pp 46 tahun 2013

8
TUGAS Perpajakan PP No. 46 Tahun 2013Nama: Yuda Ditio Rahmadi BP: 14 158 011 Pendidikan Profesi Akuntansi

Upload: yudadr

Post on 17-Jan-2016

5 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Review dan opini tentang PP 46 Tahun 2013

TRANSCRIPT

Page 1: PP 46 Tahun 2013

TUGAS

Perpajakan

“PP No. 46 Tahun 2013”

Nama: Yuda Ditio Rahmadi

BP: 14 158 011

Pendidikan Profesi Akuntansi

Universitas Andalas

2014

Page 2: PP 46 Tahun 2013

Peraturan pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang pajak penghasilan atas

penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran

bruto tertentu diterbitkan dan berlaku efektif mulai 1 Juli 2013.

Berikut beberapa pokok penting yang diatur dalam PP berikut:

1. Bagi wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan tidak termasuk bentuk badan

usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tidak

melebihi Rp 4.8 milyar dalam satu tahun pajak dikenakan Pajak Penghasilan yang

bersifat final dengan tarif 1%

2. Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung pajak penghasilan yang

bersifat final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan

3. Dikecualikan dari pengenaan PPh final berdasarkan ketentuan ini adalah penghasilan dari

jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas yang diperoleh:

a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,

arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris

b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,

bintang iklan, sutradara, kru film, foto moddel, peragawan/peragawati, pemain

drama, dan penari

c. Olahragawan

d. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah,penyuluh, dan moderator

e. Pengarang, peneliti, dan penerjemah

f. Agen iklan

g. Pengawas atau pengelola proyek

h. Perantara

4. Tidak termasuk dalam pengertian Wajib Pajak yang dikenakan dengan PP ini adalah:

a. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau

jasa yang dalam usahanya:

i. Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang

menetap maupun tidak menetap; dan

ii. Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang

tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan

b. Wajib pajak badan:

i. Yang belum beroperasi secara komersial; atau

Page 3: PP 46 Tahun 2013

ii. Yang dalam jangka waktu satu tahun setelah beroperasi secara komersial

memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4.8 milyar

5. PP ini tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang selama ini telah dikenai pajak

penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku

6. Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran pajak penghasilan dari usaha

yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan

kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri

Keuangan (PMK), namun belum diterbitkan sampai sekarang.

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 (PP 46), diharapkan

agar Wajib Pajak dapat dengan mudah melaksanakan kewajiban perpajakannya. Melalui PP

46 ini, diberikan kemudahan dan kesederhanaan aturan perpajakan khususnya pajak

penghasilan untuk wajib pajak yang memperoleh penghasilan dari usaha dengan omset

tertentu dan menjawab keluhan wajib pajak atas keluhan mereka atas sulitnya menghitung

pajak selama ini.

Namun dalam pelaksanaannya menimbulkan cukup banyak pro dan kontra, terutama

berkaitan dengan kegiatan usaha mikro, kecil, dan menengah.

Pertama dilihat dari pandangan yang “pro” terhadap kebijakan PP 46, tahun 2013 ini.

Sesuai dengan pesan sosialisasi dari Dirjen Pajak, PP yang baru berlaku ini memberikan

kemudahan bagi wajib pajak dimana besaran pajak dapat dihitung secara sederhana, yakni

1% dari total omzet.

Dalam beberapa sosialisasi oleh dirjen Pajak, seringkali diberikan illustrasi bahwa

peraturan PP ini seharusnya lebih diterima oleh pelaku UKM karena sebelumnya wajib pajak

badan dikenai tarif 25% dari laba neto. Sebagai contoh, toko A memiliki omzet Rp 30 juta

per bulan, dengan margin keuntungan nett sebesar 7% sehingga menurut aturan pajak yang

lama, total pajak yang harus dibayar adalah 525rb (30jt x 7% x 25%).  Sementara menurut

aturan pajak yang baru, total pajak yang seharusnya dibayarkan adalah 300rb (30jt x 1%).

Sehingga UKM lebih diuntungkan dengan aturan perpajakan yang baru. Beberapa illustrasi

lain juga dapat dilihat di berita detik berkaitan dengan sosialisasi PP 46 ini.

Illustrasi di atas tentu saja terlihat benar, namun dengan syarat margin keuntungan

nettonya adalah 7%. Namun apa yang terjadi bila usaha UKM tersebut memiliki margin

Page 4: PP 46 Tahun 2013

keuntungan hanya 2%? Menurut aturan perpajakan yang lama, besaran pajak nya adalah

150rb. Sementara menurut aturan PP 46 yang baru, sebesar 300rb.

Disini kita bisa melihat, untuk UKM dengan margin keuntungan yang rendah, aturan

pajak yang baru sangat memberatkan. Sebagaimana illustrasi di atas, dengan margin

keuntungan netto sebesar 2%, berarti usaha tersebut seakan-akan terbebani oleh pajak 50%

dari keuntungan bersih.

Apabila kita lihat perkembangan ekonomi di Indonesia saat ini badan usaha dalam

skala mikro, kecil, dan menengah masih banyak yang beromzet dengan persentase kecil

tersebut. Kita bisa melihat usaha grosir kebutuhan pokok, pulsa telpon baik elektrik maupun

fisik, dan berbagai jenis usaha lainnya.

Bagaimana dampak peraturan ini terhadap usaha yang baru dirintis di Indonesia?

Sudah menjadi pengetahuan umum, usaha yang baru dirintis memiliki tingkat pengembalian

modal yang cukup lama. Atau jika kita sederhanakan, kebanyakan usaha tersebut harus

melewati periode kerugian selama beberapa tahun sampai akhirnya dapat menghasilkan laba.

Sebagai contoh, Amazon membutuhkan waktu sekitar 7 tahun (dari 1994 – 2001) untuk

menghasilkan laba pertamanya, dengan pendapatan bersih di kisaran 5 juta US dollar (utk

omzet 1 milliar US dollar). Bisa kita bayangkan, apabila aturan yang sama (PP 46, tahun

2013) diberlakukan untuk perusahaan semacam Amazon, pajak yang dibayarkan, yaitu 10juta

USD (1% dari 1 milliar), jauh melebihi net profitnya. Dengan kata lain, perusahaan semacam

Amazon tidak akan pernah menjadi profitable.

Penerapan PPh final 1% terhadap UMKM yang mempunyai peredaran bruto tidak

lebih dari Rp 4.8 milyar setahun adalah tepat jika hanya dilihat dari sisi kemudahan dalam

penghitungan pajak bagi kelompok perorangan atau badan usaha yang selama ini mengalami

kesulitan menyelenggarakan pembukuan. Namun bagi UMKM yang selama ini telah

menyelenggarakan pembukuan dengan tertib ketentuan ini menjadi suatu kemunduran.

Kebijakan pengenaan PPh Final terhadap UMKM mundur dan tidak selaras dengan sistem

self assesment yaitu kepatuhan membayar pajak secara sukarela.

Kemudian ditinjau dari konsep keadilan dalam pemajakan, pengenaan PPH final tidak

sesuai dengan keadilan, karena tidak mencerminkan kemampuan membayar. Pemajakan yang

adil adalah semakin besar penghasilan maka semakin besar pula pajak yang harus dibayar

(vertical equity), dengan catatan, penghasilan yang dimaksudkan adalah penghasilan netto.

Page 5: PP 46 Tahun 2013

Sehingga dengan PPh final yang dihitung berdasarkan peredaran bruto, maka konsep keadilan

perpajakan tidak lagi sesuai. Bahkan dengan konsep yang salah tersebut wajib pajak orang

atau badan usahan yang mengalami kerugian tetap harus membayar pajak.

Bagi Direktorat Jenderal Pajak, pemberlakuan PP ini berpotensi untuk mengalami

kesulitan dalam pengawasan karena Wajib Pajak yang “nakal” dapat lebih leluasa dalam

melakukan aksi untuk menyembunyikan omzet, apalagi dengan tidak dapat diberlakukannya

withholding tax atas WP dalam cakupan PP 46 ini, cenderung menimbulkan potensial

loss bagi DJP sendiri.

Kesimpulan:

Penerapan PP 46 tahun 2013 memang baik dari sisi kemudahan dan baik untuk

meningkatkan penerimaan pajak bagi DJP. Namun  menurut Penulis, ternyata ada beberapa

kesulitan yang dapat dihadapi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai

PP ini dan juga kesulitan bagi DJP sendiri. Oleh karena itu, menurut Penulis yang

dimasukkan dalam cakupan pengenaan PPh sesuai PP46 tahun 2013 sebaiknya perlu dibatasi

kembali. Misalnya bagi kelompok  UMKM orang pribadi maupun badan usaha  yang selama

ini telah sanggup menyelenggarakan pembukuan dengan tertib seyogianya tidak dimasukkan

dalam cakupan ketentuan PP 46 Tahun 2013. Dengan memasukkan kelompok ini dalam

ketentuan PP 46 Tahun 2013, dorongan agar Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan

sebagai bagian dari sistim self-assessment menjadi berkurang, padahal salah satu tugas Fiskus

adalah pembinaan Wajib Pajak termasuk dalam hal kepatuhan penyelenggaraan pembukuan.