preskes bedah anak ileus obstruktif
DESCRIPTION
bedah anakTRANSCRIPT
Presentasi Kasus
Substase Bedah Anak
SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 3 TAHUN DENGAN
ABDOMINAL DISTENDED e.c ILEUS OBSTRUKTIF
Disusun Oleh:
Sintin Khotijah Pribadi
G99141028
Anindita Ratna Gayatri
G99141032
Periode : 3 September - 5 September 2015
Pembimbing
dr. Guntur Surya Alam, Sp.BA
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
A. Identitas Pasien
Nama : An. Rafa
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Batang, Jawa Tengah
BB : 17 Kg
PB : 91 cm
Tanggal masuk : 27 Agustus 2015
Tanggal Pemeriksaan : 5 September 2015
No. CM : 01311884
B. Identitas Orang Tua Pasien
Ayah Ibu
Nama Tn. T Ny. S
Umur 39 th 34 th
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Swasta Ibu rumah tangga
Suku/Agama Jawa/islam Jawa/islam
II. DATA SUBYEKTIF
Anamnesis diperoleh dari orang tua pasien serta data dari rekam medis.
A. Keluhan Utama
Perut membesar
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Satu minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan demam.
Demam dirasakan terus menerus dan tidak berkurang dengan obat
penurunan panas. Tiga hari sebelum masuk rumah sakit perut pasien
2
terlihat membesar dan semakin hari semakin membesar. Muntah (-),
BAB sedikit-sedikit ampas cair, diare (-). Menurut keterangan Ibu
pasien, selama 1 minggu pasien tidak kentut dan perut terus membesar.
Tidak ada gangguan BAK.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat diare : (+) mondok tgl 21/8/15 di RS swasta
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat asma : disnagkal
Riwayat trauma : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
E. Riwayat Kehamilan
Ibu pasien mengaku tidak merasakan keluhan apapun saat hamil. Ante
natal care dilakukan secara rutin setiap bulan di bidan. Ibu pasien
mengaku mendapatkan suplemen tambah darah dari bidan. Ibu pasien
tidak mengonsumsi jamu atau obat selain yang diberikan oleh bidan.
F. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir spontan ditolong oleh bidan saat usia kehamilan 38 minggu,
dengan berat lahir 2800 kg, langsung menangis kuat dan tidak biru,
lubang anus (+)
G. Riwayat Postnatal
Ibu pasien rutin membawa pasien ke puskesmas setiap bulan untuk
timbang badan dan melakukan imunisasi sesuai jadwal.
H. Status Imunisasi
Vaksin BCG saat usia : 2 bulan
Vaksin DPT saat usia : 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan
Vaksin polio saat usia : 0 ,2 ,4, 6 bulan
Vaksin hepatitis B saat usia : 0 bulan , 1 bulan, 6 bulan
3
Campak : 9 bulan
Kesan :Imunisasi sesuai jadwal KMS dan lengkap menurut Depkes dan
IDAI 2014
I. Riwayat Perkembangan
- Mulai senyum : 2 bulan
- Mulai miring : 4 bulan
- Mulai tengkurap : 4 bulan
- Mulai duduk dibantu : 6 bulan
- Mulai berjalan : 1 tahun
Saat ini pasien berusia 3 tahun
Kesan : perkembangan sesuai usia
J. Riwayat Nutrisi
Usia 0 – 4 bulan : diberi susu formula 60 cc x 8 perhari
Usia 4 – 6 bulan : pasien diberi bubur sereal
Usia 6 bulan sampai dengan saat ini pasien diberi makan nasi tim dan
susu formula
Kesan : kualitas dan kuantitas asupan gizi cukup
III. PEMERIKSAAN FISIS
A. KeadaanUmum
Sikap / keadaan umum : tampak sakit sedang
Derajat kesadaran : kompos mentis
Derajat gizi : baik
B. Tanda vital
BB : 17 kg
TB : 91 cm
SiO2 : 99 %
Nadi : 120 x/menit, kuat, reguler
Pernafasan : 36 x/menit, kedalaman cukup, inspirasi > ekspirasi
Suhu : 38, 2º C (per axilla)
4
C. Perhitungan Status Gizi
a) Secara klinis
Nafsu makan : menurun
Kepala : rambut jagung (-), susah dicabut (+),old
man face (-)
Mata : edema palpebra(-/-),CA(-/-),cekung (-/-)
Mulut : Mukosa basah (+) & pecah-pecah (-)
Ekstremitas : edema - - akral dingin - -
- - - -
Wasting (-), Baggy pants (-)
Status gizi secara klinis : cukup
b) Secara Antropometris
BB : 6 kg ,Umur : 7 bulan , PB : 59 cm
BB :17 x 100% = 94 % (-2 SD <Z score < 2SD (normoweight)
U 18
TB :91 x 100% = 92 % ( -2SD <Z score < 2SD (normoheight)
U 99
BB : 17 x 100% = 104 % (0SD < Z score < +1SD (gizi baik)
TB 16.5
Status gizi secara antropometri : gizi baik, normo weight, normo
height
D. Kepala
normocephal, lingkar kepala (LK): 38.5 cm (LK < -2SD) (Nellhaus) ,
wajah dismorfik (-), UUB menutup
E. Mata
5
Bulu mata rontok (-), konjunctiva pucat (-/-), palpebra edema (+/+),
sekung (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor(+ 3 mm/ + 3mm), air mata
(+/+), epicantal fold (-/-)
F. Hidung
napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-)
G. Mulut
mukosa basah (+), sianosis (-)
H. Telinga
sekret (-/-), serumen (-/-)
I. Tenggorok
Uvula di tengah, tonsil T1-T1hiperemis (-), faring hiperemis (-),
pseudomembran (-)
J. Leher
Pembesaran KGB (-)
K. Toraks
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sde
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar: vesikuler, Ronchi basah kasar
(-/-), Ronchi basah halus (-/-), wheezing (-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan sde
Auskultasi : bising (+) pansistolik di SIC III LMCS
L. Abdomen
Inspeksi : dinding perut > dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : hipertimpani
Palpasi : distended, hepar dan lien tidak teraba, asites (-), pekak
alih (-), undulasi (-), turgor kulit kembali cepat
6
M. Urogenital : dalam batas normal
N. Anorektal : dalam batas normal
O. Ekstremitas
Akral dingin - - edema - -
- - - -ADP kuat
CRT < 2 detik
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah Tanggal 27 Agustus 2015
Hb : 11.0 g/dl
Hct : 32%
Leukosit : 18.2 ribu ↑
Trombosit : 469 ribu
Eritrosit : 3.84 juta
PT : 12.7 detik
APTT : 31.1 detik
INR : 1.010
GDS : 108 mg/dl
Albumin : 4.2 g/dl
Creatinin : 0.2 mg/dl
Ureum : 32 mg/dl
Natrium : 131
Kalium : 3.7
Chlorida : 106
V. RESUME
Seorang anak laki-laki usia 3 tahun, dibawa keluarganya ke RSDM dengan
dengan keluhan perut membesar disertai demam.
Dari hasil pemeriksan fisik didapatkan pasien nampak sakit sedang, BB: 17
kg, TB: 91 cm, SiO2: 99%, nadi :120 x/menit, kuat, reguler, pernafasan : 36
7
x/menit, kedalaman cukup, inspirasi > ekspirasi, suhu : 38,2º C per axilla.
Lingkar kepala : 38,5 cm. Pemeriksaan abdomen didapatkan dinding
abdomen > dinding dada, hipertimpani, dan distended
VI. DAFTAR MASALAH
1. Intake sulit
2. Dehidrasi
3. Gangguan BAB
4. Gangguan elektrolit
5. Demam
VII. ASSESMENT I
1. Abdominal Distended e/c DD suspek Ileus, hipokalemi
2. Prolonged fever
3. Gizi baik
VIII. PENATALAKSANAAN
1. Mondok bangsal
2. Diet nasi lauk 1500 kkal/hari
3. IVFD D ¼ NS 14 tpm makro
4. Inj. Ampisillin (100 mg/kgBB/hari) ~ 400 mg/6 jam IV
5. Inj. Chloramphenicol (150 mg/kgBB/hari) ~ 175 mg/6 jam IV
6. Paracetamol (10 mg/kgBB/x) ~ 3 x 180 mg
IX. MONITORING
1. Keadaan umum dan tanda vital tiap 8 jam
2. Balance cairan per 12 jam
X. PLAN
1. Foto polos BNO
8
XI. EDUKASI
1. Mengenai penyakit pasien, bahwa penyakit pasien merupakan penyakit
serius dan membutuhkan penangan ahli dan waktu yang lama
2. Mengenai kesembuhan pasien dan kemungkinan adanya komplikasi
XII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia
Foto polos BNO (27 Agustus 2015)
9
Tampak dilatasi berat gas usus halus
Tampak gas usus besar prominent dengan gas di rectum prominent
Tampak ground glass di cavum pelvis mengesankan buli penuh
Tak tampak gambaran coiled spring/herring bone sign
Tampak gambaran step ladder pathologis
Kesimpulan:
Menyokong gambaran ileus obstruksi letak tinggi
XIII. ASSESMENT II
1. Abdominal distended e/c Ileus obstruktif letak tinggi
XIV. PLAN
1. Pemeriksaan Colon in loop
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ILEUS OBSTRUKTIF
A. Pendahuluan
Anatomi
a. Usus Halus
Usus halus berbentuk tubuler, dengan panjang 6 meter pada orang
dewasa, yang terbagi atas tiga segmen yaitu duodenum, jejunum, dan
ileum. Duodenum merupakan segmen yang paling proksimal, terletak
retroperitoneal berbatasan dengan kaput dan batas inferior dari korpus
pancreas. Duodenum dipisahkan dari dari gaster oleh adanya pylorus
dari jejunum oleh batas ligamentum Treitz. Jejunum dan ileum terletak
di intraperitoneal dan bertambat ke retroperitoneal melalui mesenterium.
Tak ada batas anatomi yang jelas untuk membedakan antara jejunum dan
ileum; 40% panjang dari jejunoileal di yakini sebagai jejunum dan 60%
sisanya sebagai ileum. Ileum berbatasan dengan sekum dikatup
ileosekal.
Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter,
1-2 meter adalah bagian usus kosong atau disebut juga jejunum. Usus
penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada
sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 meter dan
terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu
atau appendiks. Ileum memiliki pH atara 7 dan 8 (netral atau sedikit
11
basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan dan garam-garam
empedu.
Usus halus terdiri atas lipatan mukosa yang disebut plika sirkularis
atau valvula conniventes yang dapat terlihat dengan mata telanjang.
Lipatan ini juga terlihat secara radiografi dan membantu membedakan
usus halus dan kolon. Lipatan ini akan terlihat lebih jelas pada bagian
proksimal usus halus daripada distal. Hal lain yang juga dapat digunakan
untuk membedakan bagian proksimal dan distal usus halus ialah
sirkumferensial yang lebih besar, dinding yang lebih tebal, lemak
mesentrial yang lebih sedikit dan vasa rekta yang lebih panjang.
Pemeriksaan makroskopis dari usus halus juga didapatkan adanya folikel
limfoid. Folikel tersebut, berlokasi di ileum, juga disebut Peyer Patches.
5
Gambar 1. Anatomi usus halus.
b. Usus Besar
Usus besar terdapat diantara anus dan ujung terminal ileum,
dimulai dair ileocecal ke anus dan rata-rata panjangnya 1,5m dan
12
lebarnya 5-6cm. Usus besar terdiri atas segmen awal (sekum), dan kolon
asendens, tranversum, desenden, sigmoid, rectum, dan anus. Sisa
makanan dan yang tidak tercerna dan tidak diabsorpsi di dalam usus
halus didorong ke dalam usus besar oleh gerak peristaltik kuat
muskularis eksternus usus halus. Residu yang memasuki usus besar itu
berbentuk semi cair; saat mencapai bagian akhir usus besar, residu ini
telah menjadi semi solid sebagaimana feses umumnya. Meskipun
terdapat usus halus, sel-sel goblet pada epitel usus besar jauh lebih
banyak dibandingkan dengan usus halus. Sel goblet ini juga bertambah
dari dari bagian sekum ke kolon sigmoid. Usus besar ini tidak memiliki
plika sirkularis maupun vili intestinales, dan kelenjar intestinalterletak
lebih dalam dari pada usus halus.
Gambar 2. Anatomi usu besar.
c. Suplai Vaskuler
13
Usus halus diperdarahi oleh arteri mesenterika superior yang
merupakan cabang dari aorta tepat dibawah arteri soelika. Arteri ini
memperdarahi seluruh usus halus kecuali duodenum yang sebagian
atasnya diperdarahi oleh arteri pankreotikoduodenalis superior, suatu
cabang dari arteri gastroduodenalis. Sedangkan separuh bawah
duodenum diperdarahi oleh arteri pankreotikoduodenalis inferior, suatu
cabang cabang arteri mesenterika superior. Pembuluh-pembuluh darah
yang memperdarahi jejunum dan ileum ini beranastomosis satu sama
lain untuk membentuk serangkaian arcade. Bagian ileum yang terbawah
juga diperdarahi oleh arteri ileocolica. Darah dikembalikan lewat vena
mesentericus superior yang menyatu dengan vena lienalis membentuk
vena porta.
Pada usus besar ateri mesenterika superior memperdarahi belahan
bagian kanan (sekum, kolon ascenden, deua pertiga proksimal kolon
tranversum) : (1) Ileokolika, (2) kolika dekstra, (3) kolika media, dan
arteri mesenterika inferior memperdarahi bagian kiri (sepertiga distal
kolon tranversum, kolon desenden, dan sigmoid, dan bagian proksimal
rectum) : (1) kolika sinistra, (2) sigmoidalis, (3) rektalis superior.
d. Pembuluh limfe
Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan
cairan limfe; (1) ke atas melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis
ke nodi lympahatici gastroduodenalis dan kemudian ke nodi limpatici
coeliacus dan (2) kebawah melalui nodi lymphatici
14
pancreoticoduodenalis ke nodi lymphatici mesenteries superior sekitar
pangkal aterteri mesenterika superior.7
Pembuluh limfe jejunum dan ileum berjalan melalui banyak nodi
lymphatici mesentricus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici
mesentericus superior, yang terletak sekitar pangkal arteri mesenterikus
superior. Pembuluh limfe sekum berjalan melewati banyak nodi
lymphatici mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici
mesenterikus superior. Pembuluh limfe untuk kolon mengalirkan cairan
limfe ke kelenjar limfe yang terletak di sepanjang perjalanan vena
kolika. Untuk kolon ascendens dan dua pertiga dari kolon tranversum
cairan limfenya akan masuk ke nodi limphatici mesenterikus superior,
sedangkan yang berasal dari sepertiga distal kolon tranversum dan kolon
desenden akan masuk ke nodi limphatici mesenterikus inferior.
e. Persarafan
Saraf-saraf duodenum berasl dari saraf simpatis dan parasimpatis
(vagus) dari pleksus mesenterikus superior dan pleksus coelicus. Saraf
untuk jejunum dan ileum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis
(nervus vagus) dari pleksus mesenterikus superior. Rangsangan
parasimpatis merangsang aktivitas sekresi dan pergerakan, sedangkan
rangsang simpatis menghambat nyeri, sedangkan serabut-
serabutparasimpatis mengatur refleks usus. Suplai saraf intrinsic, yang
menimbulkan fungsi motorik, berjalan melalui pleksus Auerbach yang
15
terletak dalam lapisan muskularis, dan pleksus Meisener di lapisan
submukosa.
Persarafan usus besra dilakukan oleh system saraf otonom dengan
pengecualian pada sfingter eksterna yang berada di bawah control
volunteer.8 Sekum, appendiks dan kolon ascendens dipersarafi oleh
serabut saraf simpatis dan parasimpatis nervus vagus dari pleksus saraf
mesenterika superior. Pada kolon tranversum dipersarafi oleh saraf
simpatis nervus vagusdan saraf parasimpatis nervus pelvikus. Serabut
simpatis berjalan dari pleksus mesenterikus superior dan inferior.
Serabut-serabut nervus vagus hanya mempersarfi dua pertiga proksimal
kolon tranversum; sepertiga distal dipersarafi oleh saraf parasimpatis
nervus pelvikus. Sedangkan pada kolon desenden dipersarafi serabut-
serabut simpatis dari pleksus saraf mesenterikus inferior dan saraf
parasimpatis sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rectum,
sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai efek berlawanan.
Fisiologi
Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan
absorbsi nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai dari
dalam mulut dan lambung oleh kerja ptyalin, asam klorida dan pepsin
terhadap makana yang masuk. Proses dilanjutkan di dalam duodenum
terutama oleh kerja enzim-enzim pancreas yang menghidrolisis karbohidrat,
lemak dan protein menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Adanya bikarbonat
dalam sekret pancreas membantu menetralkan asam dan memberikan pH
16
optimal untuk kerja enzim-enzim. Sekresi empedu dari hati membantu
proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga memberikan
permukaan yang lebih luas untuk kerja lipase pancreas.
Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam getah
usus (sukus enterikus). Banyak di antara enzim-enzim ini terdapat pada
brush border vili dan mencernakan zat-zat makanan sambil di absorbsi.
Pergerakan segmental usus halus akan mencampur zat-zat yang dimakan
dengan secret pancreas, hepatobiliar dan sekresi usus dan pergerakan
peristaltic mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung lainya dengan
kecepatan yang sesuai untuk absorbsi optimal dan suplai kontinyu isi
lambung. Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir pencernaan karbohidrat,
lemak dan protein melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk
digunakan oleh sel-sel tubuh. Selain itu, air, elektrolit dan vitamin juga
diabsorbsi. Pergererakan usus halus berfungsi agar proses digesti dan
absorbs bahan-bahan makanan dapat berlangsung secara maksimal.
Pergerakan usus halus terdiri dari; pergerakan mencampur (mixing) atau
pergerakan segmentasi yang mencampur makanan dengan enzim-enzim
pencernaan agar mudah untuk dicerna dan diabsorbsi. Pergerakan polpusif
atau gerak peristaltic yang mendorong makanan kea rah usus besar.10
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktivitas otot polos usus halus
yang terdiri dari 2 lapis, yaitu lapisan otot longitudinal dan otot sirkuler.
Otot yang terutama berperan pada kontraksi segmentasi untuk mencampur
makanan adalah otot longitudinal. Bila bagian mengalami distensi oleh
17
makanan akan kembali ke posisinya semula. Gerakan ini berulang terus
menerus sehingga makanan akan bercampur dengan enzim pencernaan dan
mengadakan hubungan dengan mukosa usus halus dan selanjutnya di
absorbs.
Kontraksi segmentasi berlangsung oleh karena adanya gelombang
lambat yang merupakan basic electric rhytm (BER) dari otot polos saluran
cerna. Proses kontraksi segmentasi berlangsung 8 sampai 12 kali/menit pada
duodenum dan sekitar 7 kali/menit pada ileum. Gerakan peristaltic pada
usus halus mendorong makanan menuju kearah kolon dengan kecepatan 0,5
sampai 2 cm/detik, dimana pada bagian proksimal lebih cepat daripada
bagian distal. Gerakan peristaltic ini sangat lemah dan biasanya menghilang
setelah berlangsung sekitar 3 sampai 5 cm.9
Pengaturan frekuensi dan kekuatan gerakan segmentasi terutama
diatur oleh adanya gelombang lambat yang menghasilkan potensial aksi
yang disebabkan oleh adanya sel-sel pace maker yang terdapat pada dinding
usus halus, diamana aktivitas dari sel-sel ini dipengaruhi oleh sitem saraf
dan hormonal. Aktivitas gerakan peristaltic akan meningkat setelah makan.
Hal ini sebagian besar disebabkan oleh masuknya makanan ke duodenum
sehingga menimbulkan reflex peristaltic yang akan menyebar ke dinding
usus halus. Sebaliknya sekretindan glucagon menghambat pergerakan usus
halus. Setelah makanan mencapai katup ileocecal, makan kadang-kadang
terhambat selama beberapa jam sampai seorang makan lagi. Pada saat
tersebut, reflex gastrial meningkatkan peristaltik dan mendorong makanan
18
melewati katup ileocaecal menuju kolon. Makan yang menetap untuk
beberapa lama pada daerah ileum oleh sfingter ileocaecal berfungsi agar
makanan dapat diabsorbi pada daerah ini. Katup ileocaecal berfungsi untuk
mencegah makanan kembali ke caecum masuk ke ileum.
Fungsi sfingter ileocaecal diatur oleh mekanisme umpan balik. Bila
tekanan di dalam caecum meningkat sehingga terjadi dilatasi, maka
kontraksi sfingter ileocaecal akan meningkat dan gerakan peristaltic ileum
akan berkurang sehingga memperlambat pengosongan ileum. Bila terjadi
peradangan pada caecum atau pada appendiks makan sfingter ileocaecal
akan mengalami spasme, dan ileum akan mengalami paralisis sehingga
pengosongan ileum terhambat.
B. Definisi
Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang
terjadi karena adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi
dinding usus sehingga menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus.
Hal tersebut menyebabkan pasase lumen usus terganggu
Obstruksi intestinal secara umum didefinisikan sebagai kegagalan isi
intestinal untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke anus. Obstruksi
Intestinal ini merujuk pada adanya sumbatan mekanik atau nonmekanik
parsial atau total dari usus besar dan usus halus.
C. Epidemiologi
Perlekatan usus sebagai penyebab dari Ileus saat ini menempati
urutan pertama. Maingot melaporkan bahwa sekitar 70% penyebab dari
Ileus adalah perlekatan. Survey Ileus Obstruksi di RSUD DR. Soetomo
pada tahun 2001 mendapatkan 50% dari penyebabnya adalah perlekatan
19
usus, kemudian diikuti Hernia 33,3%, keganasan 15%, Volvulus 1,7%.
(5,10).
D. Etiologi
Ileus obstruktif sering dijumpai dan merupakan penyebab terbesar
pembedahan pada akut abdomen. Hal ini terjadi ketika udara dan hasil
sekresi tak dapat melewati lumen intestinal karena adanya sumbatan yang
menghalangi. Obstruksi mekanik dari lumen intestinal biasanya disebabkan
oleh tiga mekanisme ; 1. blokade intralumen (obturasi), 2. intramural atau
lesi intrinsik dari dinding usus, dan 3. kompresi lumen atau konstriksi akibat
lesi ekstrinsik dari intestinal. Berbagai kondisi yang menyebabkan terjadinya
obstruksi intestinal biasanya terjadi melalui satu mekanisme utama. Satu
pertiga dari seluruh pasien yang mengalami ileus obstruktif, ternyata
dijumpai lebih dari satu faktor etiologi yang ditemukan saat dilakukan
operasi. (Thompson, 2005)
20
Gambar 2.3 Penyebab ileus obstruktif
(Sumber: Simatupang, 2010)
Penyebab terjadinya ileus obstruktif beragam jumlahnya berdasarkan
umur dan tempat terjadinya obstruksi. Adhesi post operatif merupakan
penyebab utama dari terjadinya obstruksi usus halus. Pada pasien yang tidak
pernah dilakukan operasi laparotomi sebelumnya, adhesi karena inflamasi
21
dan berbagai hal yang berkaitan dengan kasus ginekologi harus dipikirkan.
Adhesi, hernia, dan malignansi merupakan 80 % penyebab dari kasus ileus
obstruktif. Pada anak-anak, hanya 10 % obstruksi yang disebabkan oleh
adhesi; intususepsi merupakan penyebab tersering dari ileus obstruktif yang
terjadi pada anak-anak. Volvulus dan intususepsi merupakan 30 % kasus
komplikasi dari kehamilan dan kelahiran. Kanker harus dipikirkan bila ileus
obstruktif ini terjadi pada orang tua. Metastasis dari genitourinaria, kolon,
pankreas, dan karsinoma gaster menyebabkan obstruksi lebih sering
daripada tumor primer di intestinal. Malignansi, divertikel, dan volvulus
merupakan penyebab tersering terjadinya obstruksi kolon, dengan karsinoma
kolorektal. (Thompson, 2005).
Tabel 2.1. : Beberapa Penyebab Obstruksi Mekanik dari Intestinal (Whang et al., 2005) (Thompson, 2005)Obturasi Intraluminal Lesi Ekstrinsik Lesi IntrinsikBenda Asing
- Iatrogenik- Tertelan- Batu Empedu- Cacing
Adhesi Kongenital- Atresia, stenosis,
dan webs- Divertikulum
Meckel
Benda AsingHernia
- Eksternal- Internal
Intususepsi Massa- Anomali organ
atau pembuluh darah
- Organomegali- Akumulasi Cairan- Neoplasma
Inflamasi- Divertikulitis- Drug-induced- Infeksi- Coli ulcer
Pengaruh Cairan- Barium- Feses- Meconium
Neoplasma- Tumor Jinak- Karsinoma- Karsinoid- Limpoma- Sarcoma
Post OperatifVolvulus
Trauma- Intramural
Hematom
22
E. Patofisiologi
Respon Usus Halus Terhadap Obstruksi
Normalnya, sekitar 2 L asupan cairan dan 8 L sekresi dari gaster,
intestinal dan pankreaticobilier ditansfer ke intestinal setiap harinya.
Meskipun aliran cairan menuju ke intestinal bagian proksimal, sebagian
besar cairan ini akan diabsorbsi di intestinal bagian distal dan kolon. Ileus
obstruktif terjadi akibat akumulasi cairan intestinal di proksimal daerah
obstruksi disebabkan karena adanya gangguan mekanisme absorbsi normal
proksimal daerah obstruksi serta kegagalan isi lumen untuk mencapai daerah
distal dari obstruksi.
Akumulasi cairan intralumen proksimal daerah obstruksi terjadi
dalam beberapa jam dan akibat beberapa faktor. Asupan cairan dan sekresi
lumen yang terus bertambah terkumpul dalam intestinal. Aliran darah
meningkat ke daerah intestinal segera setelah terjadinya obstruksi, terutama
di daerah proksimal lesi, yang akhirnya akan meningkatkan sekresi
intestinal. Hal ini bertujuan untuk menurunkan kepekaan vasa splanknik
pada daerah obstruksi terhadap mediator vasoaktif. Pengguyuran cairan
intravena juga meningkatkan volume cairan intralumen. Sekresi cairan ke
dalam lumen terjadi karena kerusakan mekanisme absorpsi dan sekresi
normal. Distensi lumen menyebabkan terjadinya kongestif vena, edema
intralumen, dan iskemia.
Gas intestinal juga mengalami akumulasi saat terjadinya ileus
obstruktif. Sebagian kecil dihasilkan melalui netralisasi bikarbonat atau dari
metabolisme bakteri. Gas di Intestinal terdiri atas Nitrogen (70%), Oksigen
(12%), dan Karbon Dioksida (8%), yang komposisinya mirip dengan udara
bebas. Hanya karbon dioksida yang memiliki cukup tekanan parsial untuk
berdifusi dari lumen.
Intestinal, normalnya, berusaha untuk membebaskan obstruksi
mekanik dengan cara meningkatkan peristaltik. Periode yang terjadi ialah
berturut-turut: terjadinya hiperperistaltik, intermittent quiescent interval, dan
pada tingkat akhir terjadi ileus. Bagian distal obstruksi segera menjadi
23
kurang aktif. Obstruksi mekanik yang berkepanjangan menyebabkan
penurunan dari frekuensi gelombang - lambat dan kerusakan aktivitas
gelombang spike, namun intestinal masih memberikan respon terhadap
rangsangan. Ileus dapat terus menetap bahkan setelah obstruksi mekanik
terbebaskan.
Tekanan intralumen meningkat sekitar 20 cmH2O, sehingga
menyebabkan aliran cairan dari lumen ke pembuluh darah berkurang dan
sebaliknya aliran dari pembuluh darah ke lumen meningkat. Perubahan yang
serupa juga terjadi pada absorbsi dan sekresi dari Natrium dan Khlorida.
Namun, peningkatan tekanan intralumen tidak selalu terjadi dan mungkin
terdapat mekanisme lain yang menyebabkan perubahan pada mekanisme
sekresi. Peningkatan sekresi juga dipengarui oleh hormon gastrointestinal,
seperti peningkatan sirkulasi vasoaktif intestinal polipeptida, prostaglandin,
atau endotoksin.
Peningkatan volume intralumen menyebabkan terjadinya distensi
intestinal di bagian proksimal obstruksi, yang bermanifestasi pada mual dan
muntah. Proses obstruksi yang berlanjut, kerusakan progresif dari proses
absorbsi dan sekresi semakin ke proksimal. Selanjutnya, obstruksi mekanik
ini mengarah pada peningkatan defisit cairan intravaskular yang disebabkan
oleh terjadinya muntah, akumulasi cairan intralumen, edema intramural, dan
transudasi cairan intraperitoneal. Pemasangan nasogastric tube malah
memperparah terjadinya defisit cairan melalui external loss. Hipokalemia,
hipokhloremia, alkalosis metabolik merupakan komplikasi yang sering dari
obstruksi letak tinggi. Hipovolemia yang tak dikoreksi dapat mengakibatkan
terjadinya insufisiensi renal, syok, dan kematian.
Stagnasi isi intestinal dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi
bakteri. Bakteri Aerob dan Anaerob berkembang pada daerah obstruksi.
Koloni berlebihan dari bakteri dapat merangsang absorbtif dan fungsi
motorik dari intestinal dan menyebabkan terjadinya translokasi bakteri dan
komplikasi sepsis.
24
Gambar 2.4 Patofisiologi Ileus Obstruktif
(Sumber : Simatupang, 2010)
Strangulasi
Obstruksi strangulasi adalah hilangnya aliran darah di segmen
obtruksi dari intestinal. Hal ini dapat terjadi karena adanya penekanan
langsung dari vasa mesenteric atau sebagai akibat perubahan lokal pada
dinding intestinal. Komplikasi ini sering berhubungan dengan obstruksi
25
yang disebabkan oleh hernia dan volvulus. Obstruksi strangulasi pada
kolon paling sering disebabkan oleh volvulus.
Iskemia intramural dapat terjadi karena berbagai sebab. Distensi
dan peningkatan tekanan pada intramural dapat menyebabkan kongesti
dari vena, kebocoran kapiler, edema dinding usus besar dan perdarahan
serta thrombosis dari arteri dan vena. Peningkatan pertumbuhan bakteri
terjadi dalam beberapa jam setelah strangulasi. Hal ini menyebabkan
produksi toksin intralumen dan dapat merangsang pelepasan mediator
vasoaktif seperti prostaglandin. Mukosa dari intestinal lebih peka terhadap
iskemia dan beberapa faktor tampaknya memainkan peranan penting untuk
mendukung terjadinya iskemia, termasuk hipoksia, protease pankreas dan
radikal bebas. Mukosa pada intestinal lebih peka terhadap terjadinya
iskemia dibandingkan mukosa pada kolon. Saat terjadi nekrosis mukosa,
bakteri dan toksin dapat dengan segera berpindah tempat dari dinding
intestinal menuju ke cavum peritoneal, limfe pada mesenterikum, dan
sirkulasi sistemik. Hal ini menggiring pada terjadinya iskemia, sepsis,
perforasi frank yang dapat disertai dengan peritonitis dan kematian akibat
syok sepsis. Gut iskemia dan terjadinya reperfusion juga mendukung
terjadinya gagal organ, seperti paru.
Tabel 2.2 Perbedaan ileus obstruktif simple dan strangulate(Sumber : Bickle dan Kelly, 2002)
26
Obstruksi Gelung Tertutup
Terjadi saat obstruksi terdapat di dua tempat. Volvulus merupakan
sebab yang paling sering dan dapat juga menyebabkan terjadinya
perputaran mesenterium. Obstruksi di bagian distal dari usus besar juga
dapat menyebabkan terjadinya closed loop obstruction jika katup ileocekal
masih tersisa. Saat tekanan intralumen di segmen obstruksi meningkat,
sekresi cairan ke dalam lumen meningkat sementara absorbsinya menurun.
Kepentingan klinis yang mungkin terjadi akibat fenomena ini ialah
meningkatnya resiko kejadian strangulasi. Distensi pada obstruksi gelung
tertutup terjadi sangat cepat sehingga biasanya strangulasi terjadi lebih
dahulu bahkan sebelum gejala klinis dari obstruksi tampak jelas.
Obstruksi Parsial Intestinal
Pada obstruksi parsial, lumen tak sepenuhnya tersumbat. Adhesi
merupakan penyebab tersering dari gangguan ini dan jarang sekali
mengakibatkan terjadinya strangulasi. Obstruksi parsial kronis dapat
menyebabkan terjadinya penebalan dinding intestinal akibat hipertrofi
otot. Perpanjangan waktu kontraksi dan peningkatan kelompok kontraksi
merupakan karakteristik yang dapat ditemukan. Kelainan motoris ini dan
kemungkinan berhubungan dengan pertumbuhan bakteri dapat
menyebabkan terjadinya malabsorbsi, distensi dan diare sekretorik.
Obstruksi kolon
Patofisiologi terjadinya obstruksi pada kolon berbeda dengan
intestinal. Kolon khususnya yang bagian distal memiliki kemampuan yang
terbatas pada absorbsi. Akumulasi Cairan dan gas di kolon terjadi lebih
lambat karena posisinya yang berada paling distal dari saluran pencernaan
dan karena sebagian besar cairan telah diabsorbsi di usus halus. Distensi
yang terjadi secara perlahan ini memungkinkan kolon untuk beradaptasi
dan dekompresi dapat terjadi karena katup ileocecal yang inkompeten.
Seperti disebutkan sebelumnya, katup ileocecal yang kompeten dapat
menyebabkan terjadinya closed loop obstruction. Dilatasi cecal dan
penipisan dinding cecum akibat penambahan diameter dapat meningkatkan
27
resiko terjadinya rupture. Rupture dapat disebabkan oleh iskemia yang
terjadi pada dinding kolon, diastasis dari lapisan otot, ataupun karena
invasi bakteri di dinding kolon. Obstruksi kolon berakibat pada motilitas
abnormal namun tidak hiperperistaltik.
Tabel 2.3. Perbedaan ileus obstruktif usus halus dan usus besar
(Sumber : Bickle dan Kelly, 2002)
F. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya ileus obstruktif dibedakan menjadi tiga
kelompok (Yates, 2004) :
a. Lesi-lesi intraluminal, misalnya fekalit, benda asing, bezoar, batu empedu.
b. Lesi-lesi intramural, misalnya malignansi atau inflamasi.
c. Lesi-lesi ekstramural, misalnya adhesi, hernia, volvulus atau intususepsi.
Berdasarkan Lokasi Obstruksi :
a.Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum
b. Letak Tengah : Ileum Terminal
c.Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum
Ileus obstruktif dibagi lagi menjadi tiga jenis dasar (Sjamsuhidajat
& Jong, 2005):
1. Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan
terjepitnya pembuluh darah.
28
2. Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya
penjepitan pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir
dengan nekrosis atau gangren yang ditandai dengan gejala umum berat
yang disebabkan oleh toksin dari jaringan gangren.
3. Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan masuk dan
keluar suatu gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit terdapat dua
tempat obstruksi.
Untuk keperluan klinis dan berdasarkan letak sumbatan, ileus
obstruktif dibagi dua (Ullah et al., 2009):
1. Ileus obstruktif usus halus, yaitu obstruksi letak tinggi dimana mengenai
duodenum, jejunum dan ileum
2. Ileus obstruktif usus besar, yaitu obstruksi letak rendah yang mengenai
kolon, sigmoid dan rectum.
G. Manifestasi Klinis
Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif :
1. Nyeri abdomen
2. Muntah
3. Distensi
4. Kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi).
Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung kepada:
1. Lokasi obstruksi
2. Lamanya obstruksi
3. Penyebabnya
4. Ada atau tidaknya iskemia usus (Ullah et al., 2009)
Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual dan muntah dan
obstipasi. Adanya flatus atau feses selama 6-12 jam setelah gejala merupakan
ciri khas dari obstruksi parsial. Nyeri kram abdomen bisa merupakan gejala
penyerta yang berhubungan dengan hipermotilitas intestinal proksimal daerah
obstruksi. Nyerinya menyebar dan jarang terlokalisir, namun sering
dikeluhkan nyeri pada bagian tengah abdomen. Saat peristaltik menjadi
29
intermiten, nyeri kolik juga menyertai. Saat nyeri menetap dan terus menerus
kita harus mencurigai telah terjadi strangulasi dan infark. (Whang et al.,
2005)
Tanda-tanda obstruksi usus halus juga termasuk distensi abdomen
yang akan sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau
distensi bisa tak terjadi bila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus,
dan peningkatan bising usus. Hasil laboratorium terlihat penurunan volume
intravaskuler, adanya hemokonsentrasi dan abnormalitas elektrolit. Mungkin
didapatkan leukositosis ringan.
Muntah terjadi setelah terjadi obstruksi lumen intestinal dan menjadi
lebih sering saat telah terjadi akumulasi cairan di lumen intestinal. Derajat
muntah linear dengan tingkat obstruksi, menjadi tanda yang lebih sering
ditemukan pada obstruksi letak tinggi. Obstruksi letak tinggi juga ditandai
dengan bilios vomiting dan letak rendah muntah lebih bersifat malodorus.
(Thompson, 2005).
Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting
untuk membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi masih
terjadi pada obstruksi letak tinggi karena perjalan isi lumen di bawah daerah
obstruksi. Diare yang terus menerus dapat juga menjadi tanda adanya
obstruksi partial.
Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya,
namun distensi akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah.
Tanda awal yang muncul ialah penderita segera mengalami dehidrasi. Massa
yang teraba dapat di diagnosis banding dengan keganasan, abses, ataupun
strangulasi. Auskultasi digunakan untuk membedakan pasien menjadi tiga
kategori : loud, high pitch dengan burst ataupun rushes yang merupakan
tanda awal terjadinya obstruksi mekanik. Saat bising usus tak terdengar dapat
diartikan bahwa obstruksi telah berlangsung lama, ileus paralitik atau
terjadinya infark. Seiring waktu, dehidrasi menjadi lebih berat dan tanda-
tanda strangulasi mulai tampak. Pemeriksaan lipat paha untuk mengetahui
30
adanya hernia serta rectal toucher untuk mengetahui adanya darah atau massa
di rectum harus selalu dilakukan.
Tanda-tanda terjadinya strangulasi seperi nyeri terus menerus,
demam, takikardia, dan nyeri tekan bisa tak terdeteksi pada 10-15% pasien
sehingga menyebabkan diagnosis strangulasi menjadi sulit untuk ditegakkan.
Pada obstruksi karena strangulasi bisa terdapat takikardia, nyeri tekan lokal,
demam, leukositosis dan asidosis. Level serum dari amylase, lipase, lactate
dehidrogenase, fosfat, dan potassium mungkin meningkat. Penting dicatat
bahwa parameter ini tak dapat digunakan untuk membedakan antara obstruksi
sederhana dan strangulasi sebelum terjadinya iskemia irreversible.
H. Diagnosis
Diagnosis ileus obstruktif tidak sulit; salah satu yang hampir selalu
harus ditegakkan atas dasar klinik dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
kepercayaan atas pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboraorium harus
dilihat sebagai konfirmasi dan bukan menunda mulainya terapi yang segera.
Diagnosa ileus obstruktif diperoleh dari :
1. Anamnesis
Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat
ditemukan penyebabnya, misalnya berupa adhesi dalam perut karena
pernah dioperasi sebelumnya atau terdapat hernia (Sjamsuhudajat & Jong,
2004). Pada ileus obstruktif usus halus kolik dirasakan di sekitar umbilkus,
sedangkan pada ileus obstruktif usus besar kolik dirasakan di sekitar
suprapubik. Muntah pada ileus obstruktif usus halus berwarna kehijaun
dan pada ileus obstruktif usus besar onset muntah lama.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup
kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen
harus dilihat adanya distensi, parut abdomen, hernia dan massa
abdomen. Inspeksi pada penderita yang kurus/sedang juga dapat
31
ditemukan “darm contour” (gambaran kontur usus) maupun “darm
steifung” (gambaran gerakan usus), biasanya nampak jelas pada saat
penderita mendapat serangan kolik yang disertai mual dan muntah dan
juga pada ileus obstruksi yang berat. Penderita tampak gelisah dan
menggeliat sewaktu serangan kolik.
Gambar 2.5 Gerakan Peristaltik Usus (Sumber : Faradilla, 2009)
b. Palpasi dan perkusi
Pada palpasi didapatkan distensi abdomen dan perkusi Hipertympani
yang menandakan adanya obstruksi. Palpasi bertujuan mencari adanya
tanda iritasi peritoneum apapun atau nyeri tekan, yang mencakup
‘defance muscular’ involunter atau rebound dan pembengkakan atau
massa yang abnormal.
c. Auskultasi
Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodik
gemerincing logam bernada tinggi dan gelora (rush’) diantara masa
tenang. Tetapi setelah beberapa hari dalam perjalanan penyakit dan
usus di atas telah berdilatasi, maka aktivitas peristaltik (sehingga juga
bising usus) bisa tidak ada atau menurun parah. Tidak adanya nyeri
usus bisa juga ditemukan dalam ileus paralitikus atau ileus obstruktif
strangulata.
32
Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah
pemeriksaan rectum dan pelvis. Pada pemeriksaan colok dubur akan
didapatkan tonus sfingter ani biasanya cukup namun ampula recti sering
ditemukan kolaps terutama apabila telah terjadi perforasi akibat obstruksi.
Mukosa rectum dapat ditemukan licin dan apabila penyebab obstruksi
merupakan massa atau tumor pada bagian anorectum maka akan teraba
benjolan yang harus kita nilai ukuran, jumlah, permukaan, konsistensi,
serta jaraknya dari anus dan perkiraan diameter lumen yang dapat dilewati
oleh jari. Nyeri tekan dapat ditemukan pada lokal maupun general
misalnya pada keadaan peritonitis. Kita juga menilai ada tidaknya feses di
dalam kubah rektum. Pada ileus obstruktif usus feses tidak teraba pada
colok dubur dan tidak dapat ditemukan pada sarung tangan. Pada sarung
tangan dapat ditemukan darah apabila penyebab ileus obstruktif adalah lesi
intrinsik di dalam usus (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Diagnosis harus terfokus pada membedakan antara obtruksi
mekanik dengan ileus; menentukan etiologi dari obstruksi; membedakan
antara obstruksi parsial atau komplit dan membedakan obstruksi sederhana
dengan strangulasi. Hal penting yang harus diketahui saat anamnesis
adalah riwayat operasi abdomen (curiga akan adanya adhesi) dan adanya
kelainan abdomen lainnya (karsinoma intraabdomen atau sindroma iritasi
usus) yang dapat membantu kita menentukan etiologi terjadinya obstruksi.
Pemeriksaan yang teliti untuk hernia harus dilakukan. Feses juga harus
diperiksa untuk melihat adanya darah atau tidak, kehadiran darah
menuntun kita ke arah strangulasi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga mengalami
obstruksi intestinal terutama ialah darah lengkap dan elektrolit, Blood
Urea Nitrogen, kreatinin dan serum amylase. Obstruksi intestinal yang
sederhana tidak akan menyebabkan perubahan pada hasil laboratorium jadi
pemeriksaan ini tak akan banyak membantu untuk diagnosis obsruksi
intestinal yang sederhana. Pemeriksaan elektrolit dan tes fungsi ginjal
33
dapat mendeteksi adanya hipokalemia, hipokhloremia dan azotemia pada
50% pasien.
4. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen (foto posisi supine, posisi tegak abdomen atau
posisi dekubitus) dan posisi tegak thoraks
Temuan spesifik untuk obstruksi usus halus ialah dilatasi usus
halus ( diameter > 3 cm ), adanya air-fluid level pada posisi foto
abdomen tegak, dan kurangnya gambaran udara di kolon. Sensitifitas
foto abdomen untuk mendeteksi adanya obstruksi usus halus mencapai
70-80% namun spesifisitasnya rendah. Pada foto abdomen dapat
ditemukan beberapa gambaran, antara lain:
1) Distensi usus bagian proksimal obstruksi
2) Kolaps pada usus bagian distal obstruksi
3) Posisi tegak atau dekubitus: Air-fluid levels
4) Posisi supine dapat ditemukan :
a) distensi usus
b) step-ladder sign
5) String of pearls sign, gambaran beberapa kantung gas kecil yang
berderet
6) Coffee-bean sign, gambaran gelung usus yang distensi dan terisi
udara dan gelung usus yang berbentuk U yang dibedakan dari
dinding usus yang oedem.
7) Pseudotumor Sign, gelung usus terisi oleh cairan.(Moses, 2008)
Ileus paralitik dan obstruksi kolon dapat memberikan
gambaran serupa dengan obstruksi usus halus. Temuan negatif palsu
dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologis ketika letak obstruksi
berada di proksimal usus halus dan ketika lumen usus dipenuhi oleh
cairan saja dengan tidak ada udara. Dengan demikian menghalangi
tampaknya air-fluid level atau distensi usus. Keadaan selanjutnya
berhubungan dengan obstruksi gelung tertutup. Meskipun terdapat
kekurangan tersebut, foto abdomen tetap merupakan pemeriksaan
34
yang penting pada pasien dengan obstruksi usus halus karena
kegunaannya yang luas namun memakan biaya yang sedikit.
Tabel 2.4 Perbedaan Radiologi obstruksi intestinal dan ileus
Temuan Radiologis Osbtruksi Mekanik IleusAir-fluid Level Present proximal to
obstructionProminent throughout
Gas in small intestine Large bowel shape
loops; stepladder pattern
Gas present diffusely; moveable
gas ini colon Absent or diminished Increase throughoutThickened bowel wall Present if chronic or
strangulationPresent with inflamation
Intraabdominal fluid Rare Often presentDiapraghm Slightly elevated;
normal motionElevated; decrease motion
Gastrointestinal contrast media
Rapid progression to point of obstruction
Slow progression to colon
Gambar 2.6 Dilatasi usus (Nobie, 2009)
35
Gambar 2.7 Multipel air fluid level dan “string of pearls” sign (Nobie, 2009)
Gambar 2.8 Herring bone appearance (Nobie,2009)
36
Gambar 2.9 Coffee bean appearance (Bickle dan Kelly, 2002)
Gambar 2.10 Step ledder sign (Nobie, 2009)
b. EnteroclysisEnteroclysis berfungsi untuk mendeteksi adanya obstruksi dan
juga untuk membedakan obstruksi parsial dan total. Cara ini berguna
jika pada foto polos abdomen memperlihatkan gambaran normal
namun dengan klinis menunjukkan adanya obstruksi atau jika
37
penemuan foto polos abdomen tidak spesifik. Pada pemeriksaan ini
juga dapat membedakan adhesi oleh karena metastase, tumor rekuren
dan kerusakan akibat radiasi. Enteroclysis memberikan nilai prediksi
negative yang tinggi dan dapat dilakukan dengan dua kontras. Barium
merupakan kontras yang sering digunakan. Barium sangat berguna dan
aman untuk mendiagnosa obstruksi dimana tidak terjadi iskemia usus
maupun perforasi. Namun, penggunaan barium berhubungan dengan
terjadinya peritonitis dan penggunaannya harus dihindari bila dicurigai
terjadi perforasi. (Nobie, 2009)
Gambar 2.11 Intususepsi (coiled-spring appearance).(Khan,2009)
c. CT-Scan
CT-Scan berfungsi untuk menentukan diagnosa dini atau
obstruksi strangulate dan menyingkirkan penyebab akut abdomen lain
terutama jika klinis dan temuan radiologis lain tidak jelas. CT-scan
juga dapat membedakan penyebab obstruksi intestinal, seperti adhesi,
hernia karena penyebab ekstrinsik dari neoplasma dan penyakit Chron
karena penyebab intrinsik. Obstruksi ditandai dengan diametes usus
38
halus sekitar 2,5 cm pada bagian proksimal menjadi bagian yang
kolaps dengan diameter sekitar 1 cm. (Nobie, 2009)
Tingkat sensitifitas CT scan sekitar 80-90% sedangkan tingkat
spesifisitasnya sekitar 70-905 untuk mendeteksi adanya obstruksi
intestinal. Temuan berupa zona transisi dengan dilatasi usus proksimal,
dekompresi usus bagian distal, kontras intralumen yang tak dapat
melewati bagian obstruksi dan kolon yang mengandung sedikit cairan
dan gas. CT scan juga dapat memberikan gambaran adanya strangulasi
dan obstruksi gelung tertutup. Obstruksi Gelung tertutup diketahui
melalui gambaran dilatasi bentuk U atau bentuk C akibat distribusi
radial vasa mesenteric yang berpusat pada tempat puntiran. Strangulasi
ditandai dengan penebalan dinding usus, intestinal pneumatosis (udara
didinding usus), gas pada vena portal dan kurangnya uptake kontras
intravena ke dalam dinding dari bowel yang affected. CT scan juga
digunakan untuk evaluasi menyeluruh dari abdomen dan pada akhirnya
mengetahui etiologi dari obstruksi.
Keterbatasan CT scan ini terletak pada tingkat sensitivitasnya
yang rendah (<50%) untuk mendeteksi grade ringan atau obstruksi
usus halus parsial. Zona transisi yang tipis akan sulit untuk
diidentifikasi. (Nobie, 2009)
Gambar 2.12 CT Scan Ileus Obstruktif akibat tumor mesenterium (Khan, 2009)
39
Gambar 2.13 CT Scan Ileus Obstruksi Akibat Intususepsi : tampak distensi usus halus yang tidak diikuti dengan distensi kolon (Vriesman dan Robin, 2005)
d. CT enterography (CT enteroclysis)
Pemeriksaan ini menggantikan enteroclysis pada penggunaan
klinis. Pemeriksaan ini merupakan pilihan pada ileus obstruksi
intermiten atau pada pasien dengan riwayat komplikasi pembedahan
(seperti tumor, operasi besar). Pada pemeriksaan ini memperlihatkan
seluruh penebalan dinding usus dan dapat dilakukan evaluasi pada
mesenterium dan lemak perinerfon. Pemeriksaan ini menggunakan
teknologi CT-scan dan disertai dengan penggunaan kontras dalam
jumlah besar. CT enteroclysis lebih akurat disbanding dengan
pemeriksaan CT biasa dalam menentukan penyebab obstruksi (89% vs
50%), dan juga lokasi obstruksi (100% vs 94%).(Nobie, 2009)
e. MRI
Keakuratan MRI hampir sama dengan CT-scan dalam
mendeteksi adanya obstruksi. MRI juga efektif untuk menentukan
lokasi dan etiologi dari obstruksi. Namun, MRI memiliki keterbatasan
antara lain kurang terjangkau dalam hal transport pasien dan kurang
dapat menggambarkan massa dan inflamasi. (Nobie, 2009)
40
Gambar 2.14 Kehamilan dengan ileus obstruktif (Edelman, 2010)
f. USG
Ultrasonografi dapat menberikan gambaran dan penyebab dari
obstruksi dengan melihat pergerakan dari usus halus. Pada pasien
dengan ilues obtruksi, USG dapat dengan jelas memperlihatkan usus
yang distensi. USG dapat dengan akurat menunjukkan lokasi dari usus
yang distensi. Tidak seperti teknik radiologi yang lain, USG dapat
memperlihatkan peristaltic, hal ini dapat membantu membedakan
obstruksi mekanik dari ileus paralitik. Pemeriksaan USG lebih murah
dan mudah jika dibandingkan dengan CT-scan, dan spesifitasnya
dilaporkan mencapai 100%. (Nobie, 2009)
41
Gambar 2.15 USG Abdomen tumor dinding epigastrium (Khan,
2009)
Gambar 2.16 USG Longitudinal dari abdomen bagian bawah
menunjukkan distensi multiple dari usus halus akibat invaginasi (Hagen-
Ansert, 2010).
I. Diagnosis Banding
1. Appendisitis akut
Keadaan ini merupakan penyebab nyeri abdomen akut yang paling
sering. Deskripsi buku ajar klasik adalah nyeri abdomen sentral, sering dengan
gambaran seperti kolik, yang berpindah setelah beberapa jam ke fossa iliaca
dextra. Dapat disertai mual, muntah dan peningkatan suhu ringan. Awalnya,
terdapat nyeri tekan lokalisata dengan detens muscular di kuadran kanan
42
bawah. Bila peritoneum parietal di atasnya meradang, nyeri tekan dan nyeri
lepas dan detens muscular dapat dihasilkan. Sayangnya, kurang dari separuh
pasien datang dengan gejala khas ini. Sering nyeri di sisi kanan.
Bergantung pada posisi apendiks, tanda dapat paling jelas pada
pemeriksaan rectal (apendiks pelvis) atau di pinggang (apendiks retrosekal).
Keterlambatan diagnosis dapat menjadi akibatnya, dan pada kasus apendisitis
obstruktif yang lumennya tersumbat oleh fekolit, dapat terjadi perforasi
bersamaan dengan peninggian tekanan intraluminal yang menyebabkan
gangren dinding apendiks. Inii akan menyebabkan pembentukan abses local,
dengan cirri massa yang nyeri tekan dan dapat diraba, atau peritonitis
generalisata dengan nyeri abdomen, kekakuan dan distensi, dan hilangnya
bising usus.
Gambar 2 & 3 : Appendisitis akut
2. Kolelitiasis
Kolelitiasis atau batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur
yang membentuk suatu material yang menyerupai batu yang dapat ditemukan
dalam kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu
(koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya.
Gejala utama pada kolelitiasis tanpa komplikasi adalah kolik bilier, yang
disebabkan oleh obstruksi collum kandung empedu akibat adanya batu.
Terjadi nyeri hebat dan episodik yang terletak di epigastrium atau kuadran
kanan atas. Nyeri sering dirasakan pada saat makan atau pada waktu malam.
Pasien biasanya mengeluh nyerinya menjalar sampai ke punggung yang
43
disertai nausea dan vomiting. Apabila terjadi komplikasi kolesistitis akut,
tanda awalnya adalah kolik bilier dan terdapat nyeri kolik yang persisten pada
kabdomen kuadran kanan atas. Kadar bilirubin meningkat sampai 4 mg per
desiliter pada kolelitiasis tanpa komplikasi. Sedangkan Frank Jaundice
biasanya tidak dijumpai kecuali pada keadaan terjadinya Mirizzi’s syndrome
(obstruksi kandung empedu akibat penekanan eksternal oleh batu dalam
gallbladder atau duktus sistikus), concomitant koledokolitiasis dan komplikasi
lain sperti perforasi gallbladder.
Gambar 4 & 5 : Kolelitiasis
3. Pankreatitis akut
Keadaan ini ditandai dengan nyeri abdomen atas yang berat yang dapat
menjalar ke punggung, meskipun kehilangan cairan dapat disebabkan oleh
muntah, kehilangan cairan internal yang banyak dari pancreas yang meradang
44
akut, dan kadang-kdang hemoragik dapat terjadi. Selain itu terjadi pelepasan
peptide vasoaktif ke dalam sirkulasi. Keadaan syok yang berat dapat terjadi.
Pada pemeriksaan, abdomen tidak sekaku bdan senyeri tekan seperti
pada peritonitis akibat ulkus yang mengalami perforasi yang merupakan
diagnosis banding utama. Perubahan warna kebiruan di sekirtar umbilicus atau
pinggang yang disebabkan oelh perdarahan retroperitoneal jarang terjadi.
Kebanyakan kasus yang teridentifikasi di Inggris disebabkan oleh batu
empedu dengan alcohol sebagai penyebab yang paling sering kedua; 20%
kasus tetap idiopatik.
Peningkatan amilase serum merupakan uji diagnostic terbaik yang
tersedia, tetapi mempunyai keterbatasan karena peningkatan juga ditemukan
pada banyak penyebab lain nyeri abdomen akut yang dibahas di atas.
Peningkatan dapat bersifat transien tetapi nilai di atas 1000 unit sangat
mendukung pancreatitis akut bila batas atas normal adalah 280 unit.
Gambar 6 : Pankreatitis dalam pemeriksaan CT-scan
4. Peritonitis
Keadaan ini merupakan komplikasi infeksi akut seperti apendisitis akut,
divertikulitis atau aborsi septic. Keadaan ini jarang menjadi gejala pertama
pada situasi apapun. Penyebab penting dan umum adalah perforasi ulkus
peptikum. Sering, terdapat riwayat nyeri epigastrum setelah makan, yang
menunjukkan pasien menderita ulkus gaster. Mungkin juga, terdapat nyeri
lapar, nyeri di antara waktu makan, dan nyeri yang membangunkan pasien
45
saat tubuh, yang menunjukkan ulkus duodenal. Namun, dengan makin
meningkatnya penggunaan obat-obatan anti inflamasi non steroid (NSAID)
untuk atritis, pasien dapat mengalami perdarahan atau perforasi ulkus tanpa
didahului gejala apapun yang menunjukkan terjadinya gangguan ini. Onset
mendadak nyeri abdomen atas yang parah disertai kekakuan dinding abdomen
seperti papan yang hebat dan keengganan pasien untuk melakukan gerakan.
Muntah dapat terjadi dan menyebabkan pasien dirujuk ke rumah sakit akibat
hematemesis. Meskipun nyeri dapat mendahului pendarahan , namun
umumnya nyeri jarang menetap dan jika menetap, meningkatkan
kemungkinan keadaan bahaya, tetapi ungtukngnya jarang, yaitu kombinasi
perdarahan dan perforasi. Setelah nyeri awal dan syok beberapa pasien dapat
tampak membaik selama lebih dari beberapa jam kemudian, meskipun tanda
rigiditas abdomen, takipnea dan takikardia dapat menetap. Perotonitis
generalisata biasanya akan terjadi setelah sekitar 5 tahun. Meskipun
mengalami muntah sedikit pasien akan mengalami dehidrasi dan
hemokonsentrasi akibat keluarnya cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang
peritoneal. Syok dan hipotensi yang terjadi dapat menyebabkan pasien dirawat
dengan bagian tempat tidur ayng menjadi tumpuan kaki pasien ditinggikan,
yang selanjutnya akan menyebabkan iritasi diafragma oleh eksudat radang
yang mengalir ke atas. Tanda-tanda keadaan ini adalah nyeri di ujung bahu
dan sering cegukan. Foto polos abdomen pada posisi tegak (untuk
memperlihatkan udara di bawag diafragma) merupakan pemeriksaan yang
krusial.
Gambar 7 . Peritonitis akut
46
5. Uretrolitiasis dextra
Ureterolitiasis adalah kalkulus atau batu di dalam ureter. Batu ureter pada
umumnya adalah batu yang terbentuk di dalam sistem kalik ginjal, yang turun
ke ureter. Terdapat tiga penyempitan sepanjang ureter yang biasanya menjadi
tempat berhentinya batu yang turun dari kalik yaitu ureteropelvic junction
(UPJ), persilangan ureter dengan vasa iliaka, dan muara ureter di dinding
buli.Batu ureter mungkin dapat lewat sampai ke kandung kemih dan kemudian
keluar bersama kemih. Batu ureter juga bisa sampai ke kandung kemih,
kemudian berupa nidus menjadi batu kandung kemih yang besar. Batu juga
bisa tetap tinggal di ureter sambil menyumbat dan menyebabkan obstruksi
kronik dengan hidroureter yang mungkin asimtomatik. Tidak jarang terjadi
hematuria yang didahului oleh serangan kolik.
Komposisi batu ureter sama dengan komposisi batu saluran kencing pada
umumnya yaitu sebagian besar terdiri dari garam kalsium, seperti kalsium
oksalat monohidrat dan kalsium oksalat dihidrat. Sedang sebagian kecil terdiri
dari batu asam urat, batu struvit dan batu sistin.Gerakan peristaltik ureter
mencoba mendorong batu ke distal, sehingga menimbulkan kontraksi yang
kuat dan dirasakan sebagai nyeri hebat (kolik). Nyeri ini dapat menjalar
hingga ke perut bagian depan, perut sebelah bawah, daerah inguinal, dan
sampai ke kemaluan. Kadang-kadang nyeri terus-menerus karena peregangan
kapsul ginjal. Biasanya nyeri dimulai didaerah pinggang kemudian menjalar
ke arah testis disertai mual dan muntah, berkeringat dingin, pucat dan dapat
terjadi renjatan. Batu yang terletak di sebelah distal ureter dirasakan oleh
pasien sebagai nyeri pada saat kencing atau sering kencing. Batu yang
ukurannya kecil (<5 mm) pada umumnya dapat keluar spontan sedangkan
yang lebih besar seringkali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi
peradangan (periureteritis) serta menimbulkan obstruksi kronik berupa
hidroureter/hidronefrosis. Terkadang disertai hematuria.
47
6. Ileus paralitik
Ileus paralitik adalah keadaan abdomen akut berupa kembung / distensi
usus karena usus tidak dapat bergerak (mengalami dismotilitas), pasien tidak
dapat buang air besar. Gejala klinis dari ileus paralitik ini adalah perut
kembung (distensi), bising usus menurun dan menghilang, muntah yang
kemudian disertai dengan diare, tidak bisa buang air besar, dapat disertai
demam, keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat , bisa disertai dengan
penurunan kesadaran, syok. Dan pada colok dubur : rectum tidak kolaps, tidak
ada kontraksi. Adanya penyakit yang meningkatkan risiko : batu empedu,
trauma, tindakan bedah abdomen, DM, hipokalemia, obat spasmolitik,
pakreatitis akut, pneumonia, dan semua jenis infeksi tubuh. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa disertai
penurunan kesadaran, demam, tanda dehidrasi, syok. Pada pemeriksaan foto
polos abdomen didapatkan distensi, bising usus yang menurun sampai
hilang.10
Gambar 8 : Pemeriksaan radiologi ileus paralitik
J. Penatalaksanaan
Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan
kekurangan Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian
cairan intravena dengan cairan salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin
48
harus di monitor dengan pemasangan Foley Kateter. Setelah urin adekuat,
KCl harus ditambahkan pada cairan intravena bila diperlukan. Pemeriksaan
elektrolit serial, seperti halnya hematokrit dan leukosit, dilakukan untuk
menilai kekurangan cairan. Antibiotik spektrum luas diberikan untuk
profilaksis atas dasar temuan adanya translokasi bakteri pada ostruksi
intestinal. (Evers, 2004)
Dekompresi
Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga
penting untuk dilakukan ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan
tube ini bertujuan untuk mengosongkan lambung, mengurangi resiko
terjadinya aspirasi pulmonal karena muntah dan meminimalkan terjadinya
distensi abdomen. Pasien dengan obstruksi parsial dapat diterapi secara
konservatif dengan resusitasi dan dekompresi saja. Penyembuhan gejala
tanpa terapi operatif dilaporkan sebesar 60 – 85% pada obstruksi parsial.
(Evers, 2004)
Terapi Operatif
Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit
membutuhkan terapi operatif. Pendekatan non – operatif pada beberapa
pasien dengan obstruksi intestinal komplit telah diusulkan, dengan alasan
bahwa pemasangan tube intubasi yang lama tak akan menimbulkan masalah
yang didukung oleh tidak adanya tanda-tanda demam, takikardia, nyeri
tekan atau leukositosis. Namun harus disadari bahwa terapi non operatif ini
dilakulkan dengan berbagai resikonya seperti resiko terjadinya strangulasi
pada daerah obstruksi dan penundaan terapi pada strangulasi hingga setelah
terjadinya injury akan menyebabkan intestinal menjadi ireversibel.
Penelitian retrospektif melaporkan bahwa penundaan operasi 12 – 24 jam
masih dalam batas aman namun meningkatkan resiko terjadinya strangulasi.
Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya adhesi
dapat diterapi dengan melepaskan adhesi tersebut. Penatalaksanaan secara
hati hati dalam pelepasan adhesi tresebut untuk mencegah terjadinya trauma
pada serosa dan untuk menghindari enterotomi yang tidak perlu. Hernia
49
incarcerata dapat dilakukan secara manual dari segmen hernia dan dilakukan
penutupan defek.
Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi intestinal dan adanya
riwayat keganasan akan lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana
metastase telah menyebar, terapi non-operatif, bila berhasil, merupakan jalan
yang terbaik; walaupun hanya sebagian kecil kasus obstruksi komplit dapat
berhasil di terapi dengan non-operatif. Pada kasus ini, by pass sederhana
dapat memberikan hasil yang lebih baik baik daripada by pass yang panjang
dengan operasi yang rumit yang mungkin membutuhkan reseksi usus.
Pada saat dilakukan eksplorasi, terkadang susah untuk menilai
viabilitas dari segmen usus setelah strangulasi dilepaskan. Bila viabilitas
usus masih meragukan, segmen tersebut harus dilepaskan dan ditempatkan
pada kondisi hangat, salin moistened sponge selama 15-20 menit dan
kemudian dilakukan penilaian kembali. Bila warna normalnya telah kembali
dan didapatkan adanya peristaltik, berarti segmen usus tersebut aman untuk
dikembalikan. Ke depannya dapat digunakan Doppler atau kontras
intraoperatif untuk menilai viabilitas usus.
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang
dikerjakan pada obstruksi ileus.
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah
sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia
incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus
ringan.
2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati"
bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn
disease, dan sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat
obstruksi, misalnya pada Ca stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-
ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada
carcinomacolon, invaginasi strangulata, dan sebagainya.
50
Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan
operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena
keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula
dilakukan kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan
anastomosis. (Ullah et al., 2009).
Suatu problematik yang sulit pada keadaan pasca bedah adalah distensi
usus yang masih ada. Pada tindakan operatif dekompressi usus, gas dan cairan
yang terkumpul dalam lumen usus tidak boleh dibersihkan sama sekali oleh
karena catatan tersebut mengandung banyak bahan-bahan digestif yang sangat
diperlukan. Pasca bedah tidak dapat diharapkan fisiologi usus kembali normal,
walaupun terdengar bising usus. Hal tersebut bukan berarti peristaltik usus
telah berfungsi dengan efisien, sementara ekskresi meninggi dan absorpsi
sama sekali belum baik.
Sering didapati penderita dalam keadaan masih distensi dan disertai
diare pasca bedah. Tindakan dekompressi usus dan koreksi air dan elektrolit
serta menjaga keseimbangan asam basa darah dalam batas normal tetap
dilaksanakan pada pasca bedahnya. Pada obstruksi yang lanjut, apalagi bila
telah terjadi strangulasi, monitoring pasca bedah yang teliti diperlukan sampai
selama 6 - 7 hari pasca bedah. Bahaya lain pada masa pasca bedah adalah
toksinemia dan sepsis. Gambaran kliniknya biasanya mulai nampak pada hari
ke 4-5 pasca bedah. Pemberian antibiotika dengan spektrum luas dan
disesuaikan dengan hasil kultur kuman sangatlah penting.
K. Komplikasi
Komplikasi pada pasien ileus obstruktif dapat meliputi gangguan
keseimbangan elektrolit dan cairan, serta iskemia dan perforasi usus yang
dapat menyebabkan peritonitis, sepsis, dan kematian (Ullah et al., 2009).
L. Prognosis
51
Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8%
asalkan operasi dapat segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan
pembedahan atau jika terjadi strangulasi atau komplikasi lainnya akan
meningkatkan mortalitas sampai sekitar 35% atau 40%. Prognosisnya baik
bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan cepat (Nobie, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Bickle IC, Kelly B. 2002. Abdominal X Rays Made Easy: Normal Radiographs. studentBMJ April 2002;10:102-3
52
Davidson, Tish, Dionne Stephanie. 2006. Diunduh dari URL : http://www.healthline.com (diakses 19 Februari 2013)
Dinas Kesehatan Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Diunduh dari URL : http://www.dinkes.go.id (diakses 19 Februari 2013)
Di Saverio S, Coccolini F, Galati M, Smerieri N, Biffl WL, Ansaloni L, et al.
Bologna guidelines for diagnosis and management of adhesive small bowel
obstruction (ASBO): 2013 update of the evidence-based guidelines from the
world society of emergency surgery ASBO working group. World J Emerg
Surg. Oct 10 2013;8(1):42. [Medline].
Eroschenko, V. P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional (9 ed.). (D. Anggraini, T. M. Sikumbang, Eds., & J. Tambayong, Trans.) Jakarta: EGC
Evers, B. M. 2004. Small Intestine. In T. c. al, Sabiston Textbook Of Surgery
(17 ed., pp. 1339-1340). Philadelphia: Elseviers Saunders
Khan, A. N. (2009, September 11). Small Bowel Obstruction. Retrieved
Agust 24th, 2014, Available at emedicine:
http://emedicine.medscape.com/article/374962-overview
Lappas JC, Reyes BL, Maglinte DD. Abdominal radiography findings in
small-bowel obstruction: relevance to triage for additional diagnostic
imaging. AJR Am J Roentgenol. Jan 2001;176(1):167-74. [Medline].
Manuaba. M, Tjakra. 2010. Panduan Penatalaksanaan Kanker Solid Peraboi
2010. Denpasar : Sagung Seto
Moses, S. 2008. Mechanical Ileus. Retrieved Agustus 24, 2014, Available at :
http://www.fpnotebook.com/Surgery/GI/MchnclIls.htm
53
Nobie, B. A. (2014, Agustus 21). Obstruction, Small Bowel. Retrieved June
6th, 2011, from emedicine: http://emedicine.medscape.com/article/774140-
overview
Nobie, B. A. (2009, November 12). Obstruction, Small Bowel. Retrieved
June 6th, 2011, from emedicine:
http://emedicine.medscape.com/article/774140-overview
Price, S. A. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. 2006. Hal 437-450
Price, S. A. 2003. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. (S.
A. Price, L. McCarty, & Wilson, Eds.) Jakarta: EGC
Sheedy SP, Earnest F 4th, Fletcher JG, Fidler JL, Hoskin TL. CT of small-bowel ischemia associated with obstruction in emergency department patients: diagnostic performance evaluation. Radiology. Dec 2006;241(3):729-36. [Medline].
Snell, Richard S. 2004. Clinical Anatomy for Medical Students, Fifth edition,
New York
Simatupang O N. 2010. Ileus Obstruktif. Samarinda: UNMUL Retrieved June
6th, 2011, Available at: http://www.scribd.com/doc/28090500/ileus-obstruksi
Sjamsuhidajat. R, Jong WD. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Thompson, J. S. 2005. Intestinal Obstruction, Ileus, and Pseudoobstruction. In
R. H. Bell, L. F. Rikkers, & M. W. Mulholland (Eds.), Digestive Tract
Surgery (Vol. 2, p. 1119). Philadelphia: Lippincott-Raven Publisher
Thompson WM, Kilani RK, Smith BB, Thomas J, Jaffe TA, Delong DM, et
al. Accuracy of abdominal radiography in acute small-bowel obstruction:
54
does reviewer experience matter?. AJR Am J Roentgenol. Mar
2007;188(3):W233-8. [Medline].
Ullah S, Khan M, Mumtaz N, Naseer A. 2009. Intestinal Obstruction : A
Spectrum of causes. JPMI 2009 Volume 23 No 2 page 188-92
van der Wal JB, Iordens GI, Vrijland WW, van Veen RN, Lange J, Jeekel J. Adhesion prevention during laparotomy: long-term follow-up of a randomized clinical trial. Ann Surg. Jun 2011;253(6):1118-21. [Medline].
WHO. Causes of Death in 2008. Diunduh dari URL : http://www.who.int (diakses 19 Februari 2013)
Whang, E. E., Ashey, S. W., & Zimnner, M. J. 2005. Small Intestine. In B. e. al (Ed), Schwatz’s Principles Of Surgery (8 ed., p. 1018). McGraw-Hill Companies.
Yates K. 2004. Bowel obstruction. In: Cameron P, Jelinek G, Kelly AM,
Murray L, Brown AFT, Heyworth T, editors. Textbook of adult emergency
medicine. 2nd ed. New York: Churchill Livingstone. p.306-9
55