preskes paru new 1

Upload: ari-revianto

Post on 13-Jul-2015

1.323 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PRESENTASI KASUS SEORANG LAKI-LAKI USIA 75 TAHUN DENGAN TB PARU, PPOK EKSASERBASI AKUT DALAM PERBAIKAN

sPembimbing : . Tri Yuli Pramana, Sp P

Disusun Oleh : Meisa Marsalina Ari Revianto Ariesia Dewi Anggraini Respati G 0006116 G 0007040 G 0007042 G 0007185

Pembimbing: dr. Jatu Aphridasari, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT PARU FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

2011BAB I PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (MTB). Kuman batang aerobik dan tahan asam ini merupakan organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk organisme MTB adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi1. Pada permulaan abad 19, insiden penyakit TB di Eropa dan Amerika Serikat sangat besar. Angka kematian cukup tinggi yakni 400 per 100.000 penduduk, dan angka kematian berkisar 15-30% dari semua kematian. Usaha-usaha untuk mengurangi angka kematian dilakukan seperti perbaikan lingkungan hidup, nutrisi dan lain-lain, tetapi hasilnya masih kurang memuaskan2. Sejarah eradikasi TB dengan kemoterapi dimulai pada tahun 1944 ketika seorang perempuan dengan penyakit TB paru lanjut menerima injeksi pertama Streptomicin. Segera disusul dengan penemuan asam para amino salisilik ( PAS )1

. Dilanjutkan dengan penemuan Isoniazid pada tahun 1952. Kemudian diikuti

penemuan berturut-turut Pirazinamid pada tahun 1954 dan Etambutol 1952, Rifampisin 1963 yang menjadi obat utama TB sampai saat ini2. Angka insiden kasus dan mortalitas TB menurun drastis sejak terdapat kemoterapi. Namun, dari tahun 1985 hingga 1992, kasus TB meningkat hingga 20 %. Lebih dari 80 % kasus baru TB yang dilaporkan adalah berusia lebih dari 25 tahun 1. Kira kira 5 hingga 100 populasi yang baru terinfeksi akan berkembang menjadi TB paru 1 hingga 2 tahun setelah terinfeksi. Pada 5 % kasus akan berkembang menjadi penyakit klinis di masa yang akan datang, sedangkan 95 % sisanya tidak. Sekitar 10 % individu yang terinfeksi akan berkembang menjadi TB klinis seumur hidup mereka. Namun, risiko yang lebih besar adalah pada individu yang imunosupresif, khususnya pada mereka yang terinfeksi HIV. Berdasarkan data CDC tahun 1996, angka penyakit TB pada orang yang terinfeksi HIV dengan tes tuberkulin kulit

2

positif adalah 200 hingga 800 kali lebih besar daripada angka untuk seluruh penduduk Amerika Serikat1. Laporan TB dunia oleh WHO tahun 2006 masih menempatkan Indonesia sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi 3. Baik di Indonesia maupun di dunia, TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Walaupun sudah lebih dari seabad sejak penyebabnya ditemukan oleh ilmuwan Jerman, Robert Koch, pada tahun 1882, TB belum dapat diberantas bahkan terus berkembang 1.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. MASALAH TUBERKULOSIS Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh MTB. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi pada negara-negara berkembang. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan dikucilkan oleh masyarakat 3. Situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993 WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency)3. Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemik TB yang sulit ditangani 3. Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA (+) sekitar 110 per 100.000 penduduk 3.

4

B. ETIOLOGI Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan 2. MTB memiliki dinding yang sebagian besar terdiri atas lipid, kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun - tahun dalam lemari es) dimana kuman dalam keadaan dormant. Dari sifat ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis aktif kembali2. Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag di dalam jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis 2. C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN PENYAKIT TB Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dapat terpapar penyakit TB antara lain: 1. Faktor Sosial Ekonomi Sangat erat kaitannya dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat memudahkan penularan TB. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan5. 2. Status Gizi Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain-lain akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting

5

yang berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa maupun anakanak 5. 3. Umur Penyakit TB Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif (15 50) tahun. Dewasa ini dengan terjadinya transisi demografi menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB Paru5. 4. Jenis Kelamin. Penyakit TB Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Pada laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar agen penyebab TB Paru5. 5. Imunitas Faktor yang memengaruhi kemungkinan seseorang menderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti TB, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula 3. D. CARA PENULARAN Penyakit TB biasanya menular melalui udara yang tercemar bakteri MTB yang dilepaskan pada saat penderita TB batuk. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah) dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itu infeksi TB dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru, otak, ginjal, saluran

6

pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru2. Lingkungan hidup yang sangat padat dan dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam ( BTA )2. Pada TB kulit atau jaringan lunak penularannya bisa melalui inokulasi langsung. Infeksi yang disebabkan oleh M.bovis dapat disebabkan oleh susu yang kurang disterilkan dengan baik atau terkontaminasi2. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif 3. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif 3. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif 3. E. PATOGENESIS 1. Tuberkulosis Primer Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1 - 2 jam, tergantung sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Pada suasana lembab dan gelap, kuman dapat tahan berhari hari sampai berbulan bulan. Bila partikel ini terhisap oleh

7

orang sehat, maka ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer 2. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai satu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Gumpalan basil yang lebih besar cenderung lebih tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada di ruang alveolus, biasanya bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari hari pertama, leukosit digantikan oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi, dan timbul pneumonia akut 1. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening dan menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 20 hari 1. Bila kuman menetap dalam jaringan paru, ia akan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Dari sini ia dapat menuju ke organ - organ lainnya. Sarang tuberkulosis primer disebut fokus ghon yang dapat terjadi di setiap jaringan paru, dan kalau menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman juga dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh jaringan paru menjadi TB millier 2. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hillus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hillus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal + Limfadenitis regional = Kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:

8

Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. ( sebagian besar penderita ) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis garis fibrotik. Kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada pneumonia yang luasnya > 5 mm dan 10 % diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant. Berkomplikasi dan menyebar secara : a.Perkontinuitatum ( ke sekitarnya ) b.Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan ataupun pada paru disebelahnya. Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus. c.Secara limfogen ke organ organ lainnya d.Secara hematogen ke organ organ tubuh lainnya 2. 2. Tuberkulosis Pasca-Primer ( Sekunder ) Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa ( tuberkulosis post primer = TB sekunder ). Mayoritas reinfeksi menjadi 90 %. TB sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, keganasan, diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB pasca-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi terutama di regio atas paru (segmen apikal-poterior lobus superior atau lobus inferior ). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke lobus hiler paru. Sarang dini mula mula tampak seperti sarang pneumonia kecil dan dalam 3 10 minggu sarang ini berubah menjadi tuberkel, yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel sel histiosit dan sel Datia Langhans 2. Tuberkulosis pasca-primer dapat menjadi : Direabsorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat Sarang yang mula mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat di sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadi kavitas. Kavitas ini mula mula berdinding tipis, lama lama

9

dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik ( kronik ). Terjadinya perkejuan dan kavitas adalah akibat hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut 2. Kavitas dapat mengalami : a.Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas masuk dalam pembuluh darah arteri akan terjadi TB millier. b.Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan menjadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh jamur (contohnya Aspergillus ) sehingga membentuk misetoma. c.Menyembuh dan bersih ( open healed cavity ). Kadang kadang berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk sebagai bintang ( stellate shape ) 2 . Secara keseluruhan terdapat 3 macam sarang : 1.Sarang yang sudah sembuh. ( tidak perlu pengobatan ) 2.Sarang aktif eksudatif. ( perlu pengobatan lengkap dan sempurna ) 3.Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang ini dapat sembuh spontan, tapi mengingat risiko terjadi eksaserbasi, maka sebaiknya diberikan pengobatan sempurna 2. F. KLASIFIKASI TB Hingga saat ini belum ada kesepakatan diantara para klinikus, ahli radiologi, ahli patologi, mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi tuberkulosis. Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964, diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan kuman MTB dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien memberikan biakan sputum positif 2. Menurut WHO tahun 1991, kriteria pasien TB paru adalah sebagai berikut:

10

1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi atas: a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah: 1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. 2) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. 3) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif. b. Tuberkulosis paru BTA (-) adalah: 1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis paru. 2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan MTB positif 6. 2. Berdasarkan tipe pasien: Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu: a. Kasus baru Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. b. Kasus kambuh Pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif atau perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan: 1) Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan, dll) 2) TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten menangani kasus tuberkulosis.

11

c. Kasus defaulted atau drop out Pasien yang telah menjalani pengobatan 1 bulan dan tidak mengambil obat selama 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. d. Kasus gagal pengobatan Pasien dengan BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan. e. Kasus kronik Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik. f. Kasus bekas TB Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapatkan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambar radiologi 6. 3. Berdasarkan gambaran radiologi: a. Lesi TB aktif dicurigai bila: Bayangan berawan / nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru dan segmen posterior lobus bawah Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. Bayangan bercak milier Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) b. Lesi TB inaktif dicurigai bila: Fibrotik Kalsifikasi

12

Schwarte atau penebalan pleura 6. Luas lesi yang tampak pada foto thorax untuk kepentingan pengobatan dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif): 1. Lesi minimal Bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5, serta tidak dijumpai kaviti. 2. Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal 6. World Health Organization,1991 membagi TBC dalam 4 kategori berdasarkan terapi: 1. Kategori I, ditujukan terhadap: -Kasus baru dengan sputum positif -Kasus baru dengan bentuk TB berat 2. Kategori II, ditujukan terhadap: -Kasus kambuh -Kasus gagal dengan sputum BTA positif 3. Kategori III, ditujukan terhadap: -Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas -Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I 4. Kategori IV, ditujukan terhadap: -Tuberkulosis Paru kronik -Multi-Drugs Resistant TB 2. Di Indonesia, klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan klinis, radiologis dan mikrobiologis: 1. TB paru 2. Bekas TB paru 3. TB paru tersangka, yang terbagi dalam:

13

a. TB paru tersangka yang diobati. Dengan sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain positif b. TB paru tersangka yang tidak diobati. Dengan sputum BTA negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan. Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk TB paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan: -Status bakteriologi -Mikroskopik sputum BTA ( langsung ) -Biakan sputum BTA -Status radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis paru -Status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan OAT 2. G. Diagnosis TB 1. Gejala klinis TB paru a. Demam Biasanya subfebril seperti demam influenza. Tetapi kadang kadang panas badan dapat mencapai 40-41o C. Serangan demam pertama dapat sembuh sementara, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Hal ini terjadi terus menerus, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi MTB yang masuk 2. b. Batuk atau batuk darah Gejala ini sering ditemukan. Batuk terjadi karena ada iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang keluar produk produk radang. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu minggu atau berbulan bulan sejak awal peradangan2. Sifat batuk dimulai dari batuk kering ( non-produktif ) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif ( menghasilkan sputum ). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat

14

pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus 2. c. Sesak nafas Jika sakit masih ringan, sesak nafas masih belum dirasakan. Sesak nafas ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru 2. d. Nyeri dada Hal ini jarang ditemukan. Nyeri dada dapat timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan nafasnya 2. e. Malaise Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), badan makin kurus, berat badan turun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur 2. 2. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan umum Konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus, berat badan menurun2. b. Pemeriksaan paru Secara anamnesis dan pemeriksaan fisik, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan kelainan apapun terutama pada kasus kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian pula bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit ditemukan kelainan, karena hantaran getaran atau suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi 2. Bila dicurigai ada infiltrat yang luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronkial. Akan didapatkan juga suara nafas tambahan seperti ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi apabila infiltrat ini

15

ditutupi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi dapat memberikan suara hipersonor atau tympani dan auskultasi suara nafas amforik 2. Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot otot interkostal. Bagian paru yang sakit menjadi mengecil dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat akan menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas, yakni > . jumlah jaringan paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya korpulmonale dan gagal jantung kanan. Disini akan timbul tanda tanda takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham Steel, Bunyi P2 yang mengeras, JVP meningkat, hepatomegali, asites dan edema 2. Bila mengenai pleura, dapat terjadi effusi pleura. Pada inspeksi, paru yang sakit terlihat tertinggal dalam pernapasan, pada perkusi pekak, pada auskultasi bunyi nafas melemah sampai tidak ada2. 3. Pemeriksaan Radiologis Saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini terutama memberikan keuntungan seperti pada kasus tuberkulosis anak anak dan tuberkulosis milier. Pada keadaan tersebut, diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif 2. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberkulosis endobronkial)2. Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak bercak seperti awan dan dengan batas batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma 2. Pada kavitas, bayangannya berupa cincin yang mula mula berdinding tipis, lama

16

kelamaan dinding menjadi sklerotik dan tampak menebal. Bila terjadi fibrosis, akan tampak bayangan yang bergaris garis. Pada kalsifikasi, bayangannya tampak sebagai bercak bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis tampak seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru 2. TB milier memberikan gambaran berupa bercak bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan pleura ( pleuritis ), massa cairan di bagian bawah paru ( efusi pleura atau empiema ), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru atau pleura ( pneumothoraks ) 2. Biasanya pada TB yang sudah lanjut, dalam satu foto dada seringkali didapatkan bermacam macam bayangan sekaligus, seperi infiltrat, garis garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas ( nonsklerotik atau sklerotik ) maupun atelektasis dan emfisema 2. Karena TB sering memberikan gambaran yang berbeda beda, terutama pada gambaran radiologisnya, sehingga tuberkulosis sering disebut sebagai the greatest imitator. Gambaran infiltrasi dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus atau karsinoma metastasis. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru 2. Pemeriksaan khusus yang kadangkadang diperlukan adalah bronkografi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberkulosis. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien akan menjalani pembedahan paru. Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah CT scan dan MRI. Pemeriksaan MRI tidak sebaik CT scan, tetapi dapat mengevaluasi prosesproses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dadaperut. Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan koronal2. 4. Pemeriksaan Laboratorium a. Darah Pemeriksaan ini hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif), akan didapatkan jumlah lekosit yang sedikit

17

meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah lekosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal. Hasil pemeriksaan lain dari darah didapatkan : anemia ringan normokrom normositer, gama globulin meningkat, kadar natrium darah menurun2. Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi Takahashi. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128. Positif palsu dan negatif palsu dari pemeriksaan ini masih besar 2. Akhir akhir ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak dipakai adalah Peroksidase Anti-Peroksida (PAP-TB) yang nilai sensitivitas dan spesifisitasnya cukup tinggi ( 85-95% ), tapi di lain pihak ada pula yang meragukannya. Walaupun demikian, PAP-TB masih dapat dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila dimanfaatkan sebagai sarana tunggal diagnosis TB. Prinsip dasar uji PAP-TB adalah menentukan ada antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen tuberkulosis. Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis bila pada titer 1:10.000 didapatkan uji PAP-TB positif. Hasil positif palsu didapatkan pada pasien reumatik, kehamilan, dan masa 3 bulan revaksinasi BCG 2. Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama nilai dan caranya dengan uji PAP-TB adalah uji Mycodot. Disini dipakai antigen Lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada alat berbentuk sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam serum pasien. Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah memadai maka warna sisir akan berubah 2. b. Sputum Pemeriksaan sputum penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Selain itu, pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Tidak mudah untuk mendapatkan sputum terutama pada pasien yang tidak batuk atau batuk yang nonproduktif. Dalam hal ini dianjurkan 1 hari sebelum pemeriksaan, pasien dianjurkan minum air sebanyak 2 liter

18

dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dan juga dengan memberikan tambahan obat obat mukolitik, ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20 30 menit2. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi, diambil dengan brushing atau bronchial washing atau Broncho Alveolar Lavage (BAL). Basil tahan asam dari sputum juga dapat diperoleh dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya2. Kuman baru dapat ditemukan apabila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka keluar sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah keluar. Diperkirakan di Indonesia terdapat 50 % pasien BTA (+) tetapi kuman tersebut tidak ditemukan dalam sputum. Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang kurangnya ditemukan ditemukan 3 kuman dalam 1 sediaan, atau dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 ml sputum2. Cara pemeriksaan sediaan sputum : -Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa. -Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan khusus) -Pemeriksaan dengan biakan (kultur). Setelah 4 6 minggu penanaman, koloni kuman mulai tampak. Bila setelah 8 minggu tidak tampak, biakan dinyatakan negatif. -Pemeriksaan terhadap resistensi obat2. Kadang kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman BTA (+), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada fenomena Death bacilli atau nonculturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat antituberkulosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu singkat2. c. Pemeriksaan penunjang lainnya : 1) Teknik Polymerase Chain Reaction

19

Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam spesimen. Dapat mendeteksi DNA kuman TB dalam waktu yang lebih cepat atau untuk mendeteksi MTB yang tidak tumbuh pada sediaan biakan. Juga dapat mendeteksi resistensi obat7. 2) Becton Dickinson Diagnostic Instrument System (BACTEC = Bactec 400 Radiometric System) Dimana kuman dapat dideteksi dalam 7 10 hari. Deteksi growth index berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak oleh MTB 7. 3) Enzyme Linked Immunosorbent Assay Deteksi respons humoral, berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Pelaksanaannya rumit dan antibodi dapat menetap dalam waktu lama7. H. PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS PARU 1. Pengobatan TB Paru Sejak 1995, program Pemberantasan Penyakit TB di Indonesia mengalami perubahan manajemen operasional, disesuaikan dengan strategi global yang direkomendasikan oleh WHO. Langkah ini dilakukan untuk menindaklanjuti Indonesia WHO joint Evaluation dan National Tuberkulosis Program in Indonesia pada April 1994 7. Dalam program ini, prioritas ditujukan pada peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan obat yang rasional untuk memutuskan rantai penularan serta mencegah meluasnya resistensi kuman TB di masyarakat. Program ini dilakukan dengan cara mengawasi pasien dalam menelan obat setiap hari, terutama pada fase awal pengobatan 7. 2. Cara Pemberian OAT dengan DOTS Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu : a. Tahap Intensif

20

Pada tahap intensif, penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita yang tadinya menular, menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif 8. b. Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan, penderita mendapat jumlah obat yang lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap ini penting untuk membunuh kuman dormant, sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan 8. Dari hasil percobaan pada binatang dan pengobatan pada manusia ternyata : Hampir semua obat antituberkulosis mempunyai sifat bakterisid kecuali etambutol dan tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan streptomisin menempati urutan yang lebih bawah. Dalam aktivitas bakterisid: Rifampisin dan INH disebut bakterisid yang lengkap (complete bactericidal drug) oleh karena kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. Kedua obat ini masing-masing mendapat nilai satu. Pirazinamid dan streptomisin masing-masing hanya mendapat nilai setengah, karena pirazinamid hanya bekerja dalam lingkungan asam sedangkan streptomisin dalam lingkungan basa. Etambutol mendapat nilai setengah 2. 3. Prinsip Pengobatan TB Pengobatan TB memiliki 2 prinsip dasar, yaitu: a. Bahwa terapi yang berhasil, memerlukan minimal 2 macam obat yang basilnya peka terhadap obat tersebut, dan salah satunya harus bakterisid. Karena suatu resistensi obat dapat timbul spontan pada sejumlah kecil basil, monoterapi memakai obat bakterisid yang terkuat

21

pun dapat menimbulkan kegagalan pengobatan dengan terjadinya pertumbuhan basil yang resisten9

. Obat anti TB mempunyai

kemampuan yang berbeda dalam mencegah terjadinya resistensi terhadap obat lainnnya. Obat rifampisin dan INH merupakan obat yang paling efektif, etambutol dan streptomisin dengan kemampuan menengah, sedangkan pirazinamid adalah yang efektifitasnya terkecil 9. b. Bahwa penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeliminasi basil yang persisten. Basil persisten ini merupakan suatu populasi kecil yang metabolismenya inaktif. Pengobatan yang tidak memadai akan mengakibatkan bertambahnya kemungkinan kekambuhan, beberapa bulan-tahun mendatang setelah seolah tampak sembuh 9. 4. Sifat Obat TB Berdasarkan kedua prinsip di atas, program pengobatan TB dibagi menjadi 2 fase, yaitu: fase bakterisidal awal (inisial) dan fase sterilisasi (lanjutan) 2. Terdapat 2 macam sifat atau aktivitas obat terhadap tuberkulosis yakni: a. Aktivitas bakterisid Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh. Aktivitasnya diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh atau melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan didapatkan hasil yang negatif ( 2 bulan dari permulaan pengobatan ) Rifampisin dan INH disebut bakterisid yang lengkap karena kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. Pyrazinamid hanya bekerja di lingkungan yang asam sedangkan streptomisin bekerja di lingkungan yang basa. Oleh karena itu masing-masing mendapat nilai setengah. Etambutol dan tiasetazon tidak mendapat nilai 2. b. Aktivitas sterilisasi

22

Disini

obat

bersifat

membunuh

kuman-kuman

yang

pertumbuhannya lambat. Aktivitasnya diukur dari kekambuhannya setelah pengobatan dihentikan 2. 5. Regimen Pengobatan TB Obat-obatan TB dapat diklasifikasi menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat lapis pertama dan lapis kedua. Kedua lapisan obat ini di arahkan ke penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil dorman dan pencegahan terjadinya resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari H, R, Z, E, S. obat-obatan lapis kedua mencakup rifabutin, etionamid, sikloserin, PAS, klofazimin, aminiglikosida di luar streptomisin dan kuinolon 11. a. Rifampisin Rifampisin merupakan obat semisintetik derivat dari Stretomyces mediteranei. Rifampisin memegang peranan utama dalam pengobatan tuberkulosis. Selain itu, rifampisin juga memiliki spektrum yang luas, sehingga dapat mengatasi baik bakteri gram positif, maupun bakteri gram negatif, seperti Legionella spp., M. kasasii, dan M. marinum. Rifampisin memiliki aktiviti bakterisidal di intraseluler dan juga ektraseluler. Rifampisin menghambat sintesa RNA dengan mengikat dan menghambat polymerase DNA dependant RNA 12. Rifampisin dapat menyebabkan urin berwarna merah kekuningan. Selain itu, efek samping yang dapat ditimbulkan oleh rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatitis, rash atau kemerahan pada kulit, anemia hemolitik, trombositopenia dan juga imunosupresi 12. Rifampisin dapat memicu tebentuknya enzim mikrosomal di hepar sehingga dapat menurunkan efektivitas beberapa jenis obat, seperti digoksin, warfarin, prednison, kontrasepsi oral, obat-obat Zidovudine (ARV) dan juga kuinidin ditingkatkan 2.11

. Rifampisin meningkatkan metabolisme

hepatik kontrasepsi oral sehingga dosis kontrasepsi oral harus

23

Efek samping rifampisin antara lain Ikterus, Flu like syndrome, Syndrom Redman( akibat dosis yang berlebihan, terdapat kerusakan hati yang berat , warna merah terang pada urin , air mata, ludah dan kulit), nyeri epigastrik, reaksi hipersensitivitas, supresi imunitas. b. Isoniazid (INH) Setelah rifampisin, isoniazid merupakan obat antituberkulosis yang paling efektif 7. Isoniazid harus diberikan pada setiap pengobatan tuberkulosis, kecuali jika terdapat resistensi. Isoniazid memiliki efek bakteriostatik dan juga bakterisidal 2. Isoniazid dianggap obat yang aman; efek samping utamanya antara lain hepatitis dan neuropati perifer karena interferensi fungsi biologi vitamin B6 atau piridoksin1,11

. Efek samping lainnya seperti

rash/kemerahan di kulit, anemia, kejang, dan gangguan kejiwaan jarang dijumpai. Isonizid mempunyai kemampuan bakterisidal TBC yang terkuat. Mekanisme kerjanya adalah menghambat cell-wall biosynthecis pathway 2. Efek samping obat ini antara lain neuritis perifer (kejang, atropi optik, ataksia, kesemutan, ensephalopati toksik dan kematian), ikterus, hipersensitivitas, mulut kering, nyeri epigastrik, methemoglobinemia, tinitus, retensi urin. c. Pirazinamid Pirazinamid merupakan derivat asam nikotinik, yang digunakan pada pengobatan tuberkulosis jangka pendek 7. Pirazinamid memiliki efek bakterisidal2,7

. Efek samping yang paling sering dijumpai pada7,11

pemberian pirazinamid adalah hepatotoksik dan juga hiperurisemia

.

Pirazinamid merupakan obat bakterisidal untuk organisme intraselular dan agen anti tuberculous ketiga yang juga cukup ampuh. Pirazinamid hanya diberikan untuk 2 bulan pertama pengobatan 11. Obat Anti Tuberkulosis Tambahan (first-line supplemental drugs)

24

Selain pemberian OAT golongan 1 tersebut, diberikan pula obatobatan tambahan (first-line supplemental drugs) yang juga memiliki efektivitas tinggi, namun jarang menimbulkan efek toksik, seperti etambutol dan streptomisin 7. Pada beberapa sumber menggolongkan kedua obat-obatan ini ke dalam OAT golongan. a. Etambutol Etambutol memiliki efek bakteriostatik terhadap MTB 2,7. Efek samping yang paling berat dari etambutol adalah neuritis optic retrobulbar, yang biasanya muncul setelah beberapa bulan mengkonsumsi etambutol 7. Efek samping ini muncul tergantung dari dosis dan juga durasi pemberian obat. Kadang-kadang dapat pula dijumpai hiperurisemia, namun asimtomatik 7. Etambutol satu-satunya obat lapis pertama yang mempunyai efek bakeriostatik tetapi bila dikombinasikan dengan INH dan Rifampisin terbukti bisa mencegah terjadinya resisten obat 2. Efek samping lain etambutol adalah gout (pirai), gatal, nyeri sendi, nyeri epigastrik, nyeri perut, malaise, sakit kepala, sempoyongan, linglung, halusinasi, bingung. b. Streptomisin Streptomisin merupakan salah satu obat anti tuberculosis pertama yang ditemukan. Streptomisin ini merupakan suatu antibiotic golongan aminiglikosida yang harus diberikan secara parenteral dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme ekstraseluler 11. Streptomisin dapat diberikan bakterisidal secara2,7

intramuskular7

7

.

Streptomisin

memiliki

efek

. Efek samping streptomisin muncul pada 10-20% pasien . Kekurangan obat ini adalah efek

yang mendapat streptomisin

samping toksik pada saraf kranial kedelapan yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan atau hilangnya pendengaran 7. Selain itu yang berbahaya dari streptomosin adalah sifatnya yang toksik bagi ginjal (gagal ginjal non-oliguri) 7.

25

Obat Anti Tuberkulosis Golongan 2 (second-line antituberculosis drugs) Obat anti-tuberkulosis golongan 2 digunakan jika terdapat resistensi obat atau jika OAT golongan 1 tidak tersedia. Dari sebuah penelitian pada pasien yang resisten terhadap OAT golongan 1 atau terdapat keadaan multi-drug resistant, dapat diatasi dengan pemberian rifabutin, obat-obat golongan quinolon, para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide, cycloserine, amikacin dan capreomycin7

. Obat-obat7,11

antituberkulosis golongan 2 kurang efektif jika dibandingkan dengan OAT golongan 1 dan dapat menimbulkan efek samping yang berat obat ini jarang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis 7. Quinolon Obat-obat golongan quinolon digunakan jika terdapat resistensi terhadap OAT golongan 1 atau pada pasien-pasien yang tidak dapat menggunakan OAT golongan 1. Obat-obatan yang termasuk golongan quinolon adalah ofloxacin, levofloxacin, ciprofloxacin, gatifloxacin dan moxifloxacin. Efek samping jarang sekali dijumpai. Jika ada, biasanya berupa gangguan gastrointestinal, kemerahan pada kulit, pusing dan sakit kepala. Efek samping yang cukup berat, seperti kejang, nefritis interstitial, vaskulitis, dan gagal ginjal akut. Quinolon dapat diberikan secara intravena 7. a. Capreomycin Capreomycin merupakan suatu kompleks antibiotik polipeptida siklik derifat dari Streptomyces capreolus, yang memiliki kesamaan dalam pemberian dosis, cara kerja, farmakologi dan toksisitas dengan streptomisin. Capreomycin diberikan secara intramuskular dalam dosis 10-15mg/kg/hari atau 5 kali dalam seminggu (dosis maksimal per-hari 1 g). Setelah diberikan selama 2-4 bulan, dosisnya diturunkan menjadi 1 g dalam 2 atau 3 kali seminggu. Capreomycin merupakan obat injeksi pilihan terhadap tuberculosis setelah streptomisin 7. b. Rifabutin . Obat-

26

Rifabutin memiliki beberapa kemiripan karakteristik dengan rifampisin, namun rifabutin ini juga dapat digunakan pada pasienpasien yang resisten terhadap rifampisin dan juga lebih efektif mengatasi M. avium complex dan nontuberculosis mycobacterium lainnya. Pada pengobatan HIV dengan TB paru, akan lebih baik jika menggunakan rifabutin dari pada rifampisin, karena efek interaksi obat antara rifampisin dan Anti Retro Virus (ARV) yaitu nevirapin 7. Efek samping rifabutin baru muncul jika pemberian dosis > 300 mg/hari. Efek samping yang paling sering muncul adalah gangguan gastrointestinal. Selain itu, dapat muncul gejala lain seperti kemerahan pada kulit, nyeri dada, myalgia, dan insomnia7

. Sama seperti

rifampisin, pemakaian rifabutin juga dapat menyebabkan perubahan warna urin menjadi berwarna merah kekuningan. Dari pemeriksaan laboratorium, akan dijumpai neutropeni, trombositopeni dan peningkatan enzim hati. Namun efek samping-efek samping tersebut akan hilang jika pemberian rifabutin dihentikan 7. c. Amikacin Amikasin memiliki efek baksterisidal yang berkerja di ekstraseluler. Amikacin ini efektif terhadap MTB, M. lepra, M. avium complex, dan lain-lain. Dosis yang diberikan biasanya 7-10mg/kg IM atau IV, 3-5 kali dalam seminggu 7. d. Ethionamide Ethionamide adalah derivat asam isonikotinik, sama seperti isoniazid dan pirazinamid. Obat ini memiliki efek bakteriostatik. Namun penggunaannya terbatas karena efek toksisitas dan banyaknya efek samping, seperti gangguan gastrointestinal berat (mual, muntah, anoreksia, disgesia), gangguan neurologis berat, hepatitis, reaksi hipersensitivitas, dan juga hipotiroidisme 7. e. Para-Aminosalicylic Acid (PAS) Para-Aminosalicylic Acid dapat menghambat pertumbuhan MTB dengan cara menghambat sintesa asam folat. Para-Aminosalicylic Acid

27

jarang menjadi pilihan pengobatan tuberkulosis karena rendahnya efektivitas dannjuga karena menyebabkan timbulnya gangguan gastrointestinal (mual, muntah, diare) 7. Obat TB yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah INH, Rifampisin dan Etambutol. Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat mencegah perkembangan resistensi obat oleh karena itu, Kortikosteroid digunakan untuk TB yang mengenai SSP (meningitis) dan perikarditis namun tidak dianjurkan untuk diberikan sebagai tambahan terapi pada TB jenis lainnya. 6. Panduan Pemberian Obat Cara pemberian OAT dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu : a. Panduan Obat untuk Kategori I Fase Intensif 2 RHZE Bila setelah 2 bulan dahak menjadi negatif, fase lanjutan dapat dimulai Bila setelah 2 bulan, dahak masih tetap positif, fase intensif diperpanjang 4 minggu lagi, apabila setelah diperiksa lagi menjadi negatif, fase lanjutan dapat simulai. Namun bila masih positif, dilanjutkan ke kategori 2 3. Fase Lanjutan 4 RH / 4 R3H3 Pada pasien dengan meningitis, tuberkulosis milier, spondilitis kelainan neurologik, fase lanjutan diberikan lebih lama yaitu 6-7 bulan hingga total pengobatan 8-9 bulan Panduan alternatif untuk fase lanjutan adalah 6 HE Dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan. Bila hasilnya masih BTA (+) pengobatan dinyatakan gagal dan diganti dengan kategori II 3 Obat ini diberikan untuk: Penderita baru TB paru BTA positif Penderita TB paru BTA negatif Rontgen positif, lesi luas

28

Penderita TB ekstra-paru berat 3. b. Panduan Obat untuk Kategori II Fase Intensif 2 RHZES / 1 RHZE Bila setelah fase intensif BTA menjadi (-) pengobatan dilanjutkan dengan fase lanjutan Bila setelah 3 bulan dahak masih tetap (+), fase intensif diperpanjang 1 bulan lagi dengan RHZE. Bila setelah 4 bulan dahak masih tetap (+), pengobatan dihentikan 2-3 hari, lalu diperiksa biakan dan tes resistensi kemudian fase lanjutan diteruskan tanpa menunggu hasil tes. Bila hasil tes menunjukkan resisten terhadap H dan R ini menunjukkan MDR, bila memungkinkan penderita dirujuk ke unit pelayanan spesialistik untuk dipertimbangkan pengobatan dengan obat sekunder 3. Bila pasien mempunyai data resistensi sebelumnya dan ternyata kuman masih sensitif terhadap semua obat dan setelah fase intensif dahak menjadi (-), fase lanjutan dapat diubah seperti kategori I dengan pengawasan yang ketat 3. Fase Lanjutan 5 R3H3E3 / 5 RHE Dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir bulan pengobatan (bulan ketujuh), bila (-) teruskan pengobatan. Bila (+) menjadi kasus kronik Pemeriksaan ulang dahak pada akhir pengobatan bila (-) penderita sembuh, bila (+) menjadi kasus kronik 3. Obat ini diberikan untuk: Kasus kambuh Kasus gagal obat Kasus putus obat c. Panduan Obat untuk Kategori III Fase Intensif 2 RHZE Bila setelah 2 bulan dahak menjadi tetap (-), fase lanjutan dapat dimulai

29

Bila setelah 2 bulan dahak menjadi (+), ubah panduan pengobatan menjadi kategori II 3. Fase Lanjutan 4 RH / 4 R3H3 / 6 HE Tidak ada pemeriksaan ulang dahak sebulan sebelum akhir pengobatan atau di akhir pengobatan Obat ini diberikan untuk : Penderita baru BTA negatif, Rontgen positif, lesi minimal TB Ekstra-paru ringan d. Panduan Obat untuk Kategori IV Obat ini diberikan pada penderita TB kronik dan TB multiresisten. Prioritas pengobatan rendah karena kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil sekali Untuk pasien yang kurang mampu dapat diberikan INH saja seumur hidup Untuk pasien yang mampu, pemberian obat dicoba berdasarkan hasil uji resistensinya dan obat-obat sekunder 3. 7. Evaluasi Pengobatan Biasanya pasien di kontrol dalam 1 minggu pertama selanjutnya setiap 2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk-batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat 2. a. Bakteriologis Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi negatif. World Health Organization menganjurkan kontrol sputum BTA dilakukan pada akhir bulan ke 2, 4, dan 6. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapat pengobatan berulang. Bila sudah negatif sputum BTA tetap di periksakan minimal 3x berturut- turut 2.

30

b. Radiologis Bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus kambuh. Karena perubahan gambaran radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali. Bila secara bakteriologis ada perbaikan tetapi klinis dan radiologis tidak, harus dicurigai penyakit lain disamping tuberkulosis paru. Perlu dipikirkan juga ada gangguan imunologis pada pasien tersebut antara lain AIDS 2. 8. Terapi Preventif a. Vaksinasi BCG Dari beberapa penaliti, diketahui bahwa vaksinasi BCG yang dilakukan pada anak anak selama ini hanya memberikan daya proteksi sebagain saja, yakni sebesar 0-80%. Tetapi BCG masih tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan terhadap tuberkulosis berat ( meningitis, TB milier ) dan tuberkulosis ekstra-paru lainnya 2. b. Kemoprofilaksis Isoniazid banyak digunakan belakangan ini karena harganya murah dan efek sampingnya yang sedikit (terbanyak hepatitis dengan frekuensi 1 % dan yang > 50 thn adalah 2 %). Obat alternatif lain adalah rifampisin. Beberapa peneliti pada International Union Against Tuberculosis menyatakan bahwa profilaksis dengan INH diberikan selama 1 tahun dapat menurunkan insidens tuberculosis hingga 55 83 % dan yang kepatuhan minum obatnya cukup baik dapat mencapai penurunan hingga 90 %. 9. Pencegahan TB Paru Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat dan petugas kesehatan. a. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan.

31

1) 2) 3)

Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan

sewaktu batuk dan membuang dahak tidak disembarangan tempat. dengan terhadap bayi harus diberikan vaksinasi BCG. tentang penyakit TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya. 4) 5) Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, Desinfeksi, cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan pengobatan khusus TBC. yang ketat, perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, loundry, tempat tidur, pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup. 6) 7) 8) Imunisasi orang-orang kontak. Penyelidikan orang-orang kontak. Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu

pengobatan yang tepat. Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama (6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obatobat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter 5. b. Tindakan Pencegahan 1) Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan. 2) Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect gambas, sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect, perawatan. 3) Pengobatan preventif, penyakit diartikan inaktif sebagai dengan tindakan pemberian keperawatan terhadap

pengobatan INH sebagai pencegahan.

32

4)

BCG, vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi

dengan perlindungan bagi ibunya dan keluarganya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut berupa tempat pencegahan. 5) 6) Memberantas penyakti TBC pada pemerah air susu dan Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karean tukang potong sapi, dan pasteurisasi air susu sapi. menghirup udara yang tercemar debu para pekerja tambang, pekerja semen dan sebagainya. 7) 8) Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala Pemeriksaan screening dengan tubercullin test pada TB paru. kelompok beresiko tinggi, seperti para emigrant, orang-orang kontak dengan penderita, petugas dirumah sakit, petugas/guru disekolah, petugas foto rontgen. 9) Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan tuberculin test 5.

I. DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORTCOURSE (DOTS) 1. Definisi DOTS Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah strategi penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyembuhan TB dapat berlangsung secara cepat. Directly Observed Treatment Shortcourse bukanlah obat, hanya merupakan istilah (term), singkatan atau strategi pengobatan TB. Directly Observed Treatment Shortcourse hanya bisa berjalan dengan efektif jika komponennya berjalan dengan baik pula 1. 2. Peran DOTS Indonesia adalah negara high burden dan sedang memperluas strategi DOTS dengan cepat, karenanya baseline drug susceptibility data akan menjadi alat pemantau dan indikator program yang amat penting.

33

Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan pengobatan TB melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif dan lebih banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka banyak pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan dan mungkin menimbulkan kekebalan obat 10. Directly Observed Treatment Shortcourse menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh. Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai 95 %. Startegi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi TB 3. Selain itu bank dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling cost effective. Sampai tahun 2000, cakupan dari program DOTS baru mencapai 28% dari 206.000 juta penduduk, dengan hasil pengobatan yang masih belum memuaskan. Ada beberapa daerah yang sukses antara lain: Sulawesi. Faktor-faktor risiko yang sudah diketahui menyebabkan tingginya prevalensi TB di Indonesia antara lain: kurangnya gizi, kemiskinan dan sanitasi yang buruk. Pengobatan yang sukses di bawah program DOTS tetap tinggi walaupun turun dari 91% menjadi 81% diantara tahun 1985-1996 kunci permasalahan dengan pengobatan sistim DOTS ini adalah rendahnya penemuan kasus-kasus baru3

.

3. Strategi DOTS Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu : Komitmen politis dari pemerintah untuk bersungguh-sungguh menanggulangi TB & dukungan dana Diagnosis penyakit TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara langsung oleh Pengawas Minum Obat (PMO). Tersedianya paduan obat anti-TB jangka pendek secara konsisten Pencatatan dan pelaporan mengenai penderita TB sesuai standar 3. 4. Tahapan-tahapan DOTS

34

Dalam strategi DOTS ini ada tiga tahapan penting yaitu, mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung. Deteksi atau diagnosis pasien sangat penting karena pasien yang lepas dari deteksi akan menjadi sumber penyebaran TB berikutnya. Seseorang yang batuk lebih dari 3 minggu bisa diduga mengidap TB. Orang ini kemudian harus didiagnosa dan dikonfirmasikan terinfeksi kuman TB atau tidak. Sampai saat ini, diagnosa yang akurat adalah dengan menggunakan mikroskop. Diagnosa dengan sinar-X kurang spesifik, sedangkan diagnosa secara molekular seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) belum bisa diterapkan 3. 5. Angka Kesembuhan Tb Dengan Strategi DOTS Di Indonesia sendiri DOTS sejak diperkenalkan tahun 1995 telah memberikan tingkat kesembuhan 87 persen pada tahun 2000. Angka ini melebihi target WHO, yaitu 85 persen, tapi sangat disayangkan bahwa tingkat deteksi kasus baru di Indonesia masih rendah. Berdasarkan data WHO, untuk tahun 2001, tingkat deteksi hanya 21 persen, jauh di bawah target WHO, 70 persen. Karena itu, usaha untuk medeteksi kasus baru perlu lebih ditingkatkan lagi 3. Directly Observed Treatment Shortcourse juga menunjukkan angka keberhasilan yang cukup tinggi di negara-negara lain, seperti misalnya di Bangladesh dengan strategi DOTS angka kesembuhan mampu mencapai sekitar 80 %. Di Maldives, angka kesembuhan mencapai angka sekitar 85 % berkat strategi DOTS. Di Nepal, setelah menggunakan DOTS, angka kesembuhan mencapai 85 % sedangkan sebelumnya hanya mencapai 50 %. Di RRC tingkat kesembuhan lebih tinggi lagi yaitu mencapai 90 % dengan DOTS 9.

35

BAB III LAPORAN KASUSA. ANAMNESIS 1. Identitas Penderita Nama Umur Jenis kelamin Agama Alamat No. CM Tanggal masuk 2. Keluhan Utama Sesak nafas 3. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengeluh sesak sejak 1 tahun SMRS. Sesak dirasakan memberat sejak 3 hari SMRS. Sesak terus menerus tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan perubahan posisi. Selain sesak, pasien juga mengeluh batuk. Batuk sudah dirasakan sejak 4 bulan, hilang timbul, disertai dahak (+) warna putih. Batuk memberat 1 minggu. Demam sumer-sumer, penurunan BB (+) (2 kg dalam 2 minggu), penurunan nafsu makan (+), keringat malam (+), mual (-), muntah (-), BAK (+), BAB (+). 4. Riwayat Penyakit Dahulu a. Riwayat sakit gula : disangkal : Tn. S : 75 tahun : Laki-laki : Islam : Songgolan 2/3, Pajang, Laweyan, Surakarta : 01103305 : 23 Desember 2011

36

b. Riwayat sakit darah tinggi c. Riwayat sakit jantung d. Riwayat mondok e. Riwayat asma 5. Riwayat Penyakit Keluarga a. Riwayat sakit gula b. Riwayat alergi c. Riwayat asma d. Riwayat sakit darah tinggi e. Riwayat sakit jantung 6. Riwayat Kebiasaan a. b. c. Riwayat minum jamu Riwayat minum obat-obatan bebas Riwayat minum minuman keras d. Riwayat merokok

: disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

f. Riwayat alergi makanan atau obat : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

: disangkal : disangkal : disangkal : (+) sejak usia 25 tahun, sehari 2 bungkus rokok

7. Riwayat Gizi Pasien makan teratur, 3 kali sehari, porsi sedang. Dalam sehari penderita minum kurang lebih 8 gelas. 8. Anamnesis Sistem a. Kulit Pucat (-), kuning (-), gatal (-), luka (-), kebiruan (-). b. Kepala Pusing (-), nyeri kepala (-), terasa berat (-), perasaan berputarputar (-) c. Mata Mata berkunang kunang (-), pandangan kabur (-), kelopak bengkak (-), gatal (-)

37

d. Hidung Tersumbat (-), keluar darah (-), keluar lendir atau air berlebihan (-), gatal (-) e. Telinga Pendengaran berkurang (-), keluar cairan atau darah (-), mendengar bunyi berdenging (-) f. Mulut Bibir kering (-), gusi mudah berdarah (-), sariawan (-), gigi mudah goyah (-) g. Tenggorokan Rasa kering dan gatal (-), nyeri untuk menelan (-) h. Sistem respirasi Sesak nafas (+), nafas terasa berat (+), batuk (+), dahak (+), mengi (-) i. Sistem kardiovaskuler Dada terasa panas (-), terasa ada yang menekan (-), nyeri dada (-), berdebar-debar (-) j. Sistem gastrointestinal Mual (-), muntah (-), perut nyeri (-) setelah makan, perut mbeseseg (-), nyeri ulu hati (-), nafsu makan berkurang (+), nyeri perut (-), susah BAB (-), BB menurun (+) k. Sistem musculoskeletal Lemas (-), nyeri sendi (-), bengkak sendi (-) pada sendi lutut dan sendi tangan, nyeri otot (-), kaku otot (-) l. Sistem genitourinaria Nyeri saat buang air kecil (-), panas saat buang air kecil (-), sering buang air kecil (-), warna kencing kuning jernih, buang air kecil darah (-), nanah (-) m. Ekstremitas Pucat (-), kaku (-), bengkak (-), gemetar (-), terasa dingin (-), nyeri (-), kemerahan (-), kebal (-)

38

n. Sistem neuropsikiatri Kejang (-), gelisah (-), menggigil (-)

B. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 29 Desember 2011 A. B. Keadaan Umum Tanda vital Sakit sedang, compos mentis, gizi kesan cukup Tensi : 130/90 mmHg Nadi : 96 x/menit Frekuensi Respirasi : 28 x/menit Status gizi Suhu : 36,50C per axiller BB 56 Kg TB 168 cm BMI 19,8 Kg/m2 C. D. E. Kulit Kepala Mata Kesan : gizi kesan cukup Ikterik (-), turgor (+) normal, kulit basah (-), petechiae (-), anemis (-), spidernevi (-) Bentuk mesocephal, rambut warna putih tidak mudah dicabut, uban (+), luka (-) Konjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter (3 mm / 3 mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-), F. Telinga arcus senilis (+/+). Membran timpani intak, sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), G. H. Hidung Mulut gangguan pendengaran (-/-) Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-), fungsi penghidu baik Sianosis (-), gusi berdarah (-), mukosa basah (+), pucat (-), lidah tifoid (-), papil lidah atrofi (-), I. Leher stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-) JVP tidak meningkat, trakea di tengah, simetris, pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi

39

J.

Thorax Jantung : Inspeksi Palpasi Perkusi

cervical (-), leher kaku (-). Simetris, retraksi intercostal (-), sela iga melebar (-), pembesaran KGB axilla (-/-). Iktus kordis tidak tampak. Iktus kordis tidak kuat angkat Batas jantung kanan atas : SIC II linea sternal dextra. Batas jantung kanan bawah : SIC V linea sternal dextra. Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternal sinistra. Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial linea medioclavicularis sinistra. kesan : Batas jantung kesan tidak melebar HR : 96 kali/menit reguler. Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-).

Auskultasi

Pulmo : Depan Inspeksi

Statis Dinamis Statis Dinamis Kanan

Simetris, sela iga tidak melebar. Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga tidak melebar, retraksi intercostal (-). Simetris. Pergerakan dada kanan = kiri, penanjakan dada kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri . Sonor, batas relatif paru-hepar di SIC VI linea medioclavicularis dextra, batas absolut paruhepar di SIC VII linea medioclavicularis dextra. Sonor, batas paru-lambung setinggi SIC VII linea medioclavicularis sinistra. Suara dasar vesikuler, suara tambahan wheezing (-), ronchi basah kasar (+), ronchi basah halus (-), krepitasi (-) Suara dasar vesikuler, suara tambahan wheezing (-), ronchi basah kasar (+), ronchi basah halus

Palpasi

Perkusi

Kiri Auskultasi Kanan

Kiri

40

(-), krepitasi (-) Belakang Inspeksi Statis Dinamis Statis Dinamis Ka / Ki Kanan Kiri Simetris, sela iga tidak melebar Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga tidak melebar, retraksi interkostal (-) Dada kanan dan kiri simetris, retraksi (-) Pergerakan kanan = kiri, simetris, fremitus raba kanan = kiri, penanjakan dada kanan = kiri Sonor / sonor Suara dasar vesikuler, wheezing(-), ronchi basah kasar (+), krepitasi (-) Suara dasar vesikuler, wheezing(-), ronchi basah kasar (+), ronchi basah halus (-), krepitasi (-)

Palpasi

Perkusi Auskultasi

41

K. Punggung Kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok kostovertebra (-) L. Abdomen Inspeksi Auscultasi Perkusi Palpasi : Dinding perut sejajar dengan dinding thorak, distended (-), venektasi (-), sikatrik (-), stria (-), caput medusae (-) : Peristaltik (+) normal. : Timpani, pekak alih (-), area troube timpani. Liver span 8 cm pada linea medioclavicularis dextra. : Supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, Bimanual Ballotment (-). M. Genitourinaria Ulkus (-), sekret (-), tanda radang (-) N. Ekstremitas

42

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. LaboratoriumPemeriksaan Hb Hct AE AL AT MCV MCH MCHC RDW HDW MPV PDW Neutrofil Limfosit Monosit Eosinofil Basofil LUC Gol Darah GDS GDP GD2PP HbA1c Na K Ca Cl Albumin Globulin Protein total Kolestrol total HDL-kolesterol LDL-kolesterol Trigliserid SGOT SGPT Alkali Phost Gamma GT Bil. Total Bil.Direk Ureum Creatinin As urat HBsAg 23/12/11 14,4 45 5,38 14,3 432 24/12/11 14,1 42 5,22 13,1 402 79,7 27,0 33,9 16,1 2,9 5,9 52 93,50 4,80 1,50 0,10 0,00 0,40 AB 123 166 24/9/11 Satuan g/dl % 106 / L 103 / L 103/ L fl pg g/dl % g/dl Fl % % % % % % % mg/dl mg/dl mg/dl % mmol/L mmol/L mmol/L mmol/L g/dl g/dl g/dl mg/dl mg/dl mg/dl U/L U/L U/L U/L mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl Rujukan 12-15,6 33-45 4,10-5,10 4,5-11 150-450 80-95 28-33 33-36 11,6-14,6 2,2-3,2 7,2-11,1 25-65 55,0-80,0 22,0-44,0 0-7,0 0-4,0 0-2,0 60-140 76-11080-140 4,8-5,9

134 3,5 105

134 4,6 1,18

137 4,9 110

31 26

27 21

63 22

38 0,8 Non reaktif

1,25 0,69 62 0,8 8,8

1,98 0,98 73 0,9

136-146 3,7-5,4 1-1,2 98-106 3,2-4,6 0,6-5,2 6,2-8,1 50-200 38-92 100-224 50-150 0,0-35 0,0-45 53-141