhadap Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Pendirian Rumah Ibadah?

Karena ajaran Buddha itu adalah ajaran alam, kami sebagai umat beragama, umat yang

berkedudukan di Indonesia secara tidak langsung kami mentaati apapun peraturan-

peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Aceh. Sebagai warga negara yang baik, kita harus

mematuhinya. Mengapa demikian? Karena kami harus bisa menyesuaikan sesuai dengan

dimana kami berada. Meskipun kami dikatakan minoritas di Aceh, tetapi kami tidak mau

dikatakan demikian karena kami sebenarnya berjumlah sekitar 17%, tetapi pemerintah

mengatakan hanya 1,7% , kami nggak ngerti kemana arah yang sebenarnya terkait data

tersebut. Kami sebagai umat Buddha tidak mau dikatakan minoritas karena kami adalah

bagian dari warga Indonesia. Saya sangat mengagumi ajaran Islam karena menurut Saya

jika umat Islam menjalankan Syariat Islam secara khaffah maka dunia ini akan aman dan

damai.

Terkakit muatan dalam ada dalam Pergub tersebut, bagi kami yang berada di Aceh, PBM

saja sudah sangat memberatkan meskipun persyaratan dalam mendirikan rumah ibadah

lebih sedikit jika dibandingkan dengan Pergub (komposisi jumlah penduduk). Meskipun

demikian, kami sebagai umat Buddha harus menerima, mentaati dan mematuhi aturan

yang ada.

9. Bagaimana peran Forum Kerukunan Umat Beragama Aceh dalam Pendirian Rumah

Ibadah?

Menurut kami peran Pemerintah Daerah dan FKUB Aceh sangat baik. Akan tetapi masih

ada kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki ke depannya. Karena bagi kaum

minoritas seperti kami (non-Islam) masih mendapat intimidasi jika mendirikan rumah

ibadah baru, meskipun sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.

Banda Aceh, 29 September 2016

Ttd,

Page 128: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan

(Willy Putrananda)

Page 129: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan
Page 130: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan
Page 131: PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38178/2/BISRIL... · Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan