praktek politik etnis di indonesia

5
PRAKTEK POLITIK ETNIS DI INDONESIA 1 (Sebuah Tinjauan Atas Thesis Edward Aspinall 2 ) Oleh : LYRA BUMANTARA SYARIF (NPM. 091 2000 258) Kemunculan politik etnis di Indonesia merupakan satu fenomena politik yang lumrah terjadi mengingat sangat beragamnya suku bangsa (etnis) yang menyusun Indonesia. Terlebih pasca lengsernya pemerintahan Orde Baru yang kemudian diikuti dengan masa transisi demokrasi politik (1998-2001) telah mengakibatkan satu perubahan signifikan membawa politik etnis pada puncak pergerakannya di tingkat lokal sehingga sempat membuat Indonesia memperoleh predikat sebagai negara yang identik dengan corak politik etnis kuat. Namun predikat ini dimentahkan oleh Edward Aspinall yang dalam penelitiannya berhasil memberikan pandangan baru, yaitu meskipun diperhitungkan dalam kancah perpolitikan, namun politik etnis di Indonesia justru lemah dan sangat kecil pengaruhnya terutama dalam kontestasi perpolitikan baik di tingkat lokal maupun nasional. Secara umum Saya dapat mengafirmasi hasil penelitian Aspinall melalui sembilan thesisnya yang menyimpulkan bahwa pada garis besarnya Indonesia adalah negara dengan politik etnis yang 1 Disusun untuk memenuhi tugas paper individu mata kuliah Dinamika Politik Lokal STIA LAN Jakarta semester gasal tahun 2012 2 Edward Aspinall, “Democratization and Ethnic Politics in Indonesia : Nine Theses” , Journal of East Asian Studies 11 (2011), Hlm. 289-319. Essay Paper Polok-2 : LYRA BUMANTARA SYARIF - 1

Upload: shareev

Post on 16-Feb-2015

158 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Praktek Politik Etnis Di Indonesia

PRAKTEK POLITIK ETNIS DI INDONESIA1

(Sebuah Tinjauan Atas Thesis Edward Aspinall2)

Oleh :

LYRA BUMANTARA SYARIF

(NPM. 091 2000 258)

Kemunculan politik etnis di Indonesia merupakan satu fenomena politik yang lumrah

terjadi mengingat sangat beragamnya suku bangsa (etnis) yang menyusun Indonesia. Terlebih

pasca lengsernya pemerintahan Orde Baru yang kemudian diikuti dengan masa transisi

demokrasi politik (1998-2001) telah mengakibatkan satu perubahan signifikan membawa politik

etnis pada puncak pergerakannya di tingkat lokal sehingga sempat membuat Indonesia

memperoleh predikat sebagai negara yang identik dengan corak politik etnis kuat. Namun

predikat ini dimentahkan oleh Edward Aspinall yang dalam penelitiannya berhasil memberikan

pandangan baru, yaitu meskipun diperhitungkan dalam kancah perpolitikan, namun politik etnis

di Indonesia justru lemah dan sangat kecil pengaruhnya terutama dalam kontestasi perpolitikan

baik di tingkat lokal maupun nasional.

Secara umum Saya dapat mengafirmasi hasil penelitian Aspinall melalui sembilan

thesisnya yang menyimpulkan bahwa pada garis besarnya Indonesia adalah negara dengan

politik etnis yang lemah. Pada thesis pertamanya Aspinall menyatakan bahwa mobilisasi dan

politisasi berbasiskan etnis sempat memuncak pada masa transisi demokrasi namun kemudian

turun secara cepat. Dalam hal ini Saya berpandangan meningkatnya politik etnis yang menjurus

pada kekerasan di awal masa transisi demokrasi semata-mata hanya merupakan euforia pasca

jatuhnya rezim Orde Baru yang pada masa pemerintahannya memang sangat ketat dan

cenderung menekan tumbuhnya politik etnis di Indonesia. Namun demikian ketika sistem

demokrasi telah mencapai tingkat kemapanannya maka situasi kehidupan berbangsa pun kembali

berjalan kondusif, sehingga meskipun terfragmentasi menjadi kelompok-kelompok etnis akibat

dari perubahan politik demokrasi namun hidup sebagai bangsa yang bersatu dalam perbedaan

tetap menjadi pilihan mayoritas rakyat Indonesia. Kondisi ini terlihat dari hampir tiadanya lagi 1 Disusun untuk memenuhi tugas paper individu mata kuliah Dinamika Politik Lokal STIA LAN Jakarta semester gasal tahun 20122 Edward Aspinall, “Democratization and Ethnic Politics in Indonesia : Nine Theses”, Journal of East Asian Studies 11 (2011), Hlm. 289-319.

Essay Paper Polok-2 : LYRA BUMANTARA SYARIF - 1

Page 2: Praktek Politik Etnis Di Indonesia

konflik antar etnis yang terjadi di Indonesia saat ini, melainkan kini konflik justru didominasi

oleh konflik vertikal antara aparatur pemerintah dengan masyarakat dan konflik berlatar

belakang agama.

Lebih lanjut dalam thesis ke-dua, Aspinall menjelaskan bahwa lemahnya politik etnis di

Indonesia nampak dari fitur-fitur yang mencirikan politik Indonesia seperti ketiadaan partai

politik regional dan partai politik berbasiskan etnis, lemahnya pelembagaan etnisitas di tingkat

sub-nasional, serta lemahnya pola pemberian suara yang berbasiskan keetnisan. Terkait dengan

hal ini Saya berpendapat ketiga fitur politik Indonesia tersebut merupakan dampak dari

sebuah konsekuensi logis penerapan paham negara kesatuan yang dianut Indonesia

dengan semboyannya Bhinneka Tunggal Ika (kesatuan dalam keragaman) yang

berprinsipkan 'kesatuan tanpa keseragaman' dan ‘keragaman tanpa fragmentasi’. Yaitu

suatu pergeseran fokus kesatuan (berbasiskan toleransi fisik, budaya, linguistik, sosial, agama,

politik, ideologi dan/atau psikologis) menuju persatuan lebih kompleks yang didasarkan pada

pemahaman bahwa perbedaan memperkaya interaksi manusia3.

Masih dalam kaitannya dengan thesis ke-dua, menurut Saya meskipun terkesan

sederhana namun manifestasi prinsip ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara tidak dapat disangkal telah tertanam kuat dan cukup efektif untuk menahan laju

politik etnis di Indonesia agar tidak berkembang menjadi ekslusivitas yang mengarah pada

etnosentrisme sempit. Pada kehidupan berbangsa misalnya, manifestasi prinsip ke-Bhinneka

Tunggal Ika-an tercermin dari hidup dalam kemajemukan dan perbedaan sudah mendarah

daging dan menjadi suatu hal yang biasa bagi masyarakat Indonesia. Sedangkan pada kehidupan

bernegara, manifestasi prinsip ke-Bhinneka Tunggal Ika-an tercermin dari pengaruhnya terhadap

kebijakan publik di bidang politik yang cukup kuat. Sebagai contoh, ketiadaan partai politik

lokal (kecuali di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) dan ketiadaan partai politik berbasiskan

etnis misalnya disadari atau tidak merupakan upaya pencegahan tersistemasi yang dilakukan

oleh para penyelenggara negara agar politik etnis yang dipengaruhi paham etnosentrisme dan

kedaerahan sempit tidak berkembang di masyarakat karena akan rawan menimbulkan

disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, sejalan dengan konsepsi negara kesatuan yang dianut oleh

Indonesia maka dikembangkanlah sistem kepartaian nasional berbasiskan wawasan kebangsaan

dengan perwakilan-perwakilannya di tingkat lokal / daerah yang pada umumnya dijalankan

dengan sistem sentralistis dengan tujuan agar tetap dapat menjaga konsistensi hubungan dan

garis kebijakan antara pusat (nasional) dengan daerah (lokal).

3 Unity in diversity, http://en.wikipedia.org/wiki/Unity_in_diversity, diakses tanggal 22 April 2012.

Essay Paper Polok-2 : LYRA BUMANTARA SYARIF - 2

Page 3: Praktek Politik Etnis Di Indonesia

Kemudian, satu hal berikutnya yang Saya rasa cukup menarik juga untuk diulas dari

sembilan thesis Aspinall adalah kontras antara thesis ke-tujuh dan thesis ke-enam. Di mana pada

thesis ke-tujuh Aspinall menyatakan bahwa politik demokrasi cenderung menyebabkan

terjadinya fragmentasi etnisitas, dan bukan konsolidasi etnisitas. Namun di sisi lain pada thesis

ke-enamnya Aspinall menyatakan sementara demokratisasi meningkatkan konflik etnis,

konsolidasi demokrasi telah mendorong kerjasama dan moderasi antar etnis. Kontras antara

thesis ke-tujuh dan ke-enam Aspinall di atas membawa Saya pada satu pandangan bahwa politik

etnis yang berkembang di Indonesia saat ini sebenarnya telah beralih kepada bentuk politik

pragmatis. Adapun pola yang sangat lazim ditemui terkait dengan politik pragmatis ini adalah

maraknya pembentukan koalisi dari kandidat atau politisi antaretnis melalui patronase dan

clientelism untuk kepentingan politik dalam rangka pemenangan pilkada, pemekaran wilayah,

maupun persaingan politik dalam konteks pemerintahan lokal. Dalam situasi seperti ini tidaklah

menjadi masalah latar belakang seseorang / suatu kelompok politik berasal dari golongan etnis

mayoritas atau minoritas, asalkan berhasil membangun jaringan lebih luas dan lebih kuat dari

pesaingnya maka ia / merekalah yang akan memegang / memenangkan kekuasaan. Dengan

demikian, pada akhirnya Saya berpendapat bahwa praktek politik pragmatis melalui patronase

dan clientelism sejatinya justru jauh lebih menentukan dalam perpolitikan di Indonesia

ketimbang praktek-praktek politik etnis itu sendiri. Ini tentunya membenarkan thesis ke-delapan

dan sekaligus juga kesimpulan Aspinall yang menyatakan bahwa patronase adalah kartu truf /

menentukan dalam politik Indonesia karena ia adalah perekat terkuat yang dapat mengikat

aliansi, loyalitas, dan organisasi-organisasi politik.

Essay Paper Polok-2 : LYRA BUMANTARA SYARIF - 3