preskes anestesi

12
An Update on Airway Management in Emergency Medicine Manajemen jalan napas merupakan salah satu keterampilan klinis yang harus dikuasai seorang dokter dalam menangani kasus kegawatan jalan napas. Ilmu tentang manajemen jalan napas selalu berkembang diantaranya tentang laringoskopi, manajemen obat- obatan, intubasi pra-rumah sakit, dan komplikasi intubasi. Berikut ini membahas jurnal yang berkaitan dengan manajemen jalan napas yang dipublikasikan dalam dua tahun terakhir. Direct Laryngoscopy Compared to Video Laryngoscopy Tracheal Intubation in the Emergency Department: A Comparison of Glidescope® Video Laryngoscopy to Direct Laryngoscopy in 822 Intubations. Sackles JC et al. Journal of Emergency Medicine 2012; 42:400-405. Difficult Airway Management in the Emergency Department: Glidescope® Videolaryngoscopy Compared to Direct Laryngoscopy. Mosier JM et al. Journal of Emergency Medicine 2012; 42:629-634. Telah banyak penelitian yang membandingkan Direct Laryngoscopy (DL) dengan Glidescope® Video Laryngoscopy (GVL) menyebutkan bahwa GVL bekerja lebih cepat dan memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Platts-Mills et 1

Upload: pujipujio

Post on 23-Jan-2016

225 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

airway

TRANSCRIPT

Page 1: Preskes Anestesi

An Update on Airway Management in Emergency Medicine

Manajemen jalan napas merupakan salah satu keterampilan klinis yang

harus dikuasai seorang dokter dalam menangani kasus kegawatan jalan napas.

Ilmu tentang manajemen jalan napas selalu berkembang diantaranya tentang

laringoskopi, manajemen obat-obatan, intubasi pra-rumah sakit, dan komplikasi

intubasi. Berikut ini membahas jurnal yang berkaitan dengan manajemen jalan

napas yang dipublikasikan dalam dua tahun terakhir.

Direct Laryngoscopy Compared to Video Laryngoscopy

Tracheal Intubation in the Emergency Department: A Comparison of

Glidescope® Video Laryngoscopy to Direct Laryngoscopy in 822 Intubations.

Sackles JC et al. Journal of Emergency Medicine 2012; 42:400-405.

Difficult Airway Management in the Emergency Department: Glidescope®

Videolaryngoscopy Compared to Direct Laryngoscopy. Mosier JM et al.

Journal of Emergency Medicine 2012; 42:629-634.

Telah banyak penelitian yang membandingkan Direct Laryngoscopy (DL)

dengan Glidescope® Video Laryngoscopy (GVL) menyebutkan bahwa GVL

bekerja lebih cepat dan memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Platts-

Mills et al. pertama kali melakukan penelitian membandingkan DL dan GVL dan

hasilnya menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan di antara keduanya namun

GVL disarankan sebagai alternatif DL dalam teknik intubasi.

Dalam studi sebelumnya, Sakles dkk. melakukan penelitian observasional

retrospektif dengan menggunakan data prospektif yaitu semua pasien yang

diintubasi di pelayanan gawat darurat dalam kurun waktu penelitian selama 24

bulan. Untuk setiap tindakan intubasi, dokter mengisi form yang mencantumkan

perangkat awal yang digunakan, tingkat keberhasilan, pengalaman operator,

karakteristik saluran napas, komplikasi, alasan kegagalan, dan karakteristik

kinerja GVL. Variabel primer adalah intubasi yang berhasil pada upaya pertama,

1

Page 2: Preskes Anestesi

yang didefinisikan sebagai insersi pisau laringoskop ke mulut pasien, baik dengan

atau tanpa menggunakan endotracheal tube (ET).

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa GVL memiliki tingkat

keberhasilan pada upaya pertama yang lebih tinggi daripada DL (75% berbanding

68%, p = 0,03), dan tingkat keberhasilan lebih tinggi secara keseluruhan yaitu

70% berbanding 56%, p = 0.00. Kegagalan intubasi DL dilaporkan terutama

karena ketidakmampuan untuk memvisualisasikan jalan napas, sementara

kegagalan intubasi GVL umumnya karena ketidakmampuan untuk mengarahkan

tabung ET ke dalam saluran napas. Menariknya, intubasi DL memiliki tingkat

keberhasilan yang lebih tinggi secara keseluruhan pada tindakan intubasi yang

tidak berhasil pada percobaan pertama (57% berbanding 38%, p = 0,003). Hal ini

mungkin terkait dengan alasan kegagalan perangkat seperti yang telah disebutkan

sebelumnya. Reposisi, penyesuaian pisau, dan manuver lain dapat meningkatkan

visualisasi kabel di DL. Selain itu, sebagian besar dokter umumnya lebih nyaman

dengan DL, sehingga mereka cenderung mencoba beberapa kali dengan DL

sebelum beralih menggunakan GVL.

Fiberoptic Laryngoscopy Compared to Video Laryngoscopy GlideScope®

Versus Flexible Fiber Optic for Awake Upright Laryngoscopy. Silverton NA

et al. Ann Emerg Med 2012; 50:159-164.

Dokter unit gawat darurat sudah berpengalaman dalam tindakan intubasi

untuk menangani kegawatan pada pasien yang kritis dalam posisi terlentang

(supine). Namun ada beberapa kondisi yang menyebabkan posisi terlentang

kurang ideal oleh karena kemungkinan peningkatan desaturasi yang cepat seperti

pada pasien gagal jantung akut, angioedema, kehamilan usia tua, dan obesitas.

Pada kondisi ini biasanya digunakan Fiberoptic Laryngoscopy (FL) dengan teknik

intubasi yang memiliki kesulitan tersendiri. Oleh karena itu penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui kemungkinan penggunaan GlideScope Video

Laryngoscopy (GVL) pada kasus seperti ini.

Penelitian ini merupakan penelitan prospektif random pada 23 pasien

sadar yang diberikan anestesi lokal yang kemudian dilakukan tindakan

2

Page 3: Preskes Anestesi

laringoskopi. Peneliti membandingkan penggunaan GVL dengan posisi “toma

hawk” dengan penggunaan FL. Kriteria eksklusi pada penelitian ini meliputi usia

kurang dari 18 tahun, kehamilan, hipertensi, penyakit jantung, penyakit hati,

epilepsi, diabetes, riwayat epistaksis, masalah hidung, penyakit menular saat ini,

alergi terhadap obat-obatan yang digunakan selama prosedur atau riwayat alergi

anestesi topikal sebelumnya. Variabel primer dari penelitian ini adalah waktu

untuk mendapatkan visualisasi Cormack-Lehane grade II atau tampilan yang

lebih baik berdasarkan laporan operator. Penelitian ini melibatkan 10 wanita dan

13 pria. Hasil menunjukkan didapatkan visualisasi Cormack-Lehane grade II atau

tampilan yang lebih baik sebesar 95,6% ketika menggunakan GVL dan 100%

ketika menggunakan FL. Median waktu tertinggi untuk melihat tampilan yang

lebih baik menggunakan GVL adalah 16 detik sedangkan dibutuhkan waktu 51

detik ketika menggunakan FL. Didapatkan rata-rata waktu yang diperlukan ketika

menggunakan GVL adalah 39 detik lebih cepat daripada menggunakan FL (p =

0,049).

Choice of Paralytic Agent in Rapid Sequence Intubation Comparison of

Succinylcholine and Rocuronium for First-attempt Intubation Success in the

Emergency Department. Patanwala AE. Acad Emerg Med 2010; 18:11-14.

Penelitian ini menguji pengaruh dosis dan golongan obat pelumpuh (agen

paralitik) yang digunakan pada upaya intubasi pertama yang berhasil di unit gawat

darurat. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif yang menggunakan

database semua pasien yang tercatat mendapatkan intubasi oleh dokter yang

memilki akses penuh untuk RSI (Rapid Sequence Intubation) dengan etomidate

sebagai obat induksi dan succinylcholine atau rocuronium sebagai obat pelumpuh.

Sebanyak 327 pasien dilibatkan dalam analisis akhir penelitian ini. 113

(35%) pasien menerima suksinilkolin dan 214 (65%) pasien menerima

rocuronium. Didapatkan keberhasilan intubasi pada upaya pertama yang serupa

antara penggunaan succinylcholine dan rocuronium, yaitu 72,6% untuk

succinylcholine dan 72,9% untuk rocuronium. Dosis median untuk penggunaan

suksinilkolin adalah 1.65 mg / kg dan untuk rocuronium adalah 1.19mg / kg.

3

Page 4: Preskes Anestesi

Penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara penggunaan

suksinilkolin dan rocuronium dalam keberhasilan intubasi.

Prehospital Considerations in Airway Management Effects of Bag-mask

Versus Advanced Airway Ventilation for Patients Undergoing Prolonged

Cardiopulmonary Resuscitation in Prehospital Setting. Nagao T et al.

Journal of Emergency Medicine 2012; 42; 162-170.

Manajemen pasien post cardiac arrest membutuhkan perhatian khusus

termasuk manajemen jalan napas. Sayangnya belum banyak literatur yang

membahas tentang kapan penggunaan Advanced Airway Ventilation (AAV)

dibanding basic Bag-Mask Ventilation (BMV) atau kapan harus mengganti BMV

ke AAV di saat melakukan tindakan CPR. Menurut American Heart Association

(AHA) 2010, penggunaan AAV harus dilakukan oleh penolong yang

berpengalaman, dan alat tersebut idealnya digunakan dalam waktu kurang dari 10

detik selama melakukan CPR. Bila tidak maka kemungkinan terjadinya jeda

panjang saat kompresi, trauma jalan nafas, hipoksemia dari upaya intubasi

berkepanjangan, dan kegagalan intubasi sangat tinggi. Di sisi lain, ketika AAV

dengan cepat dan berhasil ditempatkan akan dapat mengurangi risiko aspirasi dan

inflasi lambung, dapat memberikan rute tambahan untuk obat-obatan, dan

memungkinkan untuk penyedotan saluran napas langsung.

Nagao et al. melakukan penelitian retrospektif terhadap 355 pasien post

cardiac arrest selama tahun 2006-2007, 156 diantaranya mendapat BMV dan 199

sisanya mendapat AAV. Waktu transportasi pada kedua kelompok tersebut lebih

dari 30 menit. Variabel primer dari penelitian ini adalah keberhasilan keluar dari

rumah sakit dan kondisi status neurologis yang baik, sedangkan variabel sekunder

adalah tingkat keberhasilan sirkulasi spontan (ROSC) dan tingkat masuk

perawatan ICU. Hasil menunjukkan angka ROSC dan masuk ICU yang tinggi

pada kelompok yang mendapat AAV. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan

pada kedua kelompok dalam hal pre-hospital ROSC dan status neurologis.

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penelitian ini untuk interpretasi

hasil yang lebih baik diantaranya, semua pasien telah mendapat tindakan CPR

4

Page 5: Preskes Anestesi

selama 2 menit dan menggunakan BMV sebelum digantikan dengan AAV.

Peralatan AAV yang digunakan yaitu laryngeal masks, esophagealtracheal

combitubes, dan endotracheal tubes. Dari 199 pasien yang menggunakan AAV,

10 diantaranya menggunakan endotracheal tubes, 147 menggunakan laryngeal

masks, dan 42 menggunakan esophagealtracheal combitubes. ROSC didapatkan

pada 37 pasien yang mendapat AAV, hanya 1 diantaranya yang menggunakan ET.

Secara keseluruhan, ROSC dan perawatan di ICU berhubungan dengan

penggunaan AAV dan kejadian munculnya cardiac arrest. Tetapi tidak ada

perbedaan yang signifikan di antara kedua kelompok.

Paramedic Laryngoscopy in the Simulated Difficult Airway: Comparison of

the Venner® A.P. Advance and GlideScope® Ranger Video Laryngoscopes.

Butchart AG et al. Acad Emerg Med 2011; 18:692-698.

Penelitian ini menguji penggunaan VL pada pengobatan pre-hospital.

Penelitian ini juga menguji penggunaan dua alat yaitu GVL dan Venner® A.P.

Advance pada manekin simulasi yang memiliki penyulit jalan napas. GVL

menggunakan laringoskop yang ditempatkan di garis tengah orofaring pasien

untuk memvisualisasikan pita suara. Sebuah stylet kaku digunakan untuk

melewati tabung ET melalui sudut glotis melalui kabel. The Venner® A.P.

Advance berguna seperti laringoskop pada jalan napas yang sulit dan

menggunakan manipulasi lidah untuk mendapatkan visualisasi pita suara.

Waktu untuk intubasi trakea lebih pendek pada teknik VL dibandingkan

dengan DL sedangkan Venner® APA lebih cepat dari GVL dalam waktu intubasi

(mean 25 vs 46 detik, p <0,0001). Berdasarkan gerakan tabung ET selama

intubasi, Venner® APA memiliki potensial yang lebih rendah untuk trauma jalan

nafas daripada GVL. Keberhasilan memasukkan ET pada upaya pertama

menggunakan Venner® APA mencapai 80% sedangkan GVL mencapai 30% (p

<0,0001).

5

Page 6: Preskes Anestesi

Considerations in Tube Delivery Difficulties with Gum Elastic Bougie

Intubation in an Academic Emergency Department. Shah KH et al. The

Journal of Emergency Medicine 2011; 41:429-434.

Gum Elastic Bougie (bougie) telah digunakan selama bertahun-tahun,

namun akhir-akhir semakin dikenal sebagai salah satu alat dalam manajemen jalan

napas khususnya alat intubasi blind dan semi-blind. Terdapat penelitian

observasional yang bersifat prospektif yang bertujuan untuk mengevaluasi angka

keberhasilan penggunaan bougie dalam intubasi dan mencari faktor penyebab

kegagalan saat menggunakan bougie.

Pada penelitian kohort yang melibatkan 88 pasien, didapatkan angka

kegagalan penggunaan bougie sebesar 28,4% sedangkan angka keberhasilan

keseluruhan sebesar 79,6%. Penyebab kegagalan paling banyak adalah

ketidakmampuan memasukkan bougie melewati hipofaring (53%), selain itu

penyebab lain adalah ketidakmampuan memasukkan ET melewati bougie (24%),

dan kegagalan intubasi esofageal (16%).

Kekurangan penelitian ini antara lain cakupan subjek penelitian kohort

yang terlalu sedikit, tenaga yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah trainee

atau petugas yang belum berpengalaman, dan kurangnya pengetahuan tentang

teknik penggunaan bougie secara tepat. Walaupun demikian, penggunaan bougie

sebagai alat bantu manajemen jalan napas sangat bermanfaat meskipun

keberhasilannya dipengaruhi banyak faktor.

The Effect of Stylet Choice on the Success Rate of Intubation Using the

GlideScope® Video Laryngoscope in the Emergency Department. Sackles

JC. Acad Emerg Med 2012; 19:235-238.

Penggunaan video laringoskopi dalam intubasi sudah umum dilakukan

terutama di unit gawat darurat. Oleh karena itu perusahaan yang memproduksi

alat video tersebut juga memproduksi stylet khusus sebagai sambungan dengan

alat laringoskop. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan pengaruh

penggunaan stylet khusus yaitu GlideRite Rigid Stylet (GRS) dengan stylet

standard yang biasa digunakan yaitu Standard Malleable Stylet (SMS).

6

Page 7: Preskes Anestesi

Penelitian ini melibatkan 473 pasien, sebanyak 322 pasien diintubasi

menggunakan GRS, persentase percobaan pertama yang berhasil dan rata-rata

keberhasilan yaitu 82,9% dan 93,5%. Angka keberhasilan pada penggunaan GRS

secara signifikan lebih tinggi dibanding pada penggunaan SMS yang angka

keberhasilan pada percobaan pertama dan rata-ratanya sebesar 67,5% dan 78,1%.

Selain itu munculnya komplikasi pada penggunaan GRS lebih rendah daripada

SMS yaitu 25% berbanding 47%.

Ultrasound in Emergent Airway Assessment Pilot Study to Determine the

Utility of Point-of-care Ultrasound in the Assessment of Difficult

Laryngoscopy. Adhikari S et al. Acad Emerg Med 2011; 18:754-758.

Mengetahui adanya sumbatan jalan napas merupakan hal yang menantang

terutama di unit gawat darurat. Literatur terdahulu menyebutkan anamnesis untuk

mengetahui riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik kepala dan leher dapat

dilakukan untuk membantu mengetahui adanya sumbatan jalan napas. Saat ini

dengan berkembanganya teknologi, digunakan alat ultrasound untuk mengetahui

ketepatan pemasangan alat intubasi. Penelitian ini bertujuan untuk

membandingkan penggunaan alat ultrasound dengan pemeriksaan anatomis

sederhana seperi skor Mallampati, jarak thyromental, dan celah interincisor.

Penelitian ini melibatkan 51 pasien dengan 6 pasien diantaranya diketahui

dokter anestesi memiliki sumbatan jalan napas. Pengukuran sonografik pada soft-

tissue leher depan menunjukkan hasil yang lebih besar pada pasien yang memiliki

sumbatan jalan napas. Pada tingkat tulang hyoid, sumbatan jalan napas bertambah

ketebalannya (1,69, 95% CI = 1,19-2,19) dibanding dengan laringoskopi biasa

(1,37,95% CI = 1,27-1,46). Namun tidak ada hubungan yang signifikan antara

hasil ultrasound dengan pengukuran secara klinis.

Simpulan :

Video laryngoscopy (VL) dapat membantu dalam menilai masalah di jalan

napas, namun direct laryngoscopy (DL) tetap berguna terutama dalam

upaya penyelamatan pada masalah sumbatan jalan napas.

7

Page 8: Preskes Anestesi

Tidak ada perbedaan antara penggunaan succinylcholine dan rocuronium

pada intubasi yang berhasil pada percobaan pertama selama dosis yang

digunakan tepat.

Video laryngoscopy (VL) dengan teknik track-based atau channel-based

dapat membantu pemasangan intubasi yang lebih cepat dengan trauma

minimal dibandingkan dengan Video laryngoscopy (VL) stylet-guided

untuk intubasi.

Penggunaan stylet khusus pada Video laryngoscopy (VL) menunjukkan

tingka keberhasilan yang lebih tinggi daripada penggunaan stylet biasa.

Penelitian yang akan datang dapat membantu menentukan penggunaan

ultrasound untuk pengukuran soft-tissue leher yang dapat memprediksi

adanya sumbatan jalan napas.

8