priayi dan wong cilik lebaran di karet, di karet ... · bukan karena aku ingin lari ... ayahku wiji...
TRANSCRIPT
i
MEMAKNAI LEBARAN DARI SUDUT PANDANG
PRIAYI DAN WONG CILIK DALAM KUMPULAN CERPEN
LEBARAN DI KARET, DI KARET… KARYA UMAR KAYAM
TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Kenas Witriasari
NIM: 014114042
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2006
ii
iii
iv
SKRIPSI INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK:SKRIPSI INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK:SKRIPSI INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK:SKRIPSI INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK:
• Ayahku Wiji Rusmanto dan ibukku Yayik Ismiyati
• Adikku Yunas
• Seluruh keluarga besarku
• Aseffaku Petrus Rudy Eppata
v
Kita jatuh untuk bangkit
Kita menangis untuk tertawa
Dan kita datang untuk pergi...
(Astuti Yudhiasari)
Bukan karena aku pengecut
Bukan karena aku ingin lari
Bukan karena aku ingin sembunyi
Tapi hanya karena aku butuh waktu...
(Astuti Yudhiasari)
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur karena Tuhan Yesus Kristus telah selalu memberi berkat dan kuasa-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Memaknai
Lebaran Dari Sudut Pandang Priayi Dan Wong Cilik Dalam Kumpulan Cerpen Lebaran
Di karet, Di Karet… karya Umar Kayam Suatu Tinjauan Sosiologis”
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada.
1. Bpk. Drs. B. Rahmanto, M. Hum selaku dosen Pembimbing I, terima kasih atas
bimbingan dan dukungannya selama ini berupa nasihat, kritik membangun,
pengertian serta kesediaan Bapak meluangkan waktu sehingga saya dapat
menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu S. E. Peni Adji, S.S., M. Hum selaku dosen Pembimbing II, terima kasih atas
bimbingan dan dukungannya selama ini berupa petunjuk, dorongan serta
koreksinya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak dan Ibu dosen program studi Sastra Indonesia yang telah mendidik dan
membimbing saya dalam menempuh pendidikan di Jurusan Sastra Indonesia
Universitas Sanata Dharma.
4. Pegawai dan Staf Sekretariat Fakultas Sastra atas bantuannya memberikan
informasi yang dibutuhkan penulis sebagai penunjang dalam menyelesaikan
skripsi ini.
vii
5. Pegawai dan Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma atas bantuannya
dalam mencari buku-buku sebagai referensi dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Ayahku Wiji Rusmanto dan Ibuku Yayik Ismiyati, terima kasih atas kasih sayang,
doa serta dorongan baik moral maupun material untuk penulis segera
menyelesaikan skripsi ini.
7. Adikku Yunas Isdwiantoro, sepupu-sepupuku Sinta, Berta, Yason, Glory, dan
Priskaku yang lucu serta seluruh keluarga besarku, terima kasih untuk semuanya.
8. Petrus Ruddy Eppata, kekasih hatiku sekaligus teman terbaik dalam suka dukaku,
thank’s for everything. Kata-katamu selalu memberi arti buat semangatku bahwa
“KEYAKINAN akan sesuatu hal akan mendatangkan suatu KEBENARAN”.
9. Thank,s to Mas Febby yang telah membantuku disaat aku mengalami kekritisan
10. Novi, Kingkin, dan Sherly terima kasih atas dukungan dan semangat buatku untuk
mengejar ketinggalan ini. Keceriaan dan kebersamaan yang terjalin sangat indah
dan penuh makna telah mewarnai hari-hariku.
11. Teman-teman seperjuanganku, Yuni, Atik, Martina, Indah, Zhita, Antok, Dwik,
Gogon, Parto, dan seluruh teman-teman Sastra Indonesia angkatan 2001 yang
tidak bisa kusebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaannya selama ini.
12. Anak-anak kos Gatotkaca 4B (Anggi, Feni, Celsi, Nancy, dan Itin), terima kasih
atas persahabatan yang sudah terjalin.
13. Semua pihak (tanpa terkecuali) yang telah membantu dan mendukung sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih banyak…
viii
Penulis menyadari sepenuhnya skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu,
segala saran dan kritik dari berbagai pihak akan penulis terima dengan senang hati.
Harapannya penulis dapat lebih meningkatkan dan menyempurnakan penelitian ini.
Penulis juga berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Yogyakarta, 24 November 2006
Penulis
ix
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan sepenuh hati dan sesungguhnya, saya menyatakan bahwa skripsi yang
saya tulis ini tidak memuat karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan
dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 24 November 2006
Penulis
Kenas Witriasari
x
ABSTRAK
Witriasari, Kenas. 2006. Memaknai Lebaran dari Sudut Pandang Priayi dan Wong Cilik
dalam Kumpulan Cerpen Lebaran di Karet, di Karet… Karya Umar Kayam
Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
Universitas Sanata Dharma.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana memaknai Lebaran
dari sudut pandang priayi dan wong cilik dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di
Karet… karya Umar Kayam. Metode yang digunakan adalah metode kepustakaan dan
deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologis.
Dalam menganalisis permasalahan, tahap pertama yang diambil adalah
mendeskripsikan alur dan tokoh. Kemudian alur dan tokoh tersebut dideskripsikan
melalui priayi dan wong cilik dalam memaknai Lebaran.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, terdapat
perbedaan antara priayi dan wong cilik dalam memaknai Lebaran. Kedua, dari sudut
pandang priayi dapat diketahui bahwa pemahaman terhadap makna Lebaran sudah
semakin luntur. Lebaran tidak lagi menjadi penanda religiusitas, melainkan telah menjadi
simbol kesepian, kehampaan, kerepotan rumah tangga. Ketiga, dari sudut pandang wong
cilik, Lebaran menyisakan berbagai masalah ekonomi, sosial, dan lain-lain. Lebaran bagi
wong cilik bukan hanya sekadar mudik/pulang kampung sebagai kebahagiaan, melainkan
tempat segala persoalan muncul, seperti kemelaratan, kemiskinan, dan duka sebelum
maupun sesudah Lebaran.
xi
ABSTRACT
Witriasari, Kenas. 2006. The Significance of Lebaran From The Point of View of The
Priayi And Wong Cilik As Seen In The Collection of Short Stories Lebaran di
Karet, di Karet… By Umar Kayam, A Review of Literature Sociology. S1.
Yogyakarta: Indonesian Literature, Faculty of Literature, Sanata Dharma
University .
The objective of this study is to knowing the significance of Lebaran from the
point of view of the priayi and wong cilik as seen in the collection of short stories
Lebaran di Karet, di Karet… by Umar Kayam. Meanwhile, the approach used in this
study is sociology approach.
In analyzing the problems, the writer firstly describes the plot and the characters
in the collection of short stories Lebaran di Karet, di Karet…. Subsequently, the writer
describes the plot and the characters in the story through priayi and wong cilik in viewing
Lebaran. .
The result of this study can be concluded as follows. First, there are differences
between priayi and wong cilik in understanding Lebaran. Second, the comprehension
priayi towards Lebaran has been undermining. Lebaran is no longer valued as sign of
religiosity; instead it has symbolized loneliness, emptiness, and household bustle.
Meanwhile, the Third is Lebaran from the understanding wong cilik has left problems in
economic, social and others. They have not viewed Lebaran as the happy annual
returning home to their village again, but it has also been the time when problem, such as
poverty is arising.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………... i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ……………………... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ……………………………... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………………….. iv
MOTTO …………………………………………………………….. v
KATA PENGANTAR …………………………………………….. vi
PERNYATAAN KEASLIAN …………………………………….. ix
ABSTRAK …………………………………………………………….. x
ABSTRACT …………………………………………………………….. xi
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. xii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………… 3
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………... 3
1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………... 4
1.5 Tinjauan Pustaka ……………………………………………... 4
1.6 Landasan Teori ……………………………………………... 6
1.6.1 Sosiologi Sastra …………………………….. 6
1.6.2 Sosiologi Kebudayaan …………………….. 8
1.6.2.1 Priayi dan Wong Cilik …………………….. 8
1.6.2.2 Makna Lebaran …………………………….. 10
xiii
1.6.3 Alur ……………………………………………... 11
1.6.4 Tokoh ……………………………………………... 14
1.7 Metode Penelitian ………………………………………… 16
1.7.1 Sumber Data ……………………………………........ 16
1.7.2 Metode Penelitian ……………………………........ 16
1.7.3 Populasi dan Sampel Penelitian ……………........ 16
1.8 Sistematika Penyajian ………………………………………… 17
BAB II ANALISIS ALUR DAN TOKOH DALAM KUMPULAN CERPEN
LEBARAN DI KARET, DI KARET… KARYA UMAR KAYAM
2.1 “Ke Solo, Ke Njati” …………………………………….. 19
2.1.1 Alur ……………………………………………... 19
2.1.2 Tokoh ……………………………………………... 23
2.2 “Ziarah Lebaran” ……………………………………… 25
2.2.1 Alur ……………………………………………... 25
2.2.2 Tokoh ……………………………………………… 29
2.3 “Menjelang Lebaran” ……………………………………… 31
2.3.1 Alur ……………………………………………… 31
2.3.2 Tokoh ……………………………………………… 32
2.4 “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang” ……………………… 33
2.4.1 Alur ……………………………………………… 33
2.4.2 Tokoh ……………………………………………… 37
xiv
2.5 “Marti” ………………………………………………………. 39
2.5.1 Alur ………………………………………………. 39
2.5.2 Tokoh ………………………………………………. 41
2.6 “Mbok Jah” ……………………………………………… 42
2.6.1 Alur ……………………………………………….. 42
2.6.2 Tokoh ……………………………………………….. 45
` 2.7 “Lebaran di Karet, di Karet”…………………………………… 46
2.7.1 Alur ……………………………………………….. 46
2.7.2 Tokoh ……………………………………………….. 48
2.8 “Sardi” ……………………………………………………….... 50
2.8.1 Alur ………………………………………………… 50
2.8.2 Tokoh ………………………………………………… 51
BAB III MEMAKNAI LEBARAN DARI SUDUT PANDANG PRIAYI DAN WONG
CILIK DALAM KUMPULAN CERPEN LEBARAN DI KARET, DI KARET…
KARYA UMAR KAYAM ………………………………………… 53
3.1 Lebaran dari Sudut Pandang Priayi ………………………… 55
3.1.1 Kehampaan dan Kesepian ………………………… 55
3.1.2 Kerepotan Rumah Tangga/ Pembantu Mudik ………… 59
3.2 Lebaran dari Sudut Pandang Wong Cilik ………………………… 62
3.2.1 Pulang Kampung ………………………………… 62
3.2.2 Kemelaratan ………………………………………… 65
3.2.3 Duka Lebaran ………………………………………… 68
xv
BAB IV PENUTUP ………………………………………………………… 70
4.1 Kesimpulan ………………………………………………… 70
4.2 Saran ………………………………………………………… 71
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 72
DAFTAR RIWAYAT ………………………………………………… 74
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan media penyampaian yang sifatnya universal artinya
karya sastra dapat menggambarkan keadaan sosial masyarakat atau penyampaian
suatu pokok permasalahan dalam bentuk cerita. Sebagai karya fiksi, cerpen lebih
menggambarkan sebuah cerita serba ringkas tidak sampai pada detail-detail khusus
yang “kurang penting”. Segala hal dikemukakan secara implisit. Karya sastra fiksi
menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu bersifat rekaan, khayalan,
sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh, sehingga ia tidak perlu dicari
kebenarannya (Nurgiyantoro, 1995: 2).
Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya
dengan lingkungan dan sesama. Karya sastra merupakan hasil dialog, kontemplasi,
dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Karya sastra merupakan
karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas
sebagai karya seni. Oleh karena itu, bagaimanapun, fiksi merupakan sebuah cerita,
dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada
pembaca di samping adanya tujuan estetik (Nurgiyantoro, 1995: 3).
Hampir setiap majalah, juga majalah yang tidak ada sangkut-pautnya dengan
kesusastraan ataupun kebudayaan umumnya memuat cerpen setiap terbit, atau bahkan
2
mempunyai ruangan untuk cerpen, walaupun sering cerpen yang dimuatnya bukanlah
cerpen yang berkadar sastra sama sekali. Minat yang berlebih-lebihan terhadap
cerpen ini, bisalah diartikan sebagai tanda bahwa cerpen adalah bentuk sastra yang
paling digemari, lagi pula lapangan pembacanya lebih, bahkan jauh lebih luas
daripada puisi (Rosidi via Eneste, 1983: 15).
Bentuknya yang pendek dan selalu berbicara secara prosaik, di samping
pesona yang diberikannya, mengakibatkan cerita pendek mudah dibaca, mudah
diikuti dan mudah dinikmati (Sumardjo via Eneste, 1983: 29). Dalam penelitian ini,
penulis mengangkat cerita dari kumpulan cerpen karya Umar Kayam yang berjudul
Lebaran di Karet, di Karet... . Ada tigabelas cerpen di dalam kumpulannya, namun
peneliti hanya mengambil delapan cerita saja dalam kumpulan ini. Delapan cerpen
yang akan diteliti mempunyai keterkaitan cerita yang hampir sama, yaitu sama-sama
menceritakan mengenai lebaran. Delapan cerpen dalam kumpulan cerpen Lebaran di
Karet, di Karet... berkisah seputar Lebaran dengan segala liku-likunya. Segala liku-
liku dalam memaknai Lebaran dari sudut pandang priayi dan wong cilik.
Ada beberapa faktor mengapa penulis memilih kumpulan cerpen Lebaran di
Karet, di Karet... karya Umar Kayam. Pertama, dalam cerpen-cerpennya, Umar
Kayam senantiasa menunjukkan simpatinya yang besar terhadap nyaris semua
tokohnya. Ia mencoba memahami dan bertepa selira dengan nasib serta situasi tokoh-
tokohnya. Berbagai peristiwa juga disajikan dalam urutan tertentu, dan peristiwa yang
diurutkan itu membangun tulang punggung cerita yaitu alur. Kedua, penulis ingin
mengungkapkan secara rinci situasi dan kondisi saat lebaran tiba dari sudut pandang
3
priayi dan wong cilik dalam kumpulan cerpen karya Umar Kayam. Priayi dan wong
cilik tidak bisa dilepaskan begitu saja dalam lingkungan kebudayaan Jawa. Priayi
adalah lapisan atas dalam masyarakat Jawa, dan fungsinya baru jelas jika di
sekelilingnya ada wong cilik. Ini sekaligus mengisyaratkan adanya suatu hal dalam
kebudayaan Jawa, yaitu terlihat garis batas (yang sering sangat tegas) antara priayi
dan wong cilik. Penulis ingin mengungkapkan antara priayi dan wong cilik dari segi
mereka memaknai Lebaran dalam kumpulan cerpen ini.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk memudahkan penelitian dan merumuskan penelitian ini, penulis akan
merumuskan masalah sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimanakah alur dan tokoh cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen
Lebaran di Karet, di Karet... karya Umar Kayam?
1.2.2 Bagaimanakah priayi dan wong cilik memandang dan memaknai Lebaran
dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet... karya Umar Kayam?
1.3 Tujuan Penelitian
Bertolak dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1.3.1 mendeskripsikan alur dan tokoh cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen
Lebaran di Karet, di Karet... karya Umar Kayam,
1.3.2 mendeskripsikan priayi dan wong cilik memandang dan memaknai Lebaran
dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet... karya Umar Kayam.
4
1.4 Manfaat Penelitian
Suatu penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat, baik itu manfaat
secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat penelitian tersebut sebagai
berikut :
1.4.1 Manfaat Teoritis
Kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet... karya Umar Kayam dapat
memberikan gambaran mengenai priayi dan wong cilik memaknai lebaran dalam
kebudayaan Jawa. Penelitian ini adalah pengkajian mengenai bagaimana priayi dan
wong cilik memaknai, memahami, menghayati, serta menyiasati Lebaran. Hasil
penelitian ini dimaksudkan untuk menambah dan memperkaya khasanah penelitian
sastra Indonesia khususnya analisis kumpulan cerpen dengan pendekatan sosiologi
sastra.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan apa saja yang
melatarbelakangi bagaimana cara priayi dan wong cilik memaknai, menghayati, serta
menyiasati Lebaran dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet... karya
Umar Kayam. Manfaat praktis ini dapat dijadikan cermin dalam diri pembaca apabila
menghadapi keadaan tersebut.
1.6 Tinjauan Pustaka
Mengutip ulasan kupas buku oleh Sjaiful Masri, Pengelola Situs Sriti.com
dengan judul “Di Setiap Lebaran....” (Matabaca, November 2005) yang mengatakan
bahwa Kayam menyimpan puasa dan Lebaran sebagai hal yang menghadirkan
5
problem sosial. Kendati dengan cara yang sederhana, Kayam menyentuh Lebaran
dengan kepekaannya sebagai pencerita ulung.
Damono dengan “Glenyengan Umar Kayam” dalam buku Umar Kayam
“Sugih Tanpa Banda: Mangan Ora Mangan Kumpul 2”, mengatakan bahwa
priyagung adalah lapisan atas dalam masyarakat Jawa. Dalam gleyengannya,
priayagung fungsinya baru jelas jika disekelilingnya ada wong cilik. Ini
mensyaratkan kehadiran wong cilik, sebab glenyengan baru terasa kekhasan dan daya
gunanya hanya jika berlangsung antara priayi dan wong cilik.
Sobary dengan tulisannya “Ki Ageng Memandang Dunia” dalam buku Umar
Kayam “Madhep Ngalor Sugih; Madhep Ngidul Sugih: Mangan Ora Mangan
Kumpul 3”, mengatakan bahwa tema dalam kolom-kolomnya sederhana. Tema,
umumnya menyangkut perkara biasa dalam hidup sehari-hari. Tulisan-tulisannya
menggambarkan model masyarakat dua kelas yaitu kelas priayi, yang menghuni
struktur atas, dan kelas kawula, orang biasa, penghuni struktur bawah dalam
masyarakat.
Fahrizal dalam esainya “Para Priyayi Dalam Para Priyayi” (Horison-
XXXIV/3/2001) menjelaskan tentang siapakah priayi itu? Kayam mendefinisikan
priyayi sebagai orang Jawa yang berhasil duduk dalam jenjang pemerintahan, tidak
peduli apakah pemerintahan gupermen atau kerajaan Jawa. Pada galibnya, bagi wong
cilik, di balik sebutan priyayi itu ada sejumlah obsesi dan ambisi, di samping sebuah
kata kunci: pencapaian.
6
Rahman dalam esainya “Representasi Priyayi Dalam Dua Novel Kita”
(Horison XXXIV/3/2001) menyimpulkan adanya dunia priayi dan wong cilik.
Pertama, cita ideal priyayi adalah pengangkat derajat wong cilik. Sebagai kelas sosial
yang lebih tinggi, secara moral, priayi bertanggungjawab untuk menyelamatkan
lapisan sosial di bawah mereka, yang sangat tertinggal baik secara ekonomi maupun
pendidkan. Kedua, kelas sosial priayi bukanlah monopoli orang-orang berdarah biru,
melainkan dimungkinkan tumbuh dari keluarga berdarah non-biru, meskipun dalam
hal ini “hanyalah” priayi rendah. Dengan begitu , priayi meliputi lingkup yang lebih
luas, mencakup orang-orang terdidik.
Rahmanto dalam bukunya yang membahas “Umar Kayam: Karya Dan
Dunianya”, mengatakan bahwa ada hubungan antarmanusia dalam Lebaran Di Karet,
Di Karet...
1.7 Landasan Teori
1.7.1 Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam
masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari
tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan
bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala
masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain yang kesemuanya itu
merupakan struktur sosial-kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses
7
pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing
(Damono, 1979: 7).
Tentang hubungan antara sosiologi dan sastra, (Swingewood via Damono
1972: 15) mengetengahkan pandangan yang lebih positif. Ia tidak berpihak pada
pandangan yang menganggap sastra sebagai sekadar bahan sampingan saja.
Swingewood menyadari bahwa sastra diciptakan pengarang dengan menggunakan
seperangkat peralatan tertentu, dan seandainya sastra memang merupakan cermin
masyarakatnya, apakah pencerminan itu tidak rusak oleh penggunaan alat-alat sastra
itu secara murni? (Damono, 1979: 14).
Pengarang besar tentu saja tidak sekadar menggambarkan dunia sosial secara
mentah. Ia mengemban tugas yang mendesak: memainkan tokoh-tokoh ciptaannya itu
dalam suatu situasi rekaan agar mencari “nasib” mereka sendiri-untuk selanjutnya
menemukan nilai makna dalam dunia sosial. Sastra karya pengarang besar
melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia; oleh karena itu barangkali, ia
merupakan salah satu barometer sosiologis yang paling efektif untuk mengukur
tanggapan terhadap kekuatan-kekuatan sosial. Selain itu, karena sastra juga akan
selalu mencerminkan nilai-nilai dan perasaan sosial, dapat diramalkan bahwa
semakin sulit nantinya mengadakan analisis terhadap sastra sebagai cermin
masyarakatnya sebab masyarakat semakin sulit (Damono, 1979: 14).
1.7.2 Alur
Plot dalam cerpen umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu urutan peristiwa
yang diikuti sampai cerita berakhir (bukan selesai, sebab banyak cerpen, juga novel,
8
yang tidak berisi penyelesaian yang jelas, penyelesaian diserahkan kepada
interprestasi pembaca). Urutan peristiwa dapat dimulai dari mana saja, misalnya dari
konflik yang telah meningkat, tidak harus bermula dari tahap perkenalan (para) tokoh
atau latar. Kalaupun ada unsur perkenalan tokoh dan latar, biasanya tak
berkepanjangan. Berhubung berplot tunggal, konflik yang dibangun dan klimaks
yang akan diperoleh pun, biasanya, bersifat tunggal pula (Nurgiyantoro, 1995: 13).
Pengertian plot itu sendiri adalah hubungan antarperistiwa yang dikisahkan itu
haruslah bersebab akibat, tidak hanya sekadar berurutan secara kronologis saja.
Berbagai pengertian tentang plot yang dikemukakan orang pun, walau berbeda dalam
hal perumusan, biasanya mempergunakan kata “kunci” peristiwa-peristiwa yang
berhubungan sebab akibat itu (Nurgiyantoro, 1995: 112-113).
Peristiwa, konflik, dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat esensial
dalam pengembangan sebuah plot cerita. Eksistensi plot itu sendiri sangat ditentukan
oleh ketiga unsur tersebut. Demikian pula halnya dengan masalah kualitas dan kadar
kemenarikan sebuah cerita fiksi. Ketiga unsur itu mempunyai hubungan yang
mengerucut : jumlah cerita dalam sebuah karya fiksi banyak sekali, namun belum
tentu semuanya mengandung dan atau merupakan konflik, apalagi konflik utama.
Jumlah konflik juga relatif masih banyak, namun hanya konflik(-konflik) utama
tertentu yang dapat dipandang sebagai klimaks (Nurgiyantoro, 1995: 116-117 ).
Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang
lain (Luxemburg dkk via Nurgiyantoro, 1995: 117). Berdasarkan pengertian itu, kita
9
akan dapat membedakan kalimat-kalimat tertentu yang menampilkan peristiwa
dengan yang tidak. Peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam karya fiksi pastilah
banyak sekali, namun tidak semua peristiwa tersebut berfungsi sebagai pendukung
plot. (Nurgiyantoro, 1995: 117).
Konflik (conflict), yang notabene adalah kejadian yang tergolong penting
(jadi, ia akan berupa peristiwa fungsional, utama, atau kernel) merupakan unsur yang
esensial dalam pengembangan plot. Pengembangan plot sebuah karya naratif akan
dipengaruhi-untuk tidak dikatakan: ditentukan-oleh wujud dan isi konflik, bangunan
konfik yang ditampilkan. Misalnya, peristiwa-peristiwa manusiawi yang seru, yang
sensasional, yang saling berkaitan satu dengan yang lain dan menyebabkan
munculnya konflik(-konflik) yang kompleks, biasanya cenderung disenangi pembaca.
Peristiwa dan konfik biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya
satu dengan yang lain, bahkan konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa. Ada
peristiwa tertentu yang dapat menimbulkan terjadinya konflik. Sebaliknya, karena
terjadi konfik, peristiwa-peristiwa lain pun dapat bermunculan, misalnya yang
sebagai akibatnya. Konfik utama biasanya berhubungan erat dengan makna yang
ingin dikemukakan pengarang: tema (utama) cerita. Usaha menemukan dan
memahami konfik utama sebuah cerita, dengan demikian, amat membantu untuk
menemukan dan memahami makna yang dikandungnya (Nurgiyantoro, 1995: 122-
124).
Konflik dan klimaks merupakan hal yang amat penting dalam struktur plot,
keduanya merupakan unsur utama plot pada karya fiksi. Klimaks hanya
10
dimungkinkan ada dan terjadi jika ada konflik. Namun, tidak semua konflik harus
mencapai klimaks-hal itu mungkin sejalan dengan keadaan bahwa tidak semua
konflik harus mempunyai penyelesaian (Nurgiyantoro, 1995: 126-127).
Klimaks menurut (Stanton via Nurgiyantoro 1995: 127), adalah saat konflik
telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang
tak dapat dihindari kejadiannya. Artinya, berdasarkan tuntutan dan kelogisan cerita,
peristiwa dan saat itu memang harus terjadi, tidak boleh tidak. Klimaks sangat
menentukan (arah) perkembangan plot. Klimaks merupakan titik pertemuan antara
dua (atau lebih) hal (keadaan) yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana
permasalahan (konflik itu) akan diselesaikan (Nurgiyantoro, 1995: 127).
Klimaks berbeda dengan yang ada pada cerita pendek. Pada cerpen,
berhubung hanya menampilkan satu konflik utama, peristiwa mana yang dapat
dipandang sebagai klimaks secara relatif lebih mudah ditentukan atau disepakati.
Namun, sebagai bahan perhatian dan pertimbangan, klimaks (utama) sebuah cerita
akan terdapat pada konflik utama, dan hal itu akan diperani oleh tokoh(-tokoh) utama
cerita. Peristiwa-peristiwa-konflik itu biasanya tak mudah untuk dibedakan mana
yang lebih penting (baca: lebih tepat untuk dinyatakan sebagai klimaks) dari yang
lain, sehingga semuanya mempunyai peluang yang sama untuk dianggap sebagai
klimaks. Dalam hal ini kejelian kita dituntut untuk menentukan konflik mana yang
lebih penting dalam hubungannya dengan bangunan plot secara keseluruhan
(Nurgiyantoro, 1995: 127-128).
11
1.7.3 Tokoh
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan
dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988: 16). Semua unsur cerita
rekaan, termasuk tokohnya, bersifat rekaan semata-mata. Tokoh itu ada di dalam
dunia nyata tidak ada. Boleh jadi ada kemiripan dengan individu tertentu di dalam
hidup ini; artinya, ia memiliki sifat-sifat yang sama dengan seseorang yang kita kenal
di dalam hidup kita. Memang, supaya tokoh dapat diterima pembaca, ia hendaklah
memiliki sifat-sifat yang dikenal pembaca, yang tidak asing baginya, bahkan yang
mungkin ada pada diri pembaca itu sendiri. Dengan kata lain harus ada relevansi
tokoh itu dengan pembaca (Sudjiman, 1988: 17).
Dilihat dari segi peranan dan tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita,
dibagi menjadi dua bagian, yaitu tokoh utama (main character) dan tokoh tambahan
(peripheral character). Tokoh utama (main character) adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya. Ia merupakan tokoh yang paling sering diceritakan. Sedangkan tokoh
tambahan (peripheral character) adalah tokoh yang hanya dimunculkan beberapa kali
saja dan dalam porsi pendek (Nurgiyantoro, 1995: 176).
Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan
dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara
keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik,
penting yang mempengaruhi perkembangan plot. Di pihak lain, pemunculan tokoh-
12
tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan
kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama (Nurgiyantoro,
1995: 177).
1.7.4 Priayi dan Wong Cilik
Konsep priayi yang menunjuk kepada golongan sosio-kultural mengandung
pengertian bahwa golongan itu perlu diidentifikasikan dengan lapisan atau kelas Di
sini konsep pribumi jelas menunjukkan perbedaan antara priayi dan wong cilik.
Kedudukan priayi sebagai golongan elit perlu ditinjau dalam konteks struktur sosial
masyarakat tradisional-kolonial (Kartodirdjo, 1987: 1-2).
Menurut van Niel (via Kartodirdjo, 1987: 4), golongan priayi sebagai
kelompok sosial di sekitar tahun 1900 adalah golongan elit, yaitu siapa saja yang
berdiri di atas rakyat jelata, yang dalam beberapa hal memimpin, memberi pengaruh,
mengatur dan menuntun masyarakat. Administratur, pegawai pemerintahan dan
orang-orang yang berpendidikan dan berkedudukan lebih baik, mereka adalah priayi.
Keturunan tidak menjadi unsur penting; unsur yang terutama bagi golongan priayi
adalah fungsi pada administrasi pemerintahan tertentu. Sedangkan menurut Greertz
(via Kartodirdjo 1987: 9), priayi adalah kelompok sosial – dari mana asal warganya
tidak menjadi soal – yang mempunyai tingkah laku dan mempunyai nilai-nilai hidup
sendiri.
Dalam bukunya Kebudayaan Jawa, Koentjaraningrat (via Kartodirdjo, 1987:
9-10) mengatakan bahwa pegawai-pegawai negeri sebelum Perang Dunia II
dinamakan priyayi. Pada waktu itu dibedakan antara priayi pangrehpraja dan priayi
13
bukan pangrehpraja. Golongan priayi pangrehpraja adalah pejabat-pejabat
Pemerintahan Daerah, yaitu orang-orang yang terpenting dan yang paling tinggi
gengsinya di antara priayi lainnya, yang disebabkan karena sifat kebangsawanan
mereka. Golongan priayi yang kedua adalah golongan orang-orang terpelajar, yang
berasal dari daerah pedesaan atau daerah golongan tiyang alit di kota yang berhasil
mencapai kedudukan pegawai negeri melalui pendidikan (Mujiran,2006).
Setiap kali Lebaran, pengalaman wong cilik saat masih tinggal di desa, sangat
sederhana. Saat sebelum wong cilik belum mengadu nasib dan bekerja di Jakarta.
Pengalamanan hidup di desa, hidup berdampingan dengan sesama saudara secara
damai, penuh kebersamaan dan kekeluargaan. Kesederhanaan wong cilik sebagai
orang desa tetap terlihat saat wong cilik bekerja di kota (Mujiran, 2006).
Lebaran seperti ini biasanya dimulai dengan puasa Ramadhan yang dihormati
semua kalangan. Kesederhanaan wong cilik sebagai orang desa, dan tantangan alam
yang keras menyebabkan mereka harus survive bekerja di Jakarta. Wong cilik
menghadapi kerasnya hidup, sukarnya bertahan hidup dalam kondisi sulit pada saat
Lebaran tiba. Dalam kacamata wong cilik, semua masalah bisa dipecahkan, dicari
jalan pemecahan yang berguna dalam hidup bersama (Mujiran, 2006).
Sudah menjadi ciri masyarakat Jawa, kecenderungan menengok ke belakang,
memandang masa lampau, dan menatap ke dalam sangat kuat. Koentjaraningrat
(1969), membagi ciri mental manusia Indonesia menjadi dua, yaitu mental petani
(wong cilik) dan priayi. Mental petani itu dicirikan dari anggapan bahwa hidup itu
buruk, penuh dosa, dan kesengsaraan, tetapi wajib menyadari keburukan itu dengan
14
berlaku prihatin, dan wajib berbuat sebaiknya dengan usaha dan ikhtiar (Subandriyo,
2005).
1.7.5 Makna Lebaran
Sesudah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh, umat Islam
merayakan hari raya Idul Fitri atau Lebaran. Kira-kira seminggu sampai beberapa
hari sebelum hari raya, banyak orang pulang kampung untuk merayakan Idul Fitri
bersama dengan keluarga dan kerabat dekat. Tradisi pulang kampung ini disebut
mudik. Karena kebanyakan orang Indonesia mudik dengan transportasi umum
sebelum dan sesudah hari raya.
Fenomena mudik yang telah berlangsung puluhan tahun ini juga menunjukkan
bahwa hubungan emosional masyarakat dengan tempat kelahiran masih sangat kuat,
tidak pernah terkikis oleh perjalanan waktu. Di negara maju, seperti Amerika Serikat
(AS) juga terdapat tradisi semacam mudik seperti yang dilakukan masyarakat
Indonesia dan dikenal dengan istilah home-coming. Fenomena mudik masyarakat
Indonesia, utamanya masyarakat Jawa, juga dilatarbelakangi oleh kecenderungan
inward-looking yang sangat kuat (Subandriyo, 2005).
Momen Lebaran mampu menyedot perhatian semua kelompok dan lapisan
masyarakat sehingga kedatangannya senantiasa dinanti-nanti. Daya tarik Lebaran
bagi semua kelompok dan lapisan masyarakat ada dua hal. Pertama, momen Lebaran
mampu menciptakan kembali suasana kehidupan yang penuh dengan rasa solidaritas
sosial. Bagi masyarakat di abad milenium yang berhari-hari terbiasa hidup soliter,
egois, dan tak saling menyapa, mereka niscaya akan merasakan kerinduan yang sama
15
untuk membangun kembali suasana perjumpaan sosial yang pernah mereka rasakan
ketika kecil atau pada saat mereka masih tinggal di desa. Untuk itulah, bisa kita
pahami mengapa setiap kali Lebaran hendak tiba, puluhan juta penduduk tanpa kenal
lelah dan tanpa berhitung panjang rela menghabiskan sebagian tabungannya yang
telah susah payah dikumpulkan untuk biaya mereka pulang. Kedua, hal ini
disebabkan pada hari Lebaran interaksi sosial yang terbangun layaknya sebuah zona
sosial yang relatif netral (Suyanto,2004).
Di hari Lebaran, tidak peduli apakah seseorang disebut santri, priayi, atau
abangan, mereka semua memiliki kesempatan untuk saling menyapa dan
bercengkerama layaknya kerabat dekat yang sudah sekian puluh tahun tak ketemu.
Bahkan, orang yang berbeda ideologi dan berbeda partai politik, ketika Lebaran tiba,
maka tiba-tiba saja batas itu menjadi lenyap. Hakikat Lebaran di sini memang bukan
hanya berarti tercerahkannya kembali fitrah manusia. Namun, secara sosiologis,
Lebaran juga bermakna terjalinnya kembali tali persaudaraan dan tumbuhnya
semangat pluralisme (Suyanto, 2004).
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Sumber Data
Sumber data penelitian ini berupa kumpulan cerpen, dengan spesifikasi
sebagai berikut :
a. Judul Buku : Lebaran di Karet, di Karet...
b. Pengarang : Umar Kayam
16
c. Terbitan : Penerbit Buku Kompas, Jakarta November 2002
d. Tebal Buku : 99 halaman
1.8.2 Metode Penelitian
Metode penelitian dapat diperoleh melalui gabungan dua metode, dengan
syarat kedua metode tidak bertentangan. Metode deskriptif analitik dilakukan dengan
cara mendeskripsikan sesuatu hal yang kemudian disusul dengan analisis. Secara
etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Analisi yang berasal dari
bahasa Yunani analyein (‘ana’ = atas, ‘lyein’ = lepas, urai), telah diberikan arti
tambahan, tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman
dan penjelasan secukupnya (Ratna, 2004: 53).
1.8.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Dalam penelitian ini, populasi penelitian adalah seluruh cerpen dalam
kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet... karya Umar Kayam. Kumpulan cerpen
terdiri dari tiga belas cerpen yang pernah dimuat dalam surat kabar kecuali “Sardi”
yang belum pernah dipublikasikan, yaitu “Ke Solo, ke Njati” (Kompas, 21 April
1991), “Ziarah Lebaran” (Kompas, 20 Maret 1994) “Menjelang Lebaran” (Kompas,
25 Januari 1998), “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang” (Kompas, 17 Januari 1999),
“Marti” (Kompas, 5 Maret 1995), “Mbok Jah” (Republika, 20 Maret 1994),
“Lebaran di Karet, di Karet” (Kompas, 24 Desember 2000), “Sardi” (belum pernah
dipulikasikan), “There Goes Tatum” (Kompas, 23 Maret 1970), “Sphinx” (Kompas,
15 September 1996), “Raja Midas”(Kompas, 22 Desember 1996), “Parta Krama”
(Kompas, 23 Feruari 1997), “Drs Citraksi & Drs Citraksa” (Kompas, 2 Maret 1997).
17
Sampel dalam penelitian ini adalah delapan cerpen dari seluruh populasi. Delapan
cerpen ini diambil penulis karena mempunyai keterkaitan cerita mengenai Lebaran.
Delapan cerpen ini mengisahkan seputar Lebaran dengan segala liku-likunya. Liku-
liku Lebaran dialami oleh priayi dan wong cilik dalam memaknai Lebaran.
Kehampaan, kebahagiaan, kegalauan, kemelaratan, dan kemiskinan yang dialami oleh
priayi dan wong cilik saat memaknai Lebaran diceritakan dalam kumpulan Lebaran
di Karet, di Karet... karya Umar Kayam ini. Berikut judul delapan cerpen karya Umar
Kayam yang menjadi sampel dalam penelitian ini, “Ke Solo, ke Njati” (Kompas, 21
April 1991), “Ziarah Lebaran” (Kompas, 20 Maret 1994), “Menjelang Lebaran”
(Kompas, 25 Januari 1998), “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang” (Kompas, 17 Januari
1999), “Marti” (Kompas, 5 Maret 1995), “Mbok Jah” (Republika, 20 Maret 1994),
“Lebaran di Karet, di Karet” (Kompas, 24 Desember 2000), “Sardi” (belum pernah
dipublikasikan).
1.9 Sistematika Penyajian
Penelitian ini akan disajikan dalam beberapa bab. Bab pertama berupa
pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian, landasan teori dan sistematika penyajian. Bab
kedua berisi analisis alur dan tokoh dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di
Karet… karya Umar Kayam. Bab ketiga berisi analisis priayi dan wong cilik dalam
memaknai Lebaran dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet… karya Umar
Kayam. Bab keempat berupa penutup yaitu berisi kesimpulan hasil penelitian dan
18
saran. Bagian terakhir penelitian ini terdiri dari daftar pustaka yang menjadi acuan
dalam penelitian ini.
19
BAB II ANALISIS ALUR DAN TOKOH DALAM KUMPULAN CERPEN
LEBARAN DI KARET, DI KARET… KARYA UMAR KAYAM
Kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet… karya Umar Kayam terdiri
atas tigabelas judul. Namun, penulis hanya mengambil delapan dari tigabelas cerpen
karya Umar Kayam ini. Delapan cerpen tersebut ialah “Ke Solo, Ke Njati”, “Ziarah
Lebaran”, “Menjelang Lebaran”, “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang”, “Marti”,
“Mbok Jah”, “Lebaran di Karet, di Karet”, “Sardi”. Delapan cerpen tersebut
mempunyai keterkaitan cerita mengenai Lebaran dari sudut pandang priayi dan wong
cilik. Delapan cerpen tersebut akan dianalisis alur dan tokoh dengan menceritakan
kehidupan setiap tokoh beserta peristiwa-peristiwa dan konflik-konflik yang terjadi.
2.1. “Ke Solo, ke Njati”
2.1.1 Alur
Cerpen ini menceritakan wong cilik dalam menyambut Lebaran. Banyak
orang pulang kampung untuk merayakan Lebaran bersama keluarga dan kerabat
dekat. Tradisi pulang kampung inilah disebut dengan mudik. Di Indonesia, orang
mudik menggunakan angkutan umum. Sehingga alat transportasi menjadi masalah
umum pada saat sebelum dan sesudah Lebaran.
Cerpen “Ke Solo, ke Njati”, cerita diawali dengan penggambaran tokoh ibu
dengan kedua anaknya yang hijrah ke Jakarta. Tokoh ibu bekerja sebagai pembantu
rumah tangga di Jakarta. Ia dan kedua anaknya menempati kamar sewaan yang
20
kumuh di bilangan Kali Malang Jakarta. Pada saat Lebaran, tokoh ibu dalam cerpen
“Ke Solo, ke Njati” dengan kedua anaknya juga akan mudik ke Jawa.
Pada saat Lebaran, tokoh ibu dan dua anaknya (Ti dan si bungsu) sudah
memiliki karcis bus menuju Wonogiri. Namun, mereka tidak bisa mudik karena tak
pernah mampu masuk bus yang akan mereka tumpangi karena sangat banyak calon
pemudik di terminal bus pada hari pertama Lebaran. Mereka mencobanya lagi pada
saat hari kedua Lebaran. Namun, hari kedua Lebaran justru malah semakin penuh
sesak dan berjubel. Peristiwa demi peristiwa disuguhkan pengarang dalam cerpen ini.
Ternyata pada hari pertama dan kedua Lebaran masih banyak orang yang mudik.
Logikanya, mudik dilakukan sebelum Lebaran tiba karena pada saat Lebaran mereka
harusnya melakukan ritual Lebaran, seperti, sholat Ied dan sungkeman. Celakanya,
tokoh ibu dan dua anaknya (Ti dan si bungsu) mengalami kesemrawutan saat mudik,
itu terjadi bukan beberapa hari menjelang Lebaran, tetapi justru pada hari pertama
dan kedua Lebaran.
Dari serangkaian peristiwa di atas, tokoh ibu dan kedua anaknya (Ti dan si
bungsu), dengan ber-gentenyong-an barang, tidak mampu berdempet-dempetan
dengan orang lain dan selalu terpinggirkan alias selalu gagal untuk bisa dapat masuk
ke dalam bus.
Pada bagian berikutnya digambarkan suami tokoh ibu sudah meninggal.
Secara flash back dikemukakan peristiwa akan kematian suaminya yang meninggal
saat bekerja sebagai buruh bangunan. Terjadi pergolakan batin tokoh ibu yang
kehilangan suaminya tiga tahun lalu saat bekerja sebagai buruh bangunan.
21
Seandainya suami dari tokoh ibu tidak meninggal saat bekerja sebagai buruh
bangunan, si ibu mungkin tidak kerepotan dengan dua anak yang masih kecil-kecil
yang akan mudik menggunakan bus. Akhirnya mereka terpaksa “pulang ke kamar
sewaan yang terselip di tengah kampung agak kumuh di bilangan Kali Malang”
(halaman. 2).
Setelah berbagai peristiwa demi peristiwa yang dikisahkan oleh pengarang
dalam cerpen “Ke Solo, Ke Njati” ini, konflik muncul dan berkembang. Tokoh ibu
yang gagal mudik karena tak bisa masuk dalam bus jurusan Wonogiri yang penuh
sesak, jelas tak mau mengecewakan kedua anaknya (Ti dan si bungsu) yang sudah
mencoba mudik di hari pertama dan kedua Lebaran , meskipun akhirnya gagal.
Tokoh ibu berjanji akan mengajak kedua anaknya (Ti dan si bungsu) ke Kebun
Binatang, esoknya. Namun, ia bingung akan memakai uang apa untuk dapat pergi
kesana bersama anak-anaknya. Uangnya ludes, habis tak tersisa karena dipakai untuk
membeli karcis dari calo, jajan, oleh-oleh, dan ongkos bolak-balik naik bajaj.
Pengarang diakhir cerita memberikan dua penyelesaian sekaligus dari
berbagai peristiwa yang dialami tokoh-tokohnya, konflik (pergolakan batin) ibu dan
juga klimaks. Pengarang melakukan penyelesaian simbolik, dengan, antara lain,
menciptakan suatu dunia imajiner tempat masalah yang mereka hadapi dapat hilang
dan terselesaikan. Pertama, kegagalan dan kekecewaan kedua anaknya (Ti dan si
bungsu) yang masih kecil-kecil diselesaikan dengan menciptakan sebuah lagu. Lagu
ini ciptaan mereka yang telah gagal mudik di hari pertama dan kedua Lebaran. Lagu
ciptaan mereka yang mereka beri judul “Solo, Solo, Solo. Njati, Njati, Njati…..”
22
(hlm. 7), dapat menggambarkan bahwa mereka seolah-olah sedang atau sudah pulang
kampung. Kedua, tokoh ibu yang juga gagal mudik bersama dua orang anaknya,
akhirnya menyelesaikan semua masalahnya dengan memutuskan kembali ke rumah
majikannya. Itulah sebabnya, nyonya rumah dalam cerpen “Ke Solo, ke Njati”
sangat senang ketika pembantunya (tokoh ibu) itu tidak jadi mudik karena tak bisa
masuk ke bus yang akan mengangkutnya ke Wonogiri. “To , saya bilang apa. Saya
bilang apa. Sokur tidak dapat bis kamu. Ayo sini bantu kami sini. Tuh piring-piring
kotor masih menumpuk di dapur. Sana….” (hlm. 7).
Jika dilihat dari keseluruhan jalan cerita dalam cerpen “Ke Solo, ke Njati”,
maka alur dalam cerpen ini adalah alur sorot balik atau flash back. Urutan peristiwa
yang diceritakan tidak kronologis. Penceritaan di awali peristiwa tokoh Ibu yang
mempunyai dua anak yang masih kecil-kecil (Ti dan si bungsu), ingin mudik
Lebaran. Alat transportasi (bus) yang digunakan Ibu dan kedua anaknya untuk mudik
penuh sesak dan berjejal pada hari pertama dan kedua Lebaran. Pada bagian
berikutnya digambarkan secara flash back tentang suami dari tokoh ibu. Sang suami
yang bekerja sebagai buruh bangunan, meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan
saat bekerja. Kemudian cerita kembali ke masa kini, konflik mulai muncul dan
berkembang. Oleh-oleh yang sudah dibeli, karcis beli dari calo, jajan, ongkos bolak-
balik bajaj dan semua uang habis terkuras. Akhirnya, mereka benar-benar batal mudik
dan memutuskan kembali pulang ke kamar sewaan yang kumuh di bilangan Kali
Malang. Sang Ibu berjanji pada kedua anaknya, ia akan menggantinya dengan pergi
ke Kebon Binatang, meski ia tak tahu akan pakai uang apa nanti untuk pergi ke
23
Kebon Binatang. Pengarang diakhir cerita memberikan dua penyelesaian sekaligus.
Pertama, kegagalan dan kekecewaan kedua anaknya (Ti dan si bungsu) , diselesaikan
dengan menciptakan sebuah lagu. Kedua, tokoh ibu yang hanya bisa nrimo dan
pasrah, akhirnya menyelesaikan semua masalahnya dengan kembali ke rumah
majikannya.
2.1.2 Tokoh
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita,
Nurgiyantoro (1995: 176) membagi tokoh menjadi dua bagian, yaitu tokoh utama
(main character) dan tokoh tambahan (peripheral character). Yang termasuk tokoh
utama (main character) dalam cerpen “Ke Solo, ke Njati” adalah tokoh Ibu. Tokoh
ibu dalam cerpen ini merupakan tokoh penting yang paling sering diceritakan dan
selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Tokoh ibu ditampilkan terus menerus
dari awal cerita, tengah, maupun diakhir cerita sehingga mendominasi hampir seluruh
bagian dalam cerita.
Tokoh ibu digambarkan sangat kuat dalam cerpen ini. Tokoh ibu dengan dua
anak (Ti dan si bungsu) yang masih kecil-kecil harus hidup dengan serba keterbatasan
dikota besar yaitu Jakarta. Mereka bisa disebut sebagai wong cilik karena tokoh ibu
bekerja banting tulang sebagai pembantu rumah tangga untuk menyambung hidup.
Sang suami meninggal saat bekerja tiga tahun lalu. Karakter dari tokoh ibu yang
nrimo dan pasrah dalam menghadapi dan memeperjuangkan hidup sangat kuat.
Misalnya, saat ia dan dua anaknya gagal naik bus saat hari pertama Lebaran, mereka
mencobanya lagi di hari kedua Lebaran meskipun gagal. Dengan kegagalan ini, tokoh
24
ibu tetap tegar menghadapi semua permasalahan Tokoh ibu tidak berdiam diri, ia
akhirnya memutuskan kembali ke rumah majikannya.
Tokoh ibu diceritakan melalui peristiwa demi peristiwa secara terus menerus
dan juga mendominasi diawal cerita. Dalam peristiwa yang diceritakan, terdapat juga
tokoh tambahan yang mendukung cerita. Tokoh tambahan adalah Ti (berumur enam
tahun) dan si bungsu. Berikut kutipannya.
“Bis jurusan Wonogiri mulai bergerak meninggalkan terminal. Habis sudah harapannya untuk ikut dan terangkut. Orang begitu berjejal, berebut masuk. Tidak mungkin dia akan dapat peluang, betapa pun kecil itu, untuk dapat menyeruak masuk di antara desakan berpuluh manusia yang mau naik. Bawaannya ber-genteyong-an di pundak dan punggungnya, belum lagi tangannya yang mesti menggandeng kedua anak-anaknya yang masih kecil.” “Bu, kita jadi mudik ke Njati, ya, Bu?Anaknya yang besar, yang berumur enam tahun, bertanya.” “Wah nampaknya susah, Ti. Lihat tuh penuhnya orang.” “Kita nggak jadi mudik, ya, Bu.” (halaman 1-2)
Setelah tidak berhasil naik bus untuk mudik, tokoh ibu sebagai tokoh utama
tetap diceritakan secara terus menerus sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai
kejadian.
“Pulang. Itu berarti pulang ke kamar sewaan yang terselip di tengah kampung yang agak kumuh di bilangan Kali Malang. Anak-anaknya yang sudah lelah menurut saja digandeng ibunya dan kemudian didorong masuk ke sebuah bajaj yang pada sore hari itu memungut biaya entah berapa kali lipat daripada biasa. Anaknya yang kecil langsung tidur begitu bajaj bergerak. Anaknya yang besar diam, entah membayangkan atau memikirkan apa.” (halaman 3)
25
Tokoh utama dalam cerpen “Ke Solo, ke Njati” senantiasa hadir dalam setiap
kejadian dan peristiwa. Diakhir cerita pun, tokoh utama masih ditampilkan dan
menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.
“Di gedong, nyonya rumah berteriak waktu melihat dia masuk rumah lewat pintu samping.” “To, saya bilang apa. Saya bilang apa. Sokur tidak dapat bis kamu. Ayo sini bantu kami sini. Tuh pring-piring kotor masih menumpuk di dapur. Sana…..” (halaman 7) Tokoh tambahan (peripheral character) juga ada dalam cerpen “Ke Solo, ke
Njati” karya Umar Kayam ini. Tokoh tambahan, menurut Nurgiyantoro (1995: 176)
adalah tokoh yang hanya dimunculkan beberapa kali saja dan dalam porsi pendek.
Tokoh tambahan (peripheral character) dalam cerpen ini adalah kedua anak dari
tokoh ibu yaitu Ti dan si bungsu, serta majikan (si nyonya rumah) tokoh ibu. Mereka
hadir sebagai pendukung tokoh utama cerita.
2.2. “Ziarah Lebaran”
2.2.1 Alur
Cerpen ini menceritakan tentang Yusuf, seorang duda beranak satu. Istrinya
yang bernama Siti telah meninggal dunia, sedangkan anaknya (Eko) tinggal bersama
mertuanya. Pada saat Lebaran, Yusuf mudik kerumah mertuanya atau Eyang dari
Eko anaknya. Acara Lebaran yang dialami Yusuf dari tahun ke tahun selalu sama
yaitu sembahyang Ied, sungkem kepada keluarga atau ke tetangga-tetangga, saling
bermaaf-maafan, makan pagi bersama, ziarah ke makam ayah mertuanya dan makam
Siti (istrinya).
26
Peristiwa dimulai saat Yusuf yang bekerja di Jakarta memutuskan untuk
mudik pada saat Lebaran ke rumah mertuanya. Di sana hanya tinggal mertuanya dan
Eko, anak semata wayangnya dari Siti (istrinya) yang sudah meninggal. Saat Lebaran
tiba, Yusuf, Eko (anaknya), dan mertuanya melakukan ritual Lebaran sama seperti
Lebaran tahun-tahun yang lalu. Mulai dari makan hidangan khas yang dimasak eyang
putri yaitu opor ayam, sambal goreng ati, dendeng ragi, dan lontong, beserta bubuk
ragi. Kemudian ritual Lebaran dilanjutkan dengan mengunjungi makam Siti (istrinya)
dan ayah mertuanya.
Penceritaan berikutnya secara flash back menampilkan peristiwa Yusuf
bersama Yati. Yusuf sering bertemu Yati. Mereka biasanya berkencan dengan
melihat film, makan di restoran, dan bahkan sekali dua kali menginap di hotel. Yusuf
berbicara dengan Yati dari hati ke hati. Yusuf mengungkapkan keinginannya untuk
menikah dengan Yati. Yusuf meminta Yati menjadi istri dan ibu dari Eko
Cerita kembali ke ke masa kini, masa Yusuf sedang berada di rumah
mertuanya untuk merayakan Lebaran sekaligus bertemu dengan Eko. Konflik mulai
muncul saat Yusuf bimbang untuk mengungkapkan keinginannya akan menikah lagi
kepada mertuanya. Jauh hari sebelum Lebaran, Yusuf sudah punya teman dekat
wanita yang bernama Yati, teman sejawatnya di Jakarta. Yusuf ingin mengakhiri
masa dudanya dan sudah berjanji akan menikahi Yati. Akan tetapi, Yusuf tidak punya
keberanian untuk mengemukakan niat hatinya kepada mertuanya pada saat Lebaran.
Hal ini di sebabkan jika Yusuf jadi menikah dengan Yati, otomatis Eko akan dibawa
serta ke Jakarta. Namun, karena mertuanya juga sudah menjanda, dan Eko adalah
27
cucu satu-satunya, Yusuf tidak tega untuk mengungkapkan perasaannya kepada ibu
mertuanya. Dalam cerpen ini terlihat konflik batin tokoh Yusuf yang tidak tega
mengungkapkan keinginannya kepada mertuanya dan di satu sisi, Yusuf sudah
berjanji akan menikahi wanita pilihannya yaitu Yati. Pengarang menceritakan tokoh
Yusuf mengalami konflik dengan batinnya sendiri karena tidak dapat memutuskan
bagaimana cara terbaik untuk mengungkapkannya kepada mertuanya. Keadaan yang
dilematis dialami Yusuf dalam cerita ini.
Cerita sampai pada klimaksnya, saat Yusuf memutuskan untuk kembali
bekerja di Jakarta setelah Lebaran. “Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, di kereta api
yang penuh sesak orang-orang yang baru pulang dari mudik, Yusuf mendesah. Udara
pengap, gerah, keringat di tubuhnya terasa lengket, bau apak dan penguk lagi”
(halaman 11-12). Yusuf, dalam “Ziarah Lebaran”, memutuskan untuk menunda
usahanya menyampaikan keinginannya untuk menikah lagi dengan Yati dan
mengambil Eko dari mertuanya di tahun depan. Sampai akhirnya, Yusuf kembali ke
Jakarta menggunakan alat transportasi kereta api yang penuh sesak dengan segala
macam kegalauan hatinya.
Pengarang, dalam “Ziarah Lebaran” tidak mengungkapkan penyelesaian dari
semua peristiwa-peristiwa, konflik yang muncul, dan klimaks yang dialami oleh
tokoh Yusuf. Pengarang seakan-akan memberikan ruang kosong bagi pembaca untuk
menafsirkan sendiri akhir dari cerita dalam cerpen ini. Cerita kisah Yusuf dalam
cerpen ini terkesan mengambang tanpa memberikan penyelesaian yang konkret.
Akhir dari cerita dalam cerpen “Ziarah Lebaran” yaitu saat Yusuf di dalam kereta
28
api menatap jendela. Ia membayangkan dapat menatap sekilas senyum Yati yang dia
harap dapat merangsang birahinya. Tetapi Yusuf tidak menemukan senyum Yati
dalam bayangannya. “Yang terlihat hanya sawah-sawah kebanjiran, jembatan-
jembatan putus, dan jalan-jalan yang semrawut oleh bus dan mobil” (halaman 12).
Yusuf pun kembali ke Jakarta menggunakan kereta api dengan membawa segala
kegalauan, kebimbangan, kegelisahan, kegundahan yang terendap di hatinya.
Keseluruhan cerita dalam cerpen “Ziarah Lebaran” ini beralur sorot balik/
flash back. Urutan peristiwa tidak kronologis dan tidak dimulai dari awal. Cerita
diawali tokoh Yusuf yang mudik ke rumah mertuanya pada saat Lebaran tiba. Anak
Yusuf yang bernama Eko, tinggal bersama mertuanya. Sedangkan istri Yusuf yang
bernama Siti telah meninggal dunia, begitu juga ayah mertuanya. Penceritaan
berikutnya secara flash back menampilkan peristiwa Yusuf bersama Yati saat berada
di Jakarta. Kemudian cerita kembali ke masa kini dan konflik muncul. Konflik
muncul sebelum Lebaran tiba, Yusuf sudah mempunyai seorang kekasih bernama
Yati. Konflik semakin berkembang takkala Yusuf tidak berani mengutarakan niatnya
kepada sang mertua, bahwa ia akan menikahi Yati. Yusuf tidak tega melihat
mertuanya yang tinggal sendiri. Kalau Yusuf menikah dengan Yati, otomatis Eko,
anaknya akan dibawa ke Jakarta, padahal selama ini Eko tinggal bersama eyangnya.
Sampai pada klimaksnya, Yusuf memutuskan kembali pulang ke Jakarta setelah
merayakan Lebaran di rumah sang mertua dengan kegalauan hatinya. Cerita selesai
begitu saja tanpa adanya tahap penyelesaian.
29
2.2.2 Tokoh
Tokoh utama dalam cerpen “Ziarah Lebaran” adalah tokoh Yusuf. Tokoh
Yusuf mendominasi seluruh bagian dalam cerita. Mulai dari awal, tengah dan akhir
cerita, tokoh Yusuf selalu diceritakan dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain.
Tokoh Yusuf sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Tokoh
Yusuf selalu diceritakan sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik.
Tokoh Yusuf dalam cerpen ini digambarkan sebagai priayi atau golongan
menengah ke atas. Yusuf mempunyai pekerjaan tetap di sebuah perusahaan di
Jakarta dan berpenghasilan lumayan. Yusuf cukup lama menduda karena istrinya
(Siti) sudah meninggal. Namun, sifat dan karakter Yusuf yang tidak tega dan tidak
berani mengungkapkan sesuatu hal, akhirnya menjadi bumerang dalam hidupnya.
Berikut kutipan tokoh Yusuf sebagai tokoh utama. Tokoh Yusuf mendominasi
mulai dari awal cerita dalam cerpen “Ziarah Lebaran”. Meskipun di pihak lain, ada
pemunculan tokoh-tokoh tambahan antara lain, ibu mertua Yusuf (ibu dari Siti,
istrinya yang sudah meninggal), Eko (anak tunggalnya dengan Siti, istrinya yang
sudah meninggal), dan kehadiran tokoh-tokoh tambahan ini mempunyai keterkaitan
dengan tokoh utama.
“Yusuf selalu senang setiap kali dia datang menginap di rumah mertua perempuannya itu. Selain dia senang dapat melepas rindunya kepada Eko, anak tunggalnya itu, dia juga senang merasa ikut dimanja dengan berbagai hidangan dan penganan oleh mertuanya. Seakan hidup, bagi mertuanya itu, hanyalah memanjakan cucu tunggal dan menantunya. Kenapa tidak, desah Yusuf. Sejak Siti, istrinya , dan jauh sebebelum mertua laki-lakinya, meninggal, apalah kesibukan dan dan perhatian ibu tua itu selain tertumpu kepada cucu tunggal dan menantu yang menduda itu.” (halaman 8)
30
Tokoh Yusuf sebagai tokoh utama juga dapat dilihat saat Yusuf ber-flash
back. Flash back-nya adalah ketika Yusuf teringat masa-masa saat bersama Yati
(teman sejawatnya sekaligus sebagai kekasihnya). Berikut kutipannya.
“Pelan-pelan, bertahap, Yusuf menyatakan cintanya kepada Yati. Diyakinkannya perempuan itu bahwa dia tidak mau hit and run dalam hubungan cinta mereka. Dia ingin mengawini Yati. Dia ingin Yati menjadi ibu Eko. Dan waktu Yati akhirnya menjawab: mau, mau,… Yusuf memutuskan untuk mengakhiri masa dudanya dan menggendong kembali Eko ke rumahnya.” (halaman 10)
Tokoh Yusuf mempunyai sifat dan karakter tidak tega dan tidak berani
mengungkapkan sesuatu hal seperti keinginannya untuk mengungkapkan kepada
mertuanya. Keinginannya adalahuntuk menikah lagi di tahun depan. Berikut
kutipannya.
“Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, di kereta api yang penuh sesak orang-orang yang baru pulang dari mudik, Yusuf mendesah. Udara pengap, gerah, keringat di tubuhnya tersa lengket. Bau apak dan penguk lagi. Mungkin tahun depan , pada Lebaran lagi, dia akan lebih punya nyali, punya keberanian yang lebih mantap lagi untuk mengemukakan itu semua kepada ibu-mertuanya, kepada Eko. Bahwa dia akan mengawini Yati, bahwa dia akan menggendong Eko ke Jakarta. Ya, tahun depan. Pasti, tekadnya.” (halaman 12)
Tokoh tambahan (peripheral character) juga dijumpai dalam cerpen “Ziarah
Lebaran” karya Umar Kayam ini. Tokoh tambahan yang dimunculkan untuk
mendukung tokoh utama adalah Eko (anak Yusuf), ibu mertua Yusuf, dan Yati.
Pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit.
31
2.3. “Menjelang Lebaran”
2.3.1 Alur
Cerpen “Menjelang Lebaran” ini pernah diterbitkan di Harian Kompas, 25
Januari 1998. Kemudian cerpen ini dikumpulkan ke dalam sebuah buku yang diberi
judul Lebaran di Karet, di karet… karya Umar Kayam. Cerpen ini lahir saat
Indonesia tengah mengalami krisis moneter. Cerpen ini menceritakan tokoh Kamil
yang baru saja terkena PHK saat menjelang Lebaran. Ia terpaksa menggagalkan ritual
mudiknya bersama keluarga yang selalu dilakukannya dari tahun ke tahun. Ia bekerja
dan tinggal keluarganya di Jakarta.
Cerita diawali dari peristiwa kepulangan Kamil sekitar pukul lima sore
menjelang waktu berbuka puasa. Kamil pulang dari tempatnya bekerja dengan
murung. Hanya Sri (istrinya) yang dapat melihat gelagat murung dari suaminya,
maklum mereka sudah lima belas tahun hidup berumah tangga. Kamil, istrinya (Sri),
dan kedua anaknya (Mas dan Ade) memang sudah berencana mudik dari jauh-jauh
hari. Mereka sekeluarga berencana akan mudik ke Jawa dengan menggunakan alat
transportasi kereta api. Kedua anaknya malah sudah menyiapkan ransel dan
membayangkan akan naik kereta api saat mudik nanti.
Cerita berikutnya mengemukakan peristiwa lain yang dialami oleh Kamil.
Peristiwa itu adalah ia terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tempatnya
bekerja. Peristiwa itu terjadi pada saat menjelang Lebaran tiba.
Ternyata memang benar feeling Sri (istrinya), Kamil termasuk salah satu
karyawan yang di-PHK. PHK yang dialami Kamil juga berimbas pada rencana
32
keluarga mudik ke Jawa, sehingga batallah rencana mudik keluarga Kamil. Persoalan
demi persoalan tidak berhenti di situ saja. Pasalnya PHK itu juga menyisakan imbas
dan kesedihan bagi pembantunya. Untuk sementara, Kamil tidak bisa membayar gaji
pembantunya yang bernama Nah. Nah sudahbekerja hampir sepuluh tahun pada
keluarga Kamil.
Pengarang mulai memunculkan sebuah konflik dalam cerita ini. Konflik
dialami oleh Kamil dan Sri (istrinya) dengan Nah (pembantunya). Nah, terpaksa tidak
digaji oleh Kamil lagi, namun ia boleh tetap tinggal di rumah itu (Kamil dan
keluarga). Gaji yang biasa diterima oleh Nah dari keluarga Kamil sebesar seratus lima
puluh ribu rupiah, tidak bisa diberikan lagi oleh Kamil yang terkena PHK.
Cerpen ini beralur padat. Peristiwa-peristiwanya terjadi saling susul menyusul
dengan cepat. Akhir dari cerita ini adalah mereka sekeluarga (Kamil, Sri, Mas, dan
Ade), akhirnya tidak jadi mudik ke Jawa dengan sebuah peristiwa yang
memprihatinkan. Hal ini merupakan sebuah penyelesaian yang diberikan pengarang
dalam cerpen “Menjelang Lebaran”
2.3.2 Tokoh
Kamil adalah tokoh utama dalam cerpen “Menjelang Lebaran” karya Umar
Kayam. Tokoh Kamil merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan dan
senantiasa hadir dalam setiap kejadian. Tokoh Kamil bisa dikatakan menjalankan
seluruh cerita, meskipun didukung juga dengan adanya tokoh-tokoh tambahan.
Berikut kutipan penceritaan tokoh Kamil.
33
“Seperti hari-hari sebelumnya, Kamil sampai di rumahnya dari tempat kerjaannya pada sekitar pukul lima sore menjelang waktu berbuka puasa bersama keluarganya. Sri, istrinya, Mas dan Ade, anak-anaknya, termasuk Nah, pembantu rumahnya, sore-sore begitu selalu membalas uluk-salam Kamil dengan wassalamu-alaikum yang gembira.” (halaman 13) Kamil merupakan tokoh utama dan pelaku yang menimbulkan berbagai
peristiwa maupun konflik. Berikut kutipannya.
“Bu, saya termasuk yang kena PHK.” “Saya sudah merasa.” “Kok tahu?” “Tidak tahu juga. Cuma merasa…” “Feeling to…” “Entah. Rasanya sore ini kamu lain saja.” “Kena PHK, dijanjikan gaji penuh bulan ini dan hadiah Lebaran separuh gaji.” “Terus bagaimana enaknya, Sri?” “Apanya?” “Yah, semuanya. Rencana Lebaran ke Jawa, Nah mau diapakan, lantas sesudah itu kita sendiri mau apa?” (halaman 15) Tokoh tambahan yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam
cerpen “Menjelang Lebaran” antara lain, Sri (istrinya), kedua anak Kamil (Mas dan
Ade), dan Nah (pembantu Kamil). Pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam
keseluruhan cerita lebih sedikit dibanding dengan pemunculan tokoh utama. Namun,
kehadiran tokoh tambahan memiliki keterkaitan dengan tokoh utama.
2.4. “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang”
2.4.1 Alur
Dalam cerpen “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang” karya Umar Kayam
menceritakan tentang Lebaran. Pada saat Lebaran, banyak pembantu rumah tangga
ingin mudik ke kampung halamannya. Tokoh Nem (pembantu rumah tangga) ingin
34
mudik setelah bekerja selama dua puluh tahun. Namun, mudiknya kali ini berbeda.
Nem ingin mudik untuk seterusnya dan tidak kembali bekerja lagi. Berikut
kutipannya.
“Saya ini sudah semakin tua dan terus terang semakin capek, Lebaran ini pokoknya saya harus pulang untuk seterusnya” (halaman 28). Cerpen ini menceritakan tentang tokoh Nem. Ia mencari peruntungan di kota
besar yaitu kota Jakarta dengan menjadi pembantu rumah tangga. Tokoh Nem sudah
dua puluh tahun bekerja di salah satu keluarga yang berdomisili di Jakarta. Saat Nem
meninggalkan desa untuk mencoba bekerja di Jakarta, anak-anaknya sudah menikah
dan mengikuti suaminya. Konflik muncul diawal cerita dalam cerpen ini. Pada saat
Nem ingin mengemukakan niatnya untuk mudik Lebaran pada sang majikannya.
Lebaran tahun ini, Nem ingin pulang mudik ke desanya. Tidak hanya mudik yang
diinginkan oleh Nem, tetapi Nem ingin pulang ke desanya untuk selamanya dan tidak
kembali lagi bekerja di Jakarta. Akan tetapi, saat Nem mengemukakan keinginannya
yaitu meminta izin mudik kepada majikannya, selalu dialihkan ke pembicaraan yang
lain. Nem dan majikan yang sedang “ber-konflik” mencoba untuk menemukan solusi
yang tepat. Masalah yang sedang mereka diskusikan yaitu Nem diizinkan atau tidak
untuk mudik sekalian pulang kampung seterusnya. Akhirnya pembicaraan antara
Nem dan majikan itu berakhir pada diskusi tetek-bengek lainnya. Nem mencoba
untuk terus berusaha membujuk majikan perempuannya dengan menggelesot di dekat
kaki sang majikan dan kemudian memijit sambil bercerita mengenai masa lalunya
yang menyedihkan.
35
Nem secara flash back menggambarkan tentang berbagai peristiwa di masa
lalunya saat ia masih tinggal di desa. Cerita mulai kembali kebelakang, ke masa lalu
tokoh Nem. Nem menceritakan peristiwa mengapa suaminya meninggal. Suami Nem
meninggal karena penyakit tipus yang dideritanya. Dua tahun ditinggal suaminya,
Nem bingung sendirian di desa. Anak-anak Nem juga sudah menikah dan
meninggalkannya sendirian di desa. Nem tinggal bersama kemenakan-
kemenakannya, si Djan dan si Min yang sudah berkeluarga dan tinggal dalam satu
atap. Ini yang menyebabkan, Nem tidak kerasan tinggal di desa pada waktu itu. Dan
pada akhirnya, Nem mencari pekerjaan. Secara kebetulan, teman si Djan datang dari
Jakarta mencari tenaga pembantu rumah tangga untuk ditempatkan di Jakarta. Nem
nekat mencoba mencari peruntungan di Jakarta, dan di keluarga inilah Nem
mengabdikan hidupnya selama dua puluh tahun menjadi pembantu rumah tangga.
Peristiwa demi peristiwa masa lalu yang dialami oleh Nem terus diceritakan
susul menyusul dalam cerpen “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang”. Dua tahun lalu,
Nem pernah pulang mudik ke desanya. Nem teringat bagaimana susah dan repotnya
saat perjalanan menuju ke desanya. Transportasi kereta api waktu itu padat dan sangat
berjubel dengan banyaknya penumpang. Keadaan di desa pada waktu itu juga
semakin mengenaskan. Istri Djan sudah mengandung anaknya yang kelima, sedang
istri Min sudah hamil untuk anak yang kelima juga. Djan dan Min menjelaskan
bahwa uang kiriman dari Nem telah dibelikan kerbau sebanyak empat ekor, dan
sudah beranak dua ekor. Sawah sepetak peninggalan suaminya sudah dijual
separuhnya karena hama wereng.
36
Setelah Nem menceritakan masa lalunya pada sang majikan, cerita kembali ke
masa kini, masa Nem berada di rumah majikannya Akhirnya, Nem merasa lega
setelah majikan perempuannya mengizinkannya mudik. Akan tetapi, malam harinya,
di kamarnya yang sempit, ia gelisah membayangkan keadaan desanya. Dua tahun
lalu, ketika mudik, kemenakannya mengatakan bahwa sebagian dari kerbau dan
sawahnya sudah dijual. Nem ikhlas, tetapi cerita-cerita yang didengarnya dari
tetangga sangat mencemaskan. Desa-desa sudah semakin rusuh dan melarat
keadaannya. Sisa kerbau dan sawahnya sudah dijual oleh kemenakannya untuk biaya
sehari-hari. Nem tak berani membayangkan lagi. Apalagi umurnya semakin tua, kaki-
kakinya yang sudah digerogoti encok, terasa ngilu malam itu.
Sebuah konflik batin kembali ditampilkan setelah Nem menceritakan satu
persatu peristiwa yang pernah dialami Nem dalam cerpen “Lebaran Ini, Saya Harus
Pulang”. Nem sangat tahu bahwa pulangnya dia ke kampung halamannya pastilah
akan membawanya pada sebuah kemiskinan dan kemelaratan. Sama seperti dulu
sebelum ia mencoba peruntungan bekerja di Jakarta, Nem tetap melarat dan miskin.
Penyelesaian dalam cerpen “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang” adalah saat
Nem mencoba melupakan bayangan-bayangan kelam akan desanya dengan tidur.
“Dalam tidur itu, ajaib, mulut Nem masih kelihatan menyungging senyum” (hlm. 29).
Pengarang seakan-akan memberikan sebuah gambaran tokoh Nem tidur dengan
tersenyum sebagai sebuah penyelesaian akhir. Dalam cerpen ini, pengarang memang
mencoba memberikan ruang kepada pembaca menginterprestasikan makna dari tidur
Nem yang menyungging senyum. Apakah arti dari tidur Nem dengan senyum itu?
37
Mungkin dengan tidur, Nem bisa menghilangkan bayangan buruk akan kemelaratan
desanya. Senyum yang tersungging dalam tidurnya, mungkin dapat mengisyaratkan
bahwa dalam hatinya ada semacam kelegaan telah diizinkan oleh majikannya untuk
kembali lagi ke desanya. Itulah akhir dan juga sebuah penyelesaian dari cerpen
“Lebaran Ini, Saya Harus Pulang”.
Cerpen “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang” mempunyai alur sorot balik atau
alur flash back. Cerita dimulai dari seorang pembantu rumah tangga bernama Nem
yang ingin mudik. Nem ingin pulang ke desa pulang dan minta ijin pensiun dari
pekerjaannya. Sebelum permintaannya dikabulkan, Nem menceritakan masa lalunya
sang majikan. Nem mulai menceritakan tentang masa lalunya, yaitu sudah berapa
lama ikut sang majikan, mengapa suaminya bisa meninggal. Nem juga teringat
tentang desanya yang dari dulu dan mungkin sampai sekarang tetap rusuh dan masih
dalam kondisi melarat. Timbul adanya konflik dalam cerita ini. Saat Nem mulai
merayu sang majikan, muncul adegan-adegan konflik antara Nem dan majikan (saling
beradu pendapat). Dan akhirnya, Nem boleh mudik selamanya oleh majikan tanpa
syarat.
2.4.2 Tokoh
Yang termasuk tokoh utama (main character) adalah tokoh Nem. Nem sudah
dua puluh tahun bekerja di Jakarta sebagai pembantu rumah tangga di salah satu
keluarga. Sedangkan tokoh tambahan (peripheral character) dalam cerpen “Lebaran
Ini, Saya Harus Pulang” adalah majikan Nem (Bu, Pak, dan Mbak), kemenakan
Nem (Djan dan Min), dan Giman (cucu Nem).
38
Nem hadir sebagai tokoh utama yang mendominasi cerita. Nem mempunyai
karakter yang mandiri dalam hidupnya. Ia mampu bekerja sebagai pembantu rumah
tangga hingga dua puluh tahun untuk penghidupannya dan keluarga di desa. Sebagai
wong cilik, Nem tampak ingin bisa mudik saat Lebaran untuk bertemu dengan
keluarga dan tetangga di desa. Lebaran kali ini, Nem merasa sudah tua dan tidak kuat
untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga. Nem ingin
berhenti dan kembali ke desa pada Lebaran kali ini. Namun, Nem sudah tahu apa
yang akan dialaminya di desa nanti. Kemelaratan, kesengsaraan, kemiskinan
merupakan sebuah citraan wong cilik bagi Nem. Berikut kutipannya.
“Eh, kok tumben, tidak dipanggil dan diminta, kok jam masih sore begini mijit kaki saya. Nem tersenyum, merasa siasatnya berhasil.”
“Begini lho, Bu, Pak, Mbak. Lebaran ini saya mau pulang mudik.” “Oh, ada maunya to, tidak diminta, sore-sore datang mijit kaki saya!” (halaman 25) Tokoh Nem sebagai tokoh utama hadir dari awal, tengah dan akhir cerita.
Intensitas penceritaan tokoh Nem lebih banyak dibandingkan dengan tokoh tambahan
yang hanya muncul sekali atau beberapa kali sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh
Nem ini juga sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Berikut
kutipannya.
“Jadi sudah, Nem, kamu Lebaran ini ikhlas betul meninggalkan kami?” “Lha, bagaimana lagi Bu, Pak, Mbak. Saya ini kan sudah semakin tua dan terus terang semakin capek, Lebaran ini, pokoknya saya harus pulang untuk seterusnya.” “Terus di desa kamu mau kerja apa, Nem?” “Ya, belum tahu, Pak. Mungkin Cuma momong cucu-cucu, anak-anak Djan dan Min.” “Lho, apa mereka cucumu?”
39
“Ya cucu-cucu saya to, Bu. Wong Djan dan Min itu kemenakan-kemenakan saya. Anak-anaknya, ya, cucu saya.” “Lha, anak-anakmu sendiri apa kabarnya, Nem?” “Wah, ya tidak tahu, Bu. Sudah hilang dibawa suami mereka.” “Ya sudah, Nem, kalau kemauanmu sudah keras begitu. Tapi sebelum pergi, paling tidak kamu harus berbakti kepada kami, masak kaehlianmu rawon iga-sapi dan sop-buntut kacang merah.” “Jadi, Bu!Dados!” (halaman 28) Jadi bisa dikatakan tokoh utama (Nem) sangat penting dan ditampilkan terus
menerus sehingga menimbulkan cerita. Tokoh Nem didukung oleh tokoh-tokoh
tambahan yang muncul. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian
dan konflik sehingga mempengaruhi jalannya cerita dalam cerpen “Lebaran Ini, Saya
Harus Pulang”
2.5. “Marti”
2.5.1 Alur
Dalam cerpen ini, kisah yang dialami Marti seakan-akan menyimpan sebuah
endapan persoalan-persoalan dalam situasi yang berbeda. Lebaran dan hotel bukanlah
suatu hal yang biasa. Lebaran biasanya pulang ke kampung halaman, di rumah
kerabat dan saudara, saling bermaaf-maafan dan sebagainya. Dalam cerita ini,
pengarang menceritakan lain, Lebaran dijalani di hotel bersama sang suami.
Diceritakan, ada seorang suami yang berasal dari kalangan priayi, meskipun
hanya priayi kelas menengah. Tokoh suami ini menduduki jabatan penting dalam
pekerjaannya. Suami ini mempunyai istri yang bernama Marti. Suami Marti ini
memandang Lebaran sebagai sebuah rutinitas yang selalu sama setiap tahunnya. Ia
40
ingin ada yang berbeda untuk Lebarannya kali ini. Menurutnya, Lebaran itu repot dan
rebyek.
Saat suaminya mengajak Marti berlebaran di sebuah hotel berbintang di
pinggir laut. Marti sangat terkejut dan menganggap suaminya tidak senang
berkumpul dengan keluarganya. Konflik sudah terlihat di awal cerpen “Marti”. Marti
dan suami terlibat konflik yang cukup hebat. Marti dan suami mencoba mencari
bagaimana solusi yang tepat untuk menengahi perbedaan pendapat mereka. Mereka
berselisih paham tentang makna Lebaran. Konflik tetap berkepanjangan antara Marti
dan suaminya. Tetapi akhirnya, Marti mengalah dengan menjawab: “Oke, oke,
terserah maumulah” (hlm 31).
Akhirnya mereka melewatkan hari-hari Lebaran di suatu hotel berbintang
empat di pinggir pantai. Hotel itu memang bagus dan luas. Kamarnya adem karena
ada AC-nya yang disetel pas. Pagi menjelang siang, Marti pamit pada suaminya
untuk jalan-jalan di pantai, dan berjanji akan segera pulang karena mereka akan
makan siang di coffe shop. Ternyata, Marti malah berjalan menuju arah pantai tempat
keluarga-keluarga masyarakat kelas bawah sedang merayakan Lebaran. Disini,
peristiwa demi peristiwa mulai terjalin dalam cerpen ini. Marti seperti menjalin
hubungan batin dengan semua suasana pantai, seakan-akan sebagai ganti kegagalan
untuk bertemu dengan keluarganya dalam perayaan Lebaran itu. Marti mengisi
Lebarann kali ini hanya dengan menyaksikan suasana pantai. Marti melihat banyak
keluarga berjubel, berdesakan, berebut untuk naik ke perahu layar. Marti akhirnya
41
ikut naik ke perahu. Peristiwa lain, saat Marti menyempatkan diri untuk makan di
warung sederhana, kotor dan banyak lalatnya.
Namun, Marti segera ingat akan suaminya setelah berbagai peristiwa ia
rasakan dengan kebahagiaan tersendiri. Hanya Marti yang tahu bagaimana
bahagianya Marti saat itu.. Saat itu terdengar pelan adzan yang menandakan bahwa
asar sudah tiba. Suaminya pasti bingung dan marah besar terhadapnya. Namun, di
tengah kekhawatirannya akan sang suami, Marti merasa puas karena bisa berlebaran
bersama keluarga-keluarga sederhana dari kelas bawah yang baru saja diakrabinya.
Klimaks mulai muncul dalam cerpen “Marti” . Klimaksnya adalah Marti sangat puas
dengan berbagai peristiwa yang baru saja dialaminya. Tidak ada penyelesaian yang
diberikan pengarang dalam cerpen “Marti” ini.
2.5.2 Tokoh
Tokoh utama (main character) dalam cerpen “Marti” adalah tokoh Marti.
Tokoh Marti dalam cerpen ini sangat terlihat mendominasi cerita. Intensitas
kehadirannya juga lebih banyak dibanding dengan tokoh-tokoh tambahan yang hanya
muncul sesekali saja. Berbagai peristiwa yang muncul juga dijalankan oleh tokoh
Marti. Jadi bisa dikatakan, tokoh Marti sangat menentukan dan mempengaruhi
perkembangan jalan cerita dalam cerpen “Marti”.
Berbagai peristiwa yang dijalankan tokoh Marti sebagai tokoh utama terlihat
dari awal, tengah dan akhir cerita. Berikut kutipannya.
“Ini ide yang absurd, Pa. Masak Lebaran kok di hotel?” “Why not?”
42
“ Ya aneh. Lebaran itu untuk kumpul-kumpul sama sanak saudara. Bermaaf-maafan, sungkem dan kangen-kangenan sama ibu, keluarga Yu Lies, makan enak, jalan-jalan sama kemenakan-kemenakan. Ini kita malah mau berdua-duaan, nyepi di pinggir laut.” “Kamu itu belum bosan to dengan kumpul-kumpul Lebaran. Repot, rebyek, sungkem sini, sungkem sana, makan, makan, dan makan, untuk kemudian jatuh K.O. karena terlalu capek dan banyak makan makanan yang enggak-enggak. Sekali-sekali kita berdua saja Lebaran kenapa sih?” (halaman 30-31) Tokoh-tokoh tambahan yang muncul juga penting untuk mendukung tokoh
utama dalam menjalankan cerita. Tokoh tambahan (peripheral character) dalam
cerpen “Marti” adalah suami Marti (sering Marti sebut dengan panggilan Pa,
kependekan dari Papa). Tokoh ini dianggap kemunculannya karena mendukung tokoh
utama. Berikut kutupannya.
“Lho Mam, kamu kok sudah siap tempur untuk menaklukkan pantai.” “Ya, Pa. Saya jalan-jalan sebentar melihat pantai. Kau tunggu aku di kamar. Nanti kita makan siang di coffee-shop.” “Wong panas-panas begini kok mau jalan-jalan di pantai. Nanti kena sengat panas Matahari baru tahu kau, Mam. Mbok di sini saja. Rileks, rileks dulu.” “Enggaklah, Pa. Panas ya, biar. Aku niat mau jalan-jalan, kok. Dah, Pa.” (halaman 33)
2.6. “Mbok Jah”
2.6.1 Alur
Berbicara seputar Lebaran, mau tak mau kita pun berbicara seputar pembantu
rumah tangga dan majikan. Lazimnya, rumah tangga yang punya pembantu akan
kerepotan menghadapi persiapan bila Lebaran tiba. Pasalnya, banyak pembantu yang
mudik pada saat Lebaran tiba.
43
Cerpen “Mbok Jah” ini juga menceritakan hubungan antara majikan dengan
pembantu. Tokoh Mbok Jah lahir di Jawa tepatnya di Tepus, Gunungkidul. Mbok Jah
adalah seorang janda tua yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada sebuah
keluarga Mulyono diJakarta. Keluarga Mulyono bisa disebut sebagai keluarga yang
sederhana atau sedang-sedang saja kondisi ekonominya.
Mbok Jah juga sudah dua puluh tahun bekerja pada keluarga Mulyono di
Jakarta. Namun, akhirnya Mbok Jah ingin berhenti bekerja untuk seterusnya dan
kembali ke desa Tepus, Gunungkidul. Mbok Jah ingin berhenti karena ia “merasa
semakin renta. Tidak sekuat sebelumnya, Mbok Jah merasa dirinya menjadi beban
keluarga itu” (halaman 39).
Permintaan Mbok Jah dikabulkan oleh keluarga Mulyono, tetapi dengan
syarat. Syaratnya adalah Mbok Jah datang dua kali dalam setahun, yaitu pada waktu
Sekaten dan waktu Idul Fitri. Namun sudah dua kali Lebaran, Mbok Jah tidak datang
ke Jakarta. Itulah sebabnya, keluarga Mulyono mengunjungi Mbok Jah di desa Tepus,
Gunuingkidul.
Shabis Lebaran, keluarga Mulyono mencari rumah Mbok Jah di Tepus,
Gunungkidul. Menjelang sore, mereka akhirnya menemukan rumah Mbok Jah yang
kecil, miring, dan terbuat dari gedek dan kayu murahan. Mbok Jah semakin terlihat
sangat tua. Hal inilah membuat keluarga Mulyono ingin mengajak Mbok Jah kembali
ke rumah mereka di Jakarta. Kalian anak-anakku yang baik. Tapi tidak, gus-den rara.
Rumah si mbok di hari tua ya di sini ini. Nanti Sekaten dan Lebaran akan datang saya
pasti akan datang. Betul” (halaman 44)
44
Semua keluarga Mulyono mengerti betul akan keputusan Mbok Jah yang tetap
ingin di desa Tepus, Gunungkidul untuk hari tuanya. Keputusan Mbok Jah memang
tidak bisa ditawar lagi. Keluarga Mulyono, pamit untuk pulang. Namun, saat pamit,
diluar hujan deras.
Keseluruhan cerita ini, beralur lurus. Dari perkenalan tokoh-tokohnya, muncul
konflik, konflik berkembang, klimaks dan penyelesaian. Dimulai dari perkenalan
tokoh, Mok Jah yang berasal dari Jawa, tepatnya di Tepus, Gunungkidul bekerja
sebagai pembantu rumah tangga di sebuah keluarga Mulyono, Jakarta. Ia sudah dua
puluh tahun bekerja disana. Saat Lebaran tiba, Mok Jah ingin mudik serta ‘pensiun’
dari pekerjaannya. Ia sudah tidak kuat dan sudah tua untuk tetap bekerja. Konflik
mulai muncul dalam cerita ini, saat Mbok Jah minta ijin pada keluarga Mulyono
mengenai rencananya itu. Berkembangnya konflik juga terlihat dari cerita ini,
keluarga Mulyono akhirnya mengabulkan permintaan Mbok Jah tetapi dengan satu
syarat. Syaratnya adalah Mbok Jah harus ‘turun gunung’ dua kali dalam setahun yaitu
saat Sekaten dan Idul Fitri. Klimaksnya, sudah dua kali Lebaran Mok Jah tidak ‘turun
gunung’, hingga akhirnya keluarga Mulyono mendatangi rumah Mbok Jah yang
berada di Tepus, Gunungkidul untuk sekedar memastikan bagaimana keadaannya.
Rumah Mbok Jah yang sangat sederhana sekali sudah menunjukkan bahwa hidupnya
setelah berhenti dari pekerjaannya (pembantu di keluarga Mulyono) masih sangat
melarat. Maka dari itu, setelah tiba di rumah Mbok Jah, keluarga Mulyono ingin
membawanya kembali ke Jakarta, bersama mereka. Penyelesaiannya adalah saat Mok
45
Jah menolak secara halus keinginan dari keluarga Mulyono, yakni Mbok Jah ingin
menghabiskan masa tuanya di desanya, di Tepus, Gunungkidul.
2.6.2 Tokoh
Dilihat dari segi peranan tokoh atau tingkat pentingnya, tokoh dibagi menjadi
dua bagian, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Yang termasuk tokoh utama
(main character) adalah tokoh Mbok Jah yang sudah dua puluh tahun mengabdi atau
bekerja di keluarga Mulyono yang berdomisili di Jakarta. Pada Lebaran tiba, ia ingin
mudik ke Tepus, Gunung Kidul serta berhenti bekerja karena alasan sudah tua. Tokoh
Mbok Jah selalu hadir dan diceritakan secara terus menerus sehingga dapat
menentukan jalannya sebuah cerita. Sedangkan tokoh tambahan (peripheral
character) dalam cerpen “Mbok Jah” adalah keluarga Mulyono (Mulyono, istrinya,
Kedono, dan Kedini). Tokoh tambahan jaga penting kehadirannya untuk mendukung
tokoh utama dalam menentukan jalannya cerita. Meskipun kehadiran tokoh tambahan
hanya muncul beberapa kali saja.
“Silakan Ndoro, makan seadanya. Tiwul Gunung Kidul dan sambel-nya Mbok Jah tidak pakai terasi karena kehabisan terasi dan temannya Cuma daun singkong yang direbus.” “Lha, Lebaran begini apa mereka tidak datang to, Mbok?Mbok Jah tertawa.” “Lha, yang dicari di sini itu apa lho, Ndoro. Ketupat sama opor ayam?” “Anakmu?” “Saya itu punya anak to, Ndoro?” “Kedono dan Kedini tidak tahan lagi. Diletakkan piring mereka dan langsung memegang bahu embok mereka.” (halaman 44)
2.7. “Lebaran di Karet, di Karet…”
2.7.1 Alur
46
Cerpen ini menceritakan kehidupupan seorang priayi yang bernama Is. Is
berasal dari golongan menengah atas. Pada saat Lebaran, Is menjalaninya dengan
kesendirian. Is sebagai tokoh protagonis dalam cerpen “Lebaran di Karet, di
Karet…”. Is adalah mantan diplomat dalam nenegeri di Deparlu. Is tinggal seorang
diri. Is hidup sendirian di sebuah rumah besar dan mewah di Jakarta. Istrinya (Rani)
sudah meninggal karena sakit. Sakit yang diderita Rani adalah kanker payudara.
Ketiga anaknya yang bernama Nana, Jon, dan Suryo bekerja di luar negeri.Mereka
tersebar di Geneva, Amsterdam dan New York.
Lebaran bagi Is justru mengecewakan karena ketiga anaknya bekerja di luar
negeri. Pada saat Lebaran, Is yang ditinggal mati istrinya (Rani) sangatlah
mengharapkan kabar dari ketiga anaknya. Kabar yang diharapkan Is adalah surat
panjang dari ketiga anaknya. Namun, yang muncul hanya kartu pos bergambar
dengan sedikit kata-kata. Is merasa kecewa.
Pada hari Lebaran, Is yang pernah bekerja di Markas Besar PBB, New York,
itu tidak pergi ke makam istrinya (Rani). Dengan menggunakan mobil dinasnya,
Toyota Deparlu, Is “mengebut keluar jalan raya. Dengan tegas berhenti sebentar
kemudian membanting stirnya ke arah jurusan kiri. Ke Karet, ke Karet-tidak ke Jeruk
Purut ke tempat Rani, melainkan ke Karet, ke Karet…Rani pasti setuju dan senang”
(halaman 52)
Di puncak kesepiannya,Is memutuskan pergi ke Karet, bukan ke Jeruk Purut.
Pertama, Karet adalah pemakaman khas Jakarta. Semua orang-orang terkenal Jakarta
dimakamkan di sana, seperti, Umar Ismail, Djayakusuma dan Chairil Anwar. Kedua,
47
pemakaman Karet merupakan sebuah simbol kesunyian dan kehampaan Is saat
Lebaran. Is, pada saat Lebaran merasakan kesunyian dan kehampaan tanpa kehadiran
keluarga memutuskan untuk ke Karet. Is tidak berziarah ke makam istrinya, tetapi
pergi mengunjungi masa lalunya, sebuah masa ketika kedamaian keluarga sempat
diraihnya. Ke Karet, bukan ke Jeruk Purut merupakan tahap akhir penyelesaian dari
cerita ini yang diberikan pengarang untuk memecahkan persoalan dari semua
peristiwa-peristiwa yang terjadi. Semua peristiwa dan konflik yang dialami tokoh Is
dengan kesendirian dan kehampaan hatinya, akhirnya menemukan keteduhan jiwa
saat Is berada di Karet.
Cerpen “Lebaran di Karet, di Karet…” ini mempunyai alur lurus. Is sebagai
tokoh protagonis dalam cerita ini. Is yang mantan diplomat, merasa hari Lebaran
demikian menyakitkan. Is hidup sendirian di sebuah rumah besar dan mewah di
Jakarta. Dua anaknya, Nana dan Suryo berada di luar negeri. Timbul adanya konflik
dan konflik juga semakin berkembang dalam cerita ini. Kedua anaknya tidak bisa
pulang pada saat Lebaran tiba. Kesepian Is kian terlihat jika Lebaran tiba. Sebagai
orang tua Jawa, disadari atau tidak, Is, di hari Lebaran ternyata juga membutuhkan
kedatangan anak-anaknya untuk sekedar sungkem padanya. Tapi tidak satu pun dari
kedua anaknya yang datang pada saat Lebaran. Mereka hanya mengirimkan kartu pos
bergambar dengan sedikit tulisan. Klimaksnya adalah saat Is teringat pada Rani
(istrinya). Rani sebelum meninggal pernah berpesan agar ia dimakamkan di Karet,
sebuah pemakaman terkenal di Jakarta. Rani memang tidak jadi dimakamkan di
Karet, melainkan di Jeruk Purut. Tapi dipuncak kesepiannya itu, Is memutuskan pergi
48
ke Karet, bukan ke Jeruk Purut. Is tidak berziarah ke makam istrinya, tetapi pergi
mengunjungi masa lalunya, sebuah masa ketika kedamaian keluarga sempat
diraihnya. Pemakaman Karet memberikan simbol kesunyian dan kehampaan. Seperti
juga Is yang merasakan kesunyian dan kehampaan saat Lebaran. Ke Karet, bukan ke
Jeruk Purut merupakan tahap akhir penyelesaian dari cerita ini yang diberikan
pengarang untuk memecahkan persoalan dari semua peristiwa-peristiwa yang terjadi.
2.7.2 Tokoh
Tokoh utama (main character) yang ditampilkan dalam cerpen “Lebaran di
Karet, di Karet…” adalah tokoh Is. Disini tokoh Is digambarkan sebagai seorang
ayah yang tegar dan sudah menduda karena istrinya (Rani) sudah meninggal karena
penyakit kanker yang dideritanya. Kedua anaknya, Nana dan Suryo pun ditinggal
diLuar Negeri. Dan pada saat Lebaran tiba, tokoh Is yang menjadi tokoh utama
merasa hampa tanpa kehadiran istri dan anak-anaknya. Kehampaan sangat dirasakan
tokoh Is pada saat Lebaran tiba. Tokoh Is dalam cerita ini sangat mendominasi dan
intensitas kemunculannya hampir ada di seluruh cerita. Sehingga tokoh Is dianggap
penting dalam menentukan jalannya cerita.
Sebagai tokoh utama, Is seorang pekerja keras, gigih, serta ulet. Is dapat
dikatakan sebagai seorang priayi karena pekerjaannya sehingga dapat menghasilkan
kemewahan, seperti dua buah Impala, rumah mewah, menyekolahkan kedua anaknya
di luar negeri. Is sudah lama menduda. Ketegarannya mendidik anak-anaknya tanpa
di dampingi istrinya (Rani) yang sudah meninggal sangat terlihat jelas. Is tetap
49
menduda dan tetap setia pada istrinya (Rani) sampai sekarang. Di saat Is kesepian
karena kedua anaknya tinggal di luar negeri, Is tetap bertahan pada kesendiriannya.
Karakter Is sangat kuat, padahal Is punya cukup banyak uang untuk melalukan apa
saja sesuai keinginannya.
“Rumah yang sekarang terasa besar itu dibeli Is dan istrinya waktu mereka pulang dari New York sesudah mereka bertugas dinas selama bertahun-tahun di markas besar PBB. Dengan tabungan uang yang mereka kumpulkan mereka membeli dua buah Impala dan berbagai perabotan mewah yang lengkap. Di rumah besar itulah Is dan istrinya bertahan dengan ulet dan liat mempertahankan kemakmuran dan sedikit kemewahan gaya hidup mereka sebagai diplomat dalam negeri di Deparlu.” (halaman 46-47)
Tokoh tambahan (peripheral character) yang dimunculkan dalam cerpen
“Lebaran di Karet, di Karet…” adalah secara tidak nyata, istri Is (Rani yang sudah
meninggal karena kanker), kedua anak Is (Nana dan Suryo). Mereka muncul untuk
mendukung tokoh Is dalam menjalankan cerita. Meskipun cerita yang ditampilkan
oleh tokoh tambahan hanya sedikit dan kehadirannya baru ada jika berkaitan dengan
tokoh Is. Namun secara tidak langsung, hadirnya tokoh utama dan tokoh tambahan
dapat menentukan perkembangan plot dalam cerpen “Lebaran di karet, di Karet…”
“Nana yang menulis dari Geneva minta maaf liburan winter tahun ini tidak jadi pulang ke Indonesia karena sudah janji sama si Jon (kakak si temanten baru ni ye), buat mengajari sky di Alpen. Opo ora hebat, Da. Maaf banget, nggih Dad?makam Mommy apa sudah ditutup nisan? Love kita semua. Kemudian surat dar Suryo, anaknya yang sulung, yang masih menetap di New York yang masih kerja magang di IBM yang juga minta maaf tidak bisa pulang ke bapaknya karena sudah terlanjur janji untuk libur dengan pacarnya anak Puerto Rico.” (halaman 48)
50
Kutipan diatas menggambarkan bahwa tokoh tambahan mundukung tokoh
utama yaitu tokoh Is dalam menjalankan cerita. Meski kemunculannya hanya dalam
porsi yang sangat sedikit dan kemunculannya hanya jika ada kaitannya dengan tokoh
utama.
2.8. “Sardi”
2.8.1 Alur
Tokoh Sardi dalam cerpen “Sardi” (hlm. 53-59), cerpen yang baru pertama
kali dipublikasikan dalam kumpulan cerpen “Lebaran di Karet, di Karet…” karya
Umar Kayam ini memang menyedihkan. Cerita tokoh Sardi dari kelas bawah atau
wong cilik yang mencoba merantau bekerja di Jakarta.
Cerita diawali saat bulan puasa. Sardi adalah tokoh utama dalam cerpen ini.
Surat dari bapak untuk Sardi yang dititipkan ke Mas Joyo, yang memintanya untuk
pulang pada saat Lebaran tiba nanti. Mas Joyo sendiri adalah kenek bis jurusan
Jakarta-Wonogiri yang sangat baik. Ia suka menolong semua orang yang
membutuhkan bantuannya. Sardi sendiri saat ini bekerja di Jakarta dan tinggal di
gang sempit bilangan Kampung Sawah yang disewanya dari Pak Haji Sholeh.
Peristiwa dari sebuah surat yang baru diterima Sardi akan memunculkan sebuah
konflik baru bagi Sardi.
Konflik mulai muncul di tengah cerita dalam cerpen “Sardi” ini. Tokoh Sardi
dalam cerpen ini tidak punya uang untuk mudik Lebaran. Padahal isi surat yang baru
diterimanya dari bapaknya di desa, memintanya untuk pulang pada Lebaran kali ini.
Sardi pun bingung harus berbuat apa untuk dapat memenuhi keinginan bapaknya
51
yang menyuruhnya untuk pulang saat Lebaran. Karena sudah tiga kali Lebaran, Sardi
melewatinya dengan tidak mudik ke kampung halamannya. Konflik mulai muncul
dan berkembang di tengah cerita dalam cerpen “Sardi”.
Pada Lebaran kali ini, karena tidak punya uang untuk biaya mudik Lebaran,
terpaksalah Sardi menilep uang majikannya. Cek yang dicairkan Sardi tidak
diserahkan kepada sang majikan, tetapi dia bawa ke kampung dan dibagi-bagikannya
ke handai tolan sebagai oleh-oleh. Akibatnya, Sardi tak berani lagi kembali ke Jakarta
atau lebih tepatnya ke tempat dimana ia bekerja dulu.
“Bapak, simbok, saya akan tinggal di desa saja. Mau membantu Bapak di
tegal dan bikin tikar sama embok” (hlm. 59). Inilah penyelesaian yang diberikan oleh
pengarang melalui tokoh Sardi yang memutuskan untuk tinggal di desa saja setelah
peristiwa itu. Ironis memang. Tempo hari, justru Sardi yang nekat mau ke Jakarta,
sementara kedua orangtuanya melarangnya. Kini kedua orangtuanya yang malah
heran, Sardi justru tidak ingin kembali ke Jakarta…
2.8.2 Tokoh
Tokoh utama yang ditampilkan dalam cerpen “Sardi” adalah tokoh Sardi.
Disini tokoh Sardi digambarkan sebagai anak lugu dari desa yang mengadu nasibnya
dikota Jakarta. Karena ingin bisa mudik, Sardi lugu berani menilep uang perusahaan
dimana ia bekerja. Meski pun uang yang di-tilep-nya bukan untuk dirinya sendiri, tapi
untuk dibagikan ke keluarganya dan tetangga-tetangga di desanya. Kemunculan Sardi
sebagai tokoh utama memeng mendominasi cerita dan sangat penting untuk
52
menentukan jalannya cerita. Dari awal cerita, tengah hingga akhir, intensitas
kemunculan Sardi ada secara terus menerus. Berikut kutipannya.
“Wah, Sardi bolehnya cari makan di kota berhasil tenan.” “Wah, matur nuwun, Nak Sardi. Terima kasih buat oleh-oleh ini. Selendangnya bagus.” “Wah, terima kasih, lik Sardi, sudah diberi uang receh banyak buat jajan bakmi Anak Mas.” (halaman 58) Tokoh tambahan (peripheral character) dalam cerpen “Sardi” adalah bapak,
simbok, mas Joyo, Pak Haji Soleh.
53
BAB III MEMAKNAI LEBARAN
DARI SUDUT PANDANG PRIAYI DAN WONG CILIK DALAM KUMPULAN CERPEN
LEBARAN DI KARET, DI KARET…
Umar Kayam menyimpan puasa dan lebaran sebagai hal yang menghadirkan
problem sosial. Delapan cerpen dari tigabelas kumpulan cerpen ini menghadirkan
cerpen yang bertema Lebaran. Dalam bab ini, penulis menganalisis dari sudut
pandang priayi dan wong cilik dalam memaknai Lebaran,
Yang segera terasa dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet…
karya Umar Kayam ini adalah kelancaran dalam bercerita. Bahasanya bersih, lancar,
dan enak dibaca. Caranya bercerita bahkan mendekati cara orang bergunjing
(ngerumpi), penuh dengan lanturan yang seolah tidak perlu tetapi justru membuat
cerpen-cerpannya memikat (Kakilangit, 1998).
Dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet, Umar Kayam senantiasa
menunjukkan simpatinya yang besar terhadap semua tokohnya. Umar Kayam
mencoba memahami dan bertepa seliro dengan nasib serta situasi tokoh-tokohnya.
Umar Kayam juga rupanya berdiri kuat dalam basis tradisinya sebagai seorang Jawa
yang menjadikan keluarga sebagai pusat kehidupan.
Sebagaimana yang setidaknya terlihat dalam delapan buah cerpen yang ada di
kumpulan ini, Umar Kayam mempunyai kepekaan yang tinggi dalam memilih
momentum yang menjadi ajang penting dari cara orang Jawa memahami, memaknai,
dan menghayati lingkungannya. Tampaknya, bagi dia, Lebaran merupakan satu
54
momen kritis dan sekaligus ritus yang di dalamnya sikap batin orang Jawa terhadap
lingkungannya menjadi terbuka atau tampak dengan jelas (Faruk via Umar Kayam,
2002).
Priayi yang diceritakan dalam kumpulan cerpen karya Umar Kayam ini bukan
priayi keturunan (berdarah biru/ningrat). Priayi di sini dapat diperoleh karena faktor
pekerjaan/jabatan, faktor kekayaan dan jumlah uang. Faktor lain, misalnya rumah
yang ditempatinya, pakaian yang dikenakan, gaya hidup, makanan yang dikonsumsi,
dan lain-lain.
Kehidupan wong cilik juga tergambar dalam kumpulan cerpen karya Umar
Kayam ini. Kehidupan yang keras dan serba susah saat dan sesudah Lebaran tiba.
Mereka memandang dan memaknai Lebaran sebagai ritual yang harus dilakukan
setiap tahun yaitu pulang ke kampung halaman. Lebaran bagi wong cilik adalah suatu
momen yang tepat untuk berkumpul dengan keluarga, sungkem kepada sanak
keluarga, saling bermaaf-maafan.
Di negeri ini ada yang tak berubah dari waktu ke waktu yaitu tradisi pulang
kampung . Tradisi pulang kampung ini disebut mudik. Setiap menjelang Lebaran, di
saat gema takbir, ada satu ritual yang tidak pernah hilan yaitu mudik. Mereka pulang
ke kampung halaman setelah sekian lama bekerja di kota dengan membawa oleh-
oleh, memakai pakaian bagus dan baru. Saat itulah kita menyaksikan atau turut
terlibat dalam arus mudik yang luar biasa. Kita menyaksikan melonjaknya permintaan
akan angkutan umum yang tajam
55
Keadaan di atas jelas memperlihatkan dua hal mengenai priayi dan wong cilik
memaknai Lebaran. Pertama, pada diri mereka masih kuat adanya dunia tradisi,
dunia yang sebenarnya tak dapat mereka tinggalkan tanpa ada kesan ikatannya.
Kedua, pengalaman mungkin akan memberikan dimensi lain. Wong cilik adalah
sebuah kelompok dalam masyarakat tradisional Jawa yang mempunyai konsep sabar
dan tawakal untuk survive menghadapi kehidupan yang serba keras pada saat Lebaran
tiba. Sedangkan priayi dalam kumpulan cerpen ini adalah priayi pinggiran (dulu
pernah mengalami jadi wong cilik) yang memandang Lebaran dengan cara berbeda.
3.1 Lebaran dari Sudut Pandang Priayi
3.1.1 Kesepian dan Kehampaan
Sirnanya spiritualitas dan religiusitas Lebaran sedemikian makin tampak
dalam cerpen “Marti” . Dalam cerpen ini, suami Marti sudah tidak menyakini
kesakralan Lebaran. Ia tidak percaya bahwa lebaran dan silaturahmi bisa melebur
dosa dan membuat hati menjadi damai. Baginya, Lebaran adalah upacara yang
membosankan dan selalu sama dari tahun ke tahun. Berikut kutipan pembicaraan
suami Marti kepada Marti
“Kamu itu belum bosan to dengan kumpul-kumpul Lebaran. Repot, rebyek, sungkem sini, sungkem sana, makan, makan dan makan, untuk kemudian jatuh K.O. karena terlalu capek dan terlalu banyak makan makananyang enggak-enggak. Sekali-sekali kita berdua saja Lebaran kenapa sih”? (halaman 30-31) Suami Marti pun mengajak Marti merayakan Lebaran hanya berdua saja.
Mereka merayakannya di sebuah hotel mewah di tepi pantai. Marti tidak berdaya.
Marti hanya bisa mengikuti apa kata suaminya meski tidak sedikit pun merasa
56
bahagia. Di hotel itu, Marti meninggalkan suaminya untuk sekadar berjalan-jalan
menyusuri pantai. Marti berjalan sendirian menyusuri pantai, menyaksikan begitu
banyak orang, terutama anak-anak yang menikmati suasana Lebaran bersama
keluarga. Marti larut dalam suasana hiruk-pikuk di pantai itu. Marti seakan-akan
menemukan kebahagiaan di tengah-tengah kesepian dan kehampaan yang sedang
dirasakannya. Kebahagiaan itu Marti temukan diantara wong cilik yang memaknai
Lebaran bersama masing-masing keluarganya di pantai itu. Marti sesungguhnya
kesepian. Marti merasa hidupnya hampa. Oleh sebab itu, ia mencari suasana lain di
atas suasana yang diciptakan suaminya.
Cerita ‘Marti’ dalam kumpulan cerpen karya Umar Kayam ini
memperlihatkan sikap seorang priayi dalam memaknai lebaran. Mereka cukup berani
mengambil keputusan untuk berlebaran di hotel yang mewah tanpa kehadiran sanak
saudara meski hanya untuk sekedar sungkem dan bermaaf-maafan saja. Hal ini
menunjukkan bahwa Lebaran bukan momen yang indah, wahana banyak orang
memanfaatkannya untuk berkumpul dengan sanak saudara yang lain. Marti dan
suaminya bisa dikatakan sebagai seorang priayi. Mereka punya cukup banyak uang
untuk memaknai Lebaran sesuai versinya sendiri. Mereka memaknai Lebaran hanya
dengan berdua saja di hotel bintang empat yang mewah.
Cerpen ‘Marti’ ini menggambarkan bagaimana sikap batin Marti yang mau
tidak mau harus menuruti keinginan suaminya untuk berlebaran di hotel saja. Marti
seperti menjalin hubungan batin dengan semua suasana pantai, seakan-akan sebagai
ganti kegagalan untuk bertemu dengan keluarganya dalam perayaan Lebaran itu.
57
Marti memaknai Lebaran hanya dengan menyaksikan suasana pantai itu. Seperti
misalnya, ia senang melihat mereka berjubel, berdesakan, berebut untuk naik ke
perahu layar, dan akhirnya Marti pun ikut naik ke perahu. Marti juga menyempatkan
diri untuk makan di warung sederhana, kotor dan banyak lalatnya. Dengan cara
seperti itu, Marti akhirnya bisa memaknai Hari Besar Lebaran sendiri tanpa keluarga
besarnya.
Kesepian dan kehampaan Marti tersebut menimbulkan kesedihan yang luar
biasa. Dalam cerpen ini digambarkan bahwa Lebaran tanpa silaturahmi, tanpa
sungkem dengan keluarga, kerabat, maupun tetangga, tidaklah bermakna apa-apa.
Lebaran memang dari tahun ke tahun sama, mulai dari sungkeman, makan-makan,
dan lain-lain. Sungkeman barangkali memang upacara yang melelahkan, repot,
rebyek, dan menjengkelkan. Akan tetapi, di balik itu sungkeman mempunyai nilai dan
makna yang sangat berharga. Sungkeman mempunyai nilai dan makna yang tidak
dapat tergantikan oleh kemewahan duniawi, oleh kepriayian yang di miliki suaminya.
Marti menemukan kebahagiaan di tengah-tengah kebahagiaan bersama orang-orang
kaum bawah di pantai itu.
Kesepian dan kehampaan pada saat Lebaran juga terdapat dalam cerpen
“Lebaran di Karet, di Karet…”. Lebaran tanpa silaturahmi juga dirasakan oleh Is.
Sebagai tokoh utama, Is yang mantan diplomat dalam negeri di Deparlu memaknai
Lebaran dengan kesendirian. Is merasa hari Lebaran malah menyakitkan bagi
hidupnya. Is hidup sendirian di sebuah rumah besar dan mewah di Jakarta. Istrinya,
Rani sudah meninggal karena penyakit kanker yang dideritanya. Dua anaknya, Nana
58
dan Suryo, menetap dan tinggal di luar negeri. Nana dan Suryo dalam beberapa tahun
menyelesaikan studinya dan menyebar mencari nafkah di Geneva, Amsterdam, dan
New York. Pada saat Lebaran, kedua anaknya tidak bisa pulang ke Indonesia.
Kesepian Is sangat terasa pada saat Lebaran. Sebagai orang tua Jawa, disadari
atau tidak, di hari Lebaran, Is ternyata sangat merindukan anak-anaknya datang
sungkem kepadanya. Tapi apa mau dikata, kedua anaknya tidak bisa memenuhi
keinginan batinnya yang sepi dan hampa. Sebuah surat singkat yang mengabarkan
bahwa Nana dan Suryo tidak bisa datang pada hari Lebaran karena sesuatu hal.
Berikut kutipannya.
“Surat-surat itu mengecewakan Is karena pendeknya. Dengan bersungut-sungut dalam beberapa detik surat-surat itu telah selesai dibacanya.” (halaman 47) Is dalam kesepian dan kehampaannya lalu teringat almarhum istrinya, Rani.
Sebelum meninggal, Rani sempat berpesan agar ia dimakamkan di Karet, sebuah
pemakaman terkenal di Jakarta. Umar Ismail, Djayakusuma dan Chairil Anwar juga
dikuburkan di pemakaman Karet. Istrinya, Rani memang tidak dimakamkan di Karet,
melainkan di Jeruk Purut. Di puncak kesepian dan kehampaaan di hari Lebaran, Is
memutuskan untuk ke Karet, bukan ke Jeruk Purut. Is menganggap pemakaman Karet
sebagai sebuah masa lalunya. Sebuah masa lalu ketika kedamaian keluarga pernah
diraihnya.
“Dengan ketegasan sopir pribadi New York, mobil dinas Toyota Deparlu itu mengebut keluar jalan raya. Dengan tegas berhenti sebentar kemudian membanting stirnya ke arah jurusan kiri. Ke Karet, ke Karet – tidak ke Jeruk Purut ke tempat Rani, melainkan ke Karet, ke Karet… Rani pasti setuju dan senang”. (halaman 52)
59
Jadi, cerpen “Lebaran di Karet, di Karet…” ini mengisahkan kesepian dan
kehampaan priayi pada saat Lebaran tiba. Keringnya hati tokoh Is pada saat Lebaran
tanpa silaturahmi dari anak-anak Is yang sudah tersebar di luar negeri begitu sangat
terasa dalam cerpen ini.
Cerpen “Ziarah Lebaran” juga menceritakan kisah kehampaan dan kesepian
seorang duda. Sebagai tokoh utama, Yusuf yang sudah lama menduda ingin
mengakhiri masa dudanya dengan meminang kekasihnya, Yati. Namun, pada saat
Lebaran, Yusuf yang telah memiliki anak (Eko) bersama Siti, istrinya yang sudah
meninggal, tidak berani mengungkapkan keinginannya untuk menikah kepada
mertuanya. Akhirnya, pada Lebaran kali ini, Yusuf harus menepis keinginannya
untuk menikahi Yati tahun depan. Kesepian dan kehampaan dirasakan Yusuf pada
saat Lebaran. Kesepian akan hadirnya perempuan pengganti istrinya tidak terwujud
pada Lebaran kali ini, begitu juga kehampaan juga sangat dirasakan Yusuf .
Ketiga cerpen di atas menggambarkan bahwa lebaran tidak lagi menjadi
penanda religiusitas, melainkan telah menjadi simbol kesepian.
3.1.2 Kerepotan Rumah Tangga/ Pembantu Mudik
Batur artinya pembantu rumah tangga; bisa juga berarti teman. Dalam konsep
Jawa, pembantu rumah tangga adalah teman yang diperlukan untuk melakukan
berbagai tugas dan diajak berembug untuk membantu memecahkan masalah (Kayam,
1994). Majikan dan pembantu (wong cilik) itu memang bagian yang tak terpisahkan
dari dunia priayi, bagian yang diperlukan, bagian yang memberikan kebahagiaan.
60
Berbicara seputar Lebaran, mau tidak mau kita akan berbicara seputar
pembantu rumah tangga dan kerepotan majikan saat pembantu mudik. Banyak
keluarga yang punya pembantu akan kerepotan menghadapi Lebaran. Syukur kalau
masih kembali ke rumah majikan, kalau tidak, tentu harus mencari pembantu baru.
Dalam cerpen “Ke Solo, ke Njati”, nyonya rumah sangat senang ketika
pembantunya tidak jadi mudik karena tidak bisa masuk ke dalam bus yang akan
mengangkutnya ke Wonogiri. Sebagai priayi, nyonya rumah yang ditinggal
pembantunya mudik akan sangat kerepotan mengerjakan pekerjaan rumah. Pada saat
Lebaran banyak tamu datang untuk bersilaturahmi ke rumah majikannya ini. Akan
banyak gelas dan piring-piring kotor seusai Lebaran. Itulah sebabnya, sang majikan
sangat senang saat tokoh ibu (pembantunya) kembali ke rumahnya karena gagal
mudik. Berikut kutipannya.
“To, saya bilang apa. Saya bilang apa. Sokur tidak dapat bis kamu. Ayo sini Bantu kami disini. Tuh piring-piring kotor masih menumpuk di dapur. Sana…” (halaman 7)
Dalam kumpulan cerpen ini juga terdapat dua cerita yang hampir sama dalam
dua judul, yaitu “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang” dan “Mbok Jah”. Cerita
mengenai dua pembantu rumah tangga yang mudik untuk seterusnya dan tidak akan
kembali bekerja ke majikannya. Kedua pembantu yang bekerja di keluarga priayi
meminta berhenti bekerja dengan alasan yang hampir mirip.
Cerpen “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang” menceritakan tentang seorang
wong cilik bernama Nem. Nem sudah bekerja selama dua puluh tahun di sebuah
61
keluarga priayi di Jakarta. Pada Lebaran kali ini, Nem ingin berhenti bekerja dan
pulang kampung. Berikut kutipan mengapa Nem ingin berhenti bekerja.
“Saya sudah semakin tua dan terus terang semakin capek, Lebaran ini, pokoknya saya harus pulang untuk seterusnya.” (halaman 28). Permintaan Nem untuk mudik sekaligus berhenti bekerja, dikabulkan oleh
majikannya. Sebagai seorang priayi, majikan Nem memaknai Lebaran tanpa
pembantu. Lebaran, bagi majikan Nem hanya dilakukan dalam lingkup Jakarta saja.
Cerpen “Mbok Jah” ini mempunyai cerita yang hampir sama dengan cerpen
“Lebaran Ini, Saya Harus Pulang”. Keluarga Mulyono yang berdomisili di kota
besar tepatnya di Jakarta, juga mengalami kerepotan saat pembantunya (Mbok Jah)
minta izin untuk berhenti bekerja pada saat Lebaran. Mbok Jah sudah bekerja selama
dua puluh tahun di keluarga Mulyono di Jakarta. Namun, seiring berjalannya waktu,
Mbok Jah berhenti seterusnya dan kembali ke kampung halamannya di Tepus,
Gunungkidul. Berikut kutipan mengapa Mbok Jah memutuskan berhenti bekerja pada
keluarga Mulyono.
“Merasa semakin renta, tidak sekuat sebelumnya, Mbok Jah merasa dirinya menjadi beban keluarga itu.” (halaman 39) Sebagai seorang priayi, bagi keluarga Mulyono, Mbok Jah sudah mereka
anggap sebagai keluarga sendiri. Keluarga Mulyono mengabulkan permintaan Mbok
Jah untuk pulang ke kampung halamannya seterusnya. Namun dengan satu syarat,
Mbok Jah harus kembali ke Jakarta setahun dua kali, yaitu pada waktu sekaten dan
Idul Fitri.
62
Keluarga Mulyono ini memaknai Lebaran kali ini tanpa kehadiran
pembantunya (Mbok Jah) yang sudah mereka anggap sebagai keluarga sendiri.
Kelurga ini hanya merayakan Lebaran hanya dalam lingkup lingkungannya saja, yaitu
di Jakarta. Mereka seakan tidak melakukan ritual Lebaran seperti misalnya mudik,
sungkeman, ziarah ke makam, dan lain sebagainya.
Ketiga cerpen di atas yaitu “Ke Solo, ke Njati”, “ Lebaran Ini, Saya Harus
Pulang”, “ Mbok Jah” menggambarkan cerita tentang majikan (priayi) dan pembantu
(wong cilik). Dalam memaknai lebaran, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan antara
priayi dan wong cilik. Lebaran bagi priayi bukan sekadar mudik sebagai ritual
tahunan, melainkan kerepotan yang menyisakan berbagai masalah rumah tangga
karena pembatu mudik.
3.2 Lebaran dari Sudut Pandang Wong Cilik
3.2.1 Pulang Kampung
Dalam cerita “Ke Solo, Ke Njati” betapa susahnya bagi wong cilik pulang
kampung untuk merayakan lebaran dengan angkutan umum.
“Bis jurusan Wonogiri mulai bergerak meninggalkan terminal. Habis sudah harapannya untuk terangkut. Orang begitu berjejal, berebut masuk. Tidak mungkin dia akan dapat peluang, betapapun kecil itu, untuk menyeruak masuk diantara desakan puluhan manusia yang mau naik. Bawaannya ber-genteyong-an dipundak dan punggungnya, belum lagi tangannya yang mesti menggandeng kedua anak-anaknya yang masih kecil.” (halaman 1) Demikian alinea pertama cerpen “Ke Solo, ke Njati” karya Umar Kayam
dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet… karya Umar Kayam. Cerpen
tersebut berkisah tentang sekelumit kisah hiruk-pikuk umat Islam menyambut
63
Lebaran. Mudik seakan menjadi bagian ritual wajib pada saat Lebaran tiba yang harus
dilalui dan dilakukan.
Tokoh Ibu ini berasal dari golongan bawah atau bisa disebut sebagai wong
cilik. Tokoh Ibu, seorang pembantu rumah tangga di Jakarta. Ia mempunyai dua
orang anak yang masih kecil-kecil. Pada saat mau mudik, si Ibu telah mencoba
berkali-kali dan selalu berusaha berdesakan dalam jejalan beratus bahkan beribu
orang untuk bisa menaiki bus yang akan di tumpanginya saat mudik. Ia hanya punya
satu tujuan yaitu mudik. Tapi, karena tubuhnya yang lemah ditambah dengan dua
anak yang masih kecil (yang sulung digandeng dan si bungsu digendong) dan bawaan
lain yang cukup banyak, si Ibu tak pernah berhasil. Si Ibu pun akhirnya memutuskan
kembali ke tempat tinggalnya, sebuah kamar sewaan yang kumuh di bilangan Kali
Malang, Jakarta.
Lewat kisah ini, Umar Kayam tampak tidak hendak menambah keramaian
mudik dan Lebaran di lapis permukaan, yakni mudik dan Lebaran sebagai
kemewahan ritual. Umar Kayam membidik satu hal yang di tengah hiruk-pikuk
tersebut mungkin kita lupakan. Dalam cerpen ini terlihat tergilasnya kaum lemah, dari
golongan bawah, atau bisa disebut juga wong cilik. Cerpen ini mengisahkan cerita
kekalahan wong cilik pada saat mudik Lebaran. Namun, dalam cerpen ini, tidak
berdayanya si Ibu adalah suatu ironi yang harus dijalani oleh wong cilik. Dalam
suasana Lebaran, setelah ibadah puasa terselesaikan, si Ibu yang hidupnya berada dari
kalangan wong cilik tetap saja tidak pernah berubah nasibnya. Nasibnya sama, lemah
meski sekalipun untuk bisa mudik saja.
64
Ada cerpen dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet… karya Umar
Kayam yang juga patut untuk dikenang di hari baik ini, seperti “Lebaran ini Saya
Harus Pulang”. Dalam cerpen ini menyimpan simpul kisah manusia yang serba abu-
abu di keriaan Hari Raya dalam sebuah pesan humanistik citraan wong cilik.
Namun, dalam cerpen ini tetap menyimpan kisah tokohnya yaitu Nem. Nem
adalah wakil kaum wong cilik atau kaum pinggiran yang begitu mendambakan untuk
bisa pulang ke kampung halaman sekaligus pamit pensiun dari pekerjaannya sebagai
pembantu rumah tangga. Meskipun, Nem sudah bisa membayangkan, hari-hari
“pensiunnya” di desa yang belum tentu seindah yang diinginkannya. Karena, ia
dengar desanya semakin rusuh dan masih penuh dengan kemelaratan.
“Begini lho,Bu, Pak, dan Mbak. Lebaran ini saya mau pulang mudik.” “Oh, ada maunya to, tidak diminta, sore-sore datang mijit kaki saya!” (halaman 25) Betapa pun beratnya, jutaan orang setiap tahunnya tetap melakukan mudik
Lebaran. Padahal, rumah di desa, kampung halaman, belum tentu seindah yang
dibayangkan. Seperti halnya Nem sudah bisa membayangkan kesulitan-kesulitan
yang akan ditemui di desanya, dalam cerpen ini Nem berperan sebagai wong cilik.
Bagi wong cilik, dalam cerita ini Nem, kampung halaman menyimpan tragedi dan air
matanya sendiri. Selebihnya, para pemudik seperti Nem yang juga malah pensiun dari
pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga, akan disadarkan kembali oleh
kenyataan hidup yang juga berat saat di kampung halamannya. Tokoh Nem akhirnya
memilih kembali menjalani takdirnya yaitu sebagai wong cilik yang pernah mengais
rejeki di perkotaan. Jadi, keharuan kita dalam menghadapi kepolosan sikap Nem
65
dalam menyikapi perjalanan mudiknya yang belum tentu happy ending saat tiba dan
menetap di desanya.
Dalam cerpen “Mbok Jah”, pulang kampung atau mudik pada saat Lebaran
adalah wajib bagi Mbok Jah. Mbok Jah adalah tokoh utama dalam cerpen ini. Sebagai
wong cilik, Mbok Jah menjalani kehidupan dengan serba keterbatasan dan
kemelaratan. Kisah hidup yang begitu berat harus di jalani oleh wong cilik seperti
Mbok Jah. Ia sudah dua puluh tahun menjadi pembantu rumah tangga di sebuah
keluarga Mulyono yang berada di Jakarta.
Dari sudut pandang wong cilik, ketiga cerpen diatas yaitu “Ke Solo, ke Njati”,
“Lebaran Ini, Saya Harus Pulang”, “ Mbok Jah” menggambarkan bahwa memaknai
lebaran itu tidaklah mudah. Lebaran bagi wong cilik bukan sekadar mudik sebagai
kebahagiaan, melainkan tempat segala persoalan muncul, seperti kemelaratan,
kemiskinan.
3.2.2 Kemelaratan dan Kemiskinan
Lebaran meski bisa menyenangkan, juga bisa menyedihkan dan
mengecewakan. Kemelaratan dan kemiskinan mewarnai cerita mengenai Lebaran kali
ini, seperti “Ke Solo, ke Njati”, “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang”, “Mbok Jah”,
”Sardi”. Keempat cerpen ini sama-sama menceritakan kehidupan wong cilik dalam
memaknai Lebaran. Mudik bagi tokoh Ibu (Ke Solo, ke Njati), Nem (Lebaran Ini,
Saya Harus Pulang), Mbok Jah (Mbok Jah), Sardi (Sardi) merupakan keharusan
untuk sekadar bertemu sanak keluarga yang ada di desa. Keempat tokoh utama dari
masing-masing cerita akan disadarkan oleh kenyataan hidup yang juga berat saat tiba
66
di kampung halaman. Kemelaratan dan kemiskinan dari dulu sampai sekarang tidak
pernah lepas dari kehidupan mereka sebagai wong cilik.
Dalam cerpen “Ke Solo, ke Njati”, tokoh ibu dan kedua anaknya harus
berjuang masuk ke dalam bus jurusan Wonogiri. Faktor ekonomilah yang
melatarbelakangi tokoh ibu yang hanya mampu membeli karcis bus ekonomi. Tokoh
ibu dan kedua anaknya akhirnya pulang karena tidak dapat masuk ke dalam bus.
Kemelaratan juga terlihat dari kamar sewaan tokoh ibu. Sebuah kamar sewaan yang
berada di tengah kampung kumuh di bilangan Kali Malang Jakarta. Tokoh ibu karena
kemelaratannya, akhirnya kembali ke rumah majikannya setelah gagal mudik
bersama kedua anaknya.
Kedua cerpen ini, yaitu, “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang” dan “Mbok Jah”
menceritakan kisah yang hampir mirip. Cerita tentang wong cilik yang menjadi
pembantu rumah tangga di Jakarta. Pada saat lebaran, Nem dan Mbok Jah ingin
berhenti bekerja dan kemudian mudik ke kampung halamannya. Bagi wong cilik,
lebaran malah menyisakan berbagai masalah ekonomi, sosial, dan lain-lain. Berhenti
bekerja dan mudik ke kampung halaman bukan hal terbaik dalam memaknai lebaran.
Kemelaratan dan kemiskinan menjadi masalah utama bagi Nem dan Mbok Jah setelah
sampai kampung halamannya.
Cerpen “Sardi” menceritakan bahwa wong cilik memaknai lebaran dengan
segala kemelaratannya. Sardi merasa bingung saat kedua orangtua memintanya
pulang pada saat lebaran. Sardi tidak punya biaya untuk lebaran tahun ini. Sardi yang
lugu dan polos pun, akhirnya menilep uang kantor untuk berlebaran di kampung
67
halaman. Namun, lebaran kali ini membuat Sardi merasa tertekan dan menderita.
Sardi melakukan ini karena kondisi ekonominya. Kemelaratan yang menjadi dasar
utama Sardi menilep uang kantor untuk berlebaran bersama keluarganya.
3.2.3 Duka Lebaran
Cerpen “Menjelang Lebaran” menceritakan duka menjelang Lebaran. Kamil
adalah tokoh utama dalam cerpen ini. Kamil terkena PHK menjelang Lebaran. Kamil
dan keluarga terpaksa menggagalkan ritual mudik bersama keluarganya. Sisa dari
“petaka” itu menyisakan masalah dengan pembantunya, Nah. Nah untuk sementara
tidak bisa dibayar gajinya, dan seterusnya oleh Kamil. Dalam cerpen “Menjelang
Lebaran” ini muncul sebuah ironik menjelang Hari Besar yang serba prihatin dan
menjadi duka bagi keluarga Kamil.
Menjelang Lebaran atau tepatnya saat berbuka puasa Kamil membawa berita
yang mengejutkan buat keluarganya. Krisis moneter yang melanda negeri ini
membawa pengaruh besar terhadap kelangsungan pekerjaan Kamil. Yah, Kamil di
PHK.
“Bu, saya termasuk yang kena PHK.” “Saya sudah merasa.” “Kok tahu?” “Tidak tahu juga. Cuma mersa…” “Feeling to…” “Entah. Rasanya sore ini kamu lain saja.” “Kena PHK, dijanjikan gaji penuh sebulan ini dan hadiah Lebaran separuh gaji.” (halaman 15) Ironik memang dengan tahun-tahun sebelumnya, sebelum Kamil kena PHK.
Menjelang Lebaran kali ini, imbas dari PHK sangatlah terasa sulit. Bagaimana tidak
68
rencana Lebaran ke Jawa harus diperhitungkan dan dipertimbangkan lagi. Nah
pembantu keluarga ini harus di gaji dengan apa. Setelah Kamil terkena PHK,
berbagai masalah muncul dalam kehidupan yang serba prihatin itu. Berikut
kutipannya.
‘Terus bagaimana enaknya, Sri?” “Apanya?” “Yah, semuanya. Rencana Lebaran ke Jawa, Nah mau diapakan, lantas sesudah itu semua kita mau apa?” “Mestinya rencana untuk mudik ke Jawa diurungkan, to? Dan Nah yang kau gaji sertus lima puluh ribu rupiah sebulan plus makan dan tidur di dalam rumah kita, apakah masih kuat kita mempertahankan status itu. Dan kita, dan kita…” (halaman 15) Kamil memaknai Lebaran kali ini dengan serba prihatin karena PHK. Namun,
sikap optimis istri Kamil dalam mengatasi Lebaran membuatnya merasa lega. Istri
Kamil melihat semua persoalan yang dihadapi mudah diatasi. Seperti kutipan
dibawah ini.
“Mas, sesungguhnya kalau mudik ke Jawa dan Nah, teorinya, kita dapat mengatasi. Wong anggaran untuk itu sudah saya siapkan jauh hari., kok. Yang belum itu sesudah habis Lebaran kamu menganggur itu, lho. Tapi yah, masak kamu akan menganggur terus. Cepat atau lambat kamu akan bekerja lagi?” (halaman 16) Mudik, dengan begitu, tidak hanya menggambarkan sesuatu yang bersifat
religius saja, tetapi juga menyisakan berbagai permasalahan. Mulai dari masalah
ekonomi, sosial, dan lain-lain. Lebaran dalam cerpen “Menjelang Lebaran” ini
bukan hanya menampilkan kebahagiaan, melainkan tempat segala macam persoalan
ditumpahkan, khususnya bagi wong cilik.
69
Duka Lebaran juga diceritakan dalam cerpen “Sardi” . Duka dan kesedihan
dialami oleh tokoh Sardi yang menjadi tokoh utama dalam cerpen ini. Cerpen yang
baru pertama kali dipublikasikan dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di
Karet… karya Umar Kayam. Sardi pada saat Lebaran juga ingin mudik ke kampung
halamnnya. Karena tidak punya biaya untuk mudik Lebaran, terpaksa Sardi menilep
uang majikannya. Cek yang dicairkan Sardi tidak diserahkan kepada bosnya,
melainkan membawanya pulang ke kampung. Cek yang sudah dicairkan, Sardi bagi-
bagikan kepada keluarga di desa.
“Bapak, simbok, saya akan tinggal di desa saja. Mau membantu Bapak di tegal dan bikin tikar sama embok.” (halaman 59) Lebaran kali ini, bagi Sardi justru menjadi duka bagi batinnya sendiri. Sardi
yang polos dan sopan berani menilep uang majikannya untuk bisa mudik Lebaran.
Dengan uang itu, Sardi sedikit bisa membahagiakan sanak saudaranya di hari Lebaran
dengan oleh-oleh yang dibawanya. Ironis memang, wong cilik seperti Sardi harus rela
menanggung konsekuensi atas perbuatannya untuk membahagiakan keluarganya yang
melarat dan miskin di kampung.
70
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Keseluruhan cerita dalam kumpulan cerpen “Lebaran di Karet, di Karet…”
karya Umar Kayam ini beralur tunggal. Sebagian besar beralur lurus, sebagian kecil
beralur sorot balik atau flash back. Bagian akhir dari cerpen-cerpen ini tidak selalu
disertai penyelesaian. Cerita berakhir bukan berarti selesai atau ada penyelesaian dari
semua peristiwa, konflik, dan klimaks yang disuguhkan pengarang. Cerita dibiarkan
mengambang atau ditutup dengan sebuah pertanyaan dari pengarang. Pengarang
seakan-akan memberikan ruang kosong yang harus diisi atau diinterprestasikan oleh
pembaca.
Dalam analisis tokoh, peneliti menganalisis tokoh utama (main character) dan
tokoh tambahan (peripheral character). Tokoh utama paling sering diceritakan
karena dapat mempengaruhi perkembangan plot secara keseluruhan. Meski pun di
pihak lain, tokoh tambahan juga dimunculkan, namun hanya sesekali saja dan
kehadirannya ada jika berkaitan dengan tokoh utama. Tokoh-tokoh inilah yang
mengalami dan menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang kemudian menyuguhkan
cerita kepada pembaca.
Melalui analisis priayi dan wong cilik dalam memaknai Lebaran, dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, terdapat perbedaan antara priayi dan
wong cilik dalam memaknai Lebaran. Kedua, dari sudut pandang priayi dapat
71
diketahui bahwa pemahaman terhadap makna Lebaran sudah semakin luntur. Lebaran
tidak lagi menjadi penanda religiusitas, melainkan telah menjadi simbol kesepian,
kehampaan, kerepotan rumah tangga. Ketiga, dari sudut pandang wong cilik, Lebaran
menyisakan berbagai masalah ekonomi, sosial, dan lain-lain. Lebaran bagi wong cilik
bukan hanya sekadar mudik/pulang kampung sebagai kebahagiaan, melainkan tempat
segala persoalan muncul, seperti kemelaratan, kemiskinan, dan duka sebelum maupun
sesudah Lebaran.
4.2 Saran
Penelitian ini memusatkan pada alur dan tokoh sebagai landasan teori yang
dipakai dalam menganalisis makna Lebaran dari sudut pandang priayi dan wong cilik.
Penulis hanya menganalisis beberapa hal dalam memaknai Lebaran dari sudut
pandang priayi dan wong cilik. Hal-hal tersebut antara lain, pertama, priayi
memaknai Lebaran dengan kesepian, kehampaan, kerepotan rumah tangga saat
pembantu mudik. Kedua, wong cilik memaknai Lebaran dengan mudik, kemiskinan,
kemelaratan, dan duka sebelum maupun sesudah Lebaran. Terdapat banyak
permasalahan lain dalam memaknai Lebaran yang belum diteliti. Sehubungan dengan
hal ini maka penulis mengharapkan dan menyadari agar peneliti selanjutnya dapat
meneliti secara lebih mendalam mengenai makna Lebaran dari sudut pandang priayi
dan wong cilik.
72
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Eneste, Pamusuk. 1983. Cerpen Indonesia Mutakhir: Antologi Esei Dan Kritik.
Jakarta: PT Garamedia.
Fahrizal. 2001. Para Priyayi Dalam Para Priyayi. Horison edisi XXXI/3/2001.
Kartodirdjo, Sartono dkk. 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi. Gadjah Mada
University Press.
Kayam, Umar. 1994. Sugih Tanpa Banda: Mangan Ora Mangan Kumpul 2.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Kayam, Umar. 1997. Madhep Ngalor Sugih; Madhep Ngidul Sugih: Mangan Ora
Mangan Kumpul 3. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Mujiran, Paulus. Makna Toleransi Dalam Idul Fitri. 20 Oktober 2006
<http://www.hawaii.edu/indolang/reader/Readings/Lebaran.pdf>
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University.
Rahmanto, B. 2004. Umar Kayam: Karya Dan Dunianya. Jakarta: Penerbit PT
Grasindo.
73
Rahman, Jamal D. 2001. Representasi Priyayi Dalam Dua Novel Kita. Horison edisi
XXXIV/3/2001
Ratna, Kutha Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif .
Penerbit Pustaka Pelajar
Subandriyo, Toto. Dimensi Sosial-Ekonomi Mudik. 7 November 2005.
<http://www.suaramerdeka.com/harian/0511/07/opi03.htm>
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suyanto, Bagong. Ketika Lebaran Makin Maya. 1 November 2004.
<http://www.kompas.com/kompas-cetak/0411/01/Lebaran>