prediksi kekeringan jms_vol. 8_no.2_57-61
TRANSCRIPT
-
8/14/2019 Prediksi Kekeringan JMS_VOL. 8_NO.2_57-61
1/5
Jurnal Matematika dan SainsVol. 8 No. 2, Juni 2003, hal 57 61
Peranan Pengelompokan Samar dalam Prediksi Kekeringan di Indonesia Berkaitan
dengan ENSO dan IOD
The Houw Liong1), Bannu
2), dan P.M. Siregar
3)
1)
Departemen Fisika , ITB2)Jurusan Fisika, UNHAS.
3)Departemen Geofisika & Meteorologi,ITB
Diterima tanggal 21 Oktober 2002, disetujui untuk dipublikasikan 13 Mei 2003
Abstrak
Secara umum kekeringan di Indonesia dapat diprediksi berdasarkan intensitas El Nio yang didefinisikan
berdasarkan deret waktu anomali suhu permuaan laut di Pasific (SSTA 3.4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
untuk intensitas El Nio kuat lebih dai 65% daerah di Indonesia mengalami hujan di bawah normal (Indonesia
kering). Korelasi antara intensitas El Nio yang kuat dengan persentase hujan di bawah normal di Indonesia
sangat besar , namun ketika intensitasnya rendah korelasinya menurun. Ini menunjukan bahwa ketika intensitas El
Nio rendah mekanisme lain, misalnya Dipole Mode di lautan India dapat memberi kontribusi besar. Pengaruhlebih rinci terhadap wilayah iklim di Indonesia masih harus dikembangkan. Pengelompokan wilayah iklim
berdasarkan himpunan samar atau relasi samar pola curah hujan bulanan yang dikenal sebagai fuzzy clustering
atau pengelompokan dengan JNA seperti yang dilakukan Kohonen dapat dipakai di sini. Ternyata daerah Indonesia
dapat dikelompokan berdasarkan pola hujan yang dipengaruhi kuat oleh Monsun Australia Utara Indonesia
(NAIM), dan pola hujan yang khas daerah khatulistiwa yang dikenal sebagai Benua Maritim (MC). Gagasan
pengelompokan wilayah iklim ini dilandasi pemikiran bahwa untuk membahas pengaruh ENSO dan IOD kita harus
membahas dinamika atmosfir dalam skala regional sehingga pengelompokan wilayah iklim harus berlandaskan
tinggi geopotensial atau pola hujan bulanan rata-rata. Ternyata Benua Maritim (MC) timur dan NAIM dipengaruhi
kuat oleh ENSO, MC barat khususnya Sumatra Selatan dan Jawa Barat dipengaruhi juga oleh Dipole Mode yang
terjadi di lautan India.
Kata kunci : pengelompokan samar, himpunan samar, relasi samar, ENSO, IOD, kekeringan, monsun, benua
maritim
Abstract
In general drought in Indonesia can be predicted from intensities of El Nio that can be defined by using time series
of sea surface anomaly on Pacific Ocean (SSTA 3.4). It can be shown that when El Nio with strong intensities
occur then more than 65% regions in Indonesia the precipitations are below normal (drought in Indonesia). The
correlation between strong El Nio intensities and percentages of regions in Indonesia with precipitations below
normal are high, but when the intensities are weak the correlations are low. In this case other phenomena such as
on Indian Ocean Dipole Mode (IOD) can contribute to drought in Indonesia. Clustering of climatic regions in
Indonesia based on monthly rainfall pattern using fuzzy set, fuzzy relations or Kohonens neural network will help
to clarify drought on these regions. It can be shown that climatic regions in Indonesia can be clustered based on
monthly rainfall patterns that are strongly influence by Australian monsoon which is known as North Australia
Indonesian Monsoon (NAIM) and Maritime Continent (MC) which has equatorial precipitation characteristic. The
climatic clustering is based on the ground that ENSO and IOD are regional atmospheric dynamic so the clusteringshould be based on average monthly pattern or geopotential height. The east MC and NAIM will be influence
strongly by ENSO and the western MC especially south Sumatra and west Java is influence also by IOD.
Keywords : fuzzy clustering, fuzzy set, fuzzy relations, ENSO, IOD, drought, monsoon, maritime continent
1. Pendahuluan
Badan Meteorologi dan Geofisika telah
membuat tabel tahun El Nio dalam kaitannya dengan
persentase daerah yang mengalami kekeringan (yang
mengalami hujan di bawah normal). Misalnya dalam
tahun 1961, 94% daerah Indonesia mengalami hujan
di bawah normal, tahun 1963, 92% mengalami hujandi bawah normal, dst.
Dalam penelitian tahun ini El Nio sangat
ditentukan oleh deret waktu anomali suhu permukaan
laut SST nino 3.4. Intensitas El Nio dapat
didefinisikan sebagai luas daerah di atas sumbu dari
deret waktu anomaly SST1). Dari tabel BMG tsb. kita
dapat mentransformasikannya menjadi grafik antara
kekeringan di Indonesia (Y) terhadap intensitas ElNio (X) (lihat Gambar 1).
57
-
8/14/2019 Prediksi Kekeringan JMS_VOL. 8_NO.2_57-61
2/5
58 JMS Vol. 8 No. 2, Juni 2003
Jika didekati dengan regresi linear hasilnya
sbb. ini, korelasi keseluruhan ialah R=0,57 , atau R2=
0,32 tetapi terlihat jelas dalam grafik tsb. bahwa
sebetulnya korelasinya besar ketika intensitas El Nio
tinggi dan rendah ketika intensitasnya rendah. Ini
berarti bahwa intensitas El Nio tinggi akanmenyebabkan kekeringan di Indonesia, tetapi ketika
intensitas El Nio rendah pengaruh lain dapat menjadi
dominan sehingga mungkin saja kekeringan terjadi
Gambar 1. Korelasi antara persentase daerah hujan di
bawah normal (Y) dengan intensitas El Nio (X)
Mode Dipole India atau dikenal sebagai IOD
(Indian Ocean Dipole Mode) yang merupakan anomalitemperatur permukaan laut India dapat juga memberi
kontribusi pada kekeringan di Indonesia, sehingga
untuk mengungkapkan mekanisme kekeringan di
Indonesia kita harus mempelajari interaksi antara El
Nio dengan IOD.
Berdasarkan hasil ini dari prediksi SSTA Nio
3.4 untuk tahun 20021), intensitas El Nio akan lemah-
sedang sehingga kekeringan di Indonesia lebih
dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya IOD. Penelitian
lebih lajut masih diperlukan untuk dapat
mengungkapkan faktor tsb., pendaerahan wilayah
iklim yang lebih rinci berdasarkan himpunan
samar/relasi samar atau JNA2-4) perlu dikembangkan,sehingga diperoleh cara prediksi yang lebih baik.
Gagasan pengelompokan wilayah iklim ini dilandasi
pemikiran bahwa untuk membahas pengaruh ENSO
kita harus membahas dinamika atmosfir dalam skala
regional sehingga pengelompokan wilayah iklim harus
berlandaskan tinggi geopotensial 700 mb5) atau pola
hujan bulanan rata-rata.
2. Pengelompokan Wilayah Iklim Regional
Pengelompokan wilayah iklim dapat dilakukan
berdasarkan relasi kemiripan pola hujan bulanan rata-
rata. Dalam cara pengelompokan ini data hujan
bulanan harus di rata-ratakan dahulu untuk jangka 12tahun atau lebih jadi kita mempunyai vektor X(n) =
(X1n, X2n, ..X12n), Xkn = rata-rata hujan bulan ke k
untuk derah n dikurangi dengan rata-rata hujan
bulananya. Koefisien kemiripan S didefinisikan
sebagai berikut10)
S(X(n),X(m)) = X(n).X(m)/|X(n)||X(m)|
-1< S< +1
Dengan metoda pengelompokan ini kita dapat
memperoleh wilayah berdasarkan koefisien kemiripan
pola hujannya . Secara umum hasil pengelompokanya
sesuai dengan pengelompokan yang dilakukan oleh
Murakami et al6) yaitu
a. SEAM (South East Asia Monsoon)b. MC (Maritime Continent)c. NAIM (North Australia-Indonesian Monsoon),
dengan tambahan kita mempunyai koefisien
kemiripan untuk setiap tempat sehingga analisa
korelasinya dengan intensitas El Nio dapat dilakukan
dengan lebih rinci. Arti koefisien korelasi dengansuatu wilayah iklim merupakan koefisien korelasi
rata-ratanya. Koefisien korelasi sebagai fungsi dari
posisi masih bergantung dari koefisien kemiripannya.
Untuk NAIM (Gambar 2), ketika koefisien kemiripan
bertambah rendah maka koefisien korelasinya jugaakan turun7).
Berdasarkan pengelompokan samar7) kita dapat
membagi wilayah iklim Indonesia menjadi tiga
wilayah yaitu SEAM (South East Asia Monsoon)
(Gambar 3) yang pola hujannya dipengaruhi secara
kuat oleh tekanan di atas benua Asia, NAIM (NorthAustralia Indonesia Monsoon) (Gambar 2) yang pola
hujannya dipengaruhi secara kuat oleh tekanan di atasbenua Australia dan MC(Maritime Continent) yang
mempunyai pola hujan ekuator. Dari besar koefisien
kemiripan dapat dilihat bahwa tidak ada daerah
kepulauan Indonesia yang mempunyai koefisienkemiripan lebih besar daripada 0.5 untuk dapat
dinyatakan terkelompok sebagai SEAM. Pulau Jawa,
Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan terkelompok
sebagai NAIM. Kepulauan lainya akan terkelompok
sebagai MC.
Metoda pengelompokan lain misalnya denganc-means fuzzy clustering atau pengelompokan dengan
JNA menurut Kohonen2,10) dapat saja dipakai dan
perbandingan berbagai metoda ini diharapkanmemperkaya cara penafsiran wilayah iklim Indonesia
dan meningkatkan prediksi kekeringan untuk berbagai
wilayah itu.
-
8/14/2019 Prediksi Kekeringan JMS_VOL. 8_NO.2_57-61
3/5
JMS Vol. 8 No. 2, Juni 2003 59
KLASIFIKASI CURAH HUJAN DENGAN REFERENSI VEKTOR DARWIN
Gambar 2. Pengelompokan wilayah iklim berdasarkan acuan pola hujan bulanan rata-rata di Darwin.
Tanda bintang lima menunjukan wilayah iklim mirip Darwin dengan koefisien kemiripan > 0,5
KLASIFIKASI CURAH HUJAN DENGAN REFERENSI VEKTOR BANGKOK
Gambar 3. Pengelompokan wilayah iklim berdasarkan acuan pola hujan bulanan rata-rata di Bangkok.
Tanda bintang lima menunjukan wilayah iklim mirip Bangkok dengan koefisien kemiripan > 0,5
-
8/14/2019 Prediksi Kekeringan JMS_VOL. 8_NO.2_57-61
4/5
60 JMS Vol. 8 No. 2, Juni 2003
Anomali Indeks Dipole Mode (DMI) Tahunan Periode 1961 - 2001
-0.5
-0.25
0
0.25
0.5
0.75
1
1961
1962
1963
1964
1965
1966
1967
1968
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
Tahun
SSTA(
der.C
)
Gambar 4. Pita hitam menunjukan Indonesia kering tahun El Nio, pita merah menunjukan Indonesia dinyatakan
kering ketika bukan tahun El Nio. Dua pita merah (tahun 1966 dan 1980) dapat dijelaskan karena pengaruh DMI
positif
Gambar 5. Prediksi Indeks Dipole Mode mulai awal
2003 hingga pertengahan 2003
Gambar 6. Prediksi SSTA Januari 2003 hingga Juni
2003
3. Pengaruh ENSO dan IOD
Pengaruh ENSO cukup kuat untuk berbagai
tempat di Indonesia. Dengan melihat anomali SSTNio 3.4 terlihat bahwa perioda 1961 sd 2001 wilayah
MC bagian timur mempunyai koefisien korelasi
sekitar 0,6 pada waktu terjadi El Nio sedangkan
wilayah NAIM hanya sekitar 0,3. Untuk wilayah MC
bagian barat dan SEAM masih belum ada kesimpulan
yang jelas karena ada yang berkorelasi 0.7 untuk
Padang pada tahun El Nio 97/98 tetapi berkorelasi
0.2 pada tahun El Nio 82/83 demikian juga untuk
Medan berkorelasi 0.45 pada tahun 97/98 tetapi
berkorelasi 0.11 pada tahun 82/837), sehingga dapat
dikatakan korelasinya dengan El Nio sangat lemah.
Untuk MC barat khususnya Jawa Barat dan
Sumatra Selatan pengaruh IOD
8)
harusdiperhitungkan. Pada umumnya ketika terjadi El Nio,
DMI (Dipole Mode Index) positif sehinga efeknya
saling memperkuat tetapi ada kasus ketika bukan
tahun El Nio Indonesia kering, ternyata ketika itu
DMI positif (Gambar 4), jadi tahun Indonesia kering
ketika bukan tahun El Nio dapat dijelaskan daripengaruh IOD.
Pada mulai tahun pertengahan 2002 sampai
awal 2003 diprediksi berdasarkan metoda ANFIS
intensitas El Nio lemah-sedang9) (Gambar 6) dan
dengan metoda ANFIS yang diterapkan untuk DMI,
ternyata DMI akan positif (Gambar 5) , sehingga dapat
diprakirakan bahwa sebagian besar daerah Indonesia(NAIM dan MC bagian timur) akan mengalami hujan
di bawah normal.
-
8/14/2019 Prediksi Kekeringan JMS_VOL. 8_NO.2_57-61
5/5
JMS Vol. 8 No. 2, Juni 2003 61
4. Kesimpulan
Pengelompokan samar wilayah iklimn
Indonesia menjadi SEAM, MC dan NAIM
memperjelas pengaruh ENSO pada prediski
kekeringan di Indonesia. Tahun-tahun Indonesia
kering ketika bukan tahun El-Nio dapat dijelaskan
karena ada pengaruh IOB (Index DMI positif).
Ucapan Terimakasih
Penelitian ini dibiayai oleh RUT VIII, KMRT
LIPI kontrak no. 142/SK/RUT/2002.
Daftar Pustaka
1. The H. L., Dupe Z.L., & Bajong T.H.K.,Prediksi Kekeringan di Indonesia dengan
JNA/ANFIS, Temu Ilmiah Prediksi Iklim dan
Cuaca II , Lapan, Bandung, 2001.
2. Jang, J.S.R., Sun, C.T., & Mizutani, E., Neuro-Fuzzy and Soft Computing, Prentice Hall,1998.3. Kohonen, T., The Neural Phonetic Typewriter,
Computer, Mar. 1988.
4. Feldman, J.A., Mark A. Fanty & Nigel H.Goodard, Computing with Structured Neural
Networks, Computer, Mar. 1988.
5. Robertson, A.W. &. Ghil, M., Large-ScaleWeather Regimes and Local Climate Over The
Western US,J. Climate, 1998.
6. Murakami, T., & Matsumoto, J., SummerMonsoon over the Asian Continent and Western
North Pasific,J of Meteorological Soc. Of Japan,1994.
7. The H. L., Siregar, T.M., & Bannu, PerananPengelompokan Samar dalam Prediksi
Kekeringan di Indonesia, Temu Ilmiah Prediksi
Iklim dan Cuaca Nasional III, Lapan, Bandung,
2002.
8. Saji, N.H., Goswami, B.N., Vinayachandran,P.N., & Yamagata, T., Dipole Mode in The
Tropical Indian Ocean, Nature, 401, 6751
(1999).
9. Bannu, Ikhsan, N., & The H. L., Model PrediksiAnomali Temperatur Muka Laut Daerah Nino 3.4
Berbasis ANFIS,J. HFI A5 0506 (2002).10. Ross, T.J., Fuzzy Logic with Engineering
Applications, McGraw Hill, Inc. 1995.