potensi bacillus pumilus la4p sebagai agen pupuk hayati
TRANSCRIPT
POTENSI Bacillus pumilus LA4P SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI
MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI AGAR-AGAR DAN TEPUNG IKAN
MUHAMMAD AZHAR PRATAMA
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M / 1442 H
i
POTENSI Bacillus pumilus LA4P SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI
MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI AGAR-AGAR DAN TEPUNG IKAN
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
MUHAMMAD AZHAR PRATAMA
11140950000056
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M / 1442 H
ii
POTENSI Bacillus pumilus LA4P SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI
MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI AGAR-AGAR DAN TEPUNG IKAN
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
MUHAMMAD AZHAR PRATAMA
11140950000056
Menyetujui:
Mengetahui,
Pembimbing I,
Ir. Jamal Basmal, M.Sc
NIP. 195903241989031001
Pembimbing II,
Dr. Nani Radiastuti, M.Si
NIP. 196509022001122001
Ketua Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Priyanti, M.Si
NIP. 197505262000122001
iii
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi berjudul “Potensi Bacillus pumilus LA4P sebagai Agen Pupuk Hayati
menggunakan Limbah Industri Agar-Agar dan Tepung Ikan” yang ditulis oleh
Muhammad Azhar Pratama, NIM 11140950000056 telah diuji dan dinyatakan
LULUS dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 Januari 2021. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Program Studi Biologi.
Menyetujui :
Mengetahui,
Penguji I,
Dr. Fahma Wijayanti, M.Si
NIP. 196903172003122001
Penguji II,
Narti Fitriana, M.Si
NIDN. 0331107403
Ketua Program Studi Biologi
Dr. Priyanti, M.Si
NIP. 197505262000122001
Pembimbing I,
Ir. Jamal Basmal, M.Sc
NIP. 195903241989031001
Pembimbing II,
Dr. Nani Radiastuti, M.Si
NIP. 196509022001122001
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud.
NIP. 196904042005012005
iv
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR
HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI
SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Januari 2021
Muhammad Azhar Pratama
11140950000056
v
ABSTRAK
Muhammad Azhar Pratama. Potensi Bacillus pumilus LA4P sebagai Agen
Pupuk Hayati menggunakan Limbah Industri Agar-Agar dan Tepung Ikan.
Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2021. Dibimbing oleh Ir. Jamal Basmal,
M.Sc. dan Dr. Nani Radiastuti, M.Si.
Bacillus pumilus merupakan bakteri selulolitik yang dimanfaatkan untuk
pengembangan pupuk hayati. Aplikasi B. pumilus LA4P sebagai bahan pupuk hayati
dilakukan untuk mengurangi limbah padat yang terakumulasi di lingkungan.
Penelitian ini bertujuan mengetahui potensi B. pumilus LA4P sebagai agen pupuk
hayati pada limbah industri agar-agar (LIA) serta menemukan formulasi terbaik dari
kombinasi LIA dan tepung ikan berdasarkan aktivitas selulase dan produksi
fitohormon IAA. Penelitian meliputi uji pada media selektif pemecah fosfat, kalium,
dan selulosa dan uji pertumbuhan sel, aktivitas selulase, dan produksi IAA dengan
variasi konsentrasi LIA (1%,2%,3%) dan tepung ikan (0,1%;0,2%;0,3%) pada waktu
inkubasi tertentu (hari ke-1,3,5,7,9,11). Hasil karakterisasi zona bening menunjukkan
kemampuan bakteri memecah fosfat, kalium, dan selulosa diindikasikan zona bening
di media selektif. Kombinasi perlakuan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan sel,
aktivitas selulase, dan produksi IAA (sig.<0,05). B. pumilus LA4P memiliki potensi
sebagai agen pupuk hayati berbasis LIA. Formulasi terbaik yaitu perlakuan
konsentrasi LIA 2% dengan penambahan tepung ikan 0,3% waktu inkubasi hari ke-11
dimana nilai aktivitas selulase yang dihasilkan sebesar 0,53 U/mL, sementara
konsentrasi IAA yang dihasilkan sebesar 0,71 ppm.
Kata kunci : Bacillus pumilus LA4P, Limbah industri agar-agar, Pupuk hayati,
Tepung ikan
vi
ABSTRACT
Muhammad Azhar Pratama. Potential of Bacillus pumilus LA4P as Biological
Fertilizer Agent used Agar-Agar Industrial Waste and Fish Meal.
Undergraduate Thesis. Departement of Biology. Faculty of Science and
Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2021. Advised
by Ir. Jamal Basmal, M.Sc. and Dr. Nani Radiastuti, M.Si.
Bacillus pumilus was cellulolytic bacteria that used for biofertilizers development.
B.pumilus LA4P application for biofertilizers used to reduce effort solid waste that
accumulates in environment. This study aims to determined potential of B.pumilus
LA4P as biofertilizer agent in agar-agar industrial waste and found best formulation
of agar-agar industrial waste and fishmeal according incubation time for cellulase
activity and IAA phytohormone production. This study contains halo zone method by
tested bacteria ability on selective media for degradated phosphate, potassium, and
cellulose, also quantitative method by measured cell growth, cellulase activity, and
IAA production with variations in agar-agar industrial waste concentrations
(1%,2%,3%) and fishmeal (0,1%;0,2%;0,3%) at certain incubation times (days
1,3,5,7,9,11). Results of B.pumilus LA4P characterization showed ability to
degradated phosphate, potassium, and cellulose in presenced of halo zones in
selective media. Results of variance analysis showed combination of factors had
significant effect for bacterial cell growth, cellulase activity, and IAA production
(sig.<0,05). Best formulation obtained the treatment combination of 2% agar-agar
industrial waste with 0,3% fishmeal at eleventh day incubation while cellulase
activity by 0,53 U/mL and IAA production by 0,71 ppm.
Keywords : Agar-agar industrial waste, Bacillus pumilus LA4P, Biofertilizer, Fish
meal.
vii
Jakarta, Januari 2021
Penulis
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT sang Maha Pemberi Rahmat yang
senantiasa melimpahkan nikmat dan karunia kepada semua makhlukNya tanpa
terkecuali, serta memberi kemudahan bagi penulis dalam menyelesaikan proses
penyusunan skripsi yang berjudul “Potensi Bacillus pumilus LA4P sebagai Agen
Pupuk Hayati menggunakan Limbah Industri Agar-Agar dan Tepung Ikan”.
Shalawat serta salam tidak lupa diberikan kepada Nabi Muhammad shalallahu’alaihi
wassalam, seorang rasul Allah yang membawa kebaikan bagi seluru umat manusia.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan
banyak pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud. selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
2. Dr. Priyanti, M.Si selaku ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ir. Jamal Basmal, M.Sc selaku pembimbing I yang telah membantu memberi
masukan dan bimbingannya dalam menyelesaikan penyusunan skripsi penulis.
4. Dr. Nani Radiastuti, M.Si selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu
untuk memberi masukan serta bimbingan kepada penulis dalam menyusun
skripsi ini.
5. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan
(BBRP2BKP), Slipi, Jakarta yang telah menerima penulis untuk melaksanakan
penelitian dan memperoleh informasi.
6. Segenap dosen Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi atas ilmu
pengetahuan dan ilmu hidup yang dengan ikhlas diajarkan kepada penulis.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan memiliki kontribusi
dalam ilmu pengetahuan.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK .......................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .............................................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................................... 3
1.3. Hipotesis ........................................................................................................ 3
1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 3
1.5. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 3
1.6. Kerangka Berpikir .......................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 5
2.1. Pupuk Hayati .................................................................................................. 5
2.2. Plant Growth Promoting Bacteria (PGPB) ................................................... 7
2.2.1. Bakteri Penghasil Fitohormon ....................................................................... 9
2.2.2. Bakteri Pelarut Fosfat .................................................................................. 10
2.2.3. Bakteri Penambat Nitrogen .......................................................................... 11
2.2.4. Bakteri Pelarut Kalium ................................................................................ 11
2.2.5. Bakteri Pemecah Selulosa ............................................................................ 12
2.3. Bacillus pumilus ........................................................................................... 12
2.4. Tepung Ikan ................................................................................................. 13
BAB III METODE PENELITIAN.................................................................................... 15
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................................... 15
3.2. Alat dan Bahan ............................................................................................. 15
3.3. Rancangan Penelitian ................................................................................... 15
3.4. Cara Kerja .................................................................................................... 16
3.4.1. Pembuatan Media Selektif dan Media Perlakuan ........................................ 16
3.4.2. Pembuatan Pereaksi Dinitrosalisilat (DNS) ................................................. 18
3.4.3. Pembuatan Kurva Standar Glukosa dan IAA .............................................. 18
3.4.4. Peremajaan Isolat Bacillus pumilus LA4P ................................................... 19
ix
3.4.5. Uji Potensi Pelarut Fosfat ............................................................................ 19
3.4.6. Uji Potensi Pelarut Kalium .......................................................................... 20
3.4.7. Uji Potensi Aktivitas Selulase ...................................................................... 20
3.4.8. Perhitungan Sel Bakteri ............................................................................... 20
3.4.9. Pengukuran Nilai Derajat Keasaman (pH) .................................................. 21
3.4.10. Pengukuran Aktivitas Selulase pada Media Perlakuan ................................ 21
3.4.11. Pengukuran Konsentrasi Fitohormon IAA pada Media Perlakuan ............. 22
3.5. Analisis Data ................................................................................................ 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 21
4.1. Potensi Pelarut Fosfat Bacillus pumilus LA4P ............................................ 21
4.2. Potensi Pelarut Kalium B. pumilus LA4P .................................................... 22
4.3. Aktivitas Selulase B. pumilus LA4P ............................................................ 23
4.4. Tingkat Pertumbuhan B. pumilus LA4P pada Media Perlakuan ................. 25
4.5. Aktivitas Selulase B. pumilus LA4P pada Media Limbah Industri Agar-
Agar (LIA) dan Tepung Ikan ....................................................................... 29
4.6. Produksi Fitohormon Indole-3-Acetic Acid (IAA) B. pumilus LA4P pada
Media Limbah Industri Agar-Agar (LIA) dan Tepung Ikan ........................ 33
4.7. Nilai Derajat Keasaman (pH) Media Limbah Industri Agar-Agar selama
Masa Inkubasi .............................................................................................. 36
4.8. Perlakuan Terbaik dari Media Limbah Industri Agar-Agar (LIA) .............. 38
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 40
5.1. Kesimpulan .................................................................................................. 40
5.2. Saran ............................................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 41
LAMPIRAN ...................................................................................................................... 51
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian ............................................................................ 4
Gambar 2. Morfologi mikroskopis B. pumilus dengan perbesaran mikroskop cahaya
2000x.................. ........................................................................................... 13
Gambar 3. Grafik pertumbuhan sel B. pumilus LA4P hasil interaksi antara
konsentrasi substrat dan waktu inkubasi ........................................................ 28
Gambar 4. Grafik aktivitas selulase B. pumilus LA4P hasil interaksi antara
konsentrasi substrat dan waktu inkubasi ........................................................ 32
Gambar 5. Grafik produksi IAA B. pumilus LA4P hasil interaksi antara konsentrasi
substrat dan waktu inkubasi ........................................................................... 35
Gambar 6. Grafik nilai pH pada media perlakuan B. pumilus LA4P hasil interaksi
antara konsentrasi substrat dan waktu inkubasi ............................................. 37
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kriteria baku mutu pupuk hayati tunggal untuk bakteri non simbiotik ................ 5
Tabel 2. Persyaratan khusus pupuk hayati menurut fungsinya ........................................... 6
Tabel 3. Rerata indeks pelarutan fosfat (masa inkubasi 5 hari) ........................................ 21
Tabel 4. Rerata indeks pelarutan kalium (masa inkubasi 5 hari) ...................................... 22
Tabel 5. Rerata indeks pelarutan selulosa ......................................................................... 24
Tabel 6. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan konsentrasi substrat terhadap jumlah sel
B. pumilus LA4P (108 CFU/mL) ........................................................................ 25
Tabel 7. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan konsentrasi substrat terhadap aktivitas
selulase B. pumilus LA4P (U/mL) ...................................................................... 30
Tabel 8. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan konsentrasi substrat terhadap produksi
IAA B. pumilus LA4P (ppm) .............................................................................. 33
Tabel 9. Rerata nilai pH media berdasarkan konsentrasi substrat (LIA dan tepung
ikan) dan waktu inkubasi .................................................................................... 36
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Rancangan percobaan faktor perlakuan Limbah Industri Agar-Agar ......... 51
Lampiran 2. Diagram alir penelitian ................................................................................ 52
Lampiran 3. Kurva standar dan konsentrasi glukosa ....................................................... 53
Lampiran 4. Kurva standar dan konsentrasi IAA............................................................. 54
Lampiran 5. Data hasil uji kuantitatif isolat B. pumilus LA4P ........................................ 55
Lampiran 6. Hasil statistik uji ANOVA ........................................................................... 57
Lampiran 7. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antar faktor substrat dan
waktu inkubasi ........................................................................................... 60
Lampiran 8. Dokumentasi uji zona bening ...................................................................... 68
Lampiran 9. Dokumentasi media perlakuan ..................................................................... 69
Lampiran 10.Dokumentasi hasil pengukuran uji kuantitatif ............................................. 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Produksi pengolahan industri agar-agar menghasilkan jumlah limbah yang
cukup banyak, salah satunya hasil pengolahan produk agar-agar. Limbah padat
industri agar-agar memiliki komposisi berupa 24% selulosa dan sejumlah mineral
(Nurhayati & Kusumawati, 2014). Selulosa merupakan komponen kompleks pada
tumbuhan yang sulit didegradasi secara alami (Chen, 2014). Komposisi selulosa
tersebut membuat industri agar menghasilkan produk samping berupa limbah padat
yang terakumulasi setiap hari dan berdampak pada lingkungan (Kumar et al., 2013).
Keberadaan limbah berupa produk akhir yang terakumulasi tersebut dapat
menimbulkan permasalahan berupa pencemaran apabila tidak bisa diatasi dengan
baik. Namun, produk akhir limbah tersebut memiliki prospek yang menjanjikan
sehingga dapat dimanfaatkan secara ekonomis karena keunggulannya yang kaya akan
unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan C) dan unsur hara mikro (Fe, Cu, Zn, Boron,
Na, Cl, dan Mn) (Basmal et al., 2016). Salah satu pemanfaatan yang menjanjikan
yaitu sebagai bahan baku dalam produksi pupuk hayati (biofertilizer) atau pupuk
hayati. Penelitian Afif (2011) menunjukkan bahwa limbah industri agar-agar dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk hayati media tanam hortikultura. Pemanfaatan limbah
industri agar-agar tersebut dapat menjadi solusi untuk mengatasi pencemaran limbah
industri agar-agar. Pupuk hayati dari limbah industri agar-agar banyak mengandung
beberapa komponen kimia seperti lignin, selulosa, dan hemiselulosa yang saling
terikat kuat (Lestari et al., 2018). Pupuk hayati dari limbah industri agar-agar juga
banyak mengandung zat pengatur tumbuh (ZPT), seperti auksin, giberelin, sitokinin,
asam absisat, dan etilen (Basmal, 2009). Kandungan tersebut membuat bakteri
Bacillus pumilus LA4P memiliki kemungkinan untuk dimanfaatkan sebagai agen
pupuk hayati.
2
B. pumilus merupakan bakteri yang mampu menghasilkan enzim selulolitik
untuk menghidrolisis selulosa (Munifah et al., 2015). Berdasarkan penelitian Munifah
et al. (2015), B. pumilus dapat dimanfaatkan untuk menghidrolisis lignin, selulosa,
hemiselulosa, dan homoselulosa untuk produksi selulase dan zat pengatur tumbuh
sehingga bisa dimanfaatkan lebih lanjut. B. pumilus kemungkinan dapat dimanfaatkan
untuk pengembangan limbah industri agar-agar termasuk untuk produksi selulase dan
zat pengatur tumbuh sehingga bisa dimanfaatkan lebih lanjut. Selama ini B. pumilus
identik sebagai bakteri yang berasosiasi dengan akar tanaman sehingga kemungkinan
dapat digunakan menjadi bahan baku pupuk hayati (Sari et al., 2007).
Keberadaan bakteri sebagai agen pupuk hayati tentunya tidak lepas dari
kebutuhan sumber nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri. Sumber
nitrogen menjadi salah satu faktor penting untuk menunjang pertumbuhan bakteri.
Sumber nitrogen yang bisa dimanfaatkan bakteri ada pada tepung ikan. Tepung ikan
memiliki kadar protein hingga mencapai 59,13% (Haris & Nafsiyah, 2019). Sa’diyah
et al. (2016) menyatakan tepung ikan belum terlalu dimanfaatkan oleh masyarakat
khususnya nelayan diakibatkan belum adanya pengetahuan dalam pemanfaatan
tepung ikan dan tidak adanya alat-alat yang memadai untuk pengolahan, sehingga
hanya menjadi sampah dan dibuang tanpa dimanfaatkan lebih lanjut. Hal ini juga
berkaitan dengan belum optimalnya pemanfaatan potensi sumberdaya ikan dalam
rangka menekan impor tepung ikan. Potensi sumberdaya ikan baru dimanfaatkan
sebesar 62% dari total 6,7 juta ton potensi sumberdaya ikan (KKP, 2012). Tepung
ikan diharapkan dapat menjadi bahan tambahan dalam formulasi pupuk hayati untuk
dijadikan sumber protein bagi pertumbuhan bakteri.
Aplikasi B. pumilus LA4P untuk bahan-bahan pupuk hayati dilakukan sebagai
upaya mengurangi jumlah limbah padat yang terakumulasi di lingkungan sehingga
tidak menimbulkan pencemaran. Selain itu, pupuk hayati juga dapat menjadi
alternatif pilihan di bidang pertanian untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan
kimia terutama pupuk kimia. Pemanfaatan limbah industri agar-agar menjadi pupuk
hayati harus sesuai dengan kriteria baku mutu pupuk hayati berdasarkan Peraturan
Menteri Pertanian (Permentan) nomor 70 tahun 2011. Hal tersebut menjadikan
3
adanya sejumlah parameter uji seperti uji pelarut fosfat, uji pelarut kalium, uji
aktivitas selulolitik, dan uji fitohormon IAA (Indole-3-Acetic-Acid) yang dilakukan
supaya pupuk hayati berbahan dasar B. pumilus LA4P dan limbah industri agar-agar
dapat memenuhi kriteria tersebut dengan kualitas yang lebih baik.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah B. pumilus LA4P memiliki aktivitas pertumbuhan sel, aktivitas
selulase, dan produksi fitohormon IAA yang dipengaruhi limbah industri
agar-agar ?
2. Formulasi apa yang terbaik dari kombinasi media berbahan baku limbah
industri agar-agar untuk aktivitas selulase dan produksi IAA pada B. pumilus
LA4P ?
1.3. Hipotesis
Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. B. pumilus LA4P memiliki aktivitas pertumbuhan sel, aktivitas selulase,
produksi fitohormon IAA yang dipengaruhi limbah industri agar-agar.
2. Formulasi terbaik dari kombinasi media berbahan baku limbah industri agar-
agar adalah kombinasi yang memenuhi kriteria Peraturan Menteri Pertanian
nomor 70 tahun 2011 tentang pupuk hayati tunggal dan memiliki nilai
aktivitas yang tinggi dalam waktu yang sama.
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kemampuan B. pumilus LA4P sebagai agen hayati dalam
produksi pupuk hayati berbasis limbah industri agar-agar.
2. Memperoleh formulasi terbaik dari kombinasi bahan baku pupuk hayati
menggunakan limbah industri agar-agar dan B. pumilus LA4P.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemanfaatan limbah
industri agar-agar yang dilakukan oleh Plant Growth Promoting Bacteria (PGPB)
khususnya untuk B. pumilus. Selain itu, dapat meningkatkan nilai tambah limbah
4
industri agar-agar menjadi bernilai ekonomis dengan menerapkan prinsip zero waste
concepts. Penelitian ini juga memberikan solusi alternatif untuk subtitusi pupuk kimia
yang tidak ramah lingkungan.
1.6. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dari penelitian ini adalah :
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian yang menggambarkan latar belakang hingga
output penelitian
Limbah yang dihasilkan industri pengolahan agar-agar
semakin meningkat
Pemanfaatan sebagai pupuk hayati
Bacillus pumilus LA4P
solusi
Pertumbuhan
bakteri
Menghasilkan
ZPT
Potensi sebagai biofertilizer
Aktivitas
selulolitik
Kriteria baku mutu
Permentan No. 70
tahun 2011
output
Bahan baku
pupuk hayati
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pupuk Hayati
Pupuk hayati adalah produk biologi aktif terdiri atas mikroba yang dapat
meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan, dan kesehatan tanah (Permentan,
2011). Mikroba yang digunakan berupa inokulan yang memiliki satu strain tertentu
dan dapat pula lebih dari satu strain dalam satu inokulan. Perkembangan telah
memungkinkan penambahan inokulan yang mengandung lebih dari satu kelompok
fungsional mikroba. Pupuk hayati memiliki kriteria baku mutu (Tabel 1) yang tertera
pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 70 tahun 2011.
Tabel 1. Kriteria baku mutu pupuk hayati tunggal untuk bakteri non simbiotik
Parameter Syarat Teknis menurut Jenis Bahan Pembawa
Padat Cair
Bakteri * ≥ 1 x 10
8 CFU/g bobot kering ≥ 1 x 10
8 CFU/mL
Aktinomiset* ≥ 1 x 10
6 CFU/g bobot kering ≥ 1 x 10
5 CFU/mL
Fungi* ≥ 1 x 10
6 CFU/g bobot kering ≥ 1 x 10
5 CFU/mL
Uji Fungsional*:
a. Penambat N
b. Pelarut P
c. Pelarut unsur hara
d. Pembentuk bintil akar
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Patogenisitas Negatif
E. coli & Salmonella spp. < 1 x 103 CFU atau MPN/g atau mL
Kadar pH 5 - 8
Keterangan :
*) = Uji terhadap genus mikroba dan uji fungsional dilakukan sesuai dengan
klaim yang terdapat pada produk
MPN = Most Probable Number
6
Adapun kriteria khusus pupuk hayati menurut fungsi dari pupuk hayati yang
tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian No.70/Permentan/SR.140/10/2011
tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Persyaratan khusus pupuk hayati menurut fungsinya
Fungsi Parameter Uji Kriteria Metode
Pengujian
Penambat N2
a) simbiotik
Pembentukan lendir
eksopolisakarida pada
media karbohidrat dan
pembentukan bintil akar
Positif bereaksi
asam/basa pada
media YEMA +
kongo/bromtimol
blue
Plating media
JNFB
b) hidup bebas Pembentukan
pelikel/gelang pada
media JNFB
Positif
pembentukan
bintil akar
Inokulasi
tanaman
Pelarut P dan
fasilitator P
a) Zona pelarutan P Positif
membentuk zona
bening pada
media agar
Plating media
Pikovskaya
b) Pelarutan P Positif (≥ 10%
selisih P) pada 0-
48 jam
Spektrofotometer
c) % infeksi /kolonisasi
tanaman inang
Positif = ≥ 50% Pewarnaan
Fuchsin
Pemacu
tumbuh
Produksi fitohormon Positif Spektrofotometer
Penghasil
antimikroba
Terbentuknya zona
bening
Positif Plating
Perombak
bahan organik
(dekomposer)
a) Aktivitas selulase
(kualitatif)
(+) = terbentuk
zona bening
pada media agar
CMC
Plating
b) Aktivitas selulase
(kuantitatif)
≥ 0,3 unit Fpase
per mL
Spektrofotometer
Pupuk hayati (biofertilizer) dapat dikatakan sebagai inokulan berbahan aktif
mikroorganisme beserta substrat yang berfungsi menambat hara tertentu dan
memfasilitasi ketersediaan hara di dalam tanah bagi tanaman (Simanungkalit et al.,
2006). Beberapa jenis pupuk hayati yang umum dijumpai yaitu pupuk hayati pengikat
nitrogen bebas, pupuk hayati penambat sumber fosfat, dan pupuk hayati mikoriza
yang menghasilkan biohormon untuk tumbuhan. Pupuk hayati yang memiliki
7
mikroorganisme pengikat nitrogen bebas untuk diubah menjadi amoniak yang
selanjutnya akan dimanfaatkan oleh tanaman, antara lain Azotobacter sp.,
Azospirillum sp., Herbaspirillum sp., Rhizobium sp., Clostridium sp., Azolla sp., dan
lain-lain. Biofertilizer sumber fosfat dan mineral lainnya (kalium, sulfur), seperti
Bacillus sp., Pseudomonas sp., dan mikoriza (Sutariati et al., 2006). Kelompok
mikroba ini menyediakan fosfat atau mineral lainnya dengan cara melarutkan fosfat
(P) atau kalium (K) yang tidak larut menjadi fosfat atau kalium terlarut sehingga
dapat diserap oleh tanaman. Mikroba-mikroba penyedia biohormon adalah
Azotobacter sp., Azospirillum sp., Pseudomonas sp., dan Bacillus sp. Hormon-
hormon yang dihasilkan sangat diperlukan oleh tanaman, baik untuk perkecambahan,
pertumbuhan tunas dan batang, perpanjangan akar, pembungaan maupun pembuahan.
2.2. Plant Growth Promoting Bacteria (PGPB)
Rhizobakteri atau bakteri tanah yang memicu pertumbuhan tanaman pada
umumnya disebut PGPB. Kloepper dan Schroth (1978) mendefinisikan bahwa PGPB
merupakan bakteri tanah yang mampu berasosiasi dengan mengkolonisasi di bagian
akar tanaman dan meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan memanfaatkan nutrisi
yang ada di tanah. PGPB harus mampu hidup di bagian rizosfer yang kaya akan
nutrisi. PGPB tunggal akan sering menunjukkan berbagai jenis tindakan termasuk
untuk pengendalian biologis (Kloepper, 2003 ; Vessey, 2003). PGPB mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara langsung maupun tidak langsung
dengan cara melepaskan zat pengatur tumbuh (ZPT) atau zat aktif biologis lainnya,
mengubah tingkat hormon endogen, meningkatkan ketersediaan, dan penyerapan
nutrisi melalui fiksasi atau mobilisasi unsur hara, mengurangi efek merugikan dari
mikroorganisme patogen pada tanaman dan menggunakan berbagai mekanisme untuk
memacu pertumbuhan tanaman (Nadeem et al., 2006).
Somers et al. (2014) mengklasifikasikan PGPB berdasarkan aktivitas
fungsionalnya, yaitu sebagai biofertilizer, fitostimulator, rizoremediator, dan
biopestisida. Beberapa kelompok bakteri seperti genus Rhizobium sp.,
Bradyrhizobium sp., Pseudomonas sp., Azotobacter sp., Bacillus sp., Klebsiella sp.,
8
Enterobacter sp., Xanthomonas sp., Serratia sp., dan beberapa genus lainnya, telah
terbukti memfasilitasi pertumbuhan tanaman melalui berbagai mekanisme aksi
(Khan, 2005 ; Akhtar & Siddiqui, 2009). Gray dan Smith (2005) menjelaskan bahwa
PGPB yang berasosiasi berkisar pada tingkat kedekatan bakteri dengan akar dan
kedekatan asosiasi. Hal tersebut secara umum dibagi ke dalam ekstraseluler (ePGPB)
dan intraseluler (iPGPB). ePGPB menempati bagian rizosfer, pada bagian rhizoplane
atau asangak, dan di ruang antara sel-sel korteks akar (Figueiredo et al., 2011).
Contoh bakteri ePGPB diantaranya Agrobacterium sp., Arthrobacter sp., Azotobacter
sp., Azospirillum sp., Bacillus sp., Burkholderia sp., Caulobacter sp.,
Chromobacterium sp., Erwinia sp., Flavobacterium sp., Micrococcous sp.,
Pseudomonas sp., Serratia sp., dan lain-lain (Bhattacharyya & Jha, 2012). iPGPB
menempati bagian dalam sel akar umumnya pada bagian sel nodular khusus atau
bintil akar (Figueiredo et al., 2011). Contoh bakteri iPGPB diantaranya Allorhizobium
sp., Azorhizobium sp., Bradyrhizobium sp., Mesorhizobium sp., Rhizobium sp., dari
famili Rhizobiaceae. Banyak bakteri iPGPB merupakan rizobakteri Gram-negatif
(Bhattacharyya & Jha, 2012).
Bakteri yang dapat dimanfaatkan sebagai agen penyubur tanaman serta
membantu pertumbuhan tanaman menunjukkan bahwasannya Allah menciptakan
segala makhluk hidup bahkan dalam bentuk mikroskopis dengan berbagai manfaat.
Dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 29 dinyatakan bahwa :
ا ف ال رض جميعا ثم استى ت ى ىهه سبع سم ي ال السمآءفسى هىالذي خلق لكم م
(٩٢) وهىبكل شي ءعليم
Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan
Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikanNya tujuh langit dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu (QS. Al Baqarah: 29).
Ayat dalam Qur’an ini secara tersirat menjelaskan bahwasannya segala
sesuatu yang diciptakan oleh Allah memiliki manfaat untuk manusia termasuk
mikroorganisme sekecil bakteri. Hal ini juga berkaitan dengan ayat Qur’an surat Al
Baqarah ayat 26 yaitu :
9
ا بعىضة فما فىقها ان الله ل يستحيي (٩٢) .......ان يضزب مثل م
Artinya : “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk
atau yang lebih rendah dari itu....”
Maksud dari ayat tersebut menyatakan bahwa perumpamaan yang lebih rendah dari
nyamuk, yaitu makhluk hidup kecil berupa mikroorganisme termasuk bakteri.
2.2.1. Bakteri Penghasil Fitohormon
Bakteri dapat memperbaiki pertumbuhan akar dan memacu pertumbuhan
tanaman dengan memproduksi fitohormon seperti auksin (IAA) (Sutariati et al.,
2006 ; Sutariati & Wahab, 2010), giberelin dan sitokinin (Kloepper et al., 2007).
Studi yang dilakukan Sutariati et al. (2006), menunjukkan bahwa beberapa jenis
rhizobakteri yang diuji (dari kelompok Bacillus spp., Pseudomonas spp., dan Serratia
spp.) terbukti mampu memproduksi IAA dalam media dengan penambahan asam
amino L-triptofan. Menurut Patten dan Glick (1996), 80% mikroorganisme yang
diisolasi dari rizosfer berbagai tanaman memiliki kemampuan untuk mensistesis dan
melepaskan IAA sebagai metabolit sekunder.
IAA (Indole-3-Acetic-Acid) merupakan hormon tumbuh yang memegang
peranan penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Mikroba yang
mampu menghasilkan IAA dapat meningkatkan pertumbuhan dan perpanjangan akar
sehingga permukaan akar menjadi lebih luas dan akhirnya tanaman mampu menyerap
nutrisi dari dalam tanah lebih banyak (Boiero et al., 2007). IAA berfungsi mendorong
pemanjangan sel batang pada konsentrasi 0,9 g/L; di atas konsentrasi tersebut IAA
akan menghambat pemanjangan sel batang (Rostiana & Seswita, 2007). IAA memacu
protein yang ada di membran plasma sel tumbuhan untuk memompa ion H+ ke
dinding sel. Ion H+ mengaktifkan enzim sehingga memutuskan beberapa ikatan silang
hidrogen rantai molekul selulosa penyusun dinding sel. Sel tumbuhan kemudian
memanjang akibat air yang masuk secara osmosis. Setelah proses pemanjangan ini
terjadi, sel terus tumbuh dengan mensintesis kembali material dinding sel dan
sitoplasma (Basmal, 2009).
10
2.2.2. Bakteri Pelarut Fosfat
Fosfat merupakan nutrisi penting untuk pertumbuhan tanaman setelah
nitrogen, dimana tersedia di tanah dalam bentuk organik dan anorganik (Khan et al.,
2009). Meskipun banyak tersedia fosfat, namun bentuk yang tersedia untuk tanaman
sangat rendah. Hal ini disebabkan karena tanah berfosfat yang tersedia dalam bentuk
yang tidak larut atau tidak dapat dipecahkan. Tanaman menyerap fosfat hanya dalam
dua bentuk yang dapat larut, yaitu ion monobasik (H2PO4) dan ion diabasik (HPO2)
(Bhattacharyya & Jha, 2012).
Beberapa hasil penelitian di bidang bioteknologi tanah dan tanaman,
mendapatkan formula biofertilizer berbasis mikroba yang dapat menyediakan fosfat
untuk pertumbuhan tanaman. Kelompok mikroba pelarut fosfat tersebut berasal dari
kelompok bakteri, diantaranya Pseudomonas sp., Bacillus sp., Brevibacterium sp.,
dan Serratia sp. Beberapa genus bakteri lainnya yang juga dilaporkan mampu
melarutkan fosfat adalah Rhodococcus sp., Arthrobacter sp., Chryseobacterium sp.,
Gordonia sp., Phyllobacterium sp., Delftia sp. (Chen et al., 2006), Azotobacter sp.
(Kumar et al., 2001), Enterobacter sp., Pantoea sp., dan Klebsiella sp. (Chung et al.,
2005).
Aktivitas pelarutan fosfor ditentukan oleh kemampuan mikroba untuk
melepaskan metabolit seperti asam organik, yang dilakukan melalui pengkelatan
kation terikat fosfat dengan kelompok hidroksil dan karboksil mereka, yang
kemudian diubah menjadi bentuk larut (Sagoe et al., 1998). Bakteri melepaskan
fosfat terikat melalui produksi asam organik yang memiliki berat molekul rendah
terutama glukonat dan asam ketoglukonat (Deubel et al., 2000), disamping itu juga
melalui penurunan pH rizosfer. pH rizosfer diturunkan melalui produksi proton atau
pelepasan bikarbonat (keseimbangan anion / kation) dan perubahan gas (O2 / CO2).
Asam-asam organik yang dihasilkan oleh mikroba, melarutkan fosfat tidak larut
dengan menurunkan pH, mengkelat kation dan bersaing dengan fosfat yang terserap
dalam tanah (Nahas, 1996).
11
2.2.3. Bakteri Penambat Nitrogen
Nitrogen merupakan nutrisi utama tanaman, yang dapat menjadi faktor
pembatas dalam proses budidaya pertanian jika tidak tersedia bagi tanaman. Fiksasi
biologis nitrogen tidak hanya dapat dilakukan melalui simbiosis dengan tanaman
inang, berbagai mekanisme fiksasi lainnya juga dapat dilakukan oleh kelompok
bakteri PGPB. Azoarcus sp., Beijerinckia sp., Klebsiella pneumoniae, dan Pantoea
agglomerans dilaporkan mampu memfiksasi N2 atmosfer dalam tanah (Riggs et al.,
2001) dan membuatnya tersedia bagi tanaman. Fiksasi N2 secara biologis yang
mengubah nitrogen menjadi amonia menggunakan sistem enzim kompleks
mikroorganisme pemfiksasi nitrogen yaitu nitrogenase (Kim & Rees, 1994).
Proses fiksasi N2 dilakukan oleh kompleks nitrogenase (Kim & Rees, 1994).
Nitrogenase terdiri atas dua komponen yaitu komponen I (dinitrogenase atau protein
Fe-Mo) dan komponen II (dinitrogenase reduktase atau protein Fe). Nitrogenase
dikode oleh sekitar 20 gen nif (Lee et al., 2000), diantara 20 gen nif tersebut, gen nifH
merupakan gen terpenting yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan
nitrogenase karena menyandi subunit pembentuk kompleks nitrogenase (Choo et al.,
2003). Gen nifH mengkode komponen II pada nitrogenase yang merupakan
homodimer dengan berat molekul 70 kilo Dalton (kDa) (Caton, 2007).
2.2.4. Bakteri Pelarut Kalium
Bakteri pelarut kalium dapat memberikan efek yang menguntungkan bagi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga dapat dijadikan sebagai pupuk
hayati yang ramah lingkungan. Berbagai macam bakteri yaitu Pseudomonas sp.,
Burkholderia sp., Acidothiobacillus ferrooxidans, Bacillus mucilaginosus, B.
edaphicus, B. circulans, dan Paenibacillus sp. telah dilaporkan dapat melarutkan
kalium di dalam tanah (Lian et al., 2002 ; Li et al., 2006 ; Liu et al., 2012).
Bakteri-bakteri pelarut kalium ini ditemukan dapat melarutkan kalium di
tanah dalam bentuk batuan larut dan mineral silikat dengan cara memproduksi dan
mengekskresikan asam organik secara langsung, kemudian dilepaskan pada batuan K
atau ion silikat yang dapat membuat K larut sehingga dapat diserap oleh tanaman
12
(Parmar & Sindhu, 2013). Pelarutan mineral silikat oleh mikroba ini disebabkan oleh
produksi asam organik seperti asam oksalat dan asam tartarat serta karena produksi
polisakarida yang membantu dalam pemecahan mineral untuk melepaskan kalium
(Sheng & He, 2006).
2.2.5. Bakteri Pemecah Selulosa
Bakteri pemecah selulosa atau bakteri selulolitik merupakan bakteri yang
mampu menghasilkan selulase dan menghidrolisis selulosa menjadi produk yang
lebih sederhana, pada umumnya dijumpai di habitat yang kaya akan selulosa
(Murtiyaningsih & Hazmi, 2017). Beberapa genus bakteri yang memiliki kemampuan
selulolitik adalah Bacillus sp., Clostridium sp., Flavobacterium sp., Pseudomonas sp.,
Vibrio sp., Citrobacter sp., Serratia sp., Klebsiella sp., Enterobacter sp., dan
Aeromonas sp. (Anand, et al., 2010).
Bakteri selulolitik dapat mendegradasi selulosa karena menghasilkan enzim
dengan spesifikasi berbeda. Enzim tersebut akan menghidrolisis ikatan (1,4)-β-D-
glukosa pada selulosa. Enzim selulase adalah enzim yang dapat menghidrolisis
selulosa dengan memutus ikatan glikosidik β-1,4 dalam selulosa, selodektrin,
selobiosa, dan turunan selulosa lainnya menjadi gula sederhana atau glukosa
(Munifah, 2017).
2.3. Bacillus pumilus
Bacillus pumilus merupakan jenis bakteri yang termasuk ke dalam famili
Bacillaceae. Bakteri B. pumilus berbentuk batang, tergolong bakteri Gram-positif,
dan bersifat anaerobik. Bakteri ini dapat ditemukan di tanah dan beberapa koloni
menempati area perakaran tumbuhan karena memiliki mekanisme antibakteri dan
antifungi. Seperti pada bakteri Gram-positif lainnya, lapisan peptidoglikan B. pumilus
diselubungi oleh asam teikoik dan lipoteikoik. Asam ini memiliki komposisi berupa
poliglikosilfosfat dengan unit monosakarida dan disakarida (Potekhina et al., 2011).
Hal inilah yang memudahkan permukaan sel B. pumilus menyerap Ca2+
dan Mg2+
masuk ke dalam sel. Keseimbangan di dalam sel membuat B. pumilus dapat tahan di
13
lingkungan oligotrofik, tahan H2O2, infeksi bahan kimia, dan kondisi lainnya
(Nicholson et al., 2000 ; Parvathi et al., 2009). B. pumilus dapat bersimbiosis dengan
tumbuhan untuk membantu pertumbuhan sejumlah tanaman dari bagian rizosfer,
seperti Capsicum annuum L. dan Triticum aestivum (Joo et al., 2004 ; Sari et al.,
2007). Hal ini dikarenakan B. pumilus dapat berperan sebagai bakteri fiksator
nitrogen (N2) menjadi amonia (NH2) (Hernandez et al., 2009).
Gambar 2. Morfologi mikroskopis B. pumilus LA4P dengan perbesaran
mikroskop cahaya 2000x (sumber: dokumentasi pribadi, 2018)
B. pumilus dapat juga berbahaya jika menginfeksi manusia. Tahun 2006
ditemukan 3 kasus keracunan makanan yang disebabkan oleh B. pumilus. Hal ini
disebabkan karena B. pumilus menghasilkan kompleks lipopeptida yang disebut
pumilacidin yang dapat memberikan efek racun pada sel epitel tubuh (From et al.,
2007). Bakteri ini memiliki gen cesA dan cesB yang mengkode sintesis cereulide.
Cereulide merupakan dodecadepsipeptida yang bersifat toksik bagi manusia (Parvathi
et al., 2009).
2.4. Tepung Ikan
Tepung ikan merupakan hasil olahan ikan segar yang diolah dengan beberapa
perlakuan, seperti pencucian, pengukusan, pengepresan, pengeringan, dan
14
penggilingan atau penepungan (Purnanila, 2010). Kualitas tepung ikan yang diolah
dengan pemanasan berlebihan dapat menyebabkan terjadinya reaksi pencokelatan dan
terjadi penurunan kadar protein sehingga menyebabkan kerusakan (Assadad et al.,
2015).
Salah satu produk tepung ikan yang ekonomis dan potensial untuk diolah
adalah tepung ikan rucah. Ikan rucah merupakan ikan-ikan kecil hasil tangkapan
sampingan yang belum termanfaatkan secara baik. Ikan rucah dapat dimanfaatkan
menjadi bahan pakan dengan pengolahan menjadi tepung ikan (Handajani et al.,
2013). Tepung ikan yang berasal dari ikan rucah kaya akan asam amino, energi, asam
lemak, serta mineral (Utomo et al., 2013).
Tepung ikan rucah mengandung berbagai komponen seperti protein (51%-
58%), air (5-6%), abu (13-17%), serat (1-3%), lemak (12-14%), kalsium (4-5%),
fosfor (4,13-4,65%), dan garam (0,36-0,65%) (Assadad et al., 2015). Unsur-unsur
tersebut dimanfaatkan oleh mikroorganisme sebagai kofaktor dalam proses aktivitas
metabolik (Ramkumar et al., 2016).
15
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium bioteknologi, laboratorium
mikrobiologi, dan laboratorium kimia Balai Besar Riset Pengolahan Produk
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBRP2BKP), Petamburan, Jakarta Pusat dari
bulan September 2018 sampai Februari 2019.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain laminar air flow (ESCO
Fume Hood), autoklaf (Hirayama HVA85), timbangan analitik, shaking incubator,
microsentrifuge, spektrofotometer UV-Vis (Spectronic GenesysTM), vorteks,
mikroskop (Olympus), pH indicator, mikropipet 10-1000 µl, Colony Counter, hot
plate, microplate 96-well flat bottom, dan thermoblock.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain akuades, Nutrient
Agar (NA), Nutrient Broth (NB), media karboksimetil selulosa (CMC), isolat bakteri
Bacillus pumilus LA4P stok kultur BBRP2BKP, limbah industri agar-agar (LIA)
sampel PT Agarindo Bogatama, pewarna merah Kongo 0,1%, NaCl 1 M, NaOH 1%,
H2SO4, 80 mL air destilat, 1 g NaClO2, 0,5 mL CH3COOH pekat, HNO3 3,5%,
H3BO3, media Pikovskaya, media Aleksandrov, tepung ikan, K2Cr2O7 1 N, , Plate
Count Agar (PCA), pereaksi Salkowski, pereaksi dinitrosalisilat (DNS) dan L-
triptofan.
3.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan bakteri B. pumilus LA4P sebagai variabel terikat. Variabel yang
digunakan yaitu limbah industri agar-agar (LIA) dan tepung ikan. LIA yang
digunakan yaitu sebanyak 1%, 2%, dan 3%, sementara tepung ikan rucah yang
digunakan yaitu sebanyak 0,1%, 0,2%, dan 0,3%.
16
Perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut :
L1T1 = LIA 1%, tepung ikan 0,1% + isolat B. pumilus LA4P
L1T2 = LIA 1%, tepung ikan 0,2% + isolat B. pumilus LA4P
L1T3 = LIA 1%, tepung ikan 0,3% + isolat B. pumilus LA4P
L2T1 = LIA 2%, tepung ikan 0,1% + isolat B. pumilus LA4P
L2T2 = LIA 2%, tepung ikan 0,2% + isolat B. pumilus LA4P
L2T3 = LIA 2%, tepung ikan 0,3% + isolat B. pumilus LA4P
L3T1 = LIA 3%, tepung ikan 0,1% + isolat B. pumilus LA4P
L3T2 = LIA 3%, tepung ikan 0,2% + isolat B. pumilus LA4P
L3T3 = LIA 3%, tepung ikan 0,3% + isolat B. pumilus LA4P
Setiap perlakuan dilakukan sebanyak dua kali ulangan dengan subulangan
sebanyak tiga kali. Parameter yang diamati yaitu pertumbuhan sel bakteri dengan
metode Total Plate Count (TPC), aktivitas enzim selulase, produksi hormon IAA, dan
nilai pH pada media perlakuan.
3.4. Cara Kerja
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan kerja, diantaranya preparasi
(pembuatan media selektif dan perlakuan, pembuatan pereaksi, dan kurva standar),
peremajaan isolat bakteri, uji zona bening (uji pelarut fosfat, uji pelarut kalium, dan
uji selulolitik), analisis pertumbuhan bakteri, analisis tingkat aktivitas selulase,
analisis nilai produksi IAA, dan pengukuran pH media (Lampiran 2.).
3.4.1. Pembuatan Media Selektif dan Media Perlakuan
Media selektif yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya media kultur
NB, media kultur NA, media padat Pikovskaya, media padat Aleksandrov, dan media
padat CMC 1%. Media perlakuan yang digunakan yaitu media kombinasi LIA dan
tepung ikan.
Media NB sebanyak 13 g dilarutkan dalam 1 L akuades. Media dipanaskan
menggunakan hotplate hingga homogen. Media yang sudah homogen disterilisasi
menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit. Prosedur pembuatan media
17
NA sama dengan prosedur pembuatan NB namun menggunakan 28 g media NA yang
dilarutkan dalam 1 L akuades.
Media Pikovskaya merupakan media selektif yang digunakan untuk
mengetahui kemampuan isolat bakteri dalam melarutkan fosfat dari sumber
anorganik. Komposisi media yang digunakan mengacu pada Permentan (2011)
dengan memodifikasi sumber fosfat. Bahan-bahan yang digunakan yaitu glukosa (10
g/L), NaCl (0,2 g/L), KCl (0,1 g/L), MgSO4.7H2O (0,1 g/L), MnSO4 (4 mg/L), FeSO4
(2 mg/L), CaHPO4 (5 g/L), (NH4)2SO4 (0,5 g/L), yeast extract (0,5 g/L), dan agar (15
g/L). Semua bahan baku dilarutkan dalam 1 L akuades dan dihomogenkan kemudian
disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.
Media Aleksandrov merupakan media selektif yang digunakan untuk
mengetahui kemampuan isolat bakteri dalam melarutkan kalium. Komposisi media
yang digunakan mengacu pada Angraini (2015) dengan memodifikasi sumber kalium.
Bahan-bahan yang digunakan yaitu glukosa (5 g/L), MgSO4.7H2O (0,5 g/L), FeCl3 (6
mg/L), CaCO3 (0,1 g/L), CaHPO4 (2 g/L), KCl (3 g/L), dan agar (20 g/L). Semua
bahan baku dilarutkan dalam 1 L akuades dan dihomogenkan kemudian disterilisasi
menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.
Media perlakuan yang digunakan berbahan dasar LIA dan tepung ikan.
Pembuata media perlakuan bertujuan untuk mengetahui potensi pertumbuhan dan
aktivitas B. pumilus LA4P dalam memproduksi selulase dan fitohormon IAA.
Komposisi media perlakuan diadaptasi dari penelitian Munifah (2017) dan
dimodifikasi.
Komposisi bahan-bahan yang digunakan yaitu LIA (0,5 g atau 1 g atau 1,5 g)
disesuaikan seperti pada perlakuan, tepung ikan (0,05 g atau 0,1 g atau 0,15 g)
(disesuaikan seperti pada perlakuan), glukosa (0,05 g), KH2PO4 (0,05 g), MgSO4 (25
mg), NaCl (25 mg), FeSO4 (0,5 mg), MnSO4 (0,5 mg), NH4NO3 (15 mg),
CaCl2.2H2O (2 mg), dan akuades (45 mL). Media disterilisasi pada suhu 121°C
selama 15 menit. Media yang telah steril ditambahkan L-triptofan steril 0,1% (5 mL)
sebagai prekursor IAA. Media dihomogenkan dan dikocok secara perlahan.
18
3.4.2. Pembuatan Pereaksi Dinitrosalisilat (DNS)
Pereaksi DNS memiliki peran sebagai indikator pereaksi dalam proses
pengukuran aktivitas enzim selulase. DNS sebanyak 1 g dilarutkan dalam 20 mL
NaOH 2 N secara perlahan hingga homogen dan larutan berwarna jingga. DNS
dihomogenkan kembali dengan mencampurkan KNaC4H4O6.4H2O (30 g) yang telah
dilarutkan dalam 50 mL pure water. Campuran yang telah larut tersebut ditambahkan
fenol (0,2 g). Larutan yang telah homogen dimasukkan ke dalam labu ukur
bervolume 100 mL dan ditambahkan sedikit pure water secara perlahan hingga
mencapai batas tera.
3.4.3. Pembuatan Kurva Standar Glukosa dan IAA
Pembuatan kurva standar glukosa dimulai dengan membuat larutan stok 100
ppm (5 mg gula standar (glukosa) dalam 50 mL akuades). Serial standar glukosa yang
dibuat adalah 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, dan 90 ppm hasil pengenceran dari
larutan stok standar glukosa 100 ppm. Setiap 1 mL larutan standar glukosa
ditambahkan dengan 1 mL pereaksi DNS. Larutan dihomogenkan dan dipanaskan
dalam air mendidih pada suhu ±100°C selama 15 menit di dalam waterbath. Larutan
didinginkan dan absorbansi diukur pada panjang gelombang 540 nm. Kurva standar
terbentuk dari hubungan antara nilai absorbansi yang dihasilkan (sumbu-y) dengan
konsentrasi larutan (sumbu-x) sehingga dihasilkan sebuah persamaan regresi
(Lampiran 3).
Pembuatan kurva standar IAA dimulai dengan membuat larutan stok 100 ppm
(5 mg standar IAA dalam 50 mL akuades). Serial standar IAA yang dibuat adalah 10,
20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, dan 90 ppm hasil pengenceran dari larutan stok standar
IAA 100 ppm. Setiap 1 mL larutan standar IAA ditambahkan dengan 1 mL pereaksi
Salkowski (komposisi: 2 mL FeCl3 0,5 M, 49 mL akuades, 49 mL HClO4). Larutan
dihomogenkan dan diinkubasi pada ruang gelap dengan suhu ruang selama 30 menit.
Absorbansi diukur pada panjang gelombang 530 nm. Kurva standar terbentuk dari
hubungan antara nilai absorbansi yang dihasilkan (sumbu-y) dengan konsentrasi
larutan (sumbu-x) sehingga dihasilkan sebuah persamaan regresi (Lampiran 4).
19
3.4.4. Peremajaan Isolat Bacillus pumilus LA4P
Isolat diremajakan pada media NB, NA, dan CMC padat. Isolat diinokulasi
pada 100 mL media NB secara aseptis dan diinkubasi dalam shaking incubator
selama 24 jam pada suhu 37°C. Sebanyak 100 µL kultur cair umur 24-48 jam
dipindahkan ke dalam media NA secara aseptis dengan metode sebar (spread plate)
lalu diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 37°C. Isolat dimurnikan dengan metode
gores (streak) pada media NA untuk diamati ciri morfologi koloni isolat yang
diinginkan. Koloni diamati secara mikroskopik menggunakan pewarna Gram
menggunakan mikroskop cahaya. Isolat yang telah murni dipindahkan ke dalam
media NA miring untuk dijadikan stok isolat. Isolat diremajakan kembali pada media
CMC untuk dilakukan uji konfirmasi aktivitas selulolitik.
3.4.5. Uji Potensi Pelarut Fosfat
Uji potensi pelarut fosfat dilakukan dengan menggunakan media selektif
Pikovskaya. Media agar Pikovskaya (SubbaRao, 1982) dibuat dengan formulasi 10 g
glukosa, 5 g Ca3(PO4)2, FePO4 atau sumber P lainnya, 0,5 g (NH4)2SO4, 0,1 g
MgSO4.2H2O, sedikit MnSO4, sedikit FeSO4, 0,5 g ekstrak ragi, dan 15 g agar
kemudian dilarutkan dalam akuades sampai volume 1 L. Setelah media padat agar
Pikovskaya dituang dalam cawan petri, kultur bakteri diinokulasikan dengan cara
mengambil satu ose koloni bakteri pada kultur dan diinkubasi pada suhu 30°C selama
3 sampai 6 hari. Hasil positif menunjukkan adanya zona bening di sekeliling koloni.
Indeks pelarutan fosfat diukur dengan menggunakan rumus berikut :
IP = ( ) ( )
( )
Keterangan : IP = Indeks Pelarutan
3.4.6. Uji Potensi Pelarut Kalium
Analisis isolat bakteri dalam melarutkan kalium dilakukan dengan metode
mengacu pada Angraini (2015). Analisis dilakukan dengan menumbuhkan isolat
20
bakteri pada media Aleksandrov (5 g glukosa, 0,5 g MgSO4.7H2O, 0,006 g FeCl3, 0,1
g CaCO3, 2 g Ca3PO4, 3 g feldspar (sebagai sumber K), dan 20 g agar-agar dalam 1 L
akuades, pH 8) dan diinkubasi pada suhu 28°C selama 3-7 hari. Setelah inkubasi,
kemudian diamati zona bening yang terbentuk di sekitar koloni dan diukur dengan
mistar atau jangka sorong lalu dihitung masing-masing indeks pelarutan (IP) kalium
untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam melarutkan kalium dengan
menggunakan rumus berikut:
IP = ( ) ( )
( )
Keterangan : IP = Indeks Pelarutan
3.4.7. Uji Potensi Aktivitas Selulase
Uji potensi aktivitas selulase dilakukan dengan menggunakan media CMC
padat dan mengacu pada prosedur yang diadaptasi dari Munifah (2017). Koloni
bakteri yang tumbuh dipindahkan pada media CMC padat, kemudian diinkubasi
selama 5 hari pada suhu kamar. Pewarnaan merah Kongo 0,1% diberikan sebanyak
15 mL dan didiamkan selama 30 – 60 menit lalu dibilas dengan NaCl 1 M sebanyak
2-3 kali kemudian didiamkan selama 15 menit. Adanya aktivitas selulase ditunjukkan
dengan adanya zona bening. Indeks aktivitas selulase ditentukan dengan mengukur
diameter zona bening dan dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
IP = ( ) ( )
( )
Keterangan : IP = Indeks Pelarutan
3.4.8. Perhitungan Sel Bakteri
Perhitungan sel bakteri dilakukan dengan metode Total Plate Count (TPC).
Metode perhitungan TPC dimodifikasi dari Purnomo (2016). Perhitungan metode
TPC dilakukan dengan mengambil larutan starter sebanyak 1 mL dilarutkan ke dalam
9 mL air suling sehingga diperoleh pengenceran 10-1
. Pengenceran dilakukan secara
berurutan 10-2
, 10-3
, 10-4
, 10-5
, 10-6
, 10-7
, dan 10-8
kemudian 3 pengenceran terakhir
21
masing-masing diinokulasi dengan cara spread plate pada media PCA dengan 3 kali
ulangan. Masing-masing inokulum diinkubasi pada suhu 28°C selama 48 jam. Jumlah
koloni bakteri yang tumbuh dihitung menggunakan colony counter dengan
persyaratan perhitungan 30-300 koloni. Jumlah bakteri dihitung dengan cara
mengalikan jumlah koloni yang terhitung dengan faktor pengenceran. Persamaan
yang digunakan untuk menghitung jumlah sel bakteri (CFU/mL) adalah sebagai
berikut :
Perhitungan jumlah sel bakteri (CFU/mL) =
Keterangan :
CFU/mL = Colony Forming Unit per mililiter (satuan internasional perhitungan
jumlah sel bakteri)
F1 = inokulan yang dituang (0,1 mL)
FP = Faktor Pengenceran
3.4.9. Pengukuran Nilai Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH media LIA diukur menggunakan kertas pH indicator. Perubahan
warna pada kertas pH indicator menunjukkan adanya perubahan kondisi pH yang
terjadi selama masa inkubasi. Pengukuran nilai pH disesuaikan dengan waktu
pengambilan sampel. Pengulangan pengukuran pH dilakukan sebanyak tiga kali
untuk tiap perlakuan.
3.4.10. Pengukuran Aktivitas Selulase pada Media Perlakuan
Aktivitas enzim selulase diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis
dengan panjang gelombang (λ) 540 nm. Pengukuran aktivitas selulase disesuaikan
dengan waktu pengambilan sampel untuk mengetahui konsentrasi substrat dan waktu
inkubasi optimum untuk memproduksi enzim selulase. Prosedur dilakukan dengan
mengadaptasi metode Munifah (2017).
Sebanyak 100 µL supernatan sampel dan 100 µL CMC 1% dituang ke dalam
microtube dan dihomogenkan menggunakan vorteks. Sampel diinkubasi selama 30
menit dalam suhu ruang kemudian ditambahkan dengan 200 µL pereaksi DNS dan
dihomogenkan kembali. Sampel dipanaskan dalam thermoblock pada suhu ±95ºC
22
selama 15 menit, kemudian didinginkan. Sebanyak 100 µL sampel diletakkan pada
microplate 96-well untuk dilakukan pengukuran absorbansi menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Nilai absorbansi yang terukur dimasukkan ke dalam
persamaan berikut :
Absorbansi = ((As-Ab)-(Ak-Ab))
Keterangan :
As = absorbansi sampel
Ab = absorbansi blanko
Ak = absorbansi kontrol
Kadar glukosa (nilai x) (mg/L) diperoleh dengan memasukkan nilai
absorbansi (nilai y) yang telah diukur ke dalam persamaan kurva standar glukosa.
Aktivitas selulase dalam memecah glukosa dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut :
Aktivitas selulase (U/mL) = ( )
Keterangan :
V = volume enzim (0,1 mL)
t = waktu inkubasi (30 menit)
BM = berat molekul glukosa (180 Dalton)
Perlakuan pada kontrol tidak terlalu berbeda dengan blanko. Keduanya
dilakukan dengan metode dan tahapan yang sama. Perlakuan pada kontrol dilakukan
inaktivasi enzim terlebih dahulu dengan memanaskan enzim selama 15 menit
menggunakan thermoblock pada suhu ±95°C. Perlakuan pada blanko menggunakan
akuades untuk direaksikan dengan substrat. Pengulangan pengukuran aktivitas
selulase dilakukan sebanyak tiga kali untuk tiap perlakuan.
3.4.11. Pengukuran Konsentrasi Fitohormon IAA pada Media Perlakuan
Konsentrasi hormon IAA diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis
dengan panjang gelombang (λ) 530 nm. Pengukuran konsentrasi hormon IAA
disesuaikan dengan waktu pengambilan sampel untuk mengetahui konsentrasi
substrat dan waktu inkubasi optimum untuk memproduksi hormon IAA. Prosedur ini
dilakukan dengan mengadaptasi dari prosedur A’ini (2013).
23
Sebanyak 75 µL supernatan sampel diletakkan pada microplate 96-well.
Sampel ditambahkan 150 µL pereaksi Salkowski lalu dihomogenkan. Sampel
diinkubasi di dalam ruang gelap pada suhu ruang selama 30 menit. Nilai absorbansi
diukur dengan spektrofotometer UV-Vis. Konsentrasi fitohormon IAA pada sampel
diperoleh dari persamaan kurva standar IAA murni. Tahapan yang sama juga
dilakukan pada larutan blanko. Pengulangan pengukuran konsentrasi hormon IAA
dilakukan sebanyak tiga kali untuk tiap perlakuan.
4.5. Analisis Data
Analisis data yang telah diperoleh dilakukan dengan metode deskriptif dan
statistik. Analisis deskriptif dilakukan pada pengujian karakteristik zona bening B.
pumilus LA4P, yaitu pada uji pelarut fosfat, kalium, dan selulosa. Data dideskripsikan
sesuai dengan hasil keberadaan zona bening pada pengujian.
Analisis statistik dilakukan dengan tujuan mengetahui pengaruh interaksi
perlakuan. Data dianalisis menggunakan Statistical Product and Service Solution
(SPSS) dengan uji ANOVA batas kepercayaan 95% (α = 0,05). Nilai signifikansi
ditentukan pada taraf 5%. Nilai signifikansi (sig. <0,05) menunjukkan bahwa H0
ditolak dan H1 diterima. Perlakuan yang berpengaruh nyata kemudian dilanjutkan
dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% untuk mengetahui
perbedaan pengaruh dari tiap perlakuan.
21
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Potensi Pelarut Fosfat Bacillus pumilus LA4P
Uji potensi pelarut fosfat dilakukan pada media Pikovskaya dengan CaHPO4
sebagai sumber fosfat. Penggunaan media selektif Pikovskaya dilakukan untuk
mengetahui kemampuan B. pumilus LA4P dalam melarutkan fosfat.
Tabel 3. Rerata indeks pelarutan fosfat (masa inkubasi 5 hari)
Ulangan Diameter Koloni
(cm)
Diameter Zona
Bening (cm)
Diameter Total
(cm)
Indeks
Pelarutan
Fosfat
1 1,65 0,85 2,50 0,52
2 2,40 1,45 3,85 0,60
3 2,35 1,40 3,75 0,60
Rerata 2,13±0,42 1,23±0,33 3,37±0,75 0,57±0,05
Hasil yang ditunjukkan pada media Pikovskaya menunjukkan adanya zona
bening di sekitar koloni bakteri (Lampiran 8.a). Pengamatan zona bening
menunjukkan rerata diameter zona bening yang dihasilkan B. pumilus LA4P sebesar
1,23±0,33 dan rerata diameter koloni sebesar 2,13±0,42 sehingga nilai rerata indeks
pelarutan fosfat sebesar 0,57±0,05 (Tabel 3). Indeks pelarutan tersebut menunjukkan
B. pumilus LA4P memiliki kekuatan daya hambat kategori sedang sebab indeks
mencapai antara 0,5-1,0 berdasarkan kriteria Susanto et al. (2012). Penelitian Larasati
et al. (2018) yang mengisolasi bakteri pelarut fosfat dari tanah gambut menunjukkan
B. pumilus PG3TT.1 memiliki indeks mencapai 1,28 dan termasuk dalam kategori
daya hambat fosfat yang kuat. Penelitian Mihalache et al. (2018) yang mengisolasi
bakteri pelarut fosfat dari rizosfer tanaman kacang juga menunjukkan B. pumilus R10
memiliki indeks pelarutan 1,33±0,88 dan termasuk dalam kategori daya hambat kuat.
Hal ini menunjukkan B. pumilus LA4P memiliki potensi sebagai bakteri pelarut
fosfat.
22
Pelarutan fosfat yang dilakukan B. pumilus tak lepas dari aktivitasnya dalam
menghasilkan asam-asam organik seperti suksinat, asam sitrat, glutamat, laktat,
malat, oksalat, glioksalat, fumarat, dan tartarat (Raharjo et al., 2007). Asam-asam
organik tersebut berperan sebagai katalisator dan memungkinkan asam-asam organik
membentuk senyawa kompleks dengan sejumlah kation sehingga terjadi pelarutan
fosfat menjadi bentuk yang tersedia untuk tanaman (Wulandari, 2001). B. pumilus
mampu menghasilkan asam organik, diantaranya adalah vanilin (Su et al., 2011),
asam laktat (Li et al., 2018), serta asam-asam nonaktik dan homononaktik yang
menjadi unit pembentuk antibiotik (Han et al., 2014). Penelitian Setiawati et al.
(2014) menunjukkan bahwa keberadaan asam laktat dengan nilai yang tinggi sebagai
asam organik mempengaruhi peningkatan aktivitas fosfatase pada bakteri pelarut
fosfat.
4.2. Potensi Pelarut Kalium B. pumilus LA4P
Uji pelarut kalium dilakukan pada media Aleksandrov dengan KCl sebagai
sumber kalium. Penggunaan media selektif Aleksandrov dilakukan untuk mengetahui
kemampuan B. pumilus LA4P dalam melarutkan kalium. KCl merupakan sumber
kalium yang lebih mudah tersedia di alam dan mudah dilarutkan (Sebayang et al.,
2015).
Tabel 4. Rerata indeks pelarutan kalium (masa inkubasi 5 hari)
Ulangan Diameter Koloni
(cm)
Diameter Zona
Bening (cm)
Diameter Total
(cm)
Indeks
Pelarutan
Kalium
1 0,30 0,18 0,48 0,60
2 0,47 0,03 0,50 0,06
3 0,48 0,07 0,55 0,15
Rerata 0,42±0,1 0,09±0,08 0,51±0,04 0,27±0,29
Hasil yang ditunjukkan pada penelitian ini yaitu pada uji pelarut kalium
terlihat adanya zona bening yang memastikan bahwa isolat bakteri dapat melarutkan
kalium (Lampiran 8.b). Rerata diameter zona bening yang dihasilkan B. pumilus
23
LA4P sebesar 0,09±0,08 dan rerata diameter koloni sebesar 0,42±0,1 sehingga nilai
rerata indeks pelarutan kalium sebesar 0,27±0,29 (Tabel 4). Indeks pelarutan tersebut
menunjukkan B. pumilus LA4P memiliki kekuatan daya hambat kategori rendah
sebab diameter indeks dibawah 0,5 berdasarkan kriteria Susanto et al. (2012). Hal ini
diduga karena sejumlah sel bakteri memproduksi polisakarida dalam jumlah yang
tidak banyak, sehingga interaksi sel dengan molekul pada media selektif tergolong
rendah dan menyebabkan proses pemecahan kalium juga rendah. Man et al. (2014)
menyatakan dalam penelitiannya bahwa pembentukan biofilm hasil produksi
polisakarida pada permukaan feldspar kalium meningkatkan pelarutan melalui proses
pelepasan K, Si, dan Al dalam lingkup kontak bakteri-mineral.
Penelitian Yachana (2017) menunjukkan indeks zona bening pelarutan
kalium pada B. pumilus tergolong rendah dan membutuhkan waktu 8,3 jam setelah
seminggu inokulasi untuk melihat zona bening, namun tingkat pelarutan pada media
mengandung KCl lebih tinggi dibandingkan dengan media menggunakan bubuk
mika. Menurut Zaidi et al. (2009), B. pumilus sebagai bakteri pelarut kalium mampu
memproduksi asam organik seperti glukonat dan 2-ketoglukonat. Asam organik
tersebut akan menurunkan pH sehingga melepas ikatan kalium dengan unsur hara
lainnya. Mikroba dapat melarutkan kalium dari ikatan kalium tak larut pada suatu
media melalui sekresi asam organik. Kemampuan asam organik melarutkan kalium
dapat menurun seiring dengan menurunnya stabilitas asam organik (Basak & Biwas,
2009). Bakteri pelarut kalium juga melepaskan ion K dari mineral K untuk
menurunkan pH tanah dengan membentuk kompleks ion Si4+
, Al3+
, Fe2+
, dan Ca2+
yang berasosiasi dengan mineral K. Penelitian Etesami et al. (2017) menunjukkan
bakteri pelarut kalium melapukkan batuan flogopit melalui penempelan unsur pada
alumunium dan asam terlarut pada jaringan kristal.
4.3. Aktivitas Selulase B. pumilus LA4P
Uji aktivitas selulase dilakukan pada media carboxymethyl cellulose (CMC)
untuk mengetahui kemampuan B. pumilus LA4P dalam memecah selulosa. Hasil
24
yang ditunjukkan yaitu pada uji aktivitas selulase terlihat adanya zona bening yang
menunjukkan bahwa B. pumilus LA4P merupakan bakteri selulolitik (Lampiran 8.c).
Zona bening pada media selektif disebabkan terjadinya hidrolisis CMC.
Hidrolisis CMC menyebabkan selulosa terdegradasi menjadi gugus yang lebih
sederhana bahkan sudah dimanfaatkan oleh bakteri. Visualisasi zona bening terjadi
disebabkan antara congo red dan selulosa memiliki ikatan kovalen sehingga media
yang tidak mengandung selulosa tidak akan terwarnai akibat dari pemanfaatan
selulosa oleh bakteri selulolitik (Mushoffa, 2012).
Tabel 5. Rerata indeks pelarutan selulosa
Ulangan Diameter Koloni
(cm)
Diameter
Zona Bening
(cm)
Diameter
Total (cm)
Indeks
Pelarutan
Selulosa
1 1,30 2,00 3,30 1,54
2 1,10 3,00 4,10 2,73
3 0,90 2,00 2,90 2,22
Rerata 1,1±0,2 2,33±0,58 3,43±0,61 2,16±0,6
Pengamatan zona bening menunjukkan rerata diameter zona bening yang
dihasilkan B. pumilus LA4P sebesar 2,33±0,58 dan rerata diameter koloni sebesar
1,1±0,2 sehingga nilai rerata indeks pemecah selulosa sebesar 2,16±0,6 (Tabel 5).
Indeks pelarutan tersebut menunjukkan B. pumilus LA4P memiliki kekuatan daya
hambat kategori tinggi sebab diameter indeks mencapai lebih dari 1,0 berdasarkan
kriteria Susanto et al. (2012). Penelitian Rawway et al. (2018) menunjukkan isolat
bakteri B. pumilus memiliki indeks pemecah selulosa mencapai 1,33 atau lebih dari
1,0. Penelitian Padaria et al. (2013) juga menunjukkan indeks pemecah selulosa yang
tinggi menggunakan B. pumilus NAIMCC-B-01415 yaitu mencapai 2,68.
Degradasi selulosa secara alami dapat dilakukan oleh bakteri aerobik.
Mikroorganisme aerobik dapat menghasilkan enzim selulase nonkompleks yang
terdiri atas endoglukanase, eksoglukanase, dan glukosidase yang bekerja secara
sinergis untuk menghidrolisis selulosa (Wilson, 2011). Endoglukanase mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap substrat CMC karena menghidrolisis ikatan glikosidik β-
1,4 secara acak (Sakti, 2012). Studi molekuler pada B. pumilus menunjukkan
25
keterkaitan gen CysB dalam proses degradasi selulosa. CysB diketahui menjadi
regulator transkripsi dalam mengaktivasi transkripsi untuk sintesis L-sistein dari asam
organik (Gremel et al., 2008). Studi tersebut diperkuat penelitian Padaria et al. (2013)
yang menunjukkan perbandingan isolat B. pumilus TL5 dengan penambahan sistein
terjadi degradasi CMC sehingga membentuk zona bening pada media tumbuh,
sementara isolat tanpa sistein tidak membentuk zona bening atau tidak terjadi
degradasi selulosa pada media tumbuh.
4.4. Tingkat Pertumbuhan B. pumilus LA4P pada Media Perlakuan
Pengujian tingkat pertumbuhan sel secara kuantitatif dilakukan untuk
mengetahui masa pertumbuhan optimum B. pumilus LA4P selama berada pada media
perlakuan dengan variasi konsentrasi LIA dan konsentrasi tepung ikan. Pengujian ini
diharapkan dapat menemukan formulasi terbaik hasil kombinasi konsentrasi LIA dan
konsentrasi tepung ikan yang sesuai dengan kriteria minimum Peraturan Menteri
Pertanian nomor 70 tahun 2011.
Tabel 6. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan konsentrasi substrat (LIA dan tepung
ikan) terhadap jumlah sel B. pumilus LA4P (108 CFU/mL).
Konsentrasi
LIA
Konsentrasi
Tepung
Ikan
Jumlah Sel (log CFU/mL)
H1 H3 H5 H7 H9 H11
1% (L1)
0,1% (T1) 9,31a-f
14,26a-i
10,51a-f
6,86a-e
10,43a-f
9,52e-k
0,2% (T2) 11,07a-f
16,87d-k
16,08c-k
18,72f-l
11,68a-f
11,11a-f
0,3% (T3) 15,23b-k
16,33c-k
10,84a-f
22,09g-m
11,01a-f
11,26i-m
2% (L2)
0,1% (T1) 7,22a-e
8,27a-f
4,36a 5,50
a-b 5,88
a-c 6,03
a-c
0,2% (T2) 10,91a-f
10,32a-f
12,67a-h
17,01d-k
8,89a-f
7,71a-e
0,3% (T3) 10,27a-f
6,71a-e
11,48a-f
14,48a-j
9,06a-f
7,94a-e
3% (L3)
0,1% (T1) 29,56m
23,35i-m
22,67h-m
24,93k-m
14,14a-i
12,03a-g
0,2% (T2) 24,59j-m
6,50a-d
16,14c-k
12,47a-h
11,68a-f
7,85a-e
0,3% (T3) 27,71l-m
11,82a-g
5,92a-c
4,38a 14,82
a-k 6,49
a-d
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
LIA = limbah industri agar-agar (konsentrasi 1%, 2%, 3%)
T = tepung ikan (konsentrasi 0,1%; 0,2%; 0,3%)
H = waktu inkubasi (hari ke-1, 3, 5, 7, 9, 11)
26
Hasil analisis sidik ragam diperoleh nilai Sig. (0,000) ≤ 0,05 dengan variabel
konsentrasi LIA dan konsentrasi tepung ikan serta interaksi secara simultan ketiga
faktor perlakuan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan sel bakteri B. pumilus
LA4P. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan sel B. pumilus LA4P dipengaruhi
oleh variasi konsentrasi LIA dan konsentrasi tepung ikan pada media uji.
Hasil uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) berdasarkan interaksi
ketiga faktor perlakuan tertera pada Tabel 6. Hasil DMRT tersebut menunjukkan
rerata jumlah sel tertinggi yang dihasilkan terjadi pada kelompok perlakuan
konsentrasi LIA 3% dengan penambahan tepung ikan 0,1% (L3T1) pada waktu
inkubasi hari ke-1, yaitu sebesar 29,56±0,09 x 108 CFU/mL. Jumlah sel terendah
yang dihasilkan terjadi pada kelompok perlakuan konsentrasi LIA 3% dengan
penambahan tepung ikan 0,3% (L3T3) pada waktu inkubasi hari ke-7, yaitu sebesar
4,38±0,07 x 108 CFU/mL.
Formulasi perlakuan LIA 3% dengan penambahan tepung ikan 0,1% (L3T1)
pada waktu inkubasi hari ke-1 tidak berbeda nyata dengan beberapa formulasi yang
menggunakan perlakuan LIA sebanyak 3% dan 0,1% tepung ikan, diantaranya yaitu
LIA 3% dengan penambahan tepung ikan 0,1% (L3T1) pada hari ke-3, hari ke-5, dan
hari ke-7. Hal ini menunjukkan pertumbuhan bakteri optimal pada rentang waktu
inkubasi 1-7 hari. Kondisi ini disebabkan karena bakteri sudah mampu memanfaatkan
nutrisi pada substrat untuk fase pertumbuhan dengan maksimal. Ketersediaan nutrisi
dianggap mencukupi dan kondisi lingkungan kultur sesuai dengan pertumbuhan sel
bakteri karena jumlah bakteri yang tidak terlalu berbeda signifikan (Masithah et al.,
2011). Formulasi perlakuan LIA 3% dengan penambahan tepung ikan 0,1% (L3T1)
pada waktu inkubasi hari ke-1 juga tidak berbeda nyata dengan formulasi perlakuan
LIA 3% dengan penambahan tepung ikan sebanyak 0,2% (L3T2) pada hari ke-1 dan
penambahan tepung ikan 0,3% (L3T3) pada hari ke-1. Hal ini disebabkan karena
bakteri mulai melakukan pertumbuhan eksponensial dengan memanfaatkan nutrisi
dari substrat LIA.
Hasil yang tertera pada Tabel 6. formulasi terbaik hasil interaksi dari faktor
konsentrasi LIA dan konsentrasi tepung ikan terhadap pertumbuhan sel bakteri B.
27
pumilus LA4P menunjukkan bahwa formulasi LIA 3%, tepung ikan 0,1% (L3T1) dan
waktu inkubasi hari ke-1 merupakan hasil terbaik. Hal ini ditandai dengan tingginya
tingkat pertumbuhan sel bakteri yang baru memasuki hari pertama masa inkubasi
serta kestabilan pertumbuhan hingga waktu inkubasi hari terakhir. Tingginya tingkat
pertumbuhan sel bakteri menunjukkan adanya kesesuaian antara pertumbuhan bakteri
dan media pembawa pupuk hayati (Rohmah et al., 2016). Secara umum, substrat
dimanfaatkan mikroorganisme untuk pertumbuhan biomassa, pemeliharaan sel, dan
membentuk asam organik untuk bertahan hidup (Safitri et al., 2016). Menurut
Munifah (2017) substrat LIA memiliki komponen selulosa yang mencapai 77,65%.
Komponen selulosa yang berlimpah menjadi sumber karbon bagi pertumbuhan
bakteri terutama mikroorganisme selulolitik (Anindyawati, 2010). Menurut Subagyo
et al. (2015) penambahan sumber karbon memberikan efek peningkatan pertumbuhan
dan kepadatan sel bakteri.
Perbedaan jumlah sel bakteri pada Tabel 6. disebabkan karena adanya
perbedaan kandungan nutrisi pada setiap formulasi dari hari ke hari akibat
pemanfaatan sumber karbon yang digunakan bakteri sebagai sumber energi
(Retnowati et al., 2011). Sumber karbon tersebut menjadi energi bagi bakteri juga
untuk mengaktifkan enzim-enzim yang digunakan dalam proses metabolisme bakteri
(Zuhri et al., 2013). Pola pertumbuhan B. pumilus LA4P hasil interaksi dengan
konsentrasi substrat LIA dan tepung ikan dengan variasi waktu inkubasi dapat dilihat
pada Gambar 3.
Jumlah sel bakteri yang diinokulasi ke dalam media perlakuan pada awal
inkubasi sebanyak 4,14 x 108 CFU/mL. Pertumbuhan sel B. pumilus LA4P pada
media perlakuan berkisar antara 4,36 hingga 29,56 x 108 CFU/mL. Isolat B. pumilus
LA4P memiliki aktivitas tertinggi pada hari ke-1 masa inkubasi atau 24 jam setelah
inokulasi pada media dengan komposisi LIA 3% dan tepung ikan 0,1% (L3T1).
Tingginya pertumbuhan pada media dengan LIA 3% disebabkan karena kandungan
LIA yang lebih tinggi dari perlakuan LIA 1% dan LIA 2% sehingga kandungan
selulosa yang bisa dimanfaatkan bakteri untuk pertumbuhan lebih banyak. Secara
umum setelah hari ke-1 masa inkubasi pertumbuhan bakteri cenderung fluktuatif.
28
Jumlah bakteri yang fluktuatif tersebut masih berada dalam kriteria minimum
formulasi pupuk hayati tunggal menurut Peraturan Menteri Pertanian nomor 70 tahun
2011, yaitu 1 x 108 CFU/mL (Tabel 1).
Gambar 3. Grafik pertumbuhan sel B. pumilus LA4P hasil interaksikonsentrasi
substrat (LIA dan tepung ikan) dan waktu inkubasi. (Keterangan : L1
= LIA 1%, L2 = LIA 2%, L3 = 3%, T1 = tepung ikan 0,1%, T2 =
tepung ikan 0,2%, T3 = tepung ikan 0,3%).
Pertumbuhan bakteri B. pumilus LA4P paling terlihat jelas saat mengalami
fase eksponensial. Aktivitas-aktivitas yang cukup tinggi terjadi pada beberapa
perlakuan LIA 3% (L3) hari ke-1 dimana fase eksponensial mengalami titik optimum
pertumbuhan, sementara sebagian perlakuan mampu mencapai fase stasioner ketika
hari ke-3. Pada kelompok perlakuan LIA 3%, fase eksponensial terjadi pada rentang
waktu hari ke-0 hingga hari ke-1 waktu inkubasi. Pada perlakuan LIA 1% dan LIA
2% rerata fase eksponensial terjadi hingga hari ke-3 waktu inkubasi. Fase
eksponensial diduga terjadi karena adanya kandungan glukosa yang dimanfaatkan
bakteri sebagai sumber karbon. Penelitian Faizah et al. (2017) yang menggunakan
media dengan sumber karbon glukosa sebagai media tumbuh B. pumilus
menunjukkan pertumbuhan bakteri memasuki fase stasioner pada hari ke-4 setelah
inokulasi. Penelitian Munifah (2017) pada media selektif selulosa menunjukkan B.
pumilus mulai memasuki fase eksponensial akhir menuju fase stasioner pada hari ke-
4. Pertumbuhan yang cepat pada hari ke-0 hingga hari ke-3 diduga karena adanya
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
0 1 3 5 7 9 11
Lo
g s
el (
CF
U/m
L)
Waktu Inkubasi (Hari)
L1T1
L1T2
L1T3
L2T1
L2T2
L2T3
L3T1
L3T2
L3T3
29
penambahan konsentrasi tepung ikan pada setiap perlakuan media. Tepung ikan
mengandung berbagai unsur-unsur seperti protein, air, abu, serat, dan nutrisi lainnya
yang bisa dimanfaatkan untuk proses metabolisme dan pertumbuhan sel (Ramkumar
et al., 2016).
Pada Gambar 3. setelah hari ke-3 terjadi fluktuasi kurva pertumbuhan bakteri
B. pumilus LA4P. Kurva menunjukkan adanya penurunan dan kenaikan pertumbuhan
bakteri yang cenderung tidak terlalu berbeda signifikan. Hal ini disebabkan sebagian
bakteri mengalami pertumbuhan kembali setelah mengalami penurunan. Isolat bakteri
dapat tumbuh kembali karena adanya sumber nutrisi yang berasal dari sel-sel bakteri
yang telah mengalami kematian. Jasad bakteri mengalami penguraian sehingga dapat
dijadikan sumber nutrisi bagi sisa bakteri yang masih hidup (Respati et al., 2017).
Kondisi ini dimanfaatkan bakteri untuk mensintesis dan mengaktifkan enzim yang
dibutuhkan untuk proses metabolisme menggunakan sumber karbon lain (Sari, 2010).
4.5. Aktivitas Selulase B. pumilus LA4P pada Media Limbah Industri Agar-
Agar (LIA) dan Tepung Ikan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara variabel konsentrasi
LIA dan konsentrasi tepung ikan berpengaruh nyata terhadap aktivitas selulase
dengan nilai Sig. (0,000) ≤ 0,05. Ketiga faktor tersebut mempengaruhi aktivitas
selulase yang dihasilkan B. pumilus LA4P secara signifikan sehingga dilakukan uji
lanjut DMRT untuk mengetahui kombinasi perlakuan yang terbaik dalam
menghasilkan aktivitas selulase. Adapun hasil uji lanjut DMRT berdasarkan ketiga
faktor dapat dilihat pada Tabel 7.
Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan rerata aktivitas selulase tertinggi yang
dihasilkan terjadi pada kelompok perlakuan konsentrasi LIA 2%. Nilai aktivitas
selulase tertinggi terjadi pada perlakuan konsentrasi LIA 2% dengan penambahan
tepung ikan 2% (L2T2) waktu inkubasi memasuki hari ke-1 yaitu sebesar 0,62±0,01
U/mL. Aktivitas selulase terendah yang dihasilkan terjadi pada kelompok perlakuan
konsentrasi LIA 3% dengan penambahan tepung ikan 0,1% (L3T1) pada waktu
inkubasi hari ke-9, yaitu sebesar 0,20±0,00 U/mL. Perlakuan L2T2 hari ke-1 tidak
30
berbeda nyata dengan beberapa perlakuan, diantaranya perlakuan konsentrasi LIA 1%
dengan penambahan tepung ikan 1% (L1T1) waktu inkubasi hari ke-3 dan perlakuan
konsentrasi LIA 2% dengan penambahan tepung ikan 3% (L2T3) waktu inkubasi hari
ke-11. Hal ini disebabkan karena tingkat aktivitas selulase yang hampir setara
tingginya dan dipengaruhi konsentrasi LIA sebagai substrat. Substrat pada media
memberi peranan penting untuk aktivitas enzim. Substrat yang dikonsumsi bakteri
dimanfaatkan sebagai sumber energi dengan memecah selulosa (Hutcheson et al.,
2011). Pada perlakuan konsentrasi LIA 3%, rerata aktivitas selulase berkisar antara
0,20 – 0,33 U/mL, lebih rendah dibandingkan aktivitas selulase pada media LIA 1%
dan 2%. Penelitian Munifah (2017) juga menunjukkan bahwa substrat LIA yang
dibutuhkan untuk memproduksi enzim selulase adalah 1,5% hingga 2,5% sementara
konsentrasi 3% tidak memberikan kenaikan aktivitas enzim.
Tabel 7. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan konsentrasi substrat (LIA dan tepung
ikan) terhadap aktivitas selulase B. pumilus LA4P (U/mL).
Konsentrasi
LIA
Konsentrasi
Tepung
Ikan
Aktivitas Selulase (U/mL)
H1 H3 H5 H7 H9 H11
1% (L1)
0,1% (T1) 0,34c-i
0,54o-p
0,23a-e
0,30b-i
0,38h-l
0,37g-l
0,2% (T2) 0,43e-j
0,42k-m
0,33f-k
0,30a-h
0,43l-n
0,40i-l
0,3% (T3) 0,57j-m
0,49m-p
0,27a-f
0,32e-j
0,42k-m
0,42l-m
2% (L2)
0,1% (T1) 0,49n-p
0,28a-g
0,26a-f
0,26a-f
0,24a-f
0,45l-o
0,2% (T2) 0,62o-p
0,28a-f
0,27a-f
0,27a-f
0,23a-f
0,46l-o
0,3% (T3) 0,48p 0,28
a-g 0,32
d-j 0,27
a-f 0,29
a-g 0,53
o-p
3% (L3)
0,1% (T1) 0,23o-p
0,22a-c
0,26a-f
0,22a-e
0,20a 0,27
a-b
0,2% (T2) 0,33f-k
0,23a-f
0,26a-f
0,21a-b
0,25a-f
0,21a-b
0,3% (T3) 0,21a-f
0,24a-f
0,26a-f
0,22a-d
0,25a-f
0,22a-e
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak
berpengaruh nyata pada taraf p≤0,05
LIA = limbah industri agar-agar (konsentrasi 1%, 2%, 3%)
T = tepung ikan (konsentrasi 0,1%; 0,2%; 0,3%)
H = waktu inkubasi (hari ke-1, 3, 5, 7, 9, 11)
Formulasi terbaik dari parameter aktivitas selulase ditinjau dari kombinasi
formula yang digunakan menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi LIA 2% dengan
penambahan tepung ikan 2% (L2T2) waktu inkubasi hari ke-1 merupakan formulasi
31
terbaik. Hal ini ditandai dengan tingginya aktivitas selulase yang terjadi. Aktivitas
selulase yang tinggi diduga terjadi karena konsentrasi LIA sebagai substrat dan enzim
berada dalam jumlah yang seimbang. Hal ini berkaitan dengan sisi aktif enzim
dimana semakin tinggi konsentrasi substrat maka sisi aktif enzim akan semakin
banyak mengikat substrat sehingga produk glukosa yang dihasilkan semakin banyak
(Putri, 2016). Sisi aktif enzim selulase memiliki konfigurasi ikatan ligan sebagai
pengikat substrat dan melakukan aktivitas katalik. Struktur β-sheet molekul selulase
terdapat lengkung konkaf yang memiliki celah dimana selulosa bisa terikat (Nauli,
2014). Penelitian Chinedu et al. (2011) menunjukkan ikatan ligan dapat
meningkatkan aktivitas selulase pada Aspergillus niger hingga tiga kali lipat.
Bakteri lebih cenderung menggunakan glukosa hasil hidrolisis enzim selulase
untuk pertumbuhan sehingga aktivitas selulolitik cenderung menurun (Al Bashori et
al., 2012). Hal ini terlihat pada aktivitas selulase hari ke-3 hingga hari ke-5 yang
mengalami penurunan. Penelitian Masfufatun (2011) menunjukkan penurunan
aktivitas selulase disebabkan semakin tinggi konsentrasi substrat maka semakin tinggi
viskositasnya sehingga probabilitas substrat untuk berikatan dengan sisi aktif enzim
semakin kecil. Putri (2016) menjelaskan bahwa semakin banyak konsentrasi substrat
maka sisi aktif enzim yang terikat semakin banyak dan menyebabkan semakin banyak
selulosa yang dihidrolisis menjadi glukosa. Glukosa yang banyak seiring dengan
waktu inkubasi menyebabkan inhibisi produk glukosa karena glukosa akan menempel
pada sisi alosterik enzim sehingga sisi aktif enzim tidak bisa ditempati substrat. Pola
aktivitas selulase B. pumilus LA4P hasil interaksi dengan konsentrasi substrat LIA
dan tepung ikan dengan variasi waktu inkubasi dapat dilihat pada Gambar 7.
Aktivitas selulase yang dihasilkan B. pumilus LA4P pada media perlakuan
berkisar antara 0,20 – 0,62 U/mL. Aktivitas selulase cenderung mengalami penurunan
dan lebih stabil setelah hari ke-3 (Gambar 4). Berdasarkan kriteria Peraturan Menteri
Pertanian nomor 70 tahun 2011 (Tabel 2.) kelompok perlakuan LIA 1% dengan
penambahan 0,1%, 0,2%, dan 0,3% tepung ikan (L1T1, L1T2, dan L1T3) sebagian
besar telah memenuhi kriteria persyaratan minimum sebagai formula bahan pembawa
untuk bakteri selulolitik dengan aktivitas selulase minimum 0,3 U/mL. Aktivitas
32
selulase yang dihasilkan pada kelompok perlakuan LIA 2% memenuhi kriteria pada
hari ke-1 inkubasi (L2T1, L2T2, dan L2T3), sedangkan semua perlakuan LIA 3%
belum memenuhi kriteria persyaratan minimum aktivitas selulase berdasarkan
Peraturan Menteri Pertanian nomor 70 tahun 2011 dikarenakan nilai aktivitas selulase
yang masih dibawah 0,3 U/mL.
Gambar 4. Grafik aktivitas selulase B. pumilus LA4P hasil interaksi antara
konsentrasi substrat (LIA dan tepung ikan) dan waktu inkubasi.
(Keterangan : L1 = LIA 1%, L2 = LIA 2%, L3 = 3%, T1 = tepung
ikan 0,1%, T2 = tepung ikan 0,2%, T3 = tepung ikan 0,3%).
LIA menjadi sumber selulosa pada media pertumbuhan dan menjadi
penginduksi untuk sekresi enzim selulase oleh B. pumilus LA4P. Produksi enzim tak
lepas dari pertumbuhan sel hingga akhir fase eksponensial sel (Sonia & Kusnadi,
2015). Hal ini terlihat pada hari pertama inkubasi yang merupakan nilai aktivitas
selulase tertinggi dengan peningkatan jumlah sel pada fase pertumbuhan hari pertama
(Gambar 6). Rahayu et al. (2014) menyatakan tingkat aktivitas selulase tertinggi
untuk bakteri Bacillus sp. pada umumnya terjadi setelah 24 jam pertumbuhan.
Selulase pada bakteri akan menghidrolisis selulosa menjadi komponen yang lebih
sederhana dengan produk utama glukosa, selobiosa, dan selooligosakarida. Penurunan
aktivitas selulase setelah hari ke-1 inkubasi terjadi karena bakteri tidak mampu
mendegradasi selulosa secara sempurna, sebab biosintesis selulase dipengaruhi
selulosa pada substrat yang telah dimanfaatkan bakteri untuk pertumbuhan sel
(Murtiyaningsih & Hazmi, 2017).
0,00
0,10
0,20
0,30
0,40
0,50
0,60
0,70
1 3 5 7 9 11
Akti
via
s S
elula
se (
U/m
L)
Waktu Inkubasi (Hari)
L1T1
L1T2
L1T3
L2T1
L2T2
L2T3
L3T1
L3T2
L3T3
33
4.6. Produksi Fitohormon Indole-3-Acetic Acid (IAA) B. pumilus LA4P pada
Media Limbah Industri Agar-Agar (LIA) dan Tepung Ikan
Uji produksi fitohormon IAA dilakukan secara kuantitatif untuk mengetahui
konsentrasi IAA yang dihasilkan B. pumilus LA4P ke dalam media formulasi substrat
LIA dan tepung ikan dengan waktu inkubasi serta untuk menentukan formulasi
terbaik sesuai dengan kriteria Peraturan Menteri Pertanian nomor 70 tahun 2011.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara variabel konsentrasi
LIA dan konsentrasi tepung ikan berpengaruh nyata terhadap produksi IAA dengan
nilai Sig. (0,000) ≤ 0,05. Adanya pengaruh yang signifikan terhadap produksi IAA
maka dilakukan uji lanjut DMRT untuk mengetahui kombinasi perlakuan yang
terbaik dalam menghasilkan fitohormon IAA. Adapun hasil uji lanjut DMRT
berdasarkan ketiga faktor dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan konsentrasi substrat (LIA dan tepung
ikan) terhadap produksi IAA B. pumilus LA4P (ppm).
Konsentrasi
LIA
Konsentrasi
Tepung
Ikan
Kadar IAA (ppm)
H1 H3 H5 H7 H9 H11
1% (L1)
0,1% (T1) 0,00a 0,06
a-c 0,18
a-e 0,32
c-j 0,77
m-o 0,61
i-n
0,2% (T2) 0,02a-b
0,08a-d
0,17a-d
0,35i-n
0,76l-o
0,64g-n
0,3% (T3) 0,08a-d
0,09a-d
0,27a-g
0,69l-o
0,66k-n
0,68k-o
2% (L2)
0,1% (T1) 0,52f-n
0,62i-n
0,29a-f
0,37d-k
0,54l-o
0,60l-o
0,2% (T2) 0,33a-h
0,55g-n
0,24a-f
0,55g-n
0,58h-n
0,65k-n
0,3% (T3) 0,25i-n
0,59i-n
0,31b-i
0,45e-l
0,60i-n
0,71o
3% (L3)
0,1% (T1) 0,45e-l
0,45e-l
0,65k-n
0,75i-n
0,46e-m
0,63j-n
0,2% (T2) 0,47e-n
0,47e-n
0,72l-o
0,53f-n
0,52f-n
0,60k-o
0,3% (T3) 0,45e-l
0,46e-m
0,78n-o
0,68k-o
0,52i-n
0,56g-n
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak
berpengaruh nyata pada taraf p≤0,05
LIA = limbah industri agar-agar (konsentrasi 1%, 2%, 3%)
T = tepung ikan (konsentrasi 0,1%; 0,2%; 0,3%)
H = waktu inkubasi (hari ke-1, 3, 5, 7, 9, 11)
Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa konsentrasi IAA tertinggi terjadi
pada perlakuan konsentrasi LIA 3% dengan penambahan tepung ikan 0,3% (L3T3)
waktu inkubasi memasuki hari ke-5 yaitu sebesar 0,78±0,01 ppm (Tabel 8).
34
Perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi LIA 1% dengan
penambahan tepung ikan 0,1% (L1T1) dan 0,2% (LIT2) waktu inkubasi memasuki hari
ke-9. Konsentrasi IAA terendah terjadi pada perlakuan konsentrasi LIA 1% dengan
penambahan tepung ikan 0,1% (L1T1) waktu inkubasi hari ke-1 yaitu sebesar
0,00±0,00 ppm. Hal ini diduga karena konsentrasi substrat yang rendah dibandingkan
dengan perlakuan lainnya sehingga membutuhkan waktu inkubasi lebih lama untuk
menghasilkan IAA.
Hasil yang tertera pada Tabel 8. menunjukkan formulasi terbaik dari interaksi
konsentrasi substrat dan waktu inkubasi terhadap produksi IAA pada B. pumilus
LA4P menunjukkan bahwa formulasi LIA 3%, tepung ikan 0,3% (L3T3) dan waktu
inkubasi hari ke-5 merupakan hasil terbaik. Hal ini terlihat dari tingginya produksi
IAA yang dihasilkan. Aktivitas produksi IAA yang tinggi disebabkan oleh tingginya
kandungan nutrisi yang digunakan untuk melakukan biosintesis IAA. Penambahan
tepung ikan yang mengandung protein kaya akan asam amino juga memicu tingginya
produksi IAA. Pembentukan IAA dipicu adanya asam amino L-triptofan sebagai
prekursor dalam pembentukan IAA yang merangsang terjadinya peningkatan sintesis
IAA (Danapriatna, 2014). Penelitian Chaiharn & Lumyong (2011) dan Susilowati et
al. (2018) menunjukkan sebagian besar isolat bakteri akan memproduksi IAA lebih
tinggi ketika ada penambahan prekursor triptofan dan sintesis IAA akan melalui jalur
Trp-pathways. Tingkat produksi fitohormon IAA yang dihasilkan B. pumilus LA4P
pada kombinasi media LIA dan tepung ikan dengan variasi waktu inkubasi tertera
pada Gambar 5.
Produksi IAA yang dihasilkan B. pumilus LA4P pada semua media perlakuan
berkisar antara 0,00 – 0,78 ppm. Konsentrasi IAA yang diproduksi dari B. pumilus
LA4P waktu inkubasi hari pertama hingga hari ke-9 rerata cenderung mengalami
peningkatan. Konsentrasi IAA yang diproduksi oleh B. pumilus LA4P dapat
dinyatakan memenuhi kriteria berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 70
tahun 2011, yaitu produksi IAA memiliki konsentrasi diatas 0,00 ppm (Tabel 2.).
Hanya perlakuan konsentrasi LIA 1% dengan penambahan tepung ikan 0,1% (L1T1)
waktu inkubasi hari ke-1 yang tidak memproduksi IAA. Hal ini dimungkinkan karena
35
adaptasi bakteri dengan komposisi LIA dan tepung ikan yang sedikit dibandingkan
perlakuan lainnya. Sukmadi (2012) menyatakan bahwa komposisi media sangat
berpengaruh terhadap konsentrasi IAA yang dihasilkan bakteri.
Gambar 5. Grafik produksi IAA B. pumilus LA4P hasil interaksi antara konsentrasi
substrat (LIA dan tepung ikan) san waktu inkubasi. (Keterangan : L1 =
LIA 1%, L2 = LIA 2%, L3 = 3%, T1 = tepung ikan 0,1%, T2 = tepung
ikan 0,2%, T3 = tepung ikan 0,3%).
Hasil penelitian Patil et al. (2011) menunjukkan bakteri mulai menghasilkan
IAA pada fase-fase awal pertumbuhan bakteri. Peningkatan produksi IAA sepanjang
waktu inkubasi hingga hari ke-9 masih terkait dengan tingkat kestabilan kualitas
formulasi media. Penelitian Antonius et al. (2014) menunjukkan bahwa terjadi
kenaikan konsentrasi IAA selama masa penyimpanan pupuk hayati sementara pupuk
hayati yang disimpan dengan waktu yang relatif lebih singkat memiliki kandungan
IAA yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena IAA disekresikan pada saat
kondisi lingkungan tempat tumbuh (media) bakteri semakin berkurang kandungan
nutrisinya dan kemungkinan IAA disekresikan pada masa-masa istirahat seperti
produksi metabolit sekunder. Jika persediaan glukosa pada media habis untuk proses
pertumbuhan bakteri maka sel bakteri cenderung akan menggunakan L-triptofan
sebagai sumber energi (Sukmadi, 2012).
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1 3 5 7 9 11
Konse
ntr
asi
Auksi
n
(ppm
)
Waktu Inkubasi (Hari)
L1T1
L1T2
L1T3
L2T1
L2T2
L2T3
L3T1
36
4.7. Nilai Derajat Keasaman (pH) Media Limbah Industri Agar-Agar selama
Masa Inkubasi
Pengukuran nilai pH dilakukan untuk mengetahui perubahan derajat keasaman
yang terjadi pada media perlakuan selama masa inkubasi akibat dari adanya aktivitas
metabolisme bakteri. Hasil analisis ragam pada media perlakuan menunjukkan bahwa
interaksi dari ketiga faktor perlakuan (konsentrasi LIA, konsentrasi tepung ikan, dan
waktu inkubasi) tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai pH pada media
tumbuh bakteri B. pumilus LA4P (sig. >0,05). Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi
perlakuan serta waktu inkubasi tidak mempengaruhi kondisi pH media tumbuh. Nilai
pH media LIA yang dikombinasikan dengan tepung ikan rucah tertera pada Tabel 9.
Tabel 9. Rerata nilai pH berdasarkan konsentrasi substrat (LIA dan tepung ikan) dan
waktu inkubasi.
Konsentrasi
LIA
Konsentrasi
Tepung
Ikan
Nilai pH
H1 H3 H5 H7 H9 H11
1% (L1)
0,1% (T1) 7,00 7,25 7,50 8,00 8,00 8,00
0,2% (T2) 7,00 7,50 7,50 8,00 8,00 8,00
0,3% (T3) 7,00 7,00 7,50 7,75 8,00 8,50
2% (L2)
0,1% (T1) 6,75 7,50 7,50 7,50 7,50 7,75
0,2% (T2) 6,50 7,50 7,50 7,25 7,50 7,75
0,3% (T3) 6,50 7,50 7,50 7,50 8,00 7,75
3% (L3)
0,1% (T1) 7,00 7,00 7,50 8,00 8,00 7,75
0,2% (T2) 6,50 7,00 7,25 8,00 8,00 7,75
0,3% (T3) 6,50 7,00 7,50 8,00 8,00 7,75
Keterangan : LIA = limbah industri agar-agar (konsentrasi 1%, 2%, 3%)
T = tepung ikan (konsentrasi 0,1%; 0,2%; 0,3%)
H = waktu inkubasi (hari ke-1, 3, 5, 7, 9, 11)
Nilai pH awal dari semua media perlakuan sebelum diinokulasikan bakteri
mencapai 6,5. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa rerata nilai pH yang dihasilkan
seluruh perlakuan selama 11 hari masa inkubasi mencapai 6,5 – 8,5 dan cenderung
terus mengalami kenaikan nilai pH hingga hari terakhir masa inkubasi (Tabel 9).
Prima et al. (2015) menyatakan bahwa pH optimum bakteri untuk produksi enzim
selulase berkisar antara 6 – 8. Susanti (2011) menyatakan enzim memiliki pH
optimum yang khas dan umumnya hanya aktif pada kisaran pH yang terbatas.
37
Perubahan pH mempengaruhi ionisasi gugus fungsi sisi aktif enzim yang dapat
menyebabkan perubahan konformasi enzim selulase dan sifat katalitiknya. Sementara
itu Larosa et al. (2013) menyatakan kondisi pH yang optimum untuk menghasilkan
fitohormon IAA berkisar antara 6 – 7,5. Produksi IAA pada media yang mengandung
prekursor L-triptofan maksimal terjadi pada kondisi pH 7,5. Kondisi media yang
terlalu asam akan mengganggu kinerja enzim-enzim yang mengkatalis prekursor L-
triptofan menjadi IAA. Semakin tinggi nilai pH media menunjukkan pertumbuhan
dan produksi IAA yang meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian Balaji et al.
(2012) yang menunjukkan IAA diproduksi secara optimal pada kondisi pH 7. Grafik
rerata nilai pH media selama masa inkubasi dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Grafik nilai pH pada media perlakuan B. pumilus LA4P hasil interaksi
antara konsentrasi substrat (LIA dan tepung ikan) dan waktu inkubasi.
(Keterangan : L1 = LIA 1%, L2 = LIA 2%, L3 = 3%, T1 = tepung
ikan 0,1%, T2 = tepung ikan 0,2%, T3 = tepung ikan 0,3%).
Pada Gambar 6. terlihat bahwa rerata media perlakuan terjadi peningkatan
nilai pH dari waktu inkubasi hari ke-1 hingga hari ke-11. Kriteria khusus pupuk
hayati berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 70 tahun 2011 tentang
persyaratan kadar nilai pH yang dihasilkan bakteri pada bahan pembawa
menunjukkan bahwa nilai pH perlakuan selama 11 hari masa inkubasi masih
5,0
5,5
6,0
6,5
7,0
7,5
8,0
8,5
9,0
1 3 5 7 9 11
Nil
ai D
eraj
at K
easa
man
Waktu Inkubasi (Hari)
L1T1
L1T2
L1T3
L2T1
L2T2
L2T3
L3T1
L3T2
L3T3
38
memenuhi persyaratan optimum yang ditetapkan, yaitu sebesar 5-8 (Tabel 1) kecuali
pada perlakuan konsentrasi LIA 1% dengan penambahan tepung ikan 0,3% (L1T3)
waktu inkubasi memasuki hari ke-11 yang nilainya mencapai 8,5.
Nilai pH tertinggi terjadi pada perlakuan konsentrasi LIA 1% dengan
penambahan tepung ikan 0,3% (L1T3) waktu inkubasi hari ke-11 yang nilainya
mencapai 8,5. Nilai derajat keasaman terendah terjadi perlakuan konsentrasi LIA 2%
dengan penambahan tepung ikan 0,2% (L2T2) dan 0,3% (L2T3) waktu inkubasi hari
ke-1 dan dengan nilai pH 6,5. Penelitian Munifah (2017) menunjukkan B. pumilus
pada media LIA 2,5% memiliki nilai optimum 7. Namun aktivitas pertumbuhan
setelah fase stasioner pertumbuhan sel (Gambar 3) terjadi peningkatan pH setelah hari
ke-3. Sebagian besar perlakuan mulai memasuki titik optimum derajat keasaman pada
hari ke-7 hingga hari ke-9 yang nilainya mencapai 7,5 hingga 8. Peningkatan pH
diduga disebabkan oleh perubahan kondisi lingkungan akibat dari pemanfaatan
glukosa lebih lanjut oleh bakteri yang juga menyebabkan fluktuasi pertumbuhan.
Wihansah et al. (2018) menyatakan keberadaan glukosa mendukung kinerja pompa
proton yang menjadi faktor utama dalam homeostasis pH dalam mengatur keluar-
masuknya proton. Ketika nilai pH intrasel menjadi asam akibat dari kondisi
lingkungan yang asam, maka proton akan dipompa keluar sel sehingga membuat
kondisi lingkungan stabil untuk pertumbuhan sel dan menaikkan nilai pH. Perubahan
ini akan memudahkan pemecahan selulosa oleh enzim yang diproduksi mikroba
selulolitik. Selulosa bisa dipecah menjadi monomer glukosa dengan hidrolisis
enzimatik. Enzim eksoglukosa bekerja terhadap ujumg rantai polisakarida dan
menghasilkan selobiosa yang pada akhirnya dipecah menjadi 2 molekul glukosa yang
merupakan produk utama hidrolisis selulosa (Putri et al., 2015).
4.8. Perlakuan Terbaik dari Media Limbah Industri Agar-Agar (LIA)
Perlakuan terbaik dipilih berdasarkan nilai aktivitas selulase dan konsentrasi
IAA yang dihasilkan berada pada nilai yang tinggi pada waktu yang sama. Hal ini
akan membuat B. pumilus LA4P lebih mudah untuk dimanfaatkan pada LIA sebagai
bahan baku pupuk hayati. Hasil uji aktivitas selulase dan IAA menunjukkan adanya
39
perbedaan nilai tertinggi pada perlakuan dan waktu yang berbeda. Nilai aktivitas
selulase tertinggi terjadi pada perlakuan konsentrasi LIA 2% dengan penambahan
tepung ikan 2% (L2T2) waktu inkubasi memasuki hari ke-1 (Tabel 7) namun pada
waktu yang bersamaan produksi fitohormon IAA tergolong rendah, yaitu sebesar 0,33
ppm (Tabel 8). Konsentrasi IAA tertinggi terjadi pada perlakuan konsentrasi LIA 3%
dengan penambahan tepung ikan 0,3% (L3T3) waktu inkubasi memasuki hari ke-5
(Tabel 8) namun tingkat aktivitas selulase tidak tinggi, yaitu sebesar 0,26 U/mL
(Tabel 7).
Berdasarkan hasil uji aktivitas selulase dan uji fitohormon IAA secara
kuantitatif, perlakuan terbaik dari yaitu perlakuan konsentrasi LIA 2% dengan
penambahan tepung ikan 0,3% (L2T3) waktu inkubasi hari ke-11. Hal ini karena
perlakuan tersebut memiliki nilai aktivitas selulase dan fitohormon yang tinggi di
waktu yang bersamaan meskipun bukan nilai yang paling tinggi. Nilai aktivitas
selulase yang dihasilkan sebesar 0,53 U/mL, sementara konsentrasi IAA yang
dihasilkan sebesar 0,71 ppm. Aktivitas selulase yang tinggi menandakan
pertumbuhan bakteri yang semakin baik karena adanya sumber glukosa, sehingga
bakteri dapat memanfaatkan triptofan secara optimum untuk dijadikan sumber energi
dan menghasilkan IAA pada waktu yang bersamaan (Sukmadi, 2012). Kondisi ini
juga didukung dengan komponen selulosa yang sangat tinggi pada LIA, yakni
mencapai 77,65% (Munifah, 2017). Hasil uji aktivitas selulase dan uji fitohormon
IAA juga akan menunjang efektivitas pengaplikasian pupuk hayati dari segi
pertanian, sebab pemecahan selulosa akan memudahkan bakteri dalam memperoleh
nutrisi dan melakukan pertumbuhan sel. Kondisi ini yang memicu IAA sebagai zat
pengatur tumbuh dapat dihasilkan bakteri dan dimanfaatkan oleh tumbuhan.
Keberadaan IAA digunakan tumbuhan untuk mengontrol proses fisiologi dan
mengatur perpanjangan dalam batang maupun akar (Larosa et al., 2013).
40
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Bacillus pumilus LA4P dapat berpotensi sebagai agen pengembangan pupuk
hayati berbasis limbah industri agar-agar (LIA) berdasarkan uji zona bening pelarut
fosfat, pelarut kalium, dan aktivitas selulase.
Perlakuan terbaik dari hasil kombinasi antara konsentrasi LIA dan konsentrasi
tepung ikan terhadap aktivitas selulase dan produksi fitohormon IAA adalah
kombinasi perlakuan konsentrasi LIA 2% dengan penambahan tepung ikan 0,3%
(L2T3) waktu inkubasi hari ke-11 dimana nilai aktivitas selulase yang dihasilkan
sebesar 0,53 U/mL, sementara konsentrasi IAA yang dihasilkan sebesar 0,71 ppm.
5.2. Saran
Pengembangan bakteri B. pumilus LA4P sebagai agen pupuk hayati pada
media LIA diperlukan adanya pengujian unsur-unsur hara lain dengan menggunakan
konsorsium bakteri jenis lain untuk dikombinasikan dengan B. pumilus LA4P
sehingga dapat diaplikasikan untuk pertumbuhan tanaman tertentu dan manfaat yang
didapatkan lebih variatif.
41
DAFTAR PUSTAKA
A’ini, Z. F. (2013). Isolasi dan identifikasi bakteri penghasil IAA (Indole-3-acetid
acid) dari tanah dan air di Situgunung, Sukabumi. Faktor Exacta, 6(3), 231-
240.
Afif, A. K. (2011). Pemanfaatan limbah padat proses pengolahan agar PT Agarindo
Bogatama sebagai media tanam hortikultura. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Akhtar, M. S., & Siddiqui, Z. A. (2009). Effects of phosphate solubilizing
microorganisms and Rhizobium sp. on the growth, nodulation, yield and
root-rot disease complex of chickpea under field condition. African Journal
of Biotechnology, 8, 3489-3496.
Al Bashori, K., Mulyani, N. S., & Aminin, A. L. N. (2012). Isolasi komunitas bakteri
termofilik selulolitik dari kompos serta identifikasi fenotipik dan genotipik
dengan metode Sscp. Jurnal Sains dan Matematika., 20(2), 46-53.
Anand, A. A. P., Vennison, S. J., Sankar, S. G., Prabhu, D. I. G., Vasan, P. T.,
Raghuraman, T., Geoffrey, C. J., & Vendan, S. E. (2010). Isolation and
characterization of bacteria from the gut of Bombyx mori that degrade
cellulose, xylan, pectin and starch and their impact on digestion. Journal of
Insect Science, 10(7), 1-20.
Angraini, E. (2015). Kajian potensi bakteri pelarut kalium dari lahan penambangan
batu kapur Palimanan Cirebon. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anindyawati, T. (2010). Potensi selulase dalam mendegradasi lignoselulosa limbah
pertanian untuk pupuk organik. Berita Selulosa, 45(2), 70-77.
Antonius, S., Agustyani, D., Imamuddin, H., Dewi, T. K., & Laili, N. (2014). Kajian
bakteri penghasil hormon tumbuh IAA sebagai pupuk organik hayati dan
kandungan IAA selama penyimpanan. Prosiding Semnas Pertanian Organik,
279-285.
Assadad, L., Hakim, A. R., & Widianto, T. N. (2015). Mutu tepung ikan rucah pada
berbagai proses pengolahan. Prosiding Semnas UGM, 53-62.
Balaji, N., Lavanya, S. S., Muthamizhselvi, S., & Tamilarasan, K. (2012).
Optimization of fermentation condition for indole acetic acid production by
Pseudomonas sp. International Journal of Advances in Biotechnology
Research, 3(4), 797-803.
Basmal, J. (2009). Prospek pemanfaatan rumput laut sebagai bahan pupuk organik.
Squalen, 4(1), 1-8.
42
Basmal, J., Hermana, I., & Sardino. (2016). Pemanfaatan tepung ampas dari ekstraksi
agar untuk bahan pupuk tanaman. JPB Kelautan dan Perikanan, 11(2), 195-
212.
Basak, B. B., & Biwas, D. R. (2009). Influence of potassium solubilizing
microorganism (Bacillus mucilaginosus) and waste mica on potassium
uptake dynamics by sudan grass (Sorghum vulgare Pers.) grown under two
alfisols. Plant Soil, 3(17), 235-255.
Bhattacharyya, P. N., & Jha, D. K. (2012). Plant growth-promoting rhizobacteria
(PGPR): emergence in agriculture. World Journal of Microbiology and
Biotechnology, 28, 1327–1350.
Boiero, L., Perrig, D., Masciarelli, O., Penna, C., Cassan, F., & Luna, V. (2007).
Phytohormone production by three strains of Bradyrhizobium japonicum and
possible physiological and technological implications. Applied Microbiology
and Biotechnology, 74, 874-880.
Caton, I. R. (2007). Abundance of nifH genes in urban, agricultural, and pristine
prairie streams exposed to different levels of nitrogen loading. Thesis.
Wichita State University.
Chaiharn, M., & Lumyong, S. (2011). Screening and optimization of indole-3-acetic
acid production and phosphate solubilization from rhizobacteria aimed at
improving plant growth. Current Microbiology, 62, 173-181.
Chen, H. (2014). Biotechnology of Lignocellulose: Theory and Practice. Chemical
Industry Press. Beijing.
Chen, Y. P., Rekha, P. D., Arun, A. B., Shen, F. T., Lai, W. A., & Young, C. C.
(2006). Phosphate solubilizing bacteria from subtropical soil and their
tricalcium phosphate solubilizing abilities. Applied Soil Ecology, 34, 33–41.
Chinedu, S, N., Nwinyi, O. C., Okafor, U. A., & Okochi, V. I. (2011). Kinetic study
and characterization of 1,4-β-endoglucanase of Aspergillus niger ANL301.
Dynamic Biochemistry, 5, 41-46.
Choo, Q. C., Samian, M. R., & Najimudin, N. (2003). Phylogeny and characterization
of three nifH-homologous genes from Paenibacillus azotofixans. Applied
and Environmental Microbiology, 69, 3658-3662.
Chung, H., Park, M., Madhaiyan, M., Seshadri, S., Song, J., Cho, H., & Sa, T. (2005).
Isolation and characterization of phosphate solubilizing bacteria from the
rhizosphere of crop plants of Korea. Soil Biology and Biochemistry, 37,
1970–1974.
Danapriatna, N. (2014). Faktor yang mempengaruhi biosintesis IAA oleh
Azospirilium. Jurnal Ilmiah SOLUSI, 1(2), 82-88.
43
Deubel, A., Gransee, & Merbach, W. (2000). Transformation of organic rhizodeposits
by rhizoplane bacteria and its influence on the availability of tertiary calcium
phosphate. Journal of Plant Nutrition and Soil Science, 163, 387-392.
Etesami, H., Rmami, S., & Alikhani, H. A. (2017). Potassium solubilizing bacteria
(KSB): Mechanisms, promotion of plant growth, and future prospects.
Journal of Soil Science & Plant Nutrition, 17(4), 897-911.
Faizah, L. N., Budiharjo, A., & Kusdiyanti, E. (2017). Optimasi pertumbuhan dan
potensi antagonistik Bacillus pumilus terhadap patogen Xanthomonas
campestris serta identifikasi molekuler gen penyandi PKS dan NRPS. Jurnal
Biologi, 6(1), 38-48.
Figueiredo, M. V. B., Seldin, L., Araujo, F. F., & Mariano, R. L. R. (2011). Plant
growth promoting rhizobacteria:fundamentals and applications. In:
Maheshwari, D. K. Plant Growth and Health Promoting Bacteria. Springer-
Verlag, Berlin, Heidelberg, pp. 21–42.
From, C., Hormazabal, V., & Granum, P. E. (2006). Food poisoning associated with
pumilacidin-producing Bacillus pumilus in rice. International Journal of
Food Microbiology, 115, 319-324.
Gray, E. J., & Smith, D. L. (2005). Intracellular and extracellular PGPR:
commonalities and distinctions in the plant–bacterium signaling processes.
Soil Biology and Biochemistry, 37, 395–412.
Gremel, G., Dorrer, M., & Schmoll, M. (2008). Sulphur metabolism and cellulase
gene expression are connected processes in the filamentous fungus Hypocrea
jecorina. BMC Microbiology, 8, 174.
Han, L., Huo, P., Chen, H., Li, S., Jiang, Y., Li, L., Xu, L., Jiang, C., & Huang, X.
(2014). New derivatives of nonactic and homononactic acids from Bacillus
pumilus derived from Breynia fruticosa. Chemistry and Biodiversity, 11(7),
1088-1098.
Handajani, H., Hastuti, D. S., & Sujono (2013). Penggunaan berbagai asam organik
dan bakteri asam laktat terhadap nilai nutrisi limbah ikan. Jurnal Ilmu
Perairan, 2(3), 126-132.
Haris, H. & Nafsiyah, I. (2019). Formulasi campuran limbah ikan dan ikan rucah
terhadap kandungan dan daya cerna protein tepung ikan. Majalah BIAM,
15(2), 82-93.
Hernandez, J. P., de Bashan, L. E., Rodriguez, D. J., Rodriguez, Y., & Bashan, Y.
(2009). Growth promotion of the freshwater microalga Chlorella vulgaris by
the nitrogen-fixing, plant growth-promoting bacterium Bacillus pumilus
from arid zone soils. European Journal of Soil Biology, 45, 88-93.
44
Hutcheson, S. W., Zhang, H., & Suvorov, M. (2011). Carbohydrase systems of
Saccharophagus degradans degrading marine complex polysaccharides.
Marine Drugs, 9, 645-665.
Joo, G. J., Kim, Y. M., & Lee, I. J. (2004). Growth promotion of red pepper plug
seedlings and the production of gibberellins by Bacillus cereus, Bacillus
macroides and Bacillus pumilus. Biotechnology Letters, 26(6), 487-491.
Khan, A. G. (2005). Role of soil microbes in the rhizospheres of plants growing on
trace metal contaminated soils in phytoremediation. Journal of Trace
Elements in Medicine and Biology, 18, 355–364.
Khan, M. S., Zaidi, A., Wani, P. A., & Oves, M. (2009). Role of plant growth
promoting rhizobacteria in the remediation of metal contaminated soils.
Environmental Chemistry Letters, 7, 1–19.
Kim, J., & Rees, D. C. (1994). Nitrogenase and biological nitrogen fixation.
Biochemistry, 33, 389–397.
KKP. (2012). Buku Statistik Kelautan dan Perikanan. Pusat Data Statistik dan
Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Kloepper, J. W. (2003). A review of mechanisms for plant growth promotion by
PGPR. In: Reddy, M. S., Anandaraj, M., Eapen, S. J., Sarma, Y. R., &
Kloepper, J. W. (Eds.), Abstracts and Short Papers. 6th International PGPR
Workshop, 5–10 October 2003, Indian Institute of Spices Research, Calicut,
India, pp. 81–92.
Kloepper, J. W., Gutierrez-Estrada, A., & Mclnroy, J. A. (2007). Photoperiod
regulates elicitation of growth promotion but not induced resistance by plant
growth-promoting rhizobacteria. Canadian Journal of Microbiology, 53(2),
159–167.
Kloepper, J. W. & Schroth, M. N. (1978). Plant growth promoting rhizobacteria on
radishes. In: Proceedings of the IVth international conference on plant
pathogenic bacteria, Argers, France: Station de Pathologie Vegetale et
Phytobacteriologyie, INRA, pp 879–882.
Kumar, V., Behl, R. K., & Narula, N. (2001). Establishment of phosphate solubilizing
strains of Azotobacter chroococcum in the rhizosphere and their effect on
wheat cultivars under greenhouse conditions. Microbiology Research, 156,
87–93.
Kumar, S., Gupta, R., Kumar, G., Sahoo, D., & Kuhad, R. C. (2013). Bioethanol
production from Gracilaria verrucosa, a red alga, in a biorefinery approach.
Bioresource Technology, 135, 150-156.
Larasati, E. D., Rukmi, M. G. I., Kusdiyantini, E., & Ginting, R. C. B. (2018). Isolasi
dan identifikasi bakteri pelarut fosfat dari tanah gambut. Bioma, 20(1), 1-8.
45
Larosa, S. F., Kusdiyantini, E., Raharjo, B., & Sarjiya, A. (2013). Kemampuan isolat
bakteri penghasil indole acetic acid (IAA) dari tanah gambut Sampit,
Kalimantan Tengah. Jurnal Biologi, 2(3), 41-54.
Lee, S., Reth, A., Meletzus, D., Sevilla, M., & Kennedy, C. (2000). Characterization
of major cluster of nif, fix, and associated genes in sugarcane endophyte,
Acetobacter diazotrophicus. Journal of Bacteriology, 182(24), 7088-7091.
Lestari, M. D., Sudarmin, & Harjono. (2018). Ekstraksi selulosa dari limbah
pengolahan agar menggunakan larutan NaOH sebagai prekursor bioetanol.
Indonesian Journal of Chemical Science, 7(3), 237-241.
Li, D., Ni, K., Zhang, Y., Lin, Y., & Yang, F. (2018). Influence of lactic acid
bacteria, cellulase, cellulase-producing Bacillus pumilus and their
combinations on alfalfa silage quality. Journal of Integrative Agriculture,
17(12), 2768-2782.
Li, F. C., Li, S., Yang, Y. Z., & Cheng, L. J. (2006). Advances in the study of
weathering products of primary silicate minerals, exemplified by mica and
feldspar. Acta Petroleum Mineral, 25, 440-448.
Lian, B., Fu, P. Q., Mo, D. M., & Liu, C. Q. (2002). A comprehensive review of the
mechanism of potassium release by silicate bacteria. Acta Mineral Sinica,
22, 179–183.
Liu, D., Lian, B., & Dong, H. (2012). Isolation of Paenibacillus sp. and assessment of
its potential for enhancing mineral weathering. Geomicrobiology Journal,
29, 413-421.
Man, L. Y., Cao, X. Y., & Sun, D. S. (2014). Effect of potassium-solubilizing
bacteria-mineral contact mode on decompotition behavior of potassium-rich
shale. China Journal Nonferrous Metals, 2(4), 48-52.
Masfufatun. (2011). Isolasi dan Karakterisasi Enzim Selulase. Universitas Wijaya
Kusuma. Surabaya.
Masithah, E. D., Ariesma, N., & Cahyoko, Y. (2011). Pengaruh pemberian bakteri
Bacillus pumilus pada rumen sapi sebagai pupuk terhadap pertumbuhan
Dunaliela salina. Jurnal Kelautan, 4(1), 82-89.
Mihalache, G., Mihasan, M., Zamfirache, M. M., Stefan, M., & Raus, L. (2018).
Phosphate solubilizing bacteria from runner bean rhizosphere and their
mechanism of action. Romanian Biotechnology, 23(4), 13853-13861.
Munifah, I. (2017). Bakteri penghasil selulase dan potensinya sebagai pendegradasi
limbah padat industri agar-agar. Thesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Munifah, I., Sunarti, T. C., Irianto, E. H., & Meryandini, A. (2015). Biodegradation
of solid wastes of agar seaweed processing industry by indigenous
46
cellulolytic Bacillus pumilus LA4P. Bioscience and Biotechnology Research
Asia, 12(3), 1957-1964.
Murtiyaningsih, H., & Hazmi, M. (2017). Isolasi dan uji aktivitas enzim selulase pada
bakteri selulolitik asal tanah sampah. Agritop, 15(2), 293-308.
Mushoffa. (2012). Isolasi dan identifikasi bakteri selulolitik dari feses kambing.
Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang.
Nadeem, S. M., Zahir, Z. A., Naveed, M., Arshad, M., & Shahzad, S. M. (2006).
Variation in growth rhizobacteria and ion uptake of maize due to inoculation
with plant growth promoting under salt stress. Soil Environment, 25, 78-84.
Nahas, E. (1996). Factors determining rock phosphate solubilization by
microorganism isolated from soil. World Journal of Microbiology and
Biotechnology, 12, 18-23.
Nauli, T. (2014). Penentuan sisi aktif selulase Aspergillus niger dengan Docking
Ligan. Jurnal Kimia Terapan Indonesia, 16(2), 94-100.
Nicholson, W. L., Munakata, N., Horneck, G., Melosh, H. J., & Setlow, P. (2000).
Resistance of Bacillus endospores to extreme terrestrial and extraterrestrial
environments. Microbiology and Molecular Biology Reviews, 64, 548-572.
Nurhayati, & Kusumawati, R. (2014). Sintesis selulosa asetat dari limbah pengolahan
agar. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, 9(2),
97-107.
Padaria, J. C., Sarkar, K., Lone, S. A., & Srivastava, S. (2013). Molecular
characterization of cellulose-degrading Bacillus pumilus from the soil of tea
garden, Darjeeling hills, India. Journal of Environmental Biology, 35, 555-
561.
Parmar, P., & Sindhu, S. S. (2013). Potassium solubilization by rhizosphere bacteria:
influence of nutritional and environmental conditions. Journal of
Microbiology, 3(1), 25-31.
Parvathi, A., Krishna, K., Jose, J., Joseph, N., & Nair, S. (2009). Biochemical and
molecular characterization of Bacillus pumilus isolated from coastal
environment in Cochin, India. Brazilian Journal of Microbiology, 40, 269-
275.
Patil, N. B., Gajbhiye, M., Ahiwale, S. S., Gunjal, A. B., & Kapadnis, B. P. (2011).
Optimization of indole 3-acetic acid (IAA) production by Acetobacter
diazotrophicus L1 isolated from sugarcane. International Journal of
Environmental Sciences, 2(1), 307-314.
Patten, C. L., & Glick, B. R. (1996). Bacterial biosynthesis of indole-3-acetic acid.
Canadian Journal of Microbiology, 42, 207–220.
47
Permentan. (2011). Peraturan Menteri Pertanian nomor 70 tahun 2011 tentang
Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan Pembenah Tanah. Kementerian
Pertanian. Jakarta.
Potekhina, N. V., Streshinskaya, G. M., Tul’skaya, E. M., Kozlova, Y. I.,
Senchenkova, S. N., & Shashkov, A. S. (2011). Phosphate-containing cell
wall polymers of bacilli. Biochemistry, 76(7), 745-754.
Prima, A., Devi, S., & Saryono. (2015). Optimalisasi pH produksi enzim selulase dari
bakteri endofitik Pseudomonas stutzeri LBKURCC45, Pseudomonas
cepacia LBKURCC48 dan Pseudomonas stutzeri LBKURCC59. Jurnal
Online Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Riau, 2(1), 199-204.
Purnanila, D. (2010) Kajian perlakuan pendahuluan terhadap sifat kimiawi tepung
ikan selama penyimpanan. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
Maret. Surakarta.
Purnomo, S. A. E. (2016). Pengaruh variasi konsentrasi biofertilizer terhadap
produktivitas tanaman pakcoy (Brassica rapa L. var. chinensis) pada sistem
hidroponik NFT (nutrient film technique). Skripsi. Universitas Airlangga,
Surabaya.
Putri, S. (2016). Karakterisasi enzim selulase yang dihasilkan oleh Lactobacillus
plantarum pada variasi suhu, pH, dan konsentrasi substrat. Skripsi. Fakultas
Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Malang.
Putri, W. O., Amri, A., & Utami, S. P. (2015). Pengaruh pH pada proses hidrolisis
mikro alga Chlorella vulgaris menjadi glukosa menggunakan enzim
selulase. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Riau, 2(1),
1-5.
Raharjo, B., Suprihadi, A, & Agustina, D. K. (2007). Pelarutan fosfat anorganik oleh
kultur campur jamur pelarut fosfat secara in vitro. Jurnal Sains dan
Matematika, 15(2), 45-54.
Rahayu, A. G., Haryani, Y., & Puspita, F. (2014). Uji aktivitas selulolitik dari tiga
isolat bakteri Bacillus sp. galur lokal Riau. Jurnal Online Mahasiswa
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau , 1(2),
319-327.
Ramkumar, A., Sivakumar, N., & Victor, R. (2016). Fish-waste potential low cost
substrate for bacterial protease production. Biotechnology Journal, 10, 335-
341.
Rawway, M., Ali, S. G., & Badawy, A. S. (2018). Isolation and identification of
cellulose degrading bacteria from different sources at Assiut Governorate
(Upper Egypt). Journal of Ecology of Health and Environment, 6(1), 15-24.
48
Respati, N. Y., Yulianti, E., & Rakhmawati, A. (2017). Optimasi suhu dan pH media
pertumbuhan bakteri pelarut fosfat dari isolat bakteri termofilik. Jurnal
Prodi Biologi, 6(7), 423.
Retnowati, Y., Bialangi, N., & Posangi, N. W. (2011). Pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus pada media yang diekspos dengan infus daun
sambiloto. Jurnal Saintek, 6(2), 1-9.
Riggs, P. J., Chelius, M. K., Iniguez, A. L., Kaeppler, S. M., & Triplett, E. W. (2001).
Enhanced maize productivity by inoculation with diazotrophic bacteria.
Australian Journal of Plant Physiology, 28, 829-836.
Rohmah, N., Muslihatin, W., & Nurhidayati, T. (2016). Pengaruh kombinasi media
pembawa pupuk hayati bakteri penambat nitrogen terhadap pH dan unsur
hara nitrogen dalam tanah. Jurnal Sains dan Seni ITS, 4(1), 2337-3520.
Rostiana, O. & Seswita, D. (2007). Pengaruh indole butyric acid dan napphtaleine
acetic acid terhadap induksi perakaran tunas piretrum (Chrysanthemum
cinerariifoloum) klon prau 6 secara in vitro. Buletin Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat, 18(1), 39-48.
Sa’diyah, H., Hadi, A. F., & Ilminnafik, N. (2016). Pengembangan usaha tepung ikan
di desa nelayan Puger Wetan. Asian Journal of Innovation and
Entrepreneurship, 1(1), 39-47.
Safitri, N., Sunarti, T. C., & Meryandini, A. (2016). Formula media pertumbuhan
bakteri asam laktat Pediococcus pentosaceus menggunakan substrat whey
tahu. Jurnal Sumberdaya Hayati, 2(2), 31-38.
Sagoe, C. I., Ando, T., Kouno, K., & Nagaoka, T. (1998). Relative importance of
protons and solution calcium concentration in phosphate rock dissolution by
organic acids. Soil Science and Plant Nutrition, 44, 617-625.
Sakti, P. C. (2012). Optimasi produksi enzim selulase dari Bacillus spp. BPPT CC
RK2 dengan variasi pH dan suhu menggunakan response surfance
methodology. Skripsi. Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Depok.
Sari, E., Etebarian, H. R., & Aminian, H. (2007). The effects of Bacillus pumilus,
isolated from wheat rhizosphere, on resistance in wheat seedling roots
against the take-all fungus, Gaeumannomyces graminis var. tritici. Journal
of Phytopathology, 155, 720-727.
Sari, R. F. (2010). Optimasi aktivitas selulase ektraseluler dari isolat bakteri RF-10.
Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Sebayang, A. M., Damanik, M. M. B., & Lubis, K. S. (2015). Aplikasi pupuk KCl
dan pupuk kandang ayam terhadap ketersediaan dan serapan kalium serta
49
pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays L.) pada tanah inseptisol Kwala
Bekala. Jurnal Agroekoteknologi, 3(3), 870-875.
Setiawati, M. R., Suryatmana, P., Hindersah, R., Fitriatin, B. N., & Herdiyantoro, D.
(2014). Karakterisasi isolat bakteri pelarut fosfat untuk meningkatkan
ketersediaan P pada media kultur cair tanaman jagung (Zea mays L.).
Bionatura-Jurnal Ilmu Hayati & Fisik, 16(1), 30-34.
Sheng, X. F. & He, L. Y. (2006). Solubilization of potassium bearing minerals by a
wild type strain of Bacillus edaphicus and its mutants and increased
potassium uptake by wheat. Canadian Journal of Microbiology, 52(1), 66-
72.
Somers, E., Vanderleyden, J., & Srinivasan, M. (2014). Rhizosphere bacterial
signalling: a love parade beneath our feet. Critical Reviews in Microbiology,
30, 205–240.
Sonia, N. M., & Kusnadi, J. (2015). Isolasi dan karakterisasi parsial enzim selulase
dari isolat bakteri OS-16 asal padang pasir Tengger-Bromo. Jurnal Pangan
dan Agroindustri, 3(4), 11-19.
Su, F., Hua, D., Zhang, Z., Wang, X., Tang, H., Tao, F., Tai, C., Wu, Q., Wu, G., &
Xu, P. (2011). Genome sequence of Bacillus pumilus S-1, an efficient
isoeugenol-utilizing producer for natural vanillin. Journal of Bacteriology,
193(22), 6400-6401.
Subagyo, Margino, S., & Triyanto. (2015). Pengaruh penambahan berbagai jenis
sumber karbon, nitrogen dan fosfor pada medium deMan, Rogosa and
Sharpe (MRS) terhadap pertumbuhan bakteri asam laktat terpilih yang
diisolasi dari intestinum udang penaeid. Jurnal Kelautan Tropis, 18(3), 127-
132.
SubbaRao, N. S. (1982). Advances in Agricultural Microbiology. Oxford and IBH
Publications Company, India.
Sukmadi, R. B. (2012). Aktivitas fitohormon indole-3-acetic acid (IAA) dari
beberapa isolat bakteri rizosfer dan endofit. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia, 14(3), 221-227.
Susanti, E. (2011). Optimasi produksi dan karakterisasi sistem selulase dari Bacillus
circulans strain lokal dengan induser avicel. Jurnal Ilmu Dasar, 12(1), 40-
49.
Susanto, D., Sudrajat, & Ruga, R. (2012). Studi kandungan bahan aktif tumbuhan
meranti merah (Shorea leprosula Miq.) sebagai sumber senyawa antibakteri.
Jurnal Kesehatan, 11(2), 1-15.
Susilowati, A., Puspita, A. A., & Yunus, A. (2018). Drought resistant of bacteria
producing exopolysaccharide and IAA in rhizosphere of soybean plant
50
(Glycine max) in Wonogiri Regency Central Java Indonesia. IOP
Conference Series: Earth and Environmental Science, 142, 1-7.
Sutariati, G. A. K, & Wahab, A. (2010). Isolasi dan uji kemampuan rizobakteri
indigenus sebagai agensia pengendali hayati penyakit pada tanaman cabai.
Jurnal Holtikultura, 20(1), 86-95.
Sutariati, G. A. K., Widodo, Sudarsono, & Ilyas, S. (2006). Pengaruh perlakuan Plant
Growth Promoting Rhizobacteria terhadap pertumbuhan bibit tanaman cabai.
Buletin Agronomi, 34(1), 46-54.
Utomo, N. B. P., Susan, & Setiawati, M. (2013). Peran tepung ikan dari berbagai
bahan baku terhadap pertumbuhan lele sangkuriang Clarias sp. Jurnal
Akuakultur Indonesia, 12(2), 158-168.
Wihansah, R. R. S., Yusuf, M., Arifin, M., Oktaviana, A. Y., Rifkhan, Negara, J. K.,
& Sio, A. K. (2018). Pengaruh pemberian glukosa yang berbeda terhadap
adaptasi Escherichia coli pada cekaman lingkungan asam. Jurnal Sains
Peternakan Indonesia, 13(1), 29-35.
Wilson, D. B. (2011). Microbial diversity of cellulose hydrolysis. Current Opinion in
Microbiology, 14, 1-5.
Wulandari, S. (2001). Efektivitas bakteri pelarut fosfat Pseudomonas sp. terhadap
pertumbuhan tanaman kedelai (Glycine max L.) pada tanah podsolik merah
kuning. Jurnal Natur Indonesia, 4(1), 14-20.
Yachana, J. (2017). Potassium mobilizing bacteria: enhance potassium intake in
paddy to regulates membrane permeability and accumulate carbohydrates
under salinity stress. Brazilian Journal of Biological Sciences, 4(8), 333-344.
Zaidi, A., Khan, M. S., Ahemad, M., & Oves, M. (2009) Plant growth promotion by
potassium solubilizing bacteria. Acta Microbiologica et Immunologica
Hungarica, 56(3), 263-284.
Zuhri, R., Agustien, A., & Rilda Y. (2013). Pengaruh sumber karbon dan nitrogen
terhadap produksi protease alkali dari Bacillus sp. M1.2.3 termofilik. Jurnal
Biologika, 2(1), 40-46.
51
LAMPIRAN
Lampiran 1. Rancangan percobaan faktor perlakuan limbah industri agar (LIA)
Faktor A Faktor B Faktor C
H1 H3 H5 H7 H9 H11
L1
T1 L1T1 L1T1 L1T1 L1T1 L1T1 L1T1
T2 L1T2 L1T2 L1T2 L1T2 L1T2 L1T2
T3 L1T3 L1T3 L1T3 L1T3 L1T3 L1T3
L2
T1 L2T1 L2T1 L2T1 L2T1 L2T1 L2T1
T2 L2T2 L2T2 L2T2 L2T2 L2T2 L2T2
T3 L2T3 L2T3 L2T3 L2T3 L2T3 L2T3
L3
T1 L3T1 L3T1 L3T1 L3T1 L3T1 L3T1
T2 L3T2 L3T2 L3T2 L3T2 L3T2 L3T2
T3 L3T3 L3T3 L3T3 L3T3 L3T3 L3T3
Desain tata letak percobaan (secara acak)
L1T3-U1-s1, s2, s3 L1T1-U1-s1, s2, s3 L2T1-U1-s1, s2, s3
L2T2-U2-s1,s2,s3 L2T1-U2-s1,s2,s3 L1T3-U2-s1,s2,s3
L3T1-U1-s1, s2, s3 L3T2-U1-s1, s2, s3 L2T2-U1-s1, s2, s3
L1T2-U1-s1, s2, s3 L3T3-U1-s1, s2, s3 L1T2-U2-s1,s2,s3
L1T1-U2-s1,s2,s3 L3T2-U2-s1,s2,s3 L2T3-U1-s1, s2, s3
L3T3-U2-s1,s2,s3 L2T3-U2-s1,s2,s3 L3T1-U2-s1,s2,s3
Keterangan :
L1 = LIA 1% H1 = Hari ke-1 U = Ulangan
L2 = LIA 2% H3 = Hari ke-3 s = sub-ulangan
L3 = LIA 3% H5 = Hari ke-5
T1 = Tepung ikan 0,1% H7 = Hari ke-7
T2 = Tepung ikan 0,2% H9 = Hari ke-9
T3 = Tepung ikan 0,3% H11 = Hari ke-11
52
Lampiran 2. Diagram alir penelitian
Preparasi
(pembuatan media, larutan pereaksi, dan kurva standar)
Peremajaan bakteri pada media tumbuh
Uji Zona Bening
Isolat bakteri Bacillus pumilus LA4P
Uji Pelarut Fosfat
(media Pikovskaya)
Uji Pelarut Kalium
(media Aleksandrov) Uji Aktivitas Selulolitik
(media CMC)
Uji Lanjutan
Pertumbuhan
sel bakteri
(metode TPC)
Aktivitas
selulase
(metode DNS)
Produksi IAA
(metode
kolorimetri)
Pengukuran
pH media
perlakuan
Uji statistik SPSS
53
Lampiran 3. Kurva standar dan konsentrasi glukosa
Konsentrasi
(ppm) Blanko
Respon
Instrumen Absorbansi
100 0,0426 0,1382 0,0956
200 0,0426 0,4040 0,3614
300 0,0426 0,7092 0,6666
400 0,0426 0,9535 0,9109
500 0,0426 1,2356 1,1930
600 0,0426 1,5892 1,5466
700 0,0426 1,7718 1,7292
800 0,0426 1,9641 1,9215
900 0,0426 2,1367 2,0941
1000 0,0426 2,3504 2,3078
y = 0,0025x - 0,0455
R² = 0,9911
0,0000
0,5000
1,0000
1,5000
2,0000
2,5000
3,0000
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100
Abso
rban
si 5
40 n
m
Konsentrasi (ppm)
Kurva Standar Glukosa
54
Lampiran 4. Kurva standar dan konsentrasi IAA
Konsentrasi
(ppm) Blanko
Respon
Instrumen Absorbansi
0 0,0426 0,0466 0,0040
10 0,0426 0,2422 0,1996
20 0,0426 0,4888 0,4462
30 0,0426 0,6470 0,6044
40 0,0426 0,8487 0,8061
50 0,0426 1,0586 1,0159
60 0,0426 1,1660 1,1234
70 0,0426 1,3994 1,3568
80 0,0426 1,5787 1,5361
90 0,0426 1,6992 1,6566
100 0,0426 1,9514 1,9088
y = 0,1859x - 0,1036
R² = 0,9972
0,0000
0,5000
1,0000
1,5000
2,0000
2,5000
0 2 4 6 8 10 12
Abso
rban
si (
530 n
m)
Konsentrasi (ppm)
Kurva Standar IAA
55
Lampiran 5. Data hasil uji kuantitatif isolat B. pumilus LA4P
a) Jumlah sel (108 CFU/mL)
LIA Tepung
Ikan
Jumlah Sel (108 CFU/mL) berdasarkan Waktu Inkubasi
H1 H3 H5 H7 H9 H11
L1
T1 9,31±1,95 14,26±3,10 10,51±1,65 6,86±0,50 10,43±2,92 9,52±0,96
T2 11,07±4,77 16,87±0,21 16,08±1,77 18,72±1,01 11,68±1,52 11,11±4,50
T3 15,23±4,45 16,33±1,83 10,84±0,94 22,09±2,74 11,01±4,49 11,26±4,77
L2
T1 7,22±3,32 8,27±1,33 4,36±0,26 5,50±0,47 5,88±0,29 6,03±2,09
T2 10,91±3,53 10,32±1,41 12,67±0,47 17,01±1,42 8,89±1,25 7,71±0,05
T3 10,27±0,47 6,71±2,17 11,48±4,38 14,48±0,42 9,06±0,86 7,94±3,22
L3
T1 29,56±9,98 23,35±5,26 22,67±4,57 24,93±8,00 14,14±2,11 12,03±1,92
T2 24,59±5,54 6,50±1,17 16,14±2,06 12,47±1,56 11,68±4,42 7,85±0,83
T3 27,71±3,04 11,82±8,47 5,92±2,47 4,38±0,07 14,82±1,87 6,49±1,43
Keterangan : L1 = 1%; L2 = 2%; L3 = 3%; T1 = 0,1%; T2 = 0,2%; T3 = 0,3%;
Satuan = CFU/mL (Mean±SD)
b) Aktivitas selulase (U/mL)
LIA Tepung
Ikan
Aktivitas Selulase (U/mL) berdasarkan Waktu Inkubasi
H1 H3 H5 H7 H9 H11
L1
T1 0,34±0,01 0,54±0,01 0,23±0,00 0,30±0,01 0,38±0,00 0,37±0,00
T2 0,43±0,01 0,42±0,01 0,33±0,01 0,30±0,00 0,43±0,00 0,40±0,00
T3 0,57±0,01 0,49±0,01 0,27±0,01 0,32±0,00 0,42±0,00 0,42±0,01
L2
T1 0,49±0,01 0,28±0,01 0,26±0,00 0,26±0,01 0,24±0,01 0,45±0,01
T2 0,62±0,01 0,28±0,01 0,27±0,00 0,27±0,00 0,23±0,00 0,46±0,01
T3 0,48±0,01 0,28±0,00 0,32±0,00 0,27±0,00 0,29±0,01 0,53±0,00
L3
T1 0,23±0,00 0,22±0,00 0,26±0,00 0,22±0,01 0,20±0,00 0,27±0,00
T2 0,33±0,02 0,23±0,00 0,26±0,00 0,21±0,00 0,25±0,00 0,21±0,00
T3 0,21±0,01 0,24±0,00 0,26±0,01 0,22±0,00 0,25±0,00 0,22±0,00
Keterangan : L1 = 1%; L2 = 2%; L3 = 3%; T1 = 0,1%; T2 = 0,2%; T3 = 0,3%;
Satuan = U/mL (Mean±SD)
56
Lampiran 5. (lanjutan)
c) Produksi IAA (ppm)
LIA Tepung
Ikan
Kadar IAA (ppm) berdasarkan Waktu Inkubasi
H1 H3 H5 H7 H9 H11
L1
T1 0,00±0,00 0,06±0,00 0,18±0,01 0,32±0,00 0,77±0,00 0,61±0,00
T2 0,02±0,01 0,08±0,00 0,17±0,01 0,35±0,00 0,76±0,01 0,64±0,00
T3 0,08±0,00 0,09±0,00 0,27±0,01 0,69±0,01 0,66±0,01 0,68±0,00
L2
T1 0,52±0,00 0,62±0,00 0,29±0,00 0,37±0,01 0,54±0,00 0,60±0,00
T2 0,33±0,00 0,55±0,00 0,24±0,00 0,55±0,00 0,58±0,02 0,65±0,01
T3 0,25±0,00 0,59±0,01 0,31±0,01 0,45±0,01 0,60±0,01 0,71±0,01
L3
T1 0,45±0,00 0,45±0,00 0,65±0,01 0,75±0,00 0,46±0,01 0,63±0,01
T2 0,47±0,00 0,47±0,00 0,72±0,01 0,53±0,01 0,52±0,00 0,60±0,00
T3 0,45±0,01 0,46±0,00 0,78±0,01 0,68±0,00 0,52±0,00 0,56±0,01
Keterangan : L1 = 1%; L2 = 2%; L3 = 3%; T1 = 0,1%; T2 = 0,2%; T3 = 0,3%;
Satuan = ppm (Mean±SD)
d) Kadar pH media
LIA Tepung
Ikan
Nilai pH berdasarkan Waktu Inkubasi
H1 H3 H5 H7 H9 H11
L1
T1 7,00±0,00 7,25±0,35 7,50±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00
T2 7,00±0,00 7,50±0,00 7,50±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00
T3 7,00±0,00 7,00±0,00 7,50±0,00 7,75±0,35 8,00±0,00 8,50±0,00
L2
T1 6,75±0,35 7,50±0,00 7,50±0,00 7,50±0,00 7,50±0,00 7,75±0,35
T2 6,50±0,00 7,50±0,00 7,50±0,00 7,25±0,35 7,50±0,71 7,75±0,35
T3 6,50±0,00 7,50±0,00 7,50±0,00 7,50±0,00 8,00±0,00 7,75±0,35
L3
T1 7,00±0,00 7,00±0,00 7,50±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00 7,75±0,35
T2 6,50±0,00 7,00±0,00 7,25±0,35 8,00±0,00 8,00±0,00 7,75±0,35
T3 6,50±0,00 7,00±0,00 7,50±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00 7,75±0,35
Keterangan : L1 = 1%; L2 = 2%; L3 = 3%; T1 = 0,1%; T2 = 0,2%; T3 = 0,3%;
(Mean±SD)
57
Lampiran 6. Hasil statistik uji ANOVA
Between-Subjects Factors
Value Label N
Konsentrasi LIA 1 L1 36
2 L2 36
3 L3 36
Konsentrasi Tepung Ikan 1 T1 36
2 T2 36
3 T3 36
Waktu Inkubasi 1 Hari ke-1 18
2 Hari ke-3 18
3 Hari ke-5 18
4 Hari ke-7 18
5 Hari ke-9 18
6 Hari ke-11 18
Tests of Between-Subjects Effects
Source Dependent
Variable
Type III Sum
of Squares df
Mean
Square F Sig.
Corrected
Model
Jumlah Sel 4096,028a 53 77,284 4,351 ,000
Aktivitas Selulase 1,183b 53 ,022 14,105 ,000
Konsentrasi IAA 5,403c 53 ,102 6,304 ,000
pH Media 23,373d 53 ,441 12,701 ,000
Intercept Jumlah Sel 17889,815 1 17889,815 1007,097 ,000
Aktivitas Selulase 11,416 1 11,416 7211,970 ,000
Konsentrasi IAA 25,693 1 25,693 1588,755 ,000
pH Media 6082,502 1 6082,502 175176,067 ,000
LIA Jumlah Sel 779,540 2 389,770 21,942 ,000
Aktivitas Selulase ,277 2 ,139 87,539 ,000
Konsentrasi IAA ,843 2 ,422 26,068 ,000
pH Media 1,060 2 ,530 15,267 ,000
TI Jumlah Sel ,246 2 ,123 ,007 ,993
Aktivitas Selulase ,006 2 ,003 1,738 ,186
Konsentrasi IAA ,106 2 ,053 3,275 ,045
pH Media ,060 2 ,030 ,867 ,426
Inkubasi Jumlah Sel 360,420 5 72,084 4,058 ,003
Aktivitas Selulase ,308 5 ,062 38,945 ,000
Konsentrasi IAA 1,956 5 ,391 24,186 ,000
pH Media 18,095 5 3,619 104,227 ,000
LIA * TI Jumlah Sel 925,312 4 231,328 13,022 ,000
Aktivitas Selulase ,023 4 ,006 3,564 ,012
Konsentrasi IAA ,042 4 ,010 ,646 ,632
58
Lampiran 6. (lanjutan)
pH Media ,148 4 ,037 1,067 ,382
LIA *
Inkubasi
Jumlah Sel 1097,672 10 109,767 6,179 ,000
Aktivitas Selulase ,436 10 ,044 27,558 ,000
Konsentrasi IAA 2,001 10 ,200 12,376 ,000
pH Media 2,634 10 ,263 7,587 ,000
TI *
Inkubasi
Jumlah Sel 270,457 10 27,046 1,523 ,157
Aktivitas Selulase ,032 10 ,003 2,004 ,051
Konsentrasi IAA ,126 10 ,013 ,782 ,645
pH Media ,551 10 ,055 1,587 ,136
LIA * TI
*
Inkubasi
Jumlah Sel 662,380 20 33,119 1,864 ,036
Aktivitas Selulase ,102 20 ,005 3,219 ,000
Konsentrasi IAA ,329 20 ,016 1,016 ,460
pH Media ,824 20 ,041 1,187 ,301
Error Jumlah Sel 959,242 54 17,764
Aktivitas Selulase ,085 54 ,002
Konsentrasi IAA ,873 54 ,016
pH Media 1,875 54 ,035
Total Jumlah Sel 22945,085 108
Aktivitas Selulase 12,685 108
Konsentrasi IAA 31,970 108
pH Media 6107,750 108
Corrected
Total
Jumlah Sel 5055,270 107
Aktivitas Selulase 1,269 107
Konsentrasi IAA 6,276 107
pH Media 25,248 107
a. R Squared = ,810 (Adjusted R Squared = ,624)
b. R Squared = ,933 (Adjusted R Squared = ,867)
c. R Squared = ,861 (Adjusted R Squared = ,724)
d. R Squared = ,926 (Adjusted R Squared = ,853)
60
Lampiran 7. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antar faktor substrat (LIA dan tepung ikan) dan waktu inkubasi
a) Jumlah sel bakteri
Interaksi LIA x
Tepung Ikan x
Waktu Inkubasi
N
Subset
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
L2T1H5 2 4,355
L3T3H7 2 4,380
L2T1H7 2 5,500 5,500
L2T1H9 2 5,875 5,875 5,875
L3T3H5 2 5,915 5,915 5,915
L2T1H11 2 6,025 6,025 6,025
L3T3H11 2 6,490 6,490 6,490 6,490
L3T2H3 2 6,500 6,500 6,500 6,500
L2T3H3 2 6,705 6,705 6,705 6,705 6,705
L1T1H7 2 6,855 6,855 6,855 6,855 6,855
L2T1H1 2 7,220 7,220 7,220 7,220 7,220
L2T2H11 2 7,705 7,705 7,705 7,705 7,705
L3T2H11 2 7,845 7,845 7,845 7,845 7,845
L2T3H11 2 7,940 7,940 7,940 7,940 7,940
L2T1H3 2 8,270 8,270 8,270 8,270 8,270 8,270
L2T2H9 2 8,885 8,885 8,885 8,885 8,885 8,885
L2T3H9 2 9,060 9,060 9,060 9,060 9,060 9,060
L1T1H1 2 9,305 9,305 9,305 9,305 9,305 9,305
L2T3H1 2 10,260 10,265 10,265 10,265 10,265 10,265
L2T2H3 2 10,315 10,315 10,315 10,315 10,315 10,315
61
L1T1H9 2 10,425 10,425 10,425 10,425 10,425 10,425
L1T1H5 2 10,510 10,510 10,510 10,510 10,510 10,510
L1T3H5 2 10,835 10,835 10,835 10,835 10,835 10,835
L2T2H1 2 10,905 10,905 10,905 10,905 10,905 10,905
L1T3H9 2 11,005 11,005 11,005 11,005 11,005 11,005
L1T2H1 2 11,065 11,065 11,065 11,065 11,065 11,065
L1T2H11 2 11,110 11,110 11,110 11,110 11,110 11,110
L2T3H5 2 11,475 11,475 11,475 11,475 11,475 11,475
L1T2H9 2 11,675 11,675 11,675 11,675 11,675 11,675
L3T2H9 2 11,675 11,675 11,675 11,675 11,675 11,675
L3T3H3 2 11,820 11,820 11,820 11,820 11,820 11,820 11,820
L3T1H11 2 12,025 12,025 12,025 12,025 12,025 12,025 12,025
L3T2H7 2 12,465 12,465 12,465 12,465 12,465 12,465 12,465 12,465
L2T2H5 2 12,670 12,670 12,670 12,670 12,670 12,670 12,670 12,670
L3T1H9 2 14,135 14,135 14,135 14,135 14,135 14,135 14,135 14,135 14,135
L1T1H3 2 14,260 14,260 14,260 14,260 14,260 14,260 14,260 14,260 14,260
L2T3H7 2 14,480 14,480 14,480 14,480 14,480 14,480 14,480 14,480 14,480 14,480
L3T3H9 2 14,820 14,820 14,820 14,820 14,820 14,820 14,820 14,820 14,820 14,820 14,820
L1T3H1 2 15,225 15,225 15,225 15,225 15,225 15,225 15,225 15,225 15,225 15,225
L1T2H5 2 16,075 16,075 16,075 16,075 16,075 16,075 16,075 16,075 16,075
L3T2H5 2 16,135 16,135 16,135 16,135 16,135 16,135 16,135 16,135 16,135
L1T3H3 2 16,325 16,325 16,325 16,325 16,325 16,325 16,325 16,325 16,325
L1T2H3 2 16,870 16,870 16,870 16,870 16,870 16,870 16,870 16,870
L2T2H7 2 17,005 17,005 17,005 17,005 17,005 17,005 17,005 17,005
L1T1H11 2 17,080 17,080 17,080 17,080 17,080 17,080 17,080
62
L1T2H7 2 18,715 18,715 18,715 18,715 18,715 18,715 18,715
L1T3H7 2 22,090 22,090 22,090 22,090 22,090 22,090 22,090
L3T1H5 2 22,670 22,670 22,670 22,670 22,670 22,670
L3T1H3 2 23,350 23,350 23,350 23,350 23,350
L1T3H11 2 23,915 23,915 23,915 23,915 23,915
L3T2H1 2 24,585 24,585 24,585 24,585
L3T1H7 2 24,925 24,925 24,925
L3T3H1 2 27,710 27,710
L3T1H1 2 29,560
Sig. 0,052 0,070 0,053 0,051 0,054 0,052 0,051 0,052 0,063 0,054 0,054 0,074 0,139
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 17,995.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
b. Alpha = 0,05.
b) Aktivitas selulase
Interaksi LIA x
Tepung Ikan x
Waktu Inkubasi
N
Subset
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
L3T1H9 2 0,200
L3T1H11 2 0,208 0,208
L3T2H11 2 0,209 0,209
L3T2H7 2 0,211 0,211
63
L3T1H3 2 0,220 0,220 0,220
L3T3H7 2 0,221 0,221 0,221 0,221
L3T3H11 2 0,224 0,224 0,224 0,224 0,224
L3T1H7 2 0,225 0,225 0,225 0,225 0,225
L1T1H5 2 0,225 0,225 0,225 0,225 0,225
L3T2H3 2 0,233 0,233 0,233 0,233 0,233 0,233
L2T2H9 2 0,235 0,235 0,235 0,235 0,235 0,235
L3T3H1 2 0,237 0,237 0,237 0,237 0,237 0,237
L3T3H3 2 0,240 0,240 0,240 0,240 0,240 0,240
L2T1H9 2 0,243 0,243 0,243 0,243 0,243 0,243
L3T3H9 2 0,246 0,246 0,246 0,246 0,246 0,246
L3T2H9 2 0,249 0,249 0,249 0,249 0,249 0,249
L3T2H5 2 0,261 0,261 0,261 0,261 0,261 0,261
L3T1H5 2 0,262 0,262 0,262 0,262 0,262 0,262
L3T3H5 2 0,262 0,262 0,262 0,262 0,262 0,262
L2T1H5 2 0,264 0,264 0,264 0,264 0,264 0,264
L2T1H7 2 0,265 0,265 0,265 0,265 0,265 0,265
L2T2H7 2 0,267 0,267 0,267 0,267 0,267 0,267
L2T2H5 2 0,269 0,269 0,269 0,269 0,269 0,269
L1T3H5 2 0,274 0,274 0,274 0,274 0,274 0,274
L2T3H7 2 0,274 0,274 0,274 0,274 0,274 0,274
L2T2H3 2 0,276 0,276 0,276 0,276 0,276 0,276
L2T3H3 2 0,280 0,280 0,280 0,280 0,280 0,280 0,280
L2T1H3 2 0,283 0,283 0,283 0,283 0,283 0,283 0,283
L2T3H9 2 0,287 ,2871 ,2871 ,2871 ,2871 ,2871 ,2871
64
L1T2H7 2 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298
L1T1H7 2 0,304 0,304 0,304 0,304 0,304 0,304 0,304 0,304
L1T1H1 2 0,310 0,310 0,310 0,310 0,310 0,310 0,310
L2T3H5 2 0,319 0,319 0,319 0,319 0,319 0,319 0,319
L1T2H1 2 0,321 0,321 0,321 0,321 0,321 0,321
L1T3H7 2 0,321 0,321 0,321 0,321 0,321 0,321
L3T2H1 2 0,327 0,327 0,327 0,327 0,327 0,327
L1T2H5 2 0,327 0,327 0,327 0,327 0,327 0,327
L1T1H11 2 0,375 0,375 0,375 0,375 0,375 0,375
L1T1H9 2 0,383 0,383 0,383 0,383 0,383
L1T2H11 2 0,395 0,395 0,395 0,395
L1T3H1 2 0,405 0,405 0,405 0,405
L1T2H3 2 0,416 0,416 0,416
L1T3H9 2 0,418 0,418 0,418
L1T3H11 2 0,421 0,421
L1T2H9 2 0,431 0,431 0,431
L2T1H11 2 0,452 0,452 0,452 0,452
L2T2H11 2 0,463 0,463 0,463 0,463
L1T3H3 2 0,491 0,491 0,491 0,491
L2T1H1 2 0,518 0,518 0,518
L2T2H1 2 0,530 0,530
L2T3H11 2 0,534 0,534
L1T1H3 2 0,538 0,538
L3T1H1 2 0,542 0,542
L2T3H1 2 0,571
65
Sig. 0,053 0,057 0,072 0,052 0,054 0,061 0,050 0,076 0,056 0,073 0,053 0,066 0,066 0,054 0,056 0,089
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,002.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
b. Alpha = 0,05.
c) Produksi IAA
Interaksi LIA x
Tepung Ikan x
Waktu Inkubasi
N
Subset
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
L1T1H1 2 0,004
L1T2H1 2 0,017 0,017
L1T1H3 2 0,057 0,057 0,057
L1T2H3 2 0,076 0,076 0,076 0,076
L1T3H1 2 0,083 0,083 0,083 0,083
L1T3H3 2 0,095 0,095 0,095 0,095
L1T2H5 2 0,129 0,129 0,129 0,129
L1T1H5 2 0,178 0,178 0,178 0,178 0,178
L2T1H5 2 0,232 0,232 0,232 0,232 0,232 0,232
L2T2H5 2 0,237 0,237 0,237 0,237 0,237 0,237
L1T3H5 2 0,270 0,270 0,270 0,270 0,270 0,270 0,270
L2T2H1 2 0,273 0,273 0,273 0,273 0,273 0,273 0,273 0,273
L2T3H5 2 0,314 0,314 0,314 0,314 0,314 0,314 0,314 0,314
L1T1H7 2 0,322 0,322 0,322 0,322 0,322 0,322 0,322 0,322
66
L2T1H7 2 0,375 0,375 0,375 0,375 0,375 0,375 0,375 0,375
L3T3H1 2 0,451 0,451 0,451 0,451 0,451 0,451 0,451 0,451
L2T3H7 2 0,452 0,452 0,452 0,452 0,452 0,452 0,452 0,452
L3T1H1 2 0,452 0,452 0,452 0,452 0,452 0,452 0,452 0,452
L3T1H3 2 0,454 0,454 0,454 0,454 0,454 0,454 0,454 0,454
L3T3H3 2 0,459 0,459 0,459 0,459 0,459 0,459 0,459 0,459 0,459
L3T1H9 2 0,460 0,460 0,460 0,460 0,460 0,460 0,460 0,460 0,460
L3T2H3 2 0,466 0,466 0,466 0,466 0,466 0,466 0,466 0,466 0,466 0,466
L3T2H1 2 0,469 0,469 0,469 0,469 0,469 0,469 0,469 0,469 0,469 0,469
L3T2H9 2 0,521 0,521 0,521 0,521 0,521 0,521 0,521 0,521 0,521
L2T1H1 2 0,525 0,525 0,525 0,525 0,525 0,525 0,525 0,525 0,525
L3T2H7 2 0,528 0,528 0,528 0,528 0,528 0,528 0,528 0,528 0,528
L2T2H7 2 0,549 0,549 0,549 0,549 0,549 0,549 0,549 0,549
L2T2H3 2 0,554 0,554 0,554 0,554 0,554 0,554 0,554 0,554
L3T3H11 2 0,556 0,556 0,556 0,556 0,556 0,556 0,556 0,556
L1T2H11 2 0,561 0,561 0,561 0,561 0,561 0,561 0,561 0,561
L2T2H9 2 0,583 0,583 0,583 0,583 0,583 0,583 0,583
L2T3H3 2 0,586 0,586 0,586 0,586 0,586 0,586
L1T2H7 2 0,587 0,587 0,587 0,587 0,587 0,587
L3T1H7 2 0,596 0,596 0,596 0,596 0,596 0,596
L2T3H9 2 0,600 0,600 0,600 0,600 0,600 0,600
L1T1H11 2 0,611 0,611 0,611 0,611 0,611 0,611
L2T1H3 2 0,617 0,617 0,617 0,617 0,617 0,617
L3T3H9 2 0,618 0,618 0,618 0,618 0,618 0,618
L2T3H1 2 0,623 0,623 0,623 0,623 0,623 0,623
67
L3T1H11 2 0,633 0,633 0,633 0,633 0,633
L2T2H11 2 0,649 0,649 0,649 0,649
L3T1H5 2 0,655 0,655 0,655 0,655
L1T3H9 2 0,663 0,663 0,663 0,663
L3T2H11 2 0,683 0,683 0,683 0,683 0,683
L3T3H7 2 0,683 0,683 0,683 0,683 0,683
L1T3H11 2 0,683 0,683 0,683 0,683 0,683
L1T3H7 2 0,693 0,693 0,693 0,693
L3T2H5 2 0,718 0,718 0,718 0,718
L2T1H11 2 0,724 0,724 0,724 0,724
L2T1H9 2 0,745 0,745 0,745 0,745
L1T2H9 2 0,757 0,757 0,757 0,757
L1T1H9 2 0,770 0,770 0,770
L3T3H5 2 0,777 0,777
L2T3H11 2 0,971
Sig. 0,081 0,054 0,086 0,053 0,064 0,060 0,066 0,050 0,053 0,052 0,054 0,057 0,052 0,053 0,060
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,016.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
b. Alpha = 0,05.
68
Lampiran 8. Dokumentasi uji zona bening
a) Zona hambat pada uji fosfat B. pumilus LA4P
(Keterangan : a = zona bening; b = koloni bakteri)
b) Zona hambat pada uji kalium B. pumilus LA4P
(Keterangan : a = zona bening; b = koloni bakteri)
a
b
a b
69
c) Zona hambat pada uji selulase B. pumilus LA4P
Gambar 5. Hasil uji aktivitas selulase B. pumilus LA4P (Keterangan : a =
zona bening; b = koloni bakteri).
Lampiran 9. Dokumentasi media perlakuan
a) Perlakuan LIA 1% dengan kombinasi konsentrasi tepung ikan 0,1% (a), 0,2% (b),
dan 0,3% (c).
a
.
b
..
c
.
a
..
b
..
a
b
70
a
.
b) Perlakuan LIA 2% dengan kombinasi konsentrasi tepung ikan 0,1% (a), 0,2% (b),
dan 0,3% (c).
c) Perlakuan LIA 3% dengan kombinasi konsentrasi tepung ikan 0,1% (a), 0,2% (b),
dan 0,3% (c).
a
.
b
.
c
.
b
.
c
.
71
Lampiran 10. Dokumentasi hasil pengukuran uji kuantitatif
a.) Koloni bakteri hasil pengenceran 10-5
(a), 10-6
(b), dan 10-7
(c) pada media
perlakuan dengan teknik spread plate.
b.) Hasil uji aktivitas selulase pada media perlakuan LIA 1% (a), 2% (b), dan 3%
(c).
c.) Hasil uji aktivitas produksi IAA pada media perlakuan LIA 1% (a), 2% (b), dan
3% (c).
a
.
b
.
c
.
a
.
b
. c
.
a
.
b
.
c
.
72